RELEVANSI AYAT-AYAT MANSUKH PADA MASA KINI PROPOSAL DISERTASI
OLEH:
ABD. SUKKUR RAHMAN, S.TH.I, M.H.I
1
RELEVANSI AYAT-AYAT MANSUKH PADA MASA KINI A. LATAR BELAKANG Proses penurunan al-Quran secara berangsur-angsur (bertahap) tampak mengindikasikan bahwa pesan-pesan yang terkandung di dalamnya selalu bersentuhan dengan keberadaan umat yang memiliki ragam budaya dan selalu mengalami perubahan dari masa ke masa. Hal ini dapat dilihat secara historis, dimana al-Quran seringkali turun diiringi dengan sebab-sebab tertentu yang disebut dengan Azbabun Nuzul, yang berkaitan dengan berbagai macam persoalan. Pesan-pesan yang terkandung dalam al-Quran tidak hanya terbatas pada waktu atau tempat tertentu, walaupun pada hakikatnya, teks itu turun pada masa Nabi Saw, beberapa abad yang lalu. Al-Quran menjadi pedoman hidup bagi umat manusia sepanjang zaman. Dengan demikian, aktifitas penafsiran terhadap teks alQuran menunjukkan bahwa kitab al-Quran bukanlah sesuatu yang mati, melainkan ia selalu berfungsi menjadi pembimbing dan pedoman manusia kapan dan di manapun berada. Maka dari itu, al-Quran tidak cukup dipahami secara rigid (tekstual) untuk menemukan makna dan pesan-pesan secara komprehensif, sehingga kita bisa terhindar dari kesalahpahaman dalam mengambil suatu keputusan, terutama yang berkaitan dengan hukum. Sebab al-Quran memiliki peran dan fungsi yang sangat luas dan uptodate sepanjang zaman (shalihu likulli zaman wa makan), walaupun kitab ini telah diturunkan beberapa abad silam. Dalam hal ini, peran Azbabun Nuzul menjadi kunci utama dalam membedah makna dan kandungan al-Quran, untuk mendapatkan pemahaman secara mendalam (kontekstual), dalam menyikapi berbagai realitas. Sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Taymiyah, bahwa Azbabun Nuzul sangat menolong dalam menginterpretasi al-Quran. Sebab Azbabun nuzul adalah suatu kejadian atau peristiwa yang melatarbelakangi turunnya ayat al-Quran1. Mengetahui Azbabun Nuzul bukan sekedar gemar mengamati fakta sejarah yang menyelimuti pembentukan teks. Pengetahuan ini bertujuan 1
Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Itqan fi Ulum Al-Quran, (Dar Al-Fikr: Bairut, tt), 29
2
memahami teks dan menghasilkan maknanya karena pengetahuan tentang sebab menghasilkan pengetahuan mengenai akibat (musabab), seperti yang dikatakan banyak ulama. Selain itu, kajian mengenai sebab-sebab dan peristiwa-peristiwa akan memberikan pemahaman mengenai hikmah at-Tasyri‟ (mengapa aturan tertentu diturunkan), khususnya berkaitan dengan ayat-ayat hukum.2 Sehingga tidak selamanya suatu aturan itu harus ditetapkan, karena bagimanapun juga aturan itu harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi. Dengan demikian, pergantian hukum (nasikh) seringkali dijadikan jalan alternatif oleh ulama tafsir, guna mengimplementasikan hukum yang lebih relevan, sebagai simbol bahwa teks al-Quran senantiasa mampu memotret dan berdialog dengan kita dalam menjawab problematika sosial. Ilmu azbabun nuzul dan nasikh mansuk memiliki hubungan yang sangat erat dalam proses pengambilan hukum. Keduanya selalu menjadi acuan Ahli fiqih dan mufassir dalam memandang kandungan-kandungan al-Quran secara luas, untuk mengambil suatu kesimpulan berupa ketetapan hukum. Mereka dapat menentukan suatu hukum menggeneralisasikannya
dari realitas partikuler atau sebab khusus
ke peristiwa-peristiwa dan
kondisi-kondisi
dan yang
menyerupainya melalui qiyas (analogi). Akan tetapi harus disadari bahwa transformasi dari “sebab” ke “musabab” atau dari realitas khusus ke realitas yang menyerupainya, harus di dasarkan pada tanda-tanda yang terdapat dalam struktur teks itu sendiri. Tanda-tanda inilah yang akan membantu mentransformasikan makna dari yang khusus dan partikuler ke yang umum dan menyeluruh. Dengan demikian, kajian atas azbabun nuzul akan memberi pengetahuan tentang illat (sebab) di balik hukum-hukum teks. Melalui illat itu seorang mufassir atau ulama dapat menggeneralisasikan hukum terhadap realitas-realitas lain yang serupa. Kemampuan teks mencapai realitas-ralitas baru, harus didasarkan pada “tanda-tanda”, yang mungkin terdapat dalam struktur teks ataupun juga dalam kontek sosial yang menjadi sasaran dalam sebab-sebab turunnya ayat, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Umar bin Khattab dalam menyikapi masalah zakat untuk orang-orang muallaf. 2
Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas Al-Quran, (Yogyakarta: Lkis, 2001),122
3
Umar bin Khattab dapat menangkap hikmah Tasyri’ di balik pemberian bagian zakat kepada orang muallaf bukan dari struktur teks, melainkan dari konteks umum teks. Ia memahami bahwa hikmah dari penyantunan tersebut dimaksudkan untuk memperkuat islam yang masih lemah pada saat itu. Namun seiring dengan kekuasaan islam yang membentang dari jazirah Arab hingga wilayah di luar jazirah, maka tidak ada lagi hikmah di balik pemberian zakat kepada orang yang tidak berhak menerimanya. Dalam artian bahwa zakat hanya wajib diberikan kepada orang-orang fakir dan miskin. Pemahaman yang sama juga dilakukan oleh Umar mengenai hikmah diwajibkannya hukuman (had) pencurian. Hukuman ini tidak diberlakukan umar terhadap dua orang sahaya yang mencuri harta tuannya yang membuat keduanya kelaparan. Malahan umar mengancam tuan tersebut dengan potong tangan apabila kedua sahaya tersebut mencuri lagi.3 Contoh di atas mengilustrasikan bahwa pembacaan secara kontekstual terhadap suatu teks merupakan bagian signifikan guna menemukan kesesuaian teks dengan realitas, sesuai dengan peran al-Quran sendiri yang mencakup seluruh zaman dan tempat. Maka dari itu, tidak berlebihan jika para ulama tafsir meletakkan ilmu azbabun nuzul sebagai syarat penting dalam menafsirkan alQuran, di samping syarat-syarat yang lain. Dengan ilmu ini, seseorang akan mengetahui kapan dan dimana teks itu diturunkan, serta kepada siapa ia ditujukan. Berangkat dari peran penting ini, Azbabun nuzul tentu menjadi pelantara untuk mengetahui status suatu ayat, antara yang nasikh dan yang mansukh, yang dalam hal ini merupakan obyek penelitian, dimana keberadaan nasikh mansukh dalam al-Quran selalu menjadi pembicaraan hangat dan kontroversial. Hal ini karena konsep nasikh dan mansukh selalu melahirkan adanya ayat-ayat tertentu yang tidak diberlakukan secara hukum. Sebagian ulama ada yang menggunakan alasan dengan bahasa karena dihapus, dihilangkan, diganti, dan sebagainya, yang pada intinya memiliki makna yang sama, yaitu tidak diberlakukannya suatu hukum karena dianggap telah diganti oleh hukum yang lain, dengan tujuan untuk memberikan kemudahan dan keringanan kepada umat, sesuai dengan kebutuhan. 3
Ibid, 123-124
4
Maka dari itu, pergantian hukum dalam al-Quran (mansukh) sangat memungkinkan terjadi, untuk menyesuaikan makna teks dengan situasi dan kondisi seiring dengan perjalanan waktu dan perkembangan umat dari berbagai aspek. Sebagaimana yang dikatakan oleh Thabathaba'i, bahwa setiap teks alQuran yang diturunkan memiliki kemaslahatan masing-masing. Ayat-ayat yang dinasakh (mansukh) memiliki kemaslahatan (kesesuaian) pada masanya, sedangkan ayat-ayat yang menasakh juga memiliki kemaslahatan tersendiri pada masa setelahnya. Akan tetapi, menetapkan nasikh dari yang mansukh dalam ayat-ayat alQuran pada dasarnya di dasarkan pada pengetahuan yang cermat tentang sejarah azbabun nuzul dan kronologi turunnya ayat, dan ini bukan masalah mudah, sebagaimana yang dikatakan Ikrimah ketika ditanya oleh Muhammad bin Sirrin, tentang mengapa para sahabat tidak menyusun al-Quran berdsarkan kronologi turunya, Ia menjawab: “Andaikata manusia dan jin berkumpul untuk bersamasama menyusunya dengan cara itu, mereka tidak akan mampu. Faktor inilah yang menjadikan upaya menetapkan mana yang nasikh dan mana yang mansukh tidak selalu gampang. Barangkali faktor inilah yang menjadi sebab mengapa ulama al-Quran belebih-lebihan dalam memberikan contoh-contoh yang mereka bicarakan dalam masalah ini. Mereka menjadikan setiap perbedaan sebagai satu jenis naskh. Dan dalam hal ini mereka mencampur adukkan antara sarana-sarana takhshih kebahasaan dalam satu ayat dengan perubahan hukum karena perubahan situasi dan kondisi.4 Berangkat dari sulitnya menentukan kronologi turunya ayat tersebut, pambahasan nasikh mansukh selalu kontroversial dikalangan ulama. Silang pendapat mereka tidak hanya dalam wilayah pro dan kontra tentang adanya ayatayat yang dimansukd dalam al-Quran. Lebih dari itu, mereka juga berselisih dalam menentukan tempat ayat, serta jumlah ayat-ayat mansukh dalam al-Quran, sekalipun sesama ulama yang pro dengan adanya konsep nasakh. Sebagaimana yang dikatakan oleh Musthafa Zayd, berdasarkan penelitiannya tentang jumlah ayat-ayat mansukh bahwa, jumlah ayat-ayat mansukh yang dikatakan oleh beberapa ulama berbeda-beda, yaitu: 4
Ibid, 147
5
a. Menurut Ibnu Hazm: 214 ayat b. Menurut An-Nuhas: 134 ayat c. Menurut Ibnu Salamah dan Al-Ajhuri: 213 ayat d. Menurut Ibnu Barakat: 210 Ayat e. Menurut Ibnu Al-Jawzi: 147 Ayat f. Menurut Abdul Qodir al-Baghdadi: 66 ayat Secara keseluruhan kalau dijumlahkan ayat yang dimansukh sbanyak 279 ayat, kemudian s-Suyuthi hanya menyebut 22 ayat. Al-Syauqi 12 ayat, Al-Dihlawi 5 ayat, yang kelima itu sudah dikompromikan oleh Sayyid Amir Ali.5 Perbedaan jumlah tersebut berimbas pada perbedaan tempat ayat yang mereka anggap mansukh, Sehingga ayat yang dianggap nasikh orang satu kalangan, ternyata ditolak oleh kalangan yang lain, bahkan sebagian ada yang sangat kontradikfif dalam ketentuan tersebut. Ayat yang dianggap nasikh oleh satu kalangan malah oleh kalangan yang lain dianggap mansukh. Hal ini karena mereka juga berbeda pendapat tentang orentasi ayat-ayat nasikh. Sebagaimana yang dikatakan oleh ulama tradisional, bahwa ayat-ayat yang pesannya tidak terbatas dinasakh oleh ayat-ayat yang terbatas. Sedangkan ulama yang lain, seperti yang dikatakan oleh Thabathaba‟i, bahwa ayat yang terbatas dinasakh oleh ayat yang kandungan pesannya tidak terbatas. 6Hal ini menunjukkan bahwa permasalahan nasikh mansuk dan al-Quran merupakan permasalahan yang sangat komplik, baik dari segi perbedaan pendapat mengenai pro dan kontra adanya nasakh, maupun dalam tataran konsep nasakh Kalangan ulama yang menganggap bahwa ada nasikh dalam al-Quran mula-mula berpegang pada keterangan ayat Makkiyah dan madaniyah. Teks Makkiyah adalah Firman Allah Swt:
ٍ ِ ت ُم ْف ٍََت بَ ْل أَ ْكثَ ُرُه ْم ال يَ ْعلَ ُمو َن َ َْوإِ َذا بَ َّدلْنَا آيَةً َم َكا َن آيَة َواللَّهُ أ َْعلَ ُم ِبَا يُنَ ِّزُل قَالُوا إََِّّنَا أَن “dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya Padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka
5
Ahmad Baidowi, mengenal thabathaba’i dn kontroversi nasikh mansukh, (bandung: nuansa: 2005) 83 6 Ibid, 85
6
berkata: "Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-adakan saja". bahkan kebanyakan mereka tiada mengetahui”. (QS. An-Nahl: 101). Konteks teks tersebut adalah membaca al-Quran dan mengawalinya dengan meminta perlindungan dari syetan kemudian sanggahan terhadap tuduhan mengada-ngada dan penjelasan bahwa al-Quran berasal dari sisi Allah yang dibawa turun oleh ar-Ruh al-amin, dan juga sanggahan terhadap orang-orang kafir mekkah bahwa sebenarnya ada orang yang mendektikan al-Quran kepada Muhammad. Dalam konteks ini, “penggantian” ayat dengan ayat yang lain berarti perubahan hukum yang ada pada satu teks dengan teks lain dengan tetap mempertahankan kedua teks tersebut. Oleh karena itu, struktur ayat mengikuti pola kondisional (syarat), sementara isi kalimat (jawab syarat), berupa tuduhan orang-orang mekkah terhadap muhammad sebagai kebohongan. Arti dari tuduhan ini adalah bahwa mereka menganggap di di dalam teks ada kontradiksi. Teks lain yang dipegang ulama dalam menetapkan makna naskah adalah teks madani, yaitu firman Allah Swt:
ِ ْما نَْنسخ ِمن آي ٍة أَو نُْن ِسها نَأ َّ ت ِِبٍَْْي ِمْن َها أ َْو ِمثْلِ َها أَ ََلْ تَ ْعلَ ْم أ َن اللَّ َه َعلَى ُك ِّل َش ْي ٍء قَ ِدير َ ْ َ ْ َْ َ “ayat mana saja[81] yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?”. (QS. Al-Baqarah: 106) Teks ayat di atas secara kontekstual berbeda dengan teks sebelumnya, yang menunjuk pada sikap masyarakat berkitab (ahli kitab) yang memusuhi kaum muslimin dan sikap mereka yang menentang kaum muslimin dalam segala hal. Tidak disangsikan bahwa masyarakat berkitab tidak kedudukan mereka digoncang , dan superioritas mereka atas masyarakat buta huruf Ummi yang telah memiliki sebuah kitab menjadi berkurang. Oleh karena itu mereka sering mengeluarkan tuduhan bahwa ayat-ayat al-Quran kontradiktif. Contoh mengenai hal ini banyak. Misalnya keberatan mereka atas dibatalkannya teks tentang riba, sementara teks yang sama menjanjikan orang-orang mukmin sebuah kebaikan yang akan dibalas dengan sepuluh sampai tujuh puluh kali lipat. Oleh karena itu muncul ucapan dari mereka, “kami heran dengan Tuhan Muhammad, bagaimana ia mengharamkan riba kepada kami dan memberikannya 7
kepada kami”. Sebagaimana diketahui bahwa riba bagi Yahudi Yasyrib merupakan salah satu sumber publik masyarakat.
bagi mereka untuk menguasai gerak
7
Sebagian ulama yang lain menganggap bahwa tidak ada nasakh dalam alQuran, mereka mengatakan bahwa tidak mungkin firman Allah Swt, bertentangan satu sama lain, berdasarkan firman-Nya:
ٍ َح ِ ِ ِِ َِ ْي ي َدي ِه وال ِمن خ ْل ِف ِه تَْن ِزيل ِمن ح ِكي ٍم يد َ ْ َ ْ َ ِ ْ َال يَأْتيه الْبَاط ُل م ْن ب َ ْ ”yang tidak datang kepadanya (al-Quran) kebathilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari sisi Tuhan yang Maha bijaksana lagi Maha terpuji”. (QS. Fussilat: 42). Secara ringkas, pendapat ulama mengenai adanya nasikh dalam al-Quran dapat dikelompokkan dalam tiga pendapat: 1. Pendapat orang yahudi mereka tidak mengakui adanya nasakh, karena menurutnya, nasakh mengandung konsep bada‟ yakni nampak jelas setelah kabur (tidak jelas). Yang dimaksud mereka adalah nasakh itu ada kalanya tanpa hikmah, dan ini mustahil bagi Allah. Dan ada kalanya karena sesuatu hikmah yang sebelumnya tidak tampak. Ini berarti terdapat suatu kejelasan yang di dahului oleh ketidak jelasan. 2. Pendapat Syi‟ah Rafidah, mereka sangat berlebihan dalam menetapkan nasakh dan meluaskannya. Mereka memandang konsep al-bada‟ sebagai sesuatu hal yang mungkin terjadi bagi Allah. Dengan demikian, maka posisi mereka sangat kontradiksi dengan orang yahudi. Mereka mengajukan argumentasi untuk memperkuat pendapatnya dengan ucapanucapan yang dinisbatkan kepada Ali ra. Secara dusta dan palsu. Juga dengan firman Allah: (Al-Baqarah: 269).
ِْ اْلِكْم َة من ي َشاء ومن ي ْؤت ِ ُوِت َخْي را َكثِْيا وما ي َّذ َّكر إِال أُولُو األلْب ِ اب َ ُ ْ َ َ ُ َ ْ َ َ ْ يُ ْؤِِت َ َ اْلك ُ َ َ َ ً ً َ ْم َة فَ َق ْد أ
269. Allah menganugerahkan Al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al
Quran dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar Telah dianugerahi karunia yang 7
Nashr Hmid Abu Zaid, 143-144
8
banyak. dan Hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah). 3. Pendapat Abu Muslim Al-Ashfahani, menurutnya, secara logika nasakh dapat saja terjadi, tetapi tidak mungkin terjadi menurut syara‟. Dikatakan pula bahwa ia menolak sepenuhnya terjadi nasakh dalam al-Quran berdasarkjan firman-Nya: (Fussilat: 42) 4. Pendapat Jumhur Ulama, mereka berpendapat bahwa nasakh adalah suatu hal yang dapat diterima akal dan telah pula terjadi dalam hukum-hukum syara‟, berdasarkan dalil-dalil: a. Perbuatan-perbuatan Allah tidak bergantung pada alasan dan tujuan. Ia boleh saja memerintahkan sesuatu pada suatu waktu dan melarangnya pada waktu yang lain. Karena hanya Dialah yang mengetahui kepentingan hamba-hambanya. b. Nash-nash kitab dan sunnah menunjukkan kebolehan nasakh dan terjadinya, antara lain: surat An-Nahl: 101 da Al-Baqarah: 106. kemudian dalam hadis shahih, dari Ibnu Abbas ra, berkata: yang paling paham dan paling menguasai al-Quran diantara kami adalah Ubai, namun demikian, kami meninggalkan sebagian kata-katanya karena ia mengatakan: aku tidak akan meninggalkan sedikitpun segala apa yang pernah aku dengar dari Rasulullah Saw.
Padahal Allah telah berfirman dalam surat al-
Baqarah:106:
ِ ْما نَْنسخ ِمن آي ٍة أَو نُْن ِسها نَأ َّ ت ِِبٍَْْي ِمْن َها أ َْو ِمثْلِ َها أَ ََلْ تَ ْعلَ ْم أ َن اللَّ َه َعلَى ُك ِّل َش ْي ٍء قَ ِدير َ ْ َ ْ َْ َ “ayat mana saja[81] yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya..8 Dari beberapa gambaran persoalan mengenai nasikh mansukh di atas, kami merasa sangat tertarik untuk mengangkat judul penelitian: ”Relevansi AyatAyat al-Quran Pada Masa Kini. Hal ini karena banyaknya kerancuan dalam masalah nasakh yang kami temukan, mengingat eksistensi al-Qur'an yang selalu 8
Manna Khalil Al-Qatthan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran, (Jakarta: Litera Antar Nusa, 2006), 330333
9
sesuai di setiap ruang dan waktu (shalihu likulli zaman wa makan). Dengan demikian, pemikiran nasakh jelas berpotensi melahirkan kontroversi di kalangan ulama, karena ayat-ayat yang dimansukh, sangat paradoksal dengan eksistensi alQuran sendiri sebagai kitab yang selalu sesuai di setiap ruang dan waktu (shalihu likulli zaman wa makan), terbukti, adanya ayat mansukh tersebut secara hukum tidak diberlakukan lagi karena telah diganti dengan hukum dalam ayat yang lain. Di samping itu, dasar hukum (ayat) yang menegaskan adanya nasikh dan mansukh dalam al-Quran mengandung pemahaman yang multi tafsir, karena kata ”ayat” yang menjadi dasar tersebut berbentuk isim Nakirah yang berpotensi melahirkan penafsiran yang variatif. Akibatnya, pemaknaan terhadap ayat tersebut tidak hanya dapat dipahami secara tekstual, melainkan juga kontekstual. Kedua cara pemaknaan itu pada akhirnya berimbas pada perbedaan pendapat dan pandangan di kalangan ulama tafsir. Maka dari itu, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi menarik yang mengandung banyak pengetahuan dan wawasan tentang permasalahan-permasalahan yang menyangkut adanya nasikh dan mansukh dalam al-Quran, serta beberapa perbedaan pendapat di kalangan ulama di beberapa sudut dan tempat.
B. IDENTIFIKASI MASALAH Berangkat dari gambaran persoalan di atas, dapat kami identifikasikan beberapa permasalahan, yaitu: 1. Pertentangan pendapat dikalangan ulama dan mufassir tentang adanya nasikh mansukh, tidak hanya terbatas pada Pro dan Kontra, melainkan mereka juga berselisih dalam Pengklasifikasian ayat-ayat yang Nasakh dan Mansukh. Akibatnya, sesama ulama yang pro terhadap adanya nasikh mansukh pun selalu terjadi pertentangan, baik dari segi jumlah maupun tempat ayat dalam al-Quran. 2. Dasar hukum (ayat) yang menjelaskan tentang adanya nasikh mansukh dalam al-Quran mengandung pemahaman yang multi tafsir, sehingga melahirkan banyak pendapat yang berbeda satu sama lain dan tidak bisa dipertemukan (dikompromikan).
11
3. Keberadaan nasikh mansukh dalam al-Quran selalu menjadi pembahasan yang cukup kontroversial, karena dipandang tidak sesuai dengan peran penting al-quran, yaitu sebagai pedoman yang sesuai dengan seluruh zaman dan tempat (Shalihu likulli zaman wa makan). Sedangkan pada hakikatnya, ayat-ayat yang dimansukh dalam alQuran secara hukum sudah tidak diberlakukan kerena telah diganti oleh hukum lain yang diturunkan setelahnya.
C. RUMUSAN MASALAH Dari beberapa pemasalahan di atas, dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimana pandangan Ulama atau mufassir tentang ayat-ayat mansukh? 2. Bagaimana kedudukan ayat yang menjadi dasar hukum adanya nasakh dalam al-Quran? 3. Bagaimana penggunaan ayat-ayat mansukh dalam al-Quran?
D. TUJUAN DAN KEGUNAAN PENELITIAN Diantara tujuan penelitian ini, antara lain: 1. Untuk menemukan letak perbedaan pandangan ulama tafsir terhadap-ayatayat mansukh yang kontroversial 2. Untuk menemukan makna ayat yang menjadi dasar hukum adanya nasikh dan mansuk dalam al-Quran secara komprehensif. 3. Untuk menemukan relevansi ayat-ayat mansukh dalam al-Quran. Sedangkan kegunaan penelitian ini, meliputi: 1. Penelitian ini dapat memberikan pemahaman tentang pendapat ulama tafsir terhadap ayat-ayat mansukh dalam al-Quran 2. Penelitian
ini
dapat
membantu
memberikan
pemahaman
secara
komprehensif tentang makna ayat yang menjadi dasar adanya nasakh dalam al-Quran. 3. Penelitian ini sangat signifikan dalam memberikan penjelasan secara detail tentang keberadaan dan relevansi ayat-ayat mansukh dalam al-Quran.
E. PENEGASAN JUDUL
11
Berarti Hubungan, atau keterkaitan9
Relevansi
:
Ayat
: Adalah potongan-potongan kalimat dalam surat. Dalam al-Quran mengandung makna sebagai bukti kekuasaan Tuhan.10 : Adalah bentuk maf‟ul dari kata ”nasakha”, yang berarti dihapus,
Mansukh
atau dihilangkan. Dalam istilah ilmu al-Quran, ayat mansukh adalah ayat yang secara hukum telah dihapus (tidak diberlakukan), karena telah diganti oleh ayat yang lain. Masa kini
:
Kata lain dari waktu sekarang, yang dalam bahasa Inggris
termasuk tenses Present.
F. TELAAH PUSTAKA Dalam penelitian ini, kitab (sumber data) yang banyak berperan bagi peneliti adalah: a. Dr. Musthafa Sulaiman, Al-Naskhu fi al-Quran al-karim wa al-Raddu ala munkariyah, (Bairut: Mathbaat al-Amaniyah, 1991) Dalam kitab ini dijelaskan secara luas hal-hal yang terkait dengan nasikh mansukh, yang mencakup pengertian dan hikmah, macammacam, pendapat-pendapat ulama tetang keberadaan nasakh antara yang mengakui dan yang menolak adanya nasakh dalam al-Quran. Disamping itu, pegarang kitab ini juga memberikan respon terhadap pandanganpandangan beberapa kalangan yang dianggap keliru dalam memberikan statemen tentang nasakh, seperti pandangan orang Syah Rafidah dan sebagainya. Ia menganggap, bahwa mereka adalah jelas-jelas dusta dan berlebihan dalam memahami nasakh11. Untuk lebih lengkap kami jelaskan di Bab selanjutnya (bab 3). Secara keseluruhan dari pembahasan kitab ini, peneliti dapat memberikan penilaian bahwa kitab ini sangat penting untuk dijadikan referensi khususnya oleh para pelajar untuk mengetahui secara luas
9
Drs. Adi Gunawan, Kamus Praktis Ilmiah Populer, (Surabaya: Kartika, tt), 446 Ahmad Abdul Aziz, Ensiklopedia Islam, (Jakarta: Publisher, 2006), 70 11 Dr. Musthafa Sulaiman, Al-Naskhu fi al-Quran al-karim wa al-Raddu ala munkariyah, (Bairut: Mathbaat al-Amaniyah, 1991), 42 10
12
tentang
nasakh
dan
mansukh,
serta
berberapa
persoalan
yang
melingkupinya. Akan tetapi, sekalipun buku ini sudah bisa dianggap luas secara pembahasan, disini peneliti belum menemukan persoalan-persoalan yang sebenarnya sangat urgen untuk dibedah, yang meliputi penafsiran terhadap dasar hukum adanya nasakh dalam al-Quran sebagaimana dijelaskan dalam surat Al-Baqarah: 106 dan An-Nahl:101. Maka dari itu, peneliti merasa sangat tertarik untuk mencari lebih jauh terkait dengan wilayah penafsiran terhadap suatu teks yang terkait dengan asumsi adanya nasakh dalam al-Quran.
b.
Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Itqan fi Ulum Al-Quran, (Dar Al-Fikr:
Bairut, tt) Sebagaimana kitab di atas, kitab ini juga banyak menggagas tentang nasikh mansukh sekalipun tidak secara spesifik, karena kitab ini membahas tentang ilmu-ilmu al-Quran secara Umum, seperti Ilmu Muhkam dan Mutasyabih, Azbabun Nuzul, Makki dan Madani, dan sebagainya, yang semuanya merupakan dasar penafsiran. sehingga ilmuilmu yang lain tersebut juga sangat penting bagi kami sebagai peneliti sebagai pelengkap dalam kerangka landasan teoritis. Pengarang buku ini termasukh salah seorang yang menyetujui adanya nasakh dalam al-Quran. Ia mengumpulkan ayat-ayat mansukh yang secara keseluruhan ada 22 ayat.12 Namun sekalipun kitab ini juga menggambarkan beberapa persoalan yang terkait dengan kerancuan dalam nasakh, peneliti belum menemukan pendapat pengarang yang secara lebih jauh menjabarkan relevansi ayat-ayat mansukh pada masa kekinian. Padahal kalau nasakh dipahami sebagai pergantian hukum dengan tujuan untuk menyesuaikan dengan kondisi dan situasi, maka seiring dengan perjalanan waktu bisa saja situasi atau kondisi yang telah berlalu kembali
12
Imam Jalaluddin Asy-Suyuthi, Al-Itqan Fi Ulumil Quran, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 2007) 89-
19
13
terjadi lagi dan memungkinkan ayat-ayat yang mansuk kembali aktif seperti semula. Maka dari itu peneliti mencoba melihat ayat tersebut dari kacamata tafsir, untuk menemukan makna kandungan ayat secara mendalam baik dari segi teks maupun konteks ayat berdasarkan historisitas dan kronologi turunnya ayat (azbabun Nuzul) dan ilmu-ilmu yang lain yang memiliki peranan penting dalam dunia tafsir.
G. LANDASAN TEORI Dalam aktifitas penafsiran terhadap suatu teks selalu memerlukan pengetahuan atau ilmu-ilmu yang mendukung dalam pemaknaan secara komprehensif, seperti mengetahui ilmu tafsir, penguasaan bahasa arab, dan sebagainya. Disamping itu, juga membutuhkan ilmu-ilmu lain, yaitu: Ilmu nasikh mansukh, Azbabun Nuzul, Makki dan Madani, Muhkam Mutasyabihat, serta Am dan Khas. 1. Ilmu Nasikh dan Mansuk Secara harfiyah, nasikh berarti menghapus, menghilangkan, ada juga yang memberikan makna mengganti. Sedangkan mansuk adalah sebaliknya, yaitu yang dihapus, atau yang dihilangkan. Dalam pengertian terminologis, nasakh adalah mengangkat atau menghapus hukum syara' dengan dalil hukum (khitab) syara' yang lain. Hukum yang dihapus atau yang dibatalkan disebut Mansukh, sedangkan hukum yang yang datang kemudian (menghapus) disebut Nasakh. Namun keberadaan Nasakh hanya terjadi pada perintah dan larangan, baik yang diungkapkan dengan tegas dan jelas, maupun yang diungkapkan dengan kalimat berita (khabar) yang mengandung makna amar (perintah) atau nahi (larangan), jika hal tersebut tidak berhubungan dengan akidah, yang berfokus pada Dzat Allah, sifat-sifat-Nya, para rasulNya dan hari kemudian, serta tidak berhubungan dengan etika dan akhlak atau dengan pokok-pokok ibadah dan muamalah. Hal ini karena semua syariat ilahi tidak lepas dari pokok-pokok tersebut.13 13
Manna' Khlil Al-Qatthan, 328
14
Persoalan dalam nasikh mansukh sebagaimana yang dikatakan oelh al-Qatthan,
bahwa
sebagian
ulama
ada
yang berlebihan
dalam
menempatkan nasakh, sehingga ia memasukkan ke dalam kelompok nasakh sesuatu yang sebenarnya tidak termasuk. Sebagian yang lain ada yang berhati-hati, dengan mendasarkan masalah nasakh ini hanya pada penukilan yang sahih semata. Sumber kekaburan nasakh bagi mereka yang berlebih-lebihan cukup banyak, antara lain: 1. Menganggap takhsih (pengkhususan) sebagai nasakh. 2. Menganggap bayan (penjelasan ) sebagai nasakh. 3. Menganggap suatu ketentuan yang disyariatkan karena sesuatu sebab yang kemudian sebab itu hilang, dan secara otomatis ketentuan itupun menjadi hilang sebagai mansukh. 4. Menganggap tradisi jahiliyah atau syariat umat terdahulu yang dibatalkan islam, sebagai nasakh.14 Menurut Az-Zarkasyi, nasakh adalah penangguhan hukum, bukan pembatalan. Yaitu suatu yang diperintahkan karena sebab tertentu, kemudian sebab tesebut hilang, seperti pada saat lemah dan sedikit, perintah untuk bersikap sabar dan permintaan ampunan bagi orang-orang yang mengharapkan pertemuan dengan Allah dan semacamnya, ketika tidak ada lagi perintah ber-amar ma‟ruf nahi munkar, berjihad dan sebagainya. Kemudian perintah tersebut dinasakh dengan kewajiban melakukan hal-hal di atas. Ini sebenarnya bukan menasakh, tetapi menangguhkan, sebagaimana Allah berfirman: Aunun Sikhuha, yang ditangguhkan adalah perintah berperang sampai kaum muslimin menjadi kuat. Dalam kondisi masih lemah, perintahnya adalah kewajiban untuk bersabar atas rintangan yang menyakitkan. Atas dasar ini, makna nasikh adalah mengganti teks dengan teks lain dengan tetap mempertahankan kedua teks tersebut.15 Nashir Hamid Abu Zaid mengatakan, bahwa fungsi nasikh adalah penahapan dalam tasyrik dan pemberian kemudahan. Dengan demikian tidak disangsikan bahwa tetap ditampilkannya teks-teks yang dinasakh 14 15
Ibid, 342 Nashr Hmid Abu Zaid, 145
15
selain teks-teks yang menasakh, merupakan suatu keharusan. Karena hukum ayat yang dinasakh dapat dimunculkan kembali oleh realitas. Para ulama menyadari hal itu katika mereka membicarakan posisi teks antara perintah kepada kaum muslimin untuk bersabar atas rintangan yang dimunculkan oleh kaum musyrik, dengan perintah untuk memerangi mereka. Mereka mengatakan bahwa perintah bersabar merupakan masalah penangguhan yang praktiknya ditangguhkan, atau dibatalkan sementara karena perubahan situasi. Apabila situasinya kembali ke keadaan semula, maka hukum yang ditangguhkan kembali efektif dan berlaku.16 2. Azbabun Nuzul Azbabun Nuzul adalah peristiwa-peristiwa yang terjadi yang mengiringi ayat-ayat itu diturunkan untuk membicarakan peristiwa tersebut, atau menjelaskan hukumnya.17 Manfaat mengetahui Az-banun Nuzul adalah: a. Mengetahui Hikmah diundangkannya suatu hukum dan perhatian syara‟ terhadap kepentingan umum dalam menghadapi setiap peristiwa. b. Mengkhususkan (membatasi) hukum yang diturunkan dengan sebab yang terjadi, bila hukum itu dinyatakan dalam bentuk umum. c. Apabila lafal yang diturunkan itu berbentuk umum dan terdapat dalil atas pengkhususannya, maka pengetahuan mengenai azbanun nuzul membatasi pengkhususan itu hanya terhadap yang selain berbentuk sebab. d. Mengetahui sebab turunnya ayat adalah sangat baik untuk memahami makna al-Quran dan menyingkap kesamaran yang tersembunyi dalam ayat-ayat yang tidak dapat ditafsirkan tanpa mengetahui sebab nuzulnya. e. Azbabun nuzul dapat menerangkan tentang kapan dan kepada siapa ayat itu diturunkan sehingga dengan ilmu ini seseorang dapat mengetahui sejarah dan kronologi ayat.18 Masalah hubungan Azbabun Nuzul dengan proses turunnya ayat, Nashir Hamid Abu Zayd, mengatakan bahwa Fungsi diturunkannya al-
16
Ibid, 149 Muhammad Abdullah al-Azim Al-Zazqani, Manahil al-Irfan fi Ulum al-Quran,(Mesir: Albabul Halabi, tt), 127 18 Manna Khalil al-Qatthan, 110-114 17
16
Quran dalam setiap peristiwa adalah untuk memantapkan hati dan lebih memberikan perhatian terhadap rasul. Dan ini mengharuskan malaikat sering turun kepadanya dan memperbarui pertemuan dengannya dengan membawa misi dari sisi yang Maha mulia. Dari sini muncullah kebahagiaan yang tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata. Selain itu, Rasulullah sebagai seorang yang Ummi, tidak dapat baca tulis, tentunya sangatlah rasional jika wahyu diturunkan secara bertahap, bersamaan dengan peristiwa atau sebab-sebab tertentu, agar mudah baginya untuk menghafal dan menyampaikan. Ini berbeda dengan nabi-nabi lainnya, sebab mereka dapat menulis dan membaca sehingga dimungkinknan bagi mereka untuk menghafal semuanya apabila diturunkan sekaligus. 3. Ilmu Muhkam Mutasyabih Definisi muhkam dan mutasyabih sebagaimana yang dikatakan ulama, adalah: 1. Muhkam adalah
yang diketahui
maksudnya, baik
karena
kejelasannya atau melalui penakwilan. Dan yang mutasyabihat adalah yang maknanya hanya diketahui oleh Allah, seperti terjadinya hari kiamat, keluarnya Dajjal, huruf-huruf yang terputus-putus yang terdapat di awal surat-surat. Pendapat ini dikatakan oleh Ahli Sunnah. 2. Ada yang mengatakan bahwa yang muhkam adalah yang hanya dita‟wilkan dengan satu penakwilan saja, dan yang mutasyabihat adalah yang mungkin ditakwilkan dengan beberapa ta‟wil. Ini dikatakan oleh Ibnu Abbas dan Ahli Ushul fiqih.19 3. Sebagian yang lain mengatakan bahwa yang muhkam adalah yang logis maknanya dan yang mutasyabihat adalah antonimnya, seperti jumlah bilangan shalat, pengkhususan bulan ramadhan sebagai bulan yang diwajibkan untuk berpuasa, bukan sya‟ban. Ini adalah pendapat al-Mawardi
19
Drs. H. Ahmad Rafi'e, Ulumul Quran 1, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), 78
17
Ibnu hatim meriwayatkan dari jalur Ali bin Abi Abi Thalhah dari Ibnu Abbas, bahwa dia berkata: “ayat muhkam adalah menasakh, yang menjelaskan yang halal, yang haram, hokum-hukum had, hukum warisan, apa yang harus diimani dan apa yang harus diamalkan. Sedangkan ayat-ayat mutasyabihat adalah yang
maansukh,
yang
didahulukan,
yang
diakhirkan,
perumpamaan-
perumpamaannya, sumpah-sumpahnya dan apa yang harus diimani, tetapi tidak harus diamalkan. Abdu bin Humaid meriwayatkan dari Ad-Dahhak bahwa dia berkata: ayatayat muhkam adalah ayat-ayat yang tidak dinasakh dan ayat-ayat mutasyabih adalah ayat-ayat yang dinasakh.20 Dalam kitabnya (al-Itqan), Al-Suyuthi mengatakan, bahwa jika ayat mutasyabih itu mungkin diketahui maknanya, maka mengandung beberapa faidah, yaitu: 1. Anjuran kepada para ulama untuk melakukan penelitian guna mengungkap aspek-aspek yang tersembunyi dari ilmu pengetahuan, dan pembahasan tentang kandungan dan kedalamannya. Karena dorongan jiwa untuk melakukan itu termasuk ibadah yang agung. 2. Timbulnya kelebihan dan perbedaan derajat. Karena jika semua al-Quran itu hanya terdiri dari ayat-ayat muhkam saja, maka takwil dan kajian yang mendalam terhadap al-Quran itu tidak dibutuhkan, dan semua manusia akan sama pengetahuannya tentangnya dan tidak ada keutamaan antara orang yang pandai dan orang yang tidak pandai. Dan jika ayat-ayat mutasyabih itu tidak dapat diketahui maknanya, maka ada beberapa faidah di dalamnya, yaitu: 1. Ujian kepada para hamba untuk menahan diri dan berhenti padanya, menyerahkan dan menyibukkan diri untuk beribadah dengannya, dengan cara membacanya, seperti suatu ayat yang mansukh, sekalipun tidak boleh dikerjakan hukum-hukumnya. 2. Jika semua al-Quran itu muhkam, maka pastilah hanya sesuai dengan satu madzhab saja. Dan hal itu akan membuat lari para pengikut madzhab lainnya dan tidak mau menerima dan mengkajinya. Maka jika al-Quran itu 20
Imam Jalaluddi Asy-Suyuthi, 2-3
18
terdiri dari ayat-ayuat muhkam dan ayat-ayat mutasyabih, maka setiap pengikut madzhab akan berharap besar untuk menemukan apa yang menguatkan madzhab yang diikutinya. Mereka akan berusaha mengkaji dan mempelajarinya. 3. Jika al-Quran itu terdiri dari ayat-ayat mutasyabih, maka untuk mengetahuinya membutuhkan bermacam-macam penafsiran dan menarjih yang satu atas yang lainnya. Dan hal itu membutuhkan ilmu-ilmu yang sangat banyak, seperti ilmu bahasa, nahwu, ilmu ma‟ani bayan dan ushul fiqih. Jika keadaannya tidak demikian, maka ilmu yang banyak itu tidak akan dibutuhkan.21
4. Ilmu Makki dan Madani Dalam mendefinisikan terminologi makkiyah dan madaniah, para sarjana muslim mengemukakan empat perspektif, yaitu: Masa turun (zaman an-nuzul), tempat turun (makan an-nuzul), obyek pembicaraan (mukhathab), dan tema pembicaraan (maudu‟). Akan tetapi dari keempat tersebut yang paling masyhur dan lebih banyak disepakati adalah dari perspektif masa turunnya ayat (zaman an-Nuzul). Dari perspektif masa turun, mereka mendefinisikan terminologi diatas sebagai berikut: “Makkiyah adalah ayat-ayat yang diturunkan sebelum Rasulullah hijrah ke Madinah, kendatipun tidak turun di Mekkah, sedangkan Madanniah adalah ayat-ayat yang diturunkan sesudah Rasulullah hijrah ke Madinah, kendatipun tidak turun di Madinah.22 Diantara kegunaan mengetahui ayat makki dan madani, antara lain: 1. Membedakan ayat yang nasikh dan yang mansukh 2. Mengetahui sejarah persyariatan hukum dan berangsur-angsur 3. Membantu dalam menafsirkan al-Quran dan memahami pengertiannya 4. Menghayati susunan ayat-ayat al-quran dan menirunya dalam menyampaikan dakwah
21
Ibid, 38-39
22
Rosihon Anwar, Pengantar Ulumul Quran, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2009), 144 19
5. Mengetahui sejarah kenabian yang terdapat dalam ayat-ayat alQuran.23 5. „Amm dan Khas Pengertian ‟Amm, adalah suatu lafal yang menghabiskan atau mencakup segala apa yang pantas baginya tanpa adanya pembatasan. Sedangkan khas adalah lawan dari kata tersebut, yaitu lafal yang tidak menghabiskan semua apa yang pantas baginya tanpa pembatasan. Dalam hal ini, Amm terbagi menjadi empat macam, yaitu: 1. Amm yang tetap dalam keumumannya. Qadhi Jalaluddin al-Balqini, mengatakan bahwa Amm seperti ini jarang ditemukan. Menurutnya karena tidak satupun lafal yang Amm kecuali terdapat takhshis (pengkhususan). 2. Amm yang dimaksud khusus 3. Amm yang dikhususkan24 Ketiga contoh tersebut kami jelaskan dalam pembahasan slanjutnya (Bab II). Ilmu ini sangat penting untuk memahami makna yang dimasud dalam al-Quran, hal ini karena banyak sekali ayat-ayat yang sifatnya umum dalam al-Quran, sehinga dalam persoalan ini metode takhsis memiliki peranan penting dalam memperjelas kandungan makna yang umum tersebut.
H. METODOLOGI PENELITIAN a. Model Penelitian
: Penelitian ini adalah penelitian kualitatif
b. Metode Penelitian: Metode Deskriptif, yaitu menggambarkan fakta-fakta yang terkait dengan obyek penelitian secara sistematis c. Sumber Data
: Sumber data dalam penelitian ini diperoleh dari data kepustakaan, yang terdiri dari data primer dan data sekunder:
1. Data Primer:
23 24
Drs. H. Kahar Mansyur, Pokok-Pokok Ulumul Quran, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), 77 Manna Khalil Al-Qatthan, 317
21
a. Dr. Musthafa Sulaiman, Al-Naskhu fi al-Quran al-karim wa al-Raddu ala munkariyah, (Bairut: Mathbaat al-Amaniyah, 1991) b.
Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Itqan fi Ulum Al-Quran, (Dar Al-Fikr:
Bairut, tt) 2. Data Sekunder: a. Ahmad Baidowi, Mengenal Thabathaba'i, (Bandung: Nuansa, 2005) b.
Manna' Khlil Al-Qatthan, Studi Ilmu-Ilmu al-Quran, (Jakarta: Litera
Antar Nusa,1994) d. Metode Pengumpulan data: Yaitu peneliti melakukan pengumpulan data yang di dapat dari beberapa buku ataupun kitab yang terkait dengan obyek penelitian e. Metode Analisa Data: Yaitu menguraikan atau menjelaskan data dan fakta yang ditemukan peneliti di beberapa buku secara sistematis
I. SISTEMATIKA PEMBAHASAN BAB I
: Pendahuluan
BAB II
: Teori Keilmuan
BAB III
: Data dan Analisis
BAB IV
: Penutup
K. DAFTAR PUSTAKA Asy-Suyuthi, Jalaluddin, Al-Itqan fi Ulum Al-Quran, (Dar Al-Fikr: Bairut, tt) Zaid, Nasr Hamid Abu, Tekstualitas Al-Quran, (Yogyakarta: Lkis, 2001) Baidowi, Ahmad, mengenal thabathaba’i dn kontroversi nasikh mansukh, (bandung: nuansa: 2005) Al-Qatthan, Manna Khalil, Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran, (Jakarta: Litera Antar Nusa, 2006) Gunawan, Adi, Kamus Praktis Ilmiah Populer, (Surabaya: Kartika, tt) Aziz, Ahmad Abdul, Ensiklopedia Islam, (Jakarta: Publisher, 2006) Sulaiman, Musthafa, Al-Naskhu fi al-Quran al-karim wa al-Raddu ala munkariyah, (Bairut: Mathbaat al-Amaniyah, 1991) Asy-Suyuthi, Imam Jalaluddin, Samudera Ulumul Quran, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 2007) 21
Muhammad Abdullah al-Azim Al-Zazqani, Manahil al-Irfan fi Ulum alQuran,(Mesir: Al-babul Halabi, tt) Rafi'e, Ahmad, Ulumul Quran 1, (Bandung: Pustaka Setia, 2000) Anwar, Rosihon, Pengantar Ulumul Quran, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2009) Mansyur, Kahar, Pokok-Pokok Ulumul Quran, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992)
22