Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan
Rekomendasi Teknologi Kelautan Perikanan DITERBITKAN OLEH Sekretariat Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan Tahun 2013
Rekomendasi Teknologi Kelautan Perikanan 2013
Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan
Rekomendasi Teknologi Kelautan dan Perikanan 2013
i
JUDUL BUKU Rekomendasi Teknologi Kelautan dan Perikanan KATALOG DALAM TERBITAN ISBN 978-979-3692-49-4 KONSEP BUKU Tim Komisi Litbang
EDITOR Fatuchri Sukadi Iin Siti Djunaidah Subhat Nurkhakim Ketut Sugama Endang Sri Heruwati Mulia Purba Aryo Hanggono
KONTRIBUTOR Direktorat Kesehatan Lingkungan, Ditjen Perikanan Budidaya Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan, Balitbang KP Pusat Pengkajian dan Perekayasaan Teknologi Kelautan dan Perikanan, Balitbang KP Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pengolahan Produk dan Bioteknologi KP, Balitbang KP Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Budidaya Laut, Balitbang KP Balai Budidaya Air Payau, Ditjen Perikanan Budidaya Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau, Balitbang KP Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Tawar, Balitbang KP Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Ikan Hias, Balitbang KP Balai Penelitian dan Pemuliaan Ikan, Balitbang KP Balai Penelitian Observasi Laut, Balitbang KP Loka Penelitian dan Pengembangan Budidaya Rumput Laut, Balitbang KP Loka Perekayasaan Teknologi Kelautan dan Perikanan, Balitbang KP
Hak Cipta buku pada Kementerian Kelautan dan Perikanan DITERBITKAN OLEH Sekretariat Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan Tahun 2013
ii
MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN
SAMBUTAN Dengan memanjatkan Puji Syukur kepada Allah SWT, saya menyambut dengan rasa senang dan mengucapkan selamat atas
terbitnya
buku
tentang
“Rekomendasi
Teknologi
Kelautan dan Perikanan 2013”. Saya kira masyarakat dan khususnya para penyuluhpun telah lama menunggu terbitnya buku semacam ini. Para penyuluh membutuhkannya karena telah diamanatkan dalam Undang-undang nomor 16 tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian Perikanan dan Kehutanan. Dalam persaingan global, masyarakat kelautan dan perikanan Indonesia sangat haus akan ilmu pengetahuan dan teknologi,
dan inovasi yang mampu membantu
usahanya dalam peningkatan produksi dan produktivitas dengan efisiensi dan efektifitas
yang
tinggi.
Harapannya
adalah
tersedia
teknologi
yang
telah
direkomendasikan dapat membantu dalam mewujudkan peningkatan pendapatan da n kesejahteraan para pelaku usaha. Selaku Menteri Kelautan dan Perikanan yang bertanggung jawab atas keberhasilan program pembangunan kelautan dan perikanan, mengharapkan agar teknologi yang direkomendasikan sebagaimana terangkum dalam buku ini dapat disebarluaskan oleh
para
penyuluh
kepada
Masyarakat
Kelautan
dan
Perikanan
untuk
melaksanakan kebijakan industrialisasi kelautan dan perikanan dengan konsep Bl ue Economy. Kebijakan tersebut tidak lain adalah untuk meningkatkan nilai tambah dan daya saing produk kelautan dan perikanan, dengan pengembangan berbagai
inovasi
yang
berorientasi
pada
pelestarian
sumber
daya
untuk
memberikan manfaat secara ekonomi, sosial dan lingkungan secara berkelanjutan. Ke depan masyarakat Indonesia masih banyak membutuhkan ilmu pengetahuan dan
iii
teknologi terkini dan akan terus menunggu banyak lagi inovasi hasil karya bangsa sendiri terutama untuk peningkatan daya saing produk di pasar nasional dan internasional. Besar harapan saya, buku ini dapat dimanfaatkan secara luas oleh seluruh masyarakat.
Wassalamu 'alaikum wr. wb.
Syarif C. Sutardjo
iv
KATAPENGANTAR KEPALA BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KELAUTAN DAN PERIKANAN
Dengan memanjatkan puji syukur kepada Allah SWT, dengan rasa senang dan bercampur bangga Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan (Balitbang KP) mempersembahkan buku “Rekomendasi Teknologi Kelautan Perikanan 2013”. Buku ini untuk pertama kalinya disusun dan diterbitkan oleh Balitbang KP yang didedikasikan untuk mendukung program pembangunan kelautan dan perikanan yang berkelanjutan yang melalui Industrialisasi, dan sekaligus menindaklanjuti amanat dalam UU Nomor 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan. Dalam Industrialisasi Kelautan dan Perikanan, diharapkan teknologi dan inovasi yang ada dalam buku ini memberikan dampak yang luas pada pengembangan dan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan, baik keberlanjutannya maupun peningkatan nilai tambah dan daya saing, yang pada akhirnya adalah peningkatan kesejahteraan masyarakat kelautan dan perikanan di Indonesia. Kami menyadari, masih banyak tantangan yang dihadapi dalam pembangunan di sektor kelautan dan perikanan, baik aspek pengolahan sumberdaya, kehidupan nelayan, pembudidaya, pengolah dan pemasar produk perikanan, maupun sumbangan sektor kelautan dan perikanan dalam pembangunan nasional yang masih perlu ditingkatkan. Untuk tujuan itulah, seluruh peneliti dan perekayasa di bidang kelautan dan perikanan dipacu untuk terus berkarya menghasilkan inovasi dan teknologi yang tepat guna dan adaptif lokasi, mengingat bahwa bervariasinya tingkat pendidikan, sosial, ekonomi dan kemampuan dalam penyerapan teknologi di setiap wilayah Indonesia. UU Nomor 16 Tahun 2006 menyatakan secara tegas pada pasal 28 ayat (1), bahwa materi penyuluhan dalam bentuk teknologi tertentu yang akan disampaikan kepada pelaku utama dan pelaku usaha harus mendapatkan rekomendasi. Oleh karena itu, Balitbang KP mengambil inisiatif untuk menjawab amanat tersebut melalui Komisi Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan yang anggotanya terdiri dari Staf Ahli Menteri Kelautan dan Perikanan, Pejabat dari Unit Kerja Eselon I lingkup Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), perwakilan dari beberapa kementerian/lembaga pemerintah, perguruan tinggi, pakar dan pelaku usaha. Disamping itu, juga dimaksdukan sebagai bentuk tanggung jawab moral dalam memperbaiki teknologi bahan penyuluhan yang ada saat ini.
v
Kami mengucapkan terima kasih kepada seluruh anggota Komisi dan Subkomisi Litbang, Para Editor dan tentunya para kontributor materi yang telah dengan sabar mengikuti dan melewati seleksi dan presentasi, khususnya para Peneliti dan Perekayasa dari Satker lingkup Balitbang KP, serta Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya (DJPB) yaitu Balai Budidaya Air Payau – Takalar. Penerbitan buku ini merupakan langkah permulaan yang tentunya akan dilanjutkan dengan penerbitan teknologi baru lainnya di tahun-tahun berikutnya. Untuk pertama kalinya teknologi yang masuk dalam buku ini merupakan hasil seleksi dari pengembangan teknologi yang dilakukan hanya oleh Unit Kerja lingkup KKP. Itupun belum seluruhnya dapat diseleksi dan dimasukkan dalam buku ini, oleh karena itu kedepan akan diterbitkan buku-buku lain untuk seri rekomendasi teknologi kelautan dan perikanan. Bahkan dalam penerbitan berikutnya, diharapkan tidak hanya berisi pengembangan/inovasi teknologi yang dihasilkan oleh unit kerja di lingkup KKP, tetapi juga oleh para peneliti dan perekayasa diluar KKP yaitu; perguruan tinggi, masyarakat, swasta dan lainnya. Dengan diterbitkannya buku ini, diharapkan akan mendorong upaya memasyarakatkan inovasi dan teknologi anak bangsa sendiri untuk meningkatkan daya saing dan efisiensi-efektifitas usaha masyarakat baik melalui penyuluhan, diseminasi maupun dengan cara lainnya, dan diharapkan dapat meningkatkan kemudahan akses masyarakat terhadap hasil litbang Iptek maupun inovasi yang dihasilkan dari dalam negeri. Semoga bermanfaat.
Plt. Kepala Balitbang KP
DR. Achmad Poernomo, M.App.Sc
vi
KATAPENGANTAR Komisi Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan (Komisi Litbang KP) telah berusaha keras untuk menerbitkan buku rekomendasi teknologi yang berasal dari institusi Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan (Balitbang KP) serta institusi lainnya di lingkup Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Dengan rasa syukur ke hadirat Illahi pada akhirnya terkumpul 36 Rekomendasi Teknologi. Sangat disadari bahwa rekomendasi teknologi ini dituntut oleh Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan, sehingga buku ini diharapkan dapat berguna untuk dijadikan bahan materi penyuluhan. Walaupun demikian, rekomendasi teknologi ini tidak semata-mata ditujukan untuk materi penyuluhan karena ada teknologi yang sangat berguna bagi institusi pengelola maupun litbang untuk digunakan lebih lanjut dalam pengelolaan sumberdaya ikan. Rekomendasi teknologi perikanan budidaya terkumpul paling banyak dalam buku ini dan terdiri dari teknologi yang sangat menunjang program industrialisasi perikanan seperti yang terkait dengan budidaya udang, bandeng dan rumput laut. Teknologi penerapan vaksin dan probiotik dalam budidaya adalah contoh yang sangat direkomendasikan pada pengembangan industri budidaya. Selain itu, teknologi perbenihan komoditas prospektif seperti abalon diangkat untuk disebarluaskan kepada masyarakat. Teknologi yang bertujuan untuk penghematan penggunaan air diangkat seperti teknologi resirkulasi perbenihan dan teknologi akuafonik. Perikanan berbasis akuakultur atau Culture based Fisheries (CBF) sangat dianjurkan untuk diterapkan di perairan umum dengan didukung oleh penerapan co-management. Teknologi ini diangkat untuk direkomendasikan dengan mengemukakan contoh keberhasilan penebaran ikan patin di waduk Wonogiri. Dalam bidang pasca panen, untuk menjamin keamanan produk perikanan yang dipasarkan, diperlukan alat yang sederhana tetapi bisa secara tepat menentukan ada tidaknya kandungan formalin atau boraks dalam produk perikanan. Untuk itu kit Antilin dan Antitrax direkomendasikan untuk dikembangkan penggunaannya secara luas ke masyarakat terutama pengawas keamanan pangan. Teknologi kelautan telah memberikan beberapa teknologi untuk pengumpulan data dan
vii
informasi serta teknologi untuk melindungi pantai dari abrasi dengan teknologi geotekstil, demikian pula teknologi bioreeftek untuk rehabilitasi terumbu karang. Semoga rekomendasi teknologi ini berguna bagi masyarakat terutama institusi yang menangani penyuluhan dengan menjadikan rekomendasi ini sebagai materi penyuluhan. Komisi Litbang KP mengucapkan terima kasih kepada para evaluator dan anggota sekretariat Komisi Litbang KP atas dukungan dan kerja kerasnya, juga terima kasih kepada berbagai institusi di KKP atas masukan bahan teknologi, semoga teknologi yang terbaik senantiasa dihasilkan bagi penerbitan Rekomendasi Teknologi.
Jakarta, Agustus 2013
Redaksi,
viii
DAFTARISI SAMBUTAN
Menteri Kelautan Republik Indonesia
iii
KATA PENGANTAR
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan Redaksi
DAFTAR ISI
v vii ix
Perikanan Tangkap
Introduksi Ikan Bilih (Mystacoleucus padangensis) Culture Based Fisheries (CBF) Ikan Patin Siam (Pangasianodon hypophthalmus)
2 11
Perikanan Budidaya
Teknologi Pendederan Ikan Patin Pasupati Teknologi Produksi Massal Larva Ikan Patin Pasupati Peningkatan Produksi Udang Windu di Tambak Tradisional Plus dengan Aplikasi Probiotik RICA Teknologi Sistem Resirkulasi Untuk Pemeliharaan IndukUdang Vannamei ( litopenaeus Vannamei ) Perakitan Alat Radiasi UV untuk Menekan Bakteri Pathogen dalam Perikanan Budidaya Teknologi pembenihan ikan hias laut ikan klown ( Amphiprion percula ) Pendederan Kerapu Tikus Sistem Resirkulasi Skala Rumah Tangga Polikultur Rumput Laut Lawi-lawi (Caulerpa, sp ) dengan Rajungan ( Portunus pelagicus Linn) di Tambak Teknologi Budidaya Sponge ( Haliclona sp dan Callispongia sp ) pada Rakit Apung di Laut
ix
19 26 33 44 51 58 66 82 94
Pembenihan Rajungan ( Portunus pelagicus ) Teknologi Pembenihan Ikan Hias Botia ( Chromobotia macracanthus bleeker) di Lingkungan Terkontrol Teknologi Perbenihan Abalon ( Haliotis squamata ) Produksi Bibit Unggul Rumput Laut Kappaphycus alvarezii Penggunaan Vaksin HydroVac dan StreptoVac untuk Pencegahan Penyakit Potensial pada Ikan Air Tawar Teknologi Budidaya Ikan Air Tawar Sistem Akuaponik Budidaya Rumput Laut dengan Kantong Rumput Laut (KRL) Berkarbon Budidaya Rumput Laut Gracilaria verucossa Menggunakan Bibit Hasil Kultur Jaringan Budidaya Ikan Nila Srikandi di Tambak
106 131 151 160 176 188 200 206 214
Pasca Panen
Alginat sebagai Bahan Pasta Pengental pada Pencapan Tekstil Pengolahan Pindang Ikan Air Tawar Cetyl-pyridinium Chloride (CPC) sebagai Alternatif Pengganti Klorin untuk Antimikroba pada Penanganan Udang di Unit Pengolah Ikan (UPI) Bubuk Kalsium dari Tulang Ikan Refined Carrageenan (RC) Kualitas Food Grade dari Euchema cottonii Semi Refined Carrageenan (SRC) dari Euchema cottonii Penyamakan Kulit Ikan Pengulitan dan Pengawetan Kulit Ikan Test Kit Histakit untuk Menguji Kandungan Histamin pada Produk Perikanan Pengawetan Ikan menggunakan Biji Picung Beku Test Kit Antirax untuk Menguji Residu Boraks pada Produk Perikanan Test Kit Antilin untuk Uji Residu Formalin pada Produk Perikanan
224 228
233 239 246 252 265 275 283 289 294 298
Teknologi Kelautan
Teknologi BIOREEFTEK Teknologi Wahana Observasi Bawah Air Mini ROV Kapal Katamaran Multiguna Tenaga Matahari Perlindungan Pantai dengan Pemecah Gelombang Karung x Geotekstil Memanjang (KGM)
304 312 322 334
rekomendasi teknologi
perikanantangkap
1 1
P4KSI Introduksi Ikan Bilih (Mystacoleucus padangensis)
Unit Eselon I Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan Satuan Kerja Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan Alamat Gedung Balitbang KP Jl. Pasir Putih, Ancol Timur Jakarta Utara Kategori Teknologi Perikanan Tangkap Sifat Teknologi Inovasi Masa Pembuatan 2002-2013 Tim Penemu Endi Setiadi Kartamihardja, Ahmad S. Sarnita (Alm) Kunto Purnomo
Kontak Person Endi Setiadi Kartamihardja,
[email protected]
2
DESKRIPSI TEKNOLOGI Tujuan dan Manfaat Penerapan Teknologi Ikan bilih (Mystacoleucus padangensis Bleeker) adalah jenis ikan endemik yang hanya terdapat di Danau Singkarak, Sumatera Barat. Di Danau Singkarak, ikan ini menjadi andalan nelayan sehingga usaha penangkapannya sangat intensif dengan menggunakan alat tangkap “alahan” pada aliran sungai dengan target tangkapan induk ikan bilih yang akan memijah. Akibatnya hasil tangkapan ikan bilih menurun tajam dan ukuran ikan yang tertangkap juga semakin kecil. Sebelum tahun 2000, ikan bilih dari Danau Singkarak diekspor ke Negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura, akan tetapi dengan menurunnya hasil tangkapan, ekspor ikan bilih tidak bisa berlanjut. Untuk menyelamatkan populasi ikan bilih di Danau Singkarak yang sudah mulai menurun, telah dilakukan introduksi ikan bilih di Danau Toba dimana hasil tangkapan ikan nya masih rendah dibanding potensi produksinya yang cukup tinggi. . Disamping itu, introduksi ikan bilih juga dilakukan untuk menggantikan keberadaan ikan pora-pora (Puntius binotatus) yang langka di Danau Toba dan sejak tahun 1995 jenis ikan tersebut tidak pernah tertangkap lagi.
Gambar 1. Peta Danau Toba, kawasan pemijahan ikan Bilih
Pengertian - Definisi Introduksi ikan (fish introduction) adalah kegiatan penebaran ikan dari luar ke suatu badan air dimana ikan yang ditebarkan tersebut bukan merupakan ikan asli di badan air yang bersangkutan.
3
Ikan yang ditebarkan diharapkan dapat memanfaatkan habitat dan makanan alami yang tersedia serta dapat memijah secara alami di perairan tersebut. Introduksi ikan harus dilakukan dengan pendekatan kehati-hatian (precautionary approach) agar ikan yang diintroduksikan aman dan tidak berdampak negatif terhadap populasi ikan Gambar 2. Perbedaan Ikan Bilih, Wader dan Pora-pora asli. Untuk menghindari kerancuan dengan Restocking, perdefinisi Restocking adalah penebaran ikan ke suatu badan air dimana ikan yang ditebarkan telah ada sebelumnya (merupakan ikan asli) di perairan tersebut. Restocking biasanya dilakukan untuk menambah populasi ikan asli yang menurun atau langka yang hidup di perairan tersebut. Rincian dan Aplikasi Teknis 1. Persaratan Teknis Penerapan Teknologi introduksi ikan bilih sebagai berikut: (1) Badan air yang akan digunakan untuk penerapan teknologi introduksi ikan bilih harus memiliki: kualitas air yang baik untuk kehidupan ikan bilih; air relatif jernih, suhu air rendah (berkisar antara 26-28oC); terdapat sungai yang masuk danau dengan karakteristik sebagai habitat pemijahan, yaitu: berair jernih, dasar berpasir atau kerikil, arus air antara 40-60 cm/detik, kedalaman air 20-40 cm, suhu air berkisar antara 26,0-28,0oC; sumber daya makanan alami yang berupa plankton dan detritus tinggi dan belum optimal dimanfaatkan oleh ikan asli. (2) Ikan bilih yang akan ditebarkan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: bebas dari hama dan penyakit; memiliki nilai ekonomis; disukai masyarakat sekitar; dapat memanfaatkan sumber daya makanan alami yang tersedia; dapat memijah/berreproduksi secara alami; dan tidak bersifat invasif (tidak berdampak negatif) terhadap jenis ikan asli. (3) Hasil tangkapan ikan di badan air yang akan ditebari masih rendah jauh di bawah potensi produksi ikan lestarinya. (4) Kelompok nelayan sebagai unsur pengelola perikanan utama sudah ada atau mudah dibentuk; berperan aktif dalam kegiatan pengelolaan perikanan. 2. Uraian lengkap dan rinci Prosedur Operasional Standar (POS), penerapan teknologi introduksi ikan bilih adalah sebagai berikut: (1) Identifikasi potensi badan air yang meliputi: kualitas air; jenis dan kelimpahan sumber
4
daya makanan alami; komposisi jenis ikan asli; estimasi potensi produksi ikan; terdapat sungai yang bermuara ke danau yang sesuai sebagai kawasan pemijahan ikan bilih. (2) Identifikasi sifat biologi ikan bilih yang meliputi: siklus hidup, reproduksi, makanan dan kebiasaan makan dan distribusinya. Ikan bilih yang akan diintroduksi sebaiknya ditangkap dari habitat aslinya, Danau Singkarak. (3) Identifikasi kegiatan perikanan yang meliputi: jumlah nelayan; jenis dan jumlah alat tangkap, jenis, komposisi dan jumlah hasil tangkapan ikan. (4) Identifikasi masyarakat sekitar badan air: jumlah atau ketersediaan kelompok nelayan; kelompok pengawas; kelompok usaha perikanan lainnya. (5) Identifikasi biaya yang diperlukan untuk kegiatan introduksi ikan dan peluang keberhasilannya. (6) Pelaksanaan penebaran ikan bilih yang berukuran 5 – 12 cm termasuk transportasi hidup benih. (7) Monitoring dan evaluasi. Kegiatan monitoring dilakukan pada perencanaan, selama dan setelah penerapan teknologi introduksi, dan dari hasil monitoring dilakukan evaluasi untuk mengkaji keberhasilan ataupun kegagalan penerapan teknologinya. 3. Uraian dan jumlah kaji terap yang sudah dilakukan di beberapa daerah Teknologi introduksi ikan bilih yang didasarkan atas hasil penelitian dan pengkajian belum pernah diterapkan di badan air lainnya. Namun berdasarkan informasi dari beberapa Dinas Perikanan, Gambar 3. Siklus hidup ikan Bilih introduksi ikan bilih secara “trial and error” telah dilakukan di beberapa badan air dan tidak menunjukkan hasil. Introduksi ikan bilih ini gagal karena persyaratan badan air untuk memenuhi kebutuhan hidupnya tidak sesuai. Hasil penelitian dan pengkajian introduksi ikan bilih di Danau Toba yang dilakukan pada tahun 2002 – 2003 dijadikan dasar dalam implementasi introduksi ikan bilih di Danau Toba. Hasil introduksi ikan bilih di Danau Toba telah memberi manfaat ekonomi, sosial dan lingkungan yang besar bagi masyarakat sekitar Danau Toba dan masyarakat Sumatera Barat yang melakukan usaha pemasaran dan pengolahan ikan bilih. Pada tahun 2010 IPTEKMAS introduksi ikan bilih di Danau Toba telah dilaksanakan sebagai langkah nyata desiminasi ilmu pengetahuan dan teknologi kepada masyarakat yang membutuhkan.
5
KEUNGGULAN TEKNOLOGI Uraian tentang teknologi yang baru atau modifikasi Teknologi introduksi ikan bilih ke Danau Toba merupakan teknologi yang telah dimodifikasi disesuaikan dengan karakteristik perairan dan karakteristik biologi dari ikan bilih di habitat aslinya Danau Singkarak. Gambar 4. Prototipe Alat tangkap yang digunakan untuk koleksi ikan Bilih hidup yang akan diintroduksi ke Danau Toba
Keberhasilan teknologi introduksi ikan bilih dengan teknologi yang sudah ada Teknologi introduksi ikan adalah teknologi yang telah lama diterapkan di perairan danau dan waduk Indonesia. Sebagai contoh introduksi ikan mujair (Oreochromis mossambicus) di Danau Toba telah dilakukan sejak jaman penjajahan Belanda. Introduksi ikan mujair di Danau Toba gagal karena ikan mujair memerlukan daerah littoral untuk pemijahannya sedangkan Danau Toba merupakan danau dalam (590 m), berpantai curam sehingga memiliki daerah littoral yang sempit. Disamping itu, kelimpahan sumber daya makanan yang tersedia rendah. Ikan mujair malahan disinyalir berdampak negatif terhadap punahnya populasi ihan batak (Neolissochillus thienemanni) dengan cara memakan telurnya. Penerapan teknologi introduksi ikan bilih di Danau Toba merupakan teknologi yang unggul dengan alasan sebagai berikut: (1) sangat efisien, karena ikan bilih tumbuh hanya dengan memanfaatkan makanan alami yang tersedia dan sisa pakan yang terbuang dari budidaya ikan dalam KJA, ikan bilih dapat mengisi daerah pelagis danau yang selama ini belum terisi ikan, terdistribusi di seluruh perairan danau dan dapat berkembang biak secara alami di sungai-sungai yang masuk danau; (2) ekonomis: pada kasus di Danau Toba menunjukan produksi ikan bilih mencapai 45.000 ton pada tahun 2012 atau senilai 225 milyar rupiah (bandingkan dengan produksi ikan lemuru di Selat Bali yang hanya mencapai 25.000 ton/tahun); produksi ikan bilih yang tinggi telah berdampak terhadap peningkatan pendapatan nelayan; mudah dipasarkan karena pembeli (pedagang pengumpul terutama dari Sumatera Barat) datang sendiri ke tempat produksi; dan ikan bilih menjadi komoditas unggulan masyarakat nelayan setempat; (3) layak: teknologi introduksi ikan bilih layak untuk dikembangkan di perairan danau dengan karakteristik yang sejenis. Mudah diterapkan dalam sistem usaha kelautan dan perikanan Teknologi introduksi ikan bilih sangat mudah diterapkan oleh masyarakat yang tinggal di sekitar danau karena sangat sederhana dan praktis. Masyarakat nelayan sebagai ujung tombak pelaksana pengelolaan cukup diarahkan untuk memahami persyaratan teknis penerapan teknologi introduksi ikan bilih dan bagaimana melakukan pengelolaan dan monitoring serta evaluasinya. Keberlanjutan pengelolaan sumber daya ikan bilih akan berhasil jika masyarakat nelayan sudah membentuk kelompok sehingga semua peraturan yang dibuat dapat dipatuhi dan dilaksanakan.
6
Ramah lingkungan Teknologi introduksi ikan bilih ke danau Toba sangat ramah lingkungan karena ikan bilih tumbuh dengan memanfaatkan sumber daya makanan alami (plankton, mikrobenthos dan detritus) yang tersedia dan ikan bilih juga memanfaatkan sisa makanan dan kotoran ikan yang berupa limbah dari budidaya ikan dalam KJA yang jika tidak dimakan ikan bilih akan mencemari danau. Ikan bilih sebagai ikan asing di Danau Toba tidak bersifat invasif terhadap ikan asli malahan menggantikan peran ikan Pora-pora yang sejak tahun 1990-an sudah tidak tertangkap lagi. WAKTU DAN LOKASI PENELITIAN, DAERAH YANG DIREKOMENDASIKAN Gambaran lokasi dan waktu penelitian, pengkajian, dan pengembangan Penelitian dilaksanakan di Danau Toba yang merupakan danau terbesar di Indonesia dengan luas 112.000 ha dan kedalaman maksimum 590 m. Danau berlereng curam kecuali di pantai Samosir bagian Timur sehingga sebagian besar danau berupa daerah pelagis dan hanya sebagian kecil berupa daerah littoral. Sungai yang bermuara ke Danau Toba ada 149 buah dan sebanyak 79 buah tidak pernah kering. Danau berair jenih dengan kecerahan air lebih dari 12 m dengan kandungan oksigen terlarut yang tinggi dan suhu air antara 27-28oC. Sebelum tahun 1995, Danau Toba termasuk perairan dengan tingkat kesuburan rendah (oligotrofik) dan kini kesuburannya meningkat menjadi perairan dengan tingkat kesuburan sedang (mesotrofik). Karakteristik limnologis Danau Toba tersebut serupa dengan karakteristik limnologis Danau Singkarak sebagai habitat asli ikan bilih. Malahan perairan Danau Toba mempunyai keunggulan tersendiri karena jumlah sungai yang masuk danau hampir 30 kali lipat dari jumlah sungai yang masuk Danau Singkarak. Sungai-sungai ini umumnya berair jernih, berdasar pasir dan atau kerikil sehingga sangat sesuai sebagai daerah pemijahan ikan bilih. Populasi ikan asli umumnya sudah menurun atau langka dan menuju kepunahan seperti ihan batak yang digunakan sebagai ikan adat dan pora-pora. Ikan introduksi terdiri dari ikan mujair, betutu, nilem, sepat, dan nila, ikan-ikan introduksi tersebut umumnya tidak berkembang dengan baik karena habitatnya tidak sesuai. Kegiatan penelitian, pengkajian, dan penerapan teknologi introduksi ikan bilih dapat dibagi menjadi beberapa periode sebagai berikut: (1) Tahun 2000-2002, penelitian tentang karakteristik limnologis danau Toba dan danau Singkarak, aspek biologi ikan bilih (siklus hidup, makanan dan kebiasaan makan, biologi reproduksi dan pertumbuhan) di habitat aslinya danau Singkarak serta aspek perikanan tangkap ikan bilih di danau Singkarak. Bersamaan dengan itu juga dipelajari aspek biologi komunitas ikan di Danau Toba. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa karakteristik limnologi Danau Singkarak serupa dengan Danau Toba (2) Tahun 2003-2005, perancangan cara penangkapan dan transportasi hidup benih ikan bilih, pelaksanaan penebaran ikan bilih di Danau Toba, yang dilanjutkan dengan monitoring perkembangan ikan bilih yang diintroduksikan dan aspek biologinya. Hasil pengkajian menyimpulkan bahwa ikan bilih dapat tumbuh dan berkembang biak dengan baik, distribusinya mengisi seluruh perairan danau dan kawasan pemijahannya tersebar di hampir semua sungai yang masuk danauSejak tahun 2005, hasil tangkapan ikan bilih mulai nampak dan berdasarkan hasil pencatatan enumerator di beberapa tempat penangkapan nelayan tercatat sebesar 635,9 kg atau senilai 3,89 milyar rupiah.
7
(3) Tahun 20010-2013, penerapan IPTEK pengelolaan dan konservasi ikan bilih melalui kegiatan IPTEKMAS (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi untuk Masyarakat). Kegiatan IPTEKMAS ini ditujukan untuk memberdayakan masyarakat nelayan dalam rangka optimasi pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya ikan bilih serta upaya konservasinya. Melalui kegiatan I PTE KMAS juga dilakukan pemberdayaan masyarakat dalam pengolahan produk dan pemasaran ikan bilih. Pada tahun terakhir (2013), sedang disusun “Naskah A k a d e m i k Pe n g e l o l a a n d a n Gambar 5. Penjualan Hasil Tangkapan Ikan Bilih di salah satu Pendaratan Ikan di Danau Toba Konservasi Sumber Daya Ikan di D a n a u To b a ” s e b a g a i b a h a n Rancangan Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Utara yang akan disampaikan ke Gubernur Sumatera Utara. Lokasi wilayah yang direkomendasikan untuk penerapan teknologi introduksi Pada prinsipnya, introduksi ikan ke suatu badan air harus dilakukan dengan pendekatan kehatihatian (precautionary approach) karena keberadaan ikan asing di suatu perairan dapat berdampak negatif terhadap keanekaragaman ikan asli dan lingkungan. Oleh karena itu, sebelum introduksi ikan dilakukan harus dilakukan kajian yang mendalam terlebih dahulu baik aspek biologi ikan introduksi dan habitat aslinya maupun biologi komunitas ikan dan habitatnya di perairan yang akan ditebari. Introduksi ikan bilih dapat dilakukan di beberapa perairan danau yang mempunyai karakteristik serupa dengan danau Singkarak dan di danau tersebut tidak terdapat ikan asli yang endemik atau langka yang akan bersaing dengan ikan bilih. Beberapa danau yang dapat diintroduksi ikan bilih antara lain: Danau Dibawah dan Diatas (Sumatera Barat), Danau Ranau (Sumatera Selatan dan Lampung), dan Danau Kerinci (Jambi). KEMUNGKINAN DAMPAK NEGATIF Penerapan teknologi introduksi ikan bilih dapat berdampak negatif terhadap penurunan keanekaragaman ikan asli jika ikan bilih berkompetisi dan mendesak populasi ikan asli. Apalagi jika di badan air yang bersangkutan terdapat jenis ikan endemik atau jenis ikan langka yang perlu dilindungi dan dilestarikan. KELAYAKAN FINANSIAL DAN ANALISA USAHA Dengan mengambil kasus penebaran ikan bilih di Danau Toba, ikan bilih yang ditebarkan, pada tanggal 3 Januari 2003 (hanya dilakukan satu kali) sebanyak 2.850 ekor dari 3.500 ekor yang
8
ditangkap dari Danau Singkarak dengan ukuran panjang total antara 5-6 cm dan berat antara 0,91,5 gram per ekor atau setara dengan 3,8 kg x 10.000 rupiah/kg = 38.000 rupiah. Biaya transportasi dan fasilitas jaring penampung sebesar 3 juta rupiah, dan biaya tenaga kerja dan lainlain sehingga total biaya untuk introduksi ikan bilih sebesar 6 juta rupiah. Hasil tangkapan nelayan mulai terlihat sejak tahun 2005 yang mencapai 653,6 ton atau 14,6% dari total hasil tangkapan ikan pada tahun yang sama, yakni sebesar 4.462 ton dengan nilai produksi sebesar 3,9 milyar rupiah. Hasil tangkapan ikan Bilih tersebut berada pada urutan ke tiga setelah tangkapan ikan mujair dan nila. Pada tahun 2008, hasil tangkapan ikan bilih meningkat mencapai 13.000 ton atau setara dengan nilai 65 milyar rupiah. Pada tahun 2012 mencapai 45.000 ton atau senilai 225 milyar rupiah. Secara umum, produksi ikan di Danau Toba meningkat dari rata 15-20 kg/ha/th sebelum introduksi ikan bilih menjadi 350-400 kg/ha/th. TINGKAT KOMPONEN DALAM NEGERI Ikan bilih adalah ikan endemik Danau Singkarak di Sumatera Barat. Demikian pula seluruh komponen yang digunakan dalam penerapan teknologi introduksi ini adalah komponen dalam negeri.
Gambar 6. Distribusi Ukuran Ikan Bilih yang Ditebar dan Makanannya
Gambar 7. Distribusi panjang Ikan Bilih yang tertangkap di Danau Toba dan Danau Singkarak
Gambar 9. Sungai yang masuk Danau Toba sebagai Kawasan Suaka Ikan Bilih
Gambar 8. Perkembangan Produksi Tangkapan Ikan Bilih
9
Gambar 10. Bagan (Alat tangkap utama) ikan bilih
Gambar 11. Alat tangkap Gill Net
Gambar 12. Narasumber dalam Diseminasi IPTEK Pengelolaan dan Konservasi Ikan Bilih
Gambar 13. Peserta Diseminasi IPTEK Pengelolaan dan Konservasi Sumber Daya Ikan Bilih
10
P4KSI Culture Based Fisheries (CBF) Ikan Patin Siam (Pangasianodon hypophthalmus) Unit Eselon I Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan Satuan Kerja Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan Alamat Gedung Balitbang KP Jl. Pasir Putih, Ancol Timur Jakarta Utara Kategori Teknologi Perikanan Tangkap Sifat Teknologi Inovasi Masa Pembuatan 1999-2013 Tim Penemu Endi Setiadi Kartamihardja Kunto Purnomo Chairulwan Umar Sonny Koeshendrajana Nurul Istiqomah Kontak Person Endi Setiadi Kartamihardja,
[email protected] Nurul Istiqomah
[email protected]
11
DESKRIPSI TEKNOLOGI Tujuan dan Manfaat Penerapan Teknologi Ikan patin siam (Pangasianodon hypophthalmus) adalah ikan ekonomis penting di perairan tawar yang dapat dijadikan komoditas pangan baik untuk keperluan domestik maupun ekspor. Pulau Jawa memiliki perairan waduk sekitar 90 persen dari luas total waduk di Indonesia. Populasi ikan asli di perairan waduk yang berasal dari sungai yang dibendungnya pada umumnya akan mengalami penurunan pada beberapa tahun setelah waduk terbentuk karena ikan asli sungai di habitat mengalir tidak dapat beradaptasi dengan habitat baru yang berupa perairan tergenang (waduk). Salah satu jenis ikan asli yang hilang dari Waduk Gajahmungkur adalah ikan patin jambal (Pangasius djambal) karena jalur ruaya ikan ini ke habitat pemijahannya terputus oleh pembendungan sungai Bengawan Solo. Oleh karena itu, peningkatan produksi ikan di waduk dapat dilakukan melalui penerapan teknologi Culture Based Fisheries (CBF) yang tepat. Tujuan penerapan teknologi CBF ikan patin siam ini adalah untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi ikan di suatu badan air dengan cara memanfaatkan sumber daya makanan alami dan habitat (niche ecology) yang masih kosong. Peningkatan kualitas dan kuantitas produksi ikan ini akan bermanfaat dalam rangka meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat nelayan dan masyarakat Gambar 1. Ikan Patin Siam selingkar di badan air tersebut. Pengertian - Definisi Culture Based Fisheries (CBF) atau Perikanan Tangkap Berbasis Budidaya adalah kegiatan perikanan tangkap dimana ikan hasil tangkapan berasal dari benih ikan hasil budidaya yang ditebarkan ke dalam badan air, dan benih ikan yang ditebarkan akan tumbuh dengan memanfaatkan makanan alami yang tersedia. Penebaran benih ikan umumnya dilakukan secara rutin karena ikan hanya tumbuh dan tidak diharapkan berkembang biak. Oleh karena itu, ketersediaan benih ikan patin siam dari hasil pembenihan merupakan salah satu kunci
12
keberhasilan dalam pengembangan CBF. CBF ikan patin siam di Waduk Gajahmungkur mempunyai karakteristik tersendiri karena ikan patin yang ditebarkan selain tumbuh pesat dengan memanfaatkan makanan alami juga dapat berkembang biak di muara Sungai Keduwang dan Tirtomoyo yang masuk waduk karena menggantikan peran ikan patin jambal yang hilang. RINCIAN DAN APLIKASI TEKNIS Persaratan Teknis Penerapan Teknologi CBF (1) Badan air yang akan digunakan untuk penerapan CBF ikan patin siam harus memiliki: kualitas air yang baik untuk kehidupan ikan patin; sumber daya makanan alami yang berupa plankton, benthos, detritus; potensi produksi ikan yang tinggi (minimal 200 kg/ha/th); volume air tersedia sepanjang tahun, kedalaman air ratarata minimal 2 meter. (2) Benih ikan patin siam yang akan ditebarkan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: kualitas dan kuantitasnya memadai (karena ada pembenih yang menghasilkan benih patin dengan pertumbuhan lambat, jumlahnya tersedia untuk penebaran dengan kepadatan antara 100-200 ekor/ha tergantung pada sumberdaya makanan alami yang tersedia); dapat memanfaatkan sumber daya makanan alami yang tersedia; dan tidak bersifat invasif (tidak berdampak negatif) terhadap jenis ikan asli. (3) Pembenihan ikan patin siam tersedia dengan jarak tempuh yang relatif dekat dengan badan air yang akan ditebari dan telah berproduksi secara reguler serta menghasilkan benih dengan kualitas baik bebas dari hama dan penyakit. Jika pembenihan ikan patin belum tersedia maka perlu dibangun di sekitar lokasi badan air yang akan ditebari. (4) Hasil tangkapan ikan di badan air yang akan ditebari masih rendah jauh di bawah potensi produksi ikan lestarinya; alat tangkap yang digunakan (gill net) untuk menangkap ikan patin ukuran konsumsi (>500 gram) berukuran mata jaring > 3,5 inci. (5) Kelompok nelayan sebagai unsur pengelola perikanan utama sudah ada atau mudah dibentuk; berperan aktif dalam kegiatan pengelolaan perikanan. Uraian lengkap dan rinci SOP Tahapan yang harus dilakukan dalam penerapan teknologi CBF ikan Patin siam adalah sebagai berikut: (1) Identifikasi potensi kesesuaian badan air untuk perkembangan ikan patin yang meliputi: luasan dan volume air serta kedalaman air; kualitas air; jenis dan kelimpahan sumber daya makanan alami; komposisi jenis ikan asli; estimasi potensi produksi ikan. (2) Identifikasi Pembenihan Ikan Patin Siam yang meliputi: jumlah dan kualitas benih yang dihasilkan; waktu produksi; jarak tempuh ke badan air yang akan ditebari; dan sarana pendukung lainnya, seperti: alat dan cara pengemasan benih serta alat transportasinya. Jika pembenihan ikan patin siam belum tersedia dan jarak tempuh
13
(3) (4) (5)
(6)
(7)
ke lokasi badan aiar yang akan ditebari sangat jauh maka perlu dibangun pembenihan ikan patin di sekitar lokasi badan air tersebut. Identifikasi kegiatan perikanan yang meliputi: jumlah nelayan; jenis dan jumlah alat tangkap, jenis, komposisi dan jumlah hasil tangkapan ikan. Identifikasi biaya yang diperlukan untuk kegiatan penebaran ikan patin dan peluang keberhasilannya. Identifikasi kelembagaan di mayarakat sekitar badan air: jumlah atau ketersediaan kelompok nelayan; kelompok pengawas; kelompok usaha perikanan lainnya. Jika kelompok belum terbentuk perlu diidentifikasi peluang keberhasilan pembentukkannya. Perencanaan pengembangan pengelolaan perikanan secara bersama (komanajemen). Pemerintah cq Dinas Perikanan setempat berperan sebagai fasilitator dan regulator sedangkan kelompok nelayan berperan sebagai pelaksana pengelolaan perikanan di badan air yang bersangkutan. Monitoring dan evaluasi. Kegiatan monitoring dilakukan pada perencanaan, selama dan setelah penerapan teknologi CBF ikan patin, dan dari hasil monitoring dilakukan evaluasi untuk mengkaji keberhasilan ataupun kegagalan penerapan teknologinya. Monitoring hasil tangkapan dilakukan oleh kelompok nelayan sedangkan evaluasinya dilakukan bersama antara pemerintah dengan kelompok pengelola perikanan, khususnya kelompok nelayan.
KEUNGGULAN TEKNOLOGI Teknologi CBF ikan patin siam adalah teknologi yang baru diterapkan di beberapa perairan waduk (Waduk Ir. H. Djuanda di Jawa Barat, Waduk Gajahmungkur dan Malahayu di Jawa Tengah) di Pulau Jawa dengan benar, berdasarkan pada hasil kajian ilmiah yang memadai sejak tahun 1999. Pada prinsipnya penerapan CB F di waduk tersebut didasarkan pada hasil penelitian mengenai Gambar 2. Penebaran Benih Ikan Patin Siam bio-ekologi sumberdaya ikan yang meliputi relung makanan, kondisi habitat/lingkungan, kesuburan perairan dan trophik level sumberdaya ikan serta aspek perikanan. Dari hasil penelitian ini akan dihasilkan jenis ikan yang sesuai dan jumlah benih optimum yang harus ditebar serta ikan tersebut tidak akan berdampak negatif terhadap jenis ikan asli. Jenis ikan yang sesuai untuk diintroduksikan adalah ikan patin siam (Pangasianodon hypophthalmus). Teknologi ini jika diterapkan di badan air lain perlu dimodifikasi terlebih dahulu disesuaikan dengan persyaratan teknis yang telah diuraikan pada bab terdahulu. Kegiatan penebaran benih ikan di perairan waduk Indonesia telah lama dilakukan, pada umumnya sama tuanya dengan selesainya pembangunan waduk tersebut. Namun hasil yang diperoleh dari kegiatan tersebut umumnya masih sangat minim. Penerapan teknologi CBF ikan patin siam
14
merupakan teknologi yang unggul dengan alasan sebagai berikut: (1) sangat efisien, karena ikan patin tumbuh hanya dengan memanfaatkan makanan alami yang tersedia dan sisa pakan yang terbuang dari budidaya ikan dalam KJA; (2) ekonomis: karena pendapatan nelayan meningkat dengan harga jual ikan patin lebih tinggi jika dibandingkan dengan jenis ikan lainnya; mudah dipasarkan karena pembeli (pedagang pengecer) datang sendiri ke tempat pelelangan ikan; dan ikan patin menjadi komoditas unggulan masyarakat nelayan setempat; (3) layak: teknologi CBF layak untuk dikembangkan di perairan waduk dengan karakteristik yang sejenis.
Gambar 3. Tagging Benih Ikan Patin Siam
Mudah diterapkan dalam sistem usaha kelautan dan perikanan Teknologi CBF sangat mudah diterapkan oleh masyarakat yang tinggal di sekitar waduk (badan air) karena sangat sederhana dan praktis. Masyarakat nelayan sebagai ujung tombak pelaksana pengelolaan cukup diarahkan untuk memahami persyaratan teknis pengembangan CBF dan bagaimana melakukan pengelolaan dan monitoring serta evaluasinya. Keberlanjutan pengelolaan sumber daya ikan akan berhasil jika masyarakat nelayan sudah membentuk kelompok sehingga semua peraturan yang dibuat dapat dipatuhi dan dilaksanakan.
Gambar 4. Pertumbuhan Ikan Patin Siam
Ramah lingkungan Teknologi CBF sangat ramah lingkungan karena ikan yang ditebarkan hanya tumbuh dengan memanfaatkan kesuburan perairan, tidak ada makanan tambahan dari luar yang berpotensi menyuburkan perairan, ikan patin tidak bersifat invasif terhadap ikan asli. Ikan patin juga ikut beriur dalam memanfaatkan sisa makanan dari budidaya KJA yang jika tidak dimakan ikan patin berpotensi terhadap penurunan kualitas air waduk.
Gambar 5. Jenis makanan Ikan Patin Siam
15
WA K T U DA N LO K A S I PE N E LITIAN, DAE RAH YANG DIREKOMENDASIKAN Penelitian terhadap CBF ikan patin siam telah dilaksanakan di Waduk Ir. H. Djuanda (2000 – 2002), Gajah Mungkur (1999 – 2003) dan Malahayu (2009 – 2010). Pada ketiga waduk tersebut ikan patin siam yang ditebar menunjukkan pertumbuhan yang positif serta memberikan peningkatan pendapatan mata pencaharian nelayan waduk. Keberhasilan lebih CBF ikan patin siam terjadi di Waduk Gajah Mungkur, dimana patin siam tersebut dapat memijah dengan baik.
Gambar 6. Penjualan Hasil Tangkapan Patin Siam
Pada tahun 2010 dilaksanakan IPTEKMAS CBF ikan patin siam di Waduk Gajah Mungkur dan Malahayu dengan tujuan memberikan pendampingan sekaligus diseminasi IPTEK pengelolaan dan konservasi sumberdaya ikan, serta penguatan kapasitas kelembagaan. Pada prinsipnya, penerapan teknologi CBF dapat dilakukan di perairan waduk dan danau di Indonesia. Namun demikian, agar resiko dampak negatif dari ikan yang ditebarkan terhadap jenis ikan asli tidak terjadi, maka Gambar 7. Produksi Tangkapan Ikan Patin Siam penerapan teknologi CBF direkomendasikan untuk dilakukan di perairan waduk terutama di Pulau Jawa dan perairan embung (waduk kecil) yang banyak tersebar di Nusa Tenggara dan Sulawesi yang jumlahnya mencapai lebih dari 800 buah dan sampai saat ini merupakan lahan sub optimal yang belum dimanfaatkan untuk perikanan. Teknologi CBF ini tidak direkomendasikan diterapkan di perairan danau atau waduk yang mempunyai keanekaragaman jenis ikan asli yang tinggi dan terdapat jenis ikan endemik dan atau ikan langka yang perlu dilindungi. KEMUNGKINAN DAMPAK NEGATIF Penerapan teknologi CBF ikan patin siam dapat berdampak negatif terhadap penurunan keanekaragaman ikan asli jika ikan yang ditebarkan berkompetisi dengan ikan asli. Apalagi jika di
16
badan air yang bersangkutan terdapat jenis ikan endemik atau jenis ikan langka yang perlu dilindungi dan dilestarikan. K E L AYA K A N F I N A N S I A L D A N ANALISA USAHA Contoh kelayakan financial dan analisis usaha CBF ikan patin siam di Waduk Gajahmungkur adalah sebagai berikut. Jumlah benih ikan patin siam yang ditebarkan sejak tahun 1999-2002 adalah 30.000 ekor. Harga benih pada saat itu adalah 200 rupiah per ekor, sehingga total biaya yang diperlukan untuk pengadaan benih hanya 6.000.000 rupiah. Ikan patin tumbuh dengan memanfaatkan makanan alami (plankton, detritus, moluska) berkisar antara 8,7-13,1 gram per hari. Pada tahun 2004, hasil tangkapan ikan patin siam mencapai 112.215 kg atau setara dengan 785,5 juta rupiah. Hasil tangkapan ikan patin siam terus meningkat dan pada tahun 2009 mencapai 191.210 kg atau senilai 2,1 milyar rupiah (harga rata-rata patin 11.000 rupiah/kg) dimana hasil tangkapan patin menempati urutan ke dua dari total hasil tangkapan ikan di perairan waduk tersebut.
Gambar 8 Peta Zonasi Perikanan di W. Gajahmungkur
Gambar 9 Suaka Induk Patin Siam di Kawasan KJA
TINGKAT KOMPONEN DALAM NEGERI Ikan patin siam yang digunakan dalam penerapan teknologi ini semula didatangkan dari Thailand pada tahun 1972 sebagai kandidat komoditas budidaya. Dewasa ini, pembenihan ikan patin siam di Indonesia sudah berkembang baik sehingga benihnya mudah didapat dan benih patin siam yang digunakan pada waktu penebaran di Waduk Gajahmungkur, Ir. H. Djuanda dan Malahayu merupakan hasil pembenihan masyarakat di Sukamandi. Oleh karena itu, seluruh komponen yang digunakan dalam penerapan teknologi CBF ini adalah komponen dalam negeri.
17
rekomendasi teknologi
perikananbudidaya
2 18
BPPI Teknologi Pendederan Ikan Patin Pasupati
Unit Eselon I Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan Satuan Kerja Balai Penelitian Pemuliaan Ikan Alamat Jl. Raya 2 Sukamandi Pantura, Patokbeusi, Subang, Jawa Barat 41263.Telepon (0260)520500 FAKSIMILI (0260) 520662, 520663 Kategori Teknologi Perikanan Budidaya Sifat Teknologi Inovasi Baru Masa Pembuatan 2003-2012 Tim Penemu Eir. Retna Utami, M.Sc. Drs. Sularto, M.Si. Ir. Evi Tahapari R.R. Sri Pudji Sinarni Dewi, S.Pi., M.Si. Didik Ariyanto, S.Pi. Ir. Bambang Gunadi, M.Sc. Wahyu Pamungkas, S.Pi. Bambang Iswanto, S.Pi.
Kontak Person Evi Tahapari
[email protected]
19
DESKRIPSI TEKNOLOGI Tujuan dan Manfaat Penerapan Teknologi Ikan patin pasupati merupakan ikan hasil persilangan antara betina patin siam (Pangasianodon hypopthalmus) dengan jantan patin jambal (Pangasius jambal) hasil seleksi. Ikan patin ”Pasupati” dirilis sebagai ikan budidaya unggul pada Agustus tahun 2006, salah satu ciri dari ikan ini adalah berdaging putih (KEPMEN Kep.25/MEN/2006). Tujuan penerapan teknologi pendederan adalah untuk menghasilkan dan menyediakan pasok benih baik kualitas maupun kuantitas dan tahan terhadap perubahan lingkungan budidaya serta untuk mempercepat peningkatan produksi dalam industrialisasi ikan patin DEFINISI Pasupati (Patin Super Harapan Pertiwi) merupakan ikan patin daging putih yang disukai konsumen. Ikan pasopati merupakan hybrid patin siam (daging kuning) dan patin jambal (daging putih). RINCIAN DAN APLIKASI TEKNIS Benih sebar ikan patin pasupati merupakan hasil persilangan (hybrid) antara Induk Betina Patin Siam dan Induk Jantan Patin Jambal dengan rangkaian penciptaan teknologi sebagai berikut: 1. Pemeliharaan Larva/benih ikan patin Pasupati indoor (Pendederan 1) Wadah pemeliharaan larva dapat berupa akuarium atau bak-bak fiber yang dilengkapi dengan aerasi untuk menjaga ketersediaan oksigen terlarut. Air yang digunakan dapat berasal dari air tanah atau air sungai yang telah disaring. Penggunaan pemanas (heater) dapat dilakukan untuk mempertahankan kestabilan suhu air pemeliharaan sehingga tidak terjadi fluktuasi suhu yang tinggi. Penggunaan aerasi mutlak diperlukan pada pemeliharaan larva ikan patin sebagai pensuplai oksigen terlarut dalam air. Aerasi dipasang pada setiap akuarium/bak pemeliharaan larva. Penebaran larva harus dilakukan secara hati-hati agar tidak menimbulkan stress dengan cara memperhatikan kondisi air pemeliharaan. Penebaran yang optimal untuk larva patin pasupati adalah 50 ekor/liter. Pakan awal larva Patin berupa naupli artemia yang diberikan setelah larva berumur 30 - 36 jam dan diberikan selama 5 hari. Nauplii Artemia diberikan setiap 2 jam pada hari
20
pertama dan setiap 3 jam pada hari kedua sampai hari kelima. Pada hari kelima mulai dilatih makan cacing sutera (Tubifek), Moina atau Daphnia. Pakan cacing sutera (Tubifek), Moina atau Daphnia diberikan selama 5-7 hari. Dengan frekuensi pemberian pakan setiap 3 jam sekali. Saat larva berumur 12 hari, pakan yang diberikan berupa pellet dengan kandungan protein kasar sekitar 3840%, ikan pada setiap diberi pakan hingga kenyang (ad satiation) . Frekuensi pemberian pakan minimal 5 kali per hari. Masa pemeliharaan larva selama 3 -4 minggu sampai ukuran 1 inci. Penyiponan dilakukan setiap hari untuk membersihkan dasar wadah pemeliharaan. Pergantian air sebanyak 30-50% dilakukan pada hari ketiga dengan air yang sesuai dengan kebutuhan hidup larva. Sebelum dilakukan pemanenan terlebih dahulu ikan dipuasakan untuk mengosongkan isi perut, sehingga tidak banyak kotoran yang dikeluarkan pada saat pengangkutan. Lamanya pemuasaan disesuaikan dengan lamanya waktu tempuh dalam transportasi. Untuk waktu tempuh 10 jam diperlukan pemuasaan minimal 24 jam. Pengangkutan benih dapat dilakukan dengan 2 cara: a. Sistem terbuka Menggunakan drum plastik berkapasitas 200 liter. Untuk mempertahankan kandungan oksigen terlarut digunakan aerasi. Kapasitas angkut benih ikan patin adalah 100 g/ l air dengan lama waktu tempuh 10 jam, apabila lebih dari 10 jam perlu dilakukan penggantian air. Pengangkutan dengan sistem ini lebih cocok untuk benih ukuran relatif besar ( ≥ 1 inchi). b. Sistem tertutup Menggunakan kantong plastik yang diberi tambahan oksigen. Perbandingan oksigen dan air adalah 2 : 1. Kapasitas angkut 50 g/l air untuk waktu tempuh maksimum 10 jam. Pengangkutan dengan sistem ini lebih cocok untuk benih ukuran kecil (maksimum 1 inchi). Pencegahan Penyakit Pencegahan penyakit dapat dilakukan dengan cara menerapkan biosecurity yang ketat dengan menjaga kebersihan wadah pemeliharaan, menjaga stabilitas suhu agar tetap panas antara 28o 31oC, pakan terbebas dari parasit dan jamur, dan menjaga kondisi air agar tetap baik yang selalu bersih dari sisa pakan. Target produksi dari kegiatan pendederan 1 sebanyak 120.000 benih ekor per siklus, dimana dalam 1 tahun produksi sebanyak 960.000 ekor ( 8 siklus pemijahan). Kaji Terap 1. Pendederan l benih patin Pasupati secara indoor Kegiatan kaji terap teknologi pendederan I telah dilakukan secara indoor di Balai Benih Ikan (BBI) Tanjung Putus Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Ogan Ilir selama 28 hari. Pemeliharaan larva/benih dilakukan pada wadah akuarium volume 400 liter dan fiberglass bulat volume 750 liter. Setelah 28 hari pemeliharaan benih dipanen dengan rata-rata panjang standar 3,44±0,37 cm, panjang total 4,13±0,48 cm dan bobot 0,72±0,24 gram. Jumlah benih yang dipanen sebanyak 400.000 ekor (Tingkat kelangsungan hidup 78,84 %).
21
2. Pendederan II benih ikan patin Pasupati secara outdoor di kolam Dalam kegiatan pendederan ll ikan patin pasupati, aspek persiapan kolam sebelum penebaran benih ikan merupakan hal yang harus diperhatikan, karena dapat berpengaruh terhadap hasil yang akan diperoleh pada saat panen. Persyaratan untuk kolam pendederan ll antara lain berada di kawasan bebas banjir dan bahan pencemar, tanah dasar stabil, sumber air mencukupi, tidak tercemar dan tersedia sepanjang tahun, konstruksi kolam tanah atau tembok dengan pematang yang kuat, luas kolam 200-1000 m2 (sesuai kebutuhan), kedalaman air kolam 60 - 100 cm. Persyaratan kualitas air kolam pemeliharaan yang dibutuhkan antara lain oksigen terlarut minimal 3 mg/l, pH berkisar antara 6,5 - 8,5, suhu berkisar antara 25-31oC, ammonia maksimal 0,02 mg/l, dan nitrit maksimal 0,01 mg/l. Persiapan kolam dilakukan sebelum penebaran benih, diawali dengan pengeringan, pembersihan predator dan kompetitor dengan Saponin (20-40 ppm). Pengolahan kolam dan pengapuran (50100 g/m2), penebaran pupuk berupa kotoran ayam kering (250-500 g/m2) atau berupa kompos (50-100 g/m2), urea (6 g/m2), TSP (3 g/m2) dengan cara ditebarkan di kolam. Pengisian air kolam minimal kedalaman 80 cm. Penebaran benih dilakukan pada hari ke-7 setelah pemupukan yang mana kelimpahan plankton sudah relatif tinggi. Benih ditebar pada pagi atau sore hari dengan padat tebar 100 ekor/m2. Sebelum benih ditebar dilakukan aklimatisasi dengan mencampur air sedikit demi sedikit, sampai suhu air pada wadah packing dengan wadah pemeliharaan relatif sama. Atau benih ikan dalam kantung plastik pengangkutan dibiarkan mengapung diatas air selama 5-10 menit, kemudian mencampur air sedikit demi sedikit. Benih yang akan ditebar dibiarkan keluar sendiri dari kantong plastik wadah pengangkutan . Pakan yang diberikan berupa pakan buatan jenis tenggelam, terapung maupun kombinasi keduanya. Ukuran pakan yang diberikan disesuaikan dengan ukuran bukaan mulut ikan. Misalnya; untuk pakan tenggelam berbentuk crumbel ukuran ± 1mm. Kadar protein kasar pakan yang diberikan mulai dari 32% - 40%, dengan teknik pemberian pakan sebagai berikut: 10 hari pertama pemberian pakan dengan kadar protein kasar 40%, jumlah pakan yang diberikan 15% per biomas ikan per hari. 10 hari kedua pemberian pakan dengan kadar protein kasar 35-38% jumlah pakan yang diberikan 12,5% per biomas ikan per hari 10 hari selanjutnya sampai dengan ukuran ikan siap ditebar untuk dibesarkan dengan kadar protein kasar 32%, jumlah pakan yang diberikan 10% per biomas ikan per hari. Frekuensi pemberian pakan 3 kali sehari (pagi, siang dan sore hari) Pada kegiatan pendederan ll, pemanenan dilakukan secara bertahap. Sebelum dilakukan pemanenan terlebih dahulu ikan dipuasakan untuk mengosongkan isi perut. Pemanenan dilakukan dengan cara menjaring sebagian benih dengan menggunakan jaring ered. Setelah dipanen, benih dipisahkan berdasarkan ukuran menggunakan grader. Benih yang memiliki ukuran benih tebar (4 – 5 inchi) dipisahkan dan siap sebagai benih tebar untuk dibesarkan.
22
Segala hal yang menyangkut kegiatan dari mulai persiapan hingga distribusi hasil panen harus selalu dilakukan dengan tertib. Hal-hal yang perlu dicatat misalnya; waktu penebaran, bobot benih yang ditebar, jumlah penebaran, jumlah pakan, waktu panen, jumlah hasil panen, harga benih, harga pakan dan harga produk akhir. Informasi ini berguna untuk pedomam perbaikan usaha budidaya berikutnya. Target produksi dari kegiatan pendederan ll sebanyak 90.000 benih ekor per siklus, dimana dalam 1 tahun produksi sebanyak 540.000 ekor ( 6 siklus pemijahan).
Lokasi Pemeliharaan Parameter
BBI Kolam A
BBI Kolam B
Kolam Pembudidaya 1
Kolam Pembudidaya 2
Bobot awal (gram)
0,72±0,24
0,72±0,24
0,72±0,24
0,72±0,24
Bobot akhir (gram)
22,89±6,73
23,26±3,94
13,22±2,26
14,73±3,16
Panjang standar awal (cm)
3,44±0,37
3,44±0,37
3,44±0,37
3,44±0,37
Panjang standar akhir (cm)
11,18±1,08
11,60±0,75
9,23±0,53
10,20±0,61
Panjang total awal (cm)
4,13±0,48
4,13±0,48
4,13±0,48
4,13±0,48
Panjang total akhir (cm)
13,55±1,43
13,88±0,77
11,21±0,67
12,38±0,79
Jumlah tebar (ekor)
25.000
25.000
40.000
10.000
Jumlah panen (ekor)
20.525
24.353
38.171
9.900
82,10
97,41
95,43
99,00
Kelangsungan hidup (%)
Tabel 1. Keragaan pertumbuhan benih patin pasupati yang dipelihara selama 40 hari hasil pendederan II
Kegiatan kaji terap teknologi pendederan II dilakukan secara outdoor di BBI Tanjung Putus Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Ogan Ilir KEUNGGULAN TEKNOLOGI Ikan patin pasupati merupakan komoditas perikanan budidaya yang memiliki potensi pasar ekspor yang dapat menjadi tulang punggung pengembangan ekonomi kerakyatan. Teknologi pendederan I secara indoor merupakan teknologi pendederan yang paling efektif karena kapasitas produksi dapat dilakukan secara maksimal, pengawasan dan pemeliharaan dapat dilakukan secara lebih intens, dan proses pemanenan lebih mudah. Teknologi pendederan II secara outdoor memiliki keunggulan antara lain perawatan benih lebih mudah, biaya produksi lebih murah, penggunaan air lebih efisien, penggunaan pakan buatan dapat dikurangi, konversi pakan cenderung lebih rendah dan pertumbuhan benih dapat lebih cepat LOKASI PENELITIAN DAN WILAYAH REKOMENDASI Wilayah pengembangan usaha dalam rangka penerapan teknologi pendederan ikan patin pasupati adalah lokasi yang memiliki kriteria sebagai berikut: Parameter kualitas air yang optimal untuk pemeliharaan antara lain: suhu 28 -30oC, kandungan oksigen terlarut >5 ppm, pH 6,5 – 8,5, amoniak (NH3) <0,2 mg/l dan nitrit (NO2) <0,01mg/l.
23
Lokasi kegiatan pendederan relatif tidak jauh dengan kawasan kegiatan pembesaran. Wilayah pengembangan /penerapan teknologi yang diusulkan antara lain : Sumatera Selatan (Palembang, Ogan Ilir, Banyu Asin), Jawa Timur (Tulung Agung), Kalimantan Selatan (Banjar Baru). KEMUNGKINAN DAMPAK NEGATIF Ikan patin Pasupati ukuran benih tebar (4 – 5 inchi) mengeluarkan lendir relatif lebih banyak pada saat pemanenan yang berakibat mudah stres sehingga diperlukan penanganan yang sangat hati – hati dan tetap dalam kondisi basah. KELAYAKAN FINANSIAL Dengan tingkat komponen dalam negeri mencapai 90% (ekonomis), berikut dilampirkan analisa usaha yang terkait kegiatan produksi benih ikan patin pasupati:
Analisa Usaha Pemeliharaan Larva/benih ikan patin Pasupati secara indoor
Analisa Usaha Pendederan II benih ikan patin Pasupati secara outdoor di kolam
24
Pemeliharaan Larva/benih ikan patin Pasupati secara indoor Fasilitas pemeliharaan benih dalam bentuk bak fiber bulat dan akuarium
Pendederan II benih ikan patin Pasupati secara outdoor di kolam Kolam pemeliharaan pendederan II - Benih ukuran ¾ - 1 inci
Kegiatan panen dan penghitungan Benih siap tebar ukuran 4 – 5 inchi
25
BPPI Teknologi Produksi Massal Larva Ikan Patin Pasupati
Unit Eselon I Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan Satuan Kerja Balai Penelitian Pemuliaan Ikan Alamat Jl. Raya 2 Sukamandi Pantura, Patokbeusi, Subang, Jawa Barat 41263.Telepon (0260)520500 FAKSIMILI (0260) 520662, 520663 Kategori Teknologi Perikanan Budidaya Sifat Teknologi Inovasi Baru Masa Pembuatan 2003-2013 Tim Penemu Ir. Retna Utami, M.Sc. Drs. Sularto, M.Si. Ir. Evi Tahapari R.R. Sri Pudji Sinarni Dewi, S.Pi., M.Si., Didik Ariyanto, S.Pi. Ir. Bambang Gunadi, M.Sc. Wahyu Pamungkas, S.Pi. Bambang Iswanto, S.Pi.
Kontak Person Evi Tahapari
[email protected]
26
DESKRIPSI TEKNOLOGI Tujuan dan Manfaat Penerapan Teknologi Permintaan pasar ekspor ikan patin daging putih semakin meningkat dan perlu segera dimanfaatkan untuk meningkatkan devisa negara dan kesejahteraan rakyat Indonesia. Sebuah terobosan teknologi telah dilakukan oleh Loka Riset Pemuliaan dan Teknologi Budidaya Perikanan Air Tawar (sekarang Balai Penelitian Pemuliaan Ikan) dengan menghasilkan patin hibrida yang diberi nama patin “Pasupati (Patin Super Harapan Pertiwi)”. Patin Pasupati merupakan persilangan antara betina patin siam (Pangasianodon hypophthalmus) dengan jantan patin jambal (Pangasius djambal) hasil seleksi. Kehadiran ikan patin Pasupati merupakan jawaban untuk memenuhi permintaan benih ikan patin daging putih yang saat ini sangat dinantikan oleh para pembudidaya. Peluang ekspor patin daging putih kini telah terbuka yang berdampak membuka lapangan kerja baru. Dengan adanya kegiatan ekspor ikan patin daging putih ini selain menghasilkan produk utama berupa filet, juga akan menghasilkan produk samping berupa kepala ikan, sebagai bahan soup di restoran, minyak ikan, tepung tulang ikan dan kulitnya dapat digunakan bahan baku colagen sebagai obat kulit terbakar. Selama ini permintaan ekspor ikan patin daging putih terus meningkat. Peningkatan ekspor ini bermanfaat untuk meningkatkan devisa negara dan peningkatan kesejahteraan pembudidaya. Tujuan dari penerapan teknologi adalah penyediaan larva ikan patin pasupati yang terjamin secara kualitas, kuantitas dan kontinuitas untuk mendukung peningkatan produksi ikan patin skala industri. Diharapkan dari peningkatan produksi ini dapat memberikan manfaat terhadap peningkatan nilai tambah dan kesejahteraan bagi masyarakat sekitarnya. PENGERTIAN/DEFINISI Pasupati : Patin Super Harapan Pertiwi Hibridisasi : Suatu perkawinan silang antara berbagai jenis spesies ikan untuk menghasilkan jenis ikan unggul sebagai benih sebar baik kualitas maupun kuantitas Kanulasi : Cara sampling telur dalam gonad dengan pipa plastik halus bergaris tengah 1,2 mm (kateter) Papilla : Lubang kelamin berbentuk tonjolan kecil di bagian perut ikan sebagai tempat pengeluaran telur atau sperma.
27
OSI Fekunditas HCG
: Ovi Somatic Index/ indeks yang menunjukkan perbandingan antara bobot telur yang di ovulasikan dengan bobot tubuh induk betina. : Jumlah telur yang diovulasikan per satuan bobot tubuh induk. : Human Chorionic Gonadotropin/ hormon sejenis Glikoprotein yang dihasilkan oleh plasenta ibu hamil digunakan untuk memacu ovulasi
RINCIAN DAN APLIKASI TEKNIS Pemeliharaan dan Seleksi Induk Larva patin pasupati dihasilkan melalui teknologi hibridisasi antara Induk Betina Patin Siam dan Induk Jantan Patin Jambal. Pengelolaan atau manajemen induk sangat diperlukan untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas dalam usaha pembenihan serta menghasilkan benih yang berkualitas baik. Larva yang sehat diperoleh dari induk yang dipelihara secara baik, yakni mendapat pakan yang bermutu dan memenuhi syarat sebagai pakan induk dan dipelihara dalam wadah dengan kualitas air yang baik. Induk yang digunakan adalah induk jantan patin jambal dan induk betina patin siam. Induk betina patin siam dapat dipijahkan setelah berumur minimal 2,5 tahun dengan bobot 2,5 – 3 kg/ekor. Sedangkan induk jantan patin jambal dapat dipijahkan setelah berumur minimal 2 tahun dengan bobot 2,0 – 2,5 kg/ekor. Kisaran kualitas air yang disarankan adalah; pH air 6,5 – 8,5, suhu air 28 – 31oC, oksigen terlarut diatas 3 mg/l, amoniak kurang dari 0,1 mg/l, nitrit kurang dari 1 mg/l. Ikan patin tidak menghendaki air yang terlalu jernih, tingkat kecerahan yang ideal sekitar 30 cm. Beberapa wadah pemeliharaan induk yang dapat digunakan antara lain: a. Kolam (air tenang) dengan kontruksi tanah atau tembok, luas kolam 50 -200 m2, kedalaman air 1,2 m, disarankan adanya pergantian air sebanyak 10%/hari. Kawasan harus bebas banjir dan bebas dari pencemaran. Padat tebar 2 ekor/m2 untuk patin siam dan 0,5 ekor/m2 untuk patin jambal. b. Konstruksi Karamba, bahan yang digunakan dapat dari kayu, bambu atau besi. Ukuran minimal 3 m x 2m x 1,5 m. Padat tebar 3 ekor/m3 untuk patin siam dan 1 ekor/m3 untuk patin jambal c. Karamba jaring apung, konstruksi terbuat dari kerangka bambu, kayu atau besi. Ukuran minimal 4m x 4m x 4m, jaring terbuat dari polyethylene, PE 210 D9 sampai D18, ukuran mata jaring minimal 1 inch. Padat tebar 3 ekor/m3 untuk patin siam dan 1 ekor/m2 untuk patin jambal. Induk ikan patin perlu mendapatkan asupan pakan dengan jumlah yang cukup serta mutu yang baik. Pakan untuk induk ikan patin sebaiknya memiliki kadar protein kasar 36 – 38 % dan diberikan sebanyak 1 % dari biomassa/hari dengan frekuensi pemberian 2 kali/hari. Namun jika disekitar kawasan budidaya tidak tersedia pakan induk dengan kadar protein kasar 36 – 38 %, induk ikan patin dapat diberi pakan dengan kadar protein kasar minimal 28 % sebanyak 2% dari bobot biomas/hari dengan frekuensi pemberian 2 kali/hari.
28
Keberhasilan pemijahan induk ditentukan oleh kejelian pemilihan induk yang matang gonad. Ciriciri induk betina ikan patin yang matang gonad ditunjukkan dengan organ papila membengkak dan berwarna merah. Selain itu, ditunjukkan dengan perut membengkak ke arah belakang (ke arah genital). Untuk mengetahui tingkat kematangan gonad induk betina secara akurat dapat dilakukan melalui pemeriksaan oosit (sel telur) dengan cara mengambil sampel telur dengan alat kanulasi (Kateter) Kanulasi dilakukan dengan memasukan alat kanulasi ke dalam ovari melalui lubang papila sedalam 8 – 10 cm. Agar mendapatkan sampel telur dari semua bagian ovari secara merata, batang penyedot yang ada dibagian tengah kateter ditarik keluar bersamaan dengan menarik kateter dari ovari. Induk ikan patin siam yang siap dipijahkan memiliki ukuran sel telur yang seragam dengan diameter ≥1 mm (sedangkan untuk patin jambal berdiameter ≥1,6 mm) dan berwarna kuning gading serta mudah dipisahkan, tidak menempel satu sama lain. Sedangkan untuk mengetahui induk patin jantan yang matang gonad relatif mudah. Ciri induk jantan yang matang gonad adalah papila menonjol berwarna merah, bila dipijit keluar cairan putih kental (sperma). Induk yang terseleksi dan siap dipijahkan dipelihara di dalam wadah yang sempit sehingga induk mudah untuk ditangkap dan mendapatkan kualitas air yang baik yakni oksigen yang cukup (≥3 ppm) serta suhu air relatif tinggi (≥28° C). Pemijahan Induk patin siam dan patin jambal yang dipelihara dalam wadah budidaya tidak dapat memijah secara alami, sehingga pemijahannya dilakukan secara buatan melalui rangsangan hormonal. Hormon yang digunakan adalah ekstrak kelenjar hipofisa, Gonadotropin, dan Ovaprim (campuran LHRH-a dan domperidon). Penggunaan kelenjar hipofisa sudah jarang dilakukan karena kurang praktis. Hormon yang umum digunakan adalah ovaprim (campuran LHRH dan domperidon) dan HCG (Human Chorionic Gonadotropin). Dosis penyuntikan yang biasa digunakan adalah sebagai berikut: 1. Penyuntikan dengan Ovaprim Penyuntikan pertama sebanyak 0,3 ml/kg induk dan penyuntikan kedua sebanyak 0,6 ml/kg induk dengan selang waktu 12 jam 2. Penyuntikan dengan HCG dan Ovaprim Penyuntikan pertama dengan HCG sebanyak 500 IU/kg induk dan penyuntikan kedua dengan Ovaprim sebanyak 0,6 ml/kg induk Selang waktu dari penyuntikan kedua sampai ovulasi (waktu laten/latensi time pada patin siam) berkisar 10 - 12 jam pada kondisi suhu air 28°C. Meskipun telah dilakukan rangsangan ovulasi induk ikan patin siam maupun patin jambal di dalam wadah budidaya tidak bisa memijah secara alami. Proses pembuahan (bercampurnya telur dan sperma) harus dilakukan secara buatan (artificial). Pembuahan yang biasa dilakukan ada dua sistem:
29
Pembuahan Sistem Kering Dalam sistem kering ini telur yang telah dikeluarkan dan ditampung dalam baskom dicampur dengan sperma yang baru, langsung dikeluarkan dari induk jantan kemudian Gambar 1. Proses pengeluaran sperma ikan patin jambal (kiri), Proses pengeluaran telur ikan patin siam (kanan) dicampur dengan bulu ayam secara merata. Kemudian untuk aktivasi ditambahkan air yang kaya oksigen sambil diaduk-aduk dengan bulu ayam. Selanjutnya dibilas dan diberi larutan tanah untuk menghilangkan daya rekat telur (Memisahkan telur yang biasanya melekat satu sama lain), kemudian dibilas lagi dengan air segar beberapa kali, kemudian ditetaskan. Pembuahan Sistem basah Pada sistem basah ini, sperma induk jantan terlebih dahulu dikeluarkan dan ditampung dalam wadah tabung atau gelas dan diencerkan dengan larutan NaCl fisiologis (larutan infus NaCl). Larutan tersebut selain berfungsi sebagai pengencer juga berfungsi sebagai pengawet. Spermatozoa dapat tahan hidup dalam larutan tersebut selama 12 – 24 jam pada suhu 5 – 0°C. Penetasan telur dilakukan pada corong penetasan. Telur dimasukan ke dalam corong penetasan yang dialiri air pada bagian dasar corong sehingga telur bergerak/ berputar secara pelan. Larva yang telah menetas dan sehat akan berenang ke atas mengikuti saluran pembuangan dan ditampung dalam hapa, sedangkan telur yang tidak menetas serta larva yang abnormal akan tetap berada di dasar corong. Resiko keracunan relatif rendah, karena kualitas air dapat mudah diperbaiki dengan menambahkan air segar. Suhu air optimal untuk proses penetasan telur adalah 28 - 31oC dan akan menetas setelah 16 – 22 jam. Larva yang tertampung dalam hapa harus segera dipanen agar tidak keracunan akibat pembusukan sisa-sisa telur yang tidak menetas. Larva dipanen dengan menggunakan serokan halus, kemudian dipindahkan ke dalam wadah bulat yang berisi air yang telah diaerasi agar mendapatkan oksigen yang cukup. Penghitungan maupun pengepakan larva sebaiknya dilakukan sebelum larva berumur 5 jam. Karena pada kondisi tersebut larva belum aktif mengejar sinar sehingga terdistribusi secara merata p a d a s e m u a b a d a n a i r. Gambar 2. Fertilisasi telur pembentuk patin pasupati (kiri), Fasilitas corong penetasan telur (kanan)
30
Penghitungan larva pada umumnya dilakukan secara volumetri. Pengangkutan larva dilakukan secara tertutup menggunakan kantong plastik dengan penambahan oksigen. Pengangkutan sebaiknya dilakukan pada suhu dingin. Kepadatan larva dalam setiap kantong plastik harus mempertimbangkan lama waktu transportasi. Perbandingan volume antara air dan gas oksigen adalah 1 : 2. Kepadatan larva maksimum dalam setiap kantong plastik tertera pada Tabel berikut: Waktu tempuh (jam)
Jumlah Larva(ekor/l)
≤6 6-9 9 - 12
8 000 6.000 4.000
Tabel 1. Kepadatan larva dan waktu tempuh dalam transportasi tertutup
Pengangkutan lebih dari 12 jam dapat dilakukan dengan syarat dilakukan penggantian oksigen. TARGET PRODUKSI Target produksi dari kegiatan pemijahan dalam setiap siklus produksi sebanyak 1.000.000 juta ekor, dimana dalam 1 tahun sebanyak 8.000.000 ekor ( 8 siklus pemijahan). Kaji Terap Kegiatan kaji terap teknologi produksi larva ikan patin pasupati sudah dilakukan melalui kegiatan diseminasi/iptekmas yang berlokasi di UPPU Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Palembang pada tahun 2012 dan kegiatan Iptekmas yang berlokasi di BBI Tanjung Putus Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Ogan Ilir pada tahun 2013 dengan hasil sebagai berikut: Parameter
Satuan
Nilai
Fekunditas tiap induk
butir/kg induk
60.000 - 120.000
OSI (Ovi Somatic Index)
%
5,0 - 10,0
Derajat fertilisasi
%
84,34 - 91,37
Derajat tetas telur
%
98,73 - 99,66
Tabel 2. Keragaan reproduksi pada produksi benih ikan patin pasupati
KEUNGGULAN TEKNOLOGI Dari teknologi hybrid ini dihasilkan benih sebar Ikan patin pasupati yang bertumbuh cepat dan berdaging putih. Bila membudidayakan patin siam, fekunditas cukup tinggi namun dagingnya berwarna kining, sedangkan patin jambal fecunditas rendah dan beraging putih. Dengan persilangan (hybrid) dihasilkan benih sebar berdaging putih dan bertumbuh lebih cepat. Daging putih sangat diminati oleh konsumen dibandingkan daging berwarna kuning atau pink. WAKTU DAN LOKASI PENELITIAN/ DAERAH YANG DIREKOMENDASIKAN Wilayah pengembangan usaha dalam rangka penerapan teknologi produksi larva ikan patin pasupati adalah lokasi yang dekat dengan sentra pengembangan budidaya Patin dan memiliki parameter kualitas air yang optimal untuk pemeliharaan adalah: suhu 28 -30oC, kandungan oksigen terlarut 5 – 7 ppm, pH 6,5 – 8,5, amoniak (NH3) <0,2 mg/l dan nitrit (NO2) <0,01mg/l.
31
Wilayah pengembangan /penerapan teknologi yang diusulkan antara lain : Sumatera Selatan (Palembang, Ogan Ilir, Banyu Asin), Jawa Timur (Tulung Agung), Kalimantan Selatan (Banjar Baru). Sangat diharapkan dalam pengembangan industri ikan patin harus terintegrasi, dan suply chainnya semua tersedia (benih, pakan, obat-obatan, pengolahan) sehingga nir limbah (Zero waste). KEMUNGKINAN DAMPAK NEGATIF Tidak ada dampak negatif dari usaha perbenihan, limbah yang dihasilkan relatif sangat kecil dan dapat diatasi dengan memanfaatkan air limbah sebagai pupuk untuk menyiram tanaman sayuran yang ditanam diatas diatas galengan kolam. KELAYAKAN FINANSIAL Berikut dilampirkan analisa usaha yang terkait kegiatan produksi benih ikan patin pasupati: Target produksi 8.000.000 ekor pertahun A
BIAYA INVESTASI
1
Bangunan berukuran 3 x 5 m
2
Corong penetasan
5 buah
550.000
3
Pompa air 200 watt
1 unit
750.000
750.000
4
Kerangka corong penetasan
1 unit
1.000.000
1.000.000
5
Bak filter air resirkulasi berukuran 1,5 m x 3 m x 0,7 m
1 unit
2.000.000
2.000.000
6
Bak Fiber glass penampung larVa berukuran 1,25 m x 1,25 m x 0,7 m
2 unit
1.750.000
3.500.000
7
Hiblow dan instalasi aerasi
1 unit
1.000.000
1.000.000
8
Genset 3000 watt
1 unit
3.000.000
3.000.000
9
Perlengkapan instalasi air
1 unit
1.250.000
1.250.000
1 unit
1.250.000
1.250.000
450.000
13.500.000
VOLUME 2
HARGA
JUMLAH
1 LS
10 Instalasi listrik 11 Induk Betina siam
30 ekor
12 Induk iantan jambal
2.750.000
10 ekor
200.000
2.000.000
13 Jaring tangkap
1 buah
2.500.000
2.500.000
14 Jarina berok induk
2 unit
750.000
1.500.000
15 Hapa penetasan
2 unit
200.000
400.000
16 Basket 5OOml
5 unit
5.000
25.000
17 Mangkok 2l
5 unit
10.000
50.000
18 Baskom 5l
5 unit
20.000
100.000
19 Handuk
3 unit
50.000
150.000
20 Sarung tangan
5 unit
20.000
100.000
21 Kateter
2 buah
250.000
500.000
22 Unit Pemanas air
1 set
750.000
TOTAL BIAYA INVESTASI
750.000 38.075.000
B
BIAYA OPERASIONAL
1
Pakan induk
12.500
4.050.000
2
Hermon
8 paket
800.000
6.400.000
3
NaCl Fisiologis
5 botol
20.000
100.000
4
Air mneral
2 galon
70.000
140.000
5
Spuit
10 unit
2.000
20.000
6
Tissu gulung
1 pak
25.000
25.000
7
Obat-obatan
1 paket
150.000
150.000
8
Biava pengepakan
1 paket
300.000
300.000
9
Upah Tenaga Kerja (1.000.000,-/ bln)
0 siklus
250.000
8 siklus
200.000
324 kg
10 Bahan bakar/BBM TOTAL BIAYA OPERASIONAL C
TOTAL
D
Biaya penyusutan (5 tahun) (8 siklus produksi per-tahun)
E
Produksi (1.000.000 Iarva x 8 siklus)
F
Keuntungan (prod-(opersnal+penystan)
G
Bunga Bank (1%/bln)
H
Keuntungan bersih
1.600.000 12.785.000 50.860.000
0.2
38.075.000
7.615.000
8000000
5
40.000.000
12
45.690.000
19.600.000 5.482.800 14.117.200
TINGKAT KOMPONEN DALAM NEGERI 60 % (enam puluh persen)
32
BP2BAP Peningkatan Produksi Udang Windu di Tambak Tradisional Plus dengan Aplikasi Probiotik RICA Unit Eselon I Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan Satuan Kerja Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau Alamat Jalan Makmur Daeng Sitakka 129, Maros, Sulsel 90512. Telp. (0411) 371544; Fax (0411) 371545 Kategori Teknologi Perikanan Budidaya Sifat Teknologi Inovasi Baru Masa Pembuatan 2002-2012 Tim Penemu Muharijadi Atmomarsono Muliani Nurbaya Endang Susianingsih Nurhidayah Rachman Syah
Kontak Person Muharijadi Atmomarsono
[email protected]
33
DESKRIPSI TEKNOLOGI Tujuan dan Manfaat Penerapan Teknologi Teknologi aplikasi probiotik RICA ditujukan untuk pencegahan penyakit udang windu melalui perbaikan kualitas air, sehingga diharapkan bermanfaat dalam peningkatan sintasan dan produksi udang windu di tambak. Aplikasi probiotik RICA secara nasional diharapkan dapat mendukung program peningkatan produksi udang windu secara ramah lingkungan sebesar 30% dari kondisi sekarang. Pengertian/definisi Yang dimaksud dengan Probiotik RICA (Gambar 1) adalah bakteri yang memiliki peranan positif (bermanfaat) dalam memperbaiki kualitas air, dihasilkan oleh Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau, Maros (singkatan bahasa Inggrisnya disebut RICA = Research Institute for Coastal Aquaculture), sehingga sintasan dan produksi udang windu di tambak dapat ditingkatkan. Selanjutnya bakteri probiotik RICA tersebut diproduksi massal oleh KPRI (Koperasi Pegawai Republik Indonesia) Mina Lestari di Maros.
Gambar 1. Bakteri probiotik RICA-1, RICA-2, dan RICA-3 produksi BRPBAP
Rincian dan Aplikasi Teknis Persyaratan Teknis Penerapan Teknologi Mengingat bahwa teknologi aplikasi probiotik RICA hanya merupakan salah satu dari serangkaian teknologi budidaya udang windu di tambak, maka keberhasilan penerapan teknologi ini sangat tergantung pada segala aspek budidaya yang lainnya sejak pemilihan lokasi tambak, persiapan tambak, pemberantasan hama, pengapuran (dasar tambak dan kapur susulan), pemupukan (dasar dan susulan), pengisian air tambak, aklimatisasi benur, pemberian pakan (jika ada), pengelolaan kualitas air, dan pemantauan pertumbuhan udang.
34
Uraian lengkap tentang SOP Aplikasi Probiotik RICA a. Rincian Teknologi Hingga kini masih banyak pembudidaya udang tradisional yang melakukan usahanya hanya berdasarkan “feeling” saja. Persiapan tambak dan berbagai cara pengelolaan tambak hanya dilakukan seadanya. Kalaupun mereka melakukan perubahan, maka mereka hanya mengikuti apa yang dilakukan oleh pembudidaya udang di sekitarnya yang kondisi tambaknya belum tentu sama, sehingga seringkali diperoleh hasil berbeda. Oleh karena itu teknologi budidaya udang windu perlu diperbaiki sejak persiapan tambak, pengisian air tambak, penebaran benur, dan cara pengelolaannya. Selain itu, selama ini juga telah banyak produk bakteri probiotik komersial di pasaran, baik produk lokal maupun import. Namun demikian masyarakat pembudidaya udang masih banyak yang kurang memahami tentang cara penggunaannya, baik cara kulturnya, penyimpanannya maupun cara aplikasinya. Bakteri probiotik merupakan organisme hidup yang jumlahnya akan mengalami penurunan dengan semakin lamanya disimpan. Jadi suatu produk probiotik komersial yang cara pemakaiannya tanpa dilakukan kultur terlebih dahulu, cenderung akan tidak efektif untuk pencegahan penyakit udang. Hal ini karena pada awal pembuatan probiotik dalam bentuk cair dapat mencapai kepadatan bakteri hingga 1011 – 1012 CFU/mL, sedangkan dalam bentuk padat (serbuk) biasanya hanya mencapai kepadatan bakteri sekitar 109 CFU/g. Produk probiotik komersial tersebut akan mengalami penurunan kepadatan bakteri hingga tinggal 103 – 106 CFU/mL (CFU/g) setelah disimpan lebih dari tiga bulan. Oleh karena itu penggunaan probiotik RICA harus dikultur/difermentasi 3-4 hari terlebih dahulu agar kepadatannya meningkat hingga 1011 CFU/mL. Dengan demikian bakteri tersebut dapat berfungsi lebih baik dalam memperbaiki kualitas air (menurunkan kandungan bahan-bahan beracun di tambak, seperti bahan organik total, amoniak, nitrit, dan hidrogen sulfida), menekan perkembangbiakan organisme patogen terutama bakteri Vibrio harveyi, sehingga dapat meningkatkan sintasan dan produksi udang windu di tambak. b. Cara Penerapan Teknologi Pemilihan Lokasi Tambak Kematian udang di sekitar caren tambak pada awal musim penghujan diduga disebabkan oleh jenis tanah tambak yang tergolong tanah sulfat masam (TSM). Hal ini banyak terjadi di daerah pertambakan yang dibangun dari bekas lahan mangrove (terutama nipah) seperti di Aceh, Lampung Timur, Sulawesi Selatan bagian Timur, juga di wilayah Kalimantan. Pada pematang tambak TSM biasanya dijumpai adanya bagian tanah yang berwarna kuning (jarosit). Bila tanah ini tersiram air hujan, maka air yang turun ke tambak bersifat sangat masam, karena mengandung H2SO4 (senyawa asam pekat yang digunakan untuk air aki). Senyawa inilah yang menyebabkan sebagian kulit dan daging udang terkelupas dan akhirnya mati. Tambak TSM sebaiknya direklamasi (pengeringan, perendaman, dan pembilasan tanah dasar tambak) terlebih dahulu selama persiapan tambak dan bila memungkinkan pematang tambak
35
ditanami rumput yang bisa menahan peluruhan jarosit ke dalam tambak. Pengapuran dengan dolomit di sekeliling pematang menjelang hujan deras terbukti cukup bermanfaat mengurangi kematian udang di tambak. Oleh karena itu, agar aplikasi probiotik RICA lebih efektif sebaiknya dilakukan di wilayah pertambakan yang tidak tergolong tanah sulfat masam (TSM), yaitu di pertambakan dengan pH tanah dasar tambak normal (6,5-7,0). Persiapan Tambak Udang Windu Persiapan tambak meliputi penambalan bocoran tambak, keduk teplok (pengangkatan lumpur hitam dari dasar tambak ke atas pematang tambak), pemberantasan hama, pengeringan tambak, pengapuran dan pemupukan dasar tambak, serta pengisian air tambak. Penambalan bocoran tambak selain diperlukan untuk mencegah habisnya air dalam tambak, juga mencegah masukya predator (pemangsa udang) dan kontaminan berbagai penyakit (vibriosis oleh bakteri Vibrio harveyi dan bintik putih oleh white spot syndrome virus). Keduk teplok dimaksudkan untuk membuang lumpur hitam yang berbau busuk (mengandung hidrogen sulfida) yang biasanya dilakukan pada saat tambak masih berair sekitar 10 cm (macak-macak) untuk memudahkan pengangkatan lumpur. Pemberantasan hama dilakukan dengan menggunakan saponin 15-30 ppm (15-30 kg saponin per hektar tambak dengan kedalaman air sekitar 10 cm) dan kaporit 2-3 ppm (2-3 kg kaporit per hektar tambak dengan kedalaman air sekitar 10 cm). Pada salinitas tinggi (di atas 25 ppt) penggunaan saponin cukup 15-20 ppm, namun pada salinitas air tambak di bawah 5 ppt diperlukan saponin hingga 30 ppm. Pemberantasan hama dimaksudkan untuk membunuh ikanikan liar (mujahir, gabus, kepala timah, bocci-bocci dan lain-lain) dan krustase liar (udang, kepiting, jembret, dan sejenisnya). Setelah empat hari, air dibuang, kemudian tanah dasar tambak dibajak dan dikeringkan secara sempurna hingga retak-retak agar limbah organik di dasar tambak teroksidasi sempurna. Apabila masih dijumpai adanya ikan-ikan liar di bagian cekungan air, pemberantasan hama diulangi di bagian tersebut. Kemudian pengapuran dilakukan dengan menggunakan kapur bakar (CaO, yaitu kapur yang bila direndam air akan mengeluarkan gelembung panas seperti air mendidih). Jumlah kapur bakar yang digunakan tergantung pada kondisi kemasaman tanah dasar tambak tersebut. Makin masam tanah dasar tambak, maka diperlukan kapur bakar yang lebih banyak. Secara umum diperlukan kapur bakar antara 1-5 ton per hektar tambak untuk mempercepat proses oksidasi bahan organik dan peningkatan pH tanah dasar tambak. Setelah dilakukan pengapuran, sebaiknya dilakukan pengecekan pH dan redoks potensial tanah dasar tersebut. Menurut Poernomo (2004), redoks potensial tanah dasar tambak pada saat kering sebaiknya minimal +50 mv. Namun pada kenyataannya hal ini seringkali sulit diperoleh di lapangan. Apabila pH tanah dan redoks potensialnya masih rendah, maka, pengapuran perlu dilakukan kembali dengan kapur bakar hingga pH tanah meningkat.
36
Setelah 1-2 minggu pengeringan dan tanah terlihat retak-retak, kemudian pemupukan tambak sesuai kebutuhan. Untuk tambak tradisional plus, memerlukan pupuk organik, urea, dan SP-36 (super fosfat) tergantung kondisi tanah dan musim penebaran. Umumnya tambak udang tradisional plus memerlukan pupuk organik 200-400 kg/ha, urea 50-100 kg/ha, dan SP-36 50100 kg/ha sebagai pupuk dasar. Namun pemakaian seminimal mungkin lebih disarankan. Pada musim hujan penggunaan urea dapat dikurangi karena adanya masukan nitrogen dari air hujan. Tambak yang relatif dekat dengan laut biasanya memerlukan urea lebih banyak dan SP-36 lebih sedikit daripada tambak yang jauh dari laut. Pemupukan dasar dengan SP-36 tidak diperlukan di tambak TSM yang merupakan tanah gambut, karena fosfatnya akan terikat oleh asam humus dari tanah, sehingga sulit terlepas ke air. Pada tambak TSM pemupukan susulan yang sedikit demi sedikit dilakukan (2-5 kg/minggu) lebih baik daripada penggunaannya sebagai pupuk dasar. Secara umum, pada kondisi tanah normal (tanah mineral) diperlukan pupuk dasar urea sebanyak 20-50 kg/ha dan SP-36 sebanyak 20-50 kg/ha. Sedangkan pemupukan susulan sebaiknya dilakukan sebulan setelah penebaran benur, yaitu sekitar 10% dari jumlah pupuk dasarnya (masing-masing 2-5 kg/ha/mg), tergantung kondisi dan warna airnya. Tambak kemudian diisi air bersih (air yang telah ditandon terlebih dahulu ataupun air saluran yang relatif baru) langsung penuh (misal satu meter atau hingga ketinggian maksimal yang mampu dicapai). Pada pengisian air tambak udang tidak boleh dilakukan secara bertahap 10 cm setiap hari sebagaimana dilakukan di tambak ikan bandeng, karena bandeng perlu klekap sebagai makanannya. Tumbuhnya klekap di tambak udang, merupakan masalah bagi udang yang dipelihara. Klekap akan terapung dan akhirnya mati, membusuk di dasar tambak, sehingga menjadi salah satu pemicu stres bagi udang windu. Secara umum tambak udang windu memerlukan air yang lebih dalam dibanding tambak bandeng, karena udang lebih menyukai plankton dari pada klekap. Apabila memiliki petak tandon yang d i l e n g k a p i d e n g a n b i o f i l t e r, sebaiknya air baru dari saluran air (12 jam setelah air pasang) disimpan di tandon terlebih dahulu sekitar 3-4 hari sebelum dimasukkan ke dalam petakan tambak. Air yang ditandon 3-4 hari tersebut dapat menurunkan jumlah bakteri patogen yang ada, serta dapat mengurangi peluang virus WSSV mendapatkan inangnya. Dengan demikian air yang telah ditandon ini relatif lebih aman dari pada air langsung (tidak ditandon). Kualitas air yang terbaik (optimum) bagi udang windu di tambak tradisional plus dapat dilihat pada Tabel 1 berikut.
Kisaran Optimum
Keterangan
Suhu air (oC)
26 - 30
Fluktuasi harian < 3
pH
7,5 – 8,5
Fluktuasi harian < 0,5
Salinitas (ppt atau promil)
10 - 25
Fluktuasi harian < 5
Kualitas air tambak
Oksigen terlarut (mg/L) Alkalinitas total (mg CaCO3 equivalent/L) Kedalaman air (cm) Kecerahan air (persen) Rasio C:N:P Warna air
>4,0
Kondisi normal
>100
Penstabil pH dan pertumbuh an normal fitoplankton
>80
Lebih dalam lebih baik
30 - 40
Jika lebih, berarti fitoplankton kurang tumbuh (jernih)
106:16:1
Fitoplankton tumbuh normal
Hijau coklat
Fitoplankton baik, normal
Tabel 1. Kualitas air optimum bagi pertumbuhan udang windu (Atmomarsono, 2004)
37
Aklimatisasi dan penebaran benur / tokolan Tiga hingga empat hari sebelum benur windu diambil dari hatchery, pengambilan contoh benur dilakukan dengan cara diawetkan dalam larutan alkohol 70% sebelum dicek dengan “Polymerase Chain Reaction” (PCR) untuk pengujian WSSV di laboratorium. Sebelum benur windu ditebar di tambak, terlebih dahulu ditokolkan atau dibantut (ditokolkan) selama 2-6 minggu di tempat yang relatif bersih (tidak terkontaminasi oleh organisme patogen). Benur yang telah dibantut akan memiliki vitalitas lebih tinggi, dan masa pemeliharaannya di tambak lebih singkat (2-3 bulan). Tokolan udang windu sangat diperlukan khususnya di tambak TSM, karena tingginya kandungan besi dan aluminium yang memungkinkan sebagai pemicu stres pada udang. Waktu pemeliharaan udang di tambak TSM harus diusahakan lebih singkat agar terhindar dari serangan penyakit yang biasanya terjadi pada umur antara 40-70 hari. Agar udang cepat mencapai ukuran konsumsi, maka padat penebaran di tambak TSM juga harus disesuaikan dengan kondisi tanahnya, misalnya hanya 0,5-1 ekor/m2. Sedangkan pada tambak tanah mineral (tidak masam) dapat ditebari hingga 4 ekor/m2. Secara umum padat penebaran benur/tokolan udang windu di pertambakan Sulsel hanya 1-2 ekor/m2, sedangkan di pantura Jawa bisa mencapai 2-4 ekor/m2 . Benur ataupun tokolan udang windu sebelum ditebar harus diaklimatisasi terhadap suhu dan salinitas air. Penebaran benur atau tokolan dapat dilakukan apabila air dalam petakan tambak telah dipersiapkan minimal dua minggu sebelumnya. Hal ini diperlukan agar fitoplankton telah tumbuh dengan stabil yang ditandai dengan warna air hijau kecoklatan dan kecerahan air sekitar 30-40 %. Apabila kedalaman air tambak adalah satu meter, maka sebaiknya kecerahan air 30-40 cm, jika kedalaman air sekitar 60 cm, maka kecerahan air 18-24 cm. Secara umum untuk pemeliharaan udang, makin dalam airnya makin bagus, karena udang lebih menyukai plankton yang banyak terdapat di kolom air dari pada klekap di dasar tambak. Berbagai jenis pestisida (Thiodan, Trithion, Aquadyne, Brestan dan sebagainya) tidak boleh (DILARANG) digunakan lagi untuk pemberantasan hama di tambak, karena menyebabkan air terlalu jernih (nilai kecerahan hampir sama dengan kedalaman). Hal ini dimungkinkan karena fitoplankton kurang mampu tumbuh sebagai akibat kurangnya unsur hara nitrogen (N) dan fosfor (P) dalam kolom air yang sebagian besar terikat di tanah oleh pengaruh pestisida yang digunakan. Pada kondisi demikian udang akan mudah mengalami stress, sehingga mudah terserang penyakit. Pengelolaan Pakan Pada dasarnya pakan buatan yang diberikan ke udang windu yang dipelihara pada sistem budidaya udang tradisional plus (ekstensif plus) hanya bersifat tambahan saja, karena udang diharapkan makan plankton yang ada di tambak (fitoplankton dan zooplankton). Di tambak tersebut, pakan berupa pellet biasanya diberikan satu bulan menjelang udang dipanen. Namun di tambak dengan sistem semi-intensif dan intensif, pakan buatan berupa pelet yang bermutu mutlak diperlukan. Mutu, ukuran, dan jumlah pakan harus disesuaikan dengan umur udang. Pada umur muda, udang memerlukan pakan dengan kandungan protein yang tinggi. Jumlah pakan yang diberikan setiap
38
harinya harus disesuaikan dengan pertumbuhan dan kondisi udang pada saat sampling. Apabila pada saat sampling banyak didapat udang yang “molting” (ganti kulit), maka sebaiknya jumlah pakannya dikurangi. Hal ini mengingat, bahwa udang yang molting akan istirahat makan sekitar 24-48 jam. Jadi kalau pakannya justru ditambah, maka kelebihannya menjadi limbah organik yang dapat memicu perkembangbiakan bakteri V. harveyi dan WSSV yang dapat membahayakan udang windu di tambak. Sebaiknya jangan menggunakan pakan segar dari kelompok krustase seperti kepiting, kepala udang dan sebagainya, karena ini dapat menjadi “carrier” (pembawa) penyakit WSSV. Pakan yang berupa pellet harus disimpan di tempat yang kering dan sejuk, serta dialas papan agar tidak mudah berjamur. Pemberian pakan (pellet) di tambak tradisional plus bisa dimulai pada minggu ke enam setelah penebaran tokolan udang windu, yaitu sekitar 1 kg/hr yang ditebar merata ke sekeliling tambak. Setelah 7 hari, jumlah pakan dinaikkan menjadi 1,2 kg/hr selama 7 hari, kemudian 1,5 kg/hr selama 7 hari. Demikian seterusnya dilakukan sedikit penambahan pakan setiap minggunya. Jumlah pemberian pakan sekitar 1-3% bobot biomass/hari. Diharapkan FCR (feed convertion ratio = rasio konversi pakan) di tambak udang windu tradisional plus adalah kurang dari satu. Pengelolaan Air Satu hal perlu dicatat, bahwa sebaiknya hanya mengganti air tambak bila diperlukan saja, artinya lakukan sesedikit mungkin, karena makin banyak dilakukan penggantian air memungkinkan terjadinya udang stress. Perubahan warna air tambak sebaiknya diamati setiap saat. Warna air yang berubah-ubah setiap saat, misal pagi kuning, siang hijau, dan sore menjadi biru, merupakan indikator bahwa air tambak tersebut memiliki alkalinitas total yang rendah (di bawah 80 mg CaCO3 equivalen/L) (Atmomarsono, 2004). Akibatnya dapat terjadi goncangan pH air harian yang melebihi 0,5 (misal 7,5 hingga 9,5). Apabila hal ini terjadi, maka udang akan mudah mengalami stress. Oleh karena itu harus dilakukan aplikasi kapur dolomit di tambak tersebut. Warna air yang dianggap bagus untuk budidaya udang windu adalah hijau kecoklatan. Secara umum kapur dolomit dapat diaplikasikan secara rutin 3-5 ppm per minggu (sekitar 30-50 kg/ha tambak dengan kedalaman air satu meter) untuk mencegah terjadinya goncangan pH pada musim penghujan. Hal ini sangat diperlukan terutama di areal pertambakan yang masih masam (tanah TSM). Untuk mempertahankan warna air tersebut dapat dilakukan dengan cara pemupukan susulan urea dan SP-36 sekitar 0,1 – 1 ppm (tergantung warna airnya) serta aplikasi bakteri probiotik tertentu. Untuk warna air tambak yang cenderung hijau muda kekuningan, diperlukan pupuk susulan SP-36 lebih banyak dari pada ureanya. Sebaliknya apabila warna air cenderung coklat kemerahan, maka diperlukan pupuk susulan urea lebih banyak dari pada SP-36. Aplikasi Bakteri Probiotik RICA Peralatan Aerator “double power” (AC/DC, tetap hidup walaupun mati listrik) satu unit yang dilengkapi dengan slang aerasi, pengatur gas, dan batu aerasi.
39
Ember besar bertutup untuk wadah kultur bakteri probiotik, volume ember tergantung jumlah bakteri yang diperlukan, misal 20, 40, atau 50 L. Ember dengan volume 10-15 L untuk menebar bakteri probiotik ke tambak. Jerigen steril untuk membawa bakteri probiotik hasil kultur. Corong plastik untuk memasukkan bakteri probiotik ke dalam jerigen. Gayung air untuk memasukkan bakteri ke dalam jerigen plastik dan untuk menebar bakteri ke tambak. Timbangan 1-5 kg, untuk menimbang dedak, tepung ikan, yeast (ragi roti), dan molase. Takaran atau literan, untuk menakar volume air tambak dan volume molase yang diperlukan (molase ditimbang dan diukur volumenya pada awal pengukuran saja, selanjutnya ditandai dengan supidol agar lain kali tidak perlu ditimbang lagi). Spidol permanen untuk penanda pada takaran yang digunakan. Kompor gas lengkap dengan tabung gas, slang, dan regulatornya. Panci stainless volume 50 L untuk memasak campuran bahan. Pengaduk dari kayu untuk mengaduk bahan-bahan yang dimasak. Beberapa ember dengan tutup dan stoples plastik untuk menyimpan tepung dan bahanbahan lainnya. Bahan-bahan Bakteri probiotik RICA, yaitu isolat BT951, MY1112, dan BL542 dalam media Nutrient Broth (200 mL per 20 L air tambak). Tepung ikan (400 g per 20 L air tambak) Dedak halus (1.000 g per 20 L air tambak) Ragi roti (yeast) (100 g per 20 L air tambak) Molase (tetes tebu) atau gula 500 g (sekitar 375 mL) per 20 L air tambak Air tambak sebanyak 20 L. Cara kultur Masak 1.000 g dedak halus dan 400 g tepung ikan dengan menggunakan 20 L air tambak dalam panci stainless sambil terus diaduk hingga mendidih selama 5-10 menit (agar bakteri kontaminan dari tambak mati). Matikan api, kemudian masukkan ragi roti sebanyak 100 g, sambil terus diaduk merata. Kemudian masukkan molase 500 g, sambil terus diaduk merata. Dinginkan campuran tersebut dengan cara merendam panci ke air tambak atau membaginya ke beberapa tempat agar lebih cepat dingin. Setelah dingin, dibagi ke dalam dua ember. Masukkan bakteri probiotik sebanyak 100-200 mL per ember. Diaerasi secara terus menerus dengan aerator AC/DC. Setelah dikultur 3-4 hari, aerasi dimatikan dan bakteri probiotik siap digunakan di tambak, yaitu 0,2-1 ppm (2-10 L per hektar tambak tradisional plus dengan kedalaman air satu meter); 1-5 ppm di tambak semi-intensif udang windu dengan padat penebaran hingga
40
10 ekor/m2; atau 5-10 ppm di tambak udang intensif dengan padat penebaran hingga 20 ekor/m2. Cara aplikasi Bakteri probiotik RICA yang telah dikultur 3-4 hari memiliki kepadatan sekitar 1010 – 1012 CFU/mL, biasanya berbau tape dan siap ditebar ke tambak dengan dosis seperti tersebut di atas. Bakteri probiotik tersebut dicampur/diencerkan dengan air tambak secukupnya, kemudian ditebar merata ke permukaan air tambak. Pemberian bakteri probiotik dilakukan seminggu sekali untuk budidaya udang windu tradisional plus dan semi-intensif. Sedangkan untuk teknologi sistem intensif diperlukan penebaran 1-2 kali/minggu tergantung kondisi airnya. Aplikasi bakteri probiotik RICA yang terbaik dilakukan secara bergiliran, yaitu BT951 diberikan 3-4 kali sejak minggu 2-3 pemeliharaan, kemudian diganti dengan MY1112 diberikan 3-4 kali berturut-turut, kemudian diganti BL542 diberikan 3-4 kali berturutturut, dan diulang lagi dengan BT951 hingga panen. Bakteri probiotik RICA perlu dikultur selama 3-4 hari agar diperoleh konsentrasi hingga 1010-1012 CFU/mL, sehingga pada saat dipakai di tambak hanya memerlukan jumlah sedikit (kurang dari 10 L/ha). Jumlah Kaji Terap di Beberapa Daerah Kabupaten Barru (2 orang, tahun 2009), sistem ekstensif plus dengan padat penebaran 2 ekor/m2, sintasan 30,9 % (261 % dari pada kontrol = petak tambak yang tidak menggunakan probiotik), produksi 81,4 kg/ha (428 % dari pada kontrol) dengan masa pemeliharaan 70 hari. Kabupaten Pinrang (6 orang tahun 2010, 36 orang tahun 2012), sistem ekstensif plus dengan padat penebaran 2 ekor/m2, sintasan 61,9 % (206 % dari pada sintasan udang di petak tambak tanpa probiotik pada tahun 2011 yang sekitar 30%), produksi 240 kg/ha (205% dari pada produksi rata-rata pada tahun 2011) dengan masa pemeliharaan 70-90 hari. Kabupaten Pangkep (71 orang tahun 2011, 18 orang tahun 2012), sistem ekstensif plus dengan padat penebaran 2 ekor/m2, sintasan 49,24 % (246 % dari pada sintasan di tambak masyarakat tanpa probiotik yang hanya sekitar 20%), produksi 267 kg/ha (178 % dari pada produksi udang di tambak masyarakat tanpa probiotik yang hanya sekitar 150 kg/ha) dengan masa pemeliharaan 70-100 hari. Pada tahun 2013 sedang berlangsung kaji terap di Kabupaten Indramayu (12 pembudidaya), di Kabupaten Brebes (16 orang), di Kabupaten Pangkep (20 orang). KEUNGGULAN TEKNOLOGI Teknologi Aplikasi Probiotik RICA ini lebih unggul karena dalam pemakaiannya bakteri dibutuhkan jumlah relatif lebih sedikit dibandingkan dengan pemakaian probiotik lainnya yang memerlukan volume besar. Sebagai akibatnya, biaya aplikasinya jauh lebih murah, kurang dari Rp 200.000,per musim tanam.
41
Berdasarkan hasil kaji terap di beberapa Kabupaten di Sulawesi Selatan, menunjukkan, bahwa aplikasi probiotik RICA mampu meningkatkan sintasan lebih dua kali lipatnya (30-61%) dibandingkan kondisi awalnya (11-20 %), juga meningkatkan produksi udang windu hampir dua kali lipatnya (81-267 kg/ha/MT) dibandingkan kondisi awalnya (11-150 kg/ha/MT). Secara umum teknologi budidaya udang windu tradisional plus dengan aplikasi bakteri probiotik RICA dapat meningkatkan sintasan dan produksi udang windu di atas 30 % daripada tanpa probiotik. Teknologi Aplikasi Probiotik RICA mudah diterapkan di masyarakat dalam suatu kelompok pembudidaya udang (dalam hamparan), agar lebih efisien dalam penggunaan peralatan kultur bakteri probiotik. Secara praktis di masyarakat bisa menciptakan kelompok kerjasama sosial dalam bentuk koperasi yang saling menguntungkan baik dalam hal teknis maupun ekologis. Probiotik RICA merupakan tiga jenis bakteri yang diisolasi dari tambak (RICA-1 = isolat BT951, Brevibacillus sp), dari mangrove (RICA-2 = MY1112, Serratia sp), dan dari laut (RICA-3 = BL542, Pseudoalteromonas sp), yang merupakan hasil seleksi dari 3.976 isolat asli perairan Sulawesi Selatan, yang telah diuji secara “in vitro” dan “in vivo” kemampuannya dalam memperbaiki kualitas air (menurunkan kandungan bahan organik total, amoniak, nitrit, dan H2S) dan tidak patogen terhadap udang, serta mampu menekan perkembangbiakan bakteri patogen V. harveyi. Oleh karena itu ketiga isolat probiotik RICA tersebut tergolong bakteri yang ramah lingkungan. WAKTU - LOKASI PENELITIAN DAN DAERAH YANG DIREKOMENDASIKAN Penelitian dasar yang meliputi skrining isolat dari alam, uji antagonis terhadap bakteri patogen Vibrio harveyi, kemampuan terhadap masing-masing parameter kualitas air, uji patogenesitasnya terhadap udang windu telah dilakukan antara 2002 – 2005 di Laboratorium Kesehatan Ikan dan Lingkungan Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau, Maros, dan Laboratorium PAU Institut Pertanian Bogor, dan Universitas Atmajaya (sequensing dengan 16S-rRNA). Pengujian daya simpan isolat bakteri (suhu kamar dan suhu kulkas) juga telah dilakukan hingga 2008 di BPPBAP Maros. Selanjutnya pengkajian di Instalasi Tambak Percobaan Marana, Maros telah dilakukan sejak tahun 2006 hingga sekarang, juga Pengembangan di Instalasi Tambak Percobaan Punaga, Takalar pada tahun 2009. Mulai tahun 2009 dirintis aplikasinya di tambak rakyat di Kabupaten Barru, kemudian tahun 2010 di tambak rakyat Kabupaten Pinrang (hingga 2012), dan di tambak rakyat Kabupaten Pangkep pada tahun 2011-2013. Pada tahun 2011 seorang pembudidaya dari Samarinda Kaltim juga telah menguji coba di tambaknya. Pada tahun 2012 seorang pembudidaya dari Gresik, Jatim juga telah menguji coba di tambaknya. Pada tahun 2013 juga diaplikasi di 12 petak tambak udang windu di Kabupaten Indramayu, 16 petak tambak di Kabupaten Brebes, dan 20 petak tambak di Kabupaten Pangkep. Lokasi wilayah yang direkomendasikan untuk penerapan teknologi probiotik RICA sebaiknya di wilayah dengan kondisi tanah mineral seperti di Jawa pada umumnya, pantai Barat Lampung, dan sebagian pantai Barat Sulawesi Selatan. Di lokasi lain yang masih relatif masam tanahnya (TSM) seperti di Aceh umumnya, Kalimantan umumnya, dan pantai Timur Sulawesi Selatan masih perlu dilakukan tambahan aplikasi berupa penambahan kapur dolomit agar probiotik tersebut bisa lebih efektif.
42
KEMUNGKINAN DAMPAK NEGATIF Sangat kecil kemungkinan dampak negatif dari aplikasi probiotik RICA, karena ketiga isolat berasal dari tambak, mangrove, dan laut di sekitar tambak. Bahkan dengan aplikasi ketiga jenis probiotik tersebut dapat memperbaiki kualitas perairan di sekitarnya. Namun demikian cara penyimpanan bakteri probiotik RICA secara “sembrono” (sembarangan) dapat memungkinkan terjadinya kontaminasi dengan bakteri lain di sekitar tambak. Oleh karena itu probiotik RICA sebaiknya dikultur di suatu tempat yang bersih dalam kelompok pembudidaya untuk sekitar 10 ha tambak. KELAYAKAN FINANSIAL DAN ANALISIS USAHA Kebutuhan per ha
Uraian
Volume
Biaya Investasi (Untuk Dua kali MT/tahun) (A1)
Biaya produksi per MT (A) (B)
Laba operasional (B -A)
Jumlah (Rp)
MT
17.000.000
34.000.000
1
10
Unit
200.000
2.000.000
0,1
1
paket
2.000.000
2.000.000
1
10
ha
3.000.000
30.000.000
1
10
ha
1.000.000
10.000.000
20.000 1.000 6 50 500
200.000 10.000 60 500 5.000
ekor kg kg kg kg
40 1.000 30.000 8.000 1.600
8.000.000 10.000.000 1.800.000 4.000.000 8.000.000
200 100 100 200 1,2 5 2 2 0,4
2.000 1.000 1.000 2.000 12 50 20 20 4
kg kg kg kg L kg kg kg kg
1.000 2.000 2.500 15.000 75.000 2.000 20.000 10.000 50.000
2.000.000 2.000.000 2.500.000 30.000.000 900.000 100.000 400.000 200.000 200.000
(A2)
- Biaya pemeliharaan tambak - Tokolan udang windu - Kapur bakar - Kaporit - Saponin - Kapur dolomit super polowijo - Pupuk organik - Pupuk urea - Pupuk SP-36 - Pakan pellet - Probiotik (12-16 kali/MT) - Tepung dedak - Tepung ikan - Molase - Ragi roti
Penerimaan
Harga satuan (Rp)
2
- Saringan air (bilah bambu dan waring hijau/hitam) - Peralatan probiotik (aerator AC/DC, kompor gas, tabung, ember dll) per kelompok (10 ha) - Sewa tambak per tahun Biaya Operasional
Satuan
80.100.000
A1 + A2 240
17.000.000 + 80.100.000 2.400
kg
97.100.000 80.000
192.000.000 – 97.100.000
Laba Operasional dalam satu tahun (2 kali MT/tahun) Rasio antara Penerimaan dan Biaya = R/C = 192.000.000/97.100.000
192.000.000 94.900.000 189.800.000 1,98
Tabel 2. Analisis usaha budidaya udang windu dengan Aplikasi probiotik RICA di lahan tambak tradisional plus seluas 10 ha (contoh kasus di Kabupaten Pinrang, Sulsel 2012). ·R/C 1,98 > 1 Layak Usaha (Bisa dikembangkan di masyarakat)
TINGKAT KOMPONEN DALAM NEGERI Semua (100 %) bahan dalam penerapan probiotik RICA merupakan produk dalam negeri, kecuali untuk biakan isolat murni bakteri probiotik (TSA dan Nutrient Broth) yang masih diimpor. Di masa yang akan datang, masih akan dicoba mengganti kedua jenis media tersebut dengan media lokal (bila memungkinkan tentunya).
43
BBAP Teknologi Sistem Resirkulasi Untuk Pemeliharaan Induk Udang Vannamei (litopenaeus Vannamei) Unit Eselon I Direktorat Jendral Perikanan Budidaya Satuan Kerja Balai Budidaya Air Payau Takalar Alamat Dusun Kawari, Desa Mappakalompo, Kecamatan Galesong, Kabuapten Takalar 92254, Telp: (0418) 232 6577, Fax: (0418) 232 6777 Kategori Teknologi Perikanan Budidaya Sifat Teknologi Inovasi Baru Masa Pembuatan 2006 Tim Penemu Sitti Faridah Syamsir Syam Haruna
Kontak Person Sitti Faridah
[email protected]
44
DESKRIPSI TEKNOLOGI Tujuan dan Manfaat Penerapan Teknologi Tujuan untuk mengembangkan usaha pemeliharaan induk vannamei dan memperoleh sistem pemeliharan yang sesuai untuk induk udang vannamei sehingga dapat meningkatkan produktivitas induk. Manfaat kegiatan untuk memperoleh nauplius yang bermutu dari induk vannamei . PENGERTIAN/DEFINISI Resirkulasi : Proses pergantian air yang dilakukan secara tertutup. Sistem perputaran air tertutup, tidak ada penambahan air dari luas sistem, kalaupun ada hanya sedikit sebagai pengganti air yang menguap RINCIAN DAN APLIKASI TEKNIS Persyaratan Teknis Penerapan Teknologi Sistem resirkulasi pada pemeliharaan induk vannamei dilakukan sebagai upaya untuk memperoleh air media pemeliharaan pada suhu 26-27oC karena udang ini berasal dari hal ini disebabkan induk vannamei membutuhkan suhu 26-27oC untuk dapat melakukan pemijahan karena suhu perairan di tempat asal induk vannamei yang beriklim Amerika yang bersuhu lebih rendsh. Sistem resirkulasi dilakukan sebagai upaya untuk memperoleh suhu air media pemeliharan yang stabil (26-27oC). Untuk memperoleh kisaran suhu tersebut suhu 26-27oC dilakukan modifikasi ruang pemeliharaan induk dengan memasangkan AC 1 PK sebanyak 2 buah dan agar suhu lebih stabil maka dibuatkan plafon pada ruang pemeliharaan induk. Detail SOP mencakup a. Gambaran/uraian/rincian teknologi Sistem resirkulasi yang digunakan pada pemeliharaan induk vannamei asal Amerika dilakukan secara tiga tahap yaitu: I. Air disaring pada saringa fisik dengan susunan arang dan pasir kuarsa, II. Air disaing dengan filter fisik dengan system gravitasi dengan menggunakan zeolit, pasir kuarsa, karbon aktif/arang, ijuk dan batu kali, III. Air disaring menggunakan ultra violet. Setelah itu air dimasukkan ke dalam bak pemeliharan induk. b. Cara penerapan teknologi yang diurut mulai dari persiapan sampai aplikasi Dalam perekayasaan ini air laut yang digunakan dialirkan melalui sistem filtrasi BBAP Takalar yaitu air yang dipompa dari laut dialirkan dalan filter dengan material terdiri dari batu kali, pasir kwarsa dan arang tempurung. Kemudian air dialirkan ke dalam bak tandon untuk diendapkan. Dari bak tandon air dialirkan ke bak-bak pemeliharaan melalui presure filter dan ultraviolet. Untuk mempertahankan kualitas`air di bak pemeliharaan maka dilakukan penyiponan dan proses sirkulasi. Pengukuran kualitas air seperti suhu, salinitas, DO dan PH dilakukan pada setiap hari, sedangkan alkalinitas dan TOM dilakukan setiap 3 hari.
45
KEUNGGULAN TEKNOLOGI Uraian tentang teknologi yang baru dan modifikasi Pada pemeligharaan induk udang vanamei supaya peroduktif dan sehat diperlukan suhu air yang lebih rendah (26-27oC) dibandingkan dengan suhu air rata-rata di Indonesia berkisar antara 27.829.7 oC. Untuk menurunkan suhu digunakan alat yang disebut Chiller, harganya cukup mahal sekali, sekitar Rp 50.000.000 hingga Rp 70.000.000. Untuk mengatasi hal tersebut maka diciptakan tempat dengan memodifikasi ruangan pemeliharaan induk induk dengan cara membuat plafon dan memasang AC 1 PK sebanyak 2 buah dan membuat sistem resirkulasi. Uraian tentang keberhasilan teknologi Lebih ekonomis karena tidak menggunakan pompa terus menerus dan chiller pendingin sehingga hemat biaya listrik dan hemat air karena tidak perlu memompa air dari luar/laut setiap hari, cukup mengganti sedikit saja. Teknologi ini sangat layak diterapkan untuk pemeliharaan induk vanamei, karena tidak ada pergantian air dari luar sehingga kecil kemungkinan terkontaminasi dengan penyakit dari alam. Kandungan bakteri pada air media setelah penyaringan fisik dan ultraviolet lebih rendah dari pada air awal (inlet) dan outlet media pemeliharaan dimana kandungan Vibrio sp pada outlet adalah 6,3.103 setalah tahap III adalah 5,0. 101, Aeromonas sp adalah 9,7.102 setelah tahap III adalah 8,6 . 101 dan total bakteri adalah 1,6. 105 setelah tahap III adalah 9,7 . 102. Jumlah telur pada pemeliharaan induk dengan sistem resirkulasi yaitu 69. 320 butir telur dan hatching rate 49,88 % sedangkan tanpa resirkulasi adalah 47.591 butir telur dan daya tetas telur 31,55 %. Persentase tingkat kelangsungan hidup dengan sistem resirkulasi pada induk jantan adalah 52,09 % dan betina 48,64 % sedangkan untuk pemeliharaan tanpa resirkulasi pada induk jantan adalah 33,23% dan betina 27,56 %. Mudah diterapkan dalam sistem usaha kelautam dan perikanan Sistem resirkulasi ini mudah diterapkan dalam usaha perikanan budidaya Sisitem ini dapat diterima oleh pelaku usaha perbenihan udang vanamei. Dari segi ekonomi, sistem resirkalasi ini lebih menguntungkan baik untuk penggunaannya/pengaplikasiannya maupun untuk pembuatannya. Dari segi teknis, sistem resirkulasi dapat berfungsi dengan baik dan dapat mereduksi kandungan bakteri pada media air pemeliharaan. Selama pemeliharaan induk, dilakukan pengukuran kandungan bakteri Vibrio sp, Aeromonas sp dan Total Bakteri, dan diperoleh hasil sebagai berikut: Perlakuan Inlet Outlet Tahap I Tahap II Tahap III
Bakteri cfu/ml Vibrio sp
Aeromonas sp
Total Bakteri
2,6 . 102
1,3 . 102
5,2 . 103
6,3 .
103
9,7 .
102
1,6 . 105
3,9.
103
7,5 .
102
5,8 . 104
2,8 .
102
4,1 .
102
2,3 . 104
5,0 .
101
8,6 .
101
2,7 . 103
Tabel 1. Hasil Pengukuran Vibrio sp, Aeromonas sp, dan Total Bakteri pada Air Pemeliharaan Induk Selama Proses Resirkulasi
46
Total bakteri dalam sumber air yang akan dugunakan untuk bak induk (inlet) 5,2. 103 cfu/ml akan meningkat menjadi 1,6. 105 cfu/mlsetelah digunakan dalam bak induk., demikian juga pada bakteri Vibrio sp dan Aeromonas sp. Kandungan bakteri pada air di outlet meningkat tetapi perlahan menurun setelah melewati 3 tahapan penyaringan yang dilakukan dalam proses resirkulasi. Kandungan bakteri pada air media setelah penyaringan fisik dan ultraviolet lebih rendah dari pada air awal (inlet) dan outlet media pemeliharaan dimana kandungan Vibrio sp pada outlet adalah 6,3.103 setalah tahap III adalah 5,0. 101, Aeromonas sp adalah 9,7.102 setelah tahap III adalah 8,6 . 101 dan total bakteri adalah 1,6. 105 setelah tahap III adalah 9,7 . 102. Dari hasil pengukuran bakteri pada air media pemelihaan induk dengan sistem resirkulasi dengan menggunakan penyaringan fisik ganda dan ultraviolet, mampu mengurangi bakteri alam air media. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 1. 100% 90% 80% 70%
Inlet
60%
Outlet Tahap I
50%
Tahap II
40%
Tahap III
30% 20% 10% 0% Vbr sp
Armns sp
Ttl Bktr
Gambar 1. Grafik Kandungan Bakteri pada Air Media Pemeliharaan Induk
Jumlah dan daya tetas telur pada pemeliharaan induk dengan menggunakan sistem resirkulasi lebih besar dari pada pemeliharaan induk tanpa resirkulasi. Pada sistem resirkulasi jumlah telur 69. 320 butir dan menetas (hatching rate) 49,88 % sedangkan yang tanpa resirkulasi jumlah telur 47.591 menetas 31,55 %. Rendahnya jumlah telur yang dihasilkan dan juga daya tetasnya utamanya disebabkan kualitas air tidak stabil terutama sering terjadi fluktuasi perubahan suhu akibat dari pemasukan air dari luar sistem Perlakuan
Tanpa Resirkulasi Resirkulasi
Jumlah Telur (btr) 47.591 69.320
Daya Tetas Telur (%) 31,56 49,88
Tabel 2. Hasil Pengukuran Jumlah dan Daya Tetas Telur 60 50 40 30 20 10 0 Tnp Resk.
Resk. Jantan
Betina
Gambar 2. Grafik Tingkat Kelangsungan Hidup Induk Vannamei selama Pemeliharaan
47
Pada sistem resirkulasi sintasan induk jantan adalah 52,09 % dan betina 48,64 % sedangkan untuk pemeliharaan tanpa resirkulasi sintasan pada induk jantan adalah 33,23% dan betina 27,56% . Tingkat kelangsungan hidup pada pemeliharaan induk dengan sistem resirkulasi lebih tinggi dibandingkan tanpa resirkulasi baik pada induk jantan maupun betina. Sintasan induk betina lebih rendah dari pada induk jantan baik pada sistem resirkulasi maupun sistem mengalir. Hal ini akibat dari adanya perlakuan ablasi yang kurang sempurna pada induk betina sehingga berakibat kematian. Parameter kualitas air masih sangat layak untuk kehidupan induk udang vaname dan untuk bereproduksi. Perlakuan
Suhu
Sal.
pH
DO
Alk.
Amoniak
Nitrit
Nitrat
Inlet Outlet Tahap I Tahap II Tahap III
29-30 27-28 28-29 28-29 27-28
30-32 30-32 30-32 30-32 30-32
7-8,5 7-8,5 7-8,5 7-8,5 7-8,5
5,87 5,72 5,92 5,85 5,64
121 137,5 126,5 122,9 110,3
Ttd 0,0001 Ttd Ttd Ttd
Ttd Ttd Ttd Ttd Ttd
Ttd Ttd Ttd Ttd Ttd
Tabel 3. Parameter Kualitas Air Selama Pemeliharaan Induk (Litopenaeus vannamei) pada Sistem Resirkulasi.
Dari segi infrastruktur, sistem rsirkulasi ini memiliki bentuk dan desain yang lebih baik dan layak dari sistem lainnya yang penggunaannya dapat disesuaikan dengan kebutuhan. Ramah lingkungan Dengan adanya sistem resirkulasi dalam pemeliharaan induk vannamei, lebih ramah lingkungan karena : 1. Tidak perlu melakukan pergantian air setiap harinya sehingga buangan limbah sebagai pencemar lingkungan dapat di kontrol 2. Dengan penggunaan penyaring dengan ultravioletpada sistem resirkulasi ini, penggunaan bahan kimia dan obat-obatan dalam mereduksi bakteri dan mikroorganisme yang mempengaruhi air media pemeliharaan ikan, dapat dikurangi. LOKASI PENELITIAN/DAERAH REKOMENDASI Unit rancang bangun dan unit pembenihan udang windu dan vannamei di Balai Budidaya Air Payau Takalar, Desa Bontoloe Kecamatan Galesong Selatan Kabupaten Takalar. Kegiatan pembuatan dilakukan pada bulan Agustus hingga Desember tahun 2006, namun pengkajian, pengembangan dan penerapan dilakukan sampai saat ini/sekarang dengan menggunakan biota perikanan lainnya. Lokasi wilayah yang direkomendasikan untuk penerapan teknologi sistem resirkulasi dalam pemeliharaan induk vannamei, pada dasarnya dapat digunakan pada semua kegiatan yang menginginkan penghematan air dan memperoleh air yang bebas mikroorganisme dan bakteri yang merugikan baik untuk kegiatan pemeliharaan ikan baik air laut maupun tawar.
48
KEMUNGKINAN DAMPAK NEGATIF Kandungan bakteri akan tinggi tetapi telah dipasangkan sistem penyaringan air menggunakan ultraviolet. KELAYAKAN FINANSIAL No.
Nama Alat/Bahan
satuan
Jmlh
Harga Satuan
Jumlah Biaya
Pembuatan Plafon 1
Balok kayu
kubik
2
3.000.000
6.000.000
2
Internit
lembar
100
15.000
1.500.000
3
Paku
kg
5
20.000
100.000
4
Cat tembok
pail
1
320.000
320.000
5
Kuas Roll
buah
2
30.000
60.000
6
Ongkos tukang
paket
1
2.400.000
2.400.000
Total
10.380.000
Pemasangan AC 1
AC 1 PK
buah
2
3.800.000
7.600.000
Perakitan sistem resirkulasi 1
Balok kayu ulin
batang
7
130.000
910.000
2
Penyaring UV
paket
1
5.000.000
5.000.000
3
Pipa 2’
batang
10
100.000
1.000.000
4
Knee 2’
buah
12
10.000
120.000
5
Tee 2’
buah
10
10.000
100.000
6
Stopkran 2’
buah
6
50.000
300.000
7
Pipa 3’
batang
2
165.000
330.000
8
Knee 3’
buah
4
15.000
60.000
9
Waring hitam
m
10
35.000
350.000
10
Waring hujau
m
10
17.000
170.000
11
Arang
Karung
5
150.000
750.000
12
Zeolit
karung
5
230.000
1.150.000
13
Ongkos Kerja
paket
1
950.000
950.000
14
Lem pipa
kaleng
2
150.000
300.000
15
Gergaji
buah
1
50.000
50.000
Total
11.210.000
TOTAL KESELURUHAN
29.190.000
Tabel 3. Rincian Biaya yang dibutuhkan dalam pembuatan sistem resirkulasi.
49
Untuk pembuatan plafon membutuhkan dana Rp 10.380.000,00. Pembelian AC 1 PK sebanyak 2 buah @ Rp 3.800.000,00 sebesar Rp 7.600.000,00 Pembuatan sistem resirkulasi (pembuatan tower, pemasangan filter fisik, pembuatan outlet, pembuatan instalasi pipa, pembuatan UV) membutuhkan dana Rp 11.210.000,00. Total dana yang dibutuhkan adalah Rp 29.190.000,00 Pembelian Chiller buatan impor dipasaran 1 paket (harga minimal) adalah Rp 50.000.000,00 Keuntungan yang diperoleh dengan penerapan sistem resirkulasi adalah: = Rp 50.000.000,00 - 29.190.000,00 = Rp 20.810.000,00 Jadi total keuntungan yang diperoleh dengan perapan sistem resisrkulasi adalah: Rp 20.810.000,00 Dari hasil yang diperloleh dalam Aplikasi Sistem Resirkulasi dalam Pemeliharaan Induk Vannamei dari segi kelayakan finansial, dapat dikatakan memberikan hasil yang menguntungkan untuk diterapkan karena dapat mengurangi pengguanaan air, baik dari segi pelestarian lingkungan maupun hasil produksi. TINGKAT KOMPONEN DALAM NEGERI Tingkat komponen yang digunakan dalam kegiatan perekayasaan 90% produk dalam negeri dan 10 % dari luar negeri, dimana semua bahan dan peralatan yang dipakai dalam perekayasaan tersedia setiap saat dibutuhkan.
50
BBAP Perakitan Alat Radiasi UV untuk Menekan Bakteri Pathogen dalam Perikanan Budidaya Unit Eselon I Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya Satuan Kerja Balai Budidaya Air Payau Takalar Alamat Dusun Kawari, Desa Mappakalompo, Kecamatan Galesong, Kabuapten Takalar 92254, Telp: (0418) 232 6577, Fax: (0418) 232 6777 Kategori Teknologi Perikanan Budidaya Sifat Teknologi Inovasi Baru Masa Pembuatan 2006 Tim Penemu Sitti Faridah Arsyad, Thamrin I.G.P. Agung Zaldiyansah Haruna Idris Syarufuddin, Syaichuddin Nana S Putra
Kontak Person Sitti Faridah
[email protected]
51
DESKRIPSI TEKNOLOGI Tujuan Penerapan Teknologi Untuk menciptakan Alat Radiasi Ultraviolet (UV) sederhana untuk menekan populasi bakteri pathogen dalam air pemeliharaan ikan baik dalam perbenihan maupun pembesaran ikan indoor . Manfaat kegiatan untuk menyediakan alat radiator ultraviolet sederhana, efisien dan dapat diterapkan dengan mudah oleh masyarakat perbenihan dan pembudidaya ikan baik skala besar maupun kecil.
Gambar 1. Penyaring dengan ultraviolet perdana hasil rakitan sederhana versi baru berukuran 8”.
Pengertian Filter
: Proses penyaringan air sehingga air lebih baik bersih dari partikel/kotoran dari dibandingkan dengan air sebelum difilter.
Sinar ultraviolet (UV)
: Sinar radiasi yang berada pada kisaran panjang gelombang antara 40 – 400 nm
Patogen
: agen biologi yang penyebabkan munculnya penyakit atau infeksi penyakit.
Bakteri patogen
: bersifat saprifit dan menyerang ikan ketika ikan dalam kondisi yang tidak fit atau seimbang serta defisiensi nutrisi.
RINCIAN DAN APLIKASI TEKNIS Persyaratan Teknis Penerapan Teknologi Air yang akan diradiasi dengan ultraviolet harus bersih dari partikel, dengan pengendapan dan penyaringan terlebih dahulu: Efektifitas radiasi Ultraviolet akan lebih baik apabila air yang diradiasi bebas kotoran/partikel Lampu UV tidak cepat buram cahayanya karena lampunya cepat kotor.
52
Cara penerapan teknologi Pada tahap awal dilakukan uji coba dengan membuat radiator dengan lampu UV three in one, dimana dalam 1 tabung yang berukuran 8” dipasang 3 buah lampu UV. Langkah – langkah yang dilakukan dalam pembuatan radiator-UV hasil rakitan sederhana adalah : 1. Membuat piringan dari pipa paralon dengan Ø 8”, lalu membuat lubang tempat pemasangan lampu UV, dimana pada masing piringan dibuat sebanyak 3 lubang. 2. Membuat cincin dengan Ø 8” dengan ketebalan ± 1,5 cm. 3. Setelah itu dilakukan pemasangan piringan dan cincin pada Tee Ø 8” dan dilakukan pemasangan sambungan sohk drak (watermur) pada masing –masing lubang. 4. Setelah itu dilakukan pengeleman pada watermur dengan ketingian lem ± 1 cm, kemudian Tee Ø 8” yang dilem didiamkan selam ± 24 jam dimana untuk 1 tabung penyaring dengan ultraviolet membutuhkan 2 Tee Ø 8” yang dilem untuk dipasang pada sisi kiri dan kanan lampu. 5. Setelah itu dilakukan penyambungan Tee kiri dengan tee kanan dengan menambahkan pipa paralon Ø 8” ± 60 cm. 6. Lalu lampu dipasang pada masing – masing lubang dan disambung kabel dan panel control. 7. Setelah semua terpasang dengan baik, lampu UV siap digunakan. 8. Penggunaan lampu UV dengan cara memasang pipa air pada pemasukan UV dan memasang pipa pengeluaran di bagian outlet lampu UV.
Cincin 8 ‘ dgn ketebalan 1,5 cm
Lubang t4 lampu Plat 8 ‘ yg telah dilubangi
Cincin 8’ Plat 8’
Tee 8’ Pemasukan
Lampu UV Pipa paralon 8’
Pengeluaran
Plat 8’ Cincin 8’
Gambar 2. Alat Radiasi UV dengan menggunakan pipa 8" (3 balon)
53
Lampu UV Ф 1 “ 40 watt
Pipa tabung UV
Pipa Input/output
Pipa Ф 2.5” Jarak transmisi Gambar 5. Desain penampang melintang UV 1 lampu
Inlet
Outlet Gambar 6. Disain Ultraviolet 1 lampu dalam 1 tabung
Inlet
Outlet
Gambar 7. Disain Dua Ultraviolet 1 lampu dipasang seri
APLIKASI PENYARING DENGAN ULTRAVIOLETSEDERHANA BUATAN BBAP TAKALAR LINGKUP BBAP TAKALAR
LUAR LINGKUP BBAP TAKALAR
Pembenihan udang windu
Politani Kab. Pangkep
Pembenihan kerapu
Dinas Perikanan Sul-Teng
Pembenihan Beronang
Dinas Perikanan Banten
Pembenihan kepiting
BBL Ambon
Pembenihan abalon
SUPM Bone
Produksi plankton
HSRT Diamond Benur Mappakalompo
Pembenihan Bandeng
pihak dari Malaysia sementara pesan
Tabel 1. Aplikasi penggunaan radiasi UV yang telah diterapkan
54
KEUNGGULAN TEKNOLOGI Pada perekayaan ini dilakukan dengan membandingkan antara UV hasil rakitan sebelumnya (yang tidak dapat diganti lampu UV-nya sehingga hanya dapat digunakan hingga mati). Dengan modifikasi di beberapa bagian, alat radiasi UV buatan BBAP Takalar lebih sederhana, mudah diganti lampunya saja dan efektifitasnya dalam menekan populasi bakteri pathogen lebih baik dibanding dengan UV radiasi buatan sebelumnya . memperoleh penyaring dengan ultraviolet hasil rakitan sederhana versi baru pada BBAP Takalar. Uraian tentang keberhasilan teknologi dibandingkan dengan yang sudah ada Alat radiasi UV sebelumnya kurang efisien karena tidak dapat diganti-ganti lampu UV-nya dengan yang baru apabila lampu UV putus/mati sedangkan hasil rakitan versi baru, lampu UV. dapat diganti dengan mudah setiap saat tanpa harus menganti/membuang seluruh sistem alat, sehingga lebih efisien Alat radiasi UV sebelumnya kurang layak digunakan karena efektifitas membunuh bakteri dan mikroorganisme kurang sempurna. Model lama lampu UV nya tidak dapat dibersihkan dari kotoran yang menempel sedangkan model baru lampu UV nya dapat dengan mudah dibersihkan setiap saat. Mudah diterapkan dalam sistem usaha kelautam dan perikanan Alat radiasi UV ini, mudah diterapkan dalam segala jenis usaha. Perikanan budidaya baik untuk perbenihan maupun pembesaran dalam bak indoor, ikan tawar maupun ikan laut. Dari segi pemanfaatan alat radiasi UV rakitan BBAP Takalar dapat diterima dan dimanfaatkan oleh pelaku usaha perikanan buidaya. Dari segi ekonomi, alat radiasi UV rakitan sederhana versi baru ini lebih efisien dan lebih murah. Dari segi teknis, filter hasil rakitan tersebut dapat berfungsi dengan baik untuk menekan populasi bakteri pada media air pemeliharaan. Alat radiasi UV yang baru ini, desain nya lebih baik dan enak dipandang mata dibandingkan dengan yang sebelumnya, juga penggunaan lampu UV dapat diatur dan disesuaikan dengan kebutuhan.
1
Total Bakteri (10 3) 9,80
Vibrio Sp (10 2) 5,90
Tidak terdeteksi
2
16,20
1,20
Tidak terdeteksi
3
19,00
0,31
Tidak terdeteksi
4
0,59
9,80
Tidak terdeteksi
5
1,10
5,70
Tidak terdeteksi
Pengujian
Keluaran UV
Tabel 2. Hasil pengukuran bakteri pada Air Media Pemeliharaan sebelum di UV dan setelah di UV di BBAP Takalar
Ramah lingkungan Dengan alat radiasi UV ini lebih ramah terhadap lingkungan karena: dapat dilakukan pergantian lampu UV, lebih ramah lingkungan karena :
55
Tidak perlu melakukan pergantian bahan dan alat secara keseluruhan jika lampu UV mati Dengan alat radiasi UV ini tidak perlu lagi menggunakan bahan kimia atau obat antibiotik untuk membasmi bakteri atau microorganisme pathogen, sehingga tidak mencemari lingkungan LOKASI PENELITIAN DAN DAERAH REKOMENDASI Unit rancang bangun dan unit pembenihan udang windu dan vannamei di Balai Budidaya Air Payau Takalar, Desa Bontoloe Kecamatan Galesong Selatan Kabupaten Takalar. Kegiatan pembuatan dilakukan pada bulan Mei tahun 2006, namun pengkajian, pengembangan dan penerapan terus dan masih dilakukan sampai saat ini. Lokasi wilayah yang direkomendasikan untuk penerapan alat radiasi ultraviolet adalah semua wilayah yang mengoperasikan usaha perbenihan dan pembudidayaan ikan indoor, baik untuk ikan laut maupun ikan tawar. Alat ini juga memungkinkan digunakan untuk memproduksi air bebas bakteri di daerah yang sanitasinya kurang baik. KEMUNGKINAN DAMPAK NEGATIF Dampak negatif adalah bila terkena radiasi sinar ultraviolet namun pengamanan sinar UV dapat ditutup dengan baik, sehingga tidak berbahaya bagi kehidupan ikan maupun manusia. KELAYAKAN FINANSIAL DAN ANALISA USAHA Analisa Usaha Untuk pembuatan alat radiasi No Nama Alat/Bahan UV lampu UV dengan 1 mata , 1 Balon UV 1 paket pembuatan 2 Isolasi kabel 3 Kabel pVC membutuhkan dana Rp 4 Kran PVC 3/4’ 5 L PVC 3/4’ 2.500.000 6 Lampu pilot Pembelian lampu UV impor 7 Lem epoxy 8 Lem pipa dipasaran dengan 1 mata uv 9 MCB 2A (harga minimal) adalah Rp 10 Oil seal 11 Over shock 2.5’ x 1’ 7.500.000 12 Pipa 1/2’ Keuntungan yang diperoleh 13 Pipa 3/4 14 Pipa lon Putih 2.5’ dengan membuat alat radiasi 15 Saklar 4 mata 16 Shock drak luar 1/2’ ultraviolet rakitan adalah Rp 17 Starter 40 Watt 5.000.000 18 T pvc 1/2’ 19 T PVC 3/4’ Keuntungan yang diperoleh 20 T shock 2.5’ akan lebih banyak lagi jika 21 Travo 40 Watt 22 Water mur 1’ jumlah lampu UV yang 23 Scun kabel PVC 24 Biaya lain-lain digunakan lebih banyak. TOTAL
Hasil dan dampak yang diperloleh dalam dari alat Radiasi UV sederhana
Satuan
Jlh
bh bh Roll bh bh bh pasang bh bh bh bh bh bh btg bh bh bh bh bh bh bh bh bh
1 1 1 24 12 4 1 5 1 10 2 1 7 1 1 8 12 8 25 8 4 8 1
Harga satuan 300,000 15,000 5,000 17,500 4,000 5,000 100000 65,000 7,000 7,500 7,500 14,000 18,000 75,000 65,000 4,000 3,000 4,000 4,000 3,500 5,000 6,000 8,000
Jumlah Biaya 300,000 15,000 5,000 420,000 48,000 20,000 100,000 325,000 7,000 75,000 15,000 14,000 126,000 75,000 65,000 32,000 36,000 32,000 100,000 28,000 20,000 48,000 8,000 86,000 2,500,000
Tabel 3. Rincian Biaya yang akan digunakan dalam pembuatan
56
ini adalah produksi benih akan meningkat karena bakteri pathogen dapat di basmi dengan tanpa penggunaan bahan kimia atau obat-obatan yang lebih mahal. Alat ini dapat dipesan dengan harga jauh lebih murah daripada alat serupa yang di impor. TINGKAT KOMPONEN DALAM NEGERI Tingkat komponen yang digunakan dalam kegiatan perekayasaan ini adalah 90% produk dalam negeri dan 10 % dari luar negeri, hampir semua semua bahan dan peralatan yang diperlukan tersedia di pasaran lokal.
No.
Parameter 3
Spesifikasi
1
Debit air (m /jam)
33
2
Daya tahan lampu (jam)
8.000, efisiensi menurun 15% setelah 5.000 jam pemakaian
3
Panjang gelombang (nm)
254
4
Dosis UV (µm/detik/cm2)
˃ 30.000 atau 15,3 W pada 1 m
5
Unit listrik
220 -240 volt 50-60 Hz 36 watt
6
Sistem peringatan
LED
7
Jumlah lampu (buah)
4
8
Dimensi (mm)
Ø 2,5” x 55”
9
Lampu UV
Philips - Holland
10
Tipe lampu
UV – C TUV 36 W; T8
11
Tipe cap/base
G 36
57
B2PPBL Teknologi pembenihan ikan hias laut ikan klown (Amphiprion percula)
Unit Eselon I Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan Satuan Kerja Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Budidaya Laut Alamat Banjar Dinas Gondol, Desa Penyabangan, Kecamatan Gerokgak, Kab. Buleleng Bali, Telepon (0362)92278, fax 0362 92272/92271 Kategori Teknologi Perikanan Budidaya Sifat Teknologi Inovasi Baru Masa Pembuatan 2005-2010 Tim Penemu Ir. Ketut Maha Setiawati Daniar Kusumawati, S.Pi Ir. Jhon Harianto Hutapea, Msc Ir. Des Rosa Boer Dr. I Nyoman Adiasmara Giri, M.S. Drs. Wardoyo
Kontak Person Ir. Ketut Maha Setiawati
[email protected]
58
DESKRIPSI TEKNOLOGI Tujuan Dan Manfaat Penerapan Teknologi Memproduksi ikan hias laut klown hasil budidaya sehingga tekanan terhadap populasi alam oleh penangkapan dapat ditekan. Menerapkan teknik produksi benih ikan hias clownfish di hatchery masyarakat. Menganekaragamkan usaha budidaya laut Menunjang ekspor ikan hias yang bersertifikat PENGERTIAN-DEFINISI Teknologi pembenihan adalah hasil serangkaian penelitian yang telah dilakukan dan kemudian dikompilasi sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh untuk memproduksi benih Ikan Klown adalah ikan hias laut dengan nama umum true clownfish, di Indonesia biasa disebut ikan klown, nemo, giru dengan nama latin Amphiprion percula. Hatchery adalah tempat pemeliharaan calon induk, induk dan pemeliharaan larva hingga benih. Benih adalah larva ikan klown yang sudah bermetamorfosa menyerupai ikan dewasa dengan ukuran panjang total 1,2-3,0 cm RINCIAN DAN APLIKASI TEKNIS Persyaratan Teknis Penerapan Teknologi Tersedia fasilitas air laut, air tawar, listrik, filter pasir. Tersedia hatchery ikan laut Tersedia sarana transportasi yang memadai Tersedia pakan alami (Nannochloropsis, rotifer, kopepod) Rincian Teknologi Pembenihan ikan klown (A. ocellaris) telah dilakukan di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Budidaya Laut sejak tahun 2005. Sedangkan pembenihan ikan klown biak (A. percula) dilakukan pada tahun 2010. Induk dipelihara dengan diberi pakan buatan, cacing Nereis, udang mysids (jembret) dan kopepoda untuk memperbaiki pemijahan induk. Induk jantan yang produktif umumnya berukuran pada kisaran panjang total 4,6 – 6,2 cm. Induk ikan betina yang memijah ukurannya berkisar pada panjang total 6,8 - 9,5 cm. Induk ikan klown yang produktif
59
biasanya memijah 3-4 kali/bulan. Jumlah telur yang dihasilkan sangat bervariasi dari 20 butir1.900 butir. Berbagai pengkayaan rotifer pada pemeliharaan larva dan benih ikan klown tidak berpengaruh nyata terhadap sintasan dan pertumbuhannya. Begitu juga dengan warna benih yang dihasilkan. Awal pergantian air dengan sistem air mengalir maupun dengan membuang air lama dan diganti dengan air baru dapat dilakukan dari umur larva 5 hari. Pada pemeliharaan benih ikan klown di KJA, penambahan shelter daun kelapa, rumput laut dan kontrol dapat mempercepat perkembangan baik pola warna belang putih maupun warna hitam pada tepi sirip dorsal, pectoral, anal dan caudal daripada dengan penambahan shelter anemone. Tetapi sintasan yang dihasilkan pada perlakuan anemone memberikan sintasan yang lebih tinggi daripada perlakuan lainnya. Pemeliharaan larva dan benih dapat dilakukan di lingkungan indoor dan outdoor. Pemeliharaan larva dengan menggunakan kopepod dan rotifer sangat mendukung pertumbuhan larva dan peningkatan kualitas warna benih yang dihasilkan. Teknik produksi massal benih ikan klown Proses alami membuat induk jantan dan betina berpasangan dilakukan berdasarkan ukuran panjang tubuh. Ikan klown (A. ocellaris) berukuran lebih kecil dengan panjang total 4,6 - 6 cm menjadi calon pejantan, sedangkan induk yang besar dengan panjang total > 6,6 cm menjadi induk betina. Pada ikan klown biak (A. percula) induk jantannya memiliki kisaran panjang total 4,66,2 cm dan induk betina berukuran panjang total 6,8-9,5 cm. Disamping panjang tubuh sebagai penentu jenis kelamin, secara morfologi jantan terlihat lebih kurus dan umumnya ikan jantan berwarna lebih cerah. Ikan betina tampak lebih gemuk. Dalam pemilihan warna induk hendaknya diperhatikan pola warna yang bagus. Dengan warna induk yang bagus diharapkan warna benih yang dihasilkanpun akan bagus. Induk dipelihara dalam akuarium 60x30x30 cm3 yang dilengkapi dengan pipa air masuk dan keluar, aerasi dan tempat penempelan telur. Beberapa teknik membuat induk berpasangan secara buatan : 1. Calon induk dipisahkan menurut ukuran lalu diaklimatisasi dengan perendaman air tawar sekitar 3 menit dan dapat pula ditambahkan obat anti bakterial erubaju 5 ppm . 2. Induk jantan dimasukkan ke dalam akuarium terlebih dahulu kemudian diikuti induk betina. 3. Selama induk berpasangan harus diamati. Jika tampak induk ikan beriringan berarti kedua ikan berjodoh tetapi jika terlihat adanya saling menyerang berarti tidak berjodoh dan harus segera dipisahkan atau dicarikan calon induk betina atau jantan yang baru. 4. Sepasang induk ikan klown dapat memijah secara alami setelah 3-6 bulan masa pemeliharaan dengan frekuensi 1-4 kali setiap bulannya (interval pemijahan 8-13 hari).Untuk mempercepat pemijahan dapat juga digunakan pasangan induk dari alam. Dalam pemeliharaan induk diperlukan sistem air mengalir dengan persentasi penggantian air 200 %/hari. Pakan yang diberikan dapat berupa pakan buatan komersial atau pakan segar seperti: kopepod, udang jembret, dan cacing laut. Frekuensi pemberian pakan 2 kali sehari dan penyiponan dilakukan minimal tiap minggu.
60
Pemijahan ikan klown dapat terjadi pada pagi, siang, sore maupun malam hari. Betina yang memijah akan menempelkan telur pada sarang berupa bidang segitiga semen, pipa pvc, maupun pada sudut akuarium dan pejantan akan mengikuti induk betina untuk kemudian segera membuahi telur. Telur kemudian dijaga oleh induk jantan dan betina dengan cara mengibaskan ekor dan sesekali membersihkan telur menggunakan mulutnya hingga telur menetas. Masa inkubasi telur adalah 6 - 7 hari. Pemanenan dilakukan pada hari ke-enam, untuk menghindarkan kanibalisme induk terhadap larva yang baru menetas. Pasangan induk yang produktif mampu memijah hingga lebih dari 50 kali secara terus menerus dalam satu tahun. Jumlah telur yang dipijahkan berkisar antara 137 hingga 1720 butir. Pemeliharaan Larva Setelah telur diinkubasi 6-7 hari, dilakukan pemanenan telur. Proses pemanenan telur dilakukan dengan cara melepas telur dari substratnya menggunakan pisau bedah secara perlahan. Proses pemanenan ini memerlukan ketrampilan khusus agar telur tidak rusak saat dilepas dari substratnya. Kemudian telur ditebar dalam wadah pemeliharaan larva yaitu bak polycarbonate atau fiberglass yang berbentuk bulat dengan kapasitas 200 l (diameter 64 cm dan tinggi bak 70 cm). Ke dalam media pemeliharaan larva ditambahkan fitoplankton Nannochloropsis ± 100.000 sel/ml, rotifer 5-10 ind/ml, naupli kopepod 20 ind./l. Rotifer dan kopepod adalah pakan bagi larva ikan klown, sedangkan Nannochloropsis berfungsi menurunkan kecerahan media dan menjadi pakan bagi rotifer. Pemberian Nannochloropsis dan rotifer dilakukan mulai hari pertama menetas hingga hari ke-15. Nannochloropsis ditambahkan setiap pagi, sedangkan pemberian rotifer dapat dilakukan 2 kali sehari pada pagi dan sore hari disesuaikan dengan jumlah rotifer yang tersisa pada media pemeliharaan. Kepadatan rotifer pada media pemeliharaan dipertahankan minimal 5 ind/ml. Naupli artemia diberikan mulai hari ke-7 hingga panen, sebanyak 5- 20 ind/ larva/hari, sesuai dengan tingkat konsumsi dan pertambahan umur dan ukuran larva. Pembersihan dasar bak pemeliharaan mulai dilakukan pada hari ke-5 dengan metode siphon. Pembersihan berikutnya dilakukan dalam selang 5 hari sekali. Pergantian air mulai dilakukan pada hari ke-5 sebanyak 30% dari volume media pemeliharaan. Pergantian air berikutnya dilakukan setiap pagi minimal sebanyak 50%. Pergantian air dapat dilakukan dengan cara membuang air lama terlebih dahulu baru mengganti dengan air baru, atau dengan sistem air mengalir (dengan aliran yang sekitar 20ml/menit), atau kombinasi dari keduanya. Pemeliharaan larva dilakukan selama 15 - 20 hari. Pemeliharaan Benih I Pemeliharaan benih berukuran 1,2 - 2,5 cm dilakukan dengan menggunakan berbagai wadah seperti akuarium, box plastik, bak fiber, maupun bak beton dengan kepadatan 5 ekor/liter. Pakan buatan yang diberikan sebaiknya telah diberi astaxanthin untuk meningkatkan kecerahan warna ikan. Prosentase pakan buatan yang diberikan berkisar 3-5 % /berat tubuh. Frekuensi pemberian
61
pakan dua kali sehari yaitu pada pagi dan sore hari. Selain itu pada pemeliharaan benih dapat pula ditambahkan pakan alami (kopepod) atau artemia dengan kepadatan 200-400 ind artemia/ekor benih ikan. Pemeliharaan benih ini dilakukan selama 1-2 bulan. Pemeliharaan Benih II Setelah benih berukuran 2,5 cm, benih sebaiknya dipelihara di out door agar mendapat sinar matahari penuh. Benih dipelihara dalam jaring berukuran 1x1x1 m3. Pakan yang diberikan yaitu pakan buatan dan kopepod. Prosentase pakan buatan yang diberikan berkisar 3-5 % /berat tubuh. Frekuensi pemberian pakan dua kali sehari yaitu pada pagi dan sore hari. Selain itu pada pemeliharaan benih dapat pula ditambahkan pakan alami (kopepod) kepadatan 200-400 ind/ekor benih ikan. Pemeliharaan di lingkungan outdoor dilakukan sekitar 3-4 bulan. Benih yang dipelihara di lingkungan yang mendapat sinar matahari penuh memiliki warna jingga, hitam, putih yang cerah. Kultur kopepod Kultur kopepod dilakukan pada bak 2 ton berukuran pxlxt=2x1x1 m3. Kepadatan kopepod awal 20-100 ind/l. Pakan yang diberikan berupa plankton Nannochloropsis dan pakan buatan. Bak fiber 2 m3 diisi N. oculata sebanyak 25 % dari volume bak, kemudian ditambahkan air laut yang sudah disaring sebanyak 25 % dari volume bak. Tambahkan pakan buatan 250 gram ke dalam bak, biarkan larut dalam air media selama 2 hari, kemudian masukkan bibit copepoda yang sudah dihitung. Setelah tiga hari ditambahkan N. oculata 25 % dari volume bak bersama pakan ikan buatan sebanyak 250 gram. Biarkan selama tiga hari dan ditambahkan air laut 25 % dari volume bak dan ditambahkan pakan ikan buatan 250 gram Setelah kultur satu minggu copepoda dipanen. Kegiatan diseminasi ikan klown biak (true clownfish) baru dilakukan pada tahun 2013. Sampai saat ini induk sudah bertelur, pemeliharaan larva sedang berlangsung, pemeliharaan benih ukuran 2,5 cm dilakukan dibak reservoar (limpahan air dari bak induk) KEUNGGULAN TEKNOLOGI Teknologi Pembenihan Ikan Klown Tidak memerlukan modal yang besar Dapat dilakukan dalam skala rumah tangga Dapat dilakukan secara individu dan bahkan dapat dilakukan oleh nelayan penangkap ikan hias Sumber calon induk mudah didapatkan Tingkat reproduksi yang cepat Sintasan benih dapat mencapai 50% sehingga dapat diproduksi benih ikan hias yang tinggi untuk memenuhi permintaan pasar internasional yang cukup tinggi.
62
Keberhasilan teknologi Pemijahan induk dapat dilakukan dengan manipulasi pakan (pakan buatan + supplemen, dan pakan alami (jembret, copepod, dan lain-lain). Ikan klown mempunyai pola warna yang bervariasi. Perbaikan kualitas warna dapat dilakukan dengan pemberian copepod dan pemeliharaan di lingkungan outdoor. Larva dan benih dapat dipelihara pada salinitas 10-40 ppt. Benih dapat dipelihara dengan sistem resirkulasi Mudah diterapkan dalam sistem usaha kelautan dan perikanan Secara ekologi keberhasilan pembenihan ikan hias ini akan berdampak positif terhadap ekosistem terumbu karang Mendukung program pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan masyarakat pesisir Tidak membutuhkan sarana yang luas dan banyak biaya Keberhasilan perbenihan ikan ini akan meningkatkan devisa Negara melalui ekspor ikan hias LOKASI PENELITIAN DAN WILAYAH/DAERAH REKOMENDASI Perbenihan ikan hias laut klown ini dapat dilakukan di lokasi yang mempunyai hatchery bandeng/kerapu, atau ikan laut/payau, sehingga menghemat dalam penyediaan pakan alami (Nannochloropsis, rotifer, copepod). Lokasi yang telah diuji coba pada tahun 2013 adalah di desa Sanggalangit, Kec. Gerokgak, Buleleng-Bali dalam program disseminasi hasil penelitian. Ke depan teknologi ini dapat dikembangkan di lokasi penghasil ikan hias yang mempunyai fasilitas hatchery ikan laut untuk diversifikasi budidaya laut. Selain lokasi yang sudah berjalan, kegiatan ini merupakan kegiatan yang ramah lingkungan dan tidak ada dampak negatif. TINGKAT KOMPONEN DALAM NEGERI Bahan-bahan yang digunakan untuk pembuatan hatchery dan peralatannya, seluruhnya dapat diperoleh di dalam negeri. Pakan alami yang digunakan dapat dikultur sendiri.
Gambar 1. Akuarium tempat pemeliharaan induk klown (kiri) dan sepasang Induk ikan klown (kanan)
63
ANALISA USAHA PEMBENIHAN SKALA KECIL 1. BIAYA INVESTASI Perbaikan bak Perbaikan kolam
Volume 4 1
Perbaikan peralatan produksi Pengadaan peralatan produksi Pengadaan induk
1
Satuan unit uniit unit paket
Harga 250,000 1,000,000 100,000 2,000,000
Jumlah 1,000,000 1,000,000 0 2,000,000
1 80
paket induk
15,000,000 150,000
15,000,000 12,000,000
Sub jumlah
31,000,000
2. BIAYA OPERASIONAL Artemia pakan induk pakan larva obat-obat dan vitamin bahan kimia Listrik pakan alami Panen tenaga kerja
1 1 1 1 1 1 1 1 2
klg kg siklus
575,000 250,000 150,000 1,000,000 1,000,000 600,000 1,000,000 1,600,000 1,000,000
orang
Sub jumlah
575,000 250,000 150,000 1,000,000 1,000,000 600,000 1,000,000 1,600,000 2,000,000 8,175,000
3. BIAYA INVESTASI + BIAYA OPERASIONAL
39,175,000
4. Hasil panen benih ikan klown 5. Jumlah modal (20%investasi + modal kerja) 6. Laba (keuntungan 4-5) 7. Laba keuntungan setahun
1,000
ekor
20,000
20,000,000 14,375,000 5,625,000
3
siklus
5,625,000
Gambar 2. Perkembangan embrio telur ikan klown
64
16,875,000
Gambar 3. Bak pemeliharaan larva dan bak pemeliharaan benih ikan klown I
Gambar 4. Jaring pemeliharaan benih ikan klown II di bak outdoor
Gambar 5. Pakan alami kopepod (kiri) dan bak kultur kopepod (kanan)
Gambar 6 . Tempat penetasan artemia (kiri), bak kultur rotifer (kanan)
65
BBAP Pendederan Kerapu Tikus Sistem Resirkulasi Skala Rumah Tangga Unit Eselon I Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya Satuan Kerja Balai Budidaya Air Payau Takalar Alamat Jl. Perikanan, Desa Mappakalompo, Kecamatan Galesong, Kabupaten Takalar, Provinsi Sulawesi Selatan. Telp. (0418) 2326577 Fax. (0418) 2326777 Kategori Teknologi Teknologi Rekayasa Sifat Teknologi Inovasi Baru Masa Pembuatan 2006-2012 Tim Penemu Mohd. Syaichudin, S.IK, M.Si Abdul Gafur, S.Pi Hamka, S.Pi, M.Si Mutmainnah, S.St.Pi Suhardi A.B.S, S.Si Andi Elman, S.Pi Sitti Faridah, S.Pi, M.Si
Kontak Person :Mohammad Syaichudin, S.IK, M.Si
[email protected]
66
DESKRIPSI TEKNOLOGI Tujuan dan Manfaat Penerapan Teknologi Kegiatan usaha perikanan perlu melibatkan peran serta masyarakat perikanan Indonesia untuk mempercepat target produksi nasional, diantaranya pada segmen pendederan kerapu tikus. Pengembangan sistem resirkulasi (Recirculation Aquaculture System / RAS) menjadi alternatif untuk efisiensi usaha dan memberikan produkivitas yang jauh lebih tinggi dibandingkan sistem konvensional. Untuk menunjang kegiatan budidaya kerapu tikus, maka diperlukan pengembangan segmen pendederan kerapu sistem resirkulasi sederhana yang ramah lingkungan. Teknologi ini bertujuan membuat sebuah prototipe pendederan kerapu tikus sistem resirkulasi skala rumah tangga yang dapat dikembangkan secara massal. Manfaat Teknologi Pada sistem resirkulasi kualitas air dapat dipertahankan secara optimal karena penggunaan air bersifat zero exchange sehingga penambahan air hanya dilakukan untuk mengganti berkurangnya air akibat penguapan, buangan limbah, serta apabila kondisi kualitas lingkungan bersifat ekstrim. Pada sistem konvensional kualitas air sangat fluktuatif karena sering terjadi pergantian air dan kondisi lingkungan sulit dikontrol, sehingga benih kerapu tikus mengalami stress dan rendahnya pertumbuhan serta sintasan benih. Pada sistem ini padat tebar benih kerapu tikus yang didederkan jauh lebih tinggi apabila dibandingkan dengan sistem konvensional. Pada pendederan konvensional padat tebar benih sekitar 250-300 ekor/m3 sedangkan pada sistem resirkulasi bisa mencapai padat tebar 1.0002.000 ekor/m3. Penerapan biosekuriti dilakukan sangat ketat, air yang masuk terlebih dahulu disterilisasi melalui ultra violet atau ozonisasi. Kegiatan grading tidak perlu sering dilakukan, karena sistem resirkulasi dapat mereduksi kanibalisme pada jenis kerapu macan, sehingga juga mereduksi tingkat stress ikan. Kegunaan Teknologi Teknologi ini dapat diterapkan pada segmen usaha pendederan kerapu tikus skala rumah tangga yang sederhana dan ramah lingkungan. Prototipe resirkulasi ini bersifat knockdown sehingga dapat dipindah-pindahkan dari satu tempat ke tempat lain dan tidak membutuhkan ruang yang luas sekitar 4 x 7 m2.
67
Penggunaan tenaga kerja lebih efektif dan efisien, cocok untuk skala rumah tangga karena sistem ini juga dilengkapi waste trap sehingga tidak perlu dilakukan siponisasi. Sisa pakan dan metabolisme ikan telah tertampung pada wadah khusus yang tiap pagi dan sore dapat dibuang dengan hanya membuka panel kran. PENGERTIAN-DEFINISI RAS (Recirculation Aquaculture System) : sistem budidaya perikanan dengan sistem resirkulasi air atau daur ulang air. Filtrasi biologi : merekayasa keadaan hidup berbagai mikroorganisme dengan cara mendorong tumbuhnya bakteri nitrifikasi yang merombak amoniak, nitrit menjadi bahan yang tidak beracun seperti nitrat. Filter fisika atau mekanik : saringan air yang berfungsi untuk menjaga tingkat kejernihan dan kualitas air. Waste trap : wadah khusus untuk menampung sisa pakan dan metabolisme ikan. Protein skimmer : alat untuk memisahkan bahan padat terlarut dalam air dengan cara pengapungan melalui jasa gelembung-gelembung udara yang ditiupkan ke dalam suatu kolom air. RINCIAN DAN APLIKASI TEKNIS TEKNOLOGI Persyaratan Teknis Penerapan Teknologi Penempatan teknologi sistem resirkulasi skala rumah tangga memerlukan areal pelataran ruang indoor yang memiliki saluran air untuk pergantian air media pemeliharaan. Sumber daya manusia yang terampil diperlukan untuk pemeliharaan dan pengoperasian prototipe alat sehingga sistem dapat dioperasikan secara optimal. Pada dasarnya prototipe ini dapat dioperasionalkan pada berbagai segmentasi uaha budidaya perikanan, baik untuk pengembangan pembenihan, pendederan maupun penggelondongan ikan. Uraian Lengkap Alat dan Prosedur Operasional Standar a. Uraian atau Rincian Teknologi Sistem RAS sedikitnya memerlukan sejumlah komponen, seperti : tanki pemeliharaan, tanki reservoar, tanki filter mekanik, tanki filter biologi, unit protein skimmer, ultra violet dan waste trap (perangkap effluent). Pergerakan resirkulasi air diawali dari bak tanki pemeliharaan. Pada bak ini dilakukan rekayasa untuk membentuk aliran memutar menuju central drain sehingga effluent dapat dikurangi secara total. Sebagian effluent yang terdapat pada kolom air juga dapat keluar melewati side drain. Melaui central drain aliran air effluent akan melewati waste trap I dan II. Pada fase ini sisa pakan dan metabolisme akan terjebak dalam kolom (trap). Pengeluaran effluent dilakukan dengan membuka kran pada pagi dan sore, sehingga sistem tidak memerlukan penyiponan. Aliran air selanjutnya masuk ke protein skimmer, agar effluent berupa mucus atau suspensi dirombak dalam foam reactor dan masuk ke dalam foam collector untuk dibuang.
68
Air yang telah melewati protein skimmer selanjutnya masuk ke reservoir, tempat sistem sedimentasi atau pengendapan akhir. Dengan bantuan pompa, air dari reservoar selanjutnya dialirkan ke filter mekanik untuk dibersihkan dari partikelpartikel halus dan tersuspensi, sehingga yang dialirkan menjadi jernih. Air yang sudah jernih, pada dasarnya masih mengandung sejumlah materi kimia beracun, seperti amonia dan nitrit. Selanjutnya melalui gaya gravitasi air dialirkan ke filter biologi untuk merombak materi kimia yang bersifat toksik (beracun) menjadi materi non toksik seperti amonium dan nitrat oleh bakteri nitrifiying (Nitrosomonas dan Nitrobacter sp). Untuk mencegah adanya bakteri patogen masuk ke tangki pemeliharaan, dan setelah air melewati filter biologi, air diradiasi dengan Ultra Violet (UV). Pada pemeliharaan ikan di bak atau fiber, sisa buangan metabolisme ikan akan menurunkan kualitas air dan dapat bersifat toksik (racun), oleh sebab itu untuk menjaga tingkat kejernihan dan kualitas air
Gambar 1. Tata Letak Sistem Pendederan Ikan Kerapu dengan Sistem Resirkulasi (RAS) (atas) dan Bentuk Peralatannya (Bawah)
No
Jenis Bahan
Fungsi sebagai penyaring partikel kotoran yang lebih besar, untuk menjaga air agar air tetap alkalis (basa) untuk menyaring partikel yang lebih kecil dan menstabilkan pH air dapat mengikat gas-gas dalam air seperti H2S, cocok sebagai media pertumbuhan sejenis bakteri yang bermanfaat bagi proses siklus nitrogen
1
Karbon Aktif
2
Serat Filter
3
Bioball (dapat diganti karang)
4
Pasir Kwarsa
5
Kerikil
6
Ijuk
Menyerap kotoran yang lepas dari filter kerikil
7
Arang
menyerap partikel yang halus dan zat yang bersifat toksik
8
Batubata
berfungsi seperti arang
tempat hidup bakteri sebagai filter terhadap partikel fisik dan kotoran lain menahan kotoran yang lolos dari filtrasi sebelumnya
Tabel 1. Daftar bahan-bahan filtrasi dan fungsinya
69
perlu disediakan alat penyaring (filter) dengan berbagai bahan (Tabel 1) Secara sederhana, filter biologi mendorong tumbuhnya bakteri nitrifying yang merombak
atau memecah amoniak menjadi bahan yang tidak beracun seperti nitrat. Beberapa biofilter yang dapat digunakan meliputi: filter kerikil, bio wheel, filter tetesan, saringan teromol, fluidized filter, saringan spons/bunga-karang, dan batu / pasir hidup juga telah populer digunakan dalam akuarium air laut. Untuk mempertahankan keseimbangan siklus nitrogen, perlu diterapkan sistem filtrasi
biologi (biofilter). Metode biofilter standar yang umum dipakai, adalah metode wet-dry trickle filter dengan sejumlah kombinasi. Filter ini terdiri dari tiga bagian yang dilewati air. Air yang mengalir dari bak yang mengandalkan gaya gravitasi akan melewati saringan pertama (filter mekanis atau pre-filter) yang berupa lapisan busa. Selanjutnya air meluncur ke bawah melewati tumpukan bioball sebagai tempat hidup bakteri aerob (bioball dapat diganti dengan serpihan karang mati meski tidak seefektif bioball). Bioball dirancang utuk memiliki permukaan yang banyak sebagai tempat hidup bakteri. Air yang melewati filter ini selalu kaya oksigen. Sedangkan sebagian bioball lagi atau lapisan ketiga terendam sepenuhnya dalam air. Setelah melalui lapisan ketiga, air yang sudah terurai menjadi nitrat, selanjutnya air dipompa kembali ke bak. Setiap jam volume air yang melalui wet dry trickle filter minimal dua kali volume air bak atau 200%. Oleh sebab itu pompa / powerhead harus disesuaikan dengan besar bak atau volume air. Semakin besar bak semakin besar kapasitas pompa yang dipakai. Produk akhir dari biofilter adalah nitrat, yang tidak bersifat toksik pada ikan. Fungsi utama dari sebuah protein skimmer adalah untuk memisahkan bahan padat
terlarut dalam air dengan cara pengapungan melalui jasa gelembung-gelembung udara yang ditiupkan kedalam suatu kolom air. Gelembung ini dapat mengikat limbah organik (koloid dan partikel-partikel padatan) yang kemudian membawanya ke permukaan tabung pembuangan dalam bentuk busa kering. Cara Penerapan Teknologi 1. Persiapan Rangka besi baja dibuat untuk penempatan tangki pemeliharaan, filter mekanik dan filter biologi, sehingga proses gravitasi dapat berjalan dengan baik. Untuk pengembangan lebih lanjut sebaiknya menggunakaan tangki kerucut volume 1.000 liter yang telah dilengkapi khaki. Pembuatan desain wadah tanki double drain pada fiber bulat standar, dengan membuat central drain pada bagian bawah dan upper drain. Fiber bulat dengan kapasitas volume 1.000 liter dibuat lubang pada bagian bawah, dengan posisi tepat ditengah sehingga diharapkan ada gaya sirkular yang membantu pembuangan kotoran dan sisa pakan di media air pemeliharaan ke waste trap. Selain itu pada bagian samping fiber bagian atas juga dibuatkan lubang saluran sehingga sistem double drain lebih efektif dalam
70
a. Rancang awal penopang tangki fiber dan filter b. Perakitan penopang fiber dan filter Gambar 2. Rancangan Awal (a) dan Perakitan (b) Penopang Tangki Fiber dan Filter
a.Desain awal double drain sistem
b.Pembuatan double drain sistem pada fiber Gambar 3. Desain (a) dan Pembuatan Tangki Sistem Daouble Drain (b)
mengalirkan kotoran yang terletak di permukaan dan kolom air bagian atas menuju waste trap. Dengan menggunakan bor dan pipa sambungan, dilakukan penyambungan dengan lem pipa dan lem fiber sehingga posisi pipa mengikat kuat pada fiber. Pembuatan Protein Skimmer. Protein skimmer dibuat dari pipa PVC 12”, dengan tinggi
penampang 80 cm. Penampung busa pada bagian atas yang terbuat dari ember dengan ketinggian sekitar 40 cm. Diameter pipa inlet dan outlet sekitar 3 inchi. Tanki reservoar dilengkapi dengan sepasang inlet dari protein skimmer dengan diameter
3 inchi, dan tangki untuk filter mekanik dengan merubah pipa outlet menjadi 3 inchi. Pembuatan waste trap dan penunjang instalasi pipa. Waste trap menggunakan pipa PVC
3 inchi, sedangkan instalasi pipa dengan pipa PVC 2 inchi. Pembuatan UV 3 lampu dengan pipa PVC 12 inchi, dan 3 balon UV dengan menempatkan
71
Gamabr 4. Desain Dasar Protein Skimmer
Gambar 5. Protein skimmer yang telah dirakit
Gambar 6. Tangki reservoar (kiri) dan filter mekanik (kanan)
Gambar 7. Desain dasar waste trap
72
Gambar 8. Pembuatan waste trap dan penunjang instalasi pipa
Gambar 9. Perakitan UV 3 lampu di Bengkel Rancang Bangun
Pembuatan Desain Desain prototipe dapat dilihat pada gambar berikut ini : tampak dari samping kiri dan kanan, dari depan dan belakang. Gambar 10 (atas). Prototipe sistem resirkulasi pendederan ikan (Tampak bagian belakang dan samping kanan) Gambar 11 (bawah). Prototipe sistem resirkulasi pendederan ikan (Tampak bagian depan dan samping kiri)
73
Perakitan Desain Menjadi Prototipe Perakitan desain prototipe dilakukan secara hati-hati, sehingga tidak terjadi kecelakaan kerja yang dapat merugikan bagi pemakai. Kegiatan diawali dengan melakukan setting peralatan. Setelah semua alat terpasang, maka selanjutnya dilakukan pengisian material pada filter mekanis yang terdiri dari kerikil kecil, zeolit, pasir kwarsa, karbon aktif atau arang, serta serat fiber. Selain itu juga pengisian material filter biologi yang meliputi karang mati jenis akropora dan sejumlah bioball. Gambar 12. Pengecatan dan perakitan desain prototipe RAS
Gamabr 13. Pemasangan flter UV, protein skimmer dan waste trap
(a)
(b)
(c)
Gambar 14. Pengisian material filter mekanik (a) , seperti kerikil (b) dan zeolit ©
(a)
(b) Gambar 14. Material pasir (a), karbon aktif (b) dan serat pada filter mekanik (c)
74
(c)
Pengujian Desain Prototipe Apabila semua sistem resirkulasi telah berjalan dengan baik maka introduksi hewan uji dapat dilakukan. Wadah pemeliharaan dilengkapi waste trap untuk jebakan sisa pakan dan yang dibuang tiap pagi dan sore, sehingga tidak lagi melakukan penyiponan seperti pada sistem konvensional. Penggunaan waste trap untuk membantu mengurangi buangan langsung ke bak penampungan, sehingga kerja filter mekanis lebih ringan. Untuk mempercepat dan mengawali pembentukan sistem yang seimbang, perlu dilakukan introduksi bakteri nitrosomonas dan nitrobakter dalam filter biologis dengan kepadatan 104 CFU. Apabila sistem telah berjalan seimbang, maka hewan uji siap untuk ditebar. Periode pemeliharaan pendederan kerapu tergantung pada kebutuhan. Padat tebar ikan disesuaikan dengan ukuran ikan. Uraian dan Jumlah Kaji Terap yang sudah dilakukan Kaji terap prototipe dilakukan di unit pembenihan Balai Budidaya Air Payau Takalar, namun pengguna prototipe sudah diujicoba oleh beberapa perguruan tinggi untuk penelitian mahasiswa. Kaji terap prototipe dilakukan sejak tahun 2006, mulai dari penggunaan desain tanki pemeliharaan yang bervolume 250 liter. Kemudian pada tahun 2009 pada tanki bervolume 500 liter, dan dilanjutkan pada tahun 2011-2012 pada tangki 1.000 liter. Prototipe generasi pertama tahun 2006, belum menggunakan waste trap, sehingga masih melakukan siponisasi. Selain itu belum juga menggunakan sistem ultra violet, kecuali penerapan filter mekanik dan biologi, serta protein skimmer. Pada prototipe generasi kedua tahun 2007 telah mengalami perbaikan dengan penempatan waste trap pada bagian bawah fiber kerucut pada tanki pemeliharaan. Pada tahun 2009, dibuat prototipe generasi ketiga dengan wadah volume 500 liter, penyempurnaan sudah menggunakan filter ultra violet, namun flow rate sistem belum optimal. Pada tahun 2011-2012 dilakukan pembuatan prototipe generasi keempat dengan volume 1000 liter yang telah disempurnakan, sehingga flow rate air bisa mencapai 500% per-jam. Hal ini dilakukan berdasarkan padat tebar pemeliharaan dan kekuatan pompa. Filter biologi dapat mereduksi tingkat amoniak dalam tangki Selanjutnya pengujian tingkat amonia Gambar 15. Prototipe RAS generasi awal tahun 2006
75
Gambar 16. Prototipe RAS generasi kedua tahun 2007 7
RAS Gambar 17 17. Prototipe RA S generasi ketiga tahun 2009
1
Padat Tebar (ekor/m3) 1.500 – 2.000
Ukuran (cm) 2–3
2
1.000 – 1.500
5
85
3
750 – 1.000
7–8
85
4
500 – 750
10
90
5
300 – 400
12 – 15
90
No
SR (%) 80
Benih Tabel 2. Padat T Tabel Tebar ebar B enih Glondongan pada Sistem Resirkulasi
Gambar 18. Prototipe RAS generasi keempat tahun 2012
dilakukan kembali pada siklus berikutnya dengan padat tebar lebih tinggi, pada periode ini introduksi nitrosomonas dan nitrobacter dilakukan untuk mempercepat kesetimbangan sistem, sehingga nilai amoniak yang diperoleh dalam tangki jauh dibawah baku mutu air yang disyaratkan, bahkan mencapai nilai nol (Gambar 20). Pada pengamatan total bahan organik terlarut (TOM), pada awal pemeliharaan Periode Pengamatan (Per-2 hr) tingkat nilai bahan organik tertinggi pada Gambar 19. Fluktuasi Amoniak pada Sistem Resirkulasi bak pendederan dan bak setelah filter tanpa introduksi introbacter mekanik yaitu ± 97 mg/l, sedangkan pada bak setelah melewati filter biologis dan protein skimmer nilai TOM berkisar antara 54 – 62 mg/l, dan selanjutnya mulai hari ke-13 hingga hari ke-21 fluktuasi nilai TOM mulai stabil dengan kisaran 78-88 mg/l. Berikut ini merupakan hasil pengamatan DO selama kegiatan (Gambar 22) Untuk meningkatkan Konsentrasi Amoniak (mg/l)
Grafik Fluktuasi Amoniak Pada Sistem Resirkulasi
Bak Pendederan
After Filter Biologis
Standart Mutu Amoniak
76
DO pada penerapan densitas maksimal, dapat juga dilakukan injeksi oksigen murni. Hasil pengamatan nitrat menunjukkan setelah melawati protein skimmer mengalami penurunan, apabila dibandingkan dengan kondisi nitrat pada bak pendederan dan bak filter biologis (Gambar 23).
Gambar 20. Kandungan Amoniak dalam Pendederan Kerapu dengan Sistem Resirkulasi setelah introduksi introbacter
Gambar 23. Kandungan Nitrat pada Pendederan Kerapu Densitas Tinggi setelah dipasang protein skimmer
Konsentrasi larutan oksigen dipengaruhi
oleh arus buatan (Gambar 24) Pertumbuhan panjang pendederan kerapu
tikus meningkat dari 8,29 cm menjadi 10,45 cm setelah 8 minggu periode pemeliharaan (Gambar 25)
Gambar 21. Kandungan Amoniak pada Penderan Kerapu Densitas Tinggi dengan Sistem Resikulasi
Gambar 24. Kandungan DO pada air penggelondongan kerapu berdasarkan arus
Gambar 22. Nilai DO pada Pendederan Kerapu Densitas Tinggi
77
KEUNGGULAN TEKNOLOGI Secara umum prototipe ini, merupakan hasil modifikasi dari sejumlah sarana dan prasarana yang ada, kemudian dilakukan sejumlah rekayasa sehingga penerapan RAS dapat dilakukan secara sederhana dan praktis. Untuk pengembangan lebih lanjut dapat dilakukan sejumlah desain yang lebih efektif dan fungsional, serta murah dan ramah lingkungan. Gambar 25. Pertumbuhan Panjang Kerapu Tikus
Produk desain prototipe RAS ini dapat setelah 8 minggu Pemeliharaan dalam sistem sirkulasi meningkatkan produksi, karena pada sistem ini padat tebar benih kerapu tikus yang didederkan jauh lebih tinggi dari cara konvensional. Pada sistem konvensional padat tebar sekitar 250 – 300 ekor/m3 sedangkan pada RAS bisa mencapai padat tebar 1.000 – 2.000 ekor/m3, dengan SR sekitar 85%. Penggunaan tenaga kerja lebih efektif dan efisien, cocok untuk skala rumah tangga karena sistem ini juga dilengkapi waste trap tanpa sistem siponisasi. Sisa pakan dan metabolisme ikan telah tertampung pada wadah khusus yang tiap pagi. Prototipe ini sangat fleksibel dan bersifat knockdown sehingga dapat dipindah-pindahkan dari satu tempat ke tempat lain dan tidak membutuhkan ruang yang luas sekitar 4 x 7 m2. Pemanfaatan prototipe memiliki jangkauan cukup luas, karena dapat digunakan untuk berbagai komoditas perikanan, baik pada perikanan laut maupun perikanan tawar. Penggunaan air menjadi hemat, karena sifat sistem yaitu zero water exchange, dengan tanpa membuang air. Penambahan air hanya dilakukan untuk mengganti air yang menguap dan yang dikeluarkan untuk flushing waste trap. Teknologi ini meminimalisir kerusakan lingkungan, karena buangan waste trap dari prototipe ini tidak dibuang secara langsung, akan tetapi dapat dikumpulkan untuk dijadikan pupuk. Demikian halnya kumpulan nitrat yang tertampung pada foam collector dari protein skimmer juga dapat diambil untuk dijadikan pupuk. LOKASI PENGKAJIAN DAN DAERAH REKOMENDASI Pengujian dan pembuatan prototipe dilakukan di Balai Budidaya Air Payau Takalar Desa Mappakalompo Kecamatan Galesong Kabupaten Takalar Propinsi Sul-Sel, dari tahun 2006-2012. Penerapan teknologi ini secara khusus diperuntukkan bagi wilayah yang mengembangkan budidaya perikanan yang bersifat ekonomis penting, akan tetapi secara umum yang digunakan pada seluruh komoditas perikanan, baik pada budidaya air payau, laut maupun tawar. KEMUNGKINAN DAMPAK NEGATIF Kemungkinan dampak negatif yang perlu diantisipasi yaitu sumber listrik dari PLN, apabila terjadi pemadaman. Oleh sebab itu dapat dilakukan antisipasi dengan menyediakan genset kecil, karena total sumber listrik yang digunakan untuk 2 pompa celup dan blower sekitar 280 watt.
78
KELAYAKAN FINANSIAL DAN ANALISA USAHA Secara ekonomi dapat dihitung analisa usaha dan kelayakan produksi, apabila setiap siklus per tangki pemeliharaan ditebar 1.000 ekor/m3 dari 4 tangki pemeliharaan yang ada, serta estimasi SR 85% dan selama setahun estimasi produksi 4 siklus. Bisa juga dilakukan lebih dari 4 siklus pertahun (tergantung pada musim tanam kerapu di KJA). Selain itu dapat juga dinaikkan jumlah padat tebarnya. A. Biaya Investasi Vol
Satuan
Harga Satuan (Rp)
No
Peralatan
1
Blower 40 watt
1 unit
2.500.000
2
Serat fiber
7 Box
10
70
3
Bioball
2000 Biji
250
500
4
Karbon aktif
10 Kg
20
200
5
Pasir kuarsa
1 Karung
35
35
6
Karang mati (akropora)
2 Karung
150
300
2 Unit
350
700
7
Pompa
8
Kerikil sungai
9
Fiber volume 1000 liter
6 Unit
10
Fiber volume 500 liter
1 Unit
11
Instalasi pipa
12 13
1 Karung
Jumlah (Rp) 2.500.00
35
35
1.500.000
9.000.000
750
750
1 Paket
1.500.000
1.500.000
Filter UV (2 lampu)
1 Unit
2.500.000
2.500.000
Waste trap
4 Unit
150
600
14
Lampu UV (36 watt)
2 Unit
250
500
15
Skimmer
2 Unit
250
Jumlah Biaya Insvestasi
500 19.690.000
B. Biaya Tetap (FC) No
Penyusutan Peralatan
Siklusl
Tahun
Jumlah siklus
Jumlah (Rp)
1
Blower 40 watt
4
5
20
125
2
Serat fiber
4
2
8
8.75
3
Bioball
4
15
60
8.333
4
Karbon aktif
4
2
8
25
5
Pasir kuarsa
4
4
16
2.188
6
Karang mati (akropora)
4
10
40
7.5
7
Pompa
4
1
4
175
8
Kerikil sungai
4
15
60
583
9
Fiber volume 1000 liter
4
15
60
150
10
Fiber volume 500 liter
4
15
60
12.5
11
Instalasi pipa
4
15
60
25
12
Filter UV (2 lampu)
4
10
40
62.5
13
Waste trap
4
15
60
10
14
Lampu UV (36 watt)
4
2
8
62.5
Skimmer
4
15
60
15
Jumlah Biaya Insvestasi
10 684.854
79
C. Biaya Tidak Tetap (VC) No Kegiatan 1 Benih kerapu (3.0 cm) (4 unit x 1000 ekor) 2 Pakan Benih (3-5% BT) 3 Listrik 4 Tenaga kerja (2 bulan) Jumlah Biaya Tidak Tetap
Volume 4.000 3 1 2
Satuan Ekor Karung Siklus Bulan
Harga (Rp) 4.500
Jumlah (Rp) 18.000.000
500.000 200.000 1.000.000
1.500.000 200.000 2.000.000 21.700.000
D. Bunga Modal Perhitungan Bunga 1% X (B+C) X 2 Bulan
Bunga 0,01
(B+C) 20.374.854
Bulan 2
Jumlah (Rp) 407.497
E. Jumlah Total Biaya (B+C+D) Perhitungan Bunga (B+C+D)
B 684.854
C 21.700.000
D 407.497
Jumlah (Rp) 22.792.351
Harga 9.000
Jumlah (Rp) 30.600.000
F. Penerimaan Produksi Benih Kerapu (6 cm) (4000 ekor, SR 85%) G. Keuntungan Perhitungan keungtungan Penerimaan - Jumlah total biaya
Volume 3400
Satuan Ekor
Penerimaan (Rp) 30.600.000
Jumlah Total Biaya (Rp) 22.792.351
Keuntungan (Rp) 7.807.649
H. Rasio Biaya dan Pendapatan (R/C) Perhitungan Rasio Biaya dan Penerimaan Jumlah Total Biaya (Rp) Pendapatan Penerimaan / Jumlah Total 30.600.000 22.792.351 Biaya Jadi dari pengeluaran Rp. 1,- akan diperoleh keuntungan Rp.1,34,-
Rasio R/C 1,34
I. Break Event Point (BEP) BEP Perhitungan
Jumlah Total Jumlah Produksi BEP Biaya (Rp) Jumlah Total Biaya/ Jumlah Produksi 22.792.351 3.400 6.704 Jadi untuk mencapai titik impas (BEP) harga jual produksi benih minimal 2.532 ekor (SR 63,3) BEP Perhitungan Jumlah Total Harga Jual BEP Unit Biaya (Rp) Jumlah Total Biaya/Harga jual 22.792.351 9.000 2.532 Jadi untuk mencapai titik impas (BEP) maka jumlah produksi benih minimal 2.532 ekor (SR 63,3) J. Payback Period Perhitungan
Jumlah Biaya Investasi (Rp) Jumlah Biaya Insvestasi/Keuntungan 22.792.351 Periode untuk pengembalian modal yaitu 2,92 tahun
Keuntungan 7.807.649
PP 2.92
Nampak penghitungan BEP lebih rendah dari harga jual dan layak diteruskan, serta waktu pengembalian modal yaitu 2, 92 tahun. Secara ekonomis penggunaan sistem ini dapat meningkatkan keyakinan dari investor atau pengguna, karena tingkat keberhasilan produksi sangat tinggi. Selain itu masa pemakaian sistem untuk sebagian besar komponen memiliki usia pakai cukup panjang, yaitu 7 – 15 tahun.
80
TINGKAT KOMPONEN DALAM NEGERI Seluruh komponen yang digunakan bersifat umum dan mudah diperoleh pada toko bangunan, toko akuarium dan toko listrik. FOTO-FOTO
Gambar 26. Penempatan double drain sistem pada tanki.
Gambar 27. Penempatan catridge filter untuk mengurangi material koloid di air pada unit filtrasi.
Gambar 28. Pengujian sistem secara menyeluruh (kanan) dan secara khusus pada kondisi skimmer (kiri).
81
BBAP Polikultur Rumput Laut Lawi-lawi (Caulerpa, sp) dengan Rajungan (Portunus pelagicus. Linn) di Tambak Unit Eselon I Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya Satuan Kerja Balai Budidaya Air Payau Takalar Alamat Jl. Perikanan, Desa Mappakalompo, Kecamatan Galesong, Kabupaten Takalar, Provinsi Sulawesi Selatan. Telp. (0418) 2326577 Fax. (0418) 2326777 Kategori Teknologi Teknologi Rekayasa Sifat Teknologi Inovasi Baru Masa Pembuatan 2012 Tim Penemu Dasep Hasbullah Sugeng Raharjo Jumriadi Harnita Agusanty Mike Rimmer Kontak Person Dasep Hasbullah
[email protected]
82
DESKRIPSI TEKNOLOGI Tujuan dan Manfaat Penerapan Teknologi Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk (a) mengembangkan komoditas alternatif yang prospektif dan menguntungkan, (b) memperoleh model budidaya rajungan yang tepat, efisien dan ramah lingkungan, (c) meningkatkan produktivitas tambak, (d) menambah nilai produksi dari lawi-lawi sebagai bioshelter dan produk samping kegiatan budidaya rajungan, dan (e)meningkatkan pendapatan pembudidaya dan memperluas lapangan kerja. Manfaat lain dari kegiatan ini adalah tersedianya produk lawi-lawi sebagai pangan yang mempunyai banyak manfaat bagi manusia. Manfaat lawi-lawi disamping sebagai bahan panganatau makanan segar sebagai lalapan juga memiliki hasiat sebagai obat beberapa penyakit tertentu dan masih banyak kegunaan/hasiatnya antara lain : Meningkatkan nafsu makan Sebagai obat kanker dan penyembuh luka Meningkatkan daya tahan dan kekebalan tubuh Sumber nutrisi tubuh (Tabel 1) Melancarkan peredaran darah Meningkatkan percaya diri (awet muda) Meningkatkan vitalitas Anti alergi dan anti jamur Pencegahan rematik Pencegah terjadinya tumor Dapat digunakan sebagai obat bius yang aman untuk mobilisasi dan transportasi sistem pengiriman ikan PENGERTIAN Lawi –lawi (Caulerpa, sp), diambil dari bahasa daerah Makassar Sulawesi Selatan. Masyarakat di Sulawesi Selatan secara turun temurun telah mengkonsumsi rumput laut dari golongan makro alga yang mirip anggur hijau ini. Beberapa sebutan lain untuk lawi-lawi antara lain : Latoh (Jawa), Lato (Filipina), Umi Budo (Jepang), Latin, Caulerpa sp, Anggur laut (Indonesia) dan Sea grapes (bahasa Inggris). Rajungan (Portunus pelagicus. Linn), merupakan jenis kepiting yang memiliki habitat alami hanya
83
di laut. Jenis ini biasa ditemukan di areal pasang surut dari Samudera Hindia, Samudera Pasifik dan Timur Tengah sampai Mediterania. Rajungan dimanfaatkan sebagai sumber bahan pangan dengan nilai ekonomis tinggi. Makanan rajungan di alam antara lain bivalvia, ikan dan beberapa jenis alga. Rajungan memiliki sifat yang sangat berbeda dengan kepiting bakau (Scylla serrata), Rajungan tidak dapat bertahan lama hidup di darat atau keluar dari lingkungan air. Nutrient
E. cottonii
C. JentiUifera
S. Polycystum
Protein (%)
9.76±1.33a
I0.41±0.26a
5.40±0.07b
Lipid (%)
1.10±0.05a
1.11±0.05a
0.29±0.01b
Ash {%)
46.19±0.42a
37.15±0.64c
42.40±0.41b
Crude fiber (%)
5.91±1.21b
1.9l±Oc
8.47±1.21a
Carbohydrate (%)
26.49±3.01c
38.66±0.96a
33.49± 1.70b
Moisture content (%)
I0.55± 1.6Oa
10.16±0.80a
9.95±0.55 a
Soluble fiber (%)
18.25±0.93a
17.21±0.87a
5.57±0.28b
Insoluble fiber (%)
6.80±0.06c
15.78±1.20b
34.10±0.28a
Total dietary fiber {%)
25.05±0.99
32.99±2.07
39.67±0.56
Vitamin C (mg 100 g -1 WW)
35.3±0.01a
34.7±0.02a
34.5±0.01a
α-tocopherol (mg/ 100 g DW)
5.85±0.27c
8.41±0.12b
11.29±0.61a
Na (mg 100 g -1 DW)
1771.84±0.01b
8911.46±0.00a
1362.13±0.00c
K (mg. 100 g-1 DW)
13,155.19±1.14a
1142.68±0.00c
8371.23±0.01b
Ca (mg.I 00 g-1 DW)
329.69±0.33c
1874.74±0.20b
3792.06±0.51a
Mg (mg. 100 g-1 DW)
271.33±0.20c
I028.62±0.58a 4
87.81±0.24b
Fe (mg. 100 g-1 DW)
2.61±0.00c
21.37±0.00b
68.21±0.03a
Zn (mg/100 g mg 100 g-1 DW)
4.30±0.02a
3.51±0.00b
2.15±0.00c
Cu (mg 100 g-1 DW)
0.03±0.00b
O.II±O. 00a
0.03±0.00b
Se (mg 100 g-1 DW)
0.59±0.00c
1.07±0.00b
1.14±0.03a
I(μg g-1 DW)
9.42±0.12a
4.78±0.59c
7.66±0.10b
Na/K ratio
0.14
7.8
0.16
Total cations
15,535.58±1.70a
12,989.56±0.78c
14,084.76±0.82b
Values are expressed as mean±standard deviation,n =3 Values in the same row with different superscripts letters are significantly different (p<0.05)
Tabel 1. Komposisi Nutrient Eucheuma cottonii, Caulerpa lentillifera and Sargassum polycystum (% berat kering sample). Matajun et aI.(2009)
RINCIAN DAN APLIKASI TEKNIS Persyaratan Teknis Penerapan Teknologi Secara umum pemeliharaan lawi-lawi tidak rumit. Lawi-lawi pada umumnya hidup di perairan laut dangkal namun bisa juga dibudidayakan di tambak baik secara monokultur maupun secara polikultur dengan komoditas bandeng, udang atau rajungan. Lokasi yang dipilih untuk budidaya lawi-lawi dan rajungan adalah yang memiliki karakteristik lingkungan sebagai berikut : 1. Lokasi tambak jauh dari pengaruh air tawar yang dapat menurunkan salinitas air 2. Lokasi tambak jauh dari sumber polutan 3. Lokasi tambak harus dengan sumber air laut. Air tambak bisa berganti secara rutin mengikuti pasang surut air laut 4. Tambak dengan tanah dasar pasir berlumpur, karena lumpur menjadi substrat bagi lawilawi 5. pH tanah tambak harus normal (tidak asam dan tidak basa) 6. Salinitas tambak > 20 ppt.
84
Lawi-lawi yang telah ditanam harus dikontrol secara rutin untuk mengetahui kondisi perkembangannya. Begitu juga kondisi salinitas air harus senantiasa dimonitor terutama pada musim hujan karena salinitas air sewaktu waktu bisa menurun tajam hingga di bawah 25 ppt. Salinitas yang optimum untuk budidaya Lawi-lawi yaitu diatas 20 ppt (Tabel 2). Untuk menjaga salinitas air tambak harus dilakukan penggantian air secara rutin (minimal satu minggu sekali).
NO
PARAMETER
KISARAN OPTIMAL o
1
Suhu
25-33 C
2
Salinitas
20-30 ppt
3
Pertukaran air
Maksimal 1 7 hari sekali
4
Kedalaman air
50 – 120 cm
Tabel 2. Kondisi lingkungan optimal untuk budidaya Lawi-lawi (Caulerpa,sp) dan Rajungan (Portunus pelagicus, linn)
Uraian Prosedur Operasional Standar a. Uraian teknologi Teknologi yang diterapkan yaitu kegiatan budidaya polikultur (pemeliharaan beberapa komoditas) secara bersamaan dalam satu ekosistem yang sama. Dalam kegiatan ini dilakukan pemeliharaan dan produksi dua biota aquatik yang berbeda yaitu Lawi-lawi(Caulerpa. sp) sebagai flora aquatik dan Rajungan (Portunuspelagicus. Linn)sebagai fauna aquatik yang berasal dari golongan Crustacea. b. CaraPenerapan teknologi 1. Tahap Persiapan Tambak Pengeringan dasar tambak (Gambar 1) dilakukan untuk mempercepat proses pembusukan bahan organik dan pembersihan gulma perairan yang bisa menjadi kompetitor dalam penggunaan oksigen. Pemberantasan hama dilakukan dengan menggunakan saponin (4050g/m2) dan pengapuran dasar tambak dengan menggunakan CaO (25-30 g/m2) atau kapur CaCO3dengan dosis (60-70 g/m2). Pemupukan tambak dilakukan untuk memperkaya ketersediaan unsur hara yang dibutuhkan bagi pertumbuhan lawi-lawi dan pakan alami yang bermanfaat bagikehidupan rajungan. Dosis pemberian pupuk organik yaitu 20-40 g/m2atau 200-400 kg/Ha. Setelah Gambar 1. Proses pengeringan tambak selama 3-4 hari pemberian pupuk dan terjadi sebelum pengapuran dan pemupukan proses ionisasi atau mineralisasi selanjutnya tambak diisi air secara berangsur-angsur hingga dalam air 10-15 cm. Setelah kedalaman air tambak 15-25 cm, dilakukan penanaman lawi-lawi dengan padat tanam 500 g/m2pada 10-15 % x luas areal (Ha) atau 500-750 kg/Ha..
85
2. Penanaman bibit lawi-lawi Penanaman lawi-lawi dilakukan lebih awal dari rajungan, yaitu 2 minggu sebelum penebaran benih rajungan. Hal ini dimaksudkan agar pada saat benih rajungan ditebar lawi-lawi sudah tertanam kuat di dasar tambak dan sudah bisa dimanfaatkan sebagai shelter rajungan. Lawi-lawi ditanam di dasar tambak pada kondisi ketinggian air tambak antara 15-25 cm dengan padat tanam 0,5 kg/m2 (masing-masing 5 rumpun lawi-lawi/m2 masing-masing 100 gram per rumpun) dengan jarak tanam antar rumpun atara 50 – 100 cm tergantungpada kondisi lingkungan tambak. 3. Pemberian Pupuk Susulan Pemberian pupuk susulan dilakukan untuk membantu proses pertumbuhan dan peremajaan selsel pada tallus dan anggur pada lawi-lawi setelah dilakukan panen sebagian (parsial). Disamping itu pemberian pupuk susulan juga sangat berguna bagi pengkayaan ketersediaan pakan alami rajungan. Meningkatnya ikan-ikan pelagis yang masuk ke areal tambak meningkatkan ketersediaan makanan tambahan rajungan di tambak. Bahan yang digunakan dalam pemberian pupuk susulan ini bisa menggunakan pupuk organik kompos atau pupuk organik cair dengan dosis sesuai kondisi dan kesesuaian lahan. Waktu pemupukan sebaiknya dilakukan pada pagi hari setiap 6 minggu sekali setelah pergantian air. 4. Penebaran Rajungan Penebaran benih rajungan dilakukan setelah dua minggu penanaman lawi-lawi. Benih rajungan yang digunakan adalah benih unggul hasil pengembangbiakan di hatchery Balai Budidaya Air Payau (BBAP) Takalar. Benih rajungan yang ditebar berukuran 1-2 cm dengan berat rataan 1,5 2 g/ekor. Sebelum ditebar di tambak benih rajungan terlebih dahulu diaklimatisasikan dengan cara dipelihara dalam waring yang dipasang di tambak. Setelah 3 hari aklamatisasi, benih rajungan dilepas ke dalam tambak. Budidaya rajungan di tambak dilakukan selama 4 bulan masa pemeliharaan. Sistem budidaya yang dilakukan adalah sistem intensif dan tradisional. Pada sistem intensif, benih rajungan ditebar dengan kepadatan 2 ekor/m2 sedangkan pada sistem tradisional 1 ekor/m2. 5. Pemberian Pakan Rajungan Pakan yang digunakan sebagai pakan tambahan untuk pembesaran rajungan adalah ikan rucah yaitu jenis ikan yang bernilai ekonomis rendah atau limbah olahan ikan. Ikan rucah dicincang agar sesuai dengan ukuran dan bukaan mulut rajungan. Pemberian pakan tambahan untuk rajungan pada budidaya sistem semi intensif dilakukan satu kali perhari dengan dosis 2% dari total biomassa (berat total benih yang Gambar 3. Ikan rucah dicincang (kiri) dan hasil cincangan (kanan) untuk pakan tambahan pada kegiatan pembesaran rajungan di tambak dibudidayakan). Waktu yang
86
tepat untuk pemberian pakan pada sistem semi intensif ini adalah pada jam 11-12 siang yaitu pada kondisi nafsu makan rajungan sangat tinggi. Sedangkan pada sistem budidaya intensif pemberian pakan pada rajungan yang dipelihara dilakukan sebanyak 3 kali perhari dengan dosis 2-3% dari total biomassa. Pemberian pakan yang tepat yaitu pada jam 08.00, jam 12.00 dan jam 15.00 dan dilakukan secara kontinyu setiap hari sampai masa rajungan siap panen. 6. Sampling Rajungan Sampling adalah penimbangan dan pengukuran beberapa sampel rajungan yang dibudidayakan secara acak untuk mengetahui bobot dan ukuran terkini baik pada rataan perindividu maupun per populasi rajungan yang dibudidayakan. Sampling juga dimaksudkan untuk dapat mengetahui laju pertumbuhan, nilai konversi pakan (FCR), angka sintasan hidup (SR)dan tingkat efisiensi pemberian pakan, serta dapat memperkirakan kebutuhan pakan lanjutan. Agar rajungan tidak stress sebaiknya sampling dilakukan setiap dua minggu sekali pada pagi atau sore hari Gambar 3. Kegiatan sampling yang dibudidayakan untuk mengukur laju pertumbuhan (kiri) dan berat rataan rajungan (kanan) ketika suhu air rendah. 7. Metode Pemanenan Lawi-lawi dan Rajungan pada sistem polikultur Lawi-lawi maupun rajungan dapat dipanen secara mudah kapan saja waktunya disaat diinginkan sesuai kondisi pasar. Pemanenan bisa dilakukan secara berangsur-angsur sebagian (parsial) atau dipanen seluruhnya (panen total) Panen Parsial (Panen sebagian) Panen Parsial adalah proses pemanenan sebagian biota aquatik yang dibudidayakan tanpa harus mengeringkan air di tambak dan tanpa mengganggu berlangsungnya kegiatan budidaya atau pembesaran lanjutan. Pada sistem panen parsial, lawi-lawi atau rajungan dipanen sesuai kebutuhan dengan waktu bersamaan ataupun pada waktu yang berbeda. Pada sistem panen seperti ini yang dipanen terlebih dahulu adalah rajungan dengan menggunakan alat tangkap (rakkang) yang diberi umpan ikan rucah (Gambar 4). Rakkang di letakkan dekat saluran pemasukan air laut sehingga rajungan terjebak dalam rakang tersebut. Selanjutnya rajungan ditampung dalam waring/hapa, untuk disortir berdasarkan ukuran sesuai kebutuhan dan permintaan pasar. Setelah proses penangkapan rajungan selesai pemanenan lawi-lawi dilakukan secara langsung dengan gerak panen kearah inlet. Panen lawi-lawi dapat dilakukan secara berkala dimulai ketika umur tanam lawi-lawi sudah lebih dari 3 minggu ke atas. Lawi-lawi yang sudah dipanen
87
dibilas air tambak yang bersih untuk membersihkannya dari kotoran lumpur. Lawi-lawi ditampung dalam waring pemberokkan selama 3 hari dan dilakukan sortir secara kuantitas dan kualitas untuk dikemas kedalam karung sebelum didistribusikan ke pasar. Panen Total (Panen Seluruhnya) Proses panen total dilakukan dengan mengeluarkan air tambak secara perlahan-lahan sampai tambak menjadi kering dengan menggunakan pompa dorong ataupun pompa hisap. Seluruh biota yang dibudidayakan dipanen seluruhnya baik lawi-lawi maupun rajungannya. Pengeringan dasar tambak dilakukan lagi untuk kegiatan selanjutnya. Pada sistem panen total rajungan dilakukan setelah panen parsial, selanjutnya air tambak disurutkan sambil terus dilakukan panen rajungan dengan menggunakan rakkang sampai permukaan tambak terus menurun. Sebelum air tambak kering, dilakukan panen lawi-lawi secara total, dibersihkankemudiandisortir di tambak atau saluran air laut yang bersih di sekitar lokasi panen. Setelah lawi-lawinya habis dipanen dilakukan panen rajungan sampai habis, kemudian di tampung dalam waring/hapa. Setelah lawi-lawi dan rajungan selesai dipanen, pematang tambak diperbaiki dan Gambar 4. Alat panen rajungan atau Rakkang (kiri) dan rajungan hasil dikeringkan untuk panen total (kanan) fase penggunaan tambakselanjutnya. Uraian Kaji Terap yang sudah dilakukan Kajiterap (Gambar 5) terkait teknologi budidaya polikultur lawi-lawi dengan rajungan ini dilakukan pada bulan Maret sampai dengan Juli 2012 di dua lokasi tambak milik pembudidaya di Dusun Gambar 5. Interaksi antara lawi-lawi (sebagai bioshelter) dengan Rajungan (simbiosis mutualisme) pada polikultur lawi-lawi dan rajungan Puntondodan Dusun Turikalle Teluk Laikang Kabupaten Takalar Sulawesi Selatan.Bahan yang digunakan adalah bibit lawi-lawi kultivar bulaeng, benih rajungan, pakanrucah, pupuk organik dan probiotik. Produksi lawi-lawi berbeda pada tambak semi intensif dan tradisional (Tabel 3) yang luasnya 400 m2. Sedangkan produksi rajungan dari polikultur dengan lawi-lawi pada tambak 10.000 m2 berkisar antara 18 – 221 kg (Tabel 4) dengan salinitas air tambak berkisar antara 18,8 – 31,6‰ (Gambar 6).
88
Gambar 6. Grafik hasil Pengamatan kualitas air selama kegiatan
No
Jumlah Tebar (kg)
Padat Tebar (kg/m 2)
Pertumbuhan/ produksi (kg)
Hasil (Kg)
Salinitas (ppt)
Sistem budidaya
Keterangan/ Lokasi
1
200
0,5
9.52
9.32
33-42
Semi Intensif
Laikang
2
200
0,5
6.4
6.2
33-42
Tradisional
Laikang
Tabel 3. Produksi lawi-lawi (Caulerpa sp)pada sistem polikultur dengan rajungan (Portunus pelagicus. Linn) di tambak Laikang Kabupaten Takalar selama 4 bulan pemeliharaan
No
Jumlah Tebar (ekor)
Padat Tebar (ekor/m 2)
Kelangsungan hidup (%)
Hasil (Kg)
Salinitas (ppt)
Sistem budidaya
Keterangan/ Lokasi
1
20
2
221
28,3 %
33-42
Semi Intensif
Laikang
2
10
1
164
22,6 %
33-42
Tradisional
Laikang
3
5
0.5
18
10,4 %
33-60
Tradisional/mon okultur
Laikang
Tabel 4. Produksi dan kelangsungan hidup rajungan (Portunus pelagicus. Linn)hasil polikultur dengan lawi-lawi (Caulerpa, sp) di tambak Laikang Kabupaten Takalar.
KEUNGGULAN TEKNOLOGI Kegiatan uji coba polikultur budidaya lawi-lawi dengan rajungan sistem intensif maupun tradisional memberikan gambaran usahamenguntungkan walaupun dengan hasil produksi rajungan yang masih rendah, tapi jauh lebih baik dibanding sistem budidaya monokultur yang biasanya pembudidaya lakukan. Pada sistem polikultur dengan lawi-lawi dengan pemberian pakan menghasilkan produksi rajungan sebanyak 221kg,Sedangkan untuk polikultur tanpa diberi pakan diperoleh produksi akhir rajungan sebanyak164 kg dan untuk budidaya monokultur rajungan secara tradisional (tanpa diberi pakan) hanya dihasilkan produksi rajungan sebanyak 18 kg dengan kelangsungan hidup sangat rendah (SR = 10,4%). Ukuran rajungan setelah 4 bulan masa pemeliharaan berkisar antara 5-12 ekor/kg dengansintasan 28 %. Data tersebut memperlihatkan hasil yang lebih baik dari sistem monokultur yang sintasannya berkisar antara 10% - 17%. Pada awalnya tingkat sintasan yang ditargetkan adalah 30%. Kecilnya sintasan ini diduga karena kondisi tambak yang menyulitkan pada saat panen. Kondisi tambak gambut (eks tambak idle) dan berlumpur membuat banyak rajungan yang menyelinap di lumpur walaupun air bisa disurutkan. Didugamasih banyak rajungan yang tersisa di dalam tambak terutama untuk ukuran yang lebih kecil sehingga rajungan yang dibudidayakan tidak bisa di panen serentak dalam satu kali pemanenan.
89
WAKTU DAN LOKASI PENGKAJIAN, DAERAH REKOMENDASI Data dari hasil uji coba di Dusun Puntondo dan Turikalle Desa Laikang Kabupaten Takalar yang dilaksanakan pada bulan Maret s/d Juli 2012 menunjukkan bahwa budidaya lawi-lawi dan rajungan pada sistem intensif memberikan dampak yang lebih baik terhadap kelangsungan hidup (SR) rajungan sehingga produktivitasnya lebih baik dengan ukuran relatif seragam. Pada sitem tradisional yang tidak diberi input pakan juga menunjukkan angka kelulushidupan yang cukup baik dibanding sistem monokultur. Hal ini membuktikan adanya pengaruh yang cukup efektif penggunaan lawi-lawi sebagai shelter/habitat rajungan yang ideal. Lain halnya dengan sistem monokultur budidaya rajungan yang kelulushidupannya rendah dan ukuran kurang seragam, ini sangat memungkinkan sebagai akibat dari tidak adanya shelter tempat rajungan berlindung dari ancaman sifat kanibalisme sesamanya terutama pada saat pergantian kulit (molting) dan kompetisi pada saat mengkonsumsi pakan.
Gambar 7. Kawasan pengembangan lawi-lawi dan rajungan (Teluk Laikang), Di Sulawesi Selatan
Wilayah Penerapan dan pengembangan lokasi teknologi Budidaya polikultur lawi-lawi dengan rajungan adalah wilayah yang strategis dan memiliki kelayakan teknis sebagai habitat yang cocok untuk budidaya lawi-lawi dan rajungan. Lokasi yang dipilih sebaiknya berdekatan langsung dengan bibir pantai agar memudahkan penggantian air laut yang sangat dipengaruhi oleh pasang surutnya air laut (Gambar 7). Daerah dengan latar belakang sektor pertanian yang kurang maju adalah salah satu kawasan yang tepat untuk dijadikan pengembangan budidaya lawi-lawi dan rajungan sehingga perekonomian masyarakat dapat ditingkatkan melalui pertanian aquatik (budidaya lawi-lawi di tambak). KEMUNGKINAN DAMPAK NEGATIF Kemungkinan dampak negatif yang dapat ditimbulkan dari kegiatan budidaya polikultur seperti ini diantaranya produksi lawi-lawi yang melimpah jika tidak sesuai dengan permintaan pasar yang
90
c u k u p a k a n mengakibatkan menurunnya harga jual lawi-lawi dipasaran. Sebagai antisipasi dari k e m u n g k i n a n terjadinya kondisi tersebut dilakukan Gambar 8. Proses panen sebagian (parsial)(kiri) dan penampunganlawi-lawi berbagai cara dalam hapa di tambak sebelum dipasarkan (kanan) sosialisasi produk lawilawi dalam berbagai kemasan untuk membuka akses pasar yang baru di masyarakat terutama di sekitar kawasan pengembangan budidaya lawi-lawi. Selain itu perlu dicari peluang pasar agar lawi-lawi dapat dipasarkan sebagai bahan baku produk olahan pangan dan obat-obatan dengan bekerja sama dengan berbagai pihak untuk menjajaki peluang ekspor lawi-lawi ke manca negara. Dampak lain yang kemungkinan dapat timbul karena sifat lawi-lawi yang menyerap substrat, jika lokasi budidaya memiliki substrat yang banyak mengandung limbah dan amoniak dapat menurunkan kualitas produksi dan lawi-lawi yang dihasilkan kurang higienis. Hal ini dapat diantisipasi dengan pemilihan lokasi budidaya yang baik sebelum kegiatan budidaya dilaksanakan. KELAYAKAN FINANSIAL DAN ANALISA USAHA Kegiatan budidaya lawi-lawi secara polikultur dengan rajungan memberikan harapan baru bagi pembudidaya/petambak. Rajungan bisa dibudidayakan di tambak secara bersamaan dengan lawilawi karena dua biota aquatik yang berbeda spesies ini satu sama lain mempunyai interaksi positif yang saling menguntungkan (bersimbiosis mutualisme) dan dapat menyesuaikan diri pada lingkungan yang sama. Lawi lawi sebagai tanaman perairan tambak sangat membantu berperan dalam merangsang laju pertumbuhan rajungan dalam suplai oksigen pada siang hari dan tidak berbahaya pada malam hari, bahkan menjadi tempat yang nyaman bagi rajungan pada saat fase istirahat dan ganti kulit (molting). Pada sisi lain keberadaan rajungan juga tidak mengganggu
No
Sistem Budidaya
Intensif/
Total input (pupuk, benih)
Lawi -lawi (kg)
Rajungan (kg)
Harga (Rp)
Keuntungan Bersih (Rp)
Harga (Rp)
9.400.000
1 Polikultur
OUTPUT
9.52
19.040.000
221
6.409.000
16.049.000 12.556.000
(ada pakan)
2
Tradisional/ Polikultur
5.000.000
8.4
12.800.000
164
4.756.000
3
Tradisional/monokultur
1.500.000
-
-
18
522
4
Tradisional/monokultur
550
7.55
15.100.000
-
-
-978.000 *
14.550.000
Tabel 5. Gambaran hasil produksi sistempolikultur lawi-lawi (Caulerpa, sp) dengan rajungan (Portunus pelagicus. Linn) di tambak Laikang Kabupaten Takalar, selama satu siklus (Masa pemeliharaan 3,5 bulan). *)Tambak porous, air dangkal bersuhu panas tanpa lawi-lawi sehingga produksi rajungan rendah
91
)
NO
Volume
Bahan/Alat
Satuan
Harga Satuan Jumlah harga (Rp) (Rp)
A. Modal Usaha 1 2 3 4 5 6 7
Bibit Lawi lawi Pupuk Organik Benih Rajungan Pakan Rajungan (ikan rucah) Alat Tangkap Rajungan Waring Penampungan Lawi lawi(ukuran 4x4 m) Timbangan JUMLAH
200 125 20.000 150 2 1 1
kg kg ekor kg unit buah buah
3.500 3.600 300 13.000 150.000 500.000 250.000
700.000 450.000 6.000.000 1.950.000 300.000 500.000 250.000
9.400.000
B. Produksi 1 2
Lawi-lawi Rajungan
9.520 kg 221 kg
2.000 29.000
19.040.000 6.409.000
25.449.000
JUMLAH
16.049.000
C. Hasil Usaha persiklus (B-A) Tabel 6. Hasil usaha per siklus
Gambar 9. Rajungan yang sudah dipanen
perkembangan dan pertumbuhan lawi-lawi, bahkan kotoran dan sisa pakan hasil metabolisme rajungan secara tidak langsung menjadi masukan unsur hara yang berguna bagi pertumbuhan lawi-lawi. Berdasarkan analisa sederhana terhadap hasil kegiatan kaji terap teknologi polikultur lawi-lawi dengan rajungan ini diperoleh kesimpulan ekonomis bahwa budidaya polikultur lawi-lawi dengan rajungan sangat menguntungkan (Tabel 5 dan 6) dan bisa dikembangkan menjadi teknologi alternatif dalam rangka menunjang program industrialisasi perikanan. Pada sisi teknis kegiatan ini dapat menghasilkan kesimpulan teknis sebagai berikut : Lawi-lawi dapat dijadikan sumber (a) (b) (c) penghasilan harian bagi para pembudidaya pada sistem p o l i k u l t u r d e n g a n r a j u n g a n Gambar 10. Tiga kultivar lawi-lawi (Caulerpa, sp) yang dikembangkan dalam kajian: sebelum panen rajungan. Kultivar Bu'ne(C. racemosa) (a), Bulaeng (C. lentillifera) (b) dan lipan (C. Sertulariodes) (c)
92
Po l i k u l t u r l a w i - l a w i d e n g a n r a j u n g a n m e m b e r i k a n h a r a p a n b a r u b a g i pembudidaya/petambak Rajungan dapat dibudidayakan di tambak secara bersamaan dengan lawi-lawi karena dua biota aquatik yang berbeda spesies ini satu sama lain mempunyai interaksi positif yang saling menguntungkan (bersimbiosis mutualisme) dan dapat menyesuaikan diri pada lingkungan yang sama Model/teknik budidaya seperti ini dapat meningkatkan tingkat kelangsungan hidup rajungan dan meningkatkan angka produksi/meningkatkan pendapatan masyarakat pembudidaya tambak TINGKAT KOMPONEN DALAM NEGERI Tingkat komponen yang digunakan dalam kegiatan ini 100% produk dalam negeri, dimana semua bahan dan peralatan yang dipakai dalam kegiatan tersedia setiap saat dibutuhkan.
93
LP2BRL BPPBAP Teknologi Budidaya Sponge (Haliclona sp. dan Callispongia sp.) pada Rakit Apung di Laut Unit Eselon I Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan Satuan Kerja Loka Penelitian dan Pengembangan Budidaya Rumput Laut (LP2BRL), Gorontalo dan Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau (BPPBAP) Alamat Jln. Pelabuhan Etalase Perikanan, Tabulo Selatan, Kecamatan Mananggu (KP. 96265), Kabupaten Boalemo, Provinsi Gorontalo Kategori Teknologi Perikanan Budidaya Sifat Teknologi Inovasi Baru Masa Pembuatan 1998-2013 Tim Penemu Petrus Rani Pong-Masak, S.Pi, M.Si Prof. Dr. Rachmansyah Dr. Rosmiati, S.Si, M.Sc Ir. Muhammad Tjaronge Dra. Emma Suryati, M.Sc
Kontak Person Petrus Rani Pong-Masak
[email protected]
94
DESKRIPSI TEKNOLOGI Tujuan Dan Manfaat Penerapan Teknologi Produksi sponge (Haliclona sp. dan Callispongia sp.) untuk mengantisipasi permintaan bahan baku industry farmasi, serta pelestarian dan keberlanjutan pemaaatan sponge secara berkelanjutan. Manfaat dan kegunaan budidaya sponge : Penyediaan benih stek sponge untuk budidaya atau restoking ke alam. Untuk memproduksi sponge melalui budidaya dalam rangka mengantisipasi permintaan bahan baku bagi industri pengolahan dan pemanfaatan sumber daya bahan aktif sponge. Kelestarian dan keberlanjutan pemanfaatan sumber daya sponge. PENGERTIAN/DEFINISI Sponge Merupakan biota avertebrata di laut yang berasosiasi dengan terumbu karang dan memiliki potensi bioaktif yang mengandung biotoksin yang bersifat bakterisida. Rakit apung Wadah budidaya yang terbuat dari susunan balok kayu yang diberi pelampung dan dihubungkan dengan jangkar di laut Stek Potongan sponge sebagai benih dengan panjang 3 cm yang siap dibudidayakan. RINCIAN DAN APLIKASI TEKNIS Persaratan Teknis Penerapan Teknologi Persyaratan teknis teknologi budidaya sponge pada rakit apung di laut, adalah : Perairan dengan kecerahan minimal 7 meter, tidak terjangkau oleh sedimentasi dan air tawar dari daratan/sungai, Perairan yang tidak tercemar dengan limbah rumah tangga dan limbah pabrik Persyaratan fisik lokasi perairan : Lokasi budidaya harus terlindung dari hempasan langsung ombak yang kuat, seperti teluk dan selat.
95
Kecepatan arus 25 – 40 cm/detik yang memungkinkan terjadinya sirkulasi untuk suplai makanan, serta membilas dari bahan-bahan tersuspensi dalam air (silt) yang menutupi permukaan sponge. Substrat dasar perairan agak keras yang dibentuk oleh pasir dan pecahan karang serta bebas dari sedimen dan lumpur. Kedalaman perairan adalah 10 – 15 m sehingga sponge yang dibudidaya terhindar dari pengadukan sedimen dasar perairan, Kecerahan perairan > 7 m, dan Suhu perairan antara 26 – 30 oC. Persyaratan Kualitas Kimia Perairan Salinitas berkisar antara 30 – 36 ppt. dimana kisaran salinitas sebaiknya pada nilai optimum 35 ppt dengan fluktuasi yang tidak besar dari 3 ppt. pH dengan kisaran 7,0 - 8,5 dimana nilai pH menjadi faktor pembatas terhadap kehidupan dan keberadaan suatu hewan air. Faktor non-Teknis : Keterjangkauan (accessible), antra lain keterjangkauan jalur transportasi dan kemudahan memperoleh sarana prasarana budidaya. Ketersediaan prasarana dan sarana transportasi yang memadai untuk memperlancar akses pengangkutan. Lahan yang dipilih tidak menimbulkan konflik pemanfaatan dan penggunaan perairan sebagai alur pelayaran. 1.1. Uraian secara lengkap dan detail SOP, mencakup: a. Gambaran teknologi Sponge merupakan biota laut yang berasosiasi dengan terumbu karang dan memiliki potensi bioaktif yang mengandung biotoksin yang bersifat bakterisida, antara lain sponge jenis Haliclona sp., Callyspongia sp., Callyspongia pseudoreticulata sp., dan Halichondria cartilagena yang dapat menghambat perkembangan bakteri Vibrio sp., Pseudomonas sp., Aeromonas sp., Enterobacteriaceae dan Acinetobacter sp. Selain itu, bioaktif yang terkandung dalam sponge Hyatella intestinalis, Algilus flabelliformiss, Hipospongia comunis, Spongia afficinalis, Ircinia virabilis, Spongia gracilis, Dysidea avara, Erylis lendenfeldi, dan Dyctionella insica, telah dimanfaatkan dalam bidang farmasi dan pengobatan penyakit pada manusia dan hewan. Eksplorasi bioprospecting sumberdaya pesisir dan lautan, seperti sponge, merupakan suatu alternatif bagi pengendalian hama dan penyakit pada usaha perikanan budidaya. Kandungan bioaktif beberapa spesies sponge yang efektif sebagai antibiofouling terhadap teritip (Balanus amphitrit) pada keramba jaring apung di laut antara lain Asterospus sp., Callyspongia sp., Clathria sp., Clathria reinwardi, Desmopasma sp., Dysidea sp., Halichondria sp., Haliclona sp., Jaspis sp. Selanjutnya dinyatakan bahwa ekstrak sponge dari spesies Auletta sp., Clathria spp.,
96
dan T. cylindrica dapat menghambat pertumbuhan jamur yang menyerang benur udang windu. Studi toksisitas ekstrak sponge Auletta sp., Callyspongia sp., dan C. pseudoreticulata terhadap nener bandeng (Chanos chanos) oleh Peneliti Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau Maros menyimpulkan bahwa bioaktif sponge dapat dikembangkan menjadi bakterisida selektif pada pemeliharaan udang dan ikan. Prospek bioaktif sponge sebagai bakterisida, fungisida atau anti-virus untuk perikanan budidaya maupun untuk penyediaan kebutuhan farmasi dalam memproduksi obat-obatan terhadap manusia dan hewan, akan membutuhkan bahan baku yang tidak sedikit. Mengantisipasi eksploitasi sumberdaya sponge alam yang berlebihan untuk kebutuhan perikanan, farmasi maupun kebutuhan benih untuk pengembangan, maka perlu penelitian untuk mengetahui metode budidaya yang praktis dan efisien menggunakan stek sebagai sumber benih. Hampir semua sponge mampu meregenerasi yang dewasa dari fragment-fragment melalui sebuah proses reorganisasi selluler sampai menjadi individu baru. Usulan teknologi budidaya sponge ini diharapkan menjadi informasi dalam membudidayakan sponge untuk mengantisipasi permintaan bahan baku industri bagi pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya sponge secara berkelanjutan. b. Cara penerapan teknologi mulai persiapan sampai penerapan Alat dan Bahan Populasi / koloni sponge Haliclona sp. dan Callispongia sp. sebagai indukan. Sarana yang digunakan untuk satu unit rakit apung ukuran 10 m x 10 m Gunting dan pisau yang tajam, Aerator,selang, batu dan pengatur aerasi Timbangan Peralatan tulis-menulis Bak penampungan / waskom volume isi 20 liter air, Peralatan pengukuran kualitas air seperti suhu, salinitas, kecerahan, pH dan arus, Peralatan penunjang seperti perahu, baju pelampung, kacamata selam Tahapan Kegiatan Parents stock spesies sponge Haliclona sp. dan Callispongia sp. diperoleh dari koloni di alam sekitar kawasan pengembangan budidaya atau diintroduksi dari tempat lain. Tehnik transportasi yaitu dengan memasukkan Koloni sponge Haliclona sp. atau Callispongia sp. ke dalam kantong plastik transparan yang berisi air laut dan diberi oksigen kemudian diangkut menggunakan perahu dan/atau kendaraan roda 4 ke lokasi budidaya. Stok induk diadaptasikan sampai menjadi segarkembali setelah ditransportasi, sedangkan bibit yang stress harus diadaptasikan sampai pulih menjadi sehat seperti keadaan di alam. Kegiatan di lokasi budidaya diawali dengan persiapan substrat sebagai media tumbuh
97
biota uji, yakni substrat jaring poliethylen dengan ukuran mata jaring 0,5 inci yang dibentangkan pada rangka besi berbentuk segiempat dengan ukuran 60 x 90 cm. Rangka besi ebelum dibentuk, dibungkus (diselubungi) dengan selang plastik agar tidak mengkarat (korosi). Pe r s i a p a n s e l a n j u t n y a adalah pembuatan rakit Gambar 1. Koloni sponge Haliclona sp. dan Callispongia sp. sebagai bahan indukan yang siap di stek sumber benih untuk apung dengan luasan yang budidaya disesuaikan dengan kebutuhan. Koloni tersebut dipisahkan kemudian dipotong dengan ukuran panjang stek 3 cm. Pemotongan benih menggunakan gunting dan dilakukan dalam air dalam wadah yang diaerasi. Benih yang sudah terpotong diikat satu per satu pada jaring poliethylen (substrat) dengan menggunakan tali nilon ukuran 2 mm. Benih sponge dilekatkan secara horizontal dengan jarak antar benih 10 cm sehingga setiap media substrat memuat 42 potong benih. Setelah semua benih terikat, maka substrat benih ditenggelamkan ke dalam laut sampai mencapai kedalaman 5 meter. Posisi substrat dalam air adalah horizontal sehingga setiap benih yang dilekatkan pada substrat juga dalam posisi horizontal. Setiap unit wadah pemeliharaan digantungkan secara acak pada sebuah unit rakit apung yang sudah disiapkan. Pengamatan dan perawatan dilakukan pada pagi hari untuk menghindari degradasi dan stress sponge pada saat diukur atau perawatan. Substrat diangkat dengan menarik tali penggantung perlahan-lahan kemudian dilakukan perawatan dan pembersihan setiap individu sponge yang dipelihara. Pengamatan pertumbuhan dan mortalitas dilakukan secara berkala dengan cara mengukur Gambar 2. Bahan dan tahapan pembuatan media tumbuh pertambahan panjang total stek sponge pada jarring poliethylen dengan ukuran frame 90 x 60 cm setiap benih yang hidup.
98
Pengukuran menggunakan meteran plastik elastis (skala ketelitian 0,1 cm) sehingga dapat mengikuti arah dan bentuk pertumbuhan panjang s p o n g e . Pe n g u k u r a n dilakukan pada tempat yang teduh untuk menghindari degradasi dan stress sponge pada saat diukur. Untuk mengetahui laju Gambar 3. Cara pemotongan dan pemasangan stek bibit sponge pada media substrat untuk budidaya. pertumbuhan bobot maka dilakukan penimbangan bobot awal dan bobot akhir. Sebagai data pendukung dilakukan pengukuran kualitas perairan, yaitu suhu air dan oksigen terlarut (DO meter), pH (pH-meter), salinitas (hand refraktometer), dan kecerahan (secchi disc). Sponge dalam kondisi normal dan sehat setelah 75 hari pemeliharaan akan mengalami pertambahan panjang 20 – 25 cm untuk spesies Haliclona sp. dan 15-20 cm untuk spesies Callispongia sp. Uraian dan jumlah kaji terap yang sudah dilakukan Tahun 1998
Gambar 4. Media tumbuh stek sponge pada substrat poliethylen yang tergantung pada rakit apung di laut.
Gambar 5. Media tumbuh stek sponge pada rakit apung (tampak samping)
Mencari ukuran panjang stek yang optimal untuk pembudidayaan spesies Haliclona sp. dan Callispongia sp. Hasinya panjang stek 3 cm memperlihatkan pertumbuhan terbaik dibanding dengan panjang stek 1, dan 6 cm. Tahun 2008 Rataan panjang sponge, Haliclona sp. Setelah 30 hari pemeliharaan ternyata kedalaman 4 m bertumbuh tercepat (Tabel 1). Setelah 75 hari pemeliharaan pertumbuhan terbaik terlihat pada
99
kedalaman 9 m namun tidak berbeda nyata dengan pertumbuhan pada kedalaman 3 dan 6 m (Tabel 2). Hal ini memperlihatkan bahwa sinar matahari bukan menjadi faktor pembatas kehidupan sponge, karena sponge merupakan golongan biota laut dari fylum Phorifera. Pengukuran setelah : …
Kedalaman (m) Awal
15 hari
30 hari
45 hari
60 hari
75 hari
1
3,0±0,0a
5,46±1,07a
6,06±1,11b
7,02±1,53b
9,42±1,93bc
11,81±0,46bc
2
3,0±0,0a
5,70±1,40a
6,46±1,29ab
7,47±1,18b
10,07±2,29ab
12,34±0,26ab
3
3,0±0,0a
5,92±1,19a
6,75±1,82ab
7,17±1,79b
9,61±1,97ab
12,38±0,42ab
4
3,0±0,0a
5,69±1,0a
7,28±0,0a
8,48±2,01a
10,85±2,30a
12,99±0,43a
Nilai P
(P=0,0)
(P=0,61)
(P=0,07)
(P=0,08)
(P=0,05)
(P=0,04)
Tabe1. Rataan panjang total sponge, Haliclona sp. selama 75 hari pemeliharaan pada kedalaman berbeda dPP di Teluk Awerange, Kabupaten Barru, Sulsel.
Kedalaman (m)
Pengukuran setelah : … Awal
15 hari
30 hari
45 hari
60 hari
75 hari
1
3,0±0,0a
4,53±0,92a
5,48±1,17a
5,49±1,20b
7,19±1,93b
8,57±1,02b
3
3,0±0,0a
4,61±0,73a
6,17±1,22a
6,21±1,33ab
8,66±2,41a
9,15±0,43ab
6
3,0±0,0a
4,78±1,09a
5,91±1,31a
6,13±1,33ab
8,52±2,02a
9,66±0,48ab
9
3,0±0,0a
4,91±0,99a
5,91±1,37a
6,54±2,10a
8,60±2,15a
10,04±0,62a
Nilai P
(P=0,0)
(P=0,87)
(P=0,45)
(P=0,13)
(P=0,06)
(P=0,12)
Tabel 2. Rataan pertumbuhan (pertambahan panjang) sponge, Callyspongia sp. selama 75 hari pemeliharaan pada kedalaman berbeda dPP di Teluk Awerange, Kabupaten Barru, Sulsel.
Gambar 6. Hasil budidaya sponge dan model pertumbuhan cabang spesies Callyspongia sp. dan Haliclona sp. secara transplantasi pada substrat jaring poliethylen
Sintasan biota sponge selama pemeliharaan berkisar antara 81,67 % – 100 % (Tabel 3), dimana sintasan terendah umumnya terjadi pada pemeliharaan 1 m dPP baik pada spesies Haliclona sp. maupun spesies Callyspongia sp. Sintasan eksplan sponge yang rendah pada kedalaman 1 m
100
dPP dimungkinkan oleh fluktuasi kualitas perairan seperti perubahan suhu, arus dan salinitas karena pengaruh cuaca. Beberapa hal lain yang menyebabkan terjadiya mortalitas adalah kemampuan beradaptasi yang berbeda antara kedua spesies sponge yang dipelihara, dimana spesies Callyspongia sp. lebih cepat stres dibanding dengan spesies Haliclona sp.. Selain itu, terjadinya pemangsaan oleh ikan-ikan liar tertentu juga menjadi penyebab kematian dari biota yang diuji. Sedangkan pada pemeliharaan 9 m dPP dimungkinkan oleh pengaruh dasar perairan yang berlumpur sehingga partikel-partikel tersuspensi yang teraduk akan mudah menempel pada permukaan tubuh sponge sehingga mengganggu aktifitas filtering untuk memperoleh makanan dari lingkungannya. Jenis sponge
Haliclona sp.
Callyspongia sp.
Awal
15 hari
30 hari
45 hari
60 hari
75 hari
100±0
100±0
90±0
88.33±2.89
85±0
83.33±2.89
100±0
96.67±2.89
90±0
88.33±2.89
88.33±2.89
88.33±2.89
100±0
100±0
96.67±2.89
95±5
93.33±2.89
93.33±2.89
100±0
100±0
88.33±10.4
85±8.66
85±0
85±0
100±0
100±0
90±0
85±0
81.67±2.89
81.67±2.89
100±0
100±0
100±0
100±0
93.33±2.89
98.33±2.89
100±0
98.33±2.89
93.33±7.64
93.33±7.64
93.33±7.63
93.33±7.64
100±0
100±0
95±5
90±0
85±5
83.67±2.89
Tabel 3. Sintasan sponge selama 75 hari pemeliharaan pada kedalaman berbeda dari permukaan perairan di Teluk Awerange, Kabupaten Barru, Sulsel
Kemampuan beradaptasi terhadap lingkungan baru merupakan syarat bagi kelangsungan hidup suatu biota perairan. Secara alami perkembangbiakan sponge terjadi ketika kondisi lingkungan menguntungkan, micropyle terbuka dan archaeocytes pertama mulai mengalir keluar dan mereka segera melewati gemmule diatas substrat kemudian mulailah membangun kerangka pinacoderm dan choanoderm baru. Kualitas Perairan Nilai kisaran kualitas air selama percobaan berlangsung adalah suhu air antara 27.50-30.10 (0.89) C, oksigen terlarut antara 5.76 – 6.12 (0.15) mg/L, salinitas antara 34.00 – 35.00 (0.52) ppt, pH antara 8.20 – 8.50 (0.15), kecerahan air antara 8.30 – 9.60 (0.54) m, dan kecepatan arus antara 2.13 – 5.36 (1.28) cm/dtk. Kisaran parameter tersebut berada pada kisaran persyaratan hidup dan tumbuh biota pada ekosistem terumbu karang, kecuali peubah kecepatan arus yang rendah. Kecepatan arus yang rendah diduga sebagai salah satu penyebab lambatnya pertumbuhan sponge yang dipelihara dibandingkan dengan hasil pemeliharaan yang dilakukan di Teluk Labuange, Kabupaten Barru. Parameter kualitas perairan yang diukur secara eksitu di laboratorium memperlihatkan kisaran yang layak bagi pertumbuhan biota akuatik laut (Tabel 5.)
101
Waktu pemeliharaan (hari)
Suhu ( C)
DO (mg/L)
pH
Salinitas (ppt)
Kecerahan (m)
Awal
27.50 ±0.52
5.76±0.12
8.20±0.02
34.00±0.51
8.3±1.1
15
28.80±0.41
6.03±0.22
8.50±0.03
35.00±0.44
8.6±1.2
30
29.10±0.55
5.81±0.05
8.40±0.01
35.00±0.21
9.2±0.5
45
30.10±0.41
6.05±0.14
8.50±0.05
35.00±0.33
9.3±0.7
60
29.36±0.67
6.10±0.21
8.20±0.04
35.00±0.37
8.4±1.2
75
29.58±0.34
6.12±0.19
8.50±0.04
34.00±0.28
9.6±0.9
o
Tabel 4. Nilai kualitas perairan yang diukur secara insitu selama penelitian berlangsung di Teluk Awerange, Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan Waktu pemeliharaan (hari)
BOT (mg/L)
Awal 15 30
32.78±1.93
45
33.19±1.68
60
32.49±2.55
75
23.18±3.02
NO3-N (mg/L)
PO4-P (mg/L)
Fe (mg/L)
SO4 (mg/L)
38.03±1.59
0.068±0.04
0.3251±0.002
0.0006±0.0001
737.6±18.83
43.41±0.45
0.0234±0.0022
0.0011±0.001
0.0014±0.0008
681.78±110.52
0.0347±0.007
0.0027±0.0
0.0007±0.0003
549.38±20.74
0.0288±0.0038
0.0104±0.0017
0.0006±0.0001
581.65±41.02
0.1226±0.1807
0.0045±0.0017
0.0005±0.0
880.05±95.008
0.0235±0.0009
0.0235±0.0002
0.0006±0.0001
754.26±85.22
Tabel 5. Nilai kualitas perairan yang diukur secara exitu selama penelitian berlangsung di Teluk Awerange, Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan
KEUNGGULAN TEKNOLOGI Uraian tentang teknologi modifikasi Teknologi pendukung sudah tersedia, yaitu rakit apung. Juga sarana dan prasarana pendukung dengan mudah dapat diperoleh berupa jaring polyethylene, tali nilon, frame, kayu, drum pelampung, serta parents stock sponge yang dapat diperoleh di laut. Cara konstruksi media budidaya relative mudah, penanganan benih, dan perawatan selama budidaya relative mudah. Pemeliharaan sponge tidak membutuhkan pakan. Panen mudah dilakukan. Tidak mengeksploitasi sumber daya sponge di alam jika membutuhkan bahan baku yang banyak. Harga yang cukup menggiurkan, yakni Rp. 5.000 per stek bibit yang sudah mulai tumbuh. Uraian tentang keberhasillan teknologi Berdasarkan kajian yang telah dilakukan maka teknologi ini sangat mudah, juga sangat efisien, dan layak untuk dilakukan. Selain itu kegiatan produksi sponge akan sangat menguntungkan karena tidak akan mengganggu proses budidaya. Mudah diterapkan dalam sistem usaha kelautan dan perikanan Berdasarkan aspek ekologi, sosial budaya, ekonomi, teknis, infrastruktur, fiksal, hukum dan kelembagaan, penerapan metode budidaya sponge mudah diterapkan oleh pembudidaya dan pelaku usaha, baik secara personal maupun secara kelembagaan.
102
Ramah lingkungan Teknologi budidaya sponge tidak mencemari lingkungan, tidak merusak, tetapi sebaliknya dengan peran ekofisiologinya akan dapat mengurangi pencemaran dengan sifat absorbnya. Budidaya sponge juga memperlihatkan bahwa banyak biota laut yang memanfaatkan sponge sebagai tempat perlindungan dan pembesaran larvanya. WAKTU DAN LOKASI PENELITIAN, DAERAH YANG DIREKOMENDASIKAN Sponge telah teruji mengandung biotoksin yang bersifat bakterisida, antara lain sponge jenis Haliclona sp., Callyspongia sp., Callyspongia pseudomonas sp., dan Halichondria cartilagena yang dapat menghambat perkembangan bakteri Vibrio sp., Pseudomonas sp., Aeromonas sp., Enterobacteriaceae dan Acinetobacter sp. Bioaktif yang terkandung dalam sponge Hyatella intestinalis, Algilus flabelliformiss, Hipospongia comunis, Spongia afficinalis, Ircinia virabilis, Spongia gracilis , Dysidea avara, Erylus cendenfeldi, dan Dyctionella insica telah dimanfaatkan dalam bidang farmasi dan pengobatan penyakit pada manusia dan hewan. Kandungan bioaktif beberapa spesies sponge yang efektif sebagai antibiofouling terhadap teritip (Balanus amphitrit) pada keramba jaring apung di laut antara lain Asterospus sp., Callyspongia sp., Clathria sp., Clathria reinwardi, Desmopasma sp., Dysidea sp., Halichondria sp., Haliclona sp., Jaspis sp. Ekstrak sponge dari spesies Haliclona sp., Clathria spp., dan T. cylindrica dapat menghambat pertumbuhan jamur yang menyerang benur udang windu. Studi toksisitas ekstrak sponge Haliclona sp., Callyspongia sp., dan C. pseudoreticulata terhadap nener bandeng (Chanos chanos) dan disiimpulkan bahwa bioaktif sponge dapat dikembangkan menjadi bakterisida selektif pada pemeliharaan udang dan ikan. Studi budidaya sponge menunjukkan bahwa biota ini dapat dibudidayakan melalui transplantasi dengan menggunakan substrat jaring poliethylen Lokasi wilayah yang direkomendasikan Daerah teluk, selat, terlindung, dengan kecerahan perairan minimal 9 m, salinitas 33-36 ppt, kecepatan arus 30 – 50 cm / det. Wilayah pengembangan sangat bergantung kepada permintaan bahan baku oleh industry terkait, atau untuk kegiatan restoking ke alam. Teknologi budidaya sponge dapat dilakukan di di Perairan Tabulo Selatan, Boalemo, Gorontalo, Teluk Awerange, Barru, dan Teluk Labuange, Barru, Sulsel, dan perairan lainnya dengan karakteristik yang relative sama dengan ketiga lokasi tersebut. KEMUNGKINAN DAMPAK NEGATIF Belum ditemukan dampak negatif untuk aplikasi teknologi budidaya sponge. Dampak negatif bisa muncul , antara lain : Kesalahan pemilihan lokasi, misalnya di atas kawasan karang, dan padang lamun dapat merusak ekosistem tersebut. Budidaya yang terlalu luas dapat menyebabkan dominansi di suatu kawasan sehingga bisa merusak keseimbangan ekosistem.
103
KELAYAKAN FINANSIAL DAN ANALISA USAHA No I
Uraian
Jumlah
Harga Satuan (Rp)
-
Balok kayu ukuran 4/6-5 m
44
45.000
1.980.000
5
-
Drum pelampung
15
150.000
2.250.000
5
-
Tali nilo ukuran 4 mm
10
40.000
400.000
3
-
Tali nilon ukuran 5 mm
8
350.000
2.800.000
3
-
Baut stenlish
54
7500
405.000
3
-
Jangkar
10
50000
500.000
5
-
Perahu
1
1.500.000
1.500.000
5
-
Jaring poliethylen
25
75.000
1.875.000
5
-
Besi ukuran 8 mm
12
55.000
660.000
5
-
Selang plastik transparan
2
210.000
420.000
5
-
Pisau catter (bh)
10
20.000
200.000
1
-
gunting (bh)
10
30.000
300.000
1
-
wadah Baskom (bh)
5
45.000
225.000
2
-
Aerator Baterai
1
45.000
45.000
2
Koloni sponge
1
500.000
500.000
5
14.060.000
Biaya Operasional/Th A.
Biaya Tetap 1. Biaya perawatan 5% 2. Penyusutan /thn 3. Bunga modal 15%
0,05
14.060.000
703.000
1
3.773 .667
3.773 .667
0.15
14.060.000
2.109.000
Jumlah II.A B.
6.585.667
Biaya Tidak Tetap 1. Bibit sponge
1
500000
500.000
2. Tenaga kerja (OK)
1
500000
500.000
3. Biaya lain2 5% x (IIA+ B1+B2+B3)
III
0,05
7.585.667
379.283
Jumlah IIB
1.379.283
TOTAL II.A + II.B
7.964.950
Penerimaan per Tahun - stek spong (42 x 32 wadah) x 4 kali panen / tahun
5,376
Total III IV
Umur (thn)
Biaya Investasi
Total I II
Nilai (Rp)
5.000
26.880.000 26 .880.000
Analisis Biaya Manfaat : 1
Penerimaan kotor (III-II)
2
Pajak 10% dari penerimaan kotor
18.915.050
3
Perputaran uang sebelum dipotong pajak (IV.1+II.A.2)
22.688.717
4
Laba operasional (III-II.B)
25.500.717
5
Pendapatan bersih (IV.3 -IV.2)
20.797 .212
6
Jangka waktu pengembalian (I + II.B / III) (tahun)
7
Imbangan penerimaan biaya (R/C ratio) (III/II)
8
Cash Flow (IV.5+II.A.2)
9
Rentabilitas ekonomi [ (IV.4)/(total I + jumlah II.B) x (100%)]
10
BEP = jumlah IIA / (1-(jumlah II.B / Total III)
1.891.505
0.57 3.3748 24.570 .878 1.65 6.941.872
Tabel 6. Gambaran/uraian penerapan teknologi ditinjau dari aspek ekonomis; biaya produksi dan keuntungan
TINGKAT KOMPONEN DALAM NEGERI Penerapan teknologi seleksi varietas ini menggunakan material produksi dalam negeri sekitar 90%, dan 10% produksi luar negeri yakni alat-alat pengukur kualitas perairan.
104
Gambar 7. Benih stek sponge (Haliclona sp. dan Callispongia sp.) yang sudah diikatkan pada substrat jarring polyethylene ukuran frame 60 x 90 cm
Gambar 8. Beberapa benih biota laut ditemukan dalam sponge, al. benih kepiting dan udang.
Gambar 9. Sponge (Haliclona sp.) berumur 60 hari setelah penanaman
Gambar 10. Rakit apung di laut sebagai tempat menggantungkan substrat budidaya sponge.
Gambar 11. Pertumbuhan dan perkembangan koloni sponge (Haliclona sp.) baru setelah 75 hari pemeliharaan dengan substrat jarring poliethylen pada rakit apung di laut.
105
BBAP Pembenihan Rajungan (Portunus pelagicus)
Unit Eselon I Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya Satuan Kerja Balai Budidaya Air Payau Takalar Alamat Jl. Perikanan, Desa Mappakalompo, Kecamatan Galesong, Kabupaten Takalar, Provinsi Sulawesi Selatan. Telp. (0418) 2326577 Fax. (0418) 2326777 Kategori Teknologi Perikanan Budidaya Sifat Teknologi Inovasi Masa Pembuatan 2005-2013 Tim Penemu Sugeng Raharjo Eddy Nurcahyono Suciati Usman Sabarudin Sujaka Kasturi Kontak Person Sugeng Raharjo
[email protected] Eddy Nurcahyono
[email protected]
106
DESKRIPSI TEKNOLOGI Tujuan dan Manfaat Penerapan Teknologi Rajungan (Portunus pelagicus) kini telah menjadi salah satu komoditas perikanan yang bernilai ekonomis tinggi. Hasil olahan komoditas tersebut menjadi salah satu makanan kegemaran (luxury food) di Amerika dan negara Eropa. Rasa yang lezat dan kandungan nutrisi cukup tinggi (healty food) menyebabkan permintaan akan komoditas ini semakin meningkat. Hasil olahan rajungan atau yang juga dikenal dengan nama Blue Swimming Crab banyak diekspor ke pasaran Amerika, Australia, Jepang dan Uni Eropa. Pasokan daging olahan tersebut bahkan memberikan kontribusi 80% terhadap market share Amerika. Data Kementerian Kelautan dan Perikanan mencatat setiap tahunnya nilai ekspor rajungandan rajungan mengalami peningkatan. Pada tahun 2007 menempati urutan ketiga setelah udang dan tuna yaitu sejumlah 21.510 ton dengan nilai 170 juta dolar AS. Sedangkan untuk tahun 2011 nilai ekspor rajungandan rajungan mencapai 250 juta dolar AS atau mengalami kenaikan 10 - 20 persen. Hasil samping (by product) produksi rajungan berupa cangkang atau karapasnya rajungan juga mempunyai nilai jual cukup tinggi. Berat cangkang berkisar 25 - 50% dari bobot tubuh. Cangkang merupakan salah satu sumber chitin dan dapat diolah menjadi senyawa-senyawa polisakarida seperti chitin [(C8H13NO5)n]. Chitin tersebut dapat diolah lebih lanjut menjadi chitosan [(C6H11NO4)n] dan glucosamin (C6H13NO5). Produk chitin dan chitosan sangat dibutuhkan dibanyak bidang, terutama kedokteran, farmasi, industri tekstil, pengolahan limbah, pertanian, peternakan dan perikanan sehingga dapat mendukung dan mensukseskan program blue economy Kementerian Kelautan dan Perikanan. Hingga saat ini, bahan baku mentah rajungan masih mengandalkan hasil penangkapan dari alam. Usaha budidaya di tambak atau karamba telah mulai dirintis, namun belum memberikan kontribusi terhadap penambahan volume ekspor. Harga yang semakin meningkat dan permintaan pasar yang semakin banyak mendorong terjadinya penangkapan rajungan secara besar-besaran. Penangkapan rajungan pada beberapa daerah dirasakan semakin meningkat kemudian cenderung stagnan. Sebagai contoh, hasil tangkapan rajungan di Sulawesi Selatan pada tahun 2003 telah mengalami penurunan menjadi 2.886,9 MT dari kisaran 3.335,3 MT pada tahun sebelumnya. Penurunan stok populasi ini, apabila tidak diantisipasi, akan berpotensi menurunkan kontribusi bagi pendapatan asli daerah dan menghilangkan kesempatan kerja khususnya di daerah pesisir.
107
Melihat hal tersebut, maka upaya penyediaan bahan baku mentah rajungan secara periodik perlu dilakukan. Salah satu upaya untuk dapat memenuhi bahan baku mentah adalah dengan melakukan budidaya atau melakukan penebaran benih melalui kegiatan culture based fisheries (CBF) pada habitat rajungan yang bertujuan untuk peningkatan stok populasi (stock enhancement). Kedua kegiatan tersebut dapat berjalan sinergi yang bertujuan untuk ketersediaan bahan baku rajungan.Selain itu kegiatan culture based fisheries (CBF) merupakan tuntutan konsumen luar negeri untuk memastikan produk yang mereka gunakan merupakan sumberdaya yang berkelanjutan (environment suistanable) yang tetap terjaga kelestariannya. Kendala utama dalam melakukan budidaya atau culture based fisheries (CBF) adalah ketersediaan benih. Selama ini, benih rajungan hanya diperoleh dari hasil tangkap di alam. Akan tetapi, degradasi lingkungan dan over exploitation terhadap rajungan sangat berpengaruh terhadap ketersediaan benih di alam. Dengan demikian, upaya perbenihan diharapkan menjadi solusi bagi ketersediaan dan kontinyuitas benih. Perkembangan teknologi pembenihan rajungan mempunyai manfaat yang signifikan antar lintas sektor usaha selain berkembangnya segmentasi usaha baru budidaya perikanan sektor industri perikanan tangkap mendapat manfaat yang cukup signifikan dari perkembangan teknologi pembenihan rajungan. Dengan teknologi pembenihan rajungan kebutuhan benih untuk kegiatan culture based fisheries (CBF) dapat tersedia dengan mutu terjamin baik kualitas maupun kuantitasnya. Dengan kegiatan culture based fisheries (CBF) yang rutin dan kontinyu pendapatan nelayan penangkapan rajungan meningkat dan kebutuhan bahan baku bagi industri pengolahan terpenuhi. PENGERTIAN / DEFINISI a. Culture Based Fisheries (CBF) adalah Pengelolaan Perikanan Berbasis Budidaya dalam rangka meningkatkan produktivitas perairan umum dengan menitikberatkan pada penambahan atau mempertahankan organisme perairan, memperbaiki lingkungan perairan, dan meningkatkan produksi perikanan. b. Stock enhancement adalah kegiatan peningkatan stok yang meliputi seluruh kegiatan yang bermuara pada penebaran benih rajungan untuk peningkatan stok di perairan umum dan laut (habitatnya). c. Over exploitation adalah pemanfaatan hasil sumberdaya rajungan yang berlebihan dan tidak bertanggungjawab tanpa memperhatikan kelestariannya. d. Substrat adalah tempat induk rajungan berlindung dan mengerami telurnya. e. Pemilahan ukuran (grading) : Pemisahan ukuran benih rajungan berdasarkan ukuran tertentu untuk keseragaman benih dan menghindari kematian akibat kanibalisme. f. Shelter : Tempat berlindung benih/larva rajungan untuk menghindari kanibalisme g. Sekat – sekat Pemeliharaan Induk adalah Tempat pemeliharaan induk dengan pembatas yang terbuat dari bambu / kayu untuk menghindari kanibalisme. h. Tingkat Kematangan Ovarium adalah Tingkatan perkembangan karakteristik seks sekunder pada induk rajungan
108
I. Cara Pembenihan Ikan yang Baik (CPIB) adalah cara mengembangbiakan ikan dengan cara melakukan manajemen induk, pemijahan, penetasan telur, pemeliharaan larva/benih dalam lingkungan yang terkontrol, melalui penerapan teknologi yang memenuhi persyaratan biosecurity, mampu telusur (traceability) dan keamanan pangan (food safety). j. Standar Operasional Prosedur (SOP) adalah Dokumen yang menjelaskan cara kerja suatu proses produksi pembenihan rajungan. k. Biosecurity adalah upaya pengamanan sistem pembenihan dari kontaminasi organisme pathogen dari luar dan mencegah berkembangnya organisme pathogen ke lingkungan pembenihan rajungan. APLIKASI TEKNIS Kegiatan Pra Produksi Kegiatan pra produksi pembenihan rajungan meliputi kegiatan pengetahuan tentang pengenalan biologi rajungan yang meliputi pengenalan spesies, morfologi, habitat, kebiasaan makan, perkembangan dan pertumbuhan rajungan. a. Sistematika Rajungan merupakan biota laut dengan sistematika sebagai berikut : Phylum : Arthropoda Sub phylum : Mandibulata Kelas : Crustacea Sub kelas : Malacostraca Super ordo : Eucarida Ordo : Decapoda Sub ordo : Branchyura Famili : Portunidae Genus : Portunus Spesies : Portunus pelagicus, Linnaeus b. Morfologi Secara umum, rajungan mempunyai karapas yang lebar, berbentuk bulat pipih dengan warna yang sangat menarik. Lebar kaparas dapat mencapai ukuran 2 1/3 ukuran panjang. Permukaan karapas mempunyai granula halus dan rapat atau malah kasar dan jarang. Pada kiri dan kanan karapas terdapat duri besar dengan jumlah sembilan buah dan empat buah antara kedua matanya serta mempunyai lima pasang kaki jalan. Kaki jalan pertama besar, disebut dengan capit yang berfungsi memegang mangsa. Kaki jalan ke2, ke-3 dan ke-4 tetap berfungsi sebagaimana biasa sedangkan kaki jalan terakhir mengalami modifikasi pada dua ruas terakhir. Modifikasi berbentuk pipih dan ada bundar seperti sebuah dayung, berfungsi sebagai alat renang. Dayung tersebut mempunyai keistimewaan dapat berputar 360º, sehingga memunyai kecepatan yang lebih dibanding rajungan jenis lain. Oleh karena itu, rajungan juga sering juga disebut sebagai rajunganyang pandai berenang (swimming crab).
109
Jantan mempunyai ukuran tubuh yang lebih besar dengan capit yang lebih panjang dari betina. Warna dasar rajungan jantan adalah kebiru – biruan dengan bercak putih terang, sedang betina berwarna kehijau – hijauan dengan warna agak kusam. Perbedaan warna ini nampak jelas pada individu yang agak besar walaupun belum dewasa. Jenis kelamin rajungan dapat dibedakan secara eksternal. Rajungan jantan organ kelaminnya menempel pada bagian perut berbentuk segitiga dan agak meruncing. Betina bentuknya cenderung membulat berbentuk huruf V atau U terbalik. Perbedaan jenis kelamin juga dapat dilakukan dengan membandingkan berat capit terhadap berat tubuh. Pada perkembangan awal saat lebar karapas antara 3 – 10 cm, berat capit mencapai kisaran 22 % dari berat tubuh. Setelah ukuran karapasnya mencapai 10 – 15 cm, capit rajungan jantan menjadi lebih besar, berkisar 30 – 35 % dari berat tubuh, sementara capit betina sama 22 % dari berat tubuh.
2A
2C
2B
2D
Gambar 1. Tampak atas rajungan betina (2A), tampak bawah abdomen betina (2B). Tampak atas rajungan jantan (2C) dan tampak bawah abdomen jantan (2D)
c. Habitat Rajungan Penyebaran rajungan meliputi daerah Atlantik, Lautan teduh, Laut Merah, Jepang, Selandia Baru, Pantai Timur Afrika dan Indonesia serta ditemukan pula di Singapura, Philipina, Australia, Jepang dan China. Rajungan dapat hidup di berbagai ragam habitat, termasuk tambak- tambak ikan di perairan pantai yang mendapatkan masukan air laut dengan baik. Kedalaman perairan tempat rajungan ditemukan berkisar antara 0 – 60 m. Substrat dasar habitat sangat beragam mulai dari pasir kasar, pasir halus, pasir bercampur lumpur, sampai perairan yang ditumbuhi lamun.
110
Rajungan hidup di daerah estuaria kemudian bermigrasi ke perairan yang mempunyai salinitas lebih tinggi. Saat telah dewasa, rajungan yang siap memasuki masa perkawainan akan bermigrasi di daerah pantai. Setelah melakukan perkawinan, maka akan kembali ke laut untuk menetaskan telurnya. Saat fase larva masih bersifat planktonik yang melayang – layang dilepas pantai, sedangkan fase megalopa berada di dekat pantai dan kembali ke daerah eustaria setelah mencapai rajungan muda. d. Kebiasaan Makan Saat masih larva, rajungan cenderung sebagai pemakan plankton (Plankton feeder). Semakin besar ukuran tubuh, rajungan akan menjadi omnivora atau pemakan segala. Jenis pakan yang disukai saat masih larva antara udang – udangan seperti rotifera sedangkan saat dewasa telah menjadi omnivora scavenger dan bersifat kanibal akan memakan segala seperti ikan rucah, bangkai binatang, siput, kerang kerangan, tiram, moluska dan jenis crustacea lainnya terutama udang-udang kecil, pemakan bahan tersuspensi di dataran lumpur dan bahan terdeposit. Kebiasaan dalam mencari makan adalah membenamkan diri dalam pasir dan hanya menonjolkan kedua matanya. Rajungan bersifat menunggu ikan atau invertebrata lainya yang mendekat untuk diserang dan dimangsa. e. Perkembangan dan Pertumbuhan Rajungan Induk yang matang gomad saat ovulasi akan mengeluarkan telur. Sebelum dilepaskan keluar tubuh, telur tersebut akan dan melalui spermateka, yaitu kantung sperma yang ada pada bagian pleopod betina. Spertemateka umumnya telah berisi sperma jantan yang telah dititipkan saat terjadi perkawinan atau kopulasi. Umumnya, telur yang melewati spermateka secara otomatis akan terbuahi. Telur yang keluar dari tubuh akan terkumpul dengan bantuan pleopod dan dierami pada bagian bawah abdomen. Masa pengeraman atau inkubasi berkisar 9 – 10 hari. Saat telur pertama kali di erami akan berwarna kuning muda. Proses embriogenesis menyebabkan warna berubah menjadi oranye, kemudian coklat kehitaman. Warna coklat kehitaman menunjukkan bahwa bintik mata (eye spot) telah terbentuk.
Gambar 2. Perkembangan warna pada masa inkubasi induk rajungan pasca melepaskan telur (salin). Warna oranye menunjukkan masa inkubasi 3 – 4 hari (kiri), warna coklat kehitaman berkisar 5 – 6 hari (kanan)
111
Bila saat menetas tiba, induk rajungan akan mengais kumpulan telur menggunakan kaki jalan. Telur rajungan akan menetas menjadi pre zoea atau langsung menjadi zoea. Pre zoea akan menjadi zoea setelah lebih kurang 30 menit menetas. Zorea yang sehat berwarna transparan cerah dan berenang mendekati permukaan air. Zoea rajungan bersifat melayang dalam air (planktonis) dan akan melalui empat sub stadia zoea selama 8 – 9 hari. Pada zoea 1, nampak bahwa karapas mempunyai sepasang mata yang tak bertangkai, sepasang spina lateralis si samping kiri dan kanan yang pendek dan tajam, sebuah spina dorsalis dibagian punggung dan sebuah spina mirip rostrum yang lebih pendek dari spina dorsalis. Abdomen terdiri dari 5 ruas dan di ujung abdomen terdapat telson yang terdiri dari 2 furca. Perkembangan pada sub stadia ini akan dilalui selama 2 – 3 hari. Memasuki zoea 2, mata mulai bertangkai dan pada telson terlihat tambahan sebuah rambut sederhana (simple setae) tepat dibagian tengah lengkungan sebelah dalam. Pada bagian ventral cephalothorax, nampak tonjolan pada periopod 1 hingga ke-5. Pada kondisi optimal, perkembangan pada sub stadia zoea 2 akan dilalui selama 2 hari. Saat memasuki zoea 3, abdomen telah bertambah menjadi 6 ruas. Tonjolan pada periopod 1 nampak berkembang lebih besar di banding yang lain. Selain itu, terlihat pula tonjolan pleopod pada bagian abdomen. Perkembangan sub stadia zoea 3 akan berlangsung selama 2 hari. Pada zoea 4, periopod 1 mulai membesar berbentuk capit sedangkan pleopod ke-2 hingga ke-5 akan berkembang semakin panjang. Sub stadia zoea 4 akan di lalui selama 2 hari. Selanjutnya larva melakukan metamorfosis menjadi megalopa. Metamorfosis zoea dilakukan melalui perobekan lapisan kulit di bagian punggung yaitu antara cephalothorax dan abdomen. Pada fase ini, bentuk sudah mulai mirip rajungan dewasa, tubuhnya makin melebar, kaki dan sepitnya makin jelas wujudnya, sedangkan mata akan membesar. Karapas berbentuk segi empat memanjang tanpa spina dorsalis dan lateralis. Panjang karapas rata-rata mencapai 1,40 mm, diukur dari bagian frontal mata hingga posterior. Lebar karapas rata-rata mencapai 1,20 mm, diukur pada bagian terlebar mulai tepi kanan hingga tepi kiri. Pada karapas masih terlihat rostrum yang tajam dan menonjol ke depan dengan panjang berkisar setengah dari antena. Periopod 1 berbentuk capit sedangkan abdomen menjadi lebih pendek dan terlihat kaku. Salah satu ciri bahwa megalopa telah melakukan metamorfosis adalah timbulnya kanibalisme. Pada fase megolopa tidak terdapat sub stadia seperti pada zoea dan sudah bersifat menetap di dasar substrat (benthik). Setelah 5 – 6 hari maka megalopa akan berubah menjadi crab atau rajungan muda. Crab 1 ditandai dengan panjang karapas yang lebih pendek dibanding lebarnya. Dua ruas terminal yaitu propodus dan dactylus pada pasangan periopod ke-5 sudah sangat memipih dan berfungsi untuk berenang. Abdomen sudah terlihat mengecil dan terlipat di bagian bawah cephalothorax. Crab muda terlihat suka membenamkan diri dalam substrat pasir. Selama proses tumbuh menjadi dewasa, rajungan akan mengalami beberapa kali pergantian kulit atau moulting. Pergantian kulit terjadi karena rangka luar pembungkus tubuhnya tidak lagi dapat membesar sehingga perlu dibuang dan diganti dengan yang lebih besar. Rajungan yang baru
112
berganti kulit, tubuhnya masih sangat lunak sehingga diperlukan beberapa waktu untuk dapat membentuki kulit pelindung yang keras. Frekuensi ganti kulit akan berkurang apabila rajungan telah bertelur. Umumnya hanya berlangsung sekali setahun atau bahkan mungkin hanya sekali dalam beberapa tahun. Pada rajungan dewasa, aktivitas ganti kulit dihentikan dan akan berlangsung aktivitas reproduksi atau pertumbuhan somatik. Persyaratan Teknis a. Sumber Air Sumber air yang digunakan untuk operasional kegiatan adalah air laut. Air laut yang digunakan harus bersih bebas dari bahan pencemar, jauh dari kegiatan industri (pabrik, pelabuhan dll), sebaiknya dipilih lokasi pesisir pantai berkarang atau berpasir dan tidak berlumpur. Bila kondisi perairan berlumpur diperlukan bak pengendapan untuk mendapat air yang sesuai kelayakan hidup rajungan. Penggunaan system sand filter disrankan untuk mengurangi bakteri pathogen yang merugikan. Perairan yang mengandung kadar besi tinggi tidak disarankan karena memrlukan biaya operasional lebih untuk perlakuan awal. Air sebaiknya dialirkan dengan cara gravitasi namun bila tidak memungkinkan sebaiknya dibuat sistem tandon/ penampungan air. b. Lokasi Lokasi pembenihan sebaiknya dekat dengan akses jalan raya, telepon, listrik (PLN) dan kawasan budidaya perikanan untuk memudahkan pemasaran hasil pembenihannya. Untuk mengurangi biaya operasioanal sebaiknya lokasi dipesisir pantai sehingga memudahkan dalam pemompaan air laut yang merupakan kebutuhan utama operasioanal pembenihan rajungan. c. Peralatan Perikanan Peralatan yang dibutuhkan untuk kegiatan pembenihan meliputi pompa dan sistem aliran air, hiblow atau blower untuk sumber aerasi,peralatan sistem aerasi, baskom, ember, timbangan, tabung oksigen dan regulator, thermometer, refraktometer, pH meter (optional), DO meter (optional), dan mikroskop (optional). d. Bahan Perikanan Bahan perikanan yang digunakan untuk proses pembenihan rajungan meliputi : induk jantan dan betina, pakan induk, artemia, alga (Nannochloropsis sp.) dan rotifer (Brachionus sp.), pakan buatan, obat – obatan/probiotik dan formalin. e. Wadah Proses pengelolaan induk memerlukan wadah berupa bak beton ukuran 5 m X 2 m X 1 m yang dilengkapi penyekat dan substrat pasir putih setinggi 30 cm. ataupun dapat mengguanakan bak fiber persegi ukuran 5 m X 1 m X 1 m yang dilengkapi penyekat dan substrat pasir putih, proses pemijahan/ penetasan induk dapat menggunakan fiber bulat kapasitas 500 Liter warna gelap. Wadah pemeliharaan larva dapat berupa fiber glass konikal kapasitas 250 liter warna gelap atau bak beton ukuran 5 m X 2 m X 1 m. corong penetasan artemia kapasitas 20 – 30 liter. Bak plankton berupa bak beton ukuran 10 m x 4 m x 1,5 m sebanyak 4 buah dan bak kultur rotifer
113
ukuran 3 m X 1,5 m X 1 m sebanyak 6 – 8 buah. Sedangkan untuk hatchery skala rumah tangga (HSRT/ backyard) umumnya bak pemeliharaan larva hanya ditutup dengan terpal. NO.
JENIS/SPESIFIKASI
JUMLAH
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Bak Pemeliharaan Induk Bak Penetasan Bak Pemeliharaan Larva stadia zoea Bak pemeliharaan larva megalopa dan crablet Bak kultur artemia Bak kultur Nannochloropsis Bak Kultur Brachionus(Rotifer)
1 1 20 4 3 4 8
KETERANGAN Bak beton ukuran 5 m x 2 m x 1 m Bak fiberglass volume 500 L Bakfiberglass konikal volume 250 L Bak beton ukuran 5 m x 2 m x 1 m Bak fiberglass konikal volume 20-30 L Bak beton ukuran 10m x 4 m x 1,5 m Bak beton ukuran 3 m x 1,5 m x 1 m
Tabel 1. Spesifikasi Wadah / Bak Pembenihan Rajungan
Bak pemeliharaan larva stadia zoea sebaiknya menggunakan bak fiberglass konikal volume 250 L. Bak konikal mempunyai beberapa keunggulan antara lain: lebih efektif dalam pengontrolan dan pengeluaran kotoran, kepadatan larva dapat lebih tinggi, kebutuhan pakan alami terutama Brachionus dapat dioptimalkan. f. Panti Benih Panti benih dapat berupa bangunan permanen atau semi permanen. Secara prinsip, bangunan harus dapat memanfaatkan panas secara alami dan pemanasan buatan hanya digunakan bila kondisi darurat. Pemanfaatan panas alami dapat dilakukan dengan pengaturan tinggi dan atap bangunan. Tinggi bangunan cukup disesuaikan dengan kebutuhan lalu lintas pelaksana pembenihan dan wadah pembenihan. Atap bangunan dapat menggunakan bahan fiberglass tembus cahaya yang disesuaikan dengan kebutuhan kelayakan hidup benih rajungan. Ruang indoor harus dapat mempertahankan suhu ruang agar cukup tinggi dengan kisaran 36 – 42oC (suhu air media pemeliharaan larva/benih berkisar antara 28-31oC). Suhu cukup tinggi/optimal tersebut akan menunjang laju pertumbuhan lebih cepat, konversi pakan lebih kecil, serta resiko terserang penyakit lebih rendah. Untuk bak-bak larva/benih pada hatchery skala rumah tangga (HSRT/backyard) umumnya cukup menutupnya dengan terpal.
a
b
b
g h
i j
Keterangan : a : bak pemeliharaan induk b : bak penetasan c : bak kultur artemia d : bak fiberglass konikal 250 L (pemeliharaan zoea) e : bak kultur Nannochloropsis h : Blower i : Filtersand j : Tandon Air Laut f : bak kultur Brachionus g :Tower air laut
d
c c
f
e
Gambar 3. Contoh skema layout pembenihan Rajungan
114
Prosedur Teknis / Standar Operasional Prosedur (SOP) Teknologi pembenihan rajungan (Portunus pelagicus) merupakan rangkaian kegiatan yang dimulai dari kegiatan persiapan sarana prasarana dan sterilisai air, pemilihan dan pemeliharaan induk, penetasan larva, pemeliharaan larva, pengelolaan pakan, kultur dan pengkayaan pakan alami, pemeliharaan megalopa dan crablet, pengelolaan kualitas air, pemilahan ukuran (grading) dan panen. Rangkaian kegiatan tersebut merupakan satu kesatuan dalam pelaksanaan penerapan teknologi pembenihan rajungan (Portunus pelagicus). Adapun penerapan masing – masing rangkaian kegiatan tersebut sesuai dengan standar operasional prosedur (SOP) adalah sebagai berikut : a. Persiapan Sarana Prasarana dan Sterilisasi Air Persiapan sarana, prasana dan sterilisasi air merupakan langkah awal pada proses pembenihan untuk menunjang keberhasilan kegiatan yang akan dilaksanakan. Persiapan sarana prasarana meliputi kegiatan persiapan pada bak tandon air, bak induk, bak penetasan dan bak pemeliharaan larva. Persiapan dilakukan dengan mencuci dan menggosok dengan larutan kaporit 15 ppm atau menggunakan deterjen. Selanjutnya dibilas dengan air streril. Aerasi dan kelengkapannya serta semua peralatan yang akan digunakan pada proses produksi direndam dalam larutan formalin 100 ppm selama 24 jam. Peralatan tersebut kemudian dibilas dengan air steril hingga bersih. Peralatan tersebut kemudian dikeringkan minimal 24 jam sebelum digunakan. Air yang digunakan dalam proses produksi merupakan hasil dari proses filtrasi menggunakan metode sand filter. Filter tersebut bertingkat mulai dari lapisan batu kali, arang, ijuk dan pasir kwarsa, kemudian ditampung dalam bak penampungan. Air bersih sebelum masuk ke bak pemeliharaan larva disterilkan menggunakan radiasi lampu ultraviolet. Penyinaran lampu ultraviolet ini bertujuan untuk membunuh bakteri patogen yang mungkin masih ada dalam air. b. Pemilihan dan Pemeliharaan Induk Induk yang digunakan pada pemeliharaan rajungan adalah induk alam hasil tangkapan nelayan yang diperoleh dari pengumpul. Induk – induk tersebut kemudian diseleksi dengan persyaratan : organ tubuh lengkap, tidak cacat, gerakan lincah, berat induk antara 150 – 250 gram dengan panjang karapas antara 5-8 cm dan lebar karapas 10-13 cm. Induk setidaknya telah mencapai tingkat kematangan ovarium (TKO) II yang berwarna putih buram saat diamati dari sambungan (joint) antara karapas dengan abdomen terakhir. Induk yang telah diseleksi kemudian dibawa ke lokasi pembenihan. Setelah sampai di lokasi pembenihan semua induk rajungan diadaptasikan dengan kondisi lingkungan pembenihan. Sterilisasi dan pencegahan terhadap infeksi penyakit dan parasit dilakukan dengan merendam induk dalam larutan formalin sebelum dimasukkan ke bak pemeliharaan. Tiap induk dimasukkan dalam wadah/waskom yang diisi air laut 10 Liter dengan kandungan 25 ppm larutan formalin. Perendaman dilakukan selama 15 – 30 menit, serta diaerasi terus menerus. Induk kemudian dimasukkan kedalam bak pemeliharaan induk ukuran
115
1,5 m x 2 m x 1 m dengan kepadatan 1 - 2 individu /m2. Perbandingan antar induk jantan dan betina adalah 1 : 1. Ketinggian air pemeliharaan induk berkisar 20 – 30 cm. Air yang digunakan adalah air steril dengan salinitas 30 – 33 ppt. Kanibalisme antar induk dicegah dengan sekatsekat bambu yang berisi 1 individu induk dalam satu sekat. Sekat – sekat dibuat dengan ukuran 60 X 60 X 60 cm. Sekat diatur sedemikian rupa sehingga memudahkan dalam pengontrolan. Sekat pemeliharaan induk dapat terbuat dari bambu atau kayu. Dasar bak berisi hamparan substrat pasir koral setinggi kurang lebih 10 – 15 cm. Pada subtrat diletakkan potongan pipa PVC dengan diameter berkisar 20 - 30 cm. Sebagai sumber oksigen di dalam air, bak dilengkapi dengan aerasi. Batu aerasi dipasang setinggi 5 cm di atas permukaan pasir agar tidak menyebabkan dasar pasir teraduk. Pengamatan induk dilakukan setiap hari untuk mengetahui induk tersebut telah siap memijah atau belum. Selama masa pemeliharaan induk diberi pakan cumi – cumi, kerang dan ikan rucah dengan perbandingan 70 % : 30 %. Jumlah pakan antara 10 – 15 % dari bobot tubuh setiap hari. Pakan diberikan dua kali sehari pada pagi dan sore hari dengan perbandingan 30 % : 70 %. Pakan yang tidak termakan disiphon keluar dari bak pemeliharaan. Pergantian air dilakukan setiap pagi hari sebelum pemberian pakan sebanyak 100 – 200 % dengan sistem air mengalir. Pemberian pakan tambahan berupa kerang, tiram dan cacing laut sangat dianjurkan dengan prosentase berkisar 5 – 10%. c. Penetasan Larva Induk yang telah memijah ditandai dengan keluarnya telur yang menempel pada lipatan abdomen. Perkembangan telur selalu diamati setiap hari dan perubahan warna akan terlihat dari warna kuning, oranye, coklat kemudian berwarna hitam. Induk yang telurnya telah berwarna hitam segera dipindahkan ke bak penetasan larva volume 100 Liter. Kepadatan yang digunakan adalah satu individu induk dalam tiap wadah penetasan. Pada keadaan normal, telur akan menetas pada malam hari atau pagi hari satu hari setelah induk dipelihara dalam wadah penetasan. Setelah semua telur menetas, aerasi dalam bak penetasan dimatikan. Larva yang sehat akan berkumpul dekat permukaan air. Induk yang telah menetas diambil dan dikembalikan ke bak pemeliharaan induk. Induk rajungan setelah menetaskan telurnya dapat digunakan lagi untuk penetasan berikutnya. Melalui pemberian pakan yang berkualitas dan lingkungan pemeliharaan yang optimal induk tersebut dapat menghasilkan bertelur hingga 2 - 3 kali. Induk rajungan dengan berat 150 – 250 gram dapat menghasilkan sekitar 450.000 – 900.000 larva. Cara menseleksi larva yang bermutu baik dilakukan dengan mengamati warna yang transparan dan cerah, pergerakan yang aktif, respon terhadap cahaya, mengumpul pada bagian tertentu dan tidak mengendap pada dasar bak penetasan. Larva yang kurang bagus umumnya akan mengendap di dasar bak, gerakan kurang aktif dan kurang respon terhadap cahaya. Larva yang sehat kemudian diambil secara perlahan - lahan dengan serok panen ukuran 200 µm. Larva layak dipelihara sebaiknya jika yang mengendap kurang dari 20%. Larva yang telah diseleksi kemudian ditampung dalam wadah volume 10 Liter dan diberi aerasi kemudian dihitung jumlahnya.
116
d. Pemeliharaan Larva Wadah yang digunakan untuk pemeliharaan larva rajungan dapat berupa bak plastik, fiber glass ataupun bak beton. Ukuran bak pemeliharaan larva rajungan dapat bervariasi mulai dari 2.000 – 10.000 m3 ataupun fiber glass ukuran 300 – 1000 m3. Pada pemeliharaan zoea, sangat dianjurkan untuk mempergunakan wadah berukuran antara 100 – 250 Liter untuk lebih memudahkan penanganan dan pengawasan serta mencegah kontaminasi penyakit individu. Bak pemeliharaan larva dilengkapi sistem aerasi yang berfungsi untuk meningkatkan kandungan oksigen terlarut. Aerasi juga berfungsi menciptakan sirkulasi air pada media pemeliharaan serta untuk mempercepat proses penguapan gas beracun hasil proses pembusukan sisa pakan dan kotoran. Jumlah titik aerasi diatur sesuai dengan besaran bak pemeliharaan yang digunakan. Kekuatan aerasi juga harus diatur sedemikian rupa sehingga tekanannya tidak terlalu kuat atau lemah. Air media pemeliharaan yang digunakan adalah air laut dengan salinitas 30 – 32 ppt. Zoea yang telah dipanen dari bak penetasan dipindahkan ke bak pemeliharaan untuk menghindari stress akibat terlalu padat pada wadah penampungan. Sebelum ditebar, larva disterilisasi dengan formalin 20 ppm selama 10 – 15 detik untuk menghindari kontaminasi patogen. Padat penebaran larva sebaiknya antara 50 – 60 individu/Liter. Sebelum larva ditebar, aklimatisasi sebaiknya dilakukan untuk menghindari stres pada larva akibat perbedaan lingkungan pemeliharaan dan bak penetasan. Larva ditebar secara perlahan – lahan dengan memasukkan air media pemeliharaan ke dalam wadah selama kurang lebih 5 – 15 menit. Setelah mampu beradaptasi, maka larva dapat ditebar pada bak pemeliharaan. e. Pengelolaan Pakan Kebutuhan akan zooplankton adalah sesuatu yang mutlak sebagai sumber energi pada pemeliharaan larva rajungan. Pakan yang diberikan sangat berpengaruh untuk menunjang aktifitas pertumbuhan larva. Pakan alami yang diberikan selama stadia zoea adalah rotifer (Brachionus plicatilis), Artemia dan pakan buatan. Pakan buatan diberikan sebagai penunjang untuk melengkapi nutrisi yang dibutuhkan larva rajungan ataupun sebagai pengganti pakan alami. Hal yang perlu diperhatikan pada penggunaan pakan buatan adalah disesuaikan dengan kebutuhan nutrisi, bukaan mulut dan nafsu makan larva. Pakan buatan yang tidak termakan akan berpotensi menurunkan kualitas lingkungan media pemeliharaan dan menyebabkan stres pada larva. Rotifer Brachionus plicatilis diberikan dengan kepadatan 10 – 15 individu/ml mulai stadia zoea 1. Selain rotifer, pakan buatan ukuran 150 µm mulai diberikan dengan dosis 0,3 ppm. Memasuki stadia zoea 2, naupli Artemia salina mulai diberikan dengan kepadatan 0,5 – 5 individu/ml dan meningkat seiring pertumbuhan dan pergantian stadia pada larva. Rotifer dan naupli artemia tidak mempunyai kandungan asam lemak EPA dan DHA yang cukup tinggi untuk memenuhi kebutuhan larva. Upaya optimalisasi nutrisi perlu dilakukan untuk
117
pemenuhan kebutuhan nutrisi larva sehingga dilakukan pengkayaan pada pakan alami. Hasil kajian yang dilakukan di BBAP Takalar menunjukkan bahwa pengkayaan pakan alami menggunakan asam lemak dengan dosis 200 ppm memberikan hasil yang signifikan pada pertumbuhan dan sintasan larva. Pada stadia megalopa, pakan yang diberikan adalah naupli artemia yang telah diperkaya. Pemberian rotifer (Brachionus plicatilis) dihentikan karena sudah tidak sesuai dengan ukuran mulut megalopa. Artemia diberikan dengan kepadatan 3 – 5 individu/Liter, sedangkan pakan buatan yang diberikan berukuran 200 – 300 µm dengan dosis pakan buatan yang diberikan adalah 1 ppm. Dosis dan frekuensi pemberian pakan pada pemeliharaan larva rajungan dapat dilihat pada tabel 2.
Stadia larva
Frekuensi pemberian (kali/hari)
Kepadatan Rot ifer ( individu/mL)
Kepadatan Artemia (individu/mL)
Pakan buatan (ppm)
Zoea 1 Zoea 2 Zoea 3 Zoea 4 Megalopa
4 4 4 4 4
10 – 15 10 – 15 10 – 15 10 – 15 -
0,5 – 3 0,5 – 3 3- 5
0,3 0,4 0,5 0,6 1
Tabel 2. Dosis pakan selama pemeliharaan larva rajungan
f. Kultur dan Pengkayaan Pakan Alami 1. Kultur pakan alami Larva rajungan pada stadia awal membutuhkan pakan alami untuk tumbuh dan berkembang. Pada habitatnya, pakan alami diperoleh dengan berburu zooplankton. Kebutuhan akan zooplankton pada perkembangan larva merupakan sesuatu yang mutlak sebagai sumber energi. Zooplankton yang sering digunakan pada pemeliharaan larva rajungan adalah rotifer, dan artemia. Persyaratan yang harus dipenuhi oleh pakan alami sebagai makanan bagi larva rajungan adalah : 1. Mempunyai bentuk dan ukuran yang sesuai bukaan mulut larva 2. Mempunyai kandungan gizi tinggi dan bentuk morfologi mudah larva 3. Mempunyai kemampuan berkembang biak dengan cepat 4. Mempunyai toleransi tinggi terhadap perubahan lingkungan 5. Tidak mengeluarkan bahan beracun saat dilakukan kultur massal 6. Pergerakan tidak terlalu aktif sehingga mudah ditangkap oleh larva Artemia sp mempunyai lapisan eksoskleton yang tipis sehingga mudah dicerna oleh larva, mengandung asam lemak jenis 3 HUFA tinggi serta protein kasar yang dapat mencapai level 54,4 %. Akan tetapi, pada stadia nauplii artemia terjadi defisiensi asam amino terutama histidine, methionine, phenylalanine,dan threonine sedangkan saat dewasa, defisiensi tersebut sudah dapat dilengkapi. Penambahan komposisi asam amino tersebut diperoleh dari pakan alami berupa phytoplankton yang terdapat habitat perairan, misalnya Chlorella spatau Nannochloropsis sp.
118
Rotifer dan artemia merupakan organisme non selektif plankton feeder. Kandungan nutrisi dalam tubuh tergantung dari nutrient dari lingkungan, baik dari plankton yang dikonsumsi maupun dari pertukaran ion mineral dalam air. Peningkatan nutrisi dapat dilakukan dengan kultur pada media chlorella tipe air laut (Nannochloropsis), pemberian pakan microencapsulated yang mengandung 3 HUFA atau pemberian gabungan suplemen yang terdiri dari vitamin, asam amino dan elektrolit. Hasil kajian yang dilakukan di BBAP Takalar menunjukkan bahwa larva yang diberi pakan alami yang telah diperkaya mempunyai laju pertumbuhan dan sintasan yang lebih baik. 2. Pengkayaan Rotifer dan Artemia Saat ini, bahan-bahan pengkaya pakan alami telah dapat diperoleh secara bebas di pasaran. Selain bahan - bahan tersebut, pengkayaan (enrichment) rotifer dan artemia juga dapat dilakukan dengan metode perendaman dengan memberikan larutan emulsi minyak hati ikan cod, cuttlefish atau material hewani lain yang mengandung 3 HUFA tinggi. Metode lain adalah dengan melakukan perendaman kista artemia dengan 30% 3 HUFA dalam larutan aseton selama 7 hari pada suhu 23-30°C. Perlakuan tersebut dapat meningkatkan kandungan 3 HUFA dari 3% menjadi 11%. Kultur rotifer atau artemia dilakukan pada media berdasar kerucut, agar cangkang atau kotoran dapat mengendap. Proses dekapsulasi sebaiknya dilakukan sebelum kultur artemia. Dekapsulasi bertujuan mengikis lapisan chorion sehingga waktu kultur akan lebih singkat. Proses tersebut dilakukan dengan mengaduk kista artemia dalam larutan kaporit atau soda api selama lebih kurang 5 - 10 menit. Hal yang perlu diperhatikan adalah suhu larutan sebaiknya berada di bawah 40ºC agar tidak mematikan kista. Jika suhu semakin meningkat maka segera ditambahkan air ke dalam larutan dekapsulasi. Hasil dekapsulasi yang baik adalah warna kista berubah dari coklat ke oranye, kista masih berbentuk butiran halus serta mempunyai tekstur kenyal. Kista yang didekapsulasi akan menetas pada kisaran 15 – 16 jam setelah dikultur, sedangkan bila tanpa dekapsulasi berkisar 24 – 28 jam. Dosis pemberian bahan pengkaya umumnya berkisar antara 15 – 20 ppm. Kepadatan pakan alami nauplii rotifer atau artemia yang akan diperkaya berkisar 400 – 600 individu/mL. Setengah dari dosis tersebut dilarutkan dalam air tawar, diaduk kuat hingga larut. Larutan yang telah homogen tersebut kemudian di tebar merata dalam wadah pengkayaan rotifer atau artemia. Prosedur tersebut diulang kembali untuk dosis yang ke-2 agar proses pengkayaan berjalan dengan optimal. Perendaman pada stadia nauplii dilakukan selama 6-8 jam. Selanjutnya, rotifer dan artemia yang telah diperkaya siap dipanen dan diberikan pada larva. Panen rotifer atau artemia dari wadah kultur sebaiknya dengan cara siphon atau menggunakan saringan halus. Saringan halus rotifer berkisar 300 mikron. Saringan halus untuk artemia umumnya menggunakan saringan 100 – 150 mikron. Penyaringan dapat dilakukan 2 kali, menggunakan saringan yang lebih besar kemudian dilanjutkan dengan menggunakan saringan yang lebih kecil. Tujuan penyaringan tersebut adalah mendapatkan ukuran pakan alami yang sesuai dengan bukaan mulut larva.
119
Pemanenan yang dilakukan dengan cara membuka kran pada bagian bawah wadah kultur sangat tidak dianjurkan. Panen dengan cara demikian akan menyebabkan tekanan air merusak organ tubuh dari pakan alami tersebut. Rusaknya organ tubuh akan menyebabkan kandungan nutrisi terbuang dalam air (leaching), sehingga larva tidak mendapatkan nutrisi yang cukup untuk tumbuh dan berkembang. Selanjutnya pakan alami diberikan sesuai dosisnya. g. Pemeliharaan Megalopa dan Crablet Setelah larva mencapai stadia megalopa, pelindung (shelter) segera dipasang. Shelter dapat berupa waring hitam yang dipasang pada dasar dan digantung pada kolom air (shelter dasar dan gantung). Shelter dipotong – potong ukuran 1 m2 (1 x 1 m).Pemberian shelter ini sangat berhubungan dengan sifat megalopa yang kanibal. Shelter diharapkan dapat memperluas permukaan substrat dan menjadi tempat persembunyian dari pemangsaan megalopa lain, terutama pada saat ganti kulit (moulting). Megalopa yang telah berubah menjadi crablet dipindah ke bak pendederan. Sebelum dipindah pada bak pendederan, seluruh crablet dihitung untuk mengetahui tingkat keberhasilan pemeliharaan. Shelter dasar dan gantung dipasang pada bak pendederan sebelum crablet ditebar. Crablet dipelihara dengan kepadatan 0,5 individu/L dan dipelihara hingga crablet hari ke-30, atau ukuran karapas berkisar 1- 1,5 cm. Pakan stadia crab dapat berupa biomass artemia, udang rebon, jambret ataupun rebon. Pakan diberikan pagi dan sore hari disesuaikan dengan kebutuhan crablet. h. Pengelolaan kualitas Air Lingkungan yang optimal pada media pemeliharaan sangat diperlukan untuk menunjang proses pemeliharaan larva. Sumber air yang digunakan pada produksi larva adalah air laut yang telah disaring dengan sand filter dan disterilisasi menggunakan sinar ultraviolet. Probiotik diberikan untuk menekan kepadatan bakteri yang merugikan dan peningkatan laju penguraian bahan organik. Probiotik digunakan setiap 3 hari sekali dengan dosis 3 – 5 ppm. Prinsip kehati-hatian harus tetap diperhatikan dalam penggunaan antibiotik agar tidak menimbulkan strain bakteri yang lebih resisten. Pergantian air mulai dilakukan pada stadia zoea II sebanyak 10 – 20%/hari dan meningkat sampai 80%/hari pada stadia megalopa. Menjelang pergantian stadia menjadi crab, pergantian dapat ditingkatkan menjadi 100%/hari. Pengamatan terhadap parameter kualitas air dilakukan setidaknya setiap tiga hari untuk mengetahui perubahan salinitas, pH, alkalinitas, ammonia, nitrit dan nitrat yang akan berpengaruh pada larva. I. Pemilahan Ukuran (Grading) Pemilahan ukuran (Grading) dilakukan pada stadia crablet. Grading bertujuan untuk keseragaman ukuran benih dan menekan angka kanibalisme. Grading sebaiknya dilakukan setiap 2 kali/minggu. Bila grading tidak dilakukan, maka populasi akan menurun hingga 50% dalam waktu 7 hari.
120
j. Panen Crablet yang telah mencapai ukuran lebar karapas (internal carapace width) mencapai 1,5 – 2 cm dapat dipanen dan ditebar di tambak. Crablet sebaiknya dipuasakan dulu sebelum dipanen. Panen dilakukan dengan menyurutkan air yang ada di bak. Crablet diambil dengan serok panen dan ditampung dalam wadah yang diaerasi. Setelah panen selesai dilakukan penghitungan sesuai dengan kebutuhan. Sistem pengemasan pada transportasi jarak dekat dapat dilakukan dengan sistem terbuka dengan cara memasukkan crablet dimasukkan dalam waskom yang diberi potongan-potongan shelter kecil. Bila benih akan ditransportasikan lebih dari 8 jam, maka digunakan kantong plastik kapasitas 5 liter. Satu kantong diisi air 5 Liter dan diberi potongan shelter kecil dan diisi crablet dengan kepadatan 200 – 250 individu/kantong. Setelah diberikan oksigen dan air laut dengan perbandingan 2 : 1, maka kantong plastik diikat rapat dengan karet gelang kemudian dimasukkan dalam styrofoam. Perubahan suhu yang ekstrem dihindari dengan memberikan es batu dalam kantong plastik. Es batu tersebut dibungkus dengan kertas koran dan di atur dalam styrofoam hingga suhu berkisar 20 ºC. Styroform kemudian ditutup dan diplester rapat, selanjutnya benih siap ditransportasikan. Uji Kaji Terap Teknologi Uji kaji terap teknologi pembenihan rajungan (Portunus pelagicus) telah dilakasanakan di BBAP Takalar dan beberapa hatchery skala rumah tangga (backyard) di wilayah sekitarnya. Hasil dari penerapan teknologi pembenihan rajungan menunjukkan perkembangan yang cukup signifikan setiap tahunnya. Penerapan teknologi sudah berhasil memproduksi secara massal dengan sintasan rata – rata mencapai 45 %. Adopsi penerapan teknologi telah dilakukan beberapa institusi maupun perorangan dengan melakukan magang teknis teknologi pembenihan rajungan antara lain Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Jatim mengirimkan perwakilan 3 instansi Unit Pelaksana Teknisnya (UPTD), Dinas Kelautan dan Perikanan NTB, Dinas Kelautan dan Perikanan Tanjung Redep Kaltim, Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Banten, Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi DKI Jakarta, BPPP Ambon, BPPP Aertembaga Sulut, The Philippines Bureau of Fisheries and Aquatic Resources (BFAR) and The Philippine Association of Crab Processors, Inc. (PACPI), Kementerian Perikanan Sri Lanka, dan perusahaan Swasta dari Malaysia, Taiwan,Jepang dan USA. Hasil dari teknologi pembenihan rajungan berupa benih (crablet rajungan) juga telah dimanfaatkan oleh stakeholder melalui kegiatan restocking / culture based fisheries (CBF) antara lain restocking / culture based fisheries (CBF) benih rajungan 100.000 ekor bersama Asosiasi Pengelolaan Rajungan Indonesia (APRI) di Teluk Laikang Takalar, restocking / culture based fisheries (CBF) benih rajungan ke 1.000.000 ekor oleh Menteri Kelautan dan Perikanan di Makassar, Kerjasama Pengembangan Budidaya Rajungan ditambak dengan ACIAR dan Perusahaan Swasta Pengolahan Rajungan Kemilau Bintang Timur (KBT) Makassar.
121
KEUNGGULAN TEKNOLOGI Keunggulan teknologi pembenihan rajungan hingga saat ini tingkat keberhasilan pembenihan rajungan BBAP Takalar merupakan pembenihan dengan tingkat keberhasilan dengan sintasan paling tinggi di dunia yaitu mencapi rata – rata 45 %. Hal tersebut terbukti dengan adanya institusi atau perorangan magang teknis dari berbagai negara seperti Philipina, Jepang, Malaysia, Taiwan, USA dan Srilanka serta beberapa instansi Dinas Kelautan dan Perikanan. Selain itu keunggulan dari pengembangan teknologi pembenihan rajungan antara lain sebagai berikut : a. Segmentasi usaha baru di bidang perikanan b. Dapat dikembangkan dalam skala kecil/rumah tangga (backyard) dan skala besar /industri (hatchery) c. Tenaga kerja dapat dilakukan anggota keluarga d. Lokasi dapat memanfaatkan halaman rumah (skala kecil/backyard) terutama pada daerah pesisir/kampung nelayan/pembudidaya e. Teknologi yang digunakan sederhana sehingga mudah diadopsi dan diaplikasikan f. Siklus produksi relatif singkat hanya 25 -30 hari Dalam aplikasi penerapan teknologi pembenihan rajungan cukup ramah lingkungan. Teknologi pembenihan rajungan tidak menggunakan bahan kimia berbahaya atau sintetis yang dapat menyebabkan pencemaran lingkungan. Bahan baku produksi sebagian besar merupakan bahan lokal yang mudah diperoleh serta limbah hasil proses produksi dengan pengolahan / treatment yang tepat terlebih dahulu sehingga tidak menyebabkan kerusakan / pencemaran lingkungan. Selain itu penerapan biosecurity secara ketat dan konsisten dapat meminimalisir dampak negatif kerusakan lingkungan sekitarnya. LOKASI PENELITIAN /PENGKAJIAN Pengembangan kegiatan pembenihan Rajungan telah dilaksanakan di Balai Budidaya Air Payau Takalar Desa Mappakalompo Kecamatan Galesong Kabupaten Takalar Sulawesi Selatan mulai tahun 2005 sampai dengan sekarang. Sedangkan pengembangan teknologi pembenihan ini kedepannya dapat dilaksanakan di seluruh wilayah pesisir Indonesia mulai dari Sumatera, Jawa, Bali, NTT, Sulawesi, Kalimantan, Maluku dan Papua. KEMUNGKINAN DAMPAK NEGATIF Kemungkinan dampak negatif teknologi pembenihan rajungan hampir tidak ada selama mengikuti teknologi anjuran dengan penerapan cara pembenihan ikan yang baik (CPIB), penerapan standar operasional prosedur (SOP) dan biosecurity secara baik dan benar. Kemungkinan dampak negatif dari hasil pembenihan untuk kegiatan culture based fisheries (CBF) berupa stocking yang tidak sehat atau penurunan kualitas genetis dapat dicegah dengan seleksi ketat dan benar mulai dari pemilihan, pemeliharaan induk dan larva serta monitoring pertumbuhan secara periodik dan terkontrol. TINGKAT KOMPONEN DALAM NEGERI : Komponen material produksi yang digunakan merupakan sebagian besar bahan lokal / dalam negeri sedang material impor/produksi luar negeri yang digunakan adalah pakan larva artemia.
122
Komponen material produksi seperti tersaji pada tabel 3 berikut. No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 15. 17. 18.
Nama Bahan/Alat
Bahan Produksi
Aerator/blower high blow 220 watt Mesin pompa alkon 3 “ Genset cadangan, 3 KVA Thermometer Baskom Ember Terpal plastic Peralatan system aerasi Pipa Timbangan Pipet Saringan pakan Gayung Artemia Pakan buatan Pakan induk Obat – obatan/probiotik Selang
Lokal / dalam negeri Lokal / dalam negeri Lokal / dalam negeri Lokal / dalam negeri Lokal / dalam negeri Lokal / dalam negeri Lokal / dalam negeri Lokal / dalam negeri Local / dalam negeri Lokal / dalam negeri Lokal / dalam negeri Lokal / dalam negeri Lokal / dalam negeri Impor Lokal / dalam negeri Lokal / dalam negeri Lokal / dalam negeri Lokal / dalam negeri
Tabel 3. Komponen material produksi teknologi pembenihan rajungan
KELAYAKAN FINANSIAL Usaha pembenihan rajungan ini merupakan usaha kecil menengah yang dapat dilaksanakan oleh masyarakat pembudidaya dan nelayan sebagai usaha skala rumah tangga/sampingan dengan tenaga kerja dari anggota keluarga. Adapun biaya operasional kegiatan untuk skala rumah tangga (backyard) untuk 1 unit usaha dibutuhkan biaya investasi Rp. 45.802.500 biaya operasional pertahun dengan 4 siklus produksi sebesar Rp. 26. 570.000 per tahun. Dengan hasil produksi diperkirakan sintasan 20 % akan menghasilkan 240.000 ekor benih dengan harga benih per ekor Rp.300 diperoleh hasil persiklusnya Rp. 3.917.579 atau pendapatan pertahun mencapai Rp. 23.505.475 atau pendapatan bersih per bulan mencapai Rp. 1.598.790. dari segi kalayakan finansial cukup layak dengan B/C ratio mencapai 1,48, rentabilitas ekonomi 88,47 % dengan pay back period mencapai 3,19 tahun. 1. Komponen Fasilitas Pembenihan Rajungan skala Rumah Tangga (backyard) meliputi: a. Bak pemeliharaan larva sebanyak 3 buah ukuran 5 X 2 X 1 m b. Bak penampungan air kapasitas 20.000 liter c. Bak kultur Nannochloropsis kapasitas 40.000 liter (bak ukuran 5 X 2 X 1 m sebanyak 2 buah) d. Bak kultur Brachionus kapasitas 4000 liter (bak beton ukuran 2 X 2 X 1 m sebanyak 2 buah) e. Bak kultur artemia kapasitas 20 liter sebanyak 4 buah. f. Bak pemeliharaan larva menggunakan tutup terpal plastic 2. Penebaran awal larva sebanyak 300.000 ekor (kepadatan 50 ekor/liter dan volume bak 6000 L) ditebar pada satu bak pemeliharaan kemudian memasuki stadia megalopa dijarangkan kepadatannya dengan membaginya dalam 3 bak pemeliharaan.
123
NO.
A.
B.
URAIAN
HARGA SATUAN (Rp)
TOTAL (Rp.)
JUMLAH
SATUAN
3 1 2 2 1 4
unit unit unit unit unit unit
4.500.000 4.500.000 4.500.000 2.500.000 1.500.000 60
13.500.000 4.500.000 9.000.000 5.000.000 1.500.000 240
1 1 1 1 5 3 1 1 1 1 2 4
unit unit unit unit unit unit paket unit unit unit unit unit
3.000.000 2.500.000 3.500.000 10 20 250 300 100 2.5 150 25 25
3.000.000 2.500.000 3.500.000 10 100 750 300 100 2.5 150 50 100 45.802.500
12 12 6 6 6 6 6 1 1 1
OB OB ekor unit paket paket paket paket paket paket
1.000.000 500 10 550 150 200 150 1.200.000 750 200
12.000.000 6.000.000 60 3.300.000 900 1.200.000 900 1.200.000 750 200 26.570.000
INVESTASI 1. Bak Larva 5 X 2 X 1 m 2. Bak Tandon 20.000 liter 3. Bak Nannochloropsis 5 X 2 X 1 m 4. Bak Brachionus 2 X 2 X 1 m 5. Bak Induk 2 X 2 X 1 m 6. Wadah penetasan artemia 20 L 7. Peralatan perbenihan a. Aerator/blower high blow 220 watt b. Mesin pompa alkon 3 “ c. Genset cadangan, 3 KVA d. Thermometer e. Baskom f. Terpal plastik (4 x 6m, tali nylon) g. Batu & kran aerasi, selang plastik, h. Timbangan 500 gram i. Pipet j. Saringan pakan k. Gayung l. Ember Sub Total BIAYA OPERASIONAL 1. Tenaga Kerja a. Teknisi b. Tenaga pembantu 2. Induk rajungan 3. Artemia 4. Pakan buatan 5. Pakan induk 6. Obat -obatan 7. Biaya listrik 8. Biaya bensin dan eksploitasi pompa 9. Biaya kerusakan dan perbaikan Sub Total
Panti Benih (Hatchery) Rajungan
Konstruksi Bak Sand Filter Air Laut
124
JUMLAH
SATUAN
HARGA SATUAN (Rp)
2. Bak Tandon 20.000 liter
20
%
13.500.000
2.700.000
3. Bak Nannochloropsis 5 X 2 X 1 m 4. Bak Brachionus 2 X 2 X 1 m 5. Bak Induk 2 X 2 X 1 m 6. Wadah penetasan artemia 20 L 7. Peralatan perbenihan a. Aerator/blower high blow 220 watt b. Mesin pompa alkon 3 “ c. Genset cadangan, 3 KVA d. Thermometer e. Baskom f. Terpal plastik (4 x 6m, tali nylon) g. Batu & kran aerasi, selang plastik, h. Timbangan 500 gram i. Pipet j. Saringan pakan k. Gayung l. Ember
20 20 20 20 20
% % % % %
4.500.000 9.000.000 5.000.000 1.500.000 240
900 1.800.000 1.000.000 600 60
25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 50
% % % % % % % % % % % %
3.000.000 2.500.000 3.500.000 10 100 750 300 100 2500 150 50 100
600 625 875 2.5 25 187 75 25 625 37.5 12.5 50 9.575.625
1. Bunga Investasi
20
%
45.802.500
9.160.500
2. Bunga Modal Kerja
12
%
26.570.000
3.188.400
NO.
URAIAN
TOTAL (Rp.)
BIAYA PENYUSUTAN PERTAHUN 1. Bak Larva 5 X 2 X 1 m
C.
Sub Total BUNGA PINJAMAN D.
Sub Total
12.348.900
Bak kultur Alga(Nannochloropsis) Bak Beton Ukuran 2 X 5 X 2 m
Bak kultur Rotifer (Brachionus) Bak Beton ukuran 1,5 X 1,5 X1,2m
125
NO.
JUMLAH
SATUAN
HARGA SATUAN (Rp)
TOTAL (Rp.)
b. Biaya Penyusutan
1
Tahun
26.570.000
26.570.000
c. Bunga Pinjaman
1
Tahun
9.575.625
9.575.625
1
Tahun
12.348.900
12.348.900
URAIAN TOTAL BIAYA PRODUKSI PERTAHUN a. Biaya Operasional
E.
F.
G. H. I.
J.
Sub Total HASIL PENJUALAN a. Sintasan b. Produksi per tahun c. Jumlah crab – 10 pertahun d. Harga crab-10 rata - rata HASIL PENJUALAN PERTAHUN PENDAPATAN PERTAHUN Hasil penjualan crab – biaya produksi BIAYA PRODUKSI PER EKOR Biaya produksi /jumlah crab PENDAPATAN BERSIH PERSIKLUS Pendapatan pertahun/Jumlah siklus per tahun
K.
PENDAPATAN BERSIH PERBULAN
L. M. N.
RENTABILITAS B/C RATIO PAY BACK PERIODE
48.494.525 % Siklus Ekor Rp. Rp.
20 4 240 300 72.000.000
Rp.
23.505.475
Rp.
202,06
Rp.
3.917.579
Rp. %
1.958.790 88,47 1,48 3,19
Tahun
Bak Pemeliharaan Induk Rajungan Ukuran 5 X 2 X1,2 M Dilengkapi Peralatan Aerasi, Sekat Pemeliharaan dan Substrat Pasir Putih
Bak Pemeliharaan Larva(Fiberglass ) Kerucut Konical Volume 250 L
126
Bak Pemeliharaan Larva Rajungan Ukuran 5 X 2 X1,2 M Dilengkapi Peralatan Aerasi
Bak Penetasan Induk Rajungan Bak Fiberglass volume 500 L
Bak Kultur Artemia
Kegiatan Pemeliharaan Induk
Pergantian Air Pemeliharaan Larva
Sampling Benih Rajungan(Crablet)
Benih Rajungan Hasil Pengembangan Teknologi pembenihan
Benih rajungan pendederan hasil pebenihan
127
Monitoring PertumbuhanBenih Rajungan Hasil Pendederan
Pengguanaan Ultraviolet sederhana pada proses pemasukan air pemeliharaan induk dan larva rajungan
Panen Benih Rajungan
Kegiatan Panen Benih
Benih Rajungan
Benih Rajungan
Pemberian materi bagi peserta magang teknis pembenihan rajungan dari philipina
Pemberian materi bagi peserta magang teknis pembenihan rajungan dari Srilanka
128
129
130
BP2BIH Teknologi Pembenihan Ikan Hias Botia (Chromobotia macracanthus bleeker) di Lingkungan Terkontrol Unit Eselon I Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan Satuan Kerja Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Ikan Hias Alamat Jl. Perikanan No. 13, Rt.01/02 Pancoran Mas, Depok, Jawa Barat 16436. Telp. (021) 7520482, Fax (021) 7520482 Kategori Teknologi Perikanan Budidaya Sifat Teknologi Teknologi Baru Masa Pembuatan 2005-2010 Tim Penemu Agus Priyadi Asep Permana Rendy Ginanjar Darty Satyani Nurhidayat I. Wayan Subamia
Kontak Person Agus Priyadi
[email protected]
131
DESKRIPSI TEKNOLOGI Manfaat Teknologi Teknologi pembenihan ikan hias Botia (ChromoBotia macracanthus Bleeker) ditujukan untuk produksi benih ukuran komersial (± 2 inchi) secara buatan melalui rangsangan hormonal di lingkungan yang terkontrol, sehingga diharapkan bermanfaat dalam peningkatan produksi benih ikan hias Botia hasil budidaya. Penerapan teknologi pembenihan ikan hias Botia secara nasional diharapkan dapat mendukung program peningkatan produksi benih ikan hias Botia untuk membuka lapangan kerja bagi pembudidaya skala rumah tangga (HSRT) sebagai bahan eksport dan untuk konservasi ikan. PENGERTIAN/DEFINISI Yang dimaksud dengan pembenihan ikan hias Botia (ChromoBotia macracanthus Bleeker) di lingkungan terkontrol adalah serangkaian kegiatan pembenihan dimana segala aspek di dalamnya seperti pemeliharaan induk, seleksi induk yang matang gonad, penyuntikkan hormon, pengeluaran (stripping) telur dan sperma, pembuahan (fertilisasi), penetasan (inkubasi) telur, perawatan larva, perawatan benih, dan pengelolaan kualitas air dilakukan dengan adanya campur tangan manusia yang dilakukan di lingkungan budidaya secara terkontrol serta dimonitor secara periodik. Kegiatan ini dilakukan di Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Ikan Hias Depok, untuk mengembangkan teknologi pembenihan ikan hias Botia. RINCIAN DAN APLIKASI TEKNIS Persyaratan Teknis Penerapan Teknologi Mengingat bahwa teknologi pembenihan ikan hias Botia di lingkungan terkontrol merupakan satu rangkaian teknologi pembenihan, maka keberhasilan penerapan teknologi ini sangat tergantung pada segala aspek yang ada di dalamnya seperti : pemeliharaan induk, seleksi induk yang matang gonad, penyuntikkan hormon, pengeluaran (stripping) telur dan sperma, pembuahan (fertilisasi), penetasan (inkubasi) telur, perawatan larva, perawatan benih, dan pengelolaan kualitas air. Uraian lengkap SOP Secara umum, masyarakat dalam hal ini pembudidaya telah mengetahui mengenai apa itu kegiatan pembenihan ikan. Namun demikian untuk kegiatan pembenihan dari hasil budidaya seperti ikan hias Botia, mereka masih belum mengetahuinya. Teknologi pembenihan ikan hias Botia di lingkungan terkontrol, merupakan serangkaian kegiatan pembenihan dimana segala
132
aspek di dalamnya seperti pemeliharaan induk, seleksi induk yang matang gonad, penyuntikkan hormon, pengeluaran (stripping) telur dan sperma, pembuahan (fertilisasi), penetasan (inkubasi) telur, perawatan larva, perawatan benih, dan pengelolaan kualitas air dilakukan dengan adanya campur tangan manusia yang dilakukan di lingkungan budidaya secara terkontrol serta dimonitoring secara periodik. Adanya campur tangan manusia ini dikarenakan pembenihan ikan ini belum bisa dilakukan secara alami dan masih menggunakan rangsangan hormonal. Sedangkan lingkungan terkontrol dimaksudkan berupa lingkungan yang diatur untuk mengurangi pengaruh dari lingkungan luar yang dapat mengganggu keberhasilan kegiatan pembenihan sehingga dapat meningkatkan produksi dalam pembenihan ikan hias Botia dari hasil budidaya. Cara Penerapan Teknologi 1. Pemilihan Lokasi Pembenihan Lokasi pemeliharaan hendaknya dibangun di wilayah bebas banjir, cukup air (kualitas dan kuantitas) dan kondisi tenang. 2. Persiapan wadah Wadah induk ikan hias Botia di tempatkan dalam kondisi ruangan yang agak gelap hanya menggunakan lampu penerangan 5 watt, warna kuning. Pemeliharaan induk ikan hias Botia menggunakan sistem resirkulasi, satu set sistem pemeliharaan ini terdiri dari 4 komponen yaitu wadah pemeliharaan induk, filter biologi dan filter fisik yang terdiri dari masing-masing satu filter serta bak penampungan air. Wadah pemeliharaan induk Botia terdiri dari dua unit bak kanvas bulat, masing-masing untuk memelihara induk Botia asal Sumatera dan Kalimantan. Wadah pemeliharaan induk Botia di tempatkan pada ruangan berukuran 10 x 5 m2 yang terdiri dari kanvas 1 berdiameter 3,70 m, tinggi 0,7 m dan kapasitas menampung air sebanyak 3.500 liter. Kanvas 2 berdiameter 3,0 m, tinggi 0,7 m dan kapasitas menampung air sebanyak 1.600 liter. Bak filter pertama berbentuk silinder dengan garis tengah 2 m, tinggi 2,30 m dan berkapasitas dapat menampung air sebanyak 2.300 liter. Bak filter pertama hanya di isi dengan dakron. Bak filter kedua mempunyai ukuran 2 × 1,2 × 1 m3 dengan kapasitas tampung air sebanyak 2.000 liter dan hanya di isi dengan bioball dan kulit kerang. Selain itu dilengkapi dengan bak penampung air keluar yang mempunyai ukuran 0,6 × 0,5 × 1 m3 dengan kapasitas tampung air sebanyak 300 liter. Wadah pemeliharaan induk ikan Botia dengan sistem resirkulasi dapat dilihat pada Gambar 1. 3. Pengelolaan Induk Adaptasi induk dari alam Induk yang pertama kali ditangkap dari alam harus diadapatasikan atau dikarantinakan dengan lingkungan budidaya terlebih dahulu selama 14 - 21 hari. Wadah yang digunakan adaptasi berupa akuarium kaca berukuran 0,8 × 0,4 × 0,4 m3 dengan kepadatan sebanyak 5 – 8 ekor/akuarium dengan sistem resirkulasi, dilengkapi aerasi, heater dan penutup akuarium serta di seluruh bagian sisi akuarium ditutup plastik warna hitam. Hal ini bertujuan agar ikan tidak mudah stres akibat gangguan dari lingkungan luar, suhu air tetap stabil dan menghindari ikan loncat keluar. Selanjutnya dilakukan pencegahan (preventif) terhadap penyakit yang mungkin timbul akibat dari
133
Gambar 1. Wadah induk ikan botia dengan sistem resirkulasi
Wadah induk populasi Sumatera
Fiber silinderBak
Wadah induk populasi kalimantan
fiber resirkulasi
Dakron
Bak fiber tampungan air
Bioball Kulit kerang
Gambar 2. Wadah akuarium untuk karantina Akuarium akarantina
134
pasca transportasi. Pencegahan biasanya dilakukan dengan perendaman dalam larutan 10 ppm formalin atau 20 ppm larutan anti biotik (Oxytetracyclin atau OTC). Perlakuan ini dilakukan tiga hari sekali selama minggu pertama. Selain itu dilakukan pergantian air sebanyak 100% pada saat pencegahan yang ke-2 kalinya. Wadah akuarium untuk karantina dapat dilihat pada Gambar 2 . Penebaran induk Penebaran induk dilakukan setelah ikan telah menjalani adaptasi atau karantina selama 14–21 hari dan sudah dipastikan sehat. Penebaran induk dilakukan dengan aklimatisasi terlebih dahulu yaitu dengan menyesuaikan suhu air pada wadah baru, apabila suhu telah sama maka ikan akan keluar dengan sendirinya. Induk ikan Botia yang dipelihara di Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Ikan Hias (BP2BIH) Depok berjumlah 125 ekor dengan rincian induk ikan Botia asal Sumatera 66 ekor yang dipelihara di kanvas 1 dan 59 ekor induk ikan Botia asal Kalimantan yang dipelihara di kanvas 2. Pemeliharaan induk jantan dan betina pada masing-masing asal daerah tidak dipisahkan. Pakan Induk Pakan yang diberikan pada induk ikan Botia berupa cacing tanah (Lumbricus sp.) dengan frekuensi pemberian pakan satu kali per hari pada pukul 15.00-16.00 WIB hingga kenyang (ad libitum). Foto pakan induk Botia berupa cacing tanah dapat dilihat pada Gambar 3 . Kematangan gonad Pengamatan kematangan gonad dilakukan setiap bulan. Gambar 3. Foto pakan induk botia Melihat kematangan gonad bisa dilakukan dengan cara visual yaitu dengan melihat ciri-ciri sekunder seperti bagian perut induk ikan Botia. Induk betina yang telah matang gonad perutnya membesar dan buncit serta apabila diraba akan terasa lembek dan halus. Akan tetapi terkadang tidak semua perut yang gendut berisi telur, adakalanya itu adalah lemak. Untuk memastikannya dilanjutkan dengan metode kanulasi atau kateterisasi yaitu dengan cara mengambil sampel telur menggunakan kateter. Sampel telur yang telah didapat dimasukkan ke dalam cawan petri yang telah Gambar 4. Induk matang diisi dengan larutan fisiologis sebanyak 0,3 ml. Telur yang berada di cawan petri kemudian diamati menggunakan mikrosop binokuler dengan perbesaran 25 kali. Diameter telur yang sudah dapat dipijahkan berkisar 1,02 – 1,08 mm, berwarna kuning ke abu-abuan atau hijau keabu-abuan, tidak banyak cairan lemak, Gambar 5. Motilitas sperma secara mikroskopis ; kiri : motil, bentuk bulat dan seragam, dan tidak ada kanan : tidak motil
135
yang atresia. Pengamatan terhadap kematangan gonad induk jantan dilakukan dengan cara pengurutan (stripping) pada bagian perut ke arah genital dan mengeluartkan cairan putih susu yang disebut sperma. Selanjutnya sperma disedot dengan syringe tanpa jarum yang telah berisi larutan fisiologis sebanyak 0,4 ml dan kemudian dimasukkan ke dalam tube serta disimpan di coolbox yang berisi batu es. Sperma yang telah diambil kemudian diamati secara visual dan mikroskopis. Secara visual, sperma dikatakan sudah matang jika warnanya putih susu dan kental, dan secara mikroskopis memiliki tingkat motilitas tinggi (>80%). Pengelolaan Kualitas Air Pada Pemeliharaan Induk Pengelolaan kualitas air pada kegiatan pemeliharaan induk menggunakan sistem resirkulasi yang terpadu dimana terdiri atas filter biologis, fisik dan kimia. Filter biologis ini menggunakan bioball dan kulit kerang yang berfungsi sebagai penempelan bakteri nitrifikasi seperti Nitrosomonas. Selain itu, kulit kerang mengandung kitin yang mampu mengubah air yang bersifat asam menjadi netral. Untuk monitoring kualitas air dilakukan pengukuran terhadap parameter fisika dan kimia yang terdiri atas pengukuran suhu, pH, DO, amoniak dan nitrit. Metode pengukuran suhu dilakukan sehari dua kali pada pukul 08.00 dan 16.00 WIB dengan menggunakan termometer digital dan dilakukan pencatatan suhu pada kertas data. Sedangkan untuk pengukuran kualitas air berupa parameter kimia dilakukan setiap satu minggu sekali, baik itu pengukuran DO, pH, amoniak dan nitrit dengan alat pengukur. Penyiponan dilakukan setiap hari pada dasar bak kanvas untuk membersihkan kotoran dan sisa pakan. Selang yang digunakan berdiameter 1,5 cm sepanjang 8 m yang ujungnya diberi paralon PVC berdiameter 1 inchi dengan panjang 1,5 m, dengan bagian bawah diberi lubang untuk saluran penyerapan kotoran. Kemudian dilakukan pergantian air sebanyak 5 – 10% perhari. Pada bak penampungan air keluar diberi lubang sesuai dengan tinggi air yang diinginkan, hal tersebut dilakukan dalam rangka menjaga volume dan tinggi air tetap stabil. 4. Pemijahan Dengan Rangsangan Hormonal Perangsangan pemijahan ikan secara hormonal dilakukan dengan menyuntikan hormon tertentu ke tubuh ikan. Hormon tersebut masuk ke dalam sistem sirkulasi darah ikan dan ketika mencapai organ target (gonad) akan langsung bekerja dan mempengaruhi organ tersebut. Dengan demikian, perangsangan pemijahan secara hormonal ini merupakan by pass cara kerja hormon dalam sistem reproduksi ikan. Perangsangan pemijahan ikan secara hormonal ini sangat bermanfaat antara lain; 1). Memijahkan ikan yang sistem saraf pusatnya sulit dipengaruhi oleh sinyal lingkungan, 2). Memijahkan ikan diluar musim pemijahan (out season), terutama pada ikan yang mengenal musim pemijahan tertentu. Ikan Botia merupakan salah satu contoh ikan yang belum bisa memijah secara alami dalam lingkungan buatan dikarenakan belum diketahuinya sinyal lingkungan apa yang bisa mempengaruhi saraf pusat. Sehingga keberhasilan pemijahannya masih dengan pemijahan buatan dengan rangsangan hormonal. Persiapan wadah pemijahan Sebelum dilakukan pemijahan, induk hasil seleksi ditempatkan pada wadah akuarium pemberokan dengan ukuran 100x30x40 cm3 dan akuarium tersebut disekat menjadi tiga bagian. Akuarium pemberokan dirancang sistem resirkulasi dengan suhu media airnya 25-26oC. Untuk menjaga ketenangan supaya ikan tidak stres, akuarium ini ditutup dengan plastik warna hitam.
136
Jenis hormon Pemijahan ikan hias Botia di Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Ikan Hias (BP2BIH) Depok dilakukan dengan cara pemijahan buatan (induced breeding) menggunakan stimulasi hormon berupa HCG (Human Chorionic Gonadotropin) dan hormon sintetik merk Ovaprim produk dari Syndel Kanada yang berisikan gonadotropin dan antidopamin. HCG berfungsi untuk menghomogenkan ukuran telur dan Ovaprim berfungsi untuk merangsang ovulasi serta spermiasi. Dosis hormon Dosis hormon yang digunakan dalam pemijahan ikan hias Botia untuk betina yaitu, HCG 500 IU/kg bobot induk dan Ovaprim 0,6 ml/kg bobot induk. Induk jantan hanya disuntik satu kali dengan Ovaprim 0,6 ml/kg bobot induk. Penyuntikan Perbandingan ikan yang digunakan dalam pemijahan antara induk betina dan jantan yang matang gonad adalah 1 : 2. Stimulasi hormon yang diberikan pada induk betina dilakukan dua kali penyuntikan. Penyuntikan pertama biasanya dilakukan pada malam hari pukul 24.00 WIB dengan HCG dan penyuntikan kedua dilakukan setelah interval 24 jam dari Gambar 6. Penyuntikan dengan penyuntikan pertama menggunakan Ovaprim secara rangsangan hormonal intramuscular. Sedangkan penyuntikan induk jantan dilakukan satu kali menggunakan ovaprim dengan selang waktu 15 jam dari penyuntikan pertama pada induk betina secara intramuskular. Pengeluaran (stripping) telur dan sperma Waktu Penentuan selang waktu antara penyuntikan hormon dan pengambilan sel telur merupakan faktor kunci dalam keberhasilan teknik reproduksi yang melibatkan dorongan hormonal untuk memicu ovulasi dan pembuahan buatan pada ikan. Pengambilan sel telur yang tertunda atau telat setelah ovulasi akan membuat sel telur menjadi terlalu matang yang bisa menyebabkan derajat pembuahan rendah, meningkatkan jumlah embrio yang rusak serta menurunkan kelangsungan hidup embrio dan larva. Istilah selang waktu sering disebut “waktu laten”. Waktu laten yaitu antara penyuntikan hormon terakhir dan ovulasi berkorelasi negatif dengan suhu air. Pada ikan hias Botia dengan suhu media air pada saat penyuntikan sekitar 25-26oC, waktu latennya berkisar 9-15 jam. Pemeriksaan GVBD (Germinal Vesicle Break Down) Setelah penyuntikan Ovaprim, proses pematangan oocyt mencakup migrasi inti sel telur ke ujung atau tepi oocyt dan pecahnya inti sel telur (Germinal Vesicle Break Down). Untuk mengetahuinya dilakukan dengan menaruh sampel telur dari hasil kanulasi dalam larutan serra. Komposisi larutan serra terdiri atas alkohol 70%, formalin 40% dan asam asetat dengan perbandingan (6:3:1). Larutan serra mampu melisiskan lapisan chorion (cangkang telur) sehingga inti telur dapat terlihat jelas di bawah mikroskop binokuler.
137
Pemeriksaan stadium inti telur harus cepat dan tidak lebih dari 5 menit. Hal ini dikarenakan larutan serra yang digunakan dapat menyebabkan telur menjadi larut setelah 10 menit sehingga inti telur tidak terlihat. Setelah GVBD, oocyt menjadi matang dan siap untuk keluar dari folikel (ovulasi), kemudian oocyt tersebut menjadi sel telur (ovum), siap untuk pembuahan. Biasanya pada ikan hias Botia setelah migrasi inti mencapai posisi GVBD, maka waktu ovulasi dapat diprediksi sekitar 2 jam ke depan. Pengeluaran (stripping) sperma dan telur Pengambilan sperma dilakukan dengan cara pengurutan (stripping) dibagian perut ikan. Pada saat diurut pelan-pelan, yang pertama keluar biasanya urine yang berupa cairan bening. Urine dikeluarkan terlebih dahulu sampai habis dan lubang genital di lap sampai kering. Hal ini dilakukan agar sperma tidak tercampur dengan urine yang akan dapat mengurangi aktifitas sperma. Setelah Gambar 7. Striping telur sperma keluar, sperma disedot dengan syringe tanpa jarum yang berisi larutan fisiologis sebanyak 0,4 ml. Kemudian sperma dimasukkan ke dalam tube ukuran 10 ml dan disimpan di coolbox. Cara pengeluaran telur dari induk betina sama dengan pengeluaran sperma pada induk jantan, yaitu dengan cara pengurutan (stripping). Apabila sudah waktunya ovulasi, pengurutan akan terasa mudah dan ringan. Sedangkan bila terasa berat, berarti induk belum siap untuk ovulasi. Dalam pengurutan induk betina juga harus dihindari masuknya air ke dalam telur sebelum telur dibuahi oleh sperma. Karena bila telur tercampur dengan air, maka lubang mycropile pada telur akan segera tertutup. Hal ini menyebabkan telur tidak dapat dibuahi. Sebelum dilakukan proses pengeluaran telur, induk dianestesi menggunakan larutan phenoxy ethanol dengan dosis 0,3 ppm. Pengurutan dilakukan secara perlahan dan telur ditampung di cawan plastik. Setelah telur keluar, kemudian ditimbang agar dapat mengetahui berat telur yang terovulasi. Kisaran berat telur yang terovulasi untuk ikan Botia selama ini antara 22,2-37 g yang berasal dari induk dengan bobot 101-217,6 g. Sampel telur dengan berat tertentu ditimbang dan dihitung jumlahnya untuk mengetahui berat telur per butir. Caranya yaitu dengan membagi berat sampel dan jumlah sampel telur. Nilai berat telur ikan Botia per butir berkisar antara 0,89-1,09 mg. Untuk mengetahui jumlah telur total yang dihasilkan dilakukan pembagian antara berat telur total yang diperoleh dengan berat telur per butir. Kisaran jumlah telur total yang terovulasi untuk ikan Botia selama ini antara 22.524 41.573 butir. Foto pengeluaran telur dapat dilihat pada Gambar 7. Pembuahan (fertilisasi) Pembuahan atau fertilisasi dilakukan secara buatan dengan mencampurkan sperma ke dalam wadah yang berisi telur. Perbandingan jumlah sperma dengan telur kira-kira 1 ml sperma untuk 5
138
gram telur. Telur yang telah dicampur dengan sperma digoyang-goyangkan secara perlahan selama 1 menit hingga tercampur merata, kemudian dimasukkan air mineral agar sperma aktif untuk membuahi telur. Goyang-goyang lagi beberapa saat agar banyak telur yang Gambar 8. Pembuahan telur dengan sperma (kiri) Pembilasan dengan air mineral (kanan) terbuahi, kemudian dicuci sebanyak 3 kali dengan air mineral sampai bersih dari sisasisa sperma dan kotoran. Setelah dilakukan pembuahan, telur disampling untuk mengetahui jumlah telur yang terbuahi (FR) dan jumlah telur yang menetas menjadi larva (HR). Langkah kerja yang dilakukan yakni mengambil sampel telur kira-kira 100 butir dan dimasukkan ke dalam basket plastik dan kemudian diletakkan di atas mesin goyang atau bioblock scientific. Nilai derajat pembuahan (FR) selama ini berkisar antara 58,5 - 100%. Penetasan (inkubasi) telur Penetasan (inkubasi) telur Telur hasil fertilisasi kemudian diinkubasi menggunakan corong penetasan. Suhu di dalam ruang inkubasi telur berkisar antara 2526oC. Corong penetasan terbuat dari fibberglass dengan diameter 30 cm dan tinggi 45 cm yang dimasukkan ke dalam hapa dari kain trililin berukuran 100 × 50 × 50 cm3 yang diletakkan di dalam Gambar 9. Penebaran telur ke corong bak beton berukuran 4,8 × 1,5 × 0,9 m3 dengan sistem resirkulasi. Hapa diikat di sebuah transek berbentuk persegi panjang yang terbuat dari pipa PVC berdiametar 1 inchi. Untuk penyangga corong digunakan styrofoam sehingga corong penetasan selalu ada di permukaan air. Kegiatan selanjutnya dilakukan penebaran telur. Penebaran telur tiap corong penetasan sekitar 2-5 g. Dalam penebaran telur, aliran air dalam corong dimatikan terlebih dulu yang berfungsi untuk mencegah telur keluar dari corong inkubasi. Penebaran dilakukan secara hati-hati menggunakan sendok (centong nasi) yang terbuat dari plastik. Setelah telur ditebar ke corong penetasan, air dialirkan dengan debit diatur agar telur berputar secara perlahan dan halus. Telur yang dibuahi akan terlihat berwarna bening transparan. Sedangkan telur yang tidak dibuahi akan terlihat berwarna putih susu dan pudar. Telur yang telah dibuahi akan menetas setelah 14 - 19 jam pada suhu air 25-26oC. Setelah telur menetas, kemudian dihitung nilai derajat penetasannya. Derajat penetasan adalah presentase jumlah telur yang menetas baik secara normal maupun abnormal dibandingkan jumlah telur yang terbuahi. Perhitungan derajat penetasan ini dilakukan setelah telur menetas secara keseluruhan. Nilai derajat
139
penetasan (HR) pada ikan hias Botia berkisar antara 51,78-92,20%. Larva yang baru menetas memiliki panjang 5 – 6 mm dengan kuning telur berbentuk memanjang. Perkembangan Embrio Pengamatan embriogenesis dilakukan agar diketahui perkembangan telur setelah dibuahi hingga menetas. Perkembangan embriogenesis ikan Botia, setelah dibuahi adalah sebagai berikut : Fase Pembelahan
Waktu
2 sel 4 sel 8 sel 16 sel 32 sel Morula Blastula gastrula awal embrio awal Menetas
41 menit 1 jam 10 menit 1 jam 12 menit 1 jam 15 menit 1 jam 32 menit 2 jam 48 menit 4 jam 58 menit 8 jam 3 menit 16 jam 8 menit 20 jam 24 menit
Panen Larva Larva dipanen setelah berumur 7 hari dengan menggunakan seser dan dibantu dengan cahaya senter sehingga mempermudah dalam pengambilan larva Botia. Saluran air masuk dan aerasi dimatikan, lalu corong penetasan diangkat dari hapa sehingga larva terlihat jelas. Selanjutnya dasar hapa diangkat perlahan-lahan ke atas untuk mempersempit ruang gerak larva dan memudahkan dalam pemanenan. Larva diambil menggunakan seser dengan mata saringan berukuran 1 mm dan dimasukkan ke dalam baskom plastik. Kemudian larva dihitung dan dimasukkan ke basket plastik yang berukuran 300 ml. Setiap basket plastik menampung 100 ekor larva. Larva yang telah dihitung ditebar ke dalam akuarium ukuran 80 × 40 × 40 cm3 dengan sistem resirkulasi, dan terlebih dahulu dilakukan aklimatisasi suhu selama 5 menit. Aklimatisasi dilakukan dengan cara memasukkan wadah yang berisi larva ke dalam akuarium dan dibiarkan larva keluar dengan sendirinya dengan apabila wadah dimiringkan. Pemeliharaan Larva sampai Benih Pemeliharaan larva dari umur 7-8 hari selama 1,5 bulan akan menghasilkan benih Botia dengan ukuran 1,2-1,5 cm. Wadah pemeliharaan Wadah yang digunakan berupa akuarium ukuran 80x40x40 cm3 dengan sistem resirkulasi. Sebelum digunakan akuarium dibersihkan dan didesinfektan. Penebaran larva Penebaran larva dilakukan setelah larva berumur 7-8 hari, larva ditebar dengan kepadatan 5 ekor/L. Sebelum ditebar, dilakukan aklimatisasi atau penyesuaian suhu yang biasanya sekitar 30 menit. Aklimatisasi dilakukan dengan cara memasukan wadah berisi larva ke dalam akuarium, setelah suhu air dalam wadah sama dengan suhu akuarium kemudian wadah dimiringkan dan secara perlahan akan keluar larva dengan sendirinya ke dalam akuarium. Suhu di dalam ruangan ini berkisar antara 28-30oC.
140
Pemberian Pakan Larva diberi pakan berupa nauplii Artemia setelah berumur 4-5 hari. Pemberian pakan dilakukan sebanyak 5-7 kali sehari yaitu pada jam 08.00, 10.00, 12.00, 14.00 dan 16.00 WIB, kemampuan pakan benih Botia sekitar 30 ekor naupli artemia/hari (individu/hari). Memasuki bulan kedua, pakan yang diberikan berupa kombinasi nauplii Artemia dengan bloodworm (cacing darah) (larva Chironomus sp). Setelah satu atau dua minggu pembesaran biasanya ukuran ikan menjadi tidak seragam. Pada saat inilah diperlukan adanya sortase atau gradding ukuran. Grading dan Sampling Pertumbuhan Kegiatan gradding dimaksudkan untuk menggelompokkan ikan berdasarkan ukuran. Selain itu juga untuk mengetahui jumlah ikan dan kelangsungan hidup ikan selama pemeliharaan. Waktu sampling dilakukan pada pagi atau sore hari, yang bertujuan untuk menghindari adanya fluktuasi suhu yang membuat ikan stres. Benih ikan Botia diserok menggunakan seser berukuran sedang secara hati-hati dan perlahan, kemudian ditampung di atas bak plastik bundar yang telah dilapisi dengan kain trililin. Setelah itu disediakan baskom plastik empat buah, diisi sedikit air dan dilakukan sortasi ke dalam 3 ukuran, yakni small (0,8-1,0 cm), medium (1,0-1,3 cm) dan large (> 1,3 cm). Persentase ukuran S, M dan L dalam satu populasi biasanya 44,20%; 47,91% dan 7,89%. Sedangkan tingkat kelangsungan hidup ikan pada pemeliharaan ini sekitar 74,71%. Benih ikan Botia yang telah disortir dicatat ke dalam buku laporan sortir dan benih siap untuk ditebar ke dalam akuarium baru. Kegiatan lain pada saat grading adalah sampling pertumbuhan yang bertujuan untuk mengetahui pertumbuhan larva baik itu dari segi panjang standar dan bobot dari larva yang dipelihara. Sampel larva Botia yang diukur sebanyak 30 ekor diambil secara acak. Pemeliharaan Benih Pemeliharaan benih lanjutan sampai ukuran benih siap jual. Keluaran dari kegiatan ini adalah didapatkan benih ukuran jual yaitu 4,2-5,0 cm dengan lama pemeliharaan 5-6 bulan. Wadah pemeliharaan Wadah yang digunakan berupa bak beton yang dikeramik dengan ukuran 3x1,5x0,8 m3 dengan sistem resirkulasi dan dilengkapi aerasi. Air setelah diputar selama 14 hari dengan merendamkan pakan pelet ke dalamnya yang berfungsi untuk merangsang bakteri tumbuh pada bahan filter. Air tersebut dapat digunakan apabila kadar NH3 dan NO2 tidak dapat terdeteksi dengan alat. Penebaran benih Benih yang ditebar terlebih dahulu diaklimatisasi dengan cara merendam baskom plastik yang berisi benih ke dalam bak tersebut selama 10 menit. Kemudian baskom plastik dimiringkan ke dalam air pemeliharaan secara perlahan dan benih dibiarkan keluar dengan sendirinya. Tiap bak memiliki kapasitas tampung sebanyak 5000 ekor dengan ukuran 2 inchi atau 5 cm.
141
Pemberian Pakan Benih diberi pakan berupa bloodworm beku yang dilakukan 3 kali sehari yakni pada pukul 08.00, 12.00 dan 16.00 WIB. Pemberian pakan dengan bloodworm dilakukan secara ad satiation atau sekenyangnya. Sebelum diberikan, bloodworm beku direndam dalam air bersih selama ± 10 menit. Setelah mencair lalu dicuci dengan air bersih berulang-ulang, ditiriskan baru diberikan ke benih ikan Botia. Sortase Benih Kegiatan penyortiran benih mempunyai fungsi yang sama dan tahapan kerja yang sama pula dengan kegiatan penyortiran larva. Kegiatan penyortiran ini dilakukan karena ukuran ikan sudah tidak seragam. Pada saat kegiatan penyortiran, dilakukan juga penghitungan tingkat kelangsungan hidupnya. Sampai tahap pemeliharaan benih, tingkat kelangsungan hidupnya mencapai 65%.
A
B
C
Gambar 10. Penghitungan larva (A) Aklimatisasi larva (B) Wadah pemeliharaan larva (C)
Panen benih Ikan yang telah dipelihara selama 5-6 bulan rata-rata sudah mencapai ukuran 4,2-5,0 cm. Tingkat kelangsungan hidup ikan sampai panen sekitar 50%. Ikan yang akan dipanen terlebih dulu dipuasakan untuk menghilangkan sisa metabolisme Gambar 11. Panen dan penjualan berupa urine dan feses agar tidak terakumulasi di dalam air kemasan packing yang menyebabkan amoniak serta karbondioksida meningkat. Pemanenan ikan dengan cara penyerokkan menggunakan seser yang berukuran besar, kemudian ikan dimasukkan ke dalam baskom plastik untuk dilakukan penyortiran. Sebelum ikan disortir, plastik packing terlebih dahulu disiapkan (biasanya rangkap dua). Ujung plastik bagian bawah diikat dengan karet yang bertujuan untuk menghilangkan sudut mati dan pergerakan ikan menjadi lebih luas. Ke dalam plastik diisikan air sebanyak dua liter, lalu ikan yang telah diserok kemudian disortir berdasarkan ukuran yakni 4,2-5,0 cm dan dimasukkan ke kantong plastik serta diberi oksigen murni (rasio air : oksigen adalah 1:3). Yang perlu diperhatikan bahwa sebelum oksigen murni dimasukkan, udara bebas yang berada di dalam plastik harus dikeluarkan. Jumlah ikan tiap kantong plastik sebanyak 65 ekor dan diberi label jumlah ikan per kantong.
142
Pengelolaan Kualitas Air Pada Pemeliharaan Larva dan Benih Pengelolaan kualitas air dilakukan dengan penyiponan yang dilakukan dua kali sehari, yakni pada pagi dan sore hari. Penggunaan selang sipon harus diganti untuk setiap resirkulasi yang berbeda. Hal ini bertujuan untuk menghindari dan mencegah penyebaran penyakit apabila resirkulasi yang satu terserang penyakit. Setelah melakukan penyiponan, diisi kembali dengan mengalirkan air tandon melalui kran sebanyak 5 – 10% dari volume air akuarium. Air yang masuk ke dalam bak keramik harus terlebih dahulu disterilisasi dengan sinar UV. Selain itu, pengukuran suhu dilakukan setiap hari yakni pada pagi dan sore hari. Sedangkan pengukuran DO, pH, Amoniak dan nitrat dilakukan 1 minggu sekali yang biasanya dilakukan pada hari Rabu. Parameter Tempat
NH3 (mg/L)
Terpal 1
0-0,001
Terpal 2
0-0,003
Terpal 3
0,0040,006
NO2 (mg/L)
pH
0,0030,007 0,0020,008 0,0040,082
7,498,0 7, 827,99 7, 247,79
Suhu (ºC)
DO (mg/L)
Konduktivity (μS)
29-30
6,95-7,2
245-309,4
29,5-30
6,86-7, 31
202,5-370
29,529,8
6-6,5
395,4-411,7
Tabel 2. Parameter air
Dilihat dari nilai kualitas air yang didapat, nilainya masih berada dalam kisaran toleransi untuk kehidupan ikan hias Botia. Sebagaimana diketahui bahwa suhu di habitatnya berkisar 25-30°C, pH berkisar 5-8 , DO berkisar 6-9, NH3 berkisar 0-0,2 mg/L dan NO2 berkisar 0-0,1 mg/L. Pencegahan dan Pengobatan Penyakit Pencegahan Penyakit Dalam mengantisipasi datangnya penyakit dalam pemeliharaan ikan hias Botia, BP2BIH Depok menerapkan system biosecurity yang diterapkan untuk pekerja dan peralatan yang digunakan. Pada area pintu masuk disediakan semacam bak kecil berisi air desinfektan untuk sterilisasi kaki, kemudian juga disediakan alkohol teknis untuk sterilisasi tangan. Untuk peralatan yang digunakan, seperti selang sipon, serok, baskom plastik dan centong harus disediakan pada masing-masing unit resirkulasi dan setelah digunakan harus direndam kembali di larutan desinfektan. Untuk menjaga suhu tidak fluktuatif, pada pemeliharaan larva dan benih digunakan alat pemanas ruangan. Treatmen air menggunakan lampu UV pada masing-masing unit resirkulasi. Selain itu juga dilakukan penyiponan air setiap pagi dan sore sebanyak 1 % dari volume air akuarium. Pengobatan Penyakit Jenis penyakit yang sering menyerang benih Botia adalah white spot yang berasal dari parasit Ichtyopthirius multifilis. Parasit ini menyerang di bagian luar tubuh ikan seperti kulit dan sirip serta ditandai dengan adanya bintik putih yang dapat dilihat secara kasat mata. Apabila tidak ditindaklanjuti dengan serius dapat berakibat kematian. Sedangkan untuk pengobatannya dengan perendaman menggunakan larutan Oksitetrasiklin 20 ppm dan formalin 10 ppm selama 3 hari sekali. Selama pengobatan ikan tidak diberika makan.
143
Jumlah Kaji Terap di Beberapa Daerah Tahun 2012 : Pendederan larva hingga benih ikan hias Botia di Musi Banyuasin Sumatera Selatan dan Kasongan Kalimantan Tengah Dalam kegiatan ini telah dilakukan transfer teknologi pendederan larva hingga benih ikan hias Botia ke stakeholder di Musi Banyuasin dan Kasongan. Data keberhasilan kegiatan pendederan ini dapat dilihat pada Tabel 3., dan Tabel 4. Tanggal kirim 29 Nov 2011 27 Mei 2012 29 Juni 2012 25 Sept 2012
Jenis transportasi Darat Darat Udara Udara
Jumlah larva (ekor) 3.000 3.200 10.000 3.000
Sintasan (%) 30 94 90 98
Uk.Ikan (cm) 6,25-7,5 2,0-2,5 1,2-1,5 Larva
Keterangan Benih Benih Benih Umur 14 hari
Tabel 3. Data jumlah larva Botia yang dikirim ke Musi Banyuasin, Sintasan dan Ukuran ikan padasaat pelaksanaan showcase (27 September 2012)
Tanggal kirim 23 April 2012
Jenis transportasi Udara
Jumlah larva (ekor) 7.000
Sintasan (%) 45
Uk.Ikan (cm) 2,5-6,0
Keterangan Benih
Tabel 4. Data jumlah larva Botia yang dikirim ke Kasongan, Sintasan dan Ukuran ikan pada saat pelaksanaan showcase (13 November 2012)
Dalam kegiatan ini telah memperlihatkan hasil seperti : A. Untuk Kasongan : Sudah dilakukan sampling induk dan ada yang matang gonad 2 ekor (TKG II dan TKG III) dan 1 ekor (keluar sperma, tapi masih sedikit). Sudah dilakukan tagging induk, pembuatan resirkulasi inkubasi, resirkulasi pemberokan induk dan perbaikan akuarium resirkulasi perawatan larva hingga benih. B. Untuk Musibanyuasin : Sudah dilakukan sampling induk dan ada yang matang gonad 2 ekor (sudah keluar sperma dan yang lain masih kosong). Sudah dilakukan tagging induk, perbaikan tandon inkubasi, dan resirkulasi induk. KEUNGGULAN TEKNOLOGI Botia merupakan komoditas favorit untuk ekspor dan sebagai komoditas penghela dalam setiap ekspor ikan jenis lain dari Indonesia. Dapat dilakukan pemijahan sepanjang tahun tanpa dipengaruhi oleh musim seperti yang terjadi di habitatnya aslinya. Menghasilkan produk berupa benih ikan Botia hasil budidaya, dimana kedepannya produk hasil budidayalah yang direkomendasikan untuk memenuhi permintaan ekspor, seiring menurunnya jumlah hasil tangkapan akibat kerusakan habitatnya dan adanya tangkapan yang berlebih. Hal ini diperkuat dengan keluarnya Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia No. 44/M-DAG/PER/7/2012 tentang Barang
144
Dilarang Ekspor. Barang dibidang perikanan dan kelautan yang dilarang ekspor itu yaitu ; ex. 0301.11.10.00 : Benih ikan Botia hidup (Botia macracantha) ukuran panjang kurang dari 2,5 cm; dan ex. 0301.11.99.10 : Ikan Botia hidup (Botia macracantha) ukuran panjang di atas 15 cm. Teknologi pembenihan ikan hias Botia (ChromoBotia macracanthus Bleeker) di lingkungan terkontrol mempunyai keunggulan yaitu dapat mengatur supplai dan harga. Usaha pembenihan ikan Botia dapat dilakukan dalam skala rumah tangga dengan jumlah benih yang dipelihara menurut kemampuan pengelolanya, dan dapat membuka lapangan pekerjaan dan penghasilan. WAKTU DAN LOKASI PENELITIAN, DAERAH YANG DIREKOMENDASIKAN Penelitian awal yang berupa upaya domestikasi sehingga dihasilkan induk Botia yang terdomestikasi dengan kriteria yaitu; bisa hidup, tumbuh dan bisa berkembang biak di lingkungan budidaya telah dilakukan antara tahun 2005 – 2008 di Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Ikan Hias, Depok dengan bekerja sama dengan Institut de recherché pour le developpement (IRD) Perancis. Penelitian dan pengembangan tahap produksi massal; dengan kegiatan berupa : uji produksi benih skala massal, uji pemasaran benih hasil budidaya ke pasar internasional dan analisa ekonomi dalam siklus produksi telah dilakukan antara tahun 2009-2011 di Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Ikan Hias, Depok dengan bekerja sama dengan Institut de recherché pour le developpement (IRD) Perancis. Penelitian dan pengembangan tahap produksi massal lanjutan berupa perbaikan teknologi pembenihan ikan hias Botia supaya lebih efisien serta kegiatan transfer teknologi untuk penerapan teknologi di masyarakat melalui kegiatan diseminasi telah dilakukan tahun 20122013 di Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Ikan Hias, Depok; di Dinas Perikanan Kabupaten Musi Banyuasin Sumatera Selatan dan di Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Kasongan Kalimantan Tengah. Lokasi wilayah yang direkomendasikan untuk penerapan teknologi pembenihan ikan hias Botia dengan lingkungan terkontrol adalah daerah asal ikan Botia seperti Sumatera dan Kalimantan. Pemilihan lokasi di daerah asal ikan Botia diperkirakan kondisi lingkungan pemeliharaan sudah sesuai untuk ikan Botia. Selain itu untuk aplikasi teknologi pendederan larva hingga benih dalam sistem resirkulasi dapat dilakukan di berbagai daerah bahkan di daerah yang kurang akan sumber daya air sekalipun, mengingat teknologi resirkulasi mempunyai kelebihan yaitu bisa hemat air. KEMUNGKINAN DAMPAK NEGATIF Sangat kecil kemungkinan dampak negatif dari aplikasi teknologi pembenihan ikan hias Botia di lingkungan terkontrol, karena hampir semua bahan yang digunakan relatif aman. Hanya saja untuk penggunaan obat-obatan yang bersifat antibiotik seperti oksitetrasiklin harus ada perbaikan manajemen dalam pembuangannya, dikarenakan jika dibuang begitu saja ke perairan bisa membahayakan organisme yang ada.
145
KELAYAKAN FINANSIAL DAN ANALISA USAHA Biaya Investasi Biaya investasi adalah biaya yang dikeluarkan pada saat awal membuka usaha dan memiliki umur teknis lebih dari 1 tahun. Total biaya investasi budidaya ikan Botia berdasarkan analisa usaha yang telah diperhitungkan sebesar Rp.1.561.963.000,-. Rincian biaya investasi dari pembenihan ikan Botia dapat dilihat pada tabel berikut. No.
Jenis Barang
A
Pengadaan induk
B
Tanah dan Pembangunan gedung
Total Biaya 5.400.000 1.160.850.000
C
Tandon air
6.000.000
D
Sarana dan prasarana produksi artemia
9.575.000
E
Sarana dan prasarana pemeliharaan induk
F
Sarana dan prasarana reproduksi. inkubasi. larva
G
Sarana dan prasarana pemeliharaan larva
100.500.000
H
Sarana dan prasarana pemeliharaan benih
100.438.000
I
Sarana dan prasarana listrik
16.250.000
J
Sarana dan prasarana keamanan
40.000.000
K
Sarana dan prasarana laboratorium
14.500.000
L
Sarana dan prasarana transportasi
2.000.000
M
Sarana dan prasarana kantor
65.100.000 39.350.000
2.000.000
Total
1.561.963.000
Biaya Penyusutan Biaya penyusutan merupakan alokasi dari biaya investasi setiap tahun berdasarkan umur teknis. Total biaya penyusutan budidaya ikan Botia yaitu sebesar Rp. 114.320.010. Rincian biaya penyusutan dari budidaya ikan Botia dapat dilihat pada tabel berikut. No.
Jenis Barang
Total Biaya 900.000
A
Pengadaan induk
B
Tanah dan Pembangunan gedung
C
Tandon air
D
Sarana dan prasarana produksi artemia
E
Sarana dan prasarana pemeliharaan induk
61.017.500 433.333 782.500 8.433.333 3.935.000
F
Sarana dan prasarana reproduksi. inkubasi. larva
G
Sarana dan prasarana pemeliharaan larva
H
Sarana dan prasarana pemeliharaan benih
9.283.962
I
Sarana dan prasarana listrik
3.250.000
14.562.000
J
Sarana dan prasarana keamanan
4.000.000
K
Sarana dan prasarana laboratorium
1.600.000
L
Sarana dan prasarana transportasi
M
Sarana dan prasarana kantor
350.000 200.000 114.320.010
Total
146
Biaya Variabel Biaya variabel adalah biaya yang dikeluarkan jika hanya ada kegiatan produksi. Rincian biaya variabel dapat dilihat pada tabel berikut. No.
Jumlah per tahun 1,220,000
Uraian
1
Konsumsi pemijahan
2
Pakan larva
25,450,000
3
Pakan benih
31,679,567
4
Transportasi
1,100,000
5
Tenaga untuk ruang inkubasi
6,689,837
6
Tenaga untuk gedung pemeliharaan larva dan benih
14,348,837
Total Biaya Tetap
96,153,605
Diketahui data per siklus (6 bulan) sebagai berikut : Keterangan
Persentase
Jumlah telur
Jumlah per siklus 242,647
Fertilization rate (FR)
85%
206,250
Hachip Rate (HR)
80%
165,000
Survival Rate (sampai ukuran jual)
35%
57,800
Jika satu siklus diperlukan waktu 6 bulan, maka dalam satu tahun bisa dilakukan 2 siklus. Benih hasil produksi bisa dijual ke pasar lokal dan pasar ekspor. PASAR LOKAL Produksi benih 1 tahun Harga jual Penerimaan
= 57.800 ekor x 2 siklus = 115.600 ekor = Rp. 3.500 = Jumlah panen x Harga jual = 115.600 ekor x Rp. 3.500 = Rp. 404.600.000,-
Keuntungan Keuntungan yang diperoleh dari satu siklus produksi (1 tahun) pembenihan ikan Botia dapat dihitung dengan perhitungan sebagai berikut: Keuntungan = Penerimaan – ( Biaya tetap + Biaya variabel ) = Rp. 404.600.000 – (Rp. 210.473.615+ Rp. 96.153.605) = Rp. 97.972.780,Keuntungan yang diperoleh dari satu tahun produksi pembenihan adalah Rp. 97.972.780,-
147
Revenue Cost Ratio R/C merupakan alat analisis untuk melihat keuntungan relatif suatu usaha dalam satu tahun terhadap biaya yang dipakai dalam kegiatan produksi. R/C ratio
=
Penerimaan Biaya tetap + Biaya variabel
=
Rp. 404.600.000 ,Rp. 210.473.615 + Rp. 96.153.605
= 1,3
Efisiensi usaha (R/C Ratio) pembenihan Botia adalah biaya yang dikeluarkan Rp. 1 akan memperoleh penerimaan sebesar Rp. 0,3. Break Even Point (BEP) BEP digunakan untuk mengetahui batas nilai volum produksi suatu usaha mencapai titik impas (tidak untung, tidak rugi). BEP ( Rp )
BEP ( Rp)
BiayaTetap BiayaVaria bel 1 Penerimaan
Rp. 210.473.61 5 Rp. 96.153.605 1 Rp. 404.600.000
= Rp. 276.067.176,BEP(ekor )
BEP(ekor )
BiayaTetap BiayaVaria bel harga Jumlahproduksi Rp. 210.473.615 Rp. 96.153.605 3.500 115.600
= 78.882 ekor
Berdasarkan nilai diatas usaha pembenihan Botia akan mengalami titik impas jika nilai penjualan sudah mencapai Rp. 276.067.176,- dan saat penjualan sebanyak 78.882 ekor. Pay Back Periode (PP) Digunakan untuk mengetahui waktu tingkat pengembalian investasi yang telah ditanam pada suatu usaha. PP =
Investasi awal x 1 thn Keuntungan
PP =
1.561.963.000 x 1 thn 97.972.780
PP = 15,94 tahun
Maka waktu pengembalian modal usaha pembenihan Botia adalah selama 15,94 tahun.
148
Harga Pokok Penjualan (HPP) Harga pokok penjualan merupakan dasar dalam menentukan harga jual benih. Harga pokok penjualan dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut : HPP = Total biaya produksi : Kapasitas produksi HPP = Rp. 306.627.220 : 115.600 ekor HPP = Rp. 2.652,PASAR EKSPOR SR benih 1 tahun Harga jual Penerimaan
= 57.800 ekor x 2 siklus = 115.600 ekor = Rp. 8.000 = Jumlah panen x Harga jual = 115.600 ekor x Rp. 8.000 = Rp. 924.800.000
Keuntungan Keuntungan yang diperoleh dari dua siklus produksi (1 tahun) pembenihan ikan Botia dapat dihitung dengan perhitungan sebagai berikut: Keuntungan = Penerimaan – ( Biaya tetap + Biaya variabel ) = Rp. 924.800.000 – (Rp. 210.473.615+ Rp. 96.153.605) = Rp. 618.172.780 Keuntungan yang diperoleh dari satu tahun produksi pembenihan adalah Rp. 618.172.780,Revenue Cost Ratio R/C merupakan alat analisis untuk melihat keuntungan relatif suatu usaha dalam satu tahun terhadap biaya yang dipakai dalam kegiatan produksi.
R/C ratio
=
Penerimaan Biaya tetap + Biaya variabel
=
Rp. 924.800.000 ,Rp. 210.473.615 + Rp. 96.153.605
= 3,01
Efisiensi usaha (R/C Ratio) pembenihan Botia adalah biaya yang dikeluarkan Rp. 1 akan memperoleh penerimaan sebesar Rp. 2,01.
149
Break Even Point (BEP) BEP digunakan untuk mengetahui batas nilai volum produksi suatu usaha mencapai tittik impas (tidak untung, tidak rugi). BiayaTetap BEP ( Rp ) BiayaVaria bel 1 Penerimaan BEP ( Rp)
Rp. 210.473.61 5 Rp. 96.153.605 1 Rp. 924.800.00 0
= Rp. 234.877.374,BEP(ekor )
BEP(ekor )
BiayaTetap BiayaVaria bel harga Jumlahproduksi Rp. 210.473.615 Rp. 96.153.605 8.000 115.600
= 29.363 ekor
Berdasarkan nilai diatas usaha pembenihan Botia akan mengalami titik impas pada jika nilai penjualan sudah mencapai Rp. 234.877.374,- dan saat penjualan sebanyak 29.362 ekor. Pay Back Periode (PP) Digunakan untuk mengetahui waktu tingkat pengembalian investasi yang telah ditanam pada suatu usaha. PP =
Investasi awal x 1 thn Keuntungan
PP =
1.561.963.000 x 1 thn 618.172.780
PP = 2,52 tahun
Maka waktu pengembalian modal usaha pembenihan Botia adalah selama 2,52 tahun. Harga Pokok Penjualan (HPP) Harga pokok penjualan merupakan dasar dalam menentukan harga jual benih. Harga pokok penjualan dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut : HPP = Total biaya produksi : Kapasitas produksi HPP = Rp. 302.692.220 : 115.600 ekor HPP = Rp. 2.618,44 TINGKAT KOMPONEN DALAM NEGERI Hampir semua bahan dalam penerapan teknologi pembenihan ikan hias Botia di lingkungan terkontrol merupakan produk dalam negeri, kecuali untuk hormon (HCG dan Ovaprim) masih impor.
150
BBPPBL Teknologi Perbenihan Abalon (Haliotis squamata)
Unit Eselon I Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan Satuan Kerja Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Budidaya Laut Alamat Banjar Dinas Gondol, Desa Penyabangan, Kecamatan Gerokgak, Kab. Buleleng, Bali Tel: 0362-92278; Fax: 0362-92272 Kategori Teknologi Perikanan Budidaya Sifat Teknologi Teknologi Baru Masa Pembuatan 2008-2012 Tim Penemu Ir. Ibnu Rusdi, M.P. Ir. Bambang Susanto, M.Si. I Gusti Ngurah Permana, S.Pi, M.Si. Dr. I Nyoman Adiasmara Giri, M.S. Kontak Person Ir. Ibnu Rusdi, M.P.
[email protected]
151
DESKRIPSI TEKNOLOGI Manfaat Teknologi Tujuannya adalah untuk mendukung produksi benih abalon di hatcheri skala rumah tangga (HSRT) secara berkesinambungan; membuka lapangan usaha baru dan mata pencaharian alternatif atau sampingan tanpa harus alih profesi dari HSRT ikan laut yang sudah ada; mengurangi eksploitasi abalon di alam. Teknologi ini bermanfaat untuk mendukung pengembangan budidaya abalon skala masal secara berkesinambungan, meningkatkan pendapatan masyarakat pembudidaya yang bermukim di wilayah pesisir, mendukung peningkatan kegiatan ekonomi secara riil di bidang perikanan RINCIAN DAN APLIKASI TEKNIS Persyaratan Teknis Penerapan Teknologi Lokasi bangunan (hatchery) terletak dekat pantai berpasir dan jauh dari pengaruh air sungai yang dapat menurunkan salinitas air dan berpotensi terjadinya pencemaran limbah; tersedia sumber air tawar untuk mencuci peralatan dan pembersihan wadah pemeliharaan dan makroalga (rumput laut); tersedia sumber energi listrik untuk menghidupkan blower dan pompa air; tersedia sarana alat transportasi untuk pengambilan rumput laut dan bahan-bahan yang dibutuhkan untuk operasional. Kisaran kualitas air yang baik dalam mendukung perbenihan abalon, yaitu: suhu 28–30 °C, salinitas 32-35 ppt, pH air 8,0–8,5, oksigen terlarut 4,5-5,5 mg/L dan intensitas cahaya 1500 -3500 lux. Uraian teknologi dan cara penerapan teknologi Produksi benih abalon akan berjalan dengan baik apabila ditunjang oleh sarana yang lengkap, yaitu tersedia bak pemeliharaan induk, bak larva, ruang pemijahan, ruang dan bak kultur pakan alami, bak pendederan, sarana aerasi dan fasilitas penunjang lainnya, sehingga dihasilkan benih abalon siap tebar di laut. Kegiatan produksi benih abalon akan lebih efisien apabila dilakukan secara terpadu dengan produksi benih ikan laut di hatchery skala rumah tangga (HSRT). Rancang Bangun Wadah Pembenihan Wadah untuk pembenihan abalon tidak memerlukan bentuk yang spesifik, namun untuk memudahkan dalam pengelolaan sebaiknya berbentuk persegi panjang. Untuk bak pemeliharaan
152
induk dan larva sebaiknya mempunyai ketinggian maksimal 0,7 m dengan kemiringan dasar bak <10° yang terbuat dari beton atau fiberglass. Seleksi dan Transportasi Induk Cara mendapatkan abalon yang baik untuk dijadikan induk, harus dilakukan seleksi induk pada saat penangkapan ataupun pada saat diperoleh dari pengumpul. Ciri–ciri induk abalon yang baik adalah sebagai berikut: Bagian tubuh utuh (cangkang dan daging tidak ada yang rusak), bila diangkat gerakannya lincah, langsung membalikkan tubuhnya apabila diletakkan secara terbalik, menempel kuat pada substrat, ukuran panjang cangkang minimum 5 cm. Pada pengangkutan abalon hidup perlu diperhatikan cara pengemasan yang benar agar abalon dapat ditransportasi dengan baik dan menghasilkan sintasan tinggi. Pemeliharaan Induk Abalon Wadah yang digunakan dalam pemeliharaan induk abalon adalah bak beton maupun bak fiberglass ukuran 200 x 80 x 50 cm3 yang di dalamnya ditempatkan 4 buah keranjang Gambar 1. Induk (kiri) dan wadah pemeliharaan (kanan) induk abalon H. plastik berlubang /bak dengan ukuran 40 x 60 x 40 cm3 dan ditambahkan potongan pipa PVC sebagai shelter atau substrat (Gambar 1). Setiap keranjang diisi abalon sebanyak 15 ekor. Pakan yang digunakan untuk induk abalon adalah rumput laut jenis Gracillaria sp. dan Ulva sp. Pakan diberikan dengan dosis 1015%/biomassa/hari dan diberikan setiap 2 hari sekali (Gambar 2). Penyiponan untuk membersihkan kotoran dan sisa pakan dilakukan sebelum penggantian dan pemberian pakan berikutnya. Pergantian air menggunakan sistem air mengalir dengan debit air 5 – 6 liter/menit. Pengamatan tingkat kematangan gonad dilakukan dengan melihat pada bagian samping posterior menggunakan alat bantu spatula. Gonad yang sudah matang akan ter l i hat menggelembung dan tumpul pada ujung hepatopankreas ( G a m b a r 3 ) . Pemeliharaan induk dan sanitasi lingkungan Gambar 2. Pakan yang digunakan dalam pemeliharaan abalon (kiri) Ulva sp. abalon dilakukan dalam dan (kanan) Gracillaria sp.
153
beberapa tahapan, yaitu: a). Pembersihan abalon dengan cara memindahkan keranjang yang berisi induk abalon ke bak lain yang telah diisi air, Gambar 3. Induk abalon yang sudah matang gonad (kiri) Jantan (kanan) Betina k e m u d i a n disemprot dengan air laut agar kotoran yang menempel pada tubuh abalon dan keranjang dapat terlepas; b). Pembersihan bak pemeliharaan yang dilakukan setiap minggu menggunakan sikat atau spon dan disemprot dengan air tawar. Pemijahan Alami dan Buatan Abalon jenis H. squamata dapat memijah secara alami atau dipijahkan secara buatan (induced spawning). Pemijahan abalon secara alami dilakukan setelah melalui proses seleksi induk jantan maupun betina yang telah matang gonad dengan rasio jantan dan betina 1 : 2. Induk abalon kemudian ditaruh dalam keranjang plastik berlubang ukuran 40x60x40 cm3 dan ditambahkan potongan pipa PVC sebagai shelter atau substrat. Abalon jantan dan betina ditempatkan secara terpisah. Setiap keranjang diisi sebanyak 10-15 ekor induk abalon. Selanjutnya keranjang yang telah berisi induk abalon ditempatkan dalam wadah bak fiberglass ukuran 200 x 80 x 50 cm3 dan dialiri air secara perlahan setelah sebelumnya dilakukan proses pengeringan induk (dry up) sekitar 1 jam dengan cara mengangkat keranjang yang telah berisi induk matang gonad dari dalam bak dan dibiarkan dalam kondisi tanpa air. Selanjutnya, keranjang tersebut dimasukkan kembali ke dalam bak induk dan dilakukan pengamatan pada keesokan harinya pada kolektor telur untuk memastikan terjadinya pemijahan. Pengamatan untuk mengetahui terjadinya pemijahan dilakukan dengan memeriksa kolektor telur/larva yang sudah disiapkan. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa abalon dapat memijah sepanjang tahun, dengan puncak musim pemijahan sekitar bulan Agustus sampai September. Untuk proses pemijahan abalon secara buatan, dilakukan melalui beberapa tahapan, yaitu: melakukan proses seleksi induk matang gonad baik jantan maupun betina, melakukan dry up selama 1-2 jam dengan cara menempatkan induk abalon pada wadah yang dilapisi kain handuk basah. Selanjutnya memasukkan induk abalon jantan dan betina masingmasing 5-10 ekor dalam bak volume 30 liter secara terpisah (gunakan air laut yang telah difiltrasi dengan sand filter) lalu tempatkan dalam ruangan kondisi gelap. Tahapan selanjutnya melakukan rangsangan pemijahan dengan penambahan oksigen murni melalui aerasi selama 3 jam dalam bak pemijahan, dilanjutkan dengan penambahan aerasi biasa sampai terjadi pemijahan. Setelah pemijahan dilanjutkan dengan melakukan pembuahan (fertilisasi) telur, penyiphonan dan pencucian telur sampai bersih. Setelah itu, massa telur abalon ditempatkan dalam bak inkubasi. Dengan adanya teknologi pemijahan buatan tersebut, maka permasalahan larva di luar musim pemijahan dapat diatasi.
154
Penanganan Telur dan Larva Abalon Telur abalon mempunyai ukuran rata-rata diameter sebesar 185 ± 9,3 µm. Sebelum menetas menjadi larva (trokopor), telur mengalami masa embriogenesis selama 6 – 7 jam pada kondisi suhu 28,0° - 29,5°C. Trokopor yang sehat mempunyai gerakan yang lincah, berenang dan respon cepat pada cahaya dan memiliki cangkang normal. Pemanenan larva dilakukan dengan cara mengambil secara perlahan menggunakan gayung. Larva ditampung pada wadah volume 30-50 l, lalu diberi aerasi dan dilakukan penghitungan secara sampling. Penumbuhan Diatom (pakan alami) Diatom merupakan pakan awal yang dimanfaatkan oleh larva. Kultur diatom dilakukan dalam rangka penyediaan pakan dalam jumlah yang memadai untuk larva. Diatom yang dikultur biasanya dari jenis Nitzschia spp. dan Navicula spp. Pakan yang digunakan untuk larva abalon dari jenis diatom ini bersifat bentik atau menempel. Syarat yang dibutuhkan untuk kultur diatom adalah salinitas 32 – 35 ppt, suhu 28° - 31°C dan intensitas cahaya 700 – 2.500 lux. Pupuk yang digunakan untuk menumbuhkan diatom yaitu KNO3 : 50 g/m3, Na2HPO4.12 H2O : 4 g/m3, Clewat-32 : 5 g/m3, FeCl3 : 2,5 g/m3, Na2EDTA : 5 g/ m3, dan NaSiO3 : 50 g/ m3. Kultur diatom dilakukan pada bak fiber volume 30 l. dengan dengan kepadatan awal 800.000 – 1.200.000 sel/ml selama 3 – 4 hari. Diatom yang telah siap panen kemudian dimasukkan ke dalam bak pemeliharaan larva dan selanjutnya setiap minggu diberikan pupuk susulan setengah dari dosis awal. Selama penumbuhan diatom pada bak pemeliharaan diterapkan sistem air mengalir dengan debit 1 – 2 l/menit. Namun pada saat pemberian pupuk, sistem air mengalir dihentikan sementara selama 3 – 4 jam. Persiapan awal dan penumbuhan diatom pada rearing plate dilakukan 2 minggu Gambar 4. Bak pemeliharaan larva abalon H. squamata dengan ”rearing plate”-nya sebelum penebaran larva. Produksi Benih Abalon Pemeliharaan larva abalon H. squamata dapat dilakukan dalam bak beton yang berukuran 3 x 2 x 0,7 m3. Persiapan awal pada bak pemeliharaan larva yaitu dengan menambahkan substrat penempelan larva (rearing plate) dari bahan plastik gelombang berukuran 58 x 60 cm2 yang telah ditumbuhi diatom sebagai pakan larva (Gambar 4). Sebelum penebaran larva, terlebih dahulu dilakukan pembersihan kembali bak dan rearing plate untuk menghilangkan organisme pengganggu seperti kopepoda, siput dan udang. Bak pemeliharaan larva dilengkapi dengan sistem aerasi. Penebaran veliger dengan
155
kepadatan 25–50 ekor/l. Kisaran kualitas air yang baik dan mendukung dalam pemeliharaan larva yaitu suhu 28°– 30°C, salinitas 32 – 35 ppt, pH air 7,9 – 8,5, Oksigen terlarut 4,5- 5,5 mg/l, intensitas cahaya 1.500 – 3.500 lux. Sistem air mengalir dengan debit air 0,5 – 1,0 l/menit mulai diterapkan pada saat memasuki hari ke-7 pemeliharaan larva. Sampling pertumbuhan dilakukan setiap 10 hari sekali dengan cara mengukur panjang dan lebar cangkang. Sampling kepadatan larva abalon dilakukan pada umur 1 bulan pemeliharaan dengan cara menghitung jumlah spat yang menempel pada tiap platenya. Selama pemeliharaan larva, perlu dilakukan penambahan pakan alami diatom 23 kali seminggu untuk menjaga ketersediaan pakan. Penyiponan dilakukan setiap dua hari sekali setelah diterapkan sistem air mengalir untuk menjaga kondisi lingkungan yang bersih selama pemeliharaan. Setelah pemeliharaan larva mencapai umur satu bulan, biasanya telah diperoleh juvenil yang mencapai ukuran panjang cangkang 0,6-0,8 mm. Juvenil pada ukuran tersebut telah siap mengkonsumsi pakan makroalga dari jenis Ulva sp.. Oleh karena itu sebaiknya dilakukan pemanenan selektif secara manual menggunakan spatula berukuran kecil dan pipih untuk dilakukan pendederan.
Gambar 5. Panen spat/juvenil abalon H. squamata secara manual dengan spatula plastik dan pendederan abalon menggunakan keranjang
Wadah yang digunakan untuk pendederan juvenil yakni keranjang plastik berlubang berbentuk persegi panjang dengan ukuran 35 x 25 x 8 cm3. dengan diameter ukuran lubang berkisar 2-3 mm. Keranjang disusun berhadapan dan dijepit dengan menggunakan potongan pipa pralon (Gambar 5). Wadah tersebut kemudian ditempatkan ke dalam bak beton berukuran 3 x 2 x 1 m3. Apabila juvenil telah mencapai ukuran minimal panjang cangkang 1 cm, pakan makroalga dapat dikombinasi dengan jenis Gracillaria sp. yang memiliki ukuran diameter thallus lebih kecil. Biasanya jenis makroalga ini mudah diperoleh pada daerah pertambakan tradisional ataupun sengaja dibudidayakan di daerah tambak/air payau. Setelah dua bulan pemeliharaan benih abalon, dilakukan penjarangan benih dalam keranjang sebesar 50% agar pertumbuhan benih lebih optimal. Pemberian pakan dilakukan dengan dosis sekitar 25 – 35 % dari berat biomas per hari. Penyiponan sebaiknya rutin dilakukan setiap hari dan dilakukan penerapan sistem air mengalir untuk o menjaga kualitas air. Suhu air untuk pendederan benih abalon berkisar 28,5 – 30,5 C, salinitas 32 – 35 ppt dan kandungan oksigen terlarut (DO) 5,0 – 5,3 ppm. Kepadatan optimal untuk pendederan benih abalon ukuran panjang cangkang (PC) 0,8-1,2 cm
156
Gambar 6. Benih abalone H. squamata (panjang cangkang 2 – 2,5 cm) sudah siap dibesarkan di laut
berkisar 400-500 ek/keranjang; Ukuran PC antara 1-2 cm berkisar 250 ek/keranjang. Pemeliharaan dilakukan hingga benih abalon mencapai ukuran PC 2 - 2,5 cm untuk selanjutnya dibesarkan di laut (Gambar 6). Pengkajian dan penerapan teknologi Ujicoba teknologi produksi benih abalon telah dilakukan sejak tahun 2011 di beberapa HSRT milik masyarakat di Kec. Gerokgak, Kab. Buleleng dan pada satu hatchery kerang milik swasta di Tanjung Putus, Lampung Selatan. Selama dua bulan periode pemeliharaan, dapat dihasilkan benih abalon ukuran panjang cangkang 0,8 – 1,1 cm dengan sintasan berkisar 7-10%. Pada pemeliharaan lanjutan (pendederan) benih abalon dalam keranjang tertutup dengan sistim terapung selama 2-2,5 bulan, dapat diperoleh benih abalon dengan ukuran panjang cangkang 2,0 – 2,5 cm dengan sintasan mencapai 95 – 99%. 3. KEUNGGULAN TEKNOLOGI : Teknologi perbenihan abalon sangat sederhana dan mudah dilakukan oleh masyarakat pembudidaya dan dapat dilakukan sepanjang tahun. Produksi benih abalon tergolong efisien, ekonomis dan layak dikembangkan karena dapat diterapkan secara terintegrasi di Hatchery Skala Rumah Tangga (HSRT) Ikan Laut sebagai alternatif usaha tambahan tanpa harus beralih profesi, sehingga dapat menambah pendapatan pembudidaya di HSRT. Sangat ramah lingkungan karena teknologi tersebut tidak menggunakan bahan kimia/disinfektan dan hanya menggunakan mikroalga dan makroalga (Gracillaria sp. dan Ulva sp.) sebagai pakan pada proses produksi benih sehingga tidak mencemari lingkungan. Cangkang abalon dapat dimanfaatkan sebagai bahan untuk membuat perhiasan. LOKASI PENGEMBANGAN DAN DAERAH YANG DIREKOMENDASI Tahun 2010: Pengembangan teknologi produksi benih abalon di HSRT ikan laut di Bali Utara (Kabupaten Buleleng). Tahun 2011: Pendampingan teknologi pada stakeholder Hatchery Abalon di Pulau Tanjung Putus, Prov. Lampung.
157
Tahun 2010-2012: Kerjasama pengembangan teknologi pembenihan abalon di BBPPBL Gondol dengan PT. Sarana Hatchery Abadi, Provinsi Sulawesi Selatan. Tahun 2012: Pendampingan teknologi Produksi Benih abalon (H. squamata) di Hatchery UNHAS Pulau Barrang Lompo, Makassar, Prov.Sulawesi Selatan dengan LSM. Tahun 2011: Pengembangan teknologi pembesaran abalon asal pembenihan pada keramba apung di Kabupaten Takalar, Prov. Sulawesi Selatan Tahun 2012: Pengembangan teknologi pembesaran benih abalon asal pembenihan pada keramba apung di Kabupaten Situbondo, Prov. Jawa Timur Wilayah rekomendasi pengembangan sebaiknya tidak jauh dari daerah sentra produksi rumput laut agar dapat sejalan dengan pengembangan budidaya pembesaran abalon, seperti di wilayah Kab. Buleleng dan pulau Nusa Penida (Bali); Kabupaten Situbondo (Jawa Timur); Kab. Takalar dan Kab. Barru (Sulawesi Selatan); Kab. Marowali dan Kab. Parigi (Sulawesi Tengah); pulau Tanjung Putus (Lampung Selatan), Prov.Gorontalo dan wilayah Kawasan Timur Indonesia pada umumnya. KEMUNGKINAN DAMPAK NEGATIF Kemungkinan dampak negatif yang ditimbulkan sangat kecil bagi lingkungan karena teknologi tersebut tidak menggunakan bahan kimia/disinfektan. Penggunaan mikroalga dan makroalga (Gracillaria sp. dan Ulva sp.) sebagai pakan pada proses produksi benih hingga ukuran konsumsi sehingga tidak mencemari lingkungan. KELAYAKAN FINANSIAL DAN ANALISA USAHA Untuk produksi benih abalon di HSRT dengan menggunakan 4 buah bak larva dan 2 buah bak pendederan yang dipelihara selama 4 bulan dengan sintasan benih 10% mendapatkan keuntungan :Rp. 7.108.333,-.; B/C ratio = 1,73. Biaya produksi = Rp. 651,- per ekor. A.
Biaya investasi
No.
Uraian
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Vol.
Bak larva uk. 2,5x2x0,7 m Bak filter air uk.1x1x1 m Bak juvenil uk. 2.5x2x0.7 m Blower Pompa air laut Pompa air tawar Generator 1 unit Sistim Pemipaan Perlengkapan sistem aerasi, dll. Rearing plate
4 1 2 1 1 1 1 1 1 300
Satuan
Harga satuan
bh bh bh unit unit unit unit set set lbr
4.000.000 1.000.000 4.000.000 3.000.000 2.500.000 750.000 3.000.000 5.000.000 5.000.000 25.000
JUMLAH
B.
C. No. 1
16.000.000 1.000.000 8.000.000 3.000.000 2.500.000 750.000 3.000.000 5.000.000 5.000.000 7.500.000
Umur ekonomis (siklus) 30 30 30 15 9 9 15 30 9 15
51.750.000
Penyusutan (Rp) 533.333 33.333 266.667 200.000 277.778 83.333 200.000 166.667 555.556 500.000 2.816.667
Biaya variabel BV)
No 1 2 3 4 5
Jumlah (Rp)
Uraian Larva (veliger) Rumput laut Listrik (PLN) Pupuk (ZA, TSP, Urea, EDTA, FeCl3, Silikat) Biaya panen JUMLAH
Vol.
Satuan
150000 100 4 1 1
btr kg bln pkt pkt
Harga Satuan
Jumlah (Rp)
3 1.500 400.000 500.000 250.000
450.000 150.000 1.600.000 500.000 250.000 2.950.000
Harga Satuan 500.000
Jumlah (Rp) 4.000.000 4.000.000
Tenaga Kerja Uraian Tenaga kerja (2 Orang) X 4 bulan JUMLAH
Vol. 8
158
Satu an bln
D.
E.
F.
G.
H.
I.
J.
K.
Biaya Tetap Upah Tenaga Kerja+Biaya Penyusutan
6.816.667
Biaya Total Biaya Tetap + Biaya Variabel
9.766.667
Penerimaan Asumsi panen SR 10 % (benih uk.1,5 cm) Hasil panen benih (ekor) Harga Jual (Rp./ekor) Jumlah Penerimaan
15.000 1.125 16.875.000
Analisa Laba/Rugi Keuntungan=Penerimaan-Biaya Total
7.108.333
B/C Ratio Penerimaan : Biaya Total
1.73
PENGEMBALIAN MODAL (Siklus) Biaya Total : Keuntungan
1.37
BIAYA PRODUKSI (Rp/ekor) Biaya total : produksi
651
BREAK EVEN POINT Biaya Total Biaya Tetap Biaya Variabel BV) Hasil Panen (Ekor) Penerimaan BV : Penerimaan 1 - (BV:Penerimaan) BEP (Rp)
9.766.667 6.816.667 2.950.000 15.000 16.875.000 0.17 0.83 8.260.772
TINGKAT KOMPONEN DALAM NEGERI Penggunaan komponen dalam negeri hampir mencapai 100 %, karena bahan dan alat yang digunakan sebagian besar berasal dan diproduksi di dalam negeri kecuali blower, pompa dan generator.
159
LP2BRL BPPBAP Produksi Bibit Unggul Rumput Laut Kappaphycus alvarezii
Unit Eselon I Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan Satuan Kerja Loka Penelitian dan Pengembangan Budidaya Rumput Laut (LP2BRL), Gorontalo dan Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau (BPPBAP) Alamat Jln. Pelabuhan Etalase Perikanan, Tabulo Selatan, Kecamatan Mananggu (KP. 96265), Kabupaten Boalemo, Provinsi Gorontalo Kategori Teknologi Perikanan Budidaya Sifat Teknologi Inovasi Baru Masa Pembuatan 2010-2013 Tim Penemu Petrus Rani Pong-Masak Andi Parenrengi Muhammad Tjaronge
Kontak Person Petrus Rani Pong-Masak
[email protected]
160
DESKRIPSI TEKNOLOGI Tujuan dan Manfaat Penerapan Teknologi Tujuan : mendapatkan varietas bibit unggul rumput laut kotoni (Kappaphycus alvarezii) dengan performansi cepat tumbuh. Manfaat : menyediakan bibit unggul dengan kuantitas dan kontinuitas; mendukung target peningkatan produksi rumput laut Kappaphycus alvarezii di Indonesia. Kegunaan : menyediakan bibit berkualitas unggul bagi masyarakat dari kebun bibit di setiap sentra budidaya rumput laut di Indonesia. PENGERTIAN/DEFINISI Bibit : potongan thalus muda berumur 30 hari yang diperlukan untuk penanaman rumput laut secara vegetatif. Kebun bibit : area produksi untuk menghasilkan bibit unggul. Metode longline : cara membudidayakan bibit rumput laut di kolom air (eupotik) dekat permukaan perairan dengan menggunakan tali yang dibentangkan dari satu titik ke titik yang lain dengan panjang berkisar 35 m, dalam bentuk lajur lepas atau terangkai berbentuk segi empat dengan bantuan tali induk, pelampung dan jangkar. Siklus produksi : rangkaian kegiatan untuk memproduksi bibit rumput laut mulai dari penanaman sampai dengan panen (seleksi) Panen bibit : kegiatan pengambilan hasil pembibitan setelah berumur 30 hari. Cottoni : nama latin Kappaphycus alvarezii untuk rumput laut yang termasuk dalam kelas alga merah (Rhodophyceae), sebagai sumber keraginan. Thallus : badan rumput laut yang mewakili akar, batang, dan daun yang berfungsi untuk menyerap nutrisi di perairan. Tali ris bentang : Tali atau media yang digunakan sebagai tempat mengikat tali titik dan rumput laut Tali cincin : tali yang berfungsi untuk mengikat bibit rumput laut yang diselipkan pada tali ris bentang Pelampung ris bentang : bahan apung yang dipasang pada setiap tali ris yang telah ada bibit untuk mempertahankan posisi tanaman pada kedalaman yang dikehendaki. Pelampung Utama : bahan apung yang dipasang pada setiap penjuru konstruksi sebelum tali jangkar untuk menahan konstruksi agar tidak tenggelam pada saat ada arus kencang sekaligus sebagai tanda batas.
161
RINCIAN DAN APLIKASI TEKNIS Persyaratan Teknis Persyaratan teknis yang harus dimiliki oleh seseorang/kelompok/pengusaha yang akan melakukan kegiatan produksi bibit unggul rumput laut Kappaphycus alvarezii dengan metode seleksi varietas, adalah sebagai berikut : Mahir membuat konstruksi wadah budidaya rumput laut metode long line; Dapat menilai dan memilih lokasi yang cocok bagi pengembangan kebun bibit rumput laut; Mahir membuat sarana tali bentangan, tali cincin, Jangkar dan tali jangkar; Mampu memilih populasi bibit awal untuk diseleksi; Mampu menangani pengangkutan bibit supaya tidak stres sebelum ditanam; Mahir mengikat bibit dengan baik pada tali bentangan; Mahir merawat bibit yang sudah ditanam; Memahami tanda-tanda munculnya kerusakan thallus dan mampu mengatasinya; Mahir memecah bibit dengan bobot rataan awal yang sama setiap rumpun; Persyaratan lokasi seleksi varietas bibit unggul kotoni (Kappaphycus alvarezii) 1. Parameter Fisika : Keterlindungan Lokasi seleksi bibit harus terlindung dari hempasan langsung ombak yang kuat, seperti teluk, selat, atau lokasi perairan yang terdapat karang penghalang (barrier reef) atau karang tepi (fringing reef) Kecepatan arus 20 – 40 cm/dtk Merupakan faktor ekologi yang primer untuk memungkinkan terjadinya aerasi, suplai unsur hara secara tetap, terhindar dari bahan-bahan tersuspensi dalam air (silt) dan epiphyt serta menyebabkan fluktuasi salinitas dan suhu yang kecil. Substrat Dasar perairan agak keras yang dibentuk oleh pasir dan pecahan karang serta bebas dari sedimen dan lumpur. Kedalaman perairan (saat surut terendah minimal 0.5 m) Lokasi kebun bibit merupakan perairan sub-tidal, sehingga tanaman bibit akan selalu terendam dalam air dan mendapat peluang penyerapan makanan secara terus menerus serta menghindari kerusakan thalus dari sengatan matahari. Kecerahan perairan ( > 5 m – 100%) Kecerahan perairan harus mendukung proses fotosintesis tanaman bibit dengan baik Suhu (26o – 29 oC) Fluktuasi suhu yang sangat tinggi akan membuat tanaman bibit menjadi stress sehingga mempengaruhi laju pertumbuhan. Kenaikan temperatur yang tinggi juga akan mengakibatkan thalus rumput laut menjadi pucat, menjadi layu dan mudah terserang penyakit.
162
2. Parameter Kimia : Salinitas (32 – 34 ppt) Kisaran salinitas yang dipilih sabaiknya pada nilai optimum yakni 33 ppt dengan fluktuasi yang tidak besar. Fluktuasi salinitas diluar kisaran akan menyebabkan rendahnya pertumbuhan dan cepatnya proses penuaan (¬aging process). pH (optimum 7,8 - 8,2) pH menjadi faktor pembatas terhadap kehidupan dan keberadaan suatu tumbuhan. Walaupun air laut memiliki nilai pH yang relatif stabil tetapi dapat dipengaruhi oleh aktivitas fotosintesis, suhu, serta buangan industri dan rumah tangga. Nutrien Perairan harus mengandung nutrient yang cukup untuk pertumbuhan dan mutu rumput laut, baik makro nutrient (N, P, K, Ca, S, Mg) maupun mikro nutrient (Mn, Fe, Cl, Zn, Vn, Cu, B, Si, Mo, Co). Pencemaran Lahan perairan yang bebas dari bahan pencemar, baik dari kegiatan pertanian, pemukiman, maupun industri. Limbah pestisida dan logam berat pada konsentrasi tinggi akan berbahaya bagi pertumbuhan bibit rumput laut. 3. Parameter Biologi : Indikator biologi Keberadaan komunitas makroalga secara alamiah pada suatu lokasi perairan merupakan isyarat / indikator bahwa lokasi tersebut cocok sebagai lokasi kebun bibit. Bioindikator tersebut, antara lain : eucheuma, sargassum, turbinaria, dan padina, caulerpa, ulva, dan lain-lain jenis makroalga. Herbivora Lokasi kebun bibit sebaiknya bebas dari ikan dan hewan air yang bersifat herbivor, dimana dalam jumlah yang banyak dapat memangsa bibit rumput laut yang dipelihara, antara lain : penyu, ikan baronang, dan bulu babi. 4. Faktor Teknis : Keterjangkauan (Accessibility) Faktor ini merupakan salah satu kunci keberhasilan usaha pembibitan, antara lain kemudahan dalam keterjangkauan jalur transportasi, kemudahan memperoleh sarana dan prasarana pembibitan. Ketersediaan Tenaga kerja Ketersediaan tenaga yang ulet, tertarik,dan tekun untuk melakukan konstruksi lokasi, pengikatan bibit, pemeliharaan, dan keuletan dalam melaksanakan seleksi
163
Sarana dan Prasarana Ketersediaan prasarana dan sarana transportasi yang memadai untuk memperlancar akses pengangkutan selama operasional produksi bibit Aspek Legal Lahan yang dipilih tidak menimbulkan konflik pemanfaatan dan penggunaan perairan. Uraian Prosedur Operasional Standar Uraian teknologi Keberhasilan budidaya rumput laut sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan. Karena itu, kegiatan seleksi harus memperhatikan faktor lingkungan perairan. Variasi kondisi lingkungan perairan Indonesia yang relatif besar, sehingga program seleksi sangat dianjurkan untuk dilakukan di setiap sentra produksi rumput laut. Bibit awal yang digunakan adalah rumput laut yang sudah biasa dibudidayakan di wilayah tersebut. Bibit awal diupayakan berasal dari rumpun-rumpun rumput laut yang memenuhi kriteria bibit yang baik dalam jumlah yang cukup. Program seleksi harus dilaksanakan di lokasi yang memenuhi kriteria kelayakan lokasi budidaya rumput laut dengan sarana yang memenuhi standar budidaya. Pelaksanaan program seleksi harus didukung oleh sumberdaya manusia yang memiliki pengetahuan dan keterampilan yang memadai serta dukungan dana yang cukup. Selanjutnya distribusi dan teknik transportasi bibit unggul harus mendapat perhatian yang baik. Pemanfaatan rumput laut secara luas oleh masyarakat pembudidaya memerlukan upaya-upaya percontohan atau penyuluhan. Kedepan, operasionalisasi kebun bibit untuk menghasilkan bibit unggul rumput laut dan pemasaran hasilnya dianjurkan agar dikelola oleh kelompok pembudidaya.
Gambar 1. Tahapan proses produksi bibit unggul rumput laut, Kapaphycus alvarezii cepat tumbuh melalui metode seleksi varietas (G = generasi, P = Perbanyakan, LPH = Laju Pertumbuhan Harian).
164
Cara penerapan teknologi mulai persiapan sampai aplikasi a. Seleksi Bibit Rumput Laut Kotonii Protokol seleksi menitikberatkan pada hasil seleksi pertumbuhan thalus yang cepat. Garis besar tahapan seleksi dan penjelasan singkat setiap tahapan untuk memproduksi bibit unggul rumput laut kotoni, masing-masing ditunjukkan pada Gambar 1 dan Gambar 2. Populasi Bibit Awal ( PS = G-0) (35 m tali bentangan; 230 titik rumpun; 50 gr/rumpun bobot awal bibit; 15 cm jarak antar rumpun; 1 m jarak antar bentangan; 30 cm dari permukaan perairan; jarak pelampung 3 m)
30 hari pemeliharaan (G-1) Ambil 10% rumpun dengan LPH tertinggi dari setiap bentangan PS sebagai varietas G -1 (per bentangan). Potong populasi hasil seleksi varietas @ 50 g menjadi “n” rumpun (beri kode) + Kontrol (internal. dan eksternal.)
30 hari pemeliharaan (G-2) Ambil 10% rumpun dengan LPH tertinggi dari setiap bentangan G -1 sebagai varietas G-2 (per bentangan). Potong populasi hasil seleksi varietas @ 50 g menjadi “n” rumpun (beri kode ) + Kontrol (internal. dan eksternal.)
30 hari pemeliharaan (G-3) Ambil 10% rumpun dengan LPH tertinggi dari setiap bentangan G -2 sebagai varietas G-3 (per bentangan). Potong populasi hasil seleksi varietas @ 50 g menjadi “n” rumpun (beri kode) + Kontro l (internal. dan eksternal.)
30 hari pemeliharaan (G-4) Ambil 10% rumpun dengan LPH tertinggi dari setiap bentangan G -3 sebagai varietas G-4 (per bentangan). Potong populasi hasil seleksi varietas @ 50 g menjadi “n” rumpun (beri kode) + Kontrol (internal. dan eksternal.) LPH varietas hasil seleksi stabil
Varietas unggul
PERBANYAKAN I (P -1) Ambil 80% - 90% rumpun terbaik dari varietas unggul (G4) setelah 30 hari pemeliharaan
PERBANYAKAN II (P -2) Ambil 80% - 90% rumpun terbaik dari varietas unggul (P1) setelah 30 hari pemeliharaan
DISTRIBUSI BI BIT Bibit dipanen untuk didistribusi atau dijual ke pembudidaya; setelah 30 hari pemeliharaan
Gambar 2. Prosedur kerja produksi bibit unggul rumput laut, K. alvarezii cepat tumbuh melalui metode seleksi varietas Catatan: 1. Setiap siklus pemeliharaan harus ada kontrol internal (Ki) (sumber bibit dari buangan/afkiran rumpun yang diseleksi) dan kontrol eksternal (Ke) (sumber bibit dari masyarakat pembudi-daya lokal 2. Pemilihan lokasi kegiatan seleksi harus selektif, yakni lokasi yang memungkinkan peme-liharaan bibit sepanjang tahun, baik dengan menetap pada satu site atau dengan melakukan rotasi bentangan.
165
Alat dan bahan - Populasi stok bibit rumput laut yang akan diseleksi minimal 230 titik. - Sarana yang digunakan untuk satu unit longline ukuran 50 x 35 m. - Bola pelampung utama 6 buah, dan pelampung bentangan 650 buah. - Timbangan duduk. - Peralatan tulis 1 paket. - Bak penampungan bibit dan air laut sebanyak 1 buah. - Peralatan pengukuran kualitas air seperti suhu, salinitas, kecerahan, pH dan arus: 1 paket. - Peralatan penunjang seperti perahu, terpal, baju pelampung, kacamata selam: 1 paket. Tahapan kegiatan Untuk memperoleh hasil yang optimal dan berkelanjutan dalam rangka pencapaian tujuan dan target produksi bibit, maka perencanaan dan tahapan kegiatan harus ditetapkan sehingga dapat diaplikasikan oleh pelaksana seleksi di setiap kebun bibit rumput laut. Produksi bibit unggul rumput laut melalui metode seleksi varietas memerlukan beberapa tahap kegiatan yaitu : Pemilihan Lokasi Kegiatan seleksi harus mempertimbangkan kondisi cuaca/musim tanam di lokasi terpilih untuk melakukan rotasi/pemindahan bentangan. Selain itu, pemilihan lokasi perairan harus memiliki kriteria yang layak, sehingga dapat mendukung kegiatan seleksi secara berkesinambungan. Parameter penting yang harus diperhatikan yaitu parameter fisika, kimia, biologi dan teknis. Persiapan sarana Lokasi seleksi bibit berukuran luas 50x40 m yang dapat memuat 50 tali bentangan dan panjang bentangan 40 m. Luasan lokasi tersebut dijaga dan ditangani oleh seorang pembudidaya. Setiap tali bentangan dibuat dengan jarak rumpun 20 cm, sehingga setiap tali bentangan memuat 200 titik rumpun bibit untuk diseleksi. Jarak antar tali rumpun harus sama sehingga ruang untuk pertumbuhan bibit memiliki kesempatan yang sama, termasuk dalam memperoleh suplai nutrien dari perairan. Demikian juga pada saat akan ditanam/dibentangkan di laut pada tali induk, barisan tali bentangan harus diatur dengan jarak 1,5 m antar bentangan. Penyediaan Stok Bibit Awal Penyediaan populasi stok bibit awal didatangkan dari beberapa lokasi berbeda, sehingga bibit yang diseleksi memiliki keragaman yang tinggi dan tumbuh baik pada spesifik lokasi. Sumber bibit bisa diperoleh melalui pengambilan bibit langsung dari alam atau dari hasil budidaya. Penyediaan bibit awal harus memperhatikan beberapa kriteria berikut: Varietas memiliki thalus bercabang banyak, rimbun, dan runcing Thalus rumput laut secara morfologi sehat, bersih, segar dan berwarna cerah Bibit awal berumur antara 25-30 hari, Thalus tidak berlendir, tidak rusak, tidak patah-patah, tidak berbau busuk pada saat akan dilakukan penanaman awal, Thalus rumput laut bebas dari penyakit (bercak-bercak putih dan terkelupas) dan biofouling,
166
Pangkal thalus sebaiknya tidak dijadikan bibit untuk diseleksi. Pemotongan thalus sebaiknya menggunakan pisau yang tajam agar struktur thalus tidak rusak. Bentuk thalus proporsional antara besar thalus dan panjangnya Gambar 3. Contoh rumpun rumput laut yang baik
Pengikatan dan penanaman bibit digunakan sebagai sumber populasi awal bibit untuk Pengikatan bibit dilakukan pada kegiatan seleksi varietas tempat yang teduh di pinggir pantai sehingga memudahkan untuk menyiram/membasahi bibit selama proses pengikatan. Pengikatan bibit dilakukan dengan cara sebagai berikut: Bibit ditimbang dengan bobot awal 50 g/rumpun dan bobot awal masing-masing rumpun harus sama. Gambar 4. Pengikatan bibit rumput laut dengan bobot Setiap rumpun bibit diikat dengan awal 50 g dengan jarak 15 cm antar rumpun bibit. baik pada percabangan thalus sehingga tidak mudah terlepas saat pemeliharaan. Melakukan pencatatan bobot, kondisi, dan urutan nomor setiap rumpun bibit dalam setiap bentangan sebagai data awal. Setelah pengikatan bibit pada setiap bentangan, bibit sesegera mungkin ditanam agar tidak mengalami kekeringan dan layu. Penanaman bibit dilakukan pada kedalaman maksimal 30 cm dari permukaan perairan agar tidak terekspos langsung oleh sinar matahari. Pemeliharaan, Perawatan dan Pemantauan Kualitas Perairan Perawatan bibit rumput laut pada saat arus air lemah dilakukan dengan menggoyang bentangan bibit s e h i n g g a partikel/lumpur yang menempel dapat lepas dari t h a l u s . Perawatan juga d i l a k u k a n terhadap tali bentangan yang Gambar 5. Pemeliharaan rumput laut dan pemantauan kualitas perairan pada lokasi kebun bibit. saling melilit
167
akibat pengaruh ombak. Pengamatan terhadap hewan pemangsa juga harus dipantau sehingga tidak mengganggu dan memakan rumpun-rumpun yang sedang dalam proses seleksi.
Gambar 6. Perawatan rumput laut berupa pengontrolan biofouling dan pembersihan bahan tersuspensi pada thalus dengan cara menggoyang bentangan bibit secara periodik.
Teknis Seleksi Bibit Unggul per Generasi Populasi bibit awal rumput laut diperoleh dari alam atau hasil budidaya dipelihara selama 30 hari untuk dijadikan bibit awal program seleksi (G-0). Selanjutnya dilakukan seleksi untuk membuat generasi pertama (G-1), sebagai berikut: Rumput laut G-0 yang telah dipelihara selama 30 hari, masing-masing rumpun ditimbang kemudian ditentukan laju pertumbuhan hariannya (LPH). Rumpun-rumpun bibit yang memiliki LPH tertinggi (LPHt) dikumpul sampai dengan batas 10% untuk dijadikan sebagai bibit G-1 untuk generasi berikutnya (G-n). Rumpun-rumpun yang mencapai LPH rata-rata dijadikan sebagai kontrol internal. Seleksi dilanjutkan sampai mendapatkan generasi dengan LPH stabil/seragam, pertumbuhan cepat dan tingkat keseragaman minimal 90%, dengan mengikuti protokol di atas. Peralatan kegiatan seleksi yang telah dibersihkan dan disterilkan disiapkan terlebih dahulu seperti timbangan, wadah, dan pisau cutter, serta tali. Bentangan tali berisi bibit dilepas dari tali induk kemudian dibawa ke tempat pengikatan bibit/seleksi bibit menggunakan perahu, Setiap rumpun bibit dilepas dari ikatannya, kemudian dilakukan penimbangan setiap rumpun bibit secara berurutan dalam setiap bentangan. Setelah semua rumpun bibit dalam satu bentangan ditimbang, maka bibit yang memiliki LPHt sampai dengan 10% terbaik dipisahkan dari populasi bentangan. Setiap rumpun bibit yang terpilih masing-masing menjadi varietas yang akan dipisahkan/dipotong menjadi rumpun baru yang diikat dan dipelihara selanjutnya selama 30 hari. Setiap siklus pemeliharan terdapat kontrol internal dan eksternal, dimana kontrol internal diperoleh dari nilai rataan bobot bibit dalam setiap bentangan, sedangkan kontrol eksternal adalah bibit yang diperoleh dari masyarakat pembudidaya lokal. Seleksi ke-2 dan seterusnya untuk mendapat varietas G-1 sampai dengan G-4 dilakukan dengan proses yang sama dengan siklus sebelumnya dimana LPH telah memperlihatkan nilai yang stabil. Varietas-varietas rumpun bibit dengan LPH yang stabil, selanjutnya dilakukan uji performasi.
168
Apabila hasil pengujian performasi menunjukkan bahwa pertumbuhan varietas hasil seleksi lebih baik, maka varietas tersebut diklaim sebagai “Varietas Unggul” sebagai kandidat bibit yang akan diperbanyak dan disebarkan ke pembudidaya atau kebun bibit. Melalui teknik produksi bibit unggul rumput laut tersebut di atas, maka konsep pengembangan kebun bibit sebaiknya menerapkan pola dan proses metode seleksi varietas.
Uraian dan jumlah kaji terap yang sudah dilakukan Protokol seleksi varietas ini diinisiasi melalui penelitian pada tahun 2010 – 2012 di BPPBAP dan dilanjutkan oleh LP2BRL Gorontalo pada tahun 2013 serta riset pengembangan pada Tahun 2014. Diharapkan protokol seleksi varietas produksi bibit unggul rumput laut Kappaphycus alvarezii ini bisa diterapkan di seluruh sentra pengembangan budidaya rumput laut di Indonesia. Kajian Seleksi Varietas Hasil penelitian tahun 2010, menunjukkan bahwa bibit hasil seleksi memperlihatkan respon laju pertumbuhan harian yang lebih baik, dimana dapat meningkatkan produksi bibit sebesar 15 – 25% dibandingkan dengan kontrol internal (rataan bobot dari masing-masing strain) dan kontrol eksternal (bibit yang berasal dari masyarakat pembudidaya lokal). Demikian juga terlihat indikasi bahwa bibit hasil seleksi memiliki kandungan keraginan yang lebih baik, yakni dengan peningkatan sebesar 6,07 – 12,72 % dibandingkan dengan kontrol internal dan eksternal. Dengan demikian, metode seleksi varietas dapat mempercepat produksi bibit yang berkualitas untuk mendukung peningkatan produksi rumput laut di Indonesia. Pada tahun 2011 telah dilakukan seleksi terhadap beberapa varietas rumput laut Kappaphycus alvarezii di berbagai daerah di Indonesia (Kendari-Sultra, Kupang-NTT, Bone-Sulsel, TakalarSulsel, dan Gorontalo). Hasilnya menunjukkan bahwa bibit yang teradaptasi di lokasi penelitian (Teluk Laikang, Kabupaten Takalar, Sulsel) memiliki ketahanan yang lebih baik terhadap kondisi lingkungan ekstrim dibanding dengan bibit yang baru lainnya (diintroduksi). Dengan demikian untuk mendapatkan bibit unggul cepat tumbuh melalui metode seleksi varietas, sebaiknya populasi bibit rumput laut terbaik yang ada di setiap sentra bersangkutan lebih diutamakan untuk dijadikan bahan bibit unggul. Setelah dipelihara selama satu bulan, rumput laut siap untuk dipilih yang baik dan tidak baik. Teknik yang dilakukan sebagai berikut : a) Menyiapkan timbangan, wadah, dan pisau/gunting untuk penimbangan bobot bibit serta tali bentangan untuk pemisahan dan pengikatan rumpun bibit dari varietas yang terbaik (pertumbuhan yang tertinggi); b) Setiap bentangan bibit dilepas dari tali utama kemudian dibawa ke lokasi pembibitan dengan menggunakan perahu; c) Bentangan diletakkan di atas terpal agar terhindar dari pasir dan kotoran; d) Setiap rumpun bibit ditimbang secara berurutan, dan diambil bibit yang memiliki laju pertumbuhan harian (LPH) tertinggi dan dipisahkan dari populasi bentangan; e) Setiap rumpun bibit yang terpilih, masing-masing menjadi
169
rumpun baru yang diikat dan dipelihara selanjutnya selama 30 hari; f) Setiap siklus pemeliharaan harus ada kontrol internal dan kontrol eksternal, dimana kontrol internal diperoleh dari nilai rataan bobot bibit rumput laut dalam setiap bentangan, sedangkan kontrol eksternal itu adalah bibit yang diperoleh dari masyarakat pembudidaya lokal; g) Setelah pemeliharaan selama 30 hari, dilakukan seleksi ke-2 dan seterusnya untuk mendapat G1 – Gn yang dilakukan dengan proses yang sama dengan siklus sebelumnya sampai laju petumbuhan harian telah memperlihatkan nilai yang stabil. Tingkat prosentase cut off seleksi sebesar 10% dari populasi bibit terbaik dalam setiap tali bentangan akan memberikan peningkatan produksi sebesar 25 – 32% dibandingkan dengan kontrol ataupun bibit hasil budidaya oleh masyarakat lokal. Uji Terap Bibit Bibit Unggul Rumput laut Seleksi Varietas Penelitian, sosialisasi, diseminasi, dan penerapan untuk memperkenalkan protokol seleksi ini telah dilakukan di beberapa institusi terkait, LSM RL (SeaPlant; USAID), pembudidaya, antara lain : Anggota Jejaring rumput Laut, Dir.perbenihan (DJPB), Pemda Kabupaten/Kota/Provinsi, UKM/BI, pengusaha/investor dan kegiatan pengembangan lewat program IPTEKMAS (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi untuk Masyarakat) di beberapa daerah/lokasi (Gambar 7)
Gambar 7. Lokasi kaji terap dan sosialisasi protokol seleksi varietas produksi bibit unggul rumput laut di Indonesia.
Hasil penerapan melalui kegiatan IPTEKMAS di Kabupaten Pohuwato tahun 2012 memperlihatkan bahwa kelompok pembudidaya dapat mengadopsi dan menerapkan metode ini. Hasil yang diperoleh menunjukkan perbedaan yang signifikan, dimana produksi bibit hasil seleksi lebih baik dibandingkan dengan kontrol (bibit biasa = bukan hasil seleksi varietas) (Gambar 8). KEUNGGULAN TEKNOLOGI Teknologi ini merupakan proses untuk mendapatkan varietas bibit unggul rumput laut. Metode seleksi varietas dengan hasil bibit unggul tumbuh cepat telah terbukti meningkatkan produksi sebesar 32-40% dibandingkan dengan kontrolnya, baik kontrol internal maupun kontrol eksternal. Jika beberapa tahun terakhir telah terjadi pemahaman bahwa kebun bibit hanya sebagai media perbanyakan, maka dengan penerapan metode seleksi varietas telah memperbaharui cara yang
170
lama melalui rangkaian proses seleksi untuk mendapatkan klonklon bibit yang unggul (cepat tumbuh), tidak semata-mata perbanyakan. Dibandingkan dengan teknologi yang umum dilakukan oleh masyarakat, maka metode seleksi varietas lebih memberikan keberhasilan budidaya rumput laut melalui penggunaan bibit yang berkualitas. Kegiatan produksi bibit unggul dengan seleksi varietas Gambar 8. Hasil produksi (atas) dan pengamatan bibit hasil seleksi sangat menguntungkan karena tidak varietas (bawah) di Kabupaten Pohuwato, Provinsi Gorontalo akan mengganggu proses budidaya dan produksi yang sudah dilakukan oleh pembudidaya. Kegiatan seleksi varietas dapat dilakukan bersamaan dengan kegiatan budidaya. Keuntungan ganda akan diperoleh pembudidaya, dimana selain produksi bibit maka juga tetap memperoleh produksi kering dari sisa hasil seleksi.Berdasarkan hasil analisis usaha, maka usaha kebun bibit dengan penerapan seleksi varietas sangat layak sebagai suatu usaha mandiri (R/C ratio = 3,12). Berdasarkan aspek teknis, sosial, ekonomi dan lingkungan metode seleksi varietas bibit unggul mudah diterapkan oleh pembudidaya dan pelaku usaha, baik secara personal maupun secara kelembagaan. Teknologi seleksi varietas tidak mencemari lingkungan, tidak merusak, tetapi sebaliknya dengan peran ekofisiologi rumput laut akan dapat menyerap kelebihan loading limbah N dan P, atau bahan lainnya dalam lingkungan perairan untuk meminimasi pencemaran dengan sifat absorbnya. WAKTU DAN LOKASI PENGKAJIAN, DAN DAERAH REKOMENDASI Penelitian dimulai sejak tahun 2010 di teluk Laikang, Kabupaten takalar, SulSel untuk mengetahui respon pertumbuhan rumput laut hasil seleksi varietas terhadap kontrolnya. Pada Lokasi yang sama, pada tahun 2011 dilakukan pengujian respon pertumbuhan hasil seleksi varietas dengan sumber varietas bibit dari daerah berbeda. Pada tahun 2012 dilakukan penentuan cut off sebagai acuan batas pengambilan bibit yang berkualitas baik/unggul. Pengujian kualitas bibit dilakukan di Gorontalo tahun 2013 (Gambar 9) Secara umum, lokasi penerapan teknologi ini yaitu seluruh sentra-sentra pengembangan budidaya rumput laut di Indonesia. Secara khusus, penerapan teknologi produksi bibit unggul ini akan lebih
171
baik apabila lokasi kebun bibit berada di daerah yang bisa digunakan untuk pertumbuhan rumput laut sepanjang musim/tahunan, atau pada lokasi dimana memungkinkan untuk melakukan rotasi berdasarkan pola musim tanam. Dalam jangka waktu pendek lokasi penerapan yang direkomendasikan adalah, Gorontalo, Sulut, Sulteng, Sulbar, Sulsel, Sultra, Maluku, Malut, Papua Barat, Bali (Nusa Penida), NTT, NTB, Jatim, Jateng, Jabar, Lampung, Babel, Kepri, Kalsel, dan Kaltim (Bontang, tarakan, Nunukan, malinau).
Gambar 9. Pengujian kualitas bibit hasil seleksi terhadap kontrolnya di 2 lokasi di Gorontalo (2013)
KEMUNGKINAN DAMPAK NEGATIF Tidak ditemukan dampak negatif untuk aplikasi teknologi produksi bibit unggul rumput laut. Dampak negatif bisa muncul apabila tidak mematuhi protokol ini, antara lain : Kesalahan pemilihan lokasi, misalnya memilih kawasan karang, dan padang lamun sehingga merusak ekosistem tersebut. Kesalahan pemilihan lokasi dan kurang rutin merawat bibit yang ditanam akan memunculkan kegagalan panen.
TINGKAT KOMPONEN DALAM NEGERI Penerapan teknologi seleksi varietas ini menggunakan material produksi dalam negeri sekitar 90%, dan 10% produksi luar negeri yakni alat-alat pengukur kualitas perairan. Bahan dan alat yang digunakan dalam teknologi yang diusulkan ini, antara lain : Populasi stok bibit rumput laut yang akan diseleksi minimal 230 titik. KELAYAKAN FINANSIAL DAN ANALISIS USAHA Dapat dilihat pada halaman 173
172
No I
II
Uraian
Jumlah
Bahan Bantu : - Tali utama (pondasi) uk. 10 mm "united" = 2 roll @ 14,7 kg + 10% lokasi - Tali bentangan uk. 4 mm (100 Tali bentang @ 35 meter); "united" 1 rol = 2,2 kg + 10% - Tali cincin uk. 1.5 mm "united" (3 pack / 2 rol tali)
Harga Satuan (Rp)
Nilai (Rp)
29.4
45.000
1.323.000
110
45.000
4.950.000
37.5
65.000
2.437.500
-
Tali jangkar/pemberat/penarik uk. 10 mm "united" (2 rol x 14,7 kg)
29.4
45.000
1.323.000
-
Pelampung Utama (sterofoam drum)
2
350.000
700.000
-
Pelampung Pembantu (Botol sakura vol. 10 ltr)
8
15000
120.000
-
Pelampung kecil (aqua) 1 bentang = 11 botol
1100
750
825.000
-
Pemberat (Jangkar beton)
12
50.000
600.000
-
Pemberat/jangkar pembantu (karung pasir)
40
5.000
200.000
-
Bambu (para-para)
20
25.000
500.000
-
Waring hitam sebagai alas penjemuran
2
850.000
1.700.000
-
Karung plastik untuk hasil panen kering
25
5.000
125.000
-
Terpal plastik
2
275.000
550.000
-
Timbangan duduk kap. 1000 gr
1
350.000
350.000
-
Timbangan gantung Kap. 100 kg
1
500.000
500.000
-
Pisau cutter (bh)
5
20.000
100.000
-
gunting (bh)
5
30.000
150.000
-
wadah Baskom (bh)
5
45.000
225.000
-
Tali pengikat pelampung utama (kg)
2
45.000
90.000
-
Plastik pembungkus pelampung utama (m)
18
15.000
270.000
600
4.000
2.400.000
2400
4.000 Rp.
9.600.000 29.038.500
Bahan Utama : - Bibit Rumput Laut tanam awal = 50 tali bentangan x 230 rumpun @ 50 g - Bibit Rumput Laut 4 siklus tanam @ 600 kg Total biaya / paket
Tabel 1. Analisis Usaha 1 paket kebun bibit skala pembudidaya atau kelompok dengan penerapan metode seleksi varietas.
Gambar 10. Konstruksi unit long line sebagai wadah pemeliharan bibit untuk proses seleksi varietas.
173
Tabel 2. Analisis Usaha 1 paket kebun bibit skala industri dengan penerapan metode seleksi varietas
174
Gambar 10. Konstruksi unit long line sebagai wadah pemeliharan bibit untuk proses seleksi varietas
Gambar 11. Rataan Bobot awal (@ 50 g) per rumpun sebagai parents stock untuk proses seleksi varietas.
175
BP2BAT Penggunaan Vaksin HydroVac dan StreptoVac untuk Pencegahan Penyakit Potensial pada Ikan Air Tawar Unit Eselon I Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan Satuan Kerja Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Tawar Alamat Jl. Sempur no. 1 Bogor 16154 Tlp. 0251-8313200 Fax. 0251-8327890 Kategori Teknologi Perikanan Budidaya Sifat Teknologi Inovasi Masa Pembuatan HydroVac : 2001-2011 StreptoVac : 2009-2013 Tim Penemu Taukhid, Angela Mariana Lusiastuti, Desy Sugiani Tuti Sumiati Uni Purwaningsih Kontak Person Taukhid, 082260846000
[email protected] Angela, 08179818701
[email protected]
176
DESKRIPSI TEKNOLOGI Manfaat Teknologi Aplikasi vaksin HydroVac merupakan upaya pemberian kekebalan spesifik (antibodi) secara dini pada ikan budidaya untuk mencegah infeksi bakteri Aeromonas hydrophila, bakteri patogen penyebab penyakit Motile Aeromonas Septicaemia (MAS). Aplikasi vaksin StreptoVac merupakan upaya pemberian kekebalan spesifik (antibodi) secara dini pada ikan budidaya (khusunya ikan nila) untuk mencegah infeksi bakteri Streptococcus agalactiae, bakteri patogen penyebab penyakit streptococciosis. Aplikasi vaksin HydroVac dan StreptoVac pada perikanan budidaya air tawar dapat menekan tingkat mortalitas yang diakibatkan oleh penyakit Motile Aeromonas Septicaemia (MAS) pada semua jenis ikan air tawar, dan penyakit streptococcosis pada ikan nila. Program vaksinasi akan meningkatkan produksi (food security) dan menjamin mutu produk perikanan (food safety), serta menjamin keberlanjutan budidaya ikan (sustainable aquaculture) air tawar yang ramah lingkungan. Vaksinasi merupakan salah satu upaya pengendalian penyakit bakterial pada ikan yang ramah terhadap ikan, lingkungan perairan dan konsumen. Penggunaan vaksin dapat mencegah timbulnya resistensi bakteri patogen pada ikan dan lingkungan perairan akibat penggunaan bahan kimia/ antibiotika yang kurang bijaksana dalam pengelolaan kesehatan ikan. Secara ekonomi, aplikasi vaksin HydroVac dan StreptoVac pada perikanan budidaya air tawar akan menambah biaya produksi 1 – 2 rupiah/ekor ikan; namun keuntungan yang diperoleh akan sangat nyata. PENGERTIAN/DEFINISI Vaksin : Vaksin adalah suatu produk biologi yang terbuat dari mikroorganisme, komponen mikroorganisme yang telah dilemahkan, dimatikan atau rekayasa genetika dan berguna untuk merangsang kekebalan tubuh secara aktif (antibodi) sehingga dapat mencegah atau mengurangi pengaruh infeksi suatu jenis mikroorganisme patogen.
RINCIAN DAN APLIKASI TEKNIS Persyaratan Teknis Penerapan Teknologi Persyaratan yang perlu diperhatikan sebelum melakukan vaksinasi pada ikan: Ikan telah berumur lebih dari 2 minggu.
177
Kesehatan ikan harus dalam kondisi prima, hindari pemberian vaksin pada ikan yang sedang sakit. Suhu air relatif hangat (di atas 25 oC) dan stabil. SOP teknologi HydroVac dan StreptoVac dapat diberikan melalui 3 (tiga) cara, yaitu perendaman, pakan dan suntik. (1) Perendaman dalam larutan vaksin selama 15–30 menit. Teknik ini sangat ideal u n t u k ikan ukuran benih. Perendaman dapat dilakukan dalam bak beton/fiber glass/ akuarium atau ember plastik. Dosis yang digunakan adalah 100 ml vaksin untuk 1.000 liter air atau 1 ml vaksin untuk setiap 10 liter air. Air bekas rendaman pertama, masih dapat segera (tidak lebih dari 2 jam) digunakan sekali lagi untuk tujuan yang sama. (2) Melalui pakan ikan (pellet). Teknik ini cocok untuk ikan yang sudah dipelihara di kolam/jaring atau sebagai vaksinasi ulang (booster). Vaksin diencerkan terlebih dahulu dengan air bersih, kemudian dimasukkan ke dalam alat semprot. Semprotkan larutan vaksin tersebut ke pakan secara merata, dikeringanginkan dan selanjutnya segera diberikan kepada ikan. Dosis yang diberikan adalah 2 - 3 ml/kg bobot tubuh ikan. Pemberian vaksin dilakukan selama 5 – 7 hari berturut-turut. (3) Melalui penyuntikan. Teknik ini terutama diaplikasikan untuk ikan yang berukuran lebih dari 5 gram/ekor atau calon induk. Dosis vaksin yang diberikan adalah 0,1 ml/ekor. Penyuntikan dapat dilakukan melalui rongga perut (intra peritoneal) atau dimasukkan ke otot/daging (intra muscular) dengan sudut kemiringan jarum suntik 30 derajat. Kaji Terap yang Sudah Dilakukan Laporan aplikasi vaksin Hydrovac tahun 2009 ke beberapa dinas dan Unit Pelaksana Teknis (UPT) lingkup Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya (DJPB), Kementrian Kelautan dan Perikanan; serta Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) di bawah Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi dan Kabupaten/Kota diperoleh data-data sebagai berikut: Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor, aplikasi vaksin Hydrovac memberikan hasil yang menggembirakan bagi para pembudidaya ikan lele, gurame, nila, patin dan ikan mas dengan rataan tingkat kelangsungan hidup ikan berkisar antara 89% 90%. Dinas Pertanian Kota Metro Lampung, aplikasi vaksin Hydrovac pada ikan lele dan ikan patin dengan ukuran 5 sampai 7 cm melalui route perendaman; diperoleh rataan tingkat kelangsungan hidup ikan berkisar antara 90% - 95%. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Ciamis, aplikasi vaksin Hydrovac pada ikan lele dan ikan patin diperoleh tingkat kelangsungan hidup rata-rata di atas 85%. Sedangkan aplikasi vaksin tersebut pada budidaya ikan gurame ukuran 1–3 cm, 5-8 cm, 8-12 cm hingga gurame indukan diperoleh tingkat kelangsungan hidup berkisar antara 70% 100%.
178
Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar (BBPBAT) Sukabumi melaporkan penggunaan vaksin Hydrovac pada ikan lele dan ikan mas yang diaplikasikan melalui route perendaman dan melalui pakan, secara ringkas hasilnya dapat dilihat pada Tabel 1.
Jenis Ikan
Ukuran Ikan (cm)
Berat Ikan
Tingkat Kelangsungan Hidup (%)
Lele
4-5
-
82 -86
Lele
-
100 – 125 g
97 – 99
Lele
-
200 – 250 g
97
Lele
-
20 g
95
Mas
-
1,8 – 2,5 kg
100
Tabel 1. Ringkasan hasil penggunaan vaksin Hydrovac pada ikan lele dan mas di wilayah binaan Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar (BBPBAT) Sukabumi.
Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kalimantan Barat mengaplikasikan vaksin Hydrovac pada ikan nila dan mas umur 1 - 2 bulan dan melaporkan sangat baik responnya dengan tingkat kelangsungan hidup 60 sampai 80%. Balai Budidaya Perikanan Dinas Kelautan dan Pertanian Provinsi Daerah DKI Jakarta tidak melaporkan tingkat kelangsungan hidup ikan, akan tetapi Balai tersebut melaporkan bahwa dua hari pasca pemberian vaksin Hydrovac, ikan mas dan koi berumur 14 – 45 hari cenderung senang berenang ke permukaan dan kurang nafsu makan. Perilaku ikan kembali normal setelah hari ke lima pasca vaksinnasi. Dinas Perikanan Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat melakukan aplikasi vaksin Hydrovac pada ikan lele dumbo, gurame, mas dan nila dengan kisaran umur 3 minggu - 3 bulan. Dari aplikasi vaksin tersebut diperoleh hasil sebagai berikut: pemberikan vaksin terbukti meningkatkan nafsu makan ikan sehingga pertumbuhannya meningkat sampai
Jenis Ikan
Umur Ikan (hari)
Ukuran Ikan (inci)
Kondisi ikan setelah divaksin
Tingkat Kelangsungan Hidup (%)
Gurame
15
0,5
Ikan normal
>80
Gurame
20
0,5
Ikan sehat
>80
Gurame
30
1
Gerakan kurang lincah, warna sedikit pucat tapi tidak pudar
.>80
Gurame
50
1,5
Tidak terjadi gripis pada ekor dan sirip, performa lebih baik
>80
Gurame
60
2
Ikan lebih cepat tumbuh dan lebih sehat
>80
Tabel 2. Aplikasi vaksin Hydrovac pada ikan gurame dari Kabupaten Padang Pariaman Sumatera Barat
179
50%, dan tingkat kelangsungan hidup ikan mencapai 75% - 99%. Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Bangka Belitung melaporkan bahwa aplikasi vaksin Hydrovac meningkatkan respon ikan lele dumbo dan nila terhadap pakan yang diberikan; dengan rataan tingkat kelangsungan hidup berkisar antara 75% - 90%. Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bandung (Jawa Barat) melaporkan bahwa tingkat kelangsungan hidup ikan yang divaksin dengan vaksin Hydrovac umumnya mencapai 100%. Balai Benih Ikan (BBI) Punten, Kota Batu – Malang melaporkan bahwa tingkat kelangsungan hidup ikan yang divaksin dengan vaksin Hydrovac umumnya mencapai 100%. Dinas Kelautan dan Perikanan Agam, Sumatera Barat melaporkan bahwa aplikasi vaksin Hydrovac pada ikan nila dan mas dapat menurunkan tingkat kematian. Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bangli Bali, melaporkan bahwa aplikasi vaksin Hydrovac pada ikan nila dan mas dapat menurunkan tingkat kematian. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Tulungagung Jawa Timur, melaporkan bahwa aplikasi vaksin Hydrovac pada ikan nila dan mas dapat menurunkan tingkat kematian. Balai Benih Ikan (BBI) Kepanjen Malang Jawa Timur, melaporkan bahwa aplikasi vaksin Hydrovac pada ikan nila dan mas dapat menurunkan tingkat kematian. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Subang Jawa Barat melaporkan bahwa aplikasi vaksin Hydrovac pada ikan nila dan mas dapat menurunkan tingkat kematian. Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Bengkulu menyatakan bahwa penggunaan vaksin Hydrovac mempunyai efek positif, antara lain ikan yang menderita mata menonjol dapat mengalami penyembuhan dan secara umum terjadi kenaikan berat ikan. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Lampung Barat dan Timur, melaporkan bahwa vaksin Hydrovac sangat baik untuk mencegah penyakit yang sering terjadi pada budidaya ikan air tawar. Aplikasi jenis vaksin tersebut dapat meningkatkan kelangsungan hidup rata-rata di atas 80%. Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Gorontalo, melaporkan bahwa vaksin Hydrovac sangat baik untuk mencegah penyakit yang sering terjadi pada budidaya ikan air tawar. Aplikasi jenis vaksin tersebut dapat meningkatkan kelangsungan hidup rata-rata di atas 80%. Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi DI Yogyakarta, melaporkan bahwa vaksin Hydrovac sangat baik untuk mencegah penyakit yang sering terjadi pada budidaya ikan air tawar. Aplikasi jenis vaksin tersebut dapat meningkatkan kelangsungan hidup ratarata di atas 80%. Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi NTB, melaporkan bahwa vaksin Hydrovac sangat baik untuk mencegah penyakit yang sering terjadi pada budidaya ikan air tawar. Aplikasi jenis vaksin tersebut dapat meningkatkan kelangsungan hidup rata-rata di atas 80%. Dinas Perikanan dan Peternakan Kabupaten Karawang, melaporkan bahwa vaksin Hydrovac sangat baik untuk mencegah penyakit yang sering terjadi pada budidaya ikan air tawar. Aplikasi jenis vaksin tersebut dapat meningkatkan kelangsungan hidup ratarata di atas 80%.
180
Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jambi, melaporkan bahwa vaksin Hydrovac sangat baik untuk mencegah penyakit yang sering terjadi pada budidaya ikan air tawar. Aplikasi jenis vaksin tersebut dapat meningkatkan kelangsungan hidup rata-rata di atas 80%. Balai Budidaya Air Payau (BBAP) Ujung Batee Aceh, melaporkan bahwa vaksin Hydrova sangat baik untuk mencegah penyakit yang sering terjadi pada budidaya ikan air tawar. Aplikasi jenis vaksin tersebut dapat meningkatkan kelangsungan hidup rata-rata di atas 80%. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat menjelaskan secara detail aplikasi vaksin pada ikan gurame umur 15 - 60 hari dan ukuran berkisar antara 0,5 - 2 inci yang divaksin Hydrovac melalui route perendaman. Selengkapnya disajikan pada Tabel 2. Berdasarkan hasil uji multi lokasi, dapat disarikan bahwa vaksin Hydrovac sangat efektif diaplikasikan dalam pembudidayaan ikan mas (Cyprinus carpio) di beberapa lokasi seperti Pulau Jawa, Sumatera dan Kalimantan. Efektivitas vaksin dihitung dari nilai mortalitas kumulatif, kelangsungan hidup dan biomasa. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa kelompok ikan mas yang divaksin mempunyai nilai mortalitas kumulatif relatif lebih rendah, tingkat kelangsungan hidup dan produksi lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok ikan yang tidak divaksin di semua lokasi penelitian di Pulau Jawa, Sumatera dan Kalimantan. Vaksin Hydrovac juga dapat memberikan proteksi berdasarkan uji multi lokasi terhadap kemungkinan infeksi dari A. hydrophila strain yang lain. KEUNGGULAN TEKNOLOGI Teknologi Baru Motile Aeromonas Septicemia (MAS) atau “penyakit merah”, disebabkan oleh infeksi bakteri Aeromonas hydrophila; merupakan penyakit bakterial yang bersifat akut, menginfeksi semua umur & semua jenis ikan air tawar, dapat mengakibatkan kematian hingga 100%, dan sering menimbulkan kerugian yang sangat signifikan. Komisi Kesehatan Ikan dan Lingkungan Nasional pada 2006 telah menetapkan jenis penyakit ini sebagai salah satu penyakit ikan utama di Indonesia. Streptococcosis merupakan penyakit infeksius yang semakin sering terjadi pada budidaya ikan nila. Kasus streptococcosis pada ikan nila di Jawa Barat dan Jawa Tengah disebabkan oleh infeksi bakteri S. agalactiae (85%) dan S. iniae (15%). Secara laboratoris, infeksi S. agalactiae pada ikan nila bersifat akut; sedangkan infeksi S. iniae lebih bersifat kronis. Fakta tersebut mengindikasikan bahwa bakteri S. agalactiae berpotensi sebagai penyebab streptococcosis yang lebih serius pada budidaya ikan nila. Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Tawar – Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan Budidaya telah mengembangkan vaksin anti-Aeromonas hydrophila dengan nama ”HydroVac” dan vaksin anti-Streptococcus agalactiae dengan nama “StreptoVac” sebagai produk
181
biologi bagi upaya peningkatan produksi perikanan budidaya air tawar nasional. Hasil kajian laboratoris dan lapang, aplikasi vaksin “HydroVac” dapat menekan tingkat kematian ikan akibat penyakit MAS berkisar 30-40% dibandingkan dengan tanpa aplikasi vaksin yang mencapai 6070%. Sedangkan hasil kajian laboratoris dan lapang, aplikasi vaksin “StreptoVac” dapat menekan tingkat kematian ikan nila akibat penyakit streptococcosis berkisar 20-30% dibandingkan dengan tanpa aplikasi vaksin yang mencapai 50-60%. Salah satu diantara beberapa keunggulan yang dimiliki oleh kedua jenis vaksin tersebut adalah kemampuannya untuk menginduksi respon kebal spesifik yang dapat bereaksi silang (cross reactivity) terhadap beberapa strain bakteri A. hydrophila (untuk vaksin Hydrovac) dan bakteri S. agalactiae (untuk Streptovac) patogen yang terdapat di beberapa wilayah pengembangan budidaya ikan air tawar. Keunggulan ini memberi harapan bahwa produk vaksin ini dapat digunakan oleh seluruh pembudidaya ikan di seluruh wilayah sentra produksi ikan air tawar. Vaksinasi ikan adalah memberi bekal kekebalan (immunity) pada tubuh ikan secara dini. Teknik ini merupakan salah satu alternatif pengendalian penyakit yang perlu terus dikembangkan, karena lebih ramah terhadap lingkungan, tidak berdampak negatif terhadap ikan itu sendiri maupun terhadap manusia. Vaksinasi pada perikanan budidaya diyakini akan dapat memberi kontribusi yang sangat signifikan terhadap peningkatan produksi perikanan budidaya. Keberhasilan program vaksinasi akan berdampak langsung terhadap, antara lain: (1) menurunnya tingkat mortalitas ikan budidaya akibat infeksi patogen potensial, (2) menurunnya penggunaan antibiotik pada budidaya ikan, dan (3) menurunnya daya resistensi beberapa jenis patogen terhadap antibiotik. Keberhasilan Teknologi Penyakit yang menyerang ikan secara umum dikelompokkan menjadi dua yaitu penyakit infeksius dan non infeksius. Jenis penyakit non-infeksius disebabkan oleh lingkungan, makanan, dan genetik. Sedangkan jenis penyakit infeksius terdiri dari penyakit yang disebabkan oleh parasit, jamur, bakteri, dan virus. Bakteri yang bersifat patogen pada ikan adalah Aeromonas hydrophila, penyebab penyakit Motile Aeromonas Septicemia (MAS), dan infeksi bakteri Streptococcus banyak ditemukan pada ikan nila dan menyebabkan penyakit yang disebut streptococcosis. Streptococcosis akibat infeksi Streptococcus merupakan penyakit pada tilapia yang biasa dihadapi petani ikan dalam usaha budidaya dan dapat menyebabkan kematian ikan yang tinggi. Vaksin ”HydroVac” dan “StreptoVac” sebagai produk biologi untuk pencegahan penyakit bakteri potensial diharapkan mampu berkontribusi dalam peningkatan produksi perikanan budidaya air tawar nasional. Hasil kajian laboratoris dan lapang, aplikasi vaksin “HydroVac” dapat menekan tingkat kematian ikan akibat penyakit MAS berkisar 30-40% dibandingkan dengan tanpa aplikasi vaksin yang mencapai 60-70%. Sedangkan hasil kajian laboratoris dan lapang, aplikasi vaksin “StreptoVac” dapat menekan tingkat kematian ikan nila akibat penyakit streptococcosis berkisar 20-30% dibandingkan dengan tanpa aplikasi vaksin yang mencapai 50-60%. Penggunaan vaksin sebagai upaya pencegahan penyakit ini merupakan teknologi pengendalian penyakit ikan yang efisien, efektif, dan ramah lingkungan merupakan satu-satunya alternatif yang
182
harus dikembangkan untuk mendukung program peningkatan produksi perikanan budidaya. Vaksinasi pada perikanan budidaya diyakini akan dapat memberi kontribusi yang sangat signifikan terhadap peningkatan produksi perikanan budidaya. Vaksinasi juga merupakan salah satu upaya
183
pengendalian penyakit bakterial pada ikan yang ramah terhadap ikan, lingkungan perairan dan konsumen. Program vaksinasi akan meningkatkan produksi (food security) dan menjamin mutu produk perikanan (food safety), serta menjamin keberlanjutan budidaya ikan (sustainable aquaculture) air tawar yang ramah lingkungan.
PENERAPAN DALAM SISTEM USAHA KELAUTAN DAN PERIKANAN a. Telah lulus uji mutu dari BBPMSOH dengan sertifikat pengujian Vaksin HydroVac No. T N . 7 2 0 / 3 0 8 / s t f k / F 5 . I / V / 2 0 1 2 d a n Va k s i n S t r e p t o Va c N o . TN.720/097/stfk/F.12/II/2013. b. Telah memiliki nomor register dari KKP, Vaksin HydroVac (KKP RI NO. D 1206203 BKC) dan Vaksin StreptoVac (KKP RI NO. D 1305224 BKC). c. Vaksin HydroVac telah dikerjasamakan dengan PT. CAPR I FAR M I N DO L A B O R ATO R I E S t a n g g a l 2 5 O k t o b e r 2 0 1 1 N o . 25.01/BalitbangKP.2/KL.210/X/2011 No. 017/X/11/GM/EKS/CAP-VET dengan nama Vaksin CapriVac-Aero. d. Vaksin HydroVac dan StreptoVac mampu menginduksi respon kebal spesifik (antibodi) pada ikan. Antibodi tersebut mulai bekerja 1 – 2 minggu pasca vaksinasi, dan proteksi berlangsung selama 3 - 4 bulan. Untuk meningkatkan kadar antibodi serta periode proteksi hingga lebih dari 4 bulan, perlu dilakukan vaksinasi ulang (booster) yang diberikan 1 - 2 bulan dari saat vaksinasi pertama. RAMAH LINGKUNGAN Hydrovac dan Streptovac merupakan vaksin in-aktif bakteri Aeromonas hydrophila AHL0905-2 dan Streptococcus agalactiae N14G. Kedua jensi bakteri tersebut merupakan isolat lokal (indigenous species) yang telah diseleksi secara laboratories. Kedua sediaan vaksin tersebut mengandung bakteri sel utuh sebanyak 1011 cfu/ml dengan pelarut berupa larutan phosphate buffered saline (PBS) 0,845%. Botol kemasan berupa plastic PVC volume 100 ml dengan dua penutup yang kedap air dan tersegel. Produk akhir dari kedua jenis vaksin tersebut telah lulus dari hasil uji mutu yang dilakukan oleh lembaga yang sangat kompeten untuk pengujian mutu vaksin, dan lembaga tersebut (Balai Besar Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan/BBPMSOH) telah 2 kali memperoleh akreditasi regional (ASEAN). Berdasarkan hasil uji terhadap persyaratan umum yang harus dipenuhi oleh suatu produk vaksin, maka vaksin Hydrovac dan Streptovac dinyatakan LULUS. Sertifikat tersebut mengisyaratkan bahwa kedua jenis vaksin tersebut adalah murni, steril, in-aktif dan aman untuk digunakan untuk ikan, tidak menghasilkan residu yang mengkontaminasi lingkungan budidaya; serta aman untuk konsumen. WAKTU DAN LOKASI PENELITIAN Lihat gambar peta distribusi vaksin pada halaman sebelumnya
184
KEMUNGKINAN DAMPAK NEGATIF Jika umur ikan kurang dari 2 minggu maka vaksinasi tidak efektif karena organ yang berperan dalam pembentukan ketahanan tubuh belum berkembang sempurna. Vaksinasi tidak efektif jika kondisi kesehatan ikan tidak prima atau ikan sakit dan suhu air di bawah 25 oC atau suhu tidak stabil. Efektifitas vaksin akan menurun jika cara penyimpanan vaksin tidak dalam kondisi dingin atau pada refrigerator. KELAYAKAN FINANSIAL DAN ANALISA USAHA Kedua jenis vaksin sangat ekonomis karena dosis pemakaiannya adalah 100 ml vaksin untuk 1000 liter air rendaman yang dapat digunakan untuk 50.000 benih ikan. Kisaran harga vaksin per kemasan isi 100 ml adalah sekitar Rp 60.000 – 75.000,- sehingga harga vaksin hanya Rp. 1,/benih tetapi dapat meningkatkan kelulusan hidup ikan dan menekan mortalitasnya.
No I
Uraian
Volume
Satuan
Harga Satuan
Sewa Lahan 500 m per thn
1
tahun
Peralatan perikanan
1
set
1.000.000
Jumlah
1.000.000
1.000.000
500
500
1.500.000
1.500.000 6.000.000
BIAYA VARIABEL Benih (7-8 cm)
ekor
150
6.000.000
Pakan (vaksinasi)
147
40
Bal/30kg
211
31.017.000
-
Pakan (tanpa vaksinasi)
110
Bal/30kg
211
-
23.210.000 1.800.000
Tenaga kerja (2 orang)
3
OB
300
1.800.000
Vaksin
3
botol
60
180
Jumlah III
Jumlah (Tanpa Vaksinasi)
INVESTASI 2
II
Jumlah (Vaksinasi)
38.997.000
31.010.000
BIAYA TETAP Penyusutan Sewa lahan
3
bulan
350
Peralatan perikanan
1
set
165
165
1.214.910
975.3
Bunga Bank (12% per thn) (JmlI+jmlIIx12%/12x3) Jumlah
1.729.910
1.490.300
40.726.910
32.500.300
12
48.000.000
-
12
-
36.000.000
Jumlah Biaya II+III IV
PENDAPATAN Ikan konsumsi (vaksinasi) Ikan konsumsi (tanpa vaksinasi)
V
350
4 32 3
kg ekor kg
24
ekor
Periode
1
siklus
7.273.090
3.499.700
Tahun
3
siklus
21.819.270
10.499.100
KEUNTUNGAN
Tabel 4. Analisa Usaha Pembesaran Ikan Lele dengan dan tanpa Aplikasi Vaksin HydroVac Tabel 5. Analisa Usaha Pembesaran Ikan Gurame dengan dan tanpa Aplikasi Vaksin Hydrovac Tabel 6. Analisa Usaha Pembesaran Ikan Nila di Kolam dengan dan tanpa Menggunakan Vaksin StreptoVac
185
No I
Uraian
Volume
Satuan
Harga Satuan
1.000.000
Sewa Lahan 500 m per thn
1
tahun
Peralatan perikanan
1
set
Jumlah
1.000.000
1.000.000
500
500
1.500.000
1.500.000 16.875.000
BIAYA VARIABEL Benih (silet)
ekor
2.25
16.875.000
Pakan (vaksinasi)
173
7.5
Bal/30kg
211
36.503.000
-
Pakan (tanpa vaksinasi)
125
Bal/30kg
211
-
26.375.000
Tenaga kerja (2 orang)
8
OB
300
4.800.000
4.800.000
Vaksin
1
botol
60
60
-
Vaksin Booster
2
botol
60
120
-
58.358.000
48.050.000
1.000.000
1.000.000
165
165
Jumlah III
Jumlah (Tanpa Vaksinasi)
INVESTASI 2
II
Jumlah (Vaksinasi)
BIAYA TETAP Penyusutan Sewa lahan
1
tahun
Peralatan perikanan
1
set
Bunga Bank (12% per thn)
7.182.960
5.946.000
8.347.960
7.111.000
66.705.960
55.161.000
30
84.390.000
-
30
-
61.890.000
(JmlI+jmlIIx12%) Jumlah Jumlah Biaya II+III IV
PENDAPATAN Ikan konsumsi (vaksinasi) Ikan konsumsi (tanpa vaksinasi)
V
2.813
kg
5.625
ekor
2.063
kg
4.125
ekor
KEUNTUNGAN Periode
1
siklus
17.684.040
6.729.000
Tabel 5. Analisa Usaha Pembesaran Ikan Gurame dengan dan tanpa Aplikasi Vaksin Hydrovac
No I
Uraian
Volume
Satuan
Harga Satuan
1.000.000
Sewa Lahan 500 m per thn
1
tahun
Peralatan perikanan
1
set
Jumlah
1.000.000
1.000.000
500
500
1.500.000
1.500.000 1.125.000
BIAYA VARIABEL Benih (sangkal)
7.5
ekor
150
1.125.000
Pakan (vaksinasi)
63
Bal/30kg
211
13.293.000
-
Pakan (tanpa vaksinasi)
51
Bal/30kg
211
-
10.761.000
Tenaga kerja (2 orang)
3
OB
300
1.800.000
1.800.000
Vaksin
1
botol
75
Jumlah III
Jumlah (Tanpa Vaksinasi)
INVESTASI 2
II
Jumlah (Vaksinasi)
75
-
16.293.000
13.686.000
BIAYA TETAP Penyusutan Sewa lahan
3
bulan
350
350
Peralatan perikanan
1
set
165
165
Bunga Bank (12% per thn)
533.79
455.58
1.048.790
970.58
17.341.790
14.656.580
13.5
21.519.000
-
13.5
-
(JmlI+jmlIIx12%/12x3) Jumlah Jumlah Biaya II+III IV
PENDAPATAN Ikan konsumsi (vaksinasi) Ikan konsumsi (tanpa vaksinasi)
1.594
kg
6.375
ekor
1.312
kg
5.25 V
17.712.000
ekor
KEUNTUNGAN Periode
1
siklus
4.177.210
3.055.420
Tahun
3
siklus
12.531.630
9.166.260
Tabel 6. Analisa Usaha Pembesaran Ikan Nila di Kolam dengan dan tanpa Menggunakan Vaksin StreptoVac
186
TINGKAT KOMPONEN DALAM NEGERI Isolat lokal asli Indonesia (indigenous spesies) dan masing-masing master seed vaksin telah dilengkapi dengan data sequencing-DNA
Indikasi : HydroVac merupakan vaksin inaktif bakteri Aeromonas hydrophilaAHL0905-2 untuk pencegahan penyakit Motile Aeromonas Septicemia pada ikan air tawar Komposisi : HydroVac mengandung 1011 cfu/ml sel utuh (whole cell) bakteri Aeromonas hydrophila-AHL0905-2 yang merupakan isolat lokal terseleksi, dan Phosphate Buffered Saline (PBS) sebagai pelarut
Indikasi : StreptoVac merupakan vaksin inaktif bakteri Streptococcus agalactiae-N14G untuk pencegahan penyakit Streptococcosis pada ikan nila. Komposisi : StreptoVac mengandung 1011 cfu/ml sel utuh (whole cell) bakteri S. agalactiae-N14G yang merupakan isolat lokal terseleksi dan Phosphate Buffered Saline (PBS) sebagai pelarut.
187
BPPBAT Teknologi Budidaya Ikan Air Tawar Sistem Akuaponik
Unit Eselon I Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan Satuan Kerja Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Tawar Alamat Instalasi Riset Lingkungan Perikanan Budidaya & Toksikologi Cibalagung, Bogor Tel/Fax: 0251-832164 Kategori Teknologi Perikanan Budidaya Sifat Teknologi Inovasi Masa Pembuatan 2004-2012 Tim Penemu Sutrisno Ahmad Taufik Imam Taufik Yohan R. Widyastuti Lies Setijaningsih Nuryadi Eri Setiadi.
Kontak Person Eri Setiadi
[email protected]
188
DESKRIPSI TEKNOLOGI Tujuan dan Manfaat Penerapan Teknologi Teknologi budidaya ikan air tawar dengan sistem akuaponik adalah mengoptimalkan produktivitas pada keterbatasan lahan maupun sumber air. Manfaat dari teknologi akuaponik adalah meningkatkan produksivitas kolam pada lahan sempit dan keterbatasan sumber air. Kegunaan teknologi akuaponik, yaitu meningkatkan produktivitas lahan, meningkatkan pendapatan pembudidaaya, ketahanan pangan dan ramah lingkungan (ekonomi biru). PENGERTIAN/DEFINISI Teknologi akuaponik adalah perpaduan teknik budidaya ikan dimana limbah dari hasil aktivitas budidaya seperti sisa pakan yang tidak termakan, feses dan urin yang banyak mengandung unsur nitrogen (N) dan Fosfor (P) dapat dimanfaatkan sebagai pupuk untuk tanaman sayuran, sehingga air yang telah melalui tanaman sayuran dapat dimanfaatkan kembali sebagai media budidaya ikan dengan kualitas yang layak. RINCIAN DAN APLIKASI TEKNIS Persaratan Teknis Penerapan Teknologi Bila lahan sempit dan sumber air terbatas maka dapat diaplikasikan teknologi akuaponik dengan sistem tertutup (resirkulasi) dengan wadah akuaponik dari ember plastik ataupun bak yang terbuat dari papan yang di bagian dalamnya dilapisi dengan plastik terpal. Luasan volume wadahakuaponik 25% dari luasan kolam Pada kolam sistem stagnan (tidak ada air masuk dan keluar), maka dapat diaplikasikan sistem akuaponik rakit.Luasan rakit 25% dari luasan kolam Bila lahan luas dan sumber air berlimpah dengan profil lahan (teras sering), tetapi kualitas air kurang layak untuk budidaya, maka teknologi akuaponik dapat diaplikasikan dengan sistem terbuka (sirkulasi). Detail Prosedur Operasional Standar Budidaya ikan umumnya terfokus pada masalah ikan baik dari aspek jenis atau komoditas yang memiliki nilai ekonomi dan teknologi budidaya ikannya saja. Namun seiring dengan perkembangan zaman, budidaya ikan saja kurang begitu menguntungkan secara ekonomi bagi pembudidaya ikan. Berbagai upaya telah dilakukan untuk meningkatkan pendapatan
189
pembudidaya ikan, yaitu budidaya ikan dan ternak. Teknolgi budidaya tersebut dikenal dengan istilah “longnak/longyam”, maksudnya balong dan ternak (ayam ataupun kambing). Teknologi longnak ini menuntut konstruksi kolam ikan di atasnya dibuat kandang untuk ternak (ayam ataupun kambing) agar hemat lahan. Disini, kolam ikan tidak perlu menggunakan pupuk, karena pupuk akan diperoleh dari kotoran ayam maupun kambing yang jatuh ke kolam ikan, sehingga kolam ikan akan subur dan banyak tumbuh pakan alami (plankton) yang dibutuhkan sebagai pakan ikan. Namun pada kenyataannya, teknologi longnak ini tidak bertahan lama, karena tingkat kesuburan air kolam sukar dikontrol, bahkan kondisi kualitas air menjadi tidak layak untuk budidaya ikan yang diakibatkan tingginya konsentrasi amoniak yang berasal dari kotorn ternak dan kematian plankton.
Gambar 1. Tanaman Tomat (kiri) dan Cabe (kanan) yang ditanam dengan wadah ember plastik
Teknolgi akuaponik adalah perpaduan budidaya ikan dan sayuran. Teknologi ini mulai dirintis pada tahun 2005 dan terus dikembangkan hingga sekarang. Keuntungan dan kelebihan dari teknologi akuaponik dibandingkan dengan teknologi budidaya ikan saja dan teknologi longnak/longyam adalah kualitas air tetap terjaga, pertumbuhan dan produksi ikan tinggi dan pendapatan tambahan dari tanaman sayuran. Kualitas air tetap terjaga selama pemeliharaan ikan karena limbah dari aktivitas budidaya ikan seperti feses, sisa pakan yang tidak termakan dan urin yag terakumulasi di kolam ikan akan dimanfaatkan oleh tanaman sebagai pupuk dengan cara mengalirkan air kolam ke wadah tanaman akuaponik, sehingga kualitas air yang keluar dari wadah akuaponik dan masuk lagi ke kolam ikan kualitasnya tetap terjaga. Teknolgi akuaponik yang sudah dikembangkan dan diaplikasikan di masyarakat diberbagai daerah, yaitu: (1) teknolgi akuaponik dengan wadah ember plastik pada sayuran tomat dan cabe ( G a m b a r 1 ) teknologi akuaponik ini diaplikasikan pada lahan dan sumber air yang terbatas; (2) teknologi akauponik dengan wadah bak terbuat dari papan Gambar 2. Tanaman Kangkung yang ditanam dengan wadah bak papan (kiri) dan (Gambar 2), sistem rakit (kanan)
190
teknologi akuaponik ini dapat diaplikasikan pada kondisi lahan dan sumber air terbatas maupun pada kondisi terasiring; (3) teknolgoi akuaponik dengan wadah sistem rakit (Gambar 2, kanan), teknologi akuaponik ini diaplikasikan pada lahan dengan sumber air terbatas. Ketiga teknologi tersebut yang umum diaplikasikan adalah teknologi akauponik dengan wadah ember dan bak yang terbuat dari papan. Hal ini dikaranakan bahan baku lebih mudah diperoleh dan jenis mapun komoditas tanaman sayuran yang ditanam lebih beragam. Cara penerapan teknologi yang diurut mulai persiapan sampai aplikasi 1. Teknologi akuaponik dengan wadah ember plastik Alat dan Bahan: Ember kapasitas 5 atau 10 L yang dilengkapi saluran outlet Pipa PVC berdiameter 0,5 inchi Keranjang plastik berlubang (volume 1 L) Solder untuk melubangi pipa PVC1/2” sebagai saluran inlet (aliran air dari kolam ikan ke wadah akuaponik ember). Lubangnya diposisikan dekat dengan pangkal tanaman. Bor/pisau untuk melubangi ember sebagai saluran outlet dari wadah akuaponik ke kolam ikan Pompa air dengan kapasitas debit 1000-3000 L/jam Batu apung Arang Sabut kelapa Bibit tanaman sayuran yang akan ditanaman (tomat, terong, cabei mapun slada) Tahapan pembuatan wadah akuaponik dengan ember plastik Siapkan ember plastik, bor dan pisau Ember dilubangi (diamter ½”) dengan bor atau pisau. Pastikan posisi lubang 1 cm dari bawah (dasar ember) Potong pipa PVC ½” sepanjang 5 cm, kemudia masukan ke dalam lubang ember Pipa PVC ½ { di bagian dalamditutupi oleh keranjang plastik berlubang (volume 1 L) Cuci media tanam dengan air bersih mengalir Tiriskan selama satu hari ditempat yang terjemur dengan sinar matahari Masukan media tanam (arang, batu apung ataupun sabut kelapa) hingga penuh ke dalam wadah akuaponik ember plastik Tanam bibit tanaman sayuran (berasal dari penyemaian) yang sudah layak untuk ditanam pada wadah akuaponik (umur 14 hari setelah tanam atau tinggi tanaman telah mencapai 10 cm). Letakkan ember tersebu di pematang dinding kolam Masukan pompa air (debit 1500-3000 L/jam dan daya lontar 2 m) yang sudah dipasang dengan pipa PVC ½” ke dalam kolam ikan. Pasang pipa PVC ½” di atas wadah akuaponik sesuai dengan alur dinding bak (bulat atau persegi) Lubangi pipa PVC berada di atas wadah akuaponik tepat pada pangkal tanaman.
191
Nyalakan pompa dan pastikan aliran air lancar mengalir pada masing-masing wadah akuaponik. Pastikan saluran air tidak ada yang tersumbat, baik dari saluran inlet (yang mengalir ke wadah akuaponik tepat dekat pangkal tanaman) maupun air yang ke luar (outlet) dari wadah akuaponik Untuk lebih jelasnya, mengenai proses tahapan pembuatan wadah akuaponik dengan ember plastik dapat dilihat pada Gambar 4 di bawah ini:
Gambar 4. Proses tahapan pembuatan wadah akuaponik dari ember plastik
2. Teknologi akuaponik dengan bak dari papan yang dilapisi plastik terpal sebagai wadah akuaponik Alat dan bahan: Papan Plastik terpal Pipa PVC ½” Pipa PVC 1” Sok derat PVC 1” luar dalam
192
Pompa air dengan debit 1000-3000 L/jam Media tanam (sabut kelapa, arang, batu apung, kerikil atau batu split) Ukuran bak dari papan adalah ( 1.8 x 0.80 x 0.20 m) dan dilengkapi saluran inlet dan outlet Bor atau solder Pisau, gergaji kayu, gergaji besi Lem pipa PVC Selang plastik 1/2“ Pahat Sabut kelapa, arang, kerikil ataupun batu apung Tahapan pembuatan wadah akuaponik dengan bak papan yang dibagian dalamnya dilapisi plastik terpal Siapkan gergaj kayui, gergaji besi, pisau, meteran, palu, paku, lem pipa PVC, Pipa PVC 1/2” dan 1”, selang 1/2”, solder, bor, pahat, papan dan plastik terpal Potong lembaran papan sesuai Gambar 5. Tanaman terong pada budidaya ikan nila ukuran bak wadah dengan bentuk persegi panjang (1,8 x 0,80 x 0,20 m). Gunakan kayu kaso (3 x 5 sm) untuk lis pada bagian tepi dan dibagian tengah bak papan Lubangi bagian tengah bak papan dengan diameter 1” dengan jarak 2 cm dari dasar bak papan yang berfungsi sebagai saluran outlet Pasang pipa PVC 1” pada lubang tersebut sebagai saluran outlet yang sudah dipasang sok derat PVC 1” luar dalam Dibagian bak papan wadah akuaponik dalam tepat di saluran outlet diletakkan kawat (diameter 0,5 cm) berbentuk persegi empat dengan ukuran 15 x 15 x 15 cm (fungsi agar saluran outlet tidak tersumbat kotoran) Masukan medai tanam (sabut kelapa, arang atau batu apung) ke dalam bak wadah akuaponik dengan ketinggian 15 cm Tanam bibit jenis tanaman akuaponik Jarak tanam sesuai dengan jenis tanaman Pasang pipa PVC ½” (berbentuk persegi panjang) sepanjang alur tanaman akuaponik dan lubangi dengan menggunakan bor atau solder dengan jarak 10 cm (sebagai saluran inlet). Fungsinya untuk menyiram tanaman akuaponik. Sambungkan pipa PVC ½” tersebut dengan saluran selang ½” dari pompa. Letakan pompa di dasar kolam ikan dengan posisi berlawanan atau berjauhan dengan saluran air inlet Nyalakan pompa, pastikan aliran air mengalir dan keluar pada setiap lubang dengan lancar (tidak tersumbat). Pastikan tidak ada kebocoran pada wadah akuaponik
193
Gambar 6. Proses tahapan pembuatan wadah/bak akuaponik dari papan
3. Teknologi akuaponik sistem rakit Alat dan bahan Pipa PVC diameter 3 inchi L diamater 3 inchi T diamater 3 inchi Lem pipa PVC Gergaji besi Keranjang plastik berlubang (volume 5 L) Media tanam ( batu apung atau arang) Tahapan pembuatan wadah akuaponik dengan bak papan yang dibagian dalamnya dilapisi plastik terpal Potong pipa PVC diameter 3 inchi sepanjang 2 m sebayak 3 batang Potong pipa PVC diameter 3 inchi sepanjang 20 cm sebanyak 2 batang Sambungkan potongan pipa tersebut dan lem membentuk persegi panjang Lem setiap sambungan dengan rapat, hindari kebocoran pada setiap sambungan Letakkan Pipa PVC yang sudah terambung tersebut di kolam ikan, pastikan tidak ada yang bocor dan pipa PVC tersebut mengapung di permukaan air Isi keranjang plastik berlubang dengan media tanam (batu apung atau arang yang sudah dicuci) hingga penuh. Tanam bibit tanaman sayuran Simpan keranjang plastik tersebut di atas celah antara pipa PVC yang sudah disambungkan tersebut di permukaan air kolam.
194
Gambar 7. Proses tahapan pembuatan wadah akuaponik sistem rakit
Persiapan penyemaian bibit tanaman: Siapkan bibit tanaman sayuran yang akan disemai Siapkan lahan untuk penyemaian Tebarkan bibit tanaman sayuran pada lahan untuk penyemaian Siram dengan air secukupnya (1 kali per hari) dan hindari kondisi lahan penyemaian terlalu basah Benih tanaman tumbuh, setelah 10-14 hari tinggi benih tanaman telah mencapai 10 cm. Pindahkan benih tanaman tersebut ke wadah akuaponik (ember ataupun bak yang terbuat dari papan) yang sudah diisi dengan media tanaman (batu apung, arang, sabut kelapa, kerikil ataupun batu split). Wadah akuaponik sudah dilengkapi dengan saluran inlet dan outlet Kaji terap yang sudah dilakukan dibeberapa daerah beserta hasilnya Teknologi akuaponik telah diaplikasikan di Jawa Barat tepatnya di dataran tinggi (di daerah Cipanas Puncak), yaitu di Kabupaten Cianjur dan Sukabumi (Cisolok). Dinas BBI Cibening, Bogor, serta di Parung, Bogor. Di Jawa Tengah (Purwokerto), di Jogja (Pandansimo) dan di Jawa Timur (Pacitan). Hasil kajian penerapan akuaponik berdasarkan perbedaan ketinggian, yaitu dataran tinggi (1000 m dpl), dataran sedang (250 m dpl) dan dataran rendah (7 m dpl) di Jawa Barat diperoleh produktivitas ikan nila dan sayaruan dapat dilihat pada Tabel 1 dan 2. Produktivitas ikan nila tidak berbeda nyata padalahan dengan dataran yang berbeda ketinggian. Dengan kata lain produktivitas ikan nila tidak dipengaruhi secara nyata oleh perbedan ketinggian daratan (DPL)
195
KEUNGGULAN TEKNOLOGI Teknolgi akuaponik dapat dilakukan di areal perkotaan, desa, dataran tinggi maupun dataran rendah, di kawasan budidaya yang memiliki kualitas air kuarang layak (tercemar). Teknolpgi akuaponik meningkatkan produksi ikan dan sayuran Teknolgi akuaponik dapat menjaga kualitas air selama operasi dan tidak mencemari lingkungan Keberhasillan teknologi akuaponik Dari aspek penggunaan air dan limbah yag dihalkan cukup efisien (zero waste water discharge) karena yang diaplikasikan adalah sistem resirkulasi Aspek lingungan tidak mencemari lingkungan (ramah lingkungan) Aspek ekonomis diperoleh keuntungan ganda yaitu selain dapat memproduksi ikan juga sayuran organik Aspek kelayakan dapat diterma oleh berbagai kalangan pembudidaya UKM mapun skala industri. Mudah diterapkan dalam sistem usaha perikanan Mudah diterapkan diberbagai kondisi lingkungan, penggunaan bahan baku yang digunakan relatif murah dan mudah diperoleh Aplikasi teknologi akuaponik tidak tergantung oleh faktor lingkungan (cuaca, ketinggian, lahan tidak subur, dan kualitas air yang kurang layak) dan musim Dapat diterima dari aspek hukum dan kelembagaan baik UKM maupun skala industri, LSM dan khususnya masyarakat pembudidaya Ramah lingkungan Teknologi akuaponik tidak menghasilkan limbah (zero waste) yang sekarang ini dikenal dengan istilah ekonomi biru (blue economic) karena limbah dari aktivitas budidaya ikan dapat dimanfaatkan sebagai pupuk untuk tanaman sayuran WAKTU DAN LOKASI PENELITIAN, DAERAH YANG DIREKOMENDASIKAN Teknolgi akuaponik mulai diteliti di tahun 2005 di Instalasi Riset Lingkungan Perikanan Budidaya & Toksikologi Bogor. Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Tawar Bogor. Pertama di uji coba adalah pada pemeliharaan ikan patin (Pangasius hypothalamus) denga sistem resirkulasi (closed system). Tanama sayuran yang digunakan adalah tanaman kangkung (Ipomoea aquatica) dan pakcoi. Hasil produksi ikan ternyata lebih tingg i(sintasan 125% dan pertumbuhan 115%) dibandingkan dengan ikan patin yang dipelihara dengan sistem teknologi budidaya biasa. Selian itu diperoleh hasil panen sayuran sebagai pendapatan tambahan. Tahun 2006-2008 telah dikembangkan penelitian teknologi akuaponik dikembangkan berbagai komoditas ikan dan berbagai jenis tanaman sayuran (tomat, cabei, terong, slada, pakcoi, ceisin, kailan). Disaian kontruksi yang digunakan adalah wadah akuaponik dari ember plastik dan bak terbuat dari papan. Tahun 2009-2012, penelitian akuaponik telah diaplikasikan di beberapa
196
daerah, seperti di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Penerimaan masyarakat pembudidaya sangat berantusias dengan adanya teknologi akuaponik, bahkan ada masyarakat pembudidaya lele di Jawa Tengah, menjual hasil sayuran akuaponik kangkung sebagai sayuran organik. Gambar 8. Tanaman Genjer pada budidaya polikultur ikan nila dan ikan mas Hal tersebut karena harga sayuran organik lebih tinggi 300-400% dari harga sayuran biasa.Selain itu, telah dikembangkan tanaman bunga potong. Tahun 2014. Akan diterapkan di Kalimantan Barat atas dasar permintaan dari Dinas Perikanan KALBAR dan pemerintah daerah. Penerapan teknologi akuaponik dapat diimplementasikan dan dikembangkan diberbagai wilayah, sepajang wilayah tersebut memiliki sumber air tawar. Karena ikan dan jenis tanaman yang akan ditanaman membutuhklan air tawar, maka keberadaan air tawar merupakan hal yang utama. Diutamakan penerapan teknologi akuaponik ini pada daerah atau wilayah tanahnya kurang subur (tandus) dan krisis air, sehingga produktivitas yang dihasilkan sangat berarti bagi masyarakat yang menempati walayah dengan kondisi lingkungan tersebut. KEMUNGKINAN DAMPAK NEGATIF Kebocoran kabel pompa dapat menimbulkan sengatan listrik terhadap ikan maupun manusia, selain itu pompa air yang tersumbat kotoran berpotensi mengakibatkan terjadinya korsleting dan meledak. KE LAYAKAN FI NAN S IAL DAN ANALISA USAHA Biaya operasinal yang dibutuhkan dan keuntungan teknologi budidaya ikan sistem akuaponik cukup layak untuk diaplikasikan pada berbagai skala usaha (UKM) maupun skala besar (industri). Dari perhitungan analisis ekonomi hanya difokuskan pada disain kontruksi wadah akuaponik dari ember, karena dibadingkan dengan disain kontruksi wadah akuaponik dari papan dan sistem rakit, ternyata wadah dari
Gambar 9. Tanaman kangkung pada pendederan ikan nila
197
ember menunjukkan kelayakan usaha yag lebih tinggi. Untuk itu, yang ditampilkan disini adalah kelayakan usaha teknologi budidaya akuaponik dengan wadah ember plastik pada pendederan II (5 – 7 cm) ikan nila. Untuk lebih jelasnya, biaya operasional, keuntungan berbagai jenis tanaman sayuran selama pemeliharaan ikan, dan analisis kelayakan usaha disajikan pada Tabel 3- 5 dibawah ini. TINGKAT KOMPONEN DALAM NEGERI Material yang digunakan merupakan bahan baku lokal
No. A 1 2 3
4 4 8 9 10 11
Struktur Biaya
Satuan
Biaya Variabel Pellet Benih Ikan Pupuk: NPK TSP Bibit Sayuran Pompa Pipa PVC 1/2" Knee 1/2" Ember 10 L Batu apung Jumlah
B Biaya Tetap 1 Listrik 2 tenaga Kerja Jumlah Jumlah Total
Jumlah Fisik
Biaya per satuan (Rp)
Jumlah Biaya 1 Bulan (Rp)
Jumlah Biaya 1 Tahun (Rp)
Kg Ekor
31.5 900
8.000 125
252.000 112.500
Kg Kg
0,5 0,5
6.500 6.500
3.250 3.250
252.000 112.500 3.250 3.250
Kg Unit Batang Buah Buah Kg
0.02 1 6 5 28 42
3.000 95.000 12.000 7.500 7.000 9.000
60 95.000 72.000 37.500 196.000 378.000 1.149.560
180 95.000 72.000 37.500 196.000 378.000 1.149.680
Watt Orang
30 1
1 500.000
22 500.000 500.022 1.649.582
260 6.000.000 6.000.260 7.149.940
Tabel 3. Biaya Operasional pendederan II ikan nila sistem akuaponik dengan luas kolam ikan 9m2 per satu siklus
No
Kriteria
Nilai
1 NPV (Rp) 2,550,000.00 2 IRR (%) 87.56 3 Net B/C ratio 1.74 4 Pay Back Period 2.5 Bulan Kelayakan Usaha
Justifikasi Kelayakan >0 > 14 >1 < 4 Bulan Layak
Tabel 4. Analisis kelayakan usaha teknologi budidaya ikan nila pendederan II dengan sistem akuaponik
198
No 1
Uraian
Total (Rp)
Pemeliharaan kangkung : -
75.000
10 unit media filter @ Rp 7.500, benih kangkung 10 unit x Rp5.000,-
50.000 Total
Panen :
125.000
4 bln x 2 musim x 10 unit x 2kg x Rp.2.000,320.000
Keuntungan selama periode tanam 4 bulan: Selisih 2
205.000
Pemeliharaan cabei : -
75.000
10 unit media filter @ Rp 7.500, benih cabei 10 unit x Rp5.000,-
50.000 Total
Panen :
125.000
2 bln x 2 musim x 10 unit x 1kg x Rp.10.000,400.000
Keuntungan selama periode tanam 4 bulan : Selisih 3
275.000
Pemeliharaan tomat : -
75.000
10 unit media filter @ Rp 7.500, benih tomat 10 unit x Rp5.000,-
50.000 Total
Panen :
125.000
2 bln x 2 musim x 10 unit x 1kg x Rp.10.000,400.000
Keuntungan selama periode tanam 4 bulan : Selisih 4
275.000
Pemeliharaan terong sayur : -
75.000
10 unit media filter @ Rp 7.500, benih cabai 10 unit x Rp5.000,-
50.000 Total
Panen :
125.000
2 bln x 2 musim x 10 unit x 1kg x Rp.9.000,360.000
Keuntungan selama periode tanam 5 bulan : Selisih
225.000
Tabel 5. Keuntungan berbagai jenis tanaman sayuran (kangkung, cabei, tomat dan terong) per unit per kolam pemeliharaan ikan
199
LPTK Budidaya Rumput Laut dengan Kantong Rumput Laut (KRL) Berkarbon Unit Eselon I Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan Satuan Kerja Loka Perekayasaan Teknologi Kelautan Alamat Jl. Soekarno Km.2 Wangi-Wangi Kab. Wakatobi 93791 Sulawesi Tenggara Kategori Teknologi Perikanan Budidaya Sifat Teknologi Inovasi Masa Pembuatan 2009-2013 Tim Penemu Agus Cahyadi, S.Pi, M.Si
Kontak Person Agus Cahyadi, S.Pi, M.Si
200
DESKRIPSI TEKNOLOGI Tujuan dan Manfaat Penerapan Teknologi Pada umumnya kegiatan budidaya rumput laut dilakukan 4 – 5 siklus dalam satu tahun, dengan masa pemeliharaan selama 40 hari. Harapan pembudidaya adalah mendapatkan produksi dan kualitas rumput laut yang semakin meningkat. Salah satu indikator kualitas rumput laut dicirikan dengan kualitas karagenan. Pada kenyataannya untuk mempertahankan karagenan secara optimal terdapat beberapa kendala atas perlakukan di lingkungan petani rumput laut, diantaranya sebagai berikut : 1. memutuskan talus yang terikat pada tali secara paksa (menturus) menyebabkan keluarnya karagenan rumput laut secara sporadis ; 2. faktor oseaonografi secara ekstrim seperti ombak, gelombang atau arus dapat menyebabkan putusnya talus hingga sejumlah rumput laut terbawa ke daerah lain; 3. menempelnya kotoran berupa sampah laut pada rumput laut menjadi inang bagi gulma hingga akhirnya banyak talus yang terputus saat proses sortasi dan pembersihan; dan 4. serangan ikan dan penyu pemangsa rumput laut mengakibatkan terganggunya pertumbuhan bibit rumput laut dan merusak pertumbuhan talus muda. Kantong rumput laut berkarbon merupakan solusi bagi para petani untuk menjaga karagenan tidak terputus dan terhindar dari pemangsaan oleh organisme air sehingga berimplikasi terhadap peningkatan produktivitas rumput laut dan harga jual di pasaran. Bahan jaring berbalut karbon dengan ukuran mata jaring yang tidak memungkinkan ikan pemangsa dan sampah masuk ke dalam kantong berisi bibit rumput laut secara mandiri merupakan metode baru teknik budidaya rumput laut. Bibit rumput laut tidak lagi diikat pada tali yang umumnya dilakukan pada pembudidaya rumput laut, melainkan disimpan dengan cara dibiarkan tanpa pengikatan di dalam kantong. Dengan demikian bibit mampu berkembang dengan baik menyerap sari makanan dari suatu perairan. PENGERTIAN/DEFINISI Kantong rumput laut berkarbon disingkat KRL karbon adalah wadah yang memfasilitasi rumput laut atau vegetasi lainnya untuk dibudidayakan melalui metode rawai terapung, rawai dasar maupun metode vertikal. Penggunaan KRL dalam budidaya rumput laut mampu mengatasi dari ikan pemakan talus rumput laut, mempertahankan pemutusan talus rumput laut secara tiba-tiba (fragmentasi) oleh penyebab oseanografi ektrim dan volume produksi rumput laut terkontrol
201
dengan baik. Berbeda dengan sebelumnya bahwa hilangnya sejumlah rumput laut oleh penyebab tertentu misalnya aksi vandalisme maupun fragmentasi tidak diperhitungkan dalam mengestimasi stok yang dihitung berdasarkan volume rumput laut per satuan luas. Namun dengan menggunakan KRL ini, estimasi stok rumput laut bisa lebih akurat berdasarkan perhitungan volume KRL per satuan luas setiap siklus budidaya rumput laut. RINCIAN DAN APLIKASI TEKNIS Penerapan kantong rumput laut berdasarkan teknis di lapangan sebagai berikut : 1. Subyek yang menggunakan kantong rumput laut adalah petani rumput laut yang menggunakan kantong rumput laut (KRL) baik dilakukan secara perorangan maupun kelompok. 2. Penyetelan kantong rumput laut didasarkan atas volume bibit rumput laut dan luasan yang disesuaikan dengan volume KRL dan panjang tali utama. Penempatan KRL ini didasarkan pada kedalaman perairan minimal 1 (satu) meter. 3. Penyetelan KRL dengan mempunyai 3 (tiga) cara, yaitu ; 1. Membentangkan tali terlebih dahulu dilakukan di laut, setelah itu dipasangkan KRL yang telah terisi oleh bibit rumput laut. Perlakuan ini dilakukan untuk budidaya rumput laut Gambar 1. KRL metode rawai d e n g a n m e t o d e d a s a r. U n t u k penanaman dengan metode dasar, posisi bibit dalam kantong berada di dasar kantong tanpa pengikatan. 2. Mengikatkan KRL secara melintang pada tali secara bersamaan di darat dan membentangkannya di dalam laut. Selanjutnya memasukan bibit rumput laut ke dalam kantong dengan perahu secara terpisah. Perlakuan ini dilakukan Gambar 2. KRL metode dasar untuk budidaya rumput laut dengan metode rawai (longline). Untuk penanaman dengan metode rawai (longline), posisi bibit dalam kantong berada pada badan kantong tanpa pengikatan. 3. Mengikatkan KRL secara membujur pada tali secara bersamaan di darat dan menjulurkannya ke dalam laut. Selanjutnya memasukan bibit rumput Gambar 3. KRL metode vertikal
202
laut ke dalam kantong dengan perahu secara terpisah. Perlakuan ini dilakukan untuk budidaya rumput laut dengan metode vertikal. Untuk penanaman dengan metode vertikal, posisi bibit dalam kantong berada pada dasar kantong tanpa pengikatan. KEUNGGULAN TEKNOLOGI Meningkatkan kualitas dan produktivitas rumput laut menjadi 3 (tiga) kali lipat : Terhindar dari predator pemangsa rumput laut dan pemutusan tunas oleh faktor oseanografi ektrim, seperti gelombang, arus dan ombakInovasi yang sederhana, sehingga mudah diaplikasikan di lapangan oleh pembudidaya rumput laut Meningkatkan pengontrolan stok rumput laut sehingga kasus vandalisme dapat diminimalkan Keberhasillan teknologi Teknologi Kantong Rumput Laut (KRL) berkarbon yang diterapkan dalam satu hektar membutuhkan 1.000 KRL dengan masing-masing KRL diisi 100 gram bibit. Setalah 40 hari masa pemeliharaan, dihasilkan rumput laut sebanyak 3 kg per KRL. Total produksi untuk satu hektar adalah 3.000 kg (3 ton), jauh lebih tinggi dibandingkan dengan produksi tanpa KRL yakni 1,5 ton/ha. Peningkatan produktivitas rumput laut ini disebabkan oleh beberapa faktor sebagai berikut: Penggunaan KRL mampu mempertahankan pemutusan tunas sehingga penyusutan karagenan tidak terjadi. Penggunaan KRL mempu memperbaiki performa rumput laut sehingga penampakan rumput laut terlihat bersih dan terbebas dari penempelan gulma dan sampah. Penggunaan KRL mampu meminimalkan pemangsaan bibit rumput laut sehingga pertumbuhan kerdil rumput laut dapat dihindari. Mudah diterapkan dalam sistem usaha kelautan dan perikanan Penggunaan KRL mudah diterapkan dan mudah dalam pemeliharaan oleh para pembudidaya rumput laut. Sistem usaha pembuatan KRL mampu menyerap tenaga kerja dengan melibatkan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dengan mendayagunakan bahan baku lokal yang dapat di peroleh wilayah NKRI. Penggunaan bahan baku karbon yang merupakan kebaharuan pada KRL mampu menghambat pertumbuhan gulma. Pembuatan karbon aktif yang dibuat dengan cara melakukan karbonisasi (pirolisis) dari bahan biomassa di dalam furnace dengan suhu 600oC selam 3 jam. Kemudian karbon yang terbentuk diaktifkan dengan cara direndam dalam larutan aktivator NaOH. Semua ini dilakukan secara industri yang membutuhkan kapasitas biomassa seperti tempurung kelapa, tongkol jagung, sekam padi maupun kulit singkong dengan kelimpahannnya yang besar di wilayah NKRI ini. Semua biomassa ini dibuat karbon aktif dengan mengacu Standar Industri Indonesia (SII No. 0258-88).
203
Ramah lingkungan Penggunaan KRL tidak menimbulkan polusi udara, air maupun tanah dan penggunaan KRL dapat mewadahi organisme lain. Untuk mendukung ekonomi biru (blue economy) dimana salah satu paramaternya adalah zero waste, maka penggunaan KRL menjadi sarana alternatif untuk mewadahi organisme pengganggu rumput laut seperti ulva sebagai pakan abalon yang mempunyai nilai ekonomi tinggi. LOKASI PENELITIAN, PENGKAJIAN, DAERAH REKOMENDASI Nusa penida, Bali Kantong rumput laut (KRL) yang diterapkan di Nusa Penida, Bali menggunakan jenis KRL yang mempunyai spesifikasi perlindungan terhadap dasar perairan. Hal ini dikarenakan petani rumput laut di Nusa Penida melaksanakan budidaya rumput laut menggunakan metoda dasar. Takalar, Sulawesi Selatan Kantong rumput laut (KRL) yang diterapkan di Takalar, Sulawesi Selatan menggunakan jenis KRL yang mempunyai spesifikasi di permukaan air. Hal ini dikarenakan petani rumput laut di Takalar melaksanakan budidaya rumput laut menggunakan metoda rawai permukaan air. Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara Kantong rumput laut (KRL) yang diterapkan di Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara menggunakan jenis KRL yang mempunyai spesifikasi di permukaan air. Hal ini dikarenakan petani rumput laut di Konawe Selatan melaksanakan budidaya rumput laut menggunakan metoda rawai permukaan air. Wakatobi, Sulawesi Tenggara Kantong rumput laut (KRL) yang diterapkan di Wakatobi, Sulawesi Tenggara menggunakan jenis KRL yang mempunyai spesifikasi di permukaan air. Hal ini dikarenakan petani rumput laut di Wakatobi melaksanakan budidaya rumput laut menggunakan metoda rawai permukaan air. No 1 2 3 4
Uraian Model Warna Berat Dimensi
5
Bahan
6 7 8 9 10
Mata jaring Bentuk Penyetelan Pelapis Penutup
Spesifikasi KRL-02 Hitam 200 gram Diameter : 20 cm, Tinggi : 30 cm Kantong utama : Polietilen Dasar kantong : karbon Kerangka : karet 3 milimeter Silinder Dasar perairan Serat fiber Talis ris lingkar
204
TINGKAT KOMPONEN DALAM NEGERI Persentase kandungan material kantong rumput laut (KRL) adalah 100% diproduksi di dalam negeri dengan melibatkan kegiatan usaha kecil dan menengah (UKM). KELAYAKAN FINANSIAL Budidaya KRL Rumput laut Siklus budidaya : Bobot basah : Bobot kering : Harga rata-rata rumput laut (Rp.)
5 siklus 3000 kg 700 kg 12.000
Pendapatan Penjualan rumput laut kering (5 siklus)
Nilai (Rp) 42.000.000
Pengeluaran (1000 bibit) Investasi 1000 KRL Investasi Tali Investasi Pelampung Investasi bibit (5 siklus) Gaji (1 org pegawai)/siklus Perawatan KRL Depresiasi (2 tahun)
15.000.000 2.500.000 1.200.000 1.500.000 1.700.000 450.000 2.500.000 24.850.000 17.150.000 1.715.000 15.435.000
Laba kotor Pajak Laba bersih
205
BP2BAP Budidaya Rumput Laut Gracilaria verucossa Menggunakan Bibit Hasil Kultur Jaringan Unit Eselon I Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan Satuan Kerja Balai Penelitian Dan Pengembangan Budidaya Air Payau Alamat Jl. Makmur Dg Sitakka No 129 Maros Kategori Teknologi Perikanan Budidaya Sifat Teknologi Inovasi Masa Pembuatan 2009-2011 Tim Penemu Emma Suryati Sri Rejeki H.M Andi Parenrengi
Kontak Person Emma Suryati 08124232358
[email protected]
206
DESKRIPSI TEKNOLOGI Tujuan dan Manfaat Penerapan Teknologi Tujuan dari budidaya rumput laut Gracilaria verucossa menggunakan bibit hasil kultur jaringan adalah dalam rangka perbanyakan bibit rumput laut yang unggul, tahan terhadap penyakit serta tidak tergantung pada musim. Manfaatnya antara lain dapat membantu pembudidaya untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas rumput laut yang dibudidayakan serta meningkatkan pendapatan petani/nelayan. PENGERTIAN/ISTILAH/DEFINISI Aklimatisasi merupakan suatu tahapan penyesuaian kondisi lingkungan, biasanya dari kondisi lingkungan laboratorium disesuaikan dengan kondisi lapangan. RINCIAN DAN APLIKASI TEKNIS Persyaratan teknis Pada budidaya rumput laut Gracilaria verucossa menggunakan bibit hasil kultur jaringan, diperlukan persyaratan teknis antara lain: Pemilihan dan persiapan Lokasi, penyediaan dan seleksi eksplan rumput laut hasil kultur jaringan, pengangkutan eksplan rumput laut hasil kultur jaringan, penyediaan hapa untuk pemeliharaan anakan rumput laut, Pengikatan anakan rumput laut dengan metode long line, pemeliharaan serta pemantauan kualitas perairan, perawatan bibit, serta perbanyakan bibit unggul Uraian Kegiatan a. Gambaran umum Penyediaan bibit yang baik merupakan salah satu kegiatan yang sangat menentukan keberhasilan usaha budidaya rumput laut. Kegiatan tersebut meliputi seleksi, penampungan serta pemotongan thalus yang nantinya akan dijadikan bibit. Pada umumnya bibit dapat diperoleh dari alam, budidaya atau melalui perbenihan baik vegetatif maupun secara generatif. Perbanyakan secara generatif pada rumput laut biasanya melalui kultur spora, sedangkan perbanyakan melalui vegetatif dapat dilakukan dengan menanam potongan tallusnya atau stek batang, dan yang paling terakhir yaitu dengan cara kultur jaringan. Perbanyakan rumput laut secara generatif tidak selalu menghasilkan tanaman yang berbeda dengan induknya, namun kadangkala menghasilkan tanaman yang lebih baik atau lebih buruk dari
207
tanaman induknya. Kita tidak dapat menduga hasil yang dapat diperoleh dari perbanyakan macam ini, dan kelemahan yang menonjol dari cara ini adalah masa produksinya lebih lama dibandingkan dengan perbanyakan secara vegetatif. Penerapan bioteknologi dalam propagasi benih merupakan alternatif lain dalam penyediaan benih yang memiliki kualitas yang lebih baik melalui peningkatan potensi genetiknya. Pada lokasi yang memiliki sumberdaya benih alam yang baik, budidaya dapat dilakukan menggunakan bibit tersebut, akan tetapi pada lokasi yang sulit untuk mendapatkan benih alam maka dapat menggunakan bibit hasil budidaya, namun pada kenyataannya bibit yang digunakan secara berulang dapat mengakibatkan penurunan kualitas antara lain menjadi kerdil, penurunan rendamen serta mudah terserang oleh penyakit, sehingga dapat dicari alternatif lain yaitu penyediaan bibit melalui kultur jaringan menggunakan eksplan yang berasal dari induk yang unggul misalnya hasil seleksi varietas yang diperbanyak secara aseptis, diharapkan dapat menghasilkan bibit yang memiliki keunggulan antara lain pertumbuhannya, kandungan agar, serta tahan terhadap serangan penyakit. Teknik budidaya rumput laut menggunakan bibit hasil kultur jaringan merupakan salah satu upaya penyediaan bibit yang berkualitas untuk meningkatkan produksi rumput laut secara keseluruhan. b. Cara penerapan teknologi Aklimatisasi bibit rumput laut hasil kultur jaringan Aklimatisasi rumput laut hasil kultur jaringan dapat dilakukan pada bak resirkulasi, KJA atau tambak yang sudah dipersiapkan untuk aklimatisasi selama kurang lebih 8 minggu. Aklimatisasi pada bak resirkulasi, bertujuan agar eksplan dapat beradaptasi dengan kondisi lingkungan in vivo. Rumput laut hasil kultur jaringan dimasukkan ke dalam kantong plastik yang berisi air laut dengan salinitas 25 ppt, kemudian diadaptasi pada bak resirkulasi. Bak resirkulasi yang digunakan berupa akuarium berukuran 50x100x50 cm. Adaptasi dilakukan kurang lebih 1 jam hingga suhu air di dalam plastik dan akuarium sama. Eksplan selanjutnya dikeluarkan dari kantong dan diadaptasi selama 1-2 minggu. Pemantauan terhadap salinitas air laut pada bak resirkulasi dilakukan setiap hari, hal ini dilakukan untuk menghindari perubahan kondisi lingkungan yang tidak diinginkan m i s a l n y a peningkatan salinitas yang terlalu tinggi, atau kondisi nutria yang A B semakin menurun y a n g d a p a t Gambar 1. Proses aklimatisasi pada bak resirkulasi (A) dan eksplan dalam akuarium (B) mengakibatkan
208
kematian pada eksplan rumput laut yang dipelihara. Salinitas yang yang baik untuk pertumbuhan rumput laut Gracilaria verrucosa pada kisaran 25-30 ppt. Aklimatisasi rumput laut hasil kultur jaringan juga dapat dilakukan di KJA di laut setelah aklimatisasi pada bak resirkulasi. Eksplan rumput laut yang dihasilkan dari kultur jaringan dipelihara dalam kurungan kerucut berukuran 30 x 30 x 30 cm, empat persegi panjang dengan ukuran 50 x 50 x 50 cm atau silinder dengan diameter 25 cm dan tinggi 50 cm. Pada setiap kurungan diikatkan 20 eksplan rumput laut dengan bantuan 4 tali ris yang direntangkan pada dasar kurungan. Kurungan diletakkan pada kedalaman 50 cm dari permukaan air dengan penetrasi cahaya tidak kurang dari 75% (Amini et al. 1995). Aklimatisasi dilakukan kurang lebih 8 minggu pemeliharaan. Perbanyakan benih rumput laut di tambak Pemilihan lokasi tambak Kesuksesan budidaya Gracilaria verrucosa sangat tergantung dari pemilihan lokasi. Pemilihan lokasi harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut: Akses sumber air tawar dan air laut. Gracilaria verrucosa dapat tumbuh pada kisaran salinitas 20-30 ppt, dan optimum salinitas 25 pp. Lokasi tambak harus terlindung dari hempasan angin dan ombak. Elevasi dasar tambak di atas surut rata-rata sehingga memudahkan pergantian air. Kisaran pH air di tambak 7-9, optimum 8. Aksessibilitas terjangkau, sehingga memudahkan persiapan, pengangkutan, penanaman, dan pengawasan. Pengeringan tanah dasar Pengeringan dasar tambak dilakukan dengan mengeluarkan air sampai kering. Hal ini dilakukan agar tambak terbebas dari hama dan penyakit yang dikandung oleh air sisa kegiatan budi daya sebelumnya. Pembersihan dasar tambak Kegiatan ini dilakukan dengan pengangkatan lumpur dasar tambak yang membusuk, terutama dapat menurunkan derajat kemasaman tambak dan berpotensi menggangu pertumbuhan rumput laut. Selain dasar tambak, kondisi pintu air juga perlu diperhatikan sebagai saluran masuk dan keluarnya air tambak. Perbaikan pematang tambak Perbaikan pematang tambak meliputi penambalan pematang untuk menghindari kebocoran dan rembesan air, sehingga volume air dapat dipertahankan. Tinggi pematang ditentukan oleh tinggi rendahnya pasang surut. Pengapuran tanah dasar Pengapuran dilakukan untuk menormalkan pH tanah sehingga kondisi sesuai yang diperlukan
209
tanaman rumput laut Gracilaria verrucosa. Kapur ditebar secara merata ke permukaan tambak dan pematang. Dosis ditentukan oleh pH dan tekstur tanah dasar tambak. Penebaran benih rumput laut hasil kultur jaringan di tambak Kegiatan ini diawali dengan pemindahan benih rumput laut dari bak resirkulasi ke tambak. Benih dari bak resirkulasi dimasukkan ke dalam kantong plastik yang berisi air salinitas 25 ppt, kemudian pada pagi hari atau sore hari dibawa ke tambak yang sudah dipersiapkan sebelumnya. Perbanyakan menggunakan hapa Perbanyakan benih bibit rumput laut Gracilaria verucossa di tambak dilakukan dengan memelihara eksplan dalam hapa waring hijau berukuran 50x50x50 cm3. Hal ini dilakukan untuk menghindari rumput laut keluar dari waring dan melindungi eksplan dari hama. Setelah pemeliharaan 30 hari benih rumput laut dipindahkan ke dalam hapa waring hitam yang memiliki ukuran mata (mess size) lebih besar. Pemindahan ke waring hitam dilakukan agar sirkulasi air lebih baik, sehingga Gambar 2. Perbanyakan benih rumput laut kebutuhan nutriea dapat terpenuhi. Waring diikat pada di tambak menggunakan waring tiang pancang dan diberi besi pemberat supaya tidak mudah terangkat pada saat air pasang). Setiap 15 hari dilakukan monitoring terhadap kualitas air dan pertumbuhan rumput laut serta penggantian waring. Kepadatan yang optimum untuk pertumbuhan rumput laut adalah 500 eksplan dalam setiap waring. Perbanyakan dengan metode long line Perbanyakan dengan metode long line dilakukan untuk rumput laut yang berumur 60 hari. Hal ini bertujuan agar pertumbuhan rumput laut lebih baik. Supaya rumput laut tidak mudah terlepas dari ikatan, sebelum diikat dengan tali nilon terlebih dahulu diikat dengan tali rafia. Selanjutnya rumput laut diikat pada tali nilon dengan berat masing-masing ikatan (rumpun) sebesar 5 gram. Setiap bentangan tali nilon memiliki 30 rumpun dengan jarak masing-masing rumpun berkisar 15–20 cm.
A
B
C
Gambar 3. Pengikatan bibit rumput laut pada tali simpul (A), pemeliharaan bibit rumput laut di dalam hapa waring hitam (B), budidaya rumput laut metode long line (C)
210
Hapa ukuran 4 x 5 m digunakan untuk menadah rumput laut yang lepas dari ikatan, tali nilon dibentangkan diatas hapa tersebut dan diberi pelampung, dengan jarak antara bentangan adalah 50 cm. Perawatan Untuk menghindari lumut yang menempel pada rumput laut, setiap hari bentangan digoyang secara perlahan-lahan dan dibersihkan setiap 15 hari. Selama perawatan dilakukan pengukuran pertumbuhan dan pengamatan kualitas air. Kepadatan setiap rumpun dijaga dengan membagi rumpun yang padat pada bentangan yang baru. Uji multi lokasi Uji multi lokasi perbanyakan bibit rumput laut hasil kultur jaringan telah dilakukan di beberapa daerah sentra budidaya antara lain di Kab. Bone, dan Pangkep (Sulawesi Selatan), serta di Kabupaten Brebes (Jawa Tengah).
7 6.3
6.1
6
5.5
5 4.3
4.2 3.8
4 3
Keterangan: KJ : bibit hasil kultur jaringan SK : bibit hasil seleksi klon Lokal: bibit dari lokal budidaya
2 1 0 KJ
SK Bone
Lokal
Pangkep
Total produk biologi yang Gambar 4. Laju pertumbuhan harian dari masing-masing lokasi budidaya rumput laut diperoleh dari budidaya menggunakan bibit hasil kultur jaringan diperoleh 1.200 kg selama pemeliharaan 5 siklus khususnya untuk perbanyakan bibit. Selanjutnya bibit yang diperoleh dapat digunakan untuk budidaya dengan metode long line atau lepas dasar sesuai dengan SOP yang sudah ditetapkan, dengan lama pemeliharaan 45 hari. WAKTU LOKASI PENELITIAN DAN DAERAH YANG DIREKOMENDASIKAN Lokasi penelitian budidaya rumput laut menggunakan bibit hasil kultur jaringan antara lain daerah Kab. Maros, dan Kab. Takalar, selanjutnya untuk uji multi lokasi dilakukan di Kab. Pangkep, dan Kab. Bone di Sulawesi Selatan dan daerah Brebes di Jawa tengah. Untuk pengembangan selanjutnya, direkomendasikan untuk penerapan teknologi di daerah Luwu, Madura, dan Kalimantan sehingga diperoleh pengembangan yang lebih baik KEMUNGKINAN DAMPAK NEGATIF Pada budidaya rumput laut Gracilaria verucossa menggunakan bibit hasil kultur jaringan kemungkinan memiliki dampak negatif antara lain ketergantungan pada ketersediaan bibit hasil kultur jaringan pada instansi penyedia, sehingga perlu adanya instansi atau lembaga yang khusus menyediakan bibit in vitro untuk diperbanyak dan dibudidayakan oleh masyarakat luas.
211
KELAYAKAN FINANSIAL DAN ANALISA USAHA
NO. I
Uraian
Jumlah
Harga Satuan (Rp.)
Jumlah (Rp.)
Biaya Investasi 1. Tali nilon Ø 4 mm (kg)
50
2. Tali pengikat rafia (rol)
35
30
15
450
1000
2.5
2.500.000
4. Patok bambu (batang)
20
15
300
5. Terpal plastik ukr. 4 x 5 m (lembar)
1
160
160
6. Timbangan (buah)
1
180
180
3. Pelampung (biji)
TOTAL II
5.340.000
Biaya Operasional/Tahun
0
A. Biaya Tetap
1.735.500
1. Biaya perawatan 5%
0,05
5.340.000
267
667.5
667.5
0,15
5.340.000
801
1. Bibit rumput laut basah (kg)
300
3
900
2. Tenaga kerja (OK)
300
2
600
3. Pupuk urea (sak)
1
100
100
4. Pupuk TSP (sak)
1
110
110
5. Saponin (kg)
20
8
160
3.605.500
180.275
2. Penyusutan/tahun
1
3. Bunga modal 15% B. Biaya Tidak Tetap
1.870.000
6. Biaya lain-lain 5% x (IIA+IIB)
0,05
TOTAL (IIA+IIB) III
1.750.000
3.605.500
Penerimaan/Tahun Rumput laut (kg) 8 siklus (7 kg/bentangan)
2.1
TOTAL
7
14.700.000 14.700.000
IV Analisis Biaya Manfaat 1. Penerimaan kotor (III-II)
11.094.500
2. Pajak 10%
1.109.450
3. Perputaran uang sebelum pajak (IV1+IIA2)
11.762.000
4. Laba operasional (III-IIB)
12.830.000
5. Pendapatan bersih (IV3-IV2)
10.652.550
6. Jangka waktu pengembalian (I+IIB/III) (tahun)
0,49
7. Imbangan penerimaan biaya (R/C ratio) (III/II)
4,08
8. Cash flow (IV5+IIA2)
11.320.050
9. Rentabilitas ekonomi [(IV1/(I + IIB)] x 100%
1,54
10. BEP = IIA/(1-(IIB/III)
1.988.453
212
TINGKAT KOMPONEN DALAM NEGERI Material yang digunakan dalam teknologi ini merupakan bahan-bahan yang semuanya dapat diperoleh di dalam negeri FOTO DAN SPESIFIKASI
Gambar 5. Aklimatisasi (A) dan Perbanyakan (B) rumput laut hasil kultur jaringan
A
C
Gambar 6. Perbanyakan menggunakan metode long line (A) dan penimbangan setelah pemeliharaan 30 hari (B) panen bibit untuk perbanyakan (C)
B
213
BPPI Budidaya Ikan Nila Srikandi di Tambak
Unit Eselon I Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan Satuan Kerja Balai Penelitian Pemuliaan Ikan Alamat Jalan Raya 2, Sukamandi-Pantura, Patokbeusi Subang, Jawa Barat 41263. Telp (0260) 520500, Fax (0260) 520662, 520663 Kategori Teknologi Perikanan Budidaya Sifat Teknologi Inovasi Masa Pembuatan 2007-2011 Tim Penemu Dr. Imron, S.Pi. M.Si. Dr. Rr. Sri Pudji Sinarni D., S.Pi. M.Si. Priadi Setyawan, S.Pi., M.Si. Adam Robisalmi, S.Pi. Nunuk Listiyowati, S.Pi. Bisri Mustofa, A.Md. Pudji Suwargono Didi Oman Iskandar Astri Suryani
Kontak Person Priadi Setyawan, S.Pi., M.Si. 08121578861
[email protected]
214
DESKRIPSI TEKNOLOGI Tujuan dan Manfaat Penerapan Teknologi Kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan produksi ikan nila nasional dengan pengembangan usaha produktif melalui optimalisasi lahan sub-optimal di kawasan pesisir. lahan yang digunakan berupa tambak-tambak idle bekas budidaya udang serta lahan di sepanjang pesisir pantai. Optimalisasi pemanfaatan lahan dilakukan dengan memanfaatkan produk unggul berupa ikan nila toleran salinitas tinggi (nila Srikandi, KEP.09/MEN/2012) yang dapat dibudidayakan pada lahan payau. Kegiatan ini bermanfaat dalam pengembangan kawasan pesisir khususnya di lahan marginal sehingga dapat membuka lapangan pekerjaan baru, mengurangi angka pengangguran serta meningkatkan pendapatan masyarakat di sepanjang pesisir pantai. Hasil pengujian menunjukkan ikan nila hasil budidaya di lahan payau lebih disukai oleh masyarakat karena cita rasa yang lebih enak dibandingkan ikan nila yang dibudidayakan di air tawar. Penerapan teknologi secara luas akan merangsang peningkatan konsumsi ikan serta menyumbang peningkatan produksi ikan nila nasional. PENGERTIAN/ISTILAH/DEFINISI Ikan nila Srikandi merupakan strain ikan nila unggul toleran salinitas tinggi hingga ±30 ppt yang diproduksi oleh Balai Penelitian Pemulian Ikan, Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan Budidaya, Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan. Ikan nila Srikandi dirakit dengan tujuan untuk mendapatkan strain ikan nila yang mampu tumbuh cepat di perairan payau sehingga dapat dibudidayakan pada kawasan pesisir. Ikan nila Srikandi merupakan hasil perkawinan silang antara ikan nila hitam (Oreochromis niloticus) betina dengan ikan nila biru (Oreochromis aureus) jantan. Ikan nila hitam yang digunakan merupakan strain ikan nila unggul hasil seleksi yang mempunyai keunggulan dapat tumbuh cepat pada perairan tawar. Ikan nila biru (Oreochromis aureus) merupakan ikan yang berasal dari Afrika Utara danTimur Tengah. Ikan nila biru mempunyai keunggulan berupa daya toleransi yang tinggi di perairan payau. Perkawinan silang antara kedua spesies ikan tersebut menghasilkan ikan nila Srikandi yang mempunyai karakter tumbuh cepat di perairan payau (salinitas 10-30 ppt). Performa ikan nila Srikandi lebih unggul dibandingkan strain ikan nila lainnya pada saat pengujian multilokasi di beberapa lokasi tambak dengan salinitas 10-30 ppt. Hasil pengujian ikan nila Srikandi pada beberapa tambak di pantai utara (Karawang, Pekalongan,
215
Tegal, Indramayu, Subang dan Brebes) serta pantai selatan di Yogyakarta menunjukkan ikan nila Srikandi mempunyai performa yang baik pada pembesaran di tambak. Ikan nila Srikandi memiliki nilai heterosis 13,44 pada karakter bobot dan 20,33 pada karakter sintasan. Hasil pengujian menunjukkan ikan nila Srikandi memiliki karakter pertumbuhan dan sintasan yang lebih baik dibandingkan persilangan murni ikan nila hitam dan ikan nila biru. RINCIAN DAN APLIKASI TEKNIS Aplikasi teknis Kegiatan pembesaran ikan nila Srikandi di tambak meliputi tahap persiapan, penebaran, pembesaran dan pemanenan. Ikan nila Srikandi dapat dibesarkan pada tambak secara semi intensif dengan padat tebar 3-5 ekor/m2 dengan pemberian pakan tambahan. Pembesaran secara polikultur dengan udang dapat dilakukan dengan padat tebar rendah 1-2 ekor/m2. Alat dan bahan Peralatan yang digunakan meliputi : a. Peralatan pengukur kualitas air yang terdiri atas: termometer, hand-refraktometer, pHmeter, DO-meter, test kit amoniak serta peralatan pengukuran lainnya b. Peralatan lapangan yang terdiri atas: pompa air, cangkul, timbangan, jaring, blong pakan, ember, alat panen serta peralatan lain yang dibutuhkan Bahan yang digunakan meliputi: a. Pakan pembesaran dengan komposisi lengkap dengan kandungan protein > 25 % b. Kapur tohor (CaO) dengan dosis 100 Kg/Ha- 300 Kg/Ha atau kapur pertanian (CaCO3) dengan dosis 500 Kg/Ha– 1.000 Kg/Ha c. Pupuk sumber nitrogen dan sumber posfat berupa pupuk organik dan pupuk anorganik d. Obat dan vitamin ikan, bahan kimia dan biologi yang terdaftar dan aman digunakan Persiapan tambak: Proses persiapan tambak menjadi salah satu kunci keberhasilan pembesaran ikan nila Srikandi di tambak. Persiapan tambak yang baik akan menekan kematian benih pasca penebaran. Persiapan tambak pembesaran meliputi : a. Pengeringan tambak dan pengangkatan lumpur b. Penjemuran dasar tambak hingga kering selama 3-7 hari hingga retak-retak c. Pengapuran tanah apabila pH tanah kurang dari 6 d. Perbaikan pematang, saluran air serta pemasangan saringan dengan mesh-size 1 mm dan 2,5 mm pada pintu pemasukan dan pengeluaran air e. Pemasukan air secara bertahap dengan ketinggian awal + 10 cm f. Pemberantasan hama dengan menggunakan saponin sebanyak 10 – 20 mg/l dan dibiarkan selama 3 – 4 hari g. Penumbuhan pakan alami dengan pupuk organik atau anorganik sebagai sumber nitrogen dan phosphat dengan perbandingan 4 : 1 dan dibiarkan selama 4-6 hari h. Pengisian air hingga ketinggian minimal 80 cm dan dibiarkan 3 – 5 hari.
216
Penebaran benih Benih yang digunakan berukuran minimal 3-5 cm dengan kualitas yang baik. Benih yang digunakan harus sudah diaklimatisasi atau dilakukan proses penyesuaian salinitas agar sesuai dengan salitas tambak pembesaran. Benih ikan nila Srikandi diproduksi di kolam air tawar sehingga harus ada proses aklimatisasi dengan menempatkan benih dalam kolam khusus bersalinitas 10 ppt. Selanjutnya salinitas kolam ditingkatkan sebanyak 5 ppt per hari hingga salinitas kolam penampungan sesuai dengan salinitas tambak. Setelah salinitas sama dengan salinitas tambak maka benih dibiarkan selama 24 jam tanpa diberi pakan agar siap dilakukan pengemasan. Penebaran benih dilakukan secara hati-hati pada pagi atau sore hari untuk menghindari stress sehingga kematian benih pasca peneberan dapat ditekan. Penebaran dilakukan dengan menempatkan benih beserta kantong packing selama 10 – 20 menit agar suhu air dalam kantong dan suhu air tambak relatif sama. Selanjutnya kantong dibuka perlahan dan dimiringkan sehingga benih dapat berenang keluar kantong. Penebaran benih harus memperhatikan padat tebar yang digunakan. Pembesaran ikan Pembesaran ikan dilakukan selama 3 – 4 bulan sesuai dengan ukuran ikan yang diinginkan. Pembesaran selama 3 bulan dengan pemberian pakan yang cukup akan menghasilkan rerata bobot ±200 g. Pemberian pakan dilakukan pada pagi dan siang hari menjelang sore sebanyak 2 – 3 % biomassa per hari. Pakan yang diberikan mengandung protein > 25 % dengan ukuran sesuai dengan bukaan mulut ikan. Jumlah pakan harian dihitung dengan memperkirakan rerata bobot ikan dikalikan dengan perkiraan jumlah ikan serta prosentasi pakan yang digunakan. Pemberian pakan harian dapat ditambah atau dikurangi dengan melihat kondisi ikan, nafsu makan serta kondisi lingkungan. Pada saat cuaca mendung atau hujan biasanya nafsu makan ikan sangat rendah sehingga pemberian pakan sebanyak 2 % biomassa akan banyak tersisa. Selama pemeliharaan dilakukan pemantuan kesehatan ikan serta kualitas air pemeliharaan. Monitoring kualitas air dilakukan secara periodik agar sesuai dengan persyaratan sebagai berikut : No 1 2 3 4 5 6
Parameter Suhu Kandungan oksigen terlarut pH Nitrit Amoniak Salinitas maksimal
Satuan 0
C mg/l mg/l mg/l g/l
Nilai 26 – 32 >3 6,5-9 < 0,5 < 0,1 30
Monitoring kesehatan ikan dan lingkungan dilakukan secara periodik. Hal ini untuk mengantisipasi adanya perubahan yang mendadak yang dapat mengakibatkan kematian ikan. Adanya fluktuasi salinitas secara mendadak lebih dari 10 ppt akan mengakibatkan kematian ikan. Apabila salinitas
217
mulai berubah harus segera dilakukan penanganan dengan memasukkan air baru sehingga salinitas tetap terjaga. Pada umumnya salinitas tambak akan menurun secara drastis apabila curah hujan tinggi selama beberapa hari. Hal ini harus diantisipasi dengan melakukan pemasukan air payau secara rutin. Monitoring kesehatan ikan dan lingkungan sesuai tabel berikut : No
1
2 3 4 5
Parameter Kualitas air - pH - Salinitas - DO Pertumbuhan Pakan Alami (melihat kepadatan klekap dan kecerahan) Respon pakan Pertumbuhan ikan Kesehatan ikan secara visual
Frekuensi (minimal) Setiap minggu Sesuai kebutuhan *) Sesuai kebutuhan *) Setiap hari Setiap pemberian pakan Setiap dua minggu Setiap hari
*) apabila terjadi perubahan cuaca secara mendadak.
Data hasil monitoring dianalisis untuk digunakan sebagai dasar dalam pengelolaan kualitas air, kesehatan, dan pemberian pakan serta untuk perencanaan dalam pemeliharaan selanjutnya. Seluruh data hasil monitoring dicatat atau direkam sehingga terdapat dokumentasi yang lengkap dan dapat ditelusuri. Pemanenan Pemanenan ikan dilakukan dengan menurunkan ketinggian air sehingga ikan berkumpul di daerah paling dalam atau di dalam caren. Selanjutnya dilakukan penangkapan ikan menggunakan jaring. Panen dapat dilakukan secara total atau bertahap dengan menyeleksi ikan yang ukurannya sudah sesuai. Pemeliharaan selama 3-4 bulan sesuai petunjuk di atas akan menghasilkan rerata bobot antara 200-250 gram/ekor dengan sintasan > 80 %. KEUNGGULAN TEKNOLOGI Ikan nila Srikandi dapat dimanfaatkan sebagai komoditas unggulan pada pembesaran di kawasan pesisir dengan salinitas sedang hingga tinggi. Pada pembesaran di tambak, ikan nila Srikandi tumbuh lebih baik dibandingkan ikan nila air tawar pada umumnya. Ketahanan hidup pada kondisi salinitas sedang hingga tinggi kemungkinan diperoleh dari persilangan ikan nila Biru (Oreochromis aureus) yang didatangkan dari Israel dan dikenal mempunyai toleransi salinitas yang baik. Sedangkan performa pertumbuhannya diwarisi dari ikan nila hitam unggul hasil program seleksi famili. Ikan nila Srikandi mempunyai karakter hibrid vigour dengan performa yang lebih baik dari rerata tetuanya pada karakter pertumbuhan dan sintasan. Penggunaan ikan nila Srikandi pada kawasan pesisir akan meningkatkan produktivitas lahan dengan meningkatnya hasil panen dibandingkan strain lainnya. Ikan nila Srikandi yang dibesarkan pada tambak di Pantai Utara Jawa menunjukkan performa yang baik dan dapat mencapai ukuran 250 gram dalam waktu 4 bulan pemeliharaan. Pada akhir
218
pemeliharaan diperoleh rerata sintasan > 80 % dan biomassa panen sebesar 5-8 ton/Ha tergantung sistem pemeliharaan yang digunakan. Produksi ikan nila Srikandi tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan ikan nila lokal pada umumnya yang menghasilkan panen kurang dari 3 ton/Ha. Rendahnya hasil panen nila lokal terjadi apabila salinitas tambak meningkat diatas 15 ppt yang mengakibatkan sebagian besar ikan mengalami kematian. Pemeliharaan secara ekstensif yang biasa dilakukan oleh masyarakat pembudidaya di kawasan pesisir Pantai Utara Jawa bersifat ramah lingkungan. Hal ini karena padat tebar yang digunakan sangat rendah berkisar 2-5 ekor/m dan pakan buatan yang diberikan sangat sedikit sehingga beban limbah yang dibuang ke lingkungan sangat sedikit. Pembesaran ikan nila Srikandi di tambak memberikan keunggulan dibandingkan pada pembesaran di kolam air tawar. Beberapa keunggulan ikan nila Srikandi hasil pembesaran di tambak adalah : 1. Toleran salinitas tinggi hingga 30 ppt Benih ikan nila Srikandi yang sudah diaklimatisasi sesuai salinitas tambak dapat hidup dengan baik pada salinitas tinggi hingga 30 ppt dengan nilai sintasan > 80 %. Hal ini berbeda dengan ikan nila pada umumnya yang mengalami tingkat kematian tinggi hingga > 50 % pada salinitas diatas 15 ppt. 2. Pertumbuhan cepat, dapat mencapai ukuran 200 gram dalam waktu 3 bulan. Ikan nila pada umumnya dapat mencapai ukuran 200 gram dalam waktu 3 bulan pada pemeliharaan di kolam air tawar. Namun pada pemeliharaan di tambak bersalinitas tinggi akan mengalami hambatan pertumbuhan akibat stress pada kondisi hipersalinitas. Akibatnya sebagian energi yang seharusnya digunakan untuk pertumbuhan dialokasikan untuk proses osmoregulasi serta metabolisme dalam rangka menanggapi tekanan lingkunan berupa kondisi hiperosmotik. Ikan nila Srikandi mampu menghadapi tekanan salinitas tinggi sehingga pertumbuhan ikan tidak banyak terganggu. 3. Kandungan protein tinggi Hasil pengujian kualitas daging menunjukkan kandungan protein yang lebih tinggi pada pemeliharaan di tambak bersalinitas tinggi sehingga baik dikonsumsi sebagai bahan pangan sumber protein hewani. 4. Kandungan asam lemak omega 3 dan 6 tinggi Hasil analisa kualitas daging menunjukkan kandungan asam lemak omega 3 dan 6 yang tinggi pada pemeliharaan di tambak. Hal ini tidak terlepas dari banyaknya sumber pakan alami yang mengandung omega 3 dan 6 pada lingkungan pemeliharaannya. Kandungan asam lemak omega 3 dapat mencapai > 105 mg/100g daging, sedangkan kandungan asam lemak omega 6 mencapai > 230 mg/100g daging. Sementara pada ikan nila yang dibesarkan pada kolam air tawar mempunyai kandungan omega 3 dan 6 yang lebih rendah. Konsumsi bahan pangan yang mengandung asam lemak omega 3 dan 6 baik bagi kecerdasan, fungsi otak dan kesehatan.
219
5. Cita rasa daging lebih enak Ikan nila Srikandi yang dibesarkan di tambak lebih disukai karena mempunyai cita rasa daging yang enak, gurih serta mempunyai tekstur daging yang kenyal. Hal ini menyebabkan hasil tambak ikan nila Srikandi lebih banyak dicari konsumen dibandingkan ikan nila hasil pembesaran di kolam air tawar. 6. Dapat dibesarkan secara polikultur dengan udang Ikan nila Srikandi dapat dibesarkan dengan teknik polikultur dengan udang. Hasil ujicoba pada tambak di Serang, Banten menunjukkan ikan nila dan udang vanamei menghasilkan peningkatan hasil panen yang signifikan. Adanya ikan nila di tambak udang mampu menjaga kestabilan tambak pemeliharaan yang cocok untuk udang vanamei sehingga produksi udang meningkat. WAKTU LOKASI PENELITIAN DAN DAERAH YANG DIREKOMENDASIKAN Wilayah pengembangan yang cocok untuk ikan nila Srikandi adalah kawasan pesisir pantai dengan salinitas antara 10-30 ppt dengan pH 6,5-8,5. Kondisi ini banyak dijumpai di sepanjang Pantai Utara dan Selatan Jawa. Ikan nila Srikandi juga dapat dikembangkan di wilayah lainnya dengan karakteristik daerah pesisir yang relatif sama dengan salinitas antara 10-30 ppt. Ikan nila Srikandi telah berhasil dikembangan dan diterapkan di beberapa daerah dari tahun 2011 terutama di Kabupaten Brebes, Karawang, Banten, Subang, Indramayu, Pekalongan, Tegal, dan Kulon Progo Yogyakarta. Dilihat dari potensi sumberdaya alam yang ada di Indonesia maka potensi pengembangan ikan nila Srikandi di Indonesia masih sangat besar. Indonesia memiliki garis pantai terpanjang keempat di dunia atau sepanjang kurang lebih 95.000 km dengan wilayah pesisir yang luas. KEMUNGKINAN DAMPAK NEGATIF Kemungkinan dampak negatif yang dapat ditimbulkan adalah permasalahan kualitas air yang menurun apabila penerapan teknologi dilakukan secara intensif di kawasan yang luas. Penurunan kualitas air akan berdampak pada menurunnya produksi ikan pada masa berikutnya. Untuk meminimalisir dampak negatif tersebut disarankan untuk melakukan pengembangan berbasis kawasan dengan membagi pengembangan ikan nila secara intensif, semi intensif dan ekstensif yang disesuaikan dengan daya dukung lingkungan setempat. Pada kenyataan di lapangan, lahan sub optimal kurang mendukung untuk budidaya secara intensif sehingga masyarakat pembudidaya lebih banyak menerapkan teknologi ekstensif dengan pemberian pakan minimal dan padat tebar rendah. Hal ini dapat menghilangkan dampak negatif yang kemungkinan dapat ditimbulkan pada budidaya sistem intensif. KELAYAKAN FINANSIAL DAN ANALISIS USAHA Penerapan teknologi budidaya ikan nila Srikandi layak secara ekonomis. Penerapan tenologi ini tidak memerlukan biaya besar namun dapat memberikan keuntungan yang optimal. Berdasarkan data yang ada apabila dilakukan secara ekstensif hanya memerlukan sedikit biaya untuk pakan buatan karena kondisi di tambak pada umumnya kaya pakan alami yang beragam jumlah dan
220
jenisnya. Ikan nila bersifat omnivora dan dapat memanfaatkan semua jenis makanan yang ada di perairan. Budidaya ikan nila secara ekstensif saat ini paling banyak diterapkan oleh pembudidaya di kawasan pesisir.
Parameter
Satuan
Luas lahan Jumlah tebar Jumlah akhir Rerata bobot Biomassa panen* Produktivitas* Harga jual (10.000/kg)
m ekor ekor gram Kg ton/Ha Juta
Padat tebar 2
3 (ekor/m )
2
2
5 (ekor/m )
10 30 24 200 4.8 4,8 48
10 50 40 200 8 8 80
* Kondisi tambak optimal dengan waktu pemeliharaan 3-4 bulan dan SR 80 %
Analisis usaha pembesaran ikan nila Srikandi: Analisa usaha pembesaran dihitung dalam waktu 4 bulan dengan menggunakan lahan tambak seluas 1 Ha. Pembesaran dilakukan dengan menerapkan prosedur pembesaran sehingga dapat menghasilkan ikan nila konsumsi berukuran 200 gram dalam waktu 4 bulan dengan sintasan 80 %. Pakan komersil yang digunakan mengandung protein >25 % dan dengan penumbuhan pakan alami di tambak yang cukup maka FCR pakan buatan dapat ditekan hingga < 1 . Modal Sarana Pembesaran : Komponen Sewa tambak (per Ha/4 bulan) Benih ikan Alat-alat perikanan (cangkul, seser, dll) Total
Jumlah 1 30 1
Satuan petak ekor set
Harga (Rp.) 2.000.000 3.000.000 500 5.500.000
Jumlah 3 1 1
Satuan kg orang paket
Harga (Rp.) 22.500.000 2.000.000 1.000.000 25.500.000
Biaya Operasional : Komponen Pakan buatan ( protein > 25%) Tenaga kerja Obat-obatan dan lain-lain Total
Penerimaan dan Pendapatan : Penerimaan hasil panen Hasil penjualan (80% x 30.000 x 0,2kg x Rp. 10.000) Total biaya produksi Pendapatan (hasil penjualan-biaya produksi)
221
Nilai (Rp.) 48.000.000 31.000.000 17.000.000
Keuntungan Rp. 17.000.000 tersebut diperoleh selama empat bulan proses pembesaran ikan nila Srikandi. Pada umumnya keuntungan yang diperoleh petambak lebih tinggi karena tambak yang digunakan adalah tambak sendiri sehingga tidak memerlukan biaya sewa. Pemberian pakan buatan yang biasa dilakukan petambak di Pantai Utara Jawa pada umumnya sangat sedikit meskipun dengan resiko hasil panen dengan sintasan yang lebih rendah serta ukuran panen yang tidak seragam. Berdasarkan perhitungan tersebut diperoleh nilai B/C ratio sebesar 1,54. B/C ratio yang merupakan perbandingan antara hasil penjualan dan total biaya yang diperlukan menggambarkan seberapa besar rasio keuntungannya. Hal ini berarti dengan menggunakan modal Rp 1 akan mendapatkan hasil Rp. 1.54. TINGKAT KOMPONEN DALAM NEGERI Persentasi kandungan material produksi dalam negeri yang digunakan dalam teknologi yang diusulkan sebesar >95 %.
Deskripsi
Spesifikasi Nama latin
: Oreochromis aureus x niloticus
Nama Indonesia
: Ikan nila
Keunggulan
: Cepat tumbuh pada salinitas 10-30 ppt
Karakter reproduksi
:
Karakter fisiologi
Produksi benih
:
1. Umur mencapai awal reproduksi (bulan)
4,5
2. Rasio benih jantan (%)
43 – 57 %
1. Pertumbuhan harian di tambak (g/hari)
1,30 – 2,45
2. Sintasan di tambak (%)
72,20 – 91,20
3. Daya tahan penyakit
sedang
4. FCR
0,72 – 1,34
: Sintasan benih pada pendederan (%)
90,71
Heterosis rerata tetua pada karakter : Genetik Toleransi Lingkungan
Kualitas daging
: 1. Bobot (%)
13,44
2. SR (%)
20,33
: Salinitas (ppt)
0 – 40
:
Protein (%)
21,47±1,39
Lemak (%)
1,79±0,50
Omega 3 (mg/100 g)
105,69±37,82
Omega 6 (mg/100 g)
233,76±57,74
222
rekomendasi teknologi
pascapanen
3 223
BBP4BKP Alginat Sebagai Bahan Pasta Pengental Pada Pencapan Tekstil Unit Eselon I Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan Satuan Kerja Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan Alamat Jl. Petamburan VI, KS. Tubun, Slipi Jakarta Kategori Teknologi Pengolahan Sifat Teknologi Inovasi: Modifikasi pada penggunaan natrium alginat sebagai pengental dan pengikat warna pada pencapan (printing) tekstil/batik Masa Pembuatan 2006-2008 Tim Penemu Ellya Sinurat Msi Prof.Dr.Rosmawaty Peranginangin Murdinah, Msi Dina Fransiska, MSi
Kontak Person Ellya Sinurat Msi
[email protected] Prof.Dr.Rosmawaty Peranginangin
[email protected]
224
DESKRIPSI TEKNOLOGI Teknologi ini menggunakan alginat sebagai bahan pasta pengental pada pencapan tekstil atau batik (textile printing). Penggunaan alginat sebagai bahan pengental sangat efisien karena dengan konsentrasi 1,5% sudah mencukupi untuk masuk ke dalam serat tekstil, selain itu juga hasil pencapan sangat memuaskan karena membuat warna dan gambar lebih tajam atau lebih cemerlang Hal ini terjadi karena struktur kimia alginat memungkinkan untuk mengikat zat pewarna, dan mudah melepaskannya pada bahan tekstil. Tujuan teknologi ini adalah untuk menggunakan alginat yang diekstrak dari rumput laut Sargassum spp. pada proses pencapan tekstil. Alginat yang digunakan untuk pencapan tekstil adalah yang mempunyai viskositas dengan kisaran 1000-2000 cPs. Manfaat teknologi ini adalah mengurangi biaya pencapan tekstil karena harga alginat lebih murah dibandingkan dengan bahan pengental komersial yang umum digunakan yaitu manutex, yang masih diimpor. RINCIAN DAN APLIKASI TEKNIS Persyaratan teknis agar alginat dapat digunakan sebagai pengental pada proses pencapan tekstil yaitu: a. Tersedianya alginat yang memenuhi standar seperti kadar air maksimum 15% dan viskositas 1000-2000 cPs b. Tersedianya peralatan proses batik printing: sendok, timbangan, ember, alat pengaduk, dan membran pencapan. Pembuatan pasta pengental diawali dengan menambahkan sebanyak 1,5% (dari jumlah air) tepung alginat sedikit demi sedikit ke dalam air dingin, sambil diaduk sehingga menjadi massa yang rata, dan dihomogenkan dengan mixer selama 30 menit. Setelah pengadukan biasanya suhu agak meningkat sehingga perlu dibiarkan dingin sebelum zat warna ditambahkan dan diaduk kembali menggunakan alat pengaduk hingga homogen dan pasta pengental siap digunakan dalam pencapan tekstil. Pelekatan pasta pengental pada tekstil dapat dilakukan dengan alat membran pencapan. Membran pencapan diletakkan di atas tekstil, kemudian pasta pencapan dimasukkan di membran
225
pencapan dan didorong dengan kayu pendorong berulang-ulang (minimal 3 kali). Setelah itu dilakukan pengeringan dengan menggunakan mesin pengering atau dianginanginkan, dan diuapi menggunakan mesin penguap pada suhu 1050-1100 o C selama 1 jam. Berikutnya dilakukan fiksasi menggunakan air panas dan pencucian dengan air yang mengandung sabun/deterjen dengan alkali (natrium karbonat).
Gambar 1. Proses pembuatan pasta pengental pada pencapan tekstil menggunakan alginat
Gambar 2. Proses pembuatan batik printing
KEUNGGULAN TEKNOLOGI : Keunggulan pasta pengental pencapan tekstil yang dibuat dari alginat adalah: Alginat merupakan bahan organik sehingga tidak mencemari lingkungan, Pengental dari alginat mempunyai sifat tidak bereaksi dengan zat warna sehingga tidak mengubah warna, Penetrasi zat warna ke dalam serat cepat dan mudah, Tidak berwarna sehingga tidak mengubah warna yang diinginkan, Mudah disiapkan dan larut dalam air dingin, dan mudah dilepaskan kembali dari tekstil dengan cara perendaman, Bila dibandingkan dengan manutex (bahan pengental yang umum digunakan), alginat mempunyai ketajaman motif lebih tinggi, Tahan terhadap panas dalam pengeringan dan fiksasi serta mempunyai homogenitas yang baik pada saat proses pencapan, sehingga menghasilkan pencapan yang baik, Mampu membawa zat warna sehingga memiliki ketajaman warna/motif yang tinggi. WAKTU DAN LOKASI REKOMENDASI Teknologi ini dirakit melalui penelitian di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan Jakarta yang dilakukan sejak tahun 2006, diikuti dengan pengkajian dan pengembangan teknologi hingga tahun 2008 yang dilakukan di salah satu pengrajin batik di Daerah Istimewa Yogyakarta. Teknologi ini dapat direkomendasikan di sentrasentra pembuatan tekstil dan batik seperti Pekalongan, Cirebon, atau Yogyakarta. KEMUNGKINAN DAMPAK NEGATIF Tidak ada dampak negatif yang mungkin timbul dari penggunaan alginat sebagai pasta pengental pada proses pencapan tekstil. Adapun limbah cair yang dihasilkan dari proses pencapan dengan alginat sama dengan limbah cair yang dihasilkan pada proses pencapan dengan manutex dalam
226
hal residu zat pewarna, namun dalam hal residu bahan pengental, alginat lebih aman karena merupakan bahan organik yang mudah terdegradasi. KELAYAKAN FINANSIAL Biaya produksi pada penggunaan pencapan batik adalah pembelian alginat dan bahan pewarna. Alginat yang digunakan pada proses ini menggantikan pemakaian manutex. Harga manutex berkisar Rp. 80.000,-/kg sedangkan perkiraan harga alginat dengan grade sesuai untuk pencapan tekstil adalah Rp. 50.000,-/kg. Pada pencapan batik, untuk mencapai viskositas yang dibutuhkan dalam proses pencapan (1300 cPs) dibutuhkan pemakaian manutex sebesar 4 % dari total larutan, sedangkan alginat membutuhkan konsentrasi 1,5% dari total larutan, sehingga biaya yang digunakan apabila menggunakan alginat menjadi lebih murah. Dengan menggunakan manutex, dalam 1 L pasta pencapan akan membutuhkan 40 g bahan pengental dengan harga Rp. 3.200, sedangkan bila menggunakan alginat hanya akan membutuhkan 15 g bahan pengental dengan harga Rp. 2.250. TINGKAT KOMPONEN DALAM NEGERI Bahan baku alginat yaitu rumput laut Sargassum banyak diperoleh di Indonesia, khususnya Banten, Kepulauan Riau (Batam), Kupang. Di Lampung bahkan sudah mulai dibudidayakan, sehingga ada jaminan ketersediaan bahan baku.
Gambar 3. Pengrajin sedang menggunakan pasta pencapan pada kain dengan membran pencapan
Gambar 4. Kain hasil pencapan menggunakan pasta pencapan yang mengandung alginat
227
BBP4BKP Pengolahan Pindang Ikan Air Tawar
Unit Eselon I Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan Satuan Kerja Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan Alamat Jl. Petamburan VI, KS. Tubun, Slipi Jakarta Kategori Teknologi Pengolahan Sifat Teknologi Inovasi: perbaikan teknologi pemindangan tradisional Masa Pembuatan 2012 Tim Penemu Dra. Theresia Dwi Suryaningrum MS Syamdidi MAppSc Ijah Muljanah MS Kontak Person Dra Theresia Dwi Suryaningrum, MS
[email protected] Syamdidi SPi, MAppSc
[email protected]
228
DESKRIPSI TEKNOLOGI Di Indonesia terdapat 65.000 usaha pengolahan pindang ikan laut yang tersebar di berbagai daerah. Industri pengolahan tersebut masih mengalami kekurangan bahan baku sebesar 81.404 ton/bulan, atau sebesar 51,5% dari total kebutuhan bahan baku ikan pindang. Kelangkaan pindang ikan laut sudah saatnya disubstitusi dengan pindang ikan air tawar. Selain itu, pengolahan ikan air Gambar 1. Pindang ikan mas dalam kemasan tawar menjadi produk pindang dapat menyerap hasil produksi budidaya ikan air tawar, yang selama ini masih dijual dalam keadaan segar. Pengolahan pindang ikan air tawar telah dilakukan di Jawa Barat, namun cara pengolahan masih dilakukan sangat sederhana sehingga tekstur ikan pindang sangat lembek dengan daya awet yang rendah, yaitu sekitar 1-2 hari. Hal ini disebabkan karena ikan air tawar hidup dalam lingkungan yang berkadar garam rendah, sehingga kadar air ikan air tawar cukup tinggi yaitu mencapai 75 -82 %. Untuk menurunkan kadar air serta memperbaiki tekstur, pada pengolahan pindang air tawar perlu dilakukan perendaman dalam garam kimia (tawas) atau asam cuka. Tawas ( AL2(SO3) 14H2O) adalah garam kimia yang dalam bahan pangan dianggap aman oleh Food and Drug Administration bila digunakan menurut prosedur yang disarankan. Selain itu, hasil penelitian penggunaan 4-10% tawas selama 30-150 menit pada ikan tongkol sebelum diasap menunjukkan residu tawas yang aman bagi kesehatan. Perendaman dalam garam kimia atau asam cuka selain untuk menurunkan kadar air dan memperbaiki tekstur, juga berfungsi sebagai pemucat serta mereduksi lender, khususnya untuk ikan yang tidak bersisik sepeti lele atau patin. Pengolahan pindang ikan air tawar dilakukan dengan menggunakan bumbu, sejenis bumbu pepes sehingga produk yang dihasilkan berbeda dengan produk pindang ikan laut. Penggunaan bumbu ini selain digunakan untuk menutupi adanya rasa lumpur yang sering terdapat pada ikan air tawar, juga dapat meningkatkan cita rasa serta kenampakan pindang ikan yang diolah, serta mencegah terjadinya kelengketan antar produk pada ikan yang tidak bersisik (lele atau patin). Pindang ikan air tawar dapat dijadikan sumber gizi protein bagi masyarakat karena mempunyai kandungan protein yang cukup tinggi.
229
Sebagai contoh, pindang ikan mas mengandung protein sebanyak 21,3%, lemak 10,7%, abu/mineral 4,1% dan kadar air 63,9%; sedangkan pindang ikan lele mempunyai kadar protein 20,8%, lemak 9,1% abu/mineral 3,7% dan kadar air 64,9%. Manfaat penerapan teknologi ini adalah meningkatkan nilai tambah ikan air tawar menjadi produk olahan ikan siap saji, sekaligus memanfaatkan hasil produksi ikan air tawar, yang saat ini budidayanya sedang digalakkan. PENGERTIAN a. Pindang ikan air tawar: Hasil olahan ikan air tawar yang dimasak dengan cara dikukus atau direbus dalam air garam atau dengan penambahan bumbu dengan bentuk dan kenampakan menyerupai ikan segar serta dapat langsung dimakan dengan rasa dan aroma sesuai dengan citarasa masyarakat Indonesia. b. Tawas : garam kimia (KAl(SO4)2·12H2O) yang banyak digunakan untuk menjernihkan air dan dalam industri pangan digunakan sebagai bahan untuk memperbaiki tekstur asinan atau acar buah-buahan. RINCIAN DAN APLIKASI TEKNIS Persyaratan teknis Pengolah harus mengetahui bahwa seperti halnya ikan laut, ikan air tawar merupakan produk yang mudah busuk sehingga dalam pengolahannya perlu penerapan rantai dingin dan penanganan yang cepat, saniter, dan higienis. Pengolah harus memiliki seperangkat alat untuk pemindangan berupa dandang perebus serta oven untuk mengurangi kadar air. Pindang ikan air tawar dapat diolah dari ikan mas (Cyprinus carpio), ikan nila (Oreochromis niloticus), ikan mujair (Oreochromis mosambicus), ikan tawes (Puntius javanicus) dan ikan nilem (Osteochilus hasselti), lele (Clarias grapiennes) dan Ikan patin (Pangasius hypopthalmus) yang biasanya diperoleh dalam keadaan hidup. Sebelum diolah ikan dimatikan dengan cara cold shock dengan menggunakan air pada suhu rendah (4oC) selama 15 menit. Ikan selanjutnya disiangi dengan membelah bagian perutnya dengan menggunakan pisau yang tajam kemudian dikeluarkan isi perutnya. Ikan kemudian dicuci sehingga darah dan kotoran lainnya hilang. Ikan yang sudah disiangi dan dicuci kemudian direndam
230
Ikan air tawar
Penyiangan
Pencucian Perendaman tawas 0,5% atau asam cuka 1% 30 menit Perendaman dengan pasta bumbu 30 menit Pengukusan selama 4 - 5 jam o
Pengovenan pada suhu 80-90 C 1 jam
Pengemasan Pindang ikan air tawar Gambar 1. Diagram alir proses pengolahan pindang ika air tawar
dalam larutan tawas 0, 5% atau asam cuka 1% selama 30 menit. Ikan kemudian direndam kembali dalam pasta bumbu yang terdiri dari bawang putih 1,2%, lengkuas 1%, kunyit 1 %, jahe 0,2%, daun salam 1 %, sereh 1 %, garam 5% dan gula 5% selama 30 menit. Pasta bumbu dibuat dengan cara menghancurkan bumbu dengan air 1 : 1 dengan menggunakan blender. Penambahan bumbu diharapkan dapat menutupi adanya bau lumpur yang sering timbul pada ikan air tawar. Ikan yang sudah dibumbui kemudian dialasi dengan daun bambu dan disusun satu persatu dalam dandang pengukus. Ikan kemudian dikukus selama 4 – 5 jam dengan menggunakan api sedang sehingga durinya menjadi lunak. Pindang ikan mas yang diperoleh kemudian didinginkan pada suhu kamar, selanjutnta dioven pada suhu 80 o -90 o C selama 1 jam untuk menurunkan kadar air serta aw pindang. Pemanasan kembali dalam oven tersebut dapat Gambar 1. Pindang ikan mas sebelum dioven Gambar 2. Ikan mas setelah direndam menurunkan kadar air pindang dari 72- 76% dalam bumbu menjadi sekitar 60o-62oC , seperti kadar air pindang ikan laut. Pindang akan lebih awet apabila dikemas dengan kemasan plastik polietilen dengan ukuran lebar 10 cm panjang 20 cm dengan ketebalan 0,8 mm. Agar kemasan menarik, ikan pindang diberi diberi alas karton putih dan kemasan diberi label sesuai dengan ketentuan pelabelan. Bila disimpan pada suhu dingin (2o-4oC) pindang yang sudah dikemas dengan kemasan plastik tersebut dapat bertahan hingga 25 hari. KEUNGGULAN TEKNOLOGI Pindang diolah dari ikan air tawar yang bahan bakunya tersedia sepanjang tahun tanpa dipengaruhi oleh musim Tekstur pindang ikan air tawar yang dihasilkan hampir sama dengan pindang ikan air laut, bahkan dari segi rasa memiliki keunggulan karena adanya penambahan bumbu. Teknologi pengolahan pindang ikan air tawar sederhana sehingga mudah diterapkan oleh masyarakat. Limbah yang dihasilkan dari pengolahan pindang berupa isi perut dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Sedangkan limbah air perebusan dapat diolah menjadi bumbu perisa. Pindang ikan air tawar diolah dari ikan hidup, yang tingkat kesegarannya masih prima, sehingga akan diperoleh produk pindang dengan kenampakan yang cemerlang dan rasa yang enak.
231
Pindang ikan air tawar yang dikemas mempunyai daya tarik visual yang tidak kalah menarik dengan pindang bandeng sehingga cocok untuk dikembangkan pada usaha skala kecil dan menengah. LOKASI REKOMENDASI Berdasarkan ketersediaan bahan baku ikan air tawar dan potensi pasar ikan pindang, maka wilayah yang paling cocok untuk pengembangan pengolahan pindang ikan air tawar adalah Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali dan DKI Jakarta. KEMUNGKINAN DAMPAK NEGATIF Tidak ada dampak negatif yang dihasilkan dari teknologi pengolahan pindang air tawar. K E L AYA K A N FINANSIAL Pengolahan pindang ikan air tawar cukup prospektif. Selain adanya jaminan ketersediaan bahan baku (karena diperoleh dari hasil budidaya), nilai jual pindang ikan air tawar cukup tinggi sehingga dapat m e m b e r i k a n keuntungan yang cukup tinggi pula (Tabel 1).
Jenis Bahan Ikan mas ukuran 5 ekor/kg Bumbu Gas Kemasan Tenaga kerja Total modal Penjualan
Jumlah satuan Harga (Rp)/satuan 40 kg 1 1 200 2
pkt pkt bh org
17.000
Total (Rp) 920.000
10.000 5.000 1.000 30.000
200 ekor
10.000 5.000 200.000 60.000 955.000 6.000 1.200.000
Keuntungan = Penjualan-Modal
245.000
Tabel 1. Analisis usaha pengolahan pindang ikan mas
TINGKAT KOMPONEN DALAM NEGERI Komponen atau peralatan yang digunakan dalam pengolahan pindang air tawar semuanya berasal dari dalam negeri. SPESIFIKASI Komposisi gizi pindang ikan mas adalah sebagai berikut: kadar protein 21,3%, kadar lemak 10, 7%, kadar abu/mineral 4,1% kadar air 63,9%.
232
BBP4BKP Cetyl-pyridinium Chloride (CPC) Sebagai Alternatif Pengganti Klorin untuk Antimikroba Pada Penanganan Udang di Unit Pengolah Ikan (UPI) Unit Eselon I Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan Satuan Kerja Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan Alamat Jl. Petamburan VI, KS. Tubun, Slipi Jakarta Kategori Teknologi Pengolahan Sifat Teknologi Inovasi: Kajian Penggunaan Bahan Alternatif CPC dan Penelitian Produksi Bakteriosin Skala Laboratorium Untuk Mencegah Kerusakan Pada Udang Masa Pembuatan 2011-2012 Tim Penemu Radestya Triwibowo., S.Pi Dra. Ninoek Indriati., M.KM Prof. Dr. Endang Sri Heruwati Dr. Achmad Poernomo M.App.Sc Arifah Kusmarwati, MSc Irma Hermana S.St.Pi Fairdiana Andayani., S.St.Pi
Kontak Person Radestya Triwibowo
[email protected]
233
DESKRIPSI TEKNOLOGI Tujuan dan Manfaat Penerapan Teknologi Sejauh ini, klorin merupakan bahan kimia yang murah dan cukup efektif sebagai antimikroba dalam proses penanganan udang. Penggunaan klorin sebagai antimikroba dalam proses pencucian udang telah dilarang, terutama oleh negara-negara Uni Eropa. Cetyl-pyridinium Chloride (CPC) memiliki potensi sebagai bahan antimikroba dalam proses pencucian udang beku di Unit Pengolah Ikan (UPI) dan termasuk bahan kimia yang aman penggunaannya sehingga diharapakan mampu menjadi bahan alternatif pengganti klorin. Penggunaan CPC diharapkan mampu memperkecil kasus penolakan akibat kontaminasi mikroba patogen serta residu klorin terutama untuk produk udang beku yang dipasarkan ke kawasan Uni Eropa. PENGERTIAN/ISTILAH/DEFINISI CPC (Cetyl-pyridinium Chloride) lebih dikenal dengan nama cecure merupakan surfaktan yang bersifat garam dengan cetyl-pyridinium sebagai gugus kationik dan chloride sebagai gugus. CPC merupakan bahan kimia yang dapat digunakan dalam poses pengolahan makanan dan tergolong dalam kategori GRAS (Generally Recognized As Safe) sehingga penggunaannya aman dalam batas yang telah ditentukan. Food and Drugs Administration (FDA) pada tahun 2004 telah memperbolehkan penggunaan CPC untuk mencuci bahan baku dan produk sebelum dilakukan chilling atau freezing pada produk unggas. Mulai tahun 2012, European Commission (EC) sebagai “competent authority” Uni Eropa telah memperbolehkan penggunaan CPC dalam proses pengolahan produk unggas. Penggunaan CPC diperbolehkan dalam proses pengolahan sebagai bahan antimikroba melalui teknik pencelupan dengan konsentrasi 0,8-1,0 %. Kajian toksikologi CPC yang dilakukan oleh European Food Safety Authority (EFSA) pada tahun 2012 menunjukkan bahwa CPC sampai dengan dosis 18 mg/kg berat badan/hari tidak menunjukan adanya gangguan kesehatan yang dapat diamati atau No Observable Adverse Effect Level (NOAEL). Penggunaan CPC (dalam bentuk merk dagang Cecure®) telah banyak digunakan di negara Amerika Serikat, Kanada, Mexico, Panama, Kosta Rika, Kolombia, Rusia, Afrika Selatan, Arab Saudi dan Yordania. Sementara itu di Indonesia, bahan kimia ini belum terdaftar di Badan POM sebagai bahan yang boleh digunakan sebagai antimikroba/disinfektan pada proses pengolahan pangan karena kajian penggunaan CPC untuk industri makanan, terutama produk perikanan masih sangat terbatas.
234
1. Menyiapkan 3 buah bak penampung, yaitu 2 bak pencelupan (untuk proses pencelupan awal dan pencelupan akhir) dan bak penirisan (untuk proses penirisan yang terbuat dari stainless steel . 2. Pembuatan larutan CPC yang terdiri dari 0,8% CPC teknis ditambah
Perlakuan
Tahapan Analisis
Ulangan 1
Bahan baku
1.
CPC 0,8 % + Gliserol 1%
Pencucian CPC Pencucian Aquades/ Produk Akhir Bahan baku
2.
Klorin
Pencucian 150 ppm Pencucian 5 pm/ Produk akhir
Analisis dengan metode PCR V. Salmonella parahaemolyticus sp + -
E. coli +
2
+
-
-
3
+
-
+
1
-
-
+
2
-
-
-
3
-
-
-
1
-
-
-
2
-
-
-
3
-
-
-
1
+
-
-
2
+
-
-
3
+
-
+
1
-
+
-
2
-
-
-
3
-
-
-
1
-
-
+
2
+
-
-
3
+
-
-
Tabel 1. Hasil Analisa Mikroba Patogen pada Udang yang diberi perlakuan CPC dan Klorin Uji Hedonik Udang (Mentah)
6,20 6,10 6,00 5,90 nilai
Adapun tahapan-tahapan Prosedur Operasional Standar (POS) penggunaan CPC dalam proses penanganan udang pada UPI adalah sebagai berikut:
No
5,80 5,70 5,60 5,50 5,40 5,30 CPC + Gliserol
kode sampel
Klorin
Uji Hedonik Udang (Matang)
6,20 6,10 6,00 nilai
RINCIAN DAN APLIKASI TEKNIS/PERSYARATAN TEKNIS Hasil penelitian yang telah dilakukan di BBP4BKP menunjukkan bahwa CPC mempunyai efektifitas antimikroba yang sama dengan klorin (Tabel 1) dan secara uji organoleptik penggunaan CPC lebih baik dibandingkan klorin (Gambar 1). Kajian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa penggunaan CPC dengan konsentrasi 0,8% ditambah dengan gliserol dengan konsentrasi 1 % efektif mengurangi kontaminasi dengan metode pencelupan (Tabel 2).
5,90 5,80 5,70 5,60
Tabel 2 (bawah). Aktifitas penghambatan CPC terhadap bakteri patogen Keterangan: huruf yang berbeda pada nilai zona hambat di kolom yang sama menunjukkan berbeda secara nyata (p<0,05)
No
Larutan
Pengendapan CPC
5,50 CPC + Gliserol
kode sampel
Klorin
Gambar 1. Grafik Uji Organoleptik Antara Penggunaan CPC dan Klorin pada Udang
Zona hambat antibakteri (mm) Salmonella V. E. coli sp parahaemolyticus
1
CPC 0,8%
1 kali pencelupan
5,67±0,47a
3,33±0,47a
6,33±0,47a
2
CPC 0,8%+ Gliserol 0,5%
3 kali pencelupan
6,33±0,23b
3,67±0,47ab
6,33±1,18a
3
CPC 0,8% + Gliserol 1 %
10 kali pencelupan
6,33±0,47b
4,0±0,71b
6,67±0,94a
235
dengan 1% gliserol dilarutkan dalam ± 100 l akuades dingin. Penggunaan volume sebanyak 100 l disesuaikan dengan metode perendaman klorin yang umum dilakukan di UPI. 3. Pencelupan awal dilakukan setelah udang selesai dikupas dan menggunakan bak penampung berisi larutan CPC 0,8% +gliserol 1%, udang harus terendam semua bagiannya selama 10 menit 4. Udang yang telah selesai dicelup, selanjutnya ditiriskan pada bak penirisan. Larutan hasil penirisan dapat digunakan lagi untuk bak pencelupan awal. Larutan CPC+gliserol dapat digunakan untuk mencuci (merendam) udang berkali-kali (hingga 10 batch yang berbeda). Udang yang telah ditiriskan selanjutnya dicelup pada bak pencelupan akhir yang berisi aquadest steril yang diberi aerasi selama 5 menit bertujuan untuk menurunkan kandungan CPC dan gliserol pada udang. Umumnya tahap pencelupan akhir ini dilakukan apabila udang siap untuk di freezing (pada udang beku) atau cooking (pada udang olahan).
Log CFU/gram
KEUNGGULAN TEKNOLOGI CPC tidak mempengaruhi tekstur, bau dan rasa pada produk udang, sehingga penerimaan organoleptiknya lebih baik dibandingkan klorin CPC merupakan zat yang tergolong dalam GRAS (Generally Recognized As Safe) sehingga penggunaannya aman dan tidak dilarang sebaliknya dibandingkan dengan klorin CPC tidak bersifat korosif sehingga tidak merusak peralatan kerja, sedangkan klorin bersifat korosif CPC aman bagi pekerja pada UPI Pertumbuhan E. coli selama 24 jam pengamatan pada karena tidak meneyebabkan suhu ruang 8 gangguan pernafasan, sebaliknya 7,5 dibaningkan dengan klorin 7 CPC mempunyai efektifitas yang 6,5 sama dengan klorin dalam 6 menghambat pertumbuhan mikroba Kontrol 5,5 0,4% patogen yang mengkontaminasi 5 0,8% 4,5 produk 1,2% 4 0
6
12 Jam ke-
18
24
Pertumbuhan E. coli selama 9 hari pengamatan pada suhu 4oC 8,5 8 7,5 Log CFU/gram
LOKASI PENELITIAN PENGKAJIAN DAN DAERAH REKOMENDASI Teknologi penggunaan CPC sebagai bahan alternatif pengganti klorin dapat dimanfaatkan oleh para pengolah dan dapat menjadi materi penyuluhan untuk perbaikan sistem HACCP pada UPI pengolah udang. CPC digunakan untuk dekontaminasi bakteri patogen pada produk melalui proses pencucian dengan metode perendaman/pencelupan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa udang setelah perlakuan pencucian/
7 6,5 6
Kontrol
5,5
0,4%
5
0,8%
4,5
1,2%
4 0
3
6
9
Hari ke-
Gambar 2. Pertumbuhan bakteri pada produk yang diberi perlakuan CPC pada suhu ruang dan suhu dingin
236
perendaman kemudian disimpan dalam kondisi dingin, maka perlakuan penggunaan CPC akan lebih efektif menghambat bakteri patogen sehingga teknologi ini akan sesuai bila diterapkan pada UPI yang melakukan pengolahan udang beku (Gambar 2 di halaman sebelumnya). KEMUNGKINAN DAMPAK NEGATIF Penggunaan CPC yang berlebihan oleh UPI (diatas 18 mg/kg berat kadar/hari) mengakibatkan tingginya residu CPC dalam produk dan berakibat pada penolakan produk tersebut, sehingga perlu dilakukan pengawasan dan pengendalian melalui institusi yang berwenang. KELAYAKAN FINANSIAL Biaya produksi yang dikeluarkan dalam penerapan penggunaan CPC sebagai pengganti klorin dalam proses pencucian ditentukan oleh banyaknya jumlah penggunaan CPC dan klorin dalam setiap proses produksi/pengolahan bahan baku udang. Berdasarkan hasil pengamatan di UPI terkait yang menggunakan klorin, untuk pengolahan 100 kg bahan baku udang diperlukan larutan sebanyak 100 liter klorin konsentrasi 150 ppm.
Bahan No Kimia
1
Jumlah Udang (Kg)
Jumlah Larutan (Liter)
Jumlah Bahan Kimia (gram)
Harga Bahan Kimia (Rupiah)
Biaya bahan per kg udang (Rupiah)
Klorin
100
100
15
75.000
11,25
CPC
100
10
80
500.000
400
Gliserol
100
10
100
150.000
150
Total Biaya per kg bahan
Rp 11,25
2 Rp 550
Keterangan
Perlakuan pencelupan menggunakan perbandingan volume pelarut dan bahan baku sebesar 1:1 (b/v), larutan digunakan satu kali pakai Perlakuan pencelupan menggunakan perbandingan volume pelarut dan bahan baku sebesar 1:1 (b/v), larutan digunakan untuk 10 kali pakai
Tabel 2. Perbandingan analisis biaya produksi penggunaan CPC dan Klorin pada proses penanganan udang
Berdasarkan analisis biaya produksi tersebut, penggunaan CPC + gliserol pada proses pencucian dengan metode perendaman skala massal/UPI memang masih memiliki biaya yang lebih tinggi dibandingkan pencucian dengan klorin dengan selisih sekitar Rp 500,- per kilogram bahan baku udang yang diproses. Namun demikian, apabila produsen/UPI ingin produknya dapat diterima dipasar Uni Eropa, maka selisih biaya mengganti klorin dengan CPC tidak terlalu memberatkan bila dibandingkan dengan pemasukan yang akan diperoleh. Analisis ini dapat digunakan UPI sebagai bahan pertimbangan untuk memperkirakan untung atau ruginya bila produk udang nantinya dipasarkan ke Uni Eropa dan sekitarnya. TINGKAT KOMPONEN DALAM NEGERI Sampai saat ini, di Indonesia belum ada UPI yang menggunakan CPC sebagai bahan antimikroba karena belum mendapatkan informasi tentang kegunaannya sebagai antimikroba. Akibat dari rendahnya tingkat penggunaannya maka bahan baku CPC relatif sulit diperoleh di dalam negeri
237
dalam bentuk eceran. Namun, CPC dalam bentuk merek dagang Cecure® telah tersedia di pasaran dan diimpor dari Amerika Serikat. SPESIFIKASI Penggunaan larutan CPC digunakan untuk mereduksi/menghambat bakteri patogen pada proses pengolahan udang pada tahap pencucian/soaking. Larutan CPC terdiri dari CPC 0,8% ditambah Gliserol 1,0% yang dilarutkan dalam aquadest dingin dan ditampung dalam wadah stainless steel. Perlakuan perendaman udang dengan aquadest pada tahap selanjutnya bertujuan untuk mengurangi residu CPC dan gliserol.
Gambar 3. Proses analisis CPC sebagai antimikroba skala laboratorium
238
BBP4BKP Bubuk Kalsium dari Tulang Ikan
Unit Eselon I Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan Satuan Kerja Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan Alamat Jl. Petamburan VI, KS. Tubun, Slipi Jakarta Kategori Teknologi Pengolahan Sifat Teknologi Inovasi Masa Pembuatan 2010-2012 Tim Penemu Ir. Murniyati Fera Roswita Dewi, SStPi, MSi Nurhayati, SSi Drs. Tazwir Prof.Dr. Rosmawaty Peranginangin Kontak Person Ir. Murniyati
[email protected] Fera Roswita Dewi
[email protected]
239
DESKRIPSI TEKNOLOGI Tujuan penerapan teknologi ini adalah untuk meningkatkan nilai tambah dari limbah hasil perikanan khususnya tulang ikan yang selama ini belum termanfaatkan secara optimal. Manfaat dari penerapan teknologi ini adalah untuk memanfaatkan tulang ikan yang masih sering dianggap sebagai limbah, dengan demikian dapat mengurangi dampak lingkungan dari limbah hasil perikanan. Hal ini sangat mendukung konsep zero waste dan blue economy, selain juga dapat menjadi peluang kerja baru bagi masyarakat kelautan dan perikanan Indonesia. Bubuk kalsium tulang ikan dapat ditambahkan pada produk kering seperti kerupuk, mi, tik-tik ikan, biskuit dan berbagai produk kering lainnya. Di samping itu dapat digunakan juga pada produk basah seperti nuget, kaki naga, burger, bakso, brownis dan lainnya. Bubuk kalsium tulang ikan dapat juga dapat digunakan sebagai sumber kalsium pada pakan ternak dan pakan ikan. Pembuatan tepung tulang ikan sudah dilakukan secara tradisional dengan menggiling tulang ikan yang sudah dikeringkan, tanpa melalui proses ekstraksi. Inovasi dari teknologi ini adalah dilakukannya proses ekstraksi menggunakan NaOH an HCl sehingga dapat diperoleh bubuk kalsium tulang ikan yang lebih murni dengan ukuran yang lebih halus, bahkan dapat mencapai ukuran nano, sehingga mudah diserap oleh tubuh bila dikonsumsi. PENGERTIAN Kalsium: Logam putih, menyerupai kristal; unsur dengan nomor atom 20, berlambang Ca, dan bobot atom 40,08 RINCIAN DAN APLIKASI TEKNIS Persyaratan Teknis Pembuatan bubuk kalsium dari tulang ikan memerlukan peralatan sebagai berikut : 1. Panci perebus 2. Kompor 3. Waterbath (dapat dimodifikasi dari drum bekas, minimal mampu digunakan untuk merendam pada suhu 100oC) 4. Kertas saring Whatman ukuran 41 atau 42 dan kertas pH yang dapat diperoleh di toko bahan kimia
240
5. Grinder, dishmill atau hammer mill untuk menggiling tulang menjadi partikel ukuran kecil/bubuk 6. Oven/alat pengering mekanis yang minimal mampu mencapai suhu 50oC 7. Saringan bertingkat dengan ukuran 100 mesh, 200 mesh, dan 500 mesh Di samping itu diperlukan bahan-bahan sebagai berikut: 1. Tulang ikan (dapat berasal dari semua jenis ikan, merupakan limbah dari pengolahan fillet atau pengolahan ikan lain) 2. NaOH (teknis) 3. HCl (teknis) Rincian teknologi 1. Pembersihan tulang ikan dari kotoran atau sisa daging yang melekat dilakukan dengan pencucian dan penyiangan. Tulang pada bagian kepala dan ekor ikan dibuang. 2. Tulang ikan kemudian direbus dalam wadah perebusan atau panci aluminium selama 30 menit pada suhu sekitar 1000 o C. Proses pemasakan atau perebusan dilakukan untuk mempermudah pembersihan tulang dari daging, lemak dan darah yang menempel ada tulang. Untuk mendapatkan tulang ikan yang bersih dan hasil akhir dengan nilai derajat putih yang tinggi, perebusan dapat dilakukan berulang-ulang. 3. Tulang ikan yang telah direbus ditiriskan di para-para atau tampah kemudian didinginkan. Untuk mempercepat proses pendinginan dapat digunakan kipas angin atau diangin-anginkan di udara luar. 4. Sisa daging yang masih menempel dibersihkan menggunakan sikat dan dicuci kembali hingga bersih. 5. Setelah bersih, tulang dikeringkan di bawah sinar matahari hingga kering (sekitar 1 hari) menggunakan para-para atau tampah sebagai wadah tulang ikan. 6. Tulang ikan yang sudah kering kemudian dihaluskan dengan menggunakan alat penepung, dishmill atau hammer mill. 7. Tahapan selanjutnya adalah proses ekstraksi tepung tulang ikan yang dilakukan pada suhu 100oC dalam waterbath menggunakan larutan NaOH (konsentrasi 4%) selama 1 jam dengan perbandingan antara tepung dan larutan NaOH 1 : 2. 8. Untuk memisahkan filtrat dan residunya, dilakukan 2 kali penyaringan. Penyaringan pertama dilakukan menggunakan kain blacu dan penyaringan kedua dilakukan dengan menggunakan kertas saring whatman. Tujuan dari penyaringan 2 tahap ini adalah untuk mendapatkan residu yang lebih banyak sekaligus meminimalkan biaya. Jika menggunakan kertas saring whatman saja untuk penyaringan makan biaya yang dikeluarkan akan lebih banyak dibanding penyaringan dilakukan dengan menggunakan kain blacu, tetapi bila hanya menggunakan kain blacu saja, hasilnya tidak sebagus jika penyaringan dilakukan dengan menggunakan kertas saring whatman karena pori-pori kain blacu lebih besar dari pori-pori kertas saring whatman. 9. Pencucian ulang kemudian dilakukan dengan akuades agar residu mempunyai pH yang mendekati netral (pH 7). Pengecekan pH dapat menggunakan kertas pH.
241
10. Residu yang sudah netral kemudian dihidrolisis dengan cara merendamnya dalam HCl 3,6% dengan perbandingan 1 : 3 selama 24 jam, selanjutnya residu berikut HCl tersebut dimasukkan ke dalam waterbath untuk dipanaskan pada suhu 100oC selama 1 jam. 11. Setelah diekstraksi, dilakukan penyaringan dengan cara yang sama dengan penyaringan sebelum pencucian pada proses ekstraksi pertama. 12. Pencucian ulang hingga pH netral dilakukan menggunakan akudes seperti pada penetralan sebelumnya. 13. Pengeringan residu dilakukan menggunakan oven pada suhu 50oC selama 24 jam atau hingga kadar air residu maksimal 3%. 14. Residu yang telah kering digiling kembali untuk menyeragamkan ukuran. Penggilingan dilakukan dengan menggunakan alat penepung/hammer mill/dishmill. 15. Tepung yang dihasilkan kemudian disaring menggunakan saringan bertingkat 100 mesh, 200 mesh dan 500 mesh. Penyaringan bertingkat ini dimaksudkan untuk mendapatkan bubuk kalsium dengan ukuran yang berbeda-beda. Pembedaan kelompok ini berguna untuk menentukan segmen pasar karena setiap segmen mempunyai harga yang berbeda. Kalsium dengan ukuran yang lebih kecil dapat dijual untuk segmen pasar yang dengan nilai jual lebih tinggi dibandingkan kalsium dengan ukuran lebih besar. 16. Pengemasan dilakukan untuk mencegah kalsium ditumbuhi jamur akibat kelembaban (RH) yang tinggi di udara sekitar. Pengemasan dapat menggunakan plastik atau botol. Ukuran kemasan dan bobot kalsium pada kemasan ditentukan oleh pengusaha berdasarkan segmen dan permintaan pasar. Pasar potensial adalah industri makanan kecil dan pakan ternak/ikan. 17. Kalsium dapat digunakan pada makanan kecil/snack kering dengan takaran tidak lebih dari 2% dari total adonan. Penambahan kalsium dari tulang ikan ini dapat dilakukan pada proses pencapuran bahan makanan (pengadonan). KEUNGGULAN TEKNOLOGI Selain meningkatkan nilai tambah, teknologi ini dapat mengurangi masalah pencemaran lingkungan oleh limbah perikanan. Bubuk kalsium tulang ikan mengandung kalsium yang lebih murni dan ukuran bubuk yang lebih kecil dibandingkan tepung ikan yang dibuat secara tradisional, karena menggunakan proses ekstraksi dengan NaOH dan HCl. Dengan demikian diharapkan kalsium akan dapat diserap dengan lebih baik oleh tubuh. Mudah disubtitusikan pada produk makanan olahan karena berbentuk tepung dan tidak berbau amis. Mempunyai pangsa pasar pada industri pakan sebagai sumber mineral dalam formulasi pakan. WAKTU DAN LOKASI REKOMENDASI Penelitian dilakukan di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan (BBP4BKP) Jakarta pada tahun 2010 – 2012, diteruskan dengan kaji terap penggunaan bubuk kalsium tulang ikan pada berbagai jenis makanan misalnya tik-tik, kerupuk, kue, roti, brownis dan lain-lain makanan camilan. Kaji terap dilakukan di
242
Tulungagung, Kupang (Nusa tenggara Timur), Tegal, Samarinda, Pemangkat dan Kayong Utara (Kalimantan Barat. Teknologi ini direkomendasikan untuk daerah yang banyak terdapat unit pengolah ikan baik skala UKM maupun industri yang pada proses produksinya menghasilkan hasil samping tulang ikan. KEMUNGKINAN DAMPAK NEGATIF Teknologi ini tidak akan berdampak negatif pada lingkungan bila dilengkapi dengan instalasi pengolahan limbah (IPA)L, karena menggunakan bahan kimia pada prosesnya. TINGKAT KOMPONEN DALAM NEGERI Komponen yang digunakan dalam teknologi ini seluruhnya menggunakan material produksi dalam negeri. No
Satuan
Jumlah
Tulang ikan (ekstraksi setiap 3 hari sekali)
Kg
50
2
NaOH (teknis)
Kg
5
3 4 5
HCl (teknis) Gas Pengemas JUMLAH
liter tabung Kg
Orang Paket Paket
1
1 2 3
Uraian
Biaya tetap Tenaga Kerja Listrik Air JUMLAH Modal Usaha Tetap Biaya Investasi Biaya Operasional Biaya Tetap
Harga satuan
Jumlah
Jumlah/ bulan
1.000
50.000
500.000
2 0,3 10
15.000 15.000 15.000 15.000
75.000 30.000 4.500 150.000 309.500
300.000 45.000 1.500.000 3.095 .000
4 1 1
25.000 150.000 100.000
100.000 150.000 100.000 350.000
2.500.000 150.000 100.000 2.750.000
750.000
= Biaya Investasi + Biaya Opresional + Biaya 96.530.000 3.095.000 2.750.000 102.375.000 0
Tabel 1. Rincian Biaya operasional Ekstraksi tulang ikan
KELAYAKAN FINANSIAL DAN ANALISIS USAHA Diasumsikan bahwa modal usaha Rp 50.000.000 merupakan pinjaman Bank yang diberikan melalui KUMK dengan Bunga 12% per tahun, maka pinjaman yang diajukan ke bank maka perhitungannya dapat dilihat pada tabel di halaman berikut:
243
Modal Pinjaman
(R P) 97.0 39.500 50.000.000
Bunga Bank Pertahun 12 % Pinjaman
50.000.000
Bunga 12%/tahun Bunga perbulan Pengeluaran Penyusutan
6.000.000 500.000
Pertimbangan Usaha Pertimbangan usaha dihitung berdasarkan BEP = Biaya tetap/1-Biaya tidak tetap/hasil penjualan Biaya tetap Variable Cost Hasil Penjualan Biaya operasional/Hasil Penjualan Penyebut BEP
2.750.000 3.095.000 10.000.000 0, 309 0,691 3.982.621,29
583.83
Biaya operasional
3.095.000
Biaya tetap
2.750.000
Bunga Bank
500.000 6.928.833
Proyeksi Laba Rugi Usaha Pendapatan Penjualan tepung tulang
Rendemen (KG )
satuan
40
kg
harga per kg (R P) 25.000
Total Pendapatan/bulan
10.000.000
Pengeluaran Biaya Produksi Penyusutan Biaya Tetap Bunga Bank Perbulan Total Pengeluaran Laba Setelah Pajak
3.095.000 583.833 2.750.000 500.000 6.928.8 33 3.071.167
244
Jumlah (R P) 1.000.000
jumlah/bulan (R P) 10.000.000
Gambar 1. Tulang ikan setelah dibersihkan dari kotoran, lemak dan daging yang melekat
Gambar 2. Tulang ikan setelah pengeringan
Gambar 3. Tulang ikan yang telah selesai proses perendaman dalam NaOH
Gambar 4. Penepungan tulang ikan
Gambar 5. Produk tepung tulang ikan
Spesifikasi Bubuk kalsium tulang ikan mempunyai kadar kalsium 22,6%, rasio kalsium dengan fosfor sebesar 1,87. Mempunyai kadar air 2,33%, kadar abu 92,74%, kadar protein 0,61%, ukuran 145 nm - 2 µm dan derajat putih 93,72%.
245
BBP4BKP Refined Carrageenan (RC) Kualitas Food Grade dari Euchema cottonii Unit Eselon I Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan Satuan Kerja Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan Alamat Jl. Petamburan VI, KS. Tubun, Slipi Jakarta Kategori Teknologi Pengolahan Sifat Teknologi Inovasi pengolahan karaginan murni dengan metode pengendapan menggunakan KCl, menggantikan metode menggunakan IPA Masa Pembuatan 2008-2012 Tim Penemu Prof. Dr. Rosmawaty Peranginangin; M.Darmawan, MT Kontak Person Prof. Dr. Rosmawaty P.
[email protected]
246
DESKRIPSI TEKNOLOGI Teknologi ini ditujukan untuk memperoleh karaginan murni yang memenuhi persyaratan kualitas sebagai bahan pangan (food grade). Penggunaan karaginan murni (RC) adalah khusus untuk produk makanan, baik sebagai bahan baku atau bahan tambahan, atau sebagai bahan fungsional seperti pada produk jelly transparan (sebagai pembentuk gel), minuman (sebagai penjernih), permen jelly (sebagai pembentuk gel), es krim (sebagai pelembut dan penstabil), sirup (sebagai pengental). Refined carrageenan (RC) dapat diproduksi menggunakan bahan baku rumput laut maupun menggunakan produk setengah jadi, yaitu ATC atau SRC. Teknologi ini sudah dikaji terap dan diberikan dalam beberapa kali pelatihan. Hasil ekstraksi refined karaginan yang diperoleh sudah memenuhi kualitas yang dipersyaratkan oleh konsumen atau pemasok bahan aditif produk pangan. Karaginan murni yang dihasilkan teknologi ini mempunyai kekuatan gel di atas 1200 g/cm2, kadar air maksimal 12%, rendemen minimal 27% dari rumput laut kering, viskositas 20 – 150 cP, pH 6 -7, dengan tepung karaginan yang tidak berwarna dan larutan transparan, yang tidak berbau bila dilarutkan. PENGERTIAN Produk refined carrageenan (RC) adalah produk karaginan murni yang sudah memenuhi standar food grade, yang dibuat dari rumput laut Eucheuma cottonii, melaui proses pencucian, ekstraksi menggunakan alkali, netralisasi, penyaringan,dan pengendapan, sehingga menjadi bubuk karaginan. RINCIAN DAN APLIKASI TEKNIS Persyaratan Teknis Untuk menerapkan teknologi ini diperlukan rumput laut Eucheuma cottonii, atau bahan setengah jadi berupa ATC atau SRC; dan bahan-bahan kimia seperti KOH, celit dan KCl teknis yang dapat diperoleh di toko kimia. Selain itu juga dibutuhkan peralatan seperti alat ekstraktor, filter press, KCl food grade dan alat penepung dengan spesifikasi tertentu.
247
Spesifikasi filter press : - Tipe manual Chamber plates filter press - Model : UN-M114-H057 - S/No: 0110720/12 - Hydraulic Ram Model : S5-53 - Hydraulic pump model : P1-B - Filter plate (chamber) : 11 pcs; 470 mm x 470 mm - Overall dimension : 2050 (L) x 1190 (H) x 980 (W) (in mm) - Empty weight : 775 kg - Kapasitas : 57 L - Ketebalan : 32 mm - Tekanan filtrasi : sampai 15 kg/cm2 - Filter plate : Lenser Germany, polipropilen homo- polimer; terdiri dari 9 buah chamber plat; 1 buah chamber head dan 1 buah chamber end plat 2 2 - bahan saringan : polipropilen, berat 340 g/m air permeability 10 L/dm /menit Spesifikasi double jacket : - Kapasitas alat ekstraktor 1000 L - Burner merk RIELLO; Daya 0,33 kW; type 482 Ti - Pompa sirkulasi : daya 0,37 kW, Type CR5-2A-FGJ-A-E-HUBE; model A 96448706P20321; merk Grundfos - Bahan stainless steel - Dilengkapi pengaduk : 1: 30 gear box; motor daya 1,1 kW; 3 phase
Rincian teknologi Persiapan bahan baku Bila diproses dari bahan baku rumput laut, rumput laut tersebut harus dipisahkan menurut jenisnya, dan membuang jenis yang bukan E. cottonii. Benda-benda asing seperti koral, kerang, tali rafia, plastik, potongan kayu dan lain-lainnya juga harus dibuang. Pencucian dilakukan menggunakan drum washer dengan kapasitas 50 Kg. Prinsip kerja alat ini adalah mencuci rumput laut dengan air mengalir. Untuk membersihkan rumput laut dari kotoran berupa pasir, garam dan sisa-sisa tali, dibutuhkan waktu selama 30 menit. Dengan debit air 2 Liter/menit, kebutuhan air untuk pencucian tersebut adalah 60 liter. Ekstraksi karaginan Rumput laut yang sudah bersih diproses menggunakan KOH 8% dengan perbandingan rumput laut dan larutan KOH (1:6) pada suhu 60-70oC selama 2 jam, lalu di netralisasi menggunakan air tawar kemudian diekstrak kembali dengan air pada suhu 90 oC selama 2 jam dengan rasio rumput laut dan air (1:20). Hasil ekstraksi dipisahkan dengan filter press, filtrat yang diperoleh didinginkan sampai suhu 35oC lalu diendapkan dengan penambahan KCl 1% dengan rasio filtrat dan larutan KCl (1:2). Apabila bahan baku yang digunakan adalah produk setengah jadi, maka bahan tersebut
248
tinggal diekstraksi dengan air pada suhu 90oC selama 2 jam, diteruskan dengan proses berikutnya seperti pada proses menggunakan bahan baku rumput laut. Pengeringan Endapan yang diperoleh kemudian dikeringkan secara alami yaitu dengan sinar matahari. Pengeringan membutuhkan waktu 2-3 hari sampai kadar air berkisar 12-14%. Peralatan yang dibutuhkan dalam proses pengeringan adalah nampan-nampan berukuran 1x1 meter. Pengeringan dengan menggunakan sinar matahari sangat dipengaruhi oleh kondisi cuaca, namun mutu pengeringan yang dihasilkan relatif baik, biaya murah serta tidak memerlukan peralatan yang banyak dan mahal. Sebaliknya pengeringan mekanis (mesin pengering) lebih mahal namun memberikan keuntungan berupa tidak adanya pengaruh cuaca, kapasitas pengeringan dapat dipilih sesuai kebutuhan, tidak memerlukan tempat yang luas, serta kondisi pengeringan dapat dikontrol. KEUNGGULAN TEKNOLOGI - Meskipun teknologi ini menggunakan peralatan yang dapat dibuat di Indonesia dan cara prosesnya sederhana, namun dari pertimbangan ekonomis lebih tepat diterapkan pada skala industri - Bahan baku mudah diperoleh, karena Indonesia merupakan penghasil rumput laut Eucheuma cottonii tertinggi di dunia - Biaya produksi lebih murah dibandingkan dengan produksi RC menggunakan teknologi yang saat ini dikembangkan secara komersial, yaitu menggunakan alkohol (IPA) - Limbah dari ekstraksi refined karaginan ini adalah selulosa dan tanah diatomae yang aman terhadap lingkungan dan bisa dimanfaatkan sebagai bahan filler pada kertas dan papan partikel. Teknologi pemanfaatan limbah RC ini sudah tersedia. WAKTU DAN LOKASI REKOMENDASI Penelitian sudah dimulai sejak tahun 2008 pada skala laboratorium, yang dilanjutkan ke skala yang lebih besar. Tahap Pengembangan dilakukan pada tahun 2010 dengan melakukan beberapa kali pengolahan. Tahun 2011 dan 2012 sudah dilakukan pelatihan kepada pengguna. Wilayah pengembangan usaha produksi SRC yang direkomendasikan adalah tempat penghasil rumput laut Eucheuma cottonii seperti Bali, Sulawesi Selatan, NTT, Sulawesi Utara dan wilayah tersebut harus memiliki sumber air tawar. KEMUNGKINAN DAMPAK NEGATIF Kemungkinan dampak negatif dari teknologi ini hampir tidak ada, kalaupun ada yaitu hasil pencucian alkali yang bisa mengganggu ekosistem lingkungan. Namun hal ini bisa diatasi dengan netralisasi terlebih dahulu sebelum dibuang. Caranya dengan membuat bak-bak penampungan terhadap limbah lalu ditambah asam lemah, setelah pH netral lalu dialirkan ke pembuangan limbah. Sedangkan bila menggunakan iso propil alkohol (IPA), limbah IPA dapat mencemari ligkungan.
249
KELAYAKAN FINANSIAL Analisis ekonomi dilakukan untuk produksi dengan kapasitas 80 kg rumput laut kering per hari, jumlah hari kerja 25 hari per bulan , volume produksi 27% dari total bahan baku yang digunakan, jumlah produk yang dihasilkan 467 kemasan per tahun, dengan berat per kemasan 25 kg. Penjualan pada tahun pertama diasumsikan sebesar 80% atau sebanyak 374 kemasan, dan meningkat pada tahun kedua dan seterusnya menjadi 90 % atau sebanyak 420 kemasan. Harga pokok per kemasan dihitung dari total biaya produksi pada tahun pertama dibagi dengan jumlah produk yang dihasilkan pada tahun pertama, yaitu 11.675 kg. Harga jual produk adalah Rp 230.000.-,/kemasan, dengan margin keuntungan adalah sekitar 50%. Biaya produksi dan investasi yang meliputi biaya bahan baku, biaya tenaga kerja, biaya operasional pabrik, dan biaya operasional kantor yang diperlukan pada tahun pertama adalah Rp 1.438.599.594, dengan biaya operasional per tahun : Rp 434.900.000.- yang meliputi biaya produksi, tenaga kerja, pemeliharaan, utilitas kantor dan penyusutan. Biaya operasional diasumsikan sama dari tahun pertama sampai tahun kelima. Break Even Point atau titik impas pada tahun pertama adalah Rp 322.336.869,- dengan jumlah karaginan murni terjual minimal 9.331,2 kg. Pada tahun berikutnya, nilai BEP adalah Rp 375.170.331 atau minimal 10.498 kg produk terjual. Dari proyeksi penjualan, jumlah unit terjual sudah di atas BEP sehingga perusahaan telah mendapat untung. Waktu yang dibutuhkan untuk kembali modal, saat penerimaan pendapatan sama dengan biaya yang dikeluarkan, adalah sekitar 1 tahun 11 bulan. TINGKAT KOMPONEN DALAM NEGERI Komponen atau material dalam proses produksi RC semuanya berasal dari dalam negeri. Bahan–bahan yang dibutuhkan tersebut adalah rumput laut Eucheuma cottonii, KOH, celit sebagai absorben selulosa dan air tawar, sedangkan peralatan untuk ekstraksi adalah buatan dalam negeri, seperti alat ekstraktor double jacket berbahan stainless steel, filter press, bak penampung berkapasitas 250 liter untuk menampung filtrat. FOTO DAN SPESIFIKASI
Rumput laut setelah alkali treatment
Proses filtrasi
250
Proses presipitasi dengan KCl
Serat karaginan setelah disaring
Refined carrageenan (RC)
Serat karaginan setelah kering
SPESIFIKASI Refined karaginan hasil ekstraksi rumput laut Eucheuma cottonii menggunakan teknologi yang direkomendasikan adalah seperti pada Tabel berikut :
Parameter
RC
Standar FAO
32.977 ± 6.804
-
Kadar Air(%)
8.25 ± 0.070
maks 12
Kadar Abu (%) wb
27.33 ± 0.71
15-40
Kd. Abu tak larut asam (%) wb
0.27 ± 0.08
maks 1
17.688 ± 0.253
15-40
310.0 ± 2.12
-
1 616.43 ± 35.85
-
Rendemen (%)
kd. Sulfat (%) Viskositas (cPs) Kekuatan gel (gr)
251
BBP4BKP Semi Refined Carrageenan (SRC) dari Euchema cottonii
Unit Eselon I Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan Satuan Kerja Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan Alamat Jl. Petamburan VI, KS. Tubun, Slipi Jakarta Kategori Teknologi Pengolahan Sifat Teknologi Inovasi pengolahan karaginan murni dengan metode pengendapan menggunakan KCl, menggantikan metode menggunakan IPA Masa Pembuatan 2009-2012 Tim Penemu Prof. Dr. Rosmawaty Peranginangin Ir. Arif Rahman Hakim Ellya Sinurat, Msi M.Darmawan, MT Dr. Singgih Wibowo
Kontak Person Prof. Dr. Rosmawaty P.
[email protected]
252
DESKRIPSI TEKNOLOGI Teknologi ini ditujukan untuk mendapatkan semi refined karaginan (SRC) yang dapat diterapkan pada usaha kecil menengah (UKM), sedangkan SRC dapat digunakan sebagai bahan makanan tambahan pada produk pangan maupun non pangan seperti jelly (sebagai pembentuk gel), permen jelly (sebagai pembentuk gel), es krim (sebagai pelembut dan penstabil), sirup (sebagai pengental), atau sebagai bahan pengisi pada pembuatan shampoo, sabun, pasta gigi, body lotion, sabun, dll. Semi-refined carrageenan (SRC) merupakan salah satu produk karaginan dengan tingkat kemurnian lebih rendah dibandingkan refined carrageenan, karena masih mengandung selulosa yang ikut mengendap bersama karaginan. Semi-refined carrageenan (SRC) secara komersial diproduksi dari rumput laut jenis Eucheuma cottonii melalui proses menggunakan larutan alkali (Kalium hidroksida/KOH). Semi refined karaginan yang dihasilkan menggunakan teknologi ini dapat mencapai rendemen 33-39% dengan kekuatan gel sebesar 1.159 g/cm2. Nilai rendemen yang dihasilkan ini sudah memenuhi standar minimum rendemen SRC yang telah ditetapkan yaitu minimal 28%. PENGERTIAN Rumput laut E. cottonii yang telah di proses dengan alkali (KOH), diekstrak pada suhu 65-70oC dan dinetralisasi dengan air tawar, kemudian dipotong 2-3 cm atau tanpa dipotong lalu dikeringkan biasa disebut alkali treated cottonii (ATC). ATC yang digiling menjadi tepung disebut semi refined carrageenan (SRC). RINCIAN DAN APLIKASI TEKNIS Persyaratan Teknis Rumput laut yang digunakan sebagai bahan baku harus dari jenis Eucheuma cottonii, dan memenuhi persyaratan rumput laut kering menurut SNI No.2690.1:2009. Adapun peralatan yang harus disediakan adalah tangki double jacket, gas elpiji, alat pemotong, KOH teknis, nampan pengering serta alat penepung, alat pengemas, dan alat pengering mekanis lain yang diperlukan.
253
Rincian teknologi Sortasi dan Pencucian Rumput laut dipisahkan menurut jenisnya, dan membuang jenis yang bukan E. cottonii. Bendabenda asing seperti koral, kerang, tali rafia, plastik, potongan kayu dan lain-lainnya juga harus dibuang. Pencucian dilakukan menggunakan drum washer dengan kapasitas 50 Kg. Prinsip kerja alat ini adalah mencuci rumput laut dengan air mengalir. Untuk membersihkan rumput laut dari kotoran berupa pasir, garam dan sisa-sisa tali, dibutuhkan waktu selama 30 menit. Dengan debit air 2 Liter/menit, kebutuhan air untuk pencucian tersebut adalah 60 liter.
Gambar 1. Alat pencucian rumput laut kering
Perebusan dalam Alkali Perebusan (alkalinisasi) dilakukan menggunakan larutan KOH 8% dengan perbandingan rumput laut dan larutan KOH 1:6. Alkalinisasi dilakukan selama 2 jam pada suhu 65-700oC. Larutan KOH dapat digunakan berulang-ulang, tetapi konsentrasi KOH harus diukur dan disesuaikan lagi sebelum dipakai kembali. Alkalinisasi rumput laut dalam larutan KOH menggunakan alat dengan sistem double jacket dengan media pemanas oli atau air. Alat ini dilengkapi dengan termometer, filter dan katup pengaman. Bahan terbuat dari plat baja tahan karat. Alat ini mempunyai ukuran diameter 76 cm dan tinggi 120 cm, mampu menampung air sebanyak 450 liter.
Gambar 2. Tangki perebus double jacket
Pencucian Kedua Pencucian kedua dilakukan setelah rumput laut direbus dalam larutan KOH. Pencucian bertujuan untuk menurunkan pH rumput laut. Dalam proses pencucian diberikan aerasi untuk mempercepat penurunan pH. Pencucian dilakukan sebanyak 4 kali atau sampai pH mencapai 8-9 dengan volume air tawar 6 kali rumput laut atau sebanyak 300 liter setiap kali pencucian. Tangki pencucian berkapasitas 735 Liter yang dilengkapi pipa saluran udara sebagai aerasi.
254
Pemotongan dan pengeringan Pemotongan bertujuan untuk memperkecil ukuran ATC m e n j a d i s e k i t a r 2 - 3 c m s e h i n g g a mempermudah proses pengeringan. Alat pemotong yang digunakan bertenaga listrik dengan kebutuhan daya sebesar 320 watt, alat ini mempunyai kapasitas mencacah 120 Kg/jam. Pemotongan dapat dilakukan sebelum atau sesudah pengeringan. Pengeringan dengan menggunakan sinar matahari sangat dipengaruhi oleh kondisi cuaca, namun mutu pengeringan yang dihasilkan relatif baik, biaya murah serta tidak memerlukan peralatan yang banyak dan mahal. Sebaliknya pengeringan mekanis (mesin pengering) lebih mahal namun memberikan keuntungan berupa tidak adanya pengaruh cuaca, kapasitas pengeringan dapat dipilih sesuai kebutuhan, tidak memerlukan tempat yang luas, serta kondisi pengeringan dapat dikontrol. Perbedaan cara pemotongan (sebelum atau sesudah pengeringan) atau cara pengeringan (sinar matahari atau mesin pengering) akan berdampak pada rendemen dan kualitas SRC yang kemudian akan berdampak pada keuntungan yang diperoleh. Bila pengeringan dilakukan dengan menggunakan sinar matahari, dibutuhkan waktu 2-3 hari sampai kadar air berkisar 12-14%. Rendemen yang dihasilkan adalah rata-rata 30,79 %. Peralatan yang dibutuhkan dalam proses pengeringan adalah nampan-nampan berukuran 1x1 meter. Untuk mengeringkan 120-130 Kg ATC basah dibutuhkan 15-17 buah nampan. Sedangkan dengan mesin pengering, dibutuhkan waktu 4-5 jam pada suhu 45-50oC. Sortasi dan Pemisahan logam Sortasi dilakukan untuk menjaga keseragaman ukuran dan membuang kotoran berupa pasir atau logam dengan menuangkannya melewati magnit tester sehingga kotoran berupa pasir dan logam
255
Rumput Laut Kering E.cottonii
Sortasi untuk menghilangkan kotoran seperti: garam, rumput laut selain E.cottonii, kerikil, pecahan karang, tali rafia dan lainnya
Pencucian dengan air bersih
Proses Alkalinisasi KOH 8% : air tawar: 1:6, suhu 65-70oC dan waktu 2 jam
Netralisasi pH dengan pencucian menggunakan air bersih
Pemotongan 2-3 cm/tanpa pemotongan
Pengeringan
Alkali treated cottonii (ATC)
Penepungan dan penyaringan dengan ukuran 80 mesh
Semi Refined Carrageenan (SRC)
Pengemasan
Gambar 3. Diagram alir proses produksi SRC
akan melekat pada magnit tersebut. ATC yang telah bersih dari logam dan kotoran kemudian ditepungkan dengan mesin penepung sehingga diperoleh SRC lalu diayak dengan saringan berukuran 80 mesh untuk seterusnya dikemas dalam kantong polietilen dan diberi label. KEUNGGULAN TEKNOLOGI Teknologi ini mudah diterapkan dalam skala UKM maupun industri karena menggunakan peralatan yang dapat dibuat di Indonesia dan cara proses yang sederhana, Bahan baku mudah diperoleh, karena Indonesia merupakan penghasil rumput laut Eucheuma cottonii tertinggi di dunia Bahan kimia berupa larutan KOH dapat digunakan secara berulang hingga 20 kali dengan sedikit penambahan KOH untuk mencapai konsentrasi 8% sehingga pemakaiannya efisien. Limbah larutan KOH dapat dinetralisasi sehingga aman terhadap lingkungan. WAKTU DAN LOKASI REKOMENDASI Penelitian sudah dimulai sejak tahun 2009 pada skala laboratorium, yang dilanjutkan ke skala yang lebih besar. Tahap Pengembangan dilakukan pada tahun 2010 dengan melakukan 20 kali pengolahan untuk melakukan analisis usaha. Tahun 2011 dan 2012 sudah 2 kali dilakukan pelatihan kepada pengguna. Wilayah pengembangan usaha produksi SRC yang direkomendasikan adalah tempat penghasil rumput laut Eucheuma cottonii seperti Bali, Sulawesi Selatan, NTT, Sulawesi Utara dan wilayah tersebut harus memiliki sumber air tawar. KEMUNGKINAN DAMPAK NEGATIF Kemungkinan dampak negatif dari teknologi ini hampir tidak ada, kalaupun ada yaitu hasil pencucian alkali yang bisa mengganggu ekosistem lingkungan. Namun hal ini bisa diatasi dengan netralisasi terlebih dahulu sebelum dibuang. Caranya dengan membuat bak-bak penampungan terhadap limbah lalu ditambah asam lemah, setelah pH netral lalu dialirkan ke pembuangan limbah. KELAYAKAN FINANSIAL Teknologi produksi SRC ini berpotensi untuk dikembangkan di masyarakat pengolah SRC skala UKM. Analisis ekonomi yang dilakukan dengan asumsi harga rumput laut kering berkisar Rp. 8.000,-/kg. Menghasilkan harga jual SRC berkisar antara Rp. 51.568 - Rp. 60.365 per kg. Harga tersebut masih bisa bersaing dipasaran dimana haga SRC dipasar adalah $6.3/kg atau Rp. 53.550 (asumsi $1 = Rp. 8.500) dengan kualitas kekuatan gel 400-600 gr/cm2. Namun harga SRC sangat berfluktuasi dan bisa mencapai Rp. 70.000/kg. Asumsi lain adalah jumlah bahan baku rumput laut kering yang digunakan per hari sebanyak 200 Kg, dengan hari operasi selama 24 hari per bulan atau 288 hari per tahun. Selain itu unit usaha ini diasumsikan dikerjakan oleh 1 orang kepala sekaligus pemilik, 3 orang pekerja dan 1 orang tenaga pembantu. Dalam hal ini bangunan dan tanah tidak dimasukkan sebagai investasi karena diasumsikan sewa.
256
Biaya investasi dihitung untuk semua pengeluaran meliputi biaya produksi per bulan, pinjaman bank dengan suku bunya 10% per tahun untuk 3 tahun, termasuk aset untuk proses pengeringan dengan sinar matahari. Berdasarkan hasil perhitungan, investasi untuk pengeringan SRC menggunakan sinar matahari adalah Rp. 86.898.735 (Lampiran) Biaya produksi terdiri atas biaya tetap dan biaya variabel. Kapasitas produksi per hari adalah 200 Kg rumput laut kering atau sebanyak 57.600 Kg per tahun dengan asumsi operasi produksi dilakukan selama 24 hari per bulan atau 288 hari per tahun. Produk yang dihasilkan (rendemen) tergantung pada masing-masing perlakuan yang diberikan. Tabel 1 menunjukkan produksi SRC pertahun pada masing-masing perlakuan, dengan rendemen SRC tertinggi diperoleh pada perlakuan pemotongan dalam keadaan kering, sehingga mempunyai potensi keuntungan lebih besar dibandingkan dengan perlakuan lainnya, meskipun harga masih lebih rendah dari perlakuan pemotongan dalam keadaan basah diikuti pengeringan, karena kualitas produk lebih rendah.
Perlakuan I Bahan Baku (kg/tahun) % rendemen SRC (kg/tahun)
Perlakuan II
Perlakuan III
Perlakuan IV
57.600
57.600
57.600
57.600
31,00 19.008
32,30 20.966
34,10 18.778
36,10 21.197
Tabel 1. Jumlah Produksi SRC per tahun *) Keterangan : Perlakuan I = dipotong basah, diikuti pengeringan sinar matahari Perlakuan II = dipotong basah, diikuti pengeringan sinar matahari dan mekanik Perlakuan III = didipotong setelah pengeringan sinar matahari Perlakuan IV = potong setelah pengeringan sinar matahari dan mekanik
Total biaya yang dibutuhkan (Lampiran) per tahun digunakan untuk menghitung harga jual produk. Berdasarkan hasil analisis, mark up biaya produksi untuk perlakuan pemotongan dalam keadaan basah diikuti dengan pengeringan adalah 18%, namun pada perlakuan pemotongan dalam keadaan kering, mark up tidak bisa lebih dari 15% sehingga tidak bisa bersaing di pasar. Rangkuman analisa ekonomis bisa dilihat pada Lampiran. Hasil analisis ekonomis (Lampiran) menunjukkan bahwa harga jual SRC berkisar antara Rp.51.568 - Rp. 60.365 per kg. Harga tersebut masih bisa bersaing di pasar karena haga SRC d ipasar adalah $6.3/ kg atau Rp 53.550 (asumsi $1 = Rp.8.500) untuk kualitas kekuatan gel 900 1.090 gr/cm2. Namun harga SRC sangat berfluktuasi dan bisa mencapai Rp.70.000/kg. Perlakuan pemotongan dalam keadaan basah diikuti dengan pengeringan mempunyai mutu (kekuatan gel, viskositas, dan Aw) yang lebih baik sehingga harga bisa lebih tinggi. Berdasarkan perhitungan laba rugi, diperoleh hasil bahwa keuntungan bersih tertinggi diperoleh pada perlakuan pemotongan basah dalam keadaan diikuti pengeringan dan yang terendah pada perlakuan pemotongan dalam keadaan kering (Tabel2). Analisis ekonomis untuk perlakuan pemotongan dalam keadaan basah diikuti pengeringan yaitu harga jual Rp. 60.365/kg, total produksi 19.008kg/tahun, ROS 8,62%, keuntungan bersih Rp.74.162.080/tahun, BEP capacity 8.270 kg, ROI 41,20%. Dan pengembalian investasi dalam waktu 2,43 tahun.
257
Kelompok I
Item
Perlakuan I
Kelompok II Perlakuan III
Perlakuan II
Perlakuan IV
Pendapatan (Rp)
1.147.432.202
1.147.455.827
1.092.669.494
1.093.068.662
Biaya Produksi (Rp)
1.048.540.429
1.048.568.077
1.076.008.789
1.076.371.669
Keuntungan Kotor (Rp)
98.882.772
98.887.750
16.660.706
16.696.994
Pajak (25%) (Rp)
24.720.693
24.721.937
4.165.176
4.174.248
Laba bersih (Rp/tahun)
74.162.080
74.165.812
12.495.529
12.522.745
6.180.173
6.180.484
1.041.294
1.043.562
Laba / bulan (Rp)
Tabel 2. Hasil Perhitungan Laba Rugi
TINGKAT KOMPONEN DALAM NEGERI Komponen atau material yang digunakan dalam proses produksi SRC adalah semuanya berasal dari dalam negeri, yaitu berupa: rumput laut Eucheuma cottonii, KOH, dan air bersih, serta peralatan yang juga buatan dalam negeri, seperti double jacket berbahan stainless steel, alat pemotong, alat pengering, alat penepung, alat pengemas.
E.cottonii
Pencucian
Perebusan
Pemotongan
Tangki Double Jacket
Pencucian
Pengeringan
258
Tepung SRC
SPESIFIKASI Semi Refined karaginan hasil ekstraksi rumput laut Eucheuma cottonii adalahseperti pada Tabel berikut : SRC hasil laboratorium
SRC hasil UKM skala 20 kg
Rendemen (%)
38,5
38,5
-
Kadar Air(%)
5,5
5,5
maks 12
Kadar Abu (%) wb
0,2
19,3
15-40
Kd. Abu tak larut asam (%) wb
0,27
0,2
maks 1
17, 69
18,25
15-40
250
215
-
1 009
1 065
-
Parameter
kd. Sulfat (%) Viskositas (cPs) Kekuatan gel (gr)
Investasi
Jumlah
Unit
Harga (Rp)
Standar FAO
Harga Total (Rp)
Total (Rp)
1.Mesin prosesing Mesin pencucian
1
Unit
26.000.000
28.600.000
Alat ekstraksi
1
Unit
25.000.000
27.500.000
Pompa
1
Unit
2.000.000
2.200.000
Blower resund GF
2
Unit
1.230.000
2.583.000
Alat pemotong
1
Unit
5.000.000
5.500.000 66.383.000
2.Peralatan pendukung Peralatan kebersihan
1
Unit
1.000.000
1.000.000
Lemari bahan kimia
1
Unit
500.000
500.000
Bak plastik besar
5
Unit
150.000
750.000
Tan gki air
2
Unit
1.000.000
2.000.000
Tan gki pencucian
2
Unit
1.170.000
2.340.000
Chain hoist
1
Unit
857.700
857.700
Terpal 5x6 m
7
Unit
540.000
3.780.000
Timbangan 50kg
1
Unit
700.00
700.000
Trol i
1
Unit
750.000
750.000
Tangga Besi
1
Unit
600.000
600.000 13.277.700
3.Peralatan kantor Meja
2
Unit
400,000
800,000
Kursi
4
Unit
200.000
800.000
Bangku
2
Unit
250.000
500.000
Lemari
2
Unit
500.000
1.000.000 3.100.000
4. Biaya tak terduga
5
%
82.760.700
Total Biaya Investasi
4.138.035
82.760.700 86.898.735
Tabel 3. Investasi pada Perlakuan Pemotongan sebelum Pengeringan
259
Investasi
Jumlah
Unit
Harga per unit (Rp)
Harga Total (Rp)
Total (Rp)
1.Mesin Prosesing Mesin pencuci
1
Unit
26.000.000
28.600.000
Alat ekstraksi
1
Unit
25.000.000
27.500.000
Pompa
1
Unit
2.000.000
2.200.000
Blower resund GF
2
Unit
1.230.000
2.583.000
Alat Penepung
2
Unit
22.000.000
46.200.000
Alat pemotong
1
Unit
5.000.000
5.500.000 112.583.000
2.Peralatan pendukung Peralatan kebersihan
1
Unit
1.000.000
1.000.000
Lemari bahan kimia
1
Unit
500.000
500.000
Bak plastik besar
5
Unit
150.000
750.000
Tan gki air
2
Unit
1.000.000
2.000.000
Tan gki pencucian
2
Unit
1.170.000
2.340.000
Chain hoist
1
Unit
857.700
857.700
Terpal ukuran 5x6 m
4
Unit
540.000
2.160.000
Timbangan 50kg
1
Unit
700.00
700.000
Troli
1
Unit
750.000
750.000
Tangga besi
1
Unit
600.000
600.000 11.657.700
3.Peralatan Kantor Meja
2
Unit
400.000
800.000
Kursi
4
Unit
200.000
800.000
Bangku
2
Unit
250.000
500.000
Lemari
2
Unit
500.000
1.000.000 3.100.000
4.Biaya tak terduga
5
%
127.340.700
Total Biaya Investasi
6.367.035 133.707 .735
Tabel 4. Investasi pada Perlakuan Pemotongan setelah dikeringkan
260
Kelompok I Treatment I and Treatment III
Kelompok II Treatment II and Treatment IV
Umur Ekonomis
Penyusutan
Mesin/Peralatan
Mesin pencucian
10
2.600.000
Mesin pencucian
10
2.600.000
Alat ekstraksi
10
2.500.000
Alat ekstraksi
10
2.500.000
Pompa
5
400.000
Pompa
5
400.000
Blower resund GF
5
492.000
Mechanical dyer
5
492.000
Alat pemotong
5
1.000.000
Blower resund GF
10
4.400.000
Peralatan kebersihan
2
1.000.000
Alat pemotong
5
1.000.000
5
100.000
Peralatan kebersihan
2
500.000
2
375.000
Lemari bahan kimia
5
100.000
Tan gki air
5
400.000
Bak plastic besar
2
375.000
Tan gki pencucian
5
468.000
Tanki air
5
400.000
Chain hoist
10
85.770
Tanki pencucian
5
468.000
Terpal 5x6 m
5
756.000
Chain hoist
10
85.770
Timbangan 50kg
5
140.000
terpal 5x6 m
5
432.000
Meja
5
160.000
Timbangan 50kg
5
140.000
Kursi
5
160.000
Meja
5
160.000
Bangku
5
100.000
Kursi
5
160.000
Lemari
5
200,000
Bangku
5
100,000
Lemari
5
200,000
Mesin/Peralatan
Lemari bahan kimia
Bak plastik besar
Total
11.381.370
Umur Ekonomis
Total
Tabel 5. Investasi pada Perlakuan Pemotongan setelah dikeringkan
261
Penyusutan
16.552.370
Biaya Produksi per tahun
Perlakuan pemotongan sebelum pengeringan matahari Harga Total Harga Jumlah Satuan(Rp) (Rp)
Perlakuan Pemotongan setelah pengeringan matahari Harga satuan Jumlah Toal harga (Rp) (Rp)
1 orang
23.040.000
1 orang
Biaya Tetap 1. Supervisor
80.000/hari
80.000/hari
23.040.000
2.Sewa Bangunan dan Tanah Bangunan
150m
2
70.000/m
2
10.500.000
150m
2
70.000/m
2
10.500.000
Tanah
200m
2
55.000/m
2
11.000.000
200m
2
55.000/m
2
11.000.000
3.Biaya Perawatan Mesin dan alat
5%
76.837.700
3.841.885
5%
76.837.700
3.841.885
Bangunan
5%
10.500.000
525.000
5%
10.500.000
525.000
11.581.770
11.581.770
11.581.770
11.581.770
-
15.563.480
4. Penyusutan Mesin dan alat 5.Bunga Bank
10%
Tot. Biaya Tetap
10%
15.563.480
76.147.885
76.147.885
Biaya Variabel 1.Bahan Baku Rumput laut kering
200kg/hari
8.000
460.800.000
200kg/hari
8.000
460.800.000
KOH
28 kg/hari
43.000
346.752.000
28 kg/hari
43.000
346.752.000
2. Listrik Listrik untuk tandon air Listrik untuk pencucian tank Listrik untuk blower Listrik untuk mesin ekstraksi Listrik untuk alat pemotong Blower resund
0.44 Kw 5 jam/hari 3 kwh 6 jam/hari 0.5 kwh 6 jam/hari 0.5 kwh 10 jam/hari 0.66 kwh 4 jam/hari 250 Watt 5 jam/hari
700/Kwh
443.520
700/Kwh
3.628.800
700/Kwh
604.800
700/Kwh
1.008.000
700/Kwh
532.224
700/Kwh
252.000
0.44 Kw 5 jam/hari 3 kwh 6 jam/hari 0.5 kwh 6 jam/hari 0.5 kwh 10 jam/hari 0.66 kwh 4 jam/hari 250 Watt 5 jam/hari
700/Kwh
443.520
700/Kwh
3.628.800
700/Kwh
604.800
700/Kwh
1.008.000
700/Kwh
532.224
700/Kwh
252.000
3. Bahan bakar Bahan bakar minyak
40 L/hari
8.500/Liter
97.920.000
40 L/hari
Tabel 6. Biaya Produksi per Tahun untuk Kelompok I
262
8.500/Liter
97.920.000
Biaya Produksi per tahun
Perlakuan pemotongan sebelum pengeringan matahari Harga Satuan Total Harga Jumlah (Rp) (Rp)
Perlakuan Pemotongan setelah pengeringan matahari Harga satuan Jumlah Toal harga (Rp) (Rp)
1 orang
23.040.000
1 orang
Biaya Tetap 1. Supervisor
80.000/hari
80.000/hari
23.040.000
2.Sewa Bangunan dan Tanah Bangunan
150m
2
70,000/m
2
10.500.000
150m
2
70.000/m
2
10.500.000
Tanah
200m
2
55.000/m
2
11.000.000
200m
2
55.000/m
2
11.000.000
3.Biaya Perawatan Mesin dan alat Bangunan
5% 5%
119.217.700
5.960.885
10.500.000
525.000
5% 5%
119.217.700
5.960.885
10.500.000
525.000
4. Penyusutan Mesin dan alat 5.Bunga Bank
15.657.770 10%
-
Total Biaya Tetap
15.563.480
15.657.770 10%
-
82.672.885
15.563.480 82.672.885
Biaya Variabel 1.Bahan Baku Rumput laut kering
200kg/hari
8.000
460.800.000
200kg/hari
8.000
460.800.000
KOH
28kg/hari
43.000
346.752.000
28kg/hari
43.000
346.752.000
700/Kwh
443.520
0.44 Kw 5 jam/hari
700/Kwh
443.520
700/Kwh
3.628.800
3 kwh 6 jam/hari
700/Kwh
3.628.800
700/Kwh
604.800
700/Kwh
604.800
700/Kwh
1.008.000
700/Kwh
1.008.000
700/Kwh
532.224
700/Kwh
532.224
700/Kwh
288.000
700/Kwh
252.000
700/Kwh
241.920
700/Kwh
241.920
2. Listrik Listrik untuk tandon air Listrik untuk pencucian tank Listrik untuk blower Listrik untuk mesin ekstraksi Listrik untuk alat pemotong Blower resund Listrik untuk pengering
0.44 Kw 5 jam/hari 3 kwh 6 jam/hari 0.5 kwh 6 jam/hari 0.5 kwh 10 jam/hari 0.66 kwh 4 jam/hari 250 Watt 5 jam/hari 150 watt 8 jam/hari
0.5 kwh 6 jam/hari 0.5 kwh 10 jam/hari 0.66 kwh 4 jam/hari 250 Watt 5 jam/hari 150 watt 8 jam/hari
3. Bahan bakar
Tabel 7. Biaya Produksi per Tahun Kelompok II
263
Kelompok I
Kelompok II
Item Perlakuan I Biaya Tetap (Rp)/tahun
Perlakuan III
Perlakuan II
Perlakuan IV
76.147.885
76.147.885
82.672.885
82.672.885
972 .392.544
972 .420.192
993.335.904
993.698.784
Production/year (kg)
19.008
20.966
18.778
21.197
Biaya Tetap /kg (Rp)
4.006
3.632
4.403
3.900
51.157
46.389
52.900
46.880
9.208
8.348
5.290
4.688
60.365
54.728
58.190
51.568
Gross net profit/kg(Rp)
9.208
8.8348
5.290
4.688
Net profit (Rp)/kg
5.202
4.716
887
788
ROS (%)
8.62%
8.62%
1.52%
1.53%
BiayaVariabel (Rp)/tahun
Biaya variabel/kg mark up (Rp) Harga jual (Rp/kg)
Tabel 8. Rangkuman Hasil Analisis Ekonomi
Produksi ATC Struktur Pembiayaan Investment (Rp) Biaya Produksi/tahun
Kelompok I Perlakuan I
Kelompok II
Perlakuan III
Perlakuan II
Perlakuan IV
180.000.000
180.000.000
180.000.000
180.000.000
1.048.540.429
1.033.004.597
1.076 .008.789
1.076 .371.669
200
200
200
200
Proses Produksi Kapasitas proses (kg/hari) Kapasitas Produksi (kg/hari)
66
73
65
74
Bahan baku (kg/tahun)
57600
57600
57600
57600
Produk(kg/tahun)
19.008
20.966
18.778
21.197
8.270
9.121
15.628
17.635
499.191.688
499.191.688
909.401.731
909.401.731
BEP and Return of Investment BEP Capacity (kg) BEP (Rp) R/C (%)
109
109
102
102
ROI (%)
41.20
41.20
6.94
6.96
2.43
2.43
14.41
14.37
ROI Time (tahun)
Tabel 9. Ringkasan Analisis Ekonomi Produksi SRC
264
BBP4BKP Penyamakan Kulit Ikan
Unit Eselon I Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan Satuan Kerja Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan Alamat Jl. Petamburan VI, KS. Tubun, Slipi Jakarta Kategori Teknologi Pengolahan Sifat Teknologi Inovasi: Pengembangan dari teknologi penyamakan kulit hewan darat dan reptil Masa Pembuatan 1984-2012 Tim Penemu Nurul Hak Rinta Kusumawati Murniyati Yunizal
Kontak Person Nurul Hak
[email protected]
265
DESKRIPSI TEKNOLOGI Teknologi ini dimaksudkan untuk menghasilkan kulit ikan tersamak yang nantinya dapat dipergunakan sebagai bahan baku untuk kerajinan kulit. Pengembangan produksi penyamakan kulit ikan sangat potensial membuka lapangan kerja baru karena memanfaatkan kulit mentah menjadi kulit tersamak yang bermotif, corak, dan tekstur yang unik dan khas ikan, yang selanjutynya dapat digunakan untuk dijadikan produk-produk industri kulit seperti dompet, tas, sepatu, sandal dan sebagainya. Manfaat dari pengembangan teknologi ini adalah mendayagunakan limbah hasil perikanan berupa kulit ikan untuk mendapatkan nilai tambah karena selama ini limbah kulit ikan belum dimanfaatkan secara optimal. Beberapa pengolah tradisional mengolah kulit ikan untuk dijadikan kerupuk ikan, namun hanya untuk jenis tertentu yang sesuai untuk kerupuk dan nilai jualnya pun sangat rendah. Dengan teknologi ini, kulit dari hampir semua jenis ikan, termasuk yang berukuran relatif kecil seperti katak, dapat disamak dan dijadikan produk industri kreatif yang eksklusif dan bernilai jual tinggi, bahkan sangat potensial untuk diekspor. Teknologi ini dirakit dari serangkaian penelitian yang sudah dimulai dari tahun 1984 karena pada saat itu masih merupakan teknologi yang baru. Inventarisasi kulit dari berbagai jenis ikan, pengembangan teknologi, dan kaji terap telah dilakukan di berbagai daerah antara lain Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, DKI, DIY, Maluku, NTT, Sulawesi Selatan, dan Lampung bersama dengan Dinas-dinas kelautan dan perikanan setempat. Berbagai jenis ikan mempunyai ciri karakter fisik, kimia, dan biologi yang berbeda-beda, yang memerlukan teknik penyamakan yang berbeda pula. Namun pada akhirnya dapat dirakit teknologi yang tepat yang dapat diterapkan untuk banyak jenis kulit ikan. Dengan adanya teknologi penyamakan kulit, masyarakat sudah mulai menyadari nilai jual kulit ikan sehingga para nelayan (terutama untuk ikan hiu) memisahkan dulu kulit ikan untuk dijual ke pengumpul kulit ikan, baru kemudian menjual daging ikannya secara terpisah. Sentra-sentra pengumpul kulit ikan pari juga telah berkembang misalnya di Muara Angke, Jakarta, Labuhan Maringgai Lampung, Cilacap, Jepara, Gresik, Balikpapan. Untuk industri penyamakan kulit ikan dan kerajinannya yang mulai berkembang ada di Dadap Tangerang, Yogyakarta, Boyolali Jawa tengah, Medan, Lampung.
266
Penyamakan kulit dapat dilakukan menggunakan bahan baku kulit yang masih segar ataupun yang sudah diawetkan. Pada prakteknya, menyamak kulit menggunakan kulit segar tidak praktis karena suplai bahan baku tidak teratur, oleh karena itu diperlukan teknologi pengulitan dan pengawetan kulit untuk melengkapinya. Teknologi pengulitan dan pengawetan kulit dapat diterapkan pada skala rumah tangga, UKM atau industri kecil, yang akan memasok hasil produksinya kepada industri yang menerapkan teknologi penyamakan kulit (Gambar 1.). Teknologi penyamakan kulit lebih sesuai dikembangkan pada skala industri, karena memerlukan peralatan dan bahan kimia tertentu, serta memerlukan instalasi pengolahan limbah (IPAL).
TEKNOLOGI YANG DIPAKAI
RANTAI KEGIATAN
PENGEMBANGAN USAHA
TEKNOLOGI PENANGKAPAN IKAN TEKNOLOGI BUDIDAYA
MEMILIH IKAN YANG DAPAT DIMANFAATKAN KULITNYA ( HIU, PARI, KAKAP, TUNA, NILA, DLL)
USAHA PENANGKAPAN USAHA BUDIDAYA IKAN
TEKNOLOGI PENGULITAN IKAN TEKNOLOGI PENGAWETAN KULIT IKAN
PENGULITAN IKAN PENGAWETAN KULIT IKAN (KULIT AWET)
USAHA FILET IKAN & PENGUMPUL KULIT IKAN
TEKNOLOGI PENYAMAKAN KULIT IKAN
PENYAMAKAN KULIT IKAN (KULIT TERSAMAK)
USAHA PENYAMAKAN KULIT IKAN
TEKNOLOGI PEMBUATAN BARANG JADI
PEMBUATAN BARANG JADI (TAS, DOMPET, SEPATU, SANDAL, DSB)
USAHA KERAJINAN PRODUK KULIT IKAN
TEKNOLOGI PEMASARAN
PEMASARAN (DISTRIBUTOR, AGEN, MLM, INTERNET)
USAHA PERTOKOAN/SHOW ROOM
Gambar 1. Skema pengembangan usaha penyamakan kulit ikan
PENGERTIAN Penyamakan adalah suatu proses untuk mengubah kulit mentah (hide/skin) menjadi kulit tersamak (leather) melalui suatu tahapan proses dengan menggunakan bahan-bahan kimia dan penyamak (tanning agent) sehingga kulit yang semula labil terhadap pengaruh kimiawi, fisik dan biologis menjadi stabil pada tingkat tertentu. Industri penyamakan kulit pada umumnya menggunakan bahan mentah yang berasal dari kulit hewan darat seperti sapi, kambing, domba dan reptil. RINCIAN DAN APLIKASI TEKNIS Persyaratan Teknis Teknologi ini sesuai untuk bahan baku kulit ikan kakap, tuna, lemadang, nila, patin, atau ikan yang sejenis yang berukuran sekitar 1-4 kg per ekor. Persyaratan utama yang harus dipenuhi dalam penerapan teknologi ini adalah tersedianya kulit ikan yang utuh dan sangat segar. Kulit yang tidak utuh atau yang tidak segar akan sangat mudah robek dan setelah disamak akan sulit untuk dijadikan bahan baku industri. Penyamakan kulit memerlukan peralatan berupa drum penyamak (tanning drum), alat pengampelas (buffing), bak plastik, papan pementang kulit, paku, martil, tang, gunting,
267
alat peregang kulit (staking), alat pengkilap/penggosok kulit (glazing) dan spray gun. Bahan kimia yang diperlukan antara lain tepung kapur/Ca (OH)2, natrium sulfida/Na2S, amonium sulfat/(NH4)2SO4, asam formiat/(HCOOH), enzim oropon, asam sulfat/H2SO4, garam dapur, bahan penyamak krom, natrium karbonat, natrium bikarbonat, zat penyamak sintetis (basyntan DLX), Gambar 2. Kulit Pari Tersamak minyak sulfonasi (lipoderm, sandolix wwl) dan pengkilap (LE 217). Sebaiknya industri penyamakan kulit dilakukan di daerah yang agak jauh dari rumah pemukiman padat, karena bau yang ditimbulkan pada saat proses pengapuran dapat mengganggu lingkungan sekitarnya. Rincian teknologi Penimbangan Berat Kulit Segar Kulit segar atau kulit awetan ditimbang sebagai pedoman untuk menghitung persentase bahan-bahan yang digunakan pada tahapan proses selanjutnya. Pengapuran (liming) Kulit direndam dalam bak atau ember plastik yang berisi larutan kapur terdiri atas 300500% Air, 3 % tepung kapur dan 3 % natrium sulfida selama 2-3 malam. Untuk kulit ikan yang lebih tebal seperti ikan pari dan dari ikan yang besar seperti hiu, tuna, persentase kapur dan waktu pengapuran dapat ditambah. Pembuangan Kapur dan Pemberian Enzim (deliming and bating) Setelah kulit dicuci bersih, kulit diputar dalam drum dengan 300-500% air dan 0,5 % amonium sulfat selama 30 menit. Setelah ditambahkan 0,5 % asam formiat kemudian kulit diputar terus selama 30 menit. Setelah itu ditambahkan 1-2 % enzim Oropon (atau enzim sejenis) lalu kulit diputar terus dalam drum selama 1-2 jam. Pengasaman (pickling) Setelah kulit dicuci bersih, kulit diputar dalam drum dengan larutan 200-300 % air, 2030% garam dapur dan 2-3 % asam formiat (dapat dikombinasikan dengan jenis asam lainnya) selama 1-2 jam sampai larutan mencapai pH 3. Penyamakan khrom (chrome tanning) Kulit diputar dalam larutan asam tersebut setelah ditambahkan 8-10% zat penyamak khrom (umumnya menggunakan chromosal B) selama 2 x 1 jam. Kemudian ditambahkan ke dalam drum yang berputar 2% Na2CO3 dan drum terus diputar selama 3 x 2 jam. Setelah itu kulilt dikeluarkan dari drum dan dibentangkan di atas kuda-kuda selama satu malam. Untuk kulit pari umumnya disamak dengan bahan penyamak formalin.
268
Penetralan (neutralizing) Kulit diputar dalam drum selama 1 - 2 jam dengan larutan yang terdiri atas 200-300 % air hangat dan 2% Na2CO3. Setelah itu kulit dibilas dengan air bersih. Penyamakan ulang (retanning). Kulit diputar dalam drum selama 1-2 jam dengan larutan yang terdiri atas 200-300% air hangat dan 10% zat penyamak sintetis yang disebut syntan (synthetic tanning) seperti Basyntan, Sandotan, atau Lowatan. Pewarnaan dan peminyakan (dyeing and fat liquoring). Kulit diputar dalam drum selama 1 jam dengan larutan yang terdiri atas : 200-300% air hangat dan 2% zat warna. Setelah itu tambahkan ke dalam drum 8% minyak yang sudah disulfonasi (sulfonated oil) seperti Lipoderm, Sandolix WWL atau Lowanol dan kulit diputar lagi selama 1jam. Tambahkan lagi ke dalam drum 1% HCOOH dan kulit diputar lagi selama 30 menit. Finishing (penyelesaiaan) Kulit dipentang pada papan pementang dengan dipaku pada bagian tepinya dan dikeringkan. Setelah itu kulit yang sudah kering diambil dari papan pementang dirapikan dengan menggunting pada bagian tepinya (trimming) serta bekas lubang paku, setelah itu diampelas pada bagian bawahnya. Sedangkan pada bagian atasnya digosok dengan mesin atau secara manual digosok dengan cangkang keong laut sampai kulit mengkilap. Pembuatan Produk Kulit ikan tersamak siap dikirim ke industri kerajinan atau pengrajin untuk dibuat menjadi aneka produk kulit berupa tas, dompet, sandal, sepatu dan sebagainya. KEUNGGULAN TEKNOLOGI : Kulit tersamak dari setiap jenis ikan mempunyai motif, corak permukaan kulit, dan tekstur yang unik dan berbeda hewan darat seperti kulit sapi, kambing dan reptil. Mutu kulit ikan tersamak yang dihasilkan kuat, lemas dan elastis , dan telah memenuhi persyaratan Standar Nasional Indonesia (SNI 06-6121-1999 tentang Kulit Ikan Pari untuk Barang Jadi dan SNI 06-4263-1996 tentang Kulit Motif Fancy dari Kulit Sapi untuk Barang Jadi). WAKTU DAN LOKASI REKOMENDASI Penelitian dilakukan mulai dari tahun 1984 hingga 2013 dengan mempergunakan fasilitas Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan. KEMUNGKINAN DAMPAK NEGATIF Limbah cair dari proses penyamakan kulit dapat mencemari lingkungan, bila tidak dikelola sebelum dibuang ke saluran pembuangan publik. Oleh karena itu industri penyamakan kulit hendaknya membangun IPAL yang memadai. Di samping itu penggunaan bahan-bahan penyamak yang tepat dan optimal akan mengurangi kemungkinan dampak negatif tersebut, juga saat ini sudah tersedia bahan penyamak yang diformulasikan ramah lingkungan yang dapat terserap atau berikatan dengan kulit dengan baik sehingga mengurangi resiko pencemaran.
269
KELAYAKAN FINANSIAL Bahan mentah kulit ikan sangat potensial tersedia mengingat negara Indonesia sebagian besar wilayahnya adalah laut yang menghasilkan banyak jenis ikan. Bahan-bahan dan peralatan penyamakan kulit juga tersedia mengingat sudah berkembangnya industri penyamakan kulit hewan darat dan reptil, yang menggunakan bahan dan peralatan yang tidak jauh berbeda. Analisis usaha dapat dihitung berdasakan Tabel 1 berikut, dengan rincian seperti pada Tabel-tabel dalam lampiran. Tabel 1. Rekapitulasi Biaya Penyamakan Kulit per Tahun No
Jenis Pengeluaran/Pemasukkan
Jumlah
1 Produksi kulit ikan tersamak, lembar
93.600
Harga Satuan (Rp.) 100.000
Total Biaya (Rp.) 9.360.000.000
2 Biaya Produksi Biaya Investasi
1.012.055.000
Biaya tetap
297.675.000
Biaya Tidak Tetap
4.757.000.000
3 Keuntungan Kotor (1 – 2)
3.293.270.000
4 Pajak 17%
559.855.900
5 Keuntungan Bersih (3 – 4)
2.733.414.100
Berdasarkan penghitungan Break Event Point (BEP), agar tidak rugi kulit tersamak harus diproduksi sebanyak 67.000 lembar per tahun dengan harga jual Rp. 71.000,- per lembar. Sedangkan kemampuan keuntungan untuk mengembalikan modal atau Return on Investment (ROI), adalah 5 bulan. TINGKAT KOMPONEN DALAM NEGERI Komponen yang digunakan dalam teknologi ini sebagian besar (70%) menggunakan material produksi dalam negeri, sebagian lain masih menggunakan bahan impor, terutama untuk bahan kimia.
a
b
c
d
270
Gambar: a. Kulit Kakap Tersamak b. Kulit Pari Duri Tersamak c. Kulit Nila Tersamak d. Kulit Lemadang Mentah
Aneka Dompet Kulit Pari Aneka Dompet Kulit Kakap Sepatu sandal kulit kerapu
Tas Kulit Kakap Dompet Kulit Pari Dompet dari kulit patin
Tas Kulit Kakap Tas dari kulit lemadang Sepatu sandal kulit kerapu
Kulit Tersamak dari Jenis Ikan
KekuatanTarik (kg/cm2)
Kemuluran (%)
Kekuatan Jahit (kg/cm)
Suhu Kerut (oC)
Kulit Hiu Tersamak Kulit Pari Tersamak Kulit Tuna Tersamak Kulit Kakap Tersamak Kulit NilaTersamak Kulit PatinTersamak Kulit Lemadang Tersamak
285 230 -289 128 – 273 222 - 286 199 – 255 2.012 – 2.229 2.546 - 3.650
46 34 - 36 66 - 92 55 - 66 67 - 92 40 - 50 43 - 62
138 - 247 91 - 119 965 - 998 1.656 - 2.498
70 - 82 87 - 99 82 – 88 82-86 89 – 94 80 – 86
SNI. 06-6121-1999 (Kulit pari tersamak)
Minimum 2000 N/cm2 (196,12 kg/cm2)
Tidak ada
Minimum 1000 N/cm (98,06 kg/cm)
Minimum 70
SNI. 06-4263-1996 (Kulit sapi tersamak)
Minimum 1500 N/cm2 (152,95 kg/cm2)
Maksimum 70%
Minimum 900 N/cm (91,77 kg/cm)
Tidak ada
Catatan : 1 kg/cm2 = 9,8066 N/cm2 Tabel 2. Hasil uji fisik kulit ikan tersamak dari beberapa jenis ikan
271
No 1 2 3 4
5 6 7 8
Rincian Pengadaan Tanah Pembangunan pabrik pengolahan Pembuatan peralatan penjemuran Pengadaan alat dan Peralatan Timbangan 50 kg digital Alat pengaduk kulit (mollen) Alat spray (pengecat kulit) Alat pengamplas Seterika Timbangan analitik Bak plastik 0,5 m3 Sikat plastik keras Papan perentang kulit Meja pembersih kulit Pissau Keranjang plastik Ember plastik Kompor gas Lemari penyimpan alat Meja dan peralatan kantor Penggalian sumur bor dan instalasi pipa Pemasangan listrik
Tabel
m2
Harga satuan (Rp.) 300.000
Biaya ( Rp.) 90.000.000
1
bh
500.000.000
500.000.000
1
bh
100.000.000
100.000.000
1 1 1 1 1 1 5 10 120 1 10 10 10 1 1 1
bh unit bh bh bh bh bh bh bh bh bh bh bh unit bh set
25.000.000 40.000.000 10.000.000 100.000.000 500.000 10.000.000 1.000.000 10.000 50.000 5.000.000 150.000 25.000 35.000 1.000.000 350.000 10.000.000
25.000.000 40.000.000 10.000.000 100.000.000 500.000 10.000.000 5.000.000 100.000 6.000.000 5.000.000 1.500.000 250.000 350.000 1.000.000 350.000 10.000.000
1
set
10.000.000
10.000.000
1
unit
5.000.000
5.000.000
Sub jumlah Lain-lain (10%) Total biaya
920.050.000 92.005.000 1.012.055.000
Jumlah 300
3 . Perhitungan Biaya Investasi
272
1
Pengadaan Tanah
10
%
Harga satuan (Rp.) 90.000.000
2
Pembangunan pabrik pengolahan
10
%
500.000.000
50.000.000
3
Pembuatan peralatan penjemuran
10
%
100.000.000
10.000.000
4
Pengadaan alat dan Peralatan Timbangan 50 kg digital
10
%
25.000.000
2.500.000
Alat pengaduk kulit (mollen)
10
%
40.000.000
4.000.000
Alat spray (pengecat kulit)
10
%
10.000.000
1.000.000
Alat pengamplas
10
%
100.000.000
10.000.000
Seterika
10
%
500.000
50.000
Timbangan analitik
10
%
10.000.000
1.000.000
Bak plastik 0,5 m3
20
%
5.000.000
1.000.000
Sikat plastik keras
20
%
100.000
20.000
Papan perentang kulit
20
%
6.000.000
1.200.000
Meja pembersih kulit
20
%
5.000.000
1.000.000
Pissau
10
%
1.500.000
150.000
Keranjang plastik
20
%
250.000
50.000
Ember plastik
20
%
350.000
70.000
Kompor gas
10
%
1.000.000
100.000
5
Lemari penyimpan alat
10
%
350.000
35.000
6
Meja dan peralatan kantor
10
%
10.000.000
1.000.000
7
Penggalian sumur bor dan instalasi pipa
10
%
10.000.000
1.000.000
8
Pemasangan listrik
10
%
5.000.000
500.000
9
Gaji Manajer Pabrik
12
OB
3.000.000
36.000.000
10
Gaji pegawai, penjaga (4 orang) Gaji pegawai keuangan, pemasaran (3 orang)
48
OB
2.000.000
96.000.000
36
OB
2.000.000
72.000.000
Sub jumlah
297.675.000
Total biaya
297.675.000
No
11
Rincian
Jumlah
Penyusutan (Rp.) 9.000.000
Tabel 4 . Biaya Produksi Tetap per tahun usaha
No
Rincian
Jumlah
Harga satuan (Rp.)
Biaya (Rp.)
1
Wetting agent, kg
20
100.000
2.000.000
2
Bactericide, kg
5
250.000
1.250.000
3
Natrium bikarbonat, kg
5
15.000
75.000
4
Ammonium sulfat, kg
10
15.000
150.000
5
Tepung kapur, kg
25
15.000
375.000
6
Natrium sulfida,kg
25
20.000
500.000
7
Enzim Oropon, kg
25
50.000
1.250.000
8
Hidrogen peroksida (H2O2)
20
20.000
400.000
9
Degresing agent, ltr
10
50.000
500.000
10
Kertas pH, pack
5
75.000
375.000
11
Asam formiat, ltr
10
20.000
200.000
12
Asam sulfat, ltr
10
20.000
200.000
13
Garam dapur, kg
15
15.000
225.000
14
Zat penyamak chrome, kg
50
50.000
2.500.000
15
Sodium format, kg
10
40.000
400.000
16
Sintetic tannin, kg
25
70.000
1.750.000
17
Sulfonated oil, kg
25
70.000
1.750.000
18
Dyestove, kg
15
200.000
3.000.000
19
Lack, kg
10
100.000
1.000.000
20
Binder, kg
15
80.000
1.200.000
21
Pigmen, kg
15
200.000
3.000.000
22
Tiner, ltr
20
25.000
500.000
23
Formalin, ltr
40
10.000
400.000
24
Sodium metabisulfit, kg
30
15.000
450.000
25
Kalium permanganate, kg
10
75.000
750.000
26
Asam chloride, ltr
10
25.000
250.000
27
Enzym , kg
11
50.000
550.000
Jumlah
25.000.000
Tabel 5 . Bahan kimia yang dibutuhkan dalam penyamakan kulit
273
No 1
Jenis Pengeluaran
Jumlah
Harga Satuan
Total Biaya
(Rp.)
(Rp.)
Bahan Baku Kulit ikan, lembar
93.600
50.000
4.680.000.000
2
Bahan Kimia
25.000.000
3
Pemakaian listrik
50.000.000
4
Bahan Pengemas Total Biaya Tidak Tetap
2.000.000 4.757.00 0.000
Tabel 6. Biaya Produksi Tidak Tetap per Tahun Usaha
Perhitungan BEP dan ROI Break Event Point (BEP) dihitung sebagai berikut: Batas Laba Rugi/BEP =( Hasil Penjualan – Keuntungan Bersih)/Hasil Produksi = (Rp. 9.360.000.000,- - Rp. 2.733.414.100,-) = Rp. 6.626.58.900,-,/93.600 lbr = Rp.70.796,dibulatkan Rp.71.000,Atau: (Hasil Penjualan – Keuntungan Bersih)/Harga kulit tersamak per lembar = (Rp. 9.360.000.000,- - Rp. 2.733.414.100,-)/Rp.100.000,= 66.265 lembar, dibulatkan menjadi 67.000 lembar. Return on Investment (ROI), adalah Laba bersih/Total investasi = Rp.2.733.414.000,-/Rp.1.012.005.000,-= 2.700 Waktu balik modal = 1/2700 tahun = 0,3703 atau 4,4 bulan, dibulatkan menjadi 5 bulan.
274
BBP4BKP Pengulitan dan Pengawetan Kulit Ikan
Unit Eselon I Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan Satuan Kerja Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan Alamat Jl. Petamburan VI, KS. Tubun, Slipi Jakarta Kategori Teknologi Pengolahan Sifat Teknologi Inovasi: Pengembangan Masa Pembuatan 1984-2012 Tim Penemu Nurul Hak Murniyati
Kontak Person Nurul Hak
[email protected]
275
DESKRIPSI TEKNOLOGI Tujuan dari teknologi ini adalah memanfaatkan hasil samping produk perikanan yaitu kulit ikan yang nantinya dapat digunakan sebagai bahan utama untuk membuat produk kulit tersamak yang merupakan bahan baku bagi industri kerajinan. Kulit ikan yang dihasilkan dari industri fillet atau pengolahan ikan lain belum dimanfaatkan secara optimal, bahkan potensial mengganggu kebersihan dan kenyamanan lingkungan bila tidak dikelola dengan baik. Untuk mendapatkan kulit ikan sebagai bahan baku kulit tersamak, diperlukan teknologi pengulitan yang tepat, agar diperoleh kulit yang utuh dan memenuhi persyaratan sebagai bahan baku kulit tersamak. Kulit ikan juga harus dikumpulkan terlebih dahulu dalam jumlah yang memadai untuk diproses di industri penyamakan, oleh karena itu diperlukan teknologi pengawetan kulit agar kulit tidak membusuk sebelum sampai di industri penyamakan. Seperti halnya daging, kulit ikan banyak mengandung senyawa protein dan lemak yang sangat mudah busuk. Bila kulit ikan sudah menurun mutunya, penyamakan akan menghasilkan kulit yang mudah robek. Penyamakan kulit dapat dilakukan menggunakan bahan baku kulit yang masih segar ataupun yang sudah diawetkan. Pada prakteknya, menyamak kulit menggunakan kulit segar tidak praktis karena suplai bahan baku tidak teratur, oleh karena itu diperlukan teknologi pengulitan dan
TEKNOLOGI YANG DIPAKAI
RANTAI KEGIATAN
PENGEMBANGAN USAHA
TEKNOLOGI PENANGKAPAN IKAN TEKNOLOGI BUDIDAYA
MEMILIH IKAN YANG DAPAT DIMANFAATKAN KULITNYA ( HIU, PARI, KAKAP, TUNA, NILA, DLL)
USAHA PENANGKAPAN USAHA BUDIDAYA IKAN
TEKNOLOGI PENGULITAN IKAN TEKNOLOGI PENGAWETAN KULIT IKAN
PENGULITAN IKAN PENGAWETAN KULIT IKAN (KULIT AWET)
USAHA FILET IKAN & PENGUMPUL KULIT IKAN
TEKNOLOGI PENYAMAKAN KULIT IKAN
PENYAMAKAN KULIT IKAN (KULIT TERSAMAK)
USAHA PENYAMAKAN KULIT IKAN
TEKNOLOGI PEMBUATAN BARANG JADI
PEMBUATAN BARANG JADI (TAS, DOMPET, SEPATU, SANDAL, DSB)
USAHA KERAJINAN PRODUK KULIT IKAN
TEKNOLOGI PEMASARAN
PEMASARAN (DISTRIBUTOR, AGEN, MLM, INTERNET)
USAHA PERTOKOAN/SHOW ROOM
Gambar 1. Skema pengembangan usaha penyamakan kulit ikan
276
pengawetan kulit untuk melengkapinya. Teknologi pengulitan dan pengawetan kulit dapat diterapkan pada skala rumah tangga, UKM atau industri kecil, yang akan memasok hasil produksinya kepada industri yang menerapkan teknologi penyamakan kulit (Gambar 1). PENGERTIAN Pengulitan adalah suatu proses mengambil kulit ikan dari tubuhnya secara utuh tanpa ada cacat dengan cara memotong bagian-bagian tertentu dari tubuh ikan tanpa merusak dagingnya. Industri fillet ikan adalah industri yang mengolah produk fillet menggunakan bahan baku ikan segar dengan perlakuan penyiangan, penyayatan, dengan atau tanpa pembuangan kulit, perapihan, pencucian, dengan atau tanpa pembekuan, pengepakan dan penyimpanan segar atau beku. Industri ini menghasilkan limbah berupa kulit ikan. Pengawetan adalah upaya untuk mempertahankan kesegaran suatu bahan dan memperpanjang umur simpan suatu bahan. RINCIAN DAN APLIKASI TEKNIS Persyaratan Teknis Teknologi ini sesuai untuk berbagai jenis ikan yang kulitnya dapat disamak seperti ikan kakap, tuna, lemadang, nila, patin, atau ikan yang sejenis yang berukuran sekitar 1-4 kg per ekor. Persyaratan utama yang harus dipenuhi dalam penerapan teknologi ini adalah tersedianya ikan yang masih segar segar dan tidak mengalami luka fisik. Ikan yang mempunyai luka fisik kulitnya tidak utuh lagi sehingga tidak layak untuk disamak. Demikian pula ikan yang tidak segar akan menghasilkan kulit yang mudah robek sehingga sulit disamak. Rincian Teknologi Teknologi Pengulitan Ikan Hiu Untuk mendapatkan kulit ikan hiu yang baik perlu adanya teknik pemotongan dan pengulitan secara tepat dan benar. Adapun cara-cara pemotongan dan pengulitan ikan hiu adalah sebagai berikut : Ikan hiu utuh dicuci dengan air bersih di atas meja pengolahan atau lantai yang bersih dan datar, kemudian dipotong bagian-bagiannya secara berurutan. Bagian pertama yang harus di potong adalah sirip, kemudian ekor dan kepala. Ikan yang telah terpotong kemudian didiamkan hingga darah mengalir keluar sampai habis. Setelah itu, ikan tanpa kepala, sirip dan ekor dicuci dengan air sampai bersih. Selanjutnya tubuh ikan ditoreh sepanjang garis punggung sedalam 2 sampai 4 cm. Kemudian kulit dilepaskan secara hati-hati dengan menggunakan pisau tajam yang ujungnya tidak runcing. Perlu diperhatikan bahwa kulit harus diupayakan tidak tersayat atau terluka, atau robek, bila perlu sedikit bagian daging boleh tertinggal pada kulit untuk kemudian dibersihkan, dari pada berusaha menghilangkan semua bagian daging tapi melukai bagian kulit. Teknologi Pengulitan Ikan Pari Cara pengulitan ikan pari diawali dengan mencuci ikan dan meletakkan di meja pengolahan atau lantai yang bersih dan datar. Ekor ikan kemudian dipotong. Selajutnya dibuat torehan melingkar
277
dengan pisau tajam mengikuti garis sisik yang terdapat pada permukaan kulit pari bagian punggungnya. Torehan pisau diupayakan sedalam 1 sampai 2 cm, sedangkan jarak torehan pisau dari tepi sisik kira-kira 0,5 sampai 1 cm. Ta h a p s e l a n j u t n y a a d a l a h pelepasan kulit dari daging. Pelepasan kulit harus dilakukan secara hati-hati dengan menyayat daging di bawah kulit sambil menarik kulit dari badan ikan, bila perlu tinggalkan daging seperlunya untuk dibersihkan kemudian. Teknologi Pengulitan Ikan Kakap (atau ikan kecil lain sejenis) Setelah dicuci, ikan kakap utuh dibersihkan dan dibuang sisiknya atau boleh juga tanpa dibuang sisiknya, lalu dicuci dengan air bersih dan diletakkan di atas meja pengolahan. Ikan kemudian dipotong dalam bentuk filet pada sisi kiri dan sisi kanan. Kulit yang menempel pada setiap fillet kemudian dilepaskan dengan menyayat secara hati-hati bagian daging yang menempel.
Gambar 2. Kulit Ikan Kakap Mentah
Gambar 3. Kulit Ikan Lemadang Mentah
Pengawetan Kulit Ikan Prinsip pengawetan kulit ikan adalah mengurangi kadar air kulit ikan sedemikian rupa sehingga dapat mencegah tumbuhnya mikroorganisme. Sebelum dilakukan proses pengawetan, kulit harus dicuci untuk membersihkan dari kotoran-kotoran misalnya darah, tanah dan sebagainya, karena kotoran ini dapat menyebabkan kulit awetan yang kurang baik bahkan dapat mempercepat pembusukan yang disebabkan oleh mikroorganisme. Pencucian ini harus segera dilakukan setelah pengulitan selesai, sedangkan proses pengawetan harus dilakukan paling lama 5 jam sejak ikan dikuliti. Ada 2 cara pengawetan kulit ikan yang dapat dilakukan, yaitu dengan cara pengeringan dan cara penggaraman
278
Pengawetan Kulit Ikan dengan Cara Pengeringan Pe n g a w e t a n d i a w a l i d e n g a n membersihkan sisa-sisa daging yang masih melekat atau tertinggal pada kulit, dengan cara menyayatnya secara hati-hati menggunakan pisau khusus yang tajam. Kulit yang telah bersih dari sisa-sisa daging kemudian dicuci kembali untuk menghilangkan kotoran atau sisa daging yang sudah terlepas tapi masih menempel di kulit. Kulit yang sudah bersih kemudian ditambah Gambar 4. Kulit Ikan Nila Diawet Kering dengan antiseptik. Beberapa jenis antiseptik dapat digunakan, misalnya Cortimol dengan kadar 1 – 2 per mil melalui perendaman selama 5 menit atau Antimould 1 – 2 g/liter dengan perendaman selama 15 menit. Setelah itu kulit ikan dipentang pada papan pementang dengan cara dipaku pada sisi-sisi kulitnya, dengan bagian sisi dalam kulit menghadap ke luar. Harus diusahakan agar kulit tidak terlipat. Kulit ikan kemudian dijemur dan cara meletakkan pentangan kulit dengan kemiringan kira-kira 60o dari tanah, menghadap ke Utara atau Selatan. Lamanya penjemuran tergantung dari tebal tipisnya kulit serta panasnya terik matahari. Pada kondisi udara cerah penjemuran dapat berlangsung selama 2 sampai 3 hari. Pada musim kemarau, penjemuran dapat dimulai sekitar jam 08.00 sampai jam 11.00, kemudian kulit diangkat dan diletakkan pada tempat yang teduh atau diangin-anginkan saja. Apabila matahari tidak bersinar cerah, lebih efektif apabila pementang kulit dihadapkan ke Timur, tetapi bila matahari terik, sinarnya tidak boleh jatuh tegak lurus pada kulit. Kulit yang sudah kering dapat dilepas dari papan pementang dan ditumpuk satu dengan lainnya, selanjutnya dapat disimpan pada tempat yang kering dan tidak lembab di dalam gudang. Pengawetan Kulit Ikan dengan Cara Penggaraman Pengawetan kulit diawali dengan pembersihan sisa daging dan pencucian kembali seperti yang telah diuraikan di atas. Kulit ikan yang sudah bersih dari sisa-sisa kemudian direndam dalam larutan garam jenuh selama 1 malam. Larutan garam jenuh dibuat dengan melarutkan 3 kg garam dapur ke dalam 7 liter air. Setelah itu kulit diangkat dan ditiriskan. Kulit ikan dihamparkan di atas lantai atau meja
Gambar 5. Kulit Ikan Kakap yang Diawet Garam
279
yang kedap air (dapat dilapis dengan plastik tebal) dengan posisi miring (5o sampai 10o) yang telah di taburi kristal garam dengan bagian dalam kulit menghadap ke luar. Pada permukaan kulit bagian dalam ini juga ditaburi kristal garam sampai merata. Kemudian kulit yang lain dihamparkan di atasnya dengan bagian dalam kulit menghadap ke luar. Kristal garam ditaburkan lagi di atas kulit kedua ini. Pekerjaan dilanjutkan sedemikian rupa sampai tertumpuk kulit setinggi 1 meter. Pada tumpukan kulit teratas ditaburkan lagi kristal garam hingga seluruh permukaan kulit tertutup kristal garam. KEUNGGULAN TEKNOLOGI Teknik pengulitan yang benar akan menghasilkan kulit yang utuh dan tidak cacat, sehingga mempunyai keunggulan ekonomis Pengawetan secara pengeringan dapat mengawetkan kulit hingga 1 tahun sedangkan pengawetan dengan cara penggaraman dapat mengawetkan kulit hingga 3 bulan. Hal ini sangat menguntungkan karena para pengolah kecil atau pengumpul kulit ikan mempunyai waktu yang cukup untuk menyimpan dulu hasil kulit awetan yang diproduksi sedikit demi sedikit secara bertahap, sebelum mengirimkannya ke industri penyamakan. Cara ini akan sangat menghemat biaya dan waktu pengangkutan. LOKASI REKOMENDASI Teknologi ini direkomendasikan untuk daerah yang terdapat industri fillet ikan atau industri pengolahan lain yang menghasilkan limbah berupa kulit ikan. KEMUNGKINAN DAMPAK NEGATIF Teknologi ini tidak mempunyai dampak negatif baik bagi masyarakat dan lingkungan sekitar karena tidak menggunakan cara dan bahan yang berbahaya. KELAYAKAN FINANSIAL Analisis usaha pengawetan kulit ikan adalah seperti Tabel 1 berikut, dengan rincian seperti pada Tabel-tabel dalam Lampiran. Perhitungan BEP dan ROI Break Event Point (BEP) dihitung sebagai berikut: Batas Laba Rugi/BEP =( Hasil Penjualan – Keuntungan Bersih)/Hasil Produksi =( Rp. 1.260.000.000 - Rp. 208.946.690) = Rp. 1.051.053.310/210.000 lbr = Rp5.005,02,dibulatkan Rp.5.000,Atau: (Hasil Penjualan – Keuntungan Bersih)/Harga kulit tersamak per lembar = ( Rp. 1.260.000.000 - Rp. 208.946.690) = Rp. 1.051.053.310/Rp. 6.000,= 175.175,55 lembar, dibulatkan menjadi 175 lembar. Dari perhitungan di atas, agar supaya tidak rugi, untuk pengawetan kulit harus diproduksi sebanyak 175 lembar per tahun dengan harga jual per lembar adalah Rp. 5.000,-
280
Sedangkan kemampuan keuntungan untuk mengembalikan modal atau Return on Investment (ROI), adalah Laba bersih/Total investasi = Rp. 208.946.690,-/Rp.1.012.005.000,-= 6,37 tahun Waktu balik modal = 1/6,37 tahun = 0,1571 tahun atau 1,88 bulan, dibulatkan = 2 bulan Tabel 1. Perhitungan Biaya Investasi
1
Sewa Tanah/tahun
200
m2
Harga satuan (Rp.) 50.000
2
Pembangunan tempat pengolahan
1
bh
35.000
35.000
3
Pembuatan peralatan penjemuran
1
bh
3.000.000
3.000.000
4
Pengadaan alat dan Peralatan Timbangan 50 kg
1
bh
1.000.000
1.000.000
Bak plastik 0,5 m3
5
bh
250.000
1.250.000
Sikat plastik keras
10
bh
10.000
100.000
Papan perentang kulit
120
bh
25.000
3.000.000
Meja pembersih kulit
1
bh
1.000.000
1.000.000
Pissau
10
bh
150.000
1.500.000
Keranjang plastik
10
bh
25.000
250.000
Ember plastik
10
bh
35.000
350.000
Kompor gas
1
unit
1.000.000
1.000.000
5
Lemari penyimpan alat
1
bh
350.000
350.000
6
Meja dan peralatan kantor
1
set
3.000.000
3.000.000
7
Penggalian sumur bor dan instalasi pipa
1
set
2.500.000
2.500.000
8
Pemasangan listrik
1
unit
1.500.000
1.500.000
Sub jumlah
29.835.000
No
Rincian
Jumlah
lain-lain (10%) Total biaya
Biaya (Rp.) 10.000.000
2.983.500 32.818 .500
Tabel 1. Perhitungan Biaya Investasi
No
Rincian
Jumlah
Biaya (Rp.)
1
Sewa Tanah/tahun
10
%
2
Pembangunan tempat pengolahan
10
%
35.000
3.500
3
Pembuatan peralatan penjemuran
10
%
3.000.000
300.000
4
Pengadaan alat dan Peralatan Timbangan 50 kg digital
10
%
1.000.000
100.000
Bak plastik 0,5 m3
10
%
1.250.000
125.000
Sikat plastik keras
10
%
100.000
10.000
Papan perentang kulit
10
%
3.000.000
300.000
Meja pembersih kulit
10
%
1.000.000
100.000
Pissau
10
%
1.500.000
150.000
Keranjang plastik
20
%
250.000
50.000
Ember plastik
20
%
350.000
70.000
Kompor gas
20
%
1.000.000
200.000
Lemari penyimpan alat
20
%
350.000
70.000
Meja dan peralatan kantor
10
%
3.000.000
300.000
Tabel 2. Biaya Produksi Tetap per tahun usaha
281
10.000.000
Penyusutan (Rp.) 1.000.000
No
Rincian
1
Garam dapur, kg
2
Cortimol, kg
Jumlah
Harga satuan (Rp.)
Biaya (Rp.)
720
3.000
2.160.000
10
100.000
1.000.000
Jumlah
3.160.000
Tabel 3. Bahan kimia yang dibutuhkan dalam pengawetan
No 1
Jenis Pengeluaran
Jumlah
Harga Satuan
Total Biaya
(Rp.)
(Rp.)
Bahan Baku Kulit ikan, lembar
2
Bahan Kimia
3
Pemakaian listrik
4
Bahan Pengemas
150.000
1.000
150.000.000 3.160.000 600.000 2.000.000
Total Biaya Tidak Tetap Pajak 17%
155.760.000 42.796.310
Keuntungan Bersih (3 – 4)
208.946.690
Tabel 4. Biaya Produksi Tidak Tetap per Tahun Usaha
282
BBP4BKP Test Kit Histakit untuk Menguji Kandungan Histamin pada Produk Perikanan Unit Eselon I Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan Satuan Kerja Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan Alamat Jl. Petamburan VI, KS. Tubun, Slipi Jakarta Kategori Teknologi Pengolahan Sifat Teknologi Inovasi: Modifikasi dari Metode AOAC dan Metode Patange, telah didaftarkan paten ke Ditjen HaKI dengan nomor pendaftaran 'S00201200115' Masa Pembuatan 2006-2008 Tim Penemu Rudi Riyanto., M.Sc Dwiyitno., M.Sc Dra. Jovita Tri Murtini., M.S Ir. Farida Ariyani.,M.Sc Nandang Priyanto., S.Si Prof. Dr. Endang Sri Heruwati
Kontak Person Rudi Riyanto., M.Sc
[email protected]
283
DESKRIPSI TEKNOLOGI Pada beberapa jenis ikan, khususnya dari famili skombroidae yang memiliki daging merah, kerusakan oleh aktivitas bakteri maupun enzim dapat menghasilkan racun yang disebut skombrotoksin. Skombrotoksin adalah toksin yang dihasilkan oleh aktifitas bakteri terutama pada ikan-ikan famili skombroidae seperti tuna, cakalang, tongkol, marlin, mackerel dan sejenisnya. Senyawa yang bersifat racun tersebut adalah histamin atau 2-(1H-imidazol-4-yl)ethanamine, yang merupakan suatu senyawa hasil perombakan asam amino bebas histidin. Kandungan histamin pada ikan yang masih segar umumnya di bawah 10 mg/100 g, pada kadar histamin antara 50 – 100 mg/100 g, ikan umumnya sudah dianggap berbahaya dan dapat mengakibatkan keracunan pada orang yang peka. Bila histamin telah terbentuk dalam pangan sewaktu proses penanganan, maka histamin tidak dapat hilang atau berkurang walaupun bahan pangan telah diproses lebih lanjut atau dimasak pada suhu tinggi, sehingga potensial membahayakan kesehatan manusia. Beberapa negara telah menetapkan batasan kandungan histamin pada produk-produk perikanannya, misalnya Amerika Serikat, Swedia dan Chekoslovakia menetapkan kandungan histamin maksimal 50 mg/100 g sedangkan Uni Eropa (UE) menetapkan batas maksimal kandungan histamin pada bahan makanan sebesar 20 mg/100 g. Test Kit Uji Kandungan Histamin didesain sebagai peralatan uji sederhana dan mudah yang dapat dapat digunakan mendeteksi keberadaan histamin pada bahan makanan, termasuk produk perikanan, baik bentuk padat atau cair sehingga dapat dengan mudah digunakan para personil badan pengawasan mutu untuk pengawasan mutu (kandungan histamin), khususnya ikan yang berdaging merah. Test Kit Uji Kandungan Histamin dapat digunakan untuk mendeteksi keberadaan histamin pada bahan uji dengan minimal deteksi 20 ppm sehingga dapat direkomendasikan sebagai alat uji cepat kandungan histamin karena level deteksinya memenuhi standar bahan makanan (khususnya ikan atau sefood) menurut standar Uni Eropa. Dengan metode pewarnaan yang digunakan dalam alat ini maka tidak diperlukan instrumentasi dan keahlian khusus dalam menggunakan Test Kit Uji Kandungan Histamin. Dengan Test Kit Uji Kandungan Histamin maka bea analisis histamin dapat ditekan karena Test Kit Histamin ini dapat diproduksi dengan harga yang lebih murah dari produk serupa (50% dari harga test kit serupa). Harga test kit histamine dari luar negeri berkisar
284
4-5 juta rupiah untuk 100 kali uji sedangkan harga Test Kit Uji Kandungan Histamin (HistakitTM) hanya 1 juta rupiah untuk 50 kali uji. PENGERTIAN - Test Kit Uji Kandungan Histamin (HistakitTM) Satu set test kit untuk mendeteksi kandungan histamin pada produk makanan berbentuk padat atau cairan yang berupa kemasan berisi tiga botol reagen; Reagen A Reagen B, dan Reagen C; satu pak bebuahrisi 5 kolom silica SampliQ Si-SCX; satu buah botol kaca bening untuk pengujian dan dilengkapi dengan satu syringe dengan volume 5-10 ml untuk mengambil larutan uji dalam jumlah yang diinginkan. - Reagen Cairan larutan kimia yang disediakan dalam satu kemasan tertentu pada Test Kit Uji Kandungan Histamin. - ppm Satuan konsentrasi yang menunjukkan jumlah 1 bagian ukuran bahan tersebut per 1.000.000 bagian ukuran bahan uji. - Histamin Senyawa yang bersifat racun yang dalam bahasa inggris disebut histamin atau 2-(1H-imidazol-4yl)ethanamine, yang merupakan suatu senyawa hasil perombakan asam amino bebas histidin yang biasanya ada pada kelompok ikan skombroid seperti tuna, cakalang, marlin, dan sardin, maupun yang termasuk dalam kelompok nonskombroid seperti mahi-mahi (Coryphaena hippurus) dan dolpin. Histidin diubah menjadi histamin oleh enzim histidine decarboxylase yang dihasilkan oleh bakteri-bakteri pembentuk histamin. RINCIAN DAN APLIKASI TEKNIS Rincian pengujian kandungan histamin mengunakan histakit Persiapan reagen uji (untuk 5 kali pengujian) Sebanyak 10 tetes (±0,5 ml) Reagen A dan 10 tetes (±0,5 ml) Reagen B dimasukkan ke dalam tabung reaksi lalu dikocok sebentar dan dibiarkan 5 menit dalam wadah yang berisi es curah untuk mendinginkan. Selanjutnya ditambahkan 1,2 ml Reagen B dan setelah 5 menit lalu ditambahkan aquades (air aqua) dingin sampai volume 10 ml dan dibiarkan dalam wadah berisi es selama 15 menit sebelum digunakan. Reagen ini disebut Reagen uji. Reagen harus disimpan dalam almari es jika tidak langsung digunakan (pada suhu rendah dapat bertahan selama 12 jam). Ekstraksi histamin dari bahan uji Ekstraksi histamin dari bahan ikan dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan Tri Khloro Acetic Acid (TCA) atau dengan metanol.
285
Ekstraksi menggunakan TCA 1. Daging ikan (bahan uji) ditimbang sebanyak 10 gram dandi tambah dengan 100 ml TCA 2,5% kemudian diblender sampai homogen 2. Larutan disaring dengan kertas saring Whatman No.1 3. Filtrat dinetralkan dengan KOH 1N sampai pH 7 menggunakan kertas pH 4. Sebanyak 5 ml filtrat dimasukkan ke dalam cartridge SampliQ dan dibiarkan terelusi (tidak ditampung) 5. Bilas cartridge dengan 4 ml buffer asetat (tidak ditampung) 6. Cartridge dielusi dengan 3 ml HCl 0,2N, hasil elusi ditampung (elusi dilakukan 3 kali, selanjutnya hasil tampungan ini disebut EKSTRAK SAMPEL) Ekstraksi menggunakan Metanol 1. Daging ikan (bahan uji) ditimbang sebanyak 10 gram dan ditambah dengan 100 ml Metanol dan diblender sampai homogen 2. Larutan disaring dengan kertas saring Whatman No.1 3. Filtrat dinetralkan dengan KOH 1N sampai pH 7 (cek dengan kertas pH) 4. Selama 5 ml ekstrak hasil saringan ke dalam cartridge SampliQ dan dibiarkan terelusi (tidak ditampung) 5. Cartridge dibilas dengan 4 ml buffer asetat (tidak ditampung) 6. Cartridge dielusi dengan 3 ml HCl 0,2N, hasil elusi ditampung (elusi dilakukan sebanyak 3 kali, selanjutnya hasil tampungan ini disebut EKSTRAK SAMPEL) Pengujian adanya histamin 1. Sebanyak 5 ml Reagen C dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan ditambah dengan 2 ml Reagent uji secara perlahan 2. Diambahkan 1 ml EKSTRAK SAMPEL kemudian dikocok perlahan dan diiarkan selama 15 menit pada suhu ruang sambil diamati perubahan warna yang terjadi. Warna merah muda sampai merah bata yang terbentuk merupakan indikasi keberadaan histamin pada bahan yang diuji. Prediksi konsentrasi histamin dalam bahan uji dapat dilakukan dengan membandingkan intensitas warna yang terjadi dengan warna yang diperoleh jika menggunakan larutan standar histamine. Prediksi kasar juga dapat dilakukan dengan membandingkan warna yang terbentuk dengan tabel warna dari beberapa konsentrasi yang disertakan dalam paket test kit histamin. KEUNGGULAN TEKNOLOGI 1. Test Kit Histamin ini dapat diperoleh dengan harga yang lebih murah dari produk serupa. 2. Dapat digunakan dengan mudah dan uji semikuantitatif kandungan histamin dapat dilakukan lebih cepat (butuh waktu sekitar 1 jam). 3. Dapat mendeteksi sampai level kandungan histamin 20 ppm sehingga dapat direkomendasikan sebagai alat uji cepat kandungan histamin karena level deteksinya memenuhi standar bahan makanan (khususnya ikan atau seafood) menurut standar
286
Uni Eropa. 4. Dapat menguji semi kuantitatif kandungan histamin lebih cepat (butuh waktu sekitar 1 jam). 5. Dengan aplikasi silica SampliQ Si-SCX saat preparasi maka analisis histamin akan lebih akurat. 6. Tidak memerlukan investasi peralatan uji seperti GC/LC, spektrofotometri atau fluorometri yang memerlukan keahlian khusus dan bea perawatan alat yang sangat mahal LOKASI REKOMENDASI Teknologi ini direkomendasikan digunakan di daerah sentra produksi ikan pelagis besar, khususnya tuna, untuk menjaga kualitas ikan yang didaratkan. Pada industri-industri pengolahan ikan yang berbahan baku ikan pelagis besar, test kit ini dapat digunakan sebagai skrining awal pada bahan baku yang akan diuji secara kuantitatif di laboratorium, karena uji tes kit ini bersifat semi kuantitatif. KEMUNGKINAN DAMPAK NEGATIF Tidak ada dampak negatif karena pengujian tidak merusak produk yang diuji, dan test kit tidak membahayakan penguji. KELAYAKAN FINANSIAL Biaya pengujian kualitatif / semi kuantitatif histamin pada laboratorium uji berkisar Rp.100.000,00 – Rp.200.000,00 dan cukup besar jika bahan yang akan diuji jumlahnya banyak. Dengan menggunakan Tes Kit Uji Kandungan Histamin (HistakitTM) dengan harga Rp.1.000.000,00 untuk 50 sampel maka bea analisis histamin yang diperlukan hanya Rp.20.000,00 per sampel. Test Kit Histamin ini dapat diproduksi dengan harga yang lebih murah dari produk serupa. Harga test kit histamin dari luar negeri berkisar 4-5 juta untuk 100 kali uji sedangkan harga Test Kit Uji Kandungan Histamin (HistakitTM) hanya 1 juta untuk 50 kali uji. Komponen termahal adalah kolom SampliQ Si-SCX yang masih harus diimpor. TINGKAT KOMPONEN DALAM NEGERI Sekitar 50% bahan yang digunakan untuk pembuatan Test Kit Uji Kandungan Histamin (HistakitTM) dapat diproduksi di Indonesia sehingga 50% produk ini dapat menggunakan komponen dalam negeri. SPESIFIKASI Test kit uji ini berupa satu set test kit untuk mendeteksi residu histamin pada makanan dalam bentuk padat atau cairan, yang terdiri atas tiga botol reagen; Reagen A dengan botol volume 5-7 ml yang berisi larutan sulfanilic acid 0,9% dalam HCl 4% (w/v), Reagen B dengan botol volume 10-12 ml yang berisi larutan sodium nitrite 5% (w/v), Reagen C dengan botol volume 100-110 ml yang berisi larutan sodium karbonat 1,1% (w/v); satu pak kolom silica SampliQ Si-SCX (5 pcs); 1
287
buah botol kaca bening untuk pengujian dan dilengkapi dengan satu syringdengan volume 5-10 ml untuk mengambil larutan uji dalam jumlah tertentu serta 1 lembar petunjuk cara pengujian, sehingga dapat digunakan untuk pengujian histamin di laboratorium tanpa harus didukung ketersediaan Gambar 1. Tes kit uji histamin p e r a l a t a n spektrofotometer, spektrofluorometer atau GC atau pun HPLC. Test kit ini dapat digunakan untuk menganalisis 50 sampel. Satu set test kit untuk mendeteksi kandungan histamin pada produk makanan berbentuk padat atau cairan yang terdiri atas tiga botol reagen; Reagen A dengan botol volume 5-7 ml yang berisi larutan sulfanilic acid 0,9% dalam HCl 4% (w/v), Reagen B dengan botol volume 10-12 ml yang berisi larutan sodium nitrite 5% (w/v), Reagen C dengan botol volume 100-110 ml yang berisi larutan sodium karbonat 1,1% (w/v); satu pak kolom silica SampliQ Si-SCX (5 pcs); 1 buah botol kaca bening untuk pengujian dan dilengkapi dengan satu syring dengan volume 5-10 ml untuk mengambil larutan uji dalam jumlah tertentu.
(-)/0
10
20
40
50
(+) ppm
Gambar 2. Hasil pewarnaan reagen uji HistakitTM
288
BBP4BKP Pengawetan Ikan Menggunakan Biji Picung Beku
Unit Eselon I Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan Satuan Kerja Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan Alamat Jl. Petamburan VI, KS. Tubun, Slipi Jakarta Kategori Teknologi Pengolahan Sifat Teknologi Inovasi (Perbaikan dari teknologi yang sudah diterapkan oleh masyarakat) Masa Pembuatan 2010-2012 Tim Penemu Prof. Dr. Endang Sri Heruwati Novalia Rachmawati, MSc Irma Hermana, SStPi Kontak Person Novalia Rachmawati
[email protected]
289
DESKRIPSI TEKNOLOGI Biji picung (Pangium edule Reinw.) telah lama digunakan sebagai pengawet ikan oleh nelayan di daerah Banten, Jawa Barat, Sulawesi Utara, serta daerah lain yang sulit mendapatkan pasokan es. Dalam pemanfaatannya, nelayan biasa mencampurkan picung yang telah dicacah yang dicampur dengan garam, kemudian melumurkannya ke seluruh permukaan dan bagian rongga perut ikan. Dalam praktek, penggunaan picung ini dapat mengawetkan ikan selama beberapa hari.
Gambar 1. Pohon, biji dan buah picung (Pangium edule)
Hasil penelitian di laboratorium menunjukkan bahwa penggunaan 3 – 4 % picung yang dicampur dengan 2 – 3 % garam, dapat mempertahankan kesegaran ikan hingga 4 hari pada suhu ruang. Selain itu, secara in vitro ekstrak picung terbukti mampu mengambat pertumbuhan baik bakteri Gram positif maupun Gram negatif seperti Staphylococcus aureus, Pseudomonas fluorescens, Salmonella thypimurium, Enterobacter aerogenes dan Micrococcus lactis. Hasil penelitian di laboratorium dan penggunaan secara tradisional di lapangan menunjukkan bahwa potensi pemanfaatan biji picung untuk menghambat proses ikan sangat terbuka luas. Meskipun demikian, masih terdapat beberapa kendala teknis dalam penggunaannya di lapangan. Di antaranya adalah waktu panen picung yang hanya sekali dalam setahun sehingga ketersediaannya terbatas pada musim tertentu; proses penyiapannya kurang praktis karena biji picung harus dipisahkan dulu dari cangkangnya lalu dicacah setiap akan digunakan. Selain itu, biji yang telah dipisahkan dari cangkangnya mudah berubah warna menjadi kecoklatan. Pencoklatan yang diakibatkan oleh aktivitas enzim fenol oksidasi di dalam biji picung ini menyebabkan penurunan daya pengawetan biji picung terhadap ikan segar, selain tentu saja akan mempengaruhi warna ikan yang diawetkan.
290
Oleh karena itu, diperlukan suatu teknologi yang dapat menjamin ketersediaan biji picung sepanjang tahun dalam bentuk yang praktis, mudah digunakan sekaligus memiliki daya pengawetan ikan yang tinggi. Pengawetan biji picung dengan cara pengeringan telah dicoba dilakukan, namun hasilnya tidak memuaskan karena biji picung menjadi coklat dan daya pengawetan terhadap ikan pun sangat berkurang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembekuan biji picung dapat menghambat kerja enzim yang berperan dalam proses oksidasi biji picung yang menyebabkan biji picung berwarna coklat. Kemampuan biji picung untuk mengawetkan ikan masih dapat dipertahankan meskipun disimpan dalam kondisi beku. Penggunaan biji picung beku pada ikan nila dapat memperpanjang daya simpan ikan hingga 3-4 kali lebih lama jika dibandingkan dengan ikan nila tanpa pengawetan. Ikan yang disimpan pada suhu ruang tanpa pengawetan hanya bisa bertahan selama 8-12 jam saja. Selain itu biji picung beku mempunyai daya anti bakteri khususnya E. coli dan S. aureus. PENGERTIAN Picung (Pangium edule Reinw) adalah tumbuhan yang tergolong Spermatophyta. Biji buah picung dalam bentuk terfermentasi lebih dikenal sebagai keluwak adalah tanaman liar yang banyak ditemui di hutan pada ketinggian hingga 1000 m. Biji picung banyak mengandung asam sianida dan tanin, yang diyakini berfungsi sebagai bahan pengawet. Asam sianida bersifat antimikroba, tetapi dalam jumlah banyak dapat menyebabkan keracunan pada manusia. Meskipun demikian, penggunaan biji picung sebagai pengawet ikan tidak membahayakan kesehatan dan keselamatan konsumen karena asam sianida diketahui mudah menguap dalam suhu ruang. RINCIAN DAN APLIKASI TEKNIS Persyaratan Teknis Selama proses pengupasan dan pencincangan biji picung harus diusahakan agar proses pencoklatan dihindarkan dengan selalu menggunakan suhu rendah, mengurangi cahaya, dan bekerja cepat. Selama disimpan, biji picung beku diusahakan tetap dalam keadaan beku. Kemudian pada tahap pelelehan dan aplikasi, biji picung beku sebaiknya tidak terpapar langsung dengan sinar matahari. Konsentrasi biji picung beku yang digunakan untuk pengawetan ikan harus tidak melebihi konsentrasi yang dianjurkan. Rincian teknologi Teknologi penyiapan biji picung beku: 1. Penyiapan biji picung cincang (sebaiknya dilakukan padaruang tertutup bersuhu rendah) : Buah picung dikupas kulitnya dan diambil bijinya Biji picung dibersihkan lalu dibuka dengan memecahkan kulitnya Bagian dalam biji picung dicungkil, dikumpulkan dan dicincang 2. Pengemasan biji picung cacah Biji picung cincang dikemas dalam kantong plastik berukuran ± 1 kg
291
3. Pembekuan: biji picung dalam kemasan plastik dibekukan pada suhu -10 s/d - 18°C selama beberapa jam, selanjutnya disimpan dalam keadaan beku 4. Aplikasi pada ikan Biji picung beku dilelehkan pada suhu ruang sebelum digunakan Konsentrasi yang disarankan sebanyak 4% dari bobot ikan segar, penggunaannya dapat dikombinasikan dengan garam sebanyak 1-2% dari bobot ikan Biji picung dilumurkan ke seluruh permukaan ikan dan dimasukkan ke rongga perut ikan yang telah disiangi isi perutnya. Perlu diperhatikan bahwa sejak pemanenan, biji picung harus dilindungi dari cahaya matahari, udara (oksigen) dan suhu tinggi. Proses produksi biji picung beku ini sebaiknya dilakukan secara bertahap, tanpa menunggu bahan baku terkumpul dalam jumlah banyak. Karena biji picung yang tidak segera dibekukan akan menjadi coklat dan daya awetnya menurun. Pada saat pendistribusian, biji picung beku harus dijaga dalam kondisi beku dan tidak terpapar sinar matahari. KEUNGGULAN TEKNOLOGI Biji picung beku sangat praktis karena tidak perlu memecahkan, mencungkil dan mencincang biji picung setiap akan mengawetkan ikan, Dalam keadaan beku dapat tersedia dengan daya pengawetan yang sama sepanjang tahun tanpa terkendala musim, Biji picung beku memang tidak lebih unggul dibandingkan pengawetan dengan suhu rendah/es yang hingga saat ini masih tidak tergantikan. Akan tetapi teknologi ini memberikan solusi untuk daerah-daerah di mana refrigerasi/es tidak tersedia, seperti di daerah terpencil, yang masyarakatnya lebih banyak mengenal ikan asin daripada ikan segar. Teknologi ini dapat mencegah penyalah-gunaan bahan pengawet berbahaya seperti formalin untuk mengawetkan ikan. Mudah diterapkan dalam sistem usaha kelautan dan perikanan secara berkelanjutan seseuai dengan daerah pengembangan (ekologi, sosial budaya, ekonomi, teknis, infrastruktur, fiksal, hukum dan kelembagaan) Teknologi pengawetan biji picung dapat mendorong berkembangnya industri bahan pengawet alami yaitu biji picung beku, yang aman dan mudah digunakan di pusat-pusat penjualan ikan segar yang terpencil atau yang tidak terjangkau oleh pasokan es. Teknologi pembekuan ini dapat dintroduksikan kepada UKM atau koperasi nelayan yang berada di wilayah terpencil. Industri biji picung beku bahkan dapat mendorong pembudidayaan pohon picung, terutama di lahan kering atau lahan terlantar, sehingga produksi dapat ditingkatkan, karena saat ini ketersediaan biji picung masih terbatas karena masih mengandalkan tanaman yang ada di hutan/kebun dan tidak tersebar merata di seluruh Indonesia. WAKTU DAN LOKASI REKOMENDASI Aplikasi biji picung beku untuk pengawet ikan masih dilakukan pada skala laboratorium, karena belum ada investor yang tertarik untuk membuat biji picung beku.
292
Teknologi ini layak diterapkan di tempat pendaratan ikan yang terpencil dan susah mendapatkan pasokan es sebagai pengawet. Sasaran pengguna teknologi (pembuat biji picung beku dan pengguna biji picung beku dalam pengawetan ikan) adalah UKM atau koperasi nelayan terutama yang memiliki fasilitas mesin penyimpan dingin (beku.)
Gambar 2. Biji picung (kiri). Biji setelah dicacah (kanan)
KEMUNGKINAN DAMPAK NEGATIF Tanaman picung mengandung asam sianida yang cukup besar jumlahnya baik pada batang, daun dan buahnya. Namun demikian, asam sianida bersifat mudah menguap bahkan pada suhu kamar sehingga akan hilang pada saat ikan dimasak, sehingga tidak beresiko terhadap kesehatan dan keselamatan konsumen. KELAYAKAN FINANSIAL Biaya pengawetan ikan menggunakan es memerlukan biaya sekitar 1000-3000 rupiah/kg ikan (tergantung lama penyimpanan), bila es ditambahkan terus menerus dapat mengawetkan ikan hingga 10-12 hari. Pengawetan dengan biji picung beku memerlukan sekitar 500 rupiah/kg ikan dengan daya awet 2-3 hari. Tanpa pengawetan, ikan akan busuk dalam waktu 8 jam. Biaya pengangkutan biji picung beku ke pusat pendaratan ikan jauh lebih mudah, lebih praktis dan lebih murah dibandingkan dengan pengangkutan es, atau pengangkutan biji picung segar yang masih bercangkang. T I N G K AT K O M P O N E N D A L A M NEGERI Bahan baku yang diperlukan, yaitu buah picung (Pangium edule Reinw.) merupakan tanaman asli Indonesia, banyak tersebar di hutan daerah dataran tinggi di beberapa wilayah Indonesia.
Gambar 3. Perlakuan pelumuran ikan dengan kombinasi picung dan garam
293
BBP4BKP Test Kit Antirax untuk Menguji Residu Boraks pada Produk Perikanan Unit Eselon I Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan Satuan Kerja Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan Alamat Jl. Petamburan VI, KS. Tubun, Slipi Jakarta Kategori Teknologi Pengolahan Sifat Teknologi Inovasi: Modifikasi dari Metode AOAC Telah didaftarkan paten ke Ditjen HaKI dengan nomor pendaftaran 'S00201103216' Masa Pembuatan 2009-2011 Tim Penemu Dra. Jovita Tri Murtini., M.S Prof. Dr. Endang Sri Heruwati Rudi Riyanto., M.Sc Nandang Priyanto., S.Si Tuti Hartati Siregar., M.Biomed.Sc
Kontak Person Tuti Hartati Siregar
[email protected]
294
DESKRIPSI TEKNOLOGI Test Kit Uji Residu Boraks (Antirax) dirancang sebagai peralatan uji sederhana dan mudah yang dapat digunakan mendeteksi keberadaan boraks pada bahan makanan (padat atau cair), sehingga dapat dengan mudah digunakan para personil pengawasan mutu untuk skrining awal keberadaan borak pada produk pangan. Test Kit Uji Residu Boraks (Antirax) dapat mendeteksi keberadaan boraks pada bahan uji cair dengan minimal deteksi 50 ppm sedangkan untuk bahan uji makanan padat limit deteksinya adalah 100 ppm. Dengan metode pewarnaan yang digunakan dalam alat ini maka tidak diperlukan instrumentasi dan keahlian khusus dalam menguji residu boraks. Bersarkan hasil uji penyimpanan diketahui bahwa kertas turmeric yang merupakan komponen utama penguji dalam test kit dapat tahan dismpan selama 4 bulan. PENGERTIAN Test Kit Uji Residu Boraks (Antirax) Set test kit untuk mendeteksi adanya boraks pada produk makanan berbentuk padat atau cairan berupa kemasan yang berisi dua botol reagen masing-masing yaitu Reagen A, Reagen B, satu pak kertas turmeric berisi 20 lembar, dan satu syringe dengan volume 10 ml untuk mengambil cairan dalam jumlah tertentu. Kertas Turmeric Kertas saring yang dipotong-potong dengan ukuran 1 x 5 cm yang telah direndam dalam larutan curcumin. Boraks Suatu senyawa garam natrium (Na2B4O7.10H2O) yang larut air dan banyak digunakan untuk memperbaiki tekstur produk-produk perikanan, seperti bakso ikan, kerupuk, siomay dll. Di samping itu, boraks juga banyak digunakan sebagai pengawet kayu, antiseptik kayu dan pengontrol kecoa. Masyarakat Jawa sering menyebut senyawa ini sebagai 'Bleng'. RINCIAN DAN APLIKASI TEKNIS Rincian cara pengujian borax menggunakan test kit Antirax adalah sebagai berikut : 1. Bahan (sampel) yang akan diuji harus dihaluskan terlebih dahulu atau diblender (dapat ditambahkan sedikit air jika diperlukan)
295
2. Bahan uji yang sudah diblender lalu diambil ±10 gram (satu sendok makan) kemudian ditambahkan air (± 50 ml, sekitar 10 sendok makan), kemudian dipanaskan sekitar 5 menit. 3. Sampel yang telah dingin kemudian ditambah dengan reagen A sebanyak 3 ml dan dikocok sekitar 1-2 menit. Selanjutnya kertas turmeric dicelupkan ke dalam larutan dan dikeringkan dengan cara diangin-anginkan. 4. Jika warna kertas turmeric yang tercelup berubah menjadi kemerahan atau merah bata berarti bahan uji terindikasi mengandung boraks. Untuk memastikan hasil uji, kertas turmeric yang tercelup dan berubah warna tadi lalu ditetesi Reagen B dan jika terjadi perubahan warna dari merah menjadi hijau-kebiruan berarti boraks dinyatakan positif ditemukan dalam bahan yang diuji. (Cara pengujian ini disertakan dalam kemasan Test Kit) Keterangan Tambahan: Untuk pengujian produk berbentuk cairan, tidak perlu dilakukan preparasi bahan uji. Untuk pengujian bahan uji diambil sebanyak 50 ml dan prosedur pengujian langsung dimulai dari nomor 3 sampai selesai.
KEUNGGULAN TEKNOLOGI 1. Tingkat akurasi uji yang cukup tinggi (mendeteksi sampai 50 ppm) dan spesifik untuk menguji boraks 2. Praktis dalam penggunaan sehingga dapat digunakan oleh setiap orang 3. Waktu analisis singkat (10 – 15 menit) 4. Tidak memerlukan instrumentasi dalam analisisnya 5. Membantu dan memudahkan proses pengujian kandungan boraks pada bahan pangan (padat atau cair) dalam rangka pengendalian dan pengawasan penyalahgunaan boraks di industri pangan 6. Menekan biaya analisis boraks yang harus dikeluarkan (biaya pengujian kualitatif boraks berkisar Rp.30.000,00 – Rp.60.000,00) menjadi hanya Rp.7.500,00 per sampel. LOKASI REKOMENDASI Antirax mudah dan praktis digunakan bahkan oleh orang yang tidak memiliki kemampuan analisis laboratorium sehingga mudah digunakan oleh siapa saja di lapangan. Sebagai salah satu alat (tool) untuk mengawasi terjadinya penyimpangan penggunaan bahan berbahaya boraks pada produk perikanan, Antirax dapat digunakan oleh para praktisi pengawas mutu produk perikanan atau para penyuluh serta masyarakat pengolahan produk perikanan dalam membantu membrantas praktek penyalah-gunaan boraks pada produk perikanan. Tempat-tempat yang penting dimonitor menggunakan test kit ini adalah daerah sentra pengolahan ikan berupa produk yang diharapkan mempunyai tekstur yang kenyal seperti bakso ikan, sosis ikan, nuget ikan, dan sebagainya.
296
KEMUNGKINAN DAMPAK NEGATIF Tidak ada karena pengujian tidak merusak produk yang diuji, dan test kit tidak membahayakan penguji KELAYAKAN FINANSIAL Biaya pengujian kualitatif boraks pada laboratorium uji berkisar Rp. 30.000 – Rp. 60.000 per contoh. Sedangkan dengan menggunakan Test Kit Uji Residu Boraks (Antirax) adalah Rp. 150.000 untuk 20 sampel maka biaya analisis boraks yang diperlukan hanya Rp. 7.500 per sampel. TINGKAT KOMPONEN DALAM NEGERI Produk ini dibuat seluruhnya menggunakan komponen dalam negeri. Spesifikasi Formula test kit boraks terdiri dari asam klorida dengan air sebagai pelarut, ammonium hidroksida dan kertas turmeric (kertas kuning). Kertas turmeric berasal dari kertas saring Whatman No 1 yang dipotong-potong dengan ukuran 1 x 5 cm kemudian direndam dalam larutan 1% curcumin dalam etanol 80% selama 1 jam, kemudian dikeringkan dalam oven 50oC sampai kering dan selanjutnya disimpan dalam wadah tertutup bebas sinar matahari. Tes kit ini dapat digunakan untuk 20 kali pengujian sampel.
Gambar 1. Test Kit Uji Residu Boraks
Gambar 2. Hasil pengujian dengan AntiraxTM
297
BBP4BKP Test Kit Antilin Untuk Uji Residu Formalin pada Produk Perikanan Unit Eselon I Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan Satuan Kerja Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan Alamat Jl. Petamburan VI, KS. Tubun, Slipi Jakarta Kategori Teknologi Pengolahan Sifat Teknologi Inovasi: Modifikasi dari Metode Schiff, telah diterbitkan paten dengan nomor no ID S00001087 pada tahun 2011 Masa Pembuatan 2005-2010 Tim Penemu Prof. Dr. Endang Sri Heruwati Dra. Jovita Tri Murtini., M.S Ir. Farida Ariyani., M.Sc Drs. Ikna Suyatna Djalip., M.S Dra. Ninoek Indriati., M.KM Rudi Riyanto., M.Sc
Kontak Person Rudi Riyanto., M.Sc
[email protected]
298
DESKRIPSI TEKNOLOGI Test Kit Uji Residu Formalin adalah seperangkat alat untuk pengujian cepat kandungan formalin pada bahan uji makanan atau minuman, termasuk produk perikanan. Formalin merupakan salah satu bahan berbahaya yang sering disalahgunakan sebagai pengawet makanan, seperti mie, tahu, ikan dan bakso. Residu formalin pada produk pangan sulit dideteksi secara inderawi (visual). Test Kit Uji Residu Formalin ini berupa alat penguji (test kit) kualitatif yang praktis menggunakan larutan campuran pararosanilin dengan sulfit jenuh pada suasana asam. Alat penguji ini sama sensitifnya dengan reagen penguji komersial dan dapat mendeteksi adanya formalin pada makanan dalam bentuk padat atau cair dengan batas deteksi minimal 2 ppm. Perakitan teknologi dimulai dengan penelitian awal untuk mencari teknologi analisis yang paling tepat dan paling mudah diaplikasikan di masyarakat untuk keperluan pengujian cepat kandungan formalin pada sampel ikan. Dari penelitian terdahulu dapat disimpulkan bahwa metode Schiff yang dapat digunakan sebagai metode dasar tes kit uji residu formalin. Untuk dikemas menjadi sebuah test kit, larutan HCl yang digunakan dimodifikasi dengan menggunakan larutan HCl 25% (v/v) tidak menggunakan larutan HCl pro analisis (pekat) karena mempertimbangkan faktor keselamatan pada penggunaannya nanti. Pada tahap berikutnya dilakukan uji lapang penggunaan test kit dan uji kestabilan atau umur simpan produk Test Kit Uji Residu Formalin yang dibuat. Hasil pengujian menunjukkan bahwa Reagent Schiff yang digunakan mampu bertahan selama 8 bulan. Pada tahun 2008 dilakukan juga penelitian monitoring penggunaan formalin pada produk perikanan dengan menggunakan Test Kit Uji Residu Formalin (AntilinTM) sebagai alat ujinya. Penelitian ini sudah dilakukan secara berkala dan konsinten tiap tahun sejak tahun 2005 sampai tahun 2010. Pada tahun 2007 invensi diusulkan ke Ditjen HaKI untuk mendapatkan paten dan pada tahun 2011 telah diterbitkan surat paten Test Kit Residu Formalin Pada Makanan dengan nomor paten ID S00001087. Test Kit Uji Residu Formalin (AntilinTM) telah digunakan secara komersial bekerjasama dengan Koperasi Artha Mina dan telah digunakan oleh beberapa instansi pemerintah (beberapa dinas
299
perikanan, seperti Dinas Perikanan Pekalongan, Dinas Perikanan Bangka Belitung, Dinas Perikanan Aceh, Dinas Perikanan Cirebon, dll) untuk pengawasan penyalahgunaan formalin sejak tahun 2007. Pada tahun 2007 Test Kit Uji Residu Formalin (AntilinTM) juga dipesan oleh Ditjen P2HP sebanyak 500 pak untuk dibagikan ke dinas-dinas perikanan daerah untuk pengawasan mutu produk perikanan. Dengan Test Kit Uji Residu Formalin (AntilinTM) maka biaya analisis formalin dapat ditekan karena biaya analisis pengujian formalin kualitatif di laboratorium uji berkisar antara Rp. 20.000 – Rp. 50.000 per sampel, sedangkan dengan menggunakan test kit ini biaya pengujian formalin hanya Rp. 4.000 per sampel. Test Kit ini juga lebih murah dari produk serupa (25-50%) kartena harga test kit serupa (test kit formalin dari luar negeri) adalah Rp. 1.200.000 untuk 100 kali pengujian. PENGERTIAN Test Kit Uji Residu Formalin (AntilinTM) Suatu alat penguji cepat dalam kemasan yang berisi 2 botol larutan penguji, yaitu Larutan A dan Larutan B, 2 botol kaca kosong untuk pengujian sampel, dan satu syringe untuk mengambil larutan sampel. Reagen Cairan larutan kimia yang disediakan dalam satu kemasan tertentu pada Test Kit Uji Residu Formalin (AntilinTM). ppm Satuan konsentrasi yang menunjukkan jumlah 1 bagian ukuran bahan tersebut per 1.000.000 bagian ukuran bahan uji. Formalin Cairan beracun dan berbahaya yang merupakan campuran formaldehid (HCHO) yang terlarut dalam air dengan konsentrasi 37-40%. Bahan ini biasanya digunakan sebagai antiseptic, germisida, dan pengawet. Formalin diketahui sering digunakan dan efektif dalam pengobatan penyakit akibat ektoparasit seperti fluke dan kulit berlendir.. RINCIAN DAN APLIKASI TEKNIS Persyaratan teknis Test kit sebaiknya disimpan pada suhu rendah (5-10oC) agar masa aktifnya dapat lebih lama. Pada suhu tersebut test kit dapat digunakan sampai masa penyimpanan 3 bulan. Rincian pengujian residu formalin menggunaan Test Kit 1. Ikan yang akan diuji (sampel) terlebih dahulu diiris kecil-kecil (dicacah) atau diblender (dihaluskan) 2. Sekitar ±10 gram (satu sendok makan) sampel diambil lalu ditambah dengan air panas ± 20 ml (4 sendok makan) dan diaduk selama 1 menit, 3. Setelah campuran mengendap, diambil 10 ml cairan menggunakan syringe yang disediakan dan dimasukkan ke dalam botol kaca kosong yang telah tersedia dalam kemasan tes kit uji.
300
4. Larutan sampel dalam botol tersebut selanjutnya ditambahkan 4 tetes Larutan A dan 4 tetes Larutan B. Selanjutnya dilakukan pengocokan dan dibiarkan hingga sekitar 10 menit dan kemudian diamati perubahan warna yang terjadi. Air suling (akuades) dapat digunakan sebagai kontrol negatif dengan meneteskan Llarutan A dan B dengan cara yang sama. 5. Terbentuknya warna ungu pada botol berisi sampel yang bersamaan dengan tidak terbentuknya warna serupa pada botol berisi air suling menunjukkan bahwa ikan (produk perikanan) yang diuji positif mengandung formalin. Keterangan: Untuk pengujian produk berbentuk cairan, tidak perlu dilakukan preparasi sampel, langsung ditambahkan Larutan A dan B masing-masing sebanyak 4 tetes dan dikocok sampai homogen kemudian diamati perubahan warnanya. KEUNGGULAN TEKNOLOGI Dalam hal kepraktisan dan efektivitas, inovasi ini sama dengan yang tersedia di pasaran, tapi harganya lebih murah. Test Kit Uji Residu Formalin sangat dibutuhkan karena kasus malpraktek pengawetan makanan, terutama ikan semakin marak, sementara deteksi visual tidak mungkin dilakukan. Test Kit sangat memudahkan pengawas dalam membuktikan adanya malpraktek, bila digunakan bagi pengawasan rutin di pusat-pusat produksi makanan, dapat menghentikan penyalahgunaan formalin pada makanan. Di bidang perikanan, test kit ini dapat digunakan di TPI sebagai gerbang pendaratan ikan sehingga ada jaminan keamanan atas ikan yang didaratkan. Test Kit ini dapat digunakan tidak terbatas pada ikan, tapi untuk semua jenis makanan padat maupun cair. Test Kit ini akan sangat membantu para retailer (misal: super market atau pasar) untuk memastikan bahwa produk yang dikirim suplier terbukti aman. Test Kit cocok digunakan untuk ini karena praktis, mudah digunakan, hasilnya cepat didapat, batas deteksi minimal rendah, dan sangat murah sehingga biaya pengujian tidak akan membebani harga produk yang dijual. Telah diproduksi dan dijual secara komersial bekerjasama dengan Koperasi Artha Mina dan telah digunakan oleh beberapa instansi pemerintah (beberapa dinas perikanan) untuk pengawasan penyalahgunaan formalin sejak Tahun 2007. LOKASI REKOMENDASI AntilinTM mudah dan praktis digunakan bahkan oleh orang yang tidak memiliki kemampuan analisis laboratorium sehingga mudah digunakan oleh siapa saja di lapangan. Sebagai salah satu alat (tool) untuk mengawasi terjadinya penyimpangan penggunaan bahan berbahaya formalin pada produk perikanan, AntilinTM dapat digunakan oleh para praktisi pengawas mutu produk perikanan atau para penyuluh serta masyarakat pengolahan produk perikanan dalam membantu membrantas praktek keliru penyalah-gunaan formalin pada produk perikanan. Tempat-tempat yang penting dimonitor menggunakan test kit ini adalah daerah yang mengalami kelangkaan es sebagai pengawet ikan, di pintu-pintu pemasukan ikan seperti TPI atau Pasar Ikan, atau di tokotoko pengecer ikan.
301
KEMUNGKINAN DAMPAK NEGATIF Dampak negatif tidak ada karena pengujian tidak merusak produk yang diuji, dan test kit tidak membahayakan penguji. Karena Larutan B secara terpisah akan memberikan pewarnaan pink pada kulit (walaupun tidak membahayakan) maka disarankan menggunakan sarung tangan pada saat pengujian atau membasuh tangan yang terkena tetesan tersebut dengan detergen setelah proses pengujian.
Gambar 1. Tes kit uji formalin
KELAYAKAN FINANSIAL Biaya pengujian kualitatif formalin pada laboratorium uji berkisar Rp.20.000,00 – Rp.50.000,00 per sampel dan cukup besar jika bahan yang akan diuji jumlahnya banyak. Dengan menggunakan Tes Kit Uji Residu Fo r m a l i n ( A n t i l i n T M ) d e n g a n h a r g a Rp.200.000,00 untuk 50 sampel maka biaya analisis formalin yang diperlukan hanya Rp.4.000,00 per sampel.
Gambar 2. Hasil pengujian menggunakan AntilinTM pada sampel yang mengandung formalin 1 ppm
Dari sisi harga, Test Kit Uji Residu Formalin (AntilinTM) juga lebih murah dari produk serupa (25-50%) kartena dari informasi harga test kit serupa (test kit formalin dari luar negeri) hraga produk tersebut sekitar Rp.1.200.000,00 untuk 100 kali pengujian. TINGKAT KOMPONEN DALAM NEGERI Sekitar 80% bahan yang digunakan untuk pembuatan Tes Kit Uji Residu Formalin (AntilinTM) dapat diproduksi di Indonesia sehingga 80% produk ini dapat menggunakan komponen dalam negeri. Spesifikasi Tes kit uji residu formalin ini untuk mendeteksi adanya residu formalin pada makanan berbentuk padat atau cairan. Set set test kit terdiri dari; Reagen A dengan botol volume 10-15 ml yang berisi campuran larutan pewarna pararosanilin pada konsentrasi 0,05-0,2% dengan larutan natrium metabisulfit 0,5-5%, Reagen B dengan botol volume 10-15 ml yang berisi larutan Hydrochloric Acid 25% (w/v), dan dilengkapi dengan dua botol kosong dengan ukuran 10-30 ml sebagai botol reaksi masing-masing untuk sampel dan untuk blanko serta satu syring volume 5-10 ml untuk mengambil sampel dalam jumlah tertentu Tes kit ini dapat digunakan untuk 50 kali pengujian sampel.
302
rekomendasi teknologi
teknologikelautan
4 303
BPOL Teknologi BIOREEFTEK
Unit Eselon I Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan Satuan Kerja Balai Penelitian dan Observasi Laut (BPOL) Alamat Jalan Baru Perancak, Jembrana Bali, 82251 Kategori Teknologi Kelautan Sifat Teknologi Teknologi baru Masa Pembuatan 2008-2013 Tim Penemu Eghbert Elvan Ampou, M. Sc
Kontak Person Rochma Widia Lestari, S. Kom
[email protected]
304
TUJUAN DAN MANFAAT PENERAPAN TEKNOLOGI Tujuan penerapan teknologi BIOREEFTEK ini adalah untuk menciptakan dan memberikan alternatif teknologi konservasi dan rehabilitasi terumbu karang yang terbuat dari bahan alami dengan biaya pembuatan yang relatif murah. Penerapan teknologi BIOREEFTEK ini diharapkan dapat menunjang kegiatan konservasi dan rehabilitasi ekosistem terumbu karang di kawasan pesisir Indonesia. PENGERTIAN/ISTILAH/DEFINISI Secara etimologi, BIOREEFTEK terdiri dari tiga kata, yaitu BIO yang berarti hidup/hayat; REEF berarti terumbu/batu; dan TEK adalah Teknologi. Secara terminologi, BIOREEFTEK dapat diartikan sebagai suatu teknologi hijau yang memanfaatkan bahan alami (tempurung kelapa) sebagai media untuk penempelan larva planula karang sampai menjadi koloni individu baru (terumbu). RINCIAN DAN APLIKASI TEKNIS Persyaratan Teknis Penerapan Teknologi Aplikasi teknis BIOREEFTEK terdiri dari 6 tahapan, yaitu (a) persiapan pembuatan, (b) peletakan (deployment), (c) monitoring penempelan larva planula karang, dan (d) relokasi BIOREEFTEK. a. Persiapan dan langkah-langkah pembuatan Hal yang pertama dilakukan untuk membuat BIOREEFTEK adalah mempersiapkan bahan-bahan yang diperlukan, yaitu tempurung kelapa, pipa aluminium, rangka besi, kawat, kayu, tripleks, pasir, batu, serta kabel pengikat. Alat yang digunakan adalah gerinda, gergaji, ampelas, dan juga sekop. Setelah semua bahan dan alat telah siap, maka dapat dilakukan pembuatan BIOREEFTEK dengan mengikuti langkah-langkah berikut
305
1. Potong tempurung kelapa menjadi dua bagian secara rata (Gambar 1-a), kemudian beri lubang di bagian tengahnya menggunakan gerinda (Gambar 1-b).
Gambar 1. Pemotongan (a) dan pembuatan lubang (b) pada tempurung kelapa dengan menggunakan gurinda
2. Siapkan cetakan media (Gambar 2-a) dan rangka dasar media atau rangka besi (Gambar 2-b)
Gambar 2. Cetakan media (a) dan rangka dasar media (rangka besi) BIOREEFTEK (b)
3. Letakan rangka besi pada cetakan media dan tuangkan campuran semen, pasir dan batu ke dalam cetakan tersebut, kemudian pasang tiang alumunium untuk penyangga media tempurung kelapa, dan keringkan (Gambar 3-a). Setelah kering, lepaskan cetakan kayu dari media, dan lapisi seluruh permukaan media dengan cairan semen (Gambar 3-b).
Gambar 3. Penyetakan media BIOREEFTEK dan pemasangan tiang alumuniun (a); serta pelapisan seluruh permukaan media dengan cairan semen(b)
306
4. Posisikan tempurung kelapa secara terbalik, bubuhkan semen (Gambar 4-a) dan letakkan di bawah paparan sinar matahari, biarkan sampai mengering (Gambar 4-b). Jika sudah kering, susun substrat tersebut satu per satu pada tiang aluminium, kemudian sematkan kabel pengikat pada ujung tiang untuk mencegah substrat terlepas (Gambar 4-c).
Gambar 4. Pembuatan substrat tempurung kelapa (a), pengeringan (b) dan penyusunannya pada tiang alumunium (c)
5. BIOREEFTEK yang sudah siap untuk ditaruh di lokasi yang sudah ditentukan terlebih dulu (Gambar 5).
Gambar 5. BIOREEFTEK yang sudah siap ditaruh di lakasi
b. Peletakan (deployment) Peletakan BIOREEFTEK di perairan dapat mengikuti langkah-langkah berikut: 1. Letakan beberapa BIOREEFTEK yang akan ditaruh di atas perahu. Bawa ke lokasi peletakan yang telah ditentukan sebelumnya. 2. Ikatkan salah satu ujung tali pada BIOREEFTEK dan ujung tali lainnya dikatkan pada perahu.Tali tersebut sebagai alat bantu untuk mempermudah penyelam dalam menurunkan BIOREEFTEK. Jumlah penyelam yang diperlukan pada saat peletakan ini adalah 2 orang. Salah satu sebagai peletak BIOREEFTEK dan lainnya bertugas untuk mendokumentasikan proses peletakan. 3. Turunkan BIOREEFTEK dan letakan di dasar perairan yang memiliki kondisi ekosistem terumbu karang relatif baik. Sebaiknya letakan di lokasi yang datar/rata agar BIOREEFTEK dapat berdiri dengan kokoh.
307
4. Lepaskan tali yang diikatkan pada BIOREEFTEK dan gulung. BIOREEFTEK sudah selesai ditaruh dan lakukan pemantauan pertumbuhan dan perkembangan individu baru karang secara periodik. b. Pemantauan Pemantauan BIOREEFTEK dilakukan dengan melakukan pengamatan secara periodik, setiap 4 bulan atau 6 bulan sekali. Metode yang diaplikasikan adalah dengan foto dan video (Gambar 6) untuk mendokumentasikan pertumbuhan dan perkembangan larva planula yang menempel pada substrat BIOREEFTEK.
Gambar 6. Pemantauan BIOREEFTEK dengan pengambilan foto dan video
Gambar 7.Hasil Pemantauan BIOREEFTEK di Beberapa Lokasi Penelitian
308
d. Relokasi Relokasi BIOREEFTEK adalah pemindahan BIOREEFTEK yang sudah ditumbuhi karang ke lokasi lain yang memiliki kondisi karang kurang baik. Kegiatan tersebut dilakukan jika seluruh bagian substrat telah ditumbuhi karang. Relokasi dilakukan ke tempat yang memiliki kondisi karang kurang baik atau memiliki biodiversitas karang yang rendah. Tahapan teknis relokasi dapat dilihat pada Gambar 8, berikut.
Gambar 8. Tahapan Relokasi BIOREEFTEK Keterangan Gambar: 1 Menyelam ke lokasi BIOREEFTEK yang akan dipindahkan (relokasi) dengan membawa pelampung “sosis” dan tali yang akan digunakan untuk mengikat BIOREEFTEK. Tali dan pelampung tersebut digunakan sebagai alat bantu untuk mengangkat BIOREEFTEK ke atas perahu. Salah satu jung tali dipegang oleh salah seorang yang ada di atas perahu, yang membantu menggulung tali tersebut. 2 BIOREEFTEK perlahan diangkat ke permukaan air, ke atas perahu. 3 BIOREEFTEK yang sudah berhasil diangkat, kemudian diletakan di dalam sebuah tempat penampungan yang rata dan cukup untuk menampung BIOREEFTEK secara utuh, dalam posisi seperti pada saat masih di dalam air. 4 Membawa BIOREEFTEK ke lokasi yang telah ditentukan sebelumnya, yang memiliki kriteria kondisi karang kurang baik, dengan menggunakan perahu. 5 Menurunkan BIOREEFTEK ke dasar perairan dengan bantuan tali, seperti pada saat pengangkatan BIOREEFTEK ke permukaan air. Letakan BIOREEFTEK di lokasi yang relatif datar/rata. Lakukan pemantauan secara periodik (setiap 4 bulan atau 6 bulan).
309
KEUNGGULAN TEKNOLOGI Teknologi Modifikasi BIOREEFTEK adalah metode rehabilitasi dan konservasi terumbu karang yang tidak destruktif, terbuat dari bahan alami dan mudah diperoleh, mudah diaplikasikan atau diadopsi oleh masyarakat lokal sekalipun, serta biaya pembuatannya yang relatif murah (efisien). Dengan demikian tergolong modifikasi BIOREEFTEK ini telah banyak diadopsi dan diaplikasikan baik oleh pemerintah daerah maupun masyarakat lokal. Hasil monitoring di lokasi deployment, individu karang baru sudah dapat tumbuh dalam waktu ± 4 – 6 bulan. Keberhasilan BIOREEFTEK menjadi media tumbuh larva planula karang sudah terbukti dari beberapa hasil pemantaun yang telah dilakukan (Gambar 7). jika dibandingkan dengan artificial reef lain yang telah berkembang selama ini, proses deployment BIOREEFTEK ini sangat mudah dan efisien karena tidak membutuhkan wahana dan peralatan yang mahal dan rumit. Selain itu material yang digunakan dalam pembuatan BIOREEFTEK adalah materi alami sehingga ramah lingkungan LOKASI PENELITIAN - DAERAH REKOMENDASI BIOREEFTEK telah dikaji, dikembangkan, diterapkan, dan diadopsi oleh berbagai pihak untuk kegiatan rehabilitasi dan konservasi terumbu karangdi Indonesia, diantaranya Gambar 9): 1. Di Perairan Nusa Penida, Kabupaten Klungkung, Bali (2008 - sekarang), 2. Di Perairan Pemuteran, Kabupaten Buleleng, Bali (2008 - sekarang), 3. Di Perairan Gili Lawang dan Gili Sulat, Kabupaten Lombok Timur (2008), 4. Diadopsi oleh SMK Negeri 1 ALAS, Kabupaten Alas, Sumbawa (2011) 5. Di Kabupaten Tanah Bumbu Kalimantan Selatan kerjasama DKP-Tanah Bumbu dan BPSPL serta BPOL (2010) 6. Di Tablolong Nusa Tenggara Timur dan Waingapu, Sumba Timur – Pantai Londa Lima pada kegiatan IPTEKMAS (2009) 7. Telah dibuat secara swakelola oleh Balai Taman Nasional Bunaken dan Dinas Provinsi Sulawesi Utara (2010) 8. Presentasi, sosialisasi dan aplikasi Bioreeftek di Pulau Mandangin-Madura “Marine Care”. Himika Fak. Pertanian Universitas Trunojoyo & Ditjen KP3K-KKP. Desember 2012. KEMUNGKINAN DAMPAK NEGATIF Dampak negatif yang ditimbulkan dari aplikasi BIOREEFTEK sangat minim, hampir tidak ada. Hal ini material untuk membuatnya adalah bahan organik alami (tempurung kelapa), semen dan aluminium. Setelah terumbu karang tumbuh, bahan-han ini sudah ditumbuhi organisme baru. Saat dilokasi ketempat yang barus pada umumnya tidak ada dampak negatif. KELAYAKAN FINANSIAL Biaya yang diperlukan untuk membuat satu rangkaian BIOREEFTEK adalah± Rp. 100.000 – Rp. 200.000. Sangat efisien jika dibandingkan dengan teknologi lain yang sudah lebih dulu diterapkan
310
untuk kegiatan rehabilitasi dan konservasi terumbu karang, seperti rangka semen (terbuat dari rangka semen), Hexadome (terbuat dari rangka besi dan semen), Biorock (terbuat dari rangka besi yang dialiri listrik searah untuk merangsang pertumbuhan karang), serta pecahan karang mati (pecahan karang mati yang dikumpulkan dalam jaring sebagai media pertumbuhan karang). Gambar 10. Sketsa Kerangka dan Spesifikasi Ukuran BIOREEFTEK
TINGKAT KOMPONEN DALAM NEGERI Persentasi kandungan material yang digunakan untuk membuat BIOREEFTEK ini adalah 100% buatan dalam negeri. Bahan yang diperlukan adalah tempurung kelapa, pipa alumunium, rangka besi, kawat, kayu, tripleks, pasir – batu, cable ties
311
P3TKP Teknologi Wahana Observasi Bawah Air Mini ROV
Unit Eselon I Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan Satuan Kerja Pusat Pengkajian dan Perekayasaan Teknologi Kelautan dan Perikanan Alamat Gedung Balitbang KP Lantai 4 Jl. Pasir Putih I, Ancol Timur, Jakarta Tel. 021-64711583 Fax. 02164711501 Kategori Teknologi Kelautan Sifat Teknologi Teknologi baru Masa Pembuatan 2009-2013 Tim Penemu Budhi Gunadharma G. Sapto Adi Nugroho Nico Prayogo
Kontak Person Budhi Gunadharma G.
[email protected]
312
DESKRIPSI TEKNOLOGI Tujuan dan Manfaat Penerapan Teknologi Kebutuhan manusia untuk mengeksplorasi lingkungan bawah laut semakin meningkat. Namun kondisi bawah laut yang berbahaya bagi keselamatan manusia mendorong perlunya teknologi observasi bawah air nir awak. Tujuan wahana benam bawah air mini ROV ini adalah untuk membantu manusia dalam melakukan kegiatan observasi bawah air di lingkungan laut dengan aman. Hasil observasi yang diperoleh sangat komprehensif karena menghasilkan data dalam bentuk visual (video) dengan kualitas tinggi (High Definition) dan data lingkungan fisik seperti Oksigen Terlarut (DO/dissolved oxygen), Konduktivitas (Conductivity), Suhu (Temperature), dan Kekeruhan (Turbidity). Selain itu wahana benam ini dilengkapi dengan alat untuk mengambil contoh sedimen dasar perairan sehingga kondisi dapat dianalisa lebih lanjut. Pengertian ROV adalah singkatan dari Remotely Operated Vehicle (ROV) yaitu sebuah wahana benam bawah air yang dikendalikan dari permukaan oleh seorang operator. Secara umum ROV terdiri dari tiga komponen utama yaitu wahana bawah air, kontrol permukaan, dan kabel. Wahana benam dan kontrol permukaan dihubungkan melalui kabel yang berfungsi untuk jalur komunikasi data dan perintah serta pengiriman daya. Pada sistem kontrol permukaan terdapat layar monitor dan sistem kendali. Pada layar monitor tersebut operator dapat melihat secara langsung kondisi bawah air lengkap dengan data pendukung navigasi dan operasional seperti data kedalaman, kecepatan, kondisi baterai, arah, dan data lingkungan fisik. Pusat Pengkajian dan Perekayasaan Teknologi Kelautan dan Perikanan telah membuat wahana benam bawah air untuk observasi kelautan yang diberi nama Mini ROV. RINCIAN DAN APLIKASI TEKNIS Persaratan Teknis Penerapan Teknologi Untuk menerapkan teknologi wahana benam observasi Mini ROV ini diperlukan tiga komponen utama yaitu: Wahana benam observasi Mini ROV Wahana benam observasi Mini ROV terdiri dari tiga komponen utama yaitu wahana benam, sistem kontrol dan sistem kabel. Semua ini telah disediakan dalam satu paket yang dikemas dalam paket yang mudah ditangani sehingga memudahkan dalam mobilisasi alat.
313
Operator yang telah dilatih untuk mengoperasikan Operator merupakan sebuah tim yang idealnya minimal terdiri dari dua orang yaitu seorang sebagai pilot yang mengendalikan, bertanggung jawab dan menentukan jalannya misi observasi serta seorang teknisi yang membantu dalam teknis operasional di lapangan. Sarana bantu operasi di lapangan seperti kapal Mini ROV didesain untuk dioperasikan dengan mudah dilapangan sekalipun dengan keterbatasan sarana. Mini ROV dirancang dengan konsep mudah diturunkan ke laut sehingga dapat dioperasikan dengan kapal kecil, misalnya dengan kapal nelayan tradisional. Dalam beberapa uji coba lapangan, Mini ROV dapat dioperasikan dalam kapal nelayan dengan mesin tempel dan tanpa sumber listrik genset karena Mini ROV telah dilengkapi dengan sistem daya yang mudah dipindahkan (portable). Uraian secara lengkap dan detail SOP a. Gambaran rincian teknologi MINI ROV adalah sebuah ROV (Remotely Operated Underwater Vehicle) kelas mini observation yang memiliki keunggulan berupa ukuran dan beratnya yang kompak. Dengan berat di bawah 15 kg, ROV ini adalah pengganti yang tepat untuk melaksanakan tugas seorang penyelam. Dengan Gambar 1. Mini ROV dan bagian-bagiannya kedalaman operasi sampai 1 0 0 m , R OV i n i d a p a t melakukan observasi dengan mudah. Dua orang personel dapat mengoperasikan sistem ROV lengkap dengan hanya menggunakan perahu kecil, sejak proses deployment hingga penyelesaian pekerjaan tanpa bantuan pihak luar. Mini ROV dapat beroperasi pada lingkungan dengan batasan lingkungan operasi sebagai berikut: Media : Air tawar atau air laut Temperatur Operasi : 0-50oC MINI ROV dilengkapi dengan kamera video, dua buah lampu bawah air, dua buah thruster horizontal dan satu buah thruster vertikal. Untuk peralatan pilihan, MINI ROV dapat dilengkapi dengan manipulator, sampler, sistem sonar dan sensor tambahan lain.
314
b. Cara penerapan teknologi yang diurut mulai persiapan sampai aplikasi 1. Persiapan Penyelaman 1.1 Kondisi Penyelaman Kondisi Penyelaman yang optimal untuk MINI ROV ini adalah sebagai berikut: Cuaca baik dan kecepatan angin rendah Kondisi air jernih Kondisi arus lemah Tidak ada gangguan di atas dan di bawah permukaan Namun demikianMINI ROV dapat dioperasikan pada kondisi lingkungan yang kurang ideal bahkan di lingkungan perairan yang cukup ekstrim untuk penggunaan dengan pilot yang berpengalaman. 1.2 Persiapan Wahana ROV Untuk mempersiapkan pengoperasian MINI ROV, berikut adalah prosedur yang harus dilakukan: 1) Periksa kondisi surface station, pastikan kondisi main power switch dalam kondisi "Óff" 2) Keluarkan MINI ROV dan umbilical cable dari dalam kotak penyimpan. 3) Hubungkan surface station dan MINI ROV melalui umbilical cable. 4) Sambungkan surface station ke sumber daya AC menggunakan kabel yang telah tersedia. 5) Pengaturan ballast mungkin diperlukan, bergantung pada kondisi penyelaman dan operasi yang akan dilakukan. 6) Setelah sistem terhubung sempurna lakukan inspeksi sebelum penyelaman (pre-dive inspection). 1.3 Inspeksi Sebelum Penyelaman Sebelum penyelaman perlu dilakukan pre-dive inspection sebagai berikut: 1) Periksa wahana secara visual, pastikan tidak ada tanda-tanda cacat yang dapat menyebabkan malfungsi wahana. 2) Periksa thruster jika ada kotoran yang dapat mengganggu berputarnya propeler 3) Periksa tether untuk cacat atau kerusakan yang terlihat 4) Pastikan semua baut dikencangkan sesuai standar dan kondisi ballast sudah terpasang dengan baik 5) Pastikan konektor tether, konektor thruster, konektor lampu dan konektor main switch dalam keadaan baik dan dikencangkan sesuai standar menggunakan torquemeter yang disediakan 6) Nyalakan power pada surface station dan MINI ROV, periksa sinyal suara. Pastikan tidak ada malfungsi pada sistem. 7) Gerakkan joystick untuk mengetes operasi semua thruster horizontal. Jangan nyalakan thruster lebih dari 20 detik di luar air karena diperlukan lubrikasi air untuk underwater bearing pada thruster. 8) Gerakkan roda pengatur kedalaman (depth control) untuk mengetes operasi thruster vertikal
315
9) Periksa kondisi underwater lamp, geser roda pengatur lampu ke arah terang dan redup. Jangan operasikan lampu lebih dari 20 detik ketika MINI ROV di luar air kareana akan mengakibatkan overheating. 10) Periksa kondisi tilt kamera dan fokus kamera. Periksa transmisi video di layar monitor surface station dan kondisi perekam video. 11) Periksa peralatan tambahan dan lakukan pengecekan menurut prosedur yang tersedia untuk masing-masing peralatan 12) Matikan semua power hingga siap dilakukan penyelaman. 1.4 Peluncuran MINI ROV 1) Nyalakan power MINI ROV 2) Kondisi tether harus dalam kondisi tergulung dan siap untuk diturunkan kedalam air. Kondisi kabel harus bebas dari kusut, tekukan dan gangguan lain 3) Berikan informasi kepada perenang, operator kapal, penyelam di sekitar lokasi bahwa MINI ROV akan diluncurkan dan akan ada kabel di sekitar perairan 4) Hindari menjatuhkan atau melempar MINI ROV ke dalam air. Gunakan strap pengangkat yang telah disediakan atau gunakan tether untuk menurunkan MINI ROV ke permukaan air. Metode ini akan mencegah kemungkinan MINI ROV bertabrakan dengan dinding dermaga atau kapal ketika dilemparkan. 1.5 Operasi Manuver MINI ROV MINI ROV sangat mudah untuk dioperasikan. Operator baru disarankan untuk mencoba pengontrolan MINI ROV selama beberapa menit dengan kondisi MINI ROV terlihat di permukaan air untuk mengenalkan dengan reaksi MINI ROV terhadap perintan pengontrolan. Mengoperasikan MINI ROV di laut terbuka tidak sulit dan dapat dengan mudah dikuasai. Untuk operasi di sekitar penghalang seperti kapal, struktur bawah air dan jalur jangkar membutuhkan pengalaman lebih. Untuk kondisi yang belum pasti, operasikan MINI ROV dengan pelan dan pertimbangkan efek yang mungkin terjadi dari manuver yang akan dilakukan. 1) Operasi dari MINI ROV sangat intuitif dan mudah. Joystick utama mengontrol kecepatan variabel untuk gerakan maju dan mundur. Dorong joystick ke depan untuk menggerakkan MINI ROV ke depan, tarik joystick ke belakang untuk gerakan mundur. 2) Untuk manuver belok dicapai dengan menggerakkan joystick ke kiri dan ke kanan. Joystick juga dilengkapi dengan axis putar untuk gerakan berputar di tempat (pivot). 3) Roda pengatur kedalaman (depth control wheel) di sebelah kiri surface station mengontrol gerakan thruster vertikal. Posisi awal roda berada pada kondisi netral, pergerakan dari posisi ini akan menentukan kecepatan menyelam atau surfacing. Memutar roda ke arah "down" akan menambah kedalaman dan ke arah sebaliknya untuk bergerak ke arah permukaan. Kondisi ballast MINI ROV harus sedikit positif sehingga MINI ROV akan punya kecenderungan untuk terus bergerak ke permukaan, maka untuk mempertahankan kedalaman perlu terus diberikan thrust ke bawah. Untuk mempertahankan kedalaman secara otomatis dapat digunakan fitur
316
Auto Depth di mana kedalaman akan dipertahankan secara otomatis oleh kontroler. 4) Kamera depan dapat digerakkan ke atas dan ke bawah dengan memutar roda pengatur "tilt cam", putar ke arah up/down untuk mengatur arah kamera. 5) Intensitas terang gelapnya lampu diatur menggunakan roda pemutar "dimmer", ke arah "dim" unutk meredupkan dan ke arah "bright" untuk menambah intensitas penerangan. 1.6 Pengangkatan MINI ROV 1) Pastikan tether bebas dari halangan agar kemungkinan kabel tersangkut atau kusut dapat dihindari 2) Arahkan MINI ROV ke tempat pengangkatan di mana permukaan air bebas dari penghalang 3) Matikan power utama surface station 4) Angkat MINI ROV dari air dengan menarik tether untuk mendekatkan posisinya. dan memasang strap pengangkat pada MINI ROV untuk pengangkatannya. 5) Gulung tether dengan baik untuk menghindari kabel kusut. 6) Matikan power utama MINI ROV 7) Lakukan pemeriksaan setelah penyelaman (post-dive inspection) 1.7 Pemeriksaan setelah penyelaman (Post-Dive Inspection) 1) Pastikan MINI ROV sudah dalam posisi yang stabil di kapal/pelabuhan 2) Pastikan semua power dalam kondisi mati 3) Lepaskan koneksi antara MINI ROV dan surface station 4) Periksa MINI ROV secara visual untuk memastikan tidak adanya kerusakan mekanik 5) Periksa secara visual melalui acrylic dome untuk memastikan tidak adanya air yang memasuki ROV 6) Periksa thruster untuk memastikan tidak adanya kotoran, tali atau benda asing yang tersangkut di propeler 7) Jika MINI ROV digunakan di air laut, bilas ROV secara menyeluruh menggunakan air tawar sebelum disimpan. 8) Periksa tether unutk melihat tanda-tanda cacat, goresan atau tekukan. 9) Simpan semua komponen dengan aman di dalam kontainer yang telah disediakan. Uraian dan jumlah kaji terap yang sudah dilakukan dibeberapa daerah Mini ROV telah diuji operasional lapangan di lokasi sebagai berikut: 1. Kabupaten Wakatobi Dalam uji operasional di Wakatobi pada tahun 2011 , Mini ROV digunakan dalam observasi terumbu karang. Dengan koordinasi Pemda Wakatobi, Mini ROV digunakan dalam observasi terumbu karang yang dikelola dalam program COREMAP di daerah Waha. Pada tahun 2013, bekerjasama dengan LPTK Wakatobi , Mini ROV akan digunakan untuk mendukung perikanan budidaya laut yaitu dalam Keramba Jaring Apung Budidaya Tuna.
317
2. Kepulauan Seribu Dalam uji operasional di Pulau Pramuka Kepulauan Seribu yang dilakukan pada tahun 2012, Mini ROV digunakan dalam beberapa misi sebagai berikut: Observasi struktur laut seperti dermaga dan kapal Observasi terumbu karang (transplantasi terumbu karang) Observasi perikanan budidaya (keramba jaring apung) Observasi kapal tenggelam Observasi perikanan laut Pemda Kepulauan Seribu sangat menyambut baik teknologi ini karena dapat membantu mengobservasi hingga kedalaman yang dirasakan tidak mungkin dilakukan oleh penyelam. Pada uji operasional ini juga dilakukan uji coba kemampuan menyelam pada malam hari mengingat Mini ROV juga dilengkapi dengan sistem pencahayaan dan hasilnya gambar video yang dihasilkan sangat baik. KEUNGGULAN TEKNOLOGI Uraian tentang teknologi yang baru atau modifikasi Teknologi wahana benam sebenarnya adalah teknologi yang sudah mapan di dunia mengingat teknologi ini sudah dikembangkan sejak perang dunia kedua dimana ROV digunakan untuk mencari torpedo yang jatuh kedalam laut. Teknologi ROV terus berkembang pesat karena kebutuhan akan aktivitas observasi bawah laut yang semakin meningkat. Demikian pula dengan kebutuhan teknologi ini di Indonesia semakin meningkat namun ketergantungan dengan pihak luar sangat besar karena belum ada yang menguasai teknologi ini di dalam negeri. Ketergantungan ini berdampak pada mahalnya biaya yang harus dikeluarkan untuk membeli teknologi ini secara sistem keseluruhan yang mencakup wahana benam, pelatihan personel, biaya suku cadang dan perawatan, dll. P3TKP berinisiatif mengembangkan riset dan perekayasaan teknologi wahana benam agar dapat menghasilkan sebuah teknologi observasi bawah air yang mudah dalam penggunaanya (easy to deploy) dan murah dalam biaya dan perawatannya (easy to maintain). Teknologi ini dirancang agar mudah dalam pengoperasiannya sehingga ketika dipakai dilapangan hanya menggunakan kapal nelayan sederhana sekalipun dapat beroperasi dengan baik. Uraian tentang keberhasilan teknologi Dibandingkan dengan teknologi yang ada saat ini teknologi Mini ROV buatan P3TKP sangat bisa bersaing. Dengan spesifikasi dan kelas yang sama Mini ROV dapat berkompetisi dengan produk teknologi luar negeri. Mini ROV dengan spesifikasi dan kelas yang sama buatan luar negeri dapat mencapai harga US $ 59.000,- (contoh: ROV Mini Benthic Tipe LBV150BE buatan SeaBotix, Inc) yang belum termasuk biaya pelatihan personel. Kemudahan lain yaitu kecepatan dan biaya yang lebih ekonomis dalam perawatan dan ketersediaan suku cadang karena seluruh komponen Mini ROV telah dibuat sendiri sehingga tidak ada waktu tunggu yang lama ketika ada kebutuhan suku cadang. Berbeda dengan teknologi luar negeri untuk perawatan harus minimal dilakukan di Singapura dan pemesanan suku cadang yang membutuhkan waktu karena harus dipesan dinegara produsennya. Dengan teknologi Mini ROV buatan dalam negeri yang harganya hanya US $ 20.000,- tentu sangat kompetitif dan layak untuk bersaing. Mini ROV dirancang dengan sistem
318
modular yang memberikan kemudahan dalam perawatan dan dapat disesuaikan dengan kebutuhan konsumen. Dengan memberikan dukungan prioritas kepada teknologi ROV dalam negeri akan meningkatkan tumbuhnya teknologi observasi bawah laut buatan Indonesia yang lain seperti AUV (autonomus under water vehicle, glider, drifter, dll). Mudah diterapkan dalam sistem usaha kelautan dan perikanan Mini ROV telah dirancang agar dapat dioperasikan di seluruh wilayah Indonesia dengan keterbatasan sarana karena Mini ROV dapat dioperasikan dengan menggunakan kapal nelayan dan cukup dengan dua orang personel saja. Selain itu Mini ROV dikemas dalam kemasan yang gampang ditangani (easy handling) sehingga dapat dibawa dengan mudah baik dengan pesawat komersial maupun dengan kapal penumpang ataupun mobil. Mini ROV juga dilengkapi dengan sistem daya yang dapat disesuaikan yaitu bisa dengan arus bolak balik atau juga dengan arus searah karena Mini ROV dilengkapi dengan baterai yang dapat diisi ulang. Sistem Mini ROV dibangun dengan sistem modular sehingga mudah dalam perawatan dan penggantian suku cadang. Ramah lingkungan Mini ROV sangat membantu manusia karena dapat melakukan observasi hingga kedalaman yang tidak dapat dicapai oleh seorang penyelam profesional sekalipun. Mini ROV dapat membantu manusia memahami fenoma alam yang terjadi di bawah air dan membantu melakukan pekerjaan observasi bawah air dengan aman. Mini ROV sangat ramah lingkungan karena tidak ada unsur yang dapat merusak lingkungan baik dari sisi pembuatan hingga operasionalnya. WAKTU DAN LOKASI PENELITIAN, DAERAH YANG DIREKOMENDASIKAN Pada tahun 2009 dilakukan kajian awal yang bertujuan memetakan kebutuhan dan ketersediaan teknologi wahana benam di Indonesia dan di dunia. Dari kajian awal ini dirumuskan state of the art teknologi yang akan dibuat. Pada tahun 2010 mulai dilakukan proses pengembangan dan perekayasaan teknologi dimana dihasilkannya prototipe tahap awal yang dapat beroperasi hingga kedalaman 30 meter. Pada tahap awal pengembangan ini difokuskan pada penguasaan teknologi yang paling penting yaitu teknologi pendorong (thruster). Dilanjutkan pada tahun 2011 dihasilkan teknologi Mini ROV tahap kedua yang telah disempurnakan sistem kendalinya yang kemudian diuji coba untuk misi observasi terumbu karang di Wakatobi. Pada tahun 2012, Mini ROV dilengkapi dengan kamera High Definition, sistem pencahayaan, sistem pengambil sedimen dasar perairan dan sistem manajemen kabel. Mini ROV digunakan dalam uji operasional dalam berbagai misi kelautan dan perikanan dengan lokasi di Pulau Pramuka Kepulauan Seribu. Pada tahun 2013, sistem observasi semakin lengkap dengan ditambahkannya sensor lingkungan laut yang terdiri dari sensor CTD (konduktivitas, temperatur, dan kedalaman), sensor turbiditas (mengukur tingkat kekeruhan), dan sensor DO (mengukur kadar oksigen dalam air) sehingga diharapkan hasil observasi Mini ROV sangat komprehensif karena selain gambar dan video juga menghasilkan data untuk tiap kedalaman observasi. Rencananya pada tahun 2013 Mini ROV akan digunakan dalam misi observasi di Keramba Jaring Apung Budidaya Tuna di Wakatobi.
319
Mini ROV dapat diterapkan diseluruh wilayah Indonesia baik di lautan, waduk, danau ataupun sungai dan dapat digunakan untuk misi observasi kelautan dan perikanan sebagai berikut: Observasi terumbu karang Observasi barang muatan kapal tenggelam Observasi budidaya perikanan baik perikanan laut maupun perikanan darat seperti di danau ataupun waduk Observasi lingkungan fisik untuk mengambil sampel dasar perairan maupun mengukur data ditiap kedalaman Observasi perikanan laut Observasi struktur air seperti dermaga, breakwater, bendungan, kapal, anjungan lepas pantai, dll. Sebagai penunjang wisata alam karena dapat membantu mengambil gambar dan video keindahan bawah laut Sebagai pembantu penjaga keselamatan penyelam KEMUNGKINAN DAMPAK NEGATIF Tidak terdapat kemungkinan dampak negatif yang dapat ditimbulkan dari aplikasi teknologi ini. KELAYAKAN FINANSIAL DAN ANALISA USAHA Untuk produk buatan luar negeri yang sekelas dengan Mini ROV ini harga yang mereka tawarkan adalah sekitar US$ 59.000 belum termasuk biaya kirim dan pajak. Harga ini diluar biaya pelatihan dan perawatan. Sedangkan untuk Mini ROV buatan Pusat Pengkajian dan Perekayasaan Teknologi Kelautan dan Perikanan ini jauh lebih murah dibandingkan dengan produk dengan spesifikasi yang sama untuk teknologi buatan luar negeri tersebut. Harga yang ditawarkan adalah US$ 20.000 dan dapat disesuaikan dengan kebutuhan konsumen mengingat sistem Mini ROV telah didesain dengan sistem modular. Dengan penguasaan teknologi maka ketergantungan suku cadang dan perawatan dengan luar negeri dapat dihilangkan. Kemudahan suku cadang dan dukungan teknis yang cepat membuat keunggulan Mini ROV buatan dalam negeri. Dengan begitu besarnya pangsa pasar kebutuhan observasi bawah air baik air laut maupun air tawar (danau, waduk, sungai, dll) maka teknologi ini sangat layak untuk dikembangkan. Mini ROV dapat digunakan untuk beberapa misi dilingkup Kementerian Kelautan dan Perikanan sebagai berikut: 1. Observasi terumbu karang (mendukung program COREMAP) 2. Observasi perikanan budidaya (Keramba Jaring Apung baik di Laut ataupun di Waduk/Danau) 3. Observasi Barang Muatan Kapal Tenggelam (BMKT) 4. Pemantauan Water Quality (Laut, Sungai, Waduk/Danau) 5. Pemeriksaan struktur (dermaga, breakwater, bendungan, hull kapal) 6. Diving assisstant 7. Search and Rescue (SAR) TINGKAT KOMPONEN DALAM NEGERI Penguasaan teknologi wahana benam ini telah dimulai dengan penguasaan komponen utama yaitu teknologi penggerak (thruster) dimana komponen ini telah diriset dan direkayasa dengan
320
kemampuan dalam negeri. Seluruh komponen dari Mini ROV ini telah dapat diperoleh dengan sumber dalam negeri sehingga Tingkat Komponen Dalam Negeri mencapai 100%. FOTO DAN SPESIFIKASI
Dimensi Berat di Udara Kedalaman Operasi Kecepatan Power Sistem Kendali Permukaan
Camera Pendorong Pencahayaan
Panjang: 576 mm Lebar: 460 mm Tinggi: 420 mm 12 kilogram 100 meter 3 knots 1000 watts LCD Display Joystick dengan 3 axis Video Recording HD Camera Kendali Depan: CCD Kamera 570 line dengan kemampuan tilting Kendali Belakang: CCD Kamera 420 line 3 unit dengan kekuatan dorong @ 7 kgf 2 unit lampu halogen @ 50 watt
321
P3TKP Kapal Katamaran Multiguna Tenaga Matahari
Unit Eselon I Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan Satuan Kerja Pusat Pengkajian dan Perekayasaan Teknologi Kelautan dan Perikanan Alamat Gedung Balitbang KP Lantai 4 Jl. Pasir Putih I, Ancol Timur, Jakarta Tel. 021-64711583 Fax. 02164711501 Kategori Teknologi Kelautan Sifat Teknologi Inovasi pemanfaatan teknologi sel photovoltaic (sel pv) / sebagai energi motor listrik penggerak kapal Masa Pembuatan 2011 Tim Penemu Donal Daniel Handy Chandra Oo Abdul Rosyid Indra Pratama Agus Sufyan
Kontak Person Donal Daniel
[email protected] [email protected]
322
DESKRIPSI TEKNOLOGI Tujuan dari pembuatan kapal katamaran tenaga matahari adalah untuk menciptakan sarana transportasi air multiguna yang memanfaatkan energi alternatif tanpa BBM yang berasal dari sinar matahari. Dua teknologi yang diusung dalam inovasi ini adalah teknologi rancangan katamaran dan teknologi rancangan energi penggerak kapal yang berasal dari sinar matahari. Di dalam menghadapi permasalahan BBM di Indonesia, energi matahari dipandang sangat relevan bagi solusi kapal-kapal nelayan saat ini sebagai pengganti BBM. Teknologi sel fotovoltaik (sel PV) kini sudah berkembang pesat dan sudah dimanfaatkan masyarakat untuk berbagai kebutuhan/aplikasi seperti lampu penerang, pemanas air, pompa-pompa, pendingin, transportasi darat dan laut, dan lain-lain. Kegunaan dari kapal katamaran tenaga matahari adalah dapat dipakai untuk banyak aktifitas, seperti muatan peralatan riset untuk aktifitas riset seperti tabung selam, wahana ROV (remotely operated vehicles), muatan karung (bulk) untuk aktifitas pembersihan pantai, muatan keranjang untuk aktifitas panen ikan, muatan bak-bak berisi ikan hidup, rumput laut dan lain-lain. Selain itu kapal ini juga dapat dipakai sebagai pleasure boat untuk mancing, penyelaman, wisata air di danau dan sungai sebagai pendukung sektor pariwisata. Pengertian Kapal Katamaran Tenaga Matahari adalah wahana terapung dengan lambung ganda (twin hull) memiliki tenaga penggerak motor listrik DC yang memperoleh energi listriknya dari sinar matahari. Teknologi lambung ganda (katamaran) digunakan agar diperoleh luasan geladak yang lebih luas dibandingkan lambung tunggal (monohull) sehingga dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan (multiguna). Energi penggerak kapal ini berasal dari sinar matahari (tenaga matahari). Kapal ini ramah lingkungan karena tidak memerlukan BBM dan oli sama sekali.
Gambar 1. BCR Box
RINCIAN DAN APLIKASI TEKNIS Prinsip kerja adalah sistem tenaga matahari terus-menerus mengisi baterai (aki) selama ada cahaya matahari, pengisiannya diatur oleh sebuah boks kontrol pengisian (BCR box) dengan alat
323
pemutus otomatis apabila baterai terisi penuh dan sebaliknya apabila baterai kurang pengisiannya, dengan demikian baterai aman dari kerusakan jangka pendek. Dengan jumlah 6 (enam) buah, baterai yang dipakai dapat melayani energi yang dibutuhkan motor listrik selama 3 jam walaupun dalam keadaan cuaca mendung (kurang cahaya matahari). Spesifikasi teknis: Tipe Panjang keseluruhan (LOA) Lebar keseluruhan (BOA) Tinggi Penggerak Daya motor listrik DC (input) Jumlah modul PV Bank baterai
: : : : : : : :
Katamaran (lambung ganda) 4,3 meter 2,5 meter 0,8 meter 1 x 5 HP motor DC tempel (electric outboard) 2000 Watt 24 Volt 8 x 80 Watt peak (Wp) Polikristalin 6 x 100 Amper jam (Ah) tipe dry cell (Dengan ini, kapal mampu beroperasi selama 3 (jam) pada kecepatan 6 knot (engine full throttle). : Perikanan, pariwisata, pemantau kualitas danau, sungai, waduk maupun sekitar pantai berair tenang (calm water). : Kedalaman minimal 1 m, gelombang 0,50 m. Tidak disarankan untuk perairan bergelombang (rough water) : 6 (enam) orang sebagai kapal wisata air, atau 2 (dua) orang dan 400 kilogram sampah padat sebagai kapal pembersih pantai dan pelabuhan (pemantau perairan).
Manfaat Wilayah operasi Kapasitas angkut
Detail SOP Rincian teknologi yang ada pada Katamaran Multiguna Tenaga Matahari dapat dilihat pada Gambar 2 berikut.
Lampu DC @ 24 V
Solar Panel 8 x @ 80 Wp Seri
Motor listrik 2000 Watt, 24 Volt Baterai 6 x @100 Ah, 12 V Seri
BCR
Gambar 2. Rincian teknologi pada Katamaran Multiguna Tenaga Matahari
Katamaran Multiguna Tenaga Matahari terdiri dari badan/lambung kapal tipe katamaran (lambung ganda) beserta atap dan geladak. Beban listrik di atas kapal terdiri dari motor listrik 2000 watt arus DC dan lampu penerangan DC, sedangkan sistem listrik terdiri dari 8 buah modul surya @ 80 watt peak, 6 buah baterai kering @ 100 Amper.jam (Ah). a. Cara penerapan teknologi mulai persiapan sampai aplikasi
324
Berikut ini dijelaskan rincian teknologi kapal katamaran tenaga matahari melalui gambar berikut ini: 1. Tahap perencanaan Yaitu tahap untuk menentukan kebutuhan ukuran kapal berdasarkan fungsi, muatan dan kecepatan kapal. Pada t ahap ini dilakukan diskusi antara perancang kapal dan pemilik kapal
2. Tahap perancangan Yakni tahap membuat gambar rancangan dan diskusi antara pihak galangan dan pemilik kapal (owner ship). Gambar rancangan terdiri dari gambar lines plan, general arrangement, electrical system layout. Selain itu dilakukan juga perancangan sistem kelistrikan kapal.
3. Tahap pembangunan Ya kni tahap pembangunan badan kapal secara keseluruhan, terdiri dari lambung kapal ( hull), geladak (deck), ruang-ruang, tutup-tutup dan atap kapal sebagai alas panel surya.
325
Penyatuan geladak dan lambung
Pelapisan permukaan dan penghalusan
Pengecatan warna dasar
Pemasangan atap/landasan solar panel
Pengecatan/finishing
Pemasangan perlengkapan kapal
326
4.
Pemasangan Battery Control Regulator (BCR) dan Koneksi motor listrik ke BCR Setelah semua sistem terhubung dilanjutkan dengan uji motor di atas air ( dry test motor)
Pemasangan Power Box (BCR)
Dry Test motor
5. Peluncuran kapal dan uji layar (sea trial) Peluncuran kapal disertai uji layar untuk memerhatikan stabilitas kapal dan kemampuan motor listrik.
Peluncuran kapal
Sea Trial
Sea Trial
Sea Trial
327
Hasil kaji terap yang sudah dilakukan Kapal Katamaran Multiguna Tenaga Matahari yang sudah diujicobakan dimanfaatkan di kawasan wisata ecopark Taman rekreasi Ancol (Gambar 3)
Gambar 3. Katamaran dimanfaatkan di kawasan rekreasi ecopark Ancol.
Di kawasan ecopark ini, katamaran dimanfaatkan sebagai sarana transportasi pengunjung mengelilingi kawasan ecopark, sarana informasi bagi anak-anak tentang energi ramah lingkungan, dan sebagai studi siswa/mahasiswa. KEUNGGULAN TEKNOLOGI Uraian tentang Teknologi Katamaran Multiguna Tenaga Matahari Keunggulan teknologi yang diusulkan adalah rancangan lambung ganda (katamaran) dan rancangan energi matahari nya. Keduanya merupakan teknologi modifikasi dari teknologi yang sudah ada yang memiliki keunggulan a. Mesin penggerak memanfaatkan motor listrik energi matahari tanpa BBM. b. Ramah lingkungan karena tidak menggunakan bahan bakar minyak dan oli. c. Motor listrik dapat dipakai untuk berbagai tipe lambung dan ukuran kapal. d. Lambung ganda yang digunakan menghasilkan stabilitas kapal yang tinggi Dimensi lambung ganda (catamaran) dan jumlah sel photovoltaic (pv) dapat disesuaikan dengan fungsi, jarak dan waktu tempuh kapal. Komposisi antara battery dan sel pv baik jumlah maupun kapasitasnya berbeda untuk tiap ukuran kapal. Semakin besar ukuran maka semakin banyak jumlah battery maupun sel pv nya. Hal ini berkaitan dengan beban-beban listrik yang bekerja di atas kapal. Multiguna artinya kapal ini dapat dipakai untuk berbagai aktifitas. Keberhasilan teknologi Katamaran Multiguna Tenaga Matahari Meskipun belum banyak diaplikasikan namun pengalaman di beberapa negara yang sudah mengaplikasikannya, membuktikan energi sinar matahari mampu menggantikan energi minyak yang selama ini dipakai pada kapal. Sedangkan kapal katamaran mampu menjawab beberapa kekurangan yang terdapat pada kapal lambung tunggal (monohull) seperti misalnya kestabilan di air yang lebih mantap yang memberikan kenyamanan lebih.
328
Keberhasilan membuat kapal katamaran ini adalah a. Waktu pembangunan yang lebih cepat dibandingkan cara tradisional menggunakan kayu. Teknik pencetakan fibreglass mampu mengurangi waktu pengerjaan kapal dari 3 bulan menjadi hanya 1 bulan dibandingkan kayu. b. Mampu mengurangi biaya operasional kapal. Dengan teknologi tenaga matahari biaya beli BBM dapat dihilangkan. c. Daya angkut lebih banyak. Dengan teknologi bahan fiberglass reinforced plastic (FRP) yang lebih ringan daripada kayu. Selain itu, terbukti dengan panjang yang sama (tipe monohull), menghasilkan ruang yang lebih besar. d. Teknologi motor listrik mampu menggantikan motor BBM yang selama ini dipakai. Hal ini telah dibuktikan dari hasil uji layar. Dari hasil pengujian lapangan (uji layar) menunjukkan kapal mampu mencapai kecepatan 5 knot dengan 6 (enam) buah baterai dan jarak tempuh hingga 33,7 kilometer (Gambar 4). Kondisi ini sesuai spesifikasi motor yang di rancang untuk mendorong kapal dengan bobot total hingga 3 ton. Pengambilan energi atau arus listrik motor diperoleh langsung dari baterai yang besar kecil arus Gambar 4. Peta rute uji layar (sea trial) yang disedot tergantung kecepatan (rpm) motor. Setelah melakukan uji layar, dapat disimpulkan selama 1 jam perjalanan kapal, baterai mengalami laju pengurangan tegangan karena beban motor listrik sebesar 10 persen, artinya masih terdapat cukup waktu untuk melakukan perjalanan lebih daripada 3 jam. Hasil ini melebihi manfaat yang dikeluarkan motor BBM kapal pulang hari sekitar 10 – 15 liter solar. Namun, laju pengurangan baterai dapat semakin cepat pada hambatan kapal yang semakin besar pula seperti pada saat uji layar seperti dapat dilihat pada grafik Gambar 5 dibawah ini. Keuntungan dari sistem pengisian yang dirancang adalah baterai dapat terus-menerus diisi selama kapal beroperasi dengan adanya sistem solar panel sehingga tidak perlu ada kekuatiran kehabisan pasokan energi dari baterai, akan Gambar 5. Grafik laju penurunan kapasitas batere
329
tetapi perlu mengatur kecepatan kapal. Semakin tinggi putaran motor, maka arus yang disedot motor juga semakin besar dan waktu tempuh semakin cepat, begitupun sebaliknya. Teknologi ini sangat dimungkinkan untuk diterapkan. Isu yang dapat diangkat adalah kenaikan harga BBM dan upaya melestarikan lingkungan perairan dimana nelayan melakukan kegiatan ekonomi. Dengan motor penggerak tanpa BBM nelayan akan terlepas dari biaya operasional khususnya dari komponen membeli BBM. Tahap awal untuk memperkenalkan teknologi ini adalah pada nelayan pulang hari (one day fishing), petani rumput laut dan pembudidaya ikan. Penerapannya sangat mudah dengan perlakuan yang sederhana, tidak membutuhkan keahlian khusus. Contoh, dengan hanya menyambungkan kutub (+) dan (-) motor listrik pada kutub baterai yang tersedia tanpa kuatir aliran listrik karena arus yang dipakai adalah arus DC. Pembuatan kapal dapat dilakukan di daerah pengembangan karena teknologi pencetakan fibreglass sudah banyak dikuasai galangan rakyat. Perawatan motor listriknya sendiri adalah sederhana dapat dilakukan oleh pengguna. Perbaikan dan penggantian suku cadang dapat dilakukan oleh tenaga ahli bidang listrik setingkat sekolah kejuruan yang banyak tersedia di daerah. Dengan demikian akan muncul bidang-bidang usaha jasa baru di daerah pengembangan misalnya komponen kelistrikan, permintaan akan solar sel dan baterai. Ramah lingkungan Kapal Katamaran Multiguna Tenaga Matahari memanfaatkan penggerak motor listrik DC menyebabkan suara mesin halus tidak berisik sehingga nyaman dipakai pada berbagai aktifitas (multiguna). Kapal ini tidak memerlukan BBM maupun oli yang buangannya dapat mencemari lingkungan perairan sehingga dikatakan wahana ramah lingkungan. Lambung ganda yang selama ini dari kayu, digantikan dengan fibreglass (FRP) menghilangkan kekuatiran pasokan kayu yang semakin sulit dan dilarang. LOKASI PENELITIAN DAN DAERAH YANG DIREKOMENDASIKAN Lokasi wilayah yang direkomendasikan Sesuai dengan kelebihannya, kapal katamaran dapat dipakai untuk banyak aktifitas, terutama di wilayah perairan tenang (calm water) dan dangkal dengan ketinggian gelombang hingga 1 meter dan kedalaman hingga 1 meter seperti aktifitas riset dengan muatan tabung selam, wahana ROV (remotely operated vehicles), muatan karung (bulk) untuk aktifitas pembersihan pantai dan sungai (pemantau perairan), panen rumput laut; aktifitas di danau dan sungai untuk aktifitas panen ikan, muatan keranjang, muatan bak-bak berisi ikan hidup, pembersih perairan dan lain-lain. Selain itu kapal ini juga dapat dipakai sebagai pleasure boat untuk mancing, penyelaman, wisata air di danau dan sungai sebagai pendukung sektor pariwisata. KEMUNGKINAN DAMPAK NEGATIF Kapal Katamaran Multiguna Tenaga Matahari sangat ramah lingkungan. Tidak ada pemakaian BBM maupun oli yang buangannya dapat mencemari lingkungan perairan. Motor penggerak dari motor listrik DC menyebabkan suara mesin halus tidak berisik sehingga sangat nyaman untuk dipakai pada berbagai aktifitas.
330
KELAYAKAN FINANSIAL DAN ANALISIS USAHA Secara ekonomi kapal ini memerlukan investasi awal sekitar 105 juta rupiah. Jika dibandingkan kapal sejenis tipe katamaran dengan motor penggerak BBM (bahan bakar minyak) yang disetarakan power nya, maka investasi kapal dengan motor listrik lebih besar daripada motor BBM, namun untuk kebutuhan jangka panjang (10 tahun) kapal ini tidak memerlukan biaya operasional untuk pembelian BBM sama sekali, serta biaya perawatan yang kecil (Tabel 1), hanya diperlukan pembersihan berkala pada permukaan kaca solar panel agar cahaya matahari dapat diserap semaksimal mungkin dan baterainya pun menggunakan tipe maintenance free (MF) yang hampir tidak memerlukan biaya perawatan dan tidak memerlukan penggantian hingga 10 tahun, sedangkan perawatan lambung kapal yang lebih sederhana karena permukaannya yang licin mudah dibersihkan. Analisis operasional kapal katamaran Tahun analisis : 10 tahun Motor penggerak Rincian Operasional kapal
Katamaran tenaga matahari Banyak
Satuan
Katamaran BBM
Nilai (Rp)
160 trip/thn
BIAYA TOTAL 1 Investasi
Banyak
Satuan
Nilai (Rp)
160 Trip/thn 179,862,800
219,800,000
a. Lambung Fiberglass
1 unit
31,500,000
1 unit
31,500,000
b. Motor listrik 5 HP
1 unit
31,050,000
1 unit
13,000,000
c. LEC 1200 Solar Module
8 unit
16,412,800
8 unit
d. Peralatan dan Perlengkapan Kapal e. Alat sistem baterai
1 set
13,300,000
1 set
1 set
Total Investasi
13,000,000
13,300,000 -
105,262,800
57,800,000
2 Biaya Variabel a. Solar
0 liter/thn
-
1600 liter/thn
b. Oli
0 liter
-
20 liter/thn
c. Ransum ABK
2 org/trip
Total Biaya Variabel
48,000,000
2 org
48,000,000
72,000,000 5,400,000 48,000,000 125,400,000
3 Biaya Tetap a. Biaya pemeliharaan
10 thn
5,000,000
10 thn
b. Tambat labuh
12 bln
21,600,000
12 bln
Total Biaya Tetap
26,600,000
15,000,000 21,600,000 36,600,000
Tabel 1. Analisis usaha kapal katamaran
TINGKAT KOMPONEN DALAM NEGERI a. Komponen pembuatan kapal dan perangkat sistem tenaga listrik yang dipakai pada kapal ini 100% nya sudah dapat diperoleh di dalam negeri (Tabel 2). b. Proses pengerjaan kapal lebih cepat karena sistem cetakan (moulding) yang diterapkan., dan bisa dikerjakan oleh galangan kapal rakyat. c. Badan kapal terbuat dari bahan fiberglass reinforced plastic (FRP) di desain sesuai pemakaian untuk air laut. Teknik pencampuran bahan-bahan tersebut telah dikuasai
331
dan diaplikasikan pada kapal katamaran tenaga matahari yang dibuat dengan biaya yang murah serta tidak kalah dengan kayu yang saat ini mahal harganya dan sulit ditemukan. SPESIFIKASI Teknologi Katamaran Multiguna Tenaga Matahari terdiri dari:
1.
Kapal katamaran
DATA RANCANGAN Kapal katamaran tenaga matahari memiliki ukuran utama sebagai berikut: Panjang keseluruhan (LOA) : 4.30 m Panjang garis air (LWL) : 3.80 m Lebar lambung : 1.00 m Breadth : 2.50 m Depth : 0.80 m Draught : 0.30 m Displacement : 1390 kg Peralatan, jumlah penumpang dan Mesin: Baterai : 6FM100D (6 unit), @ 32 kg = 192 kg Modul surya : LEC -1200 (8 unit), @ 10, 5 kg = 84 kg Penumpang : 6 orang, @80 kg = 480 kg Mesin : Motor listrik Cruise 2.0 Long Shaft 5 HP (1 unit), 19 kg
2.
Motor Listrik arus DC 2000 Watt Daya listrik inputan (Watt): 2000 Daya pendorong (Watt) : 1120 Efisiensi Maks. Keseluruhan (%) : 56 Thrust statis (lbs) : 115 Tegangan pakai (Volt) : 24 Bobot Total (kg) : 17,2 Panjang poros (cm) : 17,5 Standard propeller (v=Kec dlm km/j @ p=daya dlm watt) : V19/p4000 Put propeller maks (rpm) : 1300
(1 unit)
332
3.
Modul surya (modul photovoltaic) (8 unit)
4.
Modul photovoltaic yang dibutuhkan sebanyak 8 (delapan) unit, dengan spesifikasi sebagai berikut Spesifikasi umum Nama produk : Modul Photovoltaic (PV Module) Tipe : LEC-1200 Deskripsi : High Efficiency Multi Crystalline untuk penerapan di pemukiman (solar home system applications) Spesifikasi listrik Kapasitas listrik : 1296 kJoule/hari @ 4,5 jam dengan sinar matahari Energi maksimum (Vmax) : 80 Wp Toleransi : +/- 12% Efisiensi sel : +/- 15% Tegangan maksimum (Vmp) : 17.81 Volt Arus maksimum (Imp) : 5.18 Amper Tegangan open circuit (Voc) : 22.27 Volt Arus short circuit (Isc) : 5.65 Amper Tegangan sistem maksimum : 600 Volt
Baterai kering (dry cell) Arus listrik output 100 Amper. jam
1 unit
Tegangan n ominal 12V Daya listrik output 1200 Watt Jumlah sel 6 Tipe dry cell heavy duty
5
Life jacket
Lampu geladak
Perlengkapan kapal katamaran terdiri dari 1. Life jacket : 6 buah 2. Dampra Poliform fender F2 : 4 buah 3. Bolder stainless steel : 4 buah 4. Tali tambat nylon dia. 12 mm @ 20 meter : 2 set 5. Fender kapal : 1 set 6. Lampu geladak DC 12 V / 10 W : 2 set
Dampra Poliform fender Tali tambat
333
P3TKP Perlindungan Pantai dengan Pemecah Gelombang Karung Geotekstil Memanjang (KGM) Unit Eselon I Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan Satuan Kerja Pusat Pengkajian dan Perekayasaan Teknologi Kelautan dan Perikanan Alamat Gedung Balitbang KP Lantai 4 Jl. Pasir Putih I, Ancol Timur, Jakarta Tel. 021-64711583 Fax. 021-64711501 Kategori Teknologi Kelautan Sifat Teknologi Rekayasa Masa Pembuatan 2010-2011 Tim Penemu Vivi YovitaI ndriasari, M.T Anwar Rizal, S.T. Dwiyoga Nugroho,ST.MT Ariani Andayani, S.Si, M.Sc Cecep Ahmad Hatori, M.Eng Permana Ari Soejarwo, S.Kel Agus Sufyan, S.T. Luh Putu Ayu Savitri Chitra Kusuma, M.Si
Kontak Person Vivi Yovita Indriasari, M.T
[email protected]
334
DESKRIPSI TEKNOLOGI Karung Geotekstile Memanjang (KGM) merupakan salah satu bentuk aplikasi dari material geotekstil yang berbentuk seperti sebuah silinder panjang dengan berbagai ukuran panjang, lebar dan tinggi sesuai kebutuhan dan kondisi di lapangan. KGM dapat diisi dengan material pengisi seperti pasir, kerikil dan mortar serta dapat diaplikasikan sebagai groin, pemecah gelombang lepas pantai, dan perkuatan tebing pantai. TUJUAN DAN MANFAAT PENERAPAN TEKNOLOGI Tujuan penerapan teknologi ini adalah untuk mengurangi terjadinya abrasi pantai. Manfaatnya adalah tersedianya teknologi perlindungan pantai ramah lingkungan APLIKASI TEKNIS Persyaratan Teknis Penerapan Teknologi Pengamanan pantai dengan menggunakan bangunan pelindung pantai, memerlukan rancangan yang tepat dan efektif agar diperoleh kegunaannya secara optimal. Parameter-parameter penting dalam desain dan perencanaan suatu bangunan pengaman pantai seperti tinggi gelombang rencana, keadaan topografis batimetri perairan, fungsi dan tujuan pengamanan, dan lain-lain digunakan untuk desain detail, sehingga pemahaman dan aplikasi yang tepat akan sangat mendukung untuk tercapainya desain yang optimal, baik secara teknis maupun ekonomis. Pada usulan teknologi ini KGM diaplikasikan sebagai pemecah gelombang jenis tenggelam (submerged breakwater) yang diletakkan sejajar garis pantai. Parameter yang diperlukan dalam perhitungan desain breakwater diantaranya: Arah angin. Angin merupakan salah satu unsur pembentuk gelombang, sehingga data perilaku angin dapat menggambarkan perilaku gelombang secara umum. Level pasang surut. Keadaan pasang surut termasuk menentukan tinggi dari breakwater, pola sirkulasi air pada daerah sekitar breakwater dll. Gelombang laut. Arah gelombang laut menentukan layout gelombang. Gelombang sendiri memberikan gaya pada breakwater. Kedalaman dan Jarak Breakwater dari garis pantai. Kedalaman perairan menentukan jenis breakwater yang efektif dan ekonomis untuk dibangun, dan jarak breakwater dari garis pantai hendaknya cukup jauh agar pengaruh gelombang di posisi garis pantai menjadi semakin kecil.
335
Kondisi Geoteknis. Parameter ini akan menentukan daya dukung tanah terhadap breakwater yang pada akhirnya akan mempengaruhi kestabilan breakwater. Secara umum proses perancangan penampang breakwater adalah sebagai berikut: 1) Persiapan data-data kondisi perancangan. 2) Penentuan penampang breakwater: - Penentuan elevasi vertikal breakwater. - Penentuan dimensi horizontal breakwater (dimensi awal). 3) Analisa stabilitas terhadap gaya-gaya eksternal yang bekerja (dimensi akhir): - Stabilitas suprastruktur & komponen pendukung. - Stabilitas pondasi. 4) Desain komponen pelindung: Foot Protection. Perencanaan Layout Submerged Breakwater Penentuan gelombang pecah (hbr) Letak breakwater ditentukan berdasarkan kedalaman perairan dimana gelombang pecah (hbr) dimana hbr = kedalaman breaker line He = tinggi gelombang dengan kejadian 12 jam dalam 1 tahun s = massa jenis sediment w = massa jenis air laut Te = periode gelombang g = percepatan gravitasi
Penentuan Letak Breakwater YB > 1 → tidak akan terbentuk salient atau tombolo Ybr < 1 → berpotensi terbentuk salient atau tombolo
YB ≤ 0,55 → dapat terbentuk salient/tombolo sempurna Ybr YB ≤ 0,39 → dapat terbentuk double tombolo Ybr Penentuan Panjang Breakwater Panjang Breakwater ditentukan dengan menggunakan bilangan Iribaren (I) yaitu :
Ie
LB 1,72 0,41 Y B
336
Persamaan tersebut digunakan dengan terlebih dahulu menentukan YB. Adapun hubungan nilai I dengan pola sedimentasinya adalah sebagai berikut.
LB 3,205 terbentuk tombolo sempurna YB
I=1
maka
I=2
maka
1,965
I=3
maka
1,14
I=4
maka
0,525
I=5
maka
LB 3,205 terbentuk tombolo periodik YB
LB 1,965 terbentuk salient sempurna YB
LB 1,14 terbentuk subdued salient YB
LB 0,525 tidak ada sedimentasi YB
Dengan menetapkan pola sedimentasi, dapat ditentukan kisaran selanjutnya dengan diketahuinya YB, dapat dihitung LB.
LB YB
Penentuan Jarak Antar Breakwater Jarak antar breakwater ditentukan dengan metode Suh dan Dalrymple (Gambar 1):
LB . YB 2
LB
0,55 terbentuk salient /tombolo
Gambar 1 Tata letak penempatan breakwater
337
Persyaratan yang harus dipenuhi dalam penggunaan KGM sebagai submerged breakwater adalah: 1. Pada daerah pantai terpencil yang terbatas infrastruktur dan sumber material konstruksi seperti beton dan batu ukuran besar. 2. Ketersediaan material pengisi berupapasir di lokasi yang akand ilindungi 3. Tingkat kelandaian pantai tidak terlalu curam 4. Gelombang pecah tidak terlalu besar Uraian secara lengkap detail SOP Pesisir pantai merupakan wilayah yang rentan terhadap dampak erosi tak terkecuali area tambak yang banyak dimiliki oleh masyarakat pesisir. Berbagai material struktur dapat digunakan sebagai bahan untuk bangunan pemecah gelombang. Biasanya material yang digunakan berupa tumpukan batu dan beton. Pada lokasi yang terpencil dan dengan infrastruktur yang sulit, pengadaan material batu dan beton menjadi tidak ekonomis. Salah satu cara untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah dengan menggunakan Karung Geotekstile Memanjang (KGM). System karung geotekstile memanjang menggunakan vahan pengisi berupa pasir yang didapat dari lokasi pembangunan. System ini merupakan soft structure yang flexible dan ramah lingkungan. Geotekstil merupakan material buatan hasil polimerisasi dari industri-industri kimia atau minyak bumi yang dibuat sedemikian rupa sehingga tahan terhadap berbagai kondisi alam seperti gelombang, abrasi dan sinar matahari (Harris & Sample, 2009). Geotekstil telah banyak digunakan untuk menanggulangi permasalahan geoteknik, baik di darat maupun di laut, seperti revetment, groin dan seawall untuk menanggulangi erosi pantai (Das Neves, et al., 2004). Prinsip dasar KGM dalam penanggulangan erosi adalah menahan butiran tanah yang terdapat di dalamnya, namun pada saat yang bersamaan air dapat mengalir keluar tanpa menghanyutkan butiran tanah. Sedimen yang terperangkap/tertahan di belakang bangunan pemecah gelombang, lama kelamaan akan membentuk daratan baru (tombolo). Untuk mempertahankan tombolo yang terbentuk tersebut, perlu adanya penanaman vegetasi di lokasi tersebut, sehingga bentuk pantai yang baru dapat dipertahankan. KGM umumnya diisi dengan tanah yang bersifat non kohesif seperti pasir atau lumpur. Metode pelaksanaan pekerjaan ini adalah : Pekerjaan persiapan Dalam tahapan ini dilaksanakan beberapa tindakan berupa persiapan-persiapan seperti pembersihan lokasi penempatan, pemasangan pasak kayu untuk pegangan geotekstil dan pengukuran awal. Pekerjaan pemasangan struktur pelindung pantai Berupa pelaksanaan pemasangan struktur yang telah direncanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dengan memperhatikan masalak teknis pelaksanaannya di lapangan. Dalam tahapan ini ada beberapa pekerjaan yang dilakukan, yaitu :
338
1. Pembuatan penahan Struktur Karung Geotekstil Memanjang. Umumnya campuran air pasir yang diisi ke dalam KGM sangatlah cair, akibatnya KGM akan mempunyai kecendrungan berbentuk lebar dan pipih . Tahapan ini dimaksudkan untuk menjaga bentuk dari struktur. Untuk menjaga bentuk KGM, disampingnya dapat diberi pasak kayu. 2. Penyiapan lapisan geotekstil bagian bawah untuk melindungi dasar KGM dan memperkuat stabilitas tanah. 3. Penyiapan lapisan geotekstil untuk struktur utama KGM 4. Mengisi material dan proses pengisian KGM yang umumnya diisi menggunakan pompa hydraulik berisi campuran pasir dan air. Pada tahapan ini tekanan pompa harus diperhatikan, kelebihan tekanan pompa dari tekanan maksimum material akan mengakibatkan robeknya material kulit KGM, sebaliknya tekanan pompa yang rendah mengakibatkan sulitnya proses pengeluaran air di pori-pori material kulit sehingga sulit untuk mendapatkan ketinggian yang direncanakan. Uraian dan jumlah kaji terap yang sudah dilakukan di beberapa daerah beserta hasilnya Pada tahun 2010 dan 2011, Pusat Pe n g k a j i a n d a n Perekayasaan Teknologi Kelautan d a n Pe r i k a n a n ( P 3 T K P ) melakukan uji coba pemasangan geotekstile tipe Gambar 2. KGM di Pantai LombangIndramayu KGM (Karung Geotekstil Memanjang) untuk penanggulangan abrasi pantai. Uji coba di lakukan di 2 tempat, yaitu di Pantai Lombang, Kabupaten Indramayu , Jawa Barat dan Pantai Muara Kamal, Jakarta kelurahan Kamal Muara, KecamatanPenjaringan Jakarta Utara. Di lokasi Pantai Lombang, Juntinyuat Kabupaten Indramayu, KGM yang dipasang sebanyak 3 buah (Gambar 2). Pantai ini menghadap ke timur laut, dengan garis pantai memanjang dari barat laut ke tenggara. Pada penelitian ini, tiga buah KGM dengan ukuran 20 m x 2,5 m x 1,2 m yang telah diisi pasir dipasang secara submerged sejajar garis pantai Lombang. Jarak antara KGM dengan garis pantai ± 30 – 40 meter sedangkan jarak antar KGM ± 40 meter. Untuk mengetahui perubahan garis pantai di daerah tersebut akibat pemasangan KGM, sehingga dapat diketahui
339
efektifitas pemasangan KGM dalam menanggulangi abrasi pantai dilakukan pemantauan profil pantai dengan pengukuran garis pantai sebanyak 3 (tiga) kali yaitu satu kali sebelum pemasangan KGM dan dua kali setelah pemasangan KGM, dengan rentang waktu setiap dua bulan dan dianggap mewakili Musim Timur dan Musim Barat. Dari hasil pemantauan yang dilakukan setelah pemasangan struktur KGM terlihat cukup bagus. Secara visual, pantai menjadi lebih landai dan lebih maju dibandingkan sebelum pemasangan struktur KGM. Pelindung pantai yang diaplikasikan di Muara Kamal adalah pemecah gelombang tenggelam (submerged breakwater) sistem KGM (Gambar 3). Dimensi KG M yang diaplikasikan dengan panjang 20 m, lebar 1.6 m dan tinggi 1.4m. Di lokasi ini pelindung pantai jenis KGM di kombinasikan dengan penanaman Gambar 3. KGM di Pantai Muara Kamal mangrove di belakang struktur pelindung pantai. Pohon bibit mangrove yang di tanam adalah jenis Avicennia marina (api-api) berumur 1 tahun. Bibit berasal dari lokasi sekitar Pantai Kamal. Diharapkan mangrove ini dapat tumbuh subur dan berkembang sehingga akar-akarnya dan batang yang nantinya makin besar mampu meredam gelombang dan mempertahankan sedimentasi yang terbentuk di belakang struktur akibat pemasangan pelindung pantai. Penanggulangan erosi di Pantai Muara Kamal dengan menerapkan kombinasi antara pemecah gelombang tenggelam sistem Karung Geotekstil Memanjang (KGM) dan penanaman mangrove cukup efektif. Terlihat dengan cepatnya bertambah sedimen yang terperangkap di belakang struktur pemecah gelombang. KEUNGGULAN TEKNOLOGI Bentuknya yang dapat mengikuti bentuk permukaan tanah sehingga apabila terjadi penurunan tanah di lokasi struktur tidak akan merobah bentuk struktur. Bila dibandingkan dengan pelindung pantai konvensional (tumpukan batu dan beton) apabila terjadi penurunan tanah maka kondisi struktur akan hancur dan rusak. Kemampuannya menahan partikel tanah namun pada saat yang bersamaan air dapat terdisipasi. Pada pelindung pantai konvensioanal kondisi ini akan merusak struktur. Seperti pada material tumpukan batu apabila pasir terlalu banyak melewati celah antar tumpukan batu akan mengakibatkan lemahnya penguncian antar (inter locking) batutersebut. Rrelatif murah dari segi harga, ringan sehingga biaya transportasi ke lokasi pembangunan murah, dan mudah dalam pembangunan serta dapat menggunakan tenaga local sehingga tergolong
340
teknologi berbasis komunitas (community base technology). Dibandingkan dengan material konvensional yang dalam pembangunannya menggunakan peralatan berat, dan tenaga kerja ahli dan jumlah yang banyak serta mengangkut material juga membutuhkan biaya yang cukup mahal. Selain itu KGM juga ramah lingkungan karena bisa di tumbuhi lumut dan terumbu karang. Adanya lumut yang tumbuh di permukaan KGM dapat melindungi material dari paparan matahari. WILAYAH PENGEMBANGAN KGM dapat dipasang pada pantai berpasir dengan kelandaan pantai yang tidak terlalu curam dan gelombang pecah tidak terlalu besar dan membutuhkan restorasi akibat erosi. KGM dapat dibentuk dan dipasang di darat sebagai seawall, artificial sand dune dan breakwater, menjorok ke laut berupa groin atau di lepas pantai berupa submerged breakwater . KEMUNGKINAN DAMPAK NEGATIF Perencanaan penempatan KGM yang tidak tepat akan mengakibatkan pantai yang akan dilindungi menjadi tererosi. Tapi kalau perencananaan yang tepat dan teliti maka tidak ada dampak negatif. KELAYAKAN FINANSIAL Pemakaian material KGM sangat efisien untuk melindungi daerah yang terkena abrasi, melindungi daerah budidaya perikanan dan daerah pemukiman nelayan, jika dibandingkan dengan material konvensional seperti batu dan beton. Sistem KGM ini unggul dalam bidang kecepatan pemasangan, instalasi yang mudah, tidak memerlukan banyak peralatan berat dan biaya yang murah. Jika ditinjau dari harga per meter KGM, biaya yang dibutuhkanhanya Rp 7 juta. Sedangkan untuk membuat pelindung pantai menggunakan material konvensional, biayanya mencapai Rp 20 juta per meter. TINGKAT KOMPONEN DALAM NEGERI Material geotekstil yang digunakan masih import, belum di produksi di dalam negeri. Spesifikasi : Lebar Panjang Tinggi Jenis material
: 1,6 m : 20 m : 1,4 m : geotextil non woven
341
Pekerjaan Persiapan
Pekerjaan Pemasangan untuk Pasak Kayu
Pemasangan Pasak Kayu untuk Pembatas
342
Penyiapan Material Geotekstil untuk Pelindung KGM Dari Gerusan
Penyiapan Material Geotekstil untuk Material Utama KGM
343
Pengisian Pasir Laut kedalam KGM
Penyelesaian Pengisian Pasir
KGM Terpasang
344