REKAYASA PROSES PENYULINGAN MINYAK AKAR WANGI DENGAN PENINGKATAN TEKANAN DAN LAJU ALIR UAP BERTAHAP
TUTI TUTUARIMA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Rekayasa Proses Penyulingan Minyak Akar Wangi Dengan Peningkatan Tekanan dan Laju Alir Uap Bertahap adalah karya saya sendiri atas arahan komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Agustus 2009
Tuti Tutuarima NRP F351060031
ABSTRACT TUTI TUTUARIMA. Process Design of Vetiver Oil Distillation by Increase of Pressure and Steam Flow Rate. Under direction of MEIKA S. RUSLI, ERLIZA NOOR and EDY MULYONO. Indonesia is one of world wide vetiver oil major producers. The main problem of Indonesian vetiver oil especially the oil from Garut is low yield (about 0.6-0.8%) and poor quality (dark color & scorched odor). This study was aimed to improve distillation process performance of vetiver oil to obtain better oil recovery and quality. Steam distillation and stainless steel kettle (5 kg capacity of vetiver) with pressure reducing valve (PRV) were used in this study. Raw material used in the study was vetiver root (Vetiveria zizanioides Stapt) in the type of Pulus Wangi collected from vetiver plantation in Garut, West Java. Treatments applied in this study were distillation by gradual increased steam pressure (2, 2.5, and 3 bar) with constant water steam flow rate (1, 1.5, and 2 l/h kg) for each of the steam pressure for 9 hours period. Other two additional treatments were also applied in the study, namely (1) distillation by gradual increased steam pressure without regulated steam flow rate, and (2) distillation by gradual increased steam pressure with gradual steam flow rate. Quality of the vetiver oil was analyzed according to the method of SNI 06-2386-2006 and compared with ISO 4716:2002. Compositions of the vetiver oil were identified through the GC MS analysis. The use of gradual increased steam pressure (2, 2.5, 3 bar) resulted in 92.58% of recovery performance, which was slightly higher than 90.37% of the constant pressure of 3 bars. Steam flow rate affected the recovery performance of distillation process, significantly. The increased steam flow rate during distillation process was able to improve the recovery performance of distillation. However, in general, the highest constant steam flow rate of 2 l/h kg showed better recovery performance. The use of gradual increased pressure up to 3 bars and steam flow rate of 2 l/h kg material revealed high performance recovery with appropriate quality as the SNI and ISO standards. The use of gradual increased pressure up to 3 bars could produce vetiver oil fraction with appropriate component composition of boiling point. Components of vetiver oil, khusimene and khusimone, were extracted at the pressure of 2 and 2.5 bars; whereas αvetivone, β-vetivon, and khusenic acid were extracted at the three type of pressures with the greater increased of percentage at 3 bars. The kinetics for vetiver oil distillation could be predicted by the equations of the solvent extraction kinetics model. The obtained equation of kinetics parameters was k = 0840 V0.530. Keywords : vetiver oil, steam distillation, oil recovery
ii
RINGKASAN TUTI TUTUARIMA. Rekayasa Proses Penyulingan Minyak Akar Wangi Dengan Peningkatan Tekanan dan Laju Alir Uap Bertahap. Dibimbing oleh MEIKA S. RUSLI, ERLIZA NOOR dan EDY MULYONO. Minyak akar wangi bagi Indonesia merupakan salah satu komoditas yang memberikan peranan penting untuk pendapatan devisa negara dari hasil ekspor minyak atsiri secara keseluruhan. Permasalahan utama yang dihadapi minyak akar wangi Indonesia khususnya di Garut adalah rendahnya rendemen (berkisar antara 0,6–0,8%) dan kualitas minyak (warna gelap dan bau gosong). Penelitian ini bertujuan untuk memperbaiki proses penyulingan minyak akar wangi sehingga dapat menghasilkan recovery dan kualitas tinggi melalui rekayasa disain proses penyulingan dengan peningkatan tekanan dan laju uap secara bertahap. Penelitian ini terdiri dari 2 tahap, yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Penelitian pendahuluan bertujuan untuk melihat pengaruh penggunaan tekanan konstan terhadap recovery minyak akar wangi. Tekanan yang digunakan adalah 1, 2, dan 3 bar. Hasil yang didapat pada penelitian pendahuluan digunakan untuk menentukan disain proses penyulingan dengan pendekatan peningkatan tekanan secara bertahap. Penelitian utama bertujuan untuk melihat pengaruh disain proses penyulingan tekanan bertahap pada laju alir uap yang berbeda terhadap recovery dan mutu minyak akar wangi. Laju alir uap yang digunakan adalah 1, 1.5, dan 2 l/j kg bahan. Selain itu juga dilakukan 2 perlakuan tambahan yaitu penyulingan dengan peningkatan tekanan bertahap tanpa pengaturan laju alir uap dan penyulingan dengan peningkatan tekanan dan laju alir uap bertahap seiring peningkatan waktu. Analisa mutu minyak akar wangi berdasarkan SNI 06-2386-2006 dan dibandingkan dengan ISO 4716:2002. Analisa mutu meliputi warna, aroma, bobot jenis, indeks bias, bilangan asam, bilangan ester, bilangan ester setelah asetilasi, kelarutan dalam alkohol, dan total kandungan vetiverol. Komponen penyusun minyak akar wangi dideteksi melalui analisa GC MS. Hasil penelitian pendahuluan memperlihatkan bahwa penggunaan tekanan yang lebih tinggi memberikan recovery yang lebih besar pada waktu yang sama. Penggunaan tekanan bertingkat untuk penelitian utama ditentukan berdasarkan nilai kemiringan grafik recovery minyak hasil penelitian pendahuluan. Peningkatan tekanan yang digunakan adalah 2, 2.5, dan 3 bar masing-masing setelah jam ke 2, 5, dan 9 operasi. Penelitian utama memberikan hasil bahwa peningkatan tekanan dan laju alir uap mempengaruhi total recovery minyak yang dihasilkan dan waktu penyulingan. Penyulingan dengan peningkatan tekanan bertahap 2; 2,5; 3 bar, dan penggunaan laju alir uap yang lebih tinggi menaikkan recovery minyak hingga 92.58%. Kondisi proses ini juga dapat mempersingkat waktu penyulingan menjadi 9 jam sehingga dapat meningkatkan efisiensi produksi. Recovery minyak hasil penyulingan tekanan bertahap tanpa pengaturan laju alir uap adalah 92.58%, sedangkan recovery minyak hasil penyulingan tekanan bertahap dengan laju alir uap konstan 2 l/j kg bahan adalah 90.37%. Penyulingan dengan peningkatan tekanan bertahap menghasilkan minyak dengan mutu yang baik ditinjau dari beberapa parameter mutu SNI dan ISO. Sebagian besar komponen minyak akar
iii
wangi terdistribusi sempurna sesuai dengan derajat penguapannya sebagai akibat dari penyulingan dengan peningkatan tekanan bertahap. Penelitian lanjutan mengenai laju alir uap yang lebih dari 2 liter/jam/kg bahan serta pengaruhnya terhadap jumlah minyak yang dapat direcovery perlu dilakukan. Ini bertujuan untuk mengetahui batas penggunaan laju alir uap maksimum yang dapat meningkatkan recovery. Kata Kunci : minyak akar wangi, penyulingan uap, recovery minyak
iv
©Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2009 Hak cipta dilindungi undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar Institut Pertanian Bogor 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin Institut Pertanian Bogor
v
REKAYASA PROSES PENYULINGAN MINYAK AKAR WANGI DENGAN PENINGKATAN TEKANAN DAN LAJU UAP BERTAHAP
TUTI TUTUARIMA
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
vi
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Prayoga Suryadarma, STP. MT.
vii
Judul Tesis
:
Nama NRP
: :
Rekayasa Proses Penyulingan Minyak Akar Wangi Dengan Peningkatan Tekanan dan Laju Alir Uap Bertahap Tuti Tutuarima F351060031
Disetujui Komisi Pembimbing,
Dr. Ir. Meika Syahbana Rusli, M.Sc. Ketua
Ir. Edy Mulyono, M.S. Anggota
Dr. Ir. Erliza Noor Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Irawadi Djamaran
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.
Tanggal Ujian : 18 Agustus 2009
Tanggal Lulus :
viii
PRAKATA Alhamdulillahirobbil’alamin. Puji syukur penulis haturkan ke hadirat Allah SWT, atas rahmat dan karunia Nya yang senantiasa dilimpahkan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul Rekayasa Proses Penyulingan Minyak Akar Wangi Dengan Peningkatan Tekanan dan Laju Alir Uap Bertahap sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Sholawat dan salam penulis sampaikan kepada qudwah ummah sepanjang masa, Rasulullah Muhammad SAW, beserta keluarga, para shohabat dan orang-orang yang istiqomah menapaki jalan Nya hingga yaumil akhir nanti. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir, Meika Syahbana Rusli, M.Sc. selaku ketua komisi pembimbing, Ibu Dr. Ir. Erliza Noor dan Bapak Ir. Edy Mulyono, MS. selaku anggota komisi pembimbing, serta Bapak Prayoga Suryadarma, STP. MT. selaku penguji yang telah memberikan bimbingan, arahan dan masukan selama pelaksanaan penelitian hingga penyusunan tesis ini. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Kepala Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik (Balittro) dan staf, terutama Pak Dedi, Pak Makmun, Bu Eni serta staf dan teknisi laboratorium di lingkungan Departemen Teknologi Industri Pertanian yang telah membantu selama penelitian. Terimakasih juga kepada Departemen Pertanian melalui Program Kerjasama Kemitraan Penelitian Pertanian dengan Perguruan Tinggi (KKP3T) yang telah mendanai penelitian ini. Ucapan terima kasih yang tulus penulis haturkan kepada Mak dan Bak, kakak-kakak terutama Dodang, keponakan, dan seluruh keluarga besar yang telah memberikan dukungan, doa, dan kasih sayang sehingga penulis dapat menyelesaikan studi ini. Terima kasih pula buat saudaraku Rahmat, Ria, Mba Tini, Bu Ros, Bu Cut; teman-teman di PCH Uni Fit, Ayuk Desi, Kak Sahara, Ayuk Sherly; teman-teman ngaji Teh Erni, Patma, Mba Tiwi, Siti, Mba Rina; serta rekan-rekan TIP angkatan 2006 yang selalu memberikan dukungan. Selama penyusunan tesis ini, penulis banyak mendapatkan bantuan dan masukan, baik berupa petunjuk-petunjuk, bimbingan, dan lain-lainnya dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung yang tidak dapat penuliskan satu per satu. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan tesis ini masih jauh dari kesempurnaan. Dengan hati yang ikhlas penulis mengharapkan agar kiranya kekurangan dan kesalahan dalam tulisan ini dapat menjadi inspirasi untuk perbaikan di masa yang akan datang. Penulis berharap semoga tulisan ini bermanfaat bagi kita semua. Semoga Allah SWT menerima apa yang telah penulis lakukan sebagai wujud syukur kepada-Nya dan Allah mengampuni semua kesalahan kita. Amin.
Bogor, Agustus 2009
Tuti Tutuarima
ix
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bengkulu pada tanggal 11 April 1983 dari ayah H.M.Sabri dan ibu Hj. Ruhana. Penulis merupakan putri bungsu dari tujuh bersaudara. Tahun 2001 penulis lulus dari SMU Negeri 2 Bengkulu dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk Universitas Bengkulu melalui jalur Penelusuran Potensi Akademik (PPA) pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian, lulus tahun 2005. Pada tahun 2006 penulis melanjutkan pendidikan Program Magister di Institut Pertanian Bogor pada program studi yang sama atas tawaran Kakak tercinta Mahyudin Shobri. Biaya penelitian penulis peroleh dari Departemen Pertanian melalui Program KKP3T tahun 2007.
x
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL.............................................................................................. xiii DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... xiv DAFTAR LAMPIRAN...................................................................................... xv I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ................................................................................ 1 1.2 Perumusan Masalah......................................................................... 4 1.3 Tujuan Penelitian............................................................................. 4 1.4 Manfaat Penelitian........................................................................... 4 1.5 Ruang Lingkup Penelitian............................................................... 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Minyak Akar Wangi........................................................................ 6 2.2 Standar Mutu Minyak Akar Wangi................................................. 12 2.3 Penyulingan Minyak Akar Wangi................................................... 13 2.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Minyak Akar Wangi 17 2.5 Model Kinetika Penyulingan Minyak Atsiri ................................... 21 III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat .......................................................................... 22 3.2 Bahan dan Alat ................................................................................ 22 3.3 Tahapan Penelitian .......................................................................... 24 3.4 Pemodelan Kinetika ........................................................................ 28 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakterisasi Akar Wangi ............................................................... 29 4.2 Penyulingan Minyak Akar Wangi dengan Tekanan Konstan ......... 29 4.3 Disain Proses Penyulingan Minyak Akar Wangi............................ 32 4.4 Penyulingan dengan Peningkatan Tekanan Bertahap Tanpa Pengaturan Laju Alir Uap ............................................................... 34 4.5 Penyulingan dengan Peningkatan Tekanan Bertahap dan Laju Alir Uap Konstan .................................................................... 36 4.6 Penyulingan dengan Peningkatan Tekanan dan Laju Alir Uap Bertahap................................................................................... 37 4.7 Mutu Minyak Akar Wangi Hasil Penyulingan Tekanan Bertahap .......................................................................................... 38 4.8 Distribusi Komponen Minyak Akar Wangi .................................... 44 4.9 Model Kinetika Penyulingan Minyak Akar Wangi......................... 48 V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan...................................................................................... 53 5.2 Saran................................................................................................ 53
xi
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 55 LAMPIRAN....................................................................................................... 60
xii
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1 Perkembangan ekspor impor akar wangi............................................... 1 Tabel 2 Komposisi kimia minyak akar wangi .................................................... 9 Tabel 3 Analisa GC-MS komponen minyak akar wangi .................................... 10 Tabel 4 Beberapa penelitian minyak akar wangi ................................................ 11 Tabel 5 Sifat fisik dan kimia minyak akar wangi beberapa negara produsen..... 12 Tabel 6 Standar mutu minyak akar wangi menurut SNI 06-2386-2006 ............. 13 Tabel 7 Standar mutu minyak akar wangi menurut ISO 7416 : 2002 ................ 13 Tabel 8 Hasil karakterisasi akar wangi ............................................................... 29 Tabel 9 Recoveri minyak pada penyulingan tekanan konstan............................ 33 Tabel 10 Perbandingan mutu minyak hasil penelitian dan penyulingan rakyat ... 44 Tabel 11 Distribusi luas area GC-MS minyak akar wangi ................................... 45 Tabel 12 Nilai koefisien distilasi .......................................................................... 49 Tabel 13 Model matematis untuk parameter kinetika penyulingan...................... 50
xiii
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1 Kantung minyak akar wangi ............................................................... 7 Gambar 2 Mekanisme proses penyulingan minyak atsiri dengan air .................. 14 Gambar 3 Skema proses difusi ............................................................................ 15 Gambar 4 Skema proses osmosis......................................................................... 16 Gambar 5 Mekanisme proses penyulingan minyak atsiri dengan uap................. 17 Gambar 6 Skema sistem penyulingan uap langsung............................................ 23 Gambar 7 Diagram alir tahapan penelitian .......................................................... 25 Gambar 8 Akumulasi recoveri minyak terhadap waktu penyulingan.................. 30 Gambar 9 Laju alir uap terhadap waktu pada penyulingan tekanan konstan....... 31 Gambar 10 Recoveri minyak terhadap waktu penyulingan .................................. 33 Gambar 11 Recoveri minyak pada penyulingan tekanan bertahap tanpa pengaturan laju alir uap dan tekanan bertahap laju alir uap konstan ............................................................................................... 34 Gambar 12 Laju alir uap terhadap waktu pada penyulingan tekanan bertahap tanpa pengaturan laju ......................................................................... 35 Gambar 13 Recoveri minyak pada penyulingan tekanan bertahap dengan laju alir uap konstan selama 9 jam ............................................................ 36 Gambar 14 Recoveri minyak pada tekanan dan laju alir uap bertahap................. 38 Gambar 15 Tampilan warna minyak akar wangi .................................................. 40 Gambar 16 Mutu minyak akar wangi pada penyulingan tekanan bertahap.......... 42 Gambar 17 Hasil Gas Chromathography minyak akar wangi perlakuan hasil penyulingan dengan penyulingan tekanan bertahap dan laju alir uap 2 l/j/kg ......................................................................................... 46 Gambar 18 Hasil Gas Chromathography minyak akar wangi perlakuan hasil penyulingan dengan peningkatan tekanan dan laju alir uap bertahap.............................................................................................. 47 Gambar 19 Kinetika penyulingan minyak akar wangi ......................................... 49 Gambar 20 Plot nilai koefisien distilasi terhadap laju alir uap ............................. 50 Gambar 21 Perbandingan konsentrasi minyak hasil percobaan dan hasil prediksi model pada laju bertahap...................................................... 51
xiv
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1 Daftar istilah dan simbol .................................................................. 61 Lampiran 2 Prosedur analisa kadar air dan kadar minyak .................................. 62 Lampiran 3 Prosedur analisa sifat fisika kimia minyak akar wangi ................... 66 Lampiran 4 Recoveri minyak pada penyulingan tekanan konstan ..................... 76 Lampiran 5 Recoveri minyak pada penyulingan tekanan bertahap tanpa pengaturan laju alir uap ................................................................... 76 Lampiran 6 Recoveri minyak pada penyulingan dengan tekanan bertahap dan laju alir uap konstan .................................................................. 77 Lampiran 7 Recoveri minyak pada penyulingan dengan tekanan dan laju alir uap bertahap .................................................................................... 77 Lampiran 8 Laju alir uap pada tekanan konstan ................................................. 78 Lampiran 9 Laju alir uap pada tekanan bertahap tanpa pengaturan laju alir uap ................................................................................................... 78 Lampiran 10 Laju alir uap pada tekanan bertahap dan laju alir uap konstan...... 79 Lampiran 11 Laju alir uap pada tekanan dan laju alir uap bertahap..................... 79 Lampiran 12 Mutu minyak pada penyulingan tekanan bertahap dan laju alir uap konstan...................................................................................... 80 Lampiran 13 Mutu minyak pada penyulingan tekanan dan laju alir uap bertahap ........................................................................................... 80 Lampiran 14 Hasil Kromatografi Gas Spektrometri Massa Minyak Akar Wangi pada Penyulingan Menggunakan Tekanan Bertahap dan Laju Alir Uap 2 l/j/kg bahan ........................................................... 81 Lampiran 15 Hasil Kromatografi Gas Spektrometri Massa Minyak Akar Wangi pada Penyulingan Menggunakan Tekanan dan Laju Alir Uap Bertahap................................................................................... 85
xv
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Minyak akar wangi bagi Indonesia merupakan salah satu komoditas yang memberikan peranan penting untuk pendapatan devisa negara dari hasil ekspor minyak atsiri secara keseluruhan. Pada perdagangan internasional, Indonesia merupakan penghasil utama minyak akar wangi terbesar ketiga setelah Haiti dan Bourbon. Perkembangan ekspor dan impor minyak akar wangi sejak tahun 2001– 2005 disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Perkembangan ekspor impor akar wangi Ekspor
Tahun
Impor
Volume (kg)
Nilai (US $)
Volume (kg)
Nilai (US $)
2001
1.583.798
1.759.241
2.312
43.728
2001
79.714
1.973.451
2.572
46.312
2003
45.821
1.428.682
2.465
18.680
2004
58.444
2.445.744
2.231
51.308
2005
74.210
1.544.618
532
22.890
Sumber : BPS 2001-2005
Volume ekspor minyak akar wangi Indonesia berfluktuasi dari tahun ke tahun. Fluktuasi volume ekspor ini terutama disebabkan oleh mutu minyak akar wangi yang tidak sesuai dengan permintaan pasar (tidak seragam dan mutu rendah) (Kardinan 2005). Pasar luar negeri yang menyerap produk minyak akar wangi antara lain negara Jepang, China, Singapura, India, Hongkong, Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Jerman, Belgia, Swiss, dan Italia (BPS 2005). Sentra budidaya tanaman dan produksi minyak akar wangi di Indonesia berada di Kabupaten Garut, Jawa Barat. Produksi minyak akar wangi sebagian besar dilakukan oleh industri kecil dengan menggunakan teknologi yang sederhana/konvensional, sehingga seringkali minyak yang dihasilkan tidak memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan eksportir maupun konsumen. Mutu minyak akar wangi Indonesia merosot tajam sejak akhir tahun 90an sebagai akibat
2
terjadinya burning pada proses penyulingan yang menyebabkan adanya aroma gosong, sehingga dalam perdagangannya mendapatkan harga yang rendah (Suryatmi et al. 2006). Produksi minyak atsiri dilakukan melalui beberapa metode diantaranya distilasi (penyulingan), pengepresan, ekstraksi pelarut, dan ekstraksi dengan lemak padat (Ketaren 1985; Heat dan Reineiccus 1987; Wright 1991). Penyulingan merupakan metode yang umum digunakan untuk mendapatkan minyak dari bahan yang berbentuk buah, biji, daun, dan akar. Menurut Guenther (1990) metode penyulingan dapat dilakukan dengan air (water distillation), air dan uap atau kukus (water and steam distillation), dan uap (steam distillation). Metode penyulingan yang digunakan produsen minyak akar wangi Garut adalah penyulingan uap (steam) dengan tekanan tinggi berkisar 4–5 bar (Suryatmi 2006). Penyulingan ini menghasilkan minyak dengan mutu yang kurang baik, seperti bau gosong dan warna gelap. Pada tekanan uap 4 bar suhu mencapai 150oC, sehingga terbentuk uap kering (superheated steam) yang dapat menghanguskan bahanbahan organik yang rentan terhadap panas. Metode dan kondisi operasi proses penyulingan merupakan tahapan penting untuk menghasilkan minyak atsiri dengan jumlah dan mutu yang tinggi. Menurut Ketaren (1985) jumlah minyak yang menguap ditentukan oleh tekanan uap, berat molekul komponen-komponen dalam minyak, dan laju penyulingan. Guenther (1990) berpendapat agar diperoleh minyak yang bermutu tinggi maka penyulingan hendaknya berlangsung pada tekanan rendah. Penyulingan dengan menggunakan tekanan dan suhu rendah mempunyai keuntungan yaitu minyak yang dihasilkan tidak mengalami kerusakan akibat panas. Hasil kajian Suryatmi (2006) memperlihatkan bahwa penyulingan minyak akar wangi menggunakan variasi tekanan konstan hingga 3 bar menghasilkan minyak akar wangi yang lebih baik dibanding hasil minyak akar wangi pada umumnya karena tidak berbau gosong. Penelitian lain menggunakan tekanan 2,5–3 bar menghasilkan minyak akar wangi yang berbau lebih halus dan berwarna lebih jernih (Feryanto 2007). Penggunaan tekanan yang lebih rendah membutuhkan waktu penyulingan yang lebih lama. Pada tekanan tinggi (4–5 bar) hanya dibutuhkan waktu 12 jam, tetapi pada tekanan lebih rendah diperlukan waktu
3
selama 16–18 jam. Hal ini berdampak pada besarnya biaya bahan bakar (minyak tanah) yang dikeluarkan (rata-rata 22 liter minyak tanah/jam) (Feryanto 2007). Kondisi yang dihadapi industri minyak akar wangi di Garut tidak hanya berdampak pada penurunan perolehan devisa negara, tetapi juga berdampak pada pendapatan yang dialami sejumlah besar petani dan penyuling akar wangi. Permasalahan ini perlu diatasi dengan upaya-upaya nyata secara tepat. Penyelesaian permasalahan dalam proses penyulingan (distilasi) minyak akar wangi dapat dilakukan melalui inovasi teknologi dengan menggunakan prinsipprinsip proses distilasi. Berdasarkan Hukum Hidrodestilasi, percepatan proses penyulingan dapat dilakukan dengan meningkatkan tekanan uap air (steam) secara bertahap (Sakiah 2006). Untuk menguapkan komponen-komponen minyak akar wangi yang bertitik didih lebih tinggi diperlukan kalor yang besar, untuk itu laju uap perlu ditingkatkan secara bertahap agar diperoleh rendemen minyak akar wangi yang lebih tinggi. Sakiah (2006) melakukan penyulingan minyak pala selama 10 jam dengan tekanan awal 0 bar selama 4 jam kemudian ditingkatkan menjadi 0,5 bar selama 4 jam berikutnya dan ditingkatkan lagi menjadi 1,5 bar sampai akhir penyulingan. Hal ini dapat meningkatkan rendemen lebih tinggi (15.30% untuk biji pala dan 16.73% untuk fuli pala) dibandingkan dengan penyulingan pada penggunaan tekanan konstan 0 bar selama 10 jam (14.20% untuk biji pala dan 15.41% untuk fuli pala). Selain tekanan, laju penyulingan berperan penting dalam menghasilkan minyak yang baik. Laju yang tidak sesuai mengakibatkan proses penyulingan tidak berlangsung sempurna. Milojevic (2008) menyimpulkan bahwa penggunaan laju penyulingan yang besar dapat menghasilkan jumlah minyak yang lebih banyak. Pada penggunaan laju penyulingan 0.13, 3.6, 10, dan 11.7 ml/menit dihasilkan minyak 0.65%, 1.30%, 1.40%, dan 1.42%. Sebagai upaya untuk menghasilkan minyak akar wangi bermutu dan tingkat rendemen yang tinggi maka pada penelitian ini akan dilakukan modifikasi proses penyulingan metode uap langsung menggunakan variasi peningkatan tekanan dan laju uap. Sebagai alternatif dari proses penyulingan dengan tekanan yang tinggi secara konstan, pendekatan ini diharapkan dapat meningkatkan mutu dan perolehan minyak akar wangi.
4
1.2. Perumusan Masalah Penyulingan akar wangi menggunakan tekanan tinggi menghasilkan minyak bermutu rendah yang ditandai dengan warna gelap dan bau gosong. Mutu minyak akar wangi yang baik, diharapkan mampu meningkatkan harga jual baik untuk pasar dalam dan luar negeri. Permasalahan yang menjadi dasar penelitian ini adalah : a.
Bagaimana kondisi operasi proses penyulingan untuk menghasilkan recovery minyak yang tinggi?
b. Bagaimana pengaruh kondisi proses tersebut terhadap mutu minyak akar wangi yang dihasilkan? c.
Bagaimana sebaran komponen senyawa penyusun minyak akar wangi hasil penyulingan tersebut?
1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : a. Mendapatkan kondisi operasi proses penyulingan untuk memperoleh recovery yang tinggi dan mutu yang sesuai dengan SNI dan ISO; b. Mengidentifikasi senyawa penyusun minyak akar wangi dari berbagai tahapan penyulingan; c. Memperkirakan model dan parameter kinetika pada penyulingan minyak akar wangi.
1.4. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan produksi minyak akar wangi yang memenuhi standar mutu nasional (SNI 06-2386-2006) dan internasional (ISO 4716:2002) sehingga berdampak pada peningkatan pendapatan petani dan penyuling, serta memberikan manfaat terhadap pengembangan teknologi produksi minyak atsiri.
1.5. Ruang Lingkup Ruang lingkup pada penelitian ini adalah : a. Karakterisasi bahan baku akar wangi meliputi kadar air dan kadar minyak. Bahan baku yang digunakan adalah akar wangi jenis Pulus Wangi
5
berumur 12 bulan yang berasal dari Kecamatan Sukahardja Kabupaten Garut. b. Penyulingan minyak akar wangi menggunakan metode uap langsung yang berasal dari boiler berbahan bakar listrik. Alat penyuling terbuat dari bahan stainles steel kapasitas 5 kg akar wangi kering (volume 90 liter); dilengkapi PRV (Pressure Reducing Valve); kondensor tipe spiral. Penyulingan terdiri dari berbagai perlakuan, antara lain penyulingan dengan tekanan konstan 1-3 bar, penyulingan dengan tekanan meningkat bertahap, penyulingan dengan tekanan meningkat bertahap dan laju alir uap konstan 1-2 l/j kg bahan, penyulingan dengan tekanan dan laju alir uap meningkat bertahap c. Analisa mutu minyak akar wangi menggunakan metode berdasarkan SNI 06-2386-2006. Parameter yang dianalisa adalah bobot jenis, indeks bias, putaran optik, kelarutan dalam etanol 95%, bilangan asam, bilangan ester dan bilangan ester setelah asetilasi. d. Identifikasi komponen minyak akar wangi hasil menggunakan GC MS (Gas Chromatohrapy Mass Spectrometry) dan database WILEY275 di Labkesda DKI Jakarta. Identifikasi ini hanya dilakukan pada minyak hasil penyulingan dengan tekanan meningkat bertahap dan laju alir uap konstan 2 l/j kg bahan serta minyak hasil penyulingan dengan tekanan dan laju alir uap meningkat bertahap.
Penelitian ini dilaksanakan bersama-sama dengan kandidat Magister Sains Program Mayor Teknologi Pasca Panen (TPP), Ir. Rosniyati Suwarda, dalam kerangka Proyek Penelitian Departemen Pertanian melalui Program Kerjasama Kemitraan Penelitian Pertanian dengan Perguruan Tinggi (KKP3T) tahun 2007.
6
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Minyak Akar Wangi Akar wangi (Vetiveria zizanoides) merupakan salah satu tanaman penghasil minyak atsiri yang potensial. Tanaman dari famili Gramineae ini telah lama dikenal di Indonesia dan menjadi salah satu komoditas ekspor nonmigas. Rumpun tanaman akar wangi terdiri dari beberapa anak rumpun yang memiliki sejumlah akar-akar halus, berwarna kuning pucat atau abu-abu sampai kemerahan (Ketaren 1985 dan Santoso 1993). Tanaman akar wangi dapat menghasilkan minyak yang dikenal dengan minyak akar wangi (vetiver oil) melalui proses penyulingan. Pada tanaman akar wangi menurut Heyne (1987), hanya bagian akar yang mengandung minyak, sedangkan batang, daun, dan bagian lain tidak mengandung minyak. Akar yang menghasilkan minyak dengan mutu yang baik dipanen pada umur 22 bulan dan rendemen akar yang diperoleh 190 gram per rumpun. Ketaren (1985) menyebutkan bahwa akar yang masih muda bersifat lemah, halus seperti rambut dan jika dicabut dapat putus dan tertinggal dalam tanah. Selain itu akar yang muda menghasilkan minyak dengan berat jenis dan putaran optik yang rendah, berbau seperti daun. Akar yang lebih tua dan cukup baik pertumbuhannya, berupa akar yang lebih tebal dan dapat menghasilkan minyak dengan mutu yang lebih baik, serta memiliki jenis dan putaran optik yang lebih tinggi, berbau lebih wangi dan lebih tahan lama. Minyak akar wangi merupakan cairan kental, berwarna kuning kecoklatan hingga coklat gelap, memiliki aroma sweet, earthy, dan woody (Martinez et al. 2004). Minyak akar wangi secara luas digunakan untuk pembuatan parfum, bahan kosmetika, pewangi sabun dan obat-obatan, serta pembasmi dan pencegah serangga (Kardinan 2005). Minyak akar wangi dapat juga digunakan sebagai aroma terapi dan pangan, yaitu sebagai penambah aroma dalam pengalengan asparagus dan sebagai flavor agent dalam minuman (Martinez et al. 2004). Minyak ini juga berfungsi sebagai pengikat karena mempunyai daya fiksasi (pengikat) yang kuat, sehingga sering digunakan sebagai campuran parfum untuk mempertahankan aroma.
7
Minyak akar wangi memiliki aroma yang kuat (Luu 2007), oleh karena itu minyak ini banyak digunakan sebagai bahan baku untuk berbagai macam produk wewangian pada parfum, deodorant, lotions, sabun; sebagai bahan aromaterapi (Guenther 1990; Luthony & Yeyet 1999; Luu 2007); sebagai zat fiksatif dan komponen campuran dalam industri kosmetik (Akhila & Rani 2002; Martinez et al. 2004; Kardinan 2005); sebagai pembasmi dan pencegah serangga (Kardinan 2005); dalam obat herbal sebagai carminative, stimulant, dan diaphoretic (Lavania 1988; Akhila & Rani 2002); dalam industri pangan digunakan sebagai flavor agent pada pengalengan asparagus dan berbagai minuman (Martinez et al. 2004). Minyak akar wangi tersimpan dalam kantung-kantung minyak yang berada diantara lapisan cortex dan endodermis (Gambar 1). Minyak yang terletak dibawah lapisan permukaan disebut sebagai subcutaneous oils (Denny 2001). Pengeluaran minyak dari dalam bahan dilakukan dengan melewatkan uap panas untuk merusak lapisan luar yang menutupi kantung minyak (epidermis dan cortex). Menurut Guenther (1990), suhu tinggi dan pergerakan uap air yang disebabkan oleh kenaikan suhu dalam ketel mempercepat proses difusi. Istilah difusi dalam konteks ini adalah penetrasi dari berbagai komponen secara timbal balik sehingga tercapai keseimbangan.
Gambar 1. Kantong minyak akar wangi (Lavania et al. 2008)
Minyak akar wangi merupakan salah satu minyak atsiri yang mengandung campuran seskuiterpen alkohol dan hidrokarbon yang sangat kompleks
8
(Cazaussus 1988; Akhila & Rani 2002), dan jenis minyak atsiri yang sangat kental dengan laju volatilitas yang rendah (Akhila & Rani 2002). Luu (2007) menyebutkan, komponen utama penyusun minyak akar wangi terdiri dari sesquiterpen hidrokarbon (γ-cadinene, clovene, α-amorphine, aromadendrene, junipene, dan turunan alkoholnya), vetiverol (khusimol, epiglobulol, spathulenol, khusinol, serta turunan karbonilnya), dan vetivone (α-vetivone,
β-vetivone,
khusimone dan turunan esternya). Diantara komponen-komponen tersebut, αvetivone,
β-vetivone, dan khusimone merupakan komponen utama sebagai
penentu aroma minyak akar wangi. Ketiga komponen ini disebut sebagai sidik jari (finger print) minyak akar wangi (Demole et al. 1995). Shibamoto et al. (1981) mengidentifikasi sebelas komponen yang terkandung dalam fraksi fenolik minyak akar wangi asal India menggunakan metode kromatografi gas–spektrometri massa (KG-SM) dan resonansi magnet inti (RMI). Komponen tersebut antara lain : metoksifenol, o-kresol, p-kresol, mkresol, eugenol, 4-vinilguaikol, cis-isoeugenol, trans-isoeugenol, 4-vinilfenol, vanilin, dan asam zizanoat. Subhas et al. (1982) mengidentifikasi komponen fraksi karbonil minyak akar wangi (±13%) antara lain : zizanal, epizizanal, αvetivone, β-vetivone, khusimone dan (+)-(1S,10R)-1,10-dimetilbisiklo[4.4.0]-dec6-en-3-on. Sementara komponen minyak akar wangi asal Burundi terdiri dari αmuurolene, valensene, β-vetivene, α-vetivone, β-vetivone, khusimole, α-cadinol, vetiselinenol, isosedranol, isokhusimol, dan β-bisabolol (Dethier et al. 1997). Beberapa hasil identifikasi komponen menunjukkan kandungan senyawa lebih dari 100 komponen (Cazaussus 1988), 28 komponen terutama dari golongan sesquiterpen (Martinez et al. 2004). Hasil analisis terhadap minyak akar wangi yang berasal dari Brazil, Haiti, Bourbon dan Indonesia, komposisi minyak berbeda secara kuantitatif tetapi jenis komponen yang dihasilkan hampir sama (Martinez et al. 2004). Komposisi minyak akar wangi dari beberapa daerah produsen disajikan pada Tabel 2.
9
Tabel 2. Komposisi kimia minyak akar wangi Komponen Pre-zizaene Khusimene α-amorphene Cis-eudesma—6,11-diene α-amorphene β-vetispirene γ-cadinene γ-vetivenene β-vetivenene α-calacorene Cis-eudesm-6-en-11-ol Khusimone Ziza-6(13)-en-3-one Khusinol Khusian-2-ol Vetiselinenol Cyclocopacamphan-12-ol 2-epi-ziza-6(13)-3 α-ol Isovalencenal β-vetivone Khusimol Nootkatone α-vetivone Isovalencenol Bicyclovetivenol Zizanoic acid Hydrocarbons Alcohols Carbonyl compounds Carboxylic acids Total identified
Brazil (%)
Haiti (%)
Bourbon (%)
Indonesia (%)
1.0 1.7 1.6 1.2 1.4 1.0 0.6 1.3 2.0 0.9 1.9 3.6 2.5 3.4 3.4 1.7 1.0 1.9 1.6 1.5 7.2 1.1 5.4 3.0 0.5 11.8 12.7 24.0 15.7 11.8 64.2
0.4 0.9 1.8 1.4 1.1 1.1 1.6 0.8 2.4 3.5 1.4 1.9 3.4 2.3 1.7 1.6 2.5 5.6 13.3 0.4 4.8 15.3 1.1 0.5 9.1 43.0 18.2 0.5 70.8
0.4 2.1 0.8 1.8 1.0 0.3 0.8 1.7 2.1 3.9 2.8 1.7 2.8 1.8 1.3 1.2 2.1 3.9 6.4 0.4 3.3 8.9 0.8 0.9 8.9 27.0 16.4 0.9 53.2
0.8 3.0 4.2 2.4 3.5 2.7 0.7 5.1 5.2 0.7 1.1 2.6 2.1 2.4 1.3 1.0 0.3 1.1 1.0 6.0 9.7 4.0 4.4 3.3 28.3 21.3 17.7 3.3 70.6
Sumber : Martinez et al. (2004)
Kandungan minyak akar wangi Bone dan Garut menunjukkan adanya 21 dan 20 komponen senyawa minyak akar wangi untuk masing-masing daerah. Jenis komponen disajikan pada Tabel 3.
10
Tabel 3. Analisa GC-MS komponen minyak akar wangi No.
Komponen
Formula Molekul
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21.
Isokaryophyllen Karyophyllen Napthallen α- Amorphen α- Karyophyllen Kuparen Kloven 1,3,5-Siklononatrien Dehidroaromadendren 1H-Siklopropa[a] Napthallen β- Kopaen Santalol Aromadendren Ledol Azulenon Cendrenol Spathulenol β- Kopaen-4-α –ol Trisiklo oktan-5-asam karboksil 3,7-Siklodecadien-1-on 2(3H)-Naphtalenon
C15H24 C15H24 C15H24 C15H24 C15H24 C15H22 C15H24 C15H24 C15H22 C15H22 C15H24O C15H24O C15H24 C15H26O C15H22O C15H24O C15H24O C15H24O C15H22O2 C15H22O C15H22O
Luas Relatif (%) Bone Garut 0.65 0.62 0.58 0.93 0.69 0.75 0.65 0.63 0.69 1.58 1.78 1.88 1.10 2.12 1.18 1.98 5.82 3.28 5.82 2.27 2.74
1.33 1.02 1.05 0.69 1.63 0.49 1.46 0.46 3.63 2.56 2.70 0.93 1.77 1.23 2.10 9.18 6.54 3.93 3.50 5.62
Sumber : Abraham (2002)
Penelitian tentang minyak akar wangi yang telah dilakukan hingga kini mencakup teknik budidaya tanaman, teknologi proses, hingga komponen penyusunnya. Pada Tabel 4 dapat dilihat rangkuman penelitian teknologi proses produksi minyak akar wangi.
11
Tabel 4. Beberapa penelitian minyak akar wangi Referensi Triharyo et al. (2007)
Kondisi Operasi • P = 1; 2; dan 3 atm. • V = 17 ml/menit • t = 12; 20; & 24 jam
Metode
Parameter proses
Hasil
Penyulingan uap
Pengaruh tekanan dan waktu terhadap rendemen dan mutu minyak akar wangi serta penggunaan energi selama penyulingan. Pengaruh tekanan terhadap rendemen dan mutu minyak akar wangi.
Penggunaan tekanan 2 bar selama 20 jam memberikan rendemen 1,92% dengan menggunakan direct use geothermal.
• P = 1; 2; dan 3 atm. • V = 0,32 – 0,35 ml/det • t = 16 jam • P : 1,2 kg/cm2 • V : 116 ml/mnt • t : 10 jam
Penyulingan uap
Penyulingan uap
Identifikasi komponen minyak akar wangi asal Bone dan Garut
• P = 0,4; 0,8 dan 1,2 kg/cm2 • t = 8; 10; dan 12 jam • V = 1,3 l/j/kg bahan • t = 12 jam • P = 103124 kPa • V = 15-20 liter/jam
Penyulingan uap
Pengaruh tekanan dan lama penyulingan terhadap rendemen dan mutu minyak akar wangi.
Penyulingan air dan penyulingan uap
Pengaruh penyimpanan dan lama penyulingan terhadap yield
Moestafa et al. (1991)
• V : 500 dan 600 gr uap/jam • t : 12; 16; 20; 24; 28; 32; dan 36 jam
Penyulingan air
Pengaruh lama dan kecepatan penyulingan terhadap kadar minyak dan vetiverol akar wangi dengan penyulingan air
Hardjono et al. (1973)
• M = 0,1 dan 0,07 kg/liter • t = 16, 20, 24 dan 28 jam
Penyulingan air dan uap (kukus)
Pengaruh kepadatan bahan dan lama penyulingan terhadap rendemen dan kualitas minyak akar wangi
Suryatmi (2006)
Abraham (2002)
Rusli dan Anggraeni (1999)
Aggarwal et al. (1998)
Rendemen terbaik pada tekanan 3 atm sebesar 1,124%
Rendemen yang dihasilkan masingmasing 0,62% dan 0,96%. Diidentifikasi komponen yang sama dari kedua asal minyak yaitu αvetivone, β-vetivone, khusimol, bisiklovetiverol, trisiklovetiverol, dan vetiver alkohol. Kondisi yang terbaik adalah penggunaan tekanan 1,2 kg/cm2 selama 10 jam yang menghasilkan rendemen sebesar 2,3%. Waktu penyimpanan akar wangi yang lama akan menurunkan recoveri minyak. Waktu 10 jam dibutuhkan untuk menghasilkan minyak, lebih dari 10 jam tidak meningkatkan recoveri secara signifikan. Hasil terbaik penyulingan dengan kecepatan 600 gram uap/jam selama 36 jam menghasilkan rendemen 2,47% & kadar vetiverol 63,91%. Hasil terbaik adalah kepadatan 0,07 kg/liter selama 20 jam dengan rendemen 2,02%.
Keterangan : P : tekanan; V : kec. penyulingan; t : waktu penyulingan; M : kepadatan bahan.
12
2.2. Standar Mutu Minyak Akar Wangi Senyawa-senyawa penyusun minyak akar wangi berpengaruh besar terhadap sifat fisik dan kimia yang dimilikinya. Sifat ini menentukan mutu dan juga dipengaruhi oleh faktor lain seperti asal daerah, jenis tanaman, umur panen, metode dan peralatan penyulingan yang digunakan. Oleh karena itu, sifat fisik dan kimia minyak akar wangi yang berasal dari beberapa negara produsen berbeda satu sama lainnya. Perbedaan sifat minyak akar wangi tersebut dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Sifat fisik dan kimia minyak akar wangi beberapa negara produsen Karakteristik
Mutu Baik o
Bobot jenis pada 15 Putaran optik
Indeks bias pada 20o Bilangan asam Bilangan ester Bilangan ester setelah asetilasi Kelarutan dalam alkohol 80 %
Jawa Mutu Ringan
0,9926– 1,0444 + 20o 30’ s.d + 46o 0’
0,9852–1,0015 +14o 25’ s.d + 24o 10’
1,5189–1,5306
1,5223–1,52612
8,4–40,1 5,6–24,6
Reunion
Haiti 0.999–1.014 +22o 0’ s.d + 31o 44’
7,5–14,9 6,5–14,9
0.99–1.02 +14o 0’ s.d + 37o 0’ 1.515– 1.529 4.5–17 5–20
103,7–151,2
98–119,5
119–145
124–264
Larut dalam 1– 2 vol. Kadangkadang berubah warna sampai keruh dengan jumlah alkohol lebih banyak.
Tidak seluruhnya larut. Bercampur sempurna dengan alkohol 90%; pada kasus tertentu berubah warna jika diencerkan.
Larut dalam 1-2 vol alkohol 80%, dengan warna sedikit suram sampai keruh
Larut dalam 0.5 vol. alkohol 90%, kadang buram (cloudy) jika pengenceran dilanjutkan. Kadang juga larut dalam 1 vol. alkohol 80%.
1.5198–1.5250 7.5–16.8 8.4–52.3
Sumber : Guenther (1990)
Tinggi rendahnya mutu minyak akar wangi ditentukan oleh ciri-ciri fisik dan kimianya. Ciri-ciri fisikokimia yang menjadi parameter mutu minyak akar wangi antara lain warna, aroma, bobot jenis, indeks bias, bilangan asam, bilangan ester, bilangan ester setelah asetilasi, kelarutan dalam alkohol, dan total kandungan vetiverol dalam senyawa aromatik. Minyak akar wangi Indonesia yang akan diperdagangkan harus memenuhi standar mutu dan persyaratan mutu berdasarkan Standar Nasional Indonesia yaitu SNI 06-2386-2006, seperti yang tercantum pada Tabel 6.
13
Tabel 6. Standar mutu minyak akar wangi menurut SNI 06-2386-2006 No.
Jenis Mutu / Satuan
1.
Warna
2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Bau Bobot jenis 20o/20o C Indeks bias pada 20o Bilangan asam Kelarutan dalam etanol 95 % Bilangan ester Bilangan ester setelah asetilasi Vetiverol total
Satuan %
Syarat Mutu Kuning muda sampai coklat kemerahan Khas akar wangi 0,980 – 1,003 1,520 – 1,530 10 - 35 1:1 jernih, dan seterusnya jernih 5 – 26 100 – 150 Minimum 50
Sumber : SNI 2006
Untuk perdagangan internasional standar yang diacu adalah ISO (International Organization for Standardization) 4716:2002, seperti tercantum pada Tabel 7. Tabel 7. Standar mutu minyak akar wangi menurut ISO 4716:2002 No. 1.
Jenis Mutu / Satuan Warna
2. Bau 3. Bobot jenis 20o/20o C 4. Indeks bias pada 20o 5. Bilangan asam 6. Kelarutan dalam etanol 80 % pada 20o C 7. Bilangan ester 8. Putaran optik pada 20o C 9. Bilangan karbon Sumber : ISO 2002
Syarat Mutu Reunion Haiti Coklat hingga merah kecoklatan Khas akar wangi 0,99 – 1,015 1,5220 – 1,5300 Maks. 35 Maks. 1 : 2 5 - 16 +19 – +30 44 – 68
Coklat hingga merah kecoklatan Khas akar wangi 0,986 – 0,998 1,521 – 1,526 Maks. 14 Maks. 1 : 2 5 – 16 +22 – +38 23 - 59
2.3. Penyulingan Minyak Akar Wangi Penyulingan (distilasi) merupakan proses pemisahan komponen berupa cairan atau padatan dari 2 macam campuran atau lebih, berdasarkan perbedaan titik uapnya (Ketaren 1985). Proses penyulingan umum digunakan untuk mendapatkan minyak atsiri dari tanaman. Guenther (1990) menyebutkan ada tiga cara penyulingan yang umum digunakan, yaitu penyulingan dengan air (water distillation), penyulingan dengan air dan uap (water and steam distillation), dan penyulingan dengan uap (steam distillation). Pada penyulingan dengan air, bahan yang akan disuling kontak langsung dengan air mendidih. Pada penyulingan dengan menggunakan uap dan
14
air, bahan diletakkan pada rak-rak atau saringan berlubang, sehingga bahan tidak mengalami kontak langsung dengan air yang digunakan untuk menghasilkan uap. Tekanan yang dihasilkan dalam ketel suling untuk kedua cara ini biasanya sekitar 1 atm. Penyulingan dengan menggunakan uap, pada dasarnya hampir sama dengan penyulingan menggunakan uap dan air. Perbedaannya adalah uap panas yang digunakan berasal dari ketel uap yang terpisah dari ketel suling. Tekanan uap dalam ketel suling dapat dimodifikasi sesuai dengan kondisi bahan. Pemilihan metode penyulingan sangat menentukan keberhasilan dan efisiensi proses penyulingan. Penyulingan dengan uap langsung memiliki efisiensi yang lebih tinggi dibandingkan penyulingan air dan penyulingan air–uap, tetapi membutuhkan peralatan yang lebih komplek dan mahal (Risfaheri & Mulyono 2006). Ketaren (2004) merekomendasikan penyulingan uap untuk bahan yang mengandung minyak bertitik didih tinggi/fraksi berat yang lebih stabil terhadap panas seperti nilam, akar wangi, cendana, dan pala, karena dapat mempersingkat waktu penyulingan.
Proses Penyulingan Penyulingan menggunakan air (water distillation), air dan uap (kukus), dan uap (steam distillation) umum digunakan untuk mendapatkan minyak akar wangi (Tabel 4). Proses penyulingan tersebut terdiri dari beberapa mekanisme penting yang dapat membantu dalam memahami fenomena yang terjadi selama proses. Mekanisme penyulingan menggunakan air disajikan dalam Gambar 2.
Gambar 2. Mekanisme proses penyulingan minyak atsiri dengan air (water distillation) (Azlina 2005)
15
a. Difusi Difusi memegang peranan penting pada ekstraksi minyak atsiri dari tanaman. Geankoplis (1983) menyebutkan difusi molekuler didefinisikan sebagai perpindahan molekul dalam fluida secara acak. Gambar 3 memperlihatkan skema proses difusi molekuler. Dari gambar tersebut, terlihat molekul A (dalam hal ini adalah uap) berdifusi secara acak melalui molekul B (minyak dalam tanaman) dari titik 1 ke 2. Hal ini dikarenakan jumlah molekul A yang ada di sekitar titik 1 lebih banyak daripada yang berada disekitar titik 2. Hukum Fick menyebutkan penyebab terjadinya difusi adalah perbedaan konsentrasi komponen. Akibat perbedaan ini komponen akan berpindah ke berbagai arah hingga konsentrasi mencapai kesetimbangan. Arah difusi dari konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah.
Gambar 3. Skema proses difusi (Geankoplis 1983) Sel tanaman terdiri dari membran sel. Membran sel merupakan lapisan pelindung tanaman yang memisahkan sel dari lingkungan luar. Minyak atsiri berada dalam kelenjar minyak (oil glands). Molekul-molekul yang berada disekitar sel dapat berpindah masuk atau keluar sel. Membran sel selective permeabel mengatur molekul yang melewatinya. Air dapat melewati membran sel dengan bebas melalui proses difusi dan osmosis.
b. Osmosis Peristiwa osmosis berperan membawa minyak yang terdapat dalam kelenjar ke permukaan bahan. Osmosis merupakan peristiwa perpindahan partikel dari tempat yang memiliki konsentrasi lebih tinggi ke tempat yang
16
memiliki konsentrasi yang lebih rendah melewati membran selektif permeabel hingga tercapai keseimbangan dinamis.
Gambar 4. Skema proses osmosis
c. Pemanasan, penguapan dan kondensasi Pemanasan akan menyebabkan temperatur air meningkat hingga tekanan uap cairan sama dengan tekanan sekitar. Pada kondisi ini tidak terjadi peningkatan suhu dan penambahan energi panas hanya akan membuat cairan menguap. Molekul-molekul uap tersebut akan tetap berada dalam gerakan yang konstan (keadaaan setimbang). Pada sistem tertutup, keadaan setimbang dipengaruhi oleh suhu. Kondensasi merupakan proses perubahan wujud uap menjadi cairan dengan cara mengalirkan air pendingin pada tabung kondensor. Kondensasi dan penguapan melibatkan fase cairan dengan koefisien pindah panas yang besar. Kondensasi terjadi apabila uap jenuh seperti uap bersentuhan dengan padatan yang suhunya dibawah jenuh sehingga membentuk cairan (Geankoplis 1983).
d. Pemisahan Pemisahan campuran air dan minyak umumnya dilakukan berdasarkan berat jenis. Secara umum minyak memiliki berat jenis lebih kecil dari berat jenis air (=1), sehingga minyak akan berada di lapisan atas. Pada proses ekstraksi minyak atsiri dengan menggunakan uap (steam distillation), ada sedikit perbedaan mekanisme yang terjadi. Variasi mekanisme pada proses penyulingan dengan steam distillation disajikan pada Gambar 5.
17
Gambar 5. Mekanisme proses penyulingan minyak atsiri dengan uap ( steam distillation) (Azlina 2005) Pertama-tama uap akan berdifusi ke dalam bahan, untuk melepas minyak yang terdapat dalam bahan akan larut. Campuran minyak yang dibawa uap ini ke luar menuju permukaan bahan melalui peristiwa osmosis. Setelah mencapai permukaan, minyak dibawa oleh uap yang melewati bahan. Penambahan jumlah minyak yang larut dalam air dan proses osmosis sangat tergantung pada jumlah air yang masuk ke dalam jaringan tanaman tersebut. Air masuk ke dalam jaringan tanaman melalui proses difusi. Dengan kata lain, peristiwa osmosis dan difusi terjadi dalam waktu yang bersamaan (simultaneously). Proses-proses ini berlangsung terus menerus hingga semua komponen volatil minyak keluar dari jaringan tanaman.
2.4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Minyak Akar Wangi a. Perlakuan Pendahuluan Terhadap Akar Wangi Perlakuan pendahuluan pada bahan sebelum proses penyulingan dapat meningkatkan rendemen dan memperbaiki mutu minyak. Perlakuan pendahuluan terhadap akar wangi sebelum proses penyulingan antara lain pembersihan, pengeringan, dan pengecilan ukuran. Peningkatan rendemen minyak yang diawali perlakuan pendahuluan telah dibuktikan Adams et al. (2008) dengan proses pembersihan, Bacon dalam Jong (1987) dengan proses pengeringan, serta Rusli (1985), Sudibyo (19890, dan Moestafa et al. (1998) dengan proses pengecilan ukuran. Adams et al. (2008) membandingkan rendemen minyak akar wangi yang dibersihkan dan tidak dibersihkan. Rendemen yang diperoleh dari akar wangi
18
yang dibersihkan adalah 1.04%, nilai ini lebih tinggi dibandingkan rendemen dari akar wangi yang tidak dibersihkan yaitu 0.66%. Pada proses pengeringan, sebagian besar membran sel akan pecah sehingga cairan sel bebas melakukan penetrasi dari satu sel ke sel yang lain hingga membentuk senyawa-senyawa yang mudah menguap (Sastrohamidjojo 2004). Oleh karenanya Ketaren (1985) dan Thorpe (1947) menyebutkan bahwa pengeringan akan mempercepat proses penyulingan, menaikkan rendemen serta memperbaiki mutu minyak meskipun kemungkinan sebagian minyak akan hilang karena penguapan dan oksidasi oleh oksigen udara. Hasil penelitian Bacon dalam Jong (1987) memperlihatkan bahwa pengeringan memberikan peningkatan rendemen minyak akar wangi. Rendemen dari bahan yang dikeringkan sebesar 1,09 % sedangkan rendemen akar wangi yang tidak dikeringkan hanya 0,45 %. Perajangan bahan sebelum disuling bertujuan untuk memudahkan penguapan minyak atsiri dari bahan dan mengurangi sifat kamba bahan (Ketaren 1985). Pada perajangan akar wangi tanpa bonggol dengan ukuran 15–20 cm diperoleh rendemen 1.6%-2.1% (Rusli 1985). Untuk ukuran biji jintan yang dihancurkan diperoleh rendemen 2,18–2,43%, dibanding biji jintan yang tidah dihancurkan hanya sebesar 1,90–2,23% (Sudibyo 1989). Perajangan halus ukuran 2-3 mm pada penyulingan jeruk purut juga menghasilkan rendemen yang lebih tinggi yaitu 4.58% dibandingkan dengan jeruk purut yang dirajang kasar 2 cm sebesar 4.18% (Moestafa et al. 1998)
b. Kondisi Penyulingan Selain metode penyulingan dan perlakuan bahan, kondisi proses penyulingan juga akan mempengaruhi rendemen minyak. Menurut Ketaren (1985) jumlah minyak yang menguap ditentukan oleh tekanan uap, berat molekul komponen-komponen dalam minyak, dan kecepatan minyak dikeluarkan dari bahan. 1. Kepadatan bahan Kepadatan bahan di dalam ketel sangat berpengaruh pada kemudahan uap berpenetrasi kedalam bahan untuk membawa molekul minyak, sehingga mempengaruhi rendemen dan efisiensi penyulingan (Risfaheri & Mulyono 2006). Guenther (1990) menyebutkan bahwa tingkat kepadatan bahan
19
berhubungan erat dengan besar ruangan antar bahan. Kepadatan bahan yang terlalu tinggi dan tidak merata menyebabkan terbentuknya jalur uap ”rat holes” yang dapat menurunkan rendemen dan mutu minyak. Hasil penelitian Hardjono et al. (1973) telah membuktikan bahwa pada kepadatan akar wangi 0,10 kg/liter dihasilkan rendemen lebih kecil yaitu 1,43% dibanding dengan kepadatan 0,07 kg/liter yang menghasilkan rendemen 2,02%. 2. Tekanan uap Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap penguapan minyak pada proses penyulingan adalah besarnya tekanan uap yang digunakan (Ketaren 1985). Menurut Guenther (1990), agar diperoleh minyak yang bermutu tinggi maka penyulingan hendaknya berlangsung pada tekanan rendah dan dapat juga pada tekanan tinggi tetapi dalam waktu
yang singkat. Proses
penyulingan dengan menggunakan tekanan dan suhu rendah mempunyai keuntungan yaitu minyak yang dihasilkan tidak mengalami kerusakan akibat panas. Disamping itu mengurangi penguapan komponen bertitik didih tinggi dan larut di air. Penyulingan dengan tekanan tinggi tidak selalu memghasilkan rendemen dan mutu yang lebih baik. Penggunaan tekanan uap yang terlalu tinggi dapat menyebabkan kerusakan komponen-komponen penyusun minyak. Lestari (1993) membuktikan bahwa pada penyulingan sereh wangi dengan tekanan 228.53 kPa memberikan rendemen 3.51% basis kering dan tingkat mutu bagus. Sedangkan penggunaan tekanan 297.2 kPa dihasilkan rendemen 2.52% dengan tingkat mutu biasa. Penyulingan minyak nilam dengan menggunakan uap langsung selama 4 jam menghasilkan rendemen sebesar 3.21%, 3.11%, 3.44%, dan 3.27% berat kering masing-masing untuk tekanan penyulingan 158.86, 173.57, 190.24, dan 206.96 kPa (Dahlan 1989). Kondisi penyulingan minyak akar wangi menggunakan tekanan 1.2 kg/cm2 menghasilkan rendemen 2.3% (Rusli & Anggraeni 1999). 3. Laju Penyulingan Laju penyulingan menyatakan jumlah air suling yang dihasilkan per satuan waktu. Pengaturan laju penyulingan disesuaikan dengan diameter ketel dan volume antar ruang bahan (Guenther 1990). Laju penyulingan yang
20
rendah menyebabkan uap terhenti pada bahan yang padat, sehingga proses ekstraksi minyak tidak berjalan sempurna. Sebaliknya, jika laju penyulingan terlalu cepat maka uap dalam ketel akan keluar melalui bahan dengan membentuk jalur uap serta mengangkut bahan partikel ke dalam kondensor, sehingga menghambat aliran uap di dalam kondensor (Risfaheri & Mulyono 2006). Laju penyulingan memberi pengaruh nyata terhadap rendemen dan kadar vetiverol pada penyulingan minyak akar wangi. Jumlah minyak sebesar 2.47% pada laju penyulingan 0,6 kg uap/jam dengan kadar vetiverol 63.91% lebih tinggi dibandingkan pada laju penyulingan 0,5 kg uap/jam yang menghasilkan minyak 2.17% dan kadar vetiverol 61.79% (Moestafa, et al. 1991). 4. Pengaruh Lama Penyulingan Lama penyulingan mempengaruhi kontak air atau uap air dengan bahan. Pada penyulingan yang lebih lama, jumlah minyak yang terbawa oleh uap semakin banyak sehingga rendemen minyak yang diperoleh lebih banyak. Lama penyulingan juga berpengaruh terhadap penguapan fraksi yang bertitik didih tinggi. Semakin lama penyulingan, penguapan fraksi yang bertitik didih tinggi akan semakin besar (Guenther 1990). Hasil penelitian penyulingan pada beberapa minyak atsiri menunjukkan lama waktu penyulingan menghasilkan minyak yang semakin banyak. Penyulingan
nilam
selama
6
jam
menghasilkan
rendemen
2.59%
dibandingkan penyulingan selama 4 dan 5 jam yaitu 2.28% dan 2.52% (Setiadji & Tamtarini 2006). Biji jintan yang disuling selama 3, 5, dan 7 jam menghasilkan rendemen 1.90%, 2.10%, dan 2.23% (Sudibyo 1989). Begitu pula halnya pada penyulingan minyak jeruk purut (Moestafa, et al. 1998). Penyulingan jeruk purut selama 8 jam menghasilkan rendemen 4.58%, nilai ini lebih tinggi dari rendemen minyak yang disuling selama 6 jam yaitu 3.58%. Rusli & Anggraeni (1999) juga memperoleh rendemen minyak akar wangi lebih tinggi pada penyulingan yang lebih lama yaitu 2.07% selama 12 jam dibandingkan dengan penyulingan 8 jam yang hanya 1.78%. Namun
21
perpanjangan waktu penyulingan berdampak pada besarnya biaya bahan bakar yang digunakan (Feryanto 2007).
2.5. Model Kinetik Proses Penyulingan Minyak Atsiri Model matematis untuk kinetika penyulingan minyak atsiri dengan metode hydrodistillation menggunakan pendekatan mekanisme yang sama dengan ekstraksi pelarut untuk tanaman. Mekanisme distilasi minyak atsiri dilakukan melalui dua tahap yaitu : 1. Pelepasan minyak atsiri yang berada di sekitar permukaan luar bahan (disebut juga fast oil distillation). Peristiwa ini terjadi di awal penyulingan (t = 0). Ciri-ciri dari tahap ini adalah jumlah minyak yang dihasilkan meningkat dengan cepat pada awal proses. t = 0 ; dimana
q = qw atau
q q = w = b qo qo
(1)
qw = yield minyak pada t = 0; q = yield minyak pada t = i;
qo = konsentrasi minyak awal dalam bahan; b = koefisien fast distillation 2. Pelepasan minyak atsiri dari bagian dalam bahan menuju ke permukaan luar bahan (disebut juga slow oil distillation). Ciri-ciri dari tahap ini adalah peningkatan jumlah minyak yang dihasilkan berlangsung lambat. Umumnya terjadi di akhir penyulingan. Persamaan dasar kinetika untuk proses penyulingan minyak atsiri adalah :
qo − q = (1 − b ) . e − kt qo
(2)
Atau
ln
qo − q = ln (1 − b ) − kt qo
dimana k = koefisien slow distillation; t = waktu
(3)
22
III. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan sejak bulan September 2007–Desember 2008 yang dilakukan di Balai Besar Litbang Pascapanen Cimanggu, Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik (Balittro) Cimanggu, Laboratorium Teknik Kimia Departemen Teknologi Industri Pertanian IPB, dan Laboratorium Kesehatan Daerah DKI Jakarta.
3.2. Bahan dan Alat a. Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini berupa bahan baku utama dan bahan pembantu. Bahan baku utama yang digunakan adalah akar wangi (Vetiveria zizanioides Stapt) yang berasal dari perkebunan akar wangi rakyat di daerah Garut, Jawa Barat. Sebelum digunakan dilakukan persiapan pendahuluan bahan baku untuk penyulingan meliputi proses pengeringan, dan pengecilan ukuran (pencacahan). Bahan pembantu adalah bahan kimia yang digunakan untuk pengujian sifat fisika kimia minyak akar wangi. Bahan kimia ini terdiri dari etanol, KOH, penophtalein, HCL, asam asetat anhidrit, natrium asetat anhidrat, akuades, NaCl, Na2SO4 anhidrid, Na2CO3, dan toluen.
b. Alat Penyulingan menggunakan sistem penyulingan dengan uap langsung (steam distillation) dimana uap dibangkitkan dari ketel yang terpisah (boiler). Alat penyulingan terdiri atas boiler, ketel penyuling, alat pendingin (kondensor), alat penampung dan pemisah minyak (separator). Sistem penyulingan uap langsung disajikan pada Gambar 6. Alat-alat ukur dan uji sifat fisika kimia yang digunakan adalah piknometer, refraktometer, polarimeter, termometer, tabung reaksi, gelas ukur, neraca analitik, dan penangas air. Boiler yang digunakan adalah boiler buatan Jerman menggunakan tenaga listrik daya 9 kWh dan menghasilkan tekanan uap maksimum 7 bar. Air masuk ke
23
boiler dengan menggunakan pompa. Penambahan air ke boiler dilakukan secara otomatis. Uap yang dihasilkan dari boiler kemudian dialirkan ke dalam ketel dengan terlebih dahulu melewati pressure reducing valve. Besarnya tekanan uap diamati pada indikator tekanan di boiler.
Keterangan : A = Boiler; B = pressure reducing valve (PRV); C = Ketel suling; D = Kondensor; E = Separator; a = air boiler keluar; b = indikator tekanan; c = valve ; d = strainer ; e = bahan; f = air ketel keluar; g = air masuk kondensor; h = spiral kondensor; i = air keluar kondensor Gambar 6. Skema sistem penyulingan uap langsung (steam distillation) Pressure reducing valve (PRV) yang digunakan adalah tipe BRV2 dengan spring code warna hijau yang mampu mengontrol tekanan keluar antara 1,4–4,0 bar. PRV ini dilengkapi dengan strainer yang terbuat dari bahan stainless steel untuk menyaring uap yang akan masuk ke PRV, indikator tekanan, savety valve dan valve. Ketel suling terbuat dari bahan stainless steel dengan diameter 40 cm dan tinggi 72 cm. Volume ketel adalah 90 liter dan volume bahan adalah 33,4 liter. Tekanan yang masuk ke ketel diatur dengan memutar handwheel pada PRV. Besarnya tekanan dan suhu dalam ketel suling dapat dideteksi melalui sensor tekanan yang terpasang pada bagian atas (header) ketel suling. Pada ketel suling terdapat saringan yang terbuat dari besi dengan ketinggian 10 cm dari dasar ketel.
24
Besarnya tekanan uap yang disalurkan ke ketel suling diamati pada indikator tekanan di boiler. Besarnya tekanan dan suhu dalam ketel suling dapat dideteksi melalui sensor tekanan yang terpasang pada bagian atas (header) ketel suling. Untuk pengaturan besarnya tekanan didalam ketel suling digunakan katup yang dapat diatur yang diletakkan dialiran masuk ke kondensor dekat kepala ketel suling, katup ini juga dipasang pada aliran uap (steam) dari boiler (Gambar 6c). Kondensor yang digunakan adalah penukar panas tipe spiral dengan panjang spiral 9 m dan diameter 19 mm. Kondensor terbuat dari bahan stainless steel dengan diameter 26,7 cm dan tinggi 52 cm. Media pendingin menggunakan air. Alat pemisah kondensat terbuat dari bahan gelas dengan tinggi 40 cm dan diameter 20 cm. Analisa Gas Chromatography–Mass Spectrometry menggunakan agilent technologies 6890 gas chromatograph dan 5972 mass selective detector dan chemstation data system. Kolom yang digunakan adalah kolom kapiler HP Ultra 2 dengan panjang 17 m, diameter 0,25 mm dan tebal 0,25 µm. Kondisi operasi yang digunakan antara lain: suhu injeksi 250 oC, suhu ion source 230 oC, suhu interface 280 oC, suhu quadrupole 140 oC, flow kolom 0,7 µl/menit, volume injeksi 2µL.
3.3. Tahapan Penelitian Penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahapan yaitu (1) karakterisasi akar wangi, (2) penyulingan minyak akar wangi dengan tekanan konstan, (3) menentukan disain proses penyulingan minyak akar wangi melalui peningkatan tekanan dan laju alir uap, (4) penyulingan minyak akar wangi dengan tekanan bertahap, (5) menganalisis kualitas minyak akar wangi, (5) menganalisis distribusi komponen penyusun minyak akar wangi. Diagram alir tahapan penelitian disajikan pada Gambar 7.
25
Gambar 7. Diagram alir tahapan penelitian a. Karakterisasi bahan baku Karakterisasi meliputi kadar air dan kadar minyak dari bahan baku akar wangi. Kadar air akar wangi yang masih tinggi perlu dikurangi hingga kadar air mencapai ± 12 %. Pengeringan dilakukan dengan penjemuran selama 1–2 hari. Selain itu, juga dilakukan pengukuran kadar minyak dari akar wangi. Prosedur analisa kadar air dan kadar minyak dimuat pada Lampiran 2.
b. Penyulingan minyak akar wangi dengan tekanan konstan (Penelitian Pendahuluan) Pada tahap ini terdapat tiga perlakuan penyulingan yaitu penyulingan menggunakan tekanan 1 bar, 2 bar, dan 3 bar konstan sampai akhir penyulingan (9 jam). Masing-masing perlakuan diulang sebanyak dua kali ulangan. Laju alir uap yang masuk ke boiler diasumsikan sama dengan laju destilat yang keluar dari
26
kondensor. Pada setiap perlakuan dilakukan pengukuran laju destilat dan pengambilan sampel setiap jam selama penyulingan. Rancangan perlakuan pada tahapan ini adalah sebagai berikut : P1
: Tekanan 1 bar
P2
: Tekanan 2 bar
P3
: Tekanan 3 bar
Pada tahap ini, laju alir uap hanya diukur dari jumlah destilat yang keluar dari kondensor per satuan waktu. Laju ini hanya menjadi respon dari masuknya uap dari boiler ke ketel setiap waktu.
c. Menentukan disain proses penyulingan minyak akar wangi melalui peningkatan tekanan dan laju alir uap bertahap Disain proses penyulingan minyak akar wangi ditentukan oleh trend laju recovery minyak yang tersuling pada penelitian pendahuluan selama 9 jam waktu penyulingan. Gambaran pola recovery minyak inilah yang nantinya menjadi dasar untuk menaikkan tekanan. Peningkatan tekanan dibagi menjadi 3 tahap, dengan asumsi bahwa minyak akar wangi memiliki komponen dengan titik didih tinggi, sedang, dan rendah. Idealnya tahapan peningkatan tekanan lebih banyak agar data yang diperoleh lebih baik. Namun keterbatasan waktu dan biaya menyebabkan penelitian ini dibuat menjadi lebih sederhana. Kisaran tekanan dan penentuan waktu untuk masingmasing tahap penyulingan yang akan digunakan pada penelitian ini ditentukan berdasarkan trend laju recovery minyak hasil penelitian pendahuluan.
d. Penyulingan minyak akar wangi dengan tekanan dan laju alir uap bertahap (Penelitian Utama) Data-data kondisi operasi hasil penyulingan konstan pada penelitian pendahuluan dijadikan dasar untuk disain proses penyulingan pada tahap ini. Pada tahap ini dilakukan peningkatan tekanan dan laju alir uap secara bertahap selama 9 jam penyulingan.
27
Perlakuan-perlakuan yang dilakukan pada penelitian ini yaitu tekanan uap secara bertahap dan laju alir uap. Sedangkan laju alir uap yang akan digunakan yaitu 1 liter/jam/kg bahan, 1.5 liter/jam/kg bahan, dan 2 liter/jam/kg bahan. Rancangan perlakuan pada tahapan ini adalah sebagai berikut : V1
: Laju uap 1 liter/jam kg bahan.
V2
: Laju uap 1.5 liter/jam kg bahan.
V3
: Laju uap 2 liter/jam kg bahan.
V4
: Laju uap 1 liter/jam kg bahan ; laju uap 1.5 liter/jam kg bahan ; laju uap 2 liter/jam kg bahan (meningkat bertahap sesuai dengan peningkatan tekanan).
Pengaturan laju alir uap dilakukan dengan mengatur jumlah uap yang masuk ke ketel dan mengatur besar kecilnya bukaan katup pada leher angsa dekat kondensor. Pengecekan dilakukan dengan mengukur jumlah destilat yang yang keluar dari kondensor per satuan waktu. Pada setiap perlakuan dan kenaikan tekanan diamati kondisi operasi seperti suhu penyulingan, suhu destilat, laju distilat, tekanan boiler, dan lain-lain. Minyak akar wangi yang diperoleh dari setiap penyulingan dipisahkan menjadi tiga fraksi yaitu fraksi 1 (hasil tekanan 2 bar), fraksi 2 (hasil tekanan 2.5 bar), dan fraksi 3 (hasil tekanan 3 bar).
e. Menganalisis kualitas minyak akar wangi Semua sampel yang didapat (hasil penyulingan konstan dan bertahap) dianalisa sifat fisik dan kimia. Analisa sifat fisik dan kimia meliputi bobot jenis, indeks bias, putaran optik, kelarutan dalam etanol 95%, bilangan asam, bilangan ester dan bilangan ester setelah asetilasi. Prosedur analisa dimuat pada Lampiran 3.
f. Menganalisis distribusi komponen penyusun minyak akar wangi Penentuan komponen minyak akar wangi dilakukan melalui analisa GC MS (Gas Chromatohrapy Mass Spectrometry). Analisa ini dilakukan hanya pada sampel perlakuan tekanan bertahap dengan laju uap 2 liter/jam kg bahan dan perlakuan tekanan dan laju uap meningkat bertahap.
28
3.4. Pemodelan Kinetika Model kinetika penyulingan minyak akar wangi menggunakan model persamaan Milojevic et al. (2008). Nilai koefisien distilasi dihitung dari transformasi data recovery minyak menggunakan model eksponensial (Chapra & Canale 1991). Penentuan model hubungan antara parameter kinetik (koefisien distilasi) terhadap laju alir uap diperoleh dengan metode penyesuaian kurva kuadrat terkecil (least square curve fitting method) dengan menggunakan persamaan pangkat sederhana (power).
29
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Akar Wangi Karakteristik akar wangi hasil pengeringan dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Hasil karakterisasi akar wangi Perlakuan
Kadar Air (% bb)
Kadar Minyak (% bb)
P1 (1 bar)
10.0
3.8
P2 (2 bar)
8.4
3.5
P3 (3 bar)
8.3
3.1
V1 (1 l/j kg)
10.7
3.1
V2 (1,5 l/j kg)
10.0
3.0
V3 (2 l/j kg)
9.4
3.2
V4 (bertahap)
9.5
3.3
Dari Tabel 8, terlihat bahwa akar wangi yang digunakan pada penelitian ini memiliki kadar air berkisar antara 8-11%. Nilai ini menunjukkan bahwa akar wangi ini memiliki kadar air lebih rendah dibandingkan dengan kadar air akar wangi yang umum digunakan masyarakat dengan kondisi kebun yaitu sebesar 42%. Hanya sebagian kecil agroindustri penyulingan akar wangi di Garut yang memakai bahan baku akar wangi kering jemur hingga kadar air 15% (Indrawanto 2006). Pada penelitian ini, sebelum proses penyulingan dilakukan penjemuran selama ± 25 jam. Nilai hasil analisa kadar minyak pada Tabel 8 menunjukkan persentase kadar minyak yang terkandung di dalam akar wangi yang digunakan pada penelitian ini berkisar antara 3-4%. Perbedaan kadar air dan kadar minyak akar wangi yang digunakan pada penelitian ini mungkin disebabkan karena terjadi penguapan selama proses penyimpanan. 4.2. Penyulingan Minyak Akar Wangi dengan Tekanan Konstan Penyulingan minyak akar wangi selama 9 jam pada tiga tekanan berbeda yaitu 1, 2, dan 3 bar menghasilkan recovery minyak yang berbeda (Gambar 8). Peningkatan tekanan akan meningkatkan recovery minyak. Semakin tinggi
30
tekanan, maka recovery yang dihasilkan memiliki kecenderungan meningkat. Recovery minyak akar wangi pada tekanan 1, 2 dan 3 bar berturut-turut 78.31 %, 88.88 %, dan 90.37 %. Pada penggunaan tekanan 1 bar dihasilkan recovery minyak yang paling kecil (78.31%). Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan tekanan 1 bar pada penyulingan minyak akar wangi tidak efektif karena membutuhkan waktu yang sangat panjang untuk menghasilkan recovery yang sama dengan tekanan 2 dan 3 bar. Penggunaan tekanan 4 bar dapat merusak minyak karena dengan tekanan 4 bar temperatur jenuh uap mencapai 150 0C, sehingga ada kemungkinan minyak teroksidasi (Triharyo 2007). Oleh karena itu penelitian selanjutnya menggunakan tekanan 2-3 bar. 100
90.37%
90
88.88%
Akumulasi recovery (%)
80
78.31%
70 60
P1=1 bar P2=2 bar P3=3 bar
50 40 30 20 10 0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
Waktu (jam)
Gambar 8. Akumulasi recovery minyak terhadap waktu penyulingan Perbedaan recovery dari kenaikan tekanan disebabkan oleh jumlah minyak akar wangi dengan komponen bertitik didih tinggi lebih banyak yang ikut menguap. Suryatmi (2006) memperoleh rendemen 1%, 1.057%, dan 1.124% pada penyulingan dengan tekanan 1, 2, dan 3 atm selama 16 jam. Dari Gambar 8 dapat dilihat bahwa semakin lama waktu penyulingan, maka recovery yang dihasilkan semakin meningkat. Peningkatan paling cepat terjadi pada waktu 0-3 jam, lalu setelah itu kenaikannya cenderung sedikit. Waktu penyulingan akar wangi selama 9 jam diperkirakan sudah dapat mengeluarkan sebagian besar minyak, karena setelah 9 jam kenaikan recovery minyak sedikit dan tidak sebanding dengan jumlah bahan bakar yang dikeluarkan (tidak efisien).
31
Hasil penelitian Triharyo (2007) juga diperoleh pola yang sama untuk tekanan hingga 3 bar selama 24 jam. Peningkatan jumlah minyak yang signifikan terjadi pada 0-8 jam. Laju distilat yang keluar dari kondensor diasumsikan sama dengan laju uap yang masuk ke ketel suling. Hasil pengukuran laju alir pada setiap penyulingan dengan tekanan berbeda ditampilkan pada Gambar 9. Laju alir uap pada penyulingan dengan tekanan konstan 1, 2, dan 3 bar bervariasi dengan ratarata 2.8, 2.7, dan 2.4 l/j kg bahan. Secara umum, penggunaan tekanan yang lebih tinggi menghasilkan laju uap yang lebih rendah. Tanpa adanya alat kontrol, uap yang masuk ke ketel sangat tergantung kemampuan boiler dan pengaturan katup baik di boiler maupun kondensor. Guenther (1990) menyebutkan bahwa pada penyulingan dengan tekanan rendah mengakibatkan suhu proses yang rendah, tetapi membutuhkan jumlah uap yang lebih besar per satuan berat minyak sereh wangi yang dihasilkan. 3.5
Laju steam (l/j kg bhn)
3.0 2.5 2.0 1.5 1.0 1 bar
0.5
2 bar
3 bar
0.0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
Waktu (jam)
Gambar 9. Laju alir uap terhadap waktu pada penyulingan tekanan konstan Hukum
hidrodestilasi
menyebutkan
bahwa
peningkatan
suhu
mengakibatkan perbandingan jumlah air dan minyak menurun, yang berarti adanya peningkatan jumlah minyak. Guenther (1990) telah memperlihatkan pengaruh tekanan uap terhadap perbandingan air dan minyak pada penyulingan minyak sereh wangi dengan sistem penyulingan uap. Pada tekanan 152.2 mmHg perbandingan air dan minyak dalam destilat 6.6, sedangkan pada tekanan 1109.1 mmHg hanya 3.7.
32
Penggunaan laju alir uap yang lebih besar diduga dapat meningkatkan recovery minyak. Moestafa (1991) memperoleh rendemen 2.47% pada laju uap 600 gram uap/jam. Nilai ini lebih besar daripada penyulingan dengan laju uap 500 gram uap/jam yang menghasilkan rendemen 2.17%. Oleh karena itu penyulingan dengan perlakuan laju alir uap akan dilakukan pada penelitian ini.
4.3. Disain Proses Penyulingan Minyak Akar Wangi Hipotesa yang digunakan untuk memperbaiki performa penyulingan minyak akar wangi terkait efisiensi proses (energi dan biaya) adalah dengan meningkatkan tekanan secara bertahap selama penyulingan berlangsung. Peningkatan tekanan dimaksudkan untuk merusak kesetimbangan fase uap yang terjadi dalam ketel. Keadaan setimbang terjadi jika tekanan campuran uap air dan minyak sama dengan jumlah tekanan parsial masing-masing. Sesuai dengan hukum hidrodestilasi, pemberian tekanan uap air yang lebih besar akan menurunkan perbandingan berat air dan minyak dalam campuran. Pengeluaran minyak dari tanaman tergantung dari titik didih atau tekanan parsialnya. Guenther (1990) menyebutkan bahwa minyak atsiri terdiri dari berbagai komponen yang memiliki sifat berbeda. Titik didih komponen minyak berkisar antara 150-300 oC pada tekanan 1 atm. Pada awal pemanasan (suhu rendah), komponen minyak yang bertitik didih lebih rendah akan menguap lebih dahulu. Jika komponen minyak bertitik didih lebih tinggi dalam uap dominan dan jumlah uap minyak dalam fase uap mulai berkurang, maka suhu akan naik secara bertahap sampai mencapai suhu uap jenuh pada tekanan operasional (Guenther 1990). Penggunaan tekanan dan penentuan waktu untuk menaikkan tekanan didasarkan pada trend laju recovery minyak yang dihasilkan dari penyulingan dengan penggunaan tekanan konstan (1, 2, dan 3 bar). Recovery minyak untuk penyulingan pada semua tekanan 1, 2, dan 3 bar menunjukkan penurunan selama proses (Gambar 10). Penurunan recovery minyak terhadap lama penyulingan diduga akibat difusi antara uap dan minyak dari dalam bahan yang semakin lambat serta kandungan minyak dalam bahan yang terus berkurang.
33
30 25
1 bar 2 bar
2,5 bar
Recovery (%)
3 bar
20 15
3 bar
10
2 bar 5 0 1
2
3
4
5 6 Waktu (jam)
7
8
9
Gambar 10. Recovery minyak terhadap waktu penyulingan Penurunan recovery minyak dapat diperlihatkan dari kemiringan grafik (slope). Dari kemiringan garis dapat dibedakan atas 3 fase yaitu pada jam ke 0-2, 2-5, dan 5-9, dimana semakin lama penyulingan laju recovery minyak semakin kecil (Tabel 9). Fase penurunan recovery untuk masing-masing tekanan terjadi setelah jam ke 2 dan ke 5. Oleh karena itu fase ini menjadi patokan waktu untuk menaikkan tekanan. Pada penelitian selanjutnya pengamatan terhadap recovery diamati setelah 2, 5, dan 9 jam.
Tabel 9. Recovery minyak pada penyulingan tekanan konstan Tekanan
Recovery minyak (%) Jam ke 2-5 (3 jam) Jam ke 5-9 (4 jam) 30.9152 16.2236
1 bar
Jam ke 0-2 (2 jam) 31.1688
2 bar
43.8854
31.1662
13.8287
3 bar
49.2812
30.2373
10.8520
Telah dijelaskan sebelumnya, peningkatan tekanan akan memperkecil perbandingan antara jumlah air dan minyak yang berimplikasi pada penurunan perbandingan berat air dan minyak (hukum hidrodistilasi). Oleh karena itu, peningkatan tekanan dapat dilakukan untuk memperoleh berat minyak yang lebih banyak. Peningkatan tekanan secara bertahap dalam proses penyulingan minyak akar wangi diharapkan mampu menghasilkan recovery minyak yang tinggi
34
dengan mutu yang lebih baik serta waktu yang dibutuhkan lebih singkat, sehingga dapat mengurangi biaya produksi. Pada subbab sebelumnya telah ditetapkan bahwa penelitian utama menggunakan tekanan berkisar antara 2-3 bar. Dengan asumsi bahwa minyak akar wangi memiliki komponen dengan titik didih tinggi, sedang, dan rendah, maka penggunaan tekanan disesuaikan menjadi tiga tahap. Oleh karena itu tekanan yang digunakan adalah 2, 2.5, dan 3 bar. Sedangkan waktu untuk menaikkan tekanan adalah pada jam ke 2 dan ke 5.
4.4. Penyulingan dengan Peningkatan Tekanan Bertahap Tanpa Pengaturan Laju Alir Uap Minyak akar wangi yang dihasilkan dari penyulingan dengan peningkatan tekanan bertahap tanpa pengaturan laju alir uap memperlihatkan pola yang lebih baik dengan jumlah recovery yang lebih besar dibandingkan pada tekanan konstan 2 dan 3 bar. Akumulasi recovery minyak untuk penggunaan tekanan bertahap tanpa pengaturan laju alir uap yaitu 92,58%. Nilai ini lebih besar dibanding penyulingan konstan 2 dan 3 bar yaitu 88.88% dan 90.37%. 100
92.58% 90.37% 88.88%
Akumulasi recovery (%)
80
60
2 bar 3 bar Tek Bertahap
40
20
2 bar
2,5 bar
3 bar
0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
Waktu (jam)
Gambar 11. Recovery minyak tersuling pada tekanan bertahap tanpa pengaturan laju alir uap dan tekanan konstan Gambar 11 memperlihatkan bahwa peningkatan tekanan 2, 2.5, dan 3 bar secara bertahap mampu mendorong minyak keluar lebih banyak jika dibandingkan pada penggunaan tekanan konstan. Sakiah (2006) melakukan
35
penyulingan minyak pala dengan peningkatan tekanan 0, 0.5, dan 1.5 bar selama 10 jam dapat meningkatkan rendemen lebih tinggi (15.30% untuk biji pala dan 16.73% untuk fuli pala) dibandingkan dengan penyulingan pada penggunaan tekanan konstan 0 bar selama 10 jam (14.20% untuk biji pala dan 15.41% untuk fuli pala). Laju alir uap rata-rata yang diperoleh pada penyulingan tekanan bertahap tanpa pengaturan laju alir berkisar 2.4-3.0 l/j kg. Nilai ini lebih tinggi dibanding pada penyulingan dengan tekanan konstan 3 bar yaitu 2.2-2.6 l/j kg (Gambar 12). Hal ini dikarenakan laju uap yang masuk ke ketel ditentukan oleh kemampuan boiler untuk mensuplai uap. Pada perangkat penyulingan yang tidak dilengkapi dengan alat kontrol tekanan PRV (Pressure Reducing Valve), maka pengaturan tekanan ditentukan dari besar kecilnya bukaan valve pada kondensor. Pembukaan katup ini juga mempengaruhi laju alir uap yang masuk ke ketel.
3.5
Laju steam (l/j kg bhn)
3.0 2.5 2.0 1.5
2 bar
2,5 bar
3 bar
V =2.90
1.0 3 bar
Tek. Bertahap
V =2.71
0.5 V =2.69
0.0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
Waktu (jam)
Gambar 12. Laju alir uap terhadap waktu pada penyulingan tekanan bertahap tanpa pengaturan laju Recovery minyak yang tinggi akibat penggunaan laju uap yang lebih besar juga dihasilkan oleh Milojevic et al. (2008) pada biji juniper. Rendemen 1.42% diperoleh dari penyulingan biji juniper pada laju 11.7 ml/menit sedangkan pada laju 0.13 ml/menit diperoleh rendemen 0.65% (Milojevic et al. 2008).
36
4.5.
Penyulingan dengan Peningkatan Tekanan Bertahap dan Laju Alir Uap Konstan Penyulingan dengan tekanan bertahap menggunakan variasi laju alir uap
1, 1.5, dan 2 l/j kg bahan menghasilkan recovery minyak berbeda satu sama lain (Gambar 13). Penyulingan dengan laju alir uap 1 l/j kg bahan hanya mampu merecovery sekitar 76,60% minyak. Sementara recovery minyak pada laju 1,5 l/j kg dan 2 l/j kg bahan berturut-turut sebesar 83,05% dan 90,42%. Hasil ini menunjukkan bahwa penggunaan laju yang lebih tinggi (2 l/j kg bahan) dihasilkan recovery minyak yang lebih banyak dibandingkan dengan penggunaan laju yang lebih rendah. Menurut Guenther (1990), uap dengan kecepatan tinggi menimbulkan perbedaan tekanan dalam ketel suling, sehingga uap mencegah stagnasi pada bagian bahan yang padat. Oleh karena itu peningkatan laju alir uap akan mempercepat pengeluaran minyak dari dalam bahan tanaman (Deny 2001). 60
Recovery, %
2 bar
2,5 bar
3 bar
40
83.05% V1 = 1 l/j/kg
20
76.60%
V2 = 1.5 l/j/kg V3 = 2 l/j/kg
90.42%
0 0
2
4
6
8
10
Waktu, jam
Gambar 13. Recovery minyak pada penyulingan tekanan bertahap dengan laju alir uap konstan selama 9 jam. Penyulingan dengan peningkatan tekanan bertahap dan laju alir uap konstan yang bervariasi juga memberikan recovery minyak yang berbeda pada setiap tahapannya. Pada tekanan 2 dan 2,5 bar, penyulingan dengan menggunakan laju alir uap 2 l/j kg bahan masih menghasilkan jumlah minyak paling tinggi yaitu 39,58% dan 38,02%. Namun saat tekanan dinaikkan menjadi 3 bar, penggunaan laju uap 2 l/j kg bahan menghasilkan minyak paling sedikit (12,81%). Hal ini diduga minyak yang masih terkandung dalam bahan merupakan minyak yang
37
memiliki titik didih tinggi dengan jumlah yang semakin berkurang dan hampir habis. Hal yang menarik adalah recovery minyak pada penyulingan dengan laju 1.5 l/j kg yang lebih banyak daripada penyulingan dengan laju 1 l/j kg ketika tekanan dinaikkan menjadi 3 bar. Walaupun recovery minyak yang dihasilkan keduanya pada tekanan 2 dan 2.5 bar hampir sama, namun perbedaan laju uap yang digunakan dapat mendorong minyak keluar lebih banyak. Hasil kajian Moestafa et al. (1991) pada akar wangi juga menunjukkan bahwa penggunaan laju uap yang lebih besar menghasilkan minyak yang lebih banyak. Dimana penyulingan pada laju 0,6 kg uap/jam diperoleh minyak 2.47% dan pada laju penyulingan 0,5 kg uap/jam dihasilkan minyak 2.17%.
4.6. Penyulingan dengan Peningkatan Tekanan dan Laju Alir Uap Bertahap Penyulingan dengan peningkatan tekanan 2, 2.5, 3 bar dan laju alir uap 1, 1.5, 2 l/j kg bahan secara bertahap terhadap waktu juga dilakukan dalam penelitian ini. Recovery minyak terlihat terus meningkat dengan kenaikan tekanan dan laju alir uap (Gambar 14). Peningkatan tekanan yang berarti juga peningkatan suhu mampu mempercepat proses difusi minyak. Sedangkan peningkatan laju alir uap menjadikan proses ekstraksi berjalan sempurna. Recovery minyak yang dihasilkan pada perlakuan tekanan dan laju alir uap bertahap ini masih lebih kecil dibandingkan dengan perlakuan tekanan bertahap dengan laju alir uap konstan 2 l/j kg bahan. Perlakuan dengan laju alir uap konstan 2 l/j kg bahan mampu merecovery minyak hingga 90,42% sedangkan perlakuan laju bertahap ini hanya menghasilkan 73,03%. Diperkirakan jumlah minyak pada penyulingan dengan peningkatan tekanan dan laju alir uap bertahap masih dapat diperbesar hingga menyamai jumlah minyak pada perlakuan peningkatan tekanan bertahap dengan laju alir uap konstan 2 l/j kg bahan, tetapi diperlukan waktu yang lebih lama. Akantetapi penambahan waktu penyulingan membutuhkan energi yang lebih besar, sehingga biaya produksi untuk bahan bakar meningkat.
38
60
Recovery, %
2 bar
2,5 bar
3 bar 38.02
40 39.58
25.73 25.42
20
21.88
12.81 V4 = Bertahap V3 = 2 l/j/kg
0 0
2
4
6
8
10
Waktu, jam
Gambar 14. Recovery minyak pada tekanan dan laju alir uap bertahap Kajian Milojevic et al. (2008) terhadap biji juniper juga diperoleh hasil yang sama dimana rendemen minyak dari peningkatan laju alir uap 0.13 ml/menit menjadi 10 ml/menit secara bertahap (0.94 g minyak/100 g bahan) lebih rendah dibandingkan dengan rendemen minyak pada penyulingan dengan laju alir uap konstan 10 ml/menit (1.4 g minyak/100 g bahan).
4.7. Mutu Minyak Akar Wangi Hasil Penyulingan Tekanan Bertahap Setiap jenis minyak atsiri mempunyai sifat khas tersendiri. Sifat ini tergantung dari komponen senyawa penyusunnya. Sifat-sifat khas dan mutu minyak dapat berubah mulai dari minyak yang masih berada dalam bahan, selama proses ekstraksi, penyimpanan dan pemasaran (Ketaren 1985). Mutu minyak atsiri didasarkan atas kriteria atau batasan yang dituangkan dalam standar mutu.
Warna dan Aroma Warna merupakan salah satu parameter mutu yang menjadi salah satu pertimbangan konsumen minyak akar wangi. Umumnya warna yang bening lebih disukai dari pada warna yang gelap. Warna minyak hasil penyulingan bertahap lebih baik dibanding minyak hasil penyulingan tekanan konstan. Minyak yang dihasilkan pada fraksi 1 (tekanan 2 bar, jam ke 0-2) berwarna lebih muda yaitu kuning dan jernih. Minyak hasil fraksi 2 (tekanan 2.5 bar, jam ke 2-5) berwarna kuning kecoklatan, dan dari fraksi 3 (tekanan 3 bar, jam ke 5-9) berwarna coklat
39
kemerahan. Sementara minyak hasil penyulingan konstan 3 bar fraksi 1 terlihat lebih gelap. Minyak yang dihasilkan dari penyulingan tekanan bertahap (dengan maupun tanpa pengaturan laju alir uap), secara visual menunjukkan warna yang cenderung semakin gelap seiring dengan bertambahnya waktu penyulingan. Semua hasil yang diperoleh pada setiap fraksi masih memenuhi SNI. Perbedaan warna yang dihasilkan dari tiap-tiap fraksi diduga akibat perbedaan tekanan yang digunakan pada setiap fraksi. Peningkatan tekanan uap juga akan menaikkan suhu dalam ketel suling. Pada suhu yang tinggi ini komponen minyak yang memiliki titik didih tinggi berwarna kecoklatan. Selain itu, suhu yang tinggi juga dapat menyebabkan terjadinya proses browning dan reaksi polimerisasi yaitu kemungkinan rusaknya minyak (Brown dan Islip 1953) dan warna minyak menjadi lebih gelap. Penampilan visual warna minyak akar wangi masing-masing fraksi dapat dilihat pada Gambar 15. Warna minyak akar wangi dari semua penyulingan yang dilakukan pada penelitian ini, memberikan warna yang lebih baik jika dibandingkan dengan warna minyak dari penyulingan rakyat yaitu coklat kehitaman. Warna yang gelap ini memiliki kualitas yang rendah yang ditandai oleh kerusakan beberapa komponen (senyawa) minyak. Aroma minyak yang dihasilkan dalam penelitian ini khas akar wangi. Minyak akar wangi fraksi 3 beraroma lebih kuat dibandingkan minyak hasil fraksi 1 dan 2. Hasil analisa GC-MS menunjukkan persentase komponen α-vetivon dan β-vetivone (yang memberikan aroma khas akar wangi) pada fraksi 3 lebih tinggi dari fraksi 1 dan 2. Namun keseluruhan minyak dari semua perlakuan tidak berbau gosong seperti halnya minyak yang dihasilkan pada penyulingan rakyat.
F1
F2
F3
Penyulingan tekanan bertahap
Penyulingan rakyat
40
F1
F2
F3
Penyulingan tekanan 2 bar
F1
F2
F3
Penyulingan tekanan 3 bar
Gambar 15. Tampilan warna minyak akar wangi Bobot jenis, indeks bias, bilangan asam dan bilangan ester Berdasarkan SNI 2006 kisaran bobot jenis adalah 0.980–1.003. Untuk itu hanya minyak hasil fraksi 1 yang memenuhi standar (Gambar 16). Sementara fraksi 2 dan 3 dari setiap perlakuan berada di atas rentang tersebut. Fenomena ini sangat mungkin terjadi karena SNI melakukan uji terhadap seluruh minyak yang disuling dari awal hingga akhir, sementara pada penelitian ini sampel minyak diambil berdasarkan peningkatan tekanan yang terbagi menjadi 3 fraksi. Sedangkan nilai indeks bias minyak akar wangi hasil penyulingan tekanan bertahap memberikan nilai yang sesuai dengan kisaran standar yang telah ditetapkan SNI yaitu 1.520–1.530. Gambar 16a dan 16b memperlihatkan bahwa peningkatan tekanan uap pada setiap perlakuan meningkatkan nilai bobot jenis dan indeks bias. Peningkatan tekanan uap akan menyebabkan kenaikan suhu di dalam ketel yang berimplikasi pada peningkatan titih didih penguapan minyak. Komponen minyak yang bertitik didih rendah dapat menguap pada suhu yang rendah, begitupula sebaliknya komponen minyak yang bertitik didih tinggi menguap pada suhu yang tinggi. Bobot jenis dan indeks bias minyak berbanding lurus dengan titik didih komponen yang terdapat dalam minyak tersebut. Pada tekanan rendah, minyak yang tersuling umumnya memiliki titik didih yang rendah seperti monoterpen dan monoterpen-O yang mempunyai bobot jenis rendah. Pada tekanan tinggi komponen minyak yang bertitik didih tinggi seperti sesquiterpen dan sesquiterpen-O tersuling dan akan meningkatkan bobot jenis minyak. Menurut
41
Ketaren dan Djatmiko (1978) nilai indeks bias yang tinggi dapat disebabkan karena komponen-komponen terpen teroksigenasinya mengandung molekul berantai panjang dengan ikatan tak jenuh atau mengandung banyak gugus oksigen. Peningkatan nilai bobot jenis dan indeks bias minyak akar wangi ini juga dapat dideteksi melalui hasil analisa GC-MS. Komponen khusimene dan khusimone yang merupakan komponen dengan titik didih yang rendah dapat menguap pada fraksi 1 dan 2. Sedangkan pada fraksi 3 komponen ini sudah tidak keluar lagi. Kemungkinan disebabkan jumlah komponen tersebut dalam bahan telah semakin berkurang atau bahkan telah habis. Nilai bobot jenis dan indeks bias yang melampaui batasan SNI dan ISO mengindikasikan adanya zat pengotor maupun kerusakan pada komponen-komponen minyak. Standar mutu untuk bilangan asam minyak akar wangi berada pada kisaran 10–35 (SNI 2006). Namun nilai bilangan asam hasil penelitian berkisar antara 2.5–9.5. Nilai bilangan asam yang rendah ini dapat dikarenakan kondisi penyulingan yang cukup terkontrol, sehingga hidrolisis ester yang menjadi pemicu naiknya bilangan asam dapat diminimalkan. Jika dibandingkan dengan standar mutu internasional (ISO 2002), bilangan asam minyak akar wangi hasil penelitian masuk dalam kriteria yaitu maksimal 35. Ini berarti bahwa minyak yang dihasilkan dari penelitian ini tergolong cukup baik. Sementara nilai bilangan ester berkisar 4-20. Bilangan ester yang diperoleh dari minyak akar wangi hasil penyulingan tekanan bertahap secara umum berada dalam rentang nilai baik sesuai dengan SNI. Rata-rata dari ketiga fraksi, dihasilkan minyak akar wangi sesuai dengan standar baik SNI maupun ISO.
42
1.0500 1.0400
Bobot jenis
1.0300 1.0200
V1=1 l/j/kg V2=1.5 l/j/kg V3=2 l/j/kg V4=bertahap
1.0100 1.0000 0.9900 0.9800
2 bar
2,5 bar
3 bar
0.9700 0
2
4
6
8
10
Waktu, jam
(a) 1.5280 1.5270 Indeks bias
1.5260 1.5250 V1=1 l/j/kg V2=1.5 l/j/kg V3=2 l/j/kg V4=bertahap
1.5240 1.5230 1.5220
2 bar
1.5210
2,5 bar
3 bar
1.5200 0
2
4 6 Waktu, jam
8
10
(b) 10
Bilangan asam
8
6
V1=1 l/j/kg V2=1.5 l/j/kg V3=2 l/j/kg V4=bertahap
4
2
2 bar
2,5 bar
3 bar
0 0
2
4
6
8
10
Waktu, jam
(c) 25
2 bar
2,5 bar
3 bar
Bilanganester
20
15
10
V1=1 l/j/kg V2=1.5 l/j/kg V3=2 l/j/kg V4=bertahap
5
0 0
2
4
6
8
10
Waktu, jam
(d) Gambar 16. Mutu minyak akar wangi pada penyulingan tekanan bertahap (a) Bobot jenis; (b) Indeks bias; (c) Bil. asam; (d) Bil. ester
43
Gambar 16c dan 16d memperlihatkan bahwa peningkatan tekanan uap pada setiap perlakuan meningkatkan bilangan asam dan bilangan ester. Peningkatan tekanan mengakibatkan jumlah ester yang menguap meningkat serta terjadinya hidrolisa dari ester-ester seperti vetivenyl-vetivenat bereaksi dengan air sehingga membentuk asam dan alkohol (Hardjono et al. 1973). Rusli (1974) menyebutkan bahwa ester-ester yang terdapat dalam minyak atsiri merupakan fraksi berat yang menguap pada suhu tinggi. Penggunaan laju uap yang tinggi juga menghasilkan nilai bilangan asam dan ester yang tinggi pula. Hal ini menurut Milojevic et al. (2008) dikarenakan oleh transformasi hidrolisis persenyawaan minyak terhadap peningkatan jumlah air/uap.Laju uap yang rendah menyebabkan proses hidrodifusi berjalan kurang sempurna karena uap air yang kontak dengan bahan sedikit sehingga ester-ester yang memiliki berat molekul tinggi tidak dapat tersuling. Mutu minyak hasil penelitian ini dinilai lebih baik jika dibandingkan dengan minyak yang dihasilkan pada penyulingan rakyat. Nilai bobot jenis dan indeks bias hasil penyulingan rakyat masih memenuhi standar, namun nilai bilangan asam dan ester tidak terpenuhi (Tabel 10). Nilai bilangan asam minyak akar wangi hasil penyulingan rakyat berkisar antara 26–51 (Mulyono 2007). Sementara batasan standar mutu internasional untuk bilangan asam minyak akar wangi adalah maksimal 35. Bilangan asam yang tinggi umumnya menjadi tanda adanya penurunan mutu minyak. Penyebab kerusakan yang mengakibatkan nilai bilangan asam menjadi lebih tinggi adalah proses oksidasi golongan terpen menjadi asam rantai pendek dan proses hidrolisa ester yang mengubah komponen ester dalam minyak menjadi asam. Proses penyulingan yang lama (± 18 jam) yang biasa digunakan oleh masyarakat bisa menjadi salah satu pemicu terjadinya proses oksidasi dan hidrolisa.
44
Tabel 10. Perbandingan mutu minyak hasil penelitian dan penyulingan rakyat Parameter • Warna • Bobot jenis 20/20 oC • Indeks bias pada 20oC • Bilangan asam • Kelarutan dalam etanol 80 % pada 20oC • Bilangan ester • Vetiverol total (asetilasi) • Kadar vetiverol (GC)
Penelitian
Penyulingan Rakyat
Kuning – coklat kemerahan
Coklat tua / gelap
0,997 – 1,001 1,5228 – 1,5267 < 10
0,9882 – 0,9870 1,5178 – 1,5221 26,82 – 51,17
Standar Mutu Reunion Coklat merah kecoklatan 0,99 – 0,980 – 1,003 1,015 1,5220 – 1,520 – 1,530 1,5300
Indonesia Kuning muda coklat kemerahan
Haiti Coklat merah kecoklatan 0,986 – 0,998 1,521 – 1,526
10 - 35
Maks. 35
Maks. 14
1:1
1:1
1:1
Maks. 1 : 2
Maks. 1 : 2
4,86 – 20,69
3,17 – 17,82
5 – 26
5 - 16
5 – 16
46,01 – 70,28
-
Min 50
-
-
13,45 – 22,84
4,44 – 6,31
-
-
-
Sumber : Mulyono et al.(2007), SNI (2006), ISO (2002).
4.8. Distribusi Komponen Minyak Akar Wangi Komponen penyusun minyak akar wangi diidentifikasi dengan metode GC-MS. Analisa ini dilakukan untuk setiap fraksi pada minyak hasil penyulingan tekanan bertahap dengan laju alir uap 2 l/j kg bahan dan laju alir uap bertahap. Hasil yang diperoleh berupa dugaan komponen, waktu retensi, dan persen area komponen minyak akar wangi. Identifikasi komponen minyak akar wangi hasil GCMS ini berdasarkan pendugaan dengan menggunakan referensi data base WILEY275. Komposisi minyak akar wangi hasil penyulingan tekanan bertahap dengan laju alir uap 2 l/j kg bahan diperlihatkan pada Gambar 17. Sedangkan komposisi minyak akar wangi hasil penyulingan tekanan dan laju alir uap bertahap disajikan pada Gambar 18. Berdasarkan spektrum massa komponen-komponen minyak akar wangi, terdapat 8 komponen yang diduga sebagai sidik jari minyak akar wangi. Komponen-komponen tersebut antara lain: khusimene, khusimone, cyclopropan emethanol, 4-(1-cyclohexenyl)-2-trimethylsilylmethyl-1-buten-3-yne, beta gamma nootkatone, khusenic
acid,
4-fluoro-4’-methoxybiphenyl dan nootkatone.
Spektrum massa hasil GCMS dibandingkan dengan spektrum massa minyak akar wangi asal Garut pada penelitian Abraham (2002), komponen-komponen yang tersebut adalah : Cycloporopan emethanol sebagai trisiklovetiverol; 4-(1cyclohexenyl)-2-trimethylsilylmethyl-1-buten-3-yne
sebagai
β-vetivon;
beta
45
gamma nootkatone sebagai α-vetivone; dan 4-fluoro-4’-methoxybiphenyl sebagai vetiver alkohol. Secara umum Gambar 17 dan 18 menunjukkan bahwa komposisi komponen penyusun minyak akar wangi dipengaruhi oleh tekanan. Kedua gambar memperlihatkan kesamaan pola peak pada setiap fraksi. Peningkatan tekanan (gambar a, b, dan c) mengakibatkan peak dengan luas area besar bergeser ke kanan. Pergeseran pola peak antar fraksi menunjukkan komponen dengan waktu retensi rendah keluar lebih banyak pada tekanan rendah, begitupula sebaliknya. Waktu retensi pada gambar hasil GC MS menunjukkan titik didih setiap komponen. Sehingga komponen yang terdeteksi di awal memiliki titik didih lebih rendah daripada komponen yang terdeteksi di akhir. Tabel 11 menyajikan luas area masing-masing komponen dalam minyak akar wangi pada masing-masing fraksi. Tabel 11. Distribusi luas area GCMS minyak akar wangi Komponen Khusimene Khusimone Trisiklovetiverol β-vetivone α-vetivone Khusenic acid Vetiver alkohol Nootkatone
Titik didih (oC) 100 100 110 110 110 158 120
% Area V3 Fraksi 1 1,18 3,22 17,21 1,35 3,15 0,29 -
Fraksi 2 0,26 1,97 17,12 2,66 6,03 10,79 0,42 -
V4 Fraksi 3 13,45 2,60 7,29 34,45 0,70 1,73
Fraksi 1 1,27 16,84 1,11 2,65 3,25 -
Fraksi 2 0,51 2,14 22,84 2,45 5,16 8,51 -
Fraksi 3 16,76 2,43 5,92 31,15 0,99 1,59
46
3
1. Khusimene 2. Khusimone 3. Trisiklo vetiverol 4. β-vetivone 5. α-vetivone 6. Khusenic acid
2 5 1
4 6
(a) 3
1. Khusimene 2. Khusimone 3. Trisiklo vetiverol 4. β-vetivone 5. α-vetivone 6. Khusenic acid 7. Vetiver alkohol 5
4 6
2 1
7
(b) 3
6 5
3. Trisiklo vetiverol 4. β-vetivone 5. α-vetivone 6. Khusenic acid 7. Vetiver alkohol 8. Nootkatone
4
8 7
(c) Gambar 17. Hasil Gas Chromathography minyak akar wangi perlakuan V3 (a) fraksi 1(2 bar 2 jam); (b) fraksi 2 (2.5 bar 3 jam); (c) fraksi 3 (3 bar 4 jam)
47
3
1. Khusimene 3. Trisiklo vetiverol 4. β-vetivone 5. α-vetivone 6. Khusenic acid 5 1 4
6
(a) 3
1. Khusimene 2. Khusimone 3. Trisiklo vetiverol 4. β-vetivone 5. α-vetivone 6. Khusenic acid 5
4 6 2 1
(b) 3
6 5
3. Trisiklo vetiverol 4. β-vetivone 5. α-vetivone 6. Khusenic acid 7. Vetiver alkohol 8. Nootkatone
4
8 7
(c) Gambar 18. Hasil Gas Chromathography minyak akar wangi perlakuan V4 (a) fraksi 1(2 bar 2 jam); (b) fraksi 2 (2.5 bar 3 jam); (c) fraksi 3 (3 bar 4 jam)
48
4.9. Model Kinetika Penyulingan Minyak Akar Wangi Model yang digunakan pada penelitian ini adalah model persamaan kinetik untuk proses penyulingan minyak atsiri seperti yang dilakukan Milojevic (2008). Persamaan tersebut adalah : t = 0 ; q = qw
atau
q q = w = b qo qo
qo − q = (1 − b ) . e − kt qo
(4)
(5)
Atau
qo − q = ln (1 − b ) − kt (6) qo Yield minyak awal (qo) dalam bahan dan yield minyak pada waktu ln
tertentu (q) diambil dari hasil penelitian. Pengembangan model matematis untuk kinetika penyulingan minyak atsiri menggunakan mekanisme yang sama seperti pada isolasi bahan tanaman melalui ekstraksi pelarut. Berdasarkan mekanisme tersebut, penyulingan minyak akar wangi terdiri dari 2 tahap : (1) penyulingan cepat yaitu pelepasan minyak atsiri yang berada di sekitar permukaan luar bahan tanaman diawal proses. Pada kondisi ini koefisiennya (b) diartikan sebagai jumlah minyak yang terekstrak pada saat t = 0. (2) penyulingan lambat yaitu pelepasan minyak atsiri dari bagian dalam bahan menuju ke permukaan luar bahan. Koefisien distilasi pada penyulingan lambat (k) ini merupakan konstanta kinetika pada keseluruhan proses penyulingan. Nilai koefisien distilasi dihitung dari transformasi data menggunakan model eksponensial (Chapra & Canale 1991). Transformasi dilakukan dengan memplotkan kurva hubungan ln[(qo-q)/qo] terhadap waktu (persamaan 6).
49
0 0
2
4
6
8
10
ln [(qo-q)/qo]
-0.5 -1 -1.5 -2
V1
V2
V3
-2.5
Waktu (jam)
Gambar 19. Kinetika penyulingan minyak akar wangi Nilai koefisien distilasi, k, merupakan kemiringan (slope) kurva, sedangkan nilai koefisien distilasi b, merupakan perpotongan (intercept) kurva. Nilai koefisien yang dihasilkan dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12. Nilai koefisien distilasi Perlakuan
k (s-1)
b (1)
R2
V1
1 l/j kg
0,1629
0,0158
0,9988
V2
1,5 l/j kg
0,1911
0,0224
0,9971
V3
2 l/j kg
0,2369
0,0450
0,9855
Nilai koefisien distilasi meningkat seiring dengan peningkatan laju alir uap. Nilai koefisien k lebih besar daripada koefisien b. Hal ini menyatakan bahwa laju alir uap lebih besar pengaruhnya terhadap koefisien k dari pada koefisien b. Artinya peningkatan laju alir uap pada proses penyulingan lebih berperan pada proses pelepasan minyak yang terdapat dari dalam bahan menuju ke permukaan bahan dan bukan pada pelepasan minyak yang ada di dekat permukaan bahan. Penentuan model hubungan antara parameter kinetik (koefisien distilasi) terhadap laju alir uap diperoleh dengan metode penyesuaian kurva kuadrat terkecil (least square curve fitting method) dengan menggunakan persamaan pangkat sederhana (power). Plot masing-masing nilai koefisien distilasi terhadap laju alir uap disajikan pada Gambar 20.
50
0.050
0.25
0.040
0.20
0.030
k
b
0.15 0.10
0.020
0.05
0.010
0.00
0.000 0
0.5
1
1.5
2
2.5
0
0.5
1
1.5
2
2.5
Laju
Laju
Gambar 20. Plot nilai koefisien distilasi terhadap laju alir uap Berdasarkan Gambar 20, maka model persamaan matematis untuk masing-masing parameter kinetik disajikan pada Tabel 13. Penelitian mengenai model persamaan kinetika pada penyulingan biji juniper dengan menggunakan tekanan konstan juga dilakukan oleh Milojevic (2008). Model persamaan yang dihasilkan juga disajikan pada Tabel 13. Tabel 13. Model matematis untuk parameter kinetika penyulingan Penelitian
Koefisien distilasi
R2
Keterangan proses
Milojevic (2008)
k = 0.984 V0.532
0,995
• Tekanan konstan
0.167
0,946
• Laju konstan
0.530
0,967
• Tekanan bertahap
.446
0,920
• Laju konstan
b = 0.871 V Tutuarima (2009)
k = 0.840 V
b = 0.985 V1
Masing-masing persamaan pada Tabel 13 memperlihatkan ada sedikit perbedaan yang dihasilkan dari kedua penelitian tersebut. Pada penelitian Milojevic (2008) nilai k lebih besar daripada nilai b. Ini berbanding terbalik dengan penelitian ini yang menghasilkan nilai k yang lebih kecil daripada nilai b. Nilai k yang besar berarti kinetika yang terjadi selama proses penyulingan berjalan cepat. Pada penelitian Milojevic (2008) penyulingan dilakukan terhadap biji jintan yang telah dihancurkan/bubuk (comminuted ripe juniper berries). Guenther (1990) menyebutkan bahwa penyulingan bahan tanaman dengan ukuran yang lebih kecil mempermudah proses hidrodifusi. Hal ini berarti bahan tanaman dengan ukuran yang lebih kecil lebih mudah menguap daripada bahan dalam keadaan utuh. Sementara pada penelitian ini bahan akar wangi juga telah
51
diperkecil. Namun jika dibandingkan dengan ukuran bubuk juniper, maka ukuran ini masih lebih besar. Perbedaaan ukuran bahan yang disuling inilah yang diduga menjadi penyebab terjadinya perbedaan konstanta kinetika. Percobaan dengan peningkatan laju alir uap secara bertahap pada periode waktu tertentu selama proses penyulingan juga dilakukan pada penelitian ini. Peningkatan laju alir uap secara bertahap tidak mampu memberikan jumlah minyak yang lebih tinggi dari pada minyak yang dihasilkan dengan menggunakan laju alir uap konstan yang tertinggi, dalam hal ini 2 l/j kg bahan (lihat Gambar 14). Nilai koefisien distilasi dari kedua parameter untuk penyulingan dengan laju alir uap bertahap (k = 0,1336 min-1; b = 0,0214) lebih rendah daripada nilai koefisien parameter kinetika pada penyulingan dengan laju alir uap konstan tertinggi. Oleh karena itu diduga laju alir uap yang rendah pada awal penyulingan tidak cukup mampu membebaskan seluruh minyak dari akar wangi. Model persamaan kinetika penyulingan minyak akar wangi yang dihasilkan pada Tabel 13, diujicobakan pada percobaan penyulingan dengan peningkatan laju alir uap secara bertahap. Hasil perhitungan dari persamaan kinetika dibandingkan dengan hasil percobaan (Gambar 21). 0.04 0.03
0.029
q , g /g
0.021
0.024
0.02 0.016
0.009 0.01
q hit
0.007
q perc
0.00 0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Waktu, jam
Gambar 21. Perbandingan konsentrasi minyak hasil percobaan dan hasil prediksi model pada V = bertahap. Gambar 21 menunjukkan adanya perbedaan antara konsentrasi minyak hasil percobaan dengan hasil perhitungan. Konsentrasi minyak hasil percobaan lebih kecil dibandingkan dengan hasil perhitungan, tetapi keduanya menunjukkan
52
pola kedekatan nilai yang cukup baik. Peningkatan laju alir uap dan penambahan waktu penyulingan memperbesar perbedaan nilai hasil perhitungan dan percobaan. Perbedaan konsentrasi minyak antara hasil perhitungan dan percobaan tidak terlalu besar dan masih dapat ditoleransi, hanya berkisar antar 0.002–0.005 g/g minyak. Perbedaan ini diduga akibat terjadinya kendala teknis selama penyulingan seperti terjadinya kondensasi uap dalam ketel suling yang mengakibatkan minyak yang telah dibawa uap tidak terpisah, beberapa komponen minyak yang larut dan teremulsi ke dalam air destilat serta faktor-faktor luar yang diabaikan saat melakukan perhitungan.
53
V. KESIMPULAN 5.1. Kesimpulan 1. Tekanan uap pada ketel suling yang berbeda mempengaruhi kinerja proses penyulingan. Penyulingan minyak akar wangi dengan tekanan uap konstan 1 bar terbukti tidak efektif, sedangkan tekanan uap konstan 3 bar mampu menghasilkan recovery yang tinggi dengan mutu yang baik. Penggunaan peningkatan tekanan uap bertahap (2, 2.5, 3 bar) menghasilkan kinerja recovery sebesar 92.58%, sedikit lebih tinggi dari tekanan konstan 3 bar yaitu 90.37%. 2. Laju alir uap signifikan menentukan kinerja recovery proses penyulingan. Peningkatan laju alir uap selama proses mampu meningkatkan kinerja recovery penyulingan. Namun secara keseluruhan, laju alir uap konstan tertinggi 2 l/j kg bahan memberikan kinerja recovery lebih baik. 3. Penggunaan peningkatan tekanan uap secara bertahap sampai dengan 3 bar dan laju alir uap 2 l/j kg bahan memberikan kinerja recovery tinggi dengan mutu sesuai dengan standar SNI dan ISO. 4. Penggunaan tekanan bertahap sampai dengan 3 bar dapat menghasilkan fraksi minyak akar wangi dengan komposisi komponen sesuai dengan kelompok titik didihnya. Komponen minyak akar wangi khusimene, khusimone keluar pada tekanan 2 dan 2.5 bar; α-vetivone, β-vetivon, dan khusenic acid keluar pada ketiga tahapan dengan persentase semakin besar pada tekanan 3 bar. 5. Kinetika untuk penyulingan minyak akar wangi dapat diprediksi menggunakan persamaan model kinetika ekstraksi pelarut. Persamaan parameter kinetika yang diperoleh adalah k = 0.840 V0.530.
5.2. Saran Penelitian yang telah dilakukan ini memiliki banyak tujuan antara lain mendapatkan recovery yang tinggi, mutu yang baik, penggunaan waktu yang singkat dan energi yang lebih sedikit. Oleh karena itu penyulingan dengan menggunakan tekanan bertahap pada proses penyulingan minyak akar wangi akan
54
sangat membantu baik dari segi biaya dan waktu. Namun sebelum diaplikasikan ke skala yang lebih besar perlu dilakukan : 1. Penelitian lanjutan dengan fokus utama optimasi parameter-parameter kondisi proses yang telah digunakan. Hasil optimasi ini untuk mendapatkan kondisi operasi yang optimum. 2. Penelitian lanjutan mengenai laju alir uap yang lebih dari 2 liter/jam/kg bahan serta pengaruhnya terhadap jumlah minyak yang dapat direcovery. Ini bertujuan untuk batas penggunaan laju alir uap maksimum yang dapat meningkatkan recovery.
55
DAFTAR PUSTAKA Abraham. 2002. Telaah Komponen Volatil Akar Wangi (Vetiveria zizanoides (L) Nash ex Small) Liar Asal Bone secara Kromatografi Gas–Spektrometri Massa [tesis]. Bandung : Program Pascasarjana, Universitas Padjajaran. Adams RP., Sanko Nguyen, Dennis A. Johnston, Sunghun Park, Tony L. Provin, Mitiku Habte. 2008. Comparison of vetiver root essential oils from cleansed (bacteria- and fungus-free) vs. non-cleansed (normal) vetiver plants. Biochemical Systematics and Ecology 36:177-182 Aggarwal A, Singh A, Kahol AP, Singh M. 1998. Parameters of Vetiver Oil Distillation. J.Herbs Spices & Med.Plants. 6(2):55-61 Akhila A, Mumkum R. 2002. Chemical Constituents and Essential Oil Biogenesis in Vetiveria Zizaniodes. Didalam Massimo Maffei. Vetiveria : The Genus Vetiveria. New York : Taylor and Francs Ind.. Anonim. 2009. Wikipedia : Ensiklopedia Bebas. http://id.wikipedia.org/wiki/ [26 Agustus 2009] Atkins PW. 1999. Kimia Fisika Jilid 1 Ed ke-4. Kartohadiprodjo II, penerjemah; Rohhadyan T & Hadiyana K, editor. Jakarta: Erlangga. Terjemahan dari: Physical Chemistry. Azlina N. 2005. Study of Important Parameters Affecting The Hydro-Distillation for Ginger Oil Production [thesis]. Malaysia : Faculty of Chemical and Natural Resources Engineering, University Teknology Malaysia. [BPS] Biro Pusat Statistik. 2005. Statistik Perdagangan Luar Negeri Indonesia. Jakarta : Biro Pusat Statistik. Brown E, Islip HT. 1953. Stills for Essential Oil: Colonial Plant and Animal Product. 3:287-319; di dalam Monograf Nilam. 1998. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Bogor Cazaussus A, Pes A, Sellier N, Tabet JC. 1988. GC-MS and GC-MS-MS Analysis of a Complex Essential Oil. Chromatographia 25(10) : 865 - 869. Chapra SC, Raymond P Canale. 1991. Metode Numerik untuk Teknik. Sardy S, penerjemah. Jakarta : UI Press. Terjemahan dari : Numerical Methods for Engineers. Dahlan D. 1989. Model Matematik Pengaruh Tekanan Uap Terhadap Rendemen Penyulingan Minyak Nilam [tesis]. Bogor : Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
56
Denny E F K (Tim). 2001. Field Distillation for Herbaceous Oils Third Edition. Tasmania, Australia : Denny, McKenzie Associates. Dethier M, Sakubu S, Ciza A, Cordier Y. 1997. Aromatic Plants of Tropical Central Africa. XXVIII. Influence of Cultural Treatment and Harvest Time on Vetiver Oil Quality in Burundi. J. Essent.Oil. (9) : 447-451 Earle RL. 1982. Satuan Operasi Dalam Pengolahan Pangan. Nasution Z, penerjemah. Jakarta: Sastra Hudaya. Terjemahan dari: Unit Operation in Food Processing. Feryanto. 2007. Garut : The Land of Vetiver. http://ferry-atsiri.blogspot.com/2007 /12/garut-land-of-vetiver.html [6 April 2008]. Geankoplis CJ. 1983. Transport Processes and Separation Prosess Principles (Includes Unit Operations) Fourth Edition. New York : Prentice Hall. Guenther. 1990. Minyak Atsiri Jilid I dan IVA. Semangat Ketaren, penerjemah. Jakarta : Universitas Indonesia Press. Terjemahan dari : The Essential Oils. Hardjono, Rusli S, Deswert RJ. 1973. Cara-cara Penyulingan Mempengaruhi Rendemen dan Kwalitas Minyak Akar Wangi. Pemberitaan LPTI 15 – 16 : 39 – 47. Heldman DR, Singh RP. 1980. Food Process Engineering Second Edition. Westport, Connecticut : AVI Publishing Company, INC. Heyne K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia Jilid 1. Jakarta : Balitbang Kehutanan. Indrawanto. 2006. Analisis Finansial Agroindustri Penyulingan Akar Wangi di Kabupaten Garut, Jawa Barat. Buletin Perkembangan Teknologi Tanaman Rempah dan Obat. Vol XVIII (2) : 78 - 83 [ISO] International Organization for Standardization 4716 : 2002. Oil of vetiver (Vetiveria zizanioides (Linnaeus) Nash). http://www.iso.org/iso/iso_ catalogue/catalogue_tc/catalogue_detail.htm?csnumber=28587 [15 April 2008]. Kardinan A. 2005. Tanaman Penghasil Minyak Atsiri. Jakarta : Agromedia Pustaka. Ketaren S, Djatmiko B. 1978. Minyak Atsiri Bersumber dari Batang dan Akar. Departemen Teknologi Hasil Pertanian. Bogor : FATEMETA, IPB Ketaren S. 1985. Pengantar Teknologi Minyak Atsiri. Jakarta : Balai Pustaka.
57
Lavania UC. 1988. Enhanced Productivity of The Essential Oil in The Artificial Autopolyploid of Vetiver (Vetiveria zizaniodes L. Nash). Euphytica 38: 271 – 276. Lavania UC, Surochita Basu, Seshu Lavania. 2008. Towards Bio-Efficient And Non-Invasive Vetiver : Lessons From Genomic Manipulation And Chromosomal Characterization. http://www.vetiver.org/ICV4pdfs /EB02.pdf [23 Agustus 2009] Lestari RSE. 1993. Pengaruh Tekanan Uap dalam Proses Distilasi Terhadap Rendemen Minyak Sereh Wangi (Andropogon nardus) [tesis]. Bogor : Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Lutony TL, Yeyet R. 1999. Produksi dan Perdagangan Minyak Atsiri. Jakarta : Penebar Swadaya. Luu TD. 2007. Development of Process for Purification of α dan β-vetivone from Vetiver Essential Oil & Investigation of Effect of Heavy Metals on Quality and Quantity of Extracted Vetiver Oil. Thesis. University of New South Wales. Sydney. http://www.vetiver.org/AUS_Research%20 Proposal%20vet%20oil.pdf. [15 Juli 2007]. Marshall JA. 1967. The Vetivane Sesquiterpenes. J. Am. Chem. Soc. 89: 2748 – 2750. Martinez J, Paulo TV, Chantal M, Alain L, Pierre B, Dominique P, Angela AM. 2004. Valorization of Brazilian Vetiver (Vetiveria zizanoides (L) Nash ex Small) Oil. J. Agr and Food Chem. 52 : 6578 – 6584. Milojevic S, Stojanovic T, Palic R, Lazic M, Veljkovic V. 2008. Kinetics of Distillation of Essential Oil from Comminuted Ripe Juniper (Juniperus communis L) berries. Biochem. Eng. J. 39:547-553. Moestafa A, Sumarsi, Lestari D. 1998. Pengaruh Ukuran Bahan dan Lama Penyulingan Terhadap Yield dan Karakteristik Minyak Jeruk Purut (Citrus hystrix DC). Warta IHP 13 (1-2) : 25 – 29. Moestafa A, Waspodo P, Hakim S. 1991. Pengaruh Lama dan Kecepatan Penyulingan Terhadap Kadar Minyak dan Vetiverol Akar Wangi. Warta IHP 8 (2) : 11 – 15. Moestafa, A. 1991. Pengaruh Lama dan Kecepatan Penyulingan terhadap Kadar Minyak dan Vetiverol Akar Wangi. Warta IHP Vol. 8 (2) : 11 – 15 Mulyono E, Risfaheri, Hernani, Tatang H, Sari IK, Wisnu B, Meika SR, Ketaren, Hari S. 2007. Laporan Akhir Penelitian Perbaikan Mutu dan Efisiensi Penyulingan Minyak Akar Wangi. Bali Besar Penelitian dan Pascapanen Pertanian. Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. [Tidak dipublikasi].
58
Oyen, Dung NX. 1999. Plant Resources of Shouth East Asia (PROSEA) 19 Essential Oil Plant. Bogor: Backhoys Publisher, Leider the Netherland. PT Djasula Wangi. 2006. Akar Wangi (Vetiver). Di dalam : Menuju IKM Minyak Atsiri Berdaya Saing Tinggi. Prosiding Konferensi Nasional Minyak Atsiri 2006 Vol. 2; Solo, 18 – 20 Sept 2006. Jakarta : Direktorat Industri Kimia dan Bahan Bangunan Dirjen IKM Departemen Perindustrian RI. hlm 44 – 46. Risfaheri dan Edi, M. 2006. Standar Proses Produksi Minyak Atsiri. Di dalam : Menuju IKM Minyak Atsiri Berdaya Saing Tinggi. Prosiding Konferensi Nasional Minyak Atsiri 2006 Vol. 1; Solo, 18 – 20 Sept 2006. Jakarta : Direktorat Industri Kimia dan Bahan Bangunan Dirjen IKM Departemen Perindustrian RI. hlm 68 – 80. Rusli S, Anggraeni. 1999. Pengaruh Tekanan Uap dan Lama Penyulingan Terhadap Rendemen dan Mutu Minyak Akar Wangi. Buletin Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Vol. X (1) : 25 – 32 Rusli S. 1985. Penelitian dan Pengembangan Minyak Atsiri Indonesia. Edisi Khusus 2. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Bogor Sakiah S. 2006. Modifikasi Proses Penyulingan dengan Variasi Tekanan Uap Untuk Memperbaiki Karakteristik Aroma Minyak Pala [tesis]. Bogor : Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Santoso HB. 1993. Akar Wangi Bertanam dan Penyulingan. Yogyakarta : Kanisius. Sastrohamidjojo H. 2004. Kimia Minyak Atsiri. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Setiadji, Tamtarini. 2006. Mempelajari Pengaruh Metode dan Lama Penyulingan Terhadap Rendemen dan Kualitas Minyak Nilam. Di dalam : Menuju IKM Minyak Atsiri Berdaya Saing Tinggi. Prosiding Konferensi Nasional Minyak Atsiri 2006 Vol. 2; Solo, 18 – 20 Sept 2006. Jakarta : Direktorat Industri Kimia dan Bahan Bangunan Dirjen IKM Departemen Perindustrian RI. hlm 128 – 134. Shibamoto T, Nishimura O. 1982. Isolation and Identidication of Phenols in Oil of Vetiver. Phytochemistry. 21(3):793 [SNI] Standar Nasional Indonesia 06- 2386-2006. Minyak Akar Wangi. http://www.bsn.or.id/files/sni/SNI%2001-2386-2006%20_akar%20 wangi_.pdf [10 Februari 2008].
59
Sudibyo A. 1989. Pengaruh Lama Penyulingan dan Penghancuran Biji Jintan (Cuminum Cyminum L.) Terhadap Rendemen dan Sifat Fisiko Kimia Minyak Atsiri yang Dihasilkan. Warta IHP Vol. 6 (1) : 1 – 4. Suryatmi RD, Henanto H, Purwanto W, Wibowo T. 2006. Teknologi Proses Produksi Minyak Atsiri Mutu Tinggi. Di dalam : Menuju IKM Minyak Atsiri Berdaya Saing Tinggi. Prosiding Konferensi Nasional Minyak Atsiri 2006 Vol. 1; Solo, 18 – 20 Sept 2006. Jakarta : Direktorat Industri Kimia dan Bahan Bangunan Dirjen IKM Departemen Perindustrian RI. hlm : 150 – 158. Suryatmi RD. 2006. Kajian Variasi Tekanan pada Penyulingan Minyak Akar Wangi Skala Laboratorium. Di dalam : Menuju IKM Minyak Atsiri Berdaya Saing Tinggi. Prosiding Konferensi Nasional Minyak Atsiri 2006 Vol. 1; Solo, 18 – 20 Sept 2006. Jakarta : Direktorat Industri Kimia dan Bahan Bangunan Dirjen IKM Departemen Perindustrian RI. hlm : 173 – 177. Triharyo. 2007. Solusi Untuk Industri Penyulingan Akar Wangi dengan Menggunakan Energi Panas Bumi. http://www.triharyo.com/dl_jump. php?id=11 [6 April 2008]. Weyerstahl P, Helga M, Ute S, Dietmar W, Horst S. 2000. Constituent of Haitian Vetiver Oil. Flavour Fragr. J. 15 : 395-412 Wibowo TY, Suryatmi RD, Meika SR, Imelda HS. 2008. Kajian Proses Penyulingan Uap Minyak Jintan Putih. Jurnal Teknologi Industri Pertanian Vol 17 (3) : 89-96
60
61
Lampiran 1. Daftar Istilah dan Simbol
A. Istilah Boiler
: alat untuk menghasilkan uap air, yang akan digunakan untuk pemanasan.
Ketel suling
: alat yang berfungsi sebagai wadah tempat air dan atau uap untuk mengadakan kontak dengan bahan serta menguapkan minyak atsiri
Kondensor
: alat pendingin yang berfungsi untuk mengubah seluruh uap air dan uap minyak menjadi fase cair
Separator
: alat yang berfungsi untuk menampung distilat dan memisahkan minyak dari air suling
Laju distilasi
: nilai perbandingan antara jumlah air suling dengan waktu (jumlah air yang disuling tiap jam)
Laju alir uap` : nilai perbandingan antara jumlah uap air dari boiler yang masuk ke ketel suling terhadap waktu (jumlah uap yang masuk tiap jam) Recovery
: jumlah minyak yang dapat dikeluarkan dari keseluruhan minyak yang terkandung dalam bahan tanaman
Rendemen
: jumlah minyak yang dihasilkan pada proses penyulingan persatuan bahan
Tekanan
: satuan fisika untuk menyatakan gaya (F) per satuan luas (A).
Tekanan uap
: tekanan suatu uap pada kesetimbangan dengan fase bukan uapnya
B. Simbol P = tekanan Konversi satuan : 1 bar = 0.9869 atm = 1.0197 kg/cm2 1 bar = 100 kPa V = laju alir uap; ml/menit, l/jam t
= waktu penyulingan; menit, jam
T = suhu penyulingan; oC
= 750.0617 mmHg
62
Lampiran 2. Prosedur Analisa Kadar Air dan Kadar Minyak a. Penentuan Kadar Air (SNI 01-3181-1992) Ruang lingkup Metoda ini digunakan untuk penentuan kadar air dari bumbu dan rempahrempah. Definisi Yang dimaksud dengan kadar air adalah banyaknya air, dinyatakan dalam presentasi massa yang disuling dan dikumpulkan sesuai dengan metoda yang diuraikan. Prinsip Penentuan banyaknya air yang dipisahkan dengan cara destilasi dengan bantuan suatu cairan organik yang tidak bercampur dengan air, dan yang dikumpulkan dalam sebuah tabung ukuran. Bahan-Bahan Kimia Toluena. Jenuhkan toluena dengan mengocoknya dengan sejumlah kecil air dan sulinglah. Gunakan destilat ini untuk penentuan kadar air. Peralatan 1. Alat penyulingan terdiri atas bagian-bagian di bawah ini dipasang bersama-sama dengan menggunakan sambungan-sambungan kaca asah : a. Labu leher pendek, paling sedikit berkapasitas 500 ml. b. Pendingin refluks. c. Penampung dengan tabung berukuran, ditempatkan diantara labu dan pendingin, 2. Neraca Analitik Pengambilan Cuplikan Lakukanlah pengambilan cuplikan bahan dengan menggunakan metoda seperti diuraikan dalam Rekomendasi ISO R 984 Spices and Condiments sampling.
63
Cara Kerja 1. Persiapan alat. Seluruh alat dibersihkan dengan larutan pencuci kalium dikhromat-asam sulfat untuk memperkecil kemungkinan melekatnya tetes-tetes kecil air pada sisi-sisi pendingin dan penampung. Bilaslah dengan air secara baik dan keringkan dengan sempurna sebelum alat tersebut digunakan. 2. Penbuatan cuplikan untuk pengujian. Buatlah cuplikan seperti diuraikan dalam Rekomendasi ISO R 984 Spices and Condiments - Preparation of Sample for Test. 3. Cuplikan yang diperiksa. Timbanglah mendekati 0.01 kira-kira cuplikan yang telah dibuat untuk pengujian, sedemikian rupa sehingga banyaknva air yang diukur tidak akan rnelebihi 4,5 ml. 4. Penentuan. Pindahkan secara kuantitatip cuplikan yang diperiksa ke dalam labu destilasi dengan toluene, tambahkan toluena secukupnya (kira-kita 75 ml) untuk menutupi cuplikan itu seluruhnya, dan kocoklah perlahan-lahan untuk mencampurnya. Pasanglah alat dan isilah penampung dengan pelarut dengan cara menuangkannya melalui pendingin sampai mulai meluap ke dalam labu destiIasi. Bila perlu sisipkanlah sumbat kapas yang longgar dibagian atas pendingin atau pasanglah sebuah tabung pengering kecil berisi kalsium klorida untuk mencegah pengembunan uap air dari udara di dalam tabung pendingin. Agar refluks dapat diatur, selubungilah labu dan tabung yang menuju ke penampung dengan kain asbes. Panaskanlah labu sedemikian rupa sehingga kecepatan destilasi adalah kira-kira 100 tetes per menit. Bila sebagian besar air telah tersuling, naikkanlah kecepatan destilasi sampai kira-kira 200 tetes per menit dan teruskanlah hingga tidak ada lagi air yang tertampung. Sekali-sekali bersihkan dinding sebelah dalam dari pendingin refluks dengan 5 ml toluena selama destilasi berlangsung untuk membilas air yang mungkin melekat pada dinding pendingin. Air dalam penampung dapat dipaksa untuk memisah dari toluene dengan sekali-
64
sekali menggunakan sebuah spiral kawat tembaga turun naik dalam pendingin dan penampung, sehingga air mengendap pada dasar penampung. Reflukslah hingga tinggi air dalam penampung tetap tidak berubah selama 30 menit dan hentukanlah sumber panas. Bilaslah pendingin dengan toluena bila diperlukan, dan gunakanlah spiral kawat tembaga untuk melepaskan tetes-tetes air yang ada. Celupkanlah penampung ke dalam air pada suhu kamar paling sedikit selama 15 menit atau sampai lapisan toluena menjadi jernih, dan kemudian bacalah volume air. Cara Menyatakan Hasil Kadar air dalam persentase massa sama dengan :
Kadar air =
100 V M
dimana : V
: adalah volume, dalam milliliter air yang ditampung.
M
: adalah massa, dalam gram. cuplikan yang diperiksa.
Dianggap bahwa rapat massa air tepat 1 g/ml.
b. Penentuan Kadar Minyak (SNI 01-0025-1987) Ruang lingkup Metoda ini digunakan untuk menentukan kadar minyak atsiri pada bumbu dan rempah-rempah. Definisi Kadar minyak atsiri adalah kandungan minyak yang dihasilkan dari bagian tanaman, bersifat mudah menguap pada suhu kamar, berbau wangi khas tidak larut dalam air tetapi larut dalam bahan organik. Prinsip metode Contoh dipotong-potong kecil, dimasukkan ke dalam labu didih. Tambahkan air dan didihkan. Selanjutnya labu didih disambung dengan alat destilasi “Dean – Stark”.
65
Bahan kimia 1. Aquadest 2. Bumbu dan rempah-rempah Peralatan 1. Timbangan analitik 2. Labu didih berkapasitas 1 liter 3. Alat destilasi “Dean – Stark” Cara kerja 1. Timbanglah dengan teliti mendekati 1 gram, kira-kira 35 – 40 gram cuplikan yang telah dipotong kecil-kecil sebelumnya dan masukkan ke dalam labu didih. 2. Tambahkan air sampai seluruh cuplikan terendam dan tambahkan kedalamnya sejumlah batu didih. Contoh dipotong-potong kecil, dimasukkan kedalam batu didih. Tambahkan air dan didihkan. Selanjutnya labu didih disambung dengan alat destilasi “Dean – Stark”. 3. Sambunglah labu didih dengan alat “Dean – Stark” sehingga dapat digunakan untuk pekerjaan destilasi dan panaskanlah labu didih tersebut beserta isinya. Penyulingan dihentikan bila tidak ada lagi butir-butir minyak yang menetes bersama-sama air atau bila volume minyak dalam penampung tidak berubah selama beberapa waktu.
Cara Menyatakan Hasil Kadar minyak atsiri
dapat ditentukan berdasarkan perhitungan sebagai
berikut : Kadar min yak atsiri (%) =
ml min yak yang dibaca × 100 berat cuplikan (1 − kadar air )
66
Lampiran 3. Prosedur Analisa Sifat Fisika Kimia Minyak Akar Wangi (SNI 06-2386-2006) a. Penentuan warna Prinsip Metode ini didasarkan pada pengamatan visual dengan menggunakan indra penglihatan langsung, terhadap contoh minyak akar wangi. Peralatan 1. Tabung reaksi kapasitas 15 ml atau 20 ml; 2. Pipet gondok atau pipet berskala kapasitas 10 ml; 3. Kertas atau karton berwarna putih ukuran 20 cm x 30 cm. Prosedur 1. Pipet 10 ml contoh minyak akar wangi 2. Masukkan kedalam tabung reaksi, hindari adanya gelembung udara 3. Sandarkan tabung reaksi berisi contoh minyak akar wangi pada kertas atau karton berwarna putih. 4. Amati warnanya dengan mata langsung, jarak pengamatan antara mata dan contoh 30 cm
b. Penentuan Bau Prinsip Metode ini didasarkan pada pengamatan visual dengan menggunakan indra penciuman langsung, terhadap contoh minyak akar wangi. Penyajian hasil uji Hasil uji yang disajikan harus sesuai dengan warna contoh minyak akar wangi yang diamati. Apabila contoh minyak akar wangi yang diamati berwarna kuning muda, maka warna contoh minyak akar wangi dinyatakan kuning muda.
67
c. Penentuan Bobot Jenis Prinsip Perbandingan antara berat minyak dengan berat air pada volume dan suhu yang sama. Peralatan 1. Neraca analitik dengen ketelitian 0,001 g; 2. Penangas air yang diperlengkapi dengan thermostat; 3. Piknometer berkapasitas 5 ml. Cara kerja 1. Cuci dan bersihkan piknometer, kemudian basuh berturut-turut dengan etanol dan dietil eter. 2. Keringkan bagian dalam piknometer tersebut dengan arus udara kering dan sisipkan tutupnya 3. Biarkan piknometer di dalam lemari timbangan selama 30 menit dan timbang (m) 4. Isi piknometer dengan air suling sambil menghindari adanya gelembunggelembung udara. 5. Celupkan piknometer ke dalam penangas air pada suhu 20oC ± 0,2 oC selama 30 menit 6. Sisipkan penutupnya dan keringkan piknometernya 7. Biarkan piknometer di dalam lemari timbangan selama 30 menit, kemudian timbang dengan isinya (m1) 8. Kosongkan piknometer tersebut, cuci dengan etanol dan dietil eter, kemudian keringkan dengan arus udara kering. 9. Isilah piknometer dengan contoh minyak dan hindari adanya gelembunggelembung udara 10. Celupkan kembali piknometer ke dalam penangas air pada suhu 20 oC ± 0,2 oC selama 30 menit. Sisipkan tutupnya dan keringkan piknometer tersebut. 11. Biarkan piknometer di dalam lemari timbangan selama 30 menit dan timbang (m2).
68
Penyajian hasil uji 20 Bobot jenis = d 20 =
m2 − m m1 − m
dengan keterangan: m, adalah massa piknometer kosong (g); m1, adalah massa, piknometer berisi air pada 20oC (g); m2, adalah massa, pikonometer berisi contoh pada 20oC (g).
d. Penentuan indeks bias Prinsip Metode ini didasarkan pada pengukuran langsung sudut bias minyak yang dipertahankan pada kondisi suhu yang tetap. Bahan kimia • Air suling Peralatan 1. Refraktometer; 2. Penangas air; 3. Lampu natrium. Cara kerja 1. Alirkan air melalui refraktometer agar alat ini berada pada suhu saat pembacaan akan dilakukan 2. Suhu harus dipertahankan dengan toleransi ± 0,2 oC 3. Sebelum minyak ditaruh di dalam alat, minyak tersebut harus berada pada suhu yang sama dengan suhu dimana pengukuran akan dilakukan 4. Pembacaan dilakukan bila suhu sudah stabil Penyajian hasil uji
Indeks
bias = n Dt1 + 0 , 0004 (t 1 − t )
Dengan:
n Dt 1
adalah pembacaan yang dilakukan pada suhu pengerjaan ;
n Dt
adalah indeks bias pada suhu 20o;
69
t1
adalah suhu yang dilakukan pada suhu pengerjaan;
t
adalah suhu referensi (20oC);
0.0004 adalah faktor koreksi untuk indeks bias.
e. Penentuan kelarutan dalam etanol Prinsip Kelarutan minyak akar wangi dalam etanol absolut atau etanol 95 % membentuk larutan yang bening dan cerah dalam perbandingan-perbandingan seperti yang dinyatakan. Bahan kimia 1. Etanol 95 % 2. Larutan pembanding (dibuat baru) Dengan menambahkan 0,5 ml larutan perak nitrat (AgNO3) 0,1 N ke dalam 50 ml larutan natrium khlorida (NaCl) 0,0002 N dan dikocok. Tambahkan satu tetes asam nitrat (HNO3) encer (25 %) dan amati setelah 5 menit. Lindungi terhadap sinar matahari langsung. Peralatan 1. Gelas ukur 50 ml; 2. Gelas ukur tertutup 10 ml atau 25 ml. Cara kerja 1. Tempatkan 1 ml contoh minyak dan diukur dengan teliti di dalam gelas ukur yang berukuran 10 ml atau 25 ml 2. Tambahkan etanol 95 %, setetes demi setetes. Kocoklah setelah setiap penambahan sampai diperoleh suatu larutan yang sebening mungkin pada suhu 20 oC 3. Bandingkanlah kekeruhan yang terjadi dengan kekeruhan larutan pembanding, melalui cairan yang sama tebalnya, bila larutan tersebut tidak bening. Penyajian hasil uji Hasil uji dinyatakan sebagai berikut: Akan membentuk larutan jernih atau opalesensi ringan, apabila ditambahkan etanol sebanyak maksimum sepuluh kali volume contoh.
70
f. Penentuan bilangan asam Prinsip Asam-asam bebas dinetralkan dengan larutan terstandar kalium hidroksida etanol. Bahan kimia 1. Etanol 95 % (v/v) pada 20oc, yang dinetralkan dengan larutan kalium hidroksida (KOH) dengan menggunakan indikator fenolftalein (pp); 2. Fenolftalein (pp), larutan 0,4 g/l dalam etanol 20 % (v/v) yang telah dinetralkan; 3. Larutan kalium hidroksida (KOH) 0,1 N dalam etanol yang telah distandardisasi. Peralatan 1. Neraca analitik dengan ketelitian 0,001 g; 2. Labu penyabunan kapasitas 250 ml, yang dilengkapi dengan pendingin refluks; 3. Buret dengan skala terbagi dalam seper sepuluh milimeter. Cara kerja 1. Timbang 4g ± 0,05 g contoh minyak, larutkan dalam 5 ml etanol netral pada labu saponifikasi penyabunan 2. Tambahkan 5 tetes larutan fenolftalein sebagai indikator 3. Titrasi larutan tersebut dengan kalium hidroksida 0,1 N sampai warna merah muda Penyajian hasil uji Bilangan asam =
56,1 × V × N m
dengan keterangan: 56,1 adalah bobot setara KOH; V
adalah volume larutan KOH yang diperlukan (ml);
N
adalah normalitet larutan KOH (N);
m
adalah massa contoh yang diuji (g).
71
g. Penentuan bilangan ester Prinsip Penyabunan ester-ester dengan larutan KOH alkohol berlebihan. KOH dititrasi kembali dengan asam klorida (HCl). Ester-ester dihidrolisis dengan larutan standar kalium hidroksida berlebih pada kondisi panas. Kelebihan alkali ditetapkan dengan titrasi kembali dengan asam klorida.
Bahan kimia 1. Etanol 95 % (v/v) yang baru dinetralkan dengan larutan alkali, dengan menggunakan larutan indikator fenolftalein (pp); 2. Larutan kalium hidroksida (KOH) 0,5 N dalam etanol; 3. Larutan standar volumetri asam klorida (HCL) 0,5 N; 4. Larutan fenolftalein (pp) 1% dalam etanol.
Peralatan 1. Labu penyabunan, terbuat dari gelas dengan leher kaca asah yang tahan terhadap alkali, berkapasitas 250 ml, dapat dilengkapi dengan sebuah pipa kaca, panjangnya paling sedikit 1 m, dan diameter sebelah dalam 1 cm, yang digunakan sebagai kondensor refluks atau bila perlu sebagai pendingin refluks. Pasanglah tabung berisi penyerap karbon dioksida pada pendingin selama pendinginan; 2. Gelas ukur 5 ml; 3. Buret standar 50 ml; 4. Pipet standar 25 ml; 5. Penangas air.
Cara kerja a) Pengujian blanko 1. Isi labu penyabunan dengan beberapa potong batu didih atau porselen, lalu tambahkan 25 ml larutan kalium hidroksida 0,5 N dalam alkohol 2. Refluks dengan hati-hati di atas penangas air mendidih selama 1 (satu) jam setelah larutan mendidih. Diamkan larutan hingga menjadi dingin. 3. Lepaskan kondensor refluks dan tambah 5 tetes larutan fenolftalein dan kemudian titrasi dengan HCl 0,5 N sampai diperoleh perubahan warna.
72
b) Pengujian contoh 1. Timbang contoh 4 g ± 0,05 g dan masukkan ke dalam labu, tambahkan 25 ml kalium hidroksida 0,5 N dan batu didih. 2. Refluks diatas penangas air selama 1 jam 3. Lepaskan kondensor refluks, tambahkan 5 tetes larutan fenolftalein, dan titrasi dengan HCl 0,5 N sampai diperoleh perubahan warna
Penyajian hasil uji Bilangan ester (E) dihitung dengan rumus:
E=
56,1(V1 − V0 )N m
dengan keterangan: 56,1 adalah bobot setara KOH; V1
adalah volum HCl yang digunakan dalam penentuan blanko (ml);
Vo
adalah volume HCl yang digunakan untuk contoh (ml);
m
adalah massa dari contoh yang diuji (g);
N
adalah normalitet HCl (N).
h. Penentuan bilangan ester setelah asetilasi Prinsip Asetilasi minyak atsiri oleh anhidrida asetat dengan adanya natrium asetat. Isolasi dan pengeringan minyak atsiri yang terasetilasi tersebut. Penentuan bilangan ester setelah asetilasi. Perhitungan kadar alkohol bebas, dengan memperhatikan bilangan ester minyak sebelum asetilasi
Peralatan 1. Alat destilasi, termasuk sebuah labu asetilasi berdasar bundar dengan leher kaca asah berkapasitas 100 cm³, dilengkapi dengan sebuah pipa kaca untuk bertindak sebagai pendingin reflaksi, panjangnya paling sedikit 1 m dan diameter sebelah dalam paling sedikit 10 m. 2. Gelas ukur kapasitas 10 cm³ dan 50 cm³. 3. Alat pemanas yang sesuai untuk mendidihkan, tanpa terjadinya pemanasan setempat yang berlebih. 4. Corong pemisah berkapasitas 250 ml.
73
5. Alat penyabunan, termasuk labu kaca tahan alkali berkapasitas 100 sampai 200 ml, yang dilengkapi dengan sebuah pipa kaca untuk bertindak sebagai pendingin refluks. Pasanglah tabung penyerap karbon dioksida pada pendingin selama pendinginan. 6. Buret berkapasitas sedikitnya 20 ml.
Bahan kimia 1. Asam asetat anhidrat 98% sampai 100% untuk analisa. 2. Natrium asetat anhidrat, baru dilebur dan dihaluskan. 3. Natrium khlorida, larutan jenuh. 4. Natrium karbonat/natrium khlorida, larutan mengandung 20 g natrium karbonat anhidrat per liter, dijenuhkan dengan natrium khlorida 5. Magnesium sulfat, anhidridat netral, baru dipijarkan dan dihaluskan, sebagai pengganti dapat juga digunakan natrium sulfat 6. Kertas lakmus fenolftalein, larutan 2 g fenolftalein per liter 95% (v/v) etanol yang dinetralkan pada 25°c 7. Kalium hidroksida 0,1 n dalam 95% (v/v) etanol 8. Larutan hidroksida 0,5 n dalam 95% (v/v) etanol 9. Asam khlorida 0,5% n
Prosedur pengujian 1. Campurkan kira-kira 10 ml contoh minyak, 10 ml asam asetat anhidrat dan 2 g natrium asetat anhidrat dalam labu asetilasi. Tambahkan potonganpotongan kecil batu apung atau porselen dan lengkapilah labu tersebut dengan pendingin reflaksinya. 2. Panaskan labu dengan alat pemanas dan refluks cairan dengan hati-hati selama 2 jam. Biarkan menjadi dingin. 3. Tambahkan 50 ml air suling dan panaskan pada suhu antara 40°C-50°C selama 15 menit, menggunakan alat pemanas dan sering dikocok. Dinginkan sampai suhu kamar. 4. Tanggalkan pipa refluks dan pindahkan cairan ke dalam corong pemisah lalu bilas labu dua kali masing-masing dengan 10 ml air suling, dan tambahkan air pencucian ini ke dalam isi corong pemisah. Tunggu sampai cairan memisah dengan sempurna, kemudian buanglah lapisan airnya.
74
5. Cuci lapisan minyak dengan jalan menggosok berurut-turut dengan 50 ml larutan natrium khlorida, 50 ml larutan natrium karbonat/natrium khlorida, 50 ml larutan natrium khlorida, 20 ml air suling. 6. Kocok dengan baik minyak atsiri yang terasetilasi ini dengan larutan larutan jenuh tersebut kemudian hati-hati dengan air suling sedemikian rupa sehingga bila pencucian telah dilakukan dengan baik minyak itu netral terhadap kertas lakmus (pH7). 7. Pindahkan lapisan minyak ke dalam sebuah tabung yang kering dan kocoklah beberapa kali selama 15 min dengan sedikitnya 3 g magnesium sulfat anhidrat. Saringlah minyak yang sudah dikeringkan itu. Ulangi pengocokan dengan 3 g magnesium sulfat berikutnya sampai minyak yang terasetilasi ini bebas dari air. 8. Timbanglah sampai ketelitian 0,5 mg minyak atsiri yang terasetilasi sebanyak 2 g dan tambahkan 2 ml air suling dan 0,5 ml larutan fenolptalein. 9. Tambahkan 25 ml larutan etanol kalium hidroksida 0,5 N. Didihkan campuran tersebut dalam pendingin refluks diatas penangas air selama 1 jam, kemudian dinginkan dengan cepat, dengan menambhkan 20 ml air suling dan titrasi kelebihan alkali dengan larutan asam khlorida 0,5 N.
Penyajian hasil uji Pertama-tama hitunglah bilangan ester dari minyak atsiri.
Bilangan ester setelah asetilasi =
28,05(a − b ) c
dengan keterangan: a
adalah volume dalam ml dari larutan HCl 0,5 N yang digunakan untuk menitrasi blanko;
b
adalah volume dalam ml larutan dari larutan HCl 0,5 N yang digunakan untuk menetralisasi penentuan contoh;
c
adalah berat contoh minyak dalam g setelah asetilasi.
75
i. Penentuan alkohol bebas sebagai vetiverol Senyawa-senyawa alkohol bebas sebagai vetiverol dihitung dari bilangan ester setelah asetilasi dan sebelum asetilasi Kadar vetiverol
Kadar vetiverol =
M (E2 − E1 ) 561 − 0,42E2
dengan keterangan: M
adalah bobot molekul vetiverol
E1
adalah bilangan ester setelah asetilasi
E2
adalah bilangan ester sebelum asetilasi
76
Lampiran 4. Recovery minyak pada penyulingan tekanan konstan Recovery minyak (%) jam ke4 5 6 7 8.64 8.73 5.03 5.44
1 bar
Berat Bahan 3.35
Kadar Air 10
Bahan Kering 3.018
Kadar Minyak 3.8
1 12.29
2 18.88
3 13.55
2 bar
3.2
9.25
2.9095
3.6
22.07
21.81
14.20
9.60
7.37
3.75
3 bar
3.55
7.5
3.285
3.9
28.18
21.10
18.75
6.84
4.64
3.67
1 bar
Berat Bahan 3.35
Kadar Air 10
Bahan Kering 3.018
Kadar Minyak 3.8
1 12.29
2 31.17
Akumulasi Recovery minyak (%) jam ke3 4 5 6 7 44.71 53.36 62.08 67.12 72.55
8 76.30
9 78.31
2 bar
3.2
9.25
2.9095
3.6
22.07
43.89
58.09
67.69
75.05
78.81
84.69
87.26
88.88
3 bar
3.55
7.5
3.285
3.9
28.18
49.28
68.03
74.87
79.52
83.19
86.51
88.93
90.37
8 4.11
9 3.23
Tekanan
Tekanan
Total
8 3.74
9 2.01
78.31
5.88
2.58
1.62
88.88
3.32
2.42
1.44
90.37
Lampiran 5. Recovery minyak pada penyulingan tekanan bertahap tanpa pengaturan laju alir uap Berat Bahan 3.10
Kadar Air 11.25
Bahan Kering 2.75
Kadar Minyak 3.65
1 22.67
Berat Bahan 3.10
Kadar Air 11.25
Bahan Kering 2.75
Kadar Minyak 3.65
1 22.67
2 17.28
2 39.96
3 13.32
Recovery minyak (%) Jam ke4 5 6 11.60 8.58 6.90
7 4.88
Akumulasi Recovery minyak (%) jam ke3 4 5 6 7 53.28 64.88 73.46 80.36 85.24
8 89.35
Total 92.58
9 92.58
77
Lampiran 6. Recovery minyak pada penyulingan dengan tekanan bertahap dan laju alir uap konstan Recovery minyak wb Fraksi Total 1 2 3 29.06 28.33 19.20 76.60
Akumulasi recovery minyak wb Fraksi 1 2 3 29.06 57.40 76.60
3
29.51
29.39
24.15
83.05
29.51
58.90
83.05
3.3
39.58
38.02
12.81
90.42
39.58
77.60
90.42
Kode
Laju
Berat Bahan
Kadar Air
Bahan Kering
Kadar Minyak
V1
1 lt/ jam
3
10.75
2.68
3.1
V2
1,5 lt/jam
3
10
2.7
V3
2 lt/jam
3
8.83
2.74
Lampiran 7. Recovery minyak pada penyulingan dengan tekanan dan laju alir uap bertahap
Kode
V4
Laju
Bertahap
Berat Bahan
Kadar Air
Bahan Kering
Kadar Minyak
4
9.5
3.615
3.3
1 21.88
Recovery minyak wb Fraksi 2 3 25.42
25.73
Total 73.03
Akumulasi recovery minyak wb Fraksi 1 2 3 21.88
47.30
73.03
78
Lampiran 8. Laju alir uap pada penyulingan tekanan konstan
Tekanan
Laju Alir Uap
Berat Bahan
Kadar Air
Bahan Kering
Kadar Minyak
1
2
3
Laju Alir Uap (l/j/kg) jam ke4 5 6
1 bar
-
3.35
10
3.02
3.8
3.11
2.88
2.78
2.74
2.83
2 bar
-
3.2
9.25
2.91
3.6
3.04
2.79
2.56
2.46
3 bar
-
3.55
7.5
3.29
3.9
2.62
2.39
2.31
2.44
7
8
9
Ratarata
2.61
2.74
2.70
2.91
2.81
3.07
2.51
2.44
2.77
2.81
2.87
2.34
2.22
2.30
2.56
2.54
2.41
7
8
9
Ratarata
2.88
2.81
2.28
2.81
Lampiran 9. Laju alir uap pada penyulingan tekanan bertahap tanpa pengaturan laju alir uap Tekanan
Laju Alir Uap
Berat Bahan
Kadar Air
Bahan Kering
Kadar Minyak
1
2
3
Bertahap
-
3.1
11.25
2.75
3.65
3.17
3.10
2.99
Laju Alir Uap (l/j/kg) jam ke4 5 6 2.92
2.69
2.52
79
Lampiran 10. Laju alir uap pada penyulingan dengan tekanan bertahap dan laju alir uap konstan Tekanan
Laju Alir Uap
Berat Bahan
Kadar Air
Bahan Kering
Kadar Minyak
1
2
3
Laju Alir Uap (l/j/kg) jam ke4 5 6
Bertahap
1 l/j/kg
3
10.75
2.6775
3.1
1.01
1.03
1.07
1.03
1.04
Bertahap
1,5 l/j/kg
3
10
2.7
3
1.40
1.57
1.55
1.49
Bertahap
2 l/j/kg
3
8.83
2.735
3.3
2.02
2.03
2.00
2.02
7
8
9
Ratarata
1.04
1.05
1.03
1.04
1.04
1.53
1.44
1.51
1.53
1.42
1.49
2.00
2.00
2.05
1.89
1.86
1.99
7
8
9
Ratarata
1.93
2.06
2.03
1.61
Lampiran 11. Laju alir uap pada penyulingan dengan tekanan dan laju alir uap bertahap Tekanan
Laju Alir Uap
Berat Bahan
Kadar Air
Bahan Kering
Kadar Minyak
1
2
3
Bertahap
Bertahap
4
9.5
3.615
3.3
1.09
1.05
1.41
Laju Alir Uap (l/j/kg) jam ke4 5 6 1.47
1.53
1.95
80
Lampiran 12. Mutu minyak pada penyulingan dengan tekanan bertahap dan laju alir uap konstan
Kode
1
Bobot jenis Fraksi 2
3
Laju
1
Indeks Bias Fraksi 2
3
1
Bil. Asam Fraksi 2
3
1
Bil. Ester Fraksi 2
3
V1
1 lt/ jam
0.9972
1.0163
1.0427
1.5228
1.5260
1.5267
3.34
4.87
6.67
4.05
6.52
14.26
V2
1,5 lt/jam
1.0004
1.0107
1.0305
1.5228
1.5251
1.5258
4.23
6.55
7.79
8.02
12.54
19.13
V3
2 lt/j kg bh
1.0022
1.0157
1.0328
1.5229
1.5254
1.5267
6.90
7.15
8.38
8.66
14.97
20.69
3 16.40
Lampiran 13. Mutu minyak pada penyulingan dengan tekanan dan laju alir uap bertahap
Kode
V4
1
Bobot jenis Fraksi 2
3
0.9993
1.0235
1.0394
Laju
Bertahap
1
Indeks Bias Fraksi 2
3
1.5233
1.5257
1.5264
1
Bil. Asam Fraksi 2
3
1
Bil. Ester Fraksi 2
2.78
5.26
7.27
5.19
9.86
81
Lampiran 14. Hasil Kromatografi Gas Spektrometri Massa Minyak Akar Wangi pada Penyulingan Menggunakan Tekanan Bertahap dan Laju Alir Uap 2 l/j/kg bahan Fraksi 1
No. RT
Area (%)
1
8.59
0,78
2
8.90
0,23
4
9.63
5 6
Dugaan Komponen
Fraksi 2
Fraksi 3
Qual
RT
Area (%)
Dugaan Komponen
Qual
cis-tricyclo[7.5.0.0(2,8)tetra….
70
8.57
0,28
6-N-Butyl-1,2,3,4-tetrahydronap.
87
alpha-cendrene
96 9.09
0,28
1-acetamidobenzocyclobutene
35
0,43
alpha-terpinolene
92
9.79
0,18
alpha-gurjunene
95
9.92
0,33
aromadendrene
86
7
10.11
0,40
(E)-3,5-dimethyl-2-(1'-propenyl…
78
8
10.37
0,81
5-epiprezizaene
60
10.35
0,27
aromadendrene
68
10
10.48
1,18
khusimene
78
10.45
0,26
khusimene
70
11
10.65
0,30
alpha-gurjunene
96 10.68
0,28
2-cyclohexen-1one,3-(1,3-buta….
38
10.88
0,65
phenol,2-methoxy-4-(2-propen…
42
3
9
12 13 14 15
10.90
1,36
trans-isolimonene
70
16
11.06
0,32
1H-cyclopropa[a]naphthalene,1a.
96
17
11.24
0,90
alpha-muurolene
97
18 19
11.43
4,75
aromadendrenepoxide-(II)
11.76
0,54
benzene,1-(1,5-dimethyl-4-hex…
0,31
alpha-muurolene
90
2,36
benzene,1-(2-butenyl)-2,3-dimet..
64
11.73
0,47
ar-curcumene
64
38
20 21
11.23 11.39
86
RT
Area (%)
Dugaan Komponen
Qual
9.09
1,26
s-triazolo[4,3-a]pyridine,3,5,…
43
10.40
0,87
benzene,,1,2,4,5-tetraethyl-..
96
10.68
0,61
benzene tetraethyl
60
10.81
0,80
5-acetyl-4-methyl-benzimida…
80
11.36
1,37
benzene,1-(2-butenyl)-2,3-di..
90
82
Lanjutan Lampiran 14… No.
Fraksi 1 Dugaan Komponen
RT
Area (%)
22
11.84
0,25
delta-cadinene
86
23
11.97
0,91
benzene,1-(1,5-dimethyl-4-hex…
53
24
12.07
0,66
beta-guaiene
98
25
12.23
0,22
delta-cadinene
99
26
12.36
0,35
27
12.52
0,95
4,4-dimethyl-3-(3-methyl-2-but…. 2H-benzocyclohepten-2one,3,4,….
28
12.69
0,46
calacorene
72
29
12.83
2,69
1H-cyclopropa[a]naphthalene,1a.
30
12.98
0,45
2-(alpha-methylstyryl)thiophe…
Qual
RT
Area (%)
11.94
0,46
benzene,1-(1,5-dimethyl-4-hex..
53
64
12.36
0,95
78
97
12.49
0,29
4,4-dimethyl-3-(3-methyl-2-but…. 2H-benzocyclohepten-2one,3,4,….
96
12.81
2,19
1H-cyclopropa[a]naphthalen,1a.
96
90
12.98
0,58
methyl-2-methylene-3-(4-meth…
87
13.15
2,18
beta-eudesmol
93
13.09
1,27
1H-cyclopropa[a]naphthalen,1a.
95
34
13.31
1,07
4-methyl-endo,exo-te….
30
13.28
0,73
2-hexyl furan
30
35
13.45
0,44
bicyclo[2.2.1]hept-2-ene,1-met…
58
36
13.62
0,66
1-deoxycapsidiol
35
38
13.71
0,76
beta-eudesmol
38
13.67
0,44
(3E,5E,8E)-3,7,11-trimethyl-1,3…
47
39
13.91
3,22
khusimone
86
40
14.01
1,41
alpha-longipinene
91
13.85
1,97
khusimone
89
41
14.28
3,60
fonenol
64 14.30
2,10
beta-guaiene
90
31 32 33
37
42 43
14.56
1,18
junipene
Fraksi 3
Fraksi 2 Dugaan Komponen
Qual
Area (%)
Dugaan Komponen
Qual
12.33
1,54
4,4-dimethyl-3-(3-methyl-2-bu.
90
12.78
1,06
1H-cyclopropa[a]naphthalen,..
98
13.07
1,16
1H-cyclopropa[a]naphthalen,..
90
14.70
2,21
5-isopropenyl-2,3-dimethyl-2..
50
87
72
44 45
RT
14.71
2,02
guaiyl acetate
12
83
Lanjutan Lampiran 14… No.
46
Fraksi 1 RT
Area (%)
14.76
2,21
Dugaan Komponen agaruspirol
Qual
14.91
2,28
caryophyllene oxide
RT
Area (%)
14.87
1,44
Dugaan Komponen
Qual
ledenoxide
51
15.27 9,32
sinularene
8,75
beta-patchoulene
15.59 7,53
volgarol A
57 58
15.92
0,72
aromadendrene
84
59
6,00
vulgarol A
16.05
2,50
spathulenol
51
61 1,00
delta-selinene
15.88
1,24
tricyclo[4.3.0.0(7,9)]non-3-ene….
41
16.01
1,83
dehydroaromadendrene
84
55
15.20
1,67
valencene
90
15.49
2,62
zizanol
46
15.84
1,13
isospathulenol
25
16.31
1,89
(1S,7R)-1,4,4,7-tetramethyl...
58
16.35
2,14
gamma-selinene
60
16.61
3,17
dimethyl-1,2-dicyano-3-methyl-…
90
16.55
1,20
gamma-cadinene
95
16.97
13,45
cyclopropan emethanol
90
17.73
3,95
5-methyl-5,8-dihydro-1,4-nap.
87
90
63 64 65
16.64
3,23
dimethyl-1,2-dicyano-3-methyl-…
90
66
17.17
17.21
cyclopropan emethanol
25
17.12
22,32
cyclopropan emethanol
25
67
17.38
1,38
1-(2'-ethenyl-1'-cyclohexenyl)-…
78
17.37
2,03
diepipalustrol
53
68
17.63
0,73
2-naphthalenecarboxylic acid,8…
60
69
8(15)-cendren-9-ol
52
60
16.38
2,31
35
56
62
15.03
78
54 15.66
Qual
78
53
55
Dugaan Komponen
46
50
15.32
Area (%)
70
49
52
RT
46
47 48
Fraksi 3
Fraksi 2
84
Lanjutan Lampiran 14… No.
Fraksi 1 RT
Area (%)
Dugaan Komponen
Fraksi 3
Fraksi 2 Qual
70
RT
Area (%)
Dugaan Komponen
Qual
17.78
2,37
2-isopropylidenedihydrobenzof….
64
71 72
17.97
4,91
valerenol
18.00
4,55
valerenol
86
74
18.19
0,56
valerenol
38
89
18.32
2,44
(3E)-5-isopropylidene-2,7-dime…
90
80
18.52
2,66
4-(1-cyclohexenyl)-2-trimethyl..
72
18.63
1,70
2,10-dimethyl-7-isopropenyl-…
55
75 76
18.33
1,25
77
18.53
1,35
4-(1-cyclohexenyl)-2-trimeth….
78 79
Area (%)
Dugaan Komponen
Qual
17.89
1,39
trans-6,11-dimethyl-3,8-oxo…
64
18.25
1,73
Nootkatone
90
18.43
2,60
4-(1-cyclohexenyl)-2-trimet.
64
18.56
3,06
2-ethyl-4,6-dimethylindane
59
86
73
(3E)-5-isopropylidene-2,7dimethyl…
RT
80
18.66
1,01
(E,Z)-2-acetyl-5-[beta-(2-fu…
64
81
18.98
3,15
beta-gamma-nootkatone
70
18.98
6,03
beta-gamma-nootkatone
89
18.89
7,29
beta-gamma-nootkatone
64
82
19.43
5,40
khusenic acid
90
19.49
10,79
khusenic acid
90
19.55
34,45
khusenic acid
90
83
19.88
0,29
khusenic acid
90
19.95
4,77
khusenic acid
90
20.68
0,22
patchoulene
46 20.71
0,91
9-propyl-9-borabicyclo[3.3.1…
46
39.47
3,26
hymenoquinone diacetate
90
41.15
1,41
4-methyl-6,7,8,9-tetrahydro…
86
84 85 86 87 88
39.47
0,35
cyclohepta[f]thieno[2,3-b]pridin…
72
39.48
1,35
cyclohepta[f]thieno[2,3-b]pridin…
64
39.82
0,42
4-flouro-4'-methoxyphenyl
50
85
Lampiran 15. Hasil Kromatografi Gas Spektrometri Massa Minyak Akar Wangi pada Penyulingan Menggunakan Tekanan dan Laju Alir Uap Bertahap Fraksi 1
Fraksi 2
Fraksi 3
No. RT
%Area
Dugaan Komponen
Qual
2
8.59
1,07
5-N-butyl-1,2,3,4-tetrahydonaph..
70
3
8.89
0,23
alpha cendrene
96
4
9.01
0,06
benzene,4-ethyl-1,2-dimethyl-..
91
6
9.62
0,49
acoradiene
95
7
9.78
0,19
zingiberene
94
1
5
8 9
9.92
0,36
alpha copaene
83
10
10.11
0,44
(E)-3,5-dimethyl-2-(1'-propenyl…
78
11
10.37
0,87
5-epiprezizaene
92
RT
%Area
Dugaan Komponen
Qual
8.57
0,31
6-N-butyl-1,2,3,4-tetrahydonaph..
78
9.09
0,31
pyrazine,isopropenyl
35
9.91
0,16
germacrene d
89
12 10.45
13 14
10.48
1,27
khusimene
89
15
10.64
0,32
beta guaiene
95
0,51
khusimene
10.68
0,27
2-cyclohexyl-5,5-dimethyl-1-hex…
20 21
10.88
1,36
trans-isolimonene
Dugaan Komponen
Qual
9.09
1,11
1-amino-2-cyano-4-methylene-1..
38
10.40
0,63
benzene,1,2,4,5-tetraethyl-..
96
10.67
0,50
benzene,tetraethyl
70
10.81
0,75
2,2,6,7-tetramethylbicyclo[…
46
72
18 19
%Area
89
16 17
RT
10.85
0,71
phenol,2-methoxy-4-(2-propenyl…
70
11.04
0,21
9,10-dehydro isolongifolene
90
70
86
Lanjutan Lampiran 15… No.
22
Fraksi 1 RT
%Area
Dugaan Komponen
Qual
11.06
0,38
1H-cyclopropa[a]naphthalene,1a.
96
23 24
11.24
0,85
alpha muurolene
Fraksi 3
Fraksi 2 RT
%Area
11.21
0,31
Dugaan Komponen
cycloisosativene
Qual
11.39 5,32
cyclooctane,4-methylene-6-(1-p…
29 11.76
0,60
32
11.85
0,31
33
11.98
34
12.08
35
12.23
benzene,1-(1,5-dimethyl-4hexe…
2,28
naphthalene,1,2,3,4-tetrahydro..
1,06
delta cadinene benzene,1-(1,5-dimethyl-4hexe…
53
0,60
beta guaiene
95
0,27
delta cadinene
98
0,38
4,5-dehydro isolongifolene
39
12.52
0,81
64
12.69
0,48
calacorene
11.73
0,45
benzene,1-(1,5-dimethyl-4-hexe…
49
11.83
0,20
para cymenene
55
11.95
0,44
benzene,1-(1,5-dimethyl-4-hexe…
46
12.36
1,00
trans-6,11-dimethyl-3,8-oxometh…
90
12.49
0,28
2H-benzocyclohepten-2-one,3,4,…
83
12.66
0,20
naphthalene,1,2-dihydro-1,1-6-..
64
43
12.81 12.86
3,62
1H-cyclopropa[a]naphthalene,1a.
11.72
0,34
4-methyl-6,7,8,9tetrahydronaph…
90
12.33
1,32
4,4-dimethyl-3-(3-methyl-2bute…
83
12.78
1,33
1H-cyclopropa[a]naphthalene,1a.
95
78
42
44
90
95
40 41
benzene,1-(2-butenyl)-2,3-dime..
86
38 2H-benzocyclohepten-2one,3,4,…
1,53
70
36 12.36
11.36
83
31
37
Qual
44
28
30
Dugaan Komponen
95
26 11.43
%Area
93
25
27
RT
96
1,98
1H-cyclopropa[a]naphthalene,1a….
95
87
Lanjutan Lampiran 15… No.
Fraksi 1 RT
%Area
12.98
0,63
13.17
50
Dugaan Komponen
Fraksi 3
Fraksi 2 Qual
RT
%Area
Dugaan Komponen
Qual
4,5,9,10-dehydro isolongifolene
93
12.98
0,60
methyl-2-methylene-3-(4-methylp…
93
13.09
1,31
1H-cyclopropa[a]naphthalene,1a….
95
2,41
beta eudesmol
84 13.28
0,72
cyclohexane,1,2-dibromo-,trans…
35
13.31
1,22
4-methyl-endo,exo-te….
42
51
13.45
0,52
17-octadecen-14-ynoic acid,me…
80
52
13.64
0,79
isospathulenol
44 13.67
0,49
(E)-1,4,5,6,7,7a-hexahydro-7a…
38
13.73
0,80
delta guaiene
41
45 46 47 48 49
53 54 55
13.85
56 57
13.93
4,83
silane,diazidomethylphenyl
2,14
khusimone
14.29
3,78
alloaromadendrene
14.56
1,27
junipene
64
14.30
2,11
allo aromadendrene
86
14.51
0,43
cyclooctane,4-methylene-6-(1-p…
45
63 14.77
2,39
agaruspirol
14.73
2,10
2,3-dehydro-alpha isomethylio
25
66
68
14.87 14.92
2,47
vulgarol A
12.95
0,45
methyl-2-methylene-3-(4-methyl..
93
13.06
1,18
1H-cyclopropa[a]naphthalene,1a.
94
13.84
0,69
alpha longipinene
91
14.27
1,09
junipene
78
14.70
2,00
5-isopropenyl-2,3-dimethyl-2-cy..
38
14.84
0,69
5BH,7B,10A-selina-4(14),11-die..
76
15.03
2,83
alpha costol
45
53
65
67
Qual
84
62
64
Dugaan Komponen
83
60 61
%Area
70
58 59
RT
1,44
(4aS,5R,8S,8aS)-8-isopropyl-5-m…
86
48
88
Lanjutan Lampiran 15… No.
Fraksi 1 RT
%Area
Dugaan Komponen
Fraksi 3
Fraksi 2 Qual
69
RT
%Area
15.09
1,96
Dugaan Komponen germacra-4(15),5E,10(14)-trien-…
Qual
72
15.32
9,87
sinularene
74 15.69
7,95
2-naphthalenecarboxylic acid,8…
15.29
7,06
beta patchoulene
83
15.62
6,23
vulgarol A
45
77
15.89 15.94
0,77
tricyclo[4.3.0.0(7,9)]non-3-ene….
80 16.06
2,55
cadina-1(10),6,8-triene
1,22
clovene
84
16.39
1,03
delta selinene
90
85
16.51
0,32
(3E)-5-isopropylidene-2,7-dimet…
78
16.02
1,87
1,5,9-trimethyl-2-oxatricyclo[7…
83
16.38
2,43
1,2,3,4-tetrahydro-2,3-methano…
78
16.62
3,12
dimethyl-1,2-dicyano-3-methyl-1…
90
86 87 2,80
dimethyl-1,2-dicyano-3-methyl1…
17.18
90
92
17.21
16,84
cyclopropan emethanol
90
15.52
3,22
(3E,5E,8Z)-3,7,11-trimethyl-1,3…
52
15.83
1,02
1-deoxycapsidiol
50
15.98
0,98
zizanyl acetate
38
16.32
2,08
4,5-dimethyl-11-methylenetricyc..
74
16.55
1,45
aromadendrenepoxide
46
17.01
16,76
cyclopropan emethanol
27
17.31
1,23
isospathulenol
41
90
89
91
beta patchoulene
38
83
16.65
2,49
44
82
88
15.22
46
79
81
Qual
45
76
78
Dugaan Komponen
78
73
75
%Area
44
70 71
RT
22,84
cyclopropan emethanol
25
91
89
Lanjutan Lampiran 15… No.
Fraksi 1 Dugaan Komponen
Fraksi 3
Fraksi 2
RT
%Area
Qual
94
17.40
0,67
1-(2'-ethenyl-1'-cyclohexenyl)-…
68
95
17.47
0,67
rishitin
83
96
17.63
0,68
cyclohexanol,1,3,3-trimethyl-2..
50
93
RT
%Area
Dugaan Komponen
Qual
17.38
1,83
1-(2'-ethenyl-1'-cyclohexenyl)-…
78
17.83
2,36
9,10-dehydro isolongifolene
86
18.00
4,06
valerenol
86
97 98 99 100
18.02
3,95
valerenol
87
101
18.19
0,51
valerenol
86
1,09
(3E)-5-isopropylidene-2,7dimethyl…
102 103
18.33
83
18.34
2,19
(3E)-5-isopropylidene-2,7-dimeth…
18.53
1,11
4-(1-cyclohexenyl)-2-trimethyls.
72
18.53
2,45
4-(1-cyclohexenyl)-2-trimethyls.
108
18.65 18.66
0,70
4-(1-cyclohexenyl)-2-trimethyls….
1,89
2,10-dimethyl-7-isopropenyl-bic…
18.98
2,65
beta gamma nootkatone
76
111 112
19.38
3,25
khusenic acid
Qual
17.74
3,10
3-methyl-1-benzoxepin-5(2H)-..
72
17.90
1,71
trans-6,11-dimethyl-3,8-oxomet..
72
18.26
1,59
Nootkatone
78
18.44
2,43
4-(1-cyclohexenyl)-2-trimethyls
49
18.57
2,40
6,propyltetraline
64
18.90
5,92
beta gamma nootkatone
64
19.64
31,15
khusenic acid
90
20.04
2,50
khusenic acid
60
38
52
109 110
Dugaan Komponen
74
106 107
%Area
81
104 105
RT
18.99
5,16
beta gamma nootkatone
89
19.22
2,02
isokhusenic acid
70
83
113 114
19.61
8,51
khusenic acid
83
115
19.98
1,02
1,6-dioxospiro[5.4]decane-2-car…
43
116
90
Lanjutan Lampiran 15… No.
Fraksi 1 RT
%Area
Dugaan Komponen
Fraksi 3
Fraksi 2 Qual
117
RT
%Area
20.71
0,23
Dugaan Komponen patchoulene
Qual
120 121
34.13
0,19
longifolenbromid-I
%Area
Dugaan Komponen
Qual
20.78
0,47
4,hydroxy-2,3-dimethoxy-4-(3-…
41
39.45
2,06
hymenoquinone diacetate
90
41.13
0,99
4-methyl-6,7,8,9-tetrahydronap…
78
46
118 119
RT
38 39.45
0,62
hymenoquinone diacetate
90