PENGARUH KEPADATAN AKAR PADA PENYULINGAN DENGAN KENAIKAN TEKANAN UAP BERTAHAP TERHADAP RENDEMEN DAN MUTU MINYAK AKAR WANGI YANG DIHASILKAN
Oleh Mad Adam Budiansah Fajar F34103071
2008 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR PENGARUH KEPADATAN AKAR PADA PENYULINGAN DENGAN KENAIKAN TEKANAN UAP BERTAHAP TERHADAP RENDEMEN DAN MUTU MINYAK AKAR WANGI YANG DIHASILKAN SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor Oleh Mad Adam Budiansah Fajar F34103071 Dilahirkan pada tanggal 29 Juni 1985 di Bogor, Jawa Barat Tanggal lulus : 17 Maret 2008 Disetujui, Bogor, 14 Maret 2008
Dosen Pembimbing II,
Dosen Pembimbing I,
Ir. Edy Mulyono, MS
Ir. Semangat Ketaren, MS
NIP. 080.069.909
NIP. 130.516.874
SURAT PERNYATAAN
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa Skripsi dengan judul: Pengaruh Kepadatan Akar Pada Penyulingan Dengan Kenaikan Tekanan Uap Bertahap Terhadap Rendemen dan Mutu Minyak Akar Wangi yang Dihasilkan Adalah karya asli saya sendiri, dengan arahan dosen pembimbing akademik, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukkannya.
Bogor,14 Maret 2008 Yang Membuat Pernyataan,
Mad Adam B. Fajar Nrp. F34103071
Mad Adam B. Fajar. F34103071. Pengaruh Kepadatan Akar Pada Penyulingan Dengan Kenaikan Tekanan Uap Terhadap Rendemen dan Mutu Minyak Akar Wangi yang Dihasilkan. Di Bawah Bimbingan: Ir. Semangat Ketaren, MS dan Ir. Edy Mulyono, MS. 2008 RINGKASAN Indonesia merupakan salah satu penghasil minyak atsiri terbesar di dunia. Salah satu jenis minyak atsiri yang menjadi andalan dan telah diusahakan secara komersial adalah minyak akar wangi yang terkenal dengan nama Java vetiver oil. Minyak akar wangi diperoleh dari tanaman akar wangi (Vetiveria zizaniodes STAPF) melalui proses penyulingan. Minyak akar wangi digunakan sebagai fixative agent dalam industri kosmetik dan pewangi karena sifatnya larut dalam alkohol dan dapat dicampur dengan minyak atsiri lainnya. Volume ekspor minyak akar wangi Indonesia mengalami fluktuasi dari tahun ke tahun. Adanya fluktuasi ini bukan hanya disebabkan oleh kondisi permintaan konsumen atau importir, tetapi juga disebabkan oleh kemampuan produksi dan mutu minyak akar wangi. Salah satu upaya untuk meningkatkan mutu dan rendemen minyak akar wangi yang dihasilkan adalah melalui penyulingan dengan peningkatan tekanan uap bertahap dengan kepadatan akar dalam ketel yang sesuai. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kepadatan akar pada penyulingan dengan peningkatan tekanan uap bertahap terhadap rendemen dan sifat fisiko kimia minyak yang dihasilkan. Dengan demikian diharapkan akan diperoleh kondisi penyulingan terbaik, yang menghasilkan rendemen tertinggi yang kaya akan komponen utamanya dan mutu minyak akar wangi yang sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI). Penelitian ini menggunakan akar wangi varietas Pulus Wangi dengan umur panen 11 bulan, yang telah dicuci, dipisahkan dari bonggolnya dan dirajang dengan ukuran 15 sampai 20 cm. Penelitian dilakukan dengan dua tahap. Tahap penelitian pendahuluan adalah karakterisasi akar wangi. Akar wangi yang telah dikeringkan selama 12 jam memiliki kadar air 10.98 % dan kadar minyak 5.6%
(wb). Tahap penelitian utama adalah penyulingan uap langsung dengan peningkatan tekanan uap bertahap dan kepadatan akar berbeda. Kepadatan akar terdiri dari 3 taraf 0.07 kg/l (A1); 0.09 kg/l (A2) dan 0.11 kg/l (A3). Proses penyulingan dilakukan dengan tekanan uap bertahap dimulai pada tekanan uap 1 bar selama 2 jam dinaikkan menjadi 1.5 bar selama 2 jam, 2 bar selama 2 jam, 2.5 bar selama 1 jam dan terakhir pada 3 bar selama 1 jam. Total waktu penyulingan yang digunakan adalah 8 jam dari destilat menetes. Berdasarkan hasil analisis keragaman, kepadatan akar tidak berpengaruh nyata terhadap rendemen dan sifat fisiko kimia minyak akar wangi hasil penyulingan dengan tekanan uap bertahap. Rendemen tertinggi diperoleh pada kepadatan akar 0.09 kg/l, 2.58% (v/w). Warna minyak yang dihasilkan untuk setiap kepadatan akar dominan seragam yaitu jernih kuning kecoklatan. Peningkatan tekanan uap sejalan dengan penurunan rendemen dan peningkatan bobot jenis, indeks bias, bilangan ester dan bilangan asam. Warna minyak yang dihasilkan setiap peningkatan tekanan uap cenderung bertambah gelap dari tekanan uap awal yaitu dari kuning muda ke kecoklatan. Kepadatan akar pada penyulingan dengan peningkatan tekanan uap bertahap tidak berpengaruh terhadap nilai kelarutan dalam alkohol 95%, seluruh fraksi larut jernih pada perbandingan 1:1 dan seterusnya. Kondisi penyulingan terbaik dipilih berdasarkan pembobotan terhadap faktor rendemen dan mutu yang meliputi warna minyak, nilai bilangan ester dan bilangan asam sebagai penentu kerusakan minyak. Perlakuan terbaik yaitu peningkatan tekanan uap bertahap pada kepadatan akar 0.09 kg/l (A2) dengan rendemen tertinggi 2.58% (v/w), bobot jenis (20°C) 1.0176, indeks bias (nD20) 1.5214, bilangan asam 18.48 dan bilangan ester tertinggi 39.1990. Berdasarkan hasil analisis kromatografi gas, pada fraksi campuran minyak akar wangi hasil penyulingan pada kepadatan akar 0.09 kg/l teridentifikasi 51 puncak komponen. Pada fraksi dengan tekanan uap 1.5 bar pada kepadatan akar 0.09 kg/l teridentifikasi 47 puncak komponen dan pada fraksi dengan tekanan uap 2 bar pada kepadatan akar 0.09 kg/l teridentifikasi 35 puncak komponen. Berdasarkan hasil analisis kromatografi gas spektrometri massa (KGSM) teridentifikasi komponen mayor penyusun minyak akar wangi pada penyulingan
dengan kepadatan akar 0.09 kg/l yaitu trisiklo vetiverol (21.66%), asam khusenat (17.00%), vetiver alkohol (6.79%), alpha vetivone (6.58%), 8,9-dehydroneoisolongifolene (4.27%), beta vetivone (3.61%) dan zizanol (1.95%). Fraksi pada tekanan uap 1.5 bar kepadatan akar 0.09 kg/l teridentifikasi komponen mayor yaitu trisiklo vetiverol (25.06%), asam khusenat (17.22%), vetiver alkohol (8.34%), alpha vetivone (7.04%), 8,9-dehydro-neoisolongifolene (3.71%), beta vetivone (4.15%) dan zizanol (2.29%). Fraksi pada tekanan uap 2 bar kepadatan akar 0.09 kg/l teridentifikasi komponen mayor yaitu trisiklo vetiverol (26.20%), asam khusenat (14.44%), vetiver alkohol (9.02%), alpha vetivone (11.36%), beta vetivone (6.24%) dan zizanol (2.04%).
Mad Adam B. Fajar. F34103071. The Influence of Root Bulkiness on Distillation by Gradual Increase of Steam Pressure to The Yield and Quality of Vetiver Oil Produced. Supervised by Ir. Semangat Ketaren, MS dan Ir. Edy Mulyono, MS. 2008 SUMMARY Indonesia is one of the biggest essential oil exporting countries in the world. One of kind essential oil that has been produced commercially in Indonesia is vetiver oil. Vetiver oil is obtained from distillation of Vetiveria zizaniodes STAPF. Vetiver oil is used as fixative agent in cosmetic industry and perfumery due to its soluble characteristic in alcohol and can be mixed with other essential oil. The exporting volume of Indonesia’s vetiver oil is fluctuated every year. The fluctuation is not only caused by consumer or importer demand but also by the producing capablity and the quality of vetiver oil. To increase quality and yield of vetiver oil, one of the technique that could be use is steam distillation using gradual increase of steam pressure and appropriate bulkiness of vetiver oil in the kettle. The aims of this research were to know the influence of root bulkiness on distillation by gradual increase of steam pressure to the yield and quality of vetiver oil produced to get the best distillation condition. That it is presumed this technique would achieve the highest yield that is rich in main components and quality that fulfill the Standar Nasional Indonesia. The research is using Pulus Wangi variety of vetiveria with harvest age of 11 months, has been cleaned, separated from its hump and cut into 15 to 20 cm long. The experiments were conducted in two steps. The first step is characteristic analyzation of vetiveria. The characteristic result shows vetiveria that has been dried for 12 hours content 10.98% (wb) of water and 5.6% (wb) of oil. The second step is steam distillation with gradual increase of steam pressure and different bulkiness. Bulkiness is varied from 0.07 kg/l (A1), 0.09 kg/l (A2) and 0.11 kg/l (A3). Steam distillation process start at 1 bar pressure for 2 hours then increase
into 1.5 bar for 2 hours, 2 bar for 2 hours, 2.5 bar for 1 hours and last at 3 bar for 1 hours . The total time of steam distillation process is 8 hours from the first drop of distillat. Based on Analysis of Variance, it is showed that bulkiness does not give significant influence to the yield and the chemical physical characteristics of the vetiver oil produced by gradual steam pressure. The highest yield 2.58% was obtained when bulkiness was 0.09 kg/l, (v/w). The colour vetiver oil of produced each bulkiness are almost the same which is clear and brownish yellow. The increase of steam pressure is followed with decrease in yield and an increase in specific grafity, refraction index, acid value and ester value. The colour of vetiver oil tend to grow darker ( from light yellow to brownish yellow) as the steam pressure was increased. Bulkiness and increase steam pressure does not give any influence to the solubility value in 95% alcohol. The best distillation condition is chosen based on the importance of yield and oil quality, which includes oil’s colour, odor, ester value, and acid value. It is concluded that the best treatment is obtained when bulkiness is 0.09 kg/l (A2) with highest yield of 2.58% (v/w), specific grafity (20°) of 1.0176, refraction index (nD20) of 1.5214, acid value of 18.48 and highest ester value of 39.1990. Based on the analysis with Gas Chromathografy on of vetiver oil by distillation using gradual increase of steam pressure at 0.09 kg/l of bulkiness identified 51 peaks area. At steam pressure 1.5 bar on 0.09 kg/l of bulkiness identified 47 peaks area and at steam pressure 1.5 bar on 0.09 kg/l of bulkiness identified 35 peaks area. Based on the analysis with Gas Chromathografy Mass Spectro identified the major components of vetiver oil by distillation using gradual increase of steam pressure at 0.09 kg/l of bulkiness, the components are tricsyclo vetiverol (21.66%), vetiver alcohol (6.79%), alpha vetivone (6.58%), beta vetivone (3.61%) and khusenic acid (17.00%). Fraction at steam pressure 1.5 bar on 0.09 kg/l of bulkiness identified the major components are tricsyclo vetiverol (25.06%), khusenic acid (17.22%), vetiver alcohol (8.34%), alpha vetivone (7.04%), 8,9dehydro-neoisolongifolene (3.71%), beta vetivone (4.15%) and zizanol (2.29%). Fraction at steam pressure 2 bar on 0.09 kg/l of bulkiness identified the major
components are tricsyclo vetiverol (26.20%), khusenic acid (14.44%), vetiver alcohol (9.02%), alpha vetivone (11.36%), beta vetivone (6.24%) and zizanol (2.04%).
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama lengkap Mad Adam Budiansah Fajar, dilahirkan di Bogor pada tanggal 29 Juni 1985, sebagai putra pertama dari pasangan Ayah Mad Yusuf Kosim dan Ibu Soekini Yusuf. Penulis menyelesaikan pendidikan di TK Al Abror Bogor (1990-1991), SD Al Ghazaly Bogor (1991-1997), SLTPN 7 Bogor (1997-2000), dan SMUN 5 Bogor (2000-2003). Penulis kemudian melanjutkan pendidikannya di Departemen Teknologi Industri Pertanian, FATETA melalui Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama studi di IPB penulis aktif dalam keorganisasian dan pernah menjadi pengurus HIMALOGIN sebagai anggota pada Departemen Enterpreneurship (2004-2005) , pengurus Paduan Suara Fateta (2005-2007), anggota Agriaswara IPB (2006) dan menjadi Asisten Teknologi Minyak Atsiri dan Kosmetika (2007). Penulis telah melaksanakan Praktek Lapang (2006) pada industri penyulingan minyak nilam rakyat di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah yang berjudul Studi Regional Aspek Pasca Panen dan Penyulingan Minyak Nilam di Kabupaten Dati II Banyumas, Jawa Tengah. Penulis menyelesaikan sripsi yang berjudul Pengaruh Kepadatan Akar Pada Penyulingan Dengan Kenaikan Tekanan Uap Bertahap Terhadap Rendemen dan Mutu Minyak Akar Wangi yang Dihasilkan.
KATA PENGANTAR Alhamdulillahirabbilalamin, penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang selalu
memberikan
rahmat
dan
hidayah-Nya,
sehingga
penulis
dapat
menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan terima kasih atas perhatian dan kerjasamanya kepada: 1. Ayah dan Ibu serta adik-adikku tercinta Azi dan Almi yang selalu berdoa serta memberikan dukungan baik materi maupun spiritual dan kasih sayangnya. 2. Ir. Semangat Ketaren, MS.
sebagai dosen pembimbing pertama atas
bimbingan dan arahannya. 3. Ir. Edy Mulyono, MS. staf peneliti pada Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian Bogor sebagai dosen pembimbing kedua atas kesempatan yang telah diberikan. 4. Prayoga Suryadarma, STP, MT. sebagai dosen penguji atas kritik dan sarannya. 5. Para laboran dan teknisi pada Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian; Bapak Adom, Bapak Bambang dan Dani. 6. Para laboran Teknologi Industri Pertanian, FATETA IPB. 7. Irawan, Mona, Yuyu, Acie, Ika teman satu bimbingan. 8. Ides, Fardian, Detri, Luci, Sylvi, Devi, Widia, Yuvi, Adit, Mayang, Imam, Umi, Endah, Amet, Ratih, Derry, Mas Hari, Umam, Badai, Farah, Endang, Agung, Dita, Rae, Rian, Mamin, Helmi, Hendrik untuk segala bantuannya. 9. Keluarga besar TIN 40 untuk doa dan dukungannya. Penulis berharap, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan. Bogor, 14 Maret 2008 Penulis
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR ..................................................................................
xi
DAFTAR ISI .................................................................................................
xii
DAFTAR TABEL .........................................................................................
xv
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................
xvi
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................
xviii
I.
II.
PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG .....................................................................
1
B. TUJUAN PENELITIAN
.............................................................
3
A. TANAMAN AKAR WANGI ........................................................
4
TINJAUAN PUSTAKA B. MINYAK AKAR WANGI 1. Komposisi dan Sifat Fisiko Kimia Minyak Akar Wangi 2. Kegunaan Minyak Akar Wangi
.........
5
................................................
10
.......................................................
10
1. Teori Dasar Distilasi ...................................................................
13
2. Perlakuan Pendahuluan Terhadap Akar Wangi
........................
14
............................................
15
.........................................................
16
3. Mutu Minyak Akar Wangi C. PENYULINGAN
3. Penyulingan Minyak Akar Wangi 3. Kondisi Penyulingan a. Peralatan Penyulingan
b. Kondisi Bahan dalam Ketel (Kepadatan Akar) c. Pengaruh Tekanan Uap
...................
17
........................................................
17
4. Perlakuan Minyak Setelah Penyulingan
...................................
18
........................................................................................
19
...........................................................................................
19
III. METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT 1. Bahan 2. Alat
B. METODE PENELITIAN 1. Penelitian Pendahuluan
a. Karakterisasi Akar Wangi
......................................................
22
b.1. Kepadatan Akar ..................................................................
22
b.2. Tekanan Uap
....................................................................
23
..................................................................................
24
b. Kondisi Penyulingan
b.3. Suhu
b.4. Laju Destilat 2. Penelitian Utama
......................................................................
24
.......................................................................
24
C. ANALISIS MUTU MINYAK AKAR WANGI D. ANALISIS DATA
..........................
27
........................................................................
27
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENELITIAN PENDAHULUAN 1. Karakterisasi Akar Wangi ............................................................
28
B. PENELITIAN UTAMA 1. Fraksi Minyak Campuran a. Rendemen ..................................................................................
29
b. Mutu b.1. Warna b.2. Bau
.................................................................................
31
.....................................................................................
32
b.3. Bobot Jenis
.........................................................................
33
b.4. Indeks Bias
........................................................................
34
b.5. Bilangan Asam
..................................................................
35
b.6. Bilangan Ester
...................................................................
37
b.7. Kelarutan Dalam Etanol 95%
............................................
38
b.8. Kromatografi Gas (KG) .......................................................
39
b.9. Kromatografi Gas Spektrometsi Massa (KGSM) ...............
41
2. Fraksi Tiap Tekanan Uap a. Rendemen ...................................................................................
44
b. Mutu b.1. Warna b.2. Bau
..................................................................................
46
......................................................................................
48
b.3. Bobot Jenis
..........................................................................
48
b.4. Indeks Bias
.........................................................................
49
b.5. Bilangan Asam
....................................................................
50
b.6. Bilangan Ester
...................................................................
52
b.7. Kelarutan Dalam Etanol 95%
V.
............................................
53
b.8. Kromatografi Gas (KG) .......................................................
53
b.9. Kromatografi Gas Spektrometsi Massa (KGSM) ...............
57
KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN
.............................................................................
71
B. SARAN ............................................................................................
72
DAFTAR PUSTAKA
..................................................................................
73
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1.
Perkembangan ekspor impor minyak akar wangi 2001-2005
….. 1
Tabel 2.
Sifat fisik vetivon
Tabel 3.
Standar mutu minyak akar wangi
Tabel 4.
Hasil analisis kromatografi gas minyak akar wangi pada
.........................................................................
................................................. 13
penyulingan dengan kepadatan akar 0.09 kg/l ............................... Tabel 5.
7
40
Hasil analisis kromatografi gas spektrometri massa minyak akar wangi pada penyulingan dengan kepadatan akar 0.09 kg/l ............ 41
Tabel 6.
Perbandingan hasil kromatografi gas minyak akar wangi fraksi campuran, fraksi pada tekanan uap 1.5 bar dan fraksi pada tekanan uap 2 bar .........................................................................................
Tabel 7.
54
Hasil analisis kromatografi gas spektrometri massa fraksi dengan tekanan uap 1.5 bar ......................................................................... 57
Tabel 8.
Hasil analisis kromatografi gas spektrometri fraksi massa dengan tekanan uap 2 bar ............................................................................ 60
Tabel 9.
Perbandingan hasil kromatografi gas spektrometri massa fraksi campuran, fraksi pada tekanan uap 1.5 bar dan fraksi pada tekanan uap 2 bar .........................................................................................
Tabel 10.
63
Distribusi luas area KGSM komponen mayor minyak akar wangi pada fraksi campuran, fraksi tekanan uap 1.5 bar dan fraksi tekanan uap 2 bar ............................................................................ 69
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1.
Tanaman akar wangi
........................................................
Gambar 2.
Struktur molekul vetivon
Gambar 3.
Struktur molekul khusimol
Gambar 4.
Struktur molekul khusol
Gambar 5.
Struktur molekul vetikadinol
Gambar 6.
Struktur molekul vetiverol
Gambar 7.
Boiler .................................................................................. 20
Gambar 8.
Ketel suling uap langsung ..................................................
20
Gambar 9.
Separator oil .......................................................................
21
Gambar 10.
Sketsa peralatan penyulingan uap .....................................
22
Gambar 11.
Diagram alir penyulingan akar wangi ...............................
26
Gambar 12.
Histogram
.................................................
4 7
............................................... 8 ...................................................
8
...........................................
8
...............................................
9
pengaruh kepadatan akar pada penyulingan
dengan tekanan uap bertahap terhadap rendemen minyak Akar wangi yang dihasilkan ............................................. Gambar 13.
Penampilan warna minyak akar wangi setiap kepadatan akar pada penyulingan dengan tekanan uap bertahap ......
Gambar 14.
29
Histogram
32
pengaruh kepadatan akar pada penyulingan
dengan tekanan uap bertahap terhadap bobot jenis 20°C minyak akar wangi yang dihasilkan ................................... Gambar 15.
33
Histogram pengaruh kepadatan akar pada penyulingan dengan tekanan uap bertahap terhadap indeks bias nD20 minyak akar wangi yang dihasilkan ...................................
Gambar 16.
35
Histogram pengaruh kepadatan akar pada penyulingan dengan tekanan uap bertahap terhadap bilangan asam minyak akar wangi yang dihasilkan ...................................
Gambar 17.
Histogram pengaruh kepadatan akar pada penyulingan uap dengan tekanan
uap bertahap terhadap bilangan
ester minyak akar wangi yang dihasilkan Gambar 18.
36
Grafik
hubungan
antara peningkatan
......................... 37 tekanan
uap
bertahap dan kepadatan akar terhadap rendemen minyak akar wangi yang dihasilkan ................................................ Gambar 19.
45
Grafik hubungan antara waktu penyulingan dan rendemen yang dihasilkan pada setiap peningkatan tekanan uap pada kepadatan akar berbeda ......................................................
Gambar 20.
Penampilan
warna
peningkatan
tekanan
minyak uap
dari
akar wangi
setiap
kepadatan akar 0.07
kg/l (A), 0.09 kg/l (B) dan 0.11 kg/l (C) ........................... Gambar 21.
Grafik
46
hubungan antara peningkatan tekanan
47
uap
bertahap dan kepadatan akar terhadap bobot jenis 20°C minyak akar wangi yang dihasilkan ................................... Gambar 22.
48
Grafik hubungan antara peningkatan tekanan uap bertahap dan kepadatan akar terhadap indeks bias nD2 0 minyak akar wangi yang dihasilkan ...................................
Gambar 23.
Grafik
hubungan
antara peningkatan tekanan
50
uap
bertahap dan kepadatan akar terhadap bilangan asam minyak akar wangi yang dihasilkan ................................... Gambar 24.
Histogram bertahap
51
hubungan antara peningkatan tekanan uap dan kepadatan akar terhadap bilangan ester
minyak akar wangi yang dihasilkan ...................................
52
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1.
Prosedur pengujian minyak akar wangi …...........................
Lampiran 2.
Rekapitulasi hasil analisa sifat fisiko kimia minyak akar
78
wangi hasil penyulingan dengan peningkatan tekanan uap bertahap dan kepadatan akar berbeda (2 kali ulangan) …… Lampiran 3.
Rekapitulasi hasil analisa sifat fisko kimia fraksi minyak campuran (tekanan uap 0 sampai 3 bar) ...............................
Lampiran 4.
..................................................................................
89
Data penyulingan dan pengamatan selama penyulingan yang meliputi laju destilat, suhu destilat dan suhu dalam ketel ....
Lampiran 6.
88
Data perhitungan kadar air dan kadar minyak akar wangi
Lampiran 5.
86
90
Hasil uji analisis keragaman pengaruh kepadatan akar hasil penyulingan uap langsung dengan tekanan uap bertahap (fraksi minyak campuran) ....................................................... 93
Lampiran 7.
Pola kromatogram gas minyak akar wangi penyulingan pada kepadatan akar 0.09 kg/l (fraksi minyak campuran) ..........
Lampiran 8.
94
Pola kromatogram gas minyak akar wangi penyulingan pada tekanan uap 1.5 bar dengan kepadatan akar 0.09 kg/l .....… 95
Lampiran 9.
Pola kromatogram gas minyak akar wangi penyulingan pada tekanan uap 2 bar dengan kepadatan akar 0.09 kg/l .........
96
Lampiran 10. Identifikasi pola fragmentasi spektrum massa minyak akar wangi fraksi campuran, fraksi 1.5 bar dan fraksi 2 bar hasil penelitian dengan literatur abraham (2002) …...................... 97
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Sebagai salah satu pusat penghasil minyak atsiri terbesar di dunia, Indonesia menghasilkan 40 jenis dari 70 jenis minyak atsiri yang diperdagangkan di pasar dunia. Dari jumlah tersebut, 11 jenis telah memasuki pasar atsiri dunia, yaitu nilam, serai wangi, cengkeh, jahe, pala, lada, cendana, melati, akar wangi, kenanga, dan kayu putih (Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2006). Salah satu jenis minyak atsiri yang telah diusahakan secara komersial adalah minyak akar wangi yang terkenal dengan nama Java vetiver oil. Minyak akar wangi diperoleh dari tanaman akar wangi (Vetiveria zizaniodes STAPF) melalui proses penyulingan. Minyak akar wangi digunakan sebagai fixative agent dalam industri kosmetik dan pewangi karena sifatnya larut dalam alkohol dan dapat dicampur dengan minyak atsiri lainnya. Di Indonesia, daerah penghasil minyak akar wangi terbesar adalah Kabupaten Garut, Jawa Barat. Menurut catatan yang ada pada Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Barat tahun 2007, produksi minyak akar wangi dari Kabupaten Garut, memasok 90 % lebih dari total produksi akar wangi nasional atau sekitar 60-70 ton per tahun (www.jabarprov.go.id). Pada Tabel 1 dapat dilihat perkembangan ekspor impor minyak akar wangi tahun 2001 sampai 2005. Tabel 1. Perkembangan ekspor impor minyak akar wangi 2001-2005 Tahun 2001 2002 2003 2004 2005
Ekspor Vol (kg) 1.583.798 79.714 45.821 58.444 74.210
Nilai (US$) 1.759.241 1.973.451 1.428.682 2.445.744 1.544.618
Impor Vol (kg) Nilai (US$) 2.312 43.728 2.572 46.312 2.465 18.680 2.231 51.308 532 22.890
Sumber: www.deptan.go.id Dari tabel perkembangan ekspor impor minyak akar wangi Indonesia mengalami fluktuasi dari tahun ke tahun. Adanya fluktuasi ini bukan hanya
disebabkan oleh kondisi permintaan konsumen atau importir, tetapi juga disebabkan oleh kemampuan produksi dan mutu minyak akar wangi. Rendahnya mutu minyak akar wangi Indonesia merupakan akumulasi dari mutu bahan baku tanaman atsiri yang rendah dan tidak seragam, penggunaan alat penyuling dan teknologi proses yang belum terstandar, kurangnya insentif harga bagi minyak akar wangi yang bermutu baik serta harga akar wangi yang ditentukan oleh pergerakan harga bahan bakar untuk penyulingan (Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2006). Usaha peningkatan mutu minyak perlu dilakukan karena ekspor minyak akar wangi selain ditentukan oleh volume permintaan juga ditentukan oleh mutunya. Salah satu upaya untuk meningkatkan mutu dan rendemen minyak akar wangi yang dihasilkan melalui penyulingan dengan peningkatan tekanan uap bertahap dengan kepadatan akar dalam ketel yang sesuai. Berdasarkan penelitian Harjono dan Rusli (1973) pada penyulingan minyak akar wangi dengan kepadatan akar 0.07 kg/l dengan waktu penyulingan 20 jam menghasilkan rendemen tertinggi sebesar 2.02%. Sukirman dan Aiman (1979) menyatakan kepadatan bahan dalam ketel suling berhubungan dengan penetrasi uap, kapasitas ketel dan efisiensi uap. Guenther (1952) menyatakan, minyak akar wangi terdiri atas komponen bertitik didih rendah dan tinggi. Penyulingan pada tekanan rendah (<1 bar) mengakibatkan uap terkondensasi menjadi air kembali pada tumpukan bahan. Penyulingan pada tekanan tinggi (≥1 bar) akan meningkatkan suhu, uap akan berpenetrasi terhadap bahan lebih efektif dan akan mempercepat proses difusi. Suhu yang tinggi dapat menyebabkan proses hidrolisis dan dekomposisi minyak. Agar diperoleh minyak bermutu tinggi, maka perlu dilakukan penyulingan dengan kenaikan tekanan uap bertahap. Dengan demikian diharapkan pada kepadatan akar ideal dan penyulingan dengan kenaikan tekanan uap bertahap akan menghasilkan minyak akar wangi bermutu baik dengan rendemen tertinggi dan waktu penyulingan lebih singkat.
B. TUJUAN PENELITIAN Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kepadatan akar pada penyulingan dengan peningkatan tekanan uap bertahap terhadap rendemen dan mutu minyak akar wangi yang dihasilkan. Dengan demikian diharapkan akan diperoleh kondisi penyulingan terbaik, yang menghasilkan rendemen tertinggi yang kaya akan komponen utamanya dan mutu minyak akar wangi yang sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI).
II. TINJAUAN PUSTAKA A. TANAMAN AKAR WANGI Tanaman akar wangi (Vetiveria zizanioides STAPF) termasuk famili Gramineae atau Poaceae, kelas Monocotyledonae, phylum Angiospermae dan divisio Anthophyta. Akar tanaman ini tumbuh merumpun, lebat, akar tinggalnya bercabang banyak dengan warna kuning pucat atau abu-abu sampai merah tua. Dari akar tinggal tersembul tangkai yang tingginya dapat mencapai 200 cm. Daunnya tampak kaku, berwarna hijau sampai kelabu, panjangnya 75-100 cm dan tidak mengandung minyak (Lutony dan Rahmayanti, 1994). Menurut Guenther (1972), tanaman akar wangi di Pulau Jawa tidak berbunga sehingga termasuk Andropogon muricatus RENZ. Umumnya jenis yang tidak berbunga menghasilkan rendemen minyak yang relatif lebih tinggi. Pada Gambar 1 dapat dilihat tanaman akar wangi.
Gambar 1. Tanaman akar wangi Tanaman akar wangi cocok tumbuh di tanah yang berpasir (antosol) atau tanah abu vulkanik dilereng-lereng bukit. Pada tanah tersebut akar tanaman panjang dan lebat serta akar akan mudah dicabut tanpa ada yang tertinggal atau hilang (Santoso, 1997). Menurut Heyne (1987), tanaman ini tumbuh baik dengan curah hujan 2000-3000 mm tiap tahun dan masih tetap tumbuh jika selama dua bulan tidak turun hujan. Suhu udara yang dikehendaki 17-27°C. Rumpun tanaman akar wangi terdiri dari sejumlah akar-akar halus, berwarna kuning pucat atau abu-abu sampai kemerahan, yang mengandung
minyak atsiri berwujud kental dengan bau halus dan tahan lama (Ketaren, 1985). Menurut Heyne (1987), pada akar wangi hanya bagian akar yang mengandung minyak, sedangkan daun dan bagian lain tidak mengandung minyak. Umur panen sangat menentukan rendemen dan mutu minyak yang dihasilkan. Sistem perakaran tanaman akar wangi telah mengalami perkembangan yang penuh setelah berumur 24 bulan. Akar yang telah mencapai umur tersebut mempunyai mutu minyak yang tinggi, akan tetapi kadar minyak atsiri dalam akar akan menurun (Guenther, 1952). Akar yang muda berpenampilan kurus, hampir seperti rambut, jika dicabut mudah putus dan tinggal di dalam tanah. Penyulingan akar tersebut akan menghasilkan minyak dengan bobot jenis dan putaran optik yang rendah. Akar yang lebih tua, lebih tebal dan bercabang-cabang menghasilkan bobot jenis dan putaran optik lebih tinggi dan aroma yang dihasilkan lebih lengkap dan tahan lama. Ciri-ciri akar pada berbagai tingkat umur panen adalah (a) panen pada umur kurang dari 10 bulan ciri akarnya lunak, coklat, keputihputihan dan rapuh; (b) panen umur 10-12 bulan akarnya besar-besar warna coklat tetapi rapuh; (c) umur 14-18 bulan akarnya keras, besar kenyal dan berwarna coklat (Anonimous, 1987). Minyak yang diperoleh dari akar tua warnanya lebih gelap daripada yang berasal dari akar muda (Tasma et al., 1990). Ketaren (1985) menyebutkan bahwa penyulingan akar wangi yang kering menghasilkan rendemen minyak sekitar 1.5-2.0 persen, sedangkan akar segar menghasilkan rendemen yang lebih rendah. B. MINYAK AKAR WANGI 1. Komposisi dan Sifat Fisiko Kimia Minyak Akar Wangi Komposisi kimia yang terdapat dalam minyak akar wangi berdasarkan hasil penelitian Adhika (2004), melaporkan bahwa hasil pengujian KGSM (Kromatografi Gas Spektrometri Massa) pada minyak akar wangi penyulingan tradisional di Desa Bayongbong, Garut diperoleh senyawa trisiklo vetiverol sebagai komponen terbesar minyak akar wangi yaitu dengan konsentrasi sebesar 9.72%, disusul β-vetivon, cycloisolongifolene
dan α-vetivon dengan konsentrasi masing-masing sebesar 6.29%, 5.77% dan 5.75%. Terdapat 29 komponen yang teridentifikasi dalam minyak akar wangi melalui KGSM. Hasil analisa KGSM menunjukkan bahwa kadar vetiverol (vetiverol total) sebesar 30.74%, seskuiterpen keton (vetivon total) sebesar 12.04%. Jika dijumlahkan antara seskuiterpen alkohol (vetiverol total) dan seskuiterpen keton (vetivon total) yang kedua golongan merupakan seskuiterpen-O (hidrokarbon-O), maka pada minyak akar wangi penyulingan tradisional di Desa Bayongbong, Garut diperoleh jumlah seskuiterpen-O sebesar 42.78%. Abraham (2002), menyebutkan bahwa berdasarkan pola fragmentasi spektrum massa pada minyak akar wangi asal Bone dapat diidentifikasi puncak-puncak yang diduga sebagai komponen bisiklo vetiverol, khusimol, trisiklo vetiverol, vetiver alkohol, beta vetivon dan alpha vetivon. Berdasarkan Champagnat et al. (2006) dari hasil penelitiannya melaporkan komposisi kimia dari minyak akar wangi (Vetiveria zizanioides (L.) Nash ) dari sembilan negara: Brazil, China, Haiti, India, Jawa (Indonesia), Madagaskar, Meksiko, Reunion dan Salvador. Dari hasil analisis KGSM, telah teridentifikasi sekitar 110 komponen pada minyak akar wangi dan komponen utamanya merupakan seskuiterpen. Karakteristik komponennya yaitu
β-vetispirene (1.6-4.5%), khusimol (3.4-13.7%),
vetiselinenol (1.3- 7.8%) dan α-vetivone (2.5- 6.3%). Komponen utama minyak akar wangi adalah vetivon yang terdiri dari alpha dan beta vetivon, dan bau minyak akar wangi terutama disebabkan persenyawaan keton. Rumus molekul dari vetiveron adalah C15H22O, berat molekul 218.33 (Guenther, 1972). Komposisi kimia minyak akar wangi terdiri dari terpen, seskuiterpen (vetiven) dan senyawa hidrokarbon beroksigen (Ketaren, 1985). Senyawa-senyawa utama yang terdapat pada minyak akar wangi adalah sebagai berikut: 1. Vetiven Komponen terbanyak alam minyak akar wangi adalah vetiven (C15H24), dengan berat molekul 204.34. Senyawa ini terdiri dari
seskuiterpen bisiklik dan trisiklik. Senyawa bisiklik mempunyai titik didih antara 132 sampai 133°C, indeks bias pada n15D sebesar 1.5179 dan bobot jenis 0.9339. Sedangkan senyawa bisiklik bertitik didih antara 126 sampai 127°C, indeks bias n15D 1.5143 dan bobot jenis 0.9372. Senyawa ini jarang digunakan dalam industri (Guenther, 1972). 2. Vetivon Senyawa yang paling utama dalam minyak akar wangi adalah vetivon. Stereoisomer senyawa ini terdiri dari α dan β- vetivon. Senyawa α-vetivon mempunyai bau yang sangat wangi, yang merupakan penentu utama bau khas dari minyak akar wangi (Buchi, 1978). Pada Gambar 2 dapat dilihat struktur molekul vetivon dan pada Tabel 2 sifat fisik vetivon.
α-vetivon
β-vetivon
Gambar 2. Struktur molekul vetivon (Akhila dan Rani, 2002). Tabel 2. Sifat fisik vetivon Parameter
α-vetivon
β-vetivon
Putaran optik
+23.8°15΄
-38°55΄
Indeks bias (20°C)
1.5370
1.5309
Bobot jenis (20°C)
1.0030
1.0001
Titik didih
144.0-144.5°C
141.0-142.0°C
Titik leleh
51.0-51.5
44.0-44.5
Sumber: Guenther (1972) 3. Khusimol Senyawa khusimol termasuk terpen-O dalam minyak akar wangi, berat molekul 220.35 dan rumus bangun C15H24O. Khusimol merupakan seskuiterpen trisiklik yang mempunyai indeks bias pada suhu 24°C sebesar
1.5183 (Champagnat et al., 2006). Pada Gambar 3 dapat dilihat struktur molekul khusimol.
Gambar 3. Struktur molekul khusimol (Akhila dan Rani, 2002). 4. Khusol Khusol mempunyai berat molekul 220, rumus molekul C15H24O termasuk terpen-O bisiklik. Titik lelehnya 101-2°C, putaran optik pada suhu 27°C sebesar -137°, titik didih 155°C dan indeks bias pada suhu 27°C sebesar 1.5060 (Siregar, 1993). Pada Gambar 4 dapat dilihat struktur molekul khusol.
Gambar 4. Struktur molekul khusol (Akhila dan Rani, 2002). 5. Vetikadinol Senyawa ini merupakan terpen-O di dalam minyak akar wangi, dengan berat molekul 222.37, isomer bisiklik vetiverol, titik leleh 111.5116.1°C dan titik didih 110+12°C pada tekanan 0.8 atmosfer. Pada Gambar 5 dapat dilihat struktur molekul vetikadinol.
Gambar 5. Struktur molekul vetikadinol (Akhila dan Rani, 2002).
6. Eudesmol (Selineol, Atraktilol) Senyawa ini terdiri dari tiga stereoisomer yaitu α, β, τ- eudesmol. Rumus molekulnya C15H26O dan berat molekul 222.37 (Siregar, 1993). 7. Vetivazualen Senyawa ini termasuk senyawa terpen, dengan rumus molekul C15H18, berat molekul 198, titik leleh 31.5°C pada suhu 32°C dan titik didih 140°C (Guenther, 1972). 8. Vetiverol (Vetivenol) 60% minyak terdiri atas seskuitrpen alkohol yang terdiri dari campuran alkohol primer yang sebagian besar mencakup alkohol trisiklis (C15H24O)) dan hanya sebagian kecil alkohol bisiklis (C15H26O) (Yoshiro, 1976). Menurut Moestafa dan Moermanto (1988), peningkatan kadar vetiverol di dalam minyak akar wangi sekaligus meningkatkan mutu minyak akar wangi. Pada Gambar 6 dapat dilihat struktur molekul vetiverol.
Gambar 6. Struktur molekul vetiverol 9. Asam palmitat Minyak akar wangi mengandung komponen asam palmitat, merupakan isomer cis, titik leleh 15-18°C, indeks bias pada suhu 20°C adalah 1.4593 dan rumus molekul CH3(CH2)14COOH (Guenther, 1972). 10. Asam vetivenat Asam vetivenat merupakan senyawa yang memiliki rumus molekul C15H22O2 dan berat molekul 234. Reaksi esterifikasi antara asam vetivenat dengan vetiverol menghasilkan suatu senyawa ester pada minyak akar wangi yang disebut sebagai vetivenil vetivenat.
2. Kegunaan Minyak Akar Wangi Minyak akar wangi merupakan minyak atsiri yang dapat dihasilkan dari tanaman akar wangi. Minyak akar wangi Indonesia dalam dunia perdagangan dikenal dengan nama Java vetiver oil. Minyak ini mempunyai aroma yang lembut dan halus disebabkan oleh ester, asam vetivenat, vetiverone serta vetiverol yang saat ini belum dapat dibuat secara sintesis (Tasma et al., 1990). Minyak akar wangi secara luas digunakan sebagai bahan kosmetika, pewangi sabun, pembuatan parfum dan obat-obatan
serta pencegah
serangga. Disamping memberikan aroma yang menyegarkan, sekaligus sebagai bahan pengikat zat pewangi (fixative agent) karena mempunyai daya fiksasi yang kuat (Akhila dan Rani, 2002).
Menurut Ketaren (1985),
fixative agent dalam minyak akar wangi disebabkan karena minyak akar wangi terdiri dari komponen fraksi berat yang titik didihnya tinggi sehingga baik digunakan sebagai fiksatif dalam pembuatan parfum dan membentuk wangi yang serasi dengan bahan pewangi dalam ramuan. 3. Mutu Minyak Akar Wangi Mutu minyak akar wangi dipengaruhi oleh berbagai hal yaitu jenis atau varietas tanaman, umur panen, perlakuan akar setelah panen, cara penyulingan, kontruksi peralatan penyulingan serta pemisahan, pengemasan dan penyimpanan. Umur panen akar wangi berpengaruh terhadap rendemen minyak yang dihasilkan. Berdasarkan informasi yang diperoleh penulis dari penyuling minyak akar wangi di Kabupaten Garut, minyak akar wangi yang bermutu baik dipanen dari akar berumur 12 bulan. Jenis varietas terbaik adalah Pulus Wangi yang ditanam pada tanah vulkanik pada ketinggian 1500 meter dari atas permukaan laut. Varietas ini menghasilkan rendemen minyak sebesar 0.8% sampai 1.0% (v/w) dari akar basah Perlakuan akar wangi setelah panen harus diperhatikan. Akar wangi yang baru dipanen sebaiknya langsung dibersihkan dan dicuci. Pencucian akar wangi setelah panen bertujuan untuk menghilangkan sebagian tanah
yang menempel pada akar. Penyulingan akar wangi tanpa pencucian terlebih dahulu akan menurunkan rendemen dan mutu akar wangi yang dihasilkan karena sebagian tanah ikut dalam proses penyulingan. Setelah akar wangi dibersihkan dan dicuci kemudian dilakukan pengeringan. Pengeringan bertujuan untuk menguapkan sebagian air dalam bahan, sehingga proses penyulingan lebih mudah dan singkat. Pengeringan sebaiknya dilakukan selama 12 jam dibawah sinar matahari langsung atau pada kadar air 15% sampai 25%. Pengeringan yang terlalu cepat dapat menyebabkan penguapan minyak, dan pengeringan yang terlambat akan mengundang timbulnya cendawan sehingga kualitas minyak akar wangi menjadi rendah. Sebelum dilakukan proses penyulingan sebaiknya akar wangi dirajang terlebih dahulu. Perajangan bertujuan memudahkan penguapan minyak atsiri dari bahan, memperluas permukaan suling dari bahan dan mengurangi sifat kamba. Apabila bahan dibiarkan utuh, kecepatan proses penyulingan minyak hanya bergantung pada proses difusi yang relatif berlangsung sangat lambat (Guenther, 1972). Tetapi proses perajangan ini juga memiliki beberapa kelemahan salah satu diantaranya adalah komposisi minyak akan berubah. Hal ini dapat terjadi karena minyak akar wangi terdiri dari campuran yang mengandung komponen yang mudah menguap (Gusmalini, 1987). Perajangan akar wangi dilakukan pada ukuran 15-20 cm. Waktu penyulingan yang cukup lama akan menghasilkan komponen minyak dengan titik didih tinggi, yang menjadi penentu nilai dan bau minyak. Berdasarkan hasil penelitian Hardjono dan Rusli (1973) diketahui bahwa perpanjangan waktu penyulingan akan menaikkan bilangan asam, bilangan ester dan kandungan vetiverol dalam minyak akar wangi. Sedangkan pemadatan bahan dalam ketel akan mengakibatkan penurunan ketiga parameter tersebut. Kerusakan yang sering terjadi pada minyak akar wangi adalah kerusakan komponen kimia, yang disebabkan proses hidrolisa, oksidasi, resinifikasi, pencampuran dengan bahan lain dan pencemaran oleh wadah kemasan (Ketaren, 1985). Kerusakan karena proses hidrolisa terjadi karena
penggunaan tekanan yang tinggi (5 sampai 6 bar). Tekanan yang tinggi akan menaikkan suhu dalam ketel sehingga proses hidrolisis sering terjadi. Hidrolisis terjadi dalam minyak atsiri yang mengandung ester, dimana ester akan terhidrolisa secara sempurna dengan adanya air sebagai katalisator. Asam organik hasil hidrolisa ester yang terdapat secara alamiah, dapat bereaksi dengan ion logam dan membentuk garam, yang mengakibatkan minyak berubah menjadi gelap. Menurut Ketaren (1985), reaksi oksidasi pada minyak atsiri terutama terjadi pada ikatan rangkap dalam terpen. Peroksida sebagai hasil reaksi oksidasi, bersifat labil dan mudah terurai membentuk senyawa aldehida, dan asam organik yang menyebabkan perubahan bau ke arah yang tidak dikehendaki. Beberapa fraksi dalam minyak atsiri dapat membentuk resin. Resin ini dapat terbentuk selama proses penyulingan yang menggunakan tekanan dan suhu tinggi, serta selama penyimpanan. Resin yang terbentuk sukar larut dalam alkohol, sehingga membentuk dispersi dan menyebabkan minyak menjadi keruh atau berupa endapan dalam minyak atsiri (Ketaren, 1985). Suhu dan tekanan yang terlalu tinggi, dapat menyebabkan minyak yang dihasilkan berwarna gelap, memberi kesan gosong (burnt note) dan bermutu rendah, akibat degradasi senyawa kimia dalam minyak. Wadah kemasan dapat menurunkan mutu minyak yang dikemas. Hal ini disebabkan karena jenis bahan kemasan tertentu dapat bereaksi dengan minyak akar wangi, sehingga menghasilkan warna tertentu, atau bahan kemasan itu sendiri mengandung kotoran (Rohayati, 1997). Penilaian mutu minyak akar wangi dilakukan dengan menganalisa sifat fisiko kimia. Tujuan menganalisa sifat fisiko kimia adalah untuk mendeteksi adanya pemalsuan, mengevaluasi kemurnian minyak dan mengidentifikasi jenis dan kegunaan minyak. Standar mutu minyak akar wangi dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Standar mutu minyak akar wangi Karakteristik
Satuan
Warna
Syarat Kuning muda sampai coklat kemerahan
Bobot jenis 20/20°C
derajat
0.978-1.038
Indeks bias (nD25)
-
1.513-1.528
Kelarutan dalam etanol 95%
%
1:1 jernih dan seterusnya jernih
Bilangan asam*)
-
8-35
Bilangan ester
-
5-25
Bilangan ester setelah asetilasi
-
100-150
Zat asing: Lemak
Negatif
Minyak pelikan
Negatif
Alkohol tambahan
Negatif
Sumber: SNI 06-2386-1991 *) Guenther (1972) C. PENYULINGAN AKAR WANGI 1. Teori Dasar Distilasi Unit operasi distilasi merupakan metode yang digunakan untuk memisahkan komponen-komponen yang terdapat dalam suatu larutan atau campuran dan tergantung pada distribusi komponen-komponen tersebut antara fasa uap dan fasa cair. Semua komponen tersebut terdapat dalam fasa cairan dan uap. Fasa uap terbentuk dari fasa cair melalui penguapan (evaporasi) pada titik didihnya (Geankopolis, 1983). Syarat utama dalam operasi pemisahan komponen-komponen dengan cara distilasi adalah komposisi uap harus berbeda dari komposisi cairan dengan terjadi keseimbangan larutan-larutan, dengan komponenkomponenya cukup dapat menguap. Suhu cairan yang mendidih merupakan titik didih cairan tersebut pada tekanan atmosfer yang digunakan (Geankopolis, 1983) Titik didih dapat didefinisikan sebagai nilai suhu pada tekanan atmosfir atau pada tekanan tertentu lainnya, dimana cairan akan berubah
menjadi uap atau suhu pada tekanan uap dari cairan tersebut sama dengan tekanan gas atau uap yang berada disekitarnya. Jika dilakukan proses penyulingan pada tekanan atmosfir maka tekanan uap tersebut akan sama dengan tekanan air raksa dalam kolom setinggi 760 cmHg. Berkurangnya tekanan pada ruangan di atas cairan akan menurunkan titik didih, sebaliknya peningkatan tekanan diatas permukaan cairan akan menaikkan titik didih cairan tersebut (Guenther, 1947).
2. Perlakuan Pendahuluan Terhadap Akar Wangi Perlakuan
pendahuluan
harus
dilakukan
sebelum
proses
penyulingan. Perlakuan terhadap akar wangi meliputi pembersihan, pencucian, pengeringan dan perajangan. Akar wangi yang baru dipanen dipotong daunnya, dibersihkan, dicuci dan kemudian dikeringkan dengan menjemur langsung dibawah sinar matahari atau diangin-aginkan pada tempat yang agak teduh. Pengeringan akar wangi dilakukan sampai kadar air 15-25%. Kerusakan dinding sel selama pengeringan memudahkan pengeluaran minyak, sehingga waktu penyulingan lebih singkat. Guenther (1972), menyatakan bahwa selama pengeringan terjadi pergerakan air yang menyebabkan kehilangan minyak. Sedangkan Thorpe (1947) mengemukakan bahwa pengeringan dapat menaikkan rendemen meskipun sebagian minyak menguap selama pengeringan. Sebelum disuling akar harus dilepaskan dari bonggolnya lalu dirajang sehingga berbentuk potongan akar yang pendek (Rusli et al., 1990). Proses perajangan bertujuan untuk memudahkan penguapan minyak atsiri dari bahan, memperluas permukaan suling untuk mengurangi sifat kamba. Perajangan dilakukan dengan ukuran 15-20 cm. Akar wangi dapat disuling dalam keadaan segar maupun kering. Minyak yang dihasilkan dari akar segar, mutu dan rendemennya lebih rendah dari akar pada kering (Rusli et al., 1990). Menurut Rusli et al. (1985), rendemen minyak akar wangi segar dan kering yang disuling
melalui sistem kukus dengan lama penyulingan sekitar 18 jam, masingmasing adalah 0.4-0.5% dan 1.6-2.1%. 3. Penyulingan Minyak Akar Wangi Akar wangi diekstrak dengan cara penyulingan uap langsung. Penyulingan adalah proses pemisahan komponen yang berupa cairan atau padatan dari dua macam campuran atau lebih, berdasarkan perbedaan titik uapnya. Proses ini dilakukan terhadap minyak atsiri yang tidak larut dalam air (Ketaren, 1985). Penyulingan uap langsung hampir sama dengan penyulingan uap dan air, namun antara ketel uap dan ketel penyulingan terpisah. Ketel uap yang berisi air dipanaskan kemudian uapnya akan mengalir ke dalam ketel yang berisi bahan baku. Partikel-partikel minyak pada bahan baku terbawa bersama uap dan dialirkan ke alat pendingin. Di dalam alat pendingin terjadi pengembunan sehingga uap air yang bercampur dengan minyak akan mengembun dan mencair kembali. Selanjutnya, dialirkan ke alat pemisah yang akan memisahkan minyak atsiri dari air. Menurut Ketaren (1985), penyulingan dengan uap langsung sebaiknya dimulai dengan tekanan uap yang rendah (kurang lebih 1 atmosfir), kemudian secara berangsur-angsur tekanan uap dinaikkan menjadi kurang lebih 3 atmosfir. Jika permulaan penyulingan dilakukan pada tekanan tinggi, maka komponen kimia terutama golongan terpen dalam minyak akan mengalami dekomposisi. Jika minyak dalam bahan dianggap sudah habis tersuling, maka tekanan uap perlu diperbesar lagi dengan waktu yang lebih singkat dengan tujuan untuk menyuling komponen minyak yang bertitik didih tinggi. Lama penyulingan akar wangi dengan metode kukus dan uap langsung dengan penggunaan tekanan berkisar antara 10 sampai 12 jam.
4. Kondisi Penyulingan a. Peralatan Penyulingan Peralatan dasar yang digunakan untuk penyulingan minyak akar wangi yaitu ketel suling (retort), pendingin (kondensor), dan penampung hasil minyak (separator). Disamping itu peralatan juga dilengkapi dengan ketel uap (boiler) sebagai sumber panas. Ketel suling adalah tempat bahan yang akan disuling dan bahan dapat berhubungan langsung dengan air atau dengan uap.
Ketel suling yang paling sederhana berbentuk silinder
(tangki), yang mempunyai diameter kurang lebih sama dengan ukuran tingginya (Ketaren, 1985). Pada penyulingan uap langsung ukuran tinggi ketel harus lebih besar dari ukuran diameternya, dengan harapan bahan yang disuling akan lebih lama kontak dengan uap sehingga meningkatkan rendemen minyak yang dihasilkan (Guenther, 1947). Pendingin yang digunakan adalah alat yang berupa pipa lurus atau berbentuk spiral yang berfungsi untuk mengubah seluruh uap air dan uap minyak menjadi fase cair, melalui penurunan suhu sampai dibawah titik embunnya. Perubahan fase ini disebut kondensasi. Uap air dan uap minyak dikondensasikan dalam kondensor (pendingin). Kondensor ada dua macam yaitu coil condensor dan tubular condensor. Menurut Ketaren (1985), pengeluaran panas dari uap lebih efektif dengan menggunakan tubular condensor, karena memiliki permukaan yang lebih luas. Penampung hasil minyak (separator) berfungsi untuk memisahkan minyak dari air suling. Alat ini biasanya terbuat dari gelas sedangkan yang berukuran lebih besar terbuat dari stainless steel (Ketaren, 1985). Menurut Guenther (1972), jenis logam yang baik digunakan untuk kontruksi alat penyulingan minyak atsiri adalah logam tahan karat (stainless steel) karena bahan yang bersifat asam dapat disuling dalam ketel tanpa terjadi korosi.
b. Kondisi Bahan Dalam Ketel (Kepadatan Akar) Pengisian akar wangi dalam ketel suling harus diatur sehingga merata. Menurut Sukirman dan Aiman (1979), kepadatan bahan dalam ketel suling berhubungan dengan penetrasi uap, kapasitas ketel dan efisiansi uap. Guenther (1972) menyebutkan bahwa tingkat kepadatan bahan berhubungan erat dengan besar ruangan antar bahan. Kepadatan bahan yang terlalu tinggi dan tidak merata menyebabkan terjadinya jalur uap yang dapat menurunkan rendemen dan mutu minyak. Semakin tinggi bahan dalam ketel, akan makin rendah rendemen, karena makin tinggi bahan dalam ketel, akan semakin besar jarak yang ditempuh dan halangan yang dialami uap air. Pertambahan jarak dan gesekan yang dialami uap air akan mengakibatkan semakin rendahnya kecepatan penyulingan dan dengan sendirinya makin kecil rendemen yang diperoleh (Rusli dan Hasanah, 1977). Dari hasil penelitian Harjono dan Rusli (1973), pemadatan akar wangi dalam ketel berpengaruh terhadap rendemen minyak. Akar yang dipadatkan (0.10 kg/l) lebih kecil rendemennya dibandingkan dengan akar tanpa pemadatan (0.07 kg/l). Rendemen minyak tertinggi adalah 2.02 % dengan kepadatan 0.07 kg/l dan 1.43 % dengan kepadatan 0.10 kg/l. c. Pengaruh Tekanan Uap Tekanan uap selama penyulingan perlu mendapat pengawasan yang teliti agar didapatkan minyak akar wangi dengan mutu yang lebih baik. Penyulingan memakai tekanan uap rendah menghasilkan minyak dalam waktu cukup lama, sehingga perpanjangan waktu penyulingan penting artinya baik ditinjau dari segi rendemen maupun mutunya. Penyulingan dengan tanpa tekanan dalam waktu singkat menyebabkan bobot minyak menjadi rendah. Penyulingan dengan tekanan uap tinggi dan waktu yang lama menghasilkan minyak yang mengandung resin dan mempunyai bau yang kurang enak (Rusli dan Hasanah, 1977). Menurut Lesmayanti (2004), perlakuan peningkatan tekanan secara bertahap selama proses penyulingan dapat meningkatkan rendemen
minyak yang dihasilkan juga dapat mengefisiensikan energi yang dipakai jika dibandingkan dengan tekanan konstan. Tekanan yang digunakan sebaiknya berkisar antara 1 sampai 3 bar. Berdasarkan hasil pengamatan penulis pada penyulingan minyak akar wangi di Kabupaten Garut digunakan tekanan uap konstan 4 sampai 5 bar. Hal ini dapat menurunkan mutu minyak dan menghasilkan minyak dengan warna coklat kehitaman, kesan gosong dan bilangan asam yang tinggi. 4. Perlakuan Minyak Setelah Penyulingan Setelah penyulingan, minyak akar wangi harus segera dipisahkan dari air untuk mengurangi proses hidrolisis. Air yang masih tersisa dalam minyak dapat diserap dengan Na2SO4 anhidrida atau menggunakan kain teflon. Kain teflon akan menyaring minyak akar wangi dan menahan air karena sifat kain teflon yang polar. Kerusakan minyak atsiri disebabkan oleh panas, oksigen bebas, air, cahaya dan katalisator. Untuk mencegah kerusakan tersebut, maka minyak atsiri harus disimpan dengan baik. Tempat penyimpanan minyak atsiri dalam jumlah kecil lebih baik menggunakan botol-botol berwarna gelap, sedangkan dalam jumlah besar disimpan dalam drum yang dilapisi bahan anti karat. Minyak akar wangi akan lebih tinggi mutunya setelah disimpan lama. Untuk minyak yang baru disuling biasanya berbau rumput (Somaatmadja, 1978). Menurut Ketaren (1985), proses penuaan (aging) minyak akar wangi bertujuan untuk memperbaiki mutu minyak, terutama untuk menghilangkan kesan green odor.
III. METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT 1. Bahan Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini berupa bahan baku utama dan bahan pembantu. Bahan baku utama yang digunakan adalah akar wangi varietas Pulus Wangi asal Garut, Jawa Barat dengan umur panen 11 bulan. Pada penelitian ini akar wangi yang sudah dibersihkan, dicuci dan dipisahkan dari bonggolnya di keringkan dibawah sinar matahari langsung selama 12 jam. Bahan pembantu adalah bahan kimia yang digunakan untuk analisis sifat fisiko kimia minyak akar wangi adalah NaOH 0.1N dan NaOH 0.5N, KOH 0.1N, alkohol, etanol 95%, Na2SO4 anhidrid, indikator PP dan aquadest.
2. Alat Percobaan ini menggunakan sistem penyulingan uap langsung (steam distillation) dimana uap dialirkan pada ketel yang terpisah (boiler). Alat penyulingan terdiri dari boiler, ketel suling, kondensor, dan separator. Boiler yang digunakan adalah boiler dengan pemanas listrik. Tekanan uap yang dihasilkan boiler maksimal 15 bar, dan tekanan yang disalurkan kedalam ketel suling selama proses berlangsung sekitar 3-4 bar. Besarnya tekanan uap dapat dilihat pada sensor tekanan. Pengumpan air menggunakan pompa yang bekerja otomatis atas dasar ketinggian air di dalam ketel. Uap dari boiler dialirkan kedalam ketel penyuling dengan pipa melalui katup. Jumlah aliran uap dapat diatur dengan besar kecilnya pembukaan katup. Gambar boiler yang digunakan pada penelitian dapat dilihat pada Gambar 7.
Gambar 7. Boiler
Ketel penyulingan yang digunakan terbuat dari stainless steel, pada bagian badan dan tutup ketel suling serta leher angsa telah diisolasi menggunakan kain asbes, pada bagian badan ketel dilapisi lagi dengan lempengan seng. Ketel suling yang digunakan memiliki diameter 42.5 cm dan tinggi 88 cm (tinggi efektif 63 cm dan tinggi dari dasar ketel sampai sarangan 25 cm). Kapasitas ketel suling sebesar 100 liter. Gambar ketel suling yang digunakan pada penelitian dapat dilihat pada Gambar 8.
Gambar 8. Ketel Suling Uap Langsung
Tekanan dan jumlah uap yang masuk dapat diatur dengan mengatur besar kecilnya pembukaan katup masuk uap dari ketel dan katup keluar uap ke kondensor. Besarnya tekanan dapat dilihat pada sensor tekanan yang terdapat pada tutup ketel. Selain itu terdapat sensor untuk mengetahui suhu dalam ketel yang disambungkan pada monitor suhu. Separator yang digunakan terbuat dari bahan gelas terdiri dari dua lapis bejana, satu bejana terletak di dalam yang lain. Bejana dalam memiliki lubang pada bagian bawah dan bejana luar memiliki lubang pada bagian atas untuk pengeluaran air. Minyak yang tersuling akan terperangkap dalam bejana dalam.
Gambar 9. Separator Oil
Kondensor yang digunakan adalah jenis penukar panas tubular condensor tipe badan satu lintasan dengan air sebagai media pendingin. Bahan kondensor bagian luar terbuat dari besi dan bagian dalam yang bersentuhan dengan destilat terbuat dari stainless steel dengan diameter 10 cm dan panjang 96 cm. Jumlah pipa kondensor di bagian dalam sebanyak 17 buah. Sketsa peralatan penyulingan yang digunakan dapat dilihat pada Gambar 10.
Gambar 10. Sketsa Peralatan Penyulingan Uap
Alat ukur yang digunakan pada penelitian ini yaitu gelas ukur dan timbangan. Alat-alat yang digunakan untuk analisa sifat fisiko kimia minyak akar wangi yang dihasilkan adalah piknometer, tabung reaksi, erlenmeyer, labu ukur, neraca analitik, refraktrometer, pH meter, buret, pendingin balik dan penangas air.
B. METODE PENELITIAN 1. Penelitian Pendahuluan a. Karakterisasi akar wangi Pada tahap ini akan dilakukan karakterisasi akar wangi yang digunakan. Karakterisasi bahan baku meliputi analisis kadar air dan kadar minyak. Perhitungan kadar air dan kadar minyak pada Lampiran 3. b. Kondisi Penyulingan Tahap berikutnya penetapan kondisi penyulingan yang meliputi: b.1. Kepadatan akar Kepadatan akar adalah kepadatan bahan dalam ketel. Pada penelitian ini kepadatan akar berhubungan dengan ketinggian pengisian bahan di dalam ketel. Kepadatan akar yang digunakan pada penelitian ini adalah 0.07, 0.09 dan 0.11 kg/l.
Ketinggian pengisian bahan di dalam ketel dengan kepadatan akar 0.07 adalah sebesar 35.26 cm, dengan perhitungan sebagai berikut: V ketel efektif = 100 L r ketel
= 21.25 cm
t ketel suling
= 63 cm
Bahan masuk = 3.5 Kg Kepadatan 0.07 kg/l Jawab: 70 g = 3500 g 1L
aL
a = 50 dm3 V = Лr2 t 50.000 cm = 3.14 x (21.25)2x t t = 35.26 cm Jadi, tinggi pengisian bahan dalam ketel untuk: a. Kepadatan akar 0.07 kg/l = 35.26 cm b. Kepadatan akar 0.09 kg/l = 27.43 cm c. Kepadatan akar 0.11 kg/l = 22.44 cm b.2. Tekanan uap Tekanan uap di dalam ketel penyuling diukur dengan manometer yang terdapat pada tutup ketel suling. Kapasitas tekanan pada ketel adalah 0 sampai 10 bar. Untuk menjaga kerusakan minyak karena pengaruh tekanan, pada penyulingan ini ditetapkan penggunaan tekanan uap bertahap pada kisaran
0
sampai 3 bar. Pada permulaan penyulingan dilakukan pada tekanan 1 bar selama 2 jam, kemudian 1.5 bar selama 2 jam dilanjutkan
pada tekanan 2 bar selama 2 jam, 2.5 bar selama 1 jam dan 3 bar selama 1 jam. b.3. Suhu Kenaikan suhu sejalan dengan kenaikan tekanan. Suhu yang diamati adalah suhu dalam ketel yang diukur oleh sensor otomatis oleh sensor suhu yang terdapat pada ketel. Suhu keluaran air kondensor dan destilat diukur menggunakan termometer. Untuk menghindari kerusakan minyak karena pengaruh suhu, suhu dalam ketel dipertahankan pada 100 sampai 150°C. Agar minyak dapat terkondensasi sempurna suhu destilat dipertahankan pada 40° sampai 50°C dan suhu air kondensor pada 50° sampai 60°C. b.4. Laju destilat Laju destilasi diukur berdasarkan jumlah destilat yang keluar dari kondensor menggunakan gelas piala 1 liter selama 1 menit. Laju destilat pada proses penyulingan minyak akar wangi ditetapkan pada kisaran 110 sampai 145 ml/menit dengan diameter ketel suling 42.5 cm dan tinggi efektif 63 cm (v = 89.328 liter). 2. Penelitian utama Penelitian utama adalah tahap penyulingan akar wangi melalui peningkatan tekanan uap bertahap dan kepadatan akar berbeda. Penyulingan dilakukan dengan sistem uap langsung. Untuk satu kali penyulingan digunakan akar wangi sebesar 3.5 kg, kemudian akar wangi dirajang dengan ukuran 15 sampai 20 cm. Akar wangi kemudian dimasukkan kedalam ketel dengan kepadatan akar yang sudah ditetapkan yaitu 0.07, 0.09 dan 0.11 kg/l. Lama penyulingan 8 jam dari destilat menetes. Selama penyulingan dilakukan pengamatan terhadap laju destilat, suhu destilat dan suhu ketel setiap 30 menit. Guenther (1952) menyatakan, minyak akar wangi terdiri atas komponen bertitik didih rendah dan tinggi. Penyulingan pada tekanan
rendah (<1 bar) mengakibatkan uap terkondensasi menjadi air kembali pada tumpukan bahan. Penyulingan pada tekanan tinggi (≥1 bar) akan meningkatkan suhu, uap akan berpenetrasi terhadap bahan lebih efektif dan akan mempercepat proses difusi. Suhu yang tinggi dapat menyebabkan proses hidrolisis dan dekomposisi minyak. Agar diperoleh minyak bermutu tinggi, maka perlu diusahakan supaya penyulingan minyak atsiri berlangsung pada suhu rendah, atau dapat pada suhu tinggi tetapi dalam waktu sesingkat mungkin. Pada penelitian ini bahan disuling dengan peningkatan tekanan uap bertahap dengan waktu yang telah ditetapkan untuk setiap tekanan. Penyulingan dengan peningkatan tekanan uap bertahap bertujuan untuk memperoleh minyak bermutu tinggi dan mencegah minyak dari kerusakan akibat tekanan uap yang tinggi. Penyulingan dimulai pada tekanan uap 1 bar dengan lama penyulingan selama 2 jam, kemudian dilanjutkan pada tekanan uap 1,5 bar selama 2 jam, tekanan uap kembali dinaikkan menjadi 2 bar selama 2 jam, kemudian dinaikkan menjadi 2,5 bar selama 1 jam, dan terakhir dinaikkan menjadi 3 bar selama 1 jam. Destilat pada setiap tekanan kemudian ditampung untuk diukur volume dan dianalisis sifat fisiko kimianya. Cara ini dilakukan untuk setiap kepadatan akar 0.07 kg/l, 0.09 kg/l dan 0.11 kg/l. Setelah diperoleh karakteristik minyak untuk setiap peningkatan tekanan uap, seluruh fraksi pada setiap tekanan kemudian dicampur. Pada tahap ini akan diperoleh fraksi minyak campuran hasil penyulingan tekanan uap bertahap 0 sampai 3 bar untuk setiap kepadatan akar. Fraksi tersebut kemudian dianalisis sifat fisiko kimianya. Diagram alir penyulingan akar wangi dapat dilihat pada Gambar 11.
Gambar 11. Diagram alir penyulingan akar wangi Akar wangi dibersihkan dan dicuci
Pengukuran kadar air dan kadar minyak
Pengeringan 12 jam
Penimbangan bahan 3.5 kg
Perajangan 15-20 cm
Penyulingan dengan kepadatan akar: 0.07 kg/l, 0.09 kg/l dan 0.11 kg/l
Peningkatan tekanan uap secara bertahap
1 bar t=2jam
1.5 bar t=2jam
2 bar t=2 jam
2.5 bar t=1 jam
Masing-masing destilat pada tiap tekanan ditampung, diukur volume dan dianalisis sifat fisiko kimianya Seluruh fraksi pada tiap tekanan dengan kepadatan akar yang sama dicampur , kemudian dianalisis sifat fisiko kimianya
Data
3 bar t=1 jam
C. ANALISIS MUTU MINYAK AKAR WANGI Mutu minyak akar wangi dibandingkan dan dilakukan sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) minyak akar wangi 1991. Analisis ini meliputi bobot jenis, indeks bias, kelarutan dalam etanol 95%, bilangan asam, bilangan ester, kromatografi gas (KG) dan kromatografi gas spektrometri massa (KGSM). Prosedur pengujian dapat dilihat pada Lampiran 1. D. ANALISIS DATA Untuk mengetahui pengaruh kepadatan akar terhadap rendemen dan mutu minyak hasil penyulingan dengan tekanan uap bertahap dari 0 sampai 3 bar, digunakan Rancangan Faktor Tunggal yang terdiri dari tiga taraf yaitu 0.07 kg/l (A1) 0.09 kg/l (A2) dan 0.11 kg/l (A3) dengan dua kali ulangan. Model matematis untuk Rancangan Faktor Tunggal (Sudjana, 1985) adalah sebagai berikut: Faktor A : Kepadatan akar A1 = 0.07 kg/l A2 = 0.09 kg/l A3 = 0.11 kg/l Yij = µ + Ai + εij Keterangan : Yij = Variabel yang akan dianalisis ( diasumsikan berdistribusi normal) µ = Nilai rata-rata sebenarnya Aij = Pengaruh kepadatan akar ke-i (i = 0.07 kg/l, 0.09 kg/l dan 0.11 kg/l) εij = Kekeliruan yang merupakan efek acak unit eksperimen ke-j pada kepadatan akar ke-i Untuk mengetahui pengaruh dari perlakuan yang dicoba maka dilakukan analisis
keragaman. Jika F Hitung > F Tabel pada selang
kepercayaan 95% berarti faktor tersebut berpengaruh nyata terhadap sifat fisiko kimia minyak akar wangi dan analisa data dilanjutkan dengan uji Duncan.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENELITIAN PENDAHULUAN 1. Karakterisasi Akar wangi Akar wangi yang telah dipanen dipotong daunnya, dibersihkan dari tanah
kemudian
dicuci.
Pencucian
akar
wangi
bertujuan
untuk
menghilangkan sebagian tanah yang menempel pada akar. Penyulingan akar wangi tanpa pencucian terlebih dahulu akan menurunkan rendemen dan mutu akar wangi yang dihasilkan karena sebagian tanah ikut dalam proses penyulingan. Akar wangi yang telah dicuci bersih kemudian dikeringkan dibawah sinar matahari selama 12 jam. Pengeringan bertujuan untuk menguapkan sebagian air dalam bahan, sehingga proses penyulingan lebih mudah dan singkat. Setelah akar wangi dikeringkan, kemudian dilakukan karakterisasi terhadap kadar air dan kadar minyaknya. Dari hasil analisis diperoleh akar wangi dengan kadar air 10.98% (wb) dan kadar minyak 5.6% (wb). Perhitungan kadar air dan kadar minyak akar wangi dapat dilihat pada Lampiran 4. Setelah dikeringkan akar wangi kemudian dibawa ke lokasi penyulingan dan telah mengalami penyimpanan sekitar 3 minggu sebelum penyulingan. Sebelum dilakukan penyulingan akar wangi kemudian dirajang. Perajangan akar wangi dilakukan dengan ukuran 15 sampai 20 cm. Pada bahan yang dirajang, dinding sel bahan akan rusak sehingga kelenjar minyak akan terbuka dan permukaan bahannya lebih luas sehingga dapat dicapai oleh uap air dan minyak yang dihasilkan lebih banyak. Minyak yang dihasilkan dari bahan utuh lebih sedikit karena ketebalan bahan tersebut menyebabkan makin sedikit air yang dapat keluar dari kantong minyak yang mengakibatkan kurangnya kecepatan minyak. Menurut Ketaren (1985), selama proses perajangan akan terjadi penguapan komponen minyak yang bertitik rendah dan jika dibiarkan beberapa menit, terjadi penguapan bahan sekitar 0.5%.
B. PENELITIAN UTAMA 1. Fraksi Minyak Campuran Pada tahap ini akan diperoleh fraksi minyak pada kepadatan akar 0.07 kg/l, 0.09 kg/l dan 0.11 kg/l melalui penyulingan dengan tekanan uap bertahap dari 0 bar sampai 3 bar (fraksi minyak campuran). Pada fraksi campuran akan dilihat pengaruh kepadatan akar terhadap rendemen dan sifat fisiko kimia minyak akar wangi yang dihasilkan. Dengan demikian diharapkan akan diperoleh rendemen tertinggi dan mutu minyak akar wangi yang sesuai dengan Standar Nasional Indonesia. a. Rendemen Pengukuran rendemen minyak bertujuan untuk mengetahui rendemen tertinggi dari penyulingan uap langsung dengan peningkatan tekanan uap bertahap pada setiap kepadatan akar. Rendemen minyak akar wangi dinyatakan dalam perbandingan antara volume minyak akar wangi
yang diperoleh dengan berat akar
wangi kering yang digunakan. Rendemen yang dihasilkan pada penyulingan dengan tekanan uap bertahap pada setiap kepadatan akar disajikan pada Gambar 12. Σ 2.21%
Σ 2.58%
Σ 2.40%
Gambar 12. Histogram pengaruh kepadatan akar pada penyulingan dengan tekanan uap bertahap terhadap rendemen minyak akar wangi yang dihasilkan
Pada histogram pengaruh kepadatan akar pada penyulingan dengan tekanan uap bertahap terhadap rendemen minyak akar wangi yang
dihasilkan dapat dilihat histogram hubungan pengaruh kepadatan akar terhadap rendemen yang dihasilkan melalui penyulingan dengan tekanan uap bertahap. Rendemen tertinggi dihasilkan pada kepadatan akar 0.09 kg/l sebesar 2.58% diikuti 0.11kg/l sebesar 2.40% dan 0.07 kg/l sebesar 2.21%. Dari hasil analisis keragaman diperoleh bahwa kepadatan akar dalam ketel tidak berpengaruh nyata terhadap rendemen yang dihasilkan dari penyulingan dengan tekanan uap bertahap. Perhitungan analisis keragaman dapat dilihat pada Lampiran 6. Menurut Rusli (1974), berdasarkan hasil penelitian dengan penyulingan dengan uap dan air (kukus), semakin rendah kepadatan bahan dalam tangki penyuling akan menaikkan rendemen yang diperoleh. Berdasarkan penelitian Rusli dan Hasanah (1977), dari penyulingan dengan tinggi bahan yang berbeda didapatkan bahwa semakin padat bahan dalam ketel maka rendemen semakin turun, karena tinggi bahan tersebut berhubungan dengan kepadatan bahan. Menurut Sukirman dan Aiman (1979), kepadatan bahan dalam ketel suling berhubungan dengan penetrasi uap, kapasitas ketel dan efisiensi uap. Pada penelitian ini, penyulingan pada kepadatan akar 0.07 kg/l menghasilkan rendemen terendah. Berdasarkan penelitian Harjono dan Rusli (1973) pada penyulingan minyak akar wangi dengan kepadatan akar 0.07 kg/l dengan waktu penyulingan 20 jam menghasilkan rendemen tertinggi sebesar 2.02%. Rendahnya rendemen yang dihasilkan kepadatan akar 0,07 kg/l disebabkan karena kepadatan akar di dalam ketel kurang efisien. Kepadatan akar wangi di dalam ketel suling tidak sesuai dengan kapasitas ketel sehingga menyebabkan kamba atau besarnya ruang kosong antar bahan. Sifat kamba ini menyebabkan penyulingan akar wangi tidak efisien yang berdampak pada penurunan rendemen yang dihasilkan. Sementara pada kepadatan akar 0.11 kg/l diperoleh rendemen minyak yang lebih tinggi dari kepadatan akar 0.07 kg/l tetapi lebih rendah dari 0.09 kg/l. Hal ini disebabkan karena kepadatan akar 0.11 kg/l memiliki kerapatan bahan yang lebih tinggi dibandingkan kepadatan akar 0.07 dan 0.09 kg/l. Kepadatan bahan yang terlalu tinggi mengakibatkan
sedikitnya ruang kosong pada ketel. Hal ini menyebabkan besarnya jarak yang yang ditempuh dan halangan yang dialami uap air. Laju alir uap dalam ketel terhambat dan jumlah uap yang kontak dengan akar berkurang. Pertambahan jarak dan gesekan yang dialami oleh uap air menyebabkan kecepatan penyulingan berkurang
dengan demikian
semakin rendah rendemen minyak yang diperoleh. Menurut Guenther (1972), penyulingan dengan kepadatan bahan lebih tinggi mengakibatkan terganggunya aliran uap panas yang dapat membentuk jalur uap (rat holes). Hal ini menyebabkan uap mengalir hanya terbatas pada jalur uap saja, sehingga rendemen yang dihasilkan lebih rendah. Dari jumlah rendemen yang dihasilkan, perlakuan terbaik adalah pada kepadatan akar 0.09 kg/l sebesar 2.58%. b. Mutu Analisis sifat fisiko kimia dilakukan terhadap fraksi minyak pada setiap kepadatan akar yang dihasilkan dari penyulingan dengan tekanan uap bertahap 0 sampai 3 bar. Pengujian dilakukan sesuai dengan prosedur pada Standar Nasional Indonesia (SNI). Parameter yang diukur adalah warna, bobot jenis, indeks bias, bilangan asam, bilangan ester, kelarutan dalam alkohol 95%, kromatografi gas (KG) dan kromatografi gas spektrometri massa (KGSM). b.1. Warna Warna merupakan salah satu parameter mutu yang menjadi salah satu pertimbangan konsumen minyak akar wangi. Pada umumnya, warna yang lebih muda disukai daripada warna yang lebih gelap. Minyak yang dihasilkan dari setiap kepadatan akar pada penyulingan dengan tekanan uap bertahap, secara visual menunjukkan warna yang seragam yaitu jernih kuning kecoklatan. Penampilan minyak akar wangi yang dihasilkan dari kepadatan akar berbeda pada penyulingan uap langsung dengan tekanan uap bertahap dapat dilihat pada Gambar 13.
Gambar 13. Penampilan warna minyak akar wangi setiap kepadatan akar pada penyulingan dengan tekanan uap bertahap Pengaruh penyulingan uap langsung dengan tekanan uap bertahap pada setiap kepadatan akar menghasilkan warna minyak jernih kuning kecoklatan. Kepadatan akar 0.07 kg/l, 0.09 kg/l dan 0.11 kg/l pada penyulingan dengan peningkatan tekanan uap bertahap 0 sampai 3 bar tidak berpengaruh terhadap warna minyak yang dihasilkan. Menurut SNI warna minyak akar wangi yang memenuhi syarat adalah kuning muda sampai coklat kemerah-merahan, sehingga minyak yang dihasilkan pada penelitian ini memenuhi Standar Nasional Indonesia. b.2. Bau Bau merupakan salah satu parameter terpenting dalam pengujian minyak atsiri. Dalam perdagangan biasanya bau minyak yang diinginkan adalah bau segar khas minyak atsiri. Menurut Ketaren (1985), bau dalam minyak atsiri disebabkan oleh persenyawaan oxygenated hydrocarbon, persenyawaan ini mempunyai nilai kelarutan yang tinggi dalam alkohol, serta lebih tahan dan stabil terhadap proses oksidasi dan resinifikasi. Vetiverone (vetivone) yang terdiri dari α-vetivone dan β-vetivone merupakan komponen utama minyak akar wangi. Senyawa-senyawa tersebut menyebabkan bau khas minyak akar wangi. Rumus molekul vetiverone C15H22O dengan berat molekul 218.33 (Guenther, 1972). Minyak akar wangi yang dihasilkan pada penyulingan uap langsung dengan tekanan uap bertahap pada setiap kepadatan akar memiliki bau segar khas akar wangi. Hal ini disebabkan karena proses
penyulingan dilakukan melalui peningkatan tekanan uap bertahap pada kisaran 0 sampai 3 bar. Pada tekanan uap bertahap, fraksi dengan titik didih rendah tidak terdegradasi saat penyulingan, sehingga minyak dapat terhindar dari kesan gosong yang diakibatkan suhu penyulingan yang tinggi. b.3. Bobot Jenis (specific gravity) Bobot jenis didefinisikan sebagai perbandingan massa suatu bahan pada suhu tertentu dengan massa air pada suhu yang sama (SNI minyak akar wangi, 1991). Menurut Guenther (1947), parameter ini penting untuk mengetahui adanya zat asing dalam suatu cairan serta perubahan-perubahan lain mempengaruhi mutunya. Nilai bobot jenis dipengaruhi
oleh
komponen-komponen
kimia
yang
terkandung
didalamnya. Bobot jenis minyak akar wangi yang dihasilkan dari setiap kepadatan akar dengan tekanan uap bertahap seluruhnya masuk dalam rentang nilai SNI yaitu 0.978 sampai 1.038. Menurut Ketaren dan Djatmiko (1978), bobot jenis yang tinggi mengarah ke mutu minyak yang baik, karena komponen-komponen dengan berat molekul tinggi terkandung di dalam minyak. Nilai bobot jenis untuk kepadatan akar 0.07 kg/l, 0.09 kg/l dan 0.11 kg/l berturut-turut sebesar 1.0064, 1.0176 dan 1.0174. Histogram pengaruh kepadatan akar pada penyulingan dengan tekanan uap secara bertahap terhadap bobot jenis 20°C dapat
Bobot jenis 20'C
dilihat pada Gambar 14. 1.02
1.0176
1.0174
0.09
0.11
1.015 1.01
1.0064
1.005 1 0.07
Kepadatan akar (kg/l)
Gambar 14. Histogram
pengaruh
kepadatan
akar
pada
penyulingan dengan tekanan uap bertahap terhadap bobot jenis 20°C minyak akar wangi yang dihasilkan
Dari hasil analisis keragaman, peningkatan kepadatan akar tidak berpengaruh nyata terhadap nilai bobot jenis yang dihasilkan. Pada kepadatan akar 0.07 kg/l bobot jenis yang diperoleh lebih rendah dibandingkan dengan kepadatan akar lainnya sebesar 1.0064. Kepadatan akar yang rendah menyebabkan pergerakan laju alir uap terlalu cepat dan proses hidrodifusi tidak sempurna. Proses hidrodifusi yang tidak maksimal menyebabkan berkurangnya kontak uap dengan akar pada saat penyulingan. Pada proses hidrodifusi yang kurang sempurna dapat menyebabkan fraksi dengan berat molekul tinggi tidak bisa ditembus oleh uap air dan teruapkan sebagai destilat.
Peristiwa ini dapat
menyebabkan penurunan nilai bobot jenis yang diperoleh karena fraksi dengan berat molekul tinggi sedikit atau tidak tersuling. Bobot jenis tertinggi dihasilkan oleh minyak pada kepadatan akar 0.09 kg/l sebesar 1.0176. Berdasarkan penelitian Anggraeni (2003) pada penyulingan nilam dengan metode uap langsung, semakin tinggi kepadatan bahan maka bobot jenis cenderung akan semakin turun. Pada kepadatan akar 0.09 kg/l, kerapatan akar dalam ketel sudah ideal. Pada kepadatan akar ini laju alir uap mengalir sempurna dibandingkan kepadatan akar 0.07 dan 0.11 kg/l. Laju alir uap bergerak tanpa adanya halangan oleh tumpukan akar atau besarnya ruang kosong antar bahan. Proses hidrodifusi berjalan lebih sempurna, sehingga kontak uap dengan akar lebih sering terjadi. Pada hidrodifusi yang sempurna uap air dapat menembus bahan dan menguapkan fraksi dengan berat molekul tinggi. Peristiwa ini dapat meyebabkan kenaikan nilai bobot jenis, karena fraksi dengan berat molekul tinggi tersuling. b.4. Indeks Bias Nilai indeks bias dipengaruhi oleh kekentalan dan kerapatan minyak, semakin tinggi kerapatan minyak, maka nilai indeks bias minyak tersebut makin tinggi. Menurut Forma (1979), komponenkomponen kimia yang terdapat dalam minyak termasuk fraksi berat akan meningkatkan kerapatan minyak, sehingga sinar yang datang akan
dibiaskan mendekati garis normal. Hal ini disebabkan karena fraksi berat minyak yang mengandung molekul-molekul bertitik didih tinggi. Indeks bias minyak hasil penyulingan kepadatan akar 0.07 kg/l, 0.09 kg/l dan 0.11 kg/l masuk dalam rentang nilai SNI yaitu 1.513 sampai 1.528. Nilai indeks bias untuk kepadatan akar 0.07 kg/l, 0.09 kg/l dan 0.11 kg/l berturut-turut sebesar 1.5209, 1.5214 dan 1.5235. Nilai indeks bias minyak akar wangi yang dihasilkan masuk kedalam rentang nilai SNI. Hal ini menunjukkan bahwa komposisi senyawa organik minyak akar wangi tersebut telah sesuai. Histogram pengaruh kepadatan akar pada penyulingan dengan tekanan uap bertahap terhadap indeks
Indeks bias nD20
bias minyak akar wangi dapat dilihat pada Gambar 15. 1.5235
1.524 1.523 1.522 1.521
1.5209
1.5214
1.52 1.519 0.07
0.09
0.11
Ke padatan ak ar (k g/l)
Gambar 15. Histogram pengaruh kepadatan akar pada penyulingan dengan tekanan uap bertahap terhadap indeks bias nD20 minyak akar wangi yang dihasilkan Dari hasil analisis keragaman kepadatan akar tidak berpengaruh nyata terhadap nilai indeks bias pada penyulingan dengan tekanan uap bertahap. Hasil penelitian Anggraeni (2003), diperoleh bahwa perbedaan kepadatan bahan pada penyulingan nilam dengan metode uap langsung tidak berpengaruh nyata terhadap nilai indeks bias. Dari penelitian Rusli dan Hasanah (1977) juga didapatkan bahwa perbedaan ketinggian bahan dalam ketel tidak memberikan banyak perubahan pada struktur dan komposisi senyawa organik pada minyak yang dihasilkan. b.5. Bilangan Asam Bilangan asam didefinisikan sebagai jumlah miligram KOH 0.1N yang dibutuhkan untuk menetralkan asam bebas dalam satu gram
minyak (Guenther, 1947). Bilangan asam ini dipergunakan untuk mengukur jumlah asam bebas yang terdapat dalam minyak. Asam bebas ini disebabkan oleh proses oksidasi dan hidrolisa ester. Menurut Guenther (1972), nilai bilangan asam akar wangi Jawa berkisar antara 8 sampai 35. Ketaren (1985), proses hidrolisa yang terjadi pada penyulingan dengan sistem uap relatif kecil jika dibandingkan dengan sistem penyulingan air ataupun penyulingan kukus. Hal ini disebabkan karena uap yang bersentuhan dengan bahan pada sistem penyulingan uap lebih sedikit jika dibandingkan dengan sistem penyulingan air dan penyulingan kukus. Histogram pengaruh kepadatan akar pada penyulingan dengan tekanan uap bertahap terhadap
Bilangan asam (mg KOH/g minyak)
bilangan asam minyak akar wangi dapat dilihat pada Gambar 16. 19
18.7685 18.48
18.5
17.8063
18 17.5 17 0.07
0.09
0.11
Ke padatan ak ar (k g/l)
Gambar 16. Histogram pengaruh kepadatan akar pada penyulingan dengan tekanan uap bertahap terhadap bilangan asam minyak akar wangi yang dihasilkan Dari hasil analisis keragaman, kepadatan akar tidak berpengaruh nyata terhadap bilangan asam pada penyulingan dengan tekanan uap bertahap. Kepadatan akar 0.07 kg/l, 0.09 kg/l dan 0.11 kg/l berturutturut memiliki bilangan asam sebesar 18.7685, 18.4800 dan 17.8063. Nilai bilangan asam yang dihasilkan oleh kepadatan akar 0.07 kg/l, 0.09 kg/l dan 0.11 kg/l berada pada kisaran standar mutu. Peningkatan tekanan uap bertahap dapat mencegah kerusakan minyak karena proses hidrolisis yang diakibatkan tekanan uap yang terlalu tinggi. Hasil
penelitian
Anggraeni
(2003),
perlakuan
perbedaan
kepadatan bahan tidak berpengaruh nyata terhadap bilangan asam.
Secara umum bilangan asam cenderung menurun dengan semakin padatanya bahan yang dimasukkan dalam ketel. Sementara hasil penelitian Harjono dan Rusli (1973) mendapatkan bahwa pemadatan bahan dalam tangki mengakibatkan turunnya bilangan asam , bilangan ester dan kandungan vetiverol dalam minyak. b.6. Bilangan Ester Bilangan ester sangat penting dalam penentuan mutu minyak akar wangi, karena ester merupakan komponen yang berperan dalam menentukan aroma minyak. Menutut Moestafa dan Moermanto (1988), minyak akar wangi yang bermutu tinggi memiliki bilangan ester diatas 12, tetapi masih berada dalam kisaran standar mutu. Bilangan ester yang diperoleh dari hasil penyulingan pada kepadatan akar 0.07 kg/l, 0.09 kg/l dan 0.11 kg/l berturut-turut sebesar 35.8846, 39.1990 dan 39.0818. Nilai bilangan ester yang diperoleh pada setiap kepadatan akar melebihi standar mutu SNI yaitu 5 sampai 25. Guenther (1972) menyatakan bahwa bilangan ester yang tinggi menunjukkan bahwa minyak tidak mudah teroksidasi, sehingga komposisi bau lebih sempurna dan ketahanan bau lebih lama. Histogram pengaruh kepadatan akar pada penyulingan uap dengan tekanan uap bertahap terhadap bilangan ester minyak akar wangi dapat dilihat pada
Bilangan ester (mg KOH/g minyak)
Gambar 17. 40 39 38 37 36 35 34
39.199
39.0818
0.09
0.11
35.8846
0.07
Kepadatan akar (kg/l)
Gambar 17. Histogram pengaruh kepadatan akar pada penyulingan uap dengan tekanan uap bertahap terhadap bilangan ester minyak akar wangi yang dihasilkan
Dari hasil analisis keragaman, kepadatan akar tidak berpengaruh nyata terhadap bilangan ester pada penyulingan dengan tekanan uap bertahap. Berdasarkan hasil penelitian Rusli (1974), kepadatan bahan tidak berpengaruh nyata terhadap ester dalam minyak tetapi semakin berkurang kepadatan bahan maka bilangan ester semakin tinggi. Menurut Rusli (1974), ester-ester yang terdapat dalam minyak atsiri merupakan fraksi berat yang menguap pada suhu tinggi. Dari data diatas bilangan ester terkecil dihasilkan oleh minyak pada kepadatan akar 0.07 kg/l sebesar 35.8846. Pada kepadatan akar 0.07 kg/l kerapatan akar dalam ketel lebih rendah dibandingkan kepadatan akar 0.09 dan 0.11 kg/l. Kepadatan akar yang rendah menyebabkan pergerakan laju alir uap terlalu cepat dan proses hidrodifusi tidak sempurna. Proses hidrodifusi yang tidak maksimal menyebabkan berkurangnya kontak uap dengan akar pada saat penyulingan. Pergerakan uap yang cepat menyebabkan uap yang kontak dengan bahan relatif sedikit karena sebagian uap losss, uap air tidak melewati kelenjar minyak pada lapisan akar yang paling dalam sehingga ester-ester yang merupakan fraksi berat tidak tersuling dan menyebabkan penurunan nilai bilangan ester. Sementara pada kepadatan akar 0.11 kg/l laju alir uap berjalan lambat, kepadatan akar yang terlalu tinggi dapat menyebabkan terjadinya jalur uap (rat holes). Pada jalur uap, uap air hanya melewati jalurnya saja dan tidak berpenetrasi secara merata pada bahan. Pada kondisi seperti ini proses hidrodifusi kurang sempurna karena uap air yang kontak dengan bahan sedikit sehingga ester-ester yang memiliki berat molekul tinggi tidak dapat tersuling. b.7. Kelarutan Dalam Etanol 95% Analisis ini bertujuan untuk mengetahui jumlah alkohol yang dibutuhkan untuk melarutkan secara sempurna sejumlah minyak atsiri. Kelarutan minyak atsiri dalam alkohol dipengaruhi oleh komponen kimia penyusun minyak. Menurut Ketaren (1985), menyatakan bahwa pada umumnya minyak yang mengandung hidrokarbon beroksigen
(oxygenated carbon) lebih mudah larut daripada yang mengandung terpen. Kelarutan minyak akar wangi yang dihasilkan pada setiap kepadatan akar pada penyulingan dengan kenaikan tekanan uap bertahap menunjukkan nilai yang berada pada rentang nilai SNI yaitu larut jernih pada perbandingan 1:1 sampai 1:10. Hal ini selain menunjukkan mutu minyak yang baik juga minyak kaya akan komponen terpen teroksigenasi yang bersifat polar dan larut sempurna dalam alkohol 95%. Kepadatan akar pada penyulingan dengan tekanan uap bertahap tidak berpengaruh terhadap nilai kelarutan dalam etanol 95%. Nilai kelarutan minyak terhadap etanol 95% dapat dilihat pada Lampiran 3. b.8. Kromatografi Gas (KG) Kromatografi gas merupakan metode umum yang digunakan untuk pemisahan , deteksi, dan perhitungan kuantitatif dari komponenkomponen dalam suatu campuran yang kompleks. Analisis komponen minyak akar wangi dengan metoda kromatografi gas dilakukan pada minyak hasil penyulingan pada kepadatan akar 0.09 kg/l (fraksi minyak campuran). Dasar pemilihan minyak yang dianalisis kromatografi gas didasarkan dari hasil analisis sifat fisiko kimia terbaik dan rendemen minyak akar wangi tertinggi. Hasil yang diperoleh dari kromatografi gas ini berupa puncakpuncak komponen, waktu retensi, dan persen area komponen minyak akar wangi. Kromatogram minyak akar wangi pada penyulingan dengan kepadatan akar 0.09 kg/l mengidentifikasi 51 puncak. Hasil analisis kromatografi gas minyak akar wangi pada penyulingan dengan kepadatan akar 0.09 kg/l dapat dilihat pada Tabel 4 .
Tabel 4. Hasil analisis kromatografi gas minyak akar wangi pada penyulingan dengan kepadatan akar 0.09 kg/l. No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
RT*) (menit) 20.02 20.22 22.14 22.28 22.73 23.14 23.64 23.93 26.48 27.76 28.73 29.71 29.89 31.34 31.99 34.11 35.59
Area (%) 0.70 0.91 0.58 0.57 1.15 0.82 1.93 1.60 0.66 4.27 0.62 1.09 0.34 0.65 1.10 1.21 0.41
No 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34
RT*) (menit) 36.55 37.14 37.40 37.46 37.88 38.57 38.71 39.00 39.32 39.40 40.21 40.59 40.72 40.93 41.45 41.60 41.92
Area (%) 0.60 0.91 0.74 0.97 0.69 0.81 1.11 0.51 1.38 0.34 0.81 0.43 0.62 0.72 0.69 1.72 0.10
No 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51
RT (menit) 42.12 42.34 43.40 43.78 44.08 44.19 44.51 44.75 45.40 45.98 46.67 47.07 47.61 47.90 48.03 48.46 50.34
Area (%) 1.08 1.23 0.32 1.95 0.70 0.84 0.49 1.80 0.64 0.85 3.61 21.6 1.23 6.58 6.79 1.47 17.00
*) Waktu Retensi Lesmayanti
(2004)
menyebutkan
bahwa
pada
analisa
kromatografi gas, komponen monoterpen akan keluar terlebih dahulu, kemudian diikuti oleh golongan monoterpen-O yang mempunyai polaritas dan bobot molekul lebih besar. Berikutnya akan keluar golongan seskuiterpen yang memiliki bobot molekul lebih besar dari golongan monoterpen-O, dan diikuti oleh golongan seskuiterpen-O yang mempunyai polaritas dan bobot molekul terbesar. Hasil analisis kromatografi gas diperoleh persen area tertinggi pada waktu retensi 47.07 sebesar 21.60%, diikuti waktu retensi 50.34 sebesar 17.00%, waktu retensi 48.03 sebesar 6.79%, waktu retensi 47.90 sebesar 6.58% dan waktu retensi 46.67 sebesar 3.61%. Berdasarkan waktu retensi keempat komponen terbesar tersebut, diperkirakan bahwa komponennya merupakan golongan seskuiterpen-O. Selain itu persen area yang cukup besar juga terdapat pada waktu retensi 27.76 sebesar 4.27%. Berdasarkan waktu retensi komponen tersebut, diperkirakan
bahwa komponenya merupakan golongan terpen. Pola kromatogram gas minyak hasil penyulingan pada kepadatan akar 0.09 kg/l dapat dilihat pada Lampiran 7. b.9. Kromatografi Gas Spektrometri Massa (KGSM) Dari analisis kromatografi gas spektrometri massa (KGSM) akan diperoleh dua informasi dasar, yaitu kromatogram gas dan spektrum massa. Dari kromatogram gas dapat diperoleh informasi mengenai jumlah minimal komponen kimia yang terdapat dalam minyak atsiri berikut kuantitasnya. Kromatogram minyak akar pada fraksi campuran wangi mengidentifikasi 51 puncak. Identifikasi komponen minyak akar wangi hasil KGSM pada penelitian ini berdasarkan pendugaan dengan menggunakan referensi data base WILEY275 (library data) yang ditabulasikan pada Tabel 5. Komponen volatil dalam minyak atsiri tidak tetap, tergantung pada kondisi iklim dan tanah serta tingkat perkembangan tanamannya. Varietas yang sama, lingkungan yang berbeda akan berpengaruh terhadap rendemen dan komponen kimia volatil minyak juga akan berbeda (Kapur, et al., 1967 dalam Abraham, 2002) Tabel 5. Hasil analisis kromatografi gas spektrometri massa minyak akar wangi pada penyulingan dengan kepadatan akar 0.09 kg/l. No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
RT**) (menit) 20.02 20.22 22.14 22.28 22.73 23.14 23.64 23.93 26.48
Area (%) 0.70 0.91 0.58 0.57 1.15 0.82 1.93 1.60 0.66
10
27.76
4.27
11
28.73
0.62
Dugaan Komponen (-)-prezizaene phenol,2-(propyl) (CAS) alpha-amorphene cadinene alpha-guaiene detla-cadinene beta-guaiene 9,10-dehydro-isolongifolene benzene,4-(2-butenyl)-1,2dimethy 8,9-dehydroneoisolongifolene 2-methoxy-8-methyl-1,4 naphthalinden
Rumus Molekul C15H24 C7H8 O2 C15H24 C15H24 C15H24 C15H24 C15H24 C15H22 C15H22
BM
SI*)
204 124 204 204 204 204 204 202 202
55 58 97 98 56 95 93 49 50
C15H24
204
86
C15H24
204
83
Tabel 5. Lanjutan 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
29.71 29.89 31.34 31.99 34.11 35.59 36.55 37.14 37.40 37.46 37.88 38.57
1.09 0.34 0.65 1.10 1.21 0.41 0.60 0.91 0.74 0.97 0.69 0.81
24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37
38.71 39.00 39.32 39.40 40.21 40.59 40.72 40.93 41.45 41.60 41.92 42.12 42.34 43.40
1.11 0.51 1.38 0.34 0.81 0.43 0.62 0.72 0.69 1.72 0.10 1.08 1.23 0.32
38 39 40
43.78 44.08 44.19
1.95 0.70 0.84
41 42
44.51 44.75
0.49 1.80
43 44 45 46 47 48 49 50 51
45.40 45.98 46.67 47.07 47.61 47.90 48.03 48.46 50.34
0.64 0.85 3.61 21.60 1.23 6.58 6.79 1.47 17.00
*) Peluang Kemiripan **) Waktu Retensi
(a) calamene calamene 2H-benzocyclohepten beta-eudesmol delta-selinene 1,4-napthalenedione khusimone beta-patchoulene calarene alpha-selinene benzene-tris (metylethyl) (CAS) 3-zizanone gamma-selinene valarenol eudesmol (b) (c) 9,10-dehydro-2-norzizaene carboxylic acid alpha-ionone beta-ionone alpha-gurujunene germacrene-D napthalenol tricyclo[4.4.0.02,7]dec-3 -ene-3-methanol zizanol dehydroaromadendrene 2,4,4-trimethyl-3phenyldihydropyran azuleneethanol cyclopropanedicarboximidic acid (d) alpha-costol 3,7-siklo decadien 1-on cyclopropan emethanol khusilic acid 2(3)-napthalenon beta-kopaen-4 alpha-ol (e) khusenic acid
C15H24 C15H24 C15H24 C12H18 C15H26O C15H24 C15H24 C14H20O C15H24 C15H24 C15H24 C15H22
204 204 204 162 222 204 204 204 204 204 204 202
83 90 95 90 78 91 64 90 86 90 93 93
C15H24 C15H24 C15H24O C15H26O C15H24 C15H24 C15H24 C15H22O2 C12H24 C15H24 C15H24 C15H24 C14H18O C15H22O
204 204 220 222 204 204 204 234 204 204 204 204 202 218
52 90 38 76 96 56 60 41 46 38 95 38 46 45
C15H24O C15H22 C15H22
220 202 202
47 72 83
C15H24O C15H22O2
220 234
46 90
C15H24 C15H22O C15H22O C15H24O C14H18O2 C15H22O C15H24O C15H24 C15H22O2
204 218 218 220 218 218 220 204 234
42 66 72 83 59 43 86 50 30
Keterangan : (a) trans-6,11-dimethyl-3,8-oxomethano-bicyclo[6,3,0] undeca-4,6- diene (b) 1,11-dimethyl-4-methylenetricyclo [6.3.1.0 (6,11)] undec-6 (7)-ene (c) 2,3-dihydro-4,5-dimethoxy-6-methyleneinden-1-one (d) 5,6,7,8-tetrahydrothieno[2,3-b] quinoline (e) 3,4-epoxy-6-methyl-6-3(3’-isopropenyl-1’-cyclopropen-1’-yl)-2-heptanone
Berdasarkan perbandingan pola fragmentasi puncak minyak akar wangi asal Garut pada penelitian Abraham (2002) (lihat pada Lampiran 10), komponen-komponen yang teridentifikasi pada hasil KGSM penelitian ini sebagai cyclopropan emthanol merupakan trisiklo vetiverol,
3,7-siklo decadien 1-on merupakan beta-vetivone, 2(3)-
napthalenon sebagai alpha-vetivone dan beta-kopaen-4 alpha-ol sebagai vetiver alkohol. Hasil analisis kromatografi gas (KG) diperoleh persen area tertinggi pada waktu retensi 47.07 diikuti waktu retensi 50.34, waktu retensi 48.03 dan waktu retensi 47.90 yang diperkirakan sebagai seskuiterpen-O. Berdasarkan hasil analisis kromatografi gas spektrometri massa (KGSM) komponen-komponen tersebut teridentifikasi sebagai trisiklo vetiverol dengan waktu retensi 47.07 dan konsentrasi 21.60% disusul asam khusenat dengan waktu retensi 50.34 dan konsentrasi 17.00%, vetiver alkohol dengan waktu retensi 48.03 dan konsentrasi 6.79%, alpha-vetivone dengan waktu retensi 47.90 dan konsentrasi 4.27% dan beta-vetivone dengan waktu retensi 46.67 dan konsentrasi 3.61%. Selain itu persen area yang cukup besar pada waktu retensi 27.76 sebesar 4.27% yang diperkirakan sebagai golongan terpen adalah komponen 8,9-dehydro-neoisolongifolene. Hasil analisa KGSM menunjukkan bahwa kadar vetiverol (vetiverol total) yang terhitung sebagai seskuiterpen alkohol bebas yang meliputi komponen-komponen seperti beta-eudesmol (1.21%), valarenol (1.38%), eudesmol (0.34%), napthalenol (1.23%), tricycle [4.4.0.02.7] dec-3-ene-3-methanol (0.32%), zizanol (1.95%), azulenethanol (0.49%), alpha-costol (0.85%), trisiklo vetiverol (21.60%) dan vetiver alkohol
(6.79%) terdapat pada minyak akar wangi hasil penyulingan pada kepadatan akar 0.09 kg/l dengan jumlah konsentrasi sebesar 36.16%. Pada Tabel hasil analisis kromatografi gas spektrometri massa minyak akar wangi pada penyulingan dengan kepadatan akar 0.09 kg/l juga diperlihatkan bahwa pada minyak akar wangi hasil penyulingan dengan kepadatan akar 0.09 kg/l terdapat komponen utama lain seperti alpha-vetivone (6.58%) dan beta-vetivone (3.61%) yang keduanya merupakan seskuiterpen keton dengan rumus molekul C15H22O. Untuk seskuiterpen keton (vetivone total) ini terkandung dalam minyak akar wangi sebesar 10.19%. Hasil kromatografi gas spektrometri massa juga menunjukkan total asam yang terkandung dalam komponen minyak akar wangi hasil penyulingan pada kepadatan akar 0.09 kg/l sebesar 20.75%. Asam-asam tersebut
adalah
asam
karboksilat
(0.72%)
asam
cyclopropanediccarboximidic (1.80%), asam khusilat (1.23%) dan asam khusenat (17.00%). 2. Fraksi Tiap Tekanan Uap Pada tahap ini akan diperoleh fraksi minyak untuk setiap peningkatan tekanan uap pada kepadatan akar 0.07 kg/l, 0.09 kg/l dan 0.11 kg/l. Pada setiap fraksi yang dihasilkan dari setiap kenaikan tekanan uap akan diperoleh rendemen dan mutu minyak akar wangi yang spesifik. a. Rendemen Peningkatan tekanan uap pada setiap kepadatan akar sejalan dengan menurunnya
rendemen
yang
dihasilkan.
Grafik
hubungan
antara
peningkatan tekanan uap bertahap dan kepadatan akar terhadap rendemen yang dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 18.
1 0.9
Rendemen (% v/w)
0.8 0.7 0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0
1
1.5
2
2.5
3
0.07 kg/l
0.92
0.61
0.35
0.19
0.15
0.09 kg/l
0.93
0.74
0.56
0.16
0.19
0.11 kg/l
0.89
0.51
0.45
0.19
0.36
Te k anan (bar)
Gambar 18. Grafik hubungan antara peningkatan tekanan uap bertahap dan kepadatan akar terhadap rendemen minyak akar wangi yang dihasilkan Dari Grafik
hubungan antara peningkatan tekanan uap bertahap
dan kepadatan akar terhadap rendemen minyak akar wangi yang dihasilkan, kenaikan tekanan uap sejalan dengan adanya penurunan rendemen yang dihasilkan. Hal ini disebabkan karena penyulingan dilakukan dengan peningkatan tekanan uap bertahap dan proses dilakukan secara kontinyu. Penurunan rendemen sejalan dengan pertambahan waktu penyulingan. Hubungan antara waktu penyulingan dengan rendemen yang dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 19.
volume minyak (ml)
20 15 10 5 0
jam ke-1
jam ke-2
jam ke-3
jam ke-4
jam ke-5
jam ke-6
jam ke-7
jam ke-8
0.07 kg/l
15
17.25
11.75
9.5
6.35
5.75
6.5
5.15
0.09 kg/l
14.25
18.25
16
10
9.5
10
5.65
6.75
0.11 kg/l
17.5
13.75
10.25
7.75
9.5
6.25
6.5
12.5
w aktu penyulingan (jam )
Gambar 19. Grafik hubungan antara waktu penyulingan dan rendemen yang dihasilkan pada setiap peningkatan tekanan uap pada kepadatan akar berbeda
Pada waktu awal dengan tekanan uap 1 bar, rendemen yang dihasilkan paling tinggi untuk kepadatan akar 0.07 kg/l sebesar 0.92%, 0.09 kg/l sebesar 0.93% dan 0.11 kg/l sebesar 0.89%. Pada tekanan uap 1 bar, minyak yang terkandung pada permukaan bahan sebagian besar diuapkan. Fraksi yang menguap merupakan fraksi dengan titik didih rendah. Menurut Guenther (1947), pada fraksi awal komponen-komponen yang lebih rendah akan tersuling terlebih dahulu, kemudian disusul dengan komponenkomponen bertitik didih lebih tinggi. Rendemen minyak yang diperoleh pada peningkatan tekanan berikutnya dan pertambahan waktu penyulingan cenderung menurun. Hal ini disebabkan karena minyak yang berada pada permukaan akar setelah teruapkan tidak segera dapat digantikan minyak bagian dalam akar, karena minyak tersebut terlebih dahulu harus dibawa kepermukaan bahan melalui proses hidrodifusi. Proses difusi semakin sulit bila sudah masuk ke bagian yang lebih dalam. Disamping itu juga perpanjangan waktu penyulingan sehingga persediaan minyak di dalam akar semakin sedikit. b. Mutu Analisis sifat fisiko kimia dilakukan terhadap fraksi minyak yang dihasilkan pada setiap peningkatan tekanan uap bertahap dengan kepadatan akar berbeda. Pengujian dilakukan sesuai dengan prosedur pada Standar Nasional Indonesia (SNI). Parameter yang diukur adalah warna, bobot jenis, indeks bias, bilangan asam, bilangan ester, kelarutan dalam alkohol 95%, kromatografi gas (KG) dan kromatografi gas spektrometri massa (KGSM). b.1. Warna Penampilan visual warna minyak akar wangi pada setiap peningkatan tekanan uap bertahap pada setiap kepadatan akar dapat dilihat pada Gambar 20.
(A)
(B)
(C) Gambar 20. Penampilan
warna minyak
akar wangi setiap
peningkatan tekanan uap dari kepadatan akar 0.07 kg/l (A), 0.09 kg/l (B) dan 0.11 kg/l (C) Secara visual dapat terlihat bahwa semakin tinggi tekanan uap, warna minyak yang dihasilkan akan semakin gelap. Peningkatan tekanan uap bertahap selama proses penyulingan menyebabkan warna minyak menjadi bertambah gelap dibandingkan dengan warna minyak yang dihasilkan pada tekanan awal. Pada tekanan uap 1 bar, 1.5 dan 2 bar secara visual warna yang dihasilkan dominan seragam yaitu kuning muda sementara pada tekanan 2.5 bar dan 3 bar warna yang dihasilkan kecoklatan. Peningkatan tekanan uap selama penyulingan mengakibatkan kenaikan suhu dalam ketel. Dengan adanya kenaikan suhu maka fraksi dengan titik didih tinggi akan tersuling. Fraksi bertitik didih tinggi memiliki warna alamiah kecoklatan, sehingga pada tekanan yang tinggi warna minyak yang dihasilkan berwarna kecoklatan. Selain itu suhu yang tinggi juga dapat menyebabkan proses burnt, sehingga warna minyak lebih coklat. Menurut Brown dan Islip (1953), penyulingan dengan tekanan tinggi memungkinkan rusaknya minyak atau burnt. Suhu
yang tinggi dapat menyebabkan reaksi polimerisasi sehingga warna minyak menjadi lebih gelap. b.2. Bau Bau yang dihasilkan dari setiap fraksi pada peningkatan tekanan uap memiliki bau segar khas akar wangi. Bau yang dihasilkan jauh dari kesan gosong. Hal ini disebabkan karena proses penyulingan dilakukan melalui peningkatan tekanan uap bertahap pada kisaran 0 sampai 3 bar. Pada tekanan uap bertahap, fraksi dengan titik didih rendah tidak terdegradasi saat penyulingan. Sedangkan fraksi dengan titik didih tinggi tidak teroksidasi oleh suhu tinggi karena lama penyulingan pada tekanan uap 2.5 dan 3 bar lebih pendek dibandingkan 1, 1.5 dan 2 bar. b.3. Bobot Jenis Peningkatan tekanan uap pada setiap kepadatan akar sejalan dengan kenaikan nilai bobot jenis. Grafik hubungan antara peningkatan tekanan uap bertahap dan kepadatan akar terhadap bobot jenis yang
Bobot Jenis 20'C
dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 21.
1.04 1.02 1 0.98 0.96
1
1.5
2
0.07 kg/l
0.9995
1.0129
1.0177
0.09 kg/l
0.9817
1.0169
1.0222
0.11 kg/l
0.9911
1.0146
1.0241
Te k anan (bar)
Gambar 21. Grafik hubungan antara peningkatan tekanan uap bertahap dan kepadatan akar terhadap bobot jenis 20°C minyak akar wangi yang dihasilkan Dari hasil penelitian diperoleh bahwa nilai bobot jenis minyak akar wangi yang dihasilkan masuk dalam rentang SNI. Dari grafik hubungan antara peningkatan tekanan uap bertahap dan kepadatan akar
terhadap bobot jenis 20°C minyak akar wangi yang dihasilkan diperoleh bahwa peningkatan tekanan uap berbanding lurus dengan peningkatan nilai bobot jenis yang dihasilkan. Peningkatan tekanan uap berhubungan dengan peningkatan suhu, pada suhu rendah fraksi yang tersuling merupakan fraksi dengan titik didih rendah sehingga nilai bobot jenis ringan. Sedangkan pada tekanan uap tinggi suhu akan meningkat dan fraksi yang tersuling merupakan fraksi bertitik didih tinggi sehingga meningkatkan nilai bobot jenis minyak. Pada tekanan uap 1 bar, suhu didalam ketel lebih rendah dibandingkan pada tekanan 1.5 dan 2 bar (lihat pada Lampiran 5 untuk setiap kepadatan akar). Pada suhu rendah fraksi minyak yang tersuling merupakan fraksi yang mudah menguap dengan titik didih rendah seperti monoterpen dan monoterpen-O. Sedangkan kenaikan suhu menyebabkan komponen dengan titik didih tinggi tersuling seperti seskuiterpen dan seskuiterpen-O, sehingga bobot jenisnya cenderung meningkat. b.4. Indeks Bias Ketaren dan Djatmiko (1978) mengemukakan bahwa nilai indeks bias yang tinggi dapat disebabkan karena komponen-komponen terpen teroksigenasinya mengandung molekul berantai panjang dengan ikatan tak jenuh atau mengandung banyak gugus oksigen. Indeks bias yang tinggi mengarah ke mutu minyak yang baik. Peningkatan tekanan uap pada setiap kepadatan akar sejalan dengan kenaikan nilai indeks bias. Grafik hubungan peningkatan tekanan uap bertahap pada setiap kepadatan akar terhadap indeks bias yang dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 22.
Indeks Bias
1.54 1.53 1.52 1.51 1.5
1
1.5
2
2.5
3
0.07 kg/l
1.5178
0.09 kg/l
1.5185
1.5219
1.524
1.5276
1.5342
1.5209
1.5241
1.5272
1.5325
0.11 kg/l
1.5203
1.5235
1.5253
1.5274
1.5355
Tekanan (bar)
Gambar 22. Grafik hubungan antara peningkatan tekanan uap bertahap dan kepadatan akar terhadap indeks bias nD20 minyak akar wangi yang dihasilkan Dari grafik hubungan antara peningkatan tekanan uap bertahap dan kepadatan akar terhadap indeks bias nD20 minyak akar wangi yang dihasilkan diperoleh bahwa nilai indeks bias cenderung mengalami peningkatan dengan adanya kenaikan tekanan. Tekanan uap yang tinggi akan menyebabkan suhu penyulingan meningkat. Peningkatan suhu menyebabkan fraksi dengan titik didih tinggi akan tersuling, pada fraksi dengan titik didih tinggi memiliki berat molekul lebih tinggi dan kerapatan yang besar sehingga akan meningkatkan nilai indeks bias. Tidak semua fraksi setiap tekanan uap memiliki nilai indeks bias yang berada pada rentang SNI. Pada tekanan uap 3 bar untuk kepadatan akar 0.07 kg/l, 0.09 kg/l dan 0.11 kg/l berturut-turut sebesar 1.5342, 1.5325, dan 1,5355 melebihi rentang SNI (1.513 sampai 1.528). Tingginya nilai indeks bias pada tekanan uap 3 bar disebabkan karena pada tekanan uap yang tinggi, fraksi dengan titik didih tinggi lebih banyak tersuling dan kerapatannya menjadi tinggi sehingga menaikkan nilai indeks bias. b.5. Bilangan Asam Peningkatan
bilangan
asam
sejalan
dengan
menurunnya
kepadatan akar dalam ketel. Hal ini disebabkan karena pada kepadatan bahan yang lebih rendah, ruang kosong yang terdapat antara akar lebih
besar sehingga kontak akar dengan air lebih banyak. Pada kepadatan akar yang rendah proses hidrolisis lebih besar dibandingkan dengan kepadatan akar yang tinggi, karena pergerakan uap lebih cepat pada ruang yang kurang rapat. Hidrolisa minyak menghasilkan asam bebas dan alkohol sehingga dapat menaikkan bilangan asam. Grafik hubungan antara peningkatan tekanan uap bertahap dan kepadatan akar terhadap bilangan asam dapat dilihat pada Gambar 23.
Bilangan Asam
50 40 30 20 10 0
1
1.5
2
2.5
3
0.07 kg/l
4.3698
3.927
4.3698
29.9434
45.6514
0.09 kg/l
3.4362
8.8358
5.8905
38.2883
44.6697
0.11 kg/l
5.8905
8.8358
18.1624
30.1552
36.96
Tekanan (bar)
Gambar 23. Grafik hubungan antara peningkatan tekanan uap bertahap dan kepadatan akar terhadap bilangan asam minyak akar wangi yang dihasilkan Dari grafik hubungan antara peningkatan tekanan uap bertahap dan kepadatan akar terhadap bilangan asam minyak akar wangi yang dihasilkan dapat dilihat kenaikan bilangan asam sejalan dengan peningkatan tekanan uap. Nilai bilangan asam yang dihasilkan dari penelitian ini bervariasi. Nilai bilangan asam akar wangi Jawa berkisar antara 8 sampai 35 (Guenther, 1972). Nilai bilangan asam dibawah standar mutu pada tekanan uap 1 bar untuk kepadatan akar 0.07 kg/l sebesar 4.3698, 0.09 kg/l sebesar 3.4362 dan kepadatan akar 0.11 sebesar 5.8905. Nilai bilangan asam dibawah standar mutu pada tekanan uap 1.5 bar pada kepadatan akar 0.07 kg/l sebesar 3.9270 dan pada tekanan uap 2 bar pada kepadatan akar 0.07 kg/l sebesar 4.3698 dan 0.09 kg/l sebesar 5. 8905. Nilai bilangan asam melebihi standar mutu untuk tekanan uap 2.5 bar pada kepadatan akar 0.09 kg/l sebesar 38.2883 dan
tekanan uap 3 bar untuk kepadatan akar 0.07 kg/l sebesar 45.6514, 0.09 kg/l sebesar 44.6697 dan kepadatan akar 0.11 sebesar 36.9600. Peningkatan nilai bilangan asam sejalan dengan naiknya tekanan uap. Peningkatan tekanan uap menyebabkan kenaikan suhu. Pada suhu tinggi, laju uap meningkat dan uap air yang bersentuhan dengan bahan bertambah. Meningkatnya kontak air dengan bahan menyebabkan proses hidrolisa yang terjadi semakin besar. Hidrolisa ester pada minyak akan menghasilkan asam bebas dan alkohol yang akan menyebabkan bertambahnya bilangan asam. Reaksi hidrolisis adalah sebagai berikut: O
O
R – C – OR1 + H2O Ester Air
R – C – OH + R1OH Asam Alkohol
b.6. Bilangan Ester Peningkatan tekanan uap berbanding lurus dengan bilangan ester yang dihasilkan. Histogram hubungan antara peningkatan tekanan uap bertahap dan kepadatan akar terhadap bilangan ester dapat dilihat pada Gambar 24. 45 40
Bilangan Ester
35 30 25 20 15 10 5 0
1
1.5
2
2.5
3
0.07
10.6029
27.6853
32.3978
34.754
40.6445
0.09
8.8357
22.3839
26.5073
33.5759
41.2335
0.11
7.6577
22.3839
25.3292
32.3978
40.0554
Te k anan (bar)
Gambar 24. Histogram hubungan antara peningkatan tekanan uap bertahap dan kepadatan akar terhadap bilangan ester minyak akar wangi yang dihasilkan Nilai bilangan ester minyak akar wangi yang dihasilkan dari penyulingan bervariasi. Pada umumnya nilai bilangan ester melebihi
rentang nilai SNI yang berkisar antara 5 sampai 25. Dari data diatas nilai bilangan ester yang memenuhi nilai SNI adalah pada tekanan uap 1 bar untuk kepadatan akar 0.07 kg/l sebesar 10.6029, kepadatan akar 0.09 kg/l sebesar 8.8357, kepadatan bahan 0.11 sebesar 7.6577 dan pada tekanan uap 1.5 bar pada kepadatan akar 0.09 kg/l sebesar 22.3839 dan kepadatan akar 0.11 kg/l sebesar 22.3839. Sementara untuk tekanan uap dan kepadatan akar lainnya melebihi rentang nilai SNI. Dari hasil penyulingan diperoleh data bahwa peningkatan tekanan uap pada setiap kepadatan akar menyebabkan kenaikan bilangan ester. Hal ini disebabkan karena meningkatnya tekanan sejalan dengan kenaikan suhu yang menyebabkan bertambahnya ester-ester yang menguap. Menurut Rusli (1974), ester-ester yang terdapat dalam minyak atsiri merupakan fraksi berat yang menguap pada suhu tinggi. b.7. Kelarutan Dalam Etanol 95% Kelarutan minyak akar wangi yang dihasilkan dari setiap peningkatan tekanan uap bertahap pada kepadatan akar berbeda menunjukkan nilai yang berada pada rentang nilai SNI yaitu larut jernih pada perbandingan 1:1 sampai 1:10. Hal ini selain menunjukkan mutu minyak yang baik juga menandakan bahwa fraksi mengandung hidrokarbon beroksigen yang bersifat polar dan larut sempurna dalam alkohol 95%. Peningkatan tekanan uap bertahap untuk kepadatan akar 0.07 kg/l, 0/09 kg/l dan 0.11 kg/l tidak berpengaruh terhadap nilai kelarutan dalam etanol 95%. Nilai kelarutan minyak terhadap etanol 95% dapat dilihat pada Lampiran 2. b.8. Kromatografi Gas (KG) Analisis komponen minyak akar wangi dengan kromatografi gas dilakukan pada minyak hasil penyulingan pada kepadatan akar 0.09 kg/l pada tekanan uap 1.5 dan 2 bar. Hasil yang diperoleh dari kromatografi gas ini berupa puncak-puncak komponen, waktu retensi, dan konsentrasi komponen minyak akar wangi. Perbandingan hasil kromatografi gas
minyak akar wangi fraksi campuran, fraksi pada tekanan uap 1.5 bar dan fraksi pada tekanan uap 2 bar dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Perbandingan hasil kromatografi gas minyak akar wangi fraksi campuran, fraksi pada tekanan uap 1.5 bar dan fraksi pada tekanan uap 2 bar Fraksi Campuran No RT*) Area (menit) (%) 1 20.02 0.70 2 20.22 0.91 3 22.14 0.58 4 22.28 0.57 5 22.73 1.15 6 23.14 0.82 7 23.64 1.93 8 23.93 1.60 9 26.48 0.66 10 27.76 4.27 11 28.73 0.62 12 29.71 1.09 13 29.89 0.34 14 31.34 0.65 15 31.99 1.10 16 34.11 1.21 17 35.59 0.41 18 36.55 0.60 19 37.14 0.91 20 37.40 0.74 21 37.46 0.97 22 37.88 0.69 23 38.57 0.81 24 38.71 1.11 25 39.00 0.51 26 39.32 1.38 27 39.40 0.34 28 40.21 0.81 29 40.59 0.43 30 40.72 0.62 31 40.93 0.72 32 41.45 0.69 33 41.60 1.72 34 41.92 0.10 35 42.12 1.08 36 42.34 1.23 -
Fraksi 1.5 bar No RT*) Area (menit) (%) 1 20.00 0.42 2 20.20 0.52 3 22.14 0.19 4 22.71 0.79 5 23.12 0.50 6 23.62 1.28 7 23.92 1.24 8 26.47 0.44 9 27.75 3.71 10 28.73 0.47 11 29.70 0.55 12 31.35 0.44 13 31.99 0.43 14 34.10 0.75 15 36.55 0.42 16 37.14 0.66 17 37.46 0.97 18 37.87 0.52 19 38.57 0.83 20 38.71 0.94 21 38.99 0.49 22 39.32 1.09 23 39.39 0.40 24 40.21 0.93 25 40.58 0.37 26 40.72 0.60 27 40.93 0.78 28 41.45 0.69 29 41.60 1.69 30 41.93 0.24 31 42.12 1.35 32 42.34 1.34 -
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
Fraksi 2 bar RT*) Area (menit) (%) 22.71 0.88 23.55 1.65 23.91 1.42 26.46 0.99 27.74 2.57 28.72 0.85 29.71 0.43 37.46 0.86 38.56 0.61 39.32 1.09 40.21 1.54 40.58 0.38 40.92 0.57 41.44 0.55 41.59 1.40 42.11 1.40 42.33 1.24 42.88 0.66
Tabel 6. Lanjutan 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 -
43.40 43.78 44.08 44.19 44.51 44.75 45.40 45.98 46.67 47.07 47.61 47.90 48.03 48.46 50.34 -
0.32 1.95 0.70 0.84 0.49 1.80 0.64 0.85 3.61 21.60 1.23 6.58 6.79 1.47 17.00 -
33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 -
43.40 43.78 44.08 44.19 44.52 44.75 45.39 45.99 46.68 47.08 47.61 47.91 48.03 48.45 50.31 -
0.57 2.29 0.57 1.00 0.61 2.07 0.63 0.54 4.15 25.06 1.45 7.04 8.43 1.87 17.22 -
19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35
43.40 43.77 44.08 44.19 44.75 45.40 46.17 46.68 47.06 47.17 47.29 47.61 47.91 48.02 48.45 50.34 50.36
0.27 2.04 0.88 0.88 2.02 0.40 0.37 6.24 26.21 0.98 0.86 1.87 11.36 9.02 1.86 3.54 10.90
*) Waktu Retensi Pada Tabel perbandingan hasil kromatografi gas minyak akar wangi fraksi campuran, fraksi pada tekanan uap 1.5 bar dan fraksi pada tekanan uap 2 bar dapat dilihat terdapat 47 puncak yang teridentifikasi pada fraksi dengan tekanan uap 1.5 bar dan 35 puncak pada fraksi dengan tekanan uap 2 bar. Lesmayanti
(2004)
menyebutkan
bahwa
pada
analisis
kromatografi gas, komponen monoterpen akan keluar terlebih dahulu, kemudian diikuti oleh golongan monoterpen-O yang mempunyai polaritas dan bobot molekul lebih besar. Berikutnya akan keluar golongan seskuiterpen yang memiliki bobot molekul lebih besar dari golongan monoterpen-O, dan diikuti oleh golongan seskuiterpen-O yang mempunyai polaritas dan bobot molekul terbesar. Dari hasil analisis kromatografi gas, pada fraksi dengan tekanan uap 1.5 bar dibandingkan dengan fraksi campuran diperoleh waktu retensi yang tidak terdapat pada fraksi dengan tekanan uap 1.5 bar tetapi ada dalam fraksi campuran. Waktu retensi yang tidak terdapat pada fraksi dengan tekanan uap 1.5 bar yaitu 22.28 dan 29.89 yang
diperkirakan sebagai terpen dan pada waktu retensi 35.59 dan 37.40 yang diperkirakaan sebagai seskuiterpen atau seskuiterpen-O. Tidak terdapatnya waktu retensi didalam fraksi dapat disebabkan karena komponen yang memiliki waktu retensi tersebut bertitik didih rendah sehingga komponen sudah keluar pada fraksi dengan tekanan uap yang lebih rendah dari 1.5 bar. Dari hasil analisis kromatografi gas, pada fraksi dengan tekanan uap 2 bar dibandingkan dengan fraksi campuran diperoleh waktu retensi yang tidak terdapat pada fraksi dengan tekanan uap 2 bar tetapi ada dalam fraksi campuran begitu juga sebaliknya. Waktu retensi yang tidak terdapat pada fraksi dengan tekanan uap 2 bar tetapi ada dalam fraksi campuran yaitu 20.02, 20.22 22.14, 22.28, 23.14 dan 29.89 yang diperkirakan sebagai golongan terpen, serta waktu retensi 31.34, 31.99, 34.11, 35.59, 36.55, 37.14, 37.40, 37.88, 38.71, 39.00,39.40, 40.72, 41.92, 44.51 dan
45.98 yang diperkirakan sebagai golongan
seskuiterpen dan seskuiterpen-O. Tidak terdapatnya waktu retensi didalam fraksi 2 bar tetapi terdapat dalam fraksi campuran dapat dikarenakan karena komponen yang memiliki waktu retensi bertitik didih rendah sudah keluar pada fraksi dengan tekanan uap yang lebih rendah dari 2 bar. Sementara itu, dari hasil analisis kromatografi gas, pada fraksi dengan tekanan uap 1.5 bar dibandingkan fraksi dengan tekanan uap 2 bar diperoleh waktu retensi yang terdapat pada fraksi dengan tekanan uap 1.5 bar tetapi tidak ada dalam fraksi dengan tekanan uap 2 bar begitu juga sebaliknya. Waktu retensi yang terdapat pada fraksi dengan tekanan uap 1.5 bar tetapi tidak ada dalam fraksi dengan tekanan uap 2 bar yaitu 20.00, 20.20 dan 22.14 yang diduga sebagai golongan terpen, serta waktu retensi 44.52 dan 45.99 yang diduga sebagai komponen seskuiterpen-O. Dari hasil analisis kromatografi gas (KG) juga diperoleh waktu retensi yang muncul pada fraksi dengan tekanan uap 2 bar tetapi tidak terdapat pada fraksi dengan tekanan uap 1.5 bar, waktu retensi tersebut
adalah 42.88, 46.17, 47.17, 47.29, dan 50.36 yang diduga sebagai seskuiterpen-O. Tidak terdapatnya waktu retensi dalam fraksi dengan tekanan uap tersebut dikarenakan komponen memiliki titik didih tinggi, sehingga membutuhkan tekanan uap yang lebih tinggi untuk dapat tersuling . Pola kromatogram gas fraksi dengan tekanan uap 1.5 dan 2 bar dapat dilihat pada Lampiran 8 dan 9. b.8. Kromatografi Gas Spektrometri Massa (KGSM) Analisis komponen minyak akar wangi dengan metoda KGSM dilakukan pada minyak hasil penyulingan pada kepadatan akar 0.09 kg/l pada tekanan uap 1.5 dan 2 bar. Hasil yang diperoleh dari metoda KGSM ini berupa dugaan komponen, waktu retensi, dan konsentrasi komponen minyak akar wangi. Identifikasi komponen minyak akar wangi hasil KGSM pada penelitian ini berdasarkan pendugaan dengan menggunakan referensi data base WILEY275 (library data) yang ditabulasikan pada Tabel 7 untuk fraksi pada tekanan uap 1.5 bar dan Tabel 8 untuk fraksi pada tekanan uap 2 bar . Tabel 7. Hasil analisis kromatografi gas spektrometri massa fraksi dengan tekanan uap 1.5 bar No 1 2 3 4 5 6 7
RT**) (menit) 20.00 20.20 22.14 22.71 23.12 23.62 23.92
Area (%) 0.42 0.52 0.19 0.79 0.50 1.28 1.24
8
26.47
0.44
9
27.75
3.71
10 11
28.73 29.70
0.47 0.55
Dugaan Komponen (-)-5- epiprezizaene phenol,2-(propyl) (CAS) alpha-amorphene cadinene alpha-guaiene beta-guaiene 9,10-dehydroisolongifolene benzene,4-(2-butenyl) -1,2-dimethy 8,9-dehydroneoisolongifolene (a) (a)
Rumus Molekul C15H24 C7H8 O2 C15H24 C15H24 C15H24 C15H24 C15H22
BM
SI*)
204 124 204 204 204 204 202
86 60 97 68 97 96 70
C15H22
202
49
C15H24
204
86
C15H24 C15H24
204 204
90 90
Tabel 7. Lanjutan 12 13 14 15 16 17 18 19
31.35 31.99 34.10 36.55 37.14 37.46 37.87 38.57
0.44 0.43 0.75 0.42 0.66 0.97 0.52 0.83
20 21 22 23 24 25 26
38.71 38.99 39.32 39.39 40.21 40.58 40.72
0.94 0.49 1.09 0.40 0.93 0.37 0.60
27 28 29 30 31 32 33 34 35 36
40.93 41.45 41.60 41.93 42.12 42.34 43.40 43.78 44.08 44.19
0.78 0.69 1.69 0.24 1.35 1.34 0.57 2.29 0.57 1.00
37 38
44.52 44.75
0.61 2.07
39 40 41 42 43 44 45 46 47
45.39 45.99 46.68 47.08 47.61 47.91 48.03 48.45 50.31
0.63 0.54 4.15 25.06 1.45 7.04 8.43 1.87 17.22
calamene isolimonene beta-eudesmol 1,4-napthalenedione khusimone calarene aromadendrene benzene-tris (metylethyl) (CAS) 3-zizanone gamma-selinene valarenol eudesmol (b) (c) 9,10-dehydro-2 -norzizaene aromadendrenepoxide dehydroaromadendrene beta-ionone delta-selinene isoledene germacrene-D napthalenol zizanol alpha-copaene 2,3,4-trimethyl-4hydroxy1-4-dihydronapthalenone azuleneethanol cyclopropanedicarboximi dic acid (d) alpha-costol 3,7-siklo decadien 1-on cyclopropan emethanol khusilic acid 2(3)-napthalenon beta-kopaen-4 alpha-ol (e) khusenic acid
C15H24 C15H24 C15H26O C15H24 C14H20O C15H24 C15H24 C15H22
204 204 222 204 204 204 204 202
95 60 83 64 83 87 90 94
C15H24 C15H24 C15H24O C15H26O C15H24 C15H24 C15H24
204 204 220 222 204 204 204
38 90 42 80 94 38 64
C15H24O C15H22 C15H24 C15H24 C15H24 C15H24 C14H18O C15H24O C15H24 C15H24
220 202 204 204 204 204 202 220 204 204
35 55 38 93 35 38 38 47 46 83
C15H24O C15H22O2
220 234
52 90
C15H24 C15H22O C15H22O C15H24O C14H18O2 C15H22O C15H24O C15H24 C15H22O2
204 218 218 220 218 218 220 204 234
53 59 53 83 55 47 64 53 25
*) Peluang Kemiripan **) Waktu Retensi Keterangan : (a) trans-6,11-dimethyl-3,8-oxomethano-bicyclo[6,3,0] undeca-4,6- diene (b) 1,11-dimethyl-4-methylenetricyclo [6.3.1.0 (6,11)] undec-6 (7)-ene
(c) 2,3-dihydro-4,5-dimethoxy-6-methyleneinden-1-one (d) 5,6,7,8-tetrahydrothieno[2,3-b] quinoline (e) 3,4-epoxy-6-methyl-6-3(3’-isopropenyl-1’-cyclopropen-1’-yl)-2-heptanone Berdasarkan perbandingan pola fragmentasi puncak minyak akar wangi asal Garut pada penelitian Abraham (2002) (lihat pada Lampiran 10), komponen-komponen yang teridentifikasi pada hasil KGSM penelitian ini sebagai cyclopropan emthanol merupakan trisiklo vetiverol,
3,7-siklo decadien 1-on merupakan beta-vetivone, 2(3)-
napthalenon sebagai alpha-vetivone dan beta-kopaen-4 alpha-ol sebagai vetiver alkohol. Hasil analisa kromatografi gas spektrometri massa (KGSM) fraksi dengan tekanan uap 1.5 bar diperoleh trisiklo vetiverol sebagai komponen tebesar minyak akar wangi yaitu dengan konsentrasi 25.06% disusul dengan asam khusenat, vetiver alkohol, alpha-vetivone, betavetivone dan 8,9-dehydro-neoisolongifolene dengan konsentrasi masingmasing sebesar 17.22%, 8.43%, 7.04%, 4.15% dan 3.71%. Hasil analisis KGSM fraksi dengan tekanan uap 1.5 bar menunjukkan bahwa kadar vetiverol (vetiverol total) yang terhitung sebagai seskuiterpen alkohol bebas yang meliputi komponen-komponen seperti beta-eudesmol (0.75%), valarenol (1.09%), eudesmol (0.40%), aromadendrenepoxide (0.78), napthalenol (0.57%), zizanol (2.29%), azulenethanol (0,61%), alpha-costol (0.54%), trisiklo vetiverol (25.06%) dan vetiver alkohol (8.43%) terdapat pada fraksi dengan tekanan uap 1.5 bar dengan jumlah konsentrasi sebesar 40.52%. Pada hasil analisis kromatografi gas spektrometri massa fraksi dengan tekanan uap 1.5 bar juga diperlihatkan bahwa pada minyak akar wangi fraksi dengan tekanan uap 1.5 bar terdapat komponen utama lain seperti alpha-vetivone ( 7.04%) dan beta-vetivone (4.15%) yang keduanya merupakan seskuiterpen keton dengan rumus molekul C15H22O. Untuk seskuiterpen keton (vetivone total) ini terkandung dalam minyak akar wangi sebesar 11.19%.
Hasil kromatografi gas spektrometri massa juga menunjukkan total asam yang terkandung dalam fraksi dengan tekanan uap 1.5 bar sebesar
20.74%.
Asam-asam
tersebut
adalah
asam
cyclopropanediccarboximidic (2.07%), asam khusilat (1.45%) dan asam khusenat (17.22%). Tabel 8. Hasil analisa kromatografi gas spektrometri massa fraksi dengan tekanan uap 2 bar No 1 2
RT**) (menit) 22.71 23.55
Area (%) 0.88 1.65
3 4 5 6 7 8 9
23.91 26.46 27.74 28.72 29.71 37.46 38.56
1.42 0.99 2.57 0.85 0.43 0.86 0.61
10 11 12 13
39.32 40.21 40.58 40.92
1.09 1.54 0.38 0.57
14
41.44
0.55
15 16 17 18
41.59 42.11 42.33 42.88
1.40 1.40 1.24 0.66
19
43.40
0.27
20 21
43.77 44.08
2.04 0.88
22 23 24
44.19 44.75 45.40
0.88 2.02 0.40
Dugaan Komponen beta-selinene benzene,4-(2butenyl)1,2-dimethy cycloisolongifolene calamene calarene calarene alpha-calacorene alpha-gurujunene benzene-tris (metylethyl) (CAS) valarenol (a) (b) caryophyllene oxide dehydroaromadend rene beta-ionone germacrene-D calarene 8,9-dehydroneoisolongifolene tricyclo[4.4.0.02,7] dec3-ene-3-methanol zizanol dehydroaromadend rene 3-epizizanol napthalenol 5,6,7,8tetrahydrothieno [2,3-b] quinoline
Rumus Molekul C15H24 C15H22
BM
SI*)
204 202
68 87
C15H22 C15H24 C15H24 C15H24 C15H24 C15H24 C15H22
202 204 204 204 204 204 202
70 49 96 96 86 92 90
C15H24O C15H24 C15H24 C15H24O
220 204 204 220
53 94 80 46
C15H22
202
55
C15H24 C15H24 C15H24 C15H24
204 204 204 204
32 59 47 89
C15H22O
218
45
C15H24O C15H22
220 202
27 80
C15H24O C14H18O C15H24
220 202 204
53 25 42
Tabel 8. Lanjutan 25 26
46.17 46.68
0.37 6.24
27
47.06
26.21
28 29
47.17 47.29
0.98 0.86
30 31 32
47.61 47.91 48.02
1.87 11.36 9.02
33 34 35
48.45 50.34 50.36
1.86 3.54 10.90
alpha-costol 3,7-siklo decadien 1-on cyclopropan emethanol nootkatone 2Hbenzocyclohepten2-ol khusilic acid 2(3)-napthalenon beta-kopaen-4 alpha-ol (c) khusenic acid khusenic acid
C15H22O C15H22O
87 218
87 53
C15H24O
220
83
C15H22O C12H18O
218 178
64 46
C15H22O2 C15H22O C15H24O
234 218 220
81 62 72
C15H24 C15H22O2 C15H22O2
204 234 234
50 64 38
*) Peluang Kemiripan **) Waktu Retensi Keterangan : (a) 1,11-dimethyl-4-methylenetricyclo [6.3.1.0 (6,11)] undec-6 (7)-ene (b) 2,3-dihydro-4,5-dimethoxy-6-methyleneinden-1-one (c) ethanone,1 - [3-[2-methyl-2-[3-91-methylenethenyl 0-1-cyclopro Berdasarkan perbandingan pola fragmentasi puncak minyak akar wangi asal Garut pada penelitian Abraham (2002) (lihat pada Lampiran 10), komponen-komponen yang teridentifikasi pada hasil KGSM penelitian ini sebagai cyclopropan emthanol merupakan trisiklo vetiverol,
3,7-siklo decadien 1-on merupakan beta-vetivone, 2(3)-
napthalenon sebagai alpha-vetivone dan beta-kopaen-4 alpha-ol sebagai vetiver alkohol. Hasil analisis kromatografi gas spektrometri massa (KGSM) fraksi dengan tekanan uap 2 bar diperoleh trisiklo vetiverol sebagai komponen tebesar minyak akar wangi yaitu dengan konsentrasi 26.21% disusul dengan asam khusenat, alpha-vetivone, vetiver alkohol dan betavetivone sebesar 14.44%, 11.36%, 9.02%, dan 6.24%. Hasil analisis KGSM fraksi dengan tekanan uap 2 bar menunjukkan bahwa kadar vetiverol (vetiverol total) yang terhitung
sebagai seskuiterpen alkohol bebas yang meliputi komponen-komponen seperti valarenol (1.09%), [4.4.0.02.7]
carryophyllene oxide (0.57), tricycle
dec-3-ene-3-methanol
(0.27%),
zizanol
(2.04%),
3-
epizizanol (0.88%), napththalenol (2.02%), alpha-costol (0.37%), trisiklo vetiverol (26.21%), 2H- benzyocyclohepten-2-ol (0.86%) dan vetiver alkohol (9.02%) terdapat pada fraksi dengan tekanan uap 2 bar dengan jumlah konsentrasi sebesar 43.33%. Senyawa yang paling utama dalam minyak akar wangi adalah vetivon. Stereoisomer senyawa ini terdiri dari alpha dan beta vetivone, senyawa alpha vetivone mempunyai bau yang sangat wangi, yang merupakan penentu utama bau khas dari minyak akar wangi (Buchi, 1978). Hasil analisis juga menunjukkan bahwa minyak akar wangi fraksi dengan tekanan uap 2 bar memiliki bilangan ester yang tinggi. Hal ini dapat terlihat dari besarnya nilai vetivone total sebesar 17.6%. komponen vetivone ini terdiri dari alpha-vetivone ( 11.36%) dan betavetivone (6.24%) yang keduanya merupakan seskuiterpen keton dengan rumus molekul C15H22O. Hasil kromatografi gas spektrometri massa juga menunjukkan total asam yang terkandung dalam fraksi dengan tekanan uap 2 bar sebesar 16.31%. Asam-asam tersebut adalah asam khusilat (1.87%) dan asam khusenat (14.44%). Tabel perbandingan hasil kromatografi gas spektrometri massa fraksi campuran, fraksi pada tekanan uap 1.5 bar dan fraksi pada tekanan uap 2 bar dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9. Perbandingan hasil kromatografi gas spektrometri massa fraksi campuran, fraksi pada tekanan uap 1.5 bar dan fraksi pada tekanan uap 2 bar RT*) (menit)
Fraksi Campuran Area Dugaan (%) Komponen
RT*) (menit)
Fraksi 1.5 bar Area Dugaan (%) Komponen
20.02
0.70
(-)-prezizaene
20.00
0.42
20.22
0.91
phenol,2(propyl) (CAS)
20.20
0.52
22.14
0.58
22.14
0.19
22.28 22.73 23.14 23.64
0.57 1.15 0.82 1.93
alphaamorphene cadinene alpha-guaiene detla-cadinene beta-guaiene
22.71 23.12 23.62
0.79 0.50 1.28
23.93
1.60
23.92
1.24
26.48
0.66
26.47
0.44
27.76
4.27
27.75
3.71
28.73
0.62
28.73
29.71
1.09
9,10-dehydroisolongifolene benzene,4-(2butenyl)1,2-dimethy 8,9-dehydroneoisolongifole ne 2-methoxy-8methyl-1,4 naphthalinden (a)
29.89 31.34 31.99
0.34 0.65 1.10
34.11 35.59 36.55
1.21 0.41 0.60
37.14 37.40
0.91 0.74
37.46
(-)-5epiprezizaene phenol,2(propyl) (CAS) alphaamorphene cadinene alpha-guaiene beta-guaiene
RT*) (menit)
Fraksi 2 bar Area Dugaan (%) Komponen
-
-
-
-
-
-
-
-
-
22.71 23.55
0.88 1.65
23.91
1.42
26.46
0.99
27.74
2.57
calarene
0.47
9,10-dehydroisolongifolene benzene,4-(2butenyl) -1,2-dimethy 8,9-dehydroneoisolongifol ene (a)
beta-selinene benzene,4-(2butenyl)1,2-dimethy cycloisolongif olene calamene
28.72
0.85
calarene
29.70
0.55
(a)
29.71
0.43
calamene calamene 2Hbenzocyclohepte n beta-eudesmol delta-selinene 1,4napthalenedione
31.35 31.99
0.44 0.43
calamene isolimonene
-
-
alphacalacorene -
34.10 36.55
0.75 0.42
-
-
-
37.14 -
0.66 -
-
-
-
0.97
khusimone betapatchoulene calarene
beta-eudesmol 1,4napthalenedion e khusimone -
37.46
0.97
calarene
37.46
0.86
37.88
0.69
alpha-selinene
37.87
0.52
-
-
38.57
0.81
38.57
0.83
38.56
0.61
38.71
1.11
benzene-tris (metylethyl) (CAS) 3-zizanone
38.71
0.94
aromadendren e benzene-tris (metylethyl) (CAS) 3-zizanone
-
-
alphagurujunene benzene-tris (metylethyl) (CAS) -
Tabel 9. Lanjutan 39.00
0.51
gamma-selinene
38.99
0.49
39.32 39.40 40.21 40.59 40.72
1.38 0.34 0.81 0.43 0.62
39.32 39.39 40.21 40.58 40.72
1.09 0.40 0.93 0.37 0.60
40.93
0.72
valarenol eudesmol (b) (c) 9,10-dehydro-2norzizaene carboxylic acid
40.93
0.78
41.45
0.69
beta-ionone
41.45
0.69
41.60 41.92
1.72 0.10
41.60 41.93
1.69 0.24
42.12 42.34 -
1.08 1.23 -
beta-ionone alphagurujunene germacrene-D napthalenol -
gammaselinene valarenol eudesmol (b) (c) 9,10-dehydro2-norzizaene aromadendren epoxide dehydroaroma dendrene beta-ionone delta-selinene
-
-
42.12 42.34 -
1.35 1.34 -
43.40
0.32
tricyclo[4.4.0.02 ,7]dec-3-ene-3methanol
43.40
43.78 44.08
1.95 0.70
44.19
0.84
zizanol dehydroaromade ndrene 2,4,4-trimethyl3phenyldihydrop yran
44.51 44.75
0.49 1.80
45.40
-
39.32 40.21 40.58 -
1.09 1.54 0.38 -
valarenol (b) (c) -
40.92
0.57
41.44
0.55
41.59 -
1.40 -
caryophyllene oxide dehydroaroma dendrene beta-ionone -
isoledene germacrene-D -
42.11 42.33 42.88
1.40 1.24 0.66
0.57
napthalenol
43.40
0.27
43.78 44.08
2.29 0.57
zizanol alpha-copaene
43.77 44.08
2.04 0.88
44.19
1.00
44.19
0.88
44.52 44.75
0.61 2.07
44.75
2.02
napthalenol
0.64
azuleneethanol cyclopropanedic arboximidic acid (d)
45.39
0.63
2,3,4trimethyl-4hydroxy-1-4dihydronapthal enone azuleneethanol cyclopropaned icarboximidic acid (d)
germacrene-D calarene 8,9-dehydroneoisolongifol ene tricyclo[4.4.0. 02,7]dec3-ene-3methanol zizanol dehydroaroma dendrene 3-epizizanol
45.40
0.40
5,6,7,8tetrahydrothie no [2,3-b] quinoline
45.98
0.85
alpha-costol
3.61
0.37 6.24
21.6
47.08
25.06
47.06
26.21
-
-
-
-
3,7-siklo decadien 1-on cyclopropan emethanol -
46.17 46.68
47.07
3,7-siklo decadien 1-on cyclopropan emethanol -
0.54 4.15
alpha-costol
46.67
45.99 46.68
47.17 47.29
0.98 0.86
47.61
1.23
khusilic acid
47.61
1.45
khusilic acid
47.61
1.87
alpha-costol 3,7-siklo decadien 1-on cyclopropan emethanol nootkatone 2Hbenzocyclohe pten-2-ol khusilic acid
Tabel 9. Lanjutan 47.90
6.58
48.03
6.79
48.46 50.34 -
1.47 17.00 -
2(3)napthalenon beta-kopaen-4 alpha-ol (e) khusenic acid -
47.91
7.04
48.03
8.43
48.45 50.31 -
1.87 17.22 -
2(3)napthalenon beta-kopaen-4 alpha-ol (e) khusenic acid -
47.91
11.36
48.02
9.02
48.45 50.34 50.36
1.86 3.54 10.90
2(3)napthalenon beta-kopaen-4 alpha-ol (e) khusenic acid khusenic acid
*) Waktu Retensi
Keterangan : (a) trans-6,11-dimethyl-3,8-oxomethano-bicyclo[6,3,0] undeca-4,6- diene (b) 1,11-dimethyl-4-methylenetricyclo [6.3.1.0 (6,11)] undec-6 (7)-ene (c) 2,3-dihydro-4,5-dimethoxy-6-methyleneinden-1-one (d) 5,6,7,8-tetrahydrothieno[2,3-b] quinoline (e) 3,4-epoxy-6-methyl-6-3(3’-isopropenyl-1’-cyclopropen-1’-yl)-2-heptanone Minyak akar wangi termasuk minyak berfraksi berat dan menurut Lemberg et al. (1978) lebih dari 150 komponen yang terdapat dalam minyak akar wangi. Komponen dalam minyak akar wangi dibagi dua yaitu komponen yang sangat sedikit di dalam minyak akar wangi tetapi mempengaruhi aroma minyak akar wangi (trace element) dan senyawa utama dalam minyak akar wangi (main element). Berdasarkan perbandingan pola fragmentasi puncak minyak akar wangi asal Garut pada penelitian Abraham (2002) (lihat pada Lampiran 10), komponen-komponen yang teridentifikasi pada hasil KGSM penelitian ini sebagai cyclopropan emthanol merupakan trisiklo vetiverol,
3,7-siklo decadien 1-on merupakan beta-vetivone, 2(3)-
napthalenon sebagai alpha-vetivone dan beta-kopaen-4 alpha-ol sebagai vetiver alkohol. Hasil analisa KGSM memperlihatkan bahwa komponen pada fraksi campuran terdapat di dalam fraksi 1.5 dan 2 bar (Tabel 9). Pada umumnya setiap fraksi mengandung komponen yang sama seperti 8,9dehydro-neoisolongifolene, valarenol, zizanol, beta-vetivone, trisiklo vetiverol, asam khusilat, alpha-vetivone, vetiver alkohol, 3,4-epoxy-6methyl-6-3(3’-isopropenyl-1’-cyclopropen-1’-yl)-2-heptanone dan asam
khusenat.
Walaupun
demikian,
konsentrasi
komponen-komponen
tersebut memiliki perbedaan konsentrasi yang cukup besar antar fraksi. Komponen-komponen tersebut antara lain memiliki konsentrasi sebagai berikut: 1. 8,9-dehydro-neoisolongifolene Pada fraksi campuran konsentrasinya sebesar 4.27%. Pada fraksi dengan tekanan uap 1.5 bar konsentrasinya sebesar 1.24% dan menurun pada fraksi dengan tekanan uap 2 bar sebesar 0.66%. Hal ini
terjadi
karena komponen
tersebut
merupakan
golongan
seskuiterpen yang sebagian besar telah tersuling pada fraksi dengan tekanan uap lebih rendah dari 2 dan 1.5 bar. 2. Valarenol Pada fraksi campuran konsentrasinya sebesar 1.38%. Pada fraksi dengan tekanan uap 1.5 bar konsentrasinya sebesar 1.09% dan pada tekanan uap 2 bar konsentrasinya tetap sebesar 1.09%. 3. Zizanol Pada fraksi campuran konsentrasinya sebesar 1.95%. Pada fraksi dengan tekanan uap 1.5 bar konsentrasinya sebesar 2.29% dan menurun pada fraksi dengan tekanan uap 2 bar sebesar 2.04%. Hal ini
terjadi
karena komponen
tersebut
merupakan
golongan
seskuiterpen-O yang kemungkinan masih terdapat pada fraksi dengan tekanan uap lebih tinggi dari 2 dan 1.5 bar dalam konsentrasi yang cukup besar. 4. beta-vetivone Pada fraksi campuran konsentrasinya sebesar 3.61%. Pada fraksi dengan tekanan uap 1.5 bar konsentrasinya sebesar 4.15% dan meningkat pada fraksi dengan tekanan uap 2 bar sebesar 6.24%. Hal ini
terjadi
karena komponen
tersebut
merupakan
golongan
seskuiterpen keton yang kemungkinan pada fraksi dengan tekanan uap lebih rendah dari 2 dan 1.5 bar belum tersuling, sehingga pada fraksi dengan tekanan uap 1.5 dan 2 bar konsentrasi komponennya masih dalam jumlah yang cukup besar.
5. Trisiklo vetiverol Pada fraksi campuran konsentrasinya sebesar 21.6%. Pada fraksi dengan tekanan uap 1.5 bar konsentrasinya sebesar 25.06% dan meningkat pada fraksi dengan tekanan uap 2 bar sebesar 26.21%. Hal ini terjadi karena komponen tersebut merupakan golongan seskuiterpen-O yang kemungkinan pada fraksi dengan tekanan uap lebih rendah dari 2 dan 1.5 bar belum tersuling, sehingga pada fraksi dengan tekanan uap 1.5 dan 2 bar konsentrasi komponennya masih dalam jumlah yang cukup besar. 6. Asam khusilat Pada fraksi campuran konsentrasinya sebesar 1.23%. Pada fraksi dengan tekanan uap 1.5 bar konsentrasinya sebesar 1.45% dan meningkat pada fraksi dengan tekanan uap 2 bar sebesar 1.87%. Peningkatan tekanan uap menyebabkan kenaikan suhu di dalam ketel, pada suhu yang tinggi kontak air dengan bahan yang disuling semakin tinggi sehingga dapat meningkatkan bilangan asam. Hal ini dapat terlihat pada peningkatan konsentrasi asam khusilic pada fraksi dengan tekanan uap 1.5 bar sebesar 1.45% dan meningkat pada fraksi dengan tekanan uap 2 bar sebesar 1.87%. 7. alpha-vetivone Pada fraksi campuran konsentrasinya sebesar 6.58%. Pada fraksi dengan tekanan uap 1.5 bar konsentrasinya sebesar 7.04% dan meningkat pada fraksi dengan tekanan uap 2 bar sebesar 11.36%. Hal ini terjadi karena komponen tersebut merupakan golongan seskuiterpen keton yang kemungkinan pada fraksi dengan tekanan uap lebih rendah dari 2 dan 1.5 bar belum tersuling, sehingga pada fraksi dengan tekanan uap 1.5 dan 2 bar konsentrasi komponennya masih dalam jumlah yang cukup besar. 8. Vetiver alkohol Pada fraksi campuran konsentrasinya sebesar 6.79%. Pada fraksi dengan tekanan uap 1.5 bar konsentrasinya sebesar 8.43% dan meningkat pada fraksi dengan tekanan uap 2 bar sebesar 9.02%. Hal
ini
terjadi
karena komponen
tersebut
merupakan
golongan
seskuiterpen-O yang kemungkinan pada fraksi dengan tekanan uap lebih rendah dari 2 dan 1.5 bar belum tersuling, sehingga pada fraksi dengan tekanan uap 1.5 dan 2 bar konsentrasi komponennya masih dalam jumlah yang cukup besar. 9. 3,4-epoxy-6-methyl-6-3(3’-isopropenyl-1’-cyclopropen-1’-yl)-2heptanone Pada fraksi campuran konsentrasinya sebesar 1.47%. Pada fraksi dengan tekanan uap 1.5 bar konsentrasinya sebesar 1.87% dan menurun dalam jumlah yang tidak signifikan pada fraksi dengan tekanan uap 2 bar sebesar 1.86%. 10. Asam khusenat Pada fraksi campuran konsentrasinya sebesar 17.00%. Pada fraksi dengan tekanan uap 1.5 bar konsentrasinya sebesar 17.22% dan menurun pada fraksi dengan tekanan uap 2 bar sebesar 14.44%. Penurunan jumlah konsentrasi komponen dengan meningkatnya tekanan uap dapat disebabkan karena komponen tersebut sebagian telah tersuling pada tekanan uap yang lebih rendah dari 2 bar. Hal ini dapat terlihat dari besarnya jumlah konsentrasi pada tekanan uap 1.5 bar sebesar 17.22%. Hasil analisis KGSM memperlihatkan bahwa pada fraksi dengan tekanan uap 1.5 bar diperoleh komponen yang tidak terdapat pada fraksi dengan tekanan uap 2 bar. Komponen-komponen tersebut adalah (-)-5epirzizaene, phenol,2- (propyl) (CAS), alpha amorphene, alpha guaiene, 9,10-dehydro-2-norizaene yang merupakan golongan seskuiterpen serta khusimone yang merupakan golongan seskuiterpen keton dan
beta
eudesmol yang merupakan golongan seskuiterpen-O. Tidak diperolehnya komponen seskuiterpen
dan seskuiterpen-O dalam fraksi dengan
tekanan uap 2 bar dapat disebabkan karena komponen tersebut memiliki titik didih yang lebih rendah sehingga telah tersuling pada tekanan uap yang lebih rendah dari 2 bar.
Sementara itu dari hasil analisis KGSM memperlihatkan bahwa pada fraksi dengan tekanan uap 2 bar diperoleh komponen yang tidak terdapat pada fraksi dengan tekanan uap 1.5 bar. Komponen-komponen tersebut adalah 3-epizizanol dan 2H- benzocyclohepten-2-ol yang merupakan golongan seskuiterpen-O serta nootkatone yang merupakan golongan seskuiterpen keton. Hal ini disebabkan karena komponenkomponen tersebut memiliki titik didih yang tinggi, sehingga pada tekanan uap 2 bar atau lebih baru dapat tersuling. Berdasarkan hasil analisa KGSM diperoleh komponen mayor penyusun minyak akar wangi untuk setiap fraksi yaitu zizanol, trisiklo vetiverol, vetiver alkohol, alpha vetivone, beta vetivone dan asam khusenat. Peningkatan tekanan uap cenderung meningkatkan konsentrasi yang memiliki titik didih tinggi dan penurunan konsentrasi yang memiliki berat molekul rendah. Pada Tabel 10 dapat dilihat trend yang terjadi pada kelima komponen mayor yang terdapat pada minyak akar wangi fraksi campuran hasil penyulingan dengan kepadatan akar 0.09 kg/l serta pada fraksi 1.5 dan 2 bar pada kepadatan akar 0.09 kg/l. Tabel 10. Distribusi luas area KGSM komponen mayor minyak akar wangi pada fraksi campuran, fraksi tekanan uap 1.5 bar dan fraksi tekanan uap 2 bar Komponen
Zizanol
Fraksi campuran RT*) Area (menit) % 43.78 1.95
Fraksi 1.5 bar
Fraksi 2 bar
RT*) (menit) 43.78
Area % 2.29
RT*) (menit) 43.77
Area % 2.04
alpha-vetivone
47.90
6.58
47.91
7.04
47.91
11.36
beta-vetivone
46.67
3.61
46.68
4.15
46.68
6.24
Trisiklo vetiverol Vetiver alkohol
47.07
21.66
47.08
25.06
47.061
26.20
48.03
6.79
48.03
8.34
48.02
9.02
Asam Khusenat
50.34
17.00
50.31
17.22
50.34
14.44
*) Waktu Retensi
Dari tabel distribusi luas area KGSM komponen mayor minyak akar wangi pada fraksi campuran, fraksi tekanan uap 1.5 bar dan fraksi tekanan uap 2 bar dapat terlihat adanya kenaikan jumlah konsentrasi beberapa komponen dengan meningkatnya tekanan uap. Komponen zizanol, beta-vetivone, alpha-vetivone, trisiklo vetiverol dan vetiver alkohol pada peningkatan tekanan uap 1.5 bar ke 2 bar mengalami kenaikan jumlah konsentrasi. Hal ini disebabkan karena komponen tersebut memiliki titik didih yang tinggi sehingga dengan kenaikan tekanan uap konsentrasinya meningkat. Sedangkan komponen asam khusenat mengalami penurunan jumlah konsentrasi pada peningkatan tekanan uap 1.5 bar ke 2 bar. Hal ini bersesuaian dengan hasil analisa bilangan asam pada kepadatan akar 0.09 kg/l tekanan uap 1.5 bar sebesar 8.8358 menurun pada tekanan uap 2 bar sebesar 5.8905. Sementara untuk konsentrasi total asam pada kepadatan akar 0.09 kg/l tekanan uap 1.5 bar sebesar 17.22% menurun pada tekanan uap 2 bar sebesar 14.44% yang juga berkolerasi dengan nilai analisa bilangan asam setiap tekanan uapnya (Gambar 23).
V. KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN Peningkatan tekanan uap bertahap dari 0 bar sampai 3 bar selama proses penyulingan dengan kepadatan akar yang sesuai dapat meningkatkan rendemen minyak akar wangi, bau segar khas akar wangi (tidak terkesan gosong) dan mutu yang memenuhi nilai Standar Nasional Indonesia. Dari hasil analisis keragaman kepadatan akar tidak berpengaruh nyata terhadap rendemen dan sifat fisiko kimia hasil penyulingan dengan tekanan uap bertahap. Rendemen tertinggi diperoleh pada kepadatan akar 0.09 kg/l sebesar 2.58% (v/w). Warna minyak yang dihasilkan untuk setiap peningkatan kepadatan akar dominan seragam yaitu jernih kuning kecoklatan. Peningkatan tekanan uap sejalan dengan penurunan rendemen dan kenaikan bobot jenis, indeks bias, bilangan ester dan bilangan asam. Warna minyak yang dihasilkan setiap peningkatan tekanan uap cenderung bertambah gelap dari tekanan uap awal yaitu dari kuning muda ke kecoklatan. Kepadatan akar dan peningkatan tekanan uap bertahap tidak berpengaruh terhadap nilai kelarutan dalam alkohol 95%, seluruh fraksi larut jernih pada perbandingan 1:1 dan seterusnya. Kondisi penyulingan terbaik dipilih berdasarkan pembobotan terhadap faktor rendemen, mutu yang meliputi warna minyak, bau, nilai bilangan ester dan bilangan asam sebagai penentu kerusakan minyak. Perlakuan terbaik yaitu peningkatan tekanan uap bertahap pada kepadatan akar 0.09 kg/l dengan rendemen tertinggi sebesar 2.58% (v/w), bobot jenis (20°C) sebesar 1.0176, indeks bias (nD20) sebesar 1.5214, bilangan asam sebesar 18.4800 dan bilangan ester tertinggi sebesar 39.1990. Berdasarkan hasil analisis kromatografi gas, pada fraksi campuran minyak akar wangi hasil penyulingan pada kepadatan akar 0.09 kg/l teridentifikasi 51 puncak komponen. Pada fraksi dengan tekanan uap 1.5 bar pada kepadatan akar 0.09 kg/l teridentifikasi 47 puncak komponen dan pada fraksi dengan tekanan uap 2 bar pada kepadatan akar 0.09 kg/l teridentifikasi 35 puncak komponen.
Berdasarkan hasil analisis kromatografi gas spektrometri massa (KGSM) teridentifikasi tujuh komponen mayor penyusun minyak akar wangi pada penyulingan dengan kepadatan akar 0.09 kg/l yaitu trisiklo vetiverol (21.66%), asam khusenat (17.00%), vetiver alkohol (6.79%), alpha vetivone (6.58%), 8,9-dehydro-neoisolongifolene (4.27%), beta vetivone (3.61%) dan zizanol (1.95%). Hasil kromatografi gas spektrometri massa (KGSM) mengidentifikasi tujuh komponen mayor penyusun minyak akar wangi pada fraksi dengan tekanan uap 1.5 bar pada kepadatan akar 0.09 kg/l yaitu trisiklo vetiverol (25.06%), asam khusenat (17.22%), vetiver alkohol (8.43%), alpha vetivone (7.04%), beta vetivone (4.15%), 8,9-dehydro-neoisolongifolene (3.71%), dan zizanol (2.29%). Hasil kromatografi gas spektrometri massa (KGSM) mengidentifikasi tujuh komponen mayor penyusun minyak akar wangi pada fraksi dengan tekanan uap 2 bar pada kepadatan akar 0.09 kg/l yaitu trisiklo vetiverol (26.21%), asam khusenat (14.44%), alpha vetivone (11.36%), vetiver alkohol (9.02%), beta vetivone (6.24%), zizanol (2.04%) dan calarene (2.57%). B. SARAN 1.
Perlu dilakukan variasi terhadap tekanan dengan waktu yang berbeda pada penyulingan dengan sistem uap langsung sebagai perbandingan terhadap teknik ini.
DAFTAR PUSTAKA Akhila, A dan M. Rani. 2002. Chemical Constituents and Essential Oil Biogenesis in Vetiveria Zizanoides. di dalam Maffei, Massimo. 2002. Vetiveria; The Genus Vetiveria. Taylor and Francis Inc., New York. Abraham. 2002. Telaah Komponen Volatil Minyak Akar Wangi (Veteveria zizanioides (L.) Nash ex Small) Liar Asal Bone Secara Kromatografi Gas Spektrometri Massa. Tesis. Program Pasca Panen Sarjana. Unervesitas Padjajaran, Bandung. Adhika, Bayu. 2004. Fraksionasi Minyak Akar Wangi (Vetiveria zizanoides STAPH) Dengan Teknik Packed Coloumn Vacuum Distillation. Skripsi. FATETA-IPB, Bogor. Anggraeni, Dian. 2003. Kinerja Proses Penyulingan Mnyak Nilam Pada Tekanan Uap dan Kepadatan Bahan yang Berbeda. Skripsi. FATETA-IPB, Bogor. Anonimous. 1987. Profil Komoditi Minyak Akar Wangi (Vetiver Oil). Badan Pengembangan Ekspor Nasional, departemen Perdagangan Jakarta. 16 hal. Brown, E dan H.T. Islip. 1953. Stills for Essential Oil: Colonial Plant and Animal Products, 3:287-319: di dalam Monograf Nilam. 1998. Balai Besar Tanaman Rempah dan Obat, Bogor. Buchi, G.H. 1978. Parfum and Flavorist. Vol.3. Allured Publishing Coorperation, Weaston, Illionis. Cazaussus et al.. 1988. GC-MS and GC-MS-MS Analysis of a Complex Essential Oil. Journal Chromatographia. Vol.25 No.10, October. 5 pages. Champagnat et al.. 2006. A Study on the Composition of Commercial Vetiveria zizanioides Oils from Different Geographical Origins. Journal of Essential Oil Research: JEOR. July/August. Forma, M.W. 1979. Physical Properties of Fats and Fatty Acids: di dalam Swern, D. 1979. Bailey’s Industrial Oil and Fats Product. Vol. I 4th edition, hal. 192-196. John Wiley and Sons, NY. Geankoplis, G.J. 1983. Transport Process and Unit operation, 2nd ed. Allynd Bacon. Gildemeister dan Hoffman. 1912. di dalam Guenther, E. 1972. The Essential Oil. Vol. IV. Robert E. Article Publishing Co. Inc., Hunington, New York Guenther, E. 1947. The Essential Oils. Vol. I. Robert E. Krieger Publishing Company, New York.
Guenther, E. 1952. The Essential Oils. Vol. II. Robert E. Krieger Publishing Company, New York. Guenther, E. 1972. The Essential Oils. Vol. IV. Robert E. Article Publishing Co. Inc., Hunington, New York. Gusmalini. 1987. Minyak Atsiri. Diktat. FATETA-IPB, Bogor. Hardjono dan S. Rusli. 1973. Cara-cara Penyulingan Mempengaruhi Rendemen dan Kualitas Minyak Akar Wangi. Pemberitaan LPTI No.15-16 September- Desember 1973. Lembaga Penelitian Tanaman Industri, Bogor. Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Jilid 1. Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Bogor. Ketaren, S dan Djatmiko, B. 1978. minyak Atsiri Bersumber Dari Batang dan Akar. Departemen Teknologi Hasil Pertanian. FATEMETA IPB, Bogor. Ketaren, S. 1985. Pengantar Teknologi Minyak Atsiri. Balai Pustaka. Jakarta. Lemberg, S dan Robert B. Hale, Biddle Sawyer, Keyport, N.J. 1978. Perfurmer and Flavorist. Volume 3:1, Allured Publishing Coorperation, Weaton, Illonis. Lesmayanti, Susi. 2004. Modifikasi Proses Penyulingan Minyak Nilam dengan Peningkatan Tekanan Secara Bertahap. Skripsi. FATETA-IPB, Bogor. Lutony, T.L dan Y. Rahmayanti. 1994. Produksi dan Perdagangan Minyak Atsiri, Penebar Swadaya, Jakarta. Massada, Y. 1976. Analysisi of Essential Oil by Chromatography and Mass Spectometry. John Wiley and Sons Inc., New York. Moestafa dan J. Moermanto. 1988. Meningkatkan Mutu Minyak Akar Wangi. Warta IHP, Vol. 5, No.1. Balai Pengembangan Khemurigi dan Aneka Industri. Balai Besar Industri Hasil Pertanian, Bogor. Rao. 1963. di dalam Spon, F.N. 1981. Dictionary of Organic Compounds. Cire and Spootish Woode. Oxford University Press, England. Rusli, S., I.M. Tasma,. Pandji L dan Kemala. 1990. Potensi, Budidaya, Mutu dan Paket Usaha Beberapa Jenis Tanaman Minyak Atsiri. Makalah Temu Tugas Perkebunana/Tanaman Industri di Bukittinggi 15-17 Januari 1990. Balai Besar Tanaman Rempah dan Obat, Bogor.
Rusli, S., N. Nurdjanah, Soedirti, dkk. 1985. Penelitian dan Pengembangan Minyak Atsiri Indonesia. Edisi Khusus No.2. Balai Besar Tanaman Rempah dan Obat, Bogor. Rusli, S. 1974. Pengaruh Kepadatan dan Lama Penyulingan Terhadap Rendemen dan Mutu Minyak Nilam. Pemberitaan LPTI 17:52-60. Balai Besar Tanaman Rempah dan Obat, Bogor. Rusli, S. dan Hasanah, M. 1977. cara Penyulingan daun Nilam Mempengaruhi Rendemen dan Mutu Minyaknya. Pemberitaan LPTI 24:1-7. Balai Besar Tanaman Rempah dan Obat, Bogor. Rohayati, Nina. 1997. Penggunaan Bentonit, Arang Aktif dan Asam Sitrat Untuk Meningkatkan Mutu Minyak Akar Wangi. Skripsi. FATETA-IPB, Bogor. Santoso, H.R. 1997. Akar Wangi: Bertanam dan Penyulingan. Penerbit Kanisius, Yogyakarta. Siregar, S. 1993. Pengaruh Jenis dan Perbandingan Pelarut Pada Proses Deterpenasi Minyak Akar Wangi Kasar Terhadap Rendemen dan Mutu Minyak Bebas Terpen. Skripsi. FATETA-IPB, Bogor. Standar Nasional Indonesia (SNI). 1991. Minyak Akar Wangi. SNI 06-2386-1991. UDC: 665.52. 16 hal. Sudibyo, Agus. 1987. Meningkatkan Kadar Vetiverol Minyak Akar Wangi Dengan Cara Rektifikasi. Warta Industri Hasil Pertanian. Vol. 4. Balai Besar Industri Hasil Pertanian, Bogor. Sukirman, W dan S. Aiman. 1979. Beberapa Kemungkinan Perbaikan Penyulingan Minyak Nilam. Makalah Pada Pekan Diskusi Minyak Atsiri, Aceh. Somaatmaja. 1978. Masalah Minyak Atsiri Indonesia Dewasa Ini. seminar Minyak Atsiri III. hal. 1-13. Balai Penelitian Kimia, Bogor Perry, Robert H. 1994. Chemical Engineer’s Hand Book. McGraw-Hill, New York. Pfau dan Plattner. 1939. di dalam Guenther, E. 1972. The Essential Oil. Vol. IV. Robert E. Article Publishing Co. Inc., Hunington, New York. Tasma, I.M., Pandji L, dan Evi Taurini. 1990. Perkembangan Penelitian Akar Wangi. Edisi Khusus LITTRO Vol. VI, No. 1, 1990. Balai Besar Tanaman Rempah dan Obat, Bogor. Thorpe. 1947. Thorpe’s Dictionary of Applied Chemistry 4th edition. Longmans.
Tjiptadi. 1985. Pengembangan Industri Minyak Atsiri. . Balai Besar Industri Hasil Pertanian, Bogor. 21 hal. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian Vol. 28, No. 5, 2006. Balai Besar Tanaman Rempah dan Obat, Bogor. www.deptan.go.id www.jabarprov.go.id Yoshiro, M. 1976. Analysis of Essential Oil by Gas Chromatography and Mass Spectrometry. A Halsted Press Book, New York, 280-281.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Prosedur pengujian minyak akar wangi 1. Kadar air (SNI 06-2386-1991) Prinsip: Pengukuran kadar air dengan metode destilasi ini digunakan untuk mengukur kadar air dari bahan-bahan yang mempunyai komponen volatil. Dalam pengukuran ini memerlukan alat Aufhauser. Prosedur: Bahan ditimbang sebanyak 10 gram dan kemudian dimasukkan dalam erlenmeyer 250 ml. Kemudian ditambah dengan toluen sampai bahan terendam. Sambungkan erlenmeyer dengan aufhauser kemudian di refluk selama 1 jam. Volume air yang terdestilasi dibaca pada tabung aufhauser. Perhitungan: Persen kadar air = v/w x 100% dimana
:
v
= volume air yang terdestilasi
w
= berat sampel yang diambil
2. Kadar minyak (SNI 06-2386-1991) Prosedur: Bahan kering dihancurkan sebanyak 50 gr, kemudian dimasukkan dalam labu penyulingan dan ditambah air sampai semua bahan terendam air. Penyulingan dilakukan sampai tidak terdapat tetesan minyak selama 2 jam. Perhitungan: Volume minyak Kadar minyak =
x 100% Berat Bahan
3. Rendemen minyak Prinsip: Rendemen minyak dihitung berdasarkan perbandingan volume minyak yang dihasilkan dari penyulingan akar wangi dengan bobot akar yang disuling, yang dinyatakan dalam satuan persen.
Lampiran 1. Lanjutan Perhitungan: Volume minyak Rendemen v/w (%)
=
x 100% Berat awal bahan
4. Warna minyak (SNI 06-2386-1991) Prinsip: Pengamatan dilakukan secara visual dengan menggunakan indera penglihatan langsung (mata) langsung terhadap contoh minyak dengan membandingkan minyak hasil penyulingan tradisional di Garut, Jawa Barat. Prosedur: Contoh minyak akar wangi dimasukkan kedalam tabung reaksi sebanyak 3 ml. Tabung reaksi tersebut disandarkan pada kertas putih lalu diamati warnanya dengan jarak pengamatan ±30 cm. 5. Bau Pengamatan dilakukan secara langsung dengan menggunakan indera penciuman dengan membandingkan dengan bau gosong minyak akar wangi yang dihasilkan dari salah satu industri penyulingan tradisional di Garut, Jawa Barat. 6. Bobot jenis (SNI 06-2386-1991) Prinsip : Bobot jenis merupakan salah satu kriteria penting dalam menentukan kemurnian senyawa organik (minyak atsiri). Bobot jenis adalah perbandingan antara kerapatan minyak dengan air suling pada volume dan suhu yang sama. Prosedur : Piknometer dicuci dan dibersihkan dengan alkohol, kemudian dibilas dengan eter. Setelah kering ditimbang dahulu dengan neraca digital, lalu air suling diisikan ke dalam piknometer sampai melebihi tanda tera dan ditutup. Bagian luar piknometer dikeringkan dari air yang menempel.
Lampiran 1. Lanjutan Piknometer didiamkan beberapa saat kemudian ditimbang kembali. Dengan cara yang sama dilakukan terhadap minyak. Berat air suling atau minyak adalah selisih berat piknometer berisi minyak atau air suling dengan berat piknometer kosong. Perhitungan : Bobot jenis d 20 20 =
dimana
m2 - m m1 - m
: m = massa, dalam gram, piknometer kosong m1 = massa, dalam gram, piknometer berisi air pada 20°C m2 = massa, dalam gram, piknometer berisi contoh pada 20°C
7. Indeks bias (SNI 06-2386-1991) Prinsip : Jika cahaya dari media kurang padat (A) melewati media lebih padat (B), maka cahaya tersebut akan membias mendekati garis normal (N), dan sebaliknya. Indeks bias ditentukan oleh perbandingan sudut sinar datang (iA) dengan sudut sinar bias (iB). sin (iA) Indeks bias (n) = sin (iB) Prosedur: Contoh minyak diteteskan di atas prisma refraktometer sebanyak 2-3 tetes, lalu prisma dirapatkan dan dibiarkan beberapa menit agar suhu minyak merata. Pengaturan slide akan memperoleh garis batas antara terang dan gelap yang paling jelas, dan jika garis berhimpit dengan titik potong dua garis yang bersilang, maka indeks bias dapat dibaca pada skala : Perhitungan : ntD = nt1D + 0.00039 (t1-t)
Lampiran 1. Lanjutan dimana : ntD
= indeks bias minyak akar wangi pada suhu tertentu dan kerapatan tertentu
nt1D
= indeks bias minyak akar wangi pada suhu pengerjaan (t1oC) dan kerapatan D
t
= suhu tertentu sebagai pembanding
D
= kerapatan minyak akar wangi
t1
= suhu pengerjaan
0.00039 = faktor koreksi indeks bias untuk minyak akar wangi untuk setiap perubahan 1oC 8. Kelarutan dalam etanol 95% (SNI 06-2386-1991) Prinsip : Sebagian besar minyak atsiri larut dalam alkohol dan jarang yang larut dalam air. Kelarutan menunjukkan kemampuan dua atau lebih senyawa untuk saling melarutkan satu sama lainnya dan membentuk larutan satu fase (jernih). Suatu cairan akan larut dalam pelarut pada perbandingan dan konsentrasi tertentu jika polaritas sama atau mendekati polaritas pelarut. Prosedur : Sebanyak 1 ml minyak akar wangi yang diukur dengan teliti dalam gelas ukur yang tertutup berukuran 10 ml atau 25 ml, dan ditambahkan etanol 95% setetes demi setetes. Pada setiap penambahan etanol dikocok dan diamati apakah minyak larut atau tidak. Penambahan berlangsung hingga diperoleh suatu larutan yang jernih.
Lampiran 1. Lanjutan 9. Bilangan asam Prinsip :
Bilangan asam dari suatu minyak adalah jumlah miligram KOH 0.1 N yang dibutuhkan untuk menetralkan asam bebas dalam 1 gram minyak. Bilangan asam ditentukan dengan cara titrasi serta berdasarkan pada reaksi antara asam dan basa. Kelebihan soda (KOH) dinetralkan dengan penambahan asam (HCL) Reaksinya : O
O
R – C – OH + KOH
R – C – OK + H2O
Prosedur: Minyak ditimbang sebanyak 2 gram dalam erlenmayer 100 ml lalu ditambahkan 25 ml alkohol 90 %. Kemudian ditambahkan indikator pp tiga tetes dan dititrasi dengan KOH 0.1 N sampai terjadi perubahan warna menjadi merah muda. Perhitungan : ml KOH x N KOH x 56.1 Bilangan asam = Bobot contoh (g) dimana :
ml KOH
= jumlah KOH yang digunakan untuk titrasi
N KOH
= normalitas larutan KOH dalam alkohol
56.1
= bobot molekul KOH
10. Bilangan ester (SNI 06-2386-1991) Prinsip : Bilangan ester adalah jumlah miligram KOH yang dibutuhkan untuk menguraikan asam-asam yang dibebaskan oleh hidrolisa ester-ester yang terdapat dalam satu miligram minyak atsiri. Lampiran 1. Lanjutan Prosedur :
Minyak hasil titrasi pada bilangan asam dipanaskan pada pendingin tegak selama 1 jam dihitung sejal pertama kali mendidih. Kemudian didinginkan pada suhu kamar dan ditambahkan 3 tetes penolpthalein. Kelebihan KOH dititrasi dengan HCl 0.5 N. Perlakuan diulang untuk blanko. Perhitungan : (b-a) x N HCl x 56.1 Bilangan ester = Bobot contoh (g) dimana : a = jumlah ml HCl 0.5 N yang diperlukan untuk titrasi contoh b = jumlah ml HCl 0.5 N yang diperlukan untuk titrasi blanko N = normalitas asam klorida 11. Kromatografi Gas Spektrometri Massa (KGSM) Kromatografi gas merupakan metode umum yang digunakan untuk pemisahan , deteksi, dan perhitungan kuantitatif dari komponen-komponen dalam suatu campuran yang kompleks. Penggunaan kromatografi gas untuk mengidentifikasi komponen minyak atsiri dalam suatu bahan tumbuhan dapat dipadukan dengan sistem analitik lain, yaitu gabungan antara kromatografi gas dan spektrometri massa yang dihubungkan dengan suatu interfase. Kromatografi gas berfungsi sebagai alat pemisah berbagai komponen senyawa dalam minyak atsiri, sedangkan spektrometri massa untuk mendeteksi masingmasing komponen molekul. Dari analisa kromatografi gas spektrometri massa akan diperoleh dua informasi dasar, yaitu kromatogram gas dan spektrum massa. Dari kromatogram gas dapat diperoleh informasi mengenai jumlah minimal komponen kimia yang terdapat dalam minyak atsiri berikut kuantitasnya. Pembentukan kromatogram didasarkan pada jumlah total ion yang terbentuk dari masing-masing komponen kimia tersebut. artinya, jika suatu komponen berada dalam persentase tinggi dalam campuran yang dianalisis, maka jumlah Lampiran 1. Lanjutan
ion yang terbentuk dari molekul komponen tersebut akan tinggi juga, sehingga puncak yang tampil pada kromatogram memiliki luas area yang besar. Sebaiknya jika suatu komponen kimia dalam campuran tersebut terdapat dalam persentase kecil, maka puncak yang tampil pada kromatogramnya otomatis akan kecil. Kromatogram yang didaasarkan pada perhitungan ini sering disebut juga Total Ion Chromatogram (TIC). Spektrum massa hasil analisis sistem spektrometri massa merupakan gambaran mengenai jenis dan jumlah fragmen molekul yang terbentuk dari suatu komponen kimia (masing-masing puncak pada kromatogram). Setiap fragmen yang terbentuk dari suatu komponen kimia memiliki berat molekul yang berbeda dan ditampilkan dalam bentuk diagram dua dimensi, m/z (m/e, massa/muatan) pada sumbu X dan intensitas pada sumbu Y yang disebut dengan spektrum massa. Pola fragmentasi molekul yang terbentuk untuk setiap komponen kimia sangat spesifik sehingga dapat dijadikan acuan untuk mengidentifikasi formula struktur suatu komponen kimia ( Faber, et al. 1997 didalam Abraham, 2002). Komponen-komponen kimia penyusun minyak akar wangi ditelaah secara KGSM, dengan kondisi operasional sebagai berikut: Instrument
: Agilent Technologies 6890 Gas Cromatograph with Auto Sampler and 5973 Mass Selective Detector and Chemstation Data System
Ionisation
: Electron Impact
Electron energy
: 70 eV
Coloumn
: INNOWAX. Capilarry Coloumn Length (m) 30 x 0.25 (mm) I.D x 0.25 (µm) Film Thickness
Oven temperature
: Initial temperature at 65°C hold for 1 minute,rising at 3°C/min to 200°C hold for 15 minutes.
Lampiran 1. Lanjutan
Injection port temperature
: 250°C
Ion source temperature
: 230°C
Interface temperature
: 280°C
Quadrupole temperature
: 140°C
Carierier gas
: Helium
Coloumn mode
: Constant flow
Flow coloumn
: 0.6 µl/menit
Injection volume
: 1 µL
Split
: 400:1
Method file
: AKRWANGI
Data base
: WILEY275
ampiran 2. Rekapitulasi hasil analisa sifat fisiko kimia minyak akar wangi hasil penyulingan dengan peningkatan tekanan uap bertahap dan kepadatan akar berbeda (2 kali ulangan) 1. Rendemen minyak (v/w) Tekanan (bar) 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 Total
Kepadatan Akar ( kg/l) 0.09
0.07
0.11
I
II
x (ml)
%
I
II
x (ml)
%
I
II
x (ml)
%
34.50 20.50 12.90 6.00 5.00 78.90
30.00 22.00 11.30 7.00 5.30 75.60
32.25 21.25 12.10 6.50 5.15 77.25
0.92 0.61 0.35 0.19 0.15 2.21
30.50 25.50 21.00 4.80 6.00 79.25
34.50 26.50 18.00 6.50 7.50 87.80
32.50 26.00 19.50 5.65 6.75 90.40
0.93 0.74 0.56 0.16 0.19 2.58
26.50 20.00 16.00 7.00 15.00 84.50
36.00 16.00 15.50 6.00 10.00 83.50
31.25 18.00 15.75 6.50 12.50 84.00
0.89 0.51 0.45 0.19 0.36 2.40
2. Bobot Jenis 20°/20°C Tekanan (bar)
I
0.07 II
x
1.0 1.5 2.0
0.9441 1.0101 1.0147
1.0049 1.0156 1.0206
0.9995 1.0129 1.0177
Kepadatan Akar ( kg/l) 0.09 I II x 0.9515 1.0141 1.0199
1.0118 1.0196 1.0245
0.9817 1.0169 1.0222
I
0.11 II
x
1.0096 1.0109 1.0276
0.9275 1.0182 1.0205
0.9911 1.0146 1.0241
I
0.11 II
x
1.5196 1.5225 1.5258 1.5247 1.5251
1.5210 1.5245 1.5248 1.5301 1.5418
1.5203 1.5235 1.5253 1.5274 1.5355
I
0.11 II
x
7.0686 27.0963 28.2744 34.1649 44.7678
8.2467 17.6715 22.3839 30.6306 35.3430
7.6577 22.3839 25.3292 32.3978 40.0554
3. Indeks Bias nD20 Tekanan (bar) 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0
I
0.07 II
x
1.5187 1.5209 1.5247 1.5290 1.5297
1.5168 1.5229 1.5233 1.5262 1.5386
1.5178 1.5219 1.5240 1.5276 1.5342
Kepadatan Akar ( kg/l) 0.09 I II x 1.5198 1.5207 1.5243 1.5298 1.5314
1.5172 1.5210 1.5239 1.5245 1.5304
1.5185 1.5209 1.5241 1.5272 1.5325
4. Bilangan Ester (mg KOH/ g minyak) Tekanan (bar)
I
0.07 II
x
1.0 1.5 2.0 2.5 3.0
9.4248 24.7401 31.8087 35.3430 42.4116
11.7810 30.6306 32.9868 34.1649 49.4802
10.6029 27.6853 32.3978 34.7540 40.6445
Teka-
Kepadatan Akar ( kg/l) 0.09 I II x 9.4248 25.9182 29.4525 35.3430 44.7678
8.2467 15.8496 23.5620 31.8087 37.6992
8.8357 22.3839 26.5073 33.5759 41.2335
Kepadatan Akar ( kg/l)
1.0 1.5 2.0 2.5 3.0
I
0.07 II
x
4.8125 3.9270 3.9270 26.5073 41.2335
3.9270 3.9270 4.8125 33.3795 50.0693
4.3698 3.9270 4.3698 29.9434 45.6514
I
0.09 II
x
3.9270 7.8540 5.8905 30.4343 40.2518
2.9453 9.8175 5.8905 46.1423 49.0875
3.4362 8.8358 5.8905 38.2883 44.6697
I
0.11 II
x
7.8540 7.8540 14.7263 27.9125 39.2700
3.9270 9.8175 21.5985 32.3978 34.6500
5.8905 8.8358 18.1624 30.1552 36.9600
Lampiran 2. Lanjutan 5. Bilangan Asam (mg KOH/ g minyak) 6. Kelarutan dalam Etanol 95% Tekanan (bar)
I
0.07 II
x
1.0 1.5 2.0 2.5 3.0
1:1 1:1 1:1 1:1 1:1
1:1 1:1 1:1 1:1 1:1
1:1 1:1 1:1 1:1 1:1
Kepadatan Akar ( kg/l) 0.09 I II x 1:1 1:1 1:1 1:1 1:1
1:1 1:1 1:1 1:1 1:1
1:1 1:1 1:1 1:1 1:1
I
0.11 II
x
1:1 1:1 1:1 1:1 1:1
1:1 1:1 1:1 1:1 1:1
1:1 1:1 1:1 1:1 1:1
Lampiran 3. Rekapitulasi hasil analisa sifat fisko kimia fraksi minyak campuran (tekanan uap 0 sampai 3 bar)
Kepadatan akar (kg/l)
Pengujian Rendemen (ml) Rendemen (%) Bobot Jenis Indeks bias Bil. ester Bil. asam Kelarutan etanol 95%
0.07
0.09
0.11
I 78.90 2.25 1.0136 1.5205 35.7951 18.2875
II 75.60 2.16 0.9992 1.5212 35.9741 19.2500
x 77.25 2.21 1.0064 1.5209 35.8846 18.7685
I 87.80 2.50 1.0183 1.5203 35.9741 17.3250
II 93.00 2.66 1.0168 1.5224 42.4239 19.6350
x 90.40 2.58 1.0176 1.5214 39.1990 18.4800
I 84.50 2.41 1.0181 1.5237 35.7951 16.3625
II 83.50 2.39 1.0166 1.5233 43.9684 19.2500
x 84.00 2.40 1.0174 1.5235 39.0818 17.8063
1:1
1:1
1:1
1:1
1:1
1:1
1:1
1:1
1:1
Lampiran 4. Data perhitungan kadar air dan kadar minyak akar wangi Data Pengeringan Senin, 25-06-2007 (pengeringan selama 12 jam) Pukul
Dry
Wet
Selisih
%
09.05
28
22.8
6.8
59
10.05
29
23
6
60
11.05
31
25
6
61
12.05
31
24
7
55
13.05
31
24
7
55
14.05
31.7
24.7
7
55
15.05
31
24
7
55
Analisa
Perlakuan
% (wb)
Dicuci
10.98
≠ dicuci
12
Dicuci
5.6
≠ dicuci
4
Kadar air
Kadar minyak
Lampiran 5. Data penyulingan dan pengamatan selama penyulingan yang meliputi laju destilat, suhu destilat dan suhu dalam ketel Perlakuan 1. Penyulingan pada kepadatan akar 0.07 kg/lt. Ket: T0 (°C) = Suhu dalam ketel T1 (°C) = Suhu destilat Ulangan 1 Tekanan 1.0
1.5
2.0
2.5 3.0 Total minyak Rendemen
Waktu
T0 (°C)
Ti (°C)
13.00 13.30 14.00 14.30 15.00 15.30 16.00 16.30 17.00 17.30 18.00 18.30 19.00 19.30 20.00 20.30 = 78.9 ml = 2.25%
125 125 125 125 125 132 132 132 137 135 138 135 143 145 148 148
50 50 51 40 42 52 45 46 46 44 45 41 47 48 48 48
Laju destilat ( ml/menit) 130 130 130 130 110 115 115 120 118 120 120 120 116 120 124 129
Volume 16 18.5 10.5 10 7.4 5.5 6.0 5.0
Ulangan 2 Tekanan 1.0
1.5
2.0
2.5 3.0 Total minyak Rendemen
Waktu 22.15 22.45 23.15 23.45 00.15 00.45 01.15 01.45 02.15 02.45 03.15 03.45 04.15 04.45 05.15 05.45 = 75.6 ml = 2.16%
T0 (°C)
Ti (°C)
120 120 125 120 122 130 130 130 135 136 136 137 148 148 147 146
48 48 50 49 42 47 47 47 51 49 49 48 52 50 50 49
Laju destilat (ml/menit) 110 110 124 124 124 124 124 124 134 130 130 130 136 134 137 137
Volume 14 16 13 9 5.3 6 7 5.3
Lampiran 5. Lanjutan Perlakuan 2. Penyulingan pada kepadatan akar 0.09 kg/lt Ket: T0 (°C) = Suhu dalam ketel T1 (°C) = Suhu destilat Ulangan 1 Tekanan 1.0
1.5
2.0
2.5 3.0 Total minyak Rendemen
Waktu 09.40 10.10 10.40 11.10 11.40 12.10 12.40 13.10 13.40 14.10 14.40 15.10 15.40 16.10 16.40 17.10 = 87.8 ml = 2.50%
T0 (°C)
Ti (°C)
123 123 125 126 129 129 130 132 140 136 136 138 143 144 146 140
46 46 50 50 50 50 50 49 49 52 51 52 49 51 51 50
T0 (°C)
Ti (°C)
125 125 125 125 130 132 132 132 136 138 137 139 142 142 146 146
49 49 48 48 49 48 50 49 52 52 52 52 51 51 52 49
Laju destilat (ml/menit) 110 120 118 130 129 136 140 135 124 124 134 130 130 135 138 144
Volume 16 14.5 16 9.5 12 9 4.8 6
Ulangan 2 Tekanan 1.0
1.5
2.0
2.5 3.0 Total minyak Rendemen
Waktu 09.30 10.00 10.30 11.00 11.30 12.00 12.30 13.00 13.30 14.00 14.30 15.00 15.30 16.00 16.30 17.00 = 93 ml = 2.65%
Laju destilat (ml/menit) 110 122 122 120 130 128 128 128 134 130 130 135 138 144 146 148
Volume 12.5 22 16 10.5 7 11 6.5 7.5
Lampiran 5. Lanjutan Perlakuan 3. Penyulingan pada kepadatan akar 0.11 kg/lt. Ket: T0 (°C) = Suhu dalam ketel T1 (°C) = Suhu destilat Ulangan 1 Tekanan 1.0
1.5
2.0
2.5 3.0 Total minyak Rendemen
Waktu 09.15 09.45 10.15 10.45 11.15 11.45 12.15 12.45 13.15 13.45 14.15 14.45 15.15 15.45 16.15 16.45 = 84.5 ml = 2.41%
T0 (°C)
Ti (°C)
124 124 125 125 129 129 130 130 136 136 136 136 142 142 148 148
45 45 45 46 46.5 47.5 47.5 48 49 48.5 49 49.5 49 48 50 50
Laju destilat (ml/menit) 100 100 112 112 114 116 116 116 130 130 130 128 136 116 130 138
Volume 14 12.5 10 10 9 7 7 15
Ulangan 2 Tekanan 1.0
1.5
2.0
2.5 3.0 Total minyak Rendemen
Waktu 11.10 11.40 12.10 12.40 13.10 13.40 14.10 14.40 15.10 15.40 16.10 16.40 17.10 17.40 18.10 18.40 = 83.5 ml = 2.39%
T0 (°C)
Ti (°C)
125 125 125 126 131 131 132 132 137 137 137 137 141 142 142 147
47 47 47.5 49 48.5 48 49 49 49 49 49 48.5 48.5 48.5 48.5 48.5
Laju destilat (ml/menit) 120 122 114 118 116 118 116 122 130 121 116 118 124 124 124 138
Volume 21 15 10.5 5.5 10 5.5 6 10
Lampiran 6. Hasil uji analisis keragaman pengaruh kepadatan akar hasil penyulingan uap langsung dengan tekanan uap bertahap (fraksi minyak campuran). 1. Rendemen Source of Variation Between Groups Within Groups
Total
SS
df
MS
F
P-value
F crit
115.4892
2
57.74458
0.024538
0.975858
5.143253
2353.264
14119.59
6
14235.07
8
SS
df
MS
F
P-value
F crit
0.000667
2
0.000334
0.001173
0.998828
5.143253
1.707091 1.707758
6 8
0.284515
SS
df
MS
F
P-value
F crit
0.000343
2
0.000171
0.000251
0.999749
5.143253
4.101143 4.101486
6 8
0.683524
SS
df
MS
F
P-value
F crit
0.625143
2
0.312572
0.00278
0.997225
5.143253
674.6285 675.2536
6 8
112.4381
SS
df
MS
F
P-value
F crit
2.743649
2
1.371825
0.002528
0.997477
5.143253
3256.241 3258.984
6 8
542.7068
2. Bobot Jenis Source of Variation Between Groups Within Groups Total
3. Indeks Bias Source of Variation Between Groups Within Groups Total
4. Bilangan Asam Source of Variation Between Groups Within Groups Total
5. Bilangan ester Source of Variation Between Groups Within Groups Total
Lampiran 7. Pola kromatogram gas minyak akar wangi penyulingan pada kepadatan akar 0.09 kg/l (fraksi minyak campuran)
Keterangan: 1) 8,9-dehydroneoisolongifolene 2) Zizanol 3) β-Vetivone 4) Trisiklo Vetiverol 5) Vetiver Alkohol 6) α- Vetivone 7) Asam Khusenic
Lampiran 8. Pola kromatogram gas minyak akar wangi penyulingan pada tekanan uap 1.5 bar dengan kepadatan akar 0.09 kg/l
Keterangan: 1) 8,9-dehydroneoisolongifolene 2) Zizanol 3) β-Vetivone 4) Trisiklo Vetiverol 5) Vetiver Alkohol 6) α- Vetivone 7) Asam Khusenic
Lampiran 9. Pola kromatogram gas minyak akar wangi penyulingan pada tekanan uap 2 bar dengan kepadatan akar 0.09 kg/l
Keterangan: 1) Calarene 2) Zizanol 3) β-Vetivone 4) Trisiklo Vetiverol 5) Vetiver Alkohol 6) α- Vetivone 7) Asam Khusenic
Lampiran 10. Identifikasi pola fragmentasi spektrum massa minyak akar wangi fraksi campuran, fraksi 1.5 bar dan fraksi 2 bar hasil penelitian dengan literatur abraham (2002)
1. Pola Fragmentasi Alpha Vetivon
(a)
(c)
(b)
(d)
Keterangan: (a) Pola fragmentasi alpha vetivon minyak akar wangi (Abraham, 2002) (b) Pola fragmentasi alpha vetivon minyak akar wangi penyulingan pada tekanan uap 1.5 bar hasil penelitian (c) Pola fragmentasi alpha vetivon minyak akar wangi penyulingan pada tekanan uap 2 bar hasil penelitian (d) Pola fragmentasi alpha vetivon minyak akar wangi penyulingan pada kepadatan akar 0.09 kg/l (fraksi campuran) hasil penelitian
Lampiran 10. Lanjutan 2. Pola Fragmentasi Beta Vetivon
(a)
(b)
(c)
(d)
Keterangan: (a) Pola fragmentasi beta vetivon minyak akar wangi (Abraham, 2002) (b) Pola fragmentasi beta vetivon minyak akar wangi penyulingan pada tekanan uap 1.5 bar hasil penelitian (c) Pola fragmentasi beta vetivon minyak akar wangi penyulingan pada tekanan uap 2 bar hasil penelitian (d) Pola fragmentasi beta vetivon minyak akar wangi penyulingan pada kepadatan akar 0.09 kg/l (fraksi campuran) hasil penelitian
Lampiran 10. Lanjutan 3. Pola Fragmentasi Trisiklo Vetiverol
(a)
(b)
(c)
(d)
Keterangan: (a) Pola fragmentasi trisiklo vetiverol minyak akar wangi (Abraham, 2002) (b) Pola fragmentasi trisiklo vetiverol minyak akar wangi penyulingan pada tekanan uap 1.5 bar hasil penelitian (c) pola fragmentasi trisiklo vetiverol minyak akar wangi penyulingan pada tekanan uap 2 bar hasil penelitian (d) Pola fragmentasi trisiklo vetiverol minyak akar wangi penyulingan pada kepadatan akar 0.09 kg/l (fraksi campuran) hasil penelitian
Lampiran 10. Lanjutan 4. Pola Fragmentasi Vetiver Alkohol
(a)
(b)
(c)
(d)
Keterangan: (a) Pola fragmentasi vetiver alkohol minyak akar wangi (Abraham, 2002) (b) Pola fragmentasi vetiver alkohol minyak akar wangi penyulingan pada tekanan uap 1.5 bar hasil penelitian (c) Pola fragmentasi vetiver alkohol minyak akar wangi penyulingan pada tekanan uap 2 bar hasil penelitian (d) Pola fragmentasi vetiver alkohol minyak akar wangi penyulingan pada kepadatan akar 0.09 kg/l (fraksi campuran) hasil penelitian
Lampiran 10. Lanjutan 5. Pola Fragmentasi Asam
(a)
(b)
(c)
(d)
Keterangan: (a) Pola fragmentasi asam karboksilat minyak akar wangi (Abraham, 2002) (b) Pola fragmentasi asam khusenic minyak akar wangi penyulingan pada tekanan uap 1.5 bar hasil penelitian (c) Pola fragmentasi asam khusenic minyak akar wangi penyulingan pada tekanan uap 2 bar hasil penelitian (d) Pola fragmentasi asam khusenic minyak akar wangi penyulingan pada kepadatan akar 0.09 kg/l (fraksi campuran) hasil penelitian