REINTERPRETASI SANKSI PIDANA ISLAM (STUDI TERHADAP PEMIKIRAN PROF. KH. IBRAHIM HOSEN, LML) Toha Andiko
Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam IAIN Bengkulu Jl. Raden Fatah Pagar Dewa Bengkulu 38613 E-mail:
[email protected]
Abstract: Reinterpretation of Islamic Penal Punishment: A Study on Prof. K.H. Ibrahim Hosen, LML’s thought. Islamic penal punishment that is related to the qishas and hudûd is often considered as violating of human rights and intimidation so that there are many rejections in its application. This is reinforced by the opinion of most Moslem scholars who consider the implementation of Islamic penal provision through textual understanding as a symbol of the implementation of Islamic law as a whole. In this context, Ibrahim Hosen as the expert of Ushul al-Fiqh (Islamic Legal Theory) and comparative Islamic legal (Fiqh al-Muqâran) in Indonesia tried to neutralize the rigid understanding by using the types of crime and the reinterpretation of punishment through understanding of the texts contextually by using ijtihad istislahi (independent reasoning of public interest) and refers to the purpose of its application that prefers to the function of zawajir than the other. Therefore, it is expected that the Islamic penal law can be accepted theoretically and practically.
Keywords: punishment, Islamic penal law, Ibrahim Hosen.
Abstrak: Reinterpretasi Sanksi Pidana Islam: Studi Terhadap Pemikiran Prof. K.H. Ibrahim Hosen, LML. Sanksi pidana Islam terkait qishâs dan hudûd seringkali dituding melanggar HAM dan terkesan menakutkan sehingga banyak terjadi penolakan terhadap penerapannya. Ini diperparah lagi dengan adanya pendapat sebagian cendikiawan muslim yang menganggap pelaksanaan pidana Islam dengan pemahaman tekstual sebagai simbol pelaksanaan syariat Islam secara utuh. Di sini Ibrahim Hosen sebagai pakar Usul Fikih dan Fikih Perbandingan di Indonesia mencoba menetralisir pemahaman kaku tersebut dengan berusaha menjelaskan substansi pidana Islam meliputi jenis-jenis tindak pidana, dan reinterpretasi sanksinya dengan pemahaman nas-nas secara kontekstual melalui ijtihad istishlâhi serta mengacu pada tujuan penerapannya yang mengedepankan fungsi zawâjir. Dengan demikian, diharapkan ketentuan pidana Islam bisa diterima secara teoritis dan praktisnya.
Kata kunci: sanksi, hukum pidana Islam, Ibrahim Hosen
Pendahuluan Hukum pidana dalam Islam seringkali menjadi perbincangan yang menarik perhatian para pakar hukum dan penggiat aktualisasi hukum Islam. Pelaksanaan pidana Islam tak jarang dijadikan simbol pelaksanaan syari`at Islam secara kâffah (paripurna). Perdebatan di sekitar masalah ini biasanya terkait dengan ketentuan tentang kriteria tindakan pidana dan sanksi hukum bagi pelaku tindakan pidana tersebut yang tergolong “unik”, karena ternyata tidak semata bernuansa kepentingan duniawi (profan), tapi juga keselamatan ukhrawi. Ibrahim Hosen sebagai salah satu cendikiawan muslim Indonesia yang fokus pada disiplin ilmunya di bidang Fikih dan Usul Fikih telah banyak
mengeluarkan fatwa, baik dalam kapasitasnya sebagai pendapat pribadi, maupun dalam kapasitasnya sebagai salah satu anggota atau ketua komisi fatwa MUI yang sangat berpengaruh dalam lahirnya fatwa-fatwa yang dikeluarkan MUI sejak 1981-1997. Pengakuan terhadap kebesaran dan ke istimewaan tokoh Ibrahim Hosen misalnya, tampak dari beberapa pernyataan ulama dan cendikiawan Muslim di Indonesia, di antaranya Hasan Basri (Ketua MUI 1975-1980) yang menyatakan bahwa pemikiran dan pendapat Ibrahim Hosen—yang dalam periode kepengurusannya duduk sebagai anggota Komisi Fatwa—dalam pembahasan berbagai masalah keagamaan dan kemasyarakatan telah memegang peranan dan memberi warna
233 |
MADANIA Vol. XVIII, No. 2, Desember 2014
dalam nasehat dan fatwa yang dikeluarkan MUI.1 Ali Yafie menyebutnya sebagai manusia yang dikaruniai Allah banyak kelebihan (dzâlika fadhlullâhi yu`thîhi man yasyâ’).2 Sedang Jalaluddin Rakhmat menyebutnya sebagai salah seorang pembaru pemikiran keagamaan di Indonesia.3
Sekilas tentang Profil Ibrahim Hosen Ibrahim Hosen dilahirkan pada tanggal 01 Januari 19174 di sebuah dusun perbatasan kota Tanjung Agung Bengkulu dari perkawinan seorang ulama sekaligus saudagar besar keturunan Bugis, KH. Hosen dengan anak bangsawan dari keluarga ningrat Kerajaan Selebar Bengkulu bernama Siti Zawiyah. Ia adalah anak kedelapan dari dua belas bersaudara.5 Pendidikan yang pernah ditempuh Ibrahim Hosen dan aktivitas sosial keagamaan serta karir yang pernah diraihnya tampak dari tabel di bawah ini:6 Tabel: Pendidikan Ibrahim Hosen Nama/Tempat Madrasah AsSagaf Singapura Muawanatul Khair Arabische School (MAS) Teluk Betung Pesantren Cibeber Cilegon Pesantren Lontar Serang Banten Pesantren Buntet Cirebon Jami`at Khaer Solo Pesantren Gunung Puyuh Sukabumi
1
2
3 4 5 6 7
9
Gunsei Gakko Batu Sangkar Tanah Datar Sumatera Barat Universitas AlAzhar, Mesir
Sekolah Karir
1942
Licence
1955-1959
Tabel: Karir dan Aktivitas Sosial Keagamaan Ibrahim Hosen
No
8
Keterangan
| 234
6
Juru bicara Delegasi Residen Hazairin dalam perundingan dengan pemberontak (ikut me nyelesaikan konflik perbatasan)
Anggota tim perunding dengan Belanda 8 Anggota Badan Pekerja DPRD 9 Kordinator Urusan Agama Anggota Tim Kecil pada sidang 10 Majlis Tarjih Muhammadiyah mewakili Bengkulu Dosen di Fakultas Dakwah Al11 Washliyah 12 Pegawai Tinggi Depag RI Pusat 7
Tingkat
Tahun
Ibtidaiyah
1925-1930
Tsanawiyah
1932-1934
-
1934
2 bulan
-
1934
6 bulan
-
1934
4 bulan
15
-
1935
+1bulan
16
-
1935
5 bulan
13 Dosen Terbang di UISU 14
17
Panitia Penyusun Biografi, Prof. KH. Ibrahim Hosen dan Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Putra Harapan, 1990), h. 242. 2 Panitia Penyusun Biografi, Prof. KH. Ibrahim Hosen..., h. 290. 3 Jalaluddin Rakhmat, dalam “Kata Pengantar” Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas, (Bandung: Mizan, 1993), h. 15. 4 Tanggal, bulan, dan tahun kelahirannya ini menurut penuturan Ibrahim kepada anak-anaknya adalah berdasarkan perkiraannya saja, yang pastinya ia tidak tahu karena dahulu tidak ada catatan (akte lahir) dari orang tuanya. Wawancara Pribadi dengan Nadratuzzaman, Jakarta, 14 Januari 2008. 5 Panitia Penyusun Biografi, Prof. KH. Ibrahim Hosen..., h. 1, 4. 6 Diringkas dari Toha Andiko, “Ijtihad Ibrahim Hosen dalam Dinamika Pemikiran Hukum Islam di Indonesia”, Disertasi pada Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009, h. 23-67. 1
No Karir/Aktivitas 1 Muballigh 2 Imam Besar Komandan Hizbullah (pejuang 3 senior) pada perang gerilya melawan Belanda Anggota Komisi Nasional 4 Indonesia (KNI) Daerah Bengkulu Wakil Ketua Masyumi Daerah 5 Bengkulu
18 19
20
21
22 23 24 25 26 27
Guru Besar Luar Biasa IAIN Palembang Dekan Fakultas Syari`ah IAIN Palembang merangkap IAIN Jambi Rektor IAIN Raden Fatah Ketua Umum Majelis Ulama Daerah Sumatera Selatan Ketua Yayasan Baitul Mal Sumsel Kepala Biro Hubungan Masyarakat dan Luar Negeri Depag RI Penggagas dan salah satu pendiri PTIQ bersama KH. Muhammad Dahlan, KH. Zaini Miftah, dan KH. Mukti Ali Menggagas perlunya UU Perkawinan bagi umat Islam Indonesia yang disampaikan dalam berbagai forum dan seminar, menulis buku Fiqh Perbandingan dan membuat draft yang dijadikan pegangan bagi Fraksi PPP Penasehat AhliMenteri Agama RI Rektor PTIQ Pendiri dan Rektor IIQ Anggota Komisi Fatwa MUI Guru Besar Fakultas Syari`ah IAIN Syarif Hidayatullah Salah satu Ketua MUI merangkap Ketua Komisi Fatwa MUI
Tahun 1938 1942
Tempat Bengkulu Bengkulu
1944
Bengkulu
1945
Bengkulu
1946
Bengkulu
1946
Muara Saung (Perbatasan BengkuluPalembang)
1948
Bengkulu
1948 1950-1955
Bengkulu Bengkulu
1954
Yogyakarta
1960-1961 1961-1964 1961-1969
Medan Sumut Jakarta Medan Sumut
1962
Palembang
1962-1964
Palembang
1964-1966
Palembang
1964-1966
Palembang
1964-1966
Palembang
1966-1971
Jakarta
1971
Jakarta
1971-1974
Jakarta
1971-1982 1972-1976 1977-2001 1975-1980
Jakarta Jakarta Jakarta Jakarta
1979-1982
Jakarta
1980-1995
Jakarta
Toha Andiko: Reinterpretasi Sanksi Pidana Islam Penatar pada Pelatihan Ketua Pengadilan Tinggi Agama
1982
29 Penatar Hakim Pengadilan Agama
1983
28
30 Konsultan BKKBN 1983-1986 Guru Besar Hukum Islam di 31 1984 UNISBA Salah satu nara sumber KHI (pelaksana bid. Kitab-kitab/ 32 yurisprudensi) dan berperan aktif dalam mensosialisasikannya ke berbagai daerah Ikut mendukung dan meyakinkan DPR, konsultan Fraksi PPP tentang arti penting RUUPA agar disahkan menjadi UUPA Anggota Dewan Pengawas 34 Syari`ah BMI Anggota Dewan Pertimbangan 35 Agung RI 33
Pembicara dalam berbagai Seminar, simposium, lokakarya, 36 dan konferensi Islam di dalam dan luar negeri
Pontianak Bukit Tinggi Sumbar Jakarta Bandung
1985-1991
Jakarta, Jatim, Jateng, Medan, Aceh, dan Kalimantan
1989
Jakarta
1991
Jakarta Jakarta
1971-1998
Dewan Pembina LP.POM MUI 1998-2002 Pusat Guru Besar Hukum Islam di IAIN Sumatera Utara, IAIN Sultan 38 Syarif Qasim, dan IAIN Sunan Gunung Djati
Jakarta, Bogor, Bandung, Padang, Aceh, Kairo, Islamabad, Moskwa, dan Malaysia
37
Jakarta Medan, Pekan Baru, Bandung
Pemikiran Ibrahim Hosen tentang Reinterpretasi Sanksi Pidana Islam Secara garis besar, jenis-jenis hukuman dalam pidana Islam terdiri dari qishâs-diyat, kafârat, hudûd, dan ta’zîr. Keempat jenis hukuman ini mempunyai bentuk yang bervariasi sesuai dengan perbedaan macam tindak pidana yang diancamnya. Qishâs-diyat yang berkaitan dengan kejahatan terhadap jiwa dan anggota tubuh, bervariasi sesuai dengan bentuk kejahatannya. Begitu pula dengan hudûd, bentuk-bentuknya adalah hukuman mati, hukuman potong (tangan atau kaki), dera (cambuk, jild), rajm (dilempari pakai batu hingga mati) dan pengasingan. Sedangkan hukuman ta’zîr memiliki bentuk paling beragam, karena penetapan bentuk-bentuknya merupakan wewenang hakim (pemerintah).7 7 Ibrahim Hosen, Jenis-Jenis Hukuman dalam Pidana Islam dan Perbedaan Ijtihad Ulama Dalam Penerapannya, disampaikan pada Seminar Sehari Kontribusi Hukum Islam Terhadap
Dalam kajian hukum pidana Islam, maksud pelaksanaan hukuman itu secara umum di kelompokkan menjadi dua, yaitu merealisasikan haqq Allâh dan haqq al-adami (hak manusia). Namun di samping itu, ada pula hukuman yang mengandung unsur haqq Allâh dan haqq al-adami sekaligus. Yang dimaksud dengan haqq Allâh ialah bahwa hukuman itu tidak dapat digugurkan, baik oleh pihak yang dirugikan maupun oleh penguasa, karena hukuman tersebut berkaitan erat dengan kepentingan masyarakat.8 Adapun yang dimaksud dengan haqq al-adami ialah hukuman itu dapat digugurkan oleh pihak yang dirugikan atau oleh pemerintah, karena hal tersebut hanya menyangkut kepentingan individu.9 Yang dimaksud dengan kelompok haqq Allâh ialah semua jenis hudûd dan kafârat dengan berbagai bentuknya, selain had qadzaf menurut sebagian ulama. Hukuman-hukuman ini harus dilaksanakan manakala telah terpenuhi syaratsyaratnya. Dan mengenai had qadzaf, hukuman ini baru dapat dijatuhkan ketika ada tuntutan dari pihak yang merasa dirugikan (maqdzûf),10 dan menjadi gugur apabila ia memaafkannya.11 Sedangkan yang termasuk kategori haqq aladami ialah semua jenis hukuman qishâs-diyat. Terhadap kategori ini, pihak yang dirugikan dapat memaafkannya. Tentang kedudukan ta’zîr, dengan mem perhatikan defenisinya, dapatlah dikemukakan bahwa hukuman itu ada yang termasuk haqq Allâh, yaitu jika kemaksiatan yang diancamnya tidak merugikan manusia, dan ada pula yang termasuk haqq Allah dan haqq al-adami sekaligus, yaitu manakala kemaksiatannya merugikan manusia, seperti pencurian yang tidak memenuhi syarat untuk di-had. Karena itu, para ulama berpendapat, hukuman tersebut dapat dimaafkan dan dimintakan syafa`atnya, baik oleh pihak yang Pembinaan Hukum Nasional, Jakarta, Fakultas Syari`ah IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 17 Juli 1993, h. 14 8 Ahmad Fathi Bahansi, Nazhariyyât fî al-Fiqh al-Jinâ’i alIslâmi, (Kairo: al-Syirkah al-`Arabiyyah, 1963), h. 55 9 Ahmad Fathi Bahansi, Nazhariyyât fi al-Fiqh..., h. 56 10 Ibnu `Abidîn, Hâsyiyah Radd al-Mukhtâr, (Mesir: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1966), Cet. ke-2, Juz IV, h. 48 11 Al-Mawardi, al-Ahkâm al-Sulthâniyah, (Mesir: Mustafa al-Bâbi al-Halabi, 1966), Cet. ke-2, h. 229, lihat pula Muhammad Husain al-`Aqabi, al-Majmû` Syarh al-Muhadzzâb, (Mesir: Matba`ah al-Imâm, t. th.), Juz XVIII, h. 298
235 |
MADANIA Vol. XVIII, No. 2, Desember 2014
dirugikan maupun oleh pemerintah (hâkim), serta dapat gugur pula dengan taubat.12 Adapun tujuan dari pensyariatan hukum pidana Islam, dalam hal ini pemidanaannya, tidak berbeda dengan tujuan umum dari pensyariatan hukum Islam, yaitu mewujudkan dan memelihara kemashlahatan umat manusia, demi mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat. Menurut penelitian para ulama, ada dua macam tujuan pemidanaan.13 Pertama, tujuan relatif (al-ghard al-qarîb), yakni untuk menghukum (menimpakan rasa sakit kepada) pelaku tindak pidana—yang pada umumnya dapat mendorong pelakunya bertaubat—sehingga ia menjadi jera, tidak mau mengulangi kembali melakukan jarîmah, dan orang lainpun tidak berani mengikuti jejaknya. Kedua, tujuan absolut (al-ghard al-ba`îd), yakni untuk melindungi kemashlahatan umum. Kedua hal inilah yang memang hendak dicapai oleh pemidanaan terhadap setiap jarîmah.14 Mengenai fungsi pemidanaan, para ulama mengemukakan bahwa fungsinya adalah zawâjir dan jawâbir. Zawâjir adalah pemidanaan itu berfungsi untuk menyadarkan pelaku jarimah agar tidak mengulangi lagi kejahatan, dan agar hukuman itu dapat dijadikan pelajaran bagi orang lain sehingga tidak berani melakukan jarîmah. Tegasnya, fungsi pemidanaan di sini merupakan hal yang berkonotasi duniawi. Sedangkan yang dimaksud dengan jawâbir ialah bahwa pemidanaan itu berfungsi untuk menyelamatkan terpidana dari siksa akhirat. Dengan kata lain, untuk menghapus dosa jarîmahnya. Jadi fungsi jarîmah tersebut berkonotasi ukhrawi. Sungguhpun demikian, namun para ulama berbeda pandangan dalam penerapannya, ada yang menonjolkan sisi zawâjirnya, dan ada pula yang menekankan sisi jawâbirnya.15 Setelah memperhatikan jenis-jenis hukuman dalam pidana Islam dan pengklasifikasiannya Al-Mawardi, al-Ahkâm al-Sulthâniyah, h. 237, Ahmad Fathi Bahansi, al-`Uqûbah fi al-Fiqh al-Jinâ’i al-Islâmi, (Kairo: Maktabah Dâr al-`Urubah, 1961), Cet. ke-2, h. 115. 13 Ahmad Fathi Bahansi, al-`Uqûbah fi al-Fiqh al-Jinâ’i alIslâmi, h. 13. 14 Ibrahim Hosen, Jenis-Jenis Hukuman..., h. 16. 15 Ahmad Fathi Bahansi, al-`Uqûbah fi al-Fiqh al-Jinâ’i alIslâmi, h. 10-12, Ahmad Fathi Bahansi, Nazhariyyât fi al-Fiqh alJinâ’i al-Islâmi, h. 71-75. 12
| 236
antara hak Allah dan hak manusia, maka dengan berpijak dari sini, Ibrahim Hosen berpendapat bahwa dalam hukuman pidana Islam itu, ada yang bersifat tegas, dan ada pula yang bersifat elastis. Tegas dalam arti harus diterapkan apa adanya jika telah memenuhi syarat-syaratnya, dan elastis berarti penerapannya dapat disesuaikan dengan situasi dan kondisi, karena bergantung pada kebijaksanaan pemerintah dan atau pihak yang dirugikan.16 Dengan memperhatikan negara-negara yang mengklaim dirinya sebagai negara Islam, Ibrahim Hosen melihat bahwa ternyata di sana, selain di Arab Saudi, ketentuan-ketentuan hukum pidana Islam dalam bentuk literal nas, sangat sulit diterapkan. Tapi mereka juga tidak dapat divonis telah melanggar atau menentang hukum Allah sebagaimana disebutkan dalam surat alMâ’idah ayat 44, 45, dan 46. Oleh sebab itu, ia mencoba melakukan reinterpretasi terhadap ketentuan-ketentuan tekstual nas tentang pidana Islam tersebut, di antaranya dengan menekankan pada aspek zawâjirnya. Dengan begitu, hukum pidana Islam tetap dapat diberlakukan dalam bentuk lain, di samping fungsi serta tujuan pemidanaannyapun tercapai. Dalam penelitiannya, menurut para ulama, aturan-aturan hukum pidana Islam kategori hudûd harus diterapkan apa adanya sesuai bunyi literal nas jika persyaratan-persyaratan yang diperlukan telah terpenuhi. Sebab aturanaturan itu dianggap qath`i (ghairu ma`qûl al-ma`na, ta`abbudi, syarî`ah). Namun menurut Ibrahim Hosen, konsep yang demikian masih mungkin untuk ditinjau kembali, antara lain melalui pemahaman nas-nas secara kontekstual dengan berpijak pada fungsi pemidanaan dan tujuannya serta penafsiran ulang nas-nas yang mengandung ihtimâl atau kemungkinan diartikan lain dari arti yang sudah populer. Ia mencontohkan bahwa ketika Islam datang, dunia saat itu sedang menghadapi masalah perbudakan. Pada zaman itu, perbudakan dipandang sebagai suatu kewajaran yang dibenarkan oleh semua pihak, karena sistem perbudakan memang diperlukan untuk menunjang kepentingan hidup, sejalan dengan 16
Ibrahim Hosen, Jenis-Jenis Hukuman..., h. 17.
Toha Andiko: Reinterpretasi Sanksi Pidana Islam
kebudayaan yang sedang berlaku. Kenyataan seperti itu diterima oleh ajaran Islam, terbukti Islam tidak menghapuskan perbudakan secara total. Atas dasar ini, maka pelaksanaan hukum pidana Islampun mengakomodir sejalan dengan sistem perbudakan yang berlaku. Misalnya, orang membunuh dijatuhi hukuman mati, orang mencuri dijatuhi hukuman potong tangan, dan sebagainya. Tegasnya, hukuman-hukuman yang disyari`atkan Islam sangat relevan dengan budaya perbudakan yang berlaku saat itu.17 Namun ia juga menegaskan bahwa pada dasarnya hukum Islam bermaksud ingin meng hapuskan sistem perbudakan, kendati secara bertahap dan persuasif. Ini dapat terlihat dari beberapa ketentuan hukum yang mengharuskan pembebasan budak. Sebagai contoh, orang membunuh tidak sengaja diharuskan membayar kifârat berupa pembebasan budak di samping diyat. (lihat Q.S. Al-Nisâ’ [4]: 92), demikian pula kifârat bagi orang yang melakukan jima` (hubungan seksual) pada siang hari Ramadhan.18 Saat ini, dunia sudah tidak lagi mengakui perbudakan dan kenyataan juga menunjukkan demikian. Karena itu, menurutnya sudah selayaknya faktor tersebut mendorong mujtahid untuk meninjau kembali pelaksanaan aturanaturan hukum pidana yang tertuang dalam Alquran dan hadis, sehingga bisa selaras dengan kenyataan yang ada, sebagai akibat berakhirnya masa dan pengaruh budaya perbudakan sesama manusia. Tetapi ini tidak berarti aturan-aturan hukum pidana tersebut diabaikan sama sekali, melainkan harus pula memperhatikan lebih jauh dan mendalam fungsi dan tujuan umum serta jiwa pensyari`atannya. Dengan kata lain, perlu dilakukan reinterpretasi terhadap fungsi dan tujuan pensyari`atannya, yang tercermin pada pelaksanaannya.19
Sanksi Hukum Pezina Pada awal Islam, had zina bagi perempuan adalah dikurung sampai mati, sedang bagi lakilaki adalah disiksa dan disakiti, berdasarkan surat Ibrahim Hosen, Jenis-Jenis Hukuman..., h. 20. Ibrahim Hosen, Jenis-Jenis Hukuman..., h. 20. 19 Ibrahim Hosen, Jenis-Jenis Hukuman..., h. 21. 17
18
al-Nisâ’ [4] ayat 15-16:
”Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji20, hendaklah ada empat orang saksi di antara kamu (yang menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah memberi persaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan lain kepadanya”.21 Dan terhadap dua orang yang melakukan perbuatan keji di antara kamu, maka berilah hukuman kepada keduanya. Kemudian jika keduanya bertaubat dan memperbaiki diri, maka biarkanlah mereka. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Nisâ’ [4]: 15-16) Lalu ketentuan ayat di atas dinasakh oleh ayat 2 surat al-Nûr:
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman”. (QS. Al-Nûr [24]: 2) Pada dasarnya dengan berpegang pada ayat ini, maka sanksi hukum bagi pelaku zina, baik lakilaki maupun perempuan, muhshan maupun yang ghairu muhshan adalah sama yaitu dicambuk 100
20 Menurut jumhûr mufassirîn yang dimaksud perbuatan keji ialah perbuatan zina, sedang menurut pendapat yang lain ialah segala perbuatan mesum seperti zina, homo seks dan yang sejenisnya. Menurut pendapat Muslim dan Mujahid, yang dimaksud dengan perbuatan keji ialah musâhaqah (lesbian). 21 Menurut jumhûr mufassirîn, jalan yang lain itu itu ialah dengan turunnya ayat 2 dari surat al-Nûr
237 |
MADANIA Vol. XVIII, No. 2, Desember 2014
kali. Tetapi al-Sunnah membedakan sanksi hukum bagi muhshan dan ghairu muhshan. Para sahabat dan ulama salaf serta ulama belakangan sepakat bahwa bagi pelaku zina muhshan hukumannya adalah dirajam sampai mati, kecuali sebagian golongan Khawarij yang berpendapat bahwa rajam itu tidak disyari`atkan, karena mereka menyamakan hukuman bagi pelaku muhshan dan ghairu muhshan dengan 100 kali cambuk.22 Jumhûr fuqahâ’ memahami surat al-Nûr ayat 2 itu ditujukan kepada gadis/bujang, sedang hukuman bagi muhshan dijelaskan dalam hadis:
23
“Laki-laki dan perempuan tua jika berzina, maka rajamlah keduanya, sebagai balasan hukuman dari Allah. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (HR. Ahmad) Yahya ibn Said berkata bahwa Malik ibn Anas pernah berkata bahwa yang dimaksud “al-syaikhu dan al-syaikhatu” dalam hadis itu adalah duda (altsayyibu) dan janda (al-tsaybatu). Berkenaan dengan had terhadap pelaku zina tersebut, para ulama berbeda pendapat dalam pelaksanaan sanksinya. Terhadap duda atau janda, Khawarij ber pendapat bahwa had bagi mereka adalah 100 kali cambuk (jild) saja, sedangkan rajam tidak disyari`atkan. Ahlu al-Zhâhir, Ishaq, Ahmad, dan salah satu riwayat dari Ahmad berpendapat bahwa had bagi janda atau duda yang budak adalah dijilid 100 kali seperti gadis atau bujang, dan tidak ada rajam bagi budak. Sedangkan terhadap gadis atau bujang, Hanafiyah berpendapat bahwa had bagi mereka adalah dicambuk 100 kali saja, tidak ada yang lain seperti diasingkan. Selain Hanafiyah, berpendapat bahwa had bagi mereka adalah dicambuk 100 kali dan diasingkan selama 1 tahun. Adapun terhadap budak, mayoritas ulama selain ahlu al-zhâhir berpendapat bahwa had bagi budak adalah separoh dari had orang merdeka, baik laki-laki maupun perempuan, janda/duda maupun gadis/bujang.24 Dari penjelasan di atas, tampaknya ulama Muhammad Ali al-Sâyis, Tafsîr Ayât al-Ahkâm, h. 104. Ahmad ibn Hanbal Abu Abdillâh al-Syaibani, Musnad Ahmad, (Mesir: Mu’assasah Qurthubah, t.th.), Juz V, h. 132. 24 Ali al-Sâyis, Tafsîr Ayât al-Ahkâm, h. 106. 22
terdahulu lebih menekankan pada aspek jawâbir. Padahal, tujuan umum pensyari`atan hukum pidana Islam itu ialah untuk melindungi kepentingan umum. Maka dalam rangka usaha reinterpretasi, menurut Ibrahim Hosen, hendaknya diperhatikan terlebih dahulu ayat-ayat Alquran dan hadis Nabi saw serta pendapat para ulama lainnya yang berkaitan dengan fungsi pemidanaan yang terdiri dari zawâjir dan jawâbir sekaligus. Dalam hal ini, hendaknya lebih ditonjolkan dan ditekankan pada aspek zawâjir-nya dibanding aspek jawâbir-nya. Dengan demikian, maka pensyari`atan hukum tersebut menjadi ta`aqquli atau ma`qûl al-ma`na, bukan ta`abbudi.25 Untuk mendukung asumsinya ini, ia mendeskripsikan kisah Ma’iz dan peristiwa perkosaan yang terjadi pada masa Nabi saw. sebagai berikut: ”Di zaman Nabi saw, pernah terjadi kasus perkosaan terhadap seorang wanita pada saat kegelapan shubuh. Mendapat perlakuan tak terpuji tersebut, wanita itu berteriak-teriak minta tolong dengan suara keras, sehingga menarik perhatian orang banyak. Melihat hal demikian, banyak orang berdatangan, dan si pemerkosa kabur melarikan diri. Namun sebelum orang-orang ramai sampai di tempat kejadian, seorang laki-laki telah datang lebih dahulu. Maka ketika mereka datang dan menanyai wanita itu (korban perkosaan) siapa yang memperkosanya, serta merta ia menuding orang yang ada di dekatnya, karena hanya dialah yang satu-satunya laki-laki di sekitarnya yang berada di situ. Korban tak dapat mengenali pemerkosanya mengingat keadaan masih cukup gelap. Si lakilaki yang dituduhpun tak dapat membela diri, karena ia tidak dapat menunjukkan bukti-bukti bagi ketidakterlibatannya. Dan iapun diringkus lalu dihadapkan kepada Rasulullah untuk dijatuhi hukuman semestinya. Si pemerkosa, nampaknya selalu mengikuti perkembangan kasusnya. Ketika dengan pasrahnya laki-laki yang dituduh sebagai pemerkosa itu hendak dijatuhi hukuman, timbullah rasa iba dan penyesalan yang amat sangat di dalam lubuk hati pemerkosa (yang sebenarnya). Terbayang di pikirannya bahwa ia telah berbuat dosa besar, tetapi orang lainlah yang menanggung akibat dan deritanya, sedang ia sendiri aman dan bebas.
23
| 238
25
Ibrahim Hosen, Jenis-Jenis Hukuman..., h. 21.
Toha Andiko: Reinterpretasi Sanksi Pidana Islam
Terbayang pula andaikata ia tidak segera bertindak dan membiarkan proses eksekusi berjalan, maka ia akan berdosa pula karena menyebabkan orang tak bersalah mendapat hukuman berat akibat ulahnya. Dengan kesadaran penuh dan penyesalan yang luar biasa akibat perbuatannya, iapun dengan mantap menyerahkan diri kepada Rasulullah untuk dijatuhi hukuman. Ia mengaku bahwa yang bersalah adalah dirinya, bukan orang yang hampir dieksekusi itu. Ia juga menyatakan penyesalan yang mendalam dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatan tak senonoh tersebut. Setelah mendengar pengakuan pelaku dan penyesalannya yang sungguh-sungguh itu, Nabi saw lalu membebaskannya, tidak menjatuhi hukuman padanya. Padahal saat itu para sahabat telah siap-siap merajamnya. Bahkan Umar ibn al-Khattab dengan tegas meminta Nabi saw untuk merajamnya. Nabi saw tidak melakukannya, sebab menurut Nabi saw, tak ada guna dan manfaat menjatuhkan hukuman kepada orang yang sudah benar-benar sadar dan taubat. Tanpa dihukumpun ia tidak lagi akan berbuat atau mengulangi kejahatan.”26 Dari pemaparan kasus di atas, jelaslah bahwa fungsi pemidanaan itu baginya ialah zawâjir, yaitu berfungsi menyadarkan dan membuat orang jera sehingga tidak mau berbuat atau mengulangi lagi tindak pidana (kejahatan). Oleh sebab itu, menurutnya jenis-jenis hukuman yang telah ditetapkan dalam nas tidak harus diterapkan secara harfiah. Tetapi jenis dan bentuk hukuman apapun dapat dibenarkan selama dapat berfungsi sebagai zawâjir serta mampu mewujudkan tujuan pensyari`atan hukum pidana Islam. Dan atas dasar ini pula, perumusan hukuman yang sejalan dengan dengan kondisi masa kini dapat dibenarkan pula. Sedangkan hukuman yang ditetapkan dalam Alquran dan hadis hanya dapat dipandang sebagai batas maksimal yang perlu diterapkan ketika bentuk lain tak dapat mewujudkan tujuan hukuman tersebut.27
penerapan hukum pidana Islam itu masalahnya bukan pada batas minimal atau maksimal hukuman yang akan dilaksanakan, tapi lebih pada kondisi dan tempat hukum itu akan diberlakukan. Kalau memang memungkinkan, maka hukum pidana Islam harus diterapkan apa adanya sesuai ketentuan nas (jawâbir) selama sudah terpenuhi syarat-syarat tindak pidananya, dan jika tidak memungkinkan penerapannya, maka baru dibolehkan menerapkan jenis hukuman selain yang disebut dalam nas sebagai alternatif dengan tujuan zawâjir.28 Dengan demikian, pada dasarnya Ibrahim Hosen mengakui fungsi pemidanaan yang meliputi zawâjir dan jawâbir. Hanya saja di sini tampaknya ia telah melakukan ijtihad insyâ’i dengan lebih menekankan pada aspek zawâjir, yaitu hukuman berfungsi untuk membuat pelakunya jera sehingga tidak akan mengulanginya lagi. Ia memperkuat pendapatnya dengan riwayat kasus Ma’iz yang terjadi pada masa Nabi saw. Sedangkan ketentuan sanksi pidana yang tertera dalam surat al-Nisâ’ ayat 15 dan al-Nûr ayat 2, dipahaminya sebagai hukuman maksimal. Selama fungsi pemidanaan dapat tercapai sesuai dengan tujuan pensyari`atannya yang berlandaskan maqâsid alsyarî`ah, maka hukuman maksimal itu tidak harus diterapkan apa adanya. Oleh sebab itu, sanksi hukum bagi pelaku zina muhshan atau ghairu muhshan tidak harus dirajam sampai mati atau didera 100 kali, tapi bisa dengan cara lain yang dianggap bisa membuat yang bersangkutan kapok dan orang lain yang mengetahuinya menjadi berpikir ulang (takut) melakukannya sehingga dapat berdampak positif bagi terpeliharanya kemashlahatan umum.
Sanksi Hukum Pencuri
Pendapat berbeda dikemukakan oleh Said Agil al-Munawwar yang memandang bahwa
Dalam Alquran kata ( ) yang berkaitan dengan masalah pencurian dengan berbagai derivasinya telah disebutkan sebanyak 8 kali dalam berbagai surat yang berbeda (Yusuf: 7, 73, 77, 81; al-Mumtahanah: 12; al-Hijr: 18; dan al-
Ibrahim Hosen, Jenis-Jenis Hukuman..., h. 22-23. Lihat pula Ibnu Qayyim al-Jauziyah, I`lâm al-Muwaqqi`în, (Kairo: Mathba`ah al-Sa`âdah, 1995), Cet. ke-1, Juz IV, h. 370-371. Al-Baihaqi, al-Sunan al-Kubrâ, (Beirut: Dâr al-Fikr, t. th.), Juz VIII, h. 284-285 27 Ibrahim Hosen, Jenis-Jenis Hukuman..., h. 23.
28 Said Agil Al-Munawwar, ”Konsep Ushuliyah Prof. KH. Ibrahim Hosen, Sebuah Analisis”, Makalah disampaikan dalam Seminar Sehari Pikiran Hukum Islam Prof. KH. Ibrahim Hosen, LML, Jakarta, 4 Juni 1994, h. 8.
26
239 |
MADANIA Vol. XVIII, No. 2, Desember 2014
Mâ’idah: 38).29 Namun setelah penulis teliti lebih lanjut, ternyata ayat pokok yang bisa dijadikan representasi untuk dapat menjelaskan masalah pencurian ini ditemukan dalam surat al-Mâ’idah ayat 38-39. Ayat-ayat dari surat al-Mâ’idah ini termasuk dalam kategori ayat-ayat Madaniah dalam urutan ke-27 dari segi tertib turunnya, walaupun dalam mushaf Alquran yang umum beredar saat ini diletakkan pada surat ke-5. Surat al-Mâ’idah ini nama lainnya adalah al-Uqûd dan al-Munqidz.30 Mencuri secara terminologi diartikan sebagai mengambil barang milik orang lain secara sembunyisembunyi dari tempat penyimpanan yang patut, dalam jumlah tertentu tanpa diberi kepercayaan untuk menjaga barang tersebut.31 Al-Shâbûni menambahkan pencurian itu terhadap barang yang memang dijaga dan bukan karena terpaksa atau didorong kebutuhan yang mendesak.32 Berkenaan dengan sanksi pidana terhadap tindak pencurian, sebagaimana disebutkan dalam surat al-Mâ’idah ayat 38, maka menurut penjelasan tekstual ayat ini hukumannya adalah berupa potong tangan (qath`u al-yad). Mengenai hal ini, pendapat para ulama--dalam penelitian Ibrahim Hosen—terbagi menjadi dua: Pertama, jumhûr ulama berpendapat bahwa hukuman tersebut bersifat ta`abbudi. Karena itu tidak dapat diganti dengan hukuman lain, baik dengan penjara atau lainnya, harus sebagaimana yang pernah dilaksanakan pada masa Rasul. Kedua, sebagian ulama berpendapat bahwa hukuman tersebut ma`qûl al-ma`na, yakni mempunyai maksud dan pengertian yang rasional. Karena itu, pelaksanannya dapat berwujud dengan hukuman lain, tidak harus potong tangan.33 Golongan ulama yang berpendapat bahwa hukuman bagi pencuri tidak harus potong tangan Muhammad Fuad Abd al-Baqi, al-Mu’jam al-Mufahrasy Li Alfâdz al-Qur’ân al-Karîm, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1978), h. 350. 30 Rachmat Taufiq Hidayat, Khazanah Istilah al-Qur’ân, (Bandung: Mizan, 1996), Cet. ke-6, h. 173-174. 31 Muhammad Ali al-Sâyis, Tafsîr Ayât al-Ahkâm, (Beirut: Dâr al-Fikr, t. th.), Jilid II, h. 189, bandingkan dengan Ibnu Rusyd, Bidâyat al-Mujtahid fi Nihâyat al-Muqtashid, (Beirut: Dâr al-Fikr, t. th.), dan lihat juga Sayid Sâbiq, Fiqh al-Sunnah, h. 215. 32 Muhammad Ali al-Shâbûni, Cahaya al-Qur’ân, terjemahan Khatur Suhardi dari Qabas min Nûr al-Qur’ân al-Karîm, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2000), Cet. ke-1, h. 272. 33 Ibrahîm Dasuqi al-Syahawi, al-Sariqah, (Kairo: Maktabah Dâr al-Urubah, 1961), Cet. ke-1, h. 9-13. 29
| 240
memandang bahwa kata ”faqtha`û aydiyahuma” pada surat al-Ma’îdah ayat 38 adalah bermaksud ”mencegah melakukan pencurian.” Pencegahan tersebut dapat diwujudkan berupa penahanan dalam penjara dan sebagainya. Tidak mesti pencegahan itu dilakukan dengan jalan potong tangan. Dengan demikian, ayat tersebut diartikan dengan ”Pencuri pria dan pencuri wanita cegahlah kedua tangan mereka dari mencuri, dengan jalan yang kamu pandang dapat mewujudkan pencegahan.”34 Golongan ini memperkuat pendapatnya dengan argumentasi bahwa lafaz ”qatha`a” menurut arti aslinya adalah pencegahan sematamata, dengan alasan sebagai berikut:35 Pertama, menurut satu riwayat bahwa Rasulullah saw memberi hadiah kepada Aqra’ ibn Habis al-Tamimy dan Uyainah ibn Hisn alFazari masing-masing 100 ekor onta, sedangkan kepada Abbas ibn Mardas Rasul memberinya hadiah kurang dari 100 ekor onta. Kemudian Abbas ibn Mardas mendendangkan syairnya di hadapan Rasulullah saw yang mengutarakan bahwa kedudukan dan perjuangannya jika tidak lebih, tidak dapat dianggap kurang dari Aqra’ dan Uyainah. Ketika Rasul mendengar syair tersebut, Rasul berkata kepada para sahabatnya: ”Iqtha`û `annî lisânahu”. Mendengar perintah Rasul ini, para sahabat kemudian memberikan kepada Abbas ibn Mardas tambahan sampai genap 100 onta, sebagaimana yang diterima Aqra’ dan Uyainah.36 Dari sini dapatlah dipahami bahwa kalau lafaz ”qatha`a” berarti pemotongan, niscaya sahabat Rasul memotong lidah si Abbas. Akan tetapi kenyataannya tidak seorang sahabatpun menanggapi perkataan Nabi tersebut menurut arti lahirnya (harfiyah), yaitu pemotongan lidah. Karena mereka tahu, tentu yang dimaksud oleh Rasul dari pemotongan lidah ialah mencegah lidah si Abbas ibn Mardas dari mengoceh mengemukakan protesnya dalam bentuk syair. Ibrahim Hosen, Jenis-Jenis Hukuman..., h. 24. Ibrahim Hosen, Ukhuwah Islamiyah Jangan Menjadi Retak Dikarenakan Masalah Khilafiyah, disampaikan pada Pengukuhan Guru Besar Tetap pada Fakultas Syari`ah IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 12 Desember 1981, h. 15-16 36 Muhammad Sa`ad ibn Mani` Abu Abdillah al-Bishri alZuhri, al-Thabaqât al-Kubrâ, (Beirut: Dar Shadir, t. th.), Juz IV, h. 273 34 35
Toha Andiko: Reinterpretasi Sanksi Pidana Islam
Oleh sebab itu, para sahabat mencukupkan bilangan onta jadi 100 ekor. Dengan demikian, perkataan Rasul di atas tidak diartikan ”potonglah lidahnya”, tapi diartikan ”cegahlah lidahnya.”37 Kedua, menurut satu riwayat bahwa Siti Laila Akhiliah pernah membacakan kasidahnya. Ketika ia memuji-muji panglima Hajjâj, maka berkatalah Hajjâj kepada ajudannya: ”Iqtha`û annî lisânaha”. Lalu ajudannya tersebut membawa Laila pergi ke tukang besi untuk memotong lidahnya. Ketika Laila melihat tukang besi membawa pisau cukur, berkatalah Laila: ”bukan ini yang dimaksud oleh Panglima Hajjâj, Panglima memerintahkan engkau memotong lidahku dengan hadiah, bukan dengan pisau cukur.” Setelah ajudan itu menemui Panglima dan bertanya padanya tentang maksud perintahnya, Panglima Hajjâj membenarkan pendapat Siti Laila Akhiliah, sehingga ajudan tersebut mendapat cercaan dari Panglima karena kebodohannya.38 Jika sekiranya kata qatha`a diartikan me motong secara sempit, maka tidaklah wajar panglima Hajjâj memarahi ajudannya. Padahal panglima Hajjâj dan Laila terkenal sebagai pujangga dan sastrawan Arab pada masa Daulah Umayyah yang kata-katanya dapat dijadikan hujjah dalam memahami bahasa Arab. Sedangkan ahli bahasa sependapat bahwa bahasa Arab pada masa Umayyah dan permulaan Daulah Abbasyiyah sampai masa Abu al-`Athahiyah (sastrawan Arab terkenal masa Abbasiyah, wafat 211H.) adalah dapat dijadikan hujjah.39 Di samping itu, menurut Abu Hanifah, alTsauri, Ahmad, dan Ishâq, hukuman atas tindak pidana pencurian itu bersifat pilihan, yaitu potong tangan atau mengembalikan (mengganti) barang yang dicuri kepada pemiliknya40, atau menurut ulama lainnya yaitu dengan menafkahkannya pada sabîlillâh.41 Dengan demikian, berdasarkan penjelasan di atas, dalam pandangan Ibrahim Hosen dapat Ibrahim Hosen, Jenis-Jenis Hukuman..., h. 25. Lihat pula Ibrahim Dasuqi al-Syahawi, al-Sariqah, h. 12 38 Ibrahim Hosen, Jenis-Jenis Hukuman…, h. 26. Ibrahim Dasuqi al-Syahawi, al-Sariqah, h. 13. 39 Ibrahim Hosen, Jenis-Jenis Hukuman…, h. 26. 40 Fakhr al-Râzi, Tafsîr al-Kabîr, (Teheran: Dâr al-Kutub alIlmiyah), Cet. ke-2, Juz XI, h. 228. 41 Al-Alusi, Rûh al-Ma`âni, (Beirut: Dâr Ihya al-Turâts al`Arabi, t. th.), Juz VI, h. 128. 37
dinyatakan bahwa sepanjang nas-nas hukum pidana mengandung ihtimâl berdasar siyaq ayat atau akibat lafaznya dianggap musytarak, maka reinterpretasi atau perubahan penafsiran menjadi terbuka, di samping tentunya dengan menekankan fungsi zawâjir dalam pemidanaan serta tujuan pensyari`atannya. Sehingga dengan begitu, wajar kiranya kalau pelaksanaan hukumannyapun menjadi elastis. Dalam hal ini, tampak Ibrahim Hosen telah melakukan tarjîh dengan memilih pendapat golongan kedua yang menganggap bahwa sanksi hukuman pencuri tidak harus potong tangan, karena ketentuan pidananya sebagaimana tercantum dalam surat al-Mâ’idah ayat 38 termasuk dalam kategori ta`aqquli. Oleh sebab itu, makna “qatha`a” dalam ayat tersebut baginya bisa diartikan selain potong tangan, yaitu dengan pengertian “mencegah (melakukan pencurian)”. Makna “mencegah” ini selain didukung oleh dua riwayat (kasus Abbas ibn Mardas dan Siti Laila Akhiliah), Ibrahim Hosen menambahkannya dengan pendapat Abu Hanifah, al-Tsauri, Ahmad, dan Ishaq yang menyatakan bahwa hukuman atas tindak pidana pencurian itu bersifat pilihan, yaitu potong tangan atau mengembalikan (mengganti) barang yang dicuri kepada pemiliknya, bahkan menurut ulama lainnya dapat juga dengan menafkahkannya pada sabîlillâh.
Penutup Dari pemaparan terdahulu dapat disimpulkan bahwa menurut mayoritas ulama aturan-aturan hukum pidana Islam kategori hudûd bisa diterapkan apa adanya sesuai bunyi literal nas jika persyaratan-persyaratan yang diperlukan telah terpenuhi. Sebab aturan-aturan itu dianggap qath`i (ghairu ma`qûl al-ma`na, ta`abbudi, syarî`ah). Namun menurut Ibrahim Hosen, konsep yang demikian masih mungkin untuk ditinjau kembali, antara lain melalui pemahaman nas-nas secara kontekstual melalui ijtihad istishlahi dengan berpijak pada fungsi pemidanaan dan tujuannya serta penafsiran ulang nas-nas yang mengandung ihtimâl atau kemungkinan diartikan lain dari arti yang sudah populer. Dengan menekankan pada aspek zawâjir misalnya, hukum pidana Islam tetap dapat diberlakukan dalam bentuk lain, di samping fungsi serta tujuan pemidanaannya pun tercapai.
241 |
MADANIA Vol. XVIII, No. 2, Desember 2014
Lampiran Tabel: Ijtihad Ibrahim Hosen dalam Masalah Pidana Islam No Permasalahan 1
Sanksi Hukum Bagi Pezina dan Pencuri
Bentuk/ Metode Ijtihad bayânî dengan ta’wîl ayat didukung riwayat hadis melalui pendekatan ta`aqquli
Hasil&Alasan
Ulama Lain
Tidak harus dicambuk atau dirajam bagi pezina dan tidak harus potong tangan bagi pencuri karena menekankan aspek zawâjir
-Jumhur: harus dicambuk atau dirajam, dan potong tangan sebagai jawâbir dan zawâjir karena bersifat ta`abbudi -Said Agil al-Munawar: harus diterapkan berdasar teks nas sebagai jawâbir jika memungkinkan, dan zawâjir sebagai alternatif sementara
Pustaka Acuan `Abidîn, Ibnu, Hâsyiyah Radd al-Mukhtâr, Mesir: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1966, Cet. ke-2, Juz IV. `Aqabi, Muhammad Husain al-, al-Majmû` Syarh al-Muhadzzâb, Mesir: Matba`ah al-Imâm, t. th., Juz XVIII. Alusi, Al-, Rûh al-Ma`âni, Beirut: Dâr Ihya al-Turâts al-`Arabi, t. th., Juz VI. Bahansi, Ahmad Fathi, al-`Uqûbah fi al-Fiqh al-Jinâ’i al-Islâmi, Kairo: Maktabah Dar al-`Urubah, 1961, Cet. ke-2. Bahansi, Ahmad Fathi, Nazhariyyât fî al-Fiqh al-Jinâ’i al-Islâmi, Kairo: al-Syirkah al-`Arabiyyah, 1963. Baihaqi, Al-, al-Sunan al-Kubrâ, Beirut: Dâr al-Fikr, t. th., Juz VIII. Baqi, Muhammad Fuad Abd al-, al-Mu’jam alMufahrasy Li Alfâdz al-Qur’ân al-Karîm, Beirut: Dâr al-Fikr, 1978. Hidayat, Rachmat Taufiq, Khazanah Istilah alQur’ân, Bandung: Mizan, 1996, Cet. ke-6. Hosen, Ibrahim, ”Jenis-Jenis Hukuman dalam Pidana Islam dan Perbedaan Ijtihad Ulama Dalam Penerapannya”, Makalah pada Seminar Sehari Kontribusi Hukum Islam Terhadap Pembinaan Hukum Nasional, Jakarta, Fakultas Syari`ah IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 17 Juli 1993.
| 242
Hosen, Ibrahim, Ukhuwah Islamiyah Jangan Menjadi Retak Dikarenakan Masalah Khilafiyah, disampaikan pada Pengukuhan Guru Besar Tetap pada Fakultas Syari`ah IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 12 Desember 1981. Ibnu Rusyd, Bidâyat al-Mujtahid fi Nihâyat alMuqtashid, Beirut: Dâr al-Fikr, t. th. Jauziyah, Ibnu Qayyim al-, I`lâm al-Muwaqqi`în, Kairo: Mathba`ah al-Sa`âdah, 1995, Cet. ke1, Juz IV. Mawardi, Al-, al-Ahkâm al-Sulthâniyah, Mesir: Mustafa al-Bâbi al-Halabi, 1966, Cet. ke-2 Muhammad Ali al-Sâyis, Tafsîr Ayât al-Ahkâm, Beirut: Dâr al-Fikr, t. th., Jilid II. Munawwar, Said Agil Al-, ”Konsep Ushuliyah Prof. KH. Ibrahim Hosen, Sebuah Analisis”, Makalah disampaikan dalam Seminar Sehari Pikiran Hukum Islam Prof. KH. Ibrahim Hosen, LML, Jakarta, 4 Juni 1994. Panitia Penyusun Biografi, Prof. KH. Ibrahim Hosen dan Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Putra Harapan, 1990. Rakhmat, Jalaluddin, dalam “Kata Pengantar” Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas, Bandung: Mizan, 1993. Râzi, Fakhr al-, Tafsîr al-Kabîr, Teheran: Dâr alKutub al-Ilmiyah, Cet. ke-2, Juz XI. Shâbûni, Muhammad Ali al-, Cahaya al-Qur’ân, Penerjemah Khatur Suhardi dari Qabas min Nûr al-Qur’ân al-Karîm, Jakarta: Pustaka AlKautsar, 2000, Cet. ke-1. Syahawi, Ibrahîm Dasuqi al-, al-Sariqah, Kairo: Maktabah Dâr al-Urubah, 1961, Cet. ke-1. Syaibani, Ahmad ibn Hanbal Abu Abdillâh al-, Musnad Ahmad, Mesir: Mu’assasah Qurthubah, t.th.), Juz V. Syarifuddin, Amir, Ushûl Fiqh, Jakarta: Logos, 1999, Cet. ke-1, Jilid II. Wawancara Pribadi dengan Nadratuzzaman, Jakarta, 14 Januari 2008. Zuhri, Muhammad Sa`ad ibn Mani` Abu Abdillah al-Bishri al-, al-Thabaqât al-Kubrâ, Beirut: Dar Shadir, t. th., Juz IV.