STUDI KOMPARASI SANKSI PIDANA PEMBUNUHAN DALAM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP) DENGAN HUKUM ISLAM
Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan diajukan untuk Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh Imam Mualim Kusuma Hadi NIM : E.0003348
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2008
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Penulisan Hukum (Skripsi) STUDI KOMPARASI SANKSI PIDANA PEMBUNUHAN DALAM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP) DENGAN HUKUM ISLAM
Disusun oleh : IMAM MUALIM KUSUMA HADI NIM : E.0003348
Disetujui untuk Dipertahankan
Dosen Pembimbing I
Dosen Pembimbing II
Rofikah, S.H., M.H. M.Hum. NIP. 131 287 424
M. Adnan, S.H., NIP. 131 411 014
PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi) STUDI KOMPARASI SANKSI PIDANA PEMBUNUHAN DALAM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP) DENGAN HUKUM ISLAM
Disusun oleh : IMAM MUALIM KUSUMA HADI NIM : E. 0003348 Telah diterima dan disahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta pada : Hari : Tanggal :
TIM PENGUJI
1. Sabar Slamet, S.H.,M.H. Ketua
: ……………………………………..
2. M. Adnan, S.H.,M.Hum. Sekretaris
: ……………………………………..
3. Rofikah, S.H.,M.H. Anggota
: ……………………………………..
MENGETAHUI Dekan,
Moh. Jamin, S.H., M.Hum. NIP. 131 570 154
Kata Pengantar Bismillahirrohmanirrohiim Alhamdulillahirobbil’alamiin. Segala puji dan syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena dengan limpahan rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan hukum (skripsi) yang berjudul : “STUDI KOMPARASI SANKSI PIDANA KITAB
UNDANG-UNDANG HUKUM
PEMBUNUHAN DALAM
PIDANA
(KUHP) DENGAN
HUKUM ISLAM” Penulisan hukum ini membahas mengenai perbandingan sanksi pidana pembunuhan yang diatur dalam KUHP dan yang diatur menurut hukum Islam. Dimana kedua sistem hukum tersebut terdapat perbedaan dalam memberikan sanksi terhadap pelaku tindak pidana pembunuhan. Penulis menyadari bahwa penulisan hukum ini tidak akan terwujud tanpa adanya bantuan, motivasi, dan bimbingan dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Bapak Moh. Jamin, S.H.,M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret dan selaku Dosen Pembimbing Akademik yang selalu memberikan nasehat dan masukan akademis pada penulis 2. Ibu Rofikah S.H.,M.H., selaku Dosen Pembimbing Skripsi I
yang
membimbing, mengarahkan, dan menerima kehadiran penulis untuk berkonsultasi dengan tangan terbuka hingga penulis dapat menyelesaikan penulisan hukum ini. 3. Bapak M. Adnan S.H.,M.Hum., selaku Dosen Pembimbing Skripsi II dan Ketua Bagian Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret yang telah meluangkan waktunya untuk membimbing dan memberikan pengarahan kepada penulis dalam rangka penyelesaian penulisan hukum ini. 4. Bapak dan Ibu Dosen beserta segenap karyawan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.
5. Keluarga besarku, semua adik dan kakakku, dan semua keponakanku, terima kasih atas dukungannya. 6. Untuk seseorang yang jauh dimata dekat dihati “Ayi” yang senantiasa menemani dan memotivasi dalam segala suasana. 7. Sahabat-sahabatku : A’an, Dwek, Sebastian, Syarif (Grd), Muhammad, Dian, Ratih, Ratri, Reny, Rini, Adit (Kprz), dan seluruh teman-teman seperjuangan terima kasih atas dukungannya. 8. Seluruh pihak yang telah membantu dalam bentuk sekecil apapun demi kelancaran penyusunan skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Surakarta, Juni 2008
Penulis.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL...........................................................................................
i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................
ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ...........................................................
iii
ABSTRAK ..........................................................................................................
iv
KATA PENGANTAR ........................................................................................
v
DAFTAR ISI.......................................................................................................
vii
BAB I PENDAHULUAN...................................................................................
1
A. Latar Belakang Masalah...................................................................
1
B. Perumusan Masalah .........................................................................
4
C. Tujuan Penelitian .............................................................................
4
D. Manfaat Penelitian ...........................................................................
5
E. Metode Penelitian.............................................................................
6
F. Sistematika Penulisan Hukum..........................................................
9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.........................................................................
11
A. Kerangka Teori.................................................................................
11
1. Tinjauan mengenai Hukum Pidana .............................................
11
a
Pengertian Hukum Pidana.....................................................
11
b
Pengertian Tindak Pidana ....................................................
13
c
Fungsi dan Tujuan Hukum Pidana........................................
14
d
Tinjauan tentang Teori Pemidanaan .....................................
15
e
Jenis-jenis Hukuman atau Sanksi dalam Hukum Pidana ......
16
2. Tinjauan mengenai Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) ..........................................................................
19
a
Sejarah berlakunya KUHP di Indonesia ...............................
19
b
Sistematika KUHP ................................................................
21
3. Tinjauan mengenai Hukum Islam ...............................................
21
a
Pengertian Islam....................................................................
21
b
Sumber-sumber Hukum Islam ..............................................
23
c
Tinjauan mengenai jinayat....................................................
25
4. Tinjauan tentang Tindak Pidana Pembunuhan............................
29
B. Kerangka Pemikiran.........................................................................
30
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ....................................
33
A. Hasil Penelitian ................................................................................
33
1. Tinjauan Sanksi Pidana Pembunuhan menurut KUHP...............
33
a
Tindak Pidana Pembunuhan yang Dilakukan dengan Sengaja 34
b
Tindak Pidana Pembunuhan yang Dilakukan Tidak dengan Sengaja ..................................................................................
44
2. Tinjauan Sanksi Pidana Pembunuhan menurut Hukum Islam....
45
a
Pembunuhan yang Dilakukan dengan Sengaja (‘amad) .......
45
b
Pembunuhan yang Dilakukan dengan Tidak Sengaja (khatha’) 49
c
Pembunuhan yang Dilakukan dengan Serupa Sengaja (syabah ‘amad) ...................................................................................
51
B. Pembahasan......................................................................................
54
1. Pembunuhan yang Disengaja ......................................................
56
2. Pembunuhan tidak Disengaja......................................................
71
BAB IV SIMPULAN DAN SARAN..................................................................
77
A. Simpulan ..........................................................................................
77
B. Saran.................................................................................................
79
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Sistem hukum Indonesia sebagai sebuah sistem aturan yang berlaku di negara Indonesia adalah sistem aturan yang sangat luas dan komplek, yang terdiri dari unsur-unsur hukum, dimana diantara unsur hukum yang satu dengan yang lain saling berhubungan, saling mempengaruhi dan saling mengisi. Oleh karenanya membicarakan satu bidang atau subsistem hukum yang berlaku di Indonesia tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain, unsur hukum seperti satu organ yang tidak bisa dipisahkan dari organ yang lain. Indonesia adalah negara hukum. Sebagai negara hukum tentu harus memiliki hukum nasional sendiri, dimaksudkan sebagai pedoman untuk melaksanakan roda pemerintahan. Dalam membentuk hukum nasional bangsa Indonesia mengambil dari tiga sistem hukum. Tiga sistem hukum dimaksud adalah hukum adat, hukum Islam dan hukum eks-Barat. Setiap negara tentu memiliki sistem hukum yang berbeda-beda. Salah satu bidang hukum itu adalah hukum pidana. Hukum pidana ialah hukum yang mengatur tentang pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan terhadap kepentingan umum, perbuatan mana diancam dengan hukuman yang merupakan suatu penderitaan atau siksaan. Dalam hukum pidana Indonesia, kita mengenal adanya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht) atau yang sering disebut dengan KUHP, merupakan pokok dari peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang hukum pidana yang berupa “pelanggaran dan kejahatan” terhadap norma-norma hukum mengenai kepentingan umum yang berlaku di Indonesia. KUHP memuat peraturanperaturan pidana yang berlaku terhadap segenap penduduk dari seluruh Indonesia, karena ia dibuat oleh Badan Legislatif yang tertinggi dan sesuai dengan asas unifikasi hukum (C.S.T. Kansil, 1989:260).
Selain hukum pidana, di Indonesia terdapat hukum yang berlaku secara formal, yaitu hukum adat dan hukum Islam. Namun hukum Islam yang berlaku di Indonesia umumnya hanya mengatur tentang hal hal yang bersifat kekeluargaan atau yang mengatur tentang hubungan antar individu, misalnya masalah perkawinan dan kewarisan, ini pun hanya berlaku bagi warga negara Indonesia yang beragama Islam. Di Indonesia, hukum Islam tidak mengatur mengenai hukum pidana Islam atau yang disebut dengan jinayah atau jarimah, sebab segala sesuatu mengenai hukum pidana yang ada di Indonesia diatur dalam peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh Badan Legislatif. Hukum Islam (fiqih) sebagai salah satu sistem hukum yang berlaku di Indonesia telah mendapatkan tempatnya dengan jelas ketika mantan Menteri Kehakiman Ali Said berpidato di depan simposium Pembaharuan Hukum Perdata Nasional yang diadakan pada tanggal 21 Desember 1981 di Yogyakarta. Mengenai kedudukan hukum Islam dalam pembinaan hukum nasional, bahwa hukum Islam yang merupakan salah satu komponen tata hukum Indonesia menjadi salah satu sumber bahan baku bagi pembentukan hukum nasional. Dengan demikian jelas hukum Islam tidak dapat dipisahkan dari kehidupan mayoritas masyarakat Indonesia. Oleh karenanya untuk menunjang hal tersebut, birokrasi sebagai pemegang political will harus senantiasa dapat memperjuangkan akan peranan hukum Islam dalam pembinaan hukum nasional. Sehingga dengan demikian hukum Islam dapat mewarnai sekaligus menjiwai setiap perundang-undangan nasional Indonesia (http://digilib.itb.ac.id). Pada hakekatnya, hukum Islam mencakup berbagai aspek kehidupan umat manusia, baik yang mengatur mengenai ibadah maupun muamalah. Dalam bidang Ibadah, hukum Islam mengatur mengenai hubungan manusia dengan Allah SWT. Sedangkan dalam bidang muamalah, Islam mengajarkan bagaimana adab dalam hidup bergaul dengan masyarakat atau mengenai halhal yang berhubungan dengan masalah keduniawian. Selain itu, dalam hukum Islam juga mengatur tentang macam-macam perbuatan yang dilarang menurut
syara’ (syari’at) atau yang disebut dengan jinayat. Adapun perbuatan yang termasuk dalam jinayat antara lain, mencuri, berzina, minum-minuman keras, murtad, pembunuhan, dan masih ada beberapa perbuatan lain yang dilarang oleh syara’. Dari beberapa contoh jinayat diatas, salah satu perbuatan yang paling dilarang atau dilaknat oleh Allah SWT ialah membunuh atau menghilangkan nyawa seseorang. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Al Quran Surat An Nisa’ Ayat 93, yang artinya : “
Dan barang siapa yang membunuh orang-orang mukmin dengan sengaja
maka balasannya ialah neraka jahanam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka dan mengutuknya dan disediakan azab yang berat untuknya” (Depag RI, 1971:136) Selain itu, dalam Hadist Rasulullah SAW, juga disebutkan, yang artinya: “ Sesungguhnya kehancuran dunia bukan merupakan apa-apa di sisi Allah dibandingkan dengan pembunuhan terhadap orang mukmin tanpa hak” (H.R. Ibnu Majah). Kedua dalil diatas menegaskan bahwa balasan terhadap orang yang melakukan pembunuhan adalah siksaan yang teramat pedih di akhirat dan di kutuk oleh Allah SWT. Pembunuhan dapat menghancurkan tata nilai hidup yang telah dibangun oleh kehendak Allah SWT, dan merampas hak hidup orang yang menjadi korban. Para ulama mendefinisikan pembunuhan dengan suatu perbuatan manusia yang menyebabkan hilangnya nyawa. Pembunuhan juga merupakan perbuatan yang kejam, sebab juga berdampak terhadap orang lain yang ditinggalkannya (korban). Pembunuhan menyebabkan anak-anak menjadi yatim, istri menjadi janda dan keluarga korban juga merasa kehilangan. “Sebagian fuqaha membagi pembunuhan menjadi dua bagian, yaitu pembunuhan sengaja dan pembunuhan kesalahan. Pembunuhan sengaja ialah suatu perbuatan dengan maksud menganiaya dan menyebabkan hilangnya nyawa orang yang dianiaya. Sedangkan pembunuhan kesalahan ialah suatu
perbuatan yang menyebabkan kematian yang tidak disertai niat penganiayaan” (H.A. Djazuli, 2000:121). Begitupula dalam hukum pidana Indonesia, pembunuhan atau merampas nyawa orang lain juga merupakan salah satu perbuatan pidana dengan sanksi yang sangat berat. Dalam KUHP tindak pidana pembunuhan juga dibagi menjadi dua macam, yaitu : 1. Pembunuhan yang tidak disengaja ( culpose misdrijven) 2. Pembunuhan yang disengaja atau direncanakan (dolus misdrijven). Pada pembunuhan yang direncanakan terlebih dahulu, ancaman hukumannya lebih berat daripada yang tidak direncanakan terlebuh dahulu. Pada kedua bidang ilmu hukum tersebut, masing-masing mempunyai aturan yang berbeda dalam hal sanksi atau hukuman terhadap pelaku tindak pidana pembunuhan. Dalam hukum pidana Indonesia, pengaturannya bersumber pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), sedangkan dalam hukum Islam pengaturannya berdasarkan pada Al Qur’an dan Al Hadist. Berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk mengkaji dan meneliti lebih dalam mengenai sanksi tindak pidana pembunuhan yang diatur dalam KUHP dan yang diatur menurut hukum Islam (syariat Islam). Untuk itu penulis memilih judul pada penulisan ini adalah : “STUDI KOMPARASI SANKSI
PIDANA PEMBUNUHAN DALAM KITAB UNDANG-
UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP) DENGAN HUKUM ISLAM” B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah : “Bagaimana perbandingan sanksi pidana pembunuhan menurut KUHP dan hukum Islam ?” C. Tujuan Penelitian Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini dibagi menjadi dua macam, yaitu sebagai berikut :
1. Tujuan Objektif Untuk mengetahui perbandingan sanksi pidana pembunuhan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan hukum Islam. 2. Tujuan Subjektf a. Untuk memperluas wawasan penulis dalam bidang hukum pidana dan hukum Islam terutama yang berkaitan dengan masalah perbandingan sanksi pidana pembunuhan menurut KUHP dan hukum Islam. b. Mengembangkan daya berpikir dan daya penalaran penulis agar dapat berkembang sesuai dengan bidang penulis. c. Untuk memperoleh data-data yang akan penulis pergunakan dalam penyusunan skripsi sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar kesarjanaan dalam bidang ilmu hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. D. Manfaat Penelitian Setiap penelitian harus memiliki manfaat bagi pemecahan masalah yang diteliti. Manfaat penelitian dapat ditinjau dari dua segi, yaitu dari segi teoritis dan praktis. Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Manfaat Teoritis a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan pengetahuan ilmu hukum, khususnya hukum pidana dan hukum Islam terutama yang berkaitan dengan penerapan sanksi pidana pembunuhan pada kedua bidang hukum tersebut. b. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi untuk bahan kuliah hukum pidana dan hukum Islam, terutama yang berkaitan dengan sanksi pidana pembunuhan yang diatur dalam KUHP dan hukum Islam.
2. Manfaat Praktis a. Hasil dari penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan masukan pemikiran, literatur maupun pengetahuan bagi semua pihak yang ingin meneliti permasalahan yang sama. b. Meningkatkan penalaran, membentuk pola pikir yang dinamis, dan menerapkan ilmu yang diperoleh penulis di bangku kuliah. E. Metode Penelitian “Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah berdasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan mempelajari suatu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisnya” (Soerjono Soekanto, 2006 : 43). Metode penelitian merupakan prosedur atau langkah-langkah yang dianggap efektif dan efisien, dan pada umumnya sudah mempola untuk mengumpulkan, mengolah, dan menganalisis data dalam rangka menjawab masalah yang diteliti secara benar. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan jenis penelitian hukum normatif atau penelitian hukum doktrinal, karena hukum dikonsepkan sebagai peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan disini adalah Al Quran, Hadist, dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). 2. Sifat Penelitian Sifat penelitian ini adalah deskriptif, yaitu suatu penelitian yang mempunyai tujuan untuk memaparkan atau menggambarkan secara lengkap dan sistematis objek yang diteliti, yaitu tentang sanksi pidana pembunuhan dalam yang diatur dalam KUHP dan hukum Islam.
3. Pendekatan Penelitian “Nilai ilmiah suatu pembahasan dan pemecahan masalah terhadap legal issue yang diteliti sangat tergantung kepada cara pendekatan (approach) yang digunakan” (Johnny Ibrahim, 2006:299). Pada perbandingan
penelitian
ini,
(comparative
penulis approach).
menggunakan Pendekatan
pendekatan perbandingan
merupakan salah satu cara yang digunakan dalam penelitian normatif untuk membandingkan salah satu lembaga hukum dari sistem hukum yang satu dengan sistem hukum yang lain. Dari perbandingan tersebut dapat ditemukan unsur-unsur persamaan dan perbedaaan kedua sistem hukum tersebut. Dalam hal ini ialah sistem hukum pidana (KUHP ) dan hukum Islam. 4. Jenis Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, yaitu data yang tidak diperoleh langsung dari sumbernya, tetapi diperoleh dari bahan pustaka, antara lain buku-buku, literatur, peraturan perundang-undangan, hasil penelitian terdahulu, artikel, internet dan sumber lain yang berkaitan dengan penelitian ini. 5. Sumber Data Sumber data yang digunakan dalam penelitian normatif adalah sumber data sekunder, yaitu data yang bersumber dari bahan-bahan kepustakaan, berupa dokumen, buku, laporan, arsip, dan literatur-literatur yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. Sumber data sekunder yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : a. Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer dalam penelitian ini antara lain : Al Qur’an, Hadist Rasulullah SAW dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
b. Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder sebagai pendukung dari data sekunder bahan hukum primer yang akan digunakan dalam penelitian ini yaitu terdiri atas : buku- buku teks yang ditulis oleh ahli hukum, dokumen resmi, karya ilmiah, artikel, dan internet. c. Bahan Hukum Tersier Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yaitu kamus maupun ensiklopedia. 6. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan, yaitu pengumpulan data sekunder dari peraturan perundang-undangan, buku-buku, dokumen, artikel, dan pengumpulan data yang diambil melalui internet, yang digunakan sebagai data penunjang dalam penulisan penelitian hukum. 7. Teknik Analisis Data Pada penelitian hukum normatif, teknik analisis data yang digunakan
adalah
non
statistik.
”Analisis
data
adalah
proses
mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar, sehingga dapat ditentukan tema dan dapat dirumuskan menjadi hipotesis kerja seperti yang terdapat di dalam data” (Lexy J. Moleong, 2002: 103). Teknik analisis data dalam penelitian penting agar data-data yang sudah terkumpul, kemudian dianalisis agar dapat menghasilkan
jawaban
yang
dapat
dipertanggungjawabkan
dari
permasalahan. Teknis analisis data yang dipergunakan peneliti dalam penelitian ini adalah teknik analisis data yang bersifat content analysis, yaitu teknik analisis data dengan cara mengkaji isi suatu data sekunder yang sudah dikumpulkan agar disusun, kemudian dijelaskan dari materi perundangundangan.
F. Sistemetika Penulisan Hukum Untuk memberikan gambaran yang menyeluruh mengenai sistematika penulisan hukum yang sesuai dengan aturan baru dalam penulisan hukum, maka penulis menyiapkan suatu sistematika penulisan hukum. Adapun sistematika penulisan hukum ini terdiri dari 4 (empat) bab, yang tiap-tiap bab terdiri dari sub-sub bagian yang dimaksud untuk memudahkan pemahaman terhadap keseluruhan hasil penelitian ini. Sistematika penulisan hukum tersebut adalah sebagai berikut : BAB I
: PENDAHULUAN Dalam bab ini diuraikan mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metodelogi penelitian, dan sistematika penulisan hukum.
BAB II
: TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab kedua ini diuraikan mengenai tinjauan tentang hukum pidana, didalamnya menjelaskan mengenai pengertian hukum pidana, tindak pidana, fungsi dan tujuan hukum pidana, tinjauan mengenai teori pemidanaan, jenis-jenis sanksi dalam hukum pidana. Tinjauan mengenai Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang menjelaskan tentang sejarah berlakunya KUHP di Indonesia dan sistematika KUHP. Tinjauan mengenai hukum Islam, didalamnya menjelaskan mengenai pengertian Islam, sumber-sumber hukum Islam, dan tinjauan mengenai hukum pidana Islam. Terakhir tinjauan mengenai tindak pidana pembunuhan.
BAB III
: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Dalam bab ini penulis membahas sekaligus menjawab permasalahan yang telah ditentukan sebelumnya yaitu tentang perbandingan penerapan sanksi pidana pembunuhan yang diatur dalam hukum Islam dan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
BAB IV
: PENUTUP Dalam
bab
ini
berisi
tentang
kesimpulan
atas
permasalahan yang telah dibahas dan saran dari penulis setelah melakukan penelitian atas penulisan hukum ini.
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori 1. Tinjauan mengenai Hukum Pidana a. Pengertian Hukum Pidana Hukum pidana adalah sistem aturan yang mengatur semua perbuatan yang tidak boleh dilakukan (yang dilarang untuk dilakukan) disertai sanksi yang tegas bagi setiap pelanggar aturan pidana tersebut, serta tata cara yang harus dilalui bagi para pihak yang berkompeten dalam penegakannya. Dari isi atau materi yang diatur, hukum pidana terdiri atas hukum pidana umum dan hukum pidana khusus. Hukum pidana umum adalah hukum pidana yang dari sisi subjek atau pelakunya serta dari jangkauan berlakunya mengatur seluruh manusia yang berada pada wilayah Indonesia, tanpa pengecualian. Hukum pidana umum pada prinsipnya sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Hukum pidana khusus adalah hukum pidana yang berlaku bagi orang-orang yang mempunyai kualifikasi khusus atau tertentu di wilayah Indonesia dan memiliki peraturan yang tersendiri diluar ketentuan yang ada dalam KUHP. Misalnya, hukum pidana militer, dimana hukum pidana ini berlaku bagi anggota militer, hukum pidana ekonomi, yaitu hukum pidana yang berlaku pada bidang perekonomian Indonesia, yaitu semua kegiatan yang mengakibatkan kerugian atau kelemahan perekonomian Indonesia, contoh : korupsi, kejahatan perbankan ( Ilham Bisri, 2004: 40-41). Menurut Moeljatno, dalam bukunya Asas-asas Hukum Pidana, pengertian hukum pidana adalah bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturanaturan untuk:
1) Menentukan
perbuatan-perbuatan
mana
yang
tidak
boleh
dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut. 2) Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan pidana sebagaimana yang telah diancamkan. 3) Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut (Moeljatno, 1980 :1). Disamping definisi tersebut diatas, Simons memberikan definisi hukum pidana sebagai berikut : 1) Keseluruhan larangan atau perintah yang oleh Negara diancam dengan nestapa yaitu suatu “pidana” apabila tidak ditaati 2) Keseluruhan peraturan yang menetapkan syarat-syarat untuk penjatuhan pidana 3) Keseluruhan ketentuan yang memberikan dasar untuk penjatuhan dan penerapan pidana (Sudarto, 1990: 9). Dalam menentukan definisi hukum pidana menurut ilmu pengetahuan, Pompe membedakan beberapa golongan pendapat (Bambang Poernomo, 2000 :19-20) : 1) Hukum pidana adalah hukum sanksi. Definisi ini diberikan berdasarkan ciri hukum pidana yang membedakan dengan lapangan hukum yang lain yaitu bahwa hukum pidana sebenarnya tidak membedakan norma sendiri melainkan sudah terletak pada lapangan hukum lain, dan sanksi pidana diadakan untuk menguatkan ditaatinya norma-norma diluar hukum pidana.
2) Hukum pidana adalah keseluruhan aturan ketentuan hukum mengenai perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum dan aturan pidananya. b. Pengertian Tindak Pidana Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu Strafbaar feit. Terdapat banyak perbedaan pendapat dari para ahli hukum mengenai pengertian istilah Strafbaar feit ini. Pompe merumuskan bahwa suatu Strafbaar feit sebenarnya adalah suatu tindakan yang menurut rumusan undangundang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum. Sedanglan Vos merumuskannya sebagai suatu kelakuan manusia yang diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan (Adami Chazawi, 2005: 72). Menurut Moeljatno, suatu tindak pidana setidaknya harus mengandung tiga unsur pokok, yaitu : 1) Perbuatan 2) Dilarang oleh aturan hukum 3) Adanya ancaman pidana bagi yang melanggarnya Apabila terdapat salah satu unsur yang tidak terpenuhi, maka suatu perbuatan tidak dapat disebut sebagai tindak pidana. Simons menyebutkan, adanya unsur objektif dan subjektif dalam tindak pidana, yang termasuk unsur objektif yaitu : 1) Perbuatan orang 2) Akibat yang kelihatan dari perbuatan itu 3) Adanya keadaan tertentu yang menyertai perbuatan itu. Sedangkan unsur subjektif dari tindak pidana ialah : 1) Orang yang mampu bertangguang jawab; 2) Adanya kesalahan (dolus atau culpa). Perbuatan harus dilakukan dengan kesalahan (Sudarto, 1990 : 41).
J.E. Jokers memberikan definisi strafbaar feit menjadi dua pengertian (Bambang Poernomo, 2000 :91) : 1) Definisi pendek memberikan pengertian strafbaar feit adalah suatu kejadian (feit) yang dapat diancam pidana oleh undang-undang 2) Definisi panjang atau
yang lebih mendalam memberikan
pengertian strafbaar feit adalah suatu kelakuan yang melawan hukum berhubung dilakukan dengan sengaja atau alpa oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan. Dari beberapa definisi tentang strafbaar feit diatas, secara garis besar dapat diambil dua arti yaitu menunjuk pada perbuatan yang diancam dengan pidana oleh undang-undang, dan menunjuk kepada perbuatan yang melawan hukum yang dilakukan dengan kesalahan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan. c. Fungsi dan Tujuan Hukum Pidana Secara umum hukum pidana berfungsi mengatur dan menyelenggarakan kehidupan masyarakat agar dapat tercipta dan terpeliharanya ketertiban umum. Manusia hidup dipenuhi oleh berbagai kepentingan dan kebutuhan. Dalam rangka memenuhi kebutuhan dan kepentingan ini, manusia bersikap dan berbuat. Agar sikap dan perbuatannya tidak merugikan hak dan kepentingan pihak lain, hukum memberikan batasan-batasan sehingga manusia tidak sebebas-bebasnya berbuat dan bertingkah laku. Fungsi yang demikian itu terdapat pada setiap jenis hukum termasuk hukum pidana. Oleh karena itu, fungsi yang demikian disebut dengan fungsi umum hukum pidana. Sedangkan secara khusus hukum pidana berfungsi sebagai berikut : 1) Melindungi kepentingan hukum dari perbuatan yang menyerang atau memperkosanya
2) Memberi dasar legitimasi bagi negara dalam rangka menjalankan fungsi
negara
mempertahankan
kepentingan
hukum
yang
dilindungi 3) Mengatur dan membatasi kekuasan negara dalam rangka menjalankan fungsi negara mempertahankan kepentingan hukum yang dilindungi (Adami Chazami, 2005: 16-20). Tujuan hukum pidana (strafrechtscholen) terdapat aliran untuk maksud dan tujuan dibentuknya peraturan hukum pidana yaitu aliran klasik dan aliran modern. Menurut aliran klasik, tujuan susunan hukum pidana untuk melindungi individu dari kekuasaan penguasa atau Negara. Sedangkan aliran modern mengajarkan tujuan susunan hukum pidana itu untuk melindungi masyarakat dari kejahatan. Menurut Van Bemmelen, bahwa tujuan terakhir hukum pidana adalah menyebutkan dan melukiskan hal-hal dimana pemerintah atas nama wewenang yang diberikan oleh masyarakat yang berhubungan dengan ketertiban, ketenangan,
keamanan,
perlindungan
kepentingan
tertentu,
menghindarkan tindakan main hakim sendiri dari pihak penduduk secara perseorangan atau badan administrasi, serta setiap saat harus ditegakkan kebenaran (Bambang Poernomo, 2000: 26). d. Tinjauan tentang Teori Pemidanaan. Mengenai teori pemidanaan, ada beberapa macam pendapat mengenai teori ini, namun pada umumnya dikelompokkan menjadi tiga golongan besar, yaitu : 1) Teori absolut atau teori pembalasan (Vergelding theorien) Dasar pijakan dari teori ini adalah pembalasan. Negara berhak menjatuhkan pidana karena penjahat tersebut telah melakukan penyerangan dan perkosaan pada hak dan kepentingan hukum. Oleh karena itu ia harus diberikan pidana yang setimpal dengan kejahatan yang telah dilakukannya. Penjatuhan pidana yang
pada dasarnya penderitaan pada penjahat dibenarkan karena penjahat telah membuat penderitaan bagi orang lain. Salah satu penganut teori ini ialah Immanuel Kant, berpendapat bahwa dasar hukum pemidanaan harus dicari dari kejahatan itu sendiri, yang telah menimbulkan penderitaan pada orang lain, sedang hukuman merupakan tuntutan yang mutlak (absolut) dari hukum kesusilaan. Disini hukuman itu merupakan suatu pembalasan yang etis (Leden Marpaung, 2005:105). 2) Teori relatif atau teori tujuan (Doel theorien) Teori ini berpokok pangkal bahwa pidana adalah alat untuk menegakkan tata tertib (hukum) dalam masyarakat. Tujuan pidana adalah tata tertib masyarakat, dan untuk menegakkan tata tertib itu diperlukan pidana. Pidana adalah alat untuk mencegah timbulnya suatu kejahatan, dengan tujuan agar tata tertib masyarakat tetap terpelihara. 3) Teori gabungan (Vernegings theorien) Teori ini mendasarkan pidana pada asas pembalasan dan asas pertahanan tata tertib masyarakat. Teori ini dibedakan menjadi dua golongan besar, yaitu : a) Teori gabungan yang mengutamakan pembalasan, tetapi tidak boleh
melampaui
batas
dan
cukup
untuk
dapatnya
dipertahankannya tata tertib masyarakat b) Teori gabungan yang mengutamakan perlindungan tata tertib masyarakat, tetapi penderitaan atas dijatuhinya pidana tidak boleh lebih berat daripada perbuatan yang dilakukan terpidana (Adami Chazami, 2005: 157-166). e. Jenis-jenis Hukuman atau Sanksi dalam Hukum Pidana Dalam hukum pidana Indonesia, jenis-jenis hukuman atau sanksi diatur dalam Pasal 10 KUHP. Pada pasal ini, hukuman pidana dibedakan menjadi 2(dua) macam, yaitu :
1) Pidana pokok, yang terdiri dari : a) Pidana mati Dalam Pasal 11 KUHP, disebutkan bahwa pelaksanaan hukuman mati dilakukan dengan cara digantung oleh algojo. Namun berdasarkan Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1964 yang kemudian oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1964 sekarang pelaksanaannya telah diubah dengan cara ditembak sampai mati. b) Pidana penjara Pidana penjara merupakan hukuman yang berbentuk perampasan
kemerdekaan
seseorang
atau
hilangnya
kemerdekaan bagi seseorang. Dalam KUHP menganut 2(dua) sistem mengenai lamanya pidana penjara, yaitu : (1) Algemene strafminima Yaitu batas pidana minimal umum, yang terendah yaitu 1(satu) hari. (2) Algemene strafmaxima Yaitu batas pidana maksimal khusus, yang paling lama yaitu 15 tahun, atau 20 tahun untuk hal-hal tertentu. c) Kurungan Sifat pidana kurungan ini sama dengan pidana penjara, yaitu merampas kemerdekaan bergerak. Pidana kurungan ini dijatuhkan terhadap orang yang melakukan pelanggaran seperti yang diatur pada KUHP Buku III. Pidana kurungan paling singkat adalah 1(satu) hari dan yang paling lama adalah 1(satu) tahun. Namun dapat diperpanjang menjadi 1(satu) tahun 4(empat) bulan apabila terjadi hal-hal yang memberatkan, misalnya residive.
d) Denda. Pidana denda adalah kewajiban seseorang yang telah dijatuhi pidana denda untuk membayar sejumlah uang tertentu karena telah melakukan suatu perbuatan pidana. Apabila terdakwa tidak dapat membayarkan denda tersebut, maka dapat diganti dengan pidana kurungan subsider, yaitu sekurangkurangnya 1(hari) dan paling lama 6(enam) bulan. e) Pidana tutupan “Berdasarkan Undang-undang nomor 20 tahun 1946 tentang pidana tutupan, pidana ini diberikan bagi para politisi yang melakukan kejahatan yang disebabkan oleh ideologi yang dianutnya” (Andi Hamzah, 1986 : 46). 2) Pidana tambahan, yang terdiri dari : a) Pencabutan hak-hak tertentu Hak yang dicabut pada sanksi pidana ini ialah hak yang menurut sifat dan tindak pidananya dilakukan oleh seseorang yang menyalahgunakan hak tersebut, sehingga tidak pantas untuk diberikan hak tersebut. Pada Pasal 35 ayat (1) KUHP disebutkan macam-macam hak yang dapat dicabut tersebut antara lain : (1) Hak memagang jabatan pada umumnya atau jabatan yang tertentu. (2) Hak memasuki angkatan bersenjata. (3) Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum. (4) Hak menjadi penasehat (raadsman) atau pengurus menurut hukum (gerechtelijke bewindvoerder), hak menjadi wali, wali pengawas, pengampu atau pengampu pengawas atas orang yang bukan anak sendiri.
(5) Hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian atau pengampu atas anak sendiri. (6) Hak menjalankan pencaharian (beroep) yang tertentu. b) Perampasan barang-barang tertentu Pidana perampasan merupakan pidana kekayaan, seperti halnya pada pidana denda. Barang-barang yang dapat dirampas terdiri dari 2(dua) macam, yaitu : (1) Barang-barang yang berasal dari hasil kejahatan yang telah dilakukan. (2) Barang-barang yang digunakan untuk melakukan kejahatan. c) Pengumuman putusan hakim. Dalam Pasal 43 KUHP ditentukan bahwa apabila hakim memerintahkan supaya putusan diumumkan berdasarkan Kitab Undang-undang ini atau aturan umum yang lain, maka harus ditetapkan pula bagaimana cara melaksanakan perintah atas biaya terpidana (Andi Hamzah, 1986:52). Jadi pidana tambahan berupa pengumuman putusan hakim ini hanya dapat dijatuhkan dalam
hal-hal
yang
ditentukan
dalam
Undang-undang,
misalnya Pasal 128 ayat (3), Pasal 206 ayat (2), Pasal 261 KUHP.
2. Tinjauan mengenai Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) a. Sejarah Berlakunya KUHP di Indonesia Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), nama aslinya ialah “Wetboek van Strafrecht voor Nedherlandsch Indie” (WvS), sebuah Titah Raja (Koninklijk Besluit atau disingkat K.B), tanggal 15 Oktober 1915 nomor 33 dan mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 1918. KUHP ini merupakan kopian atau turunan dari Wetboek van Strafrecht Negeri Belanda, yang selesai dibuat pada tahun 1881 dan mulai berlaku pada tahun 1886. Tidak seluruhnya sama melainkan
diadakan penyimpangan-penyimpangan sesuai dengan kebutuhan dan keadaan tanah jajahan Hindia Belanda dahulu, akan tetapi asas-asas dan dasar filsafatnya tetap sama. Sebelum tahun 1918 dalam KUHP ada dualisme, bagi golongan Eropa ada WvS untuk orang Eropa ( K.B. 1866 Nomor 55) dan juga terdapat WvS untuk bumiputra dan yang dipersamakan (Ordonansi 6 Mei 1872). Namun setelah tahun 1918 diadakan Unifikasi pada KUHP, yang memberlakukan untuk semua golongan penduduk, yaitu golongan Bumiputra, Timur Asing dan Eropa. KUHP
yang
berlaku
sekarang ini
setelah
Proklamasi
Kemerdekaan terdapat perubahan yang penting berdasarkan UndangUndang Nomor 1 tahun 1946 Pasal 1, yang menyatakan bahwa peraturan hukum pidana yang sekarang berlaku ialah peraturanperaturan hukum pidana yang ada pada tanggal 8 Maret 1942. Hal ini disebabkan karena pada tahun 1945, Belanda kembali lagi ke Indonesia setelah keluar dari Indonesia pada masa pendudukan Jepang pada tahun 1942-1945. Pada tahun 1945 Belanda mengadakan perubahan-perubahan terhadap W.v.S. misalnya dengan Stb. 1945 No. 135 Pasal 570 yaitu tentang “ketentuan-ketentuan sementara yang luar biasa mengenai hukum pidana”. Disamping itu selama pendudukan Jepang pada tahun 1942-1945, Jepang juga membuat perubahan perubahan terhadap peraturan hukum pidana. Jadi dengan adanya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 maka segala perubahan terhadap KUHP yang diadakan setelah tanggal 8 Maret 1942 dianggap tidak berlaku. Berdasarkan Aturan Peralihan Pasal 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 Amandemen IV, yang menyatakan bahwa “segala peraturan perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini.” Sehingga KUHP peninggalan Belanda tersebut masih tetap
berlaku sampai sekarang selama belum ada pembentukan KUHP yang baru. b. Sistematika Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Dalam KUHP yang sekarang berlaku di Indonesia terdiri dari tiga buku, dan tiap-tiap buku terdiri dari beberapa title atau bab dan tiap-tiap bab terdiri dari pasal-pasal serta setiap pasal terdiri dari ayatayat. Buku Kesatu yaitu tentang “Ketentuan Umum”. Dalam Buku Kesatu terdiri atas 9 titel atau Bab dan 103 Pasal, yang berisi ketentuan-ketentuan umum mengenai KUHP. Ketentuan umum memuat asas-asas umum mengenai berbagai hal atau bidang dalam hukum pidana, misalnya tentang batas-batas berlakunya hukum pidana, tentang pidana dan hal-hal yang meniadakan, mengurangi serta yang
memberatkan
pidana,
tentang
percobaan,
perbarengan,
penyertaaan dan sebagainya. Pada Pasal 103 KUHP disebutkan bahwa ketentuan-ketentuan umum hukum pidana ini tidak hanya berlaku bagi tindak pidana yang ada dalam KUHP, melainkan juga terhadap tindak pidana diluar KUHP, sepanjang dalam undang-undang lain tersebut tidak ditentukan lain. Buku Kedua yaitu tentang “Kejahatan”, terdiri atas 31 Bab, dan 385 Pasal, tentang perbuatan-perbuatan yang dikategorikan sebagai “Kejahatan”. Buku Ketiga yaitu tentang “Pelanggaran”. Terdiri atas 10 Bab, yang memuat 88 Pasal. Dalam Buku Ketiga ini berisi tentang perbuatan-perbuatan yang tergolong sebagai “Pelanggaran”. 3. Tinjauan mengenai Hukum Islam a. Pengertian Islam Agama Islam adalah agama penutup dari semua agama-agama yang diturunkan berdasarkan wahyu Illahi (Al-Quran) kepada Nabi
Muhammad SAW, melalui malaikat Jibril, untuk diajarkan kepada seluruh umat manusia sebagai Way of Life atau pedoman hidup lahir batin dari dunia sampai akhirat, sebagai agama yang sempurna, sebagai mana firman Allah dalam Al-Quran surat Al-Maidah ayat 3 yang artinya : “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu” (Depag RI, 1971:157). Berdasarkan firman Allah tersebut tegaslah bahwa agama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW adalah agama Islam, sedangkan Nabi Muhammad SAW adalah Nabi penutup dari seluruh Nabi. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al Ahzab ayat 40 yang artinya : “Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu., tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” (Depag RI, 1971:674) “Islam” sebagai kata benda berasal dari bahasa Arab jenis masdar, yaitu berasal dari kata kerja (fi’il). Kata kerja asal tersebut terdiri dari : 1) Aslama Yang berarti “berserah diri”. Hal ini bermakna bahwa manusia dalam berhadapan dengan Tuhannya (Allah), merasa kerdil, dan harus bersikap mengakui kelemahannya dan mengakui kekuasaan Allah SWT. Akal dan budi manusia yang berwujud ilmu pengetahuan, bila dibandingkan dengan kekuasaan Allah amatlah kecil dan sangat terbatas. 2) Salima Sebagai
kata
kerja
transitif,
sehingga
artinya,
“menyelamatkan, menentramkan, mengamankan orang lain baik dari dan oleh lisan maupun perbuatannya”. Berasal dari hadist Rasulullah SAW, yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim, hal
ini bermakna bahwa islam itu berisi ajaran tentang larangan dan petunjuk-petunjuk untuk kemaslahatan umat, baik di dunia maupun di akhirat. 3) Salama Sebagai kata bendanya, salaam berarti menyelamatkan, menentramkan, dan mengamankan. Dengan arti kata lain, Islam itu harus dapat menimbulkan perasaan aman dan damai (Mohd. Idris R., 1997 : 8-9). b. Sumber-sumber Hukum Islam Pada pokoknya sumber hukum islam terdiri dari : Al Quran, Hadist/sunnah, Ijma, dan Qiyas (Saidus Syahar, 1996 : 45). 1) Al Quran Al Quran adalah wahyu dari Allah SWT, yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW dengan perantaraan malaikat Jibril. Secara garis besar hukum dalam Al Quran dibagi menjadi dua macam, yaitu pertama mengenai hukum-hukum yang berhubungan dengan kepercayaan dan peribadatan kepada Allah SWT (Ibadah). Kedua mengenai hukum yang berhubungan dengan kenegaraan, masyarakat dan hubungan antar sesama masyarakat (muamalah), seperti pidana(jinayat), perdata, hubungam kekeluargaan. Segala sesuatu baik yang telah terjadi maupun yang belum terjadi sudah ada hukumnya dalam Al Quran, sesuai dengan firman Allah dalam Al Quran surat Al-An’am ayat 38 yang artinya : “ tidaklah Kami tinggalkan segala sesuatu peristiwa itu kecuali ada penyelesaiannya dalam Al Quran” Dalam surat An Nahl ayat 89 juga dijelaskan, yang artinya : “(Dan ingatlah) akan hari (ketika) Kami bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri dan Kami datangkan kamu (Muhammad) menjadi saksi atas seluruh umat manusia. Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar
gembira bagi orang-orang yang berserah diri” (Depag RI, 1971 : 415). 2) Hadist Sunnah atau hadist ialah ucapan (sunnah qauliyah), perbuatan (sunnah fi’liyah) atau penetapan (sunnah taqririyah) dari Nabi Muhammad SAW. Hadist merupakan sumber hukum Islam kedua setelah Al Quran. Adapun fungsinya adalah sebagai berikut : a) Menguatkan hukum yang telah disebutkan dalam Al Quran b) Menafsirkan ketentuan-ketentuan Al Quran yang belum jelas c) Menetapkan hukum yang belum ada dalam Al Quran. Kedudukan Sunnah atau Hadist sebagai sumber ajaran Islam selain didasarkan pada keterangan ayat-ayat Al Quran dan Hadist juga didasarkan kepada pendapat kesepakatan para sahabat, yakni seluruh sahabat sepakat untuk menetapkan tentang wajib mengikuti Hadist, baik pada masa Rasulullah masih hidup maupun setelah beliau meninggal (Abuddin Nata, 2001 : 72). Allah SWT telah mewajibkan kaum muslimin untuk mengikuti sunnah Nabi Muhammad SAW, seperti yang dijelaskan dalam Al Quran Surat An Nisaa’ Ayat 59, yang artinya “Hai orang-orang yang beriman taatilah Allah, taatilah Rasul, dan taatilah penguasa dari kamu. Jika kamu berselisih mengenai sesuatu maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul” (Depag RI, 1971:128). 3) Ijma’ Para ahli ushul fiqih mengatakan bahwa yang dimaksud dengan Ijma’ adalah kesepakatan mujtahidin dari umat Islam dari suatu masa atas hukum Islam. “Kesepakatan” artinya ialah pendapat yang satu sesuai dengan yang lain. Jadi bila hanya sedikit yang menyelisihi maka sudah dianggap sebagai Ijma’. Hal ini dijelaskan dalam Al Quran Surat An Nisa’ ayat 59 yang artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benarbenar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” (Depag RI, 1971:128). 4) Qiyas Qiyas merupakan metode pertama yang dipegang para mujtahid untuk mengistinbathkan hukum yang tidak diterangkan nash, sebagai metode terkuat dan yang paling jelas. Menurut
istilah
Ulama
Ushul,
qiyas
adalah
mempersamakan satu peristiwa hukum yang tidak ditentukan hukumnya oleh nash, dengan peristiwa hukum yang ditentukan oleh nash bahwa ketentuan hukumnya sama dengan hukum yang ditentukan nash. Pengertian qiyas ialah menyamakan hukum suatu hal yang tidak terdapat ketentuannya dalam Al Quran dan Hadist dengan hal lain yang hukumnya disebut dalam al Quran dan Hadist karena persamaan illat (penyebab atau alasan). c. Tinjauan mengenai Jinayat (Hukum Pidana Islam) 1) Pengertian jinayat Secara bahasa kata jinayat adalah bentuk jamak dari kata jinaayah yang berarti melakukan dosa. Sekalipun isim mashdar (kata dasar), kata jinaayah dijamakkan karena mencakup banyak jenis perbuatan dosa. Jinaayah dapat mengenai jiwa dan anggota badan, baik disengaja ataupun tidak. Menurut istilah syar’i, kata jinaayah berarti menganiaya badan sehingga pelakunya wajib dijatuhi
hukuman
(www.alislamu.com).
qishas
atau
membayar
diyat
Sebagian fuqoha berpendapat bahwa yang dimaksud dengan jinayat ialah perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syara’ mengenai jiwa dan anggota badannya, yaitu pembunuhan, pelukaan, pemukulan, dan penjerumusan. Sebagian fuqoha lain mengatakan bahwa jinayat ialah perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syara’ mengenai jarimah hudud dan qishas diyat (Marsum, 1988: 1-2). Jarimah
ialah
melakukan
perbuatan-perbuatan
yang
dilarang dan meninggalkan perbuatan-perbuatan yang wajib yang diancam syara’ dengan hukuman hadd atau hukuman ta’zir. Pengertian jarimah ini sama dengan peristiwa pidana atau tindak pidana atau delik dalam hukum positif. Namun bedanya, hukum positif membedakan antara kejahatan dan pelanggaran berdasarkan berat
ringannya
hukuman,
sedangkan
membedakannya.
Semuanya
disebut
syariat jarimah
Islam atau
tidak jinayat
mengingat sifat pidananya. Para fuqaha sering memakai kata jinayat untuk jarimah. Semula pengertian jinayat ialah hasil perbuatan seseorang dan biasanya dibatasi pada perbuatan yang dilarang saja. Di kalangan fuqaha, yang dimaksud dengan kata jinayat ialah perbuatan yang dilarang oleh syara’, baik perbuatan itu mengenai (merugikan) jiwa atau harta benda (Ahmad Hanafi, 1967 : 1). Faedah atau manfaat dari jinayat ialah : a) Menjaga keselamatan nyawa dari kejahatan pembunuhan. b) Menjaga keamanan di dalam masyarakat dari segala fitrah tuduh-menuduh. c) Menjaga keamanan harta benda dan nyawa dari pencurian, perampasan dan lain-lain. d) Menjaga keamanan negara dan menyelenggarakan keselamatan diri (www. Al Az-zim. com). 2) Lingkup berlakunya hukum pidana Islam
Pada dasarnya hukum Islam itu bersifat universal yang diturunkan kedunia untuk seluruh umat manusia. Islam diturunkan tidak hanya untuk satu negara saja, tapi untuk semua bangsa di dunia. Namun tidak semua orang percaya pada syariat Islam dan tidak mungkin dipaksakan kepada mereka, maka syariat Islam hanya diterapkan kepada negara-negara yang berada dibawah kekuasaan kaum muslim atau hanya pada negara-negara Islam saja. Adapun yang dimaksud negara Islam adalah : a) Negara dimana hukum Islam nampak didalamnya b) Negara dimana penduduknya yang beragama Islam dapat menjalankan hukum- hukum Islam (Marsum, 1988 : 20). Contoh negara Islam ialah Saudi Arabia, Irak, Palestina. Negara-ngara tersebut menggunakan syariat atau hukum Islam sebagai landasan hukum utamanya. 3) Bentuk-bentuk sanksi atau hukuman dalam hukum pidana Islam. Di dalam hukum pidana Islam yang disebutkan dalam Al Quran dan Hadist terdapat beberapa bentuk sanksi atau hukuman terhadap seseorang yang melakukan jinayat, yaitu antara lain : a) Hukuman Hudud Hukuman hudud adalah hukuman yang telah ditentukan dan ditetapkan Allah di dalam Al-Qur'an dan Al-Hadits. Hukuman hudud ini adalah hak Allah yang bukan saja tidak boleh diganti hukumannya atau diubah tapi juga tidak boleh dimaafkan oleh siapapun di dunia. Bagi yang melanggar ketetapan hukum Allah yang telah ditentukan oleh Allah dan Rasul-Nya adalah termasuk dalam golongan orang yang zalim. Firman Allah SWT dalam Al Quran Surat Al Baqarah Ayat 229. yang artinya "Dan barang siapa yang melanggar aturanaturan hukum Allah maka mereka itulah orang-orang yang zalim"
b) Hukuman Qishas Hukuman qishas adalah sama seperti hukuman hudud juga, yaitu hukuman yang telah ditentukan oleh Allah di dalam Al Qur'an dan Al Hadits. Hukuman qishas ialah kesalahan yang dikenakan hukuman balas. Membunuh dibalas dengan bunuh (nyawa dibalas dengan nyawa), melukai dibalas dengan melukai, mencederai dibalas dengan mencederai. c) Hukuman Diyat Hukuman diyat ialah harta yang wajib dibayar dan diberikan oleh pelaku jinayat kepada wali atau ahli warisnya sebagai ganti rugi atas jinayat yang telah dilakukan terhadap korbannya. Hukuman diyat adalah hukuman kesalahankesalahan yang berhubungan dengan kesalahan qishas dan ini merupakan sebagai ganti rugi atas kesalahan-kesalahan yang berupa penganiayaan atau melukai anggota badan (www. Al Az-zim.com). d) Hukuman Ta’zir “Hukuman ta’zir ialah jinayat yang tidak dijatuhkan hukuman hudud atau qishas. Hukuman ta’zir adalah hukuman yang tidak ditentukan kadar dan bentuk hukuman di dalam AlQur'an dan Al-Hadits. Hukuman ta’zir dapat berupa celaan, kurungan, diasingkan, dera, dan ganti kerugian” (Ahmad Azhar Basyir, 2006 : 56). Jenis, kadar dan bentuk hukuman ta’zir tergantung kepada kearifan hakim untuk menentukan dan memilih hukuman yang patut dikenakan atas pelaku jinayat itu karena hukuman ta`zir bertujuan untuk mencegah pelaku jinayat mengulangi kembali kejahatan yang mereka lakukan dan bukan untuk menyiksa mereka (www. Al Az-zim.com).
Dengan kata lain, ta’zir ialah hukuman yang bersifat edukatif yang ditentukan oleh hakim atas pelaku jinayat atau pelaku perbuatan maksiat yang hukumannya belum ditentukan dalam Al Quran maupun Hadits.
4. Tinjauan tentang Tindak Pidana Pembunuhan “Dalam KUHP, pembunuhan disebut sebagai perampasan nyawa terhadap orang lain. Pembunuhan disebut juga sebagai kejahatan terhadap nyawa yang berupa penyerangan terhadap nyawa orang lain” (Adami Chazawi, 2001:55). Perampasan nyawa merupakan menghilangkan nyawa orang dari raganya sehingga menyebabkan matinya orang tersebut. Dalam hukum Islam tindak pidana pembunuhan dikategorikan menjadi 3(tiga) macam, yaitu : a. Pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja (‘amad) b. Pembunuhan yang dilakukan dengan serupa sengaja (syabah ‘amad). c. Pembunuhan yang dilakukan dengan tidak sengaja (khatha’) Pembunuhan dengan sengaja ialah seorang secara sengaja dan terencana membunuh orang lain dengan niat yang kuat bahwa dia harus membunuhnya. Pada tindak pidana pembunuhan yang disengaja terdapat 2(dua) unsur, yang terdiri dari : a. Perbuatan itu dikehendaki b. Akibat dari perbuatan itu dikehendaki oleh pelakunya. Dalam KUHP, pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja dibagi menjadi beberapa macam, antara lain: a. Pembunuhan biasa dalam bentuk pokok. b. Pembunuhan yang diikuti, disertai, atau didahului dengan tindak pidana lain. c. Pembunuhan berencana. d. Pembunuhan ibu terhadap bayinya pada saat atau tidak lama setelah dilahirkan.
e. Pembunuhan atas permintaan korban. f. Penganjuran dan pertolongan pada bunuh diri. g. Pengguguran dan pembunuhan terhadap kandungan (Adami Chazawi, 2001 : 56). Pembunuhan dengan tidak sengaja ialah seorang secara tidak sengaja dan tidak terencana telah mengakibatkan terbunuhnya seseorang. Misalnya kecelakaan lalulintas yang hingga mengakibatkan meninggalnya orang lain, atau memanah binatang buruan, ternyata anak panahnya nyasar mengenai orang hingga meninggal dunia. Pembunuhan dengan menyerupai sengaja contonya seorang bermaksud memukulnya, yang secara kebiasaan tidak bertujuan hendak membunuhnya, namun ternyata yang jadi korban meninggal dunia. Dalam Islam, para ulama sepakat bahwa delik pembunuhan merupakan delik yang besar, sehingga ada Hadits riwayat dari Ibnu Mas’ud yang mengatakan bahwa yang pertama diadili pada hari kiamat adalah soal “darah”. Juga ada Hadist lain yang artinya “ yang pertama kali diperhitungkan atas diri hamba ialah sholatnya dan yang mula-mula diadili diantara manusia adalah darah” Begitu juga dalam Al- Quran Surat Al Maidah Ayat 32, Allah SWT berfirman mengenai kejamnya tindak pidana pembunuhan, yang artinya : “Oleh Karena itu kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya” (Depag RI, 1971:164). Dalam ayat tersebut Allah SWT menggambarkan bahwa betapa besarnya dosa membunuh
seseorang
tanpa
alasan
yang
dibenarkan,
sehingga
digambarkan seakan-akan membunuh seluruh manusia yang ada di dunia.
B. Kerangka Pemikiran Perbandingan hukum merupakan suatu disiplin ilmu hukum yang bertujuan menemukan persamaan dan perbedaan serta menemukan pula hubungan-hubungan
erat antara pelbagai sistem-sistem hukum. Melihat
perbandingan-perbandingan lembaga hukum dan konsep-konsep serta mencoba menentukan suatu penyelesaian atas masalah-masalah tertentu dalam sistem hukum dengan tujuan seperti pembaharuan hukum, unifikasi hukum dan lain-lain (Romli Atmasasmita, 2000 :7-10). Kejahatan merupakan fenomena kehidupan masyarakat. Karena itu tidak dapat dilepaskan dari ruang dan waktu. Kejahatan adalah masalah manusia yang berupa kenyataan sosial, yang sebab-musababnya kurang kita pahami. Terjadi dimana saja dan kapan saja dalam pergaulan hidup. Kita berhadapan dengan suatu gejala yang luas dan mendalam, yang bersarang sebagai penyakit dalam tubuh masyarakat, sehingga membahayakan kehidupan, setidak-tidaknya menimbulkan kerugian. Salah satu tindak kejahatan yang sangat membahayakan dan sekaligus merugikan masyarakat ialah tindak pidana pembunuhan. Selain merugikan korbannya secara langsung, pembunuhan terhadap seseorang juga merugikan anggota keluarga yang ditinggalkannya. Di berbagai negara, tindak pidana pembunuhan merupakan salah satu kejahatan yang dapat dikenai sanksi yang berat. Dalam penelitian ini, penulis mencoba menggunakan perbandingan sistem hukum dalam hal membandingkan pengenaan sanksi terhadap tindak pidana pembunuhan dalam hukum pidana di Indonesia yang diatur dalam KUHP dengan yang diatur dalam hukum Islam yang bersumber pada Al Quran dan Hadits Rasulullah SAW.
Skema dari kerangka pemikiran ini adalah sebagai berikut :
Tindak pidana pembunuhan
Sanksi pidana
Hukum Islam
Hukum pidana
Al Quran, Hadist & Ijma’
KUHP
Persamaan dan Perbedaan
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian 1. Tinjauan Sanksi Pidana Pembunuhan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Tindak pidana pembunuhan atau kejahatan terhadap nyawa dalam KUHP secara garis besar dikelompokkan menjadi 2(dua) golongan, yaitu pertama berdasarkan unsur kesalahannya, kedua berdasarkan objeknya. Berdasarkan unsur kesalahannya tindak pidana pembunuhan dibedakan menjadi 2(dua) macam, yaitu : a. Kejahatan terhadap nyawa yang dilakukan dengan sengaja (dolus misdrijven). Kejahatan ini diatur dalam Buku Kedua Bab XIX KUHP Pasal 338 sampai dengan Pasal 350. b. Kejahatan terhadap nyawa yang dilakukan dengan tidak sengaja (culpose misdrijven). Tindak pidana ini diatur dalam Buku Kedua Bab XXI KUHP Pasal 359. Berdasarkan objeknya/korban (kepentingan hukum yang dilindungi) kejahatan terhadap nyawa dibedakan menjadi 3(macam), yaitu : a. Kejahatan terhadap nyawa manusia pada umumnya, diatur pada Pasal 338, 339, 340, 344, dan 345 KUHP. b. Kejahatan terhadap nyawa bayi pada saat dilahirkan atau sesaat/tidak lama setelah dilahirkan, perbuatan ini diatur dalam Pasal 341, 342, dan 343 KUHP. c. Kejahatan terhadap nyawa bayi yang masih ada dalam kandungan atau masih berupa janin, dimuat dalam Pasal 346, 347, 348, dan 349 KUHP. Pada
penelitian
ini
penulis
mengkategorikan
tindak
pidana
pembunuhan atau kejahatan terhadap nyawa menjadi 2(dua) macam, yaitu
kejahatan terhadap nyawa yang dilakukan dengan sengaja dan yang dilakukan tidak dengan sengaja. a. Tindak Pidana Pembunuhan yang Dilakukan dengan Sengaja Kitab
Undang-Undang
Hukum
Pidana
(KUHP)
mengatur
mengenai tindak pidana pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja terdiri dari 7(tujuh) macam, yaitu sebagai berikut : 1) Pembunuhan biasa. 2) Pembunuhan yang diikuti, disertai atau didahului dengan tindak pidana lain. 3) Pembunuhan berencana. 4) Pembunuhan oleh ibu terhadap bayinya. 5) Pembunuhan atas permintaan korban sendiri. 6) Penganjuran dan pertolongan pada bunuh diri. 7) Pengguguran dan pembunuhan terhadap janin dalam kandungan. Dibawah ini akan diuraikan mengenai ketujuh macam tindak pidana pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja yang diatur dalam KUHP. 1) Pembunuhan dalam Bentuk Biasa Delik ini diatur dalam Pasal 338 KUHP yang merumuskan bahwa : “barangsiapa sengaja merampas nyawa orang lain, diancam, karena pembunuhan, dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun” Pada pembunuhan biasa ini, pelaksanaannya haruslah tidak lama
setelah
timbulnya
kehendak
(niat)
dari
pelaku
untuk
menghilangkan nyawa korban. Sebab apabila terdapat tenggang waktu yang cukup lama dari timbulnya kehendak untuk membunuh dengan pelaksanaannya,
maka
pembunuhan
tersebut
termasuk
dalam
pembunuhan berencana. Pada pembunuhan biasa ini, Pasal 338 KUHP menyatakan bahwa pemberian sanksi atau hukuman pidananya adalah pidana
penjara paling lama lima belas tahun. Disini disebutkan bahwa “paling lama”, jadi tidak menutup kemungkinan hakim akan memberikan sanksi pidana pidana kurang dari lima belas tahun penjara. 2) Pembunuhan yang Diikuti, Disertai atau Didahului dengan Tindak Pidana Lain Delik ini diatur dalam pasal 339 KUHP, yang rumusannya sebagai berikut : “Pembunuhan yang diikuti, disertai atau didahului oleh sesuatu perbuatan pidana yang dilakukan dengan maksud untuk mempersiap atau mempermudah pelaksanaannya, atau melepaskan diri sendiri maupun peserta lainnya dari pidana dalam hal tertangkap tangan, ataupun untuk memastikan penguasaan barang yang diperolehnya secara melawan hukum, diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun” Pada pembunuhan dalam Pasal 339 KUHP merupakan suatu bentuk khusus pembunuhan yang diperberat. Dalam pembunuhan yang diperberat ini terdapat 2(dua) macam tindak pidana sekaligus, yaitu pembunuhan biasa dan tindak pidana lain. Adanya unsur diikuti, disertai atau didahului oleh tindak pidana lain artinya tindak pidana lain ini harus sudah terjadi, tidak boleh baru percobaan, sebab apabila pembunuhannya sudah terjadi namun tindak pidana lainnya belum terjadi maka delik tersebut belum termasuk dalam Pasal 339 KUHP ini. Oleh karena terdapat 2(dua) tindak pidana, yaitu pembunuhan dan tindak
pidana
selain
pembunuhan,
maka
orang
yang
dipertangungjawabkan adalah orang yang melaksanakan pembunuhan tersebut, sedangkan bagi orang lain yang tidak terlibat secara objektif, maka ia hanya bertanggungjawab atas tindak pidana lain yang dilakukannya saja. Pada kasus pembunuhan yang diatur dalam Pasal 339 KUHP ini, ancaman pidananya adalah pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun. Sanksi pidana
pada pembunuhan ini termasuk relatif berat dibandingkan dengan pembunuhan biasa yang diatur dalam Pasal 338 KUHP, karena dalam perbuatan ini terdapat dua delik sekaligus. 3) Pembunuhan Berencana Tindak pidana ini diatur dalam Pasal 340 KUHP, yang menyebutkan sebagai berikut : “Barangsiapa sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam, karena pembunuhan dengan rencana (moord), dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun” Pembunuhan berencana ini mencakup pada pembunuhan biasa atau yang diatur dalam Pasal 338 KUHP ditambah dengan adanya unsur perencanaan terlebih dahulu. Ancaman pidana pada pembunuhan berencana ini lebih berat daripada pembunuhan yang ada pada Pasal 338 dan 339 KUHP bahkan merupakan pembunuhan dengan ancaman pidana yang paling berat, yaitu pidana mati, dimana sanksi pidana mati ini tidak tertera pada kejahatan terhadap nyawa lainnya, yang menjadi dasar beratnya hukuman ini adalah pada adanya perencanaan terlebih dahulu tersebut. Selain diancam dengan pidana mati, pelaku tindak pidana pembunuhan berencana juga dapat dipidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun. 4) Pembunuhan oleh Ibu terhadap Bayinya Tindak pidana pembunuhan terhadap bayi ini dibagi menjadi 2(dua) macam, yaitu : Pertama, pembunuhan bayi yang dilakukan dengan tidak berencana (pembunuhan bayi biasa). Kedua, pembunuhan bayi yang dilakukan dengan perencanaan terlebih dahulu. a) Pembunuhan bayi yang dilakukan dengan tidak berencana (pembunuhan bayi biasa)
Pembunuhan
ini
diatur
dalam
Pasal
341
KUHP,
rumusannya adalah sebagai berikut : “Seorang ibu yang, karena takut akan ketahuan melahirkan anak, pada saat anak dilahirkan atau tidak lama kemudian, dengan sengaja merampas nyawa anaknya, diancam, karena membunuh anak sendiri, dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun” Pada kasus pembunuhan ini KUHP memberikan ancaman hukuman bagi pelakunya dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. Sanksi pidana pembunuhan ini jauh lebih ringan dibandingkan dengan pembunuhan biasa. Penulis berpendapat bahwa lebih ringannya sanksi pidana tersebut karena dilihat dari subjek atau pelaku pembunuhannya. Pada saat melakukan pembunuhan, pelaku sedang mengalami kondisi kejiwaan yang labil atau sedang dalam keadaan tertekan batinnya karena adanya perasaan takut diketahui orang lain. Sehingga kondisi kejiwaan yang demikian dinilai sebagai mengurangi kesalahan pelaku (ibu) atas tindak pidana pembunuhan yang telah dilakukan terhadap bayinya. Namun hal tersebut tidak dapat dijadikan sebagai alasan yang sah untuk menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan ibu membunuh bayinya. b) Pembunuhan bayi yang dilakukan dengan perencanaan terlebih dahulu Pembunuhan ini diatur dalam Pasal 342 KUHP, yang rumusannya adalah sebagai berikut : “Seorang ibu yang untuk melaksanakan niat yang ditentukan karena takut akan ketahuan bahwa akan melahirkan anak, pada saat anak dilahirkan atau tidak lama kemudian merampas nyawa anaknya, diancam, karena melakukan pembunuhan anak sendiri dengan rencana, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun”
Munculnya kehendak untuk membunuh ini haruslah pada saat sebelum bayi tersebut dilahirkan. Ini merupakan syarat utama untuk dapat dikualifikasikan sebagai pembunuhan bayi berencana. Apabila kehendak itu muncul pada saat bayi dilahirkan, maka pembunuhan tersebut termasuk pada pembunuhan bayi Pasal 341 KUHP. Ancaman sanksi pidana pada pembunuhan berencana ini relatif lebih berat dibandingkan dengan pembunuhan biasa pada bayi (Pasal 341 KUHP). Hal ini didasarkan pada adanya perencanaan terlebih dahulu sebelum melakukan pembunuhan. Dalam KUHP disebutkan bahwa ancaman sanksi pidana terhadap ibu yang membunuh bayinya sendiri pada saat atau tidak lama setelah dilahirkan yang didahului dengan perencanaan adalah dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun. Sama halnya dengan pembunuhan berencana (Pasal 340 KUHP) dimana ancaman pidananya juga lebih berat daripada pembunuhan biasa (Pasal 338 KUHP). Kaitannya dengan Pasal 341 dan 342 KUHP, dalam KUHP juga diatur mengenai orang lain yang turut serta melakukan tindak pidana pembunuhan terhadap bayi. Hal ini diatur dalam Pasal 343 KUHP, yang menyatakan bahwa : “Kejahatan yang diterangkan dalam Pasal 341 dan 342 dipandang, bagi orang lain yang turut serta melakukan, sebagai pembunuhan atau pembunuhan dengan rencana” Artinya bahwa orang lain yang turut serta dalam pembunuhan bayi tidak dapat diberlakukan ketentuan seperti pada Pasal 341 dan 342 KUHP, namun ia diberlakukan terhadap pelanggaran pada pembunuhan biasa (Pasal 338 KUHP) atau pembunuhan berencana (Pasal 340 KUHP). Jadi sanksi pidana terhadap orang lain yang turut melakukan pembunuhan tersebut adalah diberlakukan sama dengan
pembunuhan biasa (Pasal 338 KUHP) atau pembunuhan berencana (Pasal 340 KUHP). Tujuan dari ketentuan Pasal 343 KUHP ini adalah supaya orang lain yang turut melakukan tersebut tidak mendapatkan keringanan hukuman sebagaimana yang telah didapatkan oleh pelaku (ibu bayi), sebab sudah barang tentu latar belakang dari pembunuhan ini berbeda. Apabila pelakunya adalah ibu, dia membunuh bayinya karena adanya tekanan jiwa (takut), namun pada orang lain motifnya mungkin lain, bukan karena takut. 5) Pembunuhan atas Permintaan Korban Sendiri Pembunuhan ini diatur dalam Pasal 344 KUHP yang rumusannya adalah sebagai berikut : “Barangsiapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun” Pembunuhan yang diatur dalam Pasal 344 KUHP ini berbeda dengan pembunuhan biasa yang diatur dalam Pasal 338 KUHP. Perbedaannya ialah pada pembunuhan ini : a) Dilakukan atas permintaan korban sendiri b) Secara jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati. Apabila kedua unsur diatas tidak terbukti atau tidak ada, maka pembunuhan tersebut akan masuk dalam pembunuhan biasa. Semua syarat diatas bersifat kumulatif, artinya bahwa semua syarat tersebut harus dipenuhi untuk dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana pembunuhan yang melanggar Pasal 344 KUHP. Menurut Pasal 344 KUHP, ancaman pidana pada pembunuhan atas permintaan korban sendiri adalah pidana penjara paling lama dua belas tahun. Hukuman ini relatif lebih ringan daripada pembunuhan biasa (Pasal 338 KUHP), mengingat bahwa inisiatif dari pembunuhan ini dari permintaan korban itu sendiri, bukan dari pelaku. Sehingga pelaku sedikit mendapatkan keringanan ancaman pidananya.
6) Penganjuran dan Pertolongan pada Bunuh Diri Tindak pidana ini diatur di dalam Pasal 345 KUHP, yang rumusannya adalah sebagai berikut : “Barangsiapa sengaja mendorong orang lain untuk bunuh diri, menolongnya dalam perbuatan itu atau memberi sarana kepadanya untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun kalau orang itu jadi bunuh diri” Pada kejahatan terhadap nyawa yang diatur dalam Pasal 345 KUHP ini, pelakunya diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun. Sanksi pidana ini termasuk yang paling ringan diantara sanksi pidana kejahatan terhadap nyawa pada umumnya lainnya. Hal ini didasarkan pada subjek/pelaku tindak pidananya tidak secara langsung melakukan pembunuhan, melainkan korban sendirilah yang membunuh dirinya sendiri. Pelaku hanya sebagai pendorong, menolong, atau memberi sarana dalam perbuatan bunuh diri. Berbeda dengan pembunuhan biasa atau pembunuhan berencana dimana yang melakukan pembunuhan terhadap korban adalah pelakunya sendiri. 7) Pengguguran dan Pembunuhan terhadap Kandungan Tindak pidana pengguguran terhadap janin ini berdasarkan subjeknya dibagi menjadi 2(dua) macam, yaitu : a) Dilakukan sendiri. b) Dilakukan oleh orang lain, juga dibagi menjadi 2(dua) macam, yaitu : (1) Atas persetujuan wanita yang mengandung janin. (2) Tanpa persetujuan wanita yang mengandung janin. Pada kejahatan terhadap nyawa ini, diatur dalam empat pasal, yaitu Pasal 346, 347, 348, dan 349 KUHP. Masing-masing akan diuraikan sebagai berikut :
a) Pengguguran dan pembunuhan terhadap janin yang dilakukannya sendiri Tindak pidana ini diatur dalam Pasal 346 KUHP, yang isinya sebagai berikut : “seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungnnya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun” Adapun inisiatif dari dilakukannya kejahatan ini adalah dari wanita yang mengandung janin itu sendiri, bukan orang lain. Oleh karena itu wanita tersebut telah menghendaki perbuatannya dan mengetahui akibat dari perbuatannya itu berupa gugur/matinya janin yang ada dikandungannya. Terhadap wanita yang melakukan tindak pidana ini, KUHP memberikan ancaman sanksi pidana berupa pidana penjara paling lama empat tahun. Ancaman sanksi pidana pada kejahatan ini juga relatif ringan dibandingkan dengan kejahatan terhadap nyawa lainnya. b) Pengguguran
dan
pembunuhan
terhadap
kandungan
tanpa
persetujuan wanita yang mengandung Kejahatan terhadap nyawa ini diatur dalam Pasal 347 KUHP yang menyatakan sebagai berikut : “ (1) Barangsiapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita tanpa persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun (2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, dikenakan pidana penjara paling lama lima belas tahun” Maksud dari “tanpa persetujuannya” adalah wanita tersebut tidak menghendaki akibat perbuatan tersebut yang berupa gugurnya atau matinya kandungan yang ada di rahimnya. Contoh kasus misalnya seorang wanita yang sedang hamil diancam oleh orang lain (pacarnya) untuk menggugurkan kandungannya dengan cara meminumkan jamu/obat penggugur kehamilan, karena adanya
ancaman kekerasan akhirnya wanita tersebut menggugurkan kandungannya. Pada contoh kasus ini yang dapat dipidana adalah laki-laki (pacarnya) tersebut, sedangkan terhadap wanitanya tidak dapat dipidana karena dia dalam keadaan terpaksa atau adanya daya paksa (overmacht), sebagaimana diatur dalam Pasal 48 KUHP yang menyatakan bahwa “barangsiapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa, tidak dipidana” Tindak pidana yang berupa pengguguran dan pembunuhan terhadap kandungan tanpa persetujuan wanita yang mengandung ini dalam Pasal 347 KUHP ancaman hukumannya adalah yang paling berat diantara kejahatan terhadap kandungan lainnya, yaitu dalam ayat (1) disebutkan bahwa ancaman pidananya adalah pidana penjara paling lama dua belas tahun. Bahkan dalam ayat (2) disebutkan apabila perbuatannya itu menyebabkan meninggalnya wanita tersebut, pelaku diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.. c) Pengguguran dan pembunuhan kandungan dengan persetujan wanita yang mengandung. Kejahatan ini diatur dalam Pasal 348 KUHP, yang isinya sebagai berikut : “(1) Barangsiapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan (2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun” Oleh karena adanya persetujuan dari wanita yang mengandung inilah sehingga ancaman pidananya juga jauh lebih ringan daripada tanpa adanya persetujuan (Pasal 347 KUHP). Dalam ayat (1) Pasal 348 disebutkan bahwa ancaman pidana terhadap pelaku adalah pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan, sedangkan pada ayat (2) disebutkan bahwa apabila
perbuatannya
tersebut
mengakibatkan
matinya
wanita
itu,
dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun. d) Pengguguran atau pembunuhan kandungan oleh tabib/dokter, bidan, atau juru obat. Pada kejahatan terhadap kandungan ini diatur dalam ketentuan Pasal 349 KUHP, yang rumusannya adalah sebagai berikut : “Jika seorang tabib, bidan, atau juru obat membantu melakukan kejahatan yang tersebut Pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam Pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencarian dalam mana kejahatan dilakukan,” Pada ketentuan pasal diatas, disebutkan bahwa yang bertindak sebagai subjek/pelaku adalah tabib/dokter, bidan, atau juru obat. Perbuatan ini dapat berupa secara langsung mauapun hanya membantu melakukan. Ancaman bagi pelaku kejahatan ini lebih berat daripada pelaku kejahatan yang ada dalam Pasal 347 maupun 348 KUHP, yaitu pidananya dapat ditambah dengan sepertiganya, meskipun sekedar sebagai pembantu saja. Selain itu, pelaku juga dapat dipidana
dengan
dicabutnya
haknya
untuk
melakukan
pencahariaannya itu. Misalnya seorang dokter atau bidan dapat dicabut ijin prakteknya. Tentu hal ini tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 57 KUHP tentang Pembantuan, dimana dalam Pasal 57 ancaman pidana bagi Pembantu kejahatan justru dikurangi sepertiganya. Bagi pelaku tindak pidana pembunuhan, selain diancam dengan pidana pokok berupa penjara, juga dapat diberikan sanksi pidana
tambahan, sebagaimana diatur dalam Pasal 350 KUHP, yang menyatakan sebagai berikut : “Dalam pemidanaan karena pembunuhan, karena pembunuhan dengan rencana, atau karena salah satu kejahatan yang diterangkan dalam Pasal 344, 347, dan 348, dapat dijatuhkan pencabutan hak tersebut Pasal 35 nomor 1-5”
b. Tindak Pidana Pembunuhan yang Dilakukan Tidak dengan Sengaja Tindak pidana pembunuhan yang dilakukan dengan tidak sengaja merupakan bentuk kejahatan yang akibatnya tidak dikehendaki oleh pelaku. Kejahatan ini diatur dalam Pasal 359 KUHP, yang rumusannya sebagai berikut : “Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun” Letak perbedaan bentuk kejahatan pembunuhan terhadap nyawa orang lain antara Pasal 338 dan 359 KUHP ini adalah pada Pasal 338 terdapat unsur kesengajaan dan sedangkan pada Pasal 359 adanya unsur kealpaan. Terhadap kejahatan yang melanggar Pasal 359 KUHP ini, ada dua macam hukuman yang dapat dijatuhkan terhadap pelakunya yaitu berupa pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun. Sehingga bentuk sanksi hukuman ini juga merupakan unsur yang membedakan bentuk pembunuhan yang disengaja dengan yang tidak disengaja. Sebab dalam pembunuhan yang disengaja tidak ada sanksi pidana kurungan, semuanya berupa pidana penjara. Adapun yang mendasari
perbedaan
ini
adalah
pada unsur kesengajaan.
Pada
pembunuhan yang tidak disengaja, pelaku tidak menghendaki timbulnya akibat yang berupa kematian pada orang lain, sedangkan pada pembunuhan yang disengaja pelaku menghendaki akibat yang akan terjadi.
2. Tinjauan Sanksi Pidana Pembunuhan menurut Hukum Islam Dalam hukum Islam tindak pidana pembunuhan dibagi menjadi tiga macam, yaitu : d. Pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja (‘amad) e. Pembunuhan yang dilakukan dengan serupa sengaja (syabah ‘amad) f. Pembunuhan yang dilakukan dengan tidak sengaja (khatha’) Dibawah ini akan diuraikan mengenai ketiga macam bentuk pembunuhan yang ada dalam hukum Islam : a. Pembunuhan yang Dilakukan dengan Sengaja (‘amad) Imam Nawawi merumuskan bahwa kesengajaan ialah perbuatan seseorang terhadap orang lain dengan apa-apa yang biasanya dapat membunuh, baik yang melukai maupun mutsaqqol (memberatkan). Jadi unsurnya ada 3(tiga) macam, yaitu : 1) Perbuatan itu dikehendaki 2) Akibat perbuatan itu dikehendaki oleh si pelaku 3) Dengan alat yang biasanya membunuh (Marsum, 1988 : 120). Adapun mengenai sanksi pidana pembunuhan yang disengaja dan terencana dalam hukum Islam, pihak wali dari terbunuh diberi dua alternatif hukuman yang akan dijatuhkan terhadap pelaku yang telah membunuh ahli waris atau keluarganya, yaitu : 1) Menuntut hukum qishas 2) Memaafkan dengan mendapat imbalan diyat. Pembunuhan dengan sengaja ini diatur dalam Al Quran Surat Al Baqarah ayat 178, yang artinya : “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan
kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, Maka baginya siksa yang sangat pedih” (Depag RI, 1971:43). Berdasarkan ayat diatas disebutkan Allah telah mewajibkan hukum qishas dan pembalasan yang setimpal dalam pelaksanaannya, yakni orang merdeka dihukum mati karena telah membunuh orang merdeka, bukan karena membunuh budak, dan budak dihukum mati karena membunuh budak lainnya, wanita dihukum mati karena telah membunuh wanita. Namun apabila wali dari korban memaafkan, maka terhadap pelakunya diwajibkan untuk membayar diyat. Diyat ini sebagai pengganti dari hukuman qishas. Dalam Al Quran Surat Al Israa’ Ayat 33 Allah berfirman , yang artinya : “Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. Dan barangsiapa dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang medapatkan pertolongan” (Depag RI, 1971 : 429). Ahli waris dari korban tidak boleh menuntut balas atau hukuman melebihi batas yang telah ditentukan oleh Allah, misalnya ahli waris sudah menuntut qishas kepada korban namun juga masih menuntut pembayaran diyat. Inilah yang dilarang oleh Allah karena telah melampaui batas, sebab diyat merupakan pengganti qishas. Hukum qishas tidak boleh dilaksanakan, kecuali telah memenuhi beberapa syarat berikut ini: 1) Si pembunuh haruslah orang mukallaf (aqil baligh), sehingga anak kecil, orang gila, dan orang yang tidur tidak terkena hukum qishas. Rasulullah SAW bersabda, yang artinya : “Diangkat pena dari tiga golongan: (Pertama) dari anak kecil hingga baligh, (kedua) dari orang tidak waras pikirannya hingga sadar (sehat), dan (ketiga) dari orang yang tidur hingga terjaga” (H.R. Ahmad, Abu Daud, dan Tirmidzi).
2) Orang yang terbunuh adalah orang yang terlindungi darahnya, yaitu bukan orang yang darahnya terancam dengan salah satu sebab yang disebutkan dalam hadist Nabi saw, yang artinya : "Tidak halal darah seorang muslim kecuali dengan satu di antara tiga...“ (H.R. Abu Dawud dan Nasa'i). 3) Hendaknya si terbunuh bukanlah anak si pembunuh, karena ada Hadist Nabi Muhammad SAW, yang artinya : Umar Ibnu al-Khaththab Radliyallaahu 'anhu berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Seorang ayah tidak dituntut karena membunuh anaknya" (H.R. Ahmad, Tirmidzi, dan Ibnu Majah). 4) Hendaknya si korban bukanlah orang kafir, sedangkan si pembunuh orang muslim. Nabi Muhammad SAW bersabda, yang artinya : “Orang muslim tidak boleh dibunuh karena telah (membunuh) orang kafir” (H.R. Tirmidzi dan Nasa’i). Mengenai besarnya diyat, dijelaskan dalam Hadist Rasulullah SAW, yang artinya : "Barangsiapa yang membunuh (orang tak bersalah) secara sengaja (dan terencana), maka urusannya kepada pihak keluarga si terbunuh. Jika mereka mau, menuntut hukum balas membunuh; dan jika mau, mereka menuntut diyat, yaitu (membayar) tiga puluh hiqqah (onta betina berusia tiga tahun yang masuk tahun keempat) dan tiga puluh jadza’ah (onta yang masuk tahun kelima) serta empat puluh khalifah (onta yang sedang bunting) dan, apa saja yang mereka tuntut kepada si pembunuh sebagai imbalan perdamaian, maka ia (imbalan itu) untuk mereka, dan yang demikian itu untuk penekanan pada diyat" (H.R. Tirmidzi dan Ibnu Majah). Abu Hanifah berpendapat bahwa pembunuhan yang disengaja jika dimaafkan oleh keluarganya, tidak dituntut pembayaran diyat yang telah ditentukan besarnya melainkan tergantung dari persetujuan dari keluarga korban dengan pelaku, dan apa yang telah disepakati oleh kedua belah pihak harus dibayar tunai dari harta si pembunuh itu sendiri. Pendapat Abu
Hanifah ini didasarkan atas tidak disebutkannya dengan jelas berapa besar penggantian diyat dalam Al Quran (Ahmad Azhar Basyir, 2006 : 21). Apabila
pelaku
pembunuhannya
lebih
dari
seorang
atau
sekelompok orang maka mereka semua akan terkena hukum qishas. Dasarnya ialah apa yang diriwayatkan oleh Imam Maliki dalam kitabnya Al muwaththa, yang artinya : “dari Sa’id bin Musayyab bahwa Umar bin Khathab ra pernah membunuh sekelompok orang, yaitu lima atau tujuh orang karena telah membunuh seorang laki-laki dengan pembunuhan secara tipu daya (yaitu membujuk korban hingga mau keluar ke tempat yang sepi lalu dibunuh), dan dia berkata, 'Andaikata penduduk negeri Shan’a bersekongkol membunuhnya, niscaya kubunuh mereka semuanya” Dalam Hadist juga dijelaskan, Rasulullah SAW bersabda, yang artinya : “Seandainya penduduk langit dan penduduk bumi semuanya bersekutu dalam mengalirkan darah seorang mukmin, niscaya Allah akan menjerumuskan mereka semuanya kedalam neraka” (H.R. Tirmidzi). Berdasarkan kedua dalil diatas disebutkan bahwa barang siapa yang membantu dalam suatu pembunuhan seorang mukmin tanpa alasan yang dibenarkan, maka hukumannya sama dengan pembunuhan dalam hukum qishas di dunia dan siksaan di akhirat kelak. Hukuman qishas maupun diyat bisa tidak dijatuhkan atau dibebasakan terhadap pelaku apabila pihak wali telah memafkan pelaku terhadap
perbuatan
yang telah
dilakukannya
secara
cuma-cuma.
Memaafkan secara cuma-cuma tanpa menuntut apa-apa kepada si pembunuh adalah sikap yang paling utama lagi mulia. Allah SWT berfirman dalam Al Quran Surat Al Baqarah Ayat 237, yang artinya : "Dan pemaafan kamu itu lebih dekat kepada takwa" Dalam Hadist juga disebutkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, yang artinya : “Dan, Allah tidak menambah pada seorang karena pemaafannya, melainkan kemuliaan” (H.R. Tirmidzi dan Muslim).
Jadi barangsiapa (wali) yang memaafkan pelaku pembunuhan atas perbuatan yang telah dilakuan terhadap ahli warisnya tanpa menuntut pembayaran diyat (pemaafan cuma-cuma), mereka akan lebih dekat dengan ketakwaan mendapatkan kemuliaan disisi Allah.
b. Pembunuhan yang Dilakukan dengan Serupa Sengaja (syabah ‘amad) Pengertian dari pembunuhan yang menyerupai sengaja ialah suatu perbuatan yang pada umumnya dilakukan dengan sesuatu yang biasanya tidak menyebabkan kematian. Misalnya dengan kerikil, tongkat, memukul dengan tangan kosong. Terdapat 3(tiga) unsur dalam pembunuhan yang menyerupai sengaja ini, yaitu : 1) Adanya perbuatan yang mengakibatkan kematian 2) Adanya maksud untuk penganiayaan 3) Ada hubungan sebab akibat antara perbuatan pelaku dengan kematian Imam Nawawi memberikan rumusan pembunuhan serupa sengaja ialah pemukulan dengan apa yang biasanya tidak membunuh. Seandainya pukulan tersebut hanya menggunakan kayu ringan dan hanya dipukulkan satu atau dua kali saja lalu orang tersebut meninggal, maka ini dapat disebut sebagai pembunuhan serupa sengaja. Dasar hukum pembunuhan yang menyerupai sengaja ini adalah Ad-Daruquthni meriwayatkan sebuah hadist dari Ibnu Abbas, bahwa Nabi SAW pernah bersabda, yang artinya : “Kesengajaaan (mengharuskan) hukuman qishas, dan kesalahan hanya bayar diat tanpa qishas. Barang siapa dibunuh diluar kesengajaan dengan batu atau tongkat, atau cemeti, maka (si pembunuh) wajib atasnya diyat yang diberatkan dalam bentuk onta yang sudah cukup umur” Imam Ahmad, Abu Daud dan An Nasa’I meriayatkan sebuah hadist bahwa Nabi Muhammad SAW pernah berkhotbah sewaktu penaklukan kota Mekah, disitu Beliau bersabda, yang artinya :
“Ingatlah, sesungguhnya orang-orang yang terbunuh secara menyerupai kesengajaan adalah (yang dibunuh) memakai cemeti, tongkat, dan batu” Berdasarkan dalil-dalil diatas disebutkan bahwa pada dasarnya pembunuhan serupa sengaja hampir sama dengan pembunuhan sengaja. Bedanya adalah pada pembunuhan sengaja menggunakan alat yang tidak selazimnya dapat mengakibatkan kematian atau untuk membunuh. Misalnya dengan cemeti, tongkat atau batu. Ketiga alat tersebut pada umumnya tidak dapat digunakan sebagai alat untuk membunuh. Oleh sebab
itu
dinamai
sebagai
pembunuhan
serupa
sengaja,
bukan
pembunuhan sengaja sepenuhnya atau bukan pembunuhan kesalahan secara mutlak. Ancaman sanksi pidana pembunuhan serupa sengaja ini adalah diyat mughallazhah yaitu diyat yang diperberat. Diyat ini seperti pada pembunuhan sengaja karena mengingat perbuatannya bukanlah merupakan suatu kesalahan yang murni, sebab pemukulannya itulah yang menjadi tujuan dari perbuatannya, bukan pada meninggalnya korban atau untuk membunuh korban. Akan tetapi terhadap pelaku pembunuhan menyerupai sengaja tidak boleh dituntut hukuman qishas. Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Daud dari ‘Amr Ibn Syu’aib, bahwa Rasulullah bersabda, yanga artinya : “Diyat membunuh serupa sengaja diberatkan sama dengan membunuh sengaja, akan tetapi pelakunya tidak dihukum mati. Demikian itu supaya setan menyingkir dari kalangan manusia, sehingga peristiwa pembunuhan tersebut dapat diselesaikan dengan kepala dingin tanpa dendam atau mengangkat senjata” Adapun dasar bahwa diyat sebagai hukuman pokok adalah dari hadist yang menyebutkan bahwa, yang artinya :
“Ketahuilah bahwa pada pembunuhan sengaja yang tersalah yaitu pembunuhan dengan cambuk, tongkat, dan batu wajib diyat seratus ekor onta” Menurut Imam Syafi’i dan Imam Ahmad waktu pembayaran diyat pada pembunuhan serupa sengaja adalah dalam jangka waktu tiga tahun sejak meninggalnya korban. Sedangkan menurut Imam Abu Hanifah adalah mulai dijatuhkannya vonis atas pembunuh (H.A. Djazuli, 2000 : 146).
c. Pembunuhan yang Dilakukan dengan Tidak Sengaja (khatha’) Pembunuhan yang tidak disengaja adalah seorang mukallaf melakukan perbuatan yang mubah baginya, seperti memanah binatang buruan, ternyata anak panahnya nyasar mengenai orang hingga meninggal dunia. Seperti pada hukum pidana Indonesia, pada pembunuhan yang tidak disengaja ini pelakunya tidak menghendaki timbulnya akibat yang akan terjadi. Unsur pembunuhan kesalahan (tidak sengaja) ada 3(tiga) macam, yaitu : 1) Adanya perbuatan yang menyebabkan kematian 2) Terjadinya perbuatan itu karena kesalahan 3) Adanya hubungan sebab-akibat antara perbuatan kesalahan dengan kematian. Kesalahan ialah apabila sesuatu terjadi bukan karena kehendak orang yang melakukan perbuatan itu. Pada umumnya kesalahan itu terjadi karena kealpaan, kurang hati-hati, kecerobohan, dan sebagainya. Ketentuan mengenai hal ini dijelaskan dalam firman Allah SWT dalam Al Quran Surat An Nisa’ Ayat 92, yang artinya : “Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diyat yang diserahkan
kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum yang memusuhimu, padahal ia mukmin, maka (hendaklah si pembunuh) memerdekakan hamba sahaya yang mukmin. Dan jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, Maka (hendaklah si pembunuh) membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Barangsiapa yang tidak memperolehnya, Maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan Taubat dari pada Allah. dan adalah Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana” (Depag RI, 1971:135). Menurut Ayat diatas, ada tiga macam bentuk pembunuhan yang tidak disengaja berdasarkan objek/korbannya, yaitu : 1) Membunuh orang mukmin 2) Membunuh orang yang memusuhi orang Islam, padahal ia mukmin 3) Membunuh orang kafir yang ada perjanjian (damai) dengan orang Islam. Pada pembunuhan yang tidak sengaja terhadap orang mukmin ini, pelaku
diberikan sanksi hukuman berupa membayar kifarat yaitu
memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (wali). Namun keluarga korban juga boleh bersedekah, maksudnya adalah membebaskan pelaku pembunuhan dari pembayaran diyat atau memaafkan secara cuma-cuma. Seorang mukmin yang membunuh kaum yang memusuhinya padahal dia (korban) juga seorang mukmin karena kesalahan atau tidak sengaja hanya diwajibkan membayar kifarat berupa memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Pada pembunuhan ini pelaku tidak diwajibkan membayar diyat kepada keluarga korban. Seorang mukmin yang membunuh orang kafir yang mempunyai perjanjian damai kaum muslim dengan tidak sengaja dikenai hukuman diyat yang dibayarkan kepada keluarga korban serta wajib membayar kifarat berupa memerdekakan hamba sahaya yang beriman
Dalam ayat diatas disebutkan bahwa “Barangsiapa yang tidak memperolehnya, Maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut” maksudnya adalah apabila si pembunuh tidak dapat memenuhi kewajibannya yaitu membayar diyat dan memerdekakan hamba sahaya yang beriman, maka ia diwajibkan untuk menggantinya dengan cara berpuasa selama dua bulan berturut-turut tanpa terputus.
B. Pembahasan Tindak pidana pembunuhan dalam KUHP disebut juga sebagai kejahatan terhadap nyawa. Kejahatan terhadap nyawa ialah kejahatan yang dilakukan berupa penyerangan terhadap nyawa orang lain. Objek dari kejahatan ini adalah nyawa manusia. Jadi dalam hal ini suatu perbuatan dapat disebut sebagai tindak pidana pembunuhan apabila korbannya adalah manusia, bukan hewan atau sejenisnya. Dalam perbuatan menghilangkan nyawa orang lain terdapat 3(tiga) syarat yang harus dipenuhi, yaitu : a. Adanya wujud perbuatan b. Adanya suatu kematian (orang lain) c. Adanya hubungan sebab dan akibat (causal verband) antara perbuatan dan akibat kematian (Adami Chazawi, 2001 : 57). Pembunuhan atau kejahatan terhadap nyawa merupakan delik materiil, yaitu suatu tindak pidana yang melarang timbulnya akibat tertentu. Jadi yang dipandang dari delik materiil adalah timbulnya akibat dari perbuatan tersebut dan pada selesainya perbuatan itu, bukan pada bagaimana cara yang dilakukannya (dibacok, ditembak, dipukul). Misalnya ditembak ternyata tidak mengakibatkan matinya korban, maka ini belum termasuk pada delik pembunuhan, namun masih berupa percobaan pembunuhan. Timbulnya akibat dari hilangnya nyawa tidaklah harus seketika atau sesaat setelah perbuatan terjadi, namun dapat timbul beberapa waktu kemudian, yang penting akibatnya benar-benar disebabkan karena perbuatan tersebut. Misalnya pada kasus penembakan, karena korban menderita luka berat, setelah seminggu kemudia ia meninggal, maka hal ini dapat disebut sebagai pembunuhan yang disebabkan karena penembakan. Persoalan hubungan sebab-akibat (kausalitas) ini terdapat beberapa teori atau ajaran-ajaran kausalitas, antara lain sebagai berikut:
a) Teori ekivalensi Teori ini menyatakan bahwa setiap syarat adalah sebab, dan semua syarat nilainya sama, jika salah satu syarat tidak ada, maka akibatnya akan berbeda. Contoh, A dianiaya oleh B, kemudian di bawa ke rumah sakit, dijalan A tertabrak motor, lalu meninggal, maka penganiayaan yang dilakukan oleh B ini juga merupakan sebab dari matinya A. Kelemahan dari teori ini adalah hubungan kausalnya membentang kebelakang tanpa akhir, karena setiap “sebab” merupakan “akibat” dari “sebab” yang terjadi sebelumnya. Kelebihan dari teori ini adalah mudah diterapkan, karena teori ini menarik secara sangat luas dalam berlakunya pertanggungjawaban pidana. b) Teori individualisasi Teori ini dalam menentukan faktor “sebab” hanya melihat faktor mana yang paling berperan atau yang paling menentukan.terhadap timbulnya “akibat”. c) Teori generalisasi Teori ini dalam menentukan faktor “sebab” melihat pada faktor mana yang pada umumnya menurut kewajaran atau menurut perhitungan yang layak dapat menimbulkan “akibat”. Tindak pidana pembunuhan dalam hukum Islam terdapat perbedaan pendapat diantara para ulama dalam mengkategorikannya. Imam Malik hanya menetapkan dua macam pembunuhan yaitu pembunuhan yang disengaja dan pembunuhan yang tidak disengaja, hal ini disebabkan karena Al Quran hanya menyebutkan dua macam pembunuhan, yaitu sengaja dan tidak sengaja. Pembunuhan semi sengaja hanya disebutkan dalam Hadist. Namun Hadist yang menyebutkan adanya pembunuhan semi sengaja itu dinilai lemah karena riwayatnya mudhtharib. (Ahmad Azhar Basyir, 2006 : 33). Pada pembahasan ini akan dibandingkan mengenai sanksi pidana pembunuhan yang disengaja dan pembunuhan yang tidak disengaja yang diatur dalam KUHP dan berdasarkan hukum Islam.
1. Pembunuhan yang Disengaja. Pengertian dari pembunuhan dengan sengaja dalam hukum Islam ialah seorang mukalaf secara sengaja dan terencana membunuh orang yang terlindungi darahnya (tak bersalah), dengan dasar kehendak yang kuat bahwa dia harus dibunuh olehnya. Kata sengaja berasal dari kata “amida” atau “amad”. Dalam Al Quran menggunakan kata “muta’ami” yang artinya dengan sengaja. Pengertian dari pembunuhan yang disengaja ini mirip dengan yang diatur dalam hukum pidana Indonesia yaitu pelaku menghendaki akibat yang akan terjadi dari perbuatan yang dilakukannya, yaitu meninggalnya orang lain. Dalam KUHP, pembunuhan yang disengaja diatur pada Pasal 338 sampai dengan Pasal 350. Pada umumnya sanksi pidana terhadap pembunuhan yang disengaja yang diatur pada KUHP adalah berupa pidana penjara
selama
waktu
tertentu
yang
lamanya
tergantung
pada
subjek/pelaku, objek/korban, bentuknya, dan ada atau tidak adanya perencanaan terlebih dahulu. Pembunuhan yang disengaja dalam hukum Islam diatur dalam Al Quran Surat Al Baqarah ayat 178, yang artinya : “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, Maka baginya siksa yang sangat pedih” (Depag RI, 1971:43). Pada ayat diatas disebutkan bahwa pidana qishas ditetapkan atas dasar persamaan antara pelaku dan korban. Orang merdeka di-qishas karena membunuh orang merdeka; budak di-qishas karena membunuh budak; wanita di-qishas karena membunuh wanita; Namun para fukaha berselisih pendapat mengenai syarat persamaan tersebut. Dengan
memperhatikan ajaran Islam tentang hak hidup bagi umat manusia, maka pembunuhan dengan sengaja secara umum dapat mengakibatkan hukuman qishas. Hukum pidana Islam memberikan sanksi pidana pembunuhan yang disengaja berupa hukuman qishas, yaitu hukuman yang sama dengan perbuatan yang telah dilakukannya, oleh karena perbuatannya berupa pembunuhan, maka pelaku juga akan mendapatkan sanksi pidana pembalasan berupa dibunuh atau dihukum mati. Namun dalam hukum pidana Islam dikenal adanya pemaafan atas perbuatan yang dilakukan oleh pelaku dari keluarga korban. Pemaafan ini dapat meringankan hukuman terhadap pelaku, dimana yang seharusnya pelaku mendapatkan sanksi hukuman qishas, namun karena adanya pemaafan dari keluarga korban maka pelaku dapat dibebaskan dari hukuman qishas diganti dengan membayar diyat kepada keluarga korban atau wali. Wali adalah orang yang berhak menuntut pembalasan, yaitu ahli waris dari korban. Wali inilah yang berhak menuntut dijatuhkannya pidana terhadap pelaku, bukan penguasa (pemerintah). Tugas pemerintah hanyalah menangkap si pembunuh. Oleh karena itu keputusan sepenuhnya diserahkan kepada wali korban. Menurut Imam Malik orang yang berhak menuntut qishas atau memaafkannya adalah ashabah bi nafsih, yaitu orang yang paling dekat dengan korban. Sedangkan menurut Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad orang yang paling berhak adalah seluruh ahli waris laki-laki maupun perempuan. Mengenai besarnya diyat, dijelaskan dalam Hadist Rasulullah SAW, yang artinya : "Barangsiapa yang membunuh (orang tak bersalah) secara sengaja (dan terencana), maka urusannya kepada pihak keluarga si terbunuh. Jika mereka mau, menuntut hukum balas membunuh; dan jika mau, mereka menuntut diyat, yaitu (membayar) tiga puluh hiqqah (onta betina berusia tiga tahun yang masuk tahun keempat) dan tiga puluh jadza’ah (onta yang masuk tahun kelima) serta empat puluh khalifah (onta yang sedang bunting) dan, apa saja yang mereka tuntut kepada si pembunuh sebagai
imbalan perdamaian, maka ia (imbalan itu) untuk mereka, dan yang demikian itu untuk penekanan pada diat" (H.R. Tirmidzi dan Ibnu Majah). Besarnya diyat yang harus dibayarkan adalah sebanyak 100 ekor onta, dengan spesifikasi sebagai berikut : a. Tiga puluh hiqqah (onta betina berusia tiga tahun yang masuk tahun keempat) b. Tiga puluh jadza’ah (onta yang masuk tahun kelima atau sudah dewasa) c. Empat puluh khalifah (onta yang sedang bunting). Pada diyat pembunuhan yang disengaja adalah diyat mughallazhah (diyat berat), yaitu diyat yang diperberat, diyat ini pembayarannya hanya diambil dari harta pelaku saja dan harus dibayar tunai. Pembayaran diyat hendaknya diminta dengan baik, misalnya dengan dengan tidak mendesak yang membunuh apabila memang belum mampu untuk membayarnya, dan yang membunuh hendaknya juga membayarnya dengan baik, misalnya tidak menunda-nunda pembayarannya jika memang sudah mampu untuk membayarnya. Selain itu juga tidak boleh menuntut pembayaran diyat yang melebihi batas yang besarnya sudah ditentukan seperti pada tersebut diatas. Abu Hanifah berpendapat bahwa pembunuhan yang disengaja jika dimaafkan oleh keluarganya, tidak dituntut pembayaran diyat yang telah ditentukan besarnya melainkan tergantung dari persetujuan dari keluarga korban dengan pelaku, dan apa yang telah disepakati oleh kedua belah pihak harus dibayar tunai dari harta si pembunuh itu sendiri. Pendapat Abu Hanifah ini didasarkan atas tidak disebutkannya dengan jelas berapa besar penggantian diyat dalam Al Quran (Ahmad Azhar Basyir, 2006 : 21). Namun apabila keluarga korban memberikan pemaafan secara cuma-cuma, yaitu pemaafan secara mutlak kepada pelaku dari keluarga korban tanpa menuntut hukuman apapun maka pelaku pembunuhan dapat terbebas dari hukuman qishas maupun diyat. Para ulama sepakat tentang kebolehan pemaafan secara cuma-cuma ini.
Pada hukum pidana yang diatur dalam KUHP, tidak dikenal adanya pemaafan secara cuma-cuma dari keluarga korban apabila telah terjadi tindak pidana pembunuhan yang disengaja. Pada hukum Islam, pemaafan cuma-cuma ini dapat memungkinkan pelaku terbebas dari hukuman qishas dan diyat, namun dalam hukum pidana Indonesia pemaafan dari keluarga korban terhadap pelaku pembunuhan tidak dapat mempengaruhi ancaman pidananya karena keputusannya sepenuhnya ditangan Hakim yang memeriksa dan mengadili berdasarkan bukti-bukti yang telah ada. Sanksi pidana pembunuhan dalam KUHP tidak terdapat hukuman yang mengharuskan memberikan ganti rugi kepada keluarga korban, misalnya membayar diyat seperti pada hukum Islam. Karena dalam hukum pidana yang diatur dalam KUHP, hukum pidana merupakan mutlak hukum publik dimana penyelesaiannya sepenuhnya menjadi hak negara. Namun bila kita perhatikan, sebenarnya pihak yang paling dirugikan apabila terjadi tindak pidana pembunuhan adalah keluarga korban, sebab sudah barang tentu keluarga korban akan merasa kehilangan salah satu anggota keluarganya dan mungkin akan kehilangan sumber penghasilannya apabila korbannya merupakan tulang punggung keluarga yang bekerja untuk mencari nafkah bagi keluarganya. Oleh karena itu sanksi pidana penjara yang diatur dalam KUHP mungkin hanya akan memberikan keadilan dari aspek batiniah dari keluarga korban karena pelaku sudah mendapatkan sanksi pidana yang
setimpal berupa dipidana penjara selama waktu
tertentu, namun dari aspek materiil keluarga korban tidak mendapatkan balasan atau ganti rugi apapun dari pelaku. Sehingga dalam hukum Islam tujuan dari pembayaran diyat kepada keluarga korban ini adalah sebagai ganti rugi materiil dari pelaku karena telah membunuh salah satu anggota keluarga korban yang menjadi sumber pencari penghasilan bagi keluargnya.
Pada pembunuhan yang berencana, KUHP memberikan sanksi pidana yang paling berat diantara bentuk pembunuhan yang lainnya, yaitu berupa pidana mati atau penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun sebagaimana diatur pada 340 KUHP. Faktor adanya perencanaan inilah yang menjadi dasar beratnya hukuman ini dibandingkan dengan pembunuhan yang lain. Terdapat 3(tiga) syarat/unsur dari adanya rencana terlebih dahulu ini (Adami Chazawi, 2001 : 82), yaitu: a) Memutuskan kehendak dalam suasana batin yang tenang Maksudnya ialah pada saat melaksanakan kehendak untuk membunuh dilakukan dalam suasana batin yang tenang. Suasana batin yang tenang adalah suasana yang tidak tergesa-gesa atau tiba-tiba, tidak dalam keadaan terpaksa dan emosi yang tinggi. Sebelum memutus kehendak untuk membunuh, sudah dipertimbangkan dan dipikirkan mengenai untung dan ruginya, resiko, cara yang digunakan, alat yang digunakan dan sebagainya. b) Adanya waktu yang cukup lama sejak timbulnya kehendak sampai dengan pelaksanaan kehendak Waktu yang cukup lama atau tenggang waktu ini adalah relatif, artinya tidak diukur dari lamanya waktu tertentu, melainkan tergantung pada keadaan atau kejadian konkret yang berlaku. Dalam tenggang waktu ini terdapat hubungan antara pengambilan putusan kehendak dengan pelaksanaan kehendak. Artinya bahwa pelaku masih mungkin untuk menarik kehendaknya untuk membunuh, dan ada waktu untuk memikirkan cara dan alat apa yang akan digunakannya. c) Pelaksanaan kehendak (perbuatan) dalam suasana batin yang tenang Maksudnya ialah pada saat melaksanakan pembunuhan tidak dalam suasana yang tergesa-gesa, rasa takut, ancaman, emosi yang berlebihan, dan sebagainya. Ketiga
unsur/syarat
mengenai
perencanaan
diatas,
bersifat
kumulatif, artinya apabila salah satu dari unsur/syarat tersebut tidak terpenuhi, maka sudah tidak dapat lagi disebut sebagai perencanaan.
Namun untuk membuktikan ketiga unsur tersebut tidaklah mudah, karena bentuknya menyerupai pembunuhan biasa. Disinilah peran aparat penegak hukum untuk dapat membuktikan bahwa suatu tindak pidana pembunuhan apakah tergolong pada pembunuhan biasa (Pasal 338 KUHP) atau termasuk pada pembunuhan berencana (Pasal 340 KUHP). Sedangkan dalam hukum Islam tidak membedakan antara pembunuhan yang direncanakan terlebih dahulu atau tidak, hukum Islam hanya mengkategorikan berdasarkan unsur kesengajaannya. Jadi selama pembunuhan itu dilakukan dengan sengaja entah itu dengan perencanaan terlebih dahulu atau tidak hukumannya tetap sama, yaitu hukuman qishas atau diyat. Pada pembunuhan yang dilakukan oleh ayah terhadap anak kandungnya sendiri, dalam hukum Islam terdapat pengecualian mengenai sanksi hukumannya. Menurut hukum Islam, seorang ayah yang membunuh anaknya sendiri tidak dikenakan hukuman, sebagaimana disebutkan dalam Hadist, yang artinya : “seorang ayah tidak dituntut karena membunuh anaknya” ( H.R. Ahmad, Tirmidzi, dan Ibnu Majah). Jadi berdasarkan Hadist tersebut bahwa apabila seorang ayah membunuh anaknya sendiri, pelaku (ayah) tidak dapat dituntut hukuman qishas atau diyat. Hal ini tentu berbeda dengan yang diatur dalam KUHP. KUHP tidak memandang pelaku
pembunuhan
berdasarkan
ada
atau
tidaknya
hubungan
kekeluargaan dengan korbannya. Setiap orang yang melakukan tindak pidana pembunuhan akan diancam dengan pidana penjara selama waktu tertentu. KUHP hanya memberikan sedikit keringanan ancaman pidana terhadap seorang ibu yang membunuh anaknya sendiri saat dilahirkan atau tidak lama setelah dilahirkan, itupun dengan alasan karena ibu tersebut takut akan ketahuan melahirkan anak, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 341 dan 342 KUHP. Pasal 341 KUHP menyebutkan bahwa latar belakang atau motif dari tindak pidana ini adalah karena adanya rasa takut akan ketahuan orang
lain apabila ia melahirkan anak. Waktu pelaksanaan dari pembunuhan bayi ini dibagi menjadi 2(dua) macam, yaitu : (1) Pada saat bayi dilahirkan Maksudnya ialah waktu dari pembunuhan ini pada saat atau selama proses persalinan berlangsung. Jadi bayi yang dibunuh haruslah benar-benar sudah diluar rahim ibunya, meskipun hanya sebagian anggota tubuh bayi itu yang baru keluar. (2) Tidak lama setelah dilahirkan Maksudnya adalah pembunuhan bayi ini jangka waktunya tidak lama setelah bayi itu dilahirkan atau keluar dari rahim ibunya. Apabila dilakukan dalam jangka waktu yang lama setelah dilahirkan, maka pembunuhan tersebut termasuk dalam pembunuhan biasa (Pasal 338 KUHP). Di media masa sering ada berita bahwa motif dari pembunuhan bayi oleh ibu kandungnya sendiri ialah karena si pelaku merasa malu dan takut dengan orang lain apabila ia melahirkan bayi sebab anak tersebut bukanlah hasil dari perkawinan yang sah. Contohnya di Suara Merdeka diberitakan bahwa seorang wanita bernama Mitun Jayanti (27 tahun), warga Desa Srinahan, Kesesi, Kabupaten Pekalongan, telah membunuh bayinya sendiri yang baru saja dilahirkannya. Tersangka mengaku kalut dan takut karena melahirkan tanpa suami pada Senin (14/3/2005) sekitar pukul 04.30. Beberapa saat setelah melahirkan tanpa bantuan bidan, Mitun yang beranak satu, kemudian mengambil jarik (kain batik) warna hijau dan menutupkannya ke muka bayi itu. Dia kemudian menekan leher bayi yang tak berdosa itu sampai meninggal (www.Suara Merdeka.com). Mengenai
pembunuhan
atas
permintaan
korban
sendiri,
sebagaimana diatur pada Pasal 344 KUHP terhadap pelaku diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun. Pembunuhan atas permintan korban sendiri ini harus memenuhi unsur sebagai berikut :
a) Dilakukan atas permintaan korban sendiri Pengertian permintaan disini adalah berupa pernyataan kehendak yang ditujukan kepada orang lain untuk melakukan suatu perbuatan tertentu yang diminta oleh orang yang memintanya itu. Jadi inisiatif untuk melakukan pembunuhan ini datang dari korban sendiri. b) Secara jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati Artinya bahwa pernyataan untuk dilakukan pembunuhan ini harus dinyatakan dengan sungguh-sungguh atau harus dinyatakan secara tegas dan jelas. Korban harus menyadari atau menginsafi secara betul mengenai niatannya itu. Pernyataan tersebut harus benar-benar muncul dari permintaan korban sendiri untuk memerintahkan kepada orang lain untuk mengakhiri hidupnya. Sedangkan menurut hukum Islam terdapat perbedaan pendapat mengenai pemberian sanksi pembunuhan atas permintaan korban sendiri. Menurut Imam Abu Hanifah, Abu Yusuf dan Muhammad sanksinya adalah membayar diyat, karena pemberian ijin untuk membunuh tersebut menimbulkan syubhat atau keraguan. Menurut Zulfar sanksinya tetap qishas, karena ijin tersebut tidak menimbulkan syubhat. Menurut Imam Ahmad, pelaku tidak diberi sanksi qishas maupun diyat karena kerelaan untuk dibunuh tersebut berarti korban telah memaafkan pelaku dari hukuman. Pada kasus pembunuhan seorang ibu terhadap anaknya sendiri, menurut hukum Islam si pelaku tetap diancam dengan hukuman qishas. Sebab dari Hadist diatas yang tidak dapat dituntut hukuman qishas karena membunuh anaknya sendiri adalah ayahnya, bukan ibunya. Namun Imam Maliki berpendapat lain, seorang ayah yang dengan sengaja membunuh anaknya sendiri juga dapat dijatuhi hukuman qishas, karena kandungan ayat qishas dalam Al Quran bersifat umum, dan adanya Hadist yang menyebutkan bahwa diantara yang menghalalkan darah seorang mukmin adalah pembunuhan yang disengaja tanpa alasan yang dibenarkan.
Pada tindak pidana terhadap kandungan yaitu berupa pengguguran dan pembunuhan terhadap kandungan atau janin menurut KUHP diatur dalam Pasal 346 sampai Pasal 349, dimana ancaman pidananya berupa pidana penjara selama waktu tertentu. Menurut Pasal 346, ada 4(empat) perbuatan yang dirumuskan, yaitu : (1) Menggugurkan kandungan Pengertianya adalah suatu perbuatan yang dilakukan terhadap kandungan seorang wanita yang mengakibatkan lahirnya janin yang dikandungnya sebelum pada waktunya (tidak alami). Dalam istilah kedokteran perbuatan ini sering disebut abortus provocatus. (2) Mematikan kandungan Pengertiannya adalah suatu perbuatan dilakukan terhadap kandungan seorang wanita dengan tujuan untuk mematikan janin yang ada di dalam rahim wanita tersebut. Artinya mematikan suatu kehidupan yang ada di dalam rahim seorang wanita. (3) Menyuruh orang lain untuk menggugurkan kandungan Maksudnya adalah adanya orang lain yang disuruh oleh wanita yang mengandung untuk menggugurkan kandungannya. (4) Menyuruh orang lain untuk mematikan kandungan Maksudnya hampir sama dengan pengertian diatas, yaitu menyuruh orang lain untuk mematikan kandungan atau janin yang ada dirahim wanita tersebut. Dalam rumusan Pasal 346 ini, disebutkan bahwa pelaku/subjek hukumnya adalah seorang wanita, bukan seorang ibu seperti pada Pasal 341 dan 342 KUHP. Hal ini dikarenakan pada Pasal 341 dan 342 KUHP disebutkan bahwa pembunuhannya dilakukan terhadap bayi yang sudah dilahirkan, sehingga orang tersebut sudah selayaknya disebut sebagai seorang ibu karena sudah melahirkan seorang anak. Sedangkan pada Pasal 346, pembunuhannya dilakukan terhadap janin yang masih ada di dalam kandungan atau belum dilahirkan secara alami dan tidak disyaratkan janin tersebut sudah berbentuk bayi atau belum, sehingga orang ini belum layak
disebut sebagai seorang ibu karena belum melahirkan anak yang dikandungnya. Sedangkan menurut Pasal 347 sampai dengan Pasal 349 KUHP merupakan pengguguran dan pembunuhan terhadap kandungan yang dilakukan oleh orang lain. KUHP tidak mempermasalahkan mengenai berapa bulan usia janin tersebut yang digugurkan atau dibunuh. Selama dalam rahim wanita sudah terdapat janin, maka apabila digugurkan akan dapat dikenai sanksi pidana. Sedangkan dalam hukum Isalam ada perbedaaan pendapat dikalangan para ulama. Al Quran menjelaskan bahwa sebuah janin baru diberikan roh atau nyawa setelah berumur empat bulan. Apabila janin yang digugurkan tersebut belum berumur empat bulan, ada sebagian ulama yang memakruhkan hukumnya dan ada pula yang mengharamkannya. Hampir tidak ada ulama yang membolehkannya (mubah), apalagi sunah atau wajib. Para ulama yang memakruhnya beranggapan bahwa janin tersebut belum dirasakan kehidupannya karena masih berupa segumpal darah atau daging. Namun para ulama sepakat bahwa menggugurkan kandungan setelah janin berumur empat bulan atau lebih adalah haram, sehingga perbuatan tersebut dapat dikategorikan sebagai jinayat yang dapat dikenai hukuman qishas atau diyat. Sebab janin tersebut dipandang sudah menjadi manusia. Apabila seseorang melakukan penganjuran dan pertolongan pada orang lain yang ingin bunuh diri, menurut hukum pidana orang tersebut dapat dikenai sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 345 KUHP terhadap orang yang melakukan penganjuran dan pertolongan atau memberi sarana terhadap bunuh diri dapat diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun. Berdasarkan Pasal 345 KUHP ini, terdapat 3(tiga) bentuk perbuatan yang dilakukan, yaitu : a) Dengan sengaja mendorong orang lain untuk melakukan bunuh diri Mendorong artinya adalah suatu perbuatan yang dilakukan dengan cara atau bentuk apapun yang sifatnya untuk mempengaruhi
atau mendukung orang lain untuk melakukan kehendak tertentu yang diinginkannya. Sehingga karena adanya dorongan ini, inisiatif untuk melakukuan perbuatan bunuh diri tersebut berasal dari orang lain, bukan dari korban itu sendiri. Pada perbuatan mendorong ini ada pengaruh batin antara korban dan pelaku (pendorong). b) Dengan sengaja menolong orang lain dalam melakukan bunuh diri Menolong artinya membantu orang lain dalam melakukan suatu perbuatan tertentu. Dalam hal ini adalah menolong orang lain untuk melakukan bunuh diri. Apabila pada perbuatan mendorong terdapat hubungan batin, pada perbuatan menolong ini lebih bersifat riil atau perbuatannya nyata. Misalnya dengan mempermudah atau memperlancar bagi orang lain untuk melakukan bunuh diri, contohnya A ingin bunuh diri dengan cara membakar tubuhnya, B membantu A menyiramkan bensin ke tubuh A. Dari contoh tersebut bahwa perbuatan B tampak nyata dalam membantu proses bunuh diri A. Pada perbuatan menolong ini, inisiatif untuk bunuh diri berasal dari korban sendiri, bukan dari orang lain (penolong). Sehingga yang menentukan apakah perbuatan tersebut akan dilanjutkan atau tidak, sepenuhnya tergantung pada orang yang akan bunuh diri itu sendiri. c) Dengan sengaja memberikan sarana kepada orang lain yang akan bunuh diri Bentuk dari perbuatan ini hampir sama dengan menolong. Peranan dari kedua perbuatan tersebut adalah untuk mempermudah atau memperlancar terjadinya bunuh diri. Karena hanya sebatas mempermudah atau memperlancar saja, maka pada perbuatan ini juga tidak bersifat menentukan apakah bunuh dirinya akan dilanjutkan atau dibatalkan. Sepenuhnya tergantung dari pelaku bunuh diri itu sendiri. Misalnya A ingin bunuh diri, kemudian B meminjamkan pistol kepada A. Keputusan untuk melakukan bunuh diri ini sepenuhnya tergantung pada A. Namun apabila B ikut merayu A supaya melanjutkan bunuh
diri, maka ia termasuk kedalam 2(dua) perbuatan sekaligus, yaitu memberikan sarana dan mendorong terjadinya bunuh diri. Pada akhir kalimat dalam Pasal 345 KUHP menyatakan bahwa “kalau orang itu jadi bunuh diri”. Ini berarti bahwa ketiga macam perbuatan diatas, yaitu mendorong, menolong, memberikan sarana untuk bunuh diri, baru dapat dipertanggungjawabkan apabila mengakibatkan meninggalnya korban. Jadi pada unsur ini merupakan syarat yang mutlak untuk dapat dipidana seseorang karena melanggar Pasal 345 KUHP. Contohnya, A pada waktu bunuh diri dengan membakar dirinya atas pertolongan dari B, ternyata A tidak mati karena ada tetangganya yang tahu kemudian dirawat di rumah sakit. Pada kasus ini B tidak dapat dijerat dengan Pasal 345 KUHP, karena kejadian ini baru sebatas pada percobaan bunuh diri sehingga tidak dapat dipidana. Dalam hukum Islam tidak ada dalil yang menyebutkan mengenai sanksi pidana terhadap orang yang menganjurkan dan menolong pada perbuatan bunuh diri. Orang yang melakukan bunuh diri itulah yang nanti akan mendapatkan hukuman dari Allah kelak di akhirat, sebagaimana dijelaskan dalam Hadist, yang artinya : “ barang siapa menjatuhkan dirinya dari atas gunung untuk membunuh dirinya, maka ia akan terjun kedalam neraka jahanam dan kekal disana selamanya. Barang siapa meminum racun kemudian ia mati karenanya, maka kelak racun yang ia minum ditangannya akan ia minum selamanya di neraka jahanam. Barang siapa membunuh dirinya dengan besi maka besi yang berada ditangannya itu akan dipukulkan kepadanya terusmenerus di neraka jahanam untuk selamanya” (H.R. Imam Bukhari dan Muslim). Dalam Al Quran Surat An Nisaa’ Ayat 29 Allah berfirman, yang artinya : “ …dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah terhadap kamu adalah Maha Penyayang “ Berdasarkan dalil diatas dijelaskan bahwa manusia dilarang untuk melakukan bunuh diri dan terhadap orang yang melakukan bunuh diri akan mendapatkan hukuman di neraka jahanam berupa pembalasan yang sama
dengan cara dilakukannya bunuh diri pada waktu di dunia. Manusia diwajibkan untuk saling tolong-menolong dalam hal kebaikan dan kesabaran, sebagaimana disebutkan dalam Al Quran Surat Al ‘Ashr Ayat 1-3, yang artinya : “ Demi masa. Sesunggungnya manusia itu benar-benar dalam kerugian. kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran“(Depag RI, 1971:1099). Seseorang dapat dituntut hukuman qishas apabila pelakunya adalah mukalaf,
yaitu
orang
yang
dapat
memepertanggung-jawabkan
perbuatannya. Sebab dalam hukum Islam seorang yang bukan mukalaf tidak dapat dituntut hukuman, sebagaimana disebutkan dalam hadist Rasulullah SAW, yang artinya : “Diangkat pena dari tiga golongan: (Pertama) dari anak kecil hingga baligh, (kedua) dari orang tidak waras pikirannya hingga sadar (sehat), dan (ketiga) dari orang yang tidur hingga terjaga.” (H.R. Ahmad, Abu Daud, dan Tirmidzi). Jadi terhadap anak kecil (belum baligh) dan orang gila yang melakukan pembunuhan tidak dapat dituntut hukuman qishas. Sama halnya yang diatur dalam KUHP, pada Pasal 44 diterangkan bahwa orang yang sakit jiwa (gebrekkige ontwikkeling) atau orang gila yang melakukan tindak pidana pembunuhan juga tidak dapat dipidana. Sedangkan terhadap seseorang yang belum berumur 16 tahun yang melakukan tindak pidana pembunuhan, dalam Pasal 45 dijelaskan bahwa hakim dapat menentukan supaya dikembalikan kepada orang tua/walinya atau tanpa dipidana apapun. Namun jika hakim menjatuhkan pidana, menurut Pasal 47 KUHP maka maksimum pidana pokok dikurangi sepertiga, atau jika perbuatannya merupakan kejahatan yang diancam dengan pidana mati, atau pidana penjara seumur hidup maka dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
Pada percobaan pembunuhan, menurut hukum Islam pelaku dapat dijatuhi hukuman ta’zir. Namun para ulama berbeda pendapat mengenai ketentuan ta’zirnya. Imam Malik dan Imam al-Laits berpendapat bahwa bila si pelaku dimaafkan maka ta’zirnya adalah dijilid seratus kali dan dipenjara selama satu tahun. Sedangkan menurut KUHP, mengenai percobaan diatur pada Pasal 53. Suatu perbuatan dapat disebut sebagai percobaan pembunuhan jika niat untuk melakukannya telah nyata dari adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu bukan disebabkan karena kehendaknya sendiri. Terhadap pelaku percobaan pembunuhan ini, ancaman pidananya adalah maksimum pidana pokok dikurangi sepertiga, atau dapat dipidana penjara paling lama lima belas tahun apabila pelaku melakukan percobaan pembunuhan berencana. Apabila ada dua orang yang melakukan pembunuhan dimana salah satu orang hanya memegang saja bukan bertujuan untuk membunuh, maka menurut hukum Islam ia (yang memegang) tidak dapat dituntut qishas. Namun apabila memegang dengan maksud untuk membunuhnya, dan pembunuhnya adalah orang yang ketiga, dikalangan ulama terdapat perbedaaan pendapat. Imam Malik berpendapat bahwa yang memegang juga mendapatkan hukuman qishas. Sedangkan Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’I berpendapat bahwa orang yang memegang tersebut diancam dengan hukuman ta’zir, karena ia tidak membunuhnya secara langsung. Sedangkan menurut KUHP, orang yang memegang tersebut disebut sebagai pembantu (medeplichtige). Mengenai kasus ini diatur dalam Pasal 56 dan 57 KUHP. Pembantu ialah orang yang sengaja memberi bantuan, kesempatan, sarana, atau keterangan untuk melakukan kejahatan. Terhadap pembantu kejahatan, ancaman pidananya adalah maksimum pidana pokok dikurangi sepertiga, dan jika kejahatannya diancam dengan pidana mati atau penjara seumur hidup, maka diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
Dalam KUHP pada setiap ancaman sanksi pidana terdapat kalimat “paling lama”. Hal ini menunjukan bahwa hakim diberikan kebebasan untuk menentukan lamanya pidana penjara yang akan dijatuhkan kepada terdakwa. Namun kebebasan hakim tersebut bukan berarti kebebasan yang mutlak tidak terbatas. “Menurut Gunter Warda, dalam menentukan beratringannya
hukuman
yang
akan
dijatuhkan
oleh
hakim
harus
memperhatikan beberapa aspek, antara lain mengenai sifat dan seriusnya delik yang dilakukan, kepribadian dari pelaku, umur, tingkat pendidikan, jenis kelamin, lingkungan tempat tinggal pelaku dan sebagainya” (Oemar Seno Adji, 1984 : 8). Pembunuhan sengaja yang dimaafkan dari hukuman qishas dan diyat adalah aturan yang baik dan membawa kemaslahatan. Namun pembunuhan itu tidak hanya melanggar hak perorangan melainkan juga melanggar hak jamaah atau masyarakat, oleh sebab itu hukuman ta’zir sebagai sanksi atas hak masyarakat. Imam Malik dan Imam al Laits berpendapat bahwa bila dalam kasus pembunuhan dimaafkan, maka sanksinya adalah dijilid/dera seratus kali dan dipenjara selama satu tahun.. Jadi hukuman ta’zir dapat dijatuhkan terhadap pembunuh dimana sanksi qishas tidak dilaksanakan ( H.A. Djazuli, 2000 : 175). Dalam hukum pidana Islam, selain akan mendapatkan sanksi pidana berupa qishas atau membayar diyat, terhadap pelaku pidana pembunuhan juga akan mendapatkan hukuman di akhirat, sebagaimana firman Allah SWT dalam Surat An Nisaa’ Ayat 93, yang artinya : “Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutuknya serta menyediakan azab yang besar baginya” (Depag RI, 1971:136). Pembunuhan terhadap seorang mukmin dengan sengaja
akan
dimasukkan ke dalam neraka jahanam selamanya dan Allah murka dan mengutuknya serta akan mendapatkan azab yang besar bagi pelakunya.
Namun ulama-ulama Syafi’i berpendapat bahwa pembunuh dapat bertobat dan meminta ampunan dari Allah atas perbuatan yang telah dilakukannya. Sebagaimana firman Allah dalam Surat An Nisaa’ Ayat 48 : “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya” (Depag RI, 1971:126). Ibnu Abbas r.a. telah menceritakan hadist berikut, bahwa Nabi SAW pernah bersabda, yang artinya : “Manusia yang paling dibenci oleh Allah ada tiga macam, yaitu : orang yang durhaka di tanah suci, orang yang melakukan perbuatan jahiliyah dalam Islam, dan orang yang menuntut darah orang lain tanpa alasan yang hak selain untuk mengalirkan darahnya (membunuhnya)” (H.R. Bukhari) Menurut Hadist tersebut bahwa membunuh orang tanpa ada alasan yang dibenarkan merupakan salah satu perbuatan yang paling dibenci oleh Allah. Ketiga orang tersebut merupakan orang yang paling jahat di sisi Allah.
2. Pembunuhan Tidak Disengaja Pembunuhan yang tidak disengaja adalah pembunuhan yang terjadi karena pelaku tidak menghendaki akibat dari perbuatannya. Mengenai tindak pidana pembunuhan yang tidak disengaja ini, diatur dalam Pasal 359 KUHP. Terhadap setiap orang karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain, menurut KUHP diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun. Bentuk dari kealpaan ini dapat berupa perbuatan yang pasif maupun aktif. Contoh perbuatan yang pasif misalnya penjaga palang pintu kereta api karena tertidur pada waktu ada kereta yang melintas dia tidak menutup palang pintu sehingga mengakibatkan tertabaraknya mobil yang sedang melintas. Bentuk kealpaan penjaga palang pintu ini berupa
perbuatan yang pasif karena tidak melakukan apa-apa. Sedangkan contoh perbuatan yang aktif misalnya seseorang yang sedang menebang pohon ternyata menimpa orang lain sehingga matinya orang itu karena tertimpa pohon. Bentuk kealpaan dari penebang pohon ini berupa perbuatan yang aktif. Hukum Islam mendefinisikan pembunuhan yang tidak disengaja adalah seorang mukalaf
yang melakukan pembunuhan karena adanya
kesalahan. Pembunuhan karena kesalahan diatur dalam Al Quran Surat An-Nisa’ ayat 92, yang artinya : “Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum yang memusuhimu, padahal ia mukmin, maka (hendaklah si pembunuh) memerdekakan hamba sahaya yang mukmin. Dan jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, Maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Barangsiapa yang tidak memperolehnya, Maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan Taubat dari pada Allah. dan adalah Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana” (Depag RI, 1971:135). Dalam ayat diatas terdapat ketentuan sebagai berikut : a. Seorang mukmin yang tidak sengaja membunuh mukmin lainnya, maka diwajibkan membayar kifarat berupa memerdekakan seorang hamba sahaya mukmin dan membayar diyat yang diserahkan kepada keluarga korban. b. Seorang mukmin yang membunuh mukmin lainnya dari kaum yang memusuhinya karena tidak sengaja, hanya diwajibkan membayar kifarat berupa memerdekakan seorang hamba sahaya mukmin. c. Seorang mukmin yang tidak sengaja membunuh orang kafir yang ada perjanjian damai, diwajibkan membayar kifarat berupa memerdekakan
seorang hamba sahaya mukmin dan membayar diyat yang diserahkan kepada keluarga korban. d. Jika tidak mungkin memerdekakan budak, maka dapat diganti dengan cara berpuasa selama dua bulan berturut-turut. Pada pembunuhan yang tidak disengaja, besarnya diyat yang harus dibayarkan kepada keluarga korban jumlahnya sama dengan pembunuhan yang disengaja, yaitu berupa 100 ekor onta. Tetapi jenis/klasifikasi ontanya berbeda. Abdullah Ibnu Mas’ud r.a telah menceritakan Hadist berikut, bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda, yang artinya : “Diyat pembunuhan karena keliru (tersalah) ialah dua puluh ekor onta hiqqah, dua puluh ekor onta jadza’ah, dua puluh ekor onta bintu makhadh, dua puluh ekor onta bintu labun, dua puluh ekor onta bani makhadh yang betina” (H.R. Ash-habus Sunan). Berdasarkan Hadist diatas disebutkan bahwa besarnya diyat yang yang harus dibayarkan berupa : a. 20 ekor onta hiqqah, b. 20 ekor onta jadza’ah, c. 20 ekor onta bintu makhadh, d. 20 ekor onta bintu labun, e. 20 ekor onta bani makhadh yang betina Pada pembunuhan tidak sengaja, diyatnya ialah mukhafafah (diyat ringan), diyat ini pembayarannya tidak hanya dibebankan kepada korban saja, melainkan juga bisa kepada keluarganya, selain itu pembayarannya juga dapat diangsur selama tiga tahun. Membebankan diyat mukhafafah kepada keluarga pelaku dengan pertimbangan
bahwa
pelaku
sedang
tertimpa
musibah
karena
ketidaksengajaanya menyebabkan matinya orang lain sehingga diwajibkan membayar diyat maupun kifarat, oleh sebab itu keluarganya sepantasnya menolong saudaranya yang sedang mengalami musibah. Namun apabila
pelaku
maupun
keluarganya
benar-benar
tidak
mampu
untuk
membayarnya, maka yang membayar diyat adalah Negara yang diambil dari baitulmal (kas Negara). Hal ini didasarkan pada Hadist Nabi SAW yang mengajarkan, yang artinya“Aku adalah wali bagi orang yang tidak mempunyai wali sama sekali”. Pembunuhan yang tidak disengaja, menurut hukum Islam dan KUHP sanksi pidananya lebih ringan daripada pembunuhan yang disengaja. KUHP hanya memberikan sanksi pidana penjara paling lama lima tahun atau bahkan mungkin hanya dipidana kurungan paling lama satu tahun. Hal ini tentu jauh lebih ringan bila dibandingkan dengan pembunuhan yang disengaja yang diatur pada Pasal 338 KUHP dimana ancaman pidananya bisa lima belas tahun penjara. Sedangkan menurut hukum Islam, sanksi pidana pembunuhan yang tidak disengaja juga lebih ringan daripada pembunuhan yang disengaja. Pada pembunuhan yang tidak disengaja tidak diancam dengan hukuman qishas. Apabila ada dinding yang roboh menimpa orang lain hingga mati, menurut Imam Hanafi orang yang memiliki tembok tersebut dapat dimintai pertanggung-jawaban apabila sebenarnya ia mampu untuk memperbaikinya, namun apabila ia tidak mampu maka pemilik tembok tidak dapat dimintai pertanggung-jawaban. Apabila seseorang menggali sumur atau lubang, lalu ada orang lain yang terperosok kedalamnya hingga mati, Imam Malik berpendapat bahwa apabila menggalinya di suatu tempat yang biasa untuk membuat sumur atau lubang, maka si penggali tidak dapat dituntut pertanggung-jawaban., tetapi apabila penggaliannya melewati batas penggalian, si penggali dapat dituntut pertanggungjawaban (Sayyid Sabiq, 1984 : 148-149). Pada kedua kasus diatas menurut hukum pidana orang yang memiliki dinding dan yang menggali sumur/lubang dapat dituntut pertanggung-jawaban apabila memang terbukti ada kelalaian atau kealpaan dari pemilik dinding atau penggali sumur/lubang. Apabila pemilik dinding
sudah mengetahui bahwa dindingnya akan roboh namun ia tetap membiarkannya, lalu ada orang lain yang tertimpa hingga mati, maka ia dapat dituntut pertanggung-jawaban dan terhadap penggali sumur/lubang yang menggali ditempat yang tidak biasanya atau yang sering dilewati orang, kemudian ada orang lain yang terperosok hingga mati karena tidak ada tanda peringatan atau menutup lubangnya maka ia dapat dituntut pertanggungjawaban karena kealpaan/kelalaiannya menyebabkan matinya orang lain. “Abdul Aziz Amir berpendapat bahwa pembunuhan yang tidak disengaja yang merupakan akibat ketidak hati-hatian selain dikenai hukuman diyat, juga dapat digabungkan dengan hukuman ta’zir, karena ta’zir itu bersifat perorangan dan bukan merupakan hukum yang bersifat umum” ( H.A. Djazuli, 2000 : 176). Sedangkan dalam KUHP, pelaku pembunuhan yang tidak disengaja selain dapat dikenai sanksi pidana penjara dapat juga dikenai sanksi pidana kurungan. Pidana kurungan sifatnya lebih ringan daripada pidana penjara, misalnya pidana kurungan ini bisa diganti dengan membayar denda sehingga tidak perlu melaksanakan hukuman kurungan bila sudah membayar denda. Sebagai contoh dari sanksi pidana yang dijatuhkan hakim terhadap pelaku tindak pidana kejahatan terhadap nyawa, diambil dari putusan Pengadilan nomor : 88/ Pid.B/ 2004/ PN. Ska. Seorang supir truk bernama Slamet, umur 35 tahun, telah menabrak seorang pengendara motor bernama Soedarmadi hingga tewas. Berdasarkan keterangan saksi dan bukti yang ada, maka terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana karena “kesalahannya menyebabkan matinya orang lain” sebagaimana yang diatur dalam Pasal 359 KUHP. Hakim menjatuhkan hukuman berupa pidana penjara selama 6(enam) bulan. Meskipun dalam KUHP terhadap pelaku pembunuhan karena kesalahan atau kealpaan diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun. Hakim memberikan
keringanan hukuman ini dengan pertimbangan bahwa terdakwa mengakui terus terang akan perbuatannya dan berjanji tidak akan mengulangi lagi, terdakwa menyesali atas perbuatannya, dan terdakwa juga belum pernah dipidana sebelumnya. Tujuan dari pemberian sanksi pidana pembunuhan yang tidak disengaja ini adalah supaya orang lebih berhati-hati dalam melakukan perbuatannya agar tidak merugikan orang lain lebih-lebih sampai berakibat kematian. Sebab agama dan negara sangat menghormati hak hidup manusia, sehingga tidak mungkin akan membiarkan hilangnya nyawa yang disebabkan karena kelalaian orang lain tanpa dikenai sanksi. Wallahu’alam.
BAB IV SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan Tindak pidana pembunuhan ialah kejahatan yang dilakukan berupa penyerangan terhadap nyawa orang lain. Tindak pidana pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja dalam KUHP diatur dalam Buku Kedua Bab XIX Pasal 338 sampai dengan Pasal 350 mengenai Kejahatan Terhadap Nyawa. Sedangkan pada tindak pidana pembunuhan yang tidak sengaja diatur dalam Buku Kedua Bab XXI KUHP Pasal 359. Hukum Islam membagi tindak pidana pembunuhan menjadi tiga macam, yaitu pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja, pembunuhan yang dilakukan tidak dengan sengaja dan pembunuhan yang dilakukan menyerupai sengaja. Landasan hukum mengenai tindak pidana pembunuhan ini diatur dalam beberapa ayat dalam Al Quran dan juga diatur dalam Hadist Nabi Muhammad SAW. Hukum pidana Indonesia maupun hukum pidana Islam menguraikan unsur kesengajaan adalah berupa perbuatan yang dikehendaki pelakunya akan menimbulkan suatu akibat tertentu. Dalam hal tindak pidana pembunuhan yang disengaja, akibat yang dikehendaki oleh pelaku adalah meninggalnya orang lain. Sedangkan pada pembunuhan yang tidak disengaja pelaku tidak menghendaki akibat yang akan terjadi. Oleh sebab itu dalam KUHP maupun hukum Islam sanksi pidana pembunuhan yang disengaja akan lebih berat daripada yang tidak disengaja. Sanksi pidana pembunuhan yang diatur dalam KUHP dapat berupa pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan dan pidana tambahan. Sedangkan dalam hukum pidana Islam sanksi pidana pembunuhan dapat berupa hukuman qishash, hukuman diyat, kifarat, dan hukuman ta’zir.
Hukum pidana Indonesia merupakan mutlak hukum publik (hukum Negara), yaitu hukum yang mengatur hubungan antara orang/perseorangan (warga negara) dengan Negara. Sehingga yang berhak untuk menentukan hukumannya adalah Negara tanpa ada campur tangan dari orang lain. Sedangkan dalam hukum pidana Islam tidak membedakan antara hukum privat dan hukum publik. Sehingga memungkinkan adanya campur tangan dari
orang/perseorangan
maupun
dari
pemerintah
(penguasa)
dalam
menentukan hukumannya. Hukum pidana Indonesia dalam hal terjadi tindak pidana pembunuhan, proses hukumnya secara mutlak menjadi hak Negara untuk menentukan hukuman apa yang akan dijatuhkan kepada pelaku, Negara yang akan menentukan berat-ringannya hukuman berdasarkan bukti-bukti yang ada. Sedangkan dalam hukum pidana Islam, apabila terjadi tindak pidana pembunuhan yang berhak menentukan sanksi pidananya adalah pihak keluarga atau ahli waris dari korban, apakah pelaku akan dijatuhi hukuman qishas, atau dimaafkan dengan membayar diyat atau dimaafkan secara cumacuma. Hukum pidana Islam mengenal adanya pemaafan secara cuma-cuma dari keluarga korban kepada pelaku atas pembunuhan yang telah dilakukannya. Pemaafan secara cuma-cuma ini memungkinkan pelaku pembunuhan tidak akan mendapatkan sanksi pidana apapun. Sedangkan dalam hukum pidana Indonesia meskipun pelaku tindak pidana pembunuhan sudah mendapatkan pemaafan dari keluarga korban, proses hukumnya masih tetap berjalan karena yang menentukan hukumannya adalah Negara. Sanksi pidana pembunuhan dalam hukum Islam selain diberikan di dunia, pelaku juga akan mendapatkan hukuman di akhirat berupa dimasukkan kedalam neraka Jahannam dan mendapatkan azab yang pedih dari Allah apabila pelaku tidak bertobat kepada Allah atas perbuatan yang telah dilakukannya.
B. Saran 1. Manusia merupakan mahluk yang paling dimuliakan Allah. Hak yang paling utama dan dijamin oleh agama maupun oleh Negara adalah hak hidup. Hak tesebut merupakan hak milik manusia secara mutlak tanpa mempertimbangkan agama, bangsa dan kedudukan dalam masyarakat. Oleh sebab itu seharusnya hak hidup tersebut harus dijaga dan dilindungi. 2. Pembunuhan itu menghancurkan tata nilai hidup yang telah dibangun oleh kehendak Allah SWT dan merampas hak hidup orang yang menjadi korban, sekaligus dapat mengakibatkan permusuhan dengan keluarga korban dan juga mungkin dapat mengganggu kesejahteraan dan kemakmuran kehidupan keluarga korban
apabila korban merupakan
tulang punggung keluarga. Sehingga sepantasnya terhadap pelaku pembunuhan, khususnya yang disengaja dan terencana mendapatkan hukuman yang seberat-beratnya mengingat kejahatan
yang telah
dilakukannya. 3. Apabila terjadi tindak pidana pembunuhan hendaknya pelaku segera meminta maaf kepada keluarga korban dan keluarga korban hendaknya juga dengan lapang dada menerima permintan maaf tersebut dengan baik. Saling memaafkan merupakan perbuatan yang paling mulia disisi Allah dan akan lebih mendekatkan kepada ketakwaan. 4. Kepada aparat penegak hukum, berikanlah keadilan yang seadil-adilnya baik kepada pelaku kejahatan maupun kepada keluarga korban pada waktu memberikan hukuman. Supaya dapat membuat jera terhadap pelakunya agar tidak mengulanginya lagi dan juga sebagai peringatan terhadap orang lain supaya tidak melakukan tindak pidana pembunuhan.
DAFTAR PUSTAKA
Buku :
Abuddin Nata. 2001. Sejarah Perkembangan dan Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta : Gramedia. Adami Chazawi. 2001. Kejahatan Terhadap Tubuh & Nyawa. Jakarta : Raja Grafindo Persada. . 2005. Pelajaran Hukum Pidana I. Jakarta. Raja Grafindo Persada. Ahmad Azhar Basyir. 2006. Ikhtisar Fikih Jinayat (Hukum Pidana Islam). Yogyakarta : Universitas Islam Indonesia Press. Ahmad Hanafi. 1967. Asas-asas Hukum Pidana Islam. Jakarta : Bulan Bintang. Andi Hamzah. 1986. Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia dari Retribusi ke Reformasi. Jakarta : Pradnya Paramita. Bambang Poernomo. 2000. Asas-asas Hukum Pidana. Yogyakarta : Ghalia Indonesia. C.S.T.Kansil. 1989. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka. H.A. Djazuli. 2000. Fiqh Jinayah. Jakarta : Raja Grafindo Persada. Ilham Bisri. 2004. Sistem Hukum Indonesia. Prinsip-Prinsip dan Implementasi Hukum di Indonesia. Jakarta : Raja Grafindo Persada. Lexy J. Moelong. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. Johnny Ibrahim. 2006. Teori & Metodelogi Penelitian Hukum Normatif. Malang : Bayumedia. Leden Marpaung. 2005. Asas, Teori, Praktek Hukum Pidana. Jakarta : Sinar Grafika. Marsum. 1988. Jinayat (Hukum Pidana Islam). Yogyakarta : Universitas Islam Indonesia Press.
Moeljatno. 1980. Asas-asas Hukum Pidana. Yogyakarta : Universitas Gadjah Mada Press. Mohd. Idris. Ramulyo. 1997. Asas-asas Hukum Islam. Jakarta : Sinar grafika. Oemar Seno Adji. 1984. Hukum-Hakim Pidana. Jakarta : Erlangga. Romli Atmasasmita. 2000. Perbandingan Hukum Pidana. Bandung : CV. Mandar Maju Sayyid Sabiq. 1984. Fikih Sunnah. Bandung : PT. Alma’arif. Soerjono Soekanto. 2006. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Universitas Indonesia Press. Sudarto. 1990. Hukum Pidana I. Semarang : Yayasan Sudarto.
Perundang-undangan :
Al Hadist. Al Qur’an dan Terjemahannya. 1971. Jakarta : Departemen Agama RI. Moeljatno. 1996. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Jakarta : Bumi Aksara.
Internet :
http://www. Al-azim.com ( 9 Maret 2008 pukul 15.00 WIB.) http://www. Alislamu.com ( 9 Maret 2008 pukul 15.00 WIB.) http://digilib.itb.ac.id ( 24 Februari 2008 pukul 19.00 WIB.) http://www.Suara Merdeka.com ( 8 April 2008 pukul 15.00 WIB.)