perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
REGISTER ANAK JALANAN KOTA SURAKARTA
SKRIPSI
Oleh : MEMET SUDARYANTO K1209042
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA Januari 2013
commit to user i
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user ii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
REGISTER ANAK JALANAN KOTA SURAKARTA
Oleh:
MEMET SUDARYANTO K1209042
SKRIPSI diajukan untuk memenuhi persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan Program Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2013
commit to user iii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user iv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user v
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRAK Memet Sudaryanto. K1209042. Register Anak Jalanan Kota Surakarta. Skripsi. Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Universitas Sebelas Maret Surakarta, Januari 2013. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan: (1) karakteristik penggunaan register anak jalanan Kota Surakarta; dan (2) tujuan penggunaan register anak jalanan di Kota Surakarta. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Sumber data adalah peristiwa tutur anak jalanan dan informan. Teknik pengumpulan data menggunakan observasi langsung, wawancara, dan pencatatan dialog anak jalanan. Uji validitas data yang digunakan adalah triangulasi metode dan triangulasi sumber. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis interaktif yang meliputi empat komponen yaitu: (1) pengumpulan data, (2) reduksi data, (3) penyajian data, dan (4) penarikan simpulan. Karakteristik register anak jalanan adalah (1) umumnya menggunakan bahasa jawa, (2) ada pergeseran dan perubahan makna, (3) menggunakan katakata bentuk ringkas, (4) menggunakan kata bermakna kasar, (5) ada peristiwa alih kode dan campur kode, (6) menggunakan ragam intim. Tujuan penggunaan register anak jalanan adalah untuk : (1) membedakan dengan kelompok anak jalanan yang lain, (2) menunjukkan penghormatan atau kekuasaan, (3) menunjukkan keakraban, (4) menegaskan emosi, dan (5) menyembunyikan makna komunikasi dari masyarakat. Simpulan peneletian ini adalah karakteristik dan tujuan khusus register anak jalanan berbeda dengan karakteristik dan tujuan masyarakat atau kelompok komunitas lain.
Kata kunci: register, anak jalanan, komunikasi, ragam bahasa
commit to user vi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
MOTTO Semua tidak akan selesai jika tidak diawali dengan satu langkah, yang disebut perubahan (Penulis)
Rambut putih tak menjadikan kita manusia yang segala tahu (Dee : Jembatan Zaman)
Dan setiap senti gurun akan terinspirasi karena kau berani beku dalam neraka, kau berani putih meski sendiri, karena kau.. berbeda (Dee : Salju Gurun)
Pada akhirnya aku percaya, aku sendiri yang harus bertanggung jawab atas hidupku (Oka Rusmini : Akar Pule)
Cuma kaki yang akan berjalan lebih jauh dari biasanya, tangan yang akan berbuat lebih banyak dari biasanya, mata yang akan menatap lebih lama dari biasanya, leher yang akan lebih sering melihat ke atas (Donny Dhirgantoro : 5cm)
Jadi orang yang bisa membuat napas orang lain menjadi sedikit lebih lega karena kehadiran kita di situ.. (Donny Dhirgantoro : 5cm)
Saya Ian.. saya bangga bisa berada di sini bersama kalian semua. Saya akan mencintai tanah ini seumur hidup saya, saya akan menjaganya, dengan apa pun yang saya punya, saya akan menjaga kehormatannya seperti saya menjaga diri saya sendiri. Seperti saya akan selalu menjaga mimipi-mimpi saya terus hidup bersama tanah air tercinta ini. (Donny Dhirgantoro : 5cm)
commit to user vii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERSEMBAHAN Karya kecil ini dengan tulus dan ikhlas kupersembahkan kepada : 1. Mamak (Suratminingsih) dan Bapak (Sukir) : terima kasih sudah membuatku menjadi ada, kalian adalah yang terhebat; 2. Mbak Titi dan Dik Dyah tersayang, aku selalu merindukan kebersamaan kita; 3. Anak jalanan di kota Surakarta yang telah memberi senyum di pagiku dan pelukan di malamku; 4.
yang telah menyeparokan otaknya demi penulisan skripsi ini;
5. Sahabat sejatiku: Lili Haryanti, Imroatun Sholihah, Santi Harnani, Muhammad Nur Kholis, Auditya, Ningtias yang telah mendukungku dan menjadikan prosesku selama ini sukses besar; 6. Semua penghuni kos Klampis Ireng yang bahagia di atas sedihku, dan sedih di atas bahagiaku; 7. Teman-teman seperjuangan Bastind angkatan 2009 yang telah memberikan pengalaman yang luar biasa dan tidak terlupakan; 8. Teman-teman PPL SMAN 1 Surakarta yang baik hatinya; dan 9. Seseorang yang dipertemukan oleh hujan, dan mungkin dipisahkan oleh hujan pula.
commit to user viii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KATA PENGANTAR Alhamdulillah, segala puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan segala nikmat, rahmat, dan hidayah-Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Skripsi ini dibuat dengan tujuan sebagai syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan. Dalam Penyusunan skripsi ini, penulis menyadari tidak dapat bekerja seorang
diri,
melainkan
bekerja
sama dengan
berbagai
pihak.
Atas
terselesaikannya skripsi ini, penulis meyampaikan ucapan terima kasih kepada: 1. Prof.Dr.H.M.Furqon Hidayatullah,M.Pd., Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan
Universitas
Sebelas
Maret
Surakarta
yang telah
memberikan izin penulisan skripsi ini. 2. Dr.Muhammad Rohmadi,M.Hum., Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan izin dalam penulisan skripsi ini. 3. Dr.Kundharu Saddhono,S.S.,M.Hum., Ketua Program Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan izin dalam penulisan skripsi ini. 4. Dra.Sumarwati,M.Pd. dan Drs.Edy Suryanto,M.Pd., sebagai pembimbing skripsi I dan II yang senantiasa dengan sabar dan perhatian membimbing penulis dalam menyusun skripsi ini. 5. Ibu dan Bapak Dosen Program Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah memberikan bekal ilmu kepada penulis, terima kasih. 6. Semua pihak yang telah mendukung dan membantu sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi perkembangan dunia pendidikan, khususnya dalam bidang bahasa dan sastra Indonesia. Surakarta,
Januari 2013
Penulis
commit to user ix
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR ISI Halaman JUDUL ........................................................................................................
ii
PERSETUJUAN .........................................................................................
iii
PENGESAHAN ..........................................................................................
iv
ABSTRAK ..................................................................................................
v
MOTTO .......................................................................................................
vi
PERSEMBAHAN .......................................................................................
vii
KATA PENGANTAR ................................................................................
viii
DAFTAR ISI ................................................................................................
ix
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................
xi
DAFTAR TABEL .......................................................................................
xii
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................
xiii
BAB I PENDAHULUAN ..........................................................................
1
A. Latar Belakang Masalah ................................................................
1
B. Rumusan Masalah ..........................................................................
5
C. Tujuan Penelitian ...........................................................................
5
D. Manfaat Penelitian .........................................................................
6
BAB II KAJIAN PUSTAKA ...................................................................... A. Kajian Teori dan Hasil Penelitian yang Relevan ............................
7 7
1. Hakikat Bahasa ..........................................................................
6
2. Hakikat Register ........................................................................
14
3. Hakikat Anak Jalanan ................................................................
22
B. Kerangka Berpikir ...........................................................................
28
BAB III METODE PENELITIAN .............................................................
30
A. Tempat dan Waktu Penelitian .........................................................
30
B. Bentuk dan Strategi Penelitian ........................................................
32
C. Data dan Sumber Data ....................................................................
33
D. Teknik Sampling...... .......................................................................
34
E. Teknik Pengumpulan Data ..............................................................
35
commit to user x
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
F. Validitas Data ..................................................................................
36
G. Teknik Analisis Data .......................................................................
37
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...........................
41
A. Deskripsi Lokasi .............................................................................
41
B. Karakteristik Subjek Penelitian ......................................................
48
C. Deskripsi Hasil Penelitian ...............................................................
52
D. Pembahasan Hasil Penelitian ..........................................................
100
1. Karakteristik Register Anak Jalanan. ...........................................
101
2. Tujuan Pemakaian Register.........................................................
111
BAB V SIMPULAN DAN SARAN ...........................................................
114
A. Simpulan .........................................................................................
114
B. Saran ...............................................................................................
119
Daftar Pustaka ...........................................................................................
121
Lampiran
124
...............................................................................................
commit to user xi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR GAMBAR
Gambar
Halaman
1. Kerangka Berpikir ......................................................................... 29 2. Rincian Waktu dan Jenis Kegiatan Penelitian .............................. 32 3. Model Analisis Mengalir............................................................... 40
commit to user xii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR TABEL
Tabel
Halaman
1. Contoh Bahasa yang Digunakan Sesama Pengemis ............................... 27 2. Contoh Bahasa yang Digunakan Pengemis dengan Calon Dermawan ... 27 3. Karakteristik Register Bentuk Ringkas ................................................... 106 4. Karakteristik Register Penggunaan Kata Kasar................................................. 109
commit to user xiii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran
Halaman
1. Tabel Temuan Register Anak Jalanan Kota Surakarta. ............
124
2. Transkripsi Data Konfirmasi......................................................
130
3. Transkripsi Data Observasi Lapangan.........................................
134
4. Dokumentasi Keberadaan Anak Jalanan.....................................
141
commit to user xiv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Sebagian besar anak jalanan bergelut dengan kompleksitas kehidupan yang terjadi di kota-kota besar, seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, Surakarta, dan kota-kota lainnya. Menurut Departemen Pendidikan Nasional (2007) jumlah anak jalanan yang meningkat menjadikan mereka sebagai mata rantai dari premanisme. Seperti inilah kondisi penduduk negeri ini, banyak anak jalanan yang menghabiskan masa mudanya untuk mengadu nasib getir kehidupan jalan. Anak jalanan memiliki mobilitas tinggi dibandingkan anak pada umumnya. Menurut Sudarsono (dalam Zakarya, 2011) anak jalanan tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap, yang secara yuridis tidak berdomisili autentik. Mereka berpindah dari satu kota ke kota lain, tanpa kurun waktu lama. Termasuk salah satu tujuan mobilisasi anak jalanan juga terjadi di Kota Surakarta. Meski Surakarta digembargemborkan sebagai kota layak anak, nyatanya masih banyak anak jalanan yang menghiasi tiap sudut kota. Ini dapat dengan mudah ditemukan di Pasar Ledoksari yang dihuni puluhan anak jalanan, Terminal Tirtonadi, dan beberapa tempat lainnya. Jumlah anak jalanan dimungkinkan akan terus bertambah tanpa mengenal masa. Hal ini dipicu oleh keadaan masyarakat Indonesia yang mempermudah alur transmigrasi atau perpindahan penduduk. Selain itu, juga keadaan ekonomi di kalangan masyarakat kecil masih kurang. Ketidakpercayaan
diri
anak
jalanan
terhadap
kondisi
kecerdasan
intelektualnya yang belum baik, mendorong mereka untuk mengisolasi diri dari masyarakat secara umum. Seperti pada penelitian Kuswarno (2009) bahwa anak jalanan memiliki kepasrahan nasib yang cukup tinggi, jadi mereka akan sangat sulit untuk keluar dari kepengemisannya. Hal ini pula yang menandakan bahwa mereka bangga dan betah dalam waktu lama untuk menjadi pengemis. Selain itu, melonjaknya keberadaan anak jalanan mendorong mereka untuk membuat komunitas tersendiri dan lebih memperketat isolasi diri, untuk jauh dari masyarakat ilmiah. Dalam arti, kebanyakan dari anak jalanan tidak bersekolah,
commit to user 1
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 2
maupun putus sekolah. Hal ini membuat komunitas anak jalanan makin kuat dan meluas. Jumlah anak jalanan ternyata sampai sekarang tidak bisa dipastikan angka pastinya, sebab jumlah tersebut akan bertambah ataupun berkurang dalam kurun waktu yang tidak dapat ditentukan. Berdasarkan data Departemen Sosial Republik Indonesia (dalam Suhartanto, 2008) ditemukan bahwa beberapa tahun terakhir jumlah anak jalanan di Indonesia mengalami peningkatan cukup pesat. Menurut data dari Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi (DINSOSNAKERTRANS), tercatat sebanyak 648 anak yang terdiri dari anak terlantar, anak nakal, dan anak jalanan tersebar di Solo (Arum, 2010). Meningkatnya jumlah anak jalanan tersebut dipicu oleh beberapa faktor salah satunya anak yang drop out dari sekolah. Berdasarkan data dari Kemendiknas (Jatmika, 2010) menyatakan bahwa sekitar 1,7 persen dari 30 juta anak sekolah dasar, terutama kelas 1-4 mengalami drop out karena berbagai alasan, sehingga berpotensi untuk meningkatnya buta aksara di Indonesia, dengan kata lain mampu meningkatkan pula jumlah anak jalanan di Surakarta. Meskipun sudah disadari sebagai anggota masyarakat, keberadaan anak jalanan sebagai anggota masyarakat kadang kala tidak diakui oleh sebagian orang. Hal ini dikarenakan keadaan psikis mereka yang berbeda dengan masyarakat (anak) pada umumnya. Selain itu, salah satu penyebab ketidakberterimaan anak jalanan adalah keadaan bahasanya yang terkesan kasar dan tidak beratur. Sebenarnya kondisi tersebut bukan kesalahan anak jalanan. Namun, keadaan itu sebagai akibat mereka kurang mengerti sistem komunikasi yang baik dan benar. Bahkan keadaan memaksa mereka untuk menciptakan sistem maupun alat komunikasi baru yang lebih fleksibel dan nyaman untuk digunakan dalam komunitas tersebut. Meskipun begitu anak jalanan termasuk dalam masyarakat bahasa, mereka menggunakan bahasa dalam bersosialisasi maupun bekerja. Jelasnya, mereka mengemis dengan bahasa, meronta dengan bahasa, mereka berkenalan dengan komunitas baru dengan bahasa. Dengan komunitas yang makin luas, sebagian anak jalanan menciptakan bahasa komunitas sebagai media berkomunikasi antaranak jalanan. Bahasa dalam komunitas tersebut menggunakan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 3
lambang-lambang yang hanya bisa dimengerti oleh komunitas di dalamnya. Meskipun kadang kala penggunaan diksi yang dianggap kasar dan berbeda dengan anak pada umumnya, anak jalanan tetaplah berbahasa dan anak jalanan tetaplah temasuk dalam masyarakat bahasa. Oleh karena itu, dalam setiap bahasa yang dipakai termasuk ke dalam kajian kebahasaan/linguistik yang bisa untuk diteliti. Dalam berinteraksi sosial dengan orang lain, kelompok anak jalanan juga tidak terlepas dari kegiatan kebahasaan. Bahasa tersebut belum tentu dipahami oleh masyarakat di luar anak jalanan. Dalam kebahasaan, istilah bahasa komunitas tertentu disebut register. Masyarakat mengangggap anak jalanan memiliki bahasa yang kasar. Namun sebenarnya mereka tidak mengetahui apa yang dikatakannya. Hal ini dikarenakan interaksi mereka dengan kelompok anak jalanan yang juga sepola, membuat anak jalanan tidak membuka paradigma tentang bahasa yang mereka pakai. Tidak urung, banyak kata tidak senonoh dilontarkan. Padahal, mereka sendiri tidak paham, mengapa kata-kata yang dianggap oleh masyarakat itu salah atau buruk. Dengan tekanan keras dari masyarakat, memaksa anak jalanan membentuk komunitas kecil maupun besar untuk menampung aksi dan keluhannya. Dalam komunitas itulah mereka berkesempatan untuk berkreasi dan saling memaksimalkan interaksi. Oleh karena itu, muncul register di tengahtengah anak jalanan. Mereka menggunakan bahasa mereka sendiri agar masyarakat tidak mengerti. Hal ini dapat dikemukakan contoh berikut ini. X
: ora ngapa-ngapa kok. Pengkimu nangdi
Y
: embuh mau Mas. Lagi munggah paling
X Y
: munggah ki apa tho : yo golek det neng dhuwur bis
-apa.
Kartu data di atas, digunakan untuk menjelaskan contoh dari temuan
kili anak jalanan. Dari contoh kalimat di atas, ditemukan dua register, yakni pengki dan munggah. Dilihat dari konteksnya, pengki memiliki makna anak jalanan yang memiliki tingkatan di
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 4
bawah bos; sedangkan munggah, memiliki arti berpindah dari satu bis ke bis yang lain
untuk
mengamen
atau
mencari
nafkah.
Kedua
register
tersebut
memungkinkan hanya dimengerti penutur dan mitra tutur, dalam hal ini anak jalanan yang bersangkutan. Selain contoh kalimat di atas, juga ditemukan register pada kalimat berikut. X1 X2 X1
: Wis ngalor urung ndes : urung bos, iki arep mangkat : sisan sebungkus ndes. Kaya biasane jalanan 1 dan partisipan. Anak jalanan 1 berjalan menjauh menuju arah barat, yakni arah Hotel Asia) Dalam kartu data di atas, juga ditemukan register kata ngalor. Ngalor
berasal dari kata lor atau makna harfiahnya adalah utara. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdiknas, 2008) utara memiliki arti arah utara. Namun secara kontekstual, ngalor memiliki perbedaan makna dengan harfiahnya. Ngalor dalam hal ini adalah pergi ke warung makan yang berada di arah barat. Anak jalanan menggunakan arah warung makan sebagai interpretasi lor. Hal ini menunjukkan penggunaan register sebagai bentuk perubahan atau pergeseran makna. Penggunaan register pada anak jalanan di Kota Surakarta dapat pula dilihat dari contoh di bawah ini. Aku arep medhun, golek dhit sik. Aku mau turun, cari uang Medhun dalam konteks di atas memiliki arti turun dari bis dan standby di jalanan untuk mencari nafkah. Standby dalam konteks ini berarti kesiagaan, atau bersiaga. Ketiga contoh tersebut adalah contoh register anak jalanan yang makna dan artinya hanya diketahui oleh mereka. Makna lain yang juga tersirat adalah linguistik sebagai sebuah disiplin ilmu memberikan kesempatan yang luas kepada masyarakat ilmiah untuk mengkaji bahasa yang meliputi unsur-unsur pertanyaan (apa, siapa, kapan, mengapa, di mana, bagaimana) seputar bahasa yang muncul atau dimunculkan. Pemakaian bahasa sehari-hari terbukti kerap menunjukkan identitas diri dari penutur bahasa tersebut dalam lingkungan sosial. Oleh karena itu, penggunaan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 5
bahasa anak jalanan dalam keseharian memiliki kekuatan yang menarik untuk diteliti. Pada penelitian ini, bahasa yang dikaji adalah register pada anak jalanan yang dapat dijadikan sebagai wacana ilmu bahasa, terkhusus register anak jalanan kelompok profesi di Surakarta dan memaparkan pola interaksi verbal atau karakteristik pemakaian bahasa yang digunakan mereka dalam kegiatan di jalan dan berkomunikasi sehari-hari. Berdasarkan uraian di atas, peneliti merasa tertarik untuk mengkaji register anak jalanan. Dari register tersebut akan dianalisis karakteristik dari register dan tujuan penggunaanya. Analisis penggunaan register pada
anak
jalanan
diharapkan
nantinya
mampu
mendeksripsikan
dan
dimanfaatkan sebagai satu kajian ilmu linguistik demi mencerdaskan kehidupan bangsa. Materi berkenaan dengan register anak jalanan di Surakarta merupakan materi beragam dan menarik untuk dikaji dan diteliti lebih lanjut. Selain peneliti harus terjun ke lapangan, penelitian ini juga membutuhkan semangat dalam berinteraksi dengan anak jalanan. Berdasar pada latar belakang di atas, peneliti ingin mengkaji lebih mendalam berkenaan penggunaan register. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi wawasan baru dalam kajian linguistik, utamanya dalam sosiolinguistik.
B. Rumusan Masalah Melalui latar belakang tersebut, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimana karakteristik penggunaan register pada anak jalanan Kota Surakarta? 2. Apa sajakah tujuan penggunaan register pada anak jalanan Kota Surakarta?
C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan: 1. Karakteristik penggunaan register pada anak jalanan Kota Surakarta; 2. Tujuan penggunaan register pada anak jalanan Kota Surakarta
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 6
D. Manfaat Penelitian Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Manfaat Teoretis Hasil penelitian ini dapat memperkaya khazanah ilmu pengetahuan kebahasaan, terutama dalam penggunaan register pada anak jalanan Kota Surakarta. Kaitannya dengan keberagaman dan tujuan dari penggunaan register yang berkembang di Kota Surakarta. Selain memperkaya ilmu pengetahuan di bidang kebahasaan, dalam penelitian ini diharapkan mampu memperluas kesepahaman bahasa yang ada di masyarakat Surakarta.
2. Manfaat Praktis a. Bagi Masyarakat 1) Sebagai bentuk pemaparan bahasa yang berkembang di tengah masyarakat modern, mengingat anak jalanan juga merupakan bagian dari masyarakat. 2) Peluasan penggunaan kosakata baru yang efektif dan tepat makna bagi masyarakat tertentu. Dalam hal ini penggunaan kosakata bagi masyarakat yang memiliki intensitas bertemu lebih banyak dengan anak jalanan. 3) Sebagai bentuk pengeksploran penggunaan register pada anak jalanan Kota Surakarta yang beragam dan makin luas untuk dipahami bersama. b. Bagi Mahasiswa dan Dosen 1) Dengan penelitian ini diharapkan dapat menambah kajian disiplin ilmu sosiolinguistik dan memperkaya kosakata baru dalam berbahasa. 2) Menemukan sebuah register pada anak jalanan Kota Surakarta untuk memacu motivasi melakukan penelitian-penelitian kajian berbahasa lainnya. 3) Dapat digunakan sebagai rujukan untuk penelitian selanjutnya.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 7
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Kajian Teori dan Hasil Penelitian yang Relevan 1. Hakikat Bahasa a. Pengertian Bahasa Bahasa sebagai alat komunikasi utama bagi manusia. Kehidupan sehari hari manusia menggunakan bahasa sebagai sarana untuk berinteraksi antara satu dengan yang lain. Dengan berinteraksi, manusia dapat memenuhi kebutuhannya sebagai makhluk sosial dengan bekerja sama untuk menyatakan pikiran dan pendapatnya. Tidak hanya itu, peran bahasa sebagai alat komunikasi pada akhirnya akan membentuk pola-pola baru yang lebih unik dan berbeda, baik dilihat dari media, kondisi dan situasi, dan komunikan. Bahasa memiliki ciri-ciri yang spesifik, seperti konvensional, oral, simbolis, berkembang dan dinamis, beragam, dan arbitrer. Oral, yakni diucapkan dan dilafalkan serta ada rangsangan di otak untuk menanggapi bunyi tersebut. Simbolis, yakni sebuah bahasa juga merupakan lambang dan simbol bahasa, seperti huruf, angka, lambang bahasa, dan berbagai bentuk lambang atau simbol lainnya. Bahasa juga memiliki sifat berkembang dan dinamis, yakni bahasa akan terus berkembang dari satu masa ke masa yang lain. Perubahan tersebut berkenaan dengan sistem atau mungkin munculnya kosakata baru dan perlambangan bunyi yang baru. Bahasa juga memiliki ragam, seperti ragam baku, ragam resmi, ragam santai, dan ragam akrab. Bahasa sebagai lambang bunyi yang arbitrer, yang dipergunakan oleh masyarakat
untuk
berhubungan
dan
kerja
sama,
berinteraksi,
dan
mengidentifikasi diri (Kridalaksana, 1993:21). Arbitrer, artinya bahasa memiliki sifat manasuka dan bebas, tidak ada aturan bahwa kursi harus disebut sebagai tempat duduk, mungkin saja di tempat lain kursi merupakan doa-doa dalam agama Islam. Kaitannya dengan penggunaan interaksi, kerjasama, dan berhubungan, maka bahasa sangat mungkin menggunakan keabriterannya. Oleh karena itu,
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 8
sering ditemukan penggunaan bahasa dan kosakata tertentu yang hanya dimengerti dan pemaknaannya hanya komunitas tertentu yang tahu. Tidak hanya itu, ternyata kearbitreran bahasa turut dirasakan pula oleh remaja masa kini. Remaja sering menggunakan angka dan simbol dalam berkalimat secara tertulis. Contohnya, me7 lokasi, 7an penulis, sudah dit4, aku=dia. Apabila dideskripsikan secara singkat, menuju lokasi, tujuan penulis, sudah di tempat, aku sama dengan dia. Ini menunjukkan, masyarakat bahasa pun mencoba menggunakan akal dan kekreativannya untuk mengembangan bahasa dalam berkomunikasi satu sama dengan yang lainnya. b. Bahasa sebagai Alat Komunikasi Bahasa sebagai alat komunikasi mempunyai peranan yang penting dalam
interaksi
manusia.
Bahasa
dapat
digunakan
manusia
untuk
menyampaikan ide, gagasan, keinginan, perasaan dan pengalamannya kepada orang lain. Tanpa bahasa manusia akan lumpuh dalam berkomunikasi maupun berinteraksi antara individu maupun kelompok. Dengan demikian manusia tidak dapat terlepas dari bahasa. Pernyataan ini sesuai dengan pendapat Samsuri (1987:4) bahwa manusia tidak akan lepas dari pemakaian bahasa, karena bahasa adalah alat yang dipakainya untuk membentuk pikiran, perasaan, keinginan dan perbuatan-perbuatannya, serta sebagai alat untuk mempengaruhi dan dipengaruhi. Lebih lanjut dijelaskan bahwa bahasa adalah tanda yang jelas dari kepribadian, yang baik maupun yang buruk; tanda yang jelas dari keluarga dan bangsa; tanda yang jelas dari budi kemanusiaan. Dari pembicaraan seseorang tidak saja keinginannya yang dapat diungkap, tetapi juga motif keinginannya, latar belakang pendidikannya, pergaulannya, adat istiadatnya, dan lain sebagainya (Samsuri, 1987:4). Secara umum, apabila dicermati penggunaan bahasa di masyarakat yang sebagian besar bekerja sebagai pekerja keras di daerah pinggiran akan memiliki bahasa yang lebih kasar dibandingkan keluarga kraton yang merupakan keluarga bangsawan. Bahasa nyatanya juga memiliki penanda identitas yang jelas. Dalam sebuah konteks, masyarakat Banyumas ketika berkomunikasi dengan masyarakat Jawa pada umumnya akan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 9
memiliki sistem dan perbedaan yang cukup jelas. Salah satunya adalah tanda glotal yang dipakai untuk mengakhiri sebuah kata berhuruf terakhir vokal. Jika dibandingkan dengan bahasa Jawa pada umumnya akan ditemukan perbedaan lain yang cukup signifikan. Ini menunjukkan, bahasa memiliki penanda identitas yang menjadi ciri khas dari satu daerah. Sebagai alat komunikasi, bahasa harus mampu menampung perasaan dan pikiran penutur, serta mampu menimbulkan adanya saling mengerti antarpenutur atau penulis dengan pendengar atau pembaca. Seseorang dapat berkomunikasi dengan baik dalam suatu bahasa, bila orang tersebut menguasai sistem bahasa itu. Sempurna atau tidaknya bahasa sebagai alat komunikasi umum, sangat ditentukan oleh kesempurnaan sistem atau aturan bahasa dari masyarakat pemakainya (Santoso, 1990:1). Nababan (1993:40) mengemukakan bahwa bahasa memiliki fungsi kemasyarakatan dalam arti memiliki peranan khusus suatu bahasa di dalam kehidupan masayarakat. Klasifikasi bahasa berdasarkan fungsi kemasyarakatan dibagi menjadi dua, yaitu berdasarkan ruang lingkup dan berdasarkan bidang pemakaian. Berdasarkan ruang lingkup, berarti bahasa digunakan oleh manusia dalam lingkup nasional atau lingkup kelompok. Di dalam lingkup nasional masyarakat menggunakaan bahasa Indonesia, sedangkan pada lingkup kelompok lebih fleksibel. Bahasa nasional tentu saja di Indonesia adalah bahasa Indonesia, yakni bahasa yang dipakai oleh seluruh rakyat Indonesia. Bahasa Indonesia pun diatur dalam undang-undang kebahasaan dan lambang negara. Di negara lain pun semestinya juga memiliki bahasa nasional, karena posisi bahasa Nasional yang begitu penting. Itulah alasannya setiap negara menggunakan satu bahasa yang digunakan sebagai identitas bangsa. Jika bahasa nasional dipakai oleh satu kelompok bangsa, tentu saja bahasa kelompok tidak demikian. Meski sama-sama digunakan satu kelompok masyarakat, lingkup penggunaanya tetap berbeda. Bahasa nasional hanya digunakan oleh sebangsa dalam satu negara saja, sedangkan bahasa kelompok tidak. Bahasa kelompok mungkin saja digunakan sekelompok masyarakat dari ragam negara yang berbeda dengan lingkup yang lebih sempit.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 10
Bahasa atau linguistik memiliki cabang kajian ilmu yang luas. Salah satu cabang ilmu bahasa adalah sosiolinguistik. Sosiolinguistik adalah ilmu yang mengaitkan bahasa dan struktur sosial (Ibrahim, 1995:40). Di dalam sosiolinguistik dikaji mengenai bahasa kaitan dengan ilmu sosial, yaitu : umur, jenis kelamin, kelas sosioekonomi, pengelompkan regionalnya, status, dan lainnya. Jadi, di dalam sosiolinguistik dibahas kajian penggunaan bahasa kaitannya dengan sosial. c. Sosiolinguistik Sosiolinguistik
mengkaji
penggunaan
bahasa
pada
kesosialan
masyarakat tertentu yang kondisinya pasti berbeda dengan kondisi sosial daerah lainnya. Tingkat sosial yang dimaksud memiliki pengertian yang sangat luas, sesuai yang dijelaskan Ibrahim di atas, salah satunya adalah umur pengguna
bahasa.
Contoh
konkretnya
adalah
adanya
penambahan,
pengurangan, penggantian suku kata, dan berbagai bentuk lainnya. Jika dibandingkan dengan bahasa masyarakat lain dengan beda umur akan terlihat perbedaannya. Inilah yang disebut sebagian masyarakat saat ini disebut alay atau yang sebelumnya disebut lebay. Dalam berbagai konteks, kedua kata tersebut memiliki arti berlebihan atau hiperbolis. Selain umur, tentu saja kekhasan sosiolinguistik juga timbul dalam jenis kelamin penutur, berbagai kosakata mungkin saja digunakan kaum lelaki yang tidak disadari oleh kaum wanita, begitu pula sebaliknya. Contoh nyata dalam masyarakat bahasa saat ini adalah kata roti Jepang. Roti Jepang memang satu istilah yang mungkin bermakna roti atau kue dari Jepang. Beberapa kaum hawa menafsirkan bahwa roti Jepang adalah pembalut. Selain kedua contoh tersebut, berbagai konteks sosial juga berpengaruh pada penggunaan kata dan kalimat. Kridalaksana (1993:181) menyatakan bahwa sosiolinguistik adalah cabang ilmu linguistik yang mempelajari hubungan saling pengaruh antara perilaku bahasa dan perilaku sosial. Dalam kajian linguistik, terutama sosiolinguistik
seperti
yang
dijelaskan
Kridalaksana,
ilmu
ini
akan
menjabarkan segala sesuatu bekenaan dengan perilaku bahasa dan perilaku sosial. sebagai contoh, seorang yang tingkat sosialnya tinggi menggunakan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 11
bahasa dengan kekhasan yang berbeda dengan tingkat sosial lain. Secara terinci, dalam sosiolinguistik dibahas variasi bahasa, variasi tuturan, seperti dialek, gaya bahasa dan ragam bahasa, tindak tutur, idiom, serta rahasia yang terkandung dalam bahasa. Ragam bahasa adalah variasi pemakaian bahasa yang timbul dari akibat adanya sarana, situasi, dan bidang pemakaian yang berbeda-beda (Mustakim, 1994:218). Penggunaan bahasa dalam sarana yang berbeda, memungkinkan seseorang menggunakan ragam yang berbeda dengan sarana yang lainnya. Semisal,
seorang yang sedang berkomunikasi dengan pihak lainnya
menggunakan telepon dan menggunakan email akan berbeda, apalagi penggunaan telegram yang lebih singkat. Penggunaan ragam bahasa bisa berbeda antara situasi tertentu. Pada konteks pertemuan seorang abdi dalem keraton dengan pembantu secara umum akan berbeda. Abdi dalem akan menggunakan bahasa yang lebih halus dengan atasannya, pembantu rumahan akan menggunakan bahasa yang relatif lugas dan sesuai konteksnya. Mustakim (1994:218) menjelaskan bahwa penggunaan bahasa dan pemakaiannya
pun
makin
beragam.
Seorang
dapat
dengan
mudah
berkomunikasi dengan keberagaman yang ada. Di sisi lain, sebagian dari mereka perlu menggunakan pakem dan menjunjung kebiasaan sebagai satu penggunaan kekhasan. Menurut penelitian Fajarwati (2007:23), kekhasan ragam bahasa bisa dijumpai pada pemakaian kata, pemakaian partikel, interjeksi, penggunaan idiom, munculnya plesetan. Ragam bahasa khususnya di Indonesia dewasa ini berkembang dengan cukup pesat. Adanya slogan, sleng, register, akronim, plesetan dan berbagai bentuk lainnya turut mewarnai penggunaan bahasa Indonesia. Kesemuanya dikaji dalam linguistik, terkhusus sosiolinguistik. Hal ini berkaitan dengan penelitian Fatturokhman (2000) yang menjelaskan bahwa komunikasi dengan menggunakan lambang verbal (komunikasi verbal) terjadi ketika partisipan komunikasi menggunakan kata-kata, baik itu lisan ataupun tulisan. Jadi, oleh Faturrokhman dipaparkan bahwa komunikasi tidak memandang itu dilisankan atau ditulis. Asalkan terjadi interaksi dari dua pihak, itulah komunikasi. Di sisi
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 12
lain, Faturrokhman kembali menemukan, bahwa di dalam masyarakat kini, tidak hanya komunikasi verbal saja, namun juga komunikasi nonverbal, yakni sebuah komunikasi ketika partisipan komunikasi menggunakan simbol selain kata-kata seperti nada bicara, intonasi, sorotan mata, bentuk bibir, dan ekspresi wajah. Dengan adanya perkembangan yang beragam, membuat komunikasi antarmasyarakat lebih mudah, terutama dalam satu komunitas dan kelompok tertentu. Perannya pun makin beragam dan unik, tidak terlepas dari situasi dan kondisi penutur, tetapi juga keinginan penutur turut terkover. d. Analisis Makna Analisis makna yang digunakan di dalam penelitian ini berdasar pada teori milik Hymes (dalam Bell, 1976:79) menyatakan bahwa di dalam analisis bahasa perlu adanya delapan elemen yang diakronimkan dengan kata speaking. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan di dalam berkomunikasi yaitu (1) setting and scene, (2) participants, (3) ends, (4) act, (5) key, (6) instrumentalities, (7) norms,dan (8) genres. 1) Setting and Scene, mengacu pada keadaan sekitar yang bersifat fisik secara umum. Dalam komunikasi diambil tempat, terutama waktu dan situasi
budaya/keadaan
sekitar.
Hal
ini
berfungsi
untuk
mendeskripsikan situasi, tempat, dan waktu dari sebuah perbincangan. 2) Participants, merupakan pihak yang terlibat dalam pertuturan, bisa pembicara dan pendengar, penyapa dan pesapa, atau pengirim dan penerima pesan. Dalam hal ini, pihak yang dimaksudkan adalah anak jalanan yang sedang berkomunikasi dengan sesama anak jalanan maupun ketika anak jalanan berkomunikasi dengan pihak luar. 3) Ends merujuk pada hasil tuturan, maksud dan tujuan pertuturan. Setiap pertuturan memiliki tujuan dalam penuturannya, begitu juga dengan anak jalanan. Ketika anak jalanan berkomunikasi dengan sesama anak jalanan maupun pihak di luar anak jalanan, mereka memiliki tujuan dan maksud dari tuturannya.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 13
4) Act Sequence mengacu pada bentuk ujaran dan isi ujaran, berkenaan dengan kata yang digunakan, bagaimana penggunaannya, dan hubungan antara apa yang dikatakan dengan topik. 5) Key bertolok pada nada, cara dan semangat di mana suatu pesan disampaikan, contohnya dengan senang hati, dengan serius, dengan singkat, dan dengan sombong. Dalam key, setiap anak jalanan dapat dicermati bagaimana nada ketika berkomunikasi dengan mitra tutur, demikian dapat menjadi patokan perbincangan. 6) Instrumentalities merupakan elemen analasis yang mengacu pada jalur yang dipakai, seperti jalur lisan, tertulis, telegram. Anak jalanan di Kota Surakarta sebagian besar menggunakan bahasa lisan dalam bercakap, baik ke sesama anak jalanan maupun dengan luar pihak. Di lain sisi, tidak semua anak jalanan cakap berbahasa tulis, fakta ini mendorong penggunaan bahasa lisan yang lebih dominan. 7) Norms mengacu pada norma atau aturan bertingkah laku dalam berinteraksi dengan mitra tutur. Interaksi ini akan berkolaborasi dengan tingkah laku maupun gerak-gerik dari anak jalanan yang dapat diinterpretasikan sebagai satu kesatuan berkomunikasi. 8) Genres mengacu pada jenis bentuk penyampaian. Penutur maupun mitra tutur dalam berkomunikasi menggunakan sajian lisan langsung atau tidak langsung. Dalam hal ini juga dipertimbangkan, ketika ada pihak lain yang memengaruhi pertuturan.
Dalam teori Hymes di atas dapat diidentifikasi bahwa
sebuah
percakapan baru dapat dikatakan sebuah peristiwa tutur kalau memenuhi syarat
setting
dan
scene,
participants,
instrumentalities, norms, dan genres.
commit to user
ends,
act
sequance,
key,
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 14
2. Hakikat Register a. Pengertian Register Konsep register berdasarkan perspektif sosiolinguistik pada mulanya, register dipakai oleh kelompok profesi tertentu. Bermula dari adanya usaha orang-orang yang terlibat dalam komunikasi secara cepat, tepat, dan efisien di dalam suatu kelompok kemudian mereka menciptakan ungkapan khusus yang dipakai oleh kelompok mereka sendiri. Setiap anggota kelompok itu beranggapan sudah dapat saling mengetahui karena mereka sama-sama memiliki pengetahuan, pengalaman, dan kepentingan yang sama. Selain karena pengetahuan, pengalaman, dan kepentingan yang sama, juga karena masa pertemuan yang cukup rutin membuat sekelompok orang memiliki objek pembicaraan yang terkadang sama. Dengan kekerapan pertemuan setiap anggota masyarakat bahasa, membuat masyarakat menggunakan dan mengaplikasikan sistem bahasa yang sama. Sistem bahasa tersebutlah yang disebut dengan register. Jadi, dapat dikatakan bahwa intensitas pertemuan mampu mengubah komunikasi lebih intim dan komunikasi tersebut dapat menjadi satu aspek perubahan tuturan yang ada antara satu dengan yang lainnya. Akibat dari interaksi semacam
itu, akhirnya bentuk tuturan
(kebahasaannya) akan menunjukkan ciri-ciri tertentu. Semisal, pengurangan struktur sintaksis dan pembalikan urutan kata yang normal dalam kalimat (Holmes, 1992:27-282). Oleh karenanya, ciri-ciri tuturan (kebahasaan) mereka selain akan mencerminkan identitas kelompok tertentu, juga dapat menggambarkan keadaan apa yang sedang dilakukan oleh kelompok tersebut. Konsep register telah banyak diutarakan oleh para sosiolinguis dengan pemahaman yang berbeda-beda. Dalam penelitian Lewandowski (2010) dinyatakan bahwa register didefinisikan sebagai variasi bahasa berdasarkan pada situasi dan kondisi penutur. Ditambahkan pula, bahwa register akan semakin kuat apabila hubungan tiap anggota tuturan tidak dalam bermasalah. Selain itu, dijelaskan bahwa register akan menjadi satu media perbincangan antaranggota
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 15
kelompok untuk saling mengerti hal tersebut. Hal ini didukung dari pendapat Holmes (1992:276) memahami register dengan konsep yang lebih umum karena disejajarkan dengan konsep ragam (style). Style juga berarti gaya, gaya penggunaan bahasa. Jadi, menurut Holmes (1992), mungkin saja satu komunitas tertentu memiliki ragam dan gaya yang sama, namun ketika dibandingkan dengan gaya atau ragam yang dimiliki komunitas lainnya akan cukup berbeda, dan bahkan berbeda sama sekali. Setiap detail ciri dan kekhasan dari ragam dipaparkan Holmes (1992) juga merupakan ciri dan kekhasan register. Selain pendapat dari Holmes, beberapa sosiolinguis menjelaskan konsep register secara lebih sempit, yakni hanya mengacu pada pemakaian kosakata khusus yang berkaitan dengan kelompok pekerjaan yang berbeda. Karena perbedaan ragam dan register tidak begitu penting maka kebanyakan para sosiolinguis tidak begitu mempermasalahkannya. Selain dikaitkan dengan ragam seperti yang dijelaskan di atas, register pun turut dikaitkan dengan dialek. Dalam pembicaraan tentang register pada umumnya, Chaer (2004) menambahkan, apabila dialek berkenaan dengan masalah bahasa itu digunakan oleh siapa, di mana, dan kapan, maka register berkenaan dengan masalah bahasa itu digunakan untuk kegiatan apa. Seseorang dalam kehidupannya mungkin saja hanya memiliki satu dialek, misalnya masyarakat di daerah Kebumen akan menggunakan dialeknya dalam kehidupannya sehari-hari. Namun, masyarakat tersebut pasti tidak hidup hanya dengan satu register saja. Sebab, dalam kehidupannya sebagai anggota masyarakat, bidang kegiatan yang harus dilakukan pasti lebih dari satu kegiatan. Semisal, seorang ahli bedah yang juga seorang relawan dalam sebuah perang, ia akan terus berkomunikasi dan berinteraksi dengan para ahli bedah lain dengan bahasa dokter. Ketika ahli bedah berkumpul dengan para relawan perang di medan laga, maka ia akan menggunakan bahasa dan kode tertentu dalam berkomunikasi. Ini menunjukkan bahwa ketika si ahli bedah berasal
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 16
dari daerah Madura, meski ia memiliki dan menggunakan logat Madura, dalam berkomunikasi kerja ia tetap memiliki register lebih dari satu bahasa. Variasi bahasa yang berkenaan dengan penggunaanya, pemakaianya, atau fungsinya disebut fungsiolek (Nababan, 1991), ragam, atau register. Secara tidak langsung, Nababan memaparkan bahwa register juga merupakan satu variasi bahasa berdasarkan pada fungsinya. Pendapat tersebut diperkuat dengan pendapat Chaer (2004:69), bahwa variasi bahasa berdasarkan fungsi lazim disebut register. Variasi bahasa pada umumnya dibicarakan berdasarkan bidang penggunaan, gaya, atau tingkat keformalan, dan sarana penggunaan. Wardhaugh (dalam Purnanto, 2002:12), register merupakan variasi bahasa yang digunakan dalam suatu kelompok tertentu atau di dalam suatu komunitas tertentu. Jadi, bertumpu pada pendapat Wardhaugh, pemakaian bahasa oleh sekelompok orang yang ditandai oleh adanya pemilihan kosakatakosakata tertentu sesuai dengan kelompok-kelompok profesi atau sosial tertentu dinamakan sebagai register. Secara tersirat, Wardhaugh memaparkan penggunaan register berada di setiap elemen kelompok masyarakat seperti penggunaan bahasa dalam pasukan pengaman presiden, tentara, polisi, penjahat jalanan, mahasiswa, dosen, ilmuwan dan berbagai golongan masyarakat bahasa, termasuk anak jalanan. Hymes (dalam Purnanto, 2002:19) menyatakan bahwa pemilihan pemakaian register tidak hanya karena adanya situasi tertentu yang menuntut penggunaan register, tetapi pemilihan register juga turut menentukan situasi pemakaiannya. Jika dijabarkan, Hymes menjelaskan peran register mampu menentukan situasi pemakaiannya. Dalam situasi tertentu, register mampu menentukan situasi yang berbeda, tergantung pada tujuan penggunaan dan makna yang terkandung di dalamnya. Di samping ragam, dalam variasi tutur juga terdapat tingkat tutur, variasi bahasa, dan register (Poedjosoedarmo, 2001). Secara umum, register dapat digunakan oleh siapa saja dan dalam bidang yang tidak terbatas. Semisal di
bidang
jurnalistik,
militer,
pertanian,
pelayaran,
perekonomian,
perdagangan bahkan komunitas kecil seperti anak jalanan dalam satu lingkup
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 17
tertentu. Menurut Chaer (2004), variasi bahasa atau register akan sangat tampak pada bidang kosakata. Setiap bidang tertentu mestinya memiliki kosakata khusus dan hanya tertentu saja diketahui. Register secara sederhana dapat dikatakan sebagai variasi bahasa berdasarkan fungsi penggunaannya. Di dalam konsep ini, register tidak terbatas pada pilihan kata saja, tetapi juga termasuk pada pilihan penggunaan struktur teks. Register meliputi seluruh pilihan aspek kebahasaan atau linguistik dan banyak linguis menyebut register sebagai style atau gaya bahasa. Variasi pilihan register tergantung pada konteks dan situasi, antara lain terdiri dari 3 variabel yaitu: field (medan), tenor (pelibat), dan mode (sarana). Ketiganya selalu bekerja secara simultan untuk membentuk konfigurasi makna. Konsep register berkaitan dengan konsep variasi bahasa karena munculnya variasi bahasa sangat dimungkinkan oleh berbagai faktor yang mempengaruhinya. Dalam kaitan ini, Hymes menyatakan bahwa pemilihan pemakaian register tidak hanya karena adanya situasi tertentu yang menuntut penggunaan register, tetapi pemilihan register juga turut menentukan situasi pemakaiannya.
Konsep
Hymes
setidaknya
mengandung
dua
arah
pemahaman, yaitu: (1) munculnya variasi bahasa karena dipengaruhi oleh faktor situasi tertentu dan (2) pemakaian variasi bahasa menyatakan situasi tertentu. Hudson (1996:24) menyatakan bahwa register as varieties according to user sejalan dengan pendapat Spolsky (1998:33) bahwa, register is variety associated with a specific function, register adalah variasi bahasa yang dihubungkan dengan fungsi khusus. Halliday (1978:35) menjelaskan bahwa register adalah bentuk variasi bahasa berdasarkan pada penggunaan bahasa tersebut. Ia juga menjelaskan,
yang sedang dilakukan (keadaan alami aktivitas) dan bentuk pengekspresian yang berbeda pada proses sosial. Jadi, register adalah cara mengungkapkan hal berbeda dan memiliki makna yang berbeda. Halliday juga memberikan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 18
sebuah contoh ekstrim, yakni bahasa yang terbatas dan penggunaan bahasa yang khusus untuk tujuan yang khusus pula. Ibrahim (1995:45) menyatakan bahwa register merupakan salah satu kajian ilmu bahasa kaitannya dengan sosiologi dengan adanya variable status keakraban, peralian keluarga, sikap, dan tujuan tiap anggota kelompok. Register digunakan oleh komunitas tertentu sebagai bentuk keakraban, simbol, dan sikap penggunanya. Penggunaan bahasa cenderung memberikan dampak yang berbeda bagi pendengarnya. Register ini sering digunakan pada suatu komunitas tertentu seperti komunitas penyiar, tukang becak, pedagang, banci bahkan pada komunitas terdidik seperti siswa maupun mahasiswa. Anak jalanan yang biasanya tergabung di dalam suatu komunitas juga menggunakan register di dalam keseharianya. Register tidak hanya digunakan sebagai komunikasi dengan orang satu komunitas tetapi juga di luar komunitas (kelompok anak jalanan lain dan masyarakat umum). Parera (1993:133) mendefinisikan register adalah variasi dalam tutur yang digunakan oleh sekelompok orang tertentu dengan profesi dan perhatian yang sama. Satu register yang khusus dapat dibedakan dengan register yang lain. Register ditentukan oleh pelibat bicara, medan makna yang dicocokkan dengan profesi dan perhatian serta sarana yang digunakan. Dengan kata lain, Parera menjelaskan bahwa register satu kelompok/komunitas akan memiliki pemaknaan, fungsi penggunaan
yang berbeda dengan
register dari
kelompok/komunitas serupa lainnya. Dalam satu komunitas serupa pun memiliki perbedaan, apalagi jika dibandingkan dengan lain profesi dalam komunitas yang berbeda pula. Di lain pihak Ferguson (1994:20) memaparkan bahwa variasi register adalah situasi komunikasi yang terjadi secara teratur dalam masyarakat (dalam hal partisipan, setting, fungsi komunikasi), akan cenderung memunculkan ciri struktur dan penggunaan bahasa yang berbeda dari situasi komunikasi yang lain. Orang yang terlibat dalam stuasi komunikasi secara langsung akan cenderung mengembangkan kosakata, ciri-ciri intonasi yang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 19
sama, dan potongan-potongan kalimat serta fonologi yang mereka gunakan dalam situasi tertentu. Ciri-ciri register yang demikian itu, akan memudahkan komunikasi yang cepat sementara ciri yang lain dapat membina perasaan yang erat (Ferguson dalam Purnanto, 2002:21). Atmahardianto (2012) menyimpulkan dalam skripsinya, bahwa register merupakan ragam bahasa berdasarkan pemakaiannya, yaitu bahasa yang digunakan tergantung pada apa yang sedang dikerjakan dan sifat kegiatannya. Register mencerminkan aspek lain dari tingkat sosial, yaitu proses sosial yang merupakan macam-macam kegiatan sosial yang biasanya melibatkan orang. Register merupakan bentuk makna yang khususnya dihubungkan dengan konteks sosial tertentu, yang di dalamnya banyak kegiatan dan sedikit percakapan, yang kadang-kadang disebut sebagai bahasa tindakan.
b. Kajian Bahasa Register Register terdiri dari beberapa macam. Dipandang dari berbagai sudut pandang yang berbeda, dalam Pateda (1990:65) membagi register menjadi lima macam, yaitu : 1) Oratorical atau frozen yang digunakan oleh pembicara yang profesional sehingga seseorang tertarik dengan pembicaraannya. Register pada jenis oratorical pada umumnya digunakan oleh seorang ahli yang memiliki pendidikan keilmuan. Seperti ahli bedah, dokter, redaktur, manajer, akuntan, politikus, jaksa, dan ahli bidang keilmuan lainnya. Pembicaraan dalam jenis register ini dianggap menarik, karena keilmuan yang diperbincangkan memiliki bobot tersendiri. 2) Deliberate atau formal, ditujukan kepada pendengar untuk memperluas pembicaraan yang disengaja. Pada register formal, setiap perbincangan mengarah pada keadaan yang resmi. Dalam situasi dan keadaan resmi pun beberapa komunikan tetap menggunakan register dalam percakapan situasi resmi. Berbagai motif penggunaan register yang hanya dimengerti sebagian
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 20
kecil ini tidak menjadi masalah, asalkan komunikan merasa lebih nyaman ketika berbincang dengan register. 3) Konsultatif, terdapat dalam transaksi perdagangan ditempat terjadi dialog karena ia membutuhkan persetujuan. Konsultatif adalah register yang cukup berbeda dengan yang lainnya. Register jenis ini lebih bersifat tidak resmi, namun tidak terlalu santai. Akrab dan mengena, namun tidak saling intim. Secara implisit, Pateda memaparkan bahwa dalam perdagangan, ada banyak sekali penggunaan register untuk berbagai keperluan terutama dalam transaksi perdagangan. 4) Casual, untuk menghilangkan rintang-rintangan antara dua orang yang berkomunikasi. Casual dalam hal ini adalah santai dan tidak ada bentuk tertekan karena kebutuhan, atau karena profesi. Namun, jenis register casual ini lebih umum dan dalam kondisi santai. Kondisi antarpenutur tidak terikat pada situasi yang formal maupun ada penghalang. Kondisi santai tidak mengikat tujuan perbincangan yang kukuh. 5) Intimate, digunakan dalam situasi dan suasana kekeluargaan. Pada register jenis ini, register lebih bersifat pada penggunaan intim. Jenis penggunaan register ini lebih intim dan tidak ada penghalang antarkomunikan. Jenis situasi atau kondisi antara lain, kekeluargaan, persahabatan karib, geng karib, dan berbagai bentuk hubungan intim lainnya. Dalam kondisi ini antarpenutur sudah sangat dekat dan tanpa ada halangan. Ada tiga komponen pokok dalam analisis register, yaitu: (1) analisis ciri-ciri linguistik register, (2) analisis ciri-ciri situasional, dan (3) analisis fungsional dan konvensional atau gabungan ciri-ciri linguistik dan situasional (Biber dalam Purnanto, 2002:24) 1) Analisis ciri-ciri linguistik register Ada dua tipe penandaan dalam ciri linguistik register, yaitu penanda register dan ciri linguistik inti (Purnanto, 2002:24). Penanda register merupakan ciri-ciri yang membedakan dan hanya dapat ditemukan dalam register-register tertentu, misalnya dalam kata combo yang artinya bermain musik bersama-sama dalam satu tim secara lengkap
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 21
2) Analisis ciri-ciri situasional register Dalam membentuk ciri situasional register, dalam bahasa komunikasi anak jalanan dilakukan dengan mengacu pada pembentuk makna register yaitu berupa kosakata ataupun ungkapan yang bertumpu pada faktorfaktor utama dan faktor pendukung yang menyebabkan terjadinya register tersebut, dalam konteks situasi yang melatarbelakanginya
3) Analisis fungsional dan konvensional untuk ciri-ciri linguistik situasional. Untuk mendapatkan analisis fungsi dan konvensional, dilakukan pendekatan secara multidimensional. Pemakaian register oleh anak jalanan di Kota Surakarta sangat berkaitan dengan situasi tutur masyarakat. Seperti juga yang banyak terjadi di bidang-bidang yang lain, pemilihan kosakata dalam percakapan komunitas anak jalanan sedikit banyak dipengaruhi oleh faktor sosial, situasional, dan kultural. Bertolak dari hal tersebut maka penggunaan kosakatanya pun akan terpengaruhi atau beralih menjadi bahasa Jawa, sebab masayarakat Surakarta juga merupakan masyarakat diglosik, yang tidak hanya mengggunakan satu bahasa dalam berkomunikasi. Meski penggunaan register terbatas pada lingkup dan komunitas tertentu saja, namun secara garis besar kajian berkenaan dengan register dibahas dalam sosiolinguistik. Sosiolinguistik yang hakekatnya adalah kajian yang berhubungan antara keadaan masyarakat dan kebahasaan yang terkandung di dalamnya. Masyarakat dalam hal ini adalah masyarakat bahasa, yakni seluruh masyarakat yang di dalamnya menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi dan interaksi antarindividu dalam kelompok. Suwito (1982) menyatakan bahwa masyarakat bahasa (speech community) adalah suatu masyarakat atau sekelompok orang yang mempunyai verbal repertoire relatif sama dan mempunyai penilaian sama terhadap norma-norma pemakaian bahasa yang dipergunakan dalam masyarakat itu. Anwar (1990:30) menjelaskan, bahwa yang dimaksud masyarakat bahasa ialah suatu masyarakat yang didasarkan kepada
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 22
penggunaan bahasa tertentu yang menjadi ukuran untuk menunjuk kepada masyarakat itu ialah bahasa yang digunakan oleh para anggota masyarakat itu dalam kehidupan mereka. Masyarakat bahasa bukan hanya kelompok orang yang menggunakan bahasa sama, tetapi sekelompok orang yang juga mempunyai norma sama dalam memakai bentuk-bentuk bahasa. Oleh karena itu, setiap kelompok dalam masyarakat yang karena tempat, umur, jenis kelamin, pekerjaan, dan sebagainya, menggunakan bahasa sama serta mempunyai penilaian sama terhadap norma-norma pemakaian bahasanya dapat membentuk masyarakat tutur atau masyarakat bahasa. Dalam masyarakat bahasa, memungkinkan munculnya komunitas bahasa dan penggunaan bahasa yang hanya dipahami dan dimengerti golongan komunitas tertentu saja. Dengan adanya komunitas yang memahami bahasa tertentu, akan muncul variasi bahasa yang akan menyatukan setiap bahasa dalam komunitas tersebut. Masyarakat bahasa tidak memiliki lingkup yang terbatas, namun bersifat sangat luas dan universal. Tidak melulu pada situasi baku, formal, santai, ataupun intim. Penggunaan bahasa dalam masyarakat bahasa tidak terpaku pada keadaan, situasi, jenis percakapan, namun secara umum. Contoh masyarakat bahasa adalah masyarakat atau komunitas kedokteran, keguruan, kepolitikan, kehukuman dan berbagai bentuk masyarakat yang lainnya.
3. Hakikat Anak Jalanan Anak jalanan digambarkan sebagai kelompok masyarakat dengan tingkat stratifikasi sosial rendah atau merupakan golongan bawah grassroots dengan status sosial serta posisi kekuasaan/wewenang (power/autority) yang tidak jelas. Tidak memiliki banyak akses ke sumber daya serta tidak memiliki kemampuan untuk menjadi subjek (Ritzer dan Godman, 2004). Pernyataan di atas didukung pula oleh pendapat Brick (2001) yang menyatakan bahwa anak jalanan pada intinya adalah anak yang tidak memiliki tempat tinggal yang tetap. Brick menambahkan bahwa situasi
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 23
kehidupan anak jalanan adalah tempat-tempat umum yang jauh dari suasana kekeluargaan pada umumnya. Jumlah anak jalanan di Indonesia ternyata cukup fantastis. Meskipun tersebar di berbagai daerah dengan kuota masing-masing, data yang tercatat pun masih melejit. Berdasarkan data dari Kementerian Sosial Republik Indonesia (2009) jumlah anak terlantar sebanyak 3.488.309, Balita terlantar sebanyak 1.178.824, anak rawan terlantar sebanyak 10.322.674, sementara anak nakal sebanyak 193.155 anak, dan anak cacat sebanyak 367.520 anak. Hal tersebut diperkuat dengan survei mahasiswa dari Unika Atmajaya Jakarta di 12 Kota Besar di Indonesia pada tahun 1999, menyebutkan jumlahnya 39.861 anak (Kementerian Sosial Republik Indonesia, 2009). Berdasarkan data di atas, ternyata jumlah anak jalanan meningkat drastis dibanding tahun 2002. Menurut hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang diselenggarakan dengan kerjasama Badan Pusat Statistik (BPS) dan Pusat Data dan Informasi Kesejahteraan Sosial (Pusdatin Kesos) pada tahun 2002 jumlah anak jalanan sebanyak 94.674 anak (Kementerian Sosial Republik Indonesia, 2009). Menurut
data
Badan
Pemberdayaan
Masyarakat
Perlindungan
Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (Bapermas PP, PA dan KB) Kota Surakarta serta data-data Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) jumlah anak jalanan di Surakarta tak kurang dari ratusan anak. DINSOSNAKERTRANS (Arum, 2010) mencatat jumlah anak jalanan di Kota Surakarta mencapai 648 anak yang terdiri dari anak terlantar, anak nakal, dan anak jalanan tersebar di Solo. Jumlah ini diperkirakan semakin meningkat pada beberapa tahun mendatang. Memang tak sedikit pihak yang melakukan upaya penanganan. Namun sebagian besar upaya tersebut masih bersifat sementara dan insidental. Menurut Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, dijelaskan bahwa anak adalah seseorang yang berusia di bawah 21 tahun dan belum menikah. Lain halnya dengan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dikemukakan bahwa anak adalah
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 24
seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Dalam penelitian register anak jalanan ini, anak didefinisikan sebagai seorang manusia yang masih kecil, berkisar antara 6 16 tahun yang mempunyai ciri-ciri fisik yang masih berkembang dan masih memerlukan dukungan dari lingkungannya. Seperti manusia pada umumnya, anak juga mempunyai berbagai kebutuhan jasmani, rohani, dan sosial. Bermula dan besar di jalanan, anak pun berinteraksi dengan kehidupan jalanan. Pada umumnya, berdasarkan observasi di beberapa titik di Kota Surakarta, anak jalanan ditemani oleh orangtuanya. Pada akhirnya, apabila diawasi saja. Dari pernyataan tersebut, maka anak jalanan didefinisikan sebagai anak yang berumur 4-18 tahun dan memiliki kehidupan di jalanan. Pernyataan tersebut dikuatkan oleh pendapat Kuswarno (2009) bahwa kata jalan menunjukkan suatu tempat di mana mereka melakukan aktivitas kehidupannya dan maknanya positif atau paling tidak netral. Tidak sedikit dari anak jalanan bermula dengan perilaku sederhana dan melakukan tindakan-tindakan yang salah, akhirnya menyebar ke dalam segi kehidupan yang lainnya. Mereka yang pada mulanya hanya untuk mencari uang, kemudian menjadi satu mata pencaharian dan hobi bersama. Hal ini didukung dari penelitian Saludung (2002) yang menyatakan bahwa mereka yang mengemis karena sangat miskin, dorongan kebutuhan makanan dan biaya pendidikan anak. Dari penelitian Saludung, tergambar betapa mirisnya kehidupan anak jalanan, karena keadaan ekonomi keluarga yang mendorong mereka untuk berada di jalan sedangkan itu bukan pilihan bagi mereka. Dengan keberadaan mereka di jalan, anak jalanan akan semakin rusak oleh lingkungan yang membentuk mereka, hal ini seperti yang dinyatakan Izzudin (dalam Kuswarno 2009:98) berhasil mengungkap bahwa anak jalanan jarang tersentuh oleh peraturan, baik peraturan adat maupun peraturan pemerintah. Semakin anak jalanan tidak tersentuh peraturan adat maupun pemerintah, mereka akan semakin liar dan mengisolasi diri sendiri.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 25
Pernyataan ini didukung pendapat dari Faturrokhman (2000) yang berhasil mengungkapkan karakteristik dari anak jalanan di alun-alun Kota Bandung. Salah satunya adalah, anak jalanan itu tidak tersentuh oleh norma-norma yang berlaku dalam masyarakat sehingga menjadikan mereka subetnis dalam masyarakat. Oleh karena itu mereka dapat mengembangkan bahasa mereka sendiri. Pengertian children on the street (anak jalanan) menurut Suhartanto (2008) adalah anak-anak yang mempunyai kegiatan ekonomi di jalanan yang masih memiliki hubungan dengan keluarga. Ada dua kelompok anak jalanan dalam kategori ini. Pertama, anak-anak yang tinggal bersama orangtuanya dan senantiasa pulang ke rumah setiap hari. Kedua, anak yang melakukan kegiatan ekonomi dan tinggal di jalanan namun masih mempertahankan hubungan dengan keluarga dengan cara pulang baik berkala ataupun dengan jadwal yang tidak rutin. Anak jalanan adalah anak-anak yang menghabiskan seluruh atau sebagian besar waktunya di jalanan dan tidak memiliki hubungan atau memutuskan hubungan dengan orangtua atau keluarganya. Anak yang seharusnya bermain dan bersekolah terpaksa harus bekerja keras mencari rizki di jalanan. Kehidupan jalanan yang begitu keras berpengaruh besar terhadap perkembangan mereka baik perkembangan fisik, sosial maupun psikologis. Kehidupan mereka begitu rentan terhadap kekerasan, eksploitasi, pelecehan seksual, bahkan kriminalitas. Selaras dengan pernyataan Kuswarno (2009), kehidupan di jalanan adalah kehidupan yang keras dan mereka bertahan dan berjuang pada kehidupan kerasnya jalanan, bahkan sebagian dari mereka menyebutkan bahwa tindakan mereka adalah bekerja. Suhartanto (2008) menjelaskan bahwa anak jalanan dengan keunikan kerangka budayanya, memiliki tindak komunikasi yang berbeda dengan anak yang normal. Komunikasi intrabudaya anak jalanan dapat menjelaskan tentang proses, pola, perilaku, gaya, dan bahasa yang digunakan oleh mereka. Aspek-aspek tersebut tampak manakala berkomunikasi dengan sesama,
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 26
keluarga, petugas keamanan dan ketertiban, pengurus rumah singgah, dan lembaga pemerintah. Anak jalanan yang sudah terbiasa dalam lingkungan rumah singgah dan
berbeda dalam hal ini salah satunya adalah penggunaan bahasa. Perilaku komunikasi dengan bahasa tertentu biasanya berlangsung secara dominan dengan orang-orang di sekitar jalanan. Keadaan yang memaksa anak jalanan untuk tidak bersekolah sangatlah merugikan bagi anak jalanan itu sendiri. Selain gagal bersosialisasi dengan lingkungan yang lebih luas, anak jalanan terkesan mengisolasi diri dan lebih tertutup. Dengan keadaan yang memaksa mereka melakukan penyendirian, maka tidak ayal mereka akan memiliki kecirian dan kekhasan yang tidak ditemui pada motorik halus anak seusianya. Termasuk dalam kekhasan yang dimiliki anak jalanan adalah bahasa yang dimilikinya. Bahasa anak jalanan terkesan keras dan kasar jika diperdengarkan pada anak umumnya. Hal ini merupakan sebuah sistem yang sudah terintegrasi pada diri anak jalanan. Anak jalanan tidak mengerti bahasa maupun intonasinya yang kasar atau lebih tepatnya dianggap kasar oleh masyarakat. Menurut kelompok ini, bahasa yang mereka gunakan sah-sah saja dan tidak ada kekeliruan di dalamnya. Selain penggunaan bahasa dan intonasi berbeda, mereka kadang kala menciptkan bahasa sendiri. Bahasa yang hanya dimengerti oleh satu komunitas saja dan diterapkan pula oleh satu komunitas tersebut, inilah yang disebut register. Dari hasil kajian pustaka berkenaan dengan anak jalanan, dapat dikomparasikan dengan penelitian Kuswarno (2009) yang menyebutkan bahwa sisi perilaku pengemis dapa diketahui bahwa pada umumnya komunikasi sesama pengemis menggunakan bahasa daerah asal mereka. Kuswarno menambahkan dalam hasil kajian temuannya, ketika anak jalanan berada di
tempat
tinggal mereka, hampir semua hidup berkelompok dengan sesama mereka yang berasal dari daerahnya.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 27
Tabel 1. Contoh bahasa yang digunakan sesama pengemis (Kuswarno, 2009) Ngobrol dengan sesama
Frekuensi
Persentase
a. Bahasa Indonesia
8
33,3
b. Bahasa Daerah masing-masing
16
66,7
Jumlah
24
100
Dari tabel di atas, terlihat dari 24 anak jalanan, menggunakan bahasa daerah disaat mengobrol dengan sesama anak jalanan. Frekuensi dari penggunaan bahasa Jawa adalah dua per tiga dari keseluruhan sampel penelitian.
Tabel 2. Contoh bahasa yang digunakan pengemis dengan calon dermawan (Kuswarno, 2009) Frekuensi
Persentase
a. Bahasa Indonesia
16
66,7
b. Bahasa Daerah masing-masing
6
25,0
c.
2
8,3
24
100
Jumlah
Dari kedua tabel di atas, terlihat perbedaan penggunaan bahasa oleh anak jalanan. Ketika anak jalanan berada dalam komunitasnya, mereka lebih nyaman menggunakan bahasa daerah, karena dengan penggunaan bahasa daerah, calon dermawan belum pasti memahami percakapan tersebut. Sedangkan, untuk mendapatkan perhatian dari calon dermawannya, mereka menggunakan bahasa Indonesia. Bahasa tersebut dianggap lebih universal. Dengan begitu, terlihat jelas fungsi bahasa telah dipahami sebagai tujuan dan penggunaannya oleh anak jalanan. Semakin terlihat, bahwa anak jalanan merupakan anggota masyarakat bahasa yang penting untuk diteliti.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 28
B. Kerangka Berpikir Register merupakan bahasa yang digunakan oleh sekelompok orang yang bahasanya memiliki keunikan dan kekhasan tersendiri. Keunikan dan kekhasan itu terlihat pada penggunaan kosakata, kalimat pada situasi, dan kondisi mereka. Setiap kelompok atau komunitas memiliki register sendiri seperti pada anak jalanan dan tentunya penggunaan register tersebut juga memiliki tujuan atau maksud tertentu. Register yang nampak di komunitas anak jalanan di Kota Surakarta akan dipetakan melalui penelitian ini. Setiap register yang muncul akan didata dan dianalisis. Berdasarkan pada kerangka berpikir yang dirancang, menunjukkan bahwa setiap register yang muncul dalam pergaulan anak jalanan sangat beragam dan di antaranya karena kedekatan antaranak jalanan dalam komunitas. Kemungkinan munculnya register dalam komunitas anak jalanan sebagai masyarakat bahasa adalah kesamaan dan frekuensi kesibukan bersama. Dengan frekuensi yang tinggi, maka register yang diciptakan akan semakin kuat sehingga bahasa tersebut hanya dimengerti komunitas itu saja. Dengan pola yang demikian nantinya akan dibuat analisis hasil penelitian tetang register yang dipakai oleh anak jalanan di Kota Surakarta. Setiap bahasa yang ada dalam anak jalanan perlu untuk dianalisis, karena nyatanya register yang ada dalam pergaulan mereka memiliki kandungan makna yang berbeda dengan penggunaan keseharian masyarakat pada umumnya. Analisis data penggunaan register anak jalanan menggunakan teori speaking milik Hymes (dalam Bell, 1976:79). Penemuan yang ada dalam penelitian ini tidak berhenti pada analisis speaking saja, namun akan ada pembahasan pada dua rumusan masalah yang dipaparkan sebelumnya. Pertama membahas mengenai karakteristik bahasa register anak jalanan Kota Surakarta. Pada pembahasan ini, akan ditemukan beberapa karakteristik yang sama dari setiap fenomena munculnya register anak jalanan di Kota Surakarta. Di samping mengutarakan adanya karakteristik dari setiap bahasa yang muncul dari kalangan anak jalanan, juga perlu ditemukan adanya tujuan dari
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 29
penggunaan register di kalangan anak jalanan di Kota Surakarta. Setiap register yang dipakai anak jalanan akan dipaparkan keberfungsiannya dan tujuan dipakainya register tersebut. Dalam penelitian ini akan dipaparkan pula makna yang tersirat dari register tersebut serta penutur, keadaan situasi dan kondisi percakapan, serta berbagai aspek lain. Lebih jelasnya, alur/kerangka berpikir penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1 berikut.
Sosiolinguistik : Register
Kesibukan bersama yang tidak berkaitan dengan Profesi
Timbul karena aktivitas dan profesi sosial yang sama
Bahasa register anak jalanan di Kota Surakarta
Tujuan penggunaan bahasa register pada anak jalanan Anak Jalanan Kota Surakarta
Karakteristik bahasa register anak jalanan Kota Surakarta
Gambar 1. Kerangka Berpikir
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 30
BAB III METODE PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian Register anak jalanan Kota Surakarta dikaji dengan sosiolinguistik. Menurut Holmes (1992) sosiolinguistik mempelajari hubungan antara bahasa dan keadaan sosial. Holmes juga berpendapat, bahwa sosiolingustik mempelajari alasan masyarakat bahasa yang berbicara dengan cara yang berbeda. Kajian sosiolinguistik membantu penyimak bahasa untuk memahami suatu bahasa dengan konteks sosial yang menyelimutinya. Tingkatan sosial seseorang yang berbeda mempersulit mitranya untuk memahami suatu interaksi, sedangkan lapisan masyarakat di Indonesia sangat beragam. Bertumpu dari alasan tersebut, perlu adanya kajian sosiolinguistik untuk membantu penyelesaian masalah interaksi antaranggota masyarakat. Dijelaskan pula oleh Kridalaksana (1993:181) yang menyatakan bahwa sosiolinguistik adalah cabang ilmu linguistik yang mempelajari hubungan saling pengaruh antara perilaku bahasa dan perilaku sosial. Pemaknaan yang lebih luas adalah linguistik mampu memengaruhi keadaan sosial suatu masyarakat. Sedangkan ada timbal balik, bahwa keadaan sosial masyarakat juga memengaruhi bahasa yang digunakan. Dengan begitu, dapat disimpulkan bahwa penelitian ini akan mengkaji keilmuan di bidang bahasa masyarakat anak jalanan kota Ssurakarta. Setiap bahasa anak jalanan akan digali informasi penggunaan registernya. Konsep anak jalanan adalah setiap anak yang berada di jalanan untuk berbagai kegiatan yang dilakukannya. Kegiatan anak jalanan tidak terpusat pada kegiatan ekonomi saja, namun juga kegiatan sosial seperti nongkrong. Anak jalanan tidak dipilah menurut profesinya, namun dipilah berdasar pada keberadaan anak jalanan di lingkungan masyarakat Surakarta. Didukung pula dari penelitian Brick (2001) yang menyatakan bahwa anak jalanan pada intinya adalah anak yang tidak memiliki tempat tinggal yang tetap. Brick menambahkan bahwa situasi
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 31
kehidupan anak jalanan adalah tempat-tempat umum yang jauh dari suasana kekeluargaan pada umumnya. Penelitian ini bersifat kualitatif dengan menggunakan register anak jalanan sebagai kajian utamanya, sehingga penelitian ini perlu menggunakan tempat khusus dalam penelitiannya. Selain observasi di sepanjang jalan, penelitian ini juga melakukan wawancara dengan narasumber atau informan yang dibutuhkan dalam mendukung penelitian. Bahan observasi atau objek kajian ini adalah register pada anak jalanan. Tempat penelitian di Kota Surakarta yang meliputi Kecamatan Jebres, Kecamatan Serengan, dan Kecamatan Banjarsari. Dengan lokasi yang rinci, yakni: (1) Pasar Ledoksari, (2) Teras Panggung Motor Yamaha, (3) Pusat Pembinaan Anak Jalanan dan Orang Pinggiran (PPAP) Seroja, (4) Stasiun Kereta Api Jebres, (5) Lampu Lalu Lintas Perempatan Bank Indonesia, (6) Terminal Tirtonadi, (7) Perempatan Jimbaran Radio, (8) Stasiun Kereta Api Balapan, (9) Kecamatan Serengan. Pada setiap titik lokasi penelitian tidak dibatasi waktu penelitian. Secara umum, kegiatan penelitian terdiri dari survei dan observasi lokasi penelitian dan keberadaan anak jalanan. Survei meliputi pemilihan tempat yang dituju dan peninjauan jumlah anak jalanan, sedangkan observasi meliputi pengambilan data tentang anak jalanan seperti tempat tinggal, usia, jenis kelamin, dan status pernikahan. Kegiatan selanjutnya adalah melakukan pendekatan komunikatif dengan anak jalanan maupun komunitasnya. Agar berterima di lokasi penelitian dan tidak dianggap pengganggu, maka perlu adanya pendekatan khusus untuk berteman dengan mereka. Setelah adanya hubungan interpersonal antara peneliti dan anak jalanan, maka selanjutnya adalah persiapan sarana dan prasarana yang dibutuhkan. Anak jalanan diberikan ruang gerak untuk mengembangkan bahasa yang dimilikinya
untuk
bercakap-cakap
dengan
lingkungan
sekitarnya
tanpa
terpengaruh keadaan dan kondisi peneliti. Seluruh sarana dan prasrana yang disiapkan, akan menjadi fasilitas dalam pengumpulan data, analisis data, verifikasi data, dan penulisan laporan penelitian. Dari serangkaian kegiatan penelitian tersebut, diharapkan mampu terselesaikan dalam kurun waktu satu tahun.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 32
Penelitian ini dilaksanakan pada Juli 2012
Desember 2012. Sesuai dengan
karakter penelitian kualitatif, waktu dan kegiatan penelitian bersifat fleksibel. Adapun rincian waktu kegiatan penelitian dapat dilihat pada Gambar 2. di bawah ini.
Gambar 2. Rincian Waktu dan Jenis Kegiatan Penelitian No
Waktu
Juli
Agustus September
Oktober November Desember
7.
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 Kegiatan Penelitian Penyusunan X X Proposal Survei dan X X X X observasi awal Identifikasi X XX Lokasi Penelitian Identifikasi XX Informan Persiapan dan X X penyusunan Instrumen Pengumpulan X X X XX X X X data Reduksi data X X X X X
8.
Display data
9.
Verivikasi data
10.
Penarikan Simpulan Penulisan Laporan Penelitian
1. 2. 3.
4. 5.
6.
11.
X X X XX X X X X XX X X X XX X X X
B. Bentuk dan Strategi Penelitian Penelitian ini merupakan kualitatif deskriptif. Hal ini disesuaikan dengan rumusan masalah penelitian yang sudah ditetapkan. Dalam penelitian ini
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 33
informasi yang bersifat kualitatif dideskripsikan secara teliti dan analitis. Pendeskripsian meliputi mencatat dan meneliti register anak jalanan. Stategi penelitian yakni studi kasus. Studi kasus adalah sebuah metode penelitian yang secara khusus menyelidiki fenomena kontemporer yang terdapat dalam konteks kehidupan nyata. Studi kasus dilakukan melalui observasi, peneliti menjadi partisipan pasif dan sebisa mungkin tidak diketahui keberadaannya oleh anak jalanan. Hal ini disebabkan, kondisi anak jalanan yang lebih sensitif dan agresif. Oleh karena itu, data diperlukan seobjektif mungkin dengan keadaan natural anak jalanan. Kemudian melakukan wawancara dengan dengan teknik sadap, teknik simak (baik dengan teknik simak libat cakap maupun teknik simak bebas libat cakap), teknik rekam dan teknik catat. Wawancara yang dilakukan meliputi wawancara individual, wawancara kelompok, dan wawancara kepada informan utama baik anak jalanan, masyarakat terdekat maupun pakar bahasa.
C. Data dan Sumber Data 1. Data Data atau informasi penting yang dikumpulkan dan dikaji dalam penelitian ini berupa data kualitatif. Data penelitian ini diperoleh melalui hasil menyimak percakapan dan wawancara register anak jalanan. Data ini bersifat kualitatif dan akan disajikan dengan kata-kata dan kalimat. Dalam penelitian ini, informasi yang bersifat evaluatif kualitatif dideskripsikan secara teliti dan analitis. Pendeskripsian meliputi mencatat dan meneliti hasil observasi dan wawancara. Register yang ditemukan dalam percakapan antaranak jalanan maupun anak jalanan ketika ditanya berkenaan dengan kosakata yang dipakai dalam kesehariannya. Data berupa kata maupun frasa yang merupakan register. Data ini dianalisis dan didiskripsikan dalam bentuk kalimat maupun deskripsi singkat. Peneliti juga menggambarkan bentuk percakapan, situasi, dan atribut informasi dalam pengambilan data.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 34
2. Sumber Data Sumber data penelitian ini adalah : a. Peristiwa Sumber data yang utama dalam penelitian ini adalah peristiwa tutur anak jalanan berada di jalan, saat sedang mengamen, saat sedang mengobrol dengan sesama anak jalanan, saat anak jalanan diwawancarai. Secara umum, kegiatan mereka berpusat di Pasar Ledoksari, perempatan Panggung, Stasiun Jebres, Pasar Jebres, dan Terminal Tertonadi. b. Informan Anak jalanan di Surakarta dengan rentang usia 4-18 tahun. Masyararakat anak jalanan di Surakarta, meliputi pengamen, pengemis, penjual koran, dan anak-anak jalanan lainnya yang pekerjaannya hanya nongkrong di pinggir jalan ataupun beraktivitas lainnya. D. Teknik Sampling Populasi dari penelitian ini adalah anak jalanan di Kota Surakarta. Kota Surakarta membawahi lima kecamatan, antara lain Kecamatan Serengan, Kecamatan Banjarsari, Kecamatan Jebres, Kecamatan Pasar Kliwon, dan Kecamatan Laweyan. Dalam penelitian register anak jalanan di Kota Surakarta dilakukan
pengambilan
sampling
dengan
purposive
sampling.
Teknik
pengambilan sampling dengan metode ini adalah pengambilan cuplikan data dengan maksud dan tujuan tertentu. Pengambilan sample anak jalanan tertuju pada anak jalanan wilayah Kecamatan Serengan, Kecamatan Banjarsari, dan Kecamatan Jebres. Ketiga kecamatan tersebut dipilih karena tujuan tertentu. Tujuan yang pertama adalah keberanekaragaman dari anak jalanan di tiga wilayah tersebut. Selain itu, Kecamatan Jebres dan Kecamatan Banjarsari adalah wilayah yang strategis untuk dilewati kendaraan umum. Selain itu tujuan pengambilan sample di tiga wilayah tersebut adalah moblitas anak jalanan yang sama di tiga wilayah tersebut. Dari hasil pengamatan penelitian, anak jalanan di satu kecamatan selalu berpindah dari satu kecamatan ke kecamatan yang lain. Jadi, pengambilan sample di tiga wilayah tersebut diharapkan mampu mewakili populasi.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 35
E. Teknik Pengumpulan Data Keadaaan anak jalanan yang sebagian dari mereka tidak memiliki rumah permanen dan psikomotor yang sensitif dan agresif memerlukan teknik tersendiri untuk mengumpulkan data. Teknik yang dilakukan dalam mengumpulkan data meliputi beberapa teknik, antara lain : 1. Observasi Langsung Observasi adalah catatan lapangan, hasil pengamantan visual, yang menjelaskan momen-momen dan nilai-nilai rutinitas dan problematik kehidupan setiap individu yang terlibat di dalam penelitian. Lebih sering menjadi pelengkap metode lain, tidak berdiri sendiri. Kegiatan observasi harus dicatat serinci mungkin, secara deskriptif, bukan interpretatif. Dengan teknik observasi ini, peneliti ikut terjun langsung melihat kegiatan anak jalanan. Terjun ke lapangan dengan melihat kondisi dan situasi keadaan masyarakat. Observasi dilakukan dengan mengamati keadaan sosial, tempat, pelaku, dan kejadian/peristiwa. 2. Wawancara Menurut Stokkink (1997), wawancara bertujuan memberikan
fakta,
alasan, atau opini untuk sebuah topik tertentu dengan menggunakan kata-kata narasumber sehingga pendengar dapat membuat satu kesimpulan atau keabsahan data. Selain itu, wawancara merupakan tanya jawab dengan seseorang yang diperlukan untuk dimintai keterangan atau pendapatnya mengenai suatu hal untuk dimuat dalam surat kabar (KBBI). Wawancara dilakukan dengan teknik sadap, teknik simak (baik dengan teknik simak libat cakap maupun teknik simak bebas libat cakap), teknik rekam dan teknik catat. Wawancara ini meliputi wawancara individual, wawancara kelompok, dan wawancara kepada informan utama maupun seluruh anak jalanan. 3. Pencatatan Pencatatan dilakukan sambil memberi tanda pada kalimat-kalimat atau kata-kata dalam percakapan yang mengandung register. Selain itu, pencatatan tidak serta merta mencatat di antara anak jalanan. Mengingat psikis anak jalanan yang berbeda dengan anak pada umumnya, tentu memerlukan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 36
pendekatan ekstra pula. Tidak semudah ketika bertemu dengan anak pada umumnya. Pada pencatatan, setiap data perlu dicatat di media ala kadarnya. Pada kenyataannya, peneliti pernah menulis data di kulit tangan ataupun kulit kaki. Hal itu dilakukan untuk tidak mengurangi kepercayaan anak jalanan dan membuat agar serangkaian percakapan tetap berjalan natural. Selain mencatat di lokasi penelitian, peneliti juga menulis dan mencatat kembali di rekam data peneliti. Hasil catatan tersebut dikomparasikan dengan ingatan dan diperbaiki apabila ada kesalahan. Pencatatan setelah sudah direvisi, diketik dan dimasukkan dalam data penelitian. Pencatatan data penelitian tidak saja pada register saja, namun seluruh penggunaan bahasa pada masyarakat bahasa, khususnya anak jalanan di Surakarta.
F. Validitas Data Data yang terkumpul diperiksa keabsahannya. Oleh karena itu, untuk mengusahakan terjadinya validitas data yang diperoleh dilakukan triangulasi. Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang dimanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu. Dalam penelitian ini digunakan triangulasi metode dan triangulasi sumber. Triangulasi metode adalah mengecek kebenaran data dari beberapa sumber yang berbeda dengan menggunakan beberapa metode. Triangulasi metode merupakan proses penyokongan dan penguatan bukti terhadap temuan, analisis, dan interpretasi data yang telah dilakukan peneliti. Pada triangulasi data jenis ini digunakan metode ganda untuk mengkaji masalah atau program tunggal, seperti wawancara, pengamatan, daftar wawancara terstruktur, dan dokumen. Triangulasi sumber adalah proses penguatan dan pembuktian temuan dengan melakukan klarifikasi dengan berbagai sumber yang berbeda dalam satu komunitas yang sama. Temuan dalam penelitian ini dicek pada anak jalanan lain, sehingga temuan tersebut memiliki makna yang sama dari setiap anak jalanan . Peneliti bisa memperoleh data dari narasumber (manusia) yang berbeda posisinya dengan teknik wawancara yang mendalam sehingga informasi dari narasumber
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 37
yang satu bisa dibandingkan dengan narasumber lainnya. Triangulasi metode mengecek kebenaran data berdasarkan perspektif metode yang berbeda. Dari beberapa perspektif tersebut akan diperoleh pandangan yang lebih lengkap, tidak hanya sepihak sehingga bisa dianalisis dan ditarik kesimpulan yang lebih utuh dan menyeluruh. Dalam triangulasi data penelitian analisis register anak jalanan di Kota Surakarta, narasumber merupakan anak jalanan. Untuk mencapai hal tersebut, metode yang dipergunakan adalah metode triangulasi, yaitu metode yang menggunakan beberapa sumber data untuk mencapai konvergensi data sehingga mencapai data yang valid (Golafshani, 2003). Triangulasi yang dilakukan pada penelitian ini adalah wawancara dan observasi. Penggunaan metode wawancara pada pengambilan data ini adalah wawancara dengan anak jalanan, selain itu juga wawancara dengan keluarga anak jalanan, wawancara dengan pihak-pihak yang sering bertemu dengan anak jalanan seperti guru luar sekolah. Metode observasi dilakukan ketika peneliti ingin mendapatkan hasil yang natural dan tidak ada unsur yang didesain sebelumnya, baik dari pihak anak jalanan maupun dari peneliti.
G. Teknik Analisis Data Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah model analisis interaktif (interactive model of analysis). Analisis model interaktif ini merupakan interaksi dari empat komponen, yaitu: pengumpulan data, reduksi data, penyajian data (display data), dan penarikan simpulan (verifikasi). Dari hasil analisis tersebut ditemukan kaidah-kaidah yang berkaitan dengan bentuk-bentuk register dan karakteristik bahasa anak jalanan. Adapun langkah-langkah analisis interaktif adalah sebagai berikut: 1. Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan mencari data register melalui wawancara anak jalanan kemudian mencatatnya. Selain melakukan wawancara dengan anak jalanan, juga dilakukan observasi di lokasi penelitian. Selain itu, juga bertanya pada beberapa pihak yang memahami keadaan dan kondisi anak jalanan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 38
Pengumpulan data juga merekam hasil wawancara dengan nara sumber lain yaitu pakar bahasa. Selain itu, juga dilakukan observasi (partisipan pasif). Peneliti dalam penelitian ini berada di sekitar anak jalanan yang kemudian ditulis dan dicatat apabila terdapat kalimat dan kata baru, yang sekiranya hanya dimiliki oleh sebagian anak jalanan tersebut. Keberadaan peneliti di lingkungan penelitian tidak mempengaruhi keadaan dan situasi dari anak jalanan, hal ini dilakukan untuk tidak mengurangi keabsahan data yang dikumpulkan. 2. Reduksi Data Teknik ini mengambil langkah yang berupa pencatatan data yang diperoleh dari hasil observasi. Dalam pencatatan tersebut dilakukan seleksi, pemfokusan dan penyederhanaan data, data mana yang akan diambil. Proses ini berlangsung sampai laporan ini selesai ditulis. Seluruh data yang didapatkan di lapangan,
ditranskripsikan
dalam
bentuk
teks.
Setelah
semua
data
ditranskripsikan, maka setiap percakapan yang tidak mengandung register akan dihapus dan dijadikan lampiran saja. Data yang merupakan kata-kata register akan dipakai akan dihitamkan dalam kartu data yang digunakan. Reduksi data, pada intinya melihat dan mencermati transkrip pecakapan maupun pembicaraan anak jalanan. Setelah dicermati dengan seksama, setiap kosakata yang tidak memiliki perbedaan arti dalam kamus akan dikurangi dan tidak dipakai. Pada percakapan yang dimaksudkan dilanjutkan dengan mencermati kosakata yang dipakai. 3. Penyajian Data Melalui sajian data, data yang telah terkumpul dikelompokkan dalam beberapa bagian dengan jenis permasalahannya supaya mudah dilihat dan dimengerti, sehingga mudah dianalisis. Dalam penyajian data, dibuat kartu informasi atau sering pula disebut kartu data. Dalam setiap kartu terdapat kata kunci dari percakapan. Kata kunci, yakni register yang menjadi data utama. Selanjutnya dikonfirmasikan pada pihak terkait. Setelah seluruh kata sudah masuk dalam konteks dan kalimat percakapan, maka data segera diurutkan berdasarkan pengambilan data awal sampai terakhir.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 39
Dimasukkan pula, identitas anak jalanan yang mengutarakan kalimat tersebut, spesifikasi umur, tempat pengambilan rekaman, waktu pengambilan data, serta deskripsi lokasi pengambilan data. Ini merupakan langkah untuk mengurangi subjektivitas, pengurangan kesalahan deskripsi dan analisis data. Setiap kata atau frasa mendapatkan satu bagian analisis dan kartu data. Dari setiap kartu data, dilanjutkan dengan pencermatan dan satu register dideskripsikan dalam satu poin yang kemudian dijabarkan secara luas. Setelah data terkumpul kemudian dianalisis dengan mengelompokkan menurut kelompoknya masing-masing. Pertama, data ditulis dalam bentuk transkrip dialog maupun monolog. Setelah data tersaji dalam bentuk dialog, peneliti menandai kata yang masuk dalam register. Selanjutnya, peneliti menganalisis kata atau frasa tersebut dengan teori dari Hymes (dalam Bell, 1976:79) dengan teori speaking (setting and scene, participants, ends, act, key, instrumentalities, norms, dan genres.) Teori Hymes merupakan satu teori yang lebih kompleks dibandingkan teori lainnya. Salah satunya teori dari Conrad dan Biber (2000: 47). Biber dan Conrad menganalisis register berdasarkan tiga langkah, yaitu: (1) mendeskripsikan situasi penggunaan register; (2) menganalisis karakteristik linguistik dari register tersebut; dan (3) mengidentifikasi fungsi dan tujuan untuk membantu menjelaskan penggunaan bahasa tersebut. Setelah data tersebut dianalisis, maka ditarik simpulan dalam setiap kata tersebut dan dikonsultasikan pada pakar bahasa yang memahami dan mengerti pemaknaan dalam bahasa tersebut. Data yang sudah terkumpul pada akhirnya akan ditarik simpulan berkenaan dengan kepemilikan makna karakter yang baik dari dalamnya. 4. Penarikan Simpulan Proses ini merupakan penarikan simpulan dari data yang sudah diperoleh sejak awal penelitian. Penelitian di sini masih bersifat terbuka jadi simpulannya masih bersifat sementara dan tidak menutup kemungkinan akan muncul kesimpulan berikutnya secara eksplisit dan berlandaskan kuat. Simpulan dalam penelitian ini menunjukkan hasil dari analisis register pada anak jalanan di Kota Surakarta. Setiap hasil penelitian, dijabarkan dalam
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 40
deskripsi singkat untuk menunjukkan penggunaan dan tujuan register. Namun tentu saja, tidak semua bahasa yang dimiliki dapat terkover dalam bentuk deskripsi lengkap. Dalam penelitian ini, belum semua register anak jalanan di Kota Surakarta dapat terangkum. Keempat komponen di atas saling menjalin dan dilakukan secara terus-menerus di dalam proses mengumpulkan data. Adapun visualisasi proses analisis tersebut dapat dilihat pada Gambar. 3 di bawah ini.
Pengumpulan Data
Display Data
Reduksi Data
Penarikan simpulan
Gambar 3. Analisis Interaktif (Miles & Huberman, 1992:23)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Lokasi Lokasi penelitian register anak jalanan ini adalah Kota Surakarta yang memiliki jumlah anak jalanan yang relatif tinggi. DINASKERTRANS mencatat jumlah anak jalanan di Kota Surakarta mencapai 648 anak yang terdiri dari anak terlantar, anak nakal, dan anak jalanan tersebar di Surakarta. Kota Surakarta terdiri dari lima kecamatan yakni Kecamatan Banjarsari, Kecamatan Jebres, Kecamatan Pasar Kliwon, Kecamatan Serengan, dan Kecamatan Laweyan. Secara spesifik lokasi pengambilan data diambil di tiga titik penelitian, yakni Kecamatan Jebres, Kecamatan Banjarsari, dan Kecamatan Serengan. Pengambilan lokasi penelitian tersebut dikarenakan intensitas mobilitas anak jalanan di daerah tersebut yang tinggi, keterjangkauan wilayah penelitian, dan kondisi sosial anak jalanan di tiga kecamatan tersebut beraneka ragam. Ketiga faktor utama di atas dianggap mampu mewakili keberagaman utama anak jalanan di Kota Surakarta yang terdiri dari lima kecamatan di Kota Surakarta. Kota Surakarta yang dikenal sebagai Kota Solo, juga merupakan sebuah dataran rendah yang terletak di cekungan lereng pegunungan Lawu dan pegunungan Merapi dengan ketinggian sekitar 92 m di atas permukaan air laut. Dengan luas sekitar 44 Km 2, Kota Surakarta terletak di
oleh 3 (tiga) buah sungai besar, yaitu : sungai Bengawan Solo, Kali Jenes, dan Kali Pepe. Kota Surakarta terbagi dalam lima wilayah kecamatan yang meliputi 51 kelurahan. Batas wilayah Kota Surakarta sebelah utara adalah Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten Boyolali. Batas wilayah sebelah timur adalah Kabupaten Sukoharjo dan Kabupaten Karanganyar, batas wilayah sebelah barat adalah Kabupaten Sukoharjo dan Kabupaten Karanganyar, sedangkan batas wilayah sebelah selatan adalah Kabupaten Sukoharjo. Kota Surakarta merupakan pusat Karesidenan Surakarta. Disamping itu, Kota Surakarta merupakan kota yang terkenal dengan kota dagang. Sebagai kota
commit to user 41
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 42
dagang, perekonomian di Kota Surakarta tergolong baik, dilihat dari kondisi masyarakat, keramaian jalanan, dan mobilitas masyarakatnya. Sebagai pusat karesidenan, Kota Surakarta memiliki dua stasiun kereta api, terminal bus yang besar, dan beberapa pasar tradisional. Beberapa pasar tersebut antara lain : Pasar Gedhe, Pasar Klewer, Pasar Slompretan, Pasar Legi, Pasar Kliwon, Pasar Ledoksari, Pusat Grosir Solo, dan pasar modern seperti mall, market, perbelanjaan, pengembangan usaha batik, dan toko-toko besar. Pernyataan di atas ditegaskan dalam pernyataan Samroni, dkk (2010) bahwa sampai saat ini, kehidupan ekonomi masyarakat Surakarta dapat dikatakan lancar dan maju. Termasuk sebagai komoditas utama masyarakat Surakarta adalah berdagang. Salah satu ciri dagang yang paling menonjol dari kegiatan masyarakat Surakarta adalah banyaknya pasar di kota ini. Pasar yang paling penting dan paling besar di Kota Solo adalah Pasar Gedhe. Dijelaskan pula, bahwa Pasar Gedhe berada ditengah-tengah kampung Pecinan, atau kampung orang-orang keturunan Cina. Selain Kota Surakarta yang terkenal dengan kota dagang, kota ini juga memiliki banyak tempat wisata yang tergolong menjanjikan untuk menjadi lokasi anak jalanan untuk mencari nafkah. Lokasi-lokasi tersebut seperti kompleks Sriwedari, kompleks Stadion Manahan, kompleks Taman Balekambang, Alun-alun Keraton, dan Pasar Klewer. Lokasi tersebut di atas menjadi daya tarik untuk anak jalanan karena ramai dikunjungi warga. Kompleks Sriwedari terdiri dari taman hiburan rakyat, selain itu di pinggiran Sriwedari juga dijadikan wisata pejalan kaki. Setiap trotoar dihiasi tumbuhan menjalar yang meneduhkan jalan. Selain itu juga disediakan kursi untuk duduk-duduk santai, sehingga tidak urung banyak yang singgah di lokasi tersebut. Seperti halnya kompleks Sriwedari, kompleks Manahan pun juga dipenuhi oleh tumbuhan peneduh, banyak pula kursi-kursi yang disediakan untuk yang hendak singgah. Lokasi tersebut menjadi satu lokasi yang memungkinkan dipakai anak jalanan untuk mencari nafkah, karena lokasi ini pula menjadi tempat anak muda di Kota Surakarta untuk jalan-jalan santai, olah raga ringan, olah raga berat, dan berbagai kegiatan lainnya. Sedangkan Alun-alun Keraton Solo juga
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 43
merupakan satu lokasi yang ramai dikunjungi oleh warga, lokasi ini menjadi satu daya tarik untuk anak jalanan. Dari gambaran umum Kota Surakarta di atas, dijelaskan secara terinci lokasi penelitian dari pengambilan data register anak jalanan di Kota Surakarta. Pengambilan data terkhusus diadakan di Kecamatan Jebres, Kecamatam Banjarsari, dan Kecamatan Serengan. Masing-masing kecamatan memiliki titik perkumpulan anak jalanan yang paling ramai. Dalam penelitian ini titik perkumpulannya antara lain, Pasar Ledoksari, Hotel Asia Panggung, PPAP Seroja, Stasiun Jebres, Perempatan Bank Indonesia, dan Perempatan Panggung Motor. Dari setiap lokasi tersebut dijabarkan di bawah ini. 1. Kecamatan Jebres Kecamatan Jebres merupakan satu kecamatan di Kota Surakarta yang di sebelah timur berbatasan langsung dengan Kabupaten Karanganyar. Kecamatan Jebres sebagai daerah perbatasan yang tingkat penduduk marginalnya cukup tinggi, dapat dijadikan salah satu objek penelitian sosiolinguistik yang tepat. Selain itu, di beberapa lokasi sering terlihat anak jalanan yang berlalu-lalang. Kecamatan Jebres memiliki jangkauan yang cukup merata dan luas. Spesifikasi lokasi penelitian yaitu sekitar Pasar Ledoksari, lampu lalu lintas Perempatan Panggung, Teras Panggung Motor Yamaha, sekitar Hotel Asia Panggung, PPAP Seroja, Stasiun Kereta Api Jebres, dan lampu lalu lintas Perempatan Bank Indonesia. a. Pasar Ledoksari Pasar Ledoksari berada di 30 meter arah selatan dari Stasiun Kereta Api Jebres, Surakarta. Berdasarkan survei, lokasi tersebut menjadi satu wilayah yang cukup strategis sebagai tempat tinggal anak jalanan, berupa teras kios pasar. Beberapa anak jalanan tinggal bersama orangtuanya dan beberapa yang lain tinggal sendiri. Kondisi dan situasi di Pasar Ledoksari cukup sesuai dengan kondisi psikologis anak jalanan yang bebas. Oleh karena itu, Pasar Ledoksari menjadi salah satu lokasi penelitian.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 44
Pasar Ledoksari, selain menjadi tempat tinggal anak jalanan juga tidak menggeser fungsi utama pasar sebagai tempat transaksi jual beli. Hasil survei di lapangan, ketika pasar sudah mulai aktif, kegiatan anak jalanan pun berubah. Pada pagi hari anak jalanan mulai beraktivitas di jalanan dan meninggalkan Pasar Ledoksari. b. Lampu Lalu Lintas Perempatan Panggung Lampu lalu lintas (traffic light) daerah Panggung Motor (Yamaha) menjadi satu lokasi penelitian, karena di lokasi tersebut sering ditemui anak jalanan yang cukup banyak. Anak jalanan yang berada di daerah ini usianya sangat bervariatif. Lokasi tersebut menjadi tempat beroperasi anak jalanan untuk mengamen, menjual koran, mengemis, dan sebagian hanya lontang-lantung di sepanjang trotoar. Jumlah anak jalanan yang cukup banyak di daerah tersebut menjadi alasan pengambilan lokasi penelitian. Dengan tingginya intensitas bertemunya anak jalanan satu dengan yang lainnya, maka semakin tinggi pula interaksi komunikasi anak jalanan. Komunikasi tersebutlah yang menjadi sumber penelitian sosiolinguistik, dengan pengambilan lokasi tersebut kajian sumber penelitian akan semakin luas. Lokasi ini menjadi lokasi pencarian nafkah bagi anak jalanan, sebagian besar dari mereka bekerja (mengamen, jual koran, dan meminta-minta), naik bus, mengelap kaca ketika hujan, dan lainnya. Sebagian anak jalanan sewaktu lampu sedang berwarna hijau, mereka berinteraksi, berkomunikasi seperti halnya teman akrab. c. Teras Panggung Motor Yamaha Teras Panggung Motor (Yamaha) merupakan sebuah tempat penjualan motor (showroom) yang di depannya terdapat teras yang cukup luas untuk peristirahatan dan duduk santai, terutama untuk anak jalanan. Panggung Motor berada di selatan jalan utama, perempatan lampu lalu lintas perempatan Panggung. Perempatan Panggung Motor berada di jalur bus utama menuju Terminal Tirtonadi, dari arah Surabaya, Tawangmangu (Kabupaten
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 45
Karanganyar), Sragen, Madiun, dan Ngawi. Oleh karena itu, perempatan Panggung menjadi kawasan fleksibel bagi anak jalanan untuk mengamen dari bus ke bus, sebagai tempat transisi anak jalanan dari bus satu ke bus yang lainnya. Maka dari itu, lokasi Panggung Motor memiliki anak jalanan terbanyak dari pada lokasi lainnya. Beberapa anak jalanan memanfaatkan teras panggung motor Yamaha sebagai tempat transisi pada pagi, siang, dan sore hari. Karena lokasi tersebut milik Panggung Motor, sehingga pada pagi, siang dan sore hari, anak jalanan tidak beraktivitas di sana. Pada malam hari, teras panggung motor dimanfaatkan oleh anak jalanan untuk bersinggah, tidur, duduk santai, dan beberapa kegiatan lain, terlepas dari mengamen di tugu lampu lalu lintas. Lebih dari 15 anak jalanan berinteraksi di daerah tersebut pada waktu maghrib sampai dini hari. Dengan interaksi yang cukup lama dalam satu waktu, maka dapat didapatkan data kajian yang berkualitas. d. PPAP Seroja Pusat Pembinaan anak jalanan dan Orang Pinggiran Seroja (PPAP) Seroja, yang bertempat di Jalan Petoran, Belakang Asia Motor, Jebres Surakarta. Di PPAP Seroja anak jalanan dibelajarkan mengenai membaca, menulis, berhitung, dan berkarya. Beberapa anak jalanan yang mengikuti program ini rata-rata berusia setara SD dan SMP. Di sana, anak jalanan berinteraksi dengan anak jalanan lainnya dan kaum marginal di daerah Surakarta. Di lokasi ini dapat ditemukan lebih dari 20 anak jalanan berbagai usia dan berbagai karakter yang bersedia belajar bersama. PPAP Seroja adalah sebuah lembaga swadaya masyarakat yang bergerak dalam bidang pendidikan dan sosial. Lembaga pendidikan bagi anak jalanan dan masyarakat marginal yang dalamnya terdapat guru yang alim dan bermoral. Dengan ajaran dan pembelajaran dari seorang yang alim, anak jalanan diharapkan memiliki karakter yang lebih baik. Kegiatan pembelajaran diadakan di sebuah rumah singgah di Jalan Pentoran dan mendapatkan
pembelajaran
membaca,
pembelajaran moral, dan keagamaan.
commit to user
menulis,
dan
berhitung,
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 46
e. Stasiun Kereta Api Jebres Stasiun kereta api Jebres berada di Kecamatan Jebres, Surakarta. Stasiun Jebres sering kali menjadi tempat berkumpulnya anak jalanan untuk mengamen. Selain itu, tempat ini menjadi tempat transisi anak jalanan untuk mengamen di dalam kereta. Lokasi penelitian ini lebih didominasi anak jalanan yang berusia dewasa dan sebagian besar dari luar kota. Lokasi ini tidak menjadi salah satu lokasi penelitian, karena anak jalanan berjaga jarak dengan masyarakat sekitar serta aktivitasnya lebih sering bernyanyi, menghafalkan lirik lagu dan bermusik. f. Lampu Lalu Lintas Perempatan Bank Indonesia Perempatan lampu lalu lintas di selatan Balaikota Surakarta menjadi satu objek penelitian karena di lokasi tersebut sering kali ditemukan anak jalanan yang sering berlalu-lalang mengamen dan menjual koran. Lokasi lampu lalu lintas perempatan Bank Indonesia hanya memiliki trotoar yang menjadi lokasi tempat duduk dan istirahat anak jalanan di daerah tersebut. Di tempat ini aktivitas sebagian anak jalanan adalah mengamen, menjual koran, mengemis, dan lontang lantung. Beberapa anak jalanan berinteraksi ketika lampu lalu lintas sedang berwarna hijau. Mereka berbicara satu dengan yang lainnya, bercanda dan sering kali membahas mengenai topik yang menjadi hobi anak jalanan. Lokasi penelitian ini dianggap strategis karena lebih dari enam anak jalanan berinteraksi dan berkomunikasi di tempat ini. Lokasi ini ramai saat siang hari dan sore hari, namun pada malam hari tidak, karena lokasi tersebut tidak memiliki tempat beristirahat. 2. Kecamatan Banjarsari Kecamatan Banjarsari merupakan kecamatan yang luas, dari Terminal Tirtonadi, Stasiun Kereta Api Balapan, dan perempatan Jimbaran Radio. a. Terminal Tirtonadi Terminal Tirtonadi merupakan terminal terbesar di Kota Surakarta. Terminal Tirtonadi terletak di Kecamatan Banjarsari, Kota Surakarta.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 47
Terminal Tirtonadi menjadi tempat pertemuan dan berkumpulnya anak jalanan di salah satu sudut Kota Surakarta dan Manahan. Di lokasi penelitian ini, sering kali anak jalanan turun dan berpindah dari bus satu ke bus yang lain. Kondisi lokasi penelitian ini cukup ramai dan semrawut, sesuai dengan kondisi psikis anak jalanan. Oleh karena itu, lokasi ini menjadi lokasi penelitian, namun intensitasnya tidak begitu tinggi, karena anak jalanan bersikap agresif dan berani. Dengan pola mobilitas yang tinggi dan bebas, anak jalanan sering berkumpul dan berinteraksi satu dengan yang lainnya. Di terminal Tirtonadi dapat ditemui anak jalanan dari berbagai usia. Mobilitas yang tinggi dapat dilihat dari anak jalanan yang dengan bebas menaiki bus untuk mengamen. Anak jalanan dibebaskan biaya transportasi oleh supir. Aktivitas lain dari anak jalanan juga tampak di kawasan ini seperti duduk dan beristirahat di depan terminal, di kursi depan terminal, taman depan terminal, atau bahkan sering duduk di trotoar depan terminal. b. Stasiun Kereta Api Balapan Stasiun Kereta Api Balapan berada di Kecamatan Banjarsari, Kota Surakarta. Letak Stasiun Kereta Api berada di 100 meter barat RRI Surakarta. Stasiun ini merupakan stasiun terbesar di Kota Surakarta. Mobilitas anak jalanan di sini sangat singkat, karena kebanyakan dari mereka tidak diperkenankan masuk kereta. Dalam stasiun Kereta Api Balapan, anak jalanan dan anak pinggiran biasanya duduk di teras stasiun, di tempat parkir dan di rel kereta yang sepi. Anak jalanan memiliki jam operasi yang singkat di lokasi ini, oleh karenanya lokasi ini tidak menjadi lokasi utama pengambilan data. Anak jalanan di lokasi ini hanya melakukan transisi dari satu kereta ke kereta lain, atau bahkan seringkali tidur di kereta api yang tidak beroperasi. c. Perempatan Jimbaran Radio Lampu lalu lintas (traffic light) daerah Jimbaran Radio menjadi satu lokasi penelitian, karena di lokasi tersebut sering ditemui anak jalanan yang cukup banyak. Lokasi tersebut menjadi tempat beroperasi anak jalanan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 48
seperti mengamen, menjual koran, mengemis, dan beberapa hanya lontanglantung di sepanjang trotoar. Jimbaran Radio berada 100 meter sebelum Stasiun Kereta Api Balapan. Jumlah anak jalanan mencapai 5-6 anak jalanan, hal tersebut menjadi alasan pengambilan lokasi penelitian. Dengan bertemunya anak jalanan, komunikasi tersebutlah yang menjadi sumber penelitian sosiolinguistik. Pengambilan lokasi perempatan radio Jimbaran tersebut menjadi kajian sumber penelitian.
3. Kecamatan Serengan Kecamatan Serengan berada di pusat kota, sebagian anak jalanan merupakan komunitas punk yang berada di jalanan dan menghabiskan waktunya di jalan. Perempatan Jalan Slamet Riyadi. Anak jalanan di lokasi ini hanya menjual koran dan ketika hujan mengelap kaca mobil. Mereka terbiasa nongkrong dan duduk di tepi jalanan tanpa beraktivitas yang lainnya. Lokasi ini berada di 50 meter timur Hotel Diamond, Perempatan Jalan Slamet Riyadi satu arah. Jumlah anak jalanan yang beroperasi di daerah ini berkisar 3 atau 4 anak jalanan.
Berdasarkan deskripsi tempat di atas dapat diketahui bahwa anak jalanan memilih tempat yang strategis untuk mengamen, mengemis, menjual koran atau hanya sekedar lontang-lantung di jalan. Tempat strategis di sini adalah tempattempat yang dikunjungi atau tempat yang menjadi pusat aktivitas masyarakat, seperti pasar, terminal, stasiun, dan lampu merah.
B. Karakteristik Subjek Penelitian Anak jalanan adalah anak yang menghabiskan banyak waktunya di jalan. Kehidupan jalanan yang keras dan bebas akan membentuk karakteristik pada dirinya. Anak jalanan di daerah Surakarta memiliki ciri yang hampir sama di setiap daerahnya. Hal ini dipertegas dari penelitian Saludung (2002), bahwa anak jalanan tidak bekerja, sakit, dan cacat. Mengemis setiap hari dari pagi sampai sore dan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 49
malam di berbagai tempat di Makassar, caranya duduk, jalan, berpindah-pindah, menggunakan bayi, mendatangi mobil di lampu merah. 1. Anak Jalanan Daerah Kecamatan Jebres a. Dalam pergaulan dan berkehidupan sehari-hari anak jalanan sebagian besar menggunakan bahasa Jawa, bahasa Indonesia, dan sedikit dalam bahasa Inggris (stop, you, fuck, swear). b. Anak jalanan di daerah Kecamatan Jebres memiliki keanekaragaman usia, karakteristik alat musik, dan beberapa ciri fisik seperti menggunakan tindik di telinga, baju kumal, celana setinggi 3/4, dan rambut yang tidak tertata atau bahkan di tata berantakan. Namun, secara umum tidak ditemukan satu gaya sama yang dimiliki anak jalanan. c. Anak jalanan di kecamatan ini tersebar di Perempatan Panggung, Perempatan Balaikota, Teras Panggung Motor, Pasar Ledoksari, dan di Stasiun Jebres Surakarta. d. Sebagian besar anak jalanan menggunakan bahasa Indonesia dalam situasi formal, seperti bersekolah di PPAP Seroja, namun dalam pergaulan seharihari tidak. Mereka cenderung menggunakan ragam santai, ragam akrab, atau ragam intim. e. Usia anak jalanan sangat variatif. Beberapa anak jalanan berkisar 4 tahun. Anak jalanan berusia 4 tahun masih bersama orangtuanya ketika berkegiatan di jalanan. Namun orang tua anak jalanan hanya mengawasi dari kejauhan. f. Anak jalanan berusia 10 tahun biasanya berkumpul dengan anak jalanan seusianya, mereka lebih sering terlihat bercanda dan tertawa satu dengan yang lainnya. Anak jalanan dalam usia 10 tahun, tidak lagi di antar orang tuanya g. Anak jalanan yang berusia berkisar dari 15 tahun ke atas sering kali terlihat menggerombol dan berkumpul dengan seusianya. Anak jalanan seusia ini tidak mudah bersosialisasi dengan masyarakat umum. Mereka terkesan mengisolasi diri dan tidak peduli terhadap masyarakat. Namun, ketika
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 50
masyarakat mulai melakukan hal yang mencurigakan, mereka akan mengawasi dengan seksama. h. Anak jalanan di Jebres, Surakarta paling variatif dari kecamatan lain. Mereka tidur dan menganggap Pasar Ledoksai sebagai tempat tinggal dan pulang. Sebagian tidur di teras toko, dan berkegiatan di jalanan. i. Anak jalanan di Kecamatan Jebres tidak bersekolah di sekolah formal, namun sebagian kecil anak jalanan bersekolah di pendidikan informal yang dikelola oleh LSM PPAP Seroja. 2. Anak Jalanan Daerah Kecamatan Banjarsari a. Anak jalanan di wilayah Banjarsari memiliki gaya yang sama, namun ada pula yang memiliki karakter berbeda. Karakter tersebut dapat dilihat dari cara berpakaian dan alat musik yang dimainkan. Cara berpakaian yang paling menonjol berbeda adalah anak jalananan yang sudah mulai mengenakan kacamata fantasi, rantai yang mengalung di dompet, dan mengenakan sepatu (tidak lagi sandal). b. Alat musik yang dimainkan di daerah ini seperti halnya di daerah lain, namun cenderung satu dengan yang lainnya sama, dalam memainkan alat musik, anak jalanan di kecamatan ini menggunakan alat yang sama. c. Anak jalanan di Kecamatan Banjarsari berada di daerah Terminal Tirtonadi dan Perempatan Radio Jimbaran. Jika dispesifikkan, anak jalanan di daerah Terminal Tirtonadi berada di kawasan belakang terminal, di taman depan terminal, dan di perkampungan di sekitar Terminal Tirtonadi. d. Anak jalanan tidur di tempat yang ia sebut rumah dan ia merasa nyaman berada di tempat tersebut. Seperti emper toko, taman depan Terminal Tirtonadi, dan kursi kosong di beberapa daerah sedekatnya. e. Anak jalanan di daerah ini menggunakan bahasa Jawa sebagai komunikasi utamanya. Penggunaan bahasa Jawa dipakai sebagai sarana berbincang satu dengan yang lainnya, namun ketika anak jalanan mengamen di bus, menggunakan lagu berbahasa Indonesia. f. Tidak ada spesifikasi perbedaan model percakapan antara satu orang dengan yang lainnya. Antara yang lebih muda dan yang lebih tua, tidak
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 51
memiliki perbedaan pemilihan diksi yang aneh atau menarik. Selain tidak ada diksi yang spesial dipakai, tidak ada gradasi penggunaan bahasa ketika dengan orang yang lebih tua atau dengan yang lebih muda. g. Rerata usia anak jalanan di daerah kecamatan Banjarsari, berkisar antara 14 sampai 20 tahun, dan keseluruhan anak jalanan bercampur dalam satu wilayah yang sama, tidak saling memisah. Namun, dalam keseharian satu sama lain, saling menjaga diri dalam bergaul. h. Anak jalanan di daerah ini, nantinya akan berpindah dari satu bis ke bis yang lain, jadi dimungkinkan interaksi sangat sedikit. Selain itu, secara umum anak jalanan yang berpindah dari satu bis ke bis yang lain tampak lebih rapi, karena sebagian besar lahan pekerjaan mereka di dalam bis. 3. Anak Jalanan Daerah Kecamatan Serengan a.
Kawasan Kecamatan Serengan lebih tepatnya berada di Barat Solo Grand Mall, Jalan Slamet Riyadi, Surakarta.
b.
Anak jalanan menggunakan bahasa Jawa sebagai komunikasi utamanya, dan bahasa Indonesia ketika berkomunikasi dengan orang yang lalu lalang.
c.
Penggunaan bahasa Jawa relatif lebih tinggi daripada penggunaan bahasa Indonesia atau bahasa lainnya. Anak jalanan sering bersuara dengan lantang dan tanpa beban. Bahasa Jawa yang digunakan adalah bahasa Jawa ngoko tanpa mengindahkan norma dan peraturan dalam bahasa Jawa.
d.
Tidak ada yang merasa terganggu dengan sikap satu dengan yang lainnya, kegiatan berjalan kompak dan bekerja sama dalam mencari uang.
e.
Setiap anak jalanan tidur di tempat yang dirasa nyaman, seperti halte dan teras sekolah, namun ketika di pagi hari, mereka berpindah.
f.
Pada siang hari beberapa anak jalanan menjual koran, mengamen dan meminta-minta di daerah Kecamatan Serengan.
g.
Usia anak jalanan relatif sama, berkisar antara 16-18 tahun dan karakter yang hampir sama.
h.
Karakter anak jalanan hampir sama, menggunakan sepatu yang serupa, gelap. Anak jalanan juga menggunakan model rambut yang serupa, punk.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 52
Beberapa anak jalanan menggunakan tindik yang sama, dan pada tempat yang hampir sama, khususnya di bagian telinga
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa karakteristik anak jalanan di Kota Surakarta sebagian besar menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa komunikasi sehari-hari. Usia anak jalanan bervariasi. Namun, dapat dikatakan bahwa anak jalanan yang umur balita dan anak-anak masih didampingi orang tua sedangkan usia remaja dan dewasa lebih sering sendiri dalam melakukan aktivitasnya. Anak jalanan memiliki karakteristik fisik yang lusuh, tidak terawat, dan acak-acakan. Gaya hidup yang miliki dapat dikatakan bebas seperti tidur di jalan atau pasar.
C. Deskripsi Hasil Penelitian Register merupakan bahasa yang digunakan oleh komunitas masyarakat tertentu. Bahasa yang hanya dapat dipahami oleh komunitas di dalamnya, seperti register anak jalanan di Kota Surakarta. Berikut ini akan dipaparkan temuan register pada anak jalanan di kota Surakarta. 1. Deskripsi Register Anak Jalanan di Kota Surakarta Analisis makna dilakukan untuk mengetahui makna kata atau kalimat sesuai dengan konteksnya. Analisis pada peristiwa tutur anak jalanan di Kota Surakarta didasarkan pada (a) setting and scene (keadaan), (b) participants (pihak yang terlibat dalam pertuturan), (c) ends (maksud dan tujuan pertuturan), (d) act (nada, cara dan semangat di mana suatu pesan disampaikan), (e) key (bentuk ujaran dan isi ujaran), (f) instrumentalities (pada jalur yang dipakai), (g) norms (norma atau aturan dalam berinteraksi), dan (h) genres (jenis bentuk penyampaian). a. Kata klimis
berantakan
Kata klimis arti sesuai dengan kamus adalah rapi dan mengilap, sedangkan dalam register kata klimis memiliki arti antonimnya yakni
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 53
berantakan dan tidak rapi. Kata klimis dapat ditemukan pada perbincangan anak jalanan seperti pada kutipan di bawah ini. Anak jalanan 1 Anak jalanan 2 Anak jalanan 1
Anak jalanan 2
Anak jalanan 1 Anak jalanan 2
: Arep mblayang nangdi kowe Le? Mau pergi kemana kamu? : Ngapa! melainkan penegasan) :Arep mblayang nangdi kowe ki? Nganti ujudmu Klimis1, kaya bar disetlika wae! Mau pergi kemana kamu? Sampai-sampai kelihatan rapi banget, seperti habis disetlika saja (Anak jalanan 1 bermaksud untuk menyindir penampilan anak jalanan 2 yang kusut dan tidak rapi) : diancuk! Ki arep ngalor kono golek pangan! Titip po? Who mau ke warung makan, cari makanan! Mau titip? : Ra duwe det aku. Tidak punya uang aku! : Oke, aku dhisik ya! aku duluan ya
Peristiwa tutur ini terjadi pada Sabtu, 27 Oktober 2012; pukul 20.00 WIB, tugu traffic-light Panggung dekat Asia Motor, Jebres, Surakarta. Keadaan sekitar sangat ramai oleh anak jalanan yang sedang bermain gitar dan bernyanyi. Beberapa mobil berlalu-lalang, dan keadaan jalan sangat ramai kendaraan. Ketika anak jalanan saling mengejek, anak jalanan 1 tertawa terbahak-bahak. Dalam peristiwa tersebut terdapat empat anak jalanan yang masing-masing terlihat memiliki jenjang usia yang berbedabeda. Empat anak jalanan tersebut antara lain anak jalanan 1 dan 4 dengan usia ± 10 tahun; anak jalanan 2 dan 3 berusia ± 7 tahun. Partisipan pada peristiwa tutur ini adalah dua anak jalanan aktif sebagai pembicara aktif, dan dua anak jalanan sebagai partisipan pasif. Dua anak sebagai partisipan pasif hanya tertawa terbahak-bahak. Dengan adanya dua partisipan pasif, membuktikan bahwa dua anak jalanan tersebut paham dengan komunikasi antara satu dengan yang lainnya. Register yang ada di dalamnya merupakan bukti, bahwa antaranak jalanan ada saling kesepahaman makna bahasa yang diutarakan satu dengan yang lainnya.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 54
Selain kesepahaman makna, ternyata perbedaan umur anak jalanan tidak berpengaruh pada ragam bahasa yang dipakai oleh anak jalanan. Anak jalanan tidak mengenal adanya gradasi diksi dengan siapa mereka berbicara dan tidak ada perilaku yang berbeda ketika berbicara dengan orang yang lebih tua. Setelah diamati lebih lanjut, dan ditanyakan pada ibu salah satu anak jalanan, ternyata anak jalanan sejak kecil tidak diajarkan cara bertutur dengan orang yang lebih tua, bagaimana mengaplikasikan undha-usuk basa dengan lawan tutur. Dari konteks di atas, dapat ditarik simpulan berkenaan dengan tujuan percakapan dengan penggunaan register klimis adalah untuk menunjukkan muka yang rapi seperti baju. Klimis dalam bahasa jawa berarti alus sarta gilap , atau halus dan mengkilap . Penggunaan register dalam konteks di atas, menyatakan bahwa orang tersebut berpenampilan menarik. Tujuan penggunaan kata klimis untuk mengejek anak jalanan 2, bahwa anak jalanan 2 berpenampilan sangat kucel dan tidak rapi. Dengan demikian topik pembicaraan dalam konteks ini adalah penampilan seorang anak jalanan yang kumal dan kurang terawatt yang akan pergi ke suatu tempat. Anak jalanan tersebut berbicara tentang penampilan yang seharusnya bisa lebih rapi. Anak jalanan 1 mengejek dan menertawakan anak jalanan 2. Setelah dilakukan perbandingan makna kata klimis pada anak jalanan dengan komunitas di luar itu, terjadi pergeseran makna. Kata klimis dalam penelitian ini berarti berantakan, sedangkan bagi mahasiswa UNS, kata klimis digunakan untuk barang-barang seperti rambut, baju, atau sepatu. Barang-barang yang klimis tersebut berarti barang-barang tersebut berada dalam kondisi yang baik, rapi, dan indah. Sedangkan klimis pada anak anak jalanan berarti berantakan, tidak rapi, dan tidak sedap dipandang mata. Bertumpu dari hasil analisis di atas, ternyata anak jalanan pun juga menggunakan perlawanan makna untuk mengejek dan mengingatkan seseorang. Secara tidak langsung, anak jalanan dalam percakapan ini menggunakan gaya bahasa sindiran, atau sering disebut majas ironi. Dalam
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 55
majas ironi, seseorang dikatakan baik kadang kala, fakta adalah hal yang
antonim, yakni berantakan dan tidak rapi. Jadi diisyarakatkan oleh salah satu anak jalanan, bahwa lawan tuturnya tidak rapi atau berantakan. Nada bicara pada anak jalanan 1 ketika menyebutkan penampilan anak jalanan 2 dengan nada mengejek. Sambil tertawa terbahak-bahak dan melirik anak jalanan 2. Nada bicara anak jalanan 2 ketika menanggapi anak jalanan 1 dengan nada memelas dan sedikit marah bercanda. Tapi dari pembicaran tidak ada kesan marah dan nilai rasa kasar. Keduanya terkesan berada di ragam akrab dan intim dalam bertutur, jadi benar-benar mengurangi esensi rasa marahnya. Anak jalanan 1
: Arep mblayang nangdi kowe Le? Mau pergi kemana kamu? (nada bertanya dengan mimik garang)?
( Peristiwa tutur yang terjadi pada anak jalanan tersebut terkesan ragam santai dan akrab. Seakan satu dengan yang lain saling bersahabat dekat. Percakapan tersebut terjadi di tugu traffic-light di perempatan Panggung, dan percakapan terjadi secara langsung antara pembicara ssatu dengan yang lain. Percakapan tersebut tanpa menggunakan media tulis ataupun media yang lainnya. Meskipun anak jalanan berada di pinggir traffic light, di antara mereka seakan-akan tidak bising dengan lalu lalang mobil dan motor di sekitar mereka. Dengan lokasi di pinggir jalan utama, tentunya partisipan percakapan tersebut adalah semuanya anak jalanan. Tidak ada partisipan dari luar anak jalanan. Oleh karena itu, peristiwa tutur tersebut tidak menggunakan norma ataupun aturan percakapan baik secara normatif maupun secara peradaban. Antara satu anak jalanan dengan yang lain, berbicara dengan apa adanya tanpa beban dan aturan yang membakukan percakapan. Ketika salah satu anak jalanan mengucapkan kata diancuk sebagai bentuk umpatan, tidak ada anak jalanan lain yang mengingatkan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 56
atau menegur, hal ini berarti ucapan dan percakapan tiap anak jalanan tidak memiliki aturan norma yang merangkulnya. Hal tersebut membuktikan bahwa komunikasi anak jalanan berjalan dengan santai dan akrab, tanpa ada aturan yang mengikat. Jenis bentuk penyampaian percakapan dengan narasi dan saling mengejek satu dengan yang lain, tanpa adanya kalimat yang memiliki ciri penyampaian seperti pantun, puisi, dan lainnya tidak ada. Dari analisis di atas, maka kata klimis masuk ke dalam kriteria register. Selain itu setelah dilakukan komparasi penggunaan register klimis pada anak jalanan dan pada masyarakat secara umum yang diwakili oleh mahasiswa di Surakarta, ditemukan perbedaan makna. Klimis menurut sesama anak jalanan berarti berantakan dan tidak rapi, sedangkan menurut masyarakat secara umum berarti rapi dan enak dipandang mata. b. Kata ngalor
pergi ke warung makan
Kata berikutnya yang ditemukan pada percakapan anak jalanan adalah kata ngalor. Ngalor dengan kata dasar lor yang artinya utara memiliki arti yang berbeda dalam register anak jalanan. Dalam konteks ini, ngalor memiliki arti pergi ke warung makan, dapat dilihat dari konteks di bawah ini. Sedangkan ngalor dalam percakapan umum masyarakat bahasa berarti pergi ke arah utara dari posisi awal. Anak jalanan 1:Arep mblayang nangdi kowe ki? Nganti ujudmu Klimis, kaya bar disetlika wae! Mau pergi kemana kamu? Sampai-sampai kelihatan rapi banget, seperti habis disetlika saja Anak jalanan 2: Ngalor kono golek pangan! Titip po? Who ke warung makan, cari makanan! Kamu mau nitip? Anak jalanan 1: Ra duwe det aku. ak punya uang aku! Anak jalanan 2 : Oke, aku dhisik ya! aku duluan ya
Peristiwa tutur ini terjadi pada Sabtu, 27 Oktober 2012; pukul 20.00 WIB, tugu traffic-light Panggung dekat Asia Motor, Jebres, Surakarta. Keadaan sekitar sangat ramai oleh anak jalanan yang sedang bermain gitar dan bernyanyi. Beberapa mobil berlalu-lalang, dan keadaan jalan sangat
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 57
ramai kendaraan. Ketika anak jalanan saling mengejek, anak jalanan 1 tertawa terbahak-bahak. Kata register yang kedua (ngalor) diambil ketika satu anak jalanan berjalan menjauh dari komunitas dan pergi ke satu arah, dan anak yang lain bertanya. Dalam keseharian masyarakat, apabila mengucapkan kata ngalor yang di benak pertama kali adalah pergi ke suatu tempat di arah utara, namun ketika melihat gerak-gerik anak jalanan yang menuju ke arah barat, pernyataan tadi ditangguhkan. Seperti halnya pada register yang pertama, terdapat dua partisipan aktif dan dua partisipan pasif. Partisipan aktif yaitu anak jalanan 1 dan anak jalanan 2, sedangkan partisipan pasif dua anak jalanan 3, dan 4. Anak jalanan 1 dan 2 sebagai pemain utama yang saling berbincang satu dengan yang lain, sedangkan anak jalanan 3 sebagai pendukung, penyemangat dan tertawa sebagai partisipan pasif. Dari empat partisipan di atas, setiap anak jalanan meski memiliki umur yang tidak sama ternyata juga tidak menerapkan undha usuk basa maupun mengubah ragam bahasanya. Anak jalanan dalam peristiwa tutur ini tidak menggunakan ragam bahasa khusus maupun menggunakan status sosial sebagai penggunaan ragam kebahasaannya. Namun, ragam bahasa yang digunakan adalah ragam bahasa santai atau intim dan bahasa Jawa yang dominan digunakan adalah bahasa Jawa Ngoko. Tujuan dan maksud peristiwa tutur terutama pada percakapan ketika seorang anak jalanan pergi menjauh dan menggunakan kata (ngalor) adalah sebagai jawaban dari pertanyaan anak jalanan 1 kepada anak jalanan 2. Jadi tujuan penggunaan kata register ngalor sekadar bentuk jawaban pertanyaan. Anak jalanan 1 bertanya pada anak jalanan 2, anak jalanan 2 hendak pergi ke mana ia. Kemudian anak jalanan 2 menjawab ngalor yang artinya menuju kiblat arah utara (lor) atau menuju ke arah utara. Sedangkan ketika diamati, anak jalanan itu pergi ke warung makan, seperti pada percakapan berikutnya anak jalanan 2 bertanya pada anak jalanan
titip po?
ikut pesan sesuatu, yang menunjukkan kepergiannya ke warung makan. Ketika diamati, setelah anak itu pergi, ia pergi arah barat (menuju SMP
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 58
Kristen 4 Surakarta).
Penggunaan kata-kata seperti kepergiannya,
kemudian setiap pertanyaan dijawab sesuai dengan pertanyaannya, sesuai dengan proporsi kebahasaan. Dalam percakapan dan konteks di atas, yang menjadi titik poin adalah kata ngalor yang berarti pergi ke warung makan, sehingga pemilihan topik pembicaraannya adalah kepergian seorang anak
jalanan dari tempat berkumpulnya dan makan malam (mencari makanan) ke arah barat (SMP Kristen 4 Surakarta). Setelah dilakukan triangulasi data pada anak jalanan yang berbeda, ternyata munculnya kata register ngalor dari lokasi tempat makan yang ada di utara Panggung Motor, tetapi sekarang sudah digusur. Penggunaan kata register ngalor juga ditriangulasikan pada anakanak secara umum di Kota Surakarta. Ketika responden berjalan ke warung arep ngalor koe
Tidak, saya
makna antara penggunaan kata ngalor untuk anak jalanan dan kata ngalor untuk anak SD yang berdomisili di Kota Surakarta. Uraian di atas menunjukkan pergeseran makna ngalor. Menurut kajian register dalam penelitian ini, ngalor memiliki makna pergi ke warung makan. Meskipun secara harfiah ngalor berarti ke arah utara dan hal ini pun sudah dikomparasikan dengan anak pada umumnya. Secara umum, dapat ditarik simpulan bahwa makna ngalor terjadi pergeseran makna. Pada peristiwa tutur anak jalanan, berkenaan dengan kata ngalor mereka menggunakan nada tanya (naik) seperti halnya pengguna bahasa pada umumnya. Anak jalanan (anak jalanan (2) tersenyum datar dan menanggapi dengan bertanya dan adanya keselarasan antara pertanyaan dan jawaban. Tidak ada nada tinggi yang serius yang disampaikan anak jalanan satu dengan yang lainnya. Cara menyampaikannya dengan datar dan rileks, dengan ragam santai. Jalur bahasa yang digunakan untuk bercakap satu dengan yang lainnya, ketika anak jalanan bercakap dengan anak jalanan lain, mereka berada di tugu traffic-light dengan jalur lisan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 59
Jalur lisan di konteks ini berarti anak jalanan tidak menggunakan alat peraga lain. Percakapan tersebut dalam bentuk tuturan lisan. Penggunaan bahasa Jawa pada konteks tuturan di atas adalah bahasa Jawa ngoko. Termasuk kata register pada konteks ini termasuk dalam bahasa Jawa ngoko pula, yakni ngalor apabila bahasa yang lebih halus adalah ngaler (ler) yang memiliki sama arti yakni pergi ke arah utara. Dalam konteks di atas, percakapan anak jalanan sama sekali tidak ada penaikkan nada bicara. Meskipun dengan nada datar tanpa ada menaikkan nada tinggi, dalam tengah percakapan ternyata ada sisipan penggunaan istilah diancuk oleh anak jalanan 2. Meskipun begitu istilah/kata diancuk menunjukkan bahwa setiap anak jalanan tidak memiliki norma yang mengatur percakapannya. Setiap penyimak anak jalanan pun tidak ada itikad untuk membenarkan ataupun mengkritisi kesalahan norma berbahasa pada lawan bicaranya. Anak jalanan dalam konteks tuturan di atas tidak memiliki norma atau aturan yang membatasinya percakapannya. Jenis percakapan tersebut adalah narasi dan menjelaskan atau menjawab pertanyaan dari apa yang telah diajukan oleh temannya. Anak jalanan satu dengan yang lain tidak ada tanda adanya jenis percakapan lainnya. pada percakapan ini masih terkesan datar dan tidak memiliki intonasi maupun ciri tertentu. Dengan demikian kata register ngalor dapat dikatagorikan sebagai register karena kepemilikan makna yang berbeda dengan makna pada kamus dan tujuan penggunaan kata tersebut agar tidak bersifat umum atau diketahui publik. c. Kata ahai dengan makna sesuatu (versi Syahrini) Ahai merupakan sebuah ungkapan yang memiliki makna sempurna. Seorang anak jalanan mengungkapkan betapa sempurnanya Dardi (nama anak jalanan) dan menggunakan kata ahai untuk mengungkapkan kegembiraannya tersebut. Kata ahai tidak terdapat dalam kamus, namun apabila disesuaikan dengan konteks yang ada, maka kata tersebut
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 60
mendekati kepemilikan makna sempurna. Kata ahai ditemukan pada percakapan di kartu data berikut. Teras panggung motor (Yamaha), Jebres, Surakarta sebelah utara, berdampingan dengan jalan utama Panggung. Jumat, 28 Oktober 2012; pukul 16.00 WIB. Anak jalanan dalam ragam santai, situasi tuturan tidak ada masalah, hanya percakapan keseharian saja yang terlihat. Kondisi di pinggiran jalan banyak pejalanan kaki, dan sebagian besar yang lain para pekerja yang pulang dari kantor sedang menunggu bis atau sedang berpindah dari bis satu ke bis yang lain. Kondisi jalan utama ramai oleh kendaraan, beberapa anak jalanan sedang mengamen dan meminta-minta di jalanan, namun ada dua anak jalanan perempuan dan satu anak jalanan laki-laki yang sedang mengobrol di depan/teras Panggung Motor Yamaha, Jebres, Surakarta. Anak jalanan 1
Anak jalanan 2
Anak jalanan 1
Anak jalanan 2
Anak jalanan 2
: ndhredheg aku mben ketemu dheke orangnya itu nggak nahan banget.. Berdebar aku kalau di dekatnya : Kowe ijik ngesir manungsa kae ta? Opo ta apikke dheke ki? Kamu masih suka sama manusia yang satu itu? Apa sih bagusnya dia sampai kamu tergila-gila padanya : dheke ki ahai3 banget lho, nggantheng, pinter golek det, kerep njajakake aku barang, kurang opo ta Len! Dia itu sesuatu banget lho, tampan, pintar cari uang, sering traktir aku juga! Kurangnya apa sih? ih ahai3 Dardi noh Len! Pinter banget sisan! Halah, lebih sesuatu Dardi ku dong! Pintar sekali juga! : halah, cangkemmu! halah, omonganmu itu lho
(1) Anak Jalanan Perempuan; (2) Anak Jalanan perempuan; (3) Anak Jalanan laki-laki. Ada tiga anak jalanan sedang bermain gitar saling bercakap-cakap,
dua anak jalanan perempuan diantaranya sedang
berbincang akrab. Anak jalanan pertama menyebutkan dia (sebagai kata
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 61
ganti orang ketiga) yang ditanggapi oleh anak jalanan 2 yang menyebut secara terang-terangan namanya Dardi. Disamping kedua anak tersebut terdapat satu anak jalanan yang menjadi pemirsa pasif, dan tidak mengikuti perbincangan. Kedua anak jalanan tersebut memiliki rentang umur yang hampir sama, dan memiliki kedekatan yang akrab, dilihat dari penyebutan kata ganti orang ketiga, dan ditanggapi orang tersebut adalah Dardi. Ketiga anak jalanan terlihat sangat akrab, selain itu ketiganya pula memiliki reverensi sama dalam pemaknaan tuturannya. Dengan pemaknaan yang sama itulah, tujuan dari peristiwa tutur tersebut adalah sebagai interaksi dua anak jalanaan ketika salah seorang mengucapkan ahai dalam konteks tersebut ternyata memiliki makna yang belum tentu dapat diketahui referensinya bila berdiri sendiri. Tujuan secara umum percakapan tersebut adalah interaksi anak jalanan 1 yang menceritakan pujaannya (Dardi)
kepada
anak
jalanan
2,
namun
anak
jalanan
2
tidak
memerdulikannya dan terlihat mengejeknya. Namun tujuan dari peristiwa tutur itu tersampaikan. Ketika kata ahai mencoba ditriangulasikan dengan masyarakat di luar anak jalanan, ada perbedaan makna dan kebutaan informasi. Perubahan
penafsiran
tersebut
menilik
pada
kebingungan
dan
ketidakpahaman dari makna kata ahai. Karena ketika kata tersebut diungkapan dalam suatu
Koe ki ahai tenan kok bro
seluruh responden dari kalangan mahasiswa menjawab dengan pertayaan ahai merupakan register, karena penggunaannya menimbulkan efek yang berbeda ketika diterapkan pada anak jalanan dan ketika diterapkan pada mahasiswa, sebagai anggota komunitas di luar anak jalanan. Bentuk ujaran yang digunakan oleh anak jalanan 1 terlihat lebih ekspresif dan menggunakan kata-kata yang lugas, tanpa adanya sindirian. Sedangkan anak jalanan 2 terkesan mengejek dengan menjelek-jelekkan sosok Dardi, di depan anak jalanan 1, namun anak jalanan 1 tidak sakit hati, karena paham dengan sikap anak jalanan 2 yang hanya bercanda.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 62
Kedua belah pihak telah mengetahui konteks pembicaraan, jadi tidak ada pihak yang sakit hati atau tidak terima. Dengan adanya pembicaraan mengenai Dardi dan ejekan-ejekan kecil mengenainya, maka konteks di atas ditarik simpulan topik pembicaraan tersebut adalah seorang lelaki yang dikagumi anak jalanan 1, namanya Dardi. Kedua anak jalanan tersebut menyampaikan positif dan negatifnya Dardi kemudian saling meledek. Penggunaan ragam pada peristiwa tutur diatas terdengar akrab dan santai. Tidak ada hentakan tanda marah, meskipun diantara mereka saling mengejek. Intonasi biasa saja, tidak ada intonasi tinggi, namun layaknya sahabat bersenda-gurau. Dengan intonasi yang santai dan akrab, hal tersebut menunjukkan ketika anak jalanan 2 menyebutkan kejelekan dari Dardi, anak jalanan 1 mencubit anak jalanan 2 dan saling tertawa. Hal ini membuktikan bahwa kedua anak jalanan saling akrab dan tidak ada beban atau rasa marah, kecewa dan benci satu dengan lainnya. Namun pada ujaran cangkemmu terdapat sedikit nada naik dan menghentak. Pada ujaran dheke ki ahai3 banget lho, nggantheng, pinter golek det, kerep njajakake aku barang terdapat nada mendayu dan manja. Peristiwa tutur ini terjadi di teras sebuah toko di perempatan jalan, meskipun perbincangan mereka dirasa cukup rahasisa, namun keduanya biasa saja, dan menggunakan jalur lisan dalam berkomunikasi satu dengan lainnya. Pada percakapan ini ditemukan register untuk kata ahai, kata ini meruapakan ekspresi yang memiliki perannya sebagai kata. Kata ini untuk menunjukkan betapa luar biasanya Dardi, lelaki yang diperbincangkan oleh anak jalanan 1. Register tersebut merupakan penggunaan bahasa untuk menunjukkan ungkapan yang menandakan sifat-sifat yang dimiliki oleh Dardi. Dengan tuturan yang dipaparkan sesuai dengan konteks di atas, tidak ditemukan satu aturan atau norma tertentu. Oleh karena itu, dalam peristiwa tutur ini tidak adanya norma yang mengatur percakapan antara anak jalanan dan mengikat cara berinteraksi anak jalanan. Dibaca dari kata
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 63
ganti yang dipakai untuk mengungkapkan Dardi dengan manungsa kae atau manusia itu. Selain itu, hal yang cukup ironis, ketika salah satu anak jalanan (perempuan di Kota Surakarta (Solo) yang terkenal santun dan ramah) mengatakan cangkemmu atau mulutmu dengan nada menghentak dan keras. Jenis bentuk penyampaian dengan cerita narasi, tanpa adanya ungkapan estetis. Bentuk ini didukung dengan medekripsikan seseorang, kemudian melanjutkan cerita satu ke cerita yang lain, ketika seorang perempuan menyukai seorang lelaki, kemudian teman yang lain menimpali bahwa Dardi lebih baik segalanya daripada orang yang dikagumi anak jalanan 1. Jenis cerita deskriptif juga merupakan serangkaian dengan cerita narasi dalam cuplikan konteks di atas. Analisis data di atas membuktikan bahwa ahai merupakan bagian dari register anak jalanan. Selain bertumpu dari analisis speaking, juga berdasar pada komparasi yang telah dilakukan pada masyarakat umum di luar anak jalanan. Dari komparasi tersebut didapatkan simpulan yang menunjukkan bahwa munculnya makna baru dari kata ahai yang digunakan oleh anak jalanan, sedangkan kata tersebut tidak dipahami oleh masyarakat bahasa secara umum.
d. Kata suwak
bodoh
Suwak merupakan kata yang termasuk register anak jalanan dan digunakan dalam percakapan sesama komunitas. Kata ini memiliki perbedaan arti dengan kamus. Sesuai dengan kamus, suwak berarti sobek atau robek. Apabila disesuaikan dengan konteks di bawah ini, suwak berarti bodoh atau tidak berotak. Dalam konteks di bawah ini pula akan ditemui pergeseran makna dan munculnya makna baru dari kata tersebut. Hakikatnya, register tidak hanya memunculkan makna baru, namun juga perbedaan penerimaan kata tersebut oleh lawan tutur. Data tersebut dapat dilihat di kartu data di bawah ini.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 64
Anak jalanan 1
Anak jalanan 2
Anak jalanan 1
Anak jalanan 1
: dheke ki ahai3 banget lho, nggantheng, pinter golek det, kerep njajakake aku barang, kurang opo ta Len! Dia itu sesuatu banget lho, tampan, pintar cari uang, sering traktir aku juga! Kurangnya apa sih? : ahai3 Dardi noh Len! Pinter banget sisan! Halah, lebih sesuatu Dardi ku dong! Pintar sekali juga! : Promosi! Promosi! Dardi elek ngono we pamer!! Suwak4 tenan kowe wi! romosi! Promosi! Dardi jelek seperti itu aja sombong! Songong banget kamu ya : Cinta itu nggak bisa berbohong Len! Yen hahahaha cinta itu nggak bisa bohong ya! Sekali
Percakapan tersebut bertempat di Teras Panggung Motor (Yamaha), Jebres, Surakarta pada sebelah utara, berdampingan dengan jalan utama Panggung. Setting waktu, pada hari Minggu, 28 Oktober 2012; pukul 16.00 WIB. Anak jalanan dalam ragam santai, situasi tuturan tidak ada masalah yang terlihat. Kondisi sekitar teras Panggung Motor jalan utama masih ramai oleh kendaraan, beberapa anak jalanan lalu-lalang, di depan/teras Panggung Motor Yamaha, Jebres, Surakarta juga masih ada tiga anak jalanan dan masih berbicara hal yang sama. (1) Anak Jalanan Perempuan; (2) Anak Jalanan perempuan; (3) Anak Jalanan laki-laki. Ada tiga anak jalanan sedang bercakap-cakap, dua anak jalanan perempuan, dan satu anak jalanan laki-laki. Terdapat dua anak jalanan perempuan yang memiliki usia hampir sama 11 tahun. Kedua anak jalanan tersebut menjadi partisipan aktif, sedangkan satu anak jalanan lakilaki menjadi partisipan pasif. Ada dua orang lagi yang terlibat dalam percakapan tersebut, yaitu seseorang yang dipanggil dia dan Dardi, dua laki-laki yang menjadi pujaan hati kedua anak jalanan itu. Dalam konteks di atas, terdapat tujuan pemakaian kata suwak untuk mengungkapkan
rasa
gemas
terhadap
temannya
karena
masih
mencintai/menyukai Dardi. Anak jalanan 2 merasa anak jalanan 1 selalu
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 65
disakiti atau mungkin tidak disukai Dardi. Tujuan itu tercapai dari tanggapan selanjutnya yang dijawab oleh anak jalanan 1 dengan pola interaksi yang sama. Kata suwak masuk ke dalam register, karena kata tersebut mengalami perbedaan reseptif arti dan pemaknaan. Ketika diterapkan pada koe ki suwak tenan kok merasa tersinggung dengan ucapan tersebut. Sedangkan apabila diterapkan pada sesama anak jalanan kata tersebut tidak mengalami perubahan arti dan makna. Kata tersebut tetap berarti normal dan netral, tidak ada rasa marah atau tersinggung dengan kondisi tersebut. Ujaran tersebut memiliki paduan kata yang masih umum dan tidak ada spesifikasi yang mendalam. Penggunaan kata sebagian besar masih berupa
kata
umum.
Namun,
beberapa
kata
menunjukkan
dan
mengidentifikasikan kehidupan anak jalanan, sepeti cangkem; manungsa kae. Pengungkapan penggunaan kata-kata yang kasar menunjukkan kondisi anak jalanan yang keras. Meskipun dengan menggunakan pengungkapan kata yang keras, topik yang dibicarakan masih sama. Penggunaan register suwak sebagai bentuk ejekan dan candaan antara anak jalanan 1 dan anak jalanan 2. Topik yang dibicarakan secara umum masih sama dengan analisis sebelumnya berkenaan dengan seorang laki-laki pujaan. Nada yang digunakan pada pengucapan kata suwak dengan nada menghentak, tetapi disampaikan sambil bercanda. Selain itu, juga sedikit gerak tubuh menghantam lengan anak jalanan 1 yang tidak serius. Intonasi dan nada yang digunakan secara umum menunjukkan kedua orang tersebut merupakan sahabat akrab yang saling memahami permasalahan satu dengan yang lainnya. Penggunaan ujaran dalam konteks di atas, digunaan ujaran tersebut secara lisan dan dengan sedikit isyarat seperti melotot dan mencubit lawan bicara. Seperti pada ujaran tersebut sebagian besar menggunakan jalur lisan dan percakapan langsung tanpa media yang lainnya. Lisan dalam hal ini ternyata mampu mengurangi esendi dari
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 66
makna suwak. Meskipun kata ini bernilai bahasa kasar, kata register ini secara umum memiliki kesamaan arti dalam bahasa lainnya. Kata suwak merupakan istilah dalam register yang hampir memiliki kesamaan arti dengan songong. Kata itu digunakan untuk mengungkapkan perasaan sebal dan gemas pada lawan bicara. Namun apabila dibandingkan dengan kata tersebut berdiri sendiri dan dilafalkan oleh orang secara umum akan menimbulkan sakit hati. Kata ini memiliki nilai kasar dalam pelafalannya. Oleh karena itu benar jika dinyatakan bahwa percakapan ini tidak menggunakan aturan percakapan yang sesuai dengan prinsip kerja sama masyarakat orang Jawa. Penggunaan norma dalam percakapan ini masih belum dan atau sama sekali tidak terlihat, bahkan istilah yang digunakan kata suwak terkesan kasar dan tidak beretika. Kata suwak adalah jenis kata yang kasar dan tidak normal dalam pergaulan. Secara istilah, kata suwak digunakan untuk mempertegas ejekkan yang diberikan pada lawan tutur. Akan tetapi dalam konteks ini, anak jalanan terkesan akrab dan dekat. Tidak ada konflik antara satu anak dengan anak yang lainnya. Dalam pernyataan konteks di atas tidak ada maslah/konflik yang terlihat, sekaligus bentuk penyampaian ini menggunakan narasi dan cerita deskripsi yang di dalamnya terdapat analogi, pembandingan antara anak jalanan 1 dan anak jalanan 2. Cerita narasi tersebut meliputi seorang perempuan yang disakiti masih saja mencintai orang yang sama, akhirnya keluarlah kata suwak untuk mengungkapkan perasaannya. Dari penjabaran di atas, kata suwak masuk ke dalam kata register, karena pemaknaannya berbeda antara konteks di atas dengan makna dalam kamus. Kata suwak ketika dikomparasikan penggunaannya oleh sesama anak jalanan dengan penggunaan oleh masyarakat secara umum menemukan pergeseran penerimaan. Secara umum, masyarakat akan sakit hati mendengar ucapan tersebut, sedangkan pada anak jalanan kata tersebut memiliki kekuatan untuk pengakraban. Komparasi yang dilakukan bersama dengan siswa sekolah menengah atas, ditemukan rasa tersinggung ketika penutur mengatakan kata tersebut.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 67
e. Kata pengki
anak buah
Kata pengki muncul dua kali pada peristiwa tutur hari Selasa, 30 Oktober 2012, pukul 11.00 WIB di Pasar Ledoksari, Jebres, Surakarta. Lingkungan percakapan dalam keadaaan ramai, baik situasi pasar maupun situasi stasiun, di stasiun juga masih terlihat banyak orang yang datang dan pergi. Kata pengki termasuk ke dalam register. Selain karena maknanya berbeda dengan makna dalam kamus, kata ini hanya dimengerti dalam satu komunitas anak jalanan saja. Pengki memiliki makna anak buah, atau seseorang yang berada di bawah kekuasaan bos. Di Pasar Ledoksari, anak jalanan yang disebut oleh responden lain Bos, sedang kehausan dan menginginkan es teh. Datang seorang anak jalanan, dan kemudian anak jalanan tersebut disuruh untuk membelikan es teh ataupun mencari pengki-nya. (1) Anak Jalanan laki-laki berumur ± 18 tahun; (2) Anak Jalanan laki-laki berumur ± 15; (3) Anak Jalanan laki-laki berumur ± 10 tahun.
Anak jalanan 1
Anak jalanan 2
Anak jalanan 1
: Bocah-bocah mau padha nyangdi to nyuk(munyuk), babarblas ra ketok wudel5 sitokanak-anak tadi kemana saja ta? Sama sekali tidak kelihatan satu pun : lha mbuh ya.. lha pengki5mu nengdi? Mbok kon nggolekki siji-siji, angger manut karo ujudmu dhaan! tahu.. Lha Pesuruh/anak buah/bawahan di mana? Disuruh mencari satu per satu, karena mereka tundhuk sama kamu : Asu, mbokya golekana kon tuku es teh 1 ndhes7! Opo kowe dadi pengki5 ku wae nyuk? Tukua es teh 1 wae ndhes 7! Anjing, paling enggak kamu itu mencarikan, suruh dia beli es teh 1! Atau kamu menjadi suruhan saya saja! Belikan aku es teh 1 saja
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 68
Terdapat satu anak jalanan yang terlihat paling tua. Menghampiri satu anak jalanan yang memiliki usia di bawahnya. Anak jalanan yang ketiga disebut pengki, anak jalanan yang pertama disebut bos oleh anak jalanan 2. Anak jalanan 1 terkesan garang dan keras; sedangkan responden 2 berada di bawah anak jalanan 1, dan anak jalanan 3 adalah yang paling kecil dan takut. Penggunaan kata pengki dalam konteks ini sebagai bentuk kata ganti orang yang disuruh dan diminta untuk membelikan es teh. Tujuannya untuk menyuruh seseorang sesuai dengan gradasi/strata sosial anggota anak jalanan. Tujuan secara tersirat adalah untuk menunjukkan kekuasaan seseorang untuk meminta/menyuruh orang lain yang telah dia kuasai atau di bawah kekuasaannya. Bentuk ujaran adalah percakapan keras dengan beberapa pemilihan kata yang kasar dan tidak sopan. Bentuk ucapan yang ada seperti nyok atau nyet untuk monyet, kemudian asu atau anjing untuk mengungkapkan elspresi marah dan garang. Dengan mengetahui bentuk ujaran serta tujuan percakapan, diambil topik yang diangkat adalah menyuruh pengki untuk membeli es teh, dan semula tidak ada pengki yang ada untuk membelikannya minuman tersebut. Nada yang digunakan adalah nada tinggi dan dengan pelafalan yang garang. Mimik muka terlihat ingin menampakkan kemarahannya dan ingin menunjukkan siapa dia. Ada penekanan di banyak kata, yang menimmbulkan ekspresi lebih jahat dan garang. Beberapa kali anak jalanan 2 melirik dan melotot kepada anak jalanan 3. Anak jalanan 1 juga sempat melirik dan mimik garang pada beberapa kesempatan. Satu kali anak jalanan 2 mengusir anak jalanan 1 agar pergi membelikannya minuman. Menggunakan percakapan normal dan lusan. Tanpa adanya jalur lainnya, seperti jalur tertulis, sms, dll. Karena percakapan langsung maka seluruh percakapan yang terrekam menggunakan jalur lisan. Register yang digunakan adalah pengki yang disinyalir memiliki arti orang suruhan, yang mau disuruh dan diperintah. Tidak terdapat norma yang jelas dalam
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 69
mengatur percakapan antara anak jalanan 1, 2 dan 3. Terlihat dari penggunaan kata yang tidak baik, seperti nyuk, asu, wudhel, dan lainnya. Selain itu, ketika anak jalanan 2 dan 3 berbicara dengan anak jalanan 1 menunjukkan kepekaannya terhadap norma yang diatur sendiri dan ditaati sendiri. Dengan sedikit peraturan intern yang membuat anak jalanan 2 dan 3 hormat kepada yang paling tua, dimungkinkan karena takut dan merasa hormat. Jenis bentuk penyampaiannya menggunakan jalur lisan tanpa adanya interaksi dengan jalur lainnya. jalur lisan antara tiga orang anak jalanan yang satu dengan yang lainnya tidak terlihat adanya penggunakan bahasa nonlisan. Namun beberapa bahasa nonverbal diutarakan seperti mengepalkan tangan, gerakkan tangan mengusir, dan lainnya. Konteks tersebut merupakan bentuk secara umum dan digunakan beberapa kali pada ujaran langsung. Jalur lisan adalah yang paling sering digunakan. Dengan konteks yang baik, jenis yang baik, amak pesan atau tujuan yang ingin dicapai dapat sampai di tempat tujuan dengan baik, karena satu komunikasi dan yang lainnya berpengaruh. Dengan analisis data di atas ditemukan pemaknaan kata pengki merupakan register anak jalanan. Hal ini dikarenakan ditemukannya pergeseran makna antara penggunaan register pada anak jalanan dengan penggunaan pengki pada ibu rumah tangga, mereka menangkap pengki adalah alat kebersihan.
f. Kata ndhes memiliki persamaan makna dengan cah Peristiwa tutur ini terjadi pada, Selasa, 30 Oktober 2012. Pukul 11.00 WIB. Pasar Ledoksari, Jebres, Surakarta. ± 300 meter selatan Stasiun Kereta Api, Jebres, Surakarta. Masih dengan keadaan yang sama dengan analisis sebelumnya keadaaan jalanan ramai, baik situasi pasar maupun situasi stasiun, dari stasiun juga masih terlihat banyak yang datang dan pergi.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 70
Kata ndhes tidak ada dalam kamus Bahasa Jawa, namun jika disesuaikan dengan konteks di bawah ini, ndhes memiliki makna sama dengan cah. Anak jalanan 2
Anak jalanan 1
Anak jalanan 2
: lha mbuh ya.. lha pengkimu nengdi? Mbok kon nggolekki siji-siji, angger manut karo ujudmu dhaan! tau saya.. Lha Pesuruh/anak buah/bawahan di mana? Disuruh mencari satu per satu, karena mereka tunduk sama kamu : Asu, mbokya golekana kon tuku es teh 1 ndhes 6! Opo kowe dadi pengkiku wae nyuk? Tukua es teh 1 wae ndhes! Anjing, paling enggak kamu itu mencarikan, suruh dia beli es teh !Atau kamu menjadi suruhan saya saja! Belikan aku es teh 1 saja : Jon (Jono : nama orang) tukokno bos 8mu iki es teh Jon, belikan bosmu ini es teh
Situasi anak jalanan sedikit sepi, anak jalanan tidak berlalu lalang di depan pasar, kebanyakan anak jalanan terlihat di jalanan, tidak ada kegiatan interaksi. Beberapa partisipan yang aktif, antara lain tiga anak jalanan, (1) Anak Jalanan laki-laki berusia ± 18 tahun; (2) Anak Jalanan laki-laki berumur ± 15; (3) Anak Jalanan laki-laki dengan kisaran usia ± 10 tahun. Terdapat satu anak jalanan yang terlihat paling tua yaitu 18 tahun, menghampiri satu anak jalanan yang memiliki usia dibawahnya sekitar 15 tahun. Anak jalanan yang ketiga disebut pengki (anak jalanan yang berusia 10 tahun), anak jalanan yang pertama disebut bos oleh anak jalanan 2. Secara mimik muka, anak jalanan 1 terkesan garang dan keras. Sedangkan anak jalanan 2 berada di bawah anak jalanan 1, dan anak jalanan 3 adalah yang paling kecil dan penakut. Kata ndhes termasuk dalam register karena penerapannya akan berbeda jika diterapkan pada anak jalanan dan diterapkan pada kelompok lain. Kelompok anak jalanan sama sekali tidak ada dampak penggunaan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 71
kata tersebut. Sedangkan dari kelompok anak pada umumnya merasa tersinggung dan tidak terima dengan pengucapannya. Kata tersebut bermakna kasar dan tidak sopan, sedangkan dalam penerapan anak jalanan, kata tersebut sah-sah saja, dan tidak ada efek yang berpengaruh. Tujuan dari konteks penggunaan register ndhes adalah untuk memanggil salah seorang dari anak jalanan atau anak jalanan lainnya. Sebagai bentuk kata ganti orang dan menjelaskan kedekatan seseorang dengan yang lainnya. Karena tidak mungkin seseorang yang baru kenal menyebut orang lain dengan sebutan tersebut. Selain itu, untuk tujuan jera juga dimungkinkan anak jalanan yang menjadi anak jalanan 1 memanggil dengan sebutan ndhes untuk menimbulkan efek agar anak jalanan 3 takut. Ujaran yang dipakai dalam konteks ini bersifat kasar, namun percakapan antara orang satu dengan orang yang lain tetap terjaga benang merahnya. Ujaran menggunakan register ndhes sebagai bentuk singkatan dari sebuah kata yang telah dipaparkan sebelumnya. Topik pembicaraan secara umum masih sama dengan analisis sebelumnya, yakni mengenai permintaan/menyuruh anak jalanan lain untuk membelikannya minuman dingin. Namun, tidak ada yang ada untuk membelikannya. Nada yang digunakan adalah nada tinggi dan dengan pelafalan yang garang. Mimik muka terlihat ingin menampakkan kemarahannya dan ingin menunjukkan siapa dia. Ada penekanan di banyak kata, yang menimbulkan ekspresi lebih jahat dan garang. Beberapa kali anak jalanan 2 melirik dan melotot kepada anak jalanan 3. Anak jalanan 1 juga sempat melirik dan mimik garang pada beberapa kesempatan. Satu kali anak jalanan 2 mengusir anak jalanan 1 agar pergi membelikannya minuman Peristiwa ini berjalan secara berurutan, yang pertama anak jalanan 1 mencari anak jalanan, yang kedua anak jalanan 1 bertemu dengan anak jalanan 2 dan yang terakhir anak jalanan 2 memanggil anak jalanan 3. Keseluruhan menggunakan
percakapan normal
dan lisan.
Karena
percakapan langsung maka seluruh percakapan menggunakan jalur lisan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 72
Jalur bahasa yang lainnya tidak ditemukan dalam konteks ini, karena anak jalanan terkesan sederhana dan yang dikenakan simpel. Register yang digunakan adalah Ndhes atau gondhes merupakan kata ganti orang kedua yang memiliki arti sama dengan bocah, atau Nak untuk anak. Dalam percakapan ini tidak ada norma yang mengatur, karena masih bayak kata-kata kasar yang masih diucapkan, terutama dalam percakapan antara yang muda dan yang tua. Seperti register ini sendiri merupakan kata yang kasar. Ndhes apabila diucapkan data situasi umum bersifat kasar dan tidak beretika. Ketika berinteraksi antara yang lebih muda kepada yang lebih tua sedikit ada kekhasan gaya untuk sopan, tunduk, sedangkan yang tua kepada yang muda, tidak ada rasa hormat, bahkan tidak ada sikap mengayomi. Percakapan ini menggunakan jenis bentuk penyampaian dengan narasi dan perintah, karena sikap satu anak jalanan kepada anak jalanan yang lain tidak memiliki latar yang luang, jadi terkesan padat dan jelas. Dalam upaya mendapatkan keabsahan data, kata ndhes pun dikomparasikan penggunaannya dengan masyarakat bahasa di luar anak jalanan. Ditemukan perbedaan dan pergeseran penerimaan makna anak jalanan dengan di luar anak jalanan, dilihat dari konteks di atas, yang menyatakan bahwa makna di luar anak jalanan akan bersifat negatif, sedangkan ketika dipakai oleh anak jalanan makna tersebut bersifat netral.
g. Kata bos
ang
yang
memilki makna Kata bos ditemukan pada percakapan hari Selasa, 30 Oktober 2012, pukul 11.00 WIB. Pasar Ledoksari, Jebres, Surakarta. ± 300 meter selatan Stasiun Kereta Api, Jebres. Keadaan Stasiun Kereta Api Jebres cukup ramai mengingat hari minggu, banyak penumpang turun dan berdatangan. Keadaan masih sama, tidak ada perbedaan situasi yang mendadak ketika register ini diucapkan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 73
Anak jalanan 1
Anak jalanan 2 Anak jalanan 3 Anak jalanan 2 Anak jalanan 3
: Asu, mbokya golekana kon tuku es teh 1 ndhes 7! Opo kowe dadi pengki6ku wae nyuk? Tukua es teh 1 wae ndhes 7! Anjing, paling enggak kamu itu mencarikan, suruh dia beli es teh 1! Atau kamu menjadi suruhan saya saja! Belikan aku es teh 1 saja : Jon(Jono : nama orang) tukokno bos 8mu iki es teh Jon, belikan bosmu ini es teh : pira mas? berapa mas? : siji wae ndhes 7! Cepet! atu saja! Cepat! : iyo neh! iya-iya!
Situasi keadaan di daerah tersebut panas dan beberapa kali anak jalanan berkumpul ketika suasana renggang dan tidak ada pekerjaan. Sesekali lewat petugas satpam Pasar, namun tidak merespons dengan keberadaan anak jalanan di sana. Secara umum, untuk partisipan tidak ada perubahan, yakni responden 1 datang paling awal, anak jalanan 2 kemudian mengikuti dan yang terakhir anak jalanan 3 datang paling akhir. Akan ada perbedaan makna kata bos jika diterapkan pada anak jalanan dan diterapkan pada masyarakat pada umumnya. Ketika ditanya berkenaan dengan persepsi mereka terhadap bos pada anak jalanan, mereka mengganggap bos adalah orang yang selalu meminta uang anak jalanan, sedangkan bos dalam register anak jalanan ini berarti panutan, guru, dan seseorang yang dituakan, atau tetua. Sesuai gradasi umur, anak jalanan 1 lebih tua daripada anak jalanan 2, dan anak jalanan 2 lebih tua daripada anak jalanan 3. (1) Anak Jalanan laki-laki berumur ± 18 tahun; (2) Anak Jalanan laki-laki berumur ± 15 tahun; (3) Anak Jalanan laki-laki dengan usia ± 10 tahun. Pertama-tama anak jalanan yang terlihat paling tua mendatangi anak jalanan 2, terlihat hubungan antara anak jalanan 1 dan anak jalanan 2 tidak terdapat hubungan yang hormat-menghormati. Ketiganya seorang lelaki yang duduk di dekat kereta api yang sedang dimatikan. Tujuan pemberian julukan bos pada anak jalanan 1 oleh anak jalanan 2 diidentifikasikan untuk menghormati dan menuakan-(tua) anak
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 74
jalanan 1. Dimungkinkan selain karena usia yang relatif lebih tua, juga karena mimiknya paling garang. Tujuan percakapan tersebut adalah ungkapan marah dan kesal ketika seorang bos meminta seseorang untuk membeli es teh namun tidak ada yang disuruh. Disusul dengan kata perintah dan deksripsi anak jalanan seperti penyebutan nama Jon. Tujuannya untuk menjalin interaksi satu dengan yang lain, supaya anak jalanan 2 membelikannya es teh. Ujaran terkesan kasar dan tertekan, dari setiap anak jalanan memiliki kekhasan ujarannya masing-masing, seperti pada anak jalanan 1 seorang yang ganas, berbicara garang dan kasar. Dilihat dari percakapan (konteks) yang berbicara dengan kasar hanya anak jalanan 1, salah satu alasannya karena ditakuti anak jalanan yang lain. Anak jalanan 2, takut tapi kadang berani pada yang lebih kecil, dilihat dari percakapan. Perubahan emosi yang dari awal takut, kemudian berani pada anak jalanan 3. Anak jalanan 3 di lihat dari percakapan adalah yang paling kecil dan penakut. Secara spesifik, penggunaan nada pada setipa anak jalanan adalah; anak jalanan 1, nada tinggi, intonasi garang dan menggunakan tekanan yang berat; anak jalanan 2, menggunakan nada semi-takut dan berlagak berani ketika berbincang dengan anak jalanan 3; sedangkan anak jalanan 3, dengan nada rendah, lirih dan tanpa tenakan. Semangat untuk berujar, pada anak jalanan 1 dan anak jalanan 2 tinggi, sedangkan pada anak jalanan 3 rendah. Tidak ada penggunaan jalur tulis, hanya menggunakan jalur lisan saja. Jalur bahasa yang lainnya tidak ada yang digunakan karena situasi yang kurang tepat, dan paling tepat hanyalah jalur lisan. Register yang dipakai adalah ndhes menunjukan penggunaan bahasa yang kasar dan keras, menunjukkan kata gondhes. Istilah tersebut lazim digunakan oleh anak jalanan, namun jika diujarkan pada situasi umum terdengar kasar. Anak jalanan merasa bebas dan tidak ada yang aturan, bahkan pada percakapan ini digunakan register ndhes yang menunjukkan kondisi dan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 75
situasi yang tidak sopan. Istilah yang kasar dipakai oleh suatu komunitas dan tidak ada yang menegur, akan semakin merusak norma bahasa pada anak jalanan. Beberapa kata yang lain yang tidak sopan secara umum juga ada, namun lebih kental pada ekspresi yang ada. Seperti geram, galak, melotot dan lainnya. Bentuk percakapannya adalah narasi dan lebih tepatnya kalimat perintah untuk menekankan maksud dan tujuan percakapan. Narasi dalam konteks tersebut ada ketika Anak jalanan 2 menjelaskan ketidakberadaan anak jalanan yang lainnya. Anak jalana menceritakan detail percakapan dengan situasi demi situasi, anak jalanan berbicara satu dengan yang lain menunjukkan keakraban dan kedekatan meskipun terkesan tidak hormat-menghormati.
h. Kata kawasan
wilayah kerja
Dalam kehidupan sehari-hari kadang masyarakat bahasa pada umumnya menggunakan kata kawasan sebagai bentuk perwilayahan dengan tanpa maksud dan tujuan tertentu. Ternyata, kata kawasan juga ditemukan pada bahasa anak jalanan dengan makna yang berbeda. Rabu, 31 Oktober 2012; pukul 14.00 WIB. Depan showroom motor, Yamaha Motor, Panggung motor, berdampingan dengan jalan raya. Situasi jalanan ramai dengan kendaraan bermotor, suara gaduh anak jalanan yang terbahak-bahak saat bersenda-gurau. Sedang ada konflik, ketika anak jalanan 2 dan anak jalanan 3 berkelahi tanpa diketahui penyebabnya. Kedua anak itu hanya memukul satu sama lain, tanpa adu mulut. Keadaan memanas ketika orang yang paling tua dan dituakan merasa terganggu dan berusaha melerai. Kemudian keduanya pun berhenti. (1) Anak Jalanan laki-laki berusia ± 20 tahun; (2) Anak Jalanan laki-laki berusia ± 13 tahun; (3) Anak Jalanan laki-laki berkisar ± 13 tahun. Partisipan pada peristiwa tutur tersebut terdiri dari 3 orang anak jalanan, dua diantaranya berusia kisaran 13 tahun dan yang paling tua dan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 76
disegani berusia 20 tahun. Selain itu beberapa anak jalanan yang lain menyorak anak jalanan yang berkelahi. Namun tidak menjadi partisipan aktif, karena ketidakberhubungannya antara pembicaraan dan konteks kalimat. Namun dari seluruh partisipan yang ada, hanya Anak jalanan 1 yang peduli dan ikut melerai. Tujuan mengatakan register kawasan untuk menunjukkan bahwa lokasi tersebut meruapakan satu wilayah untuk kekuasaan dan agar kedua anak jalanan yang berkelahi terssebut segera tenang dan tidak membuat kegaduhan. Tujuan pengungkapan kata register tersebut juga sebagai bentuk pengungkapan bahwa anak jalanan 1 perlu dihormati sebagai pemilik kawasan. Tujuan secara umum adalah untuk melerai perkelahian antar anak jalanan yaitu anak jalanan 2 dan anak jalanan 3 oleh Anak jalanan 1. Dengan adanya peristiwa tutur ini setidaknya dua anak jalanan itu akirnya berpisah tidak lagi berkelahi. Bentuk ujaran yang digunakan seperti pemilihan kata yang kasar dan digunakan untuk menenangkan anak jalanan 2 dan anak jalanan 3. Setidaknya pemilihan ujaran yang cukup kasar mampu menenangkan dua anak jalanan yang sedang berkelahi, selain menimbulkan efek jera juga sebagai alat untuk menenangkan dua anak jalanan tersebut. Nada yang digunakan ketika mengucapkan ujaran yang di dalamnya terdapat register kawasan dengan nada kesal, dan marah karena ketenangannya terusik dan terganggu. Selain dengan nada kesal dan marah, beberapakali hentakan juga dipakai untuk menimbulkan efek marah dan geram. Selain adanya nada dan tekanan, ekspresi yang timbul juga mampu mengidentifikasikan
ekspresi
yang sedang
dirasakan
(megucapkan
kawasan) seperti marah dengan melotot, dan sedikit mengepalkan tangan. Kawasan dalam register anak jalanan ditemukan ploting makna kawasan tersebut, antara lain kawasan satu untuk manggung, kawasan dua untuk masar, kawasan tiga untuk nyepur, kawasan empat digunakan untuk
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 77
ngleseh, dan jenis kata lainnya. Hal ini berbeda-beda dan ada banyak ragam dari kata kawasan ini. Peristiwa tutur dalam konteks kalimat yang mengandung kara kawasan menggunakan jalur lisan. Kawasan bagian kota atau daerah tertentu yg mempunyai sifat-sifat yg khas: industri; pertokoaan. Dalam kamus besar bahasa Indonesia, kata kawasan secara umum adalah daerah yang memiliki ciri khas yang sama, sedangkan bagi anak jalanan, makna kata kawasan adalah lokasi dan wilayah dalam satu kekuasaan, semacam tempat dari raja itu memerintah. Secara norma kebahasaan, konteks yang dipakai menggunakan bahasa yang tidak baik, namun di sisi lain secara luas, konteks tersebut mengandung norma sosial yang cukup baik. dinyatakan dengan efek yang timbul setelah anak jalanan 1 geram dengan perilaku yang ditimbulkan anak jalanan 2 dan anak jalanan 3.
Aja dha padu wae to Su
Kalimat di atas merupakan contoh yang tidak mengandung norma yang baik untuk masyarakat berbahasa. Jenis dan bentuk penyampain peristiwa tutur ini dengan bentuk tuturan narasi, dengan tegas anak jalanan 1 menyatakan hal yang sedikit kasar. Dalam peristiwa tutur ini tidak ada nilai estetik yang perlu dijaga. i. Kata munggah , manggung
, nyepur
, medhun , masar
, ngampung , ngleseh
Kata munggah, nyepur, medhun, ngampung, manggung, masar, ngleseh digunakan dalam konteks situasi yang sama. Cukup berbeda dengan makna umumnya, munggah memiliki makna naik bus dan melakukan kegiatan mencari uang, sedangkan nyepur adalah mencari uang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 78
di atas kereta api, medhun memiliki makna kamus turun, namun dalam register berarti turun ke jalan untuk mencari uang. Sedangkan ngampung memiliiki makna dalam register yakni pergi ke pemukiman penduduk untuk mencari uang, manggung memiliki makna pergi ke daerah Panggung untuk mencari uang, sedangkan masar bermakna pergi pasar, begitu pula dengan ngleseh bermakna pergi ke tempat-tempat lesehan untuk mencari uang. Partisipan 1 Anak jalanan 2 Partisipan 1 Anak jalanan 2
: Bu, lha Tutik meniko wonten pundi kok mboten ketingal? : Munggah10 : Munggah10 pundi Bu? : Munggah10 Bis mas, ngamen.
Partisipan 1
: istilah lain malih napa bu?
Anak jalanan 2
: Nyepur11, iku ngamen neng cedhak stasiun neng daerah sepuran Medhun12, iku biasane nik nggone lampu merah digunakan untuk nongkrong di lampu me Ngampung13, muter neng kampung-kampung, neng omah-omah ngono mas makna berkeliling ke kampung-kampung dan rumah. Manggung14, iku nang Panggung, daerah Panggung. Masar 15, iku neng pasar mas, ngamen ing pasar. Iku aku ngerti ya saka bajaku kok mas! Saiki bajaku ra enek. mengamen di sekitar pasar, saya mengetahuinya dari
Anak jalanan 3
: Ulat16mu kui lho mas le ngematke aku! Mbok biasa wae! Rasah ngulat16ke!
Partisipan 1
: ora lho Nov! biasa wae kok!
Anak jalanan 1
: Ngleseh17 mas, iku neng Lesehan!
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 79
Wawancara ini dilakukan pada Sabtu, 3 November 2012; pukul 19.00 WIB. Teras Panggung Motor, Jebres, Surakarta, tepatnya Perempatan Panggung motor, disamping Jalan utama. Situasi jalan utama depan Panggung Motor, sangat ramai dalam keadaan malam hari. Beberapa kendaraan lalu lalang, baik itu roda dua, mobil ataupun bus. Beberapa anak jalanan menggerombol dan sedang bermain gitar. Tetapi ada pula satu ibu anak jalanan dan anak jalanan yang sedang duduk menunggu anaknya yang lain sedang mengamen. Di Teras Panggung, keadaan terlihat lebih sepi daripada hari biasanya yang ramai kendaraan lalu lalang. Tidak ada konflik antara satu anak jalanan dengan anak jalanan lain. Di perempatan jalan tidak terlihat adanya anak jalanan yang saling berkonflik dan masalah. (1) Ibu dari anak Jalanan (Imam) ± 45 tahun; (2) Anak Jalanan laki-laki (Imam) ± 7 tahun. Ibu dari anak jalanan yang bernama Imam sedang duduk menunggu hujan reda, sebagai anak jalanan utama. Beberapa anak
jalanan sedang
bermain alat
musik
dan bernyanyi,
tanpa
berkomunikasi yang berhubungan dengan anak jalanan yang lainnya. Tujuan wawancara ini untuk menggali informasi yang lebih luas berkaitan dengan kondisi anak jalanan saat ini, kondisi jalan yang mulai sepi dan tidak begitu ramai. Kemudian sedikit mendapatkan informasi mengenai istilah anak jalanan yang sering digunakan. Tujuan secara umum penggunaan register tersebut merupakan untuk medekripsikan bahasa anak jalanan tersebut. Bentuk ujaran yang digunakan berupa jawaban dari pertanyaan yang ada. Partisispan memberi pertanyaan yang sekiranya tidak mencurigakan. Topik pembicaraan adalah kegiatan mobilitas anak jalanan di Kota Surakarta, khususnya di daerah Jebres. Nada pembicaraan datar tanpa ada ekspresi yang bersifat emotif, nada bicara tidak ada tekanan yang berarti. Anak jalanan satu dengan yang lain tidak saling memengaruhi, dan kondisi yang datar membuat situasi tidak emotif.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 80
Dalam wawancara yang dibuat seperti perbincangan tidak ada cara ataupun semangat yang khusus dalam menunjukkan pertanyaan maupun jawaban. Dalam peristiwa tutur ini menggunakan jalur lisan, karena dilakukan dengan wawancara langsung. Register 1) Munggah Berarti munggah/naik, naik dalam hal ini bukan naik tangga, naik tingkat. Naik dalam hal ini khusus untuk mengamen di bis. Bekerja di dalam bis, dengan istilah yang lebih mudah dan sederhana. Ketika diaplikasikan dalam masyarakat luas (khususnya masyarakat Jawa), masyarakat tidak begitu paham dan mengerti maksud dari bahasa tersebut. sekilas, memang sederhana, namun penggunaan bahasa tersebut bersifat khusus. 2) Nyepur Nyepur adalah kegiatan di atas Sepur (Kereta Api), berarti anak jalanan sedang mencari uang di atas kereta api. Penggunaan istilah ini mempermudah interaksi dengan anak jalanan lainnya. istilah ini menunjukkan keberadaan anak jalanan. Namun belum tentu orang awam paham, seperti halnya telah dilakukan uji coba pada salah seorang mahasiswa yang kadang kala pulang kampung dengan kereta api, ia tidak paham istilah nyepur. 3) Medhun Medhun dalam bahasa Indonesia berarti turun, bukan turun pangkat, bukan turun tangga, maupun gajinya turun. Namun sebagai ungkapan khusus anak jalanan, medhun berarti turun dari bis, setelah berkegiatan di atas bis, entah itu mengamen, mengemis, maupun kegiatan lainnya. 4) Ngampung Ngampung yaitu berkegiatan di kampung, dari pintu ke pintu, istilah ini untuk memudahkan anak jalanan dalam berinteraksi ketika mereka berada/mengamen di kampung, masyarakat. Ngampung berarti di berbagai daerah yang bisa dipakai tempat mengamen.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 81
Ternyata kata ngampung dari penelitian ini turut ditemukan dalam penelitian Lestari (2011). Dalam pemaparannya, Lestari menjelaskan bahwa kata ngampung merupakan pembagian wilayah kerja dari seorang anak jalanan yang bertugas mengitari kampung-kampung. Dari sini, kedua penelitian ini dapat ditarik kesamaan makna penggunaan kata register dalam konteks yang sama. 5) Manggung Manggung tidak bisa diartikan sebagai kegiatan di stage-panggung. Namun, satu istilah ketika anak jalanan berkegiatan di daerah Panggung Motor, entah mereka mengamen, mengemis, memintaminta maupun kegiatan lainnya. bagi sebagaian orang mungkin berpikir manggung berarti kegiatan di atas panggung, bernyanyi, konser atau sejenisnya. 6) Masar Masar berarti berkegiatan di pasar, dalam kata masar memiliki dua makna yang bisa berbeda arti. a) Masar : mengamen di pasar, pasar yang dimaksudkan adalah pasar yang berskala besar, seperti Pasar Gedhe, Pasar Klewer, dan pasar lainnya. biasanya mereka mengamen, meminta-minta dan lainnya b) Masar : pulang ke rumah dan tidur. Masar dalam hal ini spesifik berarti Pasar Ledoksari. Pasar Ledoksari menjadi tempat tinggal bagi anak jalanan yang bagi mereka paling nyaman dan menarik untuk mereka. Mereka akan tinggal di Pasar Ledoksari dan tidur untuk menunggu pagi. 7) Ngleseh Ngleseh berarti mengamen di lesehan-lesehan tempat makan masyarakat. Ngleseh berarti mereka akan berkegiatan di Lesehan baik kota maupun di pinggiran. Norma dalam percakapan ini cukup terjaga, dilihat dari tanggapan ibu anak jalanan ketika partisipan berbicara dnegan bahasa kromo alus, dia paham dengan begitu bahasa kromo alus berterima. Namun merek abelum
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 82
tentu menggunakannya dalam berkehidupan sehari-hari. Dalam peristiwa tutur ini mengacu pada penyampaian melalui narasi dan menjawab pertanyaan yang disediakan. Anak jalanan terpacu dan bukan pada kesadaran pribadi dalam menjawab pertanyaan.
j.
Kata colut memiliki makna berpindah dari satu tempat ke tempat lain Kata colut tidak memiliki pemaknaan dalam kamus bahasa Jawa. Kata ini adalah register yang digunakan anak jalanan yang memiliki arti berpindah tempat. Hal tersebut terlihat dari data yang diambil pada hari Senin, 5 November 2012; Pukul 14.00WIB di Tugu perempatan Jimbaran Radio, Surakarta, 50 meter sebelum Stasiun Balapan dari arah timur. (1) Anak Jalanan laki-laki berusia kisaran 15 tahun; (2) Anak Jalanan laki-laki berusia kisaran 12 tahun. Situasi yang dideskripsikan, kondisi yang panas, siang hari. Perempatan tampak lebih sepi dari sebelumnya, dan kegiatan mengamen menjadi kurang begitu ramai dan emndapatkan banyak pemasukan. Anak jalanan 1 Anak jalanan 2 Anak jalanan 1 Anak jalanan 2
: Melu ra? ikut tidak : Nengdi? kemana : Colut18, Tirtonadi! indah ke Tirtonadi : Ora om! Tidak Om
Anak jalanan yang berusia 15 tahun, ketika sudah mulai bosan berkegiatan dan hendak pindah ke terminal/stasiun lain, ada pula anak jalanan berusian kisaran 12 tahun yang diajak untuk berpindah namun tidak bersedia. Tidak ada anak jalanan di sekitar daerah tersebut, hanya kendaraan yang lalu lalang dan beberapa motor tidak memberikan uang untuk anak jalanan yang mengamen. Menunjukan arah tujuan kepergiannya, anak jalanan 1 berusaha memberikan sedikit ajakan, persuasi kepada anak jalanan 2 untuk berpindah tempat ke stasiun balapan, namun anak jalanan 2 meskipun
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 83
paham dengan percakapan, tidak bersedia berpindah ke stasiun, tanpa alasan. Isi ujaran terkesa singkat dan padat, yaitu ajakan berpindah tempat seorang anak jalanan kepada anak jalanan lainnya. Kata colut memiliki arti keluar dan pergi, biasanya dipakai oleh mahasiswa yang akan membolos, namun bagi anak jalanan memiliki arti berpindah dari objek tempat satu ke tempat yang lainnya. Nada yang digunakan adalah nada ajakan, persuasi. Di lain pihak anak jalanan 2 menjawab dengan nada datar. Anak jalanan satu mengajak dengan sangat semangat, namun anak jalanan 2 menjawab dengan sederhana. Jalur bahasa yang digunakan adalah jalur bahasa lisan, tanpa media apapun,. Obrolan biasa dua anak jalanan. Register yang digunakan adalah colut yang artinya berpindah dari satu tempat ke tempat lain, seperti pada konteks yang jelas, berpindah dari perempatan Radio Jimbaran ke Stasiun Kereta Api. Tidak terlihat adanya pelanggaran norma, maupun tindakan yang senonoh dan tidak sopan. Dengan begitu datarnya percakapan, belum mampu dilakukan identifikasi yang mendalam, namun secara garis besar ungkapan yang digunakan masih datar. Jenis dan bentuk penyampaian ujaran dengan persuasi, bukan narasi maupun deskripsi. Anak jalanan 1 mengajak anak jalanan 2 untuk berpindah tempat. k. Kata bolo
pasukan dalam tim
Kata bolo yang dalam keseharian masyarakat bahasa menyatakan artinya adalah teman, sedangkan dalam konteks anak jalanan, bolo memiliki makna pasukan atau pasukan dalam satu tempat kerja. Ditemukan penggunaan kata bolo dalam percakapan anak jalanan pada hari Sabtu,1 Desember 2012. Pukul 15.00 WIB. Kompleks Balaikota Surakarta, Surakarta. ± 300 meter selatan Pasar Gedhe, Surakarta Kondisi jalanan tampak sangat ramai memuncak, jalanan sedikit lebih macet. Beberapa
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 84
anak jalanan sedang bercanda guari satu dengan lainnya. namun beberapa yang lain tampak serius. anak jalanan 5 anak jalanan 1
: baksoku peken baksoku buat kamu aja : aku nanging terminal kok arep munggah, arep munggah kene balaku wis do rampung aku mau naik di terminal saja, mau naik di sini teman-temanku sudah selesai
Kondisi cuaca cerah, namun beberapan percakapan sering tidak berkaitan karena jumlah anak jalanan cukup banyak. Ada anak jalanan kecil yang mengikuti perbincangan. (1)Anak Jalanan laki-laki berusia ± 18 tahun; (2) Anak Jalanan lakilaki berusia ± 15 tahun; (3) Anak Jalanan laki-laki berusia ± 10 tahun; (4) Anak Jalanan laki-laki berusia kisaran 15 tahun; (5) Anak Jalanan laki-laki berusia kisaran 4 tahun. Usia anak jalanan yang paling kecil adalah adik dari anak jalanan yang lainnya. Beberapa anak jalanan yang lainnya tidak termonitori karena aktivitasnya yang tidak begitu mendukung. Beberapa anak jalanan sedang asik bermain musik, beberapa anak jalanan sedang makan dan beberapa lainnya sedang mengamen. Tujuan dari percakapan dan penggunaan kata register bolo untuk menunjukkan anak jalanan memiliki teman, bahwa teman-temannya telah pergi mendahuluinya. Percakapan ini terjadi tanpa ada tujuan khusus untuk menunjukkan situasi maupun kondisi tertentu yang diidentifikasikan. Tujuan penggunaan register lebih tertuju untuk efisiensi pemakaian dan pemaknaan kata yang dipakai satu orang dengan yang lainnya. Bentuk ujaran berupa kata, kalimat dan beberapa ujaran yang lainnya. kalimat yang berisi register lainnya, apabila dipahami perkata oleh orang awam akan cukup sulit, namun anak jalanan akan paham dengan rangkaian kata yang telah dipakai.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 85
Topik pembicaraan adalah kehidupan sehari-hari, bukan sebuah konflik yang ada di masyarakat. Namun sebuah peristiwa tutur anak jalanan pada hari biasa. Nada, tekanan, cara dan semangat penyampaian terkesan datar dan tanpa ada gejala yang memungkinkan ada konflik maupun beberapa nada yang dibuat dengan sengaja, nada mengejek. Digunakan nada mengejek, namun masih terkesan datar dan tanpa ada gejolak yang berarti. Tekanan masih bersifat datar. *matamu, matamu, matamu!! *iki kok gambare kok kayak ngene? hahaha.. mengko di cekel polisi
Peristiwa tutur ini berjalan secara langsung dengan jalur lisan. Register yang dipakai meliputi kata bolo yang menunjukkan sekawanan rekan mengamen, bukan berarti sahabat. Namun sekumpulan komunitas mengamen yang satu dan yang lain akan bekerja sama untuk mencari uang. Pada kasus umum, kata bolo bermaksud untuk menjelaskan makna sahabat, kawan dekat atau teman sepemikiran, namun pada konteks ini, maksud dari kata bolo rekan satu grup untuk mencari uang. Norma tidak begitu menonjol atau berpengaruh, bersifat biasa dan datar. Tidak ada penyelewengan yang berarti, namun satu anak jalanan dengan yang lain saling menghormati dan saling berbicara sopan. Tidak menutup kemungkinan, ketika berbicara mengenai hal yang mengandung konflik mungkin saja berpengaruh berbeda. Bentuk penyampaiannya menggunakan penyampaian narasi. Dengan bercerita dari satu aspek ke aspek yang lainnya, dan menceritakan secara runtut tanpa jeda, satu anak jalanan ke anak jalanan lainnya. l.
Kata rampung
pulang selesai kerja
Makna secara umum untuk kata rampung adalah selesai, namun dalam konteks di bawah ini, kata rampung memiliki makna usai bekerja dan hendak pulang. Ditemukan penggunaan kata rampung pada percakapan anak jalanan. Percakapan yang dilakukan pada hari Sabtu, 1 Desember
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 86
2012, pukul 15.00 WIB. Komplek Balaikota Surakarta, Surakarta. ± 300 meter selatan Pasar Gedhe, Surakarta. (1) Anak Jalanan laki-laki berusia kisaran ± 18 tahun; (2) Anak Jalanan laki-laki berusia ± 15 tahun; (3) Anak Jalanan laki-laki ± 10 tahun; dan (4) Anak Jalanan laki-laki berusia kisaran 15 tahun. Selain anak jalanan ini, masih banyak anak jalanan yang hadir, namun tidak berbincang. anak jalanan 1
anak jalanan 3
anak jalanan 3
anak jalanan 4
: aku ing terminal kok arep munggah, arep munggah kene balaku wis do rampung aku mau naik di terminal saja, mau naik di sini teman-temanku sudah selesai : la iki kok gambare kok kayak lha ini kok gambarnya semacam ini? Hahaha.. ntar ditangkap polisi lho!
: dheke neng Tegal, ora mudeng neng kene kapan, mbolang kok kon mulih-mulih dia di Tegal, saya tidak mengetahui dia ke sini kapan! Mbolang kok disuruh pulang! : nak ora enek sms wae. kalau tidak ada sms saja
Kondisi sosial masyarakat cenderung datar dan tidak ada konflik. Sebagai perbincangan normalnya masyarakat, tidak ada konflik yang menjadi tolok utama satu dengan yang lainnya. Kondisi jalannya ramai dan beberapa motor lalu lalang. Beberapa kendaraan besar menyebabkan macet, sekitar kanan dan kiri jalanan, anak jalanan sedang berbincang satu dengan yang lainnya. Percakapan ini tidak memiliki tujuan yang spesifik, hanya saja beberapa kata digunakan untuk mempersingkat pembicaraan, termasuk register rampung yang berarti selesai. Selesai bukan berarti menyelesaikan tugas, atau menyelesaikan pekerjaan, namun untuk menunjukkan telah pulang.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 87
Bentuk ujaran berupa kata, kalimat dan beberapa kalimat umpatan. Bentuk ujaran itu seperti,
Selain itu, beberapa pemilihan diksi untuk memperkjelas kalimat dan mengaitkan antar anak jalanan, termasuk di dalamnya menggunakan register lainnya. Nada, cara penyampaiannya, dan semangat dalam mengucapkan dan berbincang satu anak jalanan dengan anak jalanan lain terkesan datar, tidak ada penekanana yang berarti maupun memengaruhi makna kata ataupun kalimat yang diucapkan. Peristiwa tutur ini menggunakan jalur percakapan secara lisan. Pada jalur ini banyak yang berbicara, namun yang diambil yang memiliki keterkaitan dengan tema dan anak jalanan yang berpengaruh saja, beberapa audien yang tidak memengaruhi makna dan kosakata dari anak jalanan lainnya, tidak digunakan. Tidak ada pelanggaran norma yang terlihat secara nyata, maupun tersirat. Karena percakapan bersifat kejadian datar tanpa konflik, maka anak jalanan satu dengan yang lain tidak ada kegiatan atau peristiwa yang mengganggu. Anak jalanan satu dengan yang lainnya
hormat-menghormati.
Jenis
atau
bentuk
penyampaiannya
merupakan dialog realis, yang di dalamnya hanya narasi tanpa ada konflik yang mendasari. Jadi genres percakapan ini termasuk ke dalam narasi. m. Kata Nggurke Nggurke,
liki makna ditinggalkan sendirian dalam
bahasa
masyarakat
secara
umum
berarti
dianggurkan, seperti halnya benda. Berbeda dengan makna register anak jalanan untuk kata nggurke, adalah istri yang ditinggalkan di rumah sendirian. Percakapan ini terjadi pada Senin, 3 Desember 2012. Pukul 17.00 WIB di komplek Perempatan Panggung Motor, depan Yamaha Motor panggung Jebres terjadi perbincangan anak jalanan yang ditemukannya penggunaan register yaitu penggunaan kata nggurke.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 88
anak jalanan 1
: bojomu ing omah gur mbok nggurke, opo ra mesakake? manten istrimu di rumah hanya disia-siakan, apa tidak kasihan? Pengantin baru. Hahahahhaha
anak jalanan 3
: aku dak melu urun, dak tuku. wani pira? aku ikut menyumbang dong, saya beli. Berani berapa? : 2.000. gaya mu! 2.000! gaya mu! : Hey! Koe ki ngapa bar umbah2? hey! Kamu habis nyuci?
anak jalanan 2 anak jalanan 3
Keadaan lingkungan sekitar ada beberapa anak jalanan yang sedang duduk santai dan bercerita dengan lapang satu sama lainnya. keadaan sore yang sedikit renggang dimanfaatkan anak jalanan untuk saling mengejek dan bermain alat musik. (1) Anak Jalanan laki-laki berusia kisaran ± 15 tahun; (2) Anak Jalanan laki-laki berusia kisaran ± 17 tahun; (3) Anak Jalanan laki-laki berumur ± 10 tahun. Beberapa anak jalanan lainnya tidak diidentifikasi karena tidak memengaruhi kegiatan perbincangan satu dengan yang lainnya. anak jalana
saling berbicara hangat tanpa ada beban yang
dibawanya. Anak jalanan di luar anak jalanan berkegiatan yang berbeda, beberapa diantaranya masih bermain alat musik, bermain dengan temannya, ada pula yang tidur. Tujuan pengambilan register nggurke, pada sebagian besar orang menganggap barang saja yang bisa dianggurkan, tanpa berkegiatan, namun dalam hal ini untuk memudahkan anak jalanan lain, dalam berkomunikasi istilah ini keluar sebagai kata register. Kata register tersebut untuk megatakan bahwa istri seseorang tidak ia bawa kemana-mana, hanya tinggal di rumah saja, ia istilahkan sebagai dianggurkan. Dalam hal ini penggunaan bahasa terkesan kasar dan egois,
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 89
seorang suami yang menganggurkan isterinya karena alasan yang tidak logis. Bentuk ujaran yang dipakai adalah akkulturasi bahasa Indonesia dan bahasa Jawa, kata anggur dalam bahasa Indonesia. Anggur, menganggur tidak memiliki kegiatan apa-apa yg dapat menghasilkan uang; tidak melakukan apa-apa; tidak bekerja. Namun dalam register mampu muncul istilah nggurke yang bemakna dianggurkan. Nada, cara dan semangat yang ada hanya nada mengejek, ataupun bentuk bercanda ataupun gurauan yang tidak begitu jelas. Anak jalanan 1 Anak jalanan 2 Anak jalanan 1
:aku dak melu urun, dak tuku. : wani pira? : 2.000 gayamu
Pada dua contoh kalimat di atas, termasuk ke dalam nada mengejek. Percakapan ini terjadi dengan jalur lisan, tanpa jalur lainnya. dengan register nggurke yang memiliki makna dianggurkan atau dalam bahasa Jawa dianggurke. Termasuk ke dalam register, karena dianggurke memiliki makna tidak diajak berhubungan suami-isteri. Norma yang kurang tegas, menjelaskan bahwa tidak ada pihak yang melarang ataupun mengingatkan ketika seorang suami mengatakan hal setega itu kepada isterinya. Namun beberapa teman lainnya hanya tertawa terbahak-bahak mendengar kaimat tersebut. Hal tersebut seharusnya menjadi norma dan point tersendiri dalam bergaul, terutama sudah berumah tangga. Terkesan memalukan ketika didengar oleh orang lain. Jenis bentuk penyampain adalah narasi dan deksripsi, yaitu menarasikan kegiatan seorang anak jalanan kemudian mendeskripsikan dan mencocokan dengan kehidupan nyata. Seperti mengatakan tentang sudah menikah, tetapi isterinya didiamkan saja di rumah.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 90
n. Kata manten
pasangan muda-mudi
Kata manten atau temanten memiliki arti kamus mempelai pria dan wanita secara sah baik oleh hukum maupun agama. Pada konteks anak jalanan, kata manten memiliki perbedaan makna, yakni pasangan mudamudi yang sedang berpacaran, asalkan sudah melakukan hubungan suamiistri sudah dapat dikatakan manten. Percakapan ini terjadi pada Senin, 3 Desember 2012. Pukul 17.00 WIB di perempatan Panggung Motor, depan Yamaha Motor panggung, Jebres. Terjadi percakapan antaranak jalanan. Keadaan sosial daerah tersebut cukup ramai oleh kendaraan, selain itu juga beberapa orang lalulalang karena cuaca yang cerah dan nyaman untuk berjalan-jalan. Beberapa anak jalanan duduk santai dan bercerit satu dengan yang lainnya. satu anak jalanan dengan yang lain terkesan ramah dan akrab. Namun beberapa kali terkesan saling tertawa dan dorong-mendorong, hal tersebut ketika pembicaraan pada ujung. (1) Anak Jalanan laki-laki berusia ± 15 tahun; (2) Anak Jalanan laki-laki berusia ± 17 tahun; (3) Anak Jalanan laki-laki dengan usia ± 10 tahun. Selain itu beberapa anak jalanan juga duduk di sekitar lokasi tersebutm namun tidak berperan aktif dalam perbincangan yang sesuai dengan yang lainnya. Percakapan tersebut dengan register manten, yang dalam bahasa Jawa berarti temanten atau mempelai pria dan wanita. Dalam percakapan ini bertujuan untuk mengasingkan dua orang yang belum menikah secara hukum, tetapi sudah dikatakan mempelai. Hal tersebut diidentifikasikan dari jari tangannya yang tidak mengenakan cincin dan usia yang relatif masih muda. Ketika diminta klarifikasi dari orang yang bersangkutan, juga mengaku belum menikah. Ujaran yang digunakan bersifat terbuka dan beberapa register yang digunakan
masih
bersifat
umum.
Topik
pembicaraan
mengenai
ketidakharmonisan hubungan dua orang yang sedang memadu kasih, tanpa pernikahan secara hukum, namun mungkin sudah secara agama.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 91
Tidak ada nada yang terlihat secara jelas, namun beberapa nada mengejek, tertawa, seperti pada opo ra mesakake? manten Anak jalanan lain: hahahaahhahahaha Mengacu pada jalur lisan percakapan tersebut, karena diliihat dari kejadian nyata yang ada di masyarakat. Bentuk ujaran yang lainnya juga beberapa kata yang kasar dan semantiknya tidak masuk katagori kata yang halus. Beberapa pemaknaan kata cukup dalam, seperti halnya wanita yang berstatus pasangan, namun ditinggalkan karena bawel. Beberpa hal lain, seperti wanita yang dianggurkan,, dan diceritakan kepada kawan yang seyogyanya merupakan aib pribadi. Jenis dan bentuk penyampaiannya secara narasi dan deskripsi cerita. Karena mengandung alur cerita setiap anak jalanan, baik anak jalanan 1, anak jalanan 2 maupun yang lainnya. o. Kata rabi
bersetubuh
Kata rabi memiliki perbedaan makna antara makna dalam kamus dan register anak jalanan. Rabi yang berkembang di masyarakat secara luas berarti pernikahan. Sedangkan dalam konteks di bawah ini, rrabi memiliki makna persetubuhan antara sepasang kekasih. Ditemukan penggunaan kata rabi pada percakapan di bawah ini. Anak jalanan 1
Anak jalanan 2
Anak jalanan 3
: Bajamu ing omah gur mbok nggurke, opo ra mesakake? Manten . istrimu di rumah hanya disia-siakan, apa tidak kasihan? Pengantin baru. Hahahahhaha : Oalah Mbang, Mbang, bajane pengen rabi malah ditinggal liyane adhem-adhem bajane dikeloni. Oallah mbang, mbang! Istri inginnya bersetubuh kok dibiarkan, yang lain saja dingin-dingin dipeluk : Aku dak melu urun, dak tuku. Wani pira? aku ikut menyumbang dong, saya beli. Berani berapa?
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 92
Percakapan terjadi pada hari Senin, 3 Desember 2012, pukul 17.00 WIB. Kompleks Perempatan Panggung Motor, depan Yamaha Motor panggung, Jebres, Surakarta. ± 300 meter sebelah utara Pasar Gedhe, Surakarta. Kondisi ramai oleh motor yang berlalu-lalang dengan keadaan kota yang mulai sore, anak jalanan saling menggerombol dan bercerita. (1) Anak Jalanan laki-laki dengan usia ± 15 tahun; (2) Anak Jalanan laki-laki dengan usia ± 17 tahun; (3) Anak Jalanan laki-laki berumur ± 10 tahun. Beberapa anak jalanan sedang bercerita satu dengan yang lainnya. Salah satu anak jalanan menjadi objek perbincangan, yang menceritakan tentang isterinya yang hanya di rumah saja. Penggunaan
register
rabi
digunakan
anak
jalanan
untuk
menunjukan kata kerja, yaitu bersetubuh antara suami-isteri. Tujuan secara umum, adalah ajang berceita secara pribadi anak jalanan satu yang menceritakan banyak hal tentang kehidupan pribadinya. Tujuan tersebut melebar hingga ia menceritakan hal yang tidak ia sukai dari isterinya, padahal itu tidak baik. Bentuk ujaran dalam konteks ini adalah kata perkata yang telah disingkat dan dipadatkan serta ujaran tersebut hanya dipahami segolongan anak jalanan saja. Seperti nggurke dan lainnya, namun beberapa istilah ada di masyarkat, namun pemaknaan dari anak jalanan pun berbeda. Nada, cara dan semangat sama dengan analisis sebelumnya menggunakan nada yang mengejek namun santai, jadi tidak ada konflik antar satu anak jalanan dengan anak jalanan lainnya. beberapa kali ditunjukkan ekspresi sedih dan tidak puas akan sesuatu. Anak jalanan : aku dak melu urun, dak tuku. wani pira? iuran ya? Saya beli, berani berapa? Anak jalanan : Hey! Koe ki ngapa bar umbah2? selesai mencuci ya? Jalur bahasa yang digunakan untuk bercakap satu dengan yang lainnya, ketika anak jalanan bercakap dengan anak jalanan lain, mereka
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 93
berada di tugu traffic-light dengan jalur lisan. Tidak ada instrument atau jalur lainnya. Penggunaan kata rabi pada anak jalanan berbeda dengan konsep rabi masyarakat umum, rabi untuk masyarakat umum adalah menikah secara hukum dan agama. Sedangkan menurut anak jalanan, istilah rabi bermaksudkan bersetubuh antar pria dan wanita, seperti pasangan suamiisteri. Penggunaan istilah rabi oleh anak jalanan 2 menunjukkan bahwa setiap anak jalanan tidak memiliki norma yang mengatur percakapannya. Tidak ada sikap yang baik untuk membenarkan ataupun mengkritisi kesalahan norma berbahasa pada lawan bicaranya. Anak jalanan tidak memiliki
norma atau
aturan
yang mampu
membatasinya dalam
berkomunikasi satu dengan yang lainnya. Jenis bentuk penyampaian adalah narasi dan deksripsi, yaitu menarasikan kegiatan seorang anak jalanan. Seperti mengatakan tentang sudah menikah, tetapi isterinya didiamkan saja di rumah. Selain itu penyelewengan arti dan semantik dari kata rabi yang berubah. p. Kata kerja
mengamen, mengemis, dan melakukan
berbagai hal dalam bentuk apapun untuk mendapatkan uang Kata kerja untuk sebagian orang bermakna mencari uang di suatu tempat secara rutin. Sedangkan makna untuk register kerja anak jalanan adalah mengamen, mengemis, dan melakukan berbagai hal dalam bentuk apapun untuk mendapatkan uang. Penggunaan kata kerja ditemukan pada perbincangan anak jalanan pada hari Rabu, 5 Desember 2012, pukul 20.00 WIB di Tugu perempatan Jimbaran Radio, Surakarta. Situasi percakapan pada malam hari dengan kondisi yang ramai, dan kondisi jalanan padat. Saat itu ada beberapa anak jalanan yang mengamen dan mengemis di beberapa tugu traffic-light.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 94
anak jalanan 1 partisipan 1 anak jalanan 1 partisipan 1 anak jalanan 1 partisipan 1
: kowe ki ngapa neng kene ? Aku ki lagi kerja. kamu ngapain disini? Aku baru kerja : Ora opo-opo. Ora masar opo piye? idak apaapa! Tidak ke pasar atau gimana? : Ora lha wong adhem tenan kok! idak, ini dingin sekali kok : Gek kono kerjao aku tak neng kene. udah, ke sana saja, aku di sini : wegah tidak mau : Yowis aku tak lunga! ya sudah aku pergi
(1) Anak Jalanan laki-laki berusia ± 10 tahun, anak tersebut bernama Marsono. Beberapa anak jalan lainnya dari kejauhan mengamati dan melihat percakapan antara partisipan dan anak jalanan, namun tidak bertindak aktif. Register yang digunakan adalah kata kerja atau dalam bahasa Indonesia disebut kerja. Dalam situasi ini, anak jalanan menganggap kegiatannya adalah sebuah pekerjaan yang harus diselesaikan dan mendapatkan uang baik itu laba, upah sebagai pengganti jerihpayahnya. Menurut asumsi publik, kegiatan yang dilakukan anak jalanan saat ini masih sebatas mengamen dan meminta-minta. Bentuk ujaran yang digunakan adalah kata, kalimat dan kalimat tanya. Seperti menanyakan keberadaan anak jalanan, serta mampu mnejawab pertanyaan yang dilontarkan oleh anak jalanan, dan mampu menjawab dengan benar. Nada, cara dan semangat dalam menjawab pertanyaan bersifat reseptif, dan sedikit ada semangat. Pada saat bertanya, sudah menggunakan tekanan ketika bertanya, nada naik dengan benar. Kegiatan anak jalanan ketika ditanyai sesuatu, tidak bisa berdiam diri. Ia melakukan kegiatan ekstra seperti memetik gitar, sambil jalan-jalan tanpa arah, dan kegiatan lainnya. Kegiatan dan peristiwa tutur ini berjalan dengan baik dengan jalur lisan sebagai cara pengambilan datanya. Register yang ada adalah kerja yang memiliki arti bekerja, dalam hal ini identifikasi kata bekerja pada anak jalanan dan pada lingkungan masyarakat adalah berbeda. Jadi,
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 95
masyarakat belum tentu mampu menerima istilah anak jalanan sebagai bekerja. Secara normatif, tidak ada pelanggaran norma yang terjadi. Dikarenakan anak jalanan masih menggunakan bahasa yang wajar dalam bergaul dan berinteraksi. Namun adakalanya, jika dipermasalahkan, anak jalanan yang menggunakan bahasa sehari-hari dan berbicara dengan yang lebih tua tidak menggunakan bahasa yang baik kepada yang lebih tua. Pertanyaannya
: Ora masar opo piye?
Dan jawabannya : Ora lha wong adhem tenan kok!
Jenis peristiwa tutur ini adalah wawancara secara relaistis dari pertanyaan dan klarifikasi register yang dipakai dalam keseharian anak jalanan. Meskipun klarifikasi bersifat singkat, namun setidaknya anak jalanan paham dan mengerti makna yang disampaikan oleg partisipan dalam konteks tersebut. selain
itu juga sebagai bentuk klarifikasi
penggunaan bahasa pada anak jalanan yang satu dan anak jalanan yang lainnya apakah juga mengerti dan paham dengan tutuan anak jalanan yang lainnya. q. Kata kawasan
pembagian lokasi kerja dan bos penguasa pemimpin
Ditemukan penggunaan kata kawasan dan bos pada perbincangan anak jalanan yang terjadi pada hari Sabtu, 8 Desember 2012. Pukul 15.00 WIB. Kompleks Teras Panggung Motor (Yamaha), Jebres, Surakarta pada sebelah utara, berdampingan dengan jalan utama Panggung. (1) Anak Jalanan laki-laki dengan usia ± 10 tahun bernama Slamet Irianjaya
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 96
partisipan 1
: Pasar, Panggung, kawasan ngono kui batase opo ta? Pasar, Panggung, Kawasan seperti itu batasannya apa ta? : Ya, kui rel kreta! Gek cedhak pasar, perempatan ngono kui jenenge wis beda mas! Ya, ada rel kereta! Kalau enggak, dekat pasar! Di dekat perempatan! Namanya sudah beda! : Bos ki opo ta? bos itu artinya apa ta? : Bos ki sing mbimbing bos itu pembimbing!
anak jalanan 1
partisipan 1 anak jalanan 1
Tujuan dari peristiwa tutur tersebut untuk menggali informasi mengenai register yang dipakai oleh anak jalanan lain. Namun di sisi lain, anak jalanan tidak mengerti bahwa anak tersebut ditanya mengenai penggunaan bahasa anak
jalanan lainnya. Tujuan penggunaan register
pada kata kawasan adalah untuk mengetahui batasan kawasan beroperasi anak jalanan dalam satu daerah. Dari peristiwa tutur ini di dapatkan, batasan wilayah untuk daerah Panggung dan Pasar Ledoksari, Kecamatan Jebres, Surakarta. Dengan diketahuinya batasan penggunaan baik dari anak jalanan (Slamet Irianjaya) dan anak jalanan lainnya, maka diketahui bahwa pemaknaan istilah kawasan serupa dengan pemaknaan kata daerah kekuasaan. Selain itu, penggunaan kata kawaan pada anak jalanan satu dengan yang lainnya memiliki persamaan persepsi. Penggunaan kata bos, merupakan orang yang telah membimbing anak jalanan berada di jalanan. Anak jalanan tidak beroperasi sendirian, namun mereka dimonitori oleh seorang bos. Meskipun dalam peristiwa tutur ini tidak mampu digali siapa bos di kawasan Panggung, namun setidaknya pengertian bos untuk anak jalanan memiliki persepsi yang berbeda dengan masyarakat secara umum. Bentuk ujaran berupa kalimat dan jawaban atas pertanyaan. Kalimat seperti, anak jalanan mampu menjawab pertanyaan yang diajukan oleh partisipan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 97
partisipan 1 anak jalanan 1
:Bos ki opo ta? bos itu artinya apa ta? :Bos ki sing mbimbing bos itu pembimbing!
Topik pembicaraan adalah klarifikasi dari register anak jalanan yang diklarifikasikan di tempat yang berbeda. Topik secara eksplisit menceritakan tentang kawasan tempat anak jalanan beroperasi dan pengertian dari kata bos. Anak jalanan bersikap responsif dan menanggapi dengan baik pertanyaan dan tuturan dari partisipan. Jalur digunakan peristiwa tutur ini adalah jalur lisan, karena bentuk interaksi ini wawancara semu. Anak jalanan ditemui ketika sedang beroperasi dan diajak berinteraksi untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan. Register yang dipakai adalah kata kawasan dan bos. Kawasan memiliki makna yang sempit, yaitu daerah kekuasaan
dan lokasi
beroperasi anak jalanan, sedangkan bos memiliki arti seorang pembimbing yang memonitori kegiatan anak jalanan di jalan. Norma pembicaraan antara anak jalanan dan partisipan adalah pembicaraan antar generasi yang berbeda. Namun tidak ada pembedaan diksi dan kalimat ketika anak jalanan berinteraksi dengan seseorang yang lebih tua. Norma tersebut adalah gambaran kecil anak jalanan di satu kawasan. Bentuk peristiwa tuturan pada konteks ini adalah eksplorasi dan narasi. Anak jalanan menjawab pertanyaan dan menceritakan apa yang diketahuinya tanpa mengetahui
adanya wawancara dan menggali
informasi. r. Kata mulih
tidur
Makna kata mulih yang secara umum dipahami oleh masayrakat adalah pulang ke rumah, sedangkan dalam register anak jalanan, mulih berarti tidur. Entah dimana dan kapan waktunya, asalkan ia bisa tidur dan beristirahat itu dinamakan mulih. Ditemukan penggunaan kata mulih pada percakapan anak jalanan pada hari Senin, 10 Desember 2012. Pukul 15.00 WIB di teras Panggung Motor (Yamaha), Jebres. Situasi di sekitar teras Panggung Motor (Yamaha)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 98
ramai dan bising oleh kendaraan bermotor sedangkan cuaca cerah. Beberapa anak jalanan masih berlalu lalang di jalanan. Kegiatan anak jalanan adalah mengamen, meminta-minta dan menjual koran. partisipan 1 anak jalanan 1 partisipan 1 anak jalanan 1 partisipan 2
: Kerja kono lho. kerja sana lho! : Lha aku bar iki mulih lho Lha saya setelah ini pulang lho! : Mlaku? Mulih nengdi? jalan kaki? Kemana? : Turu tidur! : Ora tau sekolah meneh? tidak pernah sekolah lagi?
(1) Anak Jalanan laki-laki denga usia ± 8 tahun; (2) Anak Jalanan perempuan (bernama Tugi) dengan usia kisaran ± 10 tahun. Ketika peristiwa tutur berlangsung anak jalanan tersebut sendirian, namun selang beberapa waktu, datang Tugi (anak jalanan (2) yang mengikuti jalannya peristiwa tutur yang sedang berlangsung. Ada dua anak jalanan yang menjadi nara sumber dan objek penelitian, namun selain itu ada pula anak jalanan yang duduk-duduk dan bernyanyi, namun tidak sebagi objek penelitian. Tujuan dari penggunaan register mulih untuk mengidentifikasikan bahwa anak jalanan pulang ketika dia tidur saja, dan tempat pulang bagi anak jalanan tersebut adalah tempat tidur yang ia pakai untuk istirahat. Anak jalanan mengidentifikasikan dirinya ingin pulang ke tempat tidur dan istirahat. Mlaku? Mulih nengdi? alan kaki? Kemana? anak jalanan 1 Turu tidur! Penggunaan register mulih atau pulang menunjukkan aktivitas anak jalanan ketika dia pulang hanya tidur saja. Dilihat dari kondisi anak jalanan ketika pulang saat dia sudah merasa kantuk, dan akan tidur ketika sampai di rumah. Bentuk tuturan anak jalanan tersebut adalah beberapa kata, kalimat pernyataan, dan kalimat tanya. Contohnya,
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 99
anak jalanan 1 : Kowe mulih wae yo? kamu pulang aja ya? Kata : anak jalanan 2 : eko Kalimat pernyataan : anak jalanan 1 : Lha aku bar iki mulih lho Lha saya setelah ini pulang lho! Kalimat perintah : anak jalanan 1 : heh, ini buat kakakmu Variasi penggunaan bahasa pada anak jalanan, serta anak jalanan mengerti penggunaan kalimat tertentu untuk maksud tertentu. Contohnya kalimat perintah dengan tujuan untuk memerintah, kalimat tanya untuk bertanya, kata berdiri sendiri untuk menjawab pertanyaan. Penggunaan nada juga terlihat pada beberapa konteks kalimat yang dipakai oleh anak jalanan, seperti ketika itu ada beberapa anak jalanan yang lebih dewasa menghampiri anak jalanan ini, dan anak tersebut terlihat takut. Takut : anak jalanan 1 : Kae lho sing neng kono mengko dha rhene nak kowe neng kene, dikira bosku! itu lho, yang di sana, nanti mereka ke sini kalau kamu di sini! Nanti kamu dikira bos saya! Jalur yang digunakan dalam peristiwa tutur ini adalah jalur lisan, karena penggunaan dan pemakaian bahasa lisan sebagai sarana utama perbincangan. Selain itu penggunaan register terdengar ketika anak jalanan mulih ke Pasar Ledoksari untuk beristirahat (tidur). Bentuk peristiwa tutur pada konteks ini mengacu pada eksplorasi dan narasi. Percakapan terjadi secara natural, ketika anak jalanan bertemu dengan anak jalanan lainnya. Eksplorasi, karena anak jalanan ketika ditanya perihal nama anak perempuan tersebut, ia menjawab pertanyaannya Ora tau sekolah meneh? (tidak pernah sekolah lagi?) oleh anak jalanan dijawab seperti pada kartu data di bawah ini.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 100
bak! sudah selesai liburan m keti
Sapa iki jenenge
ketika anak jala Seko
Berdasarkan
yang ini namannya siapa?
Ora sekolah de
tidak sekolah dek?
kajian di atas ternyata dalam bahasa anak jalanan
dapat ditemukan register seperti munggah, klimis, masar, pengki, bos, kawasan, rabi dan sebagainya. beberapa kata tersebut, memiliki makna leksikal yang sama dengan kamus. Namun, beberapa yang lain merupakan kata baru, seperti pengki, munggah, masar, dan lainnya. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa penggunaan register pada anak jalanan tergantung pada konteks. Register yang mereka gunakan mengandung makna yang hanya dapat dipahami oleh komunitas mereka seperti kata munggah, klimis, suwak, dan kata lainnya.
D. Pembahasan Hasil Penelitian Penelitian analisis register anak jalanan di Kota Surakarta dengan rumusan masalah yang pertama berkaitan dengan pendeskripsian karakteristik penggunaan register pada anak jalanan di Kota Surakarta. Temuan yang didapatkan akan dianalisis melalui teori Hymes (dalam Bell, 1976:79), yakni analisis SPEAKING. Kesamaan ciri khusus yang menjurus ke karakateristik register tersebut akan dikelompokkan.
Setelah
temuan
berkenaan
dengan
karakteristik
register
dipaparkan, pembahasan berikutnya akan berkutat dengan tujuan dari penggunaan register anak jalanan. Dimungkinkan anak jalanan memiliki tujuan tertentu dalam menggunakan register tersebut. Setiap temuan yang didapatkan akan digeneralisasi menjadi beberapa tujuan penggunaan register saja. Hal semacam ini juga pernah dibahas oleh Fajarwati (2007) yang memaparkan bahwa di dalam Radio Expose (sebuah acara radio di Solo Radio) ada karakteristik bahasa, yakni pemakaian kosakata Jawa, pemakaian kosakata bahasa Inggris, pemakaian kata gaul, singkatan, akronim, dan slang, serta ditemukan pula pelesapan dan penambahan fonem atau suku kata, dan yang terakhir adalah pemakaian afiks dialek Jakarta.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 101
Jika penelitian ini dikaitkan dengan temuan Fajarwati (2007) maka ditarik benang merah, bahwa keduanya didominasi oleh bahasa Jawa. Selain itu, adanya pelesapan dan penambahan fonem atau terkenal dengan istilah aferesis, sinkope, dan apokope. Namun sayang, Fajarwati tidak mengungkapkan nilai rasa bahasa yang ada dalam acara radio tersebut. Oleh karena itu, dalam penelitian ini dibahas beberapa temuan dari karakteristik dan tujuan penggunaan register anak jalanan di Kota Surakarta yakni sebagai berikut. 1. Karakteristik Register Anak Jalanan Dalam menjawab rumusan masalah penelitian register anak jalanan di Kota Surakarta ini, akan dibahas bentuk dan karakteristik register yang berkembang dalam komunitas anak jalanan Kota Surakarta. Karakteristik yang dimiliki oleh bahasa anak jalanan ternyata didukung pula oleh penelitian Kuswarno (2009:90) yang menyatakan bahwa bahasa verbal dan nonverbal yang digunakan oleh anak jalanan diduga memiliki karakteristik yang khas. Kuswarno menambahkan pula, bahwa hakikat komunitas anak jalanan pada umumnya, dunia pengemis memiliki budaya yang mereka ciptakan sendiri yang meliputi seluruh perangkat tata nilai dan perilaku mereka yang unik. Konsep utama register dalam Parera (1993:133) adalah variasi dalam tutur yang digunakan oleh sekelompok orang tertentu dengan profesi dan perhatian yang sama. Sekelompok yang dimaksud dari teori ini adalah kelompok anak jalanan di Kota Surakarta. Sedangkan variasi tersebut hanya diketahui komunitas atau kelompok itu saja. Dalam bagian penutup penelitian Lestari (2011) jelas dipaparkan, bahwa karakteristik pemakaian bahasa pengamen tidak terlepas dari wujud interaksinya dengan orang lain. Ditemukan pula, pilihan bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi adalah bahasa Jawa, bahasa Indonesia, bahasa campuran Jawa-Indonesia, terkadang ada pula campuran dengan bahasa Inggris. Keberagaman penggunaan bahasa dan temuan dalam penelitian ini mampu membentuk beberapa pola dari hasil temuan penelitian. Dari pola tersebut dibuatlah beberapa simpulan berkenaan dengan hasil temuan penelitian. Karakteristik register adalah satu bentukan kesamaan dari beberapa
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 102
temuan. Kekhasan dalam bahasa anak jalanan ini pun dibahasa dalam penelitian Faturrokhman (2000) yang menyatakan bahwa anak jalanan mempunyai perilaku komunikasi yang berbeda dengan masyarakat pada umumnya. Pola komunikasi verbal mereka cenderung lebih lugas, dan banyak terdiri dari istilah-istilah yang dibuat oleh kelompok sebagai penegas identitas kelompoknya sedangkan untuk pola komunikasi nonverbal, anak jalanan lebih ekspresif dalam mengungkapankan perasaannya. Karakteristik yang ditemukan dari analisis ini dominasi penggunaan bahasa Jawa, terjadi pergeseran dan perubahan makna kata,
menggunakan
kata--kata bentuk ringkas, penggunaan kata-kata bermakna kasar, dalam percakapan antaranak jalanan, juga ditemukan lagi dua karakteristik bahasa anak jalanan di Kota Surakarta, yakni adanya pengalihan kode dan pencampuran kode, serta ragam bahasa yang dipakai oleh anak jalanan ketika berkoomunikasi satu dengan yang lainnya adalah ragam intim. Fenomena penggunaan alih kode secara umum menggunakan bahasa tujuan yakni bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Sedangkan pemilihan ragam bahasa yang dipilih adalah ragam bahasa intim atau akrab. Hal ini mengingat mereka memiliki profesi yang sama dan kebersamaan dalam profesi tersebut. a. Umumnya menggunakan bahasa Jawa Penggunaan bahasa Jawa dominan di kalangan anak jalanan kota Surakarta. Meskipun dalam beberapa konteks ada pula penggunaan bahasa dari bahasa asing. Alasan utama dominasi penggunaan bahasa Jawa karena sebagian anak jalanan berasal dari daerah sekitar Kota Surakarta. Hal ini jika dikaitkan dengan daerah asal yang pada umumnya berasal dari Jawa Tengah dan sekitanya akan memiliki pemahaman bahasa yang sama. Bahasa jawa yang dominan tentu saja bukan bahasa Jawa yang sesuai dengan unggah-ungguh dalam bahasa Jawa. Karakteristik register anak jalanan yang kedua ini senada dengan temuan dari penelitian Purnanto (2002) yang ditulis menjadi sebuah buku, yang menyebutkan bahwa di dalam berinteraksi secara lisan dipilih bahasa Jawa dengan tingkat tutur ngoko antarsesama pialang, ataupun yang lebih
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 103
tua. Bertumpu dari pendapat Purnanto, bahwa kaitannya dengan register dalam masyarakat Surakarta, pada umumnya ada dominasi penggunaan bahasa Jawa dalam keseharian maupun dalam register tersebut. Di sisi lain, penggunaan bahasa Jawa yang notabene selalu digunakan sehari-hari merupakan bahasa ibu sebagian besar anak jalanan di Kota Surakarta. Sebagai contohnya kata Ngalor yang memiliki makna dalam kamus pergi ke arah utara, namun pada penggunaan register anak jalanan memiliki makna berbeda, yakni pergi ke warung makan. Selain itu juga kata suwak yang memiliki arti bodoh, sedangkan kata manggung bukan lagi berarti naik ke atas panggung dan bernyanyi, namun makna manggung adalah pergi ke daerah Panggung untuk mencari nafkah. Selain kedua kata tersebut, ada pula kata munggah, medhun, mulih, rampung, rabi, dan contoh lainnya. Dari beberapa kata di atas mampu mewakili data utama, bahwa anak jalanan memiliki dominasi penggunaan bahasa adalah bahasa Jawa. Karena bahasa Jawa sebagai bahasa yang dominan, tentu saja ada pula penggunaan bahasa lain yang juga dipakai oleh anak jalanan. Contoh lain pemahaman bahasa anak jalanan di luar bahasa jawa adalah bahasa Indonesia dan bahasa Inggris yang lebih jelasnya akan dijelaskan pada alih kode dan campur kode.
b. Ada Perubahan dan Pergeseran Makna Harfiah Makna harfiah sebuah kata dapat dilihat berdasarkan kamus bahasa tersebut. Berbeda halnya dengan register yang memiliki pemaknaan berbeda dengan makna harfiah tersebut. Register memiliki pemaknaan yang hanya diketahui oleh komunitas tertentu. Karakteristik yang pertama dari kajian register anak jalanan Kota Surakarta adalah adanya pergeseran atau perubahan makna. Pergeseran makna yang dimaksudkan di atas adalah perbedaan makna register dengan makna harfiahnya. Namun makna tersebut hanya bergeser, tidak berubah secara drastis. Hal ini tampak pada kata register ndhes, bos,
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 104
kawasan, suwak, rampung, nggurke, dan kerja. Kata-kata tersebut tidak mengalami perubahan makna, hanya saja kata tersebut tidak memiliki makna yang sejajar dengan makna harfiahnya. Selain pergeseran makna, dalam register anak jalanan, ada pula kata register yang mengalami perubahan makna. Perubahan makna tersebut antara lain, klimis, ahai, ngalor, pengki, munggah, nyepur, medhun, ngampung, manggung, masar, ngleseh, colut, bolo, manten, rabi, kerja, dan mulih. Dari kata yang disebutkan sebelumnya, kata-kata tersebut mengalami perubahan makna. Contohnya adalah kata pengki yang makna sebenarnya adalah keranjang sampah bergeser menjadi anak buah. Selain itu, pada kata manggung, ngampung, masar, ngleseh, nyepur, medhun juga mengalami perubahan makna menjadi makna baru. Pada hakikatnya karakteristik register yang paling utama adalah adanya pergeseran dan perubahan makna harfiah sebuah kata menjadi kata yang memiliki makna baru dan hanya diketahui oleh komunitas itu saja. Perubahan makna tersebut menjadikan register anak jalanan tidak dimiliki dalam komunitas lainnya. Hal ini selaras dengan pendapat Wardaugh (dalam Purnanto, 2002) bahwa sebuah register hakikatnya sebagai pemakaian kosakata khusus yang berkaitan dengan jenis pekerjaan maupun kelompok tertentu.
c. Menggunakan kata-kata bentuk ringkas Ada pula penggunaan bentuk ringkas dalam komunikasi antaranak jalanan. Penggunaan bentuk ringkas tersebut tidak hanya pada susunan kata berimbuhan saja, namun juga dua kata atau lebih yag terwakili oleh satu kata dalam register. Bentuk ringkas dirasa lebih praktis dan nyaman digunakan daripada menggunakan bentuk lengkap yang memiliki arti sama. Sebagian anak jalanan merasa pentingnya komunikasi terletak pada kesesuaian pemahaman terhadap satu bahasa. Bentukan ringkas yang dipakai oleh anak jalanan terlihat praktis dan lebih aplikatif bagi mereka.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 105
Dalam Sutardjo (2008:50) terdapat pengkajian berkenaan dengan pengurangan atau penanggalan suku kata awal dalam sebuah kata. Sutardjo menjelaskan, pengurangan suku kata adalah sebuah bentuk peringkasan yang tidak mengubah makna kata tersebut. Dalam bukunya, Sutardjo membagi pengurangan suku kata menjadi tiga yakni aferesis, sinkope, dan apokope. Selaras dengan penelitian ini, Purnanto (2002) dalam peneletiannya juga menemukan salah satu karakteristik register dalam pialang kendaraan bermotor adalah pembentukkan kata antara lain ditemukan adanya penyingkatan kata, bentuk pemendekan atau kontraksi sebagai salah satu pembentukan kata dalam bahasa. Jika ditarik benang merah antara penelitian ini dan temuan dari Purnanto, keduanya saling berkaitan pada penggunaan bentuk ringkas. Dalam komunikasi antaranggota kelompok, anggota kelompok akan menggunakan bahasa yang lebih ringkas dan lebih mudah dicerna antaranggota kelompok tersebut. Aferesis adalah pengurangan suku kata di awal kata, dicontohkan kakang menjadi kang, bapak menjadi pak, simbah menjadi mbah. Sedangkan sinkope, merupakan pengurangan suku kata di tengah-tengah kata, dicontohkan, dhuwit menjadi dhit, sethithik menjadi sithik, dan njaluk menjadi njuk. Apokop adalah pengurangan suku kata pada akhir kata. Dhimas menjadi dhi, kakang menjadi kak, dan mbakyu menjadi mbak. Contoh penggunaan bentuk ringkas antara lain nggurke, dalam bahasa masyarakat secara umum berarti dianggurkan, namun dalam analisis register berarti istri yang ditinggalkan sendiri di rumah. Selain kata nggurke, adapula kata thole, menyang endi, ora, iki, akon, munyuk, embuh, asu, ora usah, dinggurke, dhuwit, sethithik, dan mbakyu. Bentuk ringkas ini seharusnya sama sekali tidak merubah makna dalam kalimat tersebut. Bentuk ringkas dalam percakapan anak jalanan dapat diklasifikasikan dalam tiga bentuk yakni aferesis, sinkope, dan apokope. Dari ketiga jenis tersebut, paling banyak ditemui di aferesis.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 106
Tabel 3. Karakteristik register bentuk ringkas Jenis
Kata Asal
Pengurangan
Kata Bentukan
Suku Kata Aferesis
Thole
le
menyang
nyangdi/
endi
nangdi/ nengdi
ora/iki/akon
ra/ki/kon
Munyuk
nyuk
Embuh
mbuh
Asu
su
ora usah
orasah
Dianggurkak
dinggurke
Dhuwit
dhit/
e Sinkope
det
Apokope
Sethithik
sithik
Mbakyu
mbak
d. Menggunakan kata bermakna kasar Penggunaan bahasa Jawa yang diterapkan anak jalanan adalah bahasa ngoko kasar. Dalam undha usuk basa Jawa, terdapat Basa Jawa Ngoko dan Basa Jawa Krama. Pada masyarakat umumnya, ketika berinteraksi dengan yang lebih tua, maka menggunakan krama, sedangkan dengan sejawat menggunakan ngoko. Penggunaan bahasa Jawa Krama dalam register anak jalanan ternyata disependapati oleh penelitian dari Lestari (2011). Bertumpu dari temuan dan simpulan Lestari, yang menyatakan bahwa pola interaksi verbal pengamen
menggunakan
bahasa
Jawa.
Tampak
dari
data
yang
disajikannya, bahwa bahasa yang dipergunakan antarpengamen adalah
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 107
bahasa Jawa ngoko. Fenomena dalam anak jalanan, sebagian besar mereka menggunakan ngoko dengan setiap lawan bicara. Hal ini karena mereka merupakan kaum tidak berpendidikan dan mereka tidak memiliki pengetahuan tentang norma lingkungannya. Fenomena dalam anak jalanan, sebagian besar mereka menggunakan ngoko pada setiap lawan bicara. Hal ini karena mereka merupakan kaum tidak
berpendidikan.
Selain
itu,
lingkungan
mendukung
adanya
penyelewengan dan ketidakpedulian terhadap satu sikap yang salah. Ini selaras dengan penemuan Faturrokhman (2000) bahwa hal yang paling menonjol dalam kajian anak jalanannya adalah, perilaku komunikasi anak jalanan sama sekali tidak mengindahkan norma, aturan, ataupun tata krama yang berlaku di masyarakat. Hal yang terpenting bagi mereka adalah mempertahankan identitas kelompok, sebagai sikap pembenaran dari masyarakat yang mengucilkan anak jalanan. Penyelewengan dan ketidakpedulian tersebut mampu merangsang anak jalanan menggunakan bahasa yang sederhana dan mudah dipahami dari maksud dan tujuan pelafalan. Namun, beberapa kata menunjukkan dan mengidentifikasikan kehidupan anak jalanan, sepeti cangkem; manungsa kae. Aspek-aspek makna dalam semantik menurut Pateda ada empat hal, yaitu : 1) Pengertian (sense) pengertian disebut juga dengan tema. Pengertian ini dapat dicapai apabila pembicara dengan lawan bicaranya atau antara penulis dengan pembaca mempunyai kesamaan bahasa yang digunakan atau disepakati bersama. Lyons (dalam Pateda, 2001:92) mengatakan bahwa pengertian (sense) adalah sistem hubunganhubungan yang berbeda dengan kata lain di dalam kosakata. 2) Nilai rasa (feeling) Aspek makna yang berhubungan dengan nilai rasa berkaitan dengan sikap pembicara terhadap hal yang dibicarakan. Dengan kata lain, nilai rasa yang berkaitan dengan makna adalah kata-kata yang berhubungan dengan perasaan, baik yang berhubungan dengan dorongan maupun penilaian. Jadi, setiap
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 108
kata mempunyai makna yang berhubungan dengan nilai rasa dan setiap kata mempunyai makna yang berhubungan dengan perasaan. 3) Nada (tone) Aspek makna nada menurut Shipley adalah sikap pembicara terhadap kawan bicara ( dalam Pateda, 2001:94). Aspek nada berhubungan pula dengan aspek makna yang bernilai rasa. Dengan kata lain, hubungan antara pembicara dengan pendengar akan menentukan sikap yang tercermin dalam kata-kata yang digunakan. 4) Maksud (intention) Aspek maksud menurut Shipley (dalam Pateda, 2001: 95) merupakan maksud senang atau tidak senang, efek usaha keras yang dilaksanakan. Pengungkapan penggunaan kata-kata yang kasar menunjukkan kondisi anak jalanan yang keras, suwak sebagai bentuk ejekan. Selain itu ada pula kata rabi yang lebih memperhalus makna dari bersetubuh. Tabel 4. Karakteristik register Penggunaan Kata Kasar
No. Kata register
Nilai rasa
1.
Nilai rasa untuk kata suwak kasar, memaknai
suwak
lawan bicara yang lebih dari sekadar bodoh. 2.
klimis
Kata klimis yang sejatinya memiliki arti rapi, berubah arti menjadi bentuk yang berantakan, tidak teratur, dan tidak sedap dipandang mata.
3.
ndhes
Ndhes merupakan kata gantian untuk cah. Kata ini memiliki nilai rasa yang kasar, karena pada umumnya digunakan untuk preman (bahasa preman).
4.
rabi
Rabi untuk memaknai persetubuhan lebih lembut. Pada biasanya, penggunaan kata untuk persetubuhan adalah kawin. Kata kawin jauh lebih kasar dibandingkan rabi.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 109
5.
pengki
Berarti bawahan, atau anak buah. Pengki memiliki makna yang lebih halus daripada bawahan, atau suruhan. Oleh karena itu, kata ini memiliki perluasan makna yang lebih halus.
Dari sekian kata di atas, masih ada banyak kata lain dalam percakapan anak jalanan yang memiliki makna kasar ataupun makna kata halus.
e. Ada peristiwa alih kode dan campur kode Menilik pada hasil penelitian ini, ditemukan adanya fenomena alih kode dan campur kode. Alih kode dan campur kode merupakan peristiwa pergantian bahasa yang digunakan dalam keseharian. Perubahan ragam santai menjadi ragam resmi, atau juga ragam resmi ke raham santai disebut dengan istilah alih kode. Sedangkan, menurut Appel (dalam Chaer, 2004) menyatakan bahwa gejala peralihan pemakaian bahasa karena perubahan situasi inilah yang disebut dengan alih kode. Sedangkan pengertian dari campur kode tidak jauh berbeda dengan alih kode, pembedanya adalah campur kode cukup memiliki kata atau klausa yang mengandung bahasa lain. Jadi pengertian dari alih koden jelas lebih luas dibandingkan dengan campur kode. Jika dikaitkan dengan penelitian milik Letari (2011) ditemukan pula simpulan yang menyatakan bahwa ditemukan alih kode dan campur kode dari penelitiannya. Alih kode memang tidak begitu menonjol ketika anak jalanan berada di antara anak jalanan lainnya, sedangkan alih kode terlihat begitu jelas ketika anak berada di PPAP Seroja, atau di lembaga kependidikan yang resmi lainnya. Berbeda halnya dengan campur kode yang sering sekali muncul dalam dialog anak jalanan. Anak jalanan menggunakan beberapa istilah dalam bahasa
Indonesia
dan bahasa Inggris untuk menegaskan
commit to user
makna
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 110
pembicaraannya. Contoh penggunaan kata yang merupakan campur kode adalah kata swear, fuck, stop, you, oke, cinta itu nggak bisa berbohong, bos, dan kawasan. Dari sekian contoh kata atau kalimat yang mengandung alih kode adalah penggunaan bahasa tujuan bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia. Bahasa Inggris meliputi swear, fuck, stop, you, oke. Sedangkan penggunaan dalam bahasa Indonesia adalah cinta itu nggak bisa berbohong, bos, dan kawasan. Ini merupakan beberapa contoh saja, dalam percakapan deskripsi data dapat ditemukan lebih banyak lagi fenomena alih kode dan campur kode. Satu lagi penelitian yang membahas adanya penggunaan campur kode dan alih kode dalam register adalah penelitian Purnanto (2002) yang menyebutkan bahwa ciri khas pemakaian bahasa pialang juga ditandai oleh adanya penciptaan kata sebagai kosakata khusus yang diserap dari bahasa lain. Gejala semacam ini lazim dikosakatakan sebagai campur kode. Dari pembahasan di atas, maka dapat diambil satu temuan baru bahwa adanya alih kode dan campur kode dari percakapan antaranak jalanan. Oleh karena itu, alih kode dan campur kode menjadi satu contoh karakteristik bahasa anak jalanan di Kota Surakarta.
f. Menggunakan ragam intim Berdasarkan pada tingkat keformalannya, Chaer (2004) membagi ragam bahasa menjadi ragam beku, ragam resmi, ragam konsultatif, ragam santai, dan ragam intim. Setiap ragam bahasa tersebut tentunya memiliki tingkat formalitas yang berbeda, dan susunan di atas adalah susunan ragam bahasa jika diurutkan dari yang paling formal menuju paling tidak formal. Dalam penelitian ini, disimpulkan bahwa salah satu karakteristik penggunaan register anak jalanan adalah ragam intim. Ragam intim menurut Chaer (2004) adalah salah satu bentuk ragam bahasa yang biasa digunakan oleh para penutur yang hubungannya sudah akrab, seperti antaranggora keluarga, antarteman yang sudah karib, antaranggota komunitas, dan kedekatan lainnya. Ragam jenis ini menurut
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 111
Chaer memiliki ciri yang paling khusus adalah penggunaan kata yang tidak lengkap, pendek-pendek, dan dengan artikulasi yang kadang tidak jelas. Selaras dengan temuan Lestari (2011) yang menyatakan bahwa anak jalanan di Kota Surakarta menggunakan ragam bahasa informal. Ragam bahasa ini dapat ditunjukkan dengan adanya gejala bahasa aferesis dan sinkope. Temuan Lestari dapat dilengkapi dengan penelitian ini yang menyebutkan adanya penggunaan ragam bahasa informal dalam keseharian anak jalanan Surakarta. Ini menunjukkan keadaan yang dekat dan intim antaranak jalanan. Kedekataan tersebut membuat mereka leluasa dalam menggunakan ragam informal dan intim dalam keseharian mereka. Salah satu contoh nyatanya adalah penggunaan kata ndhes dalam keseharian antaranak jalanan adalah bentuk ragam intim. Apabila kata ndhes bukan register, maka antaranak jalanan akan tersinggung.
2. Tujuan Pemakaian Register Tujuan pemakaian register dipilih sebagai rumusan masalah yang kedua, karena tujuan pengunaan register merupakan kunci pokok penelitian. Bahasa mampu menunjukkan keinginan pengucapan, motif keinginan pengucapan, latar belakang pendidikan, pergaulan, adat istiadat, dan lainnya, hal ini senada dengan teori Samsuri (1987:4) bahwa dari pembicaraan seseorang tidak saja keinginannya yang dapat diungkap, tetapi juga motif keinginannya, latar belakang pendidikannya, pergaulannya, adat istiadatnya, dan lain sebagainya. Begitu pentingnya peran bahasa dalam kehidupan seharihari sehingga penggunaannya mampu menunjukkan sikap dan kebiasaan seseorang. a. Membedakan dengan Kelompok Anak Jalanan Lain Tujuan utama dari keberadaan anak jalanan adalah untuk membuat sebuah sistem komunikasi yang tidak dimengerti oleh kelompok lain. Hal ini adalah tujuan register yang paling utama. Dengan menyembunyikan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 112
makna suatu sistem bahasa agar tidak dimengerti oleh kelompok lain, maka hakikat register pun terpenuhi. Register anak jalanan Kota Surakarta pun sama dengan dengan register pada umumnya. Register ini memiliki tujuan utama untuk menyembunyikan identitas makna yang merupakan register. Meskipun begitu, adakalanya makna dari sebuah register diketahui oleh komunitas lain. Meskipun penggunaannya kadangkala sudah dipahami masyarakat secara umum, esensi dari register tersebut tidak berubah. Ada beberapa register yang belum tentu diketahui oleh komunitas lainnya, seperti pengki, mudhun, munggah, colut, mulih, rabi, dan manggung.
b. Menunjukkan Keakraban Anggota Komunitas Selain fungsi utamanya adalah menyembunyikan makna register dari luar komunitas, register juga memiliki fungsi pengakraban. Pengakraban berasal dari kata akrab yang juga berarti intim. Antaranak jalanan memiliki keintiman dalam berkomunikasi. Berikut juga tujuan penggunaan bahasa tersebut. Register tertentu yang memiliki nilai rasa kasar ternyata memiliki kehalusan makna apabila digunakan pada sesama anak jalanan. Didukung temuan dari Dviri dan Aviad (1995) yang menyatakan bahwa anak jalanan selalu melakukan ritual dengan memberikan sebatang rokok untuk pengemis lain. Ditambahkan, setiap pengemis selalu menyisihkan sebagian besar batang rokoknya kepada sesama anak jalanan untuk mendapatkan pengakuan dalam ikatan kekerabatan. Hal ini terbukti dari percakapan tertentu, lawan tutur tidak marah atau ikut membalas dengan kata kasar. Pada konteks di bawah ini, kata suwak yang memiliki makna kata kasar, namun ketika diucapkan antaranak jalanan memiliki makna pengakraban. Penutur dan lawan tutur tidak ada rasa marah sedikitpun.
c. Menunjukkan Kekuasaan/Penghormatan Selain bentuk pengakraban, register juga mampu menumbuhkan jarak antara penutur dan lawan tutur. Ini dilakukan untuk memberikan jarak
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 113
antaranak jalanan, agar ada rasa hormat kepada penutur atau memberikan efek pemberian penghormatan kepada lawan tutur. Salah satu konteks di bawah ini merupakan bentuk nyata pengadaan jarak antara penutur dan lawan tutur menggunakan register. Ketika penutur anak jalanan 1 menggunakan kata cangkem, lawan tutur langsung takut dan merasa tidak enak hati dengan penutur, sehingga dengan kata Ora mas dia meniadakan amarahnya. Register juga mampu menunjukkan fenomena sosial kekuasaan seseorang. Hal ini terlihat dari kata register pengki yang memiliki arti anak buah. Bos yang memiliki arti pendidik. Ini merupakan dua contoh konkret adanya fenomena sosial dalam masyarakat anak jalanan di Kota Surakarta. Pengki merupakan register untuk anak buah, atau orang yang sering disuruh-suruh, sedangkan bos adalah anak jalanan yang sudah dewasa yang memberikan pengajaran bagi anak jalanan yang masih baru. Sesuai konteks di bawah ini, anak jalanan yang disebut sebagai pengki merupakan anak jalanan yang selalu menuruti semua yang diinginkan oleh bosnya.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB V SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang dilakukan di Bab IV tentang analisis karakteristik dan tujuan dari register anak jalanan kota Surakarta. Ditemukan penggunaan register anak jalanan dapat ditarik simpulan sebagai berikut. 1. Karakteristik Penggunaan Register pada Anak Jalanan di Kota Surakarta Keberagaman penggunaan bahasa dan temuan dalam penelitian ini mampu membentuk beberapa pola dari hasil temuan penelitian. Pola komunikasi verbal mereka cenderung lebih lugas, dan banyak terdiri dari istilah-istilah yang dibuat oleh kelompok
sebagai penegas identitas
kelompoknya sedangkan untuk pola komunikasi nonverbal, anak jalanan lebih ekspresif dalam mengungkapankan perasaannya. Karakteristik yang ditemukan dari analisis ini yakni terjadi pergeseran dan perubahan makna kata, dominasi penggunaan bahasa Jawa, memiliki bentuk ringkas, dan penggunaan kata-kata kasar, selain itu, dalam percakapan antaranak jalanan, juga ditemukan lagi dua karakteristik bahasa anak jalanan di Kota Surakarta, yakni adanya pengalihan kode dan pencampuran kode, serta ragam bahasa yang dipakai oleh anak jalanan ketika berkoomunikasi satu dengan yang lainnya adalah ragam intim. Fenomena penggunaan alih kode secara umum menggunakan bahasa tujuan yakni bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Sedangkan pemilihan ragam bahasa yang dipilih adalah ragam bahasa intim atau akrab. Hal ini mengingat mereka memiliki profesi yang sama dan kebersamaan dalam profesi tersebut. a. Perubahan dan Pergeseran Makna Harfiah Selain pergeseran makna, dalam register anak jalanan, ada pula kata register yang mengalami perubahan makna. Perubahan makna tersebut antara lain, klimis, ahai, ngalor, pengki, munggah, nyepur, medhun, ngampung, manggung, masar, ngleseh, colut, bolo, manten, rabi, kerja,
commit to user 114
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 115
dan mulih. Dari kata yang disebutkan sebelumnya, kata-kata tersebut mengalami perubahan makna. Contohnya adalah kata pengki yang makna sebenarnya adalah keranjang sampah bergeser menjadi anak buah. Selain itu, pada kata manggung, ngampung, masar, ngleseh, nyepur, medhun juga mengalami perubahan makna menjadi makna baru. b. Dominasi Penggunaan Bahasa Jawa Penggunaan bahasa Jawa dominan di kalangan anak jalanan kota Surakarta. Meskipun dalam beberapa konteks ada pula penggunaan bahasa dari bahasa asing. Alasan utama dominasi penggunaan bahasa Jawa karena sebagian anak jalanan berasal dari daerah sekitar Kota Surakarta. Hal ini jika dikaitkan dengan daerah asal yang pada umumnya berasal dari Jawa Tengah dan sekitanya akan memiliki pemahaman bahasa yang sama. Bahasa jawa yang dominan tentu saja bukan bahasa Jawa yang sesuai dengan unggah-ungguh dalam bahasa Jawa. Karena bahasa Jawa sebagai bahasa yang dominan, tentu saja ada pula penggunaan bahasa lain yang juga dipakai oleh anak jalanan. Contoh lain pemahaman bahasa anak jalanan di luar bahasa jawa adalah bahasa Indonesia dan bahasa Inggris yang lebih jelasnya akan dijelaskan pada alih kode dan campur kode.
c. Ragam Bahasa Informal Setiap ragam bahasa tersebut tentunya memiliki tingkat formalitas yang berbeda, dan susunan di atas adalah susunan ragam bahasa jika diurutkan dari yang paling formal menuju paling tidak formal. Dalam penelitian ini, disimpulkan bahwa salah satu karakteristik penggunaan register anak jalanan adalah ragam intim. Adanya penggunaan ragam bahasa informal dalam keseharian anak jalanan Surakarta. Ini menunjukkan keadaan yang dekat dan intim antaranak jalanan. Kedekataan tersebut membuat mereka leluasa dalam menggunakan ragam informal dan intim dalam keseharian mereka. Salah satu contoh nyatanya adalah penggunaan kata ndhes dalam keseharian
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 116
antaranak jalanan adalah bentuk ragam intim. Apabila kata ndhes bukan register, maka antaranak jalanan akan tersinggung.
d. Bentuk Ringkas Ada pula penggunaan bentuk ringkas dalam komunikasi antaranak jalanan. Penggunaan bentuk ringkas tersebut tidak hanya pada susunan kata berimbuhan saja, namun juga dua kata atau lebih yag terwakili oleh satu kata dalam register. Bentuk ringkas dirasa lebih praktis dan nyaman digunakan daripada menggunakan bentuk lengkap yang memiliki arti sama. Sebagian anak jalanan merasa pentingnya komunikasi terletak pada kesesuaian pemahaman terhadap satu bahasa. Bentukan ringkas yang dipakai oleh anak jalanan terlihat praktis dan lebih aplikatif bagi mereka. Contoh penggunaan bentuk ringkas antara lain nggurke, dalam bahasa masyarakat secara umum berarti dianggurkan, namun dalam analisis register berarti istri yang ditinggalkan sendiri di rumah. Selain kata nggurke, adapula kata thole, menyang endi, ora, iki, akon, munyuk, embuh, asu, ora usah, dinggurke, dhuwit, sethithik, dan mbakyu. Bentuk ringkas ini seharusnya sama sekali tidak merubah makna dalam kalimat tersebut. Bentuk ringkas dalam percakapan anak jalanan dapat diklasifikasikan dalam tiga bentuk yakni aferesis, sinkope, dan apokope. Dari ketiga jenis tersebut, paling banyak ditemui di aferesis.
e. Penggunaan Kata yang Kasar Penggunaan bahasa Jawa yang diterapkan anak jalanan adalah bahasa ngoko kasar. Dalam undha usuk basa Jawa, terdapat Basa Jawa Ngoko dan Basa Jawa Krama. Pada masyarakat umumnya, ketika berinteraksi dengan yang lebih tua, maka menggunakan krama, sedangkan dengan sejawat menggunakan ngoko. Tampak dari data yang disajikannya, bahwa bahasa yang dipergunakan antarpengamen adalah bahasa Jawa ngoko. Fenomena dalam anak jalanan, sebagian besar mereka menggunakan ngoko dengan setiap lawan bicara. Hal ini karena
commit to user
mereka merupakan kaum tidak
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 117
berpendidikan dan mereka tidak memiliki pengetahuan tentang norma lingkungannya. Fenomena dalam anak jalanan, sebagian besar mereka menggunakan ngoko pada setiap lawan bicara. Hal ini karena mereka merupakan kaum tidak
berpendidikan.
Selain
itu,
lingkungan
mendukung
adanya
penyelewengan dan ketidakpedulian terhadap satu sikap yang salah. Hal yang terpenting bagi mereka adalah mempertahankan identitas kelompok, sebagai sikap pembenaran dari masyarakat yang mengucilkan anak jalanan. Penyelewengan dan ketidakpedulian tersebut mampu merangsang anak jalanan menggunakan bahasa yang sederhana dan mudah dipahami dari maksud dan tujuan pelafalan.
f. Penggunaan Alih Kode dan Campur Kode Menilik pada hasil penelitian ini, ditemukan adanya fenomena alih kode dan campur kode. Alih kode dan campur kode merupakan peristiwa pergantian bahasa yang digunakan dalam keseharian. Perubahan ragam santai menjadi ragam resmi, atau juga ragam resmi ke raham santai disebut dengan istilah alih kode. Contoh penggunaan kata yang merupakan campur kode adalah kata swear, fuck, stop, you, oke, cinta itu nggak bisa berbohong, bos, dan kawasan. Dari sekian contoh kata atau kalimat yang mengandung alih kode adalah penggunaan bahasa tujuan bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia. Bahasa Inggris meliputi swear, fuck, stop, you, oke. Sedangkan penggunaan dalam bahasa Indonesia adalah cinta itu nggak bisa berbohong, bos, dan kawasan. Ini merupakan beberapa contoh saja, dalam percakapan deskripsi data dapat ditemukan lebih banyak lagi fenomena alih kode dan campur kode. 2. Tujuan Pemakaian Register Tujuan pemakaian register dipilih sebagai rumusan masalah yang kedua, karena tujuan pengunaan register merupakan kunci pokok penelitian. Dari pembicaraan seseorang tidak saja keinginannya yang dapat diungkap,
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 118
tetapi juga motif keinginannya, latar belakang pendidikannya, pergaulannya, adat istiadatnya, dan lain sebagainya. Begitu pentingnya peran bahasa dalam kehidupan sehari-hari sehingga penggunaannya mampu menunjukkan sikap dan kebiasaan seseorang. a. Merahasiakan dari Kelompok Bahasa Lain Tujuan utama dari keberadaan anak jalanan adalah untuk membuat sebuah sistem komunikasi yang tidak dimengerti oleh kelompok lain. Hal ini adalah tujuan register yang paling utama. Dengan menyembunyikan makna suatu sistem bahasa agar tidak dimengerti oleh kelompok lain, maka hakikat register pun terpenuhi. Register anak jalanan Kota Surakarta pun sama dengan dengan register pada umumnya. Register ini memiliki tujuan utama untuk menyembunyikan identitas makna yang merupakan register. b. Untuk Mengakrabkan Anggota Komunitas Selain fungsi utamanya adalah menyembunyikan makna register dari luar komunitas, register juga memiliki fungsi pengakraban. Pengakraban berasal dari kata akrab yang juga berarti intim. Antaranak jalanan memiliki keintiman dalam berkomunikasi. Berikut juga tujuan penggunaan bahasa tersebut. Register tertentu yang memiliki nilai rasa kasar ternyata memiliki kehalusan makna apabila digunakan pada sesama anak jalanan. Hal ini terbukti dari percakapan tertentu, lawan tutur tidak marah atau ikut membalas dengan kata kasar. Pada konteks di bawah ini, kata suwak yang memiliki makna kata kasar, namun ketika diucapkan antaranak jalanan memiliki makna pengakraban. Penutur dan lawan tutur tidak ada rasa marah sedikitpun. c. Menunjukkan Kekuasaan Selain bentuk pengakraban, register juga mampu menumbuhkan jarak antara penutur dan lawan tutur. Ini dilakukan untuk memberikan jarak antaranak jalanan, agar ada rasa hormat kepada penutur atau memberikan efek pemberian penghormatan kepada lawan tutur. Salah satu konteks di bawah ini merupakan bentuk nyata pengadaan jarak antara penutur dan lawan tutur menggunakan register. Pengki merupakan register untuk anak
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 119
buah, atau orang yang sering disuruh-suruh, sedangkan bos adalah anak jalanan yang sudah dewasa yang memberikan pengajaran bagi anak jalanan yang masih baru.
B. Saran 1. Bagi Masyarakat a. Dengan membaca hasil penelitian register ini dapat menambah atau memperkaya wawasan masyarakat mengenai penggunaan bahasa yang digunakan anak jalanan. b. Bertumpu dari penelitian ini, masyarakat seharusnya memahami, setiap bahasa yang dipakai oleh anak jalanan bukan bermaksud kasar. Namun memang kurangnya pengetahuan mereka akan norma dan peraturan, mereka mengatakan hal semacam itu. c. Masyarakat semakin mengetahui tujuan penggunaan register anak jalanan Kota Surakarta yang selama ini belum mereka ketahui oleh umum. d. Masyarakat mengetahui adanya karakteristik dari setiap register yang kadang kala tidak dimengerti oleh masyarakat pada umumnya.
2. Bagi Mahasiswa dan Dosen a. Hasil penelitian ini dapat dijadikan contoh dalam pengkajian disiplin ilmu sosiolinguistik bidang ilmu register. b. Dengan adanya penelitian di bidang sosiolinguistik ini, diharapkan mahasiswa dari Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia mampu membuka cakrawala akan bidang kajian penelitian skripsi lainnya, tidak hanya melulu di bidang pengajaran bahasa Indonesia. c. Dosen memberikan peluang kepada mahasiswa untuk sejenak keluar dari bidang kajian pendidikan, perlu sesekali memberikan bimbingan mahasiswa di bidang linguistik terapan, salah satunya bidang kajian sosiolinguistik.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 120
d. Analisis register anak jalanan di Kota Surakarta dapat digunakan oleh dosen sebagai materi pembelajaran sosiolinguistik di kelas mata kuliah sosiolinguistik. 3. Bagi Peneliti Lain a. Hasil penelitian ini bisa dijadikan dasar atau pembuka wawasan bagi peneliti lain bahwa ternyata register anak jalanan bervariasi sehingga mereka bisa mengembangkan penelitian selanjutnya. b. Memberikan lahan baru bagi para peneliti untuk terus mengkaji kota Surakarta yang salah satu titik poin pentingnya adalah anak jalanan. c. Berbagi wawasan keilmuan sosiolinguistik yang ada di masyarakat Surakarta dalam bentuk hasil penelitian dan deskripsi analisis hasil penelitiannya.
commit to user