REFLEKSI ALKITABIAH FENOMENA GLOSSOLALIA Evan Siahaan1
Abstraksi Penyelidikan mengenai fenomena glossolaliadalam ranah teologi merupakan sebuah pergumulan yang terus bergulir sepanjang zaman sejarah gereja. Hingga kini aroma polemik tersebut masih saja berlangsung, baik secara “sopan” hingga pada level yang frontal, dengan berbagai tudingan yang tidak jarang memojokkan dan mendiskreditkan. Kelompok Pentakosta atau Karismatika, yang seringkali menjadi target tudingan sesat, berupaya melakukan apologia sesuai pemahaman bingkai teologi mereka. Namun, harus diakui, keberagaman doktrin mengenai hal tersebut tidak sedikit menghasilkan kebingungan di kalangan Pentakosta/Karismatika sendiri. Itu sebabnya, penelitian ini akan memberikan kontribusi demi meluruskan berbagai polemik (konflik) teologi yang terus berkembang hingga saat ini. Penelitian ini menggunakan metode deskripsi dengan pendekatan historisfilosofis, untuk memahami sejarah dan pemahaman glossolalia tersebut dari zaman Alkitab hingga pada masa kontemporer, serta eksposisi teologis pada teks Kisah Para Rasul 2:1-13 dan 1 Korintus 12-14, untuk mendapatkan pemahaman Alkitabiahyang kontekstual.
Biblical Reflection About Glossolalia Abstract The study about glossolalia phenomenon in theological domain has been struggled as long as the history of church made her path on this world. The polemic nuance surrounded has been occuring to the present time, both in polite term and frontally, often within cynicism and discredited recrimination. The Pentacost or Charismatic which always been accused to be heretic, has been striving to make an apologetic according to their theological main frame. Honestly, many various doctrines about glossolalia within Pentacost or Charismatic have confused them alone. Therefore, this paper will give contribution for explaining every theological polemic which has been thriving along the ages. This research will use a description method with historical and philosophical approaches in understanding glossolalia concept and its history from Bible time to the present, and also theological exposition at the text of Acts 2:1-13 and 1 Corinthians 12-14, for acquiring biblical understanding contextually. Keywords:Holy Spirit, Roh Kudus,spiritual gifts, karunia roh, pentacostalism, pentakostalisme,speak in tongues, bahasa roh
1
STT “Intheos” Surakarta 160
membuka pintu, entah dalam bingkai yang
PENDAHULUAN Istilah
(fenomena)
substansial ataupun strategial. Dikatakan
glossolalia
substansial, karena “wabah” karismatika
merupakan salah satu identitas atau ciri khasbagi
kaum
Pentakosta
merupakan bagian yang sahih dalam
atau
liturgi
Karismatika yang menonjol pada masa
di
gereja-gereja
berlabelkan
karismatika dilakukan sebagai opsi atau
pentakosta/karismatika
bentuk refreshing dari liturgi yang telah ada dalam gereja lokal, dengan maksud
yang tidak pernah dilewatkan. Bahkan ini
terus
merebak
agar jemaat tetap berada di gereja tersebut
dalam
tanpa
persekutuan-persekutuan doa yang kian
gereja
tidak
dianggap sesat ini.3 Keterbukaan
yang kental dengan nuansa karismatis
pada
berekspresi yang tidak didapatkan dalam
karunia Roh Kudus, terutama karunia
berasal dari gereja-gereja aras utama
penyembahan
yang
disertai
dengan
mampu
yang kaya akan manifestasi karunia-
Hasilnya, tidak sedikit mereka yang
alunan
yang
dalam” di lautan pentakosta/karismatika
gerejawi.
dengan
ibadah
keleluasaan untuk “lebih jauh” dan “lebih
bahasa iman lepas dari segala kekakuan
terbiasa
batasan
yang ketat secara dogmatis tidak memberi
doa mereka bebas mengaktualisasikan
menjadi
gerakan
menyegarkan para jemaat gereja. Kontrol
gereja-gereja asal mereka. Di persekutuan
organisasi
terhadap
pentakostalisme/karismatika ini tidak lebih
tersebut, mereka hanyut dalam kebebasan
legalisme
gereja-gereja
beberapa kalangan dan teolog selalu
lagi
dipedulikan dalam ibadah persekutuan doa
dan
pindah ke
spirit keterbukaan bagi gerakan yang bagi
kota-kota kecil seperti Solo. Sepertinya, belakang
harus
karismatika.2 Setidaknya ada semacam
menjamur, baik di kota-kota besar maupun
latar
gereja
itu, dikatakan strategial karena pola ibadah
yang
manifestasi glossolalia menjadi bagian
fenomena
sehingga
seyogyanya menerapkan itu. Sementara
kini.Hampir bisa dipastikan, dalam setiap kebaktian
Alkitabiah,
berbahasa roh atau glossolalia. Alhasil,
2
Hal ini bisa dilihat dengan dibukanya ibadahibadah opsional dengan pola karismatika di beberapa gereja aras utama, ditambah lagi dengan munculnya gerakan Katolik Karismatik 3 Dalam beberapa bukunya, seperti: Roh Kudus, Doa dan Kebangunan, (Jakarta: LRII, 1995) dan Baptisan dan Karunia Roh Kudus, (Jakarta: LRII, 1996), Stephen Tong sangat tajam mengkritik, bahkan cenderung menjustifikasi kegerakan karismatika sebagai golongan yang menyesatkan dengan penafsiran yang sudah tentu menyesatkan.
lantunan “bahasa-bahasa asing” tersebut. Kebebasan berekspresi dalam ibadah rupanya menjadi trend yang mewabah di banyak gereja, sehingga banyak gereja yang tadinya sangat tertutup dengan pola ibadah karismatik lambat laun telah 161
berbagai
manifestasi
karunia
Roh
keangkuhan. Namun, pernahkah kaum
Kudus—terutama karunia glossolalia—
pentakosta melihat momentum terhadap
tetap menjadi barang “haram” yang tidak
cela(h) yang telah dibuatnya sendiri dan
boleh ada dalam ibadah opsional dengan
yang telah menjadi bumerang baginya?
label karismatik tersebut. Tentunya, hal
Ada
tersebut dikarenakan perbedaan bingkai
pemahaman
teologi
yang
tendensi
pentakostalisme
dimana seringkali
membawa
pada
dibangun atas dasar pengalaman pribadi,
penafsiran
dan
sehingga parameter teologinya tidak jelas.
pemahaman teologis terhadap konsep
Hal itu disebabkan stigma yang telah
Alkitabiah tersebut.
dibangun oleh para tokoh pentakosta,
perbedaan
telah
semacam
spektrum
Bagi kaum Pentakosta dan Karismatik,
dimana
mereka
kurang
memberikan
perihal glossolalia merupakan perkara
tempat pada kajian-kajian ilmiah terhadap
teologis yang masih—dan akan terus—
teologi yang mereka anut. Mereka lebih
relevan bagi gereja sepanjang zaman,
“mengandalkan”suara Tuhan demi sebuah
sekalipun akan bertentangan terhadap
pemahaman teologis. Hasilnya, teologi
pemahaman teologi injili dan aras utama.
pentakosta
Perbedaan
tersebut
membingungkan dan tidak jelas, serta
polemik
dengan
telah
menyulut
masing-masing
rapuh
menjadi
ketika
sesuatu
masuk
dalam
yang
ranah
argumentasi teologisnya yang bermuara
apologetika. Tidak hanya itu, terkadang
pada konflik (baca: perdebatan) teologi
pemahaman teologis (dogmatis) masing-
dan filosofi yang panjang. Alih-alih,
masing
memandang perbedaan perspektif teologi
memiliki perbedaan yang tidak logis
sebagai keberagaman dalam tubuh Kristus,
antara
sebagian
justru
tergantung dari kepekaan mereka terhadap
melakukan penghakiman teologis yang
suara Tuhan. Penggunaan karunia yang
semakin memperlebar jurang pemisah.
menjadi parameter telah membuat norma
Merasa paling benar dengan formulasi
penilaian tidak lagi berdasar pada spirit
dogmatikanya, kaum yang menganggap
sola scriptura.
kelompok
teologi
teolog
satu
Pentakosta/Karismatik
dengan
yang
lainnya,
sebagai pewaris teologi reformasi tersebut
Tanpa disadari muncul pola yang
tidak segan melayangkan tudingan frontal
terbalik, kemampuan memiliki karunia
terhadap manifestasi glossolalia yang
atau
dilakukan
menjadi norma atau parameter untuk
kaum
Karismatik
sebagai
kepekaan
terhadap
Roh
Kudus
bentuk kesesatan. Mungkin ada yang
memahami
memandang
memiliki otoritas primer dibandingkan
ini
sebagai
bentuk 162
Alkitab.“Suara
Tuhan”
Alkitab itu sendiri. Konstruksi studi tafsir
merefleksikan bahasa roh yang dilafalkan
Alkitab
berorientasi
pada
pada sebuah pengetahuan Alkitabiah yang
melainkan
pola
sehat, melainkan terhanyut dalam sebuah
eisegesa yang sarat akan muatan filosofis.
paradigma “impartasi” roh. Pertanyaan
Tanpa
yang
substansinya adalah: Bisakah seorang
menganggap rasio sebagai barang haram
tanpa memiliki pengenalan yang benar
dengan menghindari kajian filsafat justru
(baca: Alkitabiah) akan Allah mengalami
terberangus dalam filsafat eksistensialis,
manifestasi glossolalia?
tidak
lagi
metodologieksegesa
disadari,
orang-orang
Ketika
empiris, dan pragmatisme. Oleh sebab itu,
penulis
bertanya
kepada
biarlah keangkuhan sebagian kelompok
beberapa jemaat Tuhan dari latar belakang
yang kerap memojokkan pentakostalisme
denominasi
ini menjadi momentum bagi para teolog
setidaknya ada dua pemahaman umum
Pentakosta merekonstruksi teologi yang
yang muncul dari jawaban mereka.4
logis dan dinamis, tidak sekadar wacana
Pertama,
subyektif dari suara Tuhan.
ketika
gereja
mereka berdoa
yang
berbeda,
mengatakan
dengan
bahwa
menggunakan
bahasa roh maka doa itu akan lebih cepat FENOMENOLOGI KARISMATIKA: Antara Epistemologi dan Tendensi
sampai kepada Tuhan, karena iblis tidak mengerti
Menelisik lebih jauh dalam tubuh Pentakosta
atau
Karismatik,
akandidapatifenomena
maka
surgawi
jemaat
yang
untuk
Hal hamba
ini
dikarenakan Tuhan
yang
berkarunia dan berkarisma akan dengan mudahnya mengumbar wacana subyektif
ibadah tersebut karismatik, atau, ibadah itu karena
Tuhan.
masing-masing
Muncul pertanyaan, apakah
karismatik
digunakan
bahasa roh yang muncul di kalangan
bahasa roh itu terjadi karena sebuah
disebut
bisa
ada pemahaman lain berkaitan dengan
manifestasi glossolalia, lepas dari segala
beragam.
yang
berkomunikasi kepada Allah. Mungkin
karismatik akan selalu diwarnai dengan
pemahaman
diucapkannya.
bahasa roh merupakan bahasa ilahi, bahasa
glossolaliayang
hidup kaum ini. Setiap bentuk ibadah
dan
yang
Kedua, munculnya pemahaman bahwa
seakan telah menjadi bagian dari gaya
kontroversi
bahasa
tanpa mau mendalami teologi yang sehat.
ada
Bahkan, ironisnya, ada pemahaman bahwa
manifestasibahasa roh di dalamnya. Hal
bahasa roh merupakan identitas dan
ini menjadi penting, karena telah terjadi 4
Penulis mengadakan survei tidak resmi dan secara acak kepada beberapa orang Kristen dari berbagai latar belakang gereja aliran Pentakosta atau Karismatik di kota Solo.
semacam dispolarisasi glossolalia dalam tataran
teologis.
Orang
tidak
lagi 163
sekaligus juga indikator orang yang
penyembahan ketimbang duduk di bangku
5
pendidikan untuk menyelidiki Alkitab
memiliki Roh Kudus. Ini berlebihan! Harus diakui bahwa berbagai tudingan
secara saksama. Mereka jauh lebih tertarik
dari kelompok kontra-karismatik seputar
dengan iman yang bisa memindahkan
pemahaman
gunung,
glossolalia,
secara
tidak
dan
hal-hal
rohani
yang
langsung merupakan ekspresi ironi dari
menyentuh
kaum injili dan aras utama atas kurang
Sekalipun mereka harus berada di bangku
pedulinya kelompok karismatik terhadap
teologi, sebisa mungkin hal tersebut bisa
studi Alkitabiah yang mendalam terhadap
dilakukan secarainstant. Bukankah ini
berbagai
bagian
wacana
karismatik
teologi.
seringkali
Teolog
dari
menolong
mengumbar
dimensi
supra
mujizat;
bahwa
orang-orang
Allah enggan
pemahaman Alkitabiah yang dimanipulasi
belajar—asalkan
oleh
dengan
memberikan nilai yang bagus kepada
teolog
mereka. Untuk mendapatkan teologi yang
jargon-jargon
Tuhan.
Tidak
keintiman
sedikit
para
rajin
yang
alami.
berdoa—dengan
karismatik yang beranjak dari kaum
baik, maka kata
kapitalis yang bermodalkan “kesuksesan”
hubungan pribadi dan keakraban dengan
dan kerinduan untuk melayani Tuhan,
Tuhan.
kuncinya adalah:
namun kurang mengapresiasi pendidikan
Idealnya, memahami sebuah karya
teologi. Pada hakikatnya, sampai titik ini,
akan jauh lebih maksimal dan sempurna
semua itu sah-sah saja, karena setiap orang
jika berdialog langsung kepada orang yang
punya hak dan kapasitas untuk melayani
menghasilkan karya itu. Demikian juga
Tuhan dan menjadi teolog; siapa pun
dengan
mereka
latar
merupakan karya Allah Pencipta, maka
perlu
akan jauh lebih maksimal ketika seorang
dengan
belakangnya.
berbagai
Mungkin,
yang
diperhatikan adalah mekanismenya.
Alkitab,
yang
secara
teknis
dapat membangun dialog langsung kepada
Studi-studi yang mendalam tentang
Allah. Inilah main frame teologi yang
teologi acap kali kalah oleh filsafat
kerap diimpartasikan sebagai paradigma
pragmatis yang menyelimuti mentalitas
pentakostalisme,
hamba Tuhan kontemporer. Alih-alih,
hubungan pribadi sebagai cara mendasar
mereka lebih senang menjalin pengalaman
untuk memperoleh teologi yang baik dan
pribadi bersama Pencipta lewat doa dan
benar. Tidak heran jika teologi karismatik
dimana
doa
dan
kental dengan nuansa “suara Tuhan” yang subyektif.
5 Band. J. Wesley Brill, Tafsiran Surat Korintus Pertama (Bandung: Kalam Hidup, 2003), hlm. 285-290
164
Doa atau hubungan pribadi haruslah
namun
tidak
bisa
dipungkiri
bahwa
menjadi sesuatu yang implisit, bukan
keduanya, sejatinya, merupakan peristiwa
kompensasi
dari karya dan manifestasi Roh Kudus,
terhadap
dari
hal-hal
enggannya teologis.
berkutat Doa
yang secara terminologi—baik Lukas
atau
hubungan pribadi sejatinya merupakan
maupun
pra-kondisi dalam studi-studi teologi.
glossolalia, atau yang di(per)kenal(kan)
Karena setiap orang Kristen dituntut untuk
LAI sebagai bahasa roh.
dapat memberikan pertanggungan jawab
Istilah glossolalia yang muncul dalam
Artinya, seorang Kristen sejati tidak hanya
Perjanjian Baru tidak harus dimaknai
memiliki kehidupan doa dan hubungan
dengan
pribadi, melainkan juga teologi yang benar cara
mengenal
semata,
bahasa
bahasa “ilahi” yang digunakan oleh orang-
yang
yang
dapat
Collins
Bible
dimengerti. Harper
Dictionary (HCBD) menjelaskan tentang
akan Allah tidaklah benar. Jadi, doa dan
glossolalia: “The actof speaking in a
harus
language either unknown to thespeaker or
bersinergi, bukan anasir yang bisa saling
incomprehensible.”7
menggantikan.
Berbeda
sebagai bahasa yang tidak dikenali dan tidak dipahami (incomprhensible) oleh penuturnya. Ini sesuai dengan karakteristik
Di dalam Alkitab manifestasi ini dipandang berawal dari sebuah peristiwa
yang
momental yang terjadi pasca kenaikan
panjang lebar dalam 1 Korintus 14.
ke
dengan
Tong, HCBD menekankan glossolalia
KAJIAN TEOLOGI ALKITABIAH TENTANG GLOSSOLALIA
Kristus
tidak
seharusnya
6
orang Kristen itu benar jika pengenalan
yang
bahasa
Karismatik
menekankan glossolalia sebagai bentuk
orang tersebut. Mustahil, doa atau bahkan
hal
sebagai
kaum
yang mendengarkannya. Stephen Tong
memiliki pengenalan yang benar dengan
dua
atau
Pentakosta
memiliki arti, baik bagi penutur maupun
sebuah hubungan dengan benar tanpa
adalah
pemahaman
Kontemporer
Allah.
Bagaimanakah seseorang bisa menjalin
belajar
istilah
1. Terminologi dan Etimologi
(avpologi,a) terhadap konstruksi imannya.
sebagai
Paulus—menggunakan
surga,
yaitu
dijelaskan
oleh
Paulus
secara
Pentakosta.
Sekalipun ada perbedaan konsep dan konteks bahasa roh yang muncul dalam
6
Stephen Tong, Roh Kudus, Doa dan Kebangunan, (Jakarta: LRII, 1995), hlm. 46 7 Paul J. Achtemeier, gen. ed., Harper Collins Bible Dictionary (San Fransisco: HarperCollins Publishers, 1996), p. 1161
Kisah Para Rasul 2:1-13 dengan yang dijelaskan Paulus dalam 1 Korintus 12-14, 165
Senada dengan Harper Collins, The
Istilah glossolalia berasal dari dua kata
International Dictionary of Pentacostal
Yunani:glw/ssadan lalei/n, secara literal
and
berarti: “…to speak in [or ‘with’ or ‘by’]
Charismatic
(TIDPCM),
Movements
menjelaskan
tongues.”9
tentang
glossolalia:
Sederhananya,kataglossolalia
berarti berbicara dalam (dengan atau oleh)
…usually, but not exclusively, religious phenomenon of making sounds that constitute, or resemble, a language not known to the speaker. It is often accompanied by an excited religious psychological state, and in the pentacostal and charismatic movements it is widely and distinctively (but not universally) viewed as the certifying consequence of the baptism in the Holy Spirit.8
secara adikodrati. Hanya, ketika frasa itu
Sebuah
ini tidak lebih karena Roh Kudus sebagai
fenomena
agamawi
lidah, seperti layaknya orang berbicara. Tidak ada implikasi khusus dalam hal ini, sehingga
glossolalia
dipahami
muncul pada konteks Kisah Para Rasul 2 dan 1 Korintus 12-14, maka glossolalia dimengerti sebagaimana yang digunakan dalam kalangan Karismatik saat ini. Hal
yang
membentuk bahasa yang tidak dipahami
pendorong
oleh
mengucapkan
penuturnya.
harus
Seringkali
manifestasinya disertai dengan keadaan
atau
inspirator
kata-kata
yang
untuk asing
tersebut.
psikologis yang penuh gairah agamawi
Banyak bagian dalam Perjanjian Baru
sebagai tanda dari baptisan Roh Kudus.
yang mengisyaratkan frasa glossolalia
Mungkin
dalam pengertian yang umum. Sebagai
TIDPCM
melihatnya
dari
kemunculan awal dalam Kisah Para Rasul
contoh,
2:1-13, sehingga mengaitkan glossolalia
berikut:VAnew,|cqh de. to. sto,ma auvtou/
dengan peristiwa baptisan Roh Kudus. Hal
paracrh/ma kai. h` glw/ssa auvtou/( kai.
itu tidak sepenuhnya salah, karena intinya
evla,lei euvlogw/n to.n qeo,n (Dan seketika
adalah seorang yang berkata-kata atas
itu
dorongan Roh Kudus dengan bahasa yang
terlepaslah lidahnya, lalu ia berkata-
tidak dipahaminya secara natural, walau
katadan memuji Allah). Sekalipun tidak
ada pihak lain yang dapat memahaminya.
membentuk istilahglossolalia dalam teks
Namun, lepas dari semua pendapat
lihat
juga
teks
dari
terbukalah
Lukas
mulutnya
1:64
dan
ini kedua unsur kata tersebut menunjukkan
tersebut, maka penting untuk melihat
fungsi
etimologi kata ini dari bahasa Yunani.
menunjukkan bagaimana Zakharia yang
secara
umum.
Kisah
ini
tadinya bisu pada akhirnya dapat berbicara
8
Stanley M. Burges, general editor. The International Dictionary of Pentacostal and Charismatic Movements (Michigan: Zondervan, 2002), p. 670
9
166
Ibid.
kembali secara normal.Artinya, ini adalah
perbedaan yang bisa dijelaskan adalah
konsep
dimana
dalam suasana yang seperti itu; di Kisah
glw/ssamemiliki fungsi untuk evla,lei
Para Rasul bahasa itu bisa dimengerti, dan
(verb, indicative, imperfect, active, 3rd
sebaliknya, di dalam 1 Korintus 12-
person, singular dari kata lale,w). Sekali
14bahasa itu tidak dapat dimengerti.
yang
umum
Bingkai teologi Lukas dan Paulus
lagi, secara umum Perjanjian Baru tidak mengimplikasikan
glossolalia
harus
sebagai
menjadi
presuposisi
dalam
bentuk bahasa yang khusus, kecuali frasa
memahami teologi dari masing-masing
tersebut
berkaitan
teolog. Dan juga harus digarisbawahi,
dengankonteks tertentu seperti manifestasi
bahwa masing-masing teologi merupakan
dan karunia Roh Kudus dalam teologi
hasil dari worldview yang berbeda dengan
Paulus.
scopus yang berbeda pula satu sama
digunakan
lainnya. Sehingga, adalah hal yang tidak 2. Dua Bentuk yang Berbeda?
seimbang jika indikator teologi Lukas
Apakah bahasa roh yang diidentifikasi
digunakan untuk menilai teologi Paulus;
di dalam Kisah Para Rasul 2 berbeda
ini
dengan yang ada pada 1 Korintus 12-14? Hakikatnya,
kedua
bentuk
prematur.
tersebut
dari baptisan Roh Kudus.Memang Alkitab
Roh Kudus, maupun kepada jemaat yang
tidak menyatakan secara eksplisit istilah
ada di Korintus. Keduanya menggunakan
sebuah
manifestasi
“tanda”,
menjelaskan
adi-kodrati
ada
preseden yang membedakannya dengan
banyak
teologi Karismatik, yang menekankan bahasa roh sebagai karunia.10
bahasa yang diucapkan, namun para murid
Sinclair B. Ferguson menambahkan:
tidak mengucapkannya dalam tataran logis
Certainly glossa (cf. Acts 2:4; 1 Cor. 12-14) ordinarily refers to an actual
atau natural, selayaknya yang mereka Itulah
hakikat
bahasa
kaum
baptisan Roh Kudus, sekaligus menjadi
pendengar yang dapat mengerti bahasa-
mengerti.
selanjutnya
bahasa lidah asing sebagai tanda dari
bahasa-bahasa asing. Sekalipun dalam Pentakosta
namun
Pentakosta mengembangkan dogmatika
yang
dilakukan oleh Roh Kudusdalam bentuk
peristiwa
memasukkan
Lukas mengindikasinnya sebagai tanda
Yerusalem pada saat menerima Baptisan
untuk
Paulus
yang
disebut dalam 1 Korintus 12:8-11, maka
kepada 120 murid yang berada di loteng
glossolalia
Jika
teologi
glossolalia dalam sembilan karunia yang
merupakan manifestasi Roh Kudus, baik
istilah
merupakanprosesi
roh
10 Band. Tong, Op.cit., hlm. 46-47; Rick Waltson, The Speaking in Tongues Controversy (USA: Xulon Press, 2003), ps. 27-42
dengan sebutan bahasa asing. Kerap kali 167
language; and furthermore, Paul recognizes that speaking in tongues requires interpretation or translation…the difference between Pentacost and Corinth in the fact that those who heard tounges in Jerusalem already possessed the key for their interpretation…no translation was required.11
Para Rasul 2:1-13 menyisahkan sebuah
Hal ini juga tidak bisa dijadikan dasar
persoalan tentatif bagi gereja kontemporer.
pemikiran bahwa ada dua jenis bahasa roh;
Hari raya yang sejatinya adalah hari besar
yang bisa dimengerti dan yang tidak, yang
dengan perayaan kolosal kaum Yudaisme
membutuhkan penafsiran dan yang tidak
mendadak
perlu! Pemahamannya harus dikembalikan
presedenbagi
pada bingkai teologi yang seimbang dan
mendatang. Fenomenanya meninggalkan
dinamis, bahwa Allah saja yang menjadi
jejak sensasi yang diminati kaum sektarian
motivator dan inspirator glossolalia, entah
sehingga menjadi identitas baru bagi
itu bisa demengerti atau tidak.
mereka; itulah Pentakosta. Oleh kelompok
menjadi
preseden
negatif
mengenai
konsep yang baku tentang bahasa roh dalam gereja masa kini. 3. Refleksi Kisah Para Rasul 2:1-13 Peristiwa Pentakosta di dalam Kisah
menjadi
momentum
kekristenan
di
dan masa
inilah ekspresi pemahaman Alkitabiah
Kedua peristiwa harus dipahami dalam konteks yang berbeda, demikian juga
yang
penerapannya pada gereja masa kini.
dipraktekkan,
Penggunaan konsep yang over leaping
gereja maupun pribadi. Terkadang yang
antara dua main frame teologi dalam
dilakukan terlalu literal, beranjak dari
Kisah Para Rasul 2 dengan 1 Korintus 12-
presuposisi Alkitab yang adalah firman
14oleh banyak teolog—dalam
rangka
Allah tanpa salah. Metodologi tidak jarang
menunjukkan
teologi
menjadi
“kelemahan”
pentakostalisme—kerap
12-14
mengenai
baik
dan
sempurna
dalam
kehidupan
sandungan
terhadap
proses
rancang bangun teologi yang logis dan
menjadikannya
dinamis.
bias dan rancu. Worldview Paulus dalam 1 Korintus
menyeluruh
Identitas
glossolalia
peristiwa
sejatinya
tidaklah dibangun atas insight Lukas
berasal
dalam Kisah Para Rasul 2, sehingga
pencurahan dan baptisan Roh Kudus di
pemahaman glossolalia sebagai bahasa
dalam Kisah Para Rasul 2. Artinya,
yang bisa dimengerti (Kis 2) dan yang
rancang bangun teologi Pentakosta harus
tidak bisa dimengerti (1 Kor 12-14) bukan
memperhatikan momen tersebut sebagai konteks
dari
Pentakostalisme
teologis.
itu
sendiri,
Identifikasi
pentakostalisme dengan baptisan Roh
11
Sinclair B. Ferguson, The Holy Spirit (Illinois: IVP Press, 1996), p. 213 168
Kudus
hanya
menyisahkan fenomena
TKP dan rekonstruksi demi memperoleh
glossolalia sebagai tanda, selain tiupan
impak yang dinamis dari identifikasi
angin yang keras dan lidah-lidah api yang
pentakostalisme yang ada dalam Kisah
sudah tidak terdengar lagi “nasib”-nya.
Para Rasul 2; Apakah benar “10 hari”,
Sederhananya,
ataukah memang bahasa roh merupakan
baptisan
Roh
Kudus
menghasilkan glossolalia atau baptisan
implikasi
Roh Kudus identik dengan bahasa roh.
tersebut? Ini bukan pertanyaan tendensius
Dan fenomena itu masih terus berlanjut di
atau sinisme, melainkan sebuah olah TKP.
beberapa
gereja,
baptisan
Roh
mereka Kudus
merindukan
demi
pentakostalisme
Ibadah
sebuah
sepuluh
bukanlah
ala
hari,
Lukas
sejatinya,
permasalahan
mendasar
pengalaman rohani yang lebih bersama
pentakostalisme, sehingga harus dinilai
Tuhan, yakni ber-glossolalia. Identifikasi
benar atau salah. Jika para murid pada
ini jelas memberi kesan yang kontra-
akhirnya menunggu selama sepuluh hari,
dinamis.
itu hanyalah sebuah “kebetulan” yang
Perhatikan perayaan momental pasca
manusiawi. Para murid tidak tahu seperti
kenaikan Yesus ke surga oleh gereja-
apa setting-nya ketika mereka harus
gereja pentakosta/karismatik masa kini,
menunggu,
seakan telah membentuk spektrum yang
menunggu. Bisa dipastikan di benak para
membias. Ada kelompok gereja yang
eks-Yudaisme
melakukan lakukan kenaikan
seperti
di
yang
loteng
Yesus
dan
berapa
ini
lama
tidak
harus
terbersit
para
murid
momentum hari raya mereka akan menjadi
Yerusalem
pasca
titik
ke
surga,
kulminasisejarah
gereja
dan
menanti-
kekristenan, karena semua itu harus dilihat
nantikan pencurahan Roh Kudus dengan
dari kacamata Allah sebagai master mind.
ibadah-ibadah
Artinya, jika ada gereja yang melakukan
yang
bermuara
pada
manifestasi kepenuhan Roh Kudus. Jargon
ibadah
ibadahnya cukup jelas, “10 hari penantian
momental dan dapat memotivasi dinamika
Roh
kekristenan, maka biarlah semua terjadi
Kudus.”
pentakostalisme
Ada lain
kelompok yang
tidak
tersebut
sebagai
perayaan
dalam tataran momentum tanpa ada nada
melaksanakan “ibadah 10 hari” tersebut,
penghakiman mana yang benar dan salah.
tentunya dengan seperangkat faktor yang
Peristiwa Pentakosta harus dilihat dari
menjadi alasannya. Tanpa disadari teologi
sebuah
dibiarkan tumbuh pada tataran ekses-ekses
nubuat.Karena, dengan demikian tujuan
yang tidak sehat. Teologi, khususnya
pentakostalisme
Pentakostalisme, harus mengadakan olah
Bingkai teologis pentakostalisme adalah 169
janji,
atau,
bisa
katakanlah
menjadi
jelas.
tujuan pencurahan itu sendiri dalam Kisah
para murid.Glossolalia dalam Kisah Para
Para
Rasul harus dilihat dari perspektif konteks
Rasul
1:4-8.
Pencurahan
atau
Baptisan Roh Kudus merupakan janji
misiologis para rasul. Lalu, bagaimana relevansinya dengan
Bapa yang diucapkan Yesus kepada para murid menjelang kenaikan-Nya ke surga.
baptisan
Janji
Sekalipun
itu
memiliki
tujuan
yang
Roh
Kudus
Kisah
kontemporer?
Para
Rasul
2:4
jelas;memberikan kuasa (du,namoj) bagi
menggunakan kata evplh,sqhsan12dalam
mereka untuk menjadi saksi (ma,rturia).
bentuk aorist untuk menjaskan frasa
Inilah
“penuhlah”, namun tense Yunani itu tidak
yang
menjadi
kata
kunci
pentakostalisme; kuasa (du,namoj) dan
harus
saksi (ma,rturia). Dan, ini juga yang
peristiwa baptisan yang terjadi hanya pada
seharusnya
menjadi
identitas
saat itu saja, dan tidak terulang lagi pada
pentakostalisme
lebih
sekadar
masa kini. Bentuk yang tidak terulang ini
dari
digunakan
untuk
menjelaskan
harus dipahami pada tataran bahwa para
keinginan untuk mampu berbahasa roh. Mungkin analoginya seperti ini, jika
murid dibaptis (dipenuhi) Roh Kudus
ada seorang ingin mandi maka dia tahu
hanya satu kali.13 Bukan baptisan Roh
untuk apa dia melakukan itu. Pastinya,
Kudus yang tidak terulang kembali,
tujuan mandi adalah agar seseorang
melainkan
menjadi bersih. Konsekuensinya, orang
itulah
yang mandi pasti basah. Tetapi, basah
Implikasi teologisnya adalah, baptisan
tidaklah menjadi tujuan orang untuk
Roh Kudus terhadap seseorang hanya
mandi. Kalau seseorang mandi, dan ia
terjadi satu kali, sebagai pintu masuk ke
basah saja tanpa memperhatikan bersih
dalam pelbagai karunia Roh Kudus yang
atau tidak, maka esensi dari mandi tidak
lain, sebagai pengalaman kedua orang
terlaksana. Baptisan Roh Kudus sudah
percaya pasca-baptisan air. Itu sebabnya,
jelas
cara
naif sekali jika ada orang-orang yang
membuat para murid memiliki du,namoj
berulang kali ingin dibaptiskan Roh
(dinamika) agar dapat menjadi ma,rturia
Kudus, demi mengejar “kemampuan” ber-
(saksi). Itu esensi, atau bahkan substansi
glossolalia.
dijanjikan
baptisan
Roh
Yesus
Kudus.
sebagai
Kalaupun
ada
yang
baptisan tidak
kepadaseseorang terulang
kembali.
Bentuk verb, indicative, aorist-passive, 3rd person plural dari kata pi,mplhmi. plhmi Bentuk aorist dipahami sebagai bentuk yang hanya terjadi satu kali itu saja, pada saat kata dalam bentuk itu digunakan, dan tidak bisa terulang kembali. 13 Band. Stephen Tong, Baptisan dan Karunia Roh Kudus (Jakarta: LRII, 1996), hlm. 30-41 12
glossolalia di sana, itu bukan ekses baptisan di kemudian hari. Alih-alih, glossolalia menjadi bahasa ma,rturia 170
Ada yang mempermasalahkan istilah
adalah terbentuknya kelompok-kelompok
“baptisan” sebagai bentuk yang tidak baku
kekristenan yang tersebar di sekitar Asia
karena tidak disebutkan langsung dalam
Kecil, bahkan hingga Eropa, termasuk
Kisah Para Rasul 2:1-13. Pandangan ini
salah satunya adalah jemaat yang ada di
biasanya
kota
membedakan
secara
prinsip
Korintus.
Ketika
permasalahan
istilah “baptisan” dengan “kepenuhan”,
glossolalia muncul di Korintus, maka hal
karena
tersebut
kata
yang
digunakan
dalam
(Kis 2:4). Ini pun naif, karena istilah tidak
harus
dipahami
“improvisasi” sebagai
ini
sebuah
tanggapan terhadap pergumulan yang
harus
dihadapi oleh jemaat Korintus. Setidaknya
penjelasan
ungkapan: “Dan sekarang tentang…” pada pasal 7; atau, “Tentang…” pada pasal 8
Paulus di kemudian hari. Sekali lagi, main
dan 16; “Sekarang tentang…”pada pasal
frame peristiwa Pentakosta adalah sebuah
12, dari surat Korintus yang pertama
janji, yang diungkapkan Yesus secara
memperlihatkan betapa banyak pertanyaan
gamblang dalam Kisah Para Rasul 1:5,
atau permasalahan yang diajukan kepada
“…tidak lama lagi kamu akan dibaptis
Paulus yang membutuhkan tanggapannya.
dengan Roh Kudus.” Hasilnya, janji
Susunan pembahasan yang tidak sistematis
baptisan itu pun dipenuhi dalam peristiwa
juga menjadi petunjuk, bahwa Paulus
Pentakosta.
sekadar menjawab pertanyaan para jemaat
Ini pula yang menjadi alasan mendasar
Korintus. Dan hal ini pula yang terjadi,
mengapa konsep Kisah Para Rasul 2 tidak dijadikan
parameter
ketika merefleksikan dogmatika Paulus,
untuk
bahwa sesungguhnya itu bukanlah sebuah
menjelaskan fenomena yang terjadi di dalam
1
yang
Surat 1 dan 2 Korintus merupakan
konsep yang akan dikembangkan oleh
bisa
konsep
4. Refleksi Teologis 1 Korintus 12-14
dipaksakan
dalam bentuk yang berbeda dari baptisan. Sebaliknya,
dalam
berbeda di benak Paulus.
peristiwa Pentakosta adalah “kepenuhan”
“kepenuhan”
datang
Korintus
12-14.
teologi sistematika, cenderung sebuah esei
Konteks
dengan beragam ekspresi sastra yang
Pentakosta (Kisah Para Rasul) memiliki
menjurus kepada teologi praktika.14
implikasi yang berbeda dengan apa yang dihadapi Paulus dalam jemaat Korintus. Kemungkinan yang sangat besar, yang 14
tidak boleh diabaikan dari dampak dari pentakostalisme
yang
juga
Merril C. Tenney, Survei Perjanjian Baru (Malang: Gandum Mas, 1993), hlm. 367-369; Band. Louis Berkhoff, Introduction to The New Testament (Grand Rapids, Michigan: Christian Classics Ethereal Library, 2004), p. 84
telah
membuahkan pertobatan besar (Kis 2:41) 171
Ketika 15
pasal
Paulus
membutuhkan
dua
berhala.Namun semua hal negatif tidak harus
untuk menjelaskan glossolalia
membutakan
perspektif
netral
artinya permasalahan telah muncul dalam
sehingga dapat menemukan hal-hal yang
jemaat Korintus terlebih dahulu. Dari
positif dalam jemaat ini. Maraknya
elaborasi Paulus yang demikian kompleks dalam
surat
Korintus
penyembahan
berhala
sebagai bagian sosial masyarakat Korintus
seakan
mengindikasikan betapa gereja Korintus
harus
merupakan jemaat yang tidak stabil dan
dalam konstruksi iman Kristen yang
16
diperhatikan
sebagai
penyusup
Hal ini tidak
ortodoks. Jika menelisik secara flash back
lepas dari latar belakang atau suasana kota
pada keinginan beberapa tokoh dan jemaat
Korintus. Louis Berkhoff menjelaskan:
Kristen-Yahudi untuk menerapkan Taurat
cukup merepotkan Paulus.
There was a shallow intellectualism, coupled with a factiousness that was “theinveterate curse of Greece.” Lax morals and unseemly conduct disgraced its life. Christian libertywas abused and idolatrous practices were tolerated. Even the gifts of the Holy Spirit gave rise tovainglory; and a false spiritualism led, on the one hand, to a disregard of bodily sin, and, on theother, to a denial of the bodily resurrection. But these faults should not blind us to the fact that therewas a great deal in the church of Corinth that was praiseworthy.17
kepada para kekristenan yang baru dengan latar belakang Yunani (Gentile), maka itu cukup beralasan bagi mereka. Lepas dari ideologi keyahudian, rupanya mereka belajar dari pengalaman “kawin campur” yang berimbas pada dekadensi iman kepada YHWH. Bagi mereka kultur Yahudilah
yang
bersanding
paling
ideal
dengan
untuk
kekristenan,
dibandingkan dengan agama-agama para dewa atau para penyembah berhala.
Keadaan yang mengkhawatirkan di Korintus
tidak
lepas
dari
Agama
pengaruh
memberikan
filsafat yang mengarah pada penyembahan
Rupanya
memekakan, hingga tidak ada disparitas murni
dengan
budaya
yang
respon
tegas
Paulus
terhadapnya.
dewa-dewa. Aroma sinkretisme sangat
yang
berhala
muncul dari budaya Helenis Yunani telah
Helenisme Yunani dan perkembangan
keagamaan
penyembahan
persoalan
pemicu
yang
muncul dalam komunitas kekristenan di
(kekirstenan)
gereja
penyembahan
Korintus
tidak
lain
karena
terjadinya sekularisasi yang didorong oleh semangat toleransi yang berujung pada
15
Penulis cenderung melihat pasal 13 merupakan preposisi dari pasal 14, sehingga praktisnya, secara dogmatis Paulus menjelaskannya dalam pasal 12 dan 14. 16 Tenney, Op.cit., hlm. 365 17 Berkhoff, Op.cit., p. 90
spirit
of
glossolalia
compromise.
Fenomena
bukanlah
merupakan
terminologi kekristenan belaka, karena 172
pola
mengucapkan
layaknya karakteristik
lafal-lafal
misteri
telah
menjadi
mantra ritual
yang
terjadi
Identifikasi glossolalia telah masuk pada
di
tataran
legalistik.
Pada
masa
lalu,dalam komunitas orang-orang Helenis
kalangan para agama penyembah berhala.
pelafalan
The
of
glossolaliatersebut merupakan predikat
Charismatic
religius. The International Standard
International
Pentecostal Movements
Dictionary
and
kembali
(TIDPCM)
dengan
pola
Bible
menyerupai
Encyclopedia
(TISBE)menjelaskan: “The Delphic and
menegaskan: …glossolalia is a human phenomenon not limited to Christianity…More relevant to Christian glossolalia are clearly reported cases of pagan glossolalia, both ancient and modern…Among ancient parallels, the Delphic Oracle is best known. Located less than 50 air miles across the Corinthian Gulf to the northwest of Corinth, the Delphic Oracle flourished in the high classical periode of Greek culture.18
Python religion of Greece understood ecstatic behavior and speech to be evidence
of
divine
inspiration
Apollos…this
behavior
background
to
may
the
by
provide
Corinthian
misunderstanding of tongues-speaking.”19 Ketika imbas Pentakosta yang dibawa oleh para Yahudi diaspora di Yerusalem ke Korintus, orang-orang Kristen Helenis
Harus dipahami secara netral bahwa frasa
glossolaliatidak
hanya
seakan melihat paket yang serupa dari
milik
agama masa lalu mereka. Ada tendensi
kekristenan pada konteks saat itu. Agama
untuk menggunakannya dalam paradigma
berhala telah menggunakannya dalam
masa lalu, yaitu paradigma agama kafir
ritual mereka. Selain The Delphic Oracle,
yang berbau Helenis. Ketika kebingungan
disebutkan adanya pengaruh yang kuat
menyeruak
dari agama Python, yang dikenal dengan
telah
memberikan
untuk meluruskan hal tersebut. Mungkin
paradigma
karena
glossolalia pada komunitas Helenis yang
yang
selalu
rasul bagi orang-orang non-Yahudi. Inilah
kata-kata asing yang tanpa dimengerti oleh namun
panggilan
dipropagandakannya, bahwa ia adalah
bertobat dan menjadi Kristen, pelafalan
pelafalnya
Paulus
menjadi orang yang dianggap kompeten
dewa Apollo-nya. Praktek-praktek agama ini
di antara jemaat,
memberikan
konteks glossolalia yang ada
dalam
presuposisi
mana
teologi
Paulus,
di
signifikansi religius. Hal inilah yang harus dijelaskan oleh Paulus kepada jemaat Korintus melalui suratnya. 18
19 Geoffrey W. Bromiley, gen. ed., The International Standard Bible Encyclopedia (Michigan: William B. Eerdmans, 1988), p. 872
Burges, Op.cit., ps. 670-671 173
terdapatperbedaan konteks dengan yang
karunia
ada pada Kisah Para Rasul 2.
“menafsirkan”glossolalia tersebut (1 Kor
Pemahaman jemaat Korintus yang
penyerta,
yakni
karunia
14:13). Bahkan, oleh karena karakteristik
beragam tentang bahasa roh terlihat pada
glossolalia
frasa analogis Paulus yang menjelaskan
membingungkan dalam agama penyembah
keberagaman karunia yang seharusnya
berhala telah memicu kesemerawutan
tidak menjurus kepada perpecahan.20 Ini
dalam
indikasi, bahwa pemahaman glossolalia
menegaskan
telah mencapai eskalasi yang cukup
diperhatikan mereka ketika bermanifestasi
mengkhawatirkan.
menemukan
dalam ibadah karismatik, “dua, atau
indikasi pengaruh agama lama (1 Kor
sebanyak-banyaknya tiga orang…” (1 Kor
12:2) sebagai sumber kekacauan dogmatis
14:27).
Paulus
di dalam jemaat Korintus. Ketika ia
yang
ibadah
tidak
Kristen, “kuota”
tertib
maka
Paulus
yang
harus
Perhatikan hal-hal yang ditekankan
mempertegas sebuah frasa “Siapa yang
oleh
berkata-kata dengan bahasa roh, tidak
glossolaliadalam 1 Korintus 14:
berkata-kata
berkaitan
dengan
• Paulus membedakan antara glossolalia
kepada Allah…” (1 Kor 14:2) merupakan
dengan nubuat, dan memberi tempat
karakteristik glossolalia
yang ingin
yang lebih utama kepada karunia
glossolalia
nubuat, karena jauh lebih berguna
dalam
Paulus,
kekristenan
manusia,
Paulus
tetapi
dipertegas
kepada
dan
bahwa
merupakan
bahasa
dalam membangun jemaat (ay. 3-5,
“asing” yang diucapkan kepada Allah
39).
Pencipta.
• Bahasa roh untuk membangun diri
Sekalipun Paulus menyebut bahasa roh
sendiri (ay. 4).
menjadi salah satu karunia dari sembilan
• Bahasa roh harus diikuti dengan
karunia yang disebut dalam 1 Korintus
karunia menafsirkannya (ay. 13), jika
12:8-10,
tidak hendaknya berdiam dan cukup
namun
ini
tidak
memformulasikan karunia pada batasan angka itu.
21
berkata kepada Allah saja (ay. 28).
Dan, setiap kali karunia
glossolalia memperjelasnya
disebutkan, dengan
• Bahasa roh merupakan ekspresi berdoa
Paulus
dengan roh yang dibedakan dari
“keharusan”
berdoa dengan akal budi (ay. 14). • Dalam
pertemuan
jemaat,
yang
20
Gordon D. Fee, Paulus, Roh Kudus, dan Umat Allah (Malang: Gandum Mas, 2004), hlm. 256 21 Ibid., hlm. 219; band. David Lim, Spiritual Gifts (Malang: Gandum Mas, 2005), hlm. 71-76
berbahasa roh paling banyak tiga orang, dan harus bergantian (ay. 27). 174
Semua hal yang berkaitan dengan
bahasa roh menjadi semacam skill yang
glossolalia di atas harus dimengerti dari
dimiliki oleh orang Kristen. Jika bahasa
suasana yang muncul di jemaat Korintus
diucapkan dalam konteks diajak atau
sebagai perspektif dan kerangka teologi
diajarkan, maka sejatinya bahasa itu ada
Paulus, sehingga tidak terjadi benturan
pada tataran logis, atau berkata-kata
terhadap konsep pentakostalisme Kisah
dengan akal budi, seperti yang dikatakan
Para Rasul.
Paulus dalam 1 Korintus 14:14. Ini bukan
Prinsipnya,
semua
karunia
esensi glossolalia, karena bergerak pada
yang
dimensi
diakibatkan oleh manifestasi Roh Kudus,
membangun
bukan
dorongan Roh itu sendiri.
Tuhan.
Atau, ada yang memperlakukannya
diimplementasikan
bak mengucapkan kata-kata sakti seperti
dalam tatanan membangun tubuh Kristus.
layaknya mantra. Perilaku seperti ini
Itulah yang menjadi faktor primer Paulus
sering terjadi ketika orang-orang yang
dalam menyebutkan beberapa “regulasi”
ditugaskan untuk berdoa di mimbar, di
glossolalia di atas. Intinya, glossolalia
mana sebelum berdoa mereka akan ber-
harus
para
glossolalia walau dengan waktu yang
Tuhan.
singkat saja. Entah tujuannya apa, yang
Glossolalia
harus
dapat
pendengarnya,
jemaat
“sadar”, 22
secara khusus glossolalia, harus dilakukan untuk
kemampuan
dipahami yakni
oleh
jemaat
Mengapa seakan-akan karunianubuat yang
pasti
diutamakan? Hal ini tidak lepas dari
mendorong perilaku seperti itu terjadi
karakter nubuat yang dapat dimengerti
dalam
penuturannya. Sama maknanya ketika
kontemporer.
Paulus mengatakan glossolalia harus dapat ditafsirkan,
karena
dengan
ada
sebuah
tatanan
paradigma
jemaat
yang
karismatik
Belum lagi usai terjawab, muncul
demikian
fenomena
lain,
yang
terjadi
dalam
semua pesan yang disampaikan melalui
pelayanan eksorsisme, atau pengusiran
glossolalia dapat dipahami.
setan. Ini bagian terfavorit kelompok karismatik, mengklaim janji Tuhan untuk
FENOMENA KONTEMPORER: Sebuah Paradigma
dapat menghancurkan kekuatan iblis. Jika diperhatikan, maka glossolalia menjadi
Pemandangan yang kontras muncul
bagian sentral dalam doa-doa seperti itu.
pada ibadah karismatik kontemporer, di
Sepertinya, sedikit benang merah mulai
mana justru jemaat Tuhan didorong untuk
terkuak, bahwa ada semacam paradigma,
berbahasa roh pada sesi “penyembahan”.
bahwaglossolalia mampu menghadirkan
Stimulasi ini mengindikasikan seakan
22
175
Brill, Op.cit., hlm. 291
hadirat Allah. Jika Allah hadir, maka
iman Kristen yang sejati? Apakah gereja
kuasaNya
secara
harus dengan kaku mengikuti “aturan-
nyata, dan sanggup melakukan segala hal
aturan” Paulus yang direfleksikan dalam 1
dalam
Korintus
pasti
tataran
bermanifestasi
adi-kodrati.
Sementara
14
tersebut,
atau
mengalir
Alkitab—dalam konteks ini 1 Korintus 12-
mengikuti pimpinan Roh Kudus, sesuai
14—hanya menunjukkan ruang lingkup
slogan kebanyakan kaum karismatik?
glossolalia adalah persekutuan jemaat atau
Artinya, jika merespon saran Paulus dalam
doa pribadi.
1 Korintus 14:13, 27-28, maka setiap
Muncul pertanyaan kritis yang cukup
perilaku glossolalia kontemporer harus
mendasar: Bagaimana seseorang dengan
disertai
yakin mengetahui, bahwa glossolalia yang
menafsirkannya dan disampaikan secara
dituturkan merupakan bentuk pemuliaan
bergantian dengan paling banyak tiga
kepada Tuhan, atau justru sebaliknya,
orang.
menghujat Tuhan? Parameternya tidak
karismatik modern, di mana setiap orang
jelas, bahkan sangat subyektif. Kaum aras
dipacu untuk berbahasa roh dalam setiap
utama
ibadah, tanpa mempedulikan makna dan
dan
injili
mengakomodasi
lebih
“nyaman”
manifestasi
karunia
dengan
manifestasi
Paradoks
dengan
untuk
fenomena
substansinya.
dalam bukti buah Roh Kudus seperti yang KESIMPULAN
disebut dalam Galatia 5:22-23. Sepertinya,
Sesuai dengan konteks Kisah Para
hal itu pun terlalu memaksakan korelasi yang
tidak
seimbang.
Rasul 2 dan 1 Korintus 12-14, glossolalia
Sekalipun
merupakan
dikerjakan oleh Roh yang sama, yaitu Roh
masing konteks harus memberikan batasan
perspektif dan konteks yang berbeda tanpa
kerangka
ada keterkaitan timbal balik. Akhirnya, harus
kembali
mana
fenomena
tidak
bisa
pengidentifikasiannya.
dari konteks agama kafir sebagai agama lama jemaat di kota itu,di mana telah
tersebut
menyisakan paradigma glossolalia yang
muncul. Lalu,
yang
Perilaku dalam Korintus merupakan ekses
saja yang harus menjadi parameter sesuai di
teologis
disamaratakan
kepada
semangat sola scriptura, di mana Alkitab
konteks
yang
orang percaya. Namun demikian, masing-
buah Roh Kudus harus dilihat dari dua
pihak
manifestasi
terjadi atas dorongan Roh Kudus kepada
Kudus, sejatinya, karunia Roh Kudus dan
semua
sebuah
bagaimana
mengacaukan.
seharusnya
Sementara
Kisah
Para
Rasul mengindikasikan glossolalia dalam
menanggapi semua ekses kontemporer
kerangka teologi Lukas dengan starting
tersebut agar tidak merusak konstruksi 176
point sebuah janji. Kedua presuposisi
glossolalia-nya
teologi
sebuah
penafsiran agar berdiam, dan hanya boleh
perjalanan panjang hingga pada masa kini,
berbicara pada diri sendiri atau kepada
menjumpai wajah baru glossolalia dalam
Allah. Frasa “berbicara kepada diri sendiri
tatanan
atau kepada Allah” harus dimengerti
ini
telah
menempuh
kontemporer
yang
sedikit
membingungkan. Sejatinya,
glossolalia
sebagai tidak
tanpa disertai karunia
kesempatan
menggunakan
harus
glossolalia dalam tataran membangun
dimaknai sebagai sesuatu yang hilang
iman. Jemaat masih boleh berbahasa roh,
seiring dengan hilangnya hegemoni para
namun tidak dengan kapasitas untuk
rasul di telan zaman. Artinya, fenomena
menyampaikan sesuatu, sehingga nada
tersebut masihlah relevan, karena para
yang diucapkan hanya untuk konsumsi
rasul tidak pernah memberikan indikasi
telinga sendiri.
batasan sejarah yang telah terhenti. Hanya,
Secara substansial, berdoa dengan
gereja harus mampu menghindari stigma
menggunakan
yang
esensi
dengan doa yang menggunakan akal budi.
telah
Tidak ada indikasi mana yang lebih
ditegaskan Paulus dalam 1 Korintus 14
berharga, semua sama, karena Paulus pun
tentang glossolalia harus dipahami gereja
akhirnya menggunakan kedua dimensi
secara dinamis, demikian dengan esensi
tersebut dalam berdoa. Berdoa dengan
teologi yang terkandung dalam Kisah Para
akal artinya, seseorang berdoa sesuai
Rasul 2:1-13.
dengan naturnya sebagai manusia yang
mengaburkan
glossolalia.Rambu-rambu
yang
bahasa
roh
dibedakan
logis, menyampaikan segala hal yang ada APLIKASI
di benaknya, yang berkaitan dengan
Dalam konteks berjemaat, glossolalia
kehidupannya dan yang perlu didoakan.
harus hadir pada tataran yang membangun
Namun, ini terbatas, karena kemampuan
tubuh Kristus. Jika dikatakan manifestasi
menalar segala kebutuhan dan pokok doa
bahasa roh harus diikuti dengan karunia
akan terhenti pada titik pencapaian yang
menafsirkan bahasa roh, maka bukan
maksimal. Akal bisa saja salah atau egois
berarti berbahasa roh dilarang dalam
dalam rumusan doanya, maka pada titik
pertemuan jemaat (1 Kor 14:39). Paulus
itu
menegaskan fungsi glossolalia adalah
Roh
Kudus
akan
membimbing
seseorang berdoa dalam nuansaNya (band.
untuk membangun diri sendiri. Ini masih
Rom 8:26).23 Manusia akan dibawa masuk
seirama dengan 1 Korintus 14:28, ketika Paulus menyarankan agar mereka yang
23
177
Bromiley, Op.cit., p. 873
ke dalam dimensi roh, namun tetap sadar
bahasa itu dibawa mati oleh para rasul
dan memegang kendali (1 Kor 14:32).
hingga ke liang kubur. Bahasa itu tetap
Seseorang harus memiliki hubungan
aktual oleh karena Roh Kudus yang terus
yang erat dengan Roh Kudus pada level
aktual dengan karyaNya di segala zaman.
ini, mencapai tingkat kepekaan yang
Jika
signifikan,
peka
glossolalia yang ada sekarang palsu, tidak
menangkap sinyal Roh Kudus untuk
sama dengan yang ada pada zaman para
berdoa, dan tidak dibatasi oleh ruang,
rasul, bahkan dianggap sebagai bahasa
gerak, dan waktu. Bukan sebuah hal yang
memuja setan, maka alangkah baiknya
mengherankan jika ada seseorang yang
teolog tersebut mengajarkan glossolalia
mampu bertahan lama dalam ruang doa
yang asli kepada kaum karismatik.
sehingga
rohnya
ada
teolog
Glossolalia
pribadi, membangun sebuah komunikasi
yang
mengatakan
bukanlah
parameter
yang hangat seraya ber-glossolalia. Tidak
terhadap kehidupan rohani seseorang,
juga berlebihan jika ada orang-orang yang
melainkan hanyalah sebuah cara Allah
berdoa dalam roh, dengan glossolalia pada
Roh
saat “beraktivitas”. Semuanya berlangsung
berkomunikasi melalui cara-Nya. Penting
dalam bimbingan Roh Kudus, dan tetap
ditegaskan di sini, bahwa bahasa roh ≠
menciptakan paradigma roh yang tertib.
Bahasa Roh. Bahasa roh adalah bahasa
Kudus
membimbing
manusia
manusia pada dimensi roh, yang muncul
Semua hal itu bisa terjadi karena
oleh
Alkitab tidak pernah mengindikasikan
karena
dorongan
Roh
Kudus.
BIBLIOGRAPHY Achtemeier, Paul J. gen. ed., Harper Collins Bible Dictionary, San Fransisco: HarperCollins Publishers, 1996 Basham, Don. A Handbook On Holy Spirit Baptism, Kensington:Whitaker House, 1969 Berkhoff, Louis Introduction to The New Testament, Grand Rapids, Michigan: Christian Classics Ethereal Library, 2004 Brill, J. Wesley. Tafsiran Surat Korintus Pertama, Bandung: Kalam Hidup, 2003 Bromiley, Geoffrey W. gen. ed., The International Standard Bible Encyclopedia, Michigan: William B. Eerdmans, 1988 Burges Stanley M., general editor. The International Dictionary of Pentacostal and Charismatic Movements, Michigan: Zondervan, 2002 Danker, Frederick William, ed. A Greek Lexicon of The New Testament, Chicago: Chicago Press, 2000 Elwell, Walter A. ed. Baker Commentary on The Bible, Michigan: Baker BookHouse, 2006 Fee, Gordon D. Paulus, Roh Kudus, dan Umat Allah, Malang: Gandum Mas, 2004 178
Ferguson, Sinclair B. The Holy Spirit, Illinois: IVP Press, 1996 Lim, David. Spiritual Gifts, Malang: Gandum Mas, 2005 Tenney, Merril C. Survei Perjanjian Baru,Malang: Gandum Mas, 1993 Tong, Stephen Roh Kudus, Doa dan Kebangunan, Jakarta: LRII, 1995 __________.Baptisan dan Karunia Roh Kudus, Jakarta: LRII, 1996 Waltson, Rick The Speaking in Tongues Controversy, USA: Xulon Press, 2003 Young, Amos. “’Tongues’, Theology, And The Social Sciences: A PentecostalTheological Reading OfGeertz’s Interpretive Theory Of Religion,”Cyberjournal For Pentecostal-Charismatic Research,(http://www.pctii.org/cyberj/cyberj1/yong.html#_ftn1) BibleWork 7, “CD-ROM”
179