Reduksi Oksalat pada Umbi Walur (Amorphophallus campanulatus var. Sylvestris) dan Aplikasi Pati Walur pada Cookies dan Mie Eko Hari Purnomo1,2, Rani Anggraeni1, Purwiyatno Hariyadi1,2, Feri Kusnandar1,2, dan Risfaheri3 1) Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Institut Pertanian Bogor 2) Southeast Asian Food and Agricultural Science and Technology (SEAFAST) Center, IPB 3) Balai Besar Litbang Pasca Panen Pertanian, Bogor ABSTRACT Walur (Amorphophallus campanulatus var. sylvestris) is a tuber containing high oxalic content (3.6059 g/100 g) causing itchiness and irritation when consumed. The objective of this research was to study the reduction of total oxalic content of walur, to characterize physicochemical properties of walur, and to apply the walur starch in cookies and noodle. The moisture, ash, fat, protein, and carbohydrate content of walur in dry basis were 74.46%, 4.89%, 14.41%, 6.42%, and 74.28%, respectively. Granule of walur starch was oval-shaped and polygonal with size of around 10-22 μm. RVA analysis showed that walur starch had A type gelatinization pattern. Oxalic content of walur starch was reduced by soaking in HCl 0.2 N solution for 30 minutes, 1% sodium bicarbonate solution for 5 minutes and washing. This treatment reduced the oxalic content up to 98.9%. Walur starch could substitute wheat flour up to 100% in cookies and up to 60 % in noodle. Keywords: Amorphophallus campanulatus var. sylvestris, oxalate reduction, starch. PENDAHULUAN Umbi walur (Amorphophallus campanulatus) adalah salah satu jenis umbi yang termasuk keluarga Araceae. Menurut Ohtsuki (1967), di Jawa terdapat dua jenis varietas Amorphophallus campanulatus, yaitu varietas hortensis yang dikenal dengan nama suweg dan varietas sylvestris yang dikenal dengan nama walur. Berbeda dengan umbi suweg yang sudah banyak dikembangkan, umbi walur yang merupakan tanaman sejenis belum banyak dieksplorasi dan hanya dianggap sebagai tanaman pengganggu. Saat ini, tanaman walur banyak tumbuh di hutan liar di sekitar kebun ilesiles sebagai gulma. Produktivitas umbi walur dapat mencapai tiga kali lipat produksi umbi iles-iles yang dibudidayakan dan belum dimanfaatkan
oleh masyarakat. Menurut Kriswidarti (1980), diketahui bahwa umbi walur memiliki kandungan oksalat yang lebih tinggi dibandingkan dengan umbi suweg. Oksalat yang ada dalam tanaman tersebut dapat berada dalam dua bentuk yaitu oksalat larut air dan oksalat tidak larut air. Oksalat tidak larut air apabila dikonsumsi akan menurunkan bioavailibilitas kalsium dalam tubuh dan menyebabkan batu ginjal sedangkan kalsium oksalat yang tidak larut air menyebabkan rasa gatal dan iritasi jika dikonsumsi (Noonan & Savage 1999). Untuk itu, perlu dilakukan proses reduksi oksalat pada umbi walur agar selanjutnya dapat dikonsumsi tanpa menimbulkan rasa gatal dan juga aman bagi tubuh tanpa memberikan efek negatif terhadap kesehatan.
2
Penelitian ataupun informasi mengenai umbi walur belum banyak ditemukan hingga saat ini baik di dalam maupun di luar negeri. Untuk itu, perlu dilakukan penelitian mengenai umbi walur agar potensi besar yang dimilikinya dapat tereksplorasi sehingga selanjutnya dapat dimanfaatkan oleh para petani di sekitar hutan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mereduksi kandungan oksalat pada umbi walur, mengkarakterisasi sifat fisikokimia walur, dan mengaplikasikan pati walur dalam pembuatan cookies dan mie. BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan mulai bulan Agustus 2010 sampai dengan Februari 2011 bertempat di Laboratorium Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian Bogor, Pilot Plant dan Laboratorium Kimia pangan SEAFAST center, IPB Bahan dan Alat Bahan-bahan yang digunakan adalah umbi walur yang diperoleh dari wilayah Madiun Jawa Timur, HCl, NaCl, NaOH, natrium bikarbonat, bahan-bahan pembuatan mie dan cookies, serta bahanbahan kimia untuk analisa. Alat-alat yang digunakan adalah alat slicer (pengiris), alat pemarut, pengering tray drier, alat pengepres dan ayakan, Rapid Visco Analyzer (RVA), Texture Analyzer Brookfield Engineering© TC3, chromameter, High Performance Liquid Chromatography, Mikroskop polarisasi, Scanning Electron Microscopy, oven pemanggang, mixer dan peralatan gelas untuk analisa. Metode Penelitian Karakterisasi Umbi Walur
Umbi walur yang digunakan dalam penelitian ini terlebih dahulu dianalisis sifat fisikokimianya. Analisis yang dilakukan meliputi analisis proksimat (AOAC 2005), kadar karbohidrat (by different), kadar amilosa (Apriyantono et al. 1989), kadar oksalat (Savage et al. 2000) dan bentuk granula pati (SEM dan mikroskop polarisasi). Reduksi dan Analisis Kandungan Oksalat pada Umbi Walur Proses reduksi oksalat dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama adalah pemilihan jenis pelarut. Sampel umbi walur diiris dengan ketebalan 2 mm lalu direndam dalam air pada suhu 50 °C selama 3 jam. Setelah itu irisan umbi walur direndam dalam berbagai jenis pelarut (air, HCl 0.2 N, NaCl 1,7 N dan NaOH 0.2 N) selama 5 menit. Selanjutnya umbi hasil rendaman tersebut dicuci dengan air dan direndam kembali dalam larutan natrium bikarbonat 1% selama 5 menit. Setelah itu dilakukan pencucian dengan air. Pelarut yang paling tinggi mereduksi kandungan oksalat dalam irisan umbi selanjutnya digunakan sebagai pelarut dalam proses optimasi lama perendaman. Kandungan oksalat dianalisis menggunakan metode Savage et al. (2000). Produksi dan karakterisasi pati walur Umbi walur hasil reduksi oksalat selanjutnya dihancurkan hingga menjadi bubur dan ditambahkan air dengan perbandingan 1 kg bubur umbi dengan 1 L air dan didiamkan selama 1 jam. Proses ekstraksi pati dilakukan dengan proses pengepresan. Proses penambahan air dan pengepresan dilakukan sebanyak dua kali. Larutan dinetralkan dengan menggunakan NaOH 40% hingga mencapai pH netral lalu diendapkan selama semalam. Endapan pati selanjutnya dikeringkan selama 8 jam pada suhu 50 °C di dalam oven. Pati kering dihancurkan dan diayak
3
menggunakan ayakan 80 mesh. Pati yang dihasilkan tersebut selanjutnya dikarakterisasi sifat fisikokimia dan fungsionalnya. Analisis yang dilakukan meliputi analisis proksimat (AOAC 2005), analisis oksalat (savage et al. 2000), analisis fosforus, analisis total pati (BSN 1992), analisis daya cerna pati (Muchtadi et al. 1992), derajat putih (Lanier et al. 1991), kemampuan pengembangan dan kelarutan (Nadiha et al. 2010), analisis kekuatan gel dan analisis gelatinisasi pati dengan menggunakan alat Rapid Visco Analyzer (RVA). Aplikasi Pati Walur pada Produk Cookies dan Mie Pati walur yang dihasilkan selanjutnya digunakan sebagai pensubstitusi tepung terigu dalam pembuatan cookies (Gustiar 2010) dan mie (Wahyuningrum 2000). Dalam pembuatan cookies, pati walur digunakan sebagai pensubstitusi terigu dengan perbandingan 0. 25, 50. 75 dan 100%. Untuk pembuatan mie, pati walur digunakan dengan perbandingan 0. 10. 20. 30. 40 dan 60%. Analisis organoleptik terhadap produk yang dihasilkan dilakukan dengan menggunakan 25 orang panelis tidak terlatih. Skor penilaian yang digunakan ada 7 tingkat, yaitu 1 (sangat tidak suka), 2 (tidak suka), 3 (agak tidak suka), 4 (netral), 5 (agak suka), 6 (suka), dan 7 (sangat suka). HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Umbi Walur Kandungan gizi tertinggi pada umbi walur adalah karbohidrat, yaitu sebesar 74.28% (Tabel 1). Hasil tersebut mengindikasikan bahwa seperti halnya umbi suweg, umbi walur pun kaya akan karbohidrat dan berpotensi untuk dimanfaatkan menjadi sumber bahan pangan pokok alternatif.
Tabel 1 Perbandingan karakteristik kimia umbi walur dan umbi suweg No.
Komposisi kimia
Walur
Suweg a 78.70
1.
Kadar air (% bb)
74.46
2.
Kadar lemak (% bk)
14.41
0.47
3.
Kadar protein (% bk)
6.42
5.63
4.
Kadar abu (% bk) Kadar karbohidrat (% bk)
4.89
7.51
5.
74.28
86.38
6.
Kadar amilosa (% bk)
22.4
18.3
a
Das et al. (2009)
Kandungan amilosa pati walur adalah sebesar 22.4% (Tabel 1). Nilai ini relatif lebih tinggi bila dibandingkan dengan umbi suweg yang memiliki kandungan amilosa sebanyak 18.3% (Richana & Titi 2004) dan lebih randah bila dibandingkan dengan tepung terigu, yaitu sebesar 28% (Fennema 1996). Perbedaan kandungan amilosa ini dapat dipengaruhi oleh perbedaan sumber botani, kondisi iklim, jenis tanah selama pertumbuhan dan waktu pemanenan (Noda et al. 2008). Kandungan amilosa pada pati berpengaruh pada sifat retrogradasi pati. Setelah pati dipanaskan dan kemudian didinginkan, amilosa akan berikatan antara sesamanya dan menyebabkan sineresis. Proses sineresis ini menyebabkan pati membentuk gel yang kuat. Semakin banyak kandungan amilosa dalam pati, maka derajat sineresisnya semakin besar yang menyebabkan gel yang dihasilkan menjadi semakin kuat. Ukuran granula pati umbi walur adalah berkisar antara 10 hingga 22 μm, berbentuk oval dan bersudut banyak (polygonal) serta memiliki permukaan yang halus (Gambar 1). Hasil ini sangat berbeda dengan umbi suweg yang memiliki granula pati dengan ukuran yang lebih kecil, yaitu sebesar 5 μm (Richana & Titi 2004) dan granula pati tepung terigu dengan ukuran 10-35 μm.
4
(a)
(b)
Tabel 2 Pengaruh pemanasan irisan umbi walur pada suhu 50 °C selama 3 jam dan perendaman dalam pelarut selama 5 menit terhadap total oksalat (ppm) Total oksalat (g/100 g) 3.6059
% Penurunan -
Air
0.7471
79.28
HCl 0.2 N
0.6066
83.18
NaOH 0.2 N
0.9549
73.52
NaCl 1.7 N
0.7952
77.95
Pelarut Segar
Gambar 1. Bentuk granula pati umbi walur yang diamati menggunakan mikroskop polarisasi (a) dan Scanning Electron Microscopy (b). Perbedaan ukuran granula pati ini dapat mempengaruhi profil gelatinisasi pati. Pati yang memiliki ukuran yang besar akan memiliki suhu gelatinisasi yang relatif rendah dan viskositas maksimum yang cukup tinggi. Hal ini disebabkan granula pati lebih mudah menyerap air sehingga akan tergelatinisasi pada suhu lebih rendah dan mampu menyerap air yang banyak sebelum granulanya pecah yang kemudian dapat mencapai viskositas maksimum yang tinggi (Kusnandar 2011). Pengaruh Proses Perendaman Terhadap Kandungan Total Oksalat Reduksi oksalat pada umbi walur dilakukan dengan proses pemanasan dan perendaman irisan umbi dalam beberapa jenis pelarut. Hasilnya menunjukkan bahwa semua jenis pelarut yang digunakan dapat menurunkan kandungan oksalat dalam pati walur dengan persen penurunan tertinggi yaitu sebesar 83.18% dengan menggunakan pelarut HCl 0.2 N dan persen penurunan terendah sebesar 73.52% oleh pelarut NaOH 0.2 N (Tabel 2). Persen penurunan oksalat pada umbi walur yang direndam dengan menggunakan air dan NaCl berturut-turut sebesar 79.28 dan 77.95%.
Rendahnya persen penurunan kandungan oksalat oleh pelarut NaOH dikarenakan reaksi antara kalsium oksalat dengan NaOH hanya dapat terjadi apabila terdapat panas, sedangkan pada saat perendaman dilakukan pada suhu kamar sehingga reaksi tersebut tidak terjadi secara optimal (Cotton & Wilkinson 1989). Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa jenis pelarut mempengaruhi total oksalat yang dihasilkan. Hasil analisis menunjukkan bahwa perendaman dalam pelarut HCl 0.2 N memberikan persen penurunan yang paling tinggi. Oleh sebab itu, maka HCl 0.2 N digunakan sebagai pelarut untuk tahap selanjutnya. Konsumsi oksalat per hari yang diizinkan di Inggris adalah sebesar 70-150 mg (Noonan & Savage 1999). Sedangkan untuk pasien yang memiliki penyakit ginjal, American Dietetic Association’s Nutrition Care Manual merekomendasikan agar mengkonsumsi oksalat kurang dari 40-50 mg per hari (Messey 2007). Umbi rendaman HCl 0.2 N menyisakan total oksalat yang paling rendah, yaitu sebesar 6066 ppm. Apabila konsumsi pati walur diasumsikan sama dengan konsumsi tepung terigu per hari, yaitu sebanyak 47.8 g, maka jumlah oksalat yang dikonsumsi adalah sebesar 290 mg. Nilai ini masih berada jauh di atas konsentrasi yang direkomendasikan. Untuk itu, perlu dilakukan reoptimasi
5
lama perendaman irisan umbi walur dengan pelarut HCl 0.2 N agar diperoleh konsentrasi oksalat yang lebih rendah. Pengaruh lama perendaman dalam HCl 0.2 N disajikan dalam Gambar 2. Secara umum terjadi penurunan kandungan oksalat seiring dengan peningkatan lama perendaman. Namun, hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa lama perendaman lebih dari 30 menit tidak menghasilkan total oksalat yang berbeda nyata. Oleh sebab itu, dipilihlah perendaman HCl 0.2 N selama 30 menit. Proses perendaman dalam HCL 0.2 N diikuti dengan perendaman dalam larutan natrium bikarbonat 1% selama 5
menit dan pencucian dengan air. Perendaman dalam natrium bikarbonat dilakukan untuk mencegah terjadinya pertumbuhan kristal oksalat dari asam askorbat pada kondisi pH asam (Kurdi 2002). Perlakuan ini menyisakan total oksalat sebesar 2534.79 ppm. Total oksalat yang dikonsumsi per hari berdasarkan hasil sisa total oksalat hasil perendaman adalah sebesar 121 mg. Nilai ini masih berada pada selang konsentrasi yang diizinkan untuk manusia normal, namun berada di atas jumlah oksalat per hari yang direkomendasikan untuk orang dengan penyakit batu ginjal.
Gambar 2 Pengaruh lama perendaman irisan umbi walur (menit) dalam pelarut HCl 0.2 N terhadap kandungan oksalat (ppm). Produksi dan Karakterisasi Pati Walur Pati walur memiliki kadar abu yang lebih tinggi dibandingkan dengan tepung terigu. Hal ini kemungkinan disebabkan karena pati walur memiliki kandungan mineral terutama kadar fosforus yang juga lebih tinggi dibandingkan dengan tepung terigu. Tingginya kadar fosforus pati walur tersebut dapat disebabkan oleh faktor genetik dari tanaman ataupun dari faktor lingkungan pertumbuhannya (Hoover et al. 2010). Selain itu,
sebelumnya diketahui bahwa umbi walur mengandung kalsium oksalat yang menyebabkan rasa gatal dan iritasi pada bibir. Kalsium yang terdapat pada kalsium oksalat ini pun dapat terdeteksi sebagai total mineral sehingga akan meningkatkan kadar abu pada pati walur. Daya cerna pati walur lebih tinggi dibanding terigu (Tabel 3) tetapi lebih rendah dari pati garut yang mencapai 84.3% (Gustiar 2009). Rendahnya daya cerna pati walur dibanding pari garut kemungkinan disebabkan karena
6
tingginya kandungan fosforus pada pati yang akan berikatan dengan amilopektin. Menurut Kamasaka et al. (1995), fosfat monoester yang ada di dalam pati tidak bisa diputuskan oleh enzim amilolitik.
terigu. Bahan kimia seperti asam organik dan sulfur dioksida, agen pemutih dan sebagainya biasanya digunakan untuk meningkatkan derajat putih pada pati (Sajeev 2000).
Tabel 3 Perbandingan karakteristik kimia pati walur dan tepung terigu
Tabel 5 Perbandingan sifat fisik dan fungsional pati walur dan tepung terigu
No. 1
Komponen Kadar air (bb)
Pati walur
Terigu
8.17
14.00a a
2
Kadar lemak (bk)
0.34
1.16
3
Kadar protein (bk)
1.50
13.95 a
4 5 6 7 8 9
Kadar abu (bk) Kadar karbohidrat (bk) Kadar serat (bk) Kadar fosforus (bk) Kadar total pati (bk) Daya cerna pati (bk)
No.
Parameter
1
Derajat putih (%) Kemampuan pengembangan (g/g) % kelarutan
2
a
8.05
0.58
90.10
82.56a
0.01
4.95c
1.18
0.10b
3 d
a
80.83
71.00
58.94
19.75c
10 Total oksalat (bk) 0.0414 0.0517d Figoni (2003); bZaidul et al. (2007); cGustiar (2009); dChai dan Liebman (2005).
a
Tabel 3 juga menunjukkan bahwa proses reduksi oksalat dan ekstraksi pati menghasilkan pati dengan kandungan total oksalat lebih rendah dari total oksalat pada tepung terigu. Jika dibandingkan dengan kandungan total oksalat pada umbi walur yang mencapai 3.6059 % (bk) maka total reduksi oksalat mencapai 98.9%. Derajat putih pati walur diketahui memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan tepung terigu (Tabel 5). Pati walur diproduksi dari umbi walur yang telah mengalami proses perendaman dalam larutan HCl 0.2 N terlebih dahulu untuk menurunkan kandungan oksalatnya. Hal ini kemungkinan besar yang menyebabkan nilai derajat putih yang lebih tinggi dibandingkan dengan tepung
4 Kekuatan gel (g) Zaidul et al. (2007)
Pati walur 83.83
Terigu 81.86
20.36
12.75d
13.63
8.63d
1724.80
551.00
Pati walur memiliki nilai kemampuan pengembangan dan kelarutan yang cukup tinggi (Tabel 5). Hal ini kemungkinan disebabkan oleh tingginya kandungan fosforus dalam pati walur. Noda et al. (2008) menyatakan bahwa kandungan fosforus dalam sampel dapat menyebabkan adanya gaya tolak antara kelompok fosfat dengan rantai di sebelahnya sehingga dapat meningkatkan hidrasi dengan cara melemahkan ikatan antara gugus kristalin. Tingginya nilai kekuatan gel pati walur sesuai dengan hasil analisis RVA (Gambar 3) yang menunjukkan bahwa pati walur lebih mudah mengalami retrogradasi dibandingkan dengan tepung terigu. Tingginya nilai kekuatan gel pati walur disebabkan oleh kandungan amilopektin pati walur yang berikatan dengna gugus fosfat akan menyebabkannya berperilaku seperti molekul amilosa sehingga mempengaruhi kekuatan gel dari pati (Blennow 2004).
7
(b)
(a)
Gambar 3 Perbandingan kurva gelatinisasi pati walur (a); tepung terigu (b). Pati walur memiliki nilai viskositas puncak yang lebih tinggi dibandingkan tepung terigu (Gambar 3). Hal ini disebabkan karena pati walur memiliki kandungan fosforus yang tinggi (Tabel 3). Menurut Beynum dan Roels (1985), tingginya kadar fosfat monoester dalam sampel dapat menghasilkan rantai polielektrolit yang menyebabkan pati terdispersi dan menghasilkan viskositas yang tinggi. Pati walur menunjukkan nilai breakdown dan setback yang cukup tinggi dibandingkan dengan tepung terigu (Gambar 3). Tingginya nilai breakdown tersebut mengindikasikan bahwa pati walur tidak tahan terhadap proses pemanasan, dan tingginya nilai setback menunjukkan bahwa pati walur cukup baik dalam pembentukan gel selama proses pendinginan. Pengaruh Substitusi Pati Walur terhadap Cookies dan mie yang dihasilkan Pengaruh substitusi pati walur terhadap nilai kesukaan panelits terhadap
cookies disajikan pada Gambar 4. Hasil analisis multivariate terhadap uji kesukaan cookies menunjukkan bahwa penambahan pati walur pada cookies mempengaruhi tingkat kesukaan panelis pada semua parameter yang diujikan. Parameter-parameter yang diujikan adalah warna, aroma, rasa, tekstur, keseluruhan dan after taste dari produk cookies tersebut. After taste diujikan kepada panelis untuk mengetahui sensasi yang dirasakan oleh panelis setelah mengkonsumsi produk pati walur. Sebelumnya telah diketahui bahwa umbi walur mengandung kristal oksalat dalam jumlah yang cukup banyak sehingga dapat menyebabkan iritasi dan rasa panas pada bibir jika dikonsumsi. Cookies pati walur yang menunjukkan nilai kesukaan yang sama dengan cookies tepung terigu pada semua parameter yang diujikan dalam analisis organoleptik kecuali parameter warna adalah cookies 25% pati walur. Namun, secara umum cookies hingga 100% pati walur masih dapat diterima oleh panelis dari semua parameter yang diujikan.
8
Gambar 4 Pengaruh substitusi pati walur terhadap nilai kesukaan cookies. Ket: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% Dalam uji organoleptik terhadap mie pati walur, terdapat beberapa parameter yang diujikan, yaitu kekenyalan, kelengketan, rasa dan keseluruhan (Gambar 5). Analisis multivariate terhadap hasil uji kesukaan panelis menunjukkan bahwa penambahan pati walur tidak mempengaruhi tingkat kesukaan kekenyalan, kelengketan dan keseluruhan. Hasil ini menunjukkan bahwa penambahan pati walur hingga 60% masih menghasilkan tingkat kesukaan yang sama dengan mie tepung terigu pada parameter tersebut.
Namun, berdasarkan analisis juga diketahui bahwa penambahan pati walur mempengaruhi tingkat kesukaan rasa dari panelis. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa sampel mie substitusi 40% pati walur masih memiliki tingkat kesukaan rasa yang sama dengan tingkat kesukaan mie tepung terigu. Secara umum, berdasarkan data pada Gambar 5, diketahui bahwa secara umum mie hingga substitusi 60% pati walur masih disukai oleh panelis.
Gambar 5 Pengaruh substitusi pati walur terhadap nilai kesukaan mie. Ket: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5%
9
Blennow A, Anne Mette Bay-Smidt, Carl EO, Birger LM. 2000. The distribution of covalently bound Reduksi oksalat dilakukan dengan phosphate in the starch granule in cara perendaman irisan umbi walur dalam relation to starch crystallinity. larutan HCl 0.2 N selama 30 menit lalu perendaman dalam natrium bikarbonat 1% International Journal of Biological Macromolecules 2000; 27: 211–218 dan pencucian. Kombinasi teknik reduksi ini dengan proses ekstraksi pati Chai Weiwen, Michael Liebman. 2005. Oxalate content of legumes, nuts, and selanjutnya dapat menurunkan kandungan grain-based flours. Journal of Food total oksalat pada umbi walur sebesar Composition and Analysis 2005:18; 98.9% dengan total oksalat pada pati 723–729 walur sebesar 413,7 ppm. Pati walur memiliki memiliki derajat putih yang Cotton F Albert, Geoffrey Wilkinson. 1989. Kimia Anorganik Dasar. lebih tinggi dari tepung terigu dengan Penerjemah : Sahati Suharto. Cet. 1. kurva gelatinisasi tipe A karena memiliki Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia puncak viskositas yang tinggi dan cukup (UI-Press). 1989 mudah dalam mengalami pengenceran Das et al. 2009. Isolation and selama pemanasan. characterization of a Hasil analisis organoleptik terhadap heteropolysaccharide from the corn of produk substitusi pati walur menunjukkan Amorphophallus campanulatus. bahwa cookies yang memiliki tingkat Carbohydrate Research 2009; 344: kesukaan yang sama dengan cookies 2581–2585 tepung terigu adalah cookies yang mengandung 25% pati walur sedangkan Figoni. 2003. Chapter five: Wheat Flour. 75033. 63-86 produk mie adalah mie dengan kandungan 40% pati walur. Namun, dilihat dari skor Gustiar Haris. 2009. Sifat fisiskokimia dan indeks glikemik produk cookies rata-rata kesukaan panelis, secara umum berbahan baku pati garut (Maranta cookies hingga 100% pati walur serta mie arundinacea L.) termodifikasi hingga substitusi 60% pati walur masih [Skripsi] Bogor: Fakultas Ilmu dan dapat diterima oleh panelis. Teknologi Pangan, Insitut Pertanian Bogor. Hoover R, T Hughes, H. J Chung dan Q. DAFTAR PUSTAKA Liu. 2010. Composition, molecular structure, properties and modification [AOAC] Association of Official of pulse starches: A review. Food Analytical Chemist. 2005. Official Research International 2010; 43: 399Methods of Analytical of The 413 Association of Official Analytical Kamasaka et al. 1995. Inhibitory effect of Chemist. Washington, DC: AOAC phosphorylated oligosaccharides Apriyantono A, Fardiaz D, Puspitasari NL, prepared from potato starch on the Sedarnawati, dan Budijanto S. 1989. formation of calcium phosphate. Analisis Pangan. Bogor: IPB Press. Bioscience, Biotechnology, and [BSN] Badan Standarisasi Nasional. Biochemistry 59: 1412–1416 1992. Cara Uji Gula SNI 01-2892Kriswidarti T. 1980. Suweg 1992. Jakarta: BSN. (Amorphophallus campanulatus Bl. J.) Beynum GMA, Roels JA. 1985. Starch kerabat bunga bangkai yang berpotensi conversion technology. New York, U SA: Marcel-Dekker p. 980. KESIMPULAN
10
sebagai sumber karbohidrat. Buletin Kebun Raya vol. 4; 5: 171 – 174. Kusnandar F. 2011. Kimia Pangan Komponen Makro. Jakarta: Dian Rakyat. Lanier TC, Hart K, Martin RE. 1991. A manual of standard methods for measuring and specifying the properties of surimi. Washington, DC: National Fisheries Institute. Massey KL. 2007. Food Oxalate: Factors Affecting Measurement, Biological Variation, and Bioavailability. Journal of the American Dietetic Association. Muchtadi D, Palupi NS, dan Astawan M. 1992. Metode Kimia, Biokimia, dan Biologi dalam Evaluasi Nilai Gizi. Bogor: Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, IPB. Nadiha MZ, A Fazilah, Rajeev Bhat, Alias AK. 2010. Comparative susceptibilities of sago, potato and corn starches to alkali treatment. Food Chemistry 2010; 121: 1053–1059 Noda et al. 2008. Factors affecting the digestibility of raw and gelatinized potato starches. Food Chemistry 2008; 110: 465–470 Noonan S, Savage GP. 1999. Oxalate content of food and its effect on humans. Asia Pacific journal of Clinical Nutrition 8; 1: 64-74 Ohtsuki T. 1967. Studies on reverse carbohydrate of flour Amorphophallus spesies with special refference to mannan. Botanical Magazine Tokyo 8: 119-129 Richana N, Titi CS. 2004. Karakterisasi sifat fisikokimia tepung umbi dan tepung pati dari umbi ganyong, suweg, ubikelapa dan gembili. J.Pascapanen 1; 1: 29-37. Sajeev MS. 2000. Studies on settling and concentration of cassava starch suspensions [Thesis]. Coimbatore: Tamil Nadu Agricultural University. Savage GP, Vanhanen L, Mason SL, Ross AB. 2000. Efect of cooking on the
soluble and insoluble oxalate content of some New Zealand foods. J. Food Comp. Anal. 13: 201-206. Zaidul ISM, Hiroaki Y, Sun-Ju Kim, Naoto H, Takahiro N. 2007. RVA study of mixtures of wheat flour and potato starches with different phosphorus contents. Food Chemistry 2007; 102: 1105–1111.