HUBUNGAN FAKTOR LINGKUNGAN HABITAT PORANG (Amorphophallus muelleri Blume) PADA LIMA AGROFORESTRI DI JAWA TIMUR DENGAN KANDUNGAN OKSALAT UMBI Serafinah Indriyani1, Endang Arisoesilaningsih1, Tatik Wardiyati2 dan Hery Purnobasuki3 1
Jurusan Biologi, Fakultas MIPA, Universitas Brawijaya, Malang, Indonesia
[email protected];
[email protected] 2 Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya, Malang, Indonesia 3 Jurusan Biologi, Fakultas Sain dan Teknologi, Surabaya, Indonesia
Abstrak Penelitian bertujuan untuk mendapatkan faktor iklim dan tanah terkait dengan akumulasi oksalat dalam umbi porang serta kondisi lingkungan habitat porang pada5 ( lima) agroforestri. Porang dikoleksi dari 4 (empat) periode tumbuh dan dari 5 (lima) lokasi agroforestri porang di Jawa Timur yaitu Desa Klangon Kecamatan Saradan Kabupaten Madiun (KPH Saradan), Desa Klino Kecamatan Sekar Kabupaten Bojonegoro (KPH Bojonegoro), Desa Bendoasri Kecamatan Rejoso Kabupaten Nganjuk (KPH Nganjuk), Desa Sugihwaras Kecamatan Ngluyu Kabupaten Nganjuk (KPH Nganjuk) dan Desa Kalirejo Kecamatan Kalipare Kabupaten Malang (KPH Blitar). Variabel iklim yang diamati meliputi indikator ketinggian tempat, persentase penyinaran, suhu dan curah hujan. Variabel vegetasi yang diamati meliputi indikator jenis tegakan dan persentase penutupan gulma.Variabel tanah yang diamati meliputi indikator konduktivitas tanah, pH tanah, kandungan kalsium tersedia dalam tanah dan kapasitas tukar kation (KTK). Variabel pertumbuhan vegetatif porang yang diamati meliputi indikator tinggi tanaman, diameter tajuk dan diameter batang semu. Variabel umbi yang diamati meliputi indikator diameter umbi dan berat umbi. Variabel oksalat yang diukur meliputi indikator oksalat total, oksalat terlarut dan oksalat tak larut. Kandungan oksalat umbi porang diukur berdasarkan AOAC (1990). Data dianalisis dengan korelasi Pearson serta Manova dilanjutkan dengan Anova one way dan Tukey HSD pada α=0,05. Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel iklim yang memiliki korelasi positif dengan kandungan oksalat umbi porang adalah indikator suhu dan curah hujan. Variabel vegetasi yang memiliki korelasi positif dengan kandungan oksalat umbi porang adalah indikator persentase penutupan gulma. Variabel tanah yang memiliki korelasi positif dengan kandungan oksalat umbi porang adalah indikator kandungan kalsium tersedia dalam tanah dan KTK, sedangkan indikator yang memiliki korelasi negatif adalah pH tanah. Variabel pertumbuhan vegetatif dan umbi porang tidak memiliki korelasi dengan kandungan oksalat umbi. Faktor lingkungan meliputi iklim dan tanah yang diamati pada lima agroforestri porang adalah bervariasi. Kandungan oksalat total umbi porang tertinggi didapatkan di Desa Klino sebesar 0,0774 ± 0,0138% sedangkan terendah didapatkan di Desa Bendoasri sebesar 0,0233 ± 0,0002%. Kata kunci: hubungan, iklim, oksalat, porang, tanah.
Pendahuluan Tanaman porang merupakan tumbuhan herba menahun, termasuk dalam kelompok familia Araceae. Batang tegak, lunak, batang halus berwarna hijau atau hitam belang-belang (totol-totol) putih. Batang semu sebenarnya adalah tangkai daun tunggal memecah menjadi tiga dan akan memecah lagi sekaligus menjadi tangkai daun dari anak daun. Pada setiap pertemuan batang semu atau tangkai daun akan tumbuh bulbil atau katak atau umbi tetas berwarna coklat kehitam-hitaman sebagai alat perkembangbiakan vegetatif tanaman porang [1]. Tinggi tanaman dapat mencapai 1,5 meter sangat tergantung umur dan kesuburan tanah. Tanaman porang mempunyai sifat khusus yaitu mempunyai toleransi yang sangat tinggi terhadap naungan atau tempat teduh (tahan tempat teduh). Tanaman porang membutuhkan cahaya penyinaran 4060 %, sehingga sangat cocok untuk tanaman di bawah naungan. Naungan yang ideal untuk tanaman porang adalah jenis jati, mahoni dan sono, yang terpenting ada naungan serta terhindar dari kebakaran. Tingkat kerapatan naungan minimal 40 % sehingga semakin rapat semakin baik. Tanaman porang dapat tumbuh pada ketinggian 0-700 m dari permukaan laut (dpl), namun yang paling baik pada daerah yang
mempunyai ketinggian 100-600 m dpl. Tanaman porang hanya memerlukan tanah kering berhumus dengan pH 6-7, umbi batangnya berada di dalam tanah dan umbi inilah yang dipungut hasilnya. Umbi porang mengandung serat yang tinggi dan tanpa kolesterol, selain itu mengandung glukomannan sebesar 20-65 % yang sangat baik untuk kesehatan terutama untuk diet [2, 3]. Pengolahan umbi porang menghasilkan tepung sebagai bahan makanan, baik untuk mie, tahu, rangginang, bahan campuran untuk minuman dan lain-lain. Multimanfaat porang yang selain menjadi bahan pembuat konyaku (sejenis tahu) dan shirataki (sejenis mie) untuk masakan Jepang, juga untuk keperluan industri antara lain mengkilapkan kain seperti katun/wol, perekat kertas, cat dan bahan imitasi yang memiliki sifat lebih baik dari amilum dan praktis harganya lebih murah. Bahan ini juga dapat dimanfaatkan sebagai pengganti agar-agar dan gelatin sebagai bahan pembuatan negatif film, isolator, dan seluloid karena sifatnya mirip selulosa. Apabila larutan mannan atau glukomannan dicampur dengan gliserin atau natrium hidroksida, dapat dibuat bahan kedap air. Di samping itu mannan atau glukomannan juga dapat digunakan untuk menjernihkan air dan memurnikan bagian-bagian koloid yang terapung dalam industri bir, gula, minyak dan serat. Bagi industri farmasi, porang dapat dapat diolah sebagai bahan perekat tablet dan pembungkus kapsul [2, 4). Untuk pangsa pasar dalam negeri, umbi porang digunakan sebagai bahan mie yang dipasarkan di swalayan, serta untuk memenuhi kebutuhan pabrik kosmetik sebagai bahan dasar. Untuk pangsa pasar luar negeri; masih sangat terbuka yaitu terutama untuk tujuan Jepang, Taiwan, Korea dan beberapa negara Eropa [3]. Budidaya porang telah dilakukan di beberapa daerah sentra penanaman porang dalam kawasan hutan Perum Perhutani Unit II Jawa Timur dengan lahan seluas 1605.3 hektar yang meliputi enam daerah KPH yang tersebar di seluruh Jawa Timur, antara lain adalah sebagai berikut [3]: 1) Jember dengan luas lahan sebesar 121,3 hektar, 2) Nganjuk dengan luas lahan sebesar 759,8 hektar, 3) Padangan dengan luas lahan sebesar 3,9 hektar, 4) Saradan dengan luas lahan sebesar 615,0 hektar, 5) Bojonegoro dengan luas lahan sebesar 35,3 hektar dan 6) Madiun dengan luas lahan sebesar 70,0 hektar. Meskipun umbi porang bersifat multifungsi untuk berbagai kebutuhan manusia, akan tetapi seperti halnya kebanyakan tanaman dari familia Araceae, didapatkan kalsium oksalat yang sangat tinggi. Oksalat di dalam makanan berakibat tidak baik bagi kesehatan karena 2 (dua) alasan yaitu 1) oksalat adalah antinutrien yang mempengaruhi tidak tersedianya kalsium yang diperlukan bagi tubuh manusia, dan 2) pada beberapa kasus, hewan ternak dapat teracuni tumbuhan yang mengandung oksalat [5]. Dalam jumlah cukup tinggi, asam oksalat dan kristal kalsium oksalat menyebabkan aberasi mekanik dari saluran pencernaan dan tubulus yang halus di dalam ginjal. Secara kimia asam oksalat ini menyerap kalsium yang penting untuk fungsi saraf dan serat-serat otot. Pada kasus yang ekstrim, penyerapan kalsium ini menyebabkan hypocalcemia dan paralysis yang berakibat fatal [6]. Meskipun faktor-faktor yang lain dapat menyebabkan gangguan pada ginjal, namun demikian direkomendasikan untuk membatasi makan makanan yang banyak mengandung oksalat khususnya bagi orang yang memiliki resiko terkena batu ginjal [7]. Tanaman menghasilkan oksalat, termasuk tanaman pangan dengan rentang 3-80% dari berat kering tanaman. Sebanyak 90% dari kalsium total terdapat dalam bentuk garam oksalat termasuk kalsium oksalat [5]. Pembentukan oksalat di dalam tubuh tanaman tidak terlepas dari lingkungan tempat tanaman itu tumbuh. Banyak teori yang menjelaskan tentang pembentukan oksalat pada tanaman, secara umum dikatakan bahwa oksalat terbentuk dari pemecahan karbohidrat secara respiratori atau dari metabolisme protein [8]. Sebagian ahli mengatakan pembentukan kalsium oksalat melalui jalur fotorespirasi yaitu melalui glikolat, namun sebagian ahli yang lain mengatakan bahwa pembentukan kalsium oksalat melalui prekursor asam L-askorbat [9]. Penelitian tentang oksalat banyak dilakukan pada tanaman sayur yang pada umumnya dimakan segar, sedangkan pada tanaman umbi belum banyak didapatkan informasi. Apabila tanaman dimakan segar, maka potensi untuk terkena batu ginjal menjadi lebih besar, karena oksalat terlarut akan mengikat kalsium yang ada di tubuh manusia sehingga terjadi kekurangan kalsium. Oksalat tak larut berupa kalsium oksalat yang termakan akan terakumulasi di ginjal, sehingga menyebabkan batu ginjal. Berdasarkan pertimbangan dari berbagai kajian tersebut di atas, maka dilakukan penelitian untuk mendapatkan faktor iklim dan tanah terkait dengan akumulasi oksalat dalam umbi porang pada lima agroforestri porang di Jawa Timur.
Bahan dan Metode Eksplorasi porang dilakukan pada bulan Maret hingga Mei 2009 di 5 (lima) lokasi agroforestri porang di Jawa Timur meliputi Desa Klangon (317 m dpl) Kecamatan Saradan Kabupaten Madiun (KPH Saradan), Desa Klino (530 m dpl) Kecamatan Sekar Kabupaten Bojonegoro (KPH Bojonegoro), Desa Bendoasri (420 m dpl) Kecamatan Rejoso Kabupaten Nganjuk (KPH Nganjuk), Desa Sugihwaras (265 m dpl) Kecamatan Ngluyu Kabupaten Nganjuk (KPH Nganjuk) dan Desa Kalirejo (333 m dpl) Kecamatan Kalipare Kabupaten Malang (KPH Blitar). Variabel iklim yang diamati meliputi indikator ketinggian tempat, persentase penyinaran, suhu dan curah hujan. Variabel tanah yang diamati meliputi indikator konduktivitas tanah, pH tanah, kandungan kalsium tersedia dalam tanah dan kapasitas tukar kation (KTK). Variabel vegetasi yang diamati meliputi indikator jenis tegakan dan persentase penutupan gulma. Variabel pertumbuhan vegetatif porang yang diamati meliputi indikator tinggi tanaman, diameter tajuk dan diameter batang semu. Variabel umbi yang diamati meliputi indikator diameter umbi dan berat umbi. Variabel oksalat yang diukur meliputi indikator oksalat total, oksalat terlarut dan oksalat tak larut. Kandungan oksalat umbi porang diukur berdasarkan [10]. Data dianalisis dengan korelasi Pearson serta Manova dilanjutkan dengan Anova one way dan Tukey HSD pada α=0,05. Hasil dan Pembahasan Berdasarkan uji korelasi Pearson didapatkan hasil bahwa suhu udara, curah hujan, persentase penutupan gulma, kandungan kalsium tersedia dalam tanah dan KTK memiliki korelasi positif dengan kandungan oksalat umbi porang, sedangkan pH memiliki korelasi negatif dengan kandungan oksalat umbi porang secara signifikan pada α=0,05 (Tabel 1). Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi suhu udara, curah hujan, persentase penutupan gulma, kandungan kalsium tersedia dalam tanah dan KTK maka semakin tinggi kandungan oksalat umbi porang. Sebaliknya semakin rendah pH tanah maka semakin tinggi kandungan oksalat umbi porang. Konduktivitas tanah dan pertumbuhan vegetatif maupun umbi porang tidak memiliki korelasi dengan kandungan oksalat umbi porang. Tabel 1. Ringkasan uji korelasi Pearson faktor lingkungan habitat porang pada lima agroforestri di Jawa Timur dengan kandungan oksalat umbi Indikator Korelasi Pearson Kandungan Oksalat Umbi Ketinggian tempat (m dpl) Nilai r -0,0060 Sig. 0,9513 Persentase penyinaran Nilai r 0,1541 Sig. 0,1130 Suhu (°C) Nilai r 0,2324 Sig. 0,0160* Curah hujan (mm) Nilai r 0,2057 Sig. 0,0337* Jenis tegakan Nilai r -0,0808 Sig. 0,4081 Persentase penutupan gulma Nilai r 0,3313 Sig. 0,0005** Konduktivitas tanah (mS.cm-1) Nilai r -0,1746 Sig. 0,0721 pH tanah Nilai r -0,2220 Sig. 0,0215* Ca tersedia dalam tanah (%) Nilai r 0,4238 Sig. 0,000005** KTK (me.hg-1) Nilai r 0,3397 Sig. 0,0003** Tinggi tanaman (cm) Nilai r -0,1010 Sig. 0,7530 Diameter tajuk (cm) Nilai r -0,0490
Sig. Nilai r Sig. Nilai r Sig. Nilai r Sig.
Diameter batang semu (cm) Diameter umbi (cm) Berat umbi (g)
0,6160 -0,0300 0,9720 -0,3200 0,7460 0,0310 0,7530
Keterangan: * korelasi signifikan pada α=0,05 ** korelasi signifikan pada α=0,01
Dengan uji Manova dan dilanjutkan dengan Anova one way dan uji Tukey HSD pada α=0,05 untuk variabel iklim, variabel tanah, variabel vegetasi dan variabel pertumbuhan terkait dengan akumulasi oksalat dalam umbi porang diperoleh hasil seperti yang tersaji pada Gambar 1 – 7 berikut ini. Untuk variabel iklim, terdapat perbedaan persentase penyinaran dan suhu. Penyinaran terbesar terdapat pada lokasi agroforestri porang di Desa Klino yang lebih terbuka dibandingkan di Desa Kalirejo dengan penyinaran terkecil karena tertutup oleh pohon jati yang rapat, suhu tertinggi di Desa Sugihwaras dan terendah di Desa Klino, curah hujan tertinggi di Desa Klangon dan terendah di Desa Kalirejo, meskipun demikian curah hujan pada 5 (lima) lokasi agroforestri porang secara statistik tidak berbeda nyata (Gambar 1. A, B dan C). 100
d
90
Penyinaran (%)
80
cd
70 60
bc
50 40 30
ab 35
20 10
b
a
b
30
ab
b
a
0 sugihw aras
kalirejo
bendoasri
25
klino Suhu (oC)
A
klangon
20 15 10
B
5 0 sugihw aras
klangon
kalirejo
bendoasri
klino
2500 a
Curah hujan (mm)
2000
a
a
a 1500 a 1000
500
C
0 sugihw aras
klangon
kalirejo
bendoasri
klino
Keterangan: huruf kecil yg sama pada lokasi yg sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada α=0.05 Gambar 1. Persentase penyinaran, suhu dan curah hujan pada lima lokasi agroforestri di Jawa Timur
Untuk variabel tanah, terdapat perbedaan konduktivitas, pH, kalsium tersedia dan KTK antar lokasi agroforestri porang. Konduktivitas dan pH tanah di Desa Sugihwaras, Kalirejo dan Klino sama besarnya, sedangkan untuk Desa Klangon dan Bendoasri lebih rendah dibanding tiga desa sebelumnya, secara umum tanah di desa-desa tersebut bersifat asam (Gambar 2. A dan B).
0.25 b
Konduktivitas (mS.cm-1)
b
b
0.20 a
a
0.15
0.10
0.05
0.00
A
Sugihw aras
Klangon
Kalirejo
Bendoasri
Klino
Keterangan: huruf kecil yg sama pada lokasi yg sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada α=0.05
B Terdapat interaksi antara lokasi agroforestri porang dengan periode tumbuh porang untuk ketersediaan kalsium dan Gambar 2. Konduktivitas dan pH tanah pada lima lokasi agroforestri di Jawa Timur KTK dalam tanah. Ketersediaan kalsium dalam tanah di Desa Sugihwaras pada periode tumbuh ketiga adalah terbesar dibanding yang lain, hal ini sejalan dengan KTK dalam tanah (Gambar 3. A dan B). 35
e de de
30
Ca (%)
25
cd
cd
20
bc
abc
15
ab abc
ab
10
a
a
a
a
a
abcabc
abc
a
5
3 de
1 kl
in o
pe rio
de
3 de kl
in o
pe rio
rio pe
oa s
ri be nd
oa s
ri
pe
rio
de
1
3
1 pe be nd
lir e
jo
pe jo ka
lir e
rio de
3
rio de
1
rio de pe
on kl
an g
on an g kl
ka
3
rio de
de
pe
rio pe as
wa r gi h
su
su
A
gi h
wa r
as
pe
rio
de
1
0
fg fg
h
ef
3 de
1 in o kl
in o kl
a
pe ri o
de
3 de
pe ri o
rio pe ri
oa s
a
be nd
be nd
lir e
oa s
ri
pe
rio
de
1
3
1 pe jo
pe jo ka
lir e
ri o de
3
ri o de
1 pe on kl
ka
an g
on an g kl
rio de
3
rio de
de
pe
rio
de rio
pe as
pe as
wa r gi h
wa r
ab
abcdabcda
a abc ab
a
su
gi h su
B
e
abcdcde de bcde
1
KTK (me.hg-1)
2.00 1.80 1.60 1.40 1.20 1.00 0.80 0.60 0.40 0.20 0.00
Keterangan: huruf kecil yg sama pada lokasi yg sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada α=0.05 Gambar 3. Ketersediaan kalsium dan KTK pada lima lokasi agroforestri di Jawa Timur
Untuk variabel vegetasi, terdapat perbedaan persentase penutupan gulma dan jenis tegakan antar lokasi agroforestri porang. Persentase penutupan gulma terbesar terdapat di Desa Bendoasri dan Klino, sedangkan terkecil di Desa Kalirejo. Jenis tegakan di Desa Sugihwaras, Klangon, Bendoasri dan Klino adalah jati dan sonokeling, sedangkan di Desa Kalirejo hanya jati saja (Gambar 4. A dan B). 120 c
Penutupan gulma (%)
100
c bc
80
b
60 40 20
A
a
0 Sugihw aras
Klangon
Kalirejo
Bendoasri
Klino
3,5 b 3 b b
Jenis tegakan
2,5 ab 2 1,5 a 1 0,5
B
0 Sugihw aras
Klangon
Kalirejo
Bendoasri
Klino
Keterangan: huruf kecil yg sama pada lokasi yg sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada α=0.05 Gambar 4. Persentase penutupan dan macam tegakan pada lima lokasi agroforestri di Jawa Timur
Untuk variabel pertumbuhan vegetatif porang, terdapat interaksi antara lokasi agroforestri porang dengan periode tumbuh porang untuk tinggi tanaman, diameter tajuk, diameter batang semu dan diameter umbi antar lokasi. Tinggi tanaman, diameter tajuk, diameter batang semu dan diameter umbi pada periode
su gi h s u wa gi ra h s s u wa pe gi ra rio hw s d ar pe e 1 as rio pe de rio 2 kl de an 3 go kl n an p go er i kl an n p ode g e k l on rio 1 an p de go er 2 k a n iod li r pe e 3 r e k a j o iod li r pe e 4 ej rio ka o d li r pe e 1 e r k a j o iod be li re per e 2 i j nd o od be oa per e 3 nd sri iod be oas p er e 4 nd ri i od be oa p er e 1 nd sri i od oa p e e sr ri o 2 i k l p e de 3 in ri o o d k l pe e 4 in rio o d k l pe e in rio 1 o d k l pe e in rio 2 o pe de rio 3 de 4
10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
B
C
Diameter maks batang semu (cm) su gi s u hwa gi ra h s u wa s p gi ra eri hw s od ar pe e as rio 1 pe de rio 2 kl de an g 3 k l on an p g k l on erio an p d e k l gon erio 1 an p d g e e k a on riod 2 li r pe e k a ej o riod 3 li r pe e e k a j o riod 4 li r pe e k a ej o rio 1 be li re pe d e nd j o rio 2 be oa pe d e nd sri rio 3 be oa p e d e nd sri ri o 4 be oa p e de nd sri ri o 1 oa p e de sr ri o 2 i k l p e de in ri o 3 o k l pe de in ri 4 o o k l pe de in rio 1 o k l pe de in ri 2 o od pe e rio 3 de 4 Diameter tajuk (cm)
A su gi h s u wa gi ra s u hwa s p gi ra eri hw s od ar pe e as rio 1 pe de rio 2 kl de an 3 k l gon an p go er kl an n p iod g e e k l on rio 1 an p de g e k a on riod 2 li r pe e e k a j o riod 3 li r pe e e k a j o riod 4 li r pe e e k j o rio 1 be ali re pe d e nd j o rio 2 be oa pe d e nd sri rio 3 be oa p er d e nd sri i o 4 be oa p e de 1 nd sri ri o oa p e de sr ri o 2 i k l p e de in ri o 3 o k l pe de 4 in rio o k l pe de in ri 1 o o k l pe de in rio 2 o pe de rio 3 de 4
Tinggi tanaman (cm)
tumbuh keempat untuk semua desa adalah yang tertinggi dibandingkan dengan periode tumbuh sebelumnya (Gambar 5. A, B dan C). 160 140 120 100
80 60 40 20 0
180 160 140 120 100 80 60 40 20 0
g
a
efgh
abcde
a
fg fg
ghij
defghi
ab
abc
fg
abcde abc
hij
abcd abcd
abc
g
a
a
g
defg efg
bcdef ab abcd
efghij
defgh bcde abc
abcd
ab
g
efg cdef
abc
ij j
fghij hij
cdef defg
efghij
ab
ghi
i
hi
fgh defg cdefg abcdebcdef
hi
bcdef
ab
abcd
Keterangan: huruf kecil yg sama pada lokasi yg sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada α=0.05 Gambar 5. Tinggi tanaman, diameter tajuk dan diameter batang semu porang pada lima lokasi agroforestri di Jawa Timur
Untuk variabel produksi umbi porang, terdapat interaksi antara lokasi agroforestri porang dengan periode tumbuh porang untuk diameter umbi, sedangkan untuk berat umbi tidak terdapat interaksi antara lokasi dengan periode tumbuh porang, akan tetapi terdapat perbedaan antar lokasi dan antar periode tumbuh porang. Diameter umbi porang terbesar pada periode tumbuh keempat untuk semua desa adalah yang tertinggi dibandingkan dengan periode tumbuh sebelumnya. Umbi porang dari Desa Bendoasri adalah yang terberat pada periode tumbuh keempat dibandingkan dari desa dan periode tumbuh yang lain (Gambar 6. A dan B).
Diameter umbi (cm)
30 i
25 gh
20
cdef
bcd
15 10
fgh
abc
ghi
efgh
defg
cde
abc
a
a
hi
ab
a
abc
abc a
5
su gi h s u wa gi ra h s s u wa pe gi ra rio hw s d ar pe e 1 as rio pe de rio 2 kl de an 3 go kl an n p g e k l on rio an p de g e k l on rio 1 an p de go er 2 k a n iod li r pe e 3 r e k a j o iod li r pe e 4 ej rio ka o d li r pe e 1 e r k a j o iod be li re per e 2 nd j o iod be oa per e 3 nd sri iod be oas p er e 4 nd ri i od be oa p er e 1 nd sri i od oa p e e sr ri o 2 i k l p e de 3 in ri o o d k l pe e 4 in rio o d k l pe e in rio 1 o d k l pe e in rio 2 o pe de rio 3 de 4
0
A
3500 bD
3000 bC
Berat umbi (g)
2500
periode tumbuh 1
2000
bC
500
aB
periode tumbuh 4
abC
aC
aB
aB aA
aA
periode tumbuh 3
abC
aC
1000
periode tumbuh 2
abC
abBC
1500
aB aA
aA
aB aA
0
B
sugihw aras
klangon
kalirejo
bendoasri
klino
Keterangan: huruf kapital yg sama pada lokasi yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata antar periode tumbuh pada α=0.05, huruf kecil yg sama pada periode tumbuh yg sama menunjukkan tidak berbeda nyata antar lokasi pada α=0.05 Gambar 6.
Diameter umbi dan berat umbi porang pada lima lokasi agroforestri di Jawa Timur
Untuk variabel kandungan oksalat umbi, terdapat perbedaan kandungan oksalat total, oksalat terlarut dan oksalat tak larut antar lokasi agroforestri porang, sedangkan antar periode tumbuh tidak terdapat perbedaan. Umbi porang dari Desa Klino memiliki kandungan oksalat total, oksalat terlarut dan oksalat tak larut tertinggi dibandingkan dengan Desa Sugihwaras, Klangon, Kalirejo dan Bendoasri (Gambar 7). 0,1 c
0,09
b
0,08
Oksalat (%)
0,07 0,06 0,05 0,04
oktaklarut b
a
b
0,03 0,02
oktotal
bc
b
a
a
a
okterlarut a
a
a a
a
0,01 0
Keterang an: huruf kecil yg sama pada lokasi yg sama menunjuk kan tidak berbeda nyata pada α=0.05 Gambar 7.
sugihwaras
klangon
kalirejo
bendoasri
klino
Berdasa rkan hasil analisis korelasi dan analisis ragam dari variabel iklim, variabel tanah, variabel vegetasi, variabel pertumbuhan vegetatif porang dan variabel produksi umbi porang, maka terlihat bahwa oksalat
Oksal Jawa T
dalam umbi porang terkait dengan kondisi lingkungan lokasi tumbuh dan tidak terkait dengan pertumbuhan ataupun periode tumbuh tanaman. Umbi porang dari Desa Bendoasri memiliki kandungan oksalat terendah, sedangkan kandungan kalsium tersedia dalam tanah hampir sama dengan Desa Klino dengan kandungan oksalat umbi tertinggi. Umbi porang dari Desa Sugihwaras memiliki kandungan oksalat sedang dengan kandungan kalsium tersedia dalam tanah tertinggi. Walaupun demikian secara umum kandungan oksalat umbi porang dari 5 (lima) desa tersebut masih melebihi batas kandungan oksalat yang tinggi yaitu sebesar 0,01% [11]. Hasil penelitian Singh pada tanaman sayur Chenopodium album L. dan C. amaranthicolor L. dengan memberikan cahaya, pupuk dan salinitas menunjukkan bahwa asam oksalat disintesis pada daun baik sebagai metabolit yang berasal dari jalur fotosintesis maupun non-fotosintesis. Dengan demikian cahaya bukan sebagai faktor pembatas untuk sintesis oksalat pada tanaman ini [12]. Beberapa peneliti melaporkan bahwa kandungan oksalat berbeda untuk tiap jenis tanaman karena faktor umur, fisiologi, lingkungan dan genetik [13] . Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian, faktor lingkungan yang terkait dengan kandungan oksalat umbi porang adalah suhu, curah hujan, persentase penutupan gulma, pH tanah, ketersediaan kalsium dalam tanah dan KTK. Faktor lingkungan meliputi iklim dan tanah yang diamati pada 5 (lima) agroforestri porang adalah bervariasi. Kandungan oksalat umbi porang dari 5 (lima) lokasi agroforestri tertinggi didapatkan di Desa Klino sebesar di 0,0774 ± 0,0138% sedangkan terendah didapatkan di Desa Bendoasri sebesar 0,0233 ± 0,0002%. Ucapan Terima Kasih Penelitian ini dibiayai oleh Direktorat Pembinaan Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional melalui Program Pascasarjana Universitas Airlangga yang telah memberikan bantuan penelitian dengan dana Hibah Penelitian Program Doktor tahun 2009. Terima kasih juga diucapkan kepada Rendra Aji Saputra dan Evit Endriyeni, SSi yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian ini hingga selesai. Daftar pustaka
[1] Pitojo, S., 2007, Seri Budidaya: Suweg: bahan pangan alternatif, rendah kalori, Penerbit Kanisius, Jogjakarta. [2] Sulaeman, A.R., 2004, Porang, sejahterakan warga sekaligus lestarikan hutan klangon, http://www.kompas.com/kompas-cetak/0401/19/humaniora/, Diakses tanggal 4 Desember 2007. [3]Lase, E., 2007, Budidaya umbi hutan (porang), http://korannias.wordpress.com/2007/09/03/budidaya-umbi-hutan-/, Diakses tanggal 4 Desember 2007. [4] Prihatyanto, T., 2007, Budidaya porang. http://www.Majalah Kehutanan Indonesia Edisi II Tahun 2007.htm, Diakses tanggal 4 Desember 2007. [5] Nakata, P.A., 2003, Advances in our understanding of calcium oxalate crystal formation and function in plants, Plant Science. 164: 901-909. [6] Brown, D., 2000, Aroids: plants of the arum family, Second Edition, Timber Press, Portland, Oregon. [7] Noonan, S.C. and G.P. Savage, 1999, Oxalic acid content of foods and its effect on human, Asia Pacific Journal of Clinical Nutrition, 8: 64-74. [8] Hagler, L. and R.H. Herman, 1973, Oxalate metabolism, Comments in biochemistry, Editor R.H. Herman, The American Journal of Clinical Nutrition 26: July 1973, 758-765.
[9] Franceschi, V.R. and P.A. Nakata, 2005, Calcium oxalate in plants: formation and function, Annual Review of Plant Biolog,. vol. 56: 41-71. [10] AOAC, 1990, Official methods of analysis, Association of Official Analytical Chemist, Food composition; additives, natural contaminants, 15th edition, Edited by Kenneth Helrich. Published by AOAC Inc. Virginia, 22201, 993-994. [11] Tsai, J.Y., J.K. Huang, T.T. Wu and Y.H. Lee, 2005, Comparison of oxalate content in foods and beverages in Taiwan, JTUA 16: 93-99. [12] Singh, P.P., 1974, Influence of light intensity, fertilizers and salinity on oxalate and mineral concentration of two vegetables (Chenopodium album L. and Chenopodium amaranthicolor L.), Qual. Plant. – PI.Fds.Hum.Nutr, XXIV, ½: 115-125. [13] Libert, B. and V.R. Franceschi, 1987. Oxalate in crops plants, J. Agric. Food Chem. 35: 926-938.