Uji Daya Tumbuh Porang (Amorphophallus muelleri Blume) dari Berbagai Variasi Potongan Biji Turhadi1) dan Serafinah Indriyani2) Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Brawijaya, Malang1),2) Turhadi :
[email protected]) , Serafinah Indiyani :
[email protected])
ABSTRAK Budidaya porang dapat dilakukan dengan metode perkecambahan poliembrioni yaitu pada satu biji dilakukan pembelahan untuk memisahkan bagian embrio yang ada di dalamnya. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui perbedaan jumlah tunas, persentase tumbuh bagian biji bertunas, biji yang bertunas secara monoembrio dan poliembrio, serta bagian biji yang non-viable dari berbagai variasi potongan biji porang. Biji dengan berat 0,17±0,017 gram dipotong dengan berbagai variasi potongan yaitu biji dipotong tiga (P1) dan dua (P2) membujur, dipotong tiga (P3) dan dua (P4) melintang, dan biji utuh (P5), kemudian dikecambahkan selama tujuh minggu. Biji bertunas difiksasi dalam larutan alkohol 70 %untuk pengamatan lebih lanjut. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap dan tiap perlakuan diulang sebanyak empat kali. Analisis data menggunakan ANOVA dan dilanjutkan uji Tukey (α = 0,05) menggunakan program SPSS 16.0. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa jumlah tunas paling banyak terdapat pada perlakuan biji yang dibelah tiga melintang. Tunas yang muncul semuanya berasal dari bagian proksimal biji. Persentase tumbuh bagian biji bertunas paling tinggi terdapat pada perlakuan biji utuh (70,00±21,60 %). Biji porang yang bertunas secara poliembrio paling tinggi terdapat pada perlakuan biji porang utuh (35,00±10,00 %). Perlakuan pembelahan biji secara statistik tidak berpengaruh nyata dalam menghasilkan bibit porang poliembrio. Kata kunci: biji, poliembrio, porang, potongan, tunas ABSTRACT Porang cultivation can be done using polyembryo germination method, that in one seed is sliced for separating the parts of embryo inside. The purpose of this research were to determine the differences of shoot number, viability of seeds germinate percentage, seeds germinate in monoembryo or polyembryo, and non-viable seeds from different variation of slices. Seeds (0.17 ± 0.017 gram) were divided into five treatments (three (P1) and two (P2) horizontal sliced, three (P3) and two (P4) vertical sliced seed, and whole seed (P5)) then it were germinated for seven weeks. Germinated seeds were fixed in 70 % alcohol solution for further observation. The experimental was conducted by completely randomized design and each treatment was four times replicated. Data were analyzed using ANOVA and Tukey's test (α = 0.05) by SPSS 16.0. Results showed all of shoot that grown were derived from proximal part of seed. The highest viability of seeds germinated percentage was in whole seeds treatment (70,00±21,60 %). The highest polyembryo seeds which germinated was in the whole seed treatment (35,00±10,00 %). The seeds sliced treatments were not statistically significant to resulting polyembryo seeds in porang. Key words: polyembryo, porang, seeds, shoot, sliced
PENDAHULUAN Porang (Amorphophallus muelleri Blume) dikenal sebagai tanaman yang mengandung glukomannan yang dapat digunakan sebagai bahan baku berbagai industri, seperti industri makanan dan farmasi [1]. Porang memiliki nilai ekspor sangat tinggi terutama negara Jepang mencapai lebih dari 1000 ton/tahun. Potensi porang dalam bentuk umbi yang dihasilkan oleh hutan di Jawa Timur baru sekitar 2000 ton umbi basah dengan luasan 7006 Ha, dan produksi chip masih sekitar 600
Jurnal Biotropika | Vol. 3 No. 1 | 2015
kg-1.000 ton chip, tetapi kebutuhan industri sedemikian besar. Oleh sebab itu, perluasan tanaman porang sangat diperlukan untuk memenuhi kebutuhan industri sekitar 3.400 ton chip, sehingga diperlukan inovasi untuk meningkatkan jumlah bibit porang [2]. Budidaya porang dapat dilakukan dengan teknik perkecambahan poliembrio, yaitu pada satu biji porang dilakukan proses pembelahan biji untuk memisahkan embrio-embrio yang ada dalam satu biji [1]. Berdasarkan Penelitian sebelumnya dapat diketahui bahwa pada porang terdapat fenomena poliembrioni [3]. 1
Poliembrioni adalah peristiwa terdapatnya lebih dari satu embrio dalam satu biji [4]. Penelitian sebelumnya, seperti yang telah dilakukan oleh Ihsan dan Sukarmin (2011) pada biji manggis (Garcinia mangostana L.) serta Hakim dan Fauzi (2008) pada biji Ulin (Eusyderoxylon zwageri T. et B.) diketahui bahwa dengan adanya variasi potongan biji mampu dihasilkan jumlah bibit tanaman yang lebih banyak [5][6]. Oleh karena pada porang terdapat fenomena poliembrioni, maka dengan memotong biji (embrio) dalam berbagai variasi potongan biji, terdapat peluang untuk memperoleh bibit tanaman lebih banyak. Berdasarkan uraian di atas dimungkinkan untuk memperoleh bibit dalam jumlah banyak melalui potongan biji porang. Tujuan penelitian ini yaitu mengetahui perbedaan daya tumbuh biji (persentase tumbuh bagian biji bertunas, jumlah tunas, biji yang bertunas secara monoembrio dan poliembrio, serta bagian biji yang non-viable) dari berbagai variasi potongan biji porang. METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari 2014 – Januari 2015 di Laboratorium Taksonomi Tumbuhan, Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Brawijaya, Malang. Rancangan percobaan. Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian ini yaitu Rancangan Acak Lengkap yang terdiri dari lima perlakuan yakni biji dipotong tiga membujur (P1), biji dipotong dua membujur (P2), biji dipotong tiga melintang (P3), biji dipotong dua melintang (P4), dan biji tanpa pemotongan (P5) (Gambar 1). Tiap perlakuan diulang sebanyak empat ulangan sehingga terdapat 20 unit percobaan.
Desa Rejosari, Kecamatan Bantur, Kabupaten Malang dengan ketinggian tempat 369 meter di atas permukaan laut (m dpl) dibersihkan dari daging buah dan diseleksi sehingga diperoleh ukuran biji yang seragam (0,17±0,017 gram). Sebelum biji diperlakukan maka dilakukan sterilisasi permukaan secara bertingkat menggunakan larutan pemutih komersial dengan konsentrasi 10 %, 15 %, dan 20 % masing-masing selama 10 menit [7]. Masing-masing perlakuan menggunakan 10 biji porang, sehingga setelah perlakuan pemotongan jumlah biji untuk tiap perlakuan yaitu P5 sebanyak 10 bagian biji, P2 dan P4 sebanyak 20 bagian biji, serta P1 dan P3 sebanyak 30 bagian biji. Biji yang telah mengalami perlakuan disemaikan dalam nampan dengan media tanam berupa kompos dengan kedalaman ±0,5 cm. Persemaian biji porang dilakukan selama tujuh minggu [1]. Apabila terdapat biji porang yang muncul tunas maka biji tersebut dikoleksi dan difiksasi dalam larutan alkohol 70 % kemudian diiris. Variabel Penelitian. Variabel yang diamati dan diukur pada penelitian ini meliputi: 1. Persentase tumbuh bagian biji bertunas, dihitung dengan rumus: % tumbuh bagian biji bertunas =
x 100
% (Ihsan dan Sukarmin, 2011)
2.
3. 4.
Jumlah tunas, dilakukan dengan menghitung jumlah tunas yang tumbuh pada tiap perlakuan Persentase biji yang bertunas secara monoembrio dan poliembrio. Jumlah bagian biji yang non-viable.
Analisis Data. Data jumlah tunas, persentase tumbuh bagian biji bertunas, persentase biji bertunas secara monoembrio dan poliembrio, dan jumlah bagian biji yang nonviable, dianalisis dengan Analysis of Variance (ANOVA) dan apabila terdapat perbedaan nyata maka dilanjutkan uji Tukey (α = 0,05) menggunakan program SPSS 16.0. HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambar
1.
Perlakuan potongan biji porang (Keterangan: dt: bagian distal biji dan pr: bagian proksimal biji)
Persemaian Biji Porang. Biji porang yang didapatkan dari Perkebunan Porang yang dikelola oleh PERHUTANI di Dusun Krajan,
Jurnal Biotropika | Vol. 3 No. 1 | 2015
Hasil penelitian yang telah dilakukan ini menunjukkan bahwa biji porang yang disemaikan memunculkan tunasnya pada minggu ke-1 hingga ke-4. Biji porang yang tumbuh diawali dengan proses perkecambahan. Proses ini ditandai dengan munculnya tunas yang ketika muncul ke permukaan tanah tampak 2
b
Persentase tumbuh bagian biji bertunas (%)
100 80 60 40 20 0
a
P1
b
ab
a
P2
P3
P4
P5
Perlakuan
Gambar 2. Persentase tumbuh bagian biji porang yang dikecambahkan. Notasi yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji Tukey α = 0,05. Keterangan: biji dipotong tiga (P1) dan dua membujur (P2), dipotong tiga (P3) dan dua melintang (P4), dan biji utuh (P5)
Berdasarkan hasil penelitian, diketahui juga bahwa jumlah tunas yang dihasilkan dari tiap perlakuan bervariasi (Gambar 3). Jumlah tunas paling banyak dihasilkan pada biji yang dibelah menjadi tiga secara melintang (P3) yakni 13,00±1,83. Berdasarkan uji statistik perlakuan tersebut tidak berbeda nyata dengan biji yang tidak dibelah (P5). Pembelahan biji secara melintang juga menunjukkan bahwa jumlah tunas yang dihasilkan lebih banyak dibandingkan biji yang dibelah secara membujur dan secara statistik berbeda nyata. Hal tersebut mengindikasikan bahwa dalam pembibitan biji porang secara poliembrioni lebih efektif apabila pembelahan dilakukan secara melintang dibandingkan membujur. Jumlah tunas (per 10 biji)
dibungkus oleh seludang. Porang merupakan tanaman berkeping satu (monokotil) dan tipe perkecambahan hipogeal. Pada tipe perkecambahan ini kotiledon akan tetap berada di bawah permukaan tanah ketika berkecambah. Kecambah porang akan muncul pada minggu ke-1 hingga ke-6. Waktu yang diperlukan kecambah dari muncul bakal plumula hingga daun pertama membuka sempurna yakni 1-4 minggu [8]. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan adanya perlakuan pembelahan biji akan menyebabkan persentase tumbuh bagian biji yang berbeda-beda (Gambar 2). Biji yang tidak dibelah (P5) menunjukkan persentase tumbuh paling tinggi dibandingkan perlakuan lainnya yakni 70,00±21,60 %. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa biji yang tidak dibelah berbeda nyata dengan perlakuan biji yang dibelah menjadi dua dan tiga secara membujur. Berdasarkan hasil penelitian ini dapat diketahui jika pembelahan biji secara melintang dapat menghasilkan persentase tumbuh biji yang lebih tinggi dibandingkan biji yang dibelah secara membujur. Persentase bagian biji yang dibelah menjadi tiga (P3) dan dua (P4) secara melintang, masing-masing yaitu 30,00±2,72 % dan 37,50±5,00 %, sedangkan biji yang dibelah menjadi tiga (P1) dan dua (P2) secara membujur, masing-masing yaitu 6,67±2,72 % dan 12,50±9,57. Penelitian lain menunjukkan bahwa pemotongan biji ulin secara melintang akan lebih memberikan hasil pertumbuhan semai lebih tinggi dibandingkan dengan pemotongan biji membujur [6]. Selain itu, penelitian lain juga diketahui bahwa ukuran benih tidak berpengaruh terhadap persentase daya berkecambah benih Gmelina arborea [9]. Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa pada biji porang yang dibelah secara melintang memiliki persentase tumbuh yang paling tinggi dibandingkan perlakuan lainnya yakni 78 % pada biji yang dibelah melintang menjadi dua bagian [8]. Namun demikian belum terdapat informasi yang menyatakan bahwa tunas yang muncul berasal dari posisi biji bagian proksimal, tengah, maupun distal.
20
b a
10 5
b
b
15
a
0 P1
P2
P3
P4
P5
Perlakuan
Gambar 3. Jumlah tunas yang muncul dari biji porang yang dikecambahkan. Notasi yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji Tukey α = 0,05. Keterangan: biji dipotong tiga (P1) dan dua membujur (P2), dipotong tiga (P3) dan dua melintang (P4), dan biji utuh (P5)
Jumlah tunas yang dihasilkan pada biji yang tidak dibelah (P5) menunjukkan adanya gejala poliembrio. Hal tersebut dapat diketahui
Jurnal Biotropika | Vol. 3 No. 1 | 2015
3
Jurnal Biotropika | Vol. 3 No. 1 | 2015
Secara umum persentase biji yang menunjukkan adanya fenomena poliembrioni lebih rendah dibandingkan dengan biji yang monoembrio, kecuali pada biji yang tidak dibelah (P5) (Gambar 4). Persentase terbanyak terdapat pada perlakuan biji yang dibelah menjadi tiga secara melintang (P3), yakni 40,00±14,10 %. Secara statistik diketahui juga semua perlakuan tidak berbeda nyata dalam menghasilkan tunas yang monoembrio berdasarkan uji Tukey (α= 0,05). Setiap perlakuan juga menunjukkan adanya bagian biji yang tidak tumbuh ketika disemaikan hingga 7 minggu dengan persentase berkisar 32,50±26,30-57,50±43,50 % (Gambar 4). Persentase bagian biji yang tidak tumbuh paling banyak yakni pada biji yang dibelah menjadi tiga secara membujur. Hal tersebut disebabkan karena ukuran bagian biji yang dibelah menjadi tiga secara membujur lebih tipis dibandingkan perlakuan lainnya. Selain itu, disebabkan juga karena pada irisan membujur menyebabkan terdapat bagian embrio porang di dalam biji yang rusak. Penelitian lain yang dilakukan pada biji ulin yang dipotong secara melintang menjadi 23 bagian, ternyata mampu tumbuh sempurna menjadi semai tanaman, sedangkan dengan pemotongan membujur menunjukkan biji ulin tidak mampu tumbuh dengan baik, dikarenakan terganggunya kotiledon biji akibat pemotongan [6]. Berdasarkan hal ini dapat dikatakan bahwa dengan adanya pemotongan biji menyebabkan adanya bagian yang rusak pada embrio porang sehingga menghambat pertumbuhannya. Persentase biji yang poliembrio, monoembrio, dan nonviable (%)
dari jumlah tunas yang dihasilkan melebihi jumlah bagian biji yang disemaikan. Jumlah tunas yang dihasilkan yakni 12,00±3,16, sedangkan biji yang disemaikan sebanyak 10 biji tanpa dibelah (Gambar 3). Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa persentase daya tumbuh biji pada umur 2 bulan melebihi 100 %, hal ini dikarenakan pada saat penanaman menggunakan buah kering yang mempunyai 1-4 biji dan adanya fenomena poliembrio pada biji [3]. Poliembrioni adalah biji yang memiliki embrio lebih dari satu. Sifat tanaman yang terbentuk dari perkecambahan poliembrioni dari beberapa tanaman yang tumbuh hanya ada satu yang berbeda dari tanaman induknya, hal itu disebabkan karena terjadinya peleburan sel gamet jantan dan betina sehingga tanaman tersebut memiliki gen dari keduanya. Tanaman yang mempunyai sifat yang sama dengan induknya terbentuk dari perkembangan vegetatif. Poliembrioni kemungkinan terjadi karena pembelahan embrio yang telah ada, embrio berasal dari sel-sel kandung lembaga selain sel telur yang dibuahi dan terbentuknya kandung lembaga yang banyak dalam satu ovum. Sifat poliembrioni banyak terdapat pada benih rekalsitran, yaitu benih yang memiliki kadar air yang tinggi pada saat masak [10]. Biji yang dibelah menjadi dua baik secara melintang dan membujur menunjukkan jumlah tunas yang lebih banyak dibandingkan biji yang dibelah menjadi tiga. Hal tersebut disebabkan karena jumlah cadangan makanan pada biji yang dibelah menjadi dua lebih banyak dibandingkan pada biji yang dibelah menjadi tiga, sehingga persentase tumbuh bagian biji yang bertunas lebih banyak. Biji yang dibelah tiga mempunyai cadangan makanan pada tiap potongan yang terbatas sehingga walaupun menghasilkan tunas, pertumbuhannya kurang sempurna [5]. Semua perlakuan pada penelitian ini menunjukkan adanya fenomena poliembrioni, yakni munculnya lebih dari satu tunas dari bagian biji yang dikecambahkan. Persentase biji yang memiliki sifat poliembrio bervariasi dari tiap-tiap perlakuan (Gambar 4). Persentase terbanyak terdapat pada perlakuan biji yang tidak dibelah (P5), yakni 35,00±10,00 %. Secara statistik semua perlakuan tidak berbeda nyata berdasarkan uji Tukey (α= 0,05). Hal tersebut dapat dikatakan bahwa tidak ada pengaruh pembelahan biji terhadap kemampuan poliembrio yang dihasilkan.
Poliembrio
120
Monoembrio
Non viable
a
100
a
80
a
60 40
a a
a
a
a
a a
a a
aa a
20 0 P1
P2
P3
P4
P5
Perlakuan
Gambar 4. Persentase biji porang yang berkecambah secara poliembrio, monoembrio, dan tidak tumbuh (non viable). Notasi yang sama pada setiap peubah menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji
4
Tukey α= 0,05. Keterangan: biji dipotong tiga (P1) dan dua membujur (P2), dipotong tiga (P3) dan dua melintang (P4), dan biji utuh (P5)
Adanya biji porang yang tidak tumbuh dapat juga disebabkan oleh faktor eksternal (faktor lingkungan). Faktor lingkungan tempat penyemaian dapat berpengaruh terhadap proses perkecambahan. Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan terhadap biji-biji yang tidak berkecambah, umumnya rusak karena biji-biji tersebut hancur berbentuk serbuk menyerupai tepung [11]. Banyak faktor yang memengaruhi perkecambahan biji, baik faktor internal maupun eksternal. Terdapat dua faktor yang memengaruhi perkecambahan benih, yaitu: kondisi benih (faktor internal) yang meliputi: kemasakan biji/benih, kerusakan mekanik dan fisik, serta kadar air biji. Faktor luar benih (faktor eksternal) yang meliputi: suhu, cahaya, oksigen, kelembapan nisbi serta komposisi udara di sekitar biji. Kehadiran jamur patogen yang mengontaminasi biji/benih juga dapat menurunkan viabilitas biji serta menurunkan daya kecambah benih tersebut [11]. Semua bagian biji yang disemaikan pada penelitian ini menunjukkan bahwa tunas porang muncul dari bagian proksimal. Selain itu, tidak ada tunas yang muncul dari bagian biji posisi tengah dan distal. Hal ini dapat terjadi diduga disebabkan karena embrio porang berada pada posisi proksimal, sedangkan pada posisi tengah hingga distal hanya terdiri dari cadangan makanan (endosperma). Embrio porang terdiferensiasi dari sel-sel integumen di bagian proksimal biji [3].
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang berkontribusi selama kegiatan penelitian ini berlangsung antara lain Pemerintah RI yang telah memberikan Beasiswa BIDIK MISI, sehingga penulis dapat menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Porang Indonesia (P4I) Universitas Brawijaya yang telah mendanai pelaksanaan penelitian ini. Ibu Serafinah Indriyani sebagai Dosen Pembimbing yang dengan sabar memberikan bimbingan, motivasi, saran dan ilmunya. Ibu Rodiyati Azrianingsih dan bapak Jati Batoro sebagai Dosen Penguji di Seminar Proposal, Seminar Hasil Penelitian, dan Ujian Skripsi yang telah memberikan motivasi, saran dan ilmunya, serta pihak-pihak lain yang membantu dalam kelancaran kegiatan penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA [1]
[2]
[3]
KESIMPULAN Persentase tumbuh bagian biji bertunas paling tinggi terdapat pada perlakuan biji utuh (70,00±21,60 %). Jumlah tunas yang dihasilkan dari biji utuh, dibelah menjadi dua dan tiga secara melintang tidak berbeda nyata secara statistik. Tunas yang muncul semuanya berasal dari bagian proksimal biji. Biji porang yang bertunas secara poliembrio paling tinggi terdapat pada perlakuan biji porang utuh (35,00±10,00 %). Perlakuan pembelahan biji secara statistik tidak berpengaruh nyata dalam menghasilkan bibit porang poliembrio. Biji porang yang tidak tumbuh ketika disemaikan hingga 7 minggu dengan persentase berkisar 32,50±26,30 - 57,50±43,50 %. Jurnal Biotropika | Vol. 3 No. 1 | 2015
[4]
[5]
[6]
Pusat Penelitian dan Pengembangan Porang Indonesia Universitas Brawijaya. 2013. Modul diseminasi: budidaya dan pengembangan porang (Amorphophallus muelleri Blume) sebagai salah satu potensi bahan baku lokal. Universitas Brawijaya. Malang. Departemen Kehutanan RI. 2014. Profil kehutanan. www.dephut.go.id. Diakses 29 Agustus 2014. Gusmalawati, D. 2013. Struktur perkembangan organ generatif dan daya tumbuh biji porang (Amorphophallus muelleri Blume). Tesis. Program Magister Biologi FMIPA Universitas Brawijaya. Malang. Nugroho, H.L., Purnomo, dan I. Sumardi. 2006. Struktur dan perkembangan tumbuhan. Penebar Swadaya. Jakarta. Ihsan, F. dan Sukarmin. 2011. Teknik pengujian pembelahan biji terhadap efektifitas perbanyakan manggis (Garcinia mangostana L.) melalui biji. Buletin Teknik Pertanian 16(1): 56-60. Hakim, L. dan M.A. Fauzi. 2008. Pengaruh ukuran kotiledon terhadap pertumbuhan semai ulin (Eusideroxylon zwageri T. Et B). Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan 2(1): 1-5. 5
[7]
[8]
[9]
[10]
[11]
Gunawan, I. 2007. Perlakuan sterilisasi eksplan anggrek kuping gajah (Bulbophyllum beccarii Rchb.f) dalam kultur in vitro. Skripsi. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Azrianingsih, R., A. Munawarti, dan B. Rahardi. 2013. Teknik perkecambahan poliembrio porang (Amorphophallus muelleri Blume): upaya penyediaan bibit unggul. Laporan Akhir Penelitian Unggulan Perguruan Tinggi (M). Universitas Brawijaya. Malang. Haryadi, D., L. Setyaningsih, dan O. Satjapradja. 2006. Pengaruh ukuran benih terhadap perkecambahan benih gmelina arborea (Gmelina arborea L.) asal kebun percobaan Cikampek dan Nagrak. Jurnal Nusa Sylva 6(1): 1116. Romeida, A. 2007. Respon berbagai tipe eksplan biji manggis (Garcinia mangostana L.) pada beberapa konsentrasi benzil amino purin (BAP) terhadap pembentukan dan regenerasi poliembrioninya secara in vitro. Jurnal Akta Agrosia 10(2): 162–166. Mudiana, D. 2007. Perkecambahan Syzygium cumini (L.) Skeels. Biodiversitas 8(1): 39-42.
Jurnal Biotropika | Vol. 3 No. 1 | 2015
6