sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
ISSN 0216 - 1877
Oseana, Volume XIX, Nomor 1 : 33 - 38
"RED TIDE" DI INDONESIA : PERLUKAH DIWASPADAI ? oleh Lily M. G. Panggabean *) ABSTRACT "RED TIDE" IN INDONESIA : SHOULD IT BE AWARE OF ? "Red tide" is colour changing phenomenon of seawater resulting from fitoplankton bloom (usually toxic species). Problems caused by the outburst growth of such toxic algae in many regions of the world and Indonesia are discussed. Problems caused by "red tide" in Indonesia were seldom serious or probably not reported. PENDAHULUAN
Fitoplankton penyebab "red tide" umumya sangat beracun dan mematikan sehingga banyak menarik minat para peneliti untuk mempelajari mekanisme ledakan fitoplankton tersebut dan usaha-usaha penanggulangannya.
Istilah "red tide" sering dipergunakan untuk menamai kejadian dimana ada perubahan warna air laut. Perubahan warna tersebut biasanya disebabkan oleh pertumbuhan yang "abnormal" dari fitoplankton (ledakan populasi plankton) di suatu perairan laut. Fitoplankton pada kepadatan 200 sel/ml untuk jenis-jenis yang berukuran besar biasanya sudah memberi warna-warna pada air laut. Apabila kepadatannya meningkat menjadi 1000 sel/ ml, perubahan warna akan terjadi dan biasanya kepadatan chlorophyl dapat mencapai 25 ug/ liter. Pada waktu terjadi ledakan populasi, kepadatan fitoplankton dapat mencapai 103 104 sel/ml untuk ukuran besar atau 105 - 106 sel/ml untuk ukuran kecil dan biasanya hanya terdiri dari satu jenis fitoplankton atau jumlah jenisnya sangat sedikit.
FITOPLANKTON PENYEBAB ”RED TIDE”, TEMPAT KEJADIAN DAN DAMPAKNYA TERHADAP MANUSIA DAN PERIKANAN Tergantung pada jenis fitoplankton yang mengalami ledakan populasi, dampak yang ditimbulkan oleh "red tide" berbedabeda. Laporan tentang musibah keracunan dan hasil-hasil penelitian tentang penyebab keracunan adalah sebagai berikut : 1. Keracunan oleh Paralytic Shellfish Poisoning (PSP) yang fatal terhadap seorang
*) Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Laut, Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi-LJPI, Jakarta
33
Oseana, Volume XIX No. 1, 1994
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
awak kapal 'Captain George Vancouver' dilaporkan pertama kali pada tahun 1793 di British Columbia. Di kemudian hari semakin sering dilaporkan orang mati keracunan kerang dari beberapa lokasi sepanjang pantai Barat Laut dan Timur Laut Amerika serta Alaska dan perairan Jepang. Racun PSP sering disebut juga sebagai Saxitoxin (diekstrak dari kerang marga Saxidomus) atau mytilitoxin (diekstra dari marga Mytilus). Ternyata PSP tersebut berasal dari fitoplankton penyebab 'red tide' : Ptrotogonyaulax dan Gymnodinium. Populasi Protogonyaulax pada waktu musim panas dapat mencapai 50.000 sel/ml. Pada waktu kepadatan mencapai 20.000 sel/ml, warna air laut sudah berubah menjadi merah atau kecoklatan karena adanya pigmen xanthophyl peridinin. Kerang Saxidomus dan Mytilus yang menyaring plankton pada waktu terjadinya ledakan tersebut tidak mengalami keracunan, tetapi menjadi makanan beracun yang sangat fatal bagi manusia. Daya racun PSP sangat tinggi. Dari 3000 sel Protogonyaulax dengan berat basah 100 mg atau 15 mg berat kering dapat diekstrak 1 mg racun PSP murni (QUAYLE 1988). Gejala-gejala keracunan PSP adalah kesemutan pada muka dan bibir, sulit bicara, kesemutan pada jari-jari tangan dan kaki, pusing, kesemutan sampai pada lengan dan tungkai, sulit bernapas, berdiri atau duduk, sakit perut, sakit kepala, kemudian menjalar ke punggung dan pada akhirnya mengalami kematian. 2. Keracunan semacam PSP pada masyarakat sesudah makan kerang hijau Perna viridis dan kerang darah Anadara spp. dilaporkan di FILIPINA dan negara-negara ASEAN lainnya. Racun yang masih termasuk golongan Saxitoxin tersebut ternyata berasal dari fitoplankton jenis Pyrodinium bahamense var. Compressa.
3. Keracunan Clupeoid Fish Poisoning (CFP) pada orang-orang yang makan ikan pemakan plankton seperti Sardinella spp. dan Rastrelingger spp. dilaporkan dari negaranegara ASEAN. Penyebabnya adalah ledakan populasi Pyrodinium. 4. Keracunan Diarrheic Shellfish Poisonig (DSP) pada daerah tropis dilaporkan karena ledakan dari Dynophysis. Racun yang dikeluarkan disebut Okadaic acid (OKA). Racun ini tidak mematikan tetapi merupakan racun penyebab tumor. 5. Kejadian yang fatal terhadap tambak udang, perikanan budidaya dan terumbu karang dilaporkan oleh karena ledakan Trichodesmiwn spp. (Oscilatoria) di Indonesia (THOHA 1991). Kerugian pada perikanan di Thailand dan Taiwan juga dilaporkan disebabkan karena ledakan populasi dari Trichodesmium dan Alexandrium. Ledakan dari marga Chattonella adalah yang paling sering terjadi hampir di seluruh perairan Jepang dan menghancurkan perikanan budidaya di sana (FURUKI 1992). Di Singapura jenis lain lagi yang mengganggu perikanan yaitu Chochlodinium catenatum. 6. Penemuan baru telah dilaporkan, yaitu keracunan yang tidak biasanya terjadi Domoic Acid (DA). Keracunan pada burung laut dan kerang pisau cukur (razor clam) dilaporkan dari British Columbia, Amerika dan bahkan sampai Teluk Meksiko yang beriklim tropis (GARISSON & WALZ 1993; MARTIN 1993; SMITH 1993; TAYLOR 1993). Racun DA berasal dari diatomae (penyebab ’red tide’ biasanya termasuk golongan dynoflagellata) dari jenis Pseudinitzschia pungens f. multiseries dan Pseudonitzchia australis. DA disebut juga amnesic shellfish poisoning (ASP), menyebabkan kerusakan pada hippocampus
34
Oseana, Volume XIX No. 1, 1994
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Jepang kista dari Chattonella bertapa selama 6 bulan pada suhu sekitar 10°C di dasar perairan. Kista Chattonella akan berkecambah lagi pada waktu musim semi bila suhu di dasar perairan berkisar antara 15 - 27°C. Pada suhu yang sama dimusim gugur kista Chattonella tidak dapat berkecambah karena belum cukup masak (diperlukan waktu selama 6 bulan pada suhu dingin). Suhu optimum untuk perkecambahan kista Chattonella berkisar antara 20 - 22°C dan berlangsung antara 210 hari pada suhu optimum. Sel-sel Chattonella kemudian'akan membelah secara vegetatif pada suhu optimal antara 20 - 25 °C Faktor penyebab bagi pertumbuhan sel-sel vegetatif tersebut selain N dan P yang membedakan Chattonnella dengan diatomae adalah cahaya matahari. Kalau kista Chattonella berkecambah dalam gelap, selsel vegetatifnya justru mengalami ledakan populasi pada waktu paling terik di musim panas. Dan biasanya pada waktu diatomae sangat sedikit di perairan . Sebaliknya waktu diatomae tumbuh subur, alga beracun tidak tumbuh. Pada waktu musim semi, jarang dijumpai sel-sel vegetatif Chattonella, Chattonella umumnya dalam bentuk kista masak yang siap berkecambah. Dinoflagelatta yang lain sepeti Gonyaulax digitalis (WALL & DALE 1968) dan Peridinium cunningtonii (KADOTA et al 1984) juga mempunyai siklus perkecambahan yang sama dengan Chattonella, yaitu pada musim semi, untuk G. tamarensss agak berbeda, perkecambahan terjadi dua kali dalam setahun yaitu pada musim semi dan musim gugur (ANDERSON 1980). Mempelajari siklus hidup, mekanisme pertumbuhan dari kista yang tidak beracun
dan amygdala pada otak dan akhirnya membawa kematian pasien. BAGAIMANA TERJADINYA ? ’
Red Tide’umumnya terjadi di perairan yang mengalami penyuburan (eutrophic) sangat tinggi. Penyuburan dapat berasal dari limbah daratan atau karena perubahan musim. Pengaruh daratan biasanya cukup besar di perairan dengan struktur geografis agak tertutup, dimana merupakan tempat yang sering mengalami 'red tide1. Misalnya Prince Edward Island dan Teluk St. Lawrence, Kanada; Teluk Monterey, Puget Sound dan Teluk Meksiko di Amerika dan Iain-lain. Laut Jepang; Vicinity Seto yang hampir tertutup dan di batasi oleh tiga pulau besar dan dua selat, penyuburannya sangat tinggi dan paling sering mengalami 'red tide1 Di negara subtropis penyuburan terjadi pada musim panas. Kenaikan suhu air laut, mengakibatkan naiknya nutrien dari dasar perairan dan selanjutnya terjadi pengadukan. Di negara tropis perubahan suhu tidak terlalu nyata. Penyuburan mungkin terjadi pada musim hujan. Laporan hasil penelitian di daerah subtropis (ANDERSON 1980; IMAI & ITOH 1987; YENTSCH et al. 1980) menyatakan bahwa di daerah subtropis, sesudah ledakan populasi dan melewati masa optimal dari pertumbuhan vegetatifnya, penyebab 'red tide' yang termasuk dinoflagellata akan segera membentuk kista. Kista mengalami istirahat yang panjarig (dormancy) dan mengendap diatas dasar lumpur. Kista akan megalami pemasakan dalam masa 'pertapaan' selama berbulan-bulan pada suhu rendah. Di perairan
35
Oseana, Volume XIX No. 1, 1994
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
dan sel-sel vegetatif yang mengeluakan racun; faktor-faktor pembatas pertumbuhannya serta pemantauan terhadap perubahan-perubahan dari faktor -faktor tersebut di tempat-tempat dimana ditemukan kista dapat membantu predikasi dan sekaligus mungkin penanggulangan terhadap kejadian ’red tide’. Cara predikasi yang sudah diterapkan di Jepang yaitu dengan menggunakan indek pembelahan sel pada waktu muunculnya kista masak dari Chattonella. Model simulasi ’red tide’ juga telah dibuat untuk Chattonella berdasarkan perhitungan dengan zephyr indeks, pola isopleth untuk salinitas pada lapisan 20 m, stabilitas vertikal dari 'water mass' dan suhu di dekat dasar perairan. Adapun kista Chattonella telah dapat diidentifikasi oleh IMAI & ITOH (1987). FURUKI & KOBAYASHI (1991) menemukan bakteri penghambat pertumbuhan C. antiqua dan menganjurkan untuk menggunakan bakteri tersebut sebagai agen pencegah 'red tide'. Setelah dilaporkan adanya keracunan oleh diatomae belakangan ini, maka beberapa penelitian telah dilakukan terhadap Pseudonitzschia pungens, dimana termasuk studi di laboratorium. Hasil studi terhadap ekofisiologi dan morfologi sel P. pungens (BATES & DOUGLAS 1993) menyatakan bahwa diatomae tersebut mempunyai dua 'morfotype' ; forma multiseries sebagai produser DA dan forma pungens yang tidak beracun. Perbedaan keduanya hanya dapat dilihat dengan elektron mikroskop. Perbedaannya terletak pada morfologi 'frustule' dari diatomae tersebut. Ternyata pada waktu pembelahan mitosis, P. pungens tidak mengeluarkan racun. Setelah mencapai fase stasioner dimana kadar silikat dalam media sangat terbatas, DA mulai diproduksi. Dalam pembentukan racun tersebut Nitrogen sangat
diperlukan, dalam hal ini sudah jelas seperti diketahui bahwa DA adalah asam amino yang mengandung N. Seperti halnya pada dinoflagellata, faktor cahaya juga memegang peranan sangat penting dalam pembentukan DA. Dalam hal ini P. pungens agak berbeda dengan dinoflagellata; pada cahaya yang kurang intens, rnereka juga tumbuh subur namun tidak mengeluarkan racun. Faktor lain yang tidak kalah pentingnya dalam memacu pertumbuhan sel dan produksi DA pada P. pungens adalah simbiose dengan bakteri. Hasil penelitian yang lain juga membuktikan bahwa bakteri merupakan faktor pembatas bagi C. antiqua (FURUKI & KOBAYASHI 1991). BAGAIMANA MENCEGAH DAN MENANGGULANGI ’RED TIDE’ Belajar dari pengalaman buruk di daerah subtropis, yaitu musibah keracunan makanan laut sebagai akibat dari 'red tide', maka di tempattempat yang sering mengalami kejadian 'red tide' dilakukan pemantauan dan usaha-usaha perlindungan terhadap masyarakat. Pemantauan dilakukan terhadap fitoplankton, keadaan lingkungan serta kadar racun dari biota setempat (biasanya kerang). Apabila didapati kadar yang membahayakan manusia maka daerah perikanan tersebut ditutup terhadap penangkapan. Di Kanada ditetapkan kadar PSP pada kerang tidak melebihi 20 mikrogram/gr kerang. Bagaimana dengan keadaan di Indonesia ? Data tentang keracunan makanan laut memang ada. Kecuali adanya ledakan Trichodesmium erythraeum di Lampung dan kepulauan Seribu (ADNAN 1991a; THOHA 1991), ledakan dari jenis fitoplankton yang lain belum diketahui dengan pasti. ledakan Trichodesimium tersebut mengakibatkan
36
Oseana, Volume XIX No. 1, 1994
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
kematian masal udang di tambak-tambak. adanya keracunan setelah makan ikan dan fatal terhadap 4 orang pasien dilaporkan pertama kali dari Lewotobi, Flores, pada tahun 1983. Peristiwa selanjutnya adalah kematian sesudah makan kerang kapak Meritrix meritrix dari Ujung Pandang (Juli, 1987) dan Pulau Sebatik, Kalimantan Timur (Januari, 1988). Dugaan ADNAN (1991b) sangat kuat bahwa penyebab peristiwaperistiwa tersebut adalah Pyrodinium bahamense var. compressa walaupun data plankton tidak mendukung. Apakah ada kejadian ’red tide’ yang luput dari pengamatan dan tidak dilaporkan mengingat luasnya perairan Indonesia dan tingkat pendidikan nelayan yang belum memadai, maka menjadi tugas para peneliti dibidang kelautan untuk memberikan data yang akurat. Adapun penelitian 'red tide' di Indonesia masih dalam tahap pemula yaitu bekerja sama dengan Kanada. Diperlukan langkah yang panjang untuk merumuskan kejadian 'red tide' di Indonesia serta penanggulanggannya. mengingat sedikitnya laporan, apakah dapat dikatakan bahwa kejadian 'red tide' masih langka di Indonesia ? Atau mungkinkah perairan kita termasuk golongan yang tidak rawan terhadap 'red tide' ? Bagaimanapun 'red tide' di Indonesia tetap menarik untuk diteliti dan diwaspadai.
ADNAN, Q. 1991b. Masalah red-tide di Indonesia, makalah diseminarkan pada Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional, Jakarta, 3-7 September 1991, 11 pp. ANDERSON, D.M. 1980. Effects of temperature conditioning on development and germination of Gonyaulax tamarensis (Dynophyceae) hypnozygotes. H. Phycol. 16: 166 - 172. BATES, S.S and D.J. DOUGLAS 1993. Laboratory studies of domoic acid production by Pseudonitzschia pungens. IOC Newsletter on toxic algae and algal blooms. 6: 6 - 7. FURUKI, M. 1992. Red tide monitoring. Hyogo Pref. Inst Env. Sci. (unpublish). FURUKI, M. and M. KOBAYASHI 1991. Interaction between Chattonella and bacteria and prevention of this red tide. Mar, Poll Bull. 23: 189 - 193. GARISSON, D. and P. WALZ. 1993. North Pacific coast of USA: Toxic diatom blooms and domoic acid. IOC Newsletter on toxic algae and algal blooms 6 : 5 . IMAI, I. and K. ITOH 1987. Annual life cycle of Chattonella spp., causative flagellates of noxious red tides in the Inland Sea of Japan. Mar. Biol. 94: 287 - 292. KADOTA, H., Y. ISHIDA, Y. SAKO and HATA 1984. Growth, encystment and excystment oiPeridinium cunningtonii. Mem. Coll. Agric, Kyoto Univ. 123: 27 - 34. MARTIN, J. 1993. In the Bay of Fundy, eastern Canada. IOC Newsletter on toxic algae and algal bloom 6 : 7 . QUAYLE, D. B. 1988. Pacific Oyster Culture in Birtish Columbia. Pycan. Bull. Fish, and Aquatic Sci. 281 : 215.
DAFTAR PUSTAKA ADNAN, Q. 1991a. Red tide due to Trichodesmium erythraeum EHRENBERG in the East Coast of Lampung, South Sumatra, West Indonesia, May to September 1991. Paper presented on The 2nd Westpac Symposium, Penang, Malaysia, 2-6 December 1991 : 12 pp.
37
Oseana, Volume XIX No. 1, 1994
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
SMITH, J. C. 1993. Toxicity and
THOHA, H. 1991 Ledakan Populasi
Pseudonitzschia pungens in Prince Edward Island, 1987 - 1992. IOC Newsletter on toxic algae and algal blooms 6 : 1 , 8 . TAYLOR, F. J. R. British Columbia: Implication of the North American west coast experience. IOC Newsletter on toxic algae and algal blooms
Trichodesmium erythraewn. Oseana XVI (3): 9 - 15. WALL, D. and B. DALE 1968. Modern dinoflagellate cysts and evolution of the Peridinales. Micropaleontology 14: 265 - 304. YENTTSCH, C. M., C. M. LEWIS and C. S. YENTSCH 1980. Biological resting in the dinoflagellate Gonyaulax excavata. Bioscience 30: 251 - 254.
6:2-3.
38
Oseana, Volume XIX No. 1, 1994