Ratifikasi
Setengah
Hati
Undang-Undang
Penanganan Bencana Asap Lintas Negara Setelah 12 tahun menunggu, DPR RI akhirnya menyetujui Rancangan Undang-Undang tentang Pengesahan ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (AATHP) atau Persetujuan ASEAN tentang Pencemaran Asap Lintas Batas untuk menjadi undang-undang. Dalam sidang paripurna DPR RI pada hari Selasa (16/09/2014) yang dipimpin Wakil Ketua DPR RI, Priyo Budi Satoso dan dihadiri oleh Menteri Lingkungan Hidup, Menteri Luar Negeri, dan Direktur Perancangan Kementerian Hukum dan HAM, seluruh fraksi di DPR meratifikasi undang-undang tentang penanganan kebakaran hutan yang mengakibatkan asap lintas batas negara ASEAN tersebut. Ratifikasi tersebut menandai dimulainya peran baru kepemimpinan Indonesia di tingkat regional ASEAN dalam pencegahan dan pengendalian kebakaran lahan dan hutan yang dapat mengakibatkan pencemaran asap yang merugikan kesehatan manusia, mencemari lingkungan dan merusak ekosistem serta mengganggu transportasi. Dosen Hukum Lingkungan Universitas Tarumanegara Jakarta, Deni Bram melihat ratifikasi ini menjadi bentuk upaya nyata penanganan kebakaran hutan dan lahan. Indonesia menjadi negara terakhir yang meratifikasi, setelah semua negara ASEAN setuju dengan perjanjian penangan bencana asap itu (entry to force pada tahun 2003). Padahal Indonesia merupakan negara yang memiliki hutan terluas sehingga menjadi penyebab utama bencana asap di kawasan ASEAN. “Ini menjadi kontradiktif karena kita membiarkan proses ratifikasi yang sangat lama. Indonesia terkesan harus didorong dulu dengan haze bill (peraturan bencana asap) di Singapura. Ini mencerminkan kita setengah hati dalam meratifikasi,” katanya.
Deni melihat lamanya proses ratifikasi, karena Indonesia sudah mempunyai komitmen pengelolaan lingkungan hidup seperti penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) yang juga melingkupi sektor kehutanan. Seperti dalam lampiran Perpres 61/2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN GRK) menyebutkan bahwa masing-masing sektor mempunyai target penurunan emisi GRK, dimana sektor kehutanan menargetkan menurunkan emisi dari 20 persen titik api kebakaran hutan dan lahan. “Kondisi faktual di lapangan justru sebaliknya. Tahun 2013, tercatat menjadi tahun terbanyak titik api kebakaran hutan. Ini mencederai komitmen pemerintah sendiri. Kita seperti terhimpit dengan beberapa komitmen yang telah dibuat,” katanya. Selama ini kendala ratifikasi kebakaran hutan lahan ada di DPR RI, karena Komisi VII merespon lambat, padahal pemerintah melihat urgensi yang tinggi dengan telah mengajukan RUU sejak tahun 2003. “Fraksi PDI Perjuangan dalam Komisi VII selama ini terus resisten menolak ratifikasi dengan alasan negara lain seperti Singapura harus mengakomodasi terkait ekstradisi. Ini hal yang tidak sama (ratifikasi dan ekstradisi),” kata Deni. Dia melihat karena sebentar lagi Joko Widodo menjadi presiden yang menandai rezim pemerintahan baru, maka fraksi PDI Perjuangan dalam Komisi VII DPR RI kemudian meratifikasi RUU pencemaran asap lintas batas negara ASEAN. “Karena dalam (rencana program pembangunan) Nawacita dari Jokowi disebutkan tentang perbaikan lingkungan hidup. Sehingga ini jadi penyebab sekarang menjadi momentun bentuk nyata untuk meratifikasi perjanjian ASEAN itu,” jelas doktor hukum lingkungan UI tersebut.
Dia mengatakan ratifikasi peraturan tersebut menjadi awal bagi pemerintah untuk melakukan sinergi peraturan terkait agar komitmen pemerintah bisa dilaksanakan secara nyata di lapangan. Ratifikasi ini juga menjadi awal bagi pihak yudikatif untuk menunjukkan komitmennya dalam penegakan hukum kasus kebakaran hutan, setelah putusan pengadilan kasus kebakaran lahan PT Adei Plantation di Riau dan PT Kalista Alam di hutan gambut rawa Tripa Aceh,dimana putusannya dianggap terlalu ringan. Deni melihat komitmen penegak hukum menjadi penting karena secara global Indonesia dianggap sebagai satu kesatuan negara dalam penanganan kebakaran hutan dan lahan yang mengakibatkan bencana asap.“Ratifikasi ini menjadi langkah awal sinergitas dan perlu koordinasi tingkat tinggi dari yudikatif, eksekutif dan legislatif. Ini menjadi pekerjaan rumah bagi rezim pemerintahan selanjutnya,” tambahnya. Tidak Mampu Tangani Bencana Asap Sedangkan Abetnego Tarigan, Direktur Eksekutif Nasional Walhi melihat baru diratifikasinya undang-undangan pencemaran asap ini menandakan pemerintah tidak mampu menangani bencana asap yang berulang terjadi setiap tahun. Meski mengapresiasi positif, dia melihat DPR RI dan pemerintah setengah hati dan ragu dalam meratifikasi peraturan tersebut karena konsekuensinya bakal ada campur tangan negara lain dalam proses penanganan asap akibat kebakaran hutan dan lahan di Indonesia. “Dengan ratifikasi ini, menandakan kita tidak mampu menangani kebakaran hutan yang menimbulkan pencemaran asap, sehingga dibutuhkan kerjasama regional negara ASEAN,” katanya. Meski begitu, Walhi melihat sisi positif dari ratifikasi ini, karena berarti negara seperti Malaysia dan Singapura yang mempunyai perusahaan dengan investasi perkebunan dan kehutanan di Indonesia akan ikut bertanggung jawab bersama dalam kebakaran hutan dan lahan.
“Kalau dimaknai positif, mereka (perusahaan perkebunan dan HTI dari Malaysia dan Singapura) sebagai investor dan pedagang minyak sawit harus ikut bertanggung jawab.Karena banyak aktivitas pembukaan hutan untuk perkebunan dan HTI (hutan tanaman industri) di Indonesia, dengan satu dua perusahaan yang terlibat didalamnya berbasis di Malaysia dan Singapura,” lanjut Abetnego. Greenpeace Indonesia juga mengapresiasi positif terhadap ratifikasi undang-undang pencemaran asap lintas batas ini, meski terkesan hanya lip service politis. “Meski tertunda selama 12 tahun, ratifikasi ini menjadi langkah maju yang pantas diapresiasi. Hanya saja beberapa kebijakan pemerintah kurang mendukung semangat ratifikasi undang-undang pencemaran asap ini. Seperti Peraturan Pemerintah tentang perlindungan gambut yang disiapkan KLH, kurang melindungi kawasan gambut. Padahal 70 persen kebakaran hutan yang mengakibatkan asap terjadi di lahan gambut. Ketika perlindungan lahan gambut minim, ratifikasi undang-undang ini hanya sekedar bahasa politik,” kata Pengkampanye Politik Hutan Greenpeace Indonesia, Yuyun Indradi. Ratifikasi peraturan pencemaran asap ini menjadi negara ASEAN sebagai negara pihak ikut bertanggung jawab terhadap kebakaran hutan di negara masing-masing. “Indonesia sebagai negara kunci karena mempunyai wilayah hutan terluas di ASEAN, mempunyai peran lebih banyak, mulai dari tata ruang, perpetaan, pengelolaan dan tata kelola, termasuk penegakan hukumnya,” lanjutnya. Greenpeace melihat ratifikasi peraturan pencemaran asap ini menjadi indikator penting yang menunjukkan bahwa Indonesia siap menunjukkan kepemimpinan di ASEAN untuk menerima tanggung jawab bersama. Oleh karena itu Indonesia juga harus mengatasi akar penyebab ini bencana kebakaran dan asap ini. Dan Presiden SBY pada akhir masa jabatannya,
harus memastikan bahwa Indonesia tidak mundur dalam komitmen
pengelolaan lingkungan dan penurunan emisi GRK, dengan meninggalkan PP perlindungan gambut yang lemah.
Bentuk Keseriusan Penanganan Bencana Asap Dalam sidang paripurna DPR RI pada Selasa (16/09/2014) yang mengesahkan undangundang penanganan becana asap itu, Menteri Lingkungan Hidup, Balthasar Kambuaya, dalam Pendapat Akhir Presiden Republik Indonesia mengatakan pengesahan ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (AATHP) merupakan langkah yang tepat bagi Indonesia untuk menunjukkan keseriusan dalam penanggulangan asap lintas batas akibat dari kebakaran lahan dan/atau hutan. Selama ini Pemerintah Indonesia telah melakukan serangkaian kegiatan pencegahan dan penanggulangan kebakaran lahan dan/atau hutan, dimana upaya Pemerintah Indonesia tersebut memperoleh apresiasi dalam berbagai forum ASEAN, terutama tahun 2003 sampai 2014. MenLH mengatakan dengan meratifikasi AATHP, Indonesia akan memainkan peran penting dalam pengambilan keputusan dan ikut aktif mengarahkan keputusan ASEAN dalam pengendalian kebakaran lahan dan hutan. Indonesia juga bakal mampu melindungi masyarakat dari dampak negatif kebakaran lahan dan/atau hutan yang dapat merugikan kesehatan manusia, mengganggu sendi-sendi kehidupan masyarakat dalam bidang sosial dan ekonomi serta menurunkan kualitas lingkungan hidup. Indonesia juga bakal mampu melindungi kekayaan sumber daya lahan dan hutan dari bencana kebakaran lahan dan/atau hutan, serta memberikan kontribusi positif terkait upaya pengendalian kebakaran lahan dan/atau hutan yang menyebabkan pencemaran asap lintas batas. AATHP menjadi hasil kesepakatan Pertemuan Tingkat Tinggi Informal ASEAN II di Kuala Lumpur tahun 1997, setelah kebakaran lahan dan hutan yang terjadi besar-besaran di tahun 1997 mengakibatkan pencemaran asap lintas batas di beberapa negara ASEAN.
Pada 2002, seluruh negara anggota ASEAN menyepakati untuk menandatangani AATHP di Kuala Lumpur, Malaysia. Persetujuan AATHP mulai berlaku secara resmi (enter into force) tanggal 25 November 2003 meskipun Indonesia belum meratifikasi. Sumber: 133624696.html
https://id.berita.yahoo.com/ratifikasi-setengah-hati-undang-undang-