Deregulasi Setengah Hati:
Tinjauan Terhadap Restrukturisasi Sektor Energi Indonesia1 Hanan Nugroho2 Abstrak- Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi serta UndangUndang No. 20 tahun 2002 mengenai Ketenagalistrikan merupakan landasan bagi deregulasi sektor energi Indonesia. Restrukturisasi industri energi yang diarahkan oleh kedua Undang-Undang tersebut bersifat cukup fundamental, bertujuan mengubah struktur industri energi yang semula terintegrasi vertikal (didominasi/dimonopoli oleh perusahaan milik negara) ke struktur yang terpecah-pecah (undbundled) dengan menumbuhkan kompetisi, membentuk badan pengatur, serta menata-ulang fungsi-fungsi pemerintahan, pengaturan dan pengusahaan untuk kedua jenis industri energi tersebut. Untuk industri minyak dan gas bumi telah dibentuk Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP MIGAS) serta Badan Pengatur Kegiatan Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH MIGAS), sedangkan untuk industri Kelistrikan dibentuk Badan Pengawas Pasar Tenaga Listrik (BAPEPTAL). Makalah ini meninjau penerapan UU Minyak dan Gas Bumi 22/2001 serta UU 20/2002, khususnya kemajuan dari pembuatan produk-produk hukum yang mesti diturunkan dari kedua UU tersebut, pembentukan badan-badan pengatur/pelaksana, serta target-target restrukturisasi lainnya yang ingin dicapai. Selain melakukan pemetaan, makalah ini mengidentifikasi dan mengevaluasi hambatan yang dijumpai dalam penerapan kedua UU tersebut. Analisis ditekankan untuk menilai kemajuan yang telah dicapai dalam pelaksanaan konsep restrukturisasi. Kesimpulan makalah ini adalah pelaksanaan deregulasi sektor energi Indonesia berjalan sangat lambat, dan diperlukan langkah-langkah untuk mempertahankan agar gagasan restrukturisasi sektor energi melalui kedua UU yang telah diterbitkan berada dalam jalur yang direncanakan.
1. Pendahuluan Restrukturisasi ekonomi, yang ditandai dengan privatisasi dan deregulasi di berbagai sektor ekonomi, termasuk infrastruktur, menjadi gelombang yang dalam 2 dekade belakangan telah melanda banyak negara berkembang. Reformasi pasar energi, khususnya di bidang kelistrikan dan gas bumi, menjadi agenda yang telah dipraktekkan di sejumlah negara berkembang di Asia, Amerika Latin, bahkan Afrika. Restrukturisasi sektor ekonomi pada umumnya dimaksudkan untuk menghasilkan kinerja sistem ekonomi yang lebih efisien, terbuka, adil, menghasilkan manfaat yang lebih besar bagi masyarakat dan lingkungan. Restrukturisasi sektor energi di Indonesia telah diawali dari berbagai studi (awal 1990-an) serta diterapkannya beberapa kebijakan seperti Kebijakan Restrukturisasi Sektor Kelistrikan (1998) yang berisi sekelompok program untuk meletakkan fondasi yang lebih kokoh bagi pengembangan sektor ketenagalistrikan. Krisis ekonomi/finansial 1997/98 telah mempercepat dilahirkannya Undang-Undang baru berisi pengaturan ulang sektor energi, yang memberikan dasar bagi perubahan yang lebih fundamental terhadap sektor energi dan pengembangannya di masa depan. Sampai saat ini telah diterbitkan UU 22/2001 tentang Minyak & Gas Bumi, UU 1 2
Dipresentasikan di Seminar Akademik Tahunan Ekonomi I, Pasca Sarjana Ekonomi Universitas Indonesia & Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia, Jakarta, 8-9 Desember 2004. Perencana bidang energi, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS), Jakarta. E-mail:
[email protected]
1
20/2002 tentang Ketenagalistrikan dan UU 27/2003 tentang Panas Bumi, sementara UU Energi dan UU Batubara sedang dimatangkan. Mengingat besarnya pengaruh dari industri minyak gas bumi serta kelistrikan terhadap ekonomi Indonesia, hanya deregulasi sektor energi melalui UU 22/2001 dan UU 20/2002 yang dibahas dalam makalah ini. Makalah ini meninjau penerapan UU Minyak & Gas Bumi 22/2001 serta UU Ketenagalistrikan 20/2002, khususnya kemajuan dari pembuatan produk-produk hukum yang diturunkan dari kedua UU tersebut, pembentukan badan pengatur/pelaksana, dan target-target restrukturisasi lainnya yang dicapai. Selain memetakan kemajuan, makalah ini mengidentifikasi permasalahan/hambatan yang dijumpai dalam penerapan kedua UU tersebut, serta memberikan saran perbaikan. Penulisan makalah berdasarkan pada pemeriksaan dokumen, survai dan wawancara dengan nara sumber, dan keterlibatan langsung dalam beberapa proses penyiapan dan pemantauan restrukturisasi sektor energi Indonesia. Bab 1 makalah ini berisi Pendahuluan, Bab 2 Pokokpokok gagasan restrukturisasi sektor energi, Bab 3 Deregulasi dan kemajuan yang dicapai, dan Bab 4 Evaluasi penerapan UU 22/2001 dan UU 20/2002. Bab 5 adalah Penutup: kesimpulan dan saran.
2. Pokok-pokok gagasan restrukturisasi sektor energi
Restrukturisasi sektor energi yang diarahkan oleh UU Minyak & Gas Bumi 22/2001 dan UU Ketenagalistrikan 20/2002 bersifat cukup fundamental, bertujuan mengubah struktur industri energi yang semula terintegrasi vertikal (didominasi/dimonopoli oleh perusahaan milik negara) ke struktur yang terpecah-pecah (undbundled) dengan menumbuhkan kompetisi, menataulang fungsi-fungsi pemerintahan, pengaturan dan pengusahaan serta membentuk badan pengatur yang terpisah untuk kedua jenis industri energi tersebut. Undang-Undang Minyak & Gas Bumi 22/2001 (terdiri dari 15 bab, 67 pasal) berpotensi mengubah banyak hal mengenai pengelolaan industri minyak dan gas bumi Indonesia. UU 22/2001 dimaksudkan untuk menciptakan kegiatan usaha minyak dan gas bumi yang “mandiri, transparan, berdaya saing, berwawasan pelestarian lingkungan, serta mendorong perkembangan potensi dan peranan nasional”. Selain pembagian yang lebih tegas antara fungsi-fungsi pemerintah, pengatur dan pelaku usaha serta pemecahan rantai usaha ke dalam beberapa kegiatan utama serta menumbuhkan kompetisi berusaha, UU 22/2001 menekankan pada liberalisasi sektor hilir (downstream). Kegiatan hilir BBM (pengilangan, penyimpanan, eksporimpor dan transportasi) yang didominasi oleh Pertamina dibuka untuk perusahaan swasta, termasuk asing. Sistem baru pengadaan BBM nasional diperkenalkan, akan melibatkan perusahaan lama dan baru, di bawah koordinasi Badan Pengatur Kegiatan Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH MIGAS). UU 22/2001 juga menekankan prioritas pada pengembangan gas bumi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. UU Ketenagalistrikan 20/2002 (17 bab, 71 pasal) mengakomodasikan langkah-langkah untuk mengikuti kecenderungan jangka panjang pasar terbuka tenaga listrik yang dicirikan dengan sistem MB-MS (multi buyer-multi seller). UU 20/2002 ini bermaksud mentransformasikan industri kelistrikan Indonesia dari pola kini yang monopolistik, terintegrasi vertikal, didominasi oleh PLN ke struktur industri yang lebih terbuka, kompetitif, memberikan konsumen lebih banyak pilihan. Industri kelistrikan juga di pecah-pecah (unbundled) menjadi pembangkitan, penjualan tegangan tinggi/menengah, transmisi, distribusi dan penjualan tegangan rendah. Jenis usaha pertama dan kedua terbuka bagi kompetisi, sedangkan ketiga jenis usaha lainnya, karena sifat monopoli alamiah (natural monopoly) mereka, akan merupakan usaha yang diatur (regulated). Kegitatan penunjang lainnya seperti konsultasi, konstruksi, pengujian, pemeliharaan, riset/ pengembangan dan pelatihan akan dilakukan oleh perusahaan yang terpisah.
2
Sebagai halnya UU 22/2001 yang mengubah peran Pertamina dari “pembuat kebijakan, pengatur dan pelaku usaha/pemain” menjadi “pemain” saja, UU Ketenagalistrikan 20/2002 menghilangkan peran PLN sebagai Pemegang Kuasa Usaha Kelistrikan yang “untuk dan atas nama pemerintah bertugas menyediakan listrik di Tanah Air” (UU 15/85). Penyediaan listrik selanjutnya menjadi tanggungjawab Badan Pengawas Pasar Tenaga Listrik (BAPEPTAL) untuk wilayah kompetisi dan Bupati/Walikota, Gubernur dan Menteri untuk wilayah non-kompetisi. Untuk mempertegas penataan sektor energi yang ingin dicapai, kedua UU tersebut mengamanatkan pembentukan sejumlah Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan setingkat Keputusan Presiden (Kepres) dan Keputusan Menteri (Kepmen). Amanat pembentukan beberapa PP, termasuk Badan baru disertai dengan target waktu pembentukannya. Peraturan Pemerintah yang mesti disiapkan untuk melengkapi UU Minyak & Gas Bumi 22/2001meliputi PP tentang: (i) Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Migas (BP MIGAS), (ii) Kegiatan usaha hulu migas, (iii) Penetapan besarnya pungutan negara dan bonus dalam kegiatan usaha hulu migas serta tatacara penyetorannya, (iv) Badan Pengatur Hilir Migas (BPH MIGAS), (v) Kegiatan usaha hilir migas, (vi) Besaran iuran dari Badan Usaha yang melakukan kegiatan penjualan BBM atau pengangkutan dan pendistribusian gas bumi melalui pipa, (vii) Keselamatan kerja pada pemurnian dan dan pengolahan migas, serta (viii) Keselamatan operasi pada kegiatan usaha migas. UU Ketenagalistrikan 20/2002 mengamanatkan untuk menyiapkan atau dilengkapi dengan Peraturan Pemerintah mengenai: (i) Penyediaan dan pemanfaatan tenaga listrik, (ii) Izin usaha penyediaan tenaga listrik dan izin operasi, (ii) Larangan pengusahaan pasar tenaga listrik dalam wilayah kompetisi, (iii) Jual beli, sewa jaringan transmisi dan distribusi tenaga listrik, (iv) Kompensasi atas tanah, bangunan dan tanaman yang dilintasi oleh transmisi tenaga listrik, (v) Usaha penunjang ketenagalistrikan, (vi) Sarana transmisi dan distribusi, dan (vii) Badan Pengawas Pasar Tenaga Listrik (BAPEPTAL).
3. Deregulasi dan kemajuan yang dicapai Menyusul penerbitan UU 22/2001, Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP MIGAS) telah dibentuk dengan PP 42/2002. BPH MIGAS juga telah dibentuk dengan PP No. 67/2002. BPH MIGAS akan berperan sangat vital karena kewenangannya mengatur dan menetapkan ketersediaan dan distribusi BBM, cadangan BBM nasional, dan pemanfaatan fasilitas pengangkutan dan penyimpanan BBM (UU 22/2001, Pasal 46). Melengkapi pembentukan kedua Badan baru tersebut, Pertamina, melalui PP 31/2003 juga telah diubah statusnya menjadi Perusahaan Perseroan (Persero) atau menjadi “pemain” saja. PP No. 35/2004 tentang Kegiatan Hulu dan PP No. 36/2004 tentang Kegiatan Hilir, yang merupakan PP yang sangat penting karena menyangkut pengaturan kegiatan utama di bidang minyak dan gas bumi, baru saja diterbitkan atau setelah 3 tahun UU 22/2001 diundangkan. PP No. 11/1997 tentang Keselamatan Kerja Pada Pemurnian dan Pengolahan Minyak dan Gas Bumi yang telah disiapkan sebelumnya dapat ditambahkan sebagai PP yang melengkapi UU Minyak & Gas Bumi 22/2001. UU Ketenagalistrikan 20/2002 telah dilengkapi dengan PP yang disiapkan sebelumnya, yaitu PP No. 10/1989 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Tenaga Listrik serta PP No. 25/1995 mengenai Usaha Penunjang Ketenagalistrikan. PP tentang Badan Pengatur Pasar Tenaga Listrik (BAPEPTAL) juga telah disiapkan (PP No. 53/2003), namun demikian, hingga tulisan ini disiapkan (November 2004) organisasi BAPEPTAL belum dibentuk. Produk hukum penunjang lainnya yang telah disiapkan untuk mendukung pelaksanaan UU 20/2002 adalah 2 buah Kepres dan 15 buah Kepmen yang berhubungan dengan ketenagalistrikan.
3
Gambar 1 dan Gambar 2 di halaman berikut menunjukkan pemetaan peraturan untuk mendukung pelaksanaan UU No. 22/2001 tentang Minyak & Gas Bumi serta UU No. 20/2002 tentang Ketenagalistrikan serta status yang telah dicapai mereka. Perlu pula dikemukakan bahwa untuk menyiapkan langkah-langkah transformasi sektor energi sesuai deregulasi yang dilakukan, Pemerintah telah melengkapi UU Ketenagalistrikan 20/2002 dengan Pedoman dan Pola Tetap (Blue Print) Pengembangan Industri Kelistrikan Nasional 2003-2020. Sementara itu, sektor minyak dan gas bumi sejak UU Migas 22/2001 diterbitkan belum menyiapkan cetak biru serupa.
4. Evaluasi penerapan UU 22/2001 dan UU 20/2002 Gejala umum yang ditunjukkan oleh deregulasi sektor energi melalui penerbitan UU 22/2001 dan UU 20/2002 adalah bahwa pembuatan produk-produk hukum untuk menunjang kedua UU tersebut berjalan sangat lambat. Demikian pula, pembentukan badan-badan baru yang diamanatkan oleh kedua UU tersebut tertinggal di belakang target waktu yang dijadwalkan, dan dalam hal suatu badan baru telah terbentukpun, kemampuannya untuk melaksanakan tugas-tugas masih sangat rendah. Hal-hal ini tentu saja membawa ketidakpastian terhadap perubahan sistem yang diharapkan, dan dapat diduga telah mengakibatkan ketidakmantapan kinerja dari kedua bidang industri energi yang bernilai ekonomi sangat penting tersebut. 4.1 Kinerja perubahan 4.1.1 Minyak dan Gas Bumi Di bidang minyak dan gas bumi, keterlambatan penyiapan dua PP yang sangat vital, yaitu PP Hulu dan PP Hilir, telah mengakibatkan keraguan dalam waktu yang cukup lama mengenai kepastian iklim berusaha di bidang minyak dan gas bumi di Indonesia. Hal ini terlihat dari banyaknya calon investor yang memilih sikap “tunggu dan lihat” dalam menanggapi perubahan peraturan-peraturan, baik yang berkenaan dengan kegiatan usaha di sisi hulu (upstream) dan terlebih di sisi hilir (downstream). Issue yang investor sisi hulu pada umumnya menginginkan kepastian adalah transparansi dalam tender lapangan eksplorasi, beban pajak untuk kegiatan eksplorasi dan eksploitasi, serta masalah domestic market obligation (menyangkut besaran, harga dan kemana crude oil/gas bumi yang terkena aturan DMO tersebut kemudian akan disalurkan setelah kompetisi diterapkan). Beberapa pasal tentang hal ini dalam PP Hulu yang baru saja terbit masih membutuhkan penjelasan dengan masukan/kesepakatan instansi-instansi lain di luar BP MIGAS dan Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral. Investasi di sisi hilir -yang selama ini didominasi oleh perusahaan negera Pertamina untuk minyak & gas bumi serta PT PGN untuk gas bumi- membutuhkan kesiapan yang lebih rinci mengenai peraturan-peraturan di sisi hilir (yang mesti disiapkan oleh Direktorat Jenderal Minyak & Gas Bumi serta BPH MIGAS), termasuk rencana pengembangan infrastruktur penyediaan BBM dan jaringan gas bumi nasional serta pengaturan mengenai harga, baik untuk berbagai jenis BBM maupun untuk biaya pengangkutan gas bumi (toll fee). Pengungkapan mengenai halhal ini masih butuh diperjelas, meskipun PP Hilir telah dikeluarkan. Kemajuan dalam pembuatan rencana induk (master plan) pengembangan jaringan nasional transmisi dan distribusi gas bumi perlu ditekankan karena -setelah sebelumnya gas bumi Indonesia lebih banyak diekspor- UU 22/2001 menekankan prioritas pada pengembangan gas bumi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. (Pasal 8:1). Adalah menjadi tanggung jawab Menteri Energi & Sumberdaya Mineral untuk menetapkan rencana induk jaringan transmisi dan distribusi gas bumi nasional (Pasal 27:1). Sampai saat ini master plan tersebut belum diterbitkan dan hal ini tentu sangat berpengaruh, antara lain terhadap pelaksanan tugas BPH MIGAS untuk
4
menyiapkan perizinan investasi bagi pembangunan jaringan transmisi dan distribusi gas bumi nasional, serta belum dapat mengalirnya investasi baru atau masuknya pemain baru bagi pembangunan transmisi dan distribusi gas bumi.
Diagram 1. Pemetaan peraturan mengenai minyak dan gas bumi berdasarkan UU 22/2001 dan status pencapaiannya*
Bidang
Kegiatan Usaha Hulu
Peraturan Pemerintah
Keputusan Presiden
PP No. 42/2002 Tentang Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas
KEPPRES No. 133/M Tahun 2002 Tentang Pengangkatan Dr. Rachmat Sudibjo Sebagai Kepala Badan Pelaksana
Keputusan Menteri
PP No. 35/2004 Tentang Kegiatan Usaha Hulu Migas
RPP Tentang Pentapan Besarnya Pungutan Negara, Dan Bonus Dalam Kegiatan Usaha Hulu Migas Serta Tatacara Penyetorannya
KEPMEN No. 1088 K/20/MEM/2003 Tentang Pedoman Pelaksanaan Pembinaan, Pengawasan Pengaturan, Dan Pengendalian Kegiatan Usaha Migas Dan Kegaiatan Usaha Hilir Migas
PP No. 31/2003 Tentang Perubahan Status PERTAMINA
PP No. 67/2002 Tentang Badan Pengatur Penyediaan Dan Pendistribusian Bahan Bakar Minyak Dan Kegiatan Usaha Pengangkutan Gas Bumi Melalui Pipa
Kegiatan Usaha Hilir
PP No. 36/2004 Tentang Kegiatan Usaha Hilir Migas
KEPPRES No. 86/2002 Tentang Pembentukan Badan Pengatur
(KEPMEN LAINNYA)
KEPPRES No. 53/M Tahun 2003 Tentang Pengangkatan Anggota Komite Badan Pengatur
RPP Tentang Besaran Iuran Dari Badan Usaha Yang Melakukan Kegiatan Penjualan Bahan Bakar Minyak/Atau Pengangkutan Dan Pendistribusian Gas Bumi Melalui Pipa
PP No. 11/1997 Tentang Keselamatan Kerja Pada Pemurnian Dan Pengolahan Migas
Keselamatan Operasi Usaha Migas
RPP Tentang Keselamatan Operasi Pada Kegiatan Usaha Migas
KEPMEN No. 111K/70/MEM/2003 Tentang Pemberlakuan Standar Nasional Indonesia Kompetensi Kerja Tenaga Teknik Khusus Migas Sebagai Standar Wajib di Bidang Kegiatan Usaha Migas
* per November 2004. Sumber: kompilasi dari UU 22/2001 dan survai status.
5
Diagram 2.
Peraturan ketenagalistrikan (UU 20/2002) dan status pencapaiannya Keputusan Presiden
Bidang
Peraturan Pemerintah
Keputusan Menteri KEPMEN No. 0983 K/16/MEM/2004 Tentang Kebijakan Energi Nasional
Kebijakan Ketenagalistrikan
KEPMEN No. 0981 K/16/MEM/2004 Tentang Pedoman dan Pola Tetap Pengembangan Industri Ketenagalistrikan nasional 2003-2020 Rencana Umum Dan Pedoman Ketenagalistrikan
KEPMEN No. 865 K/MEM/03 Tentang Pedoman Penyusunan Rencana Umum Ketenagalistrikan
KEPMEN No. 1455 K/40/MEM/2000 Tentang Pedoman Teknis Penyelenggaraan Tugas Pemerintahan di Bidang Tenaga Listrik Untuk Kepentingan Sendiri, Usaha Penyediaan Tenaga Listrik Untuk Kepentingan Umum Dan Usaha Penunjang Tenaga Listrik KEPPRES No. 37/1992 ttg Usaha Penyediaan Listrik Oleh Swasta
PP No. 10/1989 Tentang Penyediaan Dan Pemanfaatan Tenaga Listrik
RPP ttg Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik Dan Izin Operasi
KEPPRES No. 38/1998 ttg Perubahan Atas KEPPRES No. 37/1992 ttg Usaha Penyediaan Listrik Oleh Swasta
KEPMEN NO. 1122 K/30/MEM/2002 Tentang Pedoman Pengusahaan Pembangkit Ketenagalistrikan Skala Kecil Tersebar
KEPMEN No. 55 K/30/MEM/2003 Tentang Jaringan Transmisi Nasional
PERMEN No. 01P/40/M.PE/1990 Tentang Instalasi Ketenagalistrikan Usaha Penyediaan Tenaga Listrik
RPP ttg Larangan Pengusahaan Pasar Tenaga Listrik Dalam Wilayah Kompetisi
KEPMEN No. 437 K/30/MEM/2003 Tentang Perubahan Permen No. 01P/40 PE/90 Tentang Instalasi Ketenagalistrikan
RPP ttg Jual Beli, Sewa Jaringan Transmisi Dan Distribusi Tenaga Listrik
KEPMEN No. 815 K/30/MEM/2003 Tentang Pemanfaatan Jaringan Tenaga Listrik Untuk Kepentingan Telkom, Multimedia dan Informasi
RPP ttg Kompensasi Tanah Bangunan DanTanaman Yang Dilintasi Oleh Transmisi Tenaga Listrik
Usaha Penunjang Tenaga Listrik
KEPMEN 2052 K/40/MEM/2001 Tentang Standarisasi Kompentensi Tenaga Teknik Ketenagalistrikan
PP No. 25/1995 ttg Usaha Penunjang Ketenagalistrikan RPP ttg Usaha Penunjang Tenaga Listrik
Penerimaan Negara
KEPMEN No. 2053/40/MEM/2001 Tentang Penetapan Dan Pemberlakuan Standar Kompetensi Tenaga Teknik Ketenagalistrikan
KEPMEN 1187K/30/MEM/2002 Tentang Penetapan Dan Pemberlakuan Standar Kompetensi Tenaga Teknik Ketenagalistrikan Bidang Distribusi Tenaga Listrik Sub Bidang Operasi dan Pemeliharaan
RPP ttg Pungutan Sarana Transmisi Dan Distribusi
KEPMEN 1188K/30/MEM/2002 Tentang Penetapan Dan Pemberlakuan Standar Kompetensi Tenaga Teknik Ketenagalistrikan Bidang Distribusi Tenaga Listrik Sub Bidang Perencanaan Dan Konstruksi
Standarisasi Ketenagalistrikan
KEPMEN 1189K/30/MEM/2002 Tentang Penetapan Dan Pemberlakuan Standar Kompetensi Tenaga Teknik Ketenagalistrikan Bidang Distribusi Tenaga Listrik Sub Bidang Inspeksi Badan Pengawas Pasar Tenaga Listrik
PP No. 53/2003 Tentang Badan Pengawas Pasar Tenaga Listrik
KEPMEN No. 1529K/73/MEM/2003 Tentang Seleksi Calon Anggota BAPEPTAL
6
Aspek lain yang sangat penting namun juga yang lambat antisipasinya adalah penyiapan sistem baru untuk menyediakan BBM di dalam negeri. Menurut UU 22/2001 (Bab XII: Pasal 62) kewajiban pemegang monopoli Pertamina untuk menyediakan BBM nasional akan berakhir setelah 4 tahun UU 22/22001 diterbitkan (November 2005). Sistem baru pengadaan BBM nasional yang akan diperkenalkan, akan melibatkan perusahaan lama dan baru (dapat termasuk Pertamina) di bawah koordinasi Badan Pengatur Kegiatan Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH MIGAS). Indonesia merupakan negara kepulauan besar dengan banyak wilayah terpencil, sedangkan sistem penyediaan BBM yang telah dibangun cukup kompleks untuk dapat diganti secara cepat oleh sistem yang baru. Waktu tak banyak lagi untuk menyiapkan sistem penyediaan BBM nasional sesuai skenario UU Migas 22/2001 itu, namun hingga saat ini belum terlihat upaya-upaya nyata untuk menyiapkan sistem baru penyediaan BBM tersebut dan mengungkapkannya kepada publik. Ini menimbulkan pertanyaan sekaligus kekhawatiran. Pembentukan BP MIGAS telah segera dapat dilakukan namun kegiatannya sempat cukup terhambat karena kebelumsiapan Peraturan lain, khususnya PP Hulu serta berlarutnya masalah transfer pembiayaan organisasi dari sebelumnya Pertamina ke Pemerintah. Pembentukan Badan ini relatif mudah dilakukan, karena sebagian besar fungsi, tugas dan personalianya merupakan “pindahan” dari unit kordinasi kontraktor asing (BKKA) yang sebelumnya berada di Pertamina. Walaupun demikian, di tengah menurunnya kemampuan produksi minyak mentah nasional (dan meningkatnya biaya produksi) pengembangan organisasi BP MIGAS yang ekspansif sempat mendapatkan kritikan. BPH MIGAS juga telah dibentuk PP-nya dan organisasinya pun telah disiapkan. Namun demikian efektivitas kerja BPH MIGAS masih sangat rendah. Ini karena tersendat-sendatnya penyiapan organisasi dan fasilitas kerjanya -termasuk keberadaan kantor- di samping karena kurangnya jumlah staf dengan kualitas memadai yang dibutuhkan untuk mendukung pelaksanaan kerja BPH MIGAS. Sejauh ini, BPH MIGAS belum menghasilkan pedomanpedoman investasi dan kompetisi sektor hilir minyak dan gas bumi, sistem penyediaan BBM yang baru maupun prosedur penghitungan biaya angkutan gas bumi melalui pipa. 4.1.2 Ketenagalistrikan Untuk mendukung pelaksanaan UU 20/2002, sektor ketenagalistrikan telah memiliki 2 Kepres dan sejumlah Kepmen, khususnya mengenai Penyediaan dan Pemanfaatan Tenaga Listrik serta Standarisasi Ketenagalistrikan. Namun perlu dicatat, sebagian besar keputusan tersebut adalah produk hukum sebelum UU 20/2002 diterbitkan. Setelah UU 20/2002 diundangkan, baru ada 1 (satu) Peraturan Pemerintah yang diterbitkan, yaitu PP No. 53/2003 tentang Badan Pengawas Pasar Tenaga Listrik (BAPEPTAL). BAPEPTAL, yang tugasnya menurut UU 20/2002 (Pasal 52) antara lain adalah “menerbitkan Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik, menetapkan Wilayah Usaha Distribusi Tenaga Listrik, mengatur dan mengawasi harga jual tenaga listrik, menjamin pasokan tenaga listrik” akan berperan vital dalam pengaturan bisnis kelistrikan nanti, khususnya pada wilayah yang dikompetisikan. UU 20/2002 (Pasal 67:a) mengamanatkan pembentukan BAPEPTAL paling lambat 1 tahun setelah UU 20/2002 diterbitkan. Pasal Pasal 67:b UU yang sama menegaskan bahwa dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak diundangkan, telah ada wilayah yang menerapkan kompetisi terbatas di sisi pembangkitan. Keberadaan BAPEPTAL untuk menyiapkan hal-hal yang dibutuhkan pada era kompetisi akan sangat penting. Namun sampai hari ini, BAPEPTAL belum terbentuk. Keterlambatan pembentukan BAPEPTAL tentu menghalangi tercapainya programprogram yang dijadwalkan UU 20/2002 dan Blue Print 2003-2020. Proyek percontohan kompetisi Batam First belum dapat dimulai. Penerapan ATAM (automatic tariff adjustment
7
mechanism), untuk mengantikan pola penerapan tarif listrik yang dipraktekkan selama ini, akan tertunda. Pada gilirannya hal-hal itu akan menunda pelaksanaan kompetisi kelistrikan dan sistem baru yang dirancang. Pedoman dan Pola Tetap Pengembangan Industri Kelistrikan Nasional 2003-2020 (Blue Print) merupakan alat yang baik untuk mempertegas langkah-langkah yang mesti dilakukan guna mencapai tujuan UU 20/2002, yang antara lain dikaitkan dengan jadwal mengenai kapan suatu Peraturan atau sistem mesti telah disiapkan. Demikian pula, penyusunan Daftar Inventarisasi Program (DIP) merupakan alat yang baik untuk memantau kemajuan pelaksanaan program, apalagi mengingat bahwa jumlah program/agenda yang harus dilakukan dalam kerangka pelaksanaan UU 20/2002 tersebut adalah sangat banyak. Pemajangan DIP seperti ini di layar internet lengkap dengan perubahan statusnya membantu publik mendapatkan informasi dan memberikan kontrolnya terhadap kemajuan pelaksanaan program restrukturisasi. 4.1.3 Kemajuan yang lamban: beberapa akar masalah Sebagai telah diuraikan, pekerjaan menyiapkan produk-produk hukum turunan dari kedua UU tersebut berjalan lambat, pembentukan Badan Pengatur tertunda dan belum efektif, sedangkan sistem baru yang hendak dituju yang ditandai dengan unbundling dan kompetisi masih jauh dari kelihatan. Hal-hal tersebut dapat dijelaskan dan dicari latar belakangnya di bawah ini: • Incumbent phenomenon atau fenomena dimana “pemain” lama yang dominan bersikap enggan untuk beradaptasi dengan perubahan yang dituntut oleh deregulasi. Ini merupakan fenomena yang “wajar” dan banyak ditemui dalam pelaksanan restrukturisasi sektor energi, khususnya dalam fase-fase awal pelaksanaan restrukturisasi (Gracia, 2002; WEC, 2001). Mereka enggan menyerahkan pangsa pasar atau akan mempertahankan pangsa pasar mereka yang besar terhadap “serangan” pemain baru (kompetitor). Mereka kurang merespon, misalnya ketika gagasan mengenai “pemanfaatan bersama” (open access) diperkenalkan. Dalam kasus di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia, incumbent phenomenon atau keengganan untuk mengubah sistem kadang ditanggapi dengan kekhawatiran berlebihan bahwa deregulasi, restrukturisasi dan privatisasi akan bermakna “asing-isasi” yang memunculkan sentimen nasionalisme. Incumbent phenomenon sedikit banyak juga ditunjukkan oleh PT Pertamina, PT PGN maupun PT PLN dan nampaknya masih akan merupakan gejala yang muncul kemudian. Badan Pengatur, dalam hal ini, dituntut untuk dapat bersikap arif dalam menumbuhkan iklim kompetisi, khususnya antara pemain lama dan pemain baru; suatu tugas yang belum mereka lakukan • Kordinasi yang lemah serta terdapatnya conflict of interest merupakan penjelasan dari lambannya proses penyiapan produk hukum turunan UU 22/2001 dan UU 20/2002. Perdebatan mengenai grey area dan traik menarik pendefinisian kewenangan antar instansi terlihat misalnya antara Ditjen Migas dengan BP MIGAS ketika mendiskusikan topik wilayah kerja pertambangan dalam hal pengeloaan hulu atau antara Ditjen Migas dengan BPH MIGAS ketika membicarakan topik pemberian izin usaha pengolahan dan distribusi BBM serta wilayah distribusi gas bumi dalam hal pengelolaan hilir. Fenomena yang sama diantisipasi akan terjadi antara Ditjen Listrik & Pengembangan Energi dengan BAPEPTAL. • Badan Pengatur, yaitu BPH MIGAS dan BAPEPTAL mengalami proses pembentukan yang berbeda. Penyiapan BAPEPTAL, termasuk organisasi dan SOP (system operating & procedur)-nya telah cukup lama dilakukan melalui Bantuan Teknik Asian Development Bank (ADB), yang juga memberikan kesempatan kepada calon eksekutif BAPEPTAL untuk mempelajari praktek bekerjanya Badan Pengatur Ketenagalistrikan di beberapa negara lain.
8
Elemen penting pekerjaan BAPEPTAL, seperti penentuan tarif listrik, juga telah disiapkan sejak dini, bahkan sebelum UU 20/2002 itu sendiri diundangkan. Namun demikian, meskipun UU 20/2002 menegaskan bahwa paling lama 1 (satu) tahun setelah UU 20/2002 diterbitkan BAPEPTAL harus sudah dibentuk, sampai hari ini pembentukan BAPEPTAL tersebut belum dilakukan. Sebaliknya, BPH MIGAS dapat dibentuk melalui PP No. 42/2002 atau tidak lama setelah UU 22/2001 diterbitkan. Ironisnya, BPH MIGAS pun sampai hari ini belum dapat menjalankan fungsi-fungsi utama, dan baru sampai pada tahapan menyiapkan blue print organisasi itu sendiri. Penyiapan organisasi yang telah lama dilakukan tidak menjamin mulusnya pembentukan organisasi Badan Pengatur (BAPEPTAL), sedangkan pembentukan Badan Pengatur tanpa studi matang sebelumnya melahirkan masalah yang berlarut-larut penanganannya? • Komitmen Pemerintah untuk menyukseskan restrukturisasi sektor energi juga dapat dipertanyakan. Contohnya dalam pembentukan organisasi dan penyiapan anggaran bagi Badan Pengatur/Pelaksana yang tetap harus mengikuti birokrasi Pemerintah yang tidak efisien dan memakan waktu (melibatkan MenPAN, Departemen Keuangan dan BagianBagian di Departemen Energi & Sumberdaya Mineral). Contoh lain adalah dalam pembiayaan Badan Pengatur (BPH MIGAS, BAPEPTAL) maupun Badan Pelaksana (BP MIGAS) yang telah dibentuk. Apakah alokasi anggaran bagi suatu Badan Pengatur/Pelaksana mencerminkan beban tanggung jawab dan tingkat profesionalisme dari Badan Pengatur/Pelaksana tersebut? Untuk mendapatkan staf yang bermutu tinggi dan mempertahankan tingkat profesionalisme kerja, Badan Pengatur mesti dibebaskan dari sistem pengajian pegawai negeri (Smith, 1997). Bisa jadi, faktor-faktor yang menyebabkan lambatnya operasi BPH MIGAS merupakan salah satu alasan di balik kelambatan pembentukan BAPEPTAL. • Pemahaman teoritis aspek ekonomi makro-mikro dari gagasan restrukturisasi sektor energi serta bagaimana restrukturisasi sektor energi itu telah diterapkan di berbagai negara lain nampaknya belum merata di antara pelaku baik di instansi pembuat kebijakan (Pemerintah), Badan Pengatur maupun pelaku usaha. Sosialisasi mengenai restrukturisasi sektor energi ini ke stakeholders yang lain termasuk ke publik, meskipun telah dilakukan, nampaknya belum memberikan hasil optimum. 4.2 Kembali ke pemahaman dasar tujuan deregulasi dan restrukturisasi Indonesia adalah negara berkembang dimana pertumbuhan permintaan energinya, termasuk untuk BBM maupun tenaga listrik, masih sangat tinggi, di atas rata-rata laju pertumbuhan permintaan energi dunia. Konsumsi BBM selama sedekade terakhir meningkat 5-7 persen setahun, bahkan dalam periode ketika negeri ini mengalami kemunduran ekonomi. Dengan ekonomi yang tumbuh rendahpun, permintaan listrik nasional diperkirakan akan meningkat 810 persen/tahun hingga 2010. Gejala ini wajar konsumsi energi per kapita kita masih rendah, baik untuk minyak bumi maupun tenaga listrik. Rasio elektrifikasi nasional kita juga masih rendah, sekitar 53 persen. Pemenuhan kebutuhan akan BBM dan tenaga listrik yang dikembangkan di Tanah Air dalam jangka panjang telah mengandalkan pada BUMN bentukan Pemerintah, yang beroperasi secara terintegrasi vertikal (vertically integrated) dengan pola monopoli untuk memenuhi kebutuhan energi seluruh wilayah kepulauan Indonesia. Pola dominasi oleh BUMN di sisi lain disertai pengaturan harga energi yang dilakukan oleh Pemerintah berdasarkan alasan ideologis “untuk melindungi kepentingan rakyat banyak”. Secara sederhana, struktur penyediaan energi nasional yang terbangun hingga sekarang adalah Pertamina mendominasi supplai minyak dan gas bumi, menguasai hampir seluruh
9
infrastruktur yang meliputi kilang gas, kilang minyak, jaringan distribusi BBM, termasuk depo, tanki timbun, serta jaringan transmisi gas bumi sekitar 480 km. PT PGN menempati posisi dominan dalam penyediaan gas bumi di dalam negeri, memiliki infrastruktur transmisi gas bumi sepanjang 800 km dan distribusi sekitar 2.570 km. Kegiatan produksi minyak dan gas bumi, sebaliknya, masih terus didominasi oleh perusahaan-perusahaan asing. Di bidang kelistrikan, PT PLN mengoperasikan sekitar 600 sistem penyediaan listrik di seluruh Indonesia. Sistem JAMALI (Jawa-Madura-Bali) paling modern, terinterkoneksi dengan jaringan 500 kV dan kabel laut 150 kV, memanfaatkan berbagai jenis energi primer sebagai bahan bakar (fuel), melayani sekitar 13 giga-watt atau lebih dari separuh permintaan listrik di Tanah Air. Di luar JAMALI, ratusan sistem yang dikembangkan belumlah efisien, bersandar pada diesel yang mengandalkan BBM, berdiri sendiri (stand alone), melayani konsumen yang tak optimal, dan belum terinterkoneksi. Cukup banyak daerah, desa-desa di luar JAMALI yang belum menikmati listrik atau mengalami pemadaman bergilir. Ketika dulu tingkat permintaan akan energi masih jauh lebih rendah dibandingkan yang ada sekarang dan ekspor energi, khususnya minyak bumi Indonesia masih menyisakan pendapatan yang cukup besar, maka sistem penyediaan energi yang mengandalkan pada Pemerintah tersebut dapat memenuhi tingkat keamanan dan keekonomian pasokan energi secara nasional. Namun demikian, seiring dengan peningkatan permintaan energi domestik yang pesat, kemampuan menyediakan energi dari sumber-sumber sendiri yang menurun, kinerja BUMN energi yang tidak tumbuh sesuai semangat persaingan global, tuntutan otonomi daerah/desentralisasi dan pengaturan harga energi yang selalu terdistorsi, maka terlihat bahwa sistem penyediaan energi yang telah diterapkan cukup lama tersebut bukanlah merupakan sesuatu yang dapat dipertahankan berlanjut (sustainable). Sebagai indikator, PT PLN kini terjerat dalam hutanghutang yang sangat besar, sementara penyediaan BBM di dalam negeri telah menyebabkan berlarut-larutnya pemberian subsidi yang sangat memberatkan APBN di samping merusak kondisi keuangan PT Pertamina. Di sisi lain, untuk memenuhi kebutuhan energi yang terus tumbuh, peningkatan kapasitas, perluasan jaringan, dan mobilisasi investasi bagi pembangunan infrastruktur energi masih akan terus menjadi agenda pembangunan sistem penyediaan energi kita, baik untuk BBM maupun kelistrikan. Kemampuan pemerintah (yang telah ikut terperangkap dalam jebakan hutang untuk membiayai warganya dalam mengkonsumsi energi) tak dapat diandalkan lagi, dan karena itu, partisipasi swasta yang lebih besar sangat dibutuhkan dalam pembangunan sistem penyediaan penyediaan energi di Tanah Air, yang lebih efisien dan berdaya saing. Sektor swasta sendiri, bersama proses pertumbuhan ekonomi di Tanah Air selama sekitar 3 dekade terakhir telah memperoleh kesempatan untuk menumbuhkan kemampuan, baik permodalan maupun teknologi, dan oleh karena itu layak untuk berpartisipasi menjawab tantangan penyediaan kebutuhan energi kita di masa depan. Dari segi teoritis bahwa bentuk pasar kompetisi akan menghasilkan kinerja dan harga yang lebih efisien daripada pasar monopoli telah menjadi pemahaman umum. Pengetahuan dasar bahwa industri utility seperti halnya tenaga listrik dan penyediaan gas kota bersifat monopoli alamiah (natural monopoly) telah lama dikoreksi bahwa hal tersebut tidak berlaku untuk seluruh rantai nilai (value chain) dari industri tersebut, yang tersusun dari kegiatan eksplorasi, produksi, pemrosesan, penyimpanan, transportasi hingga penjualan bulk dan retail untuk industri gas bumi; maupun pembangkitan, penjualan tegangan tinggi/menengah, transmisi, distribusi dan penjualan tegangan rendah untuk kelistrikan (Peirce, 1996; Bank, 2000). Kecenderungan bahwa perusahaan-perusahaan negara yang menguasai industri energi yang “menguasai hajat hidup orang banyak” itu juga direstrukturisasi telah menjadi arus utama yang dipraktekkan mulai dari
10
daratan Eropa, Amerika Utara, menyebar ke Amerika Latin hingga negara-negara di kawasan Asia-Pasifik (Eleodoro, 1995; WEC, 2001; APEC, 2003). Pokok-pokok pikiran di atas melatarbelakangi gagasan restrukturisasi sektor energi Indonesia seperti dituangkan melalui pembentukan UU Minyak & Gas Bumi 22/2001 dan UU Ketenagalistrikan 20/2002, dan menjadi semangat yang mesti dicamkan kembali bersama-sama dalam menjalankan proses restrukturisasi sektor energi Indonesia.
5. Penutup: kesimpulan dan saran Restrukturisasi menjanjikan tambahan manfaat, namun tidak ada janji bahwa transformasi dari sistem penyediaan BBM atau gas bumi sekarang ke sistem yang direstrukturisasi pasti berlangsung mulus. Transformasi industri kelistrikan dari pola monopoli ke kompetisi atau dari model SBSS (Single Buyer Single Seller) kini ke model MBMS (Multi Buyer Multi Seller) bukanlah hal yang akan sederhana bagi Indonesia. Ada sejumlah kendala atau tantangan yang harus diatasi. Dari paparan panjang sebelumnya dapat disimpulkan bahwa terdapat keterlambatan dalam penyiapan produk-produk hukum turunan dari UU Minyak & Bumi 22/2001 dan UU Ketenagalistrikan 20/2002. Pembentukan Badan Pengatur, khususnya BPH MIGAS dan BAPEPTAL sangat terlambat, sedangkan fungsi-fungsi yang mereka harus jalankan juga belum dapat dilaksanakan. Pemecahan struktur industri dan pembentukan iklim kompetisi belum terlihat dalam tataran implementasi. Namun demikian, semoga gejala ini, setelah 3 dan 2 tahun UU 22/2001 dan 20/2002 dijalankan, bukanlah pertanda bahwa deregulasi sektor energi Indonesia sedang dilakukan dengan “setengah hati.” Untuk mengembalikan restrukturisasi sektor energi, khususnya minyak dan gas bumi dan ketenagalistrikan kepada semangat dan jalurnya semula, beberapa saran dikemukakan di bawah ini: • Kesiapan institusi dan kejelasan regulasi adalah prasyarat bagi berkembangnya investasi dan kompetisi, yang dibutuhkan untuk meningkatkan/memperbaiki kapasitas supplai energi dalam jangka panjang di Tanah Air. Karena itu, urgent bahwa produk-produk hukum turunan UU 22/2001 dan UU 20/2002 dapat disiapkan lebih cepat dan lebih jelas, dan institusi yang bertugas dalam kerangka restrukturisasi sektor energi (Badan Pengatur khususnya) juga dapat disiapkan lebih baik. • Liberalisasi sektor hilir harus bisa mengatasi kendala pengembangan sektor hilir sendiri. Kendala utama itu adalah harga energi di tingkat end-users yang ditetapkan rendah (di bawah nilai ekonominya), yang menjauhkan minat investor untuk berinvestasi. Kendala lainnya adalah ketersediaan infrastruktur hilir yang masih sangat terbatas, yang menghambat diberlakukannya gagasan open acess serta menghalangi aliran energi yang lebih besar dari sumber-sumer supplai ke pusat-pusat beban/lonsumsi. Master plan pembangunan infrastruktur dan insentif investasi perlu disiapkan karena pembangunan infrastruktur hilir membutuhkan biaya mahal, waktu panjang, juga sering kali bersifat mutually exclusive antar pilihan investasi. • Rencana induk pengembangan jaringan transmisi dan distribusi gas bumi nasional serta sistem baru penyediaan BBM nasional perlu segera disiapkan. • Model kompetisi penyediaan tenaga listrik perlu segera diterapkan untuk suatu wilayah yang disiapkan. Kompetisi dapat dimulai dari sisi pembangkitan (generation). • Pembentukan BAPEPTAL perlu segera direalisasikan. • Dukungan finansial Pemerintah dibutuhkan untuk menghasilkan Badan Pengatur yang bermutu tinggi.
11
• Untuk memperjelas langkah dan target restrukturisasi yang dilakukan, subsektor minyak dan gas bumi perlu menyiapkan blue print pengembangan subsektor sebagai halnya yang telah dilakukan oleh subsektor ketenagalistrikan. Blue print dapat disiapkan terpisah untuk manajemen BBM dan pengembangan gas bumi nasional. • Independensi dari Badan Pengatur perlu ditingkatkan. Ini dapat dilakukan, antara lain dengan segera menyiapkan sumber pembiayaan selain dari Pemerintah dan meningkatkan kualitas serta personalia dan fasilitas kerja di Badan Pengatur. • Belajar dari teori, tujuan dan pengalaman negara lain, restrukturisasi sektor energi adalah baik untuk dilakukan. Terus menanamkan pemahaman yang lebih mendalam terhadap tujuan restrukturisasi disertai sikap arif berhati-hati dalam penerapannya perlu dilakukan kepada semua pelaku industri energi di Tanah Air, juga kepada para incumbent.
---hn---
12
Daftar Pustaka
APEC Energy Working Group. 2003. Electricity reform in APEC economy – The way ahead. Dikun, Suyono (ed.) Bappenas. 2004. The economic landscape of Indonesian infrastructure. Jakarta: BAPPENAS. Bank, Ferdinand. 2000. Energy Economics, a modern introduction. Netherland: Kluwer Academic Publishers. Barnes, Philiph. 1995. Indonesia: the political economy of energy. Oxford: Oxford Institute for Energy Studies Collins, Tom. 2003. National oil companies: restructuring, commercialization and privatization. Private Consultant. Eleodoro M.A.. 1995. Deregulation and reform of petroleum market: from monopolies to new regulated market. Washington, D.C.: World Bank. Gracia, R.E.. 2002. Restructuring the gas industry. Pakistan: Petroleum Sector Review Workshop. International Energy Agency. 1999. Regulatory reform in Argentina’s natural gas sector. Paris: IEA. Komite Kebijakan Percepatan Pengembangan Infrastruktur. Media Infrastruktur (ed. April-Juni 2004). Jakarta: KKPPI Komite Pengawas Persaingan Usaha. 2003. Kajian industri minyak dan gas bumi. Jakarta: KPPU. Masseron, Jean. 1990. L’economie des hydrocarbures. Paris: Institut Francais du Petrole. Nugroho, Hanan. 2004. Increasing the share of natural gas in national industry and energy consumption: infrastructure development plan? Jakarta: Perencanaan Pembangunan IX/3/2004, h. 20-33. Nugroho, Hanan. 2004. Pengembangan industri hilir gas bumi Indonesia: tantangan dan gagasan. Jakarta: Perencanaan Pembangunan IX/4/2004, h. 32-52. Nugroho, Hanan. 2004. Penyediaan BBM Nasional, Masalah Besar Menghadang. Jakarta: Kompas, 6 Juli 2004. Nugroho, Hanan. Draft. Financing Indonesia’s natural gas infrastructure.. Disiapkan untuk INDOGAS 2005. Nugroho, Hanan & Hari Kristijo. In Press. Menuju komposisi pemanfaatan energi yang optimum di Indonesia: pengembangan model ekonomi-energi dan identifikasi kebutuhan infrastruktur energi. Nugroho, Hanan, et all. 2004. Gas energy pricing in Indonesia for promoting the sustainable economic growth. Proceeding: The 19th World Energy Congress & Exhibition, Sydney, 5-9 September 2004. Nugroho, Hanan, et all. Forthcoming. Indonesia: deregulation of power industry after the implementation of new electricity law. Peirce, William. 1996. Economics of the energy industries. Connecticut: Praeger Publishers. Pritchard, Robert. 2002. Eight guide for electricy reform. Resource Law International. Satriya, Edy. Regulation in transition. Prosiding: Kongres World Energy Council, Komite Nasional Indonesia, Jakarta: November 2004. Smith, Warrick. 1997. Utility Regulator: the Independence Debate. The World Bank: Private Participation in Infrastructure Group. Tsuji, Masatsugu et all. 2000. Private initiatives in infrastructure: priorities, incentives and performance. Tokyo: IDE-JETRO. Widodo, Hanan Nugroho et. all. 2004. Modelling Indonesia’s energy and infrastructure by INOSYD. Prosiding: Kongres World Energy Council, Komite Nasional Indonesia, Jakarta: November 2004. World Bank. 2000. Indonesia oil and gas sector study. Washington: The World Bank. World Energy Council. 2001. Eectricity masrket design and creation in Asia Pacific. Undang-Undang No. 22/2001 tentang Minyak & Gas Bumi Undang-Undang No. 20/2002 tentang Ketenagalistrikan Peraturan Pemerintah No. 42 / 2002 tentang BP MIGAS Peraturan Pemerintah No. 67 / 2002 tentang BPH MIGAS Peraturan Pemerintah No. 53 / 2002 tentang BAPEPTAL Pedoman dan Pola Tetap Pengembangan Industri Kelistrikan Nasional 2003-2020 Peraturan Pemerintah No. 35/2004 tentang Kegiatan Hulu Peraturan Pemerintah No. 36/2004 tentang Kegiatan Hilir http://www.djlpe.go.id http://www.iea.org http://www.ferc.org http://www.eia.doe.gov http://www.ieej.or.jp http://www.naturalgas.org http://www.ofgem.or.uk http://www.worldenergy.org
13