RASIO MOLAR ASAM FITAT : Zn UNTUK MENENTUKAN SUPLEMENTASI Zn SERTA PENAMBAHAN ENZIM FITASE DALAM RANSUM BERKADAR ASAM FITAT TINGGI
SUMIATI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2005
2
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Rasio Molar Asam Fitat : Zn untuk Menentukan Suplementasi Zn serta penambahan Enzim Fitase dalam Ransum Berkadar Asam Fitat Tinggi adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Desember 2005 Sumiati NIM 985035
3
ABSTRAK SUMIATI. Rasio Molar Asam Fitat : Zn Untuk Menentukan Suplementasi Zn serta Penambahan Enzim Fitase dalam Ransum Berkadar Asam Fitat Tinggi. Dibimbing oleh WIRANDA GENTINI PILIANG, MAGGY THENAWIDJAYA SUHARTONO dan SUSILOWATI HERMAN. Asam fitat mengandung mineral P yang tinggi (28,2%) dan potensial sebagai pengikat (chelating) mineral bervalensi-2. Ikatan tersebut menyebabkan tidak tersedianya mineral- mineral tersebut untuk penyerapan di dalam usus halus ternak monogastrik maupun manusia. Zn merupakan mineral yang ketersediaannya paling dipengaruhi oleh fitat. Dua penelitian telah dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui apakah suplementasi ZnO dan enzim fitase ke dalam ransum berkadar asam fitat tinggi dapat memperbaiki status mineral maupun produktivitas ayam petelur ISA-Brown umur 18 – 33 minggu (penelitian 1) dan tikus Sprague Dawley umur 45 – 80 hari (penelitian 2). Pada penelitian 1, Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola Faktorial 3 x 3 digunakan untuk mempelajari pengaruh 3 taraf suplementasi ZnO ( 0, 252, 567 mg ZnO/kg ransum) dengan rasio molar asam fitat : Zn dalam ransum berturut-turut 76, 15, 7.5 dan 3 taraf suplementasi enzim fitase (0, 300, 400 U/kg ransum). Pada penelitian 2, digunakan 6 ransum perlakuan yang terdiri atas 4 ransum yang disuplementasi ZnO (0, 13, 29, 61 mg ZnO/kg ransum) dengan rasio molar asam fitat : Zn dalam ransum berturut-turut 27, 20, 15, 10 dan 2 ransum yang disuplementasi dengan enzim fitase ( 750, 1000 U/kg ransum). Suplementasi ZnO dan fitase dalam ransum ayam petelur ISA-Brown tidak nyata mempengaruhi produksi telur, konsumsi ransum, konversi ransum, berat telur dan retensi mineral P. Suplementasi ZnO sangat nyata menurunkan (P<0.01) retensi Zn pada ayam petelur, tapi tidak nyata mempengaruhi aktivitas alkalin fosfatase. Sebaliknya, suplementasi fitase sangat nyata meningkatkan ((P<0.01) aktivitas alkalin fosfatase, tetapi tidak nyata mempengaruhi retensi Zn pada ayam petelur. Secara deskriptif, suplementasi ZnO yang tinggi dalam ransum (567 mg ZnO/kg) hanya sedikit meningkatkan kandungan Zn dalam telur, tetapi menurunkan Mn, Fe, Cu, Ca dan P. Suplementasi ZnO dan enzim fitase meningkatkan Zn dalam kerabang telur dan meningkatkan kandungan vitamin A dalam telur. Suplementasi ZnO dan fitase dalam ransum tikus tidak nyata mempengaruhi pertambahan bobot badan, konsumsi ransum dan efisiensi penggunaan ransum, tetapi sangat nyata meningkatkan (P<0.01) retensi Zn. Suplementasi fitase 1000 U/kg sangat nyata meningkatkan (P<0.01) efisiensi penggunaan ransum dan retensi Zn. Suplementasi ZnO dan fitase nyata (P<0.05) meningkatkan persentase bobot thimus, pankreas dan hati tikus, tapi tidak nyata mempengaruhi persentase ginjal. Angka rasio molar asam fitat : Zn terbaik pada ransum ayam petelur ISABrown umur 18-33 minggu adalah 15 dan pada ransum tikus adalah 10. Kombinasi suplementasi 252 mg ZnO/kg ransum + 300 U fitase/kg merupakan kombinasi terbaik dalam ransum ayam petelur ISA-Brown umur 18 – 33 minggu.
4
ABSTRACT SUMIATI. Molar Ratio of Phytic Acid : Zn to Determine the Zn Supplementation and Phytase Enzyme Addition in High Phytic Acid Diets. Under the supervisions of WIRANDA GENTINI PILIANG, MAGGY THENAWIDJAYA SUHARTONO, and SUSILOWATI HERMAN Phytic acid molecule has a high Phosphorus (P) content (28.2%) and chelating potential to form a wide variety of insoluble salts with divalent cations. These binding potentially renders these minerals unavailability for intestinal absorption of the monogastric animals as well as human. Zinc (Zn) may be the trace element which bioavailability is most influenced by phytate. Two experiments were conducted to determine whether, supplementations of zinc oxide (ZnO) and phytase enzyme into high phytic acid diets could improve the minerals status as well as the productivity of the ISA-Brown laying hens at 18 weeks up to 33 weeks of age (experiment 1) and Sprague Dawley rats at 45 days up to 80 days of age (experiment 2). In experiment 1, a 3 x 3 factorial design was used to study the effect of ZnO supplementations (0, 252, 567 mg ZnO/kg diet) with molar ratio of phytic acid : Zn were 76, 15, 7.5 respectively and 3 levels of phytase enzyme ( 0, 300 and 400 Unit(U) /kg diet). In experiment 2, 6 treatment diets consisted of 4 diets with ZnO supplementations (0, 13, 29, 61 mg ZnO/kg diet) with molar ratio of phytic acid : Zn were 27, 20, 15, 10 respectively, and 2 treatment diets with phytase enzyme supplementations (750, 1000 U/kg diet). The supplementations of ZnO and phytase in the laying hen diets did not affect the egg production, feed consumption, feed conversion, egg weight and the retention of P in the body. However the ZnO supplementations highly significantly decreased (P<0.01) the Zn retention of the laying hens, but did not affect the alkaline phosphatase activity. On the contrary, the phytase supplementations highly significantly increased (P<0.01) the alkaline phosphatase activity, but did not affect the Zn retention of the laying hens. The ZnO supplementations increased the Zn content in the egg , but decreased the mangan (Mn), iron (Fe), copper (Cu), calcium (Ca) and phosphorus (P). The supplementations of ZnO and phytase increased Zn in the egg shell as well as the vitamin A content in the eggs. The supplementations of ZnO and phytase in the rat diets did not affect the body weight gain, feed consumption, but significantly increased the feed efficiency (P<0.05) and highly significantly increased the Zn retention (P<0.01). Adding ZnO and phytase in the diet increased the percentage of weight of thymus, pancreas as well as the percentage of weight of liver of the rats.
5
RASIO MOLAR ASAM FITAT : Zn UNTUK MENENTUKAN SUPLEMENTASI Zn SERTA PENAMBAHAN ENZIM FITASE DALAM RANSUM BERKADAR ASAM FITAT TINGGI
SUMIATI
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Ternak
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2005
6
Judul Disertasi
: Rasio Molar Asam Fitat : Zn untuk Menentukan Suplementasi Zn serta Penambahan Enzim Fitase dalam Ransum Berkadar Asam Fitat Tinggi : Sumiati : 985035
Nama NIM
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Wiranda Gentini Piliang, M.Sc Ketua
Prof. Dr. Ir. Maggy Thenawidjaya Suhartono Anggota
Dr. Susilowati Herman, M.Sc Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu Ternak
Dr. Ir. Nahrowi, M.Sc
Tanggal Ujian : 30 Nopember 2005
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc
Tanggal Lulus :
7
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga disertasi ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juli 2003 ini ialah asam fitat dan ketersediaan mineral, dengan judul Rasio Molar Asam Fitat : Zn untuk Menentukan Suplementasi Zn serta Penambahan Enzim Fitase dalam Ransum Berkadar Asam Fitat Tinggi. Keberhasilan ini tidak lepas dari bantuan serta kerjasama yang baik dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Prof. Dr. Ir. Wiranda Gentini Piliang, M.Sc selaku Ketua Komisi Pembimbing, kepada Ibu Prof. Dr. Ir. Maggy Thenawidjaya Suhartono, Ibu Dr. Susilowati Herman, M.Sc sebagai Anggota Komisi Pembimbing yang telah banyak memberikan arahan dan bimbingan, sehingga disertasi ini dapat diselesaikan. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Bapak Dr. Rimbawan (Dosen Departemen Gizi Masyarakat IPB), selaku Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup (28 September 2005) dan Ujian Terbuka (30 Nopember 2005) penulis, atas semua masukan yang sangat berharga untuk perbaikan disertasi ini. Penulis mengucapkan terimakasih kepada Bapak Dr. Ir. Pius P. Ketaren, M.Agr. Sc (Ahli Peneliti Muda pada Balai Penelitian Ternak, Bogor), selaku Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka, atas segala saran dan masukan yang sangat bermanfaat untuk membuka wawasan penulis di bidang penelitian enzim fitase. Penulis mengucapkan terimakasih kepada: Bapak Prof. Dr. Juju Wahju, M.Sc (alm), Ibu Prof. Dr. Lily Amalia Sofyan, M.Sc (alm) dan Bapak Dr. Ir. Suryahadi, DEA yang pernah membimbing penulis. Terima kasih penulis ucapkan kepada seluruh staf dan karyawan Kelompok Biokimia dan Fisiologi Gizi, Bagian Hewan Coba, Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi, DEPKES RI, Bogor (drh. Endi Ridwan, M.Sc, Ibu Yetty Yuniar, Ibu Dra Fitrah Ernawati, M.Sc, Bapak Supandi) yang telah banyak membantu kelancaran penelitian. Disamping itu, penulis menghaturkan terimakasih kepada seluruh staf dan teknisi di Bagian Nutrisi Unggas Fakultas Peternakan IPB ( Dr. Ir. Rita Meutia, M.Agr; Dr.Ir. Ibnu Katsir Amrullah, MS: Ir. Dwi Margi Suci, MS; Ir. Widya Hermana, MSi; Lanjarsih, Amd; Enday; Makmur; Karya) atas bantuan dan kerjasamanya yang baik selama penulis menempuh pendidikan S3 ini. Penulis mengucapkan terima kasih: kepada Prof. Emeritus Donald Oberleas, Department of Food and Nutrition, Texas Tech. University Lubbock USA dan Prof. Barbara Harland, University of Washington, Washington, DC, USA atas bantuan analisis asam fitat dalam beberapa bahan makanan; kepada Ir. Suaedi Sunanto, PT BASF Jakarta atas bantuan mineral ZnO dan enzim fitase serta pustaka-pustaka; kepada pengelola Beasiswa Program Pascasarjana (BPPS) Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional yang telah memberikan kesempatan belajar dan biaya pendidikan ; kepada pengelola Projek Due-Like tahun anggaran 2003 yang telah membantu mendanai sebagian biaya penelitian penulis. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada: Rektor IPB beserta seluruh Staf yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk menempuh studi Program Doktor di Sekolah Pascasarjana IPB; Dekan Fakultas Peternakan IPB beserta
8
seluruh Staf Dosen dan Pegawai; Ketua Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan FAPET IPB beserta seluruh Staf Dosen dan Pegawai; Dekan Sekolah Pascasarjana IPB beserta seluruh Staf dan Pegawai atas kelancaran administrasi; Ketua Program Studi Ilmu Ternak (PTK) beserta seluruh Pegawai; serta kepada semua pihak yang telah membantu yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Rasa hormat dan terima kasih penulis sampaikan kepada seluruh keluarga besar Bapak E. Sukarya (alm) Sumedang dan keluarga besar Bapak M. Soetjipto (alm) Surabaya atas dorongan moril maupun materil kepada penulis. Ucapan terimakasih yang sangat khusus penulis haturkan kepada suami tercinta Ir. Sugeng Sudibjo, ASAI serta ananda Linea Alfa Arina dan Ba yu Beta Brahmantio atas segala kasih sayang, kesabaran, pengertian serta dorongan moril maupun materil. Akhir kata semoga disertasi ini bermanfaat untuk banyak pihak dan dapat menyumbang hal positif bagi perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi serta pembangunan Peternakan di Indonesia. Bogor, Desember 2005 Sumiati
9
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Sumedang pada tanggal 17 Oktober 1961 sebagai anak bungsu dari empat bersaudara dari pasangan Bapak E. Sukarya (alm) dan Ibu I. Sukarya (alm). Pendidikan sarjana ditempuh di Fakultas Peternakan IPB, lulus tahun 1984. Pada tahun 1988, penulis mendapat kesempatan untuk menempuh pendidikan S2 di Universitas Uppsala, Swedia dengan beasiswa pendidikan dari Bank Dunia XVII (kerjasama antara Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat IPB dengan Swedec AB, Swedia) dan lulus pada tahun 1989. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor di Program Studi Ilmu Ternak Sekolah Pascasarjana IPB diperoleh pada tahun 1998. Beasiswa pendidikan program doktor diperoleh dari Beasiswa Program Pascasarjana (BPPS) Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional. Penulis bekerja sebagai tenaga edukatif di Fakultas Peternakan IPB sejak tahun1986 sampai sekarang dengan jabatan terakhir adalah Lektor pada DepartemenIlmu Nutrisi dan Teknologi Pakan.
10
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ............................................................................................ xii DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xiv DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xv PENDAHULUAN Latar Belakang ...................................................................................... Tujuan Penelitian .................................................................................. Hipotesis ............................................................................................... Manfaat Hasil Penelitian ....................................................................... Kerangka Pemikiran ..............................................................................
1 3 3 3 4
TINJAUAN PUSTAKA Mineral Seng (Zn) ................................................................................ 6 Hubungan Mineral Seng (Zn) dengan Vitamin A ................................. 9 Asam Fitat ............................................................................................. 10 Enzim Fitase .......................................................................................... 13 Suplementasi Zn dalam Ransum ........................................................... 17 Penggunaan Enzim 3-Fitase dalam Ransum ......................................... 18 BAHAN DAN METODE PENELITIAN I Perlakuan pada Ayam Petelur .................................................. PENELITIAN II Perlakuan pada Tikus ................................................................
27 33
HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN I Perfoman Ayam Petelur ISA- Brown Umur 18 – 33 Minggu ......................................................................... 40 Retensi Semu (Apparent Retention) Mineral Zn dan P dalam Tubuh Ayam Petelur ISA-Brown ................................. 49 Kandungan Mineral dalam Telur, Kerabang Telur, Daging dan Tulang Tibia Ayam Petelur ISA-Brown ............................ 54 Rangkuman Pengaruh Perlakuan terhadap Distribusi Mineral pada Ayam Petelur ................................................................... 61 Kandungan Vitamin A dalam Telur Ayam ISA-Brown .......... 63 Aktivitas Alkalin Fosfatase dalam Serum Ayam Petelur ISA-Brown ............................................................................... 65 Tebal Kerabang Telur Ayam ISA-Brown ................................ 68 Kesimpulan Hasil Penelitian pada Ayam Petelur .................... 70
11
PENELITIAN II Performan Tikus Sprague Dawley Umur 45 – 80 Hari ............ Retensi Semu (Apparent Retention) Mineral Zn, Ca dan P pada Tikus Sprague Dawley Umur 45 – 80 Hari ..................... Kandungan Mineral Zn, Ca dan Aktivitas alkalin Fosfatase dalam Serum Tikus .................................................................. Persentase Bobot Testis dan Ovarium Tikus Umur 80 Hari .... Persentase Bobot Thimus, Pankreas, Hati dan Ginjal Tikus Umur 80 Hari ......................................................................... Kesimpulan Hasil Penelitian pada Tikus .................................
85 89
PEMBAHASAN UMUM ................................................................................
90
KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................................
105
71 74 80 84
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 108 LAMPIRAN .................................................................................................... 116
12
DAFTAR TABEL Halaman 1. Kandungan asam fitat dari beberapa bahan makanan .......... ......................... 13 2. Aktivitas enzim 6-fitase dari beberapa bahan makanan ................................ 14 3. Perkembangan penelitian suplementasi Zn dalam ransum ............................ 21 4. Perkembangan penelitian rasio molar asam fitat : Zn dalam ransum ............ 23 5. Perkembangan penelitian suplementasi enzim fitase dalam ransum ............. 24 6. Susunan ransum ayam petelur umur 18-33 minggu ....................................... 30 7. Kandungan dan kebutuhan zat makanan ransum ayam petelur umur 18-33 minggu ........................................................................................ 31 8. Susunan ransum tikus penelitian .................................................................... 35 9. Kandungan zat gizi ransum tikus penelitian .................................................. 37 10.Kebutuhan zat gizi untuk tikus ...................................................................... 38 11.Rataan konsumsi ransum, produksi telur hen day, produksi massa telur, konversi ransum dan berat telur ayam petelur ISA-Brown umur 18-33 minggu ....................................................................................... 41 12.Rataan konsumsi protein dan energi metabolis ayam petelur ISA-Brown umur 18-33 minggu ................................................................... 43 13.Rataan konsumsi metionina harian ayam petelur ISA-Brown umur 18 – 33 minggu .................................................................................... 47 14.Rataan retensi semu mineral Zn dan P pada ayam petelur ISA-Brown ........ 50 15.Kandungan mineral Zn, Mn, Fe, Cu, Ca, P dan Mg dalam telur (putih + kuning telur) ayam ISA-Brown ............................................... 55 16.Kandungan mineral dalam telur segar ........................................................... 56 17.Kandungan mineral Zn, Mn, Fe, Cu, Ca, P dan Mg dalam kerabang telur ayam ISA-Brown .................................................................................. 57 18.Kandungan mineral Zn, Mn, Fe, Cu, Ca, P dan Mg dalam daging ayam ISA-Brown ............................................................................... 58 19.Kandungan mineral Zn, Mn, Fe, Cu, Ca, P dan Mg dalam tulang tibia ayam petelur ISA-Brown ............................................................ 60 20.Kandungan vitamin A dalam telur ayam ISA-Brown ................................... 63 21.Rataan aktivitas alkaline fosfatase pada ayam petelur ISA-Brown ........................................................................................ 65 22.Rataan tebal kerabang telur ayam ISA-Brown hasil penelitian .................... 69
13
23. Rataan pertambahan bobot badan, konsumsi ransum, efisiensi penggunaan ransum, konsumsi protein dan rasio efisiensi protein pada tikus Sprague Dawleyumur 45-80 hari ...............................................
73
24. Rataan retensi semu mineral Zn, Ca dan P pada tikus Sprague Dawley umur 45-80 hari ...........................................................................................
75
25. Rasio molar mineral Zn terhadap Ca dan P dalam ransum tikus perlakuan ............................................................................................. 78 26. Rataan kandungan mineral Zn, Ca dan aktivitas alkaline fosfatase dalam serum tikus umur 80 hari .................................................................... 81 27. Rataan persentase bobot testis dan ovarium tikus umur 80 hari .................. 84 28. Persentase bobot thimus, pankreas, hati dan ginjal tikus umur 80 hari ...... 85 29. Kriteria penggolongan makanan berdasarkan ketersediaan Zn ................... 91
14
DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Skema kerangka pemikiran penelitian ...........................................................
5
2. Pengaruh molar rasio asam fitat : Zn terhadap ketersediaan Zn dari makanan bayi (umur < 4 bulan) berbasis susu sapi (? ) dan kacang kedelai (•) (Bosscher et al. 2001) ........................................
8
3. Pengaruh molar rasio asam fitat : Zn terhadap ketersediaan Zn dari kacang buncis (green beans/Phaseolus vulgaris) untuk makanan bayi berumur > 4 bulan (Bosscher et al. 2001) ..............................
8
4. Struktur asam fitat ( Coelho 1999) ................................................................ 12 5. Reaksi antara asam fitat dengan Zn (Scott et al. 1982) ................................. 12 6. Model kerja enzim 3- fitase dan 6- fitase (Nys et al. 1999) ............................ 15 7. Pengaruh pH terhadap aktivitas enzim 3-fitase dan 6-fitase (Eeckhout dan De Paepe 1999) ....................................................................... 16 8. Grafik produksi telur hen day ayam petelur ISA-Brown selama penelitian (umur 18-33 minggu) ..................................................................... 45 9. Grafik rataan konversi ransum ayam petelur ISA-Brown selama 16 minggu penelitian (umur ayam 18 -33 minggu) ....................................................... 49 10.Grafik konsumsi, retensi dan ekskresi Zn ayam petelur ISA-Brown umur 33 minggu ........................................................................................... 52 11.Grafik konsumsi, retensi dan ekskresi mineral P pada ayam petelur ISA Brown umur 33 minggu ............................................................ 54 12.Hidrolisis fitat (InsP6) oleh enzim fitase mikroba (Sanberg 2002) .............. 67 13.Grafik persentase peningkatan aktivitas alkalin fosfatase dalam serum ayam petelur ISA-Brown ................................................................... 68 14.Grafik hubungan antara rasio molar asam fitat : Zn dalam ransum tikus dengan retensi semu mineral Zn, Ca dan P ............................. 80 15.Mekanisme transpor mineral Zn pada suplementasi mineral Zn dan enzim fitase pada ayam petelur ..................................................................... 95 16.Mekanisme transpor mineral Cu pada suplementasi mineral Zn dan enzim fitase pada ayam petelur ..................................................................... 97 17.Mekanisme transpor mineral Mn pada suplementasi mineral Zn dan enzim fitase pada ayam petelur ..................................................................... 99 18.Mekanisme transpor mineral Ca pada suplementasi mineral Zn dan enzim fitase pada ayam petelur ..................................................................... 101 19.Mekanisme transpor mineral P pada suplementasi mineral Zn dan enzim fitase pada ayam petelur ..................................................................... 103
15
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Kandungan asam fitat dari bahan makanan penyusun ransum ayam petelur dan tikus ...............................................................................
116
2. Rataan suhu kandang selama 16 minggu penelitian ayam petelur .............
117
3. Metode analisis Zn (AOAC 1999) .............................................................
118
4. Metode pengukuran aktivitas alkalin fosfatase (Stauffer 1989) .................
120
5. Metode pengukuran retensi semu mineral Zn dan fosfor pada ayam petelur ISA-Brown .....................................................................................
121
6. Metode pengukuran retensi semu mineral Zn, Ca dan P pada tikus ...........
122
7. Analisis ragam untuk konsumsi ransum ayam petelur(g/ekor/hari) ...........
123
8. Analisis ragam untuk produksi telur hen day (%) ......................................
123
9. Analisis ragam untuk produksi massa telur (g/ekor/hari) ...........................
123
10.Analisis ragam untuk konversi ransum ayam petelur ................................
124
11.Analisis ragam untuk berat telur (g/butir) .................................................
124
12.Analisis ragam untuk aktivitas alkalin fosfatase dalam serum ayam .........................................................................................................
124
13.Analisis ragam untuk pertambahan bobot badan tikus ............................
125
14.Analisis ragam untuk konsumsi ransum tikus ..........................................
125
15.Analisis ragam untuk efisiensi penggunaan ransum tikus ........................
125
16.Analisis ragam untuk retensi mineral Zn pada tikus ................................
126
17.Analisis ragam untuk retensi mineral Ca pada tikus ................................
126
18.Analisis ragam untuk retensi mineral P pada tikus ...................................
126
19.Analisis ragam untuk kandungan mineral Zn dalam serum tikus .............
127
20.Analisis ragam untuk kandungan mineral Ca dalam serum tikus .............
127
21.Analisis ragam untuk aktivitas alkalin fosfatase dalam serum tikus ........
127
22.Analisis ragam untuk persentase testis tikus ............................................
128
23.Analisis ragam untuk persentase ovarium tikus ........................................
128
24.Analisis ragam untuk persentase thimus tikus ..........................................
128
25.Analisis ragam untuk persentase pankreas tikus ......................................
129
26.Analisis ragam untuk persentase hati tikus ...............................................
129
27.Analisis ragam untuk persentase ginjal tikus ............................................. 129
16
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Defisiensi beberapa mineral bervalensi-2, terutama seng (Zn) merupakan defisiensi nutrisi yang sering terjadi di seluruh dunia. Defisiensi Zn ini sangat erat hubungannya dengan banyaknya konsumsi asam fitat yang terkandung dalam bahan makanan manusia atau bahan pakan untuk ternak. Mineral Zn mempunyai afinitas paling kuat untuk diikat oleh asam fitat. Makanan nabati merupakan sumber asam fitat, terutama biji-bijian utuh (whole grain) dan leguminosa. Asam fitat sudah menjadi bagian dari konsumsi penduduk dunia, termasuk Indonesia (Oberleas 2001).
Data BPS (2005) menunjukkan bahwa pada tahun 2004,
konsumsi energi penduduk Indonesia sebagian besar (62.1%)
berasal dari
makanan nabati dengan perincian sebagai berikut : dari serealia sebanyak 1024.08 Kal/orang/hari (51.6%), leguminosa 62.24 Kal/orang/hari (3.1%), umbi-umbian 66.91 Kal/orang/hari (3.36%), sayur-sayuran 38.80 Kal/orang/hari (1.95%) dan buah-buahan sebanyak 41.61 Kal/orang/hari (2.09%). Rata-rata konsumsi energi penduduk Indonesia pada tahun 2004 adalah 1986.06 Kal/orang/hari. Menurut Hotz dan Brown (2004), Indonesia termasuk kategori resiko tinggi terhadap defisiensi Zn, yaitu sekitar 34.4% penduduk Indonesia mengkonsumsi Zn yang kurang dari kebutuhan (10 mg Zn /orang/hari, kebutuhan rata-rata 15 mg Zn/orang/hari).
Disamping itu, konsumsi rata-rata fitat penduduk Indonesia
cukup tinggi, yaitu 2859 mg/orang /hari. Dengan adanya fakta tersebut, kemungkinan defisiensi Zn dapat terjadi pada penduduk Indonesia. Defisiensi
Zn
juga
banyak
terjadi
pada
ternak
yang
umumnya
mengkonsumsi biji-bijian dan serat kasar tinggi dalam jumlah banyak (kecuali ternak ruminansia). Asam fitat yang terkandung dalam makanan nabati dapat menurunkan ketersediaan beberapa mineral bervalensi-2 seperti Zn, zat besi (Fe), mangan (Mn), kuprum (Cu) dan kalsium (Ca). Ternak (selain ruminansia) maupun manusia miskin akan enzim fitase di dalam saluran pencernaannya, sehingga
17
keadaan
ini
akan
menurunkan
produktivitas
ternak
dan
terhambatnya
pertumbuhan pada ternak maupun manusia. Selain adanya asam fitat yang tinggi yang terkandung dalam serealia dan leguminosa, juga pada umumnya rendah akan kandungan mineral Zn. National Research Council (NRC 1994) memaparkan bahwa kandungan Zn dalam jagung kuning, dedak padi (rice bran) dan bungkil kedelai berturut-turut adalah 18, 30 dan 49 mg/kg, sementara itu, kandungan Zn dalam tepung ikan sebesar 147 mg/kg.
Dalam keadaan ransum normal, artinya tidak ada penambahan Zn
inorganik atau tidak adanya suplementasi enzim fitase ke dalam ransum, defisiensi Zn sudah pasti akan terjadi, mengingat ransum ternak monogastrik sebagian besar (>80%) terdiri atas serealia. Sampai saat ini sudah banyak penelitian mengenai suplementasi Zn dalam ransum ayam, namun belum memperhitungkan rasio molar antara asam fitat : Zn yang terkandung dalam ransum. Begitu juga mengenai suplementasi enzim fitase dalam ransum ayam sudah banyak dilakukan, namun difokuskan untuk meningkatkan ketersediaan mineral fosfor dalam ransum. Penelitian yang khusus untuk melihat pengaruh suplementasi enzim fitase dalam ransum terhadap ketersediaan mineral mikro, terutama Zn, Mn, Cu dan Fe masih perlu dilakukan. Dengan melihat permasalahan yang telah dipaparkan di atas, maka dalam penelitian ini dicoba 3 alternatif untuk mengatasi defisiensi Zn atau meningkatkan utilisasi Zn pada ayam petelur, yaitu pertama, melalui suplementasi Zn inorganik ke dalam ransum dengan memperhitungkan rasio molar antara asam fitat : Zn. Kedua, dengan cara penambahan enzim fitase ke dalam ransum untuk menghidrolisis asam fitat, sehingga ketersediaan Zn meningkat. Ketiga, dengan kombinasi suplementasi enzim fitase dan mineral Zn dalam ransum.
Dengan
terlepasnya mineral Zn dari ikatan asam fitat, diharapkan meningkatkan ketersediaan mineral bervalensi-2 lainnya dalam tubuh.
Untuk mengatasi
defisiensi Zn pada tikus akibat adanya fitat dalam ransum, digunakan 2 alternatif, yaitu pertama melalui suplementasi Zn inorganik ke dalam ransum dengan memperhitungkan rasio molar antara asam fitat : Zn ; kedua dengan cara suplementasi enzim fitase ke dalam ransum.
18
Penelitian ini dilakukan pada dua jenis hewan coba, yaitu ayam petelur periode produksi dan tikus masa remaja – dewasa. Penelitian pada ayam petelur untuk mengetahui pengaruh asam fitat terhadap ketersediaan Zn yang dicerminkan oleh produktivitasnya. Penelitian pada tikus untuk mempelajari ketersediaan Zn dan pengaruhnya terhadap pertumbuhan.
Tujuan Penelitian 1. Mendapatkan taraf suplementasi Zn yang tepat dalam ransum berdasarkan rasio molar antara asam fitat : Zn dalam ransum untuk meningkatkan status mineral Zn serta mempelajari pengaruhnya terhadap produktivitas hewan coba 2. Mencari taraf suplementasi enzim fitase yang tepat dalam ransum untuk meningkatkan status mineral Zn, Fe, Mn, Cu, Ca, P, Mg, serta mempelajari pengaruhnya terhadap produktivitas hewan coba 3. Mempelajari pengaruh kombinasi suplementasi mineral Zn dan enzim fitase dalam ransum terhadap produktivitas ternak
Hipotesis 1. Suplementasi mineral Zn dalam ransum dengan memperhitungkan rasio molar antara asam fitat : Zn akan meningkatkan status mineral Zn, sehingga produktivitas hewan coba meningkat 2. Enzim fitase akan menghidrolisis ikatan antara asam fitat- Zn dan mineral lainnya (Fe, Mn, Cu, Ca, P, Mg), sehingga mineral Zn dan mineral lainnya akan dibebaskan
dan tersedia bagi hewan coba,
dengan demikian produktivitas hewan coba meningkat 3. Kombinasi suplementasi mineral Zn dan enzim fitase dalam ransum akan lebih efektif dalam meningkatkan ketersediaan Zn, Fe, Mn, Cu, Ca, P dan Mg
Manfaat Hasil Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan rekomendasi tentang taraf suplementasi Zn dan enzim fitase yang tepat dalam ransum ayam petelur. Dengan
19
adanya acua n tersebut diharapkan masalah defisiensi Zn pada ransum ayam petelur bisa diatasi, sehingga produktivitas ternak meningkat. Disamping implikasi ekonomis yang menguntungkan dengan adanya peningkatan produktivitas ternak, status gizi manusia yang mengkonsumsi hasil ternak tersebut ( telur, daging) juga diharapkan akan lebih baik, karena kandungan Zn atau mineral lainnya dalam produk ternak tersebut meningkat. Manfaat lain dari hasil penelitian ini (percobaan dengan tikus) adalah memberi gambaran untuk manusia mengenai pengaruh negatif asam fitat dalam makanan terhadap status mineral Zn dan cara mengatasi efek tersebut. Hasil penelitian ini juga memberi masukan terhadap perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dalam bidang mineral.
Kerangka Pemikiran Skema kerangka pemikiran dari penelitian ini disajikan pada Gambar 1.
20
MASALAH
RANSUM UNGGAS •> 80% pakan nabati (dedak padi, bungkil kedelai, dll.) •Asam fitat(AF) tinggi •Kandungan Zn rendah
•Rasio molar AF:Zn > 15
MAKANAN MANUSIA •>80% serealia (beras, kacang kedelai, kacang hijau, dll.) •Asam fitat (AF) tinggi •Kandungan Zn rendah •Rasio Molar AF:Zn >15
UNGGAS Defisiensi Zn •Pertumbuhan menurun •Produksi telur menurun •Efisiensi penggunaan ransum menurun
MANUSIA Defisiensi Zn •Pertumbuhan terhambat •Reproduksi terganggu •Fungsi kekebalan menurun •Kulit kasar
PEMECAHAN MASALAH
PENAMBAHAN Zn : •Meningkatkan ketersediaan Zn
PENAMBAHAN FITASE : •Meningkatkan ketersediaan Zn dan mineral lainnya
TIKUS
PENAMBAHAN Zn DAN FITASE : •Meningkatkan ketersediaan Zn dan mineral lainnya
AYAM PETELUR
PRODUKSI & REPRODUKSI MENINGKAT Gambar 1. Skema kerangka pemikiran penelitian
21
TINJAUAN PUSTAKA
Mineral Seng (Zn)
Mineral Zn dikukuhkan sebagai salah satu zat nutrisi esensial untuk ternak sejak tahun 1934 (Pond et al. 1995) dan sejak awal tahun 1960-an untuk manusia (Berdanier 1998). Mineral Zn tersebar di dalam jaringan tubuh, tetapi konsentrasi terbesar berada dalam hati, tulang, ginjal, otot, pankreas, mata, kelenjar prostat, kulit, rambut dan wool (Pond et al. 1995). Menurut Kottferova (2001) hati adalah organ utama tempat akumulasi Zn.
Pond et al. (1995) mengatakan bahwa
konsentrasi Zn dalam darah dibagi menjadi dua, yaitu dalam sel dan plasma darah dengan rasio 9 : 1. Selanjutnya dipaparkan bahwa Zn plasma terikat secara lemah dengan albumin ( 1 : 3) dan terikat lebih kuat dengan globulin ( 2: 3) serta responsif terhadap pemberian ransum. Sebagian besar Zn dalam sel darah merah berada sebagai komponen enzim carbonic anhydrase. Desmukh (2001) memaparkan bahwa Zn ditemukan dalam semua jaringan yang fungsinya antara lain meliputi :1). meningkatkan sistem kekebalan, terutama fungsi dari kelenjar thymus (thymus gland) ; 2). terlibat dalam siklus Krebs dan produksi energi ; 3). merupakan komponen insulin ; 4). konstituen dari lebih 2000 enzim yang terlibat dalam pencernaan dan metabolisme, terutama metabolisme tulang, pencernaan protein dan metabolisme phosphor. Mineral Zn mempunyai fungsi yang sangat penting di dalam tubuh. untuk lebih dari 70 enzim (Berdanier 1998).
Zn merupakan kofaktor esensial Zn merupakan konstituen dari
banyak metalloenzim, diantaranya adalah carbonic anhydrase, carboxypeptidase A dan B, beberapa dehydrogenase, alkaline phosphatase, ribonuclease dan polymerase DNA ( Pond et al. 1995). Selanjutnya dipaparkan oleh Pond et al. (1995) bahwa Zn diperlukan untuk sintesis dan metabolisme protein normal serta sebagai komponen dari insulin, yang mana dalam hal ini berkaitan dengan metabolisme karbohidrat. Penyerapan mineral oleh ternak maupun manusia sangat rendah. Menurut Underwood (1962) kemampuan hewan untuk menyerap Zn tergantung struktur kimia atau kombinasinya. Zn dalam bentuk oksida (ZnO), karbonat (ZnCO3 ) dan
22
sulfat (ZnSO4 .H2 O) mempunyai ketersediaan yang sama untuk ayam, sedangkan Zn sulfida (ZnS) tidak dapat diserap. Menurut Pond et al. (1995) absorpsi Zn dari saluran pencernaan terjadi sepanjang usus halus dan hanya diserap sekitar 5-40% dari yang dikonsumsi.
Penyerapan Zn pada manusiapun sangat rendah, yaitu
sekitar 10-40% dari yang dikonsumsi (Berdanier 1998). Penyerapan Zn menurun dengan adanya zat pengikat atau chelating agent. Zn terikat dengan ligand yang mengandung sulfur, nitrogen atau oksigen. Zn akan membentuk komplek dengan grup fosfat (PO4 2-), klorida (Cl-) dan grup karbonat (HCO3 -) serta dengan sistein dan histidin. Zn yang terikat dengan serat, fosfat dan asam fitat tidak akan diserap dan akan diekskresikan melalui feses. Manusia yang mengkonsumsi makanan yang mengandung asam fitat tinggi (terutama produk serealia ) merupakan grup populasi yang beresiko tinggi terhadap defisiensi Zn (Berdanier 1998). Oberleas (1993) dalam Berdanier (1998) mengatakan bahwa makanan manusia yang mempunyai rasio molar asam fitat (AF) : Zn > 10 akan memicu defisiensi Zn.
Gharib dan Mohajer (2005)
menyatakan bahwa pada orang dewasa, rasio molar antara asam fitat : Zn = 10 cukup untuk memelihara homeostasis Zn. Bosscher et al. (2001) melaporkan bahwa ketersediaan Zn dari kacang buncis (green beans/ Phaseolus vulgaris) nyata menurun (P< 0,05) pada rasio molar AF : Zn > 7.9, yaitu dari 23.83% menjadi 15.12%. Food and Agricultural Organization (FAO) dan World Health Organization (WHO) (2002) menetapkan kriteria untuk mengelompokkan makanan yang berkaitan dengan ketersediaan Zn yang dikandungnya. Makanan tersebut dicirikan oleh ketersediaan Zn rendah, sedang dan tinggi.
Makanan yang tergolong pada ketersediaan Zn rendah
kemungkinan mengandung asam fitat tinggi atau merupakan produk kacang kedelai (soyabean-protein produc t) atau mempunyai rasio molar AF: Zn > 15. Secara umum, rasio AF : Zn > 1.5 akan menghambat ketersediaan Zn pada makanan bayi muda ( berumur < 4 bulan), setelah berumur 4 bulan angka rasio AF : Zn meningkat menjadi sekitar 8 (Bosscher et al. 2001). Pengaruh rasio molar asam fitat : Zn terhadap ketersediaan Zn dari makanan bayi (infant formulas/ umur bayi< 4 bulan) berbasis susu sapi dan kacang kedelai disajikan
23
pada Gambar 2 dan ketersediaan Zn dari kacang buncis (green beans/ Phaseolus vulgaris) untuk makanan bayi berumur > 4 bulan disajikan pada Gambar 3.
Rasio molar asam fitat : Zn
Gambar 2. Pengaruh molar rasio asam fitat : Zn terhadap ketersediaan Zn dari makanan bayi (Umur < 4 bulan) berbasis susu sapi (? ) dan kacang kedelai (•) (Bosscher et al. 2001)
Rasio molar asam fitat : Zn Gambar 3. Pengaruh molar rasio asam fitat : Zn terhadap ketersediaan Zn dari kacang buncis (green beans/ Phaseolus vulgaris) untuk makanan bayi berumur > 4 bulan (Bosscher et al. 2001) Pallauf dan Rimbach (1999) melaporkan bahwa Zn adalah unsur kelumit (trace element) yang ketersediaannya sangat dipengaruhi oleh asam fitat ransum. Hal ini dibuktikan oleh penelitian in vivo bahwa rasio molar AF : Zn > 10-15 dalam ransum menyebabkan status Zn suboptimal pada tikus dan babi. Pallauf dan Rimbach (1999) juga melaporkan bahwa tikus yang diberi ransum dengan basis protein kedelai dan pati jagung (0,4% asam fitat, 15-16 mg Zn/kg, AF: Zn
24
26) memperlihatkan tanda-tanda defisiensi Zn yang meliputi perubahan konsumsi ransum dan anoreksia. Selanjutnya dilaporkan bahwa tikus albino jantan (bobot badan 50 gram) yang diberi ransum (albumin telur 20%, pati jagung 48%) dengan molar rasio AF: Zn = 25 dan 50 selama 21-28 hari memperlihatkan penurunan pertambahan bobot badan dan efisiensi penggunaan ransum. Tanda defisiensi Zn yang paling jelas terjadi pada semua spesies ternak adalah terhambatnya pertumbuhan, anoreksia, penurunan aktivitas alkaline phosphatase dan konsentrasi Zn plasma (Pond et al. 1995). Menurut Berdanier (1998) tanda-tanda defisiensi Zn pada manusia diantaranya adalah terhambatnya pertumbuhan, anemia, hypogonadism, pembesaran hati dan ginjal serta kulit kasar.
Pada tikus, defisiensi Zn menyebabkan glucose intolerance, yang
membuktikan adanya hubungan antara Zn dengan insulin. Piliang et al. (2000) melaporkan bahwa tanda-tanda yang terjadi akibat adanya defisiensi Zn diantaranya adalah : kecepatan pertumbuhan terhambat baik pada anak-anak maupun ternak, anoreksia, perkembangan karakteristik seks sekunder terhambat dan pada ayam petelur daya tetas telur menurun. Leeson dan Summers (2001) melaporkan bahwa defisiensi Zn pada anak ayam menyebabkan terhambatnya pertumbuhan, menurunkan efisiensi penggunaan pakan, pemendekan dan penebalan tulang kaki serta pertumbuhan bulu yang sangat jelek. Defisiensi Zn pada ayam petelur menyebabkan produksi telur menurun.
Hubungan Mineral Seng (Zn) dengan Vitamin A
Groff dan Gropper (2000) menyatakan bahwa istilah vitamin A digunakan untuk retinol (bentuk alkohol) dan retinal (bentuk aldehyde). Istilah provitamin A digunakan untuk ß – karoten dan karotenoid lainnya yang mempunyai aktivitas biologis seperti ß – karoten.
Berdanier (1998) menyatakan bahwa di dalam
makanan asal hewan (hewani), vitamin A biasanya berada dalam bentuk alkohol (retinol), tetapi bisa juga dalam bentuk aldehyde (retinal) atau dalam bentuk asam (asam retinoat).
Di dalam makanan asal tanaman (nabati), vitamin A berada
dalam bentuk prekursor vitamin A, yaitu berupa pigmen dari golongan karoten. ß- karoten merupakan pigmen yang paling potensial sebagai prekursor vitamin A.
25
Groff dan Gropper (2000) menyatakan bahwa fungsi vitamin A adalah untuk penglihatan dan fungsi sistem yang meliputi diferensiasi seluler, pertumbuhan, reproduksi, perkembangan tulang dan sistem kekebalan. Vitamin A sebagai retinol sangat penting untuk proses reproduksi pada jantan dan betina, walaupun mekanismenya belum jelas.
Berdanier (1998) menyatakan bahwa
peranan vitamin A dalam reproduksi berhubungan dengan fungsinya dalam sintesis RNA dan protein.
Vitamin A mempengaruhi pertumbuhan sel telur
(ovum) dan sintesis enzim yang diperlukan untuk memproduksi hormon steroid yang mengatur proses reproduksi. Terdapat hubungan antara metabolisme vitamin A dan mineral Zn di dalam tubuh. Lonnerdal (1988) menyatakan bahwa defisiensi Zn menurunkan vitamin A dalam plasma, retinol-binding protein (RBP) dalam plasma serta menurunkan sintesis RBP dalam hati. Mobilisasi vitamin A dari hati dihambat dengan adanya defisiensi mineral Zn. Groff dan Gropper (2000) menyatakan bahwa defisiensi Zn menurunkan mobilisasi retinol di hati dari bentuk simpannya (retinyl ester). Aktivitas enzim retinyl ester hydrolase yang melepas vitamin A dari bentuk simpannya
dihambat
dengan
kurangnya
mineral
Zn.
Enzim
alkohol
dehidrogenase yang mengkonversi retinol menjadi retinal juga sangat tergantung mineral Zn. Mineral Zn juga mempunyai fungsi mengkonversi ß- karoten menjadi retinol. Penelitian Dijkhuizen dan Wieringa (2001) pada manusia di Indonesia membuktikan bahwa suplementasi ß- karoten hanya efektif dalam meningkatkan status vitamin A jika diberikan bersama-sama dengan Zn.
Suplementasi ß-
karoten dikombinasikan dengan mineral Zn pada wanita Indonesia efektif meningkatkan konsentrasi retinol pada plasma dan air susu ibu.
Asam Fitat
Asam fitat/phytic acid ( myo- inositol 1,2,3,4,5,6-hexakis dihydrogen phosphate) adalah sebuah molekul gula/sugar yang mengikat 6 buah grup fosfat (Kies 1999). Ravindran et al. (1999) melaporkan bahwa asam fitat adalah bentuk simpan utama dari fosfor dalam biji-bijian tanaman, terhitung sekitar 60-80% dari
26
total fosfor. Molekul asam fitat mengandung mineral P yang tinggi, yaitu sekitar 28,8%. Karena ransum unggas sebagian besar terdiri atas bahan pakan nabati (terutama serealia), maka asam fitat sangat penting ditinjau dari segi nutrisi. Ravindran (1999) memaparkan bahwa di bawah kondisi ransum normal, P-asam fitat tidak tersedia untuk unggas, karena unggas miskin dengan enzim fitase untuk menghidrolisis asam fitat. Asam fitat juga mempunyai kemampuan untuk mengikat kation multivalen, termasuk Ca, Zn, Fe, Mg, Mn dan Cu. Kornegay et al. (1999) melaporkan bahwa asam fitat berpotensi untuk membentuk komplek dengan berbagai kation seperti Ca, Mg, Zn dan Cu. Mineral Zn mempunyai afinitas paling kuat untuk diikat oleh asam fitat (Reddy et al. 1982). Menurut Weaver dan Kannan (2002), Zn adalah mineral esensial yang paling dipengaruhi oleh fitat dan urutan stabilitas ikatan antara fitat- mineral adalah sebagai berikut : Zn2+ > Cu2+ > Ni2+ > Co2+ > Mn2+ > Ca2+. Beberapa
penelitian
menunjukkan
bahwa
asam
fitat
menurunkan
ketersediaan Zn pada manusia, tikus, babi dan ayam (Bobilya et al. 1991). Pallauf dan Rimbach (1999) melaporkan bahwa asam fitat sebanyak 0.5% dalam ransum tikus (rasio molar asam fitat : Zn = 25) menurunkan konsentrasi Zn dalam plasma sebanyak 63.7% dibandingkan dengan ransum kontrol ( dari 1.35 µg/ml menjadi 0.49µg/ml) serta menurunkan absorpsi semu mineral Zn sebanyak 45.4% (dari 52.2% menjadi 28.5%).
Menurut Pallauf dan Rimbach (1999), asam fitat
sebanyak 0.72% dalam ransum babi yang mengandung Zn 58 mg/kg ransum menghasilkan absorpsi semu mineral Zn sebanyak 16.2%.
Setelah ditambah
enzim fitase sebanyak 1160 unit/kg ransum ke dalam ransum babi tersebut, absorpsi semu mineral Zn meningkat menjadi 30.6%. Hasil penelitian tersebut menunjukkan adanya pengaruh negatif asam fitat terhadap absorpsi Zn. Cowieson et al. (2004) melaporkan bahwa pemberian asam fitat pada ayam broiler sebanyak 1.0 gram selama 48 jam menurunkan retensi semu mineral Zn dari 88.0% menjadi 85.1%. Struktur asam fitat disajikan pada Gambar 4. Reaksi antara asam fitat dengan Zn menurut Scott et al. (1982) dapat dilihat pada Gambar 5.
27
Gambar 4. Struktur asam fitat ( Coelho 1999)
Asam fitat
Zn-fitat yang tidak larut
Gambar 5. Reaksi antara asam fitat dengan Zn (Scott et al. 1982)
28
Kandungan asam fitat dalam bahan makanan bervariasi.
Hasil samping
serealia (cereal by products) seperti dedak gandum (wheat bran) dan dedak padi (rice bran) mengandung asam fitat dalam jumlah besar.
Serealia dan biji
leguminosa mengandung asam fitat sedang, sementara umbi dan akar mengandung asam fitat rendah.
Bagian daun mengandung asam fitat paling
sedikit atau bahkan tidak ada (Ravindran 1999).
Kandungan asam fitat dari
beberapa bahan makanan dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 1. Kandungan asam fitat dari beberapa bahan makanan _________________________________________________________________ No.
Bahan Makanan
Ravindran
Harland dan Oberleas
(1999)
(1999)
....................... (%bk) ....................... 1.
Jagung
0.74
0.89
2.
Beras(unpolished)
0.96
0.89
3.
Beras(polished)
0.32
0.21
4.
Sorgum
0.78
-
5.
Gandum
0.82
6.
Singkong
0.14
-
7.
Kacang kedelai
-
1.40
8.
Bungkil kedelai
1.38
-
9.
Kelapa
-
2.38
10.
Bungkil kelapa
0.96
-
11.
Dedak gandum(wheat bran) 3.51
12.
Dedak padi(rice bran)
1.17-1.37
4.46-5.56
4.89
-
_________________________________________________________________ *%bk = % bahan kering Enzim Fitase
Nys et al. (1999) memaparkan bahwa enzim fitase (myo- inositol hexaphosphate
hydrolases)
adalah
phosphomonoesterase
yang
mampu
menghidrolisa asam fitat (myo- inositol 1,2,3,4,5,6-hexakisphosphate) untuk menghasilkan orthophosphate inorganik dan serangkaian phosphoric yang lebih
29
rendah (inositol pentaphosphate menjadi monophosphate) dan akhirnya menjadi myo- inositol bebas. Enzim fitase terdistribusi secara luas dalam jaringan tanaman dan hewan, serta ditemukan pula dalam mikroorganisme (fungi, ragi/yeast, bakteri). Aktivitas 1 (satu) unit enzim didefinisikan sebagai jumlah enzim yang membebaskan 1 mikromol P- inorganik per menit dari 0.0051 mol/l sodium fitat pada pH 5.5 dan suhu 37o C. Terdapat 2 tipe utama enzim fitase yang sudah dikenal, yaitu enzim 3-fitase (EC 3.1.3.8) dan enzim 6-fitase (EC 3.1.3.26).
Enzim 3- fitase terutama
diproduksi oleh mikroorganisme, sedangkan enzim 6- fitase terdapat dalam tanaman. Aktivitas enzim 6- fitase dari beberapa bahan makanan disajikan dalam Tabel 3. Tabel 2.Aktivitas enzim 6- fitase dari beberapa bahan makanan No.
Bahan Makanan
Aktivitas Enzim Fitase (unit/kg)
1.
Gandum
700
2.
Jagung
30
3.
Sorgum
24
4.
Beras
125
5.
Bungkil kedelai
60
6.
Dedak padi
122
7.
Dedak gandum
1100
Sumber : Nys et al. (1999)
Model kerja kedua enzim tersebut berbeda.
Enzim 3-fitase memulai
dephosphorilasi asam fitat pada posisi ke-3, sedangkan enzim 6- fitase mulai pada posisi ke-6. Enzim 3- fitase (dari Aspergillus ficcum) mempunyai 2 (dua) pH optimum, yaitu pada pH 2.5 dan pH 5.5, sedangkan enzim 6- fitase (dari wheat bran) hanya mempunyai 1(satu) pH optimum, yaitu 5.2 (Kies, 1999). Model kerja enzim 3- fitase dan 6- fitase diilustrasikan dalam Gambar 6.
30
Gambar 6. Model kerja enzim 3- fitase dan 6-fitase (Nys et al. 1999)
Nys et al.(1999) memaparkan bahwa pH optimum akitvitas enzim fitase yang terkandung dalam berbagai bahan makanan asal tanaman adalah sebagai berikut : pH 5.1 (gandum), 5.0 (dedak gandum/wheat bran), 5.6 (jagung), 4.5 (dedak padi) dan 4.5 – 4.8 (kacang kedelai). pH optimum enzim fitase yang berasal dari mikroba adalah : 2.5 dan 5.3 (Aspergillus ficcum), 4.5 (Aspergillus terreus) dan 4.6 ( saccharomyces).
Aktivitas enzim fitase dipengaruhi oleh
berbagai faktor, diantaranya adalah suhu pada waktu pembuatan pellet : aktivitas enzim fitase gandum menurun sebanyak 90% pada suhu 72o C, enzim fitase kacang kedelai menurun sebanyak 91% pada suhu 70o C, sedangkan aktivitas enzim fitase mikroba hanya turun 10% pada suhu 80o C. pH optimum aktivitas enzim 3- fitase ( fitase mikroba) dan enzim 6- fitase (fitase tanaman) diilustrasikan pada Gambar 7.
31
pH ? Fitase mikroba
? Fitase gandum
Gambar 7. Pengaruh pH terhadap aktivitas enzim 3- fitase dan 6-fitase (Eeckhout dan De Paepe 1999) Tempat utama aktivitas fitase dalam saluran pencernaan adalah tembolok (crop) dan proventrikulus. Aktivitas enzim fitase dalam tembolok lebih besar dibandingkan dengan aktivitas enzim fitase dalam proventrikulus. Tidak terdapat aktivitas enzim fitase di dalam usus halus (Kornegay & Yi 1999). Hal ini berkaitan dengan pH dalam saluran pencernaan, dimana pH tembolok dan proventrikulus sekitar 3-4, sedangkan usus halus sampai colon > 5-6.5 (Spring 1997). Leeson dan Summers (2001) melaporkan bahwa pH tembolok adalah 4.5 ; pH proventrikulus 2.5 ; pH duodenum 6.0 – 6.8 dan pH jejunum 5.8 – 6.8. Kornegay dan Yi ( 1999) melaporkan bahwa pH pada digesta lambung babi (pH 3.4 – 4.8) cocok untuk aktivitas enzim fitase, sedangkan pH pada usus halus terutama bagian bawah usus halus (pH 6.4 – 7.2) tidak cocok untuk aktivitas enzim fitase.
32
Suplementasi Zn dalam Ransum
Piliang et al. (1982a) melakukan penelitian suplementasi tiga taraf kadar Zn dalam bentuk ZnCO3 ( 25, 125 dan 225 ppm) dalam ransum ayam petelur yang mengandung tiga taraf dedak padi (25, 50 dan 75%).
Hasilnya adalah
suplementasi 125 ppm ZnCO3 dalam ransum yang mengandung dedak padi 25% meningkatkan produksi telur dibandingkan dengan produksi telur yang diberi ransum 25% dedak padi + 25 ppm ZnCO3 , yaitu dari 72.91% menjadi 77.67%. Suplementasi semua taraf ZnCO3 nyata meningkatkan kadar Zn dalam serum ayam petelur dibandingkan tanpa suplementasi. Piliang et al.(2002) menyimpulkan hasil penelitiannya bahwa suplementasi ZnCO3 sebanyak 200 ppm dalam ransum ayam kampung petelur yang mengandung minyak ikan dapat secara nyata (P<0,05) meningkatkan produksi telur. Hasil penelitian Roberts et al. (2002), yaitu suplementasi Zn dalam bentuk ZnSO4 sebanyak 10, 50 dan 150 ppm dalam ransum babi yang mengandung 30 ppm Zn tidak mempengaruhi pertambahan bobot badan, konsumsi ransum, efisiensi penggunaan pakan maupun respon kekebalan. Kornegay et al.(1999) melakukan penambahan Zn dalam bentuk ZnSO4 .7H2 O sebanyak tiga taraf ( 5, 10 dan 20 mg/kg) dan enzim fitase Natuphos sebanyak empat taraf (150, 300, 450 dan 600 U/kg ransum) dalam ransum ayam broiler jantan yang mengandung 20 mg Zn/kg (ransum jagung-bungkil kedelai). Ransum tersebut diberikan pada ayam umur 0-21 hari. Hasil penelitian tersebut adalah : 1). Penambahan Zn dalam ransum rendah Zn dapat meningkatkan pertambahan bobot badan dan konsumsi ransum secara linier (P < 0,01), tetapi tidak mempengaruhi konversi ransum ; 2). Penambahan enzim fitase meningkatkan pertambahan bobot badan secara linier, tetapi menurunkan efisiensi penggunaan pakan secara linier pula.
Penurunan tersebut disebabkan oleh
rendahnya Zn dalam ransum, bahkan setelah penambahan enzim fitase, Zn dalam ransum masih belum mencukupi kebutuhan ayam ; 3). Jumlah Zn yang diretensi (mg/ekor) serta konsentrasi Zn dalam hati meningkat dengan adanya suplementasi Zn dan enzim fitase ; 4). Hasil penelitian ini juga menunjukan bahwa per 100 unit
33
enzim fitase (dalam kisaran 150-600 unit/kg) dapat melepas 0.9 mg Zn dalam ransum. Adeola (1999) melakukan penelitian suplementasi Zn ( 0 dan 100 mg/kg) dan enzim fitase (0 dan 1500 U/kg) dalam ransum babi berbasis jagung-bungkil kedelai. Ransum ini diberikan pada babi (bobot badan 10 kg) selama 21 hari. Hasil penelitiannya adalah : 1). Suplementasi 100 mg Zn/kg tanpa enzim fitase meningkatkan bobot badan sebesar 76 gram/hari, suplementasi enzim fitase sebanyak 1500 U/kg dalam ransum tanpa suplementasi Zn meningkatkan bobot badan lebih besar lagi, yaitu 155 gram/hari ; 2). Suplementasi Zn sebanyak 100 mg/kg meningkatkan retensi Zn
dan lebih meningkat lagi dengan adanya
suplementasi enzim fitase 1500 U/kg, yaitu dari 29.3% (ransum tanpa enzim fitase) menjadi 43% ( suplementasi enzim fitase 1500 U/kg + 0 mg/kg Zn) dan menjadi 48.2% (suplementasi enzim fitase 1500 + 100 mg/kg Zn). Akan tetapi, supleme ntasi Zn sebanyak 100 mg/ kg ransum babi ini menurunkan retensi mineral Mg sebanyak 31.08% (dari 341 mg/ekor/hari menjadi 235 mg/ekor/hari), mineral Mn sebanyak 40.9% (dari 22 mg/ekor/hari menjadi 13 mg/ekor/hari) dan mineral Cu sebanyak 43.73% (dari 2.95 mg/ekor/hari menjadi 1.66 mg/ekor/hari).. Adeola (1999) juga menyatakan bahwa meningkatnya Zn dalam plasma babi dengan adanya suplementasi enzim fitase menunjukan adanya kemampuan enzim tersebut untuk membebaskan Zn dari ikatan Zn-asam fitat, sehingga ketersediaan Zn meningkat. Selanjutnya dilaporkan bahwa hidrolisis asam fitat dengan adanya penambahan 1500 U/kg enzim fitase dalam ransum berbasis jagung-bungkil kedelai dapat meningkatkan ketersediaan zat- zat nutrisi, sehingga dapat meningkatkan pertambahan bobot badan.
Penggunaan Enzim 3-Fitase dalam Ransum
Enzim fitase mikrobial telah menarik perusahaan yang memproduksi enzim sebagai feed supplement untuk menghidrolisa asam fitat dalam ransum, terutama untuk ternak monogastrik.
Beberapa sumber mikroba telah dipurifikasi,
dikarakterisasi dan dipelajari untuk diproduksi dan saat ini telah tersedia secara komersia untuk ditambahkan ke dalam pakan ternak.
Enzim fitase yang
34
diproduksi oleh fungus Aspergillus ficcum NRRL 3135 mempunyai aktivitas enzim fitase tertinggi, sehingga sangat cocok digunakan sebagai feed additive (Nys et al. 1999). Dari hasil- hasil penelitian diketahui bahwa enzim fitase dapat mengatasi efek negatif dari asam fitat terhadap performan ternak. Ravindran et al.(1999) melaporkan bahwa pertambahan bobot badan, konsumsi ransum dan konversi ransum ayam broiler menurun dengan tingginya asam fitat dalam ransum, akan tetapi performan tersebut dapat diperbaiki dengan penambahan enzim fitase mikroba (3- fitase). Adeola et al. (1995)melaporkan bahwa suplementasi enzim 3fitase dapat meningkatkan ketersediaan dan absorpsi serta retensi Zn pada babi muda. Kornegay et al. (1999) menyatakan bahwa pemberian enzim 3- fitase pada unggas, tidak hanya meningkatkan penggunaan P, tetapi juga meningkatkan ketersediaan Zn dan Mn. Um et al. (1999) melakukan penelitian terhadap ayam petelur dan hasilnya adalah suplementasi natuphos 500 U/kg dalam ransum berbasis jagung-bungkil kedelai (corn-soybean meal diet) nyata (P<0.05) meningkatkan kandungan mineral Ca, P, Mn dan Zn tulang tibia. Natuphos adalah enzim 3- fitase yang berasal dari Aspergillus ficcum yang diproduksi oleh perusahaan BASF. Jacob et al. (2000a) menyimpulkan hasil penelitiannya, yaitu suplementasi enzim 3- fitase 0.01% dalam ransum ayam broiler yang berbasis gandum-bungkil kedelai (wheat-soybean meal diet) dapat menurunkan viskositas isi saluran usus halus dan nyata (P<0.05) meningkatkan abu tulang tibia pada ayam broiler umur 42 hari. Jacob et al. (2000b) mendapatkan hasil penelitiannya, yaitu suplementasi ransum petelur yang berbasis gandum-bungkil kedelai (mengandung 17% protein) dengan enzim 3- fitase 0.04% menyebabkan penurunan ekskresi mineral P secara nyata, tanpa menurunkan produksi telur dan efisiensi penggunaan ransum. Suplementasi enzim 3- fitase 0.04% dalam ransum ayam petelur berbasis gandumbungkil kedelai (mengandung protein 13.5%) menurunkan performan ayam petelur.
Paik (2000) menyatakan bahwa gandum (wheat) mengandung fitase
alami sebanyak 1120 U/kg, sementara jagung tidak.
Dengan demikian
keuntungan suplementasi enzim fitase pada ransum berbasis gandum-bungkil kedelai kurang diperoleh.
35
Punna dan Roland (1999) telah melakukan suplementasi enzim fitase dari natuphos sebanyak 300 U/kg dalam ransum ayam petelur yang mengandung berbagai taraf P-tersedia (available phosphorus) (0.1; 0.2; 0.3 dan 0.4%), energi metabolis 2809 kkal/kg, protein 16.67% dan Ca 4%. Hasilnya adalah enzim fitase meningkatkan produksi telur (P<0.01) dari 46.1% menjadi 82.9% pada ayam yang mengkonsumsi ransum dengan 0.1% P-tersedia, tetapi tidak berpengaruh pada ayam yang diberi ransum dengan P-tersedia 0.2, 0.3 maupun 0.4%. Puncak produksi telur pada ayam yang mengkonsumsi P-tersedia 0.1% dicapai pada umur 26 minggu dengan produksi telur 79%, setelah itu menurun terus sampai hanya 33% pada umur 36 minggu.
Pemberian enzim fitase mampu memperbaiki
penurunan tersebut dan produksi telur tetap terpelihara tinggi, yaitu 94% sampai umur 36 minggu. Suplementasi enzim fitase juga dapat menurunkan mortalitas dari 55% menjadi 5% pada ayam yang mengkonsumsi ransum P-tersedia 0.1%. Lim et al.(2003) mendapatkan hasil penelitiannya bahwa suplementasi enzim fitase 300 U/kg pada ransum ayam petelur ISA-brown umur 21-41 minggu mampu memperbaiki produksi telur, menurunkan produksi telur yang pecah dan lembek serta menurunkan ekskresi mineral P.
Penelitian Ceylan et al.(2003)
menyimpulkan bahwa suplementasi enzim fitase 300 U/kg pada ransum petelur yang mengandung 0.2% P-tersedia dapat meningkatkan retensi mineral P, Ca, Zn, Cu dan Mn. Viveros et al.(2002) menyimpulkan hasil penelitiannya bahwa suplementasi enzim fitase Natuphos sebanyak 500 U/kg pada ransum ayam broiler yang mengandung P-tersedia rendah (0.22% untuk umur 1 hari- 3 minggu dan 0.14% untuk ayam umur 3-6 minggu), mampu memperbaiki performan dan meningkatkan penggunaan P, Ca, Mg dan Zn. Penggunaan enzim fitase pada makanan manusia ditunjukkan oleh laporan Australian New Zealand Food Authority (ANZFA) (2000), bahwa lembaga ini telah merekomendasikan kepada Australian New Zealand Food Standars Council tentang penggunaan enzim 3- fitase yang berasal dari Aspergillus niger untuk pengolahan makanan (processing aid) pada pabrik makanan. Suatu processing aid adalah bahan yang digunakan dalam pengolahan bahan mentah, makanan atau
36
bahan-bahan untuk memenuhi keperluan teknologi yang berhubungan dengan perlakuan atau pengolahan. Rangkuman perkembangan penelitian yang sudah dilakukan dengan topik suplementasi Zn dapat dilihat pada Tabel 3, topik rasio molar asam fitat : Zn pada Tabel 4 dan suplementasi enzim fitase dalam ransum disajikan pada Tabel 5. Tabel 3. Perkembangan penelitian suplementasi Zn dalam ransum No.
Jenis
Jenis Perlakuan
Hasil Penelitian
Peneliti
Ayam
Suplementasi ZnCO3 (25,
Suplementasi 125 ppm ZnCO3
Piliang
petelur
125,
dalam
dalam ransum 25% dedak padi
et al.
ransum yang mengandung
meningkatkan produksi telur dan
(1982a)
dedak padi (25, 50, 75%)
Zn serum
Ayam
Suplementasi ZnCO3 200
Memp erbaiki pertumbuhan bulu
Piliang
petelur
ppm dalam ransum yang
anak ayam
et al.
Ternak 1.
2.
225
ppm)
mengandung dedak padi
(1982b)
81,5% 3.
Ayam
Suplementasi ZnCO3 200
kampung
ppm
Meningkatkan produksi telur
Piliang et al.
petelur 4.
5.
(2002)
Ayam
Suplementasi
petelur
ppm
ZnSO4
60
Meningkatkan Zn dalam kuning
Mabe
telur,
et al.
tidak
mempengaruhi
ketebalan kerabang
(2003)
Ayam
Suplementasi ZnO 1000
Tidak mempengaruhi bobot badan
Emmert
broiler
ppm
maupun
dan
kandungan Zn dalam
daging dada dan paha
Baker (1995)
6.
Ayam
Suplementasi ZnSO4 (5,
Meningkatkan pertambahan bobot
Kornegay
broiler
10, 20 ppm)
badan
et al. (1999)
7.
8.
Ayam
Suplementasi ZnSO4 200
Tidak mempengaruhi kandungan
Bou et al.
broiler
ppm
Zn dalam daging paha dan dada
(2004)
Ayam
•Suplementasi ZnO (500,
•ZnSO4 1500 ppm menurunkan
Kim dan
broiler
1000, 1500 ppm)
pertumbuhan bobot badan
Patterson
•Suplementasi
ZnSO4
(500, 1000, 1500 ppm)
•ZnO
1500
ppm
tidak
mempengaruhi pertambahan bobot badan •Suplementasi ZnSO4 maupun
(2004)
37
Tabel 3. Perkembangan penelitian suplementasi Zn dalam ransum (lanjutan) No.
Jenis
Jenis Perlakuan
Hasil Penelitian
Peneliti
Ternak ZnO
tidak
mempengaruhi
kandungan Zn daging dada •Suplementasi ZnO meningkatkan ekskresi Zn dalam manure lebih tinggi
dibandingkan
dengan
suplementasi ZnSO4 9.
Babi
Suplementasi ZnSO4 (0,
•Meningkatkan pertambahan bobot
Adeola
100 ppm)
badan dan retensi Zn
(1999)
•Menurunkan absorpsi Mg, Mn dan Cu 10.
Babi
Suplementasi ZnSO4 (10,
•Tidak mempengaruhi performan
50, 150 ppm)
Roberts et al. (2002)
11.
Tikus
Pemberian makanan yang
•Menurunkan bobot badan, berat
Szczurek
defis ien Zn (< 1 mg Zn/kg
hati, Zn serum, Zn femur, berat
et al.
ransum) vs kontrol (30 mg
femur
(2001)
Zn/kg)
•Menurunkan
metallothionein
dalam hati dan usus halus 12.
Tikus
Suplementasi ZnO (1000,
•Tidakmempengaruhi
pertambah-
Szabo
2500, 5000 mg/kg ransum)
an berat badan, berat badan akhir,
et al.
konsumsi
(2004)
ransum,
efisiensi
penggunaan ransum •Meningkatkan
aktivitas
enzim
amilase, lipase, tripsin dan protease dalam pankreas maupun usus halus
38
Tabel 4. Perkembangan penelitian rasio molar asam fitat: Zn dalam ransum No.
Jenis
Jenis Perlakuan
Hasil Penelitian
Peneliti
Rasio molar asam fitat : Zn
-Rasio molar asam fitat : Zn = 26
Pallauf
pada tikus menyebabkan defisiensi
dan
Zn
Rimbach
Organis me 1.
Tikus
yang
ditandai
anoreksia, badan
dengan
pertambahan menurun,
:
bobot
(1999)
efisiensi
penggunaan ransum menurun 2.
Manusia
Rasio molar asam fitat : Zn
• Rasio molar asam fitat : Zn > 1,5
Bosscher
pada makanan bayi
menurunkan ketersediaan Zn pada
et al.
makanan bayi umur < 4 bulan
(2001)
•Rasio molar asam fitat : Zn >8 menurunkan ketersediaan Zn pada makanan bayi umur > 4 bulan 3.
Ayam
Rasio molar asam fitat:
Rasio molar asam fitat: Zn = 15
Sumiati
petelur
Zn pada ransum ayam
menghasilkan
et al.
Isa-Brown
penggunaan ransum tertinggi,
(2005)
mengandung dedak padi
kandungan
-belum
tinggi (50%)
telur
yang
efisiensi
vitamin
tertinggi,
A
dalam
meningkatkan
publikasi
aktivitas alkalin fosfatase dalam serum 4.
Tikus
Rasio molar asam fitat:
Rasio molar asam fitat : Zn = 10
Sumiati
Zn dalam ransum tikus
merupakan angka rasio terbaik;
et al.
yang
mengandung
retensi
tertinggi,
(2005)
tepung
beras-kacang
meningkatkan aktivitas alkalin
-belum
fosfatase,
publikasi
kedelai tepung
tinggi beras,
kacang kedelai)
(41.25% 45%
Zn
meningkatkan
perkembangan organ reproduksi (testis dan ovarium), thimus dan pankreas
39
Tabel 5. Perkembangan penelitian suplementasi enzim fitase dalam ransum No.
Jenis
Jenis Perlakuan
Hasil Penelitian
Peneliti
Ayam
Suplementasi 500 U fitase/
Meningkatkan
petelur
kg ransum dalam ransum
mineral Zn, Mn, Ca dan P dalam
berbasis
tulang tibia
Ternak 1.
kedelai
jagung-bungkil (corn-
kandungan
Um et al. (1999)
soybean
diet), tanpa protein hewani 2.
Ayam
Suplementasi
petelur
fitase/kg
300
U
ransum
pada
Meningkatkan
produksi
telur
pada ransum dengan P-tersedia
ransum berbasis jagung- rendah ( 0.1%) bungkil tepung
kedelai, ikan,
Punna
dan
Roland (1999)
tanpa
P-tersedia
(0.1; 0.2; 0.3; 0.4%) 3.
Ayam
Suplementasi
petelur
enzim fitase pada ransum berbasis kacang soyabean
0,04
%
Menurunkan ekskresi mineral P
Jacob et al. (2000)
gandum-bungkil kedelai
(wheat-
meal),
tanpa
protein hewani 4.
Ayam
Suplementasi
petelur
fitase/kg
Babcock
ransum berbasis jagungbungkil
300
ransum
kedelai,
U dalam
Tidak mempengaruhi produksi
Keshavarz
telur
(2000)
tanpa
protein hewani, P-tersedia 0.25% 5.
Ayam
Suplementasi
petelur
fitase/kg ransum
300
U
Meningkatkan
produksi
telur,
Lim et al.
menurunkan ekskresi P
(2003)
Meningkatkan produksi telur
Keshavarz
ISABrown 6.
Ayam
Suplementasi
petelur
fitase/kg ransum
300
U
(2003)
ISAWhite 7.
Ayam
Suplementasi
petelur
fitase/kg
300
U
Meningkatkan retensi mineral
Ceylan
Zn, Cu, Mn, Ca dan P
et al. (2003)
40
Tabel 5. Perkembangan penelitian suplementasi enzim fitase dalam ransum (lanjutan) No.
Jenis
Jenis Perlakuan
Hasil Penelitian
Peneliti
Meningkatkan retensi mineral P,
Keshavarz dan Austic
Ternak 8.
Ayam
Suplementasi
300
petelur
ransum
dalam
ransum
produksi
dengan
protein
rendah,
efisiensi penggunaan ransum
(2004)
a. Meningkatkan pertambahan
Ravindran
disuplementasi asam
U/kg
telur,
berat
telur,
dengan
amino
metionina,
lisin, triptofan,
isoleusin dan valin 9.
Ayam
a.Suplementasi
broiler
fitase (0, 400, 800 U/kg ransum),
enzim
tanpa
bobot badan
et al. (1999)
bahan
b. Meningkatkan pertambahan
pakan hewani, kandungan
bobot badan dan efisiensi
asam
penggunaan ransum
fitat
(1,04;
1,32;
1,57%) b.
Suplementasi
fitase
(0,
ransum), bahan
enzim
625
U/kg
mengandung pakan
kandumgan
hewani,
asam
fitat
(0.46; 0.82; 1.18%) 10.
11.
Ayam
Suplementasi enzim fitase
Meningkatkan
broiler
(600, 1200 U/kg ransum)
bobot badan, konsumsi ransum,
et al.
pada ransum defisien Zn
berat tibia dan kandungan Zn
(1999)
(13 mg Zn/kg ransum)
tibia
Ayam
Suplementasi 0.01% fitase
•-Menurunkan
broiler
dalam
ransum
berbasis
gandum-bungkil
kacang
kedelai
pertambahan
viskositas
isi
saluran usus •-Meningkatkan abu tulang tibia
Kornegay
Jacob et al. (2000)
41
Tabel 5. Perkembangan penelitian suplementasi enzim fitase dalam ransum (lanjutan) No.
Jenis
Jenis Perlakuan
Hasil Penelitian
Peneliti
•-Meningkatkan performan
Viveros
•-Meningkatkan
et al. (2002)
Ternak 12.
Ayam
Suplementasi
broiler
fitase/kg
500
ransum
U pada
ransum dengan P-tersedia rendah
(0.22%
untuk
periode
starter,
0.14%
penggunaan
Zn, Mn, Ca dan P
untuk periode finisher) 13.
Ayam
Suplementasi enzim fitase
Meningkatkan kecernaan asam
Rutherfurd
broiler
(90, 500, 750 U fitase/kg
amino dan mineral P
et al. (2004)
Tidak nyata mempengaruhi
Sumiati et al. (2005)
ransum) berbasis
dalam
ransum
jagung-bungkil
kedelai, P-tersedia rendah (0.35%) 14.
Ayam
Suplementasi
enzim
petelur
fitase (300 dan 400 U
performan
fitase/kg) dalam ransum
meningkatkan
kandungan
-belum
yang mengandung dedak
mineral
vitamin
publikasi
padi tinggi (50%)
dalam
telur,
retensi
Zn
P
ayam
dan
petelur;
A
meningkatkan dan
P,
meningkatkan aktivitas alkalin fosfatase 15.
Tikus
Suplementasi
enzim
Suplementasi enzim fitase 1000
Sumiati
fitase (750 dan 1000 U
U fitase/kg merupakan taraf
et al.
fitase/kg ransum) dalam
terbaik ; efisiensi penggunaan
(2005)
ransum
ransum
-belum
tikus
mengandung
yang tepung
tertinggi,
meningkatkan mineral Zn, Ca
beras 41.25% dan kacang dan P, meningkatkan aktivitas kedelai 45%
alkalin fosfatase dalam serum, meningkatkan perkembangan organ reproduksi, thimus dan pankreas
publikasi
42
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini dimulai dengan analisis kandungan nutrisi dan asam fitat dari bahan makanan penyusun ransum. Bahan makanan yang dianalisis adalah jagung kuning, dedak halus, bungkil kacang kedelai, tepung kacang kedelai, tepung beras dan tepung ikan. Analisis meliputi analisis proksimat (kadar air, protein, lemak, serat kasar, BETN, abu), energi bruto, Zn, Fe, Mn, Cu, Ca, P, Mg dan asam fitat. Setelah mendapatkan data kandungan zat nutrisi dan asam fitat, kemudian dilakukan penyusunan ransum ayam petelur berdasarkan rekomendasi NRC (1994) dan ransum tikus berdasarkan rekomendasi Purina Lab. Chows (1991) dan Baker
et
al.
(1979).
Penambahan
Zn
inorganik
dilakukan
dengan
memperhitungkan rasio molar antara asam fitat (AF) : Zn dalam masing- masing ransum (ayam petelur dan tikus).
PENELITIAN I Perlakuan pada Ayam Petelur Penelitian ini dilakukan di kandang percobaan Bagian Nutrisi Unggas, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan IPB.
A. Ternak Ternak yang digunakan dalam penelitian ini adalah ayam petelur strain ISABrown umur 16 minggu sebanyak 162 ekor yang dibeli dari PT. Hejo Farm, Cicurug, Sukabumi. Ayam ini dipelihara sampai umur 33 minggu.
B. Kandang dan Peralatan Kandang yang digunakan adalah kandang kawat (cages) yang telah dilapisi dengan vernis sebanyak 54 kotak yang masing- masing diisi 3 ekor ayam, setiap kotak berukuran 45 cm x 45 cm x 45 cm (panjang x lebar x tinggi). Cages tersebut ditempatkan dalam 5 ruang kandang. Tempat pakan dan air minum yang digunakan terbuat dari bambu. Lampu wolfram berkekuatan 60 watt sebanyak 5 buah (masing- masing 1 buah untuk 1 ruang kandang) digunakan sebaga i penerang. Peralatan lain yang digunakan adalah : plastik wadah ransum, ember,
43
plastik penutup kandang(tirai), timbangan, tabung penampung darah, spuit, rak telur, peralatan untuk memotong ayam, termometer, peralatan tulis.
C. Ransum Ransum perlakuan terdiri atas 9 macam, yaitu : P0
= Ransum Kontrol (tanpa suplementasi ZnO maupun fitase (rasio molar AF:Zn = 76)
P1
= P0 + 252 mg ZnO/kg (rasio molar AF : Zn = 15)
P2
= P0 + 567 mg ZnO/kg (rasio molar AF : Zn = 7.5)
P3
= P0 + 300 U fitase/kg ransum (rasio molar AF:Zn = 76)
P4
= P0 + 400 U fitase/kg ransum (rasio molar AF:Zn = 76)
P5
= P0 + 252 mg ZnO/kg + 300 U fitase/kg ransum (rasio molar AF:Zn = 15)
P6
= P0 + 252 mg ZnO/kg + 400 U fitase/kg ransum (rasio molar AF:Zn = 15)
P7
= P0 + 567 mg ZnO/kg + 300 U fitase/kg ransum (rasio molar AF:Zn = 7.5)
P8
= P0 + 567 mg ZnO/kg + 400 U fitase/kg ransum (rasio molar AF:Zn = 7.5)
Ransum perlakuan diberikan pada ayam petelur umur 18 – 33 minggu, umur 16 – 18 minggu merupakan masa adaptasi pemberian ransum perlakuan. Mineral ZnO (mengandung 80% Zn) yang digunakan untuk suplementasi Zn adalah produksi PT. INDO LYSAGHT, Jakarta. Latar belakang penggunaan ZnO dalam penelitian ini adalah: ZnO tidak bersifat toksik jika digunakan dalam taraf yang relatif tinggi seperti pada penelitian ini, sedangkan ZnSO4 bersifat toksik (akan menimbulkan iritasi) jika digunakan dalam taraf yang tinggi. Alasan lain adalah pada waktu penelitian ini dilakukan hanya ZnO yang tersedia di pasaran. Enzim fitase yang digunakan untuk suplementasi adalah 3- fitase Natuphos (EC 3.1.3.8) yang mempunyai aktivitas 5000 U/g (berasal dari Aspergillus niger) dari PT. BASF, Jakarta. Susunan ransum ayam penelitian disajikan pada Tabel 6 dan
44
kandungan serta kebutuhan zat makanan ransum penelitian disajikan pada Tabel 7. Perhitungan molar rasio asam fitat (AF) : Zn dalam ransum ayam petelur. Perhitungan ini dilakukan berdasarkan Bosscher et al.(2001) : Jumlah asam fitat (mg) dalam 100 g ransum/ berat molekul (BM) Jumlah Zn (mg) dalam 100 g ransum / berat molekul (BM ) Untuk ransum ayam petelur (ransum kontrol/P0) : a. Asam fitat
= 3.81%
b. Zn
= 49.8 mg/kg
c.BM asam fitat (C 6 H18 O24P6 )= 660 d. BM Zn
= 65.4
•
Asam fitat = 3.81/100 x 100 g = 3.81 g = 3810 mg/660 = 5.7727 mmol
•
Zn = 49.8 mg/kg = 4.98 mg/100g = 4.98 mg / 65.4 = 0.0761 mmol
•
Molar rasio AF : Zn = 5.7727 mmol / 0.0758 mmol = 75.86 : 1 = 76:1
Perhitungan penambahan ZnO dalam ransum ayam petelur 1. Molar rasio AF : Zn = 7.5 •
Asam fitat : Zn = 7.5, maka 5.7727 mmol (kandungan asam fitat ransum kontrol) : Zn = 7.5, sehingga Zn yang diperlukan dalam ransum adalah : -Zn = 5.7727 mmol / 7.5 = 0.7697 mmol x 65.4 (BM Zn) = 50.3383 mg/100 g = 503.383 mg/kg
•
Penambahan Zn = 503.383 – 49.8 mg/kg (Zn dalam ransum kontrol) = 453.583 mg / kg ransum
•
Penambahan dalam bentuk ZnO (mengandung Zn 80%) = 100/80 x 453.583 mg/kg = 566.98 mg/kg, dibulatkan menjadi 567 mg/kg ransum
45
2. Molar rasio asam fitat : Zn = 15 •
Asam fitat : Zn = 15, maka 5.7727 (kandungan asam fitat ransum kontrol) : Zn = 15, sehingga Zn yang diperlukan dalam ransum adalah : -Zn = 5.7727 mmol / 15 = 0.3848 mmol x 65.4 (BM Zn) = 25.1659 mg/100g = 251.659 mg/kg
•
Penambahan Zn = 251.659 – 49.8 mg/kg (kandungan Zn ransum kontrol)= 201.859 mg/kg ransum
•
Penambahan dalam bentuk ZnO (mengandung Zn 80%) = 100/80 x 201.859 mg/kg = 252.32, dibulatkan menjadi 252 mg/kg ransum
Tabel 6. Susunan ransum ayam petelur umur 18-33 minggu No.
P0
P1
P2
Ransum Perlakuan P3 P4 P5 P6
Jagung(%) Dedak padi (%) Bungkil kedelai (%) Tepung ikan (%)
15
15
15
15
15
15
15
15
15
50
50
50
50
50
50
50
50
50
6.0
6.0
6.0
6.0
6.0
6.0
6.0
6.0
6.0
5.
Minyak(%)
7.1
7.1
7.1
7.1
7.1
7.1
7.1
7.1
7.1
6.
CaCO3(%)
8.3
8.3
8.3
8.3
8.3
8.3
8.3
8.3
8.3
7.
Premix(%)
0.3
0.3
0.3
0.3
0.3
0.3
0.3
0.3
0.3
8.
Garam(%)
0.1
0.1
0.1
0.1
0.1
0.1
0.1
0.1
0.1
9.
ZnO (mg/kg)2)
-
252
567
-
-
252
252
567
567
10.
Fitase(U/kg)3)
-
-
-
300
400
300
400
300
400
Jumlah (%)
100
100
100
100
100
100
100
100
100
1. 2. 3. 4.
1)
Bahan Makanan1)
P7
P8
13.2 13.2 13.2 13.2 13.2 13.2 13.2 13.2 13.2
Analisis proksimat bahan makanan dilakukan di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Fakultas peternakan IPB (2003) ; analisis mineral dilakukan di Laboratorium Terpadu, IPB (2003), analisis asam fitat dilakukan di Department of Food and Nutrition, Texas Tech. University Lubbock USA (2003). 2) ZnO (mengandung 80% Zn) produksi PT. INDOLYSAGHT, Jakarta 3) Natuphos 5000 G ( 5000 U fitase/g) (EC 3.1.3.8) dari PT. BASF, Jakarta
46
Tabel 7. Kandungan dan kebutuhan zat makanan ransum ayam petelur umur 18-33 minggu P2
P3
Ransum Perlakuan P4 P5 P6
P7
P8
2859 2859
2859
2859
2859
2859
2859
2859
2859
Kebutuhan (NRC 1994) 2850
PK(%)
17.1
17.1
17.1
17.1
17.1
17.1
17.1
17.1
17.1
16.5
SK(%)
8.24
8.24
8.24
8.24
8.24
8.24
8.24
8.24
8.24
-
Ca(%)
3.28
3.28
3.28
3.28
3.28
3.28
3.28
3.28
3.28
3.27
P total(%)
0.84
0.84
0.84
0.84
0.84
0.84
0.84
0.84
0.84
Ptersedia(%)* 0.24
0.24
0.24
0.24
0.24
0.24
0.24
0.24
0.24
0.25
Na(%)
0.12
0.12
0.12
0.12
0.12
0.12
0.12
0.12
0.12
0.15
Cl(%)
0.14
0.14
0.14
0.14
0.14
0.14
0.14
0.14
0.14
0.13
Lisin (%)
0.96
0.96
0.96
0.96
0.96
0.96
0.96
0.96
0.96
0.69
Metionina(%) 0.34
0.34
0.34
0.34
0.34
0.34
0.34
0.34
0.34
0.30
Met+sist(%)
0.62
0.62
0.62
0.62
0.62
0.62
0.62
0.62
0.62
0.59
Cu(mg/kg)
11.2
11.2
11.2
11.2
11.2
11.2
11.2
11.2
11.2
2**
Fe(mg/kg)
110
110
110
110
110
110
110
110
110
45.5
Mn(mg/kg)
60.6
60.6
60.6
60.6
60.6
60.6
60.6
60.6
60.6
20
Zn(mg/kg)
49.8
251.4 503.4 49.8
49.8
251.4 251.4 503.4 503.4 35.4
3.81
3.81
3.81
3.81
3.81
3.81
3.81
3.81
15
7.5
76
76
15
15
7.5
7.5
Zat Makanan
P0
EM (kkal/kg)
Asam fitat(%) 3.81 Rasio molar AF: Zn 76
P1
-
* Perhitungan berdasarkan NRC (1994), P-tersedia sekitar 30% dari P total **Batas toleransi penggunaan mineral dalam ransum ayam (Underwood dan Suttle, 2001) : Cu (500 mg/kg), Fe(3000 mg/kg), Mn(2000 mg/kg), Zn(2000 mg/kg)
D. Rancangan Percobaan Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak lengkap (RAL) pola faktorial 3 x 3 dengan 3 ulangan yang terdiri atas 2 faktor, yaitu faktor A (suplementasi Zn) yang terdiri atas 3 taraf ( 0, 252 dan 567 mg ZnO/kg dengan rasio molar AF : Zn berturut-turut ; 76, 15 dan 7.5) dan faktor B (suplementasi enzim fitase) yang terdiri atas 3 taraf ( 0, 300, 400 U fitase/kg ransum). Masing- masing ulangan menggunakan ayam petelur sebanyak 6 ekor, jadi semuanya berjumlah 162 ekor ayam petelur. Data yang diperoleh
47
dianalisis ragam (analyses of variance/ANOVA) (Steel & Torrie 1995). Dari hasil analisis tersebut diperoleh pengaruh utama dan pengaruh interaksi.
E. Peubah yang Diukur 1. Rataan konsumsi ransum (gram/ekor/hari) Konsumsi ransum diperoleh dari pembagian antara jumlah ransum yang dikonsumsi (gram) dengan jumlah ayam yang ada (ekor) selama 16 minggu penelitian (Umur 18–33 minggu), kemudian dirata-ratakan
menjadi
gram/ekor/hari 2. Produksi telur hen day (%) Produksi telur hen day diperoleh dari pembagian antara jumlah telur yang dihasilkan setiap hari (butir) dengan jumlah ayam yang ada pada hari yang sama (ekor) selama 16 minggu penelitian (umur 18-33 minggu), kemudian dikalikan dengan 100% 3. Produksi massa telur harian (gram/ekor/hari) Produksi massa telur harian diperoleh dari pembagian antara produksi telur(gram) setiap hari dengan jumlah ayam yang ada (ekor) pada hari yang sama selama 16 minggu penelitian (umur 18-33 minggu) 4. Berat telur (gram/butir) Berat telur diperoleh dari pembagian antara jumlah berat telur (gram) yang diproduksi dengan jumlah telur (butir) yang dihasilkan 5. Konversi ransum Konversi ransum diperoleh dari pembagian antara jumlah ransum (gram) yang dikonsumsi dengan jumlah telur (gram) yang dihasilkan 6. Kandungan mineral Zn, Mn, Fe, Cu, Ca, P, Mg dalam telur (putih+kuning telur) Kandungan mineral telur diperoleh dari telur ayam umur 32 minggu 7. Kandungan mineral Zn, Mn, Fe, Cu, Ca, P, Mg dalam kerabang telur Kandungan mineral dalam kerabang diperoleh dari telur ayam umur 32 minggu 8. Kandungan mineral Zn, Mn, Fe, Cu, Ca, P, Mg dalam daging (paha+dada) Kandungan mineral daging diperoleh dari daging ayam umur 33 minggu (akhir penelitian)
48
9. Kandungan mineral Zn, Mn, Fe, Cu, Ca, P, Mg dalam tulang tibia Kandungan mineral tulang tibia diperoleh dari ayam umur 33 minggu (akhir penelitian) 10. Kandungan vitamin A dalam telur Kandungan vitamin A dalam telur diperoleh dari telur ayam umur 32minggu 11. Aktivitas enzim alkalin fosfatase dalam serum Aktivitas enzim alkalin fosfatase diperoleh dari darah ayam umur 32 minggu dan dilakukan di Laboratorium Klinik Prodia, Bogor dengan metode yang dapat dilihat pada Lampiran 3. 12. Retensi semu (apparent retention) mineral Zn dan P Retensi semu mineral Zn atau P diperoleh dari pengurangan antara Zn atau P yang dikonsumsi dengan Zn atau P yang keluar melalui ekskreta ayam. Prosedur pengukuran retensi Zn dan P dapat dilihat dalam Lampiran 4. 13. Tebal kerabang telur Tebal kerabang telur diukur dengan menggunakan alat mikrometer. Sampel kerabang telur diambil dari seluruh produksi telur minggu ke-32 selama 3 hari berturut-turut, pengukuran telur dilakukan setiap hari selama 3 hari. Setiap pengukuran menggunakan kerabang telur dari 3 buah telur untuk setiap ulangan. Kerabang telur yang diukur diambil dari bagian telur yang lancip/runcing, bagian telur yang tumpul dan bagian tengah.
PENELITIAN II Perlakuan pada Tikus Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Hewan Coba, Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi dan Makanan, DEPKES RI, Bogor.
A. Hewan Coba Hewan coba yang digunakan adalah tikus strain Sprague Dawley umur 45 – 80 hari sebanyak 72 ekor ( 36 jantan dan 36 betina).
Umur tikus tersebut
dianalogikan dengan masa remaja sampai dewasa kelamin pada manusia. Susanto (2000) menyatakan bahwa umur 21 – 42 hari dianalogikan dengan masa balita pada anak manusia. Baker et al. (1979) mengemukakan bahwa tikus pubertas
49
pada umur 50 – 60 hari dan siklus estrus ovulasi (ovulatory estrous cycles) dimulai rata-rata umur 77 hari ( bisa dari umur 45 – 147 hari).
B. Kandang dan Peralatan Kandang yang digunakan sebanyak 36 buah yang masing- masing berisi 2 ekor tikus ( 2 ekor jantan saja atau 2 ekor betina saja). Ukuran masing- masing kandang adalah 30 cm x 20 cm x 22 cm (panjang x lebar x tinggi) Kandangkandang tersebut dilengkapi dengan tempat makanan dan air minum. Peralatan lain yang diperlukan adalah : plastik wadah ransum, ember, timbangan, tabung penampung darah, spuit, peralatan untuk membedah tikus. Seluruh peralatan dan kandang yang digunakan untuk penelitian ini telah bebas mineral Zn dengan cara merendamnya dalam larutan asam nitrat 10% selama 24 jam, kemudian dicuci dan direndam dengan air bebas ion selama 24 jam, lalu dikeringkan.
C. Ransum Ransum perlakuan terdiri atas 6 macam, yaitu : R0 = Ransum kontrol (tanpa suplementasi Zn maupun fitase) R1 = R0 + 13 mg ZnO/kg ( rasio AF : Zn = 20) R2 = R0 + 29 mg ZnO/kg (rasio AF : Zn = 15) R3 = R0 + 61 mg ZnO/kg (rasio AF : Zn = 10 ) R4 = R0 + 750 U fitase/kg R5 = R0 + 1000 U fitase/kg Ransum disusun berdasarkan rujukan dari Purina Lab. Chow (1991) dan Baker et al. (1979).
ZnO (mengandung Zn 80%) dari PT. INDOLYSAGHT
digunakan untuk suplementasi Zn dan enzim fitase yang mempunyai aktivitas enzim fitase 10000 U/g ( berasal dari Aspergillus niger) dari PT. BASF, Jakarta digunakan dalam penelitian ini. Susunan ransum tikus penelitian disajikan pada Tabel 8, kandungan zat makanan ransum disajikan pada Tabel 9 dan kebutuhan zat makanan untuk tikus disajikan pada Tabel 10.
50
Tabel 8. Susunan ransum tikus penelitian No 1.
Bahan Makanan1) Tepung beras(%) Kacang kedelai(%)
2.
Ransum Perlakuan R2 R3 R4
R0
R1
R5
41.25
41.25
41.25 41.25 41.25
41.25
45
45
45
45
45
45
3.
Susu skim(%)
6.5
6.5
6.5
6.5
6.5
6.5
4.
Minyak(%)
5.5
5.5
5.5
5.5
5.5
5.5
5.
CaCO3(%)
1.3
1.3
1.3
1.3
1.3
1.3
6.
Premix(%)
0.1
0.1
0.1
0.1
0.1
0.1
7.
Garam(%)
0.2
0.2
0.2
0.2
0.2
0.2
8.
Dl- metionina(%) 0.15
0.15
0.15
0.15
0.15
0.15
9.
ZnO(mg/kg)2)
0
13
29
61
-
-
10.
Fitase (U/kg)3)
-
-
-
-
750
1000
Jumlah
100
100
100
100
100
100
1)
2) 3)
Analisis proksimat bahan makanan dilakukan di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan IPB (2003); analisis mineral bahan makanan dilakukan di Laboratorium Terpadu, IPB (2003); analisis asam fitat dilakukan di Department of Food and Nutririon, Texas Tech. University, Lubbock USA (2003) ZnO (mengandung Zn 80%) produksi PT. INDOLYSAGHT, Jakarta Natuphos 10 000 G (10 000 U/g) produksi PT BASF
Perhitungan molar rasio asam fitat (AF) : Zn dalam ransum tikus ( Bosscher et al. 2001): Jumlah asam fitat (mg) dalam 100 g ransum : BM (berat molekul) Jumlah Zn (mg) dalam 100 g ransum : BM (berat molekul) Untuk ransum kontrol (R0) •
Asam fitat ransum
= 0.78 %
•
Zn
= 28.5935 mg/kg
•
BM asam fitat (C6H18O24P6)
= 660
•
BM Zn
= 65.4
•
Asam fitat = 0.78/100 X 100 g = 0.78 g = 780 mg / 660 = 1.1818 mmol
51
•
Zn = 28.5935 mg/kg= 2.85935 mg/100g = 2.85935 mg / 65.4 = 0.04372 mmol
•
Molar rasio AF : Zn = 1.1818 mmol / 0.04372 mmol = 27.03 = 27
Perhitungan penambahan ZnO dalam ransum tikus 1. Molar rasio AF : Zn = 20 •
Asam fitat : Zn = 20, maka 1,1818 mmol (kandungan asam fitat ransum kontrol)
: Zn = 20, sehingga kandungan Zn yang dibutuhkan dalam
ransum adalah : -Zn = 1.1818 mmol / 20 = 0.05909 mmol x 65.4 (BM Zn) = 3.8645 mg / 100 g = 38.645 mg/kg •
Penambahan Zn = 38.645 – 28.59 mg/kg (kandungan Zn ransum kontrol) = 10.055 mg/kg
•
Penambahan dalam bentuk ZnO (mengandung Zn 80%) = 100 /80 x 10.055 mg/kg = 12.57 mg/kg ransum, dibulatkan menjadi 13 mg/kg ransum
2. Molar rasio AF : Zn = 15 •
Asam fitat : Zn = 15, maka 1.1818 mmol (kandungan asam fitat dalam ransum kontrol) : Zn = 15, sehingga Zn yang dibutuhkan dalam ransum adalah : -Zn = 1.1818 mmol / 15 = 0.07879 mmol x 65.4 (BM Zn) = 5.1529 mg / 100 g = 51.529 mg/kg
•
Penambahan Zn = 51.529 – 28.59 mg/kg (kandungan Zn ransum kontrol) = 22.939 mg/kg
•
Penambahan dalam bentuk ZnO (mengandung Zn 80%) = 100 /80 x 22.939 mg/kg = 28.67 mg/kg ransum, dibulatkan menjadi 29 mg/kg ransum
52
3. Molar rasio AF : Zn = 10 •
Asam fitat : Zn = 10, maka 1.1818 mmol (kandungan asam fitat dalam ransum kontrol): Zn = 10, sehingga Zn yang dibutuhkan dalam ransum adalah : -Zn = 1,1818 mmol / 10 = 0.11818 mmol x 65.4 (BM Zn) = 7.72897 mg / 100 g = 77.2897 mg/kg
•
Penambahan Zn = 77.2897 – 28.59 mg/kg (kandungan Zn dalam ransum kontrol) = 48.6997 mg/kg
•
Penambahan dalam bentuk ZnO (mengandung Zn 80%) = 100 /80 x 48.6997 mg/kg = 60.87 mg/kg ransum, dibulatkan menjadi 61 mg/kg ransum
Tabel 9. Kandungan zat gizi ransum tikus penelitian Ransum Perlakuan R2 R3 R4
Zat Makanan Energi bruto(kkal/kg) Protein kasar(%)
R0
R1
R5
4007.8 23.66
4007.8 23.66
4007.8 23.66
4007.8 23.66
4007.8 23.66
4007.8 23.66
Serat kasar(%)
0.9
0.9
0.9
0.9
0.9
0.9
Ca(%)
0.6
0.6
0.6
0.6
0.6
0.6
P total(%)
0.56
0.56
0.56
0.56
0.56
0.56
Na(%)
0.15
0.15
0.15
0.15
0.15
0.15
Cl(%)
0.11
0.11
0.11
0.11
0.11
0.11
Lisin (%)
1.31
1.31
1.31
1.31
1.31
1.31
Metionina(%)
0.46
0.46
0.46
0.46
0.46
0.46
Cu(mg/kg)
17.29
17.29
17.29
17.29
17.29
17.29
Fe(mg/kg)
47.86
47.86
47.86
47.86
47.86
47.86
Mn(mg/kg)
20.79
20.79
20.79
20.79
20.79
20.79
Zn(mg/kg)
28.59
38.99
51.79
77.39
28.59
28.59
Asam fitat(%)
0.78
0.78
0.78
0.78
0.78
0.78
Rasio molar asam fitat : Zn
27
20
15
10
27
27
53
Tabel 10. Kebutuhan zat gizi untuk tikus Zat Makanan
Purina Lab. Chow (1991)
Baker et al. (1979)
Energi bruto (kkal/kg)
4160
4000
Protein kasar (%)
22
20
Serat kasar (%)
5
-
Ca (%)
1.01
0.6
P total (%)
0.74
0.5
Na (%)
0.43
0.03
Cl (%)
0.28
0.05
Lisin (%)
1.36
1.24
Metionina (%)
0.43
1.0
Cu (mg/kg)
20.4
5
Fe (mg/kg)
265
25
Mn (mg/kg)
69
33
Zn (mg/kg)
71
4
D. Rancangan Percobaan Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak lengkap (RAL) yang terdiri atas 6 perlakuan dan 3 ulangan. Masing- masing ulangan menggunakan 4 ekor tikus, jadi semuanya berjumlah 72 ekor tikus. Data yang diperoleh dianalisis ragam ( analyses of variance/ANOVA) dan jika berbeda nyata dilanjutkan dengan uji kontras orthogonal (Steel & Torrie 1995).
E. Peubah yang Diukur 1. Konsumsi ransum (g/ekor) Diperoleh dari selisih pemberian ransum awal minggu dengan sisa ransum pada akhir minggu 2. Pertambahan bobot badan (g/ekor) Diperoleh dari penimbangan bobot badan tiap ekor tikus setiap 7 hari
54
3. Efisiensi penggunaan ransum (%) Diperoleh dengan rumus sebagai berikut : Pertambahan bobot badan (gram) selama 35 hari x 100 Konsumsi ransum (gram) selama 35 hari 4. Retensi semu mineral Zn, Ca dan P Dihitung dari berapa mineral Zn, Ca dan P yang dikonsumsi dikurangi dengan berapa yang keluar melalui ekskreta. Prosedur pengukuran retensi Zn, Ca dan P dapat dilihat pada Lampiran 4. 5. Kandungan Zn ( µg/dl) dan Ca (mg/l) dalam serum Diperoleh dari serum tikus umur 80 hari 6. Aktivitas alkalin fosfatase (unit/liter) dalam serum tikus Diperoleh dari serum tikus umur 80 hari 7. Persentase bobot Testis (%) Diperoleh dari pembagian antara bobot testis dengan bobot hidup tikus umur 80 hari dikalikan dengan 100% 8. Persentase bobot ovarium (%) Diperoleh dari pembagian antara bobot ovarium dengan bobot hidup tikus umur 80 hari dikalikan dengan 100% 9. Persentase bobot Thimus (%) Diperoleh dari pembagian antara bobot thimus dengan bobot hidup tikus umur 80 hari dikalikan dengan 100% 10. Persentase bobot pankreas (%) Diperoleh dari pembagian antara bobot pankreas dengan bobot hidup tikus umur 80 hari dikalikan dengan 100% 11. Persentase bobot hati (%) Diperoleh dari pembagian antara bobot hati dengan bobot hidup tikus umur 80 hari dikalikan dengan 100% 12. Persentase bobot ginjal (%) Diperoleh dari pembagian antara bobot ginjal dengan bobot hidup tikus umur 80 hari dikalikan dengan 100%
55
HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN I Performan Ayam Petelur ISA-Brown Umur 18-33 Minggu Rataan pengaruh perlakuan terhadap performan ayam petelur ISA-Brown umur 18 – 33 minggu disajikan dalam Tabel 11. Konsumsi Ransum Rataan konsumsi ransum ayam selama 16 minggu penelitian ( umur 18-33 minggu) pada semua perlakuan berkisar 85.2 -92.78 g/ekor/hari. Angka ini lebih rendah dibandingkan dengan standar konsumsi ransum untuk ayam petelur ISABrown yang dikemukakan oleh Creswell (2003), yaitu 120 g/ekor/hari maupun NRC (1994) yaitu 110 g/ekor/hari. Hal ini disebabkan oleh suhu lingkungan kandang penelitian yang tinggi dan kandungan serat kasar ransum yang tinggi dalam ransum.
Leeson dan Summers (2001) menyatakan bahwa jika faktor
managemen sudah dikontrol dengan baik, maka konsumsi ransum diantaranya tergantung kepada bangsa (breed) ayam, temperatur lingkungan, banyaknya massa telur yang dihasilkan dan kandungan energi dari ransum. Suhu kandang penelitian berkisar antara 21o C (minimun) sampai 35o C (maksimum), sedangkan suhu yang nyaman (thermoneutral zone) untuk memelihara ayam petelur adalah 22 – 27o C (Leeson & Summers 2001). Creswell (2003) memelihara ayam petelur ISA-Brown dengan suhu kandang 23-25o C. Leeson dan Summers (2001) menyatakan bahwa ayam petelur Leghorn putih mengkonsumsi ransum sekitar 105 g/ekor/hari selama musim dingin (suhu sekitar 13o C) dan hanya mengkonsumsi ransum 90 g/ekor/hari selama musim panas (suhu sekitar 30 o C). Serat kasar yang terkandung dalam ransum penelitian cukup tinggi, yaitu 8.24%, sedangkan kandungan serat kasar ransum komersial( ransum produksi pabrik pakan) rata-rata kurang dari 4%. Tingginya serat kasar dalam ransum penelitian disebabkan karena penggunaan dedak padi (rice bran) yang tinggi (50%) sebagai sumber asam fitat, dimana dedak padi ini mengandung serat kasar
56
Tabel 11. Rataan konsumsi ransum, produksi telur hen day, produksi massa telur, konversi ransum dan berat telur ayam petelur ISA- Brown umur 18-33 minggu _______________________________________________________________________________________________________________ Ransum ZnO Fitase Rasio Molar Konsumsi Ransum Produksi Telur Produksi Massa Konversi Berat Telur Perlakuan (mg/kg) (U/kg) AF :Zn (g/ekor/hari) Henday(%) Telur(g/ekor/hari) Ransum (g/butir) _______________________________________________________________________________________________________________ P0 0 0 76 90.20 a* 70.90a 33.90 a 2.86 a 48.17 a P1
252
0
15
87.23 a
69.50 a
33.92 a
2.76 a
48.92 a
P2
567
0
7.5
87.76 a
68.23 a
33.93 a
2.92 a
49.43 a
P3
0
300
76
92.78 a
67.40 a
33.45 a
3.06 a
49.36 a
P4
0
400
76
92.49 a
72.30 a
35.55 a
2.79 a
49.28 a
P5
252
300
15
91.40 a
74.20 a
36.56 a
2.66 a
48.39 a
P6
252
400
15
86.53 a
62.50 a
31.02 a
3.03 a
49.40 a
P7
567
300
7.5
87.71 a
63.60 a
31.42 a
3.21 a
50.24 a
P8 567 400 7.5 85.20 a 68.20 a 33.42 a 2.69 a 49.75 a ______________________________________________________________________________________________________________ *Superskrip dengan huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata
57
yang tinggi, yaitu 11.4% (NRC 1994). Ransum yang mengandung serat kasar tinggi bersifat amba (bulky), sehingga ayam merasa cepat kenyang dengan mengkonsumsi sedikit ransum, karena tembolok (crop) cepat penuh ( Scott et al. 1982). Leeson dan Summers (1997) menyarankan ransum ayam petelur yang sedang berproduksi mengandung serat kasar 2.3 – 2.8%. Suplementasi mineral ZnO dalam ransum tidak nyata mempengaruhi rataan konsumsi ransum ayam petelur ISA-Brown umur 18 – 33 minggu. Hasil ini sama dengan suplementasi ZnCO3 pada penelitian Piliang et al. (1982a), yaitu suplementasi Zn dalam bentuk ZnCO3 sebanyak 25, 125 dan 225 mg/kg dalam ransum yang mengandung dedak padi 25% dan 50% tidak nyata mempengaruhi rataan konsumsi ransum ayam petelur Hisex Brown umur 20-60 minggu. Hasil penelitian Kim dan Patterson (2004) mengenai suplementasi ZnO sebanyak 500, 1000 dan 1500 mg/kg tidak nyata mempengaruhi konsumsi ransum. Suplementasi enzim fitase dalam ransum sebanyak 300 U/kg ransum maupun 400 U/kg ransum tidak nyata mempengaruhi konsumsi ransum ayam petelur ISA-Brown umur 18-33 minggu.
Ransum penelitian mengandung P-
tersedia 0.24%, suplementasi enzim fitase 300 U/kg ransum menghasilkan konsumsi ransum 92.78 g/ekor/hari dan suplementasi fitase 400 U/kg rans um menghasilkan konsumsi ransum 92.49 g/ekor/hari.
Hasil ini sesuai dengan
penelitian Keshavarz (2003) bahwa suplementasi enzim fitase sebanyak 300 U/kg dalam ransum ayam petelur ISA-White umur 20-35 minggu yang mengandung 0.25% mineral P tersedia (nonphytate phosphorus) tidak mempengaruhi konsumsi ransum. Rataan konsumsi ransum ayam ISA-White tersebut adalah 98.4 g/ekor/hari. Interaksi antara pemberian mineral ZnO dan enzim fitase dalam ransum ayam petelur ISA-Brown umur 18-33 minggu tidak mempengaruhi konsumsi ransum.
Produksi Telur Hen Day Rataan produksi telur hen day yang dihasilkan selama 18-33 minggu dalam penelitian ini adalah 62.5-74.2%. Hasil ini lebih rendah dibandingkan dengan hasil penelitian Um dan Paik (1999) bahwa rataan produksi telur hen day ayam
58
ISA-Brown umur 21-40 minggu yang diberi ransum dengan P-tersedia 0.24% adalah 84.85%. Perbedaan ini disebabkan oleh konsumsi ransum yang rendah dalam penelitian ini, yaitu sekitar 85.00-92.78 g/ekor/hari, sedangkan konsumsi ransum pada penelitian Um dan Paik (1999) adalah 113.5 g/ekor/hari. Konsumsi ransum yang rendah menyebabkan asupan zat-zat makanan, terutama protein dan energi yang dibutuhkan untuk produksi telur juga rendah. Menurut Leeson dan Summers (2001), kebutuhan protein untuk aya m fase I (umur 20-42 minggu) adalah 17 g/ekor/hari dan kebutuhan energi metabolis (EM) sebesar 300 kkal/ekor/hari. Menurut NRC (1994) ayam petelur coklat yang sedang produksi membutuhkan protein sebesar 18 g/ekor/hari dan EM sebesar 319 kkal/ekor/hari. Konsumsi protein dan energi metabolis pada ayam penelitian saat ini lebih rendah dari Leeson dan Summers (2001) maupun NRC (1994), yaitu sebesar 14.6 – 15.9 g/ekor/hari (protein) dan 243.6-265.3 kkal/ekor/hari. Rataan konsumsi protein dan energi metabolis ayam petelur ISA-Brown umur 18-33 minggu dapat dilihat dalam Tabel 12. Tabel 12. Rataan konsumsi protein dan energi metabolis ayam petelur ISA-Brown umur 18-33 minggu _________________________________________________________________ Ransum Perlakuan
ZnO Fitase Rasio Molar Konsumsi Konsumsi (mg/kg) (U/kg) AF:Zn Protein Energi Mmetabolis 1 (g/ekor/hari) (kkal/ekor/hari) 2 _________________________________________________________________ P0
0
0
76
15.42
257.88
P1
252
0
15
14.92
249.39
P2
567
0
7.5
15.01
250.91
P3
0
300
76
15.87
265.26
P4
0
400
76
15.82
264.43
P5
252
300
15
15.63
261.31
P6
252
400
15
14.80
247.39
P7
567
300
7.5
15.0
250.76
P8
567
400
7.5
14.57
243.59
_________________________________________________________________ 1 Dihitung dari konsumsi ransum x kandungan protein ransum 2 Dihitung dari konsumsi ransum x kandungan energi metabolis ransum
59
Suplementasi ZnO sebanyak 252 mg/kg ransum menghasilkan produksi telur hen day sebesar 69.5% dan suplementasi ZnO sebanyak 567 mg/kg ransum menghasilkan produksi telur hen day 68.23%.
Hasil ini sedikit lebih rendah
dibandingkan dengan hasil penelitian Piliang et al. (1982a) yang menggunakan 50% dedak padi dalam ransum yang ditambah ZnCO3 sebanyak 225 mg/kg ransum menghasilkan produksi telur hen day 71.01%. Perbedaan ini disebabkan oleh ketersediaan ZnO untuk ayam lebih rendah dibandingkan dengan ZnCO3 . Menurut Underwood dan Suttle (2001) ketersediaan ZnO pada ayam hanya 4478% dibandingkan dengan ZnSO4 . Menurut McDowell (1992), ketersediaan ZnO pada ayam hanya 44.1% dibandingkan dengan ZnSO4 . Suplementasi enzim fitase dalam ransum tidak nyata mempengaruhi produksi telur hen day dibandingkan dengan ransum kontrol (tanpa suplementasi fitase). Walaupun secara statistik tidak nyata, suplementasi enzim fitase 400 U/kg ransum meningkatkan produksi telur hen day sebanyak 1.4% (dari 70.9% menjadi 72.3%).
Begitu juga jika dibandingkan dengan suplementasi mineral ZnO,
suplementasi enzim fitase 400 U/kg ransum lebih efektif meningkatkan produksi telur hen day. Hasil penelitian ini mendekati hasil penelitian Lim et al. (2003) yang menunjukkan bahwa suplementasi enzim fitase sebanyak 300 U/kg pada ransum ayam petelur ISA-Brown umur 21-30 minggu yang mengandung fosfor tersedia 0.25% tidak berpengaruh nyata terhadap produksi telur hen day ( 72.66% vs 75.25%). Produksi telur hen day tertinggi (74.2%) diperoleh dari perlakuan ransum P5 (kombinasi mineral ZnO 252 mg/kg ransum + fitase 300 U/kg ransum dengan rasio molar asam fitat : Zn = 15). Rataan produksi telur hen day dari semua perlakuan selama penelitian diilustrasikan pada Gambar 8.
60
100,0 P0
Produksi telur hen day (%)
90,0
P1 80,0
P2
70,0
P3 P4
60,0
P5
50,0
P6
40,0
P7 P8
30,0 20,0 18
19
20
21
22
23
24 25 26 27 Umur ayam (minggu)
28
29
30
31
32
33
Gambar 8. Grafik produksi telur hen day ayam petelur ISA-Brown selama penelitian (umur18-33 minggu)
61
Produksi Massa Telur Harian (hen day egg mass) Produksi massa telur harian tidak nyata dipengaruhi oleh suplementasi ZnO maupun enzim fitase dalam ransum.
Walaupun secara statistik tidak nyata,
produksi massa telur harian tertinggi (36.56 g/ekor/hari) diperoleh perlakuan P5 (252 mg ZnO/kg ransum + 300 U fitase/kg ransum dengan rasio molar asam fitat : Zn = 15). Perlakuan P5 tersebut dapat meningkatkan produksi massa telur harian sebesar 7.8% dibandingkan dengan kontrol (dari 33.9 menjadi 36.56 g/ekor/hari). Keshavarz (2003) mendapatkan hasil penelitian bahwa suplementasi enzim fitase 300 U/kg dalam ransum ayam petelur ISA-White yang mengandung fosfortersedia 0.25% pada umur 20 – 35 minggu meningkatkan produksi massa telur harian dari 40.7 g/ekor/hari menjadi 46.6 g/ekor/hari (meningkat sebesar 14.5%). Hasil Keshavarz (2000) menunjukkan bahwa suplementasi enzim fitase 300 U/kg dalam ransum ayam petelur Babcock B300 yang mengandung fosfor- tersedia 0.25% pada umur 30 – 42 minggu tidak nyata mempengaruhi produksi massa telur harian (dari 51.7 g/ekor hari pada ransum tanpa suplementasi enzim fitase menjadi 52.7 g/ekor/hari pada ransum dengan suplementasi 300 U fitase/kg ransum).
Berat Telur (g/butir) Rataan berat telur hasil penelitian berkisar antara 48.17 g/butir - 50.24 g/butir. Berat telur dalam penelitian ini sedikit lebih rendah dibandingkan dengan berat telur menurut Leeson dan Summers (2001), yaitu berat telur umur ayam 2532 minggu pada taraf metionina ransum 0.35% adalah 52 g/butir. Kandungan metionina dalam ransum penelitian adalah 0.34%. Leesons dan Summers (2001) menyatakan bahwa ukuran telur meningkat secara linier dengan meningkatnya metionina dari 0.23% sampai dengan 0.38%. Menurut Leeson dan Summers (1997), metionina yang dibutuhkan untuk menghasilkan berat telur yang optimal pada umur ayam 25-32 minggu adalah 356 mg/ekor/hari. Konsumsi metionina harian pada penelitian ini lebih rendah dari rekomendasi tersebut, seperti yang dapat dilihat dalam Tabel 13.
62
Tabel 13. Rataan konsumsi metionina harian ayam petelur ISA-Brown umur 18 – 33 minggu ______________________________________________________________ Ransum Perlakuan
ZnO Fitase Rasio Molar (mg/kg) (U/kg) AF:Zn
Konsumsi Metionina (mg/ekor/hari) 1 ______________________________________________________________ P0
0
0
76
306.68
P1
252
0
15
296.58
P2
567
0
7.5
298.38
P3
0
300
76
315.45
P4
0
400
76
314.45
P5
252
300
15
310.76
P6
252
400
15
294.20
P7
567
300
7.5
298.21
P8
567
400
7.5
289.68
_______________________________________________________________ 1 Dihitung dari konsumsi ransum x kandungan metionina ransum Suplementasi ZnO maupun enzim fitase secara statistik tidak nyata mempengaruhi berat telur, namun semua perlakuan menghasilkan telur yang cenderung lebih berat dibandingkan dengan ransum kontrol. Berat telur tertinggi diperoleh dari ayam yang diberi ransum perlakuan P7 (suplementasi ZnO 567 mg/kg ransum+ fitase 300 U/kg ransum dengan rasio molar asam fitat : Zn = 7.5). Menurut Leeson dan Summers (2001), protein dan asam amino (terutama metionina) merupakan zat makanan yang paling berperan dalam mengontrol ukuran telur, disamping genetik dan ukuran tubuh unggas.
Dengan adanya
suplementasi ZnO dan enzim fitase, mineral Zn menjadi lebih tersedia untuk meningkatkan aktivitas enzim-enzim yang terlibat dalam sintesis maupun pencerna protein. Oberleas (2002) menyatakan bahwa enzim thymidine kinase, yaitu enzim yang mengatur sintesis protein memerlukan Zn untuk aktivitasnya. McDonald et al. (2002) menyatakan bahwa enzim thymidine kinase mengandung Zn. Underwood dan Suttle (2001) menyatakan bahwa mineral Zn penting untuk berfungsinya enzim carboxypeptidase A dan B yang mencerna peptida-peptida menjadi asam-asam amino agar dapat diabsorpsi.
63
Suplementasi enzim fitase dalam ransum, selain dapat memecah ikatan antara asam fitat dengan Zn, juga dapat meningkatkan kecernaan asam-asam amino, termasuk metionina yang berperan penting dalam mengontrol ukuran telur. Hasil penelitian Rutherfurd et al. (2004) menunjukkan bahwa penambahan enzim fitase pada ransum ayam broiler dapat meningkatkan kecernaan metionina dari 89.5% menjadi 91.6%. Kornegay (2001) menyatakan bahwa fitat dapat terikat dengan protein atau asam amino pada pH rendah dan pH neutral, dimana komplek fitat-protein ini akan menurunkan kegunaan dari protein dan asam amino.
Dengan adanya
suplementasi fitase, pengaruh negatif dari asam fitat ini dapat diatasi secara efektif.
Konversi Ransum Rataan konversi ransum yang dihasilkan dari penelitian ini adalah 2.66 – 3.06. Rataan konversi ransum terendah ( 2.66) dicapai oleh perlakuan P5 (suplementasi ZnO 252 mg/kg ransum + enzim fitase 300 U/kg ransum dengan rasio molar asam fitat :Zn = 15).
Hasil ini menunjukkan bahwa ransum P5
mempunyai efisiensi penggunaan ransum paling tinggi dengan penurunan konversi ransum sebesar 6.99% (dari 2.86 menjadi 2.66) dibandingkan dengan ransum kontrol (tanpa suplementasi ZnO maupun enzim fitase). Hasil penelitian ini lebih tinggi dibandingkan dengan penelitian Lim et al. (2003) bahwa konversi ransum yang dihasilkan oleh ayam petelur ISA-Borwn umur 21 – 30 minggu yang mengandung fosfor-tersedia 0.25% adalah 2.63, dengan adanya suplementasi 300 U fitase/ kg ransum, turun menjadi 2.56 (penurunannya
sebesar
2.66%).
Keshavarz
(2003)
mendapatkan
hasil
penelitiannya bahwa suplementasi enzim fitase 300 U/kg dalam ransum ayam petelur ISA-White umur 20 – 35 minggu dapat menurunkan konversi ransum dari 2.3 menjadi 2.18 ( penurunan sebesar 5.2%)
64
Rataan konversi ransum dari semua perlakuan diilustrasikan dalam Gambar 9.
3,5
Konversi ransum
3
2,86
2,92
3,21
3,06
3,03 2,79
2,76
2,79
2,66
2,5 2 1,5 1 0,5 0 P0
P1
P2
P3
P4
P5
P6
P7
P8
Ransum perlakuan
Gambar 9. Grafik rataan konversi ransum ayam petelur ISA-Brown selama 16 minggu penelitian (umur ayam 18 -33 minggu)
Retensi Semu (Apparent Retention) Mineral Zn dan P dalam Tubuh Ayam Petelur ISA-Brown Rataan retensi semu mineral Zn (%) dan P (%) dalam tubuh ayam petelur Isa-Brown dapat dilihat pada Tabel 14. Konsumsi, retensi semu dan ekskresi mineral Zn (mg/ekor/hari) pada ayam petelur diilustrasikan pada Gambar 10. Konsumsi, retensi semu dan ekskresi mineral P (mg/ekor/hari) pada ayam petelur diilustrasikan pada Gambar 11.
65
Tabel 14. Rataan retensi semu mineral Zn dan P pada ayam petelur ISA-Brown _________________________________________________________________ Ransum ZnO Fitase Rasio Retensi Zn Retensi P Perlakuan (mg/ kg (U/kg AF:Zn (%) (%) ransum) ransum) _________________________________________________________________ P0 0 0 76 74.57 64.19 P1 252 0 15 55.18 64.17 P2 567 0 7.5 34.92 63.21 P3 0 300 76 82.29 78.88 P4 0 400 76 74.92 72.69 P5 252 300 15 57.03 66.62 P6 252 400 15 62.82 67.40 P7 567 300 7.5 55.28 65.98 P8 567 400 7.5 35.38 66.99 Pengaruh utama : Mineral ZnO: 0 252 567 Fitase
0 300 400
76 15 7.5 76 76 76
77.26 A* 58.34 B 41.86 C 54.89 64.87 57.70
71.92 66.06 65.38 63.84 70.49 69.03
__________________________________________________________________________
*Superskrip dengan huruf besar yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda sangat nyata (P<0.01)
Retensi Semu Mineral Zn Suplementasi ZnO dalam ransum sangat nyata (P<0.01) menurunkan retensi Zn pada ayam petelur ISA-Brown. Semakin tinggi taraf suplementasi ZnO dalam ransum (dari 252 mg/kg ransum menjadi 567 mg/kg ransum), retensi semu Zn semakin menurun. Hal ini menunjukkan bahwa Zn dalam bentuk ZnO yang ditambahkan ke dalam ransum tidak bisa diserap semuanya oleh ayam petelur dan semakin banyak ZnO yang ditambahkan dalam ransum, semakin banyak Zn yang diekskresi.
Menurut Underwood dan Suttle (2001), ketersediaan ZnO pada
66
unggas hanya 44% – 78%.
Hasil penelitian Kim dan Patterson (2004)
menunjukkan bahwa ekskresi Zn dalam manure ayam broiler meningkat secara linier sejalan dengan meningkatnya taraf Zn ransum.
Selanjutnya dikatakan
bahwa ayam yang mengkonsumsi ransum yang disuplementasi 1500 mg ZnO/kg ransum mengeluarkan Zn 16 % lebih banyak dibandingkan dengan ayam yang diberi ransum dengan penambahan 1500 mg ZnSO4/kg ransum.
Hal ini
disebabkan ketersediaan biologis (bioavailability) ZnO lebih rendah dibandingkan dengan ZnSO4.
Menurut Sandoval et al. (1998) ketersediaan yang rendah
tersebut sangat menguntungkan jika dikonsumsi dalam dosis tinggi, karena sumber Zn yang mempunyai ketersediaan tinggi (highly available) akan lebih toksik.
Hal ini dibuktikan oleh penelitian Kim dan Patterson (2004) bahwa
suplementasi 1500 ppm Zn dalam bentuk ZnSO4 menurunkan bobot badan, konsumsi ransum dan efisiensi penggunaan ransum ayam broiler dibandingkan dengan suplementasi Zn dalam bentuk ZnO pada dosis yang sama. Suplementasi ZnO sebanyak 500, 1000 dan 1500 mg/kg ransum tidak menekan performan ayam broiler. Walaupun persentase retensi Zn menurun dengan adanya suplementasi ZnO, tetapi retensi Zn absolut (mg/ekor/hari) meningkat, karena mineral ZnO yang ditambahkan cukup banyak, sehingga tidak akan terjadi defisiensi. Rataan retensi Zn pada ayam petelur yang diberi ransum kontrol (P0) adalah 3.35 mg/ekor/hari dari konsumsi 4.49 mg Zn/ekor/hari, ransum P1 (suplementasi ZnO 252 mg/kg ransum) adalah 12.18 mg/ekor/hari dari konsumsi Zn sebanyak 22.06 mg/ekor/hari dan pada ransum P2 (suplementasi ZnO 567 mg/kg ransum) adalah 15.51 mg/ekor/hari dari konsumsi Zn sebanyak 39.45 mg/ekor/hari. Rataan retensi Zn absolut (mg/ekor/hari) ini dihitung dengan rumus sebagai berikut : Konsumsi ransum (g/ekor/hari) x kand ungan Zn ransum (mg/kg) x retensi Zn (%). Menurut NRC (1994), kebutuhan Zn minimum dalam ransum ayam petelur strain penghasil telur dengan kerabang warna coklat yang sedang berproduksi adalah 4.25 mg/ekor/hari. Mengacu pada kebutuhan NRC(1994) tersebut, ayam yang diberi ransum kontrol mengkonsumsi Zn sesuai dengan kebutuhan minimum, sedangkan ayam yang diberi ransum P1(suplementasi 252 mg ZnO/kg ransum) dan
67
P2(suplementasi 567 mg ZnO/kg ransum) mengkonsumsi Zn diatas kebutuhan minimum. Suplementasi
enzim
fitase
sebanyak
300
U/kg
ransum
mampu
meningkatkan retensi Zn menjadi 82.29%, angka ini melebihi yang dilaporkan Underwood dan Suttle (2001), bahwa retensi Zn untuk unggas yang berasal dari ZnO
adalah 44% – 78%.
Suplementasi enzim fitase 400 U/kg ransum
menghasilkan retensi Zn lebih rendah dibandingkan dengan suplementasi enzim fitase 300 U/kg ransum. Hasil penelitian Lim et al. (2003) menunjukkan bahwa suplementasi enzim fitase sebanyak 300 U/kg dalam ransum yang berbasis jagung-bungkil kedelai pada aya m petelur ISA-Brown umur 21-30 minggu, nyata (P<0.05) meningkatkan ketersediaan Zn ( dari 36.5% menjadi 52.5%). Retensi dan ekskresi Zn (mg/ekor/hari) diilustrasikan pada Gambar 10.
50 44,79 42,74
Konsumsi, retensi dan ekskresi Zn (mg/ekor/hari)
45 39,45 40 35 30
27,62 25,68
25
24,76
22,06
22,05
21,42 20,03
20
15,12
13,77 15
12,17
12,58 9,47
9,89
10
7,96
4,52 3,38 1,14 0,79
4,62 3,83
4,49 3,35 5 1,14 0 P0
13,46
P1
P2
P3
P4
P5
P6
P7
P8
Ransum perlakuan
Konsumsi Zn
Retensi Zn
Ekskresi Zn
Gambar 10. Grafik konsumsi, retensi dan ekskresi Zn ayam petelur ISA-Brown umur 33 minggu Pada Gambar 10. dapat dilihat bahwa retensi Zn (mg/ekor/hari) tertinggi diperoleh pada perlakuan P7 (kombinasi ZnO 567 mg/kg ransum + 300 U fitase/kg ransum). Suplementasi enzim fitase lebih tinggi (400 U /kg ransum) tidak efektif dalam meningkatkan retensi Zn.
Hal ini juga terlihat pada
68
penambahan enzim fitase saja (perlakuan P3 dan P4) yang menghasilkan retensi Zn rendah Retensi Mineral P Suplementasi ZnO dalam ransum tidak mempengaruhi retensi P pada ayam petelur, artinya tidak terjadi penurunan ekskresi P yang diharapkan dapat mengurangi pencemaran lingkungan. Suplementasi enzim fitase dalam ransum dapat meningkatkan retensi mineral fosfor pada ayam petelur ISA-Brown, walaupun secara statistik tidak berbeda nyata dan taraf 300 U fitase/kg ransum, tanpa penambahan ZnO pada perlakuan P3 paling efektif dalam meningkatkan retensi mineral fosfor. Dengan meningkatnya mineral fosfor yang diretensi, berarti mineral fosfor yang diekskresikan menurun dan hal ini sangat diharapkan untuk membantu mengurangi pencemaran lingkungan. Hasil penelitian Keshavarz dan Austic (2004) menunjukkan bahwa penambahan enzim fitase 300 U/kg ransum ke dalam ransum ayam petelur dapat menurunkan ekskresi mineral fosfor.
Hasil penelitian Lim et al.(2003)
menyimpulkan bahwa suplementasi enzim fitase sebanyak 300 U/kg ransum dalam ransum petelur ISA-Brown umur 21-30 minggu nyata (P<0.05) meningkatkan ketersediaan mineral fosfor (dari 33.5% menjadi 44.1%). Limbah ternak merupakan sumber polusi mineral fosfor yang utama untuk pertanian. Di daerah produksi ternak yang intensif, mineral fosfor yang terbuang ke lahan pertanian akan melebihi kapasitas tanaman untuk menyerapnya, sehingga kelebihan tersebut akan terhanyut ke aliran air.
Menurut Mikkelsen (1999),
tingginya kadar fosfor dalam danau dan sungai dapat menyebabkan tingginya pertumbuhan tanaman ganggang (algae) dan vegetasi perairan lainnya, muncul masalah serangga dan menghilangnya spesies ikan yang diharapkan. Enzim fitase yang berasal dari mikroba dapat memecah ikatan antara asam fitat dengan mineral fosfor, sehingga mineral fosfor menjadi lebih tersedia untuk ternak yang pada akhirnya bisa mengurangi ekskresi mineral tersebut (Maenz 2001). Cheng et al. (2004) menyatakan bahwa penambahan enzim fitase ke dalam ransum ayam broiler dapat memperbaiki efisiensi penyerapan dan penggunaan mineral fosfor, sehingga produsen pakan ternak dapat membuat ransum rendah fosfor yang pada akhirnya dapat menurunkan ekskresi mineral fosfor ke dalam ekskreta (manure).
69
Konsumsi, retensi dan ekskresi mineral fosfor dalam mg/ekor/hari dari
Konsumsi, retensi dan ekskresi P (mg/ekor/hari)
ayam petelur ISA-Brown diilustrasikan pada Gambar 11.
1000 900 800 700 600 500 400 300 200 100 0
903,08 784,06 725,17
712
772,21
764,48
748,1
744,41
658,22
632,68 563
465
260
P0
503
519
509
491 424
416 281
P1
242
P2
255 191
P3
252
253 209
185
P4
P5
P6
P7
P8
Ransum perlakuan
Konsumsi P
Retensi P
Ekskresi P
Gambar 11. Grafik konsumsi, retensi dan ekskresi mineral P pada ayam petelur ISA Brown umur 33 minggu
Kandungan Mineral dalam Telur, Kerabang Telur, Daging dan Tulang Tibia Ayam Petelur ISA-Brown Kandungan Mineral dalam Telur ( Putih + Kuning Telur) Pengaruh perlakuan terhadap kandungan mineral dalam telur dapat dilihat pada Tabel 15. Suplementasi ZnO sebanyak 252 mg/kg ransum
dan 567 mg/kg dalam
ransum hanya mampu meningkatkan sedikit konsentrasi mineral Zn dalam telur. Suplementasi ZnO 252 mg/kg ransum (rasio molar AF: Zn = 15) dapat menekan kandungan mineral Mn dan Ca dalam telur, sedangkan suplementasi mineral ZnO yang lebih tinggi lagi (567 mg/kg ransum) atau rasio molar AF : Zn = 7.5 mampu menekan lebih banyak mineral, yaitu mineral Mn, Cu, Ca dan P. Dari hasil penelitian ini terlihat bahwa kandungan Zn yang tinggi dalam ransum tidak diretensi dalam jumlah banyak dalam telur. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa terdapat interaksi yang bersifat antagonis antara mineral Zn dengan
70
Tabel 15. Kandungan mineral Zn, Mn, Fe, Cu, Ca, P dan Mg dalam telur (putih + kuning telur) ayam ISA-Brown __________________________________________________________________ Ransum Perlakuan Mineral (mg/100 g P0 P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 telur segar) __________________________________________________________________ Zn
1.24
1.26
1.28
1.20
1.22
1.22
1.24
1.28
1.30
Mn
0.12
0.06
0.06
0.04
0.10
0.02
0.02
0.02
0.04
Fe
2.28
2.20
2.20
1.88
2.08
1.56
2.20
1.82
2.16
Cu
0.04
0.04
0.02
0.06
0.08
0.06
0.08
0.06
0.06
Ca
137.06 130.56 123.60 132.98 125.44 137.14 140.44 128.54 136.50
P
100.00 100.00
Mg
11.08 11.16
90.00 100.00 110.00 110.00 110.00 100.00 130.00 11.12
10.90
12.00
11.24
12.02
11.60 11.20
__________________________________________________________________ P0 = Ransum kontrol (AF:Zn = 76) ; P1 = 252 ppm ZnO (AF:Zn = 15) ; P2 = 567 ppm ZnO (AF:Z=7.5); P3 = fitase 300 U/kg (AF :Zn = 76) ; P4 = fitase 400 U/kg (AF:Zn = 76) ; P5 = ZnO 252 ppm + Fitase 300 U/kg (AF:Zn = 15) ; P6 = ZnO 252 ppm + fitase 400 U/kg (AF: Zn = 15) ; P7 = ZnO 567 ppm +fitase 300 U/kg ( AF: Zn = 7.5); P8 = ZnO 567 ppm + fitase 400 U/kg (AF: Zn = 7.5)
mineral Mn, Cu, Ca dan P. Dengan tingginya mineral Zn dalam ransum, retensi mineral- mineral tersebut dalam telur ditekan/menurun. Hal ini sesuai dengan Georgievskii et al. ( 1982) bahwa Zn berinteraksi antagonis dengan mineral P, Ca dan Cu.
Leeson dan Summers (2001) menyatakan bahwa Zn berinteraksi
antagonis dengan Cu, Ca, Fe dan S. Suplementasi enzim fitase 300 U/kg ransum mampu meningkatkan konsentrasi Cu dalam telur.
Suplementasi fitase 400 U/kg ransum mampu
meningkatkan kandungan mineral Cu, P dan Mg dalam telur. Hasil ini konsisten baik pada perlakuan yang hanya ditambah fitase 400 U/kg ransum saja (P4) maupun pada kombinasi enzim fitase 400U/kg ransum + mineral ZnO 252 mg/kg ransum (P6) dan fitase 400 U/kg ransum + ZnO 567 mg/kg ransum (P8). Semua perlakuan tersebut memperlihatkan peningkatan mineral Cu, P dan Mg dalam telur.
Dari hasil tersebut terlihat bahwa penambahan enzim fitase 400 U/kg
ransum lebih efektif dalam memecah ikatan antara asam fitat dengan mineral Cu, P dan Mg. Hal ini sesuai dengan Sebastian et al.(1996) bahwa enzim fitase
71
mampu memecah ikatan antara asam fitat dengan mineral Cu, Zn, P dan Mg. Peningkatan mineral- mineral tersebut diikuti dengan penurunan mineral Mn dalam telur, berarti terjadi interaksi antagonis antara mineral Cu, P, Mg dengan Mn. Hal ini sesuai dengan Georgievskii et al. (1982) bahwa mineral Mn bersifat antagonis dengan mineral Mg dan P. Menurut Kerver et al. (2002), kandungan mineral dalam telur segar disajikan pada Tabel 16. Tabel 16. Kandungan mineral dalam telur segar* ___________________________________________ Mineral mg dalam 100 g telur ___________________________________________ Zn 1.10 Mn 0.02 Fe 1.44 Cu 0.02 Ca 49.00 P 178.00 Mg 10.00 ___________________________________________ Sumber :* Kerver et al. (2002) Dibandingkan dengan penelitian Kerver et al. (2002), hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kandungan mineral Zn, Fe, Cu, Ca dan Mg dalam telur dari hampir semua perlakuan lebih tinggi dibandingkan dengan kandungan mineral dalam telur segar. Mineral P merupakan satu-satunya mineral dalam penelitian ini yang kadarnya lebih rendah dibandingkan dengan yang dilaporkan oleh Kerver et al. (2002). Kandungan Mineral dalam Kerabang Telur Pengaruh perlakuan terhadap kandungan mineral kerabang telur disajikan dalam Tabel 17. Konsentrasi Zn dalam kerabang telur meningkat dengan suplementasi ZnO dan ezim fitase maupun kombinasinya. Makin tinggi suplementasi ZnO dalam ransum, kandungan Zn dalam kerabang semakin tinggi. Peningkatan tersebut adalah sebanyak 7.13% pada P1 (252 mg ZnO/kg ) dan 23.22% pada P2 (567 mg ZnO/kg) dibandingkan dengan ransum P0 (tanpa suplementasi). Suplementasi enzim fitase 300 U/kg ransum meningkatkan kandungan Zn kerabang telur
72
sebesar 14.04% dan enzim fitase 400 U/kg ransum sebesar 4.68%. Kombinasi antara ZnO dan enzim fitase pada P5 (252 mg ZnO/kg ransum + 300 U fitase/kg ransum) dan P6 (252 mg ZnO/kg ransum + 400 U fitase/kg ransum) meningkatkan kandungan Zn dalam kerabang lebih tinggi lagi, yaitu 30.90% (P5) dan 38.95% (P6).
Hasil ini menunjukkan adanya peran
enzim fitase dalam
memecah ikatan antara asam fitat dengan mineral Zn, sehingga Zn terbebas dan tersedia untuk pembentukkan kerabang. Tabel 17. Kandungan mineral Zn, Mn, Fe, Cu, Ca, P dan Mg dalam kerabang telur ayam ISA-Brown __________________________________________________________________ Ransum Perlakuan Mineral P0 P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 __________________________________________________________________ Zn (mg/kg)
5.34
5.75
6.58
6.09
5.59
6.99
7.42
6.10
6.31
Mn (mg/kg)
4.27
4.26
3.95
4.16
4.23
4.81
5.56
5.52
5.00
Fe (mg/kg)
12.06 23.26 21.25 15.76 26.09 16.80 19.23 22.31 18.13
Cu (mg/kg)
6.88
Ca (%)
90.07 85.78 87.38 85.87 87.69 85.92 85.95 84.79 86.71
P (%)
1.67
1.67
1.69
1.60
1.60
1.62
1.61
1.57
1.62
Mg (%)
0.42
0.42
0.43
0.42
0.41
0.42
0.39
0.40
0.43
6.81
6.89
7.23
6.66
6.41
6.64
6.88
6.85
__________________________________________________________________ P0 = Ransum kontrol (AF:Zn = 76) ; P1 = 252 ppm ZnO (AF:Zn = 15) ; P2 = 567 ppm ZnO (AF:Z=7.5); P3 = fitase 300 U/kg (AF :Zn = 76) ; P4 = fitase 400 U/kg (AF:Zn = 76) ; P5 = ZnO 252 ppm + Fitase 300 U/kg (AF:Zn = 15) ; P6 = ZnO 252 ppm + fitase 400 U/kg (AF: Zn = 15) ; P7 = ZnO 567 ppm +fitase 300 U/kg ( AF: Zn = 7.5); P8 = ZnO 567 ppm + fitase 400 U/kg (AF: Zn = 7.5)
Meningkatnya
mineral
Zn
dalam
kerabang
telur
dengan
adanya
suplementasi ZnO menekan keberadaan mineral Mn, Cu dan Ca, kecuali untuk mineral Fe dalam kerabang telur yang meningkat.
Disamping mineral Zn
meningkat dalam kerabang telur, adanya suplementasi enzim fitase juga meningkatkan mineral Fe, tetapi menurunkan mineral Cu dan Ca. Pada semua perlakuan, kandungan mineral Zn dan Fe kerabang telur meningkat, sedangkan mineral Ca menurun. Mineral P dan Mg relatif tidak dipengaruhi oleh semua perlakuan dalam penelitian ini.
73
Hasil penelitian menunjukkan adanya sifat antagonis antara mineral Zn dengan Ca, dimana tingginya mineral Zn yang diretensi dalam kerabang telur mampu menekan mineral Ca. Hal ini tidak sesuai dengan Georgievskii et al. (1982) bahwa tingginya mineral Ca dapat menurunkan mineral Zn dan mineral lainnya.
Kandungan mineral Ca dalam kerabang telur hasil penelitian sekitar
84.79 sampai dengan 90.07%. Menurut Rose (1997), kerabang terdiri atas 98% CaCO3 dan 2% protein, sedikit mineral Mg dan P. Leeson dan Summers (1997) menyatakan bahwa sebagian besar mineral telur (95.1%) berada di dalam kerabang telur dan sisanya berada di dalam putih + kuning telur.
Kandungan Mineral dalam Daging (paha + dada) ayam ISA-Brown Pengaruh perlakuan terhadap kandungan mineral dalam daging ayam petelur ISA-Brown dapat dilihat pada Tabel 18. Tabel 18. Kandungan mineral Zn, Mn, Fe, Cu, Ca, P dan Mg dalam daging ayam ISA-Brown __________________________________________________________________ Ransum Perlakuan Mineral P0 P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 __________________________________________________________________ Zn (mg/kg)
14.16 13.9
14.85 14.33 13.60 13.77 12.91 13.29 14.00
Mn (mg/kg)
0.55
0.17
0.20
0.38
0.40
0.22
0.48
0.37
0.41
Fe (mg/kg)
71.3
63.1
68.5
69.4
74.1
69.1
68.6
71.5
83.6
Cu (mg/kg)
0.81
0.79
0.78
0.81
0.72
0.79
0.80
0.79
0.81
Ca (g/kg)
2.18
2.27
1.93
6.79
3.91
3.38
2.72
3.63
2.58
P (g/kg)
9.3
6.1
6.4
7.6
8.1
8.4
11.3
7.4
8.7
Mg (g/kg)
0.20
0.19
0.19
0.19
0.17
0.18
0.17
0.19
0.18
__________________________________________________________________ P0 = Ransum kontrol (AF:Zn = 76) ; P1 = 252 ppm ZnO (AF:Zn = 15) ; P2 = 567 ppm ZnO (AF:Z=7.5); P3 = fitase 300 U/kg (AF :Zn = 76) ; P4 = fitase 400 U/kg (AF:Zn = 76) ; P5 = ZnO 252 ppm + Fitase 300 U/kg (AF:Zn = 15) ; P6 = ZnO 252 ppm + fitase 400 U/kg (AF: Zn = 15) ; P7 = ZnO 567 ppm +fitase 300 U/kg ( AF: Zn = 7.5); P8 = ZnO 567 ppm + fitase 400 U/kg (AF: Zn = 7.5)
Suplementasi ZnO sebanyak 252 mg/kg ransum relatif tidak meningkatkan konsentrasi Zn dalam daging ayam petelur ISA-Brown. Peningkatan Zn dalam
74
daging hanya sedikit dengan adanya suplementasi 567 mg ZnO/kg ransum. Suplementasi enzim fitase sebanyak 300 U/kg ransum hanya meningkatkan sedikit Zn dalam daging, bahkan suplementasi fitase sebanyak 400 U/kg ransum tidak meningkatkan kandungan Zn tersebut. Penelitian ini membuktikan bahwa suplementasi ZnO sampai dosis 567 mg/kg ransum maupun enzim fitase sampai 400 U/kg ransum relatif tidak mempengaruhi konsentrasi Zn dalam daging ayam petelur. Bou et al. (2004) mendapatkan hasil penelitian, bahwa suplementasi Zn sebanyak 200 mg ZnSO4/kg dalam ransum ayam broiler 0 – 6 minggu tidak mempengaruhi kandungan Zn dalam daging ayam broiler (0.89 mg/100g vs 0.9 mg/100 g bagian dapat dimakan). Hasil penelitian Kim dan Patterson (2004) menunjukkan bahwa konsentrasi Zn dalam daging dada tidak dipengaruhi oleh suplementasi ZnO sampai dengan dosis 1500 mg/kg. Emmert dan Baker (1995) menyatakan bahwa Zn dalam daging merah (daging paha) maupun daging putih (daging dada) ayam broiler tidak meningkat dengan adanya Zn yang berlebih dalam ransum (suplementasi ZnO sampai dosis 1000 mg/kg ransum). Sandoval et al. (1998) menyatakan bahwa konsentrasi dalam daging kurang sensitif terhadap perubahan Zn ransum dibandingkan dengan jaringan lain. Suplementasi 252 mg ZnO/kg ransum maupun 567 mg ZnO/kg ransum menurunkan konsentrasi mineral Mn, Fe, Cu, Ca, P dan Mg dalam daging ayam petelur ISA-Brown. Hasil ini menunjukkan adanya interaksi antagonis dari Zn yang tinggi dalam ransum dengan mineral Mn, Fe, Cu, Ca, P dan Mg. Adeola (1999) mendapatkan hasil penelitiannya pada babi, bahwa suplementasi Zn sebanyak 100mg/kg nyata (P<0.05) menurunkan absorpsi Mg, Mn dan sangat parah menurunkan absorpsi Cu. Suplementasi enzim fitase sebanyak 300 U/kg ransum meningkatkan mineral Ca dalam daging, tetapi menurunkan Mn, Fe, P dan Mg.
Hasil ini
menunjukkan bahwa tingginya mineral Ca yang diretensi dalam daging yang menyebabkan penyerapan mineral Mn, Fe, P dan Mg dihambat. Georgievskii et al. ( 1982) menyatakan bahwa Ca tinggi akan menekan mineral Zn, Mn, Cu, I, Fe dan P.
75
Suplementasi 400 U fitase/kag ransum meningkatkan mineral Fe dan Ca, tetapi menurunkan mineral Mn, Cu, P dan Mg dalam daging ayam petelur ISABrown.
Dari hasil ini juga terlihat adanya interaksi yang bersifat antagonis,
terutama antara mineral Ca dengan mineral Mn, Cu, P dan Mg. Kombinasi suplementasi ZnO dan enzim fitase pada perlakuan P8 ( 567 mg ZnO/kg ransum + 400 U fitase/kg ransum) meningkatkan kandungan mineral Fe sampai konsentrasi tertinggi dan juga meningkatkan konsentrasi Ca dalam daging.
Kandungan Mineral Tulang Tibia Ayam Petelur ISA-Brown Kandungan mineral dalam tulang tibia ayam petelur disajikan pada Tabel 19. Tabel 19. Kandungan mineral Zn, Mn, Fe, Cu, Ca, P dan Mg dalam tulang tibia ayam petelur ISA-Brown __________________________________________________________________ Ransum Perlakuan Mineral P0 P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 __________________________________________________________________ Zn (mg/kg) 143.09 155.30 159.77 122.02 130.23 132.94 137.24 146.59 175.25 Mn (mg/kg)
3.04
3.44
Fe (mg/kg)
53.52 59.92 76.32 62.72 64.08 73.36 55.92 84.16 51.68
Cu (mg/kg)
1.45
Ca (%)
43.73 42.73 46.18 41.84 42.58 43.12 42.4
43.86 47.93
P (%)
10.27 10.01 9.96
10.02 10.33 9.60
9.90
10.33 10.34
Mg (%)
1.84
1.74
1.87
1.88
2.32
1.85
3.61
2.76
1.89
2.64
3.26
2.88
3.33
1.89
3.92
3.65
1.80
3.04
3.84
3.60
3.63
3.28
3.18
1.88
__________________________________________________________________ P0 = Ransum kontrol (AF:Zn = 76) ; P1 = 252 ppm ZnO (AF:Zn = 15) ; P2 = 567 ppm ZnO (AF:Z=7.5); P3 = fitase 300 U/kg (AF :Zn = 76) ; P4 = fitase 400 U/kg (AF:Zn = 76) ; P5 = ZnO 252 ppm + Fitase 300 U/kg (AF:Zn = 15) ; P6 = ZnO 252 ppm + fitase 400 U/kg (AF: Zn = 15) ; P7 = ZnO 567 ppm +fitase 300 U/kg ( AF: Zn = 7.5); P8 = ZnO 567 ppm + fitase 400 U/kg (AF: Zn = 7.5)
Suplementasi ZnO sebanyak 252 mg/kg ransum meningkatkan kandungan mineral Zn, Mn, Fe, Cu dan Mg, akan tetapi menurunkan mineral Ca dan P dalam tulang tibia. Suplementasi ZnO 567 mg/kg ransum meningkatkan mineral Zn, Mn, Fe, Cu, Ca dan Mg, akan tetapi menurunkan mineral P dalam tulang tibia. Sandoval et al. (1998) menyatakan bahwa meningkatnya Zn dalam ransum dapat meningkatkan Zn dalam tulang tibia. Hasil penelitian Emmert dan Baker (1995)
76
menunjukkan bahwa suplementasi ZnO sebanyak 1000 mg/kg ransum dapat meningkatkan kandungan mineral Zn tulang tibia sebesar 120.18% ( dari 2.23 µmol/g bahan kering menjadi 4.91 µmol/g bahan kering) dibandingkan dengan ransum normal (mengandung Zn 37 mg/kg ransum) Suplementasi enzim fitase sebanyak 300 U/kg ransum dapat meningkatkan retensi mineral Fe dan Cu dalam tulang tibia, sedangkan konsentrasi mineral Zn, Mn, Ca, P dan Mg menurun. Suplementasi enzim fitase sebanyak 400 U/kg ransum meningkatkan kandungan mineral Fe, Cu, P dan Mg, akan tetapi kandungan mineral Zn, Mn dan Ca menurun dalam tulang tibia. Kandungan Zn dalam tulang tibia paling tinggi dicapai oleh perlakuan P8 (ZnO 567 mg/kg ransum + fitase 400 U/kg ransum dengan rasio molar asam fitat : Zn =7.5). Perlakuan P8 juga meningkatkan kandungan mineral Mn, Cu, Ca, P dan Mg dalam tulang tibia, tetapi menurunkan mineral Fe. Semua perlakuan, baik suplementasi ZnO maupun enzim fitase meningkatkan kandungan mineral Cu dalam tulang tibia
Rangkuman Pengaruh Perlakuan terhadap Distribusi Mineral pada Ayam Petelur Suplementasi Zn. Mineral Zn yang diretensi (mg/ekor/hari) cukup tinggi oleh ayam petelur, hanya sedikit meningkatkan kandungan Zn dalam telur atau dengan kata lain konsentrasi mineral Zn dalam telur tetap. Mineral Zn ini banyak dideposit di dalam kerabang telur dan tulang tibia dan hanya sedikit meningkatkan Zn dalam daging.
Suplementasi Zn sebanyak 252 mg ZnO/kg
dalam ransum ayam petelur menekan masuknya mineral Mn, Fe dan Ca ke dalam telur. Suplementasi ZnO dengan dosis lebih tinggi lagi (567 mg/kg ransum) mengurangi masuknya mineral Mn, Fe, Cu, Ca dan P ke dalam telur. Suplementasi Zn dalam ransum juga menekan masuknya mineral P ke dalam daging dan tulang tibia.
Sebagian besar mineral (Zn, Mn, Fe, Cu, Ca)
diakumulasi dalam tulang tibia. Mineral Mg tidak dipengaruhi oleh adanya suplementasi Zn dalam ransum. Supleme ntasi enzim fitase. Konsentrasi mineral Zn dalam telur tetap dengan adanya suplementasi enzim fitase dalam ransum, tetapi Zn banyak masuk
77
ke dalam kerabang. Suplementasi enzim fitase meningkatkan masuknya Cu dan P dalam telur, tetapi menekan masuknya Mn, Fe dan Ca dalam telur. Mineral Fe banyak masuk ke dalam kerabang, tulang tibia dan daging ayam. Mineral Mg tidak dipengaruhi oleh suplementasi enzim fitase dalam ransum. Kombinasi suplementasi Zn dan enzim fitase. Konsentrasi Zn dalam telur relatif tidak dipengaruhi oleh adanya kombinasi suplementasi Zn dan enzim fitase, tetapi mineral Zn banyak masuk ke dalam kerabang dan tulang tibia. Kombinasi suplementasi mineral Zn dan enzim fitase meningkatkan masuknya mineral Cu dan P dalam telur, tetapi menekan mineral Mn dan Fe dalam telur. Sebagian besar mineral (Zn, Mn, Cu, Ca) diakumulasi dalam tulang tibia. Mineral Mg tidak dipengaruhi oleh suplementasi Zn + enzim fitase. Hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa terjadi proses homeostasis Zn dalam tubuh ayam petelur, yaitu suatu keadaan dimana konsentrasi Zn jaringan dalam hal ini telur tetap dijaga konstan. Hal ini sesuai dengan King et al. (2000) bahwa menjaga Zn seluler dalam keadaan konstan sangat penting untuk berfungsinya sel, baik pada hewan maupun manusia. Cara utama untuk menjaga homeostasis Zn adalah mengatur absorpsi dan ekskresi Zn intestinal. Pengaturan absorpsi Zn di saluran pencernaan dan ekskresi Zn di feses bersifat sinergistik. Pada penelitian ini terlihat bahwa tingginya suplementasi Zn dalam ransum, diikuti dengan meningkatnya absorpsi serta ekskresi mineral Zn. Menurut King et al. (2000), kelebihan asupan (intake) mineral Zn akan diakumulasikan di dalam tulang. Hasil penelitian juga menunjukkan adanya sifat antagonis dari Zn terhadap mineral Mn, Fe dan Ca yang mana mineral- mineral tersebut dihambat oleh Zn, sehingga tidak masuk ke dalam telur.
Menurut Groff dan Gropper (2000),
mineral Zn bersaing dengan Mn dan Fe dalam menggunakan trasferrin sebagai alat transpor dari darah menuju ke dalam sel. Mineral Zn juga bersaing dengan mineral Ca dalam menggunakan albumin sebagai alat transpor dari darah menuju sel.
78
Kandungan Vitamin A dalam Telur Ayam ISA-Brown
Kandungan vitamin A dalam telur hasil penelitian disajikan dalam Tabel 20. Tabel 20. Kandungan vitamin A dalam telur ayam ISA-Brown _________________________________________________________________ Ransum ZnO Fitase Rasio Vitamin A* Perlakuan (mg/kg ransum) (U/kg ransum) AF:Zn (IU/100 g telur segar) _________________________________________________________________ P0
0
0
76
1347.37
P1
252
0
15
1749.00
P2
567
0
7.5
1554.16
P3
0
300
76
1427.15
P4
0
400
76
1676.27
P5
252
300
15
1354.00
P6
252
400
15
1410.22
P7
567
300
7.5
1412.73
P8
567
400
7.5
1602.07
_________________________________________________________________ * Telur segar tanpa kerabang (putih + kuning telur) Hasil penelitian menunjukkan bahwa kandungan vitamin A dalam telur meningkat dengan adanya suplementasi ZnO maupun enzim fitase dan kombinasinya. Besarnya peningkatan kandungan vitamin A tersebut dibandingkan dengan ransum kontrol (tanpa suplementasi ZnO maupun enzim fitase) adalah : 29.81% pada P1(ZnO 252 mg/kg ransum), 15.35% pada P2(ZnO 567 mg/kg ransum), 5.92% pada P3 (300 U fitase/kg ransum), 24.41% pada P4 (400 U fitase/kg ransum), 0.49% pada P5 (252 mg ZnO/kg ransum + 300 U fitase/kg ransum), 4.66% pada P6 (252 mg ZnO/kg ransum + 400 U fitase/kg ransum), 4.85% pada P7 (567 mg ZnO/kg ransum + 300 U fitase/kg ransum) dan 18.90% pada P8 (567 mg ZnO/kg ransum + 400 U fitase/kg ransum). Peningkatan vitamin A tertinggi dicapai oleh perlakuan P1 ( suplementasi 254 mg ZnO/kg ransum dengan rasio molar asam fitat : Zn = 15). Suplementasi enzim fitase dengan dosis tinggi ( 400 U fitase/kg ransum) pada ransum P4 lebih efektif dalam meningkatkan kandungan vitamin A dalam telur dibandingkan
79
dengan dosis 300 U fitase/kg ransum (P3). Kombinasi suplementasi ZnO + fitase dalam ransum tidak mampu meningkatkan vitamin A dalam telur lebih tinggi dibandingkan dengan hanya suplementasi ZnO atau enzim fitase saja. Dari hasil ini terlihat adanya peranan mineral Zn dalam meningkatkan kandungan vitamin A dalam telur. Enzim fitase pada perlakuan P3 dan P4 juga mampu melepas ikatan antara asam fitat dengan Zn, sehingga mineral Zn menjadi tersedia untuk meningkatkan kandungan vitamin A dalam telur. Baker et al. (1979) menyatakan bahwa defisiensi Zn dapat menurunkan pelepasan vitamin A dari hati. Lonnerdal (1988) menyatakan bahwa defisiensi Zn menurunkan vitamin A dalam plasma, retinol-binding protein (RBP) dalam plasma serta menurunkan sintesis RBP dalam hati. Mobilisasi vitamin A dari hati dihambat denga n adanya defisiensi mineral Zn. Groff dan Gropper (2000) menyatakan bahwa defisiensi Zn menurunkan mobilisasi retinol di hati dari bentuk simpannya (retinyl ester). Aktivitas enzim retinyl ester hydrolase yang melepas vitamin A dari bentuk simpannya dihambat dengan kurangnya mineral Zn. Baker et al. (1979) menyatakan bahwa vitamin A alkohol (retinol) yang ada di mukosa usus halus diesterifikasi menjadi retinyl palmitate atau stearat, kemudian ditranspor ke hati . Sebagian besar vitamin A bentuk ester ini disimpan di hati dan hanya dalam jumlah kecil disimpan dalam ginjal. Ketika diperlukan, vitamin A bentuk ester yang ada di hati ini dihidrolisa menjadi retinol dan diangkut ke darah terikat dengan retinol –binding protein (RBP). McDowell (1992) menyatakan bahwa defisiensi Zn menurunkan RBP karena tidak cukupnya vitamin A yang dilepas dari hati ke darah.
Leeson dan Summers (2001)
melaporkan bahwa RBP diangkut ke jaringan target dimana RBP ini terikat ke permukaan sel reseptor dan retinol diangkut ke dalam sel jaringan target, antara lain telur.
80
Aktivitas Alkalin Fosfatase dalam Serum Ayam Petelur ISA-Brown
Enzim alkalin fosfatase merupakan salah satu parameter yang dapat menggambarkan status mineral Zn dalam tubuh, karena enzim tersebut sangat tergantung mineral Zn untuk aktivitas maupun strukturnya. Menurut Groff dan Gropper (2000), enzim alkalin fosfatase mengandung 4 ion Zn per molekul enzim, 2 ion dibutuhkan untuk aktivitas enzim dan 2 ion Zn diperlukan untuk strukturnya. Pengaruh perlakuan terhadap aktivitas alkalin fosfatase dapat dilihat pada Tabel 21. Tabel 21. Rataan aktivitas alkaline fosfatase pada ayam petelur ISA-Brown __________________________________________________________________ Ransum ZnO Fitase Rasio Alkalin Perlakuan (mg/kg) (U/kg) AF:Zn Fosfatase(U/liter) __________________________________________________________________ P0 P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8
0 252 567 0 0 252 252 567 567
0 0 0 300 400 300 400 300 400
Pengaruh utama : Mineral ZnO 0 252 567 Fitase
0 300 400
76 15 7.5 76 76 15 15 7.5 7.5
619.67 743.33 756.67 850.67 910.33 943.00 1186.33 1165.33 1500.00
76 15 7.5
793.56 957.55 1140.67
76 76 76
706.56 A* 986.33 AB 1198.89 B
_______________________________________________________________________________
* Superskrip dengan huruf besar yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda sangat nyata (P<0.01) Suplementasi ZnO dalam ransum dapat meningkatkan aktivitas alkalin fosfatase (ALP) yang cukup tinggi dalam serum ayam petelur ISA-Brown, walaupun secara statistik tidak berbeda nyata.
Suplementasi ZnO 252 mg/kg
ransum (rasio molar AF : Zn = 15) meningkatkan aktivitas alkalin fosfatase
81
sebesar 20.67% dibandingkan dengan ransum kontrol. Suplementasi ZnO 567 mg/kg ransum(rasio molar = 7.5 ) meningkatkan aktivitas alkalin fosfatase lebih tinggi lagi, yaitu 43.74% dibandingkan dengan ransum kontrol.
Hasil ini
menunjukkan bahwa enzim ALP membutuhkan Zn untuk aktivitasnya. Metzler (1977) menyatakan ALP membutuhkan Zn untuk aktivitas optimumnya. Dilaporkan juga bahwa fungsi ALP adalah untuk resorpsi Ca tulang, bertanggung jawab untuk menyediakan fosfor-inorganik pada tempat yang membutuhkan. ALP berada dalam jaringan yang terlibat aktif dalam transpor zat nutrisi, tetapi ALP hampir tidak ditemukan pada sel darah merah. Suplementasi enzim fitase sebanyak 400 U/kg ransum sangat nyata (P<0.01) meningkatkan aktivitas ALP dalam serum ayam petelur ISA-Brown dibandingkan dengan kontrol. Suplementasi enzim fitase 300 U/kg juga meningkatkan aktivitas ALP dalam serum ayam, walaupun secara statistik tidak berbeda nyata. Rataan peningkatan aktivitas ALP adalah sebesar 39.6% (suplementasi 300 U/kg ransum) dan 69.68% (suplementasi 400 U/kg ransum) dibandingkan dengan kontrol. Adanya peningkatan aktivitas ALP dengan adanya suplementasi enzim fitase ini karena fitase mampu memecah ikatan antara asam fitat dengan mineral – mineral bervalensi-2, termasuk Zn. Mineral Zn ini sangat diperlukan oleh ALP untuk aktivitas optimalnya. Sebastian et al. (1996) menyatakan bahwa jika asam fitat dihidrolisa oleh fitase mikroba, maka fitase ini akan melepas semua mineral seperti Ca, Mg, Fe, Zn. Sanberg (2002) menyatakan bahwa degradasi fitat (myoinositol hexakisphosphate/InsP6) terjadi selama pengolahan makanan dan dalam saluran pencernaan
Degradasi fitat sangat penting dari segi nutrisi, karena
kakuatan ikatan mineral akan menurun dan solubilitas meningkat ketika grup fosfat lepas dari cincin inositol, sehingga meningkatkan ketersediaan biologis (bioavailability) dari mineral esensial. Hidrolisis fitat oleh fitase mikroba (3fitase) dapat dilihat pada Gambar 12. Dengan adanya hidrolisis fitat seperti pada Gambar 12, suplementasi enzim fitase mikroba dalam ransum penelitian ini efektif memecah serta melepaskan fosfat dari cincin inositol, sehingga mineral- mineral yang terikat fitat menjadi lepas dan tersedia untuk ayam, diantaranya adalah mineral Zn dan Mg yang dibutuhkan untuk aktivitas alkalin fosfatase. Menurut Metzler (1977), alkalin
82
fosfatase membutuhkan Zn2+ untuk strukturnya serta memerlukan mineral Zn2+ dan Mg2+ untuk aktivitasnya.
Dengan demikian, aktivitas alkalin fosfatase
meningkat dengan adanya suplementasi enzim fitase dalam ransum.
Dengan
meningkatnya aktivitas alkalin fosfatase pada ayam, ketersediaan mineral P inorganik meningkat, karena menurut Metzler (1977), fungsi dari alkalin fosfatase adalah mengkatalisis hidrolisis ester fosfat untuk menghasilkan fosfat inorganik. Alkalin fosfatase ini bertanggung jawab untuk menyediakan fosfat inorganik pada tempat yang memerlukan.
Menurut Underwood dan Suttle (2001), mineral P
diantaranya berfungsi untuk pembentukan dan pemeliharaan tulang. Mineral P juga merupakan komponen deoxy- dan ribonucleic acids (DNA dan RNA) yang sangat penting dalam pertumbuhan dan diferensiasi sel. Pada ayam petelur, defisiensi mineral P menyebabkan turunnya produksi telur, daya tetas dan ketebalan kerabang.
Ins (1,2,3,4,5,6) P6
Dl-Ins (1,2,4,5,6) P5
Dl-Ins (1,2,5,6) P5
Dl-Ins (1,2,5) P3
Dl-Ins (1,2,6) P3
Dl-Ins (1,2) P2
Ins (2) P
Gambar 12. Hidrolisis fitat (Ins P6) oleh enzim fitase mikroba (Sanberg 2002)
Kombinasi suplementasi mineral ZnO dan enzim fitase juga memberikan efek positif terhadap aktivitas ALP, yaitu semakin meningkat penambahan ZnO dan enzim fitase, aktivitas ALP pun semakin tinggi.
Hasil ini menunjukkan
bahwa terdapat kerjasama yang bersifat sinergis antara ZnO dengan enzim fitase
83
terhadap aktivitas ALP dalam serum ayam. Dari hasil tersebut juga jelas terlihat peranan enzim fitase dalam memecah ikatan antara asam fitat dengan mineral, sehingga mineral Zn menjadi tersedia untuk aktivitas ALP. Dengan meningkatnya aktivitas enzim alkalin fosfatase dalam serum ayam tersebut diharapkan dapat meningkatkan ketersediaan fosfor inorganik pada jaringan yang membutuhkan, karena sesuai dengan fungsinya bahwa enzim alkalin fosfatase berfungsi menghidrolisa monoester fosfat dari berbagai senyawa. Persentase peningkatan aktivitas ALP dari semua perlakuan dibandingkan dengan
Peningkatan aktivitas alkalin fosfatase(%)
kontrol diilustrasikan pada Gambar 13. 160
142,06
140 120 91,45 88,06
100 80 60
37,28
40 20
46,91 52,18
19,96 22,11 0
0 P0
P1
P2
P3
P4
P5
P6
P7
P8
Ransum perlakuan
Gambar 13. Grafik persentase peningkatan aktivitas alkalin fosfatase dalam serum ayam petelur ISA-Brown
Tebal Kerabang Telur Ayam ISA-Brown Rataan tebal kerabang hasil penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 22. Rataan telur kerabang yang dihasilkan dalam penelitian ini berkisar antara 0.353 sampai dengan 0.379 mm. Menurut Rose (1997), tebal kerabang pada unggas bervariasi, dari mulai 0.13 mm (pada telur puyuh) sampai dengan 0.45 mm (pada telur kalkun). Tullet (1987) menyatakan bahwa tebal kerabang adalah faktor utama yang menentukan kekuatan kerabang, makin tebal kerabang dikatakan makin kuat kerabang telur tersebut.
84
Tabel 22. Rataan tebal kerabang telur ayam ISA-Brown hasil penelitian ________________________________________________________________ Ransum ZnO Fitase Rasio Tebal Kerabang Perlakuan (mg/kg ransum) (U/kg ransum) AF:Zn (mm) _________________________________________________________________ P0 0 0 76 0.377 P1
252
0
15
0.374
P2
567
0
7.5
0.366
P3
0
300
76
0.367
P4
0
400
76
0.372
P5
252
300
15
0.374
P6
252
400
15
0.354
P7
567
300
7.5
0.379
P8
567
400
7.5
0.374
__________________________________________________________________________
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tebal kerabang cenderung menurun dengan adanya perlakuan suplementasi ZnO maupun enzim fitase dalam ransum, karena kandungan mineral kalsium dalam kerabang telur me nurun dengan adanya semua perlakuan tersebut dibandingkan dengan kontrol (Tabel 17). Leeson dan Summers (2001) menyatakan bahwa zat nutrisi utama yang mempengaruhi tebal kerabang telur adalah kalsium, fosfor dan vitamin D3. Georgievskii et al. (1982) menyatakan bahwa ayam petelur yang diberi ransum dengan kandungan kalsium 3.0% dan konsumsi kalsium 3.19 g/ekor/hari menghasilkan kerabang telur dengan ketebalan 0.376 mm. Rataan tebal kerabang hasil penelitian ini mendekati Georgievskii et al. (1982), kecuali untuk perlakuan P2 (0.366 mm ), perlakuan P3 ( 0.367 mm) dan perlakuan P6 (0.354 mm). Um dan Paik (1999) mendapatkan tebal kerabang 0.357 mm pada ayam yang diberi ransum dengan kandungan kalsium 3.75% dan fosfor tersedia 0.24% dengan suplementasi enzim 500 U/kg ransum.
Hasil
penelitian Lim et al. (2003) menunjukkkan bahwa tebal kerabang telur ayam ISA-Brown yang diberi ransum dengan kandungan kalsium 4.0% dan fosfor tersedia 0.25% dengan suplementasi enzim fitase 300 U/kg ransum adalah sebesar 0.358 mm. Hasil penelitian Um et al. (1999) menunjukkan bahwa tebal kerabang
85
telur ayam ISA- Brown yang diberi ransum dengan kandungan kalsium 3.75% dan fosfor tersedia 0.26% adalah sebesar 0.372 mm. Ransum dalam penelitian ini mengandung mineral kalsium 3.28%, dengan demikian rataan konsumsi kalsium harian (konsumsi ransum x kandungan kalsium ransum) dari ayam petelur ISA-Brown penelitian adalah : 2.96 g/ekor/hari (perlakuan P0), 2.86 g/ekor/hari (perlakuan P1), 2.88 g/ekor/hari (perlakuan P2), 3.04 g/ekor/hari (perlakuan P3), 3.03 g/ekor/hari (perlakuan P4), 3.0 g/ekor/hari (perlakuan P5), 2.84 g/ekor/hari (perlakuan P6), 0.25 g/ekor/hari (perlakuan P7) dan 2.79 g/ekor/hari (perlakuan P8). Konsumsi kalsium untuk perlakuan P3 mendekati konsumsi kalsium menur ut Georgievskii et al. (1982), tapi menghasilkan tebal kerabang lebih rendah, yaitu 0.367 mm. Hal ini karena penyerapan mineral kalsium ke dalam kerabang telur ayam penelitian mengalami penurunan dengan adanya sifat antagonis dengan mineral Zn (Georgievskii et al. 1982).
Tingginya mineral Zn yang dideposit di dalam kerabang menurunkan
mineral kalsium.
Kesimpulan Hasil Penelitian pada Ayam Petelur Dari hasil penelitian pada ayam petelur dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : Suplementasi ZnO 252 mg/ kg ransum (rasio molar asam fitat : Zn = 15 / P1) adalah perlakuan terbaik. Pada penambahan enzim fitase saja, 400 unit fitase/ kg ransum (P4) merupakan taraf terbaik. Kombinasi suplementasi ZnO + enzim fitase terbaik adalah 252 mg ZnO/ kg ransum + 300 unit fitase/ kg ransum (rasio molar asam fitat : Zn = 15 + 300 unit fitase/kg ransum). Dari semua perlakuan, P5 (rasio molar asam fitat : Zn =15 + 300 unit fitase/kg ransum) merupakan perlakuan terbaik. Kesimpulan tersebut ditunjukkan dengan hasil yang dirangkum dalam bagan di bawah ini :
86
AYAM PETELUR
Suplementasi ZnO 252 mg/kg ransum (rasioAF:Zn=15)/P1
Suplementasi Fitase 400 unit/kg ransum (rasio AF:Zn=76)/P4
•Retensi semu Zn ? (3.35
•Retensi semu Zn ? (3.35
– 12.17 mg/ekor/hari)
– 3.38 mg/ekor/hari)
•Ef.penggunaan ransum
•Produksi telur ? (70.90
? (konv.ransum dari 2.86 – 2.76)
– 72.30%) •Berat telur ?
•Berat telur ?
•Ef.penngunaan ransum
•Zn telur tetap
? (konv. Ransum dari
•Zn dideposit dalam kera
2.86 – 2.79)
bang & tulang tibia •Menekan masuknya Mn, Fe, Ca dalam telur •Peningkatan vit A telur
•Zn telur tetap •Zn masuk dalam kera-
Suplementasi 252 mg ZnO/kg ransum + 300 U fitase/kg ransum (rasio AF:Zn =15) / P5
•Retensi Zn ? (3.35-12.58 mg/ekor/hari) •Prod.telur tertinggi (74.2%) •Ef.penggunaan ransum tertinggi (konv. Ransum 2.66) •Zn telur tetap •Zn masuk dalam ke rabang, menekan Mn,
bang, menekan Mn, Fe,
Fe & Mn dalam telur &
Ca dalam telur,
daging
tertinggi (29.81%)
meningkatkan Cu,P telur
•Meningkatkan Cu,P telur
•Alkalin fosfatase ?
•Vit A telur ? (24.41%)
•Vit A ? (0.49%)
•ALP ? (46.91%)
•ALP ? (52.18%)
PENELITIAN II
Performan Tikus Sprague Dawley Umur 45-80 Hari
Rataan performan tikus Sprague Dawley umur 45-80 hari dapat dilihat dalam Tabel 23. Suplementasi ZnO sampai rasio molar asam fitat (AF) : Zn = 10 tidak nyata mempengaruhi pertambahan berat badan, konsumsi ransum maupun efisiensi penggunaan ransum pada tikus Sprague Dawley umur 45-80 hari. Walaupun secara statistik tidak berbeda nyata, suplementasi ZnO sebanyak 13, 29 dan 61 mg/kg ransum menurunkan konsumsi ransum pada tikus, sehingga pertambahan
87
bobot badanpun menurun, tetapi efisiensi penggunaan ransum cenderung meningkat walaupun sedikit dibandingkan dengan ransum kontrol. Underwood dan Suttle (2001) menyatakan bahwa mineral Zn berperan dalam mengontrol selera makan dengan adanya perubahan konsentrasi neurotransmitter berasal asam amino (amino acid – derived neurotransmitter) di otak. Suplementasi enzim fitase sebanyak 750 U/kg ransum tidak nyata mempenga ruhi konsumsi ransum, pertambahan bobot badan maupun efisiensi penggunaan ransum. Walaupun secara statistik tidak berbeda nyata, suplementasi fitase 750 U/kg ransum menghasilkan efisiensi penggunaan ransum lebih tinggi dibandingkan dengan ransum kontrol.
Suplementasi enzim fitase 1000 U/kg
ransum tidak nyata mempengaruhi konsumsi ransum dan pertambahan bobot badan, tetapi nyata (P<0.05) meningkatkan
efisiensi penggunaan ransum
dibandingkan dengan kontrol maupun perlakuan lainnya.
88
Tabel 23. Rataan pertambahan bobot badan, konsumsi ransum, efisiensi penggunaan ransum, konsumsi protein dan rasio efisiensi protein pada tikus Sprague Dawley umur 45-80 hari ____________________________________________________________________________________________________________ ZnO Fitase Rasio Konsumsi Pertambahan Efisiensi1) Konsumsi2) Rasio 3) (mg/kg (U/kg AF:Zn Ransum Bobot Badan Penggunaan Protein Efisiensi ransum) ransum) (g/ekor) (g/ekor) Ransum (% (g/ekor) Protein _____________________________________________________________________________________________________________ Ransum Perlakuan
R0
0
0
27
345.59
103.81
29.89b4)
81.77
1.27
b
R1
13
0
20
301.26
90.91
30.19
71.28
1.28
R2
29
0
15
303.66
91.71
30.19b
71.85
1.27
R3
61
0
10
314.86
91.17
29.95b
74.49
1.22
R4
0
750
27
311.28
94.70
30.40b
73.65
1.29
R5
0
1000
27
315.33
104.46
33.12a
74.61
1.40
_____________________________________________________________________________________________________________ 1)
Pertambahan bobot badan (g/ekor) : konsumsi ransum (g/ekor) Konsumsi ransum (g/ekor) x kandungan protein ransum (%) 3) Pertambahan bobot badan (g/ekor) : konsumsi protein (g/ekor) 4) Superskrip dengan huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0.05) 2)
89
Dari hasil penelitian ini terlihat bahwa suplementasi fitase sebanyak 1000 U/kg ransum (R5) efektif meningkatkan efisiensi penggunaan ransum pada tikus umur 45-80 hari. Hal ini disebabkan efisiensi penggunaan protein pada R5 (suplementasi fitase 1000 U/kg ransum) lebih tinggi dibandingkan dengan ransum kontrol (perlakuan R0), terbukti dengan konsumsi protein sebesar 74.61 g/ekor pada R5 (suplementasi enzim fitase 1000 U/kg ransum) mampu menghasilkan pertambahan bobot badan 104. 46 g/ekor, sedangkan pada R0 (ransum kontrol) dengan konsumsi protein 81.77 g/ekor hanya menghasilkan pertambahan bobot badan 103.81 g/ekor. Efsisiensi penggunaan protein per g bobot badan pada R5 adalah 1.4 (pertambahan bobot badan/konsumsi protein), artinya setiap 1 gram protein akan menghasilkan pertambahan bobot badan sebesar 1.4 gram, sedangkan pada R0 hanya 1.27. Menurut BASF (2002), enzim fitase dapat meningkatkan kecernaan protein dan asam amino.
Pallauf dan Rimbach (1999) mendapatkan hasil
penelitian bahwa pakan dengan rasio molar asam fitat : Zn = 25 pada tikus menyebabkan penurunan efisiensi penggunaan ransum pada tikus, pengaruh negatif ini dapat dikoreksi dengan suplementasi fitase 1000 U/kg ransum. FAO dan WHO (2002) menyatakan bahwa efek negatif asam fitat dalam makanan manusia dapat dikurangi dengan penambahan fitase mikroba. Retensi Semu (Apparent Retention) Mineral Zn, Ca dan P pada Tikus Sprague Dawley Umur 45-80 Hari Retensi mineral Zn, kalsium dan fosfor diukur untuk melihat sejauh mana mineral- mineral tersebut dapat dimanfaatkan oleh tikus. Retensi yang diukur dalam penelitian ini adalah retensi semu (apparent retention), karena hanya mengukur berapa yang masuk melalui mulut (konsumsi ransum) dan berapa yang keluar melalui feses dan urin. Pengukuran ini tidak memperhitungkan mineral yang diekskresikan melalui pernapasan, keringat, kulit, kehilangan rambut, dll (Solomons 1988). Rataan retensi semu mineral Zn, Ca dan P pada tikus disajikan pada Tabel 24.
90
Tabel 24. Rataan Retensi semu mineral Zn, Ca dan P pada tikus Sprague Dawley umur 45-80 hari __________________________________________________________________ Retensi mineral ______________________________ Ransum ZnO Fitase Rasio Perlakuan (mg/kg (U/kg AF:Zn Zn (%) Ca (%) P (%) ransum) ransum) __________________________________________________________________ R0
0
0
27
67.21D
35.00bA
54.54A
R1
13
0
20
78.07B
32.10bC
53.98A
R2
29
0
15
86.41A
12.10D
41.28B
R3
61
0
10
87.78A
5.74D
20.99C
R4
0
750
27
78.94B
27.91bB
35.87B
R5
0
1000
27
73.51C
41.47aA
59.16A
__________________________________________________________________________________________________
* Superskrip dengan huruf besar yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda sangat nyata (P<0.01) ; superskrip dengan huruf kecil yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0.05)
Retensi Semu Mineral Zn pada Tikus Suplementasi ZnO dalam ransum sangat nyata (P<0.01) meningkatkan retensi
Zn pada tikus. Semakin tinggi dosis suplementasi ZnO dalam ransum
menghasilkan retens i Zn yang semakin tinggi, walaupun antara retensi Zn pada R2 ( rasio molar AF :Zn = 15) dan R3 ( rasio molar AF : Zn = 10) secara statistik tidak berbeda nyata.
Menurut Underwood dan Suttle (2001), mineral Zn
diabsorpsi menurut kebutuhan pada tikus. Dosis suplementasi pada rasio molar asam fitat : Zn = 15 sudah memenuhi kebutuhan mineral Zn untuk tikus. Hasil tertinggi retensi Zn pada tikus dengan adanya suplementasi ZnO diperoleh pada R3 ( rasio molar AF : Zn = 10). Menurut FAO dan WHO (2002), rasio molar antara asam fitat dengan Zn dalam makanan merupakan indikator untuk melihat pengaruh asam fitat dalam menekan absorpsi mineral Zn. Dijelaskan pula bahwa pada makanan dengan rasio molar antara asam fitat : Zn >15, mineral Zn yang diabsorpsi sekitar 15%. Pada penelitian ini, retensi Zn pada tikus yang diberi ransum dengan rasio molar antara asam fitat : Zn > 15, yaitu pada R0 ( rasio molar AF : Zn = 27) dan
91
R1 (rasio molar AF : Zn = 20) lebih tinggi dibandingkan dengan rekomendasi FAO dan WHO (2002). Tingginya retensi Zn pada tikus yang diberi ransum R0 tersebut disebabkan adanya protein hewani dalam ransum, yaitu susu skim. Dalam FAO dan WHO (2002) dinyatakan bahwa ketersediaan Zn meningkat jika makanan mengandung protein hewani atau susu. Hambidge (2003) mendapatkan bentuk hubungan antara absorpsi Zn dengan rasio molar asam fitat : Zn dalam makanan manusia adalah regresi linier negatif. Suplementasi enzim fitase sebanyak 750 U/kg ransum maupun 1000 U/kg ransum sangat nyata meningkatkan (P<0.01) retensi Zn pada tikus dibandingkan dengan ransum kontrol (R0, tanpa suplementasi ZnO maupun enzim fitase). Peningkatan ini mungkin disebabkan adanya pemecahan ikatan antara asam fitat dengan mineral Zn, sehingga Zn menjadi lebih tersedia.
Kornegay
(2001)
menemukan bahwa penambahan enzim fitase sebanyak 800 U/kg dalam ransum yang mengandung 27 mg Zn/kg ransum meningkatkan retensi Zn dan menurunkan ekskresi Zn pada anak ayam. Hambidge (2003) menyatakan bahwa asam fitat adalah faktor makanan penting yang bertanggung jawab dalam pembatasan ketersediaan biologis ( bioavailability) Zn dari makanan yang berbasis tanaman (terutama biji-bijian). Dengan demikian asam fitat mempunyai kontribusi utama terhadap kejadian defisiensi Zn di seluruh dunia. Suplementasi enzim fitase sebanyak 750 U/kg ransum lebih efektif dalam meningkatkan retensi Zn pada tikus dibandingkan dengan suplementasi Zn sebanyak 1000 U/kg ransum. Berkurangnya absorpsi Zn pada suplementasi fitase 1000 U/kg ransum dibandingkan dengan suplementasi 750 U/kg ransum dapat disebabkan terjadinya pembebasan mineral kalsium dan fosfor lebih banyak dari ikatan antara asam fitat dengan mineral- mineral tersebut oleh enzim fitase, sehingga mineral kalsium dan fosfor mampu menekan absorpsi Zn. Hal ini dapat dilihat dari Tabel 22, bahwa
suplementasi fitase 1000 U/kg ransum dapat
meningkatkan retensi kalsium dan fosfor, sedangkan retensi mineral Zn menurun. Georgievskii et al. (1982) menyatakan bahwa tingginya mineral kalsium atau fosfor akan menekan absorpsi mineral Zn atau terjadi interaksi antagonis antara absorpsi mineral kalsium dan Zn maupun antara mineral fosfor dan Zn.
92
Retensi Semu Mineral Ca Suplementasi ZnO dalam ransum menurunkan retensi kalsium pada tikus. Retensi kalsium sangat nyata menurun (P<0.01) dengan adanya penambahan ZnO 29 mg/kg ransum (rasio molar AF : Zn = 15 pada perlakuan R2) dan menurun terus dengan suplementasi ZnO 61 mg/kg ransum (rasio molar AF : Zn = 10 pada perlakuan R3), walaupun secara statistik tidak terdapat perbedaan nyata antara perlakuan R2 dan perlakuan R3. Hasil ini menunjukkan adanya tekanan dari mineral Zn terhadap absorpsi mineral kalsium pada tikus atau terjadi interaksi antagonis antara mineral Zn dan kalsium.
Semakin tinggi mineral
Zn yang
diretensi oleh tikus, retensi kalsium semakin menurun. Bertolo et al. (2001a) mendapatkan hasil penelitiannya bahwa mineral kalsium bersaing dengan Zn untuk diangkut melewati membran brush border dalam usus halus. Bertolo et al. (2001b) menyatakan bahwa mineral kalsium mempunyai afinitas lebih rendah dibandingkan dengan mineral Zn untuk protein pengangkut di dalam membran brush border usus halus.
Mineral Zn dapat
menggantikan kalsium dalam tempat mineral kalsium dari protein pengangkut. Menurut Bertolo et al. (2001b), masuk nya kalsium ke dalam membran brush border babi muda dihambat oleh mineral Zn pada rasio molar 0.4 : 1 (Zn : Ca) dalam waktu 20 menit. Rasio molar Zn terhadap Ca dalam ransum penelitian ini disajikan pada Tabel 25. Pada penelitian ini diperoleh bahwa rasio molar antara Zn : Ca = 0.005 : 1 pada perlakuan R2 (suplementasi mineral ZnO 29 mg/kg ransum) sudah mampu menekan absorpsi Ca pada tikus. Perbedaan dengan hasil Bertolo et al. (2001a) dapat disebabkan kondisi fisiologis dari ternak penelitian yang berbeda. Pada penelitian tersebut pengukuran absorpsi Zn dan kalsium dilakukan pada usus halus yang diambil dari ternak babi (di luar tubuh ternak), sedangkan pada penelitian ini yang diukur adalah jumlah mineral Zn dan Ca yang dikonsumsi dikurangi jumlah yang dikeluarkan melalui ekskreta.
Waktu pengamatanpun
berbeda, pada penelitian Bertolo et al. (2001b) hanya melihat absorpsi selama 20 menit, sedangkan pada penelitian ini sudah mengkonsumsi ransum perlakuan selama 2 minggu, sehingga walaupun rasio molar Zn : Ca jauh lebih rendah, Zn yang dikonsumsi jauh lebih banyak.
93
Tabel 25. Rasio molar mineral Zn terhadap Ca dan P dalam ransum tikus perlakuan __________________________________________________________________ Ransum ZnO Fitase Rasio Rasio Rasio Perlakuan (mg/kg (U/kg AF:Zn Zn : Ca* Zn : P** ransum) ransum) __________________________________________________________________ R0
0
0
27
0.003:1
0.002:1
R1
13
0
20
0.004:1
0.003:1
R2
29
0
15
0.005:1
0.004:1
R3
61
0
10
0.008:1
0.007:1
R4
0
750
27
0.003:1
0.002:1
R5
0
1000
27
0.003:1
0.002:1
__________________________________________________________________ * Jumlah Zn (mg) per kg ransum/ berat atom Zn = mmol Zn/mmol Ca Jumlah Ca (mg) per kg ransum/berat atom Ca ** Jumlah Zn (mg) per kg ransum/ berat atom Zn = mmol Zn/mmol Ca Jumlah P (mg) per kg ransum/berat atom P
Suplementasi enzim fitase sebanyak 750 U/kg ransum menurunkan retensi kalsium sebesar 7.09% ( dari 35.00% menjadi 27.91%) dibandingkan dengan ransum kontrol, tapi secara statistik tidak berbeda nyata.
Turunnya retensi
kalsium pada perlakuan ini juga diiringi oleh meningkatnya retensi Zn. Hasil ini juga menunjukkan adanya interaksi antagonis antara Zn dengan kalsium, dimana Zn yang berhasil dibebaskan oleh enzim fitase dari ikatan asam fitat cukup untuk menekan absorpsi mineral kalsium pada tikus. Suplementasi enzim fitase 1000 U/kg ransum mampu meningkatkan retensi kalsium sebanyak 6.47% ( dari 35.00% menjadi 41.47%) dibandingkan dengan ransum kontrol, walaupun secara statistik tidak berbeda nyata. Dari penelitian ini dapat dijelaskan bahwa enzim fitase mampu melepas mineral kalsium dari ikatannya dengan asam fitat, sehingga dapat menekan absorpsi Zn.
Hal ini
terlihat dari hasil penelitian bahwa retensi Zn sangat nyata menurun (P<0.01) pada perlakuan suplementasi fitase 1000 U/kg ransum (R5) dibandingkan dengan perlakuan R4 (suplementasi fitase 750 U/kg ransum), sedangkan retensi kalsium sangat nyata meningkat (P<0.01). Georgievskii et al. (1982) menyatakan adanya
94
interaksi antagonis antara kalsium dan Zn, jika konsentrasi kalsium tinggi maka akan menekan keberadaan Zn.
Retensi Semu Mineral Fosfor (P) pada Tikus Suplementasi ZnO sebanyak 29 mg/kg ransum pada R2 ( rasio molar AF : Zn = 15) sangat nyata menurunkan (P<0.01) retensi mineral fosfor. Suplementasi ZnO lebih tinggi lagi, yaitu 61 mg/kg ransum pada R3 ( rasio molar AF : Zn = 10) semakin menurunkan retensi mineral fosfor pada tikus dibandingkan dengan ransum kontrol. Penurunan retensi mineral fosfor pada R2(rasio molar AF : Zn = 15) didapati sebesar 13.26% dan pada R3 (rasio molar AF : Zn = 10) sebesar 33.55%.
Hasil ini sejalan dengan meningkatnya retensi Zn pada perlakuan
tersebut.
Hasil ini menunjukkan bahwa mineral Zn yang ditambahkan pada
ransum dengan rasio molar AF:Zn = 15 dan 10 (perlakuan R2, R3) mampu menekan absorpsi mineral fosfor pada tikus. Rasio molar antara mineral Zn : P pada perlakuan R2 (rasio molar AF: Zn = 15) adalah 0.004 : 1 dan pada perlakuan R3 (rasio molar AF : Zn = 10) adalah 0.007 : 1 (Tabel 25). Suplementasi enzim fitase 750 U/kg ransum sangat nyata menurunkan retensi mineral P, ha l ini sejalan dengan meningkatnya retensi Zn.
Pada
perlakuan tersebut, enzim fitase mampu melepaskan Zn dari ikatannya dengan asam fitat, sehingga Zn menjadi bentuk yang tersedia untuk diabsorpsi dalam usus halus tikus. Konsentrasi Zn yang dilepaskan tersebut mampu menekan absorpsi mineral P. Suplementasi enzim fitase 1000 U/kg ransum (perlakuan R5) mampu meningkatkan retensi mineral fosfor, walaupun tidak berbeda nyata dibandingkan dengan ransum kontrol, tetapi sangat nyata meningkat (P<0.01) bila diband ingkan dengan perlakuan R4 (suplementasi 750 U fitase/kg ransum). Meningkatnya retensi mineral fosfor pada perlakuan R5 (suplementasi enzim fitase 1000 U/kg ransum) diikuti dengan menurunnya retensi Zn dibandingkan dengan perlakuan R4 (suplementasi enzim fitase 750 U/kg ransum). Hasil ini menunjukkan bahwa enzim fitase sebanyak 1000 U/kg ransum (perlakuan R5) mampu melepaskan mineral fosfor lebih banyak, sehingga mampu menekan absorpsi Zn. Georgievskii et al. (1982) menyatakan bahwa mineral fosfor berinteraksi
95
antagonis dengan mineral Zn, jika mineral fosfor tinggi maka mineral Zn akan ditekan. Hal sebaliknya juga terjadi, jika konsentrasi mineral Zn tinggi dalam ransum, maka absorpsi mineral fosfor akan dihambat. Hubungan antara kandungan Zn dalam ransum dengan retensi Zn, retensi kalsium serta fosfor diilustrasikan pada Gambar 14. 100
Retensi semu mineral Zn, Ca, P (%)
90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 10
15
20
27
Rasio molar asam fitat : Zn dalam ransum tikus Retensi Zn
Retensi Ca
Retensi P
Gambar 14. Grafik hubungan antara rasio molar asam fitat : Zn dalam ransum tikus dengan retensi semu mineral Zn, Ca dan P
Kandungan Mineral Zn, Ca dan Aktivitas Alkaline Fosfatase dalam Serum Tikus Pengaruh perlakuan terhadap rataan kandungan mineral Zn, Ca dan aktivitas alkalin fosfatase disajikan pada Tabel 26.
Kandungan Mineral Zn dalam Serum Tikus Suplementasi mineral ZnO sebanyak 13 mg/kg dalam perlakuan R1 ( rasio molar asam fitat : Zn = 20) sangat nyata meningkatkan (P<0,01) konsentrasi mineral Zn dalam serum tikus. Suplementasi ZnO sebanyak 29 mg/kg dalam perlakuan R2 (rasio molar asam fitat : Zn = 15) dan 61 mg/kg dalam ransum R3 (rasio molar asam fitat: Zn = 10) juga meningkatkan konsentrasi Zn dalam serum
96
tikus, tapi secara statistik tidak berbeda nyata. Peningkatan konsentrasi Zn serum dengan adanya suplementasi ZnO dibandingkan dengan ransum kontrol (R0) adalah sebesar 61.2%, 10.9% dan 2.3% ma sing- masing pada ransum dengan molar rasio AF: Zn = 20, 15, 10 (R1, R2, R3). Tabel 26. Rataan kandungan mineral Zn, Ca dan aktivitas alkalin fosfatase dalam serum tikus umur 80 hari __________________________________________________________________ Ransum ZnO Fitase Rasio Zn (µg/dl) Ca (mg/l ) Alkalin Perlakuan (mg/kg (U/kg AF:Zn Fosfatase ransum) ransum) (U/liter) __________________________________________________________________ R0
0
0
27
180.78B
108.30B
286.17
R1
13
0
20
291.35A
125.48A
326.83
R2
29
0
15
200.47B
133.20A
363.00
A
B
R3
61
0
10
184.98
133.16
347.00
R4
0
750
27
178.62B
129.78A
346.00
R5 0 1000 27 192.18B 126.78A 316.17 __________________________________________________________________ * Superskrip dengan huruf besar yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda sangat nyata (P<0.01)
Dari hasil penelitian di atas terlihat bahwa kandungan Zn serum meningkat tajam hanya dengan suplementasi ZnO 13 mg/kg ransum pada perlakuan R1(rasio molar AF : Zn = 20), sedangkan suplementasi ZnO 29 mg/kg ransum (R2) dan 61 mg/kg ransum (R3) hanya mampu meningkatkan Zn serum sedikit serta tidak berbeda nyata dibandingkan dengan kontrol.
Hal ini membuktikan bahwa
suplementasi ZnO 13 mg/kg (R1) cukup efektif meningkatkan kadar Zn darah. Hasil penelitian yang sama ditunjukkan oleh Finamore et al. (2003) yang meneliti tikus Sprague-Dawley yang diberi ransum defisien Zn <2 mg/kg ransum (4.3 µmol/l) dibandingkan dengan kelompok tikus yang diberi Zn 50 mg/kg ransum (18.6 µmol/l). Hasil penelitian tersebut menunjukkan perbedaan kandungan Zn serum yang sangat nyata (P<0.01). Ku et al. (1970) mendapatkan hasil penelitian pada babi, bahwa Zn serum meningkat (dari 26.3 µ g/100 ml menjadi 48.8 µg/100 ml) dengan adanya peningkatan Zn dalam ransum dari 12 mg Zn/kg ransum menjadi 90 mg Zn/kg ransum.
97
Suplementasi enzim fitase sebanyak 750 U/kg ransum dan 1000 U/kg dalam ransum tikus tidak nyata mempengaruhi konsentrasi mineral Zn dalam serum, walaupun penambahan enzim fitase 1000 U/kg ransum mampu meningkatkan konsentrasi Zn serum sebesar 6.3%. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa mineral Zn yang dilepas dari ikatan fitat-Zn kurang mampu meningkatkan Zn serum secara nyata.
Kandungan Mineral Ca dalam Serum Tikus Suplementasi ZnO maupun enzim fitase dalam ransum tikus sangat nyata meningkatkan kandungan mineral kalsium dalam serum(P<0.01).
Besarnya
peningkatan kalsium serum dengan adanya suplementasi ZnO dibandingkan dengan perlakuan kontrol (tanpa suplementasi ZnO maupun enzim fitase, rasio molar AF : Zn = 27) didapati sebesar 15.86% pada perlakuan R1 (suplementasi ZnO 13 mg/kg ransum, rasio molar AF: Zn = 20), 22.99% pada perlakuan R2 (suplementasi ZnO 29 mg/kg ransum, rasio molar AF: Zn = 15), 22.95% pada perlakuan R3 (suplementasi ZnO 61 mg/kg ransum, rasio molar AF: Zn = 10), 19.83% pada perlakuan R4 (suplementasi enzim fitase 750 U/kg ransum, rasio molar AF : Zn = 27) dan 17.06% pada perlakuan R5 (suplementasi enzim fitase 1000 U/kg ransum, rasio molar AF : Zn = 27). Meningkatnya mineral kalsium serum dapat dijelaskan karena adanya penambahan Zn ransum yang menyebabkan peningkatan Zn serum. Hal ini terjadi karena adanya peningkatan pembentukan albumin. Menurut Groff dan Gropper (2000) defisiensi Zn menyebabkan menurunnya konsentrasi beberapa protein pengangkut dalam darah, seperti albumin, transferin dan prealbumin. Mineral kalsium diangkut dalam darah dengan 3 bentuk: sejumlah kalsium ( 40%) terikat dengan protein, terutama albumin dan prealbumin ; 10% kalsium membentuk komplek dengan sulfat, fosfat atau sitrat : dan 50% kalsium ditemukan dalam keadaan bebas dalam darah.
Dari hasil penelitian ini diduga bahwa mineral
kalsium banyak diangkut oleh albumin di dalam darah.
98
Aktivitas Alkalin Fosfatase dalam Serum Tikus Groff dan Gropper (2000) menyatakan bahwa mineral Zn dibutuhkan untuk aktivitas enzim alkalin fosfatase. Alkalin fosfatase mengandung 4 ion Zn per molekul enzim, 2 ion dibutuhkan untuk aktivitas enzim dan 2 ion lagi dibutuhkan untuk struktur enzim tersebut.
Aktivitas enzim alkalin fosfatase
menurun dengan adanya defisiensi mineral Zn.
Metzler (1977) menyatakan
alkalin fosfatase membutuhkan Zn untuk aktivitas optimumnya. Dilaporkan juga bahwa fungsi alkalin fosfatase adalah untuk resorpsi Ca tulang serta bertanggung jawab untuk menyediakan fosfor- inorganik pada tempat yang membutuhkan. Dari hasil penelitian ini nampak bahwa penambahan mineral ZnO maupun enzim fitase dalam ransum tikus meningkatkan aktivitas alkalin fosfatase, walaupun secara statistik tidak berbeda nyata. Besarnya peningkatkan tersebut adalah sebesar 14.21% pada perlakuan R1 (suplementasi ZnO 13 mg/kg ransum, rasio molar AF: Zn = 20), 26.9% pada perlakuan R2 (suplementasi ZnO 29 mg/kg ransum, rasio molar AF : Zn = 15), 21.3% pada perlakuan R3 (suplementasi ZnO 61 mg/kg ransum, rasio molar AF : Zn = 10), 20.9% pada perlakuan R4 (suplementasi enzim fitase 750 mg/kg ransum, rasio molar AF : Zn = 27) dan 10.5% pada perlakuan R5 (suplementasi enzim fitase 1000 U/kg ransum, rasio molar AF : Zn = 27). Semakin tinggi penambahan ZnO dalam ransum, semakin meningkatkan kadar alkalin fosfatase, kecuali pada kadar ZnO 61 mg/kg ransum yang menghasilkan alkalin fosfatase lebih rendah dibandingkan dengan penambahan ZnO 29 mg/kg ransum.
Hasil ini menunjukkan bahwa penambahan ZnO 29
mg/kg ransum (rasio molar asam fitat : Zn = 15) paling efektif untuk mendukung aktivitas alkalin fosfatase. Hal ini sesuai dengan hasil retensi Zn (Tabel 24), yaitu penambahan ZnO 29 mg/kg ransum sudah cukup untuk menghasilkan retensi Zn tertinggi pada tikus.
99
Persentase Bobot Testis dan Ovarium Tikus Umur 80 Hari
Untuk mengetahui perkembangan organ reproduksi pada tikus jantan dan betina dengan adanya penambahan ZnO dan enzim fitase dalam ransumnya, maka diukur persentase bobot testis dan bobot ovarium. Pengaruh perlakuan terhadap persentase bobot testis pada tikus jantan dan ovarium pada tikus betina dapat dilihat pada Tabel 27. Berdasarkan hasil analisis statistik, suplementasi ZnO maupun enzim fitase dalam ransum tidak mempengaruhi persentase bobot testis dan ovarium pada tikus Sprague Dawley umur 80 hari. Jika dilihat dari hasil pada Tabel 27, persentase bobot testis dan ovarium tikus semakin meningkat dengan suplementasi ZnO sampai rasio molar asam: fitat = 10 maupun dengan penambahan enzim fitase 750 U/kg ransum atau 1000 U/kg ransum. Tabel 27. Rataan persentase bobot testis dan ovarium tikus umur 80 hari __________________________________________________________________ Ransum ZnO Fitase Rasio Testis* Ovarium* Perlakuan (mg/kg (U/kg AF:Zn (%) (%) ransum) ransum) __________________________________________________________________ R0
0
0
27
1.15
0.072
R1
13
0
20
1.17
0.076
R2
29
0
15
1.17
0.077
R3
61
0
10
1.19
0.081
R4
0
750
27
1.23
0.075
R5 0 1000 27 1.21 0.105 __________________________________________________________________ * Persentase berat dari bobot hidup
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perkembangan testis maupun ovarium responsif terhadap meningkatnya kandungan Zn dalam ransum serta menunjukkan bahwa kandungan Zn dalam ransum kontrol (tanpa suplementasi, rasio molar AF : Zn = 27) belum maksimal untuk memenuhi perkembangan testis dan ovarium pada tikus. Mc Dowell (1992) menyatakan bahwa defisiensi Zn dapat mengganggu perkembangan organ seks pada jantan dan spermatogenesis serta mengganggu semua fase proses reproduksi pada betina.
Selanjutnya
100
dikatakan bahwa terganggunya perkembangan dan fungsi organ reproduksi jantan terjadi pada tikus, manusia, sapi dan domba dengan adanya defisiensi Zn dalam ransum. Underwood dan Suttle (2001) menyatakan bahwa Zn ransum yang suboptimal menyebabkan hypogonadism pada sapi, ukuran testis dombapun berkurang dengan adanya defisiensi Zn dalam ransum. Georgievskii et al. (1982) menyatakan bahwa darah, tulang, hati, pankreas dan gonad adalah organ yang paling responsif terhadap taraf Zn dalam ransum
Persentase Bobot Thimus, Pankreas, Hati dan Ginjal Tikus Umur 80 Hari Rataan persentase bobot thimus, pankreas, hati dan ginjal tikus penelitian dapat dilihat pada Tabel 28. Tabel 28. Persentase bobot thimus, pankreas, hati dan ginjal tikus umur 80 hari* _________________________________________________________________ Ransum ZnO Fitase Rasio Thimus Pankreas Hati Ginjal Perlakuan (mg/kg (U/kg AF:Zn (%) (%) (%) (%) ransum) ransum) __________________________________________________________________ R0
0
0
27
0.22aA
0.22aA**
3.53a
0.66
R1
13
0
20
0.25ab
0.25ab
3.57a
0.69
R2
29
0
15
0.27bc
0.25ab
3.80bA 0.69
R3
61
0
10
0.30cB
0.30bc
3.92bA 0.68
R4
0
750
27
0.30cB
0.29bc
3.57a
0.69
R5 0 1000 27 0.33B 0.33cB 3.34aB 0.66 __________________________________________________________________ * Persentase berat dari bobot hidup ** Superskrip dengan huruf besar yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda sangat nyata (P<0,01) ; superskrip dengan huruf kecil yang berbeda pada kolom yang menunjukkan berbeda nyata (P<0.05)
sama
Persentase Bobot Thimus Tikus Suplementasi ZnO sebanyak 29 mg/kg ransum pada R2 (rasio molar AF : Zn = 15) dalam ransum nyata meningkatkan (P<0.05) persentase bobot thimus tikus. Suplementasi ZnO sebanyak 61 mg/kg ransum pada R3 ( rasio molar AF :
101
Zn = 10) sangat nyata meningkatkan (P<0.01) pembesaran thimus pada tikus dibandingkan dengan ransum kontrol. Suplementasi ZnO sebanyak 13 mg/kg ransum pada R1 ( rasio molar AF : Zn = 20) juga menyebabkan ukuran thimus membesar, tapi secara statistik tidak berbeda nyata dibandingkan dengan kontrol. Dari hasil ini terlihat, bahwa semakin tinggi dosis suplementasi ZnO dalam ransum, bobot thimus semakin meningkat. Suplementasi enzim fitase sebanyak 750 U/kg pada R4 (rasio molar AF : Zn = 27) maupun 1000 U/kg pada R5 (rasio molar AF : Zn = 27) sangat nyata meningkatkan (P<0.01) ukuran thimus pada tikus dibandingkan dengan ransum kontrol (R0/tanpa suplementasi, rasio molar AF : Zn = 27). Ukuran thimus pada perlakuan R5 (suplementasi 1000 U fitase/kg ransum, rasio molar AF : Zn = 27) lebih besar dibandingkan dengan ukuran thimus pada R4 (suplementasi 750 U fitase/kg ransum, rasio molar AF: Zn = 27). Hasil ini menunjukkan bahwa enzim fitase efektif bekerja dalam memecah ikatan antara asam fitat dengan mineral Zn, sehingga Zn tersedia untuk tikus. Dengan adanya suplementasi enzim fitase yang lebih tinggi pada R5 ( 1000 U fitase/kg ransum), mineral Zn lebih banyak lagi yang dilepas dari ikatannya dengan asam fitat dalam ransum tikus. Helge dan Rink (2003) menyatakan bahwa mineral Zn sangat penting untuk perkembangan sel dalam tubuh manusia, terutama sistim kekebalan. Finamore et al. (2003) menyatakan bahwa defisiensi Zn dapat mempengaruhi sistim kekebalan (immune system) yang menyebabkan jaringan limfoid (lymphoid tissue) mengecil (atrophy), menurunnya produksi antibodi dan berkurangnya proliferasi sel-T (Tcell). Menurut Baker et al. (1979), organ limfoid utama pada tikus adalah thimus dan bursa fabricius. Helge dan Rink (2003) menyatakan bahwa Zn terlibat dalam perkembangan sel-T, karena defisiensi Zn bertanggung jawab terhadap mengecilnya thimus. Selanjutnya dijelaskan bahwa mineral Zn adalah kofaktor esensial dari thymulin, yaitu hormon yang diproduksi oleh thimus. Thimulin ini mengatur diferensiasi sel-T muda (immature T-cell) dalam thimus dan mengatur fungsi sel- T dewasa dalam sel periphery (pinggir sel). Mineral Zn sangat diperlukan untuk fungsi normal dari sistim kekebalan, bahkan dengan adanya defisiensi Zn ringan, akan menurunkan kekebalan pada manusia.
102
Hasil penelitian Rivera et al. (2003) menunjukkan bahwa suplementasi Zn dapat menurunkan terjadinya penyakit diare dan pneumonia pada anak-anak. Kedua penyakit ini adalah penyebab utama kematian pada anak-anak di negaranegara berpendapatan rendah.
Negara-negara yang mempunyai resiko tinggi
terhadap defisiensi Zn adalah Asia Selatan, Asia Tenggara, Sub-Sahara Afrika, Amerika Tengah dan Amerika Selatan.
Persentase Bobot Pankreas Tikus Suplementasi ZnO sebanyak 61 mg/kg dalam ransum R3 (rasio molar AF : Zn = 10) nyata meningkatkan (P<0.05) persentase bobot pankreas tikus dibandingkan dengan ransum kontrol (R0, rasio molar AF : Zn = 27). Suplementasi ZnO 13 mg/kg ransum dalam perlakuan R1 (rasio molar AF : Zn =20) dan 29 mg/kg ransum dalam perlakuan R2 (rasio molar AF : Zn =15 juga meningkatkan persentase bobot pankreas tikus, walaupun secara statistik tidak berbeda nyata. Penambahan enzim fitase sebanyak 750 U/kg dalam ransum R4 (rasio molar AF: Zn = 27) nyata meningkatkan persentase bobot pankreas tikus dan penambahan enzim fitase sebanyak 1000 U/kg dalam ransum R5 (rasio molar AF : Zn = 27) sanyat nyata (P<0.01) me ningkatkan persentase bobot pankreas tikus dibandingkan dengan ransum kontrol (R0, rasio molar AF : Zn = 27). Dari hasil ini dapat dijelaskan bahwa enzim fitase pada perlakuan R4 ( suplementasi enzim fitase 750 U/kg ransum) dan pada perlakuan R5 (suplementasi enzim fitase 1000 U/kg ransum) mampu melepaskan ikatan antara asam fitat dengan Zn, sehingga mineral Zn jadi tersedia untuk tikus. Meningkatnya persentase bobot pankreas menunjukkan bahwa terjadi peningkatan aktivitas pankreas tikus karena adanya peningkatan kandungan Zn dalam ransum.
Pankreas adalah tempat diproduksinya berbagai enzim dan
hormon insulin. Pond et al. (1995) menyatakan bahwa mineral Zn dibutuhkan oleh enzim pencernaan dalam pankreas serta hormon insulin yang disekresikan dari pankreas.
Groff dan Gropper (2000) menyatakan bahwa enzim
carboxypeptidase A adalah enzim yang tergantung Zn untuk aktivitasnya. Carboxypeptidase A adalah exopeptidase yang disekresikan oleh pankreas ke
103
dalam duodenum dan diperlukan untuk pencernaan protein. Mineral Zn terikat kuat pada carboxypeptidase A dan sangat penting untuk aktivitas enzim tersebut. Aktivitas enzim tersebut menurun dengan adanya defisiensi mineral Zn. Szabo et al. (2004) mendapatkan hasil penelitian, bahwa suplementasi ZnO dalam ransum tikus meningkatkan aktivitas enzim- enzim hidrolase ( amilase, tripsin, lipase, protease) pada pankreas maupun usus halus. Mc Dowell (1992) menyatakan bahwa mineral Zn berhubungan dengan insulin dalam pankreas dan konsentrasi insulin pankreas menurun denga n adanya defisiensi Zn dalam ransum. Tikus yang defisien Zn mempunyai insulin plasma yang rendah dan menurunnya sekresi insulin dari pankreas.
Persentase Bobot Hati Tikus Suplementasi ZnO sebanyak 29 mg/kg ransum pada perlakuan R2 (rasio molar AF : Zn = 15) dan 61 mg/kg ransum pada perlakuan R3 (rasio molar AF : Zn = 10) nyata meningkatkan (P<0.05) persentase bobot hati dibandingkan dengan ransum kontrol (R0, rasio molar AF : Zn = 27)). Penambahan enzim fitase sebanyak 750 U/kg ransum pada perlakuan R4 (rasio molar AF : Zn =27) maupun 1000U/kg ransum pada perlakuan R5 (rasio molar AF : Zn = 27) tidak nyata mempengaruhi persentase bobot hati tikus. Hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa hati responsif terhadap meningkatnya kandungan Zn dalam ransum.
Georgievskii et al. (1982)
menyatakan bahwa hati, pankreas, gonad, darah dan tulang adalah organ yang paling responsif terhadap taraf mineral Zn dalam ransum.
Ku et al. (1970)
melakukan penelitian suplementasi mineral Zn dalam ransum babi ( 12 mg/kg ransum dengan 90 mg/kg ransum) dan hasilnya menunjukkan bahwa meningkatnya mineral Zn dalam ransum menyebabkan peningkatan bobot hati dan kandungan RNA (Ribo nucleic acid) dalam hati (dari 18.0 mg/g menjadi 34.7 mg/g). Ku et al. (1970) menyatakan bahwa defisiensi mineral Zn menurunkan sintesis protein dan metabolisme asam nukleat. Persentase Bobot Ginjal Tikus Suplementasi ZnO maupun enzim fitase dalam ransum tidak nyata mempengaruhi persentase bobot ginjal tikus. Menurut Ressang (1984), ginjal
104
adalah alat tubuh yang mempunyai daya saring dan serap kembali. Underwood dan Suttle (2001) menyatakan bahwa ekskresi mineral Zn yang utama adalah melalui sekresi pankreatik dan feses, hanya sedikit Zn yang dibuang melalui urin. Groff dan Gropper (2000) menyatakan bahwa sebagian besar mineral Zn yang hilang dari tubuh melalui saluran pencernaan ke dalam feses.
Mineral Zn
endogenous dalam bentuk enzim metalloprotein disekresikan oleh kelenjar saliva, mukosa usus halus, pankreas dan hati ke dalam saluran pencernaan. Sebagian Zn tersebut diserap kembali dan sebagian lagi dibuang melalui feses.
Dengan
demikian ginjal tidak responsif dengan meningkatnya mineral Zn dalam ransum, karena ginjal bukan organ utama tempat ekskresi mineral Zn.
Kesimpulan Hasil Penelitian pada Tikus Dari hasil penelitian pada tikus dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : Suplementasi ZnO 61 mg/kg ransum (rasio molar asam fitat : Zn = 10) merupakan perlakuan terbaik pada perlakuan suplementasi ZnO pada tikus. Suplementasi enzim fitase 1000 unit/kg ransum merupakan taraf terbaik pada perlakuan suplementasi enzim fitase pada tikus. Kesimpulan tersebut ditunjukkan dengan hasil yang dirangkum pada bagan di bawah ini : TIKUS
Suplementasi ZnO 61 mg/kg ransum (AF:Zn = 10) / R3
•Performan = kontrol (R0) •Retensi semu Zn ? (20.57%) •Alkalin fosfatase ? (21.3%) •Testis ? (3.5%) •Ovarium ? (12.5%) •Thimus ? (36.4%) •Pankreas ? (36.4%)
Suplementasi Fitase 1000 unit/kg ransum (AF:Zn = 27)/R5
•Ef.penggunaan ransum ? •Retensi semu Zn ? (6.3%) •Alkalin fosfatase ? (10.5%) •Testis ? (5.2%) •Ovarium ? (45.8%) •Thimus ? (50%) •Pankreas ? (50%)
105
PEMBAHASAN UMUM
Dari hasil penelitian ayam petelur dapat dijelaskan bahwa ransum kontrol (R0) pada ayam petelur ( mengandung 49.8 mg Zn/ kg ransum dengan rasio molar asam fitat : Zn = 76) tidak menyebabkan defisiensi parah, karena tidak mengganggu
performan
ayam
petelur.
Ransum
kontrol
(P0)
tersebut
menyebabkan status Zn suboptimal pada ayam petelur yang ditandai antara lain dengan lebih rendahnya aktivitas alkalin fosfatase dalam serum, kandungan vitamin A dalam telur dan
kandungan mineral Zn dalam tulang tibia
dibandingkan dengan perlakuan suplementasi Zn dan enzim fitase. Perubahan rasio molar asam fitat : Zn dalam ransum dari 76 (ransum kontrol) menjadi 15 dan 7.5 direspon dengan meningkatnya berat telur (gram/butir), walaupun secara statistik tidak berbeda nyata serta meningkatnya aktivitas enzim alkalin fosfatase dalam serum sebesar 20.67% pada rasio molar asam fitat : Zn = 15 dan 43.74% pada rasio molar asam fitat : Zn = 7.5, meningkatnya kandungan vitamin A dalam telur dan bertambahnya deposit mineral Zn dalam kerabang telur dan tulang tibia. Hasil ini menunjukkan bahwa tanpa suplementasi Zn dan enzim fitase dalam ransum, ketersediaan Zn rendah. Suplementasi enzim fitase sebanyak 400 U/kg ransum memberikan pengaruh positif pada ayam petelur. Hal ini ditunjukkan dengan meningkatnya produksi telur hen day, produksi massa telur, berat telur, menurunnya konversi ransum, meningkatnya kandungan vitamin A dalam telur, meningkatnya aktivitas alkalin fosfatase dalam serum serta dapat menurunkan ekskresi mineral P. Hasil ini menunjukkan bahwa enzim fitase dapat me mecah ikatan antara asam fitat dengan Zn, sehingga mineral Zn menjadi lebih tersedia untuk ayam petelur. Ketersediaan mineral P juga meningkat dengan adanya enzim fitase dan hal ini menunjukkan bahwa terdapat proses hidrolisa fitat oleh enzim fitase, sehingga mineral P menjadi bebas dan tersedia untuk ayam petelur. Ransum tikus kontrol (mengandung 28.59 mg Zn/kg ransum dengan rasio molar asam fitat : Zn = 27) pada penelitian ini tidak menyebabkan penurunan pertumbuhan pada tikus, tetapi adanya suplementasi ZnO dengan rasio molar asam fitat : Zn = 20, 15 dan 10 dapat
meningkatkan retensi mineral Zn,
106
kandungan Zn dan aktivitas alkalin fosfatase dalam serum, meningkatnya berat organ reproduksi ( testis dan ovarium), bertambahnya ukuran organ yang memproduksi kekebalan tubuh (thimus) serta ukuran pankreas( tempat berbagai enzim dan hormon insulin diproduksi). Ransum dengan rasio molar asam fitat : Zn 10 meningkatkan status mineral Zn paling baik pada tikus. Hasil ini sesuai dengan Oberleas (2002) serta Gha rib dan Mohajer (2005) bahwa rasio molar asam fitat : Zn = 10 cukup untuk memelihara homeostasis Zn. Menurut King et al. (2000), tikus akan mengalami defisiensi Zn yang parah dan mekanisme homeostasis Zn akan terganggu jika ransum mengandung < 10 mg Zn/kg ransum. Hasil penelitian pada tikus ini menunjukkan bahwa ransum dengan rasio molar asam : fitat = 27 menyebabkan status mineral Zn suboptimal pada tikus. Menurut FAO dan WHO (2002), makanan dengan rasio molar asam : fitat >15 dan terdiri dari serealia termasuk kategori makanan yang mempunyai ketersediaan Zn rendah (<15%).
FAO
dan
WHO
(2002)
menggolongkan
makanan
berdasarkan ketersediaan Zn menjadi 3 kategori seperti yang dapat dilihat pada Tabel 29. Tabel 29. Kriteria penggolongan makanan berdasarkan ketersediaan Zn _________________________________________________________________ Kategori Karakteristik Makanan _________________________________________________________________ I. Ketersediaan tinggi Makanan halus, rendah serat kasar dari serealia, (50%)
rendah asam fitat, rasio molar asam fitat : Zn <5, protein cukup dan berasal dari non-nabati protein seperti daging atau ikan
II. Ketersediaan sedang (30%)
Makanan campuran yang mengandung protein hewani atau ikan, lacto-ovo, ovovegetarian, rasio molar asam fitat : Zn = 5 – 15
III. Ketersediaan rendah (15%)
Makanan yang terdiri atas makanan tidak dihaluskan, tidak difermentasi, tidak digerminasi, difortifikasi dengan garam kalsium, tidak mengandung protein hewani, rasio molar asam fitat
:
Zn >15
_________________________________________________________________ Sumber : FAO dan WHO (2002)
107
FAO dan WHO (2002) menyatakan bahwa perubahan dalam respon kekebalan terjadi sebelum penurunan Zn dalam plasma. Selanjutnya dijelaskan bahwa status Zn yang rendah pada anak-anak, bukan hanya mempengaruhi pertumbuhan, tetapi juga berhubungan dengan meningkatnya resiko penyakit infeksi yang parah. Suplementasi Zn dapat mengurangi kejadian diare, infeksi saluran pernapasan dan malaria. Hotz dan Brown (2004) menyatakan bahwa Indonesia termasuk kategori resiko tinggi terhadap defisiensi mineral Zn, yaitu sekitar 34.4% penduduk Indonesia mengkonsumsi Zn yang kurang/tidak cukup. Konsumsi Zn rata-rata penduduk Indonesia adalah 10 mg/ orang/ hari, fitat 2859 mg/orang/hari, rasio molar asam fitat : Zn = 28.4 dan Zn yang dapat diserap adalah sekitar 2.1 mg/orang/hari (20.9%).
Menurut Groff dan Gropper (2000), dengan asumsi
efisiensi penyerapan Zn sebesar 20%, maka kebutuhan Zn untuk seorang laki- laki dewasa adalah 15 mg/hari, untuk wanita dewasa yang tidak hamil atau tidak menyusui adalah 12 mg/hari, untuk wanita hamil adalah 15 mg/hari dan untuk wanita yang sedang menyusui adalah 19 mg/hari. Suplementasi enzim fitase sebanyak 1000 U/kg ransum meningkatkan ketersediaan mineral Zn pada tikus yang ditunjukkan dengan meningkatnya pertumbuhan, efisiensi penggunaan ransum, retensi mineral, perkembangan organ reproduksi (testis dan ovarium), perkembangan thimus, pankreas serta hati. Hasil ini menunjukkan bahwa enzim fitase sebanyak 1000 U/kg efektif untuk mengatasi efek negatif asam fitat yang terkandung dalam ransum tikus. FAO dan WHO (2002) menyatakan bahwa kandungan asam fitat dapat dikurangi melalui aktivasi fitase yang terkandung dalam sebagian besar makanan yang mengandung asam fitat atau melalui penambahan fitase mikroba. Fitase menghidrolisa fitat menjadi inositol fosfat sederhana dan menyebabkan perbaikan absorpsi Zn. Ketersediaan mineral dalam tubuh tidak terlepas dari interaksi antar mineral- mineral. Mineral- mineral yang mempunyai kemiripan secara fisik dan kimia, secara biologis akan berinteraksi antagonis terhadap mineral lainnya. Solomons (1988) menyatakan bahwa tempat mineral- mineral berinteraksi yang penting secara fisiologis adalah : a. Dalam makanan atau minuman
108
b. Dalam saluran pencernaan ; terjadi kompetisi untuk tempat masuk (uptake) c. Pada tingkat jaringan, tempat-tempat penyimpanan d. Dalam transpor diantara organisme e. Pada saluran pengeluaran (ekskresi) Interaksi antar mineral terutama terjadi dalam saluran pencernaan. Mineralmineral yang mirip secara kimia akan berbagi saluran (channels) untuk absoprsi. Masuknya 2(dua) buah atau lebih mineral secara bersamaan akan menyebabkan kompetisi dalam penyerapan. Sebagai contoh adalah interaksi antagonis antara mineral Zn – Fe pada manusia (Solomons, 1988), antara Zn-Cu dan Zn-Mn (Groff dan Gropper, 2000). Solomons (1988) juga menyatakan jika simpanan mineral dalam tubuh berlebih, usus halus akan beradaptasi dengan cara mencega h (block) absorpsi mineral tersebut dari makanan. Keadaan tersebut juga akan menghambat absorpsi mineral- mineral lain yang mirip secara kimia, sebagai contoh adalah terhambatnya absorpsi Cu oleh Zn yang berlebih. Hasil penelitian pada tikus membuktikan bahwa kandungan mineral Zn maksimum dalam serum dicapai oleh perlakuan R1 (suplementasi ZnO 13 mg/kg ransum dengan rasio molar asam fitat : Zn = 20). Suplementasi ZnO yang lebih tinggi dari perlakuan tersebut tidak meningkatkan kandungan mineral Zn dalam serum tikus. Dalam hal ini terdapat mekanisme pencegahan (block mechanism) dari tubuh tikus. Dengan makin tingginya mineral Zn dalam ransum tikus, yaitu pada perlakuan R2 (suplementasi ZnO 29 mg/kg ransum dengan rasio molar asam fitat: Zn = 15) dan R3 (sup lementasi ZnO 61 mg/kg ransum dengan rasio molar asam fitat : Zn = 10), retensi semu mineral kalsium dan fosfor dihambat (menurun).
Hasil ini membuktikan bahwa tingginya Zn dalam ransum
menghambat absorpsi mineral kalsium dan fosfor. Groff dan Gropper (2000) menyatakan bahwa di dalam usus halus mineralmineral terikat dengan zat pengikat (ligand chelate) yang dapat membantu proses absorpsi atau zat pengikat yang menghambat absorpsi. Zat-zat pengikat yang membantu proses absorpsi diantaranya adalah protein dan asam-asam amino,
109
sedangkan zat pengikat penghambat absorpsi mineral diantaranya adalah oksalat, fitat dan tanin. Persaingan antar mineral- mineral dalam menggunakan alat transpor juga terjadi di dalam darah. Mineral Zn bersaing dalam menggunakan histidin dan sistein dengan mineral kuprum (Cu). Mineral Zn bersaing dalam menggunakan albumin dengan mineral Cu dan kalsium (Ca).
Mineral Zn bersaing dalam
menggunakan transferin dengan zat besi (Fe) dan mangan (Mn). Mineral Zn bersaing dalam menggunakan ? – 2- makroglobulin dengan mineral Mn. Mineral Zn dengan mineral fosfor kemungkinan menggunakan alat transpor yang sama dalam darah, yaitu protein (Groff dan Gropper, 2000). Fenomena interaksi antagonis antara mineral Zn dengan mineral- mineral Cu, Mn, Fe, Ca dan P dalam menggunakan alat transpor yang sama dalam darah diperlihatkan oleh hasil penelitian pada ayam petelur, yaitu kandungan mineralmineral tersebut dalam telur, kerabang dan daging ayam.
Dengan adanya
suplementasi Zn yang tinggi pada perlakuan P1 (suplementasi ZnO 252 mg/kg ransum, rasio molar asam fitat : Zn = 15) dan pada perlakuan P2 (suplementasi ZnO 567 mg/kg ransum, rasio molar asam fitat : Zn = 7,5) dapat menekan deposit mineral Mn, Fe, Cu, P dan Ca ke dalam telur dan daging ayam.
Hal ini
membuktikan bahwa mineral- mineral tersebut kalah bersaing oleh mineral Zn dalam mendapatkan alat transpor di dalam darah. Secara garis besar, gambaran mekanisme transpor mineral Zn dengan adanya suplementasi enzim fitase dan mineral Zn serta interaksi antagonis antara mineral Zn dengan mineral Cu, Mn dan Ca pada penelitian ini disajikan pada Gambar 15 (untuk mineral Zn), Gambar 16 (untuk mineral Cu), Gambar 17 (untuk mineral Mn), Gambar 18 (untuk mineral Ca) dan Gambar 19 (untuk mineral P). Perlakuan pada penelitian ini tidak ditujukan pada hewan- hewan coba yang defisien Zn, baik pada ayam maupun tikus. Oleh karena itu, hewan-hewan coba tidak dibuat defisien mineral Zn. Ransum kontrol pada penelitian ini menggunakan ransum yang biasa digunakan pada peternak dan fokus penelitian ini adalah melihat rasio molar asam fitat : Zn yang ada pada ransum tersebut sebagai landasan untuk melakukan suplementasi Zn.
95
USUS HALUS HCl/protease
Zn 2+
Zn pakan
Zat pengikat:
Zn 2+ - fitat
Ekskresi
fitat
(65.08%, P2)
asam amino ( carrier)
pasif
+ fitase
+ Zn2+>>
ENTEROCYTE Zn2+ Zn 2+
Zn2+
Zn2+ ATP
Metallothionein
ADP Protein Zn2+
Zn2+
Zn2+
Zn2+
Metallothionein
DARAH
asam amino
Z n2+ Penggunaan fungsional ( retensi Zn = 34.92%)
Gambar 15. Mekanisme transpor mineral Zn pada suplementasi mineral Zn dan enzim fitase pada ayam petelur
SEL
96
? Suplementasi fitase 400 U/kg ransum : ? Vitamin A telur ? 24.4% ? Zn kerabang ? 4.7% ? Aktivitas alkalin fosfatase ? 46.91%
? Suplementasi Zn (rasio molar asam fitat : Zn =15) : ? Vitamin A telur ? 29.8% ? Zn telur ? 1.6% ? Zn kerabang ? 7.7% ? Zn tulang tibia ? 8.5% ? Aktivitas alkalin fosfatase? 19.96%
? Suplementasi Zn (rasio molar asam fitat: Zn = 7.5) : ? Vitamin A telur ? 15.3% ? Zn telur ? 3.2% ? Zn kerabang ? 23.2% ? Zn daging ? 4.9% ? Zn tulang tibia ? 11.7% ? Aktivitas alkalin fosfatase ? 22.1%
97
USUS HALUS HCl/pepsin
Cu 2+
Cu pakan
Cu2+-fitat
Zat pengikat:
Ekskresi
fitat asam amino (carrier)
pasif
+fitase
+ Zn2+ >>
ENTEROCYTE Cu2+ Cu2+ ATP
Metallothionein
ADP
DARAH
Cu2+ Cu2+
Ceruloplasmin
Cu 2+
Transcuprein Albumin Histidin
SEL Cu2+ Cu dalam telur : P2(567 mg ZnO/kg)=? 50 %; P4 (400 U fitase):?100% Gambar 16. Mekanisme transpor mineral Cu pada suplementasi mineral Zn dan enzim fitase pada ayam petelur
98
? Suplementasi enzim fitase 400 U/kg ransum : ? Cu telur ? 100 % ? Cu tulang tibia ? 129.7%
? Suplementasi Zn (rasio molar asam fitat: Zn = 15) : ? Cu telur tetap ? Cu tulang tibia ? 60%
? Suplementasi Zn (rasio molar asam fitat: Zn =7.5%) : ? Cu telur ? ? Cu tulang tibia ? 90.3%
99
Mn pakan
Mn2+-fitat
Zat pengikat: fitat
USUS HALUS Ekskresi
+fitase +Zn2+>> ENTEROCYTE Mn2+
Histidine Citrate Mn2+ Transferrin
Zn2+
DARAH
Mn2+ Mn dalam telur: P2(567 mg ZnO/kg)= ? 50% ; P4(400 U fitase/kg)= ?16.7%
SEL
Gambar 17. Mekanisme transpor mineral Mn pada suplementasi mineral Zn dan enzim fitase pada ayam petelur
100
? Suplementasi enzim fitase 400 U/kg ransum : ? Mn telur ? 16.7 % ? Mn daging ? 27.3% ? Fe tulang tibia ? 5.3%
? S uplementasi Zn (rasio molar asam fitat: Zn = 15) : ? Mn telur ? 50.0% ? Mn tulang tibia ? 14.9%
? Suplementasi Zn (rasio molar asam fitat: Zn =7.5%) : ? Mn telur ? 50.0% ? Mn tulang tibia ? 18.8%
101
USUS HALUS Ca pakan
Zat pengikat: fitat
Ca2+- fitat
Ekskresi
+fitase +Zn2+>> ENTEROCYTE Ca2+
Calcium-binding protein Zn2+
Ca2+
Sulphate Phosphate Citrate Pre-albumin Albumin
DARAH
Ca2+ Ca dalam telur: P2(567 mg ZnO/kg)= ?9.8% ; P4(400 U fitase/kg)=?8.5%
SEL
Gambar 18. Mekanisme transpor mineral Ca pada suplementasi mineral Zn dan enzim fitase pada ayam petelur
102
? Suplementasi enzim fitase 400 U/kg ransum : ? Ca daging ? 79.4%
? Suplementasi Zn (rasio molar asam fitat: Zn = 15) : ? Ca telur ? 4.7% ? Ca daging ? 4.1%
? Suplementasi Zn (rasio molar asam fitat: Zn =7.5%) : ? Ca telur ? 9.8% ? Ca tulang tibia ? 5.6%
103
USUS HALUS PO4 pakan
Mg3(PO 4)2 Zat pengikat: fitat
Ekskresi (PO 4)-fitat +fitase +Zn2+>> ENTEROCYTE
PO 4 Zn2+
(PO4)2-
Ca2+, Mg 2+ Phospholipids Protein
(PO4) 2P dalam telur: P2(567 mg ZnO/kg)=?10%; P4(400 U fitase/kg)=?10%
DARAH
SEL
Gambar 19. Mekanisme transpor mineral P pada suplementasi mineral Zn dan enzim fitase pada ayam petelur
104
? Suplementasi enzim fitase 400 U/kg ransum : ? P telur ? 10.0% ? P tulang tibia ? 0.6%
? Suplementasi Zn (rasio molar asam fitat: Zn = 15) : ? P telur tetap ? P daging ? 34.4%
? Supleme ntasi Zn (rasio molar asam fitat: Zn =7.5%) : ? P telur ? 10% ? P daging ? 31.2%
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan Ayam Petelur Dari hasil penelitian pada ayam petelur dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : Pada perlakuan suplementasi ZnO: suplementasi 252 mg ZnO/kg ransum (rasio molar asam fitat: Zn = 15)/ P1 merupakan perlakuan terbaik. Hal ini ditunjukkan dengan hasil sebagai berikut: Meningkatkan retensi semu absolut (mg/ekor/hari), efisiensi penggunaan ransum, berat telur, kandungan vitamin A dalam telur dan aktivitas alkalin fosfatase dalam serum. Pada perlakuan suplementasi enzim fitase: suplementasi 400 unit fitase/kg ransum (rasio molar asam fitat: Zn = 76)/ P4 merupakan perlakuan terbaik. Hal ini ditunjukkan dengan hasil sebagai berikut: Meningkatkan retensi semu absolut (mg/ekor/hari), produksi telur henday, efisiensi penggunaan ransum, berat telur, kandungan vitamin A dalam telur, aktivitas alkalin fosfatase dalam serum. Pada perlakuan kombinasi suplementasi ZnO + enzim fitase: Suplementasi 252 mg ZnO/kg ransum + 300 unit fitase/kg ransum (rasio molar asam fitat: Zn = 15)/ P5 merupakan perlakuan terbaik. Hal ini ditunjukkan dengan hasil sebagai berikut: Meningkatkan retensi semu Zn absolut (mg/ekor/hari), produksi telur, efisiensi penggunaan ransum, kandungan vitamin A dalam telur, aktifitas alkalin fosfatase dalam serum. Dari semua perlakuan dalam penelitian dengan ayam ini, perlakuan P5 (252 mg ZnO/kg ransum + 300 unit fitase/kg ransum) dengan rasio molar asam fitat: Zn = 15 merupakan perlakuan terbaik, karena menghasilkan produksi telur dan efisiensi penggunaan ransum tertinggi. Suplementasi ZnO, enzim fitase maupun kombinasinya relatif tidak meningkatkan Zn dalam telur, hal ini menunjukkan adanya proses homeostasis mineral Zn dalam telur. Terjadi interaksi antagonis antara mineral Zn dengan mineral Mn, Fe, Cu dan Ca; mineral Zn yang tinggi dalam ransum menekan masuknya mineral-
109
mineral tersebut ke dalam telur, mineral Zn juga menekan masuknya Ca ke dalam kerabang telur. Mineral Zn banyak dideposit di dalam kerabang dan tulang tibia.
Tikus Dari hasil penelitian pada tikus dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : Pada perlakuan suplementasi ZnO: Suplementasi 61 mg ZnO/kg ransum (rasio molar asam fitat: Zn = 10)/ R3 merupakan perlakuan terbaik.
Hal ini
ditunjukkan dengan hasil sebagai berikut: Meningkatkan retensi semu Zn, aktifitas alkalin fosfatase dalam serum, persentase bobot testis, ovarium, thimus dan pankreas Pada perlakuan suplementasi enzim fitase: Suplementasi 1000 unit fitase/kg ransum (rasio molar asam fitat: Zn = 27)/ R5 merupakan taraf terbaik. Hal ini ditunjukkan dengan hasil sebagai berikut: Meningkatkan efisiensi penggunaan ransum, retensi semu Zn, aktifitas alkalin fosfatase dalam serum, persentase bobot testis, ovarium, thimus dan pankreas. Dari semua perlakuan pada tikus, perlakuan R5 (suplementasi 1000 unit fitase/kg ransum dengan rasio molar asam fitat: Zn = 27) merupakan perlakuan terbaik. Terjadi interaksi antagonis antara mineral Zn dengan mineral Ca dan P, dalam hal ini mineral Zn yang tinggi dalam ransum (karena adanya suplementasi ZnO) menekan retensi semu mineral Ca dan P pada tikus.
Saran
Suplementasi ZnO dalam ransum ayam petelur dengan rasio molar asam fitat : Zn = 15 atau kombinasi suplementasi 252 mgZnO/kg ransum + 300 U fitase/kg ransum akan lebih efektif jika diterapkan dalam ransum yang mengandung protein hewani rendah, sehingga hal ini akan mengurangi ketergantungan terhadap penggunaan tepung ikan impor sebagai sumber protein hewani dalam ransum unggas.
110
Dari hasil penelitian ini juga dapat disarankan untuk penelitian lebih lanjut dengan memperhitungkan rasio antara mineral Zn dengan mineral lainnya dalam ransum, supaya tidak terjadi penghambatan absorpsi mineral lain oleh Zn. Hasil temuan dalam pene litian ini dapat memberikan masukan untuk menindak lanjuti dengan melakukan penelitian mengenai rasio molar asam fitat : Zn dan suplementasi enzim fitase pada hewan coba yang mempunyai metabolisme Zn dan enzim fitase mirip dengan manusia.
111
DAFTAR PUSTAKA
Adeola O. 1999. Effect of supplemental phytase on trace mineral availability for swine. Di dalam: Coelho MB, Kornegay ET, editor. Phytase in Animal Nutrition and Waste Management . A BASF Reference Manual. Ed ke-2. BASF Corporation. Hlm 465 -479. Adeola O, Lawrence BV, Sutton AL, Cline TR. 1995. Phytase- induce changes in mineral utilization in zinc supplemented diets for pig. J Anim Sci. 73 : 3384. [ANZFA] Australia New Zealand Food Authority. 2000. Statement of reasons application A371 phytase as processing aid. Australia and New Zealand : ANZFA. AOAC. 1999. Official Methods of Analysis. Ed ke-16. AOAC International.
Maryland, U.S.A :
Baker HJ, Lindsey JR, Weisbroth SH. 1979. The Laboratory Rat. Volume I : Biology and Diseases. London: Academic Press, Inc. BASF. 2002. Technical Information. Ed ke – 2. BASF Corporation. Berdanier CD. 1998. Advanced Nutrition Micronutriens. New York : CRC Press Bertolo RFP, William JB, Stephanie AA. 2001a. Divalent metals inhibit and lactose stimulates zinc transport across brush border membrane vesicles from piglets. J Nutr Biochem. 12 : 73 – 80. Bertolo RFP, William JB, Stephanie AA. 2001b. Calcium competes with zinc for a channel mechanism on the brush border membrane of piglet intestine. J Nutr Biochem. 12 : 66 – 72. [BPS] Biro Pusat Statistik. 2005. National Socio Economic Survey. Module consumption, 1999 – 2004. BPS Statistics Indonesia. http://www.bps.go.id/sector/consumpexp/table.shtlm [7 Juli 2005) Bobilya DJ, Ellersieck MR, Gordon DT, Veum TL. 1991. Bioavailability of zinc from nonfat dry milk, lowfat plain yogurt, and soy flour in diets fed to neonatal pigs. J Agric Food Chem. 39 : 1246 – 1251. Bosscher D et al. 2001. In vitro availability of zinc from infant foods with increasing phytic acid contents. British J Nutr. 86 : 1246 – 1251. Bou R, Guardiola F, Tres A, Barroeta AC, Codony R. 2004. Effect of dietary fish oil, ? – tocopheryl acetate, and zinc supplementation on the composition and consumer acceptability of chicken meat. Poult Sci. 83 : 282 – 292.
112
Ceylan N, Scheideler SE, Stilborn HL. 2003. High availability phosphorus corn and phytase in layer diets. Poult Sci. 82 : 789 – 795. Cheng YH et al. 2004. Utilizing solanum glaucophyllum alone or with phytase to improve phosphorus utilization in broilers. Poult Sci. 83 : 406 – 413. Coelho MB. 1999. Ecological Nutrition : A costly or smart move?. Di dalam: Coelho MB, Kornegay ET, editor. Phytase in Animal Nutrition and Waste Management. A BASF Reference Manual. Ed ke-2. BASF Corporation. Hlm 51-60. Cowieson AJ, Acamovic T, Bedford MR. 2004. The effects of phytate and phytic acid on the loss of endogenous amino acids and minerals from broiler chickens. British Poult Sci. 45(1) : 101 – 108. Creswell D. 2003. Optimum production and nutrition of layers. Asian Poultry Magazine September 2003 : 18 – 20. Desmukh RR. 2001. Trace element in health and diseases and their nutritional importance in maintainance of good health. Di dalam: Ermidou S, Pollet S, editor. Proceedings Book of the 3rd International Symposium on Trace Elements in Human: New Perspectives, 4-6 October 2001. Athens, Greece. Hlm 1008 – 1017. Dijkhuizen MA, Wieringa FT. 2001. Vitamin A, iron and zinc deficiency in Indonesia; micronutrient interaction and effects of supplementation (thesis). Holland: Wageningen University. Eeckhout W, De Paepe M. 1999. In vitro and in vivo comparison of microbial and plant phytase. Di dalam: Coelho MB, Kornegay ET, editor. Phytase in Animal Nutrition and Waste Management. A BASF Reference Manual. Ed ke-2. BASF Corporation. Hlm 237 - 240. Emmert JL, Baker DH. 1995. Zinc store in chickens delay the onset of zinc deficiency symptoms. Poult Sci. 74 : 1011 – 1021. Food and Agricultural Organization (FAO), World Health Organization (WHO). 2002. Human vitamin and mineral requirement. Rome : World Health Organization, Food and Agricultural Organization of the United Nation. Finamore A et al. 2003. Zinc deficiency suppresses the development of oral tolerance in rats. J Nutr. 133 : 191 – 198. Gharib AG, Mohajer M. 2005. Bioavailability of essential trace elements in the presence of phytate, fiber and calcium. Proceedings of the 5th International Symposium on Trace elements in Human: New Perspective. Athen, Greece. Hlm. 594 – 602.
113
Georgievskii VI, Annenkov BN, Samokhin VT. 1982. Mineral Nutrition of Animal. London: Butterworths. Groff JL, Gropper SS. 2000. Advanced Nutrition and Human Metabolism. Ed ke – 3. U.S.A : Wadsworth Thomson Learning. Hambidge M. 2003. Underwood memorial lecture human zinc homeostasis : good but not perfect. J Nutr. 133 : 1438S – 1442S. Harland BF, Oberleas D. 1999. Phytic acid complex in feed ingredients. Di dalam: Coelho MB, Kornegay ET, editor. Phytase in Animal Nutrition and Waste Management. A BASF Reference Manual. Ed ke-2. BASF Corporation. Hlm 69 – 75. Helge lbs K, Rink L. 2003. Zinc-altered immune function. J Nutr. 133 : 1452S – 1456S. Hotz C, Brown K. 2004. Assessment of the risk of zinc deficiency in populations and options for its control. Supplement 2 : International Zinc Nutrition Consultative Group (IZiNCG) Technical Document 1. Food and Nutr Bull. 25 : S94 – S203. Jacob JP, Ibrahim S, Blair R, Namkung H, and Paik IK. 2000a. Using enzyme supplemented, reduce protein diets to decrease nitrogen and phosphorus excretion of broilers. Asian Aust J Anim Sci. 13 (11) : 1561 – 1567. Jacob JP, Ibrahim S, Blair R, Namkung H, Paik IK. 2000b. Using enzyme supplemented, reduce protein diets to decrease nitrogen and phosphorus excretion of white leghorn hens. Asian Aust J Anim Sci. 13 (12) : 1743 – 1749. Kerver JM, Park Y, Song WO. 2002. The role of egg in American diets : health implications and benefits. Di dalam : Watson RR, editor. Eggs and Health Promotion. Ed ke – 1. USA : Iowa State Press. Keshavarz K. 2003. The effect of different levels of nonphytate phosphorus with and without phytase on the performance of four strains of laying hens. Poult Sci. 82 : 71 – 91. Keshavarz K. 2000. Reevaluation of nonphytate phosphorus requirement of growing pullets with and without phytase. Poult Sci. 79 : 1143 – 1153. Keshavarz K, Austic RE. 2004. The use of low-protein, low-phosphorus, amino acid-and phytase-supplemented diets on laying hen performance and nitrogen and phosphorus excretion. Poult Sci. 83 : 75-83.
114
Kies K. 1999. Phytase – mode of action. . Di dalam: Coelho MB, Kornegay ET, editor. Phytase in Animal Nutrition and Waste Management. A BASF Reference Manual. Ed ke-2. BASF Corporation. Hlm 205 - 212. Kim WK, Patterson PH. 2004. Effects of dietary zinc supplementation on broiler performance and nitrogen loss from manure. Poult Sci. 83 : 34 – 38. King JC, David MS, Leslie RW. 2000. Zinc homeostasis in humans. J Nutr. 130 : 1360S – 1366S. Kornegay ET. 2001. Digestion of phosphorus and other nutrients : the role of phytase and factors influencing their activity. Di dalam: Bedford MR, Partridge GG, editor. Enzyme in Farm Animal Nutrition. CAB International. Hlm 237-262. Kornegay ET, Yi Z. 1999. Site of phytase activity in the gastrointestinal tract of swine and poultry. . Di dalam: Coelho MB, Kornegay ET, editor. Phytase in Animal Nutrition and Waste Management. A BASF Reference Manual. Ed ke-2. BASF Corporation. Hlm 241 - 248. Kornegay ET, Yi Z, Baker DH. 1999. Effect of supplemental natuphos phytase on trace mineral availability for poultry. Di dalam: Coelho MB, Kornegay ET, editor. Phytase in Animal Nutrition and Waste Management. A BASF Reference Manual. Ed ke-2. BASF Corporation. Hlm 497 - 506. Kottferova J, Korenekova B, Skalicka M. 2001. Determination of dietary zinc in poultry meat. Di dalam: Ermidou S, Pollet S, editor. Proceedings Book of the 3rd International Symposium on Trace Elements in Human: New Perspectives, 4-6 October 2001. Athens, Greece. Hlm 393-397. Ku PK, Ullrey DE, Miller ER. 1970. Zinc deficiency and tissue nucleic acid and protein concentration. Di dalam : Mills CF, Bremner I, Chesters JK, Quaterman J, editor. Trace Element Metabolism in Animals. Edinburg and London : E&S Livingstone. Leeson S, Summers JD. 2001. Nutrition of the Chicken. Ed ke-4.Guelph, Ontario: University Books. Leeson S, Summers JD. 1997. Commercial Poultry Nutrition. Ed ke-2. Guelph, Ontario: University Books. Lim HS, Namkung H, Paik IK. 2003. Effects of phytase supplementation on the performance, egg qua lity, and phosphorus excretion of laying hens fed differet levels of dietary calcium and nonphytate phosphorus. Poult Sci. 82: 92 – 99.
115
Lonnerdal Bo. 1988. Vitamin- mineral interactions. Di dalam : Bodwell CE, Erdman Jr, JW, editor. Nutrient Interactions. New York and Basel : Marcel Dekker, Inc. Mabe I, Rapp C, Bain MM, Nyss Y. 2003. Supplementation of a corn-soybean meal diet with manganese, copper, and zinc from organic or inorganic source improves eggshell quality in aged laying hens. Poult Sci. 82 : 1903 – 1913. Maenz DD. 2001. Enzymatic characteristics of phytases as they relate to their use in animal feeds. Di dalam: Bedford MR, Partridge GG, editor. Enzyme in Farm Animal Nutrition. CAB International. Hlm 61-79. Mc Donald P, Edward RA, Greenhalgh JFD, Morgan CA. 2002. Animal Nutrition. London NewYork Toronto Sydney Tokyo Amsterdam : Prentice Hall. McDowell LR. 1992. Minerals in Animal and Human Nutrition. London : Academic Press, Inc. Metzler DE. 1977. Biochemistry : The chemical reactions of living cells. London: Academic Press, Inc. Mikkelsen, RL. 1999. Best management practices for plant nutrients. Di dalam: Coelho MB, Kornegay ET, editor. Phytase in Animal Nutrition and Waste Management. A BASF Reference Manual. Ed ke-2. BASF Corporation. Hlm 29 - 39. [NRC] National Research Council. 1994. Nutrient Requirement of Poultry. Ed ke-9. Washington, DC: National Academy Press. Nys Y, Frapin D, Pointilart A. 1999. Occurence of phytase in plant, animals and microorganism. . Di dalam: Coelho MB, Kornegay ET, editor. Phytase in Animal Nutrition and Waste Management. A BASF Reference Manual. Ed ke-2. BASF Corporation. Hlm 213-236. Oberleas D. 2002. Inferences from animal research to man. Di dalam: Ank e M, Muller R, Schafer U, Stoeppler M, editor. Macro and Trace Elements Mengen-und Spurenelemente. 21 Workshop, October 18th and 19th . Fiedrich Schiller University. Oberleas D. 2001. A redefinition of deficiency. Di dalam: Ermidou S, Pollet S, editor. Proceedings Book of the 3rd International Symposium on Trace Elements in Human: New Perspectives, 4-6 October 2001. Athens, Greece. Hlm 373 – 381.
116
Oberleas D, Harland BF. 1999. Impact of phytic acid on nutrient availability. Di dalam: Coelho MB, Kornegay ET, editor. Phytase in Animal Nutrition and Waste Management. A BASF Reference Manual. Ed ke-2. BASF Corporation. Hlm 77-84. Paik IK. 2000. Nutritional management for environment friendly animal production. Asian Aust J Anim Sci. 13 (Special Issue) : 302 -313. Pallauf J, Rimbach G. 1999. Effect of supplemental phytase on mineral and trace element bioavailability and heavy metal accumulation in pigs with different type of diets. Di dalam: Coelho MB, Kornegay ET, editor. Phytase in Animal Nutrition and Waste Management. A BASF Reference Manual. Ed ke-2. BASF Corporation. Hlm 481-495. Piliang WG, Denny R, Slamet B. 2002. Zinc carbonate supplementation in chicken diet containing fish oil and its effect on omega-3, omega-6 PUFA and cholesterol content in eggs and carcass. Di dalam: Anke M, Muller R, Schafer U, Stoeppler M, editor. Macro and Trace Elements Mengen-und Spurenelemente. 21 Workshop, October 18th and 19th . Fiedrich Schiller University. Hlm 507 – 515. Piliang WG. 2000. Nutrisi Mineral. Ed ke-3. Bogor: PAU Ilmu Hayat IPB. Piliang WG, Djokowoerjo S, Wasmen M. 1982a. Pengaruh penambahan berbagai tingkat kadar Zn dalam ransum yang mengandung dedak padi terhadap penampilan serta metabolisme Zn pada ayam-ayam petelur. Laporan Penelitian. Direktorat Pembinaan Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Piliang WG, Bird HR, Sunde ML. 1982b. Rice bran as the major energy source for laying hens. Poult Sci. 61 : 357 – 363. Pond WG, Churc DC, Pond KR. 1995. Basic Animal Nutrition and Feeding. Ed ke-4. New York: John Wiley & Sons. Punna S, Roland DA . 1999. Influence of supplemental microbial phytase on first cycle laying hens fed phosphorus-deficient diets from day one of age. Poult Sci. 78 : 1407 – 1411. Purina Lab Chows. 1991. Animal reference Guide : The control Factor. Ravindran V. 1999. Occurence of phytic acid in plant feed ingredients. . Di dalam: Coelho MB, Kornegay ET, editor. Phytase in Animal Nutrition and Waste Management. A BASF Reference Manual. Ed ke-2. BASF Corporation. Hlm 85 – 92.
117
Ravindran V, Cadogan DJ, Cabahug M, Bryden W, Selle PH. 1999. Effects of phytic acid on the performance of poultry and swine. . Di dalam: Coelho MB, Kornegay ET, editor. Phytase in Animal Nutrition and Waste Management. A BASF Reference Manual. Ed ke-2. BASF Corporation. Hlm 93 – 99. Reddy NR, Sathe SK, Salunkhe DK. 1982. Phytate in legume and cereals. Adv Food Res. 28 : 1-92. Ressang AA. 1984. Patology Khusus Veteriner. Ed ke -2. Denpasar. Rivera J, Brown KH, Hotz C, Ruel M. 2003. Zinc deficiency : issues for public health, assessment, and prevention. Di dalam : Elmadfa I, Anklam E, Konig JS, editor. Modern aspects of nutrition : Present Knowledge and Future Perspectives. Forum Nutr. Basel, Karger 56 : 59 – 61. Roberts ES, Heugten EV, Lloyd K, Almond GW, Spears JW. 2002. Dietary zinc effects on growth performance and immune response of endotoxemic pigs. Asian Aust J Anim Sci. 15 (10) : 1496 – 1501. Rose SP. 1997. Principles of Poultry Science. International.
Wallingford, UK : CAB
Rutherfurd SM, Chung TK, Morel PCH, Moughan PJ. 2004. Effect of microbial phytase on ileal digestibility of phytate phosphorus, total phosphorus, and amino acids in low-phosphorus diet for broilers. Poult Sci. 83 : 61 – 68. Sanberg AS. 2002. In vitro and in vivo degradation of phytate. Di dalam : Reddy NR, Sathe SK, editor. Food Phytate. New York: CRC Press. Sandoval M et al. 1998. Performance and tissue zinc and metallothionine accumulation in chicks fed a high dietary level of zinc. Poult Sci. 77 : 1354 – 1363. Scott ML, Nesheim MC, Young RJ. 1982. Nutrition of the Chickens. Ed ke – 3. Ithaca, New York : ML Scott & Associates. Sebastian S, Touchburn SP, Chavez ER, Lague PC. 1996. Efficacy of supplemental microbial phytase at different dietary calcium levels on growth performance and mineral utilization of broiler chickens. Poult Sci. 75: 1516-1523. Solomons, NW. 1988. Physiological interactions of minerals. Di dalam : Bodwell CE, Erdman Jr, JW, editor. Nutrient Interactions. New York and Basel : Marcel Dekker, Inc.
118
Spring P. 1997. Understanding the development of the avian gastrointestinal microflora : an essential key for developing competitive exclussion products. Alltech’s 11 th Annual Asia-Pacific lecture Tour. August 6 – 22, 1997. Stauffer CE. 1989. Enzyme Assays For Food Scientist. New York : AN AVI Book. Steel RGD, Torrie JH. 1995. Prinsip dan Prosedur Statistika-Suatu Pendekatan Biometrik. Bambang Sumantri, penerjemah. Jakarta: PT Gramedia. Susanto A. 2000. Pengaruh suplementasi selenium, metionin dan iodium terhadap pertumbuhan dan kecerdasan anak tikus dari induk kekurangan iodium. [ disertasi]. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Szabo J et al. 2004. Large doses of zinc oxide increases the activity of hydrolases in rats. J Nutr Biochem. 15 : 206 – 209. Tullet SG. 1987. Egg shell formation and quality. Di dalam : Well RG, Belyavin CG, editor. Egg Quality Current Problems and Recent Advances. England: Butterworths & Co. Um JS, Paik IK. 1999. Effects of microbial phytase supplementation on egg production, eggshell quality, and mineral retention of laying hens fed different levels of phosphorus. Poult Sci. 78: 75-79. Um JS, Paik IK, Chung MB, Lee BH. 1999. Effects of microbial phytase supplementation to diets with low non-phytate phosphorus levels on the performance and bioavailability of nutrients in laying hens. Asian Aust J Anim Sci. 12 (2) : 203 – 208. Underwood EJ. 1962. Trace Elements in Human and Animal Nutrition. London : Academic Press. Underwood EJ, Suttle NF. 2001. The Mineral Nutrition of Livestock. Ed ke-3. Wallingford, UK: CABI Publishing. Viveros A., Brenes A, Arija I, Centeno C. 2002. Effects of microbial phytase supplementation on mineral utilization and serum enzyme activities in broiler chicks fed differet levels of phosphorus. Poult Sci. 81 : 1172 – 1183. Weaver CM, Kannan S. 2002. Phytate and mineral bioavailability. Di dalam : Reddy NR, Sathe SK, editor. Food Phytate. New York: CRC Press.
119
Lampiran 1. Kandungan asam fitat dari bahan makanan penyusun ransum ayam petelur dan tikus* ______________________________________________ Bahan makanan Asam fitat (%) ______________________________________________ Jagung kuning
0.38
Dedak padi
6.90
Bungkil kedelai
2.26
Tepung beras
0.08
Kacang kedelai
1.66
_______________________________________________ * Hasil analisis di Departmen of Food and Nutrition, Texas Tech. University Lubbock, USA (2003)
120
Lampiran 2. Rataan suhu kandang selama 16 minggu penelitian aya m petelur _________________________________________________________________ Minggu ke- Umur ayam (minggu) Minimum Maksimum (o C) (o C) _________________________________________________________________ 1
18
22.2
32.3
2
19
23.2
32.4
3
20
24.2
31.4
4
21
24.3
32.9
5
22
25.0
32.3
6
23
24.6
30.6
7
24
24.6
32.0
8
25
24.6
31.7
9
26
24.8
31.4
10
27
24.0
30.7
11
28
24.4
30.3
12
29
24.1
31.1
13
30
25.0
31.1
14
31
24.4
29.5
15
32
24.7
30.0
16
33
24.2
30.0
_________________________________________________________________
121
Lampiran 3. Metode analisis Zn (AOAC 1999) Semua peralatan harus bebas mineral dengan cara dicuci dengan larutan HNO3 10%. A. Analisis Zn pada telur, kerabang telur, daging (dilakukan di Laboratorium Terpadu IPB, 2004) 1. Siapkan 1,5 g contoh, tambah dengan 10-15 ml HNO3 p.a, biarkan selama 1(satu) malam 2. Besok paginya, panaskan dengan suhu 100o C sampai uap coklat menghilang, asap putih menipis, angkat dan dinginkan 3. Kemudian tambahkan air bebas ion sebanyak 15 ml, panaskan kembali sampai mendidih (± 10 menit), angkat dan dinginkan, lalu saring dan masukkan ke dalam labu ukuran 50 ml, encerkan sampai tanda garis dengan air bebas ion 4. Buat larutan blanko dengan cara penambahan pereaksi yang sama seperti contoh 5. Buat larutan deret standar Zn dengan konsentrasi 0 - 2 µg Zn/ml dengan cara melarutkan Zn dalam bentuk tepung dalam larutan HCL (500 ml HCL pa 37% + 220 ml air bebas ion) 6. Bacalah absorbansi larutan deret standar, blanko dan contoh dengan menggunakan spektrofotometer serapan atom pada panjang gelombang 213,9 nm 7. Buat kurva kalibrasi dengan sumbu X sebagai konsentrasi Zn (ppm) dan sumbu Y sebagai absorbansi 8. Hitung kandungan Zn dalam contoh dengan rumus sebagai berikut: Zn (µg/g) = (µg Zn/ml dari kurva kalibrasi) x V m Keterangan : V = volume pelarutan (ml) M = berat contoh
122
Lampiran 3. Metode analisis Zn (AOAC 1999) (lanjutan) B. Analisis Zn pada tulang tibia (dilakukan di Laboratorium Balai Besar Industri Agro Bogor, 2004) 1. Timbang 5 g contoh dan masukkan ke dalam gelas pyrex 100 ml, tambahkan 10 ml larutan magnesium nitrat 10% (10 g Mg(NO3)2.6H2O dalam 100 ml etanol 95%), aduk dengan batang pengaduk. Angkat batang pengaduk dan bilasi dengan etanol 95% 2. Uapkan di atas penangas air sambil diaduk sekali-sekali, kemudian panaskan di atas penangas listrik (tutup gelas piala dengan kaca arloji) 3. Pindahkan gelas piala ke dalam tanur dengan suhu 200oC dan secara bertahap naikkan suhu sampai 500oC selama 2 jam dan abukan sepanjang malam pada suhu 450-500oC 4. Angkat gelas piala dari tanur dan biarkan dingin di atas asbes. Apabila masih terdapat sisa karbon, setelah dingin tambahkan 1 ml air dan 2 ml HNO3 p.a, kemudian keringkan di atas penangas air. Panaskan kembali pada suhu 500oC selama 1 jam. Ulangi perlakuan tersebut sampai diperoleh abu yang berwarna putih 5. Pindahkan larutan ke dalam labu ukur 100 ml, kemudian larutkan dengan air suling sampai tanda baca pada labu. Saring dengan kertas Whatman 540 6. Buat larutan blanko dengan menggunakan pereaksi yang sama 7. Selanjutnya kerjakan sama seperti prosedur A ( dari no.5 sampai dengan no.8) C. Analisis Zn pada serum (dilakukan di Laboratorium Balai Besar Industri Agro Bogor, 2004) 1. Lakukan pengenceran sampel serum dengan perbandingan 1: 9 (150 µl serum + 1350 µl air bebas mineral) 2. Buat standar dengan konsentrasi 0, 10, 20 µg Zn per 100 ml dari larutan zinc nitrate 3. Selanjutnya sama dengan prosedur A (dari no.6 sampai 8)
123
Lampiran 4. Metode pengukuran aktivitas alkalin fosfatase (Stauffer 1989) (dilakukan di Laboratorium Klinik Prodia Bogor) Pengukuran aktivitas alkalin fosfatase (ALP) dilakukan berdasarkan IFCC (International Federation of Clinical Chemistry).
ALP diukur dengan
spektrofotometer pada panjang gelombang 405 nm, suhu 37o C, menggunakan cuvet 1 cm light path. Reagen yang digunakan dalam pengukuran ALP ini terdiri atas reagen 1 (R1) dan reagen 2 (R2). R1 terdiri atas : 2-amino-2-methyl-apropanol, pH 10.4 (0.90 mol/l), magnesiumacetate (1.6 mmol/l), zincsulphate (0.4 mmol/l), HEDTA (2.0 mmol/l). R2 terdiri atas p-nitrophenylphosphate sebanyak 16.0 mmol/l. Prosedur pengukuran ALP adalah sebagai berikut : a. Sampel serum diencerkan dengan larutan 0.9% NaCl dengan perbandingan 1:9 (serum : 0.9% NaCl) b. Pipet sampel ke dalam cuvet sebanyak 20 µl + R1 1000 µl, campur sampai homogen, inkubasikan selama 1 menit c. Ke dalam cuvet di atas (butir b), tambahkan 250 µl R2, kemudian campur sampai homogen d. Baca absorban setelah 1 menit, dan mulai nyalakan stopwatch. Baca lagi setelah 1, 2 dan 3 menit e. Perhitungan aktivitas ALP dilakukan sebagai berikut : Aktivitas ALP (U/l) = 3433 x ? A/menit
124
Lampiran 5. Metode pengukuran retensi semu mineral Zn dan fosfor pada ayam petelur ISA-Brown Pengukuran ini menggunakan 54 ekor ayam petelur ISA-brown umur 33 minggu (ayam yang telah digunakan pada penelitian sebelumnya). Ayam dibagi ke dalam 9 perlakuan ransum dengan 3 ulangan, masing- masing
ulangan
menggunakan 2 ekor ayam. Prosedur pengukuran retensi Zn dan P adalah sebagai berikut : a. Pada hari -1, semua ayam dipuasakan dari ransum selama 24 jam untuk menghilangkan
pengaruh ransum sebelumnya
b. Pada hari-2, setelah dipuasakan 24 jam, ayam diberi ransum perlakuan, kemudian dimasukkan ke dalam kandang individu untuk ditampung ekskretanya selama 24 jam c. Pada hari-3, dilakukan pengumpulan (kolekting) ekskreta dari masing- masing individu ayam, kemudian ekskreta tersebut ditimbang dan langsung dimasukkan ke dalam freezer d. Pada hari-4, ekskreta dikeluarkan dari freezer dan dilumerkan, setelah itu dikeringkan di dalam oven dengan suhu 60o C sampai kering (kira-kira selama 24 jam) e. Setelah kering, ekskreta ditimbang, dibersihkan dari bendabenda asing seperti bulu, kemudian dihaluskan dengan mortar dan ekskreta siap untuk dianalisis bahan kering, mineral Zn dan P f. Retensi Zn (%)dihitung dengan rumus sebagai berikut : (Konsumsi ransum x Zn ransum) – (jumlah ekskreta x Zn ekskreta) X 100% Konsumsi ransum x Zn ransum g. Retensi P (%) dihitung dengan rumus sebagai berikut : (Konsumsi ransum x P ransum) – (jumlah ekskreta x P ekskreta) X 100% Konsumsi ransum x P ransum
125
Lampiran 6. Metode pengukuran retensi mineral Zn, Ca dan P pada tikus Prosedur dari pengukuran retensi Zn, Ca dan P pada tikus adalah sebagai berikut : a. Tikus yang digunakan untuk pengukuran ini adalah tikus yang sama dengan tikus perlakuan, sehingga tidak mengganggu perlakuan b. Pengumpulan feses dilakukan setiap hari selama 7 hari pada minggu ke4 perlakuan, setelah dikumpulkan feses langsung ditimbang dan disimpan dalam lemari es c. Setelah feses terkumpul selama 7 hari, feses dikeringkan dalam oven dengan suhu 60o C sampai kering (selama lebih kurang 18 jam) d. Setelah kering, feses ditimbang, kemudian dibersihkan dari bulu-bulu tikus, selanjutnya digerus halus dan siap dianalisa mineral Zn, Ca, dan P. Retensi mineral Zn, Ca dan P dihitung dengan rumus sebagai berikut : (?Konsumsi ransum x Zn,Ca, P ransum) –(?ekskreta x Zn,Ca, P ekskreta) ________________________________________________________________ (?Konsumsi ransum x Zn,Ca, P ransum)
Lampiran 7. Analisis ragam untuk konsumsi ransum ayam petelur(g/ekor/hari) _________________________________________________________________ Sumber Derajat Jumlah Kuadrat F hitung P Keragaman bebas kuadrat tengah _________________________________________________________________ Mineral ZnO 2 108.33 54.16 1.03 0.378tn Fitase 2 37.76 18.88 0.36 0.704tn ZnO x fitase 4 11.71 2.93 0.06 0.994tn Galat 18 949.97 52.78 _________________________________________________________________ Total 26 1107.77 _________________________________________________________________ Keterangan : tn = tidak nyata
Lampiran 8. Analisis ragam untuk produksi telur hen day (%) _________________________________________________________________ Sumber Derajat Jumlah Kuadrat F hitung P Keragaman bebas kuadrat tengah _________________________________________________________________ Mineral ZnO 2 57.39 28.70 0.65 0.532tn Fitase 2 16.21 8.11 0.18 0.833tn ZnO x fitase 4 273.56 68.39 1.56 0.228tn Galat 18 790.21 43.90 _________________________________________________________________ Total 26 1137.38 _________________________________________________________________ Keterangan : tn = tidak nyata
Lampiran 9. Analisis ragam untuk produksi massa telur (g/ekor/hari) _________________________________________________________________ Sumber Derajat Jumlah Kuadrat F hitung P Keragaman bebas kuadrat tengah _________________________________________________________________ Mineral ZnO 2 8.81 4.41 0.34 0.716tn Fitase 2 1.77 0.89 0.07 0.934tn ZnO x fitase 4 62.16 15.54 1.20 0.344tn Galat 18 232.70 12.93 _________________________________________________________________ Total 26 305.45 _________________________________________________________________ Keterangan : tn = tidak nyata
ii
Lampiran 10. Analisis ragam untuk konversi ransum ayam petelur _________________________________________________________________ Sumber Derajat Jumlah Kuadrat F hitung P Keragaman bebas kuadrat tengah _________________________________________________________________ Mineral ZnO 2 0.0684 0.0342 0.26 0.771tn Fitase 2 0.1141 0.0570 0.44 0.650tn ZnO x fitase 4 0.6427 0.1607 1.24 0.329tn Galat 18 2.3304 0.1295 _________________________________________________________________ Total 26 3.1556 _________________________________________________________________ Keterangan : tn = tidak nyata
Lampiran 11. Analisis ragam untuk berat telur (g/butir) _________________________________________________________________ Sumber Derajat Jumlah Kuadrat F hitung P Keragaman bebas kuadrat tengah _________________________________________________________________ Mineral ZnO 2 4.721 2.361 1.92 0.176tn Fitase 2 2.011 1.005 0.82 0.457tn ZnO x fitase 4 3.209 0.802 0.65 0.633tn Galat 18 22.148 1.230 _________________________________________________________________ Total 26 32.089 _________________________________________________________________ Keterangan : tn = tidak nyata
Lampiran 12. Analisis ragam untuk aktivitas alkalin fosfatase dalam serum ayam _________________________________________________________________ Sumber Derajat Jumlah Kuadrat F hitung P Keragaman bebas kuadrat tengah _________________________________________________________________ Mineral ZnO 2 542735 271368 2.16 0.144 Fitase 2 1097543 548771 4.37 0.028* ZnO x fitase 4 170747 42687 0.34 0.848 Galat 18 2262621 125701 _________________________________________________________________ Total 26 4073646 _________________________________________________________________ Keterangan : * berbeda nyata (P<0,05)
iii
Lampiran 13. Analisis ragam untuk pertambahan bobot badan tikus _________________________________________________________________ Sumber Derajat Jumlah Kuadrat F hitung P Keragaman bebas kuadrat tengah _________________________________________________________________ Perlakuan 5 605.67 121.13 1.59 0.236tn Galat 12 914.33 76.19 _________________________________________________________________ Total 17 1519.99 _________________________________________________________________ Keterangan : tn = tidak nyata
Lampiran 14. Analisis ragam untuk konsumsi ransum tikus _________________________________________________________________ Sumber Derajat Jumlah Kuadrat F hitung P Keragaman bebas kuadrat tengah _________________________________________________________________ Perlakuan 5 3800.7 760.1 2.39 0.10tn Galat 12 3810.5 317.5 _________________________________________________________________ Total 17 7611.3 _________________________________________________________________ Keterangan : tn = tidak nyata
Lampiran 15. Analisis ragam untuk efisiensi penggunaan ransum tikus _________________________________________________________________ Sumber Derajat Jumlah Kuadrat F hitung P Keragaman bebas kuadrat tengah _________________________________________________________________ Perlakuan 5 29.524 5.905 3.19 0.046* Galat 12 22.216 1.851 _________________________________________________________________ Total 17 51.740 _________________________________________________________________ Keterangan : * berbeda nyata (P<0.05)
iv
Lampiran 16. Analisis ragam untuk retensi mineral Zn pada tikus _________________________________________________________________ Sumber Derajat Jumlah Kuadrat F hitung P Keragaman bebas kuadrat tengah _________________________________________________________________ Perlakuan 5 903.57 180.71 114.71 0.000** Galat 12 18.90 1.58 _________________________________________________________________ Total 17 922.48 _________________________________________________________________ Keterangan : ** Berbeda sangat nyata (P<0.01)
Lampiran 17. Analisis ragam untuk retensi mineral Ca pada tikus _________________________________________________________________ Sumber Derajat Jumlah Kuadrat F hitung P Keragaman bebas kuadrat tengah _________________________________________________________________ Perlakuan 5 2893.62 578.72 19.12 0.000** Galat 12 363.15 30.26 _________________________________________________________________ Total 17 3256.77 _________________________________________________________________ Keterangan : ** Berbeda sangat nyata (P<0.01)
Lampiran 18. Analisis ragam untuk retensi mineral P pada tikus _________________________________________________________________ Sumber Derajat Jumlah Kuadrat F hitung P Keragaman bebas kuadrat tengah _________________________________________________________________ Perlakuan 5 3129.4 625.9 35.50 0.000** Galat 12 211.6 17.6 _________________________________________________________________ Total 17 3341.0 _________________________________________________________________ Keterangan : ** Berbeda sangat nyata (P<0.01)
v
Lampiran 19. Analisis ragam untuk kandungan mineral Zn dalam serum tikus _________________________________________________________________ Sumber Derajat Jumlah Kuadrat F hitung P Keragaman bebas kuadrat tengah _________________________________________________________________ Perlakuan 5 27972 5594 3.69 0.03* Galat 12 _________________________________________________________________ Total 17 _________________________________________________________________ Keterangan : * Berbeda nyata (P<0.05)
Lampiran 20. Analisis ragam untuk kandungan mineral Ca dalam serum tikus _________________________________________________________________ Sumber Derajat Jumlah Kuadrat F hitung P Keragaman bebas kuadrat tengah _________________________________________________________________ Perlakuan 5 1290.6 258.1 5.47 0.007** Galat 12 _________________________________________________________________ Total 17 1856.6 _________________________________________________________________ Keterangan : ** Berbeda sangat nyata (P<0.01)
Lampiran 21. Analisis ragam untuk aktivitas alkalin fosfatase dalam serum tikus _________________________________________________________________ Sumber Derajat Jumlah Kuadrat F hitung P Keragaman bebas kuadrat tengah _________________________________________________________________ Perlakuan 5 11257 2251 0.77 0.59tn Galat 12 35187 2932 _________________________________________________________________ Total 17 46444 _________________________________________________________________ Keterangan : tn = tidak berbeda nyata
vi
Lampiran 22. Analisis ragam untuk persentase testis tikus _________________________________________________________________ Sumber Derajat Jumlah Kuadrat F hitung P Keragaman bebas kuadrat tengah _________________________________________________________________ Perlakuan 5 0.12656 0.02531 0.49 0.774tn Galat 12 0.61400 0.05117 _________________________________________________________________ Total 17 0.74056 _________________________________________________________________ Keterangan : tn = tidak berbeda nyata
Lampiran 23. Analisis ragam untuk persentase ovarium tikus _________________________________________________________________ Sumber Derajat Jumlah Kuadrat F hitung P Keragaman bebas kuadrat tengah _________________________________________________________________ Perlakuan 5 0.19272 0.03854 1.11 0.403tn Galat 12 0.41513 0.03459 _________________________________________________________________ Total 17 0.60785 _________________________________________________________________ Keterangan : tn = tidak berbeda nyata
Lampiran 24. Analisis ragam untuk persentase thimus tikus _________________________________________________________________ Sumber Derajat Jumlah Kuadrat F hitung P Keragaman bebas kuadrat tengah _________________________________________________________________ Perlakuan 5 0.02303 0.00461 4.16 0.02* Galat 12 0.01330 0.00111 _________________________________________________________________ Total 17 0.03633 _________________________________________________________________ Keterangan : * Berbeda nyata (P<0.05)
vii
Lampiran 25. Analisis ragam untuk persentase pankreas tikus _________________________________________________________________ Sumber Derajat Jumlah Kuadrat F hitung P Keragaman bebas kuadrat tengah _________________________________________________________________ Perlakuan 5 0.027767 0.005553 5.6 0.007** Galat 12 0.011898 0.000991 _________________________________________________________________ Total 17 0.039665 _________________________________________________________________ Keterangan : ** Berbeda sangat nyata (P<0.01)
Lampiran 26. Analisis ragam untuk persentase hati tikus _________________________________________________________________ Sumber Derajat Jumlah Kuadrat F hitung P Keragaman bebas kuadrat tengah _________________________________________________________________ Perlakuan 5 0.6467 0.1293 5.17 0.009** Galat 12 0.3001 0.0250 _________________________________________________________________ Total 17 0.9468 _________________________________________________________________ Keterangan : **Berbeda sangat nyata (P<0.01)
Lampiran 27. Analisis ragam untuk persentase ginjal tikus _________________________________________________________________ Sumber Derajat Jumlah Kuadrat F hitung P Keragaman bebas kuadrat tengah _________________________________________________________________ Perlakuan 5 0.00572 0.00114 0.92 0.501tn Galat 12 0.01493 0.00124 _________________________________________________________________ Total 17 0.02065 _________________________________________________________________ Keterangan : tn = tidak berbeda nyata