Rangkuman Hasil
Peran Pendanaan Iklim dalam Mendorong Investasi Hijau di Indonesia
United Nations Office for REDD+ Coordination in Indonesia (UNORCID) 23 Juni 2015, Ruang Papua, Gedung Menara Thamrin, Jakarta, Indonesia
The Role of Climate Finance in Stimulating Green Investment in Indonesia -‐ Jakarta – 23 June 2015
Ringkasan Eksekutif Acara ini mempertemukan kepentingan sektor swasta dengan kepentingan sektor publik untuk mendiskusikan peran dan kebutuhan pendanaan iklim di Indonesia. Tujuan lebih lanjutnya adalah untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman masyarakat sipil dan pemangku kepentingan lainnya, untuk memastikan pengarusutamaan investasi hijau dalam lembaga, program, dan proyek di Indonesia. Investasi hijau merupakan katalisator yang sangat penting bagi pertumbuhan ekonomi hijau, di seluruh dunia dan khususnya di Indonesia. Setelah Tropical Landscapes Summit diadakan di Jakarta pada bulan April 2015, terdapat keinginan untuk memobilisasi pendanaan iklim guna mempertahankan modal alam Indonesia yang kaya dan momentum investasi berkelanjutan. Pendanaan iklim merupakan perangkat kuat dalam memajukan investasi hijau dan menghasilkan inisiatif-‐inisiatif kerja sama di antara sektor publik dan sektor swasta. Pendanaan iklim bukan hanya memenuhi tujuan-‐tujuan keberlanjutan, melainkan juga memberikan keuntungan yang baik kepada investor atas investasi mereka. Namun, tantangannya terletak pada menetapkan struktur keuangan standard dan menciptakan pola investasi yang akan menguntungkan semua pemangku kepentingan. Obligasi Hijau, salah satu potongan dalam teka-‐teki ini, baru-‐baru ini menjadi perangkat keuangan yang terkenal dalam pendanaan iklim. Dari sudut pandang Indonesia, investasi hijau melalui instrument-‐ instrumen keuangan seperti Obligasi Hijau dapat membantu mendorong transisi ekonomi hijau dan pada saat yang sama berkontribusi pada pencapaian target penurunan emisi sebesar 26% pada tahun 2020. CEO dan salah satu pendiri Climate Bonds Initiatives Sean Kidney, dan Ketua Umum Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) Derom Bangun—minyak sawit merupakan salah satu dari banyak sektor di Indonesia yang dapat memperoleh manfaat dari meningkatnya aliran pendanaan iklim—merupakan dua pembicara utama pada acara tersebut. Mereka menyampaikan presentasi tentang gagasan dan peluang menciptakan atmosfer kerja sama untuk pendanaan iklim di Indonesia. Pesan utama yang diartikulasikan adalah sebagai berikut: 1. Kurang tersedianya model dan struktur untuk investasi hijau di tingkat global. Walaupun peluang dan dana untuk investasi hijau meningkat dalam hal lingkup dan skala, kurangnya struktur pasar untuk perangkat keuangan mendatang seperti obligasi hijau, terbukti dapat menjadi hambatan bagi investor hijau. 2. Indonesia membutuhkan kondisi pendukung yang kuat untuk menarik investasi hijau. Tantangan seperti undang-‐undang penguasaan lahan yang tidak stabil, hak kepemilikan intelektual yang lemah, dan kurangnya kebijakan pemerintah yang kuat, dapat menjadi rintangan bagi investor. Indonesia perlu mengembangkan kondisi pendukung yang kuat dalam rangka menarik investasi internasional. 3. Minyak sawit merupakan sektor utama untuk investasi. Industri minyak sawit menyumbang 4,5% bagi PDB 2009 dan emisi lebih dari 140 juta ton metrik CO2 pada tahun 2010 saja (yang setara dengan emisi yang dikeluarkan oleh 28 juta kendaraan). Sejak saat itu, angka-‐angka ini naik terus dan jelas bahwa emisi dari perkebunan kelapa sawit merupakan tantangan utama bagi Indonesia. Dengan berinvestasi pada produksi minyak sawit berkelanjutan, Indonesia akan berhasil mencapai target penurunan emisinya. 4. Meningkatkan produktivitas perkebunan kelapa sawit kecil merupakan kunci untuk mengubah industri ini. Industri kelapa sawit terdiri dari perusahaan besar (50%), Perkebunan milik negara (8%), dan petani kecil (42%). Walaupun didominasi oleh perusahaan-‐perusahaan besar, masalah produksi yang tidak berkelanjutan yang mengganggu industri ini terutama dikarenakan rendahnya produktivitas petani kecil.
1
The Role of Climate Finance in Stimulating Green Investment in Indonesia -‐ Jakarta – 23 June 2015
5. Kerja sama adalah masa depan. Obligasi hijau adalah instrument keuangan yang dapat digunakan untuk meningkatkan produktivitas petani kecil Indonesia, menurunkan emisi pada tahun 2020, dan memberikan nilai kepada investor untuk uang mereka. Model kemitraan pemerintah-‐swasta yang inovatif ini dapat sangat menguntungkan Indonesia.
Sambutan Direktur United Nations Office for REDD+ Coordination in Indonesia (UNORCID) Satya Tripathi, menyambut pembicara dan peserta. Ia menyatakan bahwa dengan bertransisi menuju ekonomi hijau, kebutuhan untuk meningkatkan pendanaan dari sektor swasta dan memperkuat kerja sama antara pemerintah dengan swasta menjadi langkah vital. Ia menekankan peran utama yang dimainkan oleh petani kecil dalam konteks Indonesia dan dampak yang dapat diberikan oleh pendanaan jangka panjang pada pencapaian produksi minyak sawit yang berkelanjutan. Tropical Landscapes Summit merupakan langkah pertama untuk mempertemukan CEO-‐CEO ternama di dunia dengan menteri-‐menteri Indonesia untuk terlibat dalam dialog tentang bagaimana investasi swasta pada inisiatif-‐inisiatif publik dapat menghasilkan situasi yang menguntungkan semua pihak. Menyusul keberhasilan Tropical Landscapes Summit, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mengumumkan niatnya untuk menarik investasi hijau setidaknya sebesar 100 miliar dollar AS untuk tujuh sektor pada tahun 2019.
Presentasi Panel CEO dan salah satu pendiri Climate Bonds Initiative Sean Kidney, mengawali dengan menjelaskan bahwa ada tren internasional dalam memobilisasi dana dari sektor swasta untuk investasi yang berfokus pada iklim. Berdasarkan pengalamannya bekerja dengan perusahaan-‐perusahaan global, bank-‐bank besar, dan pemerintah banyak negara, ia menekankan bahwa sektor swasta dan negara maju sangat tertarik untuk mendanai transisi menuju pembangunan berkelanjutan di negara-‐negara seperti Indonesia. Setelah memberikan gambaran singkat tentang dampak perubahan iklim yang merugikan, ia menyoroti peran penting yang akan dimainkan oleh obligasi hijau dalam transisi menuju ekonomi hijau. Kidney juga berbicara tentang pentingnya membangun infrastruktur hijau dan bahwa hal ini dapat membantu menarik investasi hijau. Ia menyoroti peran yang dapat dimainkan oleh pemerintah dalam menetapkan langkah-‐langkah kebijakan dan menggunakan perangkat fiskal untuk membangun infrastruktur hijau ini. Ia juga menyebutkan bahwa gelombangnya sedang bergeser ke arah negara-‐ negara berkembang, dikarenakan tingkat bunga yang positif dan keuntungan keuangan yang lebih besar dari negara-‐negara seperti Indonesia. Di KTT Iklim PBB 2014, dinyatakan bahwa perubahan iklim merupakan tantangan terbesar yang menghadang portofolio swasta, khususnya portofolio-‐portofolio dalam industri asuransi. Sejak saat itu, industri-‐industri berbasis risiko seperti perusahaan-‐perusahaan asuransi telah membuat janji kuantitatif
2
The Role of Climate Finance in Stimulating Green Investment in Indonesia -‐ Jakarta – 23 June 2015
untuk menggandakan investasi iklim tahun ini. Komitmen-‐komitmen seperti ini semakin meningkat dan pendanaan signifikan telah dijanjikan oleh sektor swasta. Peluang yang tersedia tidak kurang; namun, mekanisme kebijakan dan kemauan politik dibutuhkan dari pihak pemerintah. Kondisi pendukung yang meminimalkan risiko sangatlah penting bagi kepercayaan dari investor. Lalu, Kidney membahas bagaimana Climate Bonds Initiative membantu memacu investasi dari sektor swasta. Dengan mendorong agenda pemangku kepentingan ke dalam pemikiran jangka panjang, menetapkan label & standar serta mendapatkan verifikasi dari pihak ketiga, sektor swasta tidak hanya memberikan dukungan keuangan tetapi juga menciptakan iklim investasi bagi tiap investor. Kemudian, Kidney berbicara tentang peran obligasi hijau dan bagaimana obligasi hijau terutama digunakan dalam mendanai kembali proyek serta bertindak sebagai exit strategy bagi bank dan lembaga setelah proyek selesai. Tren dengan obligasi hijau adalah bahwa biasanya permintaannya melebihi jumlah yang dikeluarkan; peningkatan permintaan dibarengi dengan harga yang rendah membuat obligasi hijau lebih disukai daripada obligasi biasa. Keunikan obligasi hijau adalah kemampuannya untuk menarik investor berdasarkan keuntungan sosial, lingkungan dan ekonomi yang bertanggung jawab yang didapatkannya dari investasi. Satu hal penting yang disoroti dalam pidatonya adalah bahwa obligasi hijau hanya tersedia senilai 51 miliar dolar di pasar obligasi bertemakan iklim senilai 502,6 miliar dolar. Peluang untuk investasi hijau terutama tersedia dalam sektor-‐sektor seperti energi terbarukan, bangunan hijau, pengelolaan sampah, dan pertanian berkelanjutan. Lebih lanjut ia menekankan bahwa peluang terbesar di Indonesia adalah sukuk hijau dan pembelinya adalah dana pensiun dari negara-‐ negara seperti AS dan Jerman. Climate Bonds Initiative juga bekerja sama dengan United Nations Environment Programme (UNEP) untuk mempublikasikan panduan tentang kondisi pendukung apa saja yang dibutuhkan oleh pemerintah untuk menarik investasi yang lebih besar. Kidney menutup dengan berkata bahwa, “Terdapat kebutuhan besar untuk menghubungkan modal dengan tujuan dalam masyarakat dan hal ini adalah bidang hijau yang baru. Dunia ini perlu mulai mengorbankan kurva pertumbuhan dengan hijau”. Ketua Umum Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) Derom Bangun, membahas tiga hal dalam pidatonya tentang industri minyak sawit Indonesia. Pertama-‐tama, ia memberikan gambaran tentang industri ini dan menyoroti pertumbuhan signifikan dalam luas perkebunan serta kapasitas pemilik perkebunan selama 50 tahun terakhir. Ia menambahkan bahwa dengan peningkatan produksi, terdapat ledakan ekspor; dari 31 juta ton yang dihasilkan tahun lalu, sekitar 20 juta diekspor ke negara lain. Namun, masalah yang ditimbulkan oleh produksi adalah masalah polusi dan emisi metana. Dengan Indonesia yang memproduksi 50 persen dari minyak sawit dunia, dampak tingkat polusi, khususnya metana, merupakan bencana bagi lingkungan hidup. Lalu, Derom Bangun menunjukkan bahwa metana 23 kali lebih merugikan daripada emisi karbon dioksida dan dilepaskan selama degradasi biji kelapa sawit serta dari lahan gambut di mana perkebunan dibangun. DMSI bertujuan untuk memastikan 60 persen pabrik pengolahan terbangun dengan fasilitas penangkapan metana pada tahun 2022, dan Derom Bangun menambahkan bahwa hal ini dapat menjadi peluang investasi yang menarik bagi pendanaan iklim dan obligasi hijau. Ia juga menyoroti bahwa minyak sawit dapat digunakan sebagai bahan bakar nabati, tetapi hal ini merupakan bidang baru dan perlu penelitian lebih lanjut. Lalu, ia
3
The Role of Climate Finance in Stimulating Green Investment in Indonesia -‐ Jakarta – 23 June 2015
melanjutkan dengan menggambarkan pentingnya petani kecil dibandingkan dengan perusahaan besar. Ia menutup presentasinya dengan mengatakan bahwa “30 juta ton berarti industri senilai 30 miliar dolar dan mudah-‐mudahan industri minyak sawit dapat melakukan sesuatu untuk menciptakan investasi ini”.
Diskusi Tanya-‐Jawab Setelah presentasi dari panelis, dibuka kesempatan bagi peserta untuk memberikan komentar dan mengajukan pertanyaan. Diskusi dimulai dengan Satya Tripathi merangkum tantangan dan soulsi dari kedua presentasi tersebut. Ia menekankan perlunya mentransformasi lanskap 42 persen petani kecil dan bagaimana obligasi hijau dapat memainkan peran kunci dalam mendukung transformasi ini dan menunjukkan bahwa “walaupun obligasi berada pada tingkat makro, dibutuhkan keterlibatan tingkat mikro untuk mencapai keberhasilan”. Dan memikirkan cara-‐cara alternatif untuk meningkatkan produktivitas petani kecil seperti menanam pada lahan terdegradasi dan membangun fasilitas penangkapan metana, bukan hanya akan mengurangi deforestasi melainkan juga akan memastikan elektrifikasi nasional seutuhnya melalui energi terbarukan dan ketahanan penguasaan lahan bagi masyarakat desa. Kepala Kerja Sama Pembangunan, Kedutaan Besar Jerman, Ina von Frantius, bertanya mengapa petani kecil yang dipilih dan bagaimana mendapatkan investasi dari lapangan, mengingat kurangnya lingkungan pengatur dan stabilitas hukum. Pertanyaan ini dijawab oleh Satya Tripathi yang mengatakan bahwa minyak sawit adalah salah satu sektor di Indonesia yang memperoleh manfaat besar dari pendanaan iklim karena terdapat periode waktu sejak program dimulai untuk meningkatkan produktivitas kelapa sawit petani kecil sampai peningkatan hasil panen. Pendanaan jangka panjang bagi petani kelapa sawit pada gilirannya akan membantu jutaan masyarakat desa. Untuk mengatasi tantangan kondisi pendukung ini, ia menyebutkan bahwa pendanaan mikro dapat menjadi solusi potensial untuk memberikan stabilitas dan keuntungan yang dicari oleh investor. Pertanyaan selanjutnya adalah tentang apakah kota hijau dapat mendanai dan mendanai kembali proyek serta bagaimana hal ini dapat menghasilkan lebih banyak pinjaman tersedia bagi proyek hijau. pertanyaan ini diikuti oleh Astrid Kusumawardhani dari Asia Group Advisors, yang menanyakan apa yang akan terjadi jika suatu proyek tidak hijau lagi. Kidney menjawab dengan mengatakan bahwa inisiatif pendanaan hijau untuk kota telah tersedia da nada proyek percontohan untuk Obligasi Kota Hijau yang diluncurkan di paris tahun ini. Lebih lanjut ia menambahkan bahwa restrukturisasi pasar keuangan hijau merupakan kunci untuk menarik investor. Ia juga menyatakan bahwa solusi sebenarnya terletak pada peran pemerintah dan sektor publik. Dengan potensi besar di India dan Cina, pemerintah Indonesia dapat menarik investasi dengan mendemonstrasikan komitmen mereka untuk meghentikan deforestasi. Ia juga mengatakan bahwa obligasi hijau bukanlah satu-‐satunya solusi – melainkan komponen pendanaan iklim yang dapat mendukung transisi menuju ekonomi hijau. Dari sudut pandang kredit, obligasi hijau digunakan untuk mendanai kembali. Namun, investor khawatir tentang faktor risiko dan
4
The Role of Climate Finance in Stimulating Green Investment in Indonesia -‐ Jakarta – 23 June 2015
solusi untuk hal ini adalah dengan memiliki sistem yang baik untuk pemberian peringkat kredit dan risiko. Ia mengakhiri dengan mengatakan bahwa pendanaan iklim adalah “memberikan opsi kepada bendahara di mana sebelumnya mereka tidak memiliki opsi”.
5
The Role of Climate Finance in Stimulating Green Investment in Indonesia -‐ Jakarta – 23 June 2015
Lampiran 1: Agenda Waktu
Sesi
Pembicara
11.45 – 12.15
Pendaftaran dan makan siang
12.15 – 12.20
Pembukaan
12.20 – 12.45
Presentasi
Sean Kidney CEO dan salah satu pendiri Climate Bonds Initiative
12.45 – 13.10
Presentasi
Derom Bangun Ketua Umum Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI)
13.10 – 14.30
Diskusi/Tanya-‐Jawab
14.20 – 14.30
Penutup
Satya Tripathi Direktur UNORCID
Difasilitasi oleh Satya Tripathi Direktur UNORCID Satya Tripathi Direktur UNORCID
Lampiran II: Peserta Antara Asia Carbon Asia Group Advisors Badan Pusat Statistik, Pemerintah Indonesia Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Pemerintah Indonesia BeritaHukum.com Climate Policy Initiative Conservation International Epistema Institute Ernst&Young
6
The Role of Climate Finance in Stimulating Green Investment in Indonesia -‐ Jakarta – 23 June 2015
Fauna & Flora International (FFI) Food and Agriculture Organization (FAO) Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit (GIZ) GreenWorks Asia Indiana University Indonesian Business Link (IBL) Indonesian Climate Change Trust Fund (ICCTF), Pemerintah Indonesia Japan International Cooperation Agency (JICA) kabarindo Kantor Hukum Warsito Sanyoto & Partners Kantor Staf Presiden Republik Indonesia (KSP) Kedutaan Besar Jerman di Indonesia Kedutaan Besar Kerajaan Norwegia di Jakarta Kedutaan Besar Swedia di Indonesia KfW Koran Jakarta KPMG Mercy Crops Indonesia Proven Force Indonesia Splash & GPA The ASEAN Secretariat The Nature Conservancy Indonesia (TNC Indonesia)
7
The Role of Climate Finance in Stimulating Green Investment in Indonesia -‐ Jakarta – 23 June 2015
The US Small Business Administration (SBA) Unilever Indonesia Foundation United Nations Children’s Fund (UNICEF) United Nations Development Programme (UNDP) United Nations Resident Coordinator (UNRC) United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) United Nations Industrial Development Organization (UNIDO) United States Agency for International Development (USAID) Universitas Indonesia Universitas Padjadjaran US – ASEAN Business Council USOS Indonesia World Resources Institute (WRI) World Wildlife Foundation (WWF) Indonesia Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (KEHATI)
8