Briefing Paper:
Pendanaan Perubahan Iklim Sebuah Pertanyaan Mengenai Keberlanjutan oleh: Henriette Imelda Fabby Tumiwa
Institute for Essential Services Reform (IESR) www.iesr.or.id
energy for equitable development
Pendanaan Perubahan Iklim: Sebuah Pertanyaan Mengenai Keberlanjutan Perundingan SB36 di Bonn berakhir sudah, namun perdebatan mengenai keberlanjutan pendanaan untuk mengatasi perubahan iklim sepertinya akan terus berlanjut; dimana seluruh Pihak berharap Doha akan memberikan kepastian, salah satunya di isu pendanaan. Berbagai kalangan mempertanyakan dengan berakhirnya Ad Hoc Working Group on Long Term Cooperative Action (AWG-LCA) di COP 18 Doha 26 November – 7 Desember 2012 mendatang, apa yang akan terjadi dengan Long Term Finance (LTF)? Apakah saat mandat AWG-LCA berakhir, komitmen Long Term Finance (LTF) juga berakhir? Bagaimana negara-negara maju kemudian meningkatkan Fast Start Finance (FSF) sebesar US$ 30 milliar dari tahun 2010 hingga 2012, menjadi US$ 100 miliar per tahun pada tahun 2020? Hasil COP ke-13 di Bali tahun 2007, Decision 1/CP 13 para 1e(i) menyatakan “Improved access to adequate, predictable and sustainable financial resources and financial and technical support, and the provision of new and additional resources, including official and concessional funding for developing country Parties;” menjadi dasar bagi kelompok G-77 dan organisasi masyarakat sipil untuk mendesak negara-negara kelompok Annex-1 untuk meningkatkan pendanaan dari berbagai sumber dan investasi untuk mendukung aksi mitigasi dan adaptasi, serta kerjasama alih teknologi. Sedangkan dalam negosiasi di Bonn, belum ada bukti bahwa keputusan ini telah digenapi oleh negara-negara maju. Negara-negara berkembang menanyakan sampai dimana kah komitmen dan implementasi negara maju dalam hal Fast Start Finance? Melihat perkembangan ini, banyak pihak meragukan keberlanjutan implementasi kesepakatan Bali dan Durban tentang pendanaan bagi negara-negara berkembang paska 2012. Bagaimana komitmen penyediaan dana mitigasi dan adaptasi perubahan iklim dapat dijawantahkan oleh negara-negara Annex-1 hingga 2020 mendatang?
Durban Package on Finance Paska Konferensi Para Pihak ke-17 di Durban 2011 lalu (COP 17), terdapat beberapa keputusan di bidang pendanaan perubahan iklim yang telah disepakati dalam rangka mencapai tujuan tertinggi dari konvensi perubahan iklim. Beberapa ketetapan dari Decision 1/CP17 adalah: - Dibentuknya Standing Committee - Dibentuknya Green Climate Fund - Dibentuknya Work Programme on Long Term Finance (LTF)
Standing Committee Standing Committee merupakan pengejawantahan dari salah satu keputusan COP ke-16 di Cancun, dimana diputuskan pembentukan sebuah Standing Committee yang akan mendampingi COP sehubungan dengan mekanisme pendanaan sebagaimana yang tercantum dalam Konvensi. Standing Committee kemudian ditetapkan di COP ke-17 di Durban, dengan kelengkapan peran dan fungsin1
ya, komposisi, serta kelengkapan-kelengkapan kerjanya (working modalities). Keputusan 2/CP 17, Annex VI menetapkan tugas-tugas dari Standing Committee, yaitu: - Mengembangkan ketentuan mengenai partisipasi organisasi pengamat (observers organizations) dari entitas-entitas operasional mekanisme pendanaan yang ada di bawah Konvensi; mulai dari entitas pemberi dana (multilateral, bilateral, dan regional) yang terlibat dalam pendanaan iklim hingga organisasi-organisasi pengamat dari sektor swasta maupun kelompok masyarakat sipil yang diakui oleh Konvensi. - Standing Committee berhak untuk menarik kesimpulan berdasarkan keahlian masingmasing, apabila dinyatakan perlu. Keputusan yang sama menyatakan bahwa Standing Committee akan melakukan pertemuan pertamanya sebelum pertemuan Bonn, Mei 2012 yang lalu. Pada kenyataannya, saat pertemuan Bonn berlangsung, Standing Committee belum juga mengadakan pertemuannya yang pertama.
Green Climate Fund
Green Climate Fund ditetapkan pada COP 16 melalui Decision 1/CP16 sebagai entitas yang akan menjalankan mekanisme pendanaan dari Konvensi di bawah Artikel 111 . Idealnya, GCF akan menyokong kegiatan-kegiatan, program-program, kebijakan, dan aktivitas-aktivitas lainnya yang terkait dengan perubahan iklim di negara-negara berkembang. Dana yang ada di GCF ini akan dikelola oleh GCF Board. Pertemuan Para Pihak bahkan telah menetapkan instrumen pengelolaan Green Climate Fund tersebut. Itu sebabnya, penetapan Green Climate Fund dinyatakan sebagai sebuah prestasi di bidang pendanaan pada COP 17 lalu. Kini, yang harus diputuskan adalah siapakah yang akan menempati kursi Green Climate Fund Board? Pertemuan pertama GCF seharusnya dilakukan pada bulan Maret 2012 tetapi rencana ini tidak terlaksana. Diundurnya pertemuan pertama GCF (Green Climate Fund), semakin mempersulit perundingan tentang pendanaan di Bonn, Mei 2012. Padahal, untuk dapat menetapkan GCF, masih begitu banyak hal yang perlu dilakukan. Memperkuat institusi dan meningkatkan kapasitas negara-negara berkembang, merupakan pekerjaan rumah yang belum dan wajib untuk diselesaikan. Bahkan untuk membangun dan mengoperasikan institusi ini, diperlukan sumber dana yang kini belum ada sepeser pun di kantung pundi GCF. Kalaupun ada, dana tersebut masih berbentuk ‘janji’ dan bukan dana yang telah siap untuk dikapitalisasikan. Melihat banyaknya pekerjaan yang harus dilakukan, dengan pundi yang kosong, sepertinya GCF sulit untuk mulai berjalan di awal tahun 2013. Jika 1 Artikel 11 dari Konvensi merupakan artikel yang mengatur tentang mekanisme pendanaan. Definisi dari mekanisme pendanaan dinyatakan di Artikel ini (Artikel 11.1). Mekanisme pendanaan ini juga harus memberikan perwakilan yang seimbang dari seluruh Pihak dengan sistem tata kelola yang transparan (Artikel 11.2). Artikel ini juga mengatur tentang ketentuan-ketentuan yang harus disetujui oleh Konferensi Para Pihak atau entitas yang akan melakukan operasional mekanisme pendanaan yang berlaku; termasuk di dalamnya kelengkapan-kelengkapan yang diperlukan untuk memastikan bahwa proyek-proyek perubahan iklim yang didanai, sesuai dengan kebijakan-kebijakan, prioritas program, serta kriteria-kriteria kesesuaian yang ditetapkan oleh Konferensi Para Pihak (Artikel 11.3a-d). Artikel 11.5 menyatakan bahwa negara-negara maju juga dapat menyediakan sumber-sumber pendanaan dan negara-negara berkembang berhak untuk mendapatkan sumber-sumber pendanaan yang terkait dengan implementasi Konvensi melalui saluran-saluran bilateral, regional, dan saluran multilateral lainnya.
2
GCF tidak dapat berjalan di awal tahun 2013, maka kemungkinan pengucuran dana untuk aktivitasaktivitas mitigasi dan adaptasi di negara-negara berkembang, akan tertunda juga. Tertundanya pengucuran dana tersebut akan mengakibatkan terjadinya gap pendanaan; suatu kondisi yang dikhawatirkan oleh banyak negara berkembang.
Work Programme on Long Term Finance (LTF)
Long Term Finance (LTF) merupakan sebuah program kerja (work programme) yang ditetapkan berdasarkan Decision 1/CP17 di paragraf 127. WP LTF ini memiliki tujuan untuk memberikan masukan mengenai jenis upaya apa saja yang dapat dilakukan guna melakukan scale-up dana setelah tahun 2012; setelah masa Fast Start Finance (FSF) berakhir. Berdasarkan keputusan COP 17 mengenai Long Term Finance, Presiden COP diminta untuk menunjuk 2 (dua) co-chairs; satu dari negara maju, dan satu lagi dari negara berkembang untuk menangani WP LTF. Beberapa kegiatan yang akan dilakukan di bawah WP LTF adalah melakukan konsultasi dengan Para Pihak serta observers, mengadakan workshops untuk mengumpulkan berbagai macam pandangan mengenai climate finance, serta menyamakan persepsi mengenai pendanaan jangka panjang, baik kepada developed countries, maupun pada developing countries. Keputusan COP 17 juga menetapkan, bahwa keluaran dari Program Kerja ini adalah sebuah laporan yang nantinya akan dibawa kepada Konferensi Para Pihak ke-18, untuk menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan langkah LTF selanjutnya. Pada akhirnya, COP-lah yang akan memutuskan mekanisme seperti apa yang paling baik untuk dapat memastikan scale-up pendanaan dari US$ 10 miliar per tahun (tahun 2010-2012) menjadi US$ 100 miliar per tahun hingga 2020. Itulah sebabnya, isu Long Term Finance, hanya akan dibahas dibawah COP, dan bukan pada working group tertentu. Hal ini dimaksudkan agar LTF tetap berjalan, walaupun Ad hod Working Group yang ditunjuk, Longterm Cooperative Actions (LCA) telah habis masa mandatnya. Melalui konsultasi yang dilakukan oleh Ketua WP LTF di pertemuan Bonn Mei 2012 lalu, ditegaskan bahwa Work Programme ini bukan lah suatu wadah untuk melakukan negosiasi melainkan sebuah wadah dimana banyak pihak akan bertukar ide, pikiran, pengalaman, mengenai pendanaan perubahan iklim. Setelah melakukan pertukaran pikiran inilah, chair dari WP LTF ini akan membuat analisa mengenai pilihan-pilihan yang mungkin untuk memobilisasi sumber pendanaan tersebut. Dimulai dari detik tahun 2012 berakhir sampai dengan ditetapkannya mekanisme yang akan dijalankan untuk mengoperasikan pendanaan ini, tentu saja ada rentang waktu. Pertanyaannya adalah dalam rentang waktu tersebut, siapa yang akan memberikan jaminan bahwa dana-dana dari negaranegara maju masih akan tetap mengalir? Diskusi ini yang banyak mewarnai LCA pada sesinya yang ke-15 di Bonn lalu. Walau bagaimana pun juga, keputusan pembentukan LTF ada di bawah Ad hoc Working Group on Long-term Cooperative Action (AWG-LCA) kepada COP. Itu sebabnya, menjelang akhir mandatnya, pertanyaan mengenai keberlanjutan LTF diajukan di dalam forum AWG-LCA. Beberapa negara mengusulkan untuk mengadakan apa yang disebut dengan spin-off group selama di Bonn yang khusus membicarakan mengenai Long Term Finance, di bawah LCA, agar para Pihak dapat berdiskusi dengan skala yang lebih kecil; bahkan apabila dimungkinkan, tanpa kehadiran observers. Tujuannya adalah untuk mendapatkan kepastian konkrit, bahwa isu pendanaan tidak lepas 3
setelah tahun 2012 berakhir, sampai institusi yang akan menjadi wadah untuk pendanaan yang akan mengalir, telah terbentuk dan siap untuk beroperasi. Walaupun pihak negara-negara maju mengatakan bahwa tidak akan ada gap pendanaan, namun, tanpa bukti yang konkrit, pernyataan tersebut sulit untuk diterima oleh negara berkembang. Australia memastikan bahwa mereka tidak akan membiarkan gap pendanaan tersebut terjadi. Australia, dalam pertemuan contact group AWG-LCA Selasa, 22 Mei 2012, bahkan mengambil kasus bantuan mereka kepada Indonesia melalui kegiatan REDD+ di Kalimantan, yang akan berlanjut bahkan melampaui tahun 2012. Kasus tersebut, digunakan Australia untuk menyakinkan negara berkembang, bahwa bantuan pendanaan untuk negara berkembang tidak akan berhenti di akhir tahun 2012. Bagaimana negara-negara Annex 1 dapat menjamin keberlanjutan pendanaan untuk mengatasi perubahan iklim merupakan suatu hal yang cukup sensitif di Bonn. Kekhawatiran akan fungsi ‘kelembagaan’ yang akan berakhir, atau bahkan yang belum berdiri, terus ada di benak negara-negara berkembang. Bahkan, dalam salah satu contact group di bawah LCA, delegasi Filipina sempat menyatakan, “In Durban, we have established a Standing Committee that now, not yet even standing...”, memberikan kesan pesimis akan kinerja dari entitas pendanaan yang ada atau akan ada. Kekhawatiran bahwa LTF hanya akan berkisar pada melakukan workshop dan reporting cukup dimaklumi, karena memang belum ada strategi nyata untuk memoblilisasi dana, kecuali melakukan workshop dan reporting, sebagaimana yang dimandatkan oleh Decision 2 CP 17. Siapa yang dapat menjamin bahwa laporan dari kegiatan-kegiatan ini, tidak akan berakhir nasibnya seperti laporan Advisory Group on Climate Change Financing (AGF)?
Perdebatan Bonn Ketua pimpinan sidang (chair) dari Ad hoc Working Group on Long-term Cooperative Action (AWGLCA), setelah mengadakan contact group, memutuskan untuk membuat informal group di masingmasing komponen, seperti Long Term Finance, mitigasi, dan lain sebagainya. Ternyata, Informal group juga tidak banyak membantu. Beberapa negara bahkan masih saja memperdebatkan hal-hal yang bersifat prosedural dan kurang substantif. Walau demikian, beberapa negara terus mengajukan proposalnya. Barbados mengusulkan untuk memperpanjang masa Fast Start Finance hingga 3 tahun ke depan. Hal ini memancing Amerika untuk mengajukan pertanyaan, apabila ada mekanisme Fast Start Finance untuk 3 tahun lagi, apakah mungkin ada yang namanya mid-term mitigation, yang diberlakukan kepada negara-negara berkembang, dimana pada saat itu, negara-negara berkembang tertentu diwajibkan untuk menurunkan emisi.
Mid-term mitigation merupakan sebuah istilah dan mekanisme yang baru, namun, tetap tidak memberikan jaminan bahwa kegiatan tersebut akan membawa kenaikan temperatur rata-rata tidak melebihi batas temperatur 2C. Bahkan, memberikan gambaran bahwa negara-negara maju, tidak ingin bertanggung jawab atas apa yang menjadi kewajiban mereka; yaitu membayar tanggung jawab historis (historical responsibilities) mereka.
4
FSF vs. ODA
Di tengah-tengah perdebatan mengenai kontinyuitas, Filipina jelas menyatakan bahwa memang pendanaan akan terus berlangsung; karena negara-negara maju memberikan ODA (Official Development Assistance)-nya kepada negara berkembang. Negara-negara maju dengan mudah akan membengkakkan angka ODA mereka, dan mereka meng-claim dana tersebut sebagai Fast Start Finance. Konsep dari pendanaan yang disepakati sebenarnya tidak lah demikian. Mulai dari Bali Action Plan tahun 2007 yang lampau, hingga Durban akhir tahun 2011 lalu jelas-jelas menyatakan, bahwa bentuk pendanaan harus berasal dari sumber-sumber baru dan tambahan (new and additional sources), jadi, seharusnya dana untuk perubahan iklim tidak berasal dari sumber-sumber ODA yang memang sudah menjadi kewajiban dari negara maju kepada negara berkembang. OECD mencatat bahwa di tahun 2010, 15% dari ODA adalah pendanaan untuk perubahan iklim. Negosiasi di Bonn bulan Mei 2012 tidak menghasilkan kemajuan yang menyenangkan bagi banyak pihak. Seluruh skenario mengenai scale-up pendanaan tidak tersentuh sama sekali oleh negara maju. Beberapa developed countries bahkan menolak untuk membicarakannya, sehingga isu keberlanjutan dari pendanaan tetap menjadi sebuah pertanyaan besar. Kalau pun terjadi diskusi, seluruhnya akan bermuara kepada pertanyaan, “Bukankah kapasitas dari negara berkembang belum cukup memadai?” Padahal, untuk meningkatkan kapasitas negara berkembang, juga diperlukan dana. Pertanyaan kembali lagi, dimanakah tanggung jawab developed countries untuk menyediakan dana agar developing countries dapat melakukan upaya-upaya yang diperlukan untuk mencapai tujuan tertinggi konvensi dan pada saat yang bersamaan dapat melakukan adaptasi terhadap dampak dari perubahan iklim?
Long Term Finance Workshop Pertama
Pada tanggal 9-11 Juli 2012 di Bonn, Jerman, workshop pertama mengenai Long Term Finance digelar. Christiana Figueras, Sekretaris Jenderal United Nations Framework on Climate Change Convention (UNFCCC) mengatakan di pembukaan workshop, bahwa acara ini bukanlah acara negosiasi. Justru workshop ini memberikan pengetahuan bagi seluruh pihak, beserta dengan organisasi-organisasi pengamat (observer), untuk mengetahui pilihan-pilihan pendanaan apa saja yang dapat dipakai untuk memenuhi komitmen US$ 100 miliar per tahun paska tahun 2012. Diharapkan, melalui workshop ini, para pihak memiliki persepsi yang sama mengenai pilihan sumber-sumber dan mekanisme pendanaan yang ada. Workshop ini dilakukan sebagai bentuk pengejawantahan dari Cancun Agreement setelah diajukan oleh kelompok Afrika dengan beberapa ide tambahan dari AOSIS, yang juga diajukan oleh salah satu organisasi pengamat, Climate Action Network.
Workshop pertama ini memberikan gambaran mengenai fakta akan kebutuhan pendanaan perubahan iklim, serta beberapa potensi untuk scale-up sumber-sumber pendanaan dari negara-negara maju. Workshop ini juga memberikan gambaran mengenai berapa banyak yang diperlukan oleh negara-negara berkembang, dalam menghadapi isu perubahan iklim ini. Lebih jauh, workshop ini juga memaparkan potensi-potensi pendanaan yang dapat digunakan untuk memobilisasi dana sebesar US$ 100 miliar per tahunnya. Isi dari workshop ini sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru bagi banyak pihak. Namun, terlihat jelas bahwa perbedaan persepsi mengenai apa yang akan terjadi dengan pendanaan untuk masa 5
depan, sangat besar.
Fakta-Fakta Mengenai Pendanaan Perubahan Iklim
Sesi pertama dari workshop menjabarkan mengenai fakta-fakta mengenai pendanaan perubahan iklim. Jeffrey Sachs, sebagai salah satu narasumber menyatakan bahwa ada beberapa isu mendasar mengenai ekonomi dalam perubahan iklim: - Kebutuhan untuk melakukan dekarbonisasi yang cepat dan pengurangan emisi yang tinggi - Kebutuhan untuk perubahan teknologi - Kebutuhan untuk adaptasi dan kelentingan perubahan iklim Ketiga hal di atas, dikatakan akan menimbulkan incremental cost yang signifikan bagi negara berkembang. Namun biaya yang dikeluarkan saat ini, akan sangat rendah apabila dibandingkan dengan biaya yang harus ditanggung akibat dampak yang dihasilkan, jika business as usual (BAU) masih terus berjalan.
Africa Development Bank (AfDB) menyatakan, bahwa Afrika membutuhkan pendanaan sekitar US$ 22-31 miliar per tahunnya sampai tahun 2015, dan US$ 52-68 miliar per tahun hingga tahun 2030. Namun, angka-angka tersebut merupakan nominal yang diperlukan, apabila bertindak sekarang. Informasi di atas memberikan pengetahuan bahwa untuk bisa beradaptasi dengan perubahan iklim, serta memulai pembangunan yang rendah karbon, pendanaan sebesar US$ 100 miliar per tahun setelah tahun 2012, merupakan angka yang sangat kecil.
Kebutuhan Pendanaan Negara-Negara Berkembang
Workshop ini juga ‘mengingatkan’ akan kebutuhan pendanaan bagi negara-negara berkembang. South Centre memberikan gambaran kebutuhan finansial dari negara-negara berkembang baik untuk mitigasi maupun adaptasi (seperti terlihat di Tabel 1). Tabel 1 Estimasi Kebutuhan Pendanaan Mitigasi di Negara-Negara Berkembang Sumber Jumlah Pendanaan Durasi Waktu IEA (2010) Skenario “Blue Map” US$ 750 miliar per tahun US$ 1600 miliar per tahun Global Energy Assessment US$ 1700 - 2100 miliar per (2011) tahun Edenhofer et al. (2009) “RECIPE” US$ 480 - 600 miliar per tahun US$ 1200 miliar per tahun McKinsey (2009) Pathways to a US$ 660 miliar per tahun Low-Carbon Economy US$ 1000 miliar per tahun
Sampai dengan tahun 2030 Tahun 2030 - 2050 2010 - 2050 Sampai dengan 2030 Di tahun 2050 Di tahun 2020 Di tahun 2030
Bukan hanya data-data di atas saja yang menunjukkan bahwa keperluan pendanaan untuk mitigasi di negara-negara berkembang, lebih besar daripada yang disepakati saat ini, baik Fast Start Finance (US$ 10 miliar/annum dari tahun 2010-2012), hingga Long Term Finance (US$ 100 miliar/annum se6
telah 2012 hingga tahun 2020).
South Center juga menyajikan data-data keperluan pendanaan untuk kegiatan adaptasi di negaranegara berkembang. Menurut studi UNFCCC di tahun 2007, negara berkembang membutuhkan sekitar US$ 27 miliar hingga US$ 66 miliar per tahunnya. Belum lagi upaya-upaya adaptasi yang dilakukan akibat terjadinya bencana yang dikarenakan oleh perubahan iklim, seperti kehilangan nyawa, rumah, infrastruktur, hingga livelihood. Banjir di Pakistan telah berdampak pada kehidupan 14 juta orang, dengan biaya rekonstruksi mencapai US$ 10-15 miliar (MSNBC). Banjir Thailand di tahun 2011 memakan biaya hingga US$ 46 miliar (WB 2011). Sedangkan banjir di Mississippi, AS di tahun 2011, menghabiskan biaya hingga US$ 9 miliar (WSJ). Seed Capital Programmes, Energy Branch, dari United Nations Environment Programme memberikan gambaran biaya yang diperlukan untuk melakukan upaya Adaptasi terhadap perubahan iklim. Tabel 2 Gambaran Biaya yang Dibutuhkan untuk Melakukan Upaya Adaptasi terhadap Perubahan Iklim Adaptasi Biaya Tahunan, Geografi, Metodologi Kerangka Waktu Stern Review (2006) US$ 1,5 triliun global Integrated Assessment Model (IAM) US$ 1,9 triliun global Menggunakan IAM yang diguParry, et al (2009) Assessing the Costs of Adaptation to Climate nakan oleh Stern, penyesuaian discount rate dan pengukuran Change Hingga 2030 kerentanan, kemudian menambahkan biaya adaptive capacity World Bank (2010) US$ 70 miliar - US$ 100 miliar Biaya perubahan iklim yang Negara-negara berkembang diestimasi menunjukkan aliran Hingga tahun 2050 investasi yang “climate sensitive” US$ 27 miliar - 66 miliar UNFCCC (2007) Investment flows report Negara-negara berkembang Hingga tahun 2030 US$ 20 miliar - 60 miliar Menggunakan dua model IAM UNEP (2010) ADAPT Cost Report Afrika yang berbeda untuk Afrika Hingga tahun 2030 Seluruh data-data yang ditampilkan dengan jelas mengatakan bahwa dana yang seharusnya diberikan oleh negara-negara maju kepada negara-negara berkembang, seharusnya lebih daripada US$ 100 miliar per tahunnya, dengan alokasi pendanaan yang seimbang antara mitigasi dan adaptasi.
Sumber-Sumber Pendanaan Perubahan Iklim
Sumber-sumber pendanaan perubahan iklim menjadi salah satu topik tersendiri yang dibahas dalam workshop LTF yang lalu. Hal ini dikarenakan adanya keinginan bagi negara berkembang untuk 7
mengetahui potensi sumber pendanaan dari negara maju. Dengan adanya kepastian sumber pendanaan, maka negara berkembang dapat mengetahui jumlah dana yang tersedia, sehingga mereka dapat membuat strategi mitigasi dan adaptasi dalam lingkup nasional. Walaupun demikian, pembahasan tidak serta merta bergulir di sekitar sumber pendanaan iklim. Namun, konsep pendanaan iklim sendiri membutuhkan definisi yang harus disepakati bersama. Sayangnya, belum ada kesepakatan internasional mengenai definisi mengenai pendanaan perubahan iklim (climate finance).
Climate Policy Initiative dalam workshop tersebut menyatakan bahwa jumlah dana yang terdapat di pihak swasta (private sector) mencapai hampir tiga kali lipat lebih besar daripada pendanaan yang berasal dari publik. Climate Policy Initiative juga menyampaikan bahwa mayoritas dari pendanaan perubahan iklim digunakan untuk kegiatan-kegiatan mitigasi perubahan iklim. World Bank menyampaikan mengenai potensi sumber-sumber pendanaan perubahan iklim yang dapat digunakan oleh negara-negara maju untuk menggalang dana perubahan iklim. Sumber pertama berasal dari dana publik, yang dapat dihasilkan dari kebijakan harga karbon yang komprehensif, instrumen berbasis pasar untuk bahan bakar dari penerbangan internasional dan maritim, serta kemungkinan untuk mereformasi subsidi bahan bakar fosil di sisi produsen. Sedangkan sumber lainnya berasal dari leveraging aliran-aliran dana dari swasta dan multilateral. Beberapa opsi yang berada di bawah ini adalah kebijakan dan instrumen lainnya untuk menggandeng pendanaan dari pihak swasta; menciptakan pasar karbon untuk mempercepat aliran dana swasta, serta memperkuat Multi Development Bank mengenai leverage yang diperlukan dan pengaturan yang telah ditampung. World Bank menyatakan bahwa dana yang dapat dihasilkan melalui International Aviation dan Maritim, dengan harga karbon US$ 25/ton CO2-ek untuk bahan bakar yang digunakan, adalah US$ 40 miliar. Salah satu opsi pendanaan lainnya adalah reformasi subsidi bahan bakar fosil. World Bank menunjukkan bahwa jika reformasi subsidi bahan bakar fosil di negara-negara maju mencapai hingga 20% dari subsidi, diarahkan untuk pendanaan perubahan iklim internasional, maka kontribusi yang dapat diambil sebesar US$ 10 miliar.
Climate Policy Initiative juga sebenarnya telah memberikan gambaran mengenai jumlah uang yang beredar dalam konteks pendanaan perubahan iklim. Analisa mereka mengatakan bahwa saat ini, telah beredar uang sebesar US$ 100 miliar per tahunnya. Komponen tersebut berasal dari: US$ 50 miliar dana publik; US$ 20 miliar merupakan actual grants, dimana yang lainnya adalah pinjaman oleh multilateral bank. Pasar karbon memberi keuntungan hanya sekitar US$ 2 miliar. Pendanaan seperti ini bukan berarti dana yang beredar telah memenuhi Copenhagen Accord. Namun, apa yang tercantum di Copenhagen Accord merupakan dana tambahan (additional fund). Sedangkan aliran yang telah dijelaskan sebelumnya mewakili total investasi dan bukan incremental cost, sebagaimana yang seharusnya diberikan oleh negara-negara maju.
8
Opsi Pendanaan yang Kontroversi: Subsidi Bahan Bakar Fossil Salah satu hal yang menjadi kontroversi dari alternatif pendanaan yang dijabarkan oleh para narasumber adalah subsidi bahan bakar fosil. World Bank mengatakan bahwa subsidi bahan bakar fosil merupakan salah satu opsi yang paling menarik untuk menjadi sumber pendanaan perubahan iklim. Permasalahannya adalah subsidi bahan bakar minyak di negara-negara maju berada di sisi produsen, atau di penghasil minyak itu sendiri. Dengan beberapa regulasi, kemungkinan untuk menghapuskan subsidi untuk bahan bakar minyak, cukup tinggi. Walaupun demikian, negara berkembang tidak pada posisi yang sama. Negara berkembang, Indonesia contohnya, memiliki subsidi di 2 sisi; sisi produsen dan sisi konsumen. Indonesia memberlakukan subsidi bahan bakar minyak di tahun 1960-an, dengan alasan untuk meningkatkan akses masyarakat pada energi. Selama lebih dari 50 tahun, dengan perkembangan kebutuhan orang-orang terhadap energi, subsidi bahan bakar fosil semakin memberikan angin untuk bertambahnya konsumsi bahan bakar fosil. Di lain pihak, pemberlakuan subsidi di negara berkembang, seperti Indonesia, berasal dari anggaran nasional negara. Artinya, alokasi dana untuk subsidi di Indonesia merupakan 100% hak negara Indonesia di sisi penggunaannya. Belum lagi, aspek politik dari harga subsidi bahan bakar fosil ini, cukup tinggi di Indonesia. Itu sebabnya, adalah suatu hal yang harus dipertanyakan apabila subsidi bahan bakar fosil kemudian menjadi salah satu opsi peningkatan akses yang diberlakukan pada negara-negara yang memberlakukannya. Untuk menghilangkan subsidi bahan bakar minyak di negara-negara berkembang seperti di Indonesia, merupakan tantangan yang sangat kuat, karena fakta menunjukkan bahwa subsidi bahan bakar minyak di Indonesia akan menimbulkan masalah sosial ekonomi yang kompleks. Lagipula, bagi negara berkembang, subsidi bahan bakar fosil yang dilakukan dengan menggunakan anggaran negara, merupakan hak dari negara berkembang itu sendiri, untuk apa dana tersebut digunakan.
Pembelajaran dari Fast Start Finance Selama bergulirnya Fast Start Finance, beberapa pembelajaran kemudian ditarik. Belajar dari perspektif negara penerima Fast Start Finance di AOSIS misalnya, menarik kesimpulan bahwa ada beberapa hal yang memang menjadi pekerjaan rumah besar yang harus diselesaikan bersama-sama. Satu hal yang pasti, Fast Start Finance ini merupakan suatu aktivitas dimana trust building menjadi tujuannya. Keberadaan FSF ini juga akan meningkatkan kegiatan-kegiatan mitigasi dan adaptasi di negara-negara berkembang. Melalui FSF yang diterima oleh Barbados, dapat disimpulkan bahwa kapasitas untuk melakukan scale-up dan memobilisasi jumlah yang substansial untuk dana publik dalam satu jangka waktu tertentu, adalah memungkinkan. Tentang alokasi antara kegiatan mitigasi dan adaptasi, umumnya itu akan terjadi di tingkat masing-masing negara. 9
Salah satu yang menjadi sumber inovatif yang menjanjikan, dan sudah dicoba, adalah dengan melelang dana Emission Trading Scheme (ETS), dalam hal ini Jerman, dimana revenue yang didapat, secara jelas merupakan dana yang baru dan tambahan (new and additional) yang diperuntukkan untuk pendanaan iklim. Walau demikian, banyak juga hal-hal yang harus dipertimbangkan dan disepakati, terutama yang terkait dengan kerangka pelaporan atau accounting/common reporting framework. Ada banyak terminologi yang seharusnya disepakati oleh Para Pihak, sehingga terlihat kejelasannya. Misalnya isu mengenai New and Additional, dimana belum ada definisi yang disepakati. Hanya beberapa negara saja yang mengajukan definisi (seperti base year, peningkatan pada ODA, atau penggunaan dari sumber-sumber inovatif lainnya). Begitu juga dengan peran dari sektor swasta, yang belum diperjelas. Dari sudut pandang negara yang memenuhi komitmennya, EU memiliki perspektif yang cukup berbeda. Bagi EU, bagaimana bisa mendeteksi dana-dana yang telah bergulir sebagai Fast Start Finance, merupakan isu yang sangat penting. Apabila dana yang digulirkan memenuhi standar atau petunjuk-petunjuk yang berlaku untuk ODA, maka dengan mudah dana ini dilaporkan sebagai DAC (Development Assistance Committee) dan mudah dilacak. Namun, akan berbeda apabila FSF yang dikeluarkan tidak sesuai dengan petunjuk untuk ODA. Hal-hal ini akan berujung pada perlunya mekanisme pelaporan sendiri untuk dana yang memang khusus diperuntukan bagi kegiatan perubahan iklim, yang pastinya akan membuat sistem pelaporan pendanaan menjadi lebih kompleks. Di lain pihak, semakin kompleks pelaporan pendanaan yang harus dilakukan, maka hambatan yang harus diatasi selanjutnya adalah kapasitas dari pihak-pihak yang bertanggung jawab untuk membuat laporan tersebut.
Menuju Doha
Di isu pendanaan perubahan iklim, masih banyak hal yang harus dipastikan arahnya menuju COP 18 di Doha mendatang. Beberapa aspek terkait dengan pendanaan perubahan iklim yang perlu diperhatikan adalah : - Institusional, pengoperasian Standing Committee dan Green Climate Fund - Sumber-sumber pendanaan - Strategi scaling-up pendanaan: dari Fast Start Finance (US$ 30 miliar dari 2010 – 2012, atau US$ 10 miliar per tahun selama periode 2010 – 2012) ke Long Term Finance (US$ 100 miliar per tahun terhitung dari tahun 2013 sampai dengan 2020) - Mekanisme MRV untuk support, dalam hal ini pendanaan, terutama mengenai flow of fund
Institusi Pendanaan dan Seed Fund
Penguatan institusi-institusi seperti Standing Commitee , hingga institusi Green Climate Fund, mutlak diperlukan. Sampai dengan akhir Juli 2012, kawasan Asia Pasifik belum menentukan wakilnya un10
tuk duduk di Dewan Eksekutif Green Climate Fund. Dari sisi negara berkembang, penetapan Green Climate Fund sebagai institusi sangat penting karena dapat memberikan tekananan kepada negaranegara maju untuk menyalurkan pendanaan yang dijanjikan. Sesuai dengan kesepakatan (Cancun/Durban) negara-negara maju harus menyetorkan seed fund juga untuk memulai operasi Green Climate Fund ini. Pembentukan institusi tentunya juga memiliki biaya-biaya yang harus dikeluarkan. Peningkatan kapasitas dari negara-negara berkembang, contohnya, penting untuk dilakukan; dan tentu saja memerlukan biaya. Apabila tidak ada komitmen berupa seed fund dari negara-negara maju, maka akan sulit untuk Green Climate Fund dapat beroperasi.
Sumber-sumber Pendanaan
WP LTF akan mengadakan workshop mengenai pendanaan selama 2 (dua) kali, untuk mengejar tenggat waktu produksi laporan yang akan menjadi masukan untuk COP 18 mendatang. Workshopworkshop tersebut seharusnya dapat memberikan masukan mengenai sumber-sumber pendanaan apa saja yang memungkinkan untuk mengisi pundi-pundi dari Long Term Finance ini, yang akan disalurkan melalui Green Climate Fund (GCF). Itu sebabnya, pada COP 18 nanti, laporan dari LTF akan mencantumkan sumber-sumber pendanaan apa saja yang dapat digunakan. Di salah satu diskusinya, sumber pendanaan dikatakan akan berasal dari public dan private finance. Namun, belum ada pilihan konkrit mengenai sumber-sumber pendanaan, walaupun salah satu negara menyatakan bahwa subsidi bahan bakar fosil dapat menjadi sebuah pilihan.
Alokasi Pendanaan
Alokasi pendanaan untuk adaptasi dan mitigasi juga harus disepakati di Doha. Tentu saja, untuk bisa mendapatkan komposisi adaptasi dan mitigasi, diperlukan studi-studi yang kuat dan masukanmasukan dari berbagai keahlian, sebagai rekomendasi yang dapat disepakati bersama.
Strategi Scaling-up Pendanaan
Bonn memberikan tanda tanya besar kepada negara maju; bagaimana kah negara maju dapat meningkatkan pendanaan mereka dari US$ 10 miliar/tahun menjadi US$ 100 miliar setahun? Pertanyaan itu muncul, karena negara maju tidak memberikan indikasi bahwa US$ 100 miliar itu akan dapat diadakan dan diberikan kepada negara-negara berkembang melalui Green Climate Fund. Itu sebabnya, strategi scaling-up pendanaan menjadi call yang sangat spesifik untuk dapat diselesaikan dan disepakati, karena negara berkembang perlu tahu, dari mana dana tersebut berasal; sebagaimana yang telah disepakati dalam Bali Action Plan.
MRV Support
MRV support, dalam hal ini untuk pendanaan, alih dan pengembangan teknologi, sangat lah diperlukan untuk meningkatkan transparansi aliran dana tersebut. Negara berkembang menuntut adanya sistem MRV ini, agar bisa mengetahui berapa banyak dana yang diberikan oleh negara-negara maju kepada negara-negara berkembang. Mereka juga dapat memperhatikan, ketentuan-ketentuan apa saja yang harus diberlakukan. MRV support ini seharusnya juga dapat memberikan gambaran presisi mengenai apa yang dilakukan oleh suatu negara dengan dana yang diterimanya. 11
Hal ini menjadi tuntutan dari negara maju, sehingga mereka mengetahui persis, kegiatan-kegiatan perubahan iklim apa saja yang telah dilakukan.
Dampak Hasil Negosiasi Pada Indonesia
Memperhitungkan hasil negosiasi Bonn bulan Mei 2012 lalu serta Long Term Finance Workshop di Bonn bulan Juli lalu, tentunya mempengaruhi Indonesia dalam konteks pendanaan perubahan iklim. Beberapa pekerjaan rumah, terutama yang terkait dengan arti dari sebuah terminologi, masih harus dicari kesepakatannya. Pengertian seperti besarnya dana sampai dengan 2020, apakah sebesar US$ 100 miliar per tahun, atau dana terakumulasi yang besarannya mencapai US$ 100 miliar sampai de-ngan tahun 2020, atau trajectory dana sampai dengan tahun 2020 yang harus mencapai US$ 100 miliar; masih belum juga disepakati. Ketidakpastian ini tentunya menyulitkan negara-negara berkembang untuk memperkirakan upaya-upaya apa saja yang bisa dilakukan di dalam negeri. Beberapa dampak dari negosiasi di Bonn pada Indonesia, terutama dari segi pendanaan, terdapat di peluang pendanaan Fast Start Finance untuk implementasi kegiatan perubahan iklim menjadi terkendala. Ketidakpastian negara maju untuk menyanggupi Fast Start Finance berujung pada ketiadaan dana untuk mendukung kegiatan-kegiatan perubahan iklim di negara-negara berkembang. Apabila hal ini terjadi, maka negara-negara berkembang akan sulit untuk melakukan upaya mitigasi atau pembangunan rendah karbon. Bukan hanya aspek mitigasi yang akan terkendala dengan pendanaan, namun penyusunan strategi nasional adaptasi juga akan menemui kendala dalam pendanaan, terutama dari segi peningkatan kapasitas. Hal ini juga mempengaruhi kesempatan Indonesia untuk mendapatkan dukungan internasional dalam pencapaian target penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 41% yang ditargetkan untuk dicapai di tahun 2020. Tersendatnya kesepakatan mengenai kepastian pendanaan ini juga menjadi hambatan untuk pengembangan NAMAs (Nationally Appropriate Mitigation Actions) di Indonesia. Selama proses negosiasi terjadi, tentu saja ada beberapa hal yang akan mempengaruhi Indonesia; baik secara langsung maupun tidak langsung. Melihat situasi paska 2012 hingga tahun 2020 nanti, akan ada kemungkinan negara maju mengajukan review terhadap negara-negara berkembang yang sedang dalam fasa rapid development; seperti Cina, India, Brazil, dan Indonesia. Review tersebut dapat mencakup emisi yang dihasilkan dan pertumbuhan ekonomi negara tersebut. Di periode tahun 2013-2020 ini juga, Indonesia harus memikirkan proses transisi dari negara berkembang, menjadi negara maju. Hal ini berarti, Indonesia harus mulai memikirkan ambisi penurunan emisi yang harus dilakukan, serta pendanaan ke negara-negara Least Developed Countries. Alih teknologi negara selatan-selatan juga, kemungkinan harus diantisipasi oleh Indonesia untuk dilakukan pada negara-negara Selatan lainnya. Itu sebabnya, di tingkat nasional, Indonesia harus mulai mencari alternatif-alternatif pendanaan yang memungkinan dari publik dan/atau sektor swasta. Kemungkinan dibuatnya pasar karbon domestik, juga bisa menjadi satu alternatif lain di bidang pendanaan. Namun, untuk itu juga, Indonesia harus memperkuat kapasitasnya dalam melakukan MRV (Monitor12
ing, Reporting, and Verifying) seluruh kegiatan yang ada di dalam negeri. Metodologi MRV ini akan sangat berguna pada saat MRV support kemudian diberlakukan. Apabila Indonesia dapat memberikan case study tentang bagaimana konsep dan mekanisme domestik MRV support yang dimiliki dalam negeri, maka lebih mudah bagi Indonesia dalam mengajukan konsep-konsep MRV yang dapat diterapkan. Beberapa hal yang menjadi pelajaran bagi Indonesia melalui Fast Start Finance adalah bagaimana masalah tracking dari Fast Start Finance itu sendiri. Karena, selama ini pendanaan Fast Start Finance merupakan pendanaan yang di-label belakangan; setelah kegiatannya telah berjalan, barulah dana tersebut di-claim sebagai Fast Start Finance. Padahal, dana tersebut diterima sebagai development finance. Ini menjadi sebuah pembelajaran untuk implementasi Long Term Finance, dimana tracking antara keduanya harus dibedakan. Sehubungan dengan ketidakpastian dari negara maju mengenai isu pendanaan jangka panjang, Long Term Finance, Indonesia kemudian mengajukan adanya mid-term financing yang berlaku di tahun 2013-2015. Hal ini disebabkan karena sampai dengan saat ini, mekanisme pendanaan lanjutan dari Fast Start Finance belum jelas. Padahal, Fast Start Finance akan berakhir di akhir tahun 2012. Tanpa adanya kepastian pendanaan setelah 2012, maka kemungkinan untuk terjadi gap pendanaan menjadi tinggi. Hal ini tentu saja berujung pada distrust atau ketidakpercayaan dari negara-negara developing countries, seperti Indonesia, kepada developed countries. Alokasi pendanaan juga seharusnya tidak 100% disalurkan kepada Green Climate Fund, yang merupakan suatu entitas multilateral, dimana guidelines-nya akan sangat rumit, dan panjang. Opsi pendanaan bilateral seharusnya masih tetap terbuka, dimana aksesnya jauh lebih mudah daripada danadana multilateral. Di Doha nanti, Indonesia memiliki beberapa hal yang akan diangkat: 1. Adanya kejelasan mengenai isu mana saja yang telah selesai dan mana yang belum selesai. Untuk isu yang telah selesai, apakah yang menjadi kelanjutannya? Untuk isu-isu yang belum selesai, juga harus ada kepastian, akan ditangani oleh proses yang mana; apakah di SBI, GCF, atau ditangani oleh SC? Tidak mungkin isu LTF dibawa ke ADP, yang membicarakan lebih pada paska 2020, dimana LTF seharusnya menjadi isu pre-2020. 2. Terdapat kejelasan mengenai LTF itu sendiri. Apakah besarannya US$ 100 miliar per tahun setelah tahun 2012 sampai dengan 2020, atau perhitungan incremental sebesar US$ 100 miliar hingga 2020, atau opsi lainnya. LTF ini juga harus jelas berada di bawah proses yang mana. 3. Mid-term financing juga harus diadopsi dengan figur angka yang jelas, untuk memastikan bahwa memang ada dana setelah tahun 2012. Hal ini memerlukan kerangka waktu yang jelas, supaya tidak ‘menggantungkan’ negara-negara berkembang.
13
Rujukan AGNE, Stefan, “Lessons Learnt from Fast Start Finance”, July 2012, Presentation File, First Long Term Finance Workshop Climate Action Network, Summary of the Bonn LTF Workshop 9-11 July 2012, Internal Document Climate Action Network, Workplan for the Durban Platform for Enhanced Action, CAN Submission, 2011 Gibbs, Derek, “Session V - Lessons Learnt from Fast Start Finance,” July 2012, Presentation File, First Long Term Finance Workshop Konvensi Perubahan Iklim McCallion, Terry, “Mobilising Private Sector Climate Finance,” , EBRD, July 2012, Presentation File, First Long Term Finance Workshop Montes, Manuel F., “UNderstanding Long-Term Finance Needs of Developing Countries”, South Cen tre, July 2012, Presentation File, First Long Term Finance Workshop Mountford, Helen, “Setting the Scene: Long-term Climate Finance,”, OECD, July 2012, Presentation File, First Long Term Finance Workshop Sachs, Jeffrey D., “Fundamental Economic Issues in Climate Change,” July 2012, Presentation File, First Long Term Finance Workshop Sinclair, Geoff, “Options for Mobilising Climate Finance from Private Sources”, UNEP Finance Initiative, July 2012, Presentation File, First Long Term Finance Workshop Touchette, Jean, “Tracking Climate Finance: The OECD DAC Reporting Framework”, July 2012, Presen tation File, First Long Term Finance Workshop Trotz, Ulric, “Understanding the Long Term Finance Needs of Developing Countries”, Carribean Com munity Climate Centre, July 2012, Presentation File on First Long Term Finance Workshop Transkrip interview dengan Sekretaris Kelompok Kerja Pendanaan Dewan Nasional Perubahan Iklim Suzanty Sitorus Usher, Eric, “Long Term Finance - Needs and Perspectives”, UNEP, July 2012, Presentation File on First Long Term Finance Workshop
14
Institute for Essential Services Reform (IESR) Jl. Mampang Prapatan No. R-13 Jakarta 12790 Ph. : +62 - (0)21 - 7992945 Fax : +62 - (0)21 - 7996160 Website : www.iesr.or.id Facebook id: iesr indonesia Twitter id : iesr