Edisi 2, Desember 2010 Diterbitkan oleh Institut Green Aceh (IGA) www.greenaceh.org, www.greenaceh.wordpress.com
Dilema Perubahan Iklim su perubahan iklim dan pemanasan global telah menjadi wacana penting dalam percaturan global saat ini. Isu ini juga menjadi cukup menakutkan bagi para kapitalis dan pelaku ekonomi pasar. Sehingga, bagi mereka yang menentangnya menganggap isu perubahan iklim dan pemanasan global hanya sebagai mitos, yakni cerita yang dibuat-buat dan terlalu dibesar-besarkan. Mereka yang anti terhadap isu perubahan iklim ini menganggap bahwa isu ini merupakan cara baru perlawanan terhadap kapitalisme—dan wajah barunya neoliberalisme—yang saat ini menguasai ekonomi dunia, setelah berbagai gerakan yang lain gagal—setidaknya belum berhasil—berhadapan dengan tangan besi neoliberalisme seperti gerakan anti globalisasi, gerakan terorisme, dan sebagainya. Yang menarik adalah meskipun para pendukung utama kapitalisme dan neoliberalisme global cenderung apatis dengan isu perubahan iklim, namun mereka mencoba memanfaatkan isu ini—setidaknya berjalan seiring—dengan mereka yang menganggap isu perubahan iklim sebagai ancaman dunia. Hal ini terlihat misalnya dengan keterlibatan secara intensif negara-negara industri maju dan lembaga keuangan internasional— pendukung utama kapitalisme global—dalam skema pembiayaan untuk adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Amerika Serikat sendiri—walaupun belum meratifikasi Protocol Kyoto—terlibat aktif dalam mendukung pembiayaan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim seperti melalui mekanisme Forest Carbon Partnership Facility (FCPF), Forest Investment Program (FIP), Global Environment Facility (GEF), dan Bilateral Funds. Demikian juga dengan Bank Dunia. Pada bulan Juni 2010 lalu, Bank Dunia (IBRD) juga
memberikan pinjaman untuk membantu Indonesia dalam membangun/merumuskan kebijakan tentang perubahan iklim. Perjanjian hutang IBRD-Indonesia No. 7915-ID tersebut berjumlah 200 juta US$ atau sekitar 2 Triliun rupiah. Negosiasi perubahan iklim merupakan negosiasi untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) bagi negara-negara industri maju (Annex B dalam Protocol Kyoto). Negara-negara industri maju berkontribusi lebih dari 70% GRK. Menurunkan GRK jelas merupakan boomerang bagi mereka karena berdampak secara serius pada menurunnya pertumbuhan ekonomi. Mendukung penurunan emisi berarti negaranegara industri maju harus melakukan redesain dan efisiensi industrinya, khususnya dalam konsumsi energi fosil/karbon, serta merubah pola konsumsi masyarakatnya yang rakus. Inilah dilematisnya. Namun, kini tanggung jawab negara-negara maju dicoba alihkan kepada negara berkembang melalui skema REDD. Tentu semakin dilematis. ■
Redaksi Pembaca yang terhormat, Karena berbagai hal, kami baru bisa hadir kembali ke tengah-tengah pembaca saat ini, setelah hampir delapan bulan yang lalu sejak penerbitan eGreenAceh yang pertama. Untuk itu, kami mohon maaf dan semoga pembaca semua bisa memakluminya. Kevakuman penerbitan e-GreenAceh ini disebabkan oleh perubahan fokus beberapa kegiatan Institut Green Aceh yang menyebabkan sumberdaya yang mengelola e-GreenAceh terserap ke dalam berbagai kegiatan lain. Namun, ke depan kami akan membenahinya dengan pembagian sumberdaya yang lebih seimbang. Edisi ini, tim redaksi mencoba mengangkat isu utama tentang Perubahan Iklim dan dampaknya pada pertumbuhan ekonomi. Apalagi, awal bulan Desember 2010 ini, sedang dilakukan pertemuan COP 16 UNFCCC di Cancun, Mexico, yang tentu saja menjadi ajang negosiasi politik bagi negaranegara anggota UNFCCC untuk mengontrol dan mengurangi emisi mereka dalam rangka mitigasi pemanasan global dan perubahan iklim. Kami berharap, informasi yang kami sajikan bisa memberikan perspektif yang lebih baik dan lebih kritis dalam melihat fenomena perubahan iklim yang sedang berkembang saat ini. Redaksi e-GreenAceh diterbitkan oleh Institut Green Aceh (IGA) sebagai media elektronik untuk penyebaran informasi dan transformasi ide dan gagasan dalam rangka melakukan perubahan dan perbaikan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang berkelanjutan dan berkeadilan. Tim Redaksi Penanggung jawab: Direktur Program IGA Pemimpin redaksi: Adie Usman Musa Redaktur senior: Mahdi Usman, Muhammadar, Syaifuddin Redaktur pelaksana: Zulfikar Jeumpa Admin dan support: Sulaiman Aswah, Jevriza Syahputra Sumber gambar/ foto: Kuilu, IGA, dan sumber lainnya Alamat redaksi Balee Green, Jln. T. Bintara Pineung No. 23 Gampong Pineung, Banda Aceh 26113 Telp./ Fax. +62 651 7551048 Email:
[email protected] Website: www.greenaceh.org Blog: www.greenaceh.wordpress.com Facebook: Green Aceh Society (group) dan Institute Green Aceh (page) Group mailing list:
[email protected]
e-greenaceh edisi 2 desember 2010
2
Wacana Utama
Ancaman Pertumbuhan pembatasan dalam pertumbuhan ekonominya yang sangat cepat.
eskipun dilanda berbagai krisis, perkembangan ekonomi dunia tetap bergairah. Pelaku ekonomi di berbagai sektor terus bergerak untuk memproduksi barang dan jasa lebih banyak lagi. Apalagi, permintaan terhadap berbagai barang dan jasa dari hari ke hari terus meningkat seiring dengan bertambahnya populasi dunia. Beberapa negara yang ekonominya sedang muncul (new emerging market) seperti China, India dan Brazil terus menggenjot produksi dan berusaha menyaingi negara-negara industri maju. Namun, menguatnya wacana perubahan iklim dan pemanasan global sedikit banyak menghantui para pelaku bisnis dan negara-negara industri maju. Mereka melihat isu ini sebagai ancaman yang akan menganggu pertumbuhan ekonomi global, khususnya di negara-negara Utara. Karena itulah, kekuatan-kekuatan modal terus melobi pemerintah negara-negara industri maju untuk memproteksi industri dan modal mereka. Hal ini menyebabkan negosiasi untuk penurunan emisi seringkai berjalan rumit dan gagal, seperti yang diperlihatkan dalam pertemuan para pihak (COP) ke 15 di Copenhagen, akhir tahun 2009 lalu. Negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa jelas tidak mungkin membatasi pertumbuhan ekonomi dalam negeri. Demikian juga emerging countries seperti China, India dan Brazil tidak akan menerima e-greenaceh edisi 2 desember 2010
Konsensus Global yang Berat Namun di sisi lain, kesadaran untuk menyelamatkan bumi dan memberikan kehidupan yang lebih nyaman kepada anak cucu tetap ada. Yang menjadi masalah adalah bagaimana membangun konsensus global untuk melaksanakan kegiatan ekonomi ke arah yang lebih berkelanjutan. Ketika negosiasi terus berjalan, pertambahan emisi di udara terus berlangsung dan bumi akan semakin panas. Amerika Serikat contohnya, sampai saat ini belum mau meratifikasi Protocol Kyoto. Karena itu, Bryan Walsh di Time menulis dengan istilah Kyo-Yes or Kyo-No. Protocol Kyoto mengikat negara-negara Annex I (B) untuk menurunkan emisi sekurang-kurangnya 5% dari level 1990, untuk periode 2008-2012. Amerika berkilah bahwa peningkatan emisi GRK terbesar dan tercepat ke depan justru dari negara-negara berkembang, baik melalui perkembangan industri maupun konversi hutan. Ini memperlihatkan bahwa ada mental untuk melempar tanggung jawab oleh negara-negara
maju kepada negara-negara berkembang. Dan ini bisa dimaklumi mengingat perbaikan ekonomi global yang lambat ditambah lagi kewajiban untuk mengurangi emisi melalui restrukturisasi industri tentu akan berdampak pada terjadinya ketidakstabilan politik di dalam negeri mereka. Meskipun demikian, betapapun beratnya konsensus di tingkat global, upaya untuk memaksa negara-negara maju menurunkan emisinya harus terus dilakukan guna menciptakan keadilan atas perubahan iklim. ■
3
Wacana Utama
Berkutat dengan REDD EDD atau Reduction Emmission from Deforestation and forest Degradation merupakan sebuah skema pembiayaan dalam rangka pengurangan emisi dari sektor LULUCF (land use, land use change and forestry). REDD merupakan skema yang diperuntukkan bagi negara-negara berkembang dalam mengurangi emisi gas rumah kaca dari sektor perubahan penggunaan lahan dan kehutanan. Gambar dibawah ini memperlihatkan bahwa di negara-negara maju, emisi yang dikeluarkan dari sektor LULUCF hanya 18% dari total emisi. Karena itu, pengurangan emisi yang diwajibkan untuk negara-negara industri maju dirumuskan dalam
GRK sampai tahun 2020 dari tingkat emisi berdasarkat data Business as Usual (BAU), yakni kegiatan pembangunan yang dilakukan tanpa tindakan pengurangan emisi sebesar 2,9 Gton CO2e. Dengan dukungan internasional, Indonesia berkomitmen menurunkan emisi sampai 41%. Kalau kita lihat data dari gambar di bawah, emisi dari deforestasi dan forest degradation di Indonesia memang sangat besar, mencapai 84% dari total emisi. Karena itu, memang sangat tepat jika Indonesia menjadi negara terdepan dalam pengurangan emisi melalui skema REDD plus. Skema REDD plus sendiri mencakup (1) penurunan emisi dari deforestasi, (2) penurunan emisi dari degradasi hutan, serta ditambah dengan (3) peran konservasi, (4) pengelolaan hutan secara berkelanjutan, dan (5) peningkatan stok karbon. Skema inilah yang diwajibkan dalam LoI Indonesia-Norway untuk kerjasama perubahan iklim. Respon pemerintah yang cukup bagus terhadap REDD tentu saja cukup melegakan. ENERGY Namun, EMISSIONS
Industrial Processes 0%
skema yang ada dalam Protocol Kyoto, yakni emmission trading, clean development mechanism (CDM), dan joint implementation. Hal ini terutama sekali untuk sektor-sektor yang mengkonsumsi energi fosil dalam jumlah besar seperti listrik, industri, transportasi, bangunan, dll. Yang menarik juga adalah bahwa skema REDD membuat pemerintah negara-negara berkembang menjadi terikat dengan perjanjian internasional (UNFCCC) untuk menjaga kelestarian hutannya, yang selama ini dieksploitasi secara membabi buta. Isu penyelamatan hutan telah menjadi isu lintas sektoral di pemerintahan. Komitmen REDD+ Sebagai negara berkembang, Indonesia merupakan salah satu negara yang pemerintahannya menunjukkan komitmen yang besar untuk berkontribusi dalam penurunan emisi GRK. Indonesia berkomitmen menurunkan 26% emisi e-greenaceh edisi 2 desember 2010
Other 3%
Manufact. & Construction 2% Transport 2% Electricity & Heat Waste 3% 2%
Land-Use Change & Forestry 84%
Agriculture 4% GHG Emissons by Sector 2000; Source: WRI 2007
NON-ENERGY EMISSIONS
apakah pemerintah akan sanggup mempertahankan komitmennya. Ketika Strategi Nasional REDD+ sedang dirumuskan, pemerintah justru akan memberikan ijin pinjam kawasan untuk pertambangan seluas 1,5 juta ha, yang tentu saja bertolak belakang dengan semangat yang ada dalam REDD. Konsistensi inilah yang perlu diperlihatkan, sehingga kita tidak hanya berkutat dengan REDD di atas kertas kosong. ■
4
Wacana Utama
Hibah dan Hutang Untuk Mendukung Penurunan Emisi? Menindaklanjuti komitmen Indonesia untuk mengurangi emisi dari sektor LULUCF dalam COP ke 15 di Copenhagen sebesar 26%, Indonesia memperoleh dukungan yang sangat bagus dari dunia internasional. Salah satunya adalah dukungan pendanaan dari Pemerintah Norwegia untuk adaptasi dan mitigasi perubahan melalui skema REDD+. Letter of Intent (LoI) RI-Norway ditandatangani kedua belah pihak tanggal 26 Mei 2010 di Oslo. Inti dari kerjasama ini adalah bahwa Norway akan menyediakan dana hibah sebagai kompensasi kepada Indonesia yang menjaga hutannya sebesar 1 milyar US$ atau sekitar 10 Triliun Rupiah. Dana ini akan diberikan dengan ketentuan bahwa Indonesia harus melakukan moratorium perijinan baru di hutan alam dan hutan gambut selama dua tahun dari 2011 sampai 2013, serta membangun skema REDD+ dalam tiga fase, yakni persiapan, transformasi, dan kontribusi untuk pengurangan emisi. Karena itu, pemerintah dengan dukungan pendanaan dari UNREDD sebesar hampir 1 juta US$ melakukan perumusan Strategi Nasional (Stranas) REDD+ dan konsultasi publik di tingkat regional di beberapa lokasi di Indonesia. Puncak dari perumusan Stranas REDD+ ini adalah dilakukannya Konsultasi Nasional Stranas REDD+ tanggal 10 Nopember 2010 di kantor Bappenas Jakarta. Konsultasi yang terkesan sekedar formalitas ini membongkar habis draft Stranas versi 1 yang dibuat oleh tim penulis serta masukan dari berbagai daerah. Sumber-sumber terpercaya di UNREDD dan Bappenas menyebutkan bahwa ada ”intervensi tingkat tinggi” yang menyebabkan perubahan besar dalam draft Stranas REDD+ dari e-greenaceh edisi 2 desember 2010
versi sebelumnya, serta tidak diakomodasikannya masukan-masukan dari berbagai daerah. Hutang IBRD Berselang satu bulan setelah LoI RI-Norway, Pemerintah Indonesia justru meminjam dana kepada IBRD (kelompok Bank Dunia) sebesar 200 juta US$ atau sekitar 2 Triliun Rupiah. Pinjaman No. 7915-ID ini ditujukan untuk mendukung tiga bidang kebijakan, yakni (1) kebijakan mitigasi untuk sektor LULUCF dan energi; (2) kebijakan adaptasi dan kesiapsiagaan bencana sektor sumberdaya air, pertanian, manajemen bencana, dan perikanan dan kelautan; serta (3) kebijakan lintas sektoral. Yang menjadi pertanyaan tentu saja mengapa ada dua kebijakan paradoks, yang saling bertolak belakang dalam menurunkan emisi? Bukankah hutang baru ini akan menjadi beban negara, sementara hutang yang sudah ada saja—sekitar Rp. 1.500 Triliun—tidak mudah untuk dilunasi. Atau, pertanyaan lain, ketika Norway sudah mau memberikan kompensasi hibah untuk sektor LULUCF, bukankah sektor diluar itu tidak menjadi tanggung jawab Indonesia, karena tidak masuk dalam Annex B Protocol Kyoto? Inilah yang barangkali perlu dipikirkan secara serius oleh pemerintah dalam setiap kebijakannya untuk selalu konsisten. Kalaupun ada tekanan-tekanan politik luar negeri untuk meminjam, setidaknya pemerintah bisa terbuka kepada publik, sehingga tidak mencederai semangat untuk menurunkan emisi dan menyelamatkan hutan kita yang sudah banyak rusak ini. ■
5
Wacana Utama
Pro-kontra REDD di Aceh emerintah Aceh dibawah Gubernur Irwandi Yusuf adalah pihak yang paling responsif dengan penyelamatan hutan dan lingkungan hidup. Juga paling depan dalam mendorong implementasi REDD dalam rangka menjaga hutannya. Berbagai kebijakan sudah dibuat dan dijalankan, seperti kebijakan moratorium logging sejak tahun 2007. Secara
kelembagaan, Pemerintah Aceh juga membentuk Tim Aceh Green yang mencoba mengawal pelaksanaan green economic dan green investment di Aceh. Kemudian juga dibentuk Task Force REDD untuk mengawal persiapan dan pelaksanaan REDD di Aceh. Pro-kontra REDD Kebijakan Pemerintah Aceh ini memang memunculkan pro dan kontra. Beberapa kalangan yang skeptis menyebutkan bahwa Pemerintah Aceh sibuk dengan isu REDD dan konservasi hutan serta melupakan isu-isu lain seperti pengembangan ekonomi. Bisa jadi kritik ini benar. Namun, kalau kita tanya ”orang di sekitar gubenur”, tentu saja jawaban mereka berbeda. ”Mungkin karena isu ini terlihat menonjol didorong oleh Pemerintah Aceh”, kata Yacob Ishadami dalam sebuah diskusi. Pro-kontra juga muncul di kalangan CSO Aceh, yang sebagian menganggap isu ini hanya bentuk kolonialisme baru negara-negara Barat terhadap negara berkembang. Direktur Walhi Aceh TM Zulfikar dalam sebuah diskusi beberapa waktu lalu menegaskan bahwa keadilan iklim perlu ditegakkan. Negara-negara berkembang harus bersikap kritis terhadap tekanan-tekanan Barat, karena merekalah yang berkontribusi terjadinya e-greenaceh edisi 2 desember 2010
pemanasan global dan perubahan iklim, bukan kita negara-negara berkembang. Kompensasi untuk Masyarakat Pro kontra yang lain tentang REDD adalah mengenai peran dan kontribusi kepada masyarakat adat/lokal. Ada kekhawatiran bahwa proyek REDD akan meminggirkan masyarakat adat/lokal dari sumberdaya alam/hutan yang selama ini tempat mereka bergantung. Ada kemungkinan masyarakat adat/lokal akan diusir dari kawasan hutannya ketika proyek REDD dijalankan. Tgk Nasruddin, Ketua Majelis Duekpakat Mukim Aceh Besar menyebutkan bahwa masyarakat adat sudah turun-temurun mengelola dan mengambil hasil hutan. Kalau nanti dilarang, darimana mereka bisa hidup. ”Apakah kompensasi REDD itu bisa menghidupi mereka secara terus-menerus?”, tanyanya. Sunaryo, anggota tim DNPI menyebutkan bahwa mekanisme pembagian kompensasi kepada masyarakat memang belum dirumuskan sampai saat ini. ”Mungkin nanti akan dirumuskan secara bersama-sama dengan para pihak”, tegasnya dalam acara konsultasi publik LoI RI-Norway minggu lalu di Banda Aceh.
Dalam acara tersebut, Yacob Ishadami mengemukakan bahwa lebih baik kita cari uangnya dulu, baru nanti kita rumuskan mekanisme, supaya ketika nanti uang ada, kita tidak ribut dengan uang itu. Kelihatannya, masalah REDD ini memang akan terus memasuki ruang polemik di Aceh. ■
6
Lokakarya TFCA-IGA
Tantangan Berat KEL antangan yang dihadapi oleh pemerintah dan parapihak dalam memperkuat konservasi Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) semakin berat. Hal ini berkaitan dengan perkembangan sosial ekonomi masyarakat di KEL yang umumnya bergantung pada lahan serta perlunya penegakan hukum secara konsisten terhadap berbagai kejahatan kehutanan. Hal ini mengemuka dalam lokakarya multipihak yang diselenggarakan Konsorsium Institut Green Aceh dan TFCA-Sumatera (Tropical Forest Conservation Action) di Hotel Grand Nanggroe tanggal 27 – 28 September 2010. Konsorsium IGA terdiri dari beberapa lembaga antara lain Lebah, Pugar, Yayasan Ekowisata, dan LPPM STIK Banda Aceh. Konsorsium ini didukung oleh Dinas Kehutanan Aceh, Bapedal Aceh dan BKSDA Aceh. Kalau semua berjalan sesuai rencana, Konsorsium IGA akan memperoleh dukungan pendanaan dari TFCA untuk melaksanakan program konservasi dan penguatan ekonomi lokal di Aceh Tengah (TB Linge Isaq) untuk jangka waktu tiga tahun mulai awal 2011. Beberapa pembicara yang hadir dalam lokakarya tersebut antara lain Ir. Husaini Syamaun, MM. (Kepala Bapedal Aceh) dan Ir. Abubakar Cekmat (Ketua BKSDA Aceh) sebagai keynote speaker. Narasumber lain adalah Ir.
Saodah Lubis, M.Sc. (CII), Zulharitsyah, M.Sc. (Dishutbun Aceh), Inayat, SP. (Dishut Aceh Tengah), dan dari STIK Banda Aceh. Berbagai persoalan yang dihadapi para pihak di KEL mengemuka dalam lokakarya dua hari tersebut. Inayat dari Dishut Aceh Tengah mengungkapkan bahwa persoalan utama dalam konservasi KEL adalah kondisi masyarakat lokal e-greenaceh edisi 2 desember 2010
yang miskin sehingga mereka melakukan perambahan. Disamping juga informasi dan sosialisasi kepada masyarakat yang kurang tentang KEL. Dishut Aceh Tengah sendiri tidak mungkin melakukannya karena berbagai keterbatasan.
Sementara Kepala BKSDA Aceh Abubakar Cekmat mengungkapkan bahwa Taman Buru Linge Isaq kini menghadapi berbagai ancaman seperti illegal logging dan perburuan satwa liar. Apalagi, hingga kini TB Linge Isaq belum memiliki rencana pengelolaan. Sehingga diharapkan bahwa bersama dengan TFCA, BKSDA Aceh bisa merumuskan rencana pengelolaan TB Linge Isaq yang diprioritaskan tahun ini. BKSDA Aceh juga memberi prioritas kepada SM Rawa Singkil. Sementara itu, Mustafa, tokoh masayarakat Aceh Tengah mengharapkan kepada pemerintah dan para pihak untuk melakukan pemberdayaan masyarakat secara bagus. ”Umumnya masyarakat sekitar hutan di Aceh Tengah adalah petani kopi, karena itu pemberdayaan terhadap pengelolaan kopi perlu dilakukan”, tambah Mustafa. Meskipun tidak mudah, upaya melakukan konservasi dan penguatan ekonomi masyarakat lokal harus berjalan seiring. ”Kalau penguatan ekonomi tidak berjalan, maka masyarakat akan masuk ke hutan”, jelas Direktur Puspa Aceh Tengah Jufriadi dalam lokakarya tersebut. Jufriadi juga mengakui bahwa kemitraan yang bagus antar pihak perlu diperkuat di Aceh Tengah sehingga berbagai program pembangunan akan sukses dilaksanakan. ”Jangan seperti sekarang, cenderung jalan sendiri-sendiri”, tambah Jufriadi. ■
7
Info IGA
Laboratorium Riset engelolaan sumber daya alam dan hutan secara berkelanjutan membutuhkan komitmen yang tinggi dari semua pihak di semua tingkatan. Komitmen ini adalah komitmen untuk melahirkan kebijakan yang benar dan tepat serta dilaksanakan secara konsisten oleh pemerintah. Juga komitmen sektor swasta untuk menerapkan good corporate governance. Sementara masyarakat lokal sebagai pemangku kepentingan yang hidupnya bersentuhan langsung dengan sumberdaya alam/hutan, harus menjadi pelaku utama dalam pengelolaan sumberdaya alam/hutan secara berkelanjutan. Melihat pentingnya membangun komitmen antar pihak dalam pengelolaan sumberdaya alam/hutan, Institut Green Aceh bersama para pihak mendirikan beberapa laboratorium riset lapangan untuk memperkuat pengelolaan sumberdaya alam/hutan berbasis masyarakat. Laboratorium Riset Laboratorium riset lapangan merupakan laboratorium untuk melakukan berbagai penelitian yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya alam/hutan oleh masyarakat lokal dalam berbagai aspek, seperti aspek budaya, sosial ekonomi, kebijakan, maupun aspek biofisik. Saat ini, Institut Green Aceh mempunyai dua buah laboratorium lapangan untuk berbagai penelitian, yakni di Ulee Gle Barat, Kabupaten Pidie Jaya dan Saree, Kabupaten Aceh Besar. Institut Green Aceh di dua lokasi laboratorium riset tersebut melakukan berbagai kegiatan dalam rangka melakukan riset aksi (action research). Riset aksi bisa dipahami sebagai penelitian untuk menyelesaikan masalah-masalah langsung yang ada di masyarakat. Riset aksi ini menempatkan masyarakat sebagai subyek dalam menyelesaikan masalah-masalahnya sendiri. Dengan demikian, berbeda dengan penelitian konvensional, riset aksi e-greenaceh edisi 2 desember 2010
merupakan proses refleksi dari penyelesaian masalah dimana peneliti bersama-sama masyarakat mencoba memperbaiki dan menangani persoalan yang ada. Kerjasama dengan Pemerintah Di Saree, Institut Green Aceh melakukan kerjasama dengan pemerintah melalui berbagai penelitian. Saat ini, IGA sedang melakukan penelitian tentang konflik lahan di Tahura. Direktur Program IGA Mahdi Usman menjelaskan bahwa persoalan konflik lahan merupakan masalah utama yang mengancam kelestarian Tahura sebagai kawasan konservasi di Aceh. Okupasi lahan di Tahura lebih banyak dilakukan oleh masyarakat pendatang, bukan penduduk asli. ”Pemerintah sepertinya belum menemukan jalan keluar terhadap konflik lahan ini”, papar Mahdi. Sementara di Ulee Gle Barat, IGA sedang melakukan penelitian tentang mitigasi bencana, karena daerah ini hampir setiap tahun berhadapan dengan bencana, khususnya banjir. Kerjasama dengan Perguruan Tinggi IGA juga membangun kerjasama dengan perguruan tinggi untuk melakukan berbagai penelitian. Saat ini, IGA membangun kerjasama dengan Sekolah Tinggi Ilmu Kehutanan (STIK) Banda Aceh untuk menjadikan laboratorium riset tersebut sebagai lokasi praktek dan penelitian mahasiswa. Diharapkan, beberapa perguruan tinggi lain dan lembaga-lembaga riset serta NGO juga bisa melakukan studi kolaboratif di lokasi-lokasi ini. Sehingga, berbagai hasil penelitian akan berguna untuk pemerintah dalam perumusan kebijakan, dan masyarakat sendiri untuk menyelesaikan masalah-masalah yang sering dihadapinya. ■
8
Profil Singkat
Institute Green Aceh (IGA) Pendahuluan Kehidupan manusia dimanapun di muka bumi ini mempunyai keterkaitan yang sangat erat dengan lingkungan di sekitarnya, baik lingkungan sosial maupun lingkungan hidup. Lingkungan sosial berkaitan dengan hubungan antar manusia dalam kehidupan mereka sehari-hari, baik yang berhubungan dengan masalah sosial secara umum, budaya, ekonomi, politik, dan sebagainya. Sementara lingkungan hidup adalah keseluruhan ekosistem bumi (alam dan sumberdayanya) dimana manusia dan semua makhluk hidup berada di dalamnya. Melihat pentingnya isu lingkungan hidup dan keterkaitan yang sangat erat antara lingkungan hidup dengan lingkungan sosial manusia, maka upaya untuk mengelola sumberdaya alam dan lingkungan hidup secara baik dan berkelanjutan menjadi sangat penting. Berkontribusi pada pengelolaan lingkungan hidup yang berkelanjutan bisa dilakukan oleh siapa saja, apakah pemerintah, masyarakat, maupun berbagai pihak dan lembaga yang mempunyai komitmen dalam isu tersebut. Institute Green Aceh adalah sebuah lembaga yang berkomitmen untuk berkontribusi pada penguatan peran masyarakat dan pemerintah serta melakukan berbagai penelitian untuk mendukung pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development), pengelolaan hutan yang lestari dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal. Visi Terwujudnya keadilan melalui pembangunan dan pengelolaan sumberdaya alam dan hutan yang berkelanjutan. Misi 1. Melakukan berbagai penelitian dalam rangka mendukung pembangunan berkelanjutan melalui pengelolaan sumberdaya alam/hutan dan lingkungan hidup yang lestari yang akan berkontribusi bagi perbaikan kehidupan. 2. Melakukan berbagai upaya dalam rangka memperbaiki kebijakan pemerintah dalam mendorong pembangunan berkelanjutan. 3. Mendorong peningkatan kesadaran masyarakat dan para pihak tentang pentingnya pembangunan berkelanjutan. 4. Mendorong peningkatan peran dan kontribusi masyarakat dalam pembangunan berkelanjutan di Aceh melalui penguatan kelembagaan Mukim dan Gampong. 5. Melakukan penguatan kapasitas parapihak untuk mewujudkan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang berkelanjutan.
e-greenaceh edisi 2 desember 2010
Wilayah Diskursus Wilayah kerja Institut Green Aceh (IGA) mencakup isu-isu: 1. Pembangunan berkelanjutan 2. Environment governance 3. Konservasi hutan 4. Pengelolaan sumberdaya alam berbasis masyarakat 5. Pengurangan kemiskinan 6. Mitigasi bencana dan perubahan iklim. Strategi mencapai tujuan Untuk mencapai tujuan, Institut Green Aceh menggunakan beberapa strategi sebagai berikut: 1. Penelitian 2. Perbaikan kebijakan publik 3. Peningkatan kapasitas parapihak 4. Pemberdayaan dan penguatan kelembagaan masyarakat Prinsip dan nilai Institut Green Aceh menganut prinsip dan nilai-nilai antara lain: keberlanjutan dan kelestarian, keterbukaan (transparansi), akuntabilitas, holistik dan keseimbangan peran dalam PSDA. Jaringan kerjasama Dalam menjalankan program-programnya, Institut Green Aceh akan membuka diri untuk membangun kerjasama dengan semua pihak sesuai dengan prinsip dan nilai-nilai yang dianut oleh lembaga. Kontak person: Direktur Program: Mahdi Usman (
[email protected]) Ketua tim kerjasama: Adie Usman Musa (
[email protected]) Alamat: Balee Green, Jln. T. Bintara Pineung No. 23 Gampong Pineung, Banda Aceh 26113 Telp./ Fax. +62 651 7551048 Email:
[email protected],
[email protected] Website: www.greenaceh.org Blog: www.greenaceh.wordpress.com Facebook: Institute Green Aceh (page) Group mailing list:
[email protected]
®®®
9