Analisis Penerapan Transaksi Ijarah Muntahiya Bittamlik (IMBT) dalam Pembiayaan Pemilikan Rumah (PPR) Berdasarkan Fatwa DSN MUI, Peraturan Bank Indonesia, PSAK 107, PAPSI 2013, Dan FAS 8 (Studi Kasus Pada Bank XYZ) Rahmi Izzati Sri Nurhayati Program Studi Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan penerapan transaksi Ijarah Muntahiya Bittamlik (IMBT) dalam Pembiayaan Pemilikan Rumah (PPR) pada Bank DKI Syariah, salah satu Unit Usaha Syariah yang menyalurkan pembiayaan melalui akad IMBT di Indonesia. Analisis dilakukan dengan menjadikan Fatwa DSN-MUI, Peraturan Bank Indonesia, PSAK, PAPSI, FAS, dan tinjauan literatur terkait sebagai acuan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan transaksi IMBT belum sepenuhnya sesuai dengan Fatwa DSN-MUI, Peraturan Bank Indonesia, dan beberapa prinsip syariah. Perlakuan akuntansi pemilik yang diterapkan Bank XYZ hampir memenuhi standar PSAK 107 dan PAPSI 2013, namun terdapat ketidaksesuaian terkait pengakuan biaya pemeliharaan dan pengakuan beban penyusutan. Kata kunci: Bank syariah; FAS 8; Fatwa DSN-MUI; Ijarah; IMBT; PAPSI 2013; PSAK 107 Abstract This study is aimed to explain application of IMBT transaction for Home Ownership Financing (PPR) at Bank XYZ, one of Shariah Bussiness Unit that use IMBT contract in Indonesia. This study was conducted through applying Fatwa DSN-MUI, Regulation of Bank Indonesia, PSAK, PAPSI, FAS, and literature study as a benchmark. The result of this study indicates that the application of IMBT financing had not been fully held in accordance to Fatwa DSN-MUI, Regulation of Bank Indonesia, and some islamic principle. The accounting treatment for lessor mostly had been held according to PSAK and PAPSI but there was a discrepency at maintenance expense recognition and depreciation expense recognition. Key Words: FAS 8; Fatwa DSN-MUI; Ijarah; IMBT; PAPSI 2013; PSAK 107; Sharia Bank Pendahuluan Indonesia merupakan negara dengan penduduk muslim terbanyak di dunia. Menurut data The Pew Forum on Religion & Public Life pada tahun 2010 penduduk yang menganut agama Islam di Indonesia mencapai 205 juta jiwa atau sekitar 13%. Angka ini tentunya terus berkembang seiring pertumbuhan penduduk Indonesia. Tidak hanya berkembang dalam segi
Analisis penerapan…, Rahmi Izzati, FE UI, 2013
jumlah, masyarakat muslim di Indonesia kini juga semakin menyadari pentingnya penerapan prinsip Islam dalam setiap aspek kehidupan, tidak terkecuali dalam transaksi ekonomi dan keuangan. Kebutuhan akan transaksi ekonomi dan keuangan yang sesuai dengan prinsip syariah ini akhirnya mendorong hadirnya lembaga keuangan berbasis syariah di Indonesia, salah satunya adalah bank syariah. Perbankan syariah, sebagaimana fungsi perbankan pada umumnya, melakukan fungsi penghimpunan dana dari masyarakat dan penyaluran dana ke masyarakat. Pembiayaan merupakan pilihan utama penempatan dana perbankan syariah dibandingkan penempatan lainnya, seperti penempatan pada bank lain ataupun penempatan pada surat-surat berharga. Hal itu terlihat dari pangsa pembiayaan yang mencapai 75,6% dari total aset Bank Umum Syariah (BUS) dan Unit Usaha Syariah (UUS) pada tahun 2012 (Bank Indonesia, 2012). Pangsa pembiayaan tersebut meningkat dari posisi tahun 2011 sebesar 70,6%. Peningkatan pangsa pembiayaan tersebut sejalan dengan pertumbuhan pembiayaan perbankan syariah yang mencapai 43,7% (yoy). Pertumbuhan pembiayaan yang tergolong signifikan tersebut menunjukkan fungsi intermediasi perbankan syariah berjalan dengan baik dan tetap fokus kepada sektor riil. Salah satu bentuk penyaluran pembiayaan yang diberikan oleh bank syariah menurut Undang Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah adalah penyewaan barang bergerak atau tidak kepada nasabah berdasarkan akad ijarah dan/atau sewa beli dalam bentuk Ijarah Muntahiya Bittamlik (IMBT) atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah. Namun dalam praktiknya, hingga saat ini bank syariah di Indonesia tidak terlalu banyak menggunakan akad ijarah dalam penyaluran pembiayaan. Hal ini terlihat dari jumlah pembiayaan dengan akad ijarah yang tidak mencapai 10% dari total pembiayaan yang diberikan oleh bank syariah. Dilihat dari jenis akadnya, secara umum penyaluran pembiayaan perbankan syariah masih didominasi oleh akad murabahah. Dalam Laporan Perkembangan Perbankan Syariah Tahun 2012 yang diterbitkan oleh Bank Indonesia tercatat pembiayaan murabahah tumbuh 56,1% (yoy), sehingga menempati pangsa 59,7% dari total pembiayaan BUS dan UUS. Pemanfaatan akad-akad lain dalam pembiayaan berubah secara dinamis. Pada tahun yang sama, penggunaan akad ijarah dalam pembiayaan BUS dan UUS tercatat tumbuh 91,3% (yoy) sehingga pangsa pembiayaan ijarah meningkat dari 3,7% pada tahun 2011 menjadi 5,0% pada tahun 2012. Total pembiayaan yang diberikan BUS dan UUS dengan menggunakan akad
Analisis penerapan…, Rahmi Izzati, FE UI, 2013
ijarah pada tahun 2011 sebesar 3,8 triliun dan meningkat menjadi 7,3 triliun pada tahun 2012. Pada tahun 2013 pembiayaan dengan menggunakan akad ijarah terus bertumbuh hingga mencapai angka 10,2 triliun pada akhir bulan Oktober. Dalam industri perbankan syariah di Indonesia, skim IMBT salah satunya digunakan dalam produk Pembiayaan Pemilikan Rumah (PPR). Berdasarkan Laporan Perkembangan Perbankan Syariah tahun 2012 yang diterbitkan oleh Bank Indonesia, pembiayaan sektor properti pada tahun 2012 mengalami peningkatan sebesar Rp 8,1 triliun atau 70,2% (yoy), lebih tinggi dari pertumbuhan pembiayaan perbankan syariah. Pertumbuhan signifikan tersebut terutama ditopang oleh ekspansi PPR yang mencapai Rp 6,8 triliun. Sejalan dengan pertumbuhan tersebut, pangsa pembiayaan properti perbankan syariah mencapai 13,3% atau menjadi salah satu sektor pembiayaan tersebesar perbankan syariah. Hal ini tentunya tidak terlepas dari tingginya kebutuhan masyarakat akan rumah sebagai salah satu kebutuhan pokok disamping sandang dan pangan. Salah satu bank syariah di Indonesia yang menggunakan skim IMBT dalam mengeluarkan produk PPR adalah Bank XYZ. Produk PPR pada Bank XYZ lebih dikenal sebagai KPR iB XYZ. Munculnya KPR iB XYZ dengan akad IMBT pada tahun 2008 merupakan solusi alternatif terhadap PPR yang ditawarkan dengan skema murabahah. Pada akhir tahun 2013 tercatat lebih dari 90% pembiayaan KPR iB XYZ menggunakan akad IMBT. Sejalan dengan itu, pada tahun 2013 tercatat 49,98% pembiayaan yang diberikan oleh Bank XYZ menggunakan akad ijarah/IMBT. Hal ini tentunya membuat Bank XYZ berbeda dengan bank syariah pada umumnya yang didominasi akad murabahah dalam menyalurkan pembiayaan. Berdasarkan uraian latar belakang penelitian di atas, diajukan beberapa rumusan masalah sebagai berikut, antara lain: 1.
Bagaimana penerapan transaksi IMBT dalam PPR pada Bank XYZ?
2.
Bagaimana kesesuaian penerapan akad IMBT dalam PPR pada Bank XYZ dengan prinsip-prinsip syariah yang terdapat pada fatwa DSN MUI tentang ijarah dan IMBT serta fatwa DSN MUI lain yang terkait?
3.
Bagaimana kesesuaian penerapan akad IMBT dalam PPR pada Bank XYZ dengan ketentuan-ketentuan yang terdapat pada peraturan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia?
4.
Bagaimana perlakuan akuntansi atas transaksi IMBT dalam PPR pada Bank XYZ?
5.
Bagaimana kesesuaian perlakukan akuntansi transaksi IMBT dalam PPR pada Bank XYZ dengan PSAK 107, PAPSI revisi 2013, dan FAS 8?
Analisis penerapan…, Rahmi Izzati, FE UI, 2013
Tinjauan Teoritis Ijarah merupakan hak untuk memanfaatkan barang/jasa dengan membayar imbalan tertentu (Karim, 2007). Pembiayaan ijarah adalah jenis pembiayaan yang sah dalam Islam, seperi disebutkan dalam Al Qur’an, “Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut ...” (QS. 2:233). Dalil ini menunjukkan adanya jasa yang diberikan berkat kewajiban mambayar upah secara patut (Antonio, 2001). Dalam hal ini termasuk di dalamnya adalah jasa penyewaan. Antonio dalam bukunya Bank Syariah dari Teori ke Praktik (2001) membagi ijarah menjadi dua, yakni al-ijarah (operational lease) dan al-ijarah al-muntahia bit-tamlik (financial lease with purchase option). Pembagian ini sejalan dengan klasifikasi ijarah menurut AAOIFI yang mengklasifikasikan ijarah menjadi dua yakni operating ijarah dan ijarah muntahia bittamleek (ijarah wa itiqna). Perbedaan antara kedua jenis akad tersebut adalah adanya perpindahan kepemilikan aset yang disewa di akhir masa sewa pada akad al-ijarah al-muntahia bit-tamlik (ijarah muntahia bittamleek), sedangkan untuk akad ijarah (operating ijarah) tidak ada perpindahan status kepemilikan aset. IMBT merupakan perpaduan antara akad jual beli dan sewa atau lebih tepatnya adalah akad sewa yang diakhir dengan kepemilikikan barang di tangan si penyewa (Antonio, 2001). Berdasarkan janji pemindahan kepemilikannya, Karim (2007) membedakan IMBT menjadi dua bentuk yakni ijarah dengan janji akan menjual pada akhir masa sewa dan ijarah dengan janji untuk menghibahkan barang yang disewakan tersebut pada akhir masa sewa. Untuk pemindahan kepemilikan akan dibuat akad baru yang terpisah dari akad ijarah sebelumnya. Hal ini bertujuan untuk menghindari adanya dua akad dalam satu transaksi. Larangan ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Ibnu Mas’ud bahwa Rasulullah melarang dua bentuk akad sekaligus dalam satu objek (Fatwa DSN-MUI No. 27, 2002). Di Indonesia, ketentuan syariah yang lebih spesifik atas akad ijarah dan IMBT disusun oleh Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI). Ketentuan yang dimaksud meliputi Fatwa DSN-MUI No. 09/DSN-MUI/IV/2000 tetang Pembiayaan Ijarah dan Fatwa DSN-MUI No. 27/DSN-MUI/III/2002 tentang Al-Ijarah Al-Muntahiya Bi Al-Tamlik. Fatwa ini mengatur mengenai rukun dan syarat ijarah, ketentuan objek ijarah, kewajiban pemberi manfaat barang atau jasa, dan ketentuan mengenai IMBT. Selain itu, juga terdapat beberapa Fatwa DSN MUI yang terkait dengan berbagai fitur pelaksanaan transaksi ijarah pada Lembaga Keuangan Syariah. Diantara adalah fatwa DSN No. 56/DSN-MUI/V/2007 tentang
Analisis penerapan…, Rahmi Izzati, FE UI, 2013
Ketentuan Review Ujrah, No. 71/DSN-MUI/VI/2008 tentang Sale and Lease Back, No. 43/DSN-MUI/VIII/2004 tentang Ganti Rugi (Ta’widh), No. 31/DSN-MUI/VI/2002 tentang Pengalihan
Hutang,
dan
No.
89/DSN-MUI/XII/2013
tentang
Pembiayaan
Ulang
(Refinancing) Syariah. Seiring berkembangnya produk bank syariah di Indonesia, Bank Indonesia selaku badan pengawas perbankan turut menerbitkan beberapa regulasi terkait aktivitas perbankan syariah. Bank Indonesia mengatur persyaratan pembiayaan atas dasar akad ijarah dan IMBT melalui Surat Edaran No. 10/ 14 / DPbS. Selain itu Bank Indonesia juga mengatur ketentuan mengenai Financing to Value (FTV) bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah melalui SE BI No. 15/40/DKMP. Dalam Surat Edaran ini Bank Indonesia menetapkan pengaturan yang lebih ringan untuk pembiayaan dengan akad Musyarakah Mutanaqisah (MMQ) dan IMBT daripada pembiayaan dengan akad murabahah atau istishna. Dalam hal perlakuan akuntansi, Ikatan Akuntansi Indonesia (IAI) telah mengatur tentang pengakuan dan pengukuran, penyajian, serta pengungkapan transaksi ijarah dalam PSAK 107. PSAK ini berlaku efektif mulai tanggal 1 Januari 2010. Khusus untuk perbankan syariah, Bank Indonesia juga menerbitkan PAPSI revisi 2013 sebagai petunjuk pelaksanaan PSAK yang relevan bagi perbankan syariah. Selain itu, The Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institutions (AAOIFI), sebuah badan penetap standar akuntansi syariah dunia yang berkedudukan di Bahrain juga mengeluarkan FAS No. 8 tentang Operating Ijarah and Ijarah Muntahia Bittamleek. Dalam penelitian ini penulis hanya akan membahas mengenai akuntansi pemilik atau pemberi sewa.
Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Penelitian ini menggunakan analisis kualitatif, yakni dengan memperoleh informasi mengenai penerapan transaksi IMBT dalam PPR dibandingkan dengan Fatwa DSN-MU dan Peraturan Bank Indonesia serta perlakuan akuntansi transaksi IMBT dalam PPR dibandingkan PSAK 107, PAPSI 2013, dan FAS 8. Penelitian ini juga menggunakan pendekatan studi kasus yang akan dilaksanakan pada Bank XYZ untuk menganalisis penerapan transaksi IMBT untuk PPR. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah: 1.
Observasi. Observasi adalah teknik yang dilakukan penulis dimana penulis langsung mendatangi kantor Bank XYZ Cabang Wahid Hasyim tempat pencatatan akuntansi
Analisis penerapan…, Rahmi Izzati, FE UI, 2013
pembiayaan IMBT dilakukan. Tempat tersebut adalah bagian administrasi pembiayaan dari Bank XYZ. Dari observasi, penulis dapat mengumpulkan data sekunder mengenai pencatatan akuntansi beserta ketentuan-ketentuan pembiayaan IMBT di Bank XYZ. 2.
Wawancara. Dalam melakukan wawancara, penulis menggunakan teknik wawancara terstruktur dan tidak terstruktur. Wawancara dilakukan kepada pihak-pihak yang berkompeten dan berwenang dalam memberikan data mengenai pembiayaan dengan akad IMBT dalam PPR. Wawancara dilakukan dengan pihak Bank XYZ di Kantor Cabang Wahid Hasyim.
3.
Dokumentasi. Teknik dokumentasi dilakukan dengan mengumpulkan data sekunder yang bersumber dari kantor Bank XYZ Cabang Wahid Hasyim, website Bank XYZ, dan website lain yang terkait. Data yang dikumpulkan mencakup profil Bank XYZ, Laporan Tahunan Bank XYZ, Fatwa DSN-MUI terkait IMBT, Peraturan Bank Indonesia terkait IMBT, PSAK terkait IMBT, PAPSI terkait IMBT dan FAS terkait IMBT.
Penelitian ini menggunakan metode analisis deskriptif kualitatif. Metode ini dilakukan dengan mengumpulkan, mengolah, dan menginterpretasikan data yang diperoleh sehingga memberikan keterangan yang benar dan lengkap untuk penyelesaian masalah yang telah dirumuskan. Hasil wawancara dan data yang diperoleh dianalisis secara komparatif dengan membandingkan kesesuaian syariah pelaksanaan IMBT dalam PPR pada Bank XYZ dengan Fatwa DSN-MUI dan Peraturan Bank Indonesia serta membandingkan perlakukan akuntansi dengan PSAK 107, PAPSI 2013, dan FAS 8. Pembahasan 1.
Penerapan Transaksi IMBT pada Bank XYZ
Akad ijarah merupakan salah satu akad yang digunakan dalam penyaluran pembiayaan pada Bank XYZ.
Produk KPR iB XYZ merupakan produk pembiayaan dengan persentase
tertinggi dalam portofolio pembiayaan Bank XYZ. Sekitar 50% pembiayaan disalurkan melalui KPR iB XYZ setiap tahunnya. Dalam menyalurkan produk ini, Bank XYZ menawarkan dua skema yang disesuaikan dengan kebutuhan nasabah, yakni IMBT dan murabahah. Hingga tahun 2013, lebih dari 95% pembiayaan KPR iB XYZ menggunakan akad IMBT setiap tahunnya. Penandatangan perjanjian IMBT antara Bank XYZ dan nasabah hanya dapat dilakukan jika nasabah telah melunasi semua biaya-biaya yang disyaratkan. Dalam perjanjian IMBT dinyatakan bahwa status kepemilikan objek IMBT selama nasabah belum melunasi uang sewa
Analisis penerapan…, Rahmi Izzati, FE UI, 2013
adalah milik Bank dan oleh karenanya surat-surat bukti kepemilikan objek IMBT disimpan oleh Bank. Dalam perjanjian IMBT juga dinyatakan bahwa Bank berjanji untuk menghibahkan rumah di akhir masa sewa setelah nasabah menyelesaikan semua kewajibannya. Jika nasabah mengakhiri sewa sebelum masa sewa berakhir, maka akan dilakukan jual beli atas objek IMBT dengan harga menurut Bank. Setelah perjanjian IMBT disepakati maka nasabah selanjutnya bertanggungjawab untuk melaksanakan kewajibannya hingga berakhirnya perjanjian sesuai dengan jangka waktu sewa yang ditentukan dalam perjanjian IMBT. Selain berkewajiban untuk membayar uang sewa sesuai jadwal yang telah ditetapkan, nasabah juga bertanggung jawab untuk memelihara, menjaga, dan mengurus objek ijarah serta melakukan pemeliharaan dan perbaikan dengan biaya sendiri. Jika nasabah terlambat membayar uang sewa sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan maka Bank berhak membebankan ganti rugi (ta’widh) yang besarnya ditentukan oleh biaya operasional (biaya telepon, surat menyurat, dan lain-lain) yang timbul akibat penagihan pada nasabah. Karena besarnya tergantung pada biaya operasional yang dikeluarkan pihak Bank dalam proses penagihan pembayaran pada nasabah, maka besaran ta’widh tidak dicantumkan dalam perjanjian IMBT. Besaran ta’widh yang dibebankan didasarkan pada beberapa pertimbangan, diantaranya kolektibilitas, intensitas komunikasi, dan proses penyelesaian hingga nasabah melunasi kewajibannya. Pada Bank XYZ Cabang Wahid Hasyim, akad IMBT terbagi menjadi IMBT untuk Akta Jual Beli (AJB), IMBT untuk Take Over, dan IMBT untuk renovasi. Namun sejak tahun 2014, pembiayaan AJB dialihkan seluruhnya menggunakan akad murabahah untuk memaksimalkan kemampuan laba Bank. Metode pengakuan pendapatan secara proporsional pada IMBT menjadi dasar kebijakan ini mengingat banyaknya nasabah yang melakukan pelunasan dipercepat pada tahun-tahun awal pembiayaan. 2.
Analisis Kesesuaian Pelaksanaan Transaksi IMBT pada Bank XYZ terhadap Ketentuan Syariah
Berdasarkan penjabaran prosedur pelaksanaan transaksi IMBT dalam PPR pada Bank XYZ, penulis mencoba melakukan analisis kesesuaian prosedur pelaksanaan transaksi IMBT tersebut terhadap ketentuan syariah. Analisis dilakukan secara sistematis berdasarkan tahapan transaksi IMBT yang diterapkan pada Bank XYZ.
Analisis penerapan…, Rahmi Izzati, FE UI, 2013
a) Biaya-Biaya Pra Akad Sebelum melakukan perjanjian IMBT, nasabah diharuskan untuk melunasi semua biaya-biaya yang disyaratkan seperti biaya administrasi, biaya asuransi, biaya notaris, dan biaya materai. Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan bagian Administrasi Pembiayaan, biaya administrasi yang dikenakan tergantung pada besarnya pembiayaan yang diberikan. Sesuai dengan kebijakan Bank XYZ, biaya administrasi ditetapkan sebesar 1,25% dari plafond. Namun dalam praktiknya, biaya ini dapat berubah sesuai dengan negosiasi antara Bank dan nasabah. Penetapan biaya administrasi berdasarkan persentase dari plafond mengindikasikan adanya unsur riba. Jika biaya administrasi digunakan sebagai pengganti biaya operasional, tentu besarnya sama untuk pembiayaan dengan objek yang sama. Biaya administrasi yang diakui sebagai pendapatan oleh Bank dapat menjurus kepada riba jika biaya riil yang dikeluarkan Bank lebih kecil daripada biaya yang dibayarkan nasabah. Menurut hadis yang dishahihkan Al Ghazali, setiap pinjaman yang memberikan keuntungan bagi pemberi pinjaman adalah (Tarmizi, 2012). Selain biaya administrasi, biaya asuransi kebakaran yang dibayarkan nasabah juga tidak sesuai dengan syariat Islam. Hal ini erat kaitannya dengan kepemilikan atas objek sewa yang berada pada Bank dan hendaknya risiko kerusakan menjadi tanggungjawab Bank. Sebagai pemilik objek sewa, bank seharusnya menjadi pihak penanggung dan penerima manfaat asuransi (Ayyub, 2007). b) Mekanisme Perolehan Objek Ijarah Dari sisi nasabah, akad IMBT pada Bank XYZ menggunakan prinsip sale and lease back dimana nasabah menjual objek ijarah kepada Bank yang selanjutnya akan disewa kembali oleh nasabah yang bersangkutan. Sebelum melakukan perjanjian IMBT, Bank dan nasabah terlebih dahulu melakukan akad jual beli atas objek ijarah. Hal ini bertujuan untuk memberikan hak kepemilikan atas objek ijarah kepada Bank sehingga Bank dapat menyewakannya kembali kepada nasabah. Praktik ini dibenarkan selama tidak ada ketergantungan antara dua akad yang dilakukan, yaitu akad jual beli dan ijarah (Fatwa DSN MUI No. 71, 2008). Berdasarkan analisis penulis, dua akad yang dilakukan Bank dan nasabah tidak saling lepas. Hal ini terlihat dari harga jual pada akad bai’ ditetapkan sesuai dengan pengajuan pembiayaan yang disetujui. Selain itu, akad jual beli menjadi salah satu
Analisis penerapan…, Rahmi Izzati, FE UI, 2013
lampiran dalam perjanjian IMBT. Di dalam perjanjian IMBT dinyatakan bahwa perjanjian tersebut terkait dengan perjanjian Al Bai’ (jual beli) tertentu dan semua lampiran perjanjian merupakan satu kesatuan tidak terpisahkan dengan perjanjian tersebut. c) Rukun dan Syarat IMBT Akad IMBT, pada Bank XYZ disebut sebagai perjanjian IMBT, antara bank dan nasabah (musta’jir) disepakati secara tertulis dengan ditandatangani oleh kedua belah pihak. Hal ini diperlukan dalam upaya mempertegas hak dan kewajiban masingmasing pihak dalam transaksi IMBT. Selain hak dan kewajiban, di dalam perjanjian IMBT juga tercantum spesifikasi objek ijarah, jumlah uang sewa, jangka waktu sewa, biaya-biaya yang dikenakan kepada nasabah, nasabah wanprestasi, serta hal lain yang telah menjadi kesepakatan setiap pihak seperti jaminan yang diperlukan dalam rangka memenuhi prinsip kehati-hatian serta menghindari risiko kerugian oleh Bank. Praktik ini menunjukkan bahwa penerapan transaksi IMBT pada Bank XYZ telah memenuhi rukun akad ijarah menurut fatwa DSN MUI No. 09, yakni sighat dalam bentuk akad, pihak-pihak yang berakad, serta objek ijarah. Perjanjian IMBT secara tertulis dan kerelaan masing-masing pihak yang berakad menunjukkan ketegasan bahwa akad tersebut sudah berlangsung. Adanya kriteria tertentu terhadap calon nasabah serta analisis yang dilakukan pihak Bank sebelum memutuskan penerimaan pengajuan pembiayaan menunjukkan pihak-pihak berakad memiliki kelayakan dalam melakukan akad. Dan adanya pasal yang mengatur tentang objek ijarah, jangka waktu, dan jumlah uang sewa dalam perjanjian IMBT menunjukkan kejelasan objek ijarah untuk mencapai keridhaan masing-masing pihak yang berakad. Rumah sebagai objek ijarah dalam KPR iB XYZ merupakan fasilitas yang dibenarkan dalam syariat karena dapat diserahterimakan dan penggunaan rumah oleh penyewa tidak menghabiskan objek sewa tersebut (Ath-Thayyar et al., 2009). d) Pembayaran Uang Sewa (Ujrah) Setelah akad IMBT dilakukan, maka nasabah berkewajiban untuk membayar uang sewa kepada Bank. Pembayaran uang sewa (ujrah) oleh nasabah dilakukan secara angsuran tiap bulannya pada tanggal yang tercantum dalam perjanjian IMBT dan telah disepakati oleh kedua belah pihak. Ujrah ditentukan dengan menggunakan
Analisis penerapan…, Rahmi Izzati, FE UI, 2013
metode penjumlahan nilai perolehan objek ijarah dengan margin yang telah disepakati kemudian dibagi dengan masa sewa. Dalam perjanjian IMBT dinyatakan bahwa ujrah ditinjau setiap bulan dan setiap ada perubahan akan disepakati secara bersama. Namun dalam praktiknya, peninjauan ujrah ini belum pernah dilakukan kecuali untuk kasus pembayaran bermasalah. Adanya pernyataan ini bertujuan untuk memenuhi prinsip kehati-hatian ketika kondisi perekonomian tidak stabil dan BI rate langsung naik tinggi sedangkan Bank XYZ tidak mampu mengimbanginya. Secara syariah, peninjuan ujroh untuk periode berikutnya dibolehkan, dengan syarat keduanya saling ridha. Peninjauan ini dimaksudkan untuk menyesuaikan dengan harga pasar. Ibnu Taimiyah berkata, “Boleh melakukan jual beli dengan harga pasar, begitu juga boleh menyewakan barang dengan harga pasar” (Tarmizi, 2012). Untuk pembayaran bermasalah, peninjauan ujrah dilakukan ketika nasabah mengalami penurunan kemampuan sehingga tidak bisa melanjutkan kewajibannya. Praktik ini dibenarkan menurut Fatwa DSN MUI No. 56 mengingat adanya indikasi timbulnya kerugian bagi salah satu pihak jika tidak dilakukan review. Ujrah yang ditetapkan setelah review disepakati oleh kedua belah pihak. e) Pengenaan Ta’widh atas Keterlambatan Pembayaran Sewa Jika nasabah terlambat membayar uang sewa yang ditetapkan maka Bank berhak membebankan ganti rugi (ta’widh) biaya operasional (biaya telepon, surat menyurat, dan lain-lain) yang timbul akibat penagihan pada nasabah. Besarnya ta’widh yang dibebankan didasarkan pada beberapa pertimbangan, diantaranya kolektibilitas, intensitas
komunikasi,
dan
proses
penyelesaian
hingga
nasabah
melunasi
kewajibannya. Pemberlakuan ta’widh ini menjadi perdebatan di kalangan para ulama. Para ulama menggunakan dalil yang sama sebagai landasan hukum, namun memiliki pandangan berbeda dalam penafsirannya. Dalil yang menjadi landasan adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Penundaan pelunasan utang oleh orang yang mampu merupakan kezaliman, dibolehkan menjatuhkan hukuman kepadanya dan dibolehkan mencemarkan nama baiknya” (H.R. Bukhari). Sanksi dalam bentuk denda sejumlah uang dibenarkan menurut qaul qadim Imam Syafi’i serta didukung oleh Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyum. Adapun mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali
Analisis penerapan…, Rahmi Izzati, FE UI, 2013
mengharamkan menjatuhkan sanksi hukuman dalam bentuk denda sejumlah uang, karena hadis-hadis yang menjelaskan bahwa Rasulullah pernah menjatuhkan sanksi dalam bentuk denda uang telah dihapuskan oleh ayat-ayat yang mengharamkan riba. Menurut Ibnu Abdil Barr, ulama salaf dan khalaf sepakat bahwa riba yang diharamkan Al Quran termasuk menarik uang ganti rugi (ta’widh) dari debitur yang terlambat membayar kewajiban setelah jatuh tempo (Tarmizi, 2012). Sedangkan menurut fatwa DSN MUI No. 43, ta’widh dalam bentuk sejumlah uang dibenarkan sebagai ganti rugi atas biaya-biaya riil yang dikeluarkan dalam rangka penagihan hak yang seharusnya dibayarkan. Besar ta’widh adalah sesuai dengan nilai kerugian riil (real loss) yang pasti dialami (fixed cost) dalam transaksi tersebut dan bukan kerugian yang diperkirakan akan terjadi (potential loss) karena adanya peluang yang hilang (opportunity loss atau al-furshah al-dha-i’ah). Dalam hal ini, Bank XYZ belum memenuhi ketentuan yang ditetapkan DSN MUI. Dalam perhitungannya, Bank menggunakan beberapa pertimbangan dalam menentukan besarnya ta’widh yang dibebankan kepada nasabah, diantaranya kolektibilitas, intensitas komunikasi, dan proses penyelesaian hingga nasabah melunasi kewajibannya. Adanya unsur kolektibilitas dalam pertimbangan pengenaan ta’widh menunjukkan bahwa ta’widh bukanlah kompensasi atas kerugian riil yang diderita oleh pihak Bank. Berdasarkan pandangan-pandangan di atas, menurut penulis pengenaan ta’widh dalam bentuk sejumlah uang bagi nasabah yang terlambat membayar uang sewa jatuh tempo dapat menjurus kepada riba. Praktik ini menimbulkan riba nasi’ah dimana nasabah harus membayar lebih besar dari pokok pinjamannya. Jadi dapat disimpulkan bahwa ta’widh yang dibebankan kepada nasabah merupakan tambahan yang melebihi pokok pinjaman akibat bertambahnya tempo pembayaran. f) Tanggungjawab atas Pemeliharaan, Perbaikan dan Risiko Kerusakan Biaya pemeliharaan, perbaikan, dan risiko kerusakan atas objek ijarah dalam perjanjian IMBT menjadi tanggung jawab nasabah. Bank sebagai pihak yang menyewakan
barang
menolak
menanggung
segala
komitmennya
bahkan
membebankan semua biaya perbaikan, perawatan, asuransi, serta melepaskan tanggungjawabnya terhadap kerusakan dan kehancuran barang. Shalah ash-Shawi dan Abdullah al-Mushlih (2011) dalam bukunya Fikih Ekonomi Keuangan Islam menyatakan bahwa praktik ini dapat menjadi trik dalam melakukan pinjaman
Analisis penerapan…, Rahmi Izzati, FE UI, 2013
berbunga karena cara demikian dapat merubah sewa menyewa yang disyariatkan menjadi riba yang diharamkan. Jika dilihat dari pembebanan biaya pemeliharaan, biaya perbaikan, dan risiko kerusakan kepada nasabah, transaksi IMBT untuk PPR pada Bank XYZ tidak berbeda dengan praktik leasing pada lembaga keuangan konvensional lainnya. g) Pemindahan Kepemilikan Objek Ijarah Dalam perjanjian IMBT dinyatakan bahwa Bank menyewakan barang kepada nasabah dengan diakhiri oleh pemindahan kepemilikan melalui hibah diakhir masa sewa. Namun jika nasabah mengakhiri sewa sebelum masa sewa berakhir maka pemindahan kepemilikan dapat dilakukan dengan akad jual beli dengan harga jual yang ditetapkan oleh Bank. Pemindahan kepemilikan saat masa sewa telah berakhir pada perjanjian IMBT bersifat mengikat. Jika nasabah telah menyelesaikan seluruh kewajibannya hingga akhir masa sewa, maka Bank akan mengembalikan seluruh surat-surat yang berkenaan dengan kepemilikan rumah dan rumah otomatis dialihkan kepada nasabah tanpa ada akad hibah antara Bank dan nasabah. Praktik ini tidak sesuai dengan fatwa DSN MUI No. 27 yang mensyaratkan adanya akad pemindahan kepemilikan setelah masa ijarah selesai jika janji tersebut dilaksanakan. Praktik ini juga tidak dibenarkan menurut syariah karena Rasulullah SAW melarang dua transaksi dalam satu transaksi (AthThayyar et al., 2009). Jika nasabah melakukan pelunasan dipercepat maka akan dibuat akad bai’ antara Bank dan nasabah dalam rangka penjualan objek ijarah pada harga yang ditentukan oleh Bank dan disepakati bersama. Harga jual beli ditentukan oleh nilai pelunasan ditambah beberapa kali margin. Penentuan berapa kali margin yang ditetapkan menjadi kewenangan komite pembiayaan yang terdiri dari pimpinan cabang dan kepala seksi pemasaran berdasarkan rekomendasi dari analis. Peraturan di Bank XYZ menetapkan minimal satu kali margin, tapi negosiasi yang terjadi di lapangan seringkali lebih dari itu tergantung analisis Bank dan riwayat pembiayaan nasabah. Praktik ini telah sesuai dengan fatwa DSN MUI No. 57.
Analisis penerapan…, Rahmi Izzati, FE UI, 2013
3.
Analisis Kesesuaian Syariah Pelaksanaan Transaksi IMBT pada Bank XYZ terhadap Fatwa DSN MUI
Berdasarkan analisis penulis terhadap fatwa DSN MUI No. 09/DSN-MUI/IV/2000, No.27/DSN-MUI/III/2002, dan No. 56/DSN-MUI/V/2007 serta Perjanjian IMBT pada Bank XYZ, dapat disimpulkan bahwa transaksi IMBT pada Bank XYZ belum sepenuhnya sesuai dengan fatwa DSN terkait. Ketidaksesuaian tersebut terletak pada kewajiban Bank dalam pembiayaan IMBT dan keberadaan wa’ad yang mengikat untuk pemindahan kepemilikan di akhir masa sewa. Secara tersurat, ketentuan mengenai objek akad pada Fatwa DSN di atas telah terpenuhi dalam akad IMBT pada Bank XYZ. Namun, mekanisme perolehan objek ijarah yang tidak sesuai dengan syariat merupakan hal yang substansial dan merusak akad. Objek akad adalah salah satu rukun akad yang harus dipenuhi agar tercapainya akad yang sah. Selain analisis terhadap fatwa-fatwa di atas, penulis juga melakukan analisis terhadap beberapa fatwa yang berkaitan dengan penerapan IMBT pada Bank XYZ. Diantaranya adalah fatwa mengenai sale and lease back dan ganti rugi (ta’widh). Selain itu, pelaksanaan KPR iB XYZ juga menggunakan fitur-fitur lainnya, seperti pembiayaan untuk take over dan renovasi atau refinancing. Penggunaan fitur-fitur ini juga diatur dalam fatwa DSN MUI. Tabel 4.1 berikut menjelaskan kesesuaian penerapan IMBT pada Bank XYZ dengan fatwa terkait. Tabel 4.1 Kesesuaian Penerapan Transaksi Pembiayaan IMBT untuk PPR pada Bank XYZ terhadap Fatwa DSN MUI Terkait. Fatwa No.
Pelaksanaan
71/DSN-MUI/VI/2008 Akad jual beli dan ijarah Terjadi taalluq.
tentang Sale and Lease Back
saling terkait.
No. 43/DSN-MUI/VIII/2004 Ta’widh
ditetapkan Besaran ta’widh ditentukan
tentang Ganti Rugi (Ta’widh) berdasarkan
kolektibilitas tidak
dan intensitas komunikasi. No.
Kesimpulan
hanya
berdasarkan
biaya riil yang dikeluarkan.
31/DSN-MUI/VI/2002 Jual beli dilakukan sebelum Jual beli dilakukan sebelum
tentang Pengalihan Hutang.
pelunasan
utang
nasabah objek
pada Bank sebelumnya.
menjadi
nasabah secara penuh.
No. 89/DSN-MUI/XII/2013 Menggunakan skema al-bai’ Sesuai. tentang Pembiayaan Ulang wa al-isti’jar. (Refinancing) Syariah
Analisis penerapan…, Rahmi Izzati, FE UI, 2013
milik
4.
Analisis Kesesuaian Syariah Pelaksanaan Transaksi IMBT pada Bank XYZ terhadap Regulasi Bank Indonesia
Bank Indonesia mengatur pelaksanaan IMBT melalui Surat Edaran Bank Indonesia No. 10/14/DPbS sebagai penjelasan teknis pelaksanaan
Peraturan Bank Indonesia No.
9/19/PBI/2007 tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah Dalam Kegiatan Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana serta Pelayanan Jasa Bank Syariah. Berdasarkan analisis penulis terhadap Surat Edaran Bank Indonesia No. 10/14/DPbS dan Perjanjian IMBT pada Bank XYZ, dapat disimpulkan bahwa pelaksanan transaksi IMBT untuk KPR iB pada Bank XYZ belum sepenuhnya sesuai dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Ketidaksesuaian ini terkait tanggungjawab atas perbaikan dan kerugian kerusakan objek ijarah. Berbeda dengan Fatwa DSN, Bank Indonesia memberikan keleluasaan bagi Bank untuk membebankan biaya pemeliharaan dan perawatan objek ijarah kepada nasabah selama biaya pemeliharaan yang bersifat material dan struktural dituangkan dalam akad IMBT. Selain mengacu pada regulasi terkait pelaksanaan prinsip syariah dalam transaksi IMBT untuk KPR iB, dalam pemberian pembiayaan untuk KPR iB Bank XYZ sudah sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia terkait FTV. 5.
Rekomendasi Terkait Penerapan Transaksi IMBT dalam PPR pada Bank XYZ
Terdapat beberapa rekomendasi terhadap penerapan transaksi IMBT pada Bank XYZ agar pelaksanaan transaksi IMBT sesuai dengan syariah dan tidak terdapat penyimpanganpenyimpangan yang akan menyebabkan kehalalan dari akad IMBT menjadi diragukan. Rekomendasi penulis antara lain: 1.
Biaya administrasi tidak boleh ditetapkan berdasarkan nilai pembiayaan yang disepakati. Bank seharusnya menetapkan biaya administrasi sesuai dengan biaya yang dikeluarkan untuk keperluan akad.
2.
Dalam hal perolehan objek ijarah, penentuan harga jual pada akad jual beli seharusnya tidak sesuai dengan pembiayaan yang disepakati. Hal ini dilakukan untuk menghindari terjadinya transaksi taalluq yang dilarang dalam syariat.
3.
Akad jual beli tidak dijadikan syarat berlakunya akad IMBT karena Rasulullah melarang dua transaksi dalam satu transaksi. Akad jual beli dan IMBT harus dilakukan terpisah dan tidak saling mengikat.
4.
Pada IMBT take over, seharusnya Bank memperhatikan setiap tahapan agar tidak terjadi gharar. Ketika Bank memberikan qardh, maka hendaknya Bank mentransfer pinjaman ke rekening nasabah yang selanjutnya digunakan untuk melunasi kewajiban nasabah kepada
Analisis penerapan…, Rahmi Izzati, FE UI, 2013
bank sebelumnya. Dengan pelunasan ini maka nasabah dapat mengambil rumah tersebut. Setelah itu barulah akad jual beli dapat dilakukan. Ketika akad jual beli disepakati, Bank seharusnya mencairkan dana sebesar harga jual beli. Dengan pencairan tersebut nasabah membayar qardh kepada Bank dan sisanya boleh diendapkan di rekening nasabah hingga barang jaminan dapat diterima. 5.
Sebagai pemilik, Bank harus menanggung biaya pemeliharaan dan perbaikan serta risiko kerusakan atas rumah, termasuk juga biaya premi asuransi kebakaran atas rumah. Adanya biaya perawatan dan risiko atas rumah dapat dijadikan pertimbangan dalam menentukan uang sewa bagi nasabah.
6.
Tidak membebankan ta'widh bagi nasabah yang terlambat membayar uang sewa. Jika berpedoman kepada fatwa DSN MUI No. 43, pengenaan ta’widh hanya dibolehkan bagi nasabah yang terlambat membayar uang sewa diakibatkan kesengajaan atau kelalaian. Ta’widh merupakan ganti rugi atas kerugian riil yang dapat diperhitungkan dengan jelas dalam rangka penagihan hak yang seharusnya dibayarkan. Besar ta`widh adalah sesuai dengan nilai kerugian riil yang benar-benar dikeluarkan oleh Bank dalam upaya penagihan. Maka dalam penentuan besarnya ta’widh Bank harus menghilangkan dasar pertimbangan yang tidak menimbulkan kerugian riil bagi Bank.
7.
Hanya melakukan pemindahan kepemilikan melalui jual beli pada harga yang disepakati bersama. Untuk melakukan pemindahan kepemilikan maka Bank harus membuat akad baru dan terpisah dari akad IMBT sebelumnya.
6.
Perlakuan Akuntansi atas Transaksi IMBT untuk PPR pada Bank XYZ
Berdasarkan Laporan Tahunan Bank XYZ tahun 2013, terdapat beberapa kebijakan akuntansi terkait pengakuan dan pengukuran yang berkenaan dengan transaksi IMBT. Akun “Aset yang Diperoleh untuk Ijarah” merupakan aset yang dijadikan objek ijarah dan diakui sebesar nilai perolehannya. Pada Bank XYZ Cabang Wahid Hasyim, “Aset yang Diperoleh untuk Ijarah” pada PPR dicatat pada akun Pemilikan Rumah. Penyusutan atas objek IMBT dilakukan sesuai masa sewa secara proporsional. Pendapatan ijarah diakui selama masa akad secara proporsional. Bank XYZ Syariah mengakui piutang pendapatan ijarah pada saat jatuh tempo. Piutang pendapatan ijarah diakui sebesar sewa yang belum diterima. Jika nasabah terlambat membayar uang sewa maka Bank membebankan ganti rugi (ta’widh). Ta’widh diakui sebagai pendapatan. Akun-akun yang berkaitan dengan pembiayaan IMBT disajikan dalam laporan posisi keuangan dan laporan laba rugi Bank XYZ. Di dalam laporan posisi keuangan, pada sisi
Analisis penerapan…, Rahmi Izzati, FE UI, 2013
aktiva terdapat akun “Aset yang diperoleh untuk ijarah” yang disajikan sebesar nilai buku dikurangi dengan akumulasi penyusutan. Selain itu terdapat akun “Piutang Pendapatan Ijarah” yang disajikan sebesar nilai bersih yang dapat direalisasikan, yaitu sebesar saldo piutang. Sedangkan dalam laporan laba rugi “Pendapatan Ijarah” disajikan secara neto setelah dikurangi beban penyusutan aset yang diperoleh untuk ijarah dan IMBT. Pengungkapan terkait pembiayaan IMBT pada Bank XYZ hanya mengungkapkan kebijakan akuntansi terkait IMBT yang mengacu pada PSAK No. 107 tentang Akuntansi Ijarah. Selain itu Bank XYZ juga mengungkapkan keberadaan wa’d pengalihan kepemilikan dan mekanisme yang digunakan (jika ada wa’d pengalihan kepemilikan). 7.
Analisis Kesesuaian Akuntansi Transaksi IMBT pada Bank XYZ terhadap PSAK 107, PAPSI 2013, dan FAS 8
Selain melakukan analisis kesesuaian syariah, penulis juga melakukan melakukan analisis kesesuaian perlakuan akuntansi atas transaksi IMBT pada Bank XYZ berdasarkan standar akuntansi untuk perbankan yang berlaku di Indonesia, yaitu PSAK 107 dan PAPSI 2013. Selain itu penulis juga melakukan perbandingan perlakuan akuntansi berdasarkan FAS 8. Berdasarkan hasil analisis penulis, dapat disimpulkan bahwa perlakuan akuntansi transaksi IMBT dalam PPR pada Bank XYZ belum sepenuhnya sesuai dengan PSAK 107 sebagai acuan standar akuntansi yang berlaku di Indonesia dan PAPSI 2013 sebagai acuan standar akuntansi perbankan syariah di Indonesia. Setidaknya terdapat empat ketidaksesuaian perlakuan akuntansi IMBT pada Bank XYZ tehadap standar yang berlaku, diantaranya pengakuan atas biaya perbaikan objek sewa, pengakuan selisih antara harga jual dan nilai tercatat aset ijarah ketika terjadi penjualan sebelum berakhirnya masa sewa, penyajian beban penyusutan, dan pengungkapan. Dalam PSAK 107 dan PAPSI 2013, terdapat standar mengenai pengakuan biaya perbaikan objek ijarah oleh Bank sebagai pemilik, sedangkan dalam praktiknya Bank XYZ tidak menanggung semua biaya perbaikan objek sewa. Berdasarkan perjanjian IMBT, biaya-biaya tersebut menjadi tanggung jawab nasabah. Dalam PSAK 107 dan PAPSI 2013, jika pemindahan kepemilikan dilakukan melalui penjualan sebelum berakhirnya masa ijarah, maka selisih antara harga jual dan jumlah tercatat aset ijarah diakui sebagai keuntungan atau kerugian. Sedangkan pada Bank XYZ, selisih tersebut diakui sebagai pendapatan sewa.
Analisis penerapan…, Rahmi Izzati, FE UI, 2013
Dalam PSAK 107 dan PAPSI 2013, beban penyusutan aset ijarah disajikan sebagai pengurang pendapatan ijarah pada laporan laba rugi. Sedangkan Bank XYZ tidak melakukan pencatatan atas beban penyusutan. Dalam hal pengungkapan, Bank XYZ hanya mengungkapkan keberadaan wa’d pengalihan kepemilikan dan mekanisme yang digunakan serta kebijakan akuntansi yang digunakan atas transaksi IMBT. Terdapat beberapa hal yang belum diungkapkan terkait IMBT sebagaimana yang ditetapkan dalam PSAK 107 dan PAPSI 2013. Selain melakukan analisis mengenai kebijakan akuntansi, penulis juga menganalisis pencatatan yang dilakukan Bank XYZ berdasarkan jurnal atas transaksi IMBT untuk pemilik menurut PAPSI 2013. PAPSI merupakan petunjuk pelaksanaan yang mengacu pada PSAK 107. Menurut analisis penulis, terdapat beberapa perbedaan pencatatan transaksi IMBT pada Bank XYZ dan PAPSI 2013, diantaranya: 1.
Bank XYZ mengakui pendapatan sewa pada saat nasabah membayar uang sewa. Sedangkan menurut PAPSI, pendapatan diakui pada tanggal laporan keuangan. Praktik pada Bank XYZ mengakibatkan laba perusahaan yang disajikan pada laporan keuangan lebih kecil (understated).
2.
Bank XYZ tidak mencatat beban penyusutan karena pendapatan ijarah diakui secara neto setelah dikurang akumulasi penyusutan. Sedangkan dalam PAPSI, beban penyusutan diakui pada setiap tanggal laporan dan disajikan sebagai pengurang pendapatan sewa pada laporan laba rugi.
3.
Ketika terjadi pelunasan dipercepat, Bank XYZ mengakui selisih harga jual dan nilai aset tercatat sebagi pendapatan sewa. Sedangkan menurut PAPSI, selisih ini diakui sebagai keuntungan.
4.
Bank XYZ berhak membebankan ta’widh jika nasabah terlambat membayar uang sewa. Ta’widh diakui sebagai pendapatan. PAPSI tidak mengatur pembebanan ta’widh atas keterlambatan pembayaran uang sewa oleh nasabah.
5.
Bank XYZ tidak membuat Cadangan Kerugian Penurunan Nilai atas piutang sewa sebagaimana yang diatur dalam PAPSI 2013. Adanya perbedaan ini tidak menjadi masalah mengingat PAPSI revisi 2013 berlaku efektif mulai 2016. Bank XYZ masih dapat memperbaiki kebijakan akuntansinya hingga tahun 2016.
Analisis penerapan…, Rahmi Izzati, FE UI, 2013
Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan mengenai transaksi IMBT pada Bank XYZ, maka penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut: 1.
Ditinjau dari kesesuaian terhadap fatwa DSN MUI No. 27/DSN-MUI/III/2002 tentang IMBT dan No. 9/DSN-MUI/IV/2000 tentang ijarah, pola pembiayaan IMBT untuk PPR yang diterapkan oleh Bank XYZ belum sepenuhnya sesuai. Setidaknya terdapat tiga ketentuan yang tidak terpenuhi. Pertama, penanggungan biaya pemeliharaan barang oleh nasabah. Kedua, tidak ada jaminan dari Bank bila terdapat cacat pada barang yang disewakan. Ketiga, janji pemindahan kepemilikan di akhir masa sewa bersifat mengikat.
2.
Selain mengacu pada fatwa mengenai ijarah dan IMBT, transaksi IMBT pada Bank XYZ juga mengacu pada beberapa fatwa DSN lain yang terkait. Pertama, keterlibatan Bank dalam praktik sale and lease back belum sesuai dengan fatwa DSN No. 71/DSNMUI/VI/2008. Ketidaksesuaian tersebut dilihat dari akad jual beli dan ijarah yang tidak saling lepas. Kedua, pengenaan ta’widh atas penunggakan pembayaran uang sewa belum sesuai dengan Fatwa DSN No. 43/DSN-MUI/VIII/2004 karena penentuan besarnya ta’widh didasarkan beberapa pertimbangan, bukan hanya biaya riil yang dikeluarkan Bank dalam upaya penagihan. Ketiga, pelaksanaan take over pada Bank XYZ belum memenuhi tatacara yang diperbolehkan menurut fatwa DSN No. 31/DSN-MUI/VI/2002. Bank dan nasabah melakukan akad jual beli atas rumah sebesar pengajuan yang disetujui sebelum adanya pelunasan utang nasabah di Bank sebelumnya. Keempat, pelaksanaan refinancing untuk renovasi rumah pada Bank XYZ telah sesuai dengan fatwa DSN No. 89/DSN-MUI/XII/2013.
3.
Secara garis besar, pelaksanaan transaksi IMBT dalam PPR pada Bank XYZ telah sesuai dengan Surat Edaran Bank Indonesia No. 10/ 14 / DPbS tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah Dalam Kegiatan Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana serta Pelayanan Jasa Bank Syariah. Namun masih terdapat ketidaksesuaian diantaranya tidak terdapat uraian biaya pemeliharaan yang bersifat material dan struktural dalam akad. Selain itu Bank XYZ juga membebankan risiko kerusakan objek ijarah kepada nasabah. Selain mengacu pada Surat Edaran di atas, penyaluran pembiayaan untuk KPR iB Bank XYZ sudah sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia terkait FTV.
4.
Kebijakan akuntansi yang dilakukan atas transaksi IMBT yang diterapkan pada Bank XYZ mengacu pada PSAK 107 tentang Akuntansi Ijarah dan PAPSI. Masih terdapat ketidaksesuaian perlakuan akuntansi atas transaksi IMBT pada Bank XYZ. Setidaknya terdapat empat ketidaksesuaian diantaranya pengakuan atas biaya perbaikan objek sewa,
Analisis penerapan…, Rahmi Izzati, FE UI, 2013
pengakuan selisih antara harga jual dan nilai buku pada saat penjualan aset sebelum masa akad berakhir, penyajian beban penyusutan, dan pengungkapan. 5.
Terkait pencatatan atas transaksi IMBT, terdapat beberapa perbedaan pada Bank XYZ dengan jurnal menurut PAPSI 2013. Ketidaksesuaian tersebut diantaranya adalah pencatatan biaya penyusutan, pencatatan selisih antara harga jual dan nilai buku pada saat penjualan aset sebelum masa akad berakhir, dan pembentukan CKPN atas piutang sewa.
Saran Saran untuk Bank XYZ adalah: 1.
Melakukan evaluasi penerapan transaksi IMBT terhadap kesesuaian syariah dan standar akuntansi yang berlaku.
2.
Melaksanakan transaksi IMBT berdasarkan ketentuan syariah yang berlaku dengan merujuk pada fatwa DSN MUI dan Peraturan Bank Indonesia yang terkait.
3.
Menerapkan perlakuan akuntansi atas transaksi IMBT berdasarkan standar yang berlaku dengan merujuk pada PSAK 107 dan PAPSI revisi 2013.
4.
Memperkaya produk-produk perbankan yang telah dimiliki melalui penerapan akad IMBT.
Daftar Pustaka Al-Qur’anul Karim dan terjemahanya. Tafsir. Antonio, Muhammad Syafi’i. (2001). Bank Syariah Dari Teori ke Praktik. Jakarta: Gema Insani. Ash-Shawi, Shalah dan Abdullah al-Mushlih. (2011). Fikih Ekonomi Keuangan Islam (Abu Umar Basyir, Penerjemah). Jakarta : Darul Haq. Ath-Thayyar, Abdullah bin Muhammad. (2009). Ensiklopedi Fiqih Muamalah dalam Pandangan 4 Mazhab (Miftahul Khairi, Penerjemah). Yogyakarta : Maktabah AlHanif. Ayyub, Muhammad. (2007). Understanding Islamic Finance. England : John Wiley & Sons Ltd. Bank Indonesia. (2007). Peraturan Bank Indonesia No. 9/19/PBI/2007 tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah dalam Kegiatan Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana serta Pelayanan Jasa Bank Syariah.
Analisis penerapan…, Rahmi Izzati, FE UI, 2013
Bank Indonesia. (2008). Surat Edaran Bank Indonesia No. 10/ 14 / DPbS perihal Pelaksanaan Prinsip Syariah dalam Kegiatan Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana serta Pelayanan Jasa Bank Syariah. Bank Indonesia. (2012). Laporan Perkembangan Perbankan Syariah 2012. Bank Indonesia. (2013). Pedoman Akuntansi Perbankan Syariah Indonesia revisi 2013. Bank Indonesia. (2013). Surat Edaran Bank Indonesia No. 15/40/DKMP perihal Penerapan Manajemen Risiko pada Bank yang Melakukan Pemberian Kredit atau Pembiayaan Pemilikan Properti, Kredit atau Pembiayaan Konsumsi Beragun Properti, dan Kredit atau Pembiayaan Kendaraan Bermotor. Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia. (2000). Fatwa No. 09/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Ijarah. Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia. (2002). Fatwa No. 27/DSN-MUI/III/2002 tentang Al-Ijarah Al-Muntahiya Bi Al-Tamlik. Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia. (2002). Fatwa No. 31/DSN-MUI/VI/2002 tentang Pengalihan Hutang. Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia. (2004). Fatwa No. 43/DSNMUI/VIII/2004 Tentang Ganti Rugi (Ta’widh) Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia. (2007). Fatwa No. 56/DSN-MUI/V/2007 tentang Ketentuan Review Ujarah pada Lembaga Keuangan Syariah. Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia. (2008). Fatwa No. 71/DSN-MUI/VI/2008 tentang Sale and Lease Back. Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia. (2013). Fatwa No. 89/DSNMUI/XII/2013 tentang Pembiayaan Ulang (Refinancing) Syariah. Ikatan Akuntansi Indonesia. (2009). Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan No. 107 tentang Akuntansi Ijarah. Karim, Muhammad Adiwarman. (2007). Bank Islam Analsis Fiqih dan Keuangan. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. Pew Reserach Center’s Forum on Religion & Public Life. (2011). Pew Forum’s Forthcoming Report on the Qorld’s Muslim Population. Tarmizi, Erwandi. (2012). Harta Haram Muamalat Kontemporer. Bogor : Berkat Mulia Insani.
Analisis penerapan…, Rahmi Izzati, FE UI, 2013