RAGAM JENIS EKTOPARASIT DAN MANAJEMEN PENANGKARAN BIAWAK
RAYA AKBAR RAMADHAN
DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
RAGAM JENIS EKTOPARASIT DAN MANAJEMEN PENANGKARAN BIAWAK
RAYA AKBAR RAMADHAN
SKRIPSI
Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kehutanan Pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
SUMMARY RAYA AKBAR RAMADHAN (E34060430). Variety of Ectoparasites and Management Captive Breeding of Monitor Lizard. Under Supervision ERNA SUZANNA and SUSI SOVIANA Ectoparasite is arthropods or invertebrate organism lived on the surface of their host’s body.
The presence of ectoparasites on monitor lizard increased the
appearance of illness’ symptoms or injury that may lead to the decrease of both Lizard’s health and skin quality.
Ectoparasites infection may cause a lot of
disadvantage both to the management and the infected animal. The research was aimed at identifying the variety of ectoparasites on yellow monitor lizard, blue tail monitor lizard, and dumeril monitor lizard, managed in captive breeding of PT Mega Citrindo; identifying the relation between captive breeding management and ectoparasite infection, and: observing the behaviour of monitor lizards’ in the cage. Research was conducted on July – August 2010. Data collected were species of ectoparasites found, ectoparasite’s habitat, captive breeding management system, and monitor lizard’s behaviour using observation method. The data collected were analysed using descriptive and qualitative analyses. The ectoparasites found in the research were mites on the yellow monitor lizards, and tick from genus Amblyomma and genus Aponomma on blue tail monitor lizard, and dumeril monitor lizard. The degree of infection of tick found on monitor lizards were low to moderate, however a high degree of infection (more than 11 ticks) were found on the back regio of one monitor lizard individual. The far distance between monitor lizard’s cage with other reptiles’ cages, and high intensity of sun ray were assumed to be the cause of the absence of ticks on the yellow monitor lizards. The observed behaviour of both infected and uninfected monitor lizards in captive breeding of PT Mega Citrindo were stay still, walk, stuck out its tongue, and sunbathing.
Key words:
Amblyomma sp., Aponomma sp., yellow monitor lizard, blue tail monitor lizard, and dumeril monitor lizard
RINGKASAN RAYA AKBAR RAMADHAN (E34060430). Ragam Jenis Ektoparasit dan Manajemen Penangkaran Biawak. Dibimbing oleh ERNA SUZANNA dan SUSI SOVIANA Ektoparasit merupakan organisme arthropoda atau invertebrata yang hidup pada permukaan tubuh inangnya.
Keberadaan ektoparasit pada biawak
menimbulkan gejala-gejala sakit atau luka yang dapat mengakibatkan penurunan kualitas kesehatan dan kulit biawak. Infestasi ektoparasit menimbulkan banyak kerugian baik untuk pengelola maupun satwa yang terinfeksi. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi ragam jenis ektoparasit pada biawak kuning, biawak ekor biru, dan biawak dumeril yang dikelola oleh PT Mega Citrindo; mengidentifikasi hubungan manajemen penangkaran dengan infestasi ektoparasit, dan; mengamati perilaku biawak kuning, biawak ekor biru, dan biawak dumeril di dalam kandang.
Penelitian dilakukan dari bulan Juli
hingga Agustus 2010. Data yang dikumpulkan meliputi jenis ektoparasit yang ditemukan, habitat ektoparasit, sistem manajemen penangkaran, dan perilaku biawak dengan menggunakan metode observasi/pengamatan.
Analisis data
menggunakan analisis deskriptif dan kualitatif. Jenis ektoparasit yang ditemukan dalam penelitian ini adalah tungau pada biawak kuning, dan caplak dari genus Amblyomma sp. dan Aponomma sp. pada biawak ekor biru dan biawak dumeril. Derajat infestasi caplak yang ditemukan masuk ke dalam kategori ringan sampai sedang, namun ditemukan caplak dengan jumlah lebih dari 11 individu (kategori tinggi) pada regio punggung dari satu individu biawak.
Letak kandang yang tidak dekat dengan kandang reptil jenis
lain dan intensitas matahari tinggi dalam kandang dapat merupakan faktor penyebab tidak ditemukannya caplak pada biawak kuning. Perilaku biawak kuning, biawak ekor biru dan biawak dumeril di PT Mega Citrindo meliputi diam, berjalan, menjulurkan lidah, dan berjemur.
Kata kunci : Amblyomma sp., Aponomma sp., biawak kuning, biawak ekor biru, biawak dumeril
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Ragam Jenis Ektoparasit dan Manajemen Penangkaran Biawak adalah benar-benar hasil karya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Maret 2011
Raya Akbar Ramadhan E34060430
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Penelitian
: Ragam Jenis Ektoparasit dan Manajemen Penangkaran Biawak
Nama
: Raya Akbar Ramadhan
NRP
: E34060430
Menyetujui : Dosen Pembimbing Ketua,
Anggota,
Dr. drh. Erna Suzanna, M.Sc.F.
Dr. drh. Susi Soviana, M.Si.
NIP.19640808 199002 2 001
NIP.19630927 199002 2 001
Mengetahui : Ketua Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor,
Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, MS. NIP. 19580915 198403 1 003
Tanggal Lulus :
i
KATA PENGANTAR
Penulis memanjatkan puji dan syukur kehadirat Alah SWT atas segala curahan rahmat dan kasih sayang Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian ini adalah Ragam Jenis Ektoparasit dan Manajemen Penangkaran Biawak yang dilaksanakan dari bulan Juli hingga Agustus 2010. Harapan penulis hasil dari penelitian ini dapat digunakan oleh penangkaran PT Mega Citrindo di dalam pengelolaan manajemen. Selain itu, data serta saran yang diberikan didalam skripsi dapat menjadi bahan kebijakan PT Mega Citrindo dalam upaya menjaga kesehatan satwa khususnya akibat ektoparasit. Penulis menyadari masih banyak terdapat kekurangan dalam penulisan ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran demi penyempurnaan dan pengembangan penelitian selanjutnya. Harapan penulis, semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi banyak pihak.
Bogor, Maret 2011
Penulis
ii
RIWAYAT HIDUP
Raya Akbar Ramadhan lahir di Kota Sukabumi pada tanggal 18 Mei 1988. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara pasangan Bapak Suryana Purawisastra dan Ibu Nora Rita Atikah. Pendidikan yang pernah diperoleh penulis adalah : 1. Taman Kanak-kanak Sandi Putera, Bogor. Lulus pada tahun 1994 2. Sekolah Dasar Negeri Pengadilan 1, Bogor. Lulus pada tahun 2000 3. Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Swasta Al-Azhar Plus Bogor. Lulus pada tahun 2003 4. Sekolah Menengah Atas Negeri 10 Bogor. Lulus pada tahun 2006 Pada Tahun 2006 penulis lulus dari Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 10 Bogor. Pada tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor melalui jalur Ujian Seleksi Masuk (USMI). Penulis memilih Program Studi Mayor Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata. Selama menuntut ilmu di IPB, penulis aktif di organisasi kemahasiswaan yakni
sebagai
anggota
partisipan
Himpunan
Mahasiswa
Konservasi
(HIMAKOVA) di bidang Kelompok Pemerhati Kupu-Kupu (KPK) tahun 20072008. Penulis pernah melakukan kegiatan Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan di jalur Kamojang – Leuweung Sancang pada tahun 2008, Praktek Pengenalan Hutan di Gunung Walat pada tahun 2009, dan Praktek Kerja Lapang (PKL) di Balai Taman Nasional Gunung Ciremai, Kuningan pada tahun 2010. Untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan IPB, penulis menyelesaikan skripsi dengan judul Ragam Jenis Ektoparasit dan Manajemen Penangkaran Biawak yang dibimbing oleh Dr. drh. Erna Suzanna, M.Sc.F dan Dr. drh. Susi Soviana, M.Si.
iii
UCAPAN TERIMAKASIH
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberi rahmat dan karunia- Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Ragam Ektoparasit dan Manajemen Penangkaran Biawak”. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih yang sedalamdalamnya kepada orang-orang yang telah terlibat langsung atau pun tidak langsung. Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada : 1.
Ibu Dr. drh. Erna Suzanna, MSc. F dan Ibu Dr. drh. Susi Soviana, MSi., selaku dosen pembimbing yang telah menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran dalam mengarahkan dan memberi saran serta masukan kepada penulis.
2.
Dosen penguji yang telah bersedia dan menyediakan waktunya, kepada Bapak Dr. Ir. Sri Wilarso Budi R, MS, selaku perwakilan Departemen Silvikultur, Bapak Dr. Ir. Gunawan Santosa, MS, selaku perwakilan Departemen Manajemen Hutan, dan Ibu Anne Carolina, S.Si, MSi selaku perwakilan dari Departemen Hasil Hutan.
3.
Papah, Mamah, dan Kakak tercinta Giasti Pustikasari serta Keluarga Besar atas segala doa dan kasih sayang, serta dukungan moral dan materi kepada penulis.
4.
Seluruh
staff
pengajar
karyawan/wati
di
Departemen
Konservasi
Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan IPB. 5.
Pak Andre sebagai pemilik Penangkaran PT. Mega Citrindo dan pak Heru yang telah bersedia memberikan kesempatan penulis untuk melakukan penelitian di PT. Mega Citrindo serta mas Supar, mas Tama, mas Yudi, mas Ali serta mas Komeng sebagai petugas kandang atas saran dan bantuannya selama penelitian.
6.
Detta Olyvia Nirwana yang tidak henti-hentinya memberikan semangat.
7.
Seluruh karyawan Laboratorium Entomologi Fakultas Kedokteran Hewan IPB yang telah membantu selama penelitian.
8.
Keluarga besar KSHE 43 (Cendrawasih) khususnya Catur WDS, Dez, dan Andin yang telah memberi banyak bantuan, saran serta masukan kepada
iv
penulis, juga kepada Arga, Oby, Yunus, Afroh, Haray, Junef, Maiser, Marolop, Chacha, Reni, Ari S, Fiona, dan Nano yang banyak membantu dalam persiapan seminar dan sidang komprehensif. Akhir kata, penulis berharap Allah SWT berkenan membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat di bidang ilmu pengetahuan.
Bogor, Maret 2011
Penulis
v
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR
i
DAFTAR TABEL
vii
DAFTAR GAMBAR
viii
DAFTAR LAMPIRAN
ix
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
1
1.2 Tujuan Penelitian
2
1.3 Manfaat
2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi
3
2.2 Penyebaran
3
2.3 Morfologi
5
2.4 Habitat dan Makanan
7
2.5 Perilaku
8
2.6 Status
9
2.7 Prinsip Kesejahteraan Hewan
9
2.8 Ektoparasit
10
2.8.1 Definisi Ektoparasit
10
2.8.2 Ektoparasit pada Reptil
10
2.8.3 Caplak
11
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi
14
3.2 Alat dan Bahan
14
3.2.1 Alat dan Bahan Pengambilan Data
14
3.2.2 Alat dan Bahan Pengawetan Identifikasi Spesimen
14
3.3 Metode Pengambilan Data
16
3.3.1 Pengambilan Spesimen Ektoparasit
16
3.3.2 Pengamatan Habitat Ektoparasit
18
3.3.3 Pengamatan Sistem Manajemen Penangkaran
18
vi
3.3.4 Pengamatan Perilaku Harian 3.4 Analisis Data
19 19
3.4.1 Analisis Deskriptif
19
3.4.1 Analisis Kuantitatif
19
BAB IV KONDISI UMUM LOKASI 4.1 Lokasi
20
4.2 Topografi
20
4.3 Sejarah
20
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Ragam Jenis Ektoparasit pada Biawak
22
5.1.1 Biawak Kuning
22
5.1.2 Biawak Ekor Biru
23
5.1.3 Biawak Dumeril
25
5.2 Manajemen Penangkaran
27
5.2.1 Kondisi Kandang
27
5.2.2 Manajemen Pakan
37
5.2.3 Manajemen Kesehatan Satwa
38
5.3 Pola Perilaku Harian
39
5.3.1 Perilaku Biawak Kuning
40
5.3.2 Perilaku Biawak Ekor Biru
40
5.3.3 Perilaku Biawak Dumeril
41
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan
42
6.2 Saran
42
DAFTAR PUSTAKA
43
LAMPIRAN
47
vii
DAFTAR TABEL
No
Halaman
1. Ragam jenis ektoparasit pada reptil
11
2. Peralatan penelitian lapangan
15
3. Peralatan pengawetan dan identifikasi ektoparasit
16
4. Infestasi dan sebaran caplak tiap regio biawak ekor biru
23
5. Infestasi dan sebaran caplak tiap regio biawak dumerili.
25
6. Komposisi kandang permanen
28
7. Komposisi kandang boks
31
8. Pengkayaan kandang PT. Mega Citrindo
33
viii
DAFTAR GAMBAR No
Halaman
1. Penyebaran biawak kuning di Kepulauan Sula dan Obi
4
2. Penyebaran biawak ekor biru di sekitar Papua Nugini dan daratan Australia.. 4 3. Penyebaran biawak dumeril di kawasan Sunda Asia Tenggara.
5
4. Biawak kuning (Varanus melinus).
6
5. Biawak ekor biru (Varanus doreanus).
6
6. Biawak dumeril (Varanus dumerilii).
7
7. Ilustrasi perilaku sosial biawak.
9
8. Caplak keras dari famili Ixodidae
12
9. Pembagian tubuh biawak (regio) dalam koleksi ektoparasit
17
10. Struktur organisasi PT. Mega Citrindo
21
11. Tungau Macrochelidae yang ditemukan pada biawak kuning
22
12. Letak caplak yang ditemukan pada biawak : (a) punggung (b) perut (c) kaki belakang.
24
13. Caplak yang ditemukan pada biawak ekor biru : (a) Amblyomma sp ♀. (b) Aponomma sp ♀, (c) Aponomma sp. ♂
24
14. Kandang permanen biawak kuning
29
15. Kandang permanen biawak ekor biru.
30
16. Kandang permanen biawak dumeril.
30
17. Kandang box ukuran: (a) besar, (b) sedang, (c) kecil.
31
18. Pengkayaan kandang (enrichment) : (a) kandang biawak dumeril, (b) kandang biawak ekor biru, dan (c) kandang biawak kuning.
34
19. Jenis shelter : (a) alami, (b) buatan, kandang biawak kuning, (c) buatan, kandang biawak ekor biru.
35
20. Kegiatan pembersihan kandang : (a) luar kandang (b) dalam kandang (c) kandang box.
36
21. Pakan biawak : (a) tikus putih, (b) tikus sawah, (c) anak ayam (d) jangkrik. 37
ix
DAFTAR LAMPIRAN No
Halaman
1. Hasil pengamatan perilaku
48
2. Langkah-langkah Pembuatan Preparat
50
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan satu negara di dunia yang memiliki potensi keanekaragaman satwaliar yang sangat tinggi. Keanekaragaman tersebut dapat terlihat dari beraneka ragamnya spesies satwaliar yang terdiri atas burung, mamalia, reptil dan amphibi yang dapat ditemukan di wilayah Indonesia. Biawak kuning (Varanus melinus), biawak ekor biru (Varanus doreanus), dan biawak dumeril (Varanus dumeril) adalah contoh satu kekayaan yang dimiliki oleh Indonesia. Selain biawak kuning, biawak ekor biru dan biawak dumeril, terdapat beberapa spesies biawak yang dapat ditemukan hanya di Indonesia antara lain biawak timor (Varanus timorensis), biawak kalimantan (Varanus borneensis), biawak abu-abu (Varanus nebulosus), biawak cokelat (Varanus gouldii) dan biawak hijau (Varanus prasimus). Dewasa ini trend menjadikan satwa reptil sebagai hewan peliharaan mulai berkembang di Indonesia. Biawak merupakan satwa yang memiliki potensi komersial. Kulitnya yang indah, kuat dan dagingnya yang mempunyai khasiat sebagai obat penyakit kulit banyak diincar oleh pemburu-pemburu. Upaya penyelamatan populasi biawak ini antara lain dengan dibuatnya penangkaran ekssitu. Beberapa aspek yang perlu diperhatikan di dalam penangkaran antara lain adalah, pemeliharaan lingkungan kandang, pemberian makanan, kekayaan kandang (enrichment), dan kesehatan satwa. Lingkungan di dalam penangkaran yang kurang bersih dapat menimbulkan bibit penyakit untuk biawak, baik yang disebabkan oleh parasit (ektoparasit dan endoparasit), bakteri dan virus. Kesehatan satwa di dalam penangkaran merupakan aspek yang harus diperhatikan, karena berkaitan dengan kesejahteraan satwa. PT. Mega Citrindo adalah perusahaan yang bergerak dalam perdagangan (ekspor) dan penangkaran reptil. Upaya penangkaran masih belum optimal, karena PT. Mega Citrindo belum menghasilkan anakan reptil dari dalam penangkaran. Bibit yang diambil berasal dari alam. Reptil yang dijual nantinya secara umum akan menjadi hewan peliharaan / pet animal. Oleh sebab itu kondisi reptil harus dalam keadaan sehat dan bebas dari penyakit.
2
Penyakit biawak yang disebabkan oleh parasit (ektoparasit dan endoparasit) perlu diperhatikan oleh pihak manajemen penangkaran. Selain akibat traumatis (perkelahian), infestasi ektoparasit juga mengakibatkan penurunan kualitas kulit biawak. Ditemukannya ektoparasit pada tubuh biawak atau pun di sekitar areal penangkaran biawak merupakan salah satu indikator adanya infestasi ektoparasit. Infestasi ektoparasit menimbulkan banyak kerugian baik untuk pengelola maupun satwa yang terinfeksi. Penelitian ini perlu dilakukan mengingat belum adanya kajian mengenai ektoparasit pada biawak kuning, biawak ekor biru, dan biawak dumeril di penangkaran.
1.2 Tujuan Penelitian 1.
Mengidentifikasi ragam jenis ektoparasit pada biawak kuning, biawak ekor biru, dan biawak dumeril.
2.
Mengidentifikasi hubungan manajemen penangkaran dengan infestasi ektoparasit.
3.
Mengamati perilaku biawak kuning, biawak ekor biru, dan biawak dumeril di dalam kandang.
1.3 Manfaat 1.
Memberikan masukan terhadap manajemen penangkaran, khususnya pada biawak kuning, biawak ekor biru, dan biawak dumeril.
2.
Dapat
dijadikan
penangkaran.
bahan
kebijakan
pengendalian
ektoparasit
di
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Klasifikasi Biawak Klasifikasi ilmiah dari biawak adalah sebagai berikut : Kingdom
: Animalia
Filum
: Chordata
Kelas
: Reptilia
Ordo
: Squamata
Famili
: Varanidae
Genus
: Varanus
Spesies
: Biawak kuning (Varanus melinus) atau quince lizard monitor, Biawak ekor biru (Varanus doreanus) atau blue tail lizard monitor, dan Biawak dumeril (Varanus dumerilii) atau Brown Rough Necked, dumeril’s monitor.
Biawak merupakan hewan yang masuk dalam golongan kadal besar, dalam suku biawak-biawakan (varanidae). Di Indonesia terdapat banyak jenis biawak, tiga diantaranya adalah biawak kuning (Varanus melinus), biawak ekor biru (Varanus doreanus), dan biawak dumeril (Varanus dumerilii).
2.2 Penyebaran Daerah penyebaran biawak kuning (Varanus melinus) terutama di Indonesia bagian timur. Menurut Bohme & Zielger (1997) penyebaran biawak kuning
adalah di Kepulauan Maluku yakni Kepulauan Sula, dan Obi.
Berdasarkan Bayless & Adragna (1999) lebih dari 80% area di Maluku masih berupa hutan, dengan tipe hutan dataran rendah. Di Kepulauan Sula Varanus melinus terlihat di pulau Mangole dan Taliabu. Penyebaran biawak kuning dapat dilihat di Gambar 1.
4
U
S
Gambar 1 Penyebaran biawak kuning di Kepulauan Sula dan Obi. (Sumber : Anonim VI 2010).
Biawak ekor biru merupakan salah satu spesies biawak di Indonesia. Penyebarannya disekitar Indonesia bagian timur, yaitu Papua Nugini dan Australia (semenanjung Cape York). Berikut adalah gambar penyebaran dari spesies biawak ekor biru (Gambar 2).
Gambar 2 Penyebaran biawak ekor biru di sekitar Papua Nugini dan daratan Australia (lingkaran hitam). (Sumber : Anonim II 2008).
Biawak dumeril juga dapat dijumpai di Indonesia. Menurut Cox et al. (1998) diacu dalam dalam Yong et al. (2008) habitat biawak dumeril ini adalah di dataran rendah dan mangrove di kawasan Sunda Asia Tenggara. Biawak dumeril ini berasal dari Semenanjung Tanah Melayu, Sumatera, dan Kalimantan, termasuk Pulau Bangka, Belitung, dan Kepulauan Riau (Bennet 1995, diacu dalam Yong et al. 2008).
5
Gambar 3 Penyebaran biawak dumeril di kawasan Sunda Asia Tenggara (warna merah). (Sumber : Anonim V 2010)
2.3 Morfologi Biawak merupakan jenis kadal terbesar. Salah satu jenis biawak terbesar yang dapat ditemukan di Indonesia adalah komodo (Varanus komodoensis). Auffenberg (1981a) diacu dalam Bennet (1998) mengatakan biawak terkecil yang ditemukan adalah Varanus brevicauda dengan ukuran panjang kurang lebih 23 cm dan berat 20 g. Ditemukan juga biawak air asia (Varanus salvator) terpanjang di Sri lanka dengan panjang 321 cm. Ukuran tubuh biawak menunjukkan variasi yang banyak dibanding famili dari satwa lain (Pianka 1995) diacu dalam Bennet (1998). Famili yang termasuk dari dua jenis biawak yang berukuran besar yaitu Varanus komodoensis dan biawak terbesar yang pernah ada Megalinia prisca (Bennett 1998). Biawak kuning (Varanus melinus) adalah dari subgenera Euprepiosaurus, berdekatan dengan spesies Varanus indicus tetapi mudah dibedakan dari warna kuningnya. Panjang total dari spesies ini sekitar 80 – 120 cm. Biawak kuning memiliki ciri-ciri fisik badan berwarna kuning, lidah berwarna pink, bagian leher berwarna hitam dengan kepala batik (Anonim I 2010) dapat dilihat pada Gambar 4.
6
Gambar 4 Biawak kuning (Varanus melinus). (Sumber : Dokumen pribadi)
Untuk jenis biawak ekor biru anakan atau juvenile, panjang totalnya dapat mencapai 4-5 kaki (Anonim II
2010). Secara morfologi biawak ekor biru
memiliki ciri-ciri fisik seperti warna badan gelap kebiru-biruan dengan totol kuning, warna leher putih-kuning, warna ekor biru dengan pola garis vertikal (Gambar 5).
Gambar 5 Biawak ekor biru (Varanus doreanus). (Sumber : Dokumen pribadi)
Biawak dumeril secara keseluruhan memiliki tubuh berwarna cokelat. Pada fase anakan adalah warna terbaik biawak dumeril, karena memiliki warna yang unik yaitu kepalanya berwarna oranye dan tubuhnya berwarna cokelat. Ukuran tubuh biawak dumeril dewasa 100 - 135 cm (Anonim VII 2010).
7
Gambar 6 Biawak dumeril (Varanus dumerilii). (Sumber : Dokumen pribadi)
2.4 Habitat dan Makanan Habitat adalah suatu daerah yang merupakan kawasan yang terdiri dari berbagai komponen fisik dan biotik yang merupakan satu kesatuan dan dipergunakan sebagai tempat hidup dan berkembangbiak (Alikodra 1990). Biawak melakukan aktivitas di hutan rawa, karena pada tipe habitat ini biawak lebih mudah menjumpai mangsa yang sedang melakukan aktivitas mencari makan dan minum di sekitar daerah perairan (Iyai dan Pattiselano 2005). Biawak merupakan satwa predator, yaitu satwa pemangsa atau pemakan daging (karnivora). Menurut Bennet (1998) biawak memakan serangga, kerang, dan sisa-sisa ikan dari biawak dewasa, sedangkan biawak dewasa memakan ular, penyu, telur dan anak buaya, burung, katak, tikus, kera, rusa kecil, bangkai hewan dan bangkai manusia. Shine et al. (1998) menyatakan bahwa biawak memangsa jenis-jenis vertebrata seperti kucing, tikus, ayam dan jenis invertebrata seperti serangga dan kepiting. Jenis biawak kuning wilayah penyebarannya di kepulauan Maluku, Pulau Obi dan Pulau Sula dengan habitat hutan arboreal atau semi terestrial. Jenis makanan dari biawak kuning adalah tikus dan serangga (Anonim IV 2010). Biawak ekor biru tersebar di daerah timur yaitu Papua Nugini dan Australia, dan umumnya habitatnya berupa hutan terestrial. Jenis makanan biawak ekor biru adalah serangga, tikus, dan ikan (Anonim III 2010). Biawak dumeril tersebar di Semenanjung Malaysia dan pulau-pulau besar di Indonesia. Biawak dumeril hidup di habitat dataran rendah dan mangrove. Jenis makanan untuk biawak dumeril
8
antara lain serangga, kepiting, ikan, telur, mamalia kecil dan burung (Anonim VII 2010).
2.5 Perilaku Perilaku merupakan salah satu ekspresi yang ditunjukkan oleh satwa, terhadap faktor-faktor yang mempengaruhinya baik itu internal maupun eksternal (Suratmo 1979). Terdapat beberapa perbedaan sifat perilaku pada satwa yang dipelihara dan satwa liar. Perilaku dikelompokkan menjadi beberapa pola perilaku utama oleh Scott’s (1950) dalam Lehner (1979), yaitu : 1. Perilaku makan dan minum (ingestive behaviour) 2. Perilaku mencari tempat berlindung (shelter seeking) 3. Perilaku bertentangan (agonistic behaviour) 4. Perilaku memelihara (epimeletic behaviour) 5. Perilaku ingin dipelihara (et-epimeletic behaviour) 6. Perilaku meniru (allelomimetic behaviour) 7. Perilaku membuang kotoran (eliminative behaviour) 8. Perilaku memeriksa (investigate behaviour) Bentuk perilaku biawak yang sudah menjadi rutinitas harian adalah berjemur (basking). Menurut Gumilang (2002) basking dilakukan pada pagi hari sekitar pukul 07.30-10.00 WIB dan menjelang sore hari pada pukul 15.30-17.30 WIB dengan lama waktu rata-rata berjemur 87 menit. Menurut Bennet (1998), biawak biasanya tidak bersosialisasi dengan binatang lain. Biawak mempunyai kemampuan untuk mendeteksi kehadiran biawak lain dengan mencium bau yang ditinggalkan. Kegiatan berkelahi dapat juga merupakan suatu cara untuk menguji kekuatan biawak tanpa menimbulkan cedera yang serius terutama akibat gigitan. Ilustrasi bentuk perilaku sosial biawak seperti pada Gambar 7.
9
Gambar 7 Ilustrasi perilaku sosial biawak. (Sumber : Bennet 1993a)
2.6 Status Biawak kuning, biawak ekor biru dan biawak dumeril termasuk dalam daftar CITES. CITES atau singkatan dari Convention on International Trade in Endangered Species, adalah konferensi yang membahas mengenai status perlindungan satwa di dalam perdagangan. Status biawak kuning, biawak ekor biru, dan biawak dumeril masuk ke dalam kategori Appendiks II, yang artinya pemanfaatan hanya boleh dilakukan dari hasil penangkaran, dan pengambilan di alam jumlahnya dibatasi dengan kuota tertentu. Kurang lebih 10 juta berbagai jenis reptil dibunuh untuk dimanfaatkan kulit dan dagingnya yang dipercaya masyarakat dapat dijadikan sebagai obat. Indonesia merupakan salah satu pengekspor kulit reptil yaitu 83% dari kebutuhan kulit dunia dan 75% produk kulit tersebut berasal dari Kalimantan dan Sumatera (Endelen 1998, diacu dalam Gumilang 2001). 2.7 Prinsip Kesejahteraan Satwa (Animal Welfare) Didalam pengelolaan penangkaran harus memperhatikan lima prinsip umum kesejahteraan satwa liar, yaitu : 1. Bebas rasa lapar dan haus. 2. Bebas dari rasa tidak nyaman. 3. Bebas dari sakit, luka dan penyakit
10
4. Bebas berperilaku liar alami. 5. Bebas dari rasa takut dan stress.
2.8 Ektoparasit 2.8.1
Definisi Ektoparasit Ektoparasit merupakan organisme arthropoda atau invertebrata yang hidup
di bagian luar dari tempatnya bergantung, atau pada permukaan tubuh inangnya. Sebagian besar kelompok ektoparasit terdiri dari golongan serangga (kelas Insekta), dan lainnya adalah kelompok Acari (kelas Arachnida) seperti caplak atau sengkenit, dan tungau (Borror et al. 1992). Perbedaan utama morfologi antara kelas Insekta dan kelas Arachnida (Borror et al. 1992) adalah insekta memiliki bentuk tubuh memanjang seperti tabung dilengkapi sayap, dan tubuhnya terbagi atas tiga bagian yaitu kepala, toraks, dan abdomen, sedangkan kelas Arachnida khususnya kelompok Acari memiliki ciri tubuh bulat telur, dengan sedikit atau tidak ada perbedaan dari dua daerah tubuh (dorsal dan ventral), secara umum pada stadium larva mempunyai tiga pasang tungkai, setelah stadium dewasa mempunyai empat pasang tungkai dan tidak dilengkapi sayap. Ektoparasit yang banyak dijumpai di Indonesia antara lain adalah kelas serangga seperti nyamuk dan lalat (Diptera), kecoa (Dictyoptera), kutu (Phtiraptera), kutu busuk (Hemiptera), dan pinjal (Siphonaptera) serta kelas arachnida seperti tungau dan caplak (Hadi & Soviana 2000). Menurut Wall & Shearer (2001) terdapat dua sifat ektoparasit, yaitu ektoparasit yang sangat bergantung terhadap inangnya disebut obligat, dan ektoparasit yang tidak terlalu tergantung terhadap inangnya disebut fakultatif.
2.8.2
Ektoparasit pada Reptil Ular, kadal, kura-kura, dan biawak memiliki variasi masing-masing dalam
jenis parasit. Jenis ektoparasit pada reptil liar sangat banyak ragamnya menurut Soifer (1977) (Tabel 1).
11
Tabel 1 Ragam jenis ektoparasit pada reptil No 1
Ektoparasit Tungau, seperti : Ophionyssus matricus
2
Caplak. Seperti : Ornithodorus sp., Amblyoma sp.
3
Calliphoridae (lalat hijau),yang menyebabkan miasis, seperti : Cuterebra sp. Sarcophaga sp. Calllitroga sp.
4
Lintah: terutama pada reptil yang bersifat akuatik, khususnya kura-kura.
5
Chiggers (larva tungau) : tungau dari famili Trombiculidae
2.8.3
Caplak (tick) Caplak terdiri dari dua famili, salah satunya yaitu Ixodidae (caplak keras).
Ixodidae disebut caplak keras karena memiliki keping dorsal atau skutum dan merupakan caplak penghisap darah yang memiliki kapitulum di ujung kepala pada semua stadium. Ukuran atau besar skutum ini juga dapat memperlihatkan perbedaan kelamin. Pada caplak jantan, skutum menutupi seluruh permukaan dorsal dari tubuhnya, sedangkan pada caplak betina skutum hanya menutupi sebagian dorsal permukaan tubuh. Siklus hidup terdiri dari empat stadium yaitu telur, kemudian selang beberapa hari akan berubah menjadi larva. Setelah kurang lebih dua minggu larva dengan kaki tiga pasang akan berubah menjadi nimfa. Stadium yang terakhir adalah perubahan nimfa menjadi dewasa setelah menghisap darah inang selama 4-8 hari. Pada saat menghisap darah caplak akan melakukan fase engorged, yaitu fase caplak menghisap darah hingga terlepas dari inangnya. Variasi siklus hidup caplak tergantung dari tipe berumah satu, dua, dan tiga. Berumah satu, dua, dan tiga tergantung dari berapa kali mereka jatuh di tanah dan mencari inang baru untuk menyilih/moulting (Levine 1990). Berikut adalah morfologi yang memperlihatkan bagian-bagian tubuh caplak (Gambar 8).
12
Palpus Kapitulum Mata Scutum
Keping tengah Spirakulum Anus Keping adanal Keping anal
Festoon
Punggung (dorsal)
Perut (ventral)
Gambar 8 Caplak keras dari famili Ixodidae. (Sumber: Hadi et al. 2008)
Infestasi caplak dapat membahayakan satwa dan manusia di sekitarnya. Hal ini disebabkan caplak dapat berperan sebagai agen pembawa penyakit (vektor) yang menularkan kepada manusia ataupun satwa di sekitarnya. Enam jenis penyakit yang dibawa oleh caplak menurut Wooley (1988), yaitu : 1. Rickettsiosis oleh patogen Rickettsial : Rocky Mountain Spotted Fever (RMSF) ; Japanese river fever, penyakit Tsutsugamushi 2. Colorado tick fever oleh Virus 3. Bakteri, spirochaetal : demam 4. Babesia bigemina oleh Protozoan 5. Infeksi kecacingan. 6. Tick paralysis yakni penurunan aktifitas motorik / kelumpuhan akibat sekresi saliva yang bersifat neurotoksik (racun saraf). Caplak juga
memiliki beberapa kemampuan yang meningkatkan
berpotensinya menjadi vektor. Menurut Wooley (1988) terdapat beberapa hal yang menyebabkan caplak unggul sebagai vektor, yaitu : 1. Saliva yang diberikan memberikan narcotizing efek dan bersifat mematikan. 2. Caplak menghisap darah dan harus memiliki persediaan makanan untuk berkembang.
13
3. Caplak keras menghisap darah dengan lambat dan membutuhkan waktu beberapa hari untuk caplak betina mencapai engorged, kemungkinan sangat besar patogen akan masuk ke dalam tubuh inang. 4. Narcotizing efek dari saliva membuat keberadaan caplak tidak dirasakan oleh inangnya. 5. Caplak dapat hidup pada lingkungan yang ekstrim dan dapat bertahan dalam beberapa periode tanpa makanan. 6. Caplak dapat menurunkan agen penyakit secara transovarial (pada telur) dan secara transtadial (pada stadium larva ke stadium nimfa, pada stadium nimfa ke stadium dewasa).
III. METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian dilakukan di penangkaran PT. Mega Citrindo di Desa Curug RT01/RW03, Kecamatan Gunung Sindur, Kabupaten Bogor dan Laboratorium Entomologi Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor, Kampus IPB Darmaga. Waktu pelaksanaan dimulai dari bulan Juli hingga Agustus 2010.
3.2 Alat dan Bahan 3.2.1 Alat dan Bahan Pengambilan Data Lapang Berikut adalah peralatan yang digunakan didalam pengambilan data di lapang (Tabel 2). Tabel 2 Peralatan penelitian lapangan No
Nama Alat
Kegunaan
1
Kamera digital
Mengambil kegiatan
gambar
kandang,
manajemen
biawak,
kandang,
dan
ektoparasit 2
Pencapit / Hook
Menangkap biawak
3
Stopwatch
Mengukur waktu perilaku biawak
4
Botol spesimen
Menyimpan ektoparasit yang ditemukan
5
Pinset
Mengambil ektoparasit
6
Label
Untuk informasi atau keterangan
7
Termometer dry wet
Mengukur suhu dan kelembapan kandang
8
Box
Untuk menyimpan alat-alat
9
Meteran Jahit
Alat untuk mengukur
Bahan-bahan yang digunakan adalah alkohol 70%, biawak kuning, biawak ekor biru, dan biawak dumeril. 3.2.2
Alat dan Bahan Pengawetan Identifikasi Spesimen Ektoparasit Alat-alat yang digunakan saat proses pengawetan dan identifikasi
ditujukan pada Tabel 3.
16
Tabel 3 Peralatan pengawetan dan identifikasi ektoparasit No
Nama Alat
Kegunaan
1
Microskop Zeiss stereo (3D)
Melihat bentuk ektoparasit khususnya caplak yang belum diawetkan ke dalam preparat kaca
2
Mikroskop Bausch & Lomb
Melihat bentuk ektoprasit yang sudah dibuat kedalam preparat kaca
3
Bunsen
Alat pemanas
4
Korek api
Alat pembakar
5
Oven
Mengeringkan preparat yang masih basah
6
Tabung reaksi
Wadah untuk ektoparasit
7
Cawan petri
Wadah untuk melihat ektoparasit
8
Buku Ektoparasit (Hadi et al.
Untuk mengidentifikasi ektoparasit
(2008), Levine (1990), Kolonin (2009)) 9
Preparat kaca dan cover glass
Tempat untuk ektoparasit diawetkan
Bahan yang digunakan adalah alkohol 70%, 80%, dan 90% untuk mendehidrasikan ektoparasit. Kalium Hidroksida (KOH) 10 % untuk menipiskan lapisan kitin pada ektoparasit, xylol untuk membersihkan kotoran di dalam tubuh, larutan lactophenol untuk membersihkan kitin pada tungau, minyak cengkeh, larutan Hoyer, dan Canada balsam. Selain itu bahan lainnya adalah spesimen caplak dan tungau yang ditemukan pada biawak.
3.3 Metode Pengambilan Data 3.3.1 Pengambilan Spesimen Ektoparasit A. Koleksi Metode yang digunakan adalah koleksi ektoparasit pada tubuh biawak. Pengambilan ektoparasit dilakukan secara manual, dan diambil dari beberapa bagian tubuh (daerah pengambilan spesimen) yang dibagi menjadi empat regio, yaitu kepala (leher hingga kepala) pada regio I, kaki (sepasang kaki depan dan kaki belakang) pada regio II, badan bagian punggung (dorsal) dan perut (ventral) pada regio III dan ekor pada regio IV. Ilustrasi pada Gambar 9.
17
Ektoparasit yang telah tertangkap dimasukkan ke dalam tabung spesimen yang telah diisi dengan alkohol 70% dan di beri label sesuai dengan regio tubuhnya untuk diawetkan.
I
IV III II
Keterangan : I = regio kepala, II = regio kaki, III = regio badan (punggung dan perut), IV = ekor
Gambar 9 Pembagian tubuh biawak (regio) dalam koleksi ektoparasit. B. Pengawetan Spesimen Spesimen
ektoparasit
yang
telah
didapat
selanjutnya
dilakukan
pengawetan dengan dua cara yaitu pengawetan basah dan kering. Tata cara pengawetan tercantum dalam Hadi et al. (2008). Untuk pengawetan basah dilakukan dengan cara menyimpan spesimen ektoparasit dalam tabung yang berisi alkohol 70%. Untuk pengawetan kering dilakukan dengan menyimpan spesimen ektoparasit dalam keadaan kering di dalam kaca preparat. Tata cara pembuatan slide preparat untuk spesimen kutu dan tungau hampir sama, perbedaannya hanya terletak pada lapisan penipis kitinnya. Spesimen diawetkan dengan cara dimasukkan ke dalam larutan alkohol 70%, kemudian spesimen dimasukkan ke dalam kalium hidroksida (KOH) 10% agar lapisan kitinnya menipis. Proses tersebut dipercepat dengan pemanasan, tetapi tidak sampai mendidih. Setelah itu, spesimen dibilas dengan air sampai bersih. Apabila ada bagian yang menggembung, dapat ditusuk dengan jarum supaya isinya keluar. Spesimen didehidrasi bertingkat mulai dari alkohol 70%, 80%, 90% selama 10 menit pada masing-masing tingkatan. Lalu spesimen dicuci dengan xylol sampai bersih. Untuk tungau, spesimen dibunuh dengan alkohol 70%. Spesimen direndam dalam larutan laktofenol agar lapisan kitinnya menipis dan jaringan internal menjadi lembek. Selanjutnya, spesimen dimasukkan kaca
18
preparat dengan media balsam canada untuk caplak, dan larutan hoyer untuk tungau.
C. Identifikasi Spesimen Spesimen untuk kepentingan identifikasi harus berada dalam kondisi utuh, artinya karakteristik morfologi yang dibutuhkan untuk proses identifikasi dalam kondisi baik dan lengkap. Identifikasi dilakukan dengan pemberian identitas pada spesimen
sesuai
urutan
taksonominya,
kemudian
dilakukan
penentuan
pengelompokan berdasarkan subordo, famili, genus dan spesies. Kunci identifikasi yang digunakan adalah buku panduan praktikum Hadi (2008), Elbl dan Anastos (1966a, 1966b), dan Levine (1990). Identifikasi ektoparasit dilakukan di Laboratorium Entomologi Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.
3.3.2 Pengamatan Habitat Ektoparasit Metode yang digunakan adalah dengan mengamati tempat-tempat di dalam kandang seperti lantai kandang dan batang pohon, yang berpotensi menjadi tempat berkembang biak ektoparasit.Di dalam penangkaran PT. Mega Citrindo terdapat kandang biawak kuning yang berisi beberapa biawak , dan di dalamnya terdapat batang-batang pohon besar dan beberapa jenis tumbuhan. Biawak ekor biru terdiri dari tujuh kandang. Di setiap kandang terdapat batang-batang pohon besar, tempat berendam sekaligus tempat untuk minum, dan ukuran kandang tidak sebesar kandang biawak kuning karena di dalam kandang hanya terdapat dari dua sampai tiga ekor biawak. Biawak dumeril terdiri dari dua kandang. Berbeda dengan biawak kuning dan ekor biru, kandang biawak dumeril hanya terdapat batang pohon dan tempat berendam. Jumlah biawak dumeril ini sebanyak dua ekor, jantan dan betina. Masing-masing dipisah dalam satu kandang.
3.3.3 Pengamatan Sistem Manajemen Penangkaran Metode yang digunakan adalah dengan mengolah data sekunder. Data yang diolah meliputi beberapa aspek yaitu pengelolaan kandang, pemeliharaan
19
biawak, dan pemberian pakan. Selain pengamatan juga dilakukan wawancara informal. Wawancara informal dilakukan kepada pihak pengelola, diantaranya pemilik PT. Mega Citrindo, dan animal keeper di kandang biawak kuning, biawak ekor biru, dan biawak dumeril.
3.3.4 Pengamatan Perilaku Harian Pengamatan perilaku menggunakan ad libitum sampling, yaitu pengamat mencatat setiap perilaku yang dilihat untuk mendapat gambaran perilaku (Peebles 1994). Pencatatan mengenai perilaku ini dilakukan menggunakan metode Time Sampling dengan interval 10 menit mengamati kondisi fisik dan perilaku harian. Tahap pertama dilakukan dari pukul 08.00-09.00 WIB dan tahap kedua dilakukan dari pukul 14.00-15.00 WIB.
3.4 Analisis Data 3.4.1
Analisis deskriptif Penjelasan mengenai fenomena-fenomena yang terjadi pada aspek
penangkaran biawak kuning, biawak ekor biru, dan biawak dumeril di lokasi penangkaran.
3.4.2
Analisis kuantitatif Berupa perhitungan dari hasil pengambilan data spesimen ektoparasit
ektoparasit dengan membuat pengelompokan jumlah dari tiap regio-regio pada setiap jenis biawak. Data ditabulasikan dengan Derajat Infestasi ektoparasit secara destriptif, yaitu negatif (-) menunjukkan tidak ada ektoparasit yang menginfeksi; positif satu (+) adalah satu sampai lima ektoparasit (infestasi ringan); positif dua (++), enam sampai sepuluh ektoparasit (infestasi sedang); dan positif tiga (+++), lebih dari sebelas ektoparasit (infestasi tinggi).
IV. KONDISI UMUM LOKASI 4.1 Lokasi PT. Mega Citrindo berada di jalan Mutiara VII/31 Desa Curug, Kecamatan Gunung Sindur, Kabupaten Bogor, Jawa Barat dengan luas total 2860 m³. PT. Mega Citrindo terletak pada ketinggian 1100 mdpl dan terdiri dari bangunan kandang permanen, semi permanen dan kolam penampungan.
4.2 Topografi Lahan disekitarnya umumnya agak miring dengan rata-rata kelerengan antara 0-11%.
4.3. Sejarah Perusahaan ini umumnya bergerak pada bidang penampungan dan ekonomi sehingga hanya bertindak sebagai pengumpul satwa reptil saja dan ditampung yang kemudian akan diekspor keluar negeri. Untuk memenuhi permintaan pasar konsumen, reptil diambil langsung dari daerah-daerah atau ditempat-tempat penampungan lainnya. Untuk menghindari kematian satwa pada penampungan biasanya pihak pengelola menerapkan aturan bahwa satwa yang akan dikirim selalu disesuaikan dengan pemesanan atau permintaan. PT. Mega Citrindo ini pada umumnya bergerak dalam bidang perdagangan reptil yang dilindungi undang-undang ataupun yang tidak dilindungi undangundang. Orientasi kegiatan eksport reptil ini berdasarkan peraturan pemerintah, yaitu Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam No 100/KPTS/DJ-IV/2001 tentang penangkaran. Maksud dan tujuan dari perusahaan ini adalah untuk pemanfaatan sumberdaya alam hayati dengan keperluan ekonomi, karena perusahaan ini pada awalnya hanya mengekspor satwa yang diambil dari alam atau dari pihak suplier. Namun saat ini ada jenis-jenis satwa tertentu seperti biawak, tokek, kura-kura dan jenis ular tertentu serta jenis satwa lainnya yang dikembangbiakan di lokasi tersebut.
21
Manfaat dari usaha ini adalah untuk memanfaatkan sumberdaya alam secara lestari dan berkesinambungan sebagai wujud peningkatan ekspor di luar migas dalam jenis ekspor komoditi khusus yaitu satwa. Jenis penampungan ini dilakukan secara intensif karena dari segi pengelolaannya, semua disediakan oleh pihak pengelola dengan satwa yang didatangkan dari alam atau penampungan lain dengan berbagai ukuran dan rata-rata masih bersifat liar. Berikut adalah gambar struktur organisasi perusahaan PT. Mega Citrindo (Gambar 10). Direktur Kepala Administrasi
Bagian Kandang
Penjaga kandang kadal,bunglon dan tokek
Bagian Kebersihan
Penjaga kandang Biawak
Penjaga kandang Ular
Gambar 10 Struktur organisasi PT. Mega Citrindo.
Penjaga kandang Kura-kura
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Ragam Jenis Ektoparasit pada Biawak. 5.1.1
Biawak Kuning (Varanus melinus) Jumlah biawak kuning di dalam kandang kurang lebih terdapat 13 ekor,
namun koleksi ektoparasit dilakukan terhadap empat ekor biawak sebagai sampel. Pada biawak kuning tidak ditemukan caplak, namun satu dari empat biawak yang diambil ditemukan tungau di sekitar kloaka. Berdasarkan hasil identifikasi, jenis tungau yang ditemukan berasal dari famili Macrochelidae. Struktur tubuh tungau seperti yang ditunjukkan pada Gambar 11.
Keterangan : perbesaran 250x
Gambar 11 Tungau Macrochelidae yang ditemukan pada biawak kuning.
Tungau dari famili Macrochelidae ini umum ditemukan pada setiap feses hewan. Menurut Krantz (1998) Macrochelidae merupakan tungau kosmopolitan, banyak yang ditemukan di habitat yang spesifik, sering juga ditemukan di habitat yang tidak stabil. Famili ini berasosiasi dengan kumbang feses. Menurut Hartini dan Takaku (2003), terdapat dua belas jenis tungau Macrochelidae dari genus Macrocheles yang ditemukan di Indonesia, diantaranya adalah Macrocheles jabarensis, M. sukabumiensis, dan
M. jonggolensis. Menurut Levine (1990)
secara umum siklus hidup tungau terdiri dari telur, lalu berubah menjadi larva. Larva akan berganti kulit menjadi protonimfa, selang beberapa hari akan berubah menjadi deutonimfa hingga akhirnya mencapai stadium dewasa.
23
Penelitian Katiaho dan Simmons (2000) mengatakan tungau jenis Marchoceles merdarius dari famili Macrochelidae yang berasosiasi dengan kumbang feses Onthophagus binodis, menyebabkan kumbang jantan yang terinfestasi Macrocheles merdarius
mati
rata-rata 15 hari lebih cepat
dibandingkan dengan kumbang jantan yang tidak terinfestasi.
5.1.2
Biawak Ekor Biru (Varanus doreanus) Jumlah populasi biawak ekor biru kurang lebih 18 ekor yang dipelihara
dalam tujuh kandang. Berdasarkan hasil pengambilan sampel biawak ekor biru didapatkan ektoparasit jenis caplak dari genus Aponomma dan genus Amblyomma. Berikut adalah jumlah caplak per regionya yang ditujukkan di Tabel 4.
Tabel 4 Infestasi dan sebaran caplak tiap regio biawak ekor biru Jenis
Regio
Biawak
V. doreanus
Individu 1
2
3
4
5
6
7
Kepala
-
-
-
-
-
-
-
Kaki depan
-
-
-
-
-
-
-
Kaki belakang
+
-
-
-
-
-
-
Ekor
-
-
+
-
-
-
-
Punggung
-
+++
-
+
-
-
-
Perut
-
-
+
-
+
+
++
Keterangan : - = tidak ada, + = 1-5 , ++ = 6-10 , +++ = >11
Ektoparasit diambil dari tujuh ekor biawak. Masing-masing pengambilan sampel dilakukan sebanyak satu kali ulangan. Tabel hasil menunjukkan letak caplak yang paling sering dijumpai adalah di regio perut (Gambar 12b), ditemui pada individu 3, 5, 6 dan 7. Selain ditemukan di perut caplak juga ditemukan di kaki belakang (Gambar 12c) , ekor, dan punggung. Pada kaki belakang, caplak ditemukan di daerah sekitar ketiak sedangkan pada ekor dan punggung, caplak ditemukan di lipatan-lipatan kulit dan diantara sisik-sisik kulit biawak. Beberapa jenis caplak ada yang menyerupai sisik biawak. Pada tabel 4 terlihat bahwa derajat infestasi yang beragam di setiap regio pada beberapa individu. Derajat infestasi tinggi pada individu kedua di punggung, (gambar 12b). Caplak pada regio tubuh ini relatif masih kecil-kecil dibandingkan
24
dengan regio lainnya. Derajat infestasi sedang pada individu ketujuh di regio perut. Sedangkan untuk beberapa regio lainnya pada setiap individu masih dalam derajat infestasi ringan.
c a
b
Gambar 12 Letak caplak yang ditemukan pada biawak : (a) punggung (b) perut (c) kaki belakang.
Caplak yang ditemukan pada biawak ekor biru adalah genus Aponomma dan genus Amblyomma :
(a)
(b)
(c)
Keterangan : perbesaran 25x
Gambar 13 Caplak yang ditemukan pada biawak ekor biru : (a) Amblyomma sp ♀. (b) Aponomma sp ♀, (c) Aponomma sp. ♂
25
Caplak Aponomma sp. hampir ditemukan diseluruh regio biawak ekor biru. Dibandingkan dengan genus Amblyomma sp. yang terbatas pada biawak ekor biru. Oleh karena itu untuk memudahkan dalam proses identifikasi maka caplakcaplak yang sudah didapat dibuat preparat, agar tubuhnya dapat terlihat. 5.1.3
Biawak Dumeril (Varanus dumerilii) Biawak dumeril yang ada di penangkaran PT. Mega Citrindo berjumlah
dua ekor yang berjenis kelamin jantan dan betina. Dibandingkan dengan biawak ekor biru, jumlah caplak pada biawak dumeril lebih sedikit. Dari data hasil ditemukan caplak di kaki depan dan badan atas. Tabel 5 menunjukkan jumlah caplak yang ditemukan di biawak dumeril.
Tabel 5 Infestasi dan sebaran caplak tiap regio biawak dumerili. Jenis Biawak
V. dumerilii
Regio
Individu 1
2
Kepala
-
-
Kaki depan
-
++
Kaki belakang
-
-
Ekor
-
-
Punggung
+
-
Perut
-
-
Keterangan : - = tidak ada, + = 1-5 , ++ = 6-10 , +++ = >11
Berdasarkan dari tabel di atas, sampel yang diambil sebanyak dua ekor biawak dumeril dengan masing-masing pengambilan sebanyak satu kali. Tabel 5 menunjukkan bahwa pada biawak individu pertama caplak hanya ditemukan di punggung dengan derajat infestasi ringan, sedangkan pada biawak kedua ditemukan di bagian kaki depan dengan derajat infestasi sedang. Caplak yang ditemukan pada biawak dumeril hanya dari genus Aponomma (Gambar 13b dan 13c). Pada reptil, caplak yang umumnya ditemukan adalah dari genus Aponomma dan Amblyomma. Perbedaan secara morfologi yang menjadi dasar kunci identifikasi antara Aponomma sp. dengan Amblyomma sp. adalah adanya mata. Aponomma sp. tidak memiliki mata sedangkan Amblyomma sp. memiliki
26
mata. Aponomma sp. dan Amblyomma sp. sama-sama memiliki palpus yang panjang. (Levine 1990). Menurut Levine (1990) genus Amblyomma biasanya ornata (memiliki hiasan skutum), memiliki palpus panjang, terutama segmen kedua. Sedangkan genus Aponomma memiliki bentuk oval, termasuk ke dalam caplak ornata dan inornata, parasit terhadap ular-ular besar dan biawak, dan memiliki spesifikasi inang sehingga apabila ditemukan bukan pada inang definitifnya maka itu suatu kebetulan / accidental (Elbl dan Anastos 1966). Beberapa jenis caplak yang juga ditemukan pada reptil yaitu pada ular besar famili Boidae yaitu caplak jenis Aponomma latum dan Aponomma transversale. Pada ular beracun famili Viperidae dan Elabidae ditemukan
caplak jenis
Aponomma latum (Tandon 1991). Menurut Tandon (1991) genus Aponomma sp. yang ditemukan pada biawak adalah jenis Aponomma exornatum dan untuk genus Amblyomma sp. menurut Theiler (1962) dalam Tandon (1991) jenis Amblyomma marmoreum baik pada stadium dewasa dan larva. Sedangkan menurut Elbl dan Anastos (1966a) jenis caplak yang ditemukan pada Varanus sp. adalah Amblyomma nuttali. Aponomma exornatum, Amblyomma marmoreum dan Amblyomma nuttali penyebarannya meliputi Negara Republik Afrika Selatan dan sekitarnya Kolonin (2009) mengatakan caplak yang terdapat pada famili Varanidae di Indonesia antara lain Amblyomma robinsori, Amblyomma helvolum, Aponomma soembawensis, Aponomma trimaculatum, Aponomma fibriatum, dan Aponomma varenense.
Amblyomma robinsori wilayah penyebarannya di Pulau Komodo.
Amblyomma helvolum wilayah penyebarannya di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Pulau Komodo, Flores, dan Tanimbar. Aponomma soembawensis penyebarannya di Pulau Sumba, Sumbawa, Semau, Timor, dan Sabu. Aponomma trimaculatum wilayah penyebarannya di Sulawesi, Tornate, Liki, Aru, Seram, dan Pulau Simelue. Aponomma fibriatum wilayah penyebarannya di Pulau Sulawesi dan Kalimantan. Dan Aponomma varenense wilayah penyebarannya di Sumatra, Jawa, dan Kalimantan. Aponomma sp. dan Amblyomma sp. termasuk famili Ixodidae yaitu golongan caplak keras, dan ordo Acarina. Baik genus Aponomma maupun Amblyomma termasuk ke dalam caplak berumah tiga (Elbl & Anastos 1966a,
27
Kolonin 2009). Menurut Levine (1990) Amblyomma sp. memiliki inang yang sama untuk setiap stadium. Menurut Elbl dan Anastos (1996b) stadium nimfa dan larva pada Aponomma sp kadang-kadang berada pada inang yang sama, bersama dengan yang dewasa. Caplak Amblyomma americanum dapat bertelur 1.000 hingga 8.000 butir. Secara umum caplak memiliki ukuran tubuh 0,3-1 cm, dan dapat bertambah besar apabila sudah menghisap darah (Levine 1990). Di alam caplak memiliki variasi inang yang lebih banyak dibandingkan di dalam penangkaran, sehingga terdapat kemungkinan adanya perbedaan inang di setiap stadium. Menurut Kolonin (2009) Amblyomma javanense hampir seluruh stadiumnya ditemukan pada trenggiling, dan kadang-kadang juga ditemukan pada inang yang lain yaitu ular, biawak, dan mamalia. Infestasi caplak pada satwa memberikan dampak negatif untuk kesehatan satwa. Akibat dari infestasi ektoparasit antara lain kekurangan darah (anemia), kerusakan kulit atau iritasi, alergi sehingga menyakiti diri sendiri atau self wounding dengan mencakar atau pun menggigit bagian tubuh yang terasa gatal akibat ektoparasit (Wall & Shearer 2001). Menurut Hoogstraal (1956a) caplak Aponomma exornatum sebagai vektor penyakit demam Q (Q fever) yang disebabkan oleh bakteri patogen intraseluler Coxiella burnetii, A. exornatum juga transmitter bermacam-macam hemogregarines (Elbl dan Anastos 1996b) yakni organisme uniselular bersifat parasit pada sel darah merah, dan menyerang vertebrata berdarah dingin (Merino et al 2008).
5.2 Manajemen Penangkaran 5.2.1
Kondisi Kandang Kandang merupakan salah satu aspek penting bagi kesejahteraan hidup
satwa, karena semua aktivitas satwa dilakukan di dalam kandang. Kondisi kandang yang baik adalah kandang yang dibuat sesuai dengan habitat aslinya, dengan tujuan agar satwa dapat mengekspresikan perilakunya seperti di alam. Selain itu kandang yang baik juga harus memperhatikan kualitas kekayaan kandang seperti batang kayu, tempat minum, shelter, tempat memanjat, dan fasilitas lainnya yang mendukung perilaku satwa.
28
a. Jenis, Bentuk, dan Ukuran kandang Keputusan Kepala Badan Karantina Pertanian (2008) menyebutkan bahwa terdapat beberapa persyaratan dalam ukuran dan struktur kandang untuk amfibi dan reptil, diantaranya yaitu : 1. Cukup ruang untuk bergerak dalam posisi normal. 2. Dapat menjaga hewan tetap kering, tidak kontak dengan kotoran dan sisa pakan-minum. 3. Sesuai ukuran/berat dan regulasi. 4. Struktur sesuai sifat biologis spesies. Jenis kandang di PT. Mega Citrindo terdiri dari dua jenis kandang yang disesuaikan dengan fungsi masing-masing kandang. Kandang permanen berfungsi sebagai tempat indukan remaja, dan dewasa. Kandang boks berfungsi sebagai tempat penampung anakan. Saat melakukan wawancara dengan keeper kandang boks berfungsi juga sebagai tempat penampung biawak dewasa yang cacat fisiknya, karena jika disatukan di dalam kandang permanen ada kemungkinan bersaing dengan biawak lainnya. Kandang biawak ekor biru dan biawak dumeril memiliki bentuk kandang yang tidak jauh berbeda yaitu segi empat. Sedangkan untuk biawak kuning memiliki bentuk kandang segi empat dengan pola yang berbeda di tiap sisi-sisinya. Komposisi kandang permanen dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6 Komposisi kandang permanen No
Komposisi
Kandang Permanen Biawak kuning
Biawak ekor biru Biawak dumeril Campuran semen, Campuran semen, Campuran semen, kawat loket, substrat kawat loket, substrat kawat loket, substrat pasir, kerikil dan tanah lantai semen batu-batuan
1
Bahan kandang
2
Ukuran kandang (p x l x t) cm
600 x 750 x 170
200 x 300 x 200
200 x 300 x 150
3
Jumlah kandang
1 unit
7 unit
2 unit
4
Jumlah biawak
± 13 ekor
2 ekor
1 ekor
Biawak kuning dewasa hidup bersama-sama di dalam satu kandang besar, dengan jumlah individu kurang lebih 13 ekor, oleh karena itu ukuran kandang
29
biawak kuning lebih besar dibandingkan dengan kandang biawak lainnya. Biawak kuning memiliki ukuran kandang dengan panjang 400 cm, lebar 750 cm, dan tinggi 170 cm. Bahan kandang biawak kuning terbuat dari campuran semen, untuk pengamanan kandang menggunakan kawat loket di setiap sisi kandang dengan lubang berbentuk persegi 1 cm x 1 cm, dan gembok kecil di pintu luar. Substrat yang digunakan adalah tanah dan sebagian lantai semen. Kandang tidak memiliki atap tertutup, sehingga cahaya matahari dapat masuk dengan mudah. Gambar kandang biawak kuning dapat dilihat di bawah ini (Gambar 14).
Gambar 14 Kandang permanen biawak kuning.
Kandang biawak ekor biru terdiri dari tujuh unit. Di dalam setiap kandang terdapat 2-3 ekor biawak ekor biru. Bahan kandang biawak ekor biru terbuat dari campuran semen dan kawat loket. Sebagian atap dari kandang ditutupi oleh asbes, ini menyebabkan sinar matahari tidak sepenuhnya masuk ke dalam kandang sehingga rentan bagi biawak ekor biru untuk terkena penyakit. Ukuran kandang biawak ekor biru panjang 200 cm, lebar 300 cm, dan tinggi 200 cm. Substrat yang digunakan adalah batu-batuan, kerikil dan pasir. Bentuk kandang biawak ekor biru dapat dilihat pada Gambar 15.
30
Gambar 15 Kandang permanen biawak ekor biru. Ukuran dan bentuk kandang biawak dumeril tidak begitu berbeda dengan ukuran kandang biawak ekor biru. Kandang biawak dumeril terdiri dari dua unit, masing-masing kandang ditempati oleh satu ekor biawak dumeril. Pengelola kandang memisahkan kandang biawak dumeril jantan dan biawak dumeril betina. Hal ini dikarenakan biawak betina lebih agresif menyerang biawak jantan, pemisahan kandang bertujuan untuk mengurangi luka fisik pada biawak jantan maupun betina. Biawak dumeril memiliki ukuran kandang dengan panjang 200 cm, lebar 300 cm, dan tinggi 150 cm. Atap kandang sebagian ditutup oleh asbes. Substrat tidak menggunakan tanah ataupun pasir, melainkan hanya menggunakan lantai semen. Berikut adalah kondisi kandang biawak dumeril pada Gambar 16.
Gambar 16 Kandang permanen biawak dumeril.
31
Kandang boks di PT. Mega Citrindo berfungsi sebagai kandang sementara untuk anakan. Tabel 7 menunjukkan komposisi kandang boks. Tabel 7 Komposisi kandang boks No
1
2
3
Komposisi
Kandang boks Boks
Bahan kandang
plastik,
substrat
kertas koran
Ukuran kandang (p x l x t) cm
Besar : 64 x 35 x 32 Sedang : 43 x 30 x 29 Kecil : 41 x 28 x 18
Fungsi
Penampung anakan
Bahan kandang terbuat dari plastik, dan untuk substrat yang dipakai adalah kertas koran. Kertas koran ini berfungsi sebagai alas untuk biawak anakan. Kandang yang digunakan sudah disesuaikan dengan ukuran tubuh masing-masing biawak anakan. Kandang boks untuk biawak jumlahnya sekitar 200 boks. Menurut hasil wawancara dengan pemilik penangkaran, kandang boks ini hanya sebagai kandang sementara untuk anakan karena kurang dari satu minggu anakan biawak akan langsung dikirim ke pihak pemesan. Berikut adalah gambar kandang boks (Gambar 17)
a
b
c
Gambar 17 Kandang boks ukuran: (a) besar, (b) sedang, (c) kecil.
32
b. Konstruksi Kandang Kandang yang baik adalah kandang yang dibuat dengan konstruksi yang kokoh. Hasil pengamatan ditempat penelitian, PT. Mega Citrindo mempunyai kandang permanen yang bervariasi yang disesuaikan dengan fungsi masingmasing kandang. Hampir seluruh kandang permanen dibuat dari campuran semen, dengan kondisi yang kurang baik karena di setiap sudut kandang ditumbuhi banyak lumut. Hal ini disebabkan karena kelembaban yang cukup tinggi di PT. Mega Citrindo. Kandang permanen di PT. Mega Citrindo terbuat dari rangka besi yang kokoh. Menurut Keputusan Kepala Badan Karantina Pertanian (2008) terdapat pedoman yang harus dipenuhi dalam kontruksi kandang pada reptil, yaitu : 1. Kandang harus mudah dibersihkan. 2. Lantai harus kuat dan mudah dibersihkan , dapat menjamin sanitasi dan higienis. 3. Atap harus menutupi keseluruhan atau sebagian kandang, dan tidak mudah bocor. 4. Kemiringan atap harus diatur, agar pada saat hujan air tidak meluncur masuk ke dalam kandang. 5. Tinggi bangunan harus disesuaikan, agar tetap menjaga sirkulasi udara. 6. Ventilasi kandang harus dibuat sesuai dengan tempat dan kebutuhan jenis reptil atau amfibi. 7. Dinding kandang harus kokoh, untuk keamanan kandang. 8. Letak bangunan harus dibuat dengan strategis, untuk memudahkan kegiatan sehari-hari. Kandang boks atau kandang sementara terbuat dari plastik dengan rangka yang kokoh. Ventilasi atau lubang udara pada kandang boks yaitu pada tutup yang sudah dilubangi. Menurut Maulidzar (2010) pertimbangan boks plastik sebagai bahan kandang, didasarkan bahwa bahan tersebut memenuhi syarat perkandangan yang baik diantaranya : 1. Berdinding kuat, aman dari gangguan satwa lain, dan dapat dilihat dari luar. 2. Mudah diperoleh ketika dibutuhkan.
33
3. Mudah dibersihkan dan memiliki penampilan yang menarik untuk koleksi reptil.
c. Pengkayaan Kandang (Enrichment Kandang) Pengkayaan kandang atau enrichment kandang merupakan suatu upaya yang dilakukan agar satwa seperti berada di habitat aslinya. Dengan adanya pengkayaan kandang, satwa dapat mengekspresikan perilakunya seperti di alam dan untuk menghindari satwa dari stres, kebosanan, kegelisahan, dan perilaku menyimpang maupun untuk meningkatkan kualitas hidup satwa di dalam kandang. Tabel 8 menunjukkan pengkayaan kandang yang terdapat di PT. Mega Citrindo.
Tabel 8 Pengkayaan kandang PT. Mega Citrindo No
Jenis Kandang
1
Perlengkapan Kandang Biawak kuning
Biawak ekor biru
Kandang
Batang kayu, tempat
Batang
permanen
minum, shelter alami
buatan, tempat minum
tempat minum
Kertas koran
Kertas koran
kayu,
Biawak dumeril shelter
Batang
kayu,
(lubang) dan buatan, tumbuhan 2
Kandang boks
Kertas koran
Terdapat beberapa jenis pengkayaan kandang (Suara Satwa 2008) diacu dalam Eccleston (2008) yakni pengkayaan struktural, misalnya pemberian kandang yang ukurannya cukup luas agar satwa dapat melakukan gerakan alami, seperti terbang, lari, dan tempat untuk berteduh. Kedua adalah pengkayaan objek. Objek yang diberikan untuk mengurangi rasa bosan, dan merangsang perilaku alami. Ketiga adalah pengkayaan sosial, yaitu mensosialisasikan satwa dengan sejenisnya, atau tidak karena tidak semua jenis satwa hidup berkelompok. Dan keempat adalah pengkayaan makanan. Pemberian makanan yang bervariasi meningkatkan kualitas hidup satwa, selain itu dengan makanan yang bervariasi menghindari rasa bosan atau jenuh satwa terhadap makanannya. Berikut adalah gambar kekayaan kandang permanen di PT. Mega Citrindo (Gambar 18).
34
a )
b
c
Gambar 18 Pengkayaan kandang (enrichment) : (a) kandang biawak dumeril, (b) kandang biawak ekor biru, dan (c) kandang biawak kuning.
Biawak merupakan satwa yang memiliki perilaku memanjat di batang pohon, oleh karena itu setiap kandang permanen diberikan batang kayu yang disesuaikan dengan ukuran kandang agar biawak dapat berperilaku seperti di alam. Kondisi batang kayu di setiap kandang sudah tidak begitu baik, kondisi ini dapat menimbulkan beberapa dampak negatif pada biawak yakni batang yang sudah rapuh kapan pun dapat patah, dan batang pohon dapat menjadi habitat untuk ektoparasit. Menurut Bennett (1998) dalam pemilihan batang pohon untuk biawak di kandang, hindari batang yang sudah busuk dan yang memiliki getah atau resin. Pada kandang biawak dumeril tidak dilengkapi dengan fasilitas shelter atau tempat berteduh. Shelter di kandang biawak kuning berbentuk lubang-lubang yang ada di tanah sekitar kandang dan shelter buatan yang terbuat dari campuran semen dan dibentuk seperti terowongan. Menurut keeper, kemungkinan lubanglubang yang ada sekarang dibuat oleh biawak kuning. Sedangkan untuk shelter biawak ekor biru terbuat dari bahan campuran semen yang dibentuk seperti
35
terowongan. Berikut adalah gambar shelter pada biawak kuning dan biawak ekor biru (Gambar 19). Fasilitas di kandang boks tidak banyak jika dibandingkan dengan kandang permanen. Hal ini karena ukuran kandang yang jauh berbeda, sehingga di dalam kandang boks hanya diberikan substrat yang berasal dari kertas koran. Kertas koran ini juga memiliki fungsi untuk menyerap cairan pada kotoran biawak, sehingga keadaan kandang tidak basah. Selain itu pemilihan alas dari koran karena mudah dibersihkan.
a )
b . )
c . )
Gambar 19 Jenis shelter : (a) alami, (b) buatan, kandang biawak kuning, (c) buatan, kandang biawak ekor biru.
d. Perawatan Kandang Kegiatan perawatan kandang dilakukan oleh para keeper setiap hari dimulai dari jam 06.00 WIB. Pembersihan kandang dilakukan di luar maupun di dalam kandang. Pembersihan kandang di luar dilakukan dengan menyapu halaman sekitar depan kandang. Pembersihan kandang permanen biasanya dilakukan dengan menyemprotkan air yang mengalir lewat selang ke semua permukaan kandang. Sedangkan untuk kandang boks kegiatan perawatan kandang dengan mengganti kertas koran dan membersihkan kandang dengan air. Gambar 20 menunjukkan kegiatan pembersihan kandang.
36
a
c b
Gambar 20 Kegiatan pembersihan kandang : (a) luar kandang (b) dalam kandang (c) kandang boks. Hasil pengamatan di PT Mega Citrindo menunjukkan kegiatan pembersihan kandang tidak hanya dilakukan dengan menyapu atau menyemprot kandang dengan air. Tetapi juga menyemprot halaman di luar dan dalam kandang dengan menggunakan zat kimia, hal ini bertujuan untuk mencegah dan memperlambat
tumbuhnya
hama
dan
penyakit.
Penyemprotan
halaman
menggunakan insektisida, dan di dalam kandang dengan akarisida atau obat anti kutu dan caplak. Alat yang digunakan untuk penyemprotan adalah sprayer pestisida. Berdasarkan hasil wawancara kegiatan penyempotan dilakukan setiap 1 bulan sekali, jika cuaca panas namun apabila cuaca hujan penyemprotan dilakukan 2 kali dalam 1 bulan. Hal ini dikarenakan, jika musim hujan larutan yang sudah diberikan dikhawatirkan hilang terbawa air hujan. Pengamatan di lapang tidak ditemukan ektoparasit caplak pada biawak kuning. Hal ini dapat disebabkan karena beberapa faktor, diantaranya adalah letak kandang yang jauh dari kandang lain, sehingga kecil kemungkinan caplak melakukan translokasi ke kandang tersebut. Kemudian, pada siang hari di kandang biawak kuning seluruhnya terkena sinar matahari, sehingga caplak ada kemungkinan menghindari kandang tersebut. Jika dibandingkan dengan kandang biawak ekor biru dan biawak dumeril, kondisi di masing-masing kandang tidak seluruhnya terkena sinar matahari dan letak kandang bersebelahan dengan kandang lainnya. Sehingga apabila satu kandang sudah terinfestasi oleh caplak, besar kemungkinan caplak melakukan translokasi ke kandang lainnya.
37
5.2.2
Manajemen Pakan Pakan merupakan aspek utama dalam pengelolaan penangkaran satwaliar,
karena secara tidak langsung dapat mempengaruhi aktivitas dan kesehatan satwa di dalam kandang. Di dalam manajemen pakan perlu diperhatikan kandungankandungan pakan yang akan diberikan kepada satwa. Kandungan umum yang penting untuk menunjang aktivitas satwa adalah pakan yang mengandung vitamin, mineral, lemak, dan protein. a. Jenis Pakan Hasil pengamatan menunjukkan beberapa pakan yang disediakan oleh PT Mega Citrindo sebagai pakan utama untuk biawak diantaranya adalah anak ayam, tikus putih, tikus sawah, jangkrik dan hamster. Menurut hasil wawancara dengan keeper tikus sawah dikirim langsung dari daerah Cilacap dengan jumlah 15002000 ekor tiap bulan. Tikus sawah lalu disimpan di dalam freezer yang berada di gudang sebagai stok makanan biawak. Untuk mengurangi biaya pengelolaan, PT Mega Citrindo membuat budidaya tikus putih. Selain tikus putih, dan tikus sawah biawak juga diberikan anak ayam dan jangkrik. Suplier dapat mengirim anak ayam sekitar 250-350 setiap minggunya. Berikut adalah pakan-pakan yang disediakan untuk biawak (Gambar 21). a
b
c d .
Gambar 21 Pakan biawak : (a) tikus putih, (b) tikus sawah, (c) anak ayam (d) jangkrik.
38
b. Cara Pemberian dan Penyajian Pakan Pemberian pakan dilakukan dengan melepaskan secara langsung pakan di dalam kandang biawak, jumlah pakan tergantung dari bobot biawak. Biawak yang berukuran besar diberikan 5-9 ekor sedangkan untuk yang berukuran sedang 3-5 ekor. Pakan dalam keadaan hidup yang disebarkan didalam kandang, namun untuk tikus sawah dalam keadaan mati karena sudah dimasukkan ke dalam freezer. Untuk biawak yg masih baby (±5 bulan), pakan yang diberikan adalah jangkrik. Jumlah jangkrik sekitar 5-10 ekor tergantung dari ukuran tubuh biawak tersebut.
c. Waktu Pemberian Pakan Pakan diberikan sebanyak satu minggu sekali, yaitu pada hari rabu. Suplier biasanya datang pada pukul 12.00 WIB, lalu keeper memberikan makan kepada biawak sekitar pukul 13.00 WIB.
5.2.3
Manajemen Kesehatan Satwa Hasil wawancara dengan pemilik PT Mega Citrindo ada beberapa penyakit
yang sering menyerang biawak, maupun reptil lainnya seperti kura-kura, dan ular. Penyakit yang sering muncul pada biawak adalah caplak, dan cacingan. Upaya pencegahan dan penanggulangan untuk penyakit caplak dengan menggunakan semprotan akarisida. Akarisida ini sudah digunakan semenjak tahun 2000-an hingga sekarang. Sedangkan untuk upaya penanggulangan cacingan pada biawak,dan reptil lainnya dengan memberikan obat cacing. Di alam bebas satwa liar memiliki kekebalan tubuh yang tidak sama dengan satwa yang berada di dalam penangkaran. Thohari (1987) menjelaskan bahwa satwa liar yang dipelihara secara intensif akan berkurang kemampuannya dalam melawan bibit penyakit, karena kemampuan tubuh menghasilkan antibodi yang berbeda dibandingkan apabila satwa hidup di alam liar. Kegiatan pengendalian berupa perawatan dan penyemprotan kandang belum berhasil, karena masih ditemukan biawak yang terinfeksi dengan derajat infestasi yang tinggi. Menurut hasil wawancara, penggunanan akarisida menyebabkan caplak yang menempel pada tubuh biawak akan berjatuhan ke lantai. Penggunaan
39
akarisida sudah berlangsung lama, kemungkinan terbesar caplak sudah membuat sistem kekebalan tubuh atau antibodi, sehingga penggunaan akarisida sudah tidak berpengaruh besar terhadap caplak. Solusi yang dapat dilakukan pihak PT Mega Citrindo adalah dengan menggunakan akarisida dari golongan yang berbeda, dan penggunaannya dilakukan secara bergantian. Hal ini untuk menghindari caplak membuat sistem immune. Cara lain yang lebih sederhana dan tidak menghabiskan biaya besar adalah dengan melakukan pemindahan biawak ke tempat yang tidak terinfestasi caplak dalam kurun waktu yg cukup lama, minimal selama 3 bulan. Tujuannya adalah agar caplak mati secara alami karena tidak dapat menemukan inang untuk menghisap darah. Selain itu penanggulangan infestasi caplak yang dapat dilakukan adalah dengan menggunakan vaksinasi. Vaksin diperoleh dari ekstrak caplak penuh untuk mendapatkan antigen. Dari hasil penelitian Astyawati dan Wulansari (2007) penggunaan antigen caplak dapat menginduksi resistensi melalui imunisasi langsung. Ekstrak caplak Rhiphicephalus sanguineus dewasa cenderung untuk menginduksi resistensi baik pada kelinci, domba dan anjing, dengan tingkat resistensi yang berbeda. Imunitas yang tidak didapat selama infestasi alami cenderung berkembang dengan vaksinasi ekstrak caplak.
5.3 Pola Perilaku Harian Perilaku merupakan ekspresi yang dilakukan oleh satwaliar dalam menangkap respon sekitarnya. Menurut Alikodra (2002) satwaliar mempunyai perilaku dan proses fisiologis untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Pola perilaku yang ditemukan saat pengamatan adalah diam, berjalan, menjulurkan lidah, berjemur (basking), dan buang kotoran. Menurut Bennet (1998) aktivitas suhu harian pada biawak biasanya antara 22-38ºC untuk spesies akuatik memiliki suhu yang lebih rendah dibandingkan spesies lainnya dan pada suhu kurang dari 20ºC biawak menjadi lambat dan pada suhu 5ºC biawak tidak dapat bergerak. Pengamatan perilaku untuk melihat jenis perilaku yang berkaitan dengan infestasi ektoprasit pada biawak.
40
5.3.1
Perilaku Biawak Kuning Biawak kuning memiliki pergerakan yang gesit dan lincah, karena ukuran
tubuhnya yang tidak terlalu besar. Biawak kuning sering terlihat diam di atas pohon secara berkelompok. Biawak kuning di PT Mega Citrindo peka terhadap lingkungan sekitarnya, dan akan langsung melarikan diri ke dalam shelter apabila didekati oleh manusia. Pada saat pengamatan, suhu rata-rata kandang biawak kuning pukul 08.00-09.00 WIB adalah 27ºC dengan kelembaban 92% sedangkan pada pukul 14.00-15.00 WIB suhu rata-rata kandang adalah 29ºC dengan kelembaban 85%. Hasil pengamatan menunjukkan perilaku yang sering ditemui biawak kuning adalah diam. Dari pukul 08.00-08.40 WIB belum terlihat aktivitas yang dilakukan oleh biawak kuning. Aktivitas mulai terlihat pukul 08.50-09.00 WIB biawak kuning melakukan aktivitas berjalan sambil menjulurkan lidah lalu berjemur. Pada pukul 14.00-15.00 WIB tidak ditemukan aktivitas berjemur, karena kondisi cuaca mulai mendung. Ketika turun hujan, biawak kuning akan segera berlindung ke shelter lubang-lubang yang ada di dalam kandang.
5.3.2
Perilaku Biawak Ekor Biru Biawak ekor biru memiliki perilaku yang sama dengan biawak kuning.
Apabila manusia mencoba melakukan interaksi, biasanya biawak ekor biru akan langsung melarikan diri dan masuk ke dalam shelter. Rata-rata suhu kandang pada pukul 08.00-09.00 WIB adalah 27ºC dengan kelembaban 92% dan pukul 14.0015.00 WIB adalah 30ºC dengan kelembaban 85%. Aktivitas yang sering ditemukan pada biawak ekor biru adalah diam dan berjemur, dengan sesekali menjulurkan lidahnya. Biawak menjulurkan lidah untuk mengetahui keadaan sekitar, seperti yang disebutkan oleh Erdmann (2004) dalam Usboko (2009) mengatakan bahwa komodo menggunakan lidahnya untuk mencium bau dan partikel-partikel zat kimia di udara dan tanah. Pada saat pengamatan biawak ekor biru akan diam di batang-batang pohon atau
menempel di tembok. Untuk
perilaku berjemur dilakukan pada pukul 09.00 WIB dan 14.00 WIB, yaitu saat matahari sudah muncul. Biawak akan menghampiri daerah yang terkena oleh sinar matahari. Aktivitas berjemur akan berhenti apabila sinar matahari sudah
41
tidak menyinari kandang. Perilaku berendam di bak air juga ditemukan, namun berada di luar jam pengamatan.
5.3.3
Perilaku Biawak Dumeril Berbeda dengan biawak kuning dan biawak ekor biru, biawak dumeril
tidak takut berinteraksi dengan manusia dan cenderung diam. Hal ini karena biawak dumeril sering dipegang oleh penjaga kandang, sehingga tidak asing dengan manusia. Namun terkadang biawak dumeril akan berdesis apabila dirinya merasa terancam Di dalam kandang tidak dilengkapi dengan shelter, sehingga biawak dumeril bernaung di bawah batang pohon ketika hujan. Pada saat dilakukan pengamatan rata-rata suhu kandang pada pukul 09.0010.00 WIB adalah 26 ºC dengan kelembaban 92% sedangkan pukul 14.00-15.00 WIB rata-rata suhu kandang mencapai 32 ºC kelembaban 86%. Aktivitas yang paling lama adalah diam, untuk aktivitas berjemur dilakukan pada pukul 09.00 WIB. Sedangkan untuk di siang hari tidak ditemukan aktivitas berjemur. Siang hari biawak dumeril ditemukan lebih sering diam di atas pohon, dan sesekali menjulurkan lidahnya. Perilaku yang kemungkinan mempengaruhi dan berkaitan dengan infestasi caplak pada biawak adalah perilaku berjemur. Perilaku berjemur merupakan perilaku paling lama yang dilakukan oleh biawak setelah perilaku diam, Purba (2008) mengatakan aktivitas berjemur pada komodo paling dilakukan selama 34 menit. Biawak merupakan vertebrata berdarah dingin, aktivitas berjemur dilakukan untuk menstabilkan suhu di dalam tubuhnya. Dari hasil pengamatan perilaku berjemur dilakukan oleh biawak pada suhu kisaran 26-30ºC. Caplak cenderung menghindari sinar matahari. Hal ini karena tubuhnya yang cepat kering. Terdapat kemungkinan perilaku berjemur ini membantu biawak untuk mengurangi infestasi caplak yang ada di tubuhnya. Dapat dilihat pada tabel 4 sebaran caplak di biawak ekor biru terlihat bahwa regio perut paling sering ditemukan caplak, jika dibandingkan dengan regio lainnya. Selain itu caplak juga sering terlihat menghisap darah di antara lipatan-lipatan kulit biawak. Hal ini dapat disebabkan bagian perut dan lipatan-lipatan kulit terlindungi dari sinar matahari, sehingga caplak lebih sering ditemukan pada daerah ini. Penelitian
42
yang dilakukan oleh Main & Bull (2000) diacu dalam Guzinski (2008) mengatakan bahwa terdapat perbedaan antara kadal yang terkena caplak infestasi tinggi, dengan yang infestasi rendah yaitu kadal yang terinfestasi tinggi lebih sering melakukan perilaku berjemur, dan adanya penurunan aktivitas bergerak. Pada saat pengamatan, tidak ditemukan perilaku menyakiti diri / self wounding ataupun perilaku tidak nyaman terhadap adanya caplak di tubuh biawak. Hal ini dapat disebabkan caplak mengeluarkan zat Narcotizing efek yang berasal dari saliva dan mengakibatkan keberadaan caplak tidak dirasakan oleh inangnya (Wooley 1988). Selain itu, dapat juga disebabkan jumlah caplak yang tidak terlalu banyak.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan Ditemukan ektoparasit jenis tungau dan caplak. Tungau dari famili Macrohelidae ditemukan pada biawak kuning, sedangkan caplak dari genus Aponomma sp. dan Amblymomma sp. ditemukan pada biawak ekor biru dan biawak dumeril. Letak kandang yang tidak dekat dengan kandang reptil jenis lain, dan intensitas matahari tinggi dalam kandang dapat merupakan faktor tidak ditemukan caplak pada biawak kuning. Secara umum perilaku harian biawak kuning, biawak ekor biru dan biawak dumeril PT Mega Citrindo terdiri dari perilaku diam, berjalan, menjulurkan lidah, dan berjemur.
6.2 Saran 1
Disediakan kandang karantina untuk biawak-biawak yang baru datang ke penangkaran, karena dikhawatirkan biawak sudah terkontaminasi ektoparasit dari tempat aslinya.
2
Perlu dilakukan rotasi dari kandang ke kandang yang steril untuk memutus siklus hidup caplak.
3
Penyemprotan dengan anti caplak dan kutu sebaiknya diselingi dengan anti caplak golongan lainnya, agar caplak tidak membentuk sistem kekebalan tubuh.
DAFTAR PUSTAKA Alikodra HS. 2002. Pengelolaan Satwaliar Jilid 1. Yayasan Penerbit Fakultas Kehutanan (YPFK). Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Alikodra HS. 1990. Pengelolaan Satwaliar (1). Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat Institut Pertanian Bogor. Bogor. [Anonim I]. 2010 . Varanus melinus Bohme & Ziegler 1997 Quince monitor. http://www.monitorlizards.net/species/euprepiosaurus/melinus.html. 10 Juni 2010. [Anonim II]. 2010. Blue Tail Monitor (Varanus doreanus) http://www.reptipro.com/care-sheets/lizards/47-blue-tail-monitor-varanusdoreanus-care-sheet.html. 10 Juni 2010. [Anonim III]. 2010. Varanus doreanus. http://www.varanus.nl/V doreanus_beschr htm. 10 Juni 2010. [Anonim IV]. 2010. Varanus melinus. http://www.varanus.nl/V_melinus_ eng.htm. 10 Juni 2010. [Anonim V]. 2010. Dumeril's Monitor (Varanus dumerilii) Care Sheet. http://www.reptipro.com/care-sheets/lizards/52-dumerils-monitor-varanusdumerilii-care-sheet-.html. 21 September 2010. [Anonim VI]. 2010. Peta Indonesia. http://gambar-peta.blogspot.com/2010/09/ http://gambar-peta.blogspot.com/2010/09/peta-indonesia-dunia-ofatlas.html. 18 Februari 2011. [Anonim VII]. 2010. Varanus dumerilii. http://www.varanus.nl/V_dumerilii _dumerilii_beschr_eng.htm. 21 September 2010 Astyawati T, Wulansari R. 2007. Penanggulangan caplak Rhipicephalus sansuineus dengan vaksinasi [tesis]. Bogor : Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bayless MK, Adragna JA (1999): The Banggai Island monitor. Notes on distribution, ecology, and diet of Varanus melinus. The Vivarium 10 (4): 38-40. Bennet D. 1993a. A Note on a Newly Hatched Varanus tristis tristis in the Great Victoria Desert, Western Australia. Bennet D. 1998. Monitor lizards. Natural history, biology and husbandry. Edition Chimaira, Frankfurt am. Main, 352 pp.
44
Bennett D. 1995. Dumeril's monitor lizard (Varanus dumerilii). Reptilian 3: 35– 37. Bohme W, Horn, HG., Zielger T. 1994. Zur Taxonomie der Pazifikwarane (Varanus indicus-Komplex). Borror DJ, Triplehorn, CA, Johnson, NF. 1992. Pengenalan Pelajaran Serangga Edisi Keenam. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Eccleston KJ. 2009. Animal welfare di Jawa Timur : model pendidikan kesejahteraan binatangdi Jawa Timur. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik [skripsi]. Malang : Program Sarjana, Universitas Muhammadiyah Malang.
Elbl A, Anastos G. 1996a. Ixodid Ticks (Acarina,Ixodidae) Of Central Africa Volume I General Introduction Genus Amblyomma Koch, 1844. Department of Zoology, University Of Maryland, College Park, Maryland. Elbl A, Anastos G. 1996b. Ixodid Ticks (Acarina,Ixodidae) Of Central Africa Volume IV General Introduction Genera Aponoma Neumann, 1899 Boophilus Curtice, 1891 Dermacentor Koch, 1844 Haemaphysalis Koch, 1844 Hyaloma Koch, 1844 And Rhipicentor Nuttal And Warburton, 1908. Department of Zoology, University Of Maryland, College Park, Maryland Gumilang R. 2001. Populasi dan Penyebaran Biawak Air Asia (Varanus salvator) di Suaka Margasatwa Pulau Rambut, Jakarta [skripsi]. Bogor : Program Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Guzinski J. 2008. Investigating genetic population substructure of an Australian reptile tick, Bothriocroton hydrosauri, using highly polymorphic microsatellite markers. Faculty of Science and Engineering, Flinders University. Thesis. Hadi UK, Gunandini DJ, Sovianna S, Sigit SH. 2008. Penuntun Praktikum Parasitologi Veteriner Ektoparasit. IPB Press. Hadi UK, Soviana S. 2000. Ektoparasit : Pengenalan, Diagnosis, dan Pengendaliannya. Laboratorium Entomologi. Fakultas Kedokteran Hewan. IPB. Bogor. Hoogstral H. 1956a. African Ixodidae, I. Ticks of the Sudan (with spesial references to Equotaria Province with preliminary reviews of the genera Boophilus margaropus & Hyalomma). Res. Rep NM 005.050.29.07, 1101 pp Washington D.C Dep Navy, Bur. Med. Surg. Iyai D, Freddy P. 2005. Diversitas dan Ekologi Biawak (Varanus indicus) di Pulau Pepaya Taman Nasional Teluk Cenderawasih, Irian Jaya Barat. Universitas Negeri Papua.
45
Katia JS, Simmons LW. 2001. Effects of Macrocheles mites on longevity of males of the dimorphic dung beetle Onthophagus binodis. Department of Zoology, University of Western Australia, Nedlands, WA 6907, Australia. Printed in the United Kingdom. J. Zool., Lond. (2001) 254, 441-445. Keputusan Kepala Badan Karantina Pertanian Nomor : 369.a/kpts/PD.670.210/L /10/2008 Tentang Pedoman Persyaratan Teknis Instalasi Karantina Hewan Untuk Reptil Dan Amfibi (Herpetofauna). Kolonin GV. 2009. Fauna of Ixodid ticks of the world. www.kolonin.org. 16 Februari 2011. Krantz GW. (1998) Reflections on the biology, morphology and ecology of the Macrochelidae. Experimental and Applied Acarology, 22(3), 125–137. Lehner PN. 1979. Handbook of Ethological Methods. Garland STPM Press. New York. Levine ND.1990. Parasitologi Veteriner. Gatut A, penerjemah; Wardiarto, editor. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari : Textbook of Veterinary Parasitology.
Maulidzar D. 2010. Manajemen pemeliharaan ular sanca patola (Morelia amesthistina Schneider, 1801) dan penetasan telur secara buatan di PT Mega Citrindo [skripsi]. Bogor : Program Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Merino S, Vásquez RA, Martínez J, et al. 2008. A Sarcocystid misidentified as Hepatozoon didelphydis: molecular data from a parasitic infection in the blood of the Southern mouse opossum (Thylamys elegans) from Chile". J. Eukaryot. Microbiol. 55 (6): 536–40. Peebles P. 1994. Animal behaviour. http://www.accessexcellence.org/AE/AEC /AEF/1994/peebles_behavior.php. 18 Februari 2011. Purba P. 2008. Studi perilaku harian biawak komodo (Varanus komodoensis Ouwens, 1912) pada berbagai kelas umur di pulau Rinca, Taman Nasional Komodo [skripsi]. Bogor : Program Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Shine R, Ambariyanto, PS Harlow, Mumpuni. 1998. Ecological Traits of Commercially Harvested Water Monitor, Varanus salvator, in Northern Sumatra. Wildlife Research. 437-447. Soifer FK. 1977. Anthelmintics for exotic and zoo animals. In Kirk, R. W. (ed) : Current Veterinary Therapy VI. Philadelphia, W.B. Saunders Co. Suratmo GF. 1979. Prinsip Dasar Tingkah Laku Satwaliar. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
46
Tandon SK. 1991. Records of the zoological survey of india : The Ixodid ticks of Zambia (Acarina : Ixodidae) (a study of distribution, ecology, and host relationships). The Director of Zoological Survey of India. Calcutta Thohari M. 1987a. Upaya Penangkaran satwaliar. Media Konservasi, Vol. I, No.3 : 21-26. Bogor : Fakultas Kehutanan IPB. Usboko E. 2009. Studi pola penggunaan ruang berbagai kelas umur biawak komodo (Varanus komodoensis Ouwens) di Loh Buaya-Pulau Rinca Taman Nasional Komodo, Nusa Tenggara Timur [skripsi]. Bogor : Program Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Wall R, Shearer D. 2001. Veterinary Ectoparasites : Biology, Pathogy and Control. Blackwell Science Ltd. Wooley TA. 1988. Acaralogy : mites and human welfare. A Willey-Interscience Publication. Printed in the United States of America. Yong DL, Fam DS, Ng JJ. 2008. Rediscovery of Dumeril’s Monitor Varanus dumerilii (Varanidae) in Singapore. National University of Singapore.
LAMPIRAN
48
Lampiran 1 Hasil pengamatan perilaku Tabel 8 Perilaku biawak kuning No
Waktu (WIB)
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
08.00 – 08.10 08.10 – 08.20 08.20 – 08.30 08.30 – 08.40 08.40 – 08.50 08.50 – 09.00 14.00 – 14.10 14.10 – 14.20 14.20 – 14.30 14.30 – 14.40 14.40 – 14.50 14.50 – 15.00
Diam
Berjalan
√ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
√ -
Perilaku Menjulurkan lidah √ √ √ -
Berjemur √ -
Buang kotoran √ -
Tabel 9 Perilaku biawak ekor biru No
Waktu (WIB)
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
08.00 – 08.10 08.10 – 08.20 08.20 – 08.30 08.30 – 08.40 08.40 – 08.50 08.50 – 09.00 14.00 – 14.10 14.10 – 14.20 14.20 – 14.30 14.30 – 14.40 14.40 – 14.50 14.50 – 15.00
Diam
Berjalan
√ √ √ √ √ -
√ √ -
Perilaku Menjulurkan lidah √ √ √ √ √ √ -
Berjemur √ √ √ √ √ √ √ √
Buang kotoran -
49
Tabel 10 Perilaku biawak dumeril No
Waktu (WIB)
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
08.00 – 08.10 08.10 – 08.20 08.20 – 08.30 08.30 – 08.40 08.40 – 08.50 08.50 – 09.00 14.00 – 14.10 14.10 – 14.20 14.20 – 14.30 14.30 – 14.40 14.40 – 14.50 14.50 – 15.00
Diam
Berjalan
√ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
√ √ √ -
Perilaku Menjulurkan lidah √ √ √ √ √ -
Berjemur √ -
Buang kotoran -
50
Lampiran 2 Langkah-langkah Pembuatan Preparat Preparat Caplak 1. Spesimen caplak dibunuh dengan chloroform atau alkohol 70%. 2. Dimasukkan perlahan-lahan ke dalam KOH 10% a. Jika dalam temperatur kamar selama 2-3 hari tergantung kepada tebal atau tipis dari lapisan kitinnya, akan tetapi sekurang-kuragnya direndam selama 12 jam b. Untuk mempercepat dipanaskan, tetapi tidak sampai mendidih. 3. Dicuci dengan air dibilas sampa bersih 3-4 kali. Jika bagian caplak mengembung dapat ditusuk dengan jarum halus supaya isi dari abdomen dapat keluar. 4. Dehidrasi dengan alkohol 70%, 80%, dan 90% tiap fase masing-masing selama 10 menit. 5. “Clearing” dapat dilakukan dengan merendam caplak sampai selama 15-30 menit di dalam minyak cengkeh. 6. Cuci insekta dengan larutan xylol, pencucian pertama akan berkabut. Buang larutan xylol ganti dengan yang baru. 7. Buat slide preparat dengan medium canada balsam.
Preparat Tungau 1. Spesimen yang berasal dari alkohol, dikeluarkan dari botol, kemudian dicuci dengan air. 2. Untuk spesimen yang tebal lapisan chitinenya dapat diketahui jika warna spesimen coklat sampai coklat tua dan kehitam-hitaman. Spesimen ini dapat ditipiskan lapisan chitinenya supaya tampak lebih jernih dengan larutan lactophenol. Selain itu larutan ini dapat melembekkan bagian intrnal dari spesimen. a. Direndam dalam larutan lactophenol temperatur kamar selama 7 hari
51
b. Dipanaskan dengan larutan lactophenol (tidak sampai mendidih). Cara ini untuk mempercepat proses penjernihan, untuk tungau yang besar, bagian abdomen ditusuk dengan jarum supaya larutan lactophenol dapat masuk ke dalam tubuh tungau. 3. Spesimen dicuci kembali dengan air (jika baru direndam lactophenol) 3 sampai 4 kali, sampai air tidak berkabut. 4. Teteskan 1-2 larutan Hoyer diatas objek glass yang akan dipakai. 5. Letakkan spesimen ke dalam larutan Hoyer dengan cara ditenggelamkan ke dalam tetesan Hoyer. 6. Tutup dengan cover glass dan usahakan jangan terdapat gelembung udara. 7. Jika ada gelembung udara, panaskan objek glass di atas api perlahan-lahan. Gelembung udara akan hilang dengan cara pemanasan ini.