MANAJEMEN PENANGKARAN, MORFOLOGI DAN AKTIVITAS HARIAN BIAWAK EKOR BIRU (Varanus doreanus AB Meyer 1874) DI PT MEGA CITRINDO
ZULIA MANDASARI E34062665
DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
MANAJEMEN PENANGKARAN, MORFOLOGI DAN AKTIVITAS HARIAN BIAWAK EKOR BIRU (Varanus doreanus AB Meyer 1874) DI PT MEGA CITRINDO
ZULIA MANDASARI
Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kehutanan Pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
ABSTRACT ZULIA MANDASARI. Management of Captivity, Morphology and Daily Activity Blue Tail Monitor (Varanus doreanus AB Meyer 1874) in PT Mega Citrindo. Supervised by BURHANUDDIN MASY’UD and ERNA SUZANNA. PT Mega Citrindo is one corporate engaged in the trade (export) species of reptiles. The high demand of society to increasingly threaten the existence of reptiles wildlife animals in the wild. This corporate has been doing business a captive reptile is one of the blue tail monitor. This research aims to study the technical aspects of breeding management blue tailed monitor (Varanus doreanus), know the quantitative and qualitative characteristics of a blue tail monitor morphology as a determinant of sex and age classes and observe the daily activity of the blue tailed monitor in the cage. This study was conducted in April to May 2010 at PT Mega Citrindo. The method used is direct observation, interview and literature study. Data collected include the technical aspects of breeding, morphological characteristics of lizards both quantitatively and qualitatively the basis of sex and age classes and the daily activity of lizards in the cage. Data were analyzed by descriptive equipped with pictures, tables and graphs that are relevant. Captive breeding of a blue tail monitor in this corporate include the type of captivity been intensified with the economic objectives. This corporate has two types of cages for the blue tail monitor, which is a permanent enclosure as a place for adolescents and adults living lizard cage boxes and then container as a place to accommodate the young lizard before exported. Total length (from head-tail) of adult male lizards body average is 127.33 cm, while the adult female measuring 127 cm on average. This suggests that lizard body size of adult male and adult female relative is almost the same but age is not known for certain lizards. But if at the same age male lizards have a larger body size than females. Based on test results of chi-kuadarat on observations obtained X2 lizard activity count (205.66) > X2 table (15.507), so it can be proven that the daily activity time allocation for each lizard at times is a different age class. Captive breeding of this still needs more attention because the lizard has not been successfully bred. Blue-tailed monitor, including species that are morphologically monomorphic difficult to distinguish gender. Male lizards have a brighter color hue as compared to females. When grown in blue fade on the tail and body color will change from black to grayish black. More adult lizards sunbathing activity and rest, do more teens lizard feeding activity and resting while the lizard more tillers moving activity. Keywords: Lizard, Cage, Morphology, Activity.
RINGKASAN ZULIA MANDASARI. Manajemen Penangkaran, Morfologi dan Aktivitas Harian Biawak Ekor Biru (Varanus doreanus AB Meyer 1874) di PT Mega Citrindo. Dibimbing oleh BURHANUDDIN MASY’UD dan ERNA SUZANNA. PT Mega Citrindo adalah salah satu perusahaan yang bergerak dibidang perdagangan (ekspor) jenis reptil. Tingginya permintaan masyarakat terhadap satwa reptil semakin mengancam keberadaan satwa tersebut di alam. Perusahaan ini telah melakukan usaha penangkaran reptil yang salah satunya adalah biawak ekor biru. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari aspek teknis dari pengelolaan penangkaran biawak ekor biru (Varanus doreanus), mengetahui ciri kuantitaif dan kualitatif dari morfologi biawak ekor biru sebagai determinasi jenis kelamin dan kelas umur serta mengamati aktivitas harian biawak ekor biru di kandang. Penelitian ini dilakukan pada bulan April hingga Mei 2010 di PT Mega Citrindo. Metode yang digunakan yaitu pengamatan langsung di lapangan, wawancara dan studi pustaka. Data yang dikumpulkan meliputi aspek teknis penangkaran, ciri morfologi biawak baik secara kuantitatif maupun kualitatif yang berdasarkan jenis kelamin dan kelas umurnya serta aktivitas harian biawak di kandang. Data tersebut dianalisis secara deskriptif yang dilengkapi dengan gambar, tabel dan grafik yang relevan. Penangkaran biawak ekor biru di perusahaan ini termasuk jenis penangkaran yang dilakukan secara intensif dengan tujuan ekonomi. Perusahaan ini memiliki 2 jenis kandang untuk biawak ekor biru, yaitu kandang permanen sebagai tempat hidup biawak remaja dan dewasa dan kandang box penampung sebagai tempat menampung biawak anakan sebelum diekpor. Ukuran panjang total (dari ujung kepala-ekor) tubuh biawak jantan dewasa rata-rata adalah 127,33 cm sedangkan betina dewasa berukuran rata-rata 127 cm. Hal ini menunjukkan bahwa ukuran tubuh biawak jantan dewasa dan betina dewasa relatif hampir sama akan tetapi umur biawak tidak diketahui secara pasti. Namun bila pada umur yang sama biawak jantan memiliki ukuran tubuh yang lebih besar dibandingkan dengan betina. Berdasarkan hasil uji khi-kuadarat pada pengamatan aktivitas biawak diperoleh X2 hitung (205,66) > X2 tabel (15,507), sehingga dapat dibuktikan bahwa alokasi waktu aktivitas harian biawak di kandang untuk setiap kelas umurnya adalah berbeda. Penangkaran ini masih memerlukan perhatian yang lebih karena biawak tersebut belum berhasil dikembangbiakkan. Biawak ekor biru termasuk jenis satwa monomorfik yang secara morfologi sulit dibedakan jenis kelaminnya. Biawak jantan memiliki warna corak yang lebih cerah dibandingkan dengan betina. Ketika dewasa warna biru pada ekor semakin memudar dan warna tubuh akan berubah dari hitam menjadi hitam keabuan. Biawak dewasa lebih banyak melakukan aktivitas berjemur dan istirahat, biawak remaja lebih banyak melakukan aktivitas makan dan bertengger sedangkan biawak anakan lebih banyak melakukan aktivitas bergerak. Kata kunci : Biawak, Kandang, Morfologi, Aktivitas.
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Manajemen Penangkaran, Morfologi dan Aktivitas Harian Biawak Ekor Biru (Varanus doreanus AB Meyer 1874) di PT Mega Citrindo adalah bebar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dengan penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka dibagian akhir dari skripsi ini.
Bogor, Juli 2010
Zulia Mandasari E34062665
Judul Skripsi
: Manajemen Penangkaran, Morfologi dan Aktivitas Harian Biawak Ekor Biru (Varanus doreanus AB Meyer 1874) di PT Mega Citrindo
Nama
: Zulia Mandasari
NIM
: E34062665
Jurusan/Fakultas : Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata/Kehutanan
Menyetujui : Komisi Pembimbing
Pembimbing I
Pembimbing II
(Dr. Ir. Burhanuddin Masy’ud, MS) NIP. 195811211986031003
(Dr. drh. Erna Suzanna, MSc.F.Trop) NIP. 196408081990022001
Mengetahui : Kepala Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan IPB
(Prof. Dr. Ir. H.Sambas Basuni, MS) NIP. 195809151984031003 Tanggal Lulus :
KATA PENGANTAR
Penulis memanjatkan puji dan syukur kehadirat Alah SWT atas segala curahan rahmat dan kasih sayang Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian ini adalah Manajemen Penangkaran, Morfologi dan Aktivitas Harian Biawak Ekor Biru (Varanus doreanus AB Meyer 1874) di PT Mega Citrindo yang dilaksanakan pada bulan April-Mei 2010. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan evaluasi bagi perbaikan dan pengembangan manajemen penangkaran biawak ekor biru (Varanus doreanus) baik untuk kepentingan ekonomi maupun konservasi serta menambah data dan informasi mengenai morfologi dan aktivitas harian biawak ekor biru (Varanus doreanus) di kandang yang menunjang dalam pengelolaan biawak di kandang. Penulis menyadari masih banyak terdapat kekurangan dalam penulisan ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik demi penyempurnaan dan pengembangan penelitian selanjutnya. Harapan penulis, semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi banyak pihak.
Bogor, Juli 2010 Penulis
RIWAYAT HIDUP Zulia Mandasari lahir di Kota Metro, Lampung pada tanggal 02 Juli 1988 sebagai anak kedua dari empat bersaudara pasangan Bapak Ibrahim BA dan Ibu Suarni. Pada tahun 2006 penulis lulus dari Sekolah Menengah Atas (SMA) Kartikatama Metro dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor melalui jalur Ujian Seleksi Masuk (USMI). Penulis memilih Program Studi Mayor Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata serta minor Perlindungan Hutan. Selama menuntut ilmu di IPB, penulis aktif di sejumlah organisasi kemahasiswaan yakni sebagai anggota Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Uni Konservasi Fauna (UKF) IPB dan Himpunan Mahasiswa Konservasi (Himakova) tahun 2007-2008. Penulis pernah mengikuti Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan di Baturraden-Cilacap pada tahun 2008, Praktek Pengelolaan Hutan di Gunung Walat pada tahun 2009 dan Praktek Kerja Lapang di Balai Besar Taman Nasional Kerinci Seblat, Jambi pada tahun 2010. Untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan IPB, penulis menyelesaikan skripsi dengan judul Manajemen Penangkaran, Morfologi dan Aktivitas Harian Biawak Ekor Biru (Varanus doreanus AB Meyer 1874) di PT Mega Citrindo yang dibimbing oleh Dr. Ir. Burhanuddin Masy’ud, MS dan Dr. drh. Erna Suzanna, MSc.F.Trop.
UCAPAN TERIMA KASIH Alhamdulillahirabbil’alamin, puji syukur penulis sampaikan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Manajemen Penangkaran, Morfologi dan Aktivitas Harian Biawak Ekor Biru (Varanus doreanus AB Meyer 1874) di PT Mega Citrindo”. Pada kesempatan kali ini penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih setinggi-tingginya kepada orang-orang yang berperan dalam penyusunan tugas akhir ini. Ucapan terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan pada : 1. Ayah, Mamah, Erviani (Duli), Ira dan Diana serta seluruh keluarga atas segala doa dan kasih sayang serta dukungan moral dan materi pada penulis hingga tugas akhir ini selesai. 2. Bapak Dr. Ir. Burhanuddin Masy’ud, MS dan ibu Dr. drh. Erna Suzanna, MSc.F.Trop selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan, bantuan, masukan dan dorongan hingga penyelesaian tugas akhir ini. 3. Bapak Dr. Ir. Bramasto Nugroho, MS, Bapak Dr. Ir. Basuki Wasis, MS dan Ibu Arinana, S.Hut. MSi selaku dosen penguji atas kesediaannya meluangkan waktu untuk menguji dan memberi masukan kepada penulis. 4. Pak Andre sebagai pimpinan perusahaan dan pak Heru sebagai asisten pimpinan yang telah bersedia memberikan kesempatan penulis untuk melakukan penelitian di PT Mega Citrindo serta mas Tama, mas Yudi, mas Ali serta mas Komeng sebagai petugas kandang atas bantuannya selama menjalankan penelitian di PT Mega Citrindo. 5. Kepala Laboratorium Entomologi Bagian Parasit dan Entomologi Kesehatan FKH-IPB. 6. Seluruh staf pengajar dan karyawan/wati di Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan IPB. 7. Teman-teman selokasi penelitian Leli dan Des Novar atas kerjasama, dukungan dan bantuannya selama menjalankan penelitian.
8. Teman-teman mahasiswa/i KSHE Angkatan 43 atas kebersamaan, canda, tawa dan kenangan yang tak terlupakan. 9. Teman-teman UKM UKF IPB atas kebersamaan, kekeluargaan dan perjuangan yang selama ini telah terjalin. 10. Nandang Widarminto yang telah memberikan dukungan, doa dan perhatian kepada penulis. 11. Taman-teman Kosan Wahdah Indah Madew, Lia, Irma, Emil dan mbak Linda atas dukungan, kekeluargaan dan kebersamaan kita dalam menempuh masa perkuliahan di IPB. 12. Semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangannya, maka kritik dan saran konstruktif diperlukan untuk hal yang lebih baik, semoga skripsi ini bermanfaat bagi khalayak banyak. Amin.
Bogor, Agustus 2010
Penulis
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR ......................................................................................i DAFTAR TABEL .............................................................................................v DAFTAR GAMBAR ........................................................................................vi DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................viii BAB I
PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .............................................................................1 1.2 Tujuan .........................................................................................3 1.3 Manfaat ........................................................................................3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi ..................................................................................4 2.2 Morfologi ...................................................................................4 2.3 Habitat dan Penyebaran ...............................................................7 2.4 Reproduksi ..................................................................................7 2.5 Perilaku Harian ...........................................................................8 2.6 Pemanfaatan Hasil ......................................................................9 2.7 Penangkaran ...............................................................................10 2.8 Aspek Teknis Penangkaran .........................................................11 2.8.1 Bentuk dan Sistem Penangkaran ...........................................11 2.8.2 Pengadaan Bibit dan Teknik Imobilisasi ...............................12 2.8.3 Adaptasi, Habituasi, dan Aklimatisasi ...................................12 2.8.4 Sistem Pengandangan ...........................................................12 2.8.5 Pakan dan Air .......................................................................13 2.8.6 Penyakit dan Perawatan Kesehatan .......................................14 2.8.7 Pengembangbiakan atau Reproduksi .....................................15 2.8.8 Pemanfaatan Hasil Penangkaran ...........................................16 2.8.9 Ketenagakerjaan ...................................................................16 2.9 Status Perlindungan (CITES) ......................................................16 2.10 Prinsip Kesejahteraan Satwa (Animal Welfare) ..........................17
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian .....................................................19
3.2 Bahan dan Alat ...........................................................................19 3.3 Metode Pengimpulan Data .........................................................19 3.3.1 Data Primer ...........................................................................19 a. Manajemen Perkandangan ....................................................19 b. Morfologi Biawak Ekor Biru ................................................20 c. Aktivitas Harian Biawak Ekor Biru .......................................22 3.3.2 Data Sekunder .......................................................................23 3.4 Analisis Data ..............................................................................23 3.4.1 Pengelolaan Penangkaran ......................................................23 3.4.2 Morfologi ..............................................................................24 3.4.3 Perilaku Harian ......................................................................24 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Manajemen Penangkaran .............................................................26 4.1.1 Perkandangan ........................................................................26 a. Jenis dan Fungsi Kandang .....................................................26 b. Konstruksi Kandang .............................................................27 c. Peralatan dan Perlengkapan Kandang ....................................28 d. Suhu dan Kelembaban Kandang ...........................................31 e. Perawatan Kandang ..............................................................33 f. Sistem Sanitasi Kandang .......................................................34 4.1.2 Manajemen Pakan .................................................................36 a. Jenis dan Jumlah Pakan .........................................................36 b. Nilai Gizi Pakan ...................................................................37 c. Cara Pemberian Pakan ..........................................................37 d. Anggaran Biaya Penyediaan Pakan .......................................38 4.1.3 Pemeliharaan Kesehatan .......................................................38 a. Pencegahan Penyakit ............................................................38 b. Jenis Penyakit dan Pengobatannya ........................................39 4.1.4 Manajemen Reproduksi dan Breeding ..................................43 a. Pemilihan Bibit .....................................................................43 b. Determinasi Jenis Kelamin ...................................................44 c. Pembentukan Pasangan .........................................................44
d. Perlakuan terhadap Pasangan ......................................................45 e. Keberhasilan Breeding (Pengembangbiakan) ........................46 4.1.5 Pengadaan Satwa ..................................................................46 4.1.6 Perlakuan Adaptasi ...............................................................47 4.1.7 Manajemen Pemanfaatan Hasil .............................................48 a. Ekspor Perusahaan ................................................................48 b. Teknik Pengepakan ..............................................................49 4.2 Morfologi Biawak Ekor Biru .......................................................51 4.2.1 Ukuran Tubuh Biawak Ekor Biru .........................................51 4.2.2 Warna dan Corak Tubuh Biawak Ekor Biru ..........................53 4.2.3 Biawak Ekor Biru Jantan dan Betina .....................................54 4.3 Aktivitas Harian Biawak Ekor Biru di Kandang ..........................55 4.3.1 Aktivitas Harian ...................................................................55 a. Aktivitas Makan ...................................................................56 b. Aktivitas Bergerak ................................................................58 c. Aktivitas Bertengger .............................................................58 d. Aktivitas Berjemur ...............................................................59 e. Aktivitas Istirahat .................................................................60 4.3.1 Pola Sebaran Waktu Aktivitas Harian ....................................61 a. Aktivitas Harian Biawak Anakan ..........................................61 b. Aktivitas Harian Biawak Remaja ..........................................62 c. Aktivitas Harian Biawak Dewasa ..........................................63 BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ................................................................................65 5.2 Saran ..........................................................................................65
DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................................67 LAMPIRAN ..........................................................................................................71
DAFTAR TABEL No.
Halaman
1. Hubungan kekerabatan antara Varanus doreanus dengan Varanus indicus dan Varanus jobiensis .............................................................................. 5 2. Jenis penyakit akibat ketidakseimbangan zat makanan .............................. 15 3. Jenis kandang biawak ekor biru yang terdapat di PT Mega Citrindo ......... 26 4. Data suhu dan kelembaban kandang di dalam ruangan ............................. 31 5. Data suhu dan kelembaban kandang di luar ruangan ................................. 31 6. Rincian jumlah pakan yang diberikan pada biawak.................................... 36 7. Kandungan gizi pakan biawak ekor biru (Varanus doreanus) ................... 37 8. Jumlah dan biaya pengedaan pakan satwa per minggu .............................. 38 9. Jenis penyakit biawak ekor biru (Varanus doreanus) dan deskripsi gejala penyakitnya ………………………………………………………... 40 10. Ukuran tubuh (SVL) untuk penentuan dewasa kelamin pada individu contoh biawak di PT Mega Citrindo ......................................................... 43 11. Kuota dan realisasi ekspor biawak ekor biru (Varanus doreanus) perusahaan PT Mega Citrindo tahun 2005-2010 ....................................... 48 12. Ukuran rata-rata bagain tubuh biawak ekor biru (Varanus doreanus) berdasarkan jenis kelamin dan kelas umurnya .......................................... 51 13. Ciri kualitatif biawak ekor biru berdasarkan kelas umur dan jenis kelamin ............................................................................................ 53 14. Alokasi waktu aktivitas harian biawak ekor biru berdasarkan kelas umurnya ....................................................................... 55
DAFTAR GAMBAR No.
Halaman
1.
Biawak ekor biru (Varanus doreanus) ..................................................... 4
2.
Varanus doreanus .................................................................................... 6
3.
Varanus jobiensis .................................................................................... 6
4.
Varanus indicus ....................................................................................... 6
5.
Teknik pengukuran morfologi biawak ...................................................... 21
6.
Kandang permanen .................................................................................. 27
7.
Kandang box penampung ........................................................................ 27
8.
Perlengkapan kandang (a) batang pohon tempat bertengger; (b) batu kerikil; (c) bak air minum ........................................................... 29
9.
Shelter biawak di kandang ...................................................................... 30
10. Grafik fluktuasi suhu dan kelembaban kandang di luar ruangan ............... 32 11. Fluktuasi suhu dan kelembaban kandang di dalam ruangan ..................... 33 12. Sistem sanitasi kandang biawak ekor biru (a) kran air;(b) pipa pembuangan air kotor di dalam kandang;(c) pipa pembuangan di luar kandang............. 35 13. Tempat pembuangan limbah kandang (a) bagian dalam tempat pembuangan; (b) bagian luar tempat pembuangan .......................................................... 35 14. Peternakan tikus di PT Mega Citrindo ...................................................... 38 15. Bagian tubuh biawak yang terserang caplak (a) lengan bawah;(b) perut; (c) ketiak;(d) selaput telinga ..................................................................... 40 16. Morfologi caplak pada biawak ekor biru (a) bentuk tubuh caplak;(b) bentuk skutum Aponomma sp .............................................................................. 41 17. Jenis obat yang digunakan untuk mengobati penyakit caplak (a) obat neguvon; (b) neguvon dalam bentuk serbuk ................................. 42 18. Feses biawak ekor biru (Varanus doreanus) ............................................ 42 19. Bentuk alat kelamin biawak (a) biawak jantan; (b) biawak betina ............. 44 20. Teknik adaptasi biawak (a) penyiraman biawak; (b) kantong berisi biawak ............................................................................................ 47 21. Kuota ekpor biawak ekor biru (Varanus doreanus) dari 11 perusahaan eksportir reptil pada tahun 2010 ............................................................... 49 22. (a) Box tempat pengepakan; (b) Pengepakan biawak ............................... 50
23. Biawak ekor biru (Varanus doreanus) (a) anakan;(b) remaja;(c) dewasa .. 54 24. Persentase alokasi waktu pada aktivitas makan ........................................ 57 25. Persentase alokasi waktu pada aktivitas bergerak .................................... 58 26. Persentase alokasi waktu pada aktivitas bertengger ................................. 59 27. Persentase alokasi waktu pada aktivitas berjemur ..................................... 60 28. Persentase alokasi waktu pada aktivitas beristirahat ................................. 61 29. Pola sebaran aktivitas harian biawak ekor biru anakan ............................. 62 30. Pola sebaran aktivitas harian biawak ekor biru remaja .............................. 62 31. Pola sebaran aktivitas harian biawak ekor biru dewasa ............................ 63
DAFTAR LAMPIRAN No.
Halaman
1. Hasil pengukuran suhu dan kelembaban kandang ..................................... 72 2. Hasil pengamatan aktivitas harian biawak ekor biru ................................. 73 3. Hasil uji khi-khuadrat dari alokasi waktu harian biawak ekor biru (Varanus doreanus) berdasarkan kelas umur ............................................. 75 4. Kondisi perkandangan biawak ekor biru di PT Mega Citrindo ................... 76 5. Aktivitas harian biawak ekor biru .............................................................. 77 6. Sketsa gambar kandang permanen biawak ekor biru ................................. 78 7. Sketsa gambar kandang permanen biawak ekor biru ................................. 79 8. Sketsa gambar kandang (box penampung) biawak ekor biru (Varanus doreanus) ………………………………………………………. 80 9. Sketsa gambar box pengepakan biawak ekor biru ..................................... 81 10. Hasil pengukuran bagian tubuh biawak ekor biru ..................................... 82
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemanfaatan jenis-jenis reptil saat ini sangat berkembang pesat. Masyarakat memanfaatkan berbagai jenis reptil seperti biawak sebagai hewan peliharaan maupun satwa yang berkhasiat obat. Permintaan reptil untuk dikonsumsi dipengaruhi oleh selera dan kepercayaan masyarakat dalam penyembuhan penyakit (Soehartono dan Mardiastuti 2003). Darah, daging dan empedu reptil dipercaya mengobati penyakit kulit. Lemak dan minyak dari bagian organ biawak sering digunakan untuk memproduksi aneka obat dan jimat. Tingginya permintaan reptil sebagai obat, makanan ataupun sebagai hewan peliharaan semakin mengancam keberadaan satwa tersebut di alam. Meskipun biawak ekor biru (Varanus doreanus) belum termasuk ke dalam kategori terancam punah, namun pemanfaatan terhadap satwa-satwa tersebut masih harus dibatasi dengan melakukan teknik pemanfaatan yang lestari. Penangkaran satwa adalah salah satu upaya yang dilakukan untuk menyelamatkan satwa tersebut agar keberadaaannya di alam tidak punah. Penangkaran
satwaliar
adalah
suatu
kegiatan
yang
dilakukan
untuk
mengembangbiakkan jenis-jenis satwaliar, yang bertujuan untuk memperbanyak populasinya dengan tetap mempertahankan kemurnian jenisnya, sehingga kelestarian dan keberadaannya di alam dapat dipertahankan (Thohari 1987). Penangkaran merupakan salah satu alternatif bagi masyarakat yang ingin mengembangkan usahanya di bidang pemanfaatan satwa seperti perdagangan (ekspor) satwa sebagai hewan kesayangan atau perdagangan satwa yang bernilai komersil seperti penghasil bahan tekstil atau bahan makanan yang berkhasiat obat. Manajemen penangkaran satwa sangat bervariasi karena disesuaikan dengan jenis satwa yang ditangkarkan. Masing-masing satwa memiliki penanganan yang berbeda-beda akan tetapi kegiatan penangkaran tetap mengupayakan kesejahteraan dari satwa yang ditangkarkan. Kondisi penangkaran tetap diupayakan seperti pada kondisi habitat alaminya sehingga satwa tersebut dapat dengan mudah beradaptasi dan hidup sealami mungkin.
Perilaku satwa merupakan salah satu teknik adaptasi atau penyesuaian diri terhadap perubahan lingkungan dalam menjalankan aktivitas hariannya. Pola aktivitas satwa terlihat dari aktivitas harian satwa di habitatnya. Satwa yang hidup di habitat alami dapat mengekspresikan seluruh aktivitas hariannya secara normal sedangkan aktivitas satwa di dalam kandang mengharuskan satwa tersebut untuk dapat beradaptasi di ruangan atau tempat yang terbatas. Biawak termasuk jenis satwa diurnal (aktif pada siang hari) (Bennett 1998) begitu pula dengan biawak ekor biru yang lebih banyak melakukan aktivitas hariannya pada siang hari. Pengetahuan mengenai aktivitas harian biawak ini perlu dipelajari karena dapat membantu dalam pemeliharaan di kandang. Modifikasi kandang juga perlu dilakukan agar satwa tersebut merasa seperti hidup di habitat alaminya sehingga dibutuhkan peralatan dan perlengkapan kandang yang dapat menunjang aktivitas hariannya. PT Mega Citrindo adalah salah satu perusahaan yang bergerak dibidang perdagangan (ekspor) jenis-jenis reptil. Perusahaan ini tidak hanya menampung dan mengekspor satwa-satwa tersebut dari berbagai daerah di Indonesia, namun juga mulai mencoba melakukan usaha penangkaran pada jenis satwa tertentu termasuk jenis biawak ekor biru (Varanus doreanus). Secara umum diketahui bahwa tingkat keberhasilan usaha penangkaran dipengaruhi oleh teknik pengelolaan yang dilakukan. Selain itu dalam pengelolaannya, perlakuan yang perlu diperhatikan terkait dengan manajemen reproduksi adalah penentuan jenis kelamin. Oleh karena itu, penting diketahui perbedaan jenis kelamin terhadap biawak yang dipelihara. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengetahui perbedaan jenis kelamin adalah melalui pengenalan morfologi biawak baik dari segi ciri morfologi pada aspek kualitatif maupun ukuran tubuh dari aspek kuantitatif. Terkait dengan hal tersebut, maka paling tidak terdapat tiga pertanyaan yang perlu dijawab melalui penelitian ini, yaitu : 1)
Bagaimana praktek pengelolaan penangkaran biawak yang dilakukan PT Mega Citrindo.
2)
Bagaimana aktivitas harian biawak ekor biru di penangkaran.
3)
Bagaimana ciri morfologi (kualitatif dan kuantitatif) yang membedakan jenis kelamin jantan dan betina dari biawak ekor biru.
1.2 Tujuan Tujuan dari penelitian ini yaitu : 1. Mempelajari aspek teknis dari pengelolaan penangkaran biawak ekor biru (Varanus doreanus) yang dilakukan oleh PT Mega Citrindo yang mencakup aspek perkandangan, pakan dan minum, pemeliharaan kesehatan, reproduksi, fasilitas kandang, ketenagakerjaan dan aspek lain yang mendukung. 2. Mengetahui ciri kuantitatif dan kualitatif dari morfologi biawak ekor biru (Varanus doreanus) sebagai ciri pembeda (determinasi) jenis kelamin dan kelas umur. 3. Mengamati aktivitas harian biawak ekor biru (Varanus doreanus) di kandang.
1.3 Manfaat Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini yaitu : 1. Sebagai bahan acuan sekaligus evaluasi bagi perbaikan dan pengembangan manajemen penangkaran biawak ekor biru (Varanus doreanus) baik di PT Mega Citrindo maupun di tempat lain. 2. Sumbangan bagi ilmu pengetahuan khususnya terkait dengan informasi tentang morfologi dan aktivitas harian biawak ekor biru (Varanus doreanus).
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Menurut Grzimek (1987) dan Samedi (2004) biawak ekor biru (Varanus doreanus) mempunyai klasifikasi sebagai berikut : Kingdom
: Animalia
Filum
: Chordata
Kelas
: Reptilia
Subkelas
: Diapsida
Ordo
: Squamata
Subordo
: Lacertilia
Famili
: Varanidae
Genus
: Varanus
Sub Genus
: Euprepiosaurus
Spesies
: Varanus doreanus (AB Meyer 1874).
Gambar 1. Biawak ekor biru (Varanus doreanus) (Sprackland 1995).
Biawak ekor biru (Varanus doreanus) berasal dari Papua dan kepulauan sekitarnya. Biawak ini memiliki kekerabatan yang erat dengan Varanus indicus dan Varanus jobiensis. Nama ilmiah awal untuk Varanus doreanus adalah Varanus indicus kalabeck lalu diubah menjadi Varanus indicus complex sebelum akhirnya ditetapkan menjadi Varanus doreanus (Anonim 2007).
2.2 Morfologi Karakteristik dari biawak ekor biru (Varanus doreanus) adalah warna tubuh biru keabu-abuan. Kulit leher, bagian belakang dan bagian atas tungkai dipenuhi oleh pola (marking) bulatan totol-totol berwarna putih. Bentuk sisik leher bundar-oval dengan permukaan yang halus. Bagian leher berwarna putih dengan pola garis-garis dan warna lidah kuning (Sprackland 1995). Lubang hidungnya lebih dekat ke bagian ujung mulut. Bentuk ekor memipih di bagian ujung, dan memiliki bagian semacam sirip kecil di atas ekor. Warna dominan pada ekor adalah biru dengan garis-garis hitam. Warna biru tersebut akan sedikit memudar pada saat mencapai dewasa. Menurut Anonim (2007) panjang total
tubuh biawak ekor biru dapat mencapai 135 cm. Usia harapan seekor biawak ekor biru (Varanus doreanus) adalah 10-15 tahun. Menurut Shine et al. (1998), untuk menganalisis pola dari sexual dimorphism (perbedaan jenis kelamin yang terlihat) dapat dilihat dari ukuran dan bentuk tubuh biawak. Perbedaan jantan dan betina ditunjukkan dengan perbedaan yang signifikan pada bentuk tubuh secara keseluruhan, seperti panjang ekor jantan lebih panjang dibandingkan dengan betina dan bobot badan biawak jantan berbeda dengan biawak betina. Biawak ekor biru memiliki ciri morfologi yang hampir mirip dengan Varanus indicus dan Varanus jobiensis (Anonim 2007). Berdasarkan keterangan tersebut, maka diketahui ada perbedaan ciri pada biawak ekor biru jantan dan betina serta pada jenis biawak lain yang mempunyai hubungan kekerabatan. Berikut (Tabel 1 dan Gambar 2, 3 dan 4) keterangan singkat yang menerangkan mengenai ciri morfologi dari Varanus doreanus dengan Varanus indicus dan Varanus jobiensis. Tabel 1. Hubungan kekerabatan antara Varanus doreanus dengan Varanus indicus dan Varanus jobiensis No. 1.
Keterangan Nama latin dan Inggris
Varanus doreanus Varanus doreanus (AB Meyer 1874) dan Blue tailed monitor
Varanus jobiensis Varanus jobiensis (Ahl 1932) dan Peach-throated monitor
Hutan dataran rendah dan tepi sungai
Varanus indicus Varanus indicus (Daudin 1802) dan flower lizard, ambon lizard,Pacific monitor. Euprepiosaurus Sebelah utara Australia dan New Guinea timur ke Kepulauan Solomon, Kepulauan Marshall, Kepulauan Caroline dan Kepulauan Mariana Hutan bakau dan hutan hujan
2. 3.
Sub genus Penyebaran
Euprepiosaurus Pulau Salawati, Biak,Warmar, kepulauan Aru, New Guinea, sebelah utara Queensland,Australia dan Irian Jaya
4.
Habitat
5.
Morfologi
Warna tubuh biru keabu-abuan. Kulit leher, bagian belakang dan bagian atas tungkai dipenuhi oleh pola (marking) bulatan totoltotol berwarna putih. Bentuk sisik leher
Warna tubuh berwarna gelap dengan bintik-bintik kuning kecil, panjang total berkisar antara 75-120 cm. Wajah halus dan mengkilap, panjang ekor hampir
Warna pada tenggorokan putihkuning kemerahmerahan. Warnatersebut lebih mencolok dibandingkan warna tubuh lainnya.
Euprepiosaurus New Guinea.
Hutan bakau, hutan, rawa-rawa, dan hutan hujan.
Tabel 1 (lanjutan)
6.
Makanan (pakan)
7.
Status perlindungan
bundar-oval dengan permukaan yang halus. Bagian leher berwarna putih dengan pola garisgaris. Panjang total dapat mencapai 135 cm. Usia harapan adalah 1015 tahun.
dua kali panjang tubuhnya. Iris mata berwarna coklat gelap dengan lingkaran seperti cincin emas. Mulutnya berwarna merah dan dapat membuka lebar untuk menarik mangsa atau menakut-nakuti predator seperti komodo.
Panjangnya mencapai 120 cm. ukuran leher yang lebih kecil dibandingkan Varanus indicus, lidah berwarna merah cerah dengan ujung jari berwarna hitam mengkilap, bentuk kepala sempit.
Tikus, kepiting sungai, serangga (jangkrik, belalang), ulat jerman, ulat bambu, telur, dan reptil/kadal ukuran kecil (cicak). Appendix II CITES
Mamalia kecil, serangga, kepiting, telur burung, burung, dan kadal lain.
Serangga, katak, ikan air tawar dan mamalia kecil.
Appendix II CITES
Appendix II CITES
Sumber : Sprackland (1995) ; Bennett. D (1995).
Gambar 2. Varanus doreanus (Sprackland 1995).
Gambar 3. Varanus jobiensis (Van der Weg. MA 1995).
Gambar 4. Varanus indicus (Bennett. D 1995).
2.3 Habitat dan Penyebaran Biawak ekor biru (Varanus doreanus) hidup di hutan dataran rendah dan tepi sungai. Saat dewasa dapat ditemukan di daratan akan tetapi biawak ekor biru muda biasanya dapat hidup di atas pohon. Biawak ekor biru dewasa memiliki sifat yang mudah tertekan dan gugup serta memerlukan waktu untuk beradaptasi dengan lingkungan kandang. Oleh karena itu, untuk memudahkan biawak dalam beradaptasi di penangkaran disarankan untuk menyediakan tempat persembunyian di dalam kandang agar biawak merasa aman dan nyaman karena dapat bersembunyi. Hal tersebut akan memudahkan biawak untuk beradaptasi di dalam penangkaran (Anonim 2007). Penyebaran reptil dipengaruhi oleh cahaya matahari yang dapat mencapai daerah tersebut (Halliday dan Adler 2000). Daerah penyebaran biawak ekor biru (Varanus doreanus) adalah Irian Jaya (Samedi 2004). Jenis ini juga terdistribusi di Pulau Salawati, Biak, Warmar, kepulauan Aru, New Guinea, sebelah utara Queensland dan Australia (Dryden et al. 2004; Ziegler et al. 1999b, 2001, 2007). Pada
umumnya
untuk
melakukan
aktivitas,
semua
jenis
reptil
membutuhkan suhu tubuh antara 20oC-40oC. Namun untuk biawak ekor biru diketahui dapat hidup pada suhu 27ºC-31ºC, suhu berjemur biawak ekor biru pada 33Cº-35ºC, dan suhu terdingin yang dapat diterima oleh biawak ekor biru (Varanus doreanus) adalah 20ºC-22ºC dengan tingkat kelembaban 70%-90% (Anonim 2007).
2.4 Reproduksi Reptil berkembang biak dengan cara ovipar (bertelur) dan ovovivipar (bertelur dan beranak) (Goin dan Goin 1971). Proses pembuahan telur oleh sel sperma reptil terjadi secara internal. Tidak banyak yang tahu mengenai perilaku reproduksi biawak. Perilaku biawak jantan saat ingin kawin adalah dengan mengejar betina, mendekati pasangannya dan sesekali melakukan gerakan zigzag pada kepalanya kemudian menungganginya. Biawak jantan akan menyentuh leher betina dengan lidahnya dan menghentak leher betina serta memegang punggung betina dengan kaki belakangnya. Kadang-kadang biawak jantan menggigit leher betina bahkan terkadang melukai kulit betina. Proses perkawinan biawak
terkadang bisa menyebabkan biawak betina mati akibat terluka terkena cakaran dan gigitan biawak jantan. Tanda awal dari proses kawin adalah biawak jantan mulai memeriksa tubuh betina seperti bagian kepala, leher dan lubang kelamin dengan menggunakan lidah dan kakinya. Proses perkawinan terjadi hanya beberapa detik atau lebih dan akan berlanjut beberapa jam sehari selama seminggu atau lebih (Bennett 1998). Reptil betina menyimpan telurnya yang bercangkang pada lubang atau serasah (Halliday dan Adler 2000). Biawak betina bertelur di sebuah lubang dan menguburnya dengan pasir serta daun-daun bila terkena sinar matahari dapat berfungsi sebagai alat inkubasi. Seekor biawak juga dapat bertelur di sebuah gundukan sarang rayap (Hoeve 1992).
2.5 Aktivitas Harian Menurut Suratmo (1979) dalam Purba (2008), perilaku satwa merupakan ekspresi satwa terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi baik faktor internal maupun faktor eksternal. Perilaku merupakan gerak-gerik satwa yang dilakukan sebagai respon dari tubuhnya terhadap rangsangan dari lingkungannya. Fungsi perilaku adalah untuk menyesuaikan diri terhadap beberapa perubahan yang dipengaruhi oleh faktor luar dan faktor dalam (Alikodra 2002). Aktivitas biawak secara umum ditentukan berdasarkan temperatur, suhu, kelembaban dan cahaya. Aktivitas biawak dimulai saat cahaya matahari mulai muncul dan berakhir saat matahari terbenam sehingga biawak termasuk satwa diurnal (Bennett 1998). Biawak bukan termasuk jenis satwa sosial. Biawak sering ditemukan di pinggir sungai dan termasuk satwa yang soliter. Biawak hanya akan berkumpul pada saat musim kawin (Bennett 1998). Di alam wilayah teritori sering terjadi overlap dan biawak juga akan merasakan tanda-tanda kedatangan biawak lain melalui penciumannya. Perkelahian antara biawak sering terjadi khususnya pada biawak jantan. Perkelahian terjadi apabila terjadi perebutan wilayah teritori atau perebutan makanan. Biawak yang lebih besar dan kuat akan mengalahkan biawak lain dengan mencengkram tubuh biawak menggunakan keempat kaki dan cakarnya. Biawak juga menggunakan giginya untuk menggigit lawannya hingga terluka (Bennett 1998).
Perilaku alami yang biasa dilakukan biawak adalah berjemur. Biawak anakan dan remaja lebih banyak menghabiskan waktu di atas pohon (arboreal) sedangkan biawak dewasa lebih banyak beraktivitas di darat (terestrial). Menurut Mochtar (1992) dalam Purba (2008) aktivitas memanjat pada komodo merupakan salah satu usaha untuk melindungi diri. Karena sifat komodo adalah kanibal dan berlaku juga terhadap biawak terbukti biawak dewasa dapat memangsa telur biawak itu sendiri dan bahkan biawak yang terlihat lemah saat kekurangan pakan.
2.6 Pemanfaatan Hasil Saat ini permintaan reptil untuk dikonsumsi terus meningkat. Selama tahun 1992-1999 menurut daftar IRATA dan Management Authority (Departemen Kehutanan Indonesia) terdapat 17 eksportir daging reptil di Indonesia (Soehartono & Mardiastuti 2003). Beberapa masyarakat pun percaya bahwa jenis reptil dapat dimanfaatkan sebagai obat. Daging, darah dan empedu reptil dipercaya dapat mengobati penyakit kulit. Sebagian besar biawak di habitat alaminya banyak diburu oleh manusia. Daging dan telurnya dikonsumsi oleh masyarakat, dan hewan tersebut sering digunakan untuk memproduksi berbagai obat dan jimat. Lemak dan minyak dari sepasang organ yang gemuk digunakan oleh ahli pengobatan Cina (Grzimek 1987). Bahkan, biawak pun dimanfaatkan sebagai hewan peliharaan bagi para penggemar reptil. Ada beberapa perusahaan di Indonesia yang mengekspor jenis satwa dari berbagai daerah ke negara lain untuk dijadikan sebagai hewan peliharaan. Pemerintah juga telah menetapkan kuota dari perdagangan satwa yang diekspor. Menurut Peraturan Pemerintah No.7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa, kegiatan pengiriman atau pengangkutan tumbuhan dan satwa dari jenis yang dilindungi dari dan ke suatu tempat di wilayah Republik Indonesia atau dari dan keluar wilayah Republik Indonesia dilakukan atas dasar ijin menteri. Biawak ekor biru (Varanus doreanus) adalah salah satu jenis biawak yang diekspor guna dijadikan sebagai hewan peliharaan. Menurut Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (2009) mengenai Penetapan Rencana Produksi Reptil Hidup Hasil Penangkaran Tahap Pertama (Periode Januari - Juni), biawak ekor biru (Varanus doreanus) yang berstatus tidak
dilindungi dan termasuk Apendix II CITES diproduksi sebanyak 81 ekor. Namun dari 21 perusahaan yang memproduksi reptil hidup, PT Mega Citrindo pada periode tersebut belum memproduksi biawak ekor biru (Varanus doreanus). Hal ini diasumsikan bahwa PT Mega Citrindo belum dapat memproduksi biawak ekor biru (Varanus doreanus). Perusahaan ini masih mengupayakan usaha penangkaran pada biawak ekor biru (Varanus doreanus). Menurut Pernetta (2009), jumlah total biawak ekor biru (Varanus doreanus) yang diekspor oleh 8 negara dari 82 negara pada tahun 1975-2005 berdasarkan data CITES adalah 3.907 ekor dengan persentase dalam perdagangan globalnya adalah 0,2899%. Tingginya permintaan pasar pada berbagai jenis biawak menunjukkan semakin dibutuhkannya kegiatan penangkaran agar pemanfaatan yang dilakukan tetap mempertahankan prinsip kelestarian.
2.7 Penangkaran Menurut Thohari (1987), penangkaran adalah suatu kegiatan yang dilakukan untuk mengembangbiakan jenis-jenis satwaliar dan tumbuhan alam, yang bertujuan untuk memperbanyak populasinya dengan tetap mempertahankan kemurnian jenisnya, sehingga kelestarian dan keberadaannya di alam dapat dipertahankan. Sedangkan menurut Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwaliar, penangkaran adalah upaya perbanyakan melalui pengembangbiakan dan pembesaran tumbuhan dan satwa liar dengan tetap mempertahankan kemurnian jenisnya. Undang-undang No. 5 Tahun 1990 mengenai Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya juga menerangkan bahwa salah satu bentuk pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwaliar dapat dilakukan melalui kegiatan penangkaran. Kegiatan
penangkaran
meliputi
pengumpulan
bibit,
pembiakan,
perkawinan, penetasan telur, pembesaran anak dan restoking. Menurut Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1999, penangkaran untuk tujuan pemanfaatan jenis dilakukan melalui kegiatan : 1. Pengembangbiakan satwa atau perbanyakan tumbuhan secara buatan dalam lingkungan yang terkontrol; dan 2. Penetasan telur dan atau pembesaran anakan yang diambil dari alam.
2.8 Aspek Teknis Penangkaran Dalam penangkaran terdapat beberapa teknologi yang membantu dalam proses pengembangbiakan satwa maupun pemeliharaannya. Teknologi yang dibutuhkan mencakup berbagai tahapan dalam usaha penangkaran yang meliputi tahapan pengumpulan satwa yang dijadikan sebagai bibit, tahap pengangkutan satwa dari lapangan, tahap pemeliharaan dan tahap restoking (Thohari 1987). Teknologi penangkaran satwa juga perlu mendapat perhatian yang serius karena mengingat ada satwa-satwa tertentu yang bersifat sangat sensitif terhadap aktivitas yang tidak pernah di alami sebelumnya sehingga hal tersebut dapat menimbulkan stres bahkan kematian. Suatu penangkaran satwaliar dapat dinilai berhasil apabila teknologi reproduksi dari satwa tersebut telah dikuasai, artinya usaha penangkaran tersebut telah berhasil mengembangbiakkan satwa yang ditangkarkan (Thohari 1987). Aspek-aspek teknis penangkaran meliputi : 2.8.1 Bentuk dan Sistem Penangkaran Bentuk dan sistem penangkaran terdiri dari intensif (campur tangan manusia untuk semua kebutuhan), semi intensif (sebagian kebutuhan memerlukan campur tangan manusia), dan ekstensif. Bentuk dan sistem penangkaran yang akan menjadi obyek penelitian ini adalah penangkaran exsitu dengan sistem penangkaran
intensif.
Penangkaran
exsitu
adalah
penangkaran
yang
dikembangkan di luar habitat alaminya atau di lingkungan sekitar manusia (Masy’ud 2003). Menurut Masy’ud (2001) dalam Hapsari (2003), sistem penangkaran intensif memiliki ciri-ciri sebagai berikut : a. Dibuatkan kandang khusus. b. Kebutuhan makanan satwa diberikan dan disediakan secara penuh oleh pengelola. c. Sistem perkawinan satwa diatur, baik dengan cara kawin alami maupun buatan atau menggunakan teknologi reproduksi lainnya. d. Perawatan kesehatan dan pengendalian penyakit dilakukan secara teratur dan kontinyu.
2.8.2 Pengadaan Bibit dan Teknik Imobilisasi Menurut PP No. 8 tahun 1999, bibit untuk keperluan penangkaran dapat diambil dari alam atau sumber-sumber lain yang sah, seperti penangkaran lain atau lembaga konservasi. Dalam pengadaannya perlu diketahui sumber bibit dan jumlah individu satwa serta sex rationya. Kualitas bibit satwa yang ada di penangkaran perlu mendapat perhatian, khususnya dalam hal variasi genetiknya. Semakin tinggi variasi genetik dari bibit yang digunakan maka semakin tinggi kualitasnya sebagai induk (Thohari 1987), sehingga penangkaran tersebut dapat menghasilkan jenis keturunan yang bervariasi dengan tetap menjaga kemurnian jenisnya. Pada tahap pengangkutan satwa, prosesnya harus dilakukan secara diamdiam dan hati-hati untuk menghindari satwa menjadi stres dan rasa tidak nyaman. 2.8.3 Adaptasi, Habituasi, dan Aklimatisasi Perlakuan adaptasi, habituasi dan aklimatisasi perlu menggunakan treatmen tertentu di dalam kandang. Hal ini dilakukan agar satwa dapat menyesuaikan diri terhadap lingkungan yang baru. Menurut Hardjanto et al. (1991), apabila satwa mudah beradaptasi harus tetap memerlukan perhatian dan penanganan / latihan yang baik dan teratur untuk mencegah kemungkinan seperti : stress,
penyakit
bahkan
mengoptimalkan
manfaat
hingga yang
kematian diperoleh.
sehingga Cara
yang
diupayakan
dapat
dilakukan
untuk
mempermudah penanganan individu yang baru ditangkap adalah menempatkan satwa dalam kandang yang gelap dan relatif tidak luas. Tempat penangkaran yang akan digunakan harus disesuaikan dengan kondisi habitat aslinya, sehingga adaptasi satwa di tempat baru tidak memerlukan waktu yang lama. 2.8.4 Sistem Pengandangan Kandang, kontruksi kandang maupun fasilitas kandang harus disesuaikan dengan jenis satwa yang akan ditangkarkan. Kandang merupakan tempat hidup satwa dengan ukuran tertentu yang ukurannya terbatas dan diberi pagar atau dinding, baik tertutup seluruhnya maupun hanya sebagian (Masy’ud 2003). Selain sebagai tempat hidup atau tempat peliharaan satwa, kandang juga memiliki fungsi untuk : a. Menyediakan ruang hidup/ pergerakan bagi satwa yang ditangkarkan.
b. Melindungi satwa dari panas matahari, dingin, angin dan hujan. c. Melindungi satwa dari bahaya atau gangguan luar seperti predator atau pencuri. d. Memudahkan manajemen. Dengan adanya kandang, maka pihak pengelola akan lebih mudah melakukan pengawasan, penangkapan atau pemberian pakan, perawatan kesehatan, reproduksi, dll. Kandang yang ideal adalah kandang yang konstruksi bahannya kuat, kokoh, dan tahan lama. Ukuran kandang ideal untuk biawak ekor biru (Varanus doreanus) dewasa adalah 180 cm x 60 cm x 120 cm, dan untuk anakan adalah 60 cm x 30 cm x 30 cm dapat dikatakan cukup (Anonim 2007). Tempat air harus selalu tersedia di dalam kandang. Tempat air biasanya digunakan biawak untuk berendam dan berenang, terutama ketika masa ganti kulit (sheding). Ukuran tempat air disarankan cukup besar sehingga tubuh biawak dapat masuk seluruhnya ke dalam air. Tempat air dapat berupa conteiner atau bak plastik besar (sejenis tempat plastik tupperware). Untuk media alas kandang, gunakan pasir malang. Pasir malang yang berwarna hitam baik sekali menyimpan kelembaban yang berguna bagi reptil berjenis biawak (Anonim 2007). Selain pasir malang, ada yang menganjurkan pemakaian serat kayu pohon kelapa untuk medium kandang biawak. Kondisi kandang harus dibuat sealami mungkin agar satwa tetap merasa hidup di habitat alaminya. Untuk keamanan, usahakan bahwa kandang biawak harus tertutup tanpa celah dan dapat dikunci. Hal ini dikarenakan biawak terkenal sebagai satwa yang mampu melarikan diri apabila diberikan kesempatan (Bennett 1998). Dalam kandang harus disediakan tempat persembunyian seperti gua persembunyian reptil, batang kayu besar dan batu. Benda-benda tersebut terlebih dahulu harus dicuci dan dikeringkan sebelum digunakan dalam kandang. Hal ini dilakukan untuk mencegah masuknya penyakit dan parasit masuk ke dalam kandang yang akan mengganggu kesehatan biawak (Bennett 1998). 2.8.5 Pakan dan Air Dalam usaha penangkaran atau peternakan, makanan adalah salah satu komponen produksi yang membutuhkan biaya terbesar dengan persentase 60-70% dari seluruh biaya produksi. Oleh karena itu, dalam penyediaan makanan perlu
mendapat perhatian khusus dan penanganan yang baik dan teratur, sehingga kualitas makanan yang diberikan mampu menghasilkan produktivitas optimum dari satwa yang ditangkarkan (Hardjanto et al. 1991). Pakan satwa terdiri dari pakan alami dan buatan namun tetap memperhatikan kandungan nutrisi dan gizinya. Jenis pakan biawak sangat bervariasi di alam seperti kepiting, serangga (jangkrik dan belalang), tikus, anak ayam, telur, ulat bambu dan jenis kadal kecil (Bennett 1995). Makanan utama biawak ekor biru (Varanus doreanus) adalah tikus, kepiting sungai, serangga (jangkrik, belalang), ulat jerman, ulat bambu, telur, dan reptil/kadal ukuran kecil (cicak). Semua hewan bisa menjadi pakan biawak apabila memungkinkan, karena dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan vitamin dan mineral dan mencegah kekurangan nutrisi pada biawak khususnya pada tingkat anakan (Breen 1974). Di penangkaran makanan tambahan berupa bubuk kalsium perlu diberikan namun tidak diperlukan lagi apabila biawak telah memakan makhluk yang hidup. Biawak jarang terlihat minum. Saat minum, biawak memasukkan kepala hingga matanya ke dalam air dan meminum air beberapa tegukan, kadang-kadang mengangkat kepalanya seperti yang dilakukan oleh seekor ayam (Breen 1974). 2.8.6 Penyakit dan Perawatan Kesehatan Upaya pengenalan jenis-jenis pengakit dan pencegahan penyakit sangat perlu dilakukan guna menjaga satwa agar tetap sehat. Biawak sangat rentan terserang penyakit yang bersifat parasit sehingga dapat membahayakan inangnya (Bennett 1998). Penyakit parasit yang sering menyerang biawak yaitu caplak, kutu, dan tungau. Untuk mencegah penyebaran parasit tersebut, biawak yang baru datang harus dikarantina sebelum disatukan dengan biawak lainnya. Menurut Honegger (1975) dalam Hapsari (2004), pengaturan fasilitas karantina yaitu : a. Kandang karantina dijauhkan dari kandang satwa lainnya. b. Petugas karantina hanya bertugas di kandang karantina dan tidak menangani kandang lainnya. c. Satwa ditempatkan dalam kandang karantina secara individu. d. Semua kandang harus dapat didesinfektan atau disterilisasi. e. Periksa feses satwa secara rutin untuk mendeteksi penyakit.
Penyakit
satwa
juga
disebabkan ketidakseimbangan pakan yang
dibutuhkan oleh satwa tersebut. Reptil yang mengalami obesitas memiliki tingkat toleransi yang rendah terhadap peningkatan suhu lingkungan, tingkat infeksi yang tinggi, bahkan menyebabkan kemandulan bagi reptil jantan (Wallach & Hoff 1982 dalam Hapsari 2004). Penyakit karena ketidakseimbangan zat makanan dapat dijelaskan dibawah ini (Tabel 2). Tabel 2. Jenis penyakit akibat ketidakseimbangan zat makanan. No. 1
Zat Makanan Karbohidrat
Penyakit Kelebihan karbohidrat menyebabkan obesitas dan kekurangan dalam jangka panjang dapat menyebabkan hypoglycemic shock.
2
Protein
3
Air
Kelebihan protein disertai dehidrasi mengakibatkan pembengkakan dan nyeri pada persendian. Kekurangan protein dapat menghambat reproduksi dan pembentukan cangkang telur. Kekurangan air yang fatal dapat mengganggu fungsi ginjal.
4
Vitamin A
Kekurangan vitamin A dapat menghambat pertumbuhan, palpebral, edema, dan hyperkeratosis.
5
Vitamin B1
Kekurangan vitamin B1 dapat menurunkan berat badan secara kronis walaupun satwa mendapat cukup pakan.
6
Vitamin C
Kekurangan vitamin C dapat menyebabkan radang pada kulit dan jaringan lendir jika terinfeksi oleh mikroorganisme dapat menyebabkan necrotic stomatits.
7
Vitamin D
Kekurangan vitamin D menyebabkan sendi-sendi pada pertulangan menjadi kurang lentur. Kelebihan vitamin D menyebabkan pengapuran pada sendi-sendi pertulangan termasuk aorta dan pembuluh darah ginjal.
8
Vitamin E
Kekurangan vitamin E menyebabkan dystrophy pada otot.
9
Mineral
Kekurangan mineral sering terjadi pada reptil di penangkaran, hal ini dapat menyebabkan fibrous osteodystrophy.
Sumber : Wallach & Hoff (1982) dalam Hapsari (2004). 2.8.7 Pengembangbiakan atau Reproduksi Pengembangbiakan dilakukan secara alami ataupun buatan dengan tetap memperhatikan perilaku reproduksinya. Keberhasilan penangkaran sangat ditentukan
pula
oleh
keberhasilan
reproduksinya.
Faktor-faktor
yang
mempengaruhi dalam proses pengembangbiakan reptil, yaitu : ruang, suhu,
cahaya,
kelembaban,
pakan,
penentuan
jenis
kelamin,
dan
teknik
perkembangbiakan (Honegger 1975 dalam Hapsari 2004). 2.8.8 Pemanfaatan Hasil Penangkaran Manfaat usaha penangkaran menurut Basuni (1987) adalah bahwa penangkaran tidak hanya untuk mempertahankan populasi di alam akan tetapi juga bertujuan untuk konsumsi dan perdagangan. Dengan demikian penangkaran dapat bertujuan untuk kepentingan ekonomi, sosial budaya, dan ilmu pengetahuan dengan tetap mempertahankan populasi dan kemurnian jenisnya. Masyarakat juga dapat memanfaatkan kegiatan penangkaran sebagai suatu usaha yang dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraannya. Menurut Thohari (1987) penangkaran dapat dijadikan sebagai peluang usaha dalam penyediaan protein hewani atau nabati. Teknologi penanganan panen dan pasca panen sangat penting untuk diperhatikan seperti penentuan umur panen dan jumlah produksinya. 2.8.9 Ketenagakerjaan Tenaga kerja dalam penangkaran sebaiknya memiliki pengetahuan mengenai sapek teknis penangkaran karena manajemen penangkaran yang baik terlihat dari cara kerja sumberdaya manusia di penangkaran tersebut. Berdasarkan PP No. 08 tahun 1999, menyebutkan dalam suatu penangkaran pihak pengelola wajib mempekerjakan dan memiliki tenaga ahli dibidang penangkaran satwa yang bersangkutan. Kegiatan teknis penangkaran yang dapat dilakukan oleh pekerja diantaranya: pembersihan kandang, pemberian pakan, perawatan kesehatan satwa, pengembangbiakan, administrasi dan lain-lain.
2.9 Status Perlindungan Biawak Ekor Biru (Varanus doreanus) termasuk satwa yang tidak dilindungi dan tergolong Apendiks II CITES. Satwa yang termasuk jenis Apendiks II adalah jenis satwa yang pada saat ini tidak termasuk ke dalam kategori satwa yang terancam punah, namun masih memiliki kemungkinan untuk dapat terancam punah bila perdagangan satwanya tidak diatur dengan baik. Perdagangan terhadap satwa Apendiks II diperbolehkan dengan izin ekspor dari Management Authority negara pengekspor (Dephut 2008a). CITES (Convention on International Trade in
Endangered Species of Wild Fauna and Flora) merupakan suatu konvensi internasional yang mengatur masalah perdagangan satwa dan tumbuhan liar. CITES berfungsi sebagai pengendali agar tidak terjadi kepunahan suatu jenis (Dephut 2008a). Status perindungan menurut Peraturan Pemerintah No.7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa, biawak ekor biru belum termasuk ke dalam jenis satwa yang dilindungi. Begitu pula halnya dengan status perlindungan menurut IUCN (International Union for Conservation of Nature and Natural Resources), biawak ekor biru juga belum memiliki status perlindungan. Meskipun biawak ekor biru belum memiliki status perlindungan yang kuat, namun pemanfaatan terhadap biawak ekor biru harus tetap dikendalikan demi menjaga kelestarian jenis biawak ini. Perlindungan satwa liar memperoleh perhatian dari berbagai pihak. Bentuk perhatian pemerintah dalam melindungi satwaliar tertuang di dalam naskah perundangan dan peraturan tingkat nasional serta daerah. Namun upaya tersebut masih belum dapat menjamin perlindungan satwa liar karena diperlukan kerjasama dari berbagai pihak.
2.10 Prinsip Kesejahteraan Satwa (Animal Welfare) Kesejahteraan satwa mengarah pada kualitas hidup dan berhubungan dengan banyak elemen yang berbeda-beda, seperti kesehatan, kesenangan, dan hidup yang lama, yang mana perlakuan yang diberikan manusia berbeda-beda dan dengan kadar kepentingan yang berbeda pula (Tannenbaum, 1991; Fraser, 1995). Pada umumnya terdapat 5 prinsip kesejahteraan satwa yaitu : 1. Bebas rasa lapar dan haus. Menurut Appbley dan Hughes (1997), satwa memiliki kebutuhan nutrisi (termasuk air) untuk menjaga fungsi fisiologinya, dan kebutuhan tersebut diperlukan pada saat bersamaan. Satwa dapat mengalami malnutrisi atau kekurangan nutrisi. Keadaan tersebut dapat menyebabkan ketidaknormalan atau gangguan perilaku, keadaan stress dan kematian. Pemberian makanan yang cukup dan air minum yang bersih setiap harinya adalah salah satu upaya untuk mengatasi masalah tersebut.
2. Bebas dari rasa tidak nyaman. Keadaan ini dapat dihilangkan dengan menyediakan suatu lingkungan yang sesuai dengan habitat asli satwa tersebut. 3. Bebas dari sakit, luka dan penyakit Sakit pada satwa jelas berpengaruh pada kesejahteraan jika diasumsikan bahwa perasaan sakit
pada satwa
disamakan dengan manusia. Luka
ditimbulkan dari kejadian trauma atau bahkan konsekuensi yang tidak dapat dihindari dari sistem penangkaran (Appbley dan Hughes 1997). Oleh karena itu, diperlukan pemberian perawatan untuk satwa yang sakit dan pencegahan terhadap penyakit pada satwa di penangkaran. 4. Bebas berperilaku liar alami. Kondisi ini dapat dilakukan dengan memberikan kondisi lingkungan alami dan membebaskan satwa untuk berperilaku secara alami. 5. Bebas dari rasa takut dan stress. Dilakukan dengan melakukan perlindungan untuk
menghindari
satwa dari berbagai
menyebabkan satwa menjadi takut dan stress.
hal
yang
BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan selama 2 bulan yaitu pada bulan April-Mei 2010, bertempat di PT Mega Citrindo Jalan Mutiara VII/31 Desa Curug, Kecamatan Gunung Sindur , Kabupaten Bogor, Jawa Barat. 3.2. Bahan dan Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya, yaitu : kamera digital, alat tulis, tallysheet, termometer dry and wet, hygrometer, meteran, timbangan, stereo mikroskop, dan komputer. Adapun bahan yang digunakan sebagai objek penelitian di penangkaran adalah biawak ekor biru (Varanus doreanus).
3.3. Metode Pengumpulan Data 3.3.1 Data Primer Data primer yang dikumpulkan mencakup tiga data utama yaitu : a) manajemen penangkaran, b) morfologi biawak, dan c) aktivitas harian. Uraian lengkap sebagai berikut : a. Manajemen Penangkaran Data yang diperoleh mengenai manajemen penangkaran biawak ekor biru diantaranya meliputi : 1. Perkandangan, meliputi : jenis, jumlah kandang, fungsi, bahan (kontruksi), ukuran, peralatan dan perlengkapan kandang, daya dukung kandang, suhu dan kelembaban kandang serta perawatan kandang. Data mengenai ukuran kandang diperoleh melalui pengukuran dengan menggunakan meteran. 2. Teknik pemeliharaan dengan pengamatan pemberian pakan, meliputi : jenis, sumber, jumlah pakan, cara pemberian pakan, jenis pakan tambahan, waktu pemberian pakan dan frekuensi pemberian pakan serta tempat penyimpanan.
3. Pemeliharaan kesehatan, meliputi : jenis penyakit yang sering dialami oleh biawak ekor biru, cara pencegahan dan pengobatan. Data mengenai jenis penyakit biawak ekor biru khususnya pada caplak dilakukan proses identifikasi di Laboratorium Entomologi Fakultas Kedokteran Hewan IPB dengan menggunakan stereo mikroskop perbesaran 4 kali. 4. Sistem sanitasi, yaitu cara pemeliharaan kebersihan lingkungan kandang baik yang di dalam maupun di luar kandang. 5. Populasi, meliputi jumlah biawak ekor biru (Varanus doreanus) yang ditangkarkan, jenis kelamin dan kelas umur. 6. Teknik Pengembangbiakan, meliputi : pemilihan bibit, determinasi sex, pembentukan
pasangan,
perlakuan
terhadap
pasangan,
tingkat
keberhasilan breeding. 7. Pengadaan satwa, meliputi : kuota tangkap, standar ukuran satwa. 8. Teknik adaptasi, meliputi: lamanya proses adaptasi dan perlakuan dalam proses adaptasi. 9. Pengelolaan pemanfaatan hasil, meliputi : ukuran tubuh satwa, teknik pengepakan sebelum diekspor, kuota ekspor dan realisasi ekspor,. 10. Pemasaran atau sistem ekspor satwa. Data tersebut diatas secara umum diperoleh dengan menggunakan metode pengamatan langsung di lapangan dan wawancara kepada pihak perusahaan (pimpinan perusahaan dan petugas penangkaran). Data mengenai teknik pengelolaan penangkaran diperoleh dengan mengikuti kegiatan petugas di penangkaran. b. Morfologi Biawak Ekor Biru (Varanus doreanus) Pengukuran data morfologi biawak ekor biru dilakukan baik terhadap aspek kuantitaif maupun kualitatif. Data aspek kuantitatif dari morfologi biawak yang diambil mencakup semua ukuran dari tubuh biawak (Gambar 5). Pengukuran dilakukan dengan menggunakan alat meteran jahit dan penggaris. Untuk bobot badan biawak ditimbang dengan menggunakan timbangan.
A
B
N
M
C D
E
I
F G L
H
K J
Gambar 5. Teknik pengukuran morfologi biawak.
Keterangan Variabel yang diukur : a) Panjang kepala (A) b) Panjang leher (B) c) Panjang jari kaki depan dan belakang (C) d) Ukuran lingkar dada dan lebar dada (D) e) Panjang total kaki depan dan belakang (E) f) Ukuran lingkar perut (F) g) Panjang betis (tibia) (G) dan panjang paha (femur) (H)
h) Panjang lengan atas (N) dan lengan bawah (M) i) Panjang badan dari pangkal leher – kloaka (I) j)
Panjang ekor dari pangkal – ujung ekor (J)
k) Panjang total dari ujung kepala – ujung ekor (K) l) Ukuran lingkar pangkal ekor (L) m) Lebar kloaka 1. Data aspek kualitatif dari morfologi biawak yang diamati adalah yang terkait dengan ciri morfologi biawak yang meliputi warna kulit tubuh, warna totol, warna iris mata, warna ekor dan warna bagian tepi badan biawak yang dilakukan berdasarkan jenis kelamin dan kelas umur. Data pada aspek kuantitatif diperoleh dengan menggunakan metode pengamatan langsung dengan cara mengukur pada bagian tubuh biawak di penangkaran sedangkan aspek kualitatif diperoleh dengan melakukan pengamatan pada bagian dari ciri morfologi biawak yang diamati. Pengukuran bagian tubuh biawak dilakukan dengan menggunakan alat meteran dan penggaris sedangkan bobot badan biawak di ukur dengan menggunakan timbangan. Jumlah contoh biawak yang diukur adalah 10 ekor (63 %) dari 16 ekor biawak ekor biru di penangkaran. 10 ekor biawak tersebut terdiri dari 2 ekor jantan dewasa, 2 ekor betina dewasa, 3 ekor jantan remaja, 1 ekor betina remaja dan 2 ekor anakan. c. Aktivitas Harian Biawak Ekor Biru (Varanus doreanus) Aktivitas harian biawak ekor biru yang diamati diantaranya meliputi : 1. Aktivitas makan, yaitu dimulai dari biawak menggigit hingga selesai menelan mangsanya. 2. Aktivitas bergerak, yaitu semua pergerakan biawak dari satu tempat ke tempat lain. 3. Bertengger, yaitu dimulai saat biawak bertengger di batang pohon, dinding kawat kandang atau dinding tembok kandang. 4. Berjemur, yaitu saat biawak diam di daerah yang terkena sinar matahari. 5. Istirahat, yaitu aktivitas biawak yang diam di dalam shelter atau memejamkan mata saat bertengger.
Pengamatan aktivitas harian dilakukan dengan menggunakan metode Focal Animal Sampling di mana pengamatan dilakukan pada individu-individu tertentu sehingga pengambilan data terfokus pada satu individu yang diamati. Jumlah contoh biawak yang diamati aktivitasnya adalah 5 ekor yang masingmasing mewakili kelas umur dan jenis kelamin pada biawak di penangkaran. Pengamatan dilakukan mulai dari pukul 06.00-18.00 WIB dengan interval waktu 60 menit. Pengamatan aktivitas harian biawak dilakukan selama 15 hari dengan masing-masing kelas umur dilakukan pengamatan selama 5 hari. 3.3.2 Data Sekunder Data sekunder yang dikumpulkan, meliputi : a. Data mengenai kuota ekspor dan kuota tangkap nasional biawak ekor biru (Varanus doreanus) di Indonesia. b. Data kuota ekspor biawak ekor biru (Varanus doreanus) perusahaan. c. Data mengenai realisasi ekspor perusahaan dan nasional biawak ekor biru (Varanus doreanus). d. Data mengenai kualitas pakan dan harga pakan satwa. Data sekunder di atas diperoleh dengan menggunakan metode wawancara dengan pihak pengelola penangkaran dan melalui studi pustaka. 3.4. Analisis Data 3.4.1 Pengelolaan Penangkaran Analisis data mengenai pengelolaan penangkaran dilakukan secara deskriptif, dengan menguraikan dan menjelaskan mengenai teknik pengelolaan penangkaran biawak ekor biru yang juga dilengkapi dengan tabel, gambar, dan kurva yang relevan. Untuk data kuantitatif dilakukan analisis sebagai berikut : a. Persentase jumlah pakan terhadap bobot badan biawak diperoleh dengan menggunakan rumus sebagai berikut : % Jumlah Pakan =
x 100 %
Dengan pengertian : = Bobot pakan yang diberikan biawak ekor biru selama 1 minggu (gram) B = Rata-rata bobot badan biawak ekor biru (gram)
b. Persentase kuota ekspor biawak ekor biru perusahaan terhadap kuota ekspor nasional (ditentukan oleh pemerintah) dapat diketahui dengan perumusan sebagai berikut : % Kuota Ekspor =
x 100 %
Dengan pengertian : n = Jumlah kuota ekspor biawak oleh perusahaan N = Jumlah kuota nasional yang ditetapkan oleh pemerintah c. Persentase realisasi ekspor biawak ekor biru perusahaan terhadap realisasi ekspor nasional (ditentukan oleh pemerintah) dapat diketahui dengan perumusan sebagai berikut : % Realisasi Ekspor =
x 100 %
Dengan pengertian : n = Jumlah realisasi ekspor biawak oleh perusahaan N = Jumlah realisasi nasional yang ditetapkan oleh pemerintah 3.4.2 Morfologi Data kualitatif dari morfologi biawak dianalisis secara deskriptif yaitu menguraikan ciri-ciri dari morfologi biawak yang dilengkapi dengan tabel dan gambar. Data kuantitatif dianalisis dengan menghitung rata-rata dari setiap peubah morfologi yang diukur. Rumus yang digunakan untuk menghitung nilai rata-rata (nilai tengah) mengacu pada Walpole (1997), adalah sebagai berikut : = Dengan pengertian : Xi = nilai dari variabel contoh acak ukuran bagian tubuh biawak (cm) n = banyaknya data = Nilai rata-rata (nilai tengah). 3.4.3 Aktivitas Harian Data yang diperoleh dari hasil pengamatan aktivitas harian biawak dianalisis dan disajikan secara deskriptif yang dilengkapi dengan gambar, tabel,
kurva dan grafik yang relevan. Analisis kuantitatif dilakukan untuk mengetahui parameter berikut ini : a. Persentase nilai kejadian suatu aktivitas dari total lamanya pengamatan aktivitas dalam sehari. Persentase aktivitas = Keterangan : X = Frekuensi kejadian suatu aktivitas selama pengamatan (menit) Y = Total lamanya pengamatan (menit) b. Pengujian hubungan antara aktivitas harian terhadap kelas umur satwa. 2
Persamaan menurut Walpole (1997) = X hitung
=
Keterangan : Oi = Frekuensi hasil pengamatan Ei = Frekuensi harapan i = Kategori ke-i Pengujian hubungan antara parameter yang diukur dan diamati digunakan hipotesis sebagai berikut : 1. Ho = Alokasi waktu aktivitas harian untuk setiap kelas umur individu adalah sama. 2. H1 = Alokasi waktu aktivitas harian untuk setiap kelas umur individu adalah tidak sama. Pengambilan keputusan atas hipotesis tersebut dilakukan dengan menggunakan kriteria sebagai berikut : 1. Jika X2 hitung > dari X2 tabel, maka tolak Ho 2. Jika X2 hitung ≤ dari X2 tabel, maka terima Ho
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Manajemen Penangkaran 4.1.1 Perkandangan a. Jenis dan Fungsi Kandang Penangkaran biawak ekor biru di perusahaan ini termasuk jenis penangkaran yang dilakukan secara intensif. Jenis kandang biawak ekor biru yang dapat dijumpai di PT Mega Citrindo adalah kandang permanen yang berada di luar ruangan dan kandang berupa box plastik yang berada di dalam ruangan. Jumlah kandang permanen untuk biawak ekor biru adalah 7 kandang dan selebihnya beberapa kandang berupa box plastik. Berikut data mengenai jenis dan ukuran kadang berdasarkan hasil pengamatan di lapangan (Tabel 3). Tabel 3. Jenis kandang biawak ekor biru yang terdapat di PT Mega Citrindo No. 1.
2.
Jenis Kadang Kandang permanen
Ukuran (p x l x t) 2,23mx 3,06m x 2,03m
Kandang box a. 64cm x 34cm x 31cm penampung b. 42cm x 30cm x 30cm
Jumlah unit 7
Kapasitas/ Kandang 2 ekor
1 1
1 ekor 2 ekor
Fungsi Tempat hidup biawak dewasa dan remaja Tempat penampung biawak anakan
Kandang permanen yang terletak di luar ruangan selain digunakan sebagai tempat hidup biawak, kandang ini juga dijadikan sebagai kandang penjodohan. Perusahaan ini memiliki 5 kandang yang berisi 5 pasang biawak jantan dan betina. Biawak-biawak tersebut dipasangkan dengan harapan dapat melakukan aktivitas reproduksi sehingga dapat berkembang biak. Meskipun perlakuan-perlakuan khusus untuk menunjang proses reproduksi biawak ekor biru belum dilakukan oleh perusahaan ini. Kandang box plastik hanya digunakan sebagai box penampung selama biawak tersebut belum diekspor. Biawak anakan yang baru didatangkan dari pihak pengumpul langsung dimasukkan ke dalam box tersebut. Selain sebagai kandang penampung, box juga digunakan sebagai kandang adaptasi. Perawatan dan pemberian pakan terhadap biawak anakan dilakukan pada box penampung
tersebut. Seluruh box penampung ditempatkan pada satu ruangan untuk memudahkan dalam proses pemeliharaan dan perawatan terutama untuk pembersihan box dan pemberian pakan pada anakan biawak. Berikut adalah gambar kandang permanen dan box penampung yang ada di perusahaan (Gambar 6 dan 7) sedangkan lebih jelasnya sketsa dan gambar kandang terdapat pada Lampiran 4, 6, 7 dan 8.
Gambar 6. Kandang permanen.
Gambar 7. Kandang box penampung.
b. Konstruksi Kandang Konstruksi kandang harus dibuat dengan bahan yang kuat untuk menghindari biawak lepas dari kandang atau satwa lain dapat masuk (Bennett 1998). Berdasarkan hasil pengamatan, konstruksi kandang biawak di perusahaan cukup bervariasi terutama pada jenis kandang permanen yang berada di luar ruangan. Masing-masing jenis kandang memiliki konstruksi yang berbeda-beda yang disesuaikan berdasarkan fungsi kandang. Berikut penjelasan mengenai konstruksi pada masing-masing kandang biawak ekor biru (Varanus doreanus) yang ada di PT Mega Citrindo. 1. Kandang Permanen Konstruksi kadang permanen terdiri dari tembok, kawat loket, besi sebagai pondasi, dan seng sebagai atap. Pada sisi-sisi kandang dibangun tembok setinggi 153 cm dan diberi tambahan kawat loket setinggi 49 cm. Kawat loket selain berguna untuk sirkulasi udara juga digunakan biawak untuk bertengger karena di alam biawak sering bertengger dan beristirahat di dahan pohon. Sisi tembok belakang kandang dibuat agak kasar agar biawak dapat melakukan aktivitas memanjat. Perlakukan tersebut menjadi salah satu enrichment (pengkayaan) di dalam kandang karena melihat kebiasaan biawak pada umumnya di alam adalah
sering melakukan aktivitas memanjat. Bagian atap kandang dibuat sebagian tertutup oleh seng dan sebagian tertutup oleh kawat loket, agar cahaya matahari dan air hujan dapat langsung masuk ke dalam kandang untuk menciptakan kondisi cuaca alami seperti di habitat aslinya. Ukuran lubang kawat pada kandang indukan 1 cm x 1 cm sedangkan untuk kandang biawak remaja ukuran lubang kawat 0,5 cm x 0,5 cm. Perbedaan ukuran lubang kawat disesuaikan dengan kelas umur dan ukuran tubuh biawak dengan tujuan mencegah kemungkinan biawak melarikan diri. Tindakan keamanan lain yang dilakukan agar biawak tidak melarikan diri adalah dengan membuat pintu yang tidak terlalu besar. Pintu kandang berukuran 99 cm x 80 cm, terbuat dari bahan yang kuat yaitu besi dan kawat. Ukuran pintu yang tidak terlalu besar dibuat agar saat membersihkan kandang ataupun memberi makan biawak tidak mudah untuk melarikan diri. 2. Kandang (box) Penampung Konstruksi kadang (box) penampung untuk anakan biawak adalah plastik. Box penampung tertutup rapat dan terdapat lubang pada bagian tutupnya. Lubang tersebut berguna untuk sirkulasi udara di dalam box. Box penampung dengan berbagai ukuran ini dapat diisi 1-2 ekor biawak tergantung ukuran tubuh biawak. Box penampung ditempatkan dalam sebuah ruangan bersama dengan jenis satwa reptil lainnya. Gambar dan konstruksi kandang dapat dilihat pada Lampiran 1. c. Peralatan dan Perlengkapan Kandang Peralatan dan perlengkapan kandang memiliki peranan penting agar satwa yang berada di dalamnya merasa nyaman. Kondisi kandang yang dibuat sesuai dengan kehidupan satwa di alam menjadi salah satu usaha yang dapat meningkatkan kesejahteraan satwa di kandang. Menurut Appbley dan Hughes (1997), salah satu dari 5 prinsip kesejahteraan satwa adalah bebas dari rasa tidak nyaman. Keadaan tersebut dapat diciptakan dengan menyediakan kandang yang sesuai dengan habitat alami satwa tersebut. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan peralatan dan perlengkapan kandang yang disediakan di dalam kandang permanen diantaranya, yaitu : 1. Batang pohon sebagai tempat bertengger dan tempat memanjat. 2. Bak air sebagai tempat penampung air untuk minum dan berendam.
3. Paralon beton sebagai shelter atau tempat biawak bernaung. 4. Pasir putih yang tidak terlalu kasar. 5. Batu kerikil yang bulat sebagai alas tempat biawak berjemur. Untuk menghindari pencurian pada satwa di dalam kandang, maka pintu kandang selalu ditutup dengan kunci gembok. Berikut gambar peralatan dan perlengkapan kandang biawak ekor biru (Varanus doreanus) yang disediakan oleh PT Mega Citrindo (Gambar 8). a
b
c
Gambar 8. Perlengkapan kandang; (a) batang pohon tempat bertengger; (b) batu kerikil; (c) bak air minum. Pemilihan batang pohon sebagai tempat memanjat dan bertengger biawak harus diperhatikan kualitasnya. Menurut Bennett (1998) dalam pemilihan batang pohon untuk biawak di kandang, hindari batang yang sudah busuk dan yang memiliki getah atau resin. Batang-batang tersebut harus terjamin kualitasnya untuk menghindari keracunan ataupun gangguan kesehatan lainnya. Batu kerikil yang bulat berfungsi sebagai tempat berjemur biawak yang diletakkan di sebagian lantai kandang. Batu dapat menyerap panas secara perlahan dan dapat menahan suhu panas tersebut (Bennett 1998). Penggunaan batu kerikil juga dapat mengurangi kondisi yang lembab di dalam kandang (Fowler 1978). Begitu pula dengan pasir sebagai penghantar panas yang cukup baik, sehingga biawak tetap mendapatkan suhu yang diinginkannya selama di dalam kandang.
Meskipun di alam banyak jenis biawak dapat bertahan hidup (survive) tanpa pernah minum atau jarang terlihat minum (Breen 1974), namun di dalam kandang harus tetap disediakan bak air minum. Ukuran bak air minum yang digunakan adalah 41 cm x 31 cm x 13,5 cm. Biawak ekor biru (Varanus doreanus) juga sering membenamkan tubuhnya ke dalam air sehingga di dalam kandang juga perlu disediakan bak penampung air yang cukup besar agar biawak dapat minum dan sekaligus melakukan aktivitas berendam. Di alam, shelter biawak adalah di lubang-lubang tanah, rumah rayap pada gundukan tanah, celah batu, lubang alami pada pohon, vegetasi yang rapat atau di bawah batu (Bennett 1998). Shelter tersebut digunakan tidak hanya untuk menghindar dari predator akan tetapi untuk menjaga kondisi suhu tubuh ketika kondisi cuaca buruk. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut di dalam kandang perusahaan ini disediakan sebuah paralon beton yang digunakan sebagai shelter biawak. Di sekitar shelter sebagian lantai kandang diberi pasir putih seperti bak pasir agar biawak dapat melakukan aktivitas menggali sepertinya di alam. Berikut adalah gambar shelter biawak ekor biru yang diletakkan di atas pasir (Gambar 9).
Gambar 9. Shelter biawak di kandang. Peralatan dan perlengkapan kandang seperti batang pohon atau shelter harus dibangun dengan kondisi yang kuat dan kokoh untuk menghindari kecelakaan atau luka pada biawak karena mengingat biawak juga memiliki tenaga yang cukup kuat untuk dapat merusak perlengkapan kandang tersebut. Peralatan dan perlengkapan pada box penampung hanya terdapat beberapa lembar kertas koran. Kertas koran berfungsi sebagai tempat persembunyian (shelter) biawak anakan. Selain itu kertas koran juga berguna untuk menyerap cairan dari kotoran biawak agar box tidak dalam kondisi basah.
d. Suhu dan Kelembaban Kandang Hasil pengukuran suhu dan kelembaban rata-rata kandang biawak yang terdapat di dalam dan di luar ruangan seperti disajikan pada Tabel 4 dan Tabel 5. Tabel 4. Data suhu dan kelembaban kandang di dalam ruangan Waktu 06.00 12.00 18.00 00.00 Rata-rata
Suhu Rataan (oC) 25 31 29 27 28
Kelembaban Rataan (%) 92 71 83 87 83,25
Tabel 5. Data suhu dan kelembaban kandang di luar ruangan Waktu 06.00 12.00 18.00 00.00 Rata-rata
Suhu Rataan (oC) 24 32 29 26 28
Kelembaban Rataan (%) 100 62 83 96 85,25
Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa kondisi suhu di dalam dan di luar ruangan adalah sama yaitu 28 oC. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi suhu di dalam ruangan cukup tinggi. Sebagaimana diketahui pada umumnya semua jenis reptil membutuhkan suhu tubuh berkisar 20oC - 40oC untuk melakukan aktivitasnya, sementara khusus untuk biawak ekor biru dapat hidup pada suhu 27ºC - 31ºC (Anonim 2007). Berdasarkan kondisi suhu yang dibutuhkan untuk hidup beraktivitas seperti disebutkan di atas, maka hasil pengukuran kondisi suhu di dalam maupun di luar kandang masih dalam batas normal bagi hidup biawak. Hasil pengukuran kelembaban kandang baik di dalam ruangan maupun di luar ruangan (83,25 % dan 85,25 %) menunjukkan bahwa kondisi kelembaban kandang di PT Mega Citrindo masih berada dalam batas kondisi kelembaban yang sesuai dengan biawak. Tingkat kelembaban udara untuk biawak ekor biru (Varanus doreanus) adalah 70% - 90% (Anonim 2007). Meskipun suhu dan kelembaban rata-rata di dalam kandang penangkaran ini relatif sesuai dengan suhu dan kelembaban yang diperlukan biawak untuk hidup dan beraktivitas, namun pada kenyataannya terjadi fluktuasi suhu dan kelembaban harian di dalam
kandang penangkaran. Fluktuasi suhu dan kelembaban tersebut pada dasarnya berpengaruh terhadap aktivitas biawak. Biawak akan bergerak mencari tempat yang sesuai dengan suhu yang diinginkan tubuhnya. Di alam fluktuasi suhu dan kelembaban sangat bervariasi karena dipengaruhi oleh musim dan kondisi lingkungannya. Sementara di penangkaran kondisi suhu dan kelembaban dapat dikendalikan agar sesuai dengan kondisi optimum yang diperlukan biawak. Cara yang dilakukan dalam manajemen PT Mega Citrindo antara lain melalui pemasangan kipas angin dan pembuatan atap kandang semi terbuka yang hanya sebagian atap kandang ditutup dengan kawat loket agar sinar matahari dapat masuk ke dalam kandang dan sirkulasi udara dapat berjalan dengan baik. Berikut adalah gambar grafik yang menunjukkan fluktuasi suhu dan kelembaban rata-rata yang terjadi pada waktu
35 30 25 20 15 10 5 0
Kelembaban
Suhu
pagi, siang, sore dan malam hari pada kandang di luar ruangan (Gambar 10).
06.00 Pagi
12.00 Siang
18.00 Sore
00.00 Malam
120 100 80 60 40 20 0 06.00 Pagi
12.00 Siang
18.00 00.00 Sore Malam
Gambar 10. Grafik fluktuasi suhu dan kelembaban kandang di luar ruangan. Keadaan kandang mengalami peningkatan suhu pada pukul 12.00 WIB (siang) yaitu mencapai 32oC dan penurunan kelembaban menjadi 62%, yakni pada puncak panasnya matahari. Pada saat itu, biawak terkadang belum melakukan aktivitas berjemur karena kondisi matahari yang masih terlalu panas. Kelembaban tertinggi terjadi pada pukul 06.00 WIB (pagi) yaitu mencapai 100% dengan suhu 24oC. Pada kondisi ini biawak juga belum terlihat melakukan aktivitas. Fluktuasi suhu dan kelembaban juga terjadi pada kandang yang berada di dalam ruangan. (Gambar 11).
Kelembaban
40
Suhu
30 20 10 0
06.00 12.00 18.00 00.00 Pagi Siang Sore Malam
100 80 60 40 20 0 06.00 Pagi
12.00 Siang
18.00 00.00 Sore Malam
Gambar 11. Fluktuasi suhu dan kelembaban kandang di dalam ruangan. Fluktuasi suhu kandang di dalam ruangan juga terlihat hampir sama dengan suhu kandang di luar ruangan. Suhu meningkat pada pukul 12.00 yaitu 31oC dengan kelembaban 71%. Perubahan suhu dari waktu siang ke waktu sore juga tidak mengalami perubahan yang cukup drastis. Begitu pula pada malam hari, suhu rata-rata ruangan cukup normal yaitu 26oC dengan kelembaban 87%. Suhu ruangan pada dasarnya sedikit stabil dibandingkan dengan suhu kandang di luar ruangan. Kondisi kandang di luar ruangan memiliki kemungkinan besar untuk mengalami fluktuasi suhu yang cukup fluktuatif. Konstruksi kandang dan modifikasi bentuk bangunan kandang sebaiknya dapat menunjang terciptanya suhu dan kelembaban kandang yang sesuai bagi biawak. Bahan konstruksi kandang dan bahan perlengkapan kandang juga perlu diperhatikan karena bahan yang dapat menghantarkan panas lebih lama dan cepat akan berpengaruh pada suhu dan kelembaban kandang. e. Perawatan Kandang Berdasarkan hasil wawancara dengan pengelola maupun pengamatan yang dilakukan selama penelitian diperoleh gambaran umum tentang perawatan kandang, yaitu sebagai berikut : 1. Tujuan perawatan kandang dilakukan untuk menjaga agar biawak dapat hidup dan tumbuh dengan sehat dan terhindar dari serangan penyakit. 2. Lingkup kegiatan perawatan kandang yang dilakukan mencakup dua kegiatan utama yang bersifat rutin dan insidental. Kegiatan yang bersifat rutin adalah kegiatan pembersihan kandang dan fasilitas pendukung (tempat makan dan minum), sedangkan kegiatan insidental adalah penggantian atau perbaikan bagian kandang maupun fasilitas pendukung kandang yang
mengalami kerusakan seperti penggantian tempat bertengger dan memanjat yang rusak. Kegiatan pembersihan kandang dilakukan baik pada kandang permanen maupun kandang penampung (box). Kandang permanen biasanya dibersihkan setiap 2 hari sekali dengan air yang mengalir untuk membersihkan kotoran biawak dan menghindari biawak dari berbagai jenis penyakit. Bak air minum dibersihkan dengan menggunakan sabun setiap 1 minggu sekali. Batang pohon sebagai tempat bertengger dan memanjat biawak yang telah lapuk secara insidental diganti dengan batang yang baru untuk menghindari serangan tungau ataupun caplak pada biawak, karena biasanya tungau ataupun caplak menyukai kayu-kayu yang telah lapuk. Penggantian juga secara insidental dilakukan pada pasir sebagai alas lantai kandang. Pasir yang telah terkena kotoran biawak dalam waktu lama biasanya pasir diganti setiap 1-2 bulan sekali untuk menghindari kemungkinan berkembangnya parasit yang dapat mengganggu kesehatan biawak. Setiap hari bagian atap kandang juga dibersihkan dari daun-daun yang gugur dari pohon peneduh kandang. Pembersihan pada box penampung dilakukan 2 hari sekali yaitu dengan membersihkan box menggunakan air yang mengalir. Pembersihan box dilakukan untuk menghilangkan kotoran biawak yang menempel di dasar box. Koran pada box penampung juga diganti 2 kali dalam seminggu. Apabila kondisi koran telah basah dan bau, koran langsung diganti oleh petugas untuk menghindari penyakit dan kematian pada anakan biawak. f. Sistem Sanitasi Kandang Kandang permanen dilengkapi dengan pipa pembuangan yang berfungsi mengaliri air pada saat membersihkan kandang. Di bagian dalam kandang juga disediakan kran air sebagai sumber air yang membantu dalam pembersihan kandang. Berikut gambar sistem sanitasi kandang biawak di penangkaran ini (Gambar 12).
(a)
(b)
(c)
Gambar 12. Sistem sanitasi kandang biawak ekor biru (a) kran air; (b) pipa pembuangan air kotor di dalam kandang; (c) pipa pembuangan di luar kandang. Air kotor yang berasal dari kandang dialiri ke sebuah kolam. Air dalam kolam tersebut akan berkurang karena air (limbah kandang) mengalir ke saluran pembuangan limbah. Perusahaan tersebut memiliki 3 tempat pembuangan limbah kandang sehingga seluruh air limbah dapat terdistribusi dengan baik dalam sistem pembuangannya. Berikut adalah gambar tempat pembuangan limbah kandang yang terdapat di perusahaan tersebut (Gambar 13).
(a)
(b)
Gambar 13. Tempat pembuangan limbah kandang; (a) bagian dalam tempat pembuangan; (b) bagian luar tempat pembuangan. Sistem sanitasi kandang yang baik akan mempengaruhi pada kondisi kesehatan satwa yang berada di dalam kandang karena kotoran kandang mengandung banyak bakteri berbahaya yang secara langsung dapat menimbulkan penyakit pada satwa atau bahkan ada yang bersifat zoonosis (penyakit pada satwa yang menular ke manusia).
4.1.2 Manajemen Pakan a. Jenis dan Jumlah Pakan Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan, terdapat 3 jenis pakan biawak yang dijumpai di penangkaran ini yaitu anak ayam, anak tikus dan jangkrik. Biawak dewasa hanya diberikan pakan anak ayam sedangkan biawak remaja diberikan 2 jenis pakan yaitu anak tikus dan anak ayam. Biawak anakan diberikan 3 jenis pakan yaitu jangkrik, anak ayam dan anak tikus. Jumlah pemberian pakan berbeda-beda karena disesuaikan dengan ukuran tubuh biawak atau bobot badannya. Biawak yang berukuran tubuh lebih besar atau memiliki bobot yang besar diberikan jumlah pakan yang lebih banyak. Berikut adalah jenis dan jumlah pakan yang diberikan untuk biawak ekor biru serta persentase jumlah pakan yang diberikan pengelola terhadap bobot badan biawak (Tabel 6). Tabel 6. Rincian jumlah pakan yang diberikan pada biawak selama seminggu Kelas Umur Biawak
Ratarata BB
Jenis, Jumlah dan Rataan Berat Pakan Jangkrik Anak tikus Anak ayam (ekor);(gram)
(ekor);(gram)
(ekor);(gram)
(gram)
Persentase jumlah pakan terhadap bobot badan (%)
Anakan
50
6;(0,5)
2;(8)
1;(20)
57
Remaja
616,7
-
3;(24)
3;(60)
13,62
Dewasa
1.775
-
-
8;(160)
9,01
Penyediaan
pakan
sangat
tergantung
dengan
kondisi
keuangan
perusahaan. Pemberian pakan diberikan setiap seminggu sekali. Variasi pemberian pakan pada satwa di kandang baik dilakukan karena satu jenis pakan belum tentu dapat memenuhi kebutuhan gizi satwa tersebut. Jumlah pakan yang diberikan untuk biawak anakan lebih banyak dan bervariasi. Persentasi jumlah pakan terhadap bobot badannya tertinggi yaitu 57%, Hal ini karena pada masa anakan, pakan banyak digunakan untuk menunjang pertumbuhannya. Biawak mengalami pertumbuhan yang cepat pada awal pertumbuhan (Bennett 1998), sehingga pada masa anakan sebaiknya diberi pakan yang lebih banyak. Biawak remaja biasanya mengalami obesitas atau kegemukan bila pemberian pakannya
tidak disesuaikan (Bennett 1998). Jantan biasanya memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk mengalami kegemukan. b. Nilai Gizi Pakan Perusahaan tidak memberikan pakan tambahan seperti suplemen yang mengandung vitamin dan mineral. Padahal penyediaan nutrisi, vitamin, dan mineral merupakan salah satu syarat agar satwa tersebut dapat tumbuh dengan baik dan sehat (Bennett 1998). Pemberian suplemen juga dapat memenuhi kebutuhan nutrisi yang kurang terpenuhi pada pakan yang selama ini telah diberikan. Berikut rincian kandungan gizi pakan biawak ekor biru yang terdapat pada jenis pakan jangkrik, anak tikus dan anak ayam (Tabel 7). Tabel 7. Kandungan gizi pakan biawak ekor biru (Varanus doreanus) No. 1
Jenis Pakan Jangkrik
Kandungan Gizi Kandungan asam amino “lysine” dan “cystein” yang tinggi, asam lemak omega-3 dan omega-6, protein kolagen, dan karbohidrat.
2
Anak Ayam
Protein, kalsium, fosfor, zat besi, vitamin A, B1, B2, C, E, asam lemak tak jenuh.
3
Anak tikus
Kandungan lemak yang tinggi.
Sumber : Anonim (2005). c. Cara Pemberian Pakan Pemberian pakan biawak yang dilakukan oleh perusahaan ini memiliki dua cara, yaitu : 1. Disodorkan langsung pada biawak. Pakan dijepit dengan menggunakan pinset dan diletakkan ke dalam kandang. Pemberian pakan dengan cara ini dilakukan pada biawak anakan yang terdapat di dalam box penampung. 2. Meletakkan pakan di dalam kandang dan dibiarkan hingga biawak tersebut memakannya. Pemberian dengan cara ini dilakukan pada biawak remaja dan dewasa. Hal ini dilakukan untuk menjaga keselamatan pengelola yang memberi pakan karena biawak juga termasuk satwa yang ganas apabila telah dewasa.
d. Anggaran Biaya Penyediaan Pakan Pengadaan pakan seperti anak ayam, jangkrik dan anak tikus dilakukan dengan membeli langsung dari peternakan. Namun untuk pakan jenis tikus (mencit), pihak pengelola mencoba membuat peternakan tikus putih (mencit) untuk memenuhi tambahan pakannya. Perusahaan juga menyediakan gudang pakan untuk menyimpan persediaan pakan satwa. Berikut adalah gambar peternakan mencit yang telah dilakukan oleh perusahaan ini (Gambar 14).
Gambar 14. Peternakan tikus di PT Mega Citrindo. Rincian pengeluaran dana pembelian pakan jenis jangkrik, anak ayam dan anak tikus untuk 16 ekor biawak yang ada di perusahaan ini selama seminggu adalah sebagai berikut (Tabel 8). Tabel 8. Jumlah dan biaya pengadaan pakan biawak per bulan No. 1 2 3
Jenis Pakan
Jumlah Pakan (ekor) Jangkrik 48 Anak tikus 64 Anak ayam 376 Total Pengeluaran
Harga (Rp) 2.400,00 32.000,00 225.600,00 260.000,00
Berdasarkan Tabel 8. diketahui bahwa perusahaan ini menghabiskan dana untuk pembelian pakan (ayam, jangkrik dan tikus) biawak ekor biru setiap bulannya adalah sebesar Rp. 260.000,00. Setiap minggunya perusahaan menyediakan dana sebesar Rp. 65.000,00 untuk pemberian pakan biawak yang dilakukan sekali dalam seminggu. 4.1.3 Pemeliharaan Kesehatan a. Pencegahan Penyakit Kegiatan pencegahan penyakit yang dilakukan perusahaan ini adalah dengan melakukan pembersihan kandang secara rutin 2 hari sekali dengan air
mengalir dan pengaturan sistem sanitasi kandang yang baik untuk mencegah berkembangnya penyakit di dalam kandang. Tempat air minum dibersihkan sekali dalam seminggu guna menghindari penularan penyakit melalui air minum. Penyakit pada satwa di kandang dipengaruhi oleh faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal yang mempengaruhi salah satunya adalah kondisi kandang yang tidak terawat. Pembersihan kandang yang tidak teratur memberi kesempatan berbagai jenis penyakit seperti parasit yang dapat menyerang biawak. Suhu, kelembaban, cahaya dan sirkulasi udara yang kurang baik juga dapat memberikan pengaruh yang buruk pada kondisi kesehatan biawak. Jumlah dan kualitas pakan yang tidak cukup terpenuhi juga akan mempengaruhi daya tahan tubuh sehingga kondisi kesehatan biawak menjadi terganggu. Apabila pakan yang diberikan telah terkontaminasi dengan bakteri atau jenis organisme lain yang merugikan maka akan mengganggu kondisi kesehatan biawak. Kebutuhan nutrisi, vitamin, mineral dan senyawa lain yang diperlukan oleh tubuh biawak yang tidak tercukupi juga akan mengakibatkan gangguan kesehatan pada biawak. Biawak yang terkena penyakit sebaiknya dipisahkan dengan biawak yang sehat untuk menghindari penularan penyakit pada biawak yang sehat. b. Jenis Penyakit dan Pengobatannya Jenis penyakit biawak ekor biru yang dijumpai di perusahaan ini berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara dengan pihak pengelola adalah penyakit caplak dan cacingan. Selama ini belum ada biawak yang mati karena penyakit tersebut, namun kemungkinan kematian biawak juga dapat disebabkan karena serangan caplak dan cacingan. Selama pengamatan di lapangan, terdapat 2 ekor biawak ekor biru yang mati. Kematian biawak terjadi karena biawak berada terlalu lama di dalam box penampung dan kurang mendapatkan cahaya matahari. Pada musim hujan, kondisi suhu kandang di dalam ruangan menjadi rendah dan kelembaban meningkat. Pada kondisi ini banyak jenis reptil di perusahaan ini mengalami kematian. Serangan berbagai penyakit pada biawak juga dapat menurunkan daya tahan tubuh biawak sehingga tidak mampu beradaptasi dengan perubahan suhu di lingkungan sekitar kandang. Berikut adalah
deskripsi gejala penyakit yang dialami pada biawak berdasarkan hasil wawancara dan studi literatur (Tabel 9). Tabel 9. Jenis penyakit biawak ekor biru (Varanus doreanus) dan deskripsi gejala penyakitnya No. 1
Jenis Penyakit Caplak
Deskripsi Gejala Satwa mengalami anemia karena darah terus dihisap, gelisah, satwa yang mengalami tick paralysis akan terjadi kejangkejang motorik selama 1-4 hari (Subronto 2006). Kerusakan kulit pada bagian yang diserang.
2
Cacingan
Nafsu makan menurun bahkan tidak mau makan, kadang timbul benjolan-benjolan pada bagian tubuhnya.
1. Caplak Caplak ternyata memiliki peranan yang lebih merugikan dibandingkan dengan lalat tse tse yang menyebarkan penyakit virus dan protozoa khususnya di negara tropik atau subtropik (Soulsby 1982 dalam Wijayanti 2007). Caplak biawak biasanya menyerang di bagian kulit biawak seperti di sela-sela jari, ketiak, selangkangan, perut, sekitar kloaka, selaput telinga dan bagian tubuh lainnya. Caplak tersebut dapat melukai biawak hingga kulit menjadi sobek dan menyebabkan luka pada kulit biawak. Berikut gambar caplak yang menyerang pada bagian tubuh biawak (Gambar 15). a
b
c
d
Gambar 15. Bagian tubuh biawak yang terserang caplak (a) lengan bawah; (b) perut; (c) ketiak; (d) selaput telinga.
Caplak dapat merusak kulit biawak sehingga kulit dapat mengalami pembusukan dan luka. Menurut Subronto (2006), gigitan caplak dapat mengakibatkan berbagai kerugian diantaranya, yaitu : a. Terjadinya luka-luka traumatik. b. Inang (hospes) akan kehilangan darah. c. Hospes akan tertular oleh berbagai penyakit yang dibawa oleh caplak (selaku vektor). d. Pada keadaan tertentu dapat terjadi depresi syaraf motorik hospes, atau dikenal dengan nama tick-paralysis. Caplak dapat menjadi agen penyakit seperti kuman, virus dan protozoa. Seekor betina dewasa dapat menghisap darah antara 0,5 – 2,0 ml bahkan bisa lebih hingga hospes dapat mengalami anemia (Subronto 2006). Salah satu jenis caplak yang menyerang biawak ekor biru (Varanus doreanus) yang telah berhasil diidentifikasi adalah Aponomma sp. Berdasarkan hasil pengamatan dengan menggunakan stereo mikroskop perbesaran 4 kali, caplak ini tidak memiliki mata pada skutumnya. Menurut Levine (1990) caplak yang masuk ke dalam genus Aponomma tidak terdapat mata pada skutumnya. Aponomma sp memiliki kemiripan dengan Amblyomma sp, perbedaannya adalah Amblyomma sp memiliki mata pada skutumnya sedangkan Aponomma sp tidak memiliki mata. Bentuk skutum Aponomma sp seperti buah apel berbeda dengan Amblyomma sp yang memiliki bentuk skutum agak runcing. Ukuran caplak yang ditemukan adalah 3 cm x 5 cm. Berikut gambar salah satu caplak yang ditemukan pada biawak ekor biru dan sketsa bentuk skutumnya (Gambar 16).
Tidak ada mata
(a)
(b)
Gambar 16. Morfologi caplak pada biawak ekor biru (a) bentuk tubuh caplak; (b) bentuk skutum Aponomma sp.
Aponomma sp merupakan caplak yang hanya ditemukan pada satwa reptil (Soulsby 1982). Pengobatan penyakit caplak yang dilakukan pihak pengelola adalah dengan melakukan penyemprotan kandang 1 minggu atau 2 minggu sekali dengan menggunakan neguvon. Obat ini dikemas dalam bentuk serbuk yang kemudian dilarutkan dengan air dengan takaran 2 sendok makan neguvon untuk ± 5 liter air. Berikut gambar jenis obat yang digunakan untuk mengobati penyakit caplak pada biawak (Gambar 17).
(a)
(b) Gambar 17. Jenis obat yang digunakan untuk mengobati penyakit caplak (a) obat neguvon; (b) neguvon dalam bentuk serbuk. Waktu penyemprotan disesuaikan dengan kondisi cuaca. Apabila keadaan berangin atau musim hujan, penyemprotan tidak dilakukan karena obat akan hilang tertiup angin atau terbawa oleh air hujan. 2. Cacingan Penyakit cacingan dapat diidentifikasi dengan melihat feses pada penderitanya. Feses biawak akan ditemukan cacing bila biawak tersebut mengalami cacingan. Berikut gambar feses biawak ekor biru yang ditemukan di dalam kandang (Gambar 18).
Gambar 18. Feses biawak ekor biru.
Untuk mengetahui jenis cacing yang menyerang dapat dilakukan identifikasi di laboratorium dengan menggunakan sample pada fesesnya. Jenis penyakit ini disebut endoparasit karena penyakit tersebut tinggal di dalam tubuh induk semang (hospes) (Levine 1990). Perusahaan ini memberikan obat cacing “combantrin” bagi biawak yang mengalami cacingan. Cara pemberian obat yang dilakukan pengelola adalah dengan memasukkan obat tersebut ke dalam pakan biawak yang mengalami cacingan. Obat tersebut dapat dimasukkan ke dalam anus anak ayam atau tikus yang kemudian diberikan kepada biawak yang menderita cacingan. 4.1.4 Manajemen Reproduksi dan Breeding a. Pemilihan Bibit Pemilihan bibit dilakukan dengan melihat biawak yang sudah cukup dewasa atau berukuran tubuh relatif cukup besar, tidak cacat dan sehat. Perusahaan ini tidak melakukan pemilihan bibit berdasarkan umur karena umur biawak di penangkaran ini tidak diketahui secara pasti. Pihak pengelola memilih biawak yang memiliki ukuran tubuh jantan dan betina yang relatif hampir sama kemudian dijadikan satu pasangan dalam satu kandang. Menurut Anonim (2007) panjang total tubuh biawak ekor biru dapat mencapai 135 cm TL. Ukuran tubuh Varanus indicus yang memiliki hubungan kekerabatan dengan biawak ekor biru mencapai 58 cm (biawak jantan) dan 44 cm (biawak betina) SVL (Bennett 1998). Berdasarkan hasil pengukuran, ukuran tubuh biawak ekor biru jantan dan betina di penangkaran ini disajikan pada tabel berikut (Tabel 10). Tabel 10. Ukuran tubuh (SVL) untuk penentuan dewasa kelamin pada individu contoh biawak di PT Mega Citrindo No. 1 2 3 4 5
Ukuran Tubuh (SVL) (cm) Jantan Betina 57,5 41 46 57 40 28,5 42 45,5 -
Kelas Umur Dewasa Dewasa Remaja Remaja Dewasa
Berdasarkan hasil pengukuran tersebut (Tabel 10) diketahui bahwa panjang tubuh biawak jantan dewasa mencapai rata-rata 49,7 cm (SVL) sedangkan biawak betina dewasa mencapai rata-rata 49 cm (SVL). Ukuran tubuh biawak jantan dan betina yang dijadikan bibit memiliki ukuran yang hampir sama karena pemilihan bibit yang dilakukan di perusahaan ini hanya dengan melihat ukuran tubuh biawak yang sama besar yang kemudian dijadikan satu pasangan. b. Determinasi Jenis Kelamin Teknik yang dilakukan perusahaan untuk mengetahui jenis kelamin biawak ekor biru adalah dengan melakukan pemeriksaan pada alat kelamin biawak. Pemeriksaan kelamin biawak dilakukan secara manual yaitu dengan menekan bagian kloaka menggunakan tangan agar alat kelamin biawak dapat terlihat. Hemipenis biawak jantan memiliki tonjolan yang panjang di bagian kedua sudut kloakanya sedangkan betina tidak memiliki tonjolan. Berikut gambar alat kelamin biawak ekor biru jantan dan betina (Gambar 19).
(a)
(b)
Gambar 19. Bentuk alat kelamin biawak (a) biawak jantan; (b) biawak betina. c. Pembentukan Pasangan Perusahaan ini telah memiliki 5 pasang biawak ekor biru yang akan dibiakkan. Sex ratio biawak ekor biru untuk proses reproduksi sama halnya dengan biawak lain dengan perbandingan 1:1. Biawak termasuk jenis satwa monogami yang hidup berpasangan antara jantan dan betina. Cara pemilihan dan pembentukan pasangan dilakukan dengan memperhatikan ukuran tubuh biawak. Individu jantan dan betina yang memiliki ukuran tubuh relatif sama dijadikan satu pasangan dan di tempatkan dalam satu kandang pembiakkan. Selanjutnya dilakukan pemantauan terhadap pasangan biawak untuk memastikan kecocokan pasangan tersebut. Pasangan biawak jantan dan betina terkadang mengalami ketidakcocokan satu dengan yang lain sehingga diperlukan adanya pasangan
alternatif lain (Bennett 1998). Tahap pengenalan dan adaptasi terhadap pasangan menjadi salah satu cara yang dilakukan agar menghindari faktor kegagalan dalam proses perkawinan. Apabila pasangan mengalami ketidakcocokan maka resiko kematian biawak dapat terjadi karena perkelahian antara pasangan biawak. d. Perlakuan terhadap Pasangan Berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan di lapangan perlakuan yang diberikan pengelola terhadap biawak yang akan dikembangbiakkan adalah sebagai berikut : 1. Penyediakan fasilitas penunjang seperti lampu pada kandang agar tetap pada kondisi terang saat malam hari. Beberapa peneliti berpendapat bahwa dengan pemberian cahaya selama 24 jam sehari dapat merangsang aktivitas bercumbu. Hal ini adalah salah satu upaya untuk membantu proses perkawinan saat musim kawin tiba. Selain itu, cahaya lampu juga digunakan untuk menjaga keamanan kandang dan memberi pencahayaan yang cukup bagi biawak saat malam hari. 2. Pihak pengelola juga melakukan pemantauan terhadap aktivitas dan kondisi biawak apabila biawak tersebut mengalami gangguan kesehatan atau bahkan kematian. Berdasarkan hasil wawancara dengan pengelola, musim kawin biawak dan reptil lain di perusahaan ini terjadi pada awal musim hujan. Pihak pengelola tidak melakukan
perlakuan
khusus
terhadap
pasangan
biawak
yang
akan
dikembangbiakkan. Padahal menurut Bennett (1998) penanganan yang harus dilakukan agar betina dapat reproduktif (menghasilkan telur) saat musim kawin adalah dengan memberikan suplemen vitamin dan pakan yang cukup. Biawak jantan juga harus memiliki tenaga yang cukup kuat untuk melakukan proses perkawinan karena biawak jantan relatif lebih aktif dibandingkan dengan betina. Pemberian gizi yang cukup akan berpengaruh pada kondisi fisik induk dan produksi telur yang akan dihasilkan. Pemberian suplemen vitamin dan mineral seperti memberikan kalsium dan fosfor dengan perbandingan 2:1 (Horn & Visser 1990; Eidenmuller 1992 dalam Bennett 1998) dapat membantu dalam proses reproduksi biawak.
e. Keberhasilan Breeding (Pengembangbiakan) Selama ini biawak ekor biru yang ditangkarkan di PT Mega Citrindo belum berhasil dikembangbiakkan meskipun dilaporkan biawak ini sudah pernah bertelur di kandang. Namun telur-telur biawak yang dihasilkan biasanya dimakan oleh induknya sendiri. Biawak termasuk jenis satwa kanibal. Biawak akan memakan sesama jenis khususnya pada satwa yang lebih lemah atau memakan telurnya bila biawak tersebut kekurangan makanan (Bennett 1998). Perusahaan ini memang belum memiliki tempat khusus untuk biawak dapat bertelur sehingga besar kemungkinan telur biawak dapat dimakan atau pecah. Di alam biawak betina sering meletakkan telurnya di dalam lubang. Di dalam kandang dapat disediakan tempat bersarang yang terbebas dari cahaya matahari langsung dan sedikit lembab. Ukuran lubang sarang dapat berkisar antara 30-50 cm, ukuran tersebut cukup untuk biawak yang berukuran besar. Keberhasilan perkawinan biawak di kandang menjadi suatu hal yang diharapkan karena banyak jenis satwa yang belum berhasil dikembangbiakkan ataupun konsisten untuk tetap bereproduksi setiap tahun di luar habitat alaminya (Bennett 1998), sehingga untuk menghasilkan individu baru di penangkaran diperlukan perlakuan-perlakuan khusus pada satwa agar proses pengembangbiakkan berhasil dilakukan. Pada kondisi normal, biawak umumnya bertelur dalam waktu 28 hari setelah proses kopulasi (Bennett 1998). Ukuran telur biawak ekor biru (Varanus doreanus) dikatakan hampir sama dengan Varanus indicus karena kedua biawak ini memiliki hubungan kekerabatan (Anonim 2007). Ukuran telur biawak pasifik (Varanus indicus) yang telah berhasil bertelur di perusahaan ini adalah 30 mm x 60 mm dan berat 20-25 gram. Diperkirakan ukuran telur biawak ekor biru relatif hampir sama dengan ukuran telur biawak pasifik (Varanus indicus). 4.1.5 Pengadaan Satwa Pengadaan satwa setiap hari dilakukan oleh perusahaan, karena ekspor satwa sering dilakukan 2-3 kali dalam seminggu. Perusahaan mendapatkan satwasatwa tersebut dari pihak pengumpul. Pengumpul memperoleh satwa-satwa tersebut dari alam. Biawak ekor biru (Varanus doreanus) biasanya didatangkan dari Sorong, Merauke dan Jaya Pura. Berdasarkan SK. Dirjen PHKA No. 25/IV-
KKH/2010 kuota tangkap biawak ekor biru pada tahun 2010 adalah 600 ekor dari seluruh Indonesia dengan rincian 200 ekor dari Papua dan 400 ekor dari Papua Barat. Satwa yang diekspor umumnya adalah satwa yang masih anakan atau berukuran kecil sehingga penangkapan satwa diutamakan adalah satwa yang yang masih anakan. Pihak pelanggan menginginkan satwa yang masih berukuran kecil atau anakan untuk dijadikan hewan peliharaan (pets). Apabila terdapat biawak yang sudah dewasa biasanya pihak perusahaan menjadikannya sebagai bibit indukan. 4.1.6 Perlakuan Adaptasi Teknik adaptasi yang dilakukan oleh perusahaan terhadap biawak yang baru datang adalah dengan memindahkannya ke dalam box penampung. Biawak tersebut sebelumnya dibawa dengan menggunakan kantong kain yang diberi sobekan kertas koran. Biawak yang datang biasanya masih berumur anakan sehingga ukuran tubuhnya relatif kecil. Setelah diletakkan ke dalam box penampung, biawak tersebut disiram dengan air. Hal ini dimaksudkan agar biawak tersebut dapat minum dan menyesuaikan dengan kondisi yang baru. Berikut adalah penanganan yang dilakukan perusahaan terhadap biawak yang baru datang (Gambar 20).
(a)
(b) Gambar 20. Teknik adaptasi biawak (a) penyiraman biawak; (b) kantong berisi biawak. Biawak dibiarkan selama ± 2 jam setelah diberi air. Setelah itu air di dalam box dibuang dan box diberi koran agar biawak dapat berlindung dan merasa nyaman di dalamnya. Selanjutnya dilakukan perawatan hingga tahap ekspor dilakukan.
4.1.7 Manajemen Pemanfaatan Hasil a. Ekpor Perusahaan Ukuran satwa yang diekspor untuk hewan peliharaan umumnya adalah berukuran kecil atau yang masih anakan. PT Mega Citrindo mengekspor satwa ke Negara Amerika Serikat, Eropa, Jepang dan Cina. Namun selama ini yang telah menjadi pelanggan tetap perusahaan ini adalah Negara Amerika Serikat. PT Mega Citrindo sampai saat ini belum dapat memanfaatkan hasil penangkaran biawak ekor biru untuk diekspor karena penangkaran tersebut baru dimulai sejak tahun 2008 dan biawak tersebut belum berhasil untuk dikembangbiakkan. Berikut adalah data kuota ekspor biawak ekor biru dan realisasi ekspor yang terjadi selama 6 tahun terakhir yang berasal dari alam berdasarkan SK. Menteri No. 38/Kpts/DJ-IV/2003 (Tabel 11). Tabel 11. Kuota dan realisasi ekspor biawak ekor biru (Varanus doreanus) perusahaan PT Mega Citrindo tahun 2005-2010 Keterangan
Kuota Perusahaan (ekor) Kuota Nasional (ekor) Realisasi Perusahaan (ekor) Realisasi Nasional (ekor) Persen Kuota (%) Persen Realisasi (%)
2005
2006
Tahun 2007 2008
58 500 54 500 10,8 10,8
78 500 78 500 15,6 15,6
88 500 88 500 17,6 17,6
96 540 96 520 17,8 18,5
2009 123 540 123 527 22,8 23,3
2010 (s/d juni) 94 900 26 10,4 -
Berdasarkan data di atas dapat diketahui bahwa pada tahun 2009 kuota ekspor perusahaan mencapai 123 ekor dan pada tahun 2010 kuota ekspor perusahaan mengalami penurunan yaitu sebesar 94 ekor. Namun pada tahun 2010 kuota nasional mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya yaitu dari 540 ekor mnejadi 900 ekor. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan jumlah kuota ekspor nasional tidak sebanding dengan penambahan kuota ekspor perusahaan. Kemungkinan penurunan kuota ekspor perusahaan terjadi karena sulitnya menemukan biawak ekor biru di alam. Apabila biawak ekor biru sudah sulit ditemukan di alam maka terdapat kemungkinan jumlah populasi biawak ekor biru mengalami penurunan. Jumlah kuota ekspor biawak ekor biru ditentukan berdasarkan rekomendasi dari pihak peneliti (LIPI) kemudian jumlah kuota tersebut diputuskan berdasarkan hasil keputusan dari pihak management autority.
PT Mega Citrindo merupakan perusahaan yang memiliki kuota ekspor biawak ekor biru terbanyak dibandingkan perusahaan eksportir lainnya. Hal ini terlihat dari grafik yang menjelaskan mengenai kuota ekspor biawak ekor biru dari 11 perusahaan eksportir yang ada di Indonesia berdasarkan SK. Dirjen PHKA tahun 2010 (Gambar 21). 100 80 60 40 20 0
Gambar 21. Kuota ekpor biawak ekor biru (Varanus doreanus) dari 11 perusahaan eksportir reptil pada tahun 2010. Besarnya kuota ekspor pada masing-masing perusahaan ditentukan berdasarkan kemampuan perusahaan tersebut untuk mengekspor jenis satwa tertentu yang juga merupakan hasil keputusan dari management autority. Selain PT Mega Citrindo, PT Alam Nusantara juga memiliki kuota ekspor biawak ekor biru yang relatif cukup banyak. b. Teknik Pengepakan Teknik pengepakan yang dilakukan pengelola pada biawak yang akan diekspor relatif sama dengan teknik adaptasi ketika biawak baru didatangkan. Biawak sebelumnya tidak diberi makan selama 2 hari agar saat proses pengangkutan biawak tidak mengeluarkan kotoran dan mengotori box pengangkut karena perut biawak dalam keadaan kosong. Perlakuan selanjutnya biawak disiram dengan air dan box penampung diisi air setinggi ± 2 cm hal ini dilakukan agar biawak dapat minum sebanyak-banyaknya untuk menghindari dehidrasi saat proses pengangkutan. Perendaman dilakukan selama ± 2 jam agar biawak juga dapat defekasi (mengeluarkan kotoran) sehingga saat pengangkutan biawak tidak mengotori tempat. Setelah direndam, biawak dimasukkan ke dalam kantong kain yang telah diberi sobekan kertas koran. Satu kantong tersebut biasanya berisi 1
hingga 2 ekor biawak. Banyaknya isi kantong disesuaikan dengan ukuran tubuh biawak. Setelah semua satwa dimasukkan ke dalam kantong, kantong-kantong tersebut disusun ke dalam box yang terbuat dari kayu dengan ukuran 80 cm x 57 cm x 35 cm atau yang berukuran 92 cm x 60 cm x 13 cm. Teknik penyusunan satwa di dalam box pengangkut adalah dengan meletakkan satwa yang memiliki bobot badan lebih besar di bagian paling bawah dan bobot badan yang lebih kecil diletakkan di atas. Hal ini dimaksudkan agar satwa yang lebih kecil tidak tertimpa dengan satwa yang memiliki bobot badan lebih besar. Berikut gambar teknik pengepakan satwa termasuk biawak ekor biru (Varanus doreanus) yang disatukan bersama jenis satwa lain seperti katak, kurakura, tokek, ular, dan kadal (Gambar 22).
(a)
(b)
Gambar 22. (a) Box pengangkut; (b) Pengepakan biawak. Pengepakan biawak dewasa dilakukan dengan perlakukan yang cukup aman. Pihak perusahaan terlebih dahulu memotong kuku biawak agar biawak tersebut tidak merobek kantong kain yang akan digunakan untuk membungkus biawak. Biawak dimasukkan ke dalam kantong dan diikat dengan menggunakan tali plastik. Bagian sisi-sisi box tempat pengepakan biawak diberi kawat untuk menambah tingkat keamanan saat pengiriman. Box diberi sobekan kertas koran agar biawak tidak mengalami benturan yang keras saat pengangkutan. Ukuran box kayu tempat pengepakan biawak dewasa adalah 92 cm x 60 cm x 13 cm yang hanya berisi satu ekor. Box yang telah diisi satwa ditutup dengan papan triplek dan dipaku bagian tepinya. Papan penutup tersebut juga digunakan untuk menulis alamat dimana satwa tersebut dikirim. Teknik pengiriman yang dilakukan oleh pihak perusahaan sudah cukup aman karena perusahaan juga mengupayakan agar satwa yang berada di dalam
box tidak mati saat proses pengangkutan. Bagian sisi box juga diberi lubang yang digunakan sebagai tempat sirkulasi udara. Box pengiriman diberi keterangan yang menjelaskan bahwa di dalam box tersebut terdapat satwa jenis reptil yang hidup. Sebelumnya perusahaan juga telah mengurus surat perizinan untuk melakukan ekspor satwa dan biasanya pengiriman satwa dilakukan pada malam hari untuk menghindari stress berlebih pada satwa tersebut.
4.2 Morfologi Biawak Ekor Biru (Varanus doreanus) 4.2.1 Ukuran Tubuh Biawak Ekor Biru (Varanus doreanus) Hasil pengukuran rata-rata pada bagian-bagian tubuh biawak ekor biru yang dibedakan berdasarkan kelas umur dan jenis kelaminnya disajikan pada Tabel 12. Tabel 12. Ukuran rata-rata bagian tubuh biawak ekor biru berdasarkan jenis kelamin dan kelas umurnya No.
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
Variabel Ukuran
Panjang kepala Panjang leher Panjang jari kaki depan Panjang jari kaki belakang Panjang lengan atas Panjang lengan bawah Panjang betis (tibia) Panjang paha (femur) Panjang total kaki depan Panjang total kaki belakang Ukuran lingkar dada Lebar dada Ukuran lingkar perut Panjang badan dari pangkal leher – kloaka Panjang ekor dari pangkal ujung ekor Panjang total dari ujung kepala ujung ekor Lebar kloaka Ukuran lingkar pangkal ekor
Dewasa
Remaja
Anakan
Jantan (cm) 9,7 9 6 7,5 4,83 5,83 6,83 6,17 17,33 19,67 21 8 22,33 31
Betina (cm) 10 8 7 7,75 5,50 6,75 7,50 7,50 19,25 22,75 21 9,25 26,50 30
Jantan (cm) 8 8 5,25 6,75 3,5 4,5 6 5 13,25 17,75 15 7,25 17 25
Betina (cm) 6 5,50 4 6 2,50 3 4 3 9,50 13 10 5 12 17
(cm)
77,67
78
66,5
45
26,75
127,33
127
107,5
73,50
44,50
4,83 14,67
5,5 15
3,25 11,5
2 7
1 4,20
4,10 3,65 2,50 3,25 1,40 2,75 2 2 6,65 7,25 4,75 1,90 7 10
Berdasarkan hasil pengukuran pada bagian tubuh biawak, diketahui bahwa panjang total (dari ujung kepala-ekor) rata-rata biawak jantan dewasa adalah
127,33 cm sedangkan betina dewasa berukuran rata-rata 127 cm. Di penangkaran
ini biawak jantan dewasa dan betina dewasa memiliki ukuran tubuh yang relatif hampir sama sehingga sulit untuk membedakan jenis kelamin biawak berdasarkan ukuran tubuhnya. Menurut Bennett (1998) biawak jantan memiliki ukuran tubuh yang lebih besar dibandingkan dengan betina. Ukuran tubuh yang lebih kecil pada betina dapat memungkinkan biawak tersebut terserang oleh predator. Namun betina cenderung kurang aktif dibandingkan dengan jantan sehingga hal tersebut dapat mengurangi tingkat bahaya pada betina. Persentase panjang ekor biawak terhadap panjang total tubuhnya diketahui biawak jantan dewasa mencapai 60,87% sedangkan biawak betina 61,42% begitu pula dengan kelas umur lainnya yang berkisar 60% dari panjang total tubuhnya. Menurut Bennett (1998) kurang lebih hampir 80% panjang tubuh biawak adalah ekor. Rata-rata panjang total kaki belakang biawak ekor biru lebih panjang dibandingkan dengan kaki depan, karena kaki belakang digunakan untuk menopang tubuh bagian belakang biawak yang relatif lebih berat. Selain itu, biawak juga menggunakan kaki belakangnya untuk dapat berdiri. Biawak juga menggunakan kaki belakang saat proses kopulasi yaitu dengan mencengkram bagian tubuh betina. Jumlah total biawak dewasa di perusahaan ini adalah 10 ekor, biawak remaja terdapat 4 ekor dan biawak anakan hanya terdapat 2 ekor sehingga total keseluruhan adalah 16 ekor. Pengambilan contoh pada biawak yang diukur adalah sebanyak 10 ekor (63%) dari jumlah total biawak. Jumlah ini dapat dikatakan mewakili dari jumlah biawak ekor biru yang ada di PT Mega Citrindo. Jumlah biawak di perusahaan ini juga dapat berubah-ubah karena pengumpul bisa datang kapan saja untuk terus menyediakan satwa seperti biawak ekor biru yang akan diekspor. Kendala yang dihadapi dalam pengukuran bagian tubuh biawak adalah kesulitan dalam menangkap biawak dan tingkat bahaya yang cukup tinggi karena biawak dapat melakukan perlawanan dengan menggunakan gigitan, cakaran maupun cambukan ekornya.
4.2.2 Warna dan Corak Tubuh Biawak Ekor Biru (Varanus doreanus) Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, ciri kualitatif pada biawak ekor biru yang dapat diamati seperti warna dan corak tubuh biawak disajikan dalam tabel berikut (Tabel 13). Tabel 13. Ciri kualitatif biawak ekor biru berdasarkan kelas umur dan jenis kelamin No.
Ciri Kualitatif Anakan Hitam
Deskripsi Remaja Hitam kebiruan Kuning dan biru
1
Warna tubuh
2
Warna totol-totol
Putih dan sedikit kekuningan
3
Warna ekor
Putih kekuningan dengan garisgaris hitam
Biru dengan garis-garis hitam
4 5
Warna iris mata Warna bagian tepi badan
Coklat Hitam dengan totol putih kekuningan
Coklat Hijau kebiruan
Keterangan Dewasa Hitam keabu-abuan Kuning
Jantan lebih cerah dibandingkan dengan betina
Biru dengan garis-garis hitam yang telah memudar Coklat Kuning
Warna dan corak tubuh pada satwa reptil biasanya dijadikan sebagai salah satu mekanisme pertahanan diri dari predator (Goin et al. 1978). Warna totol pada biawak ekor biru juga hampir sama dengan biawak buaya (Varanus salvadorii) yaitu berwarna kuning. Biawak buaya (Varanus salvadorii) termasuk jenis biawak yang paling ganas diantara jenis biawak lainnya sehingga warna totol yang mencolok pada biawak ekor biru akan memperlihatkan biawak ini lebih ganas dibandingkan dengan jenis biawak lainnya. Warna tubuh biawak jantan memiliki warna totol-totol (corak) kuning yang lebih cerah dibandingkan dengan betina. Warna biru pada ekor biawak akan memudar ketika telah dewasa. Menurut anonim (2007) warna ekor pada biawak dewasa sedikit memudar bila dibandingkan dengan biawak remaja. Warna ekor biawak yang masih anakan belum terlihat berwarna biru melainkan warna hitam dengan garis-garis putih kekuningan. Biawak ekor biru anakan tidak memiliki warna yang begitu mencolok melainkan didominasi dengan warna hitam. Hal ini merupakan salah satu mekanisme untuk menghindari predator sehingga biawak tersebut sulit
terlihat. Warna yang mencolok akan memudahkan predator untuk menemukan mangsanya. Mimikri adalah salah satu mekanisme satwa yang memiliki corak dan warna tubuh yang menyerupai dengan lingkungan sekitarnya sehingga satwa tersebut dapat menghindar dari predator (Goin et al. 1978). Berikut adalah gambar biawak ekor biru (Varanus doreanus) berdasarkan kelas umurnya (Gambar 23). a
b
c
Gambar 23. Biawak ekor biru (Varanus doreanus) (a) anakan; (b) remaja; (c) dewasa. Biawak ekor biru memiliki hubungan kekerabatan dengan Varanus indicus (Bennett 1998) namun yang membedakannya dari segi warna, Varanus indicus memiliki warna tubuh lebih kuning kehijauan. Biawak ekor biru (Varanus doreanus) juga memiliki hubungan kekerabatan dengan Varanus jobiensis (Anonim 2007). Salah satu ciri morfologi yang membedakannya adalah warna leher Varanus jobiensis berwarna merah sedangkan pada biawak ekor biru (Varanus doreanus) warna leher hitam dengan totol-totol (corak) kuning yang lebih rapat. 4.2.3 Biawak Ekor Biru (Varanus doreanus) Jantan dan Betina Penentuan jenis kelamin jantan dan betina berdasarkan ukuran tubuh dan corak warna cukup sulit untuk dibedakan. Biawak temasuk jenis satwa monomorfik, menurut Bucknill dan Chasen (1990) dalam Suratno et al. (1998) monomorfik berarti secara morfologi sulit dibedakan jenis kelaminnya. Untuk mengetahui perbedaan jantan dan betina lebih mudah dengan melihat langsung bentuk alat kelaminnya. Metode yang biasa dilakukan untuk mengetahui jenis
kelamin pada berbagai jenis reptil dapat dilakukan dengan memasukkan minyak pelumas, benda tumpul atau peralatan logam ke dalam lubang kelaminnya (Szidat 1968; Honneger 1978 dalam Bennett 1998). Bentuk kelamin jantan pada biawak memiliki dua tonjolan dibagian sudut kloaka. Tonjolan ini tidak akan terlihat bila tidak ditekan pada bagian kloakanya. Biawak betina tidak memiliki tonjolan pada kloakanya. Metode lain yang dapat digunakan adalah menggunakan x-rays untuk mendeteksi mineralisasi di dalam hemipenisnya (Shea & Reddacliff 1986, Card & Kluge 1995 dalam Bennett 1998). 4.3 Aktivitas Harian Biawak Ekor Biru (Varanus doreanus) di Kandang 4.3.1 Alokasi Waktu Aktivitas Harian Aktivitas biawak di kandang sangat dipengaruhi oleh kondisi suhu, kelembaban dan cahaya di sekitar kandang. Aktivitas harian satwa di kandang berbeda dengan aktivitas harian satwa di habitat alami. Keadaan kandang yang terbatas akan membuat satwa beradaptasi pada kondisi tersebut. Berikut alokasi waktu yang digunakan biawak ekor biru (Varanus doreanus) pada aktivitas harian di kandang yang dibedakan berdasarkan kelas umurnya (Tabel 14). Tabel 14. Alokasi waktu aktivitas harian biawak ekor biru (Varanus doreanus) berdasarkan kelas umurnya Jenis Aktivitas Makan
Bergerak
Bertengger
Berjemur
Istirahat
Kelas Umur
Anak Remaja Dewasa Rata-rata Anak Remaja Dewasa Rata-rata Anak Remaja Dewasa Rata-rata Anak Remaja Dewasa Rata-rata Anak Remaja Dewasa Rata-rata
Rata-rata Lama Aktivitas Menit Persen (%) 38,3 5,31 49,3 6,85 29,3 4,07 38,97 5,41 388 53,88 100,2 13,92 88,6 12,31 192,27 26,70 313 43,47 231,8 32,19 272,4 38,13 24,2 3,36 38,7 5,38 31,45 4,37 293,7 40,79 233,3 32,40 331,6 46,05 286,2 39,75
Berdasarkan tabel di atas, biawak dewasa lebih banyak menghabiskan waktu beraktivitasnya untuk beristirahat yaitu rata-rata selama 331,6 menit dan lebih lama melakukan aktivitas berjemur dibandingkan dengan biawak remaja yaitu selama 38,7 menit . Biawak remaja lebih banyak menghabiskan waktu untuk bertengger di batang pohon atau di dinding kawat kandang rata-rata selama 313 menit. Biawak ekor biru anakan lebih banyak bergerak di dalam kandang (box penampung) dengan rata-rata lamanya beraktivitas 388 menit. Biawak anakan lebih aktif bergerak karena biawak tersebut berada di dalam box penampung dengan ukuran yang terbatas sehingga biawak tersebut lebih banyak bergerak dan ingin melarikan diri dari box tersebut. Aktivitas yang hanya dapat dilakukan oleh biawak anakan adalah bergerak, istirahat dan makan sehingga biawak anakan menghabiskan energi di dalam kandang dengan banyak bergerak. Lamanya aktivitas makan banyak dilakukan oleh biawak remaja yaitu selama 49,3 menit. Pengukuran lamanya waktu makan dilakukan saat biawak diberi makan yang hanya dilakukan sekali sampai dua kali dalam seminggu. Berdasarkan hasil uji khi-kuadarat diperoleh X2 hitung (205,66)
>
X2 tabel (15,507), dengan
kesimpulan bahwa alokasi waktu aktivitas harian biawak di kadang untuk setiap kelas umurnya adalah berbeda atau tidak sama. a. Aktivitas Makan Aktivitas makan hanya dapat dilihat kurang lebih sekali hingga dua kali dalam seminggu karena waktu pemberian pakan biawak hanya dilakukan pada waktu tersebut. Biawak remaja dan dewasa hanya memakan anak ayam dan anak tikus setiap minggunya sedangkan biawak anakan memakan jangkrik, anak tikus dan anak ayam. Berdasarkan hasil pengamatan pada aktivitas makan, biawak remaja lebih lama melakukan aktivitas makan dengan persentase 6,85 %. Hal ini terlihat dari besarnya persentase perilaku makan yang dilakukan pada masingmasing kelas umur biawak yang disajikan pada kurva berikut (Gambar 24).
Lama Aktivitas (%)
8 6 4 2 0
6,85% 5,31%
Anakan
4,07%
Remaja
Dewasa
Kelas Umur
Gambar 24. Persentase alokasi waktu pada aktivitas makan. Biawak remaja lebih lama melakukan aktivitas makan karena pada kelas umur tersebut, aktivitas makan merupakan aktivitas yang masih pada tahap pembelajaran. Di habitat alami, biawak remaja lebih banyak melakukan aktivitas berburu
untuk
mencari
mangsa.
Pencarian
mangsa
dilakukan
dengan
menggunakan indra penciuman atau yang disebut dengan organ Jacobson. Selain itu, biawak juga menjulurkan lidahnya untuk mengetahui keberadaan mangsanya. Sama halnya dengan ular, lidah biawak juga dapat merasakan keberadaan mangsa yang dekat melalui sensor panas. Di kandang penangkaran, cara memangsa biawak dilakukan dari berbagai arah baik dari kepala atau leher terlebih dulu maupun dari bagian belakang. Perilaku makan biawak untuk mangsa yang kecil adalah dengan langsung menelan mangsanya hidup-hidup. Namun untuk mangsa yang berukuran besar biawak akan membunuh mangsa terlebih dahulu. Menurut Bennett (1998) mangsa yang dibunuh lebih dulu akan memudahkan biawak dalam proses makan terutama saat menelan mangsa tersebut. Biawak remaja biasanya menghabiskan 3-4 ekor anak tikus dalam seminggu. Biawak tidak akan berhenti untuk makan hingga biawak tersebut merasa kenyang. Biawak akan memangsa apapun termasuk sesama biawak yang lebih lemah apabila kebutuhan pakannya tidak terpenuhi. Sifat tersebut yang memperkuat bahwa biawak termasuk jenis satwa kanibal (Bennett 1998). Di habitat alami biawak juga memangsa telur-telur satwa lain seperti kura-kura dan bahkan biawak tersebut dapat memangsa telurnya sendiri bila pakannya tidak tercukupi. Dari hasil wawancara, biawak ekor biru juga telah beberapa kali memakan telurnya sendiri sehingga hal ini menjadi salah satu kendala biawak ini belum berhasil dikembangbiakkan.
b. Aktivitas Bergerak Biawak termasuk jenis satwa yang cepat bergerak dan bersembunyi bila ada sesuatu yang mengancam dirinya. Biawak di kandang ini masih termasuk liar dan cenderung menghindar apabila bertemu dengan manusia sehingga biawak akan cepat bergerak dan bersembunyi di dalam shelter. Pergerakan biawak di kandang dilakukan saat biawak berjalan di sekitar shelter atau di atas pasir, saat akan berjemur di atas batu atau saat akan bertengger dan saat keluar dari shelter. Berikut kurva yang menggambarkan besarnya persentase aktivitas bergerak pada
Lama Aktivitas (%)
kelas umur biawak di kandang (Gambar 25). 60
53,88%
40 20
13,92%
12,31%
Remaja
Dewasa
0 Anakan
Kelas Umur
Gambar 25. Persentase alokasi waktu pada aktivitas bergerak. Menurut Mulyana (1994) dalam Usboko (2007) melaporkan bahwa diam merupakan aktivitas dengan frekuensi tertinggi yang dilakukan oleh komodo. Umumnya jenis reptil seperti biawak juga lebih banyak diam dan sedikit untuk bergerak. Namun pada biawak anakan aktivitas bergerak menjadi lebih dominan karena kondisi kandang (box penampung) yang sangat terbatas sehingga membuat biawak selalu bergerak kesana kemari dan ingin keluar (melarikan diri) dari kandang. c. Aktivitas Bertengger Biawak remaja lebih banyak melakukan aktivitas bertengger bahkan waktu berjemur dan istirahat pun kadang dilakukan di batang pohon. Biawak remaja lebih banyak menghabiskan waktunya bertengger karena di alam biawak remaja biasanya lebih suka mencari makan di atas pohon dan juga menghindari predator atau serangan biawak dewasa yang ganas (Bennett 1998). Berikut kurva yang menggambarkan besarnya persentase aktivitas bertengger pada kelas umur biawak di kandang (Gambar 26).
Lama Aktivitas (%)
50 40 30 20 10 0
43,47 % 32,19% 0% Anakan
Remaja
Dewasa
Kelas Umur
Gambar 26. Persentase alokasi waktu pada aktivitas bertengger. Berdasarkan kurva diatas dapat diketahui besarnya persentase aktivitas bertengger pada biawak remaja adalah 43,47 %. Biawak anakan tidak melakukan aktivitas bertengger karena kondisi kandang yang hanya berupa box penampung yang tidak disertai dengan peralatan bertengger seperti batang kayu. Biawak menggunakan kukunya yang tajam untuk dapat memanjat batang pohon atau tembok pada kandang. Biawak juga sering ditemukan bertengger pada dinding kawat kandang dengan mencengkram kuat menggunakan kukunya dalam waktu yang lama. Pada sekitar pukul 09.40 WIB dengan kondisi suhu 30o C dan kelembaban 71 %, biawak biasanya mulai beraktivitas bertengger di kawat pagar kandang. Ketika suhu mencapai 33oC dan kelembaban 62% pada sekitar pukul 11.20 WIB biawak remaja dan dewasa biasanya melakukan aktivitas bertengger di batang pohon sambil sesekali menjulurkan lidahnya untuk mengetahui kondisi di sekitarnya. Sebagian besar waktu biawak remaja di kandang dihabiskan melakukan kegiatan bertengger pada batang kayu atau kawat pagar. d. Aktivitas Berjemur (Basking) Aktivitas
berjemur
biawak
dilakukan
untuk
menyesuaikan
dan
mempertahankan suhu tubuh pada kondisi di sekitarnya. Biawak mulai berjemur (basking) pada sekitar pukul 12.00 - 14.00 WIB di atas batu-batu kerikil. Suhu berjemur biawak ekor biru (Varanus doreanus) adalah 33Cº - 35ºC (Anonim 2007). Pada pukul 12.00 WIB suhu kandang rata-rata dari hasil pengukuran adalah 32oC. Aktivitas berjemur di kandang lebih lama dilakukan oleh biawak dewasa dengan persentase alokasi waktu sebesar 5,38%. Berikut kurva yang
menggambarkan besarnya persentase aktivitas berjemur pada kelas umur biawak
Lama Aktivitas (%)
di kandang (Gambar 27). 5,38%
6 5 4 3 2 1 0
3,36 % 0% Anakan
Remaja
Dewasa
Kelas Umur
Gambar 27. Persentase alokasi waktu pada aktivitas berjemur. Ukuran tubuh yang cukup besar membuat biawak dewasa melakukan aktivitas berjemur lebih lama dibandingkan biawak remaja karena ukuran permukaan tubuh yang lebih besar sehingga waktu pencapaian suhu tubuh yang diinginkan lebih lama. Biawak remaja dapat melakukan aktivitas berjemur sambil bertengger apabila tempat bertengger terkena sinar matahari langsung pada siang hari. Biawak akan merenggangkan seluruh bagian tubuhnya pada saat berjemur. Biawak anakan tidak dapat melakukan aktivitas berjemur karena kondisi kandang terdapat di dalam ruangan. e. Aktivitas Istirahat Biawak ekor biru mulai beristirahat (tidur) diantara pukul 16.30 WIB dan pukul 18.00 WIB dengan kondisi suhu kandang pada pukul 18.00 WIB adalah 29oC dan kelembaban 83%. Biawak remaja lebih menyukai tidur di atas batang kayu sedangkan biawak dewasa beristirahat di dalam shelter. Dari hasil pengamatan, biawak dewasa lebih banyak melakukan aktivitas istirahat dengan persentase alokasi waktunya sebesar 46,05%. Berikut kurva yang menggambarkan besarnya persentase aktivitas istirahat pada masing-masing kelas umur biawak di kandang (Gambar 28).
Lama Aktivitas (%)
50 40 30 20 10 0
46,05%
40,79%
32,40 %
Anakan
Remaja
Dewasa
Kelas Umur
Gambar 28. Persentase alokasi waktu pada aktivitas beristirahat. Biawak termasuk jenis satwa yang lebih banyak beristirahat dan diam. Hal ini terbukti dengan besarnya persentase alokasi waktu aktivitas istirahat yang cukup besar. Biawak dewasa lebih melakukan aktivitas istirahat dan bersembunyi di dalam shelter. Apabila kondisi iklim di sekitar kandang mendung dan berangin, biawak lebih banyak di shelter dan tidak banyak melakukan aktivitas. 4.3.2 Pola Sebaran Waktu Aktivitas Harian a. Aktivitas Harian Biawak Anakan Biawak ekor biru anakan biasanya memulai aktivitasnya dengan bergerak yaitu pada pukul 08.00 WIB. Sekitar pukul 08.00-09.00 WIB kandang anakan biasanya dibersihkan oleh pengelola. Pada saat itu biawak anakan telah memulai aktivitasnya. Pihak pengelola memberi pakan biawak saat setelah membersihkan kandang. Aktivitas makan dimulai sekitar pukul 09.00 WIB dan berakhir pada pukul 12.00 WIB dengan rata-rata lamanya waktu makan selama 38,5 menit. Aktivitas bergerak meningkat pada pukul 12.00-13.00 WIB yaitu rata-rata selama 54,3 menit. Secara umum aktivitas bergerak pada biawak anakan lebih fluktuatif dibandingkan dengan kegiatan makan dan beristirahat. Hal ini digambarkan pada grafik pola sebaran aktivitas biawak anakan (Gambar 29). Aktivitas bergerak pada anakan berakhir pada pukul 17.00 dengan kondisi suhu 29oC dan kelembaban 75%, terlihat pada grafik yang menurun drastis pada waktu tersebut. Aktivitas istirahat biawak anakan lebih banyak dilakukan setelah pukul 13.00 WIB yang terlihat pada grafik yang terus meningkat hingga pukul 18.00 WIB.
Rata-rata lama aktivitas (menit)
70 60 50 40 30 20 10 0
makan bergerak istirahat
Waktu (WIB)
Gambar 29. Pola sebaran aktivitas harian biawak ekor biru anakan. b. Aktivitas Harian Biawak Remaja Aktivitas biawak ekor biru remaja di kandang, rata-rata dimulai pukul 10.00 WIB. Pada pukul 06.00 WIB biawak masih di dalam shelter dan belum menunjukkan adanya aktivitas. Pada pukul 08.00-09.00 WIB biasanya dilakukan pembersihan kandang, saat itu kondisi kandang masih basah (lembab) sehingga biawak belum ingin keluar dari shelter. Berikut adalah grafik pola sebaran
Rata-rata lama aktivita (menit)
aktivitas harian biawak ekor biru remaja yang berada di kandang (Gambar 30). 70 60 50 40 30 20 10 0
makan bergerak bertengger berjemur istirahat
Waktu (WIB)
Gambar 30. Pola sebaran aktivitas harian biawak ekor biru remaja. Biawak remaja mulai keluar dari shelter pada pukul 10.00 WIB yaitu dimulai dengan mengeluarkan kepalanya dan berjalan di sekitar kandang. Aktivitas makan biawak remaja rata-rata dilakukan lebih lama pada pukul 09.0010.00 WIB setelah dilakukan pembersihan kandang. Aktivitas bergerak meningkat mulai pukul 10.00 WIB dan akan menurun mulai pukul 14.00 WIB. Biawak
remaja lebih banyak melakukan aktivitas bertengger yaitu rata-rata selama 313 menit. Saat tidur pun biawak remaja terkadang berada di batang pohon. Hal ini karena di habitat alaminya, biawak remaja lebih banyak bertengger untuk menghindari pemangsaan dari biawak dewasa dan mencari makan di atas pohon. Biawak juga dapat melakukan aktivitas berjemur di batang pohon bila lokasi tersebut terkena sinar matahari. Aktivitas istirahat biawak remaja di dalam shelter lebih sedikit dilakukan karena biawak juga dapat beristirahat sambil bertengger di batang pohon. c. Aktivitas Harian Biawak Dewasa Aktivitas makan pada biawak remaja lebih banyak dilakukan pada pukul 10.00-11.00 WIB. Lama aktivitas makan pada biawak dewasa rata-rata adalah 29,3 menit. Aktivitas bergerak biawak dewasa dimulai pada pukul 09.00 WIB dan akan sedikit menurun pada pukul 12.00 WIB karena kondisi suhu yang lebih tinggi. Aktivitas bergerak kembali meningkat pada pukul 14.00 WIB karena kondisi suhu yang sudah mulai menurun. Aktivitas bergerak akan menurun kembali pada waktu sore hari yaitu sekitar pukul 16.00 WIB. Berikut grafik yang menggambarkan pola sebaran aktivitas harian biawak ekor biru pada kelas umur
Rata-rata lama aktivitas (menit)
dewasa di dalam kandang (Gambar 31). 70 60 50 40 30 20 10 0
makan bergerak bertengger berjemur istirahat
Waktu (WIB)
Gambar 31. Pola sebaran aktivitas harian biawak ekor biru dewasa. Biawak dewasa melakukan aktivitas bertengger pada sekitar pukul 10.0016.00 WIB. Aktivitas bertengger biawak dewasa dapat dilakukan di batang pohon atau di dinding kawat kandang. Biawak dewasa juga sering ditemukan memanjat tembok kandang dan diam dalam waktu yang lama ± 1-2 jam. Aktivitas berjemur
biawak lebih lama dilakukan pada pukul 12.00-14.00 dengan kondisi suhu berkisar antara 31oC-33oC. Biawak lebih lama melakukan aktivitas istirahat mulai pukul 17.00 WIB. Lamanya aktivitas istirahat yang terukur mulai pukul 06.0018.00 WIB adalah 331,6 menit. Waktu tersebut lebih lama dibandingkan biawak anakan dan remaja.
V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan 1. PT Mega Citrindo merupakan perusahaan yang menangkarkan biawak ekor biru (Varanus doreanus) secara intensif untuk tujuan ekonomi. Manajemen reproduksi biawak ekor biru (Varanus doreanus) masih memerlukan perhatian yang lebih karena biawak tersebut belum berhasil dikembangbiakan. 2. Biawak ekor biru (Varanus doreanus) termasuk jenis satwa monomorfik yang secara morfologi sulit dibedakan jenis kelaminnya. Ciri kuantitatif yang digunakan untuk membedakan jenis kelamin adalah panjang total (ujung kepala-ujung ekor) tubuh biawak jantan lebih besar dibandingkan dengan betina sedangkan ciri kualitatifnya adalah biawak jantan memiliki warna totol yang lebih cerah dibandingkan dengan betina. Ciri kualitatif yang digunakan untuk mengetahui kelas umur biawak adalah warna biru pada ekor biawak akan semakin memudar ketika telah dewasa dan warna tubuhnya akan berubah dari hitam menjadi hitam keabuan. 3. Alokasi waktu aktivitas harian biawak untuk setiap kelas umurnya adalah berbeda. Biawak dewasa lebih banyak melakukan aktivitas berjemur dan istirahat, biawak remaja lebih banyak melakukan aktivitas makan dan bertengger sedangkan biawak anakan lebih banyak melakukan aktivitas bergerak. 5.2 Saran 1. Perbaikan manajemen breeding pada penangkaran biawak agar upaya pengembangbiakan biawak ekor biru (Varanus doreanus) dapat berhasil dilakukan. 2. Penelitian lebih lanjut mengenai penyakit yang menyerang biawak di kandang seperti caplak dan cacingan agar dapat membantu pengobatan penyakitnya.
3. Penelitian lebih lanjut mengenai perilaku reproduksi biawak ekor biru (Varanus doreanus) di kandang agar dapat membantu dalam upaya penangkaran. 4. Pengkajian lebih lanjut mengenai habitat alami biawak ekor biru (Varanus doreanus) agar dapat disesuaikan dengan membuat kondisi kandang di penangkaran seperti di habitat aslinya.
DAFTAR PUSTAKA Alikodra HS. 2002. Pengelolaan Satwaliar Jilid I. Bogor : Yayasan Penerbit Fakultas Kehutanan IPB. Anonim. 2005. Kandungan Gizi.http://indonesian. cri. cn/1/2005/07/19/1@32439. htm. [15 Mei 2010]. _______. 2007. Blue-Tailed Monitor (Varanus doreanus). http: //www. dszoo. com/forum/archive/index.php?t-138.html [21 Maret 2010]. Appleby, Michael C dan Barry OH. 1997. Animal Welfare. London : Oxford University Press. Basuni S. 1987. Manajemen Perkembangbiakan dalam usaha penangkaran rusa (Servus spp) ditinjau dari aspek perilakunya. Media Konservasi, Vol.1, No.4. Bogor : Fakultas Kehutanan IPB. Bennett D. 1995. A Little Book of Monitor Lizards. A Little Book of Monitor Lizards. Viper Press, Aberdeen, UK Viper Press, Aberdeen, Inggris. http://www.mampam.50megs.com/monitors/indicus.html [6 Januari 2010]. _______. 1998. Monitor Lizard (Natural History, Biology, and Husbandry). Thomas.W and Breck.B, editor. Germany : Warlich Druck, Meckenheim. Breen JF. 1974. Encyclopedia of Reptiles and Amphibians. T.F.H. Publications, Inc. Ltd. United State of America. [Dephut] Departemen Kehutanan.1990. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Jakarta. Departemen Kehutanan. http : /// www. bk.menlh.go.id/files/UU-590.pdf?PHPSESSID.[15 Desember 2009]. [Dephut] Departemen Kehutanan.1999. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar. Jakarta. Departemen Kehutanan. http:///www.ksdabali.go.id/wp.../pp-no7-tahun-1999-pengawetan-jenis-ts.pdf [15 Desember 2009]. [Dephut] Departemen Kehutanan.1999. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar. Jakarta: Departemen Kehutanan. [Dephut] Departemen Kehutanan.2008a. Peraturan Menteri Kehutanan no. P.57/Menhut-11/2008 tentang Arahan Strategi Konservasi Spesies Nasional 2008-2018. Jakarta: Departemen Kehutanan.
[Dephut] Departemen Kehutanan.2008b. Kuota Pengambilan Tumbuhan Alam dan Penangkapan Satwa liar dari Habitat Alam. Jakarta: Departemen Kehutanan. Dryden G, Thomas ZRP, Dennis RK, Ruth A, King. 2004. Varanoid Lizards of the World. Indiana University Press. Indianapolis. Pp 189. Fraser D.1996. Science, values and animal welfare : Exploring the ‘inextricable connection’. Animal welfare 4,103-117. Fowler ME. 1987. Zoo and Wild Life Animal Medicine. Philadelphia: W.B. Saunders Company. Goin CJ dan Goin OB. 1971. Introduction to Herpetology. San Fransisco: WH Freeman and Company. Goin CJ, Goin OB and Zug GR. 1978. Introduction to Herpetology Third Edition. San Fransisco: WH Freeman and Company. Grzimek B. 1975. Animal Life Encyclopedia Reptile. Vol. 6. Litton World Trade Corporation. New York. Halliday T dan Adler K. 2000. The Encyclopedia of Reptils and Amphibians. New York: Fact on files Inc. Hapsari AK. 2004. Kajian teknik penangkaran ular sanca hijau (Chondrophyton viridis) di CV Terraria dan Taman Mini Indonesia Indah. [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Hardjanto, Burhanuddin M dan Yulius H. 1991. Analisis Kelayakan Finansial Penangkaran Rusa di BKPH Jonggol, KPH Bogor. Bogor: Fakultas Kehutanan IPB. Hoeve V. 1992. Ensiklopedia Indonesia Seri Fauna Reptilia & Amfibi. Jakarta : Redaksi Ensiklopedia Indonesia. Levine ND.1990. Parasitologi Veteriner. Gatut A, penerjemah; Wardiarto, editor. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari : Textbook of Veterinary Parasitology. Masy’ud B. 2001. Dasar-Dasar Penangkaran Satwaliar. Didalam : Hapsari AK. 2004. Kajian Teknik Penangkaran Ular Sanca Hijau (Chondrophyton viridis) di CV. Terraria dan Taman Mini Indonesia Indah. [skripsi]. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Masy’ud. 2003. Dasar-Dasar Penangkaran Satwaliar. Laboratorium Penangkaran Satwaliar. Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata. Bogor: Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Pernetta AP. 2009. Monitoring the Trade: Using the CITES Database to Examine the Global Trade in Live Monitor Lizards (Varanus spp). Biawak,3(2),pp. 37-45. http://www.dszoo.com/forum/archive/index.php?t-138.html [2 Desember 2009]. [PHKA] Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. 2009. Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Nomor 15/IVSET/2009 tentang Penetapan Rencana Produksi Reptil Hidup Hasil Penangkaran Tahap Pertama (Periode Januari - Juni). Jakarta: PHKA. Pianka R, Dennis RK & Ruth AK. 2004. Varanoid Lizards of the World. Indiana University Press. Indianapolis. Pp 168. Purba P. 2008. Studi perilaku harian biawak komodo (Varanus komodoensis) pada berbagai kelas umur di Pulai Rinca, TN. Komodo [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan IPB. Samedi. 2004. Pengenalan Jenis Flora dan Fauna yang Diperdagangkan. Vol.1. (Reptilia, Appendix II CITES). Jakarta: Dirjen PHKA, DepHut. Shine R, Ambariyanto, Peter SH, Mumpuni. 1998. Ecological traits of commercially harvested water monitors, Varanus salvator, in northern Sumatra. Wildlife Research Vol 25. Australia.CSIRO Publishing. http:// www. varanide. com/pdf/Jessop%204. pdf [14 Desember 2009]. Soehartono T dan Mardiastuti. 2003. Perdagangan Reptil Indonesia di Pasar Internasional. Di dalam : Konservasi Keanekaragaman Amfibia dan Reptilia di Indonesia. Prosiding Seminar Hasil Penelitian, 8 Mei 2003. Bogor : Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan IPB dengan IRATA. Soulsby EJL. 1982. Helminths, Arthropod, and Protozoa of Domesticated Animals. London: Baillere Tindall. Sprackland R. 1995. Evolution, systematics, and variation in Pacific mangrove monitor lizards. Unpublished Ph.D. Thesis, University College London. Subronto. 2006. Penyakit Infeksi Parasit dan Mikroba pada Anjing dan Kucing. Yogyakarta : UGM Press. Suratno, Susilo, Endang SS. 1998. Karakterisasi morfologi kromosom dan profil protein plasma darah untuk penentuan jenis kelamin burung gelatik
(Padda oryzivora (L.)). [tesis]. Yokyakarta : Fakultas Biologi Universitas Gajah Mada. Thohari M. 1987a. Upaya Penangkaran satwaliar. Media Konservasi, Vol. I, No.3 : 21-26. Bogor : Fakultas Kehutanan IPB. Walpole ER.1997. Pengantar Statistika. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Wijayanti DN. 2007. Studi infestasi caplak pada anjing yang dipelihara di Subdit Satwa DTT Samafta Babinkam Polri Kelapa dua Depok. [skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor. Ziegler T, Andreas Schmitz, Adre Koch & W. Bohme. 2007. A review of the sub genus Euprepiosaurus of Varanus (Squamata: Varanidae): morphological and molecular phylogeny, distribution and zoofeography, with an identification key for the members of the V. indicus and V. prasinus species group. Zootaxa 1472: 1-28.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Hasil Pengukuran Suhu dan Kelembaban Kandang Tabel 15. Hasil pengukuran suhu dan kelembaban di luar ruangan. Tanggal Pengukuran
27 April 28 April 29 April 1 Mei 2 Mei 3 Mei 4 Mei 12 Mei 13 Mei 18 Mei 19 Mei 20 Mei Total Rata-rata
Waktu 06.00 Suhu (oC) 24 24 24 24 24 24 24 24 24 24 24 25 289 24.08
Rh (%) 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 1200 100
12.00
18.00
00.00
Suhu (oC) 32 32 33 32 32 32 33 30 31 33 33 33 386
Rh (%) 59 60 62 62 68 68 63 71 63 58 58 58 750
Suhu (oC) 30 30 31 30 30 31 30 27 27 29 26 30 351
Rh (%) 78 78 79 78 78 79 81 90 90 82 100 81 994
Suhu (oC) 26 26 26 26 26 26 26 25 25 27 27 27 313
Rh (%) 96 96 96 96 96 96 96 92 92 98 100 98 1152
32.17
62.5
29.25
82.83
26.08
96
Tabel 16. Hasil pengukuran suhu dan kelembaban di dalam ruangan. Tanggal Pengukuran
27 April 28 April 29 April 1 Mei 2 Mei 3 Mei 4 Mei 12 Mei 13 Mei 18 Mei 19 Mei 20 Mei Total Rata-rata
Waktu 06.00 Suhu (oC) 25 25 25 25 25 25 26 26 26 25 25 26 304 25.33
Rh (%) 92 92 92 92 92 92 92 92 92 92 92 92 1104 92
12.00 Suhu (oC) 30 32 32 32 32 32 33 30 31 31 31 31 377 31.42
Rh (%) 72 61 61 61 61 73 67 84 79 79 79 79 856 71.33
18.00 Suhu (oC) 29 30 30 30 30 31 30 27 27 29 28 29 350 29.17
Rh (%) 78 78 78 78 78 79 78 92 92 85 92 85 993 82.75
00.00 Suhu (oC) 26 26 26 26 26 28 28 26 26 27 27 27 319 26.58
Rh (%) 84 84 84 84 84 92 92 84 84 92 92 92 1048 87.33
Lampiran 2. Hasil Pengamatan Perilaku Biawak Ekor Biru Tabel 17. Lama waktu rata-rata (menit) aktivitas harian biawak ekor biru (Varanus doreanus) pada kelas umur anakan di PT Mega Citrindo. Waktu 06.00-07.00 07.00-08.00 08.00-09.00 09.00-10.00 10.00-11.00 11.00-12.00 12.00-13.00 13.00-14.00 14.00-15.00 15.00-16.00 16.00-17.00 17.00-18.00 Total %
Makan 0 0 10.7 17.3 10.3 0 0 0 0 0 0 0 38.3 5.32
Bergerak 0 0 38 42.7 49.7 46.5 54.3 44.7 39.7 38 34.4 0 388 53.88
Jenis Aktivitas Bertengger 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Berjemur 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Istirahat 60 60 11.3 0 0 13.5 5.7 15.3 20.3 22 25.6 60 293.7 40.79
Tabel 18. Lama waktu rata-rata (menit) aktivitas harian biawak ekor biru (Varanus doreanus) pada kelas umur remaja di PT Mega Citrindo. Waktu 06.00-07.00 07.00-08.00 08.00-09.00 09.00-10.00 10.00-11.00 11.00-12.00 12.00-13.00 13.00-14.00 14.00-15.00 15.00-16.00 16.00-17.00 17.00-18.00 Total %
Makan 0 0 0 32 12.3 5 0 0 0 0 0 0 49.3 6.85
Bergerak 0 0 10 12.3 15.7 15 12.7 5.5 3.7 7.3 8 10 100.2 13.92
Jenis Aktivitas Bertengger 0 0 0 0 25 28.8 37.3 44.8 56.3 46.4 44.4 30 313 43.47
Berjemur 0 0 0 0 0 4.5 10 9.7 0 0 0 0 24.2 3.36
Istirahat 60 60 50 15,7 7 6.7 0 0 0 6.3 7.6 20 233.3 32.40
Tabel 19. Lama waktu rata-rata (menit) aktivitas harian biawak ekor biru (Varanus doreanus) pada kelas umur dewasa di PT Mega Citrindo.
Waktu 06.00-07.00 07.00-08.00 08.00-09.00 09.00-10.00 10.00-11.00 11.00-12.00 12.00-13.00 13.00-14.00 14.00-15.00 15.00-16.00 16.00-17.00 17.00-18.00 Total %
Makan 0 0 0 0 24 5.3 0 0 0 0 0 0 29.3 4.07
Bergerak 0 0 0 15 12.4 8.7 9.8 18.7 14.3 4.7 5 0 88.6 12.31
Jenis Aktivitas Bertengger 0 0 0 20 18.3 28.7 28.8 31 36 44 25 0 231.8 32.19
Berjemur 0 0 0 0 0 4 14.7 10.3 9.7 0 0 0 38.7 5.38
Tabel 20. Hasil pengukuran bobot badan biawak ekor biru No. Kelas Umur & Jenis Kelamin Biawak 1 Jantan Dewasa 2 Jantan Dewasa 3 Betina Dewasa 4 Betina Dewasa 5 Jantan Remaja 6 Jantan Remaja 7 Jantan Dewasa 8 Betina Remaja 9 Anakan 10 Anakan
Bobot Badan (gram) >30000 1400 1700 2650 980 940 1300 820 40 60
Istirahat 60 60 60 25 5.3 13.3 6.7 0 0 11.3 30 60 331.6 46.05
Lampiran 3. Hasil uji khi-khuadrat dari alokasi waktu harian biawak ekor biru (Varanus doreanus) berdasarkan kelas umur. Aktivitas Kelas umur Makan Oi Ei Bergerak Oi Ei Bertengger Oi Ei Berjemur Oi Ei Istirahat Oi Ei Total Oi
Anakan
Remaja
Dewasa
Total
38.3
49.3
29.3
38.96
38.96
38.96
388 192.27 0 181.6 0 20.97 293.7 286.2
100.2 192.27 313 181.6 24.2 20.97 233.3 286.2
88.6 192.27 231.8 181.6 38.7 20.97 331.6 286.2
720
720
720
116.9 576.8 544.8 62.9 858.6 2160
X2hitung = X2hitung = 0.011 + 2.744 + 2.395 + 199.252 + 44.088 + 55.898 + 181.6 + 95.077 + 13.877 + 20.97 + 0.498 + 14.991 + 0.197 + 9.778 + 7.202 = 205.66
X2 0,05 = 15.507 untuk v = (5-1)(3-1) = 8 X2hitung
> X2 tabel, maka tolak Ho
Kesimpulan : Alokasi waktu aktivitas harian biawak ekor biru di kandang untuk setiap kelas umur adalah tidak sama.
Lampiran 4. Kondisi perkandangan biawak ekor biru di PT Mega Citrindo
Gambar 32. Bentuk kandang.
Gambar 33. Box penampung ukuran 64cm x 34cm x 31cm.
Gambar 34. Box penampung
Gambar 35. Kertas koran di box
ukuran 42cm x 30cm x 30cm.
Gambar 36. Kondisi kandang (box) di dalam ruangan.
penampung.
Gambar 37. Anak tikus (pakan biawak).
Gambar 38. Anak ayam pakan biawak).
Lampiran 5 Perilaku Harian Biawak Ekor Biru (Varanus doreanus)
Gambar 39. Bertengger pada batang kayu.
Gambar 41. Bertengger pada
Gambar 40. Bertengger pada kawat pagar.
Gambar 42. Memanjat tembok kandang.
batas tembok kandang
Gambar 43. Varanus jobiensis sedang memangsa tikus.
Gambar 44. Varanus doreanus sedang memangsa anak ayam.
Gambar 45. Aktivitas berjemur (basking).
Gambar 46.Berjalan di sekitar shelter.
Lampiran 10. Hasil Pengukuran Bagian Tubuh Biawak Ekor Biru Tabel 21. Hasil pengukuran pada seluruh bagian tubuh biawak ekor biru yang telah diukur No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Variabel ukuran Panjang kepala Panjang leher Panjang jari kaki depan Panjang jari kaki belakang Ukuran lingkar dada Lebar dada Panjang total kaki depan Panjang total kaki belakang Ukuran lingkar perut Panjang lengan atas Panjang lengan bawah Panjang betis (tibia) Panjang paha (femur) Panjang badan dari pangkal leher – kloaka Panjang ekor dari pangkal – ujung ekor Panjang total dari ujung kepala – ujung ekor Ukuran lingkar pangkal ekor Lebar kloaka Keterangan
11 10,5 6,5 8 27 9 20 21 30 5,5 6 8,5 7 36 82 139,5 18 5,5 JD
10 9 5,5 7,5 20 8 16,5 19 21 5 6 6 5,5 27 79 125 13 5 JD
9 8 6,5 7,5 20 10 17 21,5 24 5 5,5 7 7 24 76 117 14 6 BD
Ukuran Tubuh Biawak (cm) 11 8 8 8 10 8 8 7,5 7,5 5,5 5 6 8 7 6,5 7 22 14 16 16 8,5 7 7,5 7 21,5 12,5 14 15,5 24 18 17,5 19 29 16 18 16 6 3 4 4 8 4 5 5,5 8 6 6 6 8 5 5 6 36 24 26 30 80 67 66 72 137 107 108 117,5 16 12 11 13 5 3 3,5 4 BD JR JR JD
Ket : JD BD
: Jantan Dewasa : Betina Dewasa
JR BR
: Jantan Remaja : Betina Remaja
A
: Anakan
6 5,5 4 6 10 5 9,5 13 12 2,5 3 4 3 17 45 73,5 7 2 BR
4 2,8 2 3 4 2 6,5 6,9 7 1 3,5 2 1,9 9,5 25 41,3 3,9 0,8 A
4,2 4,5 3 3,5 5,5 2,4 6,8 7,6 7 1,8 2 2,1 2 10,5 28,5 47,7 4,5 1,2 A