0
STUDI KASUS: KAJIAN HISTOPATOLOGI PADA KEMATIAN SEEKOR BIAWAK AMBON (Varanus indicus)
ASTRI PRIYANTI PARAMESWARI
DEPARTEMEN KLINIK REPRODUKSI DAN PATOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
1
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Saya dengan ini menyatakan bahwa skripsi Studi Kasus: Kajian Histopatologi Pada Kematian Seekor Biawak Ambon (Varanus indicus) adalah karya saya dengan arahan dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, April 2012 Astri Priyanti Parameswari NIM B04070166
2
©Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya illmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karyatulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
3
ABSTRACT ASTRI PRIYANTI PARAMESWARI. Case Study: The Histopathological Study of the Death of an Ambon Monitor Lizard (Varanus indicus). Under direction of EVA HARLINA and AGUS SETIYONO. The aim of this case study was to study the cause of death of an Ambon monitor lizard (Varanus indicus) which died suddenly without showing any clinical signs. Organs that were showing abnormality were collected and histopathologically processed. Gross examination showed enlarged liver with multiple white foci ranging from 0.1 to 2 cm in diameter and diagnosed as multifocal abcess. Abcesses were also found in the spleen and kidney. The mucosa of the intestine was filled with hemorrhage exudate and contained many necrotic areas. The intestine was diagnosed as enteritis hemorrhagica et necroticans. The histopathological examination showed granulomatous inflammation in the liver, spleen, kidney and intestine, and amoebas were found in all of these organs. The death of this lizard is caused by liver failure and multifunctional organ failure caused by chronic inflammation of amoebiasis. Keywords: Ambon monitor lizard, granulomatous inflammation, Entamoeba sp.
4
STUDI KASUS: KAJIAN HISTOPATOLOGI PADA KEMATIAN SEEKOR BIAWAK AMBON (Varanus indicus)
ASTRI PRIYANTI PARAMESWARI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN KLINIK REPRODUKSI DAN PATOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
5
Judul Skripsi
: Studi Kasus: Kajian Histopatologi Pada Kematian Seekor Biawak Ambon (Varanus indicus) : Astri Priyanti Parameswari : B04070166
Nama NIM
Disetujui,
Dr. drh. Eva Harlina, M.Si, APVet.
drh. Agus Setiyono, MS, PhD.,
APVet Pembimbing I
Pembimbing II
Diketahui,
drh. Agus Setiyono, MS, PhD. APVet Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor
Tanggal lulus:
6
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Studi Kasus: Kajian Histopatologi Pada Kematian Seekor Biawak Ambon (Varanus indicus). Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Terima kasih penulis sampaikan kepada Dr. drh. Eva Harlina, M.Si, APVet. dan drh. Agus Setiyono, MS, PhD, APVet. selaku pembimbing skripsi yang telah memberikan pengarahan dan bimbingan bagi penulis. Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada Bayu Febram Prasetyo, S.Si, Apt. selaku dosen pembimbing akademik, seluruh staf dan pegawai Bagian Patologi (Pak Bangkit, Pak Kasnadi, Pak Endang, Pak Sholeh) atas bantuannya selama penelitian. Ucapan terima kasih dan penghargaan yang tak terhingga penulis tujukan kepada orangtua dan kakak-kakak tercinta yang telah berdoa dengan tulus dan memberikan dukungan selama ini. Ucapan terima kasih dan penghargaan yang sangat dalam penulis tujukan kepada orang terdekat Azrul Zulmy, Gita Alvernita, dan Patricia Noreva, atas dukungan dan semangat yang diberikan selama penelitian. Terima kasih penulis ucapkan kepada teman-teman Gianuzzi 44. Semoga karya ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan. Bogor, April 2012
Astri Priyanti Parameswari
7
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 24 Juni 1989 dari pasangan Hardi Wibowo dan Warda Shahab. Penulis merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara. Penulis memulai pendidikan formal pada tahun 1995 di Delima School, Jakarta dan lulus pada tahun 2001. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan ke SMP Charitas, Jakarta dan lulus pada tahun 2004. Penulis kemudian masuk ke SMA Labschool Rawamangun, Jakarta dan lulus pada tahun 2007. Tahun 2007 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) di Fakultas Kedokteran Hewan. Selama menjalani pendidikan penulis aktif di Himpunan Minat Profesi Hewan Kesayangan dan Satwa Akuatik-Eksotik (HKSA) sebagai pengurus dan anggota divisi Hewan Kecil.
8
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI ....................................................................................................
x
DAFTAR TABEL ............................................................................................
xii
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................
xiii
PENDAHULUAN Latar Belakang ........................................................................................ Tujuan... .................................................................................................. Manfaat... ................................................................................................
1 2 2
TINJAUAN PUSTAKA Varanus indicus....................................................................................... Habitat........... .......................................................................................... Nilai Ekonomi Biawak......... ................................................................... Reproduksi pada Biawak......................................................................... Penyakit-Penyakit pada Biawak.... .......................................................... Struktur dan Fungsi Hati.... ..................................................................... Struktur dan Fungsi Ginjal.... .................................................................. Struktur dan Fungsi Limpa...................................................................... Struktur dan Fungsi Usus.... .................................................................... Peradangan.... .......................................................................................... Entamoeba sp..... .....................................................................................
3 5 5 6 7 10 11 14 15 15 17
BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat .................................................................................. Alat dan bahan......................................................................................... Metoda Penelitian....................................................................................
24 24 24
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Pemeriksaan Patologi-Anatomi ..................................................... Hasil Pemeriksaan Histopatologi ............................................................
26 27
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan ................................................................................................. Saran ........................................................................................................
39 39
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................
40
9
DAFTAR TABEL Halaman 1. 2.
Perubahan Patologi Anatomi Organ Biawak .......................................... Perubahan Histopatologi Organ Biawak ................................................
26 36
10
DAFTAR GAMBAR Halaman 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
Varanus indicus ...................................................................................... Anatomi biawak jantan ........................................................................... ‘Sexual segment’ pada distal convoluted tubule ular jantan Agkistrodon piscivorous ......................................................................... Siklus hidup Entamoeba sp. ................................................................... Kista dan tropozoit Entamoeba sp .......................................................... Hati biawak Ambon (V. indicus) ............................................................ Struktur hati biawak yang rusak ............................................................. Edema glomerulus biawak ...................................................................... Radang granuloma pada ginjal biawak ................................................... Entamoeba sp. di tengah lesio ................................................................ Perubahan histopatologi ginjal ............................................................... Infeksi Entamoeba sp ............................................................................. Infeksi Entamoeba sp .............................................................................
4 4 13 19 21 27 30 30 33 33 34 35 35
11
PENDAHULUAN
Latar Belakang Biawak (Varanidae) adalah salah satu jenis reptil yang ditemukan di Asia, Amerika, Afrika, dan Australia. Sebanyak 53 spesies Varanus sudah teridentifikasi di seluruh dunia. Varanus berasal dari kata Arab ‘waran’ yang berarti monitor. Banyak varanids yang dapat mengangkat dirinya secara vertikal dengan menopang pada kedua kaki belakang dan ekornya sehingga memiliki pandangan yang lebih jelas dan tinggi dari sekitarnya. Hal ini juga merupakan asal nama biawak dalam bahasa Inggris yaitu monitor lizard (Pianka et al. 2004). Habitat biawak sangat bervariasi yaitu rawa-rawa bakau, hutan lebat, sabana, dan padang pasir. Beberapa spesies bersifat akuatik, semiakuatik, terestrial, arboreal, dan semi arboreal. Ukuran biawak sangat bervariasi, mulai dari Varanus brevicauda (Australian pygmy monitor) yang memiliki panjang 17-20 cm dengan bobot badan 8-20 g hingga Varanus komodoensis (komodo) yang memiliki panjang 3 m dan bobot badan 150 kg. Pakan biawak meliputi serangga, cacing, crustacea, siput, belalang, ikan, amfibi, reptil, tikus, burung, kelinci, dan kambing (Bartlett & Bartlett 1996). Kelangsungan hidup biawak dapat terganggu akibat degradasi lingkungan, polusi, dan ulah manusia. Hewan ini merupakan karnivora utama sehingga rentan terhadap polutan dan toksin lingkungan yang dapat mengakibatkan penyakit dan mutasi genetik. Biawak yang memakan amfibi, serangga, atau mamalia yang terkena polutan lingkungan dapat mengalami mutasi genetik sehingga menurunkan kemampuannya untuk bertahan hidup. Kerusakan habitat akibat penebangan pohon dan pembangunan perumahan atau kawasan komersial juga telah menurunkan populasinya di alam. Perburuan untuk mendapatkan kulit dan dagingnya telah mengurangi populasi hewan ini hingga ke ambang kepunahan. Populasinya menurun drastis akibat meningkatnya perdagangan hewan ini sebagai hewan peliharaan eksotik. Popularitas hewan peliharaan eksotik telah meningkat sejak tahun 1990-an, dan biawak merupakan komoditi yang mahal dalam perdagangan karena hewan ini secara umum jinak, mudah dilatih, dan memiliki rentang hidup yang panjang (Travis 2011).
12
Usaha manusia untuk menjaga kelestarian hewan-hewan yang terancam punah adalah dengan membuat cagar alam atau taman margasatwa. Pada penelitian ini dilakukan pemeriksaan organ dari seekor biawak Ambon yang mati yang datang ke Bagian Patologi FKH IPB dengan nomor kasus P/82/2011, untuk diketahui penyebab kematiannya. Pemeriksaan kematian seekor biawak Ambon ini dilakukan karena biawak dapat digunakan sebagai model untuk mempelajari penyakit yang menyerang jenis kadal besar lainnya yang sudah terancam punah yaitu Varanus komodoensis. Selain itu, hasil penelitian ini dapat digunakan juga untuk mempelajari manajemen kesehatan biawak maupun reptil lainnya yang berada di penangkaran tersebut.
Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penyebab kematian seekor biawak Ambon (Varanus indicus) dengan nomor kasus P/82/2011 melalui pemeriksaan patologi anatomi dan histopatologi. Manfaat Manfaat penelitian ini adalah mengetahui penyebab kematian biawak tersebut dan hasilnya dapat digunakan sebagai informasi dasar untuk pengelolaan kesehatan biawak dan reptil lainnya yang ada di penangkaran.
13
TINJAUAN PUSTAKA
Varanus indicus Varanus indicus adalah biawak yang hidup secara terestrial dan arboreal, yang memiliki sinonim biawak Ambon, mangrove monitor atau pacific monitor. Hewan ini memiliki taksonomi kingdom Animalia, filum Chordata, subfilum Vertebrata, kelas Reptilia, ordo Squamata, subordo Autarchoglossa, famili Varanidae, genus Varanus, dan spesies Varanus indicus-Daudin 1802 (Banks 2004). Hewan ini ditemukan di Australia (bagian Utara, Queensland), Indonesia (Irian Jaya, Maluku), Kirabati, Papua New Guinea (Bismarck Archipelago, pulau Solomon Utara), kepulauan Marshall, dan kepulauan Mariana Utara (Bennett & Sweet 2010). Bagian kepala, badan, punggung, ekor, dan kaki V. indicus dominan berwarna hitam dengan bintik-bintik kuning yang menyebar secara merata dan bagian perut berwarna putih kekuning-kuningan. Hewan ini memiliki kepala dan leher yang panjang, empat kaki yang kuat dengan lima kuku yang tajam. Penampang hidung V. indicus berbentuk bulat sedangkan penampang hidung spesies lain seperti V. salvator dan V. togianus berbentuk oval. Jarak hidung lebih dekat ke moncong dibandingkan jaraknya ke mata. Lidah biawak ini berwarna hitam (Philipp et al. 1999), ekor berbentuk pipih, keras, sangat kokoh dan panjangnya melebihi panjang kepala dan badan. Panjang ekor terhadap kepala 7.5 kali sedangkan panjang ekor terhadap badan 2.5 kali. Bobot badan berkisar antara 500-1900 g dan panjang tubuh berkisar antara 50-200 cm. Ukuran tubuh yang jantan lebih besar dari betina. Jenis kelamin biawak dapat ditentukan dengan ada tidaknya sepasang hemipenis, yang bila dilakukan pemijatan akan keluar di sekitar kloaka. Gambar V. indicus beserta susunan anatominya disajikan pada Gambar 1 dan 2.
14
Gambar 1 Varanus indicus. Seluruh badan berwarna hitam dengan bintik-bintik kuning yang menyebar merata. Sumber: Cota (2008).
Gambar 2 Anatomi biawak jantan. Sumber: Barten (1996a). V. indicus telah dikategorikan sebagai hewan Least Concern oleh IUCN pada tahun 2009 karena memiliki distribusi dalam jumlah yang besar dan umum ditemukan di berbagai habitat,namun spesies ini mungkin terancam punah di masa
15
depan akibat diburu untuk dimakan, dieksploitasi untuk perdagangan kulit dan terancam oleh kerusakan habitat. Saat ini belum ada upaya konservasi khusus yang dilakukan untuk spesies ini (Bennett & Sweet 2010). Semua spesies dan subspesies dari biawak termasuk dalam CITES Appendix II, kecuali Varanus bengalensis, Varanus flavescens, Varanus griseus, Varanus komodoensis, dan Varanus nebulosis termasuk dalam Appendix I (Ananjeva et al. 2006). Spesies yang termasuk dalam Appendix I adalah spesies terancam punah yang dipengaruhi atau dapat dipengaruhi oleh perdagangan satwa liar. Perdagangan spesies dalam Appendix I harus diatur dan diawasi secara ketat untuk mencegah kepunahan dan menjaga kelangsungan hidupnya. Spesies yang termasuk dalam Appendix II adalah spesies yang belum terancam punah namun dapat terancam punah bila perdagangan spesies tersebut tidak diatur dan diawasi secara ketat. Oleh karena itu, perdagangan spesies dalam Appendix II harus diatur dan diawasi secara ketat untuk menjaga kelangsungan hidupnya (CITES 1979). Habitat Habitat V. indicus diantaranya bakau, hutan hujan dan rawa dengan pakan yang terdiri atas siput, katak, ikan, serangga, burung, telur burung, dan telur reptil lain. Biawak adalah predator oportunistik sehingga dapat mengubah pola pakannya berdasarkan ketersediaan pakan di habitatnya (Bennett 2007).
Nilai Ekonomi Biawak Indonesia telah lama menjadi negara pengeskpor reptil, baik dalam bentuk reptil hidup maupun bentuk kulit. Reptil hidup diekspor untuk diambil daging atau bagian lainnya, atau sebagai hewan peliharaan. Reptil hidup yang diambil dagingnya umumnya diekspor ke Cina, Hongkong dan Singapura, sedangkan reptil untuk hewan peliharaan lebih banyak diekspor ke Amerika Serikat (Mardiastuti & Soehartono 2003). Di beberapa daerah, biawak diolah dagingnya menjadi bermacam-macam hidangan. Biawak atau dalam bahasa Nias disebut boroe mulai dikenal dan dikonsumsi masyarakat Nias, khususnya di Gunungsitoli. Konsumen daging biawak meningkat karena daging biawak enak dan bermanfaat untuk mengatasi asam urat (Hulu 2011). Daging biawak dipercaya dapat bertindak sebagai aphrodisiac (Anonim 2009), dan memiliki khasiat untuk mengobati gatal-
16
gatal, menghaluskan kulit, mengobati luka bakar, dan mengencangkan payudara (Anonim 2011). Selain daging, kulit biawak juga memiliki pasar yang baik. Perdagangan kulit biawak didominasi oleh satu jenis biawak yaitu biawak air Asia (Varanus salvator) karena tersebar di seluruh Indonesia bagian barat meliputi Jawa, Sumatra dan Kalimantan. Jumlah ekspor kulit biawak air Asia lebih banyak dari jumlah ekspor kulit buaya yaitu rata-rata sebanyak 650.000 lembar per tahun sedangkan ekspor kulit buaya hanya 1.000-3.500 lembar per tahun. Negara pembeli utama kulit biawak adalah Amerika Serikat, Jepang, Singapura, Meksiko dan Italia. Permasalahan utama ekspor reptil adalah belum adanya data jumlah populasi di alam untuk menentukan jumlah kuota, perdagangan sulit dilakukan berdasarkan ketentuan Konvensi CITES, dan kemungkinan menurunnya populasi beberapa
spesies
reptil
komersial
akibat
banyaknya
pemanenan
dari
alam(Mardiastuti & Soehartono 2003).
Reproduksi pada Biawak Biawak jantan memiliki sepasang hemipenis yang berbentuk seperti kantung, terletak di pangkal ekor dan menimbulkan tonjolan pada bagian ventral ekor. Walaupun mempunyai sepasang hemipenis, pada saat kopulasi hanya satu yang dimasukkan ke liang kloaka betina (Iyai & Pattiselanno 2006). Hemipenis tidak digunakan pada saat urinasi karena urin dikeluarkan langsung dari kloaka melalui ureter. Biawak betina memiliki sepasang oviduk dan ovarium. Ovarium terletak pada posisi yang sama dengan testes pada biawak jantan yaitu di dorsomedial rongga abdomen (Barten 1996a). Faktor penentu utama kematangan seksual pada biawak adalah ukuran tubuh. Usia dianggap tidak terlalu berpengaruh pada kematangan seksual karena berbeda antara biawak di alam liar dan penangkaran. Usia kematangan seksual biawak di alam liar berkisar antara 3-4 tahun, sedangkan usia kematangan seksual biawak di penangkaran tidak dapat ditentukan karena dipengaruhi oleh perawatan dan pakan yang berbeda. Musim kawin pada biawak ditentukan oleh suhu, hujan dan ketersediaan pakan. Biawak jantan akan menjadi agresif dan menjaga teritorial ketika musim
17
kawin (Barten 1996b). Frekuensi reproduksi biawak tergantung pada kondisi lingkungan dan nutrisi biawak tersebut. Biawak bersifat ovipar dan dapat menghasilkan telur lebih dari satu kali dalam setahun. Bila kopulasi terjadi sebelum ovulasi, sperma akan disimpan oleh betina. Hal ini menyebabkan reptil betina mampu untuk menghasilkan telur tanpa adanya kopulasi. Namun fertilisasi akan meningkat bila kopulasi terjadi saat berlangsungnya pembentukan telur. Gangguan reproduksi yang sering terjadi pada biawak adalah distokia, prolapsus oviduk, kloaka dan hemipenis. Prolapsus oviduk dan kloaka terjadi akibat oviposisi, namun banyak kasus yang terjadi akibat kesalahan penanganan distokia. Prolapsus hemipenis terjadi karena trauma setelah kopulasi dan mengalami inflamasi sehingga tidak dapat masuk kembali ke kloaka. Hemipenis dapat mengalami pendarahan dan bahkan nekrosis sehingga harus diamputasi. Prolapsus penis tidak mengganggu kemampuan reproduksi biawak karena memiliki dua hemipenis (DeNardo 1996).
Penyakit-Penyakit pada Biawak Penyakit pada biawak meliputi penyakit-penyakit yang umum terjadi pada reptil. Biawak dapat mengalami gangguan kesehatan atau penyakit pada sistem pernapasan, sistem pencernaan, sistem metabolisme, tulang, kulit, dan sistem reproduksi (Wilson 2010). Gangguan kesehatan pada sistem pernapasan biawak umumnya adalah pneumonia. Pneumonia dapat disebabkan oleh bakteri aerobik dan anaerobik, fungi, serta parasit dan terjadi akibat manajemen pemeliharaan yang kurang baik. Suhu dan kelembaban berpengaruh terhadap fungsi pernapasan dan sistem imun yang baik (Barten 1996b). Selain itu, nutrisi yang tidak seimbang terutama kurangnya vitamin A dan protein dapat mengakibatkan gangguan pernapasan. Kurangnya vitamin A mengakibatkan metaplasia pada sel epitel dan duktus kelenjar mukus saluran pernapasan (Murray 1996). Beberapa spesies Varanus spp. dapat mengalami luka pada kulit yang disebabkan oleh gesekan hewan tersebut dengan kandang. Luka tersebut dapat terinfeksi
bakteri
atau
fungi
sehingga
diperlukan
pengobatan
dengan
menggunakan antibiotik sistemik (Wilson 2010). Biawak juga dapat terinfeksi oleh berbagai jenis ektoparasit terutama kutu dan tungau. Terdapat tujuh genus
18
tungau dan lebih dari 250 spesies kutu sebagai parasit reptil. Kutu dan tungau dapat menyebabkan kegatalan dan menghisap darah serta menjadi vektor penyakit infeksius. Salah satu contoh adalah kutu pembawa Aeromonas hydrophila yang dapat menyebabkan pneumonia dan stomatitis (Mader 1996a). Amblyomma dan Aponomma adalah caplak yang paling umum ditemukan di reptil. Selain itu, Hirstiella sp. adalah tungau berukuran <1.5 mm yang ditemukan di sekitar mata dan lipatan tubuh kadal. Tungau ini berperan dalam transmisi mekanik Aeromonas hydrophila, bakteri, rickettsia dan virus (Kahn et al. 2010). Infestasi ektoparasit juga dapat menyebabkan anemia. Kulit reptil dapat terinfeksi oleh bermacam fungi yaitu Basidiobolus spp., Geotrichum spp., Paecilomyces spp., Tricophyton spp., dan Aspergillus spp.. Infeksi fungi pada kulit terjadi pada hewan dengan habitat yang lembab dan kurang sinar matahari (Rose 2005). Penyebab dermatitis selain fungi yaitu acariasis, trauma, imunosupresi akibat suhu, nutrisi, penyakit metabolik, dan kepadatan kandang. Mikosis dapat disebabkan oleh Aspergillus, Cladosporium, Metarhizium, Mucor, Paecilomyces, Penicillium spp., dan Chrysosporium. Faktor predisposisi mikosis antara lain higiene yang tidak baik, kelembaban yang tinggi, suhu rendah, malnutrisi, atau akibat penyakit sekunder. Mikosis dapat menjadi sistemik setelah periode waktu yang lama. Dermatofitosis dapat ditemukan pada semua ordo reptilia, dan genus yang sering terisolasi adalah Geotrichum, Fusarium dan Trichosporon. Infeksi Mucor dan Fusarium menyebabkan ulkus pada saluran pencernaan, sedangkan infeksi Metarhizium dan Paecilomyces spp. menyebabkan granuloma kronis pada hati, ginjal dan limpa. Infeksi Aspergillus dan Candida spp. menimbulkan granuloma dan gangguan respirasi bahkan kematian (Kahn et al. 2010). Penyakit pada biawak juga dapat diakibatkan oleh parasit internal diantaranya protozoa, nematoda dan trematoda. Banyak protozoa komensal atau non patogen yang ditemukan pada saluran pencernaan kadal. Kadal dapat terkena amoebiasis, coccidiosis dan cryptosporidiosis. Amoeba Entamoeba invadens mengakibatkan amoebiasis yang ditransmisikan melalui rute fekal-oral dan bersifat sangat patogen (Wilson 2010). Amoebiasis dapat terjadi di lingkungan yang memiliki sanitasi rendah, kandang yang terlalu padat atau biawak yang
19
meminum air yang telah terkontaminasi amoeba tersebut. Pengamatan makroskopis pada seekor biawak dengan amoebiasis menunjukkan adanya fokusfokus berwarna putih kekuningan hingga abu-abu pada otot skelet dan hati, ulkus pada mukosa usus yang kemerahan dan menebal sedangkan pengamatan mikroskopis menunjukkan adanya miositis, hepatitis dan enteritis (Chia et al. 2009). Coccidiosis pada reptil disebabkan oleh protozoa genus Eimeria, Isospora, dan Caryospora yang ditransmisikan melalui rute fekal-oral, sedangkan cryptosporidiosis bersifat sangat virulen pada ular dan kadal yang juga ditransmisikan
melalui
rute
fekal-oral
(Wilson
2010).
Cryptosporidia
menyebabkan penebalan mukosa usus, regurgitasi, diare, dan penurunan bobot badan. Diagnosa Cryptosporidia dapat dilakukan dengan mengidentifikasi oosit melalui pewarnaan asam pada feses, hasil regurgitasi atau biopsi saluran pencernaan (Kahn et al. 2010). Nematoda yang menginfeksi saluran pencernaan dan pernapasan reptil antara lain cacing gelang, cacing kait (Oswalsocruzia spp.), cacing kremi (Oxyurus spp.), cacing hati (Capillaria spp.), Strongyloides spp., dan cacing paru (Entomelas spp). Biawak juga dapat mengalami Metabolic Bone Disease (MBD). MBD disebabkan oleh defisiensi kalsium atau vitamin D, rasio Ca dan P yang tidak seimbang dan kurangnya paparan terhadap sinar ultraviolet. MBD meliputi berbagai macam sindrom klinis yaitu hiperparatiroidisme sekunder, osteoporosis, osteomalacia, rickettsia, osteodystrophy fibrous, atau hipokalsemia (Boyer 1996). Tanda-tanda klinis penyakit ini adalah kelemahan, paralisis, anoreksia, kebengkakan dan fraktur pada tulang, serta tremor. Biawak cenderung terkena MBD jika tidak mendapatkan vitamin D3 yang cukup walaupun mendapatkan kalsium yang cukup karena vitamin D3 berperan dalam absorbsi kalsium di usus halus. Absorbsi kalsium dipengaruhi oleh metabolit aktif vitamin D3 yaitu cholecalciferol. Vitamin D3 dapat dikonsumsi dalam diet sebagai suplemen atau dapat diproduksi dalam tubuh bila biawak terkena sinar matahari yang cukup (Wilson 2010). Gout adalah penyakit yang umum ditemukan pada reptil, termasuk biawak. Faktor-faktor yang dapat menyebabkan gout adalah dehidrasi, kerusakan ginjal
20
dan konsumsi purin yang berlebihan. Gout terdiri atas tiga jenis yaitu visceral, artikular dan periartikular. Adanya kristal asam urat di cairan sinovial disebut gout arthritis, pada sendi disebut gout periartikular, dan pada jaringan subkutan dan internal disebut gout visceral. Biawak memerlukan protein hewani dalam pakannya sebagai karnivora sehingga dapat mengalami defisiensi asam amino yang bersumber protein nabati. Asam nukleat dari pakan didegradasi menjadi nukleotida yang akan dihidrolisis menjadi purin dan pirimidin, lalu akan didegradasi dan diekskresi. Pirimidin akan dikatabolisasi menjadi CO2 dan NH3, purin akan didegradasi menjadi asam urat dan diekresikan dari darah melalui tubulus ginjal. Asam urat terdapat di darah dalam bentuk monosodium urat yang tidak dapat larut dalam air. Bila konsentrasi keduanya meningkat dalam darah akan timbul kondisi hiperuricemia,sedangkan bila konsentrasi keduanya meningkat dalam cairan tubuh lain, asam urat akan mengkristal dan tersimpan dalam jaringan tubuh. Kristal-kristal tersebut mengendap pada kantung perikardium, ginjal, hati, limpa, paru, dan jaringan subkutan. Gout terdiri atas gout primer dan sekunder. Gout primer disebabkan oleh produksi asam urat yang berlebihan sedangkan gout sekunder disebabkan oleh hiperuricemia. Hiperuricemia dapat disebabkan oleh penyakit kronis atau obatobatan yang mengganggu keseimbangan produksi dan ekskresi asam urat. Penyakit kronis yang dapat mempengaruhi ekskresi asam urat antara lain penyakit ginjal dan hipertensi. Gout terdiri atas tiga tahap, tahap pertama yaitu hiperuricemia asimptomatis dimana tidak terdapat tophi atau kristal monosodium urat; tahap kedua yaitu arthritis simptomatis dan tahap terakhir yaitu gout tophaceous, yaitu tahap dimana asam urat tidak dapat diekskresikan dan terbentuk tophi pada tulang rawan, membran sinovial, tendon, dan jaringan lunak. Setiap tophus terdiri atas kristal asam urat yang dikelilingi oleh granuloma yang mengandung makrofag, sel epitel dan sel raksasa (Mader 1996b).
Struktur dan Fungsi Hati Hati reptil terletak kranial dari lambung pada bagian kranioventral abdomen (Wilson 2010). Hati terdiri atas lobulus yang memiliki batas kurang jelas dibandingkan dengan hati mamalia. Fungsi hati pada reptil hampir sama
21
dengan mamalia yaitu metabolisme lemak, protein dan glikogen serta produksi asam urat dan faktor pembekuan darah (Fudge 2000). Pada hati reptil terdapat makrofag yang mengandung melanin disebut melanofag, yang berproliferasi bila terjadi inflamasi sistemik. Sel-sel ini mengandung hemosiderin dan lipofuchsin dan berfungsi menangkap radikal bebas dan mematikan bakteri (Terio 2004). Pigmen melanin terdistribusi secara acak pada bagian parenkim hati dan tidak memiliki pola tertentu (Frye 1991). Penyakit hati akut pada reptil biasanya tidak menunjukkan tanda-tanda, terjadi secara tiba-tiba dan hewan hanya mengalami letargi dan anoreksia. Penyakit hati kronis biasanya ditunjukkan dengan penurunan nafsu makan, penurunan aktivitas, penurunan berat badan, dan perubahan warna pada feses (Fudge 2000).
Struktur dan Fungsi Ginjal Ginjal terletak di bagian kaudodorsal abdomen yang terdiri atas nefron yang masing-masing memiliki glomerulus dan tubulus. Ginjal berperan dalam sistem eksretori untuk mengekskresikan produk sisa metabolik, mengontrol volume dan komposisi cairan tubuh, mengatur keseimbangan air, elektrolit, osmolalitas cairan tubuh, mengatur tekanan arteri, dan mengatur keseimbangan asam basa. Selain itu, ginjal juga berperan dalam glukoneogenesis dan ekskresi hormon (Guyton & Hall 2006). Ginjal juga berfungsi untuk mengekskresikan erithropoietin yang menstimulasi produksi eritrosit dan renin. Produk metabolisme protein pada biawak adalah sodium, potasiumdan garam amonium asam urat. Persentase masing-masing produk tergantung nutrisi, faktor metabolik, lingkungan, dan individu (Frye 1991). Produk nitrogen dieksresikan sebagai asam urat, urea dan amonia, dan ekskresi amonia dan urea menyebabkan hilangnya air secara signifikan. Asam urat yang tidak larut dalam air membantu dalam penyimpanan air (Barten 1996b). Masing-masing ginjal terdiri atas korteks dan medula, dengan unit fungsionalnya adalah nefron yang terdiri atas korpuskulus renalis (badan Malpighi) dan tubulus. Nefron terdiri atas glomerulus dan tubulus. Glomerulus terletak pada bagian korteks ginjal, terdiri atas kapiler melingkar yang menerima
22
darah dari arteriol aferen dan eferen, merupakan anastomose kapiler yang dikelilingi oleh sel endotel dan fibrosit, dan filtrat darah akan dikeluarkan melalui tubulus proksimalis (Frye 1991). Tubulus terdiri atas proximal convoluted tubule (PCT), distal convoluted tubule (DCT), dan collecting tubule (CT) yang menuju ke saluran mesonefrik. Pada beberapa spesies kadal jantan termasuk biawak terdapat karakteristik yang jelas pada ukuran, bentuk dan granul-granul pada sitoplasma epitel DCT. Karakteristik ini disebut ‘sexual segment’, yang hanya ditemukan pada hewan jantan yang sudah dewasa kelamin. Perubahan ini sangat jelas terlihat sehingga jenis kelamin hewan dapat ditentukan dengan melihat histologi ginjal. Sel epitel DCT mengalami hipertrofi dan dipenuhi dengan granul-granul sitoplasma yang kecil, bulat dan eosinofilik (Aughey & Frye 2001). Epitel DCT menjadi berbentuk silindris dan granul-granul sitoplasma eosinofilik ini disekresikan ke lumen DCT. Hipertrofi ini terjadi pada siklus waktu tertentu yaitu saat aktivitas testes mencapai puncak. Granul-granul eosinofilik ini juga dapat ditemukan di lumen vas deferens (Frye 1991). Fungsi ‘sexual segment’ dan sekresinya masih belum diketahui, namun telah diusulkan bahwa fungsinya adalah memisahkan semen dan urin dengan memblokade tubulus renalis dan ureter saat kopulasi, membantu pengeluaran semen dari kelenjar ampula dan vesikula seminalis, memberi nutrisi untuk sperma, dan bertindak sebagai feromon (Khanna 2004). Selain pada kadal, ‘sexual segment’ juga dapat ditemukan pada ular namun tidak pada kura-kura (Sever et al. 2007). Karakteristik ‘sexual segment’ adalah granul di sitoplasma epitel DCT dengan densitas yang bervariasi tergantung spesies dan aktivitas testes, dengan inti sel yang terletak di bagian basal (Krohmer et al. 2004). DCT biawak yang sedang mengalami ‘sexual segment’ disajikan pada Gambar 3.
23
Gambar 3 ‘Sexual segment’ pada distal convoluted tubule ular jantan Agkistrodon piscivorous. Epitel tubulus mengalami hipertrofi, inti terletak di bagian basal dan sitoplasma bergranul. Granul juga ditemukan di lumen tubulus. Pewarnaan HE. Sumber: Sever et al. (2007). Ginjal reptil memiliki nefron yang lebih sedikit dibandingkan mamalia dan tidak memiliki lengkung Henle, sehingga reptil tidak mampu mengkonsentrasikan urin dengan osmolaritas yang lebih tinggi dari plasma atau tidak mampu menghasilkan urin yang pekat. Urin akan melalui saluran mesonefrik ke urodeum kloaka lalu menuju ke vesika urinaria (Divers 1999). Saluran mesonefrik memiliki epitel kubus sebaris dan epitel silindris transisional yang memiliki nukleus di bagian basal sel (Frye 1991). Semua kadal bersifat urikotelik, yaitu mengeksresikan asam urat sebagai produk utama metabolisme protein yang tidak dapat larut dalam air. Asam urat aktif diekskresikan oleh tubulus proksimal kemudian ditranspor oleh saluran mesonefrik dari masing-masing ginjal ke vesika urinaria (Wilson 2010). Ekskresi asam urat berfungsi untuk mengkonservasi air dalam tubuh dan sebagai adaptasi terhadap lingkungan yang kering. Berbeda halnya dengan mamalia, ekskresi amonia dan urea yang signifikan pada reptil tergantung dari lingkungan dimana reptil tersebut hidup dan terlihat hanya pada reptil yang hidup di lingkungan akuatik dan semi akuatik. Produksi asam urat juga sebagai kompensasi karena reptil tidak dapat mengkonsentrasikan urin seperti pada mamalia, karena reptil tidak memiliki lengkung Henle (Bass 2011).
24
Pada vertebrata, mekanisme lengkung Henle dipengaruhi oleh mekanisme hormon yang mengatur peredaran darah ke ginjal dengan mengkonstriksikan diameter kapiler ginjal. Pada keadaan dehidrasi, mekanisme ini menyebabkan sirkulasi darah berkurang dengan tujuan untuk meminimalisasi volume darah yang difilter dan air yang keluar dari nefron. Pada reptil, konstriksi kapiler ginjal mengakibatkan suplai darah ke nefron berkurang sehingga ginjal akan mengalami nekrosa dan akhirnya reptil tersebut mati. Oleh karena itu, reptil memiliki sistem peredaran darah tambahan yang dikenal sebagai sistem renal portal, yaitu rute aliran darah dari kaudal tubuh ke ginjal sebelum ke jantung. Sistem peredaran darah ini hanya ada pada mamalia sewaktu embrio (Bass 2011). Oleh karena itu penyuntikan obat nefrotoksik pada reptil dihindari di daerah kaudal. Namun beberapa studi farmakologi menunjukkan bahwa metabolisme obat-obatan tidak berpengaruh terhadap kura-kura saat obat disuntikkan pada bagian kaudal tubuhnya (Wilson 2010). Gejala penyakit renal akut pada reptil antara lain depresi, letargi dan penurunan produksi urin. Sebagian reptil dengan penyakit renal akut memiliki bobot badan dan kondisi yang cukup baik. Penyakit renal kronis dapat disebabkan oleh perawatan yang kurang baik seperti kelembaban yang kurang, dehidrasi dan faktor nutrisi. Faktor nutrisi yang dimaksud seperti diet protein tinggi dan suplemen vitamin D3 yang berlebihan. Gejala penyakit renal kronis adalah penurunan nafsu makan, penurunan bobot badan dan peningkatan frekuensi minum. Penyakit renal merupakan penyakit utama yang dapat menyebabkan kematian reptil pada penangkaran (Navarre 2003).
Struktur dan Fungsi Limpa Limpa adalah organ limfoid terbesar di dalam tubuh yang memiliki fungsi lymphopoiesis dan hemopoiesis yang terdiri atas kapsula, trabekula, pulpa merah, dan pulpa putih. Pulpa merah berfungsi untuk menyimpan darah, mengeluarkan benda asing, membuang sel darah merah yang mati dan abnormal, sedangkan pulpa putih berfungsi untuk membentuk limfosit saat terjadi respon imun (Colville & Bassert 2002).
25
Limpa reptil memiliki struktur histologi yang mirip dengan limpa vertebrata tingkat tinggi (Press & Landsverk 2006). Pada beberapa reptil limpa tergabung menjadi satu dengan pankreas sehingga terdapat gabungan jaringan limpa dan pankreas yang disebut splenopankreas, namun pada biawak kedua organ ini terpisah (Frye 1991). Reptil tidak memiliki kelenjar getah bening namun memiliki sistem imun sebagaimana pada vertebrata tingkat tinggi. Jaringan limfoid terdapat di submukosa saluran pencernaan dan saluran pernapasan (Paré 2006).
Struktur dan Fungsi Usus Secara umum bentuk saluran pencernaan reptil sama dengan vertebrata tingkat tinggi, namun ada sedikit perbedaan pada bentuknya. Kura-kura memiliki usus yang sangat berbelit sedangkan ular memiliki usus yang relatif lurus. Permukaan usus bervariasi pada masing-masing kelompok reptil, yaitu membentuk lipatan longitudinal atau transversal, memiliki susunan berliku-liku atau berbentuk seperti sarang madu. Mukosa usus reptil memiliki vili dengan kripta yang tidak berkembang dengan baik termasuk biawak, bahkan tidak ada pada beberapa spesies. Epitel usus halus terdiri atas sel silindris dan sel goblet yang berfungsi untuk mensekresikan mukus. Sel enteroendokrin juga ditemukan di epitel usus halus yang mengandung hormon peptida dan amino. Sel tersebut memiliki fungsi yang sama seperti pada mamalia yaitu mengatur motilitas usus. Bagian lain dari usus halus selain duodenum sulit dibedakan. Usus biawak memiliki bagian-bagian yang sama dengan mamalia yaitu epitel, lamina propria, muskularis mukosa, submukosa, tunika muskularis, dan serosa (Ahmed et al. 2009).
Peradangan Peradangan adalah perubahan jaringan yang disebabkan oleh berbagai agen patogen, trauma, bahan kimia, dan panas. Tanda-tanda peradangan adalah vasodilatasi pembuluh darah lokal, peningkatan permeabilitas kapiler, migrasi granulosit dan monosit ke jaringan, dan pembengkakan sel (Guyton & Hall 2006). Sel-sel peradangan pada reptil terdiri atas heterofil, limfosit, sel plasma, monosit,
26
dan makrofag. Heterofil adalah sel bulat, besar, dan bersifat fagositik yang dominan ditemukan pada inflamasi. Ukuran heterofil terbesar ditemukan pada ular dengan nukleus bulat dan tidak berlobus, namun berlobus pada beberapa reptil seperti iguana, bunglon, dan tokek. Sitoplasma heterofil mengandung granul seperti eosinofil (Reavill 1994). Peradangan dapat dibagi menjadi peradangan heterofilik, peradangan campuran dan peradangan makrofag. Peradangan heterofilik merupakan respon peradangan akut yang ditandai oleh dominasi heterofil mencapai lebih dari 70%. Peradangan campuran adalah peradangan yang ditandai oleh kehadiran heterofil mencapai lebih dari 50% dan peningkatan sel monosit, limfosit, makrofag, dan sel plasma. Peradangan campuran lebih sering dijumpai pada reptil karena migrasi makrofag ke lesio lebih cepat dari migrasi makrofag pada mamalia. Inflamasi heterofil memproduksi neurotoksin yang bersifat kemotaktik terhadap makrofag sehingga terbentuk granuloma. Oleh karena itu, pembentukan granuloma pada reptil menjadi respon jaringan bukan respon terhadap adanya agen infeksius. Pembentukan sel raksasa sering terjadi pada lesio peradangan di reptil karena respon terhadap benda asing. Oleh karena itu, adanya sel raksasa pada lesio peradangan tidak selalu menunjukkan bahwa peradangan tersebut kronis. Granuloma kronis ditunjukkan oleh adanya sel epiteloid dan fibroblas (Campbell 1999). Peradangan makrofag ditandai oleh akumulasi lebih dari 50% sel makrofag pada lesio. Peradangan heterofil dan peradangan campuran dapat disebabkan oleh infeksi bakteri atau fungi, trauma, dan benda asing sedangkan peradangan makrofag dapat disebabkan oleh benda asing, fungi, mikobakterial, dan chlamydia. Peradangan eosinofilik jarang terjadi pada reptil karena sulit untuk membedakan heterofil dan eosinofil pada pewarnaan biasa. Peradangan eosinofilik terjadi akibat reaksi hipersensitivitas terhadap parasit atau alergen (Campbell 1999). Radang granuloma adalah fokus kumpulan sel-sel mononuklear yang terbentuk akibat adanya produk non-degradable dalam tubuh atau sebagai respon hipersensitivitas. Radang granuloma terjadi bila proses inflamasi akut tidak bisa menghancurkan benda asing terutama mikobakteria, spirochetes, virus, fungi,
27
protozoa, chlamydia, dan rickettsia (Zumla & James 1996). Infeksi bakteri, fungi, parasit, dan algae merupakan penyebab utama morbiditas dan mortilitas pada reptil. Respon reptil terhadap infeksi-infeksi tersebut berupa radang granuloma yang dapat diklasifikasikan menjadi heterofilik atau histiositik, tergantung dari etiologi dan respon individu. Radang granuloma heterofilik ditandai oleh akumulasi heterofil dan biasanya disebabkan oleh patogen ekstraseluler sedangkan granuloma histiositik disebabkan oleh infeksi bakteri intraseluler (Soldati et al. 2004). Radang granuloma ditandai oleh adanya infiltrasi monosit dan turunannya serta meluasnya kematian jaringan. Monosit berasal dari sel prekursor dalam sumsum tulang yang akan bermigrasi ke jaringan yang mengalami cedera lokal. Monosit akan membesar dan berkembang menjadi makrofag. Monosit, promonosit, dan makrofag membentuk sistem fagosit mononuklear. Makrofag mampu mencerna bakteri dan partikel besar serta mampu hidup sampai berbulanbulan walaupun terdapat bakteri di dalam sitoplasmanya (Spector & Spector 1993). Radang granuloma kronis ditandai oleh adanya sel epiteloid, limfosit, sel plasma, dan sel raksasa di sekeliling lesio tersebut (Soldati et al. 2004). Sel epiteloid adalah derivat dari makrofag yang berfungsi untuk mensekresikan lisozim, sedangkan sel raksasa adalah sel yang terbentuk dari fusi makrofag (Spector & Spector 1993). Selain itu, fibroblas juga ditemukan di radang granuloma (Jones et al. 1997).
Entamoeba sp. Berbagai spesies amoeba komensal atau patogen dapat ditemukan di saluran pencernaan reptil. Entamoeba sp. biasanya tidak menyebabkan penyakit atau perubahan patologi, namun adanya faktor predisposisi seperti stres, pakan, gangguan pencernaan dan infeksi sekunder dapat menyebabkan Entamoeba sp. menjadi patogen. Kasus amoebiasis pada reptil dengan morbiditas dan mortalitas tinggi disebabkan oleh Entamoeba invadens, walaupun ada spesies Entamoeba lain yang dapat menginfeksi reptil seperti Entamoeba terrapinae dan Entamoeba insolita.
28
Amoebiasis menyebabkan morbiditas dan mortilitas yang tinggi pada kadal dan ular di penangkaran. Mortalitas dapat mencapai 100%, dan pada ular kematian dapat terjadi 13-77 hari pasca inokulasi (Wilson 2010). Amoebiasis merupakan penyakit yang serius di reptil karena sulitnya mengeradikasi agen dari lingkungan atau inang pembawa (Richter et al. 2008). Kura-kura, buaya, dan beberapa spesies ular dan kadal telah teridentifikasi sebagai inang pembawa Entamoeba sp.. Amoebiasis fatal pada biawak karena biawak sangat rentan terhadap Entamoeba sp. dan diperparah dengan adanya infeksi sekunder oleh bakteri. Reptil langsung mati akibat amoebiasis tanpa menunjukkan gejala klinis (Denver et al. 1999). Amoebiasis ditransmisikan melalui rute fekal-oral. Entamoeba sp. memiliki siklus hidup langsung tanpa inang antara, dan terdapat dua bentuk dalam siklus hidupnya yaitu tropozoit dan kista. Tropozoit adalah bentuk proliferatif dan amoeba motil dalam tubuh inang, sedangkan kista adalah bentuk infektif yang dihasilkan di dalam mukosa usus. Kista memiliki dinding yang memiliki komponen utama kitin sehingga terlindung dari kondisi lingkungan, sedangkan tropozoit tidak mengandung kitin (Das & Gillin 1991). Siklus hidup amoeba dimulai dari dikeluarkannya kista dari inang melalui feses, lalu termakan oleh inang melalui air dan pakan yang terkontaminasi (Kumagai et al. 1999). Kista yang termakan kemudian mengalami eksitasi di usus halus dan mengeluarkan tropozoit. Tropozoit akan mengalami replikasi melalui pembelahan biner, bermigrasi ke usus besar, dan dikeluarkan melalui feses. Selain itu, tropozoit dapat memasuki aliran darah melalui arteri mesenterika dan menginfeksi organ lain seperti hati, paru, dan otak hingga menyebabkan abses pada hati atau organ lain (Lane & Mader 1996; Chia et al. 2009; Wilson 2010). Kista dapat bertahan di lingkungan sampai beberapa minggu karena mempunyai dinding yang melindunginya, sedangkan tropozoit yang dikeluarkan melalui feses tidak dapat bertahan lama di lingkungan. Tropozoit yang berada di lumen usus akan menginfeksi usus dengan mengeluarkan polipeptida yang disebut amoebapora serta mensekresikan enzim proteolitik untuk memudahkannya masuk dan merusak epitel dan mukosa usus. Siklus hidup Entamoeba sp. disajikan pada Gambar 4.
29
Gambar 4 Siklus hidup Entamoeba sp..Tropozoit bereplikasi melalui pembelahan biner dan membentuk prekista di usus besar. Prekista berkembang menjadi kista dan dikeluarkan melalui feses. Kista di lingkungan yang termakan melalui pakan atau air yang terkontaminasi membentuk metakista di usus halus yang kemudian mengalami eksitasi dan berkembang menjadi tropozoit. Tropozoit kemudian bereplikasi melalui pembelahan biner, bermigrasi ke usus besar dan memasuki aliran darah lalu bermigrasi ke organ lain. Sumber:http://compepid.tuskegee.edu/syllabi/pathobiology/pathology/ parasitology/chapter3.html. Siklus hidup yang langsung dari Entamoeba sp. menyebabkan penularan yang cepat pada reptil di penangkaran. Waktu inkubasi amoeba adalah 12-32 hari dan waktu kematian terjadi 1-10 minggu pasca inokulasi. Waktu kematian tergantung dari beberapa faktor yaitu jumlah amoeba yang menginfeksi, status kesehatan hewan, status kekebalan hewan dan spesies hewan. Semua genus kadal dapat terinfeksi amoeba, tidak ada yang memiliki kerentanan atau daya tahan tertentu (Frye 1991). Tanda-tanda klinis amoebiasis adalah anoreksia, muntah,
30
dehidrasi, dan diare yang mengandung darah dan mukus kehijauan (Frye 1991; Lane & Mader 1996). Diagnosa amoebiasis dilakukan melalui pemeriksaan tropozoit atau kista pada feses. Kista diidentifikasi melalui focal floatation atau preparat ulas feses secara langsung, sedangkan tropozoit hanya dapat diidentifikasi melalui preparat ulas feses secara langsung. Preparat ulas ditetesi Lugol’s iodine untuk imobilisasi dan mewarnai amoeba (Wilson 2010). Diagnosa dapat berhasil melalui pemeriksaan feses bila terdapat tropozoit dalam jumlah yang banyak dan sampel feses segar. Sampel feses yang diuji harus segar karena tropozoit mudah hancur setelah diekskresikan dari tubuh sehingga tidak dapat terdeteksi, sedangkan identifikasi amoeba berdasarkan kista sulit dilakukan. Tropozoit amoeba dapat difiksasi menggunakan polyvinyl alkohol. Sampel feses segar belum tentu menunjukkan adanya amoeba karena amoeba yang keluar bersamaan dengan feses tidak merata, bahkan hewan dengan amoebiasis yang parah dapat menunjukkan hasil negatif yang berulang (Barnett 2003). Pemeriksaan Entamoeba sp. sebaiknya menggunakan minimal tiga sampel feses selama tidak lebih dari 10 hari, dan dapat meningkatkan deteksi sebanyak 85-95% (Fotedar et al. 2007). Cara untuk mendiagnosa amoeba yang lebih akurat adalah melalui irigasi kloaka dengan menggunakan kateter. Sampel cairan disentrifugasi lalu diperiksa di bawah mikroskop atau dikultur. Kultur in vitro sampel kloaka lebih efisien untuk mendeteksi kista dan tropozoit amoeba. Diagnosa secara histologi juga dapat dilakukan namun lebih mahal karena sampel organ diambil dengan menggunakan endoskopi atau laparoskopi (Barnett 2003). Identifikasi Entamoeba sp. melalui pengamatan mikroskop kurang dapat diandalkan karena dapat menghasilkan negatif palsu akibat salah identifikasi makrofag sebagai tropozoit, granulosit sebagai kista atau spesies Entamoeba lain. Kultur tidak disarankan untuk diagnosa rutin Entamoeba sp. karena dapat terkontaminasi oleh bakteri, fungi atau protozoa, selain lebih mahal dan memerlukan tenaga kerja intensif (Fotedar et al. 2007). Diagnosa diferensial amoebiasis adalah nematodiasis dan salmonellosis, namun kedua penyakit tersebut tidak menyebabkan morbiditas dan mortalitas tinggi (Lane & Mader 1996).
31
Identifikasi Entamoeba spp. sulit dilakukan karena bentuk tropozoit dan kistanya mirip di berbagai spesies reptil. Selain itu kromatin dan jumlah nukleus pada kista tidak memiliki karakteristik yang definitif, sehingga diagnosa spesies Entamoeba lebih sering disesuaikan dengan inangnya (Richter et al. 2008). Tropozoit Entamoeba sp. sulit dibedakan dengan amoeba lain pada reptil, sedangkan kista E. invadens mirip dengan E. histolytica dan E. dispar pada manusia. Tropozoit dan kista Entamoeba sp. disajikan pada Gambar 5.
Gambar 5 Kista (a) dan tropozoit Entamoeba sp. (b) dalam sampel feses. Kista memiliki dinding dan dua nukleus, sedangkan tropozoit tidak memiliki dinding dan hanya memiliki satu nukleus. Bar: 5 µm. Sumber: Fotedar et al. (2007). Entamoeba sp. memiliki ukuran tropozoit dan kista yang bervariasi antar spesies. E. histolytica dan E. dispar memiliki tropozoit berukuran 15-20 µm dan kista berukuran 10-15 µm, sitoplasma bervakuola dan nukleus di bagian tengah. Kista Entamoeba sp. dewasa memiliki empat nukleus sedangkan kista yang belum dewasa memiliki satu sampai dua nukleus (Fotedar et al. 2007). E. invadens memiliki tropozoit berukuran 10-20 µm dengan sitoplasma bervakuola dan nukleus yang mengandung badan kromatin (Chia et al. 2009). Identifikasi ketiga amoeba ini dapat dilakukan melalui kultur in vitro, dimana E. invadens tumbuh optimal pada suhu 25 °C dan tidak akan tumbuh pada suhu di atas 33 °C. E. histolytica dan E. dispar dapat dibedakan menggunakan antibodi anti-amoeba, darah pada feses atau eritrosit di dalam tropozoit E. histolytica (Denver et al. 1999). E. invadens hidup di dalam inang yang bersuhu
32
kurang dari 31 °C, sedangkan E. histolytica hidup di dalam inang yang bersuhu 37 °C (Frye 1991). Amoebiasis sangat dipengaruhi suhu reptil, karena amoeba tidak patogen pada suhu 13 °C dan infeksi dapat berhenti pada suhu 35-37 °C (Lane & Mader 1996). Pada satu ekperimen di ular, E. invadens menimbulkan penyakit pada suhu 25 °C, tidak menimbulkan penyakit pada suhu 10 °C atau 30 °C, dan tidak terjadi infeksi pada suhu di atas 33 °C(Chia et al. 2009). Pada ekperimen lain, amoebiasis tidak terjadi pada suhu 34-37 °C, tetapi infeksi terjadi bila suhu dipertahankan pada 35 °C. E. invadens tidak patogen pada suhu 13 °C dan infeksi terjadi pada suhu 25 °C dan 30 °C (Barnett 2003). Entamoeba sp. pada manusia sulit dibedakan, begitu pula pada reptil. Spesies amoeba patogen untuk reptil bukan hanya E. invadens, dan tidak semua amoeba patogen pada reptil tertentu bersifat patogen pula pada spesies reptil lain. Spesies Entamoeba sp lain yang secara morfologi mirip dengan E. invadens juga mungkin ada pada tubuh reptil (Denver et al. 1999). Diagnosa definitif E. invadens sulit dilakukan karena memiliki morfologi yang mirip dengan E. ranarum, E. insolita, E. barretti dan E. terrapinae. Penentuan spesies Entamoeba sp. secara definitif penting untuk menghindari kesalahan diagnosa atau pengobatan yang berlebihan untuk protozoa non patogen. Metode PCR untuk membedakan empat spesies amoeba tersebut telah dikembangkan dan efektif untuk mendiagnosa E. invadens (Bradford et al. 2008). Kasus amoebiasis pada reptil di penangkaran dapat terjadi akibat suplai air atau kandang yang terkontaminasi oleh feses yang mengandung Entamoeba sp.. Pencegahan amoebiasis dapat dilakukan dengan program sanitasi yang baik, isolasi dan karantina hewan baru yang akan dimasukkan dalam penangkaran, desinfeksi peralatan sebelum digunakan pada kandang lain (Frye 1991; Barnett 2003; Wilson 2010). Penanganan kontaminasi Entamoeba sp. yang efektif adalah sterilisasi suplai air dengan penyaringan atau radiasi ultraviolet dan desinfeksi permukaaan yang terkontaminasi menggunakan 0.002% mercuric chloride (HgCl2). Chelonia dan buaya merupakan inang pembawa E. invadens dan dapat menjadi reservoir untuk menginfeksi kadal dan ular. Pada kura-kura, E. invadens
33
memperoleh nutrisi dari pakan kura-kura yaitu tanaman dan berkembang menjadi kista tanpa menyebabkan penyakit. Pencampuran antara chelonia, buaya dan kadal dalam pameran yang sama dapat menyebabkan amoebiasis pada kadal. Arthoropod seperti kecoa dan lalat merupakan vektor mekanik karena memindahkan feses yang terkontaminasi ke pakan hewan (Chia et al. 2009). Amoebiasis pada reptil dapat diobati dengan metronidazole dengan dosis 275 mg/kg BB sekali atau 50 mg/kg BB secara oral selama lima hari. Metronidazole efektif untuk mengeliminasi tropozoit namun tidak efektif untuk mengeliminasi semua kista di lumen usus. Metronidazole dapat mengakibatkan hepatotoksisitas bila diberikan dalam dosis tinggi (Denver et al. 1999). Metronidazole (Iodoquinal)
dapat atau
digunakan
paromycin
bersamaan
(Humatin).
dengan
Kombinasi
diiodohydroxyquin metronidazole
dan
chloroquine phosphate (Alaran Phosphate) dapat digunakan bila amoeba sudah menyebar ke organ lain (Barnett 2003). Tetrasiklin atau erythromycin dapat digunakan namun tidak seefektif metronidazole sehingga jarang digunakan (Denver et al. 1999). Pengobatan yang diberikan tergantung dari spesies dan belum ada obat yang dapat mengeliminasi Entamoeba sp. sepenuhnya. Antibiotik diberikan untuk mencegah infeksi sekunder atau septisemia. Antibiotik spektrum luas seperti gentamycin (Gentocin) atau chloramphenicol (Chloromycetin) dapat digunakan untuk mengobati infeksi bakteri sekunder yang menyertai amoebiasis (Barnett 2003).
34
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei hingga Agustus 2011 di Bagian Patologi, Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi Fakultas Kedokteran Hewan IPB.
Alat dan Bahan Alat-alat yang digunakan untuk pembuatan preparat histopatologi adalah mikrotom, silet, pinset, kaca objek, cover glass, tissue cassette, refrigerator, inkubator, dan kamera.Bahan-bahan yang digunakan adalah larutan Buffer Neutral Formalin (BNF) 10%, parafin, alkohol 70%, 90%, 95% dan alkohol absolut, xylol, air panas, aquades, dan pewarna Hematoxylin Eosin (HE). Bahan penelitian adalah sampel organ seekor biawak Ambon dengan nomor kasus P/82/2011 yang dinekropsi oleh Bagian Patologi, Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi Fakultas Kedokteran Hewan IPB.
Metoda Penelitian Sampel organ biawak difiksasi dalam larutan BNF 10% selama tiga hari, kemudian dipotong lalu dimasukkan ke dalam tissue cassette dan direndam kembali ke dalam formalin. Selanjutnya jaringan didehidrasi dengan alkohol konsentrasi bertingkat (70%-absolut) dan clearing dengan xylol, kemudian jaringan diblok (embedding) di dalam parafin, lalu dipotong dengan mikrotom dengan ketebalan 3-5µm. Potongan yang sesuai diambil dan diletakkan di atas gelas objek (mounting) kemudian diinkubasi pada suhu 30 °C. Selanjutnya jaringan dideparafinisasi dengan pencelupan ke dalam xylol, lalu direhidrasi dengan pencelupan ke dalam larutan alkohol absolut, alkohol 70% dan aquades. Tahapan untuk melakukan pewarnaan HE adalah deparafinisasi yaitu perendaman jaringan dalam xylol I, xylol II selama dua menit dan rehidrasi dalam alkohol absolut, alkohol 95% dan alkohol 80% selama dua menit. Preparat dibilas dengan air mengalir selama satu menit, direndam dalam Mayer’s Hematoxylin selama 8 menit, dibilas dengan air mengalir selama 30 detik lalu direndam dalam
35
lithium karbonat selama 15-30 detik. Kemudian sediaan dibilas lagi dengan air mengalir selama dua menit, direndam dalam eosin selama 2-3 menit, dibilas dengan air mengalir selama 30 detik, didehidrasi dengan pencelupan ke dalam alkohol 95% sebanyak 10 kali celup, alkohol absolut I sebanyak 10 kali celup, alkohol absolut II selama dua menit, xylol I selama satu menit, dan xylol II selama dua menit. Setelah pewarnaan selesai, preparat ditutup dengan cover glass. Evaluasi histopatologi dilakukan dengan mengamati sediaan dengan mikroskop dan hasil pengamatan disajikan secara deskriptif.
36
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Pemeriksaan Patologi-Anatomi Hasil
pemeriksaan
keadaan
umum
biawak
ditemukan
ektoparasit
Aponomma sp. di sekujur tubuhnya. Hewan terlihat anemis dan ditemukan hematemesis, yaitu darah yang keluar dari rongga mulut. Pemeriksaan patologi anatomi menunjukkan perubahan pada seluruh organ, namun perubahan paling mencolok ditemukan pada organ hati. Hati biawak terlihat membesar sehingga memenuhi rongga abdomen, berwarna pucat, dan dipenuhi oleh fokus-fokus radang berwarna putih dengan diameter bervariasi 0.1-2 cm. Fokus radang berbatas jelas dengan bidang sayatan kusam karena banyak jaringan nekrotik. Berdasarkan gambaran PA tersebut maka hati didiagnosa mengalami abses multifokal (Gambar 6). Abses tersebut juga ditemukan di ginjal dan limpa, namun dengan diameter yang lebih kecil. Hasil pemeriksaan PA pada berbagai organ biawak disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Perubahan Patologi Anatomi Organ Biawak Ambon Sistem Organ Respirasi Sirkulasi Digesti
Urinaria
Organ Trakea Paru-paru Jantung Limpa Lambung Usus Hati Peritoneum Ginjal
Perubahan Hiperemia Kongesti Dilatasi ventrikel, kardiomiopati Splenitis dengan abses milier Gastritis kataralis Enteritis kataralis et nekrotikan Hepatitis nekrotikan,dipenuhi abses multifokal dengan ukuran 0.1-2 cm Ascites ± 1 ml Nefritis dengan abses milier
Trakea dan paru-paru biawak berwarna kemerahan, dan ketika dilakukan pembukaan trakea hingga ke bronkus tidak ditemukan cairan atau busa. Sewaktu dilakukan uji apung hampir semua bagian paru-paru mengapung,sehingga paruparu didiagnosa hanya mengalami kongesti. Jantung biawak terdiri atas dua atrium dan satu ventrikel. Pada pemeriksaan jantung terlihat ruang ventrikel membesar dengan otot-otot jantung memucat. Gambaran jantung demikian dapat
37
didiagnosa mengalami dilatasi ventrikel dan kardiomiopati. Lambung biawak ditemukan kosong tidak berisi makanan namun dipenuhi oleh eksudat kataral dengan
mukosa
berwarna
merah.
Perubahan
pada
lambung
tersebut
mengindikasikan adanya gastritis kataralis. Mukosa usus dipenuhi eksudat kataralis bercampur darah, dan di beberapa lokasi terlihat mukosa mengalami pendarahan dan nekrotik, sedangkan di bagian kolon mengalami pendarahan. Berdasarkan gambaran PA tersebut makan usus didiagnosa mengalami enteritis hemoragis et nekrotikan dan kolitis hemoragika. Limpa dan ginjal hewan ini tampak membengkak dan pucat, ditemukan fokus-fokus nekrotik sama seperti di hati namun dengan diameter yang lebih kecil. Limpa dan ginjal didiagnosa menderita splenitis dan nefritis. Selain itu ditemukan cairan bening kemerahan di rongga abdomen sebanyak ± 1 ml, yang mengindikasikan biawak mengalami ascites.
Gambar 6 Hati biawak ambon (V. indicus) yang dipenuhi oleh abses multifokal dengan diameter 0.1-2 cm. Hasil Pemeriksaan Histopatologi Pada pemeriksaan histopatologi organ hati, struktur hati sulit dikenali karena parenkim dan interstitium hati mengalami kerusakan yang parah disebabkan oleh peradangan yang hebat. Hepatosit mengalami degenerasi lemak hebat dengan vakuola-vakuola besar dan banyak pula yang nekrosis bahkan lisis. Hati mengalami pendarahan dan kongesti, dan ditemukan trombus pada beberapa
38
kapiler hati. Fokus-fokus radang terdiri atas kumpulan sel-sel debri, sel radang limfosit, sel plasma, dan makrofag. Selain itu ditemukan pula sel raksasa tipe benda asing di tepi fokus radang. Di antara sel-sel radang dan sel debri ditemukan infeksi Entamoeba sp. (Gambar 7). Parasit ini tampak tersebar, berwarna ungu tua pada jaringan yang diwarnai dengan HE, dan hampir semuanya berinti tunggal. Menurut Fotedar et al. (2007), jika berinti tunggal maka parasit berada dalam fase tropozoit. Bentuk tropozoit juga ditemukan di dalam pembuluh vena yang lebih besar dan juga buluh empedu. Hepatosit biawak mengalami degenerasi lemak atau lipidosis hebat yaitu terakumulasinya lipid atau trigliserida pada sitoplasma hepatosit. Lipid tidak terwarnai dengan pewarnaan HE, sehingga tampak sitoplasma yang bervakuola. Degenerasi lemak umum ditemukan pada reptil di penangkaran karena terlalu banyak diberi pakan namun kurang exercise (Frye 1991). Menurut Frye (1991) serta Burrows & Tuboada (2010), degenerasi lemak dapat disebabkan oleh berbagai faktor antara lain obesitas, anoreksia dan stres. Adanya defek metabolik pada transpor lipid dan defisiensi faktor pembentuk lipoprotein juga menyebabkan terbentuknya degenerasi lemak. Gangguan fungsi hepatosit untuk mengoksidasi asam lemak akibat hipoksia, toksin, kegagalan sintesis apoprotein, kegagalan pembentukan dan sekresi lipoprotein dapat menyebabkan terakumulasinya trigliserida di hepatosit (Myers & McGavin, 2007). Berkurangnya metabolisme protein dan asam amino akibat kurangnya asupan protein menurunkan sintesis apoprotein sehingga tidak dapat mengikat lemak dan trigliserida yang terakumulasi di hepatosit (Burrows & Tuboada 2010; Turner et al. 2010). Selain itu produksi trigliserida yang melebihi produksi lipoprotein juga menyebabkan degenerasi lemak (Cheville 1999). Hipoksia hati dapat terjadi akibat obstruksi arteri hepatika atau vena porta (Cheville 1999). Hati biawak ini mengalami hipoksia karena adanya trombus di berbagai kapiler hati dan radang granuloma akibat infeksi Entamoeba sp.. Pada hepatosit yang rusak ditemukan pigmen yang berwarna hijau kecoklatan, yaitu pigmen empedu. Pigmen empedu terbentuk dari metabolisme hemoglobin melalui hemolisis lalu dimetabolisme menjadi biliverdin secara oksidatif oleh enzim heme oxygenase (Nakamura et al. 2006). Biliverdin adalah
39
pigmen empedu yang merupakan produk akhir dari katabolisme hemoglobin pada reptil. Akumulasi biliverdin menunjukkan adanya blokade sistem empedu di hati (Campbell 2004; Myers & McGavin 2007). Infeksi Entamoeba sp. menyebabkan kerusakan hepatosit sehingga tidak dapat melakukan metabolisme empedu (Cheville 1999). Pada biawak ini, adanya trombus pada buluh empedu menyebabkan gangguan aliran empedu. Berdasarkan temuan histopatologi hati didiagnosa mengalami hepatitis granulomatosa. Sel radang yang ditemukan di fokus radang selain sel raksasa tipe benda sing adalah heterofil, yang berfungsi sama dengan neutrofil pada mamalia. Heterofil berbentuk bulat, memiliki sitoplasma bening, memiliki granul-granul berbentuk batang hingga oval dengan nukleus terletak di tepi sel (Kassab et al. 2009). Nukleus heterofil yang matang memiliki dua atau tiga lobus yang mengandung kromatin, sedangkan yang belum matang memiliki jumlah lobus lebih sedikit. Nukleus heterofil yang sudah matang berwarna biru muda pada kadal dan ungu pada spesies lain. Heterofil yang belum matang jarang ditemukan pada darah perifer reptil dan meningkat saat hewan mengalami inflamasi (Knotkova et al. 2002). Eosinofil berbentuk bulat, memiliki sitoplasma bergranul dan nukleus bulat hingga oval dan berlobus (Kassab et al. 2009). Granul pada sitoplasma eosinofil lebih berbentuk bulat dari granul pada sitoplasma heterofil (Knotkova et al. 2002). Kadal memiliki eosinofil yang paling kecil di antara reptil lain (Oros et al. 2010). Makrofag berbentuk tidak teratur, memiliki nukleus di tengah sel dan berukuran lebih besar dari monosit. Makrofag berfungsi untuk memfagosit benda asing atau organisme dan jaringan nekrotik melalui enzim lisosim, protease dan lipase, serta memproduksi faktor koagulasi. Makrofag juga membantu penyembuhan jaringan dengan membentuk fibroblas yang berfungsi untuk memproduksi kolagen yang akan membentuk jaringan parut. Hasil pengamatan histopatologi ginjal tampak struktur parenkim dan intersitium yang jelas. Glomerulus mengalami edema dengan banyaknya protein yang mengendap di tepi-tepi kapiler dan di ruang Bowman (Gambar 8). Penyebab terjadinya edema adalah peningkatan permeabilitas vaskular, peningkatan tekanan hidrostatik intravaskular, penurunan tekanan osmotik protein plasma, dan penurunan drainase limfe.
40
Gambar 7 Struktur hati biawak yang rusak akibat infeksi Entamoeba sp. (panah hitam) dengan kumpulan sel debri (bintang), degenerasi lemak hepatosit (panah hijau) serta akumulasi pigmen empedu. Pewarnaan HE, bar 10 µm.
Gambar 8 Edema glomerulus biawak yang dicirikan adanya endapan protein di tepi kapiler dan di ruang Bowman. Pewarnaan HE, bar 10 µm.
41
Tekanan hidrostatik intravaskular meningkat bila terjadi gangguan jantung yang lama kelamaan menyebabkan cairan keluar ke jaringan tubuh (Cheville 1999; Myers & McGavin 2007). Inflamasi mengakibatkan tekanan osmosis kapiler glomerulus meningkat sehingga cairan keluar dari kapiler dan menyebabkan edema di ruang Bowman. Peningkatan tekanan osmosis juga mengganggu proses filtrasi glomerulus sehingga menyebabkan hipoksia sel-sel ginjal. Proses filtrasi di glomerulus yang terganggu menyebabkan ginjal tidak mampu untuk mengatur komposisi volume darah dan elektrolit. Selain itu, penyakit pada glomerulus merusak membran glomerulus sehingga protein dapat keluar ke ruang Bowman (Munson & Traister 2005). Tubulus biawak dijumpai banyak mengalami degenerasi dan nekrosa. Degenerasi tubulus berupa degenerasi hidropis yang ditandai dengan inti yang masih baik namun sitoplasma terlihat robek-robek. Degenerasi hidropis adalah pembesaran ukuran dan volume sel epitel yang terjadi karena masuknya cairan intraseluler akibat gagalnya sel untuk mempertahankan homeostasis, sehingga sitoplasma membesar dan bervakuola (Jones et al. 1997; Myers & McGavin 2007). Penyebab degenerasi hidropis yang paling penting adalah hipoksia (Myers & McGavin 2007). Pada keadaan hipoksia fungsi mitokondria terganggu sehingga ATP yang diperlukan untuk memompa natrium dan kalium tidak ada dan mekanisme tersebut gagal untuk mempertahankan tekanan osmosis di dalam sel. Cairan intraseluler meningkat karena transpor natrium ke luar sel meningkat. ATP yang berkurang juga menyebabkan penurunan sintesis protein sehingga membran sel dapat ditembus oleh air dan menyebabkan kebengkakan sel (Jones et al. 1997). Degenerasi hidropis merupakan tahap awal dari kematian sel namun masih bersifat reversible bila penyebabnya dihilangkan (Jones et al. 1997; Dancygier & Schirmacher 2010). Degenerasi hidropis dapat disebabkan oleh banyak hal, diantaranya kerusakan hati akibat virus, radikal bebas, bahan kimia, iskemia, toksin bakteri atau tanaman, dan gangguan metabolisme (Frye 1991; Jones et al. 1997; Dancygier & Schirmacher 2010). Beberapa tubulus di sekitar fokus radang juga mengalami dilatasi. Tubulus dilatasi tersebut tersebar dan memiliki bentuk sederhana, yaitu diameter lumen meluas namun epitel masih terlihat normal. Tubulus yang berdilatasi disebabkan
42
oleh adanya peradangan di interstitium ginjal. Dilatasi tubulus dapat menyebabkan tubulus mengalami lisis, hipoksia dan kematian (Munson & Traister 2005). Ginjal biawak ini juga mengalami kongesti dan hemoragi pada interstitiumnya serta ditemukan fokus-fokus radang yang dikelilingi oleh banyak sel raksasa (Gambar 9). Banyaknya sel raksasa mengindikasikan fokus radang ini merupakan radang granuloma. Radang granuloma terbentuk jika agen terlalu besar atau tidak mampu didegradasi oleh makrofag (Zumla & James 1996). Selain kumpulan sel debri, fokus radang juga diinfiltrasi oleh sel limfosit, heterofil, makrofag dan terbanyak oleh sel plasma. Menurut Soldati et al. (2004), radang granuloma kronis ditandai oleh adanya limfosit, sel plasma dan sel raksasa di sekeliling lesionya. Sel raksasa adalah ciri lain dari granuloma selain adanya makrofag dan sel epiteloid (Spector & Spector 1993). Diantara sel-sel radang ditemukan infeksi Entamoeba sp. (Gambar 10). Pada radang granuloma, makrofag membentuk sel raksasa Langhans dan sel raksasa tipe benda asing. Sel raksasa Langhans memiliki nukleus di sekeliling tepi sel, sedangkan sel raksasa tipe benda asing memiliki nuklei-nuklei yang berkumpul di tengah sel (Jones et al. 1997). Sel ini ditemukan pada radang granuloma yang melibatkan lipid dalam jumlah besar. Sel raksasa dibentuk karena memiliki metabolisme yang lebih aktif dalam memproduksi enzim dan protein (Jones et al. 1997). Berdasarkan hasil pemeriksaan histopatologi maka ginjal didiagnosa mengalami nefritis granulomatosa. Pada ginjal biawak ini ditemukan adanya ‘sexual segment’ karena banyak ditemukan tubulus yang hipertrofi dengan inti di tepi dan sitoplasma yang bergranul (Gambar 11). Dengan demikian dipastikan bahwa biawak ini berkelamin jantan.
43
Gambar 9. Radang granuloma pada ginjal biawak yang dicirikan oleh sel raksasa (bintang) yang mengelilingi lesio, dan disekitar lesio tampak beberapa tubulus berdilatasi (panah). Pewarnaan HE, bar 10 µm.
Gambar 10
Entamoeba sp. (panah hitam) di tengah lesio yang dikelilingi sel raksasa (bintang) dan infiltrasi sel plasma pada organ ginjal. Tubulus di sekitar lesio radang mengalami degenerasi hidropis (panah merah). Pewarnaan HE, bar 10 µm.
44
Gambar 11
Perubahan histopatologi ginjal. Fokus radang dengan kumpulan sel debri (bintang hitam), infiltrasi sel heterofil (panah hitam), sel plasma serta infeksi Entamoeba sp. (panah biru). Tubulus dengan sitoplasma bergranul/sexual segment (bintang merah). Pewarnaan HE, bar 10 µm.
Hasil pemeriksaan histopatologi limpa ditemukan deplesi folikel limfoid, peradangan pada pulpa putih dan kapsula limpa serta kongesti dan pendarahan di pulpa merah. Ditemukan juga lesio yang diinfiltrasi oleh sel-sel radang dan dikelilingi oleh sel raksasa. Di antara pendarahan di pulpa merah, ditemukan infeksi Entamoeba sp.(Gambar 12). Entamoeba sp. ditemukan pula di dalam kapiler serta sinus-sinus limpa. Menurut Robertson & Newman (2006), infeksi protozoa dapat menimbulkan splenitis dan beberapa lesio pada limpa diantaranya nekrosa pulpa merah dan pulpa putih, deplesi folikel limfoid, hemoragi dan kongesti. Pada daerah pendarahan di pulpa merah banyak ditemukan endapan pigmen hemosiderin. Hemosiderin adalah pigmen yang berasal dari hemolisis eritrosit yang berlebihan. Hemosiderin terakumulasi di dalam makrofag akibat adanya kongesti pasif kronis dan mengindikasikan terjadinya anemia hemolitik (Jones et al. 1997).
45
Gambar 12
Infeksi Entamoeba sp. (panah) menyebabkan pendarahan dan nekrosa pulpa merah limpa. Pewarnaan HE, bar 10 µm.
Gambar 13
Infeksi Entamoeba sp. pada mukosa usus menyebabkan enteritis hemoragis et nekrotikan. Pewarnaan HE, bar: 10 µm.
46
Entamoeba sp. mampu memfagosit dan meliliskan eritrosit dengan lisosom dan amoebapora, lalu terbentuk vakuola di sitoplasmanya (Lejeune & Gicquaud 1992; Ghosh et al. 1999). Sebuah penelitian tentang fagositosis eritrosit telah dilakukan pada E. invadens. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 82% tropozoit amoeba tersebut mampu memfagosit eritrosit dengan rata-rata 5.5 eritrosit per amoeba, dan setelah 15 jam eritrosit tersebut tidak ditemukan lagi pada sitoplasma amoeba (Ramírez-Córdova et al. 1990). Kemampuan Entamoeba sp. melisiskan eritrosit menyebabkan hemolisis eritrosit terjadi secara berlebihan sehingga mudah ditemukan pigmen coklat atau hemosiderin pada limpa. Berdasarkan pemeriksaan histopatologi maka limpa didiagnosa mengalami splenitis granulomatosa. Hasil pemeriksaan histopatologis usus menunjukkan usus mengalami peradangan hebat. Sebagian besar vili usus rusak dengan deskuamasi epitel penutup, vili memendek, ditemukan infiltrasi sel radang pada bagian mukosa hingga serosa usus. Sel radang terdiri atas limfosit, heterofil, makrofag dan eosinofil. Selain itu mukosa hingga serosa usus mengalami kongesti, hiperemi, hemoragi dan edema.Di beberapa bagian usus juga ditemukan ulkus. Entamoeba sp. banyak ditemukan di semua bagian usus mulai dari mukosa, submukosa hingga ke serosa (Gambar 13). Hasil pemeriksaan histopatologi sampel organ biawak secara keseluruhan dirangkum dan disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 Perubahan Histopatologi Organ Biawak Sistem Organ Respirasi Sirkulasi Digesti Urinaria
Organ Paru-paru Jantung Limpa Usus Hati Ginjal
Perubahan Kongesti dan edema pulmonum Degenerasi miokard Splenitis granulomatosa Enteritis hemoragi et nekrotikan Hepatitis granulomatosa Nefritis granulomatosa
Menurut Frye (1991) dan Chia et al. (2009), tropozoit amoeba dapat menginfeksi submukosa dan muskularis mukosa sehingga mengakibatkan enteritis granulomatosa, erosi mukosa dan inflamasi usus. Peradangan akibat infeksi amoeba menyebabkan dinding usus menebal dan nekrosa. Tropozoit memiliki
47
kemampuan melisiskan sel epitel dan mukosa saluran pencernaan karena menghasilkan enzim proteolitik dan amoebapora (Chia et al. 2009). Dengan enzim ini amoeba dapat menyebabkan perforasi usus sehingga usus mengalami inflamasi akut. Adanya perforasi usus mengundang infeksi bakteri sekunder sehingga kesehatan hewan terus menurun (Barnett 2003; Richter et al. 2008). Pada kasus biawak ini, usus didiagnosa mengalami enteritis hemoragis et nekrotikan. Amoeba bermigrasi ke dinding kolon dan menyebabkan inflamasi lalu menyebar ke bagian tubuh lainnya melalui sirkulasi portal. Hal ini ditunjukkan dengan ditemukannya amoeba di pembuluh darah di hati, dan hati mengalami kerusakan paling parah karena ditemukan banyak sekali tropozoit. Amoeba juga dapat bermigrasi ke hati melalui saluran empedu (Chia et al. 2009). Menurut Barnett (2003) dan Richter et al. (2008), Entamoeba sp. bermigrasi pertama kali ke hati dan menyebabkan nekrosa dan abses multifokal, lalu ke organ-organ lain yaitu ginjal, paru, jantung dan otak. Oleh karena itu, hati mengalami perubahan patologis yang paling hebat dibandingkan ginjal dan limpa. Entamoeba sp. dapat bermigrasi ke ginjal karena biawak memiliki sistem renal portal yaitu rute aliran darah dari kaudal tubuh ke ginjal sebelum ke jantung. Parasit ini juga ditemukan di kapiler dan sinus-sinus limpa yang mengindikasikan penyebarannya melalui aliran darah (hematogen). Patogenesa amoebiasis dipengaruhi banyak faktor yaitu infeksi tropozoit, kegagalan banyak organ karena banyak sel yang rusak serta infeksi bakteri sekunder (Wilson 2010). Abses pada hati menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi (Fotedar et al. 2007). Pada pemeriksaan histopatologi jantung ditemukan degenerasi otot yang terlihat dari inti yang mengecil dan sitoplasma yang lebih merah. Pada organ paruparu ditemukan kelainan berupa kongesti, hemoragi serta edema pada parabronchus. Kematian pada biawak ini terjadi akibat infeksi Entamoeba sp. yang menyebabkan nekrosa pada usus, hati, ginjal, dan limpa. Nekrosa pada hati biawak ini bersifat kronis sehingga menyebabkan kegagalan multiorgan dan mengakibatkan kematian (Frye 1991). Radang granuloma akibat infeksi tropozoit Entamoeba sp. pada biawak ini menyebabkan sirkulasi intrahepatik maupun sirkulasi porta tidak lancar sehingga
48
menyebabkan kongesti vena porta. Kongesti yang kronis menyebabkan permeabilitas pembuluh darah rusak, sehingga plasma darah keluar dan menggenangi rongga abdomen. Infeksi Entamoeba sp. juga menyebabkan kerusakan hepatosit hebat. Kerusakan yang hebat ini mengurangi kemampuan hati untuk mensintesa protein, termasuk protein plasma. Akibatnya hewan mengalami hipoproteinemia. Rendahnya kadar protein dalam darah menyebabkan darah cair sehingga plasma mudah lolos dan membentuk ascites (Munson & Traister 2005). Adanya trombus dan peradangan di hati dan ginjal yang terbentuk akibat infeksi Entamoeba sp. menyebabkan jantung bekerja lebih keras untuk mengalirkan darah ke organ-organ tersebut. Peningkatan kerja dari jantung menyebabkan dinding miokardium mengalami hipertrofi. Hipertrofi jantung adalah peningkatan ukuran pada serat otot jantung. Otot jantung yang hipertrofi lama kelamaan mengalami kelelahan dan akhirnya menjadi dilatasi (Myers & McGavin 2007). Dilatasi otot jantung yang terlalu lama menyebabkan kelelahan otot jantung yang akhirnya jantung berhenti berkontraksi, sehingga atria mortis biawak Ambon ini disebabkan oleh gagal jantung. Causa mortis biawak ini diduga disebabkan oleh gagal fungsi hati serta infeksi usus akibat infeksi Entamoeba sp.
49
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan 1. Hasil pemeriksaan histopatologi ditemukan Entamoeba sp. yang menginfeksi organ usus, hati, ginjal dan limpa yang menyebabkan radang granuloma multifokal. 2. Penyebaran Entamoeba sp. dari usus ke organ lain melalui hematogen berdasarkan temuan tropozoit di berbagai pembuluh darah organ dan buluh empedu hati. 3. Causa mortis biawak Ambon ini diduga disebabkan oleh gagal fungsi hati serta infeksi usus akibat infeksi Entamoeba sp.. 4. Atria mortis biawak Ambon ini diduga disebabkan oleh gagal jantung yang dipicu infeksi Entamoeba sp..
Saran 1. Perlu dilakukan uji lebih lanjut untuk mengetahui spesies Entamoeba sp. pada kasus kematian biawak Ambon ini. 2. Perlu dilakukan program higiene dan sanitasi yang baik di kandang penangkaran untuk mencegah amoebiasis.
50
DAFTAR PUSTAKA Ahmed YA et al. 2009. Histological and histochemical studies on the esophagus, stomach and small intestines of Varanus niloticus. J. Vet. Anat. (2): 35-48. Ananjeva NB et al. 2006. The Reptiles of Northern Eurasia Taxonomic Diversity, Distribution, Conservation Status. Bulgaria: PENSOFT Publishers. hlm 114. [Anonim]1. 2009. Eating biawak. http://themalaysianlife.blogspot.com/2009/04/ea ting-biawak.html. [21 September 2011]. [Anonim]2. 2011. Penjual daging biawak di pinggiran ibukota. http://sosbud.kompasiana.com/2010/07/28/penjual-daging-biawakdi-pinggiran-ibukota/. [21 September 2011]. Aughey E, Frye FL. 2001. Comparative Veterinary Histology with Clinical Correlates. UK: Manson Publishing Ltd. Hlm124-125, 127, 137-140,144147. Banks RC. 2004. Varanus indicus (Daudin, 1802). http://www.itis.gov/servlet/Sin gleRpt/SingleRpt?search_topic=TSN&search_vaval=174116. [12 Juli 2011]. Barnett S. 2003. Entamoeba invadens: The Chelonian Connection. http://www.matts-turtles.org/docs/e_invadens.pdf. [26 Desember 2011]. Barten SL. 1996a. Section II lizards. Di dalam: Mader DR, editor.Reptile Medicine and Surgery. USA: W.B. Saunders Company. hlm 48-49, 52. Barten SL. 1996b. Section V differential diagnosis by symptoms lizards. Di dalam: Mader DR, editor.Reptile Medicine and Surgery. USA: W.B. Saunders Company. hlm 328. Bartlett RD, Bartlett PP. 1996. Monitors, Tegus, and Related Lizards. Hong Kong: Barron’s Educational Series, Inc. hlm 50-52. Bass N. 2011. The kidneys, urinary tract and renal portal system of reptiles. http://www.sidneyanimalhospital.com/library.htm. [27 September 2011]. Bennett D. 2007. Varanus indicus (reptile). http://www.issg.org/database/spesies/ ecology.asp?si=1065&fr=1&sts=&lang=EN. [5 Agustus 2011]. Bennett D, Sweet SS. 2010. Varanus indicus. In: IUCN 2011. IUCN Red List of Threatened Species. Version 2011.1. http://www.iucnredlist.org/apps/redlist/ details/178416/0. [22 September 2011].
51
Boyer TH. 1996. Section VI specific diseases and conditions metabolic bone disease. Di dalam: Mader DR, editor.Reptile Medicine and Surgery. USA: W.B. Saunders Company. hlm 385. Bradford CM, Denver MC, Cranfield MR. 2008. Development of a polymerase chain reaction test for Entamoeba invadens. Journal of Zoo and Wildlife Medicine 39(2): 201-207 [terhubung berkala]. http://www.bione.org/doi/abs/10.1638/2007-0145.1. [29 Januari 2012]. Burrows CF, Taboada J. 2010. Liver disorders. Di dalam: Schaer M, editor. Clinical Medicine of the Dog and Cat. UK: Mason Publishing Ltd. hlm 398. Campbell T. 1999. Avian and reptilian cytodiagnosis. Exotic Pet Practice(4)1: 12. Campbell TW. 2004. Blood biochemistry of lower vertebrates. http://www.ivis.org/proceedings/ACVP/2004/Terio/ivis.pdf. [12 Februari 2012]. Cheville NF. 1999. Introduction to Veterinary Pathology. Second Edition. USA: Blackwell Publishing Professional. hlm 12-14, 29,31, 52, 143-144, 146-147. Chia MY et al. 2009. Entamoeba invadens myositis in a common water monitor lizard (Varanus salvator). Vet Patho 46: 673-676. Colville T, Bassert JM. 2002. Clinical Anatomy & Physiology For Veterinary Technicians. USA: Mosby. hlm 215. [CITES] Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora. 1979. Convention of international trade in endangered species of wild fauna and flora. Cota M. 2008. Varanus indicus and its presence on the mariana islands: natural geographic distribution vs. introduction. Biawak 2(1): 18-27. Dancygier H, Schirmacher P. 2010. Liver cell degeneration and cell death. Di dalam: Dancygier H, editor. Clinical Hepatology Principles and Practice of Hepatobiliary Diseases.Volume 1. Berlin: Springer. hlm 207. Das S, Gillin FD. 1991. Chitin cynthase in encysting Entamoeba invadens. Biochem. J. 280: 641-647. DeNardo D. 1996. Reproductive biology. Di dalam: Mader DR, editor. Reptile Medicine and Surgery. USA: W.B. Saunders Company. hlm 212-214, 220, 223-224, 370-371.
52
Denver MC et al. 1999. A review of reptilian amoebiasis and current research on the diagnosis and treatment of amoebiasis at the Baltimore Zoo. Di dalam: Prosiding American Association of Zoo Veterinarians; Ohio, October 1999. Ohio: American Association of Zoo Veterinarians. hlm 11-15. Divers SJ. 1999. Clinician’s Approach to Renal Disease in Lizards. http://www.anapsid.org/diverskidney.html. [27 September 2011]. Fotedar et al. 2007. Laboratory diagnostic techniques for Entamoeba species. Clin Microbio Reviews 20(3): 511-532. Frye FL. 1991. Reptile Care: An Atlas of Diseases and Treatments.Volume I& II. USA: T.F.H. Publications, Inc. hlm 217, 220-221, 284-285. Fudge AM. 2000. Laboratory Medicine Avian and Exotic Pets. USA: W.B. Sunders Company. hlm 205. Ghosh et al. 1999. Chitinase secretion by encysting Entamoeba invadens and transfected Entamoeba histolytica tropozoites: localization of secretory vesicles, endoplasmic reticulum, and golgi apparatus. Infec and Immun 67(6): 3073-3081. Guyton A, Hall JE. 2006. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Irawati, penerjemah. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Terjemahan dari: Textbook of Medical Physiology 11th Edition. hlm 324, 455, 843-855. Hulu A. 2011. Rendang biawak, kuliner ekstrem nan lezat. http://www.niasbangkit.com/2011/04/rendang-biawak-kuliner-ekstrem-nan-lezat/. [21 September 2011]. Iyai DA, Pattiselanno F. 2006. Diversitas dan ekologi biawak (Varanus indicus) di pulau pepaya taman nasional teluk cenderawasih, irian jaya barat. Biodiversitas7(2):181-186. Jones TC, Hunt RD, King NW. 1997. Veterinary Pathology. Sixth Edition. USA: Williams & Wilkins. hlm 9-11, 25-26, 30, 69-71, 118-120. Kahn CM et al. 2010. The Merck Veterinary Manual. Tenth Edition. USA: Merck & Co., Inc. hlm 1768. Kassab A, Shousha S, Fargani A. 2009. Morphology of blood cells, liver and spleen of the desert tortoise (Testudo graeca). The Open Anatomy Journal 1:1-10. Khanna DR. 2004. Morphogenesis. India: Discovery Publishing House. hlm 75.
53
Krohmer RW, Martinez D, Mason RT. 2004. Development of the renal sexual segment in immature snakes: effect of sex steroid hormones. Comparative Biochem and Physio Part A 139: 55-64. Knotkova Z, Doubek J, Knotek Z, Hajkova P. 2002. Blood cell morphology and plasma biochemistry in russian tortoises (Agrionemys horsfieldi). Acta Vet Brno 71: 191-198. Kumagai M, Makioka A, Ohtomo H, Kobayashi S, Takeuchi T. 1999. Inhibition of encystation of Entamoeba invadens by aphidicolin. Tokai J Exp Clin Med 23(6): 313-317. Lane TJ, Mader DR. 1996. Section III special topics parasitology. Di dalam: Mader DR, editor. Reptile Medicine and Surgery. USA: W.B. Saunders Company. hlm 190-191. Lejeune A, Gicquaud C. 1992. Target cell deformability determines the type of phagocytic mechanism used by Entamoeba histolytica-like, Laredo strain. Biol Cell 74: 211-216. Mader DR. 1996a. Section VI specific diseases and conditions acariasis. Di dalam: Mader DR, editor. Reptile Medicine and Surgery. USA: W.B. Saunders Company. hlm 341-342. Mader DR. 1996b. Section VI specific diseases and conditions gout. Di dalam: Mader DR, editor. Reptile Medicine and Surgery. USA: W.B. Saunders Company. hlm 374-377. Mardiastuti A, Soehartono T. 2003. Perdagangan reptil Indonesia di pasar internasional. Di dalam: Konservasi Amfibi dan Reptil di Indonesia. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan; Bogor, 8 Mei 2003. Bogor: Institut Pertanian Bogor. hlm 131-144. Munson C, Traister R. 2005. Pathophysiology A 2-in-1 Reference for Nurses. USA: Lippincott Williams & Wilkins. hlm 382, 524. Murray MJ. 1996. Section VI specific diseases and conditions pneumonia and normal respiratory function. Di dalam: Mader DR, editor. Reptile Medicine and Surgery. USA: W.B. Saunders Company. hlm 400. Myers RK, McGavin MD. 2007. Cellular and tissue responses to injury. Di dalam: McGavin MD, Zachary JF, editor. Pathologic Basis of Veterinary Disease. Fourth Edition. USA: Mosby Elsevier. hlm 11-13, 39-40, 58, 71, 423-424.
54
Nakamura T, Sato K, Akiba M, Ohnishi M. 2006. Urobilinogen, as a bile pigment metabolite, has an antioxidant function. J Oleo Sci 55(4): 191-197. Navarre B. 2003. Acute & chronic renal disease in lizards. http://animal.discovery.com/guides/reptiles/iguanas/renaldisease.html. [27 September 2011]. Oros J, Casal AB, Arencibia A. 2010. Microscopic studies on characterization of blood cells of endangered sea turtles. Microscopy: Science, Technology, Application and Education: 75-84. Paré JA. 2006. Reptile basics: clinical anatomy 101. Di dalam: Exotics-Reptiles and Amphibians. Prosiding American Veterinary Conference Volume 20; Florida, 7-11 Januari 2006. Florida: North American Veterinary Conference, hlm 1657-1660. Pianka ER, King D, King RA. 2004. Varanoid Lizards of the World. USA: Indiana University Press. hlm 3-5. Philipp KM, Böhme W, Ziegler T. 1999. The identity of Varanus indicus: redefinition and description of a sibling species coexisting at the type locality (suaria: varanidae: varanus indicus group). Spixiana 22(3): 273-287. Press CM, Landsverk T. 2006. Immune system. Di dalam: Eurell JA, Frappier BL, editor. Dellmann’s Textbook of Veterinary Histology. Sixth Edition. USA: Blackwell Publishing. hlm 147-148. Ramírez-Córdova JD de, Ramírez-Romo S, Mora-Galindo J. 1990. Quantitative evaluation of intracellular degradation in Entamoeba invadens. International J for Parasito 20(2): 199-201 [terhubung berkala]. http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/0020751999090101R [13 Februari 2012]. Reavill
D. 1994. Selected topics in reptile clinical pathology. http://www.zooexotic.com/Reptileclinpah1994.pdf. [23 Agustus 2011].
Richter B, Kübber-Heiss A, Weissenböck H. 2008. Diphtheroid colitis in a boa constrictor infected with amphibian Entamoeba sp.. Vet Patho 153: 164167. Robertson JL, Newman SJ. 2006. Disorders of the spleen. Di dalam: Feldman BF, Zinkl JG, JainNC, editor. Schalm’s Veterinary Hematology. Fifth Edition. USA: Blackwell Publishing. hlm 275-276.
55
Rose K. 2005. Common diseases of urban wildlife: reptiles. http://www.arwh.org. [16 Desember 2011]. Sever DM et al. 2007. Renal sexual segment of the cottonmouth snake, Akgistrodon piscivorous (reptilia, squamata, viperidae). J of Morpho: 1-14. Soldati Get al. 2004. Detection of mycobacteria and chlamydiae in granulomatous inflammation of reptiles: a retrospective study. Vet Patho41(4): 388-397. Spector WG, Spector TD. 1993. Pengantar Patologi Umum. Edisi Ketiga. Soetjipto, penerjemah. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari: An Introduction to General Pathology Third Edition. hlm115-118. Terio KA. 2004. Comparative inflammatory responses of non-mammalian vertebrates: robbins and cotran for the birds. http://www.ivis.org/proceedings/ACVP/2004/Terio/ivis.pdf. [26 September 2011]. Travis C. 2011. Why did the monitor lizard become endangered?. http://www.ehow.com/info_10021290_did-monitor-lizard-becomeendangered.html. [21 September 2011]. Turner B, LeRoy BE, Tarpley HL, Moore H, Latimer KS, Bain PJ. 2000. Feline hepatic lipidosis. http://www.vet.uga.edu/vpp/clerk/turner/index.php. [20 Februari 2012]. Wilson B. 2010. Lizards. Di dalam: Ballard BM, Cheek R, editor. Exotic Animal Medicine for the Veterinary Technician. Second Edition. Iowa: Blackwell Publishing Professional. hlm 76, 84, 87-90, 104-106. Zumla A, James DG. 1996. Granulomatous infections: etiology and classification. Clin Infec Dis 23: 146-158.