STUDI KASUS: LEIOMIOMA PADA SEEKOR SINGA (Panthera leo)
NOVERICKO GINGER BUDIONO
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul Studi Kasus: Leiomioma pada Seekor Singa (Panthera leo) adalah karya Saya dengan arahan dari Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari Penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Oktober 2012 Novericko Ginger Budiono B04080020
i
ABSTRACT NOVERICKO GINGER BUDIONO. Case Study: Leiomyoma in a Lion (Panthera leo). Directed by EKOWATI HANDHARYANI and MAWAR SUBANGKIT. This report described an abdominal leiomyoma in a female old lion (Panthera leo) from the Ragunan Zoo, Jakarta. The aim of this study was to identify the type of tumor from an old aged female lion with anamnese suffered from chronic gangrene on the right-rear leg. The lion was euthanized and then accompanied with necropsy. Gross findings were recorded and then histopathological examination of some organ samples done. Macroscopic observations showed several lesions. A tumor was found in abdominal cavity, has 14.5 x 9.8 x 6.5 cm in sized. The tissue sample from the tumor mass was further examined using histopathological examination. Based on the morphology, the tumor consisted of spindle-shaped cells with a cigar-shaped nuclei with blunt ends. Mitotic figure was <3, indicated that the tumor was benign. Masson's Trichrome staining showed that among the tumor cells are found collagen bundles (blue). Desmin immunohistochemical staining showed a positive result, that mean the tumor cells derived from smooth muscle cells. Other immunohistochemical stainings e.g. Vimentin, Glial Fibrillary Acidic Protein (GFAP), and Proliferating Cell Nuclear Antigen (PCNA) were negative. According to morphological and immunohistochemical characters, the tumor was diagnosed as leiomyoma. Keywords: lion (Panthera leo), gangrene, leiomyoma
ii
RINGKASAN NOVERICKO GINGER BUDIONO. Studi Kasus: Leiomioma pada Seekor Singa (Panthera leo). Dibimbing oleh EKOWATI HANDHARYANI dan MAWAR SUBANGKIT. Seekor singa (Panthera leo) didiagnosa menderita leiomioma. Studi kasus ini bertujuan untuk mengidentifikasi jenis tumor yang berasal dari kadaver seekor singa dengan anamnesa hewan tua menderita gangren kronis pada kaki belakang kanan belakang dari Taman Margasatwa Ragunan. Singa tersebut dieutanasi kemudian dinekropsi di Bagian Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Temuan patologi anatomi dicatat kemudian dilakukan pemeriksaan histopatologi terhadap beberapa sampel organ. Pengamatan patologi anatomi menunjukkan beberapa kelainan. Pada nekropsi ditemukan massa tumor berukuran 14.5 x 9.8 x 6.5 cm pada rongga abdominal. Pada paru-paru ditemukan ± 10 nodul berwarna putih dengan garis tengah nodul terbesar ± 1.5 cm pada paruparu. Hati berwarna belang merah gelap hingga merah terang, pada hati juga ditemukan nodul berjumlah banyak berwarna putih dengan garis tengah nodul terbesar ± 1.5 cm. Sampel jaringan dari massa tumor kemudian diperiksa lebih lanjut dengan pemeriksaan histopatologi dengan pewarnaan Hematoksilin Eosin, pewarnaan khusus, dan pewarnaan imunohistokimia. Berdasarkan morfologi sel tumor yang berbentuk gelendong dengan inti berbentuk seperti cerutu dengan ujung tumpul tumor. Figur mitotik kurang dari 3 pada pengamatan dengan mikroskop perbesaran objektif 40x menunjukkan bahwa tumor tersebut adalah tumor jinak. Pewarnaan Masson’s trichrome menunjukkan bahwa diantara sel-sel tumor ditemukan serabut kolagen (berwarna biru). Pewarnaan imunohistokimia desmin menunjukkan hasil positif yang berarti sel tumor berasal dari otot polos. Baik pewarnaan imunohistokimia vimentin, Glial Fibrillary Acidic Protein (GFAP), dan Proliferating Cell Nuclear Antigen (PCNA) menunjukkan hasil negatif. Sel tumor yang berasal dari otot polos dikenal dengan nama leiomioma. Oleh sebab itu, singa tersebut didiagnosa menderita leiomioma. Temuan histopatologi dari organ lain yakni pada paru-paru terjadi pneumonia interstisialis, emfisema pulmonum, antrakosis, dan tumor adenokarsinoma. Pada hati ditemukan endapan protein amiloid pada ruang sinusoid, sarang radang, kongesti pada ruang sinusoid, dan hemoragi. Pada ginjal ditemukan atrofi glomerulus, kongesti glomerulus, edema peritubular, degenerasi tubulus, dan endapan protein pada tubulus. Pada limpa terjadi deplesi pulpa putih yang menunjukkan singa mengalami imunosupresi. Pada pankreas ditemukan infiltrasi lemak. Kata kunci: singa (Panthera leo), gangren, leiomioma
iii
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
iv
STUDI KASUS: LEIOMIOMA PADA SEEKOR SINGA (Panthera leo)
NOVERICKO GINGER BUDIONO
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 v
Judul Skripsi : Studi Kasus: Leiomioma pada Seekor Singa (Panthera leo) Nama : Novericko Ginger Budiono NIM : B04080020 Program Studi : Kedokteran Hewan
Disetujui
drh. Ekowati Handharyani, MS. PhD. APVet Pembimbing I
drh. Mawar Subangkit Pembimbing II
Diketahui
drh. Agus Setiyono, MS. PhD. APVet Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan
Tanggal Lulus:
vi
KATA PENGANTAR Puji dan syukur Penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Skripsi yang berjudul Studi Kasus: Leiomioma pada Seekor Singa (Panthera leo); merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (FKH-IPB). Terima kasih Penulis ucapkan kepada Ibu drh. Ekowati Handharyani, MS. PhD. APVet. selaku Dosen Pembimbing Akademik sekaligus Dosen Pembimbing Skripsi pertama yang dengan sabar telah membimbing Penulis. Terima kasih juga Penulis ucapkan pada drh. Mawar Subangkit sebagai Dosen Pembimbing Skripsi kedua yang juga dengan sabar telah membimbing Penulis. Terima kasih Penulis ucapkan kepada drh. Vetnizah Juniantito, PhD. sebagai Dosen Moderator sekaligus Dosen Penilai dalam seminar skripsi. Terima kasih Penulis sampaikan kepada seluruh Staf Pengajar dan Tenaga Kependidikan Bagian Patologi FKHIPB atas segala bantuannya. Terima kasih juga Penulis ucapkan kepada pihak Taman Margasatwa Ragunan. Terima kasih juga Penulis ucapkan kepada Dr. drh. Hj. Sri Murtini, MSi. dan drh. Supratikno, MSi. Sebagai Dosen Penguji dalam sidang sarjana. Terima kasih juga Penulis ucapkan kepada seluruh Staf Pengajar di FKH-IPB yang telah memberikan ilmu pengetahuan serta nasihat selama Penulis mengenyam pendidikan di FKH-IPB. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Biro Perencanaan dan Kerjasama Luar Negeri Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (BPKLN Kemdikbud) dan Yayasan Goodwill atas bantuan beasiswa sehingga Penulis dapat menyelesaikan studi sarjana. Terima kasih Penulis sampaikan kepada teman seperjuangan Avenzoar, serta para sahabat yang tak dapat disebutkan satu per satu. Terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak, Mama, Kakak, Keponakan, Kekasih, dan seluruh keluarga besar atas segala doa serta kasih sayangnya sehingga Penulis senantiasa bersemangat dalam menyelesaikan studi. Terima kasih juga Penulis ucapkan kepada semua pihak yang telah membantu sehingga skripsi ini dapat selesai. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca. Bogor, Oktober 2012 Novericko Ginger Budiono vii
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Purwokerto pada tanggal 9 November 1990 sebagai putra kedua dari Agus Budiono dan Endah Wartiningsih. Penulis memiliki seorang kakak laki-laki bernama Fahrizal Lukman Budiono. Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah menengah atas di SMAN 5 Depok pada tahun 2008. Pada tahun yang sama, Penulis diterima sebagai mahasiswa di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (FKH-IPB) tanpa tes melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis pernah menjadi anggota Dewan Perwakilan Mahasiswa FKH-IPB tahun 2009-2010, anggota Himpunan Minat dan Profesi Ruminansia FKH-IPB tahun 2009-2011. Penulis pernah menerima beasiswa dari Yayasan Goodwill dan Beasiswa Unggulan. Penulis pernah menjadi asisten praktikum pada Mata Kuliah Anatomi Veteriner I tahun ajaran 2010-2011, Mata Kuliah Anatomi Veteriner II tahun ajaran 2010-2011, serta Mata Kuliah Embriologi dan Genetika Perkembangan tahun ajaran 2010-2011 dan 2011-2012. Bogor, Oktober 2012 Novericko Ginger Budiono
viii
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL ............................................................................................. xi DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... xii DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... xiii 1
PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ...................................................................................... 1.2 Tujuan ...................................................................................................
2
1 2
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Singa (Panthera leo) ............................................................................. 3 2.2 Neoplasma atau Tumor ......................................................................... 6 2.2.1 Definisi Tumor ............................................................................ 6 2.2.2 Klasifikasi Tumor ....................................................................... 7 2.2.3 Penyebab Tumor ......................................................................... 10 2.3.4 Penyebaran Tumor ...................................................................... 10
3
MATERI DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ............................................................... 12 3.2 Bahan dan Alat Penelitian ..................................................................... 12 3.3 Metode Penelitian ................................................................................. 12
4
HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Patologi Anatomi................................................................. 4.2 Gambaran Histopatologi dengan Pewarnaan Hematoksilin Eosin terhadap Sel Tumor .............................................................................. 4.3 Gambaran Histopatologi dengan Pewarnaan Khusus dan Pewarnaan Imunohistokimia ................................................................................... 4.3.1 Pewarnaan Khusus Masson’s Trichrome ...................................... 4.3.2 Pewarnaan Imunohistokimia Desmin............................................ 4.3.3 Pewarnaan Imunohistokimia Vimentin ......................................... 4.3.4 Pewarnaan Imunohistokimia Glial Fibrillary Acidic Protein (GFAP).......................................................................................... 4.3.5 Pewarnaan Imunohistokimia Proliferating Cell Nuclear Antigen (PCNA) ......................................................................................... 4.4 Gambaran Histopatologi dengan Pewarnaan Hematoksilin Eosin Terhadap Beberapa Sampel Organ ....................................................... 4.4.1 Gambaran Histopatologi Paru-Paru .............................................. 4.4.2 Gambaran Histopatologi Hati ........................................................ 4.4.3 Gambaran Histopatologi Ginjal ....................................................
14 15 16 16 17 20 20 20 21 21 24 25 ix
4.4.4 Gambaran Histopatologi Limpa .................................................... 26 4.4.5 Gambaran Histopatologi Pankreas ................................................ 27 5
SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan ............................................................................................... 29 5.2 Saran ..................................................................................................... 29
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 30 LAMPIRAN ....................................................................................................... 35
x
DAFTAR TABEL Tabel 1 Tabel 2 Tabel 3 Tabel 4 Tabel 5
Klasifikasi tumor ................................................................................ Karakteristik tumor jinak dan ganas ................................................... Hasil pemeriksaan patologi anatomi................................................... Hasil pengamatan histopatologi dengan pewarnaan khusus dan pewarnaan imunohistokimia................................................................... Hasil pemeriksaan histopatologi terhadap beberapa organ dengan pewarnaan Hematoksilin Eosin ..........................................................
9 10 14 16 22
xi
DAFTAR GAMBAR Gambar 1 Gambar 2 Gambar 3 Gambar 4 Gambar 5 Gambar 6 Gambar 7
Morfologi singa ................................................................................ Morfologi sel tumor ......................................................................... Leiomioma pada jantung anjing ....................................................... Gambar histopatologi paru-paru....................................................... Gambar histopatologi hati ................................................................ Gambar histopatologi ginjal ............................................................. Gambar histopatologi limpa dan pankreas .......................................
4 18 18 27 28 28 28
xii
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 Lampiran 2 Lampiran 3 Lampiran 4
Pembuatan Preparat Histopatologi ................................................. Pewarnaan Hematoksilin Eosin ..................................................... Pewarnaan Masson’s Trichrome .................................................... Pewarnaan Imunohistokimia..........................................................
35 36 37 38
xiii
PENDAHULUAN
Latar Belakang Singa yang memiliki nama latin Panthera leo merupakan salah satu dari empat spesies kucing besar genus Panthera selain harimau. Singa juga merupakan anggota dari keluarga Felidae. Singa disebut sebagai satwa pemangsa terbesar di Benua Afrika. Selama dua dekade terakhir singa mengalami penurunan populasi sekitar 30% (Bauer et al. 2008). Penyebab utama penurunan populasi singa antara lain disebabkan banyak manusia yang membunuh satwa ini sebagai usaha mempertahankan diri dan ternaknya, serta menurunnya jumlah mangsa dari singa (Bauer et al. 2008; Bauer & Iongh 2005; Bauer et al. 2003). Menurut Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 Tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa, singa tidak termasuk ke dalam spesies satwa yang dilindungi. The International Union for Conservation of Nature (IUCN) dalam daftar merahnya menggolongkan singa ke dalam satwa yang rentan terhadap kepunahan atau vurnerable (Bauer et al. 2008). Status konservasi rentan menurut IUCN berarti status konservasi spesies ini sedang menghadapi resiko kepunahan yang tinggi di alam liar pada waktu yang akan datang (Bauer et al. 2008; Bauer et al. 2003). Singa juga terdaftar dalam Apendiks II Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES). Hal tersebut berarti masih memungkinkan untuk melakukan perdagangan internasional berkelanjutan terhadap spesies singa di bawah sistem perijinan ekspor (UNEPWCMC 2012). Neoplasma berasal dari bahasa Yunani, Neo berarti baru dan Plasma berarti sesuatu yang terbentuk. Neoplasma adalah pertumbuhan dari sel-sel baru yang berproliferasi tanpa kontrol, tidak memiliki fungsi dan tidak memiliki susunan yang teratur. Neoplasma mengalami kehilangan respon terhadap kontrol sel normal (Vegad 2007). Seekor singa yang berasal dari Taman Margasatwa Ragunan diduga menderita tumor. Kajian tumor pada singa ini merupakan kajian yang menarik karena kasus tumor pada seekor singa merupakan kejadian yang langka. Oleh
2
sebab itu, dalam karya tulis ini akan dipelajari kasus tumor pada seekor singa dari Taman Margasatwa Ragunan.
Tujuan Studi kasus ini bertujuan untuk mengetahui gambaran patologi anatomi dan histopatologi massa tumor pada rongga abdominal pada seekor singa yang berasal dari Taman Margasatwa Ragunan. Selain itu, studi kasus ini bertujuan mengetahui jenis tumor berdasarkan morfologi menggunakan pewarnaan Hematoksilin Eosin, pewarnaan khusus, dan pewarnaan imunohistokimia.
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Singa (Panthera leo) Singa memiliki nama latin Panthera leo (Bauer et al. 2008). Nama umum singa adalah Lion (bahasa Inggris), Lion d’Afrique (bahasa Prancis), atau León (bahasa Spanyol) (Bauer et al. 2008). Singa merupakan salah satu dari empat kucing besar dari genus Panthera yang berarti kucing yang mengaum (Feldhamer et al. 1999, diacu dalam Zen 2012). Singa termasuk keluarga Felidae, yaitu keluarga kucing-kucingan (Nowak 2005; Nzalak et al. 2010). Keluarga ini dapat dibedakan dari keluarga Canidae dengan karakteristik berupa moncong yang lebih pendek, gigi premolar atas terakhir yang berkembang baik, serta gigi taring yang besar. Singa merupakan anggota genus Panthera yang berarti kucing yang mengaum (Feldhamer et al. 1999, diacu dalam Zen 2012). Singa jantan dewasa dapat memiliki bobot badan lebih dari 250 kg. Singa adalah kucing terbesar kedua setelah harimau (Nowak 2005; Nzalak et al. 2010). Klasifikasi singa adalah sebagai berikut: Kerajaan
: Animalia
Filum
: Chordata
Kelas
: Mammalia
Ordo
: Carnivora
Keluarga
: Felidae
Genus
: Panthera
Spesies
: Panthera leo (Linnaeus 1758).
Singa dapat dengan mudah dibedakan dari kucing besar lainnya seperti harimau, macan, dan jaguar karena singa memiliki morfologi yang unik yakni hewan ini memiliki rambut surai pada leher individu jantan (Gambar 1). Rambut surai berfungsi untuk melindungi daerah leher ketika mereka berkelahi, akan tetapi individu betina tidak memiliki surai. Selain itu, terdapat kuncung yang berwarna hitam pada ujung ekor singa juga menjadi ciri khasnya (Grzimek 1970, diacu dalam Zen 2012). Warna rambut pada singa bervariasi mulai dari kuning terang hingga kuning kemerahan tanpa ada pola yang khas. Bagian perut dan bagian sebelah dalam dari ekstremitas memiliki warna yang lebih pucat. Rambut surai pada individu jantan
4
biasanya berwarna kuning, coklat, atau coklat kemerahan pada singa muda namun cenderung menjadi lebih gelap mengikuti umur dan bahkan dapat berwarna hitam (Nowak 2005; Zen 2012). B
A J
J S
S
Be
K
Gambar 1
Gambar singa. (A) Singa jantan (J) dan singa betina (Be) (Mazur 2008). (B) Singa jantan (J) dengan kuncung hitam (K) pada ujung ekornya (Lion’s Press Agency 2012).
Tubuh singa jantan berukuran lebih besar dari singa betina. Bobot badan singa jantan berkisar antara 150-250 kg, sedangkan singa betina berkisar antara 120-180 kg. Panjang tubuh singa jantan berkisar antara 170-190 cm dengan panjang ekor 90-105 cm, sedangkan panjang tubuh singa betina berkisar 140-175 cm dengan panjang ekor 70-100 cm (Grzimek 1970, diacu dalam Zen 2012). Singa lebih memilih padang terbuka sebagai habitatnya, berbeda dengan harimau yang lebih menyukai habitat dengan vegetasi yang padat. Habitat singa umumnya adalah savana, dataran berumput, hutan terbuka, dan semak belukar. Singa juga dapat memasuki kawasan semi gurun dan bahkan pernah ditemukan di daerah pegunungan dengan ketinggian 5000 meter. Suatu kelompok singa disebut sebagai pride yang terdiri atas 3-5 ekor jantan dengan betina berjumlah ± 20 ekor. Luas wilayah jelajah suatu kelompok singa tertentu berkisar antara 20-400 km2. Singa yang nomaden dapat memiliki luas jajahan mencapai 4000 km2 dengan sebagian area tumpang tindih dengan wilayah jelajah singa lain (Nowak 2005; Zen 2012). Singa Afrika tersebar di wilayah subsahara Afrika dengan sebagian besar populasi tersebar di wilayah Afrika Timur dan Afrika Selatan. Negara-negara yang termasuk wilayah ini antara lain Angola, Botswana, Kamerun, Kongo, Etiopia, Uganda, dan Somalia. Populasi singa Asia terisolasi hanya pada Taman Nasional Hutan Gir India dan penangkaran satwa liar. Populasi singa Afrika belum dapat dipastikan karena wilayah penyebarannya yang sangat luas. The
5
African Lion Working Group (ALWG) menduga populasi singa Afrika saat ini adalah sebanyak 23000 ekor dengan kisaran 16500 sampai dengan 30000 ekor. Singa memiliki habitat yang luas, mulai dari hutan hujan tropis, hingga gurun Sahara (Bauer et al. 2008). Populasi singa di India barat terancam punah. Populasi singa di Afrika Utara, Timur Tengah dan Asia Barat telah punah. Pada akhir zaman Pleistosen, sekitar 10000 tahun yang lalu, singa merupakan mamalia besar yang paling menyebar luas setelah manusia. Mereka ditemukan di sebagian besar Aftika, Euro-Asia dari Eropa Barat hingga India, dan di Amerika dari Yukon hingga Peru (Nowak 2005; Nzalak et al. 2010). Mangsa singa antara lain kerbau, antelop, zebra, gajah, jerapah, kuda nil, dan badak. Singa merupakan predator puncak, meskipun terkadang mengais hewan buruan dari predator lainnya. Meskipun singa tidak berburu manusia secara selektif, akan tetapi telah dikenal singa yang menjadi pemakan manusia dan mencari mangsa manusia. Singa minum secara teratur saat air tersedia. Jika air tidak tersedia singa juga dapat memenuhi kebutuhan akan air dari mangsanya bahkan dari tanaman seperti tanaman melon tsama di gurun Kalahari sehingga singa dapat bertahan hidup di lingkungan yang sangat kering (Nowell & Bauer 2004; Bauer et al. 2008; Bauer et al. 2006; Hayward & Kerley 2005). Singa hidup antara 10 hingga 14 tahun di alam liar, sedangkan di penangkaran mereka dapat hidup lebih dari 20 tahun. Di alam liar, singa jantan jarang hidup lebih lama dari 10 tahun karena perkelahian dengan saingannya yang menyebabkan luka (Smuts 1982, diacu dalam Nzalak et al. 2010). Singa adalah spesies rentan, melihat penurunan populasi antara 30 sampai dengan 50% selama dua dekade terakhir (Nowell & Bauer 2004; Bauer et al. 2008; Bauer et al. 2006; Hayward & Kerley 2005). IUCN mengeluarkan daftar status kelangkaan suatu spesies berupa daftar merah IUCN. Berdasarkan daftar merah IUCN, status konservasi singa adalah rentan terhadap kepunahan atau vurnerable. Kategori konservasi berdasarkan daftar merah IUCN ini memberi gambaran mengenai kondisi populasi singa di alam. Status konservasi singa adalah rentan terhadap kepunahan, artinya status konservasi spesies ini sedang menghadapi resiko kepunahan yang tinggi di alam liar pada waktu yang akan datang (Bauer et al. 2008; Bauer et al. 2003).
6
Singa terdaftar dalam daftar Appendiks II CITES. Daftar Apendiks II CITES ini menunjukkan bahwa masih memungkinkan untuk melakukan perdagangan internasional berkelanjutan terhadap spesies singa di bawah sistem perijinan ekspor (Bauer et al. 2008; Bauer et al. 2003; UNEP-WCMC 2012). Menurut Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 Tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa, singa tidak termasuk spesies satwa yang dilindungi di Indonesia. Dalam dua dekade terakhir (kira-kira tiga generasi singa) diduga terjadi pengurangan populasi singa sekitar 30% (Bauer et al. 2008). Jumlah singa pada tahun 1996 diperkirakan antara 30000 sampai dengan 100000 (Nowell & Jackson 1996, diacu dalam Bauer et al. 2003; Bauer et al. 2008). Singa liar di Afrika pada tahun 2004 diperkirakan berjumlah 23000 (Bauer & Merwe 2004). Ancaman yang menjadi penyebab berkurangnya jumlah populasi singa antara lain terjadinya pembunuhan singa secara liar pada lahan pertanian, konflik antara singa dan manusia, perkelahian antar singa, penurunan kualitas habitat, dan berkurangnya jumlah mangsa (Bauer et al. 2008; Bauer & Iongh 2005; Bauer et al. 2003). Singa pernah dilaporkan menderita beberapa jenis tumor, yakni tumor sel Mast (Stolte & Welle 1995), limfoma (Harrison et al. 2010), fibroblastoma desmoplastik (Yun et al. 2011), mesotelioma maligna pada pleura (Bollo et al. 2011), dan fibromatous epulis (de Castro et al. 2011). 2.2. Neoplasma atau Tumor 2.2.1. Definisi Tumor Neoplasma berasal dari bahasa Yunani, Neo berarti baru dan Plasma berarti sesuatu yang terbentuk. Neoplasma adalah pertumbuhan dari sel-sel baru yang berproliferasi tanpa kontrol, tidak memiliki fungsi dan tidak memiliki susunan yang teratur. Neoplasma mengalami kehilangan respon terhadap kontrol sel normal (Vegad 2007). Neoplasma disebut juga sebagai tumor. Kata tumor secara harfiah berarti bengkak, akan tetapi tidak semua kebengkakan disebabkan oleh tumor. Abses dingin, radang kronis, hematom, nodul parasitik, serta massa dari nekrosa lemak intra abdominal merupakan contoh-contoh dari kebengkakan yang bukan disebabkan oleh tumor. Kebengkakan bukan tumor berkembang untuk sementara
7
waktu kemudian berhenti dan menghilang, sedangkan bengkak akibat tumor berbeda, terus berkembang karena bentuk baru di dalamnya terus tumbuh. Saat ini istilah tumor diterapkan untuk massa neoplastik yang menyebabkan pembengkakan pada permukaan tubuh (Vegad 2007). Menurut Cullen et al. (2002), tumor merupakan massa jaringan yang dihasilkan oleh sel-sel yang memiliki kemampuan pembelahan yang baik karena diwariskan secara permanen atau perubahan genetik sehingga sel yang sama atau lainnya tidak merespon dengan tepat terhadap rangsangan jaringan normal dengan tepat baik kimia maupun fisik dalam suatu organisme. Pertumbuhan tumor akan menimbulkan efek bagi penderita. Massa tumor menyebabkan penekanan pada organ di sekitarnya, seperti pembuluh darah, saraf, dan saluran visceral. Penekanan pada pembuluh darah dan saluran visceral dapat menyebabkan penyumbatan yang berlanjut dengan edema, iskemia, dan nekrosa. Penekanan saraf akan mengakibatkan rasa sakit pada penderita. Pada umumnya penderita tumor ganas mengalami kaheksia, kelemahan, dan anemia. Hal tersebut disebabkan oleh persaingan antar sel normal dengan sel tumor dalam mendapatkan suplai oksigen dan nutrisi dalam darah (Tjarta 2002). Tumor berperilaku seperti parasit, yakni bersaing dengan sel normal untuk memenuhi kebutuhan metaboliknya (Vegad 2007). 2.2.2. Klasifikasi Tumor Studi tentang tumor disebut sebagai onkologi. Dalam onkologi, tumor dikasifikasikan menjadi dua kategori, yakni tumor jinak dan tumor ganas. Suatu tumor dikatakan jinak ketika masih bersifat lokal, tidak menyebar ke tempat lain, dapat diangkat dengan pembedahan, dan tidak menyebabkan kematian kecuali lokasinya mengganggu fungsi tubuh yang penting. Tumor disebut ganas ketika tumor dapat menyerang dan menghancurkan struktur jaringan yang berdekatan, menyebar ke tempat yang jauh (metastasis), dan menyebabkan kematian. Tumor ganas memiliki pertumbuhan yang infiltratif, yaitu tumbuh bercabang-cabang ke dalam jaringan sehat di sekitarnya menyerupai jari-jari kepiting sehingga seringkali disebut kanker (Vegad 2007). Tata nama tumor juga disusun berdasarkan asal jaringannya. Jaringan asal tumor terbagi atas jaringan mesenkim dan jaringan epitel. Jaringan mesenkim
8
meliputi jaringan pengikat, otot polos, otot lurik, sel-sel darah, sel endotel, meningen, sinovium, dan mesotelium. Jaringan epitel termasuk epitel pada kulit, saluran pernapasan, saluran pencernaan, saluran kemih, saluran reproduksi, kelenjar, dan sel yang berasal dari neuroektoderm seperti melanosit. Tumor yang berasal dari jaringan mesenkim diberi akhiran -oma bila jinak, dan diberi akhiran sarkoma bila ganas. Tumor jinak yang berasal dari jaringan epitel diberi akhiran papiloma, sedangkan akhiran -karsinoma diberikan bila tumor tersebut ganas. Tumor yang terdapat pada kelenjar diberikan akhiran -adenoma bila jinak dan adenokarsinoma bila ganas (Cullen et al. 2002). Klasifikasi tumor ini dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Klasifikasi tumor (Price & Wilson 2006; Withrow & Vail 2007). Sel atau jaringan asal
Jinak
Ganas
Epitel berlapis, skuamosa
Papiloma skuamosa
Karsinoma sel skuamosa (karsinoma epidemoid)
Epitel transisional
Papiloma transisional
Karsinoma sel transisional
Epitel kelenjar (melapisi ruang berisi cairan)
Adenoma (kistadenoma)
Adenokarsinoma (kistadenokarsinoma)
Epitel non kelenjar
Adenoma
Karsinoma
Melanosit
Nevus
Melanoma
Jaringan ikat -
Fibrosa Adiposa Tulang rawan Tulang
Fibroma Lipoma Kondroma Osteoma
Fibrosarkoma Liposarkoma Kondrosarkoma Osteosarkoma
-
Polos Lurik
Leiomioma Rhabdomioma
Leiomiosarkoma Rhabdomiosarkoma
Endotel - Buluh darah - Buluh limfatik
Hemangioma Limfangioma
Hemangiosarkoma Limfangiosarkoma
Jaringan saraf - Selubung saraf - Sel glia - Meningen - Jaringan limfoid Sumsum tulang
Neurofibroma Meningioma -
Neurofibrosarkoma Glioma, glioblastoma Limfoma, penyakit Hodkin Plasmasitoma, granulositik
Jaringan germinal
Teratoma
Teratoma maligna, teratokarsinoma, seminoma, karsinoma embrional
Otot
Baik tumor baik tumor jinak maupun tumor ganas memiliki dua komponen dasar, yakni jaringan parenkim dan jaringan penunjang. Jaringan parenkim terdiri
9
atas sel-sel yang mengalami perubahan atau sel-sel tumor, sedangkan jaringan penunjang adalah jaringan yang berasal dari induk semang yakni jaringan stroma selain tumor seperti jaringan ikat dan pembuluh darah. Parenkim menentukan perilaku biologis dari tumor tersebut. Stroma menyuplai darah dan memberikan dukungan yang sangat penting bagi pertumbuhan sel parenkim (Vegad 2007). Karakteristik tumor jinak dan ganas dapat dilihat pada Tabel 2. Menurut MacFarlane et al. (2000), tumor diklasifikasikan berdasarkan klinis dan jaringan penyusunnya. Klasifikasi tumor secara klinis terbagi atas tumor jinak dan tumor ganas, sedangkan berdasarkan jaringan penyusunnya, yaitu: (1) tumor epitel; (2) tumor mesenkim; (3) tumor campuran epitel dan mesenkim; (4) tumor pembentuk darah dan sel limfoid; (5) tumor sel saraf; (6) tumor sel glia dan struktur penunjang saraf; serta (7) tumor embrional (blastoma), tumor sel germinativum, tumor plasenta, dan teratoma. Tabel 2 Karakteristik tumor jinak dan ganas (Cullen et al. 2002; Vegad 2007; Morris & Dobson 2001). Gambaran morfologi
Jinak
Ganas
Bentuk
Single
Single/multiple
Nekrosa/degenerasi
Rendah
Tinggi
Terapi
Lebih mudah
Sulit
Laju pertumbuhan
Lambat
Relatif cepat
Figur mitotik
Rendah
Tinggi
Diferensiasi
Dapat dilakukan diferensiasi secara histologis
Sulit dilakukan anaplastik
Invasi lokal
Tidak ada
Ada (ke buluh darah dan buluh limfe)
Metastasis
Tidak pernah terjadi metastasis
Sering bermetastasis ke tempat lain
Batasan sel (enkapsulasi atau demarkasi)
Ada batasan atau berkapsul
Lebih sering dengan sedikit batasan atau tidak teratur
diferensiasi,
Figur mitotik adalah sel yang dalam keadaan membelah sedangkan indeks mitotik merupakan perbandingan antara jumlah sel yang sedang melakukan pembelahan dan jumlah sel secara keseluruhan (Romansik et al. 2007). Indeks mitotik pada umumnya ditentukan dengan cara menghitung figur mitotik pada perbesaran objektif 40x dan menetapkan rataan hitungannya (Cullen et al. 2002). Pada perbesaran objektif 40x, figur mitotik dapat diamati memiliki ukuran yang
10
lebih besar daripada sel tumor lainnya. Indeks mitotik yang lebih besar dari 3 sel per lapang pandang merupakan indikator bahwa tumor tersebut adalah tumor ganas (Handharyani et al. 1999). Tumor ganas memiliki pertumbuhan yang infiltratif, yaitu tumbuh bercabang-cabang ke dalam jaringan sehat di sekitarnya menyerupai jari-jari kepiting sehingga seringkali disebut kanker (Vegad 2007). 2.2.3. Penyebab Tumor Tumor merupakan salah satu kasus penyakit penting yang harus dipecahkan dalam dunia kedokteran. Tumor atau neoplasia pada umumnya muncul pertama kali sebagai sesuatu yang tidak bisa dipahami, secara klinis terlihat sebagai suatu massa yang diam di dalam jaringan (Cheville 2006). Tumor merupakan penyakit multifaktorial. Penyebab tumor sangat kompleks, hal ini berkaitan dengan paparan agen karsinogen, kokarsinogen lingkungan, dan faktor predisposisi inang (Priosoeryanto et al. 2002). 2.2.4. Penyebaran Tumor Penyebaran tumor terjadi melalui tiga tahap yakni tahap infiltrasi, metafase, dan implantasi. Sel-sel tumor ganas menyebar dari suatu lokasi primer ke lokasi lainnya di dalam tubuh yang dinamakan lokasi sekunder. Proses penyebaran tumor ini disebut dengan metastasis. Metastasis merupakan tanda bahwa tumor bersifat ganas (Cheville 2006). Metastasis dapat menjadi penyebab utama kematian bagi penderita kanker (Ruddon 2007). Sel-sel tumor dapat bermetastasis melalui buluh darah, buluh limfe, transplantasi langsung/transcoelomic spread (Tjarta 2002; Morris & Dobson 2001), serta kontak jaringan (MacFarlane 2000). Sel tumor yang mengalami metastasis ke jaringan biasanya mirip dengan sel tumor primer (Cheville 2006). Sel-sel tumor ganas mempunyai karakteristik yang berbeda dari sel-sel normal karena terus membelah diri dan mengalami perubahan-perubahan. Tumor ganas sulit diobati karena pertumbuhannya infiltratif (Suindra 2005). Penyebaran tumor melalui buluh limfe disebut dengan penyebaran limfogen. Buluh limfe memiliki membrana basalis yang tipis sehingga mudah ditembus oleh sel tumor (Cullen et al. 2002). Sel tumor yang telah menembus buluh limfe diangkut oleh cairan limfe sebagai embolus, kemudian sel tersebut akan
11
tersangkut pada kelenjar getah bening regional. Tumor yang menyebar melalui buluh darah limfe biasanya adalah tumor dari jenis karsinoma (Tjarta 2002; Morris & Dobson 2001). Tumor juga dapat menyebar melalui pembuluh darah dan disebut dengan penyebaran hematogen. Tumor yang sering menyebar melalui pembuluh darah adalah tumor jenis sarkoma karena memiliki laju proliferasi sel yang tinggi dan memiliki adhesi yang rendah satu sama lain. Penyebaran tumor melalui pembuluh darah arteri sangat sulit terjadi apabila metastasis pada paru-paru. Oleh karena itu, apabila ditemukan massa tumor pada paru-paru maka kemungkinan besar metastasis telah menyebar ke seluruh tubuh (Tjarta 2002; Morris & Dobson 2001). Beberapa jenis tumor dapat menyebar melalui dua rute sekaligus yakni hematogen dan limfogen (Morris & Dobson 2001).
BAB 3. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Taman Margasatwa Ragunan Jakarta dan di Bagian Patologi, Departemen Klinik, Reproduksi, dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor pada bulan Mei 2012 hingga bulan Agustus 2012. 3.2. Bahan dan Alat Penelitian Bahan yang digunakan adalah sampel organ singa betina dari Taman Margasatwa Ragunan, Buffer Neutral Formalin (BNF) 10%, xylene, alkohol bertingkat (70%, 80%, 90%, 96%, dan absolut), litium karbonat, parafin, perangkat pewarnaan Hematoksilin Eosin (HE), perangkat pewarnaan Masson’s Trichrome (MT), serta perangkat pewarnaan imunohistokimia Desmin, Vimentin, Glial Fibrillary Acidic Protein (GFAP), dan Proliferating Cell Nuclear Antigen (PCNA). Alat yang digunakan adalah pinset anatomis, gunting lurus, skalpel, botol plastik, keranjang jaringan, cetakan parafin, inkubator, mikrotom, mikroskop cahaya, foto mikroskop, kertas label, alat tulis, dan spidol. 3.3. Metode Penelitian Singa dari Taman Margasatwa Ragunan dieutanasi dan dinekropsi, kemudian temuan PA dicatat. Sampel jaringan dari massa tumor pada ruang abdominal dan beberapa organ (paru-paru, hati, ginjal, limpa, dan pankreas) diambil untuk dilakukan pemeriksaan histopatologi. Sampel organ disimpan dalam botol plastik dan direndam dengan larutan BNF 10% serta diberi label S92/12. Setelah itu dibuat preparat histopatologi, sampel ditanam dalam blok parafin kemudian diwarnai dengan beberapa pewarnaan, yaitu pewarnaan HE, MT, dan imunohistokimia menggunakan antibodi anti Desmin, Vimentin, GFAP, dan PCNA. Setelah dilakukan pemeriksaan histopatologi dengan pewarnaan HE terhadap sampel jaringan dari massa tumor pada ruang abdominal singa, dilakukan pula pemeriksaan histopatologi dengan pewarnaan khusus dan pewarnaan imunohistokimia. Pewarnaan khusus yang digunakan yakni pewarnaan Masson’s Trichrome. Selain pewarnaan khusus, pada jaringan tumor tersebut juga
13
dilakukan pewarnaan imunohistokimia untuk membantu diagnosa. Metode pewarnaan imunohistokimia yang digunakan adalah metode kompleks avidin biotin peroksidase dengan antibodi anti Desmin, Vimentin, Glial Fibrillary Acidic Protein (GFAP), dan Proliferaring Cell Nuclear Antigen (PCNA). Kromogen yang berekspresi pada pewarnaan imunohistokimia adalah 3,3-diamino benzidine (DAB) yang menghasilkan warna cokelat. Hasil pengamatan HP disajikan secara deskriptif dan kemudian diambil simpulan.
BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Gambaran Pemeriksaan Patologi Anatomi Anamnesa hewan yang diamati pada studi kasus ini yakni singa mengalami gangren kronis pada kaki belakang sebelah kanan. Menurut Vegad (2007) gangren adalah invasi dan pembusukan jaringan nekrotik oleh bakteri saprofit. Salah satu lokasi sering terjadinya gangren adalah daerah ekstremitas seperti kaki. Menurut Pangayoman dan Yuwono (2003) gangren pada ekstremitas pada manusia biasanya disebabkan oleh penyakit diabetes, suatu penyakit sumbatan pada buluh darah seperti trombosis baik arteri maupun vena. Infeksi oleh bakteri juga merupakan salah satu penyebab gangren. Gambaran patologi anatomi singa disajikan dalam Tabel 3. Tabel 3 Gambaran patologi anatomi Organ
Gambaran patologi anatomi
Ruang abdominal
massa tumor berukuran 14.5 x 9.8 x 6.5 cm, berwarna putih pucat dalam ruang abdominal dengan konsistensi kenyal
Paru-paru
nodul berjumlah ± 10 (multinodular) berwarna putih, dengan garis tengah nodul terbesar ± 1.5 cm
Hati
Hati berwarna belang mulai merah gelap hingga merah terang Di lobus sinistra hati ditemukan multinodular berwarna putih, dengan garis tengah nodul terbesar ± 1.5 cm
Ginjal
Tidak ditemukan perubahan spesifik
Limpa
Tidak ditemukan perubahan spesifik
Pankreas
Tidak ditemukan perubahan spesifik
Pada saat nekropsi ditemukan massa tumor dengan ukuran 14.5 x 9.8 x 6.5 cm di dalam ruang abdominal. Massa tumor tersebut berwarna putih, memiliki konsistensi kenyal, berkapsul, dan tidak menginvasi jaringan sekitarnya. Berdasarkan pengamatan patologi anatomi ini, sifat massa tumor yang tidak menginvasi jaringan sekitarnya serta berkapsul diduga tumor bersifat jinak. Hasil pemeriksaan patologi anatomi organ lain ditemukan bahwa pada paruparu terdapat nodul berjumlah ± 10 (multinodular) berwarna putih dengan garis tengah nodul terbesar ± 1.5 cm. Pengamatan patologi anatomi pada hati menunjukkan bahwa hati berwarna belang, merah gelap dan merah terang. Di lobus sinistra hati juga ditemukan multinodular berwarna putih dengan garis
15
tengah nodul terbesar berukuran ± 1.5 cm. Pada pengamatan patologi anatomi pada organ ginjal, limpa, dan pankreas tidak ditemukan perubahan spesifik. 4.2. Gambaran Histopatologi dengan Pewarnaan Hematoksilin Eosin Terhadap Sel Tumor Gambaran histopatologi massa tumor menunjukkan bahwa sel-sel yang menyusun massa tumor tersebut berbentuk gelendong (spindle-shaped cells). Inti sel-sel tersebut berbentuk seperti cerutu (cigar-shaped nuclei) dengan ujung tumpul. Sitoplasma sel bersifat eosinofilik, serta dapat diamati perbatasan seluler (Gambar 2A). Ada beberapa jenis tumor yang berasal dari sel berbentuk gelendong yakni leiomioma (tumor jinak yang berasal dari otot polos), leiomiosarkoma (tumor ganas yang berasal dari otot polos), fibroma (tumor jinak yang berasal dari jaringan ikat fibroblast), fibrosarkoma (tumor ganas yang berasal dari jaringan ikat fibroblast), schwannoma (tumor jinak yang berasal dari sel Schwann) dan malignant schwannoma (tumor ganas yang berasal dari sel Schwann), rhabdomioma (tumor jinak yang berasal dari sel otot skelet), serta rhabdomiosarkoma (tumor ganas yang berasal dari sel otot skelet). Menurut Emer et al. (2011), pada pemeriksaan mikroskopis, serabut otot polos terdiri atas sitoplasma eosinofilik dengan inti memanjang berujung tumpul dengan sedikit atau tidak ada gelombang. Inti sel berbentuk seperti cerutu atau belut. Sel tumor otot polos diselingi dengan jaringan ikat kolagen. Morfologi dari sel-sel yang membentuk massa tumor pada ruang abdominal singa pada kasus ini mirip dengan kasus leiomioma pada jantung anjing yang dilaporkan oleh Gallay et al. (2010) yang dapat diamati pada Gambar 3A. Pada Gambar 3A dapat diamati bahwa dengan pewarnaan HE sel tumor leiomioma berbentuk gelendong dengan nukleus yang memanjang dengan ujung tumpul. Berkas tumor dipisahkan dengan kolagen.
16
A
B
* C
Gambar 2
A
D
Morfologi sel tumor. (A) Morfologi sel tumor berbentuk gelondong, inti sel berbentuk seperti cerutu dengan ujung tumpul (tanda panah). Pewarnaan HE. (B) Di antara sel-sel tumor ditemukan serabut kolagen berwarna biru kehijauan (tanda bintang) dengan pewarnaan Masson’s Trichrome. (C) Sel tumor yang diwarnai dengan pewarnaan imunohistokimia Desmin menunjukkan hasil positif dicirikan dengan warna cokelat pada sitoplasma sel (tanda panah). (D) Sel tumor yang diwarnai dengan pewarnaan imunohistokimia Proliferating Cell Nuclear Antigen (PCNA) menunjukkan hasil negatif inti tetap berwarna biru. Bar = 40 µm.
B
Gambar 3 Leiomioma pada jantung anjing (Gallay et al. 2010). (A) Sel tumor berbentuk gelondong dengan nukleus yang memanjang dengan ujung tumpul (tanda panah). Berkas tumor dipisahkan dengan kolagen (tanda bintang). Pewarnaan HE. Bar = 25 µm. (B) menunjukkan bahwa sel tumor tersusun di tengah berkas serabut kolagen yang terwarnai biru dengan pewarnaan Masson’s Trichrome. Bar = 125 µm.
17
4.3. Gambaran Histopatologi dengan Pewarnaan Khusus dan Pewarnaan Imunohistokimia Hasil pemeriksaan HP dengan pewarnaan khusus dan imunohistokimia dicantumkan dalam Tabel 4. Tabel 4
Hasil pengamatan HP dengan pewarnaan khusus dan pewarnaan imunohistokimia. Pewarnaan MT D V GFAP PCNA
Sel tumor +++ -
Kolagen + -
Keteragan: MT: Masson’s Trichrome; D. Desmin; V. Vimentin; GFAP. Glial Fibrillary Acidic Protein; PCNA. Proliferating Cell Nuclear Antigen. (-) tidak imunoreaktif; (+) sedikit terwarnai; (++) pewarnaan sedang; (+++) pewarnaan kuat.
4.3.1. Pewarnaan Khusus Masson’s Trichrome Gambaran jaringan tumor yang diwarnai dengan pewarnaan khusus Masson’s Trichrome dapat diamati pada Gambar 2B. Pada pewarnaan Masson’s Trichrome, sel otot terwarnai merah dan serabut kolagen akan terwarnai biru kehijauan. Pada massa tumor tersebut dapat ditemukan jaringan ikat kolagen diantara sel-sel tumor tersebut (Gambar 2B). Ini sesuai dengan pendapat Emer et al. (2011) bahwa pewarnaan khusus dapat digunakan untuk membedakan otot polos dari jaringan ikat kolagen karena keduanya akan terlihat merah muda hingga merah dengan pewarnaan HE, akan tetapi dengan pewarnaan Masson’s Trichrome, otot polos akan berwarna merah dan jaringan ikat kolagen akan berwarna biru kehijauan. Gambar 3B dapat digunakan sebagai pembanding dari literatur. Pada Gambar 3 dapat diamati bahwa dengan pewarnaan MT, diantara sel-sel tumor leiomioma akan ditemukan jaringan ikat kolagen berwarna biru (Gallay et al. 2010). Menurut Cooper dan Valentine (2002) pewarnaan Masson’s Trichrome digunakan untuk membedakan antara tumor fibroma dengan leiomioma secara lebih jelas. Pada kasus ini, hasil yang didapat dari pewarnaan Masson’s Trichrome yang menunjukkan bahwa ditemukan jaringan ikat kolagen berwarna biru kehijauan. Jaringan ikat kolagen tersebut bukan berasal dari sel-sel tumor
18
melainkan berada diantara sel-sel tumor akibat fibrosis. Oleh sebab itu, tumor tersebut diidentifikasi sebagai leiomioma, bukan fibroma. 4.3.2. Pewarnaan Imunohistokimia Desmin Beberapa sel tumor melepaskan substansi yang tidak terdapat pada sel normal. Substansi ini dinamakan sebagai marker tumor atau marker biologi (Fizell 2001). Marker tumor ini digunakan untuk melakukan identifikasi asal dari tumor. Marker tumor ini dapat berupa filamen intermediet dari protein struktural sitoplasma. Filamen intermediet tidak dapat diamati dengan pewarnaan HE, tetapi dapat diamati dengan pewarnaan imunohistokimia (Cooper & Valentine 2002). Contoh filamen intermediet adalah Vimentin dan Desmin (Cooper & Valentine 2002). Desmin adalah filamen intermediet yang diekpresikan oleh sel otot polos, otot lurik, dan otot jantung (Liu dan Mikaelian 2003), sedangkan Vimentin merupakan filamen intermediet dari sebagian besar sel mesenkim. Vimentin sering digunakan untuk pewarnaan imunohistokimia karena sebagian besar sel mesenkim mengandung vimentin (Cooper & Valentine 2002). Hasil pemeriksaan histopatologi dengan pewarnaan imunohistokimia Desmin pada kasus ini menunjukkan hasil positif. Hasil positif pewarnaan Desmin dicirikan dengan sitoplasma sel yang berwarna cokelat. Hal ini menunjukkan bahwa sel-sel tumor tersebut imunoreaktif terhadap antibodi anti Desmin. Menurut Cooper dan Valentine (2002), antibodi anti Desmin bereaksi pada sel otot baik otot polos, otot jantung, maupun otot lurik, oleh sebab itu Desmin digunakan untuk mengidentifikasi apakah sel-sel pada massa tumor tersebut berasal dari sel otot. Sel-sel tumor tersebut imunoreaktif terhadap pewarnaan imunohistokimia Desmin. Menurut Liu dan Mikaelian (2003) sel tumor yang imunoreaktif terhadap Desmin menunjukkan bahwa sel tumor tersebut berasal dari sel-sel otot. Sel tumor tersebut berbentuk gelondong dengan inti seperti cerutu yang menyerupai sel otot polos. Dengan pewarnaan HE, sel-sel tersebut teramati sebagai suatu sel yang memiliki inti di tengah (sitoplasma) dan tidak memiliki garis melintang serta menunjukkan gambaran jalinan fasikula (interlacing fascicle). Menurut Cooper dan Valentine (2002) gambaran jalinan fasikula merupakan gambaran normal dari otot polos. Tumor pada ruang abdominal singa ini didiagnosa tumor berasal dari
19
otot polos. Tumor yang berasal dari otot polos disebut leiomioma sehingga singa tersebut didiagnosa mengalami leiomioma. Leiomioma merupakan tumor jinak mesenkimal yang berasal dari sel otot polos dari lapis muskularis yang bersifat involunter. Menurut Montali et al. (1997) leiomioma pada hewan sering terjadi pada saluran genitalia. Tumor ini sering terjadi pada hewan domestik terutama pada anjing (Sontas et al. 2010; Schaudien et al. 2007). Spesies hewan domestik lainnya yang pernah dilaporkan mengalami leiomioma adalah kucing (Cooper et al. 2006), kambing (Uzal & Puschner 2008), domba (Corpa & Martinez 2010), babi (Munday & Stedman 2002), sapi (Sendag et al. 2008), kuda (Bailey et al. 2003), dan ayam (Manarolla et al. 2011). Leiomioma juga pernah dilaporkan pada satwa liar seperti gajah, badak, unta, macan tutul, singa, harimau, panda, serigala, opposum, marmut (Montali et al. 1997), spesies primata (Videan et al. 2011), anjing laut (Bäcklin et al. 2003), serta paus (Mikaelian et al. 2000). Selain Desmin, terdapat pewarnaan imunohistokimia lain yang akan berekspresi pada sel-sel otot seperti Muscle-Spesific Actin dan Alpha (α) Smooth Muscle Actin, tetapi kedua pewarnaan ini tidak digunakan pada studi ini. MuscleSpesific Actin adalah protein globular yang diekspresikan oleh otot polos, otot lurik, dan otot jantung.
Alpha (α) Smooth Muscle Actin adalah protein
sitoskeleton yang diekspresikan oleh otot polos dan sel mioepitel (Bailey et al. 2003). Cooper dan Valentine menyebutkan bahwa antibodi anti α Smooth Muscle Actin merupakan marker spesifik yang rutin digunakan dalam diagnosa tumor pada hewan untuk mengidentifikasi tumor asal otot polos dari tumor lain yang berasal dari otot skelet dan otot jantung. Sitoskeleton tersusun atas protein filamen termasuk aktin dan mikrotubulus. Secara normal filamen aktin menekan molekul organik ekstraseluler yang berikatan antar sel. Mikrotubul mengontrol bentuk sel, pergerakan sel, dan pembagian sel. Pada sel kanker, fungsi dari komponen tersebut berubah. Selain itu, jumlah komponen sitoplasma berkurang, dan bentuknya abnormal. Kerja sel berkurang karena terjadi pengurangan jumlah retikulum endoplasma dan mitokondrianya (Fizell 2001).
20
4.3.3. Pewarnaan Imunohistokimia Vimentin Vimentin diekspresikan oleh tumor yang berasal dari sel mesenkim. Bila digunakan untuk tumor yang diduga berasal dari otot polos, Vimentin dianggap sebagai penanda nonspesifik yang biasa disajikan dalam tumor yang kurang terdiferensiasi dan biasanya berhubungan dengan ekspresi marker lainnya (Cooper & Valentine 2002). Hasil positif pewarnaan Vimentin dicirikan dengan sitoplasma sel yang berwarna cokelat. Pada kasus ini sel-sel tumor tersebut menunjukkan hasil negatif atau tidak imunoreaktif terhadap pewarnaan imunohistokimia Vimentin. Hal ini menunjukkan bahwa sel tumor tersebut bukan sel yang berasal dari sel mesenkim. 4.3.4. Pewarnaan Imunohistokimia Glial Fibrillary Acidic Protein (GFAP) Glial Fibrillary Acidic Protein (GFAP) merupakan salah satu marker tumor untuk mendiagnosa tumor yang berasal dari selubung saraf seperti sel Schwann atau astrosit (Koestner & Higgins 2002). Hasil positif pewarnaan GFAP dicirikan dengan sitoplasma sel yang berwarna cokelat. Namun, pada kasus ini sel-sel tumor yang menyusun massa tumor tidak imunoreaktif terhadap pewarnaan imunohistokimia GFAP. Hal ini menunjukkan bahwa massa tumor pada ruang abdominal tersebut bukan berasal dari sel-sel selubung saraf. 4.3.5. Pewarnaan Imunohistokimia Proliferating Cell Nuclear Antigen (PCNA) Proliferating Cell Nuclear Antigen (PCNA) merupakan salah satu pewarnaan imunohistokimia untuk mengidentifikasi proliferasi sel (Cooper & Valentine 2002). Berbeda dengan pewarnaan imunohistokimia lainnya, pada PCNA yang terwarnai bukanlah sitoplasma sel tetapi inti sel. Hasil positif pewarnaan GFAP dicirikan dengan inti sel yang berwarna cokelat. Inti sel yang sedang berproliferasi
akan menunjukkan hasil positif
pada pewarnaan
imunohistokimia PCNA. Hasil pewarnaan PCNA pada sampel jaringan tumor menunjukkan hasil negatif (Gambar 2D). Hal ini menunjukkan bahwa sel-sel tumor sedang tidak melakukan proliferasi sel. Hasil yang ditunjukkan pada pewarnaan PCNA juga berbanding lurus dengan pengamatan terhadap indeks mitotik sel tumor. Pada kasus ini ditemukan bahwa indeks mitotik sel tumor bernilai kurang dari 3 dengan
21
perbesaran objektif 40x. Menurut Handharyani et al. (1999) indeks mitotik kurang dari 3 pada perbesaran objektif 40x menunjukkan bahwa tumor adalah tumor jinak. Pada tumor jinak diketahui bahwa proliferasi sel rendah. 4.4. Gambaran Histopatologi dengan Pewarnaan Hematoksilin Eosin Terhadap Beberapa Sampel Organ Gambaran histopatologi beberapa sampel organ disajikan pada tabel 5. Organ tersebut berupa paru-paru, hati, ginjal, limpa, dan pankreas. Tabel 5 Gambaran histopatologi beberapa organ dengan pewarnaan Hematoksilin Eosin Sampel jaringan Paru-paru
Hati
Ginjal
Limpa
Pankreas
Gambaran histopatologi Interstisium mengalami penebalan Di daerah interstisium terdapat infiltrasi sel radang makrofag dan limfosit Epitel bronchiolus tersier mengalami proliferasi/hiperplasia sel goblet yang ditandai dengan banyaknya sel berbentuk gelembung/bulat Pada lumen bronchiolus ditemukan eritrosit dan eksudat yang menunjukkan adanya kongesti dan peradangan akut Ditemukan pula endapan amiloid di daerah interstisium (amiloidosis) Pada nodul dengan garis tengah 1.5 cm, jumlah alveol berkurang dan ukuran alveol mengecil Di daerah interstisial ditemukan sel epitel kubus sebaris dengan inti bulat (bentuk kelenjar) dalam jumlah besar yang diduga merupakan tumor adenokarsinoma karena sel-sel ini menunjukkan ketidakseragaman Pada paru-paru dapat ditemukan kongesti dan hemoragi Terdapat akumulasi pigmen karbon (antrakosis) pada paru-paru Ruang sinusoid hati mengalami pelebaran Pada ruang sinusoid hati terjadi kongesti yang dicirikan adanya akumulasi darah dalam ruang sinusoid hati Pada ruang sinusoid hati ditemukan endapan protein amiloid (amiloidosis) Pada beberapa area ditemukan sarang radang dengan infiltrasi sel radang limfosit, makrofag, dan sel plasma. Sebagian glomerulus mengalami atrofi dan kongesti. Kongesti dicirikan dengan adanya darah pada glomerulus. Terjadi degenerasi epitel tubulus Di dalam lumen tubulus ditemukan endapan protein Di daerah peritubular ditemukan edema Terdapat infiltrasi sel radang limfosit dalam jumlah sedikit Terjadi pembentukan jaringan ikat Terdapat hemoragi dan endapan protein Ditemukan sel radang makrofag dan limfosit. Terjadi deplesi pulpa putih. Terdapat akumulasi lemak di antara sel-sel asinar dan pengurangan jumlah pulau Langerhans Ditemukan pula endapan protein Terjadi kongesti dicirikan dengan ditemukan adanya eritrosit
22
4.4.1. Gambaran Histopatologi Paru-Paru Gambaran histopatologi paru-paru menunjukkan bahwa masih dapat ditemukan alveol, akan tetapi terjadi emfisema pulmonum. Menurut Rao (2010) emfisema adalah udara berlebih pada alveol paru-paru yang mengakibatkan terjadinya pelebaran alveol. Emfisema terjadi karena rupturnya dinding alveol sehingga ruang alveolar saling bergabung dan membesar (Gambar 4A). Emfisema pulmonum pada hewan umumnya bersifat sekunder karena selalu terjadi setelah adanya gangguan aliran udara. Berdasarkan daerah paru-paru yang terpengaruh, emfisema diklasifikasikan menjadi emfisema alveolar dan emfisema interstitial. Emfisema alveolar dicirikan dengan distensi dan rupturnya dinding alveolar, sehingga membentuk gelembung udara dengan berbagai ukuran di parenkim paru-paru. Emfisema interstitialis terjadi saat akumulasi udara menembus dinding alveolar dan dinding bronkhioli kemudian masuk ke jaringan ikat interlobular, sehingga menyebabkan distensi dari septa interlobular (McGavin dan Zachary 2001; Rao 2010). Ditemukannya dinding alveolar yang ruptur dan membesar pada jaringan paru-paru singa secara mikroskopik menunjukkan adanya emfisema alveolar. Pada hewan, emfisema umumnya terjadi sebagai lesio sekunder akibat terhambatnya aliran udara atau sebagai lesio pada saat hewan mati. Emfisema akibat kerusakan pulmonal umumnya terjadi pada hewan yang menderita bronkopneumonia. Adanya eksudat pada bronkopenumonia menyumbat bronkus dan bronkiolus sehingga menyebabkan ketidakseimbangan antara udara yang masuk dan keluar dari paru-paru (McGavin dan Zachary 2001). Gambaran histopatologi dengan pewarnaan HE terhadap organ paru-paru juga menunjukkan bahwa daerah interstisium paru-paru mengalami penebalan, serta terdapat infiltrasi sel radang makrofag dan limfosit pada interstisium. Adanya infiltrasi sel radang makrofag dan limfosit dapat menunjukkan bahwa paru-paru mengalami peradangan pada interstisium atau pneumonia interstisialis. Menurut Vegad (2007) pneumonia interstisialis atau dikenal juga pneumonia lobaris adalah peradangan pada paru-paru yang dicirikan dengan penebalan septa alveol karena adanya eksudat fibrinus/sereus, dan adanya infiltrasi sel radang neutrofil atau sel radang mononuklear dan fibroblast.
23
Menurut McGavin dan Zachary (2001) kongesti yang berjalan lama juga dapat menyebabkan penebalan jaringan interstitial sehingga menimbulkan fibrosis interstitial ringan. Kongesti paru seringkali disebabkan oleh kegagalan jantung, dan bila berjalan lama akan berlanjut menjadi edema pulmonum yang terlihat dengan adanya endapan protein dalam alveolar. Epitel bronkus dan bronchiolus mengalami hiperplasia sel goblet yang ditandai dengan banyaknya sel berbentuk gelembung/bulat. Sel goblet mensekresikan eksudat mukus. Menurut Beasley et al. (2009) hiperplasia sel goblet merupakan respon dari peradangan pada bronkus (bronkitis). Pada lumen bronchiolus ditemukan eritrosit dan eksudat yang menunjukkan adanya hemoragi dan peradangan akut. Pada paru-paru juga ditemukan endapan protein amiloid di daerah interstisium. A
B
Gambar 4 Gambar histopatologi paru-paru. (A) Alveol mengalami pelebaran (emfisema) (E), terjadi penebalan lapis interstisium (I) dan akumulasi pigmen karbon (anthracosis) (An). Pewarnaan HE. Bar = 100 µm. (B) menunjukkan bahwa pada interstisial ditemukan sel epitel kubus sebaris dengan inti bulat (bentuk kelenjar) dalam jumlah besar yang diduga merupakan tumor adenokarsinoma karena sel-sel ini menunjukkan ketidakseragaman (Ad). Pewarnaan HE. Bar = 40 µm.
Pada paru-paru terdapat nodul yang memiliki garis tengah ± 1.5 cm berjumlah banyak (multinodular). Setelah dilakukan pengamatan histopatologi terhadap nodul tersebut ditemukan bahwa terjadi perubahan bentuk alveol serta terjadi pengurangan jumlah alveol. Jumlah alveol yang berkurang ini diduga disebabkan karena alveol terdesak oleh multinodular tersebut. Interstisial paruparu ditemukan sel epitel kubus sebaris dengan inti bulat (bentuk kelenjar) dalam jumlah besar yang diduga merupakan tumor adenokarsinoma karena sel-sel ini menunjukkan ketidakseragaman (Gambar 4B).
24
Menurut Price dan Wilson (2006) adenokarsinoma merupakan tumor yang memperlihatkan susunan selular seperti kelenjar bronkus dan dapat mengandung mukus. Kebanyakan jenis tumor ini timbul di bagian perifer segmen bronkus dan kadang-kadang dikaitkan dengan jaringan parut lokal pada paru dan fibrosis interstisial kronis (Price & Wilson 2006). Kemp et al. (2008) juga mengatakan bahwa lokasi adenokarsinoma adalah di perifer atau dekat dengan permukaan pleura. Lesi adenokarsinoma seringkali meluas ke pembuluh darah dan limfe di stadium dini, dan seringkali bermetastasis jauh sebelum lesi primer menyebabkan gejala (Price & Wilson 2006). Etiologi adenokarsinoma belum diketahui (Price & Wilson 2006) akan tetapi polusi udara adalah salah satu faktor yang penting. Kejadian adenokarsinoma juga berkaitan dengan aktivitas merokok (Kemp et al. 2008). Pada kasus ini kemungkinan singa terpapar polusi udara atau menjadi perokok pasif. Telah dilaporkan juga oleh Palmarini dan Fan (2001) bahwa retrovirus dapat menginduksi terjadinya adenokarsinoma pada paru-paru seekor domba. Pada jaringan interstitium paru ditemukan pigmen karbon,
yang
menunjukkan singa menderita antrakosis. Antrakosis merupakan akumulasi pigmen karbon yang masuk ke paru-paru melalui jalur inhalasi. Umumnya hewan yang menderita antrakosis hidup di lingkungan yang berpolusi. Secara mikroskopik, pigmen karbon terlihat sebagai bercak-bercak berwarna hitam yang ditemukan di dinding alveolar atau fokus hitam pada peribronkial (McGavin dan Zachary 2001). 4.4.2. Gambaran Histopatologi Hati Gambaran histopatologi jaringan hati singa menunjukkan bahwa sinusoid hati tampak meluas dan dipenuhi endapan protein yang berwarna merah dengan pewarnaan HE (Gambar 5A). Endapan protein ini adalah akumulasi amiloid pada hati atau sering disebut dengan amiloidosis. Menurut Kumar et al. (2005) endapan protein amiloid dapat bersifat sekunder akibat peradangan yang kronis. Selain itu, ditemukan pula banyaknya eritosit memenuhi sinusoid yang menandakan hati mengalami kongesti pasif (Gambar 5B). Kongesti pada sinusoid mengakibatkan sel hepatosit tertekan sehingga atrofi, yang tampak sebagai bentuk hepatosit yang tidak beraturan (Cheville 2006).
25
A
B
Gambar 5 Gambar histopatologi hati. (A) Sinusoid hati singa tersebut tampak meluas dan dipenuhi endapan protein amiloid (amiloidosis) yang berwarna merah (A). Pewarnaan HE. (B) Ditemukan banyaknya eritosit memenuhi sinusoid yang menandakan hati mengalami kongesti pasif (K). Terjadi hemoragi dicirikan dengan eritrosit yang difagosit oleh sel Kuppfer yang berwarna kuning (hemosiderofag) (H). Ditemukan juga sarang radang (SRd) pada hati yang menunjukkan hati mengalami hepatitis. Pewarnaan HE. Bar = 40µm.
Kongesti pada sinusoid mengakibatkan sel hepatosit tertekan sehingga atrofi, yang tampak sebagai bentuk hepatosit yang tidak beraturan. Degenerasi hidropis pada hepatosit ditandai dengan adanya kekeruhan pada sitoplasma, sedangkan degenerasi lemak ditandai dengan adanya rongga yang kecil dan jernih. Pada kedua jenis degenerasi tersebut dapat diamati inti masih terlihat baik. Degenerasi lemak hati terjadi akibat kondisi hipoksemia sehingga sel kekurangan oksigen. Proses degenerasi lemak terjadi akibat terhambatnya kerja enzim pada retikulum endoplasmik yang berfungsi sebagai katalisator oksidasi asam lemak sehingga mendukung sintesis dan akumulasi trigliserida. Pada hipoksemia hati, daerah yang lebih dulu terpengaruh dan mengalami degenerasi lemak adalah zona sentrilobular yaitu zona yang terdekat dengan vena sentralis (Cheville 2006). Degenerasi hidropis hepatosit dapat disebabkan oleh hipoksia, berbagai toksin, tumor, dan akumulasi pigmen empedu. Sel hepatosit yang mengalami degenerasi hidropis tampak membesar dengan sitoplasma yang berongga dan inti sel yang terdorong ke tepi (Jubb et al. 2007). Mekanisme terjadinya degenerasi hidropis umumnya melibatkan kerusakan pada membran sel, kegagalan sel untuk menghasilkan energi, atau gangguan enzim yang mengatur pompa ion NatriumKalium pada membran sel. Hipoksia pada sel mengakibatkan berkurangnya produksi energi atau Adenosin Trifosfat (ATP) sehingga homeostatis sel terganggu. Pada keadaan ini, sodium dan air masuk ke dalam sel akibat kerusakan
26
pompa ion pada membran sel dan menyebabkan tekanan osmotik meningkat sehingga sel membesar. Sisterna dari retikulum endoplasmik membesar, ruptur, kemudian membentuk vakuola-vakuola yang akhirnya sel mengalami degenerasi hidropis (McGavin dan Zachary 2001). Nekrosa hepatosit dicirikan oleh sitoplasma hepatosit yang berwarna lebih gelap dan inti sel yang piknosis hingga lisis. Menurut McGavin dan Zachary (2001), nekrosa hepatosit dicirikan dengan sitoplasma yang membesar, organel sel hancur, serta robeknya membran plasma. Nekrosis pada sel hepatosit biasanya diikuti dengan reaksi fibrosis jika peradangan bersifat kronis. Respon hati lainnya terhadap peradangan adalah regenerasi dan hiperplasia buluh empedu. Nekrosa hepatosit yang terjadi pada jaringan hati singa ini membentuk nekrosa pola sentrilobular. Menurut Jubb et al. (2007), degenerasi maupun nekrosa hati dapat membentuk pola nekrosis periasinar atau sentrilobular, midzonal, periportal, parasentral, maupun nekrosa yang difus. Pada pola nekrosis sentrilobular, sebagian besar nekrosis terjadi pada hepatosit yang berada di zona sentrilobular yaitu zona yang mengelilingi vena sentralis. Zona sentrilobular merupakan daerah yang terjauh dari arteri maupun vena portal, sehingga merupakan zona terakhir yang mendapatkan oksigen dan nutrisi sehingga hepatosit rentan terhadap hipoksia. Nekrosa sentrilobular umumnya disebabkan oleh gangguan jantung yang menyebabkan kongesti pasif. Kongesti terlihat dari adanya akumulasi eritrosit baik pada vena sentralis, venula maupun sinusoid. Kongesti pasif yang berlangsung lama menyebabkan hepatosit mengalami degenerasi lemak dan sinusoid meluas berisi eritrosit yang dikenal dengan hati biji pala (Carlton et al. 2001). 4.4.3. Gambaran Histopatologi Ginjal Gambaran histopatologi pada jaringan ginjal singa menunjukkan adanya perubahan baik pada parenkim maupun interstitium. Selain itu, ditemukan pula beberapa glomerulus yang mengalami degenerasi dan nekrosis (Gambar 6A), yang terlihat dari inti kapiler yang piknotis. Di banyak lapang pandang ditemukan tubulus yang mengalami degenerasi hidropis hingga nekrosis (Gambar 6B). Nekrosis tubulus ditunjukkan dengan epitel sitoplasma yang berwarna eosinofilik dan inti yang piknosis. Pada tubulus yang mengalami nekrosis, terlihat epitel
27
tubulus terlepas dari membran basal. Pada daerah interstisium tubulus ginjal juga ditemukan infiltrasi sel radang, pembetukan jaringan ikat fibrosis, serta endapan protein amiloid (Gambar 6B). Infiltrasi sel radang ini menunjukkan terjadinya proses peradangan. Selain itu, ditemukan pula kongesti pada glomerulus (Gambar 6A) dan edema peritubular (Gambar 6B). Kongesti dan edema menunjukkan terjadinya proses peradangan.
A
B
Gambar 6 Gambar histopatologi ginjal. (A) Terdapat glomerulus yang mengalami atrofi (At) serta kongesti yang dicirikan dengan akumulasi darah pada glomerulus. Pewarnaan HE. (B) menunjukkan terdapat edema peritubular (Ed), serta endapan protein (P). Tubulus ginjal mengalami degenerasi (D). Pewarnaan HE. Bar = 40 µm.
Degenerasi hidropis pada epitel tubulus ginjal merupakan bentuk lanjut dari pembengkakan sel secara akut akibat cairan yang masuk ke dalam sitoplasma (Cheville 2006). Perubahan lain pada tubulus singa adalah adanya endapan protein
di
lumennya, namun hanya ditemukan pada beberapa tubulus saja.
Endapan protein menunjukkan adanya gangguan reabsorpsi protein oleh tubulus. Kerusakan epitel tubulus dapat berasal dari infeksi yang terbawa sirkulasi darah, infeksi ascending, toksin, dan iskemia (McGavin dan Zachary 2001). 4.4.4. Gambaran Histopatologi Limpa Limpa merupakan salah satu organ pertahanan tubuh hewan (Rao 2010). Gambaran histopatologi organ limpa menunjukkan adanya deplesi pada pulpa putih, yang terlihat dari renggangnya daerah pulpa putih sehingga terbentuk ruang-ruang kosong. Bagian pulpa merah terlihat mengalami kongesti yang ditandai dengan akumulasi eritrosit serta ditemukan infiltrasi sel radang limfosit, makrofag, dan neutrofil. Hal ini menandakan limpa mengalami peradangan atau splenitis. Akumulasi makrofag dan limfosit menunjukkan limpa mengalami
28
peradangan kronis. Akumulasi eritrosit pada pulpa merah menunjukkan adanya kongesti kronis di limpa yang dapat terjadi akibat gangguan sirkulasi. Deplesi pulpa putih pada limpa singa menunjukkan kondisi imunosupresi yaitu terjadinya pengurangan pembentukan sel-sel pertahanan (Jubb et al. 2007). Menurut McGavin dan Zachary (2001) peradangan pada limpa atau splenitis dapat terjadi akibat kondisi septikemia atau bakteriemia dimana bakteri yang masuk ke pulpa merah limpa akan difagosit oleh makrofag. Selain itu, pada organ limpa juga ditemukan endapan protein amiloid. Menurut Rao (2010) endapan protein amiloid pada limpa sebagai bagian dari amiloidosis sistemik. 4.4.5. Gambaran Histopatologi Pankreas Gambaran histopatologi organ pankreas menunjukkan adanya infiltrasi jaringan lemak dan endapan protein amiloid pada pankreas. Infiltrasi jaringan lemak di antara kelenjar eksokrin dan endokrin pada pankreas (pancreatic steatosis/pancreatic lipidosis) menyebabkan nekrosa sel-sel asinar. Menurut Kumar et al. (2007) infiltrasi jaringan lemak pada pankreas dapat terjadi karena toksin serta metaboliknya berefek pada sel asinar sehingga terjadi akumulasi lipid, hilangnya sel asinar, dan seringkali terjadi fibrosis pada parenkim pankreas.
Gambar 7
Gambar histopatologi limpa (kiri) dan pankreas (kanan). Pulpa putih limpa mengalami deplesi pulpa putih. Gambaran HP pankreas singa menunjukkan adanya akumulasi lemak (L) pada pankreas. Pewarnaan HE. Bar = 100 µm.
Singa mengalami amiloidosis sistemik, yakni terdapat endapan protein amiloid yang terlihat sebagai massa homogenous yang berwarna glossy pink ditemukan pada paru-paru, hati, ginjal, limpa dan pankreas. Amiloidosis sistemik sering terjadi pada individu berusia tua. Amiloidosis pada individu tua disebut sebagai senile systemic amyloidosis (Kumar et al. 2005).
BAB 5. SIMPULAN DAN SARAN 5.1. Simpulan 1
Berdasarkan pengamatan patologi anatomi dan histopatologi terhadap massa tumor di ruang abdominal seekor singa dari Taman Margasatwa Ragunan yang berjenis kelamin betina, berumur tua, hewan tersebut didiagnosa mengalami leiomioma. Leiomioma pada singa ini tergolong dalam tumor jinak, secara histopatologi sel tumor berbentuk gelendong, inti sel tumor berbentuk seperti cerutu dengan ujung tumpul.
2
Pada organ paru-paru singa ditemukan massa multinodular yang didiagnosa sebagai adenokarsinoma.
3
Perubahan pada organ lain adalah pnemumonia interstisialis, hepatitis dan amiloidosis hati, degenerasi ginjal, serta atrofi limpa. Secara umum singa mengalami kondisi imunosupresi.
5.2. Saran Untuk lebih meyakinkan bahwa tumor berasal dari sel otot dapat dilakukan pemeriksaan
histopatologi
lebih
lanjut
dengan
dilakukan
pewarnaan
imunohistokimia dengan antibodi anti Muscle-Actin Spesific dan α Smooth Muscle Actin (α SMA).
DAFTAR PUSTAKA Bäcklin BM, Eriksson L, Olovsson M. 2003. Histology of uterine leiomyoma and occurrence in relation to reproductive activity in the Baltic gray seal (Halichoerus grypus). Vet Pathol 40:175-180. Bailey KL, Kinsel MJ, Connell KA. 2003. Multiple cutaneous leiomyosarcomas in the perineum of a horse. J Vet Diagn Invest 15: 454-456. Bauer H, Iongh HHD, Princée FPG, Ngantou D. 2003. Research needs for lion conservation in West and Central Africa. CR Biologies 326:S112-S118. Bauer H, Merwe SVD. 2004. Inventory of free-ranging lions Panthera leo in Africa. Oryx 38:26-31. Bauer H, Iongh H. 2005. Lion (Panthera leo) home ranges and livestock conflicts in Waza National Park, Cameroon. Afr J Ecol 43:208-214. Bauer H, Vanherle N, Silvestre ID, Iongh HHD. 2006. Lion-prey relation in West and Central Africa. Mamm Bio 73:70-73. Bauer H, Nowell K, Packer C. 2008. Panthera leo. In: IUCN 2012. IUCN Red List of Threatened Species. Version 2012.1. [terhubung berkala] www.iucnredlist.org [26 Jun 2012]. Beasley MB, Travis WD, Rubin E. 2009. The respiratory system. Di Dalam: Rubin E, Reisner HM, editor. Essentials of Rubin’s Pathology. Ed ke-5. Lippincott Williams & Wilkins. Bollo E, Scaglione FE, Tursi M, Schröder C, Degiorgi G, Belluso E, Capella S, Bellis D. 2011. Malignant pleural mesothelioma in a female lion (Panthera leo). Res Vet Sci 91:116-118. Carlton WM, McGavin MD, Zachary J. 2001. Thomson’s Special Veterinary Pathology. Ed ke-4. New York: Mosby. Cheville NF. 2006. Introduction to Veterinary Pathology. Ed ke-3. Blackwell Publishing. Cooper BJ, Valentine BA. 2002. Tumors of muscle. Di Dalam: Meuten DJ, editor. Tumors in Domestic Animals. Ed ke-4. Iowa: Blackwell Publishing. Cooper TK, Ronnett BM, Ruben DS, Zink MC. 2006. Uterine myxoid leiomyosarcoma with widespread metastasis in a cat. Vet Pathol 43:552-556. Corpa JM, Martinez CM. 2010. Uterine leiomyoma in a sheep. Reprod Dom Anim 45:746-748.
31
Cullen JM, Page R, Misdorp W. 2002. An overview of cancer pathogenesis, diagnosis, and management. Dalam: Tumor in Domestic Animals. Ed ke-4. Iowa: Blackwell Publishing Company. De Castro MB, Barbeitas MM, Borges TJ, Bonorino RP, Ramos RR, Szabó MPJ. 2011. Fibromatous epulis in a captive lion (Panthera leo). Braz J Vet Pathol 4:150-152. Emer J, Solomon S, Mercer S. 2011. Reed’s syndrome a case of multiple cutaneous and uterine leiomyomas. J Clin Aesth Derm 4:37-43. Feldhamer GA, Vessey SH, Drickamer LC. 1999. Mammology: Adaptation, Diversity, and Ecology. USA: McGraw-Hill. Fizell JP. 2001. Handbook of Pathophysiology. Springhouse Corp. Gallay J, Bélanger MC, Hélie P, Côté E, Johnson TO, Peters ME. 2010. Cardia leiomyoma associated with advaned atrioventricular block in a young dog. J Vet Cardiol 13:71-77. Grzimek B. 1970. Grzimek’s Animal Life Encyclopedia Vol. 12: Mammals III. New York: Van Nonstrand Reinhold. Handharyani E, Ochiai K, Kadosawa T, Kimura T, Umemura T. 1999. Canine hemangiopericytoma: an evaluation of metastatic potential. J Vet Diagn Invest 11:474-478. Harrison TM, McKnight CA, Sikarskie JG, Kitchell BE, Garner MM, Raymond JT, Fitzgerald SD, Valli VE, Agnew D, Kiupel M. 2010. Malignant lymphoma in African lion (Panthera leo). Vet Pathol 47:952-927. Hayward MW, Kerley GIH. 2005. Prey preferences of the lion (Panthera leo). J Zool Lond 267:309-322. [IUCN] International Union for the Conservation of Nature and Natural Resources. 2006. Conservation strategy for the lion in west and central Africa. IUCN. [terhubung berkala] www.felidae.org [13 Jul 2012]. Jubb KVF, Kennedy PC, Palmer N. 2007. Pathology of Domestic Animals. Ed ke-5. California: Academic Press. Kemp WL, Burns DK Brown TG. 2008. The Big Picture Pathology. The McGraw-Hill Companies, Inc. Koestner A, Higgins RJ. 2002. Tumors of the nervous system. Dalam: Tumor in Domestic Animals. Ed ke-4. Meuten DJ, editor. Iowa: Blackwell Publishing Company. hlm 697-738. Kumar V, Abbas AK, Fausto N. 2005. Robbins and Cotran Pathologic Basis of Disease. Ed ke-7. Elsivier Inc.
32
Kumar, Abbas AK, Fausto N, Mitchell R. 2007. Robbins Basic Pathology. Ed ke8. Saunders & Elsivier. Lion’s Press Agency. 2012. Male lions show power and strength. [terhubung berkala] http://lionkingdom.nl/lf032e.htm [9 Okt 2012]. Liu S, Mikaelian I. 2003. Cutaneous smooth muscle tumors in the dog and cat. Vet Pathol 6:685-692. MacFarlane PS, Reid R, Callander R. 2000. Pathology Illustrated. Ed ke-5. Harcourt: Churchill Livingstone. Manarolla G, Caserio S, Sironi G, Rampin T. 2011. Morphological and immunohistochemical observations on leiomyoma of the ventral ligament of the oviduct of the hen. J Comp Path 114:180-186. 2008. African lion exhibit [terhubung Mazur B. www.southwickzoo.com/africanlion.php [12 Sep 2012].
berkala]
McGavin MD, Zachary JF. 2001. Pathologic Basis of Veterinary Disease. Ed ke4. Missouri: Mosby Inc. Mikaelian I, Labelle P, Dore M, Martineau D. 2000. Fibroleiomyomas of the tubular genital in female belunga whales. J Vet Diagn Invest 12:371-374. Montali RJ, Hildebrandt Th, Göritz F, Hermes R, Ippen R, Ramsay E. 1997.Verh ber Erkrg Zootiere 38:253-258. Morris J, Dobson J. 2001. Small Animal Oncology. Blackwell Science Ltd. Munday JS, Stedman NL. 2002. Uterine leiomyomas in two Vietnamese potbellied pigs (Sus scrofa). Vet Pathol 39:580-583. Nielsen AB, Jansen CL, Leifson PS, Jensen HE. 2007. Immunoreactivity of bovine schwannomas. J Comp Path 137:224-230. Nowak RM. 2005. Walker’s Mammals of the World. Baltimore: John Hopkins University Pr. Nowell K, Bauer H. 2004. Panthera leo IUCN Red List of threatened species. [terhubung berkala] www.iucnredlist.org [06 September 2012]. hlm 186. Nowell K, Jackson P. 1996. Wild cats status survey and conservation action plan.Gland: IUCN. Nzalak JO, Eki MM, Sulaiman MH, Umosen AD, Salami SO, Maidawa SM, Ibe CS. 2010. Gross anatomical studies of the bone of thoracic limbs of the lion (Panthera leo). J Vet Anat 3:65-71.
33
Palmarini M, Fan H. 2001. Retrovirus-induced ovine pulmonary adenocarcinoma, an animal model for lung cancer. J Natl Cancer Inst 90:1603-1614. Pangayoman R, Yuwono HS. 2003. Gangren kaki yang disebabkan oleh trombosis vena dalam pada seorang wanita setengah baya. Majalah Kedokteran Bandung 35:1. Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 Tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Price SA, Wilson LM. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Ed-ke-6. Volume ke-1,2. Pendit BU, Hartanto H, Wulansari P, Mahanani DA, penerjemah; Hartanto H, Susi N, Wulansari P, Mahanani DA, editor; Jakarta: EGC. Terjemahan dari: Pathophysiology : Clinical Concepts of Disease Processes. Priosoeryanto BP, Huminto H, Wibawan IWT, Tiuria R, Tateyama S. 2002. Morphologial characteristics of in vitro cultured cells derived from tumor in domestic animals. Hayati 9:49-54. Romansik EM, Reilly CM, Kass PH, Moore PF, and London CA. 2007. Mitotic indekx is predictive for survival for canine cutaneous mast cell tumor. Vet Pathol 44:335-341. Rao DG. 2010. A Textbook on Systemic Pathology of Domestic Animals. IBCD Publishers. Ruddon RW. 2007. Cancer Biology. Ed ke-4. New York: Oxford University Pr. hlm: 4. Schaudien D, Müller JMV, Baumgärtner W. 2007. Omental leiomyoma in a male adult horse. Vet Pathol 44:722-726. Sendag S, Cetin Y, Alan M, Ilhan F, Eski F, Wehrend A. 2010. Cervical leiomyoma in a dairy cow during pregnancy. Ani Repro Sci 103:355-359. Smuts GL. 1982. Lion Johannesburg. Macmillian South Africa Publishers Pty Ltd. hlm 231. Sontas BH, Ozyogurtcu H, Turna O, Arun S, Ekici H. 2010. Uterine leiomyoma in a spayed Poodle bitch: acase report. Reprod Dom Anim 45:550-554. Stolte M, Welle M. 1995. Cutaneous mast cell tumors in a lion (Panthera leo): a light and transmission electrin microscopical study. J Comp Path 113:291294. Suindra. 2005. Efektivitas ekstrak kloroform biji blustru (Luffa cylindrica) terhadap aktivitas penghambatan sel lestari tumor MCM-B2 dan HeLa secara in vitro [skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
34
Tjarta A. 2002. Neoplasia. Dalam: Priggoutomo S, Himawan S, Tjarta A, editor. Buku ajar Patologi Umum. Ed ke-1. Jakarta: Sagung Seto. hlm 171-238. Uzal FA, Puschner B. 2008. Cervical leiomyoma in an aged goat leading to massive hemorrhage and death.Can Vet J 49:117-179. [UNEP-WCMC] UNEP World Conservation Monitoring Centre. 2012. UNEPWCMC Species Database: CITES-Listed Species. [terhubung berkala] http://www.unep-wcmc-apps.org/isdb/CITES/Taxonomy/tax-species-result.cfm/isdb/CITES/Taxo-nomy/tax-species-result.cfm?display-language= eng&Genus=%25panthe-ra%25&source=animals&Species=leo-&Country =&tabname=status [26 Jun 2012]. Vegad JL. 2007. A Textbook of Veterinary General Pathology. International Book Distributing Co. Videan E, Satterfield, Buchls S, Lammey ML. 2011. Diagnosis and prevalece of uterine leiomyomata in female chimpanzees (Pan trolodytes). Am J Primatol 73:665-670. Withrow SJ, Vail DM. 2007. Withrow and MacEwen’s Small Animal Clinical Oncology. Saunders Elsivier. Yun SH, Jang HS, Ku SK, Park JS, Oh TH, Lee KW, Kwon YS, Jang KH. 2011. Desmoplastic fibroblastoma (collagenous fibroma) in an African lion. Pak Vet J 31: 1-4. Zen AI. 2012. Studi kasus: Kajian histopatologi pada seekor singa Afrika (Panthera leo) yang menderita pyometra [skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
LAMPIRAN Lampiran 1 Pembuatan Preparat Histopatologi Sampel organ yang telah difiksasi menggunakan BNF 10%
dipotong
dengan ketebalan lebih kurang 3 mm dan dimasukkan ke dalam keranjang jaringan. Organ kemudian didehidrasi menggunakan alkohol bertingkat (70%, 80%, 90%, dan tiga kali dalam alkohol absolut). Dehidrasi bertujuan untuk mengeluarkan air dari jaringan agar jaringan bisa diisi oleh parafin. Pengisian parafin ke jaringan bertujuan agar jaringan dapat dipotong tipis. Penjernihan merupakan tahapan setelah dehidrasi. Proses ini bertujuan untuk mengeluarkan dehidran/zat penarik air dari jaringan dan menggantikannya dengan zat kimia yang dapat bercampur dengan dehidran maupun parafin. Xilol merupakan larutan yang dipakai pada proses penjernihan. Selanjutnya dilakukan pembenaman. Pembenaman bertujuan untuk pengeluaran cairan pembening dari jaringan dan menggantikannya dengan parafin. Pembenaman dilakukan menggunakan parafin cair panas suhu 56-59 °C. Proses pembenaman diiringi dengan pembuatan blok. Pembuatan blok dilakukan menggunakan kotak besi yang diisi jaringan dan parafin panas sampai menutupi permukaan atas jaringan. Blok diberi label pada bagian atas jaringan. Blok-blok parafin yang telah mengeras kemudian dipotong tipis setebal ± 35 µm dengan menggunakan mikrotom. Mikrotom yang digunakan adalah mikrotom putar. Pisau diletakkan pada mikrotom dengan sudut yang disesuaikan. Blok parafin yang akan dipotong direkatkan pada tempat blok pada mikrotom. Jarak preparat ke arah pisau diatur sedekat mungkin. Mikrotom diputar secara ritmis sehingga blok preparat menyentuh pisau dan memotong blok parafin dengan sempurna. Pita-pita parafin awal yang tidak berisi jaringan dibuang. Jika pada parafin telah terdapat organ maka pemotongan dilakukan dengan hati-hati. Pita parafin yang mengandung jaringan diambil dengan hati-hati menggunankan pinset. Pita tersebut letakkan pada penangas air yang berisi air dengan suhu 55 °C. Pita parafin dibiarkan sampai terkembang sempuna. Pita parafin kemudian diletakkan pada kaca objek secara hati-hati. Kaca objek diberi label dan letakkan di dalam inkubator bersuhu 57.1 °C dan biarkan sampai dua jam.
36
Lampiran 2 Pewarnaan Hematoksilin Eosin (HE) 1. Preparat di deparafinisasi mengunakan 3 larutan xilol masing-masing 1 menit. 2. Preparat dihidrasi menggunakan alkohol 100% selama 1 menit, alkohol 96% selama 2 menit, dan akohol 70% selama 2 menit. 3. Pewarnaan dilanjutkan dengan melewatkan preparat pada air kran selama 30 detik. 4. Preparat dimasukkan ke dalam larutan Hematoksilin Mayer selama 1 menit. 5. Preparat dicuci dengan air kran mengalir selama 30 detik. 6. Preparat dicelupkan kedalam larutan litium karbonat sebanyak tiga celupan dan dicuci dengan air kran selama 30 detik. 7. Preparat dimasukkan ke dalam larutan Eosin 30 detik. 8. Preparat didehidrasi dalam alkohol bertingkat mulai dari alkohol 70%, alkohol 80%, dan dan 96% masing-masing 10 celupan, selanjutnya dimasukkan ke dalam alkohol absolut 15 celupan. 9. Preparat dimasukkan dalam empat larutan xilol masing-masing 1 menit, dibiarkan mengering, dioleskan entellan pada permukaan jaringan dan ditutup dengan gelas penutup.
37
Lampiran 3 Pewarnaan Masson’s Trichrome 1. Preparat dideparafinisasi kemudian dibilas dengan aquades. 2. Preparat direndam dalam larutan Mordant selama 30-40 menit lalu dibilas dengan aquades. 3. Preparat direndam ke dalam larutan Carrazi’s Hematoksilin selama 40 menit lalu dibilas dengan aquades. 4. Preparat dicelupkan secara berurutan ke dalam 0.75% Orange G selama 1-2 menit, asam asetat 1% selama beberapa saat selama dua kali, Ponceau Xylidine Fuchsin selama 15 menit, asam asetat 1% selama beberapa saat selama dua kali. 5. Preparat direndam dalam 2.5% asam fosfotungstat selama 10 menit. 6. Preparat dicelupkan ke dalam larutan asam asetat 1% selama beberapa saat selama dua kali. 7. Preparat direndam dalam larutan Anilin Blue selama 15 menit. 8. Preparat dicelupkan ke dalam larutan asam asetat 1% selama beberapa saat selama dua kali. 9. Preparat direndam ke dalam larutan alkohol 95% selama 5 menit. 10. Preparat didehidrasi dan dijernihkan menggunakan xilol, serta dilanjutkan dengan mounting. Hasil dari pewarnaan Masson’s Trichrome yakni inti sel berwarna biru tua, otot dan elastin berwarna merah, fibrin dan kalsium berwarna ungu, hyalin berwarna biru muda, jaringan ikat kolagen dan mukus berwarna biru kehijauan.
38
Lampiran 4 Pewarnaan Imunohistokimia 1. Deparafinisasi, hidrasi, dan dicuci dalam aquades mengalir. 2. Dicuci dengan larutan phosphate buffer saline (PBS) sebanyak 3x masingmasing 5-10 menit. 3. Dilakukan proses blocking dengan 0.3% H2O2 selama 30 menit. 4. Dicuci dengan PBS sebanyak 3x masing-masing 5-10 menit. 5. Preinkubasi dalam normal serum rabbit. 6. Inkubasi dengan antibodi anti Desmin/Vimentin/Glial Fibrillary Acidic Protein (GFAP)/Proliferating Cell Nuclear Antigen (PCNA) selama 30 menit 7. Dicuci dengan PBS sebanyak 3x masing-masing 5-10 menit. 8. Inkubasi dengan antibodi sekunder selama 10 menit 9. Dicuci dengan PBS sebanyak 3x masing-masing 5-10 menit. 10. Diberikan larutan peroksidase streptavidin selama 5 menit 11. Dicuci dengan PBS sebanyak 3x masing-masing 30 menit. 12. Diberikan pereaksi 3,3-diamino benzidine (DAB). 13. Dicuci dengan PBS sebanyak 3x masing-masing selama 5-10 menit. 14. Dicuci dengan akuades sebanyak 3x selama masing-masing 5-menit. 15. Setelah itu dicelupkan ke dalam larutan Hematoxylin counterstain. 16. Dicuci dengan air mengalir selama 20 menit. 17. Didehidrasi dan di-mounting.