BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Menurut Grzimek (1987) dan Samedi (2004) biawak ekor biru (Varanus doreanus) mempunyai klasifikasi sebagai berikut : Kingdom
: Animalia
Filum
: Chordata
Kelas
: Reptilia
Subkelas
: Diapsida
Ordo
: Squamata
Subordo
: Lacertilia
Famili
: Varanidae
Genus
: Varanus
Sub Genus
: Euprepiosaurus
Spesies
: Varanus doreanus (AB Meyer 1874).
Gambar 1. Biawak ekor biru (Varanus doreanus) (Sprackland 1995).
Biawak ekor biru (Varanus doreanus) berasal dari Papua dan kepulauan sekitarnya. Biawak ini memiliki kekerabatan yang erat dengan Varanus indicus dan Varanus jobiensis. Nama ilmiah awal untuk Varanus doreanus adalah Varanus indicus kalabeck lalu diubah menjadi Varanus indicus complex sebelum akhirnya ditetapkan menjadi Varanus doreanus (Anonim 2007).
2.2 Morfologi Karakteristik dari biawak ekor biru (Varanus doreanus) adalah warna tubuh biru keabu-abuan. Kulit leher, bagian belakang dan bagian atas tungkai dipenuhi oleh pola (marking) bulatan totol-totol berwarna putih. Bentuk sisik leher bundar-oval dengan permukaan yang halus. Bagian leher berwarna putih dengan pola garis-garis dan warna lidah kuning (Sprackland 1995). Lubang hidungnya lebih dekat ke bagian ujung mulut. Bentuk ekor memipih di bagian ujung, dan memiliki bagian semacam sirip kecil di atas ekor. Warna dominan pada ekor adalah biru dengan garis-garis hitam. Warna biru tersebut akan sedikit memudar pada saat mencapai dewasa. Menurut Anonim (2007) panjang total
tubuh biawak ekor biru dapat mencapai 135 cm. Usia harapan seekor biawak ekor biru (Varanus doreanus) adalah 10-15 tahun. Menurut Shine et al. (1998), untuk menganalisis pola dari sexual dimorphism (perbedaan jenis kelamin yang terlihat) dapat dilihat dari ukuran dan bentuk tubuh biawak. Perbedaan jantan dan betina ditunjukkan dengan perbedaan yang signifikan pada bentuk tubuh secara keseluruhan, seperti panjang ekor jantan lebih panjang dibandingkan dengan betina dan bobot badan biawak jantan berbeda dengan biawak betina. Biawak ekor biru memiliki ciri morfologi yang hampir mirip dengan Varanus indicus dan Varanus jobiensis (Anonim 2007). Berdasarkan keterangan tersebut, maka diketahui ada perbedaan ciri pada biawak ekor biru jantan dan betina serta pada jenis biawak lain yang mempunyai hubungan kekerabatan. Berikut (Tabel 1 dan Gambar 2, 3 dan 4) keterangan singkat yang menerangkan mengenai ciri morfologi dari Varanus doreanus dengan Varanus indicus dan Varanus jobiensis. Tabel 1. Hubungan kekerabatan antara Varanus doreanus dengan Varanus indicus dan Varanus jobiensis No. 1.
Keterangan Nama latin dan Inggris
Varanus doreanus Varanus doreanus (AB Meyer 1874) dan Blue tailed monitor
Varanus jobiensis Varanus jobiensis (Ahl 1932) dan Peach-throated monitor
Hutan dataran rendah dan tepi sungai
Varanus indicus Varanus indicus (Daudin 1802) dan flower lizard, ambon lizard,Pacific monitor. Euprepiosaurus Sebelah utara Australia dan New Guinea timur ke Kepulauan Solomon, Kepulauan Marshall, Kepulauan Caroline dan Kepulauan Mariana Hutan bakau dan hutan hujan
2. 3.
Sub genus Penyebaran
Euprepiosaurus Pulau Salawati, Biak,Warmar, kepulauan Aru, New Guinea, sebelah utara Queensland,Australia dan Irian Jaya
4.
Habitat
5.
Morfologi
Warna tubuh biru keabu-abuan. Kulit leher, bagian belakang dan bagian atas tungkai dipenuhi oleh pola (marking) bulatan totoltotol berwarna putih. Bentuk sisik leher
Warna tubuh berwarna gelap dengan bintik-bintik kuning kecil, panjang total berkisar antara 75-120 cm. Wajah halus dan mengkilap, panjang ekor hampir
Warna pada tenggorokan putihkuning kemerahmerahan. Warnatersebut lebih mencolok dibandingkan warna tubuh lainnya.
Euprepiosaurus New Guinea.
Hutan bakau, hutan, rawa-rawa, dan hutan hujan.
Tabel 1 (lanjutan)
6.
Makanan (pakan)
7.
Status perlindungan
bundar-oval dengan permukaan yang halus. Bagian leher berwarna putih dengan pola garisgaris. Panjang total dapat mencapai 135 cm. Usia harapan adalah 1015 tahun.
dua kali panjang tubuhnya. Iris mata berwarna coklat gelap dengan lingkaran seperti cincin emas. Mulutnya berwarna merah dan dapat membuka lebar untuk menarik mangsa atau menakut-nakuti predator seperti komodo.
Panjangnya mencapai 120 cm. ukuran leher yang lebih kecil dibandingkan Varanus indicus, lidah berwarna merah cerah dengan ujung jari berwarna hitam mengkilap, bentuk kepala sempit.
Tikus, kepiting sungai, serangga (jangkrik, belalang), ulat jerman, ulat bambu, telur, dan reptil/kadal ukuran kecil (cicak). Appendix II CITES
Mamalia kecil, serangga, kepiting, telur burung, burung, dan kadal lain.
Serangga, katak, ikan air tawar dan mamalia kecil.
Appendix II CITES
Appendix II CITES
Sumber : Sprackland (1995) ; Bennett. D (1995).
Gambar 2. Varanus doreanus (Sprackland 1995).
Gambar 3. Varanus jobiensis (Van der Weg. MA 1995).
Gambar 4. Varanus indicus (Bennett. D 1995).
2.3 Habitat dan Penyebaran Biawak ekor biru (Varanus doreanus) hidup di hutan dataran rendah dan tepi sungai. Saat dewasa dapat ditemukan di daratan akan tetapi biawak ekor biru muda biasanya dapat hidup di atas pohon. Biawak ekor biru dewasa memiliki sifat yang mudah tertekan dan gugup serta memerlukan waktu untuk beradaptasi dengan lingkungan kandang. Oleh karena itu, untuk memudahkan biawak dalam beradaptasi di penangkaran disarankan untuk menyediakan tempat persembunyian di dalam kandang agar biawak merasa aman dan nyaman karena dapat bersembunyi. Hal tersebut akan memudahkan biawak untuk beradaptasi di dalam penangkaran (Anonim 2007). Penyebaran reptil dipengaruhi oleh cahaya matahari yang dapat mencapai daerah tersebut (Halliday dan Adler 2000). Daerah penyebaran biawak ekor biru (Varanus doreanus) adalah Irian Jaya (Samedi 2004). Jenis ini juga terdistribusi di Pulau Salawati, Biak, Warmar, kepulauan Aru, New Guinea, sebelah utara Queensland dan Australia (Dryden et al. 2004; Ziegler et al. 1999b, 2001, 2007). Pada
umumnya
untuk
melakukan
aktivitas,
semua
jenis
reptil
membutuhkan suhu tubuh antara 20oC-40oC. Namun untuk biawak ekor biru diketahui dapat hidup pada suhu 27ºC-31ºC, suhu berjemur biawak ekor biru pada 33Cº-35ºC, dan suhu terdingin yang dapat diterima oleh biawak ekor biru (Varanus doreanus) adalah 20ºC-22ºC dengan tingkat kelembaban 70%-90% (Anonim 2007).
2.4 Reproduksi Reptil berkembang biak dengan cara ovipar (bertelur) dan ovovivipar (bertelur dan beranak) (Goin dan Goin 1971). Proses pembuahan telur oleh sel sperma reptil terjadi secara internal. Tidak banyak yang tahu mengenai perilaku reproduksi biawak. Perilaku biawak jantan saat ingin kawin adalah dengan mengejar betina, mendekati pasangannya dan sesekali melakukan gerakan zigzag pada kepalanya kemudian menungganginya. Biawak jantan akan menyentuh leher betina dengan lidahnya dan menghentak leher betina serta memegang punggung betina dengan kaki belakangnya. Kadang-kadang biawak jantan menggigit leher betina bahkan terkadang melukai kulit betina. Proses perkawinan biawak
terkadang bisa menyebabkan biawak betina mati akibat terluka terkena cakaran dan gigitan biawak jantan. Tanda awal dari proses kawin adalah biawak jantan mulai memeriksa tubuh betina seperti bagian kepala, leher dan lubang kelamin dengan menggunakan lidah dan kakinya. Proses perkawinan terjadi hanya beberapa detik atau lebih dan akan berlanjut beberapa jam sehari selama seminggu atau lebih (Bennett 1998). Reptil betina menyimpan telurnya yang bercangkang pada lubang atau serasah (Halliday dan Adler 2000). Biawak betina bertelur di sebuah lubang dan menguburnya dengan pasir serta daun-daun bila terkena sinar matahari dapat berfungsi sebagai alat inkubasi. Seekor biawak juga dapat bertelur di sebuah gundukan sarang rayap (Hoeve 1992).
2.5 Aktivitas Harian Menurut Suratmo (1979) dalam Purba (2008), perilaku satwa merupakan ekspresi satwa terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi baik faktor internal maupun faktor eksternal. Perilaku merupakan gerak-gerik satwa yang dilakukan sebagai respon dari tubuhnya terhadap rangsangan dari lingkungannya. Fungsi perilaku adalah untuk menyesuaikan diri terhadap beberapa perubahan yang dipengaruhi oleh faktor luar dan faktor dalam (Alikodra 2002). Aktivitas biawak secara umum ditentukan berdasarkan temperatur, suhu, kelembaban dan cahaya. Aktivitas biawak dimulai saat cahaya matahari mulai muncul dan berakhir saat matahari terbenam sehingga biawak termasuk satwa diurnal (Bennett 1998). Biawak bukan termasuk jenis satwa sosial. Biawak sering ditemukan di pinggir sungai dan termasuk satwa yang soliter. Biawak hanya akan berkumpul pada saat musim kawin (Bennett 1998). Di alam wilayah teritori sering terjadi overlap dan biawak juga akan merasakan tanda-tanda kedatangan biawak lain melalui penciumannya. Perkelahian antara biawak sering terjadi khususnya pada biawak jantan. Perkelahian terjadi apabila terjadi perebutan wilayah teritori atau perebutan makanan. Biawak yang lebih besar dan kuat akan mengalahkan biawak lain dengan mencengkram tubuh biawak menggunakan keempat kaki dan cakarnya. Biawak juga menggunakan giginya untuk menggigit lawannya hingga terluka (Bennett 1998).
Perilaku alami yang biasa dilakukan biawak adalah berjemur. Biawak anakan dan remaja lebih banyak menghabiskan waktu di atas pohon (arboreal) sedangkan biawak dewasa lebih banyak beraktivitas di darat (terestrial). Menurut Mochtar (1992) dalam Purba (2008) aktivitas memanjat pada komodo merupakan salah satu usaha untuk melindungi diri. Karena sifat komodo adalah kanibal dan berlaku juga terhadap biawak terbukti biawak dewasa dapat memangsa telur biawak itu sendiri dan bahkan biawak yang terlihat lemah saat kekurangan pakan.
2.6 Pemanfaatan Hasil Saat ini permintaan reptil untuk dikonsumsi terus meningkat. Selama tahun 1992-1999 menurut daftar IRATA dan Management Authority (Departemen Kehutanan Indonesia) terdapat 17 eksportir daging reptil di Indonesia (Soehartono & Mardiastuti 2003). Beberapa masyarakat pun percaya bahwa jenis reptil dapat dimanfaatkan sebagai obat. Daging, darah dan empedu reptil dipercaya dapat mengobati penyakit kulit. Sebagian besar biawak di habitat alaminya banyak diburu oleh manusia. Daging dan telurnya dikonsumsi oleh masyarakat, dan hewan tersebut sering digunakan untuk memproduksi berbagai obat dan jimat. Lemak dan minyak dari sepasang organ yang gemuk digunakan oleh ahli pengobatan Cina (Grzimek 1987). Bahkan, biawak pun dimanfaatkan sebagai hewan peliharaan bagi para penggemar reptil. Ada beberapa perusahaan di Indonesia yang mengekspor jenis satwa dari berbagai daerah ke negara lain untuk dijadikan sebagai hewan peliharaan. Pemerintah juga telah menetapkan kuota dari perdagangan satwa yang diekspor. Menurut Peraturan Pemerintah No.7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa, kegiatan pengiriman atau pengangkutan tumbuhan dan satwa dari jenis yang dilindungi dari dan ke suatu tempat di wilayah Republik Indonesia atau dari dan keluar wilayah Republik Indonesia dilakukan atas dasar ijin menteri. Biawak ekor biru (Varanus doreanus) adalah salah satu jenis biawak yang diekspor guna dijadikan sebagai hewan peliharaan. Menurut Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (2009) mengenai Penetapan Rencana Produksi Reptil Hidup Hasil Penangkaran Tahap Pertama (Periode Januari - Juni), biawak ekor biru (Varanus doreanus) yang berstatus tidak
dilindungi dan termasuk Apendix II CITES diproduksi sebanyak 81 ekor. Namun dari 21 perusahaan yang memproduksi reptil hidup, PT Mega Citrindo pada periode tersebut belum memproduksi biawak ekor biru (Varanus doreanus). Hal ini diasumsikan bahwa PT Mega Citrindo belum dapat memproduksi biawak ekor biru (Varanus doreanus). Perusahaan ini masih mengupayakan usaha penangkaran pada biawak ekor biru (Varanus doreanus). Menurut Pernetta (2009), jumlah total biawak ekor biru (Varanus doreanus) yang diekspor oleh 8 negara dari 82 negara pada tahun 1975-2005 berdasarkan data CITES adalah 3.907 ekor dengan persentase dalam perdagangan globalnya adalah 0,2899%. Tingginya permintaan pasar pada berbagai jenis biawak menunjukkan semakin dibutuhkannya kegiatan penangkaran agar pemanfaatan yang dilakukan tetap mempertahankan prinsip kelestarian.
2.7 Penangkaran Menurut Thohari (1987), penangkaran adalah suatu kegiatan yang dilakukan untuk mengembangbiakan jenis-jenis satwaliar dan tumbuhan alam, yang bertujuan untuk memperbanyak populasinya dengan tetap mempertahankan kemurnian jenisnya, sehingga kelestarian dan keberadaannya di alam dapat dipertahankan. Sedangkan menurut Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwaliar, penangkaran adalah upaya perbanyakan melalui pengembangbiakan dan pembesaran tumbuhan dan satwa liar dengan tetap mempertahankan kemurnian jenisnya. Undang-undang No. 5 Tahun 1990 mengenai Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya juga menerangkan bahwa salah satu bentuk pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwaliar dapat dilakukan melalui kegiatan penangkaran. Kegiatan
penangkaran
meliputi
pengumpulan
bibit,
pembiakan,
perkawinan, penetasan telur, pembesaran anak dan restoking. Menurut Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1999, penangkaran untuk tujuan pemanfaatan jenis dilakukan melalui kegiatan : 1. Pengembangbiakan satwa atau perbanyakan tumbuhan secara buatan dalam lingkungan yang terkontrol; dan 2. Penetasan telur dan atau pembesaran anakan yang diambil dari alam.
2.8 Aspek Teknis Penangkaran Dalam penangkaran terdapat beberapa teknologi yang membantu dalam proses pengembangbiakan satwa maupun pemeliharaannya. Teknologi yang dibutuhkan mencakup berbagai tahapan dalam usaha penangkaran yang meliputi tahapan pengumpulan satwa yang dijadikan sebagai bibit, tahap pengangkutan satwa dari lapangan, tahap pemeliharaan dan tahap restoking (Thohari 1987). Teknologi penangkaran satwa juga perlu mendapat perhatian yang serius karena mengingat ada satwa-satwa tertentu yang bersifat sangat sensitif terhadap aktivitas yang tidak pernah di alami sebelumnya sehingga hal tersebut dapat menimbulkan stres bahkan kematian. Suatu penangkaran satwaliar dapat dinilai berhasil apabila teknologi reproduksi dari satwa tersebut telah dikuasai, artinya usaha penangkaran tersebut telah berhasil mengembangbiakkan satwa yang ditangkarkan (Thohari 1987). Aspek-aspek teknis penangkaran meliputi : 2.8.1 Bentuk dan Sistem Penangkaran Bentuk dan sistem penangkaran terdiri dari intensif (campur tangan manusia untuk semua kebutuhan), semi intensif (sebagian kebutuhan memerlukan campur tangan manusia), dan ekstensif. Bentuk dan sistem penangkaran yang akan menjadi obyek penelitian ini adalah penangkaran exsitu dengan sistem penangkaran
intensif.
Penangkaran
exsitu
adalah
penangkaran
yang
dikembangkan di luar habitat alaminya atau di lingkungan sekitar manusia (Masy’ud 2003). Menurut Masy’ud (2001) dalam Hapsari (2003), sistem penangkaran intensif memiliki ciri-ciri sebagai berikut : a. Dibuatkan kandang khusus. b. Kebutuhan makanan satwa diberikan dan disediakan secara penuh oleh pengelola. c. Sistem perkawinan satwa diatur, baik dengan cara kawin alami maupun buatan atau menggunakan teknologi reproduksi lainnya. d. Perawatan kesehatan dan pengendalian penyakit dilakukan secara teratur dan kontinyu.
2.8.2 Pengadaan Bibit dan Teknik Imobilisasi Menurut PP No. 8 tahun 1999, bibit untuk keperluan penangkaran dapat diambil dari alam atau sumber-sumber lain yang sah, seperti penangkaran lain atau lembaga konservasi. Dalam pengadaannya perlu diketahui sumber bibit dan jumlah individu satwa serta sex rationya. Kualitas bibit satwa yang ada di penangkaran perlu mendapat perhatian, khususnya dalam hal variasi genetiknya. Semakin tinggi variasi genetik dari bibit yang digunakan maka semakin tinggi kualitasnya sebagai induk (Thohari 1987), sehingga penangkaran tersebut dapat menghasilkan jenis keturunan yang bervariasi dengan tetap menjaga kemurnian jenisnya. Pada tahap pengangkutan satwa, prosesnya harus dilakukan secara diamdiam dan hati-hati untuk menghindari satwa menjadi stres dan rasa tidak nyaman. 2.8.3 Adaptasi, Habituasi, dan Aklimatisasi Perlakuan adaptasi, habituasi dan aklimatisasi perlu menggunakan treatmen tertentu di dalam kandang. Hal ini dilakukan agar satwa dapat menyesuaikan diri terhadap lingkungan yang baru. Menurut Hardjanto et al. (1991), apabila satwa mudah beradaptasi harus tetap memerlukan perhatian dan penanganan / latihan yang baik dan teratur untuk mencegah kemungkinan seperti : stress,
penyakit
bahkan
mengoptimalkan
manfaat
hingga yang
kematian diperoleh.
sehingga Cara
yang
diupayakan
dapat
dilakukan
untuk
mempermudah penanganan individu yang baru ditangkap adalah menempatkan satwa dalam kandang yang gelap dan relatif tidak luas. Tempat penangkaran yang akan digunakan harus disesuaikan dengan kondisi habitat aslinya, sehingga adaptasi satwa di tempat baru tidak memerlukan waktu yang lama. 2.8.4 Sistem Pengandangan Kandang, kontruksi kandang maupun fasilitas kandang harus disesuaikan dengan jenis satwa yang akan ditangkarkan. Kandang merupakan tempat hidup satwa dengan ukuran tertentu yang ukurannya terbatas dan diberi pagar atau dinding, baik tertutup seluruhnya maupun hanya sebagian (Masy’ud 2003). Selain sebagai tempat hidup atau tempat peliharaan satwa, kandang juga memiliki fungsi untuk : a. Menyediakan ruang hidup/ pergerakan bagi satwa yang ditangkarkan.
b. Melindungi satwa dari panas matahari, dingin, angin dan hujan. c. Melindungi satwa dari bahaya atau gangguan luar seperti predator atau pencuri. d. Memudahkan manajemen. Dengan adanya kandang, maka pihak pengelola akan lebih mudah melakukan pengawasan, penangkapan atau pemberian pakan, perawatan kesehatan, reproduksi, dll. Kandang yang ideal adalah kandang yang konstruksi bahannya kuat, kokoh, dan tahan lama. Ukuran kandang ideal untuk biawak ekor biru (Varanus doreanus) dewasa adalah 180 cm x 60 cm x 120 cm, dan untuk anakan adalah 60 cm x 30 cm x 30 cm dapat dikatakan cukup (Anonim 2007). Tempat air harus selalu tersedia di dalam kandang. Tempat air biasanya digunakan biawak untuk berendam dan berenang, terutama ketika masa ganti kulit (sheding). Ukuran tempat air disarankan cukup besar sehingga tubuh biawak dapat masuk seluruhnya ke dalam air. Tempat air dapat berupa conteiner atau bak plastik besar (sejenis tempat plastik tupperware). Untuk media alas kandang, gunakan pasir malang. Pasir malang yang berwarna hitam baik sekali menyimpan kelembaban yang berguna bagi reptil berjenis biawak (Anonim 2007). Selain pasir malang, ada yang menganjurkan pemakaian serat kayu pohon kelapa untuk medium kandang biawak. Kondisi kandang harus dibuat sealami mungkin agar satwa tetap merasa hidup di habitat alaminya. Untuk keamanan, usahakan bahwa kandang biawak harus tertutup tanpa celah dan dapat dikunci. Hal ini dikarenakan biawak terkenal sebagai satwa yang mampu melarikan diri apabila diberikan kesempatan (Bennett 1998). Dalam kandang harus disediakan tempat persembunyian seperti gua persembunyian reptil, batang kayu besar dan batu. Benda-benda tersebut terlebih dahulu harus dicuci dan dikeringkan sebelum digunakan dalam kandang. Hal ini dilakukan untuk mencegah masuknya penyakit dan parasit masuk ke dalam kandang yang akan mengganggu kesehatan biawak (Bennett 1998). 2.8.5 Pakan dan Air Dalam usaha penangkaran atau peternakan, makanan adalah salah satu komponen produksi yang membutuhkan biaya terbesar dengan persentase 60-70% dari seluruh biaya produksi. Oleh karena itu, dalam penyediaan makanan perlu
mendapat perhatian khusus dan penanganan yang baik dan teratur, sehingga kualitas makanan yang diberikan mampu menghasilkan produktivitas optimum dari satwa yang ditangkarkan (Hardjanto et al. 1991). Pakan satwa terdiri dari pakan alami dan buatan namun tetap memperhatikan kandungan nutrisi dan gizinya. Jenis pakan biawak sangat bervariasi di alam seperti kepiting, serangga (jangkrik dan belalang), tikus, anak ayam, telur, ulat bambu dan jenis kadal kecil (Bennett 1995). Makanan utama biawak ekor biru (Varanus doreanus) adalah tikus, kepiting sungai, serangga (jangkrik, belalang), ulat jerman, ulat bambu, telur, dan reptil/kadal ukuran kecil (cicak). Semua hewan bisa menjadi pakan biawak apabila memungkinkan, karena dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan vitamin dan mineral dan mencegah kekurangan nutrisi pada biawak khususnya pada tingkat anakan (Breen 1974). Di penangkaran makanan tambahan berupa bubuk kalsium perlu diberikan namun tidak diperlukan lagi apabila biawak telah memakan makhluk yang hidup. Biawak jarang terlihat minum. Saat minum, biawak memasukkan kepala hingga matanya ke dalam air dan meminum air beberapa tegukan, kadang-kadang mengangkat kepalanya seperti yang dilakukan oleh seekor ayam (Breen 1974). 2.8.6 Penyakit dan Perawatan Kesehatan Upaya pengenalan jenis-jenis pengakit dan pencegahan penyakit sangat perlu dilakukan guna menjaga satwa agar tetap sehat. Biawak sangat rentan terserang penyakit yang bersifat parasit sehingga dapat membahayakan inangnya (Bennett 1998). Penyakit parasit yang sering menyerang biawak yaitu caplak, kutu, dan tungau. Untuk mencegah penyebaran parasit tersebut, biawak yang baru datang harus dikarantina sebelum disatukan dengan biawak lainnya. Menurut Honegger (1975) dalam Hapsari (2004), pengaturan fasilitas karantina yaitu : a. Kandang karantina dijauhkan dari kandang satwa lainnya. b. Petugas karantina hanya bertugas di kandang karantina dan tidak menangani kandang lainnya. c. Satwa ditempatkan dalam kandang karantina secara individu. d. Semua kandang harus dapat didesinfektan atau disterilisasi. e. Periksa feses satwa secara rutin untuk mendeteksi penyakit.
Penyakit
satwa
juga
disebabkan ketidakseimbangan pakan yang
dibutuhkan oleh satwa tersebut. Reptil yang mengalami obesitas memiliki tingkat toleransi yang rendah terhadap peningkatan suhu lingkungan, tingkat infeksi yang tinggi, bahkan menyebabkan kemandulan bagi reptil jantan (Wallach & Hoff 1982 dalam Hapsari 2004). Penyakit karena ketidakseimbangan zat makanan dapat dijelaskan dibawah ini (Tabel 2). Tabel 2. Jenis penyakit akibat ketidakseimbangan zat makanan. No. 1
Zat Makanan Karbohidrat
Penyakit Kelebihan karbohidrat menyebabkan obesitas dan kekurangan dalam jangka panjang dapat menyebabkan hypoglycemic shock.
2
Protein
3
Air
Kelebihan protein disertai dehidrasi mengakibatkan pembengkakan dan nyeri pada persendian. Kekurangan protein dapat menghambat reproduksi dan pembentukan cangkang telur. Kekurangan air yang fatal dapat mengganggu fungsi ginjal.
4
Vitamin A
Kekurangan vitamin A dapat menghambat pertumbuhan, palpebral, edema, dan hyperkeratosis.
5
Vitamin B1
Kekurangan vitamin B1 dapat menurunkan berat badan secara kronis walaupun satwa mendapat cukup pakan.
6
Vitamin C
Kekurangan vitamin C dapat menyebabkan radang pada kulit dan jaringan lendir jika terinfeksi oleh mikroorganisme dapat menyebabkan necrotic stomatits.
7
Vitamin D
Kekurangan vitamin D menyebabkan sendi-sendi pada pertulangan menjadi kurang lentur. Kelebihan vitamin D menyebabkan pengapuran pada sendi-sendi pertulangan termasuk aorta dan pembuluh darah ginjal.
8
Vitamin E
Kekurangan vitamin E menyebabkan dystrophy pada otot.
9
Mineral
Kekurangan mineral sering terjadi pada reptil di penangkaran, hal ini dapat menyebabkan fibrous osteodystrophy.
Sumber : Wallach & Hoff (1982) dalam Hapsari (2004). 2.8.7 Pengembangbiakan atau Reproduksi Pengembangbiakan dilakukan secara alami ataupun buatan dengan tetap memperhatikan perilaku reproduksinya. Keberhasilan penangkaran sangat ditentukan
pula
oleh
keberhasilan
reproduksinya.
Faktor-faktor
yang
mempengaruhi dalam proses pengembangbiakan reptil, yaitu : ruang, suhu,
cahaya,
kelembaban,
pakan,
penentuan
jenis
kelamin,
dan
teknik
perkembangbiakan (Honegger 1975 dalam Hapsari 2004). 2.8.8 Pemanfaatan Hasil Penangkaran Manfaat usaha penangkaran menurut Basuni (1987) adalah bahwa penangkaran tidak hanya untuk mempertahankan populasi di alam akan tetapi juga bertujuan untuk konsumsi dan perdagangan. Dengan demikian penangkaran dapat bertujuan untuk kepentingan ekonomi, sosial budaya, dan ilmu pengetahuan dengan tetap mempertahankan populasi dan kemurnian jenisnya. Masyarakat juga dapat memanfaatkan kegiatan penangkaran sebagai suatu usaha yang dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraannya. Menurut Thohari (1987) penangkaran dapat dijadikan sebagai peluang usaha dalam penyediaan protein hewani atau nabati. Teknologi penanganan panen dan pasca panen sangat penting untuk diperhatikan seperti penentuan umur panen dan jumlah produksinya. 2.8.9 Ketenagakerjaan Tenaga kerja dalam penangkaran sebaiknya memiliki pengetahuan mengenai sapek teknis penangkaran karena manajemen penangkaran yang baik terlihat dari cara kerja sumberdaya manusia di penangkaran tersebut. Berdasarkan PP No. 08 tahun 1999, menyebutkan dalam suatu penangkaran pihak pengelola wajib mempekerjakan dan memiliki tenaga ahli dibidang penangkaran satwa yang bersangkutan. Kegiatan teknis penangkaran yang dapat dilakukan oleh pekerja diantaranya: pembersihan kandang, pemberian pakan, perawatan kesehatan satwa, pengembangbiakan, administrasi dan lain-lain.
2.9 Status Perlindungan Biawak Ekor Biru (Varanus doreanus) termasuk satwa yang tidak dilindungi dan tergolong Apendiks II CITES. Satwa yang termasuk jenis Apendiks II adalah jenis satwa yang pada saat ini tidak termasuk ke dalam kategori satwa yang terancam punah, namun masih memiliki kemungkinan untuk dapat terancam punah bila perdagangan satwanya tidak diatur dengan baik. Perdagangan terhadap satwa Apendiks II diperbolehkan dengan izin ekspor dari Management Authority negara pengekspor (Dephut 2008a). CITES (Convention on International Trade in
Endangered Species of Wild Fauna and Flora) merupakan suatu konvensi internasional yang mengatur masalah perdagangan satwa dan tumbuhan liar. CITES berfungsi sebagai pengendali agar tidak terjadi kepunahan suatu jenis (Dephut 2008a). Status perindungan menurut Peraturan Pemerintah No.7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa, biawak ekor biru belum termasuk ke dalam jenis satwa yang dilindungi. Begitu pula halnya dengan status perlindungan menurut IUCN (International Union for Conservation of Nature and Natural Resources), biawak ekor biru juga belum memiliki status perlindungan. Meskipun biawak ekor biru belum memiliki status perlindungan yang kuat, namun pemanfaatan terhadap biawak ekor biru harus tetap dikendalikan demi menjaga kelestarian jenis biawak ini. Perlindungan satwa liar memperoleh perhatian dari berbagai pihak. Bentuk perhatian pemerintah dalam melindungi satwaliar tertuang di dalam naskah perundangan dan peraturan tingkat nasional serta daerah. Namun upaya tersebut masih belum dapat menjamin perlindungan satwa liar karena diperlukan kerjasama dari berbagai pihak.
2.10 Prinsip Kesejahteraan Satwa (Animal Welfare) Kesejahteraan satwa mengarah pada kualitas hidup dan berhubungan dengan banyak elemen yang berbeda-beda, seperti kesehatan, kesenangan, dan hidup yang lama, yang mana perlakuan yang diberikan manusia berbeda-beda dan dengan kadar kepentingan yang berbeda pula (Tannenbaum, 1991; Fraser, 1995). Pada umumnya terdapat 5 prinsip kesejahteraan satwa yaitu : 1. Bebas rasa lapar dan haus. Menurut Appbley dan Hughes (1997), satwa memiliki kebutuhan nutrisi (termasuk air) untuk menjaga fungsi fisiologinya, dan kebutuhan tersebut diperlukan pada saat bersamaan. Satwa dapat mengalami malnutrisi atau kekurangan nutrisi. Keadaan tersebut dapat menyebabkan ketidaknormalan atau gangguan perilaku, keadaan stress dan kematian. Pemberian makanan yang cukup dan air minum yang bersih setiap harinya adalah salah satu upaya untuk mengatasi masalah tersebut.
2. Bebas dari rasa tidak nyaman. Keadaan ini dapat dihilangkan dengan menyediakan suatu lingkungan yang sesuai dengan habitat asli satwa tersebut. 3. Bebas dari sakit, luka dan penyakit Sakit pada satwa jelas berpengaruh pada kesejahteraan jika diasumsikan bahwa perasaan sakit
pada satwa
disamakan dengan manusia. Luka
ditimbulkan dari kejadian trauma atau bahkan konsekuensi yang tidak dapat dihindari dari sistem penangkaran (Appbley dan Hughes 1997). Oleh karena itu, diperlukan pemberian perawatan untuk satwa yang sakit dan pencegahan terhadap penyakit pada satwa di penangkaran. 4. Bebas berperilaku liar alami. Kondisi ini dapat dilakukan dengan memberikan kondisi lingkungan alami dan membebaskan satwa untuk berperilaku secara alami. 5. Bebas dari rasa takut dan stress. Dilakukan dengan melakukan perlindungan untuk
menghindari
satwa dari berbagai
menyebabkan satwa menjadi takut dan stress.
hal
yang