Bukankah Kami telah melapangkan untukmu dadamu? dan Kami telah menghilangkan daripadamu bebanmu, yang memberatkan punggungmu, Dan Kami tinggikan bagimu sebutan (nama)mu, Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain, dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap.
(Q. S. Alam Nasyrah)
Sebuah persembahan untuk orang tuaku, saudara-saudaraku, guru-guruku, serta almamaterku.
Dan kami bersyukur pada Tuhan Yang telah melebarkan gerbang tua ini Dan kami bersyukur pada ibu bapa Yang sepanjang malam Selalu berdoa tulus dan terbungkuk membiayai kami Dorongan kekasih sepenuh hati Dan kami berhutang kepada manusia Yang telah merintiskan sejarah dan ilmu Yang telah menjadi guru-guru kami Yang membayar pajak selama ini ••.•...
(Taufiq Ismail)
AKTIVITAS FISIOLOGIS DARI PROSTAGLANDIN F20( PADA PROSES REPRODUKSI SAPI DAN DOMBA
SKRIPSI
oleh
ROFIUDDIN LUBIS B. 16.0179
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN 80GOR 1986
ROFIUDDIN LUBIS (B 16.0179).
Aktivitas Fisiologis
Prostaglandin F20<. pada Proses Reproduksi Sapi dan Domba (Di bawah bimbingan SYAHRUN HAMDANI NASUTION). RINGKASAN Prostaglandin merupal
Tulisan ini
adalah sebagai review sejauh mana aktivitas Prostaglandin F20( (PGF 2<::,() dalam pengendalian proses reproduksi dan bagaimana bekerjanya secara fisiologis. Reproduksi atau perkembangbiakan adalah suatu kemewahan fungsi tubuh yang secara fisiologik tidak vital bagikehidupan individual tetapi sangat penting bagi kelanjutan keturunan suatu jenis atau bangsa hewan. Secara garis besar proses reproduksi terdiri atas pubertas, musim kelamin, siklus berahi, fertilisasi, kebuntingan dan kelahiran. Menurut Brander dan Pugh (1977) prostaglandin adalah suatu hormon jaringan yang terse bar luas di dalam tubuh hewan yang terdiri atas beberapa bentuk dan dapat menyebabkan respon yang luas terhadap organ-organ tubuh.
Prostag-
landin berasal dari asam-asam lemak tidak jenuh dan mempunyai 20 buah untaian carbon (C) dan disertai dengan sebuah cincin yang mempunyai
5 buah atom c.
Berdasarkan struktur-
nya prostaglandin dibagi dalam 5 kelompok, yaitu prostaglandin A (PGA), PGB, PGC, PGE dan PGF.
Prostaglandin yang
terbanyak didapati dalam jaringan tubuh adalah PGE dan PGF.
PGF merupakan prostaglandin yang terbanyak terlibat dalam proses reproduksi. Dalam penelitian Karim dan Hillier (1975) dengan sperma manusia, bahwa dalam proses fertilisasi PGF 2<>< berperan dalam membantu migrasi sperma akibat perubahan motilitas dari uterus dan tuba falopii.
Selanjutnya dilaporkan bah-
wa prostaglandin berperan dalam mempermudah terjadinya ovulasi, walaupun mekanismenya belum jelas.
Menurut dugaan,
prostaglandin dapat memacu pecahnya folikel de Graaf dengan mempengaruhi permeabilitas pembuluh darah dan aktivitas kontraksi ovarium. Prostaglandin berperan dalam melisis corpus luteum dalam pengaturan siklus berahi.
Pada sapi dan dornba pengaruh
ini telah di buktikan, dan telah diketahui bahwa macam prostaglandin yang paling e fekti f dalarn lu teolisis ini adalah PGF
C>{. Prostaglandin dihasilkan oleh uterus, mengalir ke 2 dalam vena uterina media, menembus dinding vena dan arteri
ovarica yang keduanya terletak berdarnpingan.
Selanjutnya
prostaglandin mengalir dalam arteri ovarica menuju ovarium dan melisis corpus luteum.
Hal ini terjadi bila ovulasi
tidak diikuti oleh kebuntingan.
Prostaglandin ini dipro-
duksi oleh uterus setelah kadar estrogen dalam darah meningkat. Dalam waktu satu atau dua minggu setelah pembuahan, blastocyst yang berada dalam uterus mempengaruhi endometrium sehingga za t lu teoli tik (PGF 2"'< ) tidak dikeluarkan dan corpus luteum menetap.
Corpus luteum merupakan sumber
utama progesteron selama kebuntingan sampai 200 hari pada sapi. Pada proses kelahiran (partus), ditemukan bukti bahwa pada domba adanya peningkatan pelepasan yang paralel dengan estrogen.
PGF2~dari
uterus
Pada sapi estrogen meningkat
secara linier selama bulan terakhir masa kebuntingan dan progesteron menurun, lalu diikuti oleh pelepasan ri vena uteri.
PGF2~
da-
Prostaglandin dalam sirkulasi darah induk
dapat merangsang pelepasan oksitocin oleh bagian posterior hipofise induk.
AKTIVITAS FISIOIOGIS DARI PROSTAGLANDIN F 20( PADA PROSES REPRODUKSI SAPI DAN DOMBA
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Dokter Bewan pada Fakul tas Kedokteran Bewan, Insti tu t Pertanian Bogor 01eh ROFIUDDIN I,UBIS
B 16.0179
FAKULTAS KEDOl
1986
BOGOR
AKTIVITAS FISIOLOGIS DARI PROSTAGLANDIN F2
eX
PADA PROSES REPRODUKSI SAP I DAN DOMBA
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Dokter Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor Oleh ROFIUDDIN LUBIS (Sarjana Kedokteran Hewan, 1986)
Telah diperiksa dan disetujui oleh :
GL-J
tV-,c"h'
~
(Dr. SYAHRUN HAMDAN I NASUTION) Dosen Pembimbing Bogor, i
- \2..-
1986.
RIWAYAT HIDUP Penu1is lahir di Pasar Maga, Kecamatan Kotanopan, Tapanuli Selatan pada tangga1 18 September 1959, sebagai anak ke tujuh dari tujuh bersaUdara keluarga Bapak H. 11. Yunus Lubis dan Ibu H. Aisyah Nasution. Pada tahun 1967 masuk Sekolah Dasar Negeri I Magalombang dan lulus pada tahun 1972.
Pada tahun 1973 terdaftar
pada Seko1ah Menengah Ekonomi Pertama Negeri Kotanopan dan 1ulus pada tahun 1975.
Kemudian melanjutkan pada Sekolah
Henengah Atas Negeri Panyabungan dan 1u1us pada tahun 1979. Me1a1ui po1a se1eksi Proyek Perintis II penu1is berkesempatan me1anjutkan pendidikan di Institut Pertanian Bogor pad a tahun 1979 dan 1u1us dari Tingkat Persiapan Bersama (TPB) pad a tahun 1981.
Kemudian memasuki Faku1tas Kedok-
teran Hewan se bagai pro fesi yang hendak di tekuninya.
Pada
tanggal 2 Januari 1986 penulis dinyatakan 1u1us sebagai Sarjana Kedokteran Hewan.
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena atas rahmat dan karunia-Nya, maka tulisan ini dapat diselesaikan, yang merupakan salah satu syarat dalam menyelesaikan pendidikan keprofesian (Dokter Hewan) di Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Tulisan ini membahas dan menyajikan pene1aahan studi pustaka mengenai peranan prostaglandin
F2~da1am
pengenda-
lian proses-proses reproduksi, khususnya pad a sapi dan domba. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada 1. Bapak Dr. Syahrun Hamdani Nasution, sebagai dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu disela-sela kesibukannya untuk memberikan petunjuk dan saran sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. 2. Ayahanda, ibunda, abang Hamdan, kak Biah, kak Butet, kak Munah, kak Ely, dan kak Cinta yang telah banyak memberikan bantuan moril dan materil serta senantiasa berdoa untuk keberhasilan penulis.
3. Bapak Dr. Tonny Ungerer, yang telah memberikan tambahan literatur bagi penulis. 4. Bapak dan Ibu staf Pengajar di Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor yang te1ah mendidik dan mengajar serta membuka cakrawala berfikir bagi penulis.
5. Pegawai di Perpustakaan FKH-IPB, Perpustakaan Pusat IPB,
Perpustakaan Ba1itvet Bogor dan Perpustakaan BFT Ciawi yang te1ah menyediakan 1iteratur dan bahan acuan. 6. Bapak H.
~lachran
Batubara dan ke1uarga yang banyak mem-
berikan nasehat kepada penu1is.
7. Abang-abang ipar saya, ya:i,tu : Darwin Aziz Nasution BAP, Achmad Yakub Nasution, Zu1kif1i Nasution dan Drs. Syafardi Nasution yang tidak sedikit memberikan dorongan mori1. 8. Ir. Zu1kif1i Lubis beserta rekan-rekan di Asrama IPB Ekasari. Akhirnya penu1is menyadari bahwa tu1isan ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu penu1is sangat mengharapkan kritik membangun dari pembaca dan semoga tu1isan ini berguna bagi yang berkehendak mengambi1 manfaatnya.
Bogor,
Nopember 1986. Penu1is
DAFTAR lSI Halaman
KATA PENGANTAR
x
• •
DAFTAR lSI
xii
DAFTAR TABEL
xiii
........ ......
DAFTAR GAM BAR PENDAHULUAN
xiv
1
TINJAUAN PUSTAKA A. Sifat Umum Hormon
3
•
........
3
B. Sejarah dan pembagian prostaglandin
4
c.
5
Struktur kimia prostaglandin • • ••
D. Biosintesis prostaglandin. • • ••
8
E. Prostaglandin synthetase dan pengukur an akti vi tas • •• • ••
11
F. Proses Reproduksi
13
•
•
•
G. Aktivitas prostaglandin pada proses reproduksi ••••••
PE14BAHASAN KESI14PULAN DAFTAR PUSTAKA
23
;'0 •
42
43
DAFTAR TABEL Nomor
Teks
Halaman
1.
Umur ternak pada waktu mencapai pubertas
14
2.
Lama siklus berahi, lama berahi dan waktu ovulasi pada ternak
16
Lama berbagai periode siklus berahi pada beberapa ternak
18
Periode kebuntingan pada ternak
21
3. 4.
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Teks
Halaman
1.
Struktur aSaID prostanoat
6
2.
Struktur kimia berbagai prostaglandin
7
3.
Peranan enzim fosfolipase A2
8
4.
Metabolisme asam arakhidonat
10
5.
Diagram perbandingan posisi arteri dan vena pada tanduk uterus domba dan kuda
31
6.
PG ditransfer dari uterus ke vena uterina melalui counter-current mechanism
32
7.
Grafik siklus berahi pad a domba, peranan PGF2 o( dalam regresi corpus luteum Diagram gambaran dari suplai darah untuk uterus, ovarium dan tUba falopii
8. 9. 10.
32
36
Skema mekanisme pengontrolan kelahiran pada hewan
38
Perubahan konsenterasi progesteron, estrogen dan PGF dalam plasma vena cava posterior do mba menjelang kelahiran
40
PENDAHULUAN Sebagaimana kita ketahui bahwa tujuan utama usaha peternakan adalah untuk meningkatkan taraf hidup peternak melalui peningkatan produksi dan untuk memenuhi kebutuhan rakyat akan protein hewani.
Hal ini sejalan pula dengan
sa saran Pembangunan Nasional yaitu meningkatkan kecerdasan dan kesejahteraan rakyat secara merata dan menyeluruh.
Da-
lam usaha pencapaian sa saran di atas, sub sektor peternakan diharapkan untuk dapat meningkatkan populasi dan produksinya baik berupa daging, susu maupun telur yang sekaligus juga akan dapat menambah lapangan kerja baru. Menurut Toelihere (1981) reproduksi atau perkembangbiakan adalah suatu kemewahan fungsi tubuh yang secara fisiologis tidak vital bagi kehidupan individual tetapi sangat penting bagi kelanjutan keturunan suatu jenis atau bangsa hewan.
Pada umumnya reproduksi baru dapat berlang-
sung sesudah hewan mencapai masa pubertas dan diatur oleh kelenjar-kelenjar endokrin dan horman-harmon yang dihasilkannya. Menurut Partodihardjo (1980) perhatian terhadap proses-proses reproduksi diperkirakan sudah ada sejak manusia ada di dunia ini, karena kejadian-kejadian itu erat hubungannya dengan sex.
Tetapi perkembangan pengetahuan rep-
roduksi sangat lambat dibanding dengan perkembangan pengetahuan alat-alat tubuh lainnya.
Hal ini disebabkan kare-
na unsur-unsur reproduksi memerlukan alat-alat
~ang
rumit
2
untuk dipelajari dan kejadian-kejadian reproduksi memerlukan waktu yang cukup lama untuk diikuti. pengetahuan mengenai spermatozoa.
Sebagai contoh
Untuk mengetahui bahwa
zat cair yang dikeluarkan oleh jenis kelamin jan tan waktu ejakulasi mengandung sel yang bergerak, harus menunggu penemuan mikroskop dan teori bahwa benda ini sebenarnya terdiri dari sel-sel.
Lebih-lebih pengetahuan mengenai hor-
mon yang berfungsi mengatur proses reproduksi sangat baru bila dibanding dengan penemuan zat organik lainnya yang mengatur proses fisiologis alat tubuh lain yang terdapat dalam badan. Prostaglandin merupakan salah satu hormon yang berperanan penting dalam proses-proses reproduksi terutama pada hewan betina.
Selama tahun-tahun terakhir ini telah ban yak
bukti-bukti yang menyokong konsep bahwa prostaglandin
F2~
adalah hormon luteolytik uterus utama pada jenis-jenis hewan di mana uterus turut mengatur siklus berahi.
Atas da-
sar ini maka dalam program Inseminasi Buatan preparat prostaglandin banyak dipakai untuk penyerentakan berahi. Dalam mempelajari kerja suatu hormon para peneliti bekerja dengan mengamati gejala klinis dari hewan sakit dan dengan menggunakan hewan percobaah di laboratorium.
Di
sam ping itu juga dengan mempelajari kelenjar ataupun jaringan penghasil hormon yang bersangkutan. Akhirnya dengan mengetahui aktifitas fisiologis dari prostaglandin ini diharapkan akan dapat membantu memecahkan masalah kegagalan reproduksi pada hewan ternak.
TINJ AU AN PU STAKA A.
Sifat Umum Hormon. Perkataan hormon berasal dari bahasa Yunani kuno yaitu "hormaein" yang berarti menimbulkan gairah.
Me-
nurut defenisi klasik hormon adalah suatu substansi organik fisiologik yang dibebaskan oleh sel-sel hidup dari suatu daerah terbatas pada organisme yang berdifusi atau diangkut ke suatu lokasi dalam organisme yang sama dimana ia menyebabkan penyesuaian yang cenderung untuk mengintegrasikan bagian-bagian dan fungsifungsi komponen organisme terse but (Zarrow, 1968). Kini telah dibuktikan bahwa bukan hanya mamalia yang mampu menghasilkan hormon tapi juga species hewan lain termasuk insekta.
Selanjutnya diterangkan bebera-
pa sifat biokimia kerja hormon, yaitu : a. Hormon tidak menyediakan energi untuk suatu reaksi. b. Hormon bekerja dalam jumlah yang sangat kecil, sebagai contoh estradiol yang diberi langsung ke mucosa vagina atau endometrium adalah aktif dalam jumlah 10
-6
mikrogram.
c. Hormon segera disingkirkan dari aliran darah,
mi~
salnya 90% hormon-hormon steroid akan menghilang dari aliran darah dalam waktu 10 - 20 menit walaupun kerja hormon tersebut belum terlihat beberapa jam bahkan beberapa hari kemudian. d. Hormon mengatur kadar reaksi tetapi tidak memulai
4 reaksi-reaksi baru, misalnya thyroxin menstimulir penggunaan oksigen lebih banyak oleh organisme, tetapi organisme tersebut tetap dapat menggunakan oksigen tanpa thyroxin walaupun dalam jumlah yang berkurang. Sihombing (1973) menerangkan hormon adalah zat yang dihasilkan oleh sel-sel hidup dalam jumlah yang sangat sedikit, berasal dari dalam tubuh mahluk itu sendiri dan biasanya diangkut oleh darah ke suatu tempat yang specifik untuk melakukan aksinya dan ia tak digunakan sebagai sumber energi tetapi ia bertindak mengatur dan bukan menciptakan reaksi-reaksi untuk mencapai suatu respon yang sepadan oleh mahluk tersebut. Hormon kini didefenisikan sebagai zat organik yang diproduksikan oleh sel-sel khusus dalam badan, dirembeskan ke dalam peredaran darah, dengan jumlah yang sangat kecil dapat merangsang sel-sel tertentu untuk berfungsi (Partodihardjo, 1980). B.
Sejarah dan pembagian prostaglandin (PG). Pada tahun 1913 para peneliti telah mengamati adanya penurunan tekanan darah oleh ekstrak prostata.
Ke-
mudian pada tahun 1930 oleh Kurzrok dan Lieb menemukan suatu zat dalam semen manusia yang dapat menyebabkan kontraksi pada otot uterus.
Pada tahun 1935 seorang
ahli ilmu faal dari Swedia yang bernama Von Euler berhasil memisahkan suatu zat dari semen domba, kambing
5 dan kera yang berasal dari kelenjar prostat dan menamakan zat tersebut prostaglandin.
Jika zat ini diberi-
kan kepada hewan dapat menurunkan tekanan darah, memacu kontraksi usus dan uterus (Inskeep, 1973). Walaupun pada awalnya prostaglandin ditemukan dalam kelenjar kelamin pria dan kelenjar sekresi
pe~ban
tu, sekarang telah diketahui bahwa prostaglandin dapat ditemui tersebar di dalam jaringan dari organ-organ tubuh seperti ginjal, limpa, otak, paru-paru, thymus, thyroid, jaringan lemak rahim, hati, mucosa usus, ovarium, placenta dan sebagainya (Bell et al., 1972). Menurut Sihombing (1973), prostaglandin berasal dari asam-asam lemak esensial dan mempunyai 20 buah atom karbon (C) asam lemak disertai dengan sebuah ring yang mempunyai 5 karbon.
Prostaglandin terdiri atas
lima type menurut pergantian di dalam cincin cyclopentana, yaitu PGA, PGB, PGC, PGE dan PGF.
Prostaglandin
yang terbanyak terdapat dalam jaringan adalah PGE dan PGF. C.
Struktur kimia Prostaglandin. Struktur kimia dari prostaglandin terdiri atas ikatan 20 atom C yang membentuk satu cincin cyclopentana, dengan dua rantai sisi alifatik dan sebuah gugus karboksil dari turunan asam prostanoat (Schneider, 1972; Bell et Al., 1972).
6
10 .
,
• , ••
, '3
3
COOH
•
" .~
"
,& \7
CH
.,
3
Gambar 1. Struktur asam Prostanoat. (Bell et gl., 1972) Selanjutnya Schneider menerangkan bahwa secara klasik prostaglandin alami terdapat empat belas macam, yang dibagi atas empat seri, yaitu seri E, F, A dan B yang didasarkan atas perbedaan ikatan pada lima atom C yang membentuk cincin cyclopentana.
Keempat belas macam
prostaglandin alami dibedakan atas jumlah ikatan rangkap, jumlah gugus hidroksil serta adanya gugus keton. Prostaglandin (PG) seri E dan F adalah PG utama, sebab semua PG yang lainnya berasal dari campuran PG tersebut. PGE mempunyai sebuah gugusan keton pada karbon ke-9 dan sebuah gugusan hidroxyl pada karbon ke-ll.
Sebaliknya
PGF mempunyai gugusan hidroxyl pada atom karbon ke-9 sebagai pengganti gugusan keton.
Masih ada prostaglandin-
prostaglandin yang lain seperti PGE 2 , tergantung dari adanya ikatan karbon rangkap (double bond). Menurut Samuelson (1963) ada struktur streoisomer pada PG dengan sistem alpha dan betha.
Unsur alpha di-
dasarkan pada sisi yang sama dari cincin sebagai rantai alifatik yang mengikat gugus karboxyl, secara alami menjadikan PGF, sedangkan unsur betha didasarkan pada cincin yang menahan rantai alkil (dari atom C ke 13 - 20).
7
o \\
{'yR. AR
B 2
.of!
110
HO D
oH
F ,jpha
Gambar 2. Struktur kimia berbagai prostaglandin. Struktur cincin prostaglandin primer (A, B, C, D, E, F), endoperoksida siklik (G, H), prostasiklin (PGI), dan thromboxan (TXA). Menurut konvensi streokimia maka gugusan R yang terletak di belakang bidang cincin siklopentana diberi tanda """ , yang terletak di depan diberi tanda ~ (Honcade et al.dalam:Setiawan, B. 1983).
8 Jumlah ikatan rangkap pada rantai sisi alifatik menunjukkan ketidakjenuhan molekul prostaglandin tersebut.
Jum-
lah ikatan rangkap dinyatakan dalam angka setelah huruf (PGF Z <>< mempunyai dua ikatan rangkap). D. Biosintesis Prostaglandin. Pada tubuh hewan betina, PGFZc( disintesa oleh endometrium dan miometrium uterus dengan target organ ovarium, tuba falopii, uterus dan cervix. sor
Yang merupakan prekur-
dari prostaglandin adalah asam arakhidonat.
Membran
sel terdiri atas lapisan bimolekuler fosfolipid.
Asam
arakhidonat yang terdapat dalam bentuk ester di dalam fosfolipid dapat dilepaskan oleh enzim fosfolipase AZ ' Karena asam arakhidonat bebas di dalam cairan interstisial maupun darah, maka telah diajukan hipotesis bahv:a akti vi tas en zim fosfolipase A merupakan 11 rate-limi ting Z step" dalam biosintesis prostaglandin (Gambar 4). a HL
o
II
H 1I C "- 0 - c. -R ,
,C-o-c-R,
o
I _C H
fosfolipase AZ
'\
0
/- fh- 0-
c.. - 1'.;
I H, "le -OH \ ~ C H - 0 - c. ,
II
0
II
+
RtC.-OIi
(asam a-
_ R rakhido ~
nat)
Gambar 3. Peranan enzim fosfolipase A (Setiawan, B. Z 1983) . Setelah terbentuk asam arakhidonat, maka dua macam enzim, siklooksigenase dan lipoxygenase dengan cepat mengubah menjadi endoperoksida siklik (PGG
Z
dan PGH ) dan Z
9 peroxida lipid (HPETE= IZ-hidroperoksi-asaro-eikosatetra enoat dan HETE=IZ asam-hidroksi-eikosatetraenoat). Sikiooksigenase terdapat dalam mikrosom.
Asaro arakhi-
donat dioksidasi kemudian mengalami sikiisasi menjadi endoperoksida siklik, PGG Z dan PGH Z ' Kedua endoperoksida ini tidak stabil (t~ = 5 meni t, pada 37°C dan pH =7.5).
Mereka mengalami isomerisasi seeara enzimatik
dan nonenzimatik menjadi PGE, PGF dan PGD.
Prostag-
Iandin A, B dan C terbentuk oleh dehidrasi dan isomerisasi PGE pada waktu ekstraksi dan mungkin tidak terdapat seeara alamiah.
Selain membentuk PGD, PGE dan
PGF, maka PGH juga dapat dimetabolisme rnenjadi prostaeyelin (PGI Z ) oleh enzirn prostaeyelinsynthetase dan roenjadi thromboxan oleh enzim thromboxan synthetase. Proseyelin dan thromboxan tidak stabil, yang pertama rnernpunyai t~=3 menit, pada suhu 37°C dan pH 7.5 sedang yang kedua tt=30 detik, pada suhu 37°C dan pH 7.5.
Throm-
boxan A (TXA Z ) pertarna diisolasi dari trornbosit dan Z seeara nonenzimatik diubah menjadi thrornboxan BZ (TXB Z ) yang stabil. Prostaeyelin mengalami hidrolisis seeara nonenzimatik menjadi 6-1<eto-PGF 1
yang stabil.
Lipok-
sigenase adalah enzim yang mengkatalisis peroksidasi asam arakhidonat menjadi hidroperoksida dan hanya ditemukan dalam paru-paru, trombosit dan leukosit (Moneade et £!1. Dalam Setiawan B, 1983). Menurut Kuel, Egan dan Humes (1981) ada suatu enzim kompleks yang terdapat pada sel-sel mikrosom yang
10
As:un lClll:lk cscnsi:J1 (as:un linoleat. as:Ull arakhidonat)
~ ~hospholipid
membran sci
Stimuli
Aktivasi Fosrolipase A1
kimbwi mckanis
atau
Acylhidrol:lsc bin-lain
dll.
AS:lln Arakhidonat L.ipoxYf,cna$C
I
I Sjkloo~igcnase J
12-III'ETE
peG
CO"".""'' ' J,,: ","0'"
' ' ' ' ' " . p.
(cndopcroxidan siklik) (endopcroxid siklik)
ThrQJTlcb..:.:·:..!.,,·
Sjntctas~ (Tluolll-
12-1 J ETF (12·hydroxy-asameikos:HI!t. ra-enoat) Jeukouicn
box~IJ\)
TXA.;
t -
PCI
2 (prostasiklin)
j
TXll PGD 2
PGF 2 alpha
2
IIHT
6-oxo-PGF I alpha
Gambar 4 • l'letabo1isme asam arakhidonat. Asam arakhidonat dapat dimeta.bolisme melalui dua sistem en zim, li :poxigenase dan siklooxigenase. Enzim lipoxigenase mengu. bah asam arakhidonat menjadi 12-HPETE, 12 HETE dan leuko trien yang mempunyai efek kemotaktik. Enzim siklooksi genase mengubah asam arakhidonat menjadi endoperoxid s iklik, PGG dan PGH. Asetosal, indometasin dan obat arlalgetik fron sterofd menghambat enzim siklooksigenas e , sehingga tidak terbentuk endoperoxid siklik dan POI;> a tau TXA;;> ~ Bergantung pada en.zim yang ada dalam jar!:n gan, dar!: PGG 2 dan PGH?, akan di ben tuk PG I:? ' PGD;;> , PGE 2 ' PGF20<. a tau TXA 2 (Moncade et ll. dalam: Se't;iawan E, I983).
11
dikenal dengan nama prostaglandin synthetase.
Enzim
ini mempunyai aktivitas dalam pengubahan asam arakhidon at dan senyawa yang serupa menjadi bentuk senyawa hasil oksidasi, salah satu diantaranya adalah prostaglandin.
Konsentrasi terbesar dari enzim ini terdapat
pada jaringan vesica seminalis.
Aktivitas enzim ini
secara garis besar terbagi menjadi dua bagian yaitu siklooksigenase dan peroksidase.
Siklooksigenase mempunyai
peranan dalam pengubahan asam lemak tak jenuh menjadi bentuk hidroperoksi dari prostaglandin dengan bantuan peroksidase.
Jadi enzim prostaglandin synthetase ini
bertindak sebagai kontrol biosintesa prostaglandin. Kerja dari enzim ini dapat dihambat oleh senyawa anti radang bUkan steroid seperti aspirin dan endometasin. E.
Prostaglandin synthetase dan pengukuran aktivitasnya. Prostaglandin synthetase merupakan enzim kompleks yang terdapat pada sel-sel mikrosom, serta mempunyai aktiv i tas dalam pengu bahan asam arakhidona t dan senyawa yang serupa menjadi senyawa hasil oksidasi, salah satu diantaranya yaitu prostaglandin (Kuel, Egan dan Humes, 1981).
Konsentrasi terbesar dari enzim ini terdapat
pada jaringan vesica seminalis. Untuk mendapatkan gambaran derajat sintesa dari prostaglandin, Curtis-Prior (1976) mengemukakan teori tentang pengukuran aktivitas enzim terse but yang dapat dilakukan dengan empat cara, yaitu
12
a. Metoda Elektroda Oksigen.
Pada pembentukan 15-hidroperoksi PGR 2 , terjadi persekutuan dua molekul oksigen terhadap substrat dari asam lemak tidak jenuh (PUFA).
Pengukuran dilalm-
kan terhadap peningkatan oksigen secara langsung dengan menggunakan elektroda. b. Metoda pengubahan menjadi prostaglandin B.
Prostaglandin B dapat dibentuk dari prostaglandin E dengan cara penambahan alkali.
Hasil reaksi
ini mempunyai penyerapan maksimum pada panjang gelombang 278 nm.
Adanya keterlibatan dari kofaktor hid-
roquinon sehingga menghasilkan warna yang berbedabeda, merupakan kesulitan dari metoda ini. c. Reaksi Zimmerman.
Interaksi dari alkali m-dinitro benzene dengan bagian tertentu dari cincin siklopentana, menghasilkan chromogen berwarna merah tua dengan penyerapan maksimum pada panjang gelombang 560 nm.
Hal ini men-
jadi dasar dari metoda tersebut, tetapi lebih banyak dipergunakan dalam menentukan l7-keto steroid.
Peng-
ujian aktifitas prostaglandin synthetase dapat dilakukan berdasarkan pengukuran jumlah prostaglandin yang dihasilkan. d. Metoda Radioimmunoassay (RIA).
Metoda ini
dapa~
mengukur C-arachidonic acid
13 murni yang merupakan bahan dasar pembentukan prostaglandin, menjadikan metoda RIA dapat dipergunakan.
Penguku~
ran dapat dilakukan dengan menggunakan bahan dasar atau dari hasil yang terbentuk. F. Proses Reproduksi. Partodihardjo (1980) menerangkan bahwa proses reproduksi meliputi proses yang terjadi dalam tubuh mahluk jan tan dan betina.
Proses reproduksi ada1ah rangkaian
semua kejadian biologik ke1amin yang ber1angsung secara sambung menyambung hingga ter1ahir generasi baru dari suatu mah1uk hidup.
Proses reproduksi dapat dibagi menja-
di : Pubertas, Musim ke1amin, Sik1us berahi, Fert i1isasi, Kebuntingan dan Ke1ahiran. a. Pubertas. Pubertas atau dewasa ke1amin ada1ah periode da1am kehidupan mah1uk jantan atau betina dimana proses reproduksi mu1ai terjadi, yang ditandai oleh kemampuan untuk pertama ka1inya memproduksi benih.
Toe1ihere (1981)
mendefinisikan pubertas sebagai umur dimana organ-organ reproduksi mu1ai berfungsi dan perkembangbiakan dapat terjadi.
Pada hewan jantan, pubertas ditandai oleh ke-
mampuannya berkopu1asi dan menghasi1kan sperma.
Pada
hewan betina pubertas dicerminkan oleh estrus dan ovu1asi.
Pubertas terjadi sebe1um dewasa tubuh tercapai, se-
hingga seekor hewan betina muda yang baru dewasa ke1amin membutuhkan makanan dengan jum1ah yang 1ebih banyak
14 dan ia akan menderita lebih banyak stress bila dikawinkan pada umur tersebut dibanding dengan hewan betina yang sudah del'lasa tu buh.
Se belum pubertas, saluran
reproduksi betina dan ovarium perlahan-lahan bertambah dalam ukuran dan tidak memperlihatkan aktivitas fungsional.
Tercapainya masa pubertas bagi setiap individu
hewan agak berbeda karena pertumbuhan tubuh dan kelamin sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti : keturunan, iklim, so sial dan makanan. Tabel 1. Ternak Sapi Domba Kerbau Kuda Babi Sumber
Umur ternak pada waktu mencapai pubertas. Umur pubertas bulan bulan bulan bulan 6 bulan
12 8 24 18
variasi(bulan) 6 - 24
4 12 10 4
- 12 - 40 - 24 - 8
Parto dihard j 0 (1980)
b. MUsim kelamin.
Yang dimaksud dengan musim kelamin adalah suatu musim dalam satu tahun dimana suatu jenis hewan memperlihatkan aktivitas perkawinan.
Dalam periode satu mu-
sim, hewan betina jenis tertentu, baik yang telah dewasa maupun baru mencapai pubertas, memperlihatkan gejala berahi.
Pejantan-pejantannya dengan bersemangat mela-
yani kehendak ini.
Berdasarkan jarak antara musim
ke~
lamin dengan musim kelamin berikutnya, beberapa jenis
15 hewan dapat digo1ongkan menjadi mono estrus , po1yestrus dan po1yestrus bermusim.
Go1ongan monoestrusada1ah go-
longan hewan yang menunjukkan geja1a berahi sekali dalam satu tahun.
Yang termasuk golongan ini adalah anjing,
kucing, singa, macan dan banyak lagi mamalia liar yang hidup di hutan.
Bewan-hewan betina monoestrus tidak be-
rahi serentak, namun masih dapat digolongkan bermusim karena frekwensi kejadian berahi terlihat lebih sering dalam satu periode tertentu.
Misalnya banyak kejadian
perkawinan dalam masa peralihan musim kemarau ke musim hujan.
Go1ongan po1yestrus ada1ah golongan hewan yang
menunjukkan geja1a berahi beberapa ka1i dalam setahun. Yang termasuk golongan ini adalah sapi, kerbau, domba, kambing.
Jika mereka dalam keadaan tidak bunting atau
masih da1am keadaan menyusui
ana~Jlya,
menjadi berahi 2 - 3 minggu seka1i.
mereka biasanya Go1ongan po1yes-
trus bermusim ada1ah golongan hewan yang menunjukkan gejala berahi beberapa ka1i dalam satu musim kelamin. Yang termasuk dalam golongan ini adalah kuda dan domba di daerah kutub dan subtropik (Partodihardjo, 1980). c. Siklus berahi.
Sik1us berahi ada1ah jarak antara berahi yang satu sampai padaberahi berikutnya, sedang berahi itu sendiri adalah saat dimana hewan betina bersedia menerima pejantan untuk kopu1asi.
Kopu1asi dapat menghasilkan kebun-
tingan dan selanjutnya dapat menghasilkan anak.
16 Tabel 2.
Ternak
Lama siklus berahi, lama berahi dan waktu ovulasi pada ternak. Lama siklus berahi (hari)
Lama berahi
Waktu ovulasi
Sapi
18 - 24 (21)
12 - 28 (18) jam
10 - 15 jam sesuciah akhir berahi
Domba
14 - 20
30 - 36 jam
12 - 24 jam sebelum akhir berahi
Kuda
19 - 23
4.5 - 7.5
1 - 2 hari sebelum akhir berahi
(21)
Babi
18 - 24 (21)
(5.5) hari
1 - 4
(2-3) hari
30 - 40 jam sesudah awal berahi
Sumber : Toelihere (1981) Pada hewan jantan siklus berahi seperti yang terjadi pada hey/an betina tidak ada.
Un tuk dapat menerangkan
siklus berahi berdasarkan gejala yang terlihat dari luar tubuh, satu siklus berahi terbagi menjadi 4 fase, yaitu : proestrus, estrus, metestrus dan diestrus.
1i-
teratur lain membagi atas dua fase, yaitu : fase folikuler yang meliputi proestrus dan estrus, serta fase luteal yang terdiri atas metestrus dan diestrus. Proestrus adalah fase persiapan.
Fase ini biasanya
pendek, gejala yang terlihat berupa perubahan-perubahan tingkah laku dan perubahan pada kelamin bagian lUar. Pada fase ini folikel de Graaf bertumbuh di bawah pengaruh Folikel Stimulating Hormone (FSH) dan menghasilkan
17 sejumlah estradiol yang makin bertambah.
Sistem repro-
dUksi memulai persiapan-persiapan untuk pelepasan ovum dari ovarium. Estrus adalah fase terpenting dalam siklus berahi karena dalam fase ini hewan betina memperlihatkan gejala yang khusus untuk tiap-tiap jenis hewan, dan dalam fase ini pula hewan betina mau menerima pejantan untuk kopulasi. pUlasi.
Ciri khas dari fase ini adalah terjadinya koPada umumnya ciri hewan betina estrus adalah
memperlihatkan gejala gelisah, nafsu makan berkurang atau hilang, menghampiri pejantan dan tidak lari jika pejantan menaikinya.
Pad a fase ini pertumbuhan folikel
telah maksimal, ovum yang dikandung oleh folikel telah cukup masak, dinding folikel menipis dan menonjol dari permukaan ovarium.
Terjadinya ovulasi tinggal menunggu
saatnya saja. Metestrus adalah fase yang terjadi segera setelah estrus selesai.
Gejala yang terlihat dari lUar tidak
terlihat nyata.
!lewan betina telah menolak pejantan un-
tuk kopulasi.
Pad a ovarium terjadi pembentukan corpus
haemorrhagicum di tempat fOlikel de Graaf yang baru selesai
melepasl~an
ovum.
Diestrus adalah fase dalam siklus berahi yang ditandai oleh tidak adanya kebuntingan, tidak adanya aktivitas kelamin dan hewan menjadi tenang.
Fase ini ada-
lah fase yang terlama di antara fase-fase yang terdahulu.
18 Tabel 3. Ternak Sapi Domba Kuda Babi
Lama berbagai periode siklus'berahi pada beberapa ternak. Proestrus (hari)
Estrus 12-24 1- 2 4- 7 2- 4
3 2
"
./
3
Sumber
Toelihere
Metestrus (hari)
jam hari hari hari
3-5 3-5 3-5 3-4
Diestrus (hari) 13 7 - 10 6 - 10 0 - 13 /
Cl98~)
d. Fertilisasi. Yang dimaksud fertilisasi adalah peristiwa bersatunya sebuah spermatozoa dengan sebuah ovum.
Seluruh
proses reproduksi sexual berpusat pada kejadian fertilisasi atau pembuahan.
Fertilisasi terdiri dari penyatuan
atau fusi dua sel, gamet jantan dan betina, untuk membentuk satu sel zygote.
Tempat fertilisasi pada hampir
semua ternak adalah pada bagian bawah ampula tu ba fallopii.
Sewaktu masuk ke dalam ampula, selubung ovum, zo-
na pellucida masih dikelilingi oleh sekelompok sel-sel granulosa yang masih disebut sel-sel cumulus.
Pada ter-
nak mamalia, kecuali babi, sel-sel cumulus menghilang dari OVa dalam beberapa jam setelah ovulasi.
Untuk ma-
suk ke dalam ovum, spermatozoa pertama-tama harus menembus ; a. massa cumulus, bila masih ada, b. zona pellucida, dan c. membran vitellinum (Toelihere, 1981). Selanjutnya akan terjadi proses "cleavage" yaitu proses pembelahan sel tanpa pertumbuhan.
Kemudian terjadi pro-
ses implantasi, yaitu berkontaknya secara fisik embrio
19 dengan organisme induk.
Sifat labil dan gradual dari
proses pertautan embrio pad a ternak mamalia telah menjadi bahan perdebatan bilamana sebenarnya terjadi implantasi.
Diperkirakan implantasi terjadi antara hari
ke-10 dan ke-22 post coitum pada domba, dan antara hari ke-ll sampai hari ke-40 pada sapi. e. Kebuntingan.
Menurut Toelihere (1985), periode atau masa kebuntingan adalah jangka waktu sejak pembuahan atau konsepsi sampai partus.
Selama periode ini sel-sel tunggal
membagi diri dan berkembang menjadi individu yang sempurna.
Periode kebuntingan dapat dibagi secara kasar
dalam tiga bagian berdasarkan ukuran individu dan. perkembangan jaringan dan organnya.
Ketiga periode
itu
adalah periode ovum, periode embrio dan periode foetus. Periode ovum atau blastula berlangsung 10 - 12 hari, sejak waktu pembuahan yang biasanya terjadi beberapa jam setelah ovulasi sampai pembentukan membran zigote di dalam uterus.
Robert (1956) yang diklltip oleh Partodi-
hardjo, menerangkan bahwa periode ovum adalah periode yang dimulai dari fertilisasi sampai terjadinya implantasi.
Hafez (1968) menerangkan, yang dimaksud periode
ovum adalah ovum yang diovulasikan sampai terjadinya fertilisasi.
Ukuran ovum, tidak termasuk zona pelluci-
da atau sel-sel granulosa adalah 120 - 180 mikron pada waktu pembuahan.
Selama periode ovum, pembelahan ovum
20 yang telah dibuahi berlangsung di daerah pertemuan ampulla-isthmus tuba fallopii sampai mencapai stadium morUla yang ditandai oleh massa sel luar dan dalam yang berjumlah 16 - 32 sel.
Morula memasuki uterus pada ha-
ri ke-4 sampai ke-5 sesudah konsepsi.
Pada hari ke-6
sampai ke-10 zona pellucida terbagi atas fragmen-fragmen dan terbentuklah suatu rongga yang disebut blastula, yaitu massa sel bagian dalam yang akan membentuk tubuh embrio dan trophoblast atau massa bagian luar yang berfungsi memberi makanan kepada embrio (Toelihere, 1985). Selanjutnya diterangkan bahwa periode embrio berlangsung dari 12 - 45 hari masa kebuntingan.
Selama
periode ini tenunan, organ dan sistem utama tubuh terbentuk dan terjadi perubahan-perubahan dalam bentuk tubUh sehingga pad a akhir periode ini species embrio tersebut dapat dikenal. Pertautan selaput-selaput foetus adalah suatu proses gradual yang dimulai dengan pembentukan vili pertama pada hari ke-30 masa kebuntingan dan berkembang menjadi suatu pertautan primitif chorioalantois pada endometrium di daerah caruncular kira-kira 33 - 36 hari periode kebuntingan (Greenstein dan Foley, 1958). Periode foetus berlangsung dari hari ke-45 mas a kebuntingan sampai partus.
Pada periode ini terjadi
perubahan-perubahan kecil dalam diferensiasi organ, tenunan dan sistem tubuh bersamaan dengan pertumbuhan dan pematangan individu antenatal.
21 Larnanya periode kebuntingan untuk tiap species berbeda, perbedaan itu jelas disebabkan oleh faktor genetik.
Jika ada perbedaan panjang antara suatu kebunti-
ngan dalam satu species, maka perbedaan itu sedikit dan faktor- faktor penyeba bnya belum diketahui (Partodihardjo, 1980). Periode kebuntingan pada ternak.
Tabel 4. Ternak
Rata-rata (hari)
Sapi perah F.H. Jersey
279 (262 - 359) 279 (270 - 285)
Sapi potong Brahman Domba
285 148 (140 - 159)
Babi Domestik Liar
114 (102 - 128) (124 - 140)
Kuda Arab
337 (301 - 371)
Dikutip dari
Toelihere (1981)
f. Kelahiran. Kelahiran atau partus adalah proses fisiologik yang berhubungan dengan pengeluaran foetus dan placenta dari induk.
Inisiasi kelahiran disebabkan oleh interaksi
yang kompleks antara faktor-faktor endokrin, neural dan mekanis (Toelihere, 1985). Tanda-tanda menjelang partus pad a umumnya hampir
22 sama pada semua ternak.
Pad a sapi dan kerbau ligamen-
ligamen pelvis sangat mengendor, menyebabkan penurunan ligamen dan otot pada bagian belakang. dan oedematous.
Arnbing rnembesar
Pada kerbau oedema pada arnbing dan da-
sar abdomen tidak jelas terlihat.
SUatu lendir putih.
ken tal dan lengket keluar dari cranial vagina mulai bulan ke-7 masa kebuntingan. Kelahiran terdiri atas 3 tahap, yaitu tahap kontraksi aktif serabut-serabut otot longitudinal dan sirkuler pada dinding uterus dan dilatasi cervj_x.
Kontrak-
si itu timbul karena penyingkiran terhadap progesteron dan peningkatan Kadar estrogen (Gillette dan Holm, 1963). Tahap kedua adalah pemasukan foetus ke dalam saluran kelahiran, rupturakantong alantois, kontraksi abdominal atau perejanan serta pengeluaran foetus melalui vulva. Tahap ketiga adalah pengeluaran selaput foetus dan involusi uterus.
23 G.
Aktivitas prostaglandin pada proses reproduksi. a. Prostaglandin, Ovulasi dan Luteolisis.
Telah diketahui bahwa prostaGlandin terdapat dalam ovarium, tetapi mengenai distribusinya di dalam corpus luteum, folikel dan jaringan interstisialis belum diketahui.
Penelitian terakhir pada ma-
nUsia menunjukkan bahwa prostaglandin berperan dalam proses ovulasi, 8kan tetap1, bagaimana mekanisme prostaglandin untuk mempermudah ovulasi masih belum jelas.
Menurut dugaan prostaglandin dapat seba-
gai pemacu pecahnya folikel dengan mempengaruhi permeabilitas pembuluh darah dan aktivitas kontraksi ovarium.
Kemungkinan PGF memegang peranan penting
dalam proses ovulasi masih dalam penelitian (Karim dan Hillier, 1975). Menurut Booth et al (1979) Gonadotropin Releasing Hormone (GnRH) baik alami maupun sintesis telah terbukti sebagai penyebab pelepasan Folikel Stimulating Hormone(FSH) dan I,utenizing Hormone (LH) pada beberapa species.
Pada kuda poni, pemberian
estradiol 17fi terlebih dahulu meningkatkan LH yang dihasilkan sebagai respon terhadap GnRH ini.
Kuda
betina yang disuntik dengan GnRH setelah luteolisis akibat pemberian
PGF2~
memperlihatkan peninggian
konsenterasi LH setelah penyuntikan tunggal/multipel pada interval 24 jam.
Jarak waktu antara pemberian
24 PGF2~
dan ovulasi tidak berkurang secara nyata dengan
pember1an GnRH tersebut.
Jadi pember1an GnRH tersebut
tidak mempengaruhi terjadinya ovulasi. Mc Donald (1980) menerangkan bahwa uterus memproduksi zat yang disebut sebagai luteolisin.
Zat ini di-
produksi bila tids.k terjadi kebuntingan dan al,an menyebabkan regresi corpus luteum.
Selanjutnya Phariss dan
Wyngarden dalam Donald (1980) menerangkan bahwa
PGF2~
boleh jadi penyebab luteol isis akibat kontriksi pembuluh darah utero-ovarian dan menyebabkan ischemia dan kematian dari sel-sel luteal.
Kemud1an Mc Cracken me-
ngatakan bahwa transfer prostaglandin dari uterus ke • ovarium terjadi dengan "mekanisme counter current". Pada kambing pemisahan arteri ovarica dari vena akan mengakibatkan terjadinya corpus luteum persisten. Kesanggupan
PGF2~
menginduksi luteolisis pada sa-
pi, kambing, kuda serta species lain telah merangsang peneliti untuk mempergunakannya dalam pengontrolan estrus.
Dalam pengontrolan estrus ini didasarkan atas PGF2~
beberapa penelitian bahwa
efektif dalam meregre-
sikan corpus luteum yang sedang berfungsi, tetapi tidak efektif terhadap corpus luteum yang sedang tumbuh. Oleh karena itu jika
PGF2~
digunakan pada hewan yang
sedang estrus, maka efek yang kita kehendak1 t1dak akan terjadi, karen a dalam periode estrus sampai hari ke-5 corpus luteum mas1h dalam keadaan tumbuh. pember1an preparat
PGF2~
Jad1
untuk penyerentakan berah1
25 efektif setelah hari ke-5 dari periode estrus.
Pem-
berian preparat PGF 2"'" ini adalah un tuk mempengaruhi sel-sel corpus luteum sehingga tidak berfungsi untuk menghasilkan hormon progesteron.
Berhubung karena
tidak ada progesteron maka Folikel Stimulating Hormone (FSH) dari hipofise menjadi poten dan merangsang ovarium untuk membentuk folikel.
Dalam waktu 4 - 5
hari folikel telah mencapai kebesaran penuh dan gejala berahi akan terlihat (Partodihardjo, 1980). b. Prostaglandin dan Fertilisasi. Karim dan Hillier (1975) telah meneliti pada wani ta pengaruh PGF 20< dan PGE 2 secara in vitro terhadap daya gerak spermatozoa dan daya penerobosan melalui lendir cervix sebelum ovulasi.
Dengan meng-
gunakan PGF 2'" 250 )vlg/ml yang di tarnbahkan pada cairan vagina akan tampak bertarnbahnya day a gerak spermatozoa melalui lendir cervix, sedang dengan pemberian PGE 2 terlihat pengaruh yang lebih kecil. V/alaupun demikian, persoalan yang belum terpecahkan ialah : - mekanisme kerja prostaglandin dalam membantu spermatozoa untuk dapat melewati lendir cervix. - ada tidaknya lendir cervix yang mengandung bahan enzim yang dapat mengubah prostaglandin. Kini telah dapat dibuktikan bahwa prostaglandin yang berasal dari semen dapat mempengaruhi motilitas
26 dari uterus dan tuba falopii sehingga dapat membantu migrasi spermatozoa dari vagina ke uterus dan tuba falopii. Pada proses implantasi, dijumpai adanya kenaikan konsenterasi prostaglandin (E, F dan I) pada tempat di uterus dimana ada blastocyst pada hari ke-5 dari kebuntingan tikus (review oleh Nasution, 1983).
Se-
lanjutnya diterangkan bahwa blastocyst merangsang kenaikan kadar prostaglandin endometrium di daerah yang berdekatan dengan blastocyst.
Hal ini mungkin disebab-
kan oleh kontak fisik antara blastocyst dengan epitel endometrium sehingga estrogen dari blastocyst merangsang sintesa prostaglandin di lokasi tersebut.
Seca-
ra fisiologis prostaglandin berfungsi dalam peningkatan vascularisasi dan memulai pro ses implan to.si. c. Prostaglandin dan Kebuntingan.
Dalam waktu satu atau dua minggu sesudah pembuahan, blastocyst yang berada dalam uterus mempengaruhi endometrium sehingga zat lu teoli tik (PGF 20() tidal, dil<:eluarkan dan corpus luteum menetap.
Corpus luteum
merupakan sumber utama progesteron selama kebuntingan sampai 200 hari pada sapi (Jaenudeen dan Hafez, 1980). Parnham et 21 (1975) meneliti kemungkinan kontrol oleh foetus terhadap pelepasan prostaglandin dari uterus tikus yang bunting secara in vitro.
Dalam lapo-
rannya ten tang pelepasan prostaglandin dan kontraksi
27 spontan dari uterus pada hari ke-22 dari kebuntingan, pengeluaran foetus tanpa placenta dari satu atau kedua uterus pada hari 1{e-16 atau 17 mengurangi pelepasan prostaglandin F yang nyata.
Aktivitas uterus dan
pelepasan prostaglandin ditingkatkan dalam uterus yang diam dengan penambahan asam arakhidonat (5 ,u.g/ml) a tau fosfolipase A (160 mp./ml), efek ini dapat ditiadakan dengan indomethacin.
Penelitian di atas sesuai dengan
pendapat Partodihardjo (1980) yang mengemukakan bahwa selama kebuntingan zat luteolitik (prostaglandin) tidak diproduksi, hal ini karena dihambat oleh hormon progesteron asal placenta.
Dengan demH;ian dapat di-
simpulkan bahwa terdapat hubungan antara kelangsungan hidup foetus dengan pelepasan prostaglandin dari uterus hewan yang bunting. d. Prostaglandin dan Kelahiran.
liggins et al (1972) yang diku tip oleh Donald (1980) menerangkan dalam percobaannya dengan domba, bahwa Adreno Corticotropic Hormone (ACTH) yang dihasilkan oleh hipofise dari foetus merangsang kelenjar adrenal.
Selanju tnya y.21enjar adrenal menghasilkan
glucocorticoid dan steroid bercarbon 19 buah.
ste-
roid ini beredar dan merangsang placenta induk untuk menghasilkan
PGF2~
dan menaikkan produksi estrogen,
sedang produksi progesteron direduksi.
Hal ini di-
buktikan dengan mengadakan hipofisectomi foetus yang
28 masih dalam kandungan.
Dengan jalan membuang hipofi-
se atau adrenal, maka kebuntingan yang bias a dilampaui.
Sedang ke dalam foetus yang normal pad a waktu
kebuntingan belum dilampaui, disuntikkan ACTH atau steroid maka proses kelahiran dapat dipercepat.
Sebagai
kesimpulan penelitian ini didapat gambaran bahwa pada waktu foetus dalam kandungan telah mencapai umur tertentu maka dari pusat otak timbul rangsangan ke hipothalamus memproduksi releasing hormon (RH) untuk ACTH, dan selanjutnya RH ini dikirimkan ke hipofise melalui sistem portal.
Hipofise menghasilkan ACTH dan kelen-
jar adrenal menghasilkan steroid yang dapat merangsang placenta induk (caruncula) untuk menghentikan produksi progesteron, menambah produksi estrogen dan merangsang pembentukan PGF 2 C>(.
Sesuai dengan fungsi prostaglan-
din, maka prostaglandin akan merangsang kontraksi otot uterus.
Semakin ban yak prostaglandin dihasilkan sema-
kin kUat kontraksi tersebut. Mc Cracken (1972) dalam Partodihardjo (1980) menerangkan bahwa prostaglandin yang dihasilkan oleh uterus selain mengalir ke jantung via vena, ada juga yang menyeberang ke arteri ovarica dan mempengaruhi corpus luteum yang sedang berfungsi berdegenerasi dan menurunkan produksi progesteron. Hunter et al (1969) dalam Toelihere (1985) menerangkan bahwa timbulnya partus, walaupun belum dimengerti sepenuhnya, mungkin disebabkan oleh peningkatan
29 gradual kadar estrogen dari placenta pada akhir masa kebuntingan dan penurunan kadar progesteron karena pelepasan PGF
o< dari placenta atau uterus. Estrogen 2 menstimulir sekresi PGF2~ dari placenta atau uterus, PGF2~
akan menstimulir kontraksi miometrium.
Hormon
oxytocin dari hipofise berperan dalam perejanan dan kadarnya mencapai pucak selama pengeluaran foetus, laIu menurun kembali.
Pelepasan oxytocin ini menyebab-
kan pelepasan
dalam jumlah besar dan meningkat-
PGF2~
kan potensi kegiatan uterus.
Jadi dalam proses keIa-
hiran anak sangat ditentukan oleh hormon oxytocin, sedang prostaglandin peranannya tidak begitu menonjol.
PEMBAHASAN Aktivitas prostaglandin yang paling banyak mendapat perhatian para peneliti pada proses reproduksi adalah peranannya dalam dalam luteolisis dan ovulasi.
Sedang pera-
nan lainnya masih kurang mendapat perhatian. Proses luteolisis terjadi pada akhir fase diestrus dari siklus berahi.
I"uteolisis ini adalah akibat dari regre-
si corpus luteum yang disebabkan oleh pengaruh prostaglandin uterus yang diprodul<si secara periodik, kemudian mengalir ke dalam vena uterina media lalu menembus dinding vena dan arteri ovariea yang keduanya terletak berdampingan. Selanjutnya prostaglandin mengalir dalam arteri ovarica menuju ovarium dan melisis corpus luteum.
Peristiwa ini te-
lah dibuldikan pada ternak sapi, domba dan babi.
Teori ini
dikemukakan oleh Partodihardjo (1980). Sehubungan dengan teori diatas, ll,c Donald (1980) juga meneliti tentang sirkulasi prostaglandin ini.
Secara fisi-
ologis pada sapi, domba dan babi prostaglandin dialirkan dari vena ke arteri berdasarkan perbedaan konsenterasi antara vena dan arteri.
Dalam hal ini konsenterasi di dalam
vena le bih tinggi di banding arteri.
Nekanisrne ini dikenal
dengan istilah perembesan lintas vena-arteri (counter current mechanism). Pada kuda dan kelinci, prostaglandin tidak rnengikuti counter current mechanism, tetapi dialirkan rnelalui sirkulasi sistemik sehingga half-lifenya sangat singkat karena
31
domba
Gambar 5 • Diagram perbandingan posisi dari arteri dan vena tanduk uterus yang berdekatan dengan ovarium domba yang memiliki pengaruh luteolitik unilateral, dan kuda yang pengaruh luteolitiknya belum diketahui. Pada domba arteri ovarica berliku-liku dan berhubungan erat dengan vena utero-ovarica yang mengalirkan sebagian besar darah dari uterus. Pada kuda,arteri ovarica relatif lurus dan berada di caudal vena utero-ovarica. (Ginther, 1974). sebagian besar dirusak di paru-paru.
Hal ini disebabkan
adanya perbedaan anatomi antara heY/an ruminantia dengan kuda, dimana pada kuda arteri ovarica tidak berkontak dengan erat dengan vena utero ovarica (Gam bar 5 ) •
Arteri
ovarica kontak dengan vena utero ovarica hanya pad a tempat yang terbatas dan melewatinya dengan posisi menyilang (Ginther, 1974). Mengenai terjadinya luteolisis ini bisa saja akibat kontriksi pembuluh darah utero ovarian yang akan menyebabkan ischemia dan akhirnya sel-sel corpus luteum akan
32
PG melelvi A. ova-rian meregresikan CL
Trensfer dari vena vterina ke A. Ovarian (counter cvrrent) Gambar 6 • Prostaglandin ditransfer dari uterus ke vena uterina melalui mekanisme countercurrent. (Me. Donald, 1969).
Estrus
•••
I
Progresteron . ,
LH
-,
-PGF 20(
Estradiol
t
1
o ••
0
,
ID
11..
I~
o
..
days of eH.l"Ous t.)'C.le.
Ga mbar 7
Grafik siklus berahi pada domba, terlihat peranan PGF?« dalam meregresikan corpus luteum. (Cacrwell et ~. In : Me Donald, 1980).
33 mengalami degenerasi akibat kekurangan oksigen dan makanan. Di samping itu kemungkinan lain adalah akibat corpus luteum yang telah tUa, juga akibat hilangnya hormon yang diperlukan untuk kelangsungan hidup dan fungsinya.
Teori ini
dikemukakan oleh Goding yang dikutip oleh Haryana (1979). Mengenai proses sekresi prostaglandin pada pengaturan siklus berahi pada do mba diterangkan bahwa pada akhir diestrus, corpus luteum yang berperan menenangkan alat kelamin dengan progesteronnya, mengalami regresi akibat pengaruh prostaglandin uterus.
Prostaglandin mempunyai sifat luteo-
lisis terhadap corpus luteum.
Dengan terjadinya regresi
corpus luteum maka produksi progesteron menurun (Gambar 7), hal ini akan menyebabkan pencegahan produksi FSH-RH/LH-RH oleh hipotalamus dihilangkan, maka FSH-RH/LH-RH dilepaskan ke dalam sistem porta pada hipofise.
Selanjutnya FSH-RH/
LH-RH merangsang produksi FSH yang disusul oleh produksi LH oleh hipofise anterior.
FSH merangsang pengembangan fo-
likel pada ovarium untuk tumbuh menjadi folikel de Graaf. Lapis sel theca interna dan sel granulosa adalah sebagai penghasil estrogen.
Estrogen mempunyai daya mencegah pro-
duksi FSH dan daya rangsang terhadap LH.
Setelah kadar
estrogen dalam darah meningkat, maka terjadilah efek positif terhadap produksi LH dari hipofise anterior.
Kadar LH
dalam darah mendadak meningkat sedemikian rupa sehingga terjadilah ovulasi.
Setelah ovulasi terjadi, kadar LH me-
nurun dengan cepat, tetapi tidak kembali ke kadar dasar, melainkan cukup untuk merangsang sel-sel theca interna
34 untuk membentuk sel-sel corpus luteum yang akan memproduksi progesteron.
Setelah folikel de Graaf pecah, produksi
estrogen turun dengan cepat.
Penurunan ini diikuti oleh
kenaikan produksi FSH secara gradual.
FSH diperlukan oleh
ovarium untuk merangsang pertumbuhan folikel.
Folil';:el yang
tumbuh secara gradual mempertinggi kadar estrogen dalam darah.
Setelah kadar estrogen dalam darah meningkat, maka
terjadilah rangsangan pada masa uterus untuk memproduksi prostaglandin.
Prostaglandin ini akan mnyebabkan luteoli-
sis dan progesteron secara tajam menurun.
Dengan menurun-
nya kadar progesteron dalam darah maka estrogen menjadi dominan pada alat reproduksi hingga terjadilah estrus.
Demi-
kianlah siklus berahi terjadi (Partodihardjo, 1980). Pada proses luteolisis ini prostaglandin selain ditransfer dari uterus ke ovarium melalui jalan darah juga ditransfer melalui jalan limfe.
Hal ini telah dibuktikan oleh Reap
et al (1985) dengan percobaannya pada domba.
Dalam peneli-
tiannyaLH 3}PGF2 ", diinfus ke dalam pembuluh limfe uterus dalam waktu 1 jam, atau disuntikkan ke lumen uterus domba dalam keadaan terbius 7 - 15 hari sesudah estrus. injeksi intra luminal,
PGF2~
Setelah
yang dilabel diperoleh di da-
lam limfe uterus, kemudian dihasilkan konsenterasi maksimum radio aktif dalam plasma 5.6 dan 1.7 kali lebih tinggi berturut-turut
di dalam vena utero ovariea dibanding pad a
plasma arteri earotis.
Bukti dari pemindahan lokal diper-
kuat oleh kehadiran konsenterasi yang lebih tinggi. dari R3 yang dilabel di dalam ovarium dan corpus luteum yang
35 berdekatan dengan tempat pemberian intralymphatic dibanding dengan organ yang berlawanan.
Hasil ini menunjukkan bahwa
[H31PGF2~ ditransfer secara lokal dari pembuluh limfe uterus ke ovarium, corpus luteum dan vena ovarica yang terdekat. oleh
Berkaitan dengan pembuktian regresi corpus luteum PGF2~
secara periodik, Flint dan Hillier (1975) menga-
'dakan pemisahan arteri ovarica dari vena uterus, ternyata hal ini dapat mencegah terjadinYa regresi corpus luteum. Percobaan ini dilakukan pada masa diestrus dari siklus berahi, yang berakibat corpus luteum bertahan. Pada proses ovulasi mekanisme kerja prostaglandin belum ban yak diketahui, namun menurut laporan Karim (1975) prostaglandin bekerja dengan mempengaruhi permeabilitas pembuluh darah di sekitar folikel de Graaf.
Hal ini mung-
kin akan menyebabkan cairan darah akan masuk ke dalam cairan fOlikel sehingga dinding folikel meregang.
Kemudian
Kirton (1975) melaporkan bahwa terdapat peningkatan konsenterasi prostaglandin pada cairan folikel menjelang ovulasi pada tikus dan l{elinci.
Kemudian dia memberi prostaglandin
sintetis inhibitor (indomethacin) intrafolikuler, ternyata ovulasi tidak terjadi. Pada masa kebuntingan, foetus mungkin bekerja menghambat sekresi PGF 20( oleh uterus sehingga corpus luteum tetap dipertahankan (Niswendar et al, 1974; Jaenudeen dan Hafez,
1980).
Namun yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana me-
kanisme foetus untuk menghambat pelepasan
PGF2~
tersebut.
Jawaban yang dapat diterima sampai sekarang bahwa yang
Tubt
OvO'lOn vtins on::! ortery
, X
Gambar 8. Diagram gambaran dari suplai darah untuk uterus, ovarium dan tuba falopii pada domba. (Flint dan Hillier dalam:Karim, 1975) menghambat pelepasan
PGFZ~
ini adalah kebuntingan itu sendi
ri dan juga oleh pengaruh hormon progesteron yang dominan dalam darah pada masa kebuntingan.
Sehubungan dengan penda_
pat di atas, Gimenez et al (1975) melaporkan bahwa konsenterasi PGFZc( dalam plasma darah lebih tinggi di pembuluh umbilikal dan vena uterina dibanding pada vena ovarica dan arteri uterina. dio immuno assay.
Kadar PGF
0( ini diukur dengan metode raZ Demikian juga halnya dengan PGEZ menun-
jukkan kecenderungan ke arah nilai yang lebih tinggi pada umbilikal dari pembuluh maternal.
Jadi pada masa kebunti-
ngan ini yang berperan penting dalam menghambat pelepasan prostaglandin adalah foetus sendiri dan placenta maternal. Dalam proses fertilisasi peranan prostaglandin belum ban yak diperhatikan oleh peneliti.
Dalam laporan Karim
37 dan Hillier (1975) ditemukan peningkatan motilitas sperma secara in vitro setelah penambahan preparat prostaglandin ke dalam mucus cervix.
Juga telah dilaporkan prostaglan_
din ini bekerja dengan mempengaruhi motilitas uterus dan tuba falopii sehingga mempercepat migrasi sperma dalam tractus genital hewan betina.
Hal ini sesuai dengan kemam-
puan prostaglandin dalam mengkontraksikan otot polos.
Pa-
da laki-laki prostaglandin turut membantu menjaga peristaltik penis pada saat terjadinya ejakulasi.
Teori ini
masih dalam penelitian para ahli. Mengenai proses kelahiran (partus) cukup ban yak dilaporkan oleh para peneliti tentang keterlibatan prostaglandin pada proses tersebut.
Diantaranya adalah oleh Kalten-
bach dan Dunn (1980) dalam Hafez (1980) diterangkan bahwa pada domba dan kambing ditemukan bukti adanya peningkatan pelepasan PGF 20( oleh uterus yang paralel dengan estrogen. Pada sapi estrogen meningkat secara linier selama bulan terakhir masa kebuntingan.
Selanjutnya terjadi penurunan
progesteron yang diikuti oleh pelepasan uteri.
PGF2~
dari vena
Peningkatan kadar PGF dalam vena uteri terjadi da-
lam 24 jam prepartum, sebagai sumbernya adalah placenta, atau endometrium.
Sintesa PGF ini distimulir oleh kadar
corticoid dari kelenjar adrenal foetus (Liggins lam: Donald, 1980).
et.~.
da-
Dalam hal ini PGF bekerja sebagai sti-
mulant yang kuat terhadap miometrium.
(Diagram ko.ntrol
foetus terhadap partus ada pada Gambar 9).
Selanjutnya
dijelaskan bahwa kenaikan kadar glucocorticoid dari foetus
38 Hypothalamus
1
Hypophyse Anterior ACTH (+)
1
f
o e t
Cortex Adrenal Cortisol (+)
u
s
1
Placenta r---Estrogen
(+)
i n d
u k
Hypopyse posterior
Cervix
Oxytocin (+) Myometrium
Corpus luteum Progesteron.
Gambar 9 • Skema Diagram Mekanisme Pengontrolan Kelahiran pada hewan. (Donald, 1980).
39 untuk sementara dihubungkan dengan kenaikan pengeluaran PGF2~
dan estrogen dari placentom.
Akibat keadaan terse-
but terjadi penurunan produksi progesteron.
Dalam hal ini
terjadinya kenaikan kadar estradiol dan PGF didahului oleh kemunduran progesteron, dengan demikian akan menyebabkan kontraksi otot uterus.
Menjelang kelahiran, kadar estro-
gen bekerja mempertahankan aktivitas spontan miometrium serta mempertinggi sensitifitas terhadap hormon oksitocin. Oksitocin ini mendapat bantuan dari
yang akan menye-
PGF2~
babkan kontraksi, sensitifitas dan berhentinya pertumbuhan uterus.
Jadi menurut uraian di atas
PGF2~
mempunyai dua
tugas dalam proses kelahiran, yaitu menyebabkan luteolisis dengan segera sebelum kelahiran dan menyebabkan pelepasan oksitocin pada hewan yang kebuntingannya dipelihara oleh hormon-hormon placenta (contohnya domba).
Mengenai profil
hormon menjelang partus dijelaskan oleh Flint dan Hillier (1975), diterangkan bahwa menjelang partus, disamping perubahan kadar PGF pada vena utero oVarica, juga konsenterasi progesteron pada pembuluh peri fer induk menurun serta estrogen meningkat.
studi ini menunjukkan bahwa pada dom-
ba perubahan ini dipercepat oleh stimulasi dari cortex adrenal foetus, yang menghasilkan kenaikan kadar cortisol selama 5 - 10 hari terakhir kebuntingan.
Peningkatan ka-
dar cortisol foetus, menyebabkan kadar progesteron induk menurun 4 - 8 hari pre partum.
Kemudian kadar estrogen dan
PGF uterus meningkat secara paralel kira-kira 24 - 48 jam pre partum (Gambar 10).
Kontraksi uterus mulai terjadi
40
Gambar 10. Perubahan konsenterasi progesteron, estrogen dan PGF dalam plasma vena cava posterior domba menjelang kelahiran. (Pr) (.) : Konsenterasi progesteron dalam ng/ml (PG) (0) : Konsenterasi PGF dalam ng/ml (Es) (4) : Konsenterasi estrogen dalam ng/ml Dikutip dari Karim (1975). 1 - 12 jam prepartum.
Sehubungan dengan peranan
PGF2~
da-
lam proses kelahiran, Buckle dan Nathanielsz (1975) meneliti perbedaan waktu kelahiran akibat penyuntikan PGF dan akibat ovariectomi pada tikus.
Pada penyuntikan
2
o<.
PGF2~
intraaortical dalam waktu 11.5 jam pada hari ke-18 kebuntingan, dengan dosis yang lebih besar
5~g/jam
prematur selalu terjadi setelah 40 - 41 jam.
kelahiran Pad a dosis
yang lebih kecil, beberapa hewan mengalami kelahiran prematur dan yang lainnya normal.
Kelahiran tidak dapat
41 diinduksi 1ebih ngan kontinu,
c€pat dari 40 jam setelah penyuntikan deJ a d i dalam perco,baan ini penurunan proges-
teron dipercepat
dibanding pada kelahiran normal, walaupun
pada konsenterasi
15 - 30 ng/ml.
akhir pada saat partus sama-sama antara
P ada hewan yang diovariectomi bilateral
melahirkan setelah 53.5:t 4.3 jam, jadi lebih lama dibanding dengan pembe rian PGF 2 ex.
Hal ini mungkin aksi dari
PGF 20< dari placenta serta akibat peran yang dominan dari
progesteron yang
dihasilkan oleh placenta tikus.
Kemudian
Inskeep (1973) dilaporkan bahwa kadar PGF c>< dalam plasma 2 perifer meningkat oleh pengobatan esrogen dan akibat ovariectomi, tetapi
PGF <x dari endometrium menurun oleh pem-
berian progesteron.
2
Jadi pada saat menjelang partus pros-
taglandin dan estrogen bekerja secara synergis.
KESIMPUI,AN Beberapa hal yang dapat disimpulkan dari studi literatur mengenai aktivitas prostaglandin F2<X pad a proses reproduksi adalah 1. Pad a siklus berahi PGF 20( bekerja meregresi corpus lu-
teum bila ovulasi tidak diikuti proses kebuntingan. Secara fisiologis PGF 2 C( mengalir dari vena ke arteri berdasarkan perbedaan konsenterasi. 2. Pada proses ovulasi, menurut dugaan prostaglandin bekerja dengan mempengaruhi permeabilitas pembuluh darah di sekitar folikel de Graaf.
3. Pada periode kebuntingan foetus beserta placenta maternal berperan dalam mengontrol pelepasan PGF
C(.
2
4. Pada proses kelahiran, PGF
D( mempunyai dua tugas, yai2 tu menyebabkan luteolisis dengan segera sebelum kelahi-
ran dan menyebabkan pelepasan oksitocin yang berperanan penting dalam pengeluaran anak.
5. Aktivitas prostaglandin dalam fertilisasi dan peranannya dalam sistem reproduksi hewan jantan masih dalam penelitian.
DAF'J'AR PUSTAKA Bell, G. H., J. N. Davidson and D. Emsile-Smith. 1972. Text Book of Physiology and Biochemistry. Eight Ed. The William and Wilkins Company. Baltimore. Booth, L. C. W., D. Oxender, R. H. Doughlas and S. L. Woodley. 1976. Estrus, Ovulation, and Serum Hormones in Hares Given PGF 2 c<. , Estradiol and Gonadotropin Releasing Hormone. Am. J. Vet. Res. ~: 120-122. Brander, G. C. and D. H. Pugh. 1977. Veterinary Applied Pharmacology and Therapeutics. Third Ed. The English Language Book Society and Bailliere Tindall. London. Buckle, J. W. and P.W. Nathanielsz. 1975. A comparison of the characteristic of parturition induced by prostaglandin F2 0<. , infused intra-aortically, with those following ovariectomy in the rat. J. Endoc. ~:
257-266.
Curtis-Prior, P. B. 1976. Prostaglandin and Introduction to Their Biochemistry, Physiology and Pharmacology. North Holland Publishing Company. Amsterdam, New York, Oxford. Flint, A. P. F. and K. Hillier. 1975. Prostaglandins and Reproductive Processes in Female Sheep and Goat. Dalam: Prostaglandins and Reproduction. (ed) S. M. H. Karim. Lancaster. M. T. P. Gillete, D. D. and L. Holm. 1963. Prepartum to Postpartum uterine and Abdominal contractions in Cows. Dalam: Ilmu Kebidanan Pada Ternak Sapi dan Kerbau. (ed) M. R. Toelihere, 1985. UI Press. Jakarta. Gimenez, T., T. M. Louis and D. M. Henricks. 1975. Fetal Maternal Secretion of Prostaglandins in the Cow. Prostaglandins. £2: 511-517. Ginther, O. J. 1974. Internal Regulation of Physiological Processes Through Local Venoarterial Pathways: A Review. J. Anim. Sci. }2: 550-563. ____~~~~____--~_. Veterinary Aspects of Regression of the CorpusLuteum by the Uterus and Prostaglandins. Uni versi ty 0 f Wisconsin, ~1adison, Wisconsin 53706. Greenstein, J. S. and R. C. Foley. 1958. Early Embriology of the Cow. Dalam: Ilmu Kebidanan Pe.da Ternak Sapi dan Kerbau. (ed) H. R. Toelihere, 1985. UI PrelEs. Jakarta.
44 Hafez, E. S. E. 1980. Reproduction in Farm Animals. Ed. Lea and Febiger. Philadelphia.
4th
Haryana, 1. G. N. K. 1979. Pengaruh PGF ex Terhadap Ovulasi pada Domba Priangan. Tesis Magfster Sains. SPS IPB. Bogor. Heap, R. B., I. R. Fleet and M. Hamon. 1985. Prostaglandin F 0( is Transfered From the Uterus to the Ovary in th~ sheep by Lymphatic and Blood Vascular Pathways. J. Reprod. Fert. ~: 645-656. Inskeep, E. K. 1973. Potensial uses of Prostaglandins in Control of Reproduction Cycles of Domestic Animals. J. Anim. Sci. }Q: 1149-1153. Jaenudeen, M. R. and E. S. E. Hafez. 1980. Gestation, Prenatal Physiology and Parturition. Dalam: Reproduction in Farm Animals. 4th Ed. (ed) E. S. E. Hafez. Lea and Febiger. Philadelphia. Kaltenbach, C. C. and T. G. Dunn. 1980. Endocrinology of Reproduction. Dalam: Reproduction in Farm Animals. 4th Ed. (ed) E. S. E. Hafez. Lea and Febiger. Philadelphia. Karim, S. M. M. and K. Hillier. 1975. Physiological Roles and Pharmacological Actions of Prostaglandins in Relation to Human Reproduction. Dalam: Prostaglandins and Reproduction. (ed) S. M. M. Karim. Lancaster. M. T. P.
Karim, S. M. M. Lancaster.
1975. Prostaglandins and Reproduction. M. T. P.
Kirton, K. T. 1975. Prostaglandins and Reproduction in Sub-Human Primates. Dalam: Prostaglandins and Reproduction. (ed) S. M. M. Karim. Lancaster. M. T. P. Kuehl, F. A. Jr., R. W. Egan and J. L. Humes. 1981. Prostaglandin Cyclooxygenase. Dalam: Golden Jubiles International Congress: An essensial Fatty Acids and Prostaglandins. (ed) R. T. Holman. Pergamon Press. Oxford, New York, Tornto, Sidney, Paris, Frankfurt. Mc Donald, L. E. 1980. roduction. 3rd Ed.
Veterinary Endocrinology and RepLea and Fabiger. Philadelphia.
Moncade, S. and J. R. Vane. 1980. Prostaglandins, prostacyclin and thromboxane A2 • Dalam: Farmakologi Prostaglandin, Thromboxan dan prostasiklin. (ed) B. Setiawan. Bagian Farmakologi. FKUI. Jakarta.
45 Nasution, S. H. 1983. The Use of Delayed Implantation Model in the Study of Hormonal Requirement for Implantation in the Rat. Thesis Doctor of Philosophy. University of Illinois at Urbana-Champaign. Parnham, M. J., J. 1'1. Sneddon and K. 1. :Villiams. 1975. Evidencefor A possible foetal control of Prostaglandin Release from the pregnant rat uterus in vitro. J. Endocr. 22: 429-437. Partodihardjo, S. Jakarta.
1980.
Ilmu Reproduksi Hewan.
Mutiara.
Niswendar, G. D., T. M. Nett and A. M. Akbar. 1974. The Hormones of Reproduction. Dalam: Reproduction in Farm Animals. 3rd Ed. (ed) E. S. E. Hafez. Lea and Febiger. Philadelphia. Samuelson, B. 1963. Isolation and Identification from Human Seminal Plasma. J. Biol. Chern. 238: 3229-3334. Schneider, W. P. 1972. The Chemistry of the Prostaglandin. Dalam: Pro staglandin Pro gre ss in Research. (ed) S. H. M. Karim. Lancaster. M. T. P. Sihombing, D. T. H. 1973. Hormon dan Fisiologi Endokrin. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Tjokronegoro, A. dan B. Setiawan. dan Implikasi Klinis. FKUI. Toelihere, M. R. 1981. Angkasa. Bandung. dan Kerbau.
1983. Prostaglandin Jakarta.
Fisiologi Reproduksi Pada Ternak.
1985. Ilmu Kebidanan Pada Ternak Sapi UI Press. Jakarta.
Zarrow, M. x. 1968. Hormones of Reproduction. Dalam: Reproduction in Farm Animals. 2nd Ed. (ed) E. S. E. Hafe z. Lea and Febiger. Philadelphia.