PUTUSNYA PERKAWINAN BERDASARKAN GUGATAN YANG DIAKIBATKAN OLEH PELANGGARAN TA’LIK TALAK Studi Kasus Nomor Putusan : 266 / Pdt.G / 2006 / PA. TNG ( Pengadilan Agama Tangerang )
Abdul Majid 202044101185
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA PROGRAM STUDI AL-AKHWAL SYAKHSIYYAH FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1430 H/2009 M
28
29
PUTUSNYA PERKAWINAN BERDASARKAN GUGATAN YANG DIAKIBATKAN OLEH PELANGGARAN TA’LIK TALAK Studi Nomor Putusan :266 / Pdt. G / 2006 / PA. TNG (Pengadilan Agama Tangerang)
SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Hukum Islam Oleh : Abdul Majid NIM : 202044101185
Dibawah bimbingan
Dr. H. Ahmad Mukri Adji, MA NIP. 150 220 554
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA PROGRAM STUDI AL- AKHWAL SYAKHSIYYAH FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1430 H/2009 M
30
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul PUTUSNYA PERKAWINAN BERDASARKAN GUGATAN YANG DIAKIBATKAN OLEH PELANGGARAN TA’LIK TALAK (STUDI KASUS
PADA
NOMOR
PUTUSAN:
266/PDT.G/2006/PA.TNG.
DI
PENGADILAN AGAMA TANGERANG) telah diujikan dalam Sidang Munaqasah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 18 Maret 2009. skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) pada Program Studi Ahwal Syakhshiyyah. Jakarta, 18 maret 2009 Mengesahkan, Dewan Fakultas Syariah dan Hukum
Prof.DR.H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM NIP. 150 210 422
PANITIA UJIAN 1. Ketua
: Drs. Djawahir Hejazziey, SH, MA 130 789 745
(………………)
2. Sekretaris
: Drs.H. Ahmad Yani 150 269 678
(………………)
3. Pembimbing
: DR.H.A. Mukri Adji, MA 150 220 554
(………………)
4. Penguji I
: Drs. Djawahir Hejazziey, SH, MA 130 789 745
(………………)
5. Penguji II
: Drs.H. Ahmad Yani 150 269 678
(………………)
31
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika dikemudian hari terbukti karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Tangerang, 2 April 2009
Abdul Majid
32
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmaanirrahim. Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberi rahmat, hidayah serta pertolongan-Nya, bahwa penulis telah dapat menyelesaikan skripsi ini yang merupakan suatu persyaratan untuk menyelesaikan masa kuliah di Fakultas Syari’ah dan HukumUIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Shalawat serta salam semoga dilimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW, sebagai Nabi terakhir yang membawa Syari’at Islam sampai akhir masa, dan telah membawa banyak kemaslahatan kepada seluruh umat manusia. Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih banyak atas segala bantuan, dorongan serta bimbingan yang diberikan pada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Untuk itu, patut kiranya Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya perlu penulis sampaikan kepada : 1. Bapak Prof. Dr. H. M. Amin Suma, SH, MA, MM selaku dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum. 2.
Bapak Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MH. Selaku ketua jurusan Akhwal Al-Syakhshiyah.
3. Bapak Kamarusdiana, SH, MH., selaku sekertaris jurusan yang dengan sibuk mengurus ujian komprehensif dan ujian skripsi. Serta pembimbing ketika mengikuti KKS 2005 di Cianjur
33
4. Bapak Dr. H. Ahmad Mukri Adji, MA selaku pembimbing yang sudah meluangkan waktunya untuk memberikan arahan dan pengajaran kepada saya sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. 5. Kedua orang tua penulis beserta keluarga besar, yang memberikan semangat dan dukungan baik moril maupun materil. 6. Semua teman-teman PA (Peradilan Agama) angkatan 2002, dan teman-teman PonPes Tahfidz Al- Qur’an, Al-Mu’awanah, yang telah memberikan dorongan, semangat serta pemikiran-pemikiran yang memberikan banyak masukan dalam skripsi ini. Bil khusus buat Khaerul Munawir S.P.d.i yang telah menemani dalam wawancara di Pengadilan Agama, semua pengurus Perpustakaan Syari’ah, dan kepada anak-anak Kaum Kribo, PB Berdikari The DJAVU (Djakarta Vespa UIN). Terutama: Achmad Muhajir SHI yang selalu memberikan doa dan semangat, Fikri, Robi, H. Fahad, Fitri, Neneng, Firman (Bogel), Hafidz Ali, Ipud, Firman (Baros), De Rossi, Joko yang selalu siap menemani disaat suntuk, Salim, Bayu N V-Men makasih atas jasa rental B-COM, serta umat Nabi Muhammad yang tidak bisa kami sebutkan semuanya. Dan mereka inilah yang selalu menemani dan membenarkan serta memberikan informasi tentang penyelesaian skripsi kami. 7. Kepada siapa saja yang telah membantu terselesaikannya skripsi ini. Seiring dengan itu, saya berdo’a semoga amal kebaikan mereka memperoleh ridha Allah SWT. Penulis sadar bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu kritik dan saran yang membangun penulis terima dengan tangan terbuka.
34
Harapan penulis, semoga karya yang sederhana ini ada manfaatnya bagi instansi dan pihak-pihak yang memerlukannya. Hanya kepada Allah SWT, penulis serahkan semoga jasa-jasa baik para Bapak, ibu dan saudara yang telah diberikan kepada penulis mendapat imbalan yang berlipat ganda, Amin.
Tangerang, 2 April 2009
Penulis
35
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ………………………………………………...……i DAFTAR ISI ………………………………………………………………. iv BAB I. PENDAHULUAN ………………………………………………. 1 A. Latar Belakang Masalah …………………………………….
1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ……………………….
5
C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian ……………………………..
6
D. Metode Penelitian …………………………………...………
7
E. Sistimatika Penelitian ……………………………………… 8 BAB II. TINJAUAN UMUM TENTANG GUGATAN DAN TA’LIK TALAK …………………………………………………………. 10 A. Pengertian Dan Dasar Gugatan ……………………………..10 B. Syarat-syarat Dan Proses Memajukan Gugatan …………….16 C. Pengertian Ta’lik Talak ……………………………………..
21
D. Fungsi Dan Tujuan Ta’lik Talak ……………………….…..23 BAB III. TUGAS DAN WEWENANG PENGADILAN AGAMA TANGERANG …………………………………………………. 27 A. Fungsi Pengadilan …………………………………………..27 B. Jenis Perkara Yang Menjadi Wewenang Pengadilan Agama ..
35
C. Jumlah Perkara Terdapat Di Pengadilan Agama Tangerang ..
38
D. Faktor-faktor Yang Menjadi Penyebab Terjadinya Pelanggaran Ta’lik Talak Yang Dilakukan Oleh Suami ………………….
41
BAB IV. MASALAH GUGAT CERAI KARENA PELANGGARAN TA’LIK TALAK DI PENGADILAN AGAMA TANGERANG
47
36
A. Proses Gugatan Cerai Karena Pelanggaran Ta’lik Talak …… B. Proses Pemeriksaan Gugatan Perceraian Karena Pelanggaran Ta’lik Talak Dan Kaitannya Dengan Pasal 19 PP. No.9 Tahun 1975 ………………………………………………………….
50
C. Putusnya Perkawinan Akibat Gugatan Perceraian Karena Pelanggaran Ta’lik Talak ………………………….. 61 BAB V PENUTUP ……………………………………………………... 71 A. Kesimpulan ………………………………………………….. 71 B. Saran ……………...…………………………………………. 72 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN
47
37
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal abadi berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
1
Berdasarkan pengertian
perkawinan tersebut maka akan timbul hak dan kewajiban dari seorang pria dan wanita sebagai pasangan suami istri. Menurut agama Islam hak dan kewajiban suami istri tercermin dalam kehidupan sehari-hari antara keduanya. Pergaulan tersebut merupakan pergaulan yang ma’ruf, sakinah, mawaddah dan saling menjaga rahasia masing-masing.2 Pada prinsipnya perkawinan mempunyai tujuan yang menurut Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan, adalah membentuk keluarga bahagia dan kekal, masing-masing suami istri saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan material.3
1
Undang-undang No. 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan di Indonesia pasal 1, Surabaya: Arkola. 2
M. Idris Ramulyo, Tinjauan Beberapa Pasal Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Dari segi Hukum Perkawinan Islam, Jakarta, Ind-Hill, 1990, h, 67. 3
A. Rofik, Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000, Cet. Ke-4, h. 268.
38
Dari uraian di atas, maka menjadi jelas bagaimana posisi suami istri serta peran yang dimiliki masing-masing. Oleh karena itu menjadi penting adanya perjanjian atau jaminan yang bisa dibuat patokan agar perkawinan berjalan dengan baik. Perjanjian atau jaminan telah di atur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 45 dan 46 yaitu perjanjian ta’lik talak terlepas dari perbedaan peraturan yang terdapat dalam Undangundang No. 1 tahun 1974 pasal 29 yang menyatakan bahwa ta’lik talak adalah suatu perjanjian kedua belah pihak.4 Akan tetapi upaya untuk tetap mempertahankan kebahagiaan rumah tangga sering kali tidak berjalan dengan mulus tanpa adanya keributan, tidak jarang dalam suatu kehidupan rumah tangga banyak mengalami hambatan-hambatan, sehingga sukar mempertahankan keutuhannya. Dalam keadaan demikian biasanya mereka memilih mengakhiri perkawinan dengan perceraian. Berakhirnya perkawinan dengan perceraian di pengadilan dapat terjadi atas kehendak dari salah satu pihak, baik dari istri atau suami. Dalam hal suami yang berkehendak untuk cerai maka suamilah yang mengajukan permohonan izin talak ke pengadilan, suami berkedudukan sebagai pemohon dan istri sebagai termohon. Apabila perceraiannya itu atas kehendak istri,
maka istri harus mengajukan gugatan cerai,
sehingga kedudukan istri sebagai Penggugat dan suami sebagai Tergugat.5
4
Ibid, h. 269. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, Jakarta: Pustaka Pelajar, 1996, Cet. Ke-1, h. 39-40. 5
39
Dalam hal suami mengajukan permohonan cerai maka harus disertai alasanalasan yang diperkenankan oleh Undang-undang yaitu alasan-alasan dalam Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 pasal 19, sebagai berikut: a.
Salah satu pihak berbuat zina, atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan sebagainya yang sukar disembuhkan.
lain
b. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa seizin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya. c.
Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
d. Salah satu melakukan kekejaman atau penganiayan berat dan membahayakan kepada pihak yang lain. e.
Salah satu pihak mendapat cacat anggota badan atau penyakit lain yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri.
f.
Antara suami dan istri terus menerus menjadi perselisihan dan pertengkaran yang tidak ada harapan untuk damai, serta tidak ada harapan akan hidup rukun kembali dalam rumah tangga.6 Disamping itu yang tercantum dalam pasal 16 huruf h Intruksi Presiden Nomor 1
tahun 1991, yaitu: “Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan rumah tangga”.
dalam
Demikian pula dalam hal istri mengajukan gugatan cerai maka alasan-alasan yang dapat dipergunakan adalah alasan-alasan seperti tercantum dalam pasal 19 huruf a 6
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 1, h. 48.
40
sampai dengan huruf f tersebut dalam Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 dan alasan-alasan dalam pasal 116 huruf g dan Intruksi Presiden No. 1 tahun 1991, yaitu: a. Suami melanggar ta’lik talak. b. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga. Adapun dalam hal suami melanggar ta’lik talak lebih diperinci lagi, adalah sebagai berikut : Suami setelah akad nikah mengucapkan ikrar ta’lik talak : Yaitu, sewaktu-waktu saya: (1) Meninggalkan istri saya tersebut selama dua tahun berturut-turut. (2) Atau saya tidak memberi nafkah wajib kepadanya tiga bulan lamanya. (3) Atau saya menyakiti badan/jasmani istri saya. (4) Atau saya membiarkan/tidak memperdulikan istri saya selama enam bulan lamanya.
“Kemudian istri saya tidak ridha dan mengadukan halnya kepada Pengadilan Agama atau petugas yang diberi hak mengurus pengaduan itu, dan pengaduannya dibenarkan serta diterima oleh pengadilan atau petugas tersebut dan istri saya membayar Rp. 10.000,- sebagai iwadl (pengganti) kepada saya, maka jatuhlah talak saya satu kepadanya. Kepada pengadilan atau petugas tersebut tadi saya kuasakan untuk menerima uang iwadl (pengganti) itu dan kemudian memberikannya untuk keperluan ibadah sosial”.7
7
Departemen Agama RI, Buku Akte Nikah, Jakarta: 2005.
41
Dari kejadian-kejadian yang penulis temui ketika mengadakan riset pada Pengadilan Agama Tangerang, penulis merasa tertarik untuk mengangkat masalah tersebut sebagai tema skripsi penulis. Oleh karena itu penulis mengambil judul skripsi tentang “Putusnya Perkawinan Berdasarkan Gugatan Perceraian yang di Akibatkan Oleh Pelanggaran Ta’lik Talak (Di Pengadilan Agama Tangerang)”. Karena penulis ingin mengetahui lebih jauh tentang keadaan yang selama ini terjadi, yaitu bahwa berdasarkan pengamatan ternyata gugatan cerai yang diajukan pihak istri menempati posisi tertinggi dibandingkan dengan permohonan yang diajukan oleh pihak suami. Permohonan cerai yang masuk ke Pengadilan Agama Tangerang lebih banyak disebabkan karena adanya pelanggaran yang dilakukan suami terhadap hak-hak istri baik yang termasuk pada sighat ta’lik talak maupun diluar itu. Akan tetapi karena keterbatasan waktu dan tenaga, maka penulis hanya membatasi pada masalah gugatan perceraian dikarenakan adanya pelanggaran sighat ta’lik talak. B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Seperti telah diuraikan di atas bahwa penulis membatasi judul skripsi ini hanya akan membahas tentang putusnya perkawinan atas keputusan Pengadilan berdasarkan gugatan perceraian karena pelanggaran ta’lik talak oleh suami. Dalam hal ini perceraian diminta oleh pihak istri melalui gugatan yang diajukan ke Pengadilan Agama dengan alasan pelanggaran ta’lik talak, dimana seorang istri merasa tidak terjamin dan disia-siakan oleh suaminya karena suaminya tidak mengindahkan lagi ucapan ikrar talaknya setelah akad nikah, sehingga rumah tangga
42
menjadi kacau, tidak harmonis, cek-cok terus menerus, bahkan mungkin terjadi penganiayaan terhadap istri. Dalam menghadapi gugatan cerai seperti tersebut di atas terkadang pengadilan juga mendasarkan putusannya tidak semata-mata pada perbuatan pelanggaran ta’lik talak oleh suami, tetapi juga mendasarkan pada ketentuan lainnya. Dari latar belakang tersebut diatas maka hal-hal yang menjadi perumusan masalah dalam skripsi ini adalah : 1. Perkara-perkara apa saja yang menjadi tugas dan kewenangan pengadilan agama? 2. Faktor-faktor apa yang menjadi penyebab terjadinya pelanggaran ta’lik talak oleh suami? 3. Bagaimana proses Putusan Pengadilan Agama dalam menyelesaikan perceraian berdasarkan pelanggaran ta’lik talak? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Adapun tujuan dalam penulisan skripsi ini, adalah sebagai berikut : 1. Untuk lebih memahami dalam mengenai ta’lik talak yang merupakan hak suami untuk memutuskan perkawinan jika haknya dilanggar oleh istri. 2. Untuk mengetahui seberapa jauh kekuatan sighat ta’lik talak terhadap sebuah perceraian. 3. Untuk memahami prosedur penyelesaian perkara perceraian di Pengadilan Agama Tangerang. Sedangkan manfaat dalam penulisan skripsi ini, adalah sebagai berikut :
43
1. Dengan penelitian ini diharapkan dapat diketahui apakah efesien mengajukan perkara perceraian berdasarkan pelanggaran ta’lik talak. 2. Dengan penelitian ini diharapkan dapat diketahui alasan hakim memberikan putusan dalam bentuk talak 1 (satu) ba’in sugro dengan surat putusan No : 266/Pdt.G/2006/PA.TNG. 3.
Sebagai khasanah ilmu pengetahuan bagi mahasiswa hukum khususnya serta dapat di jadikan landasan dalam pengembangan ilmu.
D. Metode Penelitian Tehnik pengumpulan data yang ditempuh penulis dalam penelitian ini yaitu melalui riset lapangan ke pengadilan agama di Tangerang dengan surat putusan No: 266/Pdt.G/2006/PA.TNG, serta menggunakan tinjauan pustaka (library research) dengan menelaah buku-buku, kitab-kitab dan data lain yang ada relevansinya dengan masalah yang dibahas. Kemudian penelitian dengan membaca literatur dan meneliti secara sistematis guna mendapatkan data-data yang jelas dari sumber-sumber yang telah ada, seperti melakukan interview dengan pegawai-pegawai di pengadilan agama Tangerang, serta melihat perbandingannya dengan buku-buku atau KUHPer, KHI dan sebagainya. Adapun mengenai tehnik penulisan skripsi ini berpedoman kepada buku “pedoman penulisan skripsi, yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007”. E. Sistimatika Penelitian Untuk memudahkan penulisan skripsi ini dan menganalisa masalah-masalah yang dihadapi, penulis membagi menjadi 5 bab dan tiap-tiap bab terdiri dari sub bab.
44
BAB I
: Terdiri dari pendahuluan yang meliputi uraian secara menyeluruh mengenai pokok-pokok materi yang dibahas dan bagian-bagian uraian dalam bab ini terdiri dari latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika penelitian.
BAB II
: Membahas tinjauan umum tentang gugatan dan ta’lik talak yang berkenaan dengan pengertian dan dasar gugatan, syarat dan proses mengajukan gugatan, pengertian serta fungsi dan tujuan t’lik talak.
BAB III
: Mengenai tugas dan wewenang pengadilan agama Tangerang, yang meliputi fungsi pengadilan agama, jenis perkara yang menjadi wewenang pengadilan agama, jumlah perkara yang terdapat di pengadilan agama Tangerang serta faktor yang menjadi penyebab terjadinya pelanggaran ta’lik talak yang dilakukan suami di pengadilan agama Tangerang.
BAB IV
: Berisi penjelasan mengenai perihal penyelesaian gugat cerai karena pelanggaran ta’lik talak di pengadilan agama Tangerang, yang meliputi proses gugatan cerai karena pelanggaran ta’lik talak, proses pemeriksaan gugatan perceraian karena pelanggaran ta’lik talak dan kaitannya dengan pasal 19 PP No. 9 Tahun 1975, dan kesungguhan para pihak dalam proses penyelesaian gugatan perceraian serta putusnya perkawinan akibat gugatan perceraian karena pelanggaran ta’lik talak.
BAB V
: Penutup, dalam bab ini penulis menyimpulkan pembahasan sebelumnya dan diakhiri dengan saran-saran dari penulis.
45
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG GUGATAN DAN TA’LIK TALAK
Pengertian dan Dasar Gugatan Pengertian gugatan dalam kamus umum bahasa Indonesia, berasal dari kata dasar “gugat” artinya “goncangan”. Menggugat artinya menggoncangkan, mengadukan perkara kepada hakim“.1 Sedangkan menurut Prof. Subekti SH., dalam kamus hukumnya kata “gugatan” berasal dari kata dasar “gugat” dengan akhiran “an”, berarti penarikan kemuka hakim/pengadilan untuk dimintakan penghukuman (perkara perdata).2 Kata gugatan atau dakwaan dalam bahasa arab asal dari kata yaitu
(ﻮَى ْ و د ََﻋ- ﻋ ًءَﺎ َ د- ﺪ َُﯾﻋ ُﻮ-) ﻋدََﺎ artinya : mendakwa, memanggil dia, menyeru”. 3 Atau karena dalam hukum Islam kata gugatan dikatakan da’wa, adalah karena “si muddai’ (penggugat) memanggil lawannya
1
Poerwardarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta PN: Balai Pustaka, 1976, Cet. Ke-1, h. 30. 2
3
Subekti, Kamus Hukum, Jakarta: Pradnya Paramita, 1982, h. 49.
Muhamamad Idris al-Marbawi, Kamus al-Marbawi, Mesir: Mustafa Abdurrauf al-Babil Halaby, 1350 H., h. 203.
46
(pihak tergugat), untuk mendatangi sidang buat menolak gugatan yang dihadapkan kepadanya.4 Menurut istilah T. M. Hasbi Ashiddieqi gugatan atau dakwaan adalah: “Pengaduan yang dapat diterima disisi hakim, yang dimaksudkan dia, menuntut suatu hak pada pihak lain”. 5 Yang mengadukan adalah si penggugat kepada hakim untuk menuntut haknya pada pihak tergugat karena si penggugat mempunyai hak untuk menggugat, mempunyai pula untuk mencabut gugatannya. Dalam hal ini hakim tidak dapat memutuskan si penggugat harus meneruskan gugatannya.6 Dalam prakteknya gugatan perceraian si penggugat menuntut tergugat, karena perbuatan yang dilakukan oleh tergugat dalam kasus rumah tangganya.7 Dalam membahas dasar hukum ini penulis ingin membandingkan antara dasar hukum gugatan menurut hukum Islam dengan hukum positif. 1. Dasar Hukum Gugatan Menurut Hukum Islam. Sebagaimana Firman Allah SWT., dalam Surat an-Nur Ayat (48), yaitu:
ﻖ ﱢ ٌﻣﮭُ ْﻨ ﱡﻢﻣ ِﺮﻌْﺿُ ﻮ ن ﺤﯿ َْﻜﻢﺑُ ْﻨﯿ ََﮭ ُ ْذِﻢ َإ اَﻓﺮِﯾ َ ِﺳُﻮ ِ ﻟ ﷲوَر َِﻟﮫ ِ َﻰ وَ إِذَاﻋُداﻮإ ِﻟ Artinya : “Dan apabila mereka diseru kepada Allah dan Rasul-Nya untuk diputuskan hukum diantara mereka, tiba-tiba segolongan dari mereka memalingkan diri”. (QS. 24 /An-Nur: 48).
4 5
Hasbi Ash Shidieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam, Penerbit: PT. AL-Ma’arif, h. 90. Ibid., h. 91.
6
Ibid., h. 92.
7
Ibid., h. 94.
47
Ayat tersebut merupakan nash yang umum bagi segala dakwaan atau gugatan, termasuk gugatan cerai yang diajukan oleh istri ke Pengadilan Agama dalam masalah rumah tangga. Hadits Nabi Muhammad SAW. memberikan petunjuk gugatan kepada umatnya, sebagai berikut :
ﻟﻮﯾﻌﻄﻰ اﻟﻨﺎس ﺑﺪ ﻋﻮاھﻢ: ﻗﺎل اﻟﻨﺒﻰ ﺻﻠﻌﻢ: ل ﻋﻨْﮫُﻗ ﺎ َُ ﷲ َسﺿَِرﻲ ِ ﻋﻰَﺒ َﺎ
ِﻦ ْ آﺑ َﻋ
ﻻ دﻋﻰ ﻧﺎس دﻣﺎء رﺟﺎل وأﻣﻮاﻟﮭﻢ وﻟﻜﻦ اﻟﺒﯿﻨﺔ ﻋﻠﻰ اﻟﻤﺪﻋﻰ واﻟﯿﻤﯿﻦ ﻋﻠﻰ ﻣﻦ 8
()رواه ﻣﺴﻠﻢ.أﻧﻜﺮ
Artinya : ”Jika diberikan kepada manusia menurut gugatan-gugatan mereka, tentulah mereka menggugat darah seseorang dan harta mereka. Akan tetapi bagi penggugat harus mengemukakan alat bukti dan tergugat harus mengemukakan sumpah”.(HR.Muslim).
Untuk menguatkan gugatannya, penuntut harus mengemukakan bukti-bukti dan apabila tergugat menolak maka haruslah ia bersumpah bahwa gugatan itu salah. Jika penggugat menggunakan bukti-bukti yang benar maka hakim harus memutuskan sesuai gugatan itu, meskipun tergugat menolaknya. Tetapi kalau tidak ada bukti yang benar, maka hakim harus menerima sumpah tergugat. Dan membenarkan tergugat.9 Apabila ada dua orang yang bertengkar tentang harta tanpa ada bukti dan harta itu berada di tangan salah satunya, maka harus tetap salah satu haknya apabila dari salah satu itu bersumpah.
8
Al-Imam Abi Husein Muslim Ibnu Hujjah at-Qusyairi an-Naisabury, Shahih Muslim, Penerbit: Daru Ahyai Atturusi al-Arabi, Jilid. Ke-3, h. 1336. 9
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996, Cet. Ke-1, h. 183.
48
Asy’as bin Qais berkata: “saya bertengkar dengan seorang Yahudi tentang tanah yang kumiliki. Aku mengadukan hal itu kepada Rasul, beliau bertanya kepadaku: apakah kamu mempunyai bukti? Aku menjawab: Tidak, Rasul menyuruh orang yahudi itu untuk bersumpah”.10 Kemudian setelah terjadi begitu, cepatlah Asy’at bin Qais bertanya lebih lanjut kepada Rasulullah SAW. “Ya Rasulullah, apakah bila ia bersumpah kemudian ia memiliki tanahku? pada saat itu turun ayat, yaitu :
ﻷِﺮ َ ِةﻻ َو َ ْاﺧ
ِ ْ قَ ﻟَﮭُﻢﻓ ﻲ ﻻﻚ َِﺋ َﻻَﺧﻼ
ُﷲِ أَوْﻤﯾَﺎﻧِﮭﻢْ ِﺛَﻤﻨً ﻗﺎَﻼًﻠِﯿ ْوأ ِْﮭﻌ َﺪ
ِن َﺑ ﻦ ﯾ َﺸْ ُﺮﺘَو نﻟا ﱠ ِﯾﺬ ِ إﱠ
ب ٌَﻟأَِﯿﻢ ﯾ ُﻠﻜَ ﱢﮭﻤُُﻢﷲُ ُﻻ َوَﯾﻈَُﻨ ُﺮإ ِﻟﯿَِﻢﮭ ْﯾ َ ْﻮ اْم َ ِﻘﻟ ْﯿَﺔﺎ َوﻣ َِﻻَُﯾ ﱢﻛﺰ َﯿﮭ ِْﻢﻟ َوﮭُ ﻋﻢْ اَﺬ Artinya: “Sesunguhnya orang-orang yang menukar janji Allah dan sumpah-sumpah mereka dengan harta yang sedikit mereka tidak akan mendapat bahagian (pahala) di akhirat dan Allah tidak akan melihat kepada mereka pada hari kiamat dan tidak pula mensucikan mereka, bagi mereka azab yang pedih“. (QS. 3/Al-Imran: 77).
Jadi menurut hadits di atas, menunjukan adanya gugatan yang disertai alat-alat bukti atas si pengugat dan sumpah atas si tergugat. Dalam hal ini bagi hakim dalam menyelesaikan suatu perkara dalam perkara gugatan pada saat memeriksa kedua belah pihak, sudah barang tentu hakim harus berdasarkan dalil yang ada hubungannya dengan gugatan. Di antaranya yang harus diperhatikan oleh hakim yaitu :
“Jika kedua belah pihak, penggugat dan tergugat sedang menghadiri sidang pengadilan maka pertama-tama harus dilakukan oleh hakim adalah usaha untuk mendamaikan mereka berdua, karena perdamaian itu lebih baik”.11 Berdasarkan Firman Allah SWT
10
Moh. Rifa’I, Terjemah Khulashah Kifayatul Ahyar, Semarang: CV. Toha Putra.
11
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, h. 92.
49
ﺢْ ْﯿﺧَ◌ ُ ُﺮ ُ ﺼﻟ و َا ﱡﻠ Artinya : “Perdamaian itu lebih baik”. (QS. 3/An-Nisa:128).
Khalifah Umar bin Khattab pernah menulis surat kepada Abu Musa al-Asyari (Qadli di Kufah) yang isinya mengandung pokok-pokok penyelesaian perkara di muka sidang pengadilan, antara lain :
ﻋﻦ أﺑﻰ ﻋﺒﺪ ﷲ ﺑﻦ ﻋﻤﺮ واﺑﻦ ﻋﻮف اﻟﻤﺰﻧﻰ ﻋﻦ أﺑﯿﮫ ﻋﻦ ﺟﺪه ﻋﻦ رﺳﻮل اﻟﺼﺎﺢ ﺟﺎﺋﺰ ﺑﯿﻦ اﻟﻤﺴﻠﻤﯿﻦ اﻻﺻﻠﺤﺎ ﺣﺮاﻣﺎ أو ﺣﺮم ﺣﻼﻻ: ﷲ ﺻﻠﻌﻢ ﻗﺎل ()رواه اﻟﺘﺮﻣﺬى وﺻﺤّ ﺤﮫ
Artinya: Dibolehkan mengadakan perdamaian di antara kaum muslimin, kecuali perdamaian yang menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal.12
2. Dasar Hukum Gugat Menurut Hukum Positif :
Dalam pasal 31 Peraturan Pemerintah Nomor: 9 tahun 1975 serta penjelasannya, yaitu: (1) Hakim yang memeriksa gugatan perceraian berusaha mendamaikan kedua belah pihak. (2) Selama perkara belum diputus, usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan. Dalam mendamaikan ini dapat diminta bantuan kepada orang atau badan lain yang dianggap perlu, seperti BP4 tingkat Kabupaten/Kodya DT. II, jika usaha
12
Abu Isya Muhammad Ibnu Isya Ibnu Saurah, Sunnah at-Turmuzi, Mesir: Matba’ Mustafa al-Baby Halaby Wa-Aulaaduhu, 1937 M/1356 H, h. 635.
50
perdamaian ini berhasil, maka dibuat akte Perdamaian dan tidak dapat diajukan gugatan baru berdasarkan alasan yang sama sebagaimana pasal 32 PP No. 9 tahun 1975, yaitu :
“Apabila tercapai perdamaian, maka tidak dapat diajukan gugatan perceraian baru berdasarkan alasan-alasan yang ada sebelum perdamaian yang telah diketahui oleh penggugat pada waktu dicapainya perdamaian”.13
Dalam HIR (Het Harziene Indonesische Reglement), membuat dasar-dasar gugatan sebagaimana pasal 188 HIR ayat (1), yang berbunyi : Gugatan perdata yang pada tingkat pertama masuk kekuasaan Pengadilan Negeri, harus dimasuki dengan surat permintaan yang ditanda tangani oleh penggugat atau oleh wakilnya kepada ketua Pengadilan Negeri didaerah hukum siapa tergugat bertempat, diam atau jika tidak diketahui tempat diamnya, tempat sebetulnya.
Pasal tersebut memuat asas yang dalam bahasa latin dikenal dengan asas “Aqtor Sequitur Forum Rei”, yaitu bahwa Pengadilan Negeri tempat tinggal tergugat yang berkuasa memeriksa dan memutus perkara yang diajukan.14 Di dalam perceraian bagi mereka yang beragama Islam, gugatan diajukan kepada Pengadilan Agama yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat, hal ini sesuai pasal 73 Undang-undang No. 7 tahun 1989 yaitu :
13
14
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, h. 93-94.
Sudino Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberty, 1982, Cet. Ke-1, h. 54.
51
“Gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Penggugat, kecuali apabila penggugat dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa ijin tergugat”.15 Dalam hal si penggugat bertempat kediaman di luar negri maka gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan Agama yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat (pasal 73 ayat (2) UU No. 7/1989).16 Syarat-syarat dan Proses Memajukan Gugatan Gugatan akan menjadi sah, apabila telah memenuhi syarat-syaratnya. Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi adalah sebagai berikut : Syarat Formil Syarat materiil Ad .a). Syarat Formil (Bentuknya):
Surat Gugatan ditulis di atas kertas bermaterai atau dibubuhi materai Rp. 25.Surat Gugatan harus ditanda tangani oleh penggugat atau wakil (Kuasa)-nya. Tanda paraf diketahui (diakui) sebagai tanda tangan.17 Ad. b). Syarat Materiil (Isinya):
HIR, tidak mengenal/menyebutkan syarat-syarat bagi isi surat gugatan, yaitu pada pasal 119 HIR, yang mewajibkan Hakim untuk memberi nasehat dan pertolongan kepada penggugat pada waktu mengajukan gugatanya.18
15
Ibid., h. 56.
16
M. Yahya Harahap, Kedudukan dan Kewenangan Peradilan Agama (Undang-Undang No. 7 Tahun 1989), h. 214. 17
Ibid., h. 220.
52
Dari bunyi pasal 119 HIR walaupun tidak menyebutkan syarat-syarat isi gugatan (syarat-syarat materiil) tersebut secara jelas, tetapi bentuk standar yang biasa dalam praktek administrasi surat gugatan itu minimal harus memuat/memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: Nama, Pekerjaan dan alamat/tempat tingal penggugat atau wakil (kuasa)-nya. Nama, Pekerjaan dan alamat/tempat tinggal tergugat. Uraian singkat tetapi jelas mengenai duduk persoalan, mengenal asal- usulnya peristiwa/kejadian-kejadian (faiten), terutama kejadian-kejadian yang ada artinya bagi hukum (Fechsfeiten) dan akibat hukum dari peristiwa itu. Uraian yang singkat dan jelas19 mengenai apa yang diingini atau diminta agar diputuskan, atau diperintahkan oleh hakim bagian ini disebut “petitum”. Petitum ini harus jelas dan lengkap, karena bagian dari surat gugatan ini yang terpenting, sesuai Pasal 178 HIR.
Syarat-syarat gugatan harus memenuhi sebagaimana tersebut di atas, juga sebagaimana pendapat Djamil Latif syarat gugatan itu ada 6 (enam) yaitu:20 a.
Tafsiel (kejadian materil yang harus diuraikan dalam surat permohonan=posita)
b. Ilzam (tuntutan yang diminta supaya diputus/diperintahkan oleh pengadilan=petitum) c.Ta’yin (pihak tergugat tertentu orangnya) 18
Arso Sostroatmodjo, Diktat Kuliah Hukum Acara Perdata, Jakarta, Fakultas Syari’ah Peradilan Agama IAIN Syarief Hidayatullah, 1983, h. 7. 19
20
Ibid., h. 10.
Djamil Latif, Kedudukan dan Kekuasaan Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta: Bulan Bintang, 1983, Cet. Ke-1, h. 127.
53
d. Tidak Tanaqudl (tidak bertentangan posita dan petitum yakni tuntutan harus sesuai dengan kejadian materiil) e.Penggugat dan tergugat sama-sama mukallaf (cakap bertindak hukum) f.
Penggugat dan tergugat tidak dalam keadaan berperang karena agama.21 Jadi dalam gugatan ini harus dijelaskan dengan sejelas-jelasnya tentang apakah
yang menjadi perselisihan dan apakah yang diminta supaya diputuskan dan atau diperintahkan oleh pengadilan, sehingga dengan demikian sudah ditetapkan jurusan ke arah mana pemeriksaan oleh pengadilan. Karena itu permohonan gugatan pada pokoknya harus berisi hal-hal sebagai berikut: 1. Penjelasan tentang adanya hubungan antara kedua belah pihak yang menjadi dasar gugat, yaitu: a. Penjelasan yang berdasarkan atas kesadaran. b. Penjelasan yang berdasarkan hukum
2. Penegasan dari apa yang dimohon supaya diputuskan atau diperintahkan oleh pengadilan (Hakim), yaitu: a. Primer, yakni permohonan yang pertama khusus. b. Subsider, yakni seandainya berpendapat lain hakim menjatuhkan hukuman yang seadil-adilnya. “Kecuali itu penggugat dapat pula mencantumkan dalam permohonan gugat permohonan-permohonan lain. Namun demikian posita dan petitum yang tersebut diatas sangat penting sekali karena hal tersebut dapat memberi pedoman kepada tergugat untuk menjawab (menangkis) gugatan tersebut. Demikian pula dalam hal permohonan gugat
21
Ibid., h. 128.
54
secara lisan, di mana dalam catatan gugat, posita dan petitum harus jelas, di mana hakim dapat memberi pertolongan”.22
Apabila penggugat tidak pandai menulis, maka pasal 120 HIR yaitu :membuka kemungkinan untuk mengajukan gugatan secara lisan kepada Ketua Pengadilan Negeri. Ketua Pengadilan tersebut kemudian membuat atau menyuruh membuat catatan tentang gugatan itu. Demikianlah syarat-syarat gugatan yang dapat dipahami, agar dalam pembahasan ini tidak simpang siur. Sedangkan proses memajukan surat gugatan adalah sebagai berikut : Surat gugatan yang dimasukan ke pengadilan harus ditanda tangani oleh penggugat atau wakilnya, dan penggugat harus mendaftarkan surat gugatannya, sesuai isi pasal 121 HIR ayat (4) yang berbunyi:
“Memasukkan ke dalam daftar seperti didalam ayat pertama, tidak dilakukan, kalau belum bayar dahulu kepada panitera sejumlah uang yang akan diperhatikan oleh ketua Pengadilan Negeri menurut keadaan, untuk biaya kantor kepaniteraan dan ongkos melakukan segala panggilan serta memberitahukan yang diwajibkan kepada kedua belah pihak dari hari persidangan tidak boleh kurang dari tiga hari kerja”.23
Ketentuan masukan gugatan tersebut dengan tidak melepaskan pasal 121 ayat (1) HIR, yaitu:
“ Sesudah surat gugatan yang dimasukan itu atau catatan yang diperbuat itu dituliskan oleh panitera dalam daftar yang disediakan untuk itu, maka ketua menentukan hari dan jam perkara itu akan diperiksa dimuka pengadilan negeri, 22 23
Ibid. , h. 128. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, h. 40.
55
dan ia memerintahkan memanggil kedua belah pihak supaya hadir pada waktu itu, disertai oleh saksi-saksi yang dikehendakinya untuk diperiksa, dan dengan membawa segala surat-surat keterangan yang hendak dipergunakan”.24
Surat gugatan itu disertai dengan salinannya didaftarkan kepada kepaniteraan Pengadilan Negeri yang bersangkutan. Salinan gugatan disampaikan kepada tergugat bersama dengan surat pengadilan dari Pengadilan Negeri (pasal 121 ayat (2) HIR). Pada waktu memasukan gugatan, penggugat harus pula membayar biaya perkara yang meliputi biaya faktor kepaniteraan, biaya pengadilan dan pemberitahuan kepada para pihak. Jadi beracara perdata memang tidaklah tanpa biaya, tetapi terhadap azas tersebut ada pengecualian bagi mereka yang tidak mampu. Bagi mereka yang tidak mampu ini dimungkinkan untuk beracara secara cuma-cuma, dengan mengajukan izin kepada ketua Pengadilan Negeri, yang harus disertai dengan surat keterangan tidak mampu dari camat yang membawakan permohonan. Permasalahan itu harus dijawab pada hari sidang pertama, (pasal 238 ayat (2) HIR). Bagi penggugat yang tidak dapat menulis, gugatan dapat diajukan secara lisan kepada ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan (pasal 120 HIR). Apa yang terjadi dalam praktek ialah penggugat datang kepada panitera Pengadilan Negeri yang mencatat segala sesuatu yang dikemukakan oleh penggugat. Kemudian catatan tersebut diajukan kepada salah seorang hakim yang meneliti serta menanyakan kepada penggugat dan selanjutnya menanda tanganinya, dengan makin berkurang penduduk yang buta huruf dan
24
Ibid., h. 26.
56
makin banyak orang mempercayakan perkaranya kepada seorang wakil atau kuasa, maka sekarang gugat lisan itu jarang terjadi.25 Pada asasnya para pihak harus menghadapi sendiri. Tetapi mereka dapat diwakili oleh seorang kuasa. Kuasa ini dapat diberikan lisan, yaitu apabila pihak yang bersangkutan atau pemberi kuasa hadir juga secara pribadi di persidangan (pasal 123 ayat (1) HIR). “ Atau para pihak dapat memberi kuasa kepada wakilnya secara tertulis dengan surat kuasa yang bersifat umum tidaklah mencukupi, sehingga secara khusus harus dicantumkan pihak-pihak bersengketa serta dibuat sendiri konkrit pokok perselisihan. Lain dari pada itu dalam hal permohonan banding harus dengan tegas dinyatakan dalam surat kuasa bahwa yang diberi kuasa berhak untuk mengajukan banding, kalau tidak permohonan banding tidak akan diterima. Surat kuasa khusus ini oleh Notaris atau Panitera (pasal 147 ayat (3) RBG). Tetapi dapat dibuat juga secara dibawah tangan, asal saja digunakan sidik jari atau cap jempol sebagai identitas dari si pemberi kuasa, disahkan oleh Pengadilan Negeri, Bupati atau Camat”.26 Sekalipun sudah ada Surat Kuasa, tetapi Pengadilan dapat memanggil para pihak yang diwakili untuk menghadap di persidangan (pasal 123 ayat (3) HIR). Dengan adanya pemasukan surat gugatan kemuka hakim/pengadilan, akan jadi baik dan adil dirasakan oleh semua pihak, jika berdasarkan peraturan/Undang-undang yang telah ada dilaksanakan dengan baik dan sempurna. Dan dari ketentuan hukumlah masyarakat akan damai dan sejahtera jika hukum dan dasar-dasarnya diemban dengan baik.
25 26
M. Yahya Harahap, Kedudukan dan Kewenangan Peradilan Agama, h. 80. Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, h. 69-70.
57
Pengertian Ta’lik Talak Ta’lik Talak “Menggantungkan”27 atau “Ucapan yang berkaitan dengan adanya syarat (Al-Sighat Al-Mu’allaq)”.28 Ta’lik Talak dimaksudkan seperti janji, karena mengandung pengertian melakukan pekerjaan atau meninggalkan suatu perbuatan.29 Talak artinya “Melepaskan atau meninggalkan, seperti melepaskan sesuatu dari ikatannya”. sedangkan menurut istilah syara’ ialah melepaskan ikatan perkawinan dengan mengucapkan lafal talak atau yang se-arti dengan itu.30 Ta’lik talak artinya ucapan yang diikrarkan oleh suami kepada istrinya yang dikaitkan dengan sesuatu sebagai syaratnya. Maka supaya sah penggunaan lafal/ucapan yang ditaklikkan itu maka harus dipenuhi dua syarat: a.Sesuatu yang dijadikan syarat itu belum tentu pada waktu diikrarkan ta’lik mungkin terjadi kemudian.
talak itu
b. Perempuan yang akan dita’likkan talaknya adalah sebagai istri sah bagi laki-laki yang bersangkutan.31
Dalam pasal (1) Sub (e) Inpres No. 1 tahun 1991, pengertiannya yaitu:
27
Sumiati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan, Yogyakarta: Liberty, 1989, h. 5. 28
Peunoh Dally, Disertasi Provendus Doktor, Jakarta, IAIN Jakarta, 1983, h. 712.
29
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Bandung: Al-Ma’rifat, Juz VIII, h. 7.
30
Peunoh Dally, Disertasi Provendus Doktor, h. 688.
31
Ibid., h. 713.
58
“Ta’lik talak ialah perjanjian yang diucapkan calon mempelai pria setelah akad nikah yang dicantumkan dalam Akta Nikah berupa janji talak yang digantungkan kepada sesuatu keadaan tertentu yang memungkinkan terjadi yang akan datang”.32
Pembacaan ta’lik talak tidak merupakan suatu kewajiban akan tetapi hanya sukarela dan pada umumnya hampir semua suami di masyarakat Indonesia yang beragama Islam mengucapkan ta’lik talak setelah dilakukannya akad nikah karena atas permintaan penghulu atau Petugas Pencatat Nikah.33 Pembacaan ta’lik talak oleh suami setelah akad nikah sighatnya telah tercantum dalam buku nikah dari Departemen Agama adalah berbunyi sebagai berikut: Sewaktu-waktu saya: 1. Meninggalkan istri saya tersebut dua tahun berturut-turut. 2. Atau saya tidak memberi nafkah wajib kepadanya tiga bulan lamanya. 3. Atau saya menyakiti badan/jasmani istri saya. 4. Atau saya membiarkan/tidak memperdulikan istri saya itu enam bulan lamanya. “Kemudian istri saya itu tidak rela dan mengadukan halnya kepada Pengadilan Agama atau petugas yang diberi hak untuk mengurus pengaduan itu, dan pengaduannya dibenarkan serta diterima oleh Pengadilan atau Petugas tersebut dan istri saya itu membayar uang sebesar Rp. 10. 000 - (sepuluh seribu rupiah) sebagai pengganti (iwadl) kepada saya, maka jatulah talak saya satu kepadanya, kepada Pengadilan atau petugas tersebut saya kuasakan untuk menerima uang
32
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Ditbinbapera Depag RI, 2000, h. 179.
. 33
Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Perkawinan Indonesi, Jakarta: 2002, Cet. Ke-1, h. 14.
59
pengganti (iwadl) itu kemudian memberikannya untuk keperluan ibadah sosial”.34
Fungsi dan Tujuan Ta’lik Talak Ucapan ta’lik talak merupakan suatu yang digantungkan pada
syarat.
Sayyid Sabiq dalam bukunya “Fiqih Sunnah” menerangkan: Ta’lik talak ada dua macam:
Pertama: Ta’lik dimaksud seperti mengandung pengertian melakukan pekerjaan atau meninggalkan suatu perbuatan atau menguatkan suatu khabar (ta’lik suami), seperti seseorang suami berkata kepada istrinya jika aku keluar rumah maka engkau bertalak. Maksudnya suami melarang istri keluar ketika ia keluar, bukan dimaksud untuk menjatuhkan talaknya.
Kedua:
Ta’lik yang dimaksud untuk menjatuhkan talak bila terpenuhi syarat, ta’lik ini disebut ta’lik bersyarat.
Contoh: Suami berkata kepada istrinya jika engkau membebaskan aku dari membayar sisa maharmu maka engkau bertalak.35
H. Mahmud Yunus dalam bukunya hukum Perkawinan dalam Islam menurut Mazhab Syafi’i, Hanafi, Maliki dan Hambali menerangkan bahwa:
“ Umumnya di Indonesia pada masa sekarang diadakan ta’lik talak sesudah akad nikah gunanya supaya istri jangan teraniaya bila suami berlarut-larut
34
Buku Akta Nikah, Departemen Agama RI 2005.
35
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunah, h. 39.
60
tidak memberi nafkah kepada istrinya, atau telah hilang lenyap saja dengan tak ada beritanya”.36
Sayuti Thalib dalam bukunya Hukum Kekeluargaan Indonesia menerangkan bahwa: “ Hak menjatuhkan talak berada dalam tangan suami, dengan adanya lembaga ta’lik talak maka ini berarti pelimpahan wewenang menjatuhkan talak dari pihak suami kepada pihak istri. Pelimpahan yang terbatas yaitu dalam hal tertentu. Si suami tetap juga mempunyai hak untuk menjatuhkan talak”.37
Berdasarkan beberapa pendapat di atas penulis dapat menyimpulkan bahwa ta’lik talak adalah merupakan perjanjian dari seorang suami dengan suatu syarat, dimana jika syarat tersebut terjadi dapat menjadi alasan istri untuk mengambil inisiatif mengajukan gugatan cerai ke Pengadilan Agama atau Pegawai yang ditunjuk agar kepadanya dijatuhkan talak yang menceraikan dari suaminya. Jika semua alasan dibenarkan atau terbukti si istri membayar uang pengganti (‘iwadl) sebesar yang telah ditentukan/diperjanjikan maka jatuhlah talak suami tersebut atau Khulu’ (jika pertama kali) kepada hal tersebut terjadi berdasarkan dilanggarnya ketentuan-ketentuan ta’lik talak dan dengan adanya iwadl. Sesuai pula dengan apa yang tercantum dalam Buku Hukum Perkawinan dalam Islam bagian IV Ta’lik Talak dan Perjanjian-perjanjian lain:
36
H. Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan Dalam Islam Menurut Empat Mazhab, PT. Hidakarya Agung, 1990, h. 129. 37
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Jakarta: UI Press, 1986, h. 108.
61
Pasal 92 : Perkawinan menjadi putus atas permintaan istri, bila suami melanggar janji ta’lik talak atau janji-janji lain yang dibuat waktu akad nikah atau sesudahnya.
Pasal 93 : Apabila Hakim berpendapat, bahwa ta’lik talak atau perjanjian yang lain itu telah dilanggar, maka Hakim menyatakan jatuh talak atas istri yang bersangkutan.38
Setiap perbuatan sudah barang tentu mempunyai tujuan. Ta’lik talak yang diucapkan oleh suami setelah dilangsungkannya akad nikah merupakan perjanjian seseorang suami kepada istrinya dengan syarat-syarat tertentu dan ta’lik talak yang diucapkannya itu berkaitan dengan waktu tertentu sebagai syarat dijatuhkannya talak, kalau syarat itu sesuatu yang mustahil terjadi, maka sia-sialah syarat itu dan talak tidak jatuh. Seperti “jika ada unta masuk dalam lubang jarum, maka engkau tertalak”. 39 Maksud diadakannya ta’lik talak tujuannya ialah “suatu usaha daya upaya melindungi istri dari tindakan sewenang-wenang suami”. Syariat Islam telah menentukan secara terperinci hak istri terhadap suami, namun ia tidak memiliki alat pemaksa supaya suami menunaikan kewajibannya. Dengan adanya sistem ta’lik talak nasib istri dan kedudukannya dapat diperbaiki. Jika suami menyia-nyiakan istrinya sehingga ia sengsara maka istri dapat mengadu kepada hakim supaya perkawinannya diputuskan. Hakim dapat mengabulkan permohonan/gugatannya sesudah terbukti kebenaran pengaduannya itu.40
38
Mawardi, Hukum Perkawinan Dalam Islam, Yogyakarta: UGM, 1975, h. 27.
39
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, h. 233.
40
Peunoh Dally, Disertasi Provendus Doktor, h. 714.
62
Di Indonesia ta’lik talak sudah lama berlaku, agaknya pada waktu kerajaan Islam berdiri di Negeri kita ini masyarakat sudah mengenal ta’lik talak, seperti yang dikatakan DR. Peunoh Dally yaitu: “ta’lik talak dalam kitab-kitab fiqih yang diamalkan masyarakat Islam di Jawa dikenal sebagai “Janjining Ratu” atau “Janji Dale” yang dibuat oleh raja. 41 Tujuan ta’lik talak adalah untuk kemaslahatan kedua belah pihak dalam membina kerukunan kelangsungan hidup berumah tangga, agar mereka bergaul dengan baik, terutama kaum wanita jangan sampai hak-haknya terabaikan oleh suami. Hal ini sebagaimana isi kandungan Firman Allah dalam Surat an-Nisa ayat 19, yaitu:
فُو ِ ﺷِھﺮ ُ ﱠﻦﺎﻟ ِﺑﻌَْﻤْﺮ ُو َﺎﻋَو
.....
Artinya: “Dan pergauilah mereka itu (istri-istri) dengan baik/ma’ruf”. (QS. 4/an-Nisa: 19).
Dalam surat Bani Israil, ayat 34, yaitu:
ًُ ﻻ و َأ ُﻓَوﻮْ ِاﺑْﻌﻟﺎﺪ َْﮭ ِن ﱠِإا َﻌﻟ ْﮭﻛْﺪ َنﺎََﺴﻣ ْﺆو
…..
Artinya: “Dan patuhilah janjimu, sesungguhnya janji itu, kelak akan dituntut/ diminta dan dipertanggung jawabanya”. (QS. 17/Bani-Israil: 34). Sighat ta’lik talak merupakan perjanjian suami kepada istrinya dengan suatu syarat ancaman bahwa jika syarat-syarat itu dilanggar maka akan timbul suatu akibat. Atau istri dapat menggugat cerai ke Pengadilan Agama sesuai dengan alasan-alasan pelanggaran Ta’lik Talak.42
41 42
Ibid., h. 715. Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, h. 179.
63
BAB III TUGAS DAN WEWENANG PENGADILAN AGAMA TANGERANG
Fungsi Pengadilan Agama Berdasarkan Undang-undang No. 14 tahun 1975, Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, telah ditegaskan bahwa tujuan penyelenggaraan peradilan sudah termasuk kekuasaan kehakiman, sebagaimana dalam pasal 1 yaitu: Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. Untuk mencapai tujuan sebagaimana tersebut di atas maka disusunlah tugas pokok peradilan yaitu: “Untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya“. Dan dalam menyelesaikan perkara tersebut sebagaimana pasal 5 yaitu: 1. Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang. 2. Dalam perkara perdata pengadilan membantu para pencari keadilan dan
sekeras-
kerasnya mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan.1
Dalam mengemban tugas pokok dari Undang-undang No. 14 tahun 1970 tersebut, maka dalam lingkungan peradilan agama Tangerang sebagaimana pengadilan agama yang lain di Indonesia tersebut terdapat dua fungsi yang berbeda yaitu:
1
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996, Cet. Ke-1, h. 308
64
a. Fungsi administratif sebagai pelaksanaan dari fungsi eksekutif pemerintah. b. Fungsi yudikatif yang merupakan inti dari tugas peradilan agama sebagai bagian dari fungsi peradilan/kehakiman dalam Negara Hukum Indonesia. Fungsi administratif tercermin dalam pelaksanaan tugas yang dilandasi oleh peraturan-peraturan tentang struktur, organisasi, tugas, wewenang serta tata kerja departemen agama, sebagaimana ditetapkan dalam berbagai keputusan Menteri Agama.2 Sedangkan fungsi yudikatif adalah tugas dalam melaksanakan peradilan yang didasarkan pada peraturan-peraturan perundangan tersendiri, baik tentang susunan dari Badan Peradilan Agama, wewenang dan tata cara.3 Sehubungan dengan kedua fungsi tersebut di atas maka peradilan agama Tangerang menyelenggarakan kegiatan-kegiatan yang terdiri dari fungsi-fungsi: 1. Melaksanakan untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan oleh pencari keadilan yang datang padanya untuk mohon keadilan (Pasal !4 UU No. 14 Tahun 1970) 2. Melaksanakan penerapan hukum dalam memeriksa dan memutus perkara berdasarkan hukum dan keadilan dengan memuat alasan dan dasar-dasar putusan itu, juga harus memuat pasal-pasal tertentu (Pasal 23 UU No. 14 Tahun 1970) 3. Melaksanakan kewajiban menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang ada dalam masyarakat (Pasal 27 UU No. 14 Tahun 1970).4
2
M. Yahya Harahap, Kedudukan dan Kewenangan Peradilan Agama (Undang-Undang No. 7 Tahun 1989), h. 108 3
Wawancara Pribadi dengan Ahmad Fathoni (Ketua Pengadilan Agama Tangerang). 17 Oktober 2006. 4 Ibid
65
Fungsi
pengadilan
agama
Tangerang tercermin
pula
dalam
susunan
organisasinya. Adapun untuk lebih mengetahui susunan organisasi pengadilan agama sesuai dengan yang dikehendaki Undang-undang No. 7/1989, ada pada pasal 9 ayat (1) Undang-undang No. 7/1989 yaitu: “susunan pengadilan agama terdiri pimpinan hakim, anggota, panitera, sekertaris dan juru sita “, dan dalam “pimpinan pengadilan agama terdiri dari seorang ketua dan seorang wakil ketua”. Dan jelasnya dapat dilihat dalam bagan organisasi pengadilan agama Tangerang, sebagai salah satu contoh dari pengadilan agama lainnya di Indonesia, sesuai Undang-undang No. 7 tahun 1989 adalah sebagai berikut:
STRUKTUR ORGANISASI PENGADILAN AGAMA TANGERANG UU NO. 7/1989 KETUA HAKIM Drs. H. Ahmad Fathoni, SH WAKET
Drs. H. Rahmatullah Nur Dra. Hj. Dasmi Salli, MH
PANITERA/SEKRETARIS
Dra. Al- Jamilah Drs. Z. Jaenal Arifin
Drs. H. Uce Supriyadi
Drs. Suhaemi Drs. Sonhaji
WAKPAN
WAKSEK
PANITERA
JURU
Ubed Sutisna, SAg
Drs. Sayuti
PENGGANTI
SITA
Drs. Buang Yusuf, SH Drs. Saefudin Z, SH SUB KEPAN A. Mukri Agafi, SH
SUB KEPAN
SUB KEPAN
SUBAG
SUBAG
SUBAG
PMHN
GUGATAN
HUKUM
KEPEGAWAIAN
KEUANGAN
UMUM
Haisam, SH.
Nadlroh Hasun, SAg
H. Karso, BC, SAg
Endin Tajudin. SAg
28
Nurmalasari. Y, SH
Fatiah Sadim. SAg
27
I
KETERANGAN
II
:
31
I.
Panitera Pengganti - H. Muhayat, Sag - Murdiyati, SH
II.
Juru Sita Pengganti - Kasidi - Jaenal Arifin
- Siti Jubaedah, SH
- Siti Rodiah, SHI
- Hj. Nurhayati, SH
- Siti Hajar, SHI
- Endin Tajudin, SAg
- Dra. Hj. Latifah
- Fatiah Sa’dim, SAg
- Alfi Sapiatin, SH
28
32
29 Demikianlah bagan organisasi pengadilan agama Tangerang dan pengadilan agama lainnya di Indonesia. Bagan sebelah kiri yang terdapat dalam kotak hakim, panitera pengganti termasuk bagan “juru sita”, merupakan sub organisasi “fungsional“ peradilan yang berfungsi dan berwenang melaksanakan peradilan sedangkan bagan bagian kiri juga yang terdapat pada kotak panitera muda adalah pejabat struktural yang ikut “menunjang” tugas pejabat fungsional dalam menjalankan fungsi peradilan adapun bagan sebelah kanan yang distrukturkan dibawah wakil sekretaris adalah jabatan struktural pendukung umum seluruh organisasi peradilan. Bagan tersebut merupakan sub organisasi baik langsung maupun tidak langsung, tidak terkait dengan fungsi peradilan atau penegakan hukum. Namun sebagai sub bagian yang bertugas sebagai pendukung umum organisasi peradilan, peranannya sangat besar menunjang kelancaran organisasi.5 Dalam bagan jabatan fungsional peradilan dihubungkan dengan garis-garis putus hubungan antara pejabat fungsional pada dasarnya tidak bersifat struktural, tetapi lebih ditekankan pada sifat fungsi peradilan. ketua dan wakil ketua sebagai unsur pimpinan seperti yang ditegaskan dalam pasal 10 ayat 1 UU No. 7 Tahun 1989 hanya mempunyai hubungan struktural dengan panitera atau sekretaris, wakil panitera, wakil sekretaris serta eselon yang distrukturkan dibawah wakil panitera dan wakil sekretaris. sedangkan terhadap hakim sebagaimana ditegaskan dalam pasal 11 ayat 1 UU No. 7 Tahun 1989 adalah pejabat yang melaksanakan tugas kekuasaan kehakiman, memang benar secara organisatoris ketua sebagi unsur kepemimpinan diberi wewenang oleh pasal 53 ayat 1 untuk mengadakan pengawasan atas pelaksanaan tugas dan tingkah laku semua organisai termasuk para hakim. Namun khusus pengawasan terhadap hakim seperti yang diperingatkan pada pasal 53 ayat 4, harus
5
M. Yahya Harahap, Kedudukan dan kewenangan Peradilan Agama, h. 108
30 berupa pengawasan yang bersifat fungsional dalam arti tidak boleh mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara.6 Lebih lanjut mengenai struktur kepaniteraan sebagai salah satu sistem pendukung organisasi pengadilan dan sekaligus pula pendukung utama fungsi peradilan menurut pasal 26 ayat 7 dan pasal 4, mempunyai tugas “ganda” pada diri dan jabatannya melekat panitera merangkap sekretaris pengadilan untuk memperlancar tugas kepaniteraan dan sekretariatan yang dijabat panitera, ia dibantu oleh seorang wakil panitera dan seorang wakil sekretaris. Fungsi wakil panitera, memimpin dan membagi habis semua petugas fungsional peradilan termasuk memimpin dan membawahi tugas fungsional murni yang terdiri dari para “panitera pengganti, juru sita dan juru sita pengganti”. Serta petugas fungsional yang bersifat struktural yakni para panitera muda. Mengenai jumlah panitera muda, menurut pasal 26 ayat 2 tidak ditentukan jumlahnya berapa, hanya saja disebut beberapa orang panitera muda. Jumlah panitera muda yang rasional disesuaikan dengan pembidangan fungsi pendukung sub organisasi peradilan tidak keliru penstrukturan panitera muda dalam organisasi pengadilan dimasukkan untuk mendukung kelancaran fungsi peradilan. Para panitera muda adalah aparat yang dalam strukturnya dalam organisasi fungsional akan memberikan pelayanan fungsi peradilan. Halhal yang dapat membantu kelancarannya dibantu oleh berbagai unsur, yang terutama diantaranya unsur yamg menangani registrasi dan penyiapan berkas-berkas perkara, unsur yang membantu menyediakan peraturan dan perundang-undangan, unsur yang menangani permintaan banding dan kasasi. Tugas-tugas unsur pelayanan inilah yang disahkan kepada
6
Ibid, h. 109
31 panitera muda dalam bidang hukum dan perpustakaan, dokumentasi, bidang banding dan kasasi.7 Oleh karena itu peradilan agama yang merupakan pengadilan tingkat pertama di Kabupaten atau di Kota Madya daerah tingkat II yang berfungsi menerima, memutuskan dan menyelesaikan perkara-perkara antara orang-orang yang beragama Islam dibidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, dan shodaqoh berdasarkan hukum Islam, semuanya itu dapat berjalan atau tidak bergantung kepada fungsi peradilan agama itu sendiri dan yang paling utama adalah fungsi daripada hakim. Dengan demikian hakim bertanggung jawab penuh dalam melaksanakan tugasnya terhadap setiap perkara yang diajukan kepadanya baik, ia sebagai hakim ketua majlis maupun sebagai hakim anggota majlis.8
B. Jenis Perkara Yang Menjadi Wewenang Pengadilan Agama Tugas dan wewenang pengadilan agama pada pokoknya adalah: Sebagai pengadilan tingkat pertama atau badan pemeriksa kehakiman adalah memeriksa, menerima dan memutus perkara perselisihan hukum antara orang-orang Islam mengenai bidang hukum perdata tertentu yang harus diputus berdasarkan syari’at Islam. Perkaraperkara yang menjadi wewenang absolut peradilan agama dapat dilihat dalam pasal 2a Statblaad 1937 No. 116 yang isinya sama dengan pasal 3 Statblaad 1937 No. 638 dan berlaku bagi peradilan agama di Jawa, Madura dan sebagian Kalimantan Selatan. Perkara tersebut adalah:
7
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata, h. 283-284
8
Ibid. h. 16
32 1. Perselisihan antara suami istri yang beragama Islam. 2. Perkara-perkara NTR (nikah, talak, rujuk dan perceraian). 3. Memberi putusan perceraian. 4. Menyatakan bahwa syarat jatuhnya talak yang digunakan (ta’lik talak) sudah ada. 5. Mahar (termasuk Mut’ah) 6. Perkara tentang kehidupan isteri yang wajib diadakan suami (nafkah).
Dengan keluarnya Undang-undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 maka kekuasaan pengadilan agama selain yang tersebut dalam pasal 2a ayat (1) Statblaad 1882 No. 152 jo Statblaad 1937 dan No. 116 dan 610 untuk Jawa, Madura, pasal 3 ayat (10 Stlb 1937 No. 638 untuk Kalimantan Selatan, dan pasal 4 ayat (1) PP 45/57, untuk diluar Jawa-Madura, dan Kalimantan Selatan, berdasarkan ketentuan pasal 63 ayat (1) Undang-undang Perkawinan, maka pengadilan agama diberi tugas pula memeriksa dan menyelesaikan perkara-perkara 9: a. Izin seorang suami untuk beristri lebih dari seorang (pasal 4 ayat (1) UUP). b. Izin kawin sebagai dimaksud dalam pasal 6 ayat (5) UUP. c. Dispensasi kawin (pasal 7 ayat (2) UUP). d. Pencegahan perkawinan (pasal 17 ayat (1) UUP). e. Penolakan perkawinan oleh pegawai pencatatan perkawinan (pasal 21 ayat (3) UUP). f.
Pembatalan perkawinan (pasal 25 UUP).
g. Gugatan suami dan istri atas kelalaian pihak lain dalam menunaikan kewajibannya masing-masing. h. Penyaksian talak (pasal 39 UUP). i.
Gugatan perceraian (pasal 40 ayat (1) UUP).
j.
Penentuan kekuasaan anak-anak (Hadhonah) (pasal 41 sub a UUP).
k. Penentuan biaya penghidupan bagi bekas istri (pasal 41 sub c UUP). l.
Penentuan biaya pemeliharaan dan pendidikan anak (pasal 41 sub c UUP).
m. Penentuan tentang sah/tidak sahnya anak dasar tuduan zina oleh suami terhadap istri (pasal 11 ayat (2) UUP).
9
2000.
Undang-Undang Perkawinan di Indonesia dan Kompilasi Hukum Islam, Surabaya: Arkola,
33 n. Memberikan pelayanan kebutuhan rohaniawan Islam untuk pelaksanaan penyumpahan pegawai/pejabat yang beragama Islam. (Permenag. No. 1/1989). o. Melaksanakan hisab dan rukyat hilal. p. Menyelesaikan permohonan pertolongan harta peninggalan di luar sengketa antara orang-orang yang beragama Islam yang dilakukan berdasarkan hukum Islam (pasal 107 ayat (2) UU No. 7/1989).10 Tentang kewenangan dan kekuasaan pengadilan agama dicantumkan pula dalam bab III Undang-undang No. 7 tahun 1989 yang meliputi pasal: 49 sampai dengan pasal 53. Pasal 49 adalah pasal yang menentukan wewenang pengadilan agama secara mutlak, yang berarti bidang-bidang hukum mutlak (Kompentesi Absolut ) dari peradilan agama. Bidang-bidang hukum perdata tersebut adalah: a. Perkawinan b. Wasiat c. Wakaf, hibah dan shadaqah.11 Kalau kita lihat bidang-bidang tertentu dan hukum perdata ini, maka yang dapat kita katakan, bahwa kompetensi absolut peradilan agama adalah bidang hukum keluarga dari orang-orang yang beragama Islam, seperti juga terdapat dibeberapa negara lain.12 Yang dimaksud bidang perkawinan, yaitu yang diatur dalam Undang-undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 seperti yang telah disebutkan diatas. Dalam kasus sengketa perkawinan, kalau salah satu atau kedua belah pihak berpindah agama, maka secara teoritis dapat diambil dua hal untuk menentukan pengadilan yang berwenang (Pengadilan Negeri atau Pengadilan Agama) yaitu azas personalitas, yaitu hukum yang menguasai hubungan dengan kedua belah pihak sebelum pindah agama. Mahkamah
10
Ibid, h. 179-212 Wawancara Pribadi dengan Nadlroh Hasun (Panitera Muda Perkara Pengadilan Agama Tangerang), Tangerang 18 Oktober 2006. 11
12
M. Yahya Harahap, Kedudukan dan Kewenangan Peradilan Agama, h. 92
34 Agung dengan beberapa putusannya mengambil ukuran kedua. Dengan demikian dalam kasus sengketa perkawinan, yang perkawinan itu dilakukan menurut hukum Islam, maka tetaplah pengadilan agama yang berwenang walaupun salah satu pihak atau kedua belah pihak telah berpindah agama.13 Demikian pula sebaliknya, kalau perkawinan dilakukan secara non Islam, maka tetaplah pengadilan negeri yang berwenang walaupun salah satu atau kedua belah pihak telah beralih agama masuk Islam. Dalam soal kewarisan, maka yang menentukan hukum waris.14
C. Jumlah Perkara Yang Terdapat di Pengadilan Agama Tangerang Jumlah perkara yang terdapat di pengadilan agama Tangerang tahun 2005 ada sebanyak 3071 perkara. Hal ini dapat dilihat pada statistik perkara yang diterima dan diputus oleh pengadilan agama Tangerang selama tahun 2005 (lampiran 1). Perkara yang berkaitan dengan gugat cerai dapat dilihat pada tabel berikut:
13
Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta, Cet Ke-1, h.14-16
14
Ibid, h. 19
35 No.
BULAN
PERKARA Jumlah
Cerai Gugat
%
%
1.
Januari
251
29
11, 6 %
9, 3 %
2.
Februari
229
23
10, %
7, 4 %
3.
Maret
195
12
6, 2 %
3, 9 %
4.
April
247
30
12, 1 %
9, 6 %
5.
Mei
252
38
15
%
12, 2 %
6.
Juni
253
16
6
%
5, 2 %
7.
Juli
268
29
10, 8 %
9, 3 %
8.
Agustus
262
28
10, 7 %
9, %
9.
September
270
20
7, 4 %
6, 4 %
10.
Oktober
268
23
8, 6 %
7, 4 %
11.
November
283
28
9, 9 %
9
12.
Desember
293
35
11, 9 %
11, 3 %
Jumlah
3071
311
10, 1 %
100 %
%
Data terlampir dalam lampiran I. Dari tabel diatas dapat diperoleh gambaran secara umum bahwa perkara cerai gugat bila dibandingkan dengan berbagai macam perkara yang masuk ke pengadilan agama Tangerang selama tahun 2006 ternyata menepati posisi paling tinggi yaitu: 311 perkara (10,1 %). Sedangkan perkara yang lain semisal cerai talak hanya 129 perkara (41, 2 %). Rinciannya lebih lanjut dapat dilihat masing-masing sebagai berikut:
36 Pada bulan Januari terdapat 29 perkara (11, 6 %), pada bulan Februari 23 perkara (10 %), bulan Maret terdapat 12 perkara (5 %), bulan April terdapat 30 perkara (12, 1 %), bulan Mei terdapat 38 perkara (15 %), Juni terdapat 16 perkara (6, 3 %), Juli terdapat 29 perkara (10, 8 %), Agustus 28 perkara (10, 7 %), September 20 perkara (7, 4%), Oktober 23 perkara (8, 6 %), November 28 perkara (9, 9 %), dan pada bulan Desember 35 perkara (11, 9 %). Dari 3071 yang masuk selama tahun tersebut.15 Sedangkan gambaran secara khusus adalah sebagai berikut: bulan Januari 29 perkara (9, 3 %), Februari 23 perkara (7, 4 %), Maret 12 perkara (3, 9 %), April 30 perkara (9, 6 %), Mei 38 perkara (12, 2 %), Juni 16 perkara (5, 2 %), Juli 29 perkara (9, 3 %), Agustus 28 perkara (9 %), September 20 perkara (6,4 %), Oktober 23 perkara (7, 4 %), November 28 perkara (9 %), dan bulan Desember 35 perkara (11, 3 %). Perkara gugat cerai yang tertinggi terdapat pada bulan Mei sebanyak 28 perkara (12, 2 %) sedangkan perkara yang terendah yaitu pada bulan Maret sebanyak 12 perkara (3, 9 %). Dari 311 perkara cerai gugat yang masuk selama tahun 2006.16 Yang menarik adalah jumlah yang diputus tahun 2005 hanya 546 perkara (17, 8 %), ini menunjukan kecilnya jumlah perkara yang dapat diselesaikan, sisanya sebanyak 2520 perkara (82 %). Hal ini barangkali disebabkan oleh tunggakan perkara pada tahun 2004 (sebelumnya) yaitu sebanyak 2474 perkara (lengkapnya dapat dilihat pada lampiran I).17 Demikianlah jumlah perkara yang terdapat di pengadilan agama Tangerang. D. Faktor-faktor Yang Menjadi Penyebab Terjadinya Pelanggaran Ta’lik Talak Yang Dilakukan Oleh Suami
15
Wawancara Pribadi dengan Ahmad Fathoni (Ketua Pengadilan Agama Tangerang)
16
Wawancara Pribadi dengan H. Uce Supriadi (Wakil Ketua Pengadilan Agama Tangerang), Tangerang 19 Oktober 2006 17
Ibid
37 Kasus-kasus gugatan perceraian karena pelanggaran ta’lik talak di pengadilan agama Tangerang terjadi sebab beberapa faktor, dianataranya sebagai berikut: 1. Faktor moral, seperti: cemburu, poligami tidak sehat, dan krisis akhlak, sebagaimana contoh perkara dibawah ini : Seorang istri menuntut cerai, karena suaminya sering marah-marah, cemburu buta, menghina orang tua penggugat dan suka menganiaya serta tidak pernah memberi nafkah lahir maupun bathin selama 6 bulan, lebih-lebih ia tidak mau dimadu. Mereka telah dikaruniai anak yang ikut penggugat. Wanita itu minta agar pengadilan menjatuhkan talaknya. Dan tergugat telah mengucapkan ta’lik talaknya pada tanggal 19 Januari 2003. suaminya sendiri tidak hadir dalam persidangan walaupun telah dipanggil secara patut dan sah. Sehingga pengadilan pun menetapkan jatuh talak satu Khul’i kepada tergugat. (Tangerang, 19 Februari 2006)18 2. Meninggalkan kewajiban, seperti karena faktor ekonomi dan tidak ada tanggung jawab. Hal ini dapat dilihat pada beberapa contoh perkara dibawah ini: - Suminah 30 tahun menggugat suaminya Manan 35 tahun, bahwa suaminya tidak bertanggung jawab, jarang pulang kerumah dan sering meninggalkan istrinya hingga 3 tahun lamanya tanpa memberikan nafkah lahir maupun bathin. Mereka telah melangsungkan pernikahan pada tanggal 12 Juni 1988 dihadapan PPN KUA Pinang Bogor. Dan suami telah mengucapkan ta’lik talak. Tergugat tidak hadir dalam persidangan walau pengadilan telah memanggilnya. Pengadilan pun menetapkan menjatuhkan talak satu khul’i kepada Manan. (Tangerang, 20 Maret 2006) 19
18
Wawancara Pribadi dengan H. Rahmatullah Nur (Hakim Pengadilan Agama Tangerang) Tangerang 20 Okober 2006 19 Ibid.
38 - Dwi Ropiana (24) tahun menuntut cerai suaminya Wawan Setiawan (26) tahun karena sejak pernikahannya 10 bulan rumah tangganya tidak harmonis lagi dan sering terjadi pertengkaran secara terus menerus. Dan tergugat telah meninggalkan penggugat selama 1 tahun lamanya karena untuk mencari pekerjaan, dan tidak pernah memberikan nafkah lahir bathin ataupun harta peninggalan yang dapat sebagai mengganti nafkah serta tidak pula diketahui tempat tinggalnya. Mereka telah dikaruniai seorang anak Larasati yang berumur 3 tahun. Dan saksi-saksipun memperkuat gugatan Dwi Ropiana tersebut. Akhirnya pengadilan pun menetapkan jatuh talak satu khul’i. (Tangerang 12 Juni 2006).20 3. Terus menerus berselisih seperti: Tidak ada keharmonisan dan gangguan pihak ketiga. Sebagaiman contoh dibawah ini: -Widiya Alfa dan suaminya Imam Santoso, keduanya menghadap ke pengadilan agama Tangerang. Widiya menuntut jatuhnya talak dengan alasan bahwa antara dia dan suaminya sering terjadi pertengkaran terus menerus dan tidak harmonis lagi disebabkan antara penggugat dan tergugat tidak ada saling pengertian dan selalu berbeda pendapat. Dan tergugat telah meninggalkan penggugat selama 2 tahun 7 bulan tanpa nafkah lahir dan bathin. Penggugat tidak mempunyai saksi-saksi, akan tetapi pengadilan telah menetapkan jatuhnya talak berdasarkan pengakuan tergugat sendiri atas pelanggaran janji-janjinya. (Tangerang, 17 September 2006)21 4. Faktor lain, seperti penganiayaan, tepatnya dapat dilihat contoh dibawah ini: - Komalasari (23 tahun) dan Fahmi Fauji (30 tahun) keduanya menghadap kepengadilan, Komalasari menggugat cerai karena suaminya pernah menamparnya sehingga ia mengungsi kerumah adiknya di Pondok Aren Ciledug selama 3 bulan. Dan tergugat selalu mengancamnya lewat telepon dan sejak itu tidak pernah diberikan nafkah lahir 20 21
Ibid Ibid.
39 bathin. Suaminya pun mengakuinya bahwa ia telah menampar istrinya karena ia selalu membantah dan tidak mau menerima nasihatnya. Gugatan penggugat pun diperkuat oleh dua orang saksi. Pengadilan menerima gugatan istri dan menjatuhkan talaknya. (Tangerang, 10 Juli 2006)22 Dari empat faktor di atas selama tahun 2005 ternyata faktor ketigalah yang paling tinggi jumlahnya, disitu karena tidak ada keharmonisan dalam rumah tangga sebanyak 174 perkara atau 40, 8 %, sedangkan faktor tidak adanya tanggung jawab 102 perkara atau 24 %, karena faktor ekonomi sebanyak 49 perkara atau 11, 5 % serta karena faktor moral seperti poligami tidak sehat sebanyak 11. Perkara atau 2, 6 %, krisis akhlakq 26 perkara atau 6, 1 %, karena faktor cemburu 32 perkara atau 7, 5 %, gangguan pihak ketiga 25 perkara atau 5, 9 %, dan ada pula karena penganiayaan sebanyak 7 perkara atau 6, 1 %, hal ini dapat dilihat pada tabel berikut : No. 1.
Faktor Moral : - Poligami tidak sehat - Krisis Akhlaq - Cemburu
2.
Meninggalkan kewajiban : - Ekonomi - Tidak ada tanggung jawab Terus menerus berselisih: - Gangguan pihak ketiga - Tidak ada keharmonisan Penganiyayaan
3.
4.
Jumlah
%
11
2, 6 %
26 32
6, 1 % 7, 5 %
49 102
11, 5 % 24 %
25 174 7
Keterangan Jumlah. faktor penyebab terjadinya perceraian sebanyak 426 perkara, cerai gugat 299 perkara, cerai talak 127 perkara
5, 9 % 40, 8 % 1, 6 %
Faktor-faktor tersebut di atas terjadi karena pada umumnya masyarakat Tangerang antara suami dan istri itu berkerja, diantaranya adalah buruh pada suatu perusahaan yang ada di Tangerang. Jadi antara keduanya jarang sekali bertemu untuk bertukar pikiran dalam 22
Ibid.
40 berbagai hal terutama dalam masalah rumah tangganya karena kesibukan masing-masing sehingga timbulah ketidak pengertian diantara keduanya. Disamping itu rendahnya pendidikan antara suami dan istri juga sangat memungkinkan terjadinya keempat faktor tersebut di atas. Sehingga pola pikir mereka menjadi sempit akhirnya timbul satu tekad jalan terbaik hanya perceraian. Akibat perceraian itu sendiri jarang terpikirkan. Kawin dibawah umur juga merupakan penyebab timbulnya faktor perceraian, sehingga tidak jarang suatu rumah tangga yang hanya bertahan 1-9 bulan lamanya, sebagaimana kasus No. 102/PTS/05/05/PA/TNG.23 Sekalipun antara suami istri umumnya berkerja, namun faktor ekonomi masih sangat dominan penyebab terjadinya perceraian, karena upah buruh pada perusahaan di wilayah Tangerang masih tergolong sangat rendah karena disamping itu banyaknya penduduk luar Tangerang yang datang ke Tangerang untuk mencari pekerjaan dan menetap disana. Sehingga mengakibatkan sempitnya lowongan kerja yang selanjutnya banyaknya pengangguran dan pada akhirnya banyak suami yang begitu saja meninggalkan tanggung jawabnya baik lahir maupun bathin.24 Hal-hal itulah yang dapat menimbulkan keempat faktor tersebut diatas, yang merupakan pelanggaran ta’lik talak dan dapat dijadikan alasan oleh istri untuk menggugat cerai terhadap suaminya sebagai tergugat melalui pengadilan agama. Putusan pengadilan itulah yang menjadi sebab jatuhnya talak satu Khul’i dan putusnya perkawinan. (mengenai faktor-faktor tersebut lengkapnya dapat dilihat pada lampiran I.
23
Wawancara Pribadi dengan Ubed Sutisna (Wakil Panitera Pengadilan Agama Tangerang), Tangerang 21 Oktober 2006. 24 Ibid.
41 BAB IV MASALAH GUGAT CERAI KARENA PELANGGARAN TA’LIK TALAK (DI PENGADILAN AGAMA TANGERANG)
A. Proses Gugatan Cerai Karena Pelanggaran Ta’lik Talak Proses dapat dikatakan sebagai tahapan kegiatan yang dilakukan mulai dari perkara hukum diajukan oleh para pihak yang berperkara di pengadilan dan pengadilan menerima, memeriksa, mengadili, serta menyelesaikan perkara sesuai dengan keinginan dan permintaan para pihak yang berperkara, seperti yang diuraikan dalam pasal 2 ayat (1) UU No. 14 tahun 1970, tugas pokok pengadilan adalah untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya.6 Peradilan Tangerang yang penulis ambil sebagai sample mempunyai tahap kegiatan sebagai berikut : 1. Menerima Gugatan Perceraian: Pengadilan agama Tangerang dalam proses menerima gugatan perceraian berdasarkan kepada pola pembinaan dan pengendalian administrasi perkara pengadilan agama nomor: KMA/013/SK/II/1988, adalah sebagai berikut:
a. Meja Pertama
6
Wawancara Pribadi dengan Karso BC, (Panitera Muda Hukum Pengadilan Agama Tangerang), Tangerang 21 Oktober 2006
42 -
Menerima gugatan, permohonan perlawanan (verzet), penyertaan banding , kasasi, permohonan peninjauan kembali, penjelasan dan penaksiran biaya perkara.
-
Membuat surat kuasa untuk membayar (SKUM) dalam rangkap tiga (tiga) dan menyerahkan SKUM tersebut kepada calon penggugat atau pemohon.
-
Menyerahkan kembali surat gugatan/permohonan kepada calon penggugat atau pemohon.7
b.
Kasir: -
Menerima pembayaran uang panjar biaya perkara (PBP) dari pihak calon penggugat atau pihak pemohon berdasarkan SKUM.
-
Membukukan penerimaan uang panjar biaya perkara dalam jurnal penerimaan uang.
-
Mengembalikan asli serta tindasan pertama SKUM kepada pihak calon pemohon setelah dibubuhi cap/tanda lunas.
-
Menyerahkan biaya perkara yang diterima kepada kebendaharaan perkara.
c. Meja kedua: -
Menerima surat gugatan dari calon penggugat dalam rangkap sebanyak jumlah tergugat ditambah sekurang-kurangnya 4 (empat) rangkap untuk keperluan masing-masing hakim.
-
Menerima tindasan pertama SKUM dari calon penggugat.
-
Mendaftar/mencatat surat gugatan dalam register yang bersangkutan serta pemberian nomor register pada surat gugatan tersebut.
-
Menyerahkan kembali satu rangkap surat gugatan yang lebih diberi nomor register kepada penggugat.
-
Asli surat gugatan dimasukan dalam sebuah map khusus dengan melampirkan tindasan pertama SKUM dan surat yang berhubungan dengan gugatan, disampaikan kepada wakil panitera, untuk selanjutnya berkas gugatan tersebut disampaikan kepada ketua pengadilan agama melalui panitera.8
2. Tahap Persiapan:
7
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996, Cet. Ke-1, h, 56 8
Ibid., h, 39
43 Sub kepaniteraan perdata mempelajari kelengkapan-kelengkapan persuratan dan mencatat semua data-data perkara gugatan perceraian yang baru diterimanya dalam buku penerimaan tentang perkara gugatan perceraian, kemudian menyampaikan panitera dengan melampirkan semua formulir yang berhubungan dengan pemeriksaan perkara. -
Panitera sebelum meluruskan berkas perkara yang baru diterima itu kepada ketua pengadilan agama, terlebih dulu menyuruh petugas yang bersangkutan untuk mencatatnya dalam buku register umum untuk perkara gugatan perceraian.
-
Selambat-lambatnya pada hari kedua setelah surat-surat gugat diterima kepaniteraan, panitera harus sudah menyerahkan kepada ketua pengadilan agama mencatat dalam buku ekspedisi yang ada padanya dan mempelajarinya, kemudian menyampaikan kembali berkas perkara tersebut kepada panitera dengan disertai penetapan Penunjukan Majelis Hakim (PMH) yang sudah harus dilakukan dalam waktu 10 (sepuluh) hari sejak gugatan didaftarkan.
-
Panitera menyiapkan berkas perkara yang diterima dari ketua pengadilan kepada ketua majelis/hakim yang bersangkutan.
-
Panitera menunjuk seorang atau lebih panitera pengganti untuk diperbantukan pada majelis/hakim yang bersangkutan.9
B. Proses Pemeriksaan Gugatan Perceraian Karena Pelanggaran Ta’lik Talak dan Kaitannya Dengan Pasal 19 PP No. 9 Tahun 1975 Dalam pasal 10 Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 disebutkan yaitu:
9
(1)
Pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan oleh majelis hakim selambatlambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah berkas atau surat gugatan perceraian didaftarkan di kepaniteraan.
(2)
Pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan dalam sidang tertutup.
Wawancara Pribadi dengan Sayuti, (Panitera/Sekertaris Pengadilan Agama Tangerang), Tangerang 18 Oktober 2006
44 Pemeriksaan gugatan dilakukan oleh majelis hakim sekurang-kurangnya tiga orang hakim sebagai mana pasal 15 Undang-undang No. 14 tahun 1970, yaitu: (1)
Semua pengadilan memeriksa dan memutus dengan sekurang-kurangnya tiga orang hakim, kecuali apabila undang-undang menentukan lain.
(2)
Diantara para hakim tersebut dalam ayat (1) seorang bertindak sebagai ketua, dan lainnya sebagai anggota sidang.
(3)
Sidang dibantu oleh seorang panitera atau seorang yang ditugaskan pekerjaan panitera.
Majelis hakim sekurang-kurangnya terdiri dari tiga orang hakim dan dibantu oleh seorang panitera, hal ini dimaksudkan oleh pasal tersebut untuk menjamin pemeriksaan yang obyektif, terang-terangan guna memberi perlindungan hukum dan keadilan kepada para pihak.5 Pasal 80 ayat (1) tentang lamanya pemeriksaan yaitu 30 (tiga puluh) hari dari pendaftaran gugatan, dimaksudkan untuk memenuhi tuntutan azas yang ditentukan pada pasal 5 ayat (2) UU No. 14 tahun 1970 yakni peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan. Langkah-langkah proses persidangannya sebagai berikut:6 a. Pemanggilan Pemanggilan para pihak dilakukan sesuai dengan Penetapan Hari Sidang (PHS) oleh ketua majelis/hakim yang bersangkutan dengan memperhatikan: 1)
Jauh/dekatnya tempat tinggal para pihak yang berperkara dengan pengadilan agama (SK. Menag No. 162 tahun 1988) dan lamanya tenggang waktu antara pemanggilan
5
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata, h. 11
6
Ibid, h. 10
45 pihak-pihak yang berperkara dengan hari persidangan paling sedikit tiga hari kerja, kecuali dalam hal-hal yang mendesak (pasal 122 HIR). 2) Pemanggilan pihak-pihak yang berperkara dilakukan oleh juru sita pengganti (pasal 40 ayat (2) Undang-undang No. 7/1989). 3) Relas pemanggilan harus menyebutkan antara lain: kepada pihak tergugat boleh ia mengajukan jawaban tertulis pada waktu persidangan penggugat dan tergugat boleh membawa surat-surat serta saksi-saksi yang dianggap perlu. 4) Surat panggilan harus diserahkan langsung kepada pribadi orang yang dipanggil di tempat tinggalnya dan jika tidak bertemu dirumahnya diserahkan kepada kepala desa/lurah yang bersangkutan dan orang yang menerima panggilan harus menandatangani relas panggilan tersebut. 5) Jika yang dipanggil tidak diketahui tempat tinggalnya, maka panggilan dilakukan dengan cara menempel surat panggilan pada papan pengumuman di pengadilan agama dan mengumumkan melalui media massa (surat kabar, radio dan media lainnya) pasal 27 ayat (1) PP No. 9/1975. 6) Jika orang tersebut meninggal dunia, maka diberitahukan kepada ahli warisnya dan bila ahli warisnya tidak dikenal, maka pakai ketentuan seperti No. 5 diatas.7 Masalah pemanggilan pada kenyataannya di pengadilan agama Tangerang tidak semudah gambaran No. 1 s/d 6 diatas, dikarenakan para pihak yang berperkara di antaranya pada siang hari umumnya tidak ada dirumah/tempat tinggalnya, mereka sebagian besar sebagai karyawan dan karyawati (buruh) diperusahaan-perusahaan yang berada di Tangerang. Dan disamping itu Tangerang juga sebagai Kota penyanggah Ibukota Banten dan daerah industri, masing-masing orang sibuk dengan profesinya karena dampak kemajuan perkembangan penduduk dan industri tersebut, maka hal ini juru sita pengganti dalam pemanggilan para pihak berperkara jarang sekali bertemu pemanggilan berikutnya demikian, 7
Ibid., h. 61-62
46 masalah ini sering terjadi pemanggilan baru langsung bertemu dengan pihak yang berperkara pada penggadilan berikutnya.8 b. Persidangan Pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan dalam sidang tertutup (pasal 80 ayat (2) UU No. 7/1989 karena masalah perceraian masalah kepentingan kerahasiaan atau aib rumah tangga dan pribadi suami istri, agar jangan luas diketahui umum rahasia atau aib dan kebobrokan suami istri melalui sidang pengadilan, maka satu-satunya cara untuk menutup kebocoran melalui sidang tertutup.9 Persidangan untuk memeriksa gugatan perceraian harus dilakukan oleh pengadilan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah berkas atau surat gugatan didaftarkan di kepaniteraan pengadilan agama (pasal 80 ayat 1 UU No. 7/1989). Dan pengadilan agama memanggil para pihak melalui juru sita pengganti untuk datang ke persidangan, guna pemeriksaan gugatan perceraian, yang telah didaftarkan itu adalah sebagai berikut: -
Para pihak yang berperkara dapat menghadiri sidang untuk didampingi kuasanya atau menyerahkan kepada kuasanya dengan membawa bukti-bukti atau keterangan yang diperlukan.
-
Apabila tergugat telah dipanggil yang kedua kalinya namun tidak hadir, maka berlakulah acara istimewa, dimana gugatannya harus digugurkan (pasal 124 HIR). Berbeda dengan tergugat telah dipanggil dengan sah dan patut namun tidak hadir dipersidangan, maka ketidakhadirannya tergugat, gugatan dapat diterima dan diputus dengan verstek (pasal 125 HIR).
8
9
Wawancara Pribadi dengan Sayuti.
Wawancara Pribadi dengan Kasidi, (Juru Sita Pengganti Pengadilan Agama Tangerang), Tangerang 17 Oktober 2006
47 -
Apabila kedua belah pihak (penggugat dan tergugat) tidak hadir kepersidangan, sidang diundur dengan perintah majelis hakim kepada juru sita pengganti untuk memanggil kedua belah pihak kembali (pasal 126 HIR).
-
Dalam hal penggugat/tergugat lebih dari satu orang dan salah seorang tidak hadir pada sidang pertama, sidang diundur paling lama 7 (tujuh) hari, agar pihak yang tidak hadir dipanggil lagi. Penundaan itu diberitahukan kepada pihak yang hadir dalam persidangan. Pemberitahuan itu sama dengan panggilan baginya. (pasal 127 HIR).
-
Jika kedua belah pihak berperkara hadir pada hari sidang pertama, ketua majelis mengusahakan agar pihak-pihak berperkara dapat didamaikan. Usaha hakim untuk mendamaikan tidak terbatas pada hari sidang pertama saja, tetapi terbuka sepanjang pemeriksaan di persidangan. Apabila terjadi perdamaian, dibuatkan akte perdamaian di atas kertas bermaterai, berdasarkan perdamaian tersebut hakim menjatuhkan putusan yang isinya menghukum kedua belah pihak untuk memenuhi isi perdamaian. Kekuatan putusan sama dengan putusan biasa dan dapat dilaksanakan seperti putusan-putusan lainnya. Oleh karena itu disyaratkan isi perdamaian harus konkrit dan dapat dilaksanakan (dieksekusi), perdamaian tidak dapat dibanding (pasal 130 HIR).10
-
Jika majelis hakim untuk mendamaikan pihak-pihak berperkara tidak berhasil, ketua Majelis akan memeriksa perkaranya, sebagai berikut: 1. Tahap pembacaan surat gugatan, apabila penggugat mau merubah gugatannya dapat dilakukan pada saat itu sepanjang tidak jauh menyimpang dari kejadian materil yang menyebabkan dasar pokok gugatan menjadi lain, sedangkan mengenai petitum dari suatu gugatan tidak boleh diubah. Perubahan
10
Wawancara Pribadi dengan Sonhaji, (Hakim Pengadilan Agama Tangerang), Tangerang 16 Okober 2006
48 diperbolehkan sepanjang pemeriksaan perkara akan tetapi tidak dibenarkan dimana pemeriksaan perkara sudah hampir selesai. 2. Tahap jawaban terbuka mengenai tangkisan/bantahan atas gugatan penggugat yang tidak langsung mengenai pokok-pokok perkara, yang berisi tuntutan batalnya gugatan itu atau disebut eksepsi. Atau jawaban mengenai pokok perkara benar tidaknya kejadian-kejadian yang dikemukakan dalam gugatan itu. 3. Tahap jawaban gugatan balasan yaitu setelah tergugat memberi jawaban atas gugatan penggugat diberi kesempatan untuk menanggapi langsung tanggapan atau jawaban, tanggapan atau jawaban itu sendiri disebut reflik. 4. Tahap duplik, yaitu jawaban tergugat atas reflik penggugat yang disampaikan dalam persidangan. 5.
Tahap pembuktian, yaitu segala sesuatu/alat-alat bukti yang dapat menampakan kebenaran dimuka sidang peradilan dalam suatu perkara yang bersangkutan. Dalam pasal 165 HIR, pembuktian dapat berupa: surat, saksi, persangkaan, pengakuan dan sumpah.
6. Tahap terakhir konklusi/kesimpulan, yaitu: kedua belah pihak diberi kesempatan untuk mengajukan kesimpulan terakhirnya. Yang dimulai dengan penggugat kemudian trgugat. Setelah itu sidang diundur paling lama 3 (tiga) minggu untuk membacakan putusan. 7. Sidang tahap putusan: -
Ketua majelis/hakim sebelum membacakan putusan membuat konsep putusan dahulu selama tiga minggu tersebut. Hal ini di pengadilan agama Tangerang pun demikian.
49 Di dalam konsep hakim terangkum pokok/intisari permasalahan
gugatan
cerai yang di ambil dari berita acara sesuai tahapan-tahapan persidangan tersebut, dengan memperhatikan cara-cara sebagai berikut:11 a. Kepala
konsepan
tertulis
“PUTUSAN
dengan
nomor:
266/Pts.G/
2005/PA.TNG Urutan seterusnya : -
Bismillahirrahmannirrahim, diikuti dengan
-
Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
-
Identitas penggugat dan tergugat dengan jelas.
b. Tentang duduk perkaranya, isinya: -
Posita, yaitu uraian isi pokok perkara tentang tidak harmonisnya rumah tangga disebabkan pelanggaran ta’lik talak dan alasan pasal 19 PP No. 9 tahun 1975, yang dilakukan pihak tergugat.
-
Petitum, yaitu permintaan penggugat mohon dikabulkan gugatannya, menyatakan jatuh satu khul’i dengan uang iwadl Rp. ,-dan menyatakan putus perkawinan penggugat dengan tergugat, dan seterusnya permintaan bila ada.
-
Usaha mendamaikan para pihak.
-
Jawaban tergugat, reflik, duplik, pembuktian dn kesimpulan.
c. Tentang hukumnya, isinya: - Wewenag relatif dan absolut pengadilan agama Tangerang. -
Pertimbangan hukum sesuai dengan duduk perkara di atas, misalnya “tergugat telah pisah rumah dengan penggugat selama 3 bulan tanpa memberikan nafkah lahir dan bathin serta rumah tangga cekcok terus menerus“. Maka hakim harus membuat pertimbangan hukum yaitu bahwa kasus rumah tangga tersebut sudah tidak bisa didamaikan lagi dan tergugat telah melanggar ta’lik talak serta terbukti berdasarkan pengakuannya telah mengucapkan ikrar ta’lik talak setelah akad nikah. Majelis hakim selanjutnya dalam pertimbangan hukum berpendapat bahwa alasan perceraian yang didasarkan gugatan penggugat telah cukup sesuai dengan ketentuan pasal 19 huruf (f) No. 9 Tahun 1975 yaitu:
11
Ibid.
50 “Antara suami dan istri terus menerus menjadi perselisisan dan pertengkaran (cekcok) dan tidak ada harapan untuk hidup rukun kagi dalam rumah tangga”12
dan pasal 16 huruf (g) Inpres No. 1 tahun 1991 yaitu: “suami melanggar ta’lik talak” angka (2) sewaktu-waktu saya tidak memberikan nafkah wajib kepadanya tiga bulan lamanya”. Bahwa dengan terbuktimya tergugat melanggar ta’lik talak dan penggugat menyatakan tidak rela dengan mengajukan gugatan cerai ke pengadilan agama Tangerang dengan jalan khulu’ (talak tebus), maka hal ini sesuai dengan Firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 229 yaitu
ِتْ ِﺑﮫ َ َﺎحَﻠَﯿْﮭﻤَﺎِﻓِﯿ ﺎﻤ َ ﻓْﺘاﺪ ﷲﻓَﻼَﻨﺟُ َﻋ ِ ﺣ دَُو ﻓَﺂﻻ َأ ﱠ ﻘﯾ ُﻤِﯿَﺎُﺪ Artinya : “Jika kamu khawatir keduanya (suami istri) tidak menjalankan hukum-hukum Allah maka tidak dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya”. (QS. 2/Al-Baqarah: 229)
Inilah kaitannya gugatan perceraian karena pelanggaran ta’lik talak dan pasal 19 PP No. 9 tahun 1975 dan sebagaimana contoh kasus putusan pengadilan agama tangerang terlampir, pada lampiran II. d. Mengadili, isinya: -
Mengabulkan gugatan sesuai petitum dan memutuskan pokok perkara sesuai dengan duduknya perkara dan tentang hukumnya serta menghukum kepada pihak perkara untuk melaksanakan amar putusan.
12
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata, h. 255-257
51 -
Ketua majelis membacakan putusan, yang amar putusannya sebelumnya sudah diketik rapih oleh panitera yang ikut sidang dengan dihadiri oleh kedua belah pihak.13
Dan penulis gambarkan proses persidangan sebagai
kesimpulan tersebut diatas yaitu:
GUGATAN
JAWABAN
DUPLIK
REFLIK
PEMBUKTIAN
KONKLUSI/ KESIMPULAN
PUTUSAN AKHIR
13
Wawancara Pribadi dengan Rahmatullah Nur, (Hakim Pengadilan Agama Tangerang), Tangerang 18 Oktober 2006
52 Demikianlah proses gugatan perceraian karena pelanggaran ta’lik talak dan kaitannya dengan pasal 19 PP No. 9 tahun 1975, dan proses tersebut dirasakan belum memuaskan para pihak karena banyaknya hambatan-hambatan yang sering di alami oleh para petugas seperti masalah pemanggilan para pihak yang berperkara sebagaimana yang telah diuraikan di atas. Disamping itu pula mesin tulis yang sudah ada banyak yang rusak dan jumlahnya pun kurang akibatnya pengerjaan pengetikan sering mengalami keterlambatan. Mesin stensil juga belum memadahi sehingga mengalami kesulitan dalam mengadakan formulir-formulir yang diperlukan. Dari pihak yang berperkara sendiri pun banyak yang tidak memenuhi persyaratannya ketika mengajukan permohonan ke pengadilan agama. Itulah hambatanhambatan yang dialami oleh pengadilan agama Tangerang dalam proses perceraian khususnya, gugatan karena pelanggaran ta’lik talak yang merupakan perkara terbesar jumlahnya dibandingkan dengan perkara yang lain.14
C. Putusnya Perkawinan Akibat Gugatan Perceraian Karena Pelanggaran Ta’lik Talak Perkawinan bisa putus salah satu penyebabnya adalah gugatan perceraian karena pelanggaran ta’lik talak. Sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 pasal 19 huruf (a) sampai dengan huruf (f) jo pasal 116 huruf (g) dan (h) Instruksi Presiden
Nomor
1
tahun
1991.
hal
ini
dapat
dilihat
pada
perkara,
No.
528/PTS/04/05/PA/TNG sebagai berikut: Penggugat bernama Irma Yanti binti Wito Sudarsono, umur 27 tahun agama Islam, pekerjaan karyawati, alamat di Batu Jaya Timur Rt. 002/05 Desa Neroktog, Kec. Pinang Kota Madya DT. II Tangerang.
14
Wawancara Pribadi dengan Sayuti, Panitera/Sekertaris
53 Tergugat Asep Maulana bin H. Marjuki, umur 28 tahun, agama Islam, pekerjaan karyawan, alamat Batu Jaya Timur Rt. 002/05 Desa Neroktog Kec. Pinang Kota Madya DT II Tangerang.15 Duduk Perkaranya Penggugat berdasarkan surat gugatannya tanggal 28 Desember 2005 yang di daftarkan di kepaniteraan pengadilan agama Tangerang dengan nomor :528/PTS/04/05/TNG, mengajukan hal-hal tersebut sebagai berikut: Bahwa penggugat benar adalah suami tersebut yang telah melangsungkan pernikahannya dengan tergugat pada tanggal 20 Agustus 2003 di hadapan PPN KUA Kecamatan Pinang secara resmi dan sah sesuai dengan Akta Nikah No. 04/01/VIII/2003 dan setelah akad nikah mengucapkan ta’lik talak. Selama berumah tangga penggugat dan tergugat telah hidup rukun dan damai tanpa ada gangguan apapun sebagai mana suami istri bercampur dan belum dikaruniai seorang anak. Akan tetapi akhir-akhir ini rumah tangga antara penggugat dan tergugat sudah tidak harmonis seperti yang di alaminya, akan tetapi sekarang sering cekcok disebabkan tergugat kawin lagi, tergugat kurang memberi nafkah dan tergugat tidak pulang kurang lebih tiga bulan lamanya. Bahwa, adanya krisis rumah tangga antara penggugat dan tergugat penggugat telah berusaha meminta nasehat kepada saudara-saudaranya serta BP4 Kecamatan, namun tidak berhasil, yang akhirnya penggugat mengajukan gugatan cerai kepada pengadilan agama Tangerang.
15
Surat Putusan Pengadilan Agama Tangerang, No 266 / Pdt.G / 2006 / PA. TNG. Dan Buku Mukti Arto, h. 255-257
54 Sedang tergugat dalam majelis hakim pengadilan agama Tangerang walaupun telah dipanggil dengan patut dan sah melalui juru sita pengadilan agama Tangerang. Namun hingga perkara ini diputus, tetap tidak hadir dan penggugat tetap pada pendiriannya.
Pertimbangan Hukum Bahwa penggugat dan tergugat adalah suami istri yang sah dan masih terikat dalam perkawnan yang sah sesuai dengan Kutipan Akta Nikah Nomor: 04/01/2006 yang dikeluarkan oleh KUA Kecamatan Tangerang Banten tanggal 20 Agustus 2003. dan setelah akad nikah penggugat telah mengucapakan sighat ta’lik talak sebagaimana tercantum dalam lampiran akta nikah tersebut. Penggugat telah memberi keterangan secukupnya di muka persidangan dengan alasan-alasan sebagaimana diuraikan di atas. Dan majelis hakim telah berusaha mendamaikan para pihak berperkara agar rukun kembali membina rumah tangga akan tetapi tidak berhasil. Dengan mendasarkan kepada keterangan/gugatan penggugat, majelis hakim berpendapat alasan perceraian yang didasarkan penggugat telah cukup sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 dan pasal 116 huruf (g) Intruksi Presiden RI Nomor 1 tahun 1991. Dan tergugat dalam persidangan telah dipanggil dengan patut melalui juru sita pengadilan agama Tangerang, namun tidak pernah hadir, maka majelis hakim berpendapat perkara ini harus diputus dengan tanpa hadirnya tergugat (verstek). Bahwa dengan terbuktinya tergugat melanggar ta’lik talak angka 2 dan penggugat menyatakan tidak rela dengan mengajukan gugatan cerai ke pengadilan agama Tangerang dengan jalan Khulu’ (talak tebus) maka hal ini sesuai dengan Firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah ayat 229 yang berbunyi:
55
ِتْ ِﺑﮫ َ َﺎحَﻠَﯿْﮭﻤَﺎِﻓِﯿ ﺎﻤ َ ﻓْﺘاﺪ ﷲﻓَﻼَﻨﺟُ َﻋ ِ ﺣ دَُو ﻓَﺂﻻ َأ ﱠ ﻘﯾ ُﻤِﯿَﺎُﺪ Artinya: “Dan jika kamu khawatir keduanya (suami istri) tidak menjalankan hukum-hukum Allah SWT maka tidak dosa keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya”. (QS. 2/al-Baqarah: 229)17 Dan ta’lik talak tersebut pada hakekatnya adalah talak dari tergugat kepada penggugat telah jatuh sesuai dengan ibarat dari Kitab Syarqawi juz II halaman 302 yang berbunyi : . وﻣﻦ ﻋﻠﻖ طﻼ ﻗﺎ ﺑﺼﻔﺔ وﻗﻊ ﺑﻮﺟﻮدھﺎ ﻋﻤﻼ ﺑﻤﻘﺘﻀﻲ اﻟﻠﻔﻆ Artinya : “Barang siapa yang menggantungkan talak atas sesuatu sifat jatuhlah talak itu dengan adanya sifat tadi menurut maksud ucapan” Berdasarkan pada pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas majelis hakim berpendapat bahwa penggugat telah berhasil membuktikan dalil-dalilnya dan gugatan penggugat telah memenuhi syarat untuk diterima dan dikabulkan. Mengadili Menyatakan penggugat telah dipanggil ke persidangan dengan patut dan ternyata tidak hadir. Mengabulkan gugatan penggugat dengan verstek. Memutuskan jatuh talak satu khul’i dengan iwadl Rp.1000 (seribu rupiah) dari tergugat Asep Maulana bin H. Marjuki atas penggugat Irma Yanti binti Wito Sudarsono yang dilaksanakan pada hari Sabtu tanggal 20 Maret 2005 M, menyatakan perkawinan penggugat putus dengan tergugat. Membebankan kepada penggugat untuk membayar biaya perkara yang hingga selesai perkara dihitung sebesar Rp. 37500 (tiga puluh tujuh ribu lima ratus rupiah). Putusan mana pada waktu itu juga diucapkan pada persidangan yang terbuka untuk umum oleh majelis hakim yang dihadiri oleh panitera pengganti serta pihak penggugat dan tanpa hadirnya tergugat. Analisa Hukum
17
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Bandung: Al-Ma’rifat, Juz VIII, h. 99-103
56 Sesuai dengan ikrar ta’lik talak, apabila seorang suami (tergugat) telah terbukti melanggar isi dalam ta’lik talak tersebut, kemudian pihak istri tidak rela dan mengadukannya ke pengadilan agama serta membayar uang iwadl sebagai tebusan atas dirinya pada hakim, maka jatuhlah talak satu khuli’. Hal itu sebagaimana Peraturan Menteri Agama Nomor 3 tahun 1975 pasal 4 ayat (4) “pihak istri berhak menjatuhkan tuntutan kepada pengadilan agama atau pengadilan yang serupa dan sederajat dengan itu, agar persetujuan tentang ta’lik talak ditepati pihak suami. Juga berdasarkan ahli hukum Islam Sayyid Sabiq dalam kitabnya Fiqih Sunnah juz VIII menyatakan sebagai berikut: Imam Malik berpendapat “istri berhak menuntut kepada pengadilan agama menjatuhkan talak jika ia beranggapan bahwa suaminya telah berbuat membahayakan dirinya, sehingga tak sanggup lagi melangsungkan pergaulan suami istri, seperti suka memukul, menyakiti dengan cara apapun yang tak dapat ia tanggungjawab deritanya, atau dengan memaki-makinya atau dengan mengucapkan perbuatan yang munkar (jahat).18 Jadi jika suami menyia-nyiakan istrinya sehingga ia sengsara maka istri dapat mengadukan kepada hakim supaya perkawinannya diputuskan. Hakim dapat mengajukan permohonannya sesudah terbukti kebenaran pengaduannya. Maka setiap orang yang mempunyai kepentingan untuk mengajukan tuntutan hak semuanya ke pengadilan agama sebagaimana dikatakan Prof. DR. Sudikno Mertokusumo, SH yang mengatakan: Kalau dibiarkan setiap orang akan mengajukan tuntutan hak (semuanya), dapat dibayangkan bahwa pengadilan akan kebanjiran tuntutan hak. Untuk mencegah agar setiap orang tidak asal saja mengajukan hak ke pengadilan yang akan menyulitkan pengadilan maka kepentingan yang cukup dan layak serta 18
Ibid, h. 87
57 mempunyai dasar hukum sajalah yang dapat diterima sebagai dasar tutntutan hak.19 Pelanggaran suami (tergugat) yang diajukan oleh penggugat lewat gugatan cerai melalui ta’lik talak, yang tidak memberi nafkah dan tidak pulang selama 3 bulan dengan tidak memberikan kabar, selain itu juga tergugat kawin lagi, hal itu telah membuat penggugat menderita dan telah disia-siakan oleh tergugat yang pada akhirnya penggugat mengajukan gugatannya ke pengadilan agama. Penggugat telah berhasil membuktikan dalil-dalilnya oleh karenanya gugatan penggugat telah memenuhi syarat diterima dan dikabulkan. Hal tersebut telah terbukti kebenarannya sekalipun tanpa adanya saksi, akan tetapi penggugat telah berhasil meyakinkan hakim. Ketidakhadiran tergugat dalam sidang majelis hakim sekalipun telah dipanggil secara patut dan sah namun tidak pernah hadir. Maka hakim mengabulkan syarat penggugat dengan verstek. Jadi Berdasarkan tuntutan atau gugatan tersebut, perkawinan putus karena pelanggaran ta’lik talak dengan disertai uang iwadl dan jatuh talak satu kul’i. Oleh karena itu menurut tinjauan dan analisa penulis putusan pengadilan agama Tangerang adalah sangat tepat karena disamping itu memang terbukti melanggar isi ikrar ta’lik talak Nomor 2, juga telah cukup sesuai dengan ketentuan pasal 19 huruf (f) PP No. 1 tahun 1974. Akibat dari jatuhnya talak satu khul’i atau ba’in sugra jika suami ingin kembali dengan bekas istrinya tidak boleh rujuk melainkan harus nikah baru, nikahnya boleh dalam masa iddah ataupun sesudah iddahnya habis. Hal ini sebagaimana Bakri A. Rahman dan Ahmad Sukarja dalam bukunya menerangkan:
Talak bain sugra: talak yang
dijatuhkan kepada istri yang belum dicampuri atau talak tebus. Dalam talak ba’in sugra 19
h. 53
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberty, 1982, Cet. Ke-1,
58 tersebut tidak boleh suami rujuk kembali kepada istrinya, akan tetapi boleh nikah kembali baik dalam masa iddah maupun sesudah iddah. Adapun hitungan masa iddah sama dengan talak raj’i yaitu: kesatu, kedua, dan ketiga. Jika talak yang ketiga bukan ba’in sugra lagi melainkan ba’in kubra. Dalam talak ba’in kubro suami tidak boleh rujuk kembali dan nikah kembali dengan bukan istrinya, kecuali sudah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan Allah dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 230 yang berbunyi:
ﺟُﻨ َحَﺎ ﻼ َ ﺟﺎًﻏﯿْﺮَ َهُﻓَ ﺈِطنَ ﱠﻘﻠَﮭَ َﻓﺎ َ ْﺣ َُﺘﻰ ﱠﺗ َﻜِﻨﺢَزو ﻓَﺈطِن ﻘ ﱠَﻠَﮭ ﻓﺎ َﻼَ َ ﺗَِﻞﺤ ﱡ ﻟ ُﮫ َﻦِﻣ ﻌﺑ َْﺪ ْ ﺣُود ُﷲِﯾُ ﺒَﯿُﱢﻨَﺎﮭ ﻘﻟ ِمٍَﻮ ﻚﺪ ْ َﷲ َ ِوَِﺗﻠ ن ﺎﻨ ﱠ أ ُﯾَنﯿﻤِﻘ ﺎَ ُﺣﺪُو د َ اﺟ َظﺂِإ َﻋ ﯿَﻠِﻤﮭ ْ َﺂن َأ ﯾ َﺮﺘَ َ ﻌ .نُﻮ َ ﻌْ َﯾ ﻠ َﻤ Artinya: Kemudian jika si-suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga ia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu yang menceraikannya, maka dia tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan istri) untuk kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah diterangkanNya kepada kaum yang (mau) memenuhi.20 (QS. 2/al-Baqarah: 230). Demikian putusnya perkawinan akibat gugatan yang dilakukan oleh istri terhadap suami karena pelanggaran ta’lik talak di pengadilan agama Tangerang. Hal itu banyak sekali terjadi karena belum mantapnya pelaksanaan Undang-undang Perkawinan di tengah-tengah masyarakat Tangerang antara lain akibat kurangnya penyuluhan kepada masyarakat dari petugas-petugas tentang Undang-undang No. 1 tahun 1974, disamping itu di Desa Curug Wetan Kecamatan Curug Kabupaten Tangerang dari 8651 penduduk hanya 1, 02 % yang menyelesaikan perceraian melalui pengadilan agama. Padahal letak pengadilan agama Tangerang sangat strategis dan mudah dijangkau karena terletak di jantung Kota Tangerang selain itu gedungnya memadai dibandingkan dengan pengadilan agama yang lain.21
20
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, h. 62 Bakri A. Rahman dan Ahmad Sukarja, Hukum Perkawinan Menurut Islam. Undang-Undang Perkawinan dan Perdata BW, Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1981, h. 41 21
59 BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian pada bab-bab terdahulu dalam hubungannya dengan skripsi ini, pada bab ini penulis mencoba menarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Tugas dan kewenangan pengadilan agama di Indonesia adalah memeriksa, menerima dan memutus perkara perselisihan hukum antara orang-orang Islam mengenai bidang hukum perdata, diantaranya: a. nikah yang meliputi izin kawin, pembatalan perkawinan, pencegahan perkawinan, dispensasi perkawinan, izin poligami dan segala perkara perkawinan yang dilakukan oleh orang Islam. b. Talak, yang meliputi perkara-perkara talak, seperti gugatan suami istri atas kelalaian kewajibannya masing-masing, pelanggaran ta’lik talak, penetuan kekuasaan atas hak asuh anak, penentuan biaya penghidupan bagi bekas istri, dan lainnya. c. Serta masalah-masalah wasiat, wakaf, hibah, shadaqah dan waris. 2. Faktor-faktor penyebab adanya pelanggaran ta’lik talak yang dilakukan suami dapat penulis simpulkan sebagai berikut : a. Faktor moral, karena: 1). Poligami tidak sehat 2). Krisis akhlak
60 3). Cemburu b. Meninggalkan kewajiban, karena: 1). Ekonomi 2). Tidak ada tanggung jawab c. Terus menerus berselisih, karena: 1). Gangguan pihak ketiga 2). Tidak ada keharmonisan d. Penganiayaan. 3. Untuk mencapai keberhasilan dalam proses penyelesaian gugatan perceraian karena pelanggaran ta’lik talak dan kaitannya dengan pasal 19 PP. No. 9 tahun 1975 sesuai dengan azas yang ditentukan pada pasal 57 ayat 3 Undang-undang No. 7 tahun 1989, yaitu peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan, dan sesuai harapan para pihak secara umum belum begitu memuaskan. Hal ini terbukti dari jumlah perkara yang masuk pada tahun 2006 sebanyak 3071 perkara hanya 546 perkara (17,8 %) yang dapat diselesaikan, diantaranya perkara cerai gugat karena pelanggaran ta’lik talak yaitu sebanyak 311 perkara (10,1 %) dan mendapat posisi pertama dari seluruh perkara yang terdapat di Pengadilan Agama Tangerang. B. Saran-Saran Berdasarkan kesimpulan-kesimpulan yang penulis kemukakan di atas, maka pada kesempatan ini penulis mengemukakan saran-saran berguna dalam menunjang pelaksanaan proses gugatan perceraian, karena pelanggaran ta’lik talak di Pengadilan Agama Tangerang. Adapun saran-saran yang dapat penulis sajikan adalah sebagai berikut :
61 1. Guna menjamin kelancaran proses gugatan perceraian di Pengadilan Agama Tangerang perlu ditingkatkan mutu pelayanan baik dibagian penerimaan perkara, maupun dalam proses persidangan. Dan perlu juga meningkatkan keterampilan juru sita pengganti dalam pelaksanaan pemanggilan. 2. Dalam upaya meningkatkan mutu pelayanan di bidang administrasi perkara sarana dan prasarana perlu adanya penambahan yang menunjang, sehingga pekerjaan dapat cepat terlaksana. Juga diperlukan adanya inventaris kendaran motor beroda dua khusus untuk Juru Sita pengganti guna kelancaran pemanggilan. 3. Untuk memperkecil jumlah perkara khususnya cerai gugat karena pelanggaran ta’lik talak oleh suami maka perlu diadakan penyuluhan kepada masyarakat oleh petugas-petugas tentang Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan agar pelaksanaannya lebih mantap.
Demikianlah kesimpulan dan saran-saran yang penulis ajukan sebagai suatu telaah dalam usaha menciptakan peningkatan proses gugatan perceraian karena pelanggaran ta’lik talak dan kaitannya dengan pasal 19 PP. No. 9 tahun1975, sesuai azas sederhana, cepat dan biaya
ringan
di
manfaatnya…Amin.
Pengadilan
Agama
Tangerang.
Semoga
saran-saran
ini
ada
62 DAFTAR PUSTAKA
Al- Qur’anul Karim, Terjemahan Departemen Agama RI, 1987. Al-Marbawi, Muhamad Idris. Kamus al-Marbawi. Mesir: al-Mustafa Abdurrauf al-Babil Halaby, 1350 H. An-Naisabury, al-Imam Abi Husein Muslim Ibnu Hujjah At-Qusyairi. Sahih Muslim. Daru Ahyai al-Qusyairi al-Arabi, Jilid Ke-3. Arto, Mukti. Peraktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996. Ash-Shiddiqey, Hasby. Peradilan dan Hukum Acara Islam, Al-Ma’rif. Dally, Peunoh. Disertasi Provendus Doktor. Jakarta: IAIN Jakarta, 1983. Departemen Agama Republik Indonesia. Buku Akta Nikah. Jakarta: Depag, 2005. Harahap, M. Yahya. Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama. Jakarta: Pustaka Kartini, 1990. Intruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991, Tentang Kompilasi Hukum Islam. Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor : KMA/031/SK/III/188/ Tentang Pola Pembina Dan Pengendalian Administrasi Perkara Perkara Peradilan Agama. Latif, Djamil. Kedudukan dan Kekuasaan Peradilan Agama di Indonesia, cet.I. Jakarta: Bulan Bintang, 1983. Mawardi. Hukum Perkawinan Dalam Islam. Yogyakarta: Fakultas Ekonomi UGM, 1975. Mertokusumo, Sudikno. Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta: Liberty, 1982. Noeh, Ahmad Zaini dan Adnan, Basit. Sejarah Singkat Peradilan Agama Islam di Indonesia. Jakarta: PT. Bina Ilmu, 1983. Saurah, Abu Isya Muhammad Ibnu Isya Ibnu, Sunah at-Turmuzi. Mesir: Matba’ Mustafa Albaby Halaby Wa-Aulaaduhu, 1937 M/1356 H. Pengadilan Agama Tangerang. Buku Kumpulan Kaidah untuk Hakim. Tangerang. Poerwardarinta. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta,1982. Prodjohamidjojo, Martiman. Hukum Perkawinan Indonesia, cet.I. Jakarta, 2002.
63 Rahman, Bakri dan Sukarja, Ahmad, Hukum Perkawinan Menurut Islam. Undang-undang Perkawinan dan Perdata BW. Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1981.
Ramulyo, M. Idris. Tinjauan Beberapa Pasal Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Dari segi Hukum Perkawinan Islam. Jakarta: Ind-Hill, 1990. Rifa’i, Muhammad, Terjemah Khulashah Kifayatul Akhyar. Semarang: CV. Toha Putra. 1982.
Rofik, A. Hukum Islam di Indonesia, cet.IV. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000. Sabiq, Sayyid. Fiqih Sunnah. Bandung: Al-Ma’rifat, 1987. Soemiati. Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan. Yogyakarta: Liberty, 1989. Sostroatmodjo, Arso. Diktat Kuliah Hukum Acara Perdata. Jakarta: Fakultas Syari’ah, IAIN Syarief Hidayatullah Jakarta, 1983. Subekti. Kamus Hukum. Jakarta: Pradya Paramita, 1982.
Surat Putusan Pengadilan Agama Tangerang, No 266 / Pdt.G / 2006 / PA. TNG. Thalib, Sayuti. Hukum Keluarga Indonesia. Jakarta: UI Press, 1986. Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970, Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, Tentang Perkawinan. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, Tentang Peradilan Agama. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1974, Tentang Perkawinan. Wawancara Pribadi dengan Ahmad Fathoni (Ketua Pengadilan Agama Tangerang), 17 Oktober 2006. Wawancara Pribadi dengan H. Rahmatullah Nur (Hakim Pengadilan Agama Tangerang) Tangerang 20 Okober 2006 Wawancara Pribadi dengan H. Uce Supriadi (Wakil Ketua Pengadilan Agama Tangerang), Tangerang 19 Oktober 2006 Wawancara Pribadi dengan Karso BC, (Panitera Muda Hukum Pengadilan Agama Tangerang), Tangerang 21 Oktober 2006
64 Wawancara Pribadi dengan Kasidi, (Juru Sita Pengganti Pengadilan Agama Tangerang), Tangerang 17 Oktober 2006 Wawancara Pribadi dengan Nadlroh Hasun (Panitera Muda Perkara Pengadilan Agama Tangerang), Tangerang 18 Oktober 2006. Wawancara Pribadi dengan Sayuti, (Panitera/Sekertaris Pengadilan Agama Tangerang), Tangerang 18 Oktober 2006 Wawancara Pribadi dengan Ubed Sutisna (Wakil Panitera Pengadilan Agama Tangerang), Tangerang 21 Oktober 2006 Wawancara Pribadi dengan Ubed Sutisna (Wakil Panitera Pengadilan Agama Tangerang), Tangerang 21 Oktober 2006 Yunus, Mahmud. Hukum Perkawinan dalam Islam Menurut Empat Mazhab. Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1990.
65 PUTUSAN NOMOR: 266/Pdt.G/2006/PA.TNG
BISMILLAAHIRRAHMAANIRRAHIIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
Pengadilan Agama Tangerang yang memeriksa dan mengadili perkara perdata dalam tingkat pertama dalam persidangan Majelis Hakim telah menjatuhkan Putusan dalam perkara CERAI TALAK antara:
ASEP JUANDA bin JEJE, umur 33 tahun, agama Islam, pekerjaan Swasta, tempat tinggal di Jl. Imam Bonjol Gg. Kurnia No. 34 Rt 01/05 Kelurahan Bojong Jaya, Kecamatan Karawaci, Kota Tangerang. Untuk selanjutnya disebut sebagai “PEMOHON”
LAWAN
MUNIROH binti H. MOH. ALI, umur 36 tahun, agama Islam, pekerjaan ibu rumah tangga, bertempat tinggal di Jl. Howizer Raya, Rt. 016/03, Kelurahan Sumur Batu, Kecamatan Cempaka Putih, Kodya Jakarta Pusat. Untuk selanjutnya disebut sebagai “TERMOHON”
Pengadilan Agama tersebut; Setelah mempelajari berkas perkara; Setelah mendengar keterangan Pemohon serta memeriksa alat-alat bukti di persidangan;
TENTANG DUDUK PERKARANYA
66 Menimbang, bahwa Pemohon berdasarkan surat permohonannya tertanggal 24 Mei 2006 yang telah didaftarkan di dalam Buku Register Kepaniteraan Pengadilan Agama Tangerang tanggal 24 Mei 2006 dengan Nomor: 226/Pdt.G/PA.TNG telah mengajukan hal-hal sebagai berikut:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Bahwa Pemohon telah melangsungkan pernikahan dengan Termohon pada tanggal 22 Juni 1995 dihadapan Pejabat Kantor Urusan Agama sebagaimana ternyata dari Kutipan Akta Nikah Nomor: 532/94/VI/1995 yang dikuatkan oleh Kantor Urusan Agama Kecamatan Kemayoran, Kodya Jakarta Pusat; Bahwa setelah terjadinya akad nikah antara Pemohon dengan Termohon telah hidup bersama dalam keadaan rukun dan damai dengan mengambil tempat tinggal di Tangerang; Bahwa selama membina rumah tangga antara Pemohon dengan Termohon telah dikaruniai seorang anak bernama: ANITA HANDAYANI, (P), lahir pada tanggal 09 Juni 1996; Bahwa kehidupan rumah tangga antara Pemohon dengan Termohon sejak tahun 1998 mulai timbul perselisihan dan pertengkaran, hal ini disebabkan antara lain: 4.1. Termohon berwatak keras, susah diatur; 4.2. Termohon apabila habis ribut suka pergi meninggalkan rumah; 4.3. Termohon pergi meninggalkan Pemohon dan anak sejak tahun 1998 sampai dengan sekarang; 4.4. Termohon selalu minta cerai; Bahwa dengan kejadian tersebut di atas, antara Pemohon dengan Termohon sudah berpisah ranjang dan berpisah rumah selama 7 (tujuh) tahun dan yang pergi dari rumah adalah Termohon; Bahwa upaya perdamaian telah dilakukan melalui keluarga pihak Pemohon maupun Termohon tapi tidak berhasil, Pemohon akan melanjutkan permohonannya ke Pengadilan Agama; Bahwa dengan kejadian tersebut di atas, kehidupan rumah tangga antara Pemohon dengan Termohon sudah tidak dapat dibina dengan baik sehingga untuk mencapai kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah sudah tidak bisa dipertahankan lagi; Bahwa anak Pemohon dengan Termohon yang tersebut di atas, Pemohon mohon agar anak tersebut dapat dirawat/diasuh oleh Pemohon dengan alasan: 8.1. Termohon mempunyai perilaku yang tidak baik, telah meninggalkan rumah, Pemohon dan anak, sehingga Pemohon takut ini akan mempengaruhi perkembangan baik mental maupun fisik dan masa depan anak tersebut; 8.2. Bila hak asuh diberikan kepada Pemohon, Pemohon menyatakan sanggup untuk tetap cakap dalam mengurus hal-hal lahir dan batil anak Pemohon, termasuk kewajiban-kewajiban sebagai yang merawat, mendidik dan mengasuh anak meski Pemohon bekerja, Pemohon bisa mengatur waktu untuk menunaikan semua itu;
9.
Bahwa berdasarkan hal-hal tersebut di atas Pemohon mohon kepada Bapak Ketua Pengadilan Agama Tangerang atau Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini untuk menjatuhkan Putusan sebagai berikut: 9.1. Mengabulkan permohonan Pemohon;
67 9.2. Menetapkan memberi izin kepada Pemohon (ASEP JUANDA bin JEJE) untuk ikrar menjatuhkan talak satu raj’i terhadap Termohon (MUNIROH binti H. MOH. ALI) di depan sidang Pengadilan Agama Tangerang setelah putusan ini mempunyai kekuatan hukum yang tetap; 9.3. Menetapkan anak Pemohon dengan Termohon yang bernama: ANITA HANDAYANI, (P), lahir tanggal 09 Juni 1996, diasuh dan dipelihara oleh Pemohon; 9.4. Membebankan biaya perkara sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku; Apabila Pengadilan Agama Tangerang berpendapat lain, mohon putusan yang seadiladilnya;
Menimbang, bahwa Pemohon telah datang menghadap pada hari dan tanggal persidangan yang telah ditentukan, sedangkan Termohon tidak datang menghadap atau menyuruh orang lain untuk meghadap sebagai kuasanya, meskipun menurut Berita Acara Pemanggilan dari Pengadilan Agama Tangerang melalui Pengadilan Agama Jakarta Pusat Nomor: 226/Pdt.G/PA.TNG yang dibacakan dipersidangan, Termohon telah dipanggil secara resmi dan patut, sedangkan tidak ternyata bahwa ketidak datangannya tersebut di sebabkan sesuatu halangan yang sah, dan Majelis telah menasehati Pemohon supaya rukun dan damai kembali dalam rumah tangganya dengan Termohon, namun Pemohon menyatakan tetap pada permohonannya;
Menimbang, bahwa selanjutnya dibacakan Permohonan Pemohon yang isinya tetap dipertahankan oleh Pemohon dengan perubahan posita poin 8 dan petitum 9.3 di cabut;
Menimbang bahwa untuk memperkuat, dalil permohonannya. Pemohon telah mengajukan alat bukti surat berupa Kutipan Akta Nikah Pemohon dengan Termohon Nomor: 532/94/VI/1995 yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama Kecamatan Kemayoran, Kodya Jakarta Pusat tanggal 22 Juni 1995, kemudian diberi tanda P.1.
Menimbang, bahwa disamping alat bukti surat tersebut Pemohon juga telah menghadirkan 2 (dua) orang saksi yang dikuatkan dengan sumpahnya, dan atas pertanyaan Majelis Hakim mengaku bernama:
1.
Ir. LUKMAN bin SUKIANTO, umur 49 tahun, agama Islam, pekerjaan wiraswasta, tempat tinggal di Jl. Sawo I No. 25 Rt. 04/08 Pondok Makmur Kuta Baru, Kecamatan Pasar Kemis, Kabupaten Tangerang; Atas pertanyaan Majelis Hakim saksi memberi keterangan sebagai berikut:
68
Bahwa saksi adalah teman Pemohon dan kenal dengan Termohon dan pernah bertetangga dengan keduanya selama 2 tahun; Bahwa benar Pemohon dan Termohon suami istri dan dikaruniai 1 (satu) orang anak; Bahwa sejak tahun 1998 Termohon telah pergi meninggalkan Pemohon dan saat ini Termohon tinggal dengan keluarganya di Jakarta; Bahwa Termohon juga membawa barang-barang pada saat pergi;
2.
JEJE bin ADI PURA, umur 64 tahun, agama Islam, pekerjaan wiraswasta, tempat tinggal di Jl. Imam Bonjol Gg. Kurnia No. 34 Rt. 01/05, Kelurahan Bojong Jaya, Kecamatan Karawaci, Kota Tangerang; Atas pernyataan Majelis Hakim saksi memberi keterangan sebagai berikut:
Bahwa saksi adalah ayah kandung Pemohon dan kenal dengan Termohon; Bahwa benar Pemohon dan Termohon adalah suami istri dan telah dikarunia 1 (satu) orang anak; Bahwa pada awalnya rumah tangga Pemohon dan Termohon rukun dan harmonis, namun selanjutnya mulai terjadi perselisihan, dan penyebabnya saksi tidak tahu persis; Bahwa Termohon sering pergi meninggalkan Pemohon dan anaknya bila terjadi pertengkaran; Bahwa sejak awal tahun 1998 Termohon telah pergi meninggalkan Pemohon dengan membawa barang-barang, dan saat ini tinggal dengan keluarganya di Jakarta; Bahwa Pemohon pernah berusaha menjemput kembali Termohon, namun Termohon tidak mau lagi; Bahwa saksi telah menasehati agar Pemohon berbaik lagi dengan Termohon, namun Pemohon tidak mau lagi;
Menimbang, bahwa selanjutnya Pemohon mengajukan kesimpulannya yang pada intinya tetap pada permohonannya.
Menimbang, bahwa hal-hal yang tercatat dalam Berita Acara Persidangan merupakan suatu kesatuan yang tidak terpisahkan dalam putusan;
TENTANG HUKUMNYA
Menimbang, bahwa maksud dan tujuan Permohonan Pemohon adalah sebagaimana tersebut di atas;
Menimbang, bahwa Majelis Hakim telah memberikan nasihat kepada Pemohon agar rukun dan damai kembali dalam rumah tangganya bersama Termohon, namun Pemohon tetap pada permohonannya;
69
Menimbang, bahwa meskipun Pemohon tetap pada permohonannya untuk mentalak Termohon, namun Pemohon mencabut posita poin 8 dan petitum 9.3 dicabut, dan karena pencabutan tersebut sebelum pembuktian maka pencabutan tersebut dapat diterima;
Menimbang, bahwa berdasarkan alat bukti P.1 dapat dinyatakan Pemohon mempunyai alas hak untuk mengajukan Permohonan ini, karena Pemohon dan Termohon terbukti sebagai suami istri yang telah menikah secara resmi pada tanggal 22 Juni 1995 dan telah mempunyai satu orang anak;
Menimbang, bahwa Pemohon telah menghadap pada hari persidangan yang telah ditentukan, sedangkan Termohon tidak datang menghadap atau mengirimkan wakilnya sebagai kuasanya sehingga keterangan Termohon tidak dapat didengar;
Menimbang, bahwa yang menjadi alasan Pemohon mengajukan permohonan talak ini karena telah terjadi perselisihan dan pertengkaran antara Pemohon dan Termohon dengan alasan sebagaimana terdapat dalam posita 4.1, 4.2, 4.3, 4.4, dan saat ini telah 7 tahun Termohon pergi meninggalkan Pemohon;
Menimbang, bahwa untuk membuktikan dalil permohonannya Pemohon telah menghadirkan dua orang saksi di depan persidangan, dan dalam keterangannya saksi tersebut membenarkan permohonan Pemohon;
Menimbang, bahwa berdasarkan surat permohonan Pemohon di tambah keterangan di depan sidang, serta keterangan dua orang saksi di depan sidang, ditemukan fakta-fakta hukum sebagai berikut: 1. Bahwa rumah tangga Pemohon dan Termohon sudah tidak harmonis lagi, karena telah terjadi perselisihan antara keduanya; 2. Termohon telah 7 tahun pergi meninggalkan Pemohon; Menimbang, bahwa menurut pasal 1 UU No. 1 tahun 1974 “Perkawinan adalah ikatan lahir dan bathin antara seorang pria dan wanita sebagai suami dan istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”;
70 Menimbang, bahwa sejalan hal tersebut di atas dalam al-Qur’an surat ar-Rum ayat 21 dan surat an-Nisa ayat 34, menyatakan bahwa tujuan perkawinan adalah untuk mewujudkan adanya keluarga yang sakinah mawaddah dan rahmah;
Menimbang, bahwa dari ketentuan al-Qur’an dan UU No. 1 tersebut dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur yang sangat fundamental dalam perkawinan sudah tidak ada lagi dan hal tersebut menunjukan bahwa sebenarnya perkawinan Pemohon dan Termohon sudah pecah, apalagi Pemohon didepan sidang Pemohon telah menyatakan tidak mau lagi mempertahankan rumah tangganya;
Menimbang, bahwa mempertahankan perkawinan (rumah tangga) yang demikian adalah sesuatu perbuatan yang sia-sia karena dapat mengakibatkan akses-akses negatif bagi semua pihak, bahkan dapat menjadi neraka duniawi bagi pihak-pihak yang bersangkutan;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, Majelis berpendapat bahwa alasan hukum yang diajukan oleh pemohon untuk mentalak Termohon telah sesuai dengan bunyi dan maksud pasal 19 huruf f Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 jo pasal 22 ayat 2, Peraturan Pemerintah tersebut, jo. Pasal 116 huruf f dan h Kompilasi Hukum Islam sehingga permohonan Pemohon dapat dikabulkan dengan memberi ijin kepada Pemohon untuk ikrar menjatuhkan talak terhadap Termohon di depan sidang Pengadilan Agama Tangerang setelah putusan ini telah mempunyai kekuatan hukum tetap;
Menimbang, bahwa karena Termohon telah tidak datang menghadap meskipun telah dipanggil secara resmi dan patut, dan ketidak datangannya tersebut tidak didasari dengan alasan yang sah dan dibenarkan dalam Undang-undang dan permohonan Pemohon tidak melawan hukum dan beralasan, oleh karenanya berdasarkan pasal 125 HIR. Permohonan Pemohon harus diputus dengan verstek;
Menimbang, bahwa berdasarkan pasal 89 ayat 1 UU No. 3 tahun 2006 yang merupakan hasil amandemen dari Undang-undang No. 7 tahun 1989. maka Pemohon dibebankan untuk membayar biaya perkara yang hingga kini dihitung sebesar Rp. 286.000, -(dua ratus delapan puluh enam ribu rupiah);
Mengingat segala peraturan perundang-undangan yang berlaku serta hukum syara’ yang berkaitan dengan perkara ini;
71
MENGADILI
1. Menyatakan Termohon telah dipanggil secara resmi dan patut tidak hadir; 2. Mengabulkan permohonan Pemohon dengan verstek; 3. Menetapkan memberi ijin kepada Pemohon (ASEP JUANDA bin JEJE) untuk ikrar menjatuhkan talak satu raj’i terhadap Termohon (MUNIROH binti H. MOH. ALI) didepan sidang Pengadilan Agama Tangerang setelah putusan ini mempunyai kekuatan hukum tetap; 4. Membebankan kepada Pemohon untuk membayar biaya perkara yang hingga kini dihitung sebesar Rp. 286.000, -(dua ratus delapan puluh enam ribu rupiah); Demikian putusan ini dijatuhkan dalam rapat permusyawaratan Majelis Hakim pada hari selasa tanggal 20 Juni 2006, bertepatan dengan tanggal 23 Djumadil Awwal 1427, oleh kami Drs. SONHAJI sebagai ketua Majelis, serta Drs. SAIFUDIN, SH. Dan Dra. AI JAMILAH masingmasing sebagai Hakim Anggota, putusan mana diucapkan pada hari itu juga dalam sidang terbuka untuk umum, oleh Ketua Majelis tersebut dengan dihadiri oleh Hakim Anggota dan NAISAN, SH. M.Hum sebagai Panitera Pengganti serta dihadiri Pemohon tanpa dihadiri oleh Termohon;
Hakim Ketua
Ttd Drs. SONHAJI Hakim Anggota
Hakim Anggota
Ttd.
Ttd.
Drs. SAIFUDIN S.H
Drs.AI JAMILAH
Panitera Pengganti
Ttd. NAISAN S.H, M.Hum
BANYAKNYA PERKARA
MACAM PERKARA YANG DIPUTUS
72
NIKAH
P E N U N A J H U L K I A N H W I A W B R S A IH L H K L S O IA D IF A N
T 3 X 4
BULAN
B U P L JE A U R N M K L A Y A R A H A N G D L B IA A L C JR A A U U L B R U U
I S A
NO
Perincian Biaya Perkara 1. Administrasi
: Rp. 50.000
2. APP.
: Rp. 50.000
3. Sumpah
: Rp. 60.000
4. Panggilan
: Rp. 120.000
5. Materai
: Rp.
Jumlah
6.000
Rp. 286.000
Disalin sesuai dengan aslinya Atas permintaan Pemohon/Termohon Pengadilan Agama Tangerang Pjs. Panitera
UBED SUTISNA, S.Ag
CERAI
PEMBATALAN NIKAH
CERAI TALAK
CERAI GUGAT
6 3 1 3 3 3 13
PENGESAHAN NIKAH
5 251 229 195 247 252 253 268 262 270 268 283 293 3071
PENOLAKAN KAWIN CAMPUR
4 56 33 13 74 44 60 58 42 52 51 58 56 597
PENCEGAHAN KAWIN
3 195 196 182 173 208 193 210 220 218 217 225 337 2474 TT
IZIN POLIGAMI
2 Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Jumlah :
DISPENSASI KAWIN
1 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
IZIN KAWIN
73
7 -
8 -
9 2 1 1 1 5
10 -
11 -
12 3 2 2 4 3 6 2 1 23
13 -
14 8 10 8 6 11 15 8 7 18 16 10 12 129
15 29 23 12 30 38 16 29 28 20 23 28 35 311
16 2 1 3
17 1 2 1 1 5
18 1 1 2
19 -
20 -
74
PENGADILAN AGAMA TANGERANG Jl. Perintis Kemerdekaan II Telp. 5524656
Tangerang Nomor
: PA.i/4/P/TL.001/
/2006
Lampiran
:-
Perihal
: Mohon Data/Wawancara
Tangerang,13 November 2006
Kepada Yth. Dekan Fakultas Syari’ah Dan Hukum Universitas Islam Negri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
Assalamu’alaikum, Wr, Wb. Sehubungan dengan surat saudara Nomor 467/B.5/ijp/D/FH-UJB/VI/2006, tertanggal 20 Februari 2006, perihal sebagaimana tersebut dalam pokok surat, dengan ini kami terangkan bahwa :
Nama
: Abdul Majid
NIM
: 202044101185
Semester
: IX (sembilan)
Jurusan : Akhwal Syakhsiyah / SAS
75 Telah melaksanakan wawancara dan mencari data-data yang ada kaitannya dengan judul skripsi tentang “ Putusnya Perkawinan Berdasarkan Gugatan Yang dilakukan oleh Pelanggaran Ta’lik Talak, Studi Kasus di Pengadilan Agama Tangerang”.
Demikian, surat ini dibuat untuk dipergunakan sebagaimana mestinya.
Wassalamu’alaikum, Wr, Wb. Pansek
Drs. H. Ujang Mukhlis, SH. MH NIP. 150 219 443
a ngerang25 Mei 2005
KETUA PENGADILAN AGAMA TANGERANG
Drs. H. Ahmad Fathoni, S.H., M.Hum
NIP : 150 218 638
76