354
Hukum dan Pembangunan
PERCERAIAN YANG DIAKIBATKAN ADANYA STIGMA
(TInjauan Sosiologis ) Oleh: Ratih Lestarini Pada prinsipnya perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isten untuk membentuk keluarga bahagia & kekal berdasarkan Ketubanan Yang Maha Esa. Namun dalam perjalanannya terkadang kita temui hambatan yang mengakibatkan bubarnya suatu perkawinan. Banyak bal suatu perbuatan yang dapat mengakibatkan bubarnya suatu perkawinan, salah satu contob dalam tulisan ini ialah perceraian diakibatkan adanya stigma, dimana salah satu pibak menderita kelainan sex.
A. Pendahuluan Perkawinan adalah perilaku mahluk ciptaan Esa agar kehidupan di alam dunia berkembang Dalam hal ini, perkawinan merupakan suatu disetujui, dengan cara mana dua orang atau keluarga. 1
Tuhan yang Maha dengan baik. pola sosial yang lebih membentuk
Di Indonesia pada umumnya masyarakat menganggap perkawinan bukan saja berarti sebagai "perikatan perdata" , tetapi
1
Paul b. Horton dan L. Hunt, "Sosiologi"(Jakarta, Erlangga 1991), hal. 270
Nomor 4 Tahun XXII
Perceraian Karena Stigma
355
juga merupakan perikatan adat dan sekaligus merupakan perikatan kekerabatan. Jadi dengan adanya suatu perkawinan, membawa akibat tidak saja terhadap hubungan keperdataan, seperti hak-hak kewajiban suami istri atau harta bersama, tetapi juga menyangkut hubungan adat istiadat kewarisan dan lain-lain serta menyangkut upacara adat dan keagamaan. Ter Haar menyatakan bahwa perkawinan itu
adalah urusan kerabat urusan keluarga, urusan masyarakar, urusan martabat dan pribadi. 1 Arti sesungguhnya dari perkawinan adalah penerimaan status baru, serta pengakuan akan status baru seorang laki-Iaki pada saat mengikat perkawinan dengan seorang wanita dalam suatu rumah tangga, maka statusnya berubah menjadi suami sekaligus kepala rumah tangga, demikian juga wanita berubah statusnya menjadi isteri dan ibu rumah tangga. Perubahan status tersebut membawa konsekwensi bahwa masing-masing harus mampu melakukan peran mereka masing-masing sesuai dengan tuntutan masyarakat dimana mereka menjadi anggotanya. Didalam hukum positif tertulis, yaitu Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dengan PP Nomor 9 Tahun 1975 yang mulai berlaku secara efektif pada tanggal 1 Oktober 1975, menyebutkan : bahwa perkawinan adalah ikatan Iahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha F&t (pasal 1). Tujuan perkawinan · adalah membentuk keluarga bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha F&t. Agar rumah tangga itu kekal dan bahagia maka pemerintah juga membuat aturan-aturan yang mendukungnya, seperti misaInya disebutkan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan setelah nyata ada alasan dengan suatu ijinJputusan pengadilan. Demikian pula dengan dikeluarkan PP No. 10 Tahun 1983 tentang Ijin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri SipiI, yang pada pokoknya ingin mempersulitlmenekan teIjadinya perceraian . . Menurut pasal 19 PP No. 9 tahun 1975 perceraian hanya dapat teIjadi karena alasan-alasan sebagai berikut: a.
Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
2 Hilman Hadikusuma, Hukmn Perkawinan Indonesia (Bandung : CV Mandar Maju), hal 9.
Agustus 1992
356
Hukum dan Pembangunan
b.
Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa ijin pihak lainnya di luar kemampuannya;
c.
Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
d.
Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain;
e.
Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapt menjalankan kewajibannya sebagai suami isteri;
f.
Antara suami dan isteri terus menerus teIjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Jadi hanya berdasarkan salah satu alasan-alasan yang disebutkan di atas maka suatu perkawinan dapat putus. Sehubungan dengan hal tersebut diatas, penulis hanya akan membatasi pada penyimpangan yang dilakukan oleh suami akibat kelainan sex. Dalam hal ini penulis akan membahas salah satu kasus dari sekian banyak kasus perceraian yang ditangani oleh Lembaga Konsultasi Bantuan Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia (LKBH FHUI) yang dianggap memenuhi point e dan f, yaitu salah satu pihak suami karena kelainan (homo sex) akhimya ia tidak mampu menjalankan kewajibannya sebagai suami. Untuk mendapat gambaran yang memadai akan hal itu, bahasan dimulai dengan mengemukakan kasus.
B. Kasus Perceraian Penggugat ialah Ny. T (Untuk menjaga kerahasiaan pribadi, nama dan tempat diahasiakan), mengajukan gugatan terhadap suaminya yang bemama B. Keduanya beragama Islam, sehingga gugatan diajukan melalui Pengadilan Agama Jakarta Selatan sesuai dengan domisili mereka di MP. Adapun yang menjadi alasan dari perceraian tersebut adalah : bahwa penggugat dahulu menikah dengan Tergugat pada tanggal 9 Iuli 1978 di KUA Kecamatan TM, Jawa Tengah. Selama pemikahan mereka dikaruniai seorang anak (sebut saja G) ,yang lahir 12 Desember 1982. Sejak lahimya putri mereka, antara penggugat dan tergugat selalu cekcok, bertengkar dan
Nomor 4 Tahun XXII
Perceraian Karena Stigma
357
berselisih dan dalarn percekcokan, pertengkaran dan perselisihan tergugat seringkaJi menyakiti penggugat seperti antara lain 'menempeleng/memukul dan terakhir dilakukan tergugat memukul kepada Penggugat pada tanggal 15 Mei 1987. Sejak pemukulan terakhir tepatnya tanggal 16 Meil987,penggugat dan tergugat telah berpisah tempat tinggal dan penggugat sudah tidak diberi nafkah lagi oleh tergugat, padahal anak mereka tinggal dan bersekolah serta diasuh oleh penggugat. Berdasarkan bukti-bukti tertulis maupun saksi-saksi yang diajukan selama persidangan, akhimya hakim mengabulkan gugatan cerai penggugat. Apapun yang diuraikaan diatas adalah fakta-fakta yang diungkapkan secara tertulis oleh penggugat di muka pengadilan, padahal sebenamya apa yang menjadi dasar/alasan cerai tersebut yang hanya diungkapkan secara lisan oleh penggugat dan saksisaksi kepada pengacara. Adapun alasan yang sebenamya adaJah· karena temyata tergugat seorang homoseksual, yang kelainan tersebut baru diketahui oleh penggugat setelah aanak mereka lahir pada tahun 1982 (berarti setelah 5 tahun usia perkawinan). Latar belakang mengapa penggugat menikah dengan tergugat oleh karena adik laki-laki penggugat bekeIja dengan tergugat (dengan kedudukan sebagai bawahan tergugat pada kantor PT ASTRA) yang mengenalkannya. Satu hal yang menarik, daJarn waktu dua bulan setelah perkenalan mereka menikah sehingga tidak banyak waktu penggugat untuk mengenali pribadi tergugat secara mendalam. Keputusan penggugat menerima larnaran tergugat juga didorong oleh orang tua penggugat, mereka berasal dari suatu desa kecil di Jawa Tengah dan penghidupan mereka tergantung pada jasa yang ditawarkan ayah penggugat sebagai tukang kayu. Melihat penampilan fisik dan kedudukan tergugat yang baik, maka orang tua penggugat menyetujui agar tergugat segera menikah dengan tergugat. Kecurigaan penggugat terhadap kelainan tergugat sebetulnya sudah mulai muncul pada saat memasuki perkawinan. Penggugat tidak pemah mampu melakukan hubungan badan dengan baik dan sikapnya acuh tak acuh kepada penggugat namun dilain pihak tergugat selalu berlaku manis kepada pembantu laki-Iakinya. Setelah anak mereka lahir, bukannya perubahan sikap baik tergugat yang dihadapi penggugat tetapi justru makin menjadi lebih parah. Tergugat menjadi ringan tangan, suka memukul dan puncaknya pada tahun 1987 diketahui secara lang sung oleh penggugat ketika tergugat sedang bercumbu dengan pembantu lelakinya (yang masih remaja). Akhimya pembantu ini diusir oleh penggugat, tetapi tergugat bukan menyeseali justru memukul
Agustus 1992
358
Hukum dan Pembangunan
penggugat dan berusaha menyusul pembanatu tersebut supaya kembali pada dia. Karena alasan-alasan yang mendasar tadi maka penggugat memutuskan untuk bercerai. c. Analisa/Ulasan
Melalui kasus perceraian yang didasari oleh alasan-alasan dikemukakan diatas, maka penuJis mencoba mengulas kasus ini sebagai berikut: Pertama-tama perkawinan adalah merupakan awal dari terbentuknaya sebuah team, dimana 2 orang individu yang masingmasing memiliki sifat, karakter dan pribadi yang berbeda berusaha untuk menyatukan diri dengan membentuk suatu rumah tangga (keluarga). Suatu perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan ikatan "lahir dan batin" dimakslidkan bahwa perkawinan itu tidak hanya cukup dengan "ikatan lahir" atau ikatan batin saja tapi harus kedua-duanya. Suatu "ikatan lahir" adalah ikatan yang dapat dilihat, mengungkapkan adanya suatu hubungan hukum antar seorang pria dan wanita untuk hidup bersama sebagai suami isteri dengan kata lain dpat disebut hubungan "formil". Hubungan formil ini nyata, baik bagi yang mengikatkan dirinya maupun bagi orang lain atau masyarakat. Sebaliknaya suatu "ikatan batin" adalah merupakan hubungan yang tidak formil, suatu ikatan yang tidak dapat dilihat. Walau tidak nyata tetapi ikatan itu harus ada, karena tanpa ikatan batin, ikatan lahir akan menjadi rapuh. Dalam kasus diatas., pembentukan rumah tangga ternyata tidak memenuhi proses di atas, dimana hanaya "ikatan lahir" saja yang dipenuhi, sedangkan 'ikatan batin" sengaja dihindari oleh tergugat karena ia memiliki kelainan (homo seksual) yang pada mulanya bisa ditutupi sampai usia perkawinana beJjalan 5 tahun. Kelaianan atau penyimpangannya ini ia sembunyikan, kerena apabila kelainannya diketahUl, maka ia akan dikucilkan dari pergaulan hidup. Akan tetapi hal itu tidak akan teJjadi apabiala umum tidak mengetahui. Untuk membahas hal tersebut, penuJis periu kemukakan buku "The Presentation of Self ini Everyday Life" karya Goffman tentang bagaimana individu tampila didalam dunia sosial. Dalam buku tersebut, Goffman lebih tertarik pada interaksi tatap muka atau kehadiran bersama (co-presence). Interaksi tatap muka diartikan sebagai : "individu-individu yang saling mempengaruhi tindakan-tindakan mereka satu sarna lain Nomor 4 Tahun XXII
359
Perceraian Karena Stigma
ketika masing-masing berhadapan secara fisik"3 Dalam suatu situasi sosial, seluruh kegiatan dari partisipan disebut sebagai suatu penampilan (performance) sedang orang-orang lain yang terlibat dalam situasi tersebut disebut sebagai pengamat atau partisipan lainnya. Para aktor adalah mereka yang melakukan tindakantindakan atau penampilan rutin (rutine). Goffman membatasi rutine sebagai: "pola tindakan yang telah ditetapkan sebelumnya, terungkap disaat melakukan pertunjukan dan juga bisa dilakukan atau diungkapkan dalam kesempatan lain. 4 Rutine inilah yang merupakan skenario di dalam suatu drama. Menurut analisa ini, masalah utama yang dihadapi dalam pelbagai hubungan sosialnya adalah mengandalkan kesan-kesan yang diberikan pada orang lain. Dalam hal ini, individu berusaha mengendalikan penampilannya, keadaan fisiknya pada saat memainkan peran-perannya. Lebih lanjut dikemllkakannya bahwa selama kegiatan rutin seseorang akan mengetengahkan sosok tubuhnya yang ideal (sebagaimana dituntut oleh starus sosialnya): " Seorang pelaku cenderung menyembunyikan atau mengeyampingkan kegiatan, fakta-fakta dan motif-motif yang tidak sesuai dengan citra dirinya dan produk-produknya yang ideal •. 5 Sehubungan dengan penampilan, Goffman juga membedakan antara bagian "pentas depan" (front stage) dan "pentas belakang (back stage). Secara sederhana pentas depan adalah bagian atau tempat dimana saja audiens itu diharapkan ada, sedangkan pentas belakang merupakan tempat yang terang bagi audiens atau orangorang luar lainnya. Perbedaan tersebut bersifat relatif, karena suatu daerah pentas belakang mungkin dapat tiba-tiba menjadi pentas depan, apabila orang luar menggangu, demikian pula sebaliknya. Jadi perbedaan tersebut muncul karena hadirnya audiens yang terpisah dengan anggota team. Didalam mempertahankan penampilan, tugas utama aktor adalah mengendalikan kesan yang disajikannya selama pertunjukan. Seorang aktor harus berhasil memainkan suatu karakter.
3 M.'!f ....' M. Poloma. Sosioloci Konlempo..... (J.b... : Raj.w.ll, 1987),baI. 233. 4 Ibid, hal 234.
5 Ibid, hal 235.
AguslUS 1992
Hukum dan Pembangunan
360
Dalam konteks kasus diatas, perlu pula dipertimbangkan masalah stigma yang masih menurut Goffman terdapat kesulitankesulitan yang dihadapi oleh para aktor dalam memainkan perannya yaitu dengan adanya stigma atau hambatan rang menunJuk pada orang-orang yang memiliki cacat sehingga udak memperoleh penerimaan sosial sepenuhnya. 6 Adapun sumber stigma, terdiri dari : 1. 2. 3.
hambatan fisik, misal : orang gemuk; hambatan kepribadian, misal : orang yang impoten, homoseks dan lain-lain; hambatan keanggotaan kelompok, misal : bukan anggota parpol terlarang;
Keluarga menurut Goffman dianggap sebagai suatu seni dramaturgi, dimana masing-masing individu dalam keluarga saling bekeIja sama untuk mementaskan suatu penampilan tertentu. Dengan demikian suami isteri harns mampu melakukan peran mereka, yangjika dihubungkan dengan kasus ini diatur dalam pasal 31 UU No. 1 tabun 1974. Arti dari peran itu sendiri adalah "perilaku yang diharapkan dari orang/individu yang memiliki status tertentu. ,,7 Dengan status sebagai seumi atau kepala keluarga itu lahir anak maka status berubah menjadi inu dan ayah. Jelas masing-masing mempunyai harapan terhadap peran-peran tersebut. Apbila harapan peran berbeda dengan kenyataannya maka yang timbul adalah konflik peran. Konflik peran dalam perspektif Goffman teIjaadi karena seseorang dalam melakukan "pengaturan kesan" (impression management") tidak sejalan dengan "definisi situasi" yang diharapkan atau sedang dihadapi, baik hal itu disadari (expression given) ataupun tidak disadari (expression given off). Dalam proses pengaturan kesan ini seorang individu akan menghadapi kesalahan-kesalahan atau kesulitan-kesulitan, lebihlebih bila salah satu dari mereka mengalami suatu stigma (noda atau cacat) dalam dirinya sehingga akan teIjadi keadaan yang fatal. Jika kita kembali pada kasus diatas, setelah memasuki masa pemikahan si isteri (penggugat) tidak tabu sama sekali kalau sejak semula suami telah mempunyai stigma, sedang dilain pihak suami
6 Ibid, hal 235. 7 op cit, hal 118.
Nomor 4 Tahun XXII
Perceraian Karena Stigma
361
berusaha meny'embunyikan stigma yang ia miliki dan ia pikir berhasil, apablla setelah isterinya mampu mengandung serta melahirkan anak mereka . Dengan kata lain proses pengaturan kesan berhasil. Dengan lahimya seorang anak, maka anggota team menjadi bertambah dan status penggugat dan tergugat juga bertambah bukan saja sebagai isteriiibu rumah tangga dan suamilkepala rumah tangga tetapi juga sebagai ayah dan ibu bagi anak mereka. Tentu saja ini menambah kerepotan mereka, oleh karena itu diputuskan mereka mengambil pembantu laki-laki dari desa penggugat. Temyata dengan hadimya pembantu laki-Iaki sebagai 'co participant'di rumah mereka, skenario yang sudah mulai berjalan dalam situasi yang lancar mulai terganggu. Suarni (tergugat) secara tidak sadar mulai tertarik kepada si pembantu, serungga hasrat homoseksual mulai muncul dan tidak dapat ditahan lagi. Keadaan ini menyebabkan terganggunya "pengaturan kesan" yang sedang dilakukan oleh si suami (tergugat) tidak sesuai lagi dengan definisi situasi yang dihadapi tanpa disadari (expression given off). Mengapa penulis menyebut "expression given off" karena sebetulnya sejak memasuki perkawinan, suami sudah berusaha dan hampir berhasil untuk menghilangkan stigma yang ada pada dirinya, dan berhasil melakukan 'pengaturan kesan" sesuai dengan definisi situasi, yang diharapkan yaitu keluarga yang normal dan baik. Namun karena kehadiran pembantu laki-laki di rumah maka secara tidak sadar dan pelan-pelan membangkitkan kembali hasrat homoseksual suami yang berhasil dipendam selam 5 tahun. Selama affair berJangsung tanpa diketahui isteri, maka situasi panggung masih berJangsung dengan baik meskipun suami mulai melakukan tindakan yang kasar terhadap isteri namun "pentas depan" masih dapat dipertahankan. Baru setelah isteri berhasil menangkap basah affair suami maka audience mulai dapat memasuki "pentas belakang" mereka, karena para tetangga maupun ke1uarga pihak isteri mulai mengetahui hal sebenamya yang teIjadi di belakang panggung. Situasi makin bertambah parah dan isteri berkali-kali minta cerai tapi suami tidak pemah mau pengabulkannya. Hal tersebut dilakukannya, karena para homoseksual akan mendapat kesulitan untuk melakukan aktivitas sosial karena sudah berakar adat istiadat hubungan seksual biasa dalam perkawinan. Jika dihubungkan dengan a1asan perceraian yang penulis singgung diatas maka dengan adanya penyimpangan prilaku sex (homoseksual) ,yang sulit disembuhkan mengakibatkan tidak dpat dilaksanaknnya kewajiban suami. Akibat selanjutnya antara penggugat dan tergugat sering timbul percekcokan. Dengan kedua a1asan tersebut diatas maka permohonan perceraian ini dikabulkan oleh hakim. Agustus 1992
Hukum dan Pembangunan
362
Kesimpulan Dari apa yang sudah penulis coba uraikan diatas, maka sampailah pada kesimpulan yang intinya sebagai berikut : Manusia sebagai individu bebas dalam tatanan sosialnya, tetapi juga diatur oleh simbol-simbol meskipun ia bebas dalam menggunakan simbol-simbol tersebut; Keluarga adalah seni, dimana masing-masing aktornya harus mampu melaksanakan peranannya sebaik mungkin; Stigma . adalah merupakan salah satu penyebab terjadinya perubahan ataubahkan menjadi penyebab hancurnyalgagalnya suatu skenario. Di dalam kasus ini, stigma berwujud penyimpangan prilaku sex yang dilakukan oleh suami
menyebabkan gagalnya peran yang dilakukan oleh si suarm. Daftar Kepustakaan 1. Poloma, Margaret M. Sosiologi Kontemporer, Jakarta : CY
Rajawali, 1984. 2. Hadikusuma, Hilam, Prof. Hukum Perkawinan Indonesia, Bandung : Mandar Maju, 1990 3. Horton Paul, dan C.L Hint. Sosiologi, Jakarta : Airlangga,1987. 4. Soekanto, Soejono dan Ratih Lestarini. Sosiologi Penyimpangan, Jakarta: CY Rajawali, 1988. 5. Subekti. Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Jakarta : Pradnya Paramita.
Nomar 4 Tahun XXII