PUTUSAN BEBAS DALAM TINDAK PIDANA PENIPUAN KERJASAMA PEMBANGUNAN JARINGAN LISTRIK PERUMAHAN PASIR LUHUR PERMAI (Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan No. 39/Pid.B/2008/PN.Pwt)
SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
Disusun oleh: RETNO SEPTIANA NIM E1A009235
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2013
PUTUSAN BEBAS DALAM TINDAK PIDANA PENIPUAN KERJASAMA PEMBANGUNAN JARINGAN LISTRIK PERUMAHAN PASIR LUHUR PERMAI (Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan No. 39/Pid.B/2008/PN.Pwt) OLEH RETNO SEPTIANA E1A009235 Disusun Untuk Memenuhi Syarat Meraih Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum UNSOED Isi dan format telah disetujui, Pada tanggal: 27 Agustus 2013
Pembimbing I/ Penguji I
Dr. Hibnu Nugroho, S.H., M.H. NIP.19640724 199002 1 001
Pembimbing II/ Penguji II
Pranoto, S.H., M.H. NIP. 19540305 198601 1 001
Mengetahui Dekan,
Dr. Angkasa, S.H., M.Hum. NIP. 19640923 198901 1 001
Penguji III
Handri W. S ., S.H., M.H. NIP.19581019 198702 2 001
SURAT PERNYATAAN
Dengan ini saya : Nama
: RETNO SEPTIANA
NIM
: E1A009235
Judul Skripsi : PUTUSAN BEBAS DALAM TINDAK PIDANA PENIPUAN JARINGAN
KERJASAMA LISTRIK
PEMBANGUNAN
PERUMAHAN
PASIR
LUHUR PERMAI (Tinjauan Yuridis terhadap Putusan No. 39/Pid.B/2008/PN.Pwt)
Menyatakan bahwa skripsi yang saya buat ini adalah betul-betul karya sendiri dan tidak menjiplak hasil karya orang lain maupun dibuatkan oleh orang lain. Dan apabila terbukti saya melakukan Pelanggaran sebagaimana tersebut di atas, maka saya bersedia dikenakan sanksi apapun dari fakultas.
Purwokerto, 27 Agustus 2013
RETNO SEPTIANA NIM E1A009235
KATA PENGANTAR
Syukur alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayahnya, sehingga
akhirnya penulis dapat
menyelesaikan skripsi yang berjudul : PUTUSAN BEBAS DALAM TINDAK PIDANA
PENIPUAN
KERJASAMA
PEMBANGUNAN
JARINGAN
LISTRIK PERUMAHAN PASIR LUHUR PERMAI (Tinjauan Yuridis terhadap Putusan No. 39/Pid.B/2008/PN.Pwt). Penulis menyadari keterbatasan penulis, sehingga selesainya skripsi ini tidak lepas dari bimbingan serta banyuan banyak pihak yang telah berjasa, oleh karena itu hanya ucapan terima kasih yang dapat penulis haturkan dan penghargaan setinggi-tingginya kepada: 1. Dr. Angkasa, S.H., M.H, selaku Dekan Fakuktas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto; 2. Pranoto, S.H., M.H, selaku dosen pembimbing I / dosen penguji I, yang telah memberikan arahan, nasihat, ilmu-ilmu dan pengalaman yang berharga; 3. Dr. Hibnu Nugroho, S.H., M.H, selaku dosen pembimbing II / dosen penguji II, yang telah membimbing, memberikan arahan, dukungan, ilmuilmu serta saran dalam skripsi penulis yang sangat berharga; 4. Handri Wirastuti Sawitri, S.H., M.Hum, selaku dosen penguji III yang telah
memberikan
saran-saran
yang
membantu
penulis
dalam
menyempurnakan skripsi penulis; 5. Haryanto Dwi Atmodjo, S.H., M.Hum, selaku dosen pembimbing akademik;
6. Antonius Sidik Maryono, S.H., M.S, selaku ketua Biro Konsultasi dan Bantuan Hukum (BKBH) Universitas Jenderal Soedirman dan juga pembina biro konsultasi dan bantuan hukum mahasiswa (Bikohuma), yang telah memberikan nasihat-nasihat, ilmu-ilmu, pengalaman yang berharga serta bimbingan kepada penulis; 7. Bapak dan Ibu dosen Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, terima kasih atas ilmu dan pengetahuan serta dedikasi yang telah diberikan selama ini; 8. Orang tua, serta adik dari penulis yang telah memberikan dukungan, kasih sayang yang tulus. Semangat untuk mengerjakan skripsi ini serta doa yang tulus untuk penulis agar selesainya skripsi ini dan lulus dari Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto; 9. Seluruh keluarga besar penulis terimakasih atas semangat, doa yang tulus untuk penulis; 10. Keluarga besar anggota Biro Konsultasi dan Bantuan Hukum Mahasiswa (Bikohuma); 11. Big Family Justicia English Club (JEC) Fakultas Hukum. 12. Temab-teman Tim Kompetisi Peradilan Semu Perdata Piala Bulak Sumur 2012 di UGM dan Tim Kompetisi Peradilan Semu Tindak Pidana Pelanggaran HAM Berat Tingkat Nasional Piala Rudi M. Rizki 2013 di Unpad; 13. Teman-teman KKN Desa Kebon Gede Kecamatan Bantar Bolang, Pemalang; 14. Sahabat-sahabat penulis yang luar biasa; 15. Para sahabat dan teman-teman angkatan 2009 khususnya kelas C, kakakkakak angkatan serta adik-adik angkatan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto; 16. Teman-teman dan adik-adik di Banyu Education;
17. Semua pihak yang tidak dapat Penulis sebutkan satu per satu yang telah memberikan motivasi, dukungan, sumbangan pemikiran penulis haturkan terima kasih.
Kritik dan saran yang bersifat membangun senantiasa Penulis nantikan sebagai acuan untuk karya ilmiah selanjutnya. Semoga karya ini dapat bermanfaat, baik kepada Penulis maupun kepada semua pihak. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dan kelemahan dalam penulisan skripsi ini.
Purwokerto, 26 Agustus 2013 Penulis,
Retno Septiana E1A009235
ABSTRAK Putusan pengadilan merupakan hasil musyawarah hakim berdasarkan penilaian dari surat dakwaan dihubungkan dengan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang pengadilan. Menurut KUHAP ada 3 (tiga) bentuk putusan pengadilan yaitu putusan bebas (Pasal 191 ayat (1) KUHAP), putusan lepas dari segala tuntutan hukum (Pasal 191 ayat (2) KUHAP), dan putusan pemidanaan (Pasal 193 ayat (1) KUHAP). Dalam penjelasan mengenai ketentuan yang diatur dalam Pasal 191 ayat (1) KUHAP dikatakan, bahwa yang dimaksud perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan dalam putusan bebas adalah tidak cukup terbukti menurut penilaian hakim atas dasar pembuktian dengan menggunakan alat bukti menurut ketentuan hukum acara pidana ini. Putusan pengadilan yang membebaskan terdakwa diantaranya adalah putusan hakim Pengadilan Negeri Purwokerto dengan nomor register perkara 39/Pid.B/2008/PN.Pwt yang mana Penuntut Umum mendakwa terdakwa dengan dakwaan alternatif yakni melanggar Pasal 378 Undang-undang No. 1 tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) atau Pasal 372 Undang-undang No. 1 tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi nomor 69/PUU-X/2012 meskipun dalam amar putusan tidak dicantumkan mengenai penahanan tetapi jaksa sebagai eksekutor berdasarkan Pasal 270 KUHAP harus tetap mengeksekusinya dan putusan tersebut tidak batal demi hukum. Penuntut Umum atau terdakwa dapat mengajukan upaya hukum kasasi terhadap putusan bebas hal ini diperkuat dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi nomor 114/PUUX/2012 selain itu Jaksa Agung berdasarkan Pasal 259 ayat (1) KUHAP dapat mengajukan kasasi demi kepentingan hukum. Kata Kunci: Putusan Bebas, Putusan Pengadilan, Putusan Hakim.
ABSTRACT Court decision is the result of judge’s discussion by considering the accusation and corelate it with everything have been proven in the court session. According to Indonesian Law Procedure or KUHAP, there are three form of decision, those are free decision (Article 191 clause 1 KUHAP), release of any accusation 9Article 191 clause 2), and condemnation decision (Article 193 clause 1 KUHAP). The explanation about Article 191 clause 1 KUHAP define that the unproven accusated act is the accusation that not properly proven according to the judges appraisal based on the authentication session that perform the evidence instruments in KUHAP. One of the case that released the defendant from the accusation is a case that has been presided in Purwokerto Court with the register number 39/Pid.B/2008/PN.Pwt. In this case, the general prosecutor accusated the defendant with alternative accusation those are: against the rule of Article 378 Act 1/1946 (KUHP) or Article 372 Act 1/1946 (KUHP). Based on the Constitution Court Number 69/PUU-X/2012, eventhough in the decision injuction there’s no command about the restraining order, but the prosecutor as the executor based on Article 270 KUHAP should release the defendant and the decision is not legally null. The prosecutor or defendant can propose the appeal to the supreme court for the free decision based on the Supreme Court decision number 114/PUU-X/2012. The Attorney General also can propose the appeal for the sake of law based on Article 259 clause 1 KUHAP. Keyword: Free Decision, Court Session, Judge Decision
DAFTAR ISI BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah------------------------------------------------- 1 B. Perumusan Masalah------------------------------------------------------ 7 C. Tujuan Penelitian--------------------------------------------------------- 7 D. Kegunaan Penelitian ----------------------------------------------------- 8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian, Tujuan, Fungsi, dan Asas Hukum Acara Pidana 1. Pengertian Hukum Acara Pidana ----------------------------------- 9 2. Tujuan dan Fungsi Hukum Acara Pidana ----------------------- 11 3. Asas Hukum Acara Pidana ---------------------------------------- 13 B. Pembuktian 1. Arti Pembuktian ---------------------------------------------------- 23 2. Sistem Pembuktian ------------------------------------------------ 25 3. Alat Bukti dan Kekuatan Pembuktian -------------------------- 28 C. Putusan Pengadilan 1. Pengertian Putusan ------------------------------------------------- 35 2. Bentuk Putusan Pengadilan --------------------------------------- 36 D. Putusan Bebas 1. Pengertian Putusan Bebas ----------------------------------------- 42 2. Pengertian Putusan Bebas Tidak Murni ------------------------- 42 3. Akibat Hukum dijatuhkannya Putusan Bebas ------------------ 49
BAB III
METODE PENELITIAN A. Metode Pendekatan ---------------------------------------------------- 55 B. Spesifikasi Penelitian -------------------------------------------------- 55 C. Lokasi Penelitian ------------------------------------------------------- 56 D. Sumber Data ------------------------------------------------------------ 56 E. Metode Pengumpulan Data ------------------------------------------- 57 F. Metode Penyajian Data------------------------------------------------ 57
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian --------------------------------------------------------- 58 B. Pembahasan ------------------------------------------------------------- 96
BAB V
PENUTUP A. Simpulan ----------------------------------------------------------------126 B. Saran---------------------------------------------------------------------128
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 1 ayat (3) dalam amandemen keempat dengan tegas menyatakan, bahwa Negara Indonesia adalah negara berdasarkan hukum. Hal ini berarti Republik Indonesia ialah negara hukum yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, menjunjung tinggi hak asasi manusia dan menjamin segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan, serta wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Jelaslah bahwa penghayatan, pengamalan, dan pelaksanaan hak asasi manusia maupun hak serta kewajiban warga negara untuk menegakkan keadilan tidak boleh ditinggalkan oleh setiap warga negara, setiap penyelenggara negara, setiap lembaga kenegaraan, dan lembaga kemasyarakatan baik di pusat maupun di daerah yang perlu terwujud pula dalam dan dengan adanya hukum acara pidana ini. 1 Menurut Simon, hukum acara pidana disebut juga hukum pidana formal untuk membedakannya dengan hukum pidana material. Hukum pidana material atau hukum pidana itu berisi petunjuk dan uraian tentang delik peraturan tentang syarat-syarat dapatnya dipidana sesuatu perbuatan, petunjuk tentang orang yang dapat dipidana dan aturan tentang pemidanaan: mengatur
1
P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang, 2010, Pembahasan KUHAP Menurut Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana&Yurisprudensi, Jakarta: Sinar Grafika, hal.8.
2
kepada siapa dan bagaimana pidana itu dapat dijatuhkan. Sedangkan hukum pidana formal mengatur bagaimana negara melalui alat-alatnya melaksanakan haknya untuk memidana dan menjatuhkan pidana, jadi berisi acara pidana. 2 Fungsi hukum pidana pada umumnya adalah untuk mengatur dan menyelenggarakan
kehidupan
masyarakat
agar
dapat
tercipta
dan
terpeliharanya ketertiban umum. Oleh karena itu barang siapa yang melanggar ketentuan yang ada dalam hukum pidana Undang-undang No. 1 tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan memenuhi unsur-unsur yang ditetapkan dalam ketentuan tersebut maka dapat dikenai sanksi pidana.3 Sanksi pidana merupakan ultimum remedium yaitu obat terakhir, apabila sanksi atau upaya-upaya pada cabang hukum lainnya tidak mempan atau dianggap tidak mempan.4 Apabila hakim memandang pemeriksaan sidang sudah selesai, maka hakim
mempersilahkan
Penuntut
Umum
membacakan
tuntutannya
(requisitoir). Setelah itu giliran terdakwa atau penasihat hukumnya membacakan pembelaannya, yang dapat dijawab oleh Penuntut Umum, dengan ketentuan terdakwa atau penasihat hukumnya mendapat giliran terakhir (Pasal 182 ayat (1) KUHAP). Dalam ketentuan tersebut, tuntutan dan jawaban atas pembelaan dilakukan secara tertulis dan setelah dibacakan segera diserahkan kepada hakim ketua sidang dan turunannya kepada pihak yang berkepentingan serta apabila acara tersebut telah selesai maka hakim 2
Mohammad Taufik Makarao dan Suhasril, 2004, Hukum Acara Pidana Dalam Teori Dan Praktek, Jakarta: Ghalia Indonesia, hal. 1. 3 Adami Chazawi, 2008, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, Jakarta: Raja Grafindo Persada, hal 15. 4 Habib Adji, Jurnal Renvoi, Nomor 10-22 Tanggal 3 Maret 2005, hal. 126.
3
ketua sidang menyatakan bahwa pemeriksaan dinyatakan ditutup. Sesudah pemeriksaan dinyatakan ditutup, hakim mengadakan musyawarah terakhir untuk mengambil keputusan dan harus didasarkan kepada surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam sidang pengadilan. Melalui putusannya, hakim akan menentukan berat ringannya pidana/ hukuman yang dijatuhkan, sedangkan pada bagian lain, melalui putusannya pula hakim akan memastikan hukumnya atas sesuatu hak atau sesuatu benda, hukumnya pula atas sesuatu perbuatan atau tindakan.5 Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar 1945, demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia (Pasal 1 angka (1) Undang-Undang No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman) sedangkan Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman: segala putusan hakim selain harus memuat alasan dan dasar putusan tersebut, memuat pula pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.6 Putusan pengadilan dianggap sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan di sidang terbuka untuk umum. Pasal 1 angka 11 KUHAP menyatakan bahwa:
5
Rudi Suparmono, 2006, Peran Serta Hakim Dalam Pembelajaran Hukum, Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun XX No. 246 Mei 2006. hal.50. 6 Kuat Puji Prayitno, 2012, Restorative Justive Untuk Sistem Peradilan Pidana, Jurnal Dinamika Hukum Vol.12 No.3 September 2012. hal. 416.
4
“Putusan pengadilan adalah pernyatan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”. Setiap keputusan hakim merupakan salah satu dari tiga kemungkinan: 1. Pemidanaan atau penjatuhan pidana dan/ atau tata tertib; 2. Putusan bebas; 3. Putusan lepas dari segala tuntutan hukum.7 KUHAP juga mengatur mengenai putusan pengadilan negeri yang dijatuhkan terhadap suatu perkara pidana, bisa berbentuk: 1. Putusan yang membebaskan terdakwa (Pasal 191 ayat (1) KUHAP); 2. Putusan lepas dari segala tuntutan hukum (Pasal 191 ayat (2) KUHAP); 3. Putusan pemidanaan (Pasal 193 ayat (1) KUHAP). Dilihat dari perspektif internal hukum memang tidak ada yang salah ketika hakim menjatuhkan vonis bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum atau menjatuhkan pemidanaan. Demikian pula hakim menjatuhkan sanksi ringan, sedang atau berat kepada terdakwa.8 Putusan yang membebaskan terdakwa (vrijspraak) menurut KUHAP diatur dalam Pasal 191 ayat (1) yang menyatakan bahwa: “Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan maka terdakwa diputus bebas”. 7
Andi Hamzah, 2008, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, hal. 285. M. Syamsudin, 2010, Pemaknaan Hakim tentang Korupsi dan Implikasinya Pada Putusan: Kajian Perspektif Hermeneutika Hukum, Jurnal Mimbar Hukum Volume 22 No.23 Oktober 2010. hal.500. 8
5
Putusan pengadilan yang membebaskan terdakwa diantaranya adalah putusan hakim Pengadilan Negeri Purwokerto dengan nomor register perkara 39/Pid.B/2008/PN.Pwt yang mana Penuntut Umum mendakwa terdakwa dengan dakwaan alternatif yakni melanggar Pasal 378 Undang-undang No. 1 tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) atau Pasal 372 Undang-undang No. 1 tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dalam perkara ini terdakwa yang menjabat sebagai direktur PT. Aries Pura Graha telah melaksanakan pembangunan perumahan Pasir Luhur Permai Kelurahan Pasir Kidul Kec. Purwokerto Barat dan dalam pekerjaan pembangunan jaringan listrik serta gardu trafo untuk proyek perumahan bekerja sama dengan PT. Puri Sinar Berkah Jaya yang selanjutnya diterbitkan Surat Perintah Kerja (SPK). Setelah PT. Puri Sinar Berkah Jaya melakukan kewajiban sesuai SPK, PT. Aries Pura Graha belum melakukan pembayaran maka PT. Puri Sinar Berkah Jaya menghentikan pekerjaanya. Selanjutnya terdakwa mengajak saksi korban sebagai penyandang dana proyek pembangunan jaringan listrik
perumahan Pasir Luhur Permai Kelurahan
Pasir Kidul dan menjanjikan keuntungan yang besar. Sejak Januari 2007 sampai Maret 2007, saksi 3 dari PT. Puri Sinar Berkah Jaya mulai kas bon secara bertahap kepada saksi korban. Ketika saksi korban akan membuat perjanjian tertulis dengan terdakwa di kantor Notaris Prian Resriarto, S.H. terdakwa dengan dalih akan mempelajari draf yang disodorkan saksi korban pergi dan menghindar
6
sehingga perjanjian tidak terwujud, selanjutnya terdakwa memutus SPK dengan PT. Puri Sinar Berkah Jaya dan mengalihkan pekerjaan pembangunan jaringan listrik berikutnya ke saksi 4. Pada waktu saksi 2 melakukan penagihan pembayaran, terdakwa hanya membayar sebagian saja dan uang yang di kas bon PT. Puri Sinar Berkah Jaya dari saksi korban adalah urusan saksi korban dan terdakwa sedangkan kekurangnnya diminta terdakwa sebagai fee, kemudian terdakwa memegang kwitansi/ tanda terima dan tidak mengembalikan hak saksi korban atas pengembalian kas bon dan keuntungan yang telah dijanjikan terdakwa. Tindak pidana penipuan diatur dalam Pasal 378 Undang-undang No. 1 tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang menyatakan bahwa: “Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan memakai nama palsu atau martabat (hoedabigheid) palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi utang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun”. Tindak pidana penggelapan diatur dalam Pasal 372 Undang-undang No. 1 tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang menyatakan bahwa: “Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum mengaku sebagai milik sendiri (zich toeeigenen) barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaanya bukan karena kejahatan, diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau denda paling banyak enam puluh rupiah”. Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk melakukan
7
penelitian dengan judul: PUTUSAN BEBAS DALAM TINDAK PIDANA PENIPUAN KERJASAMA PEMBANGUNAN JARINGAN LISTRIK PERUMAHAN PASIR LUHUR PERMAI (Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan No. 39/Pid.B/2008/PN.Pwt) B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah seperti yang telah disebutkan di atas, maka dapat dirumuskan suatu perumusan masalah yaitu: 1. Mengapa dalam perkara No. 39/Pid.B/2008/PN.Pwt hakim menjatuhkan putusan bebas terhadap terdakwa dalam tindak pidana penipuan kerjasama pembangunan jaringan listrik perumahan Pasir Luhur Permai? 2. Bagaimana akibat hukum dengan dijatuhkannya putusan bebas bagi terdakwa dalam tindak pidana penipuan kerjasama pembangunan jaringan listrik
perumahan
Pasir
Luhur
Permai
pada
perkara
No.
39/Pid.B/2008/PN.Pwt? C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian adalah: 1. Untuk mengetahui alasan hakim menjatuhkan putusan bebas pada perkara No. 39/Pid.B/2008/PN.Pwt. 2. Untuk mengetahui akibat hukum dengan dijatuhkannya putusan bebas bagi terdakwa pada perkara No. 39/Pid.B/2008/PN.Pwt.
D. Kegunaan Penelitian Penelitian ini memiliki kegunaan sebagai berikut:
8
1. Kegunaan Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan bagi penulis, kalangan akademisi dan aparat penegak hukum mengenai hukum acara pidana khususnya dalam hal putusan bebas. 2. Kegunaan Praktis Hasil penelitian ini diharapkan berguna secara praktis dalam upaya memberikan masukan terhadap aparat penegak hukum, yaitu salah satunya jaksa, agar dalam membuat dakwaan dan tuntutan sesuai apa yang dilakukan terdakwa serta memperhatikan unsur melawan hukum yang dilakukan oleh terdakwa sehingga hakim tidak menjatuhkan putusan bebas kepada terdakwa.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
9
A. Pengertian, Tujuan, dan Asas Hukum Acara Pidana 1. Pengertian Hukum Acara Pidana Hukum acara pidana berkaitan erat dengan adanya hukum pidana, kedua-duanya merupakan satu rangkaian peraturan-peraturan yang memuat bagaimana alat-alat perlengkapan negara, seperti kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan bertindak guna mencapai tujuan negara mengadakan hukum pidana.9 Menurut Lobby Loqman,10 seperti yang dikutip oleh Hibnu Nugroho menyatakan bahwa hukum acara pidana merupakan ketentuan tertulis tentang pelaksanaan ketentuan hukum pidana. Pelaksanaan ketentuan hukum pidana selalu akan melanggar hak seseorang. Oleh sebab itu harus terdapat ketentuan yang limitatif sejauh mana tindakan-tindakan yang boleh dilakukan pelaksana hukum dalam melaksanakan ketentuan hukum pidana. Menurut Mulyatno,11 hukum acara pidana adalah salah satu bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara sebagai dasar dan aturan yang menentukan dengan cara apa dan prosedur seperti apa sehingga ancaman pidana pada suatu perbuatan pidana dapat dilaksanakan ketika seseorang telah disangkakan melakukan perbuatan pidana.
9
Martiman Prodjohamidjojo, 2002, Teori dan Teknik Membuat Surat Dakwaan, Jakarta: Ghalia Indonesia, hal. 9. 10 Hibnu Nugroho, 2012, Integralisasi Penyidikan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia, Jakarta: Media Prima Aksara, hal.31. 11 Anonim, Hukum Acara Pidana. http://statushukum.com/hukum-acara-pidana.html diakses pada tanggal 30 April 2013.
10
Menurut Van Bemmelen,12 seperti yang dikutip oleh Andi Hamzah menyatakan bahwa “Ilmu hukum acara pidana mempelajari peraturanperaturan yang diciptakan oleh negara, karena adanya dugaan terjadi pelanggaran undang-undang pidana: 1) Negara melalui alat-alatnya menyidik kebenaran; 2) Sedapat mungkin menyidik pelaku perbuatan itu; 3) Mengambil tindakan-tindakan yang perlu guna menangkap si pelaku dan kalau perlu menahannya; 4) Mengumpulkan bahan-bahan bukti (bewijsmateriaal) yang telah diperoleh pada penyidikan kebenaran guna dilimpahkan kepada hakim dan membawa terdakwa ke depan hakim tersebut; 5) Hakim memberi keputusan tentang terbukti tidaknya perbuatan yang dituduhkan kepada terdakwa dan untuk itu menjatuhkan pidana atau tindakan tata tertib; 6) Upaya hukum untuk melawan keputusan tersebut; 7) Akhirnya, melaksanakan keputusan tentang pidana dan tindakan tata tertib itu. Simons mengemukakan, “Hukum acara pidana mengatur bagaimana Negara dengan alat-alat perlengkapannya mempergunakan haknya untuk menghukum dan menjatuhkan pidana”. De Bos Kemper menyatakan “Hukum acara pidana adalah sejumlah asas-asas dan peraturan undang-undang yang mengatur
bilamana
hukum
pidana
(materiil)
dilanggar,
negara
mempergunakan haknya untuk menghukum”.13 Dikatakan bahwa hukum acara pidana adalah kumpulan peraturanperaturan yang memuat ketentuan-ketentuan yang mengatur sebagai berikut: 1) Tindakan apa yang diambil apabila dugaan, bahwa telah terjadi suatu tindak pidana yang dilakukan seseorang; 2) Apabila benar telah terjadi suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh seseorang, maka perlu diketahui siapa pelakunya, dan cara bagaimana melakukan penyelidikan terhadap pelaku; 12 13
Andi Hamzah, Op.Cit, hal. 6. Martiman Prodjohamidjojo, Op. Cit, hal.10
11
3) Apabila telah diketahui pelakunya maka penyelidik perlu menangkap, menahan kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan permulaan atau dilakukan penyidikan; 4) Untuk membuktikan apakah tersangka benar-benar melakukan suatu tindak pidana, maka perlu mengumpulkan barang-barang bukti, menggeledah badan atau tempat-tempat yang diduga ada hubungannya dengan perbuatan tersebut; 5) Setelah selesai dilakukan pemeriksaan permulaan atau penyidikan oleh polisi, maka berkas perkara diserahkan pada kejaksaan negeri, yang selanjutnya pemeriksaan dalam sidang pengadilan terhadap terdakwa oleh hakim sampai dapat dijatuhkan pidana.14 2. Fungsi Hukum Acara Pidana Tugas penting yang diemban oleh hukum acara pidana adalah memberikan bingkai yang menjadi garis merah kepada para penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya agar tidak melampaui batas kewenangannya, mengingat setiap pelaksanaan suatu penegakan hukum akan berkaitan langsung dengan pelanggaran HAM, terutama HAM bagi tersangka/ terdakwa.15 Menurut Van Bemmelen,16 seperti yang dikutip oleh Andi Hamzah, mengemukakan tiga fungsi hukum acara pidana yaitu: 1)
Mencari dan menemukan kebenaran;
2)
Pemberian keputusan oleh hakim;
3)
Pelaksanaan keputusan.
Pedoman pelaksanaan KUHAP memberi penjelasan tentang tujuan hukum acara pidana sebagai berikut: 14
Moch. Faisal Salam, 2001, Hukum Acara Pidana dalam Teori&Praktek. Bandung: Penerbit Mandar Maju. hal.3. 15 Hibnu Nugroho, Op. Cit. 16 Andi Hamzah, Op. Cit, hal. 8.
12
“Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran material, ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat, dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terjadi bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan”.17 Apabila memperhatikan rumusan diatas maka dapat dikatakan bahwa tujuan hukum acara pidana meliputi tiga hal yaitu: 1) Mencari dan mendapatkan kebenaran; 2) Melakukan penuntutan; 3) Melakukan pemeriksaan dan memberikan putusan namun dari ketiga hal tersebut dapat pula ditambahkan yang keempat yaitu melaksanakan putusan hakim. Tujuan hukum acara pidana mencari kebenaran itu hanyalah merupakan tujuan antara. Tujuan akhir sebenarnya adalah mencapai suatu ketertiban, ketentraman, kedamaian, keadilan, dan kesejahteraan dalam masyarakat.18
Sumber lain menyebutkan bahwa: Hukum acara pidana memiliki beberapa fungsi, antara lain adalah fungsi represif dan fungsi preventif. Fungsi represif dalam hukum acara pidana adalah adanya upaya untuk menegakkan ketentuan pidana dan melaksanakan hukum pidana. Penegakan ketentuan pidana berarti pemberian sanksi yang tegas sesuai dengan ketentuan dalam hukum pidana terhadap suatu perbuatan pidana. Sementara fungsi preventif dalam hukum acarra pidana adalah fungsi pencegahan dan upaya untuk mengurangi tingkat kejahatan. Fungsi preeventif dalam 17 18
Ibid, hal. 7. Ibid, hal. 9.
13
hukum acara pidana ini dapat berjalan dengan baik apabila seluruh proses hukum acara pidana dapat diselenggarakan dengan baik pula agar dapat mencegah terjadinya perbuatan pidana yang sama dalam masyarakat.19 3. Asas Hukum Acara Pidana Prinsip atau asas dalam hukum acara pidana diperlukan untuk menjadi pedoman atau dasar dalam penerapan penegakan pasal-pasal dalam KUHAP. Beberapa asas penting dalam hukum acara pidana: 1) Asas Legalitas Legalitas berasal dari kata legal (Latin), aslinya legalis artinya sah menurut undang-undang.20 Asas atau prinsip legalitas dengan tegas disebut dalam konsideran KUHAP seperti yang dapat dibaca pada huruf a, yang berbunyi: “Bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang menjunjung tinggi hak asasi manusia serta yang menjamin segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan baik tidak ada kecualinya”.21 Pelaksanaan KUHAP harus bersumber pada titik tolak the rule of law. Semua tindakan penegak hukum harus: a) Berdasar ketentuan hukum dan undang-undang; b) Menempatkan kepentingan hukum dan perundang-undangan di atas segala-galanya, sehingga terwujud suatu kehidupan masyarakat bangsa yang takluk di bawah “supremasi hukum” yang selaras
19
Anonim, Loc. Cit. Mohammad Taufik Makarao dan Suhasril, Op. Cit, hal. 2. 21 M. Yahya Harahap, 2001, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan, Jakarta: Sinar Grafika, hal. 36. 20
14
dengan ketentuan-ketentuan perundang-undangan dan perasaan keadilan bangsa Indonesia. Jadi arti the rule of law dan supremasi hukum, menguji dan meletakkan setiap tindakan penegakan hukum takluk di bawah ketentuan konstitusi, undang-undang dan rasa keadilan yang hidup di tengah-tengah kesadaran masyarakat. Memaksakan atau menegakkan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat bangsa lain, tidak dapat disebut rule of law, bahkan mungkin berupa penindasan.22 Dengan asas legalitas yang berlandaskan the rule of law dan supremasi hukum, jajaran aparat penegak hukum tidak dibenarkan: a) Bertindak di luar ketentuan hukum, atau undue to law mupun undue process; b) Bertindak sewenang-wenang, atau abuse of power.23 2) Asas Praduga Tidak Bersalah (Presumption of Innocent) Asas ini disebut dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan juga dalam penjelasan umum butir 3c KUHAP yang berbunyi: “Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan/ atau dihadapkan di muka sidang pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap”. Asas praduga tak bersalah yang dianut KUHAP, memberi pedoman kepada aparat penegak hukum untuk mempergunakan prinsip akusatur
22 23
Ibid. Ibid.
15
dalam setiap tingkat pemeriksaan dan untuk menopangnya, KUHAP telah memberi perisai kepada tersangka/ terdakwa berupa seperangkat hak-hak kemanusiaan yang wajib dihormati dan dilindungi pihak aparat penegak hukum. Dengan perisai hak-hak yang diakui hukum, secara teoritis sejak semula tahap pemeriksaan, tersangka/ terdakwa sudah mempunyai “posisi yang setaraf ” dengan pejabat pemeriksa dalam kedudukan hukum, berhak menuntut perlakuan yang digariskan dalam KUHAP seperti yang dapat dilihat pada Bab VI.24 3) Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan Peradilan cepat (terutama untuk menghindari penahanan yang lama sebelum ada keputusan hakim) merupakan bagian dari hak asasi manusia. Begitu pula peradilan bebas, jujur, dan tidak memihak yang ditonjolkan dalam undang-undang tersebut. Penjelasan umum yang dijabarkan dalam banyak pasal dalam KUHAP antara lain sebagai berikut: a) Pasal 24 ayat (4), Pasal 25 ayat (4), Pasal 26 ayat (4), Pasal 27 ayat (4), dan Pasal 28 ayat (4). Umumnya dalam pasal-pasal tersebut dimuat ketentuan bahwa jika telah lewat waktu penahanan seperti tercantum dalam ayat sebelumnya, maka penyidik, Penuntut Umum, dan hakim harus sudah mengeluarkan tersangka atau terdakwa dari tahanan demi hukum. Dengan sendirinya hal ini mendorong penyidik, Penuntut Umum, dan hakim untuk mempercepat penyelesaian perkara tersebut;
24
Ibid. hal 41.
16
b) Pasal 50 mengatur tentang hak tersangka dan terdakwa untuk segera diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang disangkakan kepadanya pada waktu dimulai pemeriksaan, ayat (1), segera perkaranya diajukan ke pengadilan oleh Penuntut Umum, ayat (2) segera diadili oleh pengadilan, ayat (3); c) Pasal 102 ayat (1) mengatakan penyelidik yang menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib segera melakukan tindakan penyelidikan yang diperlukan; d) Pasal 106 mengatakan hal yang sama di atas bagi penyidik; e) Pasal 107 ayat (3) mengatakan bahwa dalam hal tindak pidana selesai disidik oleh penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf b, segera menyerahkan hasil penyidikannya kepada Penuntut Umum melalui penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf a; f) Pasal 110 mengatur tentang hubungan Penuntut Umum dan penyidik yang semuanya disertai dengan kata segera, begitu pula Pasal 138; g) Pasal 140 ayat (1) dikatakan : ”Dalam hal Penuntut Umum berpendapat bahwa dari hasil penyidikan dapat dilakukan penuntutan, ia dalam waktu secepatnya membuat surat dakwaan”.25 Asas ini mencerminkan adanya perlindungan hak asasi manusia sekalipun orang tersebut berada dalam kedudukan sebagai tersangka/ terdakwa. Walaupun dalam kondisi dibatasi ditangkap kemudian ditahan,
25
Andi Hamzah, Op. Cit, hal. 13-14.
17
namun orang tersebut tetap memperoleh kepastian bahwa tahapantahapan pemeriksaan yang dilaluinya memiliki batas waktu yang terukur dan dijamin undang-undang.26 4) Asas Oportunitas Asas oportunitas bertolak belakang dengan asas legalitas. Menurut asas oportunitas, Penuntut Umum tidak wajib menuntut seseorang yang melakukan
delik
jika
menurut
pertimbangnnya
akan
merugikan
kepentingan umum, maka dari itu demi kepentingan umum seseorang yang melakukan delik tidak dituntut. Kejaksaan berpendapat, lebih bermanfaat bagi kepentingan umum jika perkara itu tidak diperiksa di sidang pengadilan. A.Z. Abidin Farid,27 seperti yang dikutip oleh Andi Hamzah memberi perumusan tentang asas oportunitas sebagai berkut: “Asas hukum yang memberikan wewenang kepada Penuntut Umum untuk menuntut atau tidak menuntut dengan atau tanpa syarat seseorang atau korporasi yang telah mewujudkan delik demi kepentingan umum”. Pasal 35 c Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia dengan tegas menyatakan asas oportunitas itu dianut di Indonesia. Pasal tersebut berbunyi sebagai berikut: “Jaksa Agung dapat kepentingan umum”
menyampingkan
perkara
berdasarkan
Menurut Andi Hamzah,28 dengan berlakunya UUD 1945 maka Jaksa Agung mempertanggungjawabkan pelaksanaan wewenang oportunitas 26
Hibnu Nugroho, Op. Cit, hal. 34-35. Ibid, hal 17. 28 Andi Hamzah, Op. Cit, hal 19. 27
18
kepada
Presiden,
yang
pada
gilirannya
Presiden
mempertanggungjawabkan pula pada rakyat. Pedoman pelaksanaan KUHAP memberi penjelasan mengenai “demi kepentingan umum” sebagai berikut: “…Dengan demikian, kriteria demi kepentingan umum dalam penerapan asas oportunitas di negara kita adalah didasarkan untuk kepentingan negara dan masyarakat dan bukan untuk kepentingan masyarakat”. 5) Prinsip Peradilan Terbuka Untuk Umum Tindakan penegakan hukum di Indonesia harus dilandasin oleh jiwa “persamaan” dan “keterbukaan” serta penerapan sistem musyawarah dan mufakat dari majelis peradilan dalam mengambil keputusan. Dengan landasan persamaan hak dan kedudukan antara tersangka/ terdakwa dengan aparat penegak hukum, ditambah dengan sifat keterbukaan perlakuan oleh aparat penegak hukum kepada tersangka/ terdakwa, tidak ada dan tidak boleh dirahasiakan segala sesuatu yang menyangkut pemeriksaan terhadap diri tersangka/ terdakwa dan hasil pemeriksaan yang menyangkut diri dan kesalahan harus terbuka kepadanya. Pasal yang mengatur tentang asas ini adalah Pasal 153 ayat (3) KUHAP menyatakan: “Untuk keperluan pemeriksaan hakim ketua sidang membuka sidang dan menyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan atau terdakwanya anak-anak”. Tidak dipenuhinya ketentuan tersebut mengakibatkan batalnya putusan demi hukum sesuai ketentuan Pasal 153 ayat (4) KUHAP. Kekecualian terhadap kesusilaan dan anak-anak alasannya karena kesusilaan dianggap
19
masalahnya
sangat
pribadi
sekali
sehingga
tidak
patut
untuk
mengungkapkan dan memaparkan secara terbuka di muka umum, begitu juga dengan anak-anak melakukan kejahatan karena kenakalan. Walaupun sidang dinyatakan tertutup untuk umum, namun keputusan hakim dinyatakan dalam sidang yang terbuka untuk umum. 6) Semua Orang Diperlakukan Sama di Depan Hukum (Equality Before the Law) Asas ini merupakan konsekuensi logis dari sikap Negara Indonesia sebagai negara yang berdasarkan hukum dan bukan atas kekuasaan belaka. Di dalam pelaksanaan penegakan hukum semua orang harus diperlakukan sama dan tidak boleh dibeda-bedakan, baik untuk mendapatkan perlindungan hukum maupun bagi tersangka/ terdakwa yang sedang menjalani proses persidangan. Ketentuan-ketentuan di dalam KUHAP mendasarkan pada asas ini, sehingga tidak ada satu pasal pun yang mengarah pada pemberian hak-hak istimewa pada suatu kelompok dan memberikan ketidakistimewaan pada kelompok lain.29 Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa: “Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membedabedakan orang”. Penjelasan umum butir 3a KUHAP menyatakan bahwa: “Perlakuan yang sama atas diri setiap orang di muka hukum dengan tidak mengadakan pembedaan perlakuan”.
29
Hibnu Nugroho, Op. Cit, hal. 36.
20
Perlakuan yang sama ini tidak bisa hanya ditafsirkan sebagai diskriminasi tersangka dan terdakwa berdasarkan status sosial atau kekayaan sich, tetapi juga berhubungan dengan diskriminasi berdasarkan ras, warna kulit, seks, bahasa, agama, haluan politik, kebangsaan, kelahiran, dan lain-lain sebagaimana dalam Pasal 6 dan 7 UDHR dan serta Pasal 16 ICCPR 1996.30 7) Peradilan Dilakukan oleh Hakim Karena Jabatannya dan Tetap Pengambilan keputusan salah tidaknya terdakwa dilakukan oleh hakim karena jabatannya dan bersifat tetap. 8) Tersangka/ Terdakwa Berhak Mendapat Bantuan Hukum Dalam Pasal 69 sampai dengan Pasal 74 KUHAP mengatur mengenai bantuan hukum dimana tersangka/ terdakwa mendapat kebebasan yang sangat luas antara lain sebagai berkut: a) Bantuan hukum dapat diberikan sejak saat tersangka ditangkap atau ditahan; b) Bantuan hukum dapat diberikan pada semua tingkat pemeriksaan; c) Penasihat hukum dapat menghubungi tersangka/ terdakwa pada semua tingkat pemeriksaan pada setiap waktu; d) Pembicaraan antara penasihat hukum dan tersangka tidak didengar oleh penyidik dan Penuntut Umum kecuali pada delik yang menyangkut keamanan negara;
30
Agoes Dwi Listijono, 2005, Telaah Konsep Hak Asasi Manusia Dalam Kaitannya Dengan Sistem Peradilan Pidana, Jurnal Hukum. Vol.1, No.1. hal.95.
21
e) Turunan berita acara diberikan kepada tersangka atau penasihat hukum guna kepentingan pembelaan; f) Penasihat hukum berhak mengirim dan menerima surat dari tersangka/ terdakwa. Aturan yang telah menjadi ketentuan universal diatur dalam The International Covenant an Civil and Political Rights article 14 sub 3d : “To be tried in his presence, and to defend himself in person or through legal assistance of his own choosing, to be inform, if he does not have legal assistance, of this right, and to have legal assistance assigned to him, in any case where the interest justice so require, and without payment by him in any such case if he does not have sufficient means to pay for it” (Diadili dengan kehadiran terdakwa, membela diri sendiri secara pribadi atau dengan bantuan penasihat hukum menurut pilihannya sendiri, diberi tahu tentang hak-haknya ini jika ia tidak mempunyai penasihat hukum dan ditunjuk penasihat hukum untuk dia jika untuk kepentingan peradilan perlu untuk itu, dan jika ia tidak mampu membayar penasihat hukum ia dibebaskan dari pembayaran). 9) Asas Akusator KUHAP menganut asas akusator karena tersangka/ terdakwa tidak lagi dipandang sebagai objek pemeriksaan. Prinsip akusator menempatkan kedudukan tersangka/ terdakwa dalam setiap tingkat pemeriksaan: a) Adalah subjek, bukan sebagai objek pemeriksaan, karena itu tersangka atau terdakwa harus didudukkan dan diperlakukan dalam kedudukan manusia yang mempunyai harkat martabat harga diri;
22
b) Yang menjadi objek pemeriksaan dalam prinsip akusator adalah “kesalahan” (tindakan pidana), yang dilakukan tersangka/ terdakwa. Ke arah itulah pemeriksaan ditujukan.31 Aparat penegak hukum menjauhkan diri dari cara-cara pemeriksaan inkusitor yang menempatkan tersangka/ terdakwa dalam pemeriksaan sebagai objek yang dapat diperlakukan dengan sewenang-wenang yang digunakan dalam HIR, sama sekali tidak memberi hak dan kesempatan yang wajar bagi tersangka/ terdakwa untuk membela diri dan mempertahankan hak dan kebenarannya terkadang untuk mendapatkan pengakuan dari tersangka, pada pemeriksaan sering melakukan tindakan kekerasan dan penganiayaan. Pada asas akusator, perlakuan yang manusiawi terhadap tersangka/ terdakwa dikedepankan pada proses penegakan hukum yang diimbangi dengan menggunakan ilmu bantu hukum acara pidana seperti psikologi, kriminalistik, psikiatri, kriminologi, kedokteran forensik, antropologi, dan lain-lain. 10) Pemeriksaan Hakim yang Langsung dan Lisan Pemeriksaan di sidang pengadilan dilakukan oleh hakim secara langsung, artinya langsung kepada terdakwa dan para saksi dan secara lisan, artinya bukan tertulis antara hakim dengan terdakwa dan saksi. KUHAP mengatur
dalam Pasal 154, 155 KUHAP dan seterusnya yang
menyatakan pemeriksaan di sidang pengadilan dilakukan oleh hakim
31
M. Yahya Harahap, 2001, Op. Cit, hal. 40.
23
secara langsung kepada terdakwa dan para saksi secara lisan bukan tertulis. B. Pembuktian 1. Arti Pembuktian Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan. Melalui pembuktian ditentukan nasib terdakwa. Apabila hasil pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang “tidak cukup” membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa, terdakwa “dibebaskan” dari hukuman. Sebaliknya, kalau kesalahan terdakwa dapat dibuktikan dengan alat-alat bukti yang disebut dalam Pasal 184 KUHAP, terdakwa dinyatakan “bersalah”. Kepadanya akan dijatuhkan hukuman. Oleh karena itu, hakim harus hati-hati, cermat, dan matang menilai dan mempertimbangkan nilai pembuktian. Meneliti sampai dimana batas minimum “kekuatan pembuktian” atau bewijs kracht dari setiap alat bukti yang disebut dalam Pasal 184 KUHAP.32 Arti pembuktian ditinjau dari segi hukum acara pidana antara lain: 1) Ketentuan yang membatasi sidang pengadilan dalam usaha mencari dan mempertahankan kebenaran. Baik hakim, Penuntut Umum, terdakwa, atau penasihat hukum, semua terikat pada ketentuan tata cara dan penilaian alat bukti yang ditentukan undang-undang. Tidak boleh leluasa bertindak dengan
caranya
sendiri
dalam
menilai
pembuktian.
Dalam
mempergunakan alat bukti, tidak boleh bertentangan dengan undang32
M. Yahya Harahap, 2002, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Jakarta: Sinar Grafika, hal. 252.
24
undang. Terdakwa tidak bisa leluasa mempertahankan sesuatu yang dianggapnya benar di luar ketentuan yang telah digariskan undang-undang. Terutama bagi Majelis Hakim, harus benar-benar sadar dan cermat menilai dan mempertimbangkan kekuatan pembuktian yang ditemukan selama pemeriksaan persidangan. Jika Majelis Hakim hendak meletakkan kebenaran yang ditemukan dalam keputusan yang akan dijatuhkan, kebenaran itu harus diuji dengan alat bukti, dengan cara dan ketentuan pembuktian yang melekat pada setiap alat bukti yang ditemukan. Kalau tidak demikian, bisa saja orang yang jahat lepas, dan orang yang tak bersalah mendapat ganjaran hukuman; 2) Sehubungan dengan pengertian diatas, Majelis Hakim dalam mencari dan meletakkan kebenaran yang dijatuhkan dalam putusan, harus berdasarkan alat-alat bukti yang telah ditentukan undang-undang secara “limitatif”, sebagaimana yang disebut dalam Pasal 184 KUHAP.33 Penerapan pembuktian perkara pidana yang diatur dalam hukum acara pidana, pemeriksaan pembuktian “selamanya” tetap diperlukan sekalipun terdakwa “mengakui” tindak pidana yang didakwakan kepadanya. Pengakuan “bersalah” (guilty) dari terdakwa, sama sekali “tidak melenyapkan” kewajiban Penuntut Umum dan persidangan untuk menambah dan menyempurnakan pengakuan itu dengan alat bukti yang lain. Pasal 189 ayat (4) KUHAP menyatakan bahwa: “Keterangan terdakwa saja atau pengakuan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang 33
Ibid, hal. 253.
25
didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain.” Apa yang tersirat pada Pasal 189 ayat (4) KUHAP, mempunyai makna pengakuan menurut KUHAP bukan merupakan alat bukti yang mempunyai kekuatan pembuktian yang “sempurna” atau bukan volledig bewijs kracht. 2. Sistem Pembuktian Beberapa teori sistem pembuktian: 1) Sistem atau Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang Secara Positif (Positive Wettelijk Bewijstheorie) Sistem pembuktian ini hanya didasarkan kepada undang-undang melulu yang berarti apabila telah terbukti suatu perbuatan sesuai dengan alat-alat bukti yang disebut dalam undang-undang, maka keyakinan hakim tidak diperlukan sama sekali yang juga disebut sebagai teori pembuktian formal (formele bewijstheorie). Sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif, lebih dekat kepada prinsip “penghukuman berdasar hukum”,
artinya penjatuhan
hukuman terhadap seseorang, semata-mata tidak diletakkan di bawah kewenangan hakim, tetapi di atas kewenangan undang-undang yang berlandaskan asas: seorang terdakwa baru dapat dihukum dan dipidana jika apa yang didakwakan kepadanya benar-benar terbukti berdasar cara dan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.34
34
Ibid, hal.257
26
Menurut D.Simons,35 seperti yang dikutip oleh Andi Hamzah menyatakan bahwa sistem atau teori pembuktian berdasar undang-undang secara positif (positief wettelijk) ini berusaha untuk menyingkirkan semua pertimbangan (subjektif
wettelijk)
ini
berusaha
untuk
menyingkirkan
semua
pertimbangan subjektif hakim dan mengikat hakim secara ketat menurut peraturan-peraturan pembuktian yang keras. Dianut di Eropa pada waktu berlakunya asas inkisitor (inquisitoir) dalam acara pidana. Teori pembuktian ini ditolak juga oleh Wirjono Prodjodikoro untuk dianut di Indonesia, karena katanya bagaimana hakim dapat menetapkan kebenaran selain dengan cara menyatakan kepada keyakinannya tentang hal kebenaran itu, lagi pula keyakinan seorang hakim yang jujur dan berpengalaman
mungkin
sekali
adalah
sesuai
dengan
keyakinan
masyarakat.36 2) Sistem atau Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Melulu Sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim merupakan pembuktian yang bertolak belakang dengan sistem pembuktian berdasarkan undangundang secara positif. Sistem pembuktian ini juga disebut conviction intime. Sistem pembuktian conviction in time menentukan salah tidaknya seorang terdakwa, semata-mata ditentukan oleh penilaian keyakinan hakim. Keyakinan hakimlah yang menentukan keterbuktian kesalahan terdakwa. Keyakinan tanpa alat bukti yang sah, sudah cukup membuktikan kesalahan 35 36
Andi Hamzah, Op.Cit, hal.251. Ibid.
27
terdakwa. Seolah-olah sistem ini menyerahkan sepenuhnya nasib terdakwa kepada keyakinan hakim semata-mata. Keyakinan hakimlah yang menentukan wujud kebenaran sejati dalam sistem pembuktian ini.37 3) Sistem atau Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Atas Alasan yang Logis (Laconviction Raisonnee) Menurut teori ini, hakim dapat memutuskan seseorang bersalah berdasar keyakinannya, keyakinan yang didasarkan kepada dasar-dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan (conclusive) yang berlandaskan kepada peraturan-peraturan pembuktian tertentu. Sistem atau teori pembuktian ini disebut juga pembuktian bebas karena hakim bebas untuk menyebut alasan-alasan keyakinannya (vrijebewijstheorie).38 Keyakinan hakim dalam sistem conviction raisonnee harus dilandasi reasoning atau alasan-alasan, dan reasoning itu harus “reasonable”, yakni berdasar alasan yang dapat diterima. Keyakinan hakim harus mempunyai dasar-dasar alasan yang logis yang benar-benar dapat diterima akal. Tidak semata-mata atas dasar keyakinan yang tertutup tanpa uraian alasan yang masuk akal.39 4) Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang Secara Negatif (Negatief Wettelijk) Seorang terdakwa baru dapat dinyatakan bersalah apabila kesalahan yang didakwakan kepadanya dapat dibuktikan dengan cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang serta sekaligus keterbuktian 37
M. Yahya Harahap, 2002, Op. Cit, hal.256. Andi Hamzah, Op.Cit, hal. 253. 39 M. Yahya Harahap, 2002, Op. Cit, hal.256-257. 38
28
kesalahan-kesalahan itu “dibarengi” dengan keyakinan hakim. Pasal 183 KUHAP menyatakan bahwa: “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang, kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.” Berdasarkan ketentuan Pasal 183 KUHAP maka pembuktian harus didasarkan kepada undang-undang (KUHAP), yaitu alat bukti yang sah tersebut dalam Pasal 184 KUHAP, disertai dengan keyakinan hakim yang diperoleh dari alat-alat bukti tersebut. Penjelasan Pasal 183 KUHAP mengatakan bahwa ketentuan ini adalah untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan, dan kepastian hukum bagi seseorang. Untuk Indonesia, yang sekarang ternyata telah dipertahankan oleh KUHAP, Wirjono Prodjodikoro berpendapat bahwa sistem pembuktian berdasar undang-undang secara negative (negative wettelijk) sebaiknya dipertahankan berdasarkan dua alasan, pertama memang sudah selayaknya harus ada keyakinan hakim tentang kesalahan terdakwa untuk dapat menjatuhkan suatu hukuman pidana, janganlah hakim terpaksa memidana orang sedangkan hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa. Kedua ialah berfaedah jika ada aturan yang mengikat hakim dalam menyusun keyakinannya, agar ada patokan-patokan tertentu yang harus diturut oleh hakim dalam melakukan peradilan.40 3. Alat Bukti dan Kekuatan Pembuktian Uraian alat-alat bukti menurut Pasal 184 KUHAP ialah: 40
Andi Hamzah, Op.Cit, hal. 257.
29
1) Keterangan saksi Pasal 1 angka 27 KUHAP menyatakan bahwa: “Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu.” Agar sahnya keterangan saksi ini sebagai alat bukti yang memiliki nilai pembuktian, maka: a) Saksi harus mengucapkan sumpah; b) Keterangan saksi mengenai perkara pidana yang ia lihat sendiri, didengar sendiri, dialami sendiri, serta menyebut alasan dari pengetahuannya; c) Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan (Pasal 185 ayat (1) KUHAP); d) Keterangan satu saksi harus didukung alat bukti yang sah lainnya (Pasal 185 ayat (2) dan (3) KUHAP); e) Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang suatu kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai suatu alat bukti yang sah apabila keterangan saksi itu ada hubungannya satu dengan yang lain sedemikian rupa, sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu. Baik pendapat umum atau rekaan yang diperoleh dari hasil pemikiran saja, bukan merupakan keterangan saksi (Pasal 185 ayat (4) dan (5)); f) Adanya: i) persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain; ii) persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti yang
30
lain; iii) alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberikan keterangan tertentu; iv) cara hidup dan kesusilaan saksi,
serta
segala
sesuatu
yang
pada
umumnya
dapat
mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya (Pasal 185 ayat(6)).41 Keterangan saksi sebagai alat bukti yang sah, dapat disimpulkan: a) Tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang sempurna dan mengikat, hakim mempunyai kebebasan untuk menilainya; b) Alat bukti keterangan saksi sebagai alat bukti yang mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang bebas, dapat dilumpuhkan terdakwa dengan alat bukti yang lain berupa saksi a decharge maupun dengan keterangan ahli atau alibi. 2) Keterangan ahli Pasal 1 angaka 28 KUHAP menyatakan bahwa: “Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.” Menurut Wirjono Projodikoro,42 seperti yang dikutip Andi Hamzah isi keterangan seorang saksi dan ahli berbeda. Keterangan seorang saksi mengenai apa yang dialami saksi itu sendiri sedangkan keterangan seorang ahli ialah mengenai suatu penilaian mengenai hal-hal yang sudah nyata ada dan pengambilan kesimpulan mengenai hal-hal itu.
41 42
Mohammad Taufik Makarao dan Suhasril, Op. Cit, hal.121. Andi Hamzah, Op. Cit, hal 274.
31
Pasal 186 KUHAP menyatakan bahwa: “Keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan.” Penjelasan Pasal 186 KUHAP menyatakan bahwa, keterangan ahli ini dapat juga sudah diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau Penuntut Umum yang dituangkan dalam suatu bentuk laporan dan dibuat dengan mengingat sumpah di waktu ia menerima jabatan atau pekerjaan. Jika hal itu tidak diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau Penuntut Umum, maka pada pemeriksaan di sidang diminta untuk memberikan keterangan dan dicatat dalam berita acara pemeriksaan. Keterangan tersebut diberikan setelah ia mengucapkan sumpah atau janji di hadapan hakim. Sama seperti keterangan saksi, keterangan ahli dalam KUHAP juga tidak menentukan bahwa alat bukti ini mempunyai nilai pembuktian sempurna dan menentukan. Oleh karena itu, keterangan ahli ini sebagai salah satu alat bukti mempunyai nilai pembuktian bebas. Hakim bebas menilainya dan tidak terikat kepadanya. Tidak ada keharusan bagi hakim untuk mesti menerima kebenaran keterangan ahli
dimaksud.
Namun
sekalipun
demikian,
hakim
dalam
mempergunakan kebebasan tersebut haruslah bertanggung jawab.43 3) Surat Berdasarkan ketentuan Pasal 187 KUHAP, surat yang dapat dinilai sebagai alat bukti yang sah menurut undang-undang ialah: 43
Mohammad Taufik Makarao dan Suhasril, Op. Cit, hal. 126.
32
a) Surat yang dibuat atas sumpah jabatan atau; b) Surat yang dikuatkan dengan sumpah Bentuk-bentuk surat yang dapat dianggap mempunyai nilai sebagai alat bukti berdasarkan Pasal 187 KUHAP adalah: a) Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu; b) Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundangundangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu keadaan; c) Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi daripadanya; d) Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain. Nilai kekuatan pembuktian surat: a) Ditinjau dari segi formal Alat bukti surat yang disebut pada Pasal 187 huruf a, b, dan c KUHAP adalah alat bukti yang “sempurna”. Sebab bentuk suratsurat dibuat secara resmi menurut formalitas yang ditentukan
33
peraturan perundang-undangan dan berisi keterangan resmi dari seorang pejabat yang berwenang, dan pembuatan serta keterangan yang terkandung dalam surat dibuat atas sumpah jabatan. b) Ditinjau dari segi materiil Dari sudut materiil, semua bentuk alat bukti surat yang disebut dalam Pasal 187 KUHAP “bukan alat bukti yang mempunyai kekuatan mengikat” dengan kata lain “bersifat bebas”. Dasar alasan ketidakterikatan hakim atas alat bukti surat didasarkan pada beberapa asas antara lain: i) asas proses pemeriksaan perkara pidana ialah untuk mencari kebenaran materiil atau “kebenaran sejati” (materiel waarheid), bukan mencari kebenaran formal; ii) asas keyakinan hakim; iii) asas batas minimum pembuktian.44 4) Petunjuk Pasal 188 ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa: “Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.” Apabila hakim hendak mempergunakan alat bukti petunjuk sebagai dasar penilaian pembuktian kesalahan terdakwa, undang-undang sunguh-sungguh menuntut kesadaran tanggung jawab hati nurani hakim agar hakim bersikap arif dan bijaksana. Berdasarkan ketentuan Pasal 188 ayat (2) petunjuk hanya dapat diperoleh dari: a) Keterangan saksi;
44
M. Yahya Harahap, 2002, Op.Cit, hal. 289-290.
34
b) Surat; c) Keterangan terdakwa. Adapun mengenai kekuatan pembuktian alat bukti petunjuk serupa sifat dan kekuatannya dengan keterangan saksi, keterangan ahli, dan alat bukti surat yang sahnya mempunyai sifat kekuatan pembuktian “yang bebas”. 5) Keterangan terdakwa Pasal 189 KUHAP ayat (1) menyatakan bahwa: “Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri”. Bertitik tolak dari tujuan mewujudkan kebenaran sejati, undangundang tidak dapat menilai keterangan terdakwa sebagai alat bukti yang memiliki nilai pembuktian yang sempurna, mengikat dan menetukan. Dengan demikian, nilai kekuatan pembuktian alat bukti keterangan sebagai berikut: a) Sifat nilai kekuatan pembuktiannya adalah bebas Hakim tidak terikat pada nilai kekuatan yang terdapat pada alat bukti keterangan terdakwa. Dia bebas untuk menilai kebenaran yang terkandung di dalamnya. Hakim dapat menerima atau menyingkirkannya sebagai alat bukti dengan jalan mengemukakan alasan-alasannya. b) Harus memenuhi batas minimum pembuktian
35
Keharusan mencukupkan alat bukti keterangan terdakwa dengan sekurang-kurangnya satu lagi alat bukti yang lain, baru mempunyai nilai pembuktian yang cukup c) Harus memenuhi asas keyakinan hakim Disamping dipenuhi batas minimum pembuktian dengan alat bukti yang sah maka dalam pembuktian yang cukup tersebut harus dibarengi dengan keyakinan hakim bahwa terdakwalah yang bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya.45 C. Putusan Pengadilan 1. Pengertian Putusan Putusan hakim pada dasarnya adalah suatu karya menemukan hukum, yaitu menetapkan bagaimanakah seharusnya menurut hukum dalam setiap peristiwa yang menyangkut kehidupan dalam suatu negara hukum. Pengertian lain mengenai putusan hakim adalah hasil musyawarah yang bertitik tolak dari surat dakwaan dengan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang pengadilan.46 Menurut buku Peristilahan Hukum dalam Praktik yang dikeluarkan Kejaksaan Agung Republik Indonesia,47 seperti yang dikutip oleh Leden Marpaung menyatakan bahwa putusan adalah hasil atau kesimpulan dari sesuatu yang telah dipertimbangkan dan dinilai dengan semasak-masaknya
45
Ibid, hal. 311-312. Sofa, 16 Agustus 2011, Tentang Putusan Hakim, http://massofa.wordpress.com/2011/08/16/tentang-putusan-hakim/ diakses pada tanggal 7 Juni 2013. 47 Leden Marpaung, 2010, Proses Penanganan Perkara Pidana Di Kejaksaan & Pengadilan Negeri Upaya Hukum&Eksekusi, Jakarta: Sinar Grafika, hal. 129. 46
36
yang dapat berbentuk tulisan ataupun lisan. Kamus istilah Hukum Fockema Andreae, seperti yang dikutip oleh Leden Marpaung mengartikan putusan (vonnis) sebagai vonnis tetap (definitief). Mengenai kata putusan yang diterjemahkan dari vonis adalah hasil akhir dari pemeriksaan perkara di sidang pengadilan.48 Pasal 1 angka 11 KUHAP menyatakan bahwa: “Putusan pengadilan adalah pernyatan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”. Pasal 182 ayat 6 KUHAP menyatakan bahwa: “Pada asasnya putusan dalam musyawarah majelis merupakan hasil permufakatan bulat kecuali jika hal itu setelah diusahakan dengan sungguh-sungguh tidak dapat dicapai, maka berlaku ketentuan sebagai berikut: a. Putusan diambil suara terbanyak; b. Jika ketentuan tersebut huruf a tidak juga dapat diperoleh putusan yang dipilih adalah pendapat hakim yang paling menguntungkan bagi terdakwa.” Mengenai putusan apa yang akan dijatuhkan pengadilan, tergantung hasil mufakat musyawarah hakim berdasar penilaian yang mereka peroleh dari surat dakwaan dihubungkan dengan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang pengadilan. 2. Bentuk Putusan Pengadilan Putusan pengadilan yang akan dijatuhkan pengadilan mengenai suatu perkara dapat berbentuk sebagai berikut: 1) Putusan Bebas Pasal 191 ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa: 48
Ibid.
37
“Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas”. Menurut Van Bemmelen,49 seperti yang dikutip oleh Andi Hamzah menyatakan bahwa: “Putusan bebas dijatuhkan jika hakim tidak memperoleh keyakinan mengenai kebenaran (dengan kata lain mengenai pertanyaan apakah terdakwa telah melakukan perbuatan yang didakwakan) atau ia yakin bahwa apa yang didakwakan tidak atau setidak-tidaknya bukan terdakwa ini yang melakukannya”. Menurut M. Yahya Harahap, putusan bebas ditinjau dari segi yuridis ialah putusan yang dinilai oleh Majelis Hakim yang bersangkutan: a) Tidak memenuhi asas pembuktian menurut undang-undang secara negatif; b) Tidak memenuhi asas batas minimum pembuktian.50 2) Putusan Lepas dari Segala Tuntutan Hukum Pasal 191 ayat (2) KUHAP menyatakan bahwa: “Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum.” Terdakwa dilepas dari segala tuntutan hukum dapat disebabkan: a) Salah satu sebutan hukum pidana yang didakwakan tidak cocok dengan tindak pidana. Misalnya terdakwa mengambil barang hanya
49
Andi Hamzah, Op. Cit, hal. 287.
50
M. Yahya Harahap, 2002, Op.Cit, hal. 327.
38
untuk memakai, tidak ada niat untuk memiliki; b) Terdapat
keadaan-keadaan
yang
istimewa
yang
menyebabkan
terdakwa tidak dapat dihukum. Misalnya karena Pasal 44, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50, Pasal 51 Undang-undang No. 1 tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).51 Menurut M. Yahya Harahap,52 putusan lepas dari segala tuntutan hukum dapat ditinjau dari beberapa segi, antara lain: a) Ditinjau dari segi pembuktian Pada putusan lepas dari segala tuntutan hukum, apa yang didakwakan kepada terdakwa cukup terbukti secara sah baik dinilai dari segi pembuktian menurut undang-undang maupun dari segi batas minimum pembuktian yang diatur Pasal 183 KUHAP. Akan tetapi, perbuatan yang terbukti “tidak merupakan tindak pidana”. Perbuatan yang didakwakan dan yang telah terbukti itu, tidak ada diatur dan tidak termasuk ruang lingkup hukum pidana melainkan termasuk ruang lingkup hukum perdata, hukum asuransi, hukum dagang, atau hukum adat. b) Ditinjau dari segi penuntutan Putusan lepas dari segala tuntutan hukum pada hakikatnya apa yang didakwakan kepadanya bukan merupakan perbuatan tindak pidana. Barang kali hanya quasi tindak pidana, seolah-olah penyidik dan Penuntut Umum melihatnya sebagai perbuatan tindak pidana. 3) Putusan Pemidanaan Pasal 193 ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa: “Jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana”. Pemidanaan berarti terdakwa dijatuhi hukuman pidana sesuai dengan ancaman yang ditentukan dalam pasal tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa. 51 52
Leden Marpaung, Op. Cit, hal 135. M. Yahya Harahap, 2002, Op.Cit, hal. 331.
39
Menurut Van Bemmelen,53 seperti yang dikutip oleh Andi Hamzah putusan pemidanaan dijatuhkan oleh hakim jika ia telah mendapat keyakinan bahwa terdakwa telah melakukan perbuatan yang didakwakan dan ia menganggap bahwa perbuatan dan terdakwa dapat dipidana. Apabila menurut pendapat dan penilaian pengadilan terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan kesalahan tindak pidana yang didakwakan kepadanya sesuai dengan sistem pembuktian dan batas minimum pembuktian yang ditentukan Pasal 183 KUHAP, kesalahan terdakwa telah cukup terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah yang memberi keyakinan kepada hakim, terdakwalah pelaku pidananya. 4) Penetapan Tidak Berwenang Mengadili Apabila Ketua Pengadilan Negeri berpendapat perkara tersebut tidak termasuk wewenangnya sperti yang ditentukan dalam Pasal 84 KUHAP: a) Karena tindak pidana yang terjadi tidak dilakukan dalam daerah hukum Pengadilan Negeri yang bersangkutan; atau b) Sekalipun terdakwa bertempat tinggal, berdiam terakhir, diketemukan atau ditahan berada di wilayah Pengadilan Negeri tersebut, tapi tindak pidananya dilakukan di wilayah hukum Pengadilan Negeri yang lain, sedang saksi-saksi yang dipanggil pun lebih dekat dengan Pengadilan Negeri tempat dimana tindak pidana dilakukan, dan sebagainya.54 5) Putusan yang Menyatakan Bahwa Dakwaan Tidak Dapat Diterima 53 54
Andi Hamzah, Op. Cit, hal. 287. M. Yahya Harahap, 2002, Op.Cit, hal. 336.
40
Putusan yang menyatakan bahwa dakwaan tidak dapat diterima, pada hakikatnya termasuk kekurang cermatan Penuntut Umum karena putusan tersebut dijatuhkan karena: a) Pengaduan yang diharuskan bagi penuntutan, tidak ada (delik pengaduan); b) Perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa, telah pernah diadili (nebis in idem); c) Hak untuk penuntutan telah hilang karena daluwarsa (verjaring).55 6) Putusan yang Menyatakan Dakwaan Batal Demi Hukum Putusan pengadilan yang berupa pernyataan dakwaan Penuntut Umum batal atau batal demi hukum didasarkan pada Pasal 143 ayat (3) KUHAP dan Pasal 156 ayat (1) KUHAP. Alasan utama untuk membatalkan surat dakwaan batal demi hukum, apabila surat dakwaan tidak memenuhi unsur yang ditentukan dalam Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP yakni surat dakwaan tidak menjelaskan unsur konstitutif yang dirumuskan dalam pasal pidana yang didakwakan kepada terdakwa. Menurut M. Yahya Harahap,56 beberapa alasan pokok yang dapat dijadikan dasar menyatakan dakwaan Penuntut Umum batal demi hukum: a) Apabila dakwaan tidak merumuskan semua unsur dalih yang didakwakan; b) Tidak memberi secara jelas peran dan perbuatan yang dilakukan terdakwa dalam dakwaan; c) Dakwaan kabur atau obscuur libel, karena tidak dijelaskan cara bagaimana kejahatan dilakukan.
55 56
Leden Marpaung, Op.Cit, hal. 134. M. Yahya harahap, 2002, Op. Cit, hal. 338.
41
D. Putusan Bebas Pasal 191 ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa: “Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas”. Dalam penjelasan mengenai ketentuan yang diatur dalam Pasal 191 ayat (1) KUHAP dikatakan, bahwa yang dimaksud perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan adalah tidak cukup terbukti menurut penilaian hakim atas dasar pembuktian dengan menggunakan alat bukti menurut ketentuan hukum acara pidana ini. Apabila hakim berpendapat, bahwa satu atau lebih unsur dari tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka hakim harus memutuskan suatu pembebasan atau suatu vrijspraak bagi terdakwa.57 Menurut Van Bemmelen,58 seperti yang dikutip oleh Andi Hamzah menyatakan bahwa putusan bebas dijatuhkan jika hakim tidak memperoleh keyakinan mengenai kebenaran (dengan kata lain mengenai pertanyaan apakah terdakwa telah melakukan perbuatan yang didakwakan) atau ia yakin bahwa apa yang didakwakan tidak atau setidak-tidaknya bukan terdakwa ini yang melakukannya. Menurut M. Yahya Harahap,59 putusan bebas ditinjau dari segi yuridis ialah putusan yang dinilai oleh Majelis Hakim yang bersangkutan: 1) Tidak memenuhi asas pembuktian menurut undang-undang secara negative yaitu pembuktian yang diperoleh di persidangan, tidak 57
P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang, Op.Cit. hal.436. Andi Hamzah, Op. Cit, hal. 287. 59 M. Yahya Harahap, 2002, Op.Cit, hal. 327. 58
42
cukup membuktikan kesalahan terdakwa sekaligus kesalahan terdakwa yang tidak cukup terbukti itu tidak diyakini oleh hakim; 2) Tidak memenuhi asas batas minimum pembuktian yaitu kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa hanya didukung oleh satu alat bukti saja, sedang menurut ketentuan Pasal 183 KUHAP agar cukup membuktikan kesalahan seorang terdakwa harus dibuktikan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah. 1. Pengertian Putusan Bebas Murni Darwan Prinst menyatakan bahwa putusan bebas murni dijatuhkan, apabila dakwaan Penuntut Umum tidak terbukti sama sekali karena tidak ada suatu perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa ataupun perbuatan ada tetapi bukan merupakan tindak pidana.60 Menurut Achmad S. Soemadipradja,61 seperti yang dikutip oleh Kelik Pramudya menyatakan bahwa putusan bebas murni adalah putusan akhir dimana hakim mempunyai keyakinan mengenai tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa adalah tidak terbukti. 2. Pengertian Putusan Bebas Tidak Murni Suatu pembebasan tidak murni (niet zuivere vrijspraak) ialah suatu putusan yang bunyinya bebas hukum (onstlag van rechtsvervolging), yang dinamai juga lepas dari segala tuntutan hukum terselubung (bedekt onstlag van rechtsvervolging). Menurut Van Bemmelen,62 seperti yang dikutip Andi Hamzah menyatakan bahwa terjadinya bebas tidak murni (niet zuivere vrijspraak) jika hakim menjalankan putusan bebas yang didasarkan atas kenyataan bahwa yang tersebut dalam surat dakwaan lebih banyak daripada
60
Darwan Prinst, 2002, Hukum Aara Pidana Dalam Praktik, Jakarta: Djambatan, hal.159. Kelik Pramudya, 17 September 2008, Putusan Bebas (Vrijspraak), diakses pada tanggal 8 Juni 2013. 62 Andi Hamzah, Op.Cit, hal 295. 61
43
yang ada dan lebih banyak daripada yang perlu dimuat di dalamnya. Menurut Oemar Seno Adji,63 seperti yang dikutip Kelik Pramudya menyatakan bahwa pembebasan tidak murni pada hakikatnya merupakan putusan lepas dari segala tuntutan yang terselubung, dapat dikatakan apabila dalam suatu dakwaan unsur delik dirumuskan dengan istilah yang sama dalam perundang-undangan, sedangkan hakim memandang dakwaan tersebut tidak terbukti yang mempunyai kualifikasi: 1) Pembebasan didasarkan atas suatu penafsiran yang keliru terhadap sebutan tindak pidana yang disebut dalam surat dakwaan. 2) Dalam menjatuhkan putusan pengadilan telah melampaui batas kewenangannya, baik absolut maupun relatif dan sebagainya Apa yang diatur dalam Pasal 191 KUHAP dapat lagi diperluas dengan syarat-syarat putusan pembebasan atau pelepasan dari segala tuntutan hukum yang diatur dalam Undang-undang No. 1 tahun 1946 tentang Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP) Buku I Bab III terdapat beberapa pasal yang mengatur tentang hal-hal yang menghapuskan pemidanaan terhadap seorang terdakwa dengan kata lain merupakan alasan membebaskan terdakwa dari pemidanaan antara lain: 1) Pasal 44 Undang-undang No. 1 tahun 1946 tentang Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP), apabila perbuatan tindak pidana yang dilakukan terdakwa “tidak dapat dipertanggungjawabkan”; 2) Pasal 45 Undang-undang No. 1 tahun 1946 tentang Kitab Undang-
63
Kelik Pramudya, Op.Cit.
44
Undang Hukum Pidana (KUHP), perbuatan tindak pidana yang dilakukan oleh orang yang belum cukup umurnya 16 tahun; 3) Pasal 48 Undang-undang No. 1 tahun 1946 tentang Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP) (overmacht), orang yang melakukan tindak pidana dalam keadaan pengaruh daya paksa; 4) Pasal 49 Undang-undang No. 1 tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), orang yang terpaksa melakukan pembelaan diri atau self defence; 5) Pasal 50 Undang-undang No. 1 tahun 1946 tentang Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP), orang yang melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang, tidak dapat dipidana, terdakwa harus diputus dengan putusan bebas. 3. Akibat Hukum Dijatuhkannya Putusan Bebas Tedakwa yang diputus bebas dibebaskan dari tahanan, sesuai Pasal 191 ayat (3) yang menyatakan bahwa: “Dalam hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), terdakwa yang ada dalam status tahanan diperintahkan untuk dibebaskan seketika itu juga kecuali karena ada alasan lain yang sah, terdakwa perlu ditahan”. Suatu yang perlu diperhatikan dalam putusan pembebasan ialah “perintah untuk membebaskan” terdakwa dari tahanan. Perintah pembebasan dari tahanan dikeluarkan hakim ketua sidang bersamaan dengan saat putusan diumumkan, jika seandainya terdakwa yang diputus bebas itu berada dalam tahanan. Kelalaian mengeluarkan perintah pembebasan terdakwa dari tahanan dalam putusan pembebasan, mengakibatkan putusan batal demi hukum. Hal
45
ini ditegaskan dalam Pasal 197 ayat (1) huruf k jo. Pasal 197 ayat (2) KUHAP.64 Berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 5 tahun 2001 tentang Pembuatan Ringkasan Putusan Terhadap Perkara Pidana yang Terdakwanya Diputus Bebas atau Dilepas Dari Segala Tuntutan, menyatakan bahwa: “Terhadap perkara pidana yang terdakwanya ditahan dan diputus dengan amar putusan yang menyatakan terdakwa dibebaskan dari segala dakwaan (vrijspraak) atau dilepas dari segala tuntutan (ontslag van alle rechtsvervolging) dengan perintah agar terdakwa segera dikeluarkan dari tahanan pada saat putusan diucapkan di depan sidang terbuka untuk umum harus sudah ada setidak-tidaknya ringkasan putusan (extract vonis) atau setidak-tidaknya segera setelah putusan tersebut diucapkan agar segera dibuat ringkasan putusan (extract vonis) guna dapat segera dieksekusi oleh Jaksa dalam kedudukannya selaku eksekutor dari putusan Hakim”. Pasal 67 KUHAP menyatakan bahwa: “Terdakwa atau Penuntut Umum berhak untuk minta banding terhadap putusan pengadilan tingkat pertama kecuali terhadap putusan bebas, lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan hukum dan putusan pengadilan dalam acara cepat.” Pasal 244 KUHAP menyatakan bahwa: “Terdapat putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung, terdakwa atau Penuntut Umum dapat mengajukan permintaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas.” Pada Lampiran Keputusan Menteri RI Nomor M.14 PW.07.03 tahun 1983 tanggal 10 Desember 1983, butir 19 dicantumkan antara lain: “Terhadap putusan bebas tidak dapat dimintakan banding, tetapi berdasarkan situasi dan kondisi, demi hukum, keadilan dan kebenaran, 64
M. Yahya Harahap, 2002, Op.Cit,, hal.329-330.
46
terhadap putusan bebas dapat dimintakan kasasi. Hal ini akan didasarkan pada yurisprudensi.” Yurisprudensi pertama mengenai putusan bebas adalah Putusan Mahkamah Agung RI Nomor Reg. 275 K/Pid/1983 tanggal 15 Desember 1983. M. Yahya Harahap65 menyatakan bahwa apabila dilihat dari segi yuridis formalnya yakni dari segi hukum acara dikaitkan dengan Pasal 67 dan Pasal 244 KUHAP maka: 1) Putusan bebas pengadilan tingkat pertama mutlak tidak dapat diminta banding, tapi langsung dapat diminta permohonan kasasi; 2) Memang Pasal 244 KUHAP tidak memperkenankan putusan bebas diminta kasasi sepanjang putusan bebas itu bersifat “pembebasan murni”, dan permintaan kasasi terhadap putusan bebas yang bersifat pembebasan murni harus dinyatakan tidak dapat diterima; 3) Jika sifat pembebasan itu “tidak murni”, putusan bebas tersebut dapat diminta kasasi; 4) Suatu putusan bebas dianggap tidak bersifat pembebasan murni, antara lain: a. Apabila dalam putusan itu terdapat kekeliruan penafsiran terhadap sebutan tindak pidana yang disebut dalam surat dakwaan dan bukan didasarkan pada tidak terbuktinya unsurunsur perbuatan yang didakwakan, atau b. Apabila dalam menjatuhkan putusan pengadilan telah melampaui batas wewenangnya dalam arti bukan saja wewenang yang menyangkut kompetensi absolut dan relative, tapi juga dalam hal apabila ada unsur non yuridis. Di dalam praktik, permasalahan mengenai putusan bebas murni dan putusan bebas tidak murni itu tidak perlu dihiraukan lagi, karena apakah putusan bebas itu bersifat murni atau tidak, tidak menjadi masalah bagi Mahkamah Agung. Namun berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 114/PUU-
65
Ibid. hal. 442.
47
X/2012, Mahkamah Konstitusi telah menyatakan frasa “kecuali terhadap putusan bebas” dalam Pasal 244 KUHAP bertentangan dengan konstitusi dan tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat. Sehingga ketentuan Pasal 244 KUHAP kini berbunyi: “Terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung, terdakwa atau Penuntut Umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung.” Pasal 253 ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa: “Pemeriksaan dalam tingkat kasasi dilakukan oleh Mahkamah Agung atas permintaan para pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 244 dan Pasal 248 guna menentukan: 1) Apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak sebagaimana mestinya; 2) Apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang; 3) Apakah benar pengadilan telah melampaui batas wewenangnya.” Tujuan kasasi adalah untuk menciptakan kesatuan penerapan hukum dengan jalan membatalkan putusan yang bertentangan dengan undang-undang atau keliru dalam menerapkan hukum.66 Menurut M. Yahya Harahap,67 tujuan utama upaya hukum kasasi antara lain sebagai berikut: 1) Koreksi terhadap kesalahan putusan pengadilan bawahan. Salah satu tujuan kasasi adalah memperbaiki dan meluruskan kesalahan penerapan hukum, agar hukum benar-benar diterapkan sebagaimana mestinya serta apakah cara mengadili perkara benarbenar dilakukan menurut ketentuan undang-undang; 2) Menciptakan dan membentuk hukum baru. Selain tindakan koreksi yang dilakukan oleh Mahkamah Agung dalam peradilan kasasi, adakalanya tindakan koreksi itu sekaligus menciptakan hukum baru dalam bentuk yurisprudensi; 66 67
Andi Hamzah, Op.Cit, hal. 298. M. Yahya Harahap, 2002, Op.Cit, hal. 518-521.
48
3) Pengawasan terciptanya keseragaman penerapan hukum. tujuan lain dari pemeriksaan kasasi, adalah mewujudkan kesadaran “keseragaman” penerapan hukum atau unified legal frame work dan unified legal opinion. Dengan adanya putusan kasasi yang menciptakan yurisprudensi, akan mengarahkan keseragaman pandangan dan titik tolak penerapan hukum, serta dengan adanya upaya hukum kasasi, dapat terhindari kesewenangan dan penyalahgunaan jabatan oleh para hakim yang tergoda dalam memanfaatkan kebebasan kedudukan yang dimilikinya. Permohonan kasasi diajukan 14 (empat belas) hari, setelah putusan pengadilan diberitahukan kepada terdakwa yang disampaikan kepada panitera Pengadilan Negeri yang telah memutus perkara tersebut dalam tingkat pertama (Pengadilan Negeri) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 245 ayat (1) KUHAP. Selanjutnya permintaan kasasi tersebut ditulis dalam sebuah surat keterangan yang ditandatangani panitera serta pemohon, kemudian panitera mencatat dalam daftar yang dilampiri berkas perkara kemudian panitera wajib memberitahukan permintaan dari pihak yang satu kepada pihak yang lain sebagaimana yang diatur dalam Pasal 245 ayat (2) dan (3) KUHAP. 14 (empat belas) hari setelah mengajukan permintaan kasasi, wajib mengajukan memori kasasi kepada panitera dan diberi tanda terima dalam rangkap 2 (dua) sebagai tembusan oleh panitera untuk disampaikan kepada pihak lainnya dan pihak lain itu berhak mengajukan kontra memori kasasi, ini sesuai dengan Pasal 248 ayat (6) KUHAP. Dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari, panitera menyampaikan tembusan kontra memori kasasi kepada pihak yang semula mengajukan memori kasasi, sesuai dengan Pasal 248 ayat (7) KUHAP. Apabila salah satu pihak berpendapat masih ada sesuatu yang perlu
49
ditambahkan dalam memori kasasi atau kontra memori kasasi, kepadanya diberikan kesempatan untuk mengajukan tambahan itu dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari sebagaimana diatur dalam Pasal 249 ayat (1) KUHAP. Tambahan memori/ kontra kasasi diserahkan kepada panitera pengadilan selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari setelah tenggang waktu permohonan kasasi tersebut selengkapnya oleh panitera pengadilan segera disampaikan kepada Mahkamah Agung, sebagaimana diatur dalam Pasal 249 ayat (2) dan (3) KUHAP.’ E. Tindak Pidana Penipuan dan Penggelapan Titel XXV Buku II Undang-undang No. 1 tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) berjudul “Bedrog” yang berarti penipuan dalam arti luas, sedangkan pasal pertama dari titel itu, yaitu pasal 378, mengenai tindak pidana oplichting yang berarti juga penipuan tetapi dalam arti sempit, sedangkan pasal-pasal lain dari titel tersebut memuat tindak pidana lain yang bersifat penipuan juga dalam arti luas.68 Tindak pidana penipuan diatur dalam Pasal 378 Undang-undang No. 1 tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang menyatakan bahwa: “Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan memakai nama palsu atau martabat (hoedabigheid) palsu; dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi utang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun”. 68
Wirjono Prodjodikoro, 2003, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indosnesia, Bandung: Refika Aditama, hal. 36.
50
Menurut Suharto RM,69 Rumusan yang berbentuk kelakuan tersebut merupakan perbuatan yang disengaja dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri dengan unsur-unsur sebagai berikut: 1. Barang siapa; 2. Menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum; 3. Dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat atau rangkaian kebohongan; 4. Menggerakkan orang lain untuk: a. Menyerahkan barang sesuatu; b. Memberi utang; atau c. Menghapuskan piutang. Bentuk dari rumusan Pasal 378 Undang-undang No. 1 tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) ini sifatnya alternatif, artinya apabila salah satu dari kelompok tiap unsur itu sudah memenuhi syarat dari perbuatan materiil yang dilakukan si pelaku, maka dapat memilih salah satu dari kelompok unsur yang terdapat pada tiap unsur. Dalam pasal ini yang perlu dibuktikan ialah unsur perbuatan melawan hukum yang mana sehingga dapat menggerakkan seseorang untuk menyerahkan sesuatu barang.70 Unsur-unsur tindak pidana penipuan menurut Mulyatno71 adalah sebagai berikut: 1. Ada seseorang yang dibujuk atau digerakkan untuk menyerahkan 69
Suharto RM, 2002, Hukum Pidana Materiil, Jakarta: Sinar Grafika, hal. 42. Ibid. 71 Ray Pratama Siadari. Pengertian Dan Unsur-Unsur Tindak Pidana Penipuan. http://raypratama.blogspot.com/2012/02/pengertian-dan-unsur-unsur-tindak-pidana-penipuan.html diakses pada tanggal 18 Maret 2013. 70
51
suatu barang atau membuat hutang atau menghapus piutang. Barang itu diserahkan oleh yang punya dengan jalan tipu muslihat. Barang yang diserahkan itu tidak selamanya harus kepunyaan sendiri, tetapi juga kepunyaan orang lain; 2. Penipu itu bermaksud untuk menguntungkan dirinya sendiri atau orang lain tanpa hak. Dari maksud itu ternyata bahwa tujuannya adalah untuk merugikan orang yang menyerahkan barang itu; 3. Yang menjadi korban penipuan itu harus digerakkan untuk menyerahkan barang itu dengan jalan : a) Penyerahan barang itu harus akibat dari tindakan tipu daya; b) Sipenipu harus memperdaya sikorban dengan satu akal yang tersebut dalam Pasal 378 Undang-undang No. 1 tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Perbuatan penipuan ini tidak menggunakan sarana paksaan, tetapi dengan kepandaian seseorang untuk mempengaruhi orang lain sehingga orang berbuat sesuatu tanpa kesadaran yang penuh.72 Secara umum menurut Adam Chazawi73, unsur-unsur tindak pidana terhadap harta kekayaan ini adalah mencakup unsur obyektif dan unsur subjektif.
Adapun unsur obyektif yang dimaksud adalah berupa hal-hal
sebagai berikut:
1. Unsur perbuatan materiel, seperti perbuatan mengambil (dalam kasus pencurian), memaksa (dalam kasus pemerasan), memiliki / mengklaim (dalam kasus penggelapan, menggerakkan hati / pikiran orang lain (dalam kasus penipuan) dan sebagainya; 2. Unsur benda / barang; 3. Unsur keadaan yang menyertai terhadap obyek benda yakni harus merupakan milik orang lain; 4. Unsur upaya-upaya tertentu yang digunakan dalam melakukan perbuatan yang dilarang; 72
Suharto RM, Op. Cit. M. Abdul Kholiq, 23 Januari 2011. Tinjauan Yuridis Wanprestasi, Penipuan dan Penggelapan, http://pkbh.uii.ac.id/analisa-hukum/analisa-hukum/tinjauan-yuridis-tentangperbedaan-wan-prestasi-penipuan-dan-penggelapan.html diakses pada tanggal 7 Juni 2013. 73
52
5. Unsur akibat konstitutif yang timbul setelah dilakukannya perbuatan yang dilarang. Sedangkan unsur subjektifnya adalah terdiri atas: 1. Unsur kesalahan yang dirumuskan dengan kata-kata seperti “dengan maksud”, “dengan sengaja”, “yang diketahuinya / patut diduga olehnya” dan sebagainya; dan 2. Unsur melawan hukum baik yang ditegaskan eksplisit / tertulis dalam perumusan pasal maupun tidak.
Perumusan dari tindak pidana penggelapan termuat dalam Pasal 372 Undang-undang No. 1 tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dari titel XXIV buku II Undang-undang No. 1 tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang menyatakan bahwa: “Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum mengaku sebagai milik sendiri (zich toeeigenen) barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaanya bukan karena kejahatan, diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau denda paling banyak enam puluh rupiah”. Berdasarkan bunyi Pasal 372 Undang-undang No. 1 tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) diatas, diketahui bahwa secara yuridis delik penggelapan harus memenuhi unsur-unsur pokok berupa: 1. Unsur subjektif delik berupa kesengajaan pelaku untuk menggelapkan barang milik orang lain yang dirumuskan dalam pasal undang-undang melalui kata : “dengan sengaja”; dan 2. Unsur oyektif delik yang terdiri atas: a. Unsur barang siapa; b. Unsur menguasai secara melawan hukum; c. Unsur suatu benda; d. Unsur sebagian atau seluruhnya milik orang lain; dan
53
e. Unsur benda tersebut ada padanya bukan karena kejahatan.74 Dalam konteks pembuktian unsur subjektif misalnya, kesengajaan pelaku penggelapan (opzet), melahirkan implikasi-implikasi pembuktian apakah benar (berdasar fakta hukum) terdakwa memang: 1.
“Menghendaki” atau “bermaksud” untuk menguasai suatu benda secara melawan hukum; 2. “Mengetahui / menyadari” secara pasti bahwa yang ingin ia kuasai itu adalah sebuah benda; 3. “Mengetahui / menyadari” bahwa benda tersebut sebagian atau seluruhnya adalah milik orang lain; 4. “Mengetahui” bahwa benda tersebut ada padanya bukan karena kejahatan.75 Sedangkan terkait unsur-unsur obyektif delik penggelapan, menurut perspektif doktin hukum pidana ada beberapa hal yang harus dipahami juga sebagai berikut : 1. Pelaku penggelapan harus melakukan penguasaan suatu benda yang milik orang lain tersebut secara melawan hukum. Unsur melawan hukum (wederrnechtelijk toeeigenen) ini merupakan hal yang harus melekat adap ada perbuatan menguasai benda milik orang lain tadi, dan dengan demikian harus pula dibuktikan. Menurut van Bemmelen dan van Hattum, makna secara melawan hukum dalam hal ini cukup dan bisa diartikan sebagai “bertentangan dengan kepatutan dalam pergaulan masyarakat”; 2. Cakupan makna “suatu benda” milik orang lain yang dikuasai pelaku penggelapan secara melawan hukum tadi, dalam praktek cenderung terbatas pada pengertian benda yang menurut sifatnya dapat dipindah-pindahkan atau biasa disebut dengan istilah “benda bergerak”; 3. Pengertian bahwa benda yang dikuasai pelaku penggelapan, sebagian atau seluruhnya merupakan milik orang lain, adalah mengandung arti (menurut berbagai Arrest Hoge Raad) bahwa harus ada hubungan langsung yang bersifat nyata antara pelaku dengan benda yang dikuasainya.76 Sedangkan sumber lain menyebutkan unsur-unsur tindak pidana 74
Ibid. Ibid. 76 Ibid. 75
54
penggelapan: a.
Sengaja;
b.
Melawan hukum;
c.
Memiliki sesuatu barang yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain; Yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan.77
d.
77
Setyawan, Budi. 20 Oktober 2012. Tinjauan Yuridis Penanganan Perkara Penipuan (Pasal 378 Undang-undang No. 1 tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)) Dan Atau Penggelapan (Pasal 372 Undang-undang No. 1 tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)) Studi Kasus Perkara Atas Nama Saudi Bin Maksin Pada Kejaksaan Negeri Cilegon. http://rangselbudi.wordpress.com/2012/10/20/tinjauan-yuridispenanganan-perkara-penipuan-pasal-378-Undang-undang No. 1 tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)-dan-atau-penggelapan-pasal-372-Undang-undang No. 1 tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)-studi-kasus-perkara-atasnama-saudi-bin-maksin-pada-kejaksaan-negeri-cilegon/ diakses pada tanggal 18 Maret 2013.
55
BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Pendekatan Penelitian ini termasuk dalam penelitian hukum yuridis normatif atau penelitian hukum kepustakaan oleh karena “Penelitian hukum ini dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka”. 78 Penelitian yuridis normatif ini dengan pendekatan perundang-undangan (Statute Approach) dan pendekatan kasus (Case Approach). Pendekatan kasus (Case Approach) digunakan karena yang akan diteliti adalah kasus yang telah diputus oleh hakim Pengadilan Negeri Purwokerto.79 B. Spesifikasi Penelitian Penelitian ini menggunakan spesifikasi penelitian preskripstif yaitu semua penelitian yang bertujuan menggambarkan atau merumuskan masalah sesuai dengan keadaan atau fakta yang ada. Menurut Peter Mahmud
Marzuki
menyatakan
bahwa
ilmu
hukum
mempunyai
karakteristik sebagai ilmu yang bersifat preskriptif dan terapan. 80 Sebagai ilmu yang bersifat preskriptif ilmu hukum mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai hukum, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum dan norma-norma hukum. Sebagai ilmu terapan ilmu hukum menciptakan standar 78
prosedur,
ketentuan-ketentuan,
rambu-rambu
dalam
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2004, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: Raja Grafindo Persada, hal. 13-14. 79 Jhony Ibrahim, 2011, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang: Bayu media Publishin, hal. 295 – 321. 80 Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana Perdana Media Grup, hal.91.
56
melaksanakan aturan. C. Sumber Data Peneliti dalam penelitian ini, akan menggunakan data sekunder untuk membangun penelitian dan untuk mendapatkan hasil yang objektif dari penelitian. Dari data sekunder tersebut akan dibagi dan diuraikan menjadi: a. Bahan hukum primer yakni bahan hukum yang terdiri atas peraturan perundang-undangan yang diurutkan berdasarkan hierarki Undang-Undang Dasar
1945,
undang-undang/peraturan
pengganti
undang-undang,
peraturan pemerintah, pemerintahan daerah. b. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang terdiri atas buku-buku teks yang ditulis para ahli hukum yang berpengaruh, jurnal-jurnal hukum, yurisprudensi, dan hasil-hasil simposium mutakhir yang berkaitan dengan topik penelitian.
c. Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.81
D. Metode Pengumpulan Data Peneliti melakukan pengumpulan data sekunder dari studi pustaka dan studi dokumen. Studi pustaka ini akan menggali berbagai kemungkinan jawaban permasalahan dalam penelitian ini. Studi dokumen suatu cara pengumpulan
bahan
dengan
menelaah
terhadap
dokumen-dokumen
pemerintah maupun non pemerintah berupa surat keputusan, internet, arsip81
Zainuddin Ali, 2009, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, hal. 106.
57
arsip ilmiah, dan putusan pengadilan dan sebagainya. Putusan yang menjadi studi dokumen adalah putusan Pengadilan Negeri No. 39/ Pid.B/ 2008/ PN.Pwt. E. Metode Penyajian Data Peneliti setelah memperoleh bahan hukum (primer, sekunder, tersier) akan dilakukan klasifikasi dan inventarisasi terhadap bahan hukum tersebut. Nantinya data yang diperoleh akan disususn secara sistematis dan logis. Antara bahan hukum yang satu dengan yang lain memilki hubungan yang dapat menjawab permasalahan hukum yang ada pada penelitian ini. F. Metode Analisis Data Bahan hukum yang diperoleh dalam studi kepustakaan, aturan perundang-undangan, dan artikel dimaksud penulis uraikan dan hubungkan sedemikian rupa, sehingga disajikan dalam penulisan yang lebih sistematis guna menjawab permasalahan yang telah dirumuskan. Bahwa analisis tehadap bahan hukum dilakukan secara deduktif yakni menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan konkret yang dihadapi. Bahan hukum yang ada dianalisis untuk mengetahui pertimbangan dan penerapan hukum hakim dalam menjatuhkan putusan bebas, serta akibat hukum bagi terdakwa yang dijatuhi putusan bebas sesuai dengan aturan hukum yang berlaku.
58
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Duduk Perkara Dalam perkara ini terdakwa yang menjabat sebagai direktur PT. Aries Pura Graha telah melaksanakan pembangunan perumahan Pasir Luhur Permai Kelurahan Pasir Kidul Kecamatan Purwokerto Barat dan dalam pekerjaan pembangunan jaringan listrik serta gardu trafo untuk proyek perumahan bekerja sama dengan PT. Puri Sinar Berkah Jaya yang selanjutnya diterbitkan Surat Perintah Kerja (SPK). Setelah PT. Puri Sinar Berkah Jaya melakukan kewajiban sesuai SPK, PT. Aries Pura Graha belum melakukan pembayaran maka PT. Puri Sinar Berkah Jaya menghentikan pekerjaanya. Selanjutnya terdakwa mengajak saksi korban sebagai penyandang dana proyek pembangunan jaringan listrik
perumahan Pasir Luhur Permai Kelurahan
Pasir Kidul dan menjanjikan keuntungan yang besar. Sejak Januari 2007 sampai Maret 2007, saksi 3 dari PT. Puri Sinar Berkah Jaya mulai kas bon secara bertahap kepada saksi korban. Ketika saksi korban akan membuat perjanjian tertulis dengan terdakwa di kantor Notaris Prian Resriarto, S.H. terdakwa dengan dalih akan mempelajari draf yang disodorkan saksi korban pergi dan menghindar sehingga perjanjian tidak terwujud, selanjutnya terdakwa memutus SPK dengan PT. Puri Sinar Berkah Jaya dan mengalihkan pekerjaan pembangunan jaringan listrik berikutnya ke saksi 4.
59
Pada waktu saksi 2 melakukan penagihan pembayaran, terdakwa hanya membayar sebagian saja dan uang yang di kas bon PT. Puri Sinar Berkah Jaya dari saksi korban adalah urusan saksi korban dan terdakwa sedangkan kekurangnnya diminta terdakwa sebagai fee, kemudian terdakwa memegang kwitansi/ tanda terima dan tidak mengembalikan hak saksi korban atas pengembalian kas bon dan keuntungan yang telah dijanjikan terdakwa. 2. Dakwaan Penuntut Umum Penuntut Umum dalam persidangan menghadapkan terdakwa dengan dakwaan alternatif yaitu sebagai berikut: a. Dakwaan Pertama Bahwa ia terdakwa M.A.N Bin D.J.S, pada hari dan tanggal yang sudah tidak dapat diingat lagi pada bulan Oktober 2006 sampai bulan Maret 2007 atau setidak-tidaknya pada suatu waktu dalam tahun 2006 sampai bulan Maret 2007, bertempat dilokasi proyek pembangunan perumahan Pasir Luhur Permai Kelurahan Pasir Kidul Kecamatan Purwokerto Barat Kabupaten Banyumas atau disuatu tempat setidaktidaknya masih termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Purwokerto, dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan memakai nama palsu, dengan tipu muslihat, atau rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi utang maupun menghapus piutang, perbuatan mana dilakukan terdakwa sebagai berikut:
60
Bahwa ia terdakwa yang menjabat Direktur PT. Aries Pura Graha dengan
alamat
Jl.
Genuksari
No.
34
Semarang,
telah
melaksanakan proyek pembangunan perumahan Pasir Luhur Permai Kelurahan Pasir Kidul Kecamatan Purwokerto Barat dan dalam pekerjaan listrik untuk proyek perumahan tersebut telah menggandeng PT. Puri Sinar Berkah Jaya untuk mengerjakan semua yang menyangkut listrik baik pengadaan barang maupun jasa yang selanjutnya diterbitkan dalam SPK (Surat Perintah Kerja) untuk pekerjaan pembangunan jaringan listrik dan gardu trafo perumahan Koperasi Gotong Royong dengan nilai pekerjaan sebesar Rp 647.927.000,00 (Enam ratus empat puluh tujuh juta Sembilan ratus dua puluh tujuh ribu rupiah) dan waktu pelaksanaan 60 hari terhitung tanggal 26 Juni 2006 sampai dengan 24 Agustus 2006, yang mana terdakwa dalam SPK tersebut telah menggunakan nama Dr. Mulyono, Anc kemudian PT. Puri Sinar Berkah Jaya mulai melakukan pengadaan tiang listrik dan kelengkapannya dan sudah ditaruh di lokasi dan arena PT. Aries Pura Graha belum melakukan pembayaran maka PT. Puri Sinar Berkah Jaya menghentikan pekerjaannya, selanjutnya agar terdakwa dapat membayar dan melanjutkan pekerjaan listrik yang dikerjakan PT. Puri Sinar Berkah Jaya, terdakwa mengajak saksi korban sebagai penyandang dana proyek pembangunan jaringan listrik perumahan Pasir Luhur Permai Kelurahan Pasir Kidul,
61
dimana terdakwa telah meyakinkan saksi korban dengan mengatakan apabila terdakwa sudah terlanjur mengeluarkan dana untuk pengadaan tiang listrik dan kelengkapannya yang sudah distock di gudang dan nilainya cukup besar sampai milyaran, yang kemudian saksi korban diajak ke lokasi proyek dan ditunjukkan adanya tiang-tiang listrik dan kelengkapannya yang sudah menumpuk,
dimana
sebenarnya
tiang-tiang
listrik
dan
kelengkapannya tersebut adalah kepunyaan PT. Puri Sinar Berkah Jaya yang belum dapat dibayar oleh terdakwa, kemudian terdakwa juga menjanjikan keuntungan yang besar apabila saksi korban bersedia mendanai, kemudian pada hari dan tanggal yang sudah tidak dapat lagi diingat sekira pukul 13.00 Wib bulan Desember 2006 telah dilakukan pertemuan kembali antara terdakwa dan saksi korban dalam rangka pembahasan pembangunan perumahan Pasir Luhur Permai Kelurahan Pasir Kidul di rumah makan Suka Niki Purwokerto yang dihadiri saksi Purwadi dari pihak Koperasi Gotong Royong, saksi 3 dari pihak PT. Puri Sinar Berkah Jaya, yang mana terdakwa telah mengenalkan kepada semua yang hadir bahwa
saksi
korban
sebagai
penyandang
dana
proyek
pembangunan perumahan Pasir Luhur Permai Kelurahan Pasir Kidul secara keseluruhan, dan kemudian memerintahkan saksi 3 dari PT. Puri Sinar Berkah Jaya apabila membutuhkan dana untuk pembiayaan dimuka untuk meminta uang langsung kepada saksi
62
korban, sehingga menjadikan saksi korban tergerak hatinya untuk menuruti kehendak terdakwa, sehingga pada bulan Januari 2007 sampai bulan Maret 2007 saksi 3 dari PT. Puri Sinar Berkah Jaya mulai kas bon secara bertahap kepada saksi korban dimana saksi korban selalu memenuhi baik dikirim melalui transfer maupun diterima langsung saksi 3 dengan jumlah keseluruhan kas bon PT. Puri Sinar Berkah Jaya sejumlah Rp 52.500.000,00 (Lima puluh dua juta lima ratus ribu rupiah) dan ketika saksi korban akan membuat perjanjian tertulis dengan terdakwa di Notaris Prian Resriarto, S.H., dimana antara saksi korban dengan terdakwa telah berada di kantor Notaris Prian Resriarto, S.H., terdakwa dengan dalih akan mempelajari draft yang disodorkan saksi korban telah pergi dan menghindar sehingga perjanjian tidak terwujud, selanjutnya terdakwa memutus SPK dengan PT. Puri Sinar Berkah Jaya dan mengalihkan pekerjaan pembangunan jaringan listrik berikutnya ke saksi 4, dan pada waktu saksi 2 selaku Direktur PT. Puri Sinar Berkah Jaya melakukan penagihan atas pekerjaan yang telah dilaksanakan sejumlah Rp 113.523.000,00 (Seratus tiga belas juta lima ratus dua puluh tiga ribu rupiah) secara berulang kali, terdakwa hanya membayar Rp 60.000.000,00 (Enam puluh juta rupiah) melalui dua kali transfer Bank Niaga yaitu pertama Rp 25.000.000,00 (Dua puluh lima juta rupiah) dan yang kedua Rp 35.000.000,00 (Tiga puluh lima juta rupiah) dan kemudian
63
terdakwa meminta kwitansi/ tanda terima uang dengan jumlah Rp 113.523.000,00 (Seratus tiga belas juta lima ratus dua puluh tiga ribu rupiah) kepada saksi 2 selaku Direktur PT. Puri Sinar Berkah Jaya dan terdakwa mengatakan uang sebesar Rp 52.500.000,00 (Lima puluh dua juta lima ratus ribu rupiah) uang yang di kas bon PT. Puri Sinar Berkah Jaya dari saksi korban adalah urusan terdakwa dengan saksi korban sedangkan kekurangan yang sebesar Rp 1.023.000,00 (Satu juta dua puluh tiga ribu rupiah) diminta terdakwa sebagai fee atas pekerjaan yang telah diberikan kepada PT. Puri Sinar Berkah Jaya, kemudian terdakwa yang telah memegang
kwitansi/
tanda
terima
uang
sebesar
Rp
113.523.000,00 (Seratus tiga belas juta lima ratus dua puluh tiga ribu rupiah) dari saksi 2 selaku Direktur PT. Puri Sinar Berkah Jaya tersebut, tidak menyerahkan hak saksi korban atas pengembalian kas bon PT. Puri Sinar Berkah Jaya sebesar Rp 52.500.000,00 (Lima puluh dua juta lima ratus ribu rupiah) dan keuntungan yang telah dijanjikan terdakwa. Akibat perbuatan terdakwa, saksi korban menderita kerugian sebesar Rp 52.500.000,00 (Lima puluh dua juta lima ratus ribu rupiah) atau setidak-tidaknya sekitar jumlah itu; Sebagaimana diatur dan diancam dalam Pasal 378 Undang-undang No. 1 tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
64
ATAU b. Dakwaan Kedua Bahwa ia terdakwa M.A.N Bin D.J.S pada waktu dan tempat sebagaimana dalam dakwaan pertama, dengan sengaja dan melawan hukum mengaku sebagai pemilik sendiri (Zich Toeeigemen) barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan, perbuatan mana dilakukan terdakwa sebagai berikut: Bahwa ia terdakwa yang menjabat direktur PT. Aries Pura Graha dengan alamat Jl. Genuksari No. 34 Semarang telah melaksanakan proyek pembangunan perumahan Pasir Luhur Permai di Kelurahan Pasir Kidul Kecamatan Purwokerto Timur dan dalam pekerjaan listrik untuk proyek perumahan tersebut telah menggandeng PT. Puri Sinar Berkah Jaya untuk mengerjakan semua yang menyangkut listrik baik pengadaan barang maupun jasa yang selanjutnya diterbitkan dalam SPK (Surat Perintah Kerja) untuk pekerjaan
pembangunan
jaringan
listrik
dan
gardu
trafo
perumahan Koperasi Gotong Royong dengan nilai pekerjaan sebesar Rp 647.927.000,00 (Enam ratus empat puluh tujuh juta sembilan ratus dua puluh tujuh ribu rupiah) dan waktu pelaksanaan 60 hari terhitung tanggal 26 Juni 2006 sampai dengan 24 Agustus 2006, yang mana terdakwa dalam SPK tersebut telah menggunakan nama Dr. Mulyono, Anc kemudian PT. Puri Sinar
65
Berkah Jaya mulai melakukan pengadaan tiang listrik dan kelengkapannya dan sudah ditaruh di lokasi dank arena PT. Aries Pura Graha belum melakukan pembayaran maka PT. Puri Sinar Berkah Jaya menghentikan pekerjaannya, selanjutnya agar terdakwa dapat membayar dan melanjutkan pekerjaan listrik yang dikerjakan PT. Puri Sinar Berkah Jaya, terdakwa mengajak saksi korban sebagai penyandang dana proyek pembangunan jaringan listrik perumahan Pasir Luhur Permai Kelurahan Pasir Kidul, dimana terdakwa telah meyakinkan saksi korban dengan mengatakan apabila terdakwa sudah terlanjur mengeluarkan dana untuk pengadaan tiang listrik dan kelengkapannya yang sudah distok di gudang dan nilainya cukup besar sampai milyaran, yang kemudian saksi korban diajak ke lokasi proyek dan ditunjukkan adanya tiang-tiang listrik dan kelengkapannya yang sudah menumpuk,
dimana
sebenarnya
tiang-tiang
listrik
dan
kelengkapannya tersebut adalah kepunyaan PT. Puri Sinar Berkah Jaya yang belum dapat dibayar oleh terdakwa, kemudian terdakwa juga menjanjikan keuntungan yang besar apabila saksi korban bersedia mendanai, kemudian pada hari dan tanggal yang sudah tidak dapat diingat lagi sekira pukul 13.00 Wib bulan Desember 2006 telah dilakukan pertemuan kembali antara terdakwa dan saksi korban dalam rangka membahas pembangunan perumahan Pasir Luhur Permai Kelurahan Pasir Kidul di rumah makan Suka
66
Niki Purwokerto yang dihadiri saksi 5 dari pihak Koperasi Gotong Royong, saksi 3 dari pihak PT. Puri Sinar Berkah Jaya, yang mana terdakwa telah mengenalkan kepada semua yang hadir bahwa saksi korban sebagai penyandang dana proyek pembangunan perumahan Pasir Luhur Permai Kelurahan Pasir Kidul secara keseluruhan dan memerintahkan saksi 3 dari PT. Puri Sinar Berkah Jaya apabila membutuhkan dana untuk pembiayaan dimuka untuk meminta uang langsung kepada saksi korban, sehingga menjadikan saksi korban tergerak hatinya untuk menuruti kehendak terdakwa, sehingga pada bulan Januari 2007 sampai bulan Maret 2007 waktu saksi 3 dari PT. Puri Sinar Berkah Jaya mulai kas bon secara bertahap kepada saksi korban dimana saksi korban selalu memenuhi baik dikirim melalui transfer maupun diterima langsung saksi 3, dengan jumlah keseluruhan kas bon PT. Puri Sinar Berkah Jaya sejumlah Rp 52.500.000,00 (Lima puluh dua juta lima ratus ribu rupiah) dan ketika saksi korban akan membuat perjanjian tertulis dengan terdakwa di kantor Notaris Prian Resriarto, S.H., terdakwa dengan dalih akan mempelajari draft yang disodorkan saksi korban telah pergi dan menghindar sehingga perjanjian tidak terwujud, selanjutnya terdakwa memutus SPK dengan PT. Puri Sinar Berkah Jaya dan mengalihkan pekerjaan pembangunan jaringan listrik berikutnya ke saksi 4 alias Bibin Saputra, dan pada waktu saksi 2 selaku Direktur PT. Puri
67
Sinar Berkah Jaya melakukan penagihan atas pekerjaan yang telah dilaksanakan sejumlah Rp 113.523.000,00 (Seratus tiga belas juta lima ratus dua puluh tiga rupiah) secara berulang kali, terdakwa hanya membayar Rp 60.000.000,00 (Enam puluh juta rupiah) melalui dua kali transfer Bank Niaga yaitu pertama Rp 25.000.000,00 (Dua puluh lima juta rupiah) dan yang kedua Rp 35.000.000,00 (Tiga puluh lima juta rupiah) dan kemudian terdakwa meminta kwitansi/ tanda terima uang dengan jumlah Rp 113.523.000,00 (Seratus tiga belas juta lima ratus dua puluh tiga ribu rupiah) kepada saksi 2 selaku Direktur PT. Puri Sinar Berkah Jaya dan terdakwa mengatakan uang sebesar Rp 52.500.000,00 (Lima puluh dua juta lima ratus ribu rupiah) uang yang dikas bon PT. Puri Sinar Berkah Jaya dari saksi korban sedangkan kekurangan yang sebesar Rp 1.023.000,00 (Satu juta dua puluh tiga ribu rupiah) diminta terdakwa sebagai fee atas pekerjaan yang telah diberikan kepada PT. Puri Sinar Berkah Jaya tersebut, tidak menyerahkan hak saksi korban atas pengembalian kas bon PT. Puri Sinar Berkah Jaya sebesar Rp 52.500.000,00 (Lima puluh dua juta lima ratus ribu rupiah) dimana uang sebesar Rp 52.500.000,00 (Lima puluh dua juta lima ratus ribu rupiah) berada dalam kekuasaan terdakwa tersebut bukan karena kejahatan dan terdakwa juga tidak memberikan keuntungan yang telah dijanjikan terdakwa.
68
Akibat perbuatan terdakwa, saksi korban menderita kerugian sebesar Rp 52.500.000,00 (Lima puluh dua juta lima ratus ribu rupiah) atau setidak-tidaknya sekitar jumlah itu; Sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 372 Undangundang No. 1 tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). 3. Pembuktian di Persidangan Proses pembuktian di persidangan telah didengarkan keterangan berupa: a. Keterangan Saksi-Saksi 1. Saksi Korban Saksi korban telah dirugikan uang sebesar Rp 52.500.000,00 (Lima puluh dua juta lima ratus ribu rupiah) oleh terdakwa. Pada awalnya terdakwa telah membujuk saksi korban agar bersedia sebagai penyandang dana untuk kebutuhan operasional proyek pembangunan jaringan listrik pada perumahan Pasir Luhur Permai di Purwokerto, karena
terdakwa
terlanjur
mengeluarkan
dana
sebesar
Rp
52.500.000,00 (Lima puluh dua juta lima ratus ribu rupiah) yang telah diserahkan transfer melalui rekening saksi 3. Saksi 3 kas bon kepada saksi korban atas perintah terdakwa. Saksi korban bersedia sebagai pendana proyek pembangunan jaringan listrik tersebut, karena terdapat perjanjian yang bermotifkan untuk mendapatkan keuntungan bisnis yang diantaranya untung dibagi dua. Uang tersebut tidak
69
diserahkan kepada saksi 2 selaku Direktur PT. Sinar Berkah Jaya, karena sedang persiapan berangkat haji dan telah dikuasakan kepada saksi 3 sehingga uang saksi korban diserahkan kepada saksi 3. Saksi korban pernah diajak melihat-lihat tiang listrik yang telah distok di gudang oleh terdakwa, kemudian saksi korban menyetor uang kepada terdakwa yang telah mengeluarkan milyaran rupiah. Bahwa uang yang Rp 52.500.000,00 (Lima puluh dua juta lima ratus ribu rupiah) yang diserahkan kepada saksi 3 belum dikembalikan oleh terdakwa kepada saksi korban. Saksi korban pernah melakukan perjanjian tertulis, dalam perjanjian tersebut mestinya dibuat bersama, karena terdakwa ditunggu-tunggu tidak datang maka saksi korban sendiri yang membuat draft perjanjian. Pada waktu membuat perjanjian terdakwa ditunggu-tunggu tidak datang, maka perjanjian tersebut sampai sekarang belum terjadi antara saksi korban dengan terdakwa. Sebenarnya yang mempunyai proyek pembangunan perumahan tersebut adalah Koperasi Gotong Royong Kabupaten Banyumas, sedangkan PT. Aries Pura Graha selaku developer utama yang dipimpin oleh terdakwa, sedangkan PT. Puri Sinar Berkah Jaya sebagai sub developer yang diperintahkan oleh terdakwa sesuai SPK (Surat Perintah Kerja) untuk mengerjakan pembangunan perumahan tersebut. Saksi korban membenarkan bahwa Kopresi Gotong Royong yang mempunyai tanahnya sedangkan terdakwa mendapat legalitas dari koperasi. Saksi korban tidak akan menjadi partner terdakwa
70
karena tidak ada kecocokan. Saksi korban berpendapat bahwa perkataan terdakwa kepada saksi korban adalah bohong karena pengadaan tiang-tiang listrik dan kelengkapannya yang ditaruh di proyek, sebenarnya belum dibayar dan akhirnya dibayar kepada PT. Puri Sinar Berkah Jaya dengan memakai dana kas bon dari saksi korban sebesar Rp 52.500.000,00 (Lima puluh dua juta lima ratus ribu rupiah). Saksi korban sudah mengajukan perkara perdata terhadap terdakwa melalui pengadilan akan tetapi belum mempunyai kekuatan hukum tetap karena saksi korban mengajukan banding. Berkaitan dengan uang yang diserahkan kepada saksi 3 tersebut, termasuk yang diajukan ke perkara perdata. Saksi korban sulit untuk memberikan somasi kepada terdakwa karena sulit untuk berkomunikasi. Saksi korban mengetahui bahwa terdakwa telah membayar kepada PT. Puri Sinar Berkah Jaya sebesar Rp 60.000.000,00 (Enam puluh juta rupiah) melalui transfer Bank Niaga 2 (dua) kali yang pertama sebesar Rp 35.000.000,00 (Tiga puluh lima juta rupiah) dan yang kedua sebesar Rp 25.000.000,00 (Dua puluh lima juta rupiah) dari total Rp 113.523.000,00 (Seratus tiga belas juta lima ratus dua puluh tiga ribu rupiah) serta bukti transfer tersebut ada kwitansinya pada saksi korban. Sebelumnya saksi sudah mengenal terdakwa dan telah ada suatu kesepakatan lisan secara langsung dengan terdakwa
71
mengenai kerja sama serta yang menjadi kewajiban dari terdakwa yaitu segala sesuatu harus dikoordinasikan dengan saksi korban. Dengan adanya kejadian ini saksi korban mengatakan kepada Koperasi Gotong Royong selaku yang mempunyai proyek perumahan tersebut, saksi korban tidak bersedia lagi sebagai penyandang dana karena managementnya buruk. Uang sebesar Rp 52.500.000,00 (Lima puluh dua juta lima ratus ribu rupiah) yang diserahkan kepada saksi 3 merupakan perjanjian secara keseluruhan dan pada waktu saksi korban menyerahkan uang tersebut serta menagih kepada terdakwa saksi 2 tidak tahu. Berdasarkan keterangan saksi korban tersebut terdakwa keberatan terhadap keterangan yang mengatakan bahwa terdakwa mengetahui/ memerintahkan kepada saksi 3 untuk kas bon uang sebesar Rp 52.500.000,00 (Lima puluh dua juta lima ratus ribu rupiah) yang benar terdakwa tidak tahu, mengenai adanya perjanjian tertulis yang benar tidak ada perjanjian secara terulis. 2. Saksi 2 Saksi 2 mengenal saksi korban karena dikenalkan oleh saksi 3, mengenai hubungan saksi 2 dengan terdakwa adalah berkaitan dengan pekerjaan proyek perumahan Pasir Luhur Permai. Prestasi yang saksi 2 kerjakan dalam proyek tersebut sudah mencapai 20%. Saksi 2 pernah mengajukan penagihan kepada terdakwa atas prestasi yang telah dikerjakan totalnya sebesar Rp 113.523.000,00 (Seratus tiga
72
belas juta lima ratus dua puluh tiga ribu rupiah). Setelah saksi 2 menagih kepada terdakwa, telah mendapatkan pembayaran sebesar Rp 60.000.000,00 (Enam puluh juta rupiah) melalui transfer Bank Niaga 2 (dua) kali yang pertama sebesar Rp 25.000.000,00 (Dua puluh lima juta rupiah) dan yang kedua sebesar Rp 35.000.000,00 (Tiga puluh lima juta rupiah) yang menerima adalah saksi 2 sendiri. Saksi 2 tidak mengetahui ditransfer dari rekening siapa, tetapi pengirimnya dari terdakwa sebesar Rp 60.000.000,00 (Enam puluh juta rupiah). Pekerjaan proyek tersebut dihentikan sampai sekarang, karena tidak ada perintah untuk melanjutkan. Saksi 2 hanya mengetahui terdakwa yang mempunyai proyek tersebut tetapi pada kenyataannya dari kerjasama dengan Koperasi Gotong Royong. Saksi 2 juga diikutkan dalam gugatan perdata saksi korban di Pengadilan Negeri Purwokerto dan saksi 2 tidak mengetahui perkaranya sudah putus apa belum. Saksi 2 tidak dijanjikan keuntungan oleh terdakwa hanya pekerjaan saja. Akibat kejadian tersebut saksi 2 merasa dirugikan oleh terdakwa berupa kerugian materiil, waktu dan sebagainya. Pembayaran yang dilakukan oleh terdakwa, menurut saksi 2 masih kurang sekitar Rp 53.000.000,00 (Lima puluh tiga juta rupiah) dan kekurangan tersebut saksi 2 serahkan kepada saksi 3 yang telah saksi 2 kuasakan sebelumnya. Proyek jaringan listrik tersebut didanai oleh saksi korban melalui kas bon saksi 3 kepada saksi korban sebesar Rp 52.500.000,00 (Lima puluh dua juta lima ratus ribu rupiah) dan yang
73
menerima adalah saksi 3 selaku karyawan saksi 2. Kas bon saksi 3 kepada saksi korban sebesar Rp 52.500.000,00 (Lima puluh dua juta lima ratus ribu rupiah) atas ijin/ sepengetahuan terdakwa, karena terdakwa memerintahkan kepada saksi 3 berkaitan dengan dana pembangunan jaringan listrik meminta kas bon kepada saksi korban. Saksi 2 membuat kwitansi dengan nilai pekerjaan sebesar Rp 113.523.000,00 (Seratus tiga belas juta lima ratus dua puluh tiga ribu rupiah) padahal saksi 2 hanya menerima pembayaran dari terdakwa sebesar Rp 60.000.000,00 (Enam puluh juta rupiah) karena setahu saksi 2, dana yang pernah saksi 2 kas bon dari saksi korban sebesar Rp 52.500.000,00 (Lima puluh dua juta lima ratus ribu rupiah) tersebut akan dibayarkan sendiri oleh terdakwa. Proyek pembangunan jaringan listrik yang sudah dikerjakan sesuai SPK (Surat Perintah Kerja) dari terdakwa telah dialihkan kepada sub kontraktor baru tanpa sepengetahuan saksi 2, karena terdakwa tidak pernah mengatakan kepada saksi 2 tentang pengalihan pekerjaan itu. Tagihan saksi 2 sebesar Rp 113.523.000,00 (Seratus tiga belas juta lima ratus dua puluh tiga ribu rupiah) kepada terdakwa dan telah diterima sebesar Rp 60.000.000,00 (Enam puluh juta rupiah) ditambah Rp 52.523.000,00 (Lima puluh dua juta lima ratus dua puluh tiga ribu rupiah) itu belum ada sejumlah Rp 113.523.000,00 (Seratus tiga belas juta lima ratus dua puluh tiga ribu rupiah) karena saksi korban dengan terdakwa masih bekerja sama dan setuju uang yang Rp 52.500.000,00
74
(Lima puluh dua juta lima ratus ribu rupiah) sebagai pembayaran dan saksi 2 pernah meminta untuk dikonfirmasikan kepada saksi korban sebagai pendana dan dijawab oleh terdakwa iya nanti saya konfirmasikan dengan saksi korban. Uang yang diterima saksi 2 masih kurang sekitar Rp 1.000.000,00 (Satu juta rupiah). Didalam kwitansi tertera uang sebesar Rp 113.523.000,00 (Seratus tiga belas juta lima ratus dua puluh tiga ribu rupiah) sedangkan yang diterima dari terdakwa hanya sebesar Rp 60.000.000,00 (Enam puluh juta rupiah), karena uang yang sebesar Rp 52.500.000,00 (Lima puluh dua juta lima ratus ribu rupiah) adalah urusan terdakwa dengan saksi korban dan kekurangannya yang sebesar Rp 1.023.000,00 (Satu juta dua puluh tiga ribu rupiah) terdakwa meminta sebagi fee atas proyek tersebut. Selain itu masih ada tunggakan dengan saksi 3, sebab dari beberapa bon yang saksi 2 kumpulkan masih ada Rp 28.000.000,00 (Dua puluh delapan juta rupiah) tetapi sekarang sudah terbayarkan. Saksi 2 telah menguasakan kepada saksi 3 berkaitan dengan urusan kerja sama dengan PT. Aries Pura Graha, di dalam scedulnya berakhir sampai proyek tersebut berjalan. Saksi 2 pernah menandatangani kwitansi sebesar Rp 113.523.000,00 (Seratus tiga belas juta lima ratus dua puluh tiga ribu rupiah) kemudian diberikan kepada terdakwa. Saksi 2 tidak memberikan kuasa kepada saksi korban untuk menagih kepada terdakwa.
75
Saksi 2 tidak mengetahui dan tidak mendengar saksi korban menagih kepada terdakwa karena permasalahan tersebut antara saksi korban dengan terdakwa. Saksi 2 pernah memberitahukan atas kas bonnya kepada saksi korban ke saksi 3. Saksi 2 telah menerima pembayaran sebesar Rp 60.000.000,00 (Enam puluh juta rupiah) dari terdakwa dan kekurangannya sebesar Rp 53.000.000,00 (Lima puluh tiga juta rupiah) terdakwa belum pernah melakukan pembayaran lagi. Saksi 2 pernah diperiksa di kepolisian dan pada saat dikonfirmasi uang sebesar Rp 52.500.000,00 (Lima puluh dua juta lima ratus ribu rupiah) dari terdakwa. Berdasarkan keterangan saksi 2 tersebut, terdakwa keberatan terhadap keterangan saksi 2 yang menyatakan bahwa penyerahan kwitansi secara lengkap diserahkan saksi sendiri kepada terdakwa, yang benar adalah penyerahan kwitansi secara lengkap tidak langsung kepada terdakwa serta penyerahan kwitansi tersebut terdakwa tidak mengetahuinya. 3. Saksi 3 Saksi 3 mengenal terdakwa sejak tahun 2006 dikenalkan oleh Sdr. J. Saksi 3 pada saat itu sebagai kuasa dari saksi 2 untuk melaksanakan proyek perumahan Pasir Luhur Permai Kelurahan Pasir Kidul yang bekerja sama dengan PT. Aries Pura Graha yang dipimpin oleh terdakwa yang sudah dilaksanakan akan tetapi belum selesai. Selain itu saksi 3 juga diberi kuasa untuk menagih uang tagihan.
76
Pada waktu saksi 3 menagih uang kepada PT. Aries Pura Graha dalam hal ini terdakwa, belum ada pembayaran dari terdakwa sehingga saksi 3 melapor kepada saksi 2 selaku atasan saksi 3. Saksi 3 dengan terdakwa mengadakan perjanjiaan untuk meminta dana langsung kepada saksi korban. Saksi 3 pernah kas bon kepada saksi korban sudah 4(empat) kali menerima pembayaran senilai Rp 52.500.000,00 (Lima puluh dua juta lima ratus ribu rupiah) untuk membiayai proyek tersebut dan telah memberitahu kepada terdakwa serta ada kwitansinya yang ditanda tangani adalah saksi 3. Saksi 3 hanya diberi tahu bukti transfer dari terdakwa ke saksi 2 sebesar Rp 60.000.000,00 (Enam puluh juta rupiah) tetapi yang harus dibayar adalah sebesar Rp 113.523.000,00 (Seratus tiga belas juta lima ratus dua puluh tiga ribu rupiah) dan sampai sekarang belum lunas. Saksi 3 tidak mengetahui antara saksi korban dengan terdakwa mengadakan perjanjian. Saksi 3 kas bon kepada saksi korban tetapi kas bon itu secara bertahap kadang-kadang melalaui transfer dan tunai. Saksi korban menagih saksi 3 pada pertengahan tahun 2007, tetapi saksi 3 tidak pernah menanyakan atau memberi tahu kepada terdakwa bahwa saksi 3 ditagih oleh saksi korban. Saksi 3 pernah menanyakan kepada terdakwa tentang pekerjaan proyek tersebut yang telah dialihkan kepada pihak lain, tetapi terdakwa menyuruh agar mengajukan penawaran ulang kepada kontraktor baru di Cilacap. Pada
77
tanggal 12 Maret 2007 saksi 3 menagih uang sebesar Rp 52.500.000,00 (Lima puluh dua juta lima ratus ribu rupiah) kepada terdakwa serta pada tanggal 14 April 2007 saksi 3 mengetahui bahwa saksi 2 membuat tagihan. Berdasarkan keterangan saksi tersebut, terdakwa keberatan terhadap keterangan yang mengatakan bahwa masalah pendanaan agar meminta langsung kepada saksi korban, yang benar adalah terdakwa tidak mengatakan masalah pendanaan. 4. Saksi 4 Saksi 4 mengenal terdakwa hampir 1(satu) tahun selain itu antara saksi 4 dengan terdakwa bekerjasama dalam pekerjaan proyek perumahan Pasir Luhur Permai milik Koperasi Gotong Royong. Saksi 4 dengan PT. Aries Pura Graha sebagai mitra kerja dan sampai sekarang sudah mencapai 15% sampai dengan 20%. Saksi 4 pernah mendengar nama saksi korban tetapi tidak mengetahui antara saksi korban dengan terdakwa ada hubungan pekerjaan. Saksi 4 mengetahui bahwa saksi korban pernah menggugat terdakwa secara perdata di Pengadilan Negeri Purwokerto tetapi saksi 4 tidak sebagai pihak di dalamnya dan sekarang perkaranya sudah putus yang memerintahkan kepada koperasi membayar sebesar Rp 1.000.000.000,00 (Satu milyar rupiah) lebih secara tanggung renteng dengan terdakwa. Saksi menyatakan tidak tahu terdakwa mempunyai
78
utang sebesar Rp 52.500.000,00 (Lima puluh dua juta lima ratus ribu rupiah) kepada saksi korban. Saksi 4 mengaku mengenal saksi 2, dan mengetahui bahwa antara saksi 2 dengan terdakwa mempunyai hubungan pekerjaan listrik serta terdakwa sudah melakukan pembayaran Rp 60.000.000,00 (Enam puluh juta rupiah) tetapi saksi 4 tidak mengetahui apakah masih ada kekurangan atas pembayaran tersebut. Saksi 4 tidak mengetahui hubungan saksi korban dengan saksi 2, dan saksi 4 membenarkan mengenai pemilik proyek pembangunan perumahan tersebut adalah Koperasi Gotong Royong. Proyek yang saksi kerjakan meliputi secara keseluruhan dan saksi 4 mengetahui khusus proyek pembangunan jaringan listrik pada perumahan tersebut sebelumnya dikerjakan oleh PT. Puri Sinar Berkah Jaya. Saksi 4 tidak mengingat berapa jumlah kas bon terdakwa kepada saksi 2, dan dalam perkara perdata saksi 4 ikut masuk dalam pihak intervensi. Saksi 4 mengatakan bahwa di dalam gugatan saksi korban uang sebesar Rp 52.500.000,00 (Lima puluh dua juta lima ratus ribu rupiah) yang harus ditanggung renteng koperasi dengan terdakwa. Bahwa berdasarkan keterangan saksi 4 tersebut, terdakwa membenarkannya semua. 5. Saksi 5 Saksi 5 merupakan ketua Koperasi Gotong Royong Kabupaten Banyumas dan mengenal terdakwa sebagai Direktur PT. Aries Pura
79
Graha. Koperasi Gotong Royong dan PT. Aries Pura Graha telah mengadakan kerjasama pembangunan perumahan Pasir Luhur Permai namun berhenti di tengah jalan. Saksi 5 mengenal saksi korban dan mengetahui hubungan saksi korban dengan terdakwa tetapi tidak dengan koperasi. Saksi 5 mengetahui terdakwa digugat oleh saksi korban dalam perkara perdata dan saksi 5 termasuk di dalamnya yang menghasilkan putusan untuk membayar. Saksi 5 tidak mengetahui terdakwa ikut membayar atau tidak dan saksi 5 berada di pihak yang kalah. Saksi 5 menyatakan saksi korban melaporkan terdakwa karena menggelapkan uang sebesar Rp 52.500.000,00 (Lima puluh dua juta lima ratus ribu rupiah) dan uang tersebut termasuk di dalamnya. Saksi 5 tidak mengetahui hubungan saksi korban dengan terdakwa akan tetapi setahu saksi PT. Aries Pura Graha yang melunasi dana sebesar Rp 2.000.000.000,00 (Dua milyar rupiah), berkaitan permasalahan saksi korban dengan koperasi telah ada penyelesaiannya yaitu dengan mengembalikan uang sebesar Rp 1.000.000.000,00 (Satu milyar rupiah). Antara terdakwa dengan koperasi telah ada perjanjian tertulis yang berisi pihak koperasi menyediakan lahan untuk dikerjakan, dana yang dikeluarkan koperasi hanya untuk ijin dan lain-lain, kewajiban terdakwa untuk dikerjakan oleh PT. Aries Pura Graha dan ada keuntungan yang diharapkan oleh koperasi tetapi belum selesai pada waktunya.
80
Koperasi Gotong Royong belum merasa dirugikan oleh siapapun termasuk oleh PT. Aries Pura Graha. Saksi 5 tidak mengetahui saksi 2 dalam mengerjakan listrik ada kas bon. Saksi 5 tidak membenarkan bahwa terdakwa atau pihak PT. Aries Pura Graha pernah meminta dana kepada Koperasi Gotong Royong untuk membayar kepada pihak PT. Puri Sinar Berkah Jaya, karena sepengetahuan saksi permintaan dana dari terdakwa untuk mengerjakan pembayaran perumahan bukan untuk memasang jaringan listrik. Dalam perkara perdata nomor register 45 tahun 2007 menghasilkan putusan bahwa kas bon sebesar Rp 52.500.000,00 (Lima puluh dua juta lima ratus ribu rupiah) ditanggung renteng dengan koperasi. Berdasarkan
keterangan
saksi
5
tersebut,
terdakwa
membenarkannya semua. 6. Saksi 6 Saksi 6 tidak hadir dipersidangan, maka atas permohonan Penuntut Umum dengan persetujuan terdakwa dan Majelis Hakim, keterangan saksi 6 tersebut dibacakan dalam persidangan, sebagaimana yang termuat
dalam
berita
acara
pemeriksaan
penyidikan.
Saksi
membenarkan bahwa PT. Aries Pura Graha sebagai developer utama yang mengerjakan proyek pembangunan perumahan Pasir Luhur Permai, pemilik pekerjaan tersebut adalah Koperasi Gotong Royong Kabupaten Banyumas. Dalam proyek tersebut pihak PT. Aries Pura Graha telah menunjuk PT. Puri Sinar Berkah Jaya untuk mengerjakan
81
khusus pembangunan jaringan listriknya, tetapi saksi 6 tidak mengetahui berapa nilai/ harga pekerjaan tersebut sesuai dengan SPKnya. PT Puri Sinar Berkah Jaya dalam mengerjakan pembangunan jaringan listrik telah menggunakan dana kas bon dari saksi korban sebesar Rp 52.500.000,00 (Lima puluh dua juta lima ratus ribu rupiah) tetapi saksi 6 tidak mengetahui berapa lama waktu untuk mengerjakan proyek tersebut. Saksi 6 tidak mengetahui bila direkturnya bernama M.A.N telah membayar pekerjaan yang telah dikerjakan PT. Puri Sinar Berkah Jaya, tetapi saksi 6 menerangkan pernah diajak ke Semarang oleh terdakwa untuk membicarakan pekerjaan dan saat itu terdakwa mengatakan berjanji akan membayar dengan cara ditransfer. Saksi 6 tidak mengetahui proyek pembangunan jaringan listrik telah dialihkan kepada saksi 4 kontraktor dari Cilacap, saksi 6 hanya mengetahui tiba-tiba pekerjaan tersebut dikerjakan oleh kontraktor saksi 4 dari Cilacap. 7. Saksi 7 Saksi 7 tidak hadir dipersidangan, maka atas permohonan Penuntut Umum dengan persetujuan terdakwa dan Majelis Hakim, keterangan saksi 7 tersebut dibacakan dalam persidangan, sebagaimana yang termuat dalam berita acara pemeriksaan penyidikan. PT. Aries Pura Graha
sebagai
developer
utama
yang
mengerjakan
proyek
pembangunan perumahan Pasir Luhur Permai yang pemilik pekerjaan
82
tersebut adalah koperasi Gotong Royong Kabupaten Banyumas, PT. Aries Pura Graha telah menunjuk PT. Puri Sinar Berkah Jaya khusus untuk mengerjakan pembangunan listriknya, tetapi saksi 7 tidak mengetahui berapa nilai/ harga pekerjaan sesuai dengan SPKnya. Saksi 7 tidak mengetahui bahwa dalam mengerjakan pembangunan jaringan listrik, PT. Puri Sinar Berkah Jaya telah menggunakan dana kas bon dari saksi korban sebesar Rp 52.500.000,00 (Lima puluh dua juta lima ratus ribu rupiah) dengan alasan bukan wewenang saksi, karena hal tersebut wewenangnya direktur yaitu M.A.N. Saksi 7 tidak mengetahui berapa lama waktu PT. Puri Sinar Berkah Jaya untuk mengerjakan proyek pembangunan jaringan listrik, berdasarkan SPK dari direktur yang bernama M.A.N alias terdakwa. Terdakwa telah membayar proyek yang dikerjakan PT. Puri Sinar Berkah Jaya melalui transfer 2 (dua) kali sebesar Rp 25.000.000,00 (Dua puluh lima juta rupiah) dan Rp 35.000.000,00 (Tiga puluh lima juta rupiah) karena saksi 7 yang mengirimkan bukti transfernya kepada saksi 2 melalui faximilie dan pembayaran pekerjaan itu sudah ditagih sejak akhir Maret 2007. Saksi 7 diajak ke Semarang oleh terdakwa bersama saksi 6 yang mana pada saat itu bertemu dengan pihak PT. Puri Sinar Berkah Jaya yaitu saksi 2 dan saksi 3 dan pada saat itu saksi 2 menagih pembayaran kepada terdakwa tetapi pada saat itu terdakwa mengatakan bahwa pembayarannya akan ditransfer.
83
Saksi 7 mengetahui nilai tagihan pekerjaan yang ditagihkan kepada terdakwa kurang lebih sebesar Rp 113.000.000,00 (Seratus tiga belas juta rupiah) namun yang dibayarkan hanya sebesar Rp 25.000.000,00 (Dua puluh lima juta rupiah) dan Rp 35.000.000,00 (Tiga puluh lima juta rupiah). Saksi 4 atau kontraktor dari Cilacap adalah kuasa dari PT. Aries Pura Graha untuk melanjutkan proyek pembangunan jaringan listrik maupun pembangunan secara
keseluruhan, dan
pengalihan pekerjaan tersebut setelah saksi 2 diminta terdakwa agar mengajukan penawaran ulang kepada saksi 4 dengan harga pekerjaan baru tapi tidak terjadi kesepakatan. b. Keterangan Terdakwa Terdakwa diajukan ke persidangan dalam perkara dugaan tindak pidana penipuan. Terdakwa mengenal saksi korban sejak ada proyek sayur di Banjarnegara, kemudian hubungan tersebut berlanjut pada proyek pembangunan perumahan Pasir Luhur Permai. Sebelum ada hubungan kerjasama dengan saksi korban terdakwa sudah ada kerjasama
terlebih
dahulu
dengan
saksi
4.
Dalam
proyek
pembangunan perumahan tersebut, terdakwa telah menunjuk sub kontraktor PT. Puri Sinar Berkah Jaya untuk mengerjakan pembangunan jaringan listrik dan menunjuk saksi korban sebagai penyandang dana dalam proyek pembangunan jaringan listrik dan telah memperkenalkan kepada pihak PT. Puri Sinar Berkah Jaya.
84
Terdakwa mengetahui saksi 3 dari PT. Puri Sinar Berkah Jaya telah meminta dana kas bon kepada saksi korban sebesar Rp 52.500.000,00 (Lima puluh dua juta lima ratus ribu rupiah) setelah terdakwa menerima total tagihan dari saksi korban pada saat akan berhenti sebagai penyandang dana. Terdakwa sudah membayar pekerjaan pembangunan jaringan listrik yang dikerjakan PT. Puri Sinar Berkah Jaya sebesar Rp 60.000.000,00 (Enam puluh juta rupiah) melalui 2 (dua) kali transfer ke Bank Niaga, yang pertama sebesar Rp 25.000.000,00 (Dua puluh lima juta rupiah) dan yang kedua sebesar Rp 35.000.000,00 (Tiga puluh lima juta rupiah). Terdakwa mengatakan bahwa tidak benar apabila terdakwa setelah mentransfer uang Rp 60.000.000,00 (Enam puluh juta rupiah) kemudian meminta dibuatkan kwitansi kepada saksi 2 untuk pembayaran sebesar tagihan Rp 113.523.000,00 (Seratus tiga belas juta lima ratus dua puluh tiga ribu rupiah) dan yang sebenarnya adalah saksi 2, terdakwa meminta membuat penagihan atas pembayaran pekerjaan berikut faktor pendukung yaitu pajak, kwitansi pembelian beton. Terdakwa telah membayar sebesar Rp 60.000.000,00 (Enam puluh juta rupiah) dari total Rp 113.523.000,00 (Seratus tiga belas juta lima ratus dua puluh tiga ribu rupiah) kepada PT. Puri Sinar Berkah Jaya dan sisanya memang belum dibayarkan dan akan dibayarkan setelah penyerahan di lapangan.
85
Pada waktu terdakwa mengalihkan pekerjaan pembangunan jaringan listrik dari PT. Puri Sinar Berkah Jaya kepada sub kontraktor milik saksi 4, sepengetahuan pihak PT. Puri Sinar Berkah Jaya karena pada saat itu terdakwa memberitahu kepada saksi 2 dan saksi 3 sedang berada di Semarang, setelah saksi korban menyatakan mundur dari penyandang dana. Terdakwa membenarkan bahwa sewaktu terdakwa mengajak saksi korban untuk menjadi penyandang dana menjanjikan keuntungan yang besar dan akan dibagi dua apabila berhasil akan tetapi tidak ada perjanjian tertulis antara terdakwa dengan saksi korban mengenai proyek pembangunan perumahan Pasir Luhur Permai tersebut. Terdakwa pernah mendatangi kantor Notaris Prian Resriarto, S.H. untuk membuat akta perjanjian kerjasama dengan saksi korban, akan tetapi tidak pernah terjadi kesepakatan karena draft yang telah dibuat oleh saksi korban akan dipelajari terlebih dahulu oleh terdakwa, kemudian terdakwa membuat draft perjanjian dan meminta bahwa hal tersebut diketahui oleh koperasi namun tidak ada penyelesaiannya, yang pada akhirnya saksi 4 mengembalikan uang sebesar Rp 1.000.000.000,00 (Satu milyar rupiah) yang berhubungan dengan proyek tersebut. Terdakwa tidak mengetahui uang sebesar Rp 1.000.000.000,00 (Satu milyar rupiah) yang dibayarkan oleh saksi korban tersebut uang milik siapa. Terdakwa juga tidak pernah menandatangani kas bon uang
86
sebesar Rp 52.500.000,00 (Lima puluh dua juta lima ratus ribu rupiah). Menurut terdakwa, saksi 3 sebelum mengambil kas bon tidak meminta persetujuan dari terdakwa dan terdakwa sampai saat ini masih merasa berhutang uang sebesar Rp 52.500.000,00 (Lima puluh dua juta lima ratus ribu rupiah) kepada saksi 2. Pada saat terdakwa dipanggil Polisi, apabila terdakwa mempunyai hutang akan dibayar tetapi saksi 2 mengatakan bahwa terdakwa tidak mempunyai hutang dan sudah beres semua. Terdakwa pernah meminta kwitansi uang yang sebesar Rp 113.523.000,00 (Seratus tiga belas juta lima ratus dua puluh tiga ribu rupiah) kemudian diberikan akan tetapi kwitansi tersebut belum dapat dipergunakan. Terdakwa tidak pernah sama sekali menyuruh saksi 3 untuk kas bon kepada saksi korban. Terdakwa pernah diperiksa di Kepolisian dan keterangan yang terdakwa berikan tidak semua benar, yang tidak benar mengenai saksi korban meminta uang transportasi. Setelah adanya perincian tagihan, pada saat PT. Puri Sinar Berkah Jaya mengerjakan pembangunan jaringan listrik tersebut, saksi korban yang telah mendanai dan PT. Puri Sinar Berkah Jaya telah meminta dana kas bon kepada saksi korban hingga sebesar Rp 52.500.000,00 (Lima puluh dua juta lima ratus ribu rupiah). Terdakwa sudah membayar Rp 60.000.000,00 (Enam puluh juta rupiah) karena progress pekerjaan tersebut dan terdakwa juga mengatakan bahwa
87
yang diterima terdakwa adalah perincian penagihan dan bukan kwitansi. 4.
Tuntutan Penuntut Umum Bahwa atas keterangan saksi-saksi di persidangan yang merupakan
fakta hukum tersebut, Penuntut Umum menuntut terdakwa yang pada intinya mohon kepada Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini menjatuhkan putusan yaitu: 1. Menyatakan terdakwa M.A.N Bin D.J.S telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana penipuan sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 378 Undangundang No. 1 tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sebagaimana dalam dakwaan kami pertama; 2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa M.A.N Bin D.J.S dengan pidana penjara selama 1(satu) tahun dengan dikurangkan sepenuhnya selama terdakwa ditahan dengan perintah terdakwa segera ditahan; 3. Menetapkan supaya barang bukti: a. 1 (satu) lembar kwitansi/ tanda terima uang sebesar Rp 52.500.000,00 (Lima puluh dua juta lima ratus ribu rupiah) yang ditanda tangani oleh saksi 3 dikembalikan lagi kepada saksi korban; b. 1 (satu) lembar kwitansi/ tanda terima uang pembayaran pekerjaan listrik sebesar Rp 113.523.000,00 (Seratus tiga belas
88
juta lima ratus dua puluh tiga ribu rupiah) yang ditanda tangani oleh saksi 2; c. 2 (dua) lembar surat bukti transfer uang dari Bank Niaga sebesar Rp 35.000.000,00 (Tiga puluh lima juta rupiah) dan Rp 25.000.000,00 (Dua puluh lima juta rupiah) dikembalikan kepada saksi 2. 4. Menetapkan supaya terdakwa M.A.N Bin D.J.S dibebani membayar biaya perkara sebesar Rp 1.000,00 (Seribu rupiah). 5.
Pertimbangan Hukum Hakim Penuntut Umum mendakwa terdakwa dengan dakwaan alternatif yakni melanggar Pasal 378 Undang-undang No. 1 tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) atau Pasal 372 Undangundang No. 1 tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Untuk menentukan apakah terdakwa bersalah melakukan perbuatan pidana sebagiamana dakwaan Penuntut Umum kesatu Pasal 378 Undang-undang No. 1 tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) atau kedua Pasal 372 Undang-undang No. 1 tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Majelis Hakim mempertimbangkan apakah perbuatan terdakwa telah memenuhi unsur-unsur pidana yang terkandung dalam pasal pidana dakwaan Penuntut Umum.
89
Dakwaan kesatu Penuntut Umum Pasal 378 Undang-undang No. 1 tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mempunyai unsur-unsur sebagai berikut: a. Unsur barang siapa; b. Unsur dengan maksud hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hak baik dengan memakai nama palsu, atau keadaan palsu, baik dengan akal, tipu muslihat maupun dengan karangan perkataan-perkataan bohong; c. Unsur membujuk orang supaya memberikan suatu barang, membuat hutang, menghapuskan piutang. Unsur “barang siapa”. Unsur dengan barang siapa dalam hal ini adalah setiap orang sebagai pendukung
dan
kewajiban
pertanggungjawaban
atas
yang
kepadanya
perbuatannya.
dapat
Penuntut
dimintakan
Umum
telah
menghadapakan terdakwa M.A.N Bin D.J.S kehadapan persidangan yang mengaku berumur 48 tahun. Dalam persidangan terdakwa membenarkan bahwa orang yang dimaksud dalam surat dakwaan Penuntut Umum sebagai terdakwa adalah terdakwa, sehingga Penuntut Umum tidak salah orang dalam mengajukan surat dakwaannya sehingga demikian Majelis Hakim berpendapat bahwa unsur barang siapa dalam hal ini telah terpenuhi. Unsur “dengan maksud hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hak baik dengan memakai nama palsu,
90
atau keadaan palsu, baik dengan akal, tipu muslihat maupun dengan karangan perkataan-perkataan bohong”. Unsur dengan hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hak adalah menguntungkan diri dengan tidak berhak, dengan nama palsu adalah nama yang bukan namanya sendiri, keadaan palsu adalah mengakui profesi yang bukan profesinya, tipu muslihat adalah suatu perkataan yang sedemikian rupa sehingga orang yang berfikiran normal dapat terpedaya, rangkaian kebohongan adalah susunan atau rangkaian kalimat yang disampaikan kepada orang sehingga seakanakan benar. Sesuai dengan fakta dalam persidangan terdakwa M.A.N Bin D.J.S adalah pemilik PT. Aries Pura Graha yang mendapat pekerjaan dari Koperasi Gotong Royong Banyumas untuk pembangunan perumahan. Terdakwa membutuhkan modal kerja dan membicarakan kepada saksi korban, bertindak sebagai penyandang dana bahkan sudah sempat mengeluarkan uang sebesar Rp 1.000.000.000,00 (Satu milyar rupiah) yang diserahkan langsung oleh saksi korban kepada Koperasi Gotong Royong dan telah dikembalikan kepada saksi korban. Kemudian antara terdakwa dengan saksi korban tidak terdapat kesepakatan pembagian sehingga
tidak
ada
perjanjian
tertulis
sehingga
saksi
korban
mengundurkan diri dengan meminta pengembalian uang yang sudah dikeluarkan oleh karena itu terdakwa didanai oleh saksi 4. Pekerjaan
pembangunan
perumahan
tersebut
masih
sedang
berlangsung dan dikerjakan PT. Aries Pura Graha dengan didanai saksi 4.
91
Berdasarkan keterangan saksi korban ia merasa dirugikan dan atas kerugian tersebut saksi telah menggugat Koperasi Gotong Royong dan terdakwa di Pengadilan Negeri Purwokerto. Atas gugatan tersebut saksi korban
penggugat
dalam
perkara
perdata
adalah
pihak
yang
dimenangkan, namun perkara tersebut belum mempunyai kekuatan hukum yang pasti karena saksi korban sebagai penggugat menyatakan banding. Berdasarkan fakta-fakta tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa PT. Aries Pura Graha adalah milik terdakwa M.A.N Bin D.J.S dan benarbenar mendapat pekerjaan pembangunan perumahan dan fasilitas penerangan (listrik) dan sampai saat ini masih sedang berlangsung sehingga dengan demikian Majelis Hakim berpendapat bahwa terdakwa tidak memalsukan namanya, profesinya, dan juga tidak berbohong bahwa pekerjaan borongan, tidak nyata oleh karenanya unsur dengan maksud hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hak baik dengan memakai nama palsu, atau keadaan palsu, baik dengan akal, tipu muslihat maupun dengan karangan perkataan-perkataan bohong tidak terpenuhi. Oleh karena salah satu unsur tidak terpenuhi maka unsur selebihnya tidak perlu dipertimbangankan lagi. Salah satu unsur pidana dari dakwaan Penuntut Umum tidak terpenuhi maka terdakwa tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 378
92
Undang-undang No. 1 tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Bahwa oleh karena terdakwa tidak terbukti
secara sah dan
meyakinkan bersalah, maka terdakwa harus dibebaskan dari dakwaan kesatu tersebut. Penuntut Umum dalam menyusun dakwaannya secara alternatif, dan ternyata dakwaan kesatu tidak terbukti maka Majelis Hakim mempertimbangkan dakwaan kedua Pasal 372 Undang-undang No. 1 tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal 372 Undang-undang No. 1 tahun 1946 tentang Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP) mempunyai unsur-unsur pidana sebagai berikut: a. Unsur barang siapa; b. Unsur dengan sengaja memiliki dengan melawan hak, sesuatu barang yang sama sekali atau sebagiannya termasuk kepunyaan orang lain; c. Unsur barang itu ada dalam tangannya bukan karena kejahatan.
Unsur “barang siapa” Bahwa yang dimaksud dengan barang siapa adalah subjek hukum, atau setiap orang yang kepadanya dapat dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya.
93
Bahwa pertimbangan barang siapa dalam hal ini Majelis Hakim mengambil alih pertimbangan unsur “barang siapa” dalam dakwaan kesatu. Unsur barang siapa dalam dakwaan kesatu terpenuhi maka unsur barang siapa dalam dakwaan kedua ini juga terpenuhi. Unsur “dengan sengaja memiliki dengan melawan hak, sesuatu barang yang sama sekali atau sebagiannya termasuk kepunyaan orang lain”. Yang dimaksud dengan unsur ini adalah niat yang dilakukan secara sadar menempatkan suatu benda dalam kekuasaannya, dimana benda tersebut sebagian atau seluruhnya kepunyaan orang lain. Sesuai dengan fakta dipersidangan sebagaimana diterangkan oleh saksi-saksi dan terdakwa bahwa benar saksi korban telah mengeluarkan uang sebesar Rp 52.500.000,00 (Lima puluh dua juta lima ratus ribu rupiah) yang ditransfer ke rekening saksi 3 sebagai pelaksana dari PT. Puri Sinar Berkah Jaya milik saksi 2 dengan cara kas bon. Saksi 3 melakukan kas bon kepada saksi korban karena saksi 3 merasa bahwa saksi korban adalah penyandang dana PT. Aries Pura Graha milik terdakwa. Saksi 3 masih menagih pembayaran pekerjaan sesuai volume kerja yang dikerjakan PT. Puri Sinar Berkah Jaya mengenai fasilitas listrik di perumahan milik Koperasi Gotong Royong. Tagihan PT. Puri Sinar Berkah Jaya kepada PT. Aries Pura Graha telah dibayar sebagian melalui
94
transfer kepada rekening PT. Puri Sinar Berkah Jaya (saksi 2) sebesar Rp 65.000.000,00 (Enam puluh lima juta rupiah). Saksi 3 masih mempunyai tagihan kepada terdakwa, meskipun saksi 2 telah memberikan kwitansi penerimaan uang sebesar Rp 113.000.000,00 (Seratus tiga belas juta rupiah) karena yang melakukan kas bon kepada saksi korban adalah saksi 3. Terdakwa merasa masih mempunyai hutang kepada PT. Puri Sinar Berkah Jaya sebagai rekan kerja pembangunan instalasi listrik sudah pernah ditawarkan untuk dibayar tetapi saksi 2 tidak bersedia menerima. Berdasarkan fakta-fakta tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa uang sebesar Rp 52.500.000,00 (Lima puluh dua juta lima ratus ribu rupiah) yang di kas bon oleh saksi 3 tidak pernah pada kekuasaan terdakwa melainkan uang tersebut langsung ditransfer ke rekening saksi 3 dan ternyata saksi 3 masih merasa mempunyai piutang kepada terdakwa. Karena uang sebesar Rp 52.500.000,00 (Lima puluh dua juta lima ratus ribu rupiah) milik saksi korban tidak pernah diberikan kepada terdakwa maka Majelis Hakim berpendapat unsur dengan sengaja memiliki dengan melawan hak sesuatu barang yang sama sekali atau sebagiannya milik orang lain tidak terpenuhi. Karena unsur kedua dari dakwaan kedua Penuntut Umum tidak terpenuhi maka unsur selanjutnya tidak perlu dipertimbangkan lagi. Oleh karena dakwaan kedua Penuntut Umum terhadap terdakwa tidak terbukti maka terdakwa harus dibebaskan dari dakwaan tersebut.
95
Dakwaan kesatu atau kedua Penuntut Umum terhadap terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa harus dibebaskan dari segala dakwaan dan tuntutan hukum. Karena terdakwa dibebaskan dari segala dakwaan dan tuntutan hukum maka hak-hak terdakwa harus dipulihkan seperti sedia kala. Terdakwa dibebaskan dari segala dakwaan dan tuntutan hukum maka biaya perkara yang timbul dalam perkara ini dibebankan kepada negara. 6.
Amar Putusan Pengadilan Negeri MENGADILI 1. Menyatakan terdakwa M.A.N Bin D.J.S, tersebut diatas tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan “Penipuan” sebagaimana dakwaan
kesatu, dan melakukan “Penggelapan”
sebagaimana dakwaan kedua Penuntut Umum; 2. Membebaskan terdakwa dari segala dakwaan dan tuntutan hukum; 3. Memulihkan harkat dan martabat terdakwa seperti sedia kala; 4. Membebankan biaya perkara kepada negara.
B. Pembahasan 1. Alasan Hakim Menjatuhkan Putusan Bebas Pada Perkara No. 39/Pid.B/2008/PN.Pwt. Pasal 191 ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa:
96
“Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas”. Dalam penjelasan mengenai ketentuan yang diatur dalam Pasal 191 ayat (1) KUHAP dikatakan, bahwa yang dimaksud perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan adalah tidak cukup terbukti menurut penilaian hakim atas dasar pembuktian dengan menggunakan alat bukti menurut ketentuan hukum acara pidana ini. Apabila hakim berpendapat, bahwa satu atau lebih unsur dari tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka hakim harus memutuskan suatu pembebasan atau suatu vrijspraak bagi terdakwa.82 Menurut Van Bemmelen,83 seperti yang dikutip oleh Andi Hamzah menyatakan bahwa putusan bebas dijatuhkan jika hakim tidak memperoleh keyakinan mengenai kebenaran (dengan kata lain mengenai pertanyaan apakah terdakwa telah melakukan perbuatan yang didakwakan) atau ia yakin bahwa apa yang didakwakan tidak atau setidak-tidaknya bukan terdakwa ini yang melakukannya. Dalam putusan hakim Pengadilan Negeri Purwokerto dengan nomor register perkara 39/Pid.B/2008/PN.Pwt yang mana Penuntut Umum mendakwa terdakwa dengan dakwaan alternatif yakni melanggar Pasal 378 Undang-undang No. 1 tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) atau Pasal 372 Undang-undang No. 1 tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). 82 83
P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang, Loc.Cit. Andi Hamzah, Loc. Cit.
97
Tindak pidana penipuan diatur dalam Pasal 378 Undang-undang No. 1 tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang menyatakan bahwa: “Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan memakai nama palsu atau martabat (hoedabigheid) palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi utang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun”. Unsur-unsur Pasal 378 Undang-undang No. 1 tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) adalah: a. Unsur barang siapa; b. Unsur dengan maksud hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hak baik dengan memakai nama palsu, atau keadaan palsu, baik dengan akal, tipu muslihat maupun dengan karangan perkataan-perkataan bohong; c. Unsur membujuk orang supaya memberikan suatu barang, membuat hutang, menghapuskan piutang. Alasan hukum hakim pada unsur dakwaan Pasal 378 Undang-undang No. 1 tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) adalah sebagai berikut: a.
Unsur pertama seperti yang terdapat dalam hasil penelitian adalah unsur “barang siapa” Unsur dengan barang siapa dalam hal ini adalah setiap orang sebagai pendukung hak dan kewajiban yang kepadanya dapat dimintakan
98
pertanggungjawaban
atas
perbuatannya.
Penuntut
Umum
telah
menghadapakan terdakwa M.A.N Bin D.J.S kehadapan persidangan yang mengaku berumur 48 tahun. Dalam persidangan terdakwa membenarkan bahwa orang yang dimaksud dalam surat dakwaan Penuntut Umum sebagai terdakwa adalah terdakwa, sehingga Penuntut Umum tidak salah orang dalam mengajukan surat dakwaannya sehingga kesimpulan Majelis Hakim berpendapat bahwa unsur barang siapa dalam hal ini telah terpenuhi. Menurut pendapat penulis, pertimbangan Majelis Hakim sudah tepat dan berdasarkan doktrin ilmu hukum seperti yang dikemukakan oleh Satochid Kartanegara,84 yang menyatakan bahwa barang siapa adalah menunjuk pada subjek hukum, yaitu setiap orang yang telah melakukan perbuatan pidana dan mampu mempertanggungjawabkan atas perbuatan dan
akibatnya.
Akan
tetapi
dalam
putusan
perkara
No.
39/Pid.B/2008/PN.Pwt tindak pidananya akan dijelaskan pada unsur selanjutnya. Menurut Suharto RM,85 yang dimaksud dengan barang siapa ialah “orang”, subjek hukum yang melakukan perbuatan. Subjek hukum adalah pendukung hak dan kewajiban dalam lalu lintas hukum terdiri dari manusia (natuurlijke persoon) dan badan hukum (recht person). Di dalam Undang-undang No. 1 tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang
84
Satochid Kartanegara, 2001, Hukum Pidana Bagian Pertama, Jakarta: Balai Lektur Mahasiswa 2001 hal. 85 Suharto RM, Op.Cit, hal.38.
99
Hukum Pidana (KUHP) Indonesia yang dianggap sebagai subjek hukum pidana hanyalah orang perseorangan dalam konotasi biologis yang alami (naturlijkee person). Di samping itu, Undang-undang No. 1 tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) juga masih menganut asas sociates delinquere non potest dimana badan hukum atau korporasi dianggap tidak dapat melakukan tindak pidana.86 Terdakwa merupakan subjek hukum yang termasuk dalam naturlijke person. Setelah pemeriksaan dipersidangan terdakwa sehat jasmani dan rohani, tidak sedang dibawah pengampuan, mampu merespon jalannya persidangan dengan baik, sehingga dengan demikian terdakwa telah memenuhi kriteria sebagai subjek hukum. b. Unsur berikutnya sesuai dengan hasil penelitian adalah “dengan maksud hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hak baik dengan memakai nama palsu, atau keadaan palsu, baik dengan akal, tipu muslihat maupun dengan karangan perkataan-perkataan bohong” Menurut pendapat penulis dengan maksud harus berarti tujuannya adalah mendapatkan keuntungan. Keuntungan ini adalah tujuan utamanya dengan jalan melawan hukum. Dengan demikian setiap tindak pidana penipuan haruslah merugikan kekayaan orang lain agar menguntungkan diri dengan melawan hukum, tetapi disini menurut fakta
86
Mahrus Ali, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat, Jurnal Hukum No. 2 Vol. 18 April 2011, hal. 250 diakses pada tanggal 9 Juli 2013.
100
yang terungkap di persidangan tujuan untuk mendapatkan keuntungan dan melakukannya dengan melawan hukum tidak terbukti karena pada dasarnya kas bon yang dilakuakn saksi 3 adalah tanpa sepengetahuan terdakwa sehingga tidak ada hubungan hukum antara saksi korban dengan terdakwa. Menurut Wirjono Prodjodikoro,87 pemakaian nama palsu terjadi apabila seorang menyebutkan sebagai namanya suatu nama yang bukan namanya, dan dengan demikian menerima barang yang harus diserahkan kepada orang yang namanya disebutkan tadi. Hal ini sesuai dengan apa yang dinyatakan oleh Majelis Hakim bahwa nama palsu adalah nama yang bukan namanya sendiri, keadaan palsu adalah mengakui profesi yang bukan profesinya. Sesuai dengan fakta dalam persidangan terdakwa M.A.N Bin D.J.S adalah pemilik PT. Aries Pura Graha yang mendapat pekerjaan dari Koperasi Gotong Royong Banyumas untuk pembangunan perumahan Pasir Luhur Permai Kelurahan Pasir Kidul dan pengakuan tersebut sama halnya seperti yang diungkapkan oleh saksi korban, maka dari itu menurut pendapat penulis terdakwa telah mengatakan yang sebenarnya dan tidak menggunakan nama palsu serta kedudukan/ keadaan palsu. Menurut Wirjono Prodjodikoro,88 rangkaian kebohongan berupa beberapa kata yang tidak benar atau suatu perbuatan sedangkan tipu muslihat berupa membohongi tanpa kata-kata tetapi dengan misalnya 87 88
Wirjono Rrodjodikoro, Op.Cit, hal. 39. Ibid, hal.40-41.
101
memperlihatkan sesuatu atau dua pernyataan yang bohong. Majelis Hakim berpendapat tipu muslihat adalah suatu perkataan yang sedemikian rupa sehingga orang yang berfikiran normal dapat terpedaya, rangkaian kebohongan adalah susunan atau rangkaian kalimat yang disampaikan kepada orang sehingga seakan-akan benar. Fakta dalam persidangan memang terdakwa membutuhkan modal kerja kemudian membicarakannya kepada saksi korban, sehingga saksi korban bertindak sebagai penyandang dana bahkan sudah sempat mengeluarkan uang sebesar Rp 1.000.000.000,00 (Satu milyar rupiah) yang diserahkan langsung oleh saksi korban kepada Koperasi Gotong Royong dan telah dikembalikan kepada saksi korban. Kemudian antara terdakwa dengan saksi korban tidak terdapat kesepakatan pembagian sehingga tidak ada perjanjian tertulis yang pada akhirnya saksi korban mengundurkan diri dengan meminta pengembalian uang yang sudah dikeluarkan oleh karena itu terdakwa didanai oleh saksi 4. Pekerjaan
pembangunan
perumahan
tersebut
masih
sedang
berlangsung sampai pada saat ini dan dikerjakan PT. Aries Pura Graha dengan didanai saksi 4. Berdasarkan keterangan saksi korban ia merasa dirugikan dan atas kerugian tersebut saksi telah menggugat Koperasi Gotong Royong dan terdakwa di Pengadilan Negeri Purwokerto. Atas gugatan tersebut saksi korban penggugat dalam perkara perdata adalah pihak yang dimenangkan, namun perkara tersebut belum mempunyai
102
kekuatan hukum yang pasti karena saksi korban sebagai penggugat menyatakan banding. Berdasarkan hal tersebut penulis berpendapat bahwa berkaitan dengan tipu muslihat maupun dengan karangan perkataan-perkataan bohong tidak dilakukan oleh terdakwa karena pada dasarnya tidak terjadi kesepakatan karena isi draft perjanjian baik terdakwa maupun saksi korban sama-sama belum menyepakatinya sehingga belum ada perjanjian baik mengenai pembagian keuntungan dan lain-lain, serta terdakwa telah mengatakan hal yang sebenarnya tidak bohong atau fiktif bahwa memang benar-benar ada proyek pembangunan perumahan Pasir Luhur Permai Kelurahan Pasir Kidul dengan demikian kesimpulan Majelis Hakim yang berpendapat bahwa terdakwa tidak memalsukan namanya, profesinya, dan juga tidak berbohong bahwa pekerjaan borongan, tidak nyata oleh karenanya unsur dengan maksud hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hak baik dengan memakai nama palsu, atau keadaan palsu, baik dengan akal, tipu muslihat maupun dengan karangan perkataan-perkataan bohong tidak terpenuhi sudah tepat. Oleh karena salah satu unsur tidak terpenuhi maka unsur selebihnya tidak perlu dipertimbangankan lagi. Namun penulis akan membahas unsur selanjutnya. c.
Unsur berikutnya sesuai dengan hasil penelitian adalah “membujuk orang supaya memberikan suatu barang, membuat hutang, menghapuskan piutang”
103
Dalam perbuatan menggunakan orang lain untuk menyerahkan barang diisyaratkan adanya hubungan kausal antara alat penggerak dan penyerahan barang. Hal ini dipertegas oleh Hoge Raad dalam Arrest 25 Agustus 1923, bahwa : “Harus terdapat suatu hubungan sebab manusia antara upaya yang digunakan dengan penyerahan yang dimaksud dari itu. Penyerahan suatu barang yang terjadi sebagai akibat penggunaan alat-alat penggerak dipandang belum cukup terbukti tanpa menguraikan pengaruh yang ditimbulkan karena dipergunakannya alat-alat tersebut menciptakan suatu situasi yang tepat untuk menyesatkan seseorang yang normal sehingga orang tersebut terpedaya karenanya, alat-alat penggerak itu harus menimbulkan dorongan dalam jiwa seseorang sehingga orang tersebut menyerahkan sesuatu barang.” R. Soesilo89 menyatakan bahwa: “Sesuatu barang adalah segala sesuatu yang berwujud termasuk pula binatang (manusia tidak termasuk), misalnya: uang, baju, kalung, dan sebagainya. Dalam pengertian barang termasuk pula “daya listrik” dan “gas” meskipun tidak berwujud barang. Barang juga tidak perlu mempunyai harga ekonomis. Memberikan barang adalah barang itu tidak harus diberikan (diserahkan) kepada terdakwa sendiri, sedangkan yang menyerahkan tidak harus orang yang dibujuk, bisa dilakukan oleh orang lain.” Berdasarkan hal tersebut penulis berpendapat bahwa memang unsur ini tidak terbukti dilakukan oleh terdakwa, karena berdasarkan fakta yang terungkap di persidangan terdakwa tidak pernah menerima uang sebesar
89
R. Soesilo, 1991, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP): Serta KomentarKomentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Bogor : Politeia, hal. 250.
104
Rp 52.500.000,00 (Lima puluh dua juta lima ratus ribu rupiah) dari saksi korban, selain itu kas bon yang dilakukan saksi korban adalah tanpa sepengetahuan terdakwa dan terdakwa tidak pernah menyuruh atau memerintahkan saksi 3 untuk kas bon kepada saksi korban. Saksi 2 mengakui bahwa kas bon yang dilakukan oleh saksi 3 kepada saksi korban adalah urusan pribadi mereka terlepas dari urusan pekerjaan listrik maka terdakwa tidak terbukti membujuk saksi korban supaya memberikan hutang. Dengan demikian unsur ini memang tidak terpenuhi. Menurut Suharto RM,90 rumusan yang berbentuk kelakuan tersebut merupakan
perbuatan
yang
disengaja
dengan
maksud
untuk
menguntungkan diri sendiri dengan unsur-unsur sebagai berikut: 1. Barang siapa; 2. Menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum; 3. Dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat atau rangkaian kebohongan; 4. Menggerakkan orang lain untuk: a. Menyerahkan barang sesuatu; b. Memberi utang; atau c. Menghapuskan piutang. Bentuk dari rumusan Pasal 378 Undang-undang No. 1 tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) ini sifatnya alternatif, artinya apabila salah satu dari kelompok tiap unsur itu sudah
90
Suharto RM, Loc.Cit.
105
memenuhi syarat dari perbuatan materiil yang dilakukan si pelaku, maka dapat memilih salah satu dari kelompok unsur yang terdapat pada tiap unsur. Dalam pasal ini yang perlu dibuktikan ialah unsur perbuatan melawan hukum yang mana sehingga dapat menggerakkan seseorang untuk menyerahkan sesuatu barang.91 Salah satu unsur pidana dari dakwaan Penuntut Umum tidak terpenuhi maka terdakwa tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 378 Undang-undang No. 1 tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Kesimpulan Majelis Hakim sudah sesuai dengan pendapat Wirjono Prodjodikoro92 yang menyatakan bahwa: “Tindak pidana penipuan termasuk golongan tindak pidana terhadap kekayaan orang lain, maka setiap penipuan harus dianggap merugikan kekayaan orang lain, disamping itu menguntungkan diri dengan melanggar hukum kiranya selalu merugikan orang”. Tindak pidana penggelapan diatur dalam Pasal 372 Undang-undang No. 1 tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang menyatakan bahwa: “Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum mengaku sebagai milik sendiri (zich toeeigenen) barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaanya bukan karena kejahatan, diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau denda paling banyak enam puluh rupiah”. Pasal 372 Undang-undang No. 1 tahun 1946 tentang Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP) mempunyai unsur-unsur pidana sebagai berikut: a. 91 92
Unsur barang siapa;
Ibid. Wirjono Prodjodikoro,Op.Cit,hal. 38.
106
b.
Unsur dengan sengaja memiliki dengan melawan hak, sesuatu barang yang sama sekali atau sebagiannya termasuk kepunyaan orang lain;
c.
Unsur barang itu ada dalam tangannya bukan karena kejahatan.
Alasan hukum hakim pada unsur dalam dakwaan kedua yaitu Pasal 372 Undang-undang No. 1 tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) adalah sebagai berikut: a.
Unsur pertama seperti yang terdapat dalam hasil penelitian adalah unsur “barang siapa” Bahwa yang dimaksud dengan barang siapa adalah subjek hukum, atau setiap orang yang kepadanya dapat dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya. Bahwa pertimbangan barang siapa dalam hal ini kesimpulan Majelis Hakim mengambil alih pertimbangan unsur “barang siapa” dalam dakwaan kesatu. Selain itu maksud barang siapa sama saja seperti yang sudah dijelaskan dalam dakwaan kesatu. Unsur barang siapa dalam dakwaan kesatu terpenuhi maka unsur barang siapa dalam dakwaan kedua ini juga terpenuhi.
b. Unsur berikutnya sesuai dengan hasil penelitian adalah “dengan sengaja memiliki dengan melawan hak, sesuatu barang yang sama sekali atau sebagiannya termasuk kepunyaan orang lain”
107
Yang dimaksud dengan unsur ini adalah niat yang dilakukan secara sadar menempatkan suatu benda dalam kekuasaannya, dimana benda tersebut sebagian atau seluruhnya kepunyaan orang lain. Dalam konteks pembuktian unsur subyektif misalnya, kesengajaan pelaku penggelapan (opzet), melahirkan implikasi-implikasi pembuktian apakah benar (berdasar fakta hukum) terdakwa memang: a. “menghendaki” atau “bermaksud” untuk menguasai suatu benda secara melawan hukum; b. “mengetahui / menyadari” secara pasti bahwa yang ingin ia kuasai itu adalah sebuah benda; c. “mengetahui / menyadari” bahwa benda tersebut sebagian atau seluruhnya adalah milik orang lain; d. “mengetahui” bahwa benda tersebut ada padanya bukan karena kejahatan.93 Wirjono Prodjodikoro94 menyatakan bahwa: Unsur barang milik orang lain, unsur ini menimbulkan kesulitan dalam hal sejumlah uang tunai yang dipercayakan oleh yang punya kepada orang lain untuk disimpan atau dipergunakan untuk melakukan pembayaran tertentu. Uang yang disimpan pada orang lain itu ada kalanya dianggap uang yang disimpan itu tidak boleh diganggu tetapi ada kalanya uang itu dapat dipakai dulu. Ini tergantung dari maksud penyimpanan uang itu dan keadaan kekayaan orang yang diserahi menyimpan uang itu. Sesuai dengan fakta dipersidangan sebagaimana diterangkan oleh saksi-saksi dan terdakwa bahwa benar saksi korban telah mengeluarkan uang sebesar Rp 52.500.000,00 (Lima puluh dua juta lima ratus ribu rupiah) yang ditransfer ke rekening saksi 3 sebagai pelaksana dari PT. Puri Sinar Berkah Jaya milik saksi 2 dengan cara kas bon. Saksi 3 melakukan kas bon kepada saksi korban karena saksi 3 merasa bahwa 93 94
M. Abdul Kholiq, Op.Cit. Wirjono Prodjodikoro,Op.Cit,hal. 32.
108
saksi korban adalah penyandang dana PT. Aries Pura Graha milik terdakwa. Saksi 3 masih mempunyai tagihan kepada terdakwa, meskipun saksi 2 telah memberikan kwitansi penerimaan uang sebesar Rp 113.000.000,00 (Seartus tiga belas juta rupiah) karena yang melakukan kas bon kepada saksi korban adalah saksi 3. Terdakwa merasa masih mempunyai hutang kepada PT. Puri Sinar Berkah Jaya sebagai rekan kerja pembangunan instalasi listrik sudah pernah ditawarkan untuk dibayar tetapi saksi 2 tidak bersedia menerima. Berdasarkan fakta-fakta tersebut diatas menurut pendapat penulis dapat disimpulkan bahwa tidak ada sikap kesengajaan dari terdakwa, uang sebesar Rp 52.500.000,00 (Lima puluh dua juta lima ratus ribu rupiah) yang di kas bon oleh saksi 3 tidak pernah pada kekuasaan terdakwa melainkan uang tersebut langsung ditransfer ke rekening saksi 3 dan ternyata saksi 3 masih merasa mempunyai piutang kepada terdakwa. Karena uang sebesar Rp 52.500.000,00 (Lima puluh dua juta lima ratus ribu rupiah) milik saksi korban tidak pernah diberikan kepada terdakwa sehingga dapat dikatakan bahwa terdakwa tidak menguasai uang tersebut maka pendapat Majelis Hakim mengenai unsur dengan sengaja memiliki dengan melawan hak sesuatu barang yang sama sekali atau sebagiannya milik orang lain tidak terpenuhi. c.
Unsur berikutnya sesuai dengan hasil penelitian adalah “barang itu ada dalam tangannya bukan karena kejahatan”
109
Unsur ini adalah unsur pokok dari penggelapan yang membedakan dari tindak-tindak pidana lain mengenai kekayaan orang. Barang harus ada di bawah kekuasaan si pelaku dengan cara lain daripada dengan melakukan kejahatan. Barang tersebut dipercayakan kepada si pelaku, dengan demikian pada penggelapan si pelaku tidak memenuhi kepercayaan yang dilimpahkan atau dapat dianggap dilimpahkan kepadanya oleh yang berhak atas suatu barang. Seperti yang telah dikemukakan pada unsur sebelumnya, fakta yang terungkap di persidangan adalah saksi korban tidak memberikan uang sebesar Rp 52.500.000,00 (Lima puluh dua juta lima ratus ribu rupiah) kepada terdakwa dengan kata lain tidak berada dalam tangan terdakwa atau berada di bawah kekuasaan terdakwa akan tetapi saksi korban memberikan kas bon tersebut kepada saksi 3 tanpa sepengetahuan terdakwa. Berdasarkan hal tersebut maka unsur barang itu ada dalam tangannya bukan karena kejahatan tidak terpenuhi, seperti kesimpulan Majelis Hakim bahwa karena unsur kedua dari dakwaan kedua tidak terpenuhi maka unsur selanjutnya tidak perlu dipertimbangkan lagi. Berdasarkan bunyi Pasal 372 Undang-undang No. 1 tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) diatas, diketahui bahwa secara yuridis delik penggelapan harus memenuhi unsur-unsur pokok berupa: 1. Unsur subjektif delik berupa kesengajaan pelaku untuk menggelapkan barang milik orang lain yang dirumuskan dalam pasal undang-undang melalui kata : “dengan sengaja”; dan 2. Unsur oyektif delik yang terdiri atas:
110
a. b. c. d. e.
Unsur barang siapa; Unsur menguasai secara melawan hukum; Unsur suatu benda; Unsur sebagian atau seluruhnya milik orang lain; dan Unsur benda tersebut ada padanya bukan karena kejahatan.95
Dasar pokok dari tindak pidana penggelapan ialah bahwa si pelaku menegecewakan kepercayaan yang diberikan atau dapat dianggap diberikan kepadanya oleh pemilik barang. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan hukum hakim tersebut, terdakwa dijatuhkan putusan bebas sesuai dengan Pasal 191 ayat (1) KUHAP, hal ini sesuai dengan pendapat M. Yahya Harahap,96 putusan bebas ditinjau dari segi yuridis ialah putusan yang dinilai oleh Majelis Hakim yang bersangkutan: 1) Tidak memenuhi asas pembuktian menurut undang-undang secara negative yaitu pembuktian yang diperoleh di persidangan, tidak cukup membuktikan kesalahan terdakwa sekaligus kesalahan terdakwa yang tidak cukup terbukti itu tidak diyakini oleh hakim; 2) Tidak memenuhi asas batas minimum pembuktian yaitu kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa hanya didukung oleh satu alat bukti saja, sedang menurut ketentuan Pasal 183 KUHAP agar cukup membuktikan kesalahan seorang terdakwa harus dibuktikan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah. Menurut Van Bemmelen,97 seperti yang dikutip oleh Andi Hamzah menyatakan bahwa putusan bebas dijatuhkan jika hakim tidak memperoleh keyakinan mengenai kebenaran (dengan kata lain mengenai pertanyaan apakah terdakwa telah melakukan perbuatan yang didakwakan) atau ia yakin
95
M. Abdul Kholiq, Loc.Cit. M. Yahya Harahap, 2002, Loc.Cit. 97 Andi Hamzah, Loc. Cit. 96
111
bahwa apa yang didakwakan tidak atau setidak-tidaknya bukan terdakwa ini yang melakukannya”. Majelis Hakim dalam pembuktian perkara pidana ini telah sesuai dengan sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif, karena dalam sistem pembuktian ini terpadu kesatuan penggabungan antara sistem conviction-in time dengan sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif (positief wettelijk stelsel). Seorang terdakwa baru dapat dinyatakan bersalah apabila kesalahan yang didakwakan kepadanya dapat dibuktikan dengan cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang serta sekaligus keterbuktian kesalahan-kesalahan itu “dibarengi” dengan keyakinan hakim. Pasal 183 KUHAP menyatakan bahwa: “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang, kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.” Berdasarkan ketentuan Pasal 183 KUHAP maka pembuktian harus didasarkan kepada undang-undang (KUHAP), yaitu alat bukti yang sah tersebut dalam Pasal 184 KUHAP, disertai dengan keyakinan hakim yang diperoleh dari alat-alat bukti tersebut. Alat bukti dalam perkara ini adalah berupa keterangan saksi-saksi dan keterangan terdakwa, serta barang bukti berupa 1 (satu) lembar kwitansi/ tanda terima uang sebesar Rp 52.500.000,00 (Lima puluh dua juta lima ratus ribu rupiah) yang ditanda tangani oleh saksi 3, 1 (satu) lembar kwitansi/ tanda terima uang pembayaran pekerjaan listrik sebesar Rp 113.523.000,00 (Seratus tiga belas juta lima ratus dua puluh tiga ribu rupiah) yang ditanda tangani oleh saksi 2, 2 (dua) lembar surat bukti
112
transfer uang dari Bank Niaga sebesar Rp 35.000.000,00 (Tiga puluh lima juta rupiah) dan Rp 25.000.000,00 (Dua puluh lima juta rupiah). Alat bukti tersebut telah sesuai dengan ketentuan Pasal 184 KUHAP ayat (1) KUHAP yang menyatakan bahwa: “Alat bukti yang sah ialah: a. Keterangan saksi; b. Keterangan ahli; c. Surat; d. Petunjuk; e. Keterangan terdakwa.” Terdakwa dalam perkara ini diputus bebas
murni karena Majelis
Hakim menjatuhkan putusan berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan yaitu, disimpulkan bahwa PT. Aries Pura Graha adalah milik terdakwa
M.A.N
Bin
D.J.S
dan
benar-benar
mendapat
pekerjaan
pembangunan perumahan dan fasilitas penerangan (listrik) dan sampai saat ini masih sedang berlangsung. Berkaitan dengan uang yang sebesar Rp 52.500.000,00 (Lima puluh dua juta lima ratus ribu rupiah) yang di kas bon oleh saksi 3 tidak pernah pada kekuasaan terdakwa melainkan uang tersebut langsung ditransfer ke rekening saksi 3 dan ternyata saksi 3 masih merasa mempunyai piutang kepada terdakwa. Karena uang sebesar Rp 52.500.000,00 (Lima puluh dua juta lima ratus ribu rupiah) milik saksi korban tidak pernah diberikan kepada terdakwa. Sehingga Penuntut Umum yang mendakwa terdakwa dengan dakwaan alternatif yaitu dakwaan kesatu Pasal 378 Undangundang No. 1 tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) atau dakwaan kedua Pasal 372 Undang-undang No. 1 tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak terbukti secara
113
sah dan meyakinkan, maka terdakwa harus dibebaskan dari segala dakwaan dan tuntutan hukum. 2. Akibat Hukum Dengan Dijatuhkannya Putusan Bebas Bagi Terdakwa Pada Perkara No. 39/Pid.B/2008/PN.Pwt. Hal-hal yang berkaitan dengan akibat hukum dijatuhkannya putusan bebas bagi terdakwa pada perkara No. 39/Pid.B/2008/PN.Pwt adalah sebagai berikut: a.
Dalam Hal Penahanan Dalam amar putusan pada perkara nomor 39/Pid.B/2008/PN.Pwt. Majelis Hakim tidak menyebutkan “memerintahkan agar terdakwa dibebaskan dari tahanan”. Hal ini tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 191 ayat (3) KUHAP yang menyatakan bahwa: “Dalam hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), terdakwa yang ada dalam status tahanan diperintahkan untuk dibebaskan seketika itu juga kecuali karena ada alasan lain yang sah, terdakwa perlu ditahan”. Selain itu, berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 5 tahun 2001 tentang Pembuatan Ringkasan Putusan Terhadap Perkara Pidana yang Terdakwanya Diputus Bebas atau Dilepas Dari Segala Tuntutan, menyatakan bahwa: “Terhadap perkara pidana yang terdakwanya ditahan dan diputus dengan amar putusan yang menyatakan terdakwa dibebaskan dari segala dakwaan (vrijspraak) atau dilepas dari segala tuntutan (ontslag van alle rechtsvervolging) dengan perintah agar terdakwa segera dikeluarkan dari tahanan pada saat putusan diucapkan di depan sidang terbuka untuk umum harus sudah ada setidak-tidaknya ringkasan putusan (extract vonis) atau setidak-tidaknya segera setelah putusan tersebut diucapkan agar segera dibuat ringkasan
114
putusan (extract vonis) guna dapat segera dieksekusi oleh Jaksa dalam kedudukannya selaku eksekutor dari putusan Hakim”. Ketentuan dalam Pasal 191 ayat (3) KUHAP dan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 5 tahun 2001 tentang Pembuatan Ringkasan Putusan Terhadap Perkara Pidana yang Terdakwanya Diputus Bebas atau Dilepas Dari Segala Tuntutan telah sesuai dengan ketentuan Pasal 199 ayat (1) dan (2) KUHAP menyatakan bahwa: “(1) Surat putusan bukan pemidanaan memuat: a. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 197 ayat (1) kecuali huruf e,f, dan h; b. Pernyataan bahwa diputus bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, dengan menyebutkan alasan dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar putusan; c. Perintah supaya terdakwa segera dibebaskan jika ia ditahan. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 197 ayat (2) dan (3) berlaku juga bagi pasal ini”. Berdasarkan ketentuan Pasal 199 KUHAP, dapat ditafsirkan secara gramatikal bahwa konsekuensi hukum atau akibat hukum dari Pasal 199 KUHAP sama dengan ketentuan Pasal 197 KUHAP. Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP yang menyatakan bahwa: “Perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan”. Apabila seorang terdakwa diadili dan diputus bersalah dan dijatuhi hukuman penjara, apabila terdakwa tidak ditahan, maka putusan harus memuat perintah supaya terdakwa ditahan. Apabila terdakwa sedang ditahan, maka putusan harus memuat perintah supaya terdakwa tetap berada dalam tahanan. Apabila putusan membebaskan atau melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum dan terdakwa ditahan, maka
115
putusan harus memuat perintah agar terdakwa dibebaskan. Perintah tersebut, walaupun tidak disebutkan secara eksplisit dalam Pasal 197 ayat (1) huruf k, maksudnya adalah jelas sebagaimana diatur dalam Pasal 270 KUHAP, yakni ditujukan kepada Jaksa sebagai aparatur pelaksana putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Akibat hukum apabila tidak dipenuhinya ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP terdapat dalam Pasal 197 ayat (2) menyatakan bahwa: “Tidak dipenuhinya ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, h, i, j, k dan l pasal ini mengakibatkan putusan batal demi hukum”. Putusan pengadilan dikatakan “batal demi hukum” artinya putusan tersebut sejak semula dianggap tidak pernah ada (never existed). Karena tidak pernah ada, maka putusan demikian itu tidak mempunyai kekuatan hukum dan tidak membawa akibat hukum, sehingga dengan demikian putusan tersebut
dengan sendirinya tidak dapat dieksekusi atau
dilaksanakan oleh Jaksa sebagai eksekutor putusan pengadilan. Mengingat pengertian “putusan batal demi hukum” adalah demikian menurut ilmu hukum, maka mencantumkan “perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan” sebagaimana disebutkan dalam Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP adalah keharusan hukum yang bersifat memaksa (mandatory law atau dwingend recht), sehingga tidak boleh diabaikan oleh Majelis Hakim dalam memutus perkara pidana pada setiap tingkatan peradilan (Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung).
116
Di dalam praktiknya ketentuan khususnya mengenai Pasal 197 ayat (1) huruf k dan Pasal 197 ayat (2) KUHAP sering kali menimbulkan perdebatan karena pada kenyataannya ada beberapa putusan Majelis Hakim baik yang menghasilkan putusan pemidanaan maupun putusan bebas yang tidak mencantumkan perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan seperti yang terjadi dalam putusan perkara nomor 39/Pid.B/2008/PN.Pwt, sehingga kadang kala Jaksa sebagai eksekutor sering kali mengalami kesulitan dalam proses pengeksekusian seperti yang terjadi pada putusan Susuno Duadji, tetapi perdebatan tersebut berakhir sejak tanggal 22 November 2012 pasca dikeluarkannya putusan Mahkamah Konstitusi nomor 69/PUU-X/2012. Dalam salah satu pertimbangan hukumnya, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa ketika dalam perkara pidana yang harus dibuktikan adalah kebenaran materiil, dan saat kebenaran materiil tersebut sudah terbukti dan oleh karena itu terdakwa dijatuhi pidana, namun karena ketiadaan perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan yang menyebabkan putusan batal demi hukum, sungguh merupakan suatu ketentuan yang jauh dari substansi keadilan, dan lebih mendekati keadilan prosedural atau keadilan formal semata. Selain itu, Mahkamah Konstitusi berpendapat memang benar bahwa dalam suatu amar putusan pidana tetap perlu ada suatu pernyataan bahwa terdakwa tersebut ditahan, tetap dalam tahanan, atau dibebaskan sebagai bagian dari klausula untuk menegaskan materi amar putusan lainnya
117
yang telah menyatakan bahwa terdakwa bersalah dan harus dijatuhi pidana, namun ada atau tidak adanya pernyataan tersebut tidak dapat dijadikan alasan untuk mengingkari kebenaran materiil yang telah dinyatakan oleh hakim dalam amar putusannya. Dalam amar putusan Mahkamah Konstitusi nomor 69/PUU-X/2012 menyatakan bahwa Pasal 197 ayat (2) huruf “k” Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, apabila diartikan surat putusan pemidanaan yang tidak memuat ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf k Undang-Undang a quo mengakibatkan putusan batal demi hukum; Pasal 197 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) selengkapnya menjadi, “Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, h, j, dan l pasal ini mengakibatkan putusan batal demi hukum”. Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi nomor 69/PUU-X/2012 maka apabila suatu putusan dalam amarnya tidak mencantumkan mengenai penahanan tidak merupakan putusan yang batal demi hukum karena dalam hukum acara pidana yang dicari adalah kebenaran materiil bukan kebenaran formil. Akibat hukum pada ketentuan Pasal 197 ayat (2) KUHAP berlaku juga dalam ketentuan Pasal 199 ayat (2) KUHAP maka
118
putusan yang bukan pemidanaan apabila tidak mencantumkan frasa “memerintahkan agar terdakwa dibebaskan dari tahanan” tidak batal demi hukum. Dalam amar putusan pada perkara nomor 39/Pid.B/2008/PN.Pwt. Majelis Hakim tidak menyebutkan “memerintahkan agar terdakwa dibebaskan dari tahanan”, maka berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi nomor 69/PUU-X/2012 menurut pendapat penulis hal tersebut tidak menyebabkan putusan batal demi hukum karena terdakwa yang secara materiil tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana penipuan dan dibebaskan dari segala dakwaan serta tuntutan hukum dan berdasarkan Pasal 270 KUHAP jaksa harus tetap mengeksekusi putusan tersebut. Terdakwa yang diputus bebas harus segera dibebaskan dari tahanan, sesudah putusan diucapkan, kecuali ada alasan lain. Menurut M. Yahya Harahap,98 Pelaksanaan perintah pembebasan dari tahanan terhadap seorang terdakwa yang diputus bebas sebagai berikut: 1. Perintah pembebasan dari tahanan “segera” dilaksanakan jaksa sesudah putusan diucapkan, dan; 2. Sekaligus pelaksanaan pembebasan dari tahanan itu: a. Jaksa membuat laporan tertulis mengenai pelaksanaan perintah pembebasan dimaksud; b. Laporan pelaksanaan pembebasan dilampiri dengan surat pelepasan; c. Laporan dan lampiran surat pelepasan, disampaikan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan selambatlambatnya dalam waktu 3x24 jam. b. Dalam Hal Penuntut Umum dan Terdakwa Menerima atau Menolak 98
M. Yahya Harahap, 2002, Op.Cit. hal. 330.
119
Putusan Setelah Majelis Hakim membacakan putusannya maka baik Penuntut Umum maupun terdakwa mempunyai hak untuk menolak maupun menerima putusan hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 196 ayat (3) huruf a KUHAP. Apabila Penuntut Umum maupun terdakwa menerima putusan tersebut maka putusan tersebut akan mempunyai kekuatan hukum tetap, namun apabila Penuntut Umum maupun terdakwa menolak putusan dan akan mempergunakan upaya hukum selanjutnya maka putusan tersebut belum mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Dalam amar putusan pada perkara nomor 39/Pid.B/2008/PN.Pwt. Majelis Hakim menyatakan terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana yang berarti terdakwa diputus bebas. Pada putusan yang membebaskan terdakwa baik Penuntut Umum dan terdakwa tidak dapat mengajukan upaya hukum banding hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 67 KUHAP menyatakan bahwa: “Terdakwa atau Penuntut Umum berhak untuk minta banding terhadap putusan pengadilan tingkat pertama kecuali terhadap putusan bebas, lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan hukum dan putusan pengadilan dalam acara cepat.” Selain tidak dapat mengajukan upaya hukum banding, baik Penuntut Umum dan terdakwa tidak dapat mengajukan upaya hukum kasasi berdasarkan ketentuan Pasal 244 KUHAP menyatakan bahwa: “Terdapat putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung, terdakwa atau Penuntut Umum dapat mengajukan permintaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas.”
120
Akan tetapi pada Lampiran Keputusan Menteri RI Nomor M.14 PW.07.03 tahun 1983 tanggal 10 Desember 1983, butir 19 dicantumkan antara lain: “Terhadap putusan bebas tidak dapat dimintakan banding, tetapi berdasarkan situasi dan kondisi, demi hukum, keadilan dan kebenaran, terhadap putusan bebas dapat dimintakan kasasi. Hal ini akan didasarkan pada yurisprudensi.” Secara logika, terdakwa yang diputus bebas akan dengan senang hati menerima putusan bebas tersebut, akan tetapi disini yang sering diperdebatkan adalah mengenai hak Penuntut Umum dalam hal mengajukan upaya hukum terhadap putusan Majelis Hakim, oleh karena itu berdasarkan Lampiran Keputusan Menteri RI Nomor M.14 PW.07.03 tahun 1983 tanggal 10 Desember 1983 butir 19 diatas Penuntut Umum yang dalam hal ini dapat mengajukan upaya hukum biasa serta kasasi demi kepentingan hukum hal tersebut sesuai dengan rumusan Pasal 259 ayat (1) KUHAP yang menyatakan: “Demi kepentingan hukum terhadap semua putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dari pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung dapat diajukan satu kali permohonan kasasi oleh Jaksa Agung”. Kasasi demi kepentingan hukum diajukan jika sudah tidak ada upaya hukum biasa yang dapat dipakai. Permohonan kasasi diajukan oleh Jaksa Agung kepada Mahkamah Agung melalui panitera yang telah memutus perkara tersebut dalam tingkat pertama disertai risalah yang menjadi alasan kemudian panitera meneruskan kepada yang berkepentingan hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 260 KUHAP. Salinan keputusan
121
Mahkamah Agung disampaikan Jaksa Agung dan kepada pengadilan yang bersangkutan, disertai berkas perkara dimana sesuai dengan ketentuan Pasal 261 KUHAP. Pada umumnya, kasasi demi kepentingan hukum sama saja dengan kasasi biasa kecuali dalam kasasi demi kepentingan hukum ini penasihat hukum tidak lagi dilibatkan.99 Yurisprudensi pertama mengenai putusan bebas adalah Putusan Mahkamah Agung RI Nomor Reg. 275 K/Pid/1983 tanggal 15 Desember 1983. M. Yahya Harahap100 menyatakan bahwa apabila dilihat dari segi yuridis formalnya yakni dari segi hukum acara dikaitkan dengan Pasal 67 dan Pasal 244 KUHAP maka: 1) Putusan bebas pengadilan tingkat pertama mutlak tidak dapat diminta banding, tapi langsung dapat diminta permohonan kasasi; 2) Memang Pasal 244 KUHAP tidak memperkenankan putusan bebas diminta kasasi sepanjang putusan bebas itu bersifat “pembebasan murni”, dan permintaan kasasi terhadap putusan bebas yang bersifat pembebasan murni harus dinyatakan tidak dapat diterima; 3) Jika sifat pembebasan itu “tidak murni”, putusan bebas tersebut dapat diminta kasasi; 4) Suatu putusan bebas dianggap tidak bersifat pembebasan murni, antara lain: a. Apabila dalam putusan itu terdapat kekeliruan penafsiran terhadap sebutan tindak pidana yang disebut dalam surat dakwaan dan bukan didasarkan pada tidak terbuktinya unsur-unsur perbuatan yang didakwakan, atau; b. Apabila dalam menjatuhkan putusan pengadilan telah melampaui batas wewenangnya dalam arti bukan saja wewenang yang menyangkut kompetensi absolut dan relative, tapi juga dalam hal apabila ada unsur non yuridis. Di dalam praktik, permasalahan mengenai putusan bebas murni dan putusan bebas tidak murni itu tidak perlu dihiraukan lagi, karena apakah
99
Andi Hamzah, Op.Cit, hal.304. M. Yahya Harahap, 2002, Loc.Cit.
100
122
putusan bebas itu bersifat murni atau tidak, tidak menjadi masalah bagi Mahkamah Agung. Namun
berdasarkan
putusan
Mahkamah
Konstitusi
Nomor
114/PUU-X/2012, Mahkamah Konstitusi telah menyatakan frasa “kecuali terhadap putusan bebas” dalam Pasal 244 KUHAP bertentangan dengan konstitusi dan tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat. Sehingga ketentuan Pasal 244 KUHAP kini berbunyi: “Terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung, terdakwa atau Penuntut Umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung.” Pasal 253 ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa: “Pemeriksaan dalam tingkat kasasi dilakukan oleh Mahkamah Agung atas permintaan pada pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 244 dan Pasal 248 guna menentukan: 1) Apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak sebagaimana mestinya; 2) Apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang; 3) Apakah benar pengadilan telah melampaui batas wewenangnya.” Tujuan kasasi adalah untuk menciptakan kesatuan penerapan hukum dengan jalan membatalkan putusan yang bertentangan dengan undangundang atau keliru dalam menerapkan hukum.101 Menurut M. Yahya Harahap,102 tujuan utama upaya hukum kasasi antara lain sebagai berikut: 1) Koreksi terhadap kesalahan putusan pengadilan bawahan. Salah satu tujuan kasasi adalah memperbaiki dan meluruskan kesalahan penerapan hukum, agar hukum benar-benar diterapkan 101 102
Andi Hamzah, Loc.Cit. M. Yahya Harahap, 2002, Loc.Cit.
123
sebagaimana mestinya serta apakah cara mengadili perkara benarbenar dilakukan menurut ketentuan undang-undang; 2) Menciptakan dan membentuk hukum baru. Selain tindakan koreksi yang dilakukan oleh Mahkamah Agung dalam peradilan kasasi, adakalanya tindakan koreksi itu sekaligus menciptakan hukum baru dalam bentuk yurisprudensi; 3) Pengawasan terciptanya keseragaman penerapan hukum. Tujuan lain dari pemeriksaan kasasi, adalah mewujudkan kesadaran “keseragaman” penerapan hukum atau unified legal frame work dan unified legal opinion. Dengan adanya putusan kasasi yang menciptakan yurisprudensi, akan mengarahkan keseragaman pandangan dan titik tolak penerapan hukum, serta dengan adanya upaya hukum kasasi, dapat terhindari kesewenangan dan penyalahgunaan jabatan oleh para hakim yang tergoda dalam memanfaatkan kebebasan kedudukan yang dimilikinya. Permohonan kasasi diajukan 14 (empat belas) hari, setelah putusan pengadilan diberitahukan kepada terdakwa yang disampaikan kepada panitera Pengadilan Negeri yang telah memutus perkara tersebut dalam tingkat pertama (Pengadilan Negeri) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 245 ayat (1) KUHAP. Selanjutnya permintaan kasasi tersebut ditulis dalam sebuah surat keterangan yang ditandatangani panitera serta pemohon, kemudian panitera mencatat dalam daftar yang dilampiri berkas perkara kemudian panitera wajib memberitahukan permintaan dari pihak yang satu kepada pihak yang lain sebagaimana yang diatur dalam Pasal 245 ayat (2) dan (3) KUHAP. 14 (empat belas) hari setelah mengajukan permintaan kasasi, wajib mengajukan memori kasasi kepada panitera dan diberi tanda terima dalam rangkap 2 (dua) sebagai tembusan oleh panitera untuk disampaikan kepada pihak lainnya dan pihak lain itu berhak mengajukan kontra memori kasasi, ini sesuai dengan Pasal 248 ayat (6) KUHAP.
124
Dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari, panitera menyampaikan tembusan kontra memori kasasi kepada pihak yang semula mengajukan memori kasasi, sesuai dengan Pasal 248 ayat (7) KUHAP. Apabila salah satu pihak berpendapat masih ada sesuatu yang perlu ditambahkan dalam memori kasasi atau kontra memori kasasi, kepadanya diberikan kesempatan untuk mengajukan tambahan itu dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari sebagaimana diatur dalam Pasal 249 ayat (1) KUHAP. Tambahan memori/ kontra kasasi diserahkan kepada panitera pengadilan selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari setelah tenggang waktu permohonan kasasi tersebut selengkapnya oleh panitera pengadilan segera disampaikan kepada Mahkamah Agung, sebagaimana diatur dalam Pasal 249 ayat (2) dan (3) KUHAP.
125
BAB V PENUTUP A. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan terhadap putusan perkara nomor 39/Pid.B/2008/PN.Pwt, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Alasan hukum hakim dalam menjatuhkan putusan bebas bagi terdakwa pada perkara nomor 39/Pid.B/2008/PN.Pwt adalah: a. Dakwaan pertama, berdasarkan persesuaian antara keterangan saksi dengan keterangan terdakwa, PT. Aries Pura Graha adalah milik terdakwa M.A.N Bin D.J.S dan benar-benar mendapat pekerjaan pembangunan perumahan dan fasilitas penerangan (listrik) serta sampai saat pada putusan ini masih sedang berlangsung, oleh karena itu unsur dengan maksud hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hak baik dengan memakai nama palsu, atau keadaan palsu, baik dengan akal, tipu muslihat maupun dengan karangan perkataan-perkataan bohong tidak terbukti dan unsur membujuk orang supaya memberikan suatu barang, membuat hutang, menghapuskan piutang.
126
b. Dakwaan kedua, berdasarkan persesuaian antara keterangan saksi dengan keterangan terdakwa berkaitan dengan uang yang sebesar Rp 52.500.000,00 (Lima puluh dua juta lima ratus ribu rupiah) yang di kas bon oleh saksi 3 tidak pernah diberikan kepada terdakwa dan tidak pernah pada kekuasaan terdakwa melainkan uang tersebut langsung ditransfer ke rekening saksi 3, oleh karena itu unsur dengan sengaja memiliki dengan melawan hak, sesuatu barang yang sama sekali atau sebagiannya termasuk kepunyaan orang lain dan unsur barang itu ada dalam tangannya bukan karena kejahatan tidak terbukti. 2. Akibat hukum dengan dijatuhkannya putusan bebas bagi terdakwa pada perkara nomor 39/Pid.B/2008/PN.Pwt adalah: a. Penahanan, terdakwa harus segera dibebaskan dari tahanan kecuali ada alasan
lain
meskipun
dalam
amar
putusan
perkara
nomor
39/Pid.B/2008/PN.Pwt tidak dicantumkan, hal ini diperkuat dengan putusan Mahkamah Konstitusi nomor 69/PUU-X/2012. Perintah untuk membebaskan terdakwa dari tahanan segera dilaksanakan oleh jaksa setelah putusan diucapkan dan laporan tertulis mengenai perintah tersebut dilampiri surat penglepasan yang diserahkan kepada Ketua Pengadilan Negeri Puwokerto selambat-lambatnya dalam waktu tiga kali dua puluh empat jam. b. Penuntut Umum dan terdakwa, berdasarkan Pasal 259 ayat (1) KUHAP, Jaksa Agung dapat mengajukan kasasi demi kepentingan hukum terhadap putusan bebas dan bagi Penuntut Umum dapat
127
mengajukan upaya kasasi diperkuat dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi114/PUU-X/2012 untuk putusan bebas murni baik Penuntut Umum atau terdakwa dapat mengajukan upaya hukum yang disebut kasasi dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari setelah putusan dibacakan oleh Majelis Hakim. B. Saran Untuk mencegah Majelis Hakim menjatuhkan putusan bebas, Penuntut Umum dalam membuat surat dakwaan dan tuntutan harus lebih cermat, jelas, lengkap serta teliti dalam membuktikan unsur-unsur tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa, selain itu dalam pembuktian Penuntut Umum harus benar-benar mencari kebenaran materiil sehingga terdakwa tidak di jatuhi putusan bebas.
DAFTAR PUSTAKA A. Literatur Adji, Habib. 2005. Jurnal Renvoi. Nomor 10-22 Tanggal 3 Maret 2005.
Ali, Mahrus. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat, Jurnal Hukum No. 2 Vol. 18 April 2011, hal. 250 diakses pada tanggal 9 Juli 2013. Ali, Zainuddin. 2009. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika. Chazawi, Adam. 2008. Pelajaran Hukum Pidana Bagian I. Jakarta: Rajagrafindo Persada. Harahap, M. Yahya. 2002. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali. Jakarta: Sinar Grafika. _______. 2001. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan. Jakarta: Sinar Grafika. Hamzah, Andi. 2008. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika. Ibrahim, Jhony. 2011. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang: Banyumedia Publishing. Kartanegara, Satochid, 2001, Hukum Pidana Bagian Pertama, Jakarta: Balai Lektur Mahasiswa. Lamintang, P.A.F. dan Theo Lamintang. 2010. Pembahasan KUHAP Menurut Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana&Yurisprudensi. Jakarta: Sinar Grafika. Listijono, Agoes Dwi. 2005. Telaah Konsep Hak Asasi Manusia Dalam Kaitannya Dengan Sistem Peradilan Pidana. Jurnal Hukum. Vol.1, No.1. Makarao, Mohammad Taufik dan Suhasril. 2004. Hukum Acara Pidana Dalam Teori Dan Praktek. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Marpaung, Leden. 2010. Proses Penanganan Perkara Pidana Di Kejaksaan & Pengadilan Negeri Upaya Hukum&Eksekusi. Jakarta: Sinar Grafika. Marzuki, Peter Mahmud. 2005. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Perdana Media Grup. M. Syamsudin. 2010. Pemaknaan Hakim tentang Korupsi dan Implikasinya Pada Putusan: Kajian Perspektif Hermeneutika Hukum.. Jurnal Mimbar Hukum Volume 22 No.23 Oktober 2010. Nugroho, Hibnu. 2012. Integralisasi Penyidikan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia. Jakarta: Media Prima Aksara. Prayitno, Kuat Puji. 2012. Restorative Justive Untuk Sistem Peradilan Pidana. Jurnal Dinamika Hukum Vol.12 No.3 September 2012. Prinst, Darwan . 2002. Hukum Acara Pidana Dalam Praktik. Jakarta: Djambatan. Prodjodikoro, Wirjono. 2003. Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indosnesia. Bandung: Refika Aditama. Prodjohamidjojo, Martiman. 2002. Teori dan Teknik Membuat Surat Dakwaan. Jakarta: Ghalia Indonesia. RM, Suharto. 2002. Hukum Pidana Materiil. Jakarta: Sinar Grafika. R. Soesilo, 1991, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP): Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Bogor : Politeia. Salam, Moch. Faisal. 2001. Hukum Acara Pidana dalam Teori & Praktek. Bandung: Penerbit Mandar Maju. Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. 2004. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Suparmono, Rudi. 2006. Peran Serta Hakim Dalam Pembelajaran Hukum. Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun XX No. 246 Mei 2006. B. Peraturan Perundang-Undangan Indonesia, Undang-undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945.
________, Undang-undang No. 1 tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). ________, Undang-undang No. 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). ________, Undang-undang No.48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Surat Surat Edaran Mahkamah Agung No. 5 tahun 2001 tentang Pembuatan Ringkasan Putusan Terhadap Perkara Pidana yang Terdakwanya Diputus Bebas atau Dilepas Dari Segala Tuntutan. Lampiran Keputusan Menteri RI Nomor M.14 PW.07.03 tahun 1983 tanggal 10 Desember 1983. C. Internet Anonim, Hukum Acara Pidana. http://statushukum.com/hukum-acara-pidana.html diakses pada tanggal 30 April 2013. Kholiq, M. Abdul. 23 Januari 2011. Tinjauan Yuridis Wanprestasi, Penipuan dan Penggelapan, http://pkbh.uii.ac.id/analisa-hukum/analisa-hukum/tinjauanyuridis-tentang-perbedaan-wan-prestasi-penipuan-dan-penggelapan.html diakses pada tanggal 7 Juni 2013. Pramudya, Kelik. 17 September 2008. Putusan Bebas (Vrijspraak). http://clickgtg.blogspot.com/2008/09/putusan-bebas-vrijspraak.html diakses pada tanggal 8 Juni 2013. Setyawan, Budi. 20 Oktober 2012. Tinjauan Yuridis Penanganan Perkara Penipuan (Pasal 378 Kuhp) Dan Atau Penggelapan (Pasal 372 Kuhp) Studi Kasus Perkara Atas Nama Saudi Bin Maksin Pada Kejaksaan Negeri Cilegon. http://rangselbudi.wordpress.com/2012/10/20/tinjauan-yuridispenanganan-perkara-penipuan-pasal-378-kuhp-dan-atau-penggelapanpasal-372-kuhp-studi-kasus-perkara-atas-nama-saudi-bin-maksin-padakejaksaan-negeri-cilegon/ diakses pada tanggal 18 Maret 2013. Siadari, Ray Pratama. Pengertian Dan Unsur-Unsur Tindak Pidana Penipuan. http://raypratama.blogspot.com/2012/02/pengertian-dan-unsur-unsurtindak-pidana-penipuan.html diakses pada tanggal 18 Maret 2013.
Sofa,
16 Agustus 2011. Tentang Putusan Hakim, http://massofa.wordpress.com/2011/08/16/tentang-putusan-hakim/ diakses pada tanggal 7 Juni 2013.