PUTRI ULAR PUTIH Dituturkan kembali oleh Zhang Hen-shui PENGANTAR Bahwa dua niat baik tidak selalu bisa sejalan, bahkan bisa menimbulkan konflik, terlihat jelas di dalam kisah ini. Bai Su-zhen, peri ular yang menikah dengan manusia biasa, ingin selalu membahagiakan suaminya. Ia rela melakukan apa saja, termasuk mempertaruhkan nyawa, demi sang suami, Xu Xian. Di pihak lain, pendeta Fa Hai yang merasa mengemban tugas melindungi manusia dari pengaruh buruk setan, berusaha memisahkan Xu Xian dari istrinya yang dianggapnya sebagai ular iblis. Pertarungan dua kemauan baik ini tersulut karena adanya prasangka dan sikap menutup mata salah satu pihak. Jalinan kisah yang indah, juga gaya yang halus dan mengharukan dalam menyampaikan ajaran kearifan, menjadikan buku ini sebuah karya yang asyik dibaca. Putri Ular Putih adalah sebuah kisah legenda Cina kuno yang telah beredar di seluruh Cina selama ribuan tahun. Kisah ini diceritakan secara turuntemurun oleh para pendongeng yang mencari nafkah dengan mempesona para pendengarnya. Melalui mereka, kisah ini menjelma ke dalam berbagai versi yang berbeda. Buku berbahasa Cina yang diterjemahkan di sini adalah salah satu versi yang paling terkenal yang ditulis oleh Zhang Hen-shui. Legenda ini menceritakan nasib Bai Su-zhen dan Xiao Qing, yang datang ke bumi untuk hidup di tengah-tengah manusia. Bai Su-zhen bertemu dengan Xu Xian yang kemudian menikahinya. Mereka hidup berbahagia, hingga akhirnya seorang pendeta bernama Fa Hai merusakkan kebahagiaan mereka, karena menyangka Bai Su-zhen adalah seorang peri jahat. Bai dan Xu mengalami serangkaian kejadian dan pengalaman supernatural. Akhirnya mereka berdua dipisahkan secara tragis. Di dalam buku ini dapat diamati berbagai sifat manusia. Xiao Qing misalnya memiliki semangat tinggi, pendendam, dan sangat setia; sedangkan Bai Su-zhen bersifat tenang, penuh kasih sayang dan pengorbanan. Sementara itu Fa Hai adalah manusia yang menjengkelkan, keras kepala dan tak mau mendengarkan pendapat orang lain. Sifat-sifat ini bertentangan dengan sifat lemah yang dimiliki Xu Xian dan keluarganya. Mereka jujur, rendah hati, pekerja keras, dan selalu siap membantu orang yang ditimpa kesusahan. BAB 1 Pada Perayaan Qing Ming, hujan sering turun di bagian selatan daerah terendah sungai Chang Jiang. Cuaca pada saat itu sering tidak menentu. Kadang-kadang hari begitu cerah, tak segumpal awan mengotori langit. Tetapi kemudian awan hitam datang bergulung-gulung dari segala penjuru dan hujan pun segera turun dengan derasnya. Jadi, siapa pun yang bepergian, lama atau sebentar, tak akan lupa membawa payung.
Pada suatu pagi di hari Qing Ming, langit cerah tak berawan; bumi bermandikan cahaya keemasan. Matahari menyinari sebuah halaman dengan sederet bangunan di depannya. Seorang pria muda berpakaian biru dan bertopi hitam muncul. Ia membawa keranjang bambu di tangan kanannya, berisi kertas mantra berwarna kuning emas dan seikat petasan kecil, serta lilin-lilin yang biasa dibawa bila berkunjung ke makam keluarga. Di tangan kirinya ia memegang payung yang disandangnya di atas bahu. Ketika berjalan melintasi halaman, ia berteriak lewat jendela, “Aku harus pergi sekarang. Kemarin aku telah mendapatkan izin cuti dari kepala bagian keuangan karena hari ini ada perayaan Qing Ming. Aku akan pergi ke Gunung Selatan untuk mengunjungi makam orang tuaku. Perjalananku jauh, jadi aku tidak akan kembali sampai malam. Bantulah aku menjaga toko.” Seseorang di dalam rumah menjawab, “Xu Xian, Saudaraku. Karena engkau telah mendapat izin cuti hari ini, pergilah dengan tenang. Kami akan membantumu menjaga toko. Engkau tidak perlu khawatir. Tetapi mengapa engkau membawa payung di hari yang cerah ini?” Xu Xian menjawab, “Kendati matahari cerah bersinar; tanpa terduga cuaca mungkin saja berubah sore ini. Jadi lebih baik aku membawa payung. Bukankah cuaca akhir-akhir ini tak tertahankan panasnya dan matahari serasa membakar kulit! Karena itu payung ini kupakai untuk berlindung dari sengatannya!” “Engkau benar. Pergilah dan jangan resah,” jawab orang yang berada di dalam rumah. Xu Xian melanjutkan perjalanannya sementara dua pegawai muda membantu menjaga barangbarang di tokonya. Setelah berjalan beberapa waktu, ia tiba di Gerbang Qing Bo, sebuah pelabuhan dengan pemandangan Danau Barat. Di sana tertambat beberapa perahu kecil dengan tali yang panjangnya tidak lebih dari sepuluh meter. Di antara perahuperahu itu, terdapat sebuah perahu beratap yang ditumpangi banyak orang. Perahu ini adalah feri yang digunakan untuk menyeberangi danau. Xu Xian turun ke bawah, ikut dalam antrian dan melangkah ke dalam perahu. Setelah menyelusup di antara para penumpang, ia berhasil mendapatkan tempat duduk di atas sebuah papan. Biasanya pada waktu yang sama, ia sedang duduk memeriksa setumpuk rekening di toko obat. Sungguh sukar dibayangkan bahwa kini ia sedang duduk di sebuah perahu memandang keindahan alam luar kota, tanpa sejumlah hitungan di kepalanya. Ketika ia melihat sekilas ke sekelilingnya, gunung-gunung yang melingkungi Danau Barat pada tiga sisinya seakan menghalangi hiruk pikuknya suasana Hangzhou. Su Ti dan Bai Ti, dua jalur jalan dengan pohon-pohon di kiri kanan, menjorok ke tengah danau. Barisan pohon ini membentang bertingkat-tingkat ke arah kaki gunung yang menjulang tinggi seperti kursi bertangan, sejauh empat kilometer melingkari Hangzhou. Air danau yang berwarna hijau seperti batu giok, berpadu dengan bayangan puncak-puncak gunung di atas permukaan air, menciptakan
pemandangan yang indah tiada tara. “Pemandangan di sini sungguh memukau!” seru Xu Xian. “Tetapi orang-orang di kota terlalu disibukkan oleh tugas mereka sehari-hari sehingga tidak sempat menikmati pemandangan alam seindah ini. Sungguh sayang!” Seseorang yang duduk di sebelahnya menjawab, “Oh, tetapi Anda dapat mencuri waktu barang beberapa menit setiap tiga atau lima hari untuk menikmatinya, bukan?” Xu Xian mengangguk membenarkan. Perahu kecil itu mulai bergerak, begitu pula mata Xu Xian. Perlahan ia mengalihkan pandangan dari pepohonan ke beberapa rumah yang mengapung di tepian danau. Betapa indahnya, pikir Xu Xian. Apabila kunjungannya ke pemakaman selesai lebih cepat dan hari masih siang, ia akan kembali untuk menikmati pemandangan Danau Barat ini barang sebentar, sebelum kembali ke kota. Niat semacam ini masih memenuhi benaknya pada saat ia kembali dari makam siang harinya sekitar pukul tiga atau empat. Dan karena tidak ada yang dapat dikerjakan, Xu Xian mencari kedai minum, dan memesan seteko teh sambil menghilangkan penat di kakinya. Kemudian sambil membawa payungnya, ia keluar dari kedai dan berjalan menyusuri sebuah lorong yang sempit. Pada musim bunga dan musim gugur Danau Barat selalu ramai dikunjungi orang, begitu pula pada hari libur Qing Ming. Sebagian dari para pengunjung datang dengan menunggang kuda, sebagian naik tandu, dan sebagian lagi berjalan kaki menyelusup di antara orang-orang yang mengalir datang tak habishabisnya. Xu Xian berjalan sepanjang jalan kecil yang menuju ke arah Gunung Go dan tiba di bawah sekumpulan pohon. Di sampingnya terdapat sebuah jembatan batu yang terentang di atas kelokan danau. Ketika ia baru saja akan menyeberang, angin datang dari timur dan berhembus ke arah pepohonan. Di bawah salah satu pohon, ia melihat dua wanita muda berdiri bersebelahan. Yang seorang berusia sekitar sembilan belas tahun, mengenakan baju biru dan rok sutera panjang berwarna putih. Yang seorang lagi berusia sekitar enam belas atau tujuh belas tahun, mengenakan baju dan rok panjang berwarna hijau. Kedua wanita itu menunjuk ke arah orang-orang yang berlalu lalang. Sebagai seorang pria muda yang mengenal sopan santun, Xu Xian menundukkan mata dan kepalanya ketika berjalan melewati kedua wanita itu. Tiba-tiba wanita yang berpakaian putih menunjuk ke langit dua kali. Xu Xian, yang saat itu sedang berada di atas jembatan, melihat awan hitam muncul dengan tiba-tiba. Semakin lama semakin banyak, menggantung di atas kepala. Langit pun menjadi gelap. Xu Xian memandang berkeliling. Awan telah bergumpal di atas puncak-puncak gunung dari utara ke selatan. Daun-daun saling bergesekan dan baju Xu Xian berkibar-kibar oleh tiupan angin. Dalam sekejap mata, hujan turun dengan lebat sehingga Xu Xian terpaksa berlari mencari tempat berteduh. Xu Xian membuka payungnya dengan cepat dan bergegas kembali ke arah pepohonan. Badai saat itu benar-benar aneh. Hujan yang datang dari arah belakang, bagaikan anjing penjaga mengejar mangsa.
Karena bingung, orang-orang pun berlarian tak menentu. Begitu pula yang sedang berjalan-jalan di lereng gunung dan bermain air. Semuanya kalangkabut. Karena lebatnya hujan, pepohonan bergoyanggoyang dan air Danau Barat menjadi bergelora. Selapis kabut hijau timbul di atas permukaan danau. Hujan yang bertambah lebat bagaikan lapisan mi yang berlapis-lapis, membuat pemandangan menjadi kabur. Para pengunjung berlarian mencari tempat berteduh di bawah pepohonan atau berdesakdesakan mencari perahu yang kosong. Xu Xian memandang dengan takjub ke sekitarnya. Namun ia tak dapat terus berdiri di situ di bawah siraman hujan. Ia mulai berpikir untuk mencari perahu yang akan mengangkutnya pulang, karena hujan tampaknya tak akan segera reda. Pada saat itu seorang pria berjas hujan muncul dengan tiba-tiba, mengayuh sebuah perahu kecil. Xu Xian sangat bergembira melihatnya. Ia menaikkan payungnya dan berseru, “Hai Tukang Perahu, Apakah perahumu disewakan?” Sambil mendayung perlahan-lahan, tukang perahu itu menjawab dari balik topinya, “Ya, tetapi bayaran yang saya minta agak lebih mahal dari biasanya.” “Aku mengerti. Pada cuaca seperti ini, setiap orang pasti lebih senang tinggal di rumah daripada berbasah-basah disiram hujan dan badai. Kalau aku menyewamu sampai ke Gerbang Qing Bo, berapa ongkosnya?” “Ongkosnya seratus tail saja.” “Tidakkah itu terlalu mahal?” kata Xu Xian. “Bagaimana kalau kurang sedikit, misalnya 70 tail?” “Baiklah. Anda tampaknya orang jujur. Mari saya antar hingga ke tujuan!” Tukang perahu itu kemudian mendayung perahunya hingga haluannya menyentuh tepian sungai. Xu Xian segera melompat ke dalam perahu. Setelah berada di atas haluan, Xu Xian menutup payung dan mengibaskan bajunya. Kemudian ia masuk ke bagian perahu yang beratap dan meninggalkan payungnya di atas dek. Bagian perahu yang beratap ini luasnya sekitar dua tempat tidur. Dua papan diletakkan berjajar sebagai tempat duduk. Sambil duduk di salah satu papan, Xu Xian berkata, “Mari kita berangkat. Aku sudah menyewa perahu ini, jadi kita tidak perlu menunggu penumpang lain.” “Tentu saja,” jawab tukang perahu. Ia merangkuh dayung dan mulai mengayuh. Tiba-tiba seseorang memanggil dari arah pepohonan, “Perahu!” Tukang perahu itu berpaling dan melihat dua orang wanita, seorang berbaju putih dan lainnya berbaju hijau basah kuyup disiram hujan. Keduanya berteduh di bawah pohon yang tidak cukup luas untuk berdua. Tukang perahu berteriak, “Maaf Nona-nona. Perahu ini tidak disewakan!” “Dalam cuaca seburuk ini, tidak ada sebuah perahu pun yang kosong,” keluh wanita yang memanggil perahu. “Dan sekarang setelah yang ditunggu tiba, kami tak dapat menyewanya! Padahal ketika tadi melihat perahumu datang, kami mengira Tuhan mengirimkannya untuk kami. Lihatlah! Kami
telah basah kuyup. Apakah engkau benar-benar tidak dapat menolong kami?” “Tetapi bagaimana bila kalian tidak searah?” tanya tukang perahu. “Kami akan ke Gerbang Qing Bo. Ke mana tujuan kalian berdua?” “Kami juga ke Qing Bo.” Dari bawah atap perahu yang tidak berdinding, Xu Xian dapat melihat dengan jelas kedua wanita itu, yang sebelumnya ia jumpai di jembatan Xi Leng. Ia lalu berkata kepada tukang perahu, “Pak, menepilah. Biarkan mereka menumpang. Aku kasihan melihat mereka.” Si tukang perahu segera berteriak untuk memberitahukan bahwa mereka dapat menumpang. Kemudian ia mendayung perahunya ke tepi. Xu Xian berkata, “Pinjamkan payungku ini agar baju mereka tidak basah, bila mereka harus berjalan dari pohon ke perahu.” Wanita yang berbaju hijau mendengarnya dan mengerling ke arah yang berbaju putih. Kemudian yang berbaju putih menjawab, “Terima kasih banyak. Tetapi biar sajalah.” Keduanya segera masuk ke dalam perahu. Air hujan mengucur membasahi tubuh mereka. Di depan ruangan perahu yang beratap rendah, keduanya terpaksa duduk meringkuk. Namun bila mereka tetap berdiri di atas dek, tubuh mereka pasti basah kuyup. Karena kebingungan, mereka tak dapat segera menentukan pilihan! Melihat kesulitan dua gadis itu, Xu Xian berkata dengan ramah. “Nona-nona, mendekatlah kemari Ada dua bangku di sini. Silakan duduk. Dan karena aku membawa payung, lebih baik akulah yang berdiri di luar. Marilah masuk!” Salah seorang dari kedua nona itu menjawab, “Oh, jangan!” Yang seorang lagi menyambung, “Biarlah kami berdua duduk di papan ini, agar Tuan dapat duduk di papan lainnya.” Kemudian mereka masuk ke ruangan beratap itu. Xu Xian segera bangkit. Dengan sopan ia berkata, “Tempat duduk ini terlalu sempit bagi kalian berdua. Saya khawatir badan kalian akan pegal-pegal dan tidak dapat duduk dengan santai.” “Saya sudah pernah mengalami sesuatu yang lebih buruk. Biar sajalah! Jangan pedulikan kami.” “Ya, begitu pula bagi saya. Berteduh di bawah pohon sungguh tidak menyenangkan! Dan kami tentunya masih tetap akan berada di sana, kalau saja perahu ini tidak lewat. Maka bila Tuan berkeras berdiri di atas dek, berarti kami berdua telah menyusahkan Tuan!” “Baik, terserah kalian,” kata Xu Xian sambil membungkuk dengan hormat. Kedua wanita itu balas mengangguk, melangkah ke bangku lalu duduk berdampingan, menghadap ke arah Xu Xian. Dengan mata memandang ke lantai perahu, Xu Xian berpikir apakah kedua wanita ini bermaksud menghormati dirinya. Sebab, keduanya duduk menghadap ke arahnya, bukan memunggunginya. Ia duduk dengan tenang, tak berani berkata-kata. Tak lama kemudian, hujan mulai mereda dan tukang perahu tetap mendayung perlahan. Kedua wanita itu melihat bahwa Xu Xian selalu menundukkan kepalanya. Wanita yang berbaju putih
berbisik, “Xiao Qing, pria ini benar-benar sopan. Kita beruntung dapat menumpang di kapal ini, tetapi rasanya tidak sopan bila kita tidak mengetahui namanya.” Xiao Qing mengangguk, dan berkata. “Aku akan menanyakannya.” Ia lalu berpaling ke arah Xu Xian. “Maaf, kami belum mengetahui nama Tuan. Sungguh tidak pantas bila kami tidak mengetahuinya, padahal Tuan telah menyelamatkan kami di saat badai.” Barulah kemudian Xu Xian berani mengangkat kepalanya dan menjawab sambil tersenyum, “Oh, jangan hendaknya saya dikenang sebagai ‘Penyelamat di Saat Badai’. Nama saya Xu Xian.” “Ah, Xu Xian. Apakah Tuan berasal dari daerah ini?” “Ya, saya berasal dari Qian Tang.” “Apakah orangtua Tuan masih hidup?” “Tidak, saya yatim piatu. Sesungguhnya saya baru pulang dari mengunjungi makam mereka.” “Apakah Tuan memiliki saudara laki-laki?” “Tidak, saya hanya memiliki seorang kakak wanita.” Ketika mereka berbicara, Xu Xian melihat ke arah wanita yang satunya, yang berbaju putih. Ia memiliki bentuk tubuh yang sangat indah dan sepasang mata elok yang bersinar tajam. Rambutnya yang berhias bulu burung digelung berbentuk sanggul, tidak dibiarkan tergerai, sehingga terlindung dari air hujan. Adapun Xiao Qing, walaupun berpenampilan seperti petani, ia tampak terpelajar. Berbeda dengan teman seperjalanannya, gadis itu memiliki wajah bulat telur dan murah senyum. Ia juga lebih banyak berbicara dan tidak henti-hentinya mengajukan pertanyaan kepada Xu Xian. “Apa pekerjaan Tuan?” “Saya bekerja di bagian keuangan di sebuah toko obat.” “Berapa usia Tuan?” “Dua puluh tahun,” jawab Xu Xian tanpa merasa terganggu dengan pertanyaan Xiao Qing yang bertubitubi. Mendengar jawaban ini, Xiao Qing menjawab, “Kalau begitu usia Tuan kira-kira sama dengan usia kakak1 saya ini. Usia Tuan dua puluh tahun. Pasti Tuan sudah menikah. Berapa usia istri Tuan?” “Sekalipun usia saya sudah dua puluh tahun, hidup saya masih tergantung pada kakak dan suaminya, bahkan tinggal serumah dengan mereka. Jadi bagaimana mungkin saya menikah!” jawab Xu Xian dengan mata bersinar. Xiao Qing berpaling ke arah saudaranya yang menunduk malu, memandang pakaiannya yang basah. “Kakak saya tidak tahu apa yang harus ia katakan. Apakah Tuan ingin menanyakan sesuatu kepadanya?” “Ya,” jawab Xu Xian. “Siapa namanya?” tanyanya tanpa berpikir panjang, tak tahu apa yang harus ia tanyakan. Yang ditanya melirik dan tersenyum. Namun Xiao Qing tidak memberi kesempatan kepada saudaranya untuk menjawab. “Namanya Bai Shu-zhen. Kami berasal dari Sizhou dan majikan kami adalah pemimpin Chuzhou. 1 Penggunaan kata 'kakak' atau 'adik' antara Bai Su-zhen dan Xiao Qing menunjukkan bahwa hubungan keduanya sangat akrab, walaupun mereka tidak benar-benar bersaudara kandung. Di Cina orang sering
saling mengangkat saudara dan menyayangi kawan seperti layaknya orang bersaudara. Sayangnya, majikan dan istrinya sudah meninggal, jadi tidak ada lagi yang menjaga kami. Semasa hidupnya, majikan kami tinggal di sebuah rumah di Hangzhou, dan mengajak kami tinggal bersamanya. Di sana kami membantu mengurus rumah tangga majikan. Kami tidak mempunyai saudara lain di sana. Nah! Kami telah menceritakan semuanya kepada Tuan. Apakah Tuan masih ingin bertanya?” Dengan rendah hati Xu Xian menjawab, “Kalian adalah keluarga bangsawan. Maafkan kebodohan saya.” Ia berdiri dan membungkukkan badannya. Bai Shu-zhen membalas penghormatan itu. “Jika kalian berdua tidak mempunyai saudara dan kenalan, tentunya kalian merasa kesepian di Hangzhou,” lanjut Xu Xian sungguh-sungguh. Bai Su-zhen menarik napas panjang. Xiao Qing berkata sambil menggoda, “Tuan Xu, Anda dan kakak saya sama-sama bernasib malang.” “Ya,” kata Xu Xian sambil mengangguk, “Saya memang kurang beruntung.” Hujan semakin reda dan berganti dengan gerimis. Kumpulan pepohonan di tepi pematang Su Bo mulai terlihat, karena uap kabut mulai menghilang dari Danau Barat. San Tan Yin Yue dan Ruan Gong Dun pun tampak di cakrawala. Rintik gerimis masih menetes di atas perahu. Selapis kabut yang indah menebar di atas air danau. Xiao Qing berseru, “Danau Barat memang luar biasa! Pemandangan sebelum dan sesudah hujan sangat berbeda. Tuan Xu, maukah Anda duduk di sini sebentar bersama kami untuk menikmati pemandangan yang indah ini?” “Kabut masih tebal. Sebaiknya kita pulang saja. Hari ini saya mendapat cuti sehari penuh. Saya berpikir sebaiknya saya segera pulang untuk menghindari teguran majikan.” Bai Su-zhen mengangguk tanda setuju. Sementara mereka berbicara, perahu telah tiba di Gerbang Qing Bo. Ketika kemudian tukang perahu menepikan perahunya, Bai Su-zhen mengambil uang dari sakunya dan memberikannya kepada Xiao Qing. Sambil mengulurkannya kepada tukang perahu, Xiao Qing berkata, “Karena Tuan Xu menyewa perahu sebanyak 70 tail, kami berdua ingin menambahnya 30 tail. Jadi jumlah seluruhnya 100 tail untuk kami bertiga. Hitung, Pak!” Mendengar kata-kata Xiao Qing, Xu Xian berpaling. “Hai!” serunya. “Jangan terima uangnya, Pak! Aku tidak ingin mereka membayar ongkos sewanya.” Bai Su-zhen berusaha meyakinkan Xu Xian, “Tidak apa-apa Tuan, jangan khawatir.” Tukang perahu memeriksa uangnya dan berkata, “Saya tidak perduli siapa yang akan membayar. Yang penting uangnya cukup.” “Kalau begitu baiklah. Terima kasih banyak!” kata Xu Xian. Tukang perahu menambatkan perahunya pada sebatang pohon di tepian danau. “Kita telah sampai. Silakan turun.” Xu Xian melirik ke arah Bai Su-zhen yang sedang menunjuk kembali ke arah langit sebanyak dua kali.
Sekalipun Xu Xian tidak memahami maknanya, ia diam saja. “Kakak, hari masih hujan. Apa yang akan kita lakukan sekarang?” tanya Xiao Qing kepada Bai Suzhen. “Ambillah payung saya ini. Pasti cukup besar untuk kalian berdua,” kata Xu Xian. “Tapi bagaimana dengan Anda?” tanya Bai Suzhen. “Jangan khawatir. Tempat tinggal saya sudah dekat.” Setelah mengucapkan terima kasih, Xiao Qing mengambil payung itu dari tangan Xu Xian, lalu berjalan ke luar dari ruang perahu yang beratap itu diikuti oleh Bai Su-zhen. Tiba-tiba Bai Su-zhen menoleh kepada Xu Xian dan berkata, “Di mana toko Anda, Tuan Xu, agar kami dapat mengantarkan payung Anda besok pagi?” “Jangan khawatir. Kalau tidak berhalangan, biar saya yang mengambilnya. Di mana Anda tinggal?” “Di luar Gerbang Qing Bo, di samping Qian Wang Ci. Di sana ada sebuah pintu merah dengan secarik kertas putih di atasnya. Itu rumah kami. Kami akan menanti Anda, Tuan.” Xu Xian berkata penuh semangat, “Baik! Walaupun hari hujan, saya akan ke sana.” Bai Su-zhen menganggukkan kepalanya, kemudian berjalan ke atas dek sementara Xiao Qing memayunginya. Sejenak mereka berdiri tak bergerak di atas dek perahu. Tetesan hujan belum juga berhenti, airnya bergulir di atas payung dan turun ke tanah. “Pukul berapa Anda akan datang, Tuan Xu?” kata Xiao Qing. “Besok sore” “Jadi, besok sore, hujan ataupun panas Anda akan datang. Kami akan menanti Anda.” Bai Su-zhen tersenyum sambil memandang ke dalam perahu. “Saya pasti datang,“ kata Xu Xian seraya bangkit dari tempat duduknya. Kedua wanita itu melompat ke darat. Sambil berjalan berdekatan, mereka segera pergi di bawah rintik air hujan dan hembusan angin. Xu Xian juga segera meninggalkan tempat itu. Di bawah siraman hujan gerimis, ia tiba di bawah Gerbang Qing Bo dan berlari pulang. Badannya basah kuyup. Walaupun baju barunya basah dan kusut, hati Xu Xian sangat gembira karena akan bertemu kembali dengan kedua wanita itu esok harinya. Sebenarnya ia ingin menceritakan pengalamannya kepada kakak dan iparnya, namun karena takut mereka akan menghujaninya dengan pertanyaan, akhirnya Xu Xian memutuskan untuk menyimpannya. Semalaman ia tidak dapat memicingkan mata, memikirkan kedua wanita itu. BAB 2 eesokan harinya, matahari bersinar cerah. Bai Su-zhen duduk seorang diri. Ia sedang memasang sebatang bambu pada serumpun bunga mawar di dalam pot di halaman rumahnya. Karena asyiknya, ia tidak memperhatikan keadaan di sekelilingnya. Xiao Qing diam-diam datang membawa secangkir teh. Minuman itu kemudian diletakkannya di atas meja di hadapan Bai Su-zhen. “Kau pasti sedang berpikir, apakah ia benar-benar akan menepati janjinya, bukan?” tanya Xiao Qing
lembut. Sambil menatap Xiao Qing, Bai Su-zhen menjawab. “Tuan Xu pasti datang. Ia tidak seperti yang lain. Aku yakin ia dapat memegang janji.” “Hujan yang kauciptakan kemarin benar-benar membantumu untuk meminjam payungnya.” “Ya! Itu harus kulakukan. Anggur minuman sudah kausiapkan?” “Tidak perlu engkau risaukan. Apakah engkau takut ia tak datang hari ini?” “Ia pasti datang.” “Kakak, ingatlah. Walaupun kaukatakan Xu Xian orang baik-baik, kau harus sanggup menguasai perasaanmu.” “Xiao Qing, Aku tahu! Bukankah telah kukatakan bahwa ia adalah orang baik-baik. Ia tidak berani memandang wajah kita dan selalu menundukkan kepalanya. Ia selalu menjawab segala pertanyaan kita K dengan jujur. Ketika kutanyakan berapa saudaranya, ia menjawab bahwa ia hanya mempunyai seorang kakak perempuan. Ia juga tidak berdusta, ketika kautanyakan apakah ia sudah menikah. Dengan terus terang ia berkata bahwa ia belum sanggup berdiri sendiri apalagi menghidupi keluarga. Tidakkah itu jawaban yang jujur? Dan ketika ia meminjamkan payungnya kepada kita ia tidak mengatakan akan mengambilnya kembali; apalagi menanyakan alamat kita. Setelah kukatakan bahwa kita akan mengembalikan payung itu ke rumahnya, baru ia berani menanyakan alamat kita agar dapat mengambil kembali payungnya. Xu Xian berkata jujur. Ia bukan pula seorang yang pandai menjual kata-kata. Jadi aku benar-benar mempunyai alasan cukup untuk mempercayainya.” Setelah mendengar kata-kata Bai Su-zhen, Xiao Qing menyadari bahwa kakaknya tidak lagi raguragu. “Bila sebesar itu keyakinanmu, tak ada gunanya aku berbicara lebih banyak lagi.” “Jalan masuk sudah disapu bersih?” “Sudah, sudah kubersihkan tadi,” jawab Xiao Qing meyakinkan saudaranya. “Sayur-sayuran segar sudah kaubeli?” “Semua perintahmu telah kukerjakan! Masihkah ada yang harus kukerjakan? Katakan segera.” Bai Su-zhen meneguk teh yang disiapkan oleh Xiao Qing untuknya, sambil memandang daun teh yang mengambang di dalam cangkir. Xiao Qing tahu bahwa saudaranya sedang berpikir. Ia berdiri diam di samping tanpa berbicara. “Apa lagi yang kautunggu?” tanya Bai Su-zhen sambil mengangkat kepalanya. “Tidakkah baru saja kukatakan bahwa aku menunggu perintahmu?” jawab Xiao Qing dengan sabar. “Kau telah mempersiapkan segalanya dengan sempurna. Aku tak menemukan kekurangan sekecil apa pun,” kata Bai Su-zhen dengan lembut. Matanya berpendar-pendar. “Buatlah agar kehadirannya di rumah ini benar-benar menyenangkan hatinya.” Xiao Qing menghela napas lalu meninggalkan halaman. Sambil melirik dari balik bahunya, ia meringis dan bergumam, “Siapa sebenarnya laki-laki itu, Kakak?”
Bai Su-zhen kembali menundukkan kepalanya. Ia tersenyum kecil. “Aku akan melihat ke luar,” kata Xiao Qing. “Kalau Xu Xian tiba, akan kubawa ia ke sini.” Setelah Xiao Qing ke luar, Bai Su-zhen meletakkan cangkirnya. Ia berjalan mengelilingi ruangan sambil terus berpikir. “Aneh! Mengapa aku tak henti memikirkan Xu Xian sejak melihatnya untuk pertama kali? Ia benar-benar cocok bagiku. Umurnya dua puluh, dan di atas segala-galanya, kejujurannya sungguh mengesankan. Jika nanti aku dapat menyambutnya dengan baik, ia pasti bersedia menikahiku.” Ketika Bai Su-zhen sedang berkhayal bagaimana memikat hati pria idamannya, matanya terpaku pada sebuah jambangan bunga yang berisi bunga mawar berwarna merah tua. Harumnya semerbak memabukkan. “Seandainya saja ia mau memetik sekuntum bunga ini, dan menyematkannya di rambutku, bunga ini pasti akan menjadi lebih indah!” lamunnya. Tiba-tiba ia merasa khawatir, seseorang akan menganggapnya aneh karena melihatnya berputarputar dalam ruangan. Bai Su-zhen pun menghentikan langkahnya. Ia lalu memandang ke luar jendela. Matahari yang saat itu hampir terbenam bersinar ke arah timur. Debu-debu beterbangan. “Seharusnya ia sudah datang sekarang,” pikirnya dengan tak sabar. Di tokonya, sementara bekerja pun Xu Xian tidak dapat melupakan Bai Su-zhen. Ia tak sabar menunggu datangnya petang. Setelah toko tutup, ia bergegas pulang dan berganti baju. Kepada kakaknya, Xu Xian berkata bahwa ia akan berkunjung ke rumah sahabatnya. Xu Xian tiba di Gerbang Qing Bo. Tepat seperti yang telah dikatakan oleh Bai Su-zhen, ia melihat sebuah pintu merah yang masih baru dan di atasnya melekat secarik kertas putih. Sejenak Xu Xian berdiri dengan ragu-ragu di luar bangunan itu. Belum pernah ia berkunjung ke rumah sebesar ini. “Jadi di sinilah mereka tinggal! Penghuninya pasti kaya raya. Aku tak akan berani masuk.” Ia pun menjadi ragu untuk mengetuk pintu. Namun, tibatiba pintu itu terbuka. Xu Xian berdiri terpaku karena merasa takut. Hampir saja ia melangkah pergi. “Xu Xian, apakah Anda baru saja tiba?” kata Xiao Qing menyambut dengan gembira. Xu Xian berhenti melangkah dan mengatur sikapnya. “Kakak saya khawatir Anda tidak dapat menemukan rumah ini,” kata Xiao Qing sambil tetap berdiri di pintu. “Itu sebabnya ia memintaku untuk melihat ke luar, jangan-jangan Anda sudah tiba. Mari silakan masuk! Ia sudah lama menunggu kedatangan Anda!” Xiao Qing menarik Xu Xian ke dalam sebuah lorong. Di ujung lorong itu, ia melihat sebuah jambangan besar penuh bunga. Di belakangnya, terhampar halaman yang luas, sarat dengan pepohonan dan tanaman bunga. Dua buah pohon yang rindang berdiri tegar mengapit pintu masuk. Di sebelah kiri terdapat serumpun bambu yang berbentuk seperti jendela. Tempat itu sangat bersih.
Tidak ada sehelai daun pun tergeletak di lantai. “Xu Xian telah datang,” kata Xiao Qing sambil menyibak kain pintu. Xu Xian berdiri di sebuah ruang tamu yang luas. Ruangan itu berisi sebuah tempat tidur kayu berukir. Di atasnya terdapat sebuah kasur bersulam. Di samping tempat tidur, terdapat sebuah meja yang juga berukir. Di dekat meja, terdapat enam kursi besar yang mengelilingi empat meja teh. Semuanya berukir indah. Di sebelah kanan, terdapat sebuah meja kecil dari kayu cendana. Meja ini dikelilingi oleh empat buah kursi dengan tempat duduk bersulam yang empuk. Di sebelah kiri, terdapat sebuah harpa yang besar dan sebuah meja kecil. Di atas meja kecil itu, ada jambangan yang berisi bunga-bunga yang sangat indah. Di tengah ruangan terdapat sebuah meja kecil panjang. Meja itu dipenuhi dengan pot-pot dan jambangan-jambangan bunga dari batu koral dan akik. Sebuah lukisan kaligrafi tergantung di dinding. Xu Xian berdiri terpaku. “Melihat pajangan rumahnya, aku yakin Keluarga Bai ini benar-benar hartawan,“ katanya pada dirinya sendiri. Bai Su-zhen masuk ke dalam ruangan dengan anggun. Lamunan Xu Xian pun terputus. “Selamat datang! Sudah lama saya menanti kedatangan Anda.” “Maafkan saya. Hari ini banyak langganan yang datang ke toko. Saya tidak dapat pulang lebih awal. Saya harap Anda mau mengerti, karena toko itu bukanlah milik saya.” “Anda pasti lelah. Silakan duduk,” kata Bai Suzhen dengan ramah. Xu Xian duduk di salah satu kursi yang besar, Bai Su-zhen di hadapannya. Xiao Qing masuk membawa dua cangkir teh di atas sebuah baki dan meletakkannya di atas meja. “Karena tidak mempunyai keluarga di sini,” kata Bai Su-zhen menjelaskan, “Kami harus cepat-cepat mencari tempat tinggal. Itu sebabnya rumah ini belum benar-benar rapi dan hiasannya pun sangat bersahaja.” “Oh, tetapi ini pun sudah sangat indah,” kata Xu Xian. “Seumur hidup, belum pernah saya melihat rumah seindah ini.” “Anda pasti belum makan. Saya harap Anda tidak berkeberatan untuk mencicipi masakan yang telah saya siapkan.” “Oh, jangan terlalu merepotkan diri.” “Tuan Xu,” kata Bai Su-zhen dengan rendah hati, “Karena tidak ada seorang pria pun di sini, maka saya sendirilah yang harus mengatur segalanya. Tetapi kadangkala hasilnya kurang memuaskan, seperti masakan yang saya siapkan khusus bagi Anda. Bila nanti hidangannya kurang memenuhi selera, jangan hendaknya ditertawakan.” “Saya tidak akan melakukannya.” Kemudian Xu Xian diajak ke bagian timur rumah itu. Di ruangan ini, lilin sudah dinyalakan dalam dua buah tempat lilin yang besar. Meja makan diatur untuk tiga orang. Ada sebuah kursi besar bersandaran di ujung meja. “Tuan Xu, silakan duduk di ujung meja,” kata Bai Su-zhen. “Adik saya akan duduk di sebelah kananmu, dan saya di sebelah kirimu.”
Setelah mereka duduk, seorang pelayan wanita datang. Xu Xian sekilas memperhatikan peralatan makan, seluruhnya terbuat dari bahan porselin pilihan. Namun, ia tidak dapat melihat piring makan. Xiao Qing menuangkan anggur dari sebuah tempat anggur yang sangat indah. “Cangkir ini terlalu besar. Saya hanya minum sedikit,” kata Xu Xian cepat-cepat. Sambil memandang Bai Su-zhen penuh arti, Xiao Qing menjawab, “Anda harus minum lebih banyak. Kami sengaja membuatnya kemarin untuk menyambut kedatangan Anda, yang sepantasnya kami rayakan.” “Tetapi, saya harus bangun pagi-pagi sekali. Kalau saya mabuk, saya akan terlambat datang di tempat kerja. Apa yang harus saya katakan kepada majikan?” sanggah Xu Xian. “Tuan Xu benar,” kata Bai Su-zhen. “Minumlah sebanyak Anda suka.” Kemudian ia mengangkat gelasnya ke arah Xu Xian. “Untuk kesehatan Anda, Tuan Xu. Dan terima kasih untuk segala kebaikan dan bantuan Anda kemarin. Tanpa payung, mudahmudahan Anda tidak demam.” Xu Xian meneguk anggurnya dan tersenyum, “Sama sekali tidak.” “Apakah toko Anda masih sibuk sekarang ini?” “Ya, Kami tidak mempunyai cukup banyak waktu untuk beristirahat.” “Pasti gaji Anda besar,” kata Bai Su-zhen ingin tahu. “Sebaliknya. Gaji saya sedang-sedang saja.” “Kalau begitu, sebaiknya Anda membuka toko sendiri.” “Tampaknya Anda kurang dapat memahami betapa sulitnya mencari uang saat ini!” keluh Xu Xian. “Saya telah bekerja dengan baik, dan tidak pernah membuat gusar majikan. Namun, dari mana saya dapat memperoleh uang cukup sebagai modal?” “Yah! Siapa tahu ada seseorang yang bersedia membantu.” Xiao Qing menoleh kepada Bai Su-zhen, dan berkata, “Tuan Xu, silakan ambil sendiri makanan dan minumannya. Masih banyak waktu untuk berpikir, dari mana Anda dapat memperoleh uang itu.” “Mudah-mudahan,” jawab Xu Xian. “Pertolongan Anda kemarin sungguh sangat...” kata Bai Su-zhen dengan bimbang. “...sangat kebetulan” sambung Xiao Qing. Xu Xian tak berani menafsirkan kata-kata mereka. Ia memusatkan perhatiannya kepada minumannya. Sekilas dipandangnya wajah kedua wanita itu, namun ia belum juga menemukan jawaban yang dicarinya. Bai Su-zhen berkata, “Tuan Xu, apa yang paling membahagiakan Anda?” “Menurut pendapat saya, tidak ada yang paling menyenangkan selain bercakap-cakap dengan kawankawan. Bagaimana dengan Anda?” Bai Su-zhen ragu-ragu sebentar. Sambil memainkan sumpitnya, ia tersenyum sedikit. “Teh sudah menjadi dingin,” katanya. “Biar saya buatkan seteko lagi yang hangat. Xiao Qing akan menemani Anda berbincang-bincang.”
Kemudian ia bangkit dari kursinya dan berjalan ke pintu keluar sambil tersenyum penuh arti kepada Xiao Qing. Melihat isyarat Bai Su-zhen, Xiao Qing lalu berkata, “Anggurnya hampir habis. Saya akan mengambilnya lagi.” “Sudahlah. Di sini pun masih banyak,” kata Xu Xian. Xiao Qing mengambil guci anggur, tertawa dan berjalan ke luar. “Jangan khawatir, Anda tidak akan mabuk,” katanya. Di luar ruangan, Xiao Qing bertemu dengan Bai Su-zhen yang memang sedang menunggunya. Ia menyapa Bai Su-zhen dengan wajah menggoda, “Apakah Tuan Xu harus segera diusir?” Bai Su-zhen merapatkan bibirnya. Ia merasa malu. Xiao Qing terus menggoda, “Apakah kau tidak ingin ia tinggal di sini?” Pipi Bai Su-zhen me.nerah, “Adik, jangan goda aku. Kau tahu benar bagaimana perasaanku. Aku mengharapkan bantuanmu.” Xiao Qing mencibir dan berkata, “O, jadi aku harus menjadi Mak Comblang bagi kalian berdua? Baiklah, berapa bayaranku?” Sambil menarik Xiao Qing ke dekatnya, Bai Suzhen membisikkan rencananya di telinga Xiao Qing. Xu Xian mulai merasa bosan ketika Xiao Qing kembali ke ruangan. Ia bergegas mengisi gelas Xu Xian yang hampir kosong. Tetapi Xu Xian bangkit. “Terima kasih, tetapi saya harus segera pergi. Rumah saya jauh. Hari sudah larut malam.” Tanpa mendengar jawaban Xu Xian, Xiao Qing tetap mengisi gelas Xu Xian dan menyuruhnya duduk kembali. “Jangan terburu-buru. Kami dapat meminjamkan lentera kepada Anda. Ada yang ingin saya bicarakan dengan Anda.” “Baiklah,” kata Xu Xian dengan sopan. “Tuan Xu, usia Anda sudah 20 tahun, tetapi mengapa Anda belum menikah?” tanya Xiao Qing sambil meneguk anggur dan memperhatikan wajah Xu Xian. “Saya orang miskin. Wanita manakah yang mau menikah dengan orang seperti saya!” jawab Xu Xian. “Saya dapat mencarikan seorang calon istri untuk Anda,” kata Xiao Qing. “Jangan bergurau. Bagaimana mungkin, orang semiskin saya dapat memperoleh seorang istri?” “Ikuti saja saran saya. Masalah uang tidak perlu Anda risaukan.” “Mana mungkin?,” kata Xu Xian tidak percaya. “Mengapa tidak? Kakak saya Bai Su-zhen juga berumur 20 tahun, dan ia masih seorang diri. Ia mendambakan pria jujur yang taat kepada hukum. Ia juga menyukai pria yang tidak gemar berbicara. Kemarin, ketika kita bertemu, ia langsung jatuh cinta kepada Anda.” Xu Xian menjadi bingung, “Bagaimana mungkin kami menikah?” “Tuan Xu, duduklah dan dengarkan saya. Apakah Anda bersedia menikahinya?” “Tentu saja saya ingin menikahinya. Tapi saya sangat miskin. Untuk menikah, paling tidak saya butuh uang sebanyak dua ratus tail. Dari mana dapat saya peroleh uang sebanyak itu?” Kata Xu Xian dengan sedih.
“Bukankah sudah saya katakan bahwa hal itu tidak perlu Anda risaukan? Jika Anda setuju, saya akan menyediakan uang itu dan mengatur perkawinan Anda. Tenang-tenang sajalah.” Xu Xian menggelengkan kepalanya dengan rasa tidak percaya. “Saya pasti sedang bermimpi,” gumamnya. “Anda tidak bermimpi. Semua yang saya katakan benar adanya,” kata Xiao Qing, tidak sabar. Xu Xian berdiri dan mengangguk hormat. “Terima kasih. Tetapi aku sedang berpikir, apa yang dapat kuberikan kepada calon istri saya nanti?” Xiao Qing menjawab, “Itu pun sudah saya pikirkan.” “Anda sungguh baik hati. Saya hanya mampu mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada Anda. Tetapi terlebih dahulu saya harus memberi tahu kakak dan suaminya mengenai berita gembira ini. Baru setelah itu kita dapat menetapkan hari perkawinan.” “Oh, itu tidak perlu,” tukas Xiao Qing. “Saya akan mengatur ruangan ini dan Anda dapat menikah di sini. Bagaimana?” Xu Xian memandang ke sekitarnya. “Kalau benar demikian, saya setuju,” katanya. “Karena kita tidak perlu lagi meminta izin kepada siapa pun, Bai Su-zhen akan segera saya panggil agar pernikahan kalian dapat segera dilangsungkan.” Xiao Qing memanggil kakaknya yang kemudian datang dengan kepala tertunduk, lalu duduk di depan mereka. Xu Xian berdiri, sambil mengetuk-ngetuk meja ia berkata dengan terbata-bata, “Begini adik, Anda mengatakan...ia mengusulkan...dan saya berpendapat, gagasannya benar-benar cemerlang!” “Kakak,” kata Xiao Qing dengan suara tegas, “Kami telah mengatur pernikahanmu. Tuan Xu menyangka ia sedang bermimpi. Kau masih ingin menyatakan sesuatu?” Bai Su-zhen berdiri dan berkata dengan lembut, “Tuan Xu, saya sangat berterima kasih Anda bersedia menjadi suami saya. Anda pasti bertanya-tanya mengapa saya memilih Anda dan bukan pria lain yang lebih kaya dan berpangkat. Karena mempunyai cukup uang, saya tidak membutuhkan pria kaya yang berkedudukan. Saya hanya menginginkan pria yang memiliki kejujuran. Namun karena semuanya hanya pandai bermanis-manis di muka dan berkhianat di belakang punggung, saya tidak berminat menerima lamaran mereka. Yang saya inginkan adalah pria yang jujur dan berkata apa adanya seperti Anda.” “Tetapi dengan keadaan saya yang seperti ini, saya takut Anda nanti akan malu karenanya,” kata Xu Xian sambil menundukkan kepala. “Asal Anda berlaku baik. Itulah yang terpenting bagi saya. Menurut Xiao Qing...” Bai Su-zhen menoleh ke arah saudaranya sambil menunduk malu. “Malam ini indah sekali. Mari kita segera laksanakan upacara perkawinan kalian,” kata Xiao Qing dengan tegas. Xiao Qing mengajak keduanya untuk berdoa kepada dewa-dewa dan memulai upacara
perkawinan. Ditanggalkannya sebuah selendang merah dari pinggangnya, lalu diberikannya kepada Bai Su-zhen dan Xu Xian. Dimintanya mereka memegang selendang itu, masing-masing di salah satu ujungnya. Dengan dipimpin oleh Xiao Qing, mereka membaca mantra-mantra perkawinan, dan berjalan ke kamar pengantin. Xiao Qing segera meninggalkan ruangan setelah sejenak menggoda kakaknya. Bai Su-zhen mengejarnya ke luar, lalu berbisik. “Terima kasih banyak, engkau telah menikahkan kami. Tetapi masih ada sesuatu yang kubutuhkan. Bersediakah engkau membantuku?” “Ya, katakan segera.” Karena takut terdengar oleh Xu Xian, Bai Su-zhen mengajak Xiao Qing menjauh. “Sekarang aku sudah menikah. Kita tidak akan kembali lagi ke E Mei. Namun, kami berdua memerlukan uang untuk membiayai rumah tangga dan membuka usaha. Padahal Xu Xian tidak mempunyai tabungan. Bagaimana caranya mendapatkan uang?” “Kau pasti sudah gila!” jawab Xiao Qing sambil tertawa. “Aku juga orang baru di sini dan tidak punya kenalan seorang pun. Bagaimana aku dapat mencari uang. Jika kau membutuhkan uang, aku terpaksa mempergunakan ilmu sihir.” Setelah berpikir sejenak, Bai Su-zhen menjawab. “Aku tahu. Tapi kalau kita menciptakan uang palsu dan akhirnya ketahuan, kita sendirilah yang celaka. Lebih baik kita pinjam saja dari Bendahara Kota. Di sana tak seorang pegawai pun bekerja jujur. Mereka senang memeras rakyat. Lebih baik kita mengambil uang mereka.” Kemudian Xiao Qing pergi, dan Bai Su-zhen kembali ke kamar pengantin. Xiao Qing lalu terbang ke kantor Bendahara Kota dan masuk menembus dinding gedung tempat penyimpanan uang. Ia memandang ke sekitarnya. Keadaan sangat sunyi, tidak ada seorang pun di sana. Xiao Qing melihat sebuah ruangan yang kokoh dengan pintu dan jendela yang tertutup rapat. Dengan perlahan ia mengetuk dinding ruangan itu. Tiba-tiba tampak sebuah lubang. Xiao Qing segera memasukkan tangannya ke dalam ruangan lewat lubang itu, dan diambilnya segenggam penuh emas batangan. Kemudian, Xiao Qing mengarahkan telunjuknya kembali kepada lubang itu. Lubang itu menghilang, dan dindingnya kembali seperti sedia kala. Esok harinya Xiao Qing menyerahkan emas-emas itu kepada Bai Su-zhen. Semuanya ada 60 batang emas. Bai Su-zhen tertawa gembira. “Untuk mengangkat emas sebanyak ini, paling tidak dibutuhkan dua orang kuli.” Pada saat yang sama, di kantor kas kota, Bendahara, dikejutkan oleh hilangnya uang sebanyak tiga ribu tail emas. Ia lalu sibuk mencari dalih hilangnya uang itu. BAB 3 ada hari setelah pernikahan, matahari bersinar cerah. Xu Xian terbangun. Dari tempat tidur ia melihat Bai Su-zhen sedang duduk di depan meja hias menyisir rambut. Pada saat itu, matahari
menyinari dinding putih bagian barat. Di sebelah dinding terdapat bunga-bunga indah dan dedaunan yang hijau segar. Betapa indah pemandangan yang dilihatnya. “Pemandangan sangat indah, bukan?” kata Bai Su-zhen sambil memandang ke luar jendela. “Aku tidak melihatnya. Aku sedang asyik memperhatikanmu menyisir rambut. Dan itu jauh lebih indah dari pemandangan di luar.” “Selama ribuan tahun, tak terhitung banyaknya pujangga menulis puisi tentang wanita yang menyisir rambutnya.” “Aku tidak bicara soal puisi dan pujangga. Aku hanya senang melihatmu menyisir rambut.” “Benarkah? Jika kau mau, aku akan mengubah tata rambutku. Bagaimana pendapatmu?” “Aku suka semua tata rambut yang kaupilih.” “Ini adalah kata-kata suami yang mencintai istrinya. Mudah-mudahan kau selalu demikian kepadaku.” “Aku bersumpah akan selalu menyayangimu,” kata Xu Xian bersungguh-sungguh. “Tak perlu bersumpah. Aku percaya. Bagaimana kalau rambutku disanggul saja?” “Bagus. Aku ingin melihat bagaimana kau P mengatur rambut,” kata Xu Xian sambil bangkit dari tempat tidur. “Nah, lihatlah kemari...begini caranya.” Bai Suzhen lalu mengangkat dan menekuk rambutnya ke atas dengan rapi. Xu Xian yang berdiri di sebelahnya berkata. “Indah sekali.” Keduanya lalu tertawa gembira. “Ya, memang indah. Tetapi pada musim panas seperti ini, biasanya orang tidak memakai tusuk konde dari tulang. Aku akan mencari bunga-bunga berwarna merah untuk hiasan rambutku,” kata Bai Su-zhen. “Bagaimana kalau aku yang memetiknya untukmu?” usul Xu Xian. “Baiklah. Aku akan menemanimu memetik bunga.” Xu Xian berjalan ke luar, lalu memetik tiga kuntum bunga dan memberikannya kepada Bai Suzhen. “Apakah bunga-bunga ini cocok untuk rambutmu?” “Ya. Tetapi masih ada tugas lain untukmu. Tolong atur bunga ini di sanggulku.” Xu Xian memandang rambut istrinya dan tersenyum. “Inilah tugas yang sangat kusukai. Tunggu Aku harus tahu di mana sebaiknya bungabunga ini kutancapkan. Aku tidak ingin merusak rambutmu.” Bai Su-zhen tersenyum lembut dan membiarkan Xu Xian berjalan mengitarinya. Setelah berpikir sejenak, Xu Xian lalu memasang sekuntum pada sisi kiri sanggul Bai Su-zhen, sekuntum lagi pada sisi kanannya, sedangkan kuntum bunga ketiga tepat di tengah-tengah sanggul. Lalu ia berdiri di belakang istrinya untuk menilai hasilnya. Pada waktu yang sama Xiao Qing datang membawa teh. Ia tersenyum gembira melihat pemandangan yang mengasyikkan itu. Setelah meletakkan teh di atas meja, ia berjalan ke luar. “Adik Xiao Qing,” kata Xu Xian. “Jangan pergi. Bagaimana pendapatmu tentang bunga-bunga ini?”
“Maksudmu bunga di rambut Bai Su-zhen?” tanya Xiao Qing. “Tentu saja sangat indah.” Lalu ia pergi meninggalkan mereka berdua kembali, duduk berdampingan sambil menikmati teh. Bai Su-zhen tiba-tiba tersenyum. “Mengapa engkau tersenyum?” tanya Xu Xian. “Aku geli melihat caramu memandangku!” “Karena engkau sangat cantik. Hari pertama cutiku telah kita lewatkan dalam kesibukan. Hanya tinggal hari ini dan esok sajalah aku dapat menikmati kehadiranmu di sampingku.” “Jadi, setelah tiga hari, engkau harus kembali bekerja?” “Tentu saja.” Bai Su-zhen berpikir sebentar dan berkata. “Dalam setahun paling banyak engkau mendapatkan dua ribu tail. Dengan gaji sekecil itu, tidak seharusnya kau merasa terikat pada pekerjaanmu. Ayahku banyak menabung selama hidupnya. Peninggalannya cukup banyak untuk kita berdua selama delapan hingga sepuluh tahun. Engkau sebaiknya berhenti bekerja dari toko itu.” “Engkau sangat baik hati, Sayangku,” kata Xu Xian. “Tetapi seorang pria tidak bisa duduk bermalasmalasan sepanjang tahun tanpa bekerja.” “Ya, aku tahu. Tetapi, tidaklah bijaksana bila engkau terus bekerja di toko dengan gaji sekecil itu. Kita masih mempunyai dua hari untuk memikirkannya. Jadi kau tidak perlu khawatir.” Pada saat itu dari luar terdengar suara genderang dan gong yang dibunyikan dengan keras. “Saat ini ibu kota dipindahkan ke Hangzhou. Para pegawai kotapraja sedang bergembira. Mereka merayakannya di danau pada pagi ini,” Xu Xian menjelaskan. “Nanti malam bulan purnama. Danau Barat pasti sangat indah. Kita harus menyewa perahu dan bermain-main di sana. Kita beruntung tinggal di tepi danau. Jadi kita dapat bersenang-senang hingga larut malam. Bagaimana pendapatmu?” tanya Bai Suzhen dengan bersemangat. “Betul! Semakin larut, semakin sedikit orang di sana. Itu lebih baik bagi kita berdua.” “Apa maksudmu dengan semakin sedikit orang di sana?” “Artinya, kita bisa berdua saja di sana.” “Kakak, jadi aku tidak boleh ikut bersama kalian malam ini?” kata Xiao Qing yang muncul dengan tibatiba dari ruang sebelah. “Tentu saja engkau boleh ikut. Aku tidak bersungguh-sungguh tadi,” kata Xu Xian menenangkannya. Dengan menahan tawa, Bai Su-zhen berkata kepada Xiao Qing, “Setelah makan siang, pergilah menyewa sebuah perahu kecil dan bersih untuk nanti malam. Sesudah makan malam kita berangkat dan bersenang-senang di danau.” “Jadi, aku boleh ikut juga, bukan?” tanya Xiao Qing. Xu Xian bangkit dan membungkukkan badannya. “Maafkan kata-kataku tadi. Aku tidak bersungguhsungguh.” Mereka bertiga tertawa berderai-derai. Malam itu bulan bersinar penuh di timur langit. Indahnya bayangan bulan, puncak gunung dan
pepohonan di atas air sungguh tak terlukiskan. Demikian pula pantulan Gunung Gu dan Ge yang berpadu dengan cahaya dari kota Hangzhou. Perahuperahu yang berlayar menyebabkan air bergoyanggoyang. Gerakan airnya membuat lukisan yang terpantul di permukaan air berpendar-pendar memukau mata. Perahu yang disewa Xiao Qing, mempunyai sebuah ruangan, bertirai hijau. Atapnya berwarna biru. Di dalamnya terdapat sebuah meja dengan 2 buah kursi. Pada atap ruangan itu tergantung dua buah lentera. Di atas meja terdapat teh satu teko dan empat buah mangkok berisi buah delima, kacang, biji buah melon, dan gula-gula. Xu Xian berseru. “Xiao Qing, pandai sekali engkau memilih perahu. Kalian berdua duduk di kursi ini, dan aku di atas papan.” Xiao Qing menjawab, “Jangan berbasa-basi. Kursikursi itu khusus untuk pengantin baru. Aku dapat duduk di tempat lain.” “Oh,...tetapi itu tidak...” kata Xu Xian. Dengan berbisik Bai Su-zhen berkata, “Ayo duduklah. Orang-orang di perahu lain akan mendengar suara kita.” Xu Xian menurut. Perahu mulai bergerak. Xu Xian melihat sebarisan perahu berlayar ke tengah danau. Perahu berukuran besar berlayar di barisan depan, masing-masing memasang lampu yang terang benderang seperti mata naga. Penumpangnya membunyikan genderang dan gong. Perahu-perahu yang lebih kecil mengikuti dari belakang. “Lebih baik menjauh saja,” usul Bai Su-zhen. “Kita cari tempat yang lebih tenang.” “Usul yang bagus. Bukankah sudah kukatakan kemarin...” suara Xu Xian tertahan ketika dilihatnya Xiao Qing memandang ke arahnya, “Semakin sepi semakin asyik.” Xiao Qing tersenyum, “Ya, lebih sunyi lebih baik.” Perahu mereka menjauh dari perahu-perahu yang lain. “Sungguh menyenangkan. Semua bergerak-gerak menurut aliran air,” seru Xu Xian. “Lihat puncak-puncak gunung itu,” kata Bai Suzhen. “Seperti dua buah tangan yang menaungi danau ini seisinya, termasuk kita bertiga.” Mereka berlayar di antara bunga-bunga lili yang menari-nari membentur dinding perahu. “Mereka tidak mengerti betapa indahnya ketenangan,” kata Bai Su-zhen. “Mereka pasti berpikir kita ini gila!” Sebuah ranting jatuh ke dalam air, berdesir di antara celah-celah sinar purnama, “Seandainya saja kita bisa menghilangkan seluruh kebisingan ini,” kata Xu Xian. “Kita beruntung dapat menemukan tempat yang agak tenang,” goda Xiao Qing. Perlahan mereka mendekati jalan kecil Su Ti. Bulan mengintip dari balik pepohonan. Pemandangan sangat memukau. Selapis kabut mengambang di atas air danau, dilatarbelakangi puncak-puncak gunung yang kehijauan bagai batu zamrud. Tukang perahu membiarkan perahu terombang-ambing sebentar di pinggir sungai. “Ah! Tempat ini sungguh sangat indah. Air,
gunung, sinar bulan, perahu, dan kita bertiga! Semoga kebahagiaan dan keindahan selalu bersama kita,” kata Bai Su-zhen. Suaranya mengisyaratkan kekhawatiran. “Tetapi, bila aku hanya menggantungkan seluruh kehidupanku kepadamu dan tidak bekerja, hidup kita tidak akan berkecukupan,” ujar Xu Xian sambil mengernyitkan dahinya. “Mengapa engkau masih saja khawatir? Bukankah sudah kukatakan, besok akan kuputuskan pekerjaan manakah yang sesuai untukmu?” “Ya, tentu saja. Dan aku akan mengikutimu hingga akhir dunia.” Xiao Qing menggoda, “Tuan Xu! Jangan berdusta.” “Aku tidak berdusta,” sanggah Xu Xian. “Xiao Qing, ia tidak berdusta. Tidak ada sesuatu pun yang pantas dicurigai,” kata Bai Su-zhen membela suaminya. “Ya. Tetapi ia berkata bahwa ia akan mengikutimu ke ujung dunia!” sergah Xiao Qing. “Aku mengatakan yang sebenarnya,” tandas Xu Xian sekali lagi. “Sudahlah. Kita harus pulang sekarang. Hari semakin gelap,” ujar Bai Su-zhen menenangkan mereka. Danau mulai sepi. Hanya tinggal beberapa lampu yang masih menyala. Ketika melewati jalan Bai Ti, bayangan pohon-pohon di tepian terlihat seperti lukisan. Di kejauhan terlihat jembatan batu dengan sebuah rumah di atasnya. “Itulah jembatan pertama di atas Bai Ti. Apa nama jembatan itu?” tanya Xiao Qing. “Jembatan Patah,” jelas Xu Xian. “Aku tidak menyukai nama itu,” kata Bai Su-zhen. “Jembatan itu kokoh dan meyakinkan. Nama ‘Jembatan Patah’ sungguh tidak sesuai.” “Ya, tetapi nama itu sudah sedemikian akrab, dan aku pun selalu menyebutnya tanpa memikirkan artinya.” “Kurasa, orang menyeberangi jembatan itu menggapai masa depan yang cerah, sesuatu yang baik dan membahagiakan. Menurut pendapatku, sebaiknya nama itu diubah. Misalnya menjadi ‘Jembatan Penolong’, ‘Jembatan Keberuntungan’ atau ‘Jembatan Harapan’.” “Kalau begitu, mari kita ganti saja namanya,” kata Xu Xian. “Jangan berbuat bodoh,” kata Bai Su-zhen tertawa. “Nama jembatan itu ‘Jembatan Patah’. Kita tidak boleh seenaknya menggantinya. Selama kita tidak memulai masa depan kita di atas jembatan itu, apa yang harus dikhawatirkan.” “Tentu saja tidak ada,” kata Xu Xian dengan gugup. “Bukankah kita hanya bergurau.” BAB 4 alam itu, mereka bercakap-cakap hingga pagi. Karena sangat lelah, mereka jatuh tertidur. Xiao Qing berdiri di samping tempat tidur Xu Xian. Ia berbisik di telinga Xu Xian, “Tuan Xu, ada tamu di luar. Mereka sudah lama menunggumu. Bangunlah.” Xu Xian melompat bangun. “Cepat sekali engkau bangun! Pukul berapa sekarang?” “Pukul 12 siang. Istrimu telah bangun semenjak fajar. Kini ia duduk menemani para tamu. Ia
menyuruhku memanggilmu.” “Apakah tamu-tamu itu ingin menemuiku?” tanya Xu Xian. “Mereka adalah bekas pegawai-pegawai kami,” jawab Xiao Qing. “Yang seorang bernama Ma Zi-hou dan yang seorang lagi bernama Li Ben-liang. Mereka ingin berbicara kepadamu.” Xu Xian pun mandi dan bergegas mengenakan pakaiannya, kemudian pergi menemui tamunya. Mereka mengangguk tiga kali kepada Xu Xian. Ma Zihou memakai topi persegi. Jubahnya yang panjang berwarna abu-abu terbuat dari bahan sutera dan satin, jenggotnya panjang dan usianya sekitar lima puluh tahun. Li Ben-liang memakai topi cekung dan berbaju ungu. Usianya kira-kira empat puluh tahun. Xu Xian membuka percakapan dengan meminta maaf. “Maaf, aku baru saja bangun. Kami berperahu semalaman.” Bai Su-zhen memberi isyarat kepada Xu Xian agar M ia segera duduk. Kemudian ia berkata, “Tuan-tuan ini adalah pegawai ayahku. Tuan Ma adalah kepala pegawai di toko obat kami. Ia sangat ahli di bidangnya. Sedangkan Tuan Li, walaupun bukan ahli, ia sangat mengenal seluk-beluk perdagangan. Aku meminta kedua Tuan ini untuk datang dan membicarakan kemungkinan membuka toko obat kita. Tuan Li menyatakan bahwa ia akan mengalihkan toko obatnya kepada kita, karena ia tidak mempunyai keluarga lagi di sini. Agar rencana ini terlaksana, terlebih dahulu kita harus membereskan beberapa hal. Tuan Li akan membantu mengatur segalanya. Dan aku merencanakan pindah ke Suzhou. Tuan Ma telah menyetujui rencanaku. Jadi tidak ada lagi yang perlu dipermasalahkan. Bagaimana menurutmu, Suamiku?” Bai Su-zhen mempunyai tiga alasan mengapa ia ingin pindah dari Hangzhou. Sebab, Xu Xian cukup dikenal di kota itu. Jika ia tiba-tiba menjadi kaya, orang akan mempergunjingkannya. Kedua, semua teman Xu Xian bekerja di toko obat itu. Apabila ia membuka sebuah toko obat baru, maka temantemannya akan menjadi iri. Ketiga, Suzhou tidak begitu jauh dari Sungai Chang Jiang. Jika Xu Xian pindah ke Suzhou, ia masih dapat mengunjungi keluarganya di Hangzhou. Xu Xian tidak mengetahui alasan-alasan ini. Jadi ia menyetujui saja kata-kata istrinya. Katanya, “Istriku benar. Tetapi aku....” Namun Bai Su-zhen memotong, “Mengenai modal awal, Tuan Li sudah mengumpulkan sisa-sisa peninggalan almarhum ayahku. Jumlahnya sudah lebih dari cukup untuk membuka sebuah toko obat baru.” Xu Xian berpikir dalam-dalam. “Aku orang bebas dan dapat pergi ke mana saja. Yang menjadi pikiranku hanyalah masalah uang. Jadi apa lagi yang harus kukhawatirkan? Istriku telah mengurus segalanya. Kami telah siap untuk membuka toko obat yang cukup pantas.” Xu Xian memandang istrinya yang segera memahami maksud suaminya. “Semua telah dibereskan dan dipersiapkan untukmu. Aku hanya minta persetujuanmu. Apakah engkau bersedia
pindah ke Suzhou?” “Aku bersedia, bila modal sudah ada.” Ma Zi-hou meyakinkannya, “Asalkan Anda bersedia pindah ke Suzhou, tidak ada hal lain yang perlu dikhawatirkan.” “Ya,” Li Ben-liang menambahkan. “Serahkan segala urusan persiapan kepada kami. Anda tidak perlu cemas.” Bai Su-zhen tertawa. “Nah! Apa lagi yang kita khawatirkan? Kau boleh bergembira sekarang!” Xu Xian tidak pernah menyangka betapa mudahnya membuka sebuah toko obat. Modal telah tersedia, begitu pula pegawai yang akan mengurus pengelolaannya. Benar-benar di luar dugaannya! Tuan Ma dan Tuan Li adalah bekas pegawai. Namun karena mereka sudah lama tidak bekerja, Xu Xian merasa perlu membicarakan masalah keuangan dengan mereka. “Tuan-tuan, karena kalian bersedia membantuku, kita harus bicara.” Bai Su-zhen kemudian meminta diri untuk menyiapkan makan siang. “Aku akan menyiapkan makanan. Tanyakan segala sesuatunya kepada mereka mengenai toko obat. Buktikan sendiri apakah mereka benar-benar ahli.” Mula-mula Xu Xian tidak tahu apa yang harus ia tanyakan. Namun Ma Zi-hou segera mengajukan pertanyaan tentang pengalaman kerja Xu Xian di toko obat. Ternyata masih banyak hal yang belum ia ketahui. Dari percakapannya dengan Tuan Li, Xu Xian segera menyadari bahwa ia pun tak memiliki pengalaman dalam bidang keuangan. Mereka terus saja bercakap-cakap selama makan siang, lalu kedua tamu itu pulang. “Suamiku, bagaimana pendapatmu tentang dua pegawai almarhum ayahku ini?” tanya Bai Su-zhen kemudian. “Mereka sepuluh kali lipat lebih pandai dibandingkan diriku.” Bai Su-zhen menjawab, “Mungkin saja. Tetapi engkau adalah suamiku dan engkau tidak bisa dibandingkan dengan siapa pun. Kita harus membicarakan beberapa hal lagi dengan mereka. Setelah itu mereka harus segera berangkat ke Suzhou.” “Aku menyetujui semua rencanamu.” “Sekalipun aku yang memanggil kedua orang itu ke sini, tetapi engkaulah kelak yang akan menjadi majikan. Besok pagi mintalah izin berhenti bekerja kepada majikanmu.” “Secepat itu?” kata Xu Xian. “Tidakkah lebih baik memberinya waktu barang tiga hari?” “Berapa jumlah gaji yang belum ia berikan kepadamu?” tanya Bai Su-zhen. “Dua bulan gaji,” kata Xu Xian. “Bagi seorang pemilik toko, uang adalah segalanya. Besok pagi bila kau meminta izin kepada majikanmu, katakan kepadanya bahwa ia tidak perlu membayar lagi sisa gajimu.” Xu Xian menyadari bahwa semakin cepat ia dapat membereskan urusannya di kota itu semakin baik pula hasilnya. Keesokan hari sesudah makan siang, ia pergi ke toko obat tempat ia biasa bekerja. Keempat pegawai keuangan di sana terkejut melihat
kedatangan Xu Xian yang saat itu mengenakan topi persegi abu-abu dan baju baru dari kain satin. Salah seorang dari mereka berteriak, “Hei! Lihat Xu Xian datang, kelihatannya, ia tidak datang untuk bekerja.” Xu Xian menyalami teman-temannya sambil tersenyum. “Ya, memang demikian,” katanya. Semua orang menjabat tangannya. Seorang temannya yang bernama Wu berkata, “Kudengar istrimu kaya. Engkau beruntung. Majikan baru saja mengetahui bahwa engkau belum masuk kerja dan ia agak marah. Kukatakan kepadanya bahwa engkau baru saja menikah, sehingga terlambat masuk. Bukankah istri lebih penting daripada pekerjaan? Ha, ha, ha!” “Terima kasih. Engkau sudah membelaku,” kata Xu Xian. “Tetapi sejak pernikahanku aku menemukan tempat kerja baru. Jadi, aku datang kemari untuk memberitahukan bahwa aku tidak akan bekerja lagi di sini.” “Berhenti?” tanya Wu dengan terkejut. “Ya, itulah sebabnya aku datang sekarang,” jawab Xu Xian dengan tenang. “Majikan ada?” “Ya, ia berada di ruang bendahara,” jelas Wu. Xu Xian mengangguk lalu pergi menemui majikannya, yang saat itu sedang memeriksa buku laporan keuangan bersama salah seorang pegawainya. Xu Xian masuk dan mengangguk. “Ini dia pengantin baru dengan baju barunya!” hardiknya sambil meletakkan buku laporan. Ia menatap Xu Xian dengan tajam. “Dalih apa lagi yang akan kau sampaikan, Anak muda? Kau sudah kuberi cuti selama tiga hari. Namun hari ini kau masih saja datang terlambat? Begitukah sikapmu terhadap rekan-rekanmu?” Xu Xian menjawab dengan ragu-ragu. “Bukan begitu, Tuan.” Sang bendahara mencoba menenangkan suasana. “Xu Xian memang lalai. Tetapi ia pegawai yang baik, dan baru saja menikah. Maafkanlah keterlambatannya. Dengan syarat ia tak mengulanginya sekali lagi.” Majikannya berkata, “Lihatlah, ia membelamu, Xu Xian. Engkau harus berterima kasih kepadanya.” “Tidak,” kata Xu Xian dengan sopan. “Saya tidak datang untuk bekerja, melainkan untuk berpamitan. Saya akan keluar dan tidak lagi bekerja di sini.” Majikannya berdiri sambil berpegangan pada meja. Ia terkejut. “Apa? Kau mau berhenti?” “Ya. Itulah sebabnya saya datang,” kata Xu Xian sekali lagi. “Maafkan saya karena tidak menunggu hingga akhir tahun.” “Temanku, Xu Xian,” kata temannya. “Kau masih muda. Jangan bertindak semata-mata karena dorongan hati saja. Mengapa engkau ingin berhenti? Majikan sudah memaafkanmu.” “Aku ingin berhenti bukan karena majikan memarahiku. Aku akan meninggalkan kota Hangzhou. Itu sebabnya aku ingin mohon diri.” Bendaharawan itu berdiri dan memandang Xu Xian. Baju Xu Xian memang bukan baju untuk bekerja. “Kau akan ke mana?” “Ke Suzhou. Tetapi aku belum tahu di mana tempatnya,” jawab Xu Xian.
“Kau sudah memutuskan untuk pergi ke sana, tetapi belum juga tahu di mana tempat tinggal barumu?” kata temannya dengan heran. “Sebaiknya kau pertimbangkan lagi keputusanmu. Jangan terburu nafsu.” “Terima kasih atas perhatianmu. Aku belum menerima dua bulan gaji. Namun karena aku tibatiba berhenti, kau tidak perlu membayarku lagi. Menurut pendapatku tidak pantas aku menerimanya.” Majikan Xu Xian belum juga dapat mempercayai kata-kata Xu Xian. Ia terheran-heran mendengar niat Xu Xian dan berpikir Xu Xian pasti mempunyai alasan yang kuat mengapa secara mendadak mengajukan permohonan berhenti. Lalu ia berkata, “Kudengar istrimu keturunan orang terpandang. Barangkali ia mempunyai banyak uang. Jadi...” Ia tak melanjutkan kata-katanya, dipandangnya Xu Xian untuk melihat reaksinya. Dengan berpura-pura tidak mendengar sindirannya, Xu Xian berkata, “Tuan, saya bersungguh-sungguh. Saya tidak ingin dibayar.” “Kalau kau benar-benar mau pergi, aku tidak dapat menahanmu,” kata majikannya. “Mengenai gajimu, akan kusimpan saja. Siapa tahu akan berguna nantinya. Apakah kau akan berangkat hari ini?” “Begitulah,” kata Xu Xian sambil mengangguk penuh hormat kepada majikannya dan sang bendahara, “Saya benar-benar ingin mengundurkan diri.” Sesungguhnya majikan merasa sangat berat hati melepaskan Xu Xian. Karena Xu Xian seorang pegawai yang amat patuh dan tidak pernah bertingkah. Ia meminta Xu Xian untuk mampir, seandainya ia kebetulan berkunjung ke Hangzhou. Xu Xian lalu berpamitan kepada seluruh teman sekerjanya. “Majikan sudah menyetujui kepergianku. Aku harus pergi sekarang.” Lin membawa seteko teh dan menawarkannya kepada Xu Xian. Ia berkata, “Sekarang kau menjadi tamu kami. Mari kita minum teh bersama untuk mengantar kepergianmu.” Xu Xian sangat terharu melihat keramahtamahan teman-temannya. “Karena sekarang aku telah menikah, kalian boleh datang ke rumah, bila ada waktu senggang.” Seseorang bertanya, “Bagaimana dengan barangbarangmu? Semuanya akan kaubawa? Atau kau akan mengirim seseorang untuk mengambilnya besok pagi?” “Akan kubawa hari ini juga. Jumlahnya tidak seberapa. Kalau tidak terbawa, biar saja di sini.” Xu Xian meminum tehnya, lalu masuk ke dalam untuk membereskan barang-barangnya. Ia menyewa seorang kuli untuk mengambil bungkusannya dan membawanya pulang. Xu Xian mendatangi kakaknya, Fu Yun, dan kakak iparnya, Li Ren. Ketika melihat penampilan dan baju Xu Xian, Fu Yun ternganga Hampir-hampir ia tidak mengenali adiknya! Kemudian Xu Xian menceritakan seluruh kejadian dari awal pertemuan hingga perkawinannya dengan Bai Su-zhen. Fu Yun mengangguk berkali-kali. Ia kagum akan keberuntungan adiknya. Betapa
mudahnya perkawinan Xu Xian, pikirnya. “Istriku keturunan bangsawan,” kata Xu Xian. “Tabungannya cukup banyak. Hari ini aku telah mengundurkan diri dari toko obat tempatku bekerja, karena bermaksud membuka toko obat milik kami sendiri.” Wajah Fu Yun berseri. “Tetaplah berhati-hati,” katanya memperingatkan Xu Xian. “Karena kau baru akan melakukannya untuk yang pertama kali. Pertimbangkan langkahmu masak-masak.” Karena Xu Xian yatim piatu sejak masa kanakkanak, kakaknyalah yarig merawatnya dengan penuh kasih sayang. Xu Xian lalu mengeluarkan uang 20 tail dari saku bajunya dan memberikannya kepada kakaknya. Fu Yun hampir tidak dapat berkata-kata. Kemudian Xu Xian kembali ke rumah Bai Su-zhen. Ia dibanjiri pertanyaan tentang pengalamannya hari itu. Dengan terkikik Bai Su-zhen berkata, “Jadi majikanmu tidak percaya engkau benar-benar akan berhenti bekerja. Syukurlah engkau tidak meminta gajimu. Dengan demikian mereka tidak akan memburuk-burukkan namamu. Sekarang beristirahatlah selama beberapa hari. Kita pasti akan sibuk bila nanti toko kita benar-benar telah dibuka. Kakakmu pasti akan merasa kehilangan engkau. Sebaiknya kau sering mengirimkan hadiah kepadanya.” Tuan Ma dan Tuan Li berkali-kali datang untuk melaporkan semua perkembangan kepada Bai Suzhen. Persiapan sudah hampir selesai. Perjanjian kerja akan segera ditandatangani. Karena ingin mengetahui semua permasalahannya, Xu Xian pun tak henti mengajukan berbagai pertanyaan kepada Tuan Ma dan Tuan Li. Akhirnya ia merasa puas dan yakin bahwa keduanya benar-benar ahli yang dapat diandalkan. Beberapa hari kemudian, pada awal bulan April, Bai Su-zhen dan Xu Xian mengirim Tuan Ma dan Tuan Li ke Suzhou. Suatu sore Xiao Qing berkata kepada Xu Xian, “Akhir-akhir ini, pemandangan di danau sangat indah. Sekarang, karena telah bebas dari majikan dan tokomu, kau harus menikmati keindahannya.” “Engkau benar. Tetapi, karena aku biasa bekerja, aku takut bila terlalu lama bersantai-santai, aku akan menjadi malas. Sekalipun belum ada yang harus kukerjakan, aku tidak ingin membuang-buang waktu. Kuharap kau mau mengerti, Xiao Qing.” “Memang benar. Tetapi jangan khawatir. Dalam waktu setengah bulan, kita akan mendengar kabar dari Suzhou. Kakakku sedang sibuk mempelajari buku obat-obatan di ruang belakang sebagai pengisi waktu. Kau harus menirunya.” “Jadi, ia juga mengerti tentang obat-obatan?” “Kurasa ia lebih pandai daripada tabib.” “Tentunya buku obat-obatan itu berasal dari keluarganya. Aku harus belajar dari istriku.” Ketika mereka sedang berbicara, Bai Su-zhen datang dan mendengar percakapan mereka. “Suamiku! Kau ingin belajar obat-obatan?” “Aku baru tahu hari ini bahwa engkau adalah seorang ahli obat. Aku siap menjadi muridmu.” “Kelak kita akan mempunyai banyak waktu untuk bersama-sama. Dan engkau pun akan sempat
mempelajari banyak hal.” “Sekarang adalah waktu yang tepat untuk belajar, karena aku tidak mempunyai kesibukan.” “Kalau demikian, baiklah. Xiao Qing akan menyapu ruang belakang. Kita dapat belajar di ruangan itu. Namun, seni menyembuhkan orang tidak semata-mata dipelajari dari buku saja. Pengalaman juga penting. Setelah membuka toko obat nanti, aku akan memberikan pelayanan gratis kepada siapa saja yang hendak menanyakan penyakitnya. Bagaimana pendapatmu?” “Aku setuju sepenuhnya,” jawab Xu Xian. Pada saat mereka berbicara, matahari mulai bergulir ke barat. “Sekarang, mari kita berjalan-jalan,” kata Bai Suzhen kepada Xu Xian. Xiao Qing berdiri di samping meja berbunga. Ia mengernyitkan keningnya. “Saat ini mereka sangat berbahagia. Apakah kebahagiaan ini akan berlanjut di hari-hari mendatang?” BAB 5 iao Qing menyapu ruangan belakang seperti yang diperintahkan Bai Su-zhen. Di sana berjejer dua rak buku. Di sampingnya terdapat sebuah meja panjang dengan alat tulis-menulis, buku, dan dua jambangan bunga di atasnya. Di luar ruangan, tampak sebidang halaman kecil yang ditumbuhi bunga-bunga mawar Cina dan serumpun bambu. Bai Su-zhen menginginkan supaya ruangan itu selalu diatur rapi, agar ia dapat memusatkan pikiran dan perhatiannya. Bai Su-zhen dan Xu Xian duduk berjam-jam di ruangan ini. Mereka mempelajari berbagai buku tentang obat-obatan. Bai Su-zhen menjelaskan beberapa prinsip dasar obat-obatan kepada suaminya. Suatu pagi ketika mereka sedang asyik belajar, Xiao Qing datang. “Ada tamu di luar.” Bai Su-zhen segera keluar menemuinya. Tak lama kemudian, ia kembali dengan wajah sukacita. “Kabar baik, Suamiku! Tuan Ma dan Tuan Li telah mengirim surat. Mereka memberitahukan bahwa toko kita terletak di tepi jalan besar dan siap dibuka. Semua telah lengkap. Mereka ingin tahu kapan kita datang.” “Baik betul mereka! Aku tidak perlu bersusahsusah dan semuanya telah siap. Aku siap berangkat sewaktu-waktu.” “Kalau begitu, sebaiknya kita berangkat pertengahan bulan depan,” kata Bai Su-zhen memutuskan. Xu Xian lalu mengunjungi keluarga dan X kerabatnya. Pada suatu hari yang cerah, ia berlarilari masuk ke rumah, “Istriku, kakakku datang! Untuk menjengukmu!” Kakak Xu Xian berjalan mengikutinya dari belakang. Itu adalah kunjungannya yang kedua, dan ia mulai mengenal baik adik iparnya. Menurut Fu Yun, Bai Su-zhen adalah wanita dan istri yang cocok bagi adiknya. Bai Su-zhen menyambut Fu Yun dan berkata, “Hari ini, karena libur, kau punya waktu untuk berbincang-bincang bersama kami?” “Aku tidak pernah libur! Tetapi karena adikku bercerita bahwa kalian segera pindah ke Suzhou untuk meresmikan toko obat kalian, jadi aku
menyempatkan diri untuk datang kemari.” Bai Su-zhen mengajak Fu Yun ke ruang tamu untuk minum teh. Tak lama kemudian Xu Xian datang, dan ikut berbincang-bincang. Bai Su-zhen membuka percakapan. “Di toko obatnya dahulu, gaji Xu Xian hanya dua ribu tail setahun. Ini jauh dari memadai. Itu sebabnya ia berhenti bekerja beberapa hari setelah kami menikah. Karena cukup mengenal seluk-beluk bidang obatobatan, kami pun berminat membuka toko obat. Dan karena kabarnya di Suzhou banyak penyakit, maka kukirimkan dua orang bekas pegawai ayahku ke sana. Mereka kusuruh mencari tempat dan mengatur segala persiapannya. Kemarin, kami menerima surat. Semua telah siap. Sesungguhnya kami bermaksud mengunjungimu dalam waktu dekat untuk berpamitan. Tetapi ternyata engkau sudah mendahului datang.” “Jadi, kalian benar-benar akan pergi dalam beberapa hari ini,” kata Fu Yun. Raut mukanya menyiratkan keharuan. Suaranya terdengar sedih. “Begitulah.” Fu Yun memandang Xu Xian dan tersenyum lembut, “Engkau akan membuka tokomu sendiri, dan istrimu telah menyiapkan segalanya untukmu.” Kemudian ia berpaling kepada Bai Su-zhen, “Adikku tidak berpengalaman, jadi kuharap kau bersedia membantunya. Ia terlalu jujur dan lugu.” “Engkau benar,” kata Xu Xian membenarkan ucapan kakaknya. “Istrikulah yang mengusulkan untuk membuka usaha ini. Aku setuju, asal ia mau membantuku. Karena tidak berpengalaman, aku takut gagal.” Xiao Qing yang berdiri di pintu berkata kepada Fu Yun, “Kedua pegawai yang disewa kakakku adalah ahli-ahli yang berpengalaman. Kakakku sendiri ahli obat-obatan. Usaha ini memerlukan kerja sama.” “Oh,” kata Fu Yun setengah berteriak. “Engkau pun ahli obat rupanya. Hebat sekali.” “Istriku pandai sekali di bidang ini. Separuh rumah ini berisi buku obat-obatan,” kata Xu Xian bangga. “Jadi, engkau akan membantunya,” kata Fu Yun. “Tidak, suamikulah yang akan menjadi majikan usaha ini. Dan karena saudaraku juga akan membantu, pekerjaan sehari-hari di toko tidak akan mendatangkan masalah.” “Engkau benar-benar rendah hati,” kata Fu Yun. “Setelah kalian berangkat, aku siap membantu bila sewaktu-waktu diperlukan.” “Kuharap hal itu tidak akan pernah terjadi,” kata Xu Xian. “Kalau pun ada, aku akan menulis surat.” Fu Yun menjawab dengan mata berbinar-binar, “Nanti bila kalian kembali ke sini, kuharap kalian sudah mempunyai anak. Mereka pasti memerlukan perawat.” Xiao Qing menukas, “Sebaiknya kita makan sekarang. Entah kapan kita akan dapat bertemu lagi.” Bai Su-zhen mengulangi undangan itu dan memaksa Fu Yun untuk tidak cepat-cepat pergi. Selesai makan, mereka masih bercakap-cakap. Baru sesudahnya, Fu Yun mohon diri, diantar Xu Xian sampai ke rumahnya. “Adikku, istrimu sangat baik. Karenanya kau
harus memperlakukannya dengan baik pula. Dan ingatlah! Bila nanti uangmu sudah menumpuk, berhati-hatilah terhadap kawan-kawanmu. Karena mereka akan dapat mendatangkan kesulitan. Sungguh tidak adil bagi Bai Su-zhen.” “Ya, aku harus berlaku baik kepada istriku.” Setiba di rumah Fu Yun, Xu Xian segera berpamitan dan mengucapkan selamat tinggal. Malam harinya Bai Su-zhen bertanya, “Bagaimana keadaan kota Hangzhou dalam beberapa waktu terakhir?” Xu Xian menjawab, “Ku