Jakarta, 2016
PUSTAKAWAN BERMORAL PANCASILA Wahid Nashihuddin Pendahuluan Moral anak bangsa tidak dapat terlepas dari masalah ideologi negara. Misalnya moral seseorang yang berideologi komunis, tentunya ia akan bersikap tertutup terhadap kelompok lainnya dan jiwa individunya akan lebih ditonjolkan. Berbeda dengan moral seseorang yang menganut paham ideologi Pancasila, ia akan bersikap demokratis dan lebih menghargai Hak Asasi Manusia. Perbedaan nilai moral tersebut merupakan satu hal yang harus dihormati oleh setiap bangsa dan negara. Notonegoro dalam Soekarno (2004:40) mengatakan bahwa Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia, memiliki makna penting dalam membentuk suatu pedoman hidup suatu bangsa yang lebih beradab dan bermartabat. Bangsa yang beradab dan bermartabat adalah bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral kemanusiaan. Ideologi Pancasila yang menjadi landasan moral bangsa Indonesia harus sudah diakui secara de facto, agar dalam pelaksanaan sistem ketatanegaraan dapat menjadi sarana pembenaran kekuasaan dan menata kehidupan masyarakat yang selaras, serasi, dan seimbang. Masalah moral adalah masalah serius yang perlu diperhatikan oleh pemerintah, khususnya para pendidik, alim ulama, pemuka masyarakat, dan orang tua. Kita sering mendengar keluhan orang tua yang kebingungan menghadapi masalah kenakalan anakanaknya. Di era moden ini, banyak anak yang durhaka dan susah diatur oleh orang tua, akibatnya mereka mudah terjurumus dalam pergaulan bebas. Selain itu, tidak sedikit guru yang juga kebingungan menghadapi anak didiknya, para murid selalu malas belajar, padahal ingin naik kelas, dan akhirnya memaksakan guru agar dapat naik kelas. Hal tersebut dapat terjadi karena anak-anak belum diajarkan nilai moral oleh orang tua dan guru, bagaimana mereka harus bersikap kepada orang yang lebih tua ataupun menyaring budaya bangsa yang tentunya sesuai dengan nilai-nilai moral Pancasila? Hal itu tidak akan terjadi apabila para orang tua dan guru, sudah mengajarkan dan mencontohkan nilai-nilai moral Pancasila kepada anak-anaknya. Tugas tersebut tidak hanya tanggung jawab orang tua dan guru, tetapi pemerintah dan seluruh pemuka agama/masyarakat juga terlibat dalam pembentukan moral anak bangsa. Jika kita merasa bangga sebagai bangsa Indonesia tentunya moral kita juga harus didasarkan pada Pancasila. Darajat (1971:19) mengatakan bahwa moral bangsa Indonesia adalah moral Pancasila, sehingga setiap perbuatan dan perkataan yang keluar dari warga Negara Indonesia senantiasa didasarkan pada Pancasila. Pancasila lahir dari perjuangan rakyat Indonesia yang berawal dari adanya suatu pandangan atau falsafah hukum yang dijunjung tinggi, yang menjadi suatu dasar ideologi kehidupan berbangsa dan bernegara. Falsafah Pancasila tersebut dicetuskan oleh Soekarno atau yang lebih dikenal Bung Karno, Presiden Pertama RI, pada tanggal 1 Juni 1945, yang bertujuan agar bangsa Indonesia menemukan jati diri yang sesungguhnya. Kemerosotan moral anak bangsa dapat diantisipasi apabila kita memiliki jati diri yang jelas dan landasan hidup yang kokoh. Sebagaimana yang dikatakan Darajat (1971:12) bahwa seandainya Pancasila itu betul-betul menjadi way of life atau landasan hidup bangsa Indonesia maka dekadensi moral tidak akan pernah terjadi. Darajat juga menambahkan bahwa nilai-nilai moral Pancasila sudah terealisasi dalam ke lima silanya yaitu: 1) Ketuhanan Yang Maha Esa; 2) Kemanusiaan yang adil dan beradab; 3) Persatuan Indonesia; 4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan; dan 5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Meskipun awalnya susunan sila-sila dalam Pancasila sering berganti, Bung Karno tidak pernah mempermasalahkan hal itu, karena yang lebih penting, isi dan implementasi dari 1
Jakarta, 2016
ke lima sila Pancasila (Soekarno, dkk. 2004:7). Bung Karno tetap optimis bahwa Pancasila dapat menjadi dasar negara dan pembentuk moral anak bangsa. Terkait dengan hari kelahiran Pancasila tersebut, ilmu perpustakaan juga mulai berkembang pada tahun 1945. Sejak Indonesia merdeka mulai tumbuh kesadaran untuk mendirikan perpustakaan dan perlunya wadah untuk pengembangan ilmu perpustakaan serta mengembangkan kerjasama antar-perpustakaan. Misalnya setelah merdeka, tahun 1949 berdirilah organisasi pustakawan dengan nama Vereniging van Bibliotecha Resen Van Indonesie di Jakarta dengan tujuan untuk mengembangkan ilmu perpustakaan dan menjalin kerjasama antar-perpustakaan serta menyusun kerja pustakawan Indonesia (Qalyubi, 2003:33). Mengacu pada perkembangan ilmu perpustakaan dan lahirnya organisasi pustakawan tersebut, penulis akan mencoba menghubungkan nilai-nilai moral yang terkandung dalam Pancasila dengan profesi Pustakawan. Menurut Pasal 1 UU No.43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan disebutkan bahwa pustakawan adalah seseorang yang memiliki kompetensi yang diperoleh melalui pendidikan dan/atau pelatihan kepustakawanan serta mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk melaksanakan pengelolaan dan pelayanan perpustakaan (Perpusnas RI, 2007). Menurut UU tersebut. terdapat dua syarat untuk menjadi pustakawan yaitu pendidikan/pelatihan kepustakawanan dan bertugas dalam bidang perpustakaan. Tugas pustakawan adalah memberikan layanan perpustakaan dengan dasar pendidikan atau pelatihan kepustakawanan. Pendidikan merupakan salah satu unsur pembentuk moral pustakawan dan memahamkan nilai-nilai moral Pancasila kepada pustakawan. Tulisan ini membahas tentang pembentukan moral pustakawan yang berdasarkan nilai-nilai moral Pancasila, dan kemudian moral tersebut dikaitkan dengan tugas dan tanggung jawab pustakawan dalam memenuhi kebutuhan informasi masyarakat. Nilai Moral Pancasila Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005:783), nilai diartikan sebagai harga atau sesuatu yang menyempurnakan manusia sesuai dengan hakekatnya, dan moral diartikan sebagai etika. Jadi, nilai moral adalah harga kesempurnaan manusia yang beretika. Poespowardojo (1994:56) mengatakan bahwa Pancasila mengandung nilai-nilai moral yang dapat membawa masyarakat Indonesia untuk berkembang dan mencapai tujuannya. Sebagai makhluk individu, manusia diberi akal dan kecerdasan intelektual yang digunakan untuk kesejahteraan masyarakat. Kecerdasan akal tersebut, kemudian disesuaikan dengan aturan dan norma yang berlaku dalam masyarakat. Misalnya dalam organisasi, aturan itu berupa kode etik yang dijadikan dasar merumuskan kegiatan dan digunakan untuk mengatur perilaku organisasi. Di dalam kode etik berisi tentang aturan bersikap dan berbicara, bekerja, hingga hal-hal apa saja yang dapat disumbangkan bagi masyarakat. Kode etik suatu profesi dapat berjalan sesuai visi dan misi organisasi, apabila dalam perumusan konsep dan aturan kode etik tersebut mengacu pada ketentuan nilainilai moral Pancasila. Karena maju mundurnya organisasi tergantung pada manusianya, maka masalah moral menjadi salah satu aspek pembentuk kualitas manusia dalam menjalankan roda organisasi. Terkait hal tersebut, terdapat beberapa ketentuan yang mendasari bahwa pembentukan moral anak bangsa atau anggota mayarakat/organisasi dapat didasarkan pada Pancasila. Pancasila dapat dijadikan sebagai pedoman untuk membentuk nilai moral anak bangsa dengan ketentuan sebagai berikut: a. Mengakui sila ke-1 yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Maksudya bahwa nilai moral tidak boleh bertentangan dengan norma-norma agama. Di antara agama yang satu dengan yang lain harus bersikap toleransi dan saling menghormati, baik dalam hal peribadatan maupun kegiatan sosial di masyarakat. 2
Jakarta, 2016
b. Mengakui sila ke-2 yaitu Kemanusiaan yang adil dan beradab. Maksudnya bahwa setiap tindakan, perbuatan, dan perkataan orang Indonesia harus berdasarkan perikemanusiaan, keadilan, dan beradab/sopan. c. Mengakui sila ke-3 yaitu Persatuan Indonesia. Maksudnya bahwa setiap warga negara Indonesia harus mempunyai jiwa untuk bersatu dan mau mempersatukan dari berbagai kepentingan yang berbeda. d. Mengakui sila ke-4 yaitu Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Maksudnya bahwa setiap orang Indonesia tidak diperbolehkan bersikap “diktator” atau berkuasa penuh dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dalam menentukan keputusan yang terkait dengan peraturan/kebijakan hendaknya berdasarkan azas musyawarah untuk mencapai mufakat. e. Mengakui sila ke-5 yaitu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Maksudnya bahwa sebagai Warga Negara Indonesia harus dapat menentukan sikap dan perbuatan yang adil dalam melakukan aktivitas yang terkait dengan kehidupan sosial masyarakat, bangsa, dan negara. Apabila setiap orang dan Warga Negara Indonesia menghayati dan mengamalkan beberapa ketentuan nilai moral Pancasila di atas, maka kemerosotan moral anak bangsa tidak akan terjadi lagi. Darajat (1971:45-62) mengatakan ada berbagai upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah adanya kemerosoton (dekadensi) moral, yaitu: 1. Memperbaiki sistem pendidikan nasional Dilakukan dengan cara meningkatkan perhatian pada dunia pendidikan, menyusun kurikulum yang berbasis kompetensi, serta menanamkan jiwa kejujuran anak didik dalam berperilaku dan berkata di lingkungan keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara. 2. Menjaring budaya asing yang dapat merusak moral anak bangsa Dilakukan dengan cara mengawasi dan membatasi penggunaan alat komunikasi yang kurang bermanfaat, serta melakukan tindakan kuratif dan preventif terhadap kegiatan maksiat. 3. Meningkatkan pembinaan mental masyarakat Dilakukan dengan cara menyelenggarakan pendidikan agama dan pembinaan moral Pancasila, baik di sekolah maupun masyarakat. 4. Menciptakan rasa aman di masyarakat Dilakukan dengan cara menjamin kepastian hukum, menegakkan keadilan di masyarakat, dan kebebasan memeluk agama. 5. Memperbanyak badan/lembaga bimbingan dan penyuluhan masyarakat Dilakukan dengan cara memberikan sosialasi atau penyuluhan kepada masyarakat yang terkait dengan masalah individu dan sosial, seperti masalah pekerjaan/karir serta masalah kehidupan sosial dalam bidang politik, sosial, ekonomi, budaya, agama, pertahanan, dan keamanan. Lima Hukum Perpustakaan dan Pancasila Kita sudah mengetahui bersama bahwa Pancasila adalah landasan moral bangsa Indonesia. Tetapi, apakah kita sudah mengetahui dasar moral pustakawan selain Pancasila? Sejak dahulu sampai sekarang, pustakawan telah memiliki hukum perpustakaan yang dikenal dengan istilah “lima hukum perpustakaan” atau five laws of library science. Persamaan hukum perpustakaan dan Pancasila adalah sama-sama memiliki lima aspek dasar konsep moral hukum. Perbedannya adalah objeknya, kalau lima hukum perpustakaan ditujukan kepada instansi perpustakaan dan pustakawan, sedangkan Pancasila objeknya Negara Indonesia dan Warga Negara Indonesia. Hukum 3
Jakarta, 2016
perpustakaan tersebut dicetuskan oleh seorang pustakawan dari India yang bernama Shiyali Ramamrita Ranganathan, dan beliau disebut juga sebagai bapak ilmu perpustakaan dunia. Ke lima hukum perpustakaan tersebut yaitu: 1. Books are for use (buku untuk dimanfaatkan) Maksudnya bahwa setiap buku yang ada di perpustakaan itu harus ada yang memanfaatkan atau membacanya. Perpustakaan tidak hanya berfungsi sebagai tempat pelestarian dan penyimpanan buku saja, tetapi juga berfungsi sebagai media promosi literasi informasi. 2. Every reader his book (setiap pembaca terdapat bukunya) Maksudnya bahwa setiap anggota masyarakat atau pemustaka harus dapat memperoleh bahan-bahan bacaan yang diperlukan. Perpustakaan harus mengetahui buku-buku yang dibutuhkan oleh masyarakat. Semua individu dari semua lingkungan sosial berhak mendapatkan informasi yang dilayankan perpustakaan. 3. Every book its reader (setiap buku terdapat pembacanya) Maksudnya bahwa setiap item koleksi yang disediakan perpustakaan harus dimiliki oleh setiap individu atau masyarakat (sebagai pemustaka). Diibaratkan bahwa satu individu itu membaca satu buku yang diminatinya. 4. Save the time of the reader (hemat waktu pembaca) Maksudnya bahwa adanya keunggulan layanan perpustakaan yaitu kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan pengguna perpustakaan secara efektif dan efisien. Ranganathan merekomendasikan diterapkannya metode bisnis dalam mengelola perpustakaan. Dapat dikatakan bahwa dengan biaya yang sehemat-hematnya, pemustaka dapat memanfaatkan koleksi yang sebanyak-banyaknya atau seefektif mungkin guna menambah wawasan si pembaca. 5. A library is a growing organism (perpustakaan adalah organisasi yang berkembang) Maksudnya bahwa perlu adanya perubahan internal untuk perubahan-perubahan dalam lingkungan perpustakaan itu sendiri. Organisasi perpustakaan harus dapat berkembang dengan cara memanajemen dan mengakomodasi pertumbuhan staf, koleksi fisik, dan gedung yang digunakan untuk perpustakaan. Mengacu kepada lima hukum perpustakaan di atas, terkandung nilai-nilai moral pustakawan yang sesuai dengan nilai moral Pancasila. Nilai-nilai moral tersebut berupa cipta, rasa, dan karsa. Cipta merupakan karya nyata dari hasil pemikiran manusia yang dapat dinyatakan secara eksplisit (kasat mata), rasa merupakan perasaan untuk menilai dan melakukan sesuatu, dan karsa diartikan sebagai perhatian kepada sesama dan merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain. Ditinjau dari apsek “cipta”, pustakawan senantiasa kreatif dalam menghasilkan karya-karya kerja yang nyata, baik berupa jasa maupun produk informasi. Setiap jasa dan produk yang diciptakan pustakawan diharapkan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat, dan hasil kreasianya bermanfaat bagi kehidupan masyarakat. Kreativitas pustakawan yang berupa jasa pustakawan dapat berupa: a) mengajari dan memotivasi masyarakat untuk gemar membaca; b) membantu pemerintah dalam menuntaskan buta aksara (baca tulis) masyarakat, khususnya masyarakat kalangan menengah ke bawah. Sementara itu, karya nyata yang berupa produk (materi), pustakawan dapat membuat paket kemasan informasi dan pengetahuan seperti paket koleksi wirausaha atau Teknologi Tepat Guna, brosur/leaflet literasi informasi, atau membuat video pembelajaran interaktif, yang mana konsep dan konten informasinya mudah dipelajari dan dipahami masyarakat. Perwujudan karya pustakawan (jasa dan produk) tersebut dapat dijadikan bukti bahwa pustakawan telah berperan aktif dalam menciptakan budaya literasi informasi di masyarakat. 4
Jakarta, 2016
Terkait dengan aspek “rasa”, pustakawan dituntut untuk selalu bersikap ramah (user friendly) dan mengutamakan kepentingan pemustaka (user oriented) dalam melayani masyarakat. Di samping ketersedian fasilitas yang lengkap di perpustakaan, faktor keramahan pustakawan juga berpengaruh dalam mewujudkan layanan prima perpustakaan. Dalam melayani, pustakawan harus memprioritaskan kebutuhan informasi yang diinginkan pemustaka. Diupayakan dalam waktu singkat, pustakawan harus dapat memenuhi kebutuhan informasi pemustakanya, dan apabila informasi yang dicari belum/tidak ketemu sumbernya maka harus cepat dicarikan solusinya. Selanjutnya, aspek “karsa” pustakawan terletak pada kepekaan seorang pustakawan dalam mengidentifikasi kemauan dan kebutuhan informasi masyarakat. Peka terhadap sikap, keperibadian, dan perilaku pemustaka dapat membantu pustakawan dalam mengetahui dan memahami sifat dan karakter psikologis masyarakat yang dilayani. Hal yang perlu diingat bahwa masyarakat yang datang ke perpustakaan itu tidak hanya berasal dari satu golongan atau komunitas saja, tetapi berasal dari suku, agama, dan pendidikan yang berbeda-beda. Untuk itu, pemahaman keadaan psikologis pemustaka menjadi dasar pustakawan untuk memberikan layanan prima kepada masyarakat. Moral Pustakawan Pancasila Menjadi pustakawan yang bermoral Pancasila adalah satu upaya untuk menunjukan jiwa nasionalisme pustakawan. Sebagai tanggung jawab profesi, pustakawan harus memiliki landasan yang kuat dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya. Tentunya sebagai pustakawan harus lebih mengutamakan kepentingan masyarakat yang dilayaninya. Apalagi di era modern ini, pustakawan yang diberi tugas sebagai penyedia informasi dan pencipta pengetahuan tentunya harus dilaksanakan sesuai dengan kemampuannya. Dalam tugas besar tersebut, secara tidak langsung pustakawan telah mengemban tugas membantu pemerintah dalam membangun dan membentuk moral anak bangsa. Salah satu upaya yang dapat dilakukan pustakawan untuk membangun dan membentuk moral anak bangsa adalah dengan mengamalkan dan mengimplementasikan nilai-nilai moral yang ada di Pancasila. 1. Nilai Moral Sila Ketuhanan Yang Maha Esa Pengamalan sila ke-1 Pancasila dilakukan dengan cara belajar ilmu agama dan memahami norma agama yang berlaku di masyarakat. Hal tersebut bertujuan agar kita sebagai anggota masyarakat yang memiliki keyakinan dan kepercayaan masingmasing dapat saling menghormati dan menghargai. Misalnya dalam hal beribadah dan berperilaku, kita dapat melaksanakan dengan adab dan etika yang sesuai dengan ajaran agama. Orang Kristen harus menghormati orang Islam yang sedang sholat dan berpuasa. Sebaliknya, orang Islam harus menghormati orang Kristen yang sedang merayakan Natal atau Paskah di Gereja. Dengan demikian, toleransi dalam kehidupan beragama akan terjalin secara harmonis. Nilai moral agama di atas, dapat diterapkan dipekerjaan pustakawan misalnya dalam memulai dan mengakhiri ativitas, pustakawan selalu rajin berdoa. Doa yang kita lantunkan pada Tuhan hendaknya dijadikan semangat dan motivasi untuk rajin bekerja. Penulis mengutip perkataan Sudarsono (2011) bahwa pustakawan yang tidak setia terhadap Tuhan, terhadap masyarakat dan dirinya sendiri nanti akan kehilangan keluhuran dan kehormatannya. Penyataan tersebut mengindikasikan bahwa kesetian pustakawan terhadap Tuhan dalam bekerja merupakan nilai moral kepustakawanan yang harus dijunjung tinggi. 2. Nilai Moral Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab Pengamalan sila ke-2 Pancasila dilakukan dengan cara belajar ilmu/norma hukum dan humaniora, yang didalamnya mengandung unsur keadilan dan sosial-kemasyarakatan. Di kehidupan sehari-hari, ke dua ilmu tersebut dapat dipraktekkan dengan cara 5
Jakarta, 2016
menjadikan “hukum sebagai panglima” dalam memutuskan suatu perkara, serta memperlakukan orang lain secara beradab/sopan. Dengan sikap demikian, berarti kita sudah “memanusiakan” manusia atau menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia. Bagi pustakawan, pengamalan sila ke-2 ini dapat diwujudkan dengan menaati dan menjunjung tinggi kode etik profesi pustakawan, serta bekerja pada standar operasional prosudur (SOP) yang sudah ditentukan perpustakaan. Misalnya di dalam kode etik tersebut hal yang diatur adalah tentang sikap pustakawan yang jujur, adil, dan ramah kepada pemustakanya. Senada dengan hal itu, Sudarsono (2011) mengatakan bahwa dalam memberikan pelayanan kepada orang lain, pustakawan harus memiliki karatakter asketis yaitu jujur, sederhana, dan rendah hati. Pustakawan hendaknya mampu menempatkan diri satu tingkat lebih rendah dari yang dilayani, namun tanpa kehilangan harga diri. 3. Nilai Moral Sila Persatuan Indonesia Pengamalan sila ke-3 Pancasila dilakukan dengan belajar mencintai tanah air Indonesia. Bangsa Indonesia tidak akan merdeka tanpa adanya persatuan dari bangsanya. Kita masih ingat Hari Sumpah Pemuda yang diikrarkan pada tanggal 28 Oktober 1928, dengan persatuan dan kesatuan yang kokoh, Bangsa Indonesia telah berhasil mendeklarasikan “Satu Tanah Air, Satu Bangsa, dan Satu Bahasa, yaitu Indonesia”. Wujud nyata yang dapat kita lakukan sekarang ini adalah berpegang teguh pada “Bhineka Tunggal Ika”, meskipun berbeda-beda tetapi kita tetap satu jua. Sebagai profesi yang sedang berkembang di Indonesia, pustakawan dihadapkan pada berbagai permasalahan seperti minimnya perhatian pemerintah, kurangnya pengembangan karir, dan belum disetarakannya profesi pustakawan dengan profesi yang lain seperti guru, dokter, dan polisi. Menyangkut sulitnya pengemgembangan karier pustakawan, Qalyubi (2003:25) mengatakan bahwa karir pustakawan akan berhenti apabila pustakawan berpikir jika kariernya tidak mungkin berkembang dan bersikap pesimistis. Sikap psemistis tersebut akan membuat seseoramg tidak bergairah bekerja, yang pada akhirnya pustakawan akan tenggelam dalam pekerjaan rutin, tidak berfikir lagi bagaimana cara mengembangkan kariernya. Hal ironis lainnya adalah masih jarang pustakawan yang memikirkan tentang kemajuan lembaga perpustakaan secara bersama/koorporasi. Saat ini, para pustakawan Indonesia lebih “disibukkan” dengan pekerjaan individu, misalnya hanya memikirkan pengumpulan angka kredit atau lebih aktif terlibat di luar kegiatan perpustakaan. Jika pola pikir pustakawan Indonesia masih seperti itu, perpustakaan di Indonesia tidak dapat/akan maju seperti yang ada di negera barat seperti Amerika dan Eropa. Sudah saatnya, para pustakawan harus “bersatu padu” untuk mengembangkan dan memajukan ilmu kepustakawanan dan perpustakaan di Indonesia. 4. Nilai Moral Sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan Pengamalan sila ke-4 Pancasila dilakukan dengan belajar organisasi. Hidup berorganisasi adalah pengalaman yang harus dipelajari oleh setiap orang. Dengan berorganisasi, kita dapat memahami karakter masing-masing orang atau masyarakat lain. Keaktifan kita sebagai anggota organisasi dapat diwujudkan dengan menjunjung tinggi azas musyawarah untuk mufakat, maksudnya bahwa dalam pengambilan keputusan atau kebijakan senantiasa didasarkan pada rasa kebersamaan dan tanggung jawab sosial yang tinggi. Perpustakaan sebagai tempat bekerja pustakawan merupakan organisasi yang harus selalu dikembangkan keberadannya. Selain adanya jiwa persatuan di kalangan pustakawan, sikap kebersamaan dalam memutuskan suatu perkara yang terkait dengan kemajuan perpustakaan juga harus dikedepankan. Program perpustakaan dapat berjalan lancar dan efektif, apabila semua pustakawan 6
Jakarta, 2016
merasa bertanggung jawab dan memiliki program kegiatan yang sudah dirumuskan bersama. 5. Nilai Moral Sila Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia Pengamalan sila ke-5 Pancasila dilakukan dengan cara memahami norma-norma sosial seperti hukum politik, ekonomi, hukum, budaya, pertahanan, dan keamanan. Adil bukan berarti sama rata, tetapi adil itu adalah hak yang diterima seseorang berdasarkan tugas dan tanggung jawabnya. Jadi, keadilan sosial adalah keadilan yang dirasakan oleh masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan. Dalam konteks Pancasila disebut dengan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Tindakan nyata yang dapat dilakukan adalah memperlakuan secara adil setiap orang/masyarakat di depan hukum dan pemerintahan, serta adanya keadilan dalam memanfaatkan hasil bumi dan kekayaan alam bagi kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Terkait dengan keadilan sosial ini, apa yang harus dilakukan pustakawan? Sebagai pustakawan, kita harus berupaya keras untuk memberikan layanan informasi kepada masyarakat secara adil dan bijaksana. Sebenarnya masalah keadilan ini menjadi perhatian pemerintah (DPR dan Perpusnas RI) yaitu untuk mengangkat harkat, derajat, dan martabat pustakawan yang lebih baik. Dengan demikian, pustakawan merasa diperlakukan adil oleh pemerintah. Saat ini, pemerintah menuntut pustakawan agar dapat memajukan perpustakaan di Indonesia, tetapi disisi lain tunjangan ekonomi (fungsional) pustakawan masih rendah. Misalnya saja tunjangan fungsional Pustakawan Terampil tingkat Pelaksana sebesar Rp 240.000,00, Pelaksana Lanjutan sebesar Rp 265.000,00, dan Penyelia sebesar Rp 350.000,00, sedangkan tunjangan fungsional Pustakawan Ahli tingkat Pertama sebesar Rp 275.000,00, Muda sebesar Rp 375.000,00, Madya sebesar Rp 500.000,00, dan Utama sebesar Rp 700.000,00. (Perpusnas RI, 2007). Dari sisi pustakawan, pustakawan harus mampu mengolah dan menyediakan sumber-sumber informasi perpustakaan (dibantu dengan fasilitas teknogi informasi) yang adil dan merata sehingga berguna bagi kemaslahatan atau kemanfaatan masyarakat, bangsa, dan negara. Penutup Pada prinsipnya, penerapan nilai-nilai moral Pancasila dapat dijadikan dasar untuk membentuk moral pustakawan. Pustakawan sebagai salah satu profesi penggerak roda pembangunan diharapkan mampu membantu pemerintah dalam kegiatan literasi informasi sehingga tercipta generasi/anak bangsa yang cerdas dan bermoral. Hal tersebut merupakan tanggung jawab moral pustakawan yang paling mulia, dan sudah sesuai dengan nilai-nilai moral Pancasila. Di samping itu, untuk menjadi pustakawan yang bermoral, seorang pustakawan juga harus memiliki jiwa cipta, rasa, dan karsa yang tinggi. Harapannya bahwa dengan mengamalkan dan mengaplikasikan nilai-nilai moral Pancasila, pustakawan dapat lebih bersikap professional dalam bekerja dan memiliki jiwa nasionalisme yang tinggi. Daftar Pustaka 1. Asdhiana, I Made. Peringatan Kesaktian Pancasila Bukan karena Dendam. Di akses pada hari Kamis, 2 Agustus 2012, dalam http://nasional.kompas.com/read/2008/09/30/22291848/peringatan.kesaktian.pancasila .bukan.karena.dendam. 2. Darajat, Zakiah. 1971. Membina Nilai-Nilai Moral di Indonesia. Jakarta: Bulan Bintang 3. Depdiknas. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. 4. Monteiro, Josef M. Membumikan Pancasila. Di akses pada hari Kamis, 2 Agustus 2012, dalam http://nasional.kompas.com/read/2010/06/01/0302232/ www.kompas.com 7
Jakarta, 2016
5. Perpusnas RI. Peraturan presiden republik Indonesia Nomor 47 tahun 2007 Tentang Tunjangan jabatan fungsional Pustakawan. 6. Perpusnas RI. Undang-Undang No. 43 Tahun 2007 Tentang Perpustakaan. Jakarta: PNRI 7. Poespowardojo, Soerjanto. 1994. Filsafat Pancasila: Sebuah Pendekatan Sosial Budaya. Jakarta: PT.Gramedia. 8. Qalyubi, Syihabuddin, dkk. 2003. Dasar-Dasar Ilmu Perpustakaan dan Informasi. Yogyakarta: Fakultas Adab IAIN Sunan Kalijaga. 9. Soekarno, dkk. 2004. Pancasila Dasar Negara, UGM, dan Jati Diri Bangsa. Yogyakarta: Pustep-UGM. 10. Sudarsono, Blasius. 2011. Filsafat Kepustakawanan. Disampaikan dalam Acara Kuliah Umum Kepustakawanan tanggal 4 Juli 2011 di PDII LIPI. 11. Wikipedia. Five laws of library science. Diakses hari Sabtu, 4 Agustus 2012, dalam http://en.wikipedia.org/wiki/Five_laws_of_library_science
8