©Jakarta, 2015
STATUS, EKSISTENSI, DAN PEMBINAAN KARIR PROFESI PUSTAKAWAN: TINJAUAN ANALISIS PROBLEM TREE DAN ANALISIS SWOT Wahid Nashihuddin Pustakawan Pertama PDII-LIPI email:
[email protected]
PENDAHULUAN Sebagai suatu profesi seharusnya pustakawan tidak dibedakan antara pustakawan nonpemerintah (swasta) dan pustakawan pegawai negeri sipil (PNS). Pada hakekatnya, pustakawan swasta dan pustakawan PNS memiliki tugas dan tanggung jawab yang sama, yaitu mengelola perpustakaan dan mengembangkan ilmu kepustakawanan. Dalam era globalisasi ini, pustakawan dituntut untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya secara kompeten dan profesional. Mardiyanto (2010:24) telah menegaskan bahwa pustakawan sebagai suatu profesi lebih ditekankan pada aspek kompetensi, yang berarti bahwa siapapun dia, asalkan memiliki kompetensi dan bekerja di perpustakaan tanpa memandang perpustakaan negeri atau swasta maka dapat disebut sebagai pustakawan. Ini berarti bahwa seorang pustakawan tidaklah dibedakan dari jenis lembaganya, seperti pustakawan PNS dan pustakawan swasta, tetapi lebih diakui sebagai suatu profesi yang memiliki kompetensi, tugas, dan tanggung jawab di perpustakaan. Berdasarkan eksistensinya di era library 2.0 sebagaimana yang dijelaskan oleh Zuntriana (2010: 1) bahwa pustakawan telah diberi kesempatan untuk lebih banyak berbagi dan turut serta mengambil peran dalam pembangunan. Hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan mereka dalam mendukung literasi anak bangsa, yang dapat dilakukan dengan cara menyediakan informasi yang tersedia dimanapun dan kapanpun bagi pengguna yang membutuhkannya. Artinya bahwa pustakawan dapat menjadi partner yang baik bagi pengguna (pemustaka) dalam memanfaatkan sumber-sumber informasi. Pada era ini, pustakawan harus membekali dirinya dengan kompetensi yang memadai agar mampu berkompetisi (berdaya saing) dengan profesi informan lain, serta mampu menunjukkan dedikasi atas kinerjanya yang lebih baik kepada lembaga dan masyarakat. Upaya untuk meningkatkan eksistensi diatas tentunya sangat dipengaruhi oleh perkembangan teknologi. Tantangan masa depan pustakawan sebagaimana yang dijelaskan oleh Hernandono (1997) dalam Sumarsih (1999:36) adalah bagaimana meningkatkan dan mengakui profesi pustakawan dalam era pasar bebas, khususnya yang terkait dengan produk dan jasa informasi. Salah satu upaya untuk mengantisipasi hal tersebut adalah dengan meningkatkan etos kerja pustakawan dan kinerja manajemen perpustakaan yang lebih proaktif dan inovatif. Lebih lanjut Nasuhaidi (1998:10-11) mengatakan bahwa dalam mengikuti perkembangan zaman pustakawan harus dinamis, meskipun mengalami tantangan akibat: a) ketidakpuasan terhadap gaji; b) kurangnya perhatian dan pengakuan profesi; c) minimnya peningkatan kemampuan dan pengembangan diri; d) minimnya komunikasi ilmiah antar-pustakawan; e) tidak adanya otoritas kemandirian pustakawan dalam pekerjaannya; f) ilmu pustakawan belum spesialis atau masih umum; g) belum siapnya pustakawan menerima teknologi informasi; dan h) adanya kompetitor dari para information broker, yaitu orang atau kelompok tertentu yang menyediakan informasi untuk kepentingan bisnis. Selain tantangan pustakawan di atas, kondisi pustakawan di Indonesia masih cukup memprihatinkan. Kondisi ini terlihat dari kurangnya apresiasi atau reward bagi pustakawan yang berprestasi, serta kurangnya perhatian lembaga atau pemerintah terhadap tunjangan kesejahteraan pustakawan, khususnya pustakawan yang bekerja di lembaga nonpemerintah/swasta. Nababan (2009:21) mengatakan bahwa prestasi kerja pustakawan, khususnya pustakawan PNS yang menduduki jabatan fungsional pustakawan, baik front office maupun back office masih jauh dari memuaskan. Pelayanan kepada pemustaka yang memuaskan dan berkualitas masih jauh dari harapan. Penurunan kinerja tersebut disebabkan oleh kecilnya nilai-nilai pada butir kegiatan pustakawan yang tercantum pada Keputusan Menpan
©Jakarta, 2015
No.132/KEP/M.PAN/12/2002 tentang Jabatan Fungsional Pustakawan dan Angka Kreditnya, yang dianggap belum memuaskan bagi pustakawan. Penurunan kinerja pustakawan dapat berakibat tertundanya kenaikan jabatan dan pangkat pustakawan. Meskipun pemerintah (dalam hal ini Perpustakaan Nasional RI) telah menyelenggarakan program sertifikasi pustakawan yang bertujuan untuk meningkatkan kompetensi dan status profesi pustakawan swata, tetapi program tersebut belum mampu meningkatkan rasa percaya diri dan kebanggaan bagi pustakawan. Kondisi tersebut terlihat dari sebagian besar pustakawan yang telah tersertifikasi masih diberikan tugas oleh lembaga induknya sebagai tenaga teknis dan administratif perpustakaan. Padahal, Kismiyati (2009:6) telah mengatakan bahwa tenaga teknis perpustakaan adalah tenaga non-pustakawan yang secara teknis mendukung pelaksanaan fungsi perpustakaan, membantu pekerjaan fungsional yang dilaksanakan pustakawan, serta melaksanakan pekerjaan lain dalam perpustakaan yang ditugaskan oleh atasannya untuk efektivitas dan efisiensi pelayanan dan pengelolaan perpustakaan sesuai dengan kebutuhan pemustaka. Masalah lain yang menyangkut status profesi pustakawan swasta di atas adalah pola pembinaan karir bagi pustakawan swasta, sebagaimana yang dikatakan Sulistyo-Basuki (2014) bahwa belum jelasnya pola pembinaan pustakawan swasta terlihat pada hal-hal berikut. 1) tidak ditemukannya arti kata “pembinaan” dalam UU No 43 Tahun 2007 dan Peraturan Pemerintah nomor 14 tahun 2014 tentang pelaksanaan Undang-Undang nomor 43 tahun 2007 tentang Perpustakaan. 2) belum jelasnya besaran tunjangan pustakawan swasta. STATUS DAN EKSISTENSI PROFESI Pengertian status berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia/KBBI (2008) adalah keadaan atau kedudukan (orang, badan, dsb) dalam hubungan dengan masyarakat di sekelilingnya; berstatus artinya mempunyai status, berkedudukan. Ini berarti bahwa keberadaan (existence) atau status seseorang/organisasi dapat dilihat dari cara pandang orang lain dalam suatu lingkungan sosial. Eksistensi berarti hal berada, keberadaan. Zaenal (2007:16) mendefinisikan eksistensi sebagai suatu proses yang dinamis, suatu, menjadi, atau mengada. Hal tersebut sesuai dengan asal kata eksistensi yaitu exsistere, yang artinya keluar dari, melampaui, atau mengatasi. Eksistensi tidak bersifat kaku dan terhenti, melainkan lentur dan mengalami perkembangan atau kemunduran, tergantung pada kemampuan dalam mengaktualisasikan potensi-potensinya. Profesi berarti bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan/ keahlian (keterampilan, kejujuran, dsb.) tertentu; berprofesi berarti mempunyai profesi. Sedangkan profesional diartikan sebagai sesuatu yang bersangkutan dengan profesi, memerlukan kepandaian khusus untuk menjalankannya (KBBI, 2008). Abraham Flexner (1993) dalam Hermawan dan Zen (2006) mengatakan bahwa profesi merupakan: a) pekerjaan intelektual; b) pekerjaan ilmiah (scientific); c) pekerjaan praktikal (bukan teoritik); d) hal yang terorganisasi secara sistematis dan terstandar (ada tolok ukur); e) pekerjaan altruisme yang berorientasi kepada masyarakat. Sulistyo-Basuki (1992:244-245) mengatakan bahwa status profesi merupakan refleksi ketentuan yang mengatur tingkat tanggung jawab, kualifikasi, prospek karir, tugas dan imbalan setiap posisi, tingkat pelatihan, serta pengalaman yang diperlukan. Struktur profesi ini dibagi dalam empat tingkat, yaitu: a) para profesional (teknisi dan asisten); b) profesional junior; c) profesional dengan kualifikasi ganda; serta d) profesional senior dan manajer. Berdasarkan definisi di atas, dapat dikatakan bahwa status merujuk pada suatu kedudukan seseorang, organisasi, atau badan usaha, yang dilihat dari cara pandang pihak/orang lain terhadap keberadaanya (eksistensi) dalam suatu lingkungan sosial. Eksistensi dapat berubah secara dinamis tergantung pada kemampuan dan aktualisasi diri dalam meningkatkan status personal atau organisasinya. Jadi, eksistensi terhadap status profesi pustakawan sangat tergantung dari kemampuan dan aktualisasi diri pustakawan untuk merubah status profesinya.
©Jakarta, 2015
PROFESI PUSTAKAWAN Menurut Undang-Undang (UU) Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan, bahwa pustakawan adalah seseorang yang memiliki kompetensi yang diperoleh melalui pendidikan dan/atau pelatihan kepustakawanan serta mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk melaksanakan pengelolaan dan pelayanan perpustakaan (Perpusnas, 2007). Berbeda dengan definisi pustakawan yang dikatakan oleh Sutarno (2008:179), yaitu sebagai orang yang diangkat dalam jabatan oleh pejabat yang berwenang dan diberikan tugas dalam jabatan perpustakaan, dokumentasi, dan informasi atau jabatan lain dan diberikan hak sesuai dengan pegawai negeri sipil (PNS). Sudarsono (2010:47) telah menegaskan bahwa profesi pustakawan memang belum sepenuhnya diterima sejajar dengan profesi lain. Pustakawan masih dianggap sebagai tenaga administratif, padahal dalam rumusan dokumen International Federation of Library Associations (IFLA) telah dinyatakan bahwa pustakawan adalah tenaga profesional yang berfungsi sebagai penghubung aktif antara pemustaka dengan sumber daya informasi dan pengetahuan. Untuk menuju profesionalisme pustakawan, harus ada Continuing Professional Development (CPD) untuk pustakawan. Sudarsono (2010:49) menjelaskan, IFLA telah menyebutkan bahwa untuk menuju profesionalisme pustakawan maka harus ada Continuing Professional Development (CPD). Terdapat dua prinsip CPD IFLA, yaitu: 1) pendidikan berkelanjutan dan pengembangan keprofesionalan sebagai tanggung jawab bersama antara pribadi, lembaga, asosiasi profesi pustakawan, dan lembaga pendidikan perpustakaan dan informasi; 2) semua inisiatif tentang sumber daya manusia dan etika keprofesionalan wajib mengupayakan terjaminnya akses pustakawan pada kesempatan pengembangan profesionalitas berkelanjutan. Mengacu pada konsep CPD tersebut, diketahui bahwa pustakawan merupakan suatu profesi yang membutuhkan profesionalisme dalam melaksanakan tugas dan pekerjaannya. Jika program CPD tersebut dilaksanakan oleh lembaga induk pustakawan, maka pustakawan dapat menjadi mediator yang sangat penting dalam pemanfataan informasi dan pengetahuan. Untuk itu, pustakawan sebagai tenaga profesional yang mandiri harus mencerminkan kemampuannya (pengetahuan, pengalaman, keterampilan) dalam mengelola perpustakaan dan mengembangkan ilmu kepustakawanan. Jika pustakawan masih dianggap sebagai tenaga teknis, maka mereka juga belum dianggap mampu untuk berperan aktif dalam meningkatkan layanan informasi dan memajukan lembaganya melalui program-program perpustakaan. Seharusnya pustakawan yang telah tersertifikasi mendapatkan perhatian penuh dari lembaga dan menjadikannya sebagai tenaga profesional untuk meningkatkan layanan perpustakaan dan kemajuan lembaga induknya. Gunawan dan Vitriana (2010:47) mengatakan bahwa pustakawan dapat disebut sebagai seorang profesional jika pustakawan mampu meningkatkan kemajuan perpustakaan dan lingkungannya secara terus-menerus. Pustakawan sebagai suatu profesi, haruslah memiliki ciri-ciri tertentu. Sudarsono (1990) mengatakan bahwa pustakawan sebagai suatu profesi memiliki ciri-ciri sebagai berikut, yaitu: a) profesi itu memberikan jasa yang amat penting bagi masyarakat; b) kesuksesan profesi tergantung pada keahlian, prinsip-prinsip tertentu, dan teori yang diperoleh dengan pendidikan formal; c) karena pekerjaan memerlukan spesialisasi, masyarakat mengakui hak profesi itu untuk memberikan jasa, serta kekuasaan untuk menerima anggota baru dengan mengevaluasi serta mengatur penampilan kerja dan perilaku anggotanya; d) pekerjaan profesi mencakup pengambilan keputusan dan pemecahan soal yang harus didasarkan pada pengetahuan profesi serta kebutuhan masing-masing pemakai jasa; e) profesi biasanya memiliki kode etik yang diakui dan diterima oleh seluruh warganya; dan f) profesi dapat dikatakan sebagai panggilan bagi seseorang. Lebih lanjut, Hermawan dan Zen (2006) mengatakan bahwa ciri-ciri pustakawan yaitu: a) memiliki lembaga pendidikan, baik formal maupun informal (pendidikan formal dapat ditempuh pada tingkat diploma, sarjana, atau pascasarjana); b) memiliki organisasi profesi; c) memiliki kode etik (sebagai acuan moral dalam melaksanakan tugas dan kewajiban pustakawan); d) memiliki majalah ilmiah (sebagai sarana pengembangan ilmu dan komunikasi antar anggota seprofesi); dan e) memiliki tunjangan profesi. Berdasarkan ciri-ciri di atas, maka
©Jakarta, 2015
pustakawan merupakan suatu profesi yang dituntut untuk bekerja secara profesional dan dapat mandiri dalam mengemban tugas dan pekerjaannya. PEMBINAAN KARIR PUSTAKAWAN Sulistyo-Basuki (1992:245) mengatakan bahwa sebagai karir, kemungkinan profesi pustakawan dianggap sebagai profesi yang kurang terhormat ataupun kurang menjanjikan masa depan yang baik. Akan tetapi bisa saja profesi ini menjanjikan lebih baik di masa depan karena meningkatnya kebutuhan masyarakat terhadap informasi dan masyarakat lebih menghargai informasi. Dari kondisi tersebut diharapkan masyarakat akan lebih menghargai dan mengakui pustakawan sebagai tenaga profesional serta pustakawan dapat menjadi aset yang berharga bagi setiap orang. Hasil pertemuannya dengan fungsional arsiparis, disebutkan bahwa “membina” artinya membantu pengembangan dan peningkatan SDM, sistem, manajemen, dan sebagainya. Jika Perpusnas RI dapat menafsirkan kata “membina” seperti itu, maka tugas Perpusnas RI adalah membina perpustakaan pemerintah maupun perpustakaan swasta. Bentuk pembinaan pola karir pustakawan menurut Sulistyowati (2012:93-94) dapat ditempuh dengan: a) mengikuti pendidikan formal ilmu perpustakaan, dokumentasi, dan informasi, program program diploma, sarjana, magister atau doktor; b) mengikuti pendidikan dan pelatihan bidang perpustakaan, dokumentasi, dan informasi; c) mengikuti seminar, loka karya, workshop, konferensi, simposium, diskusi panel, pertemuan ilmiah dan sejenisnya; d) mengikuti lomba-lomba di bidang perpustakaan, seperti pustakawan berprestasi, pustakawan teladan; e) mengikuti salah satu organisasi atau kelembagaan bidang perpustakaan, misalnya Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI); f) meningkatkan keahlian yang dimiliki terutama bidang komputer dan bahasa Inggris; g) mengikuti perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang semakin canggih; h) melakukan studi banding dan peninjauan ke berbagai perpustakaan yang sudah maju; i) meningkatkan semangat dan motivasi kerja pustakawan dalam memberikan pelayanan yang terbaik dan memuaskan pengguna; serta j) membuat tulisan dalam bidang kepustakawanan. Saat ini, Perpusnas RI telah merancang/merumuskan program pengembangan karir pustakawan berbasis kompetensi, khususnya pembinaan karir bagi pustakawan jabatan fungsional PNS. Pola karir jabatan fungsional pustakawan adalah pola pembinaan PNS yang menggambarkan alur pengembangan karir yang menunjukkan keterkaitan dan keserasian antara jabatan, pangkat, pendidikan dan pelatihan, kompetensi serta masa jabatan seseorang PNS sejak pengangkatan pertama dalam jabatan tertentu sampai dengan pensiun. Sistem pembinaan karir pustakawan tersebut diperlukan untuk menjamin penyelenggaraan tugas pemerintahan melalui kepustakawanan, yang mampu memberikan keseimbangan akan terjaminnya hak dan kewajiban pustakawan sesuai dengan misi ditiap satuan unit atau organisasi perpustakaan. Adapun tujuan dari sistem pembinaan pola karir pustakawan tersebut adalah untuk: 1) mendayagunakan kemampuan profesional yang disesuaikan dengan kedudukan yang dibutuhkan dalam setiap unit organisasi perpustakaan; 2) mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya manusia perpustakaan sesuai dengan kompetensinya yang diarahkan pada misi perpustakaan serta visi badan induknya; 3) membina kemampuan, kecakapan, keterampilan secara efisien dan rasional, sehingga potensi dan motivasi pustakawan tersalur secara objektif ke arah pencapaian tujuan organisasi di mana perpustakaan berada; 4) menyediakan spesifikasi tugas, tanggung jawab, hak dan wewenang pustakawan yang jelas serta terdistribusi secara seimbang pada seluruh jenjang jabatan fungsional pustakawan; 5) memberikan gambaran tentang jabatan, kedudukan dan jalur yang mungkin dapat dilalui dan dicapai pustakawan, serta persyaratan yang harus dipenuhi guna mencapai jabatan fungsional pustakawan; 6) memberi kesempatan kepada pustakawan untuk naik jabatan sesuai ketentuan yang berlaku; 7) menjadi dasar bagi setiap pimpinan perpustakaan dalam rangka mengambil keputusan yang berkaitan dengan sistem managemen kepegawaian; 8) menciptakan keterpaduan yang serasi antara kemampuan, keterampilan dan motivasi dengan jenjang penugasan, agar jabatan fungsional pustakawan yang tersedia menghasilkan manfaat dan kapasitas kerja yang optimal secara profesional (Perpusnas, 2011).
©Jakarta, 2015
ANALISIS PROBLEM TREE Menurut Vesely (2008), kerangka masalah analisis problem tree terdiri dari tiga bagian, yaitu penyebab (impact), masalah pokok (main problem), dan akibat (causes). Analisis problem tree digambarkan dengan diagram berikut ini.
Melalui analisis problem tree di atas, dapat ditentukan penyebab, masalah pokok, dan akibat secara spesifik dan mengerucut. Meskipun tidak semua, tetapi ada salah satu masalah yang dijadikan bahasan spesifik untuk dicarikan solusinya. Ada beberapa tahapan dalam penerapan analisis problem tree yang juga akan digunakan dalam penelitian ini, yaitu: 1) mengidentifikasi dan membuat daftar beberapa permasalahan; 2) mengidentifikasi hal-hal yang menjadi masalah pokok; 3) mengidentifikasi sebab dan akibat yang timbul dari masalah pokok; 4) merumuskan draft tersebut ke dalam diagram problem tree analysis. Berdasarkan teori dan pengamatan sementara, untuk mengalisis status, eksistensi, dan pembinaan karir profesi pustakawan dengan analisis Problem Tree ini, dapat dijelaskan sebagai berikut.
©Jakarta, 2015
Rendahnya semangat kerja
Kurangnya rasa percaya diri
Kurangnya kesejahteraan
Akibat
Masalah Pokok
Eksistensi dan status pustakawan non-pemerintah belum diakui
Permasalahan yang ada
Belum diaturnya pola pembinaan karir pustakawan nonpemerintah secara jelas
Belum adanya pengakuan pustakawan sebagai tenaga profesional dari lembaga induknya
Belum jelasnya standar pemberian tunjangan pustakawan non-pemerintah
Penyebab
Permasalahan spesifik (pola pembinaan karir pustakawan non-pemerintah yang belum diatur secara jelas)
UU No.43 tahun 2007 tentang perpustakaan belum mengatur pola pembinaan karir pustakawan non-pemerintah
Belum adanya standar penilaian pekerjaan/ Juknis untuk pustakawan non-pemerintah
Masih melekatnya budaya nepotisme dalam perekrutan pustakawan nonpemerintah
Pustakawan bekerja multi tasking dilembaganya (one person library)
Belum adanya program pelatihan khusus bagi pustakawan nonpemerintah dari PNRI
Kepala perpustakaan bukan berlatar belakang ilmu perpustakaan dan informasi
Solusi inovatif penyelesaian masalah
Pemerintah perlu menetapkan PP/ Perka PNRI tentang ketentuan pembinaan karir pustakawan nonpemerintah
Lembaga perlu mengadopsi Juknis Pustakawan PNS dan kualifikasi lain yang sesuai kebutuhan
Seleksi dan perekrutan pustakawan sesuai dengan kompetensi kepustakawanan dan kompetensi lain yang sesuai kebutuhan lembaga
Lembaga menetapkan rincian tugas pustakawan sesuai dengan kompetensinya
Pustakawan mengikuti program sertifikasi profesi pustakawan; PNRI menyelenggaraka n program pelatihan khusus bagi pustakawan non-pemerintah misalnya short course dan
Pemerintah (PNRI) perlu menetapkan kualifikasi/ persyaratan Kepala Perpustakaan Lembaga NonPemerintah
ANALISIS SWOT Salah satu perangkat untuk mengevaluasi kinerja pustakawan dan perpustakaan adalah dengan menggunakan analisis SWOT (strength, weakness, opportunity, threat). Kenda (2010:6) mengatakan bahwa analisis SWOT merupakan salah satu metode untuk menggambarkan kondisi dan mengevaluasi suatu masalah, proyek, atau konsep bisnis yang berdasarkan faktor internal (dalam) dan faktor ekseternal (luar). Lebih lanjut, McDonald (2007) menjelaskan analisis SWOT sebagai suatu perangkat yang dapat membantu dalam mengidentifikasi gejala-gejala permasalahan yang timbul di dalam suatu organisasi. Analisis SWOT dapat dijadikan pondasi untuk menentukan strategi, perencanaan kerja, bahkan dalam menemukan ide-ide dalam perencanaan kerja kedepannya. Analisis SWOT harus berisi indikator-indikator yang jelas mengenai faktor kunci keberhasilan.
©Jakarta, 2015
Terkait dengan penerapan analisis SWOT untuk kinerja pustakawan, Sulistyowati (2012:91-92) mengatakan bahwa analisis SWOT dapat mengevaluasi kinerja pustakawan pada situasi dan kondisi yang bersifat deskriptif, yaitu menempatkan situasi dan kondisi sebagai faktor masukan yang dikelompokkan menurut kontribusinya masing-masing dengan gambaran berikut ini. 1) Kekuatan (strength) Kondisi pustakawan harus memiliki kualitas kinerja yang baik serta mampu mendayagunakan segala potensi dan sumber daya perpustakaan secara optimal. Beberapa sumber kekuatan dan sumber daya perpustakaan, yaitu sumber daya manusia (SDM), koleksi, sarana dan prasarana, pengguna, anggaran, lingkungan kerja, dan mitra kerja. 2) Kelemahan (weakness) Kelemahan perpustakaan merupakan kondisi perpustakaan yang tidak dapat berfungsi dengan baik, karena adanya hambatan atau kendala yang mempengaruhi kinerja pustakawan. Hambatan tersebut berupa sumber daya perpustakaan yang tidak memadai dan buruknya sistem administrasi dan manajemen perpustakaan. 3) Kesempatan/peluang (opportunity) Kesempatan/peluang senantiasa dihubungkan dengan ketersediaan anggaran/dana, kebijakan dan perhatian pimpinan, komitmen pimpinan, sarana dan prasarana yang memadai dalam mendukung pengembangan perpustakaan. 4) Ancaman (threat) Ancaman bagi perpustakaan adalah maraknya perkembangan pusat-pusat informasi dan dokumentasi, tempat hiburan dan acara televisi, serta status dan kedudukan (image) perpustakaan. Jika image perpustakaan baik tentunya ada peran pustakawan yang besar dalam memajukan perpustakaan. Menurut Harrison (2010), analisis SWOT adalah penggambaran situasi-situasi yang kemungkinan terjadi di dalam organisasi. Strengths dan Weaknesses terjadi pada situasi internal, sedangkan opportunities dan threats terjadi pada situasi eksternal organisasi. Di bawah ini gambaran situasi organisasi berdasarkan analisis SWOT. Kerangka analisis Problem Tree dan analisis SWOT digambarkan sebagai berikut.
Berdasarkan teori dan pengamatan sementara, untuk mengalisis status, eksistensi, dan pembinaan karir profesi pustakawan dengan analisis SWOT ini, dapat dijelaskan sebagai berikut.
©Jakarta, 2015
Internal
Eksternal
OPPORTUNITIES (O) 1. Kompetisi dengan pustakawan lain (kompetitor) 2. Promosi jabatan 3. Peningkatan tunjangan/insentif THREATS (T) 1. Mutasi kerja 2. Penurunan level jabatan 3. Pemberhentian kerja
STRENGHTS (S) 1. Sertifikasi pustakawan 2. Peraturan pemerintah tentang pola pembinaan karir pustakawan dan kualifikasi pengelola perpustakaan nonpemerintah/swata 3. Anggaran dan sarana yang memadai
WEAKNESSES (W) 1. Belum jelasnya pola pembinaan karir pustakawan non-pemerintah 2. Belum jelasnya standar penilaian kerja pustakawan non-pemerintah 3. Budaya nepotisme dalam perekrutan dan seleksi tenaga pustakawan 4. Kurangnya perhatian lembaga induk, sehingga tidak ada pengembangan karir bagi pustakawan dan penetapan pimpinan perpustakaan bukan orang yang kompeten dibidangnya
S+O Meningkatkan citra (image) perpustakaan dan pustakawan
W+O Merencanakan pengembangan karir pustakawan
S+T Meningkatkan kinerja dan kompetensi diri secara berkesinambungan
W+T Merubah cara pandang tentang fungsi dan peran perpustakaan dan pustakawan (tenaga teknis/administratif menjadi tenaga profesional)
PENUTUP Masalah status, eksistensi, dan pembinaan karir profesi pustakawan ini sebaiknya perlu dilakukan kajian lebih mendalam. Diharapkan setelah adanya kajian, kita dapat menemukan dan menentukan solusi yang tepat atas segala permasalahan yang terkait dengan peningkatan status profesi pustakawan, baik pustakawan yang bekerja di lembaga pemerintah maupun swasta.
DAFTAR PUSTAKA Gunawan, Hendry dan Novita Vitriana. 2010. Profesionalisme Pustakawan. Jurnal kepustakawanan dan masyarakat membaca, XXVI (2), hlm.:47-60. Harrison, Jeffrey P. 2010. Essentials of Strategic Planning in Healthcare. Chicago: Health Administration Press. Hermawan, Rachman dan Zen, Zulfikar. 2006. Etika Kepustakawanan: Suatu Pendekatan terhadap Kode Etik Pustakawan Indonesia. Jakarta: Sagung Seto. Hernadono. 1997. Pustakawan dan Angka Kredit: Kebijakan Pembinaan Tenaga Perpustakaan di Indonesia dan Pelaksana Jabatan Pustakawan. Jakarta: Perpustakaan Nasional. KBBI. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/kbbi/index.php (Diakses: 3/6/2015) Kenda, N. 2010. Analisis SWOT Eksistensi Perposan Menyongsong Masyarakat Informasi (Studi Kasus di Provinsi Sulawesi Utara dan Provinsi Gorontalo). Jurnal Penelitian Komunikasi dan Opini Publik, hlm.: 1-16. Kismiyati, Titik. 2009. Jabatan Fungsional Pustakawan Pasca Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan. Media Pustakawan, Vol.16, No.1 dan 2 Agustus, hlm.: 5-8. Mardiyanto, Fx. 2010. Perubahan ke Arah Kompetensi Pustakawan. WIPA, Vol.12, Edisi Juni, hlm.: 20-27. McDonald, Malcolm. 2007. Marketing Plans: How to Prepare Them, How to Use Them (6th ed.). Oxford: Elsevier. Nababan, Hotman. 2009. Manajemen Stratejik: Langkah Tepat Peningkatan Kinerja Pustakawan. Media Pustakawan, Vol.16, No.1 dan 2 Agustus, hlm,: 21-28.
©Jakarta, 2015
Nasuhaidi. 1998. Menyiasati Peluang dan Tantangan Pustakawan Abad 21. Akses: Media Komunikasi Dan Informasi. hlm.: 9-11. Perpusnas. 2011. Program Pengembangan Karir Pustakawan Berbasis Kompetensi: Hasil Rekomendasi Komisi 1. Jakarta: Perpustakaan Nasional RI. Sudarsono, Blasius. 1990. Pustakawan Sebagai Tenaga Profesional dan Jabatan Fungsional Pustakawan. BACA: Jurnal Dokumentasi, Informasi, dan Perpustakaan, Vol.15, No.3 Sulistyo-Basuki. 1992. Teknik dan Jasa Dokumentasi. Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama. Sulistyo-Basuki. 2014. Pola Pembinaan Pustakawan Swasta. https://sulistyobasuki.wordpress.com/2014/09/06/pola-pembinaan-pustakawan-swasta/ (12/5/2015). Sulistyowati, E.Yani. 2012. Peranan Pustakawan dalam Membentuk Citra Perpustakaan. Info Persadha, hlm.:89-98. Sutarno, NS. 2008. Kamus Perpustakaan dan Informasi. Jakarta: Jala Permata. Vesely, Arnost. 2008. Problem Tree: a Problem Structuring Heuristic. Central European Journal of Public Policy, 2, 68-81. Zaenal, Abidin. 2007. Analisis Eksistensial. Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada. Zuntriana, Ari. 2010. Peran Pustakawan di Era Library 2.0. Visi Pustaka, Vol.12 No.2 Agustus, hlm.: 1-6.