PENDIDIKAN JARAK JAUH DI PERPUSTAKAAN Oleh: Wahid Nashihuddin (2014) Pendahuluan Di era kemajuan teknologi dan informasi saat ini, sistem pendidikan jarak jauh telah mengubah pola pendidikan di Indonesia. Bersama dengan pendidikan ini, pola perpustakaan dalam melayani masyarakat juga perlu dirubah, dari pola layanan secara langsung (tatap muka) dengan pemustaka menjadi layanan jarak jauh (menggunakan fasilitas internet dan multimedia). Behm (2002) mengatakan bahwa pendidikan jarak jauh adalah konsep lama, tetapi mempunyai makna baru dengan adanya perkembangan internet dan web. Keberadaan internet di perpustakaan dimanfaatkan sebagai media pembelajaran jarak jauh pertama kali di perkenalkan oleh American Library Association (ALA) pada tahun 1931. Hal tersebut dilatarbelakangi ketika ALA mengetahui bahwa para murid studi jarak jauh berada pada posisi yang dirugikan karena mereka tidak memiliki akses ke koleksi. Pernyataan tersebut ditambahkan Gover (1998) dalam Behm (2002) bahwa pada tahun 1998, ALA bekerjasama dengan Association for College and Research Libraries (ACRL) sepakat untuk menyetujui penyusunan pedoman pendidikan jarak jauh di perpustakaan, yang isinya seperti di bawah ini: “Pelayanan dan bahan-bahan perpustakaan pada institusi pendidikan tinggi harus menjawab kebutuhan semuanya, baik fakultas, mahasiswa, maupun staf yang mendukung akademi, dimanapun mereka berada, apakah ada di kampus utama, di luar kampus, pendidikan jarak jauh, atau pada program-program kampus yang diperpanjang atau pada saat libur; pada mata kuliah yang diambil dengan sistem kredit ataupun noncredit, pada program-program pendidikan lanjut, pada kursus-kursus yang dihadiri secara langsung atau dengan bantuan transmisi elektronik, atau dengan memanfaatkan alat bantu lain dari pendidikan jarak jauh”. Mengacu pada pernyataan di atas, terlihat jika program pendidikan jarak jauh ditujukan untuk memenuhi kebutuhan informasi masyarakat. Di lingkungan perguruan tinggi, program pendidikan ini berfungsi untuk melayani informasi sivitas akademiknya seperti, lembaga, dosen, mahasiswa, dan staf. Pendidikan jarak jauh dapat dilaksanakan di manapun berada, baik di lingkungan kampus maupun luar kampus, seperti tempat kursus atau lembaga pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat. Program pendidikan tersebut juga dapat dilaksanakan secara langsung (tatap muka) atau dengan bantuan teknologi informasi dan komunikasi. Di Indonesia, pelaksanaan program pendidikan jarak jauh diilhami oleh lahirnya UU No.43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan khususnya di bagian pembukaan disebutkan bahwa dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, perpustakaan sebagai wahana belajar sepanjang hayat mengembangkan potensi masyarakat agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab dalam mendukung penyelenggaraan pendidikan nasional. Terlihat jelas bahwa program pendidikan jarak jauh di perpustakaan dilatarbelakangi oleh adanya tuntutan di lembaga perpustakaan untuk menyelenggarakan pendidikan atau pembelajaran sepanjang hayat dalam rangka mendukung sistem pendidikan nasional. Brophy (1999) juga mengatakan bahwa terdapat tiga alasan perpustakaan dituntut untuk menyelenggarakan pembelajaran seumur hidup yaitu: 1) masyarakat yang berubah sangat cepat; 2) pada suatu masyarakat global, individu perlu lebih cepat mendapatkan informasi; dan 3) kompetisi antara individu, kelompok dagang, perusahaan, dan negara. Ketiga hal tersebut dapat terjadi karena
teknologi informasi yang terkemas dalam media audio-visual dapat disebarluaskan melalui jaringan internet. Program pendidikan jarak jauh merupakan peluang yang tepat dan inovatif bagi pustakawan dalam mengembangkan layanan perpustakaan. Pustakawan yang ditunjuk sebagai administrator dan pengawas pelaksanaan layanan dan program pendidikan jarak jauh di perpustakaan dituntut juga mengupayakan terwujudnya budaya literasi informasi (information literacy) di masyarakat (ACRL, 2008). Information literacy merupakan kemampuan yang mewajibkan individu untuk mengetahui kapan informasi diperlukan dan mempunyai kemampuan untuk menemukan, mengevaluasi, dan menggunakan informasi yang diperlukan (Buxbaum, 2004). Sebagai individu, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan pustakawan dalam menciptakan budaya literasi informasi di masyarakat, yaitu: 1. Menentukan batas akses informasi yang diperlukan agar efektif dan efisien. 2. Mengevaluasi informasi dan sumber-sumbernya dengan kritis. 3. Memadukan sejumlah informasi yang terpilih untuk dibaca dan disebarkan ke orang lain 4. Mengerti masalah ekonomi, hukum, dan sosial sehubungan dengan penggunaan informasi, serta mengakses dan menggunakan informasi secara etis dan legal. Hakikat dari pelaksanaan program pendidikan jarak jauh di perpustakaan sebenarnya adalah terciptanya masyarakat literer di Indonesia. Masyarakat literer dapat terwujud apabila pustakawan memahami kebutuhan informasi dasar yang dibutuhkan oleh masyarakat, yang dalam hal ini kebutuhan dasar pembelajaran seumur hidup, serta literasi informasi berlaku untuk semua disiplin ilmu, semua lingkungan pembelajaran, dan semua tingkat pendidikan (ACRL dalam Buxbaum, 2004). Pendidikan Jarak Jauh Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) adalah pembelajaran dengan menggunakan suatu media yang memungkinkan terjadi interaksi antara pengajar dan pembelajar. Dalam PJJ antara pengajar dan pembelajar tidak bertatap muka secara langsung, dengan kata lain antara pengajar dan pembelajar berbeda tempat bahkan bisa dipisahkan oleh jarak yang sangat jauh. Keberadaan Website atau Web sangat membantu masyarakat pengakses web online dalam memperoleh pengetahuan, bahkan dapat memperoleh pendidikan dengan sistem mandiri. Pembelajaran berbantuan web sudah banyak dilakukan di lingkungan pendidikan formal maupun non-formal dalam rangka memperkaya sumber belajar yang dapat diakses kapanpun dan dimanapun berada. Fasilitas Web yang digunakan sebagai media pembelajaran bertujuan untuk memberikan materi pendalaman yang isinya berupa soal-soal beserta solusinya, materi pelajaran, virtual praktikum, ujian, tugas, dan diskusi (Kayler&Weller, 2007 dalam Hartono, 2009). Dengan adanya Web Pembelajaran akan membantu dan mudahkan proses pendidikan jarak jauh. Di Indonesia, sistem pendidikan jarak jauh di atur dalam Pasal 31 UU No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang menyatakan bahwa: 1) Pendidikan jarak jauh diselenggarakan pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan. 2) Pendidikan jarak jauh berfungsi memberikan layanan pendidikan kepada kelompok masyarakat yang tidak dapat mengikuti pendidikan secara tatap muka atau reguler. 3) Pendidikan jarak jauh diselenggarakan dalam berbagai bentuk, modus, dan cakupan yang didukung oleh sarana dan layanan belajar serta sistem penilaian yang menjamin mutu lulusan sesuai dengan standar nasional pendidikan. 4) Ketentuan mengenai penyelenggaraan pendidikan jarak jauh sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Sistem pembelajaran pendidikan jarak jauh adalah dengan menerapkan blended learning. Graham (2004) mengatakan bahwa secara istilah blended learning digunakan untuk meningkatkan frekuensi pembelajaran di lingkungan akademis maupun korporasi. Pada tahun 2003, the American Society for Training and Development mengidentifikasikan blended learning sebagai salah satu dari sepuluh tren kemunculannya dalam pengiriman pengetahuan di industri. Pada tahun 2002, The Chronicle of Higher Education quoted the President of Pennsylvania State University mengatakan bahwa blended learning merupakan konvergensi antara instruksi online dan area lingkungan pendidikan "single-terbesar” yang belum diakui trend-nya oleh lembaga pendidikan tinggi saat ini "(Young, 2002:A33). Terdapat tiga hal yang mencakup aspek blended learning, seperti halnya yang dikatakan oleh Graham, Allen, dan Ure (2003) bahwa blended learning yaitu: 1. Modal penggabungan instruksi atau media pengiriman pembelajaran (combining instructional modalities or delivery media) 2. Penggabungkan metode pembelajaran (combining instructional methods) 3. Penggabungkan sistem online dan face-to-face instruksi pembelajaran (combining online and face-to-face instruction). Mengacu pada ketiga aspek di atas, Model blended learning menuntut siswa atau mahasiswa untuk belajar dengan memanfaatkan berbagai bahan ajar, baik cetak, audio/visual berbantuan jaringan, serta mengikuti tutorial tatap muka dan online. Sistem pendidikan jarak jauh ini menjadikan para siswa menjadi lebih mandiri dalam belajar. Untuk memonitor kegiatan belajar mandiri mahasiswa dan tutorial online, mahasiswa mendapat tutor kunjung sebanyak dua kali selama satu semester, yaitu pada bulan kedua dan keempat. Evaluasi tutorial pembelajaran dapat diukur dengan: a) tes diakhir tutorial tatap muka; dan b) tugas dan partisipasi tutorial online, ujian akhir semester, dan praktikum (Depdiknas, 2006 dalam Hartono, 2009). Secara sederhana model blended learning dapat digambarkan sebagai berikut: Tutorial Online
Face to Face di Kampus
Printed Materials
Terdapat enam alasan seorang instruktur, pengajar, pelatih, atau pelajar lebih memilih model blended learning sebagai model belajar, yaitu dengan alasan: (1) memperkaya pedagogi (pedagogical richness); (2) kemudahan akses pengetahuan (access to knowledge), (3) interaksi sosial (social interaction), (4) agen pribadi (personal agency), (5) hemat biaya (cost effectiveness), dan (6) kemudahan melakukan revisi (ease of revision) (Osguthorpe and Graham, 2003). Dari ke enam alasan tersebut, hanya ada tiga alasan terpenting orang memilih blended learning yaitu: a. Peningkatan Pedagogi Sistem blended learning meningkatkan tingkat strategi pembelajaran aktif, peer-to-peer strategi pembelajaran, dan pembelajar berpusat strategi yang digunakan. b. Peningkatan akses/fleksibilitas Akses untuk belajar merupakan salah satu faktor kunci mempengaruhi pertumbuhan lingkungan belajar terdistribusi Untuk peningkatan fleksibilitas dan kenyamanan dalam proses belajarmengajar diperlukan kemampuan dan komitmen pelajar yang lebih “matang”.
c. Meningkatkan efektivitas biaya. Efektivitas biaya adalah tujuan utama ketiga bagi sistem dalam pendidikan tinggi dan lembaga korporasi. Sistem blended learning memberikan kesempatan untuk bagi pelajar untuk mendapatkan akses informasi yang lebih luas (global). Pendidikan di Perpustakaan Keprihatinan American Library Association (ALA) pada tahun 1931 terhadap para murid yang belajar di Amerika merupakan penyebab lahirnya program pendidikan jarak jauh lembaga perpustakaan. Pada waktu itu, ALA pertama kalinya melihat para murid studi jarak jauh berada pada posisi yang dirugikan oleh sekolahnya karena tidak memiliki akses informasi atau koleksi ke perpustakaan. Pada tahun 1967, ALA mengusulkan ke for College and Research Libraries (ACRL) untuk membuat pedoman sistem pelaksanaan pendidikan jarak jauh. Kemudian, pada tahun 1990 pedoman tersebut direvisi (revisi kedua) dan terakhir diadakan revisi yang ketiga pada tahun 1998. Ketika itu ALA dan ACRL telah mengembangkan pedoman layanan perpustakaan untuk pendidikan jarak jauh yang bersifat off-campus, tanpa adanya komitmen ekonomi ataupun filosofi dari lembaga induknya. Sehingga layanan perpustakaan off-campus yang diberikan kepada para siswa tidak memadai untuk memenuhi kebutuhan informasi akademiknya. Revisi yang ketiga itulah yang menyebakan adanya perubahan sistem layanan perpustakaan off-campus menjadi on-campus atau online library. Dengan cara tersebut diharapkan perpustakaan dapat memberikan layanan yang terbaik bagi siswa dan sivitas akademik lainnya (Behm, 2004:12). Fudel (1998) dalam Behm (2004:10) menjelaskan bahwa terdapat enam fase sejarah (fase ini terjadi pada perpustakaan yang berkembang di abad ke-18 sampai ke-20) yang melatarbelakangi adanya program pendidikan jarak jauh diperpustakaan, antara lain: 1) Fase cetak, terutama bagi sekolah-sekolah tertulis dan disebut juga dengan fase koresponden 2) Fase cetak dan audio, termasuk gabungan antara radio dan kaset audio 3) Fase cetak, audio, dan video, digunakan untuk melengkapi penggunaan televisi, satelit, dan video conference. 4) Fase cetak, audio, video, dan computer, merupakan teknologi lanjutan masa kini. 5) Fase teknologi campuran, menggunakan computer untuk mengirimkan audio dan video yang sudah dikompresi 6) Fase lingkungan belajar maya, menggunakan internet untuk menciptakan lingkungan belajar yang synchronous dan yang asynchronous untuk para anak didik. Adapun model layanan perpustakaan yang digunakan untuk program pendidikan jarak jauh, Slade (1998:19-21) mangatakan ada empat model antara lain: 1. Model pertama, koleksi perpustakaan ada pada kampus cabang. Model ini dapat terlaksana apabila terdapat cukup mahasiswa pada satu lokasi sehingga fasilitas yang tersedia dapat dipergunakan sebagai kampus cabang, termasuk tersedianya fasilitas perpustakaan. Keuntungan dari model ini adalah materi atau informasi siap tersedia untuk mahasiswa yang tidak ingin pergi atau memanfaatkan layanan di perpustakaan yang lain. Selain itu, perpustakaan lokal juga tidak dibebani dalam usahanya memenuhi kebutuhan informasi para pemustakanya. Sedangkan kerugiannya adalah biaya pengadaan koleksi/buku lebih besar untuk perpustakaan yang lokasinya lebih dari satu tempat, masalah perizinan hak cipta untuk artikel jurnal dan terbitan lainnya, serta perlunya tambahan staf pada lokasi perpustakaan cabang. Contoh dari model pelayanan perpustakaan kampus cabang seperti Illionis Institute of Technology, Washington State University, dan Pennsylvania State University.
2. Model kedua, berpusat pada layanan pinjam antar-perpustakaan, resource sharing, dan mahasiswa dapat menggunakan perpustakaan afiliasi. Keutungan model ini adalah tidak diperlukan staf tambahan, tidak perlu membeli koleksi tambahan, dan tidak bermasalah dengan hak cipta. Sedangkan kerugiannya adalah pemustaka (mahasiswa) tidak memiliki akses terhadap sumber-sumber informasi atau materi yang siap tersedia di perpustakaannya, apabila mahasiswa menginginkan informasi maka perpustakaannya harus berafilisasi atau melakukan silang layan koleksi dengan perpustakaan yang lain. 3. Model ketiga, pengiriman materi dari instansi induk kepada para mahasiswa. Maksudnya bahwa diperlukan sebuah perpustakaan terpisah yang didedikasikan untuk para mahasiswa program pendidikan jarak jauh. Keuntungan model ini adalah para mahasiswa memiliki satu tempat untuk mendapatkan pelayanan informasi, materi-materi, dan tidak perlu mengorbankan perpustakaan local untuk membantu mencarikan literatur. Sedangkan kerugiannya adalah materi tidak tersedia di tempat, sehingga para mahasiswa perlu merencanakan dahulu kebutuhan informasi yang dicarinya. Hal tersebut perlu dilakukan agar tidak menambah biaya untuk penambahan staf dan tidak melanggar hak cipta. Contoh penerapan model layanan perpustakaan ini adalah Central Michigan University, Michigan State University, Regis University, University of Kentucky, dan Utah State University. 4. Model keempat, berhubungan dengan penggunaan teknologi untuk mengakses sumber-sumber informasi elektronik. Dengan adanya sumber informasi elektronik yang dilanggan dan dimiliki oleh perpustakaan berdampak pada kemudahan akses bagi masyarakat yang memanfaatkan jasa perpustakaan. Selain di dalam kampus, mahasiswa juga dapat memanfaatkan sumber informasi atau materi literatur dari perpustakaan lain. Saat ini, model ini banyak diadopsi oleh berbagai universitas seperti Michigan State University, Central Michigan University, dan institusi lain yang memberikan remote access ke perpustakaan lokal. 5. Model kelima, terkait dengan layanan kontrak dengan perpustakaan lain. Model ini muncul dari adanya tipe baru dalam institusi pendidikan, yaitu universitas tanpa kampus. Ketersedian gedung, fasilitas, staf fakultas dapat diadakan apabila dikontrak, dan akan berdampak pada tidak tersedianya fasilitas perpustakaan di universitas. Keuntungan model ini adalah universitas tidak perlu mengembangkan perpustakaan, sedangkan kerugiannya adalah para mahasiswa harus memiliki fasilitas untuk mengakses materi yang diinginkan dan mahasiswa sangat tergantung pada institusi/perpustakaan pihak ketiga untuk memperoleh materi tersebut. Contoh layanan kontrak perpustakaan ini adalah Capella University dan Western Governer’s di Amerika (Behm, 2004:12) Lebih lanjut, Seadle (2002) menjelaskan bahwa hak cipta dan pendidikan jarak jauh saling berhubungan secara serasi dan logis, maksudnya hak cipta dapat memberikan keuntungan bagi kehidupan, ambisi, dan tanggung jawab lembaga pengelola. Terkait dengan hal tersebut, lebih lanjut Seadle menjelaskan tentang dasar-dasar hak cipta yang dapat dijadikan pemahaman pustakawan dalam mengelola layanan perpustakaan untuk pendidikan jarak jauh, antara lain: 1. Karya yang dilindungi Semua jenis karya cetak yang ditulis di kertas dan karya rekam yang tersimpan di disket magneti, pita, flashdisk, piringan (CD/DVD), atau database di Web, yang berupa teks dilindungi oleh hak cipta. Selain bentuk teks, karya seni seperti gambar, grafik, patung, arsitek, pantomime, drama, dan music (aransemen) juga dilindungi oleh hak cipta. Pada prinsipnya, hak cipta mencakup semua karya yang mendapat ekspresi verbal ataupun visual, serta untuk memenuhi kriteria keaslian suatu karya.
2. Public Domain Public domain meliputi semua karya yang tidak dilindungi, karena sudah bersifat open source. Karya-karya public domain dapat disalin dengan bebas, digunakan dalam web atau dipublikasikan tanpa izin atau pembayaran royalty. Contoh semua karya ilmiah-populer yang dipublikasikan dalam google atau yahoo. 3. Fair Use Maksudnya pedoman hukum yang mengatur tentang pengecualian akses informasi di perpustakaan, setiap pengguna diberi kebebasan untuk mengakses literatur perpustakaan sesuai dengan batasan-batasan hukum akses informasi perpustakaan. Apabila penyalinan karya tidak berpengaruh negatif pada perpustakaan maka dianggap fair. Adapun kriteria yang digunakan menetapkan fair Use di perpustakaan yaitu: a) tujuan dan sifat penggunaan literature, komersial atau pendidikan; b) sifat dari karya yang memiliki hak cipta; c) jumlah porsi karya yang digunakan, sebagian atau keseluruhan; dan d) pengaruh penggunaan terhadap potensi pasar dari suatu nilai karya yang berhak diciptakan 4. Lisensi Sebuah karya yang berlisensi artinya dua pihak telah menyepakati sebuah perjanjian yang mengikat mereka terhadap ketentuan yang menyampaikan fair use atau pengecualian lain dari hukum yang berlaku. Kedua belah pihak tersebut adalah perpustakaan dan pencipta/penulis karya. 5. Moral Rights Seperti halnya dengan fair use, moral right termasuk hak untuk menuntut asal-usul suatu karya. Tujuannya untuk: a) mencegah kesalahan anggapan seseorang; b) menolak anggapan atas sebuah karya yang telah dirusak atau diubah bentuknya; dan c) mencegah pengubahan bentuk atau perusakan dari sebuah karya. Moral right itu bukan hak pengguna suatu karya, melainkan hak pencipta. Sumber kutipan dari buku: Shari Buxbaum [Editor]. 2004. Library Services: Perpustakaan Virtual Untuk Kuliah Bisnis Sistem Jarak Jauh; Tren Yang Berkembang Saat Ini. Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada.