PERAN PENDIDIKAN JARAK JAUH DALAM PENCAPAIAN MDGs Durri Andriani (
[email protected]) Rinda Noviyanti (
[email protected]) Nurmala Pangaribuan (
[email protected]) Universitas Terbuka ABSTRACT It is widely accepted that education is one important sector in human life especially related to access and participation. However, Indonesia still faces problem in relation to equal education access for boys and girls as reflected in school participation rate where the rate for boys is higher than those for girls. This situation shows, to some point, hind rents the Indonesia government to provide equal education for man and woman as one target of the United Nation’s Millennium Declaration. It is then necessary to take a look at policies of Indonesia government on education and how the policies influence women participation in education. One of the government policies which could benefit women is the acknowledgement of distance education (DE) in Indonesia educational system. This paper discusses how DE could benefit women by providing wider access to education. For illustration, this paper provides analysis of roles and performances of Universitas Terbuka, a state national higher education which fully implements DE system, in relation to efforts to increase access and participation of women in education, especially in higher education. Key words: distance education system, millennium declaration goals, school participation rate
Tujuan Pembangunan Milenium atau Millennium Development Goals (MDGs) merupakan inti Deklarasi Milenium (The Millennium Declaration) yang disepakati pada bulan September 2000. Deklarasi yang disepakati 189 dari 191 pemerintahan anggota PBB ini merupakan bentuk komitmen dunia untuk pencapaian target pembangunan komunitas internasional yang dituangkan dalam Resolusi Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Deklarasi tersebut ditujukan untuk mencapai pengembangan sosial dan ekonomi yang berkelanjutan dengan menciptakan dan mengembangkan kerjasama dan kemitraan global untuk terjadinya hubungan yang inklusif dan setara antar pemerintahan. Inti dari Deklarasi Milenium adalah delapan MDGs yang telah disepakati untuk dicapai pada tahun 2015 oleh seluruh 191 pemerintahan anggota PBB. Upaya mencapai MDGs ini dilakukan dengan mendorong pemerintah, lembaga donor, dan organisasi masyarakat sipil di manapun untuk mengorientasikan kembali kegiatan mereka sehingga dapat dicapai target pembangunan yang spesifik, bertenggat waktu, dan terukur ke dalam delapan sasaran MDGs tersebut. Enam nilai fundamental menjadi dasar Deklarasi Milenium, yaitu (1) kebebasan, (2) kesetaraan, (3) solidaritas, (4) toleransi, (5) penghargaan terhadap alam, dan (6) tanggung jawab bersama. Ke enam nilai tersebut menjamin setiap individu, baik laki-laki maupun perempuan, anakanak maupun dewasa, untuk memanfaatkan pembangunan dengan cara saling menghormati. Nilai tersebut yang mendasari re-orientasi dan pencapaian kegiatan yang ditujukan untuk mencapai MDGs
Jurnal Pendidikan Terbuka dan Jarak Jauh, Volume 9, Nomor 2, September 2008, 61-67
(http://www.un.org/millennium/declaration/ ares552e.pdf). Re-orientasi kegiatan diperlukan agar pemerintahan dapat menyatukan sumber daya dan upaya untuk mencapai MDGs. Untuk menilai pencapaian MDGs, PBB melakukan monitoring dan evaluasi terhadap capaian masing-masing pemerintahan terhadap tiap-tiap sasaran MDGs. Hasil monitoring dan evaluasi serta data yang relavan diterbitkan dan dapat dijadikan acuan oleh pemerintahan yang bersangkutan maupun pemerintahan lain untuk menilai ketercapaian sasaran MDGs. Tanpa mengurangi kebutuhan untuk melakukan monitoring dan evaluasi terhadap capaian satu pemerintahan terhadap tiap-tiap sasaran MDGs, artikel ini akan difokuskan pada pembahasan peran sistem pendidikan jarak jauh (PJJ) dalam memfasilitasi pencapaian MDGs. Fokus pada pendidikan umumnya, PJJ khusunya, dilakukan karena data antar negera memperlihatkan, dalam jangka panjang, adanya korelasi positif antara capaian sekolah dengan keterampilan kognitif (World Bank, 2007). PJJ dipilih karena, dengan adanya tekanan untuk memperluas akses terhadap pendidikan yang dihadapkan pada terbatasnya dana untuk penyelenggaraan pendidikan, sistem PJJ ini potensial untuk meningkatkan akses terhadap pendidikan dengan biaya penyelenggaraan yang relatif lebih terjangkau dibandingkan pendidikan tatap muka. SISTEM PENDIDIKAN JARAK JAUH Banyak pakar mendefinisikan sistem PJJ seperti Peters (1973) yang menyatakan bahwa PJJ adalah suatu sistem untuk menyampaikan ilmu pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang dikelola berdasarkan penerapan konsep ban berjalan, pinsip organisasi, dan pemanfaatan media secara ekstensif yang memungkinkan terjadinya proses pembelajaran pada peserta ajar dalam jumlah banyak pada saat bersamaan dimanapun domisili mereka. Sementara itu Moore (1973) mendefinisikan PJJ sebagai metode pembelajaran dimana proses pengajaran terjadi secara terpisah dari proses belajar sehingga komunikasi antara peserta ajar dan pengajar harus difasilitasi melalui media. Pakar lain, Bates (1995), menyatakan bahwa dengan sistem PJJ akan tercipta suatu keadaan dimana setiap individu dapat belajar tanpa dibatasi apapun (Bates, 1995). Keegan (1980) menganalisis baragam definisi dan praktek PJJ dan memformulasikan enam karakteristik PJJ, yaitu (1) terpisahnya pengajar dan peserta ajar yang membedakan PJJ dengan pendidikan tata muka; (2) ada pengaruh dari suatu organisasi pendidikan yang membedakannya dengan belajar sendiri di rumah (home-schooling); (3) penggunaan beragam media untuk menyatukan pengajar dan peserta ajar; (4) penyediaan komunikasi dua arah dimana peserta ajar dapat menarik manfaat dari sarana komunikasi ini termasuk mengambil inisiatif dialog; (5) kemungkinan pertemuan untuk keperluan pembelajaran dan sosialisasi; serta (6) proses pendidikan memiliki bentuk hampir sama dengan proses industri. Sistem PJJ merupakan satu sistem pendidikan yang difokuskan pada pedagogi, teknologi, dan instruksional yang didesain untuk menyampaikan materi ajar bagi peserta ajar yang tidak berada pada lokasi yang sama dengan sumber belajar. Pada sistem PJJ, peserta ajar tidak diwajibkan untuk hadir dalam pembelajaran tatap muka tetapi peserta ajar dan sumber belajar dapat berkomunikasi pada waktu yang ditentukan sendiri dengan memanfaatakan media, baik media tercetak, terekam, maupun tersiar (http://en.wikipedia.org/wiki/Distance_education). Dengan karakteristiknya tersebut, sistem PJJ dapat menjadi alternatif pemerataan kesempatan mengenyam pendidikan. Sistem PJJ ini juga cocok dengan konsep pendidikan sepanjang hayat (life–long learning) dan pendidikan untuk semua (education for all) dicetuskan dan dideklarasikan oleh + 150 negara di Jontien, Thailand, 1992 dengan sponsor UNESCO, yang merupakan suatu ideologi yang harus dihayati dan dijalankan. Konsep pendidikan sepanjang hayat dan pendidikan untuk semua merupakan sesuatu yang ideal yang dalam prakteknya tidak mudah
62
Durri, Peran Pendidikan Jarak Jauh dalam Pencapaian MDGs
dilaksanakan. Dengan sistem PJJ, konsep ideal itu memiliki kesempatan lebih besar untuk diterapkan. Dari pengertian tentang PJJ ini tercermin kuatnya aplikasi nilai pertama (”Kebebasan”) dan nilai ke dua (”Kesetaraan”) yang mendasari Deklarasi Milenium. Sistem PJJ memungkinkan mereka yang karena keterbatasan lokasi tinggal (jauh dari institusi pendidikan), keterbatasan waktu (memiliki pekerjaan yang tidak dapat ditinggalkan), atau keterbatasan fisik (kesulitan bergerak) tidak dapat bergabung di institusi pendidikan yang menerapkan sistem pendididkan tatap muka yang mewajibkan kehadiran peserta ajar di kelas tertentu pada waktu tertentu. Pemanfaatan teknologi dalam sistem PJJ membuka kemungkinan yang lebih luas kepada kepada mereka yang ingin melanjutkan pendidikan. Tekonologi yang lazim digunakan dalam PJJ sangat beragam, misalnya: Suara – termasuk teknologi interaktif telepon, audioteleconferencing, radio, tape. Video – termasuk slides dan film. Data – Komputer mengirim dan menerima data secara elektronik. Aplikasi komputer dalam PJJ bervariasi termasuk: •
•
•
Computer-assisted instruction (CAI) – menggunakan komputer sebagai alat belajar mandiri (self-contained teaching machine) untuk menghadirkan pelajaran secara individual. Computer-managed instruction (CMI) – menggunakan komputer untuk mengorganisasikan instruksi dan kemajuan belajar siswa. Materi ajarnya sendiri tidak harus disampaikan mlalui komputer meskipun kadangkala CAI digabung dengan CMI. Computer-mediated education (CME) – menjelaskan aplikasi komputer yang memfasilitasi penyampaian kurikulum; misalnya mail, fax, real time computer conferencinfg, dan aplikasi World Wide Web.
Cetak – merupakan elemen dasar dari PJJ dan menjadi basis perkembangan sistem PJJ. Beragam format cetakan dapat digunakan, termasuk buku teks, pedoman belajar, buku kerja, studi kasus. (http://en.wikipedia.org/wiki/Distance_education) Dari beragamnya jenis media yang dapat dimanfaatkan dalam PJJ, tercermin bahwa semua media (dari yang paling sederhana seperti buku sampai yang paling mutakhir seperti konferensi komputer interaktif) dapat dimanfaatkan dalam menyampaikan materi ajar. Meskipun demikian patut diperhatikan bahwa efektivitas teknologi yang digunakan dalam PJJ dipengaruhi oleh ketersediaan dan pemilihan teknologi yang tepat. Pemerintahan dengan teknologi yang terbataspun dapat memanfaatkan teknologi yang ada pada sistem PJJ. Dengan demikian, nilai pertama (”Kebebasan”) dan ke dua (”Kesetaraan”) dari Deklarasi Milenium-pun dapat dipenuhi melalui PJJ. Di luar aspek positif dari PJJ (dapat menjangkau lebih banyak peserta ajar yang karena alasan domisili dan kesibukan tidak dapat dijangkau sistem belajar tatap muka), sistem PJJ yang memanfaatkan media dalam penyampaian materi ajar banyak menimbulkan keraguan terkait dengan efektivitas hasil pendidikannya. Keraguan akan efektivitas sistem PJJ ini dijawab dalam beberapa
63
Jurnal Pendidikan Terbuka dan Jarak Jauh, Volume 9, Nomor 2, September 2008, 61-67
penelitian yang membandingkan sistem pendidikan tatap muka dengan sistem PJJ yang mengindikasikan bahwa belajar melalui sistem PJJ dapat sama efektifnya dengan belajar melalui sistem tatap muka jika metode dan teknologi yang diterapkan sesuai dengan target instruksional, ada interaksi antara mahasiswa, dan tersdia umpan balik bagi mahasiswa (Moore & Thomson, 1990; Verduin & Clark, 1991). Sementara itu, dari aspek biaya, Belawati dan Andriani (2002) menemukan bahwa penyelenggaraan PJJ, dengan asumsi jumlah peserta ajar tertentu, lebih murah dari pada penyelenggaraan sistem pendidikan tatap muka. Hasil yang sama juga ditemukan pada penelitian yang dilakukan Nielsen, Tatto, Djalil, dan Kularatne (2007). Mereka menemukan bahwa Program Pendidikan Guru melalui sistem PJJ di Sri Lanka dan Indonesia secara signifikan lebih murah daripada pada sistem tatap muka dimana total biaya tahunan untuk pendidikan per kapita pada sistem PJJ 1/6 – 3/5 dari sistem pendidikan tatap muka. Selain itu, cost to sponsor per mahasiswa di Indonesia untuk sistem PJJ ¼ dari biaya pada sistem pendidikan tatap muka. Penelitian Nielsen et al (2007) juga menyatakan bahwa economy of scale sistem PJJ adalah di atas 5000 mahasiswa. Meskipun demikian, opportunity cost dalam sistem PJJ perlu diperhatikan karena hal ini berpengaruh secara signifikan terhadap mereka yang mengikuti PJJ. Waktu belajar sering kali berkorelasi langsung dengan waktu yang dapat digunakan untuk mendapatkan tambahan penghasilan. Dalam kata lain, waktu yang digunakan untuk belajar sebenarnya dapat dipergunakan untuk mendapatkan penghasilan. Temuan penelitian Nielsen dkk ini mengindikasikan bahwa sistem PJJ merupakan salah satu cara yang dapat digunakan untuk meningkatkan kualifikasi dan kompetensi guru dengan biaya yang relatif tidak mahal. Peningkatan kualifikasi dan kompetensi guru akan sangat berpengaruh terhadap capaian sasaran pertama MDGs, ”Pencapaian pendidikan dasar secara universal”. UNIVERSITAS TERBUKA Diantara negara-negara di dunia terdapat perbedaan rasio perempuan dibanding laki-laki di jenjang pendidikan tinggi. Di 63 negara tingkat partisipasi perempuan di perguruan tinggi lebih rendah dari pada laki-laki tetapi di 65 negara lainnya tingkat partisipasi perempuan lebih tinggi dari laki-laki. Rendahnya tingkat partisipasi mahasiswa perempuan terutama terjadi di Sub-Saharan Afrika dan Asia Selatan (World Bank, 2007). Untuk Indonesia, jumlah perempuan dalam pendidikan tinggi terbantu dengan adanya Universitas Terbuka (UT) meskipun dibandingkan dengan mahasiswa laki-laki, jumlah mahasiswa perempuan masih lebih rendah. UT, melalui sistem PJJ, mampu menjangkau lebih banyak individu di seluruh Indonesia untuk menikmati pendidikan tinggi. Pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa dalam lima tahun terakhir (2002-2007) terjadi peningkatan pesat dalam jumlah mahasiswa UT meskipun dilihat dari jenis kelamin, terjadi penurunan persentase mahasiswa perempuan (dibandingkan mahasiswa laki-laki). Jika pada tahun 2002 prosentase mahasiswa perempuan di UT adalah 55,61% maka di tahun-tahun selanjutnya prosentase mahasiswa perempuan menunjukkan kecenderungan menuruh sampai 34,32% di tahun 2007. Meskipun secara prosesntase menurun tetapi sacara nominal terjadi peningkatan jumlah mahasiswa perempuan yang signifikan dari 8.134 orang menjadi 62.878 orang atau terjadi peningkatan sebesar 7,73 kali lipat.
64
Durri, Peran Pendidikan Jarak Jauh dalam Pencapaian MDGs
Tabel 1. Mahasiswa Universitas Terbuka (2002-2007) Masa Registrasi
Laki-laki n
Perempuan %
n
%
Total
2002
6.493
44,39
8.134
55,61
14.627
2003
14.316
51,45
13.509
48,55
27.825
2004
24.067
50,64
23.456
49,36
47.523
2005
66.861
58,69
47.069
41,31
113.930
2006
79.291
65,73
41.346
34,27
120.637
62.878
34,32
183.190
2007 120.312 65,68 Sumber: Diolah dari Statistik Universitas Terbuka 2002-2007
Sistem PJJ yang memberi kesempatan bagi peserta ajar untuk menentukan sendiri kondisi dan situasi belajar yang sesuai dengan ritme aktivitas mereka sehari-hari, di satu sisi memberi keuntungan untuk mereka yang karena alasan domisili atau kegiatan lain tidak dapat mengikuti sistem pendidikan tatap muka. Di sisi lain, sistem PJJ menuntut peserta ajar untuk belajar mandiri dimana peserta ajar bertanggung jawab dalam merencanakan, menentukan, melaksanakan, dan mengevaluasi pembelajaran (Guiglielmino & Guiglielmino, 1995). Pertanyaan kemudian, apakah mahasiswa UT memiliki kemadirin belajar? Puspitasari dan Islam (2003), dengan menggunakan instrumen SDLRS (Self-Directed Learning Raediness Scale) untuk mengukur kesiapan belajar mandiri seseorang dalam belajar, menemukan bahwa mahasiswa UT memiliki tingkat kesiapan belajar rata-rata (dapat sukses dalam belajar tetapi tidak merasa terlalu aman untuk sepenuhnya bertanggung jawab dalam memutuskan kebutuhan belajar dan juga dalam merencanakan, mengimplementasikan, serta mengevaluasi proses belajar mereka). Tingkat rata-rata kesiapan belajar mandiri mahasiswa UT juga ditemukan dalam penelitian Andriani (2003) yang juga menggunakan instrumen SDLRS maupun pada penelitian Ngafiyati (2000) yang mengembangkan sendiri instrumen untuk mengukur tingkat kesiapan belajar mandiri mahasiswa UT. Dalam skala 0-100%, Ngafiyati menemukan bahwa kesiapan belajar mahasiswa UT rata-rata adalah 62,12%. Pengaruh usia terhadap kesiapan belajar mandiri juga diteliti oleh Puspitasari dan Islam (2003) dimana mereka menemukan bahwa usia berpengaruh terhadap kesiapan belajar: semakin tinggi usia mahasiswa semakin tinggi tingkat kesiapan belajar mandiri mahasiswa. Kemandirian belajar sendiri berpengaruh nyata positif (38,45%) terhadap prestasi belajar (Ngafiyati, 2000). Sementara itu, penyesuaian diri berpengaruh nyata positif (10,45%) terhadap prestasi belajar. Menarik untuk mencermati hasil penelitian yang mengindikasikan bahwa jenis kelamin tidak memiliki pola yang sama terhadap skor kemandirian belajar. Pada kelompok mahasiswa baru (semester 1-2) skor rata-rata kemandirian belajar mahasiwa perempuan pada sistem PJJ lebih tinggi dari skor mahasiswa laki-laki tetapi kondisi sebaliknya terjadi untuk mahasiwa semester lanjut (semester 4 dan seterusnya) (Puspitasari & Islam, 2003). Di luar perbedaan kesiapan mendiri berdasarkan jenis kelamin, penerapan sistem PJJ perlu dibarengi dengan penyiapan peserta ajar untuk belajar mandiri karena beberapa penelitian menunjukkan bahwa kesiapan belajar mandiri secara signifikan mempengaruhi keberhasilan belajar (Andriani, 2003); Sementara itu, jika dilihat dari jumlah lulusan UT (Lihat Tabel 2), kontribui UT cukup besar terhadap lulusan perguruan tinggi di Indonesia. Pada tahun 2005, lulusan UT berjumlah 5,6% dari
65
Jurnal Pendidikan Terbuka dan Jarak Jauh, Volume 9, Nomor 2, September 2008, 61-67
total lulusan seluruh perguruan tinggi di Indonesia (www.depdiknas.go.id). Efek multiplier lulusan UT untuk dunia pendidikan besar karena sebagaian besar dari lulusan tersebut merupakan guru. Tabel 2. Lulusan Universitas Terbuka (2002-2007) Masa Registrasi
Laki-laki n
Perempuan %
n
%
Total
2002
10.854
55,50
8.701
44,50
19.555
2003
4.473
58,76
3.139
41,24
7.612
2004
11.467
55,50
9.195
44,50
20.662
2005
10.537
58,05
7.615
41,95
18.152
2006
19.346
63,59
11.076
36,41
30.422
2007
15.381
64,17
8.589
35,83
23.970
Dari Tabel 2 dapat dilihat bahwa prosentase jumlah lulusan UT tidak berbeda jauh dengan proporsi mahasiswa UT terutama pada tiga tahun terakhir. Pada tahun 2005, mahasiswa perempuan UT berjumlah 41,31% dari total mahasiswa sementara lulusan perempuan berjumlah 41,95%; 2006 (34,27% mahasiswa dan 36,41% lulusan); dan 2007 (34,32% mahasiswa dan 35,83% lulusan). PENUTUP MDGs merupakan suatu kesepakatan nyang sedapat mungkin harus diupayakan untuk dicapai. Untuk itu, monitoring dan evaluasi pencapaian sasaran dalam MDGs merupakan langkah penting untuk memastikan bahwa komitmen dunia untuk mencapai masyarakat dunia mengikutsertakan setiap individu dalam setiap tahap pembangunan tanpa memandang jenis kelamin, strata sosial, ekonomi, ras, maupun kebangsaan. MDGs sendiri diformulasikan dengan memperhatikan enam nilai fundamental (kebebasan, kesetaraan, solidaritas, toleransi, penghargaan terhadap alam, dan tanggung jawab bersama) yang dipercaya mampu membuat dunia berkembang ke arah yang lebih inklusif dan setara. Dalam kaitannya dengan nilai fundamental dan pencapaian MDGs, pendidikan memainkan peran penting karena pendidikan dipandang mampu memberikan perubahan perilaku (dalam jangka panjang) yang diperlukan untuk mencapai pengembangan sosial dan ekonomi yang berkelanjutan. Pentingnya peran pendidikan menuntut pemerintah di satu sisi menyediakan pendidikan yang berkualitas sementara di sisi lain biaya penyelenggaraan pendidikan tidak murah. Dikotomi antara pemenuhan kebutuhan pendidikan dengan anggaran yang harus disediakan dapat diatasi, salah satunya, dengan penerapan sistem PJJ. Sistem PJJ yang memanfatkan teknologi dalam proses penyelenggaraan pendidikannya memungkinkan mereka yang karena keterbatasan lokasi tinggal, keterbatasan waktu, maupun keterbatasan fisik tidak dapat bergabung dengan institusi pendidikan tatap muka. Pemanfaatan teknologi dalam sistem PJJ memungkinkan diterapkannya nilai “kebebasan” dan “kesetaraan” dalam Deklarasi Milenium. REFERENSI Andriani, D. (2003). Kemandirian mahasiswa dan lulusan perguruan tinggi tatap muka dan jarak jauh. Jakarta: Lembaga Penelitian, Universitas Terbuka.
66
Durri, Peran Pendidikan Jarak Jauh dalam Pencapaian MDGs
Belawati, T. & Andriani, D. (2002). Biaya penyelenggaraan sistem pendidikan jarak jauh: Benarkah lebih murah? Jurnal Pendidikan Terbuka dan Jarak Jauh, 3 (1), 1-15. Departemen Pendidikan Nasional. (2008). Statistika pendidikan. Diambil tanggal 26 Februari 2008, dari www.depdiknas.go.id. http://en.wikipedia.org/wiki/Distance_education, diambil tanggal 26 Februari 2008. http://www.un.org/millennium/declaration/ares552e.pdf, diambil tanggal 26 Februari 2008. Keegan, D. (1980). On defining distance education. Distance Education, 1, (1), 13-26. Moore, M.G. (1973). Toward a theory of independent learning and teaching. Journal of Higher Education, 44, 66-79. Moore, M.G. & Thompson, M.M. (1990). The effects of distance learning: A summary of the literature. Research Monograph Number 2. University Park, PA: The Pennsylvania State University, American Center for the Study of Distance Education. (ED 330 321). Ngafiyati, S. (2000). Pengaruh tingkat kemandirian dan penyesuaian diri terhadap prestasi mahasiswa. Jakarta: Pusat Studi Indonesia, Lembaga Penelitian, Universitas Terbuka. Nielsen, H.D., Tatto, T., Djalil, A., & Kularatne, N. (2007). The cost-effectiveness of teacher training. Diambil tanggal 26 Februari 2008, dari http://www1.worldbank.org/disted/Management/Benefits/dev-03.html. Peters, O. (1973). Die didaktische struktur der Fernunterrichts. Dalam D. Keegan 1986. The Foundation of Distance Education. London: Croom Helm. Puspitasari, K.A. & Islam, S. 2003. Kesiapan belajar mandiri mahasiswa dan calon mahasiswa pada pendidikan jarak jauh di Indonesia Laporan Penelitian. Jakarta: Pusat Studi Indonesia, Lembaga Penelitian, Universitas Terbuka. Verduin, J.R. & Clark, T.A. (1991). Distance education: The foundations of effective practice. San Francisco: Jossey-Bass Publishers. World Bank. (2007). Global monitoring report 2007. Diambil tanggal 28 Februari 2008, dari www.worldbank.org/gmr2007
67