PANDANGAN ABDURRAHMAN WAHID TERHADAP PANCASILA SEBAGAI DASAR NEGARA SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh: WARNO NIM: 102033224792
PROGRAM STUDI PEMIKIRAN POLITIK ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1430H./2009 M.
PANDANGAN ABDURRAHMAN WAHID TERHADAP PANCASILA SEBAGAI DASAR NEGARA SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh: WARNO 102033224792
Pembimbing:
A. Bakir Ihsan, M.Si. NIP. 19720412 200312 1002
PROGRAM STUDI PEMIKIRAN POLITIK ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1430H./2009 M. \ LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini, saya menyatakan bahwa; 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 3. Jika di kemudian hari terbukti karya ini bukan hasil karya saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, 18 Juni 2009
Warno
KATA PENGANTAR Bismillahirrahmannirrahim Alhamdu lillâhi Robbi al-Âlamîn, wa al-Shalâtu wa al-Salâmu ’Alâ Asrafi alAnbiyâi wa al-Mursalîn wa ’Alâ Âlihî wa Shahbihî Âjma’în, Ammâ.Ba’duhu... Mengantarkan puji syukur kepada allah SWT skripsi ini rampung dikerjakan, segala puji dan syukur dihaturkan kepada Allah Rabbul Izzati yang telah memberi petunjuk dan kekuatan (menghapus semua kendala dan hambatan) dalam menyelesaikan skripsi dengan judul Pandangan Abdurrahman Wahid Terhadap Pancasila Sebagai Dasar Negara dapat terselesaikan dengan baik. Sudah semestinya, sholawat dan salam disampaikan kepada Rasullah Muhammad saw. Yang telah membawa kaumnya dari zaman jahiliyah menuju zaman yang penuh dengan rahmat dan ridla-Nya. Dengan keterbatasan kemampuan penulis miliki, tidak sedikit aral berangkat dari Refleksi dan apresiasi dalam kehidupan yang tidak menentu, membawa penulis untuk larut dan masuk dalam mencari ”Oase” di tengah padang gersang yang menyegarkan membutuhkan sebuah pedoman, sebagaimana pada umat beragama kita berpegangan pada al-Qur’ân. Maka, pada kehidupan berbangsa kita harus berpegang dengan Pancasila, karena mengutip Soekarno ”Jas Merah” (jangan sekali-kali melupakan sejarah). Dengan sejarah membawa kita bisa mengenal hal-ihwal kehidupan. Sebagai berbangsa itu harus penuh dari kesadaran untuk mewujudkan kesejahtraan umat manusia. Asa, cita, dan cinta yang ada yang membuat kita mampu dan bertahan dalam menjalani kehidupan dengan pasti. Maaf dan Terima kasih, tentunya tidak lupa saya haturkan pada segenap dosen yang telah memberi ilmu pelajaran dan juga para temen-teman yang telah melewati
waktu bersama, karena seiring berjalannya waktu yang tak bisa terhenti, kodrati manusia yang tak bisa lepas dari khilaf manusia dalam perjalanan hidupnya Berikut ini sudah seharusnya penulis haturkan ucapan syukur kepada: 1. Allah Swt yang telah memberikan nikmat yang begitu banyak tak terhitung bilangannya. 2. Muhammad Saw yang memberikan ajaran dan menjadi cerminan dalam mengarungi kehidupan yang fatamorgana. 3. Kedua orang tua Tukimin dan Rukini, yang memberikan nasihat nasehat kesabaran dalam menjalani kehidupan dan adik kandung tercinta, Sugianto, serta sanak keluarga yang telah memberikan bantuan. Semoga mendapat balasan dari yang Kuasa, Amiin. 4. Jami’il Mu’asyis Wa Masyayih PP Bahrul ’Ulum Tambakberas Jombang, yang telah memberikan sangu (Ilmu) untuk menjalani kehidupan dengan membawa alMaslahah (kemanfa’atan). 5. Bapak M. Amin Nurdin, Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (UIN) Syahid Jakarta beserta seluruh jajaran dekanat 6. Bapak Agus Darmaji, M. Fils dan Ibu Wiwi Siti Sajarah, M. Ag, selaku ketua Jurusan Aqidah Filsafat (AF) dan Sekretaris Program Studi Pemikiran Politik Islam. Dan segenap dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat. 7. Bapak A. Bakir Ihsan, M.Si. selaku pembimbing dalam penyelesaian skripsi ini. 8. Segenap dosen PPI yang telah dengan sabar dan ikhlas memberikan banyak ilmu semoga berrmanfaat Fi ad-Daraini. Serta tidak ketinggalan Perpustakaan Ushuluddin dan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
9. Klinik Pengobatan Alternatif Sebrang Wetan, Kulon, Lor lan Kidul (Timur, Barat, Utara dan Selatan, bahasa Indonesia) terimakasih atas usahanya untuk penyembuhan yang belum bertemu jodoh-nya (semoga dapat di temukan). 10. Sahabat-sahabat kelas angkatan 2002, Anas, Ubay, Idham, Edi, Ipul, Istikhori, Nisa, Among, Irvan, dan Juli. Serta tidak ketinggalan ade Vina yang selalu menyediakan waktu dan membantu dalam penyelesaian skripsi. Semoga kesuksesan menyertai kalian semua. 11. Rencang-rencang HIMABI (Himpunan Alumni Bahrul ’Ulum Ibukota), Ainul, Udin, Amir, A’am, Rizal, Ucil, Tano dan, And ga ketinggalan dulur-dulur NETRAL Pertemuan dengan kalian semua memberi arti dalam hidup ku. 12. Santri-santri Ponpes. Ciganjur Jakarta Selatan, terutama pada bpk. KH. Musthofa yang selalu memberi bimbingan ruhani dalam kehidupan, tidak lupa pada Syaiful Arif atas pinjaman bukunya. 13. Perpustakan Wahid Institute Jakarta, terima kasih atas pinjaman bukunya serta Rental Hafidz dan perpustakaan pribadinya atas pinjaman bukunya. 14. Teman-teman Fakultas Adab dalam KKS di Cigoong; Abun, Ais, Imron, Baim, Adam, Farid, Imar, Nisa, Tatan dan semuanya yang tak dapat disebut satu persatu ”All in One”, perjalanan dengan kalian yang mengesankan. 15. Semua teman-teman yang hidup dalam Persaudaraan yang tidak dapat disebutkan satu persatu semoga dapat melebur diri dalam ke-kami-an. Hormat kami, Penulis
PEDOMAN TRANSLITERASI
Huruf Arab ا ب ت ث ج ح خ د ذ ر ز س ش ص ض ط ظ ع غ ف ق ك ل م ن و ء ي
Keterangan
b t ts j h kh d dz r z s sy s d t z ’ gh f q k l m n w h ` y
tidak dilambangkan be te te dan es je ha dengan garis bawah ka dan ha de de dan zet er zet es es dan ye es dengan garis bawah de dengan garis bawah te dengan garis bawah zet dengan garis bawah koma terbalik di atas hadap kanan ge dan ha ef ki ka el em en we ha apostrop ye
Vokal Kata Ta Diftong Panjang Sandang Marbûtah Latin Arab Latin Arab Latin Arab Latin Arab Latin a ـــــ â ــــَــ يai ال alة h&t i $ـــــ î ــــَــ وau u &ـــــ û
Vokal Arab ــــَــ ــــِــ ــــُــ
Huruf Latin
DAFTAR ISI
SAMPUL LUAR ............................................................................................... SAMPUL DALAM .............................................................................................
i
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................
ii
LEMBAR PENGESAHAN SIDANG ................................................................
iii
KATA PENGANTAR ........................................................................................
iv
DAFTAR ISI ............................ .......................................................................... vii PEDOMAN TRANSLITERASI ......................................................................... BAB I
ix
: PENDAHULUAN A. Latar Belakang ...............................................................................
1
B. Tinjauan Pustaka ...........................................................................
7
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah ............................................
9
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...................................................... 10 E. Metode Penelitian .......................................................................... 11 F. Sistematika Penulisan .................................................................... 12
BAB II : BIOGRAFI DAN SKETSA PEMIKIRAN ABDURRAHMAN WAHID A. Latar Belakang Keluarga dan Pendidikan ..................................... 15 B. Ragam Aktivitas ............................................................................. 21 C. Sketsa Pemikiran ............................................................................ 25 1. Nasionalisme ............................................................................ 25 2. Pribumisasi ............................................................................... 27 3. Pluralisme ................................................................................. 28
BAB III : PENGERTIAN DAN SEJARAH PANCASILA A. Sejarah Kelahiran Pancasila ........................................................... 33
B. Kandungan Pancasila ..................................................................... 36 C. Perjalanan Pancasila sebagai Dasar Negara .................................. 45
BAB IV : ABDURRAHMAN WAHID DAN PANCASILA A. Hubungan Islam dan Negara; Menolak Formalisasi Agama ............................................................................................ 49 B. Pancasila sebagai Dasar Negara; Tidak Bertentangan dengan Islam .................................................................................. 56
BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan....................................................................................63 B. Saran-saran .................................................................................... 63
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 65
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Eksistensi dasar negara dalam kehidupan negara bangsa (nation state) menjadi penentu bagi perjalanan bangsa itu sendiri.1 Indonesia dengan tingkat keragamannya baik dari aspek budaya, suku, adat-istiadat, dan agama dengan maksud eklusif, yakni heterogen secara sosial-keagamaan membutuhkan dasar negara yang mampu mengayomi keragaman tersebut. Itulah yang mendasari kehadiran Pancasila sebagai dasar negara bagi bangsa Indonesia.2 Kehadiran Pancasila dianggap sebagai alat pemersatu dan miniatur budaya bangsa yang merupakan dasar negara tidak bisa terlepas dari terpaan kontroversi. Belakangan ini, sebagian besar kelompok masyarakat masih mengangankan kehadiran dasar negara yang berbeda. Setidaknya, berangkat dari wacana dan perdebatan yang sempat menguat dan memuncak sepuluh tahun terakhir, yaitu munculnya upaya reeksistensi Piagam Jakarta,3 dan upaya penerapan ideologi trans-nasional.4 Hal ini menyiratkan bahwa tumbuh kembangnyanya ego sekterianisme dan chauvinisme yang justru akan dapat menafikan keragaman yang menjadi identitas Indonesia sebagai negara bangsa. 1
Menurut Benedict Anderson, bangsa merupakan sebuah komunitas terbayang. Di mana hal terpenting dalam tetap berdirinya sebuah bangsa adalah persamaan kebersamaan dan persaudaraan sebagai anggota komunitas bangsa, karena setiap anggota dari suatu bangsa, bahkan bangsa yang terkecil sekalipun, tidak mengenal seluruh anggota dari bangsa tersebut. Bahwa semua itu muncul akibat kuatnya akar-akar nasionalisme. Dengan begitu nasionalismelah yang melahirkan bangsa. Lebih lanjut baca. Benedict Anderson, Imagined Communities Komunitas-komunitas Terbayang, Alih bahasa; Omi Intan Naomi, (Yogyakarta: INSIST, 2001), hal. 172-175. 2 Bahtiar Effendi, Islam dan Negara; Transformasi Pemikiran dan Politik Islam di Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1998), hal. 109. 3 Telusuri ulasan Moh. Afandi, Piagam Jakarta dan Kontroversinya dalam http://www. suaramerdeka.com/harian/0802/02/kha1.htm. 4 Lihat http://www.nuonline.org.id, (diakses 07 Mei 2007); Baca lebih lanjut Abdurrahman Wahid (ed), Ilusi Negara Islam; Ekspansi Gerakan Islam Transnasional Indonesia, (Jakarta: The Wahid Institute, 2009).
Dinamika wacana terhadap legalisasi dasar negara ini sudah berlangsung sejak lama. Bila dirunut dari kacamata sejarah, wacana mendasar dan krusial yang dirasakan dari dinamika tersebut ialah bagaimana menyepakati dasar negara sebagai komitmen kebangsaan. Dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), paling tidak ada empat persoalan utama; bentuk negara, geografis negara, dasar filsafat negara dan persoalan yang bertalian dengan pembuatan suatu konstitusi. Sidang BPUPKI yang membahas keempat persoalan tersebut berjalan lancar, terkecuali tentang persoalan dasar negara. Ketika membahas persoalan dasar negara (ideologi) yang menjadi pokok dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sidangpun menjadi panas, karena terjadi perdebatan yang cukup lama dan alot, antara kelompok nasionalis dan Islam, di mana setiap kelompok berusaha untuk mempertahankan pendapatnya masing-masing.5 Perdebatan ideologis antara dua kelompok ini, berkaitan dengan hubungan agama dan negara, merupakan problem yang mendasar dalam perjalanan bangsa Indonesia. Realitas sejarah memberikan bukti adanya konflik-konflik ideologis tersebut sejak masa persiapan kemerdekaan tahun 1945 sampai masa Konstituante 1950. Pada waktu yang sama perdebatan juga berlangsung dalam sidang Dewan Konstituante tentang dasar negara semakin buruk. Dalam sidang tersebut terdapat tiga rancangan (draft) dasar negara yang saling bertentangan, yaitu; Islam, Pancasila, dan Sosial-Ekonomi.6 Di kalangan gerakan Islam sendiri dalam mencapai kemerdekaan dengan segala macam polemik yang diakibatkan tidak terlepas dari kiprahnya dalam dunia politik. Implikasi yang muncul dari pergulatan politik itu pada akhirnya berimbas pada perpecahan kelompok, meskipun pada awalnya perbedaan tersebut hanya berkisar pada 5
Ahmad Syafii Maarrif, Islam dan Pancasila sebagai Dasar Negara; Studi tentang Perdebatan dalam Konstituante- Edisi Revisi, (Jakarta: LP3ES, 2006), hal. 103-125. 6 Maarrif, Islam dan Pancasila..., hal. 126.
persoalaan syara’.7 Berangkat dari polemik inilah, persoalan mengenai Islam dan negara telah sampai pada klimaksnya berupa terwujudnya mengimplementasikan
cita-cita
tersebut.
Meskipun
upaya-upaya untuk
masing-masing
kelompok
berangkat dari semangat nasionalisme, namun pada faktor-faktor tertentu memiliki perbedaan yang sangat mendasar dan menjadi polemik berkepanjangan. Perkembangan agama Islam memang sudah menjadi bagian integral dari sejarah Indonesia.8 Perdebatan hubungan antara agama dan kekuasaan menjadi wacana yang menarik di kalangan pemerhati agama maupun akademisi. Jika agama diperlakukan sebagai alat yang konstruktif, maka dengan sendirinya agama dapat dijadikan sebagai sarana untuk mengontrol segala kebijakan yang dilakukan penguasa. Bahkan pada masa kolonial, agama dijadikan sebagai sarana dalam mengusung “Ideologi Jihad” untuk melawan ekspansi penjajah, meskipun pada mulanya hanya bersifat sosio-kultural.
7
116.
8
Din Syamsudin, Islam dan Politik Era Orde Baru, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001), hal. Effendi, Islam dan Negara; ..., hal. 21.
Sejak Islam masuk pertama kali di Nusantara9 -sekarang disebut Indonesiakiai atau ulama telah menempati posisi dan peran penting dalam setiap perubahan sosial-politik yang ada sampai saat ini. Pada masa penyebaran ajaran Islam periode awal, saat bumi Nusantara dicengkram oleh kejamnya sistem kolonial, pada masa perjuangan
merebut
dan
mempertahankan
kemerdekaan,
serta
era
mengisi
kemerdekaan dalam gerak pembangunan masyarakat, kiai atau ulama tidak pernah absen dari keterlibatan di dalamnya dengan berbagai manifestasi pemikiran dan gerakan yang sangat plural dan dinamis melalui saluran pendidikan dan politik.10 Pemikiran tersebut terus berlangsung hingga saat ini yang direpresentasikan dengan munculnya tokoh-tokoh Islam yang mendukung terhadap keutuhan negara berdasarkan Pancasila sebagai dasar negara bagi masyarakat yang majemuk baik segi budaya, suku,
9
http://www.e-dukasi.net/modul_online/MO_121/sej107_03.htm, (diakses 05 Mei 2008), beberapa pendapat mengenai masuknya Islam di Indonesia (baca: Nusantara); Teori Gujarat “Islam masuk ke Indonesia abad 13 berasal dari Gujarat (Cambay), India.Berdasarkan hubungan dagang Indonesia dengan India telah lama melalui jalur Indonesia – Cambay – Timur Tengah – Eropa, adanya batu nisan Sultan Samudra Pasai Malik AS-Saleh tahun 1297 yang bercorak Gujarat, dan keterangan Marcopolo yang singgah di Perlak ( Perureula) tahun 1292 bahwa di Perlak banyak penduduk yang memeluk Islam dan banyak pedagang Islam dari India yang menyebarkan ajaran Islam, Teori Makkah bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke 7 berasal dari Arab (Mesir), berdasarkan: pada abad ke 7 yaitu tahun 674 di pantai barat Sumatera sudah terdapat perkampungan Islam (Arab); dengan pertimbangan bahwa pedagang Arab sudah mendirikan perkampungan di Kanton sejak abad ke-4. Hal ini juga sesuai dengan berita Cina, kerajaan Samudra Pasai menganut aliran mazhab Syafi’i, dimana pengaruh mazhab Syafi’i terbesar pada waktu itu adalah Mesir dan Mekkah (sedangkan Gujarat/India adalah penganut mazhab Hanafi) dan Raja-raja Samudra Pasai menggunakan gelar Al malik, yaitu gelar tersebut berasal dari Mesir, Teori Persia: Islam masuk ke Indonesia abad 13 berasal dari Persia (Iran). Dasarnya adalah kesamaan budaya Persia dengan budaya Islam Indonesia seperti: Peringatan 10 Muharram atau Asyura atas meninggalnya Hasan dan Husein cucu Nabi, yang sangat di junjung oleh orang Syiah/Islam Iran. Di Sumatra Barat peringatan tersebut disebut dengan upacara Tabuik/Tabut. Sedangkan di Jawa ditandai dengan pembuatan bubur Syuro, kesamaan ajaran Sufi yang dianut Syaikh Siti Jennar dengan sufi dari Iran yaitu al– Hallaj, penggunaan istilah bahasa Iran dalam sistem mengeja huruf Arab untuk tandatanda bunyi Harakat, ditemukannya makam Maulana Malik Ibrahim tahun 1419 di Gresik. Disampaikan bahwa berdasarkan Seminar Sejarah Masuknya Islam di Indonesia yang diselenggarakan di Medan pada tahun 1963 menyatakan bahwa Islam masuk Indonesia sejak abad pertama Hijriyah (abad 7 Masehi) dan menyebar secara intensif ke berbagai pulau pada abad 13 M, Sebagai pemegang peranan dalam penyebaran Islam adalah bangsa Arab, bangsa Persia dan Gujarat (India). Lihat Syamsudduha, Penyebaran dan Perkembangan Islam, Katolik, Protestan di Indonesia (Surabaya: Usha Bersama, 1987), hal. 22-23. 10 Abdul Munir Mulkhan, Runtuhnya Mitos Politik Santri, (Yogyakata: SIPPRESS, 1992), hal. 15-17.
maupun agama. Salah satu tokoh Islam (ulama atau kiai) tersebut adalah Abdurrahman Wahid. Abdurrahman Wahid (selanjutnya disebut Gus Dur) adalah salah satu kyai atau ulama yang turut berperan dalam sejarah perpolitikan Indonesia, yang secara genetik juga merupakan keturunan kiai atau ulama besar sekaligus tokoh penting bangsa Indonesia. Bapaknya bernama A. Wahid Hasyim yang ikut berperan dalam perumusan Pancasila, sementara kakeknya bernama Hasyim Asyari yang mendapat julukan Hadratussyaikh. Seperti diketahui bersama, ia adalah salah satu tokoh yang mendirikan organisasi keagaman bernama Nahdlatul Ulama (NU) pada tahun 1926. Kiprah Gus Dur dalam dunia politik, serta pemikiran dan aksinya yang diterapkan telah diakui mampu membangkitkan gairah, di samping pandai mensiasati kefakuman politik yang diciptakan rezim Soeharto, dengan mendirikan Fordem (Forum Demokrasi) yang bertujuan untuk memberikan kesadaran politik dan wacana demokrasi. Gus Dur juga bisa disebut sebagai representasi dari orang-orang yang berani merebut wacana ideologi yang merupakan kawasan terlarang ketika semua orang menutup diri untuk membicarakannya. Pemikiran Gus Dur serentak mendapatkan apresiasi yang cukup dan mampu mendobrak kebekuan pemikiran di tanah air. Alasan yang mendasari penulis dalam mengangkat tema tentang Gus Dur sebagai kajian dalam skripsi ini berdasarkan beberapa hal; pertama, Gus Dur merupakan tokoh nasional dengan segenap atribut yang luar biasa; kedua, pengaruhnya yang cukup besar, dan; ketiga, yang terpenting adalah gagasan dan kiprahnya dalam bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, yang dalam hal ini adalah gagasannya mengenai Pancasila dan UUD 1945 sebagai filosofi dan dasar Negara Kesatuan
Republik Indonesia, serta kiprahnya untuk mempertahanan filosofi dan dasar negara tersebut. Sebagaimana pernyataan Gus Dur yang dikutip oleh Douglas E. Ramage: “Pancasila adalah serangkaian prinsip-prinsip yang bersifat lestari. Ia memuat ide-ide yang baik tentang hidup bernegara yang mutlak diperjuangkan. Saya akan mempertahankan Pancasila yang murni dengan jiwa raga saya, terlepas dari kenyataan bahwa ia tidak jarang dikebiri atau dimanipulasi, baik oleh segelintir tentara maupun sekelompok umat Islam.”11 Berdasarkan latar belakang di atas, penulis tertarik untuk mengangkat permasalahan tersebut ke dalam karya ilmiah dalam bentuk skripsi dengan mengambil judul Pandangan Abdurrahman Wahid terhadap Pancasila sebagai Dasar Negara.
B. Tinjauan Pustaka Sejauh penelusuran penulis terhadap beberapa karya ilmiah yang ada, terdapat beberapa tulisan yang selaras dengan bahasan topik skripsi ini, seperti: 1. Asep Hikmatillah, Kontroversi Kebijakan Politik Presiden Abdurrahman Wahid pada Era Reformasi, 2006; Studi ini menitik beratkan pada era Abdurrahman Wahid menjabat sebagai presiden RI, apakah akan membawa perubahan yang lebih baik dengan mengeluarkan kebijakan yang berpolemik dan kontroversial, atau sebaliknya? Adapun kebijakan itu antara lain: Pencabutan TAP MPR Tentang pelarangan ajaran Komunisme, Marxisme, Leninisme; Penghapusan Departemen Sosial; Penghapusan Departemen Penerangan; Penghapusan Badan Pemantapan Stabilitas Nasional (Bakortanas); dan Lembaga Penelitian Khusus (Litsus). 2. Anshori, Hubungan Sipil–Militer dalam Transisi Menuju Demokrasi Studi Pemikiran Gus Dur, 2006; Skripsi ini menerangkan tentang bagaimana hubungan sipil–militer dalam negara yang mengalami transisi demokrasi pasca jatuhnya
11
Douglas E. Ramage, Pemahaman Abdurrahman Wahid Tentang Pancasila dan Penerapannya Dalam Era Paska Asas Tunggal dalam Gus Dur, NU dan Masyarakat Sipil, Ellyasa KH. Dharwis (ed), (Yogyakartra: LKiS, 1997), h. 101
presiden Soeharto, karena dalam masa itu sangat menentukan dalam proses demokrasi dan ketahanan suatu negara. 3. Supriyadi, Peranan Politik Abdurrahman Wahid (Gus Dur) di Partai Kebangkitan Bangsa, 2008; Penulisan kajian ini berangkat dari opini bahwa PKB adalah Gus Dur, dan bukan sebaliknya Gus Dur milik PKB, sehingga menimbulkan anggapan bahwa PKB sangat bergantung pada pada Gus Dur yang dijadikan panutan dan rujukan oleh banyak orang dalam menyelesaikan segala persoalan-persoalan umat dan bangsa, baik itu menyangkut persoalan agama, budaya dan politik. Dan mendapat
pengakuan
di
tingkat
nasional
maupun
internasional
dalam
memperjuangkan demokrasi dan HAM. 4. Hendri Julianto, Perbandingan Abdurrahman Wahid dan Yusuf Hasyim tentang Visi dan Strategi Politik NU, 2008; Skripsi ini menjelaskan tentang bagaimana persamaan dan perbedaan antara dua tokoh NU, Abdurrahman Wahid dan Yusuf Hasyim dalam permasalah sosial yang besifat dinamis dan lebih terfokuskan pada hubungan agama dan negara melalui visi perjuaan politik PKB dan PKU. Lebih dari itu, skripsi ini memberikan penjelasan atas segala makna dan warna yang ada di balik peristiwa, serta sebagai upaya penempatan masalah sesuai porsinya dari polemik kedua tokoh yang diangkat yang memilki nilai historis. Keempat judul di atas merupakan hasil karya yang berbentuk skripsi mahasiswa Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Jurusan Pemikiran Politik Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Di samping itu, dari hasil penelusuran penulis terindikasi dua judul skripsi dengan tema yang sama yang masih dalam proses pengerjaan, yakni: 1. Robithul Umam, Civil Society dalam Pemikiran Abdurrahman Wahid, 2008. 2. Ato Sugiarto, Demokrasi dalam Pandangan Abdurrahman Wahid, 2008.
Selain dari yang tersebut di atas, penulis juga menemukan banyaknya buku yang menjelaskan tentang pemikiran dan gerakan yang dilakukan oleh Abdurrahman Wahid, baik itu berupa tulisan-tulisannya sendiri yang telah dibukukan seperti: Pergulatan Negara, Agama dan Kebudayaan (2001); Membangun Demokrasi (1999); Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman: Kumpulan Pemikiran K.H. Abdurrahman Wahid Presiden ke-4 Republik Indonesia (1999), maupun tulisan orang tentang dirinya antara lain; yang terangkum dalam buku: Gus Dur, NU dan Masyarakat Sipil, Ellyasa KH. Dharwis (ed) (1994) dan buku hasil dari penelitian yang dilakukan oleh Tim INCReS yang berjudul Beyond The Symbols, Jejak Antropologis Pemikiran dan Gerakan Gus Dur (2000). Meskipun telah banyak yang membahas kajian tentang tokoh Abdurrahman Wahid, namun penulis mencoba untuk mengambil dari sisi yang lain dan berbeda dalam skripsi ini. Dari semua karya tulis di atas, penulis merasa belum ada satu penulis pun yang secara khusus (spesifik) menulis tentang Pandangan Abdurrahman Wahid terhadap Pancasila Sebagai Dasar Negara. Hal ini penting untuk diangkat karena penulis meyakini bahwa Pancasila merupakan bentuk final dari dasar negara bagi bangsa Indonesia yang masyarakatnya majemuk, sehingga dalam hal memahami dan mempertahankannya menjadi sebuah keharusan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah Untuk memperjelas permasalahan agar penelitian ini lebih terarah, maka penulis membuat batasan masalah yang akan diteliti berupa pandangan Abdurrahman Wahid terhadap dasar negara Indonesia.
Berangkat dari pembatasan masalah di atas, maka penulis merumuskan masalah dalam bentuk kalimat tanya sebagai berikut: 1. Bagaimana hubungan agama dan negara menurut Abdurrahman Wahid? 2. Bagaimana pemikiran Abdurrahman Wahid tentang Pancasila sebagai dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian Penulisan skripsi ini dimaksudkan untuk memberikan suatu kajian tentang pandangan Abdurrahman Wahid terhadap Pancasila sebagai dasar negara. Adapun tujuan yang hendak dicapai dari penulisan skripsi ini adalah: 1. Untuk mengetahui bagaimana hubungan agama dan negara menurut Abdurrahman Wahid. 2. Untuk mengetahui bagaimana pemikiran Abdurrahman Wahid tentang Pancasila sebagai dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia. Adapun mengenai manfaat penulisan skripsi ini meliputi dua hal, yaitu manfaat teoritis-akademis dan manfaat praktis-pragmatis. Manfaat teoritis akademis penulisan skripsi ini meliputi dua hal; Pertama, memberikan informasi mengenai pandangan Abdurrahman Wahid terhadap Pancasila sebagai dasar negara; Kedua, memperkaya khazanah literatur kepustakaan tentang sejarah Pancasila di Indonesia khususnya mengenai pandangan Abdurrahman Wahid terhadap Pancasila sebagai dasar negara.
Sedangkan manfaat praktis-pragmatis yang penulis harapkan dari penulisan skripsi ini adalah untuk memperkokoh semangat persatuan dan kesatuan dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdasarkan Pancasila.
E. Metode Penelitian Metode ini sepenuhnya merupakan penelitian pustaka (library research)12 dengan melakukan pemahaman secara mendalam terhadap suatu masalah. Untuk itu penulis mengumpulkan data-data dari buku-buku tentang Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan buku-buku yang berhubungan dengan Pancasila. Terutama yang berhubungan dengan pembahasan ini. Adapun sumber data dalam penelitian ini penulis bagi menjadi dua kategori. Pertama data primer seperti: Membangun Demokrasi (1999); Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman (2000); Islamku, Islam Anda dan Islam Kita (2006); Pergulatan Negara, Agama dan Kebudayaan (2001); dan Kumpulan Kolom dan Artikel Abdurrahman Wahid Selama Era Lengser (2004). Semua buku ini merupakan karya Abdurrahman Wahid yang telah dibukukan. Kedua data sekunder, antara lain: Greg Barton, Biografi Gus Dur The Authorized Biografi of Abdurrahman Wahid, Alih bahasa; Lie Hua, (Yogyakarta: LKiS, 2004); Ahmad Bahar, Biografi Kiai Politik Abdurrahman Wahid Gagasan dan Pemikiran, (Jakarta: Bina Utama, 1999); Ellyasa KH Dharwis, (ed), Gus Dur, NU dan Masyarakat Sipil, (Yogyakarta: LKiS, 1997); dan Einar Martahan Sitompul, NU dan
12
Moh. Nazir, Metode Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003), hal. 45.
Pancasila, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996), di samping sumber lain yang intens dengan pembahasan yang sesuai dengan topik kajian skripsi ini. Penulis menggunakan metode deskriptis-analitis,13 di mana penulis berusaha mendeskripsikan dan menganalisa pandangan Abdurrahman Wahid terhadap Pancasila sebagai dasar negara. Adapun langkah-langkahnya sebagai berikut: Pertama; penulis melakukan pelacakan terhadap cara pandang atau tulisan-tulisan Abdurrahman Wahid dalam menanggapi Pancasila. Kedua, melakukan analisis terhadap pemikiran Abdurrahman Wahid tentang permasalahan ini dengan dibantu oleh beberapa informasi yang mendukung, Ketiga, mendeskripsikan secara analitis tentang bagaimana pandangan Abdurrahman Wahid terhadap Pancasila sebagai dasar negara. Hal ini sebagaimana penulis maksudkan sebagai tujuan untuk memperoleh gambaran visi dan persepsi dari mereka yang terlibat tanpa terkecuali tokoh yang diangkat oleh penulis dalam penulisan skripsi ini dengan memberikan analisa yang objektif tanpa menyimpang dari faktor historisitas.14 Untuk pedoman penulisan skripsi, penulis menggunakan buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi), yang diterbitkan CeQDA Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2007.
F. Sistematika Penulisan Adapun sistematika penulisan dalam skripsi ini terdiri dari lima bab yang akan diuraikan secara ringkas dari masing-masing bab sebagai berikut: Bab I merupakan pendahuluan yang menguraikan latar belakang pemilihan judul Pandangan
13 Nazir, Metode…, hal. 47. Bandingkan dengan Jujun S. Suriasumantri, “Penelitian Ilmiah, Kefilsafatan dan Keagamaan; Mencari Paradigma Kebersamaan”, dalam M. Deden Ridwan, Tradisi Baru Penelitian Agama Islam: Tinjauan Antardisiplin Ilmu, (Bandung: Yayasan Nuansa Cendikia, 2001), hal. 68. 14 Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah, (Jakarta: Gramedia, 1992), hal. 18-19.
Abdurrahman Wahid Terhadap Pancasila Sebagai Dasar Negara. Penulis melihat keBhinneka-an bangsa Indonesia, baik suku, ras, maupun agama. Sebagai sebuah negara, Indonesia membutuhkan dasar negara yang bisa mengayomi ke-Bhinneka-an tersebut. Perdebatan dasar negara turut mewarnai sejarah pembentukan Republik tersebut, hingga akhirnya disepakati Pancasila menjadi dasar negara. Dalam perjalannya, Pancasila sebagai dasar negara masih terus menuai pro dan kontra. Dalam hal ini, Abdurrahman Wahid adalah seorang kiai yang setia dan mendukung Pancasila sebagai dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia. Penulis kemudian membatasi dan merumuskan masalah untuk diteliti seputar; pertama, pandangan Gus Dur terhadap hubungan Agama dan Negara dan kedua, serta pandangan Gus Dur terhadap Pancasila sebagai dasar negara. Pada bab II membahas biografi singkat yang meliputi latar belakang keluarga dan pendidikan serta berbagai ragam aktivitasnya yang ia terjuni. Di samping itu, pada bab ini juga terdapat sketsa pemikiran Abdurrahman Wahid sebagai sosok yang nasionalisme, pribumisasi dan pluralisme. Dalam bab III penulis akan menguraikan dan menjelaskan tentang beberapa hal yang berkaitan dengan Pancasila secara utuh. Bab ini berisikan tentang pengertian dan sejarah kelahiran Pancasila, kandungan Pancasila, dan dinamika perjalanan Pancasila sebagai dasar negara. Bab IV merupakan inti pembahasan skripsi yang menguraikan secara terperinci tentang pandangan Abdurrahman Wahid terhadap hubungan Agama dan Negara serta pandangannya terhadap Pancasila sebagai dasar Negara. Sementara bab V sebagai bab terakhir berisi kesimpulan dari semua uraian sebelumnya yaitu pandangan Abdurrahman Wahid terhadap hubungan antara Agama dan Negara, serta Pancasila sebagai dasar negara. Bab ini juga berisi kritik dan saran
yang membangun dan melengkapi pandangan Abdurrahman Wahid tentang Pancasila sebagai dasar negara.
BAB II BIOGRAFI DAN SKETSA PEMIKIRAN ABDURRAHMAN WAHID
D. Latar Belakang Keluarga dan Pendidikan Abdurrahman Wahid lahir di Jombang pada 7 September 1940.15 Semasa kecilnya, ia diberi nama Abdurrahman al-Dakhil16 oleh orang tuanya,17 namun dengan berbagai pertimbangan pribadi ia sekarang lebih akrab dengan panggilan Gus Dur.18 Ayahnya adalah tokoh terkenal pernah menjadi menteri agama RI pertama dan aktif dalam Panitia Sembilan yang merumuskan “Piagam Jakarta”. Dari garis ayah, dia adalah cucu dari Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari, sedangkan dari ibu, dia cucu KH Bisri Syansuri. Dengan demikian, nasab atau garis keturunan yang dimiliki oleh Gus Dur itu berasal dari para ulama besar dan sekaligus pendiri organisasi keagamaan terbesar di Indonesia yaitu Nahdlatul Ulama atau NU. Jika kita melihat dari latar belakang keluarga Gus Dur secara genetik utamanya berasal dari tradisi pesantren merupakan keturunan darah biru, meminjam istilah C.
15 Greg Barton, Biografi Gus Dur The Authorized Biografi of Abdurrahman Wahid, Alih bahasa; Lie Hua, (Yogyakarta: LKiS, 2004), hal. 25. 16 Di dalam buku Beyond The Symbols, Jejak Antropologis Pemikiran dan Gerakan Gus Dur, menjelaskan bahwa kata ad-Dakhil ini mengandung arti “Sang Penakluk”, penamaan Abdurrahman AdDakhil oleh orang tuanya itu merupakan doa dan harapan yang di sandarkan kepada Abdurrahman AdDakhil (Abdurrahman I) tokoh pahlawan dinasti Umayyah yang pernah memegang kekuasaan selama 32 tahun (756-788) dan mendirikan peradaban di Spanyol. Lebih lanjut lihat: Philip K Hitti, dalam buku Beyond The Symbols, Jejak Antropologis Pemikiran dan Gerakan Gus Dur, (Bandung: INCReS dan Remaja Rosdakarya, 2000), hal. 26; Barton, Biografi Gus Dur..., hal. 33. 17 Abdurrahman Wahid terlahir dari pasangan Abdul Wahid Hasyim dan Shalehah. Ketika Abdurrahman Wahid kecil berumur 12 tahun, ibunya telah berstatus janda dan menjadi single parent dalam keluarga. Barton, Biografi Gus Dur…, hal. 42-44. 18 Gus adalah sebutan atau panggilan kehormatan khas pesantren bagi seorang anak kiai, khususnya di Jawa Timur dan Jawa Tengah yang berati "abang" atau "mas". Kata Gus bisa juga berarti kependekan dari ucapan Bagus, sebuah harapan seorang ayah kepada anaknya agar menjadi bagus. Panggilan ini pada umumnya ditujukan sebelum si anak menjadi kiai. Tetapi dalam kenyataannya tidak sedikit yang sudah layak disebut sebagai kiai atau memang sudah menjadi kiai, masih dipanggil Gus. K.H. Abdurrahman Wahid adalah salah satu contoh yang paling popular. Lihat, Tim INCReS, Beyond The Symbols..., hal. 26. Dalam pembahasan selanjutnya Abdurrahman Wahid disebut dengan Gus Dur.
Greertz bahwa Gus Dur dapat tergolong santri sekaligus priyayi.19 Dalam tipologi masyarakat Jawa, Gus Dur menempati strata sosial yang tinggi. Gus Dur sebagai anak pertama dari Wahid Hasyim, dan cucu dari Hasyim Asy’ari. Maka dengan sendirinya ia bukan hanya sebagai pewaris ayahnya, tetapi juga harapan segenap keluarga. Karena sebagaimana kebudayaan yang ada pada masyarakat Jawa, putra pertama diharapkan untuk mengikuti jejak sang ayah menjadi cendikiawan agama dan pemimpin rakyat. Gus Dur tumbuh dari lingkungan pejabat pemerintahan karena terlahir dalam keluarga yang sangat terhormat. Pada komunitas Muslim Jawa Timur, Gus Dur melewati masa kecil yang berbeda dari kebanyakan orang. Hal ini bisa terlihat sewaktu ia di tawari sekolah oleh ayahnya, ia memilih sekolah yang biasa-biasa saja tidak sekolah di mana anak para pejabat pemerintah bersekolah. Meskipun ia terlahir sebagai kelompok elit perkotaan, ia tidak serta merta memanfaatkan itu. Pendidikan formalnya berawal di Sekolah Dasar (SD) di Jakarta (1947-1953). Gus Dur kecil memiliki hobi yang berbeda dengan kebanyakan temannya, seperti membaca buku, bola, catur dan musik, di samping ia juga dikenal selalu bertindak implusif.20 Karena itu, dia tidak biasa ditekan dan selalu berbuat semaunya. Melalui hobi membaca buku di akhir kelulusan SD, Gus Dur juga pernah memenangkan perlombaan karya tulis (mengarang) se-wilayah Jakarta.21 Di masa kecil ini, Gus Dur juga belajar bahasa Belanda dengan Williem Iskandar Buhl yang selalu menyajikan
19
Clifford Greertz, seorang antropolog terkenal yang melakukan penelitian ini telah menemukan tiga varian Islam di Jawa khususnya dan di Indonesia pada umumnya, yakni; abangan, santri, dan priyayi. Santri: orang yang berpengetahuan agama dan taat dalam peribadatan serta menerapkan doktrin Islam dalam kehidupan, sementara Priyayi: menurut istilah aslinya menunjuk kepada orang-orang yang bisa menyelusuri asal-usul keturunannya sampai kepada raja-raja besar di Jawa jaman sebelum penjajahan, kemudian penggunaan istilah ini meluas dan mencakup para: birokrat, klerk, dan guru-guru, atau dengan kata lain priyayi itu sama dengan aristokrat. Untuk lebih lanjut baca: Clifford Greertz, Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa, Alih bahasa; Aswab Mahasin, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1989), hal. 173, 307-308. 20 Barton, Biografi Gus Dur ..., hal. 38-40. 21 Tim INCReS, Beyond The Symbols..., hal. 7.
musik klasik Barat kepadanya. Di sinilah awal perkenalan Gus Dur dengan budaya Barat.22 Kemudian sekitar tahun 1953-1957, ia melanjutkan ke Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP) di Yogyakarta. Pada tahun yang sama dia juga mempelajari agama dan bahasa Arab di pondok pesantren al-Munawwir, Krapyak, Yogyakarta dibawah bimbingan KH. Ali Maksum. Akan tetapi ia tidak memilih tinggal di pondok melainkan kost di rumah Haji Junaedi, seorang pimpinan lokal Muhammadiyah, yang sedikit banyak dari pergaulannya itu mewarnai kehidupan, terutama dalam memahami perbedaan agama. Di Yogyakarta sebuah kota yang dikenal dengan sebutan kota pelajar adalah kota di mana Gus Dur telah menghabiskan waktu mudanya. Di kota inilah “pemikiran liar” Gus Dur mulai terlihat, karena didukung dengan lingkungan yang kondusif dan kemampuan bahasa Inggris yang didapat dari ibu Rufi’ah, salah seorang aktivis Gerwani sekaligus guru sekolah di SMEP. Dari Rufi’ah, Gus Dur mendapat banyak ilmu dan mampu menyalurkan kegairahan untuk membaca dan berpikir. Hal ini bisa dilihat ketika berusia lima belas (15) tahun, Gus Dur sudah meng-khatamkam-kan buku sekelas Das Kapital, sebuah buku yang merupakan magnum opus-nya (kitab suci) kaum sosialis dunia karya Karl Marx (1818-1883), dan What is To be Done (Apa yang harus dikerjakan) sebuah buku yang berisi tentang petunjuk praktis revolusi karya Vladimir Ilyich Lenin (1870-1924).23 Di sisi yang lain, Gus Dur juga menekuni ilmu-ilmu agama. Hal ini terlihat dari kesibukan yang cukup padat untuk mengkaji ilmu-ilmu di pesantren. Saat pagi-pagi 22
Tim INCReS, Beyond The Symbols..., hal. 6. Dalam usia yang sama Gus Dur juga membaca karya-karya penulis besar, baik novel maupun buku ilmiah, seperti: Ernest Hemingway, Jhon Stinbach, William Faulkner, Johan Huizinga, Andre Malraux, Ortega Y. Gasset, Gus Dur juga membaca beberapa karya penulis Rusia seperti Pushkin, Tolstoy, dan Dostoevsky. beberapa jilid buku karya Will Durant yang berjudul, The Story of Civilization, Andre Gide yang mengarang novel, La Porte Etroite, serta buku yang menjadi favoritnya karya Mikhail Sholoskov yang bejudul And Quiet Flows the Don. Tim INCReS, Beyond The Symbols..., hal. 10-11. 23
buta ia telah mengaji tiga kitab dengan seorang kiai pengasuh pesantren seperti KH. Fattah, siangnya bergantian ia yang mengajar kepada para santri, selepas shalat Dhuhur ia lanjutkan kembali menimba ilmu kepada kiai lain seperti KH. Masduki yang kemudian dilanjutkan dengan mengaji kitab lain dengan Ustad Bisri Syamsuri.24 Pendidikan tingginya ditempuh dengan menjadi mahasiswa di Departemen Of Higher Islamic and Arabic Studies, Universitas Al-Azhar Kairo (1964-1969) atas biaya dari Departemen Agama yang saat itu di pegang oleh KH. Saifuddin Zuhri. Sewaktu menempuh perjalanan dalam studinya di al-Azhar, dia tidak memuaskan gairah intelektualitasnya, karena menurut dia ini tidak ada bedanya seperti di pesantren yang hanya menumpukan pada sisi hafalan. Di sini dia banyak meluangkan waktunya untuk mengunjungi perpustakaan di Mesir, termasuk yang berada di Kairo yang terkenal lengkap American University Library dan berbagai toko buku, sekaligus menyalurkan hasratnya menikmati musik-musik klasik dan film, serta tidak ketinggalan sepak bola yang memang sudah dari kecil manjadi hobinya itu.25 Dalam studinya di Mesir, Gus Dur sempat kecewa dengan sistem pembelajaran yang menurutnya hampir sama dengan di pesantren (hafalan). Akan tetapi di bawah kepemimpinan Presiden Gamal Abdul Nasser dirasa tidak seutuhnya mengecewakan karena ada hal yang menarik perhatian Gus Dur, di mana ber-kembangnya diskursus intelektualitas dan bertukar pendapat telah mendapat perlindungan yang cukup. Satu misal, antara para pendukung negara Islam Mesir dengan kaum sosialis melakukan debat terbuka melalui buku-buku, surat kabar dan kolom-kolom majalah. Dengan begitu, Gus Dur kagum pada dua sosok yang dianggap kontroversial, sekuler dan
24
Ahmad Bahar, Biografi Kiai Politik Abdurrahman Wahid Gagasan dan Pemikiran, (Jakarta: Bina Utama, 1999), hal. 4-5. 25 Bahar, Biografi Kiai Politik…, hal. 15-6.
membias dari akidah Islam, yaitu; Thoha Husein dan `Ali Abdu al-Raziq. Di sini pula Gus Dur tertarik pada paham ‘sosialisme yang berbudaya’.26 Kekecewaan Gus Dur tersebut kemudian dilampiaskan ke Depertement of Religion Universitas Baghdad, Irak (1970-1972), sebuah negara modern yang memiliki peradaban Islam yang cukup maju. Di Universitas ini ia banyak membaca pemikiran Emile Durkheim dan filsuf-filsuf Barat lainnya, sehingga di bawah atmosfir Irak akhir ia memperkaya khazanah pengetahuan serta kemampuannya di bidang kajian yang diminta untuk meneliti asal usul historis Islam di Indonesia. Ada hal yang menarik dalam realitas pergumulan intelektualitas yang dijalani oleh Gus Dur di tengah ia ‘berpikir secara sistematis’,27 bentuk implementasi dari pengkajian yang dilakukan secara empiris dengan menggunakan pisau metodologis yang tajam. Di sisi lain, ia juga menemukan kembali sumber spiritualitasnya dengan mengunjungi makam-makam keramat para wali, termasuk makam Syeikh Abdu alQâdir al-Jailanî, pendiri Thariqah Qadiriyyah. Ia juga menggeluti ajaran Imam Junaidi al-Baghdadî, seorang pendiri aliran tasawuf yang diikuti oleh jamaah NU di Indonesia.28 Beberapa bulan setelah menjadi Presiden, Gus Dur dalam kunjungan kenegaraannya ke Seoul menemui Presiden Kim Dae Jung, mengatakan “saya datang sebagai murid kepada gurunya”. “Bagi saya ada dua guru yang masih hidup, yaitu Kim Dae Jung dan Sulakhshi Bharaksa dari Thailand. Sedangkan yang telah meninggal
26
Bahar, Biografi Kiai Politik…., hal. 16. Tulisan yang dicetak miring adalah ungkapan Gus Dur sendiri yang ditulis dalam buku Beyond The Symbols, Jejak Antropologis Pemikiran dan Gerakan Gus Dur, (Bandung: INCReS dan Remaja Rosdakarya, 2000). 28 Budi Hadrianto, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia Pengusung Ide Sekulerisme, Pluralisme, dan Liberalisme Agama, (Jakarta: Hujjah Press, 2007), h. 18; Bahar, Biografi Kiai Politik…. hal. 3; Tim INCReS, Beyond The Symbols..., hal. 17. 27
adalah Sun Yat Sen, Jose Rizal, Jawaharal Nehru, Mahatma Gandhi, dan tentu saja Soekarno”. Inilah para guru-guru Gus Dur, selain para kiai di pondok pesantren.29 Melihat dari latar belakangnya dalam lingkungan keluarga dan pendidikan yang dimiliki, hemat penulis bahwa Gus Dur termasuk orang yang menghargai kebudayaan Islam tradisional, dan mempunyai pandangan hidup yang terbuka open Minded. Maka tidak mengherankan bila ia memiliki berbagai aktivitas yang tidak sehaluan dengan dunia ke-pesantren-an. E. Ragam Aktivitas Perkembangan perjalanan kehidupan Gus Dur sebagai aktivis sejak tahun 1970an semakin menunjukkan arah pembentukan kepribadian dan minatnya untuk menekuni dalam bidang tulis menulis di media massa, kebudayaan, dan kritik ideologi yang semakin kokoh. Perkembangan perjalanan tersebut membawa Gus Dur semakin mendalami bidang pengembangan pemikiran dan konsepsi ideologi kritik dan counter attact terhadap ideologi yang dominan dikembangkan oleh negara pada masa rezim Orde Baru. Dilihat dari latar belakangnya dalam lingkungan keluarga dan pendidikan yang dia jalani, Gus Dur sangat menghargai kebudayaan lokal atau bisa disebut sebagai Islam tradisional, sehingga lingkup persahabatannya menjadi luas. Hal ini yang menjadikan dia aktif di berbagai sektor atau lingkup yang bisa dikatakan tidak lazim oleh seorang kiai. Dalam masalah ini salah satu kiai dari Jawa Timur memberi dia laqab (Arab; Julukan) “kiai ketoprak”.30 Setelah menamatkan studinya di Baghdad, pada tahun 1972 Gus Dur pulang ke Indonesia. Dia menjadi dosen sekaligus Dekan Fakultas Ushuluddin Universitas Hasyim Asy’ari (Unhasy) di Jombang hingga tahun 1974. Ketidakaktifannya dalam 29 30
71.
Tim INCReS, Beyond The Symbols..., hal. 22. Listiyono Santoso, Teologi Politik Gus Dur, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Yogyakarta, 2004), hal.
civitas akademis membuat ia menekuni kembali bakat menulis dan menjadi kolumnis pada beberapa media massa di antaranya Majalah Tempo, Jurnal Prisma dan surat kabar Kompas dan Pelita yang kemudian belakangan ini diterbitkan dalam bentuk buku.31 Selain itu, Gus Dur bersama para intelektual muda Islam dan kaum sosial demokrat seperti; Dawam Raharjo, Adi Sasono, Aswab Mahasin bekerja pada sebuah Lembaga Pengkajian Pengetahuan Pendidikan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) yang merupakan salah satu dari sejumlah LSM yang ada pada tahun 1970-an. Lembaga ini didanai oleh German Neumann Institute dan kemudian mendapat bantuan dari Yayasan Ford sebagai bentuk realisasi dari cita-cita pendirian pusat riset sosial dan pemikiran kritis di Indonesia. Lembaga ini menunjukan minat yang besar terhadap dunia pesantren dan mencoba untuk menggabungkannya dengan pengembangan masyarakat. Salah satu prestasi penting lembaga ini adalah menerbitkan Jurnal Prisma, yang selama bertahun-tahun merupakan sebuah jurnal ilmu sosial utama di Indonesia, di mana Gus Dur merupakan salah satu penulis tetap di jurnal ini.32 Progresivitas dan liberalisasi pemikiran Abdurrahman Wahid juga tampak dalam berbagai gerakan sosial yang pernah diikutinya di luar organisasi keagamaan Nahdlatul Ulama (NU). Misalnya, menjabat ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ)
31
Tulisanya di Majalah Tempo diterbitkan dalam tiga buah buku, dua buku diterbitkan oleh LKiS Yogyakarta, yaitu kiai Nyentrik Membela Pemerintah (1997) dan Tuhan Tak Perlu Dibela (1999), sedangkan Tempo menerbitkan sendiri, dengan judul Melawan Melalui Lelucon (2000). Tulisannya dalam Majalah Prisma juga diterbitkan LKiS dengan judul Prisma Pemikiran Gus Dur (1999). Tulisanya dalam Koran Kompas diterbitkan sendiri dengan judul Gus Dur Menjawab Tantangan Perubahan (1999). Sedangkan tulisannya dalam Media Indonesia diterbitkan oleh Erlangga dengan judul Islam, Negara, dan Demokrasi: Himpunan Percikan Perenungan Gus Dur (1999). Kontroversi pemikiran dan pernyataan Gus Dur juga didokumentasikan dalam bentuk buku oleh RMI Jawa Timur dengan judul Kiai Menggugat Gus Dur Menjawab, Sebuah Pergumulan Wacana dan Transformasi (1989). Sedangkan tulisan-tulisannya mengenai pondok pesantren diterbitkan oleh Lappenas dengan judul Bunga Rampai Pesantren (1978). Tulisan-tulisannya mengenai pemikiran keislaman juga diterbitkan oleh Lappenas dengan judul Muslim di Tengah Pergumulan (1981). Adapun tulisan-tulisan lain yang tersebar diberbagai media massa juga dibukukan oleh penerbit Rosda dengan judul Membangun Demokrasi (1999) dan penerbit Grasindo dengan judul Mengurai Hubungan Agama dan Negara (1999). Tim INCReS, Beyond The Symbols..., hal. 19. 32 Barton, Biografi Gus Dur ..., hal. 110.
pada tahun 1982-1985, menjadi Juri Festival Film Nasional di tahun 1970-an dan 1980-an. Di samping itu, ia merupakan salah seorang Presiden pada Konfrensi Dunia untuk Agama dan Perdamaian (World Council for Religion and Peace) yang berkedudukan di Jenewa, Swiss, juga menjadi anggota pembina Simon Pereze untuk Perdamaian (Simon Perez Peace Center) yang bermarkas di Tel Aviv, Israel, dan menjadi Dewan Penasehat pada Internasional Dialoque Foundation on Perspective Studies of Syariah and Secular Law, di Den Haag, Belanda.33 Selanjutnya untuk membangun demokrasi di Indonesia, Gus Dur mendirikan Forum Demokrasi (Fordem) sekitar tahun 1991 dan menjadi ketua umum dari organisasi yang terdiri dari 45 intelektual dari berbagai komunitas religius dan sosial. Selain itu, ia juga menggagas berdirinya Gerakan Anti Diskriminasi (Gandi) untuk membentuk perlawanan atas munculnya indikasi formalisasi satu agama tertentu dalam politik kekuasaan. Perihal yang melatarbelakangi berdirinya Fordem diakui atau tidak itu sebagai bentuk dari penolakan Gus Dur terhadap munculnya fenomena sekterianisme dalam perpolitikan nasional. Selain itu, forum ini juga sebagai antitesis dari pendirian Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI), karena menurut dia ICMI merupakan organisasi sekterian. Pada tanggal 13 Agustus 1993, Gus Dur bersama empat warga Asia lainnya (Noburu Imamura dari Jepang, Banoo Coyaji dari India, Vo Tong Xuan dari Vietnam, dan Brienvenido Lumbrera dari Filifina) menerima hadiah Ramon Magsaysay, sebuah “Nobel Asia” di Manila, Filipina. Penghargaan itu diberikan berdasarkan keterlibatannya yang besar dan mempunyai komitmen terhadap demokrasi serta upaya menumbuhkan toleransi beragama di Indonesia.34
33
Bahar, Biografi Kiai Politik ..., hal. 37. Mujamil Qamar, NU Liberal dari Tradisionalisme ke Universalisme Islam, (Bandung: Mizan, 2002), hal. 167; Lihat juga Bahar, Biografi Kiai Politik ..., hal. 37. 34
Terlepas dari semua yang dilakukan Gus Dur, tidak dapat dipungkiri karena ini disebabkan dari hasil pembacaannya yang teramat banyak, sehingga memiliki pandangan dan pemikiran yang progresif. Melalui buku yang dibacanya, hampir tidak ada tokoh besar yang berpengaruh dalam dunia pemikiran baik dari kalangan Islam maupun Barat luput dari bacaannya, seperti Gamal Abdul Nasser, Mahamatma Gandhi, Soekarno, Karl Marx, Lenin. Hal ini yang menjadikan “perkawanan” secara dialetika dan menjadikan perjalanan intelektualitas seorang Gus Dur yang me-nyandang berbagai macam atribut yang melekat pada dirinya dari; agamawan, sosiolog, negarawan, seniman, budayawan dan lain-lain termasuk kepiawaiannya dalam humor,35 bahkan ada juga yang menyebut dirinya sebagai wali.36
F. Sketsa Pemikiran Gus Dur merupakan salah satu tokoh intelektual dengan berbagai pemikirannya genuine serta berwawasan ke depan yang dimiliki bangsa ini. Meski-pun dalam keluarga dan pendidikan ia sangat kental dengan nuansa pesantren (tradisional), akan tetapi cara berpikirnya tidak “kalah” dengan mereka yang lulusan pendidikan sekuler di luar negeri (modern). Dalam buku Beyond The Symbols, Jejak Antropologis Pemikiran dan Gerakan Gus Dur, dikatakan bahwa tulisan-tulisan Abdurrahman Wahid sangat kompleks dan secara materi relatif komprehensif, tajam dan selalu mengandung gagasan cerdas, sekaligus menyisakan ruang untuk bertanya.37 Berikut ini penulis membagi pemikiran Gus Dur dalam 3 varian, sebagai berikut;
35
Hal ini tampak dalam tulisan Gus Dur yang dimuat dalam kolom Kompas pada medio 1981, yang cukup terkenal “Melawan Melalui Lelucon”, Gus Dur sendiri secara serius menggeluti berbagai bentuk anekdot paling lucu di dunia sebagai bahan untuk melakukan kritik dan sekaligus perlawanan atas kekuasaan dan realitas sosial. lebih dari itu Jaya Suprana menyebut Gus Dur sebagai seorang humoris paling lucu di antara sekian humoris yang ada di dunia. Baca Tim INCReS, Beyond The Symbols..., hal. xii. 36 Sa’id Aqiel Siradj, Boleh-boleh Saja Disebut Wali, dalam Tim INCReS, Beyond The Symbols..., hal. 239. 37 Tim INCReS, Beyond The Symbols..., hal. xii.
1. Nasionalisme Kiai Hasyim Asy’ari dan putranya Wahid Hasyim merupakan pahlawan nasional, di mana keduanya memiliki kedekatan dengan gerakan nasionalis yang memimpin gerakan revolusioner melawan penjajah Belanda setelah akhir Perang Dunia II. Oleh sebab itu, bukan suatu hal yang tidak mungkin sebuah darah perjuangan mengalir dalam diri Gus Dur sebagai putra sulung dari Wahid Hasyim. Seperti kita ketahui bersama sebagaimana pahlawan nasional lainnya nama Ayah dan kakek Gus Dur (Wahid Hasyim dan Hasyim Asy’ari) diabadikan sebagai nama sebuah jalan di bilangan Jakarta Pusat. Gus Dur dalam kapasitasnya sebagai pemimpin, baik ketika menjabat Ketua Umum PBNU 3 periode, (1984-1999) dan Presiden Republik Indonesia ke-4, serta geraknya dalam wilayah politik merupakan guru bangsa yang rajin dalam memperjuangkan tegaknya demokrasi dan toleransi beragama. Hal ini tercermin dalam sikapnya menolak formalisasi syariat Islam, karena hanya akan melegalkan aneka bentuk pemaksaan. Meminjam istilah yang digunakan oleh Muhammad AS Hikam, Gus Dur mendapat julukan sebagai “Sang Pelawan Arus”38 dalam perpolitikan di Indonesia, karena berdasarkan pada sosok Gus Dur sebagai seorang pemikir yang sangat maju dan kreatif dalam memperjuangkan liku-liku demokrasi bagi bangsa Indonesia. Hal ini jika kita lihat dalam berbagai aktifitas yang dijalani dan banyak tulisan yang bertemakan tentang demokrasi serta kegigihan dan taat mengikuti jejak orangtua dan kakeknya dalam mencintai tanah air, dengan demikian kita akan mengatakan bahwa Gus Dur adalah sosok seorang nasionalis.
38
Tim INCReS, Beyond The Symbols..., hal. 291.
Lebih dari itu jiwa nasionalis yang tumbuh dalam diri Gus Dur juga dapat dilihat dari pernyataan beliau, sebagaimana dikutip oleh Douglas E. Ramage yang berpendapat bahwa tidak ada pertentangan antara Islam dan nasionalisme: “....faham kebangsaan yang dianut NU sesuai dengan Pancasila dan UUD 45. NU menjadi pelopor dalam masalah-masalah ideologis. Padahal seluruh dunia Islam, hal ini masih menjadi persoalan antara Islam dan nasionalisme. Para penulis Saudi Arabia menganggap nasionalisme seperti di Indonesia yang tidak sekuler. Melainkan menghormati peranan agama.”39 Dalam wacana pemikiran nasional, biasanya ada yang mempertentangkan antara Islam dan nasionalisme. Nasionalisme selalu meletakkan keberagaman atau pluralitas sebagai konteks utama di mana kita berusaha menemukan ikatan dasar yang mengikat atau menyatukan sebuah negara bangsa. Islam dalam konteks ini dikatakan sebagai salah satu elemen; bagian dari keseluruhan komponen bangsa dan negara, yang harus melebur atau disatukan ke dalam ikatan kebangsaaan tersebut, yang tentu saja lebih luas. 2. Pribumisasi Apa yang tidak ada di Indonesia? Semua ada disini. Bahkan sampai pada tataran pemikiran atau aliran Islam, sebut saja dari mulai moderat, liberal sampai pada corak Islam yang puritan dan radikal, semuanya tumbuh subur dan saling meng-kampanye-kan idenya masing-masing. Salah satu gagasan yang dimiliki oleh Gus Dur sebagai pemikir Islam di negeri ini adalah menampilkan Islam dalam bentuk Indonesia, yang kemudian dikenal dengan Istilah “Pribumisasi Islam”.40 Sebuah pemikiran dari hasrat ingin menunjukan bahwa Islam di Indonesia ini berbeda dengan Islam di Arab pada khususnya, di Timur Tengah pada
39 Douglas E. Ramage, Pemahaman Abdurrahman Wahid Tentang Pancasila dan Penerapannya Dalam Era Paska Asas Tunggal dalam Ellyasa KH. Dharwis (ed), Gus Dur, NU dan Masyarakat Sipil, (Yogyakartra: LKiS, 1997), hal. 105. 40 Abdurrahman Wahid, Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan, (Depok, Desantara: 2001), hal. 117.
umumnya.Dengan kata lain, gagasan ini ingin mempertahankan Identitas Islam keIndonesia-an atau dengan istilah “tolak Arabisasi”.41 Salah satu bentuk dari pribumisasi itu adalah mesjid Demak, ranggon atau atap yang berlapis pada masjid tersebut diambilkan dari konsep “Meru” dari masa pra-Islam (Hindu-Budha) yang terdiri dari sembilan susun. Sunan Kalijaga memotongnya menjadi tiga susun saja, melambangkan tiga tahap keberagamaan seseorang muslim, iman, islam dan ihsan.42 Pemahaman ini disinyalir berawal dari upaya Gus Dur merekonsiliasi antara budaya dan agama, dengan kata lain ingin memperlihatkan Islam sebagai sebuah agama yang apresiatif terhadap budaya lokal yang kita kenal dengan nama “Wali Sanga” dalam memasukkan Islam ke Nusantara yang sudah menjadi bagian dari kebudayaan yang sudah ada. Hal ini sejalan dengan kaidah fiqh al-‘Adah alMuhakkamah43 yang menunjukkan bagaimana Islam masuk dan dapat diterima oleh masyarakat pada waktu itu, sehingga tidak diperlukannya sebuah legalitasformalistik dalam sebuah negara berdasarkan agama (Islam). 3. Pluralisme Dalam sebuah negara yang di dalamnya terdapat bangsa yang bercorak plural, pada dasarnya pluralitas negara merupakan hukum alam atau Sunnatullah, bahkan menjadi wacana yang berkelanjutan ketika disandingkan dengan pemahaman terhadap Pancasila.44 Para penghuninya terbelah ke dalam berbagai suku, ras, bahasa, profesi, kultur, dan agama. Dengan demikian, sebagai sebuah fenomena, kemajemukan tak bisa dihindari. Keberagaman berlangsung dalam 41
http://hima-cita.co.cc/index.php?option=com_content&task=view&id=36&Itemid=2 Wahid, Pergulatan Negara...., hal. 118. 43 Kaidah ini berdasarkan pada ayat al-Quran …wa`mur bi al-‘Urfi wa A‘rid ‘ani al-Jâhilîn... (Surat al-A‘raf ayat 199), karena kalimat Urf di sana itu bermakna adat; lebih lanjut baca Muhammad Yâsin ibn ‘Îsâ al-Fâdanî, al-Fawâidu al-Janiyyah; Juz I, (Libanon: Dâr al-Fikr, 1997), hal. 266. 44 Bahtiar Effendy, Islam dan Negara; Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1998), hal. 192. 42
pelbagai ruang kehidupan, termasuk dalam kehidupan kenegaraan. Akhirnya, setiap orang senantiasa berada dalam dunia kemajemukan. Salah satu aspek yang bisa dipahami dari Gus Dur adalah bahwa ia penyeru pluralisme dan toleransi, pembela kelompok minoritas, khususnya Cina Indonesia dan kelompok-kelompok lain yang tidak diuntungkan pada masa pemerintahan lebih-lebih pada masa pemerintahan Soeharto, dengan kata lain non-Chauvinis, sebagai figur yang memperjuangkan diterimanya kenyataan sosial bahwa Indonesia itu beragam. Karena dalam pandangan Gus Dur Islam adalah agama kasih sayang dan toleran sekaligus agama keadilan dan kejujuran. Intinya, Islam sebagai agama rahmatan lil alamin, agama yang menjadi rahmat sekalian alam. Dengan mengedepankan Islam sebagai agama rahmat, Islam akan mengayomi dan melindungi semua pihak, tidak ada yang merasa dirugikan, terancam atau bahkan teraniaya. Dengan demikian Pandangan pluralisme Gus Dur berangkat dari sikap dan komitmen nasionalismenya. Dalam negara-bangsa (nation-state) wilayah negara ditentukan berdasarkan teritorial bukan atas dasar agama. Konsekuensinya, semua yang terjaring dalam teritorial harus diakui. Mereka sama-sama memiliki hak dan kewajiban yang sama. Oleh karena itu, harus ada pandangan pluralisme. Dengan ini, segala perbedaan yang ada harus diakui dan diapresiasi. Bukan hanya perbedaan agama, bahasa, etnis dan sebagainya juga harus diperlakukan secara wajar. Selaras dengan ini Gus Dur mengamalkan bentuk persaudaraan yang dalam Islam itu ada tiga; persaudaraan sesama muslim (ukhuwah Islamiyah), persaudaraan sesama anak bangsa (ukhuwah wathaniyah) dan sesama manusia (ukhuwah insaniyah). Menurut Anis Malik Thoha, pluralisme agama bisa diklafikasikan sesuai dengan pokok-pokok pemikiran dan karekter utamanya, ke dalam empat kategori,
yaitu: (1) humanisme sekular, (2) teologi global, (3) sinkretisme, dan (4) hikmah abadi.45 Hanya saja keempat trend ini ujung-ujungnya berakhir pada muara yang sama, yaitu memberikan legitimasi yang setara kepada agama yang ada agar dapat hidup berdampingan secara damai, aman, penuh tenggang rasa, toleransi dan saling menghargai. Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika secara bahasa berasal dari bahasa Sansekerta. Jauh sebelumnya, dalam sejumlah naskah kitab para pujangga dan empu serta inskripsi sejumlah prasasti semasa keemasan Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit, semboyan tersebut sudah muncul. Kenyataan menunjukkan bahwa bangsa Indonesia terdiri atas banyak unsur etnik beserta adat, bermacam agama dan aliran kepercayaan, serta lingkungan yang berbeda. Maka, kesatuan merupakan nilai dan pagar yang sangat penting. Proses integrasi untuk mewujudkan kesatuan tersebut memegang peran yang teramat fundamental. Proses integrasi pada hakikatnya perlu dibidikkan agar memberikan makna kepada hidup manusia Indonesia. Sementara itu, kebudayaan nasional mengandung makna totalitas karena di dalamnya terdapat banyak unsur sehingga mengandung banyak persoalan. Setiap kebudayaan mencakup tiga lingkup persoalan hidup, yaitu menghadapi diri sendiri, sesama dan bangsanya, alam sekitar dan Tuhan. Hubungan antar umat beragama di Indonesia itu harus adanya pengembangan rasa saling pengertian yang tulus dan berkelanjutan.46 Karena dengan hal ini bangsa kita akan tetap terjaga dalam keanekaragaman. Selain itu juga diperlukan rasa saling memiliki (sense of belonging), bukannya hanya saling bertenggang rasa satu terhadap yang lain. Pluralisme ini akan mewujudkan suatu kedamaian yang 45 Pengantar Adian Husaini, “Dari Yahudi Liberal Ke Islam Liberal”, dalam Budi Hardianto, 50 tokoh Islam Liberal Indonesia Pengusung Ide Sekulerisme, Pluralisme, dan Liberalisme Agama, (Jakarta: Hujjah Press, 2007), hal. xv-xxxix. 46 Abdurrahman Wahid, Islam dan hubungan Antar Umat Beragama di Indonesia, dalam Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman, (Jakarta: Kompas, 1999) , hal. 16.
abadi, yakni suatu kedamaian, ketentraman dan bersikap toleran atas perbedaan keyakinan orang lain. Dalam kehidupan masyarakat yang luas dan harmonis masing-masing unsur menghargai unsur lainnya, rasanya tidak mungkin umat Islam membentuk komunitas sendiri yang terpisah dan terputus hubungan sosialnya dengan komunitas lainnya. Jika itu yang terjadi, rasa sentimen agama justru berkembang dengan subur dan menjadi ancaman serius bagi keharmonisan kehidupan masyarakat yang plural.
BAB III PENGERTIAN DAN SEJARAH PANCASILA
D. Sejarah Kelahiran Pancasila Dalam historiografi Indonesia, 1 Juni 1945 merupakan tanggal yang sarat dengan muatan sejarah karena memiliki makna yang sangat berarti bagi perjalanan bangsa dan terbentuknya negara Indonesia. Bermula dari Sidang Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), hingga kini tanggal tersebut diabadikan sebagai hari kelahiran Pancasila,47 di samping terkaitan dengan pidato Soekarno yang mengemukakan pandangannya mengenai dasar-dasar Indonesia Merdeka. Dalam usulannya, ia menyebutkan bahwa dasar kebangsaan berupa pandangan tentang dasar Kebangsaan yang dianggap sebagai dasar pertama yang baik bagi bangsa dan negara Indonesia, selain empat usulan lainnya,48 yang mana pada muaranya hasil rumusan tersebut diharapkan berwujud pendirian satu Negara Kebangsaan Indonesia.49 Kelima asas ini yang kemudian di-rumuskan dan selanjutnya dinamakan dengan Pancasila.50 Di samping itu, Soekarno juga menyampaikan sebuah terobosan mengenai “teori perasan”, dimaksudkan bahwa lima sila tersebut sebelumnya ‘disaring’ menjadi
47
Bernhard Dahm, Sukarno dan Perjuangan Kemerdekaan, alih bahasa Hasan Basari, (Jakarta: LP3ES, 1987), hal. 359-360. 48 Amin Aryoso, Pantja-Sila Dasar Falsafah Negara, (Jakarta: PNP LPS, 2000), hal. 19. 49 Penelitian dua dekade terakhir menyatakan bahwa ketegangan antara golongan Islam dan golongan nasionalis dalam melahirkan embrio dasar negara di zaman pendudukan tidaklah setajam seperti dugaan Belanda. Mereka pada prinsipnya bersedia untuk berkompromi. Lih. Dahm, Sukarno dan Perjuangan…, hal. 362; Lih. juga Harry J. Benda, The Crescent and The Rising Sun; Indonesian Islam Under the Japanese Occupation 1942-1945, (The Hague and Bandung: V. Hoeve, 1958), hal. 89. 50 Ulasan beberapa pandangan Soekarno mengenai lima dasar negara dapat ditelusuri dalam Aryoso, Pantja-Sila Dasar…, hal. 24-29; Antitesis mengenai asal usul dari lima usulan Pancasila versi Soekarno dapat ditelusuri dalam William H. Frederick dan Soeri Soeroto (ed), Pemahaman Sejarah Indonesia; Sebelum dan Sesudah Revolusi, (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2005), Cet. ke-3, hal. 15; Lih. juga Nurcholish Madjid, Indonesia Kita, (Jakarta: Universitas Paramadina, 2004), Cet. ke-3, hal. 88.
tiga sila (Trisila); pertama, socio-nationalisme (yang mencakup kebangsaan Indonesia); kedua, socio-democratie (yang mencakup demokrasi dan kesejahtraan sosial); dan terakhir, Ketuhanan. Trisila ini
kemudian diperas menjadi satu sila
(Ekasila) yang di dalamnya terdapat inti sari berupa gotong royong.51 Selang satu hari setelah menyampaikan pidato bersejarahnya, tanggal 22 Juni 1945, Soekarno membentuk panitia kecil yang terdiri dari sembilan, kemudian panitia ini dikenal dengan nama “Panitia Sembilan” yang beranggotakan antara lain: Soekarno (sebagai ketua), Mohammad Hatta, Mr. Alfred Andie Maramis, Abikoesno Tjoksoejoso, Abdul Kahar Muzakkir, Haji Agus Salim, Mr. Achmad Soebardjo, Abdul Wahid Hasyim, dan Muhammad Yamin.52 Panitia ini disinyalir terbentuk untuk merumuskan dasar negara dimaksudkan mencari jalan keluar antara apa yang disebut golongan kebangsaan mengenai agama dan negara yang masalahnya sudah muncul sejak masa persidangan pertama.53 Perdebatan tersebut muncul dari pengambilan sikap dalam penentuan asas Pancasila yang belum diterima secara bulat, artinya masih terdapat pertentangan dalam menentukan asas negara; pertama, menginginkan bahwa Indonesia didirikan sebagai negara Islam; kedua, menginginkan bahwa Indonesia didirikan atas persatuan nasionalis yang memisahkan urusan negara dengan urusan agama (Islam). Pada gilirannya, forum ini akhirnya berhasil mencapai jalan keluar dan membentuk suatu “Rancangan Pembentukan Hukum Dasar” yang kemudian dikenal dengan nama “Piagam Jakarta” atau The Jakarta Charter, sebagaimana seperti yang diungkapkan oleh Muhammad Yamin.54 51
Aryoso, Pantja-Sila Dasar….., hal. 31-32. Roeslan Abdulgani, Resapkan dan Amalkan Pantjasila, (Djakarta: BP Prapantja, tt), hal. 25; Lih. juga Effendy, Islam dan Negara; Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1998), hal. 88. 53 Effendy, Islam dan Negara…., hal. 88. 54 Dahm, Sukarno dan Perjuangan…, hal. 363; Bandingkan M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1995), Cet. ke-5, hal. 321. 52
Dalam Piagam Jakarta itu terdapat kalimat “dengan kewajiban menjalankan syariat bagi pemeluk-pemeluknya”, yang mana tujuh kata ini dipandang sebagai kemenangan kaum nasionalis muslim, karena dengan kalimat ini memungkinkan mereka untuk menerapkan syariat bagi komunitasnya dalam negara Indonesia Merdeka, meskipun mereka harus menerima Pancasila dan bukannya Islam sebagai dasar ideologi negara.55 Akhirnya, dari perdebatan yang cukup panjang dan melelahkan, beberapa panitia perumus dasar negara tersebut memiliki satu komitmen bersama yang diwujudkan melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959 -kemudian dinyatakan kembali pada UUD 1945, dan pada muaranya memunculkan suatu simpulan secara nasional bahwa perumusan Pancasila dalam UUD 1945 itulah yang berlaku secara sah dan resmi hingga saat ini.56
E. Kandungan Pancasila Seperti telah penulis paparkan sebelumnya bahwa Bung Karno menawarkan lima rumusan dasar bagi terbentuknya suatu negara dalam sidang BPUPKI, yang kita kenal sebagai hari kelahiran Pancasila, dengan urutan rumusan sebagai berikut: Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme atau peri-kemanusiaan, Mufakat atau Demokrasi, Kesejahteraan Sosial dan Bertaqwa Kepada Tuhan Yang Maha Esa. Akan tetapi rumusan tersebut berubah seiring tekanan dari beberapa pihak yang ikut berjuangan mengatasnamanakan agama (baca: Islam), yang pada akhirnya terbentuk rumusan alternatif. Berikut rumusan Soekrano sebagaimana uraian Aryoso:
55
Beberapa dugaan yang melatarbelakangi penerimaan kaum nasionalis muslim sebagai sebuah modus vivendi konstituante mereka, dapat dilihat dalam Effendy, Islam dan Negara…., hal. 90-92. 56 Madjid, Indonesia Kita…, hal. 88, 167-168.
Dasar pertama adalah pandangan tentang paham kebangsaan yang diharapkan dapat terwujud sebuah negara kebangsaan Indonesia. Pandangan ini dikatakan oleh soekarno sebagai inti yang melandasi penerjemahan beberapa pandangan berikutnya.57 Sebagai dasar kedua disebutkan internasionalisme. Pandangan ini ditawarkan Soekarno melihat dan menilai bahaya-bahaya yang dapat timbul dari merebaknya paham nasionalisme. Ini sesuai dengan apa yang di ungkapkan oleh Mahatma Gandhi “...Saja seorang nasionalis, tetapi kebangsaan saja adalah kemanusiaan (my nationalism is humanity).58 Hal ini terlihat dalam pidatonya Soekarno yang “Kita bukan sadja harus mendirikan Negara Indonesia Merdeka, tetapi kita harus menudju pula kepada kekeluargaan bangsa-bangsa. Justru inilah prinsip saja yang kedua. Inilah filosofisch principe jang nomor dua, yang saya usulkan kepada Tuan-tuan, jang boleh saja namakan internasionalisme.59 Dasar ketiga yang di kemukakan oleh Soekarno adalah dasar mufakat, dasar perwakilan, dasar permusyawaratan. Sebagaimana sesuai degan teks pidato Soekarno yang kemudian diterbitkan dalam sebuah buku dengan judul Lahirnya Pancasila: “Kemudian, apakah dasar yang ke-3? Dasar itu ialah dasar mufakat, dasar perwakilan, dasar permusjawaratan. Negara Indonesia bukan satu negara untuk satu orang, bukan satu negara untuk satu golongan, walaupun golongan kaja. Tetapi kita mendirikan negara ‘semua buat semua’, satu buat semua, semua buat satu. Saja jakin, bahwa sjarat jang mutlak untuk kuatnja negara Indonesia ialah permusjawaratan, perwakilan.”60 Dasar yang keempat adalah kesejahteraan, Soekarno berkata: “Prinsip No. 4 sekarang saja usulkan. Saja didalam 3 hari ini belum mendengarkan prinsip itu, jaitu prinsip kesedjahteraan, prinsip: tidak ada kemiskinan didalam Indonesia Merdeka....... Maka oleh karena itu, djikalau kita memang betul-betul, mengerti, mengingat, mentjinta rakyat Indonesia, marilah kita terima prinsip hal sociale rechtvaardigheid ini, jaitu bukan sadja persamaan politiek, saudara-saudara, tetapi pun diatas lapangan ekonomi kita harus mengadakan persamaan, artinja kesedjahtraan bersama jang sebaik-baiknya.”61 57
Aryoso, Pantja-Sila Dasar…, hal. 19. Aryoso, Pantja Sila Dasar…, hal. 24. Bandingkan Frederick, dkk (ed), Pemahaman Sejarah Indonesia…, hal. 400. 59 Aryoso, Pantja Sila Dasar…, hal. 24. 60 Aryoso, Pantja Sila Dasar…, hal. 25. 61 Aryoso, Pantja Sila Dasar…, hal. 27-78. 58
Terakhir, prisip yang kelima yaitu prinsip Ketuhanan, sebagaimana yang di utarakan oleh Soekarno sebagai berikut: “Saudara-saudara, apakah prisip ke-5? Saja telah kemukakan 4 prinsip: (1) Kebangsaan Indonesia; (2) Internasionalisme atau peri-kemanusiaan; (3) Mufakat atau demokrasi; (4) Kesedjahtraan sosial. Prinsip yanmg kelima hendaknja: Menjusun Indonesia Merdeka dengan bertaqwa kepada Tuhan Jang Maha Esa. Prinsip Ketuhanan! Bukan sadja bangsa Indonesia ber-Tuhan, tetapi masingmasing orang Indonesia hendaknya ber-Tuhan, Tuhannja sendiri.”62 Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara yang harus hidup dalam jiwa manusia Indonesia belakangan ini kembali menjadi perbincangan banyak kalangan. Salah satu isu yang mencuat ke permukaan adalah tentang kegelisahan dan kerisauan terhadap fenomena melemahnya penghayatan dan pengamalan para elit negeri ini khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya terhadap nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Pancasila.63 Hal ini dapat kita lihat bersama dari beberapa kebijakan negara yang sangat jauh, bahkan cenderung berlawanan dari semangat Pancasila. Sebut saja kebijakan tarik-ulur dari RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP) yang dapat mengancam keutuhan semangat berbangsa di Indonesia yang bermasyarakat majemuk. Selain itu juga, kita dapat melihat ada beberapa kebijakan pemerintah yang menyangkut hajat hidup orang banyak, akan tetapi pemahaman tersebut belum bahkan tidak mencerminkan keberpihakan terhadap rakyat. Belum lagi kebijakan pemerintah yang dinilai menciderai rasa keadilan masyarakat dengan memberikan kesempatan terhadap pihak asing dalam pengelolaan dan penguasaan sumber daya alam negeri ini.
62
Aryoso, Pantja Sila Dasar…, hal. 29. Kekhawatiran ini pernah disinggung sebelumnya oleh Cak Noer melihat perkembangan bangsa dan negara yang semakin ‘mengerti’ tentang dasar negara, ironinya pemahaman dan penghayatannya semakin melemah seiring perjalanan negara yang bercita-cita menjadi negara maju. Lih. Madjid, Indonesia Kita…, hal. 88. 63
Satu misal, pengelolaan sumber daya alam di Blok Cepu yang diserahkan pengelolahannya pada dan PT Freefort, Newmont di Irian Jaya. Melihat apa yang terjadi belakangan ini perlunya kembali memahami apa yang terkandung dalam Pancasila, agar di mana kita hidup sebagai satu dalam kebangsaan, satu dalam kenegaraan, satu dalam tanah air, satu dalam ideologi untuk satunya membangun masyarakat adil dan makmur yang sejahtera dan merata karena di dalam pancasila itu antara sila saling berkaitan.64 Berikut ini ulasan apa yang terkandung dalam Pancasila: 1. Ketuhanan Yang Maha Esa; Perubahan urutan sila, dari apa yang di utarakan oleh Soekarno, ini tidak merubah esensi dari dasar negara Indonesia berdiri, di mana bangsa Indonesia di bangun dengan moral, dengan begitu sila ini dapat menjadi pemimpin cita-cita kenegaraan untuk menyelenggarakan segala yang baik bagi rakyat dan masyarakat. Karena berjalankan di atas kebenaran, keadilan, dan kejujuran. Dengan begitu ini mengindikasikan sebuah perspektif religius - menjadi unsur penting yang berfungsi sebagai landasan sosial-politis.65 Dijadikannya Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama ini, bukti dari pengakuan/ pernyataan manusia (baca: bangsa Indonesia) terhadap alam (baca: Pencipta) sekaligus menjadi pemimpin sila-sila selanjutnya. Karena, dengan begitu manusia diharapkan mampu menjalan sesuatu yang bersifat baik dan benar dalam pengertian universal, terutama dengan jalan memupuk persahabatan dan persaudaraan antara manusia dan bangsa.
64
Sebagaimana pernyataan Soekarno bahwa ‘satu cita-cita terciptanya masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila merupakan aspirasi pokok atau inti yang telah mendorong dan mendasari Revolusi 1945’. Lih. Frederick, dkk (ed), Pemahaman Sejarah Indonesia…, hal. 85. 65 Effendy, Islam dan Negara…, hal. 27.
Lebih dari itu sila ini juga mengandung pemahaman yang sangat luas terhadap keberagaman paham keagamaan yang ada di Indonesia dalam pengertian toleransi, dengan begitu bangsa ini akan terhindar dari eklusifitas dan tindakan diskriminatif. Dalam pasal 29 ayat 1 menegaskan “Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Hal ini berarti bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap penduduknya untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya itu. Ini juga menunjukkan bahwa negara tidak memaksa agama, sebab agama itu sendiri berdasarkan keyakinan, hingga tidak dapat dipaksakan; dan agama sendiri tidak memaksa setiap manusia untuk memeluknya. Soekarno meletakan prinsip Ketuhanan pada urutan kelima dan terakir, karena ketuhanan diyakini akan memberi landasan spiritual dan moral bagi bangsa. Ketuhanan. Diformulasikan oleh Soekarno karena pengakuannya terhadap realitas rakyat Indonesia yang religius, tidak peduli agama apa yang mereka anut. Prinsip ini adalah sebagai pengakuan terhadap semua agama yang ada, toleransi dapat dicapai, sehingga kesatuan dan integritas nasional akan tumbuh subur dalam atmosfer kemerdekaan Indonesia. 2. Kemanusiaan yang adil dan beradab; Sila ini masih berhubungan dengan sila pertama di mana manusia mendapat hak-hak seperti, hak hidup (keselamatan jiwa), hak atas keselamatan badan dan hak atas kebebasan diri, dimana ketiga hak ini merupakan karunia yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa, yang harus dilindungi oleh negara yang tertuang dalam UUD 1945 sebagai berikut: a. Pasal 27 : Persamaan dalam Hukum dan Pemerintahan, serta hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan;
b. Pasal 28 : Kemerdekaan berserikat dan berkumpul dan mengelurarkan pikiran dan tulisan; c. Pasal 29 : Kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing; d. Pasal 30 : Hak dan kewajiban ikut serta dalam usaha pembelaan negara; e. Pasal 31 : Hak mendapat pengajaran; f. Pasal 34 : Hak fakir miskin dan anak-anak terlantar untuk dipelihara oleh negara;66 Singkatnya dalam sila ini ingin menempatkan manusia sesuai dengan harkatnya sebagai makhluk Tuhan. Dengan begitu diharapkan tidak adanya penindasan yang dilakukan oleh manusia terhadap manusia lain; baik secara lahir maupun bathin, baik itu bangsa sendiri maupun bangsa lain. Berdasarkan pada prinsip kemerdekaan adalah hak setiap bangsa, bahwa penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.
3. Persatuan Indonesia (Bhineka Tunggal Ika) Dalam sila ini terkandung prinsip nasionalisme bahwa bangsa Indonesia adalah satu, tidak dapat di pecah-pecah. Sehingga persatuan Indonesia menjadi syarat hidup bagi bangsa Indonesia. Ini terlihat oleh lambang negara kita Bhineka Tunggal Ika bersatu dalam berbagai ragam. Nasionalisme Pancasila mengharuskan kita menghilangkan sikap ego sekterianisme dan chauvinisme dengan begitu kita akan dapat merasakan senasib-sepenanggungan, sehingga timbul perasaan kebangsaan, kesatuan dalam bangsa Indonesia. Indonesia yang besar dan
66
64.
UUD 1945 dan Amandemennya, (Yogyakarta: Eka Lestari Press, 2005), Cet. ke-2, hal. 62-
luas ini terletak antara dua laut, laut Indonesia dan laut Pasifik, dan di apit oleh dua benua, benua Asia dan benua Australia. Lebih dari itu, dalam sila ini juga terdapat cita-cita persahabatan dan persaudaraan segala bangsa. Menurut Soekarno prinsip nasionalisme dalam konteks hubungan persahabatan dan persaudaraan dengan semua bangsa di dunia. Hal inilah yang diistilahkan dengan internasionalisme. Dia menekankan bahwa posisi ini atas dasar kenyataan bahwa Indonesia hanyalah salah satu bagian dari bangsa-bangsa di dunia. 4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawarat-an perwakilan; Jelas dalam sila ini tidak lain dan tidak bukan terkandung nilai prinsip demokrasi, sebagaimana yang di utarakan oleh Soekarno dalam sidang BPUPKI bahwa demokrasi dengan tujuan ingin memperlihatkan bahwa kemerdekaan Indonesia sebagai bagian dari seluruh rakyat Indonesia. Dia menegaskan bahwa “kita akan membangun sebuah negara bagi semua, tidak hanya untuk golongan tertentu, tidak juga untuk para aristokrat atau orang-orang kaya”. Dalam kata demokrasi ini juga mempunyai arti persamaan antara lain: hak-hak politik, kewarganegaraan, sosial, ekonomi, dan kebudayaan.67 Singkatnya, dalam sila ini menolak segala bentuk kediktatoran baik itu perorangan, golongan, kelas, maupun meliter. Lebih dari itu, ini menunjukkan penolakan terhadap liberalisme. Artinya, mendahulukan kepentingan umum atau bersama daripada kepentingan pribadi dan golongan. 5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia; Sila ke lima ini bukan saja sebagai dasar pokok saja, tetapi merupakan tujuan dari dibentuknya negara ini berdasarkan pada pasal 27 ayat 2, yaitu “tiap67
Abdulgani, Resapkan…, hal. 136-137.
tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”, yang menghendaki adanya kemakmuran yang merata di antara seluruh rakyat. Dalam arti bukan merata yang statis, melainkan merata yang dinamis dan meningkat. Menyinggung makna Kesejahteraan rakyat, Soekarno memberikan alasan dengan mengatakan “harus tidak ada kemiskinan dalam kemerdekaan Indonesia”.68 Pernyataan ini menunjukkan perhatian mendalam terhadap kesejahtraan sosial bagi seluruh rakyat. Karena kondisi sosial ekonomi dan pendidikan mereka sangat buruk dibawah ketidakadilan dan kebiadaban kolonialisme Belanda dan Jepang. Soekarno menyatakan Pancasila itu terdiri dari dua landasan fundamental: Pertama, landasan politik, dan kedua landasan etika atau moral.69 Prinsip nasionalisme berfungsi sebagai basis politik dari Pancasila, sementara prinsip ketuhanan sebagai basis etikanya. Bagi Soekarno, fondasi politik sebuah negara harus ditempatkan terlebih dahulu, baru kemudian fondasi etikanya. Dalam pernyataan bahwa meletakan prinsip nasionalisme pada urutan pertama Pancasila atas dasar keyakinan bahwa nasionalisme harus menjadi fondasi negara yang meliputi seluruh kepulauan Indonesia. Dari apa yang terkandung dalam Pancasila ini semoga menjadi bagian dari sikap dan pola hidup bangsa Indonesia. Karena, Pancasila itu sendiri memang merupakan pedoman hidup berbangsa dan bernegara yang digali dari nilai-nilai luhur bangsa Indonesia yang sudah berurat akar di bumi pertiwi. Oleh sebab itu Pancasila tidak boleh dijadikan amal di bibir saja, itu berarti pengkhianatan pada
68
Frederick memberi ulasan yang sama tentang ungkapan tersebut dengan redaksi yang berbeda. Lih. Frederick, dkk (ed), Pemahaman Sejarah Indonesia…, hal. 85. 69 Alfian, Politik: Kebudayaan dan Manusia Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 1980), h. 80-
diri sendiri. Pancasila harus tertanam dalam hati yang suci dan diamalkan dengan perbuatan.70
F. Perjalanan Pancasila sebagai Dasar Negara Pancasila yang terlahir tanggal; 1 Juni 1945, kini telah berada diambang batas. Sejarah panjang perhelatannya – dari momentum ke momentum (Kelahiran, mencari jati diri, perjuangan, hingga mempertahankan), dalam rangka perjuangan dan menggapai cita-cita bangsa Indonesia membawa pada suatu kenyataan riil, yaitu Pancasila masih jauh dari harapan. Sejak tahun 1983 pancasila ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, lembaga tertinggi negara sebagai satusatunya asas untuk semua organisasi sosial dan politik.71. Kini kedudukannya mulai dipertanyakan, dan mungkin digantikan oleh segelintir kelompok atau golongan yang menginginkan tegaknya “khilafah islamiyah”. Menilik ke belakang, dalam pidatonya pada tanggal 5 Juli 1959, Soekarno menegaskan bahwa Indonesia kembali kepada UUD 1945 dan Pancasila, dan badan konstituante dinyatakan bubar. Ide kembali ke pangkuan Pancasila sebagai dasar negara ternyata mengalami penyelewengan. Hal ini erat berhubungan dengan masalah kekuasaan. Isu-isu politik yang muncul paska dekrit presiden, mengharuskan Soekarno membuat satu kebijakan khusus. Tiga kekuatan politik besar yang ada saat itu bisa saja merongrong kekuasaan Soekarno bila tidak
70
Muhammad Hatta, Pengertian Pancasila, (Jakarta: tp, 1989), h. 19. Tap MPR Nomor II/MPR/1983 Tentang Garis Besar Haluan Negara (GBHN). UndangUndang Dasar, Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila, Garis-garis besar Haluan Negara, (Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia, tt), hal. 60; Ketetapan tersebut mengalami perubahan terakhir pada tahun 1998. Namun seiring dengan ketidaksesuaian naskah dan materi GBHN dengan kondisi masyarakat, maka dengan ditetapkannya Rencana Tap MPR Nomor …./MPR/1998 tentang pencabutan Tap MPR RI Nomor II/MPR/1998, maka GBHN secara resmi tidak dipergunakan lagi secara fungsional sebagai pemberi arah perjuangan bangsa dalam mewujudkan cita-citanya. Lih. www.mpr.go.id, diakses pada 30 Juli 2009. 71
ditangani secara benar. Kebijakan Soekarno itu tertuang dalam gagasannya tentang NASAKOM (Nasionalis, Agamis dan Komunis).72 Selain itu, gagasan ini disinyalir bentuk upaya untuk meredam gejolak politik tersebut. Dengan menampung ketiganya dalam satu payung, Soekarno mencoba mengendalikan tiga unsur politik ini. Namun, dengan adanya upaya ini maka implikasinya, ada muncul semacam pengkhianatan Soekarno terhadap Pancasila. Soekarno berselingkuh. Meskipun dalam Pancasila sendiri, unsur-unsur NASAKOM ini nampak jelas ada di dalamnya, tetapi dengan mengangkatnya dari sebuah substansi yang ada di dalam menjadi sebuah ideologi yang setara, maka pendua-an ini tidak terelakkan. Indonesia harus mengangkat Pancasila sekaligus menjunjung NASAKOM-isme. 73 Pada gilirannya, NASAKOM dapat kita pahami sebagai manifestasi politik Soekarno dalam menyokong ide demokrasi terpimpin yang ingin dilakoninya. Satu prinsip bernegara ia gunakan dalam bentuk mengorbankan Pancasila agar tercipta dunianya. Ia berusaha mengangkat citranya melalui slogan-slogan, kemakmuran, kesejahteraan, nasionalisme yang agamis. Tentunya, Soekarno tidak akan pernah mengatakan bahwa ada manipulasi politik di balik persoalan tersebut. Kondisi negara berkebalikan dengan slogan-slogan Soekarno yang pada waktu itu ia gembar-gemborkan seiring meredupnya kharisma dan kekuasaannya terhadap negara Indonesia. Hal ini ditandai dengan krisis lokal berupa inflasi keuangan
72
Pemahaman ini tertuang dalam ujarannya bahwa ‘Pancasila tidak merupakan sistem ideologi yang ketat dan monopolistis seperti umpamanya komunisme; ...waktu pancasila lahir dalam tahun 1945 komunisme tidak hadir dalam masyarakat kita’. Lih. Frederick, dkk (ed), Pemahaman Sejarah Indonesia…, hal. 81. 73 Rekaman pernyataan Soekarno itu berbunyi ‘….salah satu aspek daripada Pancasila alat pemersatu adalah Nasakon; barang siapa menolak Nasakom, berarti menolak Pancasila’ Lih. Frederick, dkk (ed), Pemahaman Sejarah Indonesia…, hal. 400.
negara sebesar 600%, yang memaksa era Soekarno berakhir. Peristiwa ini di tandai dengan penyerahan Supersemar, 11 Maret 1966.74 Di masa Orde Baru, Pancasila benar-benar mendapat tempat istimewa, di dalam diri bangsa Indonesia. Di setiap penjuru negeri, nama Pancasila selalu menggema. Di sekolah, di pasar, di rumah-rumah, dan terutama di instansi-instansi pemerintah. Dari besar kecil, tua-muda, semuanya harus berpaham Pancasilaisme. Hal ini diperdengungkan secara luas agar memunculkan stigma bahwa Orde Baru telah menempatkan Pancasila sebagai alat kepentingan politik penguasa, untuk melindungi sikap kediktatoran, termasuk “mematikan” lawan politiknya yang tidak sejalan dengannya.75 Lazim diketahui bahwa Pancasila sebagai falsafah negara yang paling asasi pada hakikatnya merupakan doktrin yang baik. Doktrin ini tidak hanya menawarkan “agama sipil” yang bersifat non-sekular, tetapi juga tidak bersifat sektarian sebagai alternatif dari terbentuknya negara Islam sebagaimana pemahaman Soekarno pada mulanya.76 Selama masa Orde Lama, Pancasila diterima oleh banyak muslim karena ia mewakili kompromi politik yang bukan saja dapat diterima tetapi juga diinginkan dibandingkan dengan alternatif yang diberikan. Ironinya, di bawah kekuasaan Soeharto, Pancasila digunakan untuk memaksakan hegemoni kekuasaan. Ide yang bertentangan dengan Pancasila atau sikap yang menyimpang dengan cepat akan dituduh sebagai anti-Pancasila. Dalam waktu yang tidak begitu lama, rezim baru ini menyebut pendekatan pemerintah dan
74
Frederick, dkk (ed), Pemahaman Sejarah Indonesia…, hal. 400. Bandingkan dengan Ricklefs, Sejarah Indonesia…., hal. 432-433. 75 Ricklefs, Sejarah Indonesia…., hal. 432. Dalam memperkuat ‘definisi diri’ agar terbebaskan dari pandangan anti-komunis, Orde Baru berusaha untuk tidak menentang kesalehan religius. Lih. Effendy, Islam dan Negara…., hal. 47. 76 Frederick, dkk (ed), Pemahaman Sejarah Indonesia…, hal. 400.
pemilu mereka sebagai Demokrasi Pancasila. Dalam pengambilan istilah ini dapat kita ambil kesimpulan bahwa Demokrasi Pancasila mewakili pendekatan yang secara khusus sesuai dengan nilai-nilai bangsa Indonesia.77 Pasca runtuhnya rezim otoritarianisme Orde Baru, gelombang “ketidakpercayaan” rakyat terhadap Pancasila sebagai dasar negara semakin menguat. Hal ini merupakan buah dari penggunaan Pancasila sebagai salah satu instrumen politik bagi legalisasi kekuasaan oleh penguasa Orde Baru. Implikasi ini berlanjut tatkala Pancasila sudah dianggap beku, kaku, dan tidak dapat dikaji kembali. Sebagai bentuk idealnya, penggunaan pendekatan dan penafsiran hermeneutis dan humanities terhadap Pancasila sebagai dasar negara seharusnya terus dikaji dan direlevansikan dengan semangat zamannya. Sebagai sebuah ideologi dan falsafah negara, Pancasila harus menjadikan spirit dan orientasi bangsa.78
77 Ricklefs mengakui bahwa penelusuran terhadap kejadian-kejadian perpolitikan Indonesia semenjak 1965 sangat sulit untuk dinilai dan peka untuk dibahas, sehingga dalam bukunya hanya memberi ulasan pendek pada bahasan Orde Baru. Ricklefs, Sejarah Indonesia…., hal. 432-438. 78 Abdul Karim, Menggali Muatan Pancasila dalam Perspektif Islam, (Yogyakarta: Surya Raya, 2004), hal. vii.
BAB IV ABDURRAHMAN WAHID DAN PANCASILA
C. Hubungan Islam dan Negara; Menolak Formalisasi Agama Munawir Sadzali membagi 3 (tiga) aliran pandangan mengenai relasi antara Islam dan Negara di kalangan pemikir muslim. Pertama, aliran yang berpendirian bahwa Islam bukanlah semata-mata agama dalam pengertian Barat, yakni hanya menyangkut hubungan antara manusia dengan Tuhan, sebaliknya Islam adalah agama yang sempurna dan lengkap dengan pengaturan bagi segala aspek kehidupan manusia termasuk kehidupan bernegara. Penganut pandangan ini pada umumnya berpendirian bahwa Islam adalah suatu agama yang serba lengkap, termasuk diatur di dalamnya adalah megnenai ketatanegaraan atau politik. Oleh karenanya dalam bernegara umat Islam hendaknya kembali kepada sistem ketatanegaraan Islam, dan tidak perlu meniru sistem ketatanegaraan Barat. Menurut pandangan pendapat ini, sistem ketatanegaraan atau politik Islami yang harus diteladani adalah sistem yang telah dilaksanakan oleh Nabi Muhammad SAW dan Al-Khulafa Al-Rasyidun. Tokoh-tokoh utama aliran ini adalah Hasan Al-Bana, Sayid Quthb, Muhammad Rasyid Ridlo dan Maulana A. A. AlMaududi.79 Kedua, aliran yang berpendirian bahwa Islam adalah agama dalam pengertian Barat, yang tidak ada hubungannya dengan urusan kenegaraan. Menurut aliran ini Nabi Muhammad SAW hanyalah seorang rasul biasa seperti halnya rasul-rasul sebelumnya, dengan tugas tunggal mengajak manusia kembali kepada kehidupan yang mulia dengan menjunjung tinggi budi pekerti yang luhur. Nabi tidak pernah bermaksud
79 Munawir Sadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia –UI Press, 1993), Cet. ke-5, hal. 1
mendirikan atau mengepalai suatu negara. Tokoh terkemuka aliran ini adalah Ali Abd al-Raziq dan Thaha Husein.80 Ketiga, alirang yang menolak pendapat bahwa Islam adalah suatu agama yang serba lengkap, yang di dalamnya terdapat sistem ketatanegaraan atau politik. Tapi, aliran ini juga menolak anggapan bahwa Islam adalah agama dalam pengertian Barat yang hanya mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhannya. Menurut aliran ini, Islam
tidak
menyediakan
seperangkat
sistem
ketatanegaraan,
tetapi
hanya
menyediakan seperangkat tata nilai bagi kehidupan bernegara. Tokoh terkemuka aliran ini adalah Muhammad Husein Haikal.81 Sedangkan, M. Syafi’i Anwar membagi paradigma pemikiran politik Islam yang berkembang di dunia menjadi 2 (dua); substantif-inklusif dan legal-eksklusif. Menurut M. Syafi’i Anwar, beberapa ciri menonjol dalam paradigma substantifinklusif adalah; pertama, adanya kepercayaan yang tinggi bahwa al-Qur’an sebagai kitab suci bersisikan aspek-aspek etik dan pedoman moral untuk kehidupan manusia, tetapi tidak menyediakan detil-detil pembahasan terhadap setiap obyek permasalahan kehidupan; kedua, misi utama Nabi SAW bukanlah untuk membangun kerajaan atau negara. Tetapi, sebagaimana halnya para nabi sebelumnya, mendakwahkan nilai-nilai Islam dan kebajikan. Dengan demikian, misi Nabi Muhammad tidak perlu diartikan sebagai langkah untuk membangun negara atau sistem pemerintahan tertentu; ketiga, syari’at tidak dibatasi atau terikat oleh negara; keempat, refleksi para pendukung paradigma substantif-inklusif dalam bidang politik pada dasarnya adalah melakukan upaya yang signifikan terhadap pemikiran dan orientasi politik yang menekankan kepada manifestasi substansial dari nilai-nilai Islam dalam aktivitas politik. Bukan saja
80
Sadzali, Islam dan Tata Negara..., hal. 1-2. Sadzali, Islam dan Tata Negara..., hal. 2.
81
dalam penampilan, tetapi juga dalam format pemikiran dan kelembagaan politik mereka.82 Adapun paradigma legal-eksklusif mempunyai ciri-ciri sebagai berikut; pertama, paradigma ini meyakini bahwa Islam bukan hanya agama, tetapi juga sebuah sistem hukum yang lengkap, sebuah ideologi universal dan sistem yang paling sempurna yang mampu memecahkan seluruh permasalahan kehidupan umat manusia. Islam adalah totalitas inetegratif dari agama (din), negara (daulah) dan dunia (dunya); kedua, dalam realitas politik, para pendukung paradigma ini mewajibkan kepada kaum muslimin untuk mendirikan negara Islam; ketiga, para pendukung paradigma ini meyakini bahwa syari’at harus menjadi fundamen dan jiwa dari agama, negara dan dunia tersebut; keempat, dalam konteks poltiik, paradigma ini menunjukkan perhatian terhadap suatu orientasi yang cenderung menopang bentuk-bentuk masyarakat politik Islam yang dibayangkan (imagined Islam polity) seperti mewujudkan suatu “sistem politik Islam,” munculnya partai Islam, ekspkresi simbolis dan idiom-idiom politik, kemasyarakatan, budaya Islam, serta eksperimentasi ketatanegaraan Islam.83 Berdasarkan pemetaan tipologi pemikiran tersebut, M. Syafi’i Anwar menempatkan Gus Dur dalam kelompok tipologi pertama, substantif-inklusif.84 Menurut Gus Dur, Islam sebagai jalan hidup (syari’ah) tidak memiliki konsep yang jelas tentang negara. Kesimpulan ini dikemukakannya setelah sepanjang hidupnya dirinya mencari dengan sia-sia makhluk yang bernama Negara Islam itu.85
82
M. Syafi’i Anwar, “Islamku, Islam Anda, Islam Kita; Membingkai Potert Pemikiran Politik KH. Abdurrahman Wahid”, Kata Pengantar dalam Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda, Islam Kita; Agama Masyarakat Negara Demokrasi, (Jakarta: The Wahid Institute, 2006), Cet. ke-2, hal. xviixix. 83 Anwar , “Islamku, Islam Anda…”, hal. xix-xx. 84 Anwar , “Islamku, Islam Anda…”, hal. xvii. 85 Wahid, “Negara Islam, Adakah Konsepnya?...”, hal. 81.
Jawaban Gus Dur tersebut didasarkan atas dua hal; pertama, Islam tidak mengenal pandangan yang jelas dan pasti mengenai pergantian pemimpin, dan; kedua, tidak ada kejelasan konsep Islam mengenai besarnya negara.86 Mengenai ketidakjelasan konsep pergantian pemimpin, menurut Gus Dur, hal ini didasarkan pada fakta sejarah ketidakjelasan konsep pergantian pemimpin dari Nabi Muhammad hingga Khulafa’ Rasyidun. Rasulullah digantikan oleh Abu Bakar melalui proses musyawarah dan akhirnya Abu Bakar semua sepakat untuk mengangkat Abu Bakar sebagai khalifah memalui Baiat/prasetia.Pergantian dari Abu Bakar kepada Umar ibn Khathab dilakukan melalui proses penunjukan langsung. Sebelum meninggal dunia, Abu Bakar menyatakan kepada kaum muslimin bahwa hendaknya Umar ibn Khathab nanti diangkat untuk menggantikan dirinya. Ketika Umar ditikam oleh Abu Lu’luah dan berada di akhir hidupnya, ia meminta agar
dibentuk sebuah dewan
pemilih (electoral college atau ahl al-halli wa al-‘aqd), yang beranggotakan tujuh orang. Dewan ini kemudian sepakat untuk menunjuk Utsman ibn ‘Affan sebagai khalifah pengganti Umar. Selanjutnya Utsman ibn ‘Affan digantikan oleh ‘Ali ibn Abi Thalib. Pada saat itu, Abu Sufyan tengah mempersiapkan anak-cucunya untuk mengisi jabatan sebagai pengganti Ali hingga akhirnya diterapkanlah sebuah sistem kerajaan dengan sebuah marga yang menurunkan calon-calon raja/sultan dalam Islam sampai dengan khilafah Utsmaniyyah yang, menurut Gus Dur, oleh para penganut “Islam Politik” dianggap sebagai prototype pemerintahan Islami dan harus diadopsi begitu saja sebagai sebuah “formulasi Islami”.87 Demikian juga dengan ketidakjelasan mengenai besarnya negara dalam Islam. Menurut Gus Dur, Nabi meninggalkan madinah tanpa ada kejelasan mengenai bentuk pemerintahan bagi kaum muslimin. Di masa Umar ibn Khathab, Islam adalah
86 87
Wahid, “Negara Islam, Adakah Konsepnya?..”, hal. 82-84. Wahid, “Negara Islam, Adakah Konsepnya?...”, hal. 82-83.
imperium dunia dari pantai Timur Atlantik hingga Asia Tenggara. Dalam hal ini, tidak ada kejelasan konsep, apakah negara Islam itu berukuran mendunia, sebuah bangsa saja (wawasan etnis), negara-bangsa (nation-statei) ataukah negara kota (city state). Dalam hal ini Gus Dur menganalogikannya dengan komunisme, manakah yang didahulukan antara sosialisasi sebuah negara-bangsa yang berideologi satu sebagai negara induk, ataukah menunggu sampai seluruh dunia di-Islam-kan baru kemudian dipikirkan bentuk negara dan ideologinya? Atau dengan kata lain, menurut Gus Dur, manakah yang didahulukan antara pendapat Joseph Stalin ataukah Leon Trotsky?88 Masalah ketidakjelasan konsep negara Islam tersebut, menurut Gus Dur, adalah sangat krusial karena mengemukakan gagasan negara Islam tanpa ada kejelasan konseptualnya berarti membiarkan gagasan tersebut tercabik-cabik karena perbedaan pandangan para pemimpin Islam sendiri. 89 Dalam hal ini, Gus Dur termasuk orang yang tidak setuju dengan ide pendirian sebuah negara yang didasarkan pada agama sebagai hukum formalnya. Menurut Gus Dur, agama tidak memiliki sangkut paut dengan masalah kenegaraan dengan asalan; pertama, dalam Al-Qur’an tidak ada doktrin yang jelas mengenai konsep negara; kedua, perilaku Nabi Muhammad SAW sendiri yang tidak memperlihatkan watak politik, tetapi moral; ketiga, Nabi tidak pernah merumuskan secara definitif mekanisme penggantian jabatannya.90 Dalam sebuah wawancara dengan Majalah Tempo, Gus Dur secara eksplisit mengatakan bahwa dalam Islam, negara itu adalah hukum, al-hukm, dan sama sekali tidak memiliki bentuk negara. Yang penting bagi Islam adalah etika kemasyarakatan dan komunitas. Hal ini penting karena Islam tidak mengenal konsep pemerintahan
88
Wahid, “Negara Islam, Adakah Konsepnya?...”, hal. 83. Wahid, “Negara Islam, Adakah Konsepnya?...”, hal. 84. 90 Listiyono Santoso, Teologi Politik Gus Dur, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Yogyakarta, 2004), hal. 89
227.
secara definitif. Ketidakjelasan masalah suksesi kepemimpinan sebagai sesuatu yang penting dalam pemerintahan tidak secara jelas disebut dalam Islam. Hal inilah yang mendasari gagasan Gus Dur untuk mengatakan bahwa Islam tidak ada kaitannya dengan negara.91 Meski demikian, bukan berarti Gus Dur menganggap bahwa Islam sama sekali tidak mempunyai andil dalam hal ketatanegaraan. Bagi Gus Dur, Islam memang tidak mengenal doktrin tentang negara, tetapi sebagai agama, Islam merupakan landasan keimanan warga masyarakat dan menjadi unsur motivatif yang memberikan warna spiritual kepada kegiatan mereka. Hal ini berarti bahwa ketidakterkaitannya agama atas negara bukan berarti landasan pelaksanaan negara boleh terlepas dari spirit agama yang memberikannya motivasi tersebut. Pemikiran ini memilik kecenderungan kepada sekularisasi politik yang lebih mengartikan adanya prinsip membedakan bukan memisahkan agama dengan politik.92 Lebih lanjut, Gus Dur mengatakan bahwa teoretisasi politik yang besar dalam Islam bukanlah mencari pola idealisasi bentuk kenegaraan yang “Islami”, melainkan justru menekankan penggunaan bentuk kenegaraan yang sudah ada. Ibn Abi Rubai, AlGhazali, Ibn Taimiyah, Ibn Khaldun dan lain-lain jelas-jelas menempuh perbaikan secara gradual terhadap konsep negara yang sudah ada tersebut. Hanya Al-Farabi yang mencoba menyusun sebuah utopia berjudul “Negara Utama” (Al-Madinah AlFadhilah). Kasus-kasus penyimpangan dalam sebuah negara yang sudah ada haruslah ditangani secara kasuistik, bukan dengan menolak kehadiran negara dan mengubah bentuk pemerintahannya.93 Islam, menurut Gus Dur, lebih mengutamakan fungsi negara dari pada bentuknya. Dalam hal ini Gus Dur mengutip kata “Daulah” dalam Al-Qur’an. Menurut 91
Santoso, Teologi Politik Gus Dur..., hal, 228. Santoso, Teologi Politik Gus Dur..., hal. 196. 93 Santoso, Teologi Politik Gus Dur..., hal, 228. 92
Gus Dur, tidak dikenal pengertian negara dari kata “Daulah” dalam Al-Qur’an. Kata tersebut justru mempunyai arti lain, yaitu “beredar” dan “berputar”. Menurut Gus Dur, Ini menunjukkan bahwa yang dianggap oleh al-Qur’an adalah sistem ekonomi sebuah negara, bukan bentuk negara itu sendiri. Melalui pembuktian tekstual ini, dapat disimpulkan bahwa Islam tidak begitu memandang penting bentuk atau konsep sebuah negara. Dalam hal ini, menurut Gus Dur, yang diutamakan adalah fungsi negara.
D. Pancasila Sebagai Dasar Negara; Tidak Bertentangan dengan Islam Di Indonesia, sebagaimana telah dijelaskan dalam Bab III, dinamika perdebatan hubungan antara Agama dan Negara tampak dominan dalam perpolitikan nasional sejak masa perumusan dasar negara Indonesia, sebelum akhirnya disahkannya Pancasila sebagai dasar Negara Indonesia Merdeka.94 Mengenai pandangan Gus Dur terhadap Pancasila sebagai dasar negara RI, sebagaimana dikutip Douglas E. Ramage, Gus Dur mengatakan bahwa tanpa Pancasila, negara RI tidak pernah ada. Lebih lanjut, Gus Dur mengatakan bahwa Pancasila adalah serangkaian prinsip-prinsip yang bersifat lestari. Ia memuat ide yang baik tentang hidup bernegara yang mutlak diperjuangkan. Gus Dur mengatakan bahwa dirinya akan mempertahankan Pancasila yang murni dengan jiwa-raganya, terlepas dari kenyataan bahwa Pancasila tidak jarang dikebiri atau dimanipulasi.95 Meski demikian, bukan berarti terdapat pertentangan antara Islam dengan Pancasila. Menurut Gus Dur, pola hubungan antara Pancasila dan Agama tidak boleh digambarkan sebagai pola yang bersifat polaritatif, melainkan dialogis yang sehat, yang berjalan terus-menerus secara dinamis. Sebagaimana dikutip Listiyono Santoso, Gus Dur mengatakan bahwa salah kalau Islam dan Pancasila dipertentangkan, karena 94
Lihat selengkapnya pada Bab III Douglas E. Ramage, “Pemahaman Abdirrahman Wahid tentang Pancasila dan Penerapannya dalam Era Paska Asas Tunggal”, dalam Ellyasa KH. Dharwis (Ed.), Gus Dur, NU dan Masyarakat Sipil, (Yogyakarta : LkiS, 1997), Cet. ke-2, hal. 101. 95
peranannya justru saling mengisi, mendukung dan menutup. Keabadian Islam mendapatkan jalur konkretisasinya melalui Pancasila, sedangkan kehadiran Pancasila itu sendiri bersumber juga pada ajaran agama. Dengan demikian, hubungan antara agama dan pemeluknya, menurut Gus Dur, tidak lantas terputus karena kehadiran Pancasila sebagai ideologi negara dan pandangan hidup bangsa. Justru pandangan hidup bangsa menentukan bahwa warga negara harus taat kepada agama dan kepercayaannya masing-masing.96 Dalam kata pengantar untuk buku karya Einar Martahan Sitompul, Abdurrahman Wahid mengemukakan bahwa Islam harus dipandang sebagai aqidah dan Pancasila sebagai asas, dan keduanya mempunyai hubungan yang saling mengisi dan kreatif, yang akan menyuburkan keduanya.97 Lebih detail mengenai Agama dan Pancasila, Abdurrahman Wahid menegaskan perlunya pembedaan di antara keduanya, yakni Islam sebagai agama dan Pancasila sebagai ideologi negara. Pancasila didudukkan menjadi landasan konstitusional dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sedangkan Islam menjadi aqidah dalam kehidupan kaum muslimin, dan bahwa antara ideologi sebagai landasan konstitusional tidak dipertentangkan dengan agama, tidak mencari penggantinya dan tidak diperlakukan sebagai agama. Agama (Islam) dan Pancasila, menurut Gus Dur, tidak boleh diidentikkan secara menyeluruh karena fungsi masing-masing yang berbeda. Pancasila berfungsi sebagai landasan hidup berbangsa dan bernegara. Dalam keadaan yang demikian, Pancasila haruslah mewadahi aspirasi agama dan menopang kedudukannya secara fungsional. Agama merupakan landasan keimanan warga masyarakat dan menjadi unsur motivatif, yang memberikan warna spiritual kepada kegiatan mereka. Agama 96
Listiyono Santoso, Teologi Politik Gus Dur..., hal. 253-255. Abdurrahman Wahid, “Kata Pengantar” dalam Einar Martahan Sitompul, NU dan Pancasila, (Jakarta: Sinar Harapan, 1996), hal. 12 97
menempatkan seluruh kegiatan masyarakat pada tingkat yang tidak sekadar bersifat insidental belaka. Dalam acuan paling dasar, menurut Gus Dur, Pancasila berfungsi sebagai pengatur hidup manusia sebagai sebuah kolektivitas yang disebut bangsa, sedangkan agama memberikan kepada kolektivitas tersebut tujuan kemasyarakatan (social purpose). Tanpa tujuan kemasyarakatan yang jelas dan nyata, hidup bangsa hanya
berputar-putar pada siklus pertentangan
antara
cita
pemikiran
dan
kecenderungan naluri alamiah belaka.98 Lebih lanjut, Listiyono Santoso mengatakan bahwa dalam pandangan Gus Dur hubungan antara Pancasila dan agama adalah bersifat simbiotik, yang satu tidak dapat hidup di Indonesia tanpa yang lain. Hubungan tersebut memunculkan Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa, bukan hanya sekadar ideologi negara. Dengan demikian, mempertentangkan Islam sebagai ajaran agama dengan Pancasila sebagai ideologi negara jelas tidak beralasan. Pancasila adalah konkretisasi ajaran agama dalam konteks kehidupan bernegara. Kenyataan bahwa masyarakat Indonesia tidak berdiri di atas satu agama atau golongan tertentu harus diterima secara tuntas. Untuk mengatur pola hubungan tersebut, para pendiri bangsa menghadirkan Pancasila.99 Gus Dur telah lama percaya bahwa Pancasila merupakan kompromi terbaik untuk memecahkan masalah-masalah sulit mengenai hubungan antara ”agama dan negara”. Sepanjang tahun 1970-an dan awal 1980-an ia menyatakan idenya dalam serangkaian tulisan pendek dan panjang dengan mengajukan argumentasi bahwa sebuah konstitusi yang secara formal menetapkan peran bagi Islam dalam negara akan membawa akibat tak menyenangkan bukan saja pada kaum non-muslimin tetapi juga pada kaum muslim sendiri yang tidak setuju dengan garis resmi keagamaan yang dibuat oleh negara. Gus Dur beralasan bahwa jika negara dilibatkan untuk menjadi juri
98 99
Santoso, Teologi Politik Gus Dur..., hal. 255-256. Santoso, Teologi Politik Gus Dur..., hal.. 256
bagi masalah-masalah agama, hasilnya akan selalu berupa penginjak-injakan kemerdekaan beragama banyak warga negara oleh negara. Oleh karena itu, lebih baik bagi negara untuk menjaga jarak dari masalah-masalah agama dan membiarkan organisasi-organisasi agama yang mengurus masalah mereka sendiri. Hal ini berarti bahwa menurut Pancasila negara tidaklah bersifat sektarian maupun sekular, dan oleh karena itu Pancasila merupakan kompromi yang terbaik.100 Ketidaksekuleran Pancasila itu dapat dilihat dari pernyataan Gus Dur, sebagaimana dikutip Douglas E. Ramage, sebagai berikut: “...Para penulis Saudi Arabia menganggap nasionalisme itu sebagai sekularisme. Mereka belum mengetahui adanya nasionalisme seperti di Indonesia yang tidak sekuler. Melainkan menghormati peranan agama.”101 Upaya mengganti Pancasila sebagai dasar negara dengan agama Islam, menurut Gus Dur, akan mengurangi kebesaran dan keluhuran nilai agama tersebut, karena yang demikian ini berarti mensejajarkan Islam dengan ideologi sekular lain. Lebih dari itu, upaya mengganti dasar negara adalah bentuk tidak adanya rasa hormat dan penghargaan terhadap perjuangan dan pemikiran para founding fathers serta ulama yang terlibat dalam merumuskan Pancasila dan dasar-dasar kehidupan bernegara. Hal ini didasarkan atas adagium yang sangat terkenal, “bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarah serta perjuangan para pahlawannya di masa lalu.’102 Pancasila melalui slogannya Bhineka Tuggal Ika, yang berarti berbeda-beda tetapi tetap satu jua, mengandung makna bahwa meskipun masyarakat Indonesia sangatlah plural baik dari segi agama, suku bangsa, bahasa dan sebagainya tetapi
100
Greg Borton, Biografi Gus Dur; The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid, penerj.: Lie Hua, (Jogjakarta; LKiS, 2004), Cet. ke-3, hal. 153-154. 101 Douglas E. Ramage, “Pemahaman Abdurrahman Wahid...”, dalam Ellyasa KH. Dharwis (Ed.), Gus Dur, NU dan Masyarakat Sipil..., hal. 105. 102 “Kebangkitan Nasional, Bangkit Dari Apa?”, diakses pada 7 Mei 2009 dari: http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2006/052006/20/1101.htm
mereka diikat dan disatukan oleh sebuah common platform (landasan hidup bersama) yakni Pancasila. Menurut Abdurrahman Wahid bangsa Indonesia harus tetap berpegang kepada Pancasila. Bagi Gus Dur, Pancasila merupakan syarat bagi demokratisasi dan perkembangan Islam spiritual yang sehat dalam konteks nasional. Pancasila adalah kompromi politik yang memungkinkan semua orang Indonesia hidup bersama-sama dalam sebuah kesatuan nasional. Pandangan seperti inilah yang menunjukkan bahwa dalam melihat negara itu harus didasarkan pada realitas obyektif, bukan sekedar idealisasi konseptual. Abdurrahman Wahid juga dengan penuh keyakinan beranggapan bahwa pemerintahan yang berideologi Pancasila termasuk dalam kategori “negara damai” (dar al-Sulh), sebuah konsepsi negara dalam visi Imam Syafi’i tentang tiga jenis negara, Dar al-Islam, Dar al-Harb, Dar al Sulh (negara Islam, negara perang, negara damai). Negara yang seperti ini harus dipertahankan, karena syariah dalam bentuk hukum agama (fiqh) atau etika masyarakat masih dilaksanakan oleh umat Islam di dalamnya, sekalipun hal itu diikuti dengan upaya legislasi dalam bentuk perundangundangan negara. Bila etika masyarakat Islam dijalankan maka, tidak ada alasan lain untuk umat Islam selain mempertahankannya sebagai kewajiban agama.103
103
Wahid, “Kata Pengantar”..., hal. 10.
BAB V PENUTUP
C. Kesimpulan Beberapa kesimpulan yang dapat penulis ambil dari ulasan dalam skripsi ini adalah sebagai berikut: Pertama, pandangan Gus Dur mengenai hubungan antara agama (Islam) dan Negara masuk dalam katagori paradigma substantif-inklusif. Secara garis besar, paradigma ini tidak menekankan formalisasi agama dalam sebuah institusi negara. Demikian juga dengan Gus Dur, Gus Dur lebih menekankan realisasi nilai-nilai agama (Islam) dalam sebuah institusi negara yang sudah ada tanpa harus menunggu dilembagakan/diformalkan sebab berdasarkan fakta sejarah Islam, Nabi tidak pernah menganjurkan untuk memformalkan agama Islam atau bahkan mendirikan negara agama Islam. Kedua, menurut Gus Dur, yang paling cocok dijadikan dasar bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Pancasila. Dus, tidak ada pertentangan dan tidak perlu dipertentangkan antara Agama (Islam) dengan Pancasila.
D. Saran-saran Berangkat dari dua kesimpulan di atas, maka penulis memberikan saran sebagai berikut: Pertama, sebagai insan yang mengaku sebagai bangsa Indonesia, patut dan wajib bagi kita untuk berusaha mengerti, memahami, menghayati dan bermuara pada pengamalan atas nama Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,
Kedua, sebagai tindak lanjutnya, perlu adanya kajian lebih mendalam terhadap interpretasi atas Pancasila sampai pada sila-persila dari tiap-tiap butir dalam lima asas dasar negara Indonesia. Hal ini dimaksudkan agar kita tidak memunculkan kesan melupakan, bahkan menghilangkan nilai kearifan dan kesantunan yang terkandung di dalamnya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdulgani, Roeslan, Resapkan dan Amalkan Pantjasila, Djakarta: BP Prapantja, tt. Ali, Fachri. Islam, Pancasila dan Pergulatan Politik, Jakarta: Pustaka Antara, 1984. Alfian, Politik: Kebudayaan dan Manusia Indonesia, Jakarta: LP3ES, 1980. Anderson, Benedict. Imagined Communities Komunitas-komunitas Terbayang, penerjemah Omi Intan Naomi, Yogyakarta: INSIST, 2001. Aryoso, Amin, Pantja-Sila Dasar Falsafah Negara, Jakarta: PNP LPS, 2000. Bahar, Ahmad, Biografi Kiai Politik Abdurrahman Wahid Gagasan dan Pemikiran, Jakarta: Bina Utama, 1999. Barton, Greg. Biografi Gus Dur; The Authorized Biografi of Abdurrahman Wahid, penerjemah Lie Hua. Yogyakarta: LKiS, 2004. Benda, Harry J., The Crescent and The Rising Sun; Indonesian Islam Under the Japanese Occupation 1942-1945, The Hague and Bandung: V. Hoeve, 1958. Dahm, Bernhard, Sukarno dan Perjuangan Kemerdekaan, alih bahasa; Hasan Basari, Jakarta: LP3ES, 1987. Dharwis, Ellyasa KH (ed), Gus Dur, NU dan Masyarakat Sipil, Yogyakarta: LKiS, 1994. Effendi, Bahtiar, Islam dan Negara; Transformasi Pemikiran dan Politik Islam di Indonesia, Jakarta: Paramadina, 1998. Fâdanî, Muhammad Yâsin ibn ‘Îsâ al-, al-Fawâidu al-Janiyyah; Libanon: Dâr al-Fikr, 1997. Greertz, Clifford, Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa, Alih bahasa; Aswab Mahasin, Jakarta: Pustaka Jaya, 1989. Hadrianto, Budi, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia Pengusung Ide Sekulerisme, Pluralisme, dan Liberalisme Agama, Jakarta: Hujjah Press, 2007. Muhammad Hatta, Pengertian Pancasila, Jakarta: tp, 1989. Karim, Abdul, Menggali Muatan Pancasila dalam Perspektif Islam, Yogyakarta: Surya Raya, 2004.
Kartodirdjo, Sartono, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah, Jakarta: Gramedia, 1992.
Maarif, Ahmad Syafi’i, Islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara; Studi Tentang Perdebatan dalam Konstituante, Jakarta: LP3ES, 2006. Madjid, Nurcholish, Indonesia Kita, Jakarta: Universitas Paramadina, 2004. Moh. Nazir, Metode Penelitian, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003. Mulkhan, Abdul Munir, Runtuhnya Mitos Politik Santri, Yogyakata: SIPPRESS, 1992. Noer, Deliar, Islam, Pancasila dan Asas Tunggal. Jakarta: Yayasan Pengkidmatan, 1983. Qamar, Mujamil, NU Liberal dari Tradisionalisme ke Universalisme Islam, Bandung: Mizan, 2002. Ridwan, M. Deden (Ed.), Tradisi Baru Penelitian Agama Islam: Tinjauan Antardisiplin Ilmu, Bandung: Yayasan Nuansa Cendikia, 2001. Sadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia–UI Press, 1993. Cet. ke-5. Santoso, Listiyono, Teologi Politik Gus Dur, Yogyakarta: Ar-Ruzz Yogyakarta, 2004. Sitompul, Einar Martahan. NU dan Pancasila. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996. Suaedy, Ahmad dan Ulil Abshar Abdallah (ed), Gila Gus Dur: Wacana Pembaca Abdurrahman Wahid. Yogyakarta: LKiS, 2000. Syamsudin, Din, Islam dan Politik Era Orde Baru, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001. Tim INCReS, Beyond The Symbols, Jejak Antropologis Pemikiran dan Gerakan Gus Dur, Bandung: INCReS dan Remaja Rosdakarya, 2000. UUD 1945 dan Amandemennya, Yogyakarta: Eka Lestari Press, 2005, Cet. ke-2. UUD 1945, Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila, Garis-garis besar Haluan Negara, Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia, tt. Wahid, Abdurrahman, Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman; Kumpulan Pemikiran K.H. Abdurrahman Wahid Presiden ke-4 Republik Indonesia, Jakarta: Harian Kompas: 1999. --------- (ed), Ilusi Negara Islam; Ekspansi Gerakan Islam Transnasional Indonesia, Jakarta: The Wahid Institute, 2009. ---------, Islamku, Islam Anda, Islam Kita, Agama Masyarakat Negara Demokrasi, Jakarta: The Wahid Institute, 2006.
---------, Kumpulan Kolom dan Artikel Abdurrahman Wahid selama Era Lengser, Yogyakarta: LKiS, 2002. ---------, Membangun Demokrasi, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999. ---------, Pergulatan Negara, Agama dan Kebudayaan, Depok: Desantara, 2001.
Website http://www.e-dukasi.net http://www.nu.or.id http://hima-cita.co.cc http://www.pikiran-rakyat.com http://www.mpr.go.id