PANDANGAN ABDURRAHMAN WAHID TERHADAP KONFLIK PALESTINA-ISRAEL Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Humaniora (S.Hum.)
Oleh
Johan Wahyudhi NIM:107022000397
PROGRAM STUDI SEJARAH PERADABAN ISLAM FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1431 H./2011 M.
i
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua Sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya yang asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Depok, 4 Maret 2011
Johan Wahyudhi
ii
PANDANGAN ABDURRAHMAN WAHID TERHADAP KONFLIK PALESTINA-ISRAEL Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Humaniora (S.Hum.)
Oleh Johan Wahyudhi NIM: 107022000397
Pembimbing
Dr.H. Abdul Chaer, M.A. NIP: 19541231 198303 1 030
PROGRAM STUDI SEJARAH PERADABAN ISLAM FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1431 H/2011 M
iii
Pedoman Transliterasi Huruf Arab
ا ب ت ث ج ح خ د ذ ر ز س ش ص ض ط ظ ع غ ف ق ك ل م ن و ه ء ي
Huruf Latin
Keterangan Tidak dilambangkan Be Te te dan es Je h dengan garis bawah ka dan ha De de dan zet Er Zet Es es dan ye es dengan garis di bawah de dengan garis di bawah te dengan garis di bawah zet dengan garis di bawah koma terbalik di atas hadap kanan ge dan ha Ef Ki Ka El Em En We Ha Apostrof Ye
b t ts j h kh d dz r Z S Sy S D T Z ‘ Gh F Q K L M N W H ׳
Y
iv
ABSTRAK Johan Wahyudhi Pandangan Abdurrahman Wahid terhadap Konflik Palestina-Israel Konflik Palestina-Israel merupakan puncak gunung es dari ketegangan di Timur Tengah. Hampir setiap pergolakan di wilayah ini, erat kaitannya dengan dua negara yang sedang berseteru tersebut. Pengaruh ataupun dampak dari konflik tersebut, agaknya tidak hanya dirasakan oleh wilayah regional Arab an sich, tetapi juga telah menyita perhatian dunia. PBB yang merupakan organisasi yang manaungi negara-negara dunia pun, sampai detik ini, masih belum bisa merumuskan sebuah kesepakatan mengikat guna mengakhiri krisis ini. Jika sudah membincangkan konflik di atas, akan lebih menarik kiranya untuk memilah para aktor utama yang memainkan kartu di Timur Tengah. Pada tataran demikian, akan terdeteksi tiga jenis kelompok yang terkait dengan dinamika prahara tersebut. Dari kubu pro-Israel, maka akan muncul nama-nama seperti Inggris dan Amerika Serikat sebagai negara yang turut andil besar dalam membantu Israel mewujudkan satu negara yang telah menjadi impiannya sejak lama. Selain kedua negara tersebut, peran negara Arab lainnya merupakan sebuah fenomena tersendiri. Sebagian dari mereka ada yang menyerukan kepada Israel untuk menarik mundur pasukannya dari tanah Palestina, namun sebagian yang lain justru terlibat dalam “politik tarik-ulur”, kebijakan mereka dalam melihat Palestina dipenuhi dengan banyak pertimbangan, contohnya Mesir. Organisasi-organisasi regional dan yang berbasiskan Islam, pun tidak ketinggalan kontribusnya. Liga Arab dan OKI merupakan organisasi yang banyak mencurahkan perhatiannya pada pembebasan rakyat Palestina. Bahkan, yang disebutkan terakhir, terbentuk untuk merespon represifitas Israel atas Palestina. Mereka saling bahu-membahu untuk menciptakan kondisi Palestina yang lebih baik. Tidak jarang, mereka mengutuk keras perilaku despotik Israel. Namun, di era kekinian, tensi perjuangan mereka acapkali berada pada titik nadir. Yang muncul ke permukaan hanya sebatas pada kecaman dan kemarahan di atas kertas, tanpa ada upaya yang lebih nyata menghentikan konflik tersebut. Konflik kemanusiaan tersebut, mengundang banyak perhatian intelektual muslim, tidak terkecuali di tanah air. Abdurrahman Wahid, merupakan tokoh nasional yang banyak mengikuti perkembangan konflik yang berkepanjangan tersebut. bagi Abdurrahman Wahid, bagaimanapun harus ada kerelaan di antara keduanya untuk hidup berdampingan dalam kubah filantropis. Pandangan mainstream kaum muslim, yang menganggap perdamaian merupakan hal yang tabu, dibantah dengan tegas oleh Abdurrahman Wahid. Upaya menerima perdamaian adalah langkah konkret untuk menyelesaikan masalah tersebut.
v
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah, berkat emanasi dan iluminasi dari Allah Swt, penulis dapat merampungkan sebuah karya yang sederhana ini. Peluh, penat, dan segala macam ujian diri dapat penulis atasi guna menegakkan komitmen akademik seorang pencari ilmu, yakni menelurkan sebuah asa guna membakukan ide-ide dalam bentuk tulisan seperti ini. Bait ucapan terima kasih penulis haturkan pada jajaran staf fakultas Adab dan Humaniora, khususnya Bapak Dekan Adab, Dr. H. Abd. Wahid Hasyim, MA, dan Bapak Kepala Jurusan Drs. H. M. Maruf Misbah, MA, yang melayani urusan birokrasi kampus, hingga karya ini legal secara hukum. Tidak ketinggalan penulis haturkan banyak terima kasih untuk pembimbing skripsi, Dr. H. Abdul Chaer. MA. yang telah merelakan sedikit waktu untuk memeriksa dan memberikan saran terhadap tulisan ini dan karangan bunga terimakasih juga penulis haturkan bagi para dosen yang telah memberikan ilmu yang bermanfaat. Terimakasih pula, kepada jajaran staf perpustakaan umum UIN Syahid dan perpustakaan Adab atas penyediaan data-data sumber penulisan. Juga bagi perpustakaan gedung PBNU, khususnya bagi Pak Syatiri yang melayani penulis berburu sumber dan jajaran staf perpustakaan The Wahid Institute, yang menyediakan sumber-sumber tertulis yang terbilang langka. Tidak tertinggal, ucapan terimakasih, penulis tujukan bagi “Guru Pencerahan” yang membuka pikiran dan hati penulis, Zuhairi Misrawi, Karena
vi
beliaulah, penulis dapat melapangkan pena ini untuk menulis setiap perubahan peradaban. Ucapan tak terkira, penulis tujukkan pada segenap Keluarga Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Komisariat Fakultas Adab (PMII KOMFAKA) dan PMII Cabang Ciputat, yang memberikan sokongan tak terkira, tidak saja di sejak penulisan karya ini, tetapi sejak penulis menginjakkan kaki di “Kampus Pesantren” ini. bagi Aam, trimakasih secara khusus. Di situlah penulis mendapatkan sahabat, menimba pahit getir perjalanan seorang mahasiswa. Terakhir, untuk kedua orang tuaku tercinta, Bpk. Wijianto dan Ny. Harnanik, yang telah mengasuh penulis dari kecil hingga dewasa, Allahumma irham huma kamaa rabbayani saghiraa. Pada kesempatan ini, penulis juga melayangkan ucapan terimakasih untuk sahabat-sahabat di Jurusan Sejarah Peradaban Islam. Semoga dijurusan ini, kita mendapat kearifan untuk memintal benang-benang pengabdian bagi keluarga, lingkungan, dan negara. Serta bagi segenap kerabat dan kolega penulis yang membantu baik langsung, maupun tidak langsung, semoga Tuhan melapangkang rezeki kalian Amin.
Jakarta, 19 Juni 2011
Penulis
vii
DAFTAR ISI ABSTRAK ........................................................................................................
v
KATA PENGATAR .........................................................................................
vi
DAFTAR ISI ..................................................................................................... vii
BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah .............................................................
1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ........................................ 10 C. Tujuan dan Kegunaan Penulisan ................................................ 11 D. Metodologi Penelitian ................................................................ 12 E. Tinjauan Pustaka ........................................................................ 14 F. Sistematika Penulisan ................................................................. 16
BAB II
SEJARAH KONFLIK PALESTINA-ISRAEL A. Latar belakang terjadinya Konflik Palestina-Israel .................... 17 B. Peristiwa-peristiwa penting seputar konflik Palestina-Israel ..... 25 1. Konferensi Zionis Dunia ....................................................... 25 2. Perang 1948 .......................................................................... 26 3. Agresi 1956 ........................................................................... 29 4. Perang 1967 .......................................................................... 31 5. Perang 1973 .......................................................................... 32 6. Pseudo-Perdamaian Palestina-Israel ..................................... 33 C. Tokoh-tokoh yang terlibat ......................................................... 35
viii
1. Theodore Herzl ..................................................................... 35 2. David Ben-Gurion................................................................. 37 3. Anwar Sadat .......................................................................... 39 4. Menachem Begin .................................................................. 42 5. Shimon Peres ........................................................................ 43 6. Benjamin Netanyahu............................................................. 46 7. Yasser Arafat ........................................................................ 48 D. Hakekat Konflik Palestina-Israel ............................................... 49
BAB III
BIOGRAFI INTELEKTUAL ABDURRAHMAN WAHID A. Riwayat Hidup ........................................................................... 57 1. Masa Kecil ............................................................................ 58 2. Dari sepak Bola Sampai Wayang ......................................... 64 3. Menapaki Timur Tengah dan Eropa ..................................... 68 4. Kembali Ke Tanah Air .......................................................... 75 B. Karir Abdurrahman Wahid ........................................................ 77 1. Juru Kampanye PPP.............................................................. 79 2. NU Menerima Pancasila ....................................................... 80 3. Gus Dur Di Puncak NU ........................................................ 83 4. Kontroversi yang Menyejarah .............................................. 87 5. Gus Dur dan ICMI ................................................................ 91 6. Gus Dur Menjadi Presiden .................................................... 93 C. Pemikiran Abdurrahman Wahid tentang Perdamaian ................ 97 1. Menyemarakkan Pluralisme ................................................. 97 2. Meretas Dialog Dengan Israel .............................................. 105
ix
BAB IV
PANDANGAN ABDURRAHMAN WAHID TERHADAP KONFLIK PALESTINA-ISRAEL A. Abdurrahman Wahid dan Yahudi .............................................. 110 B. Abdurrahman Wahid dan Palestina ............................................ 115 C. Jalan Non-Konfrontatif sebagai Solusi ..................................... 120
BAB V
PENUTUP Kesimpulan ...................................................................................... 124
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 126
x
PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul”Pandangan Abdurrahman Wahid Terhadap Konflik Palestina-Israel” telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada Jumat, 17 Juni 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Humaniora (S.Hum) pada Program Studi Sejarah Peradaban Islam. Jakarta, 17 Juni 2011 Sidang Munaqasyah Ketua Panitia
Sekretaris
Drs.M. Ma’ruf Misbah, M. Ag.
Sholikatus Sa’diyah, M.pd.
NIP:195912221991031003
NIP: 197504172005012007
Anggota: Pembimbing
Penguji I
Dr.H. Abdul Chaer, MA.
Dra. Hj. Tati Hartimah, MA.
NIP: 195412311983031030
NIP: 195507311989032001
Penguji II
Dr. H. M. Muslih Idris, Lc, MA. NIP: 195209031986031001
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Konflik Palestina-Israel merupakan konfrontasi dua bangsa yang urung berakhir. Berbagai rekonsiliasi yang kerapkali diselenggarakan untuk mengakhiri ketegangan antar dua negara tersebut, acapkali berakhir dengan persetujuan semu. Konflik tersebut merupakan puncak gunung es yang berasal dari aliran peristiwaperistiwa yang menyertainya. Konflik ini mempunyai daya jelajah yang luas di tataran perdebatan para akademisi dan politisi. Dalam menelaah konflik skala global ini, tentu tidak bisa mangalihkan perhatian dari Israel sebagai pihak pendatang di tanah Palestina. Ambisi kaum terpelajar Yahudi untuk mendirikan satu negara Yahudi Raya tertuang dalam hasil Kongres Yahudi perdana di Basel, Swiss, 1897. Theodore Herzl (1860-1904), yang saat itu menjadi pemimpin Organisasi Zionis Dunia, lewat bukunya “Negara Yahudi” (Der Judenstaat) menyerukan untuk pembentukan negara bagi umat Yahudi1. Sebenarnya, aktor dibalik konflik kemanusiaan tersebut, tidak hanya melibatkan dua negara yang bertikai (Palestina-Israel), tetapi dibalik kedua negara tersebut, tercatat beberapa negara-negara besar yang ikut serta yang membidani ataupun turut membantu pecahnya perang yang menelan jutaan nyawa manusia itu. Aktor intelektual yang berdiri dibelakang mereka inilah yang sejatinya
1
R. Garaudy. Zionisme; Sebuah Gerakan Keagamaan dan Politik, (Jakarta: Gema Insani Press, 1988), h 21.
1
2
memainkan peranan vital yang menciptakan ketegangan di kawasan Timur Tengah. Sejarah tidak pernah terlepas dari manusia sebagai subyek pelakunya. Para aktor tersebut, kerapkali memainkan peran yang jelas-jelas memihak pada satu golongan, ada pula yang berposisi seolah-olah sebagai penengah, tetapi ujungujungnya memihak pada satu kepentingan, namun ada pula pihak yang terkesan abai. Faksi-faksi tersebut memiliki beragam kepentingan, mulai dari yang bersifat ideologis, politik, maupun ekonomi. Jika sudah membicarakan tokoh utama yang ikut membantu pembentukan negara Israel, maka pandangan kita akan tertuju pada Inggris. Negara ini merupakan “ayah” dari berdirinya negara kaum Yahudi.
Keseriusan Inggris
dalam membidani berdirinya Israel, tertuang dalam deklarasi Balfour tahun 1917. Menteri Luar Negeri Inggris, Arthur Balfour memberikan isyarat kepada seorang Zionis kaya dan berpengaruh, Lord Rothscild, bahwa
Pemerintah Inggris
mendukung terbentuknya sebuah homeland bagi Yahudi di Palestina. Dari sinilah kemudian persoalan bermula dan berlangsung hingga sekarang2. Amerika Serikat
(AS), merupakan salah satu pemain utama dalam
membincangkan konflik tersebut. Posisinya terlihat bias, namun dibalik itu sangat kentara menyiratkan dukungannya kepada Israel. Masalah Israel-Palestina merupakan pekerjaan pokok yang harus diemban oleh seorang presiden AS3. Tentu saja, dalam melayangkan satu sikap terhadap konflik tersebut, AS selalu menitikberatkan sudut pandangnya kepada Israel. Kedudukan Amerika Serikat
2
Trias Kuncahyono. Jerusalem: Kesucian, Konflik, dan Pengadilan Akhir, (Jakarta: Kompas, 2009),hal 160-161. 3 M. Hamdan Basyar ed, Problematika Minoritas Muslim di Israel, (Jakarta: Pusat Penelitian Politik-LIPI,2002),hal 79.
3
sebagai salah satu “polisi internasional” memungkinkan
negara ini untuk
berperan dalam menentukan upaya penyelesaian konflik menyejarah tersebut. Riza Sihbudi mengatakan sebenarnya terdapat dua kecenderungan pemerintahan AS dalam melihat permasalahan Palestina-Israel. Pertama, aliran yang membela apa yang disebut sebagai doktrin “Israel-first”. Kedua, aliran yang menghendaki agar AS bersikap “lebih adil” di Timur Tengah. Namun, sampai saat ini golongan yang mengaut “Israel first”, lebih mendominasi dalam proses pembuatan kebijakan di AS. Hal ini disebabkan karena doktrin ini didukung sepenuhnya oleh sebuah aliansi kekuatan politik yang sangat kuat dan yang sangat kuat dan yang secara efektif mampu memobilisir kepentingan maupun sentimen pro-Israel4. Dua negara di atas berperan penting dalam menjaga eksistensi Israel dimata dunia. Inggris mempunyai andil besar dalam pendiriannya, sedangkan AS yang merupakan salah satu negara adidaya, selalu berdiri di pihak Israel, terutama ketika sudah bersinggungan dengan negara-negara Arab lainnya, AS akan selalu tampil membela Israel. Selain kedua negara di atas yang jelas-jelas membela Israel, menarik kiranya jika kita melihat peran PBB (Perserikatan Bangsa-bangsa) dalam menciptakan perdamaian di tengah dua bangsa yang bertikai tersebut. Majelis umum PBB dalam beberapa resolusinya sangat keras mengkritik Israel atas pendudukan tanah palestina. Hal ini bisa disimak dalam resolusi yang diterbitkan pada tanggal 4 Juli 1967 mengenai pencaplokan wilayah Jerusalem yang mengatakan bahwa langkah-langkah Israel mengenai penganeksasian wilayah-
4
Basyar, Minoritas Muslim Israel,h. 79.
4
wilayah Arab Jerusalem adalah tidak sah. Dalam resolusi tersebut, PBB menyerukan kepada Israel untuk menghentikan semua langkah yang sudah diambil dan dengan segera menghentikan setiap tindakan yang akan mengubah status Jerusalem. Selain itu menaggapi krisis 1967, PBB menerbitkan resolusi nomor 242 pada 22 November 1967 yang menyeru Israel untuk menarik wilayah-wilayah yang telah diduduki dan penegasan untuk mengakhiri perang. Selain itu, PBB juga menghimbau untuk mengakhiri klaim-klaim sepihak bangsa Israel serta menjunjung tinggi integritas wilayah dan politik aman di wilayah perbatasan yang diakui, yang bebas dari ancaman maupun pengerahan kekuatan5. Masyarakat dunia telah mengakui, peran PBB yang paling utama adalah menjaga perdamain dan stabilitas di dunia, namun, dalam kaitannya dengan krisis Timur Tengah, PBB seringkali menjadi tukangan bagi kepentingan negara adidaya, terutama AS. Peran mediatif dalam penyelesaian konflik internasional tersebut, kerapkali ditukangi oleh invisible hand para penguasa dunia. Badan dunia tersebut seperti menutup mata terhadap pelanggaran HAM yang dilakukan Israel (terhadap warga Arab/Palestina baik yang tinggal di dalam wilayah negara Israel maupun di Gaza dan Tepi Barat). Sejumlah resolusi yang dikeluarkan PBB, seringkali tidak pernah sedikit pun digubris Israel. Hal ini sangat erat hubungannya dengan harmonisnya kerjasama Israel-AS, yang tentu saja implikasinya berdampak ke kebijakan PBB. Untuk menghadapi Israel dengan para sekutunya, Palestina pun memilki jejaring kuat dengan negara-negara Arab yang dalam beberapa pertempuran
5
Trias Kuncahyono, Jerusalem, hal 295
5
menyumbangkan kontribusi yang besar. Di antara negara Arab yang mempunyai jalinan kuat dengan perjuangan rakyat Palestina adalah Mesir. Mesir sejak era pemerintahan Gamal Abdul Nasser hingga Hosni Mubarok mempunyai posisi yang berpengaruh dalam gugusan perpolitikan Timur-Tengah. Varian perjuangan Gamal Abdul Nasser yang cenderung sosialis pro-Soviet, sangat berbeda dengan langgam politik Anwar Sadat dan Hosni Mubarok yang lebih moderat dan terkesan mengambil jalan tengah untuk menyelesaikan silang sengketa perebutan wilayah Palestina Gamal Abdul Nasser mempunyai cita politik konfrontatif dalam menghadapi Israel. Kesungguhan Nasser dalam memperjuangkan nasib bangsa Palestina dibuktikan ketika Perang Terusan Suez. Sembilan tahun setelah memenangkan pertempuran pertama melawan pasukan Palestina dan Arab, Israel bekerjasama dengan Perancis dan Inggris untuk mengalahkan pasukan Mesir dalam perang Suez Oktober-November 1956, yang berakhir dengan pendudukan tentara Israel atas Sinai dan Gaza. Salah satu alasan terjadinya perang ini adalah nasionalisasi Terusan Suez (26 juli 1959) oleh Revolusi Opsir Bebas yang berlangsung selama empat tahun, dan meruntuhkan monarki di Mesir. Tokoh utama revolusi di Mesir ini adalah Gamal Abdel Nasser, yang menjadi Presiden Mesir pada 1954 dan yang kemudian menjadi pemimpin nasionalisme Arab modern hingga kematiannya pada 1970. Ironisnya, kekalahan militer Nasser pada perang 1956 justru memperkuat kedudukannya secara politis dan moral karena tentara pendudukan Israel diperintahkan oleh PBB untuk meninggalkan Sinai, terutama berkat peran aktif AS dan Uni Soviet. Karena Dunia Arab mengungkapkan solidaritas yang kuat dengan Mesir, Nasser
6
memanfaatkan krisis ini untuk menghimpun bangsa Arab dan dunia Muslim dalam perjuangannya menentang imperialisme dan Zionisme. Berbeda dengan Nasser, Anwar Sadat mempunyai kebijakan yang lebih terbuka dalam menangani krisis Timur Tengah. Kunjungannya ke Israel pada 1977, menandakan suatu era baru prospek perdamaian antara Palestina dan Israel. Dalam Knesset (parlemen Israel) menyerukan untuk senantiasa menggunakan cara-cara yang lebih teduh dalam menciptakan kekondusifan antara bangsa Arab dan bangsa Yahudi. Komitmen perdamaian Sadat dikristalisasikan lewat ikut sertanya Mesir dalam perundingan Camp David tahun 17 September 1978, dimana dua pihak yang
sebelumnya
mediatornya,
terlibat
menandatangai
konflik
(Mesir-Israel)
sejumlah
naskah.
ditambah Naskah
AS
sebagai
perjanjian
itu
ditandatangani oleh Presiden Mesir Anwar Sadat dan Perdana Menteri Israel Menachem Begin, disaksikan oleh Presiden AS Jimmy Carter. Ada dua naskah lagi yang ditandatangani dalam perjanjian itu, yakni A Framework for Peace in The Middle East dan A Framework for the Conclusion of a Peace Treaty between Egypt and Israel. Sebagai bagian dari perjanjian itu Israel menarik mundur pasukannya dari Gurun Sinai secara bertahap dan menyerahkan seluruh wilayah yang direbut dalam perang tahun 1767 itu kepada Mesir pada tanggal 25 April 1982. Selain Mesir, Organisasi Konferensi Islam(OKI) dan Liga Arab yang merupakan wadah solidaritas negara-negara Arab, juga turut serta dalam membela penderitaan rakyat Palestina. Terbentuknya OKI pada 1971 sendiri, merupakan respon atas terjadinya konflik Arab-Israel, khususnya perang 1967 yang
7
mengakibatkan jatuhnya Al-Quds, Jerusalem ke tangan Israel. Komite Al-Quds menjadi salah satu organ penting di tubuh OKI. Begitu pula halnya dengan Liga Arab. Organisasi yang dibentuk pada 22 Maret 1945 ini, menolak pembentukan negara Israel. Namun, sejak 1989, sikap ini mulai berubah. Perubahan ini antara lain disebabkan karena diterimanya kembali Mesir-yang sempat dikeluarkan karena berdamai dengan Israel-ke dalam Liga Arab; serta kembalinya Mesir dalam memainkan peranan yang penting di dunia Arab. Di samping itu juga karena terjadinya peta politik dunia internasional, yaitu dengan runtuhnya Uni Soviet yang berakibat pada lemahnya posisi negara-negara Arab “garis keras” di satu sisi, dan menguatmya negara-negara Arab “moderat” (pro-Barat) di sisi lain6. Menurut Samuel P Huntington, dalam bukunya The Clash of Civilization and The Remaking of The World Order, dalam tubuh negara-negara Arab sendiri, terdapat berbagai macam faksi yang kontra-akomodatif. Mesir mendominasi kebijakan Liga Arab. Arab Saudi yang berseberangan dengan Mesir, menggunakan posisi strategisnya di OKI demi memuaskan hasrat berpolitiknya. Bahkan, muncul organisasi Arab baru yang bernama Popular Arab and Islamic Conference (PAIC), yang didirikan oleh pemimpin Sudan, Hasan Turabi.7 Hal tersebut, semakin membalkanisasi kekuatan Arab yang sejatinya dapat dipersatukan, utamanya dalam menghadapi gempuran kebijakan Barat pro-Israel. Selain melihat peran negara-negara besar barat, Mesir, dan organisasi regional Arab, kurang lengkap kiranya jika tidak melihat kontribusi organisasi domestik perjuangan Palestina sendiri. Dari sekian banyak perkumpulan, serikat, 6
Basyar, Minoritas Muslim Israel, h 84. Samuel P. Huntington, The Clash of Civilization and The Remaking of The World Order (New York; Touchstone, 1997), h. 180. 7
8
dan komite pembebasan Palestina, terdapat dua nama yang menjadi “garda terdepan” , yakni PLO dan HAMAS. PLO (Palestine Liberation Organization) adalah organisasi gabungan dari beberapa faksi perjuangan rakyat Paletina. Pada umumnya, organisasi yang tergabung di bawah payung PLO, adalah mereka yang berhaluan nasionalis, sosialis, bahkan komunis. Fatah yang didirikan oleh Yasser Arafat merupakan organisasi yang paling dominan dalam tubuh PLO. Dalam piagamnya disebutkan bahwa PLO menghendaki bangsa Palestina menentukan sendiri nasibnya, tidak oleh bangsa lain seperti sebelumnya. Inilah yang menjadi tujuan didirikannya PLO. Sekalipun piagam tersebut baru dirumuskan pada tahun 1968 setelah PLO secara resmi memegang kendali atas Palestina dari tangan bangsa Arab8. Dalam melancarkan perjuangan pembebasan rakyat Palestina dari dominasi Israel, PLO lebih mengedepankan cara-cara yang diplomatis. Kebijakankebijakan yang mereka tetapkan kerapkali berseberangan dengan sebagian golongan lain, terutama dari kalangan yang metode perjuangannya menerapkan jihad fisik melawan Yahudi.
Sebagian kaum muslim menganggap, pola
perjuangan PLO mengarah pada sikap-sikap yang longgar terhadap Isarel. Faktor inilah yang menyebabkan beberapa organisasi perjuangan lainnya lebih memilih jalur bawah tanah dan menyatakan perang langsung kepada Israe9l. Salah satu organisasi yang paling berpengaruh dalam melancarkan aksi bawah tanahnya, adalah HAMAS. Sebelum tahun 1987, organisasi ini merupakan Ikhwanul Muslimin sayap Palestina. Berbeda dengan PLO yang mengutamakan cara-cara kooperatif dengan Israel, HAMAS lebih memilih jalur peperangan 8 9
Tiar Anwar Bachtiar,Hamas; Kenapa Dibenci Israel,(Bandung: Hikmah, 2009), h. 67. Tiar, Hamas..,h.69
9
melawan Israel. Walaupun senjata mereka sangat minim, tidak lantas mengendurkan semangat para laskar HAMAS, bahkan tidak jarang mereka melempari tentara Israel yang mempunyai senjata lengkap dengan batu-batu kerikil. Konflik yang menjadi pusat bara di Timur Tengah ini, menuai banyak pendapat yang beragam di kalangan para pemerhati, akademisi, dan intelektual baik dalam negeri maupun luar negeri. Salah satu intelektual Muslim yang banyak mengikuti
perkembangan
ketegangan
di
kawasan
Palestina
ini
adalah
Abdurrahman Wahid. Abdurrahman Wahid, atau akrab disapa Gus Dur ini, memiliki pandangan tersendiri yang cenderung banyak berbeda atau malah, sebagian orang menganggapnya
“menyimpang” dari banyak pengamat Timur Tengah yang
cenderung membela Palestina atas dasar sama rasa dalam satu keyakinan dan mengutuk keras tindakan intimidatif Israel yang menjajah tanah Palestina. Gus Dur melihat, konflik Palestina-Israel merupakan permukaan dari konflik perang perebutan pengaruh negara-negara adidaya dunia. Pada mulanya, sengketa yang terjadi adalah perbenturan kepentingan antara berbagai pihak, yaitu antara Inggris, Perancis, dan Uni Soviet segera setelah usainya Perang Dunia I. Inggris yang mencoba menancapkan dominasi atas Palestina harus rela berbagi ruang dengan aspirasi bangsa Yahudi yang mempunyai cita-cita untuk menjadikan Palestina sebagai tempat tinggal mereka. Belum lagi ambisi Uni Soviet yang secara bertahap ingin mengkudeta Inggris dari kawasan Timur Tengah10.
10
Abdurrahman Wahid. Prisma Pemikiran Gus Dur. (Yogyakarta. LKis. 2010.) h. 132.
10
Bagi Gus Dur, yang paling penting dalam proses perdamaian di Timur Tengah adalah kesatuan tekad untuk sama-sama membangun kehidupan bernegara dan
kemanusiaan
yang
berdiri
kokoh
dengan
keadilan
sebagai
pilar
penyanggahnya. Wahid tidak begitu saja mendukung Palestina, atas dasar kesamaan keyakinan, begitu pula dengan Israel, putra pahlawan nasional K.H. Abdul Wahid Hasyim ini, juga mempunyai catatan tersendiri. Dalam salah satu tulisannya, Gus Dur menyeru kepada pemimpin Palestina-Israel, untuk berdamai dengan kesungguhan yang tinggi. Jangan sampai publik internasional kembali dikecewakan dengan prosesi pseudo-rekonsiliasi yang ujung-ujungnya kembali menelan korban.11
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Dari uraian diatas maka timbullah berbagai masalah yang perlu dijawab. Mengingat keterbatasan ruang lingkup pembahasan, maka kami batasi dengan dua hal, yaitu; -
Ketidaksetujuan Abdurrahman Wahid dengan sebagian besar garis perjuangan PLO dalam memperjuangkan cita-cita rakyat Palestina.
-
Bergabungnya Abdurrahman Wahid dengan Yayasan Simon Perez. Dari pembatasan tersebut, dapat dirumuskan menjadi beberapa pertanyaan
sebagai berikut: 1. Mengapa Abdurrahman Wahid tidak setuju dengan ideologi perjuangan PLO dalam membebaskan Palestina?
11
Abdurrahman Wahid , “Arafat, Israel, dan Palestina, “ Kompas, , 07-04-2002.
11
2. Apa yang melatarbelakangi Abdurrahman Wahid bergabung dengan Yayasan Simon Perez?
C. Tujuan dan Kegunaan Penulisan 1. Tujuan Penulisan Adapun tujuan yang hendak dicapai dari penulisan skripsi ini adalah: a. Mengetahui sejarah Konflik Palestina-Israel. b. Memahami secara lebih dalam logika berpikir Abdurrahman Wahid terhadap penyelesaian konflik Palestina-Israel. c. Dalam skala yang lebih global, memperkaya opsi praksis bagi pemecahan konflik Palestina-Israel. 2. Kegunaan Penulisan a. Penulisan skripsi ini diharapkan berguna bagi pengembangan pengetahuan terkait dengan historisitas konflik Palestina-Israel dilihat dari sudut pandang Abdurrahman Wahid. b. Menambah khazanah kesejarahan dan pengetahuan tentang akar problematika internasional yang bersumber dari konflik PalestinaIsrael.
12
D. Metodologi Penelitian Dalam karya ilmiah ini, penulis menggunakan metode deskriptif-analisis guna memaparkan temuan baru yang berkaitan dengan topik yang diangkat. Selain itu, dibawah ini terdapat beberapa poin yang menjadi instrumen penting dalam suatu penelitian, antara lain; 1. Pendekatan Penelitian ini menggunakan pendekatan sejarah psiko-inteletual yang berusaha menarik satu kesimpulan dari sudut pandang seseorang. Karena penulisan ini berupa re-interpretasi terhadap suatu ide seorang intelektual (Abdurrahman Wahid) maka penggunaan opini-opininya merupakan salah satu sumber primer yang wajib ada. Selain itu, penulis juga menggunakan sumbersumber sekunder yang mempunyai relasi dan relevansi dengan kajian materi pembahasan. Kemudian diadakan kritik sumber, baik ekstern maupun intern, yakni dengan memilah dari beberapa sumber yang terkumpul, guna mendapatkan sumber yang otoritatif dan otentik . Pada tahap selanjutnya, diadakan interpretasi. Setelah itu beranjak ke tahapan berikutnya berupa penyajian karya sejarah dalam bentuk buku.
2. Sumber data Data ataupun sumber penelitian dapat dikategorikan menjadi dua; data primer dan data sekunder. Data primer, adalah beberapa data yang merupakan data rujukan utama yang menjadi rujukan keilmiahan.
Bentuknya bisa lisan
maupun tulisan. Data yang berasal dari jalur tulisan berupa dokomen-dokumen maupun buku yang ditulis oleh Abdurrahman Wahid sebagai pelaku sejarah. Wahid menulis satu artikel berjudul Perdamaian Belum Terwujud di Timur
13
Tengah Dalam buku Islamku, Islam Anda, Islam Kita (2006), yang lain, dalam harian Kompas (7/4/2004) Wahid menulis artikel lainnya berjudul Arafat, Israel, dan Palestina. Sedangkan data lisan berupa hasil wawancara. Sedangkan data Sekunder bentuknya sama seperti data primer. Namun, yang membedakannya dengan data primer, adalah bahwa data sekunder ditulis oleh orang lain yang berhubungan dengan tokoh yang diteliti. 3. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka (library research). Studi pustaka dilakukan dengan menelusuri fakta sejarah secara tertulis, kemudian mengumpulan dokumen-dokumen, baik berupa karya tokoh yang diteliti atau manuskrip-manuskrip yang berhubungan dengan tokoh yang ditelaah. . Penulis mendapatkan sumber primer berupa tulisan Abdurrahman Wahid, dari kepunyaan sendiri dan ada pula yang didapat dari teman maupun orang lain. Dalam perburuan sumber primer lainnya, penulis sempat mendatangi Pusat Informasi Kompas (PIK) yang berada di kawasan Pal Merah, Jakarta, guna mendapatkan tulisan Wahid yang bertemakan konflik palestina-Israel. Selain itu, guna mendapatkan sumber yang otentik, penulis juga mengunjungi perpustakaan PBNU dan perpustakaan The Wahid Institute. Dua lembaga tersebut mempunyai kaitan yang erat dengan tokoh yang diteliti, sehingga kebutuhan akan sumber otentik penulis, dapat terpenuhi di dua tempat itu. Sedangkan untuk sumber lainnya, terutama untuk sumber sekunder, penulis mendapatkannya lewat hasil penjelajahan di Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah. Selain itu, penulis juga mendapatkannya di Perpustakaan
14
Fakultas Adab dan Humaniora. Beberapa sumber liannya yang didapat, juga berasal dari pribadi, dan dari teman penulis. 4. Analisa Data Data-data yang sudah terkumpul kemudian masuk pada tahap analisa untuk mendapat sumber yang otentik dan otoritatif. Data tulisan diklasifikasi untuk menentukan waktu penulisan dan isi dari dokumen tersebut. Sedangkan data hasil wawancara akan dilakukan transkrip dalam bentuk kertas kerja yang disadur dalam bentuk tulisan. Selain proses analisis di atas, data-data tersebut akan masuk ke fase kritik sumber. Pada tahap inilah, sumber itu mulai terlihat layak atau tidaknya data itu disebut otentik, sehingga karya sejarah ini dapat diuji secara ilmiah. . Kemudian fakta sejarah yang telah dianalisis dengan metode kritik sumber akan diadakan interpretasi dengan menggunakan pendekatan multidesipliner dalam ilmu-ilmu sosial. E. Tinjauan Pustaka Banyak tulisan baik berbentuk buku, jurnal, dan karya akademisi lainnya tentang konflik pandangan Abdurrahman Wahid terkait dengan konflik PalestinaIsrael. Tetapi, dari semua tulisan itu masih terserak dan belum ada yang menyajikan secara komprehensif pandagan Abdurrahman Wahid tentang konflik kemanusiaan tersebut. tulisan Riza Sihbudi (2002) yang berjudul Respon Internasional Terhadap Politik Diskriminasi dan Rasisme Israel, menyinggung masalah keterlibatan Abdurrahman Wahid dalam proses pembebasan Palestina. Dalam tulisan itu disebutkan bahwa menurut Wahid, Indonesia harus menjalin hubungan diplomatik dengan Israel, jika ingin lebih berperan dalam perjuangan bangsa Arab.
15
Selain itu, Greg Barton (2010) dalam buku Biografi Gus Dur: The Authorized of Abdurrahman Wahid, menulis tentang kunjungan Abdurrahman Wahid ke Israel pada bulan Oktober 1994. Dalam kesempatan tersebut, Abdurrahman Wahid menyaksikan perjanjian perdamaian Israel dengan Yordania. Wahid bahkan sempat berkunjung ke Jerusalem dan berkeliling Israel. Selain itu,ada pula skripsi yang ditulis oleh Novita Rakhmawati (2002) dari FISIP-UI yang berjudul Hubungan Indonesia-Israel: Tinjauan terhadap Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kebijakan Luar Negeri Indonesia terhadap Israel Periode tahun 1993-2001. Dalam skripsi tersebut, dikatakan bahwa dengan menjalin hubungan diplomatik dengan Israel, maka Indonesia akan menemuka “jalan pintas” untuk memulihkan ekonomi dalam negeri. Tulisan ini hanya berkutat pada masalah-masalah kebijakan diplomatik kedua negara tersebut. Dari berbagai kajian yang ada, pandangan Abdurrahman Wahid tentang konflik Palestina-Israel belum diutarakan secara jelas dan komprehensif. Inilah yang menjadi objek studi penulis.
16
F. Sistematika Penulisan Bab I Berisi tentang signifikansi tema yang diangkat, pembatasan dan perumusan masalah, metodologi penelitian, tujuan penulisan serta sistematika penulisan. Bab II Berisi tentang latar belakang konflik Palestina-Israel, kaitannya dengan negara-negara Arab lainnya. Tokoh-tokoh yang menempati ruang sentral dalam konflik tersebut. serta hakikat tentang pendudukan Israel ke Palestina Bab III Membahas tentang biografi intelektual Abdurrahman Wahid yang meliputi riwayat hidup yang terdiri dari: Latar belakang lingkungan dan latar belakang pendidikan. Dilanjutkan dengan karir dan pemikiran Abdurrahman Wahid tentang perdamaian. Bab IV Menjelaskan tentang pandangan Abdurrahman Wahid terhadap dua negara yang bertikai, baik Palestina maupun Israel. Pemecahan konflik tersebut. Komentar Wahid terhadap metode perjuangan PLO. Dan faktor yang
17
melatarbelakangi bergabungnya Abdurrahman Wahid ke Yayasan Simon Perez. Bab V Merupakan bab penutup, yang berisi kesimpulan dari seluruh isi tulisan.
BAB II SEJARAH KONFLIK PALESTINA ISRAEL
A. Latar Belakang Terjadinya Konflik Pendudukan Israel atas tanah Palestina, tidak terlepas dari peran kaum Yahudi. Kaum Yahudi, yang merupakan satu dari tiga agama samawi, merupakan satu bangsa yang tersebar diseantero dunia selama berabad-abad. Sejarah panjang bangsa Yahudi memproyeksikan citra pelestarian Yudaisme, suatu keyakinan dan praktek keagamaan yang memungkinkan integrasi sosial bangsa Yahudi. Beberapa gelombang diaspora atau perantauan bangsa Yahudi telah membuat bangsa ini kehilangan komunitas politiknya. Namun, para perantau yang menyebar di beberapa bagian dunia terutama di benua Eropa, tetap memelihara integrasi sosial bangsa Yahudi. Yudaisme diduga kuat mengambil peran penting dalam kelangsungan proses ini, yaitu melalui konformitas atau penyamaan penampilan orang Yahudi terhadap agamanya dan pelestarian komunalisme. Sejarah, bahasa, tradisi dan kebiasaan telah memelihara konsep kemasyarakatan Yahudi yang bersifat integralistik. Sampai menjelang pertengahan abad 19, perkembangan sosial ekonomi di Eropa secara jelas menandai peneguhan kembali semangat integralistik bangsa Yahudi. Masih sama dengan masa panjang sebelumnya, nasionalitas Yahudi tetap bersifat simbolik, belum menjadi aspirasi politik. Peran mitologik dan messianik pemimpin Yahudi dalam penyelamatan manusia menjadi inti konsep nasionalitas Yahudi. Tanah Palestina hanya mengilhami nasioanalitas sebatas pengakuan kepemilikan sepihak. klaim sejarah terhadap tanah Palestina terjadi,
18
namun
19
sampai
menjelang
pertengahan
abad
19
bangsa
Yahudi
Eropa
tidak
menetapkannya sebagai sasaran pemenuhan aspirasi objektifnya. Dari dasar kesadaran diatas, para penganjur emansipasi internal Yahudi yang umumnya berasal dari kalangan terpelajar menegaskan makna moralitas kekuasaan
dengan pengertian kesadaran nasionalitas
bangsa Yahudi. Bagi
mereka, bangsa Yahudi harus memiliki tanah wilayah, tempat pemerintahan yang berfungsi menyelenggarakan kekuasaan. Tidak ada pilihan lain, bangsa Yahudi harus memiliki negara sendiri agar bisa sederajat dengan bangsa-bangsa di dunia. Namun kesadaran nasionalitas yang terwujud dalam gerakan nasioanalis Zionis bukan merupakan kekuatan inti kolonial. Nasionalitas Yahudi modern berwujud gerakan kebangsaan yang bertujuan menegakkan kekuasaan Yahudi di tanah Paletina, mengikuti ajaran agama Yahudi. Jadi Yudaisme menjadi ideologi gerakan nasionalis Yahudi yang secara resmi menamakan diri sebagai gerakan atau organisasi Zionis. Motivasi kembali ke tanah Bani Israel, yang menjadi seruan keagamaan Yahudi, merupakan sumber kekuatan gerakan nasionalis Yahudi. Para pendukung gerakan nasioanalis berpendapat bahwa penguasaan tanah Palestina merupakan proses normalisasi bangsa Yahudi, sebagai suatu bangsa yang memilki tanah wilayah. Normalisasi
bangsa Yahudi tampaknya hanya bisa dicapai melalui
penegasan keyakinan keagamaan karena
persyaratan keabsahan legal untuk
menguasai wilayah sulit terpenuhi. Gerakan nasionalis Yahudi memiliki keanehan, kalau bukan keunikan. Nasionalisme Yahudi telah berpisah dengan tanah yang menjadi basis suatu nasioalitas berabad-abad lamanya. Nasioalisme ini juga aneh karena tumbuh
20
berpuluh tahun di negeri perantauan. Jelas, nasionalisme Yahudi tidak berjenis pembebasan wilayah dari kekuasaan bangsa asing, melainkan semacam pendakuan kesejarahan oleh bangsa Yahudi. Oleh karena itu bangsa Arab tidak bisa menjadi pendukungnya1. Selain itu, terdapat hal lain yang tak kalah penting, yang menjadi common platform bagi Yahudi untuk mengintegrasi Bangsa Yahudi di seluruh dunia. Munculnya Nazi Jerman, sebagai salah satu kekuatan besar dunia, menjadi batu sandungan terjal umat Yahudi. Kebijakan berbau SARA yang digulirkan pemerintahan Adolf Hitler, pemimpin utama Nazi yang bermuara pada pengaggungan ras Arya dan mendisposisikan golongan lain, termasuk Yahudi. Pentas pertama bermula di tahun 1933, dengan naiknya Nazi ke tampuk kekuasaan. Terjadi perampasan terhadap toko-toko Yahudi , tak jarang pula pemukulan-pemukulan, serta pemboikotan terhadap bisnis-bisnis Yahudi. Pentas kedua digelar dengan diperundang-undangkannya Nurenberg Laws di tahun 1935, yang berisi pencabutan hak suara semua orang yang memiliki “darah Yahudi” , termasuk orang-orang yang mempunyai kakek nenek orang Yahudi. Pentas ketiga terjadi pada tahun 1939, dengan penangkapan massal terhadap 20.000 orang Yahudi, membawa serta pula penganiayaan fisik yang dilakukan secara sistematis dan penawanan-penawanan massal yang pertama kali di kamp-kamp konsentrasi. Selain itu, sebagian dari mereka juga di kirim ke Jerman sebagai budak pekerja, seperti yang dialami oleh ratusan ribu orang Yahudi yang berasal dari Eropa Timur.
1
M. Hamdan Basyar dkk, Problematika Minoritas Muslim di Israel (Jakarta: Pusat Penelitian Politik LIPI, 2002), h. 17-21.
21
Mereka mengalami siksaan yang tidak terperi. Penyiksaan demi penyiksaan tersebut berakhir pada penghilangan nyawa secara massal orangorang Yahudi. Prosedur pembunuhan massal tersebut adalah sebagai berikut: orang-orang Yahudi, atau Ceko, atau Polandia, atau Rusia ditangkapi, dibariskan ke daerah yang sepi dan dipaksa telanjang, antri di depan parit-parit, kemudian diberondong dengan senapan. Mereka yang tersungkur di sepajang tepian parit, mati atau terluka, lalu disorong ke dalam parit-parit oleh tentara-tentara atau bulldozer dan semuanya kemudian ditimbun dengan lumpur. Baik yang mati maupun yang masih hidup, dewasa, anak-anak, maupun yang masih bayi. Semua Einsatzhruppen (pasukan khusus pemusnah orang Yahudi) ini bertanggung jawab atas pembunuhan tidak saja bagi jutaan bangsa Yahudi, tetapi juga terhadap umat kristiani2. Kesadaran nasionalitas bangsa Yahudi menjadi realitas politik ketika kelompok-kelompok studi Hovevei Zion (kekasih Zion) mulai membicarakan kemungkinan perebutan kembali tanah leluhur dalam beberapa diskusi di banyak kota di wilayah Pale, Austria, pada 1870-an. Pembicaraan ini menegaskan kebutuhan tanah wilayah bagi bangsa Yahudi sebagai kelengkapan prinsip nasionalitasnya.
Pembahasan
tentang
permasalahan
penegakkan
prinsip
nasionalitas Yahudisme luas menjadi diskusi-diskusi terbuka kalangan Hovevei Zion di Eropa Timur pada 1890-an. perluasan pembicaraan umum tentang pembicaraan kembali tanah leluhur menjadi meluas ke seluruh dunia setelah Leon Pinsker mengupas permasalahan internal emansipasi internal Yahudi dalam buku Self Emancipation, terbit pada 1882.
2
Max I. Dimont, Kisah Hidup Bangsa Yahudi (Masaseni,2002), h. 331-332.
22
Gerakan Zionis dengan tujuan membentuk kembali bangsa Yahudi di Palestina pertama kali menjadi wacana umum pada 1886 melalui ungkapan ideologis Nathan Birnbaum, Zionisme. Beberapa tahun ungkapan ini tidak mempunyai pengertian yang jelas, hanya menyebutkan keperluan bangsa Yahudi memiliki national home. pengertian Zionisme ini kemudian menunjuk penegasan hubungan Yahudi dengan Palestina sebagai tanah leluhur. Sesuai dengan suasana politik di Eropa pada waktu itu. Zionisme diberi pengertian pula sebagai paham yang menjunjung tinggi liberalisme dan penentuan nasib sendiri. Kesadaran nasionalitas bangsa Yahudi, terutama di kalangan cerdik cendekia, mengalami transformasi menjadi kekuatan riil berupa organisasiorganisasi Zionis,. Sesudah organisasi-organisasi Zionis melakukan serangkaian kongres dunia mulai kongres di Bazel, Swiss, pada 1897 agenda politik pembentikan negara Yahudi menjadi semakin bulat. Kongres Basel, Swiss yang diikuti oleh 204 delegasi Yahudi dari 16 negara telah menyusun program perwujudan agenda politik awal. Theodore Herzl, ketua Organisasi Zionis Dunia dalam kongres ini telah menegaskan urgensi pembentukan negara Yahudi bagi seluruh aktualisasi bangsa Yahudi karena kesulitan menegakkan keyakinan keagamaan di luar wilayahnya sendiri. Sebelum kongres itu, Herzl aktif menyerukan pembentukan negara Yahudi di Rumania dan Uni Soviet.
Semula, Herzl cenderung mendorong
gerakan asimilasi Zionis dengan Eropa. Namun, Herzl kemudian membuang pemikiran asimilasi karena tidak realistik. Sebagai gantinya, obsesi pembentukan negara Yahudi merupakan pilihan terbaik karena terbebas dari prasangka rasial dan keagamaan di Eropa. Hal ini
23
berarti bahwa cita-cita pembentukan negara Yahudi bisa mendorong perlawanan bangsa Yahudi terhadap tindakan persekusi yang mengganas dalam Perang Dunia II. Perlawanan Yahudi berlangsung melalui milisinya yang menjadi bagian tentara Inggris berperang melawan Jerman. Gagasan pembentukan negara Yahudi bahkan bisa mendorong proses rekonsiliasi itu terjadi mengikuti peran negara Yahudi dalam gugus eksistensi intenasional yang menjamin bangsa Yahudi bermartabat sama dengan bangsa lain.3 Untuk sesegera mungkin memantapkan cita-citanya, Herzl mendatangi kesultanan Ottoman guna meminta sebuah daerah otonomi yang nantinya digunakan
sebagai
tempat
bermukim
bangsa
Yahudi.
Sebagai
bahan
pertimbangan, Herzl akan memberikan sejumlah bantuan yang dibutuhkan kesultanan Ottoman kala itu. Namun, Sultan Abdul Hamid (1876-1909) dengan tegar menentang dan menolak semua keinginan Yahudi dengan responnya terhadap usulan Herzl dengan ucapan sebagai berikut “saya nasihatkan kepadanya untuk tidak pernah menjalankan hal tersebut. saya tidak berdaya untuk menjual walau satu dari negeri ini, karena itu bukan milik saya, tapi milik rakyat. Bangsaku mendapat pemerintahan yang besar ini dengan tumpahan darah. Mereka berperang dengan bersimbah darah. Kami juga akan menyelimutinya dengan darah kami guna menghalau para perampas negeri kami. Saya tidak akan menerima pemisahan (daerah) untuk tujuan apapun juga.”4 Organisasi Zionis Dunia menetapkan perjuangan melaksanakan agenda politik pembentukan national home bagi bangsa Yahudi di Palestina melalui penetapan hukum publik. Tampaknya hukum publik berarti hukum Liga BangsaBangsa. Organisasi Zionis juga menetapkan strategi pelaksanaan agenda dengan pengandalan dukungan kekuatan Eropa. Jelas, kekuatan Eropa merujuk peran 3
Basyar, Problematika Minoritas, h. 21-23 Muhsin M. Shaleh, Palestina; Sejarah, Perkembangan, dan konspirasi (Jakarta:Gema Insani Press, 2002), h. 37-39. 4
24
penting pemerintah Inggris dalam badan internasional dan percaturan politik dunia. Agenda politik organisasi Zionis merupakan jawaban nyata harapan bangsa Yahudi melakukan pembentukan negara Yahudi
yang terlihat dari imigrasi
bangsa Yahudi ke Palestina gelombang pertama (1882-1884) dan gelombang kedua (1885-1991). Aliya (migrasi Yahudi) pertama dan kedua melibatkan 25.000 orang Yahudi. Organisasi Zionis berharap gelombang Aliya akan mendatangkan simpati badan internasional dan pemerintah Inggris. Kekuatan riil kesadaran nasionalitas bangsa Yahudi tercermin pada pembentukan komunitas Yahudi di Palestina. Para pemukim tinggal di daerah pertanian membantuk Kibbutz, suatu pemukiman pedesaan unik. Kibbutz membentuk kerjasama produksi dan distribusi kebutuhan konsumsi di kalangan warganya. Peningkatan jumlah pemukiman telah mendorong pembentukan Yishuv, suatu komunitas pemukiman dengan menyelenggarakan sistem sosial, ekonomi, dan politik khusus. Yishuv mempunyai institusi –institusi pendidikan, politik dan militer. Penyelenggaraan Yishuv merupakan perwujudan konsep komunalisme, sebagai kelanjutan sstem ekonomi Yahudi Eropa. Integrasi sosial Yahudi yang terbina dalam sistem otonomi yang memiliki solidaritas etnik yang kuat. Ikatan primordial seperti ini membuat komunitas Yahudi menjadi bersifat organik, dimana kepentingan perorangan tenggelam dalam kepentingan kelompok. Untuk meluluskan niatnya, organisasi Zionis tersebut membuat suatu lembaga khusus yang menangani kebutuhan umat Yahudi yang pindah ke negara barunya. Program mereka bertujuan memantapkan penguatan identitas Yahudi di segala aspek. Program tersebut antara lain mempromosikan imigrasi bangsa
25
Yahudi. mendawamkan bahasa dan budaya Hebrew dan menyediakan kebutuhankebutuhan keagamaan bagi komunitas baru. Bangsa Palestina dari sejak awal telah menggalang aksi untuk menghadang proyek Zionis ini. Konflik berdarah pertama yang terjadi adalah antara Petani Palestina dan pendatang Zionis tahun 1886. Para petani telah membuat petisi kepada kesultanan Ottoman sebagaimana juga media surat kabar gencar mengekspos bahaya Zionis al-Karmal dan Filistin. Bermodal pemaknaan baru Zionisme, organisasi Zionis berusaha mendapat dukungan pemerintah Inggris dengan menggerakan keterlibatan Yahudi dalam Perang Dunia I mendukung pasukan sekutu. Strategi Zionis ini berhasil menggerakan perhatian pemerintah Inggris lebih besar membantu pembentukan negara Yahudi. Dukungan Inggris bermula dengan kemunculan pandangan Lord Arthur Balfour. menteri luar negeri Inggris, yang memihak pembentukan national home bagi bangsa Yahudi di Palestina. Pandangan ini tertuang dalam surat Balfour kepada Lord Rothschild, terkenal sebagai Deklarasi Balfour, bertanggal 2 November 1917. Mungkin dengan maksud menjaga netralitas pemerintah Inggris, pandangan Balfour menyebutkan penghormatan terhadap hak sipil dan agama masyarakat non-Yahudi yang ada di Palestina. Dukungan Inggris ini amat penting bagi keberhasilan pembentukan negara Israel terutama karena Inggris sudah menguasai wilayah Palestina sejak 1917. Dalam konferensi Perdamaian Paris 1919, Chaim Weizman, pengganti Theodore Herzl, menegaskan penerimaan dukungan deklarasi Balfour dengan segera bereaksi positif memobilisasi para migran. Pertumbuhan penduduk Yahudi di Palestina yang besar memungkinkan pembentukan negara dan pemerintahan
26
Yahudi. Hal ini sesuai visi negara Yahudi Herzl tentang tanah palestina berpenduduk mayoritas Yahudi yang disampaikan pada 1897, saat kongres pertama Organisasi Zionis Dunia berlangsung. Kenyataan menunjukkan bahwa sampai menjelang pembentukkan negara Israel, penduduk Yahudi hanya berjumlah kurang lebih separuh penduduk Arab. Rencana pemebentukan negara Yahudi bagi bangsa Yahudi tampak telah mengakibatkan penghancuran secara sistematis penduduk Arab melalui pembantain dan pengusiran.
B. Peristiwa- Peristiwa Penting Seputar Konflik Palestina –Israel Konflik
Palestina-Israel
merupakan
konflik
kemanusiaan
yang
bekepanjangan. Sampai tulisan ini ditulis, belum ada tanda-tanda penyelesaian ataupun finalitas yang berkomitmen mengakhiri konflik tersebut. perundingan perdamaian kerapkali diselenggarakan, namun selalu berakhir pada keadaan yang tidak lebih baik dari sebelumnya, bahkan tak jarang, mengalami dead lock. Kesepakatan gencatan senjata hanyalah sementara. Tidak lama setelah itu, kembali terjadi aksi saling serang di antara keduanya. Perselisihan kedua negara ini diperkeruh dengan hadirnya aktor-aktor internasioanal yang turut ambil bagian dalam perseteruan ini. Berikut ini merupakan peristiwa-peristiwa bersejarah, yang menjadi key story kronologi konflik Palestina-Israel;
1. Konferensi Zionis Dunia 1897 Konferensi Zionis Dunia, yang diselenggarakan di Basel, Swiss, tahun 1897 bisa dikatakan sebagai sumbu dari meletupnya keinginan bagsa Yahudi
27
untuk mendirikan suatu negara Yahudi. Isi pokok dari pertemuan tersebut adalah pengejawantahan Pendirian akan suatu negara Yahudi yang berdaulat, dipadang penting karena negara tersebut nantinya bukan hanya berfungsi sebagai tempat tinggal umat Yahudi, melainkan sebagai penegasan bahwa bangsa Yahudi mempunyai martabat yang sama dengan bangsa lainnya di dunia. Selain itu, dengan membentuk satu negara tersebut, mempunyai fungsi pokok sebagai tempat penampungan masyarakat Yahudi dunia, terutama Eropa, yang saat itu menderita, disebabkan oleh pemasungan hak-hak kenegaraan di negara-negara Eropa. Hal ini menjadi sinyalemen bahwa bangsa Yahudi dapat lepas dari kawalan isu anti-semitisme. Pembunuhan besar-besaran di Jerman dan Uni Soviet, seakan telah menjadi katalisator yang menunjukan era diaspora Yahudi haruslah diakhiri. Di konferensi Ini, muncul satu nama yang dikenal sejarah sebagai bapak Zionis dunia, yakni Theodore Herzl. Sebagai pucuk pimpinan organisasi Zionis dunia, ia menyeru kepada kaum Yahudi dunia untuk merapatkan barisan dan bersatu. Herzl dapat diumpamakan sebagai figur yang mampu mengkristalkan perjuangan generasi intelektual Yahudi berikutnya, untuk serius menangani pendirian satu negara independen Yahudi.
2. Perang 1948 Dalam Konferensi Sufar pada tanggal 6 September 1947, Dewan Umum PBB mengambil suatu kebijakan solutif bagi konflik Palestina-Israel. Perhelatan ini menghasilkan suatu keputusan bahwa wilayah Palestina, harus dibagi menjadi dua bagian, yag satu untuk bangsa Arab, yang lainnya dialokasikan bagi umat
28
Yahudi. Keputusan ini terangkum dalam resolusi PBB bo. 181. pembagian wilayah ini, didukung oleh AS dan Rusia, namun tidak bagi Palestina. Menanggapi resolusi tersebut, warga Palestina merasa dianaktirikan oleh PBB. Bagaimanapun, secara legalitas disebutkan bahwa mereka adalah penghuni “resmi” tanah Palestina. Untuk membendung pengaruh kaum Yahudi menguasai Palestina, warga muslim membentuk barikade-barikade tempur yang bertujuan memukul mundur tentara-tentara Yahudi. Sekumpulan perwira ini, dipimpin oleh tokoh-tokoh agama lokal, seperti Abdul Qadir Al-Husaini, yang membentuk Jihad Al-Muqaddas. Di samping itu, Liga Arab juga berhasil menghimpun para pejuang Arab yang berasal dari luar Palestina. Ketika itu, bangsa Arab Palestina kurang mendapat perhatian dari para pemimpin dunia Arab. Keadaan ini, membuat bangsa ini berjuang sendiri hanya dengan dibantu oleh para legiun perang Arab non-Palestina. Dilihat dari segi persenjataan, keadaannya jauh dari tingkatan modern. Mereka banyak menggunakan senjata-senjata tua yang daya jangkaunya sangatlah pendek. Selain itu, keadaan para sukarelawan Arab merupakan keadaan menyedihkan lainnya. Mereka tidak mempunyai koordinasi yang bagus, buta peta geografis, dan kecakapan
kepemimpinan yang kurang memadai. Bahkan yang lebih parah,
mereka kerapkali kekurangan persenjataan, sehingga para pejuang Palestina harus rela berbagi senjata dengan mereka. Padahal, persenjataan Palestina jumlahnya jauh dari kata cukup5. Keadaan ini berbanding terbalik dengan keadaan barikade tempur Zionis. Secara kuantitas, mereka lebih besar dibanding pasukan Arab. Pasukan Yahudi
5
Ibid., h 68-72
29
berjumlah 70 ribu, sedangkan jumlah gabungan tentara Arab hanya 24 ribu. Selain itu, mereka juga didukung oleh tentara dan persenjataan modern Inggris. Hagana (Pasukan resmi Zionis) juga dibantu oleh pasukan Irgun dan Geng Stern. Kedua kelompok militer tersebut, sebenarnya masih berasal dari tubuh Hagana, hanya saja mereka mempunyai kebijakan militer sendiri, semisal Irgun yang begitu kritis terhadap kebijakan Inggris. Irgun memisahkan diri dari Hagana pada 1931. Sedangkan Geng Stern sendiri, merupakan sempalan dari Irgun6. Peperangan ini berhasil dimenangkan oleh pasukan Mereka berhasil merebut
Zionis-Inggris.
78 % tanah Palestina. Kemenangan Zionis,
menyebabkan gejolak sosial yang besar bagi rakyat Palestina. Perang tersebut berakibat terlantarnya 2/3 bangsa Palestina dari kampung halaman mereka (ditelantarkan secara paksa sekitar 800 ribu dari jumlah semula 1.237.000 orang) ke negeri lain. Di tahun ini pula, pada sore hari tanggal 14 Mei 1948, Ben Gurion, yang kelak menjadi presiden pertama Israel, mendeklarasikan berdirinya negara Yahudi “Israel”, sekaligus mencatatkan dirinya sebagai presiden pertama negara tersebut. Menurut Sejarawan Afghanistan, Tamim Ansary, perang ini dikenang Israel sebagai perang kemerdekaan mereka, tetapi disebut oleh bangsa Arab sebagai bencana.7 Sekalipun peperangan 1948 dimenangkan oleh pasukan Zionis, pasukan Arab berhasil menciptakan semacam teror mental bagi perwira-perwira Zionis. Minimal, mereka berhasil menunjukan taji bahwa sebenarnya kehadiran kaum
6
Ilan Pappe, Pembersihan Etnis Palestina (Jakarta, PT Elex Media Komputindo,2009), h.
69-70. 7
Tamim Ansary, Dari Puncak Bagdad: Sejarah Dunia Versi Islam (Jakarta, Zaman, 2010), h. 511.
30
Zionis adalah personifikasi dari umat yang menindas si empunya tanah. peperangan ini menjadi semacam sinyalemen awal keseriusan bangsa Palestina mengusir para penjajah Zionis.
3. Agresi 1956 Pada dekade 1950-an, para pejuang Palestina meningkatkan tensi teror mereka terhadap Israel. Mereka tidak bisa menerima begitu saja, klaim sepihak dengan menjadikan tanah mereka sebagai bagian dari negara Israel. Secara sporadis, mereka menggunakan banyak variasi serangan yang merepotkan tentara Israel. Boleh dikatakan, perang ini merupakan momentum awal kristalisasi kegeraman bangsa Arab internasional atas Israel. Hal ini ditunjukkan dengan ikut sertanya Mesir, sebagai salah satu negara Arab terkemuka, membatu Palestina memerangi Israel. Pada fase ini, bangsa Palestina seakan semakin terintegrasi ke dalam kesadaran nasional sebagai bangsa yang sedang dijajah. Mereka banyak melancarkan operasi penerobosan tapal batas untuk menyelamatkan harta benda keluarga-keluarga yang terusir. Selain itu, mereka juga kerapkali melakukan serangan pembalasan terhadap musuh. Di wilayah Gaza, Ikhwanul Muslimin cabang Palestina membentuk
satuan milisi yag melakukan banyak operasi
rahasia, mereka bergabung dengan penduduk badui Naqab. Milisi ini, dilatih oleh seorang tokoh militer Ikhwanul Muslimin bernama Abdul Mun‟im Abdurrauf, yang terkenal di kalangan Ikhwanul Muslimin sebagai ahli strategi militer. Operasi “Bus” di bulan Februari 1953, merupakan salah satu bukti betapa pasukan
31
aliansi Badui-Ikhwanul Muslimin tidak bisa dipandang sebelah mata. Dalam serangan ini, tercatat 13 tentara Israel menjadi korban. Serangan pasukan Palestina di atas, ditanggapi Israel dengan balasan yang lebih kejam dan keras. Sebagai contoh, sebagaimana yang terjadi pada peristiwa Qabiyyah berdarah tanggal 14-15 Oktober 1953 yang menyebabkan 67 orang syahid. Pada kesempatan lain, tepatnya tanggal 28 Februari 1955, kekuatan Zionis melakukan pembantaian di Gaza. Sebanyak 33 orang luka-luka dan 39 meninggal dari pihak Palestina akibat serangan tersebut. kejadian ini, menjadi semacam opini internasional berisi tuntutan perang terhadap Israel. Mesir menyambut tuntutan tersebut dengan mengirimkan sepasukan yang dipimpin oleh Mustafa Hafiz guna membantu legiun Palestina. Kekuatan Mesir membuat milisi perang Palestina melonjak, dan berhasil memukul mundur
pasukan
Israel dalam beberapa
kesempatan. Menanggapi campur tangan Mesir, pada tanggal 29 Oktober 1956 Israel meladeninya dengan membentuk “tentara segitiga pendobrak” (Israel, Inggris, dan Perancis). Pasukan gabungan ini mempunyai beberapa tugas penting, yakni; mematahkan serangan bangsa Palestina, membuka jalur pelayaran kapal di Laut Merah-baik dengan membuka terusan Suez maupun dengan membuka embargo pelabuhan Elat-dengan menguasai keduanya. Keikutsertaan Inggris dan Perancis bukanlah tanpa sebab. Sejak lama,Inggris bercita-cita menguasai Terusan Suez. Bagi Perancis, kehancuran Mesir adalah prioritas penuntasan dendam , karena negara ini mendukung revolusi di Al-Jazair, negara yang sebelumnya berada dalam kekuasaan Perancis.
32
Pertempuran ini berakhir dengan kekalahan Mesir dan Palestina. beberapa wilayah yang penting, seperti Sinai dan Gaza, dapat dikuasai oleh pasukan gabungan Israel tersebut. Inggris dan Perancis mengambil bagian dalam penggempuran bandara-bandara Mesir, serta berhasil menduduki pelabuhanpelabuhanya. 8
4. Perang 1967 Perang 1967, tepatnya terjadi pada 5 Juni 1967, merupakan babak lanjutan dari puncak ketegangan di Timur Tengah sebelumnya. tidak saja melibatkan warga Palestina sebagai gerilyawan, tetapi konflik ini juga diramaikan dengan keterlibatan dua negara besar, Mesir dan Syria, yang memposisikan diri sebagai lawan dari tentara Israel. Mesir yang sebelumnya mengalami kekalahan, berharap dapat membalaskan dendamnya, bukan saja mengalahkan, tetapi juga menguasai daerah Israel. Dengan ikut sertanya Syria, negara besar di tataran Arab selain Mesir, menjadikan perang ini menempati skala yang lebih besar, ketimbang perang sebelumnya. Perang ini menjadi semacam “pembuktian kedua” bahwa sesungguhnya Israel merupakan negara yang tak mudah ditaklukan. Isarel yang didukung oleh peralatan tempur super canggih di masanya, ditambah dengan jumlah tentara yang mempunyai semangat tinggi dalam berperang, mampu memukul mundur serta memporak-porandakan pertahanan pasukan gabungan dua negara tersebut. Pada pertempuran tersebut, mereka menyerang Bandar udara Mesir dan Syria dan membombardir pangkalan militer udara terbesar milik kedua negara tersebut lewat serangan darat secara sporadik. Untuk kali kedua ini, Israel benar8
Shaleh, Palestina; Sejarah, h. 81-82
33
benar tidak mengendurkan serangannya. Jika pada peperangan sebelumnya ia mampu menjatuhkan satu negara, kali ini dua negara mampu dibenamkan oleh Israel, dalam beberapa kasus termasuk pula Jordania. Kemenangan ini, mempunyai arti yang sangat positif bagi Israel. Tidak saja sebagai bukti munculnya “singa baru” di Timur Tengah, tetapi juga berkesempatan memperluas pengaruh, dengan menduduki daerah-daerah penting. Israel berhasil mencaplok dataran tinggi Golan, yang sebelumnya masuk dalam teritorial Syria. Semenanjung Sinai, Gaza, dan Yerussalem, pun mampu direbut Israel dari Mesir dan Jordania. Namun, yang cukup menakjubkan, peperangan ini dimenangkan oleh Israel hanya dalam waktu 6 hari, sungguh merupakan rekor tersendiri dalam sejarah peperangan sepanjang sejarah manusia. 5. Perang 1973 Perang 1973, dapat dikatakan sebagai perang pembalasan negara-negara Arab jilid II. Secara umum, negara-negara Arab hampir saja dapat memenangkan pertempuran ini, jika saja Amerika Serikat (AS) tidak melakukan intervensi lebih dalam dengan membantu melobi Anwar Sadat, Presiden Mesir yang menggantikan Nasser, untuk mengendurkan serangannya. Dalam perang ini, sebenarnya, Israel masih saja mendapatkan suplai dari negara sekutunya, AS, dalam bentuk pengadaan pesawat-pesawat tempur, tank, dan alat-alat berat laiannya. Namun, dengan semangat pembalasan, disertai dengan persiapan yang matang tentara gabungan Arab mampu memukul mundur kesatuan tempur Israel. Syria sedikit demi sedikit merangsek masuk untuk menguasai kembali daerah Golan, sedangkan pasukan Mesir, berhasil menduduki sebagian daerah Sinai.
34
Menyadari dirinya semakin tersudutkan, pihak Tel Aviv mengontak Henry Kissiinger, Menteri Luar Negeri AS, guna mendiskusikan masalah tersebut kepada Presiden AS Richard Nixon. Hasil pembicaraan tersebut menyimpulkan bahwa AS siap mengirim armada tempurnya dalam jumlah besar, guna membantu tentara Israel. Menyadari hal tersebut, Mesir berhasil meyakinkan pemerintah Moskow untuk membantunya. Atas dasar memperkuat jalinan kerjasama dengan sekutu Arabnya, Uni Soviet dan Jerman Timur menyiapkan sepasukan tempur guna menambah daya gedor menghadapi aliansi Israel-AS. Pihak Moskow menambah jajaran kekuatan tempur laut dengan menambah 12 kapal tempur dan mulai bergerak ke Iskadariyah. Menyadari akan timbulnya bentrokan dengan skala yang lebih besar, pihak Washington mengadakan pembicaraan-pembicaraan yang lebih solutif kepada pihak Moskow dan Sadat. Hasil dari pembicaraan ini, adalah mereka setuju untuk mengakhiri ketegangan tersebut dengan menyepakati gencatan senjata dengan batas waktu yang tidak ditentukan9. Jika saja, tidak ada campur tangan asing, perang ini dapat dimenangkan oleh tentara gabungan Arab.
6. Pseudo-Perdamaian Palestina-Israel Konflik Palestina-Israel merupakan isu klasik yang sampai detik ini masih saja berlangsung. Perdamaian-perdamaian yang terlaksana, mulai dari Camp David (1978) ke Oslo (1995), masih saja berada dalam wilayah retorika. Kedua negara tersebut terkesan tidak serius dalam upaya mengakhiri ketegangan skala
9
Richard Rosecrance, Kebangkitan Negara Dagang (Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, 1991), h. 3-6
35
global itu. AS yang kerapkali menjadi sponsor, pun tak sanggup untuk mengakhiri perselisihan itu. Simha Flapan menilai, “…kesepakatan perdamaian tidak selalu menyentuh beberapa elemenelemen khusus yang sejatinya wajib dicari solusinya. Seringkali, kesimpulankesimpulan pertemuan perdamaian kedua negara tersebut, jauh dari dinamisasi menuju persaudaraan kedua belah pihak. yang terjadi, malah tindakan-tindakan brutal Israel yang semakin menebarkan kesengsaraan pada penduduk Palestina. perdamaian adalah omong kosong, tanpa adanya resolusi yang tidak saja serius, namun mengikat dan wajib untuk dilaksanakan….”
Menurutnya, “…jalan yang paling memungkinkan guna menggapai perdamaian, adalah dengan bernegosiasi dengan PLO. PLO (Palestine Liberation Orgaization) adalah sebuah wadah resmi, yang dibentuk oleh Mesir dan negara-negara Arab pada 196410, yang mempunyai misi memperjuangkan kebebasan utuh bangsa Palestina. PLO yang merupakan induk dari organisasiorganisasi liberasi Palestina adalah corong suara rakyat Palestina. semakin eksis negosiasi dengan PLO , semakin terbuka kesempatan menghadirkan perdamaian antar-kedua belah pihak….” Selain menciptakan dialog intensif dengan PLO, menurut Simha, “…hal lain yang harus diperhatikan, adalah upaya untuk merekonstruksi kebijakan internal pemerintahan Israel. Keadaan Knesset (Parlemen Israel) yang didominasi oleh segolongan pejabat yang menghendaki pencaplokan menyeluruh wilayah Palestina- bahkan dalam jangka yang lebih lama, berambisi mencaplok Jordania dan Syria guna membentuk negara Israel raya- haruslah segera diakhiri. Parlemen Israel, haruslah diduduki oleh orang-orang yang pro-perdamaian. Jika sudah demikian, maka kemungkinan untuk mengamandemen kebijakan-kebijakan despotik dapat diredusir dan dihilangkan diganti dengan good policy yang mengarah pada penciptaan iklim filantropis dan kekeluargaan bagi kedua entitas tersebut.11
10
Reza Sihbudi, Menyandera Timur Tengah (Bandung: MIzan, 2007), h. 461. Simha Flapan, “Zionism and The Arab Question”, dalam Syafiq Mughni, ed, An Anthology of Contemporary Middle Eastern History (Montreal, Indonesia-Canada Islamic Higher Education Project). h 302. 11
36
Henry Cattan dalam tulisannya yang berjudul The Palestinian Problem: A Palestinian Point of View, menambahkan bahwa perdamaian haruslah dijaga dengan keadilan. Perdamaian yang telah tercipta, jika tidak diimbangi dengan penegakkan keadilan yang merata, adalah omong kosong. Namun, keadilan juga perlu membutuhkan recognition atas
pemenuhan hak-hak bangsa Palestina,
terutama pengakuan eksistensi tinggal atau menempati di tanah yang sejak lama telah menjadi tempat berpijaknya. Ini merupakan esensi daripada problem Palestina yang tidak saja menyebabkan kegelisahan di tataran regional, bak bola salju, kegelisahan ini menjadi mengkristal menjadi common problem yang hingga sekarang belum terselesaikan.12
C. Tokoh-Tokoh yang Terlibat dalam Konflik Palestina-Israel Dalam melihat alunan kronologis Pertikaian antara palestina dan Israel, tercatat beberapa nama yang penting untuk dikaji terkait dengan perannya masingmasing, beberapa dari mereka, adalah; 1. Theodore Herzl (1860-1904) Theodore Herzl, Pemimpin Organisasi Zionis Internasional Pertama, dilahirkan di Budapest pada 1860. Dia dididik dalam lingkungan yang sarat dengan semangat pencerahan Yahudi-Jerman. Di tahun 1878, keluarganya pindah ke Vienna, Jerman. Di kota inilah Herzl muda berkenalan dengan berbagai ilmu pengetahuan . Di tahun 1884, Herzl mendapatkan gelar doktor-nya dari Universitas Vienna. Dia dikenal sebagai penulis dan jurnalis di neue freie Presse, salah satu surat kabar terkenal di Vienna. 12
Henry Cattan, “The Palestine Problem”, dalam Syafiq Mughni., An Anthology of Contemporary Middle Eastern History (Montreal, Indonesia-Canada Islamic Higher Education Project). h.348.
37
Ketika belajar di universitas Vienna (1882), ia banyak mengkaji tentang pemikiran anti-Semitisme, dan dengan segera menjadi pokok kajian favoritnya. Ketika menjadi jurnalis, ia tidak meninggalkan hobinya di kampus dahulu, mengkaji segala hal yang berhubungan dengan anti-Semitisme. Karena seringnya berkecimpung dalam kasus penderitaan bangsa Yahudi, Herzl membukukan kajian tersebut dalam tulisan naskah drama yang berjudul The Ghetto (1894). Saat itu, ia mempunyai harapan, karyanya tersebut dapat menjadi bahan diskusi keilmiahan guna mencari titik temu toleransi dan rasa saling menghargai antara Kristen dan Yahudi. Pada waktu ketika ia hidup, bangsa Yahudi sedang mengalami kesenjangan sosial di Eropa, Herzl menuangkan pemikiran bersejarahnya tentang negara Yahudi dalam tulisannya yang berjudur Der Judenstaat (The Jewish State, 1896). Herzl berkeyakinan, permasalahan kaum Yahudi bukan saja problem individu, namun telah melebar ke wilayah nasional. Ia beranggapan, bangsa Yahudi dapat diakui di mata dunia, jika sudah mempunyai sebuah negara yang berdaulat. Bangsa Yahudi adalah bersaudara. Hanya dengan mendirikan negara, sesama Yahudi dapat terhimpun ke dalam satu kekuatan yang besar. Ia melihat persoalan Yahudi sama halnya dengan persoalan perpolitikan internasional. Herzl menambahkan, merupakan sebuah prioritas, membangun satu organisasi (organisasi ini dikemudian hari dikenal dengan nama Zionis) yang dikelola oleh para pemuka Yahudi. Organisasi tersebut berfungsi sebagai wadah penyeru umat Yahudi di seluruh dunia untuk berkumpul dalam satu negara. Negara sekuler modern yang mengadopsi model Eropa.
38
Dalam novel Zionisnya, yang berjudul Altneuland (Old New Land, 1902), Herzl menggambarkan negara Yahudi laiknya utopia kaum sosialis. Ia memimpikan negara baru yang di dalamnya terdapat keanggunan tanah Israel yang bersendikan pada penggunaan sains dan teknologi dalam mengembangkan tanah tersebut. Ide Herzl tentang perlunya membentuk satu negara, disambut dengan antusias oleh kaum Yahudi Eropa Timur. Ia berhasil mengajak saudagar kaya Yahudi, Baron Hirch dan Baron Roschild, untuk bergabung dalam organisasi Zionis pimpinannya. Puncaknya, Herzl berhasil menyatukan visi para pemuka Yahudi dunia yang hadir dalam Kongres Yahudi pertama di Basel, Swiss, 29-31 Agustus 1897, untuk merumuskan langkah politik umat Yahudi guna membentuk sebuah negara Yahudi13.
2. David Ben-Gurion (1886-1973) David Ben-Gurion dilahirkan di Plonsk, Polandia, pada 1886. Ia mengenyam pendidikan awalnya di sekolah Yahudi yang didirikan oleh ayahnya, seorang aktivis Zionis yang fanatik. Ketika remaja, Ben-Gurion memimpin grup Zionis Muda, “Ezra”, yang anggotanya berbicara dengan bahasa Yahudi. Ketika berumur 18 tahun, ia menjadi guru di sekolah Yahudi di Warsawa dan bergabung dengan perkumpulan Sosialis-Zionis “Poalei Zion” (Workers of Zion). Ketika berada di tanah Israel pada 1906, ia tergabung dalam pembentukan Serikat Petani (yang nantinya berkembang menjadi Kvutzah, cikal bakal dari Kibbutz). Ia bersama
juga ikut serta dalam pendirian serikat tentara
Yahudi,”Hashover” (The Watchman). 13
Biografi Theodore Herzl, http://www.jewishvirtuallylibrari.org.
diakses
pada
29
Januari
2011
dari
39
Ketika Eropa disibukkan oleh Perang Dunia I, ia dan Yitzhak Ben-Zvi (yang kemudian hari dikenal sebagai presiden kedua Israel, dideportasi ke daerah kekuasaan Turki Ottoman. Karena dinilai loyal oleh pemimpin sosialis-Zionis, ia dikirim ke New York untuk sebuah misi politis organisasinya. Di kota tersebut ia menikah dengan Paula Monbesz, seorang aktivis Poalei Zion. Ia kembali ke Israel setelah bergabung dengan legiun Yahudi bentukan Vladimir Jabotinsky, seorang pemuka Yahudi. Legiun tersebut adalah sebuah unit yang berada di bawah pengawasan tentara Inggris. Setelah terlibat dalam proses pembentukan negara Israel pada 1948, BenGurion mendapat kepercayaan menjadi perdana menteri pertama Israel merangkap sebagai menteri pertahanan. Ketika menjadi perdana menteri, ia terlibat aktif dalam perumusan institusi Israel. Ia juga mendorong pembangunan yang berujung pada kesejahteraan rakyat, seperti; pembentukan „Operasi Karpet Ajaib”, brigade udara yang bertugas menghadapi serangan negara-negara Arab. Pembanguanan instalasi air, proyek pengembangan pemukiman penduduk dan pembangunan kota-kota. Di bulan Juni 1963, Ben-Gurion pensiun dari jabatannya. Ia digantikan oleh lawan politiknya, Levi Eshkol. Dua tahun kemudian, ia mendirikan partai Rafi (List of Israeli Workers) yang dalam pemilu 1965, berhasil mendapatkan 10 kursi di Knesset. Setelah sebelumnya memisahkan diri dari partai Mapai, partai Rafi bergabung kembali dan bersama membentuk satu partai gabungan yang dinamakan Partai Buruh (Labor Party). Di saat yang sama, Ben-Gurion mendirikan partai baru, Hereshima Hamamlachtit (The State List), yang berhasil merebut 4 kursi, pada pemilu 1969. Di bulan Juni 1970, Ben-Gurion
40
mengundurkan diri dari dunia politik, dan kembali ke Kibbutz. Ia meninggal pada tahun 1973.14
3. Anwar Sadat (1918-1981) Dilahirkan di tengah keluarga dengan 13 anak pada tahun 1918, Anwar sadat tumbuh di desa kecil di Mit Abul Kom, kotakecil 40 mil sebelah selatan Kairo. Ayah Sadat bekerja sebagai pegawai di rumah sakit militer lokal. Pada masa kelahiran Sadat, Mesir berada di bawah kekuasaan Inggris. Terdapat empat figur yang menjadi inspirasi Sadat muda. Pertama, Zahran, seseorang yang berasal dari sebuah desa kecil seperti Sadat. Pada masa kolonial Inggris, Zahran digantung
karena terlibat dalam suatu kerusuhan yang
mengakibatkan matinya seorang perwira Inggris. Sadat memuja keberanian Zahran, walaupun harus berakhir di tiang gantungan. Kedua, Kemal Attaturk, bapak pendiri negara Turki Modern, seorang yang berperan menutup sejarah kekhalifahan Turki Ottoman. Attaturk membuat semacam reformasi pelayanan publik, yang dikagumi Sadat. Orang ketiga yaitu Mahatma Gandhi, seorang pejuang kemanusiaan India yang menghabiskan sebagian besar hidupnya untuk menyuarakan anti-kekerasan untuk melawan ketidakadilan. Yang terakhir, orang yang dikagumi Sadat adalah pemimpin Nazi Jerman, Adolf Hitler. Menurut Sadat, Hitler dapat diibaratkan sebagai kekuatan besar yang meredam gerak laju hegemoni pemerintahan Inggris.
14
Biografi David Ben-Gurion, diakses pada tanggal 29 Januari 2011 dari http://www.jewishvirtuallylibrari.org
41
Pada tahun 1936, Inggris bekerjasama dengan Partai Wafd untuk mendirikan sebuah sekolah militer di Mesir. Sadat adalah murid pertama dalam sekolah itu. Selain diberi pelajaran sains dan matematika, setiap murid juga dibekali kemampuan menganalisa perang. Dengan pelajaran tambahan itu, Sadat dapat mempelajari perang Gettysburg, salah satu perang sipil terbesar Amerika. Setelah lulus dari sekolah tersebut, pemerintah Mesir menugaskan Sadat di pos perbatasan Mesir. Di tempat itu, ia bertemu Gamal Abdul Nasser, seorang yang kemudian hari menjadi presiden pertama Mesir. Di tempat itu pula, Sadat, Nasser, dan perwira lainnya menyusun rencana untuk menggulingkan pemerintahan Inggris. Ketika Sadat menggantikan Presiden Nasser yang meninggal pada bulan September 1973, ia banyak melontarkan kebijakan yang berbeda dengan presiden sebelumnya. Ia menjalin hubungan diplomatik dengan AS, sesuatu yang tidak ditemui di era Nasser.
di tahun 1973, Sadat terlibat dalam perang sengit
menghadapi Israel. Peperangan itu dimenangkan oleh Israel dengan menjadikan Semenanjung Sinai sebagai bagian dari tertorial Israel. Untuk mengambil kembali daerah yang dikuasai oleh Israel, menurut Sadat, langkah yang paling relevan adalah berdamai dengan Israel. Pada tahun 1977, adalah tahun yang kontroversial bagi Sadat, ia bertandang ke Israel guna membahas keinginan Mesir berdamai dengan pemerintahan Tel Aviv. Israel menyambut positif permohonan Mesir tersebut. kedekatan tersebut semakin nyata ketika Sadat dan Menachem Begin (PM Israel saat itu) mengukuhkan persahabatan Israel-Mesir dengan legalitas Perjanjian Camp David (1978). Puncaknya, keinginan Mesir terasa lengkap dengan persetujuan Israel
42
menandatangani “Pakta Perdamaian” tahun 1979. Karena berhasil menciptakan hubungan harmonis dengan Israel pasca-perang 1973, Sadat dianugerahi Nobel Perdamaian15. Sebenarnya, dibalik kebahagiaan Mesir mendapatkan Sinai kembali, terdapat suatu kegagalan yang besar terlebih kaitannya dengan rakyat Palestina, dan Sadat, menyadari betul kegagalan ini. Kegembiraan, agaknya hanya berada di Mesir, namun hal ini tidak dirasakan oleh rakyat Palestina dan justru kebalikannya. Tepi Barat dan Yerusalem, menjadi imbalan bagi kembalinya daerah Sinai. Pengusaan Yerusalem oleh Mesir, menjadi faktor betapa Sadat sangat terpukul oleh pencaplokan tersebut. bahkan setelah peristiwa tersebut, Sadat dikabarkan selama beberapa hari mengalami depresi ringan. Jika ditilik sepintas, sangat terlihat Begin dan Sadat begitu akrab dan bersahabat. Namun, keadaan demikian sangat bertolak belakang jika sudah membicarakan perkara prinsip kenegaraan. Pernah suatu ketika, Sadat menawarkan aliran air sungai Nil ke Yerusalem dengan harapan dapat dimanfaatkan oleh warga kota itu. Sebenarnya, Sadat ingin menggunakan kebaikan ini guna memperlunak hati Begin dan nantinya akan mudah diajak bernegosiasi. Yang terjadi adalah sebaliknya, Begin megatakan bahwa prinsip Israel tidak bisa dibeli dengan air sungai Nil. Keamanan Israel dan kekeramatan Yerusalem tidak bisa dibeli oleh air Nil16. Perjalanan politik
Sadat diakhiri dengan momen
yang sangat
menyedihkan. Pada tahun 1981, ketika menghadiri sebuah parade militer, ia di
15
Biografi Anwar Sadat, diakses pada tanggal 29 Januari 2011 dari http://www.jewishvirtuallylibrari.org. 16 Mohamed Heikal, Anwar Sadat: Kemarau Kemarahan (Jakarta: PT. Pustaka Grafitipers, 1986), h. 144-154.
43
tembak oleh seorang aktivis Islam fundamentalis, bernama Khalid Al-Islambouli. Kursi kepresidenan Sadat, kemudian diwariskan kepada wakilnya, Hosni Mubarak.
4. Menachem Begin (1913-1992) Menachem Begin dilahirkan di Brestlitovsk pada 1913. Ketika masih belia, keluarganya berusaha membebaskan diri dari tempat tinggalnya yang ketika itu menjadi medan pertempuran pasukan Jerman versus pasukan Rusia pada Perang Dunia I. Masa mudanya dihabiskan sebagai fungsionaris organisasi Zionis muda, “Betar”. Organisasi tersebut dapat diibaratkan layaknya Kawah Candradimuka bagi Begin muda. Ia merintis karirnya dari tingkatan bawah hingga mendapat kepercayaan dipilih sebagai ketua organisasi itu. Di saat itulah, namanya mulai berkibar di kalangan para aktivis Yahudi. Pada tahun 1940, Begin ditawan oleh tentara Rusia dan dipekerjakan di kamp perburuhan, kejadian ini berlangsung ketika Josef Stalin berkuasa. Setelah invasi Nazi ke Uni Soviet pada 1941, dia dibebaskan berkat pertolongan seorang warga Polandia. Setelah kejadian tersebut, Begin ikut serta dalam tentara opsir bebas Polandia, yang di tahun 1943, mendapat kesempatana pelatihan militer di Palestina di bawah pengawawasan Inggris. Sejak tahun 1948 hingga 1977, Begin adalah pemimpin oposisi Israel. Pada tahun 1950, dia memimpin protes keras terhadap pemerintahan Nazi Jerman. Pada tahun 1965, Begin dan partainya, Partai Herut, berfusi dengan kalangan liberalis dan membentuk partai Gahal, yang merupakan embrio dari Partai Likud. Atsmosfer krisis 1967, menuntut Israel membentuk Persatuan
44
Pemerintahan Nasional. Di dalamnya, Begin dan beberapa
pemimpin Gahal
sempat duduk di kursi kabinet. Pemerintahan darurat itu berakhir pada 1970. Pada tahun 1977, Begin terpilih sebagai perdana menteri. Di masa pemerintahannya, ia menginisiasi proses perdamaian dengan Mesir, yang sebelumnya terlibat perseteruan berdarah dengan Israel. Langkah tersebut berujung kearah yang positif, yakni dengan terselenggaranya Perjanjian Camp David tahun 1978. Hubungan Israel-Mesir semakin harmonis setelah adanya “pengukuhan perdamaian jilid II” lewat Israel-Egypt Peace Treaty, tahun 1979. Politik dalam negeri Begin, menggambarkan wajah pemerintahan yang dekat berorientasi pada rakyat. Bagaimanapun, sumber-sumber kekayaan alam harus digunakan untuk pengentasan rakyat miskin. Begin memilih jalur perekonomian liberal sebagai “alat pendongkrak” kesejahteraan penduduknya. Setelah kematian istrinya, Aliza, pada musim dingin 1982, Begin memutuskan pensiun dari jabatannya. Dia menghabiskan masa istirahatnya dengan mengasingkan diri dari hingar-bingar
khalayak ramai. Begin hanya
muncul di publik, hanya ketika acara peringatan kematian istrinya dan acara pernikahan cucu-cucunya. Ia tutup usia pada 9 Maret 1992 dan di makamkan di Mount of Olives, di Jerusalem17. 5. Shimon Peres ( 1923-… ) Shimon Peres adalah presiden kesembilan dan perdana menteri kedelapan dan keduabelas Israel, dilahirkan di Wieniwa, Polandia (sekarang, Vishiniev di Belarus) pada 1923. Ia bermigrasi ke tanah mandat Palestina pada tahun
17
Biografi Menachem Begin, http://www.jewishvirtuallylibrari.org.
diakses
pada
tanggal
29
Januari
2011
dari
45
kesebelas. Ia tumbuh besar di Tel Aviv, dan mengenyam pendidikan Sekolah Tinggi Agrikultural di Ben Sheman. Peres
menghabiskan
sebagian
waktu
mudanya
dengan
belajar
kepemimpinan di Kibbutz Geva dan Kibbutz Alumat, dimana dirinya adalah salah satu pendirinya. Di tahun 1943, dia terpilih sebagai sekretaris Organisasi Buruh Zionis. Setahun kemudian, ia memutuskan kembali ke Kibbutz Alumat, dimana ia bekerja sebagai petani dan penggembala. Di tahun 1947, setelah mengikuti wajib militer di Tentara Pertahanan Haganah, di bawah pemerintahan David Ben-Gurion dan Levi Eshkol, Peres ditugaskan memimpin pasukan bawahannya dalam perang pembebasan Palestina periode awal. Satu tahun setelahnya, tepatnya setelah berakhirnya perang itu Peres dipercaya sebagai Kepala Angkatan Laut Israel. Ia juga didelegasikan sebagai wakil kementrian pertahanan Israel di AS. Di negara itu, ia melanjutkan studinya di New York School for Social Research di Harvard. Di tahun 1953, Peres ditunjuk oleh Ben-Gurion untuk mengisi jabatan Direktur Jenderal Kementrian Pertahanan, yang dipegangnya hingga tahun 1959. Selama masa tugasnya, Peres membentuk special relation dengan Perancis. Ia juga berhasil membangun industri pesawat tempur, sebaik pembanguan reaktor nuklir yang lebih dulu dikembangkannya. Kiprah politik Peres di Knesset, dimulai ketika ia terpilih sebagai anggota parlemen pada 1959. Di tahun 1965, ia dipercaya sebagai Deputi Menteri Pertahanan. Di tahun yang sama, Peres dan Ben-Gurion memutuskan keluar dari Partai Buruh Mapai. Kemudian, karir politik Peres naik ke tingkat yang lebih tinggi, yakni ketika ia berhasil menduduki posisi Sekretaris Jenderal Partai Rafi.
46
Ia juga berperan aktif dalam proses fusi partai Rafi dan Mapai yang bersatu menjadi Partai Buruh. pengalaman menyusuri belantara politik semakin lengkap, ketika ia dipercaya menduduki jabatan perdana menteri setelah memenangkan pemilu 1984. September 1993, menjadi momen yang bersejarah bagi Palestina dan Israel. Di tahun itu, Peres Berhasil bernegosiasi dengan Yassir Arafat atas suatu deklarasi perdamaian, terutama mengenai pengambilan kembali daerah-daerah yang sebelumnya dikuasai Israel seperti Gaza dan sebagian kawasan Judea dan Samaria. Atas langkah aktifnya dalam upaya mengakhiri ketegangan IsraelPalestina itulah, ia berhasil mendapat penghargaan nobel perdamaian tahun 1994, sama seperti Arafat dan Rabin. Peres berkesempatan menjadi
perdana menteri kembali menggantikan
Yitzhak Rabin yang tewas karena terbunuh pada tanggal 5 November 1995. Periode kepemimpinannya digunakan untuk menggalakan penyempurnaan proses perdamaian dengan Palestina. misi tersebut seakan menjadi harapan positif ditengah gelombang perang yang berkecamuk antara tentara Israel dan milisi Palestina. pada tanggal 13 Juni 2007, Peres dipilih oleh mayoritas anggota Knesset sebagai presiden kesembilan Israel. Di tahun 1996, Shimon Peres mendirikan The Peres Center for Peace, sebuah lembaga yang bergerak di bidang pemantapan kerjasama antara Israel dan bangsa Arab dibidang ekonomi,budaya, pendidikan, kesehatan, agrikultur, dan informasi. Tujuan lembaga ini selain sebagai sarana menjalin keakraban yang berlajut dengan program kerjasama berbasiskan rasa saling menghargai, yang
47
terpenting adalah tujuan finalnya, yakni penciptaan perdamaian abadi di timur tengah, khususnya antara Israel dan Palestina.18 Di mata bangsa Arab, Peres dikenal sebagai “tokoh Israel yang hatinya berada pada bangsa Palestina”. ketika masih aktif dalam jajaran eksekutif pemerintahan Israel, ia kerapkali terlibat perdebatan kusir dengan para pemimpin Yahudi garis kanan. Baginya, perdamaian dengan Palestina haruslah ditempuh, bagaimanapun beratnya19.
6. Benjamin Netanyahu (1949-…) Benjamin Netanyahu, adalah prajurit, diplomat, dan perdana menteri kesembilan Israel, yang lahir di Tel Aviv pada 21 Oktober 1949. Ia menghabiskan masa kecilnya di Jerusalem. Ia menghabiskan masa remajanya selama beberapa tahun di AS ketika ayahnya berprofesi sebagai sejarawan Yahudi di negara itu. Sekembalinya ke Israel pada 1967, Netanyahu memenuhi kewajibannya dalam program wajib militer. Ia juga dilibatkan dalam komando elit IDF dan ikut serta dalam beberapa operasi militer. Setelah 6 tahun berkecimpung di IDF, ia memutuskan untuk mengundurkan diri dengan predikat jabatan sebagai kapten. Setelah itu, Netanhayu melajutkan studinya di MIT, Boston dan berhasl mencapai gelar B.sc dibidang arsitektur dan M. sc dibidang studi menajemen. Ia juga mempelajari ilmu politik di MIT dan Harvard University. Di tahun 1976, ia bekerja di suatu biro konsultan di Boston, sebuah firma internasional yang bergerak dibidang konsutasi bisnis. Selanjutnya, ia berlabuh ke Jerusalem dan bekerja di industri rim. 18
Biografi Simon Peres, diakses pada http://www.jewishvirtuallylibrari.org 19 Riza Sihbudi. Menyandera Timur Tengah….., h. 321
29
Januari
2011
dari
48
Pada tahun 1982, Netanyahu ikut serta dalam misi diplomatik ke AS.dia juga termasuk delegasi pertama yang membicarakan kerjasama strategis dengan pemerintah AS. Di tahun 1984, Netanyahu diangkat sebagai duta Israel di PBB, ia memegang jabatan ini selama empat tahun. Segera setelah kembali ke Israel pada 1988, Netanyahu mulai memasuki gelanggang politik dan berhasil dipilih sebagai anggota Knesset dari partai Likud. Ia juga diangkat sebagai deputi luar negeri.
Ketika ia menduduki jabatnnya
tersebut, ia disibukkan dengan berbagai problem internasional seperti Intifada, Perang Teluk 1991, dan Konferensi Perdamain di Madrid, yang menginisiasi lahirnya negoisasi langsung pertama antara Israel, Syiria, dan Lebanon. Pada tanggal 25 Maret 1993, Netanyahu terpilih sebagai ketua Partai Likud dan menjadi kandidat perdana menteri dari partai tersebut. dia memimpin kekuatan oposisi melawan pemerintahan perdana meneteri Yitzhak Rabin. Di pemilu tahun 1996, ia berhasil terpilih sebagai perdana menteri setelah mengalahkan sang incumbent, Shimon Peres dari partai Buruh. Ia menduduki posisi tersebut sampai tahun 1999. Kabinet Netanyahu merupakan gabungan dari kelompok garis keras Yahudi, atau dengan istilah lain, Yahudi garis kanan. Kelompok ini senantiasa menekankan faktor keamanan negara sebagai skala prioritas dan menempatkan proses perdamaian di dalam laci. Dengan kata lain, pemerintahan Netanyahu, didominasi oleh kalangan yang fanatik mendukung pengembangan negara Israel dan menafikan etnis Arab Palestina. mereka akan senantiasa menghalangi orang yang mengedapankan proses perdamaian dengan Palestina20. 20
Biografi Benjamin Netanyahu, http://www.jewishvirtuallylibrari.org.
diakses
pada
29
Januari
2011
dari
49
7. Yasser Arafat (1929-2004) Tokoh yang benama lengkap Muahammed Abdul Raouf Arafat AlQudwa ini, dilahirkan di Jerusalem (pendapat lain di Kairo, Mesir) pada 24 Agustus 1929. Ketika kecil, Kakek dari pihak ibunya, Abdul Qadir Al-Husaini mengajari Arafat cilik agama Islam. Pada 1948, tahun dimana Israel memploklamirkan
diri
sebagai
negara,
Arafat
termasuk
pejuang
yang
mengirimkan pasokan senjata dari Mesir ke Palestina. setelah kakeknya meninggal pada April 1948 dan tentara Arab mengalami kekalahan, Arafat pergi ke Kairo dan kemudian menjadi mahasiswa teknik di Universitas Kairo. Walaupun berada di jurusan teknik, daya penjelajahan Arafat tidak berhenti sampai disitu. Ia juga gemar mengkaji filsafat politik. Dari komunismenya Marx sampai fundamentalisme Islam-nya Ikhwanul Muslimin. Oleh sebab itu, ia tertarik untuk menyatukan paham Marxisme. Islamisme, dan pan-Arabisme, sebagai platform ide perjuangan rakyat Palestina. Setelah sempat menggeluti dunia bisnis kontruksi di tahun 1957, Arafat mengabdikan diri sebagai gerilyawan pembebas Palestina, ia memakai nama samaran Abu Ammar. Pada 1964, Arafat dipercaya sebagai komite sentral Fatah, sebuah organisasi yang bergerak dibidang advokasi kepentingan rakyat Palestina. menyadari aktifitas Fatah yang semakin menanjak, Presiden Nasser yang merasa khawatir berusaha meredusir organisasi ini dengan cara mengumpulkan
13
pemimpin Arab dalam KTT Arab pertama, guna memprakarsai pembentukan Palestine Liberation Organization (PLO) yang merupakan wadah bagi lebih dari 40 kelompok milisi pembebasan Palestina, termasuk Fatah. Di tahun 1969, Arafat berhasil dipilih sebagai pemimpin PLO. Langgam kepemimpinan Arafat, baik di PLO hingga pembentukan pemerintahan otoritas
50
Palestina setelah perjanjian Oslo (1993) dan menjadi presidennya, dikenal sebagai pribadi yang moderat dan kooperatif terhadap pihak Israel maupun AS. Karena kelenturan sifatnya, ia tidak segan berdamai dengan Israel. Sikapnya tersebut kerapkali mengundang kebencian diantara organisasi Palestina garis keras , baik dari kalangan Islam (seperti Hamas dan Jihad Islam) maupun dari kalangan Kristen seperti Fraksi George Habbash dan Nayef Hawatmeh). Pada 1994, bersama mendiang PM Yitzhak Rabin dan Shimon Peres ia dianugerahi gelar Nobel Perdamaian.21 Meninggalnya Arafat, sempat menjadi kekhawatiran tersendiri bagi nasib bangsa Palestina kedepan. Pasca-Arafat seakan menciptakan “gerak lambat” penyelesaian jalan terjal penegakkan “prasasti damai” anatar-kedua negara yang bertikai, kepemimpinan Mahmoud Abbas, yang menggantikan posisi Arafat setelah memenangi pemilu 2005 agaknya belum mampu menciptakan perdamaian yang hakiki antara Palestina dan Israel.
D. Hakikat Konflik Palestina Konflik Palestina-Israel, sebenarnya tidak terjadi karena akibat-akibat sederhana. Banyak peristiwa maupun hal lain yang melatarbelakangi mengapa kekisruhan di wilayah Timur Tengah ini terjadi. Bukan saja karena faktor politis kaum Zionis yang dengan serta merta ingin mendirikan negara Yahudi Raya, terdapat beberapa aspek lain, terutama aspek pemahaman relijius dan mitos yang melatarbelakangi munculnya ketegangan dari kedua negara tersebut.
21
Biografi Yasser Arafat, http://www.jewishvirtuallylibrari.org.
diakses
pada
29
Januari
2011
dari
51
Faktor keagamaan, menjadi salah satu “senjata” bagi Israel untuk melancarkan klaimnya atas tanah Palestina. Hal ini terkait dengan eksistensi Yahudi yang pernah hidup dan sempat membangun peradaban di tanah Kan‟an tersebut. Trias Kuncahyono, seorang wartawan senior KOMPAS, menulis dalam bukunya Jerussalem: Kesucian, Konflik, dan Pengadilan Terakhir, yang menerangkan bahwa bangsa Yahudi, sebenarnya telah mempunyai jejak rekam yang menyejarah di tanah yang kemudian hari disebut negara Palestina tersebut, terutama di kota Yerussalem. Trias menambahkan bahwa orang Yahudi selalu memaknai Yerussalem dengan dua poin, agama dan politik. Hal ini terus dipertahankan hingga sekarang. Bagi kaum Yahudi, Yerusalem merupakan pengejawantahan komprehensif pusat politik dan agama para pengamal tradisi Yudaisme. Hal yang selalu menjadi pijakan, adalah elemen sejarah yang mereka amini tentang ingatan akan Yerussalem dan ingatan lain, yang bertindak sebagai “pilar penopang” kepercayaan Yahudi seperti Istana Daud, pendiri kerajaan Israel dan Kenizah, yang pertama kali dibangun oleh Solomon (Sulaiman), putra Daud. Dua latar belakang itulah yang menjaga obor persatuan kaum Yahudi selama berabad-abad, termasuk ketika mereka mengalami fase diaspora. Ketika masih berada pada fase berdiaspora. Bangsa Yahudi kerapkali menyertakan
harapan untuk berjumpa dengan Yerussalem. Keinginan
kuat
mereka berjumpa dengan Yerussalem. Dapat disepadankan dengan keinginan seorang Muslim yang bercita-cita menunaikan ibadah haji. Tembok Barat, yang terletak di Temple Mount, merupakan salah satu tempat yang diyakini mustajab untuk berdoa. Di tembok tersebut, umat Yahudi yang kebetulan lewat atau tinggal di sekitar tempat tersebut, berdoa tiga kali sehari, atau, jika berdoa di tempat lain, mereka harus mengarah ke Yerussalem.
52
Dalam setiap doa harian, mereka kerapkali ber-tawassul, menggunakan nama Yerussalem. Bahkan, diakhir setiap dua acara keagamaan utama Yahudi, Passover Seder atau Paskah Yahudi dan Yom Kippur atau Hari Pertobatan, selalu diakhiri dengan pernyataan “tahun depan di Yerussalem” (I‟shanah haba‟ah birushalayim) atau “tahun depan di Yerussalem yang telah dibangun kembali” (I‟shanah haba‟ah birushalayim hab‟nuyah). Ini berarti bahwa ibadah Paskah dan Yom Kippur hanya akan terasa pas apabila dilakukan di Yerussalem. Hal tersebut menjadi landasan utama, mengapa Isarel begitu berambisi menguasai tanah Palestina22. Selain itu, tanah Palestina memiliki makna yang berarti (meaningful) bagi Yahudi, dikarenakan di tempat itulah, mereka akan menyongsong datangnya AlMasih atau Mesiah. Dr. Muhsin Muhammad Saleh berpendapat, gerakan Protestan yang lahir pada abad 16, mempunyai hubungan religi yang kuat dengan bangsa Yahudi. Gerakan itu memandang bangsa Yahudi berdasarkan ajaran Taurat, mengatakan bahwa mereka adalah penduduk Palestina yang berdiaspora di muka bumi. Sebagai pengetahuan, bangsa Yahudi telah mengalami diaspora selama 800 tahun. Gerakan ini juga berkeyakinan ketika Al-Masih datang dan bangsa Yahudi telah berkumpul di Palestina, Al-Masih akan menasranikan mereka semua. Terkait dengan hubugan Islam dan Palestina, mengapa mereka begitu keras mempertahankan Palestina, tentu merupakan sebuah pembicaraan yang menarik. Posisi Masjidil Aqsa, sebagai masjid yang disucikan setelah Masjid AlHaram dan Masjid Nabawi, menjadi klaim terkuat bagi umat Islam. Dimensi kesakralan Al-Aqsa, diperkuat dengan kepercayaan umat Muslim tentang
22
Trias Kuncahyono, Jerusalem; Kesucian, Konflik, dan Pengadilan Akhir (Jakarta: Kompas 2009), h. 239.
53
peristiwa Mi‟raj Nabi SAW melalui batu karang yang terletak didalam The Dome of The Rock (Khutbatu As-Sakhrakh). Walaupun konflik ini berbalutkan kepentingan politis antara kedua belah pihak, namun tidak serta merta menafikan
tendensi dimensi religius
antar-
keduanya. Hillel Frisch dan Shmuel Sandler menuliskan, unsur keagamaan memainkan peran yang penting terhadap konflik kemanusiaan ini. Mereka mencatat, dalam beberapa demonstrasi anti-Israel, warga Palestina seringkali menggaungkan seruan historis, seperti kata-kata “haibar, haibar Ya Yahuud, jaish Muhammad saya‟ud” ( Haibar, Haibar, wahai Yahudi, tentara-tentara Muhammad akan kembali)23. Begitu pula dikalangan Zionis, ejekan maupun umpatan bagi Islam seringkali disuarakan, seperti yang mereka kumandangkan ketika berhasil menduduki Yerussalem pada perang 1967. Mereka menganggap, kemenangan tersebut sebagai pembalasan kaum Yahudi yang dikalahkan di Khaibar oleh pasukan Nabi Muhammad. Bahkan,dikesempatan tersebut, mereka mengatakan bahwa agama Muhammad telah kalah dan (saat itu) lari tunggang-langgang.24 Kekejaman yang dilakukan oleh kaum Zionis terhadap bangsa palestina, memang sudah diluar batas kemanusiaan. Apapun mereka lakukan, mulai dari cara yang amat sederhana, seperti mengadakan pemeriksaan bagi setiap warga Palestina yang kebetulan melintasi pos tentara Yahudi, sampai yang paling tidak masuk akal, seperti menggunakan “tameng hidup” anak-anak Palestina ketika
23
Hillel Frisch dan Shmuel Sandler. “Religion, State, and the International System in the Israeli-Palestinian Conflict”. Dalam International Political Science Review. Vol 25. No I (Januari. 2004).h 78. 24 Shaleh, Palestina;Sejarah, h. 87.
54
terlibat bentrok dengan milisi Palestina. dimata mereka, bangsa Palestina adalah kaum rendahan yang tak bernilai. Tindakan-tindakan itulah, yang membangkitkan amarah bagi para aktivisaktivis kemanusiaan. Tidak jarang mereka menganggap, perbuatan tersebut merupakan perbuatan biadab yang tidak seharusnya dilakukan oleh negara yang menyebut dirinya sebagai mercusuar demokrasi di Timur Tengah. banyak dari kalangan Yahudi sendiri yang mengutuk keras tindakan destruktif Israel. Tak jarang, mereka terlibat pertentangan terbuka dengan Zionis, dan berakhir dengan tuduhan dibayar oleh Palestina. suara kebenaran yang
mereka sampaikan,
walaupun disampaikan oleh sesama Yahudi, agaknya dapat diibaratkan seperti “angin lewat” yang tidak penting untuk ditanggapi oleh para pejabat negara Israel. Suatu kalangan akademisi Yahudi, yang menamakan diri sebagai “para sejarawan baru”, menyerang klaim sejarah “tanah yang terjanjikan”, sebagaimana yang diimani oleh kalangan Zionis, adalah sebuah “kebohongan suci” yang dijadikan sebagai pembenaran klaim tanah palestina. para anggotanya, yakni Ilan pappe, Avi Shlaim, Tom Segev, Baruch Kimmerling, Simha Flappan, dan Joel Miqdal. Mereka mempertanyakan “kebohongan Suci” yang dijadikan kebijakan negara Israel seperti: ras orang-orang Arab lebih rendah daripada Yahudi, Israel adalah sebuah negara kecil yang mencoba bertahan di suatu daerah yang dikelilingi oleh banyak musuh, semua orang Palestina adalah teroris yang ingin menghancurkan Israel. Ilan Pappe, salah satu anggota sejarawan baru, ketika ditanya dalam suatu forum tentang mengapa bangsa Israel tidak mengakui tindakan anarkis mereka terhadap bangsa Israel, memeberikan jawaban yang mengejutkan:
55
“inilah buah dari sebuah proses panjang pengajaran paham yang dimulai dari taman kanak-kanak, yang melibatkan semua anak lelaki dan perempuan Yahudi sepanjang kehidupan mereka. Anda tidak dapat menumbangkan sebuah sikap yang ditanamkan disana dengan sebuah mesin indoktrinasi yang kuat, yang menciptakan sebuah persepsi rasis tentang orang lain, yang digambarkan sebagai primitif, hampir selalu penuh kebencian-mereka dicekoki bahwa orang Palestina terlahir primitif, Islam, anti-semit, bukan bahwa ia adalah seseorang yang telah dirampas tanahnya”.
Tokoh sejarawan baru yang lain, Tom Segev, mengatakan bahwa sampai sekarang, negara Isarel tidak mempunyai sejarah yang resmi, yang diandalkan hanyalah mitos belaka. Albert Einstein, fisikawan besar sepanjang zaman, juga tidak ketinggalan dalam mengkritisi pendirian negara Israel. Pada tahun 1946, ketika menghadiri forum Anglo-American Comitte of Inquiri yang ketika itu sedang mempelajari masalah Palestina, Eistein mengatakan dalam presentasinya akan penentangannya terhadap penciptaan negara Yahudi.
Tokoh yang pada tahun 1950 menolak
permintaan menduduki jabatan presiden Israel ini, menyatakan pendapatnya perihal masalah Zionisme: “saya lebih cenderung melihat kesepakatan yang masuk akal dengan pihak Arab berdasarkan hidup bersama dalam perdamaian daripada penciptaan sebuah negara Yahudi. Terlepas dari pertimbangan praktis, pengetahuan saya akan sifat esensial agama Yahudi menentang gagasan sebuah negara Yahudi dengan pembatasan, tentara, dan kekuasaan betapapun sederhananya”. Erich Fromm, ilmuwan psikologi Freudian, juga kritis terhadap Zionisme. Dia mengatakan: klaim Yahudi terhadap tanah Israel tidak dapat menjadi klaim politik yang realistis. Jika semua bangsa tiba-tiba mengklaim wilayah di mana
56
nenek moyang mereka hidup dua ribu tahun yang lalu, dunia ini akan menjadi kacau25. Selain beberapa tokoh diatas, terdapat satu nama pengkritik Zionisme yang sayang untuk dilewatkan, ia adalah Noam Chomsky. Tokoh yang mempunyai nama lengkap Avram Noam Chomsky, adalah seorang professor linguistik di Massachusetts Institute of Technology (MIT).
Selain ahli linguis, ia dikenal
sebagai pribadi yang menguasai kajian perpolitikan internasional, khususnya mengenai kebijakan luar negeri AS. Konflik Timur Tengah, merupakan salah satu bidang yang mendapat perhatian serius dari Chomsky. Dalam aksi akademisnya, khususnya tulisannya yang mengkritik keras pemerintah AS, ia sering mendapat teguran keras dari koleganya di MIT. Chomsky dicap anti-Semit; menjadi musuh bebuyutan para pembela Israel. Baginya, seorang ilmuwan mempunyai tanggung jawab untuk menggunakan metode ilmiah untuk menelanjangi kebijakan-kebijakan AS yang pro-Israel. Karena seringnya melontarkan kritik pedas ke pemerintah gedung putih, Richard Nixon, mantan Presiden AS, ketika ia berkuasa, memasukan namanya sebagai daftar musuh. Dialah satu-satunya kritikus AS yang dicatat dalam daftar tersebut. selain itu, ia kerap diserang langsung oleh pejabat tinggi negaranya. Karena banyak dari karyanya yang kontra terhadap pemerintah, banyak dari tulisannya dibredel oleh para musuh ideologisnya. Karyanya jarang diresensi, meskipun bobot ilmianya tidak bisa diragukan lagi. Tulisan Chomsky, yang lebih penting, selain Syntatic Structures, antara lain Aspects of The Theory of Syntax (1965), American Power and the New Mandarins (1967), Peace in The Middle 25
Haris Priyatna, Kebiadaban Zionisme Israel: kesaksian Orang-Orang Yahudi (Bandung, Mizan, 2009), h 71-89.
57
East (1947), Lectures on Government and Binding (1981), The Fateful Triangle: The United States, Israel, and the Palestinians (1983), Deterring Democracy (1991), The Minimalist Program (1995), Hegemony or Survival (2003), dan Imperial Ambititions (2005). Buku-buku politiknya bernada keras dan berani, sehingga banyak yang menjadi buku laris26. Seakan tidak mau kalah, kalangan agamawan Yahudi pun, banyak yang berseberangan dengan kebijakan Zionis. Moshe Aryeh Friedman (lahir di Brooklyn, New York, AS) dari Wina, Austria adalah seorang rabbi dan aktivis politik Yahudi Ortodoks anti-Zionis yang dikenal sebagai pendiri berbagai gerakan anti-Zionis. Namanya mulai mencuat dalam International to Review the Global Vision of the Holocaust yang diselenggarakan pada 2006 di Teheran, Iran. Friedman sangat tidak setuju dengan pendirian negara Yahudi. Negara Yahudi, yang sekarang ini berdiri, haruslah segera dibubarkan dan bagi warga yang menempatinya, harus kembali ke tempat dimana mereka berasal. Menurutnya, keyakinan agama Yahudi mewajibkan kami untuk mengamankan kemerdekaan seluruh warga Palestina dan Jerusalem yang suci dari para penyerbu Zionis yang agresif. Rezim Zionis telah melakukan kejahatan diseluruh dunia dengan kebohongan Holokausnya, menampilkan para Zionis seolah-olah sebagai korban penderitaan dan penganiayaan.27
26 27
Ibid.., h. 188-190. Ibid., h. 182-183
BAB III BIOGRAFI INTELEKTUAL ABDURRAHMAN WAHID
A. Riwayat Hidup Abdurrahman Wahid, yang lebih akrab disapa Gus Dur, lahir pada 7 September 1940 dengan nama kecil Abdurrahman Ad-Dakhil. Gus Dur dilahirkan di Denanyar, dekat kota Jombang, Jawa Timur, di rumah pesantren milik kakek dari pihak ibunya, Kiai Haji Bisri Syansuri. Anak yang lahir dari pasangan Kiai Haji Wahid Hasyim dan Solichah ini, sejak kecil akrab dengan kehidupan pesantren. Keluarga besar Gus Dur, baik dari garis bapak maupun ibu, mempunyai latar belakang kepesantrenan yang kuat. Kedua Kakek Gus Dur, Kiai Haji Hasyim Asy‟ari dan Kiai Haji Bisri Syansuri, merupakan sosok ulama yang sangat dihormati dikalangan NU (Nahdhlatul Ulama), sebuah organisasi massa Islam terbesar di Indonesia, yang didirikan pada 31 Januari 1924. Kedua ulama tersebut merupakan founding fathers yang turut membidani lahirnya organisasi itu. Selain itu, kedua kiai diatas dikenal sebagai tokoh dua pesantren besar di Jombang. Pada tahun 1899, Kiai Haji Hasyim membuka sebuah daerah yang tadinya terkenal sebagai sarang maksiat, dan menyulapnya menjadi sebuah lembaga pengajaran Islam, kelak dikenal sebagai pesantren Tebu Ireng. Sedangkan Kiai Haji Bisri Syansuri berasal dari pesantren Denanyar. Jika Kiai Haji Hasyim terkenal sebagai pendiri pesantren Tebu Ireng, maka Kiai Bisri merupakan seseorang inovator handal yang memodernisasi pesantrennya. Pada
58
59
tahun 1917, Kiai Haji Bisri memperkenalkan pada dunia pesantren, kelas pertama bagi santri putri. Ayah Gus Dur. Kiai Haji Wahid Hasyim, merupakan sosok sarjana muslim yang cerdas dan terkenal mempunyai komitmen tinggi. Setelah dua tahun mengembara ilmu di Mekkah, Wahid Hasyim kembali ke Tebu Ireng pada tahun 1934, dia pun memulai karirnya sebagai pengajar di pesantren milik ayahnya tersebut. Wahid Hasyim, merupakan sosok guru agama yang mempunyai pandangan inklusif, hal ini terterlihat dari gagasannya, yaitu mengawinkan pendidikan modern dengan pengajaran Islam klasik. Idenya tersebut terkristalisasi ketika ia dipercaya mendirikan madrasah modern di lingkungan Tebu Ireng.
1. Masa kecil Ketika Gus Dur muda berusia 4 tahun, ia diajak oleh ayahnya untuk tinggal di Jakarta, hal ini terjadi pada tahun 1944. Di daerah yang nantinya menjadi pusat pemerintahan Indonesia itu, Wahid Hasyim memilih daerah Menteng untuk dijadikan tempat tinggal. Saat itu, Menteng sudah terkenal sebagai hunian yang diminati oleh para pengusaha terkenal, para professional, dan para politikus. Wahid Hasyim mengawali penjelajahannya di dunia pemerintahan Jakarta sebagai pengurus Shumubu, Kantor Urusan Agama. sebenarnya, yang ditunjuk oleh pemerintah Jepang sebagai pengurus Shumubu adalah Kiai Haji Hasyim Asy‟ari. Namun, ketika disodorkan tawaran itu, Kiai Haji Hasyim seakan menghadapi dilema besar, bak memakan buah simalakama. Di satu sisi, dia tidak mau dicap sebagai penghianat oleh rekan-rekannya karena bertindak akomodatif dengan Jepang, di sisi lainnya, jika ia menolak, maka akan menimbulkan
60
kecurigaan Jepang terhadapnya. Untuk menyiasatinya, ia mengutus anaknya, yang atas kuasanya menjadi pejabat Shumubu. Setelah Jepang menyerah, Wahid Hasyim dan putra tercintanya itu, memutuskan untuk kembali ke Tebu Ireng. Bukannya mengurangi kesibukan, Wahid Hasyim malah menyibukkan dirinya lebih rekat dengan upaya mempersatukan komponen-komponen pergerakan nasional. Tak jarang, ia sering meninggalkan
keluarganya
dan
pulang
setelah
beberapa
minggu
dari
pegembaraan. perilaku “menghilangkan diri” sengaja dilakukan oleh Wahid Hasyim karena ia telah menjadi TO (target operasi) Belanda, yang ketika itu ingin kembali menancapkan kuku kolonialisnya kembali di nusantara. Pada fase kehidupan tersebut, warga NU dirundung kesedihan karena meninggalnya Kiai Haji Hasyim Asy‟ari, hal ini terjadi pada tahun 1947. Di tahun 1948, ketika perjanjian perdamaian telah ditandatangani oleh Belanda, masa pengasingan diri Wahid Hasyim resmi berakhir.
Atas
pertimbangan kesibukan pemerintahan, Ia dan keluarganya berencana untuk tinggal kembali di Jakarta. Pada bulan Desember 1949, tahun dimana Wahid Hasyim telah tepilih sebagai menteri agama, ia dan Gus Dur kembali ke Jakarta untuk menyiapkan rumah bagi keluarganya. Pada periode awal, ia dan anaknya tinggal di sebuah hotel di bilangan menteng. Ketika itu, setiap pagi, Wahid Hasyim seringkali mengantarkan Gus Dur ke sekolah dasar yang terletak tak jauh dari hotel tempat tinggalnya. Gus Dur menggambarkan, ayahnya merupakan pribadi yang serius, sederhana dan penuh kasih sayang terhadap anak-anaknya, hanya saja ia agak jarang berbicara dengan anaknya.
61
Selepas sekolah, Gus Dur juga diwajibkan oleh ayahnya untuk mengikuti pelajaran tambahan asing. Dalam hal ini, Wahid Hasyim mempercayakan Williem Iskandar Bueller, seorang Jerman muslim, guna memberikan pelajaran bahasa asing bagi anaknya. Di kediaman Bueller, Gus Dur bukan hanya diajari kemampuan berbicara dalam bahasa asing, namun pertemuan dengan Bueller juga menjadi titik awal kegemaran Gus Dur terhadap musik klasik Eropa, sesuatu yang tidak ditemuinya dalam rumahnya yang cenderung agamis dalam memilih musilk. Selain itu, Wahid Hasyim senantiasa mendorong anaknya itu untuk rajin membaca. Di rumahnya banyak terdapat buku berbagai, kumpulan Koran dan majalah berbagai bahasa yang sengaja dikumpulkannya untuk asupan inteletual putra-putrinya. Kemesraan Wahid Hasyim dan anaknya berakhir tragis dengan kematian sang ayah dalam suatu kecelakaan di Cimahi pada hari Sabtu tanggal 18 April 1953, lebih tepatnya pukul 01.00 siang. Ketika itu Gus Dur bepergian menyertai ayahnya dalam sebuah acara NU di Bandung. Dalam kecelakaan itu, Gus Dur dan sang supir berhasil selamat, namun tidak bagi Wahid Hasyim yang terluka parah, dan baru meninggal pada pukul 10.30 keesokan harinya di rumah sakit. Kejadian tersebut ditanggapi Gus Dur dengan arif dan tidak terlalu terlarut dalam kesedihan. Namun, di hati kecilnya, peristiwa tersebut menimbulkan satu kehilangan sosok terpenting dalam hidupnya. Selepas meninggalnya sang ayah, Gus Dur menapaki jalur remajanya dengan penuh keyakinan. Tamat dari SD, Gus Dur melanjutkan Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP) di Kota Pelajar, Yogyakarta. Di kota ini, ia tinggal di rumah H Djunaedi, teman ayahnya. Yang menarik, H Djunaedi adalah
62
seorang aktivis Muhammadiyah. Rasa saling menghormati dan menyayangi diantara keduanya, mampu meredam api perbedaan. Sebutan “surga pencari ilmu” yang disematkan ke Yogyakarta agaknya bukan isapan jempol. Di Kota ini, Gus Dur mulai memasuki rimbunnya pengetahuan lebih dalam.
Selain bersekolah formal, Gus Dur menambah
pengetahuan agamanya dengan mereguk mutiara-mutiara keilmuan di Pesantren Al-Munawwar, Krapyak. Ia belajar bahasa Arab langsung kepada si empunya pesantren, K.H. Ali Ma‟shum. Kiai ini terkesan tegas dan bijaksana, ia tidak sertamerta member perlakuan khusus kepada para “kaum gawagis” (jamak dari Gus= anak kiai). Justru sebaliknya, mereka ditempa lebih keras, di banding santri yang bukan berlatar belakang keluarga kiai. Setelah menamatkan sekolah lanjutan pertamanya pada tahun 1957, Gus Dur mulai lebih intens mempelajari agama di pesantren Tegalrejo, Magelang. Di sini, ia diajar langsung oleh Kiai Haji Khudori, yang merupakan salah satu pembesar NU. Gus Dur merupakan pribadi yang serius dalam menggeluti ranah keilmuan Islam, jika santri lain menyelesaikan pendidikan pesantren selama empat tahun, hal ini tidak berarti bagi Gus Dur, ia hanya membutuhkan waktu dua tahun untuk menguasai keilmuan di pesantren Kiai Haji Khudori itu. Di saat yang sama ia juga belajar di pesantren Denanyar dan langsung diajar oleh kakek dari pihak ibunya, Kiai Haji Bisri Syansuri1. Dapat dikatakan, periode tersebut merupakan salah satu fase “puber intelektual” Gus Dur. Ia buka hanya giat mengkaji literatur-literatur Arab klasik interdisipliner namun juga mengisi waktu senggangnya dengan membaca bukubuku para pemikir Barat. Sebenarnya, ketika kecil, Gus Dur bercita-cita menjadi 1
Greg Barton, Biografi Gus Dur (Yogyakarta: LKiS, 2010), h. 27-53
63
ABRI. Cita-cita ini kandas di tengah jalan sebab sejak usia 14 tahun, ia harus memakai kacamata minus. Kegilaannya terhadap buku, membuat heran teman-temannya sesama santri. Ditengah pusaran intelektualitas pesantren yang didominasi oleh kitabkitab klasik dan menghafal syair Arab, Gus Dur telah mampu menyantap buku berat seperti fisafat Plato, Das Kapital-nya Marx, Thales, dan novel karya William Bochner. Kekagetan para temannya melihat polah penjelajahan filsafat adalah diluar kewajaran, mengingat masih sangat jarang santri yang mempunyai hasrat belajar seperti Gus Dur. Untuk mencairkan kesuntukannya membaca buku, Gus Dur juga seringkali bermain catur dengan kawannya.2 Pada tahun 1959, Gus Dur melanjutkan pengembaraan ilmiahnya ke arah Timur pulau Jawa, tepatnya di tanah tumpah darahnya, Jombang. Di kota sebelah Timur Nganjuk ini, ia mempertajam pengetahuannya dengan berguru di Pesantren Tambak Beras asuhan sang mahaguru, Kiai Haji Wahab Chasbullah. Di sini, Gus Dur tidak saja belajar, namun juga didorong oleh sang kiai untuk mengajar. Ia memulai jalur pengabdiannya tersebut dengan menjadi guru di madrasah modern yang terletak dalam komplek pesantren dan ia pun mendapat kesempatan menjadi kepala sekolahnya. Di kawah candradimuka bagi para santri ini, Gus Dur juga sempat diserahi jabatan sebagai kepala pengamanan santri. Dia bertanggung jawab menjaga keamanan pesantren, termasuk mengamankannya dari pencurian3. Walaupun terpisah jauh dengan keluarga besar pesantren Krapyak, khususnya dengan Kiai Haji Ali Ma‟shum, tidak serta-merta merenggangkan
2
Ahmad Bahar, Biografi Kiai Politik Abdurrahman Wahid: Gagasan dan Pemikirannya, (Jakarta: Bina Ilmu, 1999), h. 4 3 Al-Zastrow, Gus Dur Siapa Sih Sampeyan? (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1999), h 26
64
hubungan keduanya. Gus Dur tetap berkunjung ke pesantren yang terletak di sebelah utara Yogyakarta itu. Pada waktu itu, Gus Dur mengalami semacam pencerahan keilmuan yang begitu mempesonanya. Bak seorang profesor menemukan suatu penemuan penting. Selain kegemarannya menyantap kitab-kitab arab klasik, baik dalam bidang
sastra,
tasawuf,
maupun
disiplin
lainnya,
ia
juga
gemar
mengintegrasikannya dengan ilmu hikmah, ataupun muatan sufiisme lainnya. Ilmu yang langsung berkaitan dengan kejiwaan ini, membutuhkan sarana untuk mempertajamnya. Tak jarang, dalam merengkuh keintiman dengan Sang Khalik, Gus Dur sering menziarahi makam para tokoh agama, maupun orang suci (saint) pada tengah malam. Ketika di Jombang misalnya, ketika ia bertekad menghafal suatu kitab kaidah sastra Arab standar, ia melakukan suatu ritual jalan kaki mengunjungi makam-makam kiai yang berada di selatan Jombang. Sejak remaja, Gus Dur dikenal sebagai pemuda yang berbeda dengan kebanyakan sebayanya. Logika umum yang beredar di masyarakat tentu saja mengatakan barang siapa yang rajin maka ia akan pandai. Pameo ini seakan membentur dinding keras jika disetarakan dengan pola kehidupan Gus Dur. Gus Dur muda dikenal sebagai orang yang cenderung pemalas dan kurang disiplin. Bahkan ketika bersekolah di lanjutan pertama, ia pernah tinggal kelas. Namun Gus Dur seakan membuktikan kepada dunia, bahwa kepandaian bukan saja didapat dibangku pendidikan formal. buku, bisa dibilang merupakan “pacar” yang tidak pernah ketinggalan dalam kesehariannya.
65
2.
Dari Sepakbola sampai Wayang Gus Dur merupakan prototype orang yang doyan akan selera masyarakat
bawah. Kedekatannya dengan dunia pesantren, tak lantas membuat pola pikirnya kaku dan eksklusif. Pandangan moderat yang memancar dari sosok pria tambun ini,
merupakan
rancang
bangun
yang
senantiasa
bermetamorfosis.
Kemampuannya mereguk dua tradisi secara bersamaan, barat dan timur, membuat wawasannya bertambah luas. Selain itu, banyak pula kegemaran Gus Dur lain yang tak kalah menarik untuk disimak, khususnya berkaitan dengan hobi nonton sepakbola. Untuk hal yang satu ini, agaknya Gus Dur tidak mau banyak kompromi. Sepak bola merupakan olahraga yang tak lepas dari Gus Dur. Kegemaran akan hal tersebut, bukan hanya berhenti pada kegiatan menyaksikan sepakbola melalui layar kaca, namun bergulir kearah hobinya yang lain, yakni menulis. Selain dikenal sebagai penulis prolifik di bidang politik dan humanisme, Gus Dur juga sempat menuangkan idenya dibidang sepakbola, lebih khususnya pada analisis pertandingan. Contohnya, dalam suatu tulisannya, ia begitu apik menelusur strategi demi strategi yang dimainkan oleh beberapa tim nasional Piala Eropa 1992. Gus Dur menggambarkan, betapa Piala Eropa ‟92 merupakan perang urat syaraf para tim-tim tangguh benua biru. Jika Belanda mempunyai motor serangan sekelas Ruud Gullit yang mampu menjadi “rudal jelajah” menyisir daerah pertahanan lawan, maka Swedia mempunyai trio Martin Dahlin, Thomas
66
Brolin dan Kennet Andersson. Efektivitas pola permaianan merupakan grand design yang kentara dalam perang bola di benua biru 19924 . Ada pula tulisan Gus Dur yang bersifat penggabungan analisa dengan melihat
suatu isu dengan menggunakan sudut pandang sepak bola. Dalam
tulisannya berjudul “Piala Dunia ‟82 dan Landreform”, Gus Dur menerangkan bahwa ada kemiripan paradigma yang terbangun antara beberapa tim Piala Dunia 1982 dan fenomena landreform, yakni dari segi perilaku negatifnya meraih suatu harapan atau target. Saat itu, sistem birokrasi di Indonesia belumlah “menggigit” secara rinci undang-undang pertanahan. Akibatnya, terjadi politik dagang sapi yang berbuntut pada kemenangan
kalangan partikelir.
Mereka berhasil
memperdaya pemerintah tingkat desa, seperti LKMD guna memberi legalitas kepemilikan tanah pada pemilik modal. Gus dur membadingkan, kejadian tersebut sama halnya dengan beberapa tim kontestan Piala Dunia 1982 yang meraih kemenangan dengan cara yang kurang
variatif.
Menurut
pandangannya,
Piala
Dunia
yang
kala
itu
diselenggarakan di Spanyol tersebut, tidak mampu mengangkat keagungan sepakbola laiknya karya seni yang menawan, kualitas cenderung regresif, dan hanya menjadi industri pertukangan. Yang terlihat hanyalah cara-cara negatif: menahan serangan bertubi-tubi dari lawan sambil mengintai kelemahan lawan5. Selain sepakbola, Gus Dur juga dikenal sebagai pribadi yang cinta akan produk budaya lokal, seperti wayang kulit. Gus Dur mulai tertarik dengan pertunjukan wayang ketika berada di Yogyakarta. Pertunjukan ini, sering
4
Abdurrahman Wahid, “Piala Eropa: Adu Pola,” dalam Tuhan Tidak Perlu Dibela (Yogyakarta: LKis, 2010), h. 197-198 5 Abdurrahman Wahid, “Piala Dunia ‟82 dan Landreform,” dalam Tuhan Tidak Perlu Dibela (Yogyakarta; LKis, 2010). h 195-196.
67
diadakan di sekitar Yogyakarta, tetapi jarang sekali di ibukota. Kala itu, Gus Dur selalu mencari-cari pertunjukan wayang di sekitar Yogyakarta dan Magelang setiap dua atau tiga kali seminggu . walaupun itu harus dibayar dengan menempuh jarak yang jauh sekalipun6. Menurut Gus Dur, cerita-cerita wayang menggambarkan dimensi sifat kemanusiaan Jawa yang diaplikasikan lewat media lain, yaitu lewat tokoh pertokoh ataupun lakon (cerita) dari wayang tersebut. umpanya, seperti kisah Bharatayudha, satu epos Mahabharata yang mengisahkan peperangan antara dua keluarga yang sebenarnya bersaudara, yakni antara Pandawa (keturunan Pandu) dan Kurawa (keturunan Kuru) yang berjumlah seratus orang. Menurutnya, ada perbedaan sudut pandang masyarakat Jawa jika dibandingkan dengan masyarakat Barat. Kurawa yag dipersonifikasikan sebagai pihak yang salah, masih mempunyai peluang untuk menjadi manusia yang baik, jika mereka mengembangkan aspirasi kebaikannya-menjadi seperti Pandawa yang telah mencapai kedudukan wasilun, kesempurnaan jiwa. Pertempuran di padang Kurusetra, yang merupakan tempat terjadinya perang Bharatayudha, adalah penggambaran dari sisi lain pergulatan budaya yang terjadi. Konsep tasawuf jelas menunjukkan adanya pengaruh dari pengaruh budaya Jawa pada maket budaya yang diusung oleh santri melalui pesantrenpesantren mereka. Pesantren-pesantren lama menerapkan unsur eklektik, yakni menyerap pengaruh ajaran Jawa guna menerapkannya dalam rancang bangun kehidupan pesantren.
6
Greg Barton, Biografi Gus Dur…, h. 54
68
Hal ini terlihat di tata bangunan lama pesantren Den Anyar, Jombang. Jika masuk pesantren itu, kita menemukan sebuah lapangan di depan masjid. Disebelah utara, terdapat kediaman kiai yang digambarkan sebagai orang yang telah sampai ke maqam (tingkat kebatinan) tertinggi (wasilun). Sedangkan di sebelah selatan lapangan, terdapat kombong, tempat tinggal santri yang menjadi “lawan” kiai karena masih berprofesi sebagai para perambah jalan keruhanian (salikun). Mereka dipertemukan di padang Kurusetra, yang dalam hal ini diwakili oleh masjid. Jika di cerita wayang, Kurusetra merupkan tempat peperangan fisik, maka hal demikian tak berlaku di masjid. masjid merupakan ajang peperangan jiwa sang kiai menundukkan aspirasi-aspirasi menyimpang santrinya. Hal demikian berbeda dengan Barat yang memandang fenomena dengan hitam-putih, jahat adalah tetap jahat, dan sebaliknya. Tidak ada peluang bagi si jahat hijrah menjadi pribadi yang baik. Pola pikir seperti ini ditanamkan sejak umur dini, contohnya tentang posisi cow boy sebagai pihak yang baik dan bandit sebagai orang yang selalu dan akan tetap di pihak yang jahat. Dua-duanya adalah keabadian yang tidak dapat saling berpindah tempat7. Wayang merupakan langgam budaya Jawa yang menancapkan pengaruh yang dalam di dunia Pesantren dan Islam secara luasnya. Hal ini dibenarkan oleh RH. Tjetjep Supriadi, seorang pengamat wayang dan dalang Wayang Golek Sunda. Menurutnya, para pendakwah Islam menggunakan realitas budaya masyarakat Jawa yang kala itu telah terlanjur mencintai budaya Hindu dan bahasa Sansekerta guna menciptakan dakwah yang lebih variatif dan akomodatif, salah 7
Abdurrahman Wahid, “Membaca Sejarah Lama (11),” dalam Membaca Sejarah Lama: 25 Kolom Sejarah Abdurrahman Wahid, (Yogyakarta: LKis, 2010), h. 47-49.
69
satunya dengan merekonstruksi kembali cerita wayangnya, pekem-nya (bentuk) tetap, tidak dirubah, hanya tuntunan/misinya disesuaikan dengan ajaran Islam8.
3. Menapaki Timur Tengah dan Eropa Gus Dur sangat berhasrat sekali mencari ilmu keluar negeri. Gayung pun bersambut, pada bulan November 1963, Gus Dur berkesempatan melajutkan di bumi para Pharao, Mesir. Kesempatan itu didapatnya karena ia lulus tes beasiswa dari Departemen Agama. Ketika itu, Gus Dur berangkat ke Mesir menggunakan kapal laut. Dalam perjalanan, dia membawa buku karya Arthur Schlesinger Jr yang berjudul “The Age of Jackson”, buku yang dibaca habis sepanjang perjalanan. Yang menarik, hari ketika ia berangkat bertepatan dengan hari terbunuhnya Presiden AS, John F. Kennedy di Dallas. Sebuah momen yang menghantui perjalanannya.9 Sesampainya di Mesir, Gus Dur yang awalnya begitu bersemangat dalan melanjutkan studi di Al-Azhar, menelan kekecewaan. Ia tidak bisa langsung mengikuti perkuliahan, dan disarankan oleh para pejabat universitas untuk mengikuti kelas persiapan guna memperbaiki pelajaran bahasa Arabnya. Sebenarnya, pengetahuan Gus Dur tehadap gramatika dan bahasa Arab disamping pengetahuannya tentang yurisprudensi Islam, teologi dan pokok-pokok pelajaran Islam yang lain telah sampai pada tingkatan yang lebih dari cukup, hanya saja ia tidak mempunyai ijasah resmi yang menunjukkan ia telah mumpuni di bidangbidang itu. Karena itu, ia dimasukkan ke kelas yang benar-benar dikhususkan bagi para beginners. Banyak dari temannya di kelas itu, yang baru datang dari Afrika 8 9
Tjetjep Supriadi, “Unsur Islam Dalam Pewayangan,” Wayang, Juni 2008, h. 70. Al-Zastrow, Gus Dur Siapa Sih Sampeyan,,, h. 22.
70
yang hampir tidak mengetahui abjad Arab, apalagi menggunakan bahasa Arab dalam percakapan. Kekecewaan ini berbuntut panjang, Gus Dur memutuskan untuk tidak mengikuti kelas persiapan tersebut, yang berarti ia tidak mengecap pendidikan formal lanjutan di Al-Azhar. Kekecewaannya terbayar dengan pesona kehidupan Kairo. Ia mulai menyibukkan hari-harinya menyaksikan pertandingan sepak bola, menonton filmfilm berbahasa Perancis kesukaannya, berdiskusi di kedai-kedai kopi dan mengunjungi perpustakaan-perpustakaan besar. Kota Kairo benar-benar menjadi obat kekecewaan Gus Dur atas kekecewaannya terhadap Al-Azhar. Bukanlah seorang Gus Dur, jika menyerah hanya terbentur dengan masalah formalitas. Walaupun ia gagal memasuki Al-Azhar, ia tetap dapat melepaskan hasrat intelektualnya di tempat lain di Kairo. Ia rajin menyambangi perpustakaan Universitas Amerika dan Universitas Kairo. Disamping itu, ia juga merambah perpustakaan Perancis guna menambah wawasannya. Di perpustakaan-perpustakaan tersebut, Gus Dur dibuat terpana oleh koleksi-koleksi yang maha kaya. Sebelumnya, ketika di Indonesia, Gus Dur belum pernah menemukan “sumber kearifan” yang melimpah ruah seperti di Kairo. Hal tersebut didukung pula oleh jadwal keseharian Gus Dur yang jauh dari keadaan padat. Hari-harinya yang harusnya dipenuhi oleh kelas-kelas persiapan Al-Azhar, diganti dengan pola hidup serba fleksibel, hal inilah yang menyebabkan ia dapat membaca apapun, kapanpun, dan dimanapun sebanyak yang ia inginkan. Bak tiada rotan akar pun jadi, Jika tidak ada buku, maka kliping surat kabar atau majalah pun dapat mengairi kegersangan pengetahuannya.
71
Menurut Gus Dur, ia turut membawa buku-buku kesukaannya seperti tulisan Marx dan Lenin, yang dibacanya kembali dan didiskusikan bersama mahasiswa dan kaum cendekiawan di kedai kopi langganannya. Di Bawah pemerintahan Nasser, tradisi intelektual berkembang dengan optimisme yang tinggi dan relatif terbuka. Walaupun ia belum berkesempatan menjajaki pengetahuan di Eropa, perkenalannya dengan pemikiran-pemikiran Barat di Kairo menjadi semacam obat penawar . sebuah keadaan yang belum tentu dapat dirasakannya di Indonesia kala itu. Di Kota itu ia juga mengasah kemampuan berorganisasinya. Segera setelah tiba di Kairo, Gus Dur mendapat kepercayaan sebagai ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI), yang merupakan organisasi penghubung para mahasiswa Indonesia di seluruh Timur Tengah. tak jarang ia banyak bertolak ke perwakilanperwakilan di wilayah tersebut guna menyelesaikan masalah-masalah mereka atau hanya sekedar memenuhi undangan. Pada tahun 1964, bersama seorang temannya yang kelak menjadi eorang ulama dan penyair besar, Mustofa Bisri, membuat majalah bagi PPI. Gus Dur menulis secara teratur untuk majalah ini. Disamping dikenal sebagai esais yang jenaka dan provokatif, Gus Dur juga kerapkali menjadi pembicara dalam forum diskusi dan menyampaikan pidato dalam pertemuan-pertemuan mahasiswa Indonesia. Kedai-kedai kopi di Kairo menempati posisi yang sulit dilupakan dalam pemikiran Gus Dur. Betapa tidak, tempat ini menjadi semacam sekolah tersendiri yang memperbaiki kelemahan-kelemahan dalam kemahiran bahasa Arabnya. Tak ayal, diskusi yang kerapkali diikutinya, tak ubahnya seperti kelas di Al-Azhar,
72
namun dengan suasana yang lebih santai. Ketika pejabat-pejabat membaca hasil belajarnya, mereka baru tersadar, betapa mereka telah salah menempatkan Gus Dur dalam kelas persiapan, akhirnya ia pun dapat ikut kuliah di Al-Azhar dengan mengambil jurusan bahasa Arab. Setelah beberapa waktu mencicipi pendidikan formalnya di Al-Azhar, ia pun kembali menelan kekecewaan yang lebih besar. Ternyata di fakultas yang ia pilih tersebut, ia kembali disibukkan dengan pengulangan pelajaran yang telah ia kuasai di Jombang dan Magelang. Ia juga menyesalkan cara belajarnya yang hanya menggunakan metode menghafal. Sekali lagi, ia membanting stir, keluar dari kepenatan mengulang pelajarannyta, dan kembali ke kehidupan jalanan Kairo. Sebenarnya, terdapat beberapa keuntungan yang diraih bagi mahasiswa yang bersungguh-sungguh mengikuti peraturan akademik di Al-Azhar. Bayak mahasiswa yang membuktikan hal tersbut. Namun kentungan tersebut sama sekali tidak dilirik Gus Dur. Pendekatan transformasi keilmuan yang ada, menjadi salah satu kendala utama, keengganan Gus Dur mengikutinya. Ia lebih suka menghabiskan waktunya menimba ilmu di luar universitas ini. Pengajaran Al-Azhar yang menggunakan metode klasik dan menolak segala unsur modern menjadi semacam penghalang bagi Gus Dur. Pengajaran seperti itu bukan hanya sangat membosankan, tetapi juga tidak menantang. Agaknya, Gus Dur sudah kenyang dicekoki metode hafalan yang didapatnya semasa ia di pesantren dahulu. Selain menyelami kesusastraan dan pemikiran barat, Gus dur juga tidak ketinggalan perkembangan intelektualitas di dunia Islam. Bacaannya sangat luas
73
mulai dari karya-karya Sayyid Qutb, yang terkenal dengan pemikiran ekstrimisme Islamnya, karya-karya Hasan Al-Banna (tokoh yang mendirikan Ikhwanul Muslimin di Mesir pada tahun 1928 yang mengusung semangat kembali kepada alquran dan hadis guna menyembuhkan penyakit masyarakat), Ali Syari‟ati (intelektual Iran, tulisannya menggelorakan masyarakatnya untuk melakukan revolusi konstitusional dinegaranya). Namun, ada satu hal yang disayangkan oleh Gus Dur terhadap beberapa tokoh diatas. Yakni, keengganannya menerima kebenaran yang berasal dari sumber lain. Jejak inteletual Gus Dur tidak hanya berhenti di bumi para Pharao. Jiwa petualangannya membawanya ke negeri Aladin, Baghdad, Iraq. Loyalitasnya di PPI, kedekatannya pada pejabat kedutaan Indonesia ditambah pengetahuannya yang mumpuni dalam beberapa disiplin ilmu, menjadi elemen sentral yang mengantarkannya meraih beasiswa keduanya tersebut. selain itu, di tempat persinggahannya yang baru ini, Gus Dur menemukan oase keilmuan yang tak kalah semarak dengan Kairo. Baghdad, merupakan pusat kehidupan yang saat itu dikenal oleh para mahasiswa Indonesia sebagai kota kosmopolitan yang penuh dengan vitalitas, baik dari ranah ilmu pengetahuan maupun seni. Para intelektual bebas untuk mengutarakan pendangan maupun pemikirannya. Hal ini berbanding terbalik dengan Mesir. Disaat yang sama, Mesir dibawah pemerintahan Nasser menerapkan filtrasi yang cukup ketat dalam semua aspek kehidupan, tak terkecuali dalam bidang pendidikan. Langgam otokratik pemerintahan Nasser, menjadi salah satu faktor utama keengganan Gus Dur untuk berlama-lama di Mesir.
74
Di kota ini, Gus Dur memilih Universitas Baghdad sebagai tambatan sampan pengembaraannya. Saat itu Universitas Baghdad, walaupun sama-sama berada di kawasan Timur Tengah, memiliki perbedaan signifikan dengan AlAzhar.
Jika
universitas
Al-Azhar
bersikukuh
mempertahankan
metode
tradisionalnya yang merupakan hasil proliferasi selama berabad-abad, maka Universitas Baghdad banyak mengadopsi unsur Eropa . satu hal yang cukup menyita perhatian, banyak dari akademisi Mesir favorit Gus Dur, pindah ke universitas tersebut dengan alasan di tempat itu mereka mendapatkan kebebasan akademik dan gaji yang lebih tinggi. Di Baghdad, jadwal belajar Gus Dur lebih ketat ketimbang di Kairo. Ia diharuskan untuk masuk secara teratur di kelasnya, dan sebisa mungkin jangan sampai membolos. Seringkali, ia mesti mengorbankan sebagain waktu istirahatnya, karena malamnya ia gunakan untuk membaca. Selain itu, Gus Dur juga intens mengikuti kursus bahasa Perancis gratis di Pusat Kabudayaan Perancis. Kesempatan ini didapat ketika dalam sebuah pesta, ia ditawari oleh guru bahasa Perancisnya untuk memperdalam pelajaran bahasa Perancisnya. Di kota ini, Gus Dur tidak hanya bergaul dengan teman setanah air, namun juga ia tidak malu untuk menjalin persahabatan dengan orang non-Indonesia. Perbedaan adat dan ras, tidaklah dipandang Gus Dur sebagai penghalang. Justru dari pergaulan interkultural ini, Gus Dur dapat belajar berbagai hal yang tidak ditemukannya di dalam buku, dan yang menarik lagsung dari si pelakunya, layaknya wawancara. Salah satu sahabat Gus Dur yang cukup memberikan warna dalam mengisi hari-hari adalah Ramin. Ramin adalah seorang pemikir liberal dan terbuka. Ia giat mempelajari “Cabbala” suatu aliran mistik kuno Yahudi.
75
Gus Dur dan Ramin seringkali terlihat bersama di pasar dekat Taman Gantung. Kebetulan ditempat itu terdapat satu tempat yang nyaman untuk melakukan diskusi. Tema pembicaraan mereka beragam, mulai dari agama, filsafat bahkan politik. Ramin banyak menerangkan kepada Gus Dur seputar masalah diaspora Yahudi. Menurut Ramin, masa diaspora adalah masa yang sulit bagi Yahudi. Keterpurukan Yahudi semakin menggila di Jerman dan Rusia. Dari sahabatnya itu, Gus Dur mulai belajar menghormati ajaran Yudaisme serta keprihatinan Yahudi yang nasibnya terkatung-katung selama berabad-abad. Setelah menamatkan studinya di Baghdad pada pertengahan 1970-an. Gus Dur melanjutkan studi pascasarjananya ke Eropa dan negara yang dipilih oleh Gus Dur adalah Belanda. Di negeri kincir angin ini, rencananya, Gus Dur akan mengambil objek studi perbandingan agama. mula-mula ia mencari informasi di Universitas Leiden. namun, keriangan hati Gus Dur membeku seketika. Ternyata, hasil belajarnya selama empat tahun tidak mendapat pengakuan dari Leiden dan beberapa Universitas Eropa lainnya. Justru, ia disarankan untuk kembali mengulang dari tingkatan sarjana. Kekecewaan ini tidaklah lama terendap di hati Gus Dur. Biarpun ia tidak bisa menempuh studi formal, namun ia tetap berkeyakinan akan tetap mendapatkan hikmah terpendam dari benua biru ini, sekalipun tidak di bangku kuliah. Sela satu tahun ia berkelana menyusuri Eropa. Ia memilih Belanda, Jerman, dan Perancis sebagai tempat persinggahannya. Di negara-negara itu, Gus Dur menyibukkan diri dengan menjadi semacam free agent yang mendulang kekayaan pengetahuan Eropa lewat forum-forum diskusi yang diikutinya.
76
4. Kembali ke Tanah Air Pada tanggal 4 Mei 1971, Gus Dur kembali dengan berat hati ke Jawa. Rencana studinya di Eropa bisa dikatakan gagal. Namun, Gus Dur tetap berkeyakinan jika Eropa tak mau menerimanya, maka di Universitas Mc Gill, Montreal, Kanada, tentu akan mau menerimanya. Dengan memafaatkan kedekatan keluarga dengan Departemen Agama, tidak sulit bagi Gus Dur untuk mendapatkan studi ke negara yang mempunyai bendera bergambar daum maple itu. Terlebih ketika itu, Departemen Agama mempunyai semacam program mencetak inteletual Islam dalam negeri berwawasan global. Namun demikian, karena kesibukannya, akhirnya ia mengurungkan niatnya guna mencari beasiswa strata II. Ketika kembali ke Jakarta, ia ingin sekali mencicipi alam inteletualitas di ibu kota. Ketika itu, ia mendapat undangan untuk mengikuti suatu kegiatan yang diadakan oleh Lembaga Pengkajian Pengetahuan, Pendidikan, Ekonomi, dan Sosial (LP3ES), yang merupakan LSM generasi awal yang lahir pada tahun 1970an. Awalnya, LSM ini mendapat sokongan dana dari German Neumann Institute dan kemudian berlanjut didanai oleh Yayasan Ford. Saat itu, lembaga tersebut banyak menarik para pemikir-pemikir muda negeri ini yang berasal dari barisan pendukung Islam Progresif dan kaum sosial demokrat, seperti Dawam Raharjo, Adi Sasono, Aswab Mahasin, dan Abdurrahman Wahid. Salah satu prestasi prestasi fenomenal dari lembaga ini adalah keberhasilannya menerbitkan jurnal Prisma yang telah diakui mempunyai kadar intelektual tinggi di mata para ilmuwan tanah air. Boleh dikatakan, Organisasi inilah yang menjadi meriam yang melontarkan Gus Dur ke jagad intektual tanah air. Gus Dur dikenal sebagai
77
pemikir muda yang kritis dan kerapkali lewat tulisannya di jurnal Prisma ia menawarkan problem solving atas berbagai masalah sosial. Pegetahuan yang luas tentang tradisi intelektual Islam klasik menjadi pilar-pilar yang menopang argumen intelektual Gus Dur. Paham teologi Islam , seperti Ahlussunnah wal jama‟ah, bentuk aliran teologis yang banyak diyakini di tanah air, di mata Gus Dur bukan saja berbentuk ibadah ritualistik semata, justru bagaimana paham ini menciptakan kesalehan sosial di tengah umat manusia yang beragam, demikian salah satu rancang bangun dependenitas agama dan kehidupan sosial yang menjadi blue print pakta integritas berbangsa dan bernegara10. Sekembalinya Gus Dur dari Timur Tengah, diskursus keilmuan tanah air disibukkan oleh wacana Islam dan modernitas. Isu itu menjadi pelecut progresifitas kajian Islam tanah air guna menyambut gerakan zaman yang semakin mengglobal. Namun, yang menjadi kekhawatiran Gus Dur adalah adanya beberapa tulisan intelektual Islam lain yang menyudutkan peran pesantren. Hadirnya tulisan Gus Dur ke tengah percaturan inteletual dunia Islam tanah air bertujuan untuk menetralisasi dan mengklarifikasi pandangan-pandangan sepihak yag mempunyai muatan distortif terhadap pesantren.11 Saat itu, Abdurrahman Wahid menerapkan pendekatan baru dalam meneropong pesantren. Selain piawai menggunakan bahasa pesantren, dengan menerapkan beberapa legal-maxim (dalil) agama
yang dihadirkannya dari
timbunan kitab-kitab klasik, ia juga mengkombinasikannya dengan analisis model ilmu sosial modern. Sulit dipungkiri, nafas tulisan Gus Dur tentang hal ini penuh
10
Zuhairi Misrawi. Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy‟sri: Moderasi, Keumatan, dan kebangsaan (Jakarta: Kompas, 2010), h. 137. 11 Greg Barton, Biografi Gus Dur…, h. 87-115
78
dengan empati. Hal ini tidak lepas dari peran dirinya yang merupakan “orang dalam” dan mencicipi asam garam dunia kaum sarungan itu.12
E. Karir Abdurrahman Wahid Membaca kisah Gus Dur, tidak bisa terlepas dari organisasi yang membesarkan namanya, NU. Organisasi tersebut, bisa dikatakan, adalah kendaraan Gus Dur yang mengantarkannya dari seorang cendekiawan lokal menjadi seorang dengan reputasi yang sangat diperhitungkan. Awal keikutsertaan Gus Dur dalam organisasi massa terbesar di dunia initak terlepas dari faktor keluarga yang memberikan dorongan awal untuk mengembangkan organisasi ini. Terdapat dua orang yang begitu bersemangat mengajak Gus Dur untuk masuk kedalam struktur NU. Yang pertama, adalah ibunya, orang yang paling dicintai. Ibu Gus Dur begitu mengharapkan puteranya tersebut, mampu melanjutkan perjuangan kakek dan bapaknya lewat NU. Jauh-jauh hari ibunya menginginkan Gus Dur untuk bisa memperjuangkan eksistensi organisasi bersimbol bola dunia dengan Sembilan bintang ini, bahkan sebelum Gus Dur “menjadi orang”, tepatnya sebelum ia berangkat ke Timur Tengah. sosok kedua yang begitu gigih menyuruh Gus Dur untuk ikut serta dalam bahtera NU adalah kakeknya, Kiai Haji Bisri Syansuri. Ulama yang merupakan salah satu pendiri NU selain Kiai Haji Hasim Asy‟ari. Tidak hanya memerintahkan Gus Dur sekali untuk masuk NU, namun sampai ketiga kali Gus Dur belum beranjak untuk hijrah ke struktural NU. 12
Umaruddin Masdar, Gus Dur: Pecinta Ulama Sepanjang Zaman, Pembela Minoritas Etnis –Keagamaan, (Yogyakarta: KLIK R, 2005), h. 92-94.
79
Mendengar berita kakeknya telah menyuruh Gus Dur masuk NU, namun kurang mendapatkan jawaban yang semestinya, ibunya begitu prihatin. Untuk yang kesekian kalinya, ibunya meminta kepada Gus Dur untuk menuruti apa yang dititahkan oleh kakeknya. Ibunya mengingatkan salah satu sikap kakeknya adalah pantang untuk mengulang satu perintah untuk keduakalinya, apalagi seterusnya. Menyadari hal tersebut, mulailah pria yang berkaca mata tebal sejak muda belia ini putar otak. Awalnya, Gus Dur bersikukuh untuk tidak mau bergabung ke NU secara struktural. Ia beranggapan, dalam memperjuangkan umat muslim tidak harus ikut ke NU, justru ia mempunyai rencana sebaliknya, berkiprah diluar NU. Akhirnya, ia memutuskan untuk bergabung ke dalam NU. Ia berharap keikutsertaannya di NU dapat memberikan warna baru bagi perjuangan organisasi ini. Banyak orang yang bertanya, karir Gus Dur begitu melejit di NU karena mewarisi darah kealiman bapak dan kakeknya. Menurut pendapat Gus Dur, hal itu adalah sepele dan bukan merupakan prioritas. Memang, bisa dibilang, faktor keturunan- walaupun Gus Dur menampik hal itu- menempatkan dirinya dalam kedudukan terhormat dan orang pun banyak berharap darinya. Akan tetapi, bukti loyalitas untuk memajukan organisasi adalah hal yang dapat mengalahkan fenomena trah-isme. Di NU, Gus Dur menempati jabatan Dewan Syuriah Nasonal bersama kakeknya. Kala itu, Kiai Bisri Syansuri menjari ketua Dewan Syariah (Rais Aam). Dari posisiya itu, Gus Dur mulai dapat meraba kekurangan –kekurangan yang dipandangnya harus segera diperbaiki. Hal ini semakin memperkokoh eksistensinya sebagai pemimpin muda yang visioner. Selain itu, Gus Dur bersama Nurcholis Madjid, Djohan Effendi dikenal sebagai tokoh yang mengumadangkan paham neomodernisme Islam. Paham ini
80
pada hakikatnya merupakan kolaborasi dari pengetahuan khazanah klasik Islam dan pengetahuan barat modern. Terkadang beberapa kalangan menyangsikan apakah unsur pengetahuan Islam dapat bersintesa dengan pandangan Barat yang cenderung sekuler. namun keraguan ini sebenarnya sudah mendapat jawaban dari tubuh pengetahuan klasik Islam sendiri. Terdapat sebuah diktum yang sangat akrab di telinga kalangan kaum sarungan yang berbunyi al-muhafdzah „ala qadiim ash-shaalih wa al-akhdzu bi al-jadiid al-ashlah. Karena ilmu pengetahuan kerapkali berubah dan dinamis, segala macam ilmu, termasuk agama, membutuhkan semacam pembaruan guna mengangkat harkat dan martabat agama sendiri, agar lebih inklusif dan solutif memandang setiap perubahan di tengan masyarakat.
1. Juru kampanye PPP Menjelang tahun 1982, merupakan saat-saat yang menyibukkan bagi Gus Dur dalam tubuh NU. Gus Dur bekerjasama dengan Kiai Haji Ahmad Siddiq, seorang kiai senior yang mempunyai semangat pembaharu. Walaupun antara Kiai Ahmad Siddiq dan Gus Dur terpaut usia 24 tahun, namun keduanya tetap terlihat akrab, bak ayah dan anak, tidak ada rasa sungkan
bagi Gus Dur dalam
mengutarakan pendapatnya kepada Kiai Haji Ahmad Siddiq. Keduanya mempunyai pendapat yang sama, tentang perlunya sebuah ijtihad dalam Alquran dan hadis. Kiai Haji Ahmad Siddiq, layaknya Gus Dur, adalah seorang pemuka agama yang mampu menerjemahkan ide-ide modern ke dalam bahasa Islam tradisional guna meyakinkan para kiai yang lebih sepuh dan bagi kalangan yang condong ke arah konservatif.
81
Sebelum Pemilu 1982, yang dilangsungkan pada bulan Mei, perhatian Gus Dur tersita oleh kegiatan kampanye yang dilakukan oleh PPP. Sebenarnya, ia tidak terlalu suka terjun secara langsung kedalam kegiatan partai ini, namun setelah dipikirnya masak-masak, barulah ia tersadar. Untuk mengalahkan partai pemerintah (Golkar) yang saat itu sedang menghegemoni, maka kerja keras guna mensukseskan elemen-elemen partai oposisi merupakan hal yang logis. Sebelum Pemilu 1982, keadaan warga nahdhliyin di pentas internal partai PPP, sangatlah memprihatinkan. Presiden Soeharto memrintahkan kepada Jaelani Naro, ketua PPP kala itu, untuk mengebiri perwakilan NU di kursi parlemen. Politikus NU dinilai terlalu vokal terhadap pemerintah. Dengan cara dimutasi ke posisi yang kurang strategis dalam tubuh partai, diharapkan suara kritis mereka tidak terdengar lagi. Hal seperti inilah yang menjadi faktor pemantik kuat Gus Dur mulai terjun ke konstelasi perpolitikan nasional. Perubahan tidak dapat dilakukan di luar sistem. Laiknya NU, merubah sesuatu haruslah dengan menggabungkan diri ke sistem.
2. NU Menerima Pacasila Gus Dur dan Kiai Haji Ahmad Siddiq, seorang tokoh kiai yang mempunyai pandangan inklusif di tubuh NU mempunyai outlook yang sama dalam mencermati asas tunggal Pancasila. mereka terlibat dalam pembicaraanpembicaraan serius guna mencari sintesa antara garis perjuangan NU dan Pancasila. Sebelumnya, kewajiaban mengusung asas tunggal sebagai dasar organisasi keagamaan, telah disampaikan Presiden Soeharto pada awal tahun 1983. Gus Dur sendiri mendapatkan kabar tersebut dari Benny Murdani, seorang perwira militer yang merupakan tangan kanan Soeharto, yang menyatakan bagi
82
organisasi agama yang tidak menyetujui Pacasila sebagai common platform, maka kelak akan menghadapi represifitas dari penguasa. Sebenarnya, telah lama Gus Dur mempunyai pandangan pentingnya internalisasi Pancasila sebagai ideologi dasar
hubungan agama atau negara.
Bagaimanapun, harus ada pemisahan yang jelas antara hukum kenegaraan dan postulat agama. kedua entitas tersebut, tidak bisa begitu saja disatukan, mengingat akan terjadi kecemburuan sosial antar-pemeluk beragama. Hal ini, juga merupakan bentuk apresiasi terhadap minoritas non-muslim yang sejatinya merupakan warga negara yang membutuhkan perhatian dari negara. Bagi Gus Dur, lebih baik bagi negara untuk menjauhi terma-terma keagamaan. Melalui Pancasila, maka kebebasan beragama dan berkeyakinan mendapatkan payung hukum yang memadai dan yang terpenting, perlindungan dari negara. Pancasila merupakan solusi bagai terciptanya iklim filantropis dalam heterogenitas. Guna menanggapi himbauan Presiden di Riau, Gus Dur mendatangi Kiai Ali Ma‟shum yang kala itu menjabat Rais Aam, untuk segera membentuk komite yang membicarakan posisi NU dan Pancasila. Setelah itu, terbentuklah komite khusus yang menangani hal tersebut. Komite ini di ketuai oleh Kiai Haji Ahmad Siddiq, sedangkan Gus Dur sebagai sekretarisnya. Selama lima bulan lebih, mereka menyusuri
Alquran, hadis, dan kitab-kitab klasik guna mendapatkan
sandaran hukum yang dapat dipertanggungjawabkan terhadap masalah ini. Pencarian itu berakhir dengan menghasilkan satu rumusan yang berbunyi: “ Islam bersifat pluralistik dan karena itu
pelaksanaan ajaran Islam harus bersifat
pluralistik, dan hal ini sesuai dengan tradisi NU.” Tim ini berusaha semaksimal
83
mungkin guna menghindari asumsi publik yang mengaggap penerimaan Pancasila hanya karena ingin menyeragamkan diri dengan pemerintah. Selain itu, hal lain yang diperjuangkan oleh Tim 24, adalah bahwa NU harus menarik diri dari politik praktis. Mereka beranggapan, NU kala itu terlalu memperhatikan kepentingan politik semata, dan meninggalkan peran hakikinya sebagai organisasi yang mengawal bidang pendidikan dan kegiatan keagamaan. Mereka menganjurkan untuk kembali ke khittah NU 1926 yang menyatakan NU adalah organisasi sosial keagamaan. Beberapa kalangan NU ada yang tidak memperhatikan seruan tersebut, terutama yang masih bergelut dengan konstelasi politik nasional. Selain itu, hal lain yang menjadi landasan kuat akan pentingnya NU memblokade diri dari dunia politik, adalah karena suara NU yang tergabung dalam PPP sudah banyak dipangkas. Hal tersebut diperparah dengan intervensi presiden melalui Jaelani Naro guna mempersempit langkah NU di perleman. Dalam hal ini, Gus Dur sepakat dengan pendapat Cak Nur yang mengatakan “Islam Yes, Partai Islam No !”. mereka juga percaya hubungan organisasi kemasyarakatan macam NU dengan dunia perpolitikan, lambat laun akan menghadirkan satu ketegangan yang justru akan menyebabkan blunder bagi NU sendiri. Usulan Tim Tujuh mengenai penerimaan asas tunggal akhirnya disepakati dalam Musyawarah Nasional (Munas) NU di Situbondo. Munas tersebut diselenggarakan tepatnya di pesantren milik Kiai Haji As‟ad Syamsul Arifin. Munas sendiri, laiknya Muktamar, biasanya diselenggarakan setiap lima tahun sekali, hanya saja kedudukannya terletak di bawah Muktamar karena hanya
84
dihadiri oleh ulama dari berbagai dewan agama dan seluruh cabang NU dan bukan merupakan pengurus organisasi. Namun demikian, biasanya Munas dianggap sebagai pertemuan yang diadakan sebagai persiapan untuk Muktamar yang lebih besar Perjuangan para pembaharu muda NU menuai hasil yang semakin memuaskan. Para peserta Muktamar 1984 yang juga diadakan di pesantren milik kiai As‟ad Syamsul Arifin, selain menyetujui asas tunggal Pancasila sebagai landasan organisasi juga sepakat untuk menarik NU dari kancah perpolitikan nasional. Pada muktamar ini, Gus Dur berhasil terpilih sebagai ketua Tanfidziah, sedangkan Kiai Ahmad Siddiq dipercaya menjadi Rais Aam.
3. Gus Dur di puncak NU Terpilihnya Gus Dur dan Kiai Haji Ahmad Siddiq menerbitkan fajar baru kebangkitan NU. Tugas yang mereka emban bisa dikatakan sangat berat, yakni bagaimana merevitalisasi perjuangan NU yang sebelumnya sering dibawa ke ring poitik. Mereka saling bahu membahu untuk sebisa mungkin mereposisi NU sesuai dengan cita-cita awal para pendahulunya yakni sebagai organisasi yang concern terhadap kebutuhan pendidikan dan pengajaran agama masyarakat akar rumput. Pada bulan Januari 1985, setelah terpilihnya Gus Dur sebagai pemimpin baru NU, Soeharto memberikan lampu hijau bahwa dirinya mendukung Gus Dur dengan menjadikannya sebagai “Ideolog Pancasila”, yag dikenal dengan sebutan Manggala Nasional. Dengan kata lain, Gus Dur diangkat sebagai anggota badan nasional yang bertugas untuk memformulasikan kedudukan Pancasila dalam negara dan pendidikan pancasila bagi tunas bangsa.
85
Selain itu, hubungan NU yang harmonis dengan pemerintah dilengkapi lagi dengan terjalinnya persahabatan dengan ABRI. ABRI, yang bisa dikatakan sebagai rezim berkuasa, sebenarnya bersikap hati-hati dalam bergaul dengan kalangan Islam. Hal tersebut muncul karena kekhawatiran pihak militer terhadap kemunculan kaum ekstrimis Islam yang kerapkali menjadi otak timbulnya kerusuhan. Kedekatan ini bagi Gus Dur amatlah penting, selain sebagai alat untuk mempengaruhi kebijakan militer lewat hubungannya yang semakin akrab dengan Benny Murdani, juga sebagai test case menaik-turunkan kadar protes terhadap pemerintah tanpa menimbulkan amarah penguasa. Walaupun saat itu Gus Dur dekat dengan Soeharto, namun tidak lantas membuat jiwa kritisnya luntur. Jika melihat ada ketidakadilan yang dilakukan oleh pemerintah, maka disitulah corong kritik Gus Dur bersuara. Seperti dalam kontroversi proyek Kedung Ombo yang didanai oleh Bank Dunia. Selain itu, sejak masa Orde baru, Gus Dur juga sudah intens membela minoritas etnis dan agama di Indonesia. Walaupun terkadang tajam, namun Gus Dur juga tetap pandai menempatkan diri dan sebelum mengkritik, Gus Dur juga mendahuluinya dengan berpikir dan memilih jalan yang tidak menimbulkan kegoncangan yang berpotensi merusak hubungan NU-pemerintah. Soeharto pun, dalam beberapa kesempatan, menyambut baik kriitik Gus Dur. Menjelang Pemilu 1987, manuver kritik Gus Dur semakin tajam menyerang politisi-politisi PPP yang banyak didominasi oleh kalangan modernisasi. Menanggapi hal tersebut, melontarkan ketidaksenangannya
kiai-kiai NU konservatif
mulai
dengan mengungkit-ungkit permasalahan
keluarnya NU dari PPP. Yang terjadi justru diluar harapan para kiai itu, Gus Dur
86
lebih lekat dengan pihak Cendana. Terbukti, ia dilantik menjadi anggota MPR mewakili Golkar. Sebenarnya, hal ini hanyalah sebuah simbol belaka, oleh karena MPR hanya sidang lima tahun sekali. Namun, hal inilah yang menjadi perdebatan yang hangat dalam tubuh NU. Pada Muktamar NU 1989 (dilaksanakan di pesantren Krapyak), yang dibubuhi berbagai macam intrik-intrik politik kelas kakap, Gus Dur kembali dipilih sebagai ketua PBNU. Boleh dikatakan, pada muktamar ini, terjadi “perang bintang” antara Gus Dur sebagai yang tertuduh menghadapi kritikan tajam dari pemerintah dan kiai-kiai konservatif NU. Muktamar kala itu, dihadiri oleh presiden dan beberapa pejabat negara seperti Menteri Dalam Negeri, Rudini; Sekretaris Negara, Moerdiono; Menteri Pertahanan, Benny Murdani; Panglima ABRI, Try Soetrisno. Beberapa dari mereka menyampaikan pidato panjang yang dipenuhi oleh retorika dalam usaha mengambil hati para hadirin. Namun, banyak dari pemuda NU yang mencemooh tindakan tersebut dengan perkataan “ini bukan khotbah jumat”. Mereka berhasil mengendus dari derasnya kalimat-kalimat yang mereka sampaikan dipenuhi oleh kritik tak berdasar yang dialamatkan kepada Gus Dur. Dalam Muktamar kali ini, Kiai Haji Ahmad Siddiq kembali dipercaya sebagai Rais Aam dengan 188 suara, setelah sebelumnya berhasil mengalahkan Idham Chalid yang hanya disokong oleh 166 suara. Gus Dur mengikuti jejak sang karib, juga tampil sebagai pemegang tampuk NU untuk yang kedua lainya setelah terlibat dalam pertarungan dengan pamannya sendiri Yusuf Hasyim. Pada akhirnya, Gus Dur terpilih secara aklamasi.
87
Muktamar Cipasung, merupakan saksi bisu kemengan Gus Dur yang hanya didukung oleh para pengagumnya di NU melawan kekuatan besar pemerintah. Jika pada Muktamar sebelumnya, pemerintah hanya bermain di tataran provokasi tanpa penggunaan “robot” yang disetirnya, pada muktamar Cipasung pemerintah menjalin relasi kuat dengan salah satu rival kuat Gus Dur yang bernama Abu Hasan. Selain itu, tersiar pula beberapa kekuatan kontra-Gus Dur yang gencar meneriakkan slogan ABG (Asal Bukan Gus Dur). Abu Hasan sendiri, adalah seorang pengusaha sukses asal Jambi. Walaupun relatif kurang mempunyai pergaulan luas dilingkungan NU, namun ia dikenal sebagai donatur yang murah hati. Selain itu, ia juga bersahabat dengan keluarga Cendana melalui hubungan bisnis pengapalan, konstruksi, dan perdagangan. Secara keilmuan, ia jauh dibawah Gus Dur. Namun, ia menggunakan kedekatannya dengan pemerintah guna memperkuat barisan pendukungnya. Selain itu, dari kalangan NU, ia bayak mendapatkan dukungan dari cabang-cabang NU dari luar Jawa. Pada Muktamar kali ini, terlihat sekali bahwa pemerintah sudah tidak lagi memihak kepada Gus Dur. Segala upaya dilakukan untuk menghadang laju Gus Dur dalam perhelatan besar berkala NU ini. Mulai dari menyebar para intelejen dan ABRI berbaju Ansor (Organisasi pemuda NU) ke sekitar areal muktamar guna menimbulkan ketakutan psikologis para pendukung Gus Dur, sampai penyetopan media yang menyuarakan keberpihakannya kepada Gus Dur. Akhirnya, penghitungan suara akhir, setelah sebelumnya suasana Muktamar dihantui dengan suasana tegang, menyatakan Gus Dur kembali sebagai ketua PBNU untuk kali ketiga. Saat itu Gus Dur memperoleh 174 suara dan Abu
88
Hasan memperoleh 142 suara. Saat itu, kemenangan Gus Dur disambut oleh teriakan yel-yel para anak muda NU pro-Gus Dur yang berisi nyanyian bernada sindiran bagi pemerintah13. Gus Dur sendiri mengakui, kemenangan ketiganya tersebut menimbulkan efek yang signifikan terhadap pemerintah. Walaupun sebelumnya Soeharto memberikan dukungan terhadap Gus Dur, namun ia juga menginisiasi gerakan penggembosan peran Gus Dur di NU. PBNU dibawah pimpinannya kali ini, menurut Gus Dur, belum dapat diterima Soeharto. Namun, ia menampik pendapat yang menyatakan siapa saja yang duduk di kursi PBNU 1 harus disertai penerimaan dari pemerintah14. Sebelumnya,
Saleh Aldjufri menerangkan bahwa kegigihan Soeharto
memotong karir Gus Dur sebagai ketua NU, terkait erat dengan kondisi perpolitikan nasional antara NU dan Golkar. Pemilu 1992, menjadi ujian berat bagi Golkar, karena suara NU telah banyak yang „pulang kandang‟ ke PPP atau ke PDI. Hal ini terjadi karena Golkar tidak jeli dalam melihat keinginan warga NU. Selain itu, terdapat kesan yang menyebutkan Golkar hanya menggunakan NU sebagai tunggangan dan tidak menaggapi aspirasi politik kaum nahdhliyin.15
4. Kontroversi yang Menyejarah Semenjak
menjadi
ketua
NU,
terdapat
pembenahan-pembenahan
signifikan dalam tubuh NU yang dilakukan oleh Gus Dur. Para pengurus NU daerah merasa gembira, karena pola kepemimpinan Gu Dur adalah “turun
13
Greg Barton, Biografi Gus Dur…., h. 113-254 Abdurrahman Wahid, “Saya Nomor Tiga Tentang Suksesi NU, ICMI, dan Pak Harto”, dalam Tabayun Gus Dur (Yogyakarta: LKis, 2010), h. 51. 15 Saleh Aldjufri, Gus Dur; Politik NU dan Era Demokratisasi (Surabaya: LPLI Sunan Ampel, 1997), h. 10. 14
89
kebawah”, mengunjungi perwakilan NU di luar Jakarta. Pemikiran Gus Dur mulai ramai dibicarakan. Saat itu Gus Dur benar-benar mereguk kepopulerannya. Namun, ada satu hal yang tidak boleh dilewatkan dari tokoh ini, adalah kekontroversialannya, yang kerapkali mengundang perhatian publik. Satu contoh yang sulit untuk dilupakan, adalah mengenai isu Gus Dur yang mengganti ucapan “assalamualaikum” dengan ucapan “selamat pagi”. Awal ceritanya, pada suatu hari, ia didatangi oleh salah satu sahabatnya. Ketika itu ia mempunyai pertanyaan yang membutuhkan jawaban Gus Dur. Pertanyaan temannya adalah soal mengucapkan salam di depan para audiens yang nonmuslim, apakah harus dengan ucapan “assalamu‟alaikum”. Pikirnya, jika ia tetap mengucapkan hal tersebut, ia khawatir kalau-kalau dicap sebagai orang yang tidak bisa memposisikan diri. Gus Dur menjawab, hendaknya digunakan kata yang lebih umum, yakni dengan ucapan “selamat pagi.” Lebih lanjut, ia menjelaskan, akar kata „selamat‟ dengan kata Arab „salam‟ dan selamat pagi kedudukannya setara dengan assalamu‟alaikum. Dialog tersebut, kebetulan didengar oleh seorang wartawan yang kemudian menuliskannya di surat kabar nasional. Lantas, para pengkritik Gus Dur, memlintir berita tersebut yang kemudian berbunyi bahwa Gus Dur mengganti ucapan assalamu‟alaikum, yang telah menjadi identitas muslim menjadi ucapan bahasa Indonesia „selamat pagi‟. Selain kabar kedekatannya dengan Soeharto yang oleh sebagian sesepuh NU sebagai pengkhianatan, Gus Dur juga dinilai sebagai sosok yang lebih memperhatikan golongan non-Islam, daripada menyokong kepentingan Islam. Sebagaimana telah diketahui, Gus Dur gemar menjalin persahabatan dengan umat agama lain. Ia dikenal sebagai aktivis dialog antar-iman. untuk hal yang satu ini,
90
ia begitu intens dan sebisa mungkin untuk menggalakkan agar dialog antar-iman ini berfungsi sebagai, meminjam istilah Jurgen Habermas, “ruang publik” yang menaungi persaudaraan nasional, sekalipun secara lahiriah berbeda. Sebenarnya, upaya guna menciptakan iklim toleransi, demikian Gus Dur, adalah tanggung jawab bersama. Umat Islam sebagai golongan mayoritas mempuyai equal responsibility dengan golongan non-Islam dalam membentuk kehidupan yang aman dan dipenuhi pendar-pendar kasih sayang antar sesama. Disinilah, nantinya, terbentuk persamaan antar agama, bukan dari segi ajaran/aqidah, namun dari segi pencapai materi. Ukuran materi, sebagaimana diketahui, menggunakan bukti-bukti kuantitatif, seperti pendapatan perkapita masyarakat, ataupun jumlah kepemilikan lain seperti telpon, dan kendaraan perkeluarga. Sedangkan yang tidak, seperti ukuran keadilan, dapat ditilik dari ranah empirik dalam sistem kehidupan masyarakat.16 Sebagai pecinta perdamain, Gus Dur sangat terkesan sekali dengan perjuangan aktivis kemanusiaan asal India, Mohandas Karamchan Gandhi, atau lebih dikenal sebagai Mahatma Gandhi. Menurut Gus Dur Gandhi merupakan prototype manusia yang lebih mengepankan aspek anti-kekerasan dalam menyikapi suatu kejanggalan sosial yang nyatanya membuat masyarakat India menderita. Sebagaimana diketahui, India merupakan daerah jajahan Inggris yang terang saja pendudukan ini menyebabkan kelumpuhan dalam skala nasional di negara itu. Namun, kejadian ini tidak ditanggapi dengan aksi angkat senjata oleh Gandhi, ia lebih menggunakan cara-cara akomodatif yang secara esensi tetap merupakan bentuk perjuangan melawan penjajah. Walaupun dipandang remeh 16
Abdurrahman Wahid dalam “Islam dan Dialog Antar-Agama, dalam Islamku, Islam Anda, Islam Kita: Agama Masyarakat Negara Demokrasi (Jakarta: The Wahid Institute, 2006), h. 134-135.
91
oleh Inggris, Gandhi tetap melarang umatnya untuk terlibat front secara terbuka dengan pasukan Inggris. Sikap seperti itulah yang harus ditumbuh-kembangkan di masyarakat negeri ini. Belakangan ini, kekerasan dengan menggunakan simbolisme keagamaan seakan menjadi trend yang acceptable dalam memandang suatu perbedaan. Hal inilah yang menjadi perhatian Gus Dur untuk sesegera mungkin dijauhi. Menurutnya, para kalangan fundamentalis yang kerapkali terbukti sebagai motor yang memanas-manasi teman-temannya yang lain, terdiri dari barisan pemuda yang walaupun terampil, cakap secara teknis, namun kerdil dalam memahami ketertinggalannya terhadap orang lain. Nah, ketertinggalan inilah yang dikejar menggunakan lajur kekerasan guna menghambat kemajuan tersebut. Selain itu, hak lain yang menyebabkan kebrutalan para pemuda yang mengatasnamakan „laskar Islam‟ tersebut, adalah terjadinya proses pendangkalan pemahaman yang dianutnya. Banyak dari mereka adalah kalangan akademisi yang mempunyai latar belakang ilmu eksakta dan ekonomi yang kehidupannya dipenuhi dengan logika hitung-menghitung. Belum lagi beberapa dari mereka adalah dokter yang bekerja secara empirik. Kesibukannya dalam dunia akademis dan profesinya, menyebabkan mereka tidak mempunyai waktu yang cukup dalam mempelajari agama secara mendalam. Guna membasahi rasa haus spiritualitasnya, karena pemikirannya telah terkepung dengan berbagai kepenatan angka-angka, mereka mempelajari agama langsung dari sumber tekstual Islam yang ada. Berbekal kemampuan menghafal resep obat, rumus-rumus matematis yang baik, dengan mudah mereka menghafalkan dalil keagamaan. Satu hal yang terlupa dari mereka, interpretasi
92
yang minim tentang kekontekstualan suatu hukum membuat mereka terjerembab ke ranah halal-haram, yang cenderung menindak mereka yang mempunyai pemahaman berbeda dengan tindakan anarkis.17
5. Gus Dur dan ICMI Desember 1999, merupakan era baru hubungan Soeharto dengan Islam. Setelah beberapa tahun Orde Baru terkesan menjauhi kelompok Islam, kali ini mulai mencair. Di bulan itu, Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) didirikan. Organisasi ini menyatakan dirinya tidak bersifat politik, walaupun demikian, ucapan tersebut nyatanya hanyalah isapan jempol. Beberapa bulan sebelumnya, Soeharto mengutarakan maksudnya untuk mendirikan perkumpulan para intelektual muslim. Yang terjadi adalah depend on keinginan Soeharto, ICMI menjadi sangat dekat dan berasosiasi dengan Golkar. ICMI bukan saja mendulang dukungan finansial dari penguasa, tetapi juga menempatkan salah satu tangan kanan Soeharto, yakni B.J Habibie sebagai ketua umumnya.18 Dilihat dari segi anggota, kursi-kursi ICMI diduduki oleh golongan yang sebelumnya merupakan “barisan sakit hati” yang sebelumnya ditindas oleh Soeharto. Mereka terdiri dari kalangan Masyumi dan beberapa ilmuwan Islam konservatif. Perubahan gesture presiden itu, disambut baik oleh mereka. Bahkan, mereka menganggap Soeharto mulai mendengar aspirasi politik mereka. Kemunculan ICMI ditanggapi dingin oleh Gus Dur. ia menganggap ICMI merupakan perpanjangan tangan dari pemerintah guna memperkuat dominasi penguasa. Semula, Gus Dur juga ditawari untuk bergabung dengan organisasi ini, 17
Abdurrahman Wahid “Gandhi, Islam dan Kekerasan” dalam Islamku, Islam Anda, Islam Kita: Agama Msyarakat Negara Demokrasi (Jakarta: The Wahid Institute, 2006), h. 342344. 18 Greg Barton, Biografi Gus Dur…., h. 222.
93
bahkan beberapa temannya sudah bergabung mendesaknya agar ikut ICMI. Namun setelah melihat draft dan orang-orag yang berkecimpung didalamnya, Gus Dur menolak untuk bergabung. Selain itu, organisasi ini menggunakan jargon berjuang demi kepentingan Islam dan yang tidak mau ikut dianggap mengkhianati perjuangan itu. Selain hal tersebut, terdapat kekhawatiran lain, yakni munculnya gejala sektarianisme. Perlu diketahui, munculnya organisasi ini, demikian Gus Dur, akan memunculkan sentimen keagamaan yang nantinya hanya tinggal menunggu bom waktu perang saudara. Hal ini dapat dimaklumi, mengingat ketika itu sedang marak-maraknya isu sektarianisme. Islamisasi dan kristenisasi menjadi topik yang hangat. Selain itu, masalah pribumi dan non-pribumi juga semakin menambah gawat keutuhan realitas kebhinekaan.19 Untuk menghadang laju ICMI, Gus Dur dan beberapa sahabatnya seperti Djohan Effendi, Marsillam Simanjuntak, Bondan Gunawan,setelah mengadakan suatu pertemuan yang diadakan di aula penginapan Taman Safari Garden, Cisarua, Bogor pada 16-17 Maret 1991, sepakat mendirikan suatu perkumpulan para intelektual yang bernama Forum Demokrasi (FORDEM).20 Perkumpulan ini, demikian jelas Gus Dur, muncul sebagai kekuatan penyeimbang terhadap lembaga-lembaga seperti ICMI yang berbau sektarianisme. FORDEM merupakan perkumpulan kecil yang anggotanya bukan dari tokoh yang menonjol, atau hanya meminjam istilah Antonio Gramsci, menduduki tempat intelektual organik. Kebanyakan dari mereka bukan dari kalangan NU, malah banyak dari mereka terdiri dari kalangan non-Muslim. Bahkan, ada diantara 19
Abdurrahman Wahid,” Negeri Ini Kaya Dengan Calon Presiden” dalam Tabayun Gus Dur.., h. 15. 20 Umaruddin Masdar, Gus Dur; Pecinta Ulama…, h. 62
94
mereka adalah sosialis. Marsillam Simanjuntak dan Bondan Gunawan merupakan tokoh yang berperan aktif selain Gus Dur, yang kebetulan ditunjuk sebagai ketuanya. Walaupun sempat menjadi pembicaraan, eksistensi FORDEM tidak dapat menghadirkan suatu perubahan signifikan iklim demokratisasi dalam negeri. Forum ini, demikian Gus Dur, mengadakan pertemuan rutin satu minggu sekali. Mereka berdiskusi, memantau keadaan dan menyamakan pandangan. Namun, yang patut disayangkan mereka kurang greget untuk memperjuangkan pendapatnya. Hal ini disadari Gus Dur, betapa pemikiran kaum FORDEM menghadapi bangsa yang semula diperjuangakannya, enggan beranjak dari posisi yang, meminjam bahasa Gus Dur, berdemokrasi seolah-olah, dan tidak mau berkembang kearah demokrasi sepenuhnya.21
6. Gus Dur Menjadi Presiden Selain terkenal sebagai seorang Cendikiawan sekaligus Budayawan, Gus Dur juga sempat menduduki kursi Presiden, walaupun hanya sebentar. Pada Pemilu 1999, Gus Dur yang disokong oleh partai yang didirikannya, PKB (Partai Kebangkitan Bangsa), mampu mengalahkan Megawati Soekarno Putri, yang didukung oleh partai PDI-Perjuangan-nya. Namun demikian, walaupun kalah dalam perebutan kursi RI 1, Megawati terpilih sebagai Wakil Presiden setelah mengalahkan Hamzah Haz.22 Selama menduduki kursi Presiden , yang disandangnya selama kurang lebih satu tahun (1999-2000), Gus Dur menghadapi banyak masalah dalam negeri
21
Abdurrahman Wahid, “Saya Jadi Presiden, Ha…Ha…Ha…” dalam Tabayun Gus Dur (Yogyakarta: LKiS, 2010), h. 97-98. 22 Greg Barton, Biografi Gus Dur…., h. 372.
95
yang pelik. Hal ini dapat dimaklumi, mengingat Indonesia era Gus Dur merupakan negara yang berada dalam proses transisi dimana struktur dan ketahanan bangsa jauh dari kata stabil. Guna mempercepat proses stabilisasi nasional di segala bidang, terutama ekonomi, Gus Dur menempuh cara yang dianggap kebanyakan orang tidak lazim, yakni dengan “bersafari” ke luar negeri, guna mencari bantuan. Dalam perjalanannya ke Amman ia menyempatkan diri mengunjungi negara ASEAN untuk memperkenalkan dirinya dan pemerintahannya kepada negara-negara tetangga. Rangkaian kunjungan ini diakhiri dengan kunjungan pentingnya ke Washington DC dan Tokyo. Salah satu terobosan Gus Dur yang cukup kontroversial, adalah keinginannya untuk membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Ia beralasan, umat Islam Indonesia, harus sudah mendewasakan diri dengan membuang jauhjauh paham “Israel adalah musuh”. Ia menegaskan, dirinya sangat prihatin dengan keadaan bangsa Palestina, oleh karena itu, harus ada strategi baru yang menempatkan Israel tidak melulu sebagai musuh, namun haruslah dijadikan sahabat. Sebenarnya, ketika mengadakan lawatan kenegaraan ke Yordania, Gus Dur ingin sekali bertemu dengan Ehud Barak, perdana menteri Israel kala itu. Namun, Gus Dur mengurungkan niatnya, karena tekanan yang kuat dari umat Islam sayap kanan dalam negeri. Perjalanan Gus Dur yang penting lainnya, dilakukan pada bulan Desember. Tujuannya adalah Beijing. Sesampainya disana, Gus Dur mendapat sambutan yang sangat baik dari penduduk China, karena ia selalu menempatkan
96
diri untuk membela kepentingan WNI keturunan China. Kunjungan yang dilatarbelakangi oleh motif kerjasama ekonomi ini, diharapkan Gus Dur dapat menjadi sinyal positif bahwa pemerintahannya bersahabat dengan orang China, bukan saja di China Daratan, namun keturuanan China di seluruh Asia Tenggara. Salah satu hal yang diperjuangkan Gus Dur, ketika menjadi presiden, ialah menghadirkan perubahan substansial bagi kebebasan mengutarakan pendapat. Hal ini dibuktikan dengan dibubarkannya Departemen Penerangan, yang dianggap Gus Dur merupakan bentuk dari pencederaan berdemokrasi, karena menggunakan pendekatan sepihak stalinis dalam mengendalikan informasi. Selain itu, departemen ini juga seringkali memeras media. Instrumen kenegaraan lain yang dibubarkan oleh Gus Dur adalah Departemen Sosial. Lembaga ini, demikian Gus Dur, telah menjadi lumbung korupsi yang sulit untuk direformasi. Hal lain, yang menjadi urgensi adalah penyelesaian masalah gerakan separatis di Aceh dan Papua. Gus Dur mempunyai komitmen kuat dalam memperkuat kesatuan dan persatuan negaranya. Di Aceh upaya Gus Dur guna menciptakan iklim perdamaian, mendapat hadangan tembok militer. Saat itu, pihak militer belum sepenuhnya dapat menerima kepemimpinan Gus Dur, terutama dalam menyelesaikan separatisme Aceh. Alih-alih menciptakan keamanan, pihak militer justru sedang menyiapkan “serangan skala besar” guna meredam amuk mereka yang dianggapnya memberontak terhadap NKRI. Untuk mengatasi ketegangan di Aceh, Gus Dur menawarkan sejumlah otonomi guna menarik masyarakat Aceh dari kubangan baku-hantam yang tidak berujung dengan pihak militer. Sayangnya, niat baik ini tidak sesuai dengan yang diharapkan, sikapnya yang berputar-putar, semakin memperlemah kredibilitasnya,
97
namun demikian Gus Dur berhasil menancapkan pasak-pasak perundingan dengan pihak Aceh untuk bersama mencari penyelesaian konflik tersebut. di saat yang sama, Gus Dur juga berhasil meredam rencana militer guna melancarkan penyerangan besar-besaran terhadap para kaum separatis. Kasus separatisme di Papua, tidak separah yang terjadi di Aceh. Namun begitu, ketika ia menginjakkan kaki di Jayapura, ia sudah disambut dengan shock teraphy berupa demonstrasi tuntutan kemerdekaan disertai pengibaran bendera Bintang Kejora. Malamnya, ketika bertemu dengan para pemuka adat Papua, Gus Dur mencoba mencari simpul kekerasan di Bumi Cendrawasih tersebut. ia mengutarakan, masyarakat Papua sebenarnya sangat tersinggung mendengar daerah asalnya disebut “Irian”. Kata tersebut, demikian Gus Dur, berasal dari bahasa Arab yang berarti “telanjang”. Oleh sebab itu, ia dengan tegas memutuskan mulai saat itu, sebutan “Irian Jaya” diganti dengan “Papua”, nama yang sejatinya dikehendaki oleh para penduduknya.penjelasan tersebut mendapat sambutan hangat dari para tokoh adat Papua.23 Setelah mengadakan lawatannya ke Jayapura, Gus Dur bertolak ke Davos, Swiss guna menghadiri Forum Ekonomi Dunia. Dalam perjalannya,ia menyempatkan diri ke Saudi Arabia dan berhasil mendapatkan bantuan untuk pemulihan ekonomi dalam negeri. Bulan berikutnya Gus Dur melanjutkan perjalanan diplomatiknya ke negara-negara Eropa. Ia terbang ke London, Paris, Amsterdam, Berlin, dan Roma. Dalam perjalanannya, Ia singgah ke New Delhi, Seoul, Bangkok, dan Brunei. Kunjungannya ke Eropa guna mendapatkan
23
Greg Barton, Biografi Gus Dur…,h. 384-386
98
dukungan ekonomi maupun politik guna menuntaskan tugas berat reformasi Indonesia.24 Pada tanggal 23 Juli 2001, Gus Dur pun lengser dari kursi Presiden.25 Karut-marut politik menjadi penyebab utama dicopotnya Presiden. Kala itu, ketua MPR, Amien Rais memimpin persidangan yang berujung pada pencopotannya. Kejadian ini ditanggapi Gus Dur dengan arif, mulai saat itu ia seakan tersadarkan bahwa reformasi yang diretasnya bagi Indonesia, ternyata lebih baik dilakukan dari luar tembok istana.
F. Pemikiran Abdurrahman Wahid tentang Perdamaian 1. Menyemarakkan Pluralisme Gus Dur dikenal sebagai seorang guru bangsa yang begitu gandrung akan indahnya kebersamaan. Nah, kebersamaan ini ditandai oleh landasan hidup yang dipenuhi oleh nilai-nilai profetik yang menjurus pada pendirian pilar-pilar demokrasi, dimana kebebasan bersuara dan berkeyakinan mendapat payung hukum dari negara. Hal ini adalah prioritas, mengingat realitas keummatan dapat mencandra kebahagiaan hakiki jikalau telah mampu bersifat fleksibel, menerima perbedaan dan mengkonversikannya sebagai peace worldview. Pandangan Gus Dur tentang perdamaian tidak terpaut pada terma-terma agamanya an sich, yang ditafsirkan secara taken for granted. Namun, sebaliknya Gus Dur tidak segan untuk berbaur, mengkaji realitas kebhinekaan bangsa yang terang-terang heterogen. Sebagaimana telah diketahui, bangsa ini mempunyai khazanah kearifan lokal yang begitu luas. Hal tersebut merupakan suatu penanda 24 25
Ibid, h. 387. Umaruddin, Gus Dur: Pecinta Ulama….., h. 183
99
bahwa berbeda itu bukanlah sebuah hal yang patut untuk didisposisikan. Bagaimana caranya merajut perbedaan guna menuai reformasi moral bangsa, adalah esensi yang perlu dikedepankan. Selain itu, hal lain yang tak kalah penting, adalah usaha Gus Dur untuk membumikan cita humanisme Islam. Islam bukanlah agama yang hanya terpaut perkara dogmatik yang mengurus perkara halal dan haram. Gus Dur berpandangan, justru dari jantung humanisme Islam, menjalar berbagai macam nadi-nadi toleransi dan keharmonisan sosial yang semakin memperkuat keyakinan bahwa realitas plural di tengah masyarakat modern, bukanlah perkara yang harus ditakuti, sebaliknya harus direspon secara positif.26 Guna mewujudkan iklim ketentraman, demikian Gus Dur, kerjasama antara antara berbagai sistem keyakinan sangat dibutuhkan dalam menangani kehidupan masyarakat, karena masing-masing memiliki keharusan menciptakan kesejahteraan lahir (keadilan dan kemakmuran) dalam kehidupan bersama, walaupun bentuknya berbeda-beda. Dari poin inilah akan ditemukan suatu dialog titik temu, bukannya dalam hal keyakinan/akidah, namun dari segi pecapaian materi baik berupa hal yang normatif seperti terselenggaranya demokrasi yang menyeluruh, sampai bergulir ke hal praksis seperti pengentasan kemiskinan.27 Diantara beberapa poin yang menjadi fokus penting pengejawantahan perdamaian, pemeliharaan „masyarakat plural‟ merupakan satu poin yang wajib dilestarikan. Dalam rancang bangun kebhinekaan, laiknya negeri ini, fenomena pluraisme atau paham yang meyakini hadirnya heterogenitas, merupakan
26
Tim InCRES, Beyond The Symbols: Jejak Antropologis Pemikiran dan Gerakan Gus Dur (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya bekerjasama dengan InCRES (Institute of Culture and Religion Studies), 2000), h. 45. 27 Wahid, Islam dan Dialog antar-agama….., h. 134-135.
100
prasyarat pemancangan kehidupan filantropis. Untuk yang satu ini, semangat Gus Dur begitu bergolak ketika mendengar suatu berita pemasungan batang tubuh pluralisme. Penghargaan akan realitas liyan, dapat menjamur dan tumbuh subur jikalau suatu bangsa telah mampu memandang perbedaan sebagai keniscayaan. Selain itu, hal lain yang perlu diinisiasi untuk menumbuhkan kesadaran hidup rukun satu dengan lainnya, adalah lewat forum dialog yang berujung tidak saja pada rasa saling-menghormati namun juga rasa saling menyayangi. Hal ini lah yang terkadang sering tertinggal. Jangan sampai kesadaran hidup bersama hanya terendap menjadi saling menghargai tetapi juga harus diteruskan sampai tingkat selanjutnya
yakni
merasa
sakit
apabila
saudaranya
sakit,
merasa
pertanggungjawaban apabila saudaranya disakiti. Dalam membincangkan diskursus pluralisme di negeri ini, agaknya masih berkelok-kelok dalam labirin yang menyesatkan. Kendati secara empiris, Indonesia adalah negara yang diisi oleh penduduk yang beragam, namun tetap saja perbedaan-terutama dalam hal keyakinan- kerapkali ditanggapi dengan kurang arif, bahkan telah bermuara ke ranah kekerasan. Sematan negara demokrasi agaknya hanyalah terngiang dalam spanduk, tanpa ada tindakan proliferatif guna menjaga eksistensi kebebasan. Demokrasi menjadi satu hal yang penting daam alam pemikiran Gus Dur. perbedaan, tentunya, bukanlah satu hal yang harus disesalkan. Namun, adalah satu gagasan yang patut diapresiasi jika membubuhkan tinta perjuangan demi tegaknya pilarpilar demokrasi yang hakiki.
101
Upaya penegakkan panji pluralisme, melihat realita sosial kekinian, haruslah disemarakkan. Hal ini berkait kelindan dengan pemupukkan elan kesatuan dan persatuan yang kian kemari kerapkali tersasar kearah perubahan identitas,dimana masyarakat timur dinilai sebagai civil society yang penuh dengan keramahan dan dalam bertindak selalu dilabeli dengan semangat gotong royong, kini, berganti wajah menjadi raksasa yang gemar „menumpahkan darah‟ antarsesama. Setidaknya ada tiga alasan yang mendasari urgensi penenunan benangbenang penghormatan akan keragaman dalam ruang publik tanah air. Pertama, sebagai modal dasar dalam menghadapi perubahan-perubahan global yang seringkali-untuk tidak mengatakan semua-mencerabut kesalehan lokal dalam negeri. Pluralisme adalah elan vital guna meyongsong datangnya unsur baru yang beraroma negatif bagi eksistensi pengejawantahan nilai-nilai Pancasila. Disadari atau tidak, gelombang globalisasi yang semakin rapat menyentuh pola kehidupan kita, dapat menyebabkan kesenjangan yang cukup besar ditengah kehidupan kontemporer. Dengan mengambil kearifan-kearifan yang berasal dari inter-wisdom dari berbagai entitas tanah air diharapkan dapat merakit suatu kesinambungan dalam memilah-milah kebajikan dari unsur luar, pada titik inilah diktum fiqih, Islam akhdzu bi al-jadid al-ashlah, memainkan perannya. Kedua, hal yang perlu diperhatikan adalah, penguatan pluralisme adalah guna preventisasi gerakan keagamaan simbolik, yang mempunyai visi mengadakan penyeragaman
dalam bernegara dan bermasyarakat. Islam,
menempati urutan pertama, yang tersandung kasus tersebut. gelombang Islam transnasional yang diimpor dari Timur Tengah, menjadi semacam leviathan yang
102
mencabik-cabik rasa satu rasa dalam kebhinekaan. Upaya menerapkan juris-juris Islam menjadi momok menakutkan bagi lanjutan masyarakat plural negeri ini. Menurut Khaleed Abou El-Fadl, guru besar hukum Islam di UCLA AS,ditilik dari perspektif sosiologis, gerakan-gerakan Islam simbolik, atau yang terkenal dengan istilah Islam puritan ini, meruupakan produk dari modernitas. Pandangan muslim puritan tercipta dari perkawinan Salafisme dan Wahabisme pada sekitar tahun 1970-an.28 Mereka begitu gigih dalam memperjuangkan visinya dalam membenamkan hukum-hukum Islam secara letterlijk dalam konstitusi kenegaraan. Semangat ini tentu bertentangan dengan amanat Pancasila yang terang-terang menggunakan „bahasa‟ yang mengayomi semua, tanpa menganakemaskan satu golongan. Ketiga, menciptakan iklim kondusif dalam berbangsa dan bernegara. Bagaimanapun, penghargaan yang tinggi bagi realitas liyan dapat membantu hadirnya kemajuan peradaban yang fundamen bagi bangsa ini kedepan. Iklim ramah, adalah prasyarat mutlak bagi pencapaian target-target penuntasan segala masalah yang membelit negeri ini. Denga mengenyampingkan pandangan monolistik, dan mencoba menerima komunitas yang lebih kecil, menjadikan hidup bermasyarakat jadi lebih berarti. Logikanya, menciptakan suatu klaim perbedaan, dapat saja-untuk tidak mengatakan selalu- bergulir kearah kebencian. Terutama, ketika telah terkooptasi dengan pandangan sempit agama yang menuturkan selain agama A maka mereka harus diperangi. Nah, logika seperti inilah yang belakangan ini menghantui latar
28
Khaleed Abou El-Fadl, Selamatkan Islam dari Muslim Puritan (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2006), h. 99.
103
kerakyatan bangsa ini. Pola pikir demikian, harus segera diredusir atau dieliminir dalam upaya mengentaskan bangsa ini dari gejolak api permusuhan. Pandangan inklusif tersebut menjadi titik tolak Gus Dur guna menjalim persahabatan yang lebih luas di kalangan internasional. Banyak nilai maupun manfaat yang lebih universal jika mampu menciptakan persahabatan dengan komunitas di luar Islam. Oleh karena mendawamkan terekat pluralismenya, ketika Gus Dur meninggal, ia mendapat gelar sebagai Bapak Plualisme Indonesia Menurut Franz Magnis Suseno, rohaniawan yang juga pemerhati pemikiran Gus Dur, menyebutkan bahwa Gus Dur adalah sosok yang menghayati Islam secara terbuka. Ada beberapa ciri khas dalam penghayatan Gus Dur terhadap Islam: Pertama, bahwa agama Islam menuntut sikap toleran dan besar hati terhadap agama lain. Seorang muslim-terlebih mayoritas-dituntut untuk menghadirkan rasa aman bagi pemeluk keyakinan non-Islam. Kedua,
perbendarahan
khazanah
Islam
yang
telah
dikuasainya,
membuatnya tidak segan dalam menilai kekurangan Islam. Islam disini, demikian Romo Magnis, bukan Islam yang merupakan agama yang diturunkan Allah, tetapi Islam sebagai agama yang dihayati dan dijalankan umat. Tidak semua agama dapat mencapai ukuran idealnya seratus persen. Hal inilah yang mendorong Gus Dur melahap pelajaran baru dari pihak lain. Ia mengikuti Nabi Muhammad yang menyarankan untuk menuntut ilmu sampai ke negeri Tirai Bambu (China). Ketiga, Romo Magnis memandang sosok Gus Dur sebagai seorang raja Jawa. Dalam dirinya terdapat keteguhan sikap para penguasa besar Islam, laiknya Sultan Mughal di India atau penguasa Dinasti Abbasiyah. Sebagaimana telah diketahui, dua kerajaan tersebut merupakan sebagian kecil dari kerajaan muslim
104
yang menggariskan ketentraman dan kesejahteraan bagi agama lain. Itu semua, lanjut Romo, terlihat dari kemudahan Gus Dur menerima pluralisme.29 Namun, yang perlu diperhatikan, inisiasi untuk memasyarakatkan puluarisme, hendaknya jangan terhenti hanya pada kehidupan nasional, tetapi harus diupayakan agar menyebar ke seluruh dunia, utamanya ke begara yang terlibat konflik. Gus Dur mempunyai perhatian yang besar dalam wilayah itu. Hal ini dibuktikan dengan seringnya ia diundang dalam berbagai perhelatan besar internasional tentang upaya memperjuangkan perdamaian global. Salah satunya ialah ketika ia diundang untuk menyaksikan prosesi perjanjian Jordania-Israel di Arava, Jordania pada 26 Oktober 1994.30 Menurut Gus Dur, perdamaian dunia dapat diupayakan jika satu negara telah memiliki kedaulatan hukum yang kuat kedalam terlebih dahulu. Hal ini merupakan prioritas mengingat sebelum berkecimpung dalam inisiasi perdamaian skala internasional. Dalam sebuah pidato pembukaanya ketika menghadiri konferensi mengenai pemerintahan yang baik (good governace) dan etika dunia (global ethics) yang diadakan anatara kaum Budhis dan Muslim di Paris, pada Mei 2003, etika global dan penyelenggaraan pemerintahan yang professional menjadi aset penting guna merajut perdamaian dunia. Nah, guna menghadirkan kedua nilai positif tersebut, demikian Gus Dur, harus ada kesadaran kedalam untuk menegakkan kedaulatan hukum. Selain itu, jika sudah memiliki kecakapan penyelenggaraan hukum, langkah selanjutnya ialah mencari celah agar keadilan 29
Franz Magnis Suseno, “Pembawa Bangsa Pascatradisional” dalam Beyond The Symbols: Jejak Antropologis Pemikiran dan Gerakan Gus Dur (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya bekerjasama dengan InCRES (Institute of Culture and Religion Studies), 2000), h. 65-66. 30 A. Halim Mahfudz, “Mencari Damai yang Dimusuhi; Catatan Perjalanan ke Israel, 25 Oktober- 1 Nopember 1994,” Aula, Desember 1994, h. 17
105
dapat dikonversikan menjadi etika global yang menjadi acuan dasar pergaulan internasional. Etika global, lanjutnya, merupakan suatu opsi strategis guna mengikis rasa saling
permusuhan
antar-bangsa.
Setiap
bangsa
diharapkan
kooperatif
mengkampanyekan arti penting perdamaian. Selain itu, pertemuan seperti yang diadakan di Paris tersebut, merupakan instrumen yang patut diapresiasi karena menginspirasi pembentukan nilai-nilai global sendiri. Dengan membiasakan diri berdialog, masing-masing pihak akan saling mengambil pelajaran dan menimba sumber-sumber spiritual guna memformat pandangan hidup masa depan yang lebih terarah dan lebih baik dari sebelumnya.31 Dalam
menaggapi
permasalahan
pertikaian
antar-bangsa
yang
berkepajangan, laiknya yang terjadi antara Palestina dan Israel, demikian Gus Dur, harus ada ketegasan dan kesungguhan sikap dari para negara-negara terkait. Dalam konteks ini, peran aktif negosiator menjadi begitu penting. Negara harus mendukung sang negosiator tersebut dengan memberikan fasilitas yang layak. Hanya dengan bernegoisasi pintu-pintu kebuntuan dapat dicari kuncinya. Ini merupakan langkah yang brilian ketimbang hanya menggunakan “adu otot” yang tentu saja dapat merugikan negara-negara yang bertikai.32 Oleh karena asas keterbukaan pemikirannyalah, yang membuat Gus Dur tidak kaku dalam menjalin persahabatan maupun kerjasama dengan pihak nonIslam. Sejak kecil ia telah akrab dengan perbedaan. Salah satu sifat inklusif yang kentara dalam perjalanan hidup Gus Dur, adalah ketika ia mengusulkan dan 31
Abdurrahman Wahid “Kita dan Perdamaian” dalam Islamku, Islam Anda, Islam Kita: Agama Msyarakat Negara Demokrasi (Jakarta: The Wahid Institute, 2006), h.355-357. 32 Abdurrahman Wahid “Perdamaian Belum terwujud di Timur Tengah” dalam Islamku, Islam Anda, Islam Kita: Agama Msyarakat Negara Demokrasi (Jakarta: The Wahid Institute, 2006), h. 363.
106
memperjuangkan pertalian diplomatik antara RI dan Israel. Sesuatu yang dianggap orang sebagai ketabuan, mengingat Israel dalam mindset umat Islam kebanyakan, kerap dipersepsikan sebagai musuh muslim.
2. Meretas Dialog dengan Israel Dapat disimpulkan dari keterkaitan Gus Dur dengan segala hal Israel adalah kooperatif. Namun, berbicara kepentingan, tentu merupakan hal yang berbeda. Ia menegaskan dirinya tetap membela dan memperjuangkan kepentingan bangsa Arab, terutama Palestina. hanya saja ia lebih tertarik menggunakan jalannya sendiri, yang kerapkali dianggap kontroversial oleh orang lain, yakni tetap mengadakan kontak dengan pemerintahan Tel Aviv. Baginya, kedamaian dengan pendasaran keteraturan hidup semua agama adalah yang paling fundamen, jangan hanya berhenti pada pos umat Islam.33 Pertemuannya dengan Ramin, sahabat Yahudinya ketika ia melanjutkan studi di Iraq, agaknya turut mempengaruhi persepsi Yahudi di mata Abdurrahman Wahid. Kemajuan yang diperoleh Yahudi saat ini, tidaklah didapat dengan mudah. Berbagai macam kepedihan mereka rasakan. Mulai dari pengucilan selama berabad-abad di Eropa, sampai pembunuhan massal yang mereka sempat alami. Jadi, adalah suatu kewajaran bila Yahudi, berangkat dari keterpurukannya, mampu merangsek ke peringkat atas orang-orang penting di muka bumi saat ini. Seperti yang sudah disampaikan, orang Yahudi mempunyai modal dasar yang mengikatnya selama berabad-abad, sejak mereka tercecer, disudutkan oleh pergaulan internasional, hingga menjadi umat pioner penggerak Zaman, seperti saat ini. Mereka memelihara semacam kesadaran kolektif yang dari titik itu 33
Nawawi A. Manan, Membangun Demokrasi Melalui Kontroversi (Sidoarjo: Pustaka Andalusia, 2003), h. 166 dan 168.
107
mereka seakan terikat ke kesatuan nasib yang meliputi orang Yahudi dari belahan manapun, sekalipun terpisah oleh lain benua. Yerussalem, seperti yang disampaikan Trias Kuncahyono, merupakan simbolisasi abadinya api perjuangan Yahudi menjaga kesatuan langkah perkumpulan Yahudi dunia, termasuk Israel. Selain itu, kecondongan Gus Dur terhadap Israel, semata-mata adalah narasi besar yang menjadi cita-citanya menciptakan perdamaian global, tidak lagi tersekat oleh domain-domain keagamaan. Disadari atau tidak, badai prahara yang berpotensi
mengganggu
kemajuan
peradaban
manusia
kedepan,
adalah
disebabkan oleh pertikaian tak berujung antara Israel dengan Palestiana. Gus Dur, menyebutkan kawasan Timur Tengah merupakan padang peperangan dan tempat perebutan dominasi bagi para negara besar. Hal ini dapat dilacak dari politik dagang sapi yang dilakukan para pemenang-pemenang Perang Dunia I dan II. Terkait posisi Israel-Palestina, wacana mewujudkan satu negara berdaulat Israel yang berdiri di lahan Palestina, telah menghangat pasca PD I34. saat itu Inggris menjanjikan tanah Palestina bagi orang Yahudi,dengan imbalan para miliarder dan legiun perang Yahudi membantunya dalam perang antar negara tersebut. pengadaan negara Israel, semakin memfosil dengan Perjanjian SykesPicot (1916) dan Deklarasi Balfour (1917).35 Medan pertarungan inilah yang semakin memanaskan regional Timur Tengah itu sendiri. Konflik Palestina-Israel merupakan faktor penyulut aksi pertikaian yang semakin meluas ke negara –negara Arab lainnya seperti di Iran, Iraq, Mesir dan lain-lain.
34
Abdurrahman Wahid, “Timur Tengah: Panorama Pergolakan Tak Kunjung Berhenti” dalam Prisma Pemikiran Gus Dur (Yogyakarta: LKiS, 2010), h. 134. 35 Riza Sihbudi, Menyandera……, h. 460.
108
Dengan memperhitungkan posisi Israel sebagai matchmaker
Timur
Tengah, adalah satu hal yang patut dikedepankan. Bagaimanapun, kekuatan Israel adalah puncak gunung es dari sokongan negara-negara paling berpengaruh di dunia. Melawan Israel menggunakan senapan adalah satu hal yang konyol. Sebenarnya, bisa saja diejawantahkan pan-Arabisme jilid II yang mengusung semangat “menghapus Israel dari peta dunia” namun, upaya tersebut terasa kemajuannya hanya beberapa tapak ke depan. Sedangkan selanjutnya, Timur Tengah menjadi padang penjagalan yang dilakukan oleh negara super powers lainnya. Menyelami
ide Gus Dur-Israel, agaknya para penafsirnya juga akan
menemukan kamar-kamar lain, yang begitu banyak dalam jaringan pemikirannya Memang merupakan sebuah kerumitan tersendiri dalam memandang sepak terjang pemikiran Gus Dur, terlebih bagi mereka yang menggunakan kacamata lahiriah, tanpa memasang lensa tabayyun guna melesat ke asumsi pemikirannya. Satu hal yang menjadi fokus perhatian, adalah jangan hanya memahami pemikiran Gus Dur sepenggal-sepenggal. Jika itu yang terjadi, maka yang ada adalah kesalahan pandangan yang justru bertameng pada menyalahkan seseorang, bahkan kerapkali menyematkan gelar kafir, keblinger, dan lain-lain. Kembali pada persoalan Israel, Gus Dur sangat tidak sepakat dengan golongan garis kanan parlemen Israel. Menurutnya, kelompok ini begitu bernafsu untuk mewujudkan negara Israel raya (Palestina, Syria, dan Jordania). Di sisi lain, kelompok moderat yang pro-perdamaian, kurang mendapat tempat dalam Knesset. Partai Likud, merupakan partai besar yang di Knesset mejadi payung bagi
109
kelompok Israel garis keras. Kelompok inilah yang melegalkan penghilangan hak hidup warga Arab dengan cara apapun. Tidak bisa dielakkan, “kebijakan alot” kelompok keras, seperti yang diimani oleh PM Israel, Ariel Sharon, tidaklah menginisiasi terbitnya solusi, malah berbanding terbalik, akan semakin memperkeruh suasana36. Orang-orang macam inilah yang semakin membawa konflik Timur Tengah ke wilayah tuna rekonstruksi hubungan kemanusiaan. Dimata pengambil kebijakan keras Israel, fakta kebenaran, dianggap ilusi, seakan tak pernah terjadi. Hal ini terbukti ketika Komisi Kahan yang dibentuk oleh pemerintahan Israel guna mencari bukti keterlibatan pembantaian pengungsi Palestina di perkampungan Sabra dan Chatila, sebelah barat Beirut. Ketika komisi pimpinan ketua Mahkamah Agung, Yitzhaki Kahan membawa hasil yang membuktikan tentara Israel membunuhi warga Palestina, fakta ini ditentang ekstra keras oleh kelompok ultra-radikal yang saat itu diwakili oleh Menlu Ariel Sharon. Akibatnya , dokumen tersebut seperti berada di ruangan kosong, tidak ada penelusuran lebih lanjut bak tidak terjadi apa-apa.37 Dilain hal, kamar lain yang perlu dijelajahi oleh para penafsir pemikiran Gus Dur adalah bahwa sosok ini begitu menggandrungi humanisme universal. Menurutnya, universalisme Islam menampakkan wajah teduh yang bersumber dari tiap kebaikan ajaranya. Paralelitas ajaran yang saling mendukung, yakni dari hukum agama (fiqh), keimanan (tauhid), etika (akhlak), yang kerapkali
36
Abdurrahman Wahid, “Arafat, Israel, dan Palestina” dalam Kompas edisi Minggu, 7
April 2002. 37
Abdurrahman Wahid, “Israel: Cukupkah Momentumnya?” dalam Tuhan Tidak Perlu Dibela, (Yogyakarta: LKiS, 2010) h. 227.
110
disempitkan maknanya menjadi kesusilaan belaka, dan nilai hidup yang merujuk pada upaya menebarkan pendar-pendar ajaran kemanusiaan (al-insaniyyah).38 Nah, pada tataran inilah, sikap menerima yang lain menjadi sangat penting. Terutama dalam rangka membonsai kehidupan yang awalnya penuh tipu daya, menjadi satu ritme kesamaan dalam menggagas satu perubahan sistemik. Realitas kebhinekaan, tidak hanya pada ranah nasional, adalah keniscayaan yang wajib dipahami dan dilestarikan. Jika sudah demikian, maka akan mudah untuk merajut jalinan-jalinan kerjasama antar umat yang berbeda. Tak terkecuali dengan Israel, yang secara lahiriah dianggap musuh Islam, maka adalah satu keharusan guna mengajak umat Yahudi yang memiliki kepeduliaan dalam menggalang kehidupan yang lebih baik.
38
Abdurrahman Wahid, “Universalisme Islam dan Kosmopolitanisme Ajaran Islam” dalam Pergulatan Negara, Agama, dan Kabudayaan (Depok: Desantara, 2001), h. 179.
BAB IV PANDANGAN ABDURRAHMAN WAHID TERHADAP KONFLIK PALESTINA-ISRAEL
A. Abdurrahman Wahid dan Yahudi Melihat perjalanan hubungan Gus Dur dan Yahudi di atas, dapatlah kita mengambil suatu benang merah bahwa Gus Dur begitu kooperatif terhadap Israel. Hal ini merupakan satu terobosan baru bagi terciptanya perdamaian hakiki di Timur Tengah. Kendati terkesan melabrak adat, karena dunia Islam terlanjur menstigmatisasi Israel sebagai penjajah tanah Palestina. Selain itu, Gus Dur mempunyai agenda yang lebih besar, yakni sebagai upaya mencari format yang lain, namun lebih menjanjikan bagi pengentasan penderitaan bangsa Palestina. jika hanya menggunakan mata telanjang atau tanpa meneliti secara lebih dalam dan holistik, maka yang hadir di pengindraan para pengamat akan mengerucut pada pandangan “Gus Dur mendukung Israel.” Sebenarnya, Gus Dur pun seorang tokoh yang tidak menyetujui tindakan konfrontatif Israel atas Palestina. hanya saja Gus Dur terkesan lebih mawas diri. artinya ada semacam lompatan ekstase ide dalam ruang pemikiran Gus Dur. dengan cover menjalin kerjasama bilateral dengan Israel, akan membuka pintu lebih lebar guna mendekati baik dalam tataran aksi maupun batin untuk dapat mempengaruhi kebijakan Israel atas Palestina. Tidak bisa dipungkiri, instalisasi nilai-nilai pluralisme yang bersarang dalam pemikiran Gus Dur menjadi semacam perkakas tambahan guna memantapkan langkahnya berjabat tangan dengan pihak Tel Aviv. Seperti yang
111
112
telah dipaparkan di atas. Pluralisme, yang menawarkan satu outlook mengakui realitas liyan, menjadi faktor pendorong kuat Gus Dur untuk menginisiasi pengadaan satu agenda yang menguntungkan tidak saja bagi umat Islam Palestina, namun juga bagi berdirinya republik perdamaian yang menaungi ruang publik dunia. Israel, disadari Gus Dur, merupakan satu negara yang mempunyai pengaruh yang besar dalam peta ekonomi dunia.
Selain sebagai sarana
memperjuangkan kepentingan rakyat Palestina, hubungan diplomatik dengan Israel, dipandangnya dapat menjadi preseden bagi fajar baru rekonstruksi ekonomi dalam negeri. Namun, pendapat seperti ini agaknya terlalu dini dibicarakan. Untuk menambal lubang besar kerusakan ekonomi, sebenarnya, Gus Dur juga mempunyai kesempatan yang tak kalah gemilangnya dengan menjalin hubungan dagang dengan Israel, yakni dengan melirik negara-negara lain yang mempunyai sayap-sayap ekonomi yang tak kalah kuat ketimbang Israel, seperti China misalnya. Gus Dur mempunyai kans yang cukup besar jika dapat memanfaatkan kedekatan yang padu dengan China. Kedekatan Gus Dur dengan komunitas Tionghoa, dapat menjadi modal dasar membangun hubungan ekonomi maupun politik yang tak kalah besar dengan menjalin kerjasama dengan Israel. Jika Israel mempunyai jejaring ekonomi-politik yang begitu kuat di Eropa dan AS, maka China pun demikian, mempunyai kapasitas tersendiri yang dalam beberapa hal sejajar dengan Israel. Namun, yang lebih penting dari itu, dapat meredam amarah umat Islam tanah air. Bagaimanapun, harus ada common sense yang harus dipahami oleh Gus
113
Dur dari gesture muslim tanah air yang masih sinis terhadap Israel, sekalipun hubungan yang akan terjalin dapat menimbulkan suatu manfaat nantinya. Dengan demikian kontroversi yang meresahkan umat Islam tanah air tidak harus terjadi. Namun, jika ditarik ke ranah yang lebih luas, keinginan kuat Gus Dur untuk menjalin hubungan dengan Israel dengan tujuan akhir melepaskan cengkeraman negara Yahudi itu dari tanah Palestina, tentu merupakan langkah yang patut diapresiasi. Hal ini mengingat, kekurangefektifan memperjuangkan kemerdekaan Palestina melalui jalur senjata. Sedangkan melalui perundingan masih saja
meja
berbuntut lubernya kesepakatan perdamaian yang
sebelumnya sempat disetujui oleh kedua belah pihak. Mau tidak mau, strategi menuntaskan masalah Timur Tengah ini, harus diformat ulang dan disesuaikan relevansinya. Israel bagaimanapun, merupakan negara kuat yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Jika jalur militer urung berhasil, maka jalan kultural, yakni dengan memanfaatkan kedekatan dengan pemerintah Israel, dipandang Gus Dur merupakan sesuatu yang solutif, kendati Mesir era Anwar Sadat gagal melakukan hal tersebut. Bergabungnya Gus Dur dengan organisasi Simon Peres pada tanggal 7 Maret 19971, dapat dikatakan sebagai langkah keseriusan awal Gus Dur dalam upayanya menciptakan rekonsiliasi Palestina-Israel. Simon Peres adalah seorang tokoh Israel, yang mempunyai pemikiran lebih moderat ketimbang kolegakoleganya dari partai Likud yang cenderung menghalalkan segala cara mengenyahkan Palestina.
1
Fahri Hamza, ed., Inilah Satu Dekade Kontroversi: Tabel-Tabel Kontroversi Abdurrahman Wahid Periode 1991-2000, (Jakarta: YFIS Press, 2000), h. 25
114
Peres merupakan sosok yang dapat diterima oleh bangsa Arab karena pandangannya yang lebih solutif guna menghentikkan pertikaian antara dua bangsa Ibrahim tersebut2. saat itu, Peres sendiri yang menyeleksi para tokoh-tokoh dunia yang mempunyai komitmen tinggi dalam menciptakan iklim perdamaian di dunia. Gus Dur dinilai Peres sebagai sosok yang gandrung akan cita-cita perdamaian melalui jalur agama3. oleh sebab itu, kontribusi Gus Dur sangat dibutuhkan di yayasan tersebut. Terlihat persamaan yang kentara terkait ide pengentasan konflik Palestina dan Israel antara Peres dan Gus Dur, keduanya memandang suatu persamaan baik hak dan kewajiban bagi bangsa Yahudi dan Arab Palestina. Artinya, harus ada kerelaan dari kedua belah pihak untuk hidup berdampingan. Bangsa Israel, sebagaimana telah disinggung di bab I, merupakan bangsa yang dikucilkan oleh sejarah. Maka wajar apabila mereka memendam rasa rindu akan hadirnya tempat mukim bagi dirinya. Yang menjadi satu hal yang menarik, mereka tetap memelihara cita-cita tersebut selama berabad-abad. Selain itu, perlu juga dicatat, bangsa Yahudi adalah bangsa yang mempunyai pengaruh besar di mata dunia. Beberapa dari mereka- untuk tidak mengatakan semua- terkenal sebagai penggerak-penggerak roda sejarah. Selain itu, lobi-lobi mereka begitu menggurita di negara-negara adidaya, seperti AS4. Kalimat ini, bukanlah berarti menunjukkan inferioritas umat Islam, tetapi sebagai pelajaran bahwa dalam “melemahkan” kekuatan Israel, harus menggunakan metode dan cara yang benar-benar efektif. Salah satu cara yang ditawarkan Gus Dur adalah dengan merangkul mereka, merubah paradigma lawan menjadi kawan. 2
Reza Sihbudi, Menyandera Timur Tengah……, h 32. Nawawi A. Manan, Membangun Demokrasi….,h. 166. 4 Nawawi A. Manan, Membangun Demokrasi….., h. 175. 3
115
Pemikiran demikian, walaupun menurut Gus Dur dipandang cukup solutif, tetapi juga berpotensi menyulut protes keras di dunia Islam, khususnya di tanah air. Bagaimanapun, sampai sekarang, Israel tetap dianggap sebagai musuh Islam, karena secara rill, mereka telah melakukan tindakan represif terhadap bangsa Palestina. Terbukti, hampir setiap opini maupun aksi Gus Dur terkait dengan pandangannya yang dianggap pro-Israel, mengundang kritikan yang tajam. Umat Islam secara keseluruhan, agaknya masih belum mau membuka pintu untuk menerima Israel. Ketika Gus Dur melakukan lawatannya ke Israel, beberapa tokoh Islam menilai, kunjungannya tersebut merupakan sesuatu yang tidak perlu dan dipadang „membahayakan‟ . umumnya, mereka yang mengkritik keras Gus Dur, adalah mereka yang sangat kontra dengan segala hal terkait Israel. Amin Rais, yang saat itu menjabat sebagai ketua PP Muhammadiyah, sangat menyayangkan kunjungan Gus Dur ke Israel. Menurutnya, “…umat Islam Indonesia tidak akan rela jika tokoh-tokoh panutannya menjalin hubungan dengan Israel.
Posisi
negeri
ini,
sebagai
negara
taruhannya….”5 Dunia Islam, dapat saja
mayoritas
muslim,
menjadi
berpadangan Indonesia mulai me-
reposisi dukungannya yang tadinya dialamatkan bagi Palestina, kini pindah ke Israel. Jadi,
dengan
menimbang
kondisi
tersebut,
dikhawatirkan
dapat
mengundang resiko yang lebih besar. Merupakan sesuatu yang menggelikan, lanjut Amin Rais, “…Indonesia yang pernah menderita akibat dijajah, malah mendukung negara yang menjajah bangsa lain….”6
5 6
Mahfudz, “Mencari Damai yang Dimusuhi; Catatan Perjalanan ke Israel,” h. 27 dan 28. Ibid. h 27 dan 28
116
Namun demikian, Gus Dur tetap optimis, kendati Knesset kerapkali di kuasai oleh golongan ultra-keras yang menghendaki pencaplokan wilayah Palestina, namun mereka yang berpikiran terbuka seperti Simon Peres dan Yitzhak Rabin, tentu tidaklah surut. Banyak dari anggota parlemen Israel yang menurut Gus Dur “berpikiran waras” yang tetap mengedepankan perjuangan menahan laju politik garis keras Israel dan menghadirkan kedaulatan bagi bangsa Palestina7. Bagaimanapun, yang tersaji di Indonesia, terkait hal ihwal tentang Israel, adalah negara penindas yang memasung kebebasan berbangsa dan bernegara warga Palestina. pada poin tersebut, tidak ada lagi perhatian mengenai golongan moderat maupun garis keras dalam tubuh parlemen Israel, semuanya sederajat dan sama saja. hal inilah yang menjadi „jalan terjal‟ bagi Gus Dur untuk mengejawantahkan ideanya.
B. Abdurrahman Wahid dan Palestina Seperti yang telah disinggung sebelumnya, Gus Dur merupakan sosok yang gigih memperjuangkan kemerdekaan bangsa Arab Palestina dari perilaku despotik Israel. Kendati ia lebih mengedepankan sikap kerjasama dengan Israel, hal ini tidak menyurutkan niat Gus Dur untuk berkontribusi menghentikan kekisruhan di jatung Timur Tengah itu. Tindakan militeristik yang selama ini diusung oleh Palestina, demikian Gus Dur, merupakan “umpan balik” yang sia-sia dalam menghalau hegemoni Israel. Maka dari itu, sesegera mungkin haruslah dihentikan. Mereka yang 7
Abdurrahman Wahid, Palestina: dari Tragedi ke…, dalam Mustafa Ismail dkk (Ed), Abdurrahman Wahid, Melawan Melalui Lelucon: Kumpulan Kolom Abdurrahman Wahid di Tempo (Jakarta: Pusat Data dan Analisa TEMPO, 2000) h. 256.
117
mempunyai ideologi kekerasan dalam memandang Israel, tentu akan menemui satu serangan balik yang dua bahkan tiga kali lebih hebat dari Israel. Bagaimanapun, reliatas dalam menilai Israel sebagai negara yang mempunyai satu otoritas militer tersohor di mata dunia, haruslah disadari betul. Melumpuhkan Palestina, tentu merupakan hal yang mudah bagi Israel. Namun demikian, tindakan pelarangan menggunakan jalur kekerasan, merupakan sesuatu yang sulit dilakukan. Hal ini terkait dengan mindset ideologi yang berbeda-beda antara berbagai organisasi yang berfusi dalam PLO. Merupakan sebuah keniscayaan, apabila ada sekelompok golongan yang tidak puas dengan pola penyelesaian PLO yang cenderung melunak dengan Israel. Ditambah lagi, sebagian besar perjanjian damai hanya berujung pada retorika tanpa ada sesuatu yang mengikat. Hal ini merupakan salah satu sebab yang melatarbelakangi hengkangnya organisasi, seperti HAMAS, yang lebih nyaman menggunakan jalur militer. Gus Dur begitu keras mengkritik pola perjuangan PLO era Yasser Arafat yang dinilainya terlalu ragu-ragu. Di samping itu, kegagalan Arafat meredam “gelora jihad” anggotanya yang berideologi gun first, menjadi pertanda, bahwa sesungguhnya nasib bangsa Israel semakin tidak menentu. Para milisi Palestina yang kerapkali mengadakan penyerangan terhadap orang Yahudi, disebut-sebut Gus Dur sebagai saham besar yang semakin memperkeruh road map perdamaian8. Cara-cara militeristik -seperti bom bunuh diri-jika terus dilanggengkan menjadi satu preseden buruk yang semakin membawa stigma negatif perjuangan Palestina yang dinilai kontra-produktif. Nah, inilah yang harus direposisi dan
8
Abdurrahman Wahid, “Arafat, Israel, dan Palestina,” Kompas, 7 April 2002. H. 28.
118
digantikan dengan cara-cara kultural9, salah satunya dengan mengedepankan sisi diplomatis. Termasuk kedalam keberpalingan dari cara-cara kultural, adalah kelalaian sebagian kecil pemuda muslim untuk institusi (lembaga) dan budaya (kultur) Islam. Minimnya pemahaman tentang khazanah budaya dan peradaban Islam, dapat menyebabkan ketakutan bahwa institusi (kelembagaan) ke-Islaman akan putaran modernisasi, yang di blow up oleh peradaban Barat. Karena merasa tantangan modernisme dan baratisme sulit untuk dihadapi, maka mereka menggunakan
berbagai
macam
cara
(termasuk
kekerasan)
dalam
“mempertahakan” agama yang mereka yakini.10 Untuk itu, penghayatan akan ajaran keagamaan yang lebih mendalam kaitannya dengan realitas kebhinekaan haruslah diperhatikan. Agaknya, Gus Dur terisnspirasi dengan jalan pemikiran Mahatma Gandhi, yang menjadi idolanya, dalam memandang penyelesaian konflik tersebut. Gandhi merupakan seorang negarawan yang giat mengkampanyekan gerakan Ahimsa (anti-kekerasan). Bagi Gandhi, menghadapi setiap problem, hendaklah menegasikan unsurunsur kekerasan. Ketika India dijajah oleh Inggris, Gandhi menggunakan cara tersebut, yakni dengan berlaku kooperatif tehadap pemerintah India. Hal tersebut, sangat kentara dalam jalan politik Gus Dur, yakni dengan menggandeng Israel dalam prosesi rekonsiliasi etalase sosial kedua negara yang mengalami kerusakan. Menjadi suatu tantangan bagi pemimpin PLO dalam meyakinkan para anggotanya untuk lebih
9
mengedepakan jalur dialog. Hal ini mengingat
Abdurrahman Wahid, Palestina: dari tragedi ke …. h. 254. Abdurrahman Wahid, Adakah Perdamaian di Irak ? dalam Islamku, Islam Anda, Islam Kita (Jakarta: The Wahid Institute, 2006), h. 380. 10
119
kepemimpinan PLO sebelumnya yang hingga kini, belum bisa menghadirkan peta pengamanan dan kemaslahatan bagi warga Palestina secara signifikan. Dalam menggalang perdamaian Timur Tengah, diperlukan perhatian dan kerjasama dunia internasional. Selain menggalakkan konsolidasi negara-negara adidaya, penting bagi negara-negara Arab yang mempunyai kans ekonomi-politik relatif baik dan maju guna berpartisipasi membawa pemenuhan kepentingan Palestina11. modal kekayaan-utamanya minyak-dapat menjadi semacam “daya tawar” yang dapat mempengaruhi kebijakan para negara adidaya terkait dengan pembangunan negara Palestina yang berdaulat. Selain kontribusi dari para negara Arab, perjuangan perdamaian akan semakin berdampak luas jika dibarengi dengan upaya rekonstruksi dasar-dasar ekonomi- politik Palestina. hal ini dapat berupa bantuan keuangan menggunakan jalan kredit murah berjangka panjang. Dengan cara ini, diharapkan dapat memacu laju perekonomian dan perindustrian
yang tentu didampingi dengan
penyelenggaraan pemerintahan yang bersih di masa depan12. Seperti telah diketahui, beberapa negara besar dunia, seperti AS, menggantungkan pasokan minyaknya, dari Timur Tengah. Kekayaan alam yang umumnya dimiliki oleh sebagian besar negara di Timur Tengah tersebut, dapat dijadikan semacam alat gertak untuk negara-negara besar guna memperjuangkan kelengkapan perdamaian Palestina-Israel. Kelengkapan tersebut bukan hanya berisikan sekedar sponsor atau dukungan retorika disertai harapan semata. Tetapi juga pengupayaan rekonstruksi sendi-sendi pembangunan Palestina.
11
Abdurrahman Wahid, Palestina: Dari Tragedi ke…, h. 255. Abdurrahman Wahid, “Perdamaian Belum Terwujud di Timur Tengah”, dalam Islamku, Islam Anda, Islam Kita (Jakarta: The Wahid Institute, 2006), h. 362. 12
120
Selain itu, Gus Dur juga berharap ada revolusi sistemik dalam tubuh PLO. Organisasi tersebut, yang berdiri dengan mengusung independensi politik masyarakat Palestina, dituntut mampu memberikan “efek kejut” yang akomodatif dalam mengusahakan perdamaian internasional, utamanya Palestina-Israel. PLO era Yasser Arafat, dinilai Gus Dur tidak begitu dirasakan oleh kalangan akar rumput. Walapun, Arafat menggunakan cara-cara diplomatis, seperti yang dipaparkan sebelumnya, mereka terkesan setengah-setengah dalam berjuang melalui jalan tersebut, seperti saat Arafat menolak penandatanganan sebuah naskah perdamaian di hadapan Yitzhak Rabin (saat itu menjabat PM Israel) dan Presiden Mesir, Hosni Mubarak13. Hal lain, yang menjadi kritik Gus Dur atas Yasser Arafat, adalah karena faktor organisasi Fattah, pimpinan Yasser Arafat, yang mendominasi pengambilan kebijakan pengambilan hukum di tubuh PLO. Kelompok Arafat tersebut, demikian Gus Dur, kurang memiliki pengalaman pahit yang diperlukan untuk referensi strategi perjuangan yang harus dilakukan. Karena keragu-raguan itulah, muncul beberapa golongan Palestina yang tidak puas, lebih memilih jalur teroristik. Skisma ideologi yang tajam dalam tubuh PLO, jika tidak segera dianggulangi, akan menambah terjalnya “kampung kedamaian” yang sejatinya diidam-idamkan oleh rakyat Palestina. Oleh sebab itu, penyatuan visi perjuangan dalam PLO sendiri mutlak dibutuhkan. Kemunculan organisasi berideologi jihadis, laiknya HAMAS, tidak bisa dipungkiri, adalah akibat kegagalan PLO dalam membina kader maupun aggota-anggotanya. Ini merupakan pekerjaan menguras tenaga, yang harus menjadi agenda utama para pengurus PLO kedepan. 13
Abdurrahman Wahid, ” Palestina, Setelah Arafat Wafat,” Kompas, edisi Rabu, 8 Desember 2004, h. 4.
121
C. Jalan Non-Konfrontatif Sebagai Solusi Sebaik-baiknya perkara, adalah mengambil jalan yang tengah, agaknya susunan kata-kata tersebut menjadi elan Gus Dur dalam merebuildisasi kehidupan filatropis di Timur Tengah. Kawasan regional dunia Arab dan sekitarnya (Turki dan Iran), demikian Gus Dur mempunyai kecenderungan skisma politik dalam negeri
yang begitu besar. Selain, medan perebutan dominasi negara-negara
adidaya, hal tersebut menjadi material penting bagi terciptanya suatu kekisruhan14. Dalam rekonsiliasi hubungan Palestina-Israel, menerapkan konsepsi one land, two nations, adalah yang paling tepat15. Palestina, harus menerima para penganut Yahudi sebagai tetangganya. Hal ini tentu merupakan seuatu yang dinilai aneh oleh sebagain kalangan. Bagaimana bisa, bangsa Palestina, yang sejatinya merupakan pribumi, dapat menerima mereka yang non-Islam, yang telah menghalalkan darah ribuan bangsa Arab palestina demi pendirian negara Israel merdeka? Hal tersebut, pastinya atau setidaknya akan terlintas bagi mereka yang concern dalam konflik Timur Tengah tersebut. Namun demikian, hal tersebut merupakan jalan yang harus diperjuangkan melihat kaitannya dengan perpolitikan global. Dengan menerima Israel sebagai “saudara” maka bangsa Palestina telah membantu terwujudnya humanisme universal tanpa tersekat lagi dengan wacana perbedaan agama dan bangsa. Israel, yang sejatinya digerakkan oleh para politikus Yahudi, tentu harus mafhum dengan keterbukaan Palestina nantinya. Jangan hanya mengedepankan egosentris untuk selalu menjalankan “ideologi menyerang” terhadap bangsa
14 15
Abdurrahman Wahid, Timur Tengah: Panorama….., h. 134. Abdurrahman Wahid, Palestina: Dari Tragedi ke…., h. 256.
122
Palestina.
diaspora yang selama berabad-abad dirasakan bangsa Yahudi,
hendaknya dijadikan elan guna membangun istana kemanusiaan yang penuh dengan pendar-pendar perdamaian dan kerukunan. Baik bangsa Palestina dan bangsa Yahudi Israel tentu pernah merasakan pedihnya medan pertempuran. Lalu mengapa tidak, mengubur dalam-dalam egoisme primordialistik , dan bersama mawas diri dan saling memaafkan. Selain itu, gejala polarisasi dan sektarianisme menjadikan bara prahara di Timur Tengah semakin memerah dan menjadikan konflik Palestina-Israel semakin penuh dengan ketegangan. Pertentangan antara golongan nasionalisme, marxisme, bahkan fundamentalisme Islam merupakan beberapa ideologi dominan yang saling berebut pengaruh16. Hal ini dibuktikan dengan mudahnya perubahan aliansi-aliansi politik diantara golongan yang berbeda. Sebagai contoh adalah, ketika menumbangkan rezim Raja Farook pada 1952, Gamal Abdul Nasser, salah satu anggota opsir bebas begitu lekat bekerjasama dengan Ikhwanul Muslimin, namun suasana tersebut berubah drastis ketika Nasser dan dua presiden setelahnya berkuasa, organisasi Ikhwan berada dalam masa-masa kegelapan penuh penindasan. Dalam menghadapi carut marut perpolitikan Timur Tengah, terutama dalam menyelesaikan konflik Palestina-Israel, jalan dialog merupakan cara yang paling relevan. Terdapat dua faktor penunjang yang memperkuat pendasaran konsep tersebut;
pertama, mengadakan forum
untuk
kesekian kalinya
membicarakan dan kemudian memantapkan upaya terakhir guna menyelesaikan konflik secara damai. Kedua, begitu keputusan diambil , harus segera ditunjuk orang yang melaksanakannya dalam waktu sempit17.
16 17
Abdurrahman Wahid, Timur Tengah: Panorama…, h. 137. Abdurrahman Wahid, Perdamaian Belum Terwujud…, h. 362.
123
Jalan kekerasan, sejatinya tidaklah menyelesaikan pertikaian, malahan, akan semakin mempertajam aroma permusuhan. Selain itu, jika ditilik dalam hal ekonomi, maka akan semakin memangkas biaya negara yang sejatinya dialokasikan sepenuhnya bagi kesejahteraan rakyat, ketika dipergunakan untuk pembiayaan perang. Perang hanyalah membuat luka baru dan mempertebal rasa dendam diantara manusia. Jalan negoisasi merupakan pilihan brilian ketimbang perang. Walaupun telah seringkali negoisasi dilakukan, dan terkesan mandeg, dan sering dilanggar, jangan sampai “api dialogis” padam. Musyawarah, duduk dan merenungkan pemecahan problem adalah lebih mulia, ketimbang saling serang dan saling membunuh. Haruslah diakui, upaya mewujudkan perdamaian abadi Palestina-Israel, tentu membutuhkan kesabaran dan waktu yang panjang. Oleh sebab itu kesungguhan dan kegigihan merupakan prasyarat yang harus “dibumikan” di sanubari para pejabat negara dan lembaga terkait. Gus Dur memberikan usulan menarik dalam memilih sang negoisator. Menurutnya “…Orang yang menduduki posisi tersebut hendaknya mempunyai komitmen dan integritas yang tinggi untuk dapat menyakinkan bahwa paham “satu tanah, dua negara” adalah konsensus final yang mempunyai porsi berimbang baik untuk Palestina maupun Israel.
Sang negoisator, hendaknya membawa
“kelayakan” bagi semua pihak….”18 Kubah kerukunan hendaknya harus menuju kearah yang meluas bagi para pengikut agama samawi. Artinya sematan agama janganlah dijadikan bumerang
18
Ibid.., h. 363.
124
untuk
saling
menjatuhkan.
Harus
ada
tindakan
praksis-operatif
guna
mengejawantahkan bangunan keadaban dengan menggunakan pendasaranpendasaran pluralisme. Kekayaan khazanah tiga agama samawi yang dalam lingkup Palestina-Israel disimbolkan dengan Yerussalem, adalam modal penting guna menyongsong setiap perubahan zaman. Mendawamkan tradisi toleransi merupakan kunci bagi glorifikasi kehidupan global. Salah satu perbendaharaan kearifan yag menjadi modal dasar guna memperkuat common platform dapat diakses melalui lahan keagamaan. Peran dan ide Gus Dur, dalam hal ini, yang mempunyai latar belakang sebagai penganjur perdamaian diatas heterogenitas, menjadi begitu dibutuhkan. Dengan mengamalkan ukhuwah basyariah, akan tercipta suatu komitmen untuk saling bekerjasama membangun peradaban sofistikatif. Hal tersebut, telah diakui oleh dua orang cendikiawan yang mewakili dua disiplin keilmuan yang berbeda, Jurgen Habermas (mewakili kubu filosof etika) dan Joseph Ratzinger (mewakili kubu rohaniawan) dalam dialog peradabannya, agama mempunyai kesempatan besar dalam mencari konsensus ketimpaganketimpangan akibat hawa negatif yang ditiupkan oleh kehidupan modern.19
19
Paul Budi Kleden dkk, ed., Dialektika Sekularisasi; Diskusi Habermas dan Ratzinger dan Tanggapan (Yogyakarta: Penerbit Lamalera, 2010) h. 78.
BAB V KESIMPULAN
Konflik Palestina-Israel, menyisakan duka yang mendalam bagi setiap manusia yang berada dalam putaran peristiwa itu. Sudah tidak terhitung lagi, korban yang jatuh, seakan menjadi prasyarat utama bagi berdirinya satu kekuatan yang penuh dengan balutan egoisme. Perang, dianggap sebagai solusi akhir yang efektif dalam menyelesaikan musibah kemanusiaan ini. Kecaman dunia yang dialamatkan kepada Israel sebagai pihak “pendatang” yang tidak segan melayangkan aksi sporadis membunuhi warga Palestina, seakan dianggap nada sumbang yang tak perlu disimak. Gus Dur merupakan satu dari sekian banyak intelektual yang memiliki perhatian mendalam terhadap konflik tersebut. Namun demikian, kendati berasal dari latar belakang muslim, Gus Dur tidak serta merta mendukung semua metode perjuangan Palestina guna menghentikan aksi despotik Israel. Namun, ia juga tidak lantas setuju dengan kebijakan sepihak Israel yang berbuntut pada pendisposisian bangsa Palestina dari tanah mereka. Gus Dur memandang, dalam penyelesaian konflik kemanusiaan tersebut, haruslah ditarik akar yang lebih mendalam ketimbang berhenti pada wilayah agama, yakni pada sisi-sisi humanistik. Jika telah sampai pada tataran kemanusiaan, maka hak untuk berdemokrasi, penegakan keadilan dan pembanguanan multi-sektoral haruslah terlaksana antara-kedua belah pihak. Dengan kata lain, Gus Dur bertindak kooperatif, baik dengan Palestina, maupun Israel.
125
126
Bergabungnya Gus Dur dalam Yayasan Simon Peres, merupakan sebuah solusi yang dipandangnya perlu guna menyegarkan kembali rekonsiliasi PalestinaIsrael. Hal ini, tidak serta merta Gus Dur bergabung mendukung semua kebijakan Israel, seperti yang banyak ditafsirkan orang, melainkan hanya varian kultural guna mencoba mempengaruhi kebijakan Israel terhadap Palestina. Hal tersebut, sebenarnya merupakan hal yang amat sulit dilakukan, bahkan hampir utopis, mengingat dominasi kekuasaan kaum ultra-kanan di Knesset yang mencita-citakan pendirian Negara Israel Raya. Salah satu konsekuensinya, adalah kapturisasi wilayah Palestina. Belum lagi, jika memandang kenetralan PBB yang masih diragukan, akibat intervensi negara adidaya seperti AS, yang lebih mengedepankan kepentingan Israel ketimbang Palestina. Namun, Gus Dur tetap optimis, bahwa tradisi dialog guna menghadirkan rebuildisasi hubungan filantropis kedua belah pihak adalah perlu dilanggengkan. Kendati sulit, terlebih dengan realitas kesejarahan, dialog penyelesaian melulu berada dalam ruang kosong bagi Palestina, dan hanya berpihak pada Israel. Ide Gus Dur hanyalah salah satu opsi strategis guna menyelesaikan hal tersebut. Dilain hal, Gus Dur juga tidak setuju dengan perjuangan PLO era Yasser Arafat. Pemimpin PLO ini, dinilai gagal oleh Gus Dur, oleh karena ketidakmampuannya bernegoisasi dengan kelompok garda kanan PLO, seperti HAMAS, untuk menhentikan penyelesaian dengan langkah-langkah militeristik. Jalan tersebut, demikian Gus Dur, adalah kontra-produktif, dan hanya menambah jumlah korban kedua negara yang bertikai, tanpa ada titik terang yang restoratif.
DAFTAR PUSTAKA
Ansary, Tamin, Dari Puncak Bagdad: Sejarah Dunia Versi Islam. Jakarta: Zaman, 2010 Bachtiar, Tiar Anwar, Hamas; Kenapa Dibenci Israel. Bandung: Hikmah, 2009. Bahar, Ahmad, Biografi Kiai Politik Abdurrahman Wahid: Gagasan dan Pemikirannya. Jakarta: Bina Ilmu, 1999. Barton, Greg, Biografi Gus Dur . Yogyakarta: LKiS, 2010. Basyar, M. Hamdan, ed. Problematika Minoritas Muslim di Israel. Jakarta: Pusat Penelitian Politik LIPI, 2002. Dimont, Max I, Kisah Hidup Bangsa Yahudi. Masaseni, 2002.
Djufri, Shaleh Al-, Gus Dur; Politik NU dan Era Demokratisasi. Surabaya: LPLI Sunan Ampel, 1997. El-Fadl, Khaleed Abou, Selamatkan Islam dari Muslim Puritan. Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2006. Hamza, Fahri. ed, Inilah Satu Dekade Kontroversi: Tabel-Tabel Kontroversi Abdurrahman Wahid Periode 1991-2000. Jakarta: YFIS Press, 2000. Heikal, Mohamed, Anwar Sadat: Kemarau Kemarahan. Jakarta: PT. Pustaka Grafitipers, 1986. Huntington, Samuel P, The Clash of Civilization and The Remaking of The World Order (New York; Touchstone, 1997), Ismail, Mustafa dkk. ed, Abdurrahman Wahid, Melawan Melalui Lelucon: Kumpulan Kolom Abdurrahman Wahid di Tempo. Jakarta: Pusat Data dan Analisa TEMPO, 2000. Kleden, Paul Budi dkk, ed., Dialektika Sekularisasi; Diskusi Habermas dan Ratzinger dan Tanggapan. Yogyakarta: Penerbit Lamalera, 2010. Kuncahyono, Trias, Jerusalem; Kesucian, Konflik, dan Pengadilan Akhir. Jakarta: Kompas 2009. Manan, Nawawi. A, Membangun Demokrasi Melalui Kontroversi. Sidoarjo: Pustaka Andalusia, 2003.
127
128
Masdar, Umaruddin, Gus Dur: Pecinta Ulama Sepanjang Zaman, Pembela Minoritas Etnis –Keagamaan. Yogyakarta: KLIK R, 2005. Misrawi, Zuhairi, Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy‟sri: Moderasi, Keumatan, dan kebangsaan. Jakarta: Kompas, 2010. Mughni, Syafiq, ed. An Anthology of Contemporary Middle Eastern History. Montreal: Indonesia-Canada Islamic Higher Education Project. Pappe, Ilan, Pembersihan Etnis Palestina. Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2009. Priyatna, Haris, Kebiadaban Zionisme Israel: Kesaksian Orang-Orang Yahudi. Bandung: Mizan, 2009. Rosecrance, Richard, Kebangkitan Negara Dagang. Jakarta: Pustaka Utama, 1991.
PT Gramedia
Sihbudi, Reza, Menyandera Timur Tengah. Bandung: Mizan, 2007. Shaleh, Muhsin M, Palestina; Sejarah, Perkembangan, dan konspirasi. Jakarta: Gema Insani Press, 2002. Tim InCRES, ed. Beyond The Symbols: Jejak Antropologis Pemikiran dan Gerakan Gus Dur. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya bekerjasama dengan InCRES (Institute of Culture and Religion Studies, 2000. Wahid, Abdurrahman, Islamku, Islam Anda, Islam Kita: Agama Masyarakat Negara Demokrasi. Jakarta: The Wahid Institute, 2006. Wahid, Abdurrahman, Membaca Sejarah Lama: 25 Kolom Sejarah Abdurrahman Wahid. Yogyakarta: LKis, 2010. Wahid, Abdurrahman, Pergulatan Negara, Agama, dan Kabudayaan. Depok: Desantara, 2001. Wahid, Abdurrahman. Prisma Pemikiran Gus Dur. Yogyakarta: LKiS, 2010. Wahid, Abdurrahman, Tabayun Gus Dur . Yogyakarta: LKis, 2010. Wahid, Abdurrahman, Tuhan Tidak Perlu Dibela. Yogyakarta: LKis, 2010. Zastrow, Al-, Gus Dur Siapa Sih Sampeyan?. Jakarta: Penerbit Erlangga, 1999.
129
Surat Kabar Kompas, edisi Rabu, 8 Desember 2004 Kompas edisi Minggu, 7 April 2002.
Terbitan Berkala A. Halim Mahfudz, “Mencari Damai yang Dimusuhi; Catatan Perjalanan ke Israel, 25 Oktober- 1 Nopember 1994,” Aula, Desember 1994. Tjetjep Supriadi, “Unsur Islam Dalam Pewayangan,” Wayang, Juni 2008. Hillel Frisch dan Shmuel Sandler. “Religion, State, and the International System in the Israeli-Palestinian Conflict”. Dalam International Political Science Review. Vol 25. No I (Januari. 2004).
On Line http://www.jewishvirtuallylibrari.org http://www.library.nu
130