terorisme dan good governance semua tertuju pada masalah kekuasaan. Dampak yang semakin dirasakan oleh masyarakat local adalah terjadinya pergeseran nilai dan norma social budaya yang berubah sangat cepat. Masyarakat dunia ketiga umumnya tidak merasa kalau dirinya dieksploitasi oleh Negara industri maju. Terdapat proses internalisasi nilai yang dilakukan Negara maju ke Negara dunia ketiga melalui
“aparat” kebudayaan yang juga merupakan “agent of
change” seperti film, televise, internet, musik dan lain sebagainya yang telah bekerja dengan begitu sempurna. Media massa dalam hal ini merupakan media yang sangat mendukung berkembangnya hegemoni budaya. Kemampuan teknologi dan kemapanan media jurnalistik dan komunikasi berperan dalam menyebarkan budaya-budaya popular sehingga menjadi budaya global. Kita melihat bagaimana film dan penyiaran di dunia ketiga terutama Indonesia hamper seluruhnya berkiblat pada kebudayaan barat. Bila melihat kebudayaan bukanlah ruang yang netral, maka produk kebudayaan dan medium kebudayaan pun tidak bisa dipandang sebagai suatu yang netral termasuk media penyiaran seperti televise dan radio. Terdapat kepentingan ideologis di dalamnya yang bermain dari sekelompok kepentingan yang berkaitan dengan ekonomi, politik. Keberadaan media pada akhirnya akan didominasi oleh sekelompok pemodal yang ingin menguasai dunia melalui uangnya. Fenomena mengglobalnya media massa harus dilihat sebagai upaya kaum kapitalis dunia dalam menancapkan pengaruhnya ke seluruh bagian dunia. Media massa khususnya televise pada gilirannya akan diposisikan menjadi agen kebudayaan dari kelas dominant yang ada dalam kehidupan, kekuasaan pemodal. Realitas yang disajikan medium televisi bukanlah realitas yang sebenarnya, tetapi realitas yang telah melalui proses “seleksi”. Seleksi dilakukan oleh sekelompok orang – jurnalis- , pekerja di rumah produksi, produser, sutradara, hingga pemilik yang yang memiliki system nilai dan ideology tertentu. Hal inilah yang menyebabkan telavisi menjadi tidak bebas nilai. Dapat kita lihat sekarang ini dimana yang berkuasa adalah industri maju, maka televise akan menjadi agen system nilai, ideology, dan aparat hegemoni
kesadaran.
Hampir
seluruh
acara
yang
ditayangkan
televise
kita
merepresentasikan kepentingan budaya yang ada di dunia maju. Bahkan film-film yang ditayangkan adalah film produksi sineas Amerika dan Eropa; seperti Bioskop Trans TV, Layar Emas Box Office RCTI, dan Blockbuster ANTV. Tentunya system nilai dan ideology yang digambarkan sangat bias Amerika dan Eropa. Selain itu, karena televise PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR – UMB
IRA PURWITASARI S.SOS KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA
dikuasai pemodal maka siaran yang akan ditayangkan akan memperteguh dan mengukuhkan dominasi kaum pemodal. Kebudayaan yang disajikan ke khalayak luas pun kebudayaan yang tidak akan mengganggu eksistensi pemodal. Dengan semakin mengglobalnya televise, maka tidak aneh bila kebudayaan yang ada di dunia ketiga akan semakin terintegrasi dengan kebudayaan yang ada di Negara maju. Bila terjadi terus menerus maka Amerika dan Eropa akan dianggap sebagai impian jutaan manusia. Berkah desa global (Marshall Mc Luhan) telah menciptakan apa yang disebut dengan gaya hidup global (the global life style). Gaya hidup global ditandai dengan membanjirnya produk impor atau dari multinational corporation yang secara massal mengembangkan industrinya hamper di seluruh dunia, seperti pakaian, minuman, aksesoris, rumah tangga, parfum sampai pada jenis hiburan, musik, film, sinetron, lagulagu klasik dan popular, dalam bentuk vcd yang memungkinkan orang dapat memutar sendiri di rumah-rumah. Produk-produk tersebut telah mendorong warga desa global sebagai konsumen aktif, lebih besar sebagai pengguna produk-produk tersebut daripada harus menjadi produktor. Inilah system kapitalisme sejati yang membawa dunia dalam impian global. Akhirnya dunia menjadi lebih kosmopolit, yang mana satu orang dengan orang lain tidak saja saling memengaruhi tetapi juga saling mengeksploitasi dan mendominasi. Hegemoni budaya yang berkembang di Indonesia sebenarnya sudah sangat meresahkan, terutama mengenai pola hidup remaja Indonesia saat ini, dimana ketika hegemoni budaya barat diberi label modern, maka di sanalah jutaan anak muda negeri mengikut. Terdapat istilah generasi MTV, generasi yang berpikir, berperilaku, dan berbusana meniru system budaya yang dipraktikan budaya barat. Bila remaja saat ini tidak menonton MTV maka kita akan dianggap norak, kampungan, dan tidak modern. Satu pemaknaan yang salah kaprah. “Tren” pastinya ada karena sebuah
kebutuhan, Tapi sesungguhnya para
korporat sadar bahwa kebutuhan itu dapat diciptakan. Komunikasi visual pun tercipta sebagai ujung tombak kapitalis untuk menciptakan rasa “aku harus beli”. Bagi Millen Kundera ini di sebut Imalogy, sebuah pencitraan; cantik itu harus berkulit putih (pucat) seperti perempuan barat umumnya, rambut bagus harus brunette, dan mata yang menggoda haruslah berwarna biru atau hijau. Remaja Indonesia pun berlomba untuk mencitrakan dirinya sendiri dengan mengkopi perempuan-perempuan barat. Selain itu, di bidang ekonomi juga terjadi hegemoni di mana banyak bertebaran restoran-restoran ala barat seperti McDonald, Kentucky Fried Chiken, Wendys, dan lain-lain. Masyarakat PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR – UMB
IRA PURWITASARI S.SOS KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA
sekarang ini bila tidak makan di McD atau minum Coca Cola maka kita akan menjadi orang yang kampungan. Gejala ini merupakan suatu gejala poskolonialisme, yaitu suatu kondisi masyarakat yang mabuk akan nilai-nilai. Hal ini akan sangat memengaruhi kehidupan masyarakat sehari-hari dan menimbulkan factor-faktor negative dalam masyarakat, terutama munculnya diorientasi dan dislokasi. Disorientasi adalah proses kebingungan masyarakat karena kehilangan orientasi dalam kehidupan yang makin kompleks. Masyarakat kesulitan untuk mengambil keputusan atau menentukan pilihan dari tawaran yang makin banyak dan beragam, dari barang, jenis pekerjaan sampai gaya hidup. Sedangkan dislokasi adalah kondisi dimana setiap orang tidak tahu berada pada posisi dimana karena kompleksnya mikrokultur yang lahir karena gaya hidup global yang cepat menular. Dalam kondisi seperti itu, makin banyak warga masyarakat global yang semakin terpinggirkan oleh gegap gempita kehidupan yang kompetitif, teralienasinya individu dari masyarakatnya, terjadinya krisis identitas di segala lapisan. Dapat dilihat saat ini bahwa hegemoni budaya barat telah akrab dengan masyarakat Indonesia dan dengan sadar telah diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari seperti cara berpakaian, cara berpikir, selera musik dan lainnya. Dari segi penggunaan bahasa juga, bahasa Inggris merupkan salah satu bahasa internasional yang harus dikuasai oleh setiap orang. Bahasa Inggris merupakan syarat utama dalam lowongan pekerjaan. Hegemoni budaya barat dapat mengancam keutuhan budaya bangsa sendiri, karena itu untuk membebaskan masyarakat dari budaya barat, Gramsci mengatakan bahwa peran pembebasan ini kepada kaum intelektual yang harus menyadarkan masyarakat bahwa mereka tengah ditindas dan dihegemoni oleh kekuasaan tertentu. Menurut Gramsci, terdapat dua macam kaum intelektual, yaitu : 1. Kaum Intelek Organik yaitu kaum intelektual yang menggerakkan massa untuk bebas dari hegemoni budaya barat dan menyadarkan masyarakat bawah bahwa mereka telah ditindas dan dihegemoni oleh kekuasaan tertentu. Dalam kondisi seperti ini kaum intelektual harus membangun blok solidaritas (civil society) guna melakukan perlawanan budaya dan melakukan delegitimasi terhadap system kebudayaan dari kelas dominant. 2. Kaum intelektual tradisional yaitu kaum yang tidak bergerak untuk membebaskan dari hegemoni, tidak melakukan penyadaran dan menjadi agen kepentingan kelas berkuasa. llmu pengetahuan yang dimiliki kaum intelektual jenis PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR – UMB
IRA PURWITASARI S.SOS KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA
melegitimasi kekuasaan yang menindas. Biasanya menempati berbagai posisi alamiah, filosofis dan religius. Mereka terdapat di berbagai lembaga seperti sekolah, universitas, lembaga agama, media dan lain sebagainya. Umumnya dalam kehidupan sehari-hari, kaum intelektual menganggap diri mereka independent karena bukan dari bagian politik nyata di masyarakat. Tapi menurut Gramsci sesungguhnya mereka tidaklah independent karena mereka justru memproduksi,
memertahankan,
menyebarkan
ideology-ideologi
yang
membentuk hegemoni dan kemudian menjadi tertanam dan ternaturalisasi dalam akal sehat yang pada akhirnya akan menguntungkan pihak penguasa.
Dari uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa sesungguhnya kebudayaan bukanlah ruang yang netral. Keberadaannya menjadi arena pertarungan kepentingan ideology dan kelas dalam masyarakat baik nasional maupun internasional. Dalam konteks pertarungan kaum intelektual dituntut untuk berpihak menjadi agen kelas penguasa ataukah menjadi pembebas massa rakyat hegemoni dan dominasi. Peran kaum intelektual dalam kritik menjadi sangat penting, membiarkan budaya berdiri tanpa kritik akan semakin menjauhkan manusia dari keadaan yang humanis. Bila kaum intelektual organic ingin menjadi pembebas maka mereka harus memperkuat civil society sebagaimana yang disarankan Gramsci. Kaum intelektual organic harus segera turun ke tengah-tengah massa dan mengajak rakyat untuk belajar bersama-sama dalam memahami kebudayaan yang ada dalam realitas kehidupan. Gerakan ini bertujuan membongkar kesadaran palsu (kesadaran borjuasi) yang ditancapkan dalam kesadaran massa secara sistematik. Setelah massa sadar akan posisinya dalam ruang kebudayaan, massa kemudian diajak untuk memproduksi kebudayaan yang berpihak pada posisi kelasnya. Kebudayaan yang diproduksi ini merupkan satu kebudayaan tandingan sebagai perlawanan terhadap budaya dominant.
Menciptakan Budaya tanding Terhadap Hegemoni Budaya
Dominasi budaya yang dilakukan melalui media massa oleh masyarakat barat pada akhirnya mulai disadari sebagai bentuk imperialisme budaya baru. Bentuk imperialisme modern ini tidak lagi dilakukan dengan pesawat terbang, meriam, peluru dan pasukan, tetapi dilakukan oleh media massa.
PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR – UMB
IRA PURWITASARI S.SOS KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA
Ideologi
yang
disebarluaskan,
tidak
dipaksakan
oleh
penguasa,
tetapi
merupakan pengaruh budaya yang disebarkan secara sadar dan dapat meresap, serta berperan dalam mengintepretasikan pengalaman. Proses ini berlangsung secara tersembunyi, tetapi berlangsung terus menerus. Melihat kecenderungan demikian, maka hendaknya, dapat dialkukan diantaranya dengan reformasi di bidang media massa seperti melakukan deregulasi terhadap undang-undang pers, sesuai dengan kenyataan social budaya Indonesia, terutama dalam memperkokoh semangat kebangsaan. Selain itu, kebijakan Negara terhadap media massa bukan untuk mengendalikan arus informasi dari rakyat untuk rakyat tetapi bagaimana memberikan porsi yang cukup terhadap produk mental local. Saat ini, masyarakat Indonesia, pemerintah, seniman, mulai merekonstruksi atas “KeIndonesiaan” melalui kebudayaan nasional, kesenian daerah, promosi budaya sebagai wahana budaya tanding terhadap hegemoni budaya tersebut. Sebenarnya, langkah tersebut telah dimulai pada masa orde baru yang secara resmi mengupayakan aspek visual dan dekoratif kebudayaan asli Indonesia, mulai dari restorasi monumentmonumen purbakala, reproduksi gaya arsitektur tradisional hingga mengajarkan konteks “keindonesiaan” kesenian-kesenian daerah seperti seni tari serta penyebarluasan kerajinan tangan dan motif-motif tradisional seperti kain batik, songket dan lail-lain dalam kehidupan sehari-hari.Selain itu diterapkan nilai-nilai dan sikap yang digunakan sebagai karakteristik figure kelompok suku bangsa sebagai indikasi kepribadian Indonesia. Erosi budaya local yang terus menerus mengikis budaya local, kian dipercaya akan mampu menghancurkan local genie secara perlahan-lahan dan menggantikan dengan kebudayaan baru yang tercerabut dari akar budaya genius lokalnya. Dominasi budaya dan hegemoni budaya dapat dikurangi setidaknya dapat diletakkan pada porsinya yang selaras sengan budaya setempat, ketika ada kesadaran dan upaya untuk mengatasi keterasingan masyarakat dan keterasingan cultural dengan cara yang kritis. Dalam kondisi seperti ini pula, kajian komunikasi antarbudaya menawarkan kesadaran pentingnya keterbukaan setiap bangsa untuk mengerti, memahami dan bersikap kritis guna mengantisipasi efek budaya mainstream terhadap budaya sendiri. Sikap arif dan bijaksana, yakni perlunya mengakrabi secara kritis akibat dampak yang ditimbulkannya dan bukan untuk menghindari secara mebabi buda karena budaya asing.
PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR – UMB
IRA PURWITASARI S.SOS KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA