PSIKOLOGI PEMILIH: “POTENSI KEKERASAN DAN PENGUATAN CIVIL SOCIETY” Muhammad Johan Nasrul Huda* Abstract Voter and political party are social categories that always there is in every democratic event. But relation between both sometimes on unequal and transactional condition. Political party more stronger than voter. Furthermore the voter is easily to demage and break by social identity of politic that truly war in competition. Struggle to defend positive of social identity is one of factors to appearance violent between voter. Beside that there is administrative problem such as list of permanent voter can be stimulation of violent rising because voter obtain sharp of illegal status.
Potential of voter violent in democratic event was unexpeceted. The matter can be avoidance if political party growth in interactional justice reinforcement such as neutrality, respectly, and trustly of voter. So relation between party and voter became interactional. And democration as media to creat civil society can be manifest in whole situation. Key Word : voter, social identity, violent, civil society
PENGANTAR Pesta demokrasi seperti PEMILU dan PEMILUKADA jika dicermati secara seksama akan memunculkan dua kategori sosial yang memiliki pengaruh cukup besar terhadap proses demokrasi. Dua kategorisasi sosial itu adalah partai politik dan pemilih. Pemilih ibarat konsumen yang memakai barang dan jasa dari partai politik, sedangkan partai politik merupakan produsen yang memroduksi janji, harapan, visi mengenai perbaikan kondisi kehidupan pemilih. Maka tidak dapat dipungkiri bahwa interaksi keduanya memiliki hubungan yang sangat Korespondensi: HP: 0858 7886 0829 Email :
[email protected]
Prestasi dan Kesejahteraan Psikologis
| 13
Muhammad Johan Nasrul Huda
erat di dalam pesta demokrasi. Untuk menjaga relasi yang harmonis diantara keduanya, partai politik sebagai gerbong demokrasi hendaknya melakukan pendidikan politik demi membuka kesadaran masyarakat bahwa tujuan dari pesta demokrasi bukanlah kalah dan menang, tetapi memiliki fungsi kontrol dan pengawasan terhadap kekuasaan pemerintah dengan usaha memperoleh dukungan masyarakat untuk mensinergikan kekuatan-kekuatan sosial dan ideologi yang dimiliki dengan lembaga pemerintah (Neuman dalam Slamet, 2005). Namun hal itu nampaknya bertolak belakang dengan kondisi sekarang. Diakui atau tidak konflik masalah fanatisme kelompok para pendukung dari partai politik serta rendahnya kesadaran berdemokrasi masyarakat menjadi ancaman terjadinya amuk massa yang berujung pada tindakan kekerasan. Posisi strategis dari partai politik tak jarang disalahgunakan sebagai ajang jual beli kursi legislatif oleh oknum-oknum dari dalam partai politik itu sendiri. Partai politik bisa dengan seenaknya merekrut calon legislatif dari luar kadernya asal mereka menerima “harga” sebagai ganti biaya pencalonannya. Maraknya para artis yang duduk di dewan legislatif sekarang ini seperti Rahel Maryam, Jamal Mirdad, Eko Patrio dan lain-lain merupakan bukti bahwa partai politik tidak lagi berfikir secara idealis, namun cenderung lebih bersikap pragmatis dengan tidak segan-segan menjual kepercayaan para pemilihnya.
Situasi di atas telah melahirkan hubungan yang bersifat transaksional antara partai politik dan pemilih. Imbas dari pola transaksional itu menyebabkan relasi sosial antara caleg dengan rakyat sebagai pemilih syarat dengan kepentingan pribadi (self of interest). Seorang caleg yang memiliki tugas sebagai pelayan dan pengayom pemilih hanya akan disibukkan oleh kepentingan pribadi yaitu bagaimana mengembalikan asset-aset yang telah digunakan untuk meraih suara terbanyak, bukan bagaimana membangun kedekatan emosi dan empati di tataran akar rumput secara maksimal. Padahal dalam iklim modern saat ini karakter pemimpin yang relevan adalah berkaitan dengan melakukan pengarahan terhadap berbagai macam bentuk emosi bawahan ke arah yang positif sehingga bermanfaat bagi iklim organisasi (Golmen, 2002:5). Akibat dari banyaknya caleg yang tidak memiliki kecerdasan emosional eskalasi frustrasi terhadap kondisi psikologi pemilih pada pemilu 2009 kemarin 14 |
Jurnal Psikologi, Vol. IV, No. 2, Desember 2011
Psikologi Pemilih: “Potensi Kekerasan dan Penguatan Civil Society”
mengalami peningkatan dibandingkan dengan pemilu sebelumnya. Frustrasi menjadi bentuk ekspresi katidakpuasan yang bisa melanda baik secara individu maupun sosial dalam pesta demokrasi. Banyak sekali muncul fenomena caleg yang tidak mampu menerima pahit getirnya dinamika politik yang sedang berjalan. Mulai dari shock, depresi, gangguan jiwa hingga nekat melakukan bunuh diri. Sedangkan dalam aspek sosial, frustrasi massal akan menimpa pemilih yang melahirkan gelombang protes dan demo menolak keabsahan pemilu, tindakan kekerasan berupa penyerang terhadap massa pendukung lawan, pengrusakan kantor KPU dan fasilitas umum lainnya. Potensi kekerasan selain diakibatkan oleh kekecewaan terhadap hasil pemilu juga dikarenakan pemilih mendapatkan status tidak sah, karena tidak dapat menggunakan hak suaranya dalam pemilu. Pemilu 2009 mungkin bisa jadi titik awal dari bergulirnya beragam protes terhadap Komisi Pemilihan Umum (KPU). KPU sebagai institusi negara yang ditunjuk oleh pemerintah untuk menangani pelaksanaan pemilu lima tahunan ternyata tidak mampu bekerja secara maksimal. Salah satu masalah besar yang mencoreng muka KPU adalah kasus Daftar Pemilih Tetap (DPT) (Ramdansyah, 2009). Dalam DPT yang sedianya memuat nama-nama pemilih yang berhak ikut dalam pemilu ternyata masih banyak pemilih yang belum terdaftar. Ketidakberesan DPT secara politik telah menyulut penilaian tidak sah terhadap pemilu, sedangkan secara psikologis membuat kondisi emosional pemilih terganggu yang bisa berpotensi munculnya kekerasan dalam pesta demokrasi. Berdasarkan pemaparan di atas, maksud dari tulisan ini ingin mengulas kondisi psikologi pemilih yang berpotensi melahirkan kekerasan hampir di setiap pagelaran demokrasi baik yang bersifat lokal maupun nasional. Di samping itu juga membahas kemungkinan adanya penguatan civil society yang diawali dengan perbaikan relasi antara partai politik dan pemilih melalui prinsip keadilan interaksional.
POTENSI KEKERASAN PEMILIH 1.
“US VS THEM” Telaah Identitas Sosial Pemilih Perlu diketahui bahwa teori identitas sosial berkembang untuk memahami proses psikologi tentang perbedaan yang terjadi dalam hubungan antara kelompok, dengan pertanyaan dasarnya mengapa anggota kelompok memandang rendah terhadap
Prestasi dan Kesejahteraan Psikologis
| 15
Muhammad Johan Nasrul Huda
kelompok lain dan merasa percaya bahwa kelompoknya paling baik daripada kelompok lain (Hogg, 2004) Pemilih sebagai entitas dalam politik merupakan suatu identitas yang lebih bersifat kolektif dari pada personal. Hal ini disebabkan pemilih menjadi basis sosial partai yang memuat suatu tatanan nilai dan kepentingan kolektif untuk dimanfaatkan partai sebagai sumber daya politik (Sherman & Kolker, 1987). Sehingga pemilih adalah pencitraan dari suatu identitas sosial secara massif dikala terjadinya suatu pesta demokrasi. Identitas sosial pertama kali didefinisikan oleh Tajfel (1982) sebagai bagian dari pengetahuan individu tentang keanggotaanya dalam kelompok atau kelompok sosial yang disertai pentingnya nilai dan emosi sebagai anggota kelompok. Unsur kelompok berdasarkan definisi tersebut memiliki pengaruh yang cukup signifikan dalam menjelaskan konsep identitas sosial, dimana kelompok menjadi tempat untuk mengkonstruk kognitif, perasaan dan perilaku anggotanya. Selain itu kelompok dianggap sebagai kumpulan dari distribusi orang yang sama identitas sosialnya, dan melakukan persaingan dengan orang lain dalam mencapai keunikan yang positif (Haslam, 2001) Menurut Turner (1982) identitas sosial adalah jumlah total dari identifikasi sosial seseorang terhadap kategorisasi sosial tertentu yang diinternalisasi dalam komponen kognitif sebagai konsep diri. Penggunaan kategorisasi sosial dalam identitas sosial mengindikasikan bahwa dimensi kognitif dapat digunakan untuk menjelaskan fenomena kelompok. Hal ini senada dengan Alport (Abu Ahmadi, 1999) bahwa psikologi sosial berhubungan erat dengan proses kognitif, seperti digunakan untuk mengkategorikan orang dalam lingkungan sosial, mengungkap masalah prasangka dalam hubungan antara kelompok, stereotype, dan fanatisme. Adapun jenis kategorinya menurut Turner (1982) kategori yang dimaksud bukan dalam konteks pemahaman dalam bidang sosial akan tetapi kategori-kategori diri sebagai representatif dimensi psikologi berupa struktur pikiran yang berkaitan dengan bagaimana mendefinisikan diri mereka sendiri dan mengubah perilaku mereka. Penggunaan teori identitas sosial menurut Reicher (Hogg, 2004) dapat juga digunakan untuk mempelajari partisipasi dalam protes sosial atau kelompok aksi sosial. Studi tentang protes sosial 16 |
Jurnal Psikologi, Vol. IV, No. 2, Desember 2011
Psikologi Pemilih: “Potensi Kekerasan dan Penguatan Civil Society”
telah mempelajari bagaimana kekecewaan atau ketidaknyamanan individu ditransformasikan dalam aksi sosial serta mengapa simpatisan menjadi mudah dimobilisasi sebagai aktivis atau partisipan. Selanjutnya Klandermans (1997) berpendapat bahwa mobilisasi mencerminkan hubungan sikap-perilaku dari simpatisan yang simpati terhadap isu yang berkembang akan mempengaruhi sikap simpatisan. Lebih lanjut diungkapkan bahwa partisipasi akan menimbulkan dilema sosial, dimana protes secara umum baik untuk perbaikan sosial (mencapai persamaan) atau untuk melawan penyakit sosial (penindasan). Dengan kata lain, dapat dijelaskan adanya identifikasi sosial cenderung meningkatkan kemungkinan terhadap aksi sosial dan protes secara kolektif. Kondisi psikologis pemilih sesungguhnya tidak jauh berbeda dengan para simpatisan aksi sosial atau para demonstran yang seperti dikemukakan oleh Richer dan Klandermans. Psikologi pemilih terbentuk secara sosial untuk mendefinsikan diri dalam lingkungan politik. Melalui mekanisme kategorisasi dari Turner pemilih akan berupaya untuk melakukan seleksi terhadap lingkungan politik yang sesuai dengan aspirasinya. Selanjutnya pemilih dimotivasi oleh kebutuhan untuk meletakan dan mendefinisikan diri dalam konteks sosial yang lebih riil. Pemilih kemudian akan memutuskan untuk memilih atau masuk dalam suatu partai politik tertentu. Pada saat pemilih sudah menentukan menjadi anggota partai politik, maka identitas sosial ikut terbentuk secara otomatis. Identitas sosial aktif bersama masuknya pemilih dalam partai politik tertentu. Bersamaan dengan itu akan mendorong munculnya motif perbandingan sosial seperti yang dikemukan oleh Festinger (Shaw, & Costanzo, 1982). Pemilih akan mengevaluasi secara positif partai politiknya sebagai sesuatu yang unik daripada partai politik yang lain. Akibat dari penilaian yang bersifat kolektif dari pemilih terhadap partai politiknya menyebabkan munculnya bias positif ingroup. Persepsi pemilih yang mengalami bias positif ingroup akan akan melahirkan karakter aktivitas pemilih yang selalu memandang positif terhadap partai politiknya. US sebagai hasi persepsi positif pemilih terhadap partai politiknya yang mengarah pada munculnya ingroup favouritism. Sedangkan THEM merupakan outgroup deregorate sebagai hasil dari persepsi ingroup terhadap pemilih partai politik lain yang bernilai negatif. Prestasi dan Kesejahteraan Psikologis
| 17
Muhammad Johan Nasrul Huda
Kondisi psikologis pemilih semacam ini pada akhirnya memunculkan problem yang luas ketika hubungan antar pemilih dari partai politik yang berbeda-beda saling berhadap-hadapan dalam memerebutkan pengaruh politiknya. Dalam kondisi yang penuh dengan persaingan dan ancaman identas sosial menurut Whitely dan Kite (2006) akan semakin menguat sebagai reaksi dari persepsi pemilih terhadap adanya ketidakpastian politik. Persaingan, ancaman dan perbedaan individu menyebabkan munculnya Ketidakpastian politik dalam US maupun THEM. Akhirnya untuk mengurangi ketidakpastian politik tersebut antara US dan THEM bersaing untuk memperjuangkan identitas sosial positif partai politiknya masing-masing. Pada titik inilah pemilih dari partai politik berpotensi sekali untuk melakukan tindak kekerasan atau menjadi korban tindak kekerasan dari pemilih lain.
Berikut ini skema potensi kekerasan pemilih yang dimotivasi oleh kekuatan identitas sosial positif Kebutuhan pemilih mendefinisikan
Kategorisasi sosial
dan menata lingkungan politik
Kebutuhan pemilih untuk meletakan dan mendefinisikan diri dalam konteks sosial yang lebih riil
Keanggotaan/simpatisan/pemilih
Partai politik
Kebutuhan pemilih untuk mengevaluasi secara positif partai politiknya sebagai sesuatu yang unik
Bias positif ingroup Karakteristik dan aktivitas kelompok
Intergroup relation
US sebagai hasi persepsi positif pemilih terhadap partai politiknya yang mengarah pada
THEM merupakan outgroup deregorate sebagai hasil dari persepsi ingroup terhadap pemilih partai politik lain
munculnya ingroup favouritism Perjuangan mencapai identitas sosial positif
KEKERASAN
18 |
Jurnal Psikologi, Vol. IV, No. 2, Desember 2011
Psikologi Pemilih: “Potensi Kekerasan dan Penguatan Civil Society”
2.
Penilaian Diri Tidak Sah Sebagai Pemilih Pemilu 2009 diakui atau tidak dinilai oleh masyarakat secara luas sebagai pemilu yang menimbulkan status tidak sah (perceived illegitimacy) secara individual maupun kelompok dalam proses demokrasi. Akibatnya muncul protes dan demo seperti apa yang dilakukan oleh partai Gerindara, Hanura, dan PDI-P sebagai bagian dari ekspresi ketidakpuasan terhadap hasil pemilu 2009. Dalam kenyataanya pemilih cenderung diabaikan dan dipaksa untuk golput, padahal kontribusinya cukup signifikan dalam setiap pesta demokrasi. Hal ini kemudian juga diperparah oleh paradigma transaksional yang diterapkan dalam perekrutan caleg oleh partai politik tanpa adanya perhatian terhadap pembinaan hubungan emosional dengan para pemilih. Status tidak sah yang dialami oleh beberapa partai politik di atas merupakan hasil dari evaluasi terhadap status dalam hubungan antar kelompok. Masing-masing kategorisasi sosial memainkan peran yang signifikan dalam membentuk persepsi, keyakinan dan sikap dari partai politik terhadap hasil pemilu 2009. Ujung-ujungnya bahwa status tidak sah yang dirasakan oleh partai politik mengarah pada penilaian tentang keadilan bila dihubungkan kategorisasi sosial yang merujuk individu dalam konteks dan struktur sosial.
Kategorisasi sebagai unsur kognitif mempunyai beberapa pengaruh yang penting dan bernilai dalam pembentukan persepsi dan konsep diri dalam situasi tertentu (Turner, 1981). Sebagai contoh gender, dan ras selalu terkait dengan situasi kategorisasi sosial. Orang menggunakan akses kategorisasi untuk memahami konteks sosial dalam ruang lingkup perilaku nyata. Dalam penyelidikan secara mendalam kategorisasi mengindentifikasi hal-hal yang sama dan berbeda diantara orang yang disebut dengan struktur atau perbandingan, selain itu kategorisasi yang bertanya mengenai alasan tingkah laku seseorang disebut sebagai normatif (Brown, 2005) Kategori-kategori sosial sangat bermanfaat untuk menyederhanakan dan membuat sesuatu menjadi teratur, hal ini semata-mata disebabkan karena dunia merupakan tempat yang terlalu kompleks sehingga kita tidak akan berhasil menghadapinya tanpa keberadaan cara-cara untuk menyederhanakan dan mengaturnya. Efek dari adanya kategorisasi adalah membesarPrestasi dan Kesejahteraan Psikologis
| 19
Muhammad Johan Nasrul Huda
besarkan perbedaan antar kelompok dan memperkuat kesamaan antar kelompok. Menurut Bruner (Brown 2005) bahwa kategori yang paling mungkin digunakan adalah yang paling mudah diakses dan yang paling cocok dengan stimulus yang dihadapi. Selanjutnya kebanyakan stimulus di sekitar kita tidak membentuk diri menjadi pengelompokan-pengelompokan tertentu, tetapi diantara mereka hampir selalu ada elemen kedekatan (approximation) atau ketidakjelasan (fuzziness). Penelitian Wenzel (2001) tentang kategorisasi sosial dan keadilan, memperlihatkan bagaimana individu menilai keadilan dan ketidakadilan, individu akan menggunakan konsep entitlement yang diartikan sebagai sesuatu yang individu seharusnya “have to” berdasarkan kepada apa yang telah ia lakukan, siapa dia dan berada pada posisi apa individu di dalam organisasi. Selanjutnya, penilaian berdasarkan apa yang seharusnya didapat dari input yang telah diberikan sebagai refleksi dari proses kategorisasi, dimana individu mendefinisikan dirinya pada konteks dan struktur sosial.
Cara individu melakukan kategorisasi kemudian akan sangat terkait dengan basis nilai dan norma dari kelompok/organisasi tempat individu berada. Melalui identitas, nilai-nilai dan kriteria yang digunakan dalam penilaian apa yang seharusnya didapatkan. Secara jelas dapat dilihat pada gambar di bawah ini:
Gaya Penilaian Keadilan Berlandaskan Kategorisasi Sosial Menurut Michael Wenzel (2001) Menurut Tajfel (1982:135) status tidak sah yang dirasakan oleh anggota kelompok dibangkitkan untuk memelihara kepuasan terhadap identitas sosial. Adanya bias dalam persepsi kelompok muncul karena anggota kelompok di-dalam menilai kelompok di-luar sebagai upaya memelihara identitas sosial positif. Dalam pemilu 2009 partai-partai politik yang sedang berlaga sesungguhnya satu sama lainnya saling berupaya untuk menjaga identitas sosialnya agar tetap positif. Hal ini berdampak kepada sikap anggota partai
20 |
Jurnal Psikologi, Vol. IV, No. 2, Desember 2011
Psikologi Pemilih: “Potensi Kekerasan dan Penguatan Civil Society”
politik yang terkesan kurang obyektif di saat menerima kekalahan dalam pesta demokrasi. Ekspresi yang muncul sebagai wujud ketidakpuasan terhadap penilaian sosial bisa saja mengarah pada ketidakadilan (unjust) dan ketidakseimbangan (inequal) dalam tataran relasi kelompok yang sesungguhnya dimotivasi oleh pencapaian identitas sosial positif (Tajfel, 1981). Penggunaan teori identitas sosial menurut Reicher (Hogg & dkk, 2004) dapat juga digunakan untuk mempelajari partisipasi dalam protes sosial atau kelompok aksi sosial. Studi tentang protes sosial telah mempelajari bagaimana kekecewaan atau ketidaknyamanan individu ditransformasikan dalam aksi sosial dan bagaimana serta mengapa simpatisan menjadi mudah dimobilisasi sebagai aktivis atau partisipan. Selanjutnya Klandermans berpendapat bahwa mobilisasi mencerminkan hubungan sikap-perilaku dari simpatisan yang simpati terhadap isu yang berkembang akan mempengaruhi sikap simpatisan. Lebih lanjut diungkapkan bahwa partisipasi akan menimbulkan dilema sosial, di mana protes secara umum baik untuk kebaikan sosial (mencapai persamaan) atau untuk melawan penyakit sosial (penindasan). Dengan kata lain, dapat dijelaskan adanya identifikasi sosial cenderung meningkatkan kemungkinan aksi kekerasan sosial secara kolektif.
PENGUATAN CIVIL SOCIETY DENGAN PRINSIP-PRINSIP KEADILAN INTERAKSIONAL Sesungguhnya apa yang terenggut dari pesta demokrasi pemilu 2009 ini ketika proses pemilu ternyata tidak lagi memosisikan pemilih sebagai bagian penting dalam pengambilan keputusan politik? Perlu digarisbawahi bahwa proses demokrasi hakekatnya untuk menciptakan civil society yang kuat dan menjamin terhadap hak-hak asasi manusia dengan selalu memperhatikan pola relasi antara negara dengan masyarakatnya. Negara yang berfungsi sebagai pengatur, pengambil kebijakan dan pengayom dari masyarakat membutuhkan sistem pemerintahan yang sesuai dengan aspirasi rakyatnya. Begitupula masyarakat sebagai komponen dari negara harus memiliki cinta kepada tanah air dan bangsa yang merupakan salah satu pencerminan dari semangat nasionalisme. Sudah menjadi tugas dari elit politik untuk memahami psikologi pemilih dalam ajang perebutan kursi legislatif. Sebuah sikap yang Prestasi dan Kesejahteraan Psikologis
| 21
Muhammad Johan Nasrul Huda
mengedepankan perhatian terhadap penegakan keadilan interaksional harus tercipta antara elit politik dan pemilih agar situasi demokrasi tidak terkesan bersifat transaksional dalam bahasa Betawi ”lu jual gue beli”. Transaksi politik semacam ini bukanlah hal baru dalam setiap ajang pemilu, bahkan sebelum sistem pemilu modern ada transaksi politik sudah terjadi dalam di masyarakat seperti pemilihan RT, RW, Kepala Dusun (Kasun) dan Kepala Desa semuanya tidak terlepas dari aroma transaksi politik. Maka agenda utama setelah proses demokrasi berlangsung adalah mengukur efektivitas kinerja dari pemerintahan yang sedang berkuasa. Supaya pemerintah yang sedang berkuasa tidak disibukkan dengan kegiatan mendulang kekayaan untuk menutupi biaya keikutsertaanya dalam pesta demokrasi sehingga amnesia terhadap fungsi dan tugas pokoknya sebagai pelayan masyarakat. Sebab bangsa yang besar adalah bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai nasionalisme dan patriotisme yang termanifestasikan dalam penegakan keadilan interaksional antara rakyat dan pemerintah. Adapun dimensi lain dari keadilan interaksional yang lebih subtansial sifatnya. Tyler (1994; Faturochman, 2002: 48) menyebutkan ada tiga hal pokok yang diperdulikan dalam interaksi sosial yang kemudian dijadikan aspek penting dari keadilan interaksional. Tiga aspek tersebut adalah penghargaan, netralitas dan kepercayaan. 1.
Penghargaan Penghargaan khususnya pada status seseorang, tercermin dalam perlakuan, khususnya dari orang yang berkuasa, terhadap anggota kelompok. Isu-isu tentang perlakuan bijak dan sopan, menghargai hak dan menghormati adalah bagian dari penghargaan. Makin baik kualitas perlakuan dari kelompok atau penguasa terhadap anggotanya maka interaksinya dinilai makin adil. Perlakuan yang menunjukkan penghargaan terhadap orang lain bisa dalam bentuk kata-kata, sikap ataupun tindakan. Bentuk-bentuk penghargaan yang positif antara lain adalah respon yang cepat terhadap pernyataan atau persoalan yang diajukan, apresiasi terhadap pekerjaan orang lain, membantu memuji atas tindakan yang benar atau hasil baik, dan seterusnya. Sebaliknya memaki, membentak, menyepelekan, mengabaikan, menghina, mengancam dan membohongi adalah bentuk-bentuk sikap dan perilaku yang
22 |
Jurnal Psikologi, Vol. IV, No. 2, Desember 2011
Psikologi Pemilih: “Potensi Kekerasan dan Penguatan Civil Society”
bertolak belakang dengan pengahargaan (Donovan,dkk.,1998; Faturochman, 2002: 49). 2.
Netralitas Konsep netralitas berangkat dari keterlibatan pihak ketiga ketika ada masalah hubungan sosial antara satu pihak dengan pihak lain. Namun konsep ini juga bisa di terapkan pada hubungan sosial yang tidak melibatkan pihak ketiga. Netralitas dapat dicapai bila dasar-dasar dalam pengambilan keputusan misalnya, menggunakan fakta, bukan opini, yang obyektif dan validitasnya tinggi. Aspek ini juga mengandung makna bahwa dalam melakukan relasi sosial tidak ada perlakuan dari satu pihak yang berbeda-beda terhadap pihak lain. Hal ini akan tampak saat terjadi konflik dalam kelompok, baik yang bersifat personal, antar kelompok kecil, maupun anggota dengan kelompok (pimpinan). Pemihakan masih dibenarkan bila merujuk pada norma atau aturan yang sudah disepakati
3.
Kepercayaan Aspek keadilan interaksional yang paling banyak dikaji adalah kepercayaan. Tampaknya kepercayaan telah menilai isu tersendiri yang implikasinya terhadap kehidupan sosial besar. Ahli ekonmi dan sosiologi misalnya menekankan kajian tentang kepercayaan sebagai fenomena institusional. Dengan demikian, kepercayaan bisanya dikonseptualisasikan sebagai fenomena dalam lembaga atau antar lembaga. Sebaliknya mereka yang mendalami terori kepribadian akan menekankan perbedaan individu dalam membahas soal kepercayaan. Menurut pandangan ini kepercayaan merupakan harapan, keyakinan atau perasaan yang berakar pada kepribadian yang berkembangan dari awal masa pertumbuhan individu yang bersangkutan. Berbeda dengan dua pandangan itu, ahli psikologi sosial melihat kepercayaan dalam hubungan antar individu dan pada level kelompok kecil. Oleh karenanya kepercayaan sering didefinisikan sebagai harapan pihak lain dalam melakukan hubungan sosial yang di dalamnya tercakup resiko yang berasosiasi dengan harapan itu. Artinya bila seseorang mempercayai orang lain, ketika hal itu tidak terbukti ia kan menerima konsekuensi negatif seperti merasa dikhianati, kecewa dan marah (lihat Lewicki & Bunker, 1996; Faturochman, 2002:50). Sztompka (1999) menyebutkan bahwa kepercayaan adalah suatu
Prestasi dan Kesejahteraan Psikologis
| 23
Muhammad Johan Nasrul Huda
pertaruhan terhadap hasil di menyerahkannya pada orang lain.
masa
depan
dengan
Dari beberapa kajian yang dirangkum, Lewicki dan Bunker (1996; Faturochman, 2002: 50) menyimpulkan bahwa yang menentukan kepercayaan satu pihak terhadap pihak lainnya adalah disposisi individu, situasi, dan pengalaman atau sejarah hubungan kedua belah pihak. Tampaknya tiga hal ini memegang yang sangat penting sehingga dalam berbagai pembahasan tentang kepercayaan ketiganya menjadi dasar atau pijakan. Orang yang tampil tidak menyakinkan, sebagai indikasi percaya diri rendah (disposisi), akan lebih sulit menumbuhkan kepercayaan orang terhadapnya. Situasi tertentu karena hukum tidak jelas menghambat tumbuhnya kepercayaan sesama anggota masyarakat. Sementara pengalaman masa lalu seperti ditipu seseorang, akan menyebabkan tingkat kepercayaan terhadap pelakunya rendah. Kepercayaan pada atau terhadap orang lain (trust) berbeda dengan kepercayaan diri (confidence). Perbedaan mendasar terletak pada persepsi dan atribusi (Mayerson, Weick & Kramer, 1996; Faturochman, 2002:51). Pada level individu, keduanya kadang sulit dibedakan, tetapi dengan mengambil posisi sendiri atau dengan orang lain, keduanya akan mudah dibedakan. Ketika seseorang memiliki kepercayaan terhadap orang lain, dia justru dalam posisi yang berisiko. Hal ini akan terbukti ketika (berharap) orang dapat dipercaya ternyata mengecewakan, resiko itu benar-benar harus harus ditanggung yang secara psikologis dapat terbentuk rasa frustasi, marah, atau yang lain. Sementara kepercayaan diri sering menyebabkan seseorang lebih berani untuk mengambil resiko. Disini justru kepercayaan diatribusikan pada diri sendiri. Meskipun demikian orang yang percaya diri tidak berarti kurang mempercayai orang lain. Melalui penilain refleksi, yaitu memandang orang lain berdasarkan pada keadaan diri sendiri, orang yang percaya diri justru lebih mempercayai orang lain dibandingkan dengan orang yang kurang percayai diri (Murray dkk, 1998; Faturochman, 2002 : 51). Kepercayaan terhadap orang lain dapat dibangun melalui berbagai cara. Dengan cara apa pun kepercayaan dibentuk, proses ini harus menyentuh empat dimensi pokok kepercayaan, yaitu kompetensi, keterbukaan, kepedualian dan reliabilitas (Mishra, 24 |
Jurnal Psikologi, Vol. IV, No. 2, Desember 2011
Psikologi Pemilih: “Potensi Kekerasan dan Penguatan Civil Society”
1996; Faturochman, 2002: 52) orang mempercayai pihak lain karena kompetensinya. Pasien yang berobat ke dokter atau dukun menganggap bahwa dokter atau dukun itu memiliki kemampuan untuk menyembuhkan sakitnya meskipun harus melalui media tertentu. Dimensi ini dan juga dimensi yang lain, sangat kental dengan penilaian subyektif pihak yang mempercayai. Orang yang menilai dukun memiliki kemampuan tinggi dan mempercayainya belum bisa diintervensi oleh pihak ketiga agar dia lebih mengerti bahwa dokter memiliki pengetahuan lebih tinggi sehingga kepercayaanya berpindah dari dukun ke dokter. Hal yang sebaliknya juga bisa terjadi. Dimensi keterbukaan sering disejajarkan dengan kejujuran meskipun keduanya secara konseptual berbeda. Keduanya terkait erat satu dengan lainnya sehingga dalam tulisan ini keduanya digunakan secara bersama-sama untuk menjelaskan kepercayaan. Keterbukaan dan kejujuran sering digunakan oleh individu sebagai daya tarik atau menunjukkan bahwa dirinya dipercaya. Berbeda dengan kompetensi yang merupakan daya tarik untuk membangun kepercayaan dalam pola hubungan bisnis, keterbukaan merupakan daya tarik yang mengandung nilai-nilai moral untuk membangun hubungan sosial. Dimensi kepedulian sebagai bagian dari kepercayaan inilah yang mencerminkan keadilan interaksional. Kepedulian tidak hanya merupakan bentuk kontrol terhadap oportunisme atau interest pribadi karena secara moral pun memiliki interest pribadi dibenarkan. Tetapi lebih penting adalah peranannya sebagai mekanisme untuk menyeimbangkan antara kepentingan pribadi dengan kepentingan orang lain. Ketika keseimbangan ini tercapai, resiko yang harus ditanggung oleh pemberi kepercayaan dinilai rendah sehingga ia akan berani meningkatkan lagi kepercayaannya.
SIMPULAN Kondisi psikologi pemilih merupakan komponen terpenting yang harus diperhatikan dalam penyelenggaraan pesta demokrasi, di samping persiapan yang bersifat administratif. Hal ini terkait dengan posisi strategis pemilih sebagai aktor yang memiliki peran sebagai penentu arah kebijakan pemerintahan. Tanpa partisipasi pemilih dalam
Prestasi dan Kesejahteraan Psikologis
| 25
Muhammad Johan Nasrul Huda
pesta demokrasi, maka penyelenggaraan dan hasil pemilu maupun pemilukada akan dianggap tidak sah dan bisa menimbulkan berbagai masalah seperti tindak kekerasan diantara pemilih. Tindak kekerasan pemilih selain ditengarai oleh problem administratif seperti daftar pemilih tetap (DPT), juga disebabkan oleh perjuangan untuk mempertahankan identitas sosial positif diantara pemilih. Pemilih dimotivasi oleh upaya untuk mengurangi ketidakpastian politik yang diakibatkan adanya persaingan dan ancaman terhadap identitas sosialnya. Identitas sosial yang merupakan bagian dari konsep diri pemilih secara otomatis menstimulasi munculnya persepsi yang bersifat dikotomis diantara pemilih. Pemilih akan memisahkan secara tegas antara partai politiknya dan partai politik lain. Pemilih akan mempersepsikan partai politik sendiri sebagai US dan bagi partai politik lawan disebut THEM. Persaingan antara US dan THEM yang meruncing akan berimbas terhadap munculnya tindak kekerasan jika pesta demokrasi dipenuhi oleh relasi yang tidak seimbang antara pemilih dan partai politik.
Maka perlu kiranya partai politik memahami potensi kekerasan yang terjadi diantara pemilih dalam pesta demokrasi, partai politik harus lebih mengedepakan nilai-nilai keadilan interaksional. Selain itu partai politik harus melakukan reformasi dalam sistem politiknya dengan membuang praktik-praktik politik praktis yang syarat dengan tujuan transaksional. Nilai-nilai netralitas, kepercayaan, penghargaan yang terkandung dalam prinsip-prinsip keadilan interaksional perlu disemaikan dalam relasi antara pemilih dan partai politik. Dengan begitu potensi kekerasan pada pemilih bisa ditransformasi menjadi bentuk rekonsiliasi sosial yang merupakan syarat terciptanya civil society. Pada akhinya melalui demokrasi akan tercipta civil society syarat dengan penegakan nilai-nilai keadilan sosial bagi semua rakyat.
DAFTAR PUSTAKA Ahmadi, Abu. (1999). Psikologi Sosial. Jakarta. Rineka Cipta Augoustinos, M., & Walker, I. (1995): Social Cognition: An Integrated Introduction. London. Sage Publication. Brown, Rupert. (2005) Prejudice “Mengenai Prasangka Perspektif Psikologi
Sosial”. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.
26 |
Jurnal Psikologi, Vol. IV, No. 2, Desember 2011
Psikologi Pemilih: “Potensi Kekerasan dan Penguatan Civil Society”
Daniel Goleman, (2002). The New Leaders. London. Litle Brown. Djadijono, M. (2006). Ideologi Partai Politik. Jurnal Analisis CSIS. Pembenahan Sistem Politik Indonesia. Vol.35, No.1. Faturochman, (2002). Keadilan Perspektif Psikologi. Kerjasama Unit Penerbitan Psikologi UGM dan Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Francis, F. (1997): Ideology and Interpersonal Emotion Management: Redifining Identity in Two Support Groups. Social Psychology Quartley, Vol.60, No.2. Feinberg, B.J., Ostroff, C., & Burke, W.W. (2005): The Role of WithinGroup Agreement in Understanding Transformational Leadership.
Journal of Occupational and Organizational Psychology. 78, p.471-488. Geertz, Clifford. (1987). Abangan, Santri, Priyayi. Jakarta. Pustaka Jaya. Hogg, Michael. Abrams, Dominic. Otten, Sabine. Hinkle,Steve. (2004). “The Social Identity Perspective Intergroup Relations, SelfConception, And Small Groups”. Small Group Research,Vol. 35, No. 3, pp. 246-276. Sage Publication Klandermans. (1997). The Social Psychology of Protest. Oxford. Blackwell. Komisi Pemilihan Umum. (2006). Perhitungan Perolehan Kursi DPR RI
Pemilu 2009. www.kpu.go.id Pomerantz, J.R. (2003). Perceptual Organization in Information Processing. In M. Kubovy & J. R. Pomerantz (Eds). Perceptual Organization. (pp. 141-180). Hillsdale, NJ:Erlbaum. Ramdansyah. (2009). Sisi Gelap Pemilu 2009: “Potret Aksesori Demokrasi Indonesia”. Jakarta. Rumah Demokrasi. Shaw, Marvin. Costanzo, Philip.R. (1982). Theories of Social Psychology. Tokyo. Mc Graw Hill. Sherman, K.Arnold dan Kokler, Aliza. (1987). The Social Bases of Politic. California. Wodsworth. Slamet. (2005): Hubungan Antara Religiusitas dan Persepsi Terhadap Partai Islam dengan Sikap Memilih Partai (Studi Pada Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta). Tesis. Fakultas Psikologi. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta Sztomka, P. (1999). Trust: A Sociological Theory. Cambridge. Cambridge University Press. Tajfel. H. (1982). Social Identity and Intergroup Relations. Cambridge. Cambridge University Press. Turner, J.C. (1981): The Experimental Social Psychology of Intergroup
Prestasi dan Kesejahteraan Psikologis
| 27
Muhammad Johan Nasrul Huda
Behavior. In Turner, J.C., & Giles, H.(1981): Intergroup Behavior. Basil Blackwell. Oxford Turner, J. C. Giles, Howard. (1982). “Toward Cogitive Redefiniton of The Social Group”. In H. Tajfel (Eds). Social Identity and Intergroup Relation, pp. 15-40. Cambridge, England : Cambridge University Press. Wenzel, M.(2001):A Social Categorization Approach to Distributive Justice: Social Identity as the Link Between Relevan of Input and Need for Justice. British Journal of Social Psychology,Vol 40.
28 |
Jurnal Psikologi, Vol. IV, No. 2, Desember 2011