PROSPEK PENGEMBANGAN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN BUKAN KAYU SEBAGAI ALTERNATIF KELOLA SOSIAL OLEH PEMEGANG KONSESI IUPHHK-HA CV. PANGKAR BEGILI, KALIMANTAN BARAT
JIMMY ALFA ARRIVED
DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
PROSPEK PENGEMBANGAN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN BUKAN KAYU SEBAGAI ALTERNATIF KELOLA SOSIAL OLEH PEMEGANG KONSESI IUPHHK-HA CV. PANGKAR BEGILI, KALIMANTAN BARAT
JIMMY ALFA ARRIVED
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan Pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
RINGKASAN JIMMY ALFA ARRIVED. Prospek Pengembangan Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu Sebagai Alternatif Kelola Sosial Oleh Pemegang Konsesi IUPHHK HA CV. Pangkar Begili, Kalimantan Barat. Dibimbing oleh BAHRUNI. Hutan merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang memberikan banyak manfaat bagi kesejahteraan manusia. Manfaat yang dihasilkan oleh hutan dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu manfaat yang dirasakan secara tidak langsung (intangible) dan manfaat yang dirasakan secara langsung (tangible). Manfaat tangible berupa hasil hutan bukan kayu memiliki prospek yang baik untuk dikembangkan dan merupakan sumberdaya yang penting bagi kehidupan masyarakat, tetapi pemanfaatannya di masyarakat belum optimal. Tujuan dari penelitian ini adalah mengukur nilai pemanfaatan hasil hutan bukan kayu (HHBK) oleh masyarakat dan mengidentifikasi potensi serta kendala pengembangan HHBK sebagai pertimbangan alternatif kelola sosial oleh perusahaan. Metode pengambilan contoh yang digunakan adalah purposive sampling yang merupakan metode pengambilan contoh dengan disengaja berdasarkan tujuan penelitian. Tempat penelitian yang dipilih adalah perusahaan yang belum mempunyai hasil penelitian terkait HHBK. Pada penelitian ini, diambil sebanyak dua dusun dengan masing-masing 30 responden dari setiap dusun. Nilai manfaat sumberdaya hutan bagi masyarakat di Dusun Nusa Bakti adalah Rp 316.340.000/tahun atau Rp 10.544.000/kk/tahun. Sedangkan di Dusun Natai Bunga, nilai manfaat sumberdaya hutan untuk seluruh responden sebesar Rp 268.190.000/tahun atau setiap responden (rumah tangga) sebesar Rp 8.939.000/kk/tahun. HHBK yang berpotensi baik untuk dikembangkan di Dusun Nusa Bakti dan Natai Bunga berdasarkan aspek produksi dan pemasaran adalah getah karet, tengkawang, rotan, bambu, dan getah damar . Prioritas pengembangan HHBK pada Dusun Nusa Bakti dan Natai Bunga yang terletak di sekitar areal CV. Pangkar Begili adalah getah karet dan tengkawang. Kata kunci: Hasil hutan bukan kayu, nilai manfaat, produksi, pemasaran, dan prioritas pengembangan hasil hutan bukan kayu
SUMMARY JIMMY ALFA ARRIVED. Business Development Prospect of Non-Timber Forest Products Utilization as an Alternative Social Governance By Concessionaires IUPHHK HA CV. Pangkar Begili, West Kalimantan. Supervised by BAHRUNI. Forest is a blessing of God Almighty that provides many benefits to human welfare. Benefits generated by forests can be divided into two parts, namely the perceived benefits of indirect (intangible) and the perceived benefits of direct (tangible). Tangible benefits in the form of non-timber forest products have good prospects for development and an important resource to people's lives, but their use in society is not optimal. The purpose of this study was measure the use of non-timber forest products (NTFPs) by the community and identify potential and constraints of the development of NTFPs as a consideration of alternative social governance by the company. Sampling method used was a purposive sampling method based on sampling with the deliberate purpose of the study. The selected study sites are companies that do not have the research results related to NTFPs. In this study, taken as many as two hamlets in each of the 30 respondents from each village. The value of forest resources for the benefit of the community in the Nusa Bakti village is Rp 10.544.000/household/year or Rp 316.340.000/year. Meanwhile at Natai Bunga village, the benefits of forest resources for all respondents is Rp 268.190.000/year respondents (households) or any respondents (households) Rp 8.939.000/household/year. NTFPs potential for development in the Nusa Bakti and Natai Bunga villages interest on the production and marketing aspects of the gum, tengkawang, rattan, bamboo, and the gum resin. Priority development of NTFPs at Nusa Bakti and Natai Bunga villages located around the area of CV. Pangkar Begili is latex rubber and tengkawang. Key words: Non-timber forest products, the value of benefits, production, marketing, and the priority of non-timber forest product development
PERNYATAAN Dengan
ini
saya
menyatakan
bahwa
skripsi
berjudul
Prospek
Pengembangan Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu Sebagai Alternatif Kelola Sosial Oleh Pemegang Konsesi IUPHHK-HA CV. Pangkar Begili, Kalimantan Barat adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Semua sumber data informasi yang berasal atau yang dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, April 2012 Jimmy Alfa Arrived NIM E.14070115
Judul Skripsi
: Prospek Pengembangan Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu sebagai Alternatif Kelola Sosial oleh Pemegang Konsesi IUPHHK-HA CV Pangkar Begili, Kalimantan Barat
Nama
: Jimmy Alfa Arrived
NIM
: E14070115
Menyetujui: Dosen Pembimbing
Dr. Ir. Bahruni, MS NIP. 19610501 198803 1 003
Mengetahui Ketua Departemen Manajemen Hutan
Dr. Ir. Didik Suharjito, MS NIP. 19630401 199403 1 001
Tanggal lulus :
KATA PENGANTAR Penulisan skripsi ini penting karena prospek hasil hutan kayu semakin meredup akibat pencurian kayu, penurunan kualitas hutan, konversi hutan dan lain-lain. Pada umumnya masyarakat sekitar hutan memanfaatkan keberadaan hutan untuk memenuhi kebutuhan hidup (pangan dan papan) dan sebagai sumber pendapatan mereka. Masyarakat sekitar hutan biasanya memanfaatkan hasil hutan bukan kayu (HHBK) yang berupa sagu, rotan, getah, buah-buahan, obat-obatan dan lain-lain. Oleh karena itu, identifikasi pemanfaatan dan prospek hasil hutan tangible berupa HHBK menjadi sangat menarik untuk dikembangkan demi terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Skripsi ini berisi karakteristik responden, nilai manfaat HHBK, potensi dan kendala pengembangan HHBK dari aspek produksi dan pemasaran serta prioritas penegembangan HHBK di Dusun Nusa bakti dan Natai Bunga Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih terdapat banyak kesalahan, sehingga penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari semua pembaca. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis, pembaca, perusahaan pengelola hutan produksi serta dunia pendidikan dengan memberikan sumbangan pemikiran kepada masyarakat untuk lebih bijaksana dalam kegiatan pengelolaan hutan.
Bogor, April 2012
RIWAYAT HIDUP Penulis lahir di Tangerang tanggal 01 Januari 1990 dari pasangan Sahat Toga Torop dan Berliana Hutapea. Penulis merupakan anak kedua dari lima bersaudara. Pendidikan yang telah ditempuh oleh penulis adalah SD N 1 Cisauk Tahun 1995-2001. Penulis menempuh pendidikan menengah pertama di SMP 1 Serpong pada tahun 2001-2004. Kemudian, penulis menyelesaikan pendidikan menengah atas di SMA Markus pada tahun 2004-2007. Sejak tahun 2007 penulis menempuh pendidikan tinggi di Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Selama mengikuti pendidikan di IPB penulis aktif mengikuti kegiatan organisasi antara lain anggota divisi HRD IFSA-LC IPB tahun 2008-2009 dan anggota divisi paduan suara PMK IPB tahun 2008-209. Selain itu penulis juga aktif dalam kepanitiaan antara lain wakil ketuan Natal Sylva Fakultas Kehutanan IPB tahun 2009 Penulis melakukan Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) di Sancang dan Kamojang tahun 2009, Praktek Pengelolaan hutan (PPH) di Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW) tahun 2010 dan Praktek Kerja Lapang (PKL) di CV. Pangkar Begili, Kalimantan Barat tahun 2011. Penulis melakukan Praktek Khusus (penelitian) dengan judul Prospek Pengembangan Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu Sebagai Alternatif Kelola Sosial Oleh Pemegang Konsesi IUPHHK-HA CV. Pangkar Begili di bawah bimbingan Dr. Ir. Bahruni, MS sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Program Studi Manajemen Hutan IPB.
UCAPAN TERIMA KASIH Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Ayah (Alm Sahat Toga Torop) Ibu (Berliana Hutapea), kakak (Sondang), adik (Boby, Chelsea dan Leo), Dr. Ir. Bahruni, MS selaku dosen pembimbing, Ir. Syarif Subhan, Ir. Hendri, Ucep Rimbawan, BscF, Martius Senang dan seluruh karyawan CV. Pangkar Begili, teman-teman Praktek Kerja Lapang ( Frensi, Heru, Ida dan Johan) dan seluruh sahabat MNH 44 yang memberikan nasihat, pemikiran, arahan, motivasi, kasih sayang, dukungan, doa, bantuan dan pengalaman dalam penyelesaian skripsi ini.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI .......................................................................................................... i DAFTAR TABEL ................................................................................................ iv DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. v DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ vi BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1 1.1 Latar Belakang ................................................................................... 1 1.2 Perumusan Masalah ........................................................................... 2 1.3 Tujuan Penelitian ............................................................................... 3 1.4 Manfaat Penelitian ............................................................................. 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Hutan .................................................................................. 4 2.2 Hasil Hutan Bukan Kayu ................................................................ 4 2.3 Rotan ................................................................................................ 5 2.4 Durian .............................................................................................. 6 2.5 Kayu Bakar ...................................................................................... 7 2.6 Bambu .............................................................................................. 8 2.7 Damar ............................................................................................... 9 2.8 Interaksi Masyarakat dengan Hutan ............................................... 11 2.9 Nilai dan Manfaat .......................................................................... 12 2.10 Pemasaran ...................................................................................... 14 2.11 Ekonomi dan Finansial HHBK ...................................................... 16 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ........................................................... 20 3.2 Alat dan Bahan ................................................................................. 20 3.3 Obyek Penelitian .............................................................................. 20
3.4 Metode Pengambilan Contoh............................................................ 20 3.5 Metode Pengambilan Data ............................................................... 20 3.6 Jenis Data yang Diperlukan ............................................................. 21 3.7 Metode Penilaian Manfaat Ekonomi HHBK ....................................21 3.8 Metode Pengolahan Data ................................................................. 21 3.8.1 Metode Perhitungan Nilai Manfaat Ekonomi HHBK........... 21 3.8.2 Metode Perhitungan Nilai Laba Bersih ................................23 3.8.3 Metode Penentuan Lembaga Pemasaran ..............................23 3.9 Metode Analisis Data ........................................................................23 3.9.1 Metode Analisis Potensi dan Kendala Pengembangan HHBK ...................................................................................23 3.9.2 Metode Analisis Pertimbangan Pengembangan HHBK .......24 BAB IV KONDISI UMUM 4.1 Letak dan Luas IUPHHK-HA CV. Pangkar Begili. .........................25 4.2 Tanah dan Geologi . ..........................................................................25 4.3 Fungsi Hutan dan Kondisi Vegetasi Hutan ......................................26 4.4 Topografi Lapangan ..........................................................................27 4.5 Iklim ..................................................................................................27 4.6 Hidrologi ..........................................................................................28 4.7 Sarana Transportasi dan Aksesibilitas ..............................................28 4.8 Kondisi Sosial Ekonomi dan Budaya ...............................................29 4.8.1 Pusat Kegiatan Perekonomian .............................................. 29 4.8.2 Mata Pencaharian dan Perekonomian Lokal ........................ 29 4.8.3 Kependudukan ...................................................................... 30 4.8.4 Kondisi Tatanan Kelembagaan Dalam Masyarakat .............. 30 4.8.5 Penduduk Menurut Agama .................................................. 31 4.8.6 Tingkat Pendidikan Masyarakat ............................................31 4.8.7 Adat Istiadat .......................................................................... 31 BAB V PEMBAHASAN 5.1 Karakteristik Responden ....................................................................32 5.1.1 Kelompok Umur ................................................................... 32
5.1.2 Jumlah anggota keluarga ...................................................... 32 5.1.3 Tingkat pendidikan .............................................................. 33 5.1.4 Mata Pencaharian ..................................................................34 5.2 Pemanfaatan Sumberdaya Hutan ......................................................35 5.2.1 Getah Karet ...........................................................................35 5.2.2 Tengkawang ..........................................................................38 5.2.3 Rotan .....................................................................................42 5.2.4 Kayu Bakar ...........................................................................43 5.2.5 Damar ....................................................................................43 5.2.6 Bambu ...................................................................................45 5.2.7 Ginseng .................................................................................45 5.2.8 Pasak Bumi ...........................................................................46 5.2.9 Pandan ...................................................................................45 5.2.10 Durian ...................................................................................46 5.3 Nilai Manfaat Sumberdaya Hutan .....................................................47 5.4 Kontribusi Sumberdaya Hutan Terhadap Pendapatan Masyarakat ...51 5.5 Potensi dan Kendala Pengembangan HHBK di CV. Pangkar Begili ............................................................................52 5.6 Pertimbangan Pengembangan HHBK di Areal Konsesi CV. Pangkar Begili ...........................................................................57 5.7 HHBK di Provinsi Kalimantan Barat ................................................59 BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan .......................................................................................61 6.2 Saran .................................................................................................61 DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................62 LAMPIRAN ..........................................................................................................64
DAFTAR TABEL
No.
Halaman
1. Perkembangan produksi, konsumsi, ekspor, impor karet di Indonesia dari tahun 1997 - 2004 ......................................................................................................... 2 2. Produksi, ekspor, nilai dan serapan tenaga kerja di sektor HHBK tahun 1971 dan 1979 .................................................................................................. 17 3. Analisis finansial usaha HHBK di Indonesia dalam Sumadiwangsa (2008) .. 18 4. Data ekspor produk HHBK dalam beberapa tahun terakhir dalam Sumadiwangsa (2008) ........................................................................... 19 5. Formasi geologi di areal IUPHHK-HA CV. Pangkar Begili ........................... 26 6. Distribusi tanah di areal IUPHHK-HA CV. Pangkar Begili ............................ 26 7. Fungsi hutan di areal IUPHHK-HA CV. Pangkar Begili..................................27 8. Topografi lapangan di areal IUPHHK-HA CV. Pangkar Begili ...................... 27 9. Data curah hujan di areal IUPHHK-HA CV. Pangkar Begili ........................ 28 10. Jumlah penduduk dan rasio jenis kelamin .......................................................30 11. Data responden berdasarkan kelas umur ........................................................ 32 12. Data responden berdasarkan jumlah anggota keluarga .................................. 33 13. Data responden berdasarkan tingkat pendidikan............................................. 33 14. Data responden berdasarkan mata pencaharian ..............................................34 15. Volume produksi dan nilai manfaat sumberdaya hutan terhadap pendapatan rumah tangga di Dusun Nusa Bakti............................................................... 47 16. Volume produksi dan nilai manfaat sumberdaya hutan terhadap pendapatan rumah tangga di Dusun Natai Bunga ...........................................48 17. Nilai laba bersih pemanfataan sumberdaya hutan di dusun Nusa Bakti dan Natai Bunga ..............................................................................................50 18. Pendapatan masyarakat di Dusun Nusa Bakti dan Natai Bunga ....................51 19. Nilai kontribusi sumberdaya hutan terhadap pendapatan rumah tangga di Dusun Nusa Bakti dan Natai Bunga ..........................................................52 20. Aspek produksi HHBK di Dusun Nusa Bakti ..................................................53 21. Aspek pemasaran HHBK di Dusun Nusa Bakti...............................................54 22. Aspek produksi HHBK di Dusun Natai Bunga ..............................................55 23. Aspek pemasaran HHBK di dusun Natai Bunga .............................................56 24. Laporan HHBK di Provinsi Kalimantan Barat tahun 2010 .............................59
DAFTAR GAMBAR No.
Halaman
1. Model pemasaran rotan di Desa Mambue ........................................................ 5 2. Rantai tataniaga kayu bakar di Kabupaten Lebak ........................................... 8 3. Alur pemasaran getah damar mata kucing dari Desa Pahmungan .................. 10 4. Skema pemasaran HHBK di Indonesia .......................................................... 16 5. Alur pemasaran getah karet di Dusun Nusa Bakti ......................................... 36 6. Alur pemasaran getah karet di Dusun Natai Bunga ........................................37 7. Alur pemasaran getah karet di Desa Sepunggur .............................................38 8. Alur pemasaran biji tengkawang di Dusun Nusa Bakti .................................. 40 9. Alur pemasaran biji tengkawang di Dusun Natai Bunga ................................41 10. Alur pemasaran getah damar di Dusun natai Bunga .......................................44
DAFTAR LAMPIRAN No.
Halaman
1. Data produksi HHBK masyarakat di Dusun Nusa Bakti dalam satu tahun .....65 2. Data produksi HHBK masyarakat di Dusun Natai Bunga dalam satu tahun ...67 3. Tanaman karet pada areal CV. Pangkar Begili ................................................69 4. Pencungkil getah karet dari tempurung kelapa ................................................69 5. Pisau sadap .......................................................................................................70 6. Menakin dan bakul ...........................................................................................70 7. Pencari rotan .....................................................................................................71 8. Tengkalang ........................................................................................................71 9. Ginseng ............................................................................................................72 10. Tumbuhan ginseng ..........................................................................................72 11. Tumbuhan pasak bumi dan pasak bumi ..........................................................73 12. Pohon meranti penghasil getah damar .............................................................73 13. Pengisian kuisioner penelitian .........................................................................74 14. Dusun Nusa Bakti ...........................................................................................74 15. Peta administratif IUPHHK CV. Pangkar Begili .......................................... 75 16. Formasi geologi di IUPHHK CV. Pangkar Begili ...........................................76 17. Fungsi hutan di IUPHHK-HA CV. Pangkar Begili ........................................ 77 18. Topografi lapangan di IUPHHK-HA CV. Pangkar Begili...............................78 19. Hidrologi di IUPHHK-HA CV. Pangkar Begili ..............................................79 20. Peta Dusun Nusa Bakti ....................................................................................80 21. Peta Dusun Natai Bunga .................................................................................81
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang memberikan banyak manfaat bagi kesejahteraan manusia. Manfaat yang dihasilkan oleh hutan dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu manfaat yang dirasakan secara tidak langsung (intangible) dan manfaat yang dirasakan secara langsung (tangible). Manfaat intangible dapat berupa jasa lingkungan (hidrologis, penyerapan karbon), pendidikan, jasa wisata alam dan lain-lain. Manfaat tangible dapat berupa kayu dan bukan kayu (hasil hutan bukan kayu) berupa sagu, rotan, madu, getah, obatobatan dan hasil hutan bukan kayu lainnya. Pada era sekarang ini, prospek hasil hutan kayu semakin meredup karena pencurian kayu, penurunan kualitas hutan, konversi hutan dan lain-lain. Oleh karena itu, pemanfaatan hasil hutan tangible berupa hasil hutan bukan kayu (HHBK) menjadi sangat menarik untuk dikembangkan demi terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Pemanfaatan HHBK menjadi menarik karena beberapa HHBK mempunyai nilai jual yang tinggi, keberadaanya melimpah di hutan, mudah dibudidayakan dan lain-lain. Di samping itu, pemanfaatan HHBK oleh pihak yang terkait belum maksimal. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, yaitu minimnya data potensi HHBK, pemanfaatan dilakukan secara tradisional, dan pasar HHBK yang tidak ada. Pada umumnya masyarakat sekitar hutan memanfaatkan keberadaan hutan untuk memenuhi kebutuhan hidup (pangan dan papan) dan sebagai sumber pendapatan mereka. Masyarakat sekitar hutan biasanya memanfaatkan HHBK yang berupa sagu, rotan, getah, buah-buahan, obat-obatan dan lain-lain. Suatu perusahaan dapat memperoleh keuntungan dari masyarakat jika dilibatkan dalam pemanfaatan hasil hutan. Untuk mengetahui tingkat pemanfaatan HHBK oleh masyarakat sekitar hutan, maka diperlukan informasi berupa peranan, tingkat kepentingan, potensi dan kendala pengembangan HHBK.
1.2 Perumusan Masalah Menurut Badan Koordinasi Penanaman Modal (2005), Indonesia merupakan negara dengan kebun karet terbesar di dunia, mengungguli Thailand dan Malaysia. Tabel 1 menunjukan perkembangan produksi, konsumsi, ekspor, impor karet di Indonesia dari tahun 1997 sampai tahun 2004. Tabel 1 Perkembangan produksi, konsumsi, ekspor, impor karet di Indonesia dari tahun 1997 - 2004
Tahun
Produksi (1.000 ton)
Konsumsi (1.000 ton)
Ekspor (1.000 ton)
Impor (1.000 ton)
1997
1.553
1.558,2
1,4
6,6
1998
1.662
1.673,9
1,6
13,6
1999
1.604
1.620,5
1,5
18
2000
1.611
1.608,6
1,4
-
2001
1.607
154
1,4
-
2002
1.551
1.548,5
1,5
-
2003
1.539
1.537,5
1,5
-
2004
1.655
1.653,4
1,5
-
Sumber : Badan Koordinasi Penanaman Modal (2005)
Dari data di atas, getah karet dapat menjadi peluang usaha yang menguntungkan. Walaupun getah karet dan hasil hutan bukan kayu lainnya memiliki prospek yang baik untuk dikembangkan dan merupakan sumberdaya yang penting bagi kehidupan masyarakat, tetapi pemanfaatannya di masyarakat belum optimal. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa masalah, seperti kendala pengetahuan, kendala pemasaran, kendala pengembangan, belum adanya data potensi yang akurat, dan kendala sarana dan prasarana jalan. Suatu perusahaan wajar untuk menyejahterkan masyarakat yang berada di sekitar wilayah perusahaan dengan membuat program kelola sosial. Program kelola sosial yang dibuat dapat berupa pelatihan, penyuluhan, penyediaan teknologi dan lain-lain. Oleh karena itu, aspek potensi, kendala pengembangan, peranan, dan tingkat kepentingan hasil hutan bukan kayu perlu diketahui oleh perusahaan agar dapat mewujudkan alternatif kelola sosial yang berguna untuk menyejahterakan masyarakat di sekitar wilayah perusahaan.
1.3 Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Mengukur nilai pemanfaatan HHBK oleh masyarakat. 2. Mengidentifikasi potensi pengembangan HHBK sebagai pertimbangan alternatif kelola sosial oleh perusahaan. 1.4 Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini dapat sebagai bahan pertimbangan CV. Pangkar Begili dalam melakukan kelola sosial pada masyarakat desa sekitar hutan dan usaha pengembangan HHBK.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Hutan Menurut undang-undang No.41 Tahun 1999 tentang kehutanan pengertian hutan adalah suatu ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. 2.2 Hasil Hutan Bukan Kayu Hasil hutan bukan kayu (HHBK) merupakan hasil alam yang diambil dari kawasan hutan dan bukan berupa kayu serta mencakup benda-benda nabati atau hewani yang ada di hutan. Hasil alam ini dapat berasal dari lingkungan alam, tapi bisa juga berasal dari lingkungan yang dibudidayakan manusia. HHBK mencakup hasil alam yang sangat beragam baik dari bentuk fisik, sifat dan kegunaanya. Oleh karena itu terminologi mengenai HHBK juga beragam dan didefinisikan dalam berbagai bentuk istilah (Sofyan dan Silalahi 1998). Menurut Sumadiwangsa dan Setyawan (2006) jenis tumbuhan penghasil HHBK yang dapat dimasukan sebagai jenis tumbuhan serbaguna dan bila diusahakan dapat memberikan aneka ragam manfaat, yaitu : 1) Sebagai penghasil khusus komoditi HHBK yang bernilai tinggi dan sebagai sumber devisa negara (gaharu, jernang, rotan, bambu, nilam, cendana, shellak, vanili, kapol, lada, masoyi, damar, ylang-ylang, madu, sutra alam, lengkuas dan temu lawak); 2) Memberikan manfaat sosial ekonomi terutama pada peningkatan pendapatan rutin bagi masyarakat sekitar hutan (damar, getah pinus, kayu putih, sagu, kemiri, jelutung, gemor, nilam, lada, kapol, vanili, ylang-ylang, madu, sutra alam); 3) Pengembangan jenis penghasil produk HHBK dalam skala relatif besar pada area perbukitan, dataran tinggi dan lahan kritis dapat berfungsi untuk merehabilitasi lahan hutan, mencegah erosi, peningkatan kualitas lingkungan dan pengatur tata air (agathis, kemiri, pinus, meranti, kayu putih, mimba, ekaliptus, kilemo, akasia, casia); 4) Mencegah atau mengurangi perladangan berpindah dan perubahan hutan lain yang disebabkan oleh ulah masyarakat sekitar hutan dengan melibatkan
secara aktif kegiatan masyarakat setempat dalam aspek budidaya, pemanenan, dan pengolahan produk HHBK unggulan setempat (rotan, jernang, kemiri, shorea, meranti, nilam, ylang-ylang, terubuk, vanili, lada, aneka tumbuhan obat, aneka tumbuhan hias); 5) Menekan laju urbanisasi karena di lokasi pedesaan telah tersedia lapangan kerja yang memadai dan menjanjikan (kemiri, shorea, nilam, lada, vanili, tumbuhan obat, madu, sutra alam, shellak, ylang-ylang, kenanga). 2.3 Rotan Menurut hasil penelitian Gautama (2008) diketahui bahwa teknik pemanenan rotan yang dilakukan oleh pemanen di Desa Mambue, Kabupaten Luwu Utara Sulawesi Selatan meliputi kegiatan persiapan sebelum berangkat dan memanen rotan, pencarian rotan dan proses pemanenan rotan sendiri. Biaya pemanenan rotan di Desa Mambue selama setahun sebesar Rp 1.737.000 dengan produksi rotan sebanyak 21.335 kg dengan rata-rata 1.067 kg per pemanenan atau besar biaya pemanenan rotan per kilogramnya adalah Rp 81,4. Keuntungan yang didapatkan dari hasil penjualan rotan di Desa Mambue dapat memberikan penghasilan tambahan dengan pendapatan selama setahun sebesar Rp 16.146.000 dengan rata-rata Rp 807.000 per tahun. Laju pemanenan yang begitu cepat perlu diimbangi dengan upaya pelestarian berupa pemanenan dan efisiensi pemanfaatan. Hal tersebut sangat diperlukan agar kesinambungan pasokan bahan baku terjamin. Berdasarkan hasil wawancara diketahui model pemasaran rotan di Desa Mambue seperti pada Gambar 1.
Petani pengumpul
Pedagang pengumpul
Gambar 1 Model pemasaran rotan di Desa Mambue dalam Gautama (2008). Menurut Baharuddin
dan Taskirawati (2009) perdagangan rotan antar
pulau atau dalam negeri sebagian besar dikuasai oleh produsen yaitu Kalimantan (69%), Sulawesi (23%) dan daerah lainnya (8%). Daerah yang menjadi tujuan perdagangan rotan antar pulau sebagian besar jawa (57%), Makassar (31%) dan daerah lainnya (12%).
Pada tahun 1996, pemasaran rotan antar pulau melonjak kembali hingga 58%, yakni dari total 174.759 menjadi 332.432 ton. Jumlah tersebut terbagi berdasarkan asal tujuan antar pulau, yaitu Kalimantan sebesar 29,8% dari Sulawesi (69%) dan dari daerah lainnya sebesar 1,2%. Tujuan pemasaran rotan antar pulau terbesar masih Surabaya (69%), Jakarta (6%), Sampit (16%) dan daerah lain (10%). Rotan Indonesia sampai dengan tahun 1980 telah memberikan konstribusi terbesar dalam memenuhi kebutuhan rotan dunia, yaitu sebesar 73,8 % atau sebesar 81,26 ribu ton dari total 111,2 ribu ton perdagangan rotan dunia. Negara tujuan utama perdagangan rotan adalah Hongkong,
Singapura, Taiwan dan
Negara maju lainnya. Menurut hasil penelitian Sumarlina (2002), sekarang ini Indonesia merupakan salah satu produsen rotan utama di dunia dan menguasai lebih dari 80% hasil rotan di dunia. Nilai ekonomis dari rotan sangat tinggi dan permintaan dari konsumen baik dari dalam negeri maupun luar negeri sangat besar. Ekspor rotan Indonesia menurut negara tujuan meningkat setelah krisis tahun 1998. Negara tujuan ekspor ditempati urutan negara Jepang, Amerika, dan Belanda. Masih banyak negara tujuan ekspor furnitur rotan dari Indonesia, seperti Cina, Korea, Malaysia, Singapura bahkan mencakup negara-negara dari timur tengah dan juga mencakup benua Afrika. Masih banyaknya negara-negara lain tersebut dapat membuka peluang bagi pemasaran rotan dari Indonesia untuk meningkatkan ekspor rotan ke luar negeri. Pengembangan potensi rotan harus dapat terus ditingkatkan
dan
hal
ini
berhubungan
dengan
faktor
pemasaran
dan
lingkungannya. 2.4 Durian Menurut BAPPENAS (2000) durian merupakan tanaman buah berupa pohon. Durian termasuk Famili Bombaceae sebangsa pohon kapuk-kapukan. Pada umur sekitar 8 tahun, tanaman durian sudah mulai berbunga. Musim berbunga jatuh pada waktu kemarau, yakni bulan Juni-September sehingga bulan OktoberFebruari buah sudah dewasa dan siap dipetik. Panen durian diusahakan sebelum musim hujan tiba karena air hujan dapat merusak kualitas buah. Buah yang sudah masak umumnya ditandai dengan bau harum yang menyengat. Pada durian yang
sudah masak bila diketuk duri atau buahnya akan terdengar dentang udara antara isi dan kulitnya. Peluang bisnis durian sangat bagus. Pada tahun 1983 1987, durian dikirim ke negara Taiwan, Singapura, Malaysia dan Hongkong. Pada tahun 1989, permintaan meningkat ke negara Prancis, Belanda, Brunei, Australia, Saudi Arabia dan Jepang. Pada tahun 1999 di Jepang, harga durian dapat mencapai 10.000 yen (Rp 700.000). Peluang pasar di Indonesia juga sangat bagus, harga durian berkualitas baik dapat mencapai Rp 30.000/kg. Sedangkan untuk buah durian dengan kualitas sedang adalah Rp 15.000/buah. Selama ini perdagangan durian lebih dikuasai oleh negara Thailand, hal ini disebabkan oleh mutu buah yang bagus. Indonesia dapat melakukan hal yang sama apabila mutu ditingkatkan. Bahkan Indonesia memiliki varietas yang beragam dan berbuah sepanjang tahun. Dengan penanganan yang profesional dan dibantu oleh kemudahan-kemudahan dari pemerintah, durian Indonesia mampu menguasai pasar dunia. 2.5 Kayu Bakar Menurut hasil penelitian Dwiprabowo et al. (2010) konsumsi kayu energi dipengaruhi oleh harganya, harga barang lain (barang substitusi), dan pendapatan rumah tangga. Selain beberapa faktor tersebut juga diuji peubah lain, yaitu umur, pendidikan, pekerjaan, luas kepemilikan lahan, jumlah anggota rumah tangga dan lokasi. Pada pemasaran kayu bakar di Kab. Lebak, Kab. Sukabumi dan Kab. Banjarnegara ada 3 – 4 lembaga yang terlibat. Lembaga-lembaga yang terlibat dalam rantai tataniaga yang terbentuk diantaranya adalah pencari kayu bakar (produsen kayu bakar), pedagang pengepul, pabrik, pedagang pengecer, dan konsumen akhir (rumah tangga dan industri). Untuk industri (terutama industri rumah yang berproduksi kontinyu) biasanya kayu bakar yang digunakan adalah kayu-kayu limbah penggergajian kayu. Gambar 2 adalah rantai tataniaga kayu bakar di Kabupaten Lebak.
1. Produsen juga konsumen kayu bakar
Konsumen (rumah tangga)
2. Produsen dan pedagang pengecer kayu bakar
3. Produsen kayu bakar
4. Produsen kayu bakar
Pedagang pengepul
Pedagang pengecer
Pedagang pengepul
Konsumen
Gambar 2 Rantai tataniaga kayu bakar di Kabupaten Lebak. Pada Gambar 2, saluran ke satu, ke dua, dan ke tiga, yang terbesar adalah saluran yang ke satu, dengan perbandingan 65 : 20 : 15. Perbandingan ini merupakan rasio jumlah pemanfaat kayu bakar di Kabupaten Lebak. Hal ini berarti saluran ke satu adalah saluran yang terbanyak dilakukan masyarakat pedesaan pengguna kayu bakar dalam memperoleh kayu bakar yang akan dikonsumsinya. Saluran tataniaga ke empat adalah saluran untuk kayu bakar yang kayunya dikonsumsi oleh pabrik pembakaran batu bata dan genting (konsumen akhir). 2.6 Bambu Menurut hasil penelitian Indriyani (2011) kerajinan bambu adalah peluang bisnis yang menguntungkan. Perkembangan zaman belum tentu selalu meninggalkan produk hasil perkembangan tempo dulu. Kerajinan bambu salah satunya. Walaupun bisnis kerajinan bambu ini masih berjalan sampai sekarang, namun perkembangannya tidak pesat. Perkembangan kerajinan bambu ini hanya konstan saja. Tetapi pada akhirnya peluang bisnis ini diambil karena prospek kedepannya akan lebih baik. Terlebih lagi bisnis membuat kerajinan bambu ini adalah bisnis yang ramah lingkungan. Kerajinan bambu ini dapat dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari, mulai dari tambir untuk membersihkan beras dan
gorong-gorong untuk tempat sampah atau tempat baju kotor ataupun kerei sebagai hiasan. Menurut hasil penelitian Indriyani (2011) untuk membuat kerajinan bambu ini terkadang harus membeli bambu yang sesuai. Dalam pembuatan tambir, untuk satu batang bambu dengan panjang sekitar 4 m yang dibeli dengan harga Rp 7.500 dapat diproduksi lebih kurang 30 tambir. Pembuatan 30 tambir tersebut dapat diselesaikan selama 2 hari oleh dua orang pekerja. Jika harga jual satu buah tambir Rp 2.700 dan biaya produksi diperkirakan Rp 1.000 per tambir, pendapatan perajin per tambir sebesar Rp 1.700. Dalam waktu satu bulan perajin bambu bisa memperoleh pendapatan dari usahanya tersebut sebesar Rp 765.000. Bila home industry ini mempekerjakan lebih dari 2 orang tenaga kerja, dapat diperkirakan bahwa usaha ini mampu menghidupi seluruh anggota keluarga. 2.7 Damar Menurut hasil penelitian Sofyan dan Silalahi (2001) pemasaran getah damar mata kucing di Desa Pahmungan tergolong masih sederhana. Umumnya petani penyadap maupun pemilik repong damar menjual getah yang masih berupa asalan kepada pedagang pengumpul tingkat desa. Repong damar adalah kebun yang didominasi oleh tanaman damar, sedangkan tegakan tanaman lainnya merupakan selingan. Hanya sebagian kecil petani penyadap yang menjual getah langsung kepada pedagang pengumpul di pasar kecamatan. Pelaku pemasaran getah damar mata kucing dari Desa Pahmungan terdiri dari penghadang, pengumpul tingkat desa, pengumpul di pasar Krui, pengumpul di luar pasar Krui dan eksportir. Gambar 3 adalah pemasaran getah damar mata kucing dari Desa Pahmungan.
Pengumpul dari luar pasar Krui
Pengumpul tingkat Desa Pengumpul tingkat pasar Krui
Petani penyadap
Eksportir
Penghadang Industri domestik
Gambar 3 Alur pemasaran getah damar mata kucing dari Desa Pahmungan. Menurut hasil penelitian Sofyan dan Silalahi (2001) damar hasil pemungutan merupakan damar asalan berupa campuran butiran dari ukuran besar sampai kecil, bahkan sampai berupa serbuk yang tercampur dengan kotoran berupa abu dan potongan kulit kayu. Damar asalan masih harus dibersihkan dari kotoran dan dipilah kualitasnya berdasarkan besar butir dan warnanya. Proses pemilahan getah damar dikenal dengan istilah penyortiran. Melalui proses tersebut dihasilkan getah berkelas dengan ciri-ciri sebagai berikut: Kelas A
= sebesar telur ayam dan berwarna putih
Kelas B
= sebesar ibu jari dan berwarna putih
Kelas C
= sebesar ujung jari kelingking dan berwarna putih
Kelas D
= sebesar biji jagung dan berwarna putih
Kelas E
= sebesar butir beras dan berwarna putih
Kelas KK = seukuran dengan kelas A, B, C namun warnanya hitam Kelas abu = seukuran kelas D dan E namun berwarna hitam atau ukurannya lebih kecil dari kelas E Kayu
= serpihan kulit kayu damar yang tercampur dengan getah saat penyadapan
Menurut hasil penelitian Sofyan dan Silalahi (2001) penyortiran tiap kilogram getah asalan biasanya menghasilkan getah kelas A, B, C sekitar 60 % , kelas D dan E 6 %, kelas KK 10 %, abu 16 % dan selebihnya (8 %) merupakan kayu dan penyusutan. Damar kelas A dan B dikenal sebagai kualitas ekspor dan kelas C, D, E, KK dan debu merupakan kelas Iokal yang pemasarannya ditujukan
untuk bahan baku industri domestik. Sedangkan, kayu dipandang sebagai bagian yang tidak berguna sehingga tidak dipasarkan (dibuang). Rata-rata harga beli getah asalan dari petani penyadap pada saat penelitian dilaksanakan adalah Rp 2600 - 2900/kg dan harga jual pada tingkat pengumpul di pasar Krui adalah Rp 3100 - 3200/kg. Biaya angkut dan biaya-biaya lainnya rata-rata Rp 50/kg, sehingga keuntungan pedagang pengumpul tingkat desa berkisar Rp 250 - 450/kg. Penghadang memperoleh keuntungan rata-rata per kg getah asalan sekitar Rp 50-100. Harga getah kelas A, B, C rata-rata Rp 4200/kg dan rata-rata harga getah kelas lainnya Rp 2500/kg (D dan E), Rp 2000/kg (KK) dan Rp 1400/kg (abu). Menurut hasil penelitian Sofyan dan Silalahi (2001), biasanya damar kelas A, B, C disortir kembali oleh pedagang pengumpul tingkat pasar kecamatan untuk menghasilkan getah kelas ekspor dan dijual dengan harga yang disesuaikan dengan nilai Rupiah terhadap Dollar AS. Hasil penyadapan getah damar mata kucing dari repong masyarakat Desa Pahmungan diperkirakan mencapai 50 - 70 ton/bulan. 2.8 Interaksi Masyarakat dengan Hutan Interaksi merupakan sebuah keterkaitan atau hubungan antar komponen dalam suatu sistem yang dapat bersifat saling meniadakan, saling mendukung dan saling ketergantungan satu sama lainnya. Mangandar (2000) menjelaskan bahwa keterkaitan/interaksi masyarakat dengan hutan telah berlangsung cukup lama karena keberadaan hutan telah memberikan manfaat bagi kehidupan masyarakat. Bagi masyarakat sekitar hutan, keberadaan hutan sangat berarti untuk keberlangsungan hidupnya, mereka bergantung pada sumberdaya-sumberdaya yang ada di hutan seperti kayu bakar, bahan makanan, bahan bangunan dan hasilhasil hutan lainnya, yang akan memberikan nilai tambah bagi kehidupannya. Interaksi sosial masyarakat desa dengan hutan, dapat terlihat dari ketergantungan masyarakat desa sekitar hutan akan sumber-sumber kehidupan dasar seperti air, sumber energi (kayu dan bahan-bahan makanan yang dihasilkan hutan), bahan bangunan, dan sumberdaya lainnya. Darusman (1992) dalam Karisma (2010) menjelaskan bahwa hubungan antara masyarakat desa sekitar hutan dengan kawasan hutan di sekitarnya
merupakan hubungan yang sangat erat, khususnya aspek ekonomi, kebutuhan pangan, dan kebutuhan kesehatan. Hutan telah memberikan berbagai keperluan rumah tangga, baik sumber energi, vitamin, mineral, dan kalori bagi kehidupan sehari-hari. Secara ekologis, hutan merupakan lingkungan hidup bagi masyarakat sekitarnya. Secara ekonomi, hutan mampu memberikan nilai tambah bagi masyarakat sekitarnya dengan memanfaatkan dan menjual hasil hutan non kayu. Ketergantungan masyarakat desa sekitar hutan terhadap keberadaan sumberdaya hutan terlihat dari banyaknya masyarakat yang menjadikan hutan sebagai sumber pekerjaan dan pendapatan. 2.9 Nilai dan Manfaat Bahruni (1999) menjelaskan bahwa nilai merupakan suatu persepsi manusia tentang makna suatu objek bagi seorang/individu pada tempat dan waktu tertentu. Sedangkan penilaian adalah penentuan nilai manfaat dari suatu barang/jasa yang dimanfaatkan oleh individu atau masyarakat. Proses pembentukan nilai ditentukan oleh persepsi individu/masyarakat terhadap setiap komponen/komoditi tertentu yang dimanfaatkan oleh masyarakat. Sedangkan besarnya nilai ditentukan oleh kualitas dan kuantitas komoditi tersebut. Nilai sumberdaya hutan yang dinyatakan oleh persepsi dari suatu masyarakat pada waktu dan tempat tertentu akan beragam, tergantung kepada persepsi dari setiap anggota masyarakat tersebut, demikian juga keragaman nilai akan terjadi antar masyarakat yang berbeda. Kegunaan, manfaat, kepuasan dan rasa senang merupakan suatu ungkapan makna dari suatu nilai sumberdaya hutan yang diperoleh dan diarasakan oleh individu/masyarakat. Ukuran nilai ini dapat dapat diespresikan melalui pengorbanan waktu, tenaga, barang/uang, yang dilakukan
oleh
individu/masyarakat
untuk
memperoleh,
memiliki
dan
menggunakan barang/jasa tersebut. Darusman (1992) dalam Karisma (2010) menjelaskan bahwa metode penilaian manfaat hutan maupun peranan dan keterkaitan ekonomi sumberdaya hutan terhadap sektor ekonomi lainnya dalam pembangunan ekonomi wilayah dan nasional, pada dasarnya ada dua yaitu metode atas dasar pasar dan metode pendekatan terhadap pasar/pendekatan terhadap kesediaan membayar (Willingness to pay/Willingness to accept)
Gregory (1979) dalam Bahruni (1999), menyatakan bahwa nilai manfaat sumberdaya hutan dapat diklasifikasikan berdasarkan perilaku pasar atas barang dan jasa yang dinilai tersebut. Klasifikasi tersebut antara lain: 1.
Nilai manfaat nyata (tangible benefits), yaitu manfaat yang diperoleh dari barang atau jasa yang dapat diukur secara nyata, karena berlaku mekanisme pasar yang baik. nilai manfaat nyata/nilai guna langsung merupakan nilai yang bersumber dari penggunaan secara langsung oleh masyarakat tehadap komoditi hasil hutan,berupa flora, fauna dan komoditi lainnya. Jenis penggunaan manfaat langsung ini dikelompokan menjadi: bahan pangan, bahan bangunan, sumber energi, obat, dan produk-produk lainnya yang dapat dijual.
2. Nilai manfaat tidak nyata (intangible benefits), yaitu nilai manfaat yang tidak dapat diukur secara langsung, karena mekanisme pasar tidak berjalan. Nilai manfaat tidak nyata/nilai guna tidak langsung merupakan manfaat yang diperoleh individu atau masyarakat melalui suatu penggunaan secara tidak langsung terhadap sumberdaya hutan yang memberikan pengaruh ekonomi/produksi yang mendukung kehidupan manusia. Nilai sumberdaya hutan yang termasuk ke dalam kategori nilai guna tidak langsung adalah berbagai fungsi jasa hutan seperti pengendalian erosi, pencegahan banjir, dan penyerapan CO2. Menurut hasil penelitian Karisma (2010) diketahui bahwa nilai total pemanfaatan sumberdaya hutan di Desa Malasari yang berupa kayu bakar, rumput, aren dan emas adalah sebesar Rp 157.506.000 per tahun atau sebesar Rp 3.150.000 per kepala keluarga per tahun. Sebagian besar wilayah Desa Malasari masuk ke dalam kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Pengendalian akses dilakukan dengan patroli rutin oleh pihak Taman Nasional. Penindakan berupa
teguran
hingga
penahanan
terhadap
oknum
masyarakat
yang
memanfaatkan sumberdaya secara ilegal. Pihak Taman Nasional memiliki tanggung jawab untuk membina masyarakat atau memberdayakan masyarakat. Menurut hasil penelitian Setyani (2010) diketahui bahwa tingkat ketergantungan responden di Desa Lampeong terhadap pemanfaatan sumberdaya hutan tergolong tinggi. Sebagian besar pendapatan rumah tangga berasal dari hasil
hutan khususnya hasil hutan bukan kayu. Hasil hutan bukan kayu yang banyak dimanfaatkan, diantarannya kayu bakar, rotan, karet, gaharu, buah dan satwa liar. Besarnya rata- rata total pendapatan rumah tangga yang berasal dari hasil hutan sebesar Rp 13.424.000 atau 75,1% dan bukan hasil hutan sebesar Rp 4.464.000 atau 24,9%. Berdasarkan BPS 67% responden Desa Lampeong berada dalam keadaan miskin dan 33% berada dalam keadaan tidak miskin (sejahtera). Menurut hasil penelitian Bahruni et al. (2002), dalam Bahruni (2008) diketahui bahwa nilai guna (use value) flora di Hutan Taman Nasional Gunung Halimun dan Hutan Lindung Gunung Salak bagi masyarakat lokal adalah sebesar Rp 575.118/tahun/rumah tangga, dimana sebagian besar disumbang oleh pemanfaatan agathis, puspa, rasamala, dan bambu sebagai bahan bangunan, sedangkan nilai guna fauna
(satwa liar) oleh masyarakat adalah sebesar Rp
269.806/tahun/rumah tangga, dimana kontribusi terbesar berasal dari kumbang yang diperdagangkan untuk ekspor ke Jepang, dan pemanfaatan satwa kancil. Rofiko (2002) dalam Bahruni (2008) melakukan penelitian pada cakupan wilayah desa yang lebih luas yaitu sebanyak enam desa, yang terletak di dalam kawasan, di perbatasan kawasan dan di luar kawasan TNGH yang masih memiliki interkasi dengan kawasan TNGH. Diperoleh hasil bahwa nilai guna flora di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun bagi masyarakat lokal sebesar Rp 23.421.420/tahun/rumah tangga. Nilai ini lebih besar dari penelitian Bahruni et al. Hal ini sangat mungkin dipengaruhi oleh besar, ukuran contoh (responden) yang mencakup lebih banyak variasi pemanfaatan jenis hasil hutan di desa-desa sekitar TN Gunung halimun tersebut. 2.10 Pemasaran Tataniaga atau pemasaran (marketing) merupakan suatu kegiatan di dalam mengalirkan produk mulai dari petani (produsen primer) sampai ke konsumen akhir. Dalam aktivitas mengalirnya produk sampai ke tangan konsumen, banyak kegiatan produktif yang terjadi dalam upaya menciptakan dan atau menambah nilai guna (bentuk, tempat, waktu, dan kepemilikan) (Asmarantaka 2009). Menurut Purcell dalam Asmarantaka (2009) tataniaga atau pemasaran produk HHBK menganalisis semua aktivitas bisnis yang terjadi dengan produk
HHBK, setelah produk tersebut dari petani produsen sampai ke tangan konsumen akhir. Dari aspek ilmu ekonomi, tataniaga merupakan suatu sistem yang terdiri dari sub-sub sistem fungsi-fungsi tataniaga yaitu fungsi pertukaran, fisik dan fasilitas. Fungsi-fungsi ini merupakan aktivitas bisnis atau kegiatan produktif dalam mengalirnya produk atau jasa kehutanan dari petani produsen sampai konsumen akhir. Dari aspek manajemen, tataniaga adalah suatu proses sosial dan manajerial yang di dalamnya individu atau kelompok mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan inginkan dengan menciptakan, menawarkan dan mempertukarkan produk yang bernilai dengan pihak lain. Manajemen tataniaga, merupakan suatu proses perencanaan dan pelaksanaan pemikiran, penetapan harga, promosi, serta penyaluran gagasan, barang dan jasa untuk menciptakan pertukaran yang memuaskan individu dan organisasi (Asmarantaka 2009) Strategi tataniaga dari McCarthy, dalam Kotler, dalam Asmarantaka (2009) yang dikenal dengan konsep empat P, yaitu Bauran Tataniaga (Marketing Mix) yang terdiri dari product mix, price mix, place mix and promotion mix. Schaffner et al. (2006) dalam Asmarantaka (2009) mengatakan pendekatan manajemen
tataniaga,
merupakan
proses
dari
suatu
perusahaan
untuk
perencanaan, penetapan harga, promosi dan distribusi dari produk dan jasa untuk memuaskan konsumen. Pengusahaan HHBK di Indonesia dan distribusi HHBK berdasarkan sistem pemasarannya Soenardi (1990), dalam Sumadiwangsa (2006) dapat diilustrasikan dalam Gambar 4.
Produk Setengah Jadi
1, 2, 6 Hutan
Produksi/Bahan Baku
Pasar Internasional
1, 3, 4, 5, 8, 10 1, 3, 4, 7, 8, 9
1, 7, 4 Produk Jadi
Pasar Domestik
Gambar 4 Skema pemasaran HHBK di Indonesia. Keterangan : 1. Rotan; 2. Terpentin; 3. Kopal; 4. Damar; 5. Jelutung; 6. Arang; 7. Bambu ; 8. Madu; 9. Minyak kayu putih; 10. Biji tengkawang 2.11 Ekonomi dan Finansial HHBK Sumadiwangsa (2006) pembedaan aspek dan finansial berkaitan dengan ruang lingkup pembahasannya, di mana aspek ekonomi lebih berbicara tentang pelaksanaan dan kontribusi perdagangan HHBK terhadap perekonomian nasional (makro ekonomi), sedangkan aspek finansial lebih menekankan kepada kegiatan ekonomi di tingkat pelaksana usaha HHBK terhadap tingkat keuntungan usaha tersebut (mikro ekonomi) Kelayakan finansial usaha HHBK bertujuan untuk menentukan apakah usaha HHBK secara finansial menguntungkan atau apakah usaha tersebut mampu memenuhi kewajiban finansialnya berupa pendapatan yang layak atas modal usaha yang dikeluarkan dan sebagian dari keuntungan tersebut digunakan untuk pengembangan usaha yang dikeluarkan dari sebagian dari keuntungan tersebut digunakan untuk pengembangan usaha lainnya di masa depan. Hutan menghasilkan produk kayu dan produk bukan kayu atau dikenal dengan HHBK, demikian juga produk jasa lainnya. Meskipun pemerintah Indonesia dalam pengurusan hutannya lebih mementingkan produk kayu, namun perkembangan produksi beberapa HHBK pada tahun 2005-2006 telah menunjukan hasil yang signifikan sebagaimana dalam Tabel 2.
Tabel 2 Ekspor HHBK tahun 2005 dan 2006 No
2005
Produk
2006
Volume (kg) 5.671.000
Nilai (US$) 4.667.000
Volume (kg) 6.814.000
Nilai (US$) 7.692.000
Bahan penyamak/Gambir
16.149.000
22.670.000
15.714.000
22.235.000
Terpentin
5.582.000
3.142.000
8.033.000
7.376.000
Rosin spritus oil
514.000
374.000
464.000
253.000
5
Ter kayu
36.000
22.000
6.000
6.000
6
Barang anyaman rotan
11.527.000
25.273.000
11.271.000
25.658.000
7
Rotan setengah jadi
19.795.000
16.514.000
23.088.000
21.106.000
8
Arang tempurung kelapa
6.784.000
607.000
1.524.000
121.000
9
Arang kayu lainnya
163.064.000
23.783.000
152.587.000
27.539.000
10
Arang untuk karbon aktif
269.299.000
30.156.000
2.012.676.000
70.738.000
11
Briket arang
345.823.000
34.042.000
567.853.000
43.763.000
1
Sirlak, Getah dan Damar
2 3 4
Sumber : Dirjen Bina Produksi Kehutanan, Dephut 2009
Pada tabel di atas dapat dilihat bahwa produksi HHBK berupa sirlak, getah, damar, terpentin, rotan setengah jadi, arang untuk karbon aktif, dan briket arang meningkat pada tahun 2006 dibandingkan dengan produksi HHBK tahun 2005. Hal ini menunjukan bahwa produksi HHBK mempunyai peluang untuk ditingkatkan . Selain peningkatan produksi, analisis finansial HHBK juga perlu dilakukan untuk mengetahui tingkat keuntungan suatu usaha HHBK. Pada Tabel 3 disajikan analisis finansial usaha HHBK di Indonesia .
Tabel 3
Analisis finansial usaha HHBK di Indonesia dalam Sumadiwangsa (2006)
No
Bidang Usaha HHBK
1. 2.
Temulawak (1 ha selama 1 musim) Ganyong (1 ha)
3. 4. 5. 6. 7.
8.
Pendapatan (Rp) 500.000
Biaya (Rp)
900.000
684.000
Garut (1 ha)
1.200.000
684.000
Kapolaga (1 ha, 3 tahun) Penyulingan Kemedangan Penyulingan Gaharu Teri Budidaya Gaharu (10 tahun, terinfeksi 60%) Industri Minyak Kayu Putih di Gundih (Rp/tahun)
3.600.000
2.000.000
947.200.000
451.220.500
2.005.600.000
987.476.500
305.230.628
107.508.515
9.
M. Kayu Putih di Sedangmole Yogyakarta (Rp/tahun)
10.
Minyak Nilam (Rp/ha/tahun) Minyak Usar/akar wangi (Rp/ha/tahun)
20-30 juta
12.
Minyak sereh Wangi (Rp/ha/tahun)
4-6 juta
13.
Budidaya Rotan di Jawa (Rp/ha)
812.903
11.
274.175
Keuntungan (Rp) 225.000 BCR = 1,824 216.000 BCR = 1,32 516.000 BCR = 1,75 1.600.000 BCR = 1,8 495.979.500 BCR = 2,10 1.018.123.500 BCR = 2,03 197.722.112 BCR = 2,84 IRR = 34,9% 1.259 juta
3.139 juta IRR = 32% BCR = 1,54
Sumber Rukmana (1995) Suhardi, et al . (2002) Suhardi, et al. (2002) Santoso (1988) Yusliansyah (2004) Yusliansyah (2004) ) Suryanto (2004) Perum Perhutani (2001) PSA UGM (2003)
Sumadiwang sa (2001) Sumadiwang sa (2001)
13-17 juta
Sumadiwang sa (2001) 325.160
487743 BCR = 2,5
Wiryodar modjo, et al. (1986)
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa potensi HHBK di Indonesia sangat baik. Hal ini dapat menjadi acuan untuk pengembangan HHBK di Indonesia. Pada Tabel 4 dapat dilihat beberapa perkembangan ekspor beberapa produk HHBK pada tahun 2000-2005.
Tabel 4
Data ekspor produk HHBK dalam beberapa tahun terakhir dalam Sumadiwangsa (2006)
Komoditi Rotan (ton) Gondorukem (ton) Kayu putih (l) Damar/resin (ton) Terpentin (ton) Arang Gambir Minyak atsiri (t) Gaharu (ton) Jelutung Kolang-kaling Kopal
2000 94.752,0 4162, 8
2001 23.860,0 5685,8
2002 17.779,0 4719,6
63.465,0 5,224,0
30,1
3.570,0 174.338,0 33256,0 2,7 263,3 9,7 ton2) 471,8 6,3 juta $US7)
4.076,0 157.417,0 8691,9 333,281) 677,1 7,6 juta $US7)
Tahun 2003
2004
2005
4881,6
863,4
-
28,9
-
-
-
3,0 188.264,0 7104,7 33,24) 539,3 230,0 -
5178,1 588,05) 540,0*) 204,2 -
12436,3 849,05) 1408,8 7,1 -
USD.622,5 -
Sumber : Badan Pusat Statistik (2000;2003); Pustanling(2003); 1)Harian Bisnis Jakarta (2005); 2)BPEN ekspor khusus dr Jambi; 4) Frans Hero K. Purba (2000), 3)FWI (2004); 5)ekspor Sumbar; 6) Suara Merdeka (2004); 7)Statistik DPRIN (2000)
Dari tabel di atas, potensi pasar HHBK Indonesia baik. Hal ini dapat menjadi bahan pertimbangan untuk pengembangan HHBK untuk keperluan ekspor oleh produsen di Indonesia.
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Kegiatan penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei 2011 bertempat di Dusun Nusa Bakti, Kecamatan Serawai dan Dusun Natai Bunga, Kecamatan Melawi yang merupakan Dusun di sekitar IUPHHK-HA CV. Pangkar Begili, Provinsi Kalimantan Barat. 3.2 Alat dan Bahan Alat dan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini berupa: alat tulis, kuisioner, kamera, dan komputer. 3.3 Objek Penelitian Objek dari penelitian ini adalah HHBK yang dimanfaatkan oleh masyarakat, khususnya di Dusun Nusa Bakti dan Natai Bunga yang terletak di sekitar areal kerja CV. Pangkar Begili. 3.4 Metode Pengambilan Contoh Metode pengambilan contoh yang digunakan adalah purposive sampling yang merupakan metode pengambilan contoh dengan disengaja berdasarkan tujuan penelitian. Tempat penelitian yang dipilih adalah perusahaan yang belum mempunyai hasil penelitian terkait HHBK. Pengambilan contoh dilakukan terhadap responden/masyarakat yang bertempat tinggal di wilayah dusun yang menjadi objek penelitian. Responden dipilih berdasarkan kelompok pemukiman atau lingkungan tempat tinggalnya. Terdapat dua dusun yang digunakan sebagai lokasi pengambilan data. Pada penelitian ini, diambil sebanyak 30 responden dari masing-masing dusun. Dasar pertimbangan penentuan jumlah responden adalah ukuran minimal contoh yang dapat diterima berdasarkan desain penelitian (minimal 30 subjek). 3.5 Metode Pengambilan data Teknik pengambilan dan pengumpulan data yang digunakan adalah teknik wawancara dan studi pustaka. Teknik wawancara adalah salah satu teknik
pengumpulan data yang dilakukan dengan mewawancarai pihak CV. Pangkar Begili dan masyarakat sekitar hutan yang memanfaatkan HHBK. Teknik wawancara yang digunakan adalah wawancara terstruktur dan wawancara bebas. Studi pustaka adalah teknik pengumpulan data dan informasi yang dilakukan dengan cara mempelajari literatur, laporan, jurnal, karya ilmiah, dan hasil-hasil penelitian lainnya yang ada hubungannya dengan penelitian ini. 3.6 Jenis Data yang Diperlukan Data primer, meliputi karakteristik pemanfaat, jenis-jenis, volume pemanfaatan,
frekuensi
pengambilan,
lokasi
pemanfaatan,
tata
waktu
pengambilan, harga pasar, tujuan pemanfaatan, proses pemanfaatan, trend produksi, biaya pemanfaatan, dan potensi usaha HHBK. Data sekunder, meliputi keadaan umum lokasi penelitian, kondisi sosial ekonomi masyarakat desa sekitar hutan, dan data lain yang diperlukan sebagai data penunjang. 3.7 Metode Penilaian Manfaat Ekonomi HHBK Menurut Bahruni (1999), metode yang digunakan untuk mengetahui nilai manfaat HHBK yang dimanfaatkan oleh masyarakat desa sekitar hutan, yaitu metode penilaian berdasarkan harga pasar, metode penilaian berdasarkan harga barang pengganti, dan metode penilaian berdasarkan nilai korbanan atau biaya pengadaan. Berdasarkan penelitian ini, metode yang digunakan untuk mengetahui nilai manfaat HHBK yang dimanfaatkan masyarakat adalah metode berdasarkan harga pasar. Metode ini digunakan untuk melihat nilai manfaat ekonomi langsung yang diperoleh dari HHBK yang dijual di pasar setempat dengan menggunakan harga pasar. 3.8 Metode Pengolahan Data 3.8.1 Metode Perhitungan Nilai Manfaat Ekonomi HHBK Menurut Bahruni (1999), pengolahan data yang diperoleh dilakukan dengan melakukan perhitungan dan diaplikasikan dalam bentuk tabulasi untuk mendapatkan gambaran tentang nilai manfaat ekonomi dari pemanfaatan HHBK yang berupa manfaat tangible yang dilakukan masyarakat desa sekitar hutan. A. Nilai manfaat HHBK menurut jenis dan rata-rata per responden.
1. Nilai manfaat hasil hutan menurut jenis dihitung dengan rumus sebagai berikut.
Yijk = (Vkij x Hkij x Fkij) x 4 x 12 Ket : Yijk = Nilai manfaat suatu HHBK i yang dimanfaatkan oleh responen k pada masyarakat dusun j (Rp/tahun/kk) Vkij = Volume komoditi i yang dimanfaatkan oleh responen k pada masyarakat dusun j dalam satu kali pengambilan (ikat, kg) Hkij = Harga komoditi i ditingkat pasar lokal (Rp/satuan) Fkij = Frekuensi pengambilan komoditi i oleh responden di dusun j dalam kurun waktu satu minggu 4 = Angka pengganda (jumlah minggu dalam satu bulan) 12 = Angka pengganda (jumlah bulan dalam satu tahun)
2. Nilai manfaat rata-rata seluruh responden hasil hutan bukan kayu jenis ke i pada responden dusun j dihitung dengan rumus sebagai berikut.
Yij =
𝑛 𝑘=1 Y𝑖𝑗𝑘
𝑛𝑖𝑗
Ket : Yij
= Nilai manfaat suatu HHBK i yang dimanfaatkan oleh rata-rata responden dusun j (Rp/tahun) Yijk = Nilai manfaat suatu HHBK i yang dimanfaatkan oleh responden k (k= 1......n) masyarakat dusun j dalam satu tahun (Rp/tahun/kk) nij = Jumlah responden pemanfaat HHBK i yang berasal dari dusun j dalam satu tahun (kk)
3. Nilai manfaat seluruh jenis hasil hutan bukan kayu dihitung menggunakan rumus sebagai berikut. Yj
=
𝑛 𝑖=1 Y𝑖𝑗
Ket: Yj = Nilai manfaat seluruh HHBK yang dimanfaatkan oleh rata-rata responden (Rp/tahun) Yij = Nilai manfaat hasil hutan i (i=1.......n) yang dimanfaatkan oleh oleh ratarata responden di dusun j dalam periode satu tahun
B. Nilai kontribusi HHBK terhadap pendapatan rata-rata rumah tangga responden di tiap-tiap dusun, dihitung dengan rumus : NKj
=
Y𝑗
𝑛 𝑘=1 Y 𝑡𝑜𝑡𝑗𝑘 n𝑗
x 100
Ket : NKj = Nilai kontribusi HHBK terhadap pendapatan rata-rata responden di dusun j (%) Ykj = Nilai manfaat seluruh HHBK yang dimanfaatkan oleh responden ke k pada masyarakat di dusun j (Rp/tahun) Ytotjk = Nilai pendapatan total rumah tangga ke k (k=1.......n) responden di dusun j (Rp/tahun) nj = Jumlah responden di dusun j (kk) Setiap jenis HHBK yang dimanfaatkan oleh masyarakat yang berasal dari hutan yang dikelola CV. Pangkar Begili, dihitung nilai riilnya dalam bentuk rupiah, kemudian dilakukan rekapitulasi nilai manfaat dari seluruh HHBK yang dimanfaatkan oleh masyarakat desa sekitar hutan tersebut. Tahapan selanjutnya adalah melakukan analisis data yang dilakukan secara deskriptif yaitu suatu analisa yang memberikan penjelasan, keterangan dan gambaran tentang objek penelitian. 3.8.2 Metode Perhitungan Nilai Laba Bersih P = Yij – C Ket : P = Laba bersih suatu HHBK yang dimanfaatkan oleh masyarakat dalam suatu dusun (Rp/th/kk) Yij = Nilai manfaat suatu HHBK yang dimanfaatkan oleh masyarakat dalam suatu dusun (Rp/th/kk) C = Biaya makan (Rp/th/kk) 3.8.3 Metode Penentuan Lembaga Pemasaran Lembaga pemasaran yang digunakan dalam penelitian ini adalah wilayah dalam tingkat Dusun, Desa, Kecamatan, Kabupaten, Provinsi dan Luar Negeri. 3.9 Metode Analisis Data 3.9.1 Metode Analisis Potensi dan Kendala Pengembangan HHBK
Analisis data yang diperoleh dilakukan dengan cara menjelaskan HHBK dari aspek produksi dan pemasarannya untuk mendapatkan gambaran mengenai potensi dan kendala pengembangan HHBK di daerah penelitian. A. Aspek produksi Aspek produksi dianalisis dengan cara mengolah data mengenai lokasi pengambilan HHBK, kepemilikan lahan, biaya produksi, tenaga kerja, kecenderungan produksi dan penguasaan teknologi pengolahan HHBK. HHBK yang potensial untuk dikembangkan dari aspek ini adalah apabila terpenuhinya seluruh atau sebagian kriteria di bawah ini serta potensi produksi dan pasar nasional atau internasional baik. Di bawah ini adalah kiteria dari aspek produksi : 1. Lokasi pengambilan tersedia. 2. Kepemilikan lahan secara pribadi. 3. Biaya produksi terpenuhi. 4. Tenaga kerja minimal satu orang per kepala keluarga dan mampu melakukan proses produksi dari awal sampai akhir. 5. Kecenderungan produksi meningkat. B. Aspek pemasaran Aspek pemasaran dianalisis dengan cara mengolah data mengenai harga, waktu penjualan dan alur pemasaran. HHBK yang potensial untuk dikembangkan dari aspek ini adalah apabila terpenuhinya seluruh atau sebagian kriteria di bawah ini serta potensi produksi dan pasar nasional atau internasional baik. Di bawah ini adalah kiteria dari aspek pemasaran :
1. HHBK mempunyai harga. 2. HHBK mempunyai alur pemasaran. 3. HHBK mempunyai waktu penjualan. 3.9.2 Metode Analisis Pertimbangan Pengembangan HHBK Pertimbangan prioritas pengembangan HHBK didasarkan pada beberapa hal, yaitu : A. Produksi dan pasar nasional atau internasional HHBK baik. B. Terpenuhinya seluruh kriteria pada aspek produksi dan pemasaran.
BAB IV KONDISI UMUM 4.1 Letak dan Luas IUPHHK-HA CV. Pangkar Begili Secara administratif pemerintah, areal kerja IUPHHK-HA CV. Pangkar Begili dibagi menjadi dua blok, yaitu di kelompok Hutan Sungai Serawai dan Sungai Melawi yang berlokasi di Kecamatan Serawai, Kabupaten Sintang dan Kecamatan Menukung, Kabupaten Melawi, Provinsi Kalimantan Barat. Secara geografis wilayah areal kerja IUPHHK-HA ini yang terbagi dua, yaitu 1. Blok I : 112° 11’ 35” - 112° 31’ 21” bujur timur dan 0° 11’ 25” - 0° 19’ 22” lintang selatan. 2. Blok II ; 112° 21’ 54” - 112° 35’ 32” Bujur Timur dan 0° 33’ 30” Lintang Selatan. Adapun batas - batas wilayah adalah sebagai berikut: 1. Sebelah utara berbatasan dengan hutan lindung 2. Sebelah timur berbatasan dengan hutan lindung 3. Sebelah selatan berbatasan dengan Taman Nasional Bukit Baka 4. Sebelah barat berbatasan dengan APL dan HPT. Keseluruhan informasi tentang batas administratif dan batas wilayah dapat dilihat pada Lampiran 15. 4.2 Tanah dan Geologi Berdasarkan peta geologi Indonesia Provinsi Kalimantan Barat skala 1: 300.000 tahun 1993, formasi geologi yang terdapat di areal IUPHHK-HA CV. Pangkar Begili adalah batuan pasir alat, tonalit sepauk, formasi payak, formasi tebidah, rombakan lereng dan batuan terobosan Sintang. Informasi lengkap mengenai formasi geologi di areal IUPHHK-HA CV. Pangkar Begili disajikan pada Tabel 5 dan Lampiran 16.
Tabel 5 Formasi geologi di areal IUPHHK-HA CV. Pangkar Begili Luas No 1 2 3 4 5 6
Formasi Batuan Terobosan Sintang Batuan pasir Alat Formasi Payak Formasi Tebidah Rombakan Lereng Tonalit Sepauk
ha 452,9 7.313,20 3.713,90 5.616,30 1.841,80 11.256,70
% 1,5 24,2 12,3 18,6 6,1 37,3
Jumlah
30.195,00
100
Sumber: Peta Geologi Indonesia Provinsi Kalimantan Barat skala 1:300.000 Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Bandung (1995)
Berdasarkan Peta Tanah Eksplorasi Kalimantan Barat skala 1: 300.000 yang diterbitkan oleh Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Bogor (1994) jenis tanah di areal IUPHHK-HA CV. Pangkar Begili terdiri atas tanah jenis dystropets, hydrandepts, troparthents dan tropudults. Distribusi luas areal IUPHHK-HA CV. Pangkar Begili dalam RKU Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Alam pada Hutan Produksi CV. Pangkar Begili disajikan dalam Tabel 6. Tabel 6 Distribusi tanah di areal IUPHHK-HA CV. Pangkar Begili Luas No
Formasi ha
%
1
Dystropepts
3.714
12,3
2
Hydrandepts
845
2,8
3
Troporthents
11.746
38,9
4
Tropudults
13.890
46
Jumlah
30.195
100
Sumber: Peta Tanah Pulau Kalimantan 1:1.000.000 Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (1993)
4.3 Fungsi Hutan dan Kondisi Vegetasi Hutan Berdasarkan SK Menhut No. 259/Kpts-II/2000 kawasan hutan produksi di areal IUPHHK-HA CV. Pangkar Begili yang berada di Kelompok Hutan Sungai Serawai dan Sungai Melawi termasuk dalam fungsi Kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT) dan Hutan Produksi (HP). Adapun perincian fungsi hutan dalam RKU Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Alam pada Hutan Produksi CV. Pangkar Begili disajikan dalam Tabel 7 dan Lampiran 17.
Tabel 7 Fungsi hutan di areal IUPHHK-HA CV. Pangkar Begili Luas No
Formasi Ha
%
1
Hutan Produksi Tetap (HP)
3.135
10,4
2
Hutan Produksi Terbatas (HPT)
27.060
89,6
Jumlah
30.195
100
Sumber: Peta Kawasan Hutan dan Perairan Provinsi Kalimantan Barat dan Peta Areal Kerja IUPHHK-HA CV. Pangkar Begili
4.4 Topografi Lapangan Areal kerja IUPHHK-HA CV. Pangkar Begili sebagian besar memiliki 645 mdpl. Dalam RKU Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Alam pada Hutan Produksi CV. Pangkar Begili, kondisi kelas lereng berdasarkan hasil analisis pada fisiografi lapangan yang datar sampai berbukit dan berada pada ketinggian 27 mdpl sampai dengan 645 mdpl. Adapun data mengenai topografi lapangan disajikan dalam Tabel 8 dan Lampiran 18. Tabel 8 Topografi lapangan di areal IUPHHK-HA CV. Pangkar Begili Luas No
Kelas Lereng
Kelerengan (%) ha
%
1
Datar (A)
0-8
0
0
2
Landai (B)
Sep-15
3.200
10,6
3
Agak Curam (C)
16-25
26.995
89,4
4
curam (D)
26-40
0
0
5
Sangat curam (E)
>40
0
0
30.195
100
Jumlah Sumber: Peta RBI skala 1: 100.000
4.5 Iklim Informasi iklim di kawasan IUPHHK-HA CV. Pangkar Begili diperoleh dari Stasiun Meteorologi dan Geofisika Bandar Udara Sintang. Berdasarkan data iklim tahun 2008 rata-rata curah hujan tahunan di daerah ini adalah 3.142,7 mm/tahun dengan rata-rata curah hujan tahunan 261,89 mm/bulan dan rata-rata curah hujan harian 19,83 mm/hari. Curah hujan bulanan tertinggi terjadi pada bulan Oktober dengan curah hujan 453,9 mm/hari dan curah hujan terendah terjadi pada bulan Februari dengan curah hujan 100,4 mm/hari. Berdasarkan klasifikasi iklim Schmith dan Fergusson dalam RKU Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Alam pada Hutan Produksi CV. Pangkar Begili, wilayah ini
termasuk ke dalam tipe iklim A. Jumlah curah hujan dalam satu tahun di atas 3.142,7 mm. 4.6 Hidrologi Areal kerja IUPHHK-HA CV. Pangkar Begili berada di hulu DAS Kapuas dan Sub DAS Melawi. Karena merupakan daerah hulu, kondisi perairan sungan merupakan mata air dan banyak terdapat sungai kecil dan dangkal, sempit dan berkelok- kelok dengan dasar sungai terdiri atas pasir dan bebatuan. Sungaisungai yang terdapat di areal kerja IUPHHK-HA CV. Pangkar Begili merupakan anak Sungai Melawi yaitu sungai Serawai dan Sungai Keruap. Adapun informasi secara lengkap mengenai keadaan hidrologi di areal IUPHHK-HA CV. Pangkar Begili disajikan pada Tabel 5 dan Lampiran 19. Tabel 9 Data curah hujan di areal IUPHHK-HA CV. Pangkar Begili Unsur Iklim No
Bulan
Curah Hujan
Hari Hujan
Suhu Maksimum
Kelembaban
(mm)
(hari)
(° C)
Relatif (%)
1
Januari
269,2
21
30,3
86
2
Februari
100,4
19
30,3
86
3
Maret
420,3
24
26,6
87
4
April
186,2
20
30,6
85
5
Mei
175,1
13
31,9
83
6
Juni
152,6
16
30,9
84
7
Juli
226,8
16
31,9
85
8
Agustus
327,3
21
30,9
83
9
September
265,6
16
31,2
83
10
Oktober
453,9
24
31,3
86
11
November
312,8
24
30,9
85
Desember Jumlah
252,5
24
30,7
87
3.142,7
238
Rata-rata
261,89
20
12
Sumber: Data Curah Hujan dan Hari Hujan stasiun Meteorologi dan Geofisika Bandar Udara Sintang
4.7 Sarana Transportasi dan Aksesibilitas Areal IUPHHK-HA CV. Pangkar Begili berada di Kabupaten Sintang. Untuk menuju areal tersebut dari Pontianak dapat ditempuh dengan menggunakan bus selama ± 10 jam sampai Nanga Pinoh. Selanjutnya dari Kecamatan Nanga
Pinoh menuju Kecamatan Serawai dapat ditempuh melalui jalur sungai dengan menggunakan speed boat selama ± 3,5 jam. Sedangkan alat transportasi yang digunakan oleh penduduk sekitar IUPHHK-HA CV. Pangkar Begili berupa alat transportasi sungai seperti perahu sampan, tug boat dan motor temple dan sarana komunikasi di sekitar areal IUPHHK-HA CV. Pangkar Begili berupa handphone. 4.8 Kondisi Sosial Ekonomi dan Budaya 4.8.1 Pusat Kegiatan Perekonomian Sarana dan prasarana perekonomian di desa-desa sekitar areal kerja IUPHHK-HA CV. Pangkar Begili secara umum masih relatif terbatas baik ragam maupun jumlahnya. Hal ini disebabkan karena desa-desa di daerah ini relatif jauh dari pusat perekonomian dan jumlah penduduknya relatif sedikit, serta keterbatasan sarana dan prasana transportasi. Adanya keterbatasan akses, tingkat pendidikan yang relatif rendah dan belum memadainya sarana dan prasarana perekonomian menyebabkan aktivitas perekonomian di sekitar IUPHHK-HA CV. Pangkar Begili kurang berkembang. Sarana perekonomian seperti warung dan toko masih dapat dijumpai di desa-desa, tetapi untuk pasar hanya dapat dijumpai di ibukota kecamatan. Kelancaran arus distribusi barang masih sangat rendah, walaupun sarana jalan yang dapat menghubungkan desa dengan kota kecamatan sudah dibangun. 4.8.2 Mata Pencaharian dan Perekonomian Lokal Mata pencaharian sebagian besar penduduk desa sekitar areal kerja IUPHHK-HA CV. Pangkar Begili sebagai petani ladang berpindah. Selain itu terdapat juga masyarakat yang bermata pencaharian sebagai pedagang, karyawan perusahaan IUPHHK, PNS dan penambang emas. Pada umumnya masyarakat yang bermata pencaharian sebagai petani berladang masih menggunakan caracara tradisional dalam melakukan budidaya pertanian sistem berladang. Tanaman yang dibudidayakan dalam kegiatan berladang selain padi adalah jenis sayuran seperti kacang panjang, bayam, terong, cabe, singkong dan lain- lain. Kegiatan sambilan yang dilakukan oleh petani berladang antara lain menorah karet dan berburu. Pada umumnya, hasil pertanian dan ladang hanya digunakan untuk
memenuhi kebutuhan subsisten, sedangkan hasil dari kebun karet dijual kepada tengkulak yang ada di desa. 4.8.3 Kependudukan Penduduk kecamatan Nanga Serawai sebagian besar merupakan penduduk dari etnis Dayak dan Melayu. Luas wilayah Kecamatan Nanga Serawai adalah 2.128 km² dengan jumlah penduduk pada tahun 2008 Berdasarkan data Kecamatan Serawai dan Menukung dalam angka tahun 2008 jumlah penduduk di Kecamatan Serawai dan Menukung menurut kelompok jenis kelaminnya disajikan pada Tabel 10. Tabel 10 Jumlah Penduduk dan Rasio Jenis kelamin Penduduk (jiwa) Kecamatan Kec. Serawai Nanga Serawai Tanjung Raya Kec. Melawi Menukung
Rasio
Laki-laki
Perempuan
Jumlah
2.606 526
2.302 486
4.908 1.012
0,8 0,9
594
570
1.164
0,9
Sumber: Kecamatan Serawai dalam angka 2008
4.8.4 Kondisi Tatanan Kelembagaan Dalam Masyarakat Kelembagaan formal di wilayah desa-desa sekitar areal IUPHHK-HA telah terbentuk sejak lama. Kepala desa selaku tokoh formal terdekat dengan masyarakat biasa disebut penghulu. Terdapat tokoh yang dituakan sebagai panutan masyarakat dimana pengaruhnya cukup berperan dalam masyarakat. Tokoh ini disebut ketua adat, tidak dipilih secara formal akan tetapi biasanya tumbuh dengan sendirinya hasil dari pengakuan masyarakat itu sendiri yang tumbuh secara perlahan. Adanya tokoh informal tersebut bukannya mematikan wujud dan kiprah dari kegiatan-kegiatan lembaga formal yang ada, bahkan sebaliknya sangat mendukung kegiatan yang berhubungan dengan pemerintahan seperti di tingkat desa maupun di lingkup yang lebih kecil lagi. Lebih jauh lagi sosok tokoh informal sangat menunjang terutama dalam penyelesaian masalah-masalah yang timbul dalam masyarakat setempat yang mungkin sewaktu-waktu dapat terjadi. Hal ini dapat dimengerti pula karena
keberadaan tokoh informal tersebut merupakan suatu tokoh panutan yang bersifat kekeluargaan atau kekerabatan. 4.8.5 Penduduk Menurut Agama Penduduk di desa-desa sekitar areal IUPHHK CV. Pangkar Begili, sebagian besar beragama Katolik, Kristen Protestan dan Islam. Desa-desa terbagi dalam dusun-dusun yang memiliki latar belakang etnis yang berbeda, yakni masyarakat yang berasal dari etnis dayak sebagian besar beragama Kristen, sedangkan yang berasal dari etnis melayu seluruhnya beragama Islam. Tempat ibadah berupa 1 buah masjid terdapat di dusun Nanga Serawai dan 5 buah gereja terdapat di Desa Tontang dan Karya Jaya. 4.8.6 Tingkat Pendidikan Masyarakat Tingkat pendidikan penduduk di desa-desa sekitar areal IUPHHK CV. Pangkar Begili umumnya masih relatif rendah, yakni sebagian besar masih berpendidikan SD ke bawah. Hal ini disebabkan karena saran prasarana pada sebagian besar desa masih terbatas sampai tingkat SD, sedangkan SLTP terdapat di Kecamatan Nanga Serawai yang jaraknya dari desa-desa lain cukup jauh dengan sarana perhubungan yang masih sangat terbatas. Di kecamatan ini belum terdapat SLTA, sehingga lulusan SLTP yang hendak melanjutkan pendidikan harus ke Kecamatan Nanga Pinoh atau ke ibukota kabupaten dan ke kota lainnya. 4.8.7 Adat Istiadat Penduduk dan etnis Dayak pada umumnya masih sangat kuat memegang tradisi yang berasal dan nenek moyangnya. Hal ini antara lain terlihat pada upacara-upacara adat ketika memulai membuka lahan untuk ladang, upacara adat setelah panen ladang, upacara perkawinan dan kematian, serta pengobatan secara adat oleh dukun. Disamping itu wilayah yang mereka klaim sebagai wilayah adat cukup luas, yakni meliputi wilayah yang secara turun temurun menjadi wilayah kegiatan sosial ekonomi dan budaya mereka, baik untuk kegiatan perladangan, berburu, mencari tanaman obat, pemakaman nenek moyang, atau bekas-bekas pemukiman lama.
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Karakteristik Responden 5.1.1 Kelompok Umur Menurut data BPS tahun 2009 dalam Karisma (2010) umur produktif adalah usia antara 15-64 tahun. Berdasarkan data hasil penelitian, usia responden di Dusun Nusa Bakti berkisar antara 23-76 tahun. Data karakteristik responden berdasarkan kelas umur dapat dilihat pada Tabel 11 sebagai berikut. Tabel 11 Data responden berdasarkan kelas umur Kelompok Umur (tahun) Dusun
15-24
25-34
35-44
≥55
45-54
Nusa Bakti
N 1
% 3,3
N 7
% 23,3
N 4
% 13,3
N 10
% 33,3
N 8
% 26, 7
Natai Bunga
3
10,0
7
23,3
11
36,7
5
16, 7
4
13, 3
Keterangan : (N : jumlah responden)
Pada tabel di atas dapat dilihat bahwa dari 30 responden di Dusun Nusa Bakti, sebesar 33,3% berada pada kelas umur 45-54 tahun. Hal ini menunjukan bahwa sebagian besar responden berada pada kelas umur produktif dan berpotensi memanfaatkan HHBK dengan baik. Sedangkan, dari 30 responden di Dusun Natai Bunga, sebesar 36,7% responden berada pada kelas umur 35-44 tahun. Hal ini menunjukan bahwa sebagian besar responden di Dusun Natai Bunga berada pada kelas umur produktif dan berpotensi memanfaatkan HHBK dengan baik . Tingkat ketergantungan masyarakat terhadap sumberdaya hutan di kedua Dusun tersebut dapat ditunjukan dari pemanfaatan sumberdaya hutan pada usia produktif. 5.1.2 Jumlah anggota keluarga Jumlah anggota keluarga dapat menunjukan jumlah ketersediaan tenaga kerja pada masing-masing keluarga. Semakin banyak anggota keluarga, semakin tinggi tingkat ketergantungan masyarakat terhadap sumberdaya hutan. Selain itu, jumlah anggota keluarga dapat menunjukan tingkat pengeluaran rumah tangga untuk memenuhi kehidupan sehari-hari. Semakin banyak jumlah anggota
keluarga, semakin banyak pula tingkat pengeluaran rumah tangganya. Data karakteristik responden berdasarkan jumlah anggota keluarga dapat dilihat pada Tabel 12 sebagai berikut. Tabel 12 Data responden berdasarkan jumlah anggota keluarga Jumlah Anggota Keluarga (orang) Dusun
2
3
4
≥6
5
N
%
N
%
N
%
N
%
N
%
Nusa Bakti
0
0
5
16,7
13
43,3
4
13,3
8
26,7
Natai Bunga
5
16,7
6
20,0
12
40,0
7
23,3
0
0
Keterangan : (N : jumlah responden)
Berdasarkan data di atas, rata-rata jumlah anggota keluarga di Dusun Nusa Bakti dan Natai Bunga adalah 4 orang dengan persentase berturut-turut sebesar adalah 43,3% dan 40%. Hal ini menunjukan bahwa sumber daya manusia di Dusun Nusa bakti dan Natai Bunga untuk pemanfaatan HHBK tersedia. Tidak semua anggota dalam suatu keluarga dapat memanfaatkan sumberdaya hutan secara langsung, seperti anak-anak dan orang-orang lanjut usia. 5.1.3 Tingkat Pendidikan Tingkat pendidikan sangat berpengaruh dalam pemikiran ataupun tindakan seseorang dalam memanfaatkan sumberdaya hutan. Pengetahuan yang baik terhadap jenis komersial dari suatu sumberdaya hutan dapat berdampak positif ataupun negatif. Dampak positif yang mungkin terjadi adalah pemanfaatan sumberdaya hutan yang memperhatikan kelestarian sumberdaya hutan itu sendiri dan lingkungan sekitarnya. Sedangkan dampak negatif yang dapat muncul adalah pemanfaatan sumberdaya hutan yang tidak terkendali dan rusaknya lingkungan sekitar sumberdaya hutan tersebut. Data karakteristik responden berdasarkan jumlah anggota keluarga dapat dilihat pada Tabel 13 sebagai berikut. Tabel 13 Data responden berdasarkan tingkat pendidikan Tdk tamat SD
Tingkat Pendidikan SD/Sederajat SMP/Sederajat
SMA/Sederajat
N
%
N
%
N
%
N
%
Nusa Bakti
9
30,0
18
60,0
0
0
3
10,0
Natai Bunga
4
13,3
18
60,0
6
20,0
2
6,7
Dusun
Keterangan : (N : jumlah responden)
Berdasarkan data di atas, dari 30 responden di masing-masing Dusun, diperoleh 18 orang atau 60% responden di masing-masing Dusun tersebut berpendidikan SD atau sederajat. Tingkat pendidikan yang rendah ini menyebabkan masyarakat di kedua Dusun tersebut jarang memanfaaatkan sumberdaya hutan dan mengolahnya untuk dijual. Sumberdaya hutan yang digunakan oleh masyarakat secara rutin adalah getah karet. Getah karet diperoleh dengan menanam bibit karet di sekitar tempat tinggal ataupun di hutan. Tingkat pendidikan yang rendah mengakibatkan masyarakat dari kedua dusun tersebut tidak mempunyai banyak pilihan untuk bekerja. 5.1.4 Mata Pencaharian Berdasarkan hasil wawancara, sebagian besar masyarakat memanfaatkan hasil pertanian seperti padi. Oleh karena itu, kegiatan yang paling dominan adalah petani berladang. Lokasi yang digunakan untuk berladang adalah di dalam hutan. Data karakteristik responden berdasarkan mata pencaharian dapat dilihat pada Tabel 14 sebagai berikut. Tabel 14 Data responden berdasarkan mata pencaharian Dusun
Petani
Swasta
Mata Pencaharian Penambang Emas
Pencari Ikan
Pedagang
N
%
N
%
N
%
N
%
N
%
Nusa Bakti
18
60,0
8
26,7
3
10,0
1
3,3
0
0
Natai Bunga
25
83,3
4
13,3
0
0
0
0
1
3,3
Keterangan : (N : jumlah responden)
Dari 30 responden di masing-masing Dusun, pekerjaan yang paling dominan di Dusun Nusa Bakti dan Dusun Natai Bunga adalah bertani dengan jumlah responden berturut-turut 18 orang dan 25 orang. Persentase dari petani tersebut adalah 60% di Dusun Nusa Bakti dan 83,3% di Dusun Natai Bunga. Kelompok masyarakat petani yang ada di kedua Dusun tersebut adalah petani sawah dan petani karet.
5.2 Pemanfaatan Sumberdaya Hutan 5.2.1 Getah Karet Getah karet merupakan salah satu sumberdaya hutan yang paling banyak dimanfaatakan oleh masyarakat Dusun Nusa Bakti dan Natai Bunga. Masyarakat dari kedua Dusun tersebut memanfaatkan getah karet dari hasil budidaya tanaman karet. Jarak tanam yang digunakan untuk budidaya karet di Dusun Nusa Bakti dan Natai Bunga adalah 4 x 6 m2. Kegiatan masyarakat di Dusun Nusa Bakti dan Natai Bunga dalam melakukan budidaya getah karet adalah sama, yaitu dengan mengambil anakan karet di dalam hutan atau membeli anakan karet dengan harga antara Rp 200 sampai dengan Rp 1.000/bibit untuk ditanam di kebun mereka. Pada umumnya masyarakat dari Dusun Nusa Bakti dan Natai Bunga memanfaatkan getah karet untuk dijual. Harga getah karet di Dusun Nusa Bakti berkisar antara Rp 13.000 Rp 14.000/kg. Sedangkan harga getah karet di Dusun Natai Bunga berkisar antara Rp 13.000 - Rp 16.000/kg . Harga getah karet di Dusun Natai Bunga relatif lebih tinggi dibandingakan di Dusun Nusa Bakti. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa hal, seperti alur pemasaran di Dusun Natai Bunga yang efisien dan kualitas getah karet yang lebih baik di bandingkan di dusun Nusa Bakti. Biaya awal yang dibutuhkan untuk memproduksi getah karet oleh masyarakat di dusun Natai Bunga adalah parang dengan harga Rp 50.000, sepatu Rp 100.000, pisau Rp 5.000-Rp 45.000, cuka Rp 12.000, pecungkil Rp 5.000, dan alat pembasmi rumput Rp 91.000/liter. Selain itu, biaya makanan dan minuman yang dibutuhkan untuk pengambilan getah karet ke lokasi adalah Rp 10.000/orang/ambil. Sedangkan, biaya awal yang yang dibutuhkan untuk memproduksi getah karet oleh masyarakat di dusun Nusa Bakti adalah parang dengan harga Rp 70.000, sepatu Rp 100.000, pisau Rp 15.000-Rp 40.000, kapak Rp 45.000-Rp 60.000, pengait Rp 15.000, dan bahan pembasmi rumput Rp 55.000- Rp 70.000/liter. Biaya makan yang dibutuhkan untuk mengambil getah karet adalah Rp 10.000/orang/ambil. Alur pemasaran suatu produk merupakan kunci untuk mencapai kepuasan baik di tingkat penjual maupun di tingkat pembeli. Apabila kepuasan di tingkat
penjual dan pembeli terjadi, hal ini berarti keuntungan yang diharapkan oleh penjual dan pembeli adalah maksimal. Alur pemasaran getah karet di Dusun Nusa Bakti dibagi menjadi dua bagian seperti terlihat di Gambar 5 sebagai berikut.
Petani
Pengumpul Serawai
Pengumpul Nanga Pinoh
1. Pabrik Pontianak
2. Pabrik Sintang
Gambar 5 Alur pemasaran getah karet di Dusun Nusa Bakti. Alur pemasaran getah karet di Dusun Nusa Bakti bertujuan untuk memasok kebutuhan bahan baku di pabrik pengolahan getah karet Kabupaten Sintang ataupun Provinsi Kalimantan Barat. Alur pemasaran getah karet yang pertama melalui empat lembaga pemasaran
(petani-pengumpul
Serawai-pengumpul
Nanga
Pinoh-pabrik
Pontianak), sedangkan yang kedua melalui tiga lembaga pemasaran (petanipengumupul Serawai-Pabrik Sintang). Dari hal tersebut, dapat dilihat bahwa alur pemasaran yang kedua lebih efisien dibandingkan alur pemasaran yang pertama. Selain itu harga yang diperoleh petani untuk saluran pemasaran kedua lebih besar yaitu Rp 14.000 dibandingkan Rp 13.000 pada saluran pemasaran yang pertama. Alur pemasaran getah karet di Dusun Natai Bunga bertujuan untuk memasok kebutuhan bahan baku di pabrik pengolahan getah karet di Pontianak. Dari sisi potensi pasar, usaha getah karet di Dusun Nusa Bakti cukup baik untuk dikembangkan. Hal ini dikarenakan masyarakat di Dusun tersebut sudah mempunyai pasar untuk menjual hasil getah karet mereka. Masyarakat di Dusun Nusa Bakti cukup puas dengan harga jual getah karet yang berkisar antara Rp 13.000 - Rp 14.000/kg. Alur pemasaran di Dusun Natai Bunga terdiri dari tiga saluran dan dapat dilihat pada Gambar 6.
1. Pengumpul Natai Bunga
Petani
2. Pengumpul Menukung
Pengumpul Menukung
3. Pengumpul Sei Sampuk
Pengumpul Nanga Pinoh
Pengumpul Nanga Pinoh
Pengumpul Nanga Pinoh
Pabrik Pontianak
Pabrik Pontianak
Pabrik Pontianak
Gambar 6 Alur pemasaran getah karet di Dusun Natai Bunga. Seperti terlihat pada gambar di atas, alur pemasaran getah karet di Dusun Natai Bunga terdiri dari tiga saluran pemasaran. Alur pemasaran pertama terdiri dari lima lembaga pemasaran (petani-pengumpul Natai Bunga-pengumpul Menukung-pengumpul Nanga Pinoh-pabrik Pontianak) dengan harga getah karet di tingkat petani adalah Rp 13.000/kg. Alur pemasaran kedua terdiri dari empat lembaga pemasaran (petani-pengumpul Menukung-pengumpul Nanga Pinohpabrik Pontianak) dengan harga getah karet di tingkat petani adalah Rp 14.000/kg. Alur pemasaran getah karet ketiga terdiri dari empat lembaga pemasaran (petanipengumpul Sei Sampuk-pengumpul Nanga Pinoh-pabrik Pontianak) dengan harga getah karet di tingkat petani Rp 15.000/Kg. Alur pemasaran kedua merupakan saluran yang memberikan keuntungan tertinggi bagi petani getah karet di Dusun Natai Bunga. Ada beberapa perbedaan antara sistem pemasaran di Dusun Nusa Bakti dengan Dusun Natai Bunga, seperti : 1. Alur pemasaran getah karet di Dusun Nusa Bakti lebih pendek dibandingkan di Dusun Natai Bunga. 2. Saluran pemasaran di Dusun Nusa Bakti ada dua sedangkan saluran pemasaran di Dusun Natai Bunga ada tiga. 3. Harga getah karet per kilogram di Dusun Natai Bunga lebih tinggi dibandingkan di Dusun Nusa Bakti. Alur pemasaran getah karet yang lebih pendek di Dusun Nusa Bakti dapat mengakibatkan pemasaran berjalan dengan efektif dan efisien karena tidak banyak lembaga pemasaran yang terlibat. Hal ini dapat membuat harga di tingkat konsumen pada pemasaran getah karet di Dusun Nusa Bakti akan lebih rendah
dibandingkan di Dusun Natai Bunga, sehingga konsumen yang alur pemasaran getah karetnya dari dusun Nusa Bakti akan lebih puas. Saluran pemasaran di Dusun Nusa Bakti yang lebih sedikit dibandingkan di Dusun Natai Bunga akan mengakibatkan lebih sedikitnya pula pilihan petani di Dusun Nusa Bakti untuk memilih saluran pemasaran yang paling menguntungkan mereka dibandingkan dengan petani di dusun Natai Bunga. Hal ini dapat mengakibatkan kepuasan yang diperoleh oleh petani di dusun Natai Bunga seharusnya lebih tinggi dibandingkan dengan petani di Dusun Nusa Bakti. Menurut hasil penelitian Sudibjo (1999) Kenaikan harga karet di tingkat petani di Desa Sepunggur menurut data dari KUD Usaha Karya terjadi pada pertengahan tahun 1998 hingga mencapai rata-rata Rp 2.600 sampai dengan Rp 2.700/kg dari rata-rata Rp 1.400- Rp 1.500/kg di awal tahun 1998. Pada bulan Februari-Maret 1999, harga karet di tingkat petani di Desa Sepunggur kembali merosot hingga Rp 1.600 sampai dengan Rp 1.700/kg. Harga karet tersebut akan berbeda-beda antar desa/kecamatan tergantung dari tengkulak dan jarak desa ke tempat tengkulak-tengkulak tersebut. Di bawah ini akan disajikan Gambar 7 yang berupa pemasaran getah karet di Desa Sepunggur menurut hasil penelitian Sudibjo (1999). Tengkulak Desa
Petani Karet
Tengkulak Kecamatan/Desa
Pabrik
KUD
Gambar 7 Alur pemasaran getah karet di Desa Sepunggur. Harga getah karet per kilogram di Dusun Natai Bunga yang lebih tinggi dibandingkan di Dusun Nusa Bakti dapat mengakibatkan kepuasan yang lebih tinggi pula bagi petani di Dusun Natai Bunga dibandingkan di Dusun Nusa Bakti. 5.2.2 Tengkawang Biji tengkawang merupakan hasil hutan yang berbuah setiap 5 tahun sekali. Biji tengkawang dihasilkan dari pohon meranti yang umumnya mempunyai
banyak cabang dan berdaun lebat. Masyarakat Dusun Natai Bunga dan Nusa Bakti biasa menyebut pohon penghasil biji tengkawang dengan pohon tengkawang. Masyarakat di Dusun Nusa Bakti dan Natai Bunga memanfaatkan biji tengkawang untuk dijual ataupun dikonsumsi. Biji tengkawang yang masyarakat peroleh berasal dari pohon meranti yang turun temurun bijinya dimanfaatkan oleh masyarakat di Dusun Nusa bakti dan Natai Bunga. Pemanfaatan biji tengkawang di kedua dusun tersebut didasarkan pada sistem kekeluargaan, yaitu setiap orang boleh mengambil biji tengkawang di area milik orang lain dengan izin dari pemiliknya. Sedangkan, pohon tengkawang yang tumbuh alami di hutan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat secara bersamasama. Masyarakat Dusun Nusa Bakti memanfaatakan biji tengkawang terakhir pada tahun 2009. Biaya yang dibutuhkan setiap orang adalah Rp 33.000/ambil meliputi makan, minum dan rokok. Biaya yang dibutuhkan setiap orang di Dusun Natai Bunga untuk memanfaatkan biji tengkawang adalah Rp 22.000 meliputi makan, minum dan rokok. Biji tengkawang yang dijual oleh masyarakat di Dusun Nusa Bakti dijual dengan harga Rp 3.000 - Rp 4.000/ kg. Biji tengkawang tersebut diolah dengan cara dibuang bagian kepala biji tengkawang, setelah itu biji-biji tersebut ditaruh di keranjang dan ditutup. Selanjutnya biji tengkawang tersebut dipanggang di atas bara kayu sampai kering selama dua hari. Setelah biji tengkawang itu kering, selanjutnya biji tersebut dibuang kulitnya dan siap untuk dijual. Masyarakat Dusun Natai Bunga menjual biji tengkawang yang telah mereka olah dengan harga Rp 3.000 - Rp 5.000/kg. Cara pengolahan biji tengkawang pada masyarakat Dusun Natai Bunga sama dengan masyarakat di Dusun Nusa Bakti. Harga per kilogram biji tengkawang yang telah diolah oleh masyarakat Dusun Nusa Bakti dijual dengan harga yang lebih mahal daripada yang dijual oleh masyarakat di Dusun Natai Bunga. Perbedaan harga tersebut diakibatkan karena perbedaan alur pemasaran diantara kedua dusun tersebut. Hal ini mengakibatkan keuntungan yang lebih besar terhadap penjual tengkawang di Dusun Nusa Bakti dibandingkan di Dusun Natai Bunga.
Terdapat dua alur pemasaran biji tengkawang di Dusun Nusa Bakti yang masing-masing bertujuan untuk memasok kebutuhan bahan baku pada pabrik di Pontianak dan luar negeri seperti Malaysia. Alur pemasaran biji tengkawang di Dusun Nusa Bakti dapat dilihat pada Gambar 8.
1.Pabrik Malaysia Pengumpul Serawai
Petani
Pengumpul Nanga Pinoh 2. Pabrik Pontianak
Gambar 8 Alur pemasaran biji tengkawang di Dusun Nusa Bakti. Alur pemasaran pertama di Dusun Nusa Bakti terdiri dari empat lembaga pemasaran
(petani-pengumpul
Serawai-pengumpul
Nanga
Pinoh-pabrik
Malaysia). Selain itu, saluran pemasaran kedua terdiri dari empat lembaga pemasaran sebelum sampai ke konsumen (petani-pengumpul Serawai-pengumpul Nangan Pinoh-pabrik Pontianak). Alur pemasaran biji tengkawang pada saluran pertama bertujuan untuk memasok kebutuhan pabrik di luar negeri. Hal ini dapat diakibatkan oleh kualitas biji tengkawang yang lebih baik untuk kualitas ekspor sehingga harga per kilogram biji tengkawang akan lebih mahal. Menurut hasil wawancara, biji tengkawang yang mereka jual tersebut nantinya akan diolah untuk keperluan membuat bahan farmasi, kosmetik, dan minyak tengkawang. Masyarakat Dusun Natai Bunga mempunyai tiga alur pemasaran biji tengkawang yang bertujuan untuk memasok kebutuhan biji tengkawang untuk pabrik di pontianak. Alur pemasaran biji tengkawang tersebut dapat dilihat pada Gambar 9.
pengumpul di Serawai Petani
Pengumpul di Desa
Pabrik Pontianak Pengumpul di Menukung
Pengumpul di Menukung
Pengumpul Nanga Pinoh
Gambar 9 Alur pemasaran biji tengkawang di Dusun Natai Bunga. Alur pemasaran biji tengkawang pertama (petani-pengumpul di Desapengumpul di Serawai-pabrik Pontianak) hampir sama dengan alur pemasaran kedua (petani-pengumpul di Desa-pengumpul di Menukung-pabrik Pontianak). Perbedaan dari kedua alur pemasaran tersebut terletak di lembaga pemasaran tingkat tiga dari setiap saluran pemasaran. Pada alur pemasaran pertama, lembaga pemasaran tingkat dua (pengumpul di Desa) selanjutnya menjual biji tengkawang ke Kecamatan Serawai. Sedangkan, pada alur pemasaran kedua, lembaga pemasaran tingkat dua (pengumpul di Desa) selanjutnya menjual biji tengkawang ke Kecamatan Menukung dan untuk selanjutnya dijual ke pabrik di Pontianak. Perbedaan saluran pemasaran di lembaga tingkat tiga pada alur pemasaran pertama dan kedua dapat disebabkan karena pertimbangan jarak yang lebih menguntungkan bagi mereka. Selain itu, hal tersebut juga dapat disebabkan oleh perhitungan peluang keuntungan apabila dijual di Kecamatan Serawai ataupun di Kecamatan Menukung. Perbedaan juga terjadi pada alur pemasaran satu dan dua dengan alur pemasaran tiga. Hal ini dapat dilihat di lembaga tingkat dua dari masing-masing saluran pemasaran. Pada lembaga pemasaran tingkat dua di alur pemasaran satu dan dua, petani menjual biji tengkawang ke pengumpul tingkat desa. Sedangkan, pada lembaga tingkat dua di alur pemasaran ketiga, petani menjual biji tengkawang ke pengumpul tingkat Kecamatan. Orang-orang yang berada pada alur pemasaran ketiga bertujuan untuk mendapat keuntungan yang lebih banyak karena dapat menjual biji tengkawang
langsung ke tingkat kecamatan daripada orang-orang yang berada pada alur pemasaran satu dan dua yang menjual biji tengkawang ke tingkat desa. Tujuan tersebut dapat dilihat dari harga biji tengkawang pada alur pemasaran satu dan dua adalah Rp 3.000/kg - Rp 4.000/kg. Sedangkan, harga biji tengkawang pada alur pemasaran ketiga adalah Rp 5.000/kg. Pohon tengkawang di wilayah hutan CV. Pangkar Begili termasuk ke dalam jenis kayu yang dilindungi. Masyarakat Dusun Nusa Bakti atapun Natai Bunga sangat menjaga kelestarian pohon tengkawang karena mereka ingin bahwa manfaat yang diperoleh dari pohon tengkawang saat ini dapat juga dimanfaatkan oleh generasi-generasi selanjutnya. 5.2.3 Rotan Rotan merupakan sumberdaya hutan yang dimanfaatkan oleh masyarakat di Dusun Nusa Bakti dan Natai Bunga. Masyarakat di Dusun Nusa Bakti dan Natai Bunga memanfaatkan rotan biasanya hanya sekali setahun untuk dibuat tengkalang, menakin, dan bakul. Tengkalang adalah alat yang digunakan untuk mengangkut barang bawaan yang digendong di belakang pundak. Bakul adalah alat yang digunakan untuk menyuci beras oleh masyarakat. Masyarakat Dusun Nusa Bakti kadang menjual hasil olahan rotan yang berupa tengkalang tersebut seharga Rp 10.000/tengkalang. Karena tidak ada kegunaan yang sangat mendesak bagi masyarakat dalam memanfaatkaan rotan selain untuk tengkalang, menakin, dan bakul serta tidak adanya pasar sehingga mereka jarang memanfaatkannya. Biaya pengambilan rotan ke lokasi bagi masyarakat Dusun Nusa Bakti adalah Rp 10.000/orang/ambil. Biaya ini merupakan biaya makan untuk satu orang yang terdiri dari nasi, lauk pauk, dan air. Biaya pengambilan rotan ke lokasi bagi masyarakat Dusun Natai Bunga adalah Rp 10.000/orang/ambil. Biaya ini merupakan biaya makan untuk satu orang yang terdiri dari makan dan minum Lokasi pengambilan rotan pada masyarakat Dusun Nusa Bakti terletak pada wilayah konsesi CV. Pangkar Begili tepatnya di km 4, 5, 6, 7, 9, 10, dan 13. Waktu yang digunakan masyarakat Dusun Nusa Bakti dalam mengambil rotan adalah berkisar antara pagi sampai dengan sore. Lokasi pengambilan rotan pada masyarakat Dusun Natai Bunga adalah di hutan, Bukit Alat, Bukit Punggur, Bukit Bunyau, dan Sungai Keruap di km 6. Sedangkan waktu yang digunakan
masyarakat Dusun Natai Bunga untuk mengambil rotan adalah dari pagi sampai dengan sore. 5.2.4 Kayu Bakar Kayu bakar merupakan sumberdaya hutan yang sering digunakan oleh masyarakat di Dusun Nusa Bakti dan Natai Bunga. Kayu yang biasa digunakan oleh kedua masyarakat Dusun tersebut adalah kayu-kayu yang sudah mati. Masyarakat di Dusun Nusa Bakti dan Natai Bunga biasa menggunakan kayu bakar tersebut untuk memasak. Kayu bakar jarang diperjualbelikan oleh masyarakat di Dusun Nusa Bakti dan Natai Bunga. Masyarakat di Dusun Nusa Bakti dan Natai Bunga akan menjual kayu bakar jika ada yang memesan dengan harga Rp 5.000/ikat. Biaya pengambilan kayu bakar ke lokasi oleh masyarakat di Dusun Nusa Bakti dan Natai Bunga adalah Rp 10.000/orang. Biaya tersebut adalah biaya makan dan minum selama ke lokasi. Lokasi pengambilan kayu bakar oleh masyarakat di Dusun Nusa Bakti adalah di km 1, 2 dan 3 di wilayah pengelolaan CV. Pangkar Begili. Selain itu, masyarakat juga biasa memperoleh kayu bakar di bekas ladang, kebun karet, ataupun pinggir Sungai Melawi. Sedangkan, lokasi pengambilan kayu bakar oleh masyarakat di Dusun Natai Bunga adalah di Bukit Bunyau, Bukit Alat, Bukit Punggur, Sungai Keruap dan hutan. Waktu pengambilan kayu bakar oleh masyarakat Dusun Nusa Bakti adalah pukul 07.00 – 18.00 WIB. Sedangkan, waktu yang digunakan oleh masyarakat di Dusun Natai Bunga adalah pukul 06.00 – 19.00 WIB. Waktu yang digunakan oleh masyarakat Dusun Natai Bunga lebih lama dibandingkan dengan masyarkat Dusun Nusa Bakti. Hal ini dapat disebabkan oleh loksai pengambilan kayu bakar oleh Masyarakat di Dusun Natai Bunga lebih jauh dari lokasi pengambilan masyarakat di Dusun Nusa Bakti. 5.2.5 Damar Getah damar merupakan salah satu sumberdaya hutan yang jarang dimanfaatkan oleh masyarakat Dusun Nusa Bakti dan Natai Bunga. Pada masyarakat di Dusun Nusa Bakti, mereka memanfaatkan getah damar untuk
menambal perahu. Sedangkan pada masyarakat di Dusun Natai Bunga, getah damar digunakan untuk menambal perahu dan dijual. Masyarakat Dusun Natai Bunga dapat menjual getah damar yang mereka manfaatkan disebabkan karena adanya pasar yang menampung hasil getah mereka. Biaya pengambilan getah damar oleh masyarakat di Dusun Nusa Bakti dan Natai Bunga adalah Rp 10.000/orang. Biaya tersebut adalah biaya makan dan minum di lokasi pengambialn getah damar. Di bawah ini adalah gambar alur pemasaran getah damar di Dusun Natai Bunga.
Produsen
Pengumpul Menukung
Pengumpul Pinoh
Konsumen
Gambar 10 Alur pemasaran getah damar di Dusun natai Bunga. Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa alur pemasaran getah damar di Dusun Natai Bunga mempunyai empat lembaga pemasaran. Getah damar yang sampai ke konsumen menurut produsen digunakan untuk menambal perahu mereka yang bocor. Karena jarangnya permintaan pasar terhadap getah damar di Dusun Natai Bunga maka usaha getah damar kurang berkembang. Pemanfaatan getah damar oleh responden di Dusun Nusa Bakti biasanya setiap setahun sekali yang digunakan untuk keperluan menambal perahu yang bocor. Waktu yang digunakan responden untuk mengambil getah damar adalah pagi dan siang. Lokasi tempat pengambilan getah damar yang dilakukan oleh responden di Dusun Nusa Bakti adalah di km 5 dan 6 dalam wilayah pengusahaan hutan CV. Pangkar Begili. Sedangkan, pemanfaatan getah damar oleh responden di Dusun Natai Bunga dilakukan setiap seminggu sekali yang digunakan untuk keperluan penjualan dan penambalan perahu. Lokasi responden Dusun Natai Bunga untuk mengambil getah damar adalah di daerah Bukit Bunyau. Waktu yang digunakan responden untuk mengambil getah damar adalah pagi, siang, dan sore. Frekuensi pengambilan getah damar yang dilakukan oleh responden di Dusun Natai Bunga lebih tinggi dibandingkan dengan responden di Dusun Nusa bakti. Hal ini disebabkan karena responden di Dusun Natai Bunga selain memanfaatkan getah damar untuk dikonsumsi juga dimanfaatkan untuk aktivitas
jual beli sedangkan responden di Dusun Nusa Bakti memanfaatkan getah damar hanya untuk dikonsumsi. 5.2.6 Bambu Bambu merupakan salah satu sumberdaya hutan yang jarang digunakan oleh masyarakat Dusun Nusa Bakti. Dari 30 responden yang diwawancarai, hanya dua orang yang memanfaatkan bambu. Bambu dimanfaatkan untuk bahan membangun pondok di ladang. Sedangkan, dari 30 responden di Dusun Natai Bunga hanya tiga orang yang memanfaatkan bambu. Fungsi dari bambu di Dusun Natai Bunga sama dengan fungsi bambu di Dusun Nusa Bakti. Masyarakat di Dusun Nusa Bakti dan Natai Bunga tidak membutuhkan biaya untuk memanfaatkan bambu karena mereka tidak membawa bekal ke lokasi. Lokasi yang digunakan oleh responden di Dusun Nusa Bakti untuk memperoleh bambu adalah di km 1 dan 2 dalam wilayah pengusahaan hutan CV. Pangkar Begili. Sedangkan, waktu yang digunakan oleh responden di Dusun Nusa Bakti untuk mengambil bambu adalah pagi. Lokasi yang digunakan oleh responden di Dusun Natai Bunga untuk memperoleh bambu adalah di wilayah pengelolaan hutan CV. Pangkar Begili. Sedangkan, waktu yang digunakan responden di Dusun Natai Bunga untuk mengambil bambu adalah pagi. Waktu yang digunakan oleh responden di Dusun Nusa Bakti dan Natai Bunga adalah pagi. Hal ini dilakukan karena lokasi adanya bambu cukup sulit untuk ditemukan, sehingga mereka berangkat lebih awal agar dapat memperoleh bambu yang mereka butuhkan. 5.2.7 Ginseng Ginseng merupakan salah satu sumberdaya hutan yang dimanfaatkan oleh responden di Dusun Nusa Bakti. Jumlah pemanfaat ginseng dari 30 responden di Dusun Nusa Bakti adalah lima orang. Sedangkan, pemanfaat ginseng di Dusun Natai Bunga tidak ada. Ginseng dimanfaatkan oleh responden di Dusun Nusa Bakti untuk penambah stamina. Biaya pengambilan ginseng ke lokasi yang dibutuhkan oleh responden di Dusun Nusa Bakti adalah Rp 5.000/orang/ambil. Biaya tersebut terdiri dari makan dan minum.
Lokasi pengambilan ginseng oleh responden di Dusun Nusa Bakti adalah di km 3, 5, dan 10 di wilayah pengusahaan hutan CV. Pangkar Begili. Sedangkan waktu yang digunakan responden untuk mengambil ginseng adalah dari pagi hingga sore. 5.2.8 Pasak Bumi Pasak bumi adalah salah satu sumberdaya hutan yang dimanfaatakan oleh masyarakat di Dusun Nusa Bakti tetapi tidak dimanfaatakan oleh masyarakat di Dusun Natai Bunga. Masyarakat di Dusun Natai Bunga tidak memanfaatkan pasak bumi karena mereka biasanya membelinya jika membutuhkan. Responden di Dusun Nusa Bakti memanfaatkan pasak bumi untuk meningkatkan stamina tubuh. Biaya pengambilan pasak bumi ke lokasi adalah 5.000/orang/ambil. Lokasi tempat pengambilan pasak bumi oleh responden di Dusun Nusa Bakti adalah di km 3, 5 dan 10 di wilayah pengusahaan hutan CV. Pangkar Begili. Waktu yang digunakan responden untuk mengambil pasak bumi adalah pagi sampai dengan sore. 5.2.9 Pandan Daun pandan adalah salah satu sumberdaya hutan yang digunakan oleh masyarakat di Dusun Natai Bunga. Mereka menggunakan daun pandan sebagai bahan untuk membuat tikar. Sedangkan, responden di Dusun Nusa Bakti tidak ada yang memanfaatkan pandan untuk memenuhi kebutuhan mereka. Hal ini karena mereka biasa membeli daun pandan jika membutuhkannya. Responden di Dusun Natai Bunga tidak memerlukan biaya untuk mengambil pandan ke lokasi. Hal ini disebabkan mereka tidak membawa bekal ke lokasi dan makan setelah pulang dari lokasi. Lokasi pengambilan pandan oleh masyarakat di Dusun Natai Bunga adalah di Lanjau, rawa, Sungai Marau, dan Guhum Boyu. Waktu yang digunakan oleh responden di Dusun Natai Bunga untuk mengambil pandan adalah dari pagi hingga sore hari. 5.2.10 Durian Durian adalah salah satu sumberdaya hutan yang dimanfaatkan oleh masyarakat di Dusun Natai Bunga. Durian di daerah tersebut biasanya berbuah
setiap dua tahun sekali. Mereka biasa mamanfaatkan durian untuk dikonsumsi. Biaya pengambilan durian ke lokasi oleh responden adalah nol. Lokasi pengambilan durian adalah di sekitar Sungai Soka. Waktu yang digunakan responden untuk mengambil durian adalah pagi. 5.3 Nilai Manfaat Sumberdaya Hutan Nilai manfaat sumberdaya hutan dihitung dengan cara melakukan pendekatan terhadap nilai korbanan dari setiap responden apabila tidak dapat memperoleh sumberdaya hutan yang mereka butuhkan. Berdasarkan hasil perhitungan, diperoleh volume produksi dan nilai manfaat sumberdaya hutan yang dimanfaatkan oleh masyarakat di Dusun Nusa bakti disajikan dalam tabel berikut. Tabel 15
N o
Volume produksi dan nilai manfaat sumberdaya hutan terhadap pendapatan rumah tangga di Dusun Nusa Bakti
Volume /th/kk 1.344 255
Nilai Manfaat (Rp/th/kk)
Nilai Manfaat (Rp /th)
17472000 (16) 1276000 (22)
279.552.000 28.080.000
Persentase Nilai Manfaat (%) 88,3 8,9
Tengkalang
11
111000 (24)
2.677.000
0,8
Kilogram
147
587000 (8)
4.695.000
1,5
Batang
15
75000 (2)
150.000
0,1
Produksi
Jenis Sumber Daya Hutan
Satuan
1 2
Getah karet Kayu Bakar
3
Rotan
4
Tengkawang
5
Bambu
6
Pasak Bumi
Kilogram
11
242000 (2)
484.000
0,1
7
Ginseng
Kilogram
69
138000 (5)
692.000
0,2
8
Getah Damar
Kilogram
4
5000 (2)
10.000
0,1
Total Responden
316.340.000
100
Rata-rata/kk Responden
10.544.000
Keterangan :
Kilogram Ikat
- () - Tengkalang - Nilai Manfaat (Rp/th)
= Jumlah responden yang memanfaatkan suatu HHBK = Alat yang terbuat dari 5 batang rotan dengan panjang setiap batang 1m = Nilai Manfaat (Rp/th/kk) x jumlah responden yang memanfaatkan suatu HHBK
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa urutan nilai manfaat sumber daya hutan di Dusun Nusa bakti mulai dari yang terbesar adalah getah karet, kayu bakar, tengkawang, rotan, ginseng, pasak bumi, bambu dan getah damar. Sumberdaya hutan
yang mempunyai nilai manfaat per tahun terbesar bagi
masyarakat di Dusun Nusa bakti adalah getah karet dengan nilai Rp 279.552.000 dan persentase nilai manfaat sebesar 88,3% per tahun. Sedangkan, sumber daya hutan yang mempunyai nilai manfaat per tahun terkecil bagi masyarakat di Dusun
Nusa Bakti adalah getah damar dengan nilai Rp 10.000 dan persentase nilai manfaat sebesar 0,1% per tahun. Urutan volume produksi di Dusun Nusa Bakti menurut jumlahnya adalah getah karet, kayu bakar, tengkawang, ginseng, rotan, pasak bumi, getah damar dan bambu. Volume produksi sumber daya hutan terbesar adalah getah karet dengan nilai 20.932 kg. Dari indikator volume produksi dan nilai manfaat, getah karet adalah sumber daya hutan yang paling bermanfaat besar bagi masyarakat di Dusun Nusa bakti. Nilai manfaat total sumberdaya hutan bagi masyarakat di Dusun Nusa bakti adalah Rp 316.340.000 per tahun atau sebesar Rp 10.544.000 per kepala keluarga per tahun. Hal ini menunjukan bahwa sumber daya hutan bermanfaat bagi masyarakat di Dusun Nusa Bakti untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Pada tabel 16 dijelaskan volume produksi dan nilai manfaat sumberdaya hutan yang dimanfaatkan oleh masyarakat di Dusun Natai Bunga. Tabel 16
N o
Volume produksi dan nilai manfaat sumberdaya hutan terhadap pendapatan rumah tangga pada responden di Dusun Natai Bunga Produksi
Jenis Sumber Daya Hutan
Nilai Manfaat (Rp/th/kk)
Nilai Manfaat (Rp /th)
Persentase Nilai Manfaat (%)
Volume /th/kk 635 406 10
8.249.000 (25) 2.031.000 (26) 105.000 (19)
206.232.000 52.810.000 1.992.000
76,9 19,7 0,7
1 2 3
Getah karet Kayu Bakar Rotan
Satuan Kilogram Ikat Tengkalang
4
Tengkawang
Kilogram
67
267.000 (19)
5.068.000
1,9
5
Bambu
6 7
Getah Damar Pandan
8
Durian
Batang
39
195.000 (3)
584.000
0,2
Kilogram Daun
36 1.277
54.000 (3) 191.000 (6)
162.000 766.000
0,1 0,3
Buah
96
288.000 (2)
576.000
0,2
268.190.000
100
Total Responden Rata-rata/kk Responden Keterangan :
- () - Tengkalang - Nilai Manfaat (Rp/th)
8.939.000 = Jumlah responden yang memanfaatkan suatu HHBK = Alat yang terbuat dari 5 batang rotan dengan panjang setiap batang 1m = Nilai Manfaat (Rp/th/kk) x jumlah responden yang memanfaatkan suatu HHBK
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa urutan nilai manfaat sumber daya hutan di Dusun Natai Bunga mulai dari yang terbesar adalah getah karet, kayu bakar, tengkawang, rotan, pandan, bambu, durian dan getah damar. Sumberdaya hutan
yang mempunyai nilai manfaat per tahun terbesar bagi masyarakat di
Dusun Natai Bunga adalah getah karet dengan nilai Rp 206.232.000 dan persentase nilai manfaat sebesar 76,9% per tahun. Sedangkan, sumber daya hutan yang mempunyai nilai manfaat per tahun terkecil bagi masyarakat di Dusun Natai Bunga adalah getah damar dengan nilai Rp 576.000 dan persentase nilai manfaat sebesar 0,2% per tahun. Urutan volume produksi di Dusun Natai Bunga adalah getah karet, kayu bakar, pandan, tengkawang, rotan, durian, bambu dan getah damar. Volume produksi sumber daya hutan terbesar adalah getah karet dengan nilai 15.864 kg. Dari indikator volume produksi dan nilai manfaat, getah karet adalah sumber daya hutan yang paling bermanfaat besar bagi masyarakat di Dusun Natai Bunga. Nilai manfaat total sumberdaya hutan bagi masyarakat di Dusun Natai Bunga adalah Rp 268.190.000 per tahun atau sebesar Rp 8.939.000 per kepala keluarga per tahun. Hal ini menunjukan bahwa sumber daya hutan bermanfaat bagi masyarakat di Dusun Natai Bunga untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Nilai manfaat total sumber daya hutan bagi masayarakat di Dusun Nusa Bakti lebih besar dari pada di Dusun Natai Bunga. Faktor terbesar yang menyebabkan hal tersebut adalah nilai manfaat getah karet di Dusun Nusa bakti yang lebih besar dari pada di Dusun Natai Bunga. Dalam suatu pemanfaatan sumberdaya hutan, diperlukan pengetahuan tentang seberapa besar keuntungannya bagi masyarakat. Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan perhitungan terkait nilai manfaat sumberdaya hutan dengan biaya yang dibutuhkan untuk memanfaatkan sumberdaya hutan tersebut. Di bawah ini adalah tabel laba bersih pemanfaatan sumberdaya hutan per tahun per kepala keluarga di Dusun Nusa Bakti dan Natai Bunga.
Tabel 17 Nilai laba bersih pemanfataan sumberdaya hutan di dusun Nusa Bakti dan Natai Bunga
No
Jenis Sumber Daya Hutan
Nilai Manfaat (Rp/th/kk)
Biaya (Rp/th/kk)
Laba Bersih (Rp/th/kk)
Nusa Bakti
Natai Bunga
Nusa Bakti
Natai Bunga
Nusa Bakti
Natai Bunga
1
Getah karet
17.472.000
8.249.000
1.508.000
710.000
15.964.000
7.539.000
2
Kayu Bakar
1.276.000
2.031.000
1.143.000
1.016.000
133.000
1.015.000
3
Rotan
112.000
105.000
81.000
83.000
31.000
22.000
4
Tengkawang
587.000
267.000
8.000
4.000
579.000
263.000
5
Bambu
75.000
195.000
0
0
75.000
195.000
6
Pasak Bumi
242.000
0
123.000
0
119.000
0
7
Ginseng
138.000
0
161.000
0
-23.000
0
8
Getah Damar
5.000
54.000
10.000
167.000
-5.000
-113.000
9
Pandan
0
192.000
0
0
0
192.000
10
Durian
0
288.000
0
0
0
288.000
Keterangan :
- Biaya= biaya makan dan minum - Biaya penyusutan persentasenya kecil sehingga diabaikan
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa nilai laba bersih pemanfaatan sumberdaya hutan per kepala keluarga terbesar di Dusun Nusa Bakti adalah getah karet dengan nilai Rp 15.964.000/tahun. Ada dua sumber daya hutan yang memiliki nilai laba bersih negatif, yaitu getah damar (Rp 5.000) dan ginseng (Rp 23.000). Dari sisi laba bersih, getah karet menguntungkan untuk dikembangkan di Dusun Nusa Bakti. Sumberdaya hutan berupa getah damar dan ginseng kurang layak untuk dikembangkan menjadi usaha yang menguntungkan di daerah tersebut. Pada masyarakat di Dusun Natai Bunga, nilai laba bersih pemanfaatan sumberdaya hutan per kepala keluarga terbesar adalah getah karet dengan nilai Rp 7.539.000/tahun. Sumberdaya hutan berupa getah damar memiliki laba bersih negatif dengan nilai (Rp 113.000). Dari sisi laba bersih, getah karet menguntungkan untuk dikembangkan di Dusun Natai Bunga. Sumberdaya hutan
berupa getah damar kurang layak untuk dikembangkan menjadi usaha yang menguntungkan di daerah tersebut. Penghematan biaya pemanfaatan sumber daya hutan di Dusun Nusa Bakti dapat dilakukan dengan cara menggabungkan waktu pengambilan beberapa sumber daya hutan yang dapat dilakukan secara bersamaan. Hal ini dapat membuat laba bersih negatif pada beberapa sumber daya hutan hilang. Sehingga, pemanfaatan sumber daya hutan dapat lebih menguntungkan. Menurut Bank Dunia, indikator kemiskinan adalah pengeluaran dibawah Rp 6.480.000 per tahun. Oleh karena itu diperlukan pengetahuan tentang pendapatan masyarakat untuk menduga tingkat kemiskinan di Dusun Nusa Bakti dan Natai Bunga. Di bawah ini adalah tabel pendapatan masyarakat di Dusun Nusa Bakti dan Natai Bunga dari sumberdaya hutan. Tabel 18 Pendapatan masyarakat di Dusun Nusa Bakti dan Natai Bunga No
Nama Dusun
Pendapatan Rata-rata (Rp/kapita/tahun)
Pendapatan Masyarakat di Bawah Garis Kemiskinan (%)
1
Nusa Bakti
18.000.000
50
2
Natai Bunga
8.280.000
50
Pendapatan rata-rata masyarakat dari sumberdaya hutan di Dusun Nusa Bakti dan Natai Bunga berturut-turut adalah Rp 18.000.000 dan Rp 8.280.000 per tahun . Hal ini menunjukan bahwa pengeluaran masyarakat di Dusun Nusa Bakti dan Natai Bunga dapat melampaui garis kemiskinan. Persentase masyarakat yang memiliki pendapatan di bawah garis kemiskinan di Dusun Nusa Bakti dan Natai Bunga adalah sebanyak 50%. Hal ini menunjukan bahwa tidak semua responden di Dusun Nusa Bakti dan Natai Bunga hidup sejahtera dari pemanfaatan HHBK. 5.4 Kontribusi Sumberdaya Hutan Terhadap Pendapatan Masyarakat Kontribusi sumberdaya hutan terhadap masyarakat tergantung pada jenis sumberdaya, volume, dan frekuensi sumberdaya hutan yang dimanfaatkan oleh masyarakat. Di bawah ini adalah tabel nilai kontribusi sumberdaya hutan terhadap pendapatan rumah tangga di Dusun Nusa Bakti.
Tabel 19 Nilai kontribusi sumberdaya hutan terhadap pendapatan rumah tangga di Dusun Nusa Bakti dan Natai Bunga Nama Dusun
Sumber Pendapatan
Nilai Kontribusi (Rp/tahun)
Nusa Bakti
Non Hutan Hutan
316.340.000
Natai Bunga
Non Hutan
337.412.000
Pendapatan Total (Rp/tahun)
403.500.000
Persentase Kontribusi (%) 56,1
719.840.000
100 43,9 55,7
605.604.000 Hutan
268.192.000
Total Persentase (%)
100 44,3
Pendapatan total per tahun masyarakat di Dusun Nusa Bakti adalah 719.840.000 dengan nilai kontribusi per tahun dari non hutan dan hutan berturutturut adalah Rp 403.500.000 dan Rp 316.340.000. Dari hal tersebut dapat dilihat bahwa nilai kontribusi sumber daya hutan besar bagi masyarakat di Dusun Nusa Bakti. Pendapatan total per tahun masyarakat di Dusun Natai Bunga adalah 605.604.000 dengan nilai kontribusi per tahun dari non hutan dan hutan berturutturut adalah Rp 337.412.000 dan Rp 268.192.000. Dari hal tersebut dapat dilihat bahwa nilai kontribusi sumber daya hutan besar bagi masyarakat di Dusun Nusa Bakti. Pendapatan total per tahun masyarakat di Dusun Nusa Bakti lebih besar daripada pendapatan total per tahun masyarakat di Dusun Natai Bunga. Hal ini disebabkan pendapat masyarakat di Dusun Nusa Bakti dari sumberdaya hutan berupa getah karet tinggi. 5.5 Potensi dan Kendala Pengembangan HHBK di CV. Pangkar Begili Potensi dan kendala pengembangan HHBK di CV. Pangkar Begili dilakukan dengan cara melakukan analisis faktor-faktor yang terdapat dalam aspek produksi dan pemasaran. Di bawah ini adalah aspek produksi HHBK di Dusun Nusa Bakti.
Tabel 20 Aspek produksi HHBK di Dusun Nusa Bakti
Kepemilikan Lahan
Biaya Produksi (Rp/orang/ ambil)
Penguasa an Teknologi
Tenaga Kerja (orang)
Kecenderu ngan produksi
No
Jenis
Lokasi Peng ambilan
1
Getah Karet
Kebun
Pribadi
10.000
Budidaya
1-2
Meningkat
2
Tengka wang
Kebun atau hutan
Pribadi atau wilayah perusahaan
33.000
Alami atau budidaya
1-4
Meningkat
3
Rotan
Hutan
Wilayah perusahaan
10.000
Alami
1
Menurun
4
Kayu Bakar
Alami
1
Tetap
Bambu
Pribadi atau wilayah perusahaan Wilayah perusahaan
10.000
5
Kebun atau hutan Hutan
0
Alami
1
Menurun
6
Pasak Bumi
Hutan
Wilayah perusahaan
5.000
Alami
1
Menurun
7
Ginseng
Hutan
Wilayah perusahaan
5.000
Alami
1
Menurun
8
Getah Damar
Hutan
Wilayah perusahaan
10.000
Alami
1
Menurun
Pada aspek produksi di Dusun Nusa Bakti, sumber daya hutan berupa getah karet, tengkawang, rotan, bambu, dan getah damar merupakan sumberdaya hutan yang memiliki potensi pengembangan yang baik. Hal ini didasarkan pada pertimbangan terpenuhinya semua atau beberapa indikator produksi dari sumber daya hutan tersebut. Selain itu, potensi produksi nasional dan internasional menjadi bahan pertimbangan baiknya pengembangan sumber daya hutan tersebut. Sumber daya hutan berupa kayu bakar, pasak bumi, dan ginseng kurang berpotensi untuk dikembangkan menjadi usaha yang menguntungkan di daerah tersebut. Hal ini didasarkan pada pertimbangan tidak terpenuhinya semua atau beberapa indikator produksi dari sumber daya hutan tersebut dan
potensi
produksi nasional atau internasional HHBK tersebut kurang baik. Produksi sumber daya hutan di dusun Nusa Bakti dapat ditingkatkan dengan cara melakukan
budidaya
secara teratur untuk sumber daya hutan yang
berpotensi untuk dikembangkan. Selain itu, biaya produksi dapat dikurangi dengan cara menyamakan waktu pengambilan beberapa sumber daya hutan yang
dapat dilakukan secara bersama-sama. Hal ini dapat meningkatkan potensial dari masing-masing sumber daya hutan. Selain aspek produksi, aspek pemasaran merupakan salah satu indikator yang digunakan untuk mengetahui potensi dan kendala pengembangan HHBK. Di bawah ini adalah tabel aspek pemasaran HHBK di Dusun Nusa Bakti. Tabel 21 Aspek pemasaran HHBK di Dusun Nusa Bakti N o 1
Jenis
Harga Pasar (Rp)
Getah Karet
13.000/kg
Alur Pemasaran
Waktu Penjualan
3
Rotan
10.000/tengkalang
petani-pengumpul di Serawaipengumpul di Pinoh-pabrik di Pontianak petani-pengumpul di Serawai-pabrik di Sintang produsen-pengumpul di Serawaipengumpul di Pinoh-Malaysia produsen-pengumpul di Serawaipengumpul di Nanga Pinoh- pabrik di Pontianak -
4
Kayu Bakar
5.000/ikat
-
tidak ada
5
Bambu
5.000/batang
-
tidak ada
6
Pasak Bumi
2.000/kg
-
tidak ada
7
Ginseng
2.000/kg
-
tidak ada
8
Getah Damar
1.500/kg
-
tidak ada
14.000/kg 2
Tengkawang
4.000/kg 3.000/kg
Keterangan :
sepanjang tahun
musiman
tidak ada
Tanda (-) = Alur pemasaran tidak diketahui
Pada aspek pemasaran di Dusun Nusa Bakti, getah karet, tengkawang, rotan, bambu, getah damar merupakan sumberdaya hutan yang memiliki potensi pengembangan baik. Hal ini didasarkan pada terpenuhinya beberapa atau seluruh indikator pada aspek pemasaran. Selain itu, potensi pemasaran nasional dan internasional menjadi bahan pertimbangan baiknya pengembangan sumber daya hutan tersebut. Kayu bakar, pasak bumi, dan ginseng merupakan sumber daya hutan yang kurang berpotensi untuk dikembangkan di Dusun Nusa Bakti. Hal ini didasarkan pada pertimbangan tidak terpenuhinya semua atau beberapa indikator pemasaran dari sumber daya hutan tersebut dan potensi pasar nasional dan internasional.
Dari hasil tersebut di atas, HHBK yang potensial untuk dikembangkan di Dusun Nusa Bakti dari sisi produksi dan pemasaran adalah getah karet, tengkawang, rotan, bambu, getah damar. Seperti pada masyarakat di Dusun Nusa Bakti, aspek produksi dan pemasaran digunakan untuk mengetahui potensi dan kendala pengembangan HHBK di Dusun Natai Bunga. Di bawah ini adalah tabel aspek produksi di Dusun Natai Bunga. Tabel 22 Aspek produksi HHBK di dusun Natai Bunga
N o 1 2
Jenis
Getah Karet Tengka wang
Lokasi Peng ambilan
Kepemilikan Lahan
Biaya Produksi (Rp/orang/ ambil)
Penguasa an Teknologi
Tenaga Kerja (orang)
Kecenderu ngan produksi
Kebun
Pribadi
10.000
Budidaya
1-2
Meningkat
Kebun atau hutan Kebun atau hutan Hutan
Pribadi atau wilayah perusahaan Pribadi atau wilayah perusahaan Wilayah perusahaan Wilayah perusahaan Wilayah perusahaan
20.000
Alami atau budidaya
1-3
Meningkat
10.000
Alami
1
Menurun
10.000
Alami
1
Menurun
10.000
Alami
1
Menurun
0
Alami
1
Tetap
Wilayah perusahaan Wilayah perusahaan
0
Alami
1
Menurun
0
Alami
1
Tetap
3
Kayu Bakar
4 5
Getah Damar Rotan
6
Bambu
Hutan
7
Pandan
Hutan
8
Durian
Hutan
Hutan
Pada aspek produksi di Dusun Natai Bunga, sumber daya hutan berupa getah karet, tengkawang, rotan, bambu, dan getah damar merupakan sumberdaya hutan yang memiliki potensi pengembangan yang baik. Hal ini didasarkan pada pertimbangan terpenuhinya semua atau beberapa kriteria produksi dari sumber daya hutan tersebut. Selain itu, potensi produksi nasional dan internasional menjadi bahan pertimbangan baiknya pengembangan sumber daya hutan tersebut. Sumber daya hutan berupa kayu bakar, durian dan pandan kurang berpotensi untuk dikembangkan menjadi usaha yang menguntungkan di daerah tersebut. Hal ini didasarkan pada pertimbangan tidak
terpenuhinya semua atau beberapa
indikator produksi dari sumber daya hutan tersebut dan potensi produksi nasional dan internasional. Produksi sumber daya hutan di Dusun Natai Bunga dapat ditingkatkan dengan cara melakukan budidaya secara teratur untuk sumber daya hutan yang berpotensi untuk dikembangkan. Selain itu, biaya produksi dapat dikurangi dengan cara menyamakan waktu pengambilan beberapa sumber daya hutan yang dapat dilakukan secara bersama-sama. Hal ini dapat meningkatkan potensial dari masing-masing sumber daya hutan.Di bawah ini adalah tabel aspek pemasaran HHBK di Dusun Natai Bunga. Tabel 23 Aspek pemasaran HHBK di dusun Natai Bunga N o 1
Jenis Getah Karet
Harga Pasar (Rp) 13.000/kg
3.000/kg
petani-pengumpul di Natai Bunga-pengumpul di Menukung-pengumpul di Pinoh-pabrik di Pontianak petani-pengumpul di Menukung-pengumpul di Pinoh-pabrik di Pontianak petani-pengumpul di Sei Sampuk-pengumpul di Pinoh-pabrik di Pontianak petani-pengumpul di Pinoh
4.000/kg
petani-pengumpul-pembeli di desa
5.000/kg
petani-pengumpul di Menukung-pengumpul di Pinoh tidak ada
14.000/kg 15.000/kg 2
Tengkawang
3
Kayu bakar
5.000/ikat
4
Getah damar
1.500/kg
5
Rotan
6
Bambu
10.000/ tengkalang 5.000/batang
7
Pandan
100/daun
8
Durian
3.000/buah
Keterangan :
Alur Pemasaran
Waktu Penjualan Sepanjang tahun
musiman
tidak ada
petani-pengumpul di Menukung-pengumpul di Pinoh -
musiman
-
tidak ada
-
tidak ada
-
tidak ada
tidak ada
Tanda (-) = Alur pemasaran tidak diketahui
Pada aspek pemasaran di Dusun Nusa Bakti, getah karet, tengkawang, rotan, bambu dan getah damar merupakan sumberdaya hutan yang memiliki potensi pengembangan baik. Hal ini didasarkan pada terpenuhinya beberapa atau seluruh indikator pada aspek pemasaran. Selain itu, potensi pemasaran nasional dan internasional menjadi bahan pertimbangan baiknya pengembangan sumber daya hutan tersebut.
Kayu bakar, pandan dan durian merupakan sumber daya hutan yang kurang berpotensi untuk dikembangkan di Dusun Nusa Bakti. Hal ini didasarkan pada pertimbangan tidak terpenuhinya semua atau beberapa indikator pemasaran dari sumber daya hutan tersebut dan potensi pasar nasional dan internasional. Dari hasil tersebut di atas, HHBK yang potensial untuk dikembangkan di Dusun Natai Bunga dari sisi produksi dan pemasaran adalah getah karet, tengkawang, rotan, bambu, getah damar. 5.6 Pertimbangan Pengembangan HHBK di Areal Konsesi CV. Pangkar Begili Sumber daya hutan yang dimanfaatkan oleh masyarakat dapat diurutkan menjadi bahan pertimbangan pengembangan HHBK di Dusun Nusa Bakti dan Natai Bunga. Pertimbangan pengembangan HHBK berguna untuk menentukan prioritas pengembangan sumber daya hutan tersebut di Dusun Nusa Bakti dan Natai Bunga. Urutan pertimbangan pengembangan HHBK di Dusun Nusa Bakti dilihat dari sisi produksi dan pemasaran adalah getah karet, tengkawang, rotan, bambu, getah damar, kayu bakar, pasak bumi dan ginseng. Hal ini didasarkan pada terpenuhinya seluruh atau sebagian kriteria pada aspek produksi dan pemasaran serta tersedianya potensi produksi dan pasar nasional. Sedangkan, Urutan pertimbangan pengembangan HHBK di Dusun Natai Bunga dilihat dari sisi produksi dan pemasaran adalah getah karet, tengkawang, getah damar, bambu, rotan, kayu bakar, durian dan pandan. Hal ini didasarkan pada terpenuhinya seluruh atau sebagain kriteria pada aspek produksi dan pemasaran serta tersedianya potensi produksi dan pasar nasional. Berdasarkan urutan pertimbangan pengembangan HHBK di Dusun Nusa Bakti, HHBK berupa getah karet dan tengkawang merupakan sumber daya hutan yang memiliki prioritas pengembangan paling baik di daerah tersebut. Hal ini didasarkan pada terpenuhinya seluruh kriteria pada aspek produksi dan pemasaran serta tersedianya potensi produksi dan pasar nasional. Berdasarkan urutan pertimbangan pengembangan HHBK di Dusun Natai Bunga, HHBK berupa getah karet dan tengkawang merupakan sumber daya hutan yang memiliki prioritas pengembangan paling baik di daerah tersebut. Hal ini
didasarkan pada terpenuhinya seluruh kriteria pada aspek produksi dan pemasaran serta tersedianya potensi produksi dan pasar nasional. Prioritas pengembangan HHBK di Dusun Natai Bunga adalah getah karet dan tengkawang. Hal ini didasarkan pada terpenuhinya seluruh kriteria pada aspek produksi dan pemasaran serta tersedianya potensi produksi dan pasar nasional. Urutan pengembangan HHBK di Dusun Natai Bunga menjadi dasar penentuan prioritas pengembangan sumber daya hutan tersebut di Dusun Natai Bunga. Prioritas pengembangan HHBK di Dusun Nusa Bakti dan Natai Bunga dapat menjadi bahan pertimbangan oleh masyarakat di Dusun Nusa Bakti, Natai Bunga serta pihak CV. Pangkar Begili untuk bekerja sama mengembangkan HHBK tersebut. Menurut hasil studi Task Force Rubber Eco Project (REP) dalam Pusat Penelitian Karet yang ditulis oleh Anwar (2001) menyatakan bahwa permintaan karet alam dan sintetik dunia pada tahun 2035 adalah sebesar 31.3 juta ton untuk industri ban dan nonban, dan 15 juta ton diantaranya adalah karet alam. Produksi karet alam pada tahun 2005 diperkirakan 8.5 juta ton. Dari studi ini diproyeksikan pertumbuhan produksi Indonesia akan mencapai 3% per tahun, sedangkan Thailand hanya 1% dan Malaysia -2%. Pertumbuhan produksi untuk Indonesia dapat dicapai melalui peremajaan atau penaman baru karet yang cukup besar, dengan perkiraan produksi pada tahun 2020 sebesar 3.5 juta ton dan tahun 2035 sebesar 5.1 juta ton. Sejak pertengahan tahun 2002 harga karet mendekati harga US$ 1.00/kg, dan sampai sekarang ini telah mencapai US$ 1.90/kg untuk harga SIR 20 di SICOM Singapura. Diperkirakan harga akan mencapai US$ 2.00 pada tahun 2007 dan pada jangka panjang sampai 2020 akan tetap stabil, dikarenakan permintaan yang terus meningkat terutama dari China, India, Brazil dan negara-negara yang mempunyai pertumbuhan ekonomi yang tinggi di Asia-Pasifik. Menurut Hartono (2010) khusus untuk Kabupaten Sekadau, harga buah tengkawang
sebelumnya
berkisar
antara
Rp
7000
hingga
Rp
8000
perkilogramnya. Namun setelah buahnya banjir, harganya pun ikut turun. Sekarang harga dari agen ke petani hanya berkisar antara Rp 5000 hingga Rp 6000 perkilogramnya.
Menurut Departemen pertanian dalam Winarni et al. (2004) pemanfaatan lemak tengkawang saat ini sebagian besar hanya dalam industri coklat, yang ditujukan untuk meningkatkan titik leleh lemak coklat terutama lemak coklat yang berasal dari Amerika Latin. Minyak tengkawang dalam industri makanan dikenal dengan nama cacao butter substitute, yang digunakan sebagai pengganti minyak coklat. Pada industri farmasi dan kosmetika dikenal dengan nama oleum shorea yang dapat digunakan sebagai bahan baku kosmetik dan obat-obatan. Minyak tengkawang juga cocok digunakan pada industri margarin, coklat, sabun, lipstik dan obat-obatan; karena memiliki keistimewaan, yaitu titik lelehnya yang tinggi berkisar antara 34 – 39 °C. Selain untuk pangan, prospek yang baik dari minyak tengkawang yang dikenal dengan nama vegetable thallow atau illip nut, dapat dipakai sebagai minyak pelumas mesin, pembuatan sabun, peti kemas, harde kernseep, bahan baku pembuatan lilin, stearine, dan palmitat. Nilai gizi yang tinggi serta sifat titik cairnya yang juga tinggi bukan saja cocok sebagai pengganti minyak cokelat, tetapi juga sebagai penambah campuran minyak coklat agar mutunya menjadi lebih baik dan tahan disimpan pada suhu panas. Menurut Sumadiwangsa dalam Winarni et al. (2004), Ekstrak lemak tengkawang memberi nilai tambah yang sangat tinggi yaitu mencapai 200%. Setiap tahun harga minyak tengkawang selalu meningkat, pada tahun 1994 bernilai US$ 1,85 per kg dan pada tahun 1998 bernilai US$ 2,87 per kg. Sejak tahun 1996 tidak tercatat ekspor biji tengkawang, kemungkinan besar terserap habis untuk memproduksi lemak tengkawang. 5.7 HHBK di Provinsi Kalimantan Barat Di bawah ini adalah tabel Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) di Provinsi Kalimantan Barat pada tahun 2010. Tabel 24 Laporan hasil hutan bukan kayu di Provinsi Kalimantan Barat tahun 2010 No
Jenis
Jumlah HHBK (ton)
1
Gaharu
616,5
2
Damar
6
Sumber : Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Barat
Jumlah gaharu di Provinsi Kalimantan Barat menurut informasi di atas adalah 616,5 ton/tahun. Sedangkan, jumlah damar di Provinsi Kalimantan Barat adalah 6 ton/tahun. Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa informasi Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) di Provinsi Kalimantan Barat tidak rutin dilaporkan. Sehingga, laporan HHBK yang digunakan oleh penulis merupakan laporan tahun 2010. Hal ini dapat menyebabkan sulitnya melakukan pengembangan HHBK di Provinsi Kalimantan Barat. Getah karet dan tengkawang yang merupakan HHBK yang prioritas untuk dikembangkan di daerah sekitar areal CV. Pangkar Begili dapat menjadi bahan pertimbangan untuk pengembangan sumber daya hutan tersebut di Kalimantan Barat.
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan 1. Nilai manfaat sumberdaya hutan bagi masyarakat di Dusun Nusa Bakti adalah Rp 316.340.000/tahun atau Rp 10.544.000/kk/tahun. Persentase kontribusi sumberdaya hutan terhadap pendapatan rumah tangga di Dusun Nusa Bakti adalah 43,9%. Sedangkan, nilai manfaat sumberdaya hutan
bagi
masyarakat
di
Dusun
Natai
Bunga
adalah
Rp
268.190.000/tahun atau Rp 8.939.000/kk/tahun. Persentase kontribusi sumberdaya hutan terhadap pendapatan rumah tangga di Dusun Natai Bunga adalah 44,3%. 2. HHBK yang berpotensi baik untuk dikembangkan di Dusun Nusa Bakti dan Natai Bunga berdasarkan aspek produksi dan pemasaran adalah getah karet, tengkawang, rotan, bambu, dan getah damar . 3. HHBK prioritas untuk dikembangkan di
Dusun sekitar areal CV.
Pangkar Begili adalah getah karet dan tengkawang. 6.2 Saran Perlu adanya sistem kelola sosial yang bertujuan untuk mencarikan pasar bagi masyarakat di Dusun Nusa Bakti dan Natai Bunga terkait pemanfaatan HHBK yang dapat diproduksi dan prioritas untuk dikembangkan di daerah sekitar areal CV. Pangkar Begili. Hal ini dapat dilakukan dengan pemasangan iklan di internet untuk menjual HHBK yang prioritas di Dusun Nusa Bakti dan Natai Bunga yang terletak di daerah sekitar areal CV. Pangkar Begili.
DAFTAR PUSTAKA Anwar C. 2001. Manajemen dan Tekonologi Budidaya Karet. Paper pada lokakarya tekno ekonomi agribisnis karet di Jakarta. Jakarta. Asmarantaka RW. 2009. Tataniaga Produk Agribisnis. Bogor: Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor. Baharuddin, Taskirawati I. 2009. Buku Ajar Hasil Hutan Bukan Kayu. Makassar: Fakultas Kehutanan. Universitas Hasanuddin. Bahruni. 1999. Penilaian Sumberdaya Hutan dan Lingkungan. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bahruni. 2008. Pendekatan sistem nilai ekonomi total ekosistem hutan: studi kasus hutan alam produksi bekas tebangan [disertasi]. Bogor : Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. [BKPM] Badan Koordinasi Penanaman Modal. 2005. Kajian Pasar dan Peluang Investasinya. Jakarta: BKPM. [Dephut] Departemen Kehutanan. 2010. Laporan Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Barat tentang Hasil Hutan Bukan Kayu. Pontianak: Dephut. [Dephut] Departemen Kehutanan. 2009. Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia No : P.19/Menhut-II/2009 tentang Strategi Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Nasional. Jakarta: Dephut. Dwiprabowo H, Hakim I, Bangsawan I, Astana S. 2010 . Potensi produksi dan konsumsi kayu bakar sebagai sumber energi terbarukan di pedesaan. Prosiding Ekspose Hasil-Hasil Penelitian. Jakarta. hlm 193-212. Gautama I. 2008. Analisis biaya dan pemanenan rotan alam di Desa Mambue Kabupaten Luwu Utara. Jurnal hutan dan masyarakat III (1): abstrak. Hartono H. 2010. Harga buah tengkawang turun dewan minta pemerintah cari solusi. Indriyani W. 2011. Peluang bisnis kerajinan bambu. Yogyakarta. Abstr no 10.01.2810. Karisma BM. 2010. Studi pemanfaatan sumberdaya hutan oleh masyarakat desa sekitar hutan dan tata kelolanya: kasus di Desa Malasari Kecamatan Nanggung kabupaten Bogor Provinsi Jawa Barat) [skripsi]. Bogor : Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
Mangandar. 2000. Keterkaitan sosial masyarakat disekitar hutan dengan kebakaran hutan: studi kasus di Propinsi Daerah Tingkat I, Riau [tesis] Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Prihatman K. 2000. Sistem informasi manajemen pembangunan perdesaan. Jakarta. BAPPENAS. Setyani IS. 2010. Pemanfaatan hasil hutan non kayu dan persepsi masyarakat terhadap pemanfaatan sumberdaya hutan: kasus di IUPHHK-HA PT Austral Byna Kabupaten Barito Utara Provinsi Kalimantan Tengah [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Sofyan A, Silalahi ATL. 2001. [Contribution of tapping on shoreajavanica in farmer household income at Pahmungan Village.][dalam bahasa Indonesia]. Bul Tek 11:2. Sudibjo, NE. 1999. Kajian agroforestry karet dan kontribusinya terhadap pendapatan rumah tangga (Studi Kasus di Desa Sepunggur, Kecamatan Muara Bungo, Kabupaten Bungo Tebo, Propinsi Jambi) [skripsi]. Bogor : Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Sumadiwangsa ES, Setyawan D. 2006. Konsepsi Strategi Penelitian Hasil Hutan Bukan Kayu di Indonesia. Buletin Penelitian dan Pengembangan Kehutanan 2 (2): 79-90. Jakarta. Badan Litbang Kehutanan. Sumarlina E. 2002. Analisis Strategi Pemasaran Ekspor, Mebel Rotan pada CV Dimo Putera Jaya, Cirebon, Jawa barat [skripsi]. Bogor : Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Winarni I, Sumadiwangsa ES, Setyawan D. 2004. Pengaruh Tempat Tumbuh, Jenis, dan Diameter Batang terhadap Produktivitas Pohon Penghasil Biji Tengkawang. Jurnal penelitian hasil-hasil hutan 22(1): 23-33
LAMPIRAN
Lampiran 1 Data produksi HHBK masyarakat di Dusun Nusa Bakti dalam satu tahun Respo nden 1
Karet 576
Nilai (Rp) 7.488.000
2.016
26.208.000
2 3
Tengkaw ang 120
Nilai (Rp)
Rotan
480.000
3
Nilai (Rp) 30.000
72
288.000
30
300.000
2
20.000
24
4
Bambu
Kayu Bakar 96
Nilai (Rp)
144
720.000
240.000
144
720.000
6
Nilai (Rp)
Damar
Nilai (Rp)
Nilai (Rp)
37.440.000
6
1.920
24.960.000
400
1.600.000
1
10.000
192
960.000
7
1.200
15.600.000
138
552.000
12
120.000
384
1.920.000
8
1.680
21.840.000
192
768.000
1
10.000
288
1.440.000
9
24
240.000
144
720.000
10
4
40.000
144
720.000
384
1.920.000
11
480
6.240.000
48
480.000
12
144
1.872.000
1
10.000
13
1.440
18.720.000
1
10.000
288
1.440.000
14
1.200
15.600.000
2
20.000
288
1.440.000
15
2.400
31.200.000
96
480.000
16
576
7.488.000
2
20.000
672
3.360.000
17
1.632
21.216.000
2
20.000
576
2.880.000
18
960
12.480.000
2
20.000
96
480.000
3
6.000
19
1.440
18.720.000
2
20.000
192
960.000
4
8.000
20
2
20.000
96
480.000
21
96
960.000
3
6.000
22
192.000
Nilai (Rp)
2
4.000
30.000
2.880
48
Ginseng
480.000
5
24
Pasak Bumi
120.000
5
7.500
480
2.400.000
65
Respo nden 23
Karet
Nilai (Rp)
Tengkaw ang
Nilai (Rp)
24 25
12
48.000
Rotan 2
Nilai (Rp) 20.000
1
10.000
1
10.000
26 27 28
4 960
Nilai (Rp)
Damar
2
Nilai (Rp)
3.000
Kayu Bakar 96
Nilai (Rp)
384
1.920.000
48
240.000
384
1.920.000
Pasak Bumi
Nilai (Rp)
Ginseng
Nilai (Rp)
240
480.000
240
480.000
96
192.000
480.000
40.000
12.480.000
29 30
Bambu
192
768.000
66
Lampiran 2 Data produksi HHBK masyarakat di Dusun Natai Bunga dalam satu tahun Res pon den 31
Karet
Nilai (Rp)
Nilai (Rp)
Rotan
Nilai (Rp)
12.480.000
Teng kawa ng 288
960
1.152.000
72
720.000
32
360
4.680.000
29
116.000
33
720
9.360.000
77
308.000
38
152.000
35
960
12.480.000
38
152.000
36
192
2.496.000
19
76.000
37
1.920
24.960.000
38
480
6.240.000
115
460.000
1
39
384
4.992.000
38
152.000
1
77
308.000
34
40
2
Bambu
Nilai (Rp)
Nilai (Rp)
Kayu Bakar
Nilai (Rp)
180
900.000
96
480.000
96
480.000
40
60.000
192
960.000
48
72.000
240
1.200.000
20
30.000
192
960.000
768
3.840.000
10.000
96
480.000
10.000
144
720.000
1
10.000
144
720.000
48
20.000
Damar
480.000
41
768
9.984.000
38
152.000
2
20.000
12
60.000
42
768
9.984.000
58
232.000
12
120.000
192
960.000
43
240
3.120.000
38
152.000
1
10.000
192
960.000
44
960
12.480.000
192
768.000
1
10.000
45
1.200
15.600.000
58
232.000
192
960.000
46
960
12.480.000
29
116.000
96
480.000
47
672
8.736.000
19
76.000
288
1.440.000
48
720
9.360.000
58
232.000
240
1.200.000
49
288
3.744.000
50
480
6.240.000
51 52
240
3.120.000
1
10.000
1
10.000
10
50.000
288
1.440.000
1
10.000
6
30.000
192
960.000
Durian
96
96
Nilai (Rp)
288.000
Pandan
Nilai (Rp)
2.016
201.600
3.571
357.100
60
6.000
2.016
201.600
288.000
67
Res pon den 53
Karet
Nilai (Rp)
480
6.240.000
180
2.340.000
Teng kawa ng
Nilai (Rp)
54 55
Rotan
Nilai (Rp)
1
10.000
48
480.000 101
56 57
300
3.900.000
58
480
6.240.000
59
384
4.992.000
60
768
9.984.000
Bambu
29
29
116.000
116.000
Nilai (Rp)
Damar
Nilai (Rp)
Kayu Bakar
Nilai (Rp)
288
1.440.000
2
10.000
5.760
28.800.000
96
480.000
Durian
Nilai (Rp)
Pandan
Nilai (Rp)
505.000
1
10.000
432
2.160.000
4
40.000
48
240.000
1
10.000
96
480.000
68
Lampiran 3 Tanaman karet pada areal CV. Pangkar Begili
Lampiran 4 Pencungkil getah karet dari tempurung kelapa
Lampiran 5 Pisau sadap
Lampiran 6 Menakin dan bakul
Lampiran 7 Pencari rotan
Lampiran 8 Tengkalang
Lampiran 9 Ginseng
Lampiran 10 Tumbuhan ginseng
Lampiran 11 Tumbuhan pasak bumi dan pasak bumi
Lampiran 12 Pohon meranti penghasil getah damar
Lampiran 13 Pengisian kuisioner penelitian
Lampiran 14 Dusun Nusa Bakti
Lampiran 15 Peta administratif IUPHHK CV. Pangkar Begili
Lampiran 16 Formasi geologi di IUPHHK CV. Pangkar Begili
Lampiran 17 Fungsi hutan di IUPHHK-HA CV. Pangkar Begili
Lampiran 18 Topografi lapangan di IUPHHK-HA CV. Pangkar Begili
Lampiran 19 Hidrologi di IUPHHK-HA CV. Pangkar Begili
Lampiran 20 Peta Dusun Nusa Bakti
Lampiran 21 Peta Dusun Natai Bunga
81