PROSPEK PENGEMBANGAN SORGUM DI INDONESIA SEBAGAI KOMODITAS ALTERNATIF UNTUK PANGAN, PAKAN, DAN INDUSTRI M.P. Sirappa Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan, Jalan Perintis Kemerdekaan km 17,5, Kotak Pos 1234, Makassar 90243
ABSTRAK Sorgum (Sorghum bicolor) merupakan tanaman serealia yang cukup potensial untuk dikembangkan di Indonesia karena mempunyai adaptasi lingkungan yang cukup luas, khususnya pada lahan marginal. Sorgum merupakan komoditas alternatif untuk pangan, pakan, dan industri. Biji sorgum mempunyai nilai gizi setara dengan jagung, namun kandungan tanin yang tinggi menyebabkan pemanfaatannya masih terbatas. Selain itu, biji sorgum sulit dikupas sehingga diperlukan perbaikan teknologi penyosohan antara lain dengan menggunakan penyosoh beras yang dilengkapi dengan silinder gurinda batu. Masalah utama pengembangan sorgum adalah nilai keunggulan komparatif dan kompetitif sorgum yang rendah, penanganan pascapanen yang masih sulit, dan usaha tani sorgum di tingkat petani belum intensif. Untuk mengatasi masalah tersebut diperlukan pengelolaan sistem produksi sorgum secara menyeluruh (holistik) yang mencakup empat dimensi, yaitu: 1) wilayah, (areal tanam), 2) ekonomi (nilai keunggulan komparatif dan kompetitif sorgum terhadap komoditas lain), 3) sosial, (sikap dan persepsi produsen terhadap sorgum sebagai bagian dari usaha taninya), dan 4) industri (nilai manfaat sorgum sebagai bahan baku industri makanan dan pakan). Kata kunci: Sorgum, pangan, pakan ternak, industri, Indonesia
ABSTRACT Prospect of sorghum development in Indonesian as alternative commodity for food, feed, and industrial uses Sorghum (Sorghum bicolor) is a cereal which has a potential to be developed in Indonesia because it has wide adaptation, especially in marginal land. Sorghum can be used as an alternative commodity for food, feed, and industry. Its grains have high nutrition equivalent to corn, however, its high tanin content has limited its usage. Husking of sorghum is also difficult, therefore, husking technology need to be improved such as by using rice polisher combined with emery stone. Several major problems for developing sorghum are low comparative and competitive advantage values, difficulties in postharvest handling, and low application of sorghum farming in farmers level. To overcome these problems, a holictic management of sorghum production system are required, i.e.: 1) region (sorghum areas), 2) economic (comparative and competitive advantages of sorghum than other cereals), 3) social (behavior and perception of farmers to sorghum), and 4) industry (benefit and value of sorghum as raw material for food and feed industry). Keywords: Sorghum, foods, feeds, industry, Indonesia
S
orgum (Sorghum bicolor L.) merupakan salah satu jenis tanaman serealia yang mempunyai potensi besar untuk dikembangkan di Indonesia karena mempunyai daerah adaptasi yang luas. Tanaman sorgum toleran terhadap kekeringan dan genangan air, dapat berproduksi pada lahan marginal, serta relatif tahan terhadap gangguan hama/ penyakit. Biji sorgum dapat digunakan sebagai bahan pangan serta bahan baku industri pakan dan pangan seperti industri gula, monosodium glutamat Jurnal Litbang Pertanian, 22(4), 2003
(MSG), asam amino, dan industri minuman. Dengan kata lain, sorgum merupakan komoditas pengembang untuk diversifikasi industri secara vertikal. Prospek penggunaan biji sorgum yang terbesar adalah untuk pakan, yang mencapai 26,63 juta ton untuk wilayah AsiaAustralia dan diperkirakan masih terjadi kekurangan sekitar 6,72 juta ton (Gowda dan Stenhouse 1993; Rao 1993 dalam Sumarno dan Karsono 1996). Kondisi ini memberi peluang bagi Indonesia untuk mengekspor sorgum.
Menurut Beti et al. (1990), Direktorat Jenderal Tanaman Pangan dan Hortikultura (1996) dan Direktorat Jenderal Perkebunan (1996), sorgum merupakan komoditas sumber karbohidrat yang cukup potensial karena kandungan karbohidratnya cukup tinggi, sekitar 73 g/100 g bahan. Namun, masalah utama penggunaan biji sorgum sebagai bahan pangan maupun pakan adalah kandungan tanin yang cukup tinggi, mencapai 0,40−3,60% (Rooney dan Sullines 1977). Sorgum juga merupakan tanaman penghasil pakan 133
hijauan sekitar 15−20 t/ha/tahun (Anonim 1996), dan pada kondisi optimum dapat mencapai 30−45 t/ha/tahun (Wardhani 1996). Di negara-negara miskin di daerah beriklim kering, umumnya sorgum diusahakan sebagai tanaman pangan. Namun, di negara-negara maju yang persediaan bahan pangannya berlimpah, sorgum ditanam sebagai bahan pakan karena kandungan gizinya cukup tinggi (setara dengan jagung) serta sebagai bahan baku industri. Untuk mengembangkan sorgum diperlukan keterkaitan antara pemerintah, petani produsen, dan pabrik pakan ternak. Dengan adanya keterkaitan tersebut, produksi sorgum dapat ditampung oleh industri pakan sehingga terdapat jaminan pasar bagi petani. Tujuan dari penulisan ini adalah: 1) memberikan informasi mengenai prospek pengembangan sorgum sebagai komoditas alternatif untuk pangan, pakan, dan bahan industri, dan 2) mengetahui masalah/tantangan pengembangan sorgum serta pemecahannya.
POTENSI LAHAN DAN PRODUKSI SORGUM Areal yang berpotensi untuk pengembangan sorgum di Indonesia sangat luas, meliputi daerah beriklim kering atau musim hujannya pendek serta tanah yang kurang subur. Daerah penghasil sorgum dengan pola pengusahaan tradisional adalah Jawa Tengah (Purwodadi, Pati, Demak, Wonogiri), Daerah Istimewa Yogyakarta (Gunung Kidul, Kulon Progo), Jawa Timur (Lamongan, Bojonegoro, Tuban, Probolinggo), dan sebagian Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur. Di lahan tegal dan sawah tadah hujan, sorgum ditanam sebagai tanaman sisipan atau tumpang sari dengan padi gogo, kedelai, kacang tanah atau tembakau, sehingga luas tanaman sorgum yang sesungguhnya agak sulit diukur. Demikian juga di lahan sawah, sorgum sering ditanam secara monokultur pada musim kemarau, namun sejak awal tahun 1980-an tanaman ini terdesak oleh tanaman lain, seperti jagung, kedelai, tebu, semangka, dan mentimun. Rata-rata luas tanam dan produktivitas sorgum pada beberapa daerah sentra produksi sorgum di Indonesia cukup bervariasi (Tabel 1). Variasi tersebut 134
disebabkan oleh perbedaan agroekologi serta teknologi budi daya yang diterapkan oleh petani, terutama varietas dan pupuk. Pengusahaan sorgum terbesar di Indonesia terdapat di Jawa Tengah, disusul oleh Jawa Timur, DI Yogyakarta, serta NTB dan NTT. Rata-rata produktivitas sorgum tertinggi dicapai di Amerika Serikat, yaitu 3,60 t/ha, bahkan secara individu dapat mencapai 7 t/ha (Sumarno dan Karsono 1996). Produktivitas yang tinggi ini dapat dicapai dengan menerapkan teknologi budi daya secara optimal, antara lain penggunaan varietas hibrida, pemupukan secara optimal, dan pengairan. Sebaliknya di beberapa negara produsen sorgum, rata-rata produktivitas sorgum masih di bawah 1 t/ha, yang disebabkan oleh pengaruh iklim yang kering, penggunaan varietas lokal yang hasilnya rendah, pemupukan minimal, dan penanaman secara tumpang sari. Menurut Beti et al. (1990), luas areal sorgum dunia sekitar 50 juta hektar setiap
tahun dengan total produksi 68,40 juta ton dan rata-rata produktivitas 1,30 t/ha (Tabel 2). Negara penghasil sorgum utama adalah India, Cina, Nigeria, dan Amerika Serikat, sedangkan Indonesia termasuk negara yang masih ketinggalan, baik dalam penelitian, produksi, pengembangan, penggunaan, maupun ekspor sorgum. Meskipun dalam jumlah yang terbatas, produksi sorgum Indonesia telah diekspor ke Singapura, Hongkong, Taiwan, Malaysia, dan Jepang untuk digunakan sebagai bahan baku pakan serta industri makanan dan minuman. Ekspor sorgum selama Pelita V mencapai 1.092.400 kg dengan nilai US$ 116.211, sedangkan impor sorgum mencapai 4.615 kg atau US$ 3.988, sehingga masih terjadi net ekspor 1.087.785 kg atau perolehan nilai devisa US$ 112.233 (Tabel 3). Gowda dan Stenhouse (1993) dan Rao (1993) dalam Sumarno dan Karsono (1996) menyatakan bahwa proyeksi penyediaan sorgum untuk wilayah Asia-Australia
Tabel 1. Rata-rata luas tanam dan produktivitas sorgum di beberapa daerah sentra sorgum di Indonesia*. Tempat/tahun Jawa Tengah (1973−1983) 1 Jawa Timur (1984−1988) 2 DI Yogyakarta (1974−1980) 3 Nusa Tenggara Barat (1993/94)4 Nusa Tenggara Timur (1993/94) 4
Luas tanam (ha)
Produksi (t)
Produktivitas (t/ha)
15.309 5.963 1.813 30 26
17.350 10.522 670 54 39
1,13 1,76 0,37 1,80 1,50
*Data diolah (pembulatan). Sumber: 1Dinas Pertanian Tanaman Pangan Propinsi Daerah TK I Jawa Tengah dalam Beti et al. (1990). 2 Laporan Tahunan Dinas Pertanian Tanaman Pangan Propinsi Daerah TK I Jawa Timur dalam Beti et al. (1990). 3 Dinas Pertanian Tanaman Pangan DI Yogyakarta dalam Beti et al. (1990). 4 Direktorat Jenderal Perkebunan (1996).
Tabel 2. Negara produsen utama sorgum dunia. Luas panen (000 ha)
Produksi (000 t)
Produktivitas (t/ha)
India Cina Nigeria Amerika Serikat Sudan Argentina Meksiko Thailand Indonesia
15.781 8.570 6.000 5.477 2.854 2.253 1.422 886 18
11.583 11.175 3.720 19.975 2.198 6.394 4.141 618 13
0,73 1,30 0,62 3,65 0,77 2,84 2,91 0,70 0,72
Jumlah
43.261
59.817
1,38
Negara
Sumber: Beti et al. (1990).
Jurnal Litbang Pertanian, 22(4), 2003
lainnya, sehingga cukup potensial sebagai bahan pangan substitusi beras (Tabel 4). Begitu pula kandungan asam aminonya tidak kalah dengan bahan makanan lainnya (Tabel 5). Beberapa jenis makanan dari sorgum berdasarkan cara pengolahannya yaitu (Vogel dan Graham 1979; Reddy et al. 1995): • Makanan sejenis roti tanpa ragi, misalnya chapati, tortila. • Makanan sejenis roti dengan ragi, misalnya injera, kisia, dosai. • Makanan bentuk bubur kental, misalnya to, tuwu, ugali, bagobe, sankati. • Makanan bentuk bubur cair, misalnya ogi, ugi, ambili, edi. • Makanan camilan, misalnya pop sorgum, tape sorgum, emping sorgum. • Sorgum rebus, misalnya: urap sorgum, som.
Tabel 3. Ekspor-impor sorgum Indonesia selama Pelita V (1989− 1993). Tahun 1989 1990 1991 1992 1993 Jumlah
Ekspor
Impor
Volume (kg)
Nilai (US$)
Volume (kg)
Nilai (US$)
454.500 − − 319.900 318.000
48.269 − − 42.646 25.296
− 225 − 43 4.347
− 1.430 − 64 2.494
1.092.400
116.211
4.615
3.988
Sumber: Direktorat Jenderal Tanaman Pangan dan Hortikultura (1996).
pada tahun 2000 mengalami defisit sekitar 6.716.000 ton. Hingga kini, perkembangan produksi sorgum nasional belum masuk dalam statistik pertanian, yang menunjukkan bahwa komoditas tersebut belum mendapat prioritas untuk dikembangkan. Namun ditinjau dari daerah pengusahaan yang cukup luas, rata-rata produktivitas yang lebih tinggi dibanding negara produsen utama sorgum, serta adanya defisit permintaan sorgum di beberapa negara, sorgum mempunyai prospek yang cukup cerah di Indonesia.
PROSPEK SORGUM SEBAGAI BAHAN PANGAN, PAKAN, DAN INDUSTRI Penggunaan sorgum sangat beragam, tetapi secara garis besar dapat digolongkan menjadi tiga kelompok yaitu sebagai bahan pangan, bahan pakan, dan bahan industri (Sumarno dan Karsono 1996).
Sorgum sebagai Bahan Pangan Sorgum mempunyai potensi cukup besar sebagai bahan pangan, namun pemanfaatannya belum berkembang karena pengupasan biji sorgum cukup sulit dilaksanakan. Di Indonesia, biji sorgum digunakan sebagai bahan makanan substitusi beras, namun karena kandungan taninnya cukup tinggi (0,40−3,60%), hasil olahannya kurang enak. Menurut Sudaryono (1996), masalah ini telah dapat diatasi dengan memperbaiki teknologi pengolahan. Kulit biji dan lapisan testa dikikis dengan menggunakan mesin penyosoh beras merek “Satake Grain Jurnal Litbang Pertanian, 22(4), 2003
Testing Mill” atau “Satake Polisher Rice Machine” yang dilengkapi dengan silinder gurinda batu dengan permukaan yang kasar. Kandungan nutrisi sorgum juga cukup tinggi dibanding bahan pangan
Tabel 4. Kandungan nutrisi sorgum dalam 100 g bahan dibanding bahan pangan lainnya. Bahan pangan Sorgum Beras Jagung Kentang Ubi kayu Ubi jalar Terigu
Kalori (kal) 332 360 361 83 157 123 365
Protein (g)
Lemak Karbo(g) hidrat (g)
11 7 9 2 1,20 1,80 8,90
3,30 0,70 4,50 0,10 0,30 0,70 1,30
73 79 72 19 35 28 77
Air (%)
Serat (%)
Ca (mg)
P (mg)
Fe (mg)
11,20 9,80 13,50 − 63 − −
2,30 1 2,70 − − − −
28 6 9 11 33 30 16
287 147 380 56 40 49 106
4,40 0,80 4,60 0,70 0,70 0,70 1,20
Sumber: Beti et al. (1990).
Tabel 5. Kandungan asam amino esensial sorgum dan bahan makanan lainnya (mg/g protein). Asam amino Lisin Treonin Histidin Leusin Isoleusin Valin Fenilalanin Asam aspartat Asam glutamat Prolin Alanin Arginin Glisin Serin Tirosin
Sorgum Lokal
Hibrida
21 29 23 139 44 53 58 71 227 73 90 35 31 35 46
21 27 21 147 45 57 54 71 222 87 95 32 29 33 42
Jagung
Beras
Terigu
Kedelai
Kacang tanah
30 41 26 146 42 57 58 92 229 96 92 49 47 56 52
37 33 25 72 43 58 49 91 222 42 48 79 37 33 25
34 31 − 89 49 53 62 63 378 126 44 56 51 36 39
64 38 25 78 45 55 49 117 187 39 43 72 42 51 31
35 26 24 64 34 42 49 114 183 44 39 111 56 48 39
Sumber: Beti et al. (1990).
135
• Makanan yang dikukus, misalnya couscous, wowoto, juadah-sorgum.
Sorgum sebagai Pakan Ternak Penggunaan biji sorgum dalam ransum pakan ternak bersifat suplemen (substitusi) terhadap jagung, karena nilai nutrisinya tidak berbeda dengan jagung (Tabel 6). Namun karena kandungan tanin yang cukup tinggi (0,40−3,60%), biji sorgum hanya digunakan dalam jumlah terbatas karena dapat mempengaruhi fungsi asam amino dan protein (Rooney dan Sullines 1977). Menurut Scott et al. (1976) dalam Koentjoko (1996), kandungan tanin dalam ransum di atas 0,50% dapat menekan pertumbuhan ayam, dan apabila mencapai 2% akan menyebabkan kematian (Rayudu et al. 1970). Biji sorgum dapat diberikan langsung berupa biji atau diolah terlebih dulu dan dicampur dengan bahan-bahan lain dengan komposisi sebagai berikut: biji sorgum 55−60%, bungkil kedelai/kacang tanah 20%, tepung ikan 2,50−20%, dan vitamin-mineral 2−8% (Beti et al. 1990). Penggunaan sorgum 30−60% dalam ransum tidak berpengaruh terhadap performa ayam. Menurut Beti et al. (1990) dan ICRISAT (1994) dalam Reddy et al. (1995), sorgum dapat mengganti seluruh jagung dalam ransum pakan ayam, itik, kambing, babi, dan sapi tanpa menimbulkan efek samping. Penggunaan biji sorgum dalam ransum dengan berbagai rasio tidak mempengaruhi produksi telur dan bobot ayam (Tabel 7). Limbah sorgum (daun dan batang segar) dapat dimanfaatkan sebagai hijauan pakan ternak. Potensi daun sorgum manis sekitar 14−16% dari bobot segar batang atau sekitar 3 t daun segar/ ha dari total produksi 20 t/ha. Soebarinoto dan Hermanto (1996) melaporkan bahwa setiap hektar tanaman sorgum dapat menghasilkan jerami 2,62 + 0,53 t bahan kering. Konsumsi rata-rata setiap ekor sapi adalah 15 kg daun segar/hari (Direktorat Jenderal Perkebunan 1996). Daun sorgum tidak dapat diberikan secara langsung kepada ternak, tetapi harus dilayukan dahulu sekitar 2−3 jam. Nutrisi daun sorgum setara dengan rumput gajah dan pucuk tebu. Komposisi kimia dari limbah sorgum dibandingkan dengan limbah pertanian lainnya disajikan pada Tabel 8. Data komposisi kimia pada tabel tersebut tidak cukup untuk menilai 136
Tabel 6. Kandungan nutrisi biji sorgum dan bahan lainnya sebagai pakan ternak. Komponen nutrisi Kadar air (%) Protein (%) Serat kasar (%) Ekstrak ethor (%) Abu (%) Karbohidrat (%) Pati (%) Energi metabolis Unggas (kal/kg) Sapi (MJ/kg) Kalsium (%) Fosfor (%) Metionin + sistin (%) Lisin (%)
Sorgum
Jagung
Ubi kayu
12 9,50 2,30 2,50 2,30 68 72
11 9 2,50 4 2,20 71 76
12 3 4 0,69 0,50 75 79
3.250 13,40 0,11 0,24 0,35 0,22
3.385 14,20 0,02 0,25 0,33 0,27
3.750 14,50 0,25 0,35 0,03 0,16
Sumber: Wright (1993).
Tabel 7. Produksi telur dan bobot ayam broiler pada berbagai rasio biji sorgum dalam ransum. Ransum (%) Sorgum 0 0 0 15 SP 15 SK 15 SP 15 SK 45 SP 45 SK 45 SP 45 SK 50 ICSV 112 50 ICSV 145 100 ICSV 112 100 ICSV 145 Ransum petani (komersial)
Jagung
Produksi telur (%)
Bobot ayam (g)
96 − 83 95 96 − − 95 95 − − 83 80 82 81 78
− 1.119 1.035 − − 1.183 1.108 − − 1.153 1.243 1.010 1.029 1.032 926 1.026
45 60 100 30 30 45 45 0 0 15 15 50 50 0 0
SP = sorgum putih; SK = sorgum kuning. Sumber: ICRISAT 1994 dalam Reddy et al. (1995).
kualitas limbah untuk pakan ternak, tetapi perlu didukung oleh nilai daya cerna dan komponen serat dari limbah tersebut seperti yang disajikan dalam Tabel 9. Berdasarkan data tersebut terlihat bahwa nutrisi jerami sorgum tidak kalah dibanding jerami jagung dan pucuk tebu.
Sorgum sebagai Bahan Industri Biji sorgum mengandung 65−71% pati yang dapat dihidrolisis menjadi gula sederhana. Menurut Somani dan Pan-
drangi (1993) dalam Sumarno dan Karsono (1996), biji sorgum dapat dibuat gula atau glukosa cair atau sirup fruktosa sesuai dengan kandungan gula pada biji. Proses pengolahan gula dari biji sorgum dapat dilihat pada Gambar 1. Gula sederhana yang diperoleh dari biji sorgum selanjutnya dapat difermentasi untuk menghasilkan alkohol. Menurut Somani dan Pandrangi (1993) dalam Sumarno dan Karsono (1996), setiap ton biji sorgum dapat menghasilkan 384 l alkohol. Alkohol umumnya dibuat dari biji sorgum yang berkualitas rendah atau berjamur. Alkohol dapat juga dibuat dari Jurnal Litbang Pertanian, 22(4), 2003
Tabel 8. Komposisi nutrisi limbah sorgum dan bahan lainnya sebagai pakan ternak (% bahan kering). Limbah
Protein kasar
Lemak
Serat kasar
Abu
BETN
7,82 6 5,33 20,40
2,60 1,08 0,90 6
28,94 34,25 35,48 22,80
11,43 11,79 9,69 9,90
40,57 46,84 48,60 40,90
4,40 4,50 7,40 11,10 10,60 11,30
1,60 1,50 1,50 1,80 2,80 2,50
32,30 28,80 27,80 29,90 36,30 24,90
8,90 20 10,80 18,70 7,60 14,50
52,80 45,20 53,10 38,20 42,80 46,80
Daun Sorgum Rumput gajah Pucuk tebu Ubi kayu Jerami 2 Sorgum Padi Jagung Kacang tanah Kedelai Ubi jalar 1
BETN = bahan ekstrak tanpa nitrogen. Sumber: 1Direktorat Jenderal Perkebunan (1996); 2Poespodihardjo (1983).
Tabel 9. Nilai daya cerna in vitro dan in vivo serta fraksi serat limbah sorgum dan limbah pertanian lainnya. Komponen Bobot kering (%) Fraksi serat dinding sel (%) Acid detergent Serat (%) Hemiselulosa (%) Lignin (%) Silika (%) Daya cerna in vitro BKTIV (%) BOTIV (%) Daya cerna in vivo TNT (%) Protein tercerna (%) ET (kkal/kg)
Jerami Sorgum
Jagung
Kacang tanah
Daun ubi kayu
Pucuk tebu
39,80
39,80
29,30
23,50
37,40
81,80
79,50
69,40
62,40
86,50
76 5,80 16 4,40
73,50 6 12,80 20,40
62 7,40 6,80 1,90
58,50 3,40 14,20 1,60
81,50 5 9,20 4,60
39,40 39,20
32,70 30,70
67,30 59,00
54,30 48,70
39,40 36,30
36,60 0,60 902
67,20 3,90 2.992
54,30 − −
39,40 1,50 1.917
33 1 1.766
BKTIV = bahan kering tercerna in vitro; TNT = total nutrien tercerna. BOTIV = bahan organik tercerna in vitro; ET = energi tercerna. Sumber: Hartadi et al. (1981) dalam Tangendjaja dan Gunawan (1988).
nira sorgum yang terdapat dalam batang. Komposisi nira sorgum manis ditunjukkan pada Tabel 10. Kualitas nira sorgum manis setara dengan nira tebu, kecuali kandungan amilum dan asam akonitat yang relatif tinggi. Kandungan amilum yang tinggi tersebut merupakan salah satu masalah dalam proses kristalisasi nira sorgum sehingga gula yang dihasilkan berbentuk cair. Untuk mengatasi masalah tersebut, Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI) telah merekayasa alat “Amylum Separator” yang mampu Jurnal Litbang Pertanian, 22(4), 2003
menurunkan kandungan amilum sampai 50% dari kadar awal. Biji sorgum juga dapat dibuat pati (starch) yang berwarna putih. Pati sorgum digunakan dalam berbagai industri, seperti perekat, bahan pengental, dan aditif pada industri tekstil, sedangkan hasil samping dari pembuatan pati dapat digunakan sebagai makanan ternak. Pati merupakan bahan utama pada berbagai sistem pengolahan pangan, antara lain sebagai sumber energi utama, serta berperan sebagai penentu struktur, tekstur, konsistensi, dan penampakan bahan pangan. Sorgum
dapat digunakan sebagai pengganti dalam industri pati jagung karena adanya beberapa persamaan, namun ekstraksi pati sorgum masih menjadi masalah. Pengikatan pati pada sorgum berkisar antara 35−38%, sedangkan pada jagung 8−15% (Caransa dan Bakker 1987). Produk industri penting dari biji sorgum adalah bir. Selama dekade terakhir, biji sorgum dapat menggantikan barley dalam pembuatan bir (Canalis dan Sierra 1976 dalam Reddy et al. 1995). Sifat kimia biji sorgum yang sangat penting dalam pembuatan bir adalah aktivitas diastatik, alfa-amino nitrogen, dan total nitrogen yang dapat larut. Namun, konsentrasi amilopektin yang tinggi dalam pati sorgum menyebabkan pati sangat sulit dihidrolisis (Twagirumukiza 1983 dalam Reddy et al. 1995). Gorinstein et al. (1980) dalam Reddy et al. (1995) menyatakan bahwa aktivitas diastatik yang tinggi dapat meningkatkan fraksi albumin-globulin protein, di mana albumin dan alfa-amino protein digunakan untuk faktor rasa, stabilitas busa, dan kepekaan dingin dari bir.
PELUANG DAN TANTANGAN PENGEMBANGAN SORGUM Dalam upaya memenuhi kebutuhan pangan, pakan, dan bahan industri yang terus meningkat, serta untuk meningkatkan pendapatan petani di daerah beriklim kering, pengembangan sorgum merupakan salah satu alternatif yang dapat dipilih. Di daerah-daerah yang sering mengalami kekeringan atau mendapat genangan banjir, tanaman sorgum masih dapat diusahakan. Oleh karena itu, terdapat peluang yang cukup besar untuk meningkatkan produksi sorgum melalui perluasan areal tanam. Pengembangan sorgum juga berperan dalam meningkatkan ekspor nonmigas, mengingat pemanfaatan sorgum di luar negeri cukup beragam. Menurut Direktorat Bina Usaha Tani dan Pengolahan Hasil Tanaman Pangan, volume ekspor sorgum Indonesia ke Singapura, Hongkong, Taiwan, dan Malaysia mencapai 1.092,40 ton atau senilai US$ 116.211. Demikian juga di Thailand, pada tahun 1979 ekspor sorgum dapat menyumbang devisa 371 juta Bath (Rp 26 miliar) dari volume ekspor 170.000 ton ke Jepang, Taiwan, Singapura, Malaysia, dan Timur Tengah (Detachet 1979 dalam Beti 137
Biji sorgum Mesin penyosoh
▼
Tepung Air
▼
Bubur 80 oC, pH 6,50−6,80
▼
Gelatinasi Alfa amilase, 0,50 kg/t sorgum kering 95−100oC, 1 jam
▼
Pencairan 60oC, pH 4, 60 jam Amiloglukanase, 0,60 l/t sorgum kering
▼
Sakarafikasi ▼
▼
Pengepresan/penyaringan
Pakan ternak
▼
Pemutihan ▼
Pertukaran kation dan anion Isomerase
▼
Evaporasi
▼
▼
Glukosa cair
Kristal
▼
▼
Sirup fruktosa
Dekstrosa monohidrat
Gambar 1.
Proses pembuatan gula dari biji sorgum (Somani dan Pandrangi 1993 dalam Sumarno dan Karsono 1996).
Tabel 10. Perbandingan komposisi nira sorgum manis dan nira tebu. Komposisi Brix (%) Sukrosa (%) Gula reduksi (%) Gula total (%) Amilum (ppm) Asam akonitat (%) Abu (%)
Nira sorgum 13,60 − 18,40 10 − 14,40 0,75 − 1,35 11 − 16 209 − 1.764 0,56 1,28 − 1,57
Nira tebu 12 − 19 9 − 17 0,48 − 1,52 10 − 18 1,50 − 95 0,25 0,40 − 0,70
Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan (1996).
et al. 1990; Direktorat Jenderal Tanaman Pangan dan Hortikultura 1996). Dengan demikian terdapat peluang untuk meningkatkan ekspor sorgum ke luar negeri. Tantangan dalam pengembangan sorgum adalah harga sorgum di tingkat petani yang rendah terutama pada saat panen serta kesulitan dalam pengupasan biji. Nilai sorgum yang rendah dapat diatasi apabila sorgum dapat diangkat menjadi salah satu komoditas strategis 138
dalam pengembangan sistem agribisnis dan agroindustri. Sementara itu kesulitan pengupasan biji sorgum diatasi dengan pengadaan mesin penyosoh beras tipe “Satake Polisher Rice Machine”. Penyosohan dengan alat ini dapat menghasilkan beras sorgum yang bersih dan tidak pahit. Masalah penggunaan sorgum sebagai bahan pakan adalah kandungan tanin yang cukup tinggi. Namun masalah ini dapat diatasi dengan menyosoh beras
sorgum dengan mesin penyosoh beras yang dilengkapi dengan silinder gurinda batu. Demikian juga jerami sorgum cukup potensial sebagai pakan ternak, namun kandungan serat, lignin dan silika yang tinggi serta kadar nitrogen yang rendah merupakan kendala pemanfaatan jerami sorgum untuk pakan. Masalah tersebut dapat diatasi dengan meningkatkan kualitas jerami sorgum melalui suplemen urea atau amoniasi urea (Soebarinoto dan Hermanto 1996). Menurut Beti et al. (1990) dan Sudaryono (1996), tantangan pengembangan sorgum meliputi aspek teknologi budi daya dan pascapanen serta jaminan pasar dan permintaan. Walaupun teknologi budi daya sorgum spesifik lokasi belum tersedia, teknologi budi daya sorgum hampir sama dengan jagung, sehingga tantangan yang paling mendasar adalah penyediaan teknologi pascapanen baik primer maupun sekunder serta jaminan pasar dan permintaan. Secara umum, masalah utama dalam pengembangan sorgum adalah sebagai berikut (Anonim 1996; Sudaryono 1996): 1) Nilai keunggulan komparatif dan kompetitif ekonomi sorgum relatif rendah dibandingkan komoditas serealia lain. 2) Pascapanen sorgum (peralatan dan pengolahan) pada skala rumah tangga masih sulit dilakukan. 3) Pangsa pasar sorgum belum kondusif, baik di tingkat regional maupun nasional. 4) Penyebaran informasi serta pembinaan usaha tani sorgum di tingkat petani belum intensif. 5) Biji sorgum mudah rusak selama penyimpanan. 6) Ketersediaan varietas yang disenangi petani masih kurang. 7) Penyediaan benih belum memenuhi lima tepat (jenis, jumlah, mutu, waktu, dan tempat).
DUKUNGAN TEKNOLOGI DAN KEBIJAKAN OPERASIONAL Untuk menciptakan sistem agribisnis dan agroindustri sorgum, ketersediaan teknologi mutlak diperlukan, yang meliputi teknologi budi daya serta pascapanen/ pengolahan (Anonim 1996). Teknologi budi daya sorgum meliputi: 1) varietas Jurnal Litbang Pertanian, 22(4), 2003
unggul berdaya hasil tinggi, tahan kekeringan, genangan, dan ratun, rasa manis dengan rendemen gula tinggi dan kadar amilum rendah, 2) teknologi budi daya spesifik lokasi, 3) perlindungan tanaman secara terpadu, serta 4) pengaturan saat tanam/pergiliran tanaman. Teknologi tersebut diperoleh melalui penelitian yang meliputi a) penelitian teknologi budi daya sorgum spesifik lokasi, b) penelitian terapan, dan c) penelitian terpadu dan terapan di lahan petani (on-farm research). Program pengembangan sorgum mencakup: 1) evaluasi teknologi dan penyusunan paket teknologi, 2) penyebaran varietas unggul, 3) pengembangan interaksi antara peneliti, penyuluh, instansi terkait, dan petani dalam proses alih teknologi, dan 4) pemantauan bersama antara peneliti, penyuluh, instansi terkait, pengambil kebijakan, dan petani pada penelitian di lahan petani. Dalam pengembangan sorgum untuk industri diperlukan keterkaitan antara kebijakan pemerintah, petani produsen, dan industri mulai dari penelitian (perakitan teknologi), pengembangan (alih teknologi), produksi (penyediaan sarana produksi), pelaksanaan agribisnis/agroindustri (pengumpulan, penyimpanan, pemasaran, dan pengolahan), dan penggunaan hasil (industri makanan dan minuman, industri pakan,
industri gula dan maltose, dan ekspor). Contoh model keterkaitan institusi dalam pengembangan sorgum untuk industri pakan disajikan pada Gambar 2. Selanjutnya menurut Sudaryono (1996), pengembangan sorgum perlu memperhatikan empat hal yaitu: 1) wilayah/ tipologi lahan, (areal tanaman sorgum), 2) sosial (sikap dan persepsi produsen terhadap sorgum sebagai bagian dari usaha taninya), 3) ekonomi (nilai keunggulan komparatif dan kompetitif sorgum terhadap komoditas lain), dan 4) industri (nilai manfaat sorgum sebagai bahan baku industri).
KESIMPULAN Sorgum merupakan salah satu tanaman serealia yang cukup potensial untuk dikembangkan di Indonesia karena mempunyai daya adaptasi lingkungan yang cukup luas. Biji sorgum dapat diolah menjadi berbagai jenis makanan, sebagai bahan pakan ternak, dan sebagai bahan baku industri. Biji sorgum mempunyai nilai gizi setara dengan jagung, namun kandungan taninnya tinggi dan biji sulit dikupas. Perbaikan teknologi pengolahan dengan menggunakan penyosoh beras merek
“Satake Grain Testing Mill” yang dilengkapi dengan silinder gurinda batu dapat mengatasi masalah tersebut. Masalah utama pengembangan sorgum adalah nilai keunggulan komparatif dan kompetitif sorgum yang relatif rendah, penerapan teknologi pascapanen yang masih sulit, biji mudah rusak dalam penyimpanan, dan usaha tani sorgum di tingkat petani belum intensif. Untuk mengatasi masalah tersebut diperlukan pengelolaan sistem produksi sorgum secara menyeluruh (holistik) melalui empat dimensi, yaitu: 1) wilayah (areal tanam sorgum), 2) ekonomi (nilai keunggulan komparatif dan kompetitif sorgum terhadap komoditas lain), 3) sosial (sikap dan persepsi produsen terhadap sorgum sebagai bagian dari usaha taninya), dan 4) industri (nilai manfaat sorgum sebagai bahan baku industri makanan dan pakan ternak).
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 1996. Rumusan Simposium Produksi Tanaman Sorgum untuk Pengembangan Agroindustri. Risalah Simposium Prospek Tanaman Sorgum untuk Pengembangan Agroindustri, 17−18 Januari 1995. Edisi Khusus Balai Penelitian Tanaman Kacangkacangan dan Umbi-umbian No. 4-1996, 6 hlm. Beti, Y.A., A. Ispandi, dan Sudaryono. 1990. Sorgum. Monografi No. 5. Balai Penelitian Tanaman Pangan, Malang. 25 hlm. Caransa, A. and W.G.M. Bakker. 1987. Modern Process for the Production of Sorghum Starch. Starch/Strake 39(11): 381−385.
Kebijakan pemerintah dalam industri pakan ▼
▼
Program produksi sorgum (Departemen Pertanian)
Program pemanfaatan sorgum (Departemen Perindustrian)
▼
▼
Daerah pengembangan sorgum
Peraturan penggunaan sorgum dalam industri pakan
▼ ▼ ▼
Kelembagaan pemasaran sorgum
Industri pakan ternak ▼
Peternak, pakan murah
Gambar 2.
Model keterkaitan institusional pengembangan sorgum untuk industri pakan (Beti et al. 1990).
Jurnal Litbang Pertanian, 22(4), 2003
Poespodihardjo, S. (Ed.). 1983. Inventarisasi Limbah Pertanian (Inventory of Agricultural Wastes). Direktorat Bina Produksi Peternakan/Fakultas Peternakan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Direktorat Jenderal Tanaman Pangan dan Hortikultura. 1996. Prospek sorgum sebagai bahan pangan dan industri pangan. Risalah Simposium Prospek Tanaman Sorgum untuk Pengembangan Agroindustri, 17−18 Januari 1995. Edisi Khusus Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian No. 41996: 2−5. Direktorat Jenderal Perkebunan. 1996. Sorgum manis komoditi harapan di propinsi kawasan timur Indonesia. Risalah Simposium Prospek Tanaman Sorgum untuk Pengembangan Agroindustri, 17−18 Januari 1995. Edisi Khusus Balai Penelitian Tanaman Kacangkacangan dan Umbi-umbian No.4-1996: 6− 12. Koentjoko. 1996. Sorgum untuk makanan ternak unggas. Risalah Simposium Prospek Tanam-
139
an Sorgum untuk Pengembangan Agroindustri, 17−18 Januari 1995. Edisi Khusus Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian No. 4-1996: 213−216.
gum untuk Pengembangan Agroindustri, 17− 18 Januari 1995. Edisi Khusus Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian No. 4-1996: 217−221.
Tangendjaja, B. dan Gunawan. 1988. Jagung dan limbahnya untuk makanan ternak. Dalam Jagung. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor. hlm. 349−378.
Reddy, B.V.S., J.W. Stenhouse, and H.F.W. Rattunde. 1995. Sorghum Grain Quality Improvement for Food, Feed and Industrial Uses. Edisi Khusus Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian No. 4-1995: 39−52.
Sudaryono. 1996. Prospek sorgum di Indonesia: Potensi, peluang dan tantangan pengembangan agribisnis. Risalah Simposium Prospek Tanaman Sorgum untuk Pengembangan Agroindustri, 17−18 Januari 1995. Edisi Khusus Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian No. 41996: 25−38.
Vogel, S. and M. Graham. 1979. Sorghum and Millet: Food Production and Use. Int. Dev. Res. Cent. Pub. IDRC, Canada.
Rayudu, G.V.N., R. Cadirvel, P. Vohra, and F.H. Kratzer. 1970. Toxicity of tannic acid and its metabolits of chickens. Poultry Sci. 49. Rooney, L.W. and R.D. Sullines. 1977. The Structure of Sorghum and Its Relation to Processing and Nutritional Value. Cereal Quality Laboratory, Texas University, USA. p. 91−109. Soebarinoto dan Hermanto. 1996. Potensi jerami sorgum sebagai pakan ternak ruminansia. Risalah Simposium Prospek Tanaman Sor-
140
Sumarno dan S. Karsono. 1996. Perkembangan produksi sorgum di dunia dan penggunaannya. Risalah Simposium Prospek Tanaman Sorgum untuk Pengembangan Agroindustri, 17−18 Januari 1995. Edisi Khusus Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian No. 4-1996: 13−24.
Wardhani, N.K. 1996. Sorghum vulgare sudanense sebagai alternatif penyediaan hijauan pakan. Risalah Simposium Prospek Tanaman Sorgum untuk Pengembangan Agroindustri, 17−18 Januari 1995. Edisi Khusus Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian No. 4-1996: 327−332. Wright, A.F. 1993. Animal Feeds: Combining the Best of Both Worlds. World Agriculture. Sterling Pub. Group PLC, Hongkong.
Jurnal Litbang Pertanian, 22(4), 2003