PROSPEK DAN STRATEGI PENGEMBANGAN JAGUNG UNTUK MENDUKUNG KETAHANAN PANGAN DI MALUKU Andriko Noto Susanto dan M.P. Sirappa Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Maluku, Jalan Laksdya Leo Watimena Waiheru, Ambon 97232
ABSTRAK Jagung merupakan salah satu komoditas palawija utama di Indonesia ditinjau dari aspek pengusahaan dan pemanfaatan hasilnya, yaitu sebagai bahan pangan dan pakan. Kebutuhan jagung baik untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri maupun ekspor sampai tahun 2010 masih sangat besar. Peluang pengembangan jagung di Maluku untuk mendukung ketahanan pangan nasional sangat prospektif karena didukung oleh ketersediaan lahan kering yang luas dan teknologi yang siap diaplikasikan. Dari total luas lahan kering 853.250 ha, lahan yang telah diusahakan untuk jagung baru 11.998 ha dan palawija selain jagung 21.099 ha, sehingga tersisa 820.153 ha yang berpotensi untuk usaha tani jagung. Beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan dalam pengembangan jagung adalah ketersediaan lahan, teknologi, karakteristik masyarakat setempat, pemerintah Daerah sebagai regulator, dan mitra usaha baik investor swasta maupun pemerintah dalam penyediaan sarana produksi dan penyerapan hasil dengan harga yang layak. Untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam pengembangan sistem agribisnis, perlu dilakukan pendekatan secara partisipatif. Kata kunci: Jagung, pengembangan, ketahanan pangan, Maluku
ABSTRACT Prospect and strategy of corn development to support food security in Moluccas Corn is one of the main commodities of palawija (crops planted as second crop in dry season) in Indonesia regarding to corn industry, especially for food and feed. Domestic and exsport demand for corn will be considerable high up to the year 2010. The corn development opportunity in Moluccas to support national food security is prospective due to available dry land for corn development and applicable technology already given. From dry land area in Moluccas of 853,250 ha, corn area occupies 11,998 ha and other palawija besides corn is 21,099 ha, so there are 820.153 ha which have potency for corn development. Some factors that should be considered in corn farming development are availability of landfarm, applied technologies, participant characteristics, regulatory parties, and government or private investors to support on-farm and off-farm activities. To increase farmers skill in agribusiness development, it is needed to apply participatory approaches. Keywords: Corn, development, food security, Moluccas
J
agung merupakan komoditas palawija utama di Indonesia ditinjau dari aspek pengusahaan dan penggunaan hasilnya, yaitu sebagai bahan baku pangan dan pakan (Sarasutha 2002). Sekitar 18 juta penduduk Indonesia menggunakan jagung sebagai bahan makanan pokok (Suherman et al. 2002). Sebagian besar produksi jagung dimanfaatkan untuk bahan baku pakan, terutama unggas. Dari total bahan baku yang dibutuhkan untuk pembuatan pakan unggas, porsi jagung berkisar 50%. Berkembangnya usaha perunggasan telah meningkatkan kebutuhan jagung 70
untuk pakan, mencapai 57% dari produksi nasional, sehingga impor jagung harus dilakukan. Secara nasional impor jagung berkisar 1−1,20 juta t/tahun. Pada tahun 2005, impor diperkirakan mencapai 1,80 juta ton untuk memenuhi kebutuhan industri pakan (Balai Penelitian Tanaman Serealia 2002). Oleh karena itu, peningkatan produksi jagung di dalam negeri perlu terus diupayakan. Untuk meningkatkan produksi jagung, pemerintah telah mencanangkan program percepatan peningkatan produksi jagung hibrida dan komposit. Program tersebut menekankan pada
usaha intensifikasi (peningkatan intensitas pertanaman, IP) maupun ekstensifikasi. Untuk mewujudkan program ini pemerintah mencanangkan Gerakan Mandiri Peningkatan Produksi Padi, Kedelai, dan Jagung (Gema Palagung) pada MT 1998/1999, yang selanjutnya diaktualisasikan dalam Upaya Khusus Peningkatan Ketahanan Pangan Nasional (UPSUS PKPN) melalui pemberdayaan masyarakat termasuk petani (Sumarno et al. 1998). Potensi lahan untuk ekstensifikasi jagung tersedia cukup luas di luar Jawa, termasuk di Maluku. Namun usaha tani Jurnal Litbang Pertanian, 24(2), 2005
jagung di kawasan ini dihadapkan pada berbagai kendala, seperti kemasaman tanah, kekeringan, kurangnya ketersediaan benih unggul, terbatasnya tenaga kerja, rendahnya diseminasi teknologi, transportasi biaya tinggi, dan minimnya infrastruktur. Hal ini menyebabkan laju peningkatan areal tanam jagung berjalan lambat. Pada beberapa wilayah di Maluku, yaitu di Pulau-pulau Terselatan, Kisar, Wetar Kabupaten Maluku Tenggara Barat (MTB), umumnya masyarakat menggunakan jagung sebagai makanan pokok. Kandungan kalori jagung cukup tinggi karena kadar karbohidratnya (pati dan gula) mencapai 75,50%. Namun demikian tingkat partisipasi petani Maluku terhadap budi daya jagung masih sangat kecil. Tulisan ini membahas prospek dan strategi pengembangan jagung di Maluku yang didasarkan pada data permintaan jagung nasional, potensi sumber daya lahan, analisis komoditas unggulan, serta karakteristik masyarakat setempat. Hasil analisis usaha tani jagung dibanding komoditas tanaman pangan lainnya di Maluku belum pernah dilaporkan, sehingga belum dimasukkan sebagai dasar dalam tinjauan ini.
PROYEKSI PERMINTAAN DAN PENAWARAN JAGUNG Peluang permintaan jagung tidak hanya terbatas untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri yang masih besar, tetapi juga untuk kepentingan ekspor. Pada tahun 1998 Indonesia mengekspor 604.559 ton jagung pipilan kering (Sarasutha 2002), walaupun di dalam negeri terjadi kekurangan 436.739 ton (Subandi et al. 1998). Berdasarkan proyeksi Swastika et al. (2002), produksi dan penawaran jagung menunjukkan peningkatan dengan laju 1,22%/tahun. Peningkatan produktivitas memberikan kontribusi yang dominan (0,85%/tahun) sementara areal panen hanya meningkat 0,36%/tahun. Di lain pihak, permintaan jagung untuk industri pakan meningkat cukup pesat dengan laju 4%/tahun sehingga defisit meningkat 15%/tahun. Jika pada tahun 1999 defisit jagung mencapai 1,67 juta ton, maka pada tahun 2010 defisit diperkirakan mencapai -6,03 juta ton. Proyeksi produksi, Jurnal Litbang Pertanian, 24(2), 2005
POTENSI SUMBER DAYA LAHAN
penawaran dan permintaan jagung di Indonesia tahun 2004−2010 disajikan pada Tabel 1. Selain untuk mencukupi kebutuhan industri dalam negeri, peluang ekspor jagung terbuka luas. Berdasarkan data Balai Penelitian Tanaman Serealia (2002), pada periode 1997–2000 Jepang merupakan importir jagung terbesar dunia dengan volume impor 16,10 juta t/tahun. Pada tahun-tahun berikutnya, Jepang diperkirakan masih menjadi importir jagung yang dominan dengan volume impor 15 juta ton pada tahun 2005. Pada tahun yang sama Korea Selatan mengimpor jagung 7,50 juta t/tahun, Meksiko 6,50 juta t/tahun, dan Mesir 5− 7,50 juta t/tahun. Indonesia pada tahun 2005 diprediksi akan mengimpor jagung 1,80 juta ton (3,80 juta ton menurut Swastika et al. 2002) dan 2,20 juta ton (6 juta ton menurut Swastika et al. 2002) pada tahun 2010. Malaysia sebagai negara importir terbesar di Asia diperkirakan akan mengimpor jagung 2,70 juta ton pada tahun 2005 dan 3,10 juta ton pada tahun 2010. Rata-rata produksi jagung Maluku adalah 17.191 t/tahun, namun belum ada data yang pasti tentang penyerapan produksi oleh konsumen, pasokan jagung dari luar provinsi, dan distribusi pemasaran untuk menggambarkan analisis permintaan dan penawaran. Diduga produksi jagung digunakan untuk memenuhi konsumsi masyarakat setempat terutama di Kabupaten Maluku Tenggara Barat. Jagung yang dijual ke luar daerah sentra produksi terutama berasal dari daerah transmigrasi (Kairatu, Buru, dan Seram Utara).
Secara biofisik, lahan yang berpotensi untuk pengembangan jagung di Maluku relatif luas. Hasil delineasi zona agroekologi untuk membuat peta arahan penggunaan lahan disajikan pada Tabel 2. Alternatif komoditas yang disajikan pada Tabel 2 hanya didasarkan pada kesesuaian tanaman terhadap sumber daya lahan dan belum didasarkan pada analisis usaha tani. Sebagian besar lahan tersebut berupa lahan kering yang ditumbuhi tanaman hutan, semak belukar, padang rumput, dan perladangan berpindah. Dari total potensi lahan, baru sebagian kecil yang telah dimanfaatkan untuk usaha tani palawija termasuk jagung. Luas panen jagung tahun 1996– 2001 disajikan pada Tabel 3. Varietas jagung yang umum ditanam petani adalah lokal tongkol putih dan merah (Gambar 3), serta varietas unggul Arjuna dan Bisma. Kebutuhan benih berkisar antara 20−30 kg/ha, dengan jarak tanam bervariasi antara 75 cm x 40 cm sampai 75 cm x 75 cm. Rata-rata luas panen jagung adalah 11.999 ha dengan produksi 17.204 ton, sehingga rata-rata produktivitas hanya 1,40 t/ha (Tabel 3). Kecamatan Pulau-pulau Terselatan, Lemola, dan Babar merupakan wilayah dengan rata-rata luas panen dan produksi jagung terbesar dibanding kecamatan lainnya. Penduduk di kecamatan tersebut mengonsumsi jagung sebagai bahan makanan pokok, sehingga pengembangan jagung di wilayah ini diduga akan mendapat apresiasi yang baik dari petani.
Tabel 1. Proyeksi produksi, penawaran dan permintaan jagung di Indonesia, 2004–2010. Tahun
Areal (000 ha)
Produktivitas (kg/ha)
Produksi (000 t)
Penawaran (000 t)
Permintaan (000 t)
Defisit (000 t)
2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
3.851 3.865 3.879 3.893 3.907 3.921 3.935
2.658 2.681 2.704 2.728 2.752 2.777 2.802
10.236 10.361 10.489 10.620 10.752 10.887 11.025
9.212 9.325 9.440 9.558 9.677 9.798 9.922
12.577 13.082 13.608 14.157 14.729 15.326 15.950
-3.365 -3.757 -4.168 -4.599 -5.052 -5.528 -6.028
0,36
0,86
1,22
1,22
4
15,40
Pertumbuhan (%/tahun)
Sumber: Swastika et al. (2002).
71
Ketiga kecamatan tersebut beriklim kering mirip dengan Nusa Tenggara Timur. Secara umum kecenderungan petani di Maluku dalam bertanam jagung menurun pada tahun 1996−2001 (Gambar 1). Penurunan ini diduga disebabkan oleh kemarau panjang pada tahun 1997 (El-Nino), dan kerusuhan sosial yang melanda Maluku pada tahun 1998/1999 yang berakibat pada rusaknya lahan pertanian dan terjadinya eksodus petani ke luar Maluku. Selain itu ada kecenderungan bahwa pada saat ada proyek pengembangan usaha pertanian dari pemerintah, data luas panen meningkat, namun setelah proyek tersebut berakhir, data luas panen menurun kembali. Hal ini diduga berkaitan dengan adanya insentif yang diberikan oleh pemerintah dalam rangka perluasan areal tanam jagung, seperti biaya pengolah lahan, bantuan benih, pupuk, dan obat-obatan. Namun karena belum ditunjang oleh sumber daya manusia dan iklim usaha yang baik, program pengembangan tersebut belum dapat diadopsi masyarakat secara berkelanjutan. Oleh karena itu, diperlukan penelitian untuk mencari pola pendekatan usaha tani yang sesuai. Gambaran mengenai potensi lahan kering yang tersedia, luas panen palawija, luas panen jagung dan potensi lahan untuk pengembangan jagung di Maluku pada masing-masing kecamatan disajikan
Hamparan lahan dengan luas kurang dari 100 ha tidak terdeteksi dengan peta ini, sehingga diperlukan pemetaan sumber daya lahan yang lebih detail untuk lokasilokasi tersebut.
pada Tabel 4. Lahan yang berpotensi untuk pengembangan tanaman pangan lahan kering termasuk jagung di Kecamatan Nusaniwe, Banda, Pulau Haruku, dan Kei Besar tidak terdeteksi. Namun hal ini bukan berarti bahwa di kecamatan tersebut tidak terdapat areal yang sesuai untuk pengembangan jagung. Data dasar yang digunakan untuk inventarisasi potensi sumber daya lahan adalah Peta Zona Agroekologi skala 1:250.000 dengan tingkat ketelitian 100 ha.
JAGUNG SEBAGAI KOMODITAS UNGGULAN Komoditas unggulan adalah komoditas andalan yang memiliki posisi strategis
Luas panen (ha)
Produksi (t) 30.000
16.000 14.000
25.000
12.000 20.000
10.000 8.000
15.000
6.000
10.000 = Luas panen
4.000
5.000
= Produksi
2.000
0
0 1996
Gambar 1.
1997
1998
1999
2000
2001
Luas panen dan produksi jagung di Provinsi Maluku, 1996−2001.
Tabel 2. Arahan penggunaan lahan beserta alternatif komoditas pada setiap kabupaten atau kota di Provinsi Maluku. Arahan penggunaan lahan
Alternatif komoditas yang diusahakan
Luas (ha)
Total Maluku
Ambon
Buru
Malteng
Malra
MTB
1.436
66.785
298.650
365.781
185.687
918.339
Tanaman pangan dan hortikultura
Padi sawah, padi gogo, jagung, kacang tanah, kacang hijau, kedelai, sagu, hortikultura, ubi kayu ubi jalar, keladi, uwi, gembili, kacang tunggak, kacang merah, kacang gude, labu.
Perkebunan
Kelapa, kelapa sawit, pala, kakao, cengkeh, rambutan, durian, pisang, duku, nangka, manggis, salak, kopi, jambu mete, mangga, nenas, semangka, gandaria, jeruk, teh, leci, kelengkeng, sirsak, kapas, kapok, lemon, eucaliptus, jeruk kisar, sukun
−
44.475
623.779
297.356
433.062
1.398.672
Peternakan sistem gembala (ranci)
Rumput pakan ternak seperti rumput gajah, rumput raja, centrocema, siratro untuk padang penggembalaan sapi, kerbau, kambing
−
−
−
33.957
−
33.957
Perikanan tambak
Udang, bandeng, kepiting dan “buaya”
−
16.369
14.947
34.968
32.930
99.214
1.436
127.629
937.376
732.062
651.679
2.450.182
Total
Sumber: Susanto dan Bustaman (2003a; 2003b; 2003c); Bustaman dan Susanto (2003a; 2003b).
72
Jurnal Litbang Pertanian, 24(2), 2005
Tabel 3. Luas panen dan produksi jagung Provinsi Maluku dirinci per kecamatan, 1996–2001. 1996
Kecamatan
Luas panen
(ha) T.A. Baguala Nusaniwe Sirimau Buru Selatan Buru Utara Barat Buru Utara Timur TNS Banda Saparua P. Haruku Leihitu Salahutu Seram Barat Taniwel Kairatu Amahai Seram Utara Tehoru Werinama Seram Timur Bula Kei Kecil Kei Besar P.P. Aru P.P. Terselatan Letti Moa Lakor P.P. Babar Tanimbar Selatan Tanimbar Utara Total Maluku
13 16 13 281 55 352 103 52 66 135 83 177 97 270 316 116 294 152 18 40 5 100 6.650 1.346 2.500 640 516
Produksi (t) 46 54 46 617 105 845 232 93 180 282 196 567 290 835 915 416 413 304 27 60 8 150 9.975 2.019 3.750 960 774
1997 Luas panen (ha) 4 8 4 284 58 355 105 56 6 139 84 179 102 272 320 119 27 153 18 218 40 5 100 6.650 1.346 2.500 640 516
14.406 24.159 14.308
1998 Produksi (t)
12 24 12 625 116 852 336 101 188 315 202 573 306 842 60 428 446 321 30 36 60 8 150 9.975 2.019 3.750 960 774
Luas panen
(ha) 9 7 9 284 58 355 105 56 6 139 84 179 102 272 320 119 27 153 18 218 40 5 100 2.443 2.860 1.598 495 185
23.521 10.246
1999 Produksi (t)
24 18 24 625 116 852 336 101 188 315 202 573 306 842 60 428 446 321 30 36 60 9 49 2.443 2.860 1.598 495 185
Luas panen
(ha) 9 7 20 284 58 355 105 56 6 139 84 179 102 272 320 119 27 153 18 218 22 4 34 3.274 2.450 2.200 678 239
13.542 11.432
2000 Produksi (t)
2001
Rata-rata
Luas panen
Produksi
Luas panen
Produksi
Luas panen
Produksi
(ha)
(t)
(ha)
(t)
(ha)
(t)
Produktivitas (t/ha)
20 17 20 300 66 392 118 62 78 96 314 200 112 302 452 132 328 172 18 25 25 15 8 3.274 2.450 2.200 678 239
59 50 59 345 121 935 258 107 203 315 683 324 320 924 1.212 463 459 339 30 35 20 12 6 2.946 2.205 1.980 610 215
20 17 20 300 66 392 118 62 78 96 314 200 112 302 452 132 328 172 18 25 50 40 50 2.589 1.443 1.218 651 225
12 12 14 289 60 367 109 57 40 124 161 186 105 282 363 123 172 159 15 120 36 12 65 4.147 1.983 2.036 630 320
37 36 43 530 116 879 293 102 192 310 361 489 308 868 587 438 445 324 25 34 43 12 71 5.077 2.118 2.374 700 392
3 3 3,1 1,8 1,9 2,4 2,7 1,8 4,8 2,5 2,3 2,6 2,9 3,1 1,6 3,6 2,6 2 1,7 0,3 1,2 1 1,1 1,2 1,1 1,2 1,1 1,2
13.889 12.113
15.235
9.490 12.866 11.999
17.204
1,4
24 18 59 625 116 852 336 101 188 315 202 573 306 842 60 428 446 321 30 36 20 4 31 2.946 2.205 1.980 610 215
59 50 59 345 121 935 258 107 203 315 683 324 320 924 1.212 463 459 339 30 35 40 32 40 2.176 1.401 1.185 563 188
Sumber: BPS Kota Ambon tahun 1996, 1997, 1998, 1999, 2000, 2001; BPS Kabupaten Buru tahun 2000, 2001; BPS Kabupaten Maluku Tengah tahun 1996, 1997, 1998, 1999, 2000, 2001; BPS Kabupaten Maluku Tenggara tahun 1996, 1997, 1998, 1999, 2000, 2001; BPS Kabupaten MTB tahun 2000, 2001.
untuk dikembangkan di suatu wilayah. Posisi strategis ini didasarkan pada pertimbangan teknis (kondisi tanah dan iklim), sosial ekonomi dan kelembagaan. Penentuan ini penting karena ketersediaan dan kemampuan sumber daya alam, modal, dan manusia untuk menghasilkan dan memasarkan semua komoditas yang dapat diproduksi di suatu wilayah secara simultan relatif terbatas. Di sisi lain pada era pasar bebas hanya komoditas yang diusahakan secara efisien dari sisi teknologi dan sosial ekonomi serta mempunyai keunggulan komparatif dan kompetitif yang akan mampu bersaing secara berkelanjutan dengan komoditas yang sama dari wilayah lain (Rachman 2003). Komoditas unggulan merupakan komoditas yang layak diusahakan karena Jurnal Litbang Pertanian, 24(2), 2005
memberikan keuntungan kepada petani, baik secara biofisik, sosial, maupun ekonomi. Suatu komoditas dikatakan layak secara biofisik jika komoditas tersebut diusahakan sesuai dengan zona agroekologi; layak secara sosial jika mampu memberi peluang berusaha, dapat dilakukan dan diterima oleh masyarakat setempat sehingga berdampak pada penyerapan tenaga kerja; dan layak secara ekonomi jika menguntungkan. Salah satu pendekatan yang dikembangkan oleh Badan Litbang Pertanian untuk menentukan komoditas unggulan adalah metode Location Quotient (LQ). Nilai LQ > 1 artinya sektor basis; komoditas ‘x’ di suatu wilayah memiliki keunggulan komparatif (produksinya melebihi kebutuhannya sehingga dapat dijual ke luar wilayah); LQ = 1 artinya sektor
nonbasis; komoditas ‘x’ di suatu wilayah tidak memiliki keunggulan (produksi hanya cukup untuk konsumsi sendiri); dan LQ < 1 artinya sektor nonbasis; komoditas ‘x’ pada suatu wilayah tidak dapat memenuhi kebutuhan sendiri sehingga perlu pasokan dari luar wilayah. Hasil analisis komoditas unggulan dengan metode LQ tersebut selanjutnya disesuaikan dengan kelayakan biofisik sumber daya lahan yang ditentukan dengan pendekatan zona agroekologi. Kelayakan sosial dinilai secara tidak langsung, yaitu dengan asumsi bahwa jika jagung telah ditanam atau diusahakan masyarakat setempat, berarti jagung mampu memberi peluang berusaha, dapat dilakukan dan diterima oleh masyarakat setempat sehingga berdampak pada 73
Tabel 4. Potensi lahan kering, luas panen palawija selain jagung, luas panen jagung, dan potensi lahan untuk pengembangan jagung dirinci per kecamatan di Maluku. Potensi lahan untuk pengembangan jagung (ha)
Potensi lahan kering (ha)
Luas panen palawija selain jagung (ha)
Luas panen jagung (ha)
T.A. Baguala Nusaniwe Sirimau Buru Selatan Buru Utara Barat Buru Utara Timur TNS Banda Saparua P. Haruku Leihitu Salahutu Seram Barat Taniwel Kairatu Amahai Seram Utara Tehoru Werinama Seram Timur Bula Kei Kecil Kei Besar P.P. Aru P.P. Terselatan Serwaru P.P. Babar Tanimbar Selatan Tanimbar Utara
1.239 − 197 19.800 12.735 34.250 1.565 − 2.549 − 1.185 594 22.923 10.870 11.615 24.103 85.398 4.980 35.880 10.135 83.543 4.262 − 360.199 4.540 10.853 9.852 48.115 51.868
308 113 57 494 492 4.486 402 127 327 399 500 821 751 489 2.391 1.261 2.263 598 653 111 610 678 85 156 53 18 90 1.379 987
12 12 14 289 60 367 109 − 57 40 124 161 186 105 282 362 123 172 159 15 120 36 12 65 4.147 1.983 2.036 630 320
919 -125 126 19.017 12.183 29.397 1.054 -127 2.165 -439 561 -388 21.986 10.277 8.942 22.477 83.012 4.210 35.068 10.009 82.813 3.548 -97 359.978 340 8.853 7.726 46.106 50.561
Total Maluku
853.250
21.099
11.998
820.153
Kecamatan
Sumber: Susanto et al. (2003a; 2003b); Rieuwpassa et al. (2003a; 2003b).
penyerapan tenaga kerja. Penilaian kelayakan ekonomi usaha tani jagung pada masing-masing kecamatan di Maluku belum dipertimbangkan dalam tulisan ini, mengingat belum ada hasil penelitian yang melaporkan hal tersebut. Hasil analisis LQ komoditas tanaman pangan termasuk jagung di Maluku disajikan pada Tabel 5. Terlihat bahwa jagung menjadi komoditas unggulan pertama di Kecamatan Sirimau, Haruku, Seram Timur, Kepulauan Aru, Babar dan Pulau-pulau Terselatan dengan LQ 2,02− 7,22. Hal ini berarti bahwa produksi jagung di kecamatan tersebut mengalami surplus 2−7 kali lebih besar dibanding kebutuhannya sendiri. Surplus produksi ini merupakan indikator bahwa usaha tani jagung mempunyai keunggulan komparatif dibanding komoditas pala74
wija lainnya. Di Kecamatan Nusaniwe, Taniwel, Kairatu, Amahai-Waipia, dan Serwaru, jagung merupakan komoditas unggulan kedua setelah tanaman palawija lainnya dengan nilai LQ 1,10−2,03. Di Kecamatan Bula, Buru Selatan, Tanimbar Selatan, Buru Utara Barat dan Buru Utara Timur, jagung merupakan komoditas unggulan ketiga sampai kelima dengan nilai LQ 1,06−1,88. Dengan LQ > 1 berarti bahwa jagung merupakan komoditas basis atau menjadi sumber pertumbuhan. Komoditas ini memiliki keunggulan komparatif, tidak saja dapat memenuhi kebutuhan di kecamatan tersebut, tetapi juga dijual ke luar wilayah (Hendayana 2003). Keunggulan komoditas jagung pada wilayah-wilayah tersebut juga disebabkan produksi jagung lebih tinggi dari produksi tanaman pangan
lainnya. Produksi dijadikan indikator utama dalam perhitungan karena resultan akhir dari keseluruhan proses budi daya tanaman adalah komponen hasil. Interpretasi data dari analisis LQ akan lebih akurat jika data analisis usaha tani ikut dipertimbangkan. Namun data analisis usaha tani jagung dibandingkan dengan komoditas palawija lainnya untuk setiap kecamatan di Provinsi Maluku belum tersedia. Penentuan komoditas unggulan berdasarkan analisis LQ kurang memperhitungkan luas lahan untuk usaha tani suatu komoditas, namun lebih menekankan pada kecenderungan peningkatan luas panen dan produksi dibanding produksi palawija lainnya. Di Kecamatan Sirimau, misalnya, walaupun luas panen jagung hanya 14 ha, jagung termasuk dalam komoditas unggulan karena luas panen cenderung meningkat pada tahun 1997−2001, terdapat potensi lahan 126 ha, dan mempunyai nilai LQ 2,10.
KERAGAAN USAHA TANI JAGUNG Pengelolaan usaha tani merupakan pemilihan usaha antara berbagai alternatif penggunaan sumber daya yang terbatas yang meliputi lahan, tenaga kerja, modal, dan waktu. Pemilihan jenis usaha tani memerlukan informasi baik dari pemerintah, swasta maupun dari inisiatif petani sendiri. Berdasarkan tujuannya, jenis usaha tani digolongkan menjadi lima tingkatan yaitu: 1) subsisten penuh, 2) subsisten fakultatif, 3) prakomersial, 4) semikomersial, dan 5) komersial (Sumarno dan Suwasik 1995). Berdasarkan kriteria tersebut maka sistem usaha tani jagung di Indonesia umumnya tergolong semikomersial (Sarasutha 2002), sedangkan di Maluku termasuk subsisten penuh sampai prakomersial. Di Maluku, jagung umumnya diusahakan pada lahan kering dengan memanfaatkan air hujan sebagai sumber air pengairan. Ketersediaan tenaga kerja keluarga menentukan luas lahan yang diusahakan, karena ketersediaan lahan sangat luas dan kepemilikannya belum jelas. Secara umum, lahan pertanian di Maluku (selain di lokasi transmigrasi, tanah ‘dati’, pemukiman dan di sekitar perkotaan) merupakan tanah adat atau tanah ‘petuanan’, tanah ‘negeri’, atau tanah ‘pusaka’ yang pengelolaannya Jurnal Litbang Pertanian, 24(2), 2005
Tabel 5. Urutan komoditas unggulan beserta nilai LQ (angka dalam kurung) untuk setiap kecamatan di Provinsi Maluku. Kecamatan T.A. Baguala Sirimau Nusaniwe
Potensi lahan (ha) 1.239 197 −
Leihitu Salahutu P. Haruku Saparua Banda Seram Barat Taniwel Kairatu Amahai dan Waipia Seram Utara
1.185 594 − 2.549 − 22.923 10.870 11.615 25.668 85.398
Tehoru Werinama Bula
4.980 35.880 83.543
Seram Timur Buru Utara Timur
10.135 34.250
Buru Utara Barat
12.735
Buru Selatan
19.800
Kei Kecil
4.262
Kei Besar
−
P.P. Aru
360.199
Tanimbar Selatan
48.115
Tanimbar Utara
51.868
P.P. Babar Serwaru (Lemola) P.P. Terselatan
9.852 10.853 4.540
Urutan komoditas unggulan dan nilai LQ 1. Kacang tanah (1,07); 2. Ubi kayu (1,05) 1. Jagung (2,10) 1. Ubi jalar (1,82); 2. Jagung (1,53); 3. Kacang tanah (1,11) 1. Kacang tanah (2,21); 2. Ubi kayu (1,43) 1. Ubi kayu (1,50), 2. Jagung (1,27) 1. Jagung (2,20) 1. Ubi jalar (2,50); 2. Kacang hijau (1,88) − 1. Padi gogo (2,17); 2. Ubi jalar (1,93); 3. Sagu (-) 1. Kacang hijau (3,31); 2. Jagung (1,10) 1. Padi sawah (4,56); 2. Jagung (1,93) 1. Kedelai (2,63); 2. Jagung (1,88) 1. Padi sawah (5,05); 2. Padi gogo (5,05); 3. Kedelai (4,79); 4. Sagu (-) 1. Kacang hijau (1,40); 2. Ubi kayu (1,37) 1. Ubi kayu (1,30); 2. Sagu (-) 1. Kacang tanah (18,73); 2. Kacang hijau (6,52); 3. Jagung (1,88); 4. Sagu (-) 1. Jagung (7,22); 2. Ubi kayu (1,09) 1. Padi sawah (1,84); 2. Kedelai (1,83); 3 Kacang hijau (1,41); 4. Padi gogo (1,33); 5. Jagung (1,06) 1. Ubi kayu (2,35); 2. Kacang hijau (2,03); 3. Kacang tanah (1,60); 4. Jagung (1,10) 1. Ubi kayu (2,29); 2. Padi gogo (1,75); 3. Jagung (1,10) 1. Ubi kayu (1,40); 2. Ubi jalar (1,09); 3. Padi gogo (1,02) 1. Kacang-kacangan lainnya (2,29); 2. Umbi-umbian lainnya (2,22) 1. Jagung (2,08); 2. Kacang hijau (1,96); 3. Kacang tanah (1,60); 4. Sagu (-) 1. Umbi-umbian lainnya (1,75); 2. Kacang tanah (1,25); 3. Jagung (1,25) 1. Ubi jalar (3,25); 2. Padi gogo (2,59); 3. Kacangkacangan lainnya (2,42); 4. Ubi kayu (2,25). 1. Jagung (2,02); 2. Ubi jalar (1,32); 3. Ubi kayu (1,07) 1. Kacang hijau (4,17); 2. Jagung (2,03); 3. Ubi jalar (1,55) 1. Jagung (2,44); 2. Padi gogo (1,11)
Sumber: Susanto dan Bustaman (2003a; 2003b; 2003c); Bustaman dan Susanto (2003a; 2003b). Keterangan: (-) Tidak ada nilai LQ, didasarkan pada kondisi biofisik lahan dan komoditas spesifik lokasi.
diatur oleh tokoh-tokoh adat. Keluarga tani yang termasuk dalam kelompok adat atau marga tertentu, dengan izin tokoh adat setempat dapat membuka hutan atau semak belukar seluas-luasnya untuk ditanami jagung. Namun, karena tenaga kerja terbatas, petani hanya mampu mengusahakan jagung dengan luas kurang dari 1 ha. Menurut Susanto (2004), keragaan teknologi usaha tani jagung di Kecamatan Amahai adalah: pengolahan tanah Jurnal Litbang Pertanian, 24(2), 2005
dilakukan dengan mencangkul 1–2 kali dengan kedalaman 25–35 cm. Setelah dicangkul tanah diratakan dan gulma dibuang dari petakan. Jangka waktu pengolahan tanah sampai penanaman berkisar 3–4 minggu. Selanjutnya lahan dibuat bedengan dengan ukuran 10 m x 2 m yang dipisahkan oleh selokan dengan lebar 30 cm. Varietas jagung yang ditanam adalah lokal putih dan Arjuna dengan jumlah benih 20−30 kg/ha. Penanaman dilakukan dengan jarak tanam 75 cm x 40
cm atau 75 cm x 75 cm, benih ditanam pada akhir musim hujan dengan cara ditugal sebanyak 2–3 biji/lubang. Petani belum biasa menggunakan mulsa. Sebagian besar petani belum melakukan pemupukan, dan sebagian kecil petani urban memberikan urea 100 kg/ha, SP-36 50 kg/ha dan bahan organik 300 kg/ ha. Pemupukan dilakukan 2 kali, yaitu pada 21 dan 35 hari setelah tanam. Penyiangan dilakukan 2−3 kali bergantung pada keadaan gulma. Pengairan didapat dari air hujan. Hama yang diketahui petani adalah penggerek batang dan tongkol. Sebagian besar petani belum melakukan pengendalian hama dan sebagian kecil melakukan penyemprotan dengan insektisida berbahan aktif mankozeb 80% dengan dosis 1−2 liter/ha. Cara lain yang dilakukan adalah dengan mencabut tanaman yang terserang penyakit. Panen dilakukan setelah tanaman berumur 3 bulan, saat batang jagung mulai mengering. Tongkol dipipil kemudian dijemur. Jagung pipilan dimasukkan ke dalam karung dan disimpan di gudang dengan sirkulasi udara yang baik. Pada budi daya jagung dengan pemupukan, hasil berkisar 3−4,50 t/ha, sedangkan yang tanpa pupuk 1,50−2,10 t/ha. Sebagian petani menjual produknya dalam bentuk jagung muda dengan harga Rp500/tongkol, namun daya serap pasar terbatas. Dengan membandingkan kinerja usaha tani tersebut dengan usaha tani anjuran, terdapat komponen teknologi yang perlu diperbaiki untuk meningkatkan efisiensi usaha tani dan produksi. Komponen teknologi tersebut meliputi pengolahan tanah, varietas unggul, pemupukan, pengairan, efisiensi penggunaan lahan, pengendalian hama terpadu, cara panen, pascapanen, dan pemasaran hasil. Pada dekade terakhir, tiga provinsi penghasil jagung terbesar dengan laju pertumbuhan produktivitas melebihi 6%/tahun adalah Nusa Tenggara Timur, Lampung, dan Sulawesi Selatan. Ratarata laju pertumbuhan produksi jagung nasional adalah 3,39%/tahun (Sarasutha 2002). Maluku memiliki banyak kesamaan dengan Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara Timur. Dengan mengadopsi teknologi dari kedua provinsi tersebut, diharapkan pengembangan jagung di Maluku akan berhasil. Kabupaten MTB merupakan penghasil jagung terbesar di Maluku, namun produktivitasnya baru mencapai 1,44 t/ha. 75
Rendahnya produktivitas disebabkan petani masih menggunakan varietas lokal dengan teknologi budi daya kurang intensif (tanpa olah tanah, tanpa pemupukan, dan pengendalian organisme pengganggu tanaman belum optimal). Peningkatan produksi jagung di Maluku dapat dilakukan dengan memperbaiki teknik budi daya, penggunaan varietas unggul komposit, pengaturan waktu tanam sesuai dengan kondisi agroekosistem, dan peningkatan IP pada daerah-daerah yang masih berpeluang untuk menanam palawija setelah padi atau palawija II setelah palawija I dipanen (Alfons et al. 2003). Penggunaan teknologi ini terbukti mampu meningkatkan produksi jagung di Sulawesi Selatan (Sarasutha et al. 1999). Hasil varietas unggul komposit dan hibrida di Maluku mencapai 4−6,50 t/ha (Alfons dan Sirappa 1994). Di lahan kering Makariki (Maluku Tengah), hasil jagung varietas Kalingga yang dipupuk urea 400 kg/ha, SP-36 500 kg/ha, dan KCl 200 kg/ha dengan jarak tanam 100 cm x 40 cm mencapai 6,20 t/ha (Alfons et al. 2003). Di Kecamatan Tanimbar Selatan (MTB), hasil jagung sebagai tanaman sela pada pertanaman jambu mete dengan pemupukan urea 100 kg/ha, TSP 125 kg/ha, dan KCl 75 kg/ha pada jarak tanam 80 cm x 40 cm, mencapai 4,25 t/ha (Baharudin et al. 1998). Eksplorasi dan dokumentasi plasma nutfah jagung yang dilakukan Alfons et al. (2003) di Kabupaten MTB berhasil mengidentifikasi tujuh kultivar jagung lokal, yaitu Merah Delima Tongkol Cokelat, Merah Delima Tongkol Putih, Merah Darah, lokal Putih, Pulut, Kuning Genjah, dan Kuning Dalam (Gambar 2). Produktivitas varietas tersebut di tingkat petani berkisar 1,50–2 t/ha. Pengembangan jagung lokal memiliki prospek yang baik, khususnya di Kabupaten MTB, karena mampu beradaptasi dengan lingkungan setempat, memiliki cita rasa yang enak sebagai bahan makanan pokok pengganti beras, dan dengan dukungan teknologi, hasil berkisar 3,79−5,43 t/ha (Pesireron et al. 2003). Khusus jagung Kuning Genjah dengan umur panen 70− 80 hari dan hasil 3,93 t/ha sangat sesuai ditanam pada daerah kering dengan musim hujan singkat. Namun untuk kepentingan agribisnis, penggunaan varietas unggul komposit tetap lebih unggul dibanding varietas lokal karena hasil lebih tinggi. Hasil varietas Sukmaraga mencapai 7,76 t/ 76
ha, Kalingga 7,35 t/ha, Bisma 6,94 t/ha, Gumarang 6,48 t/ha, dan Lamuru 6,41 t/ha (Pesireron et al. 2003). Petani di Pulau Kisar tempat ditemukannya tujuh kultivar jagung lokal masih menerapkan sistem usaha tani sederhana (Alfons et al. 2003). Persiapan lahan dilaksanakan pada awal musim hujan (November–Desember) dengan membenamkan gulma ke dalam tanah atau tanpa olah tanah. Setelah 2−3 hari, benih ditanam dengan tugal pada jarak 75 cm x 40 cm, empat benih per lubang. Pemupukan dan pengendalian OPT belum dilaksanakan. Bunga jantan dipangkas untuk makanan ternak yang sekaligus untuk pengendalian hama secara hayati. Pemangkasan bunga jantan dapat menekan daya tarik hama kumbang penggerek batang dan tongkol jagung. Dari empat tanaman yang tumbuh, dua di antarannya dipanen muda (70 hst) untuk jagung rebus atau bubur jagung yang dicampur dengan kacang merah dan labu, sedangkan dua sisanya dibiarkan sampai tua (100 hst). Hasil panen dipipil dan disimpan dalam drum atau bising yang terbuat dari daun koli (sejenis lontar). Jagung dikonsumsi sebagai makanan pokok atau makanan ringan. Produktivitas rata-rata jagung di Maluku berkisar 1,40 t/ha, lebih rendah dibanding rata-rata nasional (2,20 t/ha) atau potensi hasil varietas unggul (10 t/ ha). Peningkatan produksi jagung di wilayah ini perlu segera dilakukan mengingat semua komponen teknologi telah tersedia. Kebijakan pemerintah daerah diperlukan untuk mengembangkan
Gambar 2.
jagung yang didasarkan pada pendekatan partisipatif. Areal ekstensifikasi jagung di Maluku juga sangat luas, dan intensifikasi masih memungkinkan dilakukan dengan introduksi teknologi baru. Yusdja dan Agustian (2003) menunjukkan bahwa mengusahakan jagung di dalam negeri masih lebih menguntungkan dibandingkan dengan mengimpornya dari negara lain.
STRATEGI PENGEMBANGAN Strategi pengembangan jagung di Maluku perlu didasarkan pada dukungan teknologi dan pendekatan partisipatif. Dukungan teknologi dibutuhkan untuk membuat sistem usaha tani menjadi lebih efektif dan efisien serta berdaya hasil tinggi, sedangkan pendekatan partisipatif ditujukan agar masyarakat dapat ambil bagian dalam proses pengambilan keputusan atau secara aktif melakukan pemahaman tentang kondisi kehidupan mereka sehingga tercipta rencana dan tindakan yang berhasil guna (Saragih 2002). Berdasarkan karakteristik wilayah dan kondisi sosial masyarakat Maluku, seperti kebutuhan bahan makanan pokok, status kepemilikan lahan, curahan tenaga kerja, kebiasaan dan pengalaman petani, wilayah pengembangan jagung di Maluku dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu wilayah pengembangan I, II, dan III.
Kultivar jagung lokal spesifik lokasi yang ditemukan di Pulau Kisar, Kabupaten MTB (Alfons et al. 2003). Jurnal Litbang Pertanian, 24(2), 2005
Wilayah Pengembangan I
Wilayah Pengembangan II
Pada wilayah ini masyarakat menggunakan jagung sebagai bahan makanan pokok, status kepemilikan lahan tidak jelas (tanah adat) dengan daerah beriklim kering. Wilayah ini mencakup Kabupaten MTB, khususnya Kecamatan Pulau-pulau Terselatan, Lemola (Leti Moa Lakor), dan Pulau Babar. Pada wilayah ini menanam jagung merupakan kebutuhan (berapapun hasil yang diperoleh) karena jagung merupakan makanan pokok. Strategi pengembangan jagung di wilayah ini meliputi ekstensifikasi lahan pertanian, penggunaan inovasi teknologi budi daya, dan mitra usaha tani. Ekstensifikasi lahan pertanian masih sangat dimungkinkan karena potensi lahan yang tersedia cukup luas. Kendala utama ekstensifikasi adalah minimnya jumlah tenaga kerja keluarga. Oleh karena itu, selain mengoptimalkan sumber daya manusia, diperlukan alat dan mesin pertanian. Pembukaan lahan yang dimotori oleh organisasi keagamaan dan lembaga swadaya masyarakat terbukti mampu meningkatkan luas panen secara nyata. Introduksi alsintan perlu didukung dengan sarana prasarana lain, seperti perbengkelan, kios penjual suku cadang, dan jalan. Inovasi teknologi diarahkan untuk memperbaiki teknologi budi daya yang diterapkan petani. Teknologi yang perlu diintroduksikan kepada petani adalah pemupukan organik dan anorganik sesuai takaran anjuran dan pengendalian OPT secara terpadu. Pengairan dengan memompa air permukaan atau air tanah dapat dikaji sebagai upaya mengatasi kekurangan air pada musim kemarau. Kekeringan dapat pula diatasi dengan menanam varietas toleran kekeringan seperti Lamuru atau varietas genjah unggul (berumur 82−90 hari) tahan kekeringan seperti Gumarang, Lagalilo, dan Wisanggeni dengan potensi hasil 6,80−7,50 t/ha. Pada lahan kering masam dapat dikembangkan varietas Antasena namun varietas ini tidak tahan terhadap penyakit bulai (Balai Penelitian Tanaman Serealia 2002). Mitra usaha diperlukan untuk menampung produksi jagung dengan harga yang layak serta menyediakan saprodi dengan harga terjangkau. Mitra difasilitasi oleh pemerintah daerah agar pelaksanaannya saling menguntungkan.
Pada wilayah ini, pangan pokok masyarakatnya bukan jagung, tetapi sagu dan umbi-umbian. Jagung diusahakan sebagai tanaman sampingan pada wilayah dengan iklim relatif basah. Status kepemilikan lahan tidak jelas (tanah adat). Wilayah ini meliputi Kabupaten Maluku Tengah, Maluku Tenggara, dan P.P. Aru. Termasuk kelompok ini adalah petani urban (Bugis dan Buton). Strategi pengembangan jagung di wilayah ini meliputi mitra usaha petani, perubahan tradisi lokal, ekstensifikasi, dan inovasi teknologi. Mitra usaha dibutuhkan untuk menyediakan saprodi dengan harga terjangkau dan untuk menyerap produksi dengan harga yang wajar. Keterlibatan pemerintah daerah dibutuhkan sebagai pengatur sistem agar saling menguntungkan. Perubahan tradisi lokal menyangkut mengubah kebiasaan masyarakat lokal yang mengonsumsi sagu dan umbiumbian sebagai makanan pokok. Pada kelompok masyarakat ini, setelah stok pangan tercukupi, yang bertempat tinggal di wilayah pegunungan atau jauh dari laut mengisi waktu dengan berburu atau merawat tanaman tahunan, sedangkan yang bertempat tinggal di wilayah pesisir mencari ikan dan merawat tanaman tahunan. Kegiatan ini lebih mudah, murah, dan ringan dibanding membuka lahan dan menanam jagung. Ekstensifikasi masih memungkinkan karena ketersediaan lahan relatif luas dan kepemilikannya belum jelas. Namun, ekstensifikasi terhambat minimnya jumlah tenaga kerja. Jaminan harga pasar yang memadai dapat merangsang petani untuk membuka lahan agar produksi jagungnya meningkat. Penggunaan alsintan perlu diperkenalkan, karena ratarata keluarga tani hanya mampu membuka lahan 0,50−0,75 ha. Inovasi teknologi yang penting adalah penggunaan varietas unggul, pengolahan tanah, pemupukan, pengendalian OPT, pengairan dengan pompanisasi, serta penanganan panen dan pascapanen. Varietas unggul berdaya hasil tinggi seperti Bisma dan Lamuru, disarankan untuk dikembangkan pada wilayah ini. Varietas Lamuru lebih toleran kekeringan dan tahan serangan hama bubuk dibanding Bisma. Varietas ini telah berkembang di Sulawesi Selatan, Sulawesi
Jurnal Litbang Pertanian, 24(2), 2005
Utara, Sulawesi Tengah, Gorontalo, dan Nusa Tenggara Timur (Balai Penelitian Tanaman Serealia 2002).
Wilayah Pengembangan III Pada wilayah ini, masyarakat memiliki makanan pokok beras, status kepemilikan lahan jelas, dan menanam jagung untuk kebutuhan komersial. Termasuk dalam wilayah ini adalah daerah-daerah tujuan transmigrasi seperti Kairatu, Buru, dan Seram Utara. Daerah ini umumnya beririgasi teknis sehingga dapat diterapkan sistem usaha tani dengan komponen teknologi maksimal. Ekstensifikasi sulit dilakukan karena status lahan telah jelas. Petani pada wilayah ini relatif maju, dengan menerapkan prinsip agribisnis dan cukup responsif terhadap pengenalan teknologi baru. Strategi pengembangan jagung di wilayah ini adalah mitra usaha dan inovasi teknologi. Mitra usaha dibutuhkan untuk menampung hasil dengan harga yang kompetitif, dan menyediakan sarana produksi dengan harga terjangkau dan tersedia saat dibutuhkan. Inovasi teknologi ditekankan pada penerapan teknologi secara maksimal seperti penggunaan bibit hibrida. Harga benih jagung hibrida yang lebih mahal dibanding benih jagung komposit, menurut Bahtiar et al. (2002) dapat disiasati dengan menanam benih dari pertanaman sendiri (F2), karena hasilnya tidak jauh berbeda dibanding menggunakan varietas hibrida (F1). Inovasi teknologi lain yang disarankan pada wilayah ini adalah peningkatan IP dan penerapan konsep pengelolaan tanaman dan sumber daya secara terpadu (PTT). Peningkatan IP dimungkinkan karena telah tersedia sarana irigasi. Di beberapa daerah di Jawa, pengembangan jagung di lahan sawah irigasi memberikan keunggulan komparatif yang lebih baik dibandingkan di lahan sawah tadah hujan maupun lahan kering. Masalah dalam pengembangan jagung di lahan sawah adalah genangan air setelah panen padi sehingga jagung tidak dapat segera ditanam. Akibat terlambat tanam, tanaman berpeluang mengalami kekeringan pada fase generatif. Masalah ini dapat diatasi dengan membuat saluransaluran drainase mikro. Lahan sawah tadah hujan yang dekat dengan sumber air atau mempunyai air tanah dangkal berpeluang besar untuk pengembangan
77
jagung (Balai Penelitian Tanaman Serealia 2002).
KESIMPULAN Pengembangan jagung di Maluku prospektif dilakukan karena ketersediaan lahan kering yang relatif luas (853.250 ha), secara sosial jagung telah diterima oleh masyarakat walaupun masih dalam luasan relatif kecil, dan secara ekonomi menguntungkan karena pangsa pasar dalam dan luar negeri masih besar. Dukungan teknologi diperlukan untuk meningkatkan produksi. Strategi pengembangan jagung di Maluku ditekankan pada peningkatan produksi melalui perluasan areal tanam
(ekstensifikasi), perbaikan teknik budi daya jagung varietas lokal, introduksi varietas unggul tahan kekeringan seperti Lamuru, Gumarang, Legolilo, dan Wisanggeni, introduksi teknologi pengairan alternatif seperti pembuatan embung dan pompanisasi air permukaan, serta kemitraan untuk merangsang sistem usaha tani jagung di pedesaan. Pada wilayah yang telah tersedia irigasi teknis (Dataran Waeapo, Kairatu, dan Wahai) dapat dilakukan peningkatan IP dari 100 menjadi 200 atau dari 200 menjadi 300 dengan menanam varietas unggul hibrida atau komposit pada lahan sawah irigasi setelah padi. Untuk meningkatkan motivasi petani menanam jagung, perlu dilakukan penyuluhan dan diseminasi teknologi unggulan. Peran pemerintah daerah dan
mitra usaha diperlukan untuk mempercepat apresiasi petani bertanam jagung, dengan cara menampung produksi dengan harga yang layak dan menyediakan sarana produksi secara mudah dan murah. Untuk menjamin keberhasilan program pengembangan jagung di Maluku, perlu dilakukan pembagian wilayah berdasarkan karakteristik lingkungan dan masyarakatnya. Petani perlu secara aktif terlibat dalam setiap proses pengambilan keputusan, sehingga usaha pengembangan sesuai dengan keinginan petani. Analisis kompetitif jagung dibanding tanaman palawija lainnya pada areal yang sama perlu diteliti dan dikaji untuk mendukung pengembangan jagung di wilayah tersebut.
BPS Kabupaten Maluku Tenggara Barat. Kabupaten Maluku Tenggara Barat dalam Angka Tahun 2000 dan 2001. BPS Kabupaten Maluku Tenggara Barat, Maluku.
Makalah Lokakarya Sinkronisasi Program Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor, 5−6 Mei 2003.
BPS Kabupaten Maluku Tenggara. Kabupaten Maluku Tenggara dalam Angka Tahun 1996, 1997, 1998, 1999, 2000, 2001. BPS Kabupaten Maluku Tenggara, Maluku.
Rieuwpassa, A.J., A.N. Susanto, dan S. Bustaman. 2003a. Peta Pengembangan Palawija di Kabupaten Maluku Tenggara. Dinas Pertanian Provinsi Maluku, Ambon.
BPS Kota Ambon. Kota Ambon dalam Angka Tahun 1996, 1997, 1998, 1999, 2000, 2001. BPS Kota Ambon, Ambon.
Rieuwpassa, A.J., A.N. Susanto, dan S. Bustaman. 2003b. Peta Pengembangan Palawija di Kabupaten Maluku Tenggara Barat. Dinas Pertanian Provinsi Maluku, Ambon.
DAFTAR PUSTAKA Alfons, J.B. dan M.P. Sirappa. 1994. Hasil penelitian dampak penggunaan pupuk berimbang pada tanaman pangan di Maluku. Makalah disampaikan pada Jumpa Teknologi Tanaman Pangan Provinsi Maluku, 25−26 Februari 1994 di Ambon. Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Maluku, Ambon. Alfons, J.B., M. Pesireron, A.J. Rieuwpassa, R.E. Senewe, dan F. Watkaat. 2003. Pengkajian peningkatan produktivitas tanaman pangan tradisional di Maluku. Laporan Tahunan 2003. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Maluku, Ambon. Baharudin, B. de Rosari, dan S. Bachmid. 1998. Uji adaptasi paket teknologi jagung di antara jambu mete di lahan kering Maluku Tenggara. Prosiding Seminar Hasil-hasil Pengkajian Pertanian TA 1997/1998, Buku I. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian– Ambon (no. 3): 46−54. Bahtiar, Muchdiana, Margaretha, Rahmi, Muis, IG.P. Sarasutha, dan M.Y. Maamun. 2002. Peluang dan kendala pemasaran jagung di Sulawesi Selatan. Risalah Penelitian Jagung dan Serealia Lain 7: 49−57. Balai Penelitian Tanaman Serealia. 2002. Inovasi Teknologi Jagung, Menjawab Tantangan Ketahanan Pangan Nasional. Balai Penelitian Tanaman Serealia, Maros. 19 hlm. BPS Kabupaten Buru. Kabupaten Buru dalam Angka Tahun 2000 dan 2001. BPS Kabupaten Buru, Maluku. BPS Kabupaten Maluku Tengah. Kabupaten Maluku dalam Angka Tahun 1996, 1997, 1998, 1999, 2000, 2001. BPS Kabupaten Maluku Tengah, Maluku.
78
Bustaman, S. dan A.N. Susanto. 2003a. Potensi Lahan Beserta Alternatif Komoditas Pertanian Terpilih Berdasarkan Peta Zona Agroekologi pada Setiap Kecamatan di Kabupaten Maluku Tengah. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Maluku, Ambon. Bustaman, S. dan A.N. Susanto. 2003b. Potensi Lahan Beserta Alternatif Komoditas Pertanian Terpilih Berdasarkan Peta Zona Agroekologi pada Setiap Kecamatan di Kota Ambon. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Maluku, Ambon. Hendayana, R. 2003. Aplikasi metode Location Quotient (LQ) dalam penentuan komoditas unggulan nasional. Informatika Pertanian 12: 658−675. Pesireron, M., J.B. Alfons, dan R.E. Senewe. 2003. Uji adaptasi varietas jagung spesifik lokasi pada lahan kering di Kabupaten MTB. Laporan Tahunan 2003. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Maluku, Ambon. Rachman, H. 2003. Dasar Penetapan komoditas unggulan nasional di tingkat provinsi.
Saragih, B. 2002. Peranan teknologi tepat guna dalam pengembangan sistem agribisnis kerakyatan dan berkelanjutan. Dalam T. Sudaryanto, I.W. Rusastra, A. Syam, dan M. Ariani (Ed.). Analisis Kebijaksanaan: Pendekatan Pembangunan dan Kebijaksanaan Pengembangan Agribisnis. Monograph Series No. 22 Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. hlm. 36−44. Sarasutha, IG.P. 2002. Kinerja usaha tani dan pemasaran jagung di sentra produksi. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian 21(2): 39−47. Sarasutha, IG.P., M.S. Lalu, dan A. Najamudin. 1999. Analisis keunggulan komparatif dan kompetitif jagung. Prosiding Seminar Nasional Hasil Pengkajian dan Penelitian Teknologi Pertanian Menghadapi Era Otonomi Daerah, Palu 3−4 November 1999. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. Subandi, I.G. Ismail, dan Hermanto. 1998. Jagung. Teknologi produksi dan pascapanen. Jurnal Litbang Pertanian, 24(2), 2005
Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor. Suherman, O., Burhanuddin, Faesal, M. Dahlan, dan F. Kasim. 2002. Pengembangan jagung unggul nasional bersari bebas dan hibrida. Risalah Penelitian Jagung dan Serealia Lain 7: 8−14. Sumarno dan Suwasik. 1995. Pengembangan usaha tani berdasarkan sosial-ekonomi dan agroklimat. Edisi Khusus Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbiumbian (no. 2):142−154. Sumarno, I. Las, A.K. Makarim, S. Purba, S. Rochayati, M. Mardiharini, I.N. Widiarta, Baehaki, Hendarsih, Suwarno, Sudarmadji, A. Djulin, dan S. Kartaatmadja. 1998. Panduan Pelaksanaan Model Pengembangan Sistem Usaha Pertanian MH 1998/1999. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta. Susanto, A.N. 2004. Identifikasi kebutuhan teknologi lokalita di Kabupaten Maluku
Jurnal Litbang Pertanian, 24(2), 2005
Tengah. Makalah pada Acara Temu Mitra Balai Pendidikan dan Pelatihan Pertanian Maluku, Ambon. 12 Januari 2004. Susanto, A.N. dan S. Bustaman. 2003a. Potensi lahan beserta alternatif komoditas pertanian terpilih berdasarkan peta zona agroekologi pada setiap kecamatan di Kabupaten Buru. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Maluku, Ambon. Susanto, A.N. dan S. Bustaman. 2003b. Potensi lahan beserta alternatif komoditas pertanian terpilih berdasarkan peta zona agroekologi pada setiap kecamatan di Kabupaten Maluku Tenggara. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Maluku, Ambon. Susanto, A.N. dan S. Bustaman. 2003c. Potensi lahan beserta alternatif komoditas pertanian terpilih berdasarkan peta zona agroekologi pada setiap kecamatan di Kabupaten Maluku Tenggara Barat. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Maluku, Ambon.
Susanto, A.N., A.J. Rieuwpassa, dan S. Bustaman. 2003a. Peta pengembangan palawija di Kabupaten Buru. Dinas Pertanian Provinsi Maluku, Ambon. Susanto, A.N., A.J. Rieuwpassa, dan S. Bustaman. 2003b. Peta pengembangan palawija di Kabupaten Maluku Tengah. Dinas Pertanian Provinsi Maluku, Ambon. Swastika, D.K.S., P.U. Hadi, dan N. Ilham. 2002. Proyeksi penawaran dan permintaan komoditas tanaman pangan: 2000–2010. Dalam T. Sudaryanto, I.W. Rusastra, A. Syam, dan M. Ariani (Ed.). Analisis Kebijaksanaan: Pendekatan Pembangunan dan Kebijaksanaan Pengembangan Agribisnis. Monograph Series No. 22. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. hlm. 123−133. Yusdja, Y. dan A. Agustian. 2003. Analisis kebijakan tarif jagung antara petani jagung danpPeternak. Analisis Kebijakan Pertanian 1(1): 36-54.
79