PROSPEK PENGEMBANGAN MODEL PRIMA TANI DALAM ARAH KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERTANIAN DI INDONESIA Muhrizal Sarwani¹ dan Abdullah Bamualim² ¹ Kepala Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Balitbang Pertanian ² Kepala Puslitbang Peternakan, Balitbang Deptan ABSTRAK Salah satu strategi pembangunan pertanian pada pemerintah Kabinet Indonesia bersatu adalah revitalisasi sektor pertanian dan pedesaan untuk berkonstribusi pada pengentasan kemiskinan. Penjabaran dari strategi tersebut dituangkan kedalam program Departemen Pertanian pada periode 2005-2009, yaitu: (1) Program Peningkatan Ketahanan Pangan; (2) Program Pengembangan Agribisnis; dan (3) Program Kesejahteraan petani. Menurut Suryana (2007), ada lima syarat mutlak (keharusan) yang harus dipenuhi agar pembangunan pertanian atau revitalisasi pertanian dapat tumbuh dan berkembang secara progresif, yaitu : (1) Adanya pasar bagi poroduk-produk hasil usaha agribisnis; (2) Tersedianya teknologi yang senantiasa berkembang sesuai kebutuhan; (3) Tersedianya sarana dan prasarana produksi yang efektif dan efisien; (4) Adanya perangsang produksi bagi produsen, yaitu kebijakan yang berpihak kepada produsen; dan (5) Adanya fasilitas transportasi dan distribusi yang memadai dan efisien bagi hasil produk pertanian dan sarana produksi yang dibutuhkan. Implementasi dari strategi dan program tersebut diwujudkan ke dalam Program Rintisan dan Akselerasi Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Pertanian (PRIMA TANI) pada dasarnya merupakan pelaksanaan paradigma baru penelitian dan Pengembangan yang dilakukan oleh Badan Litbang Pertanian. Prospek Model Pengembangan Prima Tani ke depan diindikasikan dari beberapa hasil yang telah dicapai sejak tahun 2005 sampai dengan 2007, yaitu: (1) besarnya respon masyarakat untuk meningkatkan pendapatan melalui usaha pertanian; (2) tingginya respon pemerintah daerah, (3) peningkatan adopsi inovasi teknologi pertanian; (4) sudah terbentuk dan berkembangnya AIPSUID di beberapa lokasi; dan (5) peningkatan pendapatan petani sebagai dampak dari peningkatan produktivitas dan efisiensi usaha. Ke depan kewajiban Pemda lebih serius, yaitu: (1) menjaga keberlanjutan pelaksanaan Prima Tani di lokasi Pengembangan Prima Tani dalam mewujudkan Agribisnis Industrial Pedesaan (AIP) bisa tercapai; dan (2) Pemda setempat berkewajiban untuk memasalkan Prima Tani ke lokasi lainnya. Kata kunci : Prima tani, model, pengembangan dan pertanian PENDAHULUAN Strategi pembangunan pertanian yang dijalankan pemerintah Kabinet Indonesia Bersatu saat ini adalah strategi tiga jalur (triple track strategy). Ketiga jalur strategy tersebut adalah ; (1) peningkatan pertumbuhan ekonomi diatas 6,5 persen pertahun melalui percepatan investasi dan ekspor, (2) pembenahan sektor riil untuk mampu menyerap tambahan angkatan kerja dan menciptakan lapangan kerja baru, dan (3) revitalisasi sektor pertanian dan pedesaan untuk berkonstribusi pada pengentasan kemiskinan. Kebijakan yang ditempuh ini dianggap sebagai manifestasi dari strategi pembangunan yang lebih pro-growth, pro-employment dan pro-poor, yang saat ini menjadi referensi penting negara-negara di dunia, (Arifin 2005). Menurut Suryana (2007), ada lima syarat mutlak (keharusan) yang harus dipenuhi agar pembangunan pertanian atau revitalisasi pertanian dapat tumbuh dan berkembang secara progresif, yaitu : (1) Adanya pasar bagi produk-produk hasil usaha agribisnis. (2) Tersedianya teknologi yang senantiasa berkembang sesuai kebutuhan. (3) Tersedianya sarana dan prasarana produksi yang efektif dan efisien. (4) Adanya perangsang produksi bagi produsen, yaitu kebijakan yang berpihak kepada produsen. (5) Adanya fasilitas transportasi dan distribusi yang memadai dan efisien bagi hasil produk pertanian dan sarana produksi yang dibutuhkan.
Berkaitan dengan pembangunan pertanian, ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) merupakan prasyarat mutlak untuk mendorong peningkatan produktivitas dan daya saing produk yang dihasilkan. Dalam konteks agribisnis, yang lingkupnya lebih luas daripada aktivitas produksi pertanian, teknologi dimaksud mencakup tehnik dan teknologi yang digunakan untuk memproduksi hasil pertanian primer, mengolah hasil pertanian pangan, menyimpan dan mengangkut produk-produk agribisnis yang dihasilkan. Pengertian “baru” di sini adalah perbaikan atau pengembangan atas apa yang dipergunakan selama ini, yang mungkin saja sudah lama ditemukan dan telah digunakan secara luas oleh pihak lain. Yang penting adalah bahwa suatu teknologi baru harus memberikan manfaat yang makin besar bagi aktivitas agribisnis. Teknologi baru itu diciptakan melalui kegiatan penelitian, baik dalam rangka perbaikan atau pembaharuan dari teknologi yang sudah ada (technology innovation) sehingga mempunyai keunggulan lebih tinggi atau beragam, atau suatu penemuan teknologi yang sama sekali baru (technology invention). Sumber-sumber teknologi yang akan diperbaharui dapat berasal dari petani atau pengguna lainnya, mendatangkan dari daerah-daerah atau negara-negara lain atau penelitian-penelitian yang terarah (purposeful research). Dalam hal ini, penelitian merupakan kegiatan verifikasi dan adaptasi dari metode-metode paling produktif yang digunakan oleh pengguna di suatu daerah atau negara lain. Dalam program pembangunan pertanian, Badan Litbang Pertanian berperan menghasilkan dan mendiseminasikan inovasi teknologi unggul untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi dan nilai tambah produk pertanian. Dalam rangka percepatan diseminasi inovasi pertanian, Badan Litbang mulai tahun 2005 telah melaksanakan upaya terobosan melalui Program Rintisan dan Akselerasi Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Pertanian (Prima Tani). Prima Tani adalah suatu konsep baru diseminasi teknologi yang dipandang dapat mempercepat penyampaian informasi dan teknologi inovasi yang dihasilkan Badan Litbang Pertanian, dengan menerapkan teknologi inovasi spesifik lokasi dan mengembangkan kelembagaan agribisnis melalui pendekatan agroekosistem, agribisnis, wilayah, kelembagaan, dan pemberdayaan masyarakat secara partisipatif. PROGRAM PENGEMBANGAN PERTANIAN Program utama pembangunan pertanian Departemen Pertanian periode 2005-2009, yaitu : (1) Program Peningkatan Ketahanan Pangan; (2) Program Pengembangan Agribisnis; dan (3) Program Peningkatan Kesejahteraan Petani. Program peningkatan ketahanan pangan diarahkan untuk memberikan fasilitasi bagi terjaminnya masyarakat memperoleh pangan yang cukup setiap saat, sehat dan halal. Adapaun sasaran yang ingin dicapai adalah : (1) dicapainya ketersediaan pangan tingkat nasional, regional dan rumah tangga yang cukup, aman dan halal, (2) meningkatnya keragaman produksi dan konsumsi pangan masyarakat, dan (3) meningkatnya kemampuan masyarakat dalam mengatasi masalah kerawanan pangan. Rencana tindak program peningkatan ketahanan pangan ini, antara lain: (1) Intensifikasi dan ekstensifikasi produksi komoditas pangan pokok, (2) Pengembangan sumber pangan alternatif lokal, (3) Pengembangan pola konsumsi pangan lokal non-beras (4) Pengembangan dan perbaikan jaringan irigasi, (5) Pengembangan jaringan usahatani, (6) Fasilitasi sistem penyediaan sarana produksi, (7) Pengembangan jaringan permodalan, (8) Pengembangan perbenihan, (9) Fasilitasi subsidi input produksi, (10) Pengembangan jasa alsin pertanian, (11) Perumusan dan penetapan kebijakan harga pangan, (12) Pengelolaan tata niaga pangan, (13) Pengamanan produksi pertanian dan perkarantinaan, (14) Penyusunan dan penerapan standar kualitas dan keamanan pangan, (15) Pengembangan sistem kewaspadaan pangan dan gizi, (16) Penguatan lembaga ketahanan pangan masyarakat, (17) Pengembangan teknologi pengurangan kehilangan hasil, (18) Pengembangan teknologi sumberdaya alam, (19) Pengembangan teknologi pengolahan pangan tradisional, (20) Pengembangan teknologi perbaikan mutu dan keamanan pangan, dan (21) Penyelarasan kebijakan dan program peningkatan ketahanan pangan.
Program Pengembangan Agribisnis diarahkan untuk memfasilitasi kegiatan yang berorientasi memperluas cakupan kegiatan ekonomi produktif petani serta peningkatan efisiensi dan dayasaing. Perluasan kegiatan ekonomi yang memungkinkan dilakukan adalah: (1) peningkatan nilai tambah melalui pengolahan dan perbaikan kualitas; dan (2) mendorong kegiatan usahatani secara terpadu mencakup beberapa komoditas (sistem integrasi tanaman-ternak atau sistem integrasi tanaman-ternak-ikan). Adapun sasaran dari program ini adalah: (1) berkembangnya usaha di sektor hulu, usahatani (on-farm), hilir (agroindustri) dan usaha jasa penunjang; (2) meningkatnya pertumbuhan PDB sektor pertanian; dan (3) meningkatnya ekspor produk pertanian segar dan olahan. Selanjutnya rencana tindak program pengembangan agribisnis ini, antara lain: (1) Penyusunan peta pewilayahan komoditas, (2) Pengembangan sentra produksi komoditas unggulan, (3) Penyuluhan, pendampingan, pendidikan dan pelatihan kewirausahaan, (4) Pengkajian aspek sosial ekonomi dan kebijakan komoditas pertanian komersial, (5) Pengembangan varietas/jenis ternak unggul, (6) Pengembangan teknologi perbaikan sistem produksi komoditas pertanian, (7) Pengembangan teknologi mekanisasi pertanian untuk peningkatan produktivitas dan efisiensi, serta pemanfaatan sumberdaya energi terbarukan, (8) Pengembangan inovasi pertanian spesifik lokasi, (9) Pemanfaatan bioteknologi untuk perbaikan tanaman dan ternak, (10) Penerapan teknologi pasca panen, (11) Pengembangan agroindustri di kawasan sentra produksi, (12) Pengembangan komoditas komersial, (13) Pengembangan kelembagaan dan informasi pasar, (14) Bimbingan teknis sistem produksi pertanian (Good Agriculture Practices/GAP), (15) Pengamanan produksi pertanian dan perkarantinaan, (16) Penyesuaian kebijakan tarif impor dan subsidi ekspor, (17) Pengembangan kerjasama dan perdagangan internasional, (18) Sosialisasi dan penerapan peraturan perkarantinaan dan SPS (sanitary and phyto-sanitary), (19) Pengembangan lembaga sistem jaminan mutu, (20) Pengembangan pola kemitraan usaha di bidang pertanian, (21) Pengembangan pola contract farming, (22) Pengembangan promosi produk pertanian, (23) Pengembangan infrastruktur perdesaan, dan (24) Penyelarasan kebijakan dan program pengembangan agribisnis. Program peningkatan kesejahteraan petani diarahkan untuk memfasilitasi peningkatan pendapatan petani melalui pemberdayaan, peningkatan akses terhadap sumberdaya usaha pertanian, pengembangan kelembagaan, dan perlindungan terhadap petani. Sedangkan sasaran yang ingin dicapai adalah: (1) meningkatnya kapasitas dan posisi tawar petani, (2) semakin kokohnya kelembagaan petani, (3) meningkatnya akses petani terhadap sumberdaya produktif; dan (4) meningkatnya pendapatan petani. Rencana tindak program peningkatan kesejahteraan petani ini antara lain: (1) Penyuluhan, pelatihan dan pendampingan petani, (2) Peningkatan kewirausahaan petani melalui penyetaraan pendidikan, (3) Pendidikan tingkat menengah untuk generasi muda tani, (4) Penguatan kelembagaan penyuluhan dan pertanian lain di perdesaan, (5) Pengembangan diversifikasi usaha rumahtangga berbasis pertanian, (6) Advokasi penataan hak pemilikan, sertifikasi dan pencegahan konversi lahan, (7) Perumusan kebijakan penataan, pemanfaatan dan pajak progresif lahan, (8) Pemberian insentif usaha dan promosi investasi, (9) Pengembangan tata guna air dan konservasi lahan, (10) Fasilitasi investasi dan kemitraan usaha, (11) Perlindungan usaha pertanian, (12) Perumusan dan advokasi kebijakan perlindungan petani, (13) Pengkajian teknologi spesifik lokasi, (14) Pengembangan model kelembagaan usahatani berbasis inovasi pertanian (15) Peningkatan infrastruktur perdesaan, (16) Peningkatan partisipasi masyarakat dalam perumusan kebijakan, (17) Penyelasaran kebijakan dan program dalam peningkatan kesejahteraan petani, dan (18) Koordinasi kebijakan nasional penanggulangan kemiskinan. Dalam tataran praktisnya, berbagai kegiatan yang dilakukan oleh Departemen Pertanian diarahkan untuk selalu sejalan dengan semangat Revitalisasi Pertanian. Beberapa bentuk operasionalisasi revitalisasi pertanian yang telah dilakukan antara lain, penyusunan arahan bagi pengembangan agribisnis komoditas unggulan yang mengacu pada road map 17 komoditas dan empat bidang masalah. Melalui upaya ini diharapkan dapat dirumuskan secara lebih sistematis lagi upaya yang diperlukan dalam pengembangan berbagai komoditi unggulan di Indonesia. Upaya ini tidak hanya memotret kondisi kekinian dari berbagai komoditi yang ada, namun juga mencoba melihat prospek pengembangan ke depan serta berbagai kendala yang ada. Melalui penyusunan komoditas unggulan ini diharapkan dapat membantu berbagai pihak terkait untuk saling bersinergi dalam pengembangan komoditi tersebut ke depan.
Terkait dengan pengembangan agribisnis komoditas unggulan di atas, pemerintah telah mencanangkan beberapa target dalam pencapaian swasembada beberapa komoditi pangan utama (Badan Litbang Pertanian, 2005), yaitu : a. Padi/Beras : berkelanjutan sejak tahun 2004 b. Jagung : 2007 c. Kedele : 2015 d. Gula : 2009 e. Daging Sapi : 2010 Bersamaan dengan upaya di atas, Departemen Pertanian juga mengupayakan pengembangan komoditas lainnya melalui promosi ekspor atau substitusi impor, terutama untuk komoditas : a. Perkebunan : kelapa sawit, kakao, karet, kelapa, dan lada b. Hortikultura : pisang, jeruk, bawang merah, mangga, anggrek c. Peternakan : unggas, sapi, kambing/domba Hal lain yang telah dilakukan oleh Departemen Pertanian adalah penyusunan UndangUndang No. 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (SP3K). Melalui upaya ini diharapkan pemerintah dapat memperbaiki kinerja kegiatan penyuluhan, sehingga berbagai teknologi yang dihasilkan oleh Badan Litbang Pertanian ataupun pihak lain dapat lebih cepat didiseminasikan dan diimplementasikan di lahan petani. Selain itu, melalui pendampingan yang lebih intensif oleh para penyuluh, berbagai kelembagaan petani yang ada di pedesaan dapat lebih berperan lagi dalam memperkuat posisi tawar petani bila berhadapan dengan pihak lain. Selain upaya tersebut di atas, hal lain yang sudah, sedang, dan akan terus dilakukan adalah penyempurnaan sistem perbenihan nasional. Upaya ini meliputi reformasi Badan Perbenihan Nasional serta penyempurnaan peraturan, mulai dari proses penciptaan, pelepasan, pemanfaatan dan pengawasan varietas yang lebih kondusif. Selain itu, pemerintah juga akan terus mendorong dengan mengembangkan peran swasta dalam industri perbenihan komersial, dan pemerintah sendiri akan lebih banyak berperan pada aspek publik. Penyusunan berbagai kebijakan pembangunan pertanian pada intinya diarahkan untuk tujuan proteksi dan promosi komoditi, serta upaya memperkuat posisi tawar petani. Hal ini dilakukan melalui pemberian insentif berupa subsidi pupuk dan benih, jaminan harga gabah dan gula, keringanan pajak ekspor dan tarif impor pertanian serta pemberian arahan bagi penggunaan pupuk yang lebih rasional. PRIMA TANI DALAM PERSPEKTIF ARAH KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERTANIAN Program Rintisan dan Akselerasi Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Pertanian (Prima Tani) pada dasarnya merupakan pelaksanaan dari paradigma baru penelitian dan pengembangan yang dilakukan oleh Badan Litbang Pertanian. Pada masa lalu, paradigma yang dianut dapat disebut sebagai penelitian dan pengembangan (Research and Development) dengan focus melaksanakan penelitian dan pengembangan untuk menemukan atau menciptakan teknologi. Kegiatan diseminasi lebih dominan pada mempublikasikan karya ilmiah dan menginformasikan keberadaan inovasi teknologi. Dengan paradigma lama tersebut, tugas dan tanggung jawab Badan Litbang Pertanian ditafsirkan sempit, terbatas pada menyediakan dan menginformasikan teknologi inovatif. Penyebaran teknologi inovatif yang dihasilkan tersebut dipandang sebagai di luar mandat Badan Litbang Pertanian. Dengan paradigma penelitian dan pengembangan itu pula, maka sasaran Badan Litbang Pertanian berorientasi pada menghasilkan teknologi inovatif dan mempublikasikan karya ilmiah sebanyak-banyaknya. Keseuaian teknologi yang dihasilkan dengan preferensi pengguna menjadi kurang diperhatikan. Penyaluran (delivery) dan penerapan (receiving/adopsi) teknologi yang dihasilkan dipandang sebagai di luar tugas pokok Badan Litbang Pertanian. Kegiatan yang dihasilkan cenderung bersifat ”Penelitian untuk Peneltian” (Research for Research) dan ”Penelitian untuk Publikasi” (Research for Publication). Barangkali paradigma inilah salah satu penyebab utama fenomean lamban dan rendahnya tingkat penerapan teknologi yang dihasilkan Badan Litbang Pertanian oleh pengguna.
Menyadari hal itu, Badan Litbang Pertanian menerapkan paradigma baru dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, yaitu ”Penelitian untuk Pembangunan” (Research for Development). Dengan paradigma baru ini, orientasi kerja Badan Litbang Pertanian adalah menghasilkan teknologi inovatif untuk diterapkan sebagai mesin penggerak (prime mover) pembangunan Pertanian. Untuk itu kegiatan penelitian dan pengembangan haruslah berorientasi pada pengguna (user oriented), sehingga teknologi inovatif yang dihasilkan lebih terjamin benarbenar tepat guna spesifik lokasi dan pemakai. Penelitian dan pengembangan haruslah dilaksanakan secara partisipatif dengan melibatkan perwakilan calon pengguna outputnya. Dalam paradigma “Penelitian untuk Pembangunan”, peran kegiatan diseminasi diposisikan sama penting dengan kegiatan penelitian dan pengembangan. Kalau pada masa lalu, diseminasi praktis hanya untuk menginformasikan dan menyediakan teknologi sumber/dasar secara terpusat di Balai Penelitian, maka kini dengan paradigma “Penelitian untuk Pembangunan”, diseminasi diperluas dengan juga melaksanakan pengembangan percontohan sistem dan usaha agribisnis berbasis teknologi inovatif dan penyediaan teknologi dasar secara terdesentralisasi sebagai inisiatif untuk merintis pemasyarakatan teknologi yang dihasilkan Badan Litbang Pertanian. Sasaran kegiatan diseminasi juga disesuaikan, dari tersebarnya informasi kepada masyarakat pengguna teknologi, menjadi tersedianya contoh konkrit penerapan teknologi di lapangan. Prima Tani merupakan strategi dalam mengimplementasikan paradigma baru Badan Litbang Pertanian tersebut. Dipandang dari segi pelaksanaan kegiatan penelitian dan pengembangan, Prima Tani merupakan wahana untuk pelaksanaan penelitian dan pengembangan partisipatif dalam rangka mewujudkan penelitian dan pengembangan berorientasi konsumen/pengguna (Consumer Oriented Research and Development). Dilihat dari segi pelaksanaan kegiatan diseminasi, Prima Tani merupakan wahana untuk menghubungkan secara langsung Badan Litbang Pertanian sebagai penyedia teknologi sumber/dasar dengan masyarakat luas atau pengguna teknologi secara komersial maupun lembaga-lembaga penunjang pembangunan sehingga adopsi teknologi yang dihasilkan Badan Litbang Pertanian tidak saja tepat guna, tetapi juga langsung diterapkan dalam sistem dan usaha agribisnis, setidaknya dalam tahapan rintisan atau percontohan. Rintisan atau percontohan diharapkan menajadi titik awal difusi massal teknologi inovatif yang dihasilkan Badan Litbang Pertanian. Tujuan utama Prima Tani adalah untuk mempercepat diseminasi dan adopsi teknologi inovatif terutama yang dihasilkan oleh Badan Litbang Pertanian, serta untuk memperoleh umpan balik mengenai karakteristik teknologi tepat-guna spesifik pengguna dan lokasi. Umpan balik ini merupakan informasi esensial dalam rangka mewujudkan dan memperbaiki penelitian dan pengembangan berorientasi kebutuhan pengguna. Selain itu, melalui kegiatan Prima Tani diharapkan pendapatan dan kesejahteraan petani akan meningkat dan kelestarian lingkungan terjaga. Prima Tani merupakan program yang dilaksanakan secara partisipatif oleh semua pemangku kepentingan (stake holder) pembangunan pertanian, dalam bentuk laboratorium agribisnis. Sebagai instrumen untuk menclapatkan model pembangunan pertanian pedesaan yang komprehensif berbasis inovasi pertanian, Prima Tani dilaksanakan dengan empat strategi, yaitu : (a) menerapkan teknologi inovatif tepat guna melalui penelitian dan pengembangan partisipatif; (b) membangun model percontohan agribisnis progresif berbasis teknologi inovatif dengan mengintegrasikan sistem inovasi dan sistem agribisnis; (c) mendorong proses difusi dan replikasi model percontohan teknologi inovatif melalui ekspose dan demonstrasi lapang, diseminasi informasi, advokasi serta fasilitasi; dan (d) basis pengembangan dilaksanakan berdaarkan wilayah agroekosistem dan kondisi sosial ekonomi setempat. Prima Tani diimplementasikan secara partisipatif dalam suatu desa atau Laboratorium Agribisnis, dengan menggunakan lima pendekatan, yaitu : (i) agribisnis, (ii) agro-ekosistem, (iii) wilayah, (iv) kelembagaan, dan (v) pemberdayaan masyarakat. Pendekatan agribisnis berarti dalam implementasi Prima Tani diperhatikan struktur dan keterkaitan sub-sistem penyediaan input, usahatani, pasca panen dan pengolahan, pemasaran, dan penunjang dalam satu sistem. Penggunaan pendekatan agro-ekosistem berarti Prima Tani diplementasikan dengan memperhatikan kesesuaian dengan kondisi bio-fisik lokasi yang meliputi aspek sumber daya lahan, air, wilayah komoditas dan komoditas dominan. Pendekatan wilayah berarti optimasi penggunaan lahan untuk pertanian dalam satu kawasan (desa atau kecamatan). Salah satu
komoditas pertanian dapat menjadi perhatian utama sedangkan beberapa komoditas lainnya sebagai pendukung, terutama dalam kaitannya dengan upaya untuk mengatasi resiko ekonomi akibat fluktuasi harga. Pendekatan kelembagaan berarti pelaksanaan Prima Tani tidak hanya memperhatikan keberadaan dan fungsi suatu organinasi ekonomi atau individu yang berkaitan dengan input dan output, tetapi juga mencakup modal sosial, norma dan aturan yang berlaku di lokasi Prima Tani. Sedangkan pendekatan pemberdayaan masyarakat menekankan perlunya penumbuhan kemandirian petani dalam memanfaatkan potensi sumberdaya pedesaan. Resultan dari kelima pendekatan di atas adalah terciptanya suatu model pengembangan pertanian dan pesedaan dalam bentuk unit Agribisnis Industrial Pedesaan (AIP) dan Sistem Usahatani Intensifikasi Diversifikasi (SUID) di lokasi Prima Tani yang berkelanjutan. Dengan strategi, tujuan dan pendekatan yang telah ditetapkan tersebut di atas, maka Prima Tani diharapkan akan dapat memberikan manfaat antara lain : (a) meningkatnya inovasi baru dalam sistem dan usaha agribisnis; (b) meningkatnya efisiensi sistem produksi, perdagangan, dan konsumsi komoditas pertanian Indonesia; dan (c) meningkatnya akuntabilitas Departemen Pertanian dalam pembangunan pertanian. Prima Tani dirancang melalui proses yang cukup panjang dan konsisten (konsep dirancang sejak tahun 2004), serta secara kontinu dilakukan berbagai penyempurnaan yang disesuaikan dengan perkembangan di lapangan dan dinamika kebijakan di Departemen Pertanian. Prima Tani pertama kali diimplementasikan pada tahun 2005 di 14 provinsi, yang meliputi 21 kabupaten, yaitu Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Lampung, Jawa barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Kalimantan Barat dan Kalimantan Selatan. Pada tahun 2006, pelaksanaan kegiatan Prima Tani diperluas lagi di 11 provinsi baru, yang mencakup 11 kabupaten (sehingga total ada di 25 provinsi, yang meliputi 32 kabupaten) yaitu NAD, Riau, Jambi, Bengkulu, Banten, DI Yogyakarta, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara, dan DKI Jakarta. Pada tahun 2007, dengan pertimbangan agar Prima Tani dapat dicontoh oleh lebih banyak daerah, maka pelaksanaannya diperluas hingga di 33 provinsi yang mencakup 201 desa. INDIKASI KEBERHASILAN PRIMA TANI Output yang telah dicapai dapat diklasifikasikan berdasarkan tahun mulainya, yaitu lokasi tahun 2005, 2006, dan 2007. Pada lokasi yang dimulai sejak tahun 2005 dan 2006 (yang berarti Prima Tani telah dilaksanakan 2-3 tahun), indikasi keberhasilan yang dapat dilihat antara lain : (1) besarnya respon masyarakat untuk meningkatkan pendapatan melalui usaha pertanian; (2) tingginya respon pemerintah daerah, yang diwujudkan adanya integrasi program dan sharing pendanaan di lokasi Prima Tani, integrasi ke dalam program pembangunan pertanian daerah, dan rencana replikasi pendekatan Prima Tani dalam pembangunan pertanian daerah; (3) peningkatan adopsi inovasi teknologi pertanian; (4) sudah terbentuk dan berkembangnya AIPSUID di beberapa lokasi, seperti di Kabupaten Buleleng - Bali; Magelang - Jawa Tengah; Parigi Moutong – Sulawesi Tengah; Pontianak - Kalimantan Barat, Lumajang – Jawa Timur; Kolaka – Sulawesi Tenggara, Seluma - Bengkulu, dan banyak lokasi lainnya, dan (5) peningkatan pendapatan petani sebagai dampak dari peningkatan produktivitas dan efisiensi usaha, serta berkembangnya diversifikasi usaha. Pada lokasi yang dimulai tahun 2007, di sebagian besar lokasi telah mulai terlihat gerakan pembangunan pertanian dengan basis penerapan teknologi inovatif. Indikasi keberhasilan pelaksanaan Prima Tani di beberapa daerah, menunjukkan peluang perluasan lebih lanjut pendekatan Prima Tani sebagai pendekatan pembangunan. Selain itu, terjadi pengembangan tujuan dan sasaran kegiatan, tidak saja pada upaya akselerasi penyerapan teknologi yang dihasilkan Badan Litbang Pertanian, tetapi juga diharapkan: (1) mampu mewujudkan model pembangunan pertanian yang berawal dari desa, (2) menjadi model sinergi program pembangunan pertanian, bukan hanya dari Departemen Pertanian, tetapi juga di luar Departemen Pertanian dan Pemerintah Daerah, (3) sebagai percontohan pembangunan pertanian/pedesaan bagi daerah lain, dan (4) sebagai tempat pembelajaran bagi peneliti, penyuluh, dan petani (centre of knowledge). Sebagai model percontohan pembangunan
pertanian, Menteri Pertanian berharap model pendekatan Prima Tani dapat direplikasi di 10.000 desa pada tahun 2008, dengan mengadopsi pengalaman-pengalaman yang baik dari program Departemen Pertanian lainnya seperti P4K dan P4MI dengan program Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP). PERANAN PEMERINTAH DAERAH SEBAGAI PEMEGANG TONGKAT ESTAFET KEBERLANJUTAN PRIMA TANI Sasaran akhir Prima Tani adalah diterapkannya teknologi inovatif yang dihasilkan Badan Litbang Pertanian oleh praktisi agribisnis secara cepat, tepat, dan luas (massal), yang bermuara pada terbentuknya Agribisnis Industrial Pedesaan (AIP) yang berbasis pemanfaatan sumberdaya setempat secara optimal dalam upaya meningkatkan kegiatan usaha dan kesejahteraan masyarakat setempat. Namun demikian, walaupun pada awalnya program ini diinisiasi oleh Badan Litbang Pertanian, maka dalam pelaksanaan tahap berikutnya peran Pemda setempat diharapkan sangat dominan. Pada dasarnya, dengan pendekatan yang benar bahwa kegiatan inovasi dan diseminasi teknologi yang dilakukan Badan Litbang Pertanian pada program Prima Tani hanyalah membuktikan bahwa teknologi yang dihasilkan Badan Litbang mampu menjawab kebutuhan dan permasalahan petani atau tepat guna dan unggul sehingga mereka yakin dan mengadopsinya. Kegiatan diseminasi yang dilakukan Badan Litbang Pertanian hanya dalam skala terbatas dan sementara waktu saja. Sehingga fasilitasi difusi dan replikasi atau perluasan Prima Tani diharapkan akan dilakukan oleh instansi pemerintah yang bertugas untuk itu, terutama dari pihak Pemda setempat. Dengan demikian, pemda setempat berkewajiban untuk menerima tongkat estafet pelaksanaan Prima Tani yang selama ini dilakukan oleh Badan Litbang Pertanian. Ke depan, paling tidak ada dua kewajiban Pemda setempat yang perlu mendapat perhatian lebih serius, yaitu: (1) Menjaga keberlanjutan pelaksanaan Prima Tani di lokasi pengembangan Prima Tani selama ini sehingga tujuan akhir dari Prima Tani dalam mewujudkan Agribisnis Industrial Pedesaan (AIP) bisa tercapai, dan (2) Mengingat pelaksanaan Prima Tani selama ini masih terbatas pada beberapa lokasi/desa, maka agar percepatan pembangunan pertanian secara nasional bisa tercapai, maka Pemda setempat berkewajiban untuk memassalkan Prima Tani ke lokasi lainnya. Dalam kaitan ini, Badan Litbang Pertanian bukan berarti lepas tangan. Badan Litbang Pertanian tetap berkewajiban sebagai pemasok teknologi yang dibutuhkan dalam pengembangan Prima Tani tersebut. ARAH KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERTANIAN KE DEPAN Seperti diungkap sebelumnya, bahwa peranan inovasi teknologi yang sesuai kebutuhan penggunan dan alih teknologi sangat vital pembanguan pertanian ke depan. Perbaikan inovasi teknologi yang bermuara ke pengguna perlu terus diupayakan seiring dengan perubahan lingkungan strategis. Oleh kerena itu, penyempurnaan pengembangan dan aplikasi iptek dalam pembangunan pertanian dalam era globalisasi sekarang ini, agenda kebijakan ke depan perlu menyesuaikan dengan perubahan kelembagaan yang juga berkembang demikian cepat. Apabila dahulu, fokus kebijakan lebih banyak pada pembahasan kuantitas input yang digunakan, kini fokus tersebut telah bergeser pada efisiensi penggunaan teknologi biologi-kimiawi, seperti benih unggul, pupuk dan pestisida, perubahan aransemen kelembagaan yang menyertai pengembangan teknologi tidak dapat dilakukan secara sambilan (ad-hoc), tetapi harus secara holistik dan dilengkapi dengan kebijakan yang memadai. Kajian dan penelusuran lebih dalam tentang hubungan fungsional antara tingkat penggunaan input produksi pertanian dengan aspek kelembagaan serta kondisi sosial ekonomi yang melingkupi proses produksi masih harus terus menerus dilakukan. Di tingkat lapangan, hal tersebut perlu diterjemahkan melalui penelaahan yang terus menerus untuk menemukan spesifikasi produksi pertanian yang tepat, sesuai dengan kondisi agroklimat serta setting kelembagaan suatu daerah tertentu. Perbaikan kondisi sosial ekonomi serta fungsi-fungsi kelembagaan tersebut, dapat ditempuh melalui desentralisasi perumusan kebijakan teknologi di bidang pertanian. Para peneliti dan perumus kebijakan juga masih harus bekerja keras untuk menyempurnakan adaptasi teknologi biologi-kimiawi, bukan sekedar adopsi
pada beberapa kondisi ekologis dan sosial ekonomi masyarakat. Dalam jangka panjang, desentralisasi seperti ini dapat mengurangi perbedaan tingkat efisiensi penggunaan faktor produksi serta produktivitas pertanian antar wilayah, seperti yang dialami oleh pulau Jawa dan luar Jawa selama ini. Keterbatasan dana yang dialokasikan untuk kegiatan litbang pertanian juga perlu dikelola secara khusus. Dengan anggaran yang terbatas tersebut, kegiatan litbang pertanian harus fokus pada sedikit komoditas (prioritas) agar dapat diselesaikan secara tuntas dalam kurun waktu yang tidak terlalu lama. Salah satu dampak dari paradigma ”penelitian untuk penelitian" atau bahkan ”penelitian untuk peneliti" adalah kegiatan litbang yang tidak fokus, mencakup banyak komoditas karena mengikuti kemauan peneliti bukan berdasarkan kebutuhan pengguna. Ke depan, paling tidak tiga komoditas pangan yang tetap akan menjadi fokus perhatian, yaitu padi, jagung, kedelai, selain komoditas tebu (gula) dan daging sapi. PENUTUP Prima Tani merupakan program terobosan Departemen Pertanian dalam upaya akselerasi diseminasi inovasi teknologi ke pengguna untuk mempercepat pembangunan pertanian di daerah. Prima Tani merupakan model dan percontohan untuk pengentasan kemiskinan dan pengangguran dan dirancang dengan mengintegrasikan berbagai pihak dan instansi terkait baik lingkup Deptan maupun luar Deptan. Prima Tani diharapkan menjadi laboratorium lapang sebagai pusat pembelajaran bagi daerah lain dan lokasi praktek lapang mahasiswa dan perguruan tinggi. Prima Tani pada dasarnya merupakan implementasi dari perubahan paradigma dari Penelitian dan Pengembangan (Research and Development) ke Penelitian untuk Pembangunan (Research for Development). Dengan begitu, kegiatan Badan Litbang akan lebih terarah pada pemenuhan preferensi stakeholders. Dengan strategi baru tersebut, maka Badan Litbang Pertanian terintegrasi langsung sebagai salah satu elemen ensensial dalam pelaksanaan Prima Tani. Pengembangan Model Prima Tani sejalan dengan arah kebijakan pembangunan pertanin ke depan yang fokus hanya kepada beberapa komoditas prioritas sesuai dengan potensi setempat dalam upaya mempercepat pengentasan kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa. DAFTAR PUSTAKA Adimihardja, A 2007. Prima Tani: Sebagai salah satu instrument revitalisasi pertanian. Materi yang disampaikan pada Training of Trainer (TOT) Prima Tani, Bogor, 5-6 Januari 2007. Badan Litbang Pertanian, Deptan. 2004. Rancangan Dasar Program Rintisan dan Akselerasi Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Pertanian (PRIMA TANI). Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta 19 Agustus 2004.
ARAH KEBIJAKAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PETERNAKAN LAHAN KERING Bess Tiesnamurti, Chalid Talib, R.H. Matondang dan A.M. Bamualim Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan ABSTRAK Lahan kering di Indonesia dapat dikelompokkan dalam empat sub agroekosistem yaitu dengan komoditas ternak yang dapat dikembangkan sebagai berikut ini: (1) Lahan kering dataran rendah Iklim basah, sangat baik untuk ternak sapi potong, kambing/domba; ayam dan itik; (2) Lahan kering dataran rendah iklim kering sangat baik untuk sapi potong, kerbau; ayam lokal; kambing dan itik; (3) Lahan kering dataran tinggi iklim basah sangat baik untuk ternak sapi potong, sapi perah, domba/kambing, ayam lokal dan (4) Lahan kering dataran tinggi iklim kering sangat baik untuk ternak sapi potong, sapi perah; ayam lokal dan itik. Kegiatan penelitian pengembangan ternak di lahan kering tetap harus memperhatikan kondisi lingkungan, terutama ketersediaan pakan, air dan cekaman lingkungan. Ternak lokal paling sesuai untuk pengembangan ternak di lahan kering, seleksi ternak harus dilakukan berdasarkan prospek pengembangan: LEISA, Zero Waste dan Zero Cost. Daya adaptasi dan kemampuan reproduksi ternak lokal adalah merupakan faktor yang sangat mendukung pengembangan peternakan di lahan kering. Sehingga apabila akan dilakukan peningkatan mutu genetik maka aspek “ekonomi” merupakan hal utama yang harus diperhatikan. Tindakan yang harus segera dilakukan pada saat ini adalah melakukan evaluasi terhadap program-program yang telah dilakukan dan hasil yang telah dicapai di lapang, kemudian melakukan kegiatan yang difokuskan pada kelayakan ekonomi, kondisi sosial budaya masyarakat, daya dukung wilayah, serta daya dukung sarana prasarana maupun kelembagaan. Kata Kunci : lahan kering, peternakan, penelitian dan pengembangan PENDAHULUAN Luas lahan kering di Indonesia menurut data dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat (Puslitbangtanak) adalah: (i) Lahan kering berbasis alang-alang seluas 8,7 juta ha, (ii) Lahan kering berbasis perkebunan seluas 14 juta ha, (iii) Lahan kering berbasis pastura seluas 11 juta ha, dan (iv) Lahan kering berbasis budidaya campuran (tegalan) seluas 5,2 juta ha. Lahan alang-alang terutama mewakili Pulau Sumatera dan Kalimantan, lahan perkebunan mewakili Pulau Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi, lahan pastura mewakili wilayah Nusa Tenggara dan Papua (kawasan Merauke), sedangkan lahan budidaya campuran terdapat di seluruh lahan kering, namun terutama mewakili sebagian wilayah di Pulau Jawa. Pertanian lahan kering merupakan sistem usaha pertanian dimana sumber utama airnya bergantung pada curah hujan. Salah satu usaha yang dapat dikembangkan pada semua jenis lahan kering ini adalah usaha peternakan karena kondisi agro-ekologi dan sosial ekonomi masyarakat sangat mendukung, dimana diharapkan kegiatan ini dapat meningkatkan kehidupan ekonomi para petani dan masyarakat setempat. Ternak yang dipelihara para petani meliputi ternak besar (sapi, kerbau dan kuda) dan ternak kecil (kambing, babi dan unggas). Dengan demikian tidaklah mengherankan bahwa justru daerah kering seperti Nusa Tenggara telah berhasil menjadi daerah pemasok ternak sapi, kerbau dan kuda yang penting bagi daerah lain di Indonesia dalam beberapa dekade terakhir ini. Berdasarkan pada pengamatan yang dilakukan di Nusa Tenggara selain kecukupan pakan, sedikitnya ada tiga faktor penting yang mempengaruhi produktivitas ternak dalam suatu sistem usahatani (Patrick, 1994), yaitu (i) Ketersediaan air irigasi: Walaupun didominasi oleh lahan kering, umumnya produktivitas ternak lebih baik pada wilayah yang berada di sekitar sumber air. Hal ini juga berlaku pada daerah persawahan beririgasi teknis. (ii) Intensitas penggunaan ternak untuk pengolahan tanah: Ternak yang digunakan untuk bekerja dengan intensitas yang tinggi namun tidak diikuti dengan pemberian pakan yang baik pada umumnya memiliki tingkat produktivitas yang sangat rendah. Sebaliknya, walaupun ternak digunakan untuk bekerja secara intensif, namun jika diberikan
pakan yang cukup dan berkualitas baik dari sisa-sisa hasil pertanian, maka tingkat produktivitasnya tetap tinggi, dan (iii) Penghargaan petani akan nilai ekonomis ternak yang dipeliharanya: Observasi yang dilakukan di beberapa lokasi di Nusa Tenggara memperlihatkan bahwa tingkat produktivitas ternak sapi sangat baik. Hal ini diduga karena adanya penghargaan para petani terhadap ternak sebagai aset yang bernilai bagi mereka terutama sebagai sumber tabungan yang sangat berharga. Memang harus diakui bahwa pada umumnya petani di daerah tersebut dalam kategori ketiga diatas terdiri dari para petani yang relatif cukup mampu karena berdomisili di wilayah yang kondisi alamnya mendukung bagi usaha pertanian dengan produktivitas yang tinggi. MASALAH DAN UPAYA PEMECAHAN MASALAH Masalah Peternakan di Daerah Lahan Kering Permasalahan yang dihadapi oleh peternak di lahan kering meliputi rendahnya produktivitas ternak, menurunnya populasi ternak, dan kelangkaan pakan dan air yang dijelaskan secara ringkas berikut ini. Rendahnya Produktivitas. Di lahan kering, umumnya produktivitas ternak relatif lebih rendah daripada di daerah basah. Beberapa unsur penyebab menurunnya produksi ternak adalah: ternak menjadi lambat dewasa dan umur beranak pertama yang panjang. Hal ini dapat disebabkan oleh buruknya kondisi induk yang menyebabkan jarak beranak panjang. Kondisi induk yang buruk dapat pula mengakibatkan bobot lahir yang kecil serta kematian pedet yang tinggi. Angka kematian anak yang relatif tinggi, terutama kematian anak sapi Bali yang digembalakan di padang rumput alam dapat mencapai 20-50% (Wirdahayati dan Bamualim, 1991). Hal ini antara lain disebabkan oleh pola kelahiran yang terkonsentrasi dalam musim kemarau saat kondisi pakan buruk hal ini dapat pula berpengaruh terhadap pertumbuhan sehingga bobot badan dewasa menjadi kecil. Kecenderungan semakin menurunnya mutu genetik ternak di kantong-kantong produksi ternak, akibat dari pengurasan ternakternak produktif dan berlangsungnya proses in-breeding (yaitu terjadinya perkawinan antar turunan yang mempunyai hubungan kekerabatan yang dekat selama beberapa generasi). Menurunnya Populasi Masalah lain yang dihadapi usaha ternak di lahan kering adalah menurunnya populasi ternak karena meningkatnya jumlah pemotongan betina produktif dan sapi muda/kecil. Disamping itu dengan diperkenalkannya sistem perkawinan secara IB, banyak peternak yang enggan untuk memelihara pejantan, mereka menggantungkan perkawinan ternaknya kepada sistem IB dan ternak jantan mereka jual. Dengan demikian terjadilah kelangkaan pejantan, padahal sistem IB juga belum dapat berjalan dengan baik karena faktor kendala teknis maupun kondisi lapangan yang tidak memudahkan petugas IB untuk hadir tepat pada waktunya. Hal ini berakibat menjadi rendahnya angka kelahiran ternak. Pada peternak yang mempunyai pejantan, sapi jantan dapat mengawini induk-induk sapi yang sedang berahi, dengan demikian angka kebuntingan dapat mencapai 90% per tahun. Kondisi ini makin lebih buruk lagi dengan adanya otonomi daerah dimana setiap provinsi berlomba-lomba untuk mendapatkan PAD. Untuk tujuan tersebut ijin ekspor betina produktif diperlonggar. Hal ini dapat memperburuk pengembangan peternakan di lahan kering karena bibit ternak yang baik dijual ke luar negeri karena mempunyai harga yang baik. Hal ini terlihat dari dinamika produksi ternak sapi pada khususnya di kawasan timur Indonesia yang didominasi oleh daerah kering, dimana sekitar 40% sapi betina muda ternyata dijual oleh peternaknya setiap tahun. Jumlah ternak muda yang dikeluarkan tersebut dapat menyebabkan ketidak-langgengan dan menurunnya populasi ternak dari tahun ke tahun (Fordyce et al., 2003). Kekurangan Pakan dan Air
Selain itu problem utama usaha peternakan di lahan kering adalah kelangkaan pakan dan air terutama di musim kemarau. Mutu pakan, khususnya tanaman pakan ternak (TPT) di daerah tropis kering, terlihat dipengaruhi oleh musim. Minimal terdapat tiga unsur nutrien pakan yang bervariasi antara musim hujan dengan musim kemarau, yaitu: kandungan protein, mineral dan serat kasar. Ternak yang dipelihara secara ekstensif atau yang digembalakan maka lamanya musim kemarau sangat berpengaruh terhadap tingkat produksi yang dihasilkan. Semakin panjang musim kemarau yang dialami maka semakin besar kehilangan bobot badan, demikian pula sebaliknya. Menurunnya kondisi ternak selama musim kemarau menyebabkan ternak rentan terhadap serangan berbagai penyakit hewan. Produktivitas ternak yang dipelihara pada lokasi dimana tersedia pakan dan air yang kontinyu sepanjang tahun lebih baik dibandingkan dengan ternak yang dipelihara pada lokasi dimana air dan hijauan pakan tidak tersedia sepanjang tahun. Hal ini berlaku juga bagi ternak sapi yang digunakan sebagai ternak kerja. Sebagai pembanding, angka kelahiran sapi Bali di Pulau Timor yang mengalami kesulitan pakan selama musim kemarau, menurun menjadi 51% per tahun (Wirdahayati et al., 1994). Upaya Pemecahan Masalah Oleh karena itu pemecahan terhadap kendala tersebut dalam pembahasan diatas menjadi target utama apabila usaha peternakan akan lebih ditingkatkan kembali di daerah lahan kering. Pertumbuhan ternak yang dipelihara secara ekstensif di lahan penggembalaan alam, mengikuti fluktuasi mutu dan produksi pakan berdasarkan musim dimana ternak mengalami kenaikan bobot badan dalam musim hujan dan diikuti oleh penurunan bobot badan selama musim kemarau. Hasil pengamatan selama tiga tahun menunjukkan bahwa bobot badan induk sapi Bali di lokasi yang tersedia pakan berkualitas dalam jumlah yang memadai selama ternak digunakan untuk bekerja di musim kemarau adalah 250+16 kg/ekor dengan angka kelahiran ratarata sebesar 76+18%. Sedangkan bobot badan induk sapi Bali di lokasi yang terjadi kekurangan pada musim kemarau yang sama hanya mencapai 175+32 kg/ekor dengan angka kelahiran sebesar 43+10% (Wirdahayati et al., 1994). Ditinjau dari faktor pendukung maka penyediaan sumber air sangat penting untuk diperhatikan, tersedianya saluran irigasi yang menjamin ketersediaan air untuk minuman ternak dan penanaman padi dan palawija pada musim kemarau secara kontinyu, dimana sisa-sisa hasil pertanian yang bermutu baik, seperti jerami palawija/kacang-kacangan, merupakan pakan suplemen yang diberikan pada ternak sapi selama musim kemarau. Hal lain yang patut diupayakan untuk memecahkan masalah peternakan di lahan kering adalah pengembangan TPT dalam skala luas di berbagai wilayah. Pola Amarasi yang mengembangkan tanaman lamtoro di masa lalu yang berdampak pada berkembangnya program penggemukkan sapi di P. Timor merupakan salah satu contoh klasik dari pengembangan TPT di lahan kering. KOMODITAS UNGGULAN YANG DAPAT DIKEMBANGKAN Ternak-ternak yang direkomendasikan untuk dapat dikembangkan pada masing-masing agroekosistem lahan kering yang ada Indonesia dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 1. Komoditas ternak yang direkomendasikan untuk dapat dikembangkan pada agroekosistem yang berbeda. No Agroekosistem Komoditas 1 Lahan Kering Dataran Rendah Sapi potong, Kambing/domba; ayam; Itik . Iklim basah 2 Lahan Kering Dataran Rendah Sapi potong, Kerbau; Ayam lokal; . Iklim Kering Kambing; itik 3 Lahan Kering Dataran Tinggi Sapi potong, Sapi Perah;domba/kambing; . Iklim Basah ayam lokal 4 Lahan Kering Dataran Tinggi Sapi potong, Itik; sapi perah; ayam lokal . Iklim Kering
Untuk meningkatkan produksi daging (sapi) di dalam negeri perlu diupayakan beberapa pendekatan yang bertujuan untuk (a) meningkatkan populasi dan (b) meningkatkan produksi melalui percepatan pertambahan bobot badan dan peningkatan bobot potong. Peningkatan populasi dapat dilakukan dengan mempercepat waktu beranak (dari 4,5 tahun menjadi 2,5 tahun); memperpendek jarak beranak (dari >2 tahun menjadi 1 tahun); mengurangi dan mencegah pengeluaran dan pemotongan hewan betina produktif dan hewan potong yang berukuran kecil; memperpanjang masa produktif hewan betina; mengurangi angka kematian induk dan anak karena faktor penyakit, pakan, maupun sebab lain; dll. Sedangkan peningkatan produksi dapat dilakukan dengan upaya perbaikan penyediaan pakan murah dan mudah; pencegahan dari gangguan penyakit atau parasit; serta melakukan pola breeding dan perkawinan yang tepat. Untuk mengatasi permasalahan industri perunggasan, dalam jangka pendek dapat dilakukan melalui upaya penyediaan bahan pakan sumber enersi, baik dengan pengembangan jagung pola integrasi atau mencari substitusinya. Pola integrasi dengan perkebunan mempunyai prospek yang baik untuk mengembangkan komoditas pertanian yang menghasilkan pakan sumber enersi, jagung maupun singkong. Beberapa komponen teknologi sudah tersedia, sehingga tinggal dilakukan pengkajian untuk menghasilkan paket atau inovasi yang lebih aplikatif. Sumber pakan yang dapat digali dan dikembangkan adalah limbah pertanian (sawah, tegal, perkebunan) maupun agro-industri. Oleh karena itu pengembangan ternak dapat dilakukan dengan pola integrasi in-situ maupun ex-situ, secara vertikal maupun horizontal. Beberapa contoh yang dapat dijadikan acuan adalah: SISKA (sapi-sawit), SIPT (padi-sapi), serta CLS lainnya (kakao/kopi-kambing, dll.) seperti yang dikemukakan Diwyanto, dkk. (2003).
ARAH KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PETERNAKAN Peternakan komersil di Indonesia pada umumnya terbatas pada usaha peternakan dengan bibit impor seperti ayam ras, feedlot sapi potong, sapi perah dan babi. Kehadiran ternak ungas impor hampir mencapai 70 persen dari ternak unggas domestik, untuk sapi potong sekitar 15 persen, sapi perah 60 persen dan babi sekitar 20 persen. Dengan kata lain, hampir sebagian besar peternakan komersil di Indonesia semuanya menggunakan bibit impor. Pengembangan peternakan ayam ras sebagai contoh, merupakan industri peternakan yang relatif sangat maju dengan fasilitas dan infrastruktur yang lengkap. Hanya disayangkan bahwa komponen utama budidaya ayam ras terutama bibit dan pakan sangat tergantung pada impor. Pada sisi lain, pengembangan peternakan komersil dengan menggunakan ternak domestik sangat terbatas, karena alasan teknologi dan produktivitas bibit masih sangat rendah, produktivitas tidak berimbang dengan jumlah pakan yang dikonsumsi. Industri peternakan menurut struktur pengusahaan, besaran modal yang digunakan dan manajemen yang diterapkan pada umumnya dapat dikelompokan dalam 5 sektor sebagai berikut: Sektor 1: Sistem Industri Terintegrasi (Industrial Integrated System) . Perusahaan peternakan yang masuk dalam kelompok ini melaksanakan manajemen intensif, modal relatif tinggi, input bibit dan pakan dihasilkan sendiri sedangkan produk pada umumnya untuk dikonsumsi oleh peternakan sektor 2. Sektor 2: Sistem Perusahaan Komersial Perusahaan peternakan yang masuk dalam kelompok ini melakanakan manajemen intensif, modal relatif tinggi, manajemen biosekuriti relatif Moderat Sampai Tinggi sedangkan produksi langsung merupakan pangan, sedangkan input tergantung pada Sektor 1 atau impor. Sektor 3: Sistem Peternakan Skala Kecil (Rakyat).
Perusahaan peternakan yang masuk dalam kelompok ini melaksanakan manajemen intensif rendah, modal sangat rendah, produksi adalah pangan. Usaha pada sektor ini mempunyai ketergantungan pasar output dan input pada jasa pelayanan. Sektor 4: Sistem Peternakan Tradisonal (Pedesaan).. Pengelaloaan ternak pada umumnya ektensif dan kadang-kadang liar. Usaha ternak yang masuk dalam kelompok ini terdapat di pedesaaan dalam bentuk usaha sambilan (backyard farming). Sektor 5: Sistem Peternakan Liar. Merupakan hewan-hewan liar yang pada umumnya tidak memiliki tempat tinggal, hidup dalam alam secara bebas, pakan sangat tergantung pada alam. Hewan-hewan liar dapat hidup subur pada habitatnya, tetapi hewan-hewan liar yang dipelihara oleh manusia diluar habitatnya pada umum berada pada wilayah pemukimam. Tabel 1 memperlihatkan keragaan industri peternakan menurut sektor dan komoditas unggulan Departemen Pertanian yakni unggas(ayam ras, ayam buras dan itik), Sapi (Sapi potong, sapi perah dan kerbau) dan Kado (Kambing dan Domba). Tabel 1 memperlihatkan bahwa hanya ayam ras yang telah mengisi sektor 1, sementara sektor 2 sebagian besar diisi oleh ternak bibit impor, dan peternakan domestik mengisi sektor 3 dan 4.
Tabel 1. Keragaan Industri Peternakan Menurut Sektor, 2007 Sektor Industri peternakan 1 2 3 4 Ayam Ras (import) √√ √√ √√√ √ Ayam Buras √ √√√ Unggas Itik √ √√√ Sapi Potong/Kerbau √ √ √√√ Feedlot Sapi Import √√ √ Sapi Perah (import) √ √√ Kado (Kambing Domba) √√√ √√√
5 √ √ -
Sumber: Dari berbagai Laporan Hasil Penelitian PSE-KP (2000-2006) Catatan: √√√ = Banyak, √√ Sedang √ = terbatas ∆ terbatas bersarat
Keragaan pada Tabel 1 tentulah bukan peternakan yang kita harapkan karena sudah terbukti tidak mempunyai kemampuan memainkan perannya sebagaimana dibahas di atas. Kemana arah perubahannya? Tabel 2 memperlihatkan keragaan industri peternakan yang kita harapkan, dengan arah kebijakan seperti berkut: 1. Industri Peternakan terutama dalam kerangka pemanfaatan ternak domestik harus didorong berkembang mencapai sektor 1 dan 2. 2. Pengembangan ternak kecil seperti ayam buras dapat dilakukan oleh sektor 3, karena sektor 2 akan diisi oleh ayam ras. 3. Industri ayam ras diarahkan berkembang ke sektor 1 dan 2. Secara alami hal ini sudah terjadi. Diprediksi dalam masa 5 tahun ke depan sektor 3 dan 4 hampir tidak ada lagi. 4. Pemanfaatan ternak besar seperti sapi dan kerbau didorong berkembang pada sektor 2 dan 3, sedangkan pemanfaatan sapi impor ditiadakan (dalam jangka panjang). 5. Peternakan kambing dan domba diarahkan pada sektor 2 dan secara terbatas pada sektor 3. Hal ini berdasarkan pertimbangan, kado adalah ternak berukuran kecil, sangat mudah berkembang dan tahan terhadap manajemen yang buruk. Tabel 2. Keragaan Industri Peternakan Yang Diharapkan Menurut Sektor , 2007 Sektor Industri peternakan 1 2 3 4 5 Ayam Ras √ √√√ Ayam Buras √√ √√√ √ ∆ Itik √√ √√ ∆ Sapi Potong/Kerbau √ √√√ √√ ∆ Feedlot Sapi Import Sapi Perah √ √√√ √ Kambing √√ √√√ √ √ ∆ Domba √√ √√√ √ √ ∆ Catatan: √√√ = Banyak, √√ Sedang √n = terbatas ∆ terbatas bersarat
PENUTUP Kegiatan pengembangan ternak di lahan kering harus memperhatikan kondisi lingkungan, terutama ketersediaan pakan, air dan cekaman lingkungan. Ternak lokal paling sesuai untuk pengembangan ternak di lahan kering, seleksi ternak harus dilakukan berdasarkan prospek pengembangan: LEISA, Zero Waste dan Zero Cost. Daya adaptasi dan kemampuan reproduksi ternak lokal adalah merupakan faktor yang sangat mendukung pengembangan peternakan di lahan kering. Sehingga apabila akan dilakukan peningkatan mutu genetik, aspek “ekonomi” merupakan hal utama yang harus diperhatikan. Tindakan yang harus segera dilakukan pada saat ini adalah melakukan evaluasi terhadap program-program yang telah dilakukan dan apa yang telah terjadi dilapang, kemudian melakukan kegiatan yang difokuskan pada kelayakan ekonomi, kondisi sosial budaya masyarakat, daya dukung wilayah, serta daya dukung sarana prasarana maupun kelembagaan. DAFTAR PUSTAKA Fordyce, G., T. Panjaitan, Muzani and D. Poppy. 2003. Management to facilitate genetic improvement of Bali cattle in Eastern Indonesia. In “Strategy to Improve Bali Cattle in Easten Indonesia” (Eds. K.Entwistle and D.R. Lindsay). Proceedings of a Workshop, 4-7 February 2002, Bali Indonesia. ACIAR Proceedings No.110, Canberra, 2003. Diwyanto, K., D. Sitompul, I. Manti, I.W. Mathius dan Soentoro. 2003. Pengkajian pengembangan usaha sistem integrasi kelapa sawit-sapi. Dalam: Bambang Setiadi dkk (Ed). Prosiding Lokakarya Nasional. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan.11-22. Patrick, I. 1994. Management factor constraining cattle productivity at CHAPS sites in Nusa Tenggara. Wirdahayati R.B., B.M.Christie, A.Muthalib and K.F.Dowsett. 1994. Productivity of beef cattle in Nusa Tenggara. CHAPS Book A, p.170. Final Seminar of the Cattle Health and Productivity Survey (CHAPS), Held at the Disease Investigation Centre, Denpasar-Bali, May 15-17 1994.