http://www.karyailmiah.polnes.ac.id
PROSPEK PENERAPAN PRINSIP SUSTAINABLE DEVELOPMENT DALAM PERENCANAAN KOTA DI INDONESIA Anna Rulia (Staf Pengajar Jurusan Desain Produk Politeknik Negeri Samarinda) Abstract
ANNA RULIA: Recently, the issue of sustainability has been a great concern in all sectors of development, including urban planning. Sustainable development can be defined as the development that meets the needs of the present without comprising the needs of the future generation. As a concept it consists of three aspects : economy, social, and environment. Notwithstanding the definition itself is very vague so as the specific conditions of countries, this issue has successfully tethered the world in the same concern. The concept of sustainable development is described in many principles, one of them is principles of Perlman. Perlman‟s which comprises items covering the issues range from ecology up to the social justice. By using the comparation study with the planning principles in Indonesia, this research aims to seek the prospect of application of those principles in Indonesian town planning context. Keywords :
Sustainable development, town planning, principles, prospect.
PENDAHULUAN Isu tentang sustainable development (SD) berkembang seiring dengan meningkatnya perhatian global atas dampak perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi terhadap lingkungan. Perhatian terhadap hal tersebut pertama kali diangkat oleh Rachel Carlson dalam bukunya Silence Spring yang diterbitkan pada tahun 1962. Carlson memfokuskan perhatiannya masalahmasalah lingkungan, sesuatu yang saat ini dalam perspektif yang lebih luas telah menjadi perhatian utama dalam man-made environment. Ia menyadarkan bahwa selama ini kita telah memilih jalan yang salah yang akan menuntun pada kehancuran lingkungan (1962:277). Semenjak diterbitkannya buku tersebut, isu tentang SD menjadi pembicaraan penting bagi para peneliti dan pengambil keputusan di seluruh dunia. Meskipun demikian, pengertian tentang SD sendiri masih sering diperdebatkan. Hal ini berkaitan terutama dengan kepentingan politik berbagai negara. Konsep yang paling umum dipakai adalah konsep yang disusun oleh World Commission for Sustainable Development atau yang lebih dikenal dengan komisi Burtland pada
JURNAL EKSIS Vol.8 No.1, Mar 2012: 2001 – 2181
tahun 1987. Menurut komisi ini, SD dirumuskan sebagai “the development that meets of the present without compromising the ability of future generations to meet their needs and aspirations” (Riddel, 2005:13). Penerapan SD sendiri amat krusial mengingat kota dan kehidupan didalamnya menjadi sangat penting meningat separuh dari populasi dunia hidup di kota (Hojer, 2011:7). Samarnya batas-batas fisik perkotaan mengakibatkan konurbasi meningkat baik dalam ukuran/dimensi maupun jumlah yang dapat mengakibatkan multiply effect dari permasalahan perkotaan yang ada. Dalam kaitannya dengan perencanaan kota, lebih jauh beberapa masalah utama yang sangat jelas terlihat berkaitan dengan SD adalah tata guna lahan, urbanisasi, kurangnya sarana perumahan yang terjangkau, polusi dari kendaraan bermotor serta bangunan-bangunan tua yang tidak terawat di pusat kota. Tak dapat dipungkiri, urban form dan tata guna lahan sebuah kota sangat menentukan kualitas lingkungannya. Kota, dengan segala permasalahan yang ada di dalamnya, tidak dapat dipungkiri saat ini merupakan pilihan favorit untuk tinggal. Dengan perkembangan yang pesat, kota telah
Riset / 2162
„mengintervensi‟ lahan-lahan yang ada dipinggirannya (urban sprawl). Hal ini diikuti oleh penyebaran dan peningkatan jumlah penduduk, meluasnya volume sistem teknis (utilitas) pendukung kota, serta tidak dapat dipungkiri, pada akhirnya akan memicu peningkatan penggunaan sumber daya energi serta lahan yang secara langsung maupun tidak langsung mengancam kelestarian lingkungan secara lokal, regional dan global. Di Indonesia, isu SD diterjemahkan sebagai pembangunan berkelanjutan yang diakomodasi dalam azas penataan ruang (Bab II pasal 2) sebagaimana termaktub dalam UndangUndang No.26 Tahun 2007. Namun pada kenyataannya, jauh panggang dari api. Amat banyak perencanaan kota yang justru berada di kutub yang berlawanan dari SD yang berujung pada bertambah buruknya masalah perkotaan serta timpangnya keseimbangan antara aspek ekonomi, sosial serta lingkungan dalam pembangunan perkotaan. Beranjak dari kenyataan tersebut, penelitian ini dilakukan untuk melihat prospek penerapan SD dalam perencanaan kota di Indonesia. Hasil dari penelitian ini dapat dijadikan masukan bagi berbagai stakeholder terkait baik perencana, arsitek, pengambil keputusan, investor, maupun juga masyarakat yang concern terhadap perkembangan dan masa depan kotanya. Melihat pentingnya konten dari isu sustainability dalam perkotaan, maka hal tersebut membawa penulis pada pertanyaan : “Bagaimanakah prospek penerapan prinsip sustainable development (SD) dalam perencanaan kota-kota di Indonesia?” Tujuan Penelitian ini adalah untuk mengtahui prospek penerapan prinsip sustainable development (SD) dalam perencanaan kota-kota di Indonesia
METODE PENELITIAN Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi komparasi antara prinsip SD dengan prinsip perencanaan kota di Indonesia. Hal ini dilakukan karena perencanaan kota di Indonesia memiliki prinsip-prinsip dasar sebagaimana termaktub dalam perundangan tata ruang, sehingga dari komparasi tersebut akan dapat dilihat prospek penerapan SD di masa yang akan datang. Sementara itu, konsep tentang SD dan sejarah perencanaan kota di Indonesia juga amat penting untuk diketahui sebagai background knowledge dalam penelitian ini.
sebenarnya dasar-dasar perencanaan kota yang baik sudah ada di Indonesia, bahkan sebelum kemerdekaan. Kearifan nenek moyang dalam mengatur tata lingkungan (dalam skala mikro) bahkan hingga saat ini masih bisa kita lihat, misalnya kompleks Kampung Naga di Jawa Barat serta pemukiman-pemukiman tradisional di Bali. Kearifan dengan pikiran yang sederhana yang senantiasa menjaga keselarasan dengan alam sudah mereka implementasikan dengan kesadaran penuh, jauh sebelum isu tentang sustainability didengungkan secara global. Nenek moyang kita sudah melakukan apa yang disebut dalam pepatah Aborigin sebagai “one should touch the earth lightly”. Kehadiran para pemikir perkotaan asal Belanda juga tidak dapat dipungkiri telah memberi warna dalam perkembangan kota di Indonesia. Meskipun beberapa kebijakan yang dibuat pemerintah kolonial cenderung mengkotak-kotakan golongan seperti yang terlihat pada pembagian lokasi perumahan (untuk bangsa Eropa, pendatang dari Arab dan Cina, pribumi), namun banyak pemikiran yang sangat relevan bagi kota-kota di Indonesia. Di antaranya adalah konsep tentang pembuatan kanal-kanal sebagai saluran drainase kota dan penetapan kawasan-kawasan rawan banjir (yang sayangnya kurang diperhatikan oleh pemerintah-pemerintah setempat), pembuatan taman-taman kota serta asimilasi arsitektur Belanda-Nusantara yang menghasilkan bangunanbangunan Indisch yang amat kokoh konstruksinya. Dalam konteks sustainability, dasar-dasar yang sudah dirintis dengan sangat baik oleh nenek moyang diperkaya oleh kekayaan ilmu perencanaan dari Eropa yang memang sudah maju pada saat itu. Konstruksi-konstruksi yang sudah ratusan tahun umurnya ini bahkan masih bisa dilihat sampai sekarang. Prinsip perencanaan kota di Indonesia sendiri cukup adaptif terhadap sustainable development. Selanjutnya, untuk melihat prospek penerapanya dalam konteks perencanaan kota di Indonesia, penting untuk disimak adalah perbandingan antara keenam Prinsip Perlman dengan prisnip perencanaan yang terdapat dalam Bab II pasal 2 UU No.26 Tahun 2007, sebagaimana terlihat pada tabel di bawah ini :
ANALSISI DAN PEMBAHASAN Melihat pada sejarahnya yang amat panjang beserta dinamika pada tiap zaman,
Riset / 2163
JURNAL EKSIS
Vol.8 No.1, Mar 2012: 2001 – 2181
http://www.karyailmiah.polnes.ac.id
Prinsip Perlman 1.
Kelestarian lingkungan dan regenerasi ekologi
2. 3.
Pengentasan kemiskinan peningkatan vitalitas ekonomi Partisipasi publik
4.
Kebijakan yang pro sustainability
5. 6.
Perubahan serius pada sistem dan aktor Keadilan sosial
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa beberapa prinsip SD sudah diakomodasi dengan baik dalam peraturan perundangan yang menjadi dasar dalam perencanaan kota di Indonesia. Keenam aspek dalam Prinsip Perlman sudah termuat dalam azas perencanaan. Dari perbandingan di atas, jika menilik pada perkembangan kebijakan perencanaan kota dapat disimpulkan bahwa produk perundangan yang ada saat ini sudah sangat akomodatif terhadap isu sustainability. Adanya prinsip tentang keseimbangan dan keberlanjutan (Bab II pasal 2) menjadi bukti keseriusan pemerintah Indonesia dalam mendukung pelaksanaan SD sebagai global concern. Penjabaran prinsip-prinsip tersebut juga amat positif dengan penentuan prosentase RTH dan penetapan rambu-rambu terhadap eksploitasi sumber daya baik alam maupun buatan di wilayah kota. Anehnya, dengan prinsip perencanaan yang sebenarnya sudah „on the right track‟ ini, kotakota di Indonesia masih amat jauh dari implikasi SD itu sendiri. Dalam menjamin kelestarian lingkungan dan ekologi, banyak sekali pelanggaran yang terjadi. Misalnya, pembukaan greenbelt untuk eksplorasi pertambangan telah mengakibatkan banjir dan bencana alam lainnya yang akhirnya membawa kerugian materil dan imateril di beberapa kota. Ketidakterpaduan kebijakan amat jelas terlihat sehari-hari, misalnya galian kabel fiber optic yang merusak sisi jalan yang sudah bagus konstruksinya serta pengembangan tidak jelas kawasan perdagangan yang merusak daerah konservasi arsitektur dan hutan kota. Keselarasan antar bangunan dengan lingkungan sekitarnya juga tidak dianggap sebagai hal penting sehingga banyak ditemui wajah-wajah arsitektur yang anonim yang tidak mewakili wajah kota itu sendiri. Alhasil, wajah-wajah kota besar di Indonesia terlihat „just like another modern Asian city‟. Dalam hal ini, masyarakat juga tidak bisa
JURNAL EKSIS Vol.8 No.1, Mar 2012: 2001 – 2181
UU No.26 tahun 2007 Bab II Pasal 2 Keterpaduan (poin a) Keserasian, keselarasan, keseimbangan (poin b) Keberdayaan dan keberhasilgunaan (poin d) Kebersamaan dan kemitraan (poin f) Keberlanjutan (poin c) Perlindungan kepentingan hokum (poin g) Akuntabilitas (poin i) Keterbukaan (poin e) Kepastian hukum dan keadilan (poin h)
disalahkan sepenuhnya karena memang belum ada peraturan yang mengatur tentang serial arsitektur kota dan cityscape. Untuk pengentasan kemiskinan serta peningkatan vitalitas ekonomi, perencanaan kota sejatinya mampu meningkatkan keberhasilgunaan dan keberdayaan masyarakatnya. Namun justru perkembangan kota menarik arus unskilled migrants yang pada akhirnya memperkeruh permasalahan yang sudah ada seperti pemukiman liar dan kebersihan. Lebih jauh, perkembangan kota juga dirasa semakin jauh dari rasa keadilan. Keadilan sosial yang menyentuh kepastian hukum dan keadilan perencanaan, artinya perencanaan yang adil dan membawa manfaat bagi semua, baik pusat maupun daerah, kota dan desa, besar maupun kecil. Di sisi inilah mengapa „P‟ ketiga dalam tujuan sustainability semestinya bukan lagi bermakna profit (keuntungan) namun bermakna prosperity (kemakmuran). Kehadiran partisipasi publik juga masih minim baik dalam kuantitas maupun kualitas yang berdampak pada perencanaan kota. Mengacu pada „participation ladder‟ ala Arnstein (Friedman dan Miles, 2006:161), masih berada dalam „degree of tokenism‟ dimana keterlibatan masyarakat hanya sebatas pengumpulan informasi dan konsultasi. Itupun hanya terbatas pada kelompok masyarakat tertentu saja. Minimnya akses dan pengetahuan terhadap perencanaan kota membuat sebagian besar masyarakat justru tidak terlibat dalam proses penyusunan dan penetapan rencana. Kebijakan yang pro-sustainability pada UU no 26 tahun 2007 belum banyak dijabarkan dalam konteks yang lebih real dalam perencanaan kota. Tiga aspek ekonomi, lingkungan dan sosial lebih sering diimplikasikan dalam kebijakan yang yang tidak sinergis. Misalnya, pembangunan resor-resor mewah di sepanjang kawasan waterfront di Bali yang sebenarnya secara ekologis dan sosial amat
Riset / 2164
penting menjadi bukti ketimpangan penerapan prinsip SD. Perubahan serius pada sistem sendiri sebenarnya sudah dimulai dengan dikeluarkannya UU No.26 Tahun 2007 yang diakui jauh lebih akomodatif dari perundangan sebelumnya (UU no.24 Tahun 1992). Keterbukaan juga sudah mulai dilakukan pemerintah dengan meningkatkan peluang masyarakat untuk berpartisipasi baik dalam perencanaan, pemanfaatan serta pengendalian sebuah kota. Namun, sistem tidak hanya menyangkut pemerintah sebagai stakeholder dalam perencanaan kota. Sistem juga mencakup arsitek, planner, investor, dan tentu saja, masyarakat kota itu sendiri. Perubahan juga diwarnai dengan meningkatnya kesadaran akan SD. Hal ini dapat dilihat dengan berdirinya green building council Indonesia pada tahun 2009, meningkatnya kualitas serta kuantitas perencanaan yang mengusung prinsip SD seperti pemanfaatan area Tegal Gundi di Jawa Barat. Kebijakan pemerintah kota Balikpapan yang sampai saat ini menolak aktivitas pertambangan batu bara di wilayahnya juga merupakan contoh yang amat baik dalam SD. Masyarakat sendiri juga semakin sadar dengan pembangunan kotanya, hal ini dapat dilihat dari mulai bangkitnya gerakan-gerakan yang concern terhadap pembangunan kota seperti Bandung Creative City yang dipelopori oleh arsitek Ridwan Kamil. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Dari pembahasan di atas dapat dilihat bahwa sebenarnya penerapan prinsip SD di Indonesia memiliki prospek yang baik. Meski tampak sporadis dan belum berada dalam koridor planning yang jelas, contoh-contoh di atas memberikan preseden yang amat baik dalam penerapan SD di Indonesia. Keteguhan memang amat diperlukan ketika iming-iming keuntungan sesaat mengancam kualitas lingkungan yang pada akhirnya akan mengganggu keseimbangan tiga pilar SD. Lalu, langkah-langkah apakah yang seharusnya diambil dalam menerapkan prinsip SD di Indonesia? Dalam perencanaan kota, aksi nyata harus dilaksanakan dalam seluruh elemen perencanaan yang meliputi aspek kebijakan, teknikal/spatial, komunikasi serta finasial. Sehingga, dalam hal ini langkah-langkah tersebut dapat dirumuskan sebagai : 1. Kebijakan : Perlunya kebijakan yang lebih mendukung SD, dalam arti penjabaran yang lebih rinci akan penerapan SD. Keberadaan isu keberlanjutan dalam UU Nomor 26 Tahun 2007 sudah semestinya didukung dengan perincian aspek-
Riset / 2165
aspek SD bawahnya.
oleh
peraturan-peraturan
di
2. Teknikal/Spasial: Menggiatkan pentingnya perencanaan yang berdasar pada konsep SD. Memang penerapan SD dalam beberapa hal awalnya memerlukan biaya yang lebih besar. Namun keuntungannya juga sebanding dengan kualitas yang akan didapatkan, sehingga pada gilirannya akan memperkecil bahkan meniadakan pengeluaran untuk masa yang akan datang. Misalnya konstruksi green building pada bangunan yang mahal awalnya akan membuat penghematan luar biasa untuk sistem energi listrik. Secara teknikal/spasial juga dipandang perlu koordinasi yang kompak antar perencanaan pembangunan yang melibatkan instansi yang berbeda-beda, sehingga perencanaan pembangunan tidak akan tumpang tindih atau bahkan saling merusak. Penggunaaan lahan harus mengacu pada perencanaan awalnya. Jika ada perubahan, itu merupakan sesuatu yang memang diperlukan dan dalam konteks yang memang bermanfaat bagi masyarakat, bukan malah menjadi ajang bisnis yang hanya menguntungkan segelintir dan menyengsarakan sebagian besar masyarakat. Pembangunan dan perawatan fasilitas perkotaan perlu ditingkatkan untuk mendukung fungsi kota. Pelestarian kawasan bersejarah perlu digalakkan sehingga kota-kota nusantara memiliki ciri khas dan terjaga sejarahnya. 3. Komunikasi : Membangun kesadaran kolektif akan pentingnya perencanaan yang berdasar pada konsep SD. Masyarakat sudah saatnya terlibat lebih aktif dalam pembangunan. Bukan sekedar sebagai sumber informasi, namun juga memberikan ide, terlibat dalam perkembangan ide-ide perencanaan, pelaksanaan, pengawasan pembangunan secara positif. Komunikasi juga bisa dibangun melalui edukasi aktif kepada masyarakat dan mahasiswa misalnya berupa seminar dan pameran yang berkaitan dengan SD. 4. Finansial : Tiada perencanaan tanpa dukungan dana yang kuat. Sudah bukan saatnya lagi membebankan seluruh sumber dana pembangunan kepada pemerintah. Tekanan yang besar secara finasial terhadap pemerintah pada akhirnya dapat membuka peluang terjadinya proyekproyek yang memberi keuntungan semu dan kerusakan permanen. Perlu dikembangkan model partisipasi yang lebih aktif dan saling menguntungkan dari pihak ketiga baik perusahaan, LSM, NGO, masyarakat maupun
JURNAL EKSIS
Vol.8 No.1, Mar 2012: 2001 – 2181
http://www.karyailmiah.polnes.ac.id individu yang ingin berpartisipasi aktif dalam pembangunan berbasis sustainability. Transparannya anggaran perencanaan juga amat diperlukan untuk menghindarkan praktekpraktek kontra-produktif seperti korupsi yang berpotensi mengurangi kualitas pembangunan. Untuk mewujudkan hal tersebut di atas tidaklah mudah. Apalagi dalam setiap program pembangunan akan selalu hadir bottlenecks atau hal-hal yang akan menghalangi atau memperlambat tercapainya tujuan. Karenanya, dukungan dari segenap pihak ; pemerintah, perencana, swasta, akademisi serta masyarakat amat amat penting sehingga penerapan prinsip sustainable development bisa dilakukan. bisa dilakukan. Jika tidak, semua proses yang telah dijalani sebelumnya akan mentah dan terbengkalai sia-sia. Sudah saatnya kota-kota di Indonesia mengambil langkah kongkrit untuk menerapkan prinsip SD. DAFTAR PUSTAKA Carlson, R. (1962), Silence Spring, Houghton Mifflin. Curwell, S, Deakin, M, dan Symes, M.(2005), Sustainable Urban Development volume 1 : the Framework and Protocols for Environmental Assessment, Routledge. New York Frey, H. (1999), Designing Towards the More Sustainable Urban Form, Spon Press, New York. Friedman,L.A. and Miles, M. (2006), Stakeholders : Theory and Practice, Oxford University Press. Hojer, M. et al. (2011), Images of the Future City : Time and Space for Sustainable Development, Springer. Lombardi, B.P. dan Bentivegna, V. (1997), Evaluation of the Built Environment for Sustainability, E&FN Spon, London Newman, P. dan Jennings, I. (2009), Cities as Sustainable Ecosystem : Principles and Practices, Island Press, Washington. Perlman, J.E dan Sheehan, M.O. (2007), State of the World : Our Urban Future, Worldwatch Institute Riddel, R. (2004), Sustainable Urban Planning, Blackwell Publishing.
JURNAL EKSIS Vol.8 No.1, Mar 2012: 2001 – 2181
Riset / 2166