PROSPEK PELAPIS BENIH DALAM MENINGKATKAN PRODUKTIVITAS KEDELAI Sumadi Dosen Laboratorium Teknologi Benih, Program Studi Agroteknologi Faperta Univ. Padjajaran Bandung
ABSTRAK Pelapisan benih atau seed coating merupakan salah satu upaya peningkatan mutu benih, baik viabilitas maupun vigor kecambah saat awal tumbuh vegetatif. Kecambah merupakan periode vegetatif awal yang peka terhadap organisme pengganggu tanaman, baik yang berasal dari patogen tular tanah maupun patogen tular benih. Kecambah kedelai peka terhadap serangan lalat bibit (Agromyza phaseoli) maupun layu kecambah akibat penyakit. Pelapisan benih dengan pestisida untuk tujuan melindungi benih dari serangan penyakit sudah sejak lama diterapkan pada benih jagung dan sayuran hibrida. Akhir-akhir ini di pasaran sudah dijual insektisida berbahan aktif thiametoxam untuk pencegahan serangan lalat bibit, yang dilengkapi dengan senyawa yang mampu meningkatkan vigor bibit. Peningkatan vigor bibit diasumsikan berpengaruh positif terhadap peningkatan produktivitas tanaman. Thiametoxam positif dalam perlindungan terhadap serangan lalat bibit, namun terhadap hasil tidak konsisten. Bila disertai pemberian bokashi, hasil kedelai lebih tinggi dibandingkan dengan benih yang tidak diberi pelapis benih maupun hanya diberi pelapis benih. Untuk mengurangi dampak negatif penggunaan pestisida sintetik maka perlindungan benih dari patogen tular tanah dan tular benih, sebelum ditanam, benih dilapisi dengan suspensi mikroba antipatogen maupun bahan organik, seperti kitosan yang mampu meningkatkan vigor benih, karena beberapa mikroba juga berpotensi menghasilkan hormon tumbuh. Efektivitas pelapis benih bergantung pada jenis dan dosis yang diberikan, teknik pelapisan, dan bahan perekat yang tepat. Dengan demikian pelapisan benih yang tepat mempunyai prospek yang baik untuk meningkatkan produktivitas kedelai. Kata kunci: kedelai, pelapis benih, produktivitas
ABSTRACT Prospective of seed coating for soybean productivity improvement. Seed coating is one of the efforts to improve the quality of seeds, both viability and germination vigor at the early vegetative stage. An initial period of seedling are sensitive to patogen soil and seed. Similarly, soybean seedling are susceptible to attack by seedling flies (Agromyza phaseoli) or seedborne. Coating seeds with pesticides to protect the seed from disease has long been applied to hybrid corn seeds and vegetable. Lately, the market has been sold thiametoxam insecticide active ingredients for seed fly attack prevention which enrichment by compounds that can improve seedling vigor. Seedling vigor enhancement is assumed to be a positive influence on increasing crop productivity. Thiametoxam positive in the protection of seed fly attack, but its effect is still inconsistent on yield. When accompanied by bokashi compost give better yield compared with seeds that were not given or were given seed coat without compost application. To reduce the negative impact of too much use of synthetic pesticides, protection of seeds from pathogens, before planting the seeds coated with microbial suspension antipatogen or organic materials such as chitosan that can improve seed vigor. Effectiveness of seed coatings depends on the type and dose given, coating techniques, and the proper adhesive. Thus proper seed coating has good prospects for improving the productivity of soybean plants. Keywords: soybean ,seed coating, productivity improvement Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi 2014
343
PENDAHULUAN Kedelai merupakan komoditas pangan penting setelah padi dan jagung. Kebutuhan akan kedelai terus meningkat sejalan dengan pertambahan penduduk dan peningkatan pemahaman akan nilai gizi biji kedelai. Namun produksi kedelai di Indonesia terus mengalami penurunan, sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Penurunan produksi kedelai tidak lepas dari berkurangnya area pertanaman kedele di beberapa wilayah. Selain itu, salah satu masalah penting yang menyebabkan rendahnya produksi kedelai dan turunnya mutu biji kedelai adalah serangan hama dan penyakit yang menyerang sejak saat awal fase vegetatif sampai menjelang panen (Adisarwanto dan Wudianto 1999, Marwoto 2008). Pelapisan benih dengan insektisida atau seed coating dapat melindungi benih dari hama dan penyakit yang menyerang benih di awal fase pertumbuhan, sehingga pertumbuhan tanaman tidak terganggu dan dapat bertahan sampai pada fase akhir (Cox et al. 2007). Hasil penelitian menunjukkan bahwa seed coating dengan thiametoksam, imidakloprid atau fipronil sama-sama memberikan pengaruh yang baik bagi pertumbuhan dan pengendalian hama pada fase awal pertumbuhan. Insektisida imidakloprid dan thiametoksam yang diberikan pada benih jagung pengaruhnya tidak berbeda nyata terhadap hasil dan memberikan hasil lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol (Wilde et al. 2004 ). Di sisi lain, seed coating menggunakan insektisida berbahan aktif thiametoksam menunjukkan hasil yang tidak konsisten. Penggunaan 3,3 ml thiametoksam per kg benih jagung menunjukkan pengaruh yang paling baik, karena mampu mengendalikan hama pada fase awal pertumbuhan (Wilde et al. 2004 dalam Cox et al. 2007). Demikian pula benih kedelai yang dilapisi 1,25 mg per kg biji berpengaruh paling baik terhadap jumlah biji per polong, jumlah cabang produktif, namun tidak berpengaruh nyata terhadap hasil (Cox et al. 2007). Percobaan lainnya menunjukkan bahwa insektisida berbahan aktif fipronil lebih efektif mengendalikan ulat pada tanaman bawang, dibandingkan dengan thiametoksam (Nault et al. 2006). Selain penggunaan pestisida sintetik, pelapisan benih dapat menggunakan agen hayati maupun bahan organik lainnya, baik berupa mikroba antipatogen maupun mikroba yang mampu meningkatkan kesuburan media tanam. Pelapisan benih dengan agen hayati lebih dikenal dengan istilah biological seed treatment (Copeland dan McDonald 2004) atau perlakuan benih secara hayati (Agustiansyah dkk. 2010, Ilyas 2012). Salah satunya adalah Trichoderma. Jenis mikroba yang diberikan pada benih sebelum ditanam dapat secara terpisah atau digabungkan. Pemberian Rhizobium spp dan Azotobacter spp secara bersama-sama pada Vicia faba lebih baik dibandingkan dengan cara terpisah (Rodelas et al. 1999). Azotobacter tidak saja memfiksasi N 2 dari udara tetapi juga memperbaiki perkembangan akar. Selain pada jenis Leguminosae, Azotobacter juga banyak terdapat pada jenis rumput, khususnya Paspalum notatum (Doberreiner dan Day 1976 dalam Fitter dan Hay, 1987). Kemampuan memperbaiki perkembangan akar disebabkan Azotobacter menghasilkan fitohormon golongan auxin dan sitokinin (Suryatmana dkk. 2008). Berdasarkan uraian tersebut maka pelapisan benih mempunyai prospek yang baik untuk meningkatkan produktivitas kedelai. Agar pelapis benih yang diberikan efektif dan efisien, maka perlu diperhatikan: vigor awal benih, jenis dan dosis pelapis benih, dan teknik pelapisan.
344
Sumadi: Prospek Pelapis Benih dalam Meningkatkan Produktivitas Kedelai
Pelapisan Benih dengan Insektisida Kimiawi dan Agen Hayati Pelapisan benih adalah suatu upaya menjaga mutu benih agar tetap baik pada saat ditanam di lapangan. Pada awalnya pelapisan benih dengan fungisida lebih dikenal dengan seed treatment (perlakuan benih) (Copeland dan McDonald 2004). Tujuan utama perlakuan benih lebih diarahkan untuk mencegah serangan patogen tular benih atau patogen tular tanah. Selain upaya pencegahan, cara ini juga mampu membunuh patogen yang sudah ada dalam benih. Oleh karena itu, pestisidanya bersifat sistemik. Teknologi perlakuan benih pertama kali diperkenalkan pada tahun 1755, tetapi konsep perlakuan benih dimulai pada tahun 1920an menggunakan senyawa merkuri. Pestisida yang ideal untuk perlakuan benih harus: efektif mengendalikan patogen, relatif tidak toksik bagi tanaman, tidak berbahaya bagi manusia maupun ternak, stabil dalam waktu yang lama, mudah diaplikasikan dan harganya murah sehingga tidak membebani konsumen (Copeland dan McDonald 2004). Namun sangat sulit untuk mendapatkan fungisida yang mempunyai sifat-sifat tersebut. Sejalan dengan berkembangnya teknologi perlakuan benih, sejak beberapa dekade ini dikembangkan pelapisan benih atau seed coating (Scott 1989, Taylor dan Harman 1990 dalam Taylor 1997). Ada dua teknologi pelapisan benih, yaitu pelleting dan lapis tipis. Pelleting (pelapisan benih) ditujukan untuk memudahkan penanaman benih yang ukurannya sangat kecil dan menyeragamkan ukuran benih. Berbeda dengan teknologi lapis tipis dengan menggunakan larutan kimia, di samping untuk melindungi benih dari patogen juga untuk memperbaiki daya berkecambah benih (Taylor 1997). Seed coating atau pelapisan benih adalah aplikasi senyawa kimia berupa fungisida, insektisida, nutrisi dan zat pengatur tumbuh (Copeland dan McDonald 2004), sehingga benih akah lebih vigor saat ditumbuhkan di lapangan. Salah satu pestisida untuk pelapisan benih adalah thiametoksam. Insektisida berbahan aktif thiametoksam adalah formulasi baru yang mudah diaplikasikan, lebih mudah larut dalam air, mudah meresap dan melindungi benih lebih merata. Masuknya bahan aktif thiametoksam ke dalam jaringan tanaman akan efektif melindungi tanaman dari serangan hama melalui gangguan pada nicotinic acetyl choline receptor pada serangga (Syngenta 2009). Insektisida ini terutama untuk mengendalikan lalat bibit (Ophiomyia phaseoli) dan kutu daun (Aphis glycines) pada kedelai (Jaya 2009). Untuk mendukung upaya pengurangan senyawa kimia anorganik yang menimbukan efek negatif bagi kelestarian alam maka dikembangkan teknologi perlakuan benih menggunakan agen hayati. Perlakuan benih yang demikian dikenal dengan sebutan biological seed treatment (Copeland dan McDonald 2004, Ilyas 2012). Beberapa agen hayati dan bahan organik yang bersifat antagonis patogen antara lain Trichoderma (Ilyas 2012) dan Bacillus subtilis (Smith 1999 dalam Ilyas 2012), Methylobacterium spp (Widajati dkk. 2013), bahan organik Kitosan (Kumar 2000). Keuntungan penggunaan rizobakteri adalah benih lebih vigor (Karnwal 2009 dalam Agustiansyah dkk. 2010) dan lebih ramah lingkungan. Hal lain yang penting adalah pelapis benih tidak menghalangi proses imbibisi air. Teknologi pelapisan benih lainnya yang ditujukan untuk pengurangan pupuk anorganik adalah pemberian inokulan dengan bakteri penambat N dari udara. Pemberian inokulan Rhizobium maupun Azotobacter juga dapat dikategorikan pelapisan benih secara hayati. Keduanya mempunyai kemampuan memfikasi nitrogen dari udara (Fitter dan Hay 1987, Taiz dan Zeiger 2006). Keunggulan Azotobacter dibandingkan Rhizobium adalah kemampuannya memperbaiki perkembangan akar tanaman dan dapat diaplikasikan tidak Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi 2014
345
saja pada leguminosae, tetapi juga pada rumput-rumputan (Rodelas et.al. 1999, Fitter dan Hay 1987). Rhizobium merupakan kelompok bakteri simbiotik, sedangkan Azotobacter merupakan bakteri yang hidup bebas (Fitter dan Hay 1987, Taiz dan Zeiger 2006). Apabila diberikan secara bersama-sama akan bersifat sinergisme. Rizobakteri Azotobacter dapat memfiksasi N 2 secara bebas meskipun kapasitas fiksasinya lebih rendah daripada bakteri Rhizobium simbiotik yang dapat menyediakan N terfiksasi sampai 100–300 kg/ha (Wani et al. 1995). Kontribusi N terfiksasi di tanah oleh bakteri pemfiksasi nonsimbiotik hanya 10% dari total N terfiksasi (Roper and Ladha 1995). Bakteri nonsimbiotik menyumbang dari hasil tambatan N berkisar 11–16 kg N/ha per musim tanam atau sekitar 16–21% dari total kebutuhan N tanaman (Zhu et al. 1986, Shrestha dan Ladha 1996 dalam Shresta dan Maskey 2003). Menurut Arjumend (2006), Azotobacter dapat menyumbang N setara dengan 20–40 kg N/ha. Aplikasi pada tanaman Jagung dapat meningkatkan Rasio Shoot/Rhoot tanaman sebesar tiga kali lipat yaitu dari 0,76 menjadi 2,18 pada tanah mengandung 30% abu vulkanik Merapi (Suryatmana et al. 2012). Aplikasi Azotobacter vinelandii dikombinasikan dengan kompos Azolla pinata meningkatkan pertumbuhan tanaman lactuca/letus dalam media tanah terkontaminasi limbah minyak bumi sebesar 360%. Akibat inokulasi kultur cair Azotobacter ke dalam media tanam, meningkatkan hasil biji jarak sebesar 35% dan rendemen minyak biji jarak meningkat sebesar 30–40%. (Suryatmana dan Setiawati 2006). Rizobakteri pemfiksasi N 2 aerob Azotobacter juga dapat memproduksi hormon sitokinin pada kondisi bebas nitrogen (Taller & Wong 1986, Hindersah et al. 2000), giberelin (Hindersah dan Simarmata 2004), dan auksin (Wedhastri 2002). Melalui reakayasa media produksi, Azotobacter vinelandii terbukti dapat meningkatkan aktivitas enzim nitrogenase dalam memfiksasi N2, konsentrasi IAA, citokinin dan giberelin, dengan peningkatan rata-rata 50% dari kapasitas alaminya (Suryatmana dkk. 2008). Peran Azotobacter untuk mendukung pertumbuhan tanaman telah banyak dijelaskan. Peningkatan pertumbuhan padi berupa indeks luas daun dan jumlah anakan per tanaman, status bahan organic, dan P tanah telah terjadi pada lahan sawah yang diinokulasi Azotobacter (Kader et al. 2000). Dijelaskan pula bahwa aplikasi Azotobacter dapat menghemat 20 kg N/ha untuk meningkatkan hasil tanaman sebesar 1,24 t/ha (Sattar et al. 2010). Pengaruh Azotobacter chroococcum terhadap pertumbuhan vegetatif dan hasil jagung telah dipelajari oleh Nieto & Frankenberger (1991). Azotobacter chroococcum pada konsentrasi 108 cfu/ml meningkatkan perkecambahanan benih jagung (Sachin & Misra 2009). Respons positif telah diperlihatkan pula oleh tanaman gandum (Triticum aestivum), inokulasi meningkatkan hasil sekitar 15% (Abbasdokht 2008). Inokulasi dengan gambut yang mengandung Azotobacter meningkatkan jumlah nodula dan hasil kedelai per pot lebih dari 50% (Apte & Iswaran 2011). Konsorsium Bradyrhizobium dan Azotobacter telah dibuktikan meningkatkan berat kering dan kandungan nitrogen tanaman kedelai (Milic et al. 2002). Pelapis benih yang tidak saja untuk perlindungan benih dari patogen tular tanah dan patogen tular benih, tetapi juga untuk meningkatkan vigor benih. Benih yang bervigor tinggi berpengaruh baik terhadap daya simpan dan jika disertai aplikasi teknologi budidaya tanaman secara utuh maka potensi hasil akan dicapai. Efektivitas perlakuan benih bergantung pada jenis inokulannya, dosis dan teknik pemberian, dan bahan perekat yang digunakan. Bahan pelapis gambut:gipsum 50:50 mampu meningkatkan jumlah spora ino-
346
Sumadi: Prospek Pelapis Benih dalam Meningkatkan Produktivitas Kedelai
kulum CMA. Kombinasi bahan perekat tapioka 5% dan bahan pelapis gambut/gipsum 50:50 meningkatkan tinggi tanaman pada 3 MST, jumlah dan bobot kering bintil akar (Khodijah dkk. 2009). Sumadi dkk. (2011) menyimpulkan pelapisan benih kedelai dengan insektisida berbahan aktif thiametoksam dengan dosis 1–2 g/kg benih berpengaruh baik terhadap viabilitas, vigor benih, bibit, dan pertumbuhan melalui pengendalian serangan lalat bibit. Akan tetapi tidak berpengaruh terhadap komponen hasil dan hasil tanaman kedelai, baik kedelai kuning maupun kedelai hitam. Hal ini berarti aplikasi pelapis benih dengan dosis sesuai anjuran tidak meracuni benih dan efektif mengendalikan hama lalat bibit. Untuk pertumbuhan selanjutnya bergantung pada ketersediaan hara dan pengendalian hama penyakit lanjutan. Apabila perlakuan pelapisan benih kedelai dengan insektisida thiametoksam disertai dengan pemberian bokashi, pengaruhnya tidak saja pada fase vegetatif awal tetapi sampai fase reproduktif. Pelapisan benih dengan insektisida thiametoksam 2 ml/kg yang disertai penambahan bokashi 15 t/ha menurunkan intensitas serangan hama lalat bibit dan meningkatkan jumlah bintil akar efektif, pertumbuhan, komponen hasil, dan hasil kedelai (Sumadi dkk. 2012). Hasil sebesar 9,65 g per tanaman apabila menggunakan jarak tanam 25 cm x 25 cm dan dua tanaman per lubang tanam dengan efisiensi lahan 75% atau setara dengan ±2,3 t/ha. Angka ini lebih tinggi dibandingkan dengan hasil dari benih yang tidak diberi pelapis benih atau benih yang diberi pelapis insektisida tetapi tidak disertai tambahan pupuk organik bokashi (Tabel 1). Tabel 1. Pengaruh pelapisan benih dengan insektisida tiametoksam dan pemberian bokashi terhadap jumlah bintil akar, bobot kering tanaman dan bobot kedelai biji per tanaman. Perlakuan
A B C D E F G H I J K L
Tiametoksam 0 ml /kg benih + bokashi 0 t/ha Tiametoksam 0 ml/kg benih + bokashi 7.5 t/ha Tiametoksam 0 ml/kg benih + bokashi 15 t/ha Tiametoksam 2 ml/kg benih + bokashi 0 t/ha Tiametoksam 2 ml/kg benih + bokashi 7.5 t/ha Tiametoksam 2 ml/kg benih + bokashi 15 t/ha Tiametoksam 4 ml/kg benih + bokashi 0 t/ha Tiametoksam 4 ml/kg benih + bokashi 7.5 t/ha Tiametoksam 4 ml/kg benih + bokashi 15 t/ha Tiametoksam 6 ml/kg benih + bokashi 0 t/ha Tiametoksam 6 ml/kg benih + bokashi 7.5 t/ha Tiametoksam 6 ml/kg benih + bokashi 15 t/ha
Jumlah bintil akar efektif
Bobot kering tanaman(g)
33 a 72 b 74 b 42 a 51 a 59 b 26 a 48 a 61 b 44 a 58 b 65 b
6,64 a 11,40 a 17,44 b 7,32 a 11,07 a 18,02 c 6,96 a 13,30 a 20,84 c 7,70 a 11,99 a 18,81 c
Bobot biji per tanaman (g) 5,23 a 7,19 b 9,32 b 5,13 a 8,10 b 9,65 b 5,20 a 7,59 b 8,46 b 4,58 a 7,04 b 10,70 b
Nilai rata-rata angka dalam kolom yang sama yang ditadai huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji lanjut Scott Knott pada taraf 5%.
Hal ini berarti untuk pertumbuhannya tanaman memerlukan pasokan nutrisi yang kontinu sesuai pertumbuhan tanaman. Kelebihan bokashi pupuk kandang dibanding pupuk sintetik sebagaimana pupuk organik lainnya adalah meningkatkan kesuburan kimia,
Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi 2014
347
fisik, dan biologis tanah. Selain itu, unsur hara yang dilepas juga bersifat lambat (slow release) (Wididana dan Higa 1996). Pelapis benih berupa bahan organik dan suspensi mikroba yang bersifat antipatogen juga potensial diaplikasikan pada benih sebagai pelapis benih. Kitosan dan Trichoderma masing-masing sebagai bahan organik dan mikroba antipatogen sudah banyak diteliti pada beberapa benih, termasuk benih kedelai. Kitosan tidak saja ditujukan untuk melindungi benih dari patogen, tetapi juga meningkatkan vigor benih (Guan et al. 2009), namun juga dapat digunakan untuk meningkatkan daya simpan benih (Reddy et al. 1999, Thobunleop et al. 2009, Nurhani 2012). Susatrio (2014) melaporkan bahwa pelapisan benih dengan Trichoderma, kitosan, dan thiametoksam, pengaruhnya tidak berbeda nyata sebagaimana terukur pada daya berkecambah dan vigor bibit. Terhadap hasil biji per tanaman, pelapisan kitosan dan trichoderma menunjukkan pengaruh yang lebih rendah dibandingkan dengan pelapis benih berupa insektisida. Ketidakefektifan Trichoderma dan Kitosan dalam meningkatkan produktivitas tanaman kedelai diduga keduanya kurang kompatibel dan dosis yang kurang tepat. Penyebab lainnya diduga kedua pelapis benih sudah mengalami deteriorasi.
TANTANGAN DAN PROSPEK Penggunaan benih unggul bermutu tinggi disertai aplikasi teknik budidaya tanaman belum memperoleh hasil sebagaimana potensi genetiknya. Oleh karena, itu perlindungan tanaman harus dilakukan sejak benih ditanam. Berdasarkan uraian sebelumnya dapat dinyatakan bahwa sebelum disosialisasikan kepada petani penggunaan agen hayati maupun bahan organik untuk pelapis benih kedelai masih perlu pengkajian lebih lanjut. Beberapa masalah yang dihadapi adalah belum ditemukannya teknik pelapisan yang efektif dan efisien, agar agen hayati yang dilapiskan pada benih mampu meningkatkan produktivitas tanaman. Jenis dan dosis suspensi mikroba antipatogen yang efektif dalam mengendalikan patogen tular tanah maupun tular benih yang tidak berdampak negatif terhadap pertumbuhan tanaman. Selain itu perlu pengkajian bahan perekat yang diperlukan untuk pelapis benih berupa isolat mikroba maupun bahan organik, sehingga tidak menghambat proses imbibisi air ke dalam benih. Hal lain yang perlu diperhatikan dalam penggunaan mikroba adalah kondisi kesegaran suspensi mikroba (Komunikasi Pribadi dengan Suryatmana dan Setiawati 2014). Berbeda halnya dengan penggunaan pelapis benih berupa pestisida yang lebih mudah diaplikasikan karena tidak memerlukan peralatan khusus, hemat tenaga kerja dan bahan kimia pelapis benih mudah disimpan dalam kemasan. Produk yang dibutuhkan sangat sedikit, 2–4 ml per kg benih. Cara ini melindungi tanaman dari awal pertumbuhan sehingga tanaman lebih sehat dan relatif aman bagi pengguna, konsumen, dan lingkungan (Yudas 2009 dalam Jaya 2009).
KESIMPULAN DAN SARAN Pelapis benih yang tepat, baik berupa pestisida sintetik maupun bahan organik dan suspensi mikroba mampu mengendalikan patogen tanaman pada fase vegetatif awal. Pelapis benih anti patogen fase vegetatif awal yang disertai pemberian bokashi pupuk kandang berpengaruh lebih baik pada pertumbuhan reproduktif meliputi komponen hasil 348
Sumadi: Prospek Pelapis Benih dalam Meningkatkan Produktivitas Kedelai
dan hasil biji per tanaman. Efektivitas pelapis benih bergantung pada jenis, dosis, dan teknologi pelapisan benih. Peningkatan produktivitas tanaman kedelai dapat dicapai jika pelapisan benih disertai pemberian kompos bokashi. Sebelum diaplikasikan di tingkat petani, cara ini perlu dipelajari studi lebih lanjut terutama uji hayati efektivitas bahan pelapis benih dan teknologi aplikasi pelapisan benih sehingga potensi hasil dapat tercapai.
DAFTAR PUSTAKA Abbasdokht, H. 2008. The Study of Azotobacter-chroococum Inoculation on Yield and Post Harvest Quality of Wheat (Triticum aestivum). International Meeting on Soil Fertility Land Management and Agroclimatology. 2008. p: 885–889. Adisarwanto, T dan Wudianto, R.1999. Meningkatkan hasil panen Kedele di lahan Sawah, Lahan Kering dan Pasang Surut. Penebar Swadaya. Jakarta. Agustiansyah, S. Ilyas, Sudarsono dan M. Machmud, 2010. Pengaruh perlakuan Benih Secara Hayati Pada Benih Padi Terinfeksi Xanthomonas oryzae terhadap Mutu benih dan Pertumbuhan Bibit. J. Agron. Indonesia 38 (3): 185–191. Apte, R. And V. Iswaran. 2011.Culture of rhizobium inoculants with those of Beijerinckia and Azotobacter. http://www.new.dli.ernet.in/rawdataupload/upload/insa/INSA1/20005b1a_482.pdf (15/01/2011). Arjumend, H. 2006. Agro Technology of Organic Farming. Grassroots Institute. New Delhi. Cox, W.J., Shields, E. and Cherney, J.H. 2008. Planting Date and Seed Treatment Effects on Soybean in the Northeastern United States. J.Agron. 100:1662–1665 Cox, W.J., Shields, E. and Cherney, D.J.R., Cherney, J.H. 2007. Seed-Applie Insecticides Inconsistenly Affect Corn Forage in Continuous Corn. J.Agron. 99: 1640–1644. Copeland, L.O., and M.B McDonald. 2004. Principles of Seed Science and Technology. Burgess Publ. Co. Minneapolis, Minnesota. Fitter, A. H., and R.K.M. Hay, 1987. Environmental Physiology of Plant. Academic Press.London. Guan, Y,J., J.Hu., X.J. Wang and C.X. Shaw, 2009. Seed priming with chitosan improves Maize germination and seedling growth in relation to physiological changes under low temperature stress. J .Zhejiang. Univ. Sci. 10(6): 427–433. Hindersah, R, D.H. Arief, Y. Sumarni. 2000. Kontribusi hormonal Azotobacter chroococcum Pada pertumbuhan kecambah jagung dalam kultur cair. Prosiding Seminar Nasional Bioteknologi Pertanian, Yogyakarta 6–7 November 2000. hal. 141–151. Hindersah, R., T. Simarmata. 2004. Kontribusi Rizobakteri Azotobacter dalam Meningkatkan Kesehatan Tanah melalui Fiksasi N 2 dan Produksi Fitohormon di Rizosfir. J. Natur Indonesia 6: 127–133. Ilyas, S. 2012. Ilmu dan Teknologi Benih. Teori dan hasil-hasil Penelitian. Penerbit IPB Press. Bogor. Jaya,U. 2009. Triliunan Omzet Bisnis Benih pangan. Agrina-Inspirasi Agribisnis Indonesia. Availble at: http://agrina-online.com. (Diakses 11 Mei 2014). Kader, M.A., A.A.Ma’mun, S.M.A. Hossain and M.K. Hasna, 2000. Effect of Azotobacter Application on The Growth and Yield of Transplant Aman Rice and Nutrient Status of Post Harvest Soil. Pakistan.J. Biol.Sci.(3)(7): 1144–1147. Khodijah,S., S. Ilyas dan Y.R. Bakhtiar. 2009. Evaluasi Efektivitas Bahan perekat dan pelapis Untuk Pelapisan Benih Kedelai dengan Cendawan Mikoriza Arbuskula. Makalah Seminar Dep Agronomi dan Hortikultura. Fakultas Pertanian. IPB. Bogor. Kumar, M.N.V.R. 2000. A review of Chitin and Chitosan Application. Reactive and functional Polymer 46(1): 1–27 Marwoto., H. Sri dan T.Abdulah. 2006. Hama, Penyakit, dan Masalah Hara pada Tanaman Kedelai. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor. Milic, V., N. Mrkovacki, M, Popovic, and D. Malencic. 2002. Nodule effeciency of three soybean genotypes inoculated by different methods. Rostlinna Vyroba 48(8):356–360. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi 2014
349
Nault, B.A., R. Straub, and A.G. Taylor. 2006. Performance of Novel Insecticides Seed Treatments for Managing Onion Maggot in Onion Fields. Crop.Protect. 25(1): 58–65. Nieto, K.F., and W. T. Frankenberger. 1991. Influence of adenine, isopentyl alcohol and Azotobacter chroococcum on the vegetative growth of Zea mays. Plant and Soil 135(2): 213–221. Nurhani, A. 2012. Pengaruh Jenis Kemasan dan Pelapisan Benih terhadap Viabilitas, Vigor Benih Serta Vigor Kecambah Jagung Selama Periode Simpan Tiga Bulan. Skripsi Jurusan Budidaya Pertanian P Agroteknologi Fakultas Pertanian Unpad. (tidak dipublikasikan). Rodelas, B., J.G. Lopez., M.V. Martinez-Toledo., C.Pozo., and V. Salmeron, 1999. Influence of Rhizobium/Azotobacter and Rhizobium/Azospirilium combined inoculation on mineral composition of faba bean (Vicia faba). Biol.Fertil.Soil 29: 165–169. Roper, M.M. and J.K. Ladha. 1995. Biological N 2 ficxation by heterotrophic and phototrophic bacteria in association with straw. Plant and Soil 174 (1–2):211–224. Sattar, M.A., M.F. Rahman, D.K. Das and Abu.T.M.A. Choudhury, 2010. Prospect of Using Azotobacter,Azospirilium and Cyanobacteria as Supplements of Urea Nitrogen for Rice Production in Bangladesh. Available at : www. aciar.gov.au/files/node/9817/ PR130%20 Part203pdf. Shrestha, R.K and S.L. Maskey, 2003. Associative Nitrogen Fixation in Lowland Rice. Nepal. Agric. Res. J. Vol 6: 112–131. Sumadi, Anne Nuraini dan Casya Sekaryuniarti, 2011. Pengaruh Seed Coating dengan insektisida Berbahan Aktif Thiametoksam terhadap Viabilitas, Vigor Benih dan Bibit serta dampaknya terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Kedelai. Bahan Diskusi Jurusan Budidaya Pertanian Faperta Unpad (Tidak dipublikasi). Sumadi, R. Devnita,dan B. R. Qulsum, 2012. Pengaruh Seed coating dengan Thiametoxam dan Bokashi terhadap pertumbuhan dan hasil benih kedele. Bahan Diskusi Program Studi Agroteknologi. Fakultas Pertanian Unpad (Tidak dipublikasi). Sumadi, P. Suryatmana dan D. Sobardini. 2014. Respons Benih Terdeteriorasi terhadap Aplikasi Pelapis Benih. Draft Laporan Kemajuan. PUPT. Faperta Unpad (tidak dipublikasi) Suryatmana, P., M.R. Setiawati., I K. Susanti, 2008. “Aplikasi Azotobacter vinelandii dan Azolla piñata untuk Bioremediasi limbah minyak bumi”. Pros. Sem dan Kongres Nas. MKTI, Bogor. Suryatmana, P., R Hindersah dan A. Yusuf. 2008. Pemanfaatan Molase sebagai baha baku media produksi Azotobacter. LPP Unpad. Susatrio, A.T.2014. Pengaruh Pelapis benih Kitosan, Trichoderma spp dan Insektisida Berbahan aktif Thiametoxam terhadap viabilitas, vigor bibit, pertumbuhan, komponen hasil dan hasil kedelai kultivar Wilis dan Detam. Skripsi Departemen Budidaya pertanian PS Agrotektonologi Fakultas Pertanian Unpad. (tidak dipublikasikan). Syngenta.2006. Cruiser: exploring The Thiametoxam VigorTM Effect. Available at http://www. syngenta-us.com/media/emedia_kits/thiametoxamvigourus/media/pdf/presentation.pdf (diakses 21 November 2011). Syngenta. 2009. Seed Treatment. Syngenta Global. Available online at http://www.syngenta. com/en/products_brands/cruiser_page.html# (Diakses 24 Maret 2013). Taiz, L and E. Zeiger. 2006. Plant Physiology. 4th edition. Sinauer Associates, Inc Publication. Sunderland. Messachutes. Taylor, A.G. 1997. Seed Storage, Germination and Quality. In H.C. Wien (Eds.). The Physiology of Vegetable Crops. Cab International. Wallingford.UK. Wani S.P., Rego T.G., Rajeshwari S. and Lee K.K. 1995. Effect of legume–based cropping systems on nitrogen mineralization potential of Vertisol. Plant Soil. 175(2): 265–274. Widajati, E., S. Salma dan Y.A. Lastandika, 2013. Perlakuan Coating dengan menggunakan isolat Methylobacterium spp dan Tepung Curcuma Untuk Meningkatkan Daya Simpan Benih Padi Hibrida. Bul.Agrohorti (1): 79–88. Wididana, G.N dan Higa. 1996. Penerapan Teknologi EM Dalam Bidang Pertanian Indonesia. Koperasi Departemen Kehutanan. Jakarta. Wilde, G.,Roozeboom, K., Claassen, M., Janssen, K and Witt, M. 2004. Seed Treatment for Control of Early-Season Pests of Corn and Its Effect on Yield. J. Agric. Urban Entomol. 21(2): 75–85.
350
Sumadi: Prospek Pelapis Benih dalam Meningkatkan Produktivitas Kedelai