Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2012 Aula Timur, Institut Teknologi Bandung 7-8 Juni 2012 ISBN : 978-602-19655-3-5
Program Studi Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Bandung
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2012 (SNIPS 2012) 7-8 Juni 2012, Bandung, Indonesia
Susunan Kepanitiaan Ketua Panitia
: Fourier Dzar Eljabbar Latief
Sekretaris
: Maria Evita, Memoria Rosi
Bendahara
: Fatimah Arofiati Noor
Web dan Publikasi : Novitrian, Christian Fredy Naa Prosiding
: Miftahul Munir, Dede Enan
Acara
: Wahyu Hidayat, Nuri Trianti
Logistik
: Agus Suroso
ISBN 978-602-19655-3-5
1
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2012 (SNIPS 2012) 7-8 Juni 2012, Bandung, Indonesia
Kata Pengantar Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2012 (SNIPS 2012) yang telah dilaksanakan pada 7-8 Juni 2012 di kota Bandung merupakan suatu kegiatan ilmiah yang terselenggara berkat dukungan dari Prorgam Studi Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Teknologi Bandung. Simposium ini merupakan tempat bertukar pikiran para pelaku bidang pembelajaran sains dan matematika yang meliputi para guru, mahasiswa, dosen, dan peneliti. Seminar ini diikuti oleh sejumlah peserta yang terdiri dari 5 orang pembicara kunci yang berasal dari Institut Teknologi Bandung (ITB), dan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), 40 presenter yang terbagi dalam dua kelompok presentasi paralel serta partisipan dari berbagai kalangan. Topik-topik yang disampaikan cukup beragam, di mana sebagian besar dari topik-topik tersebut merupakan hasil penelitian dan inovasi dalam bidang pengajaran dan pendidikan. Lebih dari 50 peserta dari beberapa kota di Indonesia seperti Jakarta, Bogor, Bandung, Palangkaraya dan Yogyakarta telah berpartisipasi dalam SNIPS 2012 ini. Upaya penyuntingan Prosiding ini telah diupayakan sebaik mungkin, Kami menyadari sepenuhnya, bahwa masih terdapat kesalahan dan kekurangan dalam penyusunan prosiding ini. Kritik dan saran sangat kami harapkan guna perbaikan pada penerbitan yang akan datang. Kami selaku panitia mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah mendukung dan membantu terselenggaranya acara SNIPS 2012 dan terselesaikannya penyuntingan dan penerbitan Prosiding ini. Semoga acara SNIPS 2012 dan penerbitan Prosiding ini bermanfaat bagi kita semua. Sampai jumpa dalam SNIPS berikutnya.
Fourier Dzar Eljabbar Latief Ketua SNIPS 2012
ISBN 978-602-19655-3-5
2
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2012 (SNIPS 2012) 7-8 Juni 2012, Bandung, Indonesia
Daftar Isi Susunan Kepanitiaan Kata Pengantar Daftar Isi [KEY-01]
[EDU-01]
[EDU-02]
[EDU-03]
[EDU-05]
1 2 3
Mengukur Kecakapan Mematematikakan dan Menafsirkan sebagai Kecakapan Utama di Dunia Global 2.0 Iwan Pranoto
5
Untuk Kesadaran Ilmu dan Ilmiah: Satuan Hambatan Ohm dan Efek Hall Kuantum Aloysius Rusli
9
Problem Solving dalam Fisika dengan Metode Identifikasi Variabel Berdasarkan Skema : Tinjauan Terhadap Formulasi Kecepatan Relativistik Risti Suryantari
13
Pembelajaran Fisika dengan Inkuiri Terbimbing Melalui Metode Eksperimen untuk Meningkatkan Aktivitas dan Hasil Belajar Siswa M. Yasin Kholifudin
17
Penerapan Model Pembelajaran Hypno Teaching untuk meningkatkan Penguasaan Konsep Siswa pada Materi Cahaya (Penelitian Kuasi Eksperimen pada Kelas VIII SMP Negeri 8 Bandung) Yudiansyah Akbar, Heni Rusnayanti, Ade Yeti Nuryantini 21
[EDU-06]
[EDU-08] [EDU-09]
[INS-01]
[INS-02]
[INS-03]
[INV-01]
Implementasi Lesson Study untuk Meningkatkan Aktivitas dan Berpikir Kritis Mahasiswa pada Mata Kuliah Zoologi Vertebrata Agus Haryono, Shanty Savitri , Elga Araina
25
Penerapan Teori Muatan Kognitif dalam Pembelajaran Fisika Maman Wijaya
29
Penerapan Model Pembelajaran SSCS (Search, Solve, Create and Share) pada Praktikum Konsep Larutan Penyangga. Cucu Zenab Subarkah, Neneng Widayani, Fatni Rifqiyati
33
Levitasi Magnet untuk Separasi Bahan Plastik dengan Densitas yang Identik Gancang Saroja, Suyatman, Nugraha
37
Aplikasi Sensor Ultrasonik untuk Pengukuran Getaran Frekuensi Rendah Rahadi Wirawan, Mitra Djamal, Ambran Hartono, Edi Sanjaya, Widyaningrum Indrasari, Ramli
41
Efek Giant Magnetoresistance dalam Spin Valve FeMn/NiCoFe/Cu/NiCoFe yang Ditumbuhkan dengan Metode Opposed Target Magnetron Sputtering Ramli*, Yenni Darvina, Yulkifli, Ambran Hartono, Rahadi Wirawan, Widyaningrum Indrasari, Khairurrijal dan Mitra Djamal
46
Sintesis dan Karakterisasi Terpolimer (Akrilaamida/Akrilamido Metilpropana Sulfonat/Vinilnaftalena) Untuk Aplikasi Enchanced Oil
ISBN 978-602-19655-3-5
3
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2012 (SNIPS 2012) 7-8 Juni 2012, Bandung, Indonesia
[INV-03] [INV-04]
[INV-05]
[INV-07] [MAT-01]
[THE-01]
[COM-05]
[COM-06]
[COM-08]
[COM-09]
[COM-12]
[COM-14]
[COM-15]
Recovery (EOR) Mario Leonardus, Cynthia Linaya Radiman
51
Studi Eksperimen Pembangkit Soliton Hidrodinamik Tak Merambat Herfien Rediansyah, Enjang Jaenal Mustopa
55
Identitas Warna Kompleks Besi (II) dengan Ligan Amino Triazol dan Anion Nitrat dalam Film nata de coco Ina Yulianti dan Djulia Onggo
58
Penentuan Massa Kompleks Besi(II) perklorat dengan Ligan Turunan Triazol Terkandung dalam Biopolimer Nata de coco Oktavina Kartika Putri, Djulia Onggo
61
Eksperimen Pola-Pola Refleksi Sistem Cermin-Pegas-Speaker Fresly Winando S, Sparisoma Viridi, Siti Nurul Khotimah, Khairurrijal
65
Analisa Performa Mikromografi-Skyscan 1173 untuk Material dengan Kontras Densitas Rendah Wa Ode Sriwayu, Freddy Haryanto, Siti Nurul Khotimah, dan Fourier D.E. Latief
69
Pemodelan Aliran Fluida dalam Pipa Lurus Vertikal Bagian dari Sifon Menggunakan Dinamika Newton Nurhayati, Wahyu Hidayat, Sparisoma Viridi, Freddy Permana Zen
73
Pengembangan Computer Assisted Instruction (CAI) Interaktif dalam Pembelajaran Fisika Herawati, Heni Safitri
77
Pemanfaatan Tutorial Online bagi Mahasiswa dalam Pembelajaran Fisika Heni Safitri, Herawati
81
Studi Perilaku Interaksi pada Sistem Aerosol-Awan-Presipitasi Menggunakan Model Predator-Mangsa Rita Sulistyowati, Dui Yanto Rahman, dan Moh. Rosyid Mahmudi
88
Studi Awal Interferensi Gelombang Bunyi dengan Menggunakan Laptop, Speaker dan Mikrofon Islamiani Safitri, Sparisoma Viridi, Siti Nurul Khotimah
92
Penggunaan Software Tracking sebagai Media Pelengkap Pembelajaran Topik Hukum Kekekalan Momentum pada Peristiwa Tumbukan Endi Suhendi, Achmad Samsudin, Setiya Utari
96
Formulasi Interaksi antara Eritrosit dan Trombosit pada Peristiwa Penyumbatan Pembuluh Kapiler pada Kasus Malaria Serebral Menggunakan Metode Dinamika Molekular Luman Haris, Sparisoma Viridi, Siti Nurul Khotimah
100
Program Identifikasi Sederhana untuk Ikatan Atomik Zat dari Spektrum Infrared Silvia Mergalucitra Purwani, Siti Nurul Khotimah, Freddy Haryanto
104
ISBN 978-602-19655-3-5
4
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2012 (SNIPS 2012) 7-8 Juni 2012, Bandung, Indonesia
Mengukur Kecakapan Mematematikakan dan Menafsirkan sebagai Kecakapan Utama di Dunia Global 2.0 Iwan Pranoto Abstrak Dalam bermatematika sebenarnya melibatkan sebuah siklus yang utuh. Siklus itu melibatkan proses mematematikakan situasi nyata atau imajinatif menjadi sebuah model matematika, yang dapat berupa persamaan atau ekspresi matematika lainnya. Jadi, tahapan ini mengubah masalah nyata menjadi masalah matematika. Kemudian, barulah dipecahkan masalah matematika tersebut, sampai menghasilkan solusi matematika tersebut. Pada kenyataannya, fokus pembelajaran matematika sering pada tahap ini semata. proses bermatematika direduksi menjadi tahapan ini saja. Akibatnya, siswa dan masyarakat melihat matematika sebagai sebuah rangkaian manipulasi simbol dan angka miskin makna. Selanjutnya dilakukan tahap penafsiran solusi matematika tersebut ke masalah semula. Untuk menyampaikan nilai penting dari siklus utuh ini, sebuah assessment diperlukan. Kecuali untuk mengirimkan pesan pentingnya proses pematematikaan, assessment ini dapat mengukur kecakapan spesifik apa yang kurang atau lebih dalam proses pematematikaan. Kata-kata kunci: pemodelan, matematika, SNIPS 2012, prosiding Pendahuluan
dengan dunia nyata serta mengungkapkan pentingnya matematika dalam kehidupan.
Dalam pendidikan matematika, siklus pemodelan dalam bermatematika melibatkan mematematikakan situasi nyata menjadi model matematika, memanipulasi secara abstrak, dan menafsirkan solusi matematika terhadap situasi semula. Dalam dokumen Benchmark Online [2], malah ditegaskan bahwa seorang siswa kelas 12 harus paham bahwa bermatematika harus melibatkan siklus pemodelan:
Sebenarnya masih ada tahapan yang perlu dilakukan seorang yang bermatematika, yakni setelah menafsirkan dan menguji masuk-akal tidaknya solusi tadi, seharusnya model tadi dianalisis lagi. Diselidiki lagi perilaku dan dikenali kelemahannya. Lalu, dapat dilakukan perbaikan. Namun, dalam tulisan ini, tahap terakhir itu belum dikaji.
Much of the work of mathematicians involves a modeling cycle, consisting of three steps: (1) using abstractions to represent things or ideas, (2) manipulating the abstractions according to some logical rules, and (3) checking how well the results match the original things or ideas.
Kerangka artikel ini, pertama mengungkapkan pentingnya kecakapan mematematikakan dan menafsirkan. Lalu disampaikan bagaimana mendiagnosa serta mengukur kecakapan mematematikakan dan menafsirkan ini. Di bagian akhir diajukan usulan cara pembelajaran tentang kecakapan ini.
Pembelajaran matematika dan sains alam mutlak harus melibatkan siswa dalam pematematikaan. Ini kecakapan yang utama di era sekarang. Di tingkat dasar pun siklus ini penting, lihat [3]. Di tingkat menengah, setelah siswa berkenalan dengan aljabar yang sifatnya lebih formal, mereka dapat diajak lebih mendalam dalam siklus pematematikaan ini, lihat [1, 4]. Oleh karenanya, assessment yang seksama pada proses pematematikaan serta penafsiran perlu dilakukan. Harus diingat bahwa dalam perencanaan pembelajaran, assessment harus memberi pesan kecakapan apa yang kita hargai. Dari assessment tersebut, siswa dan pendidik lain dapat menyimpulkan bahwa kecakapan mematematikakan dan menafsirkan merupakan kecakapan yang sangat kita hargai tinggi.
Kecakapan Mematematikakan Matematika sekolah seringkali pada praktiknya fokus pada manipulasi rangkaian angka atau manipulasi aljabar. Seringkali matematika diajarkan sebagai penyelesaian persamaan atau pertaksamaan semata. Makna dari persamaan atau pertaksamaan atau pun suatu ekspresi matematika seringkali diabaikan. Padahal matematika dan termasuk matematika sekolah dasar dan menengah mutlak menyertakan model dan proses pemodelan. Dalam beberapa dokumen pendidikan, proses ini kadang disebut proses mematematikakan. Artinya, suatu situasi nyata diterjemahkan menjadi suatu entitas matematika, seperti persamaan atau pertaksamaan, atau malah sekedar gagasan seperti fungsi. Setelah jadi persamaan atau pertaksamaan matematika, kemudian dilakukan manipulasi untuk dipecahkan untuk memeperoleh solusi matematika. Namun, solusi matematika
Proses mematematikakan dan menafsirkan dalam pembelajaran juga memberikan manfaat, seperti mengenalkan keterkaitan matematika
ISBN 978-602-19655-3-5
5
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2012 (SNIPS 2012) 7-8 Juni 2012, Bandung, Indonesia
harus ditafsirkan atau dimaknai, agar dapat relevan dengan situasi atau masalah nyata semula.
(SMP) dari MCAS (Massachusetts Comprehensive Assessment System) berikut.
Pada kehidupan di Dunia Global 2.0, di mana kehidupan sehari-hari semakin melibatkan komputer, teknologi informasi serta mengikutsertakan setiap warga untuk berbagi dalam pembangunan, kecakapan memecahkan persamaan atau pertaksamaan matematika menjadi tak terlalu dibutuhkan, karena Computer Algebraic System (CAS) semacam Maple atau Mathematica sudah dapat memecahkan banyak persamaan matematika. Yang justru dibutuhkan pada era ini adalah kecakapan mematematikakan situasi nyata serta menafsirkan solusi matematika.
Gambar 2 Mematematikakan Situasi Jelas dapat diamati bahwa dari soal tadi, orang dapat menyimpulkan bahwa kecakapan mematematikakan dianggap penting bagi pengambil kebijakan pendidikan tersebut.
Secara ringkas, proses mematematikakan fenomena nyata, mencari solusi matematika, menafsirkan solusi, dan pengujian dapat digambarkan sebagai berikut.
Kemudian, setelah situasi telah dimatematikan menjadi model matematika seperti persamaan, siswa perlu mengartikan makna setiap suku atau parameter dari model matematika tersebut. Contoh soal berikut menggambarkan bagaimana dibedakannya antara memodelkan dengan memaknai model matematika. Soal ini mengukur seberapa dalam siswa mampu menganalisis perilaku persamaan tersebut, seperti pengaruh perubahan satu peubah terhadap peubah lain.
Gambar 1. Proses Matematika Di beberapa tes profesional dan internasional yang kerap digunakan sebagai acuan negaranegara maju, seperti TIMSS dan PISA, kecakapan mematematikakan keadaan, seperti menuliskan suatu situasi nyata menjadi sebuah persamaan sudah diujikan. Kecuali itu, tes-tes tersebut dengan tegas memungkinkan mendiagnosa seorang siswa dalam masingmasing kecakapan mematematikakan situasi, memecahkan masalah matematika, menafsirkan solusi matematika, dan memvalidasi solusi. Namun, di buku-buku matematika sekolah dasar sampai menengah dan juga ujian-ujian nasional kita sampai sekarang justru dua kecakapan di atas, yakni mematematikakan dan memecahkan persamaan/pertaksamaan jika diuji, malah digabung menjadi satu. Akibatnya, tes-tes kita gagal untuk mendiagnosa apakah seorang siswa sudah cakap mematematikakan atau tidak. Jika seorang siswa menjawab salah di tes kita, sulit didiagnosa apakah disebabkan dia tak mampu mematematikakan atau tak mampu memecahkan persamaan matematika.
Gambar 3 MCAS Grade 8 – Penafsiran Makna Kemudian, tahap menyelesaikan masalah matematika. Setelah jadi bentuk matematika, seperti persamaan, pertaksamaan, atau gagasan matematika lain, dibutuhkan kecakapan memanipulasi untuk menemukan solusi matematikanya. Dalam proses ini sebaiknya, komputer atau kalkulator boleh digunakan untuk perhitungan-perhitungan yang rumit. Ini sangat penting, agar siswa tidak putus asa dengan permasalahan nyata yang memang seringkali melibatkan persamaan matematika yang kompleks dan perhitungan dengan angka-angka yang “jelek”. Dengan tersedianya kalkulator,
Apalagi, buku dan tes-tes kita hampir tak pernah menyinggung tentang menafsirkan solusi matematika ke dalam situasi aslinya. Sebagai pembanding, dapat diperhatikan soal kelas 8
ISBN 978-602-19655-3-5
6
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2012 (SNIPS 2012) 7-8 Juni 2012, Bandung, Indonesia
komputer, dan aplikasi-aplikasi yang murah, proses ini dapat dibuat tidak menakutkan siswa. Soal berikut menunjukkan bahwa jawab matematika yang diperoleh melalui manipulasi aljabar juga perlu.
kemampuan manipulasi aljabar dan komputasi, siswa memecahkan model matematika tersebut dan merumuskan solusi matematikanya. Solusi matematika itu merupakan solusi dari model matematika. Ini masih abstrak, misalnya solusinya seperti . Dari sini, siswa harus menafsirkan solusi tersebut ke situasi aslinya. Kecakapan menafsirkan ini harus dibelajarkan di kelas. Guru perlu menanyakan makna solusi matematika tersebut dalam konteks aslinya. Dengan kebiasaan bertanya seperti ini siswa akan belajar meningkatkan kemampuan menafsirkannya.
Gambar 4 Memecahkan Pertaksamaan Setelah tahapan menyelesaikan masalah matematika, seperti persamaan atau pertaksamaan, selanjutnya menafsirkan makna solusi matematika tadi. Dari penafsiran tersebut, kemudian dilakukan penentuan apakah solusinya masuk akal. Harus diperiksa apakah tafsiran solusi matematika ke dalam konteks aslinya memang menjawab masalah yang ditanyakan. Perlu diperiksa apakah tafsiran solusi matematika tersebut memberikan pemahaman yang lebih dalam lagi terhadap situasi aslinya tersebut. Secara umum, dapat dikatakan bahwa sebenarnya, perhitungan matematika dan manipulasi aljabar saat sekarang sudah dapat digantikan oleh komputer dan piranti lunak dengan mudah. Yang justru belum dapat dikerjakan mesin adalah proses mematematikakan mengubah masalah nyata menjadi masalah matematika. Dan, juga yang belum dapat digantikan oleh mesin adalah tahap penafsiran. Karena itu, sebenarnya pada masa sekarang, pendidikan matematika dan sains perlu memberikan bobot yang cukup pada tahapan pematematikaan dan penafsiran. Assessment harus mengukur dan mendiagnosa tiap tahapan dalam siklus pematematikaan.
Selanjutnya, yang tak kurang penting adalah proses menguji masuk-akal tidaknya solusi tadi ke dalam masalah nyata semula. Harus diperiksa apakah solusi tadi menjawab pertanyaan atau masalah semula. Dengan membuat siklus pematematikakan pembelajaran matematika dan sains alam maupun sosial yang mungkin) seperti itu, siswa akan menumbuhkan kecakapan bermatematika yang utuh. Siswa tidak akan sekedar belajar memanipulasi aljabar serta angka-angka tanpa tahu maknanya. Kecuali itu, dengan menunjukkan keampuhan matematika dalam mengatasi masalah nyata, siswa dapat menghargai matematika lebih baik. Ini juga sumber pemotivasi siswa untuk belajar matematika. Kesimpulan Kecakapan mematematikakan situasi nyata maupun imaginatif sanagt perlu. Kemudian kecakapan mematematikakan ini perlu dilengkapi dengan kecakapan memecahkan model matematika dan selanjutnya menafsirkan solusi matematika itu ke situasi aslinya. dari sana. Assessment yang mendiagnosa secara utuh proses ini perlu dibuat, kecuali untuk mengukurnya, assessment ini dapat mengirimkan pesan ke siswa bahwa kita pendidik menghargai siklus pematematikakan dan penafsirannya secara utuh. Ini juga akan meotivasi siswa untuk belajar matematika dan sains.
Membelajarkan Kecakapan Mematematikakan Dalam proses mematematikakan, pertama dilakukan pengenalan gagasan matematika yang terlibat serta informasi apa saja yang tersedia. Kemudian, dilakukan pemilihan beberapa informasi yang dapat diabaikan. Dengan mengurangi informasi-informasi yang dianggap tak penting, barulah kemudian dibuat model matematikanya. Proses ini harus dialami siswa sendiri. Dalam tahapan ini, siswa membutuhkan kemampuan menerjemahkan hubungan antar besaran menjadi relasi matematika. Misalnya, hambatan sebanding dengan kecepatan, ini harus diterjemahkan menjadi sebuah relasi matematika. Kecakapan ini sangat mutlak dibelajarkan di kelas.
Referensi [1] J.B. Arleback, “Mathematical modeling in upper secondary mathematics education in Sweden: A curricula and design study”, disertasi, 1019-1028 [2] Benchmark Online, www.project2061.org. [3] L. English and J. Watters, “Mathematical modeling in the early school years”, Math. Edu. Res. Journal 16 (3), 59-80 (2004)
Kemudian, tahapan selanjutnya adalah merumuskan dalam sebuah model matematika, yang mungkin berupa persamaan, pertaksamaan, atau sekedar sebuah fungsi belaka. Dengan ISBN 978-602-19655-3-5
7
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2012 (SNIPS 2012) 7-8 Juni 2012, Bandung, Indonesia
[4] H. Sakonidis, “Modeling in school mathematics: Generating active learning environments”, In (Ed) C. Constantinou "Computer Based Learning in Sciences”, Proceedings of Sixth International Conference CBLIS, 5-10 July, 2003, Nicosia, Cyprus.
ISBN 978-602-19655-3-5
Iwan Pranoto Industrial and Financial Mathematics Institut Teknologi Bandung
[email protected]
8
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2012 (SNIPS 2012) 7-8 Juni 2012, Bandung, Indonesia
Untuk Kesadaran Ilmu dan Ilmiah: Satuan Hambatan Ohm dan Efek Hall Kuantum Aloysius Rusli Abstrak Dalam rangka menunjang upaya menumbuhkan kesadaran tentang perkembangan ilmu dan kesadaran tentang penggunaan cara ilmiah, telah ditelusuri bagaimana standar bagi satuan Ohm direalisasi. Sebelum tahun 1990, digunakan kawat nikrom tertentu untuk itu, tetapi sejak 1 Januari 1990, berdasarkan kesepakatan oleh CGPM (Konferensi Umum tentang Berat dan Ukuran) di Paris, demi meningkatkan ketelitian standar itu, digunakan hasil Efek Hall Kuantum, sehingga besar hambatan R ohm dapat dinyatakan dengan tetapan alam seperti tetapan Planck dan besarnya muatan elektron saja. Studi ini melaporkan hasil telusuran itu, dan mengajukan suatu deskripsi melalui model sederhana tentang Efek Hall Kuantum berbilangan bulat ini, berdasarkan beberapa pustaka terandalkan yang dapat diperoleh di Internet, seperti kuliah Nobel Fisika oleh Klaus von Klitzing tahun 1985, artikel ilmiah Jeckelmann & Jeanneret tahun 2004, artikel di wikipedia, dsb. Deskripsi ini diharapkan dapat digunakan sebagai ilustrasi dalam pembelajaran fisika dasar, dalam rangka memperkenalkan perkembangan ilmu dan penggunaan cara ilmiah yang lebih mutakhir, dan ikut mengurangi kehambaran yang tampaknya sering dialami siswa dan mahasiswa serta guru dan dosen ketika tidak sempat melihat dan mengaitkan materi fisika dengan perkembangan mutakhir ilmu dan teknologi. Kata-kata kunci: Kesadaran ilmu, kesadaran ilmiah, satuan Ohm, Efek Hall Kuantum, pemodelan sederhana mikrogram bagi standar kilogram (jadi –8 pergeseran ~4 × 10 ) dalam usianya yang seabad. Dalam kerangka mendalami ihwal tentang kilogram ini, ditemukan peran Efek atau Gejala Hall secara Kuantum, yang dapat memberi gambaran tentang peran teori kuantum dalam menetapkan satuan sehari-hari kilogram tersebut. Karena itu, setelah berupaya menelusuri pemahaman gejala tersebut sejak bulan Oktober 2011, dipilih untuk melaporkan perkembangannya pada kesempatan ini.
Pengantar Dalam rangka menunjang penyadaran ilmu dan penyadaran (cara) ilmiah [1, 2, 3] di Indonesia, perlu terus disediakan pustaka dalam Bahasa Indonesia [3, 4], karena masih ada hambatan dalam memahami pustaka berbahasa Inggris. Di samping itu, menganalisis suatu perkembangan ilmu terkadang tidak mudah juga, justru karena sadar-ilmu dan sadar-bercarailmiah juga belum terlalu banyak dikuasai. Maka telah dimulai dilaporkan tentang asal usul dan arah perkembangan Sistem Internasional bagi satuan pengukuran [4], sebagai suatu titik tolak menunjukkan bagaimana cara ilmiah telah menuntun ilmu menuju ketepatan pendefinisian satuan-satuan pengukurannya. Laporan ini kemudian disusul dengan laporan tentang cara redefinisi satuan kilogram [5] yang tadinya diharapkan dapat disetujui pada CGPM (Konferensi Umum tentang Berat dan Ukuran) ke 24 pada bulan Oktober 2011 di Sèvres di tepi kota Paris, lokasi BIPM (Biro Internasional tentang Berat dan Ukuran) yang dibentuk di situ pada tahun 1875. Ternyata kemudian putusan ini ditunda, karena beberapa laboratorium terkemuka di Amerika Serikat dan Eropah baru mampu bersepakat tentang besarnya nilai 7 tetapan Planck sampai tingkat ketelitian 1 : 10 . Sebelumnya telah sempat diyakini bahwa akan dapat dicapai kesesuaian nilai tetapan Planck itu 8 sampai sekitar 1 : 10 , agar dapat dijadikan titik tumpu yang lebih baik lagi bagi definisi baru satuan kilogram. Dengan demikian kilogram dapat dilepaskan dari ketergantungan pada prototipe silinder baku yang ternyata terus mengalami perubahan massa sampai ~40
ISBN 978-602-19655-3-5
Mula-mula akan dideskripsikan gejala Hall yang klasik, lalu yang kuantum, yang sejak tahun 1980an disadari akan dapat menjadi acuan / standar yang kokoh bagi satuan ohm itu, yang tak lagi bergantung pada gulungan kawat standar Ni-Cr yang telah diketahui akan bergeser pula besarnya dari tahun ke tahun. Laporan ini ditutup dengan kesimpulan yang akan mengaitkan laporan ini pada upaya penyadaran ilmu dan penyadaran cara ilmiah dan pentingnya hal itu bagi peningkatan kebudayaan manusia. Efek Hall Pada tahun 1879 [6] Edwin Herbert Hall (1855-1938) mengamati gejala yang kini menyandang namanya. Diamatinya bahwa kalau suatu arus listrik dialirkan dalam sebuah keping logam, dan keping logam itu diletakkan dalam suatu medan magnetik, bahwa timbul suatu beda potensial listrik antara sisi-sisi transversal batang itu. Hal ini dapat digambarkan [9] sbb:
9
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2012 (SNIPS 2012) 7-8 Juni 2012, Bandung, Indonesia
pembawa arus tidak lagi bergerak terhadap medan magnet itu [7]. Efek Hall Kuantum Pada tahun 1950an, setelah transistor ditemukan, mulai diselidiki perilaku elektron yang bergerak dalam bahan semikonduktor yang dibentuk menjadi keping Hall itu, kalau 'gas' elektron itu dihimpitkan ke tepi atas (lihat Gambar 1) dengan suatu 'control gate' berpotensial positif di bidang z = 0. Ternyata kalau hal itu dilakukan pada suhu ~1 kelvin, 2 untuk ukuran keping ~ 1 mm , dapat dihasilkan suatu gas elektron berdimensi 2 (2DEG, 2 dimensional electron gas) yang tebalnya hanya ~10 nanometer. Kalau kemudian besarnya medan magnetik B diperbesar menjadi > 1 tesla, ditemukan pada tahun 1970an oleh Klaus von Klitzing dkk di Jerman, bahwa terjadi rentangan besar B di mana arus listrik mengalir tanpa disipasi, hambatan listriknya nol karena tegangan longitudinalnya Vx = nol. Lihat Gambar 2b di bawah ini.
Gambar 1. Gambar ini diambil dari website Hyperphysics [7], produksi C R Nave, Departemen Fisika dan Astronomi, Georgia State University, Atlanta, Georgia, Amerika Serikat. Biasanya untuk Gejala Hall Kuantum, digunakan konvensi, sumbu x searah dengan arah arus listrik I, sumbu y searah dengan gaya listrik yang terjadi pada elektron yang bergerak berlawanan dengan arah arus I, oleh penumpukan elektron di sisi kiri keping akibat gaya Lorentz pada elektron itu, dan sumbu z menjadi searah dengan medan magnetik B. Beda tegangan itu kemudian disebut “tegangan Hall” VH, yang besarnya dapat ditulis VH = Ey W = (v B) W,
(1)
dengan Ey medan listrik yang timbul oleh tumpukan elektron di sisi kiri keping itu, W lebar arah transversal keping, v laju elektron dalam arus listrik I. Arus listrik I yang tiga- atau duadimensional dapat ditulis sebagai I = n3D e v W d = n2D e v W,
(2)
jika dinyatakan dalam rapat elektron 3- atau 2dimensional n3D atau n2D dan luas penampang yang ditembus arus itu. Maka perbandingan VH vs I, karena berdimensi hambatan listrik, disebutlah Hall Resistance, Hambatan Hall, atau lebih baik koefisien Hall:
Gambar 2. Gambar ini diambil dari [6], yang aslinya dapat dianimasikan untuk menunjukkan dampak membesarnya B. a) menggambarkan tingkat energi orbit elektron 'Landau' yang masing-masing agak melebar, terhadap rapat keadaan kuantum (densitiy of states). b) menggambarkan puncak-puncak resistivitas listrik longitudinal dalam arah I, atau pun arah sumbu x, yang diselingi rentangan B tanpa disipasi energi, dan dataran-dataran 'Hall' yang berskala 1/2, 1/3, ... terhadap dataran tertinggi di sebelah kanan, pada B > 10 tesla, yang RH nya 2 = h/e ≡ RK = 25,812 807 kiloohm.
RH = B / (n3D e d) = B / (n2D e). (3) Efek Hall ini berguna untuk mengenali tanda positif atau negatifnya pembawa arus listrik (elektronkah, ion positifkah, ion negatifkah), atau sebagai magnetometer, untuk mengukur besarnya medan magnetik dari tegangan Hall yang ditimbulkannya. Juga, laju gerak pembawa arus listrik di dalam keping itu dapat diukur, dengan menggerakkan keping itu dalam medan magnet, sampai secepat gerak pembawa arus listrik di dalamnya (tetapi dalam arah sebaliknya); pertandanya adalah bahwa tegangan Hall itu lalu menjadi nol karena
ISBN 978-602-19655-3-5
Beberapa tahun kemudian, pada malam 5 Februari 1980, setelah data telah tersimpan hampir 2 tahun, barulah sempat disadari oleh Klitzing, bahwa koefisien Hall menampilkan adanya dataran-dataran RH konstan yang ternyata nilainya hanya bergantung pada tetapan alamiah Planck dan muatan elektron:
10
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2012 (SNIPS 2012) 7-8 Juni 2012, Bandung, Indonesia
2
RH = h/(i e )
En = ħ ωc (n + ½),
(4)
dengan n = 0, 1, 2, ... seperti biasa. Lihat Gambar 2a. Ini berarti bahwa elektron bebas menjadi terkelompok ke dalam tingkat-tingkat energi osilator ataupun orbital, yang biasa disebut 'tingkat Landau'. Selanjutnya degenerasi g tingkat energi ini ternyata didiktekan oleh tetapan fluks magnetik Φo ≡ h/(2 e), satuan dasar fluks magnetik [10]. Yang menarik adalah bahwa degenerasinya ditentukan oleh 2 Φo, senada dengan pola semi-klasik, yaitu
dengan i = 1, 2, 3, ... . Lihat pula Gambar 2b. Karena penelitian dan eksperimentasi selanjutnya makin mengukuhkan keyakinan bahwa perilaku RH ini tidak terpengaruh oleh jenis bahan yang digunakan, atau parameter lainnya, dan setelah Klitzing menerima Hadiah Nobel Fisika th 1985 untuk temuan ini, CIPM (Komité Internasional untuk Berat dan Ukuran) menyetujui suatu rekomendasi pada tahun 1988, yang kemudian disetujui CGPM, yang 2 mendefinisikan Tetapan Klitzing RK ≡ h/e = 25,812 807 kiloohm, yaitu koefisien Hall yang dihasilkan Gejala Hall Kuantum untuk 'dataran Hall' yang pertama (i = 1), mulai 1 Januari 1990. Hal ini disepakati, karena dengan demikian standar ohm baru ini dapat memiliki ketaktelitian standar sebesar satu simpangan baku senilai 2 –7 × 10 , yang lebih baik daripada ketaktelitian standar yang ada, yaitu hambatan kolom raksa, lilitan-lilitan kawat nikrom dsb.
g ≡ Φtotal /(2 Φo) = B A / (h/e)
n2D = i g / A = i B e/h,
(8)
dan dengan persamaan (3) ini menghasilkan persamaan (4). Hal 2 Φo ini menarik. Suatu penjelasan secara kuantum seharusnya memang ada walaupun tidak ditemukan penjelasannya secara eksplisit, hanya ada suatu argumentasi ordo besar saja. Akan tetapi secara sederhana, dapatlah hal ini agak dipahami dengan mencatat bahwa berorbitnya elektron akan menimbulkan suatu B tambahan yang ternyata berlawanan dengan arah B pertama tadi. Dengan demikian wajarlah bahwa medan magnet netto yang dicakup oleh orbit elektron itu menjadi lebih kecil (tetapi hanya agak kecil), sehingga hasilnya adalah dimungkinkannya semua orbit elektron, besar maupun kecil, hanya mencakup ~dua fluks dasar magnetik itu.
Yang menimbulkan efek kuantum adalah, ketika B menjadi cukup kuat, lintasan elektron kepalang membentuk lingkaran, sebelum sempat gaya Lorentznya terimbangi oleh gaya listrik tersebut di atas. Seperti sudah dikenal sejak ditemukannya siklotron pada tahun 1930an, laju gerak elektron v dan jejari orbit elektron r memenuhi hubungan
Selanjutnya, untuk dapat menjelaskan terjadinya dataran-dataran VH ataupun RH itu, ketika medan B terus diperbesar, dicatat bahwa kristal keping semikonduktor itu tentu mengandung impuritas, entah atom asing atau catat kristal. Hal ini berdampak melebarkan sedikit tingkatan energi orbital itu (tampak pada Gambar 2a), di samping juga menimbulkan banyak keadaan elektron terlokalisasi antartingkat energi, seperti juga terjadi pada semikonduktor tipe n atau p, dan pada silikon amorf yang amat banyak cacatnya. Akibat hal ini adalah, bahwa ketika medan magnet B terus diperbesar, degenerasi para tingkatan energi orbital membesar, para elektron
(5)
dengan ωc disebut frekuensi siklotron, e muatan elektron, m massa elektron. Ternyata gerak orbit elektron bebas ini menimbulkan efek kuantum, bahwa tingkat energi elektron bebas yang semula merupakan pita energi berkesinambungan sebagaimana halnya juga bagi model elektron bebas dalam konduktor biasa, menjadi terkuantisasi dan hanya dapat bernilai:
ISBN 978-602-19655-3-5
(7)
dengan A = W L = luas permukaan keping yang ditembus medan magnet B. L = panjang longitudinal keping. Dengan demikian, jika dalam 2DEG itu ada 2 kerapatan elektron n2D, dalam /m , dan ada sejumlah bulat i tingkat energi orbital yang terisi penuh, terhitung dari tingkat dasar, maka terdapat hubungan
Deskripsi mekanisme Efek Hall Kuantum Setelah dipelajari laporan-laporan penelitian tentang Efek Hall di wilayah kuantum ini [8, 9], yang ternyata tidak terlalu mudah dicernakan, ditemukan bahwa deskripsinya dapat dibuat sederhana, sehingga dapat menunjang sebagai ilustrasi pada tingkat Fisika Dasar, dan dapat menunjang pula penyadaran tentang ilmu serta tentang cara bekerja ilmuwan (cara ilmiah). Tentunya, deskripsi ini harus ditumpukan pada teori mekanika kuantum, tetapi gambaran fisikanya dapat ditonjolkan melalui deskripsi tingkat Fisika Dasar ini, secara semi-klasik.
v/r ≡ ωc = e B/m
(6)
11
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2012 (SNIPS 2012) 7-8 Juni 2012, Bandung, Indonesia
bebas berangsur turun ke keadaan lowong yang terjadi, sehingga elektron bebas yang tertinggi berangsur pula mengosongkan tingkat energi yang ditempatinya. Maka ketika elektron turun ke keadaan terlokalisasi, tingkat-tingkat energi Landau tidak berubah populasinya, dan akibatnya, konsentrasi elektron berorbit di sisi negatif keping itu tidak berubah, akibatnya tegangan Hall dan hambatan Hall pun konstan, dan teramatilah dataran-dataran 'Landau' yang RH nya dinyatakan oleh persamaan (4) di atas.
Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung atas dukungan finansialnya. Juga diucapkan terima kasih kepada profesor Benny Suprapto untuk diskusi yang bermanfaat. Referensi [1] A. Rusli, A Format for the Basic Physics Lecture – Aiming at Science Awareness: Some Study Results, Proceedings of the Third International Conference on Mathematics and Natural Sciences (ICMNS), 2010, 579-586,
Sebaliknya, ketika populasi tingkat energi Landau teratas sedang berkurang, itu berarti elektronnya masih dapat tereksitasi dan mendisipasikan energi arus listrik I, di samping elektron berorbit-besar berkurang dan digantikan oleh elektron berorbit lebih kecil, sehingga tumpukan elektron berorbit di tepi kiri keping itu bertambah, tegangan Hallnya makin tinggi, dan terjadilah grafik 'anak-tangga' yang khas itu.
http://icmns.fa.itb.ac.id/proceedings.php
[2] A. Rusli. Fisika Dasar sebagai sarana penyadaran tentang sains dan cara ilmiah: Suatu Studi. Prosiding Seminar Nasional Fisika 2011, Pusat Penelitian Fisika-LIPI, Serpong, 12-13 Juli 2011, 782-789 [3] Aloysius Rusli, Science and Scientific Literacy vs Science and Scientific Awareness: A Study of Wish and Reality, ICPAP 2011, Bandung, sedang dalam proses dipublikasi sebagai suatu AIP Proceedings. [4] A. Rusli, Asal Usul dan Rencana Pengembangan Sistem Internasional (S.I.): Suatu Studi, Prosiding Seminar Nasional Fisika 2011, Pusat Penelitian Fisika-LIPI, Serpong, 12-13 Juli 2011, 774-781 [5] A. Rusli, Untuk Kesadaran Ilmu dan Ilmiah: Suatu Studi tentang Massa, Usulan Definisi Baru Satuannya, dan Realisasinya, SFN ke 24, Bandung, 2011 [6] Efek Hall Kuantum, 2012, versi 11 Mei, http://en.wikipedia.org/wiki/QHE, diakses 5 Juni 2012 [7] Hall Effect, http://hyperphysics.phyastr.gsu.edu/hbase/magnetic/hall.html, diakses 5 Juni 2012 [8] B. Jeckelmann and B. Jeanneret, The Quantum Hall Effect as an Electrical Resistance Standard, Séminaire Poincaré 2 (2004) 39-51, www.bourbaphy.fr/jeanneret.pdf, diakses 14 Oktober 2011. [9] Klaus von Klitzing, Nobel Lecture, www.nobelprize.lecture.pdf, diakses 14 Oktober 2011. [10] Magnetic flux quantum, 2012, versi 28 April, http://en.wikipedia.org/wiki/Magnetic_flux_q uantum
Prakteknya, tegangan Hall VH dan arus listrik I diukur. Lalu perbandingannya, RH, untuk keadaan hanya satu tingkat energi orbital terendah yang terpopulasi-penuh adalah RH = RK 2 = h/e = 25,812 807 kiloohm, dengan –7 ketakpastian 2 × 10 . Selanjutnya, dengan cara standar, seperti penggunaan jembatan Wheatstone, dapat dikalibrasi berbagai standar satuan ohm seperti 1 kiloohm, 1 ohm, dsb. Kesimpulan Melalui studi ini dapat ditunjukkan penyadaran bahwa ilmu itu tak pernah sempurna, tetapi terus berkembang, dan senantiasa berusaha makin teliti walaupun –8 ketakpastiannya 'baru' menjelang 1 × 10 . Penyadaran lainnya adalah bahwa cara ilmiah yang telah dicoba ditunjukkan dalam studi ini, yang menggunakan beberapa model sederhana, yang diolah dengan nalar yang berusaha untuk sekonsisten mungkin, dapat memberi pemahaman yang lebih baik tentang perilaku alam. Satu langkah berikutnya adalah langkah yang kiranya mulai cocok untuk diperdalam di abad ke 21 ini, yaitu seberapa jauh ilmu dan cara ilmiah ini dapat membantu memahami bidang non-ilmu yang lebih berada di tataran kepercayaan atau iman: Yang menjadi masalah adalah, adakah dan di manakah batas-batasnya?
Aloysius Rusli Jurusan Fisika, Fakultas Teknologi Informatika dan Sains, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung E-mail:
[email protected],
Ucapan terima kasih Terima kasih diucapkan kepada Lembaga
ISBN 978-602-19655-3-5
12
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2012 (SNIPS 2012) 7-8 Juni 2012, Bandung, Indonesia
Problem Solving dengan Metode Identifikasi Variabel Berdasarkan Skema: Tinjauan Terhadap Formulasi Kecepatan Relativistik Risti Suryantari* Abstrak Salah satu parameter keberhasilan studi siswa atau mahasiswa adalah kemampuan mereka dalam menyelesaian masalah (problem solving), baik pada buku referensi maupun ketika menghadapi ujian. Dalam fisika, seringkali ditemui permasalahan yang cenderung pada akhirnya harus menggunakan formulasi dalam penyelesaiannya. Ketika mengerjakan soal dengan sebuah formulasi, satu hal yang penting adalah kemampuan dalam mengidentifikasi variabel yang diketahui dan ditanyakan pada soal. Melalui tinjauan literatur, diperoleh sebuah cara baru dalam mengidentifikasi variabel, yaitu identifikasi variabel berdasarkan skema. Topik fisika yang ditinjau adalah kecepatan relativistik. Skema yang dibuat adalah skema sederhana dan terbukti dapat diterapkan bagi semua tipe persoalan kecepatan relativistik yang sering muncul pada buku-buku referensi. Langkah-langkah problem solving adalah: (1) mengungkapkan definisi variabel kecepatan secara sederhana, (2) membuat skema dan menuliskan variabel yang sesuai pada skema tersebut, serta (3) penerapan pada soal. Dalam membuat skema, digunakan pendekatan tiga benda: kerangka diam, benda yang kecepatannya diukur oleh dua pengamat dan benda lain yang kecepatannya diukur oleh satu pengamat. Pada bagian pembuatan skema disajikan cara penyampaian skema, sedangkan pada bagian penerapan soal, diberikan petunjuk langkah-langkah penyelesaian. Skema yang digunakan selalu sama, demikian juga dengan posisi benda dan urutan variabel, dengan demikian siswa atau mahasiswa mampu menentukan variabel dengan tepat. Kata-kata kunci: identifikasi variabel, kecepatan relativistik, problem solving, skema dan petunjuk langkah-langkah penyelesaian pada soal. Skema yang digunakan selalu sama, demikian juga dengan posisi benda dan urutan variabel, dengan demikian siswa atau mahasiswa mampu menentukan variabel dengan tepat. Metode ini kemudian diterapkan pada perkuliahan fisika dasar, Fakultas Teknologi Industri, Universitas Katolik Parahyangan.
Pendahuluan Salah satu parameter keberhasilan studi siswa atau mahasiswa adalah kemampuan mereka dalam menyelesaian masalah (problem solving), baik pada buku referensi maupun ketika menghadapi ujian. Dalam fisika, seringkali ditemui permasalahan yang cenderung pada akhirnya harus menggunakan formulasi dalam penyelesaiannya. Problem solving merupakan suatu strategi dalam memperoleh solusi bagi persoalan dengan berbagai cara dengan memanfaatkan pengetahuan yang dimiliki, secara umum berupa identifikasi masalah, menentukan langkah-langkah penyelesaian, kemudian memecahkan masalah [1]. Beberapa metode yang sering diterapkan dalam fisika adalah creative problem solving [5], variable flow diagram [6], strategi dalam problem solving [8], dan conceptual map [9]. Berdasarkan keempat metode, selalu termuat bagian menentukan variabel, namun tidak ditonjolkan suatu cara tertentu yang akan memudahkan siswa atau mahasiswa dalam menentukan variabel dengan tepat [5,6,8,9]. Meninjau keempat metode tersebut, akan dibuat suatu metode khusus dalam problem solving yang difokuskan untuk menentukan variabel dengan tepat untuk topik kecepatan relativistik, yaitu salah satu topik fisika yang formulasinya memuat tiga variabel [2,7]. Metode tersebut adalah dengan membuat satu skema yang dapat diterapkan bagi semua tipe persoalan kecepatan relativistik. Pada pembahasan disajikan cara penyampaian skema,
ISBN 978-602-19655-3-5
Teori Langkah-langkah dalam metode creative problem solving yang diungkapkan oleh Haris adalah membuat asumsi, pendekatan masalah, dan modeling. Metode yang diungkapkan Haris tidak hanya terbatas untuk fisika. Salah satu hal yang ditekankan adalah modeling. Modeling membantu siswa melihat secara detail masalah tersebut berupa gambar yang dilabeli dengan keterangan-keterangan tertentu. Modeling sebenarnya merupakan bentuk penyelesaian sebagian masalah [5]. Dalam buku referensi seringkali diungkapkan strategi dalam problem solving. Penulis buku biasanya memberikan tips cara mengerjakan soal dalam buku tersebut, sehingga akan membantu menyelesaikan permasalahan [2, 4,7,8]. Sebagai contoh dalam buku tulisan Sears, dkk, diungkapkan langkah-langkah dalam problem solving adalah mengidentifikasi konsep yang relevan, mengidentifikasi variabel, membuat daftar kuantitas yang diketahui, perhitungan dan evaluasi [8]. Metode lain adalah conceptual map. Metode ini sebenarnya bukanlah strategi dalam problem
13
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2012 (SNIPS 2012) 7-8 Juni 2012, Bandung, Indonesia
solving secara langsung namun dapat membantu dalam menyerap informasi ketika pengajaran diberikan. Penelitian menunjukkan bahwa jika siswa diminta menggambar sebuah map, mereka dapat memberikan informasi yang ada dengan baik ketika diberikan pertanyaan seputar map tersebut. Conceptual map akan menuntun kita pada suatu gambaran besar terhadap topik yang diberikan [3,9]. Yousuf memberikan langkah-langkah khusus dalam problem solving yaitu: (1) menggambar diagram, melabeli dengan besaran atau variabel sedetail mungkin, (2) mengidentifikasi variabel target dan membuat daftar kuantitas yang diketahui, (3) mengidentifikasi konsep yang relevan dan mereview kembali pada buku bila diperlukan, (4) menulis variabel yang diketahui pada sisi kanan dan yang tidak diketahui pada sisi kiri, (5) membuat hubungan antara keduanya, (6) menuliskan persamaan dan (7) evaluasi. Yousuf menggambarkan flow diagram variabelvariabel dalam fisika, untuk menunjukkan keterkaitannya pada bab mekanika, kelistrikan dan kemagnetan, beserta pembahasan soal dari buku Sears. Metode ini mendapat respon baik dari siswa dalam kelas fisika [6]. Teori Relativitas merupakan salah satu pokok bahasan pada mata pelajaran fisika di Sekolah Menengah Atas dan mata kuliah fisika untuk beberapa fakultas di perguruan tinggi. Bagi siswa SMA tentu akan menjadi sesuatu yang baru karena belum pernah dipelajari sebelumnya. Pemahaman konseptual tidak semudah konsep fisika klasik pada gerak (Hukum Newton). Salah satu postulat Einstein dalam relativitas khusus adalah kecepatan cahaya bersifat konstan bagi semua pengamat. Konsekuensi postulat ini adalah adanya kontraksi panjang, pemuaian waktu, dan kecepatan relativistik [4,7,8]. Menurut Tipler [7], diungkapkan formulasi kecepatan relativistik sebagai berikut:
...sebuah roket bergerak dari bumi dengan kelajuan v , roket kedua diluncurkan dari roket '
pertama dengan kelajuan u . Maka kecepatan roket kedua terhadap bumi dinyatakan oleh persamaaan [2]:
u=
u x/ pada titik S’ bergerak ke arah kanan dengan kecepatan v relatif terhadap memiliki kecepatan
S, maka kecepatan partikel terhadap titik S adalah u x , dirumuskan [2]:
u x' + v . u x/ v 1+ 2 c
(1)
Dalam referensi lain, Giancoli mengungkapkan formulasi serupa dengan lebih sederhana, dan tinjauan langsung pada kasus. Giancoli mengungkapkan [2]:
ISBN 978-602-19655-3-5
(2)
Hasil dan diskusi Berdasarkan empat metode yang diberikan, secara tidak langsung selalu termuat komponen “identifikasi variabel”. Hal ini menunjukkan pentingnya penentuan variabel (yang diketahui dan yang ditanyakan). Ketika bagian ini sudah dilakukan dengan benar, jalan menuju ke solusi akan semakin mudah, khususnya bagi tipe soal yang mengharuskan melakukan solusi berdasarkan formulasi dan perhitungan. Berdasarkan empat metode juga selalu termuat bagian membuat diagram atau gambar. Diagram atau gambar akan mempermudah pemahaman dan memperoleh gambaran besar terhadap persoalan [3,4,5,6,7,8,9]. Pada metode Creative problem solving menurut Haris [5], modeling permasalahan dapat dilakukan dengan mudah sesuai dengan masalah, namun bagian “pelabelan” harus dilakukan hati-hati. Menurut Sears langkah kedua adalah mengidentifikasi variabel dan membuat daftar kuantitas yang diketahui, namun kesalahan sering ditemukan pada bagian ini, dan perhitungan menjadi tidak berhasil [7]. Conceptual map dan variable flow diagram juga menekankan pada “alur berpikir” yang kemudian menghubungkan kaitan antar variabel. Hal ini sangat baik diterapkan pada proses pengajaran, sehingga siswa mampu menerima informasi dengan mudah. Namun permasalahan tetap terletak pada bagaimana menentukan variabel tersebut [3,6,9]. Dalam persamaan kecepatan relativistik sendiri ada tiga buah variabel yang harus ditentukan, karena c adalah kecepatan cahaya yang konstan (persamaan 1 dan 2). Ketiga variabel tersebut sama-sama diartikan sebagai kecepatan namun menurut pengamat yang berbeda, disinilah letak kesulitannya. Bila ditinjau persamaan 1 dan 2, kelemahan dari kedua formulasi dan definisi variabel tersebut adalah bila menemukan soal-soal lain dengan kalimat yang tidak sama persis dengan definisi, atau persoalan yang sedikit divariasi, maka akan berisiko pada kesalahan menentukan variabel. Oleh sebab itu diperlukan cara penjelasan yang relatif lebih mudah dengan membuat definisi sederhana untuk keberhasilan problem solving [3,5,6,7,9].
...anggap sebuah partikel pada sumbu x
ux =
u' + v . u 'v 1+ 2 c
14
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2012 (SNIPS 2012) 7-8 Juni 2012, Bandung, Indonesia
Persoalan yang sering muncul biasanya melibatkan dua benda bergerak dan satu kerangka diam (bumi atau laboratorium sebagai kerangka diam) [3]. Contoh masalah Giancoli, bab 26, problem 43:
adalah kecepatan benda lain menurut kerangka diam. Kerangka diam ini seringkali dituliskan bumi atau laboratorium. Skemanya ditunjukkan oleh gambar 1.
...seseorang dengan roket bergerak dengan kelajuan 0,5c relatif terhadap bumi. Meteor di belakangnya melewatinya dan orang itu mengukur kelajuan meteor 0,5c. Berapa kecepatan meteor terhadap bumi? [2].
Benda lain
u' + v u 'v 1+ 2 c
u Kerangka diam
Gambar 1: Skema formulasi kecepatan relativistik.
Untuk menjelaskan dengan baik diperlukan penekanan-penekanan pada beberapa bagian. Pertama, kerangka diam harus diletakkan paling bawah, benda yang diukur oleh dua pengamat letakkan di tengah, dan yang paling atas adalah benda lain yang hanya diukur oleh satu pengamat. Kedua, benda yang diukur oleh dua pengamat yang berbeda maka pasti merupakan
u atau u ' , tuliskan u ' bila diukur oleh benda lain atau u bila diukur oleh kerangka diam atau orang yang berada pada kerangka diam. Ketiga, benda lain yang memiliki satu kecepatan adalah v . Dengan demikian, urutannya (dari atas ke '
bawah) selalu v , u , kemudian u . Hal lain yang perlu ditambahkan adalah bila arah benda dan benda lain tersebut berlawanan, maka letakkan tanda minus pada salah satu kecepatan, v.
u ' atau
Contoh penerapan soal dari Giancoli, bab 26, problem 43 [2], maka langkah penyelesaiannya adalah sebagai berikut: 1. Tentukan benda yang diukur oleh dua pengamat dan tentukan benda yang diukur oleh satu pengamat. 2. Buat skema seperti gambar 1, tuliskan angka-angka yang diketahui pada skema. '
3. Tuliskan variabel ( u , u atau v ) sesuai dengan gambar 2 (Ingat urutannya dari atas
(3)
ke bawah selalu v , u , 4. Lakukan perhitungan.
dimana, u adalah kecepatan benda menurut kerangka diam (kerangka diam yang sering muncul pada persoalan dapat berupa bumi atau
u ' ).
Berdasarkan langkah tersebut, dilakukan penyelesaian sebagai berikut: 1. Benda yang kecepatannya diukur oleh dua pengamat adalah meteor. Benda yang kecepatannya diukur oleh satu pengamat adalah roket.
'
laboratorium), u adalah kecepatan suatu benda menurut benda lain yang bergerak, dan v
ISBN 978-602-19655-3-5
u’
benda
Menghadapi soal semacam ini akan membuat siswa berpikir sejenak untuk mengkaitkan masalah dengan definisi variabel pada formulasi kecepatan relativistik bila menggunakan persamaan 1 versi Tipler [7]. Langkah yang harus dilakukan adalah menentukan kerangka diam dan bergerak serta menentukan variabel diketahui dan ditanyakan. Bila bumi kerangka diam, pada soal ada dua kecepatan yang dituliskan relatif terhadap bumi, siswa akan berpikir, variabel u adalah roket bergerak dengan kecepatan 0,5c ataukah yang ditanyakan, yaitu kecepatan meteor relatif terhadap bumi? [7]. Bila menggunakan persamaan 2, maka kemungkinan siswa akan menduga bahwa roket bergerak dengan kecepatan 0,5c relatif terhadap bumi diartikan sebagai u , sesuai definisi u adalah kelajuan roket terhadap bumi. Padahal bila dibaca dengan seksama, bukanlah u melainkan v [7]. Hal semacam ini sering ditemui dalam pembelajaran, siswa mengalami kebingungan dalam menentukan variabel. Berdasarkan persoalan yang sering muncul di buku-buku referensi fisika dan meninjau keempat metode, maka akan diungkapkan definisi formulasi kecepatan relativistik secara lebih sederhana, kemudian membuat skema dan melabelinya dengan variabel yang sesuai dan contoh penerapan pada soal. Skema akan memudahkan siswa memahami persoalan, dengan membuat dan melihat skema ini pula siswa akan dapat menentukan variabel dengan tepat. Untuk mengungkapkan definisi variabel kecepatan secara sederhana, digunakan formulasi versi Giancoli persamaan 1 dituliskan kembali, sebagai berikut [2]:
u=
ν
15
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2012 (SNIPS 2012) 7-8 Juni 2012, Bandung, Indonesia
2. Membuat skema (gambar 2), menuliskan angka-angka yang diketahui dan ditanyakan: Kecepatan Roket yang diukur oleh bumi adalah 0,5c. Kecepatan meteor diukur oleh orang dalam roket adalah 0,5c. Ditanyakan kecepatan Meteor diukur oleh bumi.
metode ini, dan setelah diberikan penjelasan dengan metode ini. Ucapan terima kasih Penulis mengucapkan terima kasih kepada mahasiswa fakultas teknik industri Universitas Katolik Parahyangan dan Bapak Dr. Aloysius Rusli atas dukungannya. Penulis juga berterima kasih kepada LPPM Universitas Katolik Parahyangan atas dukungan finansialnya dalam keikutsertaan kegiatan ilmiah ini.
'
3. Menuliskan variabel v , u dan u seperti gambar 2 (urutannya dari atas ke bawah selalu
v - u ' - u ). ν=0,5c
Roket
Referensi [1] Bloom, B.S, “Tezonomi of Educational Objectives”, Handbook 1, Longmann Group, Ltd, London, 1955 [2] Douglas C. Giancoli, “Physics Principle th With Application”, 6 edition, Pearson Education, Inc, Boston, 2005. [3] Glenn W. Ellis, Al Rudnitsky, Becky Silverstein, "Using Conceptual Maps to Enhance Understanding in Engineering Education," Online at http://www.science.smith.edu/engin/pdf/con ceptmaps.pdf [accessed 26 April 2012] [4] Halliday, D., Resnick, R., Walker, J., th “Fundamentals of physics, 8 edition”, John Wiley & Sons, Inc, New York, 2008 [5] Harris, R. A., “Creative Problem Solving: A Step-by-Step Approach”, Pyrczak Publishing, Los Angeles, 2008, A shorter version is available online at http://www.virtualsalt.com/crebook4.htm. [accessed 26 April 2012] [6] M.A. Yousuf, R.M. Chaveznava, “Solving Physics Problems Using Variable Flow Diagrams, International Conference on Engineering Education”, Pécs-Budapest, Hungary, July 2008, page 27-31. [7] Paul A. Tipler, “Fisika Untuk Sains dan Teknik”, jilid 2,alih bahasa oleh dr. Bambang Soegijono, Erlangga, Jakarta, 1996 [8] Sears, Zemansky, Young and Freedman, nd “University Physics, 12 Edition”, Pearson Education, Inc, Boston, 2007. [9] Wanderse, J. H, “Concept mapping and cartography of cognition”, Journal of Research in Science Teaching, 1990, 27(10), 923-936.
u’=0,5 c Meteor u=? Bumi Gambar 2: skema penyelesaian soal
4. Perhitungan:
u≡
u' + v 0,5c + 0,5c = = 0,8c ! ' u v 1 + 0,5c.0,5c 1+ 2 c2 c
Metode ini efektif untuk menyelesaikan berbagai tipe soal kecepatan relativistik dengan mudah. Skema yang sama akan membantu siswa dalam mengingat simbol variabel dengan mudah, apalagi dengan urutan variabel yang selalu dibuat sama. Metode ini kemudian diterapkan dalam perkuliahan fisika dasar, Fakultas Teknologi Industri, Universitas Katolik Parahyangan, dan berdasarkan hasil pengerjaan soal setelah diberikan penjelasan, seluruh mahasiswa mampu mengidentifikasi variabel dengan tepat. Kesimpulan Metode identifikasi variabel berdasarkan skema dapat digunakan dalam memecahkan berbagai tipe persoalan kecepatan relativistik yang sering dijumpai dalam buku referensi. Skema yang digunakan selalu sama, dengan variabel yang berurutan. Penulis menyarankan untuk mencoba menerapkan metode ini dalam pembelajaran kecepatan relativistik di tingkat SMA, dengan membandingkan hasil pengerjaan soal oleh siswa sebelum diberikan penjelasan dengan
ISBN 978-602-19655-3-5
Risti Suryantari* Physics Department Parahyangan Catholic University, Bandung
[email protected]
16
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2012 (SNIPS 2012) 7-8 Juni 2012, Bandung, Indonesia
PEMBELAJARAN FISIKA DENGAN INKUIRI TERBIMBING MELALUI METODE EKSPERIMEN UNTUK MENINGKATKAN AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR SISWA M. Yasin Kholifudin Abstrak Makalah ini memaparkan hasil penelitian untuk meningkatkan aktivitas belajar di laboratorium dan hasil belajar siswa di kelas XI IPA 3 SMA Negeri 1 Gombong pada materi fluida statis. Penelitian ini adalah penelitian eksperimen dengan sampel 33 siswa terdiri 20 putri dan 13 putra.Instrumen pengambilan data: test hasil belajar, lembar pengamatan aktivitas belajar siswa. Analisis data dengan membandingkan perlakuan sebelum dan sesudah perlakuan proses pembelajaran fisika dengan inkuiri terbimbing melalui metode eksperimen. Dari analisis data dapat disimpulkan bahwa pembelajaran fisika dengan inkuiri terbimbing melalui metode eksperimen dapat meningkatkan aktivitas belajar dan hasil belajar fisika pada materi fluida statis; nilai hasil belajar: rata-rata 84,76, nilai terendah 64,00 dan nilai tertinggi 96,00 dengan prosentase keberhasilan 98 % mencapai hasil belajar dengan nilai amat baik, yang sebelum perlakuan metode eksperimen rata-rata hasil belajar 67,50. Aktivitas belajar siswa dalam melakukan ekperimen di laboratorium meningkat dengan indikator para siswa mengikuti proses pembelajaran dengan penuh semangat melakukan percobaan dari awal sampai akhir kegiatan diteruskan pembuatan laporan eksperimen dan dikonsultasikan kepada guru pembimbing eksperimen. Pembelajaran inkuiri terbimbing para siswa dalam mengikuti proses pembelajaran eksperimen di laboratorium dengan suasana aktif dan menyenangkan, siswa melakukan semua aktivitas kegiatan eksperimen dari awal sampai akhir. Sehingga hasil belajar siswa meningkat baik secara kognitif, spikomotorik dalam penguasaan alat-alat praktikum, dan afektif dalam bersikap selama eksperimen sesama anggota kelompok maupun di luar kelompok tentang materi fluida statis. Kata Kunci: Inkuiri terbimbing, eksperimen, aktivitas, hasil belajar dengan bagaimana siswa dapat mengkaitkan informasi dengan struktur kognitif yang telah ada. Struktur tersebut berupa fakta, konsep, dan generalisasi yang diterima siswa.Teori belajar Piaget terdapat dua strategi dasar yang paling penting dalam proses pembelajaran ilmu fisika yaitu: (1) Interaksi dengan obyek konkrit; (2) dan diskusi dengan pembimbing. Dengan dua strategi dasar tersebut, menjadikan kognitif siswa akan berkembang dengan baik, dimana siswa mendapatkan konsep sendiri sehingga konsep yang didapatkan akan bertahan lama dan belajar akan lebih bermakna. Teori belajar Gagne (1916) adalah seorang ahli psikologi yang telah banyak mengembangkan suatu pendekatan perilaku yang elektrik mengenai spikologi belajar yaitu hasil-hasil belajar dalam penampilan-penampilan yang dapat diamati sebagai hasil-hasil belajar disebut dengan kemampuan (capabilities)[2]. Ada lima kemampuan, yaitu tiga diantaranya bersifat kognitif (ketrampilan intelektual, strategi kognitif, informasi verbal), bersifat afektif, dan bersifat psikomotor. Keuntungan pembelajaran fisika dengan metode eksperimen selama kegiatan meliputi diantaranya siswa: (1) aktif melakukan kegiatan dari mempersiapkan dan merangkai alat, mencari data melalui pengamatan, menganalisis data dan mengambil kesimpulan:
Pendahuluan Model pembelajaran berdasarkan inkuiri terbimbing mempunyai ciri-ciri antara lain; (1) ruang lingkup untuk melakukan suatu penyelidikan atau pengamatan diberikan kepada siswa; (2) siswa melakukan restrukturisasi masalah-masalah; (3) siswa melakukan identifikasi masalah yang berdasar penyelidikan atau pengamatan; (4) siswa melakukan “Trial and error” atau berspekulasi berbagai cara untuk memecahkan masalah dan kesulitan [1] [9].Teori belajar yang sesuai dengan metode inkuiri terbimbing adalah teori belajar Bruner, teori belajar Ausubel, teori belajar Piaget, teori belajar Gagne tersebut antara lain. Teori Belajar Bruner menyatakan bahwa proses belajar yang paling baik adalah melalui penemuan. Proses pembelajaran siswa tersebut akan melibatkan tiga hal yang berlangsung hampir bersamaan. Ketiga proses itu adalah a) Memperoleh informasi baru; b) Transformasi informasi; c) Menguji relevansi dan ketepatan pengetahuan [2] Menurut Ausubel belajar diklasifikasikan menjadi dua dimensi, yaitu dimensi yang pertama berhubungan dengan informasi atau materi saja yang akan disajikan pada siswa, melalui ikuiri/ penemuan. Dimensi kedua berhubungan
ISBN 978-602-19655-3-5
17
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2012 (SNIPS 2012) 7-8 Juni 2012, Bandung, Indonesia
(2) semakin yakin dan percaya diri dari pengalaman belajar yang didapatkan selama percobaan yang dilakukan; (3) siswa mempunyai sifat obyektif, realistis, dan menghilangkan verbalisme; (4) hasil belajar siswa bertahan lama, karena mengalami sendiri; (5) siswa terbiasa menggunakan sikap ilmiah [3]. Tujuan utama strategi pembelajaran inkuiri dalam proses pembelajaran antara lain: (1) Keterlibatan siswa secara maksimal dalam proses kegiatan belajar meliputi; kegiatan mental intelektual dan sosial emosional. (2). Kegiatan terarah secara logis dan sistematis pada tujuan pengajaran. (3) Mengembangkan sikap percaya pada diri sendiri (self-belief) pada diri siswa tentang apa yang ditemukan dalam proses inkuiri [4][5] .Secara umum proses pembelajaran inkuiri dapat mengikuti langkahlangkah sebagai berikut; oreantasi, merumuskan masalah, mengajukan hipotesis, mengumpulkan data, menguji hipotesis, merumuskan kesimpulan [6] Tujuan penelitian ini adalah untuk meningkatkan aktivitas belajar siswa di laboratorium dan hasil belajar siswa [7][8] melalui pembelajaran inkuiri terbimbing dengan metode eksperimen di kelas XI IPA 3 pada materi fluida statis
bacaan yang diperlukan; (c) material: alat dan bahan yang diperlukan disediakan agar tidak bingung mencari; (d) pertanyaan pengarah: perlu disiapkan guru agar siswa terfokus; (e) hipotesis siswa perlu dilihat oleh guru dan dimengerti maksudnya oleh siswa lain; (f) data perlu dikumpulkan dengan baik oleh siswa; (g) pengambilan kesimpulan perlu diperhatikan apakah logis atau tidak. Siswa perlu dibimbing untuk mendapatkan kesimpulan bagi diri meraka sendiri; (h) LKS dapat disiapkan untuk membantu siswa dalam proses inkuiri [11] . Langkah pembelajaran metode eksperimen sebagai berikut: 1). Mempersiapkan kegiatan: (a) menetapkan tujuan-tujuan yang akan dicapai; (b) menetapkan alat-alat, bahan yang akan digunakan, dan sarana lain yang mendukung serta memeriksa ketersediaan alat; (c) mengadakan uji coba terlebih dahulu (guru) baik untuk alat alat, bahan, dan materi yang akan dieksperimenkan sehingga dapat ketetahui segala kemungkinan yang terjadi. 2). Melaksanakan kegiatan: (a) guru masuk kelas memberi salam dan memotivasi anak untuk melaksanakan kegiatan eksperimen, (b) guru dengan siswa mendiskusikan mengenai langkah langkah pelaksanaan, alat dan bahan yang digunakan serta hal-hal yang akan diamati dan dicatat hasil kegiatan eksperimen; (c) guru mengamati dan membimbing siswa melakukan eksperimen, siswa melakukan eksperimen, mengamati dan mencatat data-data hasil eksperimen; (d) siswa menganalisis data pengamatan, menyimpulkan dan membuat laporan kegiatan secara kelompok, (e) hasil laporan kegiatan eksperimen dikomunikasikan dalam kelas dengan diskusi kelompok dan kelas
Teori Metode pembelajaran penemuan atau ikuiri terbimbing melalui metode eksperimen, dimana siswa terlibat aktif melakukan percobaan sendiri,mengamati, mencatat, mengolah data, menyimpulkan hasil eksperimen dan membuat laporan. Dalam pembelajaran siswa diberi kebebasan untuk mengembangkan kognitif, spikomotorik, dan afektif .Siswa akan terlatih untuk belajar penemuan/pembuktian teori dari permasalah fakta-fakta yang timbul dalam kehidupan sehari-hari, menyusun hipotesis, menjawab hipotesis dari mengumpulkan data, menganalisa data, dan menyimpulkan dengan bimbingan seorang guru. Dalam penelitian ini siswa diajak menemukan hubungan antara kedalaman zat cair dengan tekanan, menentukan massa jenis zat cair, menentukan besarnya gaya Archimedes dari berbagai macam fluida [9][10], melalui inkuiri terbimbing dengan metode eksperimen baik melalui panduan LKS atau guru pembimbing
Hasil dan diskusi Data hasil prestasi belajar fisika dengan pendekatan inkuiri terbimbing melalui metode eksperimen pada materi fluida statik disajikan pada tabel 1 sebagai berikut. Tabel 1. Data hasil belajar sebelum dan sesudah metode eksperimen.
Nilai rata-rata Standar deviasi
Menurut Trowbridge & Bybee unsur-unsur yang perlu diperhatikan secara sungguhsungguh agar metode inkuiri yang direncanakan dapat berjalan lancar dan mendukung pembelajaran siswa adalah (a) persoalan yang mau diteliti: harus real dan nyata, punya arti bagi siswa dan dapat ditetiti siswa; (b) informasi tentang latar belakang menjadi penting: buku,
ISBN 978-602-19655-3-5
Sebelum Eksperimen 67,50
Sesudah Eksperimen 84,76
7,62
8,08
Nilai terendah
50
64
Median
68
84
Nilai tertinggi
78
96
Diskripsi statistik hasil analisis data diperoleh gambaran bahwa rata-rata skor hasil
18
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2012 (SNIPS 2012) 7-8 Juni 2012, Bandung, Indonesia
belajar fisika siswa dengan metode eksperimen sebesar 84.76, menunjukkan adanya peningkatan hasil belajar siswa dengan katagori amat baik, dibandingkan dengan hasil belajar sebelum perlakuan metode eksperimen dengan rata-rata 67,50, dengan katagori sedang, yang mendukung peningkatan rata-rata hasil belajar tersebut diataranya aktivitas selama melakukan eksperimen para siswa benar-benar belajar apa yang harus dilakukan selama ber-eksperimen fluida statis diantaranya percobaan tekanan hidrostasis, gaya archimedes, bejana berhubungan untuk menentukan ketinggian suatu tempat atau menentukan massa jenis suatu zar cair, mengerti secara nyata peristiwa dan fenomena yang dialaminya sehingga konsep dari fluida statis dapat diserap dengan baik dalam diri para siswa. Terjadinya sinkronisasi fenomena nyata di laboratorium dengan teori yang dipelajari oleh para siswa melalui buku literatur dengan demikian para siswa bertambah nyakin tentang konsep fluida statis yang dipelajarinya
mendukung keberhasilan eksperimen dalam memberikan efek peningkatan hasil belajar siswa diantaranya: metode eksperimen lebih menggerakkan ide dan melibatkan siswa pada keseluruhan aktivitas belajar a). Metode eksperimen lebih menantang siswa untuk belajar, karena siswa dihadapkan langsung pada obyek/ alat dan peristiwa yang terjadi selama percobaan fluida statik; b). Lebih dapat mengakomodasikan siswa yang suka belajar bereksperimen mencoba-coba alat (suka dengan ketrampilan menggunakan alat dalam belajar ) dan, c). Eksperimen menuntut kejelian dan ketelitian siswa dalam pengamatan serta pengambilan data-data percobaan, sehingga diidentifikasinya lebih memahami materi pada konsep yang dipelajari yaitu fluida statik. Seperti hasil rekaman catatan aktivitas siswa pada tabel 3 menunjukkan peningkatan aktivitas pembelajaran siswa selama proses pembelajaran dengan klasifikasi tinggi. Dapat digambarkan pada saat proses pembelajaran ekperimen dalam satu kelompok para siswa saling bekerja sama untuk melakukan eksperimen percobaan tekanan hidrostatis, gaya archimedis, massa jenis zat cair, teramati kekompakan dalam suatu kelompok dalam melakukan eksperimen dengan baik, sehingga data yang teramati atau yang diperlukan dapat menghasilkan data yang akurat.Data percobaan yang diperoleh siswa kemudian didiskusikan sesama anggota kelompok kemudian dikonsultasikan kepada guru pembimbing. Para siswa menjadi terampil menggunakan alat-alat percobaan dalam melakukan percobaan sehingga lebih percaya diri belajar di laboratorium.Setelah selesai melakukan aktivitas eksperimen di laboratorium, para siswa melakukan aktivitas membuat laporan sementara dan resmi secara berkelompok kemudian dikonsultasikan kepada guru pembimbing eksperimen
Tabel.2 Distribusi Data Hasil Belajar dengan Metode Eksperimen Nilai
Frek
Nilai Tengah
Frek Kum
Frek. Persen
63 - 68
1
65,5
1
3,03%
69 - 74
2
71,5
3
6,06%
75 - 80
7
77,5
10
21,21%
81 - 86
8
83,5
18
24,24%
87 - 92
11
89,5
29
33,33%
93 - 98
4
95,5
33
12,12%
!
! ! ! ! Berdasarkan tabel 2 distribusi frekunsi data hasil belajar siswa sebanyak 97 % yang mendapatkan nilai diatas KKM ini menunjukkan adanya peningkatan hasil belajar fisika dengan pemberian pembelajaran inkuiri terbimbing melalui metode eksperimen ini didukung oleh hasil penelitian antara lain bahwa metode eksperimen dapat meningkatkan prestasi belajar siswa [12], dan bahwa pembelajaran inkuiri terbimbing dapat mengatasi kesulitan belajar pada pokok bahasan cahaya yang berdampak pada peningkatan hasil belajar siswa [13]
Tabel 3. Data Aktivitas Siswa No
Peran pendekatan inkuiri terbimbing melalui metode eksperimen selama proses pembelajaran memberi keleluasaan pada siswa untuk melakukan percobaan sendiri dengan bimbingan guru sehingga siswa mempunyai keinginan yang lebih besar untuk mendapatkan konsep fluida statik. Beberapa hal yang lain
ISBN 978-602-19655-3-5
Indikator Aktivitas
Klasifikasi
1
Menyiapkan alat
Tinggi
2
Merangkai alat
Tinggi
3
Mengambil data
Tinggi
4
Menganalisis data
Tinggi
5
Membuat laporan
Tinggi
6
Konsultasi dengan pembimbing Diskusi
Tinggi
7
Tinggi
Keuntungan pembelajaran fisika dengan metode eksperimen selama kegiatan meliputi diantaranya siswa: (1) membuat siswa lebih percaya atas kebenaran atau kesimpulan
19
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2012 (SNIPS 2012) 7-8 Juni 2012, Bandung, Indonesia
berdasarkan percobaannya; (2) dapat membina siswa untuk membuat terobosan-terobosan baru dengan penemuan dari hasil percobaannya; (3) sikap ilmiah pada siswa terbentuk; (4) meningkatkan sikap kolaboratif diantara para siswa, dan siswa dengan guru pembimbing.
Referensi [1] Supriyadi. “Kurikulum Sains Dalam Proses Pembelajaran Sains”, Yogyakarta: Pustaka Tempelsari, 2007 [2] Ratna Wilis Dahar,”Teori -Teori Balajar”, Erlangga, 1989 [3] Syaiful Bahri Djamarah, Aswan Zain. “Strategi Belajar Mengajar”. Jakarta: Rineka Cipta, 2006 [4] Gulo, W. “Strategi Belajar Mengajar”, Jakarta: Grasindo 2002 [5] Dimyati, Mudjiono. “Belajar dan Pembelajaran”, Jakarta: Rineka Cipta. 2006 [6] Wina Sanjaya, “Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan”, Jakarta, Kencana Pranada Media Group, 2009 [7] Nana Sudjana. “Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar”, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009 [8] Perangkat Pembelajaran KTSP SMA”, Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jendral Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Atas 2008 [9] Ganijanti Aby Sarojo. “Seri Fisika Dasar Mekanika”, Jakarta: Salemba Teknika 2002 [10] “Halliday David–Resnick Robert- Patur Silaban. “Fisika Jilid 1(TerjemahanI”, Jakarta: Erlangga Mahameru 1999 [11] Paul Suparno,”Metodologi Pembelajaran Fisika Konstruktivistik dan Menyenangkan”.Yogyakarta, Universitas Sananta Darma. 2006 [12] Suyadi, ”Pengaruh Pembelajaran Penemuan Fisika Pada Kinematika Gerak Lurus Melalui Metode Eksperimen Dan Demonstrasi erhadap Prestasi Belajar Ditinjau dari Motivasi Berprestasi”, Tesis, Pasca Sarjana Pendidikan Sains UNS, 2007 [13] P.I Wijayanti, Mosik, N Hindarto, “Eksplorasi kesulitan belajar siswa pada pokok bahasan cahaya dan upaya peningkatan hasil belajar melalui pembelajaran inkuiri terbimbing”,Jurnal Pendidikan Fisika Indonesia 6 (2010)1-5
Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa pembelajaran inkuiri terbimbing melalui metode eksperimen dapat peningkatan aktivitas dan hasil belajar fisika pada materi fluida statik di kelas XI IPA SMA Negeri 1 Gombong. Pembelajaran inkuiri terbimbing para siswa dalam mengikuti proses pembelajaran eksperimen di laboratorium dengan suasana aktif dan menyenangkan, siswa melakukan semua aktivitas kegiatan eksperimen dari awal sampai akhir, sehingga hasil belajar yang diperoleh siswa meningkat baik secara kognitif, spikomotorik dalam penguasaan alat-alat praktikum, dan afektif dalam bersikap ilmiah selama eskperimen sesama anggota kelompok maupun di luar kelompok tentang materi fluida statis. Dalam rangka meningkatkan mutu pembelajaran fisika sehingga diperoleh hasil belajar siswa yang optimal, peneliti menyarankan kepada rekan–rekan seprofesi agar mengoptimalisasikan pembelajaran inkuiri terbimbing dengan metode eksperimen dalam pembelajaran Ucapan terima kasih Saya ucakan terima kasih kepada; Drs.Kunnaji kepala SMA Negeri 1 Gombong atas perkenaannya memberikan ijin tempat penelitian, Budi Hartono, S,Pd, M.M, kepala SMA Negeri 2 Kebumen yang telah memberi dukungan untuk mengikuti Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran Sains 2012 (SNIPS 2012) 7-8 Juni 2012, Bandung. Indonesia, Dra.Suparmi, MA, Ph.D, yang telah banyak memberikan masukan dalam penulisan penelitian ini dan Dra. Sri Barkah Yuliati, istri tercinta serta anak-anakku (Rizqa FH, M.Agam FK, M. Agil FK, Mutia Charisma A) yang telah memberikan motivasi dalam menyelesaikan penelitian ini
M. Yasin Kholifudin SMA Negeri 2 Kebumen, Jl. Cincin Kota 8 Kebumen, Jateng
[email protected] *Corresponding author
ISBN 978-602-19655-3-5
20
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2012 (SNIPS 2012) 7-8 Juni 2012, Bandung, Indonesia
Penerapan Model Pembelajaran Hypnoteaching untuk Meningkatkan Penguasaan Konsep Siswa Pada Materi Cahaya [Penelitian Quasi Eksperimen Pada Kelas VIII SMP Negeri 8 Bandung] Yudiansyah Akbar, Heni Rusnayanti, Ade Yeti Nuryantini Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui implementasi model pembelajaran hypnoteaching dalam meningkatkan penguasaan konsep siswa pada materi cahaya. Model hypnoteaching diimplementasikan dalam pembelajaran kemudian dilakukan pengamatan keterlaksanaan dan tes penguasaan konsep. Data yang terkumpul, dianalisis selanjutnya dilakukan uji t dan dihitung indeks normal gain. Hasil analisis menunjukkan bahwa keterlaksanaan model hypnoteaching setiap pertemuan meningkat dengan rata-rata keterlaksanaan 96,26%. Nilai rata-rata tes awal siswa sebesar 35,45 meningkat pada saat tes akhir menjadi 75,12. Hasil perhitungan dengan uji t menunjukan bahwa penguasaan konsep siswa mengalami peningkatan yang signifikan setelah diterapkannya model pembelajaran hypnoteaching dengan thitung = 20,55 > ttabel = 2,02. Besarnya peningkatan penguasaan konsep rata-rata yang ditunjukkan oleh indeks normal gain adalah sebesar 0,65. Kata-kata kunci: Penguasaan konsep, cahaya, hypnoteaching (2010),hypnosis didefinisikan sebagai kondisi relaks, fokus atau konsentrasi [6].
Pendahuluan Menurut hasil penelitian Egner dan Gruzelier (2004), seseorang yang berada dalam kondisi hypnosis, aktivitas di dalam otaknya meningkat. Kondisi hypnosis yang dimanfaatkan dalam proses belajar mengajar dapat meningkatkan motivasi belajar dan meningkatkan kemampuan konsentrasi siswa [1]. Kemudian menurut penelitian Gunawan (2010), hypnoteaching dapat meningkatkan kemampuan dosen dalam menciptakan pembelajaran yang menyenangkan dan melejitkan potensi mahasiswa [2]. Selain itu, berdasarkan hasil penelitian Handoko (2011), pelaksanaan pembelajaran hypnoteaching dapat meningkatkan hasil belajar Teknologi Informasi dan Komunikasi [3].
Melalui model pembelajaran hypnoteaching, siswa akan dikondisikan untuk belajar dalam kondisi trance. Trance adalah fenomena alamiah manusia, ketika seseorang berada dalam kondisi pikiran yang terfokus, sangat rileks dan nyaman. Menurut Murphey dan Richard (1997), karena kondisi trance adalah kondisi yang alamiah, semua guru dapat memanfaatkannya untuk melakukan hypnosis pada siswanya dengan prinsip yang sederhana. Dalam praktik hypnoteaching, guru cukup menggunakan bahasa persuasif yang dapat mensugesti siswa secara efektif untuk mengekspresikan ide-ide, gagasan secara verbal dan non-verbal, sehingga menghasilkan respon yang diinginkan [7].
Penelitian yang dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya membahas tentang penerapan model hypnoteaching terhadap hasil belajar pada mata pelajaran TIK dan materi lainnya. Penelitian ini menyelidiki keterlaksanaan setiap tahapan model pembelajaran hypnoteaching dan menyelidiki adanya pengaruh penerapan model pembelajaran hypnoteaching dalam meningkatkan penguasaan konsep siswa pada materi cahaya.
Proses belajar mengajar secara hypnoteaching akan lebih dinamis, tercipta interaksi multi arah, dan proses pembelajarannya lebih beragam. Karena mendapatkan sugesti positif dan motivasi lebih untuk belajar, siswa dapat menguasai materi dengan lebih mudah. Model pembelajaran hypnoteaching menitikberatkan pada tujuh tahapan, yaitu: 1). mengidentifikasi kebutuhan siswa, 2). melakukan induksi, 3). melakukan pembelajaran dengan mengaitkan media hypnosis, 4). melakukan afirmasi, 5). melakukan visualisasi, 6). melakukan evaluasi, 7). melakukan refleksi. Keterlaksanaan setiap tahapan model pembelajaran hypnoteaching diamati dengan menggunakan lembar pengamatan aktivitas siswa dan guru.
Teori dan Metode Penelitian Hypnoteaching menurut Jaya (2010), merupakan perpaduan dua kata “hypnosis” yang berarti mensugesti dan “teaching” yang berarti mengajar [4]. Senada dengan pernyataan di atas, Noer (2010), lebih lanjut menyebutkan bahwa hypnoteaching merupakan perpaduan dari konsep aktivitas belajar mengajar dengan ilmu hypnosis [5]. Hypnosis merupakan kaidah komunikasi terhadap pikiran bawah sadar manusia (subcounscious mind). Menurut Syukur
ISBN 978-602-19655-3-5
suatu
Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen semu (quasi eksperimen). Dengan menggunakan
21
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2012 (SNIPS 2012) 7-8 Juni 2012, Bandung, Indonesia
metode ini, keberhasilan atau keefektifan model pembelajaran hypnoteaching yang diujikan, tampak dengan adanya perbedaan nilai tes kelompok eksperimen sebelum diberi perlakuan yaitu berupa implementasi model pembelajaran yang diujikan (test awal) dan nilai tes setelah diberi perlakuan (tes akhir).
Keterlaksanaan setiap tahapan model pembelajaran hypnoteaching diamati oleh pengamat dengan menggunakan lembar pengamatan aktivitas siswa dan guru sebagai gambaran keterlaksanaan model pembelajaran hypnoteaching yang memiliki kesesuaian dengan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP). Lembar pengamatan dalam penelitian ini terdiri dari 13 item aktivitas siswa dan guru pada pertemuan pertama, 14 item aktivitas siswa dan guru pada pertemuan kedua, dan 13 item aktivitas siswa dan guru pada pertemuan ketiga.
Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah one-group pretest-posttest design. Representasi desain one-group pretest-posttest seperti dijelaskan dalam Sugiyono (2009) diperlihatkan pada tabel di bawah ini [8]: Tabel 1. Design Penelitian
Hasil dan diskusi
Pretest
Perlakuan
Postest
O1
X
O2
Keterlaksanaan setiap tahapan model hypnoteaching diamati oleh tiga pengamat dengan menggunakan lembar pengamatan aktivitas siswa dan guru yang mengalami peningkatan pada setiap pertemuan. Hasil analisis lembar pengamatan pada setiap pertemuan disajikan pada tabel di bawah ini:
Keterangan : O1 : Tes awal. X : Perlakuan, yaitu implementasi model pembelajaran hypnoteaching. O2 : Tes akhir.
Tabel 2 Hasil analisis lembar pengamatan
Kegiatan penelitian dimulai pada tanggal 10 April 2012 sampai dengan 8 Mei 2012. Populasi pada penelitian ini yaitu kelas VIII SMP Negeri 8 Bandung yang terdiri atas delapan kelas. Teknik penarikan sampel dilakukan menggunakan simple random sampling dengan cara undian. Setelah dilakukan pengundian, sampel yang terpilih pada penelitian ini yaitu kelas VIII-A sebanyak 41 siswa. Dalam penelitian ini, sampel diberi perlakuan berupa implementasi model pembelajaran hypnoteaching sebanyak 3 kali. Selanjutnya, sampel diberi tes awal untuk mengetahui kemampuan dan pengetahuan awal siswa, dilanjutkan dengan pemberian perlakuan yaitu berupa implementasi model pembelajaran hypnoteaching dan terakhir diberi tes akhir dengan menggunakan instrumen yang sama seperti pada tes awal.
P1
P2
P3
O1
89,66%
100%
100%
O2
89,66%
93,54%
100%
O3
93,10%
100%
100%
Rata-rata
91,00%
97,80%
100%
Ketetangan: O1 = Pengamat ke-1 O2 = Pengamat ke-2 O3 = Pengamat ke-3 P1 = Pertemuan ke-1 P1 = Pertemuan ke-2 P3 = Pertemuan ke-3 Berdasarkan tabel di atas, persentase ratarata keseluruhan keterlaksanaan model pembelajaran hypnoteaching sebesar 96,26%. Nilai ini berada pada rentang (80 – 100)%, yang menurut Purwanto (2006) dapat diinterpretasikan bahwa keterlaksanaan model pembelajaran hypnoteaching tergolong kategori sangat baik [9].
Instrumen yang digunakan sebagai tes awal dan tes akhir dalam penelitian ini telah dipertimbangkan dan diujicobakan terlebih dahulu, berupa soal pilihan ganda sebanyak 15 soal untuk mengukur penguasaan konsep siswa. Penguasaan konsep yang diukur meliputi aspek mengingat (C1), memahami (C2), dan mengaplikasikan (C3) berdasarkan Taksonomi Bloom.
Data penguasaan konsep siswa yang diperoleh melalui tes awal dan tes akhir mengalami peningkatan sebesar 39,67% antara sebelum dan sesudah penerapan model pembelajaran hypnoteaching. Rata-rata skor penguasaan konsep siswa sebelum penerapan model hypnoteaching adalah 35,45, sedangkan setelah penerapan model hypnoteaching adalah 75,12.
Uji hipotesis digunakan nilai N-Gain melalui one-sample t test dengan bantuan SPSS 16.0 for Windows. Kriteria pengujian: jika harga thitung > ttabel maka hipotesis nol ditolak. Artinya, terdapat peningkatan penguasaan konsep yang signifikan setelah diterapkan model pembelajaran hypnoteaching pada materi cahaya.
ISBN 978-602-19655-3-5
Pengamat
Untuk mengetahui peningkatan penguasaan konsep siswa dilakukan analisis terhadap data, meliputi uji normalitas dan uji t. Uji normalitas data pada tes awal diperoleh sig. (2-tailed) 0,08
22
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2012 (SNIPS 2012) 7-8 Juni 2012, Bandung, Indonesia
> 0,05, pada tes akhir diperoleh sig. (2-tailed) 0,23 > 0,05. Hal ini menunjukkan kedua data berdistribusi normal, karena data berdistribusi normal maka pengolahan data dilanjutkan ke ujit menggunakan N-Gain, uji normalitas N-Gain menunjukan bahwa sig. (2-tailed) 0,509 > 0,05. Hal ini menunjukkan data berdistribusi normal.
dan simbol-simbol). Siswa belajar dalam kondisi trance, nyaman dan tenang. Pada kondisi ini siswa cenderung bersifat sugestif dan pelajaran yang dipelajarinya akan lebih mudah diserap serta disimpan pada memori jangka panjang (long term memory area), sehingga siswa akan lebih cepat menguasai konsep yang sedang dipelajarinya.
Hasil uji-t N-Gain diperoleh thitung = 20,55 > ttabel = 2,02. Hal ini menunjukan bahwa terdapat peningkatan penguasaan konsep yang signifikan setelah diterapkannya model hypnoteaching. Besarnya peningkatan penguasaan konsep rata-rata pada setiap aspek kognitif siswa ditunjukkan oleh indeks normal gain adalah sebesar 0,65.
Pada tahap visualisasi, materi diperkenalkan melalui pengamatan fenomena melalui media visual power point seperti video, foto-foto, gambar-gambar atau melalui simulasi komputer. Visualisasi fenomena fisis dapat memperjelas hasil pengamatan dan telah memberikan kontribusi dalam peningkatan pemahaman siswa. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Pyle dan Moffatt (1998), pembelajaran dengan aktivitas hands-on yang diperkaya dengan visualisasi dalam berbagai bentuk, telah memberikan dampak pada pertumbuhan konsep dan hasil belajar siswa [10].
Distribusi skor penguasaan konsep siswa dapat ditunjukan dengan membandingkan skor rata-rata tes awal dan tes akhir siswa pada materi cahaya. Hasil peningkatan penguasaan konsep siswa pada setiap aspek kognitif dapat dilihat pada Gambar 1 berikut ini:
Rincian banyaknya siswa yang mengalami peningkatan tiap kategori disajikan pada tabel di bawah ini.
100 80 60
Tabel 3. Persentase banyaknya siswa setiap kategori peningkatan
40 20 0
C1
C2
C3
Gambar 1. Skor rata-rata penguasaan konsep siswa: Hasil tes awal ( ), Hasil tes awal ( ), NGain ( )
Banyaknya Siswa
Persentase
Kategori
1
2
4,88%
Rendah
2
25
60,98%
Sedang
3
14
34,15%
Tinggi
Berdasarkan tabel di atas, dapat terlihat bahwa peningkatan penguasaan konsep siswa paling banyak berada pada kategori sedang yaitu sebesar 60,98%. Sementara 4,88% mengalami peningkatan dengan kategori rendah, dan 34,15% mengalami peningkatan dengan kategori tinggi. Tabel 3 dapat pula disajikan dalam diagram phi yaitu sebagai berikut.
Dari hasil analisis terhadap hasil tes awal dan tes akhir pada setiap aspek kognitif yang diamati, diperoleh nilai N-Gain pada C1 sebesar 0,60, C2 sebesar 0,74 dan C3 sebesar 0,70. Peningkatan penguasaan konsep rata-rata yang ditunjukkan oleh indeks normal gain adalah sebesar 0,65. Indikator aspek kognitif C2 mengalami peningkatan tertingggi. Hal ini karena melalui model hypnoteaching, siswa diarahkan untuk memiliki kemampuan membangun makna atau pengertian berdasarkan pengetahuan awal yang dimiliki. Indikator yang dikembangkan pada tahapan C2 meliputi inferring dan explaining. Pada indikator inferring, pengalaman belajar yang dikembangkan yaitu siswa melakukan percobaan untuk menarik simpulan arah rambat cahaya dan menyelidiki bayangan umbra dan penumbra. Percobaan ini secara alami sudah pernah dialami siswa dalam kehidupan seharihari.
2 14 25
Gambar 2. Persentase siswa tiap kategori peningkatan: Kategori rendah ( ), kategori sedang ( ) dan kategori tinggi ( ).
Pada model pembelajaran hypnoteaching, siswa memiliki kesempatan untuk mengaitkan pelajaran dengan berbagai media hypnosis (suara, gambar, alat eksperimen, tulisan, gerak,
ISBN 978-602-19655-3-5
No
23
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2012 (SNIPS 2012) 7-8 Juni 2012, Bandung, Indonesia
Kesimpulan
http://jaltpublications.org/old_tlt/files/97/feb/ hypnosis.html [accessed Friday, May 11, 2012, 12:00:00 AM] [17] Sugiyono, “Metode penelitian pendidikan (pendekatan kuantitatif, kualitatif, dan R&D)”, Penerbit Alfabeta, 2009, p. 74. [18] Purwanto, Ngalim., “Prinsip dan teknik evaluasi pengajaran”, Penerbit Remaja Rosda Karya, 2006, p. 102. [19] Pyle, EJ. and Moffatt JA., “The Effects of Visually-Enhanced Instructional Environments on Students Conceptual Growth”, Journal of Science Education, Vol. 3, No. 3, 1998.
Berdasarkan hasil analisis lembar pengamatan diperoleh bahwa aktivitas siswa dan guru selama mengikuti pembelajaran fisika menggunakan model pembelajaran hypnoteaching mengalami peningkatan pada tiap pertemuan dengan rata-rata keterlaksanaan 96,26%. Hasil uji hipotesis (uji-t), menunjukan bahwa penguasaan konsep siswa mengalami peningkatan yang signifikan setelah diterapkannya model pembelajaran hypnoteaching. Besarnya peningkatan penguasaan konsep rata-rata yang ditunjukkan oleh indeks normal gain adalah sebesar 0,65 Ucapan terima kasih
Yudiansyah Akbar
Penulis mengucapkan terima kasih kepada SMP Negeri 8 Bandung atas dukungannya dalam proses penelitian ini, G-MOESTY (Ganesha Motivation, Observation, Education and Skill Community) sebagai lembaga pusat pengembangan diri berbasis NLP dan hypnosis, Bapak Adam Malik, M.Pd. dan Bapak Toto Komara S.Pd. atas diskusinya semoga bermanfaat.
Prodi Pendidikan Fisika Jurusan Pendidikan MIPA Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Gunung Djati Bandung
[email protected]
Heni Rusnayanti Prodi Pendidikan Fisika Jurusan Pendidikan MIPA Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Gunung Djati Bandung
[email protected]
Referensi [10] Egner. T, Gruzelier J. H, "EEG biofeedback of low beta band components: frequencyspecific effects on variables of attention and event-related brain potentials.”, Clin Neurophysiol volume 115 issue 1 (issn: 1388-2457), 2004, pp. 131-9. [11] Gunawan, “Hypnoteaching sebagai upaya meningkatkan kemampuan dosen bahasa inggris dalam mengajar pada AKBID dan STIKES Ngudia Husada Madura Bangkalan” Tesis Magister, Indonesia, 2010, p. 82. [12] Handoko,”Hypnoteaching dalam upaya meningkatkan hasil belajar Tenologi Informasi dan Komunikasi (TIK) pada kompetensi dasar menjelaskan fungsi menu dan ikon pada program pengolah angka”, Skripsi Sarjana, Universitas Pendidika Fisika, Indonesia, 2011, p. 71. [13] Jaya, N. T., “Hypnoteaching bukan sekedar mengajar”, Penerbit Hypnoseries, 2010, p. 4. [14] Noer, Muhammad., “Hypnoteaching for Success Learning”, Penerbit Paedagogia, 2010, p. 9. [15] Syukur, F. F, “Menjadi guru dahsyat guru memikat melalui pendekatan teknologi pikiran bawah sadar hypnoteaching dan NLP”, Penerbit Simbiosa Rekatama Media, 2010, p. 81. [16] Murphey and Richard Bolstad, "Educational Hypnosis", update 11.02.1997, URI
ISBN 978-602-19655-3-5
Ade Yeti Nuryantini* Prodi Pendidikan Fisika Jurusan Pendidikan MIPA Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Gunung Djati Bandung
[email protected]
*Corresponding author
24
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2012 (SNIPS 2012) 7-8 Juni 2012, Bandung, Indonesia
Implementasi Lesson Study Untuk Meningkatkan Aktivitas Dan Kemampuan Berpikir Kritis Mahasiswa pada Mata Kuliah Zoologi Vertebrata Agus Haryono*, Shanty Savitri, Elga Araina Abstrak Perkuliahan zoologi vertebrata di Universitas Palangka Raya selama ini dilaksanakan dengan pembelajaran Direct Instruction atau ceramah, dosen menjadi pusat belajar, sehingga aktivitas siswa rendah. Rencana pembelajaran tidak pernah dibuat secara bersama-sama dengan dosen serumpun sehingga dosen bersifat soliter. Tuntutan terhadap hasil belajar tidak hanya dari ranah kognitif tapi juga harus disertai dengan tujuan pada keterampilan lain yang dapat dikembangkan sebagai life skill seperti keterampilan berpikir kritis. Implementasi Lesson Study dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Student Team Achievement Division (STAD) dapat digunakan untuk mengembangkan aktivitas dan kemampuan berpikir kritis siswa. Model STAD adalah model pembelajaran yang menuntut siswa untuk mandiri, bekerja sama, dan menyampaikan pemikiran pada teman sekelas dalam pembelajaran. Implementasi Lesson study dilaksanakan dengan 4 kali plan, do, dan see dengan pembelajaran model STAD pada mata kuliah vertebrata yang digunakan untuk meningkatkan aktivitas dan kemampuan berpikir kritis. Hasil penelitian menunjukkan dengan implementasi Lesson Study menggunakan model pembelajaran STAD, selama 4 kali siklus terjadi peningkatan aktivitas pada tahap menganalisis permasalahan, mendiskusikan dan menyampaikan hasil diskusi pada materi zoologi vertebrata yang sejalan dengan siklus plan do dan see. Kemampuan berpikir kritis mahasiswa juga terdeteksi lebih baik, terbukti dari jawaban dan pertanyaanpertanyaan yang disampaikan mahasiswa pada saat diskusi maupun pada saat presentasi hasil diskusi dari tugas-tugas yang diberikan pada masing-masing kelompok. Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa kolaborasi dan mutual learning sebagai dampak implementasi LS dapat meningkatkan aktivitas dan kemampuan berpikir kritis mahasiswa pada perkuliahan zoology vertebrata secara bertahap. Kata-kata kunci :lesson study, kooperatif tipe STAD, aktivitas belajar, berpikir kritis kehidupan sehari-hari dibutuhkan keterampilan yang dapat dikembangkan sebagai life skill seperti kemampuan berpikir kritis. Berdasarkan hasil survei National Association of Colleges and Employers, bahwa kualitas lulusan perguruan tinggi dalam dunia kerja ditentukan oleh soft skill seperti, kemampuan interaksi sosial bukan dengan indeks prestasi (IP). Untuk mengembangkan interaksi sosial seperti aktivitas dan berpikir kritis mahasiswa, dosen dapat menggunakan model pembelajaran kooperatif [4] tipe Student Team Achievement Division (STAD). Prinsip dari model pembelajaran STAD yang dikembangkan oleh Slavin, menuntut mahasiswa untuk mandiri, bekerja sama, dan menyampaikan pemikiran pada teman sekelas dalam pembelajaran sehingga terjadi interaksi sosial [5]. Pada matakuliah termodinamika, kemampuan berpikir kritis, ketuntasan belajar siswa meningkat 28,9 % dan rata-rata nilai kelasnya meningkat dari 68,4 menjadi 74 setelah penerapan model STAD [6]. Demikian juga penerapan Lesson Study pada pembelajaran Sains, mahasiswa di samping menguasai materi yang diajarkan juga dapat menumbuhkan kemampuan melakukan kajian kritis [7]. Dengan demikian implementasi Lesson Study dengan menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dapat meningkatkan berpikir kritis sebagai
Pendahuluan Lesson Study merupakan strategi pembinaan profesi pendidik berbasis kelas dan berkelanjutan melalui pengkajian pembelajaran secara kolaboratif melalui prinsip-prinsip kolegalitas dan mutual learning sehingga terbangun komunitas belajar [1]. Seorang dosen tidak hanya mengajar saja tetapi juga harus memperbaiki pembelajaran setiap hari. Pembinaan tersebut dikenal dengan jugyo kyenyu sebagai media menganalisis pembelajaran oleh dosen bersama dosen lain [2]. Dengan demikian untuk membangun tenaga pendidik yang profesional tidak hanya dosen pandai mengajar, akan tetapi dapat ditingkatkan dengan membentuk komunitas belajar yang mengkaji pembelajaran secara mendalam di ruang kelas. Pada umumnya perkuliahan zoologi vertebrata di Universitas Palangka Raya selama ini dilaksanakan dengan pembelajaran Direct Instruction yang menekan pada dosen sebagai pusat belajar, rencana pembelajaran tidak pernah dibuat secara bersama-sama dengan dosen serumpun, tujuan pembelajaran hanya ditekankan pada ranah kognitif saja. Sedangkan dalam pembelajaran, selain ranah kognitif terdapat ranah afektif dan psikomotor [3]. Pada
ISBN 978-602-19655-3-5
25
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2012 (SNIPS 2012) 7-8 Juni 2012, Bandung, Indonesia
mahasiswa selama ini terbiasa pembelajaran yang sentralistik (c), interaksi mahasiswa selama kegiatan pembelajaran cukup baik (d). Kemampuan mahasiswa dalam mempresentasikan hasil kerja kelompok (e) mahasiswa mempertahankan hasil kerja yang telah dibuat (f).
dasar dalam memahami konsep yang dibelajarkan oleh guru atau dosen pada mahasiswa. Teori Metode penelitian implementasi Lesson Study pada matakuliah zoologi vertebrata dilaksanakan dalam empat siklus. Setiap siklus dari Lesson Study siklus terdiri dari plan, do, dan see yang dimulai dari mengkaji silabus, merancang pembelajaran, melaksanakan pembelajaran dan melakukan refleksi [8]. Tim pelaksana pada penelitian ini terdiri dari satu orang dosen model dan tiga orang observer yang bidang keahliannya sama. Pada tahap plan, dosen mata kuliah zoologi vertebrata berkolaborasi dengan tiga orang observer membuat Satuan Acara Perkuliahan (SAP) dan Lembar kerja mahasiswa (LKM) berupa lembar observasi mahasiswa. Pada tahap do atau pelaksanaan dan observasi pembelajaran (open class), dosen Penanggung Jawab (PJ) mata kuliah melaksanakan perkuliahan seperti yang direncanakan dalam SAP. Kolaborator lain bertindak sebagai observer. Pada tahap see atau refleksi dosen PJ dan semua observer menyampaikan fakta-fakta yang diperoleh selama perkuliahan berlangsung dan mendiskusikan rencana perbaikan. Para observer melaksanakan kajian pembelajaran secara mendalam proses pembelajaran yang dialami oleh mahasiswa dengan menggunakan lembar observasi terbuka. Subjek yang dikaji sebagai sumber data yaitu mahasiswa program studi pendidikan biologi yang mengikuti perkuliahan zoologi vertebrata pada semester genap. Instrumen pengumpulan data berupa lembar pengamatan terhadap aktivitas dan berpikir kritis mahasiswa pada mata kuliah vertebrata. Data hasil observasi untuk aktivitas dan berpikir kritis dianalisis secara kualitatif deskriptif.
Tabel 1. Implementasi Lesson Study terhadap aktivitas mahasiswa dengan menggunakan Model Pembelajaran STAD Jenis aktivitas A B C D E F
1
2
3
4
2,75 3,00 2,00 2,50 3,00 2,75
3,75 3,50 2,50 3,25 3,75 3,25
3,75 3,75 3,25 3,75 4,00 3,50
4,00 4,00 3,75 3,75 4,00 3,75
Keterangan : 1: kurang, 2: cukup, 3: baik, 4: sangat baik Pada open lesson ke-2 diketahui kemampuan mahasiswa menjelaskan keterkaitan antara konsep yang dipelajari mulai baik (a), kegiatan diskusi kelas berlangsung secara optimal, banyak mahasiswa yang mulai aktif mengemukakan pendapat atau bertanya (b), mahasiswa sudah memanfaatkan dosen sebagai pembimbing sekaligus pendamping dalam proses belajar mengajar dengan baik (c), interaksi mahasiswa selama kegiatan pembelajaran cukup baik (d). Pada tahap Do dari open lesson pertama, aktivitas siswa yang paling menonjol terjadi pada saat diskusi dengan kategori baik (e), kemudian juga pada saat mahasiswa mempresentasikan hasil kerja kelompok. Perubahan aktivitas tersebut berkaitan dengan sintaks dari STAD yang lebih banyak pada kesempatan untuk diskusi dan mempresentasikan hasil diskusi. Pada tahap do, untuk open lesson yang ke-3 dan ke-4 nampak bahwa seluruh aktivitas mahasiswa yang diamati telah mencapai nilai yang maksimal, baik dari pemecahan masalah, melakukan diskusi, mempresentasikan dan mengeluarkan pendapat dengan kategori sangat memuaskan. Sesuai dengan langkah-langkah yang diterapkan pada Lesson Study [9], bahwa pada proses pembelajaran, selain akibat dari perubahan model pembelajaran dari direct intruction ke STAD, pada penelitian ini langkahlangkah Lesson Study sangat membantu dosen model dalam menyempurnakan Satuan Acara Perkuliahan yang dibuat secara bersama-sama antara dosen yang serumupun dalam matakuliah zoologi vertebrata.
Hasil dan Diskusi Hasil observasi terhadap aktivitas mahasiswa selama implementasi Lesson Study kegiatan pembelajaran dengan menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe STAD pada materi zoologi vertebrata dapat dilihat pada Tabel 1. Berdasarkan Tabel 1 tampak, bahwa selama pelaksanaan pembelajaran atau do 1, 2, 3 dan 4 terjadi peningkatan keaktifan siswa. Pada open lesson pertama, kemampuan mahasiswa menjelaskan keterkaitan antara konsep yang dipelajari masih kurang (a), kegiatan diskusi kelas berlangsung secara optimal, karena masih banyak mahasiswa yang pasif dan belum pernah mengemukakan pendapat atau bertanya (b), mahasiswa masih kurang memanfaatkan dosen sebagai pembimbing sekaligus pendamping dalam proses belajar mengajar karena
ISBN 978-602-19655-3-5
Hasil penilaian observer ( Tahap Do pada open lesson)
26
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2012 (SNIPS 2012) 7-8 Juni 2012, Bandung, Indonesia
Hasil penelitian tentang aktivitas mahasiswa menunjukkan bahwa model pembelajaran kooperatif tipe STAD mampu mengaktifkan mahasiswa untuk mengikuti pembelajaran dengan baik. Selain itu penerapan pembelajaran kooperatif tipe STAD juga dapat membawa mahasiswa ke pembelajaran yang berpusat pada mahasiswa. Hal ini terbukti dengan meningkatnya peran aktif seluruh mahasiswa selama proses belajar mengajar berlangsung. Pada perkuliahan Telaah kurikulum dan buku teks kimia, implementasi Lesson Study dengan menggunakan model pembelajaran koperatif dengan metode kelompok kecil dan presentasi dapat meningkatkan ketrampilan komunikasi mahasiswa dalam pembelajaran [9]. Elemen berpikir kritis yang digunakan pada penelitian ini dari diadopsi Inch [10] dan yang digunakan pada penelitian hanya lima elemen berpikir kritis yakni pertanyaan terhadap masalah (a), tujuan (b), informasi (c), konsep (d), serta interpretasi dan menarik kesimpulan (e). Hasil observasi kemampuan berpikir kritis mahasiswa program studi pendidikan biologi selama kegiatan pembelajaran dengan menerapkan pembelajaran kooperatif tipe STAD pada materi zoologi vertebrata dengan modifikasi kemampuan berpikir kritis dari elemen-elemen tersebut dapat tertera pada Tabel 2.
mata pelajaran biologi yang dipadukan dengan model NHT [11]. Lesson study memberikan pengalaman pada mahasiswa sebagai upaya yang efektif untuk meningkatkan kualitas pembelajaran yang dilakukan dosen dan aktivitas belajar mahasiswa. Hal itu didasarkan bahwa pengembangan Lesson Study sebagai hasil “sharing” pengetahuan profesional yang berlandaskan pada praktik dan hasil pengajaran yang dilaksanakan oleh dosen serumpun. Mahasiswa yang mengikuti perkuliahan dengan Lesson Study memiliki kualitas belajar yang tidak sekedar mengerti konsep yang diajarkan, tetapi juga memiliki kompetensi lain yang dapat dikembangkan sebagai kemampuan life skill [12]. Fokus pembelajaran dengan Lesson Study diutamakan pada aktivitas mahasiswa berdasarkan pengalaman riil di kelas, sehingga, Lesson Study mampu menjadi landasan untuk mengembangkan pembelajaran secara bersama-sama, yang menempatkan peran tenaga mengajar atau dosen sebagai peneliti pembelajaran [13]. Tabel 3. Peran Serta Dosen dalam Implementasi Lesson Study pada matakuliah zoologi vertebrata Siklus LS
Tabel 2. Implementasi Lesson Study dengan menerapkan Model STAD terhadap berpikir kritis pada mata kulah Zoologi Vertebrata Berpikir Krtis
Plan Do See
Hasil Penilaian Observer Tahapan LS 1
2
3
4
a
2,75
3,75
3,75
4,00
b
3,00
3,75
4,00
4,00
c
2,00
2,50
3,25
3,75
d
2,50
3,25
3,75
3,75
e
2,00
3,00
3,00
3,50
rerata
2,45 3,25 3,55 Keterangan : 1: kurang, 2: cukup, 3: baik, 4: sangat baik
Kualitas kegiatan Kolaborasi Cukup Baik Baik
Pada pelaksanaan Lesson Study yang dilaksanakan sebanyak 4 siklus LS dapat meningkatkan aktivitas kolaborasi dosen-dosen Biologi khususnya tim Lesson Study yang tergabung dalam rumpun zoologi dalam kegiatan Plan Do See. Aktivitas dosen dalam kegiatan Plan sesuai dengan dosen yang mengampu mata kuliah (3 orang), Do saat open lesson dan see diikuti antara 6-9 orang dengan peserta dari dosen serumpun di bidang zoologi. Dengan bertambahnya jumlah observer yang memberikan respon, baik saat open lesson maupun refleksi (see) terhadap pembelajaran maka saran dan perbaikan yang positif terhadap pembelajaran juga akan semakin banyak (Tabel 3). Hal ini memberikan kesempatan kepada dosen model untuk memperbaiki pembelajaran pada kesempatan berikutnya. Selain itu, observer yang bukan serumpun juga dapat mempelajari kelemahan dan keuntungan dan membandingkan dengan pembelajaran yang biasa dilakukan pada pembelajaran di rumpun masing-masing saat mengajar di dalam kelas. Lesson Study merupakan suatu strategi yang sederhana untuk meningkatkan pembelajaran
3,80
Berdasarkan pelaksanaan plan do dan see selama 4 kali diketahui bahwa kemampuan mahasiswa untuk menjelaskan hasil diskusi semakin baik sebagai akibat penggunaan model pembelajaran STAD yang dimplementasikan dengan Lesson Study. Demikian juga dengan memahami tujuan, interprestasi dan menarik kesimpulan juga memperlihatkan hal yang sama. Hal ini sejalan dengan implementasi LS pada
ISBN 978-602-19655-3-5
Jumlah peserta (Siklus LS) 1 2 3 4 3 3 3 3 6 6 8 8 6 9 8 8
27
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2012 (SNIPS 2012) 7-8 Juni 2012, Bandung, Indonesia
dengan melakukan kolaborasi [14]. Oleh karena itu kegiatan Lesson Study dapat membentuk kolegalitas dan kolaborasi. dengan dosen yang serumpun, satu bidang ilmu, satu universitas yang kemudian dapat lebih luas lagi sehingga dapat membentuk learning community.
[8]
Kesimpulan Implementasi Lesson Study dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dapat meningkatkan aktivitas belajar dan berpikir kritis sebagai dampak dari pembelajaran yang kooperatif, kolaboratif dan kolegalitas antar dosen pada rumpun bidang zoologi di dalam melaksanakan Plan, Do dan See pada perkuliahan.
[9]
[10]
[11] Ucapan terima kasih Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dosen Universitas Palangkaraya yang tergabung pada rumpun matakuliah zoologi atas kolaborasi diskusi yang bermanfaat saat Plan, Do dan See. Terimakasih juga disampaikan pada Direktur DIKTI (Direktur BELMAWA) atas dukungan finansial melalui hibah kompetensi Lesson Study untuk Perguruan Tinggi tahun 2010 sampai dengan 2012.
[12]
Referensi [1] Herawati Susilo, Husnul Chotimah, Ridwan Joharmawan, Jumiati, Yuyun Dwita Sari, Sunarjo, “Lesson Study”, Penerbit UM Press, Malang, 2011, pp. 3-4 [2] Istamar Syamsuri, Ibrohim, “Lesson Study (Studi Pembelajaran)”, Penerbit UM Press, Malang, 2011, pp. 19-20. [3] Sudjana,”Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar” 2005. Bandung Rosada Karya. p 22. [4] Roy Killen, “Effective Teaching Strategies, “Using cooperative learning as teaching strategy”, 5 ed. Cengage Learning New Zeland. 2009. pp. 215-216. [5] Richard I. Arends, “Learning to Teach”. Ninth ed . 2009. Mc. Graw-Hill International Edition.p 368. [6] Zulhelmi, Mitri Irianti, Azhar, “Peningkatan Aktivitas dan Prestasi Belajar Mahasiswa Melalui Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD Pada Mata Kuliah Termodinamika”, Prosiding Seminar Nasional LS IV, Malang, Indonesia 12 November 2011, pp. 486-495.d [7] Agus Suyanto. “Penerapan Lesson Study di dalam Lesson Study Untuk Meningkatkan Kemampuan Kajian Kritis Mahasiswa Pada Pembelajaran Sains 1”, Prosiding Seminar
ISBN 978-602-19655-3-5
[13]
[14]
Nasional LS IV, 12, Malang, Indonesia, November, 2011,pp. 462-468 Lewis Catherine, Perry, and murata. 2006.” How should research contribute to intructional improvment ? the case of Lesson study”. 2006. Educational research 35 (3) : 3-114 Hartono, “Model Pembelajaran Kooperatif Untuk Meningkatkan Keterampilan Komunikasi Mahasiswa”,Prosiding Seminar Nasional LS IV, Malang 12 November 2011, Indonesia, pp. 432-437. Inch E.S, “Criticial Thinking and Communication: The Use of Reason in Argument edisi kelima”, Ed. Boston: Pearson Education, Inc, 2006 Ardian Anjar Pangestu, Siti Zubaidah, Balqis, “Penerapan anduan Metode Numbered Heads Together dan Student Teams Achievement Divisions Untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis dan Hasil Belajar Kognitif Siswa Kelas VIII A SMP Negeri 13”, Prosiding Seminar Nasional LS IV, Malang, Indonesia, 12 November 2011,pp. 124-134 Suherman, “Lesson Study Untuk Meningkatkan KAMI (Kreativitas, Aktivitas, Motivasi, dan Inovasi) Pada Pembelajaran Kimia Fisik”, Prosiding Seminar Nasional LS IV, Malang, Indonesia, 12 November 2011pp. 131-136. Chaidar Warianto, “Penerapan Lesson Study Berbasis Sekolah Di SMP Tunas Agro dalam Mengembangkan Pembelajaran Dosen Mengaktifkan Siswa Belajar”, Prosiding Seminar Nasional LS IV, Malang, Indonesia, 12 November 2011pp. 194-206. Lewis, Catherine C. “Lesson Study: A Handbook of Teacher-Led Instructional Change”.2002.Philadelphia,PA:Research for Better Schools, Inc.
Agus Haryono* Pendidikan Biologi Universitas Palangkaraya
[email protected]
Shanty Savitri Pendidikan Biologi Universitas Palangkaraya
[email protected]
Elga Araina Pendidikan Biologi Universitas Palangkaraya
*Corresponding author
28
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2012 (SNIPS 2012) 7-8 Juni 2012, Bandung, Indonesia
Penerapan Teori Muatan Kognitif Dalam Pembelajaran Fisika Maman Wijaya Abstrak Penelitian ini merupakan bagian tahap awal dari tahapan penelitian tentang penggunaan Teori Muatan Kognitif. Pada tahap ini, penelitian bertujuan untuk menyelidiki sajian informasi dalam buku pelajaran Fisika dari sudut pandang Teori Muatan Kognitif. Penelaahan dilakukan secara kualitatif dengan langkah-langkah: (1) membaca isi sajian dalam buku; (2) menelaah apakah isi sajian itu mengandung efek instruksional atau tidak; (3) mengajukan beberapa alasan terhadap dugaan efek tersebut; (4) mengajukan saran perbaikan untuk mereduksi efek-efek yang ada. Dari hasil kajian tersebut diperoleh informasi bahwa paparan materi dalam buku fisika yang dikaji itu banyak mengandung sajian yang dapat menimbulkan efek-efek instruksional, baik Spilt-attention effect, Modality effect, Redundancy effect, Element interactivity effect, maupun Imagination effect. Bila buku itu dibaca siswa, Working Memory siswa akan bekerja berat. Akibatnya siswa akan kesulitan memahami isi bacaan, atau bahkan siswa tidak akan paham sama sekali dengan apa yang dibacanya itu. Hasil penelitian ini masih perlu ditindaklanjuti dengan menguji pengaruh pada hasil belajar siswa dan pendapat siswa tentang sajian informasi dalam buku-buku itu. Kata-kata kunci: Teori Muatan Kognitif, Pembelajaran Fisika, Efek Instruksional, Buku Pelajaran akan sangat berguna untuk meningkatkan efisiensi pembelajaran. Penelitian dilakukan terhadap lima judul buku pelajaran Fisika SMA yang digunakan oleh siswa SMA, yang dikeluarkan oleh penerbit berbeda dengan tahun penerbitan berbeda pula. Penelaahannya dilakukan secara kualitatif dengan langkah sebagai berikut: (1) membaca isi sajian dalam buku; (2) menelaah apakah isi sajian itu mengandung efek instruksional atau tidak; (3) mengajukan beberapa alasan terhadap dugaan efek tersebut; (4) mengajukan saran perbaikan untuk mereduksi efek-efek yang ada.
Pendahuluan Berdasarkan Teori Muatan Kognitif, kemampuan memory kerja sangat terbatas. Memori kerja hanya bisa menampung 5-9 buah informasi dan hanya mampu memproses 2-3 buah informasi dalam waktu yang bersamaan (Artino, 2008). Informasi yang berhasil diproses kemudian disimpan dalam bentuk skema di memori jangka panjang. Di dalam memori kerja, informasi tersebut hanya bisa bertahan sekitar antara 15-30 detik, setelah itu, bila tidak disimpan di memori jangka panjang, maka akan hilang (Artino, 2008; Barrouillet, at al, 2007). Sweller (2002) menemukan beberapa efek terhadap muatan kognitif siswa ketika mereka berinteraksi dengan bahan sajian pelajaran, yang kemudian disebut sebagai efek instruksional. Efek-efek tersebut adalah (1) Splitattention effect (efek perhatian terbagi); (2) Modality effect (efek dari cara atau bentuk yang dilakukan); (3) Redundancy effect (efek dari sesuatu yang berlebihan); dan (4) Imagination effect (efek dari imajinasi).
Teori Teori Muatan Kognitif (TMK) terbilang ilmu baru dalam dunia pendidikan, tetapi berkembang sangat pesat, karena disadari sangat penting. Chong (2005) menemukan bahwa TMK memiliki kontribusi yang signifikan terhadap desain instruksional sehingga mampu menumbuhkan interaksi antara struktur informasi dengan tata ruang kognitif manusia (human cognitive architecture). Barrouillet (2007) membahas tentang waktu dan muatan kognitif dalam memori kerja. Temuannya menggambarkan bahwa efek gangguan yang diberikan pada pemilihan respon dapat memperlambat memori kerja. Informasi seharusnya diberikan secara berurut menurut fungsi waktu untuk setiap satu tujuan.
Implikasi temuan tersebut di dalam pembelajaran fisika adalah menyangkut tatacara penyajian informasi. Sajian informasi utama dalam pembelajaran fisika adalah berupa buku pelajaran. Pertanyaannya kemudian, apakah dalam buku pelajaran Fisika isinya masih mengandung informasi yang dapat menimbulkan efek-efek instruksional atau tidak. Untuk menjawab pertanyaan tersebut dilakukan penelitian dengan menggunakan pertimbangan dari sudut pandang Teori Muatan Kognitif tentang ada atau tidaknya efek-efek instruksional dtersebut alam buku pelajaran fisika. Temuan ini
ISBN 978-602-19655-3-5
Artino (2008) mendeskripsikan apa yang membuat TMK berbeda dengan teori kognitif lain, lalu mengajukan desain instruksional baru yang berbasis TMK untuk bahan sajian multimedia. Bahan sajian yang dibuatnya telah
29
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2012 (SNIPS 2012) 7-8 Juni 2012, Bandung, Indonesia
mempertimbangkan efek-efek instruksional yang dapat mereduksi extraneous cognitive load (muatan kognitif yang tidak diproses dalam memori kerja).
Modality Effect Efek ini timbul dari sajian informasi yang tidak tepat atau tidak cocok dengan cara atau bentuk sajiannya. Bentuk sajian informasi dapat berupa gambar, film, suara, grafik, tabel, narasi, atau skema, juga termasuk cara memberikan contohcontoh. Dalam sebuah buku, penulis buku termaksud menjelaskan bahwa suara tidak dapat melewati ruang hampa, lalu mengilustrasikannya dengan gambar seperti tampak pada gambar 2. Ruang hampa dan rambatan bunyi tetap tidak bisa ditunjukan melalui gambar tersebut. Lebih baik sajian informasi semacam itu dalam bentuk narasi saja. Bisa juga penulis menyarankan pembaca untuk melakukan percobaan dengan petunjuk yang diberikan oleh penulis.
Hasil dan diskusi Ada lima buku pelajaran Fisika SMA yang dikaji dalam penelitian tahap awal ini. Semuanya sedang dan pernah digunakan oleh siswa SMA. Hasil kajiannya dikelompokkan berdasarkan jenis efek instruksional yang ditimbulkan. Split-Attention Effect Efek ini muncul bila informasi yang tersaji membuat perhatian pembaca menjadi terbagi dua atau lebih, misalnya harus bolak-balik memperhatikan narasi dan gambar, terhalang oleh sajian lain, atau pindah-pindah halaman. Pada sajian Gambar 1 berupa foto halaman buku terdapat narasi yang merujuk ke gambar 1.4, tetapi letak gambar 1.4 itu berada di jauh di bagian bawah. Pembaca harus bolak-balik mengamati gambar dan simbol-simbol dalam gambar yang dirujuk oleh narasi itu. Jadi gambar terlalu jauh meletakkannya. Padahal di sebelahnya ada tempat, tetapi yang diletakkannya itu gambar yang lain yang sebenarnya tidak berhubungan dengan narasi itu.
Gambar 2 Bel dibunyikan dalam ruang hampa
Pada buku yang lainnya, penulis buku memaparkan gelombang berdiri pada dawai dengan gambar yang ditunjukkan berupa gambar orang membawa gitar (Gambar 3). Dawai dan gitar itu berbeda. Selain itu juga gelombang berdiri yang menjadi pembahasannya tidak tampak. Akibatnya gelombang berdiri pada dawai tidak terilustrasikan dengan baik dalam buku tersebut. Lebih baik menggunakan sketsa gelombang berdiri, sehingga penjumlahan dua gelombang akan lebih mudah ditunjukkan.
Teks merujuk ke Gambar 1.4
Gbr 1.4 Gambar 1 Teks dan gambar yang dirujuk berjauhan
Sajian informasi yang dapat membagi perhatian pembaca seperti itu dalam kelima buku pelajaran Fisika yang dikaji, banyak. Umumnya antara narasi dengan gambar, narasi dengan grafik, narasi dengan rumus yang merujuk ke halaman lain, dan narasi yang merujuk ke bagian sajian setelahnya, yaitu sajian yang belum dibaca. Sebaiknya sajian informasi yang merujuk ke sajian lain itu tidak berjauhan, tidak terhalang oleh sajian lain, atau tidak pindah halaman.
ISBN 978-602-19655-3-5
Gambar 3 Gambar orang membawa gitar untuk menunjukkan gelombang berdiri
Redundancy Effect Efek ini ditimbulkan oleh sajian informasi yang berlebihan. Misalnya penjelasan terlalu panjang, contoh terlalu banyak, gambar terlalu
30
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2012 (SNIPS 2012) 7-8 Juni 2012, Bandung, Indonesia
rumit, simbol-simbol yang tidak perlu turut disajikan, warna dan asesoris terlalu ramai, atau sajian yang tidak terkait dengan pokok pembahasan.
Sementara konsep pemantulannya sendiri disinggung di bagian akhir dengan porsi yang sedikit. Sajian yang berlebihan seperti itu akan membebani memori kerja. Sebaiknya fokus pada topik sesuai judul. Hal-hal lain yang sudah dibahas di SMP tidak perlu diulang terlalu panjang. Imagination Effect Ketika pembaca menyimak sajian informasi yang ada di dalam buku, sebenarnya pembaca memiliki imajinasi tersendiri terhadap sajian informasi tersebut. Sajian informasi yang cocok akan memperkuat daya imajinasi. Sebaliknya, bila itu tidak cocok atau tidak jelas, imajinasi pembaca akan berbeda dengan apa yang dimaksudkan oleh penulis.
Gambar 4 Sajian gambar tetapi tidak berhubungan dengan paparan teks
Dalam cuplikan sebuah buku (Gambar 4), terdapat gambar yang tidak berhubungan dengan pokok pembahasan. Topik yang dibicarakan adalah simpangan dan periode, tetapi tersaji gambar gelombang longitudinal dan transversal. Walaupun informasi tersebut berguna bila dipahami, tetapi hal itu akan memperbanyak hal yang harus dibaca dan diperhatikan, sehingga hal pokoknya akan terabaikan. Gambar tersebut lebih baik tidak ada.
Sebagai contoh, si penulis mengilustrasikan terjadinya interferensi pada kisi pemantul (lihat Gambar 6). Pembaca akan berimajinasi mengenai bentuk kisi pemantul, cahaya datang, dan cahaya pantul, sebagaimana tersaji dalam gambar, lalu mendefinisikan sendiri terjadinya interferensi. Dengan gambar yang ada itu (Gambar 6), ada kemungkinan dua pembaca memiliki pemahaman yang berbeda terhadap gambar tersebut. Sebab kata "terjadi interferensi" yang tertera dalam gambar itu tidak jelas bagian mana yang dimaksud. Sebaiknya ada kalimat tambahan yang menjelaskan bentuk kisi bahwa yg tertera dalam gambar itu adalah bentuk permukaan kisi yang diperbesar. Kemudian tentang bagian yang mengalami interferensi sebaiknya diberi tanda penunjuk sehingga lebih jelas bagian mana yang menunjukan terjadinya interferensi itu.
Redundancy juga terdapat dalam bentuk sajian yang terlalu panjang. Misalnya dalam sebuah buku dijelaskan topik interferensi pada selaput tipis, pembahasannya melebihi dua halaman. Terdapat juga gambar selaput gelembung sabun yang diperbesar, dilengkapi dengan berbagai simbol, sehingga tampak rumit.
Gambar 6 Bentuk permukaan kisi dan bagian yang menunjukkan terjadinya interferensi yang tidak jelas. Gambar 5 Sajian warna dan gambar berlebihan
Urutan penyajian informasi dalam bentuk tabel juga dapat mempengaruhi imajinasi pembaca. Misalnya urutan angka dari kecil ke besar atau sebaliknya, agar pembaca dapat menyimaknya secara lebih sistematis, sehingga informasi dapat lebih mudah dicerna. Tidak seperti tabel dalam Gambar 7 di bawah ini.
Sajian informasi yang berlebihan juga tampak pada halaman buku seperti tampak pada Gambar 5. Di sana dijelaskan pemantulan gelombang. Pembahasannya dimulai dari konsep muka gelombang yang dibahas sangat panjang, gambar-gambar pelengkap banyak dan beragam, serta dipenuhi warna (lihat gambar 5).
ISBN 978-602-19655-3-5
31
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2012 (SNIPS 2012) 7-8 Juni 2012, Bandung, Indonesia
[2]
Gambar 7 Tabel data dengan data yang tidak berurut.
Kesimpulan [3]
Berdasarkan pengkajian kualitatif dari sudut pandang Teori Muatan Kognitif, isi buku pelajaran Fisika yang menjadi sampel penelitian ini banyak mengandung sajian yang dapat menimbulkan efek-efek instruksional, seperti adalah (1) Split-attention effect (efek perhatian terbagi); (2) Modality effect (efek dari cara atau bentuk yang dilakukan); (3) Redundancy effect (efek dari sesuatu yang berlebihan); dan (4) Imagination effect (efek dari imajinasi). Bila buku itu dibaca siswa, Working Memory siswa akan bekerja berat. Akibatnya siswa akan kesulitan memahami isi bacaan, salah menafsirkan, atau bahkan siswa tidak akan paham sama sekali dengan apa yang dibacanya itu.
[4]
[5]
Bagi penulis buku, sebaiknya sajian informasi dalam buku pelajaran itu bersih dari efek-efek intsruksional tersebut, lalu diujicoba keterbacaannya pada sejumlah siswa. Bagi para peneliti, hasil penelitian ini masih perlu ditindaklanjuti dengan pengujian pada siswa mengenai pengaruh sajian informasi dari buku yang sudah tersedia di pasaran dibandingkan dengan buku yang sudah direduksi efek-efek instruksionalnya.
[6]
[7]
Ucapan terima kasih Terima kasih kepada Bpk. Prof. Ismunandar, Ph.D, Direktur SEAMEO QITEP in Science, yang telah mendukung saya melakukan penelitian dan mengikuti Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2012 ini, serta telah turut serta mengoreksi naskah ini.
[8]
Referensi [1] A. R. Artino, "Cognitive Load Theory and the Role of Learner Experience : An Abbreviated Review for Educational Practitioners". Association for the Advancement of Computing in Education Journal [Online], Vol. 16 (4), 14 halaman, 2008. URL: http://www.uh.cu/static/ documents/TD/Cognitive%20Load%20Theo ry.pdf [accessed10 Mei 2009]. P. Barrouillet, et al., "Time and Cognitive Load in Working Memory". Journal of
ISBN 978-602-19655-3-5
Experimental Psychology : Learning, Memory, and Cognition. The American Psycological Association [Online], Vol. 33 (3), 15 halaman, 2007. URL: www.iapsych.com/articles/barrouillet2007.p df [accessed 30 mei 2009]. K. M. E. Burkes, "Applying Cognitive Load Theory to the Design of Online Learning" [Online], 2007. URL: www.sageperformance.com/drjeffallen/ DissertationExample/KateBurkesdissertation.pdf. [accessed 30 Mei 2009] T. S. Chong, "Recent Advances in Cognitive Load Theory Research : Implications for Instructional Designers". 2007. Malaysian Online Journal of Insttional Technology (MOJIT) [Online], Vol. 2 (3), 11 halaman. URL: http://pppjj.usm.my/mojit/ articles/pdf/Dec05/13%20%20Recent_Adva nces _in_Cognitive_Load%5B1%5Dfinal.pdf . [accessed 10 Mei 2009] Kayuga, S. dan Pass, J., (2007). "Managing Cognitive Load in Instructional Simulations". JADIS International Confrence e-Learning [Online]. 2007. URL : www.iadis.net/dl/ final_uploads/200711L004.pdf [accessed 30 Mei 2009] M. W. Matlin, "Cognition, Third Edition". Penerbit Harcourt Brace Publishers, London, 1994. Pass, F., Renkl, A., dan Sweller, J. "Cognitive Load Theory: Instructional Implications of the Interaction between Information Structures and Cognitive Architecture". International Science [Online], (32), 9 halaman. 2004. URL : http://www.springerlink.com/content/t42495 336q677 725/. [accessed 30 mei 2009]. Schnotz, W. & Kürschner, C. "A Reconsideration of Load Theory". Educ Psychol Rev [Online], (19), 39 halaman. 2007. URL : www.springerlink.com/index/ NT077668737230P6.pdf [accessed 30 Mei 2009]. Sweller, J., "Visualisation and Instructional Design [Online]. 2002. URL : http://www.iwm-kmrc.de/workshops/ visualization/sweller.pdf [accessed 12 Maret 2009]
Maman Wijaya SEAMEO QITEP in Science
[email protected] [email protected]
32
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2012 (SNIPS 2012) 7-8 Juni 2012, Bandung, Indonesia
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN SSCS ( SEARCH, SOLVE, CREATE AND SHARE) PADA STUDI KASUS PRAKTIKUM KIMIA DASAR:” LARUTAN PENYANGGA” Cucu Zenab Subarkah *, Neneng Windayani, Fatni Rifqiyati Abstrak Pelaksanaan praktikum secara umum masih bersifat konvensional, mahasiswa hanya melakukan praktikum sesuai prosedur yang telah ditentukan tanpa dilatih melaksanakan praktikum yang berbasis penelitian. Salah satu metode pembelajaran yang dapat melatih mahaiswa dalam bekerja secara ilmiah adalah metode SSCS. Melalui penelitian ini dideskripsikan aktivitas mahasiswa pada proses penerapan SSCS dalam praktikum larutan penyangga dan menentukan hasil observaasi dan LKM untuk setiap tahapan model SSCS.Metode penelitian yang digunakan merupakan studi kasus pada mahasiswa semester II sebanyak 81 orang yang mengambil mata kuliah kimia dasar. Instrumen untuk menjaring data adalah observasi kelas dan LKM (Lembar Kerja Mahasiswa) 1 (search =identifikasi masalah dalam wacana), LKM 2 (solve= penyelesaian masalah), laporan (create= analisis dan pengolahan data), format penilaian presentasi (share). Data yang diperoleh bersifat kualitatif, dan frekuensinya diolah dengan persentase. Hasil analisis data menunjukkan bahwa pelaksanaan pembelajaran untuk setiap tahap search, solve, create, dan share, berlangsung baik. Nilai rata-rata kelompok prestasi tinggi 80,60 kategori sangat baik, kelompok prestasi sedang dan rendah mendapat nilai masing-masing 77,68 dan 77,62 termasuk ketegori baik. Hasil observasi pada tahap search hanya 38,27 % mahasiswa yang membuat pertanyaan yang berkualitas dan memilki permasalahan yang layak diteliti. Pada tahap solve 77 % mahasiswa mengembangkan rencana sesuai pertanyaan, tetapi tidak melakukan revisi lebih lanjut terhadap rencana. Tahap create 56,25% mahasiswa dapat membuat skema temuan dan disajikan dalam bentuk flash, animasi dan power point. Semua mahasiswa pada tahap share dapat berperan dalam mempresentasikan hasil laporan, tetapi hanya 12,0 % yang memenuhi kriteria secara lengkap. Kata Kunci: search, solve, create, share kemudian lembar kerja mahasiswa (LKM) untuk tahap search dan solve, untuk tahap create dan share dibuat lembar observasi,
Pendahuluan Penelitian penggunaan model SSCS telah dilakukan oleh Pizzini, E.L dan Shepardson, D.P. (1991) [1] dan Baroto (2009) [2] yang difokuskan pada perbandingan dengan model konvensional, dan peningkatan keterampilan berpikir, dan intelegensi, tetapi belum menyentuh bagaimana kualitas keterampilan mahasiswa untuk setiap tahapan model tersebut, terutama dalam merancang praktikum sendiri dan melaksanakannya. Selama ini mahasiswa melakukan praktikum bersifat ekspositori yakni praktikum yang berdasarkan buku penuntun yang telah disediakan oleh dosen pengampu. Keterampilan merancang praktikum untuk keperluan pembelajaran dan penelitian merupakan salah satu kompetensi yang harus dimiliki oleh guru kimia (Depdiknas, 2007) [3]
Teori Model Pembelajaran SSCS SSCS adalah model pembelajaran yang menggunakan pendekatan problem solving, didesain untuk mengembangkan keterampilan berpikir kritis, dan meningkatkan pemahaman terhadap konsep ilmu (Baroto,2009) [4]. Penerapan model tersebut banyak melibatkan mahasiswa dalam penyelidikan suatu masalah, membangkitkan minat bertanya serta memecahkan masalah-masalah nyata. Menurut Pizzini (1991) [5], ada empat tahapan atau fase yang terdapat dalam model pembelajaran ini. Pertama fase Search mengidentifikasi serta mengembangkan pertanyaan yang dapat diselidiki (researchable question) berdasarkan fenomena, wacana, bahan bacaan dll. Menuliskan pertanyaan awal sebagai kegiatan pralab (Burke and Greenbowe; 2006) [6] membantu mahasiswa untuk menghubungkan konsep-konsep yang
Berdasarkan uraian di atas dilakukan penlitian dengan menerapkan metode SSCS pada praktikum larutan penyangga yang merupakan salah satu materi kimia dasar II mahasiswa semester II. Sebagai instrumen disusun deskripsi pembelajaran sesuai dengan tahapan search, solve, create, dan share,
ISBN 978-602-19655-3-5
33
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2012 (SNIPS 2012) 7-8 Juni 2012, Bandung, Indonesia
terkandung dalam permasalahan ke konsepkonsep sains yang relevan.. Kedua fase solve berpusat pada permasalahan spesifik yang ditetapkan pada fase search. Mahasiswa merumuskan prediksi awal dari pertanyaan yang dipilih, selanjutnya untuk membuktikan prediksi awal mahasiswa merancang sebuah percobaan. Selama fase solve mahasiswa mengorganisasikan kembali konsep-konsep yang diperoleh dari fase search menjadi konsep-konsep yang berada dalam ”higher-order” yang mengidentifikasikan cara untuk menyelesaikan permasalahan dan jawaban yang diinginkan. Menurut Sagala (2006) [ 7] mahasiswa mengembangkan berpikir ilmiah untuk lebih banyak belajar mandiri, mengembangkan kreatifitas dalam memecahkan masalah. Fase ketiga adalah create, mengharuskan mahasiswa untuk menghasilkan suatu produk yang terkait dengan permasalahan, membandingkan data dengan masalah, melakukan generalisasi, jika diperlukan memodifikasi. Mahasiswa menggunakan keterampilan seperti mereduksi data menjadi suatu penjelasan yang sederhana. Kreatifitas mahasiswa dalam menyajikan dan mempublikasikan hasil temuannya merupakan hal penting pada fase ini. Fase share melibatkan mahasiswa dalam mengkomunikasikan jawaban terhadap permasalahan. Mahasiswa menyampaikan buah pikirannya melalui komunikasi dan interaksi, menerima dan memproses umpan balik, yang tercermin pada jawaban permasalahan dan jawaban pertanyaan, menghasilkan kembali pertanyaan untuk diselidiki pada kegiatan lainnya. Munculnya pertanyaan terjadi bila fakta yang diperoleh menciptakan pertanyaan baru atau bila kesalahan dalam perencanaan hasil untuk mengidentifikasi keterampilan Problem Solving yang diperlukan. Larutan Penyangga Larutan penyangga adalah larutan yang terdiri dari asam lemah atau basa lemah dan garamnya (Chang, R. 2005: 132) [8] Secara matematis, pH larutan penyangga dapat dihitung dengan menggunakan persamaan Henderson–Hasselbalch. Persamaan tersebut adalah sebagai berikut (Achmad, H. 2001:152) [9] Untuk larutan penyangga asam (asam lemah dan basa konjugasinya) pH = pKa + log Untuk larutan penyangga basa (basa lemah dan asam konjugasinya)
ISBN 978-602-19655-3-5
34
pOH = pKb + log ([asam konjugasi]/[basa lemah]) Untuk menghitung harga pH larutan penyangga setelah penambahan asam menggunakan persamaan berikut (Chang,H. 2005:134) [10] +
[H ]
=
pH
= – log [H ]
+
Kapasitas Buffer atau larutan penyangga disebut juga indeks buffer atau intensitas buffer yaitu suatu ukuran kemampuan buffer untuk mempertahankan pH nya yang konstan jika ditambahkan sedikit asam kuat atau basa kuat. Kapasitas Buffer ß, didefinisikan dengan persamaan : ß=
=
dengan dCB dan dCA berturut – turut menyatakan jumlah mol basa kuat dan jumlah mol asam kuat yang ditambahkan ke dalam satu liter larutan buffer dan d pH adalah perubahan pH ( Achmad, H. 2001:153)[11]. Larutan penyangga dalam kehidupan seharihari dapat kita jumpai dalam buah kaleng. Dalam buah kaleng terdapat cairan yang merupakan campuran antara asam sitrat dengan natrium sitrat. Asam sitrat (C6H8O7) ini adalah asam lemah dan ion sitrat (dari natrium sitrat, C6H7O7 ) adalah basa konjugatnya. Oleh karena itu asam sitrat dan natrium sitrat pada cairan minuman buah kaleng dapat berfungsi sebagai larutan penyangga sehingga pH dalam cairan buah kaleng dapat dikontrol.
Hasil dan diskusi Data hasil penelitian diperoleh berdasarkan penilaian LKM pada tahap search dan solve, laporan praktikum untuk tahap create. Sedangkan pada tahap share dijaring melalui kemampuan mempresentasikan hasil percobaan. Observasi kegiatan mahasiswa baik secara individu maupun kelompok dilakukan untuk mendeskripsikan proses pembelajaran setiap tahap SSCS.
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2012 (SNIPS 2012) 7-8 Juni 2012, Bandung, Indonesia
dipresentasikan, yang lainnya harus melakukan revisi. Setiap kelompok menyajikan hasil penemuan mereka. Media presentasi yang dapat dipilih oleh setiap kelompok meliputi carta, animasi, video, flash, atau power point. Nilai rata-rata untuk tahap create mencapai 75,97 termasuk kategori baik yang dijaring berdasarkan kemampuan mahasiswa dalam membuat laporan hasil percobaan.
Gambar Rata-rata Hasil Penilaian Tahapan SSCS
Data yang diperoleh pada fase search terdiri dari data hasil observasi kelompok dan hasil LKM berupa daftar pertanyaan yang diajukan mahasiswa melalui analisis wacana mengenai larutan penyangga. Berdasarkan LKM tahap search diperoleh nilai rata-rata 76,02 dengan kategori baik. Sedangkan hasil observasi menunjukkan sebagian besar mahasiswa hanya menganalisis wacana, mengidentifikasi masalah, membuat pertanyaan yang berhubungan dengan konsep larutan penyangga, akan tetapi tidak berhubungan dengan pertanyaan penelitian. Mahasiswa 38,27% mampu membuat pertanyaan berkualitas yang berhubungan dengan konsep larutan penyangga dan terdapat beberapa permasalahan yang baik. Hanya 4,9 % mahasiswa yang merumuskan pertanyaan berkualitas dan layak untuk dijadikan pertanyaan penelitian. Dari sepuluh pertanyaan yang berkaitan dengan larutan penyangga terdapat enam pertanyaan yang dirumuskan mahasiswa dapat diselidiki melalui percobaan. Tahap solve adalah tahap menyelesaikan permasalahan yang ditemukan pada tahap search. Pada tahap ini mahasiswa diberikan LKM 2, berfungsi mengarahkan mahasiswa dalam membuat prediksi awal berdasarkan pertanyaan yang dipilih untuk diselidiki, merancang dan melakukan percobaan. Nilai rata-rata tahap solve mencapai 79,06 kategori baik yang diperoleh berdasarkan LKM2. Berdasarkan observasi pada tahap solve, 76.65 % mahasiswa dapat mengembangkan rencana sesuai pertanyaan. Rencana dapat terlaksana. Mahasiswa tidak melakukan revisi lebih lanjut terhadap rencana. Hasil observasi kegiatan mahasiswa tahap create, terdapat 46,91 % mahasiswa membuat kesimpulan berdasarkan data yang diperoleh tetapi belum lengkap, hanya 28,40% yang membuat kesimpulan dengan lengkap. Secara kelompok hanya 56,25% mahasiswa yang dapat menyajikan data secara lengkap untuk
ISBN 978-602-19655-3-5
35
Berdasarkan hasil observasi pada tahap share sebagian besar mahasiswa dapat mempresentasikan hasil penyelidikannya, tetapi hanya 12,35% mahasiswa yang memiliki peran dalam presentasi, menjawab pertanyaan dengan lengkap mencakup semua hasil dari tahapan SSCS. Penilaian tahap share didasarkan pada kemampuan mahasiswa mempresentasikan hasil penyelidikan, diperoleh nilai rata-rata 83,56 termasuk kategori sangat baik. Penerapan model pembelajaran SSCS perlu terus dikembangkan dalam praktikum kimia khususnya, agar mahasiswa terlatih melakukan pemecahan masalah terhadap fenomena yang dihadapi. Hasil penelitian yang menyangkut hasil evaluasi dan pengembangan karakter dari setiap tahap SSCS tidak dibahas pada makalah ini, tetapi akan dipresentasikan pada pertemuan ilmiah yang lain dengan merujuk pada hasil penelitian yang disajikan pada makalah ini. Kesimpulan Kesimpulan dari penelitian ini bahwa hasil belajar untuk setiap tahap model pembelajaran SSCS mencapai nilai rata-rata baik. Model pembelajaran SSCS dapat melatih dan mengembangkan keterampilan intelektual mahasiswa sesuai dengan prosedur metode ilmiah. Mahasiswa mampu membaca fenomena melalui wacana, menyusun pertanyaan, merumuskan prediksi, merancang percobaan, melakukan percobaan, merumuskan hasil percobaan dengan menggunakan media penyajian, dan dapat mempresentasikan hasil temuannya dihadapan teman mahasiswa. Referensi [1] Pizzini, E.L dan Shepardson,D.P. “ A comparison of classroo dynamics of a problem-solving and traditional laboratory model of instruction using path analysis,” Journal of Research in Science Teaching, Vol 29. Issue, 1991. p.243-258 [2] Baroto, Gogol. “Pengaruh model pembelajaran PBl dan pembelajaran SSCS ditinjau dari kreativitas dan intelegensi
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2012 (SNIPS 2012) 7-8 Juni 2012, Bandung, Indonesia
[3] [4]
[5] [6]
[7] [8] [9] [10] [11]
siswa. Tesis. Pps Universitas sebelas Maret. 2009. Depdiknas. Permendiknas no 16/2007: Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi guru. Jakarta: BSNP. 2007. Baroto, Gogol. “Pengaruh model pembelajaran PBl dan pembelajaran SSCS ditinjau dari kreativitas dan intelegensi siswa. Tesis. Pps Universitas sebelas Maret. 2009. Pizzini, E.L “ Implementation handbook for the SSCS problem-solving instructional model’ The University of Iowa. 1991. Burke, K.A. dan Greenbowe, T.J. “ Implemen the Science writing heuristic in the chemistry laboratory”. Journal of chemical education, Vol 83 Sagala,S "Konsep makna pembelajaran", Bandung :Alfabeta. 2006 Chang, R. “ Kimia dasar jilid 2” .Jakarta :Erlangga. 2005 Achmad, H. “Penuntun belajar kimia dasar kimia larutan”. Bandung : PT Citra Aditya bakti. 2001 Chang, R. “Kimia dasar jilid 2” .Jakarta :Erlangga. 2005 Achmad, H. “Penuntun belajar kimia dasar kimia larutan”. Bandung : PT Citra Aditya bakti. 2001
Cucu Zenab Subarkah* Program Studi Pendidikan Kimia Universitas Islam Negri Sunan Gunung Djati Bandung
[email protected]
Neneng Windayani Program Studi Pendidikan Kimia Universitas Islam Negri Sunan Gunung Djati Bandung
[email protected]
Fatni Rifqiyati Program Studi Pendidikan Kimia Universitas Islam Negri Sunan Gunung Djati Bandung rfatni@ymail,com
*Corresponding author
ISBN 978-602-19655-3-5
36
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2012 (SNIPS 2012) 7-8 Juni 2012, Bandung, Indonesia
Levitasi Magnetik untuk Separasi Bahan Plastik dengan Densitas yang Identik Gancang Saroja*, Suyatman, Nugraha Abstrak Dalam penelitian ini, dilakukan studi analitik pada sistem levitasi magnetik untuk memisahkan dua plastik dengan nilai densitas yang identik dan saling tumpang tindih, yaitu jenis plastik polyethylene terephthalate (PET) dan polyvinyl chloride (PVC). Sifat diamagnetik kedua bahan menunjukkan perbedaan nilai susceptibilitasnya, untuk PET sebesar -0.0063 dan PVC sebesar -0.0075. Kedua bahan dilevitasi dalam sistem yang terdiri atas fluida magnetik dengan diberikan gradien medan magnet arah vertikal yang bersumber dari magnet permanen. Hasil menunjukkan peningkatan konsentrasi fluida akan menaikan levitasi kedua bahan. Pada konsentrasi tetap, semakin kuat sumber medan magnet yang digunakan, levitasi pada plastik semakin tinggi dan jarak separasi juga semakin lebar. Kata kunci: levitasi magnetik, separasi, densitas identik, susceptibilitas Pendahuluan Dalam tahapan daur ulang plastik bekas, pemisahan plastik sesuai jenisnya menjadi tahapan yang sangat penting. Pemisahan dilakukan untuk mendapatkan kelompok bahan dengan kemurnian tertentu. Dalam proses produksi, kemurnian bahan akan menentukan kualitas hasil serta kemudahan prosesnya [1]. Teknik pemisahan yang banyak digunakan adalah berdasarkan perbedaan densitasnya dengan menggunakan separator gravitasi. Metode pemisahan tersebut memiliki keuntungan mudah, cepat, efisien dan ekonomis. Pada tahapan pemisahan awal, hampir semua jenis plastik dapat dipisahkan dengan separator gravitasi. Namun demikian, beberapa jenis plastik ternyata tidak dapat dipisahkan dengan metode perbedaan densitas yaitu untuk plastik jenis PET dan PVC [2]. Hal itu karena nilai densitas kedua plastik tersebut yang identik dan saling tumpang tindih. Densitas 3 plastik PET adalah 1330-1370 kg/m dan densitas plastik PVC adalah 1320-1370 3 kg/m [3]. Berbagai metode digunakan untuk memisahkan kedua jenis plastik tersebut berdasarkan pada perbedaan sifat-sifat kimia dan fisikanya. Berdasarkan sifat kemagnetannya, plastik termasuk kedalam bahan diamagnetik yang memiliki nilai susceptibilitas negatif. Salah satu sifat bahan diamagnetik, ketika berada didalam fluida magnetik maka akan dapat mengalami levitasi jika diberikan gradien medan magnet [4]. Fenomena tersebut dikenal dengan levitasi magnetik. Levitasi bahan diamagnetik dalam fluida magnetik
ISBN 978-602-19655-3-5
37
dipengaruhi oleh faktor kuat medan magnet, densitas bahan dan fluida, serta nilai susceptibilitas bahan dan fluida magnetik. Walaupun keduanya merupakan bahan diamagnetik, plastik berjenis PET dan PVC memiliki nilai susceptibilitas yang berbeda, yaitu sebesar -0.0075 untuk PVC dan sebesar -0.0063 untuk PET [5,6]. Karena susceptibilitas diamagnetiknya berbeda, dalam pengaruh suatu gradien medan magnet, plastik PET dan PVC akan dapat terlevitasi dalam fluida magnetik dengan ketinggian berbeda. Perbedaan levitasi tersebut akan membuat kedua jenis plastik dapat terseparasi. Teori Levitasi Magnetik Dalam pengaruh suatu gradien medan magnet, pada benda diamagnetik yang berada didalam fluida magnetik akan bekerja dua buah gaya yaitu gaya berat dan gaya magnetik [7]. Gaya-gaya tersebut sesuai dengan persamaan berikut. ( χ − χ m ) 1) Fg + Fmag = ( ρ s − ρ m )Vg + s V ( B ⋅ ∇) B Dimana,
Fg adalah
µ0
gaya
berat benda (N),
Fmag adalah gaya magnetik (N), ρ s adalah 3
densitas dari benda diamagnetik (kg/m ), ρ m adalah densitas dari fluida magnetik 3
(kg/m ), V adalah volume dari benda 3 (m ), g adalah percepatan gravitasi 2 (m/s ), χ s adalah susceptibilitas benda diamagnetik, χ m adalah susceptibilitas dari
fluida magnet. Sedangkan B ⋅ ∇B adalah 2 -1 gradien medan magnet (T m ),
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2012 (SNIPS 2012) 7-8 Juni 2012, Bandung, Indonesia
µ0
orientasi momen magnet sejajar arah sumbunya. Penggunaan magnet permanen memiliki kelebihan tidak memerlukan sumber listrik sehingga tidak memerlukan instalasi, praktis, dan induksi magnetnya terukur.
merupakan permeabilitas magnet dari
-2 hampa ( 4π × 10 −7 N A ), serta B adalah
induksi magnet (T). Berdasarkan pada persamaan 1), digunakan suatu parameter baru yang disebut densitas produktif ρ prod yang didefinisikan sebagai berikut.
ρ prod = Δρ +
Δχ ( B ⋅ ∇) B µ0 g
Cara kerja sistem adalah sebagai berikut. Sampel dimasukan kedalam tabung fluida yang telah terisi dengan larutan paramagnetik. Kemudian, diberikan gradien medan magnet pada tabung fluida dengan arah vertikal. Berdasarkan pada persamaan 2), akan dilakukan variasi parameterparameter yang mempengaruhi levitasi plastik PET dan PVC dalam fluida paramagnetik. Variasi yang dilakukan berupa densitas fluida, susceptibilitas fluida, serta besar gradien medan magnet. Rincian parameter-parameter disajikan pada Tabel 1.
2)
Nilai densitas produktif menunjukkan keadaan benda dalam larutan magnetik. Jika nilai densitas produktif adalah nol, maka benda akan terlevitasi didalam fluida. Jika nilainya positif maka benda akan tenggelam dalam fluida, sedangkan jika bernilai negatif maka benda akan terapung dibagian atas fluida. Dengan demikian, syarat sampel bahan PET dan PVC dapat terlevitasi didalam fluida paramagnetik adalah nilai densitas produktifnya harus sama dengan nol.
Tabel 1. Parameter sistem analitik levitasi Parameter tetap
Sistem Analitik Suatu sistem analitik didesain sesuai dengan skema pada Gambar 1 yang bertujuan untuk menyeparasi plastik PET dan PVC. Tabung fluida memiliki diameter lebih kecil dari diameter magnet serta disusun dengan posisi sumbu segaris dengan magnet. Tujuannya, agar induksi magnet pada fluida mendekati induksi magnet pada sepanjang garis sumbu magnet.
Susceptibilitas magnet sampel,
χs
PET PVC
-0.63 x 10 -2 -0.75 x 10
Densitas sampel, PET PVC
3
-2
ρs
(kg/m ) 1330-1370 3 (kg/m ) 1320-1370 Parameter peubah Kuat medan magnet pada 0.1- 1.0 permukaan magnet, Bo (T) Densitas fluida magnetik, 1010-1320 3 ρ m (c, T ) (kg/m ) Susceptibilitas medium paramagnetik, χ m (c, T )
-5
10 -1
Hasil dan Diskusi Hasil menunjukkan, pada larutan MnCl2, perubahan nilai susceptibilitas dan densitas larutan terjadi secara kompak. Saat konsentrasi dinaikkan, nilai susceptibilitasnya meningkat. Pada saat yang bersamaan, densitasnya juga meningkat. Sehingga, digunakan larutan dengan konsentrasi yang memberikan hasil optimum.
Gambar 1. Skema sistem levitasi magnetik Kedua plastik yang digunakan memiliki rentang nilai densitas yang tumpang tindih dan identik. Bentuk sampel berupa campuran serpihan-serpihan bahan plastik PET dan PVC. Nilai susceptibilitas dari kedua sampel sesuai dengan data dari sumber referensi [5,6]. Fluida magnetik yang digunakan adalah larutan paramagnetik berupa larutan MnCl2 karena memiliki keunggulan sebagai berikut; (i) memiliki nilai susceptibilitas magnet molar yang tinggi, (ii) transparan sehingga memudahkan pengamatan, dan (iii) relative lebih murah [7]. Selain itu, larutan paramagnetik memiliki kepekaan separasi yang baik [8]. Sumber medan berasal dari magnet permanen berbentuk silinder dengan
ISBN 978-602-19655-3-5
Larutan MnCl2 yang digunakan adalah larutan dengan konsentrasi 3 M. Hasil analitik menunjukkan pada konsentrasi 3 M, larutan MnCl2 memiliki sifat-sifat sebagai berikut; (i) 3 densitasnya sebesar 1298 kg/m (ii) susceptibilitasnya sebesar 0.00096 (iii) untuk terlevitasi, gradien medan yang diperlukan 2 -1 kecil, untuk PET adalah 0.054-0.122 T m 2 -1 dan untuk PVC sebesar 0.032-0.104 T m . Untuk konsentrasi lebih besar dari 3 M mengakibatkan densitas larutan menjadi lebih besar dari densitas plastik.
38
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2012 (SNIPS 2012) 7-8 Juni 2012, Bandung, Indonesia
( χ PET − χ PVC ) ( B ⋅ ∇) B ≠ ( ρ PET − ρ PVC ) µ0 g
Dalam larutan MnCl2 yang bersifat paramagnetik dengan konsentrasi 3 M, bahan PET dan PVC diberikan gradien 2 -1 medan magnet hingga sebesar 0.12 T m (Gambar 2). Kenaikan nilai gradien medan menyebabkan kenaikan besar gaya magnetik pada kedua jenis bahan. Pada saat yang bersamaan, pada kedua bahan bekerja gaya berat yang besarnya tidak dipengaruhi gradien medan magnet. Hasil menunjukkan, pada suatu nilai gradien medan magnet yang sama, gaya magnetik yang bekerja pada PVC lebih besar dari pada PET.
Sebagai pembangkit gradien medan magnet, digunakan sumber magnet berupa magnet permanen berbentuk silinder dengan diameter 0.02 m dan tebal 0.005 -0.06 m. Magnet yang digunakan memiliki orientasi momen magnet sejajar sumbunya. Induksi magnet sepanjang garis sumbu magnet sesuai dengan persamaan berikut.
B x ( x) =
Gaya (N) 900.0
700.0 600.0 500.0
B0 & L+x x $ − 2 2 $ R 2 + ( L + x) 2 R + x2 %
# ! 4) !"
Dimana Bx adalah induksi magnet pada jarak x, Bo adalah induksi magnet pada permukaan magnet, L adalah tebal magnet, R adalah jari-jari magnet. Induksi magnet akan menghasilkan gradien medan pada titik-titik sepanjang garis sumbu magnet.
Fmag PET Fmag PVC -Fg,densitas bahan 1320 kg/m3 -Fg,densitas bahan 1330 kg/m3 -Fg,densitas bahan 1340 kg/m3 -Fg,densitas bahan 1350 kg/m3 -Fg,densitas bahan 1360 kg/m3 -Fg,densitas bahan 1370 kg/m3
800.0
3)
400.0 300.0
h (cm)
200.0
PET
3.5 100.0
3.0
0.0 0.0
0.02
0.04
0.06
0.08
0.1
2.5
0.12
-Bz(dBz/dz) T2m-1
2.0 densitas 1340 kg/m3
1.0
densitas 1350 kg/m3 densitas 1360 kg/m3
0.5
densitas 1370 kg/m3
0.0
Ketika nilai gradien medan magnet divariasikan, suatu saat terjadi dimana besar gaya magnetik pada PET dan PVC secara grafis akan berpotongan dengan gaya berat efektifnya. Perpotongan antara Fmag dan Fg menunjukkan nilai gradien medan magnet saat terlevitasi. Nampak bahwa semakin besar densitas sampel bahan, perpotongan antara Fmag dan Fg terjadi pada nilai gradien medan magnet yang semakin besar pula.
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
0.9
1
1.2 Bo (T)
3.5
h (cm)
PVC
3.0 2.5 2.0 densitas densitas densitas densitas densitas densitas
1.5 1.0 0.5
Pada saat kedua plastik terlevitasi, perbedaan gradien medan terbesar terjadi ketika bahan PET memiliki densitas sebesar 3 1370 kg/m dan PVC memiliki densitas 3 sebesar 1320 kg/m . Pada keadaan tersebut, perpotongan gaya berat efektif dengan gaya magnetik terjadi pada gradien medan magnet 2 -1 0.12 T m untuk PET dan sebesar 0.0315 2 -1 T m untuk PVC. Perbedaan gradien medan terbesar akan menghasilkan perbedaan levitasi dengan jarak terjauh. Sedangkan 3 pada densitas PET 1360 kg/m dan PVC 3 1370 kg/m , perpotongan antara gaya berat efektif dan gaya magnetik terjadi pada nilai gradien medan magnet yang sama yaitu 2 -1 pada -0.105 T m . Hal tersebut menunjukkan keadaan bahwa kedua bahan akan terlevitasi pada posisi yang sama. Agar PET dan PVC tidak terjadi levitasi dengan posisi sama, dikenakan syarat persamaan 3) berikut.
ISBN 978-602-19655-3-5
densitas 1330 kg/m3
1.5
Gambar. 2 Gaya-gaya yang bekerja pada 3 PET dan PVC tiap 1 m volume, dalam larutan MnCl2 berkonsentrasi 3 M
1320 kg/m3 1330 kg/m3 1340 kg/m3 1350 kg/m3 1360 kg/m3 1370 kg/m3
0.0 0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
0.9
1
1.2 Bo (T)
Gambar 3 Levitasi pada PET dan PVC sebagai variasi dari Bo Magnet permanen dengan kuat sumber dari 0.1 hingga 1.2 T digunakan untuk pembangkit gradien medan magnet pada bahan PET dan PVC. Hasil menunjukkan (Gambar 3), semakin kuat sumber magnet yang digunakan, levitasi yang terjadi akan semakin tinggi. Semakin besar densitas bahan, levitasi pada bahan semakin turun. Saat Bo sebesar 0.1 T, bahan PET belum terlevitasi sedangkan untuk PVC akan terlevitasi hanya jika densitasnya sebesar 3 1320 kg/m . Untuk Bo sebesar 0.2 T atau lebih, PET dan PVC akan terlevitasi untuk semua nilai densitasnya. Semakin kuat Bo
39
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2012 (SNIPS 2012) 7-8 Juni 2012, Bandung, Indonesia
yang digunakan, jarak separasi pada kedua bahan juga semakin meningkat. Levitasi tertinggi terjadi pada saat sumber medan paling besar dan densitas bahan plastik paling rendah. Pada sumber medan 1.2 T, 3 bahan PET dengan densitas 1330 kg/m akan terlevitasi pada ketinggian 2.95 cm, 3 sedangkan PVC dengan densitas 1320 kg/m akan terlevitasi pada 3.30 cm. Namun, jika densitas bahan lebih besar maka levitasi yang terjadi akan lebih rendah. Separasi terjauh terjadi pada kedua bahan ketika perbedaan gradien medannya terbesar. Separasi terjauh yang mungkin terjadi adalah sebesar 0.825 cm. Dengan demikian, PET dan PVC dapat terseparasi dengan jarak cukup jauh.
Ucapan terima kasih Penulis mengucapkan terima kasih kepada BPPS atas dukungan finansialnya pada penelitian ini. Pustaka
[1] Dodbiba, G. dan Fujita, T., (2004):
[2]
[3]
Tabel II Rentang separasi PET dan PVC Bo (T) 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6
Jarak (cm) 0.00 -0.350 0.00-0.450 0.00-0.475 0.00-0.500 0.00-0.550 0.00-0.625
Bo (T) 0.7 0.8 0.9 1.0 1.2
Jarak (cm) 0.00-0.625 0.00-0.675 0.00-0.700 0.00-0.725 0.00-0.825
[4] [5] [6]
Kesimpulan Metode levitasi magnetik dengan menggunakan sumber magnet permanen dan fluida paramagnetik berupa larutan MnCl2 dapat memisahkan bahan plastik dengan densitas yang identik dan saling tumpang tindih berjenis PET dan PVC dengan beda nilai susceptibilitas 0.0012. Kenaikan konsentrasi larutan menyebabkan kenaikan densitas dan susceptibilitas pada fluida paramagnetik secara kompak. Pada Bo tetap, semakin tinggi konsentrasi yang digunakan, levitasi pada plastik PET dan PVC juga semakin tinggi. Laju kenaikan levitasi PET dan PVC tidak sama, dipengaruhi oleh densitas plastik. Pada konsentrasi tetap, semakin besar Bo yang digunakan, levitasi pada plastik semakin tinggi dan separasi juga semakin lebar. Pada Bo sebesar 1.2 T, konsentrasi fluida 3 M, bahan plastik PET dan PVC akan dapat terseparasi dengan rentang 0–0.825 mm.
[7]
[8]
Progress in Separating Plastic Materials for Recycling, Physical Separation in Science and Engineering, Vol.13, No.3–4, pp.165–182 Hopewell, J., Dvorak, R. dan Kosior, E., (2009): Plastics recycling: challenges and opportunities, Phil. Trans. R. Soc. B, 364, 2115-2126 Joey Yang, (di unduh 16 November 2011): Selective Separation of PET from PVC for Plastics Recycling, Advanced processing Technologies, Inc. Raj, K., (1987): Ferrofluids Properties and Applications, Materials & Design, Vol 18 No. 4. National Physical Laboratory, (2012): Magnetic Properties of Materials (www.kayelaby.npl.co.uk/) Tanimoto, Y.,Fujiwara, M., Sueda, M., Inoue, K., dan Akita, M., (2005): Magnetic Levitation of Plastic Chips: Applications for Magnetic Susceptibility Measurement and Magnetic Separation, Japanese Journal of Applied Physics, Vol. 44, No. 9A, pp. 6801–6803 Mirica, K.A., Shevkoplyas, S.S., Phillips, S.T., Gupta, M., dan Whitesides, G.M., (2009): Measuring Densities of Solids and Liquids Using Magnetic Levitation: Fundamentals, J. Am. Chem. Soc., 131, 10049-10058 Svoboda, J., (2004): Densimetric Separation of Coal Using Magnetic Fluids, Physical Separation in Science and Engineering, Vol.13, No.3–4, pp.127–139
Gancang Saroja*) Jurusan Fisika FMIPA Univ. Brawijaya
[email protected] Suyatman Lab. Advanced Functional Materials Institut Teknologi Bandung
[email protected] Nugraha Lab. Advanced Functional Materials Institute Teknologi Bandung
[email protected]
ISBN 978-602-19655-3-5
40
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2012 (SNIPS 2012) 7-8 Juni 2012, Bandung, Indonesia
Aplikasi Sensor Ultrasonik Untuk Pengukuran Getaran Frekuensi Rendah Rahadi Wirawan*, Mitra Djamal, Ambran Hartono, Edi Sanjaya, Widyaningrum Indrasari, dan Ramli Abstrak Sensor ultrasonik memanfaatkan fenomena perambatan gelombang ultrasonik dalam pengukuran kuantitas fisika maupun kimia suatu obyek. Prinsip kerja sensor ultrasonik adalah memancarkan gelombang ultrasonik ke obyek, kemudian menangkap gema yang dipantulkan oleh obyek tersebut. Berdasarkan informasi waktu tempuh gelombang, posisi dan jarak suatu obyek dapat ditentukan. Pengukuran getaran frekuensi rendah diperlukan dalam pendeteksian berbagai getaran di alam, seperti halnya pengukuran getaran gempa, bangunan, jembatan dan lainnya. Semua pengukuran tersebut memerlukan spesifikasi daerah frekuensi rendah, yaitu di bawah 1 Hz. Telah dikembangkan sistem pengukuran getaran frekuensi rendah TM menggunakan modul sensor PING))) Ultrasonic Range Finder. Dalam hal ini, sensor ultrasonik dapat diaplikasikan untuk mengukur perubahan posisi objek yang bergetar. Hasil kalibrasi menunjukkan bahwa TM modul sensor PING))) Ultrasonic Range Finder dapat digunakan untuk pengukuran frekuensi dengan koefisien R² = 0.999. Sensor ultrasonik yang telah dikembangkan dapat diaplikasikan dalam pengukuran getaran frekuensi rendah dengan nilai maksimum kesalahan relatif sebesar 1.24%. Kata-kata kunci: gema, frekuensi rendah, vibrasi, ultrasonik sensor, PING sensor. dapat ditentukan berdasarkan informasi waktu tempuh gelombang [4,5]. Disamping itu juga, sensor ultrasonik dapat diaplikasikan dalam sistem counter [6].
Pendahuluan Getaran merupakan fenomena pergerakan osilasi suatu obyek terhadap titik kesetimbangannya. Getaran yang diakibatkan oleh gempa, getaran pada bangunan atau jembatan merupakan beberapa contoh fenomena getaran yang dapat diamati. Untuk dapat memahami karakteristik getaran tersebut (frekuensi, amplitudo), dilakukan pengukuran menggunakan berbagai macam sensor yang telah dikembangkan. Yulkifli dkk (2011), mengembangkan sensor berbasis fluxgate untuk getaran frekuensi rendah [1]. Selain sensor berbasis fluxgate, sensor berbasis elemen koil datar dapat diaplikasikan dalam pengukuran getaran [2].
Sensor ultrasonik memiliki potensi untuk diaplikasikan dalam pengukuran frekuensi getaran benda. Hal tersebut dapat diwujudkan melalui implementasi sistem akuisisi data posisi obyek getar yang bersifat periodik. Dalam paper ini, dipaparkan metode pengukuran getaran frekuensi rendah (frekuensi kurang dari 1 Hz), model matematis yang digunakan, dan hasil pengukuran frekuensi getaran. Teori Ultrasonik merupakan gelombang suara dengan frekuensi di atas 20 kHz. Dalam sensor ultrasonik, gelombang ultrasonik ditransimisikan dari sumber, kemudian gelombang pantulan dari suatu obyek dideteksi melalui penerima (receiver).
Sensor ultrasonik merupakan sensor yang memanfaatkan fenomena perambatan gelombang ultrasonik dalam pengukuran kuantitas fisika maupun kimia suatu objek. Aplikasi gelombang ultrasonik atau sensor ultrasonik cukup luas seperti halnya di bidang medis, industri, uji tak merusak, dan instrumentasi [3]. Sensor ini bekerja dengan cara mentransmisikan gelombang suara berfrekuensi tinggi (di atas 20 kHz) ke suatu obyek. Gelombang pantulan (gema) dari obyek yang diterima oleh reciever mengandung berbagai informasi yang dapat ditelaah lebih lanjut. Analisa gelombang pantul tersebut dapat meliputi analisa parameter waktu tempuh gelombang dan amplitudo gelombang pantul. Informasi mengenai suhu, jarak atau posisi objek
ISBN 978-602-19655-3-5
Jarak obyek (d) terhadap sensor ultrasonik ditentukan berdasarkan besarnya kecepatan perambatan gelombang ultrasonik (v) dan sudut yang dibentuk antara obyek dengan penerima gelombang pantulan (θ) seperti tampak pada Gambar 1.
41
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2012 (SNIPS 2012) 7-8 Juni 2012, Bandung, Indonesia
tertentu. Pada Gambar 2. diilustrasikan skema rangkaian alat dalam pengukuran getaran obyek/benda. Perubahan posisi obyek getar diamati berdasarkan jarak obyek terhadap sensor ultrasonik seperti terlihat dalam Gambar 3. Dalam hal ini, digunakan sensor PING)))™ Ultrasonic Distance Sensor yang merupakan sensor untuk pengukuran jarak non-kontak dengan range 2-300 cm [10].
Gambar 1. Pengukuran jarak dengan sensor ultrasonik [7].
d=
v t cos θ 2
(1)
dengan t adalah waktu tempuh gelombang ultrasonik dari pemancar ke obyek dan kembali ke penerima gelombang. Jika jarak antara penerima dan pemancar gelombang ultrasonik cukup dekat dibandingkan dengan jarak obyek maka cos θ ≈ 1 [7]. Untuk mengamati adanya spektrum frekuensi yang terkandung dalam data runtun waktu, dilakukan analisis spektrum. Analisis spektrum didasarkan pada transformasi data dari domain waktu ke domain frekuensi. Salah satu analisis yang banyak digunakan adalah transformasi Fourier atau lebih dikenal sebagai Discrete Fourier Transformation (DFT). Formula DFT untuk vektor data y = [y1 y2 ….yN] dituliskan dalam persamaan berikut:
Gambar 2. Skema pengukuran getaran.
j =0
peralatan
Transmiter sensor memancar gelombang ultrasonik (40kHz) yang kemudian dipantulkan oleh obyek sampai akhirnya diterima oleh receiver sensor. Waktu tempuh gelombang ultrasonik ditentukan berdasarkan konversi jumlah cacahan pulsa terhadap frekuensi kristal mikrokontroler (11.059200MHz). Berdasarkan waktu tempuh tersebut, jarak obyek ditentukan dengan persamaan berikut:
N −1
Yk +1 = ∑ y j +1 exp(−i 2πjk / N )
rangkaian
(2) ,
dimana j, k = 0, 1, ….(N-1) dan data y terekam dalam rentang waktu yang sama (τ). Hasil transformasi Yk memiliki frekuensi fk = k/τN (3)
∑ cacahan # ! * 0.03495 / 2 (5) % 11.059200MHz "
Jarak(cm)= &$
dengan k = 0, 1, 2, ….(N-1) [8]. FFT (Fast Fourier Transform) merupakan metode numerik yang lebih efisien untuk menghitung DFT dari suatu deret waktu tertentu. FFT mengeksploitasi sifat periodisitas dari fungsi exp(i2πk) dengan k integer. Hal tersebut dilakukan melalui multiplikasi matriks yang terbentuk dari persamaan (2) N −1
X k = ∑ x jWNjk
(4)
j =0
dengan
besaran
kompleks
Gambar 3. Setting peralatan dalam pengukuran perubahan posisi obyek getar.
W N = e i 2π / N
merupakan konstanta untuk nilai tertentu dari N [9].
Proses pemancaran sinyal ultrasonik oleh sensor dikendalikan melalui sistem mikrokontroler Atmega16 yang dihubungkan dengan perangkat serial interface USB AVR K125R untuk proses akuisisi data melalui PC/laptop. Program akuisisi data perubahan
Metode Untuk menentukan frekuensi suatu sumber getar, dilakukan akuisisi data perubahan posisi obyek getar dalam rentang waktu sampling
ISBN 978-602-19655-3-5
42
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2012 (SNIPS 2012) 7-8 Juni 2012, Bandung, Indonesia
jarak obyek getar dibuat menggunakan program aplikasi Visual basic. Analisis data perubahan posisi dalam suatu rentang waktu tertentu (domain waktu) dikonversikan ke dalam domain frekuensi menggunakan fast fourier transform (FFT). Analisa FFT menggunakan program aplikasi Microcal Origin 6.0 Hasil dan diskusi Telah dilakukan pengukuran getaran frekuensi rendah 1 dimensi dengan sensor ultrasonik PING))) untuk frekuensi 0,2Hz-1Hz. Kalibrasi sensor ultrasonik dilakukan dengan mengukur jarak benda terhadap sensor, dan hasilnya diperlihatkan melalui grafik pada Gambar 4. berikut.
(a) f = 0.2 Hz
(b) f = 0.3 Hz
Gambar 4. Grafik ultrasonik PING
hasil
kalibrasi
sensor
Garfik yang diperoleh menunjukkan bahwa jarak benda dengan jarak yang terukur oleh sensor memiliki hubungan linier. Proses inversi dilakukan terhadap persamaam garis yang dihasilkan dalam Gambar 4. dan diperoleh persamaan inversi
x − 0,031 y= 0,102
(c) f = 0.4 Hz
(6)
Persamaan (6) kemudian diimplementasikan dalam bentuk program instruksi ke dalam mikrokontroler Atmega16 untuk pengukuran jarak benda terhadap sensor. Hasil pengukuran perubahan posisi obyek getar terhadap sensor untuk rentang waktu sampling data 200 ms dianalisa menggunakan FFT. Hasil analisis FFT untuk masing-masing frekuensi getar ditampilkan pada Gambar 5.
ISBN 978-602-19655-3-5
(d) f = 0.5 Hz
43
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2012 (SNIPS 2012) 7-8 Juni 2012, Bandung, Indonesia
(e) f = 0.6 Hz (i) f = 1 Hz Gambar 5. Cuplikan grafik hasil analisis FFT untuk getaran dengan frekuensi sumber 0.2Hz1Hz.
(f) f = 0.71 Hz
Gambar 6. Hubungan frekuensi hasil pengukuran dengan frekuensi sumber getaran. Gradien kemiringan garis sebesar 0.992 yang diperoleh dalam Gambar 6 mengindikasikan bahwa nilai frekuensi terukur mendekati nilai frekuensi sumber. Pada Tabel 1 ditunjukkan bahwa deviasi nilai antara frekuensi sumber getaran dan frekuensi hasil analisis FFT kurang dari 1% dengan besarnya kesalahan relatif maksimum pengukuran 1.24%.
(g) f = 0.8 Hz
Tabel 1. Hasil analisa FFT untuk frekuensi getaran Frekuensi Kesalahan Frekuensi hasil sumber relatif analisa FFT (Hz) (Hz) pengukuran
(h) f = 0.9 Hz
ISBN 978-602-19655-3-5
44
0.2
0.2022 ± 0.0044
0.0107
0.3
0.3036 ± 0.0020
0.0117
0.4
0.4022 ± 0.0040
0.0054
0.5
0.5041 ± 0.0051
0.0081
0.6
0.6056 ± 0.0001
0.0092
0.71
0.7189 ± 0.0054
0.0124
0.8
0.7972 ± 0.0049
0.0035
0.9
0.8987 ± 0.0067
0.0067
1
0.9962 ± 0.0001
0.0038
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2012 (SNIPS 2012) 7-8 Juni 2012, Bandung, Indonesia
Kesimpulan Telah dikembangkan aplikasi sensor ultrasonik PING Paralax sebagai sensor getaran frekuensi rendah 0,2Hz-1Hz. Sensor tersebut mampu mendeteksi getaran sumber dengan kesalahan relatif maksimum pengukuran sekitar 1.24%.
Ambran Hartono Program Studi Fisika, FST UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jl. Ir. Juanda 95 Ciputat, Indonesia
[email protected]
Edi Sanjaya Program Studi Fisika, FST UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jl. Ir. Juanda 95 Ciputat, Indonesia
[email protected]
Referensi [1] Yulkifli, Hufri, Mitra Djamal, R. N. Setiadi,”Desain Sensor Getaran Frekuensi Rendah Berbasis Fluxgate”, Jurnal Otomasi, Kontrol & Instrumentasi, Vol 3, No 2 (2011). [2] Djamal, M., Ramli, Satira, S., Suprijadi,, “Development of a low cost vibration sensor based on flat coil element”, International Journal of Mathematical Models and Methods in Applied Sciences, Vol 5, Issue 3 (2011). [3] Charlessworth J.P, & Temple JAG, Engineering Applications of Ultrasonic Time-of-flight Difraction, John Wiley & Sons Inc., New York (1979). [4] M. Djamal, Suryono, Ramli, “Ultrasonic Sensor and Its Application to Temperature Measurement”, ICPAP, Bandung (2011). [5] K.Prawiroredjo, N. Asteria, “Detektor Jarak dengan Sensor Ultrasonik Berbasis Mikrokontroler”, JETri, Vol.7 No. 2, ISSN 1412-0372, hal. 41-52 (2008). [6] Nasron, “Aplikasi Counter dengan Mikrokontroller Untuk Menghitung Penonton di Pintu Masuk Stadion dengan Sensor Ping dan Led”, Teknika Vol. XXXII No. 1, ISSN 0854-3143, hal. 37-41 (2011). [7] J. Fraden, Handbook of Modern Sensors rd Physics, Design and Applications 3 , Springer-Verlag Inc, 2004, pp.286-289. [8] Suarga, Fisika Komputasi Solusi Problema Fisika dengan MATLAB, Penerbit ANDI Yogyakarta, hal. 129-130 (2007). [9] K. V. Rangarao, R. K. Mallik, Digital Signal Processing A Practitioner’s Approach, John Wiley & Sons, Ltd., pp. 79-88 (2005) [10] Technical Note, PING)))™ Ultrasonic Distance Sensor (#28015), Parallax Inc, www.parallax.com, (2008), diunduh tanggal 18 Mei 2012:22.35.
Widyaningrum Indrasari Jurusan Fisika, Universitas Negeri Jakarta Jl. Pemuda 10, Jakarta 13220, Indonesia
[email protected]
Ramli Jurusan Fisika Universitas Negeri Padang Jl. Prof. Hamka Air Tawar Padang 25131, Indonesia
[email protected]
*Corresponding author
Rahadi Wirawan* Program Studi Fisika, FMIPA ,Universitas Mataram Jl. Majapahit 62, Mataram 83125, Indonesia
[email protected]
Mitra Djamal Fisika Teoritik Energi Tinggi dan Instrumentasi Jurusan Fisika, Institut Teknologi Bandung, Jl. Ganesa 10 Bandung 40116, Indonesia
[email protected]
ISBN 978-602-19655-3-5
45
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2012 (SNIPS 2012) 7-8 Juni 2012, Bandung, Indonesia
Efek Giant Magnetoresistance dalam Spin Valve FeMn/NiCoFe/Cu/NiCoFe yang Ditumbuhkan dengan Metoda Opposed Target Magnetron Sputtering Ramli*, Yenni Darvina, Yulkifli, Ambran Hartono, Rahadi Wirawan, Widyaningrum Indrasari, Khairurrijal dan Mitra Djamal Abstrak Baru-baru ini, riset tentang divais spintronik mengalami perkembangan yang pesat. Spintronik adalah fenomena berdasarkan pengaruh spin pada transportasi elektronik dalam material feromagnetik. Pengembangan divais spintronik ini dipicu oleh penemuan giant magnetoresistance (GMR). Material GMR menjanjikan untuk diterapkan dalam bidang teknologi penting, seperti perekam magnetik, memori dan sensor medan magnet lemah. Spin valve adalah salah satu struktur GMR yang saat ini digunakan dalam perekam magnetik dan sensor medan magnet. Telah dilakukan penumbuhan lapisan tipis GMR berstruktur spin valve FeMn/NiCoFe/Cu/NiCoFe yang ditumbuhkan dengan dc 0 opposed target magnetron sputtering. Parameter-parameter penumbuhan adalah temperatur 100 C, tegangan 600 volt, laju aliran gas Ar 100 sccm, dan tekanan 0.52 Torr. Lapisan tipis spin valve tersebut dikarakterisasi morfologi dengan SEM dan pengukuran rasio magnetoresistansi. Diperoleh bahwa rasio GMR maksimum sebesar 32,5%. Ketebalan masing-masing lapisan penyusun GMR spin valve terlihat berpengaruh terhadap rasio GMR. Paper ini menguraikan tentang efek GMR dalam spin valve FeMn/NiCoFe/Cu/NiCoFe dan kaitannya dengan ketebalan lapisan penyusunnya. Kata-kata kunci: feromagnetik, opposed target magnetron sputtering, sensor GMR, spintronik, spin valve Riset-riset tentang GMR dimulai setelah gejala GMR ditemukan pada tahun 1988 [2,3]. Penemuan GMR telah membuka peluang penerapannya dalam banyak bidang aplikasi. Beberapa divais yang bekerja berdasarkan fenomena GMR telah pula dikembangkan seperti: sensor medan magnet, perekaman magnetik pada hard disk drive, dan memori nonvolatile. Disamping itu, kebutuhan akan media penyimpanan magnetik berkapasitas besar namun berukuran kecil untuk komputer saat ini, telah menuntut pengembangan serius akan sensor medan magnet berbasis GMR.
Pendahuluan Meningkatnya kebutuhan untuk otomatisasi, keamanan dan kenyamanan di masa depan, menyebabkan jumlah sensor dan sistem sensor yang diperlukan juga meningkat. Pasar sensor dan aktuator dunia diproyeksi akan mengalami laju pertumbuhan sangat pesat di masa depan. Berdasarkan data dari IC Insights (Maret, 2012) [1] perkiraan pasar sensor/aktuator dunia dalam rentangan waktu 2011-2016 akan mengalami tingkat pertumbuhan tahunan gabungan (Compound Annual Growth Rate-CAGR) sebesar 16.4%.
Secara umum, basis fisika dari efek GMR berhubungan dengan kenyataan bahwa spin elektron memiliki dua nilai yang berbeda (yang dinamakan dengan spin up dan spin down). Ketika spin-spin ini melintasi material yang telah dimagnetisasi, salah satu jenis spin akan mengalami hamburan yang berbeda daripada yang dialami oleh jenis spin lainnya. Spin berpengaruh terhadap sifat konduksi dan sifat penerobosan (tunneling) elektron-elektron dalam logam feromagnetik. Perbedaan sifat konduksi mayoritas dan minoritas dari spin elektron dalam logam feromagnetik pertama kali diamati oleh Mott [4].
Salah satu sensor yang berkembang pesat adalah sensor magnetik berbasis giant magnetoresistance (GMR). Penelitian mengenai sensor magnetik berbasis GMR ini didasarkan pada prinsip hamburan elektron yang mengakibatkan adanya perubahan resistansi pada suatu konduktor bila diberi medan magnet luar. Efek magnetoresistance (MR) adalah perubahan resistansi dari logam atau divais bila berada dalam medan magnet. Material yang memperlihatkan nilai MR yang sangat besar dinamakan dengan giant magneto-resistance (GMR).
ISBN 978-602-19655-3-5
46
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2012 (SNIPS 2012) 7-8 Juni 2012, Bandung, Indonesia
Secara kualitatif, GMR dapat dijelaskan dengan menggunakan model Mott, yakni: pertama konduktivitas listrik dalam logam dapat diuraikan dalam hubungannya dengan dua saluran konduksi bebas; yang pertama berhubungan dengan elektron dengan spin up dan yang lain berhubungan dengan elektron dengan spin down. Kedua, di dalam logam feromagnetik laju hamburan spin up dan spin down elektron-elektron sangat berbeda. Berdasarkan hal tersebut, beberapa model telah diusulkan untuk menjelaskan efek GMR seperti model konduksi dua arus [2], model resistor [5,6] dan model Valet-Fert [7].
Pembuatan target Cu juga menggunakan reaksi padatan dari logam Cu dengan kemurnian 99,5%. Bahan dasar target FeMn terdiri serbuk logam Besi (Fe=99,99%) dan logam Mangan (Mn=99,99%). Komposisi molar FeMn adalah 50:50. Target yang dihasilkan selanjutnya disintering dalam kapsul pirex untuk menghindari oksidasi selama proses sintering. Substrat yang digunakan adalah silikon, Si (100). Substrat ini sering digunakan oleh para peneliti lainnya karena memiliki kelebihan antara lain: ukuran kecil, harga murah, memudahkan magnetisasi dalam arah tertentu, sifat listrik dan konduktivitas termalnya cocok untuk diintegrasikan dengan divais elektronik pada aplikasi sensor dibandingkan dengan substrat amorf seperti gelas. Sebelum dilakukan proses penumbuhan terlebih dahulu substrat silikon dibersihkan sesuai dengan proses standar yang dikembangkan oleh Werner Kern [12] di Radio Corporation of America (RCA) Laboratories.
Secara sederhana lapisan GMR terdiri dari dua lapisan feromagnetik (FM) yang dipisahkan oleh satu lapisan non magnetik (NM). Elektron merambat dalam semua arah dalam struktur lapisan GMR dan membentuk bola Fermi. Pemberian medan listrik dalam bidang lapisan GMR akan mempercepat semua elektron secara seragam dan akan menggeser bola Fermi sedikit demi sedikit, dan elektron terus mengalir ke segala arah. Sesekali elektron mengalami peristiwa hamburan dan kehilangan momentumnya dan memberikannya pada kisi melalui interaksi dengan fonon ataupun magnon. Kemudian elektron kembali dipercepat oleh medan listrik lagi dan dikatakan elektron mulai mengalami waktu hidup untuk hamburan berikutnya. Untuk keadaan magnetisasi paralel dalam lapisan FM, elektron spin up melewati lapisan tanpa dihamburkan sedangkan elektron dengan spin down mengalami hamburan kuat dalam kedua lapisan FM, sehingga menghasilkan resistivitas total yang kecil. Untuk keadaan magnetisasi antiparalel pada lapisan FM, baik elektron spin up maupun spin down akan mengalami hamburan kuat dalam satu lapisan FM, sehingga resistivitas total menjadi besar [8,9].
Parameter-parameter penumbuhan yakni; lama penumbuhan (divariasikan), laju aliran gas Argon, tekanan, tegangan dc dan temperatur penumbuhan.Parameter-parameter penumbuhan hasil optimasi didaftarkan dalam Tabel 1. Tabel 1. Parameter-parameter hasil optimasi. No
Parameter
Nilai
1.
Suhu
100 C
2.
Tekanan
0,52 Torr
3.
Laju aliran gas Argon
100 sccm
4.
Tegangan dc
600 V
o
Karakterisasi sampel dengan SEM (Scanning Electron Microscope) dan rasio magnetoresistansi dengan metoda linier fourpoint probe dengan arus tegak lurus bidang.
Berdasarkan penelitian sebelumnya tentang sandwich GMR [10,11] telah diperoleh karakteristik GMR yang baik. Dalam paper ini, akan dilaporkan efek GMR yang diamati dalam spin valve GMR FeMn/NiCoFe/Cu/NiCoFe. Spin valve merujuk kepada sifat bahwa magnetisasi dari lapisan bertindak sebagai sebuah valve untuk elektron-elektron konduksi.
Hasil dan Diskusi Penumbuhan lapisan tipis GMR berstruktur spin valve telah dilakukan dengan memvariasikan waktu deposisi. Struktur lapisan tipis GMR spin valve diperlihatkan dalam Gambar 1. Data SEM dan EDAX lapisan tipis GMR spin valve FeMn/NiCoFe/Cu/NiCoFe diperlihatkan dalam Gambar 2.
Eksperimen Sebelum penumbuhan lapisan tipis spin valve FeMn/NiCoFe/Fu/NiCoFe dilakukan pembuatan target sputtering yaitu NiCoFe, Cu dan FeMn. Pembuatan target NiCoFe dengan reaksi padatan, dengan perbandingan molar Ni:Co:Fe = 60:30:10. Bahan daar target terdiri dari serbuk logam Nikel (Ni=99,9%) serbuk logam Cobalt (Co=99,99%) dan logam Besi (Fe=99,99%).
ISBN 978-602-19655-3-5
penumbuhan
Dalam Gambar 2, terlihat bahwa permukaan lapisan GMR spin valve semakin halus dan homogen, dengan makin lamanya waktu penumbuhan. Perubahan resistansi terhadap medan magnet diperlihatkan dalam Gambar 3. Hal ini
47
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2012 (SNIPS 2012) 7-8 Juni 2012, Bandung, Indonesia
menandakan bahwa efek GMR telah muncul dalam lapisan tipis spin valve FeMn/NiCoFe/Cu/NiCoFe yang ditumbuhkan dengan metode opposed target magnetron sputtering.
Rasio GMR ditentukan dengan persamaan; GMR(%) ={(RH – R0)/(R0} x 100% dengan RH adalah resistansi ketika dalam medan magnet dan R0 adalah resistansi tanpa medan magnet. Nilai rasio GMR lapisan tipis spin valve FeMn/NiCoFe/Cu/NiCoFe yang diukur pada suhu ruang, diperlihatkan dalam Gambar 4. Dari Gambar 4 terlihat rasio GMR maksimum diperoleh sebesar 32,5%.
Gambar 1. Struktur GMR spin valve
Gambar 3. Kurva resistansi terhadap medan magnet dari lapisan tipis GMR spin valve FeMn/NiCoFe/Cu/NiCoFe
Gambar 4. Kurva rasio resistansi terhadap medan magnet dari lapisan tipis GMR spin valve FeMn/NiCoFe/Cu/NiCoFe Dalam Gambar 4 terlihat bahwa rasio GMR dipengaruhi oleh ketebalan masing-masing lapisan penyusun GMR. Hal ini, dapat dijelaskan secara teori bahwa kebergantungan rasio GMR terhadap ketebalan lapisan feromagnetik (FM), diungkapkan dengan persamaan [13]:
, & d FM *1 − exp$$ − ΔR % l FM & ΔR # + (d FM ) = $ ! R & d FM # % R "0 $$1 + ! d 0 !" %
#) !!' "( ,
(1)
sedangkan kebergantungan rasio GMR terhadap ketebalan lapisan non magnetik (NM) adalah: Gambar 2. Hasil SEM permukaan lapisan tipis GMR spin valve, FeMn/NiCoFe/Cu/NiCoFe/Si.
ISBN 978-602-19655-3-5
48
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2012 (SNIPS 2012) 7-8 Juni 2012, Bandung, Indonesia
, & d NM #) !!' *exp$$ − ΔR & ΔR # + % l NM "( (d NM ) = $ , ! R % R " 0 & d NM # $$1 + ! d 0 !" %
[5] Edwards, D.M., Mathon, J., Muniz, R.B. “A Resistor Network Theory of the Giant Magnetoresistance in Magnetic Superlattices”, IEEE Trans. Magn. 27, 3548-3552. (1991). [6] Mathon, J. “Exchange Interaction and Giant Magnetoresistance in Magnetic Multilayers”, Contemporary Physics, 32, 143-156. (1991). [7] Valet, T., dan Fert, A. “Theory of the perpendicular magnetoresistance in magnetic multilayers”, Phys. Rev. B. 48(10), 7099-7113. (1993). [8] Djamal. M, Ramli, Freddy Haryanto, and Khairurrijal. “GMR Biosensors for Clinical Diagnostics" in the book "Biosensors for Health, Environment and Biosecurity ", Edited by Pier Andrea Serra, ISBN: 978953-307-443-6. InTech, Rijeka, Croatia. pp. 149 – 164, (2011). [9] Djamal. M, dan Ramli, “Development of Sensors Based on Giant Magnetoresistance Material”, Procedia Engineering, 32, 60-68. (2012). [10] Ramli, Mitra Djamal and Khairurrijal, (2009). “Effect of Ferromagnetic Layer Thickness on the Giant Magnetoresistance Properties of NiCoFe/Cu/NiCoFe Sandwich”. Procceding 3rd Asian Physic Symposium (APS) 2009, ISBN: 978-979-98010-5-0, Bandung, 22-23 July 2009, 65-67. [11] Djamal. M, Ramli, Yulkifli and Khairurrijal, “Effect of Cu Layer Thickness on Giant Magnetoresistance Properties of NiCoFe/Cu/NiCoFe Sandwich”. Proceeding on ICCAS-SICE 2009 Fukuoka, Japan, August 18-21, 2009,. 365-268. (2009). [12] Kern, W. Overview and Evolution of Silicon Wafer Cleaning Technology, dalam Reinhardt, K.A, dan Kern, W., Eds, Handbook of Silicon Wafer Cleaning Technology 2nd ed, 718p, William Andrew Inc, New York. 2008.p. 3-77. [13] Dieny, B. “Giant magnetoresistance in spinvalve multilayers”, J. Magn. Magn. Mater. 136, 335-359. (1994).
(2)
dengan d(FM,NM) adalah ketebalan lapisan (feromagnetik, non magnetik), dan l(FM,NM) adalah lintasan bebas rata-rata elektron dalam lapisan (feromagnetik, non magnetik) dan & ΔR # adalah konstanta fenomenologis.
$ ! % R "0
Kesimpulan Telah ditumbuhkan material sensor GMR berstruktur spin valve FeMn/NiCoFe/Cu/NiCoFe dengan metode Opposed Target Magnetron Sputtering (OTMS) di atas substrat Si (100). Nilai rasio magnetoresistance sampel dipengaruhi oleh lama waktu penumbuhan, yang mana lama penumbuhan ini berpengaruh pada ketebalan lapisan. Nilai rasio GMR maksimum sebesar 32,5% pada suhu ruang diperoleh pada lama penumbuhan 15 menit. Dengan demikian, lapisan tipis spin valve FeMn/NiCoFe/Cu/NiCoFe yang telah dikembangkan ini, berpotensi untuk dijadikan sensor medan magnet. Ucapan terima kasih Terimakasih disampaikan kepada DP2M Dikti Depdiknas Republik Indonesia yang telah membiayai penelitian ini melalui dana Hibah Bersaing tahun 2012, No: 098/UN35.2/PG/2012. Referensi [1] IC Insight, “Growth of Opto, Sensor, Discrete Devices Outspace Ics”, Research Bulletin, edisi Maret 2012, dapat diunduh pada: www.icinsights.com. [2] Baibich, M. N. Broto, J. M. Fert. A, Van Nguyen Dau, Petroff. F, Etienne. P, Creuzet. G, Frederick. A and Cjazelas. J, “Giant magnetoresistance of (001) Fe/Cr(001) magnetic superlattice”. Phys. Rev. Lett., 61. 2472-2475 (1988). [3] Binasch, G., Grunberg, P., Saurenbach, F., dan Zinn, W., “Enhanced Magnetoresistance in Layered Magnetic Structures with Antiferromagnetic Interlayer Exchange”, Phy. Rev. B 39, 4828-4830. (1989). [4] Mott, N. F. “The Basis of the Electron Theory of Metals, With Special Reference to the Transition Metals”. Proceedings of the Physical Society of London Series A 62 (7), 416. (1949).
ISBN 978-602-19655-3-5
Ramli* Jurusan Fisika, Universitas Negeri Padang Jl. Prof.Dr. Hamka Air Tawar Padang, Indonesia
[email protected]
Yeni Darvina Jurusan Fisika Universitas Negeri Padang Jl. Prof.Dr. Hamka Air Tawar Padang, Indonesia
[email protected]
Yulkifli Jurusan Fisika Universitas Negeri Padang Jl. Prof.Dr. Hamka Air Tawar Padang, Indonesia
[email protected]
49
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2012 (SNIPS 2012) 7-8 Juni 2012, Bandung, Indonesia
Ambran hartono Fisika Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Indonesia.
[email protected]
Rahadi Wirawan Prodi Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Mataram, Indonesia.
[email protected]
Widyaningrum Indrasari Jurusan Fisika, Universitas Negeri Jakarta, Indonesia
[email protected]
Khairurrijal Kelompok Keahlian Fisika Material dan Elaktronik, FMIPA Institut Teknologi Bandung, Indonesia.
[email protected]
Mitra Djamal Kelompok Keahlian Fisika Teoritik Energi Tinggi dan Instrumentasi , FMIPA Institut Teknologi Bandung, Indonesia.
[email protected]
*Corresponding author
ISBN 978-602-19655-3-5
50
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2012 (SNIPS 2012) 7-8 Juni 2012, Bandung, Indonesia
Sintesis dan Karakterisasi Terpolimer )Akrilaamida/Akrilamido Metilpropana Sulfonat/Vinilnaftalena) Untuk Aplikasi Enhanced Oil Recovery (EOR) Mario Leonardus*, Cynthia Linaya Radiman Abstrak Sintesis terpolimer (akrilamida/akrilamido metilpropana sulfonat/vinilnaftalena) (PAAmV) telah berhasil dilakukan dengan reaksi kopolimerisasi emulsi antara akrilamida (A), natrium 2-akrilamido-2-metilpropana sulfonat (NaAMPS) dan vinilnaftalena (VN) dengan menggunakan natrium dodesilsulfat sebagai pengemulsi. Reaksi kopolimerisasi dilakukan pada temperatur 50 °C, pH 6-7, atmosfer N2 dan K2S2O8 sebagai inisiator. PAAmV yang dihasilkan adalah padatan yang berwarna putih. Pada perbandingan jumlah milimol A : NaAMPS : VN sebesar 17,60: 2,0425: 0,145 dihasilkan viskositas intrinsik sebesar 11,468 dL/g dan Mv 6 sebesar 2,539x10 . Hasil spektrofotometer FTIR menunjukkan adanya ikatan –CO–NH2, hal ini ditunjukkan -1 dengan munculnya 2 serapan spesifik dari ikatan ini, yaitu 1655,284 cm dari vibrasi tekuk N–H dan -1 -1 1685,045 cm dari vibrasi regang C=O. Vibrasi S=O ditunjukkan pada puncak 1190,646 cm dari vibrasi -1 -1 regang simetri dan 1040,221 cm dari vibrasi regang. Vibrasi C–H fenil ditunjukkan puncak 736,942 cm -1 dari vibrasi tekuk dan 3198,610 cm dari vibrasi regang. Pengukuran reologi dilakukan untuk mengetahui pengaruh temperatur, shear rate dan salinitas terhadap viskositas larutan PAAmV. Konsentrasi larutan PAAmV yang digunakan adalah 1000, 2000 dan 3000 ppm. Hasil pengukuran reologi menunjukkan ketahanan termal PAAmV 2000 ppm pada 50-90 °C lebih baik dibandingkan dengan konsentrasi lainnya, hal ini ditunjukkan dengan tidak menurunnya viskositas larutan. Stabilitas termal PAAmV juga dibandingkan dengan poliakrilamida (PAM) dan poliakrilamida terhidrolisis (HPAM) hasil sintesis serta HYBO yang merupakan polimer komersil. Pada temperatur 30 °C viskositas PAAmV lebih rendah dibandingkan HPAM dan HYBO, tetapi pada temperatur 90 °C viskositas PAAmV mendekati nilai viskositas HYBO. Hal ini menunjukkan bahwa PAAmV memiliki kestabilan termal yang cukup baik. PAAmV diuji ketahanannya terhadap salinitas menggunakan NaCl, KCl dan CaCl2, pada konsentrasi garam 5000-25000 ppm. Penurunan viskositas terbesar diakibatkan oleh CaCl2, dibandingkan NaCl dan KCl. Kata kunci: poliakrilamida termodifikasi, enhanced oil recovery (EOR). [6] salinitas dan temperatur tinggi. Selain itu Pendahuluan adanya gugus aromatik seperti stirena, naftalena pada rantai HPAM, akan menghasilkan polimer Enhanced oil recovery (EOR) merupakan dengan ketahanan termal yang lebih metode yang digunakan untuk meningkatkan [7,8,9,10,11] baik. . Modifikasi yang akan dilakukan perolehan minyak bumi. Salah satu teknik pada pada penelitian ini adalah dengan mensintesis metode EOR ialah pendesakan polimer. Polimer kopolimer (akrilamida/ akrilamido metilpropana yang paling banyak dikembangkan untuk aplikasi sulfonat/! vinilnaftalena), (PAAmV). PAAmV EOR adalah poliakrilamida terhidrolisis (HPAM). merupakan terpolimer dengan rantai utama HPAM memiliki beberapa karakteristik yang poliakrilamida yang memiliki gugus sulfat dan sesuai untuk aplikasi EOR, yaitu: peningkatan aromatik pada rantai utamanya. PAAmV yang viskositas sebanding dengan meningkatnya [1] dihasilkan kemudian dikarakterisasi gugus fungsi derajat hidrolisisnya; viskoelastis sebanding [2] dan sifat reologinya. Berdasarkan hasil dengan konsen-trasi stabilitas termal yang baik, karakterisasi ini maka dapat ditentukan gugus hidrofilik ne-gatif untuk mengurangi kemampuan PAAmV untuk digunakan pada absorbsi pada permukaan batuan, gugus aplikasi EOR. hidrofilik non-ionik yang menghasilkan stabilitas [3] kimia, dan menghasilkan larutan dengan Tinjauan Pustaka [4] viskositas yang tinggi. Polimer yang dapat digunakan untuk aplikasi [3] EOR adalah polimer yang larut di dalam air. Walaupun telah banyak digunakan untuk aplikasi Polimer jenis ini dapat diperoleh dari bahan alam EOR, HPAM memiliki beberapa kekurangan dan sintesis. Polimer sintetik merupakan jenis yaitu, tidak memiliki ketahanan terhadap suhu [5] polimer yang paling banyak dikembangkan dan salinitas yang tinggi. Oleh karena itu perlu karena dapat disintesis sesuai dengan kebudilakukan modifikasi struktur pada rantai tuhan dari masing-masing reservoir. Polimer poliakrilamida sehingga mening-katkan yang dapat digunakan pada metode EOR harus ketahanannya. Modifikasi gugus karbo-ksilat memiliki beberapa kriteria berikut, yaitu: tidak (COO ) menjadi sulfat (-SO3 ), mengha-silkan memiliki ikatan –O– pada rantai utamanya untuk polimer dengan viskositas yang lebih baik pada
ISBN 978-602-19655-3-5
51
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2012 (SNIPS 2012) 7-8 Juni 2012, Bandung, Indonesia
menghasilkan kekuatan termal yang baik; viskositas yang meningkat dengan meningkat[1] nya derajat hidrolisis ; viskoelastis yang seban[2] ding dengan konsentrasi ; stabilitas termal yang baik, gugus hidrofilik negatif untuk mengurangi absorbsi pada permukaan batuan, gugus hidrofilik non-ionik yang menghasilkan stabilitas [3] kimia , dan menghasilkan larutan dengan vis[4] kositas yang tinggi. Berdasarkan kriteria tersebut HPAM merupakan polimer yang paling tepat. HPAM merupakan polimer yang paling banyak digunakan untuk aplikasi EOR.
Tabel 1. Variasi jumlah mol A-NaAMPS-VN, viskositas intrinsik dan massa molekul relatif rata-rata viskositas. Variasi jumlah zat Η MV (mmol) Sampel A NaAMPS VN (dL/g) (x 10 6 ) I 17,60 1,0425 0,145 4,975 0,716 II 17,60 1,5425 0,145 6,784 1,146 III 17,60 2,0425 0,145 11,468 2,539 Tabel 2. Daftar puncak serapan FTIR PAAmV Puncak serapan -1 (cm ) Jenis vibrasi 736 Tekuk =CH 1040; 1116; 1190; Regang –SO3 1655 Regang C=O Tekuk –CH3, – 1315; 1350; 1412 CH2, –CH Regang –CH3, 2784; 2932 –CH2, –CH
Gambar 1. Reaksi sintesis PAAmV HPAM dihasilkan dengan menghidrolisis poliakrilamida, yaitu mengubah gugus amida (CONH2) menjadi gugus karboksil (COO ). Hidrolisis poliakrilamida akan menghasilkan muatan negatif pada rantai utama polimer dan memberikan efek yang besar pada sifat reologinya di dalam larutan. Pada salinitas yang rendah, muatan negatif pada rantai polimer akan saling bertolakan sehingga molekul polimer lebih terentang, keadaan ini akan menyebabkan polimer dapat membentuk lapisan ganda. Bentuk lapisan ganda dari rantai polimer ini akan menahan gaya tolakan yang dihasilkan sehingga mengurangi perentangan polimer.
Gambar 2. Spektrum FTIR PAAmV Penentuan massa molekul Massa molekul PAAmV ditentukan melalui pengukuran viskositas intrinsik larutan PAAmV di dalam akuades dan menggunakan persamaan -4 0,66 [η]=6,8x10 Mv . Nilai viskositas intrinsik tertinggi dihasilkan oleh Sampel III, sebesar 11,4680 dL/g. Viskositas intrinsik yang tinggi menunjukkan massa molekul yang besar, sehingga lebih efektif untuk meningkatkan viskositas air. Hasil analisis menunjukkan peningkatan viskositas larutan sebanding dengan jumlah mol NaAMPS yang digunakan sebagai reaktan. Semakin banyak NaAMPS yang digunakan maka semakin banyak pula gugus –SO3 yang terdapat di dalam rantai polimer, serta bertambahnya gugus hidrofilik –SO3 akan meningkatkan muatan negatif dari rantai PAAmV sehingga meningkatkan gaya tolakan antara muatan negatif –SO3 . Peningkatan gaya tolakan anionik ini akan membuat rantai lebih meruah dan meningkatkan viskositas PAAmV.
Hasil dan pembahasan Sintesis PAAmV Gambar 1 menunjukkan reaksi sintesis PAAmV, hasil yang diperoleh adalah Padatan putih. Sintesis dilakukan dengan variasi jumlah mol NaAMPS seperti yang terlihat pada Tabel 2. Hasil spektrofotometri FTIR PAAmV yang memiliki gugus hidrofilik dari -NH2 dan –SO3 , serta gugus hidrofobik dari naftalena. Gambar 2 menunjukkan puncak-puncak PAAmV, yaitu: 736 -1 -1 cm dan 3198 cm dari vibrasi =CH fenil; 1040 -1 -1 -1 cm , 1116 cm dan 1190 cm dari vi-brasi –SO3 -1 ; puncak 1543 cm dan puncak yang melebar -1 pada daerah 3000 - 3500 cm dari vibrasi –NH2.
ISBN 978-602-19655-3-5
52
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2012 (SNIPS 2012) 7-8 Juni 2012, Bandung, Indonesia
Pengaruh temperatur terhadap sifat reologi PAAmV Pengukuran pengaruh temperatur terhadap sifat reologi menggunakan variasi PAAmV pada konsentrasi 1000-3000 ppm dan temperatur 3090 °C. Berdasarkan Gambar 3. dapat terlihat bahwa semakin tinggi konsentrasi PAAmV, semakin tinggi nilai viskositasnya. Penurunan viskositas PAAmV sebanding dengan naiknya tem-peratur. Hal ini disebabkan karena pada temperatur yang tinggi molekul-molekul memiliki energi kinetik yang lebih tinggi sehingga rantai PAAmV lebih bebas bergerak dan melemahkan ikatan hidrogen dan asosiasi hidrofobik pada rantai PAAmV. Pada kondisi seperti ini PAAmV lebih mudah membentuk struktur koil dan menurunkan nilai viskositasnya. Selain itu penurunan viskositas ini juga disebabkan karena molekul air yang lebih dinamis di dalam larutan, sehingga mengakibatkan menurunnya viskositas larutan. Berdasarkan Gambar 3. dapat terlihat bahwa PAAmV 2000 ppm memiliki kestabilan termal yang cukup baik pada suhu 50-90 °C, yang ditunjukkan dengan tidak menurunnya viskositas larutan pada suhu tersebut.
Gambar 4. Pengaruh shear rate terhadap viskositas PAAmV (90 °C) Pengaruh salinitas terhadap sifat reologi PAAmV Ketahanan polimer terhadap salinitas merupakan hal yang penting untuk mengetahui kemampuan suatu polimer untuk aplikasi EOR. Kandungan garam ini berasal dari proses pembentukan lapisan bumi, dan jenis garamnya mirip dengan kandungan garam di laut. Terdapat 2 jenis garam yang dominan di dalam reservoir, + yaitu garam monovalen, Na , dan garam divalen, 2+ Ca . Pada penelitian ini garam yang digunakan adalah NaCl, KCl dan CaCl2. Anion Cl digunakan untuk menghilangkan perbedaan pengaruh anion terhadap sifat reologi larutan. Garam NaCl dan CaCl2 digunakan untuk mengetahui perbedaan pengaruh garam monovalen dan divalen. Sementara KCl digunakan untuk mengetahui pengaruh rapat muatan pada garam monovalen. Pada temperatur kamar dan shear rate yang rendah, adanya NaCl di dalam larutan PAAmV akan menurunkan viskositas dari 140 cP menjadi 25 cP. Vikositas ini akan naik sampai 80 cP pada konsentrasi 1,5 M kemudian turun dengan naiknya konsentrasi NaCl. Fenomena unik ini terjadi karena adanya NaCl di dalam larutan akan meningkatkan polaritas dari pelarut, peningkatan polaritas ini akan meningkatkan asosiasi hidrofobik rantai PAAmV sehingga menstabilkan gugu non polar di dalam PAAmV. Peningkatan asosiasi hidrofobik akan meningkatkan kekuatan interaksi antar rantai [9, 13, 17, 18] sehingga struktur lebih meruah. + + 2+ Molekul Na , K dan Ca akan melemahkan gaya Coulomb dan meningkatkan interaksi ionik antara –SO3 dan kation dari garam. Hal ini akan menyebabkan lemahnya ikatan hidrogen dan asosiasi hidrofobik intermolekul PAAmV sehingga rantai polimer akan lebih mudah membentuk struktur koil dan menurunkan viskositas larutan. Hal ini terlihat pada Gambar 5, viskositas PAAmV turun secara signifikan dengan adanya penambahan garam. Kemudian turun lebih sedikit pada konsentrasi garam sampai 15000 ppm, dan stabil sampai konsentrasi garam 25000 ppm. Garam CaCl2 adalah garam yang menyebabkan penurunan
Gambar 3. Pengaruh temperatur terhadap -1 viskositas PAAmV pada (shear rate 170,4 s ) Pengaruh shear rate terhadap sifat reologi PAAmV Analisis pengaruh shear rate pada sifat reologi -1 PAAmV dilakukan pada variasi 170,4 s , 340,8 -1 -1 -1 s , 511,2 s dan 1022,4 s di temperatur 90 °C. Gambar 4. menunjukkan terjadinya penurunan viskositas larutan pada shear rate yang semakin tinggi. Penurunan viskositas terjadi karena molekul di dalam larutan bergerak lebih dinamis, sehingga menurunkan kekuatan ikatan hidrogen dan asosiasi hidrofobik antar rantai PAAmV. Melemahnya interaksi tersebut mengakibatkan penurunan viskositas larutan.
ISBN 978-602-19655-3-5
53
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2012 (SNIPS 2012) 7-8 Juni 2012, Bandung, Indonesia
viskositas larutan terbesar. Hal ini disebabkan karena CaCl2 adalah garam divalen yang memiliki kation bermuatan +2 dan memiliki rapat muatan yang besar sehingga memiliki kemampuan untuk berinteraksi dengan rantai polielektrolit PAAmV lebih besar.
4. Taylor, K. C., and Nasr-El-Din, H. A., (1998), Water-soluble Hydrophobically Associating Polymers For Improved Oil Recovery: A Literature Review, Journal of Petroleum Science and Engineering, 19, 265-280. 5. Moradi-Araghi, A., and Doe,P. H., (1984), Hydrolysis and Precipitation of Polyacrylamide in Hard Brines at Elevated Temperatures, SPE Annual Technical Conference and Exhibition, Houston, 6. Rashidi, M., (2010), Physico-Chemistry Characterization of Sulfonated Polyacrylamide Polymers for Use in Polymer Flooding. Dissertation Department Chemistry University of Bergen, Bergen, 2736. 7. Zhong, C., Luo, P., Ye, Z., and Chen, H., (2009), Characterization and solution Properties of a Novel water-soluble Terpolymer For Enhanced Oil Recovery, Polymer Bulletin, 62, 79-89 8. Zhang, P., Wang, , P., Chen, W., Yu, H., Qi, Z., Li, K., (2011), Preparation and Solution Characteristics of a Novel Hydrophobically Associating Terpolymer for Enhanced Oil Recovery, J. Solution Chem, 40, 447-457 9. Zhong, C., Huang, R., Zhang, X., Dai, H., (2007), Synthesis, Characterization, and Solution Properties of an Acrylamide-Based Terpolymer with Butyl Styrene, Journal of Applied olymer Science, 103, 4027-4038 10. Zhong, C., Huang, R., Xu, J., (2008), Characterization, Solution Behavior, and Microstructure of a Hydrophobically Associating Nonionic Copolymer, J. Solution Chem, 37, 1277-1243 11. Zhong, C., Jiang, L., Wang, S., (2011), Association in Unsalted and Brine Solutions of a Water-Soluble Terpolymer with pVinylbenzyl-Terminated Octylphenoxy Poly (ethylene oxide), J. Solution Chem., 40,1735-1754 12. Gusmiarni, E., R., (2012), Sintesis Poliakrilamida dan Poliakrilamida Terhidrolisis Untuk Aplikasi Enhanced Oil Recovery, Tesis Program Studi Kimia ITB, Institut Teknologi Bandung
Gambar 5. Pengaruh salinitas terhadap visko-1 sitas PAAmV (70-75 °C, shear rate 170,4 s ) Kesimpulan PAAmV telah berhasil disintesis dengan kopolimerisasi emulsi. Sintesis PAAmV dengan jumlah mol NaAMPS 0,817 mmol, menghasilkan nilai viskositas intrinsik 11,4680 dl/g dan Mv 6 2,539x10 . Hasil pengukuran sifat reologi menunjukkan PAAmV memiliki ketahanan termal yang cukup baik pada suhu 50-90 °C. Pada penambahan garam, nilai viskositas PAAmV lebih rendah dibandingkan HYBO, tetapi memiliki ketahanan terhadap salinitas yang lebih bagus. Ucapan terima kasih Penulis mengucapkan terima kasih kepada Kemendikbud atas beasiswa Unggulan, Riset Konsorsium OGRINDO atas dukungan finansialnya pada penelitian ini. Penulis juga berterima kasih kepada Dr. Veinardi Suendo selaku ketua laboratorium kimia fisik atas kesempatan untuk melakukan analisis FTIR.
Referensi 1. Zeynali, M. E., and Rabbii, A., (2002), Alkaline Hydrolysis Of Polyacrylamide and Study On poly(acrylamide-co-sodium acrylate) Properties, Iranian Polymer Journal, 11 (4), 269-275 2. Feng, Z., Yukou, D., Ji'an, T., Xingchang, L., and Ping, Y., (2004), Characterization Of Viscoelastic Properties Of Hydrolyzed Polyacrylamide Using The Stress Recovery Experiment, Chinese Science Bulletin, 49, 780-784 3. Sheng, J. J., (2011), Modern Chemical Enhanced Oil Recovery, Elsevier Inc., Burlington, 100-103
ISBN 978-602-19655-3-5
Mario Leonardus Inorganic and Physical Chemistry Research Division Institut Teknologi Bandung
[email protected]
Cynthia Linaya Radiman Inorganic and Physical Chemistry Research Division Institut Teknologi Bandung
[email protected]
*Corresponding author
54
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2012 (SNIPS 2012) 7-8 Juni 2012, Bandung, Indonesia
Studi Eksperimen Soliton Hidrodinamik Tak Merambat Herfien Rediansyah*, Enjang Jaenal Mustopa Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk memunculkan fenomena soliton hidrodinamik tak merambat pada pandu gelombang berbentuk persegi. Soliton yang muncul merupakan solusi dari persamaan Schrodinger tak linier. Metode penelitian yang digunakan adalah metode resonansi. Getaran yang berasal dari pembangkit gelombang mekanik digunakan untuk menggetarkan pandu gelombang. Soliton muncul ketika frekuensi getar pandu gelombang beresonansi dengan frekuensi pembangkit gelombang. Hasil penelitian pada pandu gelombang berukuran 2,6 cm x 6 cm x 15 cm menunjukkan bahwa soliton akan muncul pada frekuensi 3,84 Hz. Soliton yang terbentuk memiliki profil secan hiperbolik dengan amplitudo 1,2 cm. Kata Kunci : soliton, persamaan Schrodinger, pandu gelombang, secan hiperbolik Pendahuluan Konsep “solitary wave” pertama kali diperkenalkan oleh seorang ilmuwan Inggris, J. S. Russell [1] untuk menjelaskan hasil pengamatannya berupa gelombang air gundukan tunggal simetris merambat sepanjang kanal sempit tanpa mengalami perubahan bentuk dan kecepatan . Beberapa tahun kemudian teori mengenai fenomena “solitary wave” dibangun oleh dua ilmuwan Belanda, Korteweg and de Vries yang dikenal dengan persamaan Koerteg De Vries (KDV). Persamaan KDV menggambarkan perambatan gelombang permukaan air pada kanal sempit dengan memperhitungkan efek dispersi. Sedangkan istilah “soliton” pertama kali diperkenalkan oleh Zabusky dan Kruskal pada tahun 1965 [1] untuk menggambarkan hasil simulasi numerik interaksi perambatan gelombang solitary setelah mengalami tumbukan (tanpa mengalami perubahan bentuk dan kecepatan). Lazzara dan Putterman [2] pertama kali menjelaskan fenomena “ soliton hidrodinamik tak merambat” pada penelitian mengenai gelombang air dalam pandu gelombang berbentuk persegi. Penelitian oleh Wu, Keolian dan Rudnick [3] berhasil merancang alat eksperimen untuk memunculkan soliton hidrodinamik tak merambat. Soliton tersebut berasal dari pandu gelombang berbentuk persegi yang dieksitasi gerak osilasi vertikal secara kontinyu. Mereka menggambarkan soliton sebagai gelombang yang terkurung, terlokalisasi dan melintang secara stasioner pada permukaan air. Gelombang tersebut ditandai dengan gerakan bergolak bolak-balik melintasi bak air pada dimensi panjang dari pandu gelombang.
ISBN xxx-x-xxxx-xxxx-x
Teori Hasil studi teoritik menunjukkan bahwa fenomena soliton tak merambat dapat dijelaskan menggunakan persamaan Schrodinger taklinear sebagai berikut [2][4] ∂φ ∂ 2φ 2 (1) 2iω 1 − c 2 21 + (ω12 − ω 2 )φ1 − A φ1 φ1 = 0 ∂t
dengan
∂x
c2 = dan
g T + kd (1 − T 2 ) 2k
[
]
(2)
1 A = k 4 (6T 4 − 5T 2 + 16 − 9T −2 ) . (3) 8
Dengan mengukur amplitudo dari soliton mereka menemukan bahwa bentuk soliton pada dimensi panjang dapat digambarkan sebagai fungsi secan hiperbolik sebagai penyelesaian persamaan Schrodinger tak linear. 1 1 ' 2 $ 2 - 2(ω12 − ω 2 )* 2 !- ω1 − ω * 2 ! . + ( + ( φ1 = + ( sec h &+ c 2 ( x # A , ) ) ! !, % "
(4)
Bentuk soliton pada persamaan (4) hanya dapat muncul jika gelombang pada fluida bergerak osilasi dengan frekuensi tertentu [5] f l ,m
# τ k 3) , 1 ) &, = * ' $* gk l ,m + 0 l ,m ' tanh k l ,m h ! * ' ρ0 ( + 2π ( $%+ !"
dengan nilai
12
(5)
k l ,m adalah [6]
k l ,m = π
(l / P )2 + (m / L )2 .
(6)
Simbol l dan m pada persamaan (5) berarti mode gelombang fluida, ρ 0 kerapatan energi
55
http://proceedings.fi.itb.ac.id/cps/
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2012 (SNIPS 2012) 7-8 Juni 2012, Bandung, Indonesia
permukaan,
τ0
Data penelitian menunjukkan profil gelombang yang terbentuk pada pandu gelombang adalah profil soliton. Berdasarkan teori fungsi gelombang untuk kasus getaran fluida tak merambat (gelobang berdiri) akan memiliki penyelesaian berbentuk fungsi secant hiperbolik (persamaan (4)). Untuk menunjukkan bentuk muka gelombang adalah fungsi secant hiperbolik maka perlu dilakukan pencocokan kurva pada data foto penelitian dengan mengacu kepada skala ukuran pandu gelombang yang digunakan. Pencocokan kurva dan pengolahan gambar menggunakan perangkat lunak MATLAB 11.0. Hasil pengolahan pencocokan kurva adalah sebagai berikut :
tegangan permukaan sedangkan
P dan L berarti panjang dan lebar pandu gelombang. Metode Metode yang digunakan pada ekesperimen ini dikenal dengan metode eksitasi [1][3][7], yaitu menggetarkan pandu gelombang persegi dengan sumber getaran berasal dari pembangkit gelombang mekanik dan frekuensi penggetar sama dengan frekuensi air di dalam pandu gelombang. Dalam metode ini pandu gelombang digetarkan secara vertikal sepanjang arah sumbu y. Pandu gelombang terbuat dari mika plastik 1mm dengan ukuran panjang 15 cm, lebar 2.6 cm dan tinggi 6 cm. Pandu gelombang dihubungkan ke atas pembangkit gelombang. Sinyal listrik dengan frekuensi tertentu berasal dari pembangkit sinyal lalu dihubungkan ke amplifier setelah itu diteruskan ke pembangkit gelombang. Frekuensi sinyal keluaran dari amplifier diamati menggunakan osiloskop.
Gambar 3. Hasil pencocokan kurva.
Hasil pencocokan kurva menunjukkan fungsi yang mendekati data hasil percobaan adalah dengan nilai y = 1,2 sech(x/0,6 008) cm
R 2 = 0,9435.
Gambar 3 dan fungsi pencocokan kurva menunjukkan bentuk secan hiperbolik yang merupakan solusi persamaan Schrodinger tak linear sesuai dengan persamaan (61). Profil soliton ini hanya muncul jika pandu gelombang bergetar dengan frekuensi resonansi yaitu 10,05 Hz yang didapatkan dari hasil eksperimen. Tetapi frekuensi ini bukan frekuensi resonansi tetapi frekuensi masukan dari pembangkit sinyal gelombang. Frekuensi resonansi dihitung dengan cara menganalisa video rekaman soliton pada pandu gelombang. Hasil analisa menunjukkan periode yang dibutuhkan gelombang pada soliton adalah 0,26 s. Sehingga frekuensinya dapat dihitung sebesar 3,84 Hz . Frekuensi resonansi dapat juga diprediksi menggunakan persamaan (5). Untuk menghitung prediksi frekuensi resonansi maka perlu dihitung terlebih dahulu nilai klm untuk mode (0,1). Dari persamaan (6)
Gambar 1 . Susunan alat percobaan
Hasil dan Diskusi Profil soliton pada air di dalam pandu gelombang hanya muncul jika pandu gelombang bergetar pada frekuensi resonansi . Untuk memunculkan profil soliton pandu gelombang digetarkan pada frekuensi lebih besar dari prediksi frekuensi resonansi (15-20 Hz) . Setelah itu dengan perlahan frekuensi dikurangi sampai terbentuk profil soliton pada air. Frekuensi inilah yang disebut frekuensi resonansi. Hasil penelitian menunjukkan pada pandu gelombang berukuran 15 cm x 2,6 cm x 6 cm yang berisi air profil soliton akan muncul pada frekuensi resonansi 10,05 Hz. Profil soliton yang didapatkan sebagai berikut :
didapatkan
nilai
memperhatikan
klm
=
nilai
ρ 0 (air ) = 1 kg/m 3 τ 0 (air) = 7200 dyne/cm dan
, h= 0,06 m maka
didapatkan frekuensi resonansi adalah flm = 3,57 Hz. Nilai frekuensi yang didapatkan terdapat perbedaan dengan hasil eksperimen dengan ralat sebesar 7,73 %. Hal ini kemungkinan disebabkan pengukuran frekuensi yang belum sempurna
Gambar 2. Profil soliton pada frekuensi 10,05 Hz
ISBN 978-602-19655-3-5
120,77 .Dengan m , g = 10 m/s2
56
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2012 (SNIPS 2012) 7-8 Juni 2012, Bandung, Indonesia
dikarenakan frekuensi yang diambil adalah frekuensi keluaran dari audio amplifier bukan frekuensi rill getaran pada pandu gelombang. Kesimpulan Pembangkit gelombang soliton hidrodinamik tak merambat dirangkai dari pandu gelombang yang terbuat dari mika plastik berukuran 15 cm x 2,6 cm x 6 cm dihubungkan dengan pembangkit gelombang mekanik yang akan bergetar dengan frekuensi sembarang. Profil soliton hidrodinamik tak merambat akan muncul ketika pandu gelombang bergetar pada frekuensi resonasi yaitu 3,84 Hz. Perhitungan teoritis menghasilkan frekuensi resonansi sebesar 3,57 Hz. Perbedaan antara hasil eksperimen dan perhitungan teoritis kemungkinan disebabkan ketidaktersediaaan sensor pengukur frekuensi getaran untuk pandu gelombang.
[4]
J.W. Miles. (1984). Parametrically Excited Solitary Waves. J. Fluid Mechanics. 148.
[5]
Elmore, William.C, Heald, Mark.A. (1969). Physics of Waves. Tokyo: McGraw-Hill Kogakusha, Ltd.
[6]
Kinsler, Lawrence E., Frey, Austin R., Coppens, Alan B., Sanders, James V. (1982). rd Fundamentals of Acoustics, 3 ed.. New York: John Willey & Sons.
[8]
Landau and Lifshitz. (1987). Fluid Mechanics. Oxford : Pergamon Press
Herfien Rediansyah* Magister Pengajaran Fisika Pangkalpinang) Institut Teknologi Bandung
[email protected]
Referensi [1] E.Winkler and J.Wu. (1990).An experiment to study localized excitations−Non propagating hydrodynamics solitons .Am. J. Phys. 58.11
2011
Enjang Jaenal Mustopa Physics of Complex System Division Institut Teknologi Bandung
[email protected]
A. Lazzara and S. Putterman. (1984). Theory of Non Propagating Hydrodynamics Solitons. . Phys. Rev. Letter. 103A. 1-2
ISBN 978-602-19655-3-5
J. Wu et al. (1984). Observation of Non Propagating Hydrodynamics Solitons. Phys. Rev. Letter. 52. 16
[7] A.B. Nassar. (1998). Build Your Own Soliton Generator. The Physics Teacher. 36
Ucapan terima kasih Kepada Dr. Nenny Kurniasih yang telah membantu dalam hal sarana prasarana penelitian. Prof Guus Steling (TU Delft University) yang telah bersedia berbagi koleksi jurnal ilmiah.
[2]
[3]
*Corresponding author
57
(SMK
N
2
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2012 (SNIPS 2012) 7-8 Juni 2012, Bandung, Indonesia
Identitas Warna Kompleks Besi (II) dengan Ligan Amino Triazol dan Anion Nitrat dalam Film nata de coco Ina Yulianti* dan Djulia Onggo Abstrak Kompleks Besi(II) dengan ligan amino-triazol sudah banyak diteliti karena warnanya yang sensitif terhadap temperatur sehingga dapat dimanfaatkan sebagai material cerdas. Perubahan warna tersebut berkaitan dengan sifat magnetik, pada temperatur ruang umumnya kompleks tersebut berwarna violet dan bersifat diamagnetik, sedangkan ketika temperatur ditingkatkan menjadi tidak berwarna dan bersifat paramagnetik. Perubahan warna kompleks pada film nata de coco menghasilkan efek termokromik yang bersifat reversibel. Film Fe(NH2-trz)3(NO3)2 hasil sintesa secara kasat mata berwarna violet pada temperatur ruang, namun warna tersebut belum bisa mencirikan identitas warna kompleks dengan pasti. Identitas warna suatu material dapat diketahui dari komposisi persentase komponen warna primernya red, green, blue yang disingkat sebagai RGB. Pada penelitian ini, identitas warna kompleks Fe(NH2-trz)3(NO3)2 dapat terukur dengan cara merekam perubahan warna kompleks tersebut ketika pemanasan dan pendinginan dengan menggunakan video yang dikonversi menjadi foto dan dianalisis dengan program Image J.Server. Hasil pengukuran yang diperoleh menunjukan bahwa pada posisi pengambilan foto x=153, y=183 dengan w=10 o dan h=25, identitas warna RGB kompleks Fe(NH2-trz)3(NO3)2 adalah (64,44,31) pada temperatur ruang 30 C o sedangkan pada temperatur tinggi 95 C diperoleh (67,59,36) dengan selisih ∆R=3%, ∆G= 15% dan ∆B=5%. Dari data tersebut komponen green menunjukkan deviasi paling besar karena pengaruh temperatur. Kata-kata kunci: Identitas warna, Kompleks Besi(II), Nata de coco. Pendahuluan Kompleks besi(II) dengan ligan turunan triazol umumnya bersifat diamagnetik pada temperatur tertentu dan berubah menjadi paramagnetik ketika dipanaskan sehingga dapat dimanfaatkan sebagai sensor suhu. Perubahan ini dipengaruhi oleh jenis ligan, anion, juga molekul air dan disertai perubahan warna yang tajam, yaitu dari violet menjadi tidak berwarna ketika dipanaskan.[1-2]. Kompleks yang telah dibuat umumnya berupa serbuk, sehingga memerlukan bahan baku yang relatif besar. Upaya untuk menghemat bahan kimia tetapi masih menunjukkan karakteristik kompleks, telah dilakukan sintesis kompleks dalam bentuk film.[3-5]
Eksperimental Bahan yang digunakan adalah besi(II)nitrat yang diperoleh dari reaksi antara larutan besi sulfat dan larutan barium nitrat dalam air. Ligan amino-triazol (Aldrich) diperoleh dalam keadaan murni, dilarutkan dalam metanol. Nata de coco dibuat dari fermentasi air kelapa dengan bakteri Acetobacter xylinum.[7]. Kompleks besi(II) tersebut disintesis dengan cara merendam nata de coco dalam larutan besi(II) nitrat dengan pelarut air selama 2 jam, dilanjutkan perendaman dalam larutan ligan selama 1 jam supaya dihasilkan film yang lentur dan cepat kering. Proses perendaman disertai dengan pengadukan menggunakan pengaduk magnet supaya kompleks Fe(NH2-trz)3(NO3)2 yang terbentuk tersebar merata kedalam pori-pori nata de coco. Pengeringan dilakukan dengan cara membiarkannya di udara terbuka selama 1 malam, kemudian nata de coco ditekan dengan Hidrolic Press supaya terbentuk film kering.
Pada penelitian ini disintesis kompleks besi(II) dengan ligan 4-Amino-4H-1,2,4-triazol (C2N4H4) dan anion nitrat didalam biopolimer nata de coco. Kompleks besi(II)-aminotriazolnitrat yang dihasilkan berbentuk film tipis yang berwarna violet pada temperatur ruang. Identitas warna kompleks dapat ditentukan berdasarkan perbandingan warna komponen red (R), green (G) dan blue (B) sedangkan berdasarkan hasil pengolahan data, warna violet pada kompleks besi(II)nitrat tersebut hanya ditentukan oleh perbandingan warna komponen red dan blue [6]
ISBN 978-602-19655-3-5
Uji termokromik warna kompleks, dilakukan dengan menaruh film dalam tabung reaksi yang direndam dalam silikon oil yang dipanaskan. Perubahan warna direkam menggunakan video pada berbagai temperatur kemudian dikonversi menjadi foto dengan program Xilisoft Video Converter Ultimate 6. Indeks warna kompleks diperoleh dari foto dengan menggunakan program Image J Server dalam satuan persen RGB.[8]. Prosedur yang dilakukan, foto kompleks dicrop pada posisi x=153, y=183,
58
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2012 (SNIPS 2012) 7-8 Juni 2012, Bandung, Indonesia
dengan bentuk persegi panjang dan area maksimal, h=10, w=25. Setelah itu RGB dibaca dari ‘‘Analyze → Colour → Hystogram’’. Nilai RGB dalam rentang 0-255 dikonversi dalam persen masing-masing RGB, dengan menganggap nilai 255=100%.
Kompleks film kering yang terbentuk, diukur indeks RGBnya pada suhu ruang, diperoleh nilai 64, 44, 31. Indeks ini merupakan identitas dari kompleks Fe(NH2-trz)3(NO3)2 dalam nata de coco yang berwarna violet. Uji efek termokromik film Fe(NH2-trz)3(NO3)2 o dilakukan berulang kali dari suhu ruang 30 C o o sampai 95 C. Pada suhu 30 C film berwarna violet dan menjadi tidak berwarna apabila suhu o dinaikkan hingga 95 C. Gambar IV menunjukkan perubahan warna kompleks Fe(NH2-trz)3(NO3)2 o o pada 30 C dan 95 C.
. Hasil dan diskusi Ketika nata de coco direndam dalam besi(II) nitrat, tidak terlihat perubahan warna karena larutan besi(II) berwarna hijau muda sehingga tidak teramati. Tetapi setelah direndam dalam larutan ligan terlihat warna violet. Ini membuktikan kompleks besi(II) triazol nitrat telah terbentuk di dalam biopolimer. Setelah kering, warna kompleks lebih gelap dan merata ke seluruh film. Gambar I menunjukkan nata de coco yg telah direndam besi(II)nitrat, Gambar II setelah direndam amino-triazol. Gambar III menunjukkan film yang sudah kering
(a)
(b)
Gambar IV Film Fe(NH2-trz)3(NO3)2 pada o
o
(a) 30 C dan (b) 95 C Proses pemanasan dan pendinginan telah dilakukan 3x dan diperoleh data RGB yang relatif konstan. Indeks ini menunjukkan karakterisasi warna kompleks Fe(NH2-trz)3(NO3)2. Gambar I Nata de coco setelah direndam besi(II)
Persen RGB Fe(NH2-trz)3(NO3)2 dirangkum pada Tabel I. Tabel I Data Indeks RGB selama 3 siklus Siklus pemanasan, pendinginan Ke-1 Ke-2 Ke-3
Indeks RGB o 30 C 68,46,37 63,42,30
Indeks RGB o 95 C 72,58,41 66,60,36
64,44,32
68,59,36
Pada siklus ke-1, diperoleh pergeseran nilai RGB relatif lebih tinggi dibandingkan dengan siklus ke-2 dan ke-3. Ini disebabkan karena pada siklus ke-1, film tersebut masih mengandung molekul air. Pada siklus ke-2 dan ke-3, nilai indeks RGB yang diamati, relatif konstan. Dari 2 data terakhir yang dirata-ratakan, diperoleh ∆R=3%, ∆G= 15% dan ∆B=5%. Jadi peningkatan paling besar ditunjukkan oleh komponen warna green.
Gambar II Nata de coco setelah direndam amino-triazol
Kesimpulan Kompleks besi(II) nitrat dengan ligan triazol telah berhasil disintesis dalam biopolimer nata
Gambar III Film Fe(NH2-trz)3( NO3)2 kering
ISBN 978-602-19655-3-5
59
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2012 (SNIPS 2012) 7-8 Juni 2012, Bandung, Indonesia
de coco. Kompleks dalam bentuk film tersebut berwarna violet pada suhu ruang dengan indeks % RGB 64,44,31. Ketika dipanaskan warna kompleks tersebut berubah menjadi tidak berwarna dengan indeks % RGB 67,59,36. Perubahan warna dari violet menjadi tidak berwarna disebabkan karena peningkatan komponen warna green yang besar
image analysis”, J Chem Ed, 86, (2009), p. 617-620 Ina Yulianti* Magister Pengajaran Kimia FMIPA Institut Teknologi Bandung
[email protected]
Djulia Onggo
Ucapan terima kasih
Physical Chemistry and Inorganic Research Group Faculty of Mathematics and Natural Sciences Institut Teknologi Bandung
[email protected]
Penulis mengucapkan terima kasih kepada kemendiknas atas program beasiswa unggulan dan dukungan dana dari Riset Hibah Inovasi ITB no 254/I.1.C01/TL/201.
*Corresponding author
Referensi [1] P. Gutlich and H.A Goodwin, “Spincrossover in Transition Metal Compounds I”, Top Curr Chem, Springer Verlag Berlin Heidelberg, (2004) p. 3-47 [2] L.G Lavrenova, O.G Shakirova, V.N Ikorskii, V.A Varnek, L.A Sheludyakova and S.V 5 Larionov, “1A1 ↔ T2 Spin Transition in New Termochromic Iron (II) Complexes with 1,2,4-Triazole and 4-amino-1,2,4-Triazol”, Coord. Chem.,29,(2003) p. 22-27 [3] A. Nakamoto, Y. Ono, N. Kojima, D. Matsumura and T. Yokoyama,“Spin II Crossover Complex Film, [Fe (H-trz)3]Nafion, with a Spin Transition around Room Temperature”, Chem, Lett.32, (2003), p. 336-337 [4] D. Onggo, J.A. Real, I. Mulyani, I. Syahbanu and M. Aminah, "The Study of Thermal Spin Crossover Tris-amino Triazole Iron(II) complex in Natural Biopolymer Nata de coco” New Trends in Coordination, Bioinorganic, and Applied Inorganic Chemistry, 10, (2011) p. 425-430 [5] Sumarno, “Studi Komposit Besi (II)-HtrzNata De Coco Untuk Pembelajaran Kimia Kompleks”, Tesis Program Studi Magister Pengajaran Kimia, ITB (2011) [6] R.H. Petrucci, W. S. Harwood, F.G. Herring and J. D. Madura , “General Chemistry Principles and Modern Applications”, 9th ed, (2007) p. 1020-1023 [7] C. Radiman, G. Yuliani,”Coconut water as a potential resource for cellulose acetate membrane preparation”, Polym Int, 57, (2008), p. 502-508 * [8] D. J. Soldat , P. Barak, and B. J. Lepore, “Microscale colorimetric analysis using a desktop scanner and automated digital
ISBN 978-602-19655-3-5
60
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2012 (SNIPS 2012) 7-8 Juni 2012, Bandung, Indonesia
Penentuan Massa Kompleks Besi(II) perklorat dengan Ligan Turunan Triazol yang Terkandung dalam Biopolimer Nata de coco Oktavina Kartika Putri* dan Djulia Onggo Abstrak Kompleks besi(II) triazol sudah banyak diteliti karena memiliki sifat yang menarik yaitu dapat berubah perilaku kemagnetannya ketika terdapat pengaruh eksternal seperti suhu. Selain itu, perubahan perilaku kemagnetan tersebut dapat diidentifikasi secara visual karena diikuti dengan adanya perubahan warna. Pada umumnya, kompleks tersebut berwarna violet pada saat bersifat diamagnetik dan berwarna putih pada saat bersifat paramagnetik. Hal yang lebih menarik, perubahan sifat kemagnetan tersebut terjadi secara reversibel di sekitar suhu ruang. Pada penelitian ini, disintesis kompleks besi(II) perklorat dengan dua ligan turunan triazol, yaitu H-trz dan NH2-trz. Kompleks ini disintesis dalam biopolimer nata de coco yang telah diketahui berfungsi sebagai matriks dalam pembentukan kompleks. Masalah yang ditemui pada penelitian adalah jumlah kompleks yang terbentuk di dalam biopolimer nata de coco sukar diketahui dengan pasti karena massa dan ketebalan biopolimer tidak seragam. Massa kompleks dalam biopolimer dapat ditentukan secara tidak langsung dari pengukuran sifat magnetik. Massa rata-rata kompleks dalam biopolimer kering 2 yang diperoleh pada penelitian ini adalah 2 mg/cm untuk kompleks [Fe(H-trz)3](ClO4)2 dengan ketebalan 2 rata-rata biopolimer kering 0,131 mm dan 3 mg/cm untuk kompleks [Fe(NH2-trz)3](ClO4)2 dengan ketebalan rata-rata biopolimer kering 0,085 mm. Kata-kata kunci: massa kompleks, kompleks besi(II) perklorat, ligan turunan triazol, nata de coco perhatian [6]. Kompleks besi(II) dengan ligan berbasis triazol dapat mengalami transisi spin akibat adanya perubahan suhu [7]. Kompleks ini juga dapat mengalami transisi spin akibat adanya perubahan tekanan dan kisi pelarut [8]. Kompleks oktahedral besi(II) menunjukkan perubahan spin dari diamagnetik low-spin (LS) 1 6 dengan keadaan elektronik [S = 0, A2 (t2g )] 5 menjadi paramagnetik high-spin (HS) [S = 2, T2 4 2 (t2g eg )] pada pemanasan karena adanya kontribusi entropi yang lebih besar dari keadaan high-spin (HS) [9].
Pendahuluan Nata de coco adalah selulosa bakterial yang dihasilkan dari fermentasi air kelapa oleh bakteri Acetobacter xylinum [1]. Serat dalam biopolimer ini dapat berfungsi sebagai matriks yang dapat membangun nanopartikel logam yang stabil, memiliki ketahanan mekanik yang tinggi, dan memiliki sifat pemuaian termal yang rendah. Selain itu, serat tersebut dapat digunakan untuk mengatur ukuran nanopartikel logam [2]. Nanopori dalam serat selulosa ini dapat berfungsi mengurangi produk samping yang kurang penting dalam proses reaksi [3]. Biopolimer ini dapat digunakan juga sebagai matriks reaksi pembentukan kompleks [4]. Kompleks yang pernah disintesis dalam nata de coco adalah kompleks [Fe(H-trz)3](BF4)2 [4] dan [Fe(NH2-trz)3]SO4 [5]. Kedua kompleks tersebut termasuk dalam kategori kompleks spin crossover. Kompleks besi(II) dengan ligan turunan triazol tersebut menarik perhatian karena menunjukkan sifat spin crossover antara keadaan spin rendah dan spin tinggi dengan disertai perubahan warna yang signifikan di sekitar temperatur ruang [5]. Transisi magnetik dan optik secara tiba-tiba yang ditunjukkan oleh senyawa yang dapat mengalami spin crossover menyebabkan senyawa tersebut berpotensi untuk diaplikasikan pada bidang optik maupun penyimpan data. Untuk tujuan tersebut, polimer koordinasi berbasis triazol sangat menarik ISBN 978-602-19655-3-5
Jumlah (massa) kompleks dalam nata de coco sukar ditentukan karena nata de coco memiliki massa dan ketebalan yang beragam. Dengan asumsi kompleks yang disintesis dalam nata de coco sama dengan kompleks yang disintesis tanpa nata de coco (serbuk), maka massa kompleks dapat ditentukan secara tidak langsung dari kerentanan magnetik serbuknya. Pada penelitian ini, penentuan massa kompleks diawali dengan sintesis kompleks besi(II) perklorat dengan ligan turunan triazol baik serbuk maupun dalam nata de coco. Kemudian dilakukan pengukuran kerentanan magnetik keduanya. Cara penentuan massa kompleks akan dijelaskan dalam bagian Eksperimen dan hasilnya akan dibicarakan dalam bagian Hasil dan diskusi.
61
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2012 (SNIPS 2012) 7-8 Juni 2012, Bandung, Indonesia
Eksperimen
(3)
χ A = χm + χ D
Bahan-bahan. Pereaksi-pereaksi yang digunakan adalah: Fe(ClO4)2.6H2O, 1,2,4-4Htriazol (C2H3N3) atau sering disebut H-trz, 4amino-1,2,4-triazol (C2H4N4) atau sering disebut NH2-trz, dan asam askorbat. Bahan-bahan tersebut digunakan langsung tanpa pemurnian lebih lanjut.
Persamaan (3) digunakan untuk menghitung nilai kerentanan terkoreksi, XA, dengan XD merupakan nilai koreksi diamagnetik. Karena setiap spesi kimia mengandung elektron berpasangan, maka sangat penting untuk melakukan koreksi terhadap sifat diamagnetik yang dihasilkan.
Sintesis kompleks [Fe(H-trz)3](ClO4)2 dalam matriks biopolimer nata de coco. Biopolimer nata de coco disintesis berdasarkan metode yang telah dilaporkan [1]. Biopolimer ini dipotong dengan ukuran 3 cm x 3 cm, kemudian dicuci dengan air, dan dilap permukaannya dengan kertas saring. Setelah itu, biopolimer direndam dengan posisi tergantung selama 2 jam dalam larutan Fe(ClO4)2 (1,82 gram dalam 50 mL air) yang telah ditambahkan 0,18 g asam askorbat sebelumnya. Setelah dua jam biopolimer diangkat dan permukaannya dibilas dengan air diikuti dengan perendaman kembali dalam larutan H-trz (1,21 gram dalam 50 mL metanol) selama satu jam. Kemudian, permukaan biopolimer dibilas dengan metanol, dikeringkan semalaman, dan dipres untuk mengeluarkan kandungan airnya. Larutan Fe(ClO4)2 dan larutan H-trz sisa perendaman direaksikan untuk memperoleh serbuk kompleks [Fe(H-trz)3](ClO4)2 sebagai pembanding.
µeff = 2.83 × (χ A × T )
(1)
Gambar 1. Kompleks [Fe(H-trz)3](ClO4)2 dalam matriks biopolimer nata de coco.
(2)
Sintesis kompleks besi(II) perklorat dengan ligan NH2-trz juga menggunakan perbandingan ion besi dan ligan sebesar 1:3,5 dengan alasan yang sama pada sintesis kompleks dengan ligan H-trz. Setelah proses perendaman dalam larutan ion pusat Fe(ClO4)2 dan larutan ligan NH2-trz,
Persamaan (2) digunakan untuk menghitung nilai kerentanan molar, Xm, dengan Mr merupakan massa molar senyawa yang diukur. ISBN 978-602-19655-3-5
(4)
Sintesis kompleks besi(II) perklorat dengan ligan H-trz dan NH2-trz dalam biopolimer nata de coco telah berhasil disintesis. Perbandingan mol ion besi dan ligan yang digunakan adalah 1:3,5 dengan tujuan agar reaksi terjadi secara sempurna dengan memperbesar jumlah ligan. Setelah proses perendaman dalam larutan ion pusat Fe(ClO4)2 dan larutan ligan H-trz, biopolimer berwarna sedikit violet. Warna tersebut semakin jelas seiring dengan bertambah keringnya biopolimer. Untuk meyakinkan bahwa warna violet tersebut disebabkan oleh adanya senyawa kompleks [Fe(H-trz)3](ClO4)2, dilakukan uji pemanasan dalam penangas air. Pada suhu ruang, biopolimer berwarna violet seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1, dan setelah pemanasan, warna biopolimer berubah menjadi 0 putih (pada suhu sekitar 75-80 C). Hal ini menunjukkan bahwa sifat kemagnetan kompleks tersebut dipengaruhi oleh adanya perubahan suhu.
Persamaan (1) digunakan untuk menghitung nilai kerentanan massa, Xg, dengan Cbal merupakan tetapan kalibrasi neraca sebesar 1,1.
χ m = χ g × Mr
BM
Hasil dan diskusi
Analisis. MSB (Magnetic Susceptibility Balance) digunakan untuk menentukan kerentanan magnet kompleks dalam bentuk serbuk maupun dalam bentuk film tipis. Perhitungan untuk mendapatkan nilai momen magnetik dilakukan dengan menggunakan persamaan-persamaan sebagai berikut:
Cbal × L × (R − R0 ) 10 9 × (M − M 0 )
2
Persamaan (4) digunakan untuk menghitung nilai momen magnetik sampel, µeff dengan T merupakan temperatur ruang pada saat pengukuran (K).
Sintesis kompleks [Fe(NH2-trz)3](ClO4)2 dalam matriks biopolimer nata de coco. Langkah-langkah sintesis kompleks ini sama dengan langkah-langkah yang dilakukan dalam sintesis kompleks [Fe(H-trz)3](ClO4)2. Tetapi, larutan ligan yang digunakan adalah larutan NH2-trz (1,47 gram dalam 50 mL metanol).
χg =
1
62
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2012 (SNIPS 2012) 7-8 Juni 2012, Bandung, Indonesia
biopolimer tetap berwarna putih. Pada saat kering, biopolimer tersebut berwarna putih kekuningan seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2. Karena kompleks tersebut tidak dapat mengalami perubahan warna pada pemanasan, maka untuk meyakinkan apakah kompleks [Fe(NH2-trz)3](ClO4)2 telah berhasil disintesis dalam biopolimer nata de coco, dilakukan pendinginan di bawah suhu ruang. Hasilnya, warna biopolimer kering dengan senyawa kompleks [Fe(NH2-trz)3](ClO4)2 yang semula putih kekuningan tersebut berubah warna menjadi violet. Cara lain yang dapat digunakan untuk memastikan suatu kompleks telah berhasil disintesis dalam biopolimer nata de coco adalah dengan menentukan sifat kemagnetannya.
perhitungan. Cara perhitungannya sama dengan tahapan perhitungan untuk mendapatkan nilai momen magnetik yang telah dijelaskan pada bagian Eksperimen. Tetapi, untuk menentukan massa, langkah perhitungan dibalik dimulai dengan menentukan nilai kerentanan terkoreksi, XA, dengan Persamaan (4). Dilanjutkan dengan menghitung nilai kerentanan molar, Xm, dengan Persamaan (3), lalu menghitung nilai kerentanan massa, Xg, dengan Persamaan (2), hingga diperoleh nilai M-M0 yang dihitung dengan Persamaan (1). M-M0 yang didapatkan menunjukkan massa kompleks yang terbentuk dalam biopolimer nata de coco. Hasil penelitian menunjukkan massa rata-rata senyawa kompleks [Fe(H-trz)3](ClO4)2 dalam biopolimer 2 kering adalah 2 mg/cm sedangkan massa ratarata kompleks [Fe(NH2-trz)3](ClO4)2 dalam 2 biopolimer kering adalah 3 mg/cm . Massa tersebut diperoleh dari hasil rata-rata massa kompleks melalui perhitungan dari R-R0 pada film dengan acuan kompleks serbuk. Nilai R-R0 dan massa masing-masing kompleks dalam biopolimer nata de coco ditunjukkan dalam Tabel 2. Tabel 2. Nilai R-R0 dan massa kompleks dalam membran nata de coco.
Gambar 2. Kompleks [Fe(NH2-trz)3](ClO4)2 dalam matriks biopolimer nata de coco. Kerentanan magnet kompleks besi(II) perklorat dengan ligan H-trz dan NH2-trz dalam bentu serbuk maupun film tipis ditentukan dengan MSB (Magnetic Susceptibility Balance). Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa kompleks dengan ligan H-trz bersifat diamagnetik. Sedangkan kompleks dengan ligan NH2-trz bersifat paramagnetik. Nilai momen magnetik serbuk [Fe(H-trz)3](ClO4)2 adalah 1,6 BM sedangkan nilai momen magnetik serbuk [Fe(NH2-trz)3](ClO4)2 adalah 5,2 BM, seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1. Data ini dapat digunakan untuk menentukan massa kompleks dalam biopolimer nata de coco. Massa kompleks dalam biopolimer tidak dapat ditentukan secara langsung karena ketebalan dan massanya sangat beragam.
(R-R0)
µeff (BM)
0,0753
51
1,6
0,0483
479
5,2
(M-M0)
[Fe(H-trz)3](ClO4)2 [Fe(NH2-trz)3](ClO4)2
Pada kompleks dilakukan Sebagai magnetik,
Massa* (gram)
Massa 2 (mg/cm )
[Fe(H-trz)3](ClO4)2
9
0,014
2,24
9
0,014
2,24
6
0,009
1,44
182
0,023
3,68
250
0,032
5,12
200
0,025
4,00
172
0,022
3,52
67
0,008
1,28
34
0,004
0,64
95
0,012
1,92
59
0,007
1,12 2
Nilai massa dengan satuan mg/cm tersebut diperoleh dari pembagian massa (gram) dengan luas permukaan biopolimer yang diukur yaitu 2 6,25 cm . Kesimpulan Senyawa kompleks besi(II) perklorat dengan ligan H-trz dan NH2-trz dalam matriks biopolimer nata de coco berhasil disintesis dengan menggunakan perbandingan mol ion besi dan ligan 1:3,5. Biopolimer nata de coco kering berisi kompleks Fe(H-trz)3(ClO4)2 berwarna violet dan bersifat diamagnetik. Sedangkan biopolimer kering berisi kompleks Fe(NH2-trz)3(ClO4)2 berwarna putih tulang dan bersifat paramagnetik. Massa kompleks dalam biopolimer ditentukan
penelitian ini, penentuan massa dalam biopolimer nata de coco dengan pengukuran sifat magnetik. acuan, digunakan nilai momen µeff kompleks serbuk dalam
ISBN 978-602-19655-3-5
R-R0
[Fe(NH2-trz)3](ClO4)2
Tabel 1. Hasil pengukuran dan penentuan sifat magnetik kompleks serbuk. Serbuk
Biopolimer
63
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2012 (SNIPS 2012) 7-8 Juni 2012, Bandung, Indonesia
secara tidak langsung dari pengukuran sifat magnetik. Massa rata-rata senyawa kompleks dalam biopolimer kering yang diperoleh pada 2 penelitian ini adalah 2 mg/cm untuk kompleks [Fe(H-trz)3](ClO4)2 dengan ketebalan rata-rata 2 biopolimer kering 0,131 mm dan 3 mg/cm untuk kompleks [Fe(NH2-trz)3](ClO4)2 dengan ketebalan rata-rata biopolimer kering 0,085 mm.
Kahn, V. Ksenofontov, G. Levchenko, and P. Gütlich, “Influences of Temperature, Pressure, and Lattice Solvents on the Spin Transition Regime of the Polymeric Compound [Fe(hyetrz)3]A2.3H2O (hyetrz = 4-(2’-hydroxyethyl)-1,2,4-triazole and A = 3-nitrophenylsulfonate)”, Chem. Mater., 10, 2426-2433 (1998) [9] F. Volatron, L. Catala, E. Rivière, A. Gloter, O. Stéphan, and T. Mallah, “Spin-Crossover Coordination Nanoparticles”, Inorg. Chem., 47, 6584-6586 (2008)
Ucapan terima kasih Penulis mengucapkan terima kasih kepada Program Magister Kimia, FMIPA ITB dan Hibah Kompetensi No. 821a/I.1.C01/PL/2011 atas dukungan finansialnya pada penelitian ini.
Oktavina Kartika Putri* Program Magister Kimia Institut Teknologi Bandung
[email protected]
Referensi [1] C. Radiman and G. Yuliani, “Coconut Water as A Potential Resource for Cellulose Acetate Membrane Preparation”, Polymer International 57, 502-508 (2008) [2] S. Ifuku, M. Tsuji, M. Morimoto, H. Saimoto, and H. Yano, “Synthesis of Silver Nanoparticles Templated by TEMPOMediated Oxidized Bacterial Cellulose Nanofibers”, Biomacromolecules 10, 2714– 2717 (2009) [3] J. He, T. Kunitake, and A. Nakao, “Facile In Situ Synthesis of Noble Metal Nanoparticles in Porous Cellulose Fibers”, Chem. Mater 15, 4401-4406 (2003) [4] Sumarno, “Studi Komposit Besi(II)-Htrznata de coco untuk Pembelajaran Kimia Kompleks”, Tesis Magister, Institut Teknologi Bandung, Indonesia, 2011, p. 37 [5] D. Onggo, J. A. Real, I. Mulyani, I. Syahbanu, and M. Aminah, “The Study of Thermal Spin Crossover Tris-amino Triazole Iron(II) Complex in A Natural Biopolymer Nata de coco”, International Conferences on Coordination and Bioinorganic Chemistry 2011 Volume 10, Juni, Bratislava, Slovakia, p. 425-428 [6] O. Roubeau, M. Castro, R. Burriel, J. G. Haasnoot, and J. Reedijk, “Calorimetric Investigation of Triazole-Bridged Fe(II) Spin-Crossover One-Dimensional Materials: Measuring the Cooperativity”, J. Phys. Chem. B., 115, 3003–3012 (2011) [7] K. H. Sugiyarto and H. A. Goodwin, “Cooperative Spin Transitions in Iron(II) Derivatives of 1,2,4-Triazole”, Aust. J. Chem., 47, 263-277 (1994) [8] Y. Garcia, P. J. Koningsbruggen, R. Lapouyade, L. Fournès, L. Rabardel, O.
ISBN 978-602-19655-3-5
Djulia Onggo Program Magister Kimia Institut Teknologi Bandung
[email protected]
*Corresponding author
64
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2012 (SNIPS 2012) 7-8 Juni 2012, Bandung, Indonesia
Eksperimen Pola-Pola Refleksi Sistem Cermin-Pegas-Speaker Fresly .W. Simanjuntak, Sparisoma Viridi, Siti Nurul Khotimah, dan Khairurrijal Abstrak Dalam eksperiman diamati bahwa sinar laser yang dipantulkan cermin yang terintegrasi dengan speaker melalui pegas membentuk pola-pola pada layar. Pola-pola tersebut dapat memberikan informasi bagaimana sistem cermin-pegas-speaker (CPS) bervibrasi. Tiga buah pegas dengan masing-masing konstatnta pegas k menghubungkan cermin yang memiliki massa m dengan membran speaker untuk mewakili gerak vibrasi dalam tiga dimensi. Teramati bahwa ukuran pola membesar dengan membesarnya tegangan masukan dan bentuk pola bergantung dari frekuensi masukan. Layar yang berjarak 100 m dari cermin memberikan ukuran pola antara 0,5 mm - 5 cm dengan bentuk meliputi angka delapan, lingkaran, elips, dan garis lurus. Tegangan masukan memiliki rentang 4,5 V - 32 V dengan frekuensi 1 - 100 Hz. Ukuran maksimum pola teramati pada frekuensi sekitar 29 Hz yang diduga merupakan frekuensi alami sistem CPS ini. Keywords : vibrasi, pola-pola refleksi, eksperimen Pendahuluan Pengukuran getaran yang lazim digunakan yaitu dengan metoda laser. Dalam paper [1] penulis meneliti getaran pada speaker dengan menggunakan cermin yang ditempelkan pada speaker dan kemudian ditembakkan sinar laser sehingga diperoleh berkas sinar pantulan dari cermin yang bergetar dengan panjang l. Beliau menunjukkan bahwa adanya relasi linear antara amplitude getaran terhadap tegangan yang diberikan pada sistem yang dapat dinyatakan dalam persamaan garis. Persamaan tersebut menunjukkan hubungan antara amplitu-de getaran dan tegangan masukan yang diberikan. Pada paper [2] pengukuran getaran dilakukan dengan menggunakan metoda laser diode interferometer untuk getaran yang terjadi secara real-time. Pengukuran getaran dilakukan dengan menambahkan feedback control pada arus masukan. Dengan metoda ini maka pengukuran dapat dilakukan secara real-time tanpa adanya noise dan dapat dilakukan pada daerah manapun. Sedangkan pada paper [3] menunjukkan metoda pengukuran getaran pada rotor dengan menggunakan teknologi laser.
Teori dan Eksperimen Hukum Snell dapat menjelaskan mengenai fenomena pemantulan cahaya. Dalam hukum Snell menyatakan bahwa besar sudut sinar datang sama dengan dengan besar sudut sinar pantul, yang mana keadaan tersebut berlaku jika sinar datang, sinar pantul dan garis normal padas bidang reflektor berada pada bidang yang sama. Persamaan Snell yaitu
n1
’
n2
θ2
Dalam paper ini dengan metoda eksperimen yang sama dengan paper [1] dengan menambahkan pegas pada sistem akan ditunjukkan eksperimen getaran pada sebuah sistem cermin-pegas-speaker (CPS), akan tetapi cermin pada hal ini telah diintegrasikan pada 3 buah pegas dengan konstanta k yang sama. Dengan melakukan variasi tegangan masukan sinusoidal, frekuensi dari getran dan sudut sinar laser akan diperoleh pola dari masing-masing getaran.
Figure 1. Proses penerapan Hukum Snell
n1sin ϑ1 = n 2 sin θ 2 . Yang mana :
n1 = indeks refraksi medium 1 n 2 = indeks refraksi medium 2
θ 1 = sudut sinar datang
ISBN 978-602-19655-3-5
θ1 θ1
65
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2012 (SNIPS 2012) 7-8 Juni 2012, Bandung, Indonesia
θ 2 = sudut sinar bias Dua buah cermin berbentuk segitiga sama sisi dengan panjang sisi 5 cm direkatkan oleh 3 buah pegas dengan konstanta pegas yang sama k = 59,113 N/m. Sistem ini direkatkan pada permukaan membran speaker dengan asumsi sistem dalam keadaan tegak lurus terhadap permukaan membran speaker. Dengan memberikan tegangan masukan sinusoidal, sistem ditembakkan sinar laser dan menghasilkan pola berkas pada layar. Metoda ini dilakukan dengan membrikan variasi tegangan masukan dan frekuensi getaran serta sudut datang dari sinar laser. Tegangan masukan yang diberikan merupakan gelombang sinusoidal.
Figure 4 Posisi pola berkas terpanjang pada sudut sinar datang 30
1
4 2
Figure 5. Posisi pola berkas terpanjang pada sudut sinar datang 45.
3
Figure 2. Eksperimen pola-pola refleksi sistem cermin-pegasspeaker (CPS) : (1) Layar,(2) sistem cermin-pegas-speaker (CPS), (3) audio generator, (4) laser pointer.
Pegas Figure 6. Posisi pola berkas terpanjang pada sudut sinar datang 60
Perubahan berkas pola dari sistem cerminpegas-speaker ini terlihat pada tegangan yang diberikan sebesar V=26 volt. Berikut adalah grafik pola perubahan berkas yang menunjukkan perubahan pola:
Figure 3. Sistem cermin-pegas-speaker (CPS).
Hasil dan Diskusi Dengan melakukan variasi antara tegangan masukan, sudut datang dan frekuensi yang diberikan maka diperoleh grafik yang menunjukkan kecenderungan berkas pola terpanjang berada pada frekuensi 29 Hertz. Berikut adalah grafik hubungan antara tegangan dan frekuensi dari ukuran berkas vibrasi.
ISBN 978-602-19655-3-5
66
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2012 (SNIPS 2012) 7-8 Juni 2012, Bandung, Indonesia
Figure 7. Pola perubahan berkas vibrasi pada V=26 volt dan sudut datang sinar 30.
Figure 8. Pola perubahan berkas vibrasi pada V=26 volt dan sudut datang sinar 45.
Figure 10. Gambar proses perubahan pola pada figure 6.
Figure 9. Pola perubahan berkas vibrasi pada V= 26 volt dan sudut sinar datang 60
Untuk gambar perubahan pola pola berkas pantulan sistem cermin-pegas-speaker (CPS) dengan tegangan masukan V= 26 V dari grafik diatas dengan perubahan variasi frekuensi ditunjukkan sebagai berikut :
Figure 11. Gambar proses perubahan pola pada figure 7.
ISBN 978-602-19655-3-5
67
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2012 (SNIPS 2012) 7-8 Juni 2012, Bandung, Indonesia
Fresly.W. Simanjuntak Undergraduate, Physics Department Faculty of Mathematics and Natural Sciences Institut Teknologi Bandung
[email protected]
Sparisoma Viridi Nuclear Physics and Biophysis Research Division Faculty of Mathematics and Natural Sciences Institut Teknologi Bandung
[email protected]
Siti Nurul Khotimah Nuclear Physics and Biophysis Research Division Faculty of Mathematics and Natural Sciences Institut Teknologi Bandung
[email protected]
Figure 12. Gambar proses perubahan pola pada figure 8.
Khairurrijal
Kesimpulan
Instrumentation and High Energy Research Division Faculty of Mathematic and Natural Sciences Institut Teknologi Bandung
[email protected]
Vibrasi pada sistem cermin-pegas-speaker memiliki frekuensi natural yaitu speaker akan memiliki amplitude getaran maksimum pada fekuensi 29 Hertz. Ucapan terima kasih Penulis mengucapkan terima kasih kepada Kepala Lab. Elektronika Fisika ITB yang membantu menyediakan alat dan ruangan untuk penelitian ini. Referensi [1] Sitti Balkis, Wahyu Srigutomo, dan Sparisoma Viridi, “Simple Experiment Apparatus in Measuring Speaker Amplitude Using Laser Beam and Mirror” . [2] Takamasa Suzuki, Takao Okada, Osami Sasaki, Takeo Maruyama, “Real-Time Vibration Measurement Using a Feedback Type of Laser Diode interferometer with an Optical Fiber”, Optical Engineering,Vol.36 No.9, September 1997. [3] T.J.Miles, M.Lucas, N. A. Halliwell and S.J. Rothberg, “Torsional and Banding Vibration Measurement on Rotors Using Laser Technology”, Journal of Sound and Vibration (1999) 226(3), 441-467.
ISBN 978-602-19655-3-5
68
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2012 (SNIPS 2012) 7-8 Juni 2012, Bandung, Indonesia
Analisis Performa Mikrotomografi-SkyScan 1173 Untuk Material dengan Kontras Densitas Rendah Wa Ode Sriwayu *), Freddy Haryanto, Siti Nurul Khotimah, dan Fourier D.E. Latief Abstrak Evaluasi performa dalam menentukan kualitas citra menjadi suatu hal yang lazim dilakukan sejak micro ct scan menjadi alat yang rutin digunakan dalam studi pre klinis atau small animal imaging. Sistem mikrotomografi SkyScan 1173 tipe energi tinggi dimiliki oleh Laboratorium BSC-ITB dengan spesifikasi ≤130kV (Hamamatsu L9181-02) mempunyai kemampuan dalam mencitrakan material dengan kontras densitas tinggi. Oleh karena itu, sebuah phantom didesain dan difabrikasi menyerupai densitas jaringan tubuh manusia dengan mengacu pada standar yang dikeluarkan oleh AAPM untuk menguji kemampuan micro ct-SkyScan 1173 dalam menghasilkan citra untuk material yang mempunyai kontras densitas rendah. Performa micro ct dievaluasi terhadap perubahan parameter tegangan dan eksposur. Analisis kuantitatif dilakukan menggunakan perangkat lunak CTAn dan ImageJ untuk menentukan skala kontras, uniformity, noise, dan low contrast resolution. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa pada tegangan 30 kV dan eksposur 0.165 mAs, sistem micro ct-SkyScan 1173 dapat memberikan kualitas citra yang signifikan untuk material yang mempunyai kontras densitas rendah. Kata-kata kunci: micro ct scan, phantom, CT Analyser, performa micro ct-SkyScan 1173 menembus objek dari berbagai sudut pandang berkas. Detektor flat panel menangkap berkas sinar-x yang membawa berbagai nilai atenuasi kemudian dikonversi menjadi sinyal listrik dan diterjemahkan ke dalam skala keabuan. Jadi, informasi skala keabuan merupakan representasi dari nilai rata-rata atenuasi linier berkas yang melewati objek dan mewakili densitas dari objek yang dicitrakan. Material dengan densitas rendah akan menghasilkan citra yang gelap karena berkas sinar-x diteruskan, sedangkan material dengan densitas tinggi akan menghasilkan citra yang terang karena lebih banyak fluks sinar-x yang diserap. Untuk citra kedalaman 8 bit akan membawa nilai skala keabuan dari hitam hingga putih sebesar 0 sampai 255. Keluaran ini digunakan untuk mengevaluasi performa micro ct dengan menentukan skala kontras, Signal to Noise Ratio SNR), dan low contrast resolution. ! Skala kontras ditentukan dengan menghitung nilai CT setiap material yang terkandung dalam phantom bagian skala kontras. Nilai CT adalah perbandingan antara sinyal atenuasi material referensi terhadap air diberikan pada persamaan (1).
Pendahuluan Saat ini telah berkembang studi pre klinik yang mengarah pada studi diagnostik mamalia (small animal imaging) dengan memodelkan [1penyakit manusia ke dalam hewan transgenik. 3] . Micro ct scan adalah salah satu modalitas pencitraan yang populer digunakan dalam laboratorium-laboratorium penelitian karena mempunyai resolusi spasial hingga 10 µm sehingga mampu memberikan informasi anatomi yang lebih detail. Hewan transgenik ataupun penyakit manusia dapat juga dimodelkan dalam suatu tiruan jaringan atau organ, yaitu phantom yang memiliki densitas menyerupai densitas tubuh [4] manusia. CIRS telah mendesain phantom mamografi digital untuk mengevaluasi kualitas citra mamografi dengan mensimulasikan pengapuran, serat pegapuran, dan massa tumor. [5] Du, dkk. mendesain dan memfabrikasi phantom sesuai ukuran tikus dan kelinci untuk melaksanakan quality assurance dalam mengevaluasi kualitas citra sistem mikrotomografi yang dihasilkan oleh detektor flat panel tipe eXplore Ultra. Oleh karena itu diperlukan verifikasi terhadap sistem micro ct-SkyScan 1173 yang rutin digunakan dalam pencitraan berbagai jenis material untuk melihat kemampuannya dalam mencitrakan material dengan kontras densitas yang rendah.
nilai CT =
Teori Prinsip dalam computed tomography adalah menghasilkan irisan penampang lintang dari hasil proyeksi citra ketika berkas sinar-x
ISBN 978-602-19655-3-5
µ x − µ air x1000. µ air
(1)
Nilai CT ini mengandung sejumlah standar deviasi dari -σ hingga +σ yang berada disekitar nilai CT rata-rata dan mengindikasikan besar
69
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2012 (SNIPS 2012) 7-8 Juni 2012, Bandung, Indonesia [8]
noise yang dihasilkan suatu citra. Rasio antara sinyal yang diterima detektor terhadap noise disebut Signal to Noise Ratio (SNR) ditentukan menggunakan persamaan (2).
µ σ
SNR= .
batuan. Untuk mencitrakan material densitas rendah, energi sinar-x diatur rendah dan arus tinggi. Akan tetapi, performa ini dipengaruhi oleh threshold daya keluaran, sehingga untuk mengurangi noise citra, proses akuisisi membutuhkan waktu eksposur relatif lama. Phantom diakuisisi dengan resolusi kamera pada sensor flat panel ukuran 560x560 pixel. o Objek melakukan rotasi 180 dan langkah rotasi o setiap 0.3 . Tegangan 20 kV dan 30 kV serta eksposur 0.160 mAs dan 0.165 mAs digunakan pada proses akuisisi untuk menentukan performa micro ct terhadap perubahan parameter teknis. Semakin tinggi tegangan yang diberikan maka akan meningkatkan energi sinarx, berarti fluks foton yang menembus objek semakin besar. Hal ini dapat meningkatkan kontras antara berbagai material yang berbeda [9] sekaligus menurunkan noise pada hasil citra. Dengan menambah eksposur, yaitu hasil kali arus dan waktu penyinaran maka jumlah elektron yang datang per satuan luas per satuan waktu akan semakin banyak dan dapat
(2)
Low contrast resolution ditentukan dengan menghitung nilai Contrast to Noise Ratio (CNR) menggunakan persamaan (3).
CNR=
( HU A − HU B ) .
σ (3)
Desain Phantom Sebuah phantom didesain dan difabrikasi dengan mengacu pada standar yang dikeluarkan oleh American Association of Physics in [7] Medicine (AAPM). Phantom terbuat dari material high density polyethylene (HDPE) dan acrylic berbentuk silinder dengan diameter 80 mm. Phantom terdiri atas dua bagian untuk menentukan skala kontras dan low contrast resolution. Dalam menghitung skala kontras, phantom dirancang dengan simulasi asimetri densitas dari bagian-bagian mammografi berupa pengapuran (microcalcifications), jaringan lemak (fatty tissues), dan massa tumor (tumor mass). Fitur skala kontras terdiri dari lima buah tabung silinder diameter dalam 6 mm, kedalaman 4 mm, kemudian diisi dengan aluminium oksida (Al2O3) dan kolesterol (C27H46O) sebagai simulasi pengapuran dan lemak, serta empat batang hard nylon dengan variasi diameter 4 mm, 6 mm, dan 8 mm mewakili massa tumor. Phantom skala kontras berbentuk tangki silinder ini diisi dengan air distilasi yang digunakan dalam menentukan besaran noise dan uniformity. Untuk menghitung low contrast resolution digunakan phantom medium HDPE dengan tinggi 30 mm. Lubang dibuat dengan variasi diameter, yaitu 12; 12,5; 13; dan 13,5 mm dan kedalaman 8; 8,5; 9; dan 9,5 mm, dengan jarak antar lubang sama dengan diameter lubang. Lubang diisi dengan 55% konsentrasi larutan gliserol (0,55 mL gliserol) dalam 100 mL air distilasi untuk mencegah terjadinya gelembung udara.
mengurangi noise sebesar
mAs
.
[10]
Rekonstruksi citra dilakukan pada perangkat lunak NRecon yang memiliki standar program rekonstruksi berupa algoritma smoothing, beam hardening correction, ring artifact correction, dan beberapa tipe filter. Filter yang digunakan pada rekonstruksi ini filter Hamming yang berfungsi melewatkan sinyal frekuensi tinggi sehingga mereduksi [11] hamburan. Konvolusi kernel sebagai fungsi smoothing dalam ct scanning berguna untuk mereduksi frekuensi tinggi, mengurangi noise dan resolusi spasial yang cocok digunakan pada [12] material densitas rendah. Filter Hamming dan smoothing dioperasikan secara otomatis oleh NRecon. Sedangkan beam hardening dan artefak cincin dikoreksi secara manual melalui fasilitas fine tuning dengan mengatur persentase koreksi berdasarkan pengamatan pada irisan transaxial. Pengaturan ini bersifat visual dan tidak diperhitungkan sebagai suatu variabel bebas dalam merekonstruksi setiap proyeksi [13] citra. Akan tetapi, berdasarkan paper Tu, dkk. koreksi beam hardening dapat mengubah nilai CT, dimana nilai CT hasil koreksi turun dengan signifikan dari nilai CT tanpa koreksi, sedangkan koreksi artefak cincin tidak memberi kontribusi pada perubahan nilai CT.
Akuisisi Data dan Proses Rekonstruksi SKyScan 1173 merupakan micro ct tipe energi tinggi dengan sumber tegangan mencapai 30 kV dan daya 8 W serta mempunyai kemampuan low contrast resolution sekitar 7 µm. Secara umum, SkyScan 1173 digunakan untuk mencitrakan material densitas tinggi seperti intan, komponen elektronik, dan
ISBN 978-602-19655-3-5
1
Hasil dan diskusi Citra hasil rekonstruksi transaxial untuk tegangan 20 kV dan 30 kV pada eksposur 0.160 mAs serta tegangan 30 kV eksposur 0,165 mAs diperlihatkan pada Gambar 1. Pemilihan tegangan rendah didasarkan atas karakteristik koefisien atenuasi berbagai material terhadap
70
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2012 (SNIPS 2012) 7-8 Juni 2012, Bandung, Indonesia
perubahan energi, dimana untuk material densitas rendah, transmisi energi di bawah 40 keV memberikan kontras yang jelas pada [14] kurva atenuasinya. Eksposur 0.160 mAs ditentukan berdasarkan pertimbangan persentasi intensitas maksimum dan minimum yang akan diterima detektor yang teramati sebelum melakukan akuisisi. Kenaikan kecil pada eksposur sebesar 0.165 mAs dilakukan untuk melihat sejauh mana efek perubahan kualitas citra yang dihasilkan.
600 Aluminium Oksida Kolesterol Hard Nylon Aluminium Oksida Kolesterol Hard Nylon
400
Nilai CT (HU)
200 0 -200 -400 -600 -800 0.160
A
B
0.165
Eksposur (mAs)
C
Gambar 3. Grafik Nilai CT terhadap perubahan eksposur.
20 kV, 0.16 mAs mAs
30 kV, 0.16 mAs
Uniformity diukur pada tegangan 30 kV dan eksposur 0.165 mAs dalam medium air dengan 2 menempatkan ROI sebesar 20 mm pada daerah pusat dan sekeliling phantom. Uniformity dapat dipengaruhi oleh adanya noise yang direpresentasikan sebagai standar deviasi. Selanjutnya SNR juga dapat dihitung menggunakan persamaan (2), dan hasilnya ditunjukkan pada Tabel 1.
30 kV, 0.165
Gambar 1. Hasil rekonstruksi transaxial pada variasi tegangan (A,B) dan variasi eksposur (B,C)
Analisis kuantitatif dilakukan pada perangkat lunak CT Analyser (CTAn). Nilai CT masingmasing zat diukur pada daerah ROI (Region of 2 Interest) sebesar 5 mm yang ditempatkan di dalam zat. Gambar 2 dan 3 menunjukkan nilai CT masing-masing zat terhadap perubahan tegangan dan eksposur. Dari gambar terlihat bahwa kenaikan tegangan dan eksposur menyebabkan nilai CT naik secara signifikan. Hal ini disebabkan karena pada tegangan semakin tinggi energi sinar-x yang datang lebih besar sehingga akan meningkatkan kontras. Demikian halnya menaikkan eksposur menyebabkan jumlah elektron lebih banyak sehingga dapat mereduksi noise dan meningkatkan SNR, sehingga nilai CT naik secara signifikan.
Tabel 1. Nilai CT dan SNR phantom air pada tegangan 30 kV dan eksposur 0.165 mAs. Daerah Pusat Atas Bawah Kanan Kiri Mean Beda CT Mean SD
400
Nilai CT (HU)
SD -10 ± 66 1 ± 76 -34 ± 74 4 ± 76 14 ± 62
SNR (%) 15 1.3 46 5.3 22.5
18.25 70.8
Profil uniformity dapat juga diperoleh dengan memplot garis dari baris pixel sehingga dapat dilihat profil intensitas berkas sinar-x yang melewati medium air. Gambar 4 menunjukkan profil uniformity yang diperoleh dengan menggunakan ImageJ.
200 0 Aluminium Oksida Kolesterol Hard Nylon Aluminium Oksida Kolesterol Hard Nylon
-200
Nilai CT ±
-400 -600 20
25
30
Tegangan (kV)
Gambar 2. Grafik Nilai CT terhadap perubahan tegangan.
Gambar 4. Profil uniformity pada phantom air
ISBN 978-602-19655-3-5
71
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2012 (SNIPS 2012) 7-8 Juni 2012, Bandung, Indonesia
CNR dihitung menggunakan persamaan (3) 2 dengan meletakkan ROI ukuran 14 mm pada lubang diameter 13 mm dan diantara lubang diameter 13 mm dan 12.5 mm pada phantom bagian low contrast resolution. Untuk tegangan 20 kV dan 30 kV dengan eksposur 0.160 mAs, CNR masing-masing sebesar 1,63 dan 15,42. Sedangkan CNR pada tegangan 30 kV, eksposur 0,165 mAS adalah 16,77.
Volumetric Micro-CT System”, Journal of Physics in Medicine and Biology, 52, 7087– 7108. [6] Cullity, B.D. (1956) : “Element of X-Ray Diffraction”, University of Notre Dame, 5-10. [7] Judy, P.F., Balter, S., Bassano, D., McCullough, E.C., Payne, J.T., dan Rothenberg, L. (1977) : “Phantom For Performance Evaluation and Quality Assurance Of CT Scanner”, Report 01 AAPM, Chicago, Illinois. [8] Contributors SkyScan, “SkyScan 1173 High Energy Spiral Scan Micro CT”, URL : http://www.skyscan.be/ products /1173.htm, [accessed 10.03.2012]. [9] Tang,K., Wang, L., Li, R., Lin, J., Zheng, X., and Cao, G. (2012) : “Effect of Low Tube Voltage on Image Quality, Radiation Dose, and Low-Contrast Detectability at Abdominal Multidetector CT: Phantom Study”, Journal of Biomedicine and Biotechnology, 2012, 4-5. [10] McNitt-Gray, M.F. “Tradeoff in CT Image Quality and Dose”, Depart of Radiology, UCLA. [11] “Notes_8, GEOS 585A”, Spring 2011, URL : http://www.ltrr.arizona.edu/~dmeko/notes_8 .pdf [accessed 10.04.2012]. [12] Jang, K.J., Kweon, D.C., Lee, J.W., Choi, J., Goo, E.H., Dong, K.R., Lee, J.S., Jin, G.H., Seo, S. “Measurement of Image Quality in CT Images Reconstructed with Different Kernels”, Journal of the Korean Physical Society, 58, 335. [13] Tu, S.J., Hsieh, H.L., dan Chao, T.C. (2008) : “CT Number Variations in Micro CT Imaging Systems”, Proceedings of SPIE, Editor Hsieh, Jiang; Samei, Ehsan, 6913, 691343-1 - 691343-8. [14] Hasegawa, B. (1991) : “The Physics of th Medical X-Ray Imaging”, 2 edition, Medical Physics Publishing Company.
Kesimpulan Objek yang memiliki kontras densitas yang rendah dapat dideteksi oleh sistem mikrotomografi-SkyScan 1173 ditandai dengan nilai CNR > 1. Pemilihan parameter tegangan dari 20 kV sampai 30 kV sebagaimana yang lazim digunakan dalam diagnostik objek densitas rendah dapat digunakan dalam micro-ct SkyScan 1173. Nilai skala kontras, SNR, dan uniformity yang kurang signifikan dapat ditinjau ulang dengan mengoptimalkan algoritma rekonstruksi dalam mengkoreksi dan mereduksi berbagai parameter yang menurunkan kualitas citra. Ucapan terima kasih !!!!!Riset ini didukung oleh BSC ITB dalam menyediakan sistem micro ct-SkyScan 1173 yang digunakan sebagai bahan penelitian. Referensi [1] Ling Jan, M., Ching Ni, Y., Wei Chen, K., Ching Liang, H., Shih Chuang, K., dan Kai Fu, Y. (2006) : “A Combined Micro-PET/CT Scanner for Small Animal Imaging”, Jornal of Nuclear Instruments and Methods in Physics Research, A 569, 314-318. [2] Crespignya, A., Reslanb, H.B., Nishimurab, M.C., Phillipsb, H., Caranob, R.A.D., dan D’Arceuil, H.E. (2008) : “3D Micro-CT Imaging of the Postmortem Brain”, Journal of Neuroscience Methods, 171, 207–213. [3] Engelhorna, T., Eyupoglub, I.Y., Schwarza, M.A., Karolczakc, M., Bruennerc, H., Strufferta, T., Kalenderc, W., dan Doerflera, A. (2009) : “In Vivo Micro-CT Imaging of Rat Brain Glioma: A Comparison With 3T-MRI and Histology”, Journal of Neuroscience Letters, 458, 28-31. [4] CIRS CT Simulation and Phantom Technology: ”015 Mammographic Accreditation Phantom”, URL : http://www.cirsinc.com [accessed 12.04.2012]. [5] Du, Louis Y., Umoh, J., Hristo, N.N., Pollmann, S.I., Lee, T.Y., dan Holdsworth, D.W. (2007) : “A Quality Assurance Phantom for the Performance Evaluation of
ISBN 978-602-19655-3-5
Wa Ode Sriwayu* Mahasiswa Program Magister Fisika, ITB; Jurusan Fisika Universitas Haluoleo
[email protected]
Freddy Haryanto Divisi Fisika Nuklir dan Biofisika Institut Teknologi Bandung
[email protected]
Siti Nurul Khotimah Divisi Fisika Nuklir dan Biofisika Institut Teknologi Bandung
[email protected]
Fourier Dzar Eljabbar Latief Divisi Fisika Bumi Institut Teknologi Bandung
[email protected] *Corresponding author
72
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2012 (SNIPS 2012) 7-8 Juni 2012, Bandung, Indonesia
PEMODELAN ALIRAN FLUIDA DALAM PIPA LURUS VERTIKAL BAGIAN DARI SIFON MENGGUNAKAN DINAMIKA NEWTON Nurhayati*, W. Hidayat, S. Viridi, dan F. P. Zen Abstrak Pemodelan aliran fluida dalam pipa lurus vertikal sebagai bagian dari sifon telah berhasil dilakukan. Keberhasilan tersebut diperoleh dengan menerapkan hukum gerak Newton terhadap suatu elemen volume fluida yang terletak pada antarmuka antara fluida dengan udara. Ketinggian maksimum air dalam pipa yang dapat dicapai bergantung pada posisi ujung bawah pipa dalam air. Semakin dalam ujung bawah pipa yang tercelup dalam air semakin tinggi air yang dapat dilewatkan pipa. Teramati pula bahwa ketinggian maksimum air yang dapat dicapai memiliki nilai optimum. Kata-kata kunci: fluida, sifon, hukum gerak Newton, laju optimum Dalam pekerjaan ini, hanya satu segmen yang berbentuk pipa lurus vertikal yang diteliti, di mana segmen tersebut dapat diaplikasikan baik untuk sifon maupun self-siphon. Cara penyelesaian dengan metode analitik dengan menggunakan dinamika Newton akan dijelaskan dalam bagian Teori dan hasilnya akan dibahas dalam bagian Hasil dan diskusi.
Pendahuluan Sifon ialah suatu alat yang sederhana dan efektif untuk mengalirkan fluida dari tempat tinggi ke tempat yang lebih rendah [1], yang dapat terlebih dahulu melalui tempat yang lebih tinggi. Konsep kerja sifon hingga tahun 2011 masih menjadi perbincangan oleh berbagai kalangan [2]. Pada penelitian yang dilakukan oleh Hughes, digambarkan eksperimen kelas sifon guna membenarkan beberapa konsep yang salah mengenai cara kerja sifon. Konsep yang dianggap salah oleh Hughes adalah bahwa kerja sifon hanya dipengaruhi oleh tekanan udara saja. Hughes mendeskripsikan bahwa sifon bekerja karena terdapat gaya interaksi antar molekul yang digambarkan dengan “chain model” [3]. Kemudian pada penelitian yang dilakukan oleh Alex Richert dan P. -M. Binder, sifon bekerja karena tekanan udara dan gravitasi dan menyangkal teori Hughes [4]. Gorazd dan Josip tidak membenarkan analogi katrol dari Hughes [5]. Penelitian juga telah dilakukan pada selfsiphon. Self-siphon ialah sifon yang dapat mengalirkan fluida dengan sendirinya [6]. Percobaan self-siphon dilakukan dengan mengamati parameter ketinggian segmen lengkung yang diukur dari posisi permukaan air dan pemodelan matematika aliran air dalam pipa sifon menggunakan persamaan parametrik [7]. Kesalahan antara eksperimen dan hasil simulasi dalam memprediksi ada tidaknya aliran air masih ditemukan sekitar 10,4% [8]. Penelitian lain dengan menyelesaikan persamaan numerik menggunakan metode dinamika molekul. Diketahui bahwa kecenderungan waktu tempuh air yang diperoleh tidak cocok dengan hasil yang telah dilaporkan sebelumnya [6]. Berbagai kondisi kerja self-siphon juga telah diteliti menggunakan metode ekserimen [9].
ISBN 978-602-19655-3-5
Teori Segmen lurus vertikal bagian dari sifon yang tercelup dalam air digambarkan pada Gambar 1.
Gambar 1. Bagian segmen pipa lurus vertikal pada sifon: sepanjang L. Pada Gambar 1, ketinggian maksimum hB dicapai ketika kecepatan vB = 0 atau sangat lambat, ketinggian hBmak dapat dirumuskan,
hBmak =
73
Patm ρg
(1)
http://proceedings.fi.itb.ac.id/cps/
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2012 (SNIPS 2012) 7-8 Juni 2012, Bandung, Indonesia
f yang bergerak dengan kecepatan konstan v dalam air dihitung dengan persamaan,
yang merupakan ketinggian maksimum yang dapat dicapai sifon yaitu sebesar 10 m untuk air dan 0.76 m untuk air raksa [10].
f = 8πηΔhv
Dengan adanya perbedaan tekanan pada kedua ujung pipa sifon, secara matematis,
F P= A
dengan
ialah
koefisien
2
(N.s/m ) dan Δh adalah ! elemen volume air (m).
(2)
tekanan akan meningkat jika gaya F yang bekerja pada luasan A diperbesar atau luas permukaannya diperkecil. Hasil eksperimen menunjukkan bahwa tekanan fluida di teruskan ke segala arah [10].
kekentalan ketebalan
air
suatu
Tekanan hidrostatis adalah tekanan yang disebabkan oleh zat cair pada kedalaman h akibat berat kolom zat cair di atasnya sehingga
F = ρ g ( y0 − y ) A .
Menurut hukum II Newton jika resultan gaya yang bekerja pada benda tidak sama dengan nol, benda akan mengalami percepatan yang arahnya sama dengan arah resultan gaya
∑ F = ma .
η
(4)
(5)
Hasil dan diskusi Dimasukkan gaya-gaya yang bekerja pada suatu elemen volume air ke dalam persamaan (3) berdasarkan Gambar 2,
(3)
ma +
Fluida yang mengalir melalui suatu permukaan yang diam akan mengalami gesekan yang berlawanan arah dengan arah alirannya. Kecenderungan untuk menghambat aliran dalam fluida ini disebut viskositas. Viskositas air pada o -3 2 suhu 20 C adalah 1,0055x10 N.s/m [11]. Fluida ideal yang sering digunakan dalam pembahasan memiliki nilai viskositas nol. Hal ini karena interaksi antarmolekul dalam fluida ideal diabaikan. Aliran fluida ideal bersifat laminar atau setiap titik yang terletak pada bidang yang tegak lurus arah aliran memiliki kelajuan yang sama.
8πηΔh v + ρ gyA = ρ gAy0 − mg m
(7)
persamaan diferensial akibat hukum II Newton menjadi,
d2 y dt
2
+
ρ gAy0 8πηΔh dy ρ gA + y= −g m dt m m
(8)
persamaan (8) dapat disederhanakan menjadi,
d2 y dt
2
+ 2b
dy + ω2 y = K dt
(9)
dengan,
b=
4πηΔh m
ω2 =
ρ gA m
i β = i ω 2 − b2 K=
ρ gAy0
−g
dibandingkan dengan dengan b2 ω2 memasukkan parameter-parameter yang 2 2 dibutuhkan, didapatkan b < ω sehingga ! solusinya adalah osilasi [12].
Gambar 2. Gaya-gaya pada suatu elemen volume air dalam pipa lurus vertikal [8]. Pada Gambar 2, dengan ρ f ialah massa jenis
!
3
air (kg/m ), g ialah percepatan gravitasi bumi 2 2 (m/s ), A ialah luas alas pipa (m ), m ialah massa suatu elemen volume air (kg), y0 ialah
y ( t ) = Ce
−bt
sin ( β t + γ ) + y p
(10)
ketika t = 0 maka,
tinggi permukaan air (m), f ialah gaya gesek air dengan dinding pipa (N). Besar gaya gesekan air
ISBN 978-602-19655-3-5
m
y ( 0 ) = C sin (γ ) + y p = yi
74
(11)
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2012 (SNIPS 2012) 7-8 Juni 2012, Bandung, Indonesia
Kecepatan partikel air pada ketinggian maksimum yang dapat dicapai air dalam pipa sebagai fungsi dari posisi ujung bawah pipa ditunjukkan dalam Gambar 5. Dengan L = 0,2 m kecepatan maksimum yang dicapai adalah 5,25 m/s. Dengan L = 0,4 m ujung bawah pipa yang tercelup dalam air berada pada 0,1 m dan kecepatan maksimum yang dicapai adalah 9 m/s. Teramati bahwa semakin panjang pipa yang digunakan semakin optimum kelajuan air.
dengan yi (m) ialah posisi ujung bawah pipa yang tercelup dalam air, y p =
K
ω2
, C ialah
amplitudo, dan γ ialah sudut fase. Kecepatan aliran persamaan (10),
air
diturunkan
dari
v ( t ) = Ce −bt $& −b sin ( β t + γ ) + β cos ( β t + γ )%'
(12)
ketika t = 0 maka v0 = 0 sehingga,
−bC sin (γ ) + β C cos (γ ) = 0 = v0 persamaan (12) dan dikuadratkan diperoleh,
(
C = yi − y p
(13)
)
disubstitusi
"b# 1+ % & 'β (
1
γ = sin −1
$b% 1+ & ' (β )
2
(13) dan
2
(14)
(15)
2
(
y ( t ) = yi − y p
)
Gambar 3. Posisi ketinggian air dalam pipa sebagai fungsi waktu untuk L = 0,2 m dan L = 0,4 m dengan yi = 0,35 m: ketinggian permukaan air dalam wadah ( ), aliran air dalam pipa ( ), ketinggian maksimum aliran air sekaligus ujung atas pipa untuk L = 0,2 m ( ), ujung atas pipa untuk L = 0,4 m ( ).
$b% 1 + & ' e −bt sin ( β t + γ ) + y p (16) (β )
persamaan (16) merupakan solusi persamaan diferensial akibat hukum II Newton. Ketinggian permukaan air dalam pipa sebagai fungsi waktu ditunjukkan dalam Gambar 3 dengan L adalah panjang pipa yang digunakan. Terdapat dua panjang pipa yang digunakan, yaitu L = 0,2 m dan L = 0,4 m. Teramati bahwa untuk posisi ujung bawah pipa yang sama yi = 0,35 m diperoleh bahwa permukaan air dapat mencapai ujung atas pipa pertama akan tetapi tidak pada pipa kedua. Hal ini ditunjukkan dengan gambar pipa penuh dan setengah penuh dalam Gambar 3. Ketinggian maksimum yang dapat dicapai air dalam pipa sebagai fungsi dari posisi ujung bawah pipa ditunjukkan dalam Gambar 4. Dengan L = 0,2 m ujung bawah pipa yang tercelup dalam air terendah berada pada 0,3 m dan ketinggian maksimum yang dicapai adalah 0,57 m. Dengan L = 0,4 m ujung bawah pipa yang tercelup dalam air terendah berada pada 0,1 m dan ketinggian maksimum yang dicapai adalah 0,65 m. Teramati bahwa semakin banyak bagian pipa yang tercelup dalam air, semakin besar kesempatan pipa tersebut mengalirkan air yang lebih banyak. Hal ini dapat diaplikasikan terhadap sifon maupun self-sifon, di mana air akan mampu menuju segmen berikutnya.
ISBN 978-602-19655-3-5
Gambar 4. Ketinggian maksimum yang dapat dicapai air dalam pipa sebagai fungsi dari posisi ujung bawah pipa: saat L = 0,2 m ( ),L = 0,4 m ( ).
75
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2012 (SNIPS 2012) 7-8 Juni 2012, Bandung, Indonesia
[7] F. Masterika, Novitrian dan S. Viridi, “Self Siphon Exsperiment and Its Mathematical Modelling Using Parameter Equation”, Proceeding of the Third International Conference on Mathematics and Natural Sciences (ICMNS 2010), Bandung, 23-25 November, pp. 608-613 [8] S. Viridi, Novitrian, F. Masterika, W. Hidayat, dan F. P. Zen, “Segmented Self Siphon: Experiments and Simulations”. Proceeding th of the 5 International Conference on Research and Education in Mathematics 2011 (ICREM5 2011), 22-24 October, Bandung, Indonesia, #168; AIP Cont. Proc. 1450, 190-195 (2012) [9] F. Masterika, Novitrian dan S. Viridi, “Eksperimen Aliran Fluida Menggunakan Self Siphon”, Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran Sains 2011 (SNIPS 2011), 23-25 Juni, Bandung, Indonesia, pp. 47-49 [10] F. Masterika, “Eksperimen Aliran Fluida Menggunakan Self Siphon”, Tesis Magister, Institut Teknologi Bandung, Bandung, Indonesia, 2011 [11] Tipler, Paul A; alih bahasa Lea Prasetio dkk, “Fisika Untuk Sains dan Teknik, Jilid 1”, Hlm. 408, Jakarta: Erlangga, 1998 [12] Mary L. Boas, “Mathematical Methods in The Physical Science, Second Edition” Hlm. 355, 1983
Gambar 5. Kecepatan partikel air pada ketinggian maksimum yang dapat dicapai air dalam pipa sebagai fungsi dari posisi ujung bawah pipa: saat L = 0,2 m ( ), L = 0,4 m ( ). Kesimpulan Permukaan air dapat mencapai ujung atas pipa selama panjang pipa yang tercelup dalam air lebih dari 63 % untuk panjang pipa 0,4 m dan lebih dari 65 % untuk panjang pipa 0,2 m. Pada dua kondisi tersebut permukaan air pada ujung atas pipa masing-masing memiliki laju ke atas sebesar 3,5 m/s dan 1,5 m/s, yang mengisyaratkan bahwa air dapat mengalir ke segmen sifon (atau self-siphon) berikutnya. Ucapan terima kasih
Nurhayati* Laboratorium Fisika Teoretik dan Energi Tinggi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Bandung
[email protected]
Penulis mengucapkan terima kasih kepada FMIPA Institut Teknologi Bandung dan Riset Hibah Kompetisi Dikti 2012 atas dukungan finansialnya pada kegiatan SNIPS 2012, serta Laboratorium Fisika Teoretik dan Energi Tinggi.
W. Hidayat Fisika Teoretik Energi Tinggi dan Instrumentasi Indonesia Center for Theoretical and Mathematical Physics (ICTMP) Institut Teknologi Bandung
[email protected]
Referensi [1] Potter A and Barnes F, H, “The Siphon”, Phys. Educ 6, 362, (1971) [2] Hughes, Stephen W, “The secret Siphon”, Phys. Educ, 46, 298-302 (2011) [3] Hughes, Stephen W, “A Practical Example of A Siphon at Work” Phys. Educ. 45, 162166, March 2010 [4] Richert A and Binder P M, “Siphons, Revisited” Phys. Teach. 49, 78-80 (2011) [5] Planinsic G and Slisko J, “The Pulley Analogy Does Not Work for Every Siphon” Phys. Educ. 45, 356-361, (2010) [6] S. Viridi, Suprijadi, Siti N. Khotimah, Novitrian, F. Masterika, “Self-Siphon Simulation Using Molecular Dynamics Method: A Preliminary Study”. Intenational Symposium on Computational Science 2011 (ISCS 2011), 15-17 February, Kanazawa, Japan; Recent Development in Computational Science 2, 9-16 (2011)
ISBN 978-602-19655-3-5
S. Viridi Fisika Nuklir dan Biofisika Indonesia Center for Theoretical and Mathematical Physics (ICTMP) Institut Teknologi Bandung
[email protected] F. P. Zen Fisika Teoretik Energi Tinggi dan Instrumentasi Indonesia Center for Theoretical and Mathematical Physics (ICTMP) Institut Teknologi Bandung
[email protected]
*Corresponding author
76
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2012 (SNIPS 2012) 7-8 Juni 2012, Bandung, Indonesia
PENGEMBANGAN COMPUTER ASSISTED INSTRUCTION (CAI) INTERAKTIF DALAM PEMBELAJARAN FISIKA Herawati* dan Heni Safitri Abstrak Pengembangan media pembelajaran interaktif berbentuk Computer Assisted Instruction (CAI) dalam pembelajaran fisika telah dilakukan. Pengembangan media CAI ini dimaksudkan untuk melengkapi dan memperkaya Bahan Ajar Cetak (BAC) yang merupakan bahan ajar utama serta membantu mahasiswa dalam memahami konsep – konsep fisika secara mandiri. Penelitian pengembangan media CAI interaktif ini meliputi beberapa proses tahapan yaitu: pertama, analisis kebutuhan (need analysis) sebagai identifikasi awal untuk mengetahui kebutuhan pengembangan CAI interaktif dari mahasiswa sebagai pengguna. Kedua adalah tahap disain yang meliputi pengembangan flowchart dan frame naskah. Ketiga adalah Tahap pengembangan naskah CAI interaktif berupa penyusunan frame naskah (story board) dengan menentukan sistematika penyajian materi, ilustrasi (gambar), visualisasi (animasi, video dan audio), serta perancangan alat evaluasi berupa latihan dan soal. Keempat adalah tahap evaluasi yang dilakukan oleh ahli materi dan ahli media. Ahli materi menelaah dan mengkaji tentang konsep – konsep yang dikembangkan dalam naskah CAI interaktif meliputi ketercapaian kompetensi, kebenaran konsep, keluasan dan kedalam konsep, sistematika penyajian materi. Ahli media menelaah dan mengkaji dari sisi program CAI interaktif meliputi tampilan (ilustrasi dan visualisasi) serta interaktivitas antara mahasiswa dengan program CAI interaktif. Hasil menunjukkan bahwa sajian materi berdasarkan review ahli materi menyatakan cukup bagus, sedangkan penilaian ahli media menyatakan bahwa tampilan visual, suara, format penyajian dan interaktivitas Program CAI ini rata – rata bagus dan cukup bagus. Keywords: Media pembelajaran, Bahan Ajar, CAI Interaktif. minimal dan diambil alih oleh Bahan Ajar Cetak (BAC) dan teknologi elektronik yang berperan sebagai instruktur penyampai materi ajar dan mengadakan interaksi kepada peserta didiknya [4].
Pendahuluan Pada saat ini penelitian tentang pengembangan dan pemanfaatan Computer Assisted Instruction (CAI) telah banyak dilakukan. Bakac mengungkapkan bahwa CAI dapat meningkatkan pencapaian akademik siswa pada topik arus listrik [1] Selain itu, Surjono menemukan bahwa CAI juga dapat meningkatkan hasil belajar mahasiswa dan memperoleh tanggapan positif bagi penggunanya dalam mata pelajaran Elektronika [2]. Penelitian lain dikemukakan oleh K.Phillip yang menyatakan bahwa CAI juga dapat meningkatkan perilaku positif siswa dalam mata pelajaran Matematika [3]. Makalah ini membahas proses pengembangan CAI interaktif mulai dari tahapan perencanaan sampai tahapan evaluasi. Pengembangan dilakukan guna melengkapi dan memperkaya Buku Materi pokok (BMP) yang merupakan bahan ajar utama dalam pendidikan jarak jauh dan diharapkan dapat membantu mahasiswa dalam memahami konsep – konsep fisika secara mandiri.
Pemanfaatan teknologi elektronik digunakan oleh UT untuk mengembangkan Bahan Ajar multimedia sebagai media instruksional yang bersifat interaktif sebagai upaya mengatasi keterbatasan interaksi dan komunikasi antara pengajar dan peserta didik serta minimnya pemberian umpan balik terhadap hasil belajar peserta didik [5]. Faktor interaktivitas merupakan salah satu faktor yang menentukan dalam pemilihan dan pengembangan suatu media instruksional. Interaktivitas menitikberatkan pada keterlibatan peserta didik dalam aktivitas pembelajaran yang disampaikan melalui bahan ajar multimedia. Faktor lainnya yang perlu diperhatikan adalah aksesibilitas, biaya, dan efektivitas pembelajaran.[6] Salah satu bentuk media instruksional yang bersifat interaktif adalah CAI atau Pembelajaran berbantuan komputer. CAI didefinisikan sebagai suatu paket bahan belajar atau aktivitas belajar yang disampaikan melalui komputer (Hannafin dan Peck dalam Said, 2004). Lebih lanjut (Cotton,1991) memberikan pengertian CAI yaitu aktivitas yang ditawarkan CAI merujuk pada latihan dan praktek, tutorial, simulasi, yang
Model Pengembangan CAI Universitas Terbuka (UT) adalah universitas yang menerapkani sistem Pendidikan Jarak Jauh (PJJ) dimana adanya keterpisahan jarak dan waktu antara pengajar dan peserta didik. Keterpisahan ini menimbulkan konsekuensi tuntutan kemandirian belajar bagi peserta didik. Dalam sistem PJJ, bantuan pengajar menjadi
ISBN 978-602-19655-3-5
77
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2012 (SNIPS 2012) 7-8 Juni 2012, Bandung, Indonesia
berfungasi sebagai suplemen dan berperan sebagai teacher directed instruction [8]. Berdasarkan definisi yang diberikan, CAI dapat berfungsi sebagai tutor dalam aktivitas tutorial. CAI dapat dirancang dengan kegiatan yang interaktif pada saat penyampaian materi yang diikuti oleh latihan dan evaluasi materi. Interaksi penyajian materi biasanya dirancang secara bercabang dimana peserta didik diberi kesempatan untuk memilih topik-topik pembelajaran yang ingin dipelajari dalam suatu subjek pembelajaran tertentu.
Hasil Model Pengembangan Materi pada CAI interaktif yang dikembangkan dalam pengembangan ini adalah materi tentang topik muatan listrik statis pada mata kuliah Fisika Dasar 2 PEFI4102. Pengumpulan data dilakukan dengan menyebarkan angket kepada ahli materi dan ahli media untuk mengevaluasi produk CAI yang sudah jadi. Beberapa tahapan yang dilakukan adalah sebagai berikut.
Agar dapat berfungsi sebagai tutor,maka CAI perlu diprogram terlebih dahulu, sehingga proses pengembangannya dilakukan oleh sebuah tim. Menurut Hardono (2004), tim pengembang sebaiknya terdiri atas ahli materi dan ahli grafis serta ahli produksi audio dan video. Karena CAI disajikan melalui sebuah komputer, maka diperlukan pemrogram komputer.
Tahap penilaian kebutuhan belajar peserta didik. Pada tahap ini dilakukan proses penilaian kebutuhan belajar peserta didik. Salah satu karakter dari mahasiswa UT adalah adanya kemandirian dalam belajar. Guna memenuhi kebutuhan belajar mahasiswa dikembangkanlah CAI interaktif sebagai bahan ajar multimedia yang dapat memberikan fleksibilitas dalam tempat dan waktu belajar. Mahasiswa tidak dituntut hadir pada tempat dan waktu tertentu untuk mengikuti kegiatan pembelajaran, karena mahasiswa dapat mempelajari bahan ajar multimedia dimana saja dan kapan saja selama terdapat komputer multimedia. Pada tahap ini dikembangkan beberapa produk yang berupa peta kompetensi melalui analisis instruksional. Tujuan analisis ini untuk menetapkan tujuan yang diharapkan dimana pengembang program harus mempertimbangkan kemampuan pengguna program. Selain itu . Penentuan tujuan instruksional ini dituangkan ke dalam Garis Besar Program (GBP) CAI interaktif seperti tersaji pada tabel 1.
Pengembangan CAI harus melalui beberapa tahap kegiatan. Menurut S.Ivers dan E. Barron (2002), untuk mengembangkan suatu program multimedia membutuhkan perencanaan yang matang sehingga dapat menghasilkan produk yang lebih baik. Model yang dikembangkan berdasarkan pada empat fase yaitu 3Ds dan satu E yaitu Decide, Design, Develop, and Evaluate atau disebut Fase 3D dan 1E. Fase Decide memfokuskan pada penentuan tujuan dan materi program. Fase Design menunjukkan pada struktur program, dan fase Develop meliputi produksi dan pemrograman media. Sedangkan fase Evaluate melihat secara keseluruhan proses yang terjadi dalam pengembangan multimedia yang disajikan dalam diagram 1.
Tabel 1. GBP CAI Interaktif Tujuan Instruksional Khusus Menjelaskan pengertian muatan listrik, Menjelaskan konsep atom, elektron, dan proton Menjelaskan interaksi antar benda bermuatan listrik Menjelaskan tentang gaya coulomb
Diagram 1. Model DDD-E oleh Karen S. Ivers [10] dan Ann E. Baron
ISBN 978-602-19655-3-5
78
Topik/Sub Topik
Strategi
Waktu
Muatan Listrik
Teks, video
tidak dibatasi
Konsep atom, elektron, dan proton
Teks, gambar, animasi
tidak dibatasi
Macammacam interaksi antar benda bermuatan Gaya Coulomb
Teks, gambar, animasi, video
tidak dibatasi
Teks, Animasi
tidak dibatasi
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2012 (SNIPS 2012) 7-8 Juni 2012, Bandung, Indonesia
Mengaplikasik an gaya coulomb pada kapasitor Menjelaskan rangkaian kapasitor secara seri dan paralel
Aplikasi gaya Coulomb pada kapasitor Rangkaian kapasitor seri dan paralel
Teks, gambar, animasi
tidak dibatasi
Teks, gambar, animasi, video
tidak dibatasi
materi pelajaran yang dikembangkan dalam CAI disajikan dalam tabel 3 berikut ini. Tabel 3. Hasil telaah dari ahli materi Indikator Kejelasan tujuan pembelajaran
Tahap Disain. Pada tahap ini dikembangkan alur flowchart yang mengilustrasikan urutan penyajian materi program CAI. Urutan ini harus dapat dilihat secara global dan mudah dituangkan dalam pembuatan naskah frame demi frame. Frame dibuat agar rancangan tampilan gambar dan sajian pembelajaran sesuai dengan alur materi pada flowchart. Dalam penulisan frame naskah, semua komponen yang akan muncul seperti teks, gambar, animasi, audio, atau video, tombol serta hubungan navigasi yang akan digunakan harus disertakan. Selain itu, dipertimbangkan pula strategi penyampaiannya agar display yang dihasilkan nantinya menarik untuk dilihat dan tidak terkesan monoton.
Skala 2,67
Sistematika penyajian materi
2,67
Kejelasan uraian materi
2,67
Kemudahan memahami materi
2,67
Pemberian penguatan untuk jawaban yang benar
2,00
mengerjakan tes
2,00
Skala yang digunakan adalah skala 1 = kurang bagus, skala 2 = cukup bagus dan skala 3 = bagus. Hasil menunjukkan bahwa dari sisi materi yang meliputi kejelasan tujuan pembelajaran, sistematika penyajian materi, kemudahan memahami mate ri, danKemudahan memahami materi mendapatkan penilaian rata – rata cukup bagus (skala 2) dan mendekati bagus. Sedangkan untuk pemberian penguatan pada jawaban yang benar dan pemberian tes mendapatkan penilaian rata – rata cukup bagus.
Tahap Pengembangan Produk. Pada tahap ini dilakukan perakitan seluruh elemen media yang meliputi teks, gambar, animasi, audio dan video. Peralatan yang diperlukan seperti perangkat keras yang berupa kamera foto digital, kamera video digital, ataupun perangkat lunak yang digunakan. Berikut adalah perangkat lunak yang digunakan dalam pengembangan CAI interaktif yang disajikan dalam tabel 2.
Evaluasi terhadap media dilakukan oleh Ahli media yang menelaah dan mengkaji dari sisi program CAI interaktif meliputi unsur visual terdiri dari tampilan grafis (pemilihan huruf, teks, gambar). Unsur suara yang dilihat dari kualitas suara pada video ataupun dari narasi materi serta sound effect pada tiap tampilan program. Selain itu dari segi format penyajian yaitu tentang tata letak program turut dievaluasi.
Tabel 2. Perangkat lunak yang digunakan pada pengembangan CAI
Tabel 4. Hasil telaah dari ahli Media
Jenis
Indikator
Skala
Unsur Visual Pemilihan jenis dan ukuran huruf Penggunaan jarak (baris, alinea, dan karakter)
2,33 2,67
animasi
Adobe Photoshop dan Adobe illustrator Adobe Soundbooth dan Gold Wave, Adobe Flash CS5
video
Adobe Premiere
Video Hasil rekaman digital camera dengan format Avi
konversinya MP3, perangkat lunaknya AV3MPeg atau real Producer
Perangkat Lunak untuk pengolah: gambar suara
Tahap Evaluasi dilakukan oleh ahli materi dan ahli media. Ahli materi menelaah dan mengkaji tentang konsep – konsep yang dikembangkan dalam naskah CAI interaktif meliputi ketercapaian kompetensi, kebenaran konsep, keluasan dan kedalam konsep, sistematika penyajian materi. Hasil evaluasi dilakukan oleh 3 ahli materi yang menelaah tentang substansi
ISBN 978-602-19655-3-5
79
Keterbacaan teks Tampilan gambar Penempatan gambar Keserasian warna background dengan teks Unsur Suara Kualitas suara Sound effect Format Penyajian
2,00 2,00 2,67
Kerapian tampilan slide Tata letak (layout)
3,00 3,00
Kejelasan Tampilan video Penempatan video Interaktivitas Tingkat interaktivitas siswa dengan media
2,67 3,00
3,00 2,00
2,0
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2012 (SNIPS 2012) 7-8 Juni 2012, Bandung, Indonesia
Kualitas penanganan respon siswa Kemudahan navigasi Kemudahan memilih menu sajian Kebebasan memilih menu sajian Kemudahan dalam penggunaan
2,0
[2] Surjono, H. (1995). Pengembangan Computer-Assisted Instruction (CAI) Untuk Pelajaran Elektronika. Jurnal Kependidikan. No.2 (XXV) 95 – 106. Akses tanggal 3 Juni 2012
2,0 2,7 2,3
[3] Mwei K. Philip, Too K. Jackson , Wando Dave. The Effect of Computer-Assisted Instruction on Student’s Attitudes and Achievement in Matrices andTransformations in Secondary Schools in Uasin Gishu District, Kenya. International Journal of Curriculum and Instruction Vol. 1(1), pp. 53 - 62, April 2011 Available online at http://www.muk.ac.ke/ijci/. ISSN 20774982 ©2011 Department of Curriculum, Instruction and Educational Media, Moi University. Akses tanggal 3 Juni 2012.
Tabel 4 mengungkapkan hasil penilaian dari ahli media. Hasil menunjukkan bahwa penilaian tentang format penyajian mendapatkan respon yang bagus yaitu dengan rata – rata skala 3. Sedangkan untuk unsur visual, interaktivitas, dan kemudahan navigasi mendapatkan respon rata – rata cukup bagus dan mendekati bagus. Selanjutnya terdapat beberapa masukan dari para ahli media guna penyempurnaan program CAI interaktif yang dilihat dari segi visual yaitu penggunaan teks dan gambar serta tampilan warna harus lebih berani agar dapat memotivasi siswa untuk lebih belajar. Sedangkan dari segi navigasi atau petunjuk penggunaan harus jelas dan tegas agar mahasiswa sebagai pengguna dapat dengan mudah menggunakannya. Selain itu segi interaktivitas juga perlu ditingkatkan guna meningkatkan keterlibatan mahasiswa dalam pembelajaran. Masukan dari ahli materi dan ahli media akan digunakan pengembang dalam merevisi program CAI interaktif sehingga menjadi lebih baik dan dapat diimplementasikan ke para pengguna serta bermanfaat sebagai sumber belajar mahasiswa.
[4] Moore, Michel G. and Kearsley Greg (1991). Distance Education, a system view. Wadsworth Publishing Company. California. [5] Krisnadi, Elang, (2004). Pembelajaran Berbantuan Komputer dalam Sistem Pembelajaran Jarak Jauh pada buku Pendidikan Tinggi Jarak Jauh, Universitas Terbuka, Tangerang. [6] Bates, Tony A.W, (2001), Technology, elearning and Distance Education, Routledge, London and Newyork.
Kesimpulan Pengembangan CAI interaktif mata kuliah Fisika Dasar 2 telah dilakukan dengan hasil yang cukup bagus. Namun perlu ada tindak lanjut berdasarkan masukan dari ahli materi dan media berupa revisi sehingga menghasilkan program yang lebih baik dan siap diimplementasikan.
[7] Said, Asnah, (2004), Pengembangan Strategi Pembelajaran Berbantuan Komputer, Universitas Terbuka, Tangerang. [8] Katleen, Cotton, (1991), Computer Assisted Instruction. School Improvement Research Series, akses tanggal 3 Juni 2012.
Ucapan terima kasih [9] Hardono, A.P, (2004), Pengembangan Bahan Ajar Multimedia, Universitas Terbuka, Tangerang.
Penulis mengucapkan terima kasih pada ahli media: Bapak Benny Pribadi, Ibu Trini, dan Pak Elang atas masukan dan diskusinya yang bermanfaat. Penulis juga berterima kasih kepada Ahli materi Ibu Heni, Bapak Dody dan Ibu Tuti atas saran dan dukungannya.
[10] S.Ivers, Karen. & E. Baron, Ann, (2002) Multi media Projects in Education, Designing, Producing, and Assesing. Connecticut. Amerika. Herawati Program Studi Pendidikan Fisika Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Terbuka
[email protected]
Referensi [1] Mustafa Bakaç, Aslıhan Kartal Taşoğlu, Turgay Akbay (2011). The Effect of Computer Assisted Instruction with Simulation in Science and Physics Activities on the Success of Student: Electric Current. journal homepage: http://www.eurasianjournals.com/index.php/e jpce. Akses 3 Juni 2012
ISBN 978-602-19655-3-5
Heni Safitri Program Studi Pendidikan Fisika Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Terbuka
[email protected]
80
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2012 (SNIPS 2012) 7-8 Juni 2012, Bandung, Indonesia
Pemanfaatan Tutorial Online bagi Mahasiswa dalam Pembelajaran Fisika Heni Safitri* dan Herawati Abstrak Kemajuan teknologi memberikan efek perubahan pada pembelajaran yang disampaikan kepada mahasiswa. Tutorial online (tuton) dalam peguruan tinggi jarak jauh (PTJJ) seperti Universitas Terbuka (UT) salah satunya bertujuan untuk membantu mahasiswa untuk memecahkan penguasaan konsep fisika melalui pemanfaatan jaringan internet. Sejak tahun 2002 Program Studi Pendidikan Fisika telah memberikan layanan bantuan belajar berupa tuton, dan sampai pada tahun akademik 2011-2012 telah mencapai 23 matakuliah. Dalam tutorial online yang diberikan selama 8 kali pertemuan, mahasiswa diberikan materi dalam bentuk inisiasi, media video dan web dimana sumber-sumber pembelajaran dari internet dapat dipilih tutor untuk pembelajaran yang sesuai dengan mata kuliahnya. Selain itu, mahasiswa dapat diajak berdiskusi tentang topik-topik yang menarik dalam setiap mata kuliah untuk dapat berinteraksi dengan tutor dan peserta tuton lainnya. Ketercapaian kompetensi melalui tutorial online setiap mata kuliah diukur melalui tugas tutorial. Makalah ini memberikan gambaran tentang pemanfaatan tuton dilihat dari segi interaksi mahasiswa terhadap fasilitas yang diberikan dalam tuton pada program studi pendidikan fisika Kata-kata kunci: Tutorial online, pembelajaran fisika, mahasiswa belajar, interaksi tutor dengan mahasiswa, dan interaksi mahasiswa dengan mahasiswa. Manfaat lain dari tuton adalah bersifat fleksibel karena tidak memerlukan jadwal yang ketat seperti jadwal didalam kelas, disamping itu juga tidak menggangu waktu bekerja bagi pegawai [4]. Sehingga, tuton memberikan keleluasaan kepada mahasiswa untuk belajar dan dapat menyesuaikan waktu belajar dengan waktu pekerjaannya maupun kehidupan pribadinya.
Pendahuluan Di masa-masa mendatang dengan semakin tersebarnya mahasiswa dan berkembangnya teknologi informasi yang disertai semakin mudahnya akses dan biaya memanfaatkan teknologi informasi, khususnya internet, menyebabkan tuton menjadi pilihan sarana layanan bantuan belajar yang dapat diandalkan dalam pendidikan jarak jauh. Bantuan belajar melalui internet merupakan komponen yang penting pada PTJJ. Sejak tahun 1990, program pembelajaran yang didukung oleh komputer telah berkembang untuk beberapa materi dengan tujuan untuk 1) memperkuat pemahaman, 2) sebagai pengayaan, dan 3) memperjelas materi [1]. Ketiga tujuan tersebut berguna untuk menghantar mahasiswa menghadapi suasana belajar baru yang belum pernah dihadapi, yaitu dari suasana tatap muka dalam kelas ke dalam sistem belajar mandiri. Oleh karena itu tutor dalam mengembangkan materi belajar dalam tuton, harus mendesain materi sejelas mungkin, sehingga dapat mengakomodasi berbagai cara belajar mahasiswa [2]. Interaksi dan komunikasi antara mahasiswa dengan dosen merupakan aspek yang penting dalam pendidikan, bahwa, tutorial adalah suatu proses pemberian bantuan dan bimbingan belajar dari seseorang kepada orang lain. [3] Dalam pembelajaran di UT, tuton merupakan bagian integral dari proses pembelajaran mahasiswa, dan dalam tutorial terkandung berbagai aspek, yaitu bantuan
ISBN 978-602-19655-3-5
Makalah ini memberikan gambaran tentang pemanfaatan tuton dilihat dari segi interaksi mahasiswa terhadap fasilitas yang diberikan dalam tuton pada program studi pendidikan fisika. Hal ini berguna dalam mengevaluasi pelaksanaan tuton sebagai salah satu layanan bantuan belajar yang sangat dibutuhkan mahasiswa. Tuton Universitas Terbuka Tuton mulai dilaksanakan di UT sejak tahun 1997. Dengan perkembangan Open Source Software, pada tahun 2002 Learning Management system yang digunakan oleh UT dalam mengembangkan aplikasi tuton adalah Manhattan Virtual Classroom dan sejak tahun 2004 sampai sekarang UT telah menggunakan software Moodle (Modular Object-Oriented Dynamic). Moodle adalah salah satu aplikasi elearning yang Open Source. Moodle merupakan paket software yang diproduksi untuk kegiatan belajar berbasis internet dan website. Moodle tersedia dan dapat digunakan secara bebas
81
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2012 (SNIPS 2012) 7-8 Juni 2012, Bandung, Indonesia
sebagai produk open source dibawah lisensi publik GNU. [5] Dalam membangun e-learning, Moodle mempunyai keunggulan, antara lain adalah 1) sederhana, efisien, dan kompatibel dengan banyak browser; 2) mudah cara instalasinya serta mendukung banyak bahasa, termasuk bahasa Indonesia; 3) tersedianya manajemen situs untuk pengaturan situs keseluruhan, mengubah theme,menambah module, dan sebagainya; 4) membutuhkan satu database. Database yang ada di aplikasi tuton dapat di hubungkan dihubungkan dengan sistem database mahasiswa UT. Hal ini akan memudahkan pengelolaan data mahasiswa peserta tuton, sehingga mahasiswa yang akan mengikuti tuton adalah mahasiswa yang hanya benar-benar telah meregistrasikan mata kuliah pada semester berjalan. Gambar 1 memperlihatkan tampilan depan tuton Universitas Terbuka.
Gambar 2. Contoh Tampilan Fasilitas yang diberikan dalam Tuton Disamping itu mahasiswa juga diharapkan terlibat dalam diskusi berkaitan dengan materi tuton. Contoh tampilan diskusi diperlihatkan pada gambar 3. Observasi terhadap pemanfaatan tuton dilakukan dengan melihat keaktifan mahasiswa dalam mengakses inisiasi, berdiskusi dan mengerjakan tugas-tugas tuton.
Gambar 1. Tampilan Tuton pada Universitas Terbuka Pengamatan terhadap pemanfaatan tuton bagi mahasiswa dalam pembelajaran fisika dilakukan pada mahasiswa yang mengikuti matakuliah di program studi pendidikan. Fisika (PFIS-UT) tahun akademik 2011-2012 semester 2, tuton didisain dalam 8 inisiasi selama 8 minggu (1 inisiasi setiap minggu), dalam minggu 3,5, dan 7 tuton tidak hanya berisi materi matakuliah tetapi juga berisi tugas-tugas untuk mahasiswa, tugas tersebut harus dikerjakan dan kemudian dikirim kepada tutor. Contoh fasilitas yang dapat dimanfaatkan mahasiswa dalam tuton dapat berupa video, presentasi, animasi maupun artikel tentang topik yang dibahas seperti diperlihatkan pada gambar 2.
Gambar 3. Contoh Diskusi dalam Tuton Hasil dan diskusi Pada awal perencanaan PFIS-UT, matakuliah yang disediakan tuton memiliki kriteria antara lain: tingkat kesulitan matakuliah, tingkat kepentingan mata kuliah dalam program studi, jumlah mahasiswa yang meregistrasi matakuliah cukup banyak serta ketersediaan tutor di fakultas. Namun dengan berjalannya waktu, semua mata kuliah yang ditawarkan PFIS-UT harus menyediakan tuton, sehingga mata kuliah yang disediakan tuton terus bertambah sesuai dengan keadaan pengampu atau pengelola tutorial. Untuk tahun akademik 2011-2012 semester 2 program studi pendidikan fisika menawarkan tuton pada 23 matakuliah biasa dan 1
ISBN 978-602-19655-3-5
82
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2012 (SNIPS 2012) 7-8 Juni 2012, Bandung, Indonesia
matakuliah tugas akhir program (TAP). Pada tahun akademik 2011-2012, dari 2233 mahasiswa hanya 506 mahasiswa yang menjadi peserta tuton atau sebesar 22,66%. Sedangkan untuk melihat aktifitas mahasiswa dalam berinteraksi didalam tuton, kami mengobservasi dua mata kuliah yang memiliki karakteristik berbeda yaitu mata kuliah fisika kuantum mewakili mata kuliah biasa dan mata kuliah TAP pada program PFIS-UT. Observasi dilakukan selama satu semester berjalan yang melibatkan seluruh peserta tuton pada kedua matakuliah tersebut. Gambar 4 memperlihatkan partisipasi siswa yang aktif dalam membaca materi yang diberikan tutor.
diskusi pertama relatif lebih banyak dibandingkan dengan mahasiswa yang aktif di diskusi berikutnya. Namun dari gambar tersebut keaktifan mahasiswa meningkat kembali dalam pertemuan ke enam. Hal ini terjadi dikarenakan pada inisiasi ke enam inisiasi yang diberikan tutor menarik mahasiswa untuk berdiskusi yaitu berisi tentang aplikasi mekanika kuantum dalam fisika zat padat. Namun ternyata pada pertemuan selanjutnya terjadi penurunan kembali jumlah mahasiswa yang berdiskusi
sampai dengan pertemuan terakhir. Gambar 5. Jumlah mahasiswa yang aktif diskusi pada setiap pertemuan tuton
Gambar 4. Jumlah mahasiswa yang membaca materi setiap pertemuan tuton Untuk mata kuliah Fisika Kuantum (PEFI4419) diawal pertemuan tutor banyak memberikan berupa video, presentasi maupun artikel tentang topik yang dibahas. Sedangkan pada mata kuliah Tugas Akhir Program (PEFI4500) tutor memberikan problem solving dan case study yang akan berusaha dipecahkan mahasiswa. Gambar tersebut menjelaskan bahwa diawal pertemuan tuton mahasiswa cukup antusias mengikuti tuton namun dengan berjalannya pertemuan dapat dilihat terjadi penurunan partisipasi mahasiswa. Hal ini dimungkinkan terjadi dikarenakan tutor memberikan fasilitas lengkap (video, presentasi dan artikel) pada saat awal-awal pertemuan, namun ternyata diakhir tutorial terutama pertemuan ketujuh dan delapan inisiasi yang diberikan tutor hanya berupa artikel saja atau presentasi.
Gambar mahasiswa yang tugas tutorial.
Jika dilihat dari ketiga gambar tersebut, dapat dilihat bahwa kecenderungan partisipasi mahasiswa mengalami penurunan diakhir-akhir pertemuan tuton. Hal ini dimungkinkan terjadi dikarenakan kendala saat mahasiswa mengikuti pelaksanaan tuton, yaitu pertama kesulitan dalam mengakses internet, kedua, inisiasi tidak menarik untuk dibaca dan terlambat diberikan serta tidak ada tanggapan atas jawaban mahasiswa, dan ketiga tidak dapat menggunakan komputer berbasis internet [6].
Sedangkan pada gambar 5 memperlihatkan diskusi yang diberikan dalam tuton terlihat jumlah mahasiswa yang aktif berpartisipasi dalam setiap diskusi pada tuton. Jumlah mahasiswa yang ikut aktif dalam diskusi pada
ISBN 978-602-19655-3-5
6. Jumlah mengerjakan
83
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2012 (SNIPS 2012) 7-8 Juni 2012, Bandung, Indonesia
Untuk itu diperlukan beberapa upaya yang dapat meningkatkan pemanfaatan tuton bagi mahasiswa dalam pembelajaran fisika, seperti perlunya tutor memberikan penyediaan materi yang bervariasi dan menarik sehingga mahasiswa termotivasi untuk ikut serta dalam tuton serta aktif dalam memandu diskusi.
Heni Safitri* Program Studi Pendidikan Fisika Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Terbuka
[email protected]
Herawati
Kesimpulan
Program Studi Pendidikan Fisika Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Terbuka
[email protected]
Pemanfaatan fasilitas yang diberikan tutor dalam tuton bagi mahasiswa dalam pembelajaran fisika masih rendah. Hal ini terlihat dari akses mahasiswa terhadap fasilitas yang diberikan tuton. Untuk itu diperlukan usaha agar mahasiswa yang memanfaatkan layanan bantuan belajar ini lebih meningkat. Perlunya kekonsistenan dari tutor agar dapat memberikan fasilitas yang sama di semua pertemuan dan memotivasi mahasiswa agar terus aktif dalam setiap pertemuan di tuton.
*Corresponding author
Ucapan terima kasih Penulis mengucapkan terima kasih pada Ibu Widiasih sebagai ketua program studi pendidikan fisika UT yang telah memberikan fasilitas dan dukungan dalam memperoleh data. Referensi [1] O Peters, “Learning With New Media in Distance Education”. Handbook Of Distance Education.Grahame Moore, Michael and Anderson, William G. (Ed), London: Lawrence Erlbaum Associates, Publishers. 2003. [2] C Bianco,“Online Tutorial: Tips from the Literature. Library Philosophy and Practice”, 8 (1). 2005. diunduh 23 Juli, 2008, dari http://www.webpages.uidaho.edu/~mbolin/b ianco2.htm [3] Muhamad Yunus, “Perkembangan Sistem Layanan Bantuan Belajar”. Dalam Wahyono Effendi dkk. (Ed), Universitas Terbuka Dulu, Kini, dan Esok. Jakarta: Universitas Terbuka, 2004 [4] W Zhang, K Perris, E Kwok, “Use of Tutorial Support: experinces from Hong Kong distance learners”. Asian Journal of Distance Education. 1 (1), 12-19, 2003. Diunduh 30 Mei, 2005, dari http://www.AsianJDE.org [5] Timbul Pardede, “Pemanfaatan eleraning sebagai media pembelajaran pada pendidikan jarak jauh” Universitas Terbuka, Jakarta, 2011 [6] Any Meilani, ” Potret aktivitas tutor dan mahasiswa dalam tutorial online Universitas Terbuka”
ISBN 978-602-19655-3-5
84
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2012 (SNIPS 2012) 7-8 Juni 2012, Bandung, Indonesia
Analisa Penggunaan Piranti Lunak Treatment Planning System (TPS) Prism: Suatu Studi Kasus pada Fantom Air Mohammad Haekal* dan Freddy Haryanto Abstrak Prism merupakan piranti lunak non-komersil yang dikembangkan untuk membantu dalam proses treatment planning system (TPS) dalam radioterapi. Studi kasus dilakukan untuk meninjau kinerja Prism dalam proses TPS tersebut. Dilakukan tiga studi kasus dengan tiga jenis fantom yang memiliki perbedaan dimensi maupun geometri. Studi kasus pertama dilakukan untuk mengamati penghitungan percentage depth dose (PDD) pada fantom. Studi kasus kedua dilakukan untuk mengamati penghitungan persebaran dosis pada fantom pada saat dilakukan optimasi menggunakan Prism. Studi kasus ketiga dilakukan untuk mencoba optimasi pengaturan beam pada fantom dengan geometri yang tidak beraturan. Hasil yang didapatkan menunjukkan profil PDD sesuai dengan acuan pada rujukan. Persebaran dosis pada studi kedua berhasil memenuhi kriteria +7% dan -5% pada PTV. Studi kasus ketiga membutuhkan pengembangan lebih lanjut dalam teknik planning yang digunakan. Kata-kata kunci: prism TPS, kurva isodosis, PDD Pendahuluan Prism treatment planning system (TPS) merupakan piranti lunak non-komersil yang dikembangkan di University of Washington [1]. Pengembangan Prism selain untuk penggunaan klinis juga digunakan dalam kegiatan penelitian dan pembelajaran mengenai TPS [2]. Penelitian ini mengamati kinerja dari Prism dalam proses TPS. Untuk pengamatantersebut dilakukan studi kasus penggunaan Prism pada fantom air. Studi kasus yang dilakukan terutama mengacu pada eksperimen yang dirancang oleh Meyer [3] dan Sun [1] dengan beberapa modifikasi pada bentuk fantom pada eksperimen Meyer dan perbedaan teknik planning pada eksperimen Sun.
Jenis/Nilai SL20A 6 MV
field size
10x10 cm
SSD collimator rotation couch rotation gantry rotation
100 cm 0° 0° 0°
2
Studi kasus kedua menggunakan fantom 3 dengan dimensi 20x20x20 cm dengan tiruan jaringan tumor dan resiko organ di dalamnya. Densitas pada fantom ini sama dengan densitas fantom pada studi kasus pertama. Isocenter dari mesin dipusatkan menjadi titik tengah dari fantom, dan di dalamnya tiruan jaringan tumor juga dipusatkan pada isocenter ini. Jaringan tumor memiliki geometri kubus dengan dimensi 3 5x5x5 cm . Resiko organ terletak 2.5 cm di 3 bawah jaringan tumor dan berdimensi 4x4x4 cm dengan geometri kubus. Densitas dari resiko 3 organ sebesar 1.8 g.cm setara dengan densitas tulang pada tubuh manusia [3].
Eksperimen Pada studi kasus pertama digunakan fantom 3 dengan dimensi 40x40x40 cm dengan bagian permukaan dibuat sejajar dengan isocenter dari 3 mesin. Densitas fantom diatur menjadi 1.0 g/cm , serupa dengan air. Didefinisikan 15 titik pengamatan yang menjadi titik acuan dalam penghitungan dosis [3]. Variasi yang akan dilakukan dalam studi kasus ini adalah pengubahan field size pada penyinaran fantom, pengubahan energi dari beam, dan pengubahan Source-to-Surface Distance (SSD). Variabel yang diamati merupakan perubahan profil percentage depth dose (PDD) dari tiap-tiap perubahan parameter terhadap pengaturan standar dari beam. Pengaturan standar yang dimaksud seperti nampak pada tabel 1.
Di sekeliling tumor dibentuk PTV dengan metode tri-linear expansion dengan margin 1 cm di sekeliling tumor. Titk pengamatan didefinisikan sebanyak 6 titik dengan posisi satu pada resiko organ bagian tengah, satu buah di bagian tengah PTV, dan 4 titik di bagian-bagian tepi dari PTV. Variasi yang akan dilakukan pada studi kasus kedua merupakan pengaturan jumlah dan posisi beam serta penggunaan wedge pada bentuk kurva isodosis yang dihasilkan. Akan diuji lima konfigurasi beam dengan ketentuan seperti pada tabel 2.
Tabel 1. Pengaturan standar beam
ISBN 978-602-19655-3-5
Parameter mesin energi
85
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2012 (SNIPS 2012) 7-8 Juni 2012, Bandung, Indonesia
Tabel 2. Konfigurasi beam yang digunakan pada studi kasus dua Jumlah beam
Sudut beam
1
0°
2
0° dan 180°
pengamatan pengubahan laju dosis terhadap parameter. Hasil dan diskusi Dari studi kasus pertama didapatkan data seperti ditampilkan pada grafik di gambar 2,
90° dan 270° 3
0°, 120°, dan 240° 0°, 90°, dan 270° 0°, 60°, dan 300°
Studi kasus ketiga menggunakan fantom berbentuk bulat dengan diameter 30 cm, dengan tiruan resiko organ berbentuk bulat di dalamnya dengan dimensi 6 cm yang dipusatkan pada isocenter. Di sekeliling resiko organ dibentuk PTV berbentuk lengkung dengan diameter dalam 8 cm dan diameter luar 20 cm. Geometri fantom ini tampak seperti pada gambar 1,
Gambar 2. Kurva perbandingan PDD antara 2 pengaturan standar (biru), field size 20x20 cm (kuning), SSD 50 cm (ungu), SSD 150 cm (merah), dan energi beam 18 MV (hijau) Nampak dalam grafik bahwa hasil penghitungan yang dilakukan Prism pengaruh perubahan parameter-parameter tersebut sesuai dengan hasil penelitian pada eksperimen Buzdar [4]. Semakin besar field size maka penurunan dosis per cm nya semakin kecil karena perbedaan efek hamburan radiasi yang terjadi. Pengubahan SSD menimbulkan pengaruh yang paralel dimana semakin kecil SSD maka penurunan dosis per cm semakin tinggi. Sedangkan pengubahan energi menjadi 18 MV juga meningkatkan daya penetrasi dari beam sehingga dosis maksimum muncul pada tingkat yang lebih dalam.
Gambar 1.Tampilan fantom pada studi kasus ketiga pada penampang transversal. Hijau: outline fantom. Merah: resiko organ. Kuning: PTV
Pada studi kasus kedua, didapatkan data dari penggunaan single beam tidak dapat menghasilkan persebaran dosis yang merata sebagaimana dianjurkan dalam ICRU reports no 50. Pada konfigurasi dua beam, didapatkan data persebaran dosis pada posisi beam 90° dan 270° dengan menggunakan wedge 60 ° berhasil menampilkan profil kurva isodosis yang diinginkan dengan batas -5% dan +7.4% pada area PTV. Kelebihan 0.4% masih bisa dioptimasi dengan pengaturan posisi beam lebih lanjut.
Studi kasus ini dilakukan menggunakan teknik forward planning untuk dibandingkan persebaran dosisnya dengan metoda Intense Modulated Arc Therapy (IMAT) yang dilakukan Sun [1]. Analisa akan dilakukan pada perbedaan penggunaan teknologi forward planning dan IMAT pada hasil kurva isodosis. Variasi yang dilakukan pada studi kasus ini terletak pada jumlah beam. Pada studi kasus ini penggunaan beam dibatasi hingga berjumlah lima, dan akan dicari perbedaan optimasi dari masing-masing jumlah beam dan posisi beam.
Studi kasus ketiga menyajikan hasil kurva isodosis yang tidak merata seperti pada gambar 3. Penggunaan 5 beam dirasakan masih belum cukup karena pengaruh geometri yang begitu sulit. Penambahan jumlah beam sangat disarankan, namun dengan teknik forward planning akan memakan waktu yang lama untuk
Semua studi kasus pada penelitian ini melakukan normalisasi dosis pada kedalaman zmax menjadi 100 cGy untuk memudahkan
ISBN 978-602-19655-3-5
86
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2012 (SNIPS 2012) 7-8 Juni 2012, Bandung, Indonesia
pemilihan konfigurasi beam yang tepat dan penghitungan dosis nya pun memakan waktu yang tidak sedikit. Penggunaan 5 beam dengan metode fine grid pada penghitungan dosis memakan waktu lebih dari 10 detik.
Unger, “Prism: A New Approach to Radiotherapy Planning Software”, International Journal of Radiation Oncology, Biology, and Physics 36 (2), 451-461 (1996) [3] Juergen Meyer, “A Tutorial for Treatment Planning in Radiation Therapy”. Update 09.08.2010, URL http://www2.phys.canterbury.ac.nz/~physm ed/prismtutorial/Mainpage.html [accessed 29 May 2012] [4] S.A. Buzdar, M.A. Rao, A. Nazir, “An Analysis of Depth Dose Characteristics of Photon in Water”, J Ayub Med Coll Abbottabad 21 (4), (2009) Mohammad Haekal Nuclear Physics and Biophysis Research Division Institut Teknologi Bandung
[email protected]
Gambar 3. Optimasi menggunakan lima beam
pada
fantom
tiga
Kesimpulan Prism TPS menggunakan penghitungan dosis yang bisa dipakai pada proses TPS baik secara klinis maupun untuk penelitian. Disarankan melakukan pengembangan pada metode IMAT dan IMRT menggunaan Prism untuk melakukan planning pada bidang dengan tingkat heterogenitas yang tinggi. Ucapan terima kasih Penulis mengucapkan terima kasih pada Ira J. Kalet, Ph.D, Professor Emeritus, dan Juergen Meyer Ph.D atas diskusi dan sarannya dalam penelitian ini. Terima kasih khususnya pada Franz, Inc. yang telah memberi dukungan berupa pemberian lisensi compiler CLISP pada keberjalanan penelitian ini. Referensi [1] Jidi Sun, “Implementation of 2-Step Intensity Modulated Arc Therpy”, Tesis Magister, University of Canterbury, New Zealand, 2010 [2] I.J. Kalet, J.P. Jacky, M.M Austin-Seymour, S.M. Hummel, K.J. Sullivan, dan J.M.
ISBN 978-602-19655-3-5
87
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2012 (SNIPS 2012) 7-8 Juni 2012, Bandung, Indonesia
Studi Awal Perilaku Interaksi Sistem Aerosol-Awan-Presipitasi Mengunakan Model Predator Mangsa Rita Sulistyowati*, Dui Yanto Rahman, dan Moh. Rosyid Mahmudi Abstrak Model predator-mangsa, sebuah model sederhana yang digunakan untuk mengetahui perilaku dinamika populasi, telah diterapkan pada sistem kompleks aerosol-awan-presipitasi. Aerosol bertindak sebagai modulator, awan sebagai mangsa dan presipitasi sebagai predator. Pada model tersebut, persamaanpersamaan dinamik terkopel menghasilkan solusi keadaan tunak dan bergantung waktu. Analisis dilakukan untuk mendapatkan hubungan antara konsentrasi aerosol (N0), kedalaman awan (H) dan presipitasi (R). Dapat disimpulkan bahwa: [1] jumlah konsentrasi aerosol (N0) mempengaruhi konsentrasi butiran awan (Nd) yang diperlukan untuk menghasilkan presipitasi (R), [2] presipitasi (R) yang terjadi menyebabkan perubahan kedalaman awan (H), [3] informasi mengenai presipitasi dan kedalaman awan ini secara kualitatif memberikan gambaran mengenai perilaku interaksi aerosol-awan-presipitasi, khususnya pengaruh aerosol terhadap perubahan cuaca. Untuk menguji validitas model ini, pada tahap lebih lanjut perlu dilakukan perhitungan secara kuantitatif yang melibatkan aspek mikrofisika awan agar diperoleh kesesuaian dengan data hasil observasi yang telah ada. Kata-kata kunci: Model predator-mangsa, konsentrasi aerosol, konsentrasi butiran awan, kedalaman awan, presipitasi Pendahuluan
Teori
Dampak aerosol terhadap perubahan iklim masih menjadi misteri besar yang baru sedikit dipahami [1,2]. Padahal aerosol merupakan inti kondensasi awan sehingga perubahan keadaannya di atmosfer tentunya akan sangat mempengaruhi sifat awan. Di sisi lain, konsentrasi aerosol antropogenik di atmosfer semakin meningkat akibat peristiwa alam seperti letusan gunung berapi, badai pasir, kebakaran hutan dan padang rumput, maupun tingginya aktivitas manusia seperti pertambangan, industri, transportasi dan lain-lain [2]. Oleh karena itu, pemahaman tentang dampak dan interaksi aerosol pada awan konvektif dangkal menjadi sangat penting dalam prediksi cuaca maupun iklim bumi [3,4].
Aerosol merupakan partikel padat atau cair yang mempunyai ukuran yang sangat kecil yaitu antara 0,001 µ m -1 µ m . Partikel-partikel aerosol ini mengapung di udara dan terbentuk oleh pemadatan gas atau oleh disintegrasi cairan atau material padat. Aerosol disebut sebagai inti kondensasi awan karena aerosol memiliki gaya gabung (affinity) untuk air sehingga fasa uap di atmosfer berkondensasi menjadi butiran awan dengan aerosol sebagai intinya. Butiran-butiran awan akan mengalami tumbukan satu sama lain dan selanjutnya bergabung membentuk awan melalui pengumpulan uap air di sekelilingnya [5]. Aerosol memiliki dampak langsung terkait sifatnya dalam menghamburkan/memantulkan dan menyerap radiasi sinar matahari. Sedangkan dampak tidak langsung aerosol terkait dengan perannya sebagai inti kondensasi awan. Perubahan konsentrasi aerosol akan menyebabkan perubahan konsentrasi jumlah inti kondensasi awan (IKA) dan butiran awan. Hal ini akan mempengaruhi pembentukan presipitasi yang terjadi [6,7].
Aerosol memilki dampak langsung dan tidak langsung. National Research Council (NRC) menyatakan bahwa ketidakpastian paling besar mengenai pengaruh aerosol terhadap perubahan iklim sangat mungkin berkaitan dengan efek tidak langsung aerosol terhadap awan [3]. Model predator-mangsa yang digagas oleh Ilan Koren dan Graham Feingold [4] mencoba meninjau interaksi yang kompleks tersebut menjadi model sederhana dan mudah dipahami.
ISBN 978-602-19655-3-5
Presipitasi merupakan semua partikel aquaeos dalam fasa cair atau padat yang berasal dari atmosfer dan jatuh ke permukaan bumi [5]. Jumlahnya biasanya dinyatakan dalam milimeter atau inci LWP dari substansi air yang jatuh pada sebuah titik yang diberikan selama periode waktu spesifik.
88
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2012 (SNIPS 2012) 7-8 Juni 2012, Bandung, Indonesia
H
LWP =
1
∫ q dz = 2 f L
T H2 =
ad ad
z =0
c1 2 H 2
PCB (mm/hari)
LWP merupakan besaran yang terkait dengan ukuran ketebalan awan. LWP (Liquid Water Path) didefinisikan sebagai ukuran dari jumlah total keberadaan air cair antara dua titik di atmosfer dalam satuan kg/m². Secara matematis LWP didefinisikan sebagai
(1)
Dimana H adalah kedalaman (kedalaman) awan sedangkan q adalah fungsi dari temperatur dan tekanan dasar-awan ( adiabatik hangat [8].
-1
m ) untuk awan
-3
Nd (cm )
Proses presipitasi dalam awan konvektif hangat dibagi dalam beberapa tahap [9]: 1. Proses aktivasi, di mana aerosol sebagai Inti Kondensasi Awan (IKA) diaktivasi terutama di dasar awan sebagai respon terhadap supersaturasi yang dihasilkan oleh arus udara ke atas. 2. Butiran terbentuk pada inti aktivasi, dengan ukuran sekitar 1 µm dan selanjutnya tumbuh akibat difusi uap air pada sel konvektif. 3. Kolisi dan koagulasi/koalesensi. Butiranbutiran awan mengalami kolisi (tumbukan) dan bergabung untuk membentuk butiran dengan ukuran yang lebih yang lebih besar. 4. Bila populasi awan menjadi tidak stabil maka tetes awan tumbuh menjadi embrio presipitasi yaitu butiran yang amat besar atau disebut dengan tetes hujan. Tetes hujan ini berukuran sekitar 1 mm–3 mm.
Gambar 1. Pengurangan butiran akibat koalesensi diplot sebagai fungsi dari laju presipitasi dasar awan (mm/hari) dan -3 konsentrasi rata-rata butiran awan (cm ) (Wood, 2005). Sistem aerosol-awan-presipitasi di atas dapat ditinjau sebagai sistem fisis yang kompleks di mana ketiga komponen sistem saling berinteraksi dan memperlihatkan perilaku dinamika [4]. Interaksi ini analog dengan model predator-mangsa dalam model dinamika populasi. Model Predator-Mangsa atau disebut juga model Lotdka Volterra merupakan suatu model yang membahas tentang interaksi antara spesies predator dan mangsa di dalam sebuah ekosistem [10]. Model ini mengasumsikan bahwa populasi mangsa akan meningkat secara alami sebelum berinteraksi dengan predator. Apabila terjadi interaksi, maka populasi mangsa akan menurun dan populasi predator akan meningkat secara eksponensial. Namun demikian, tanpa kehadiran mangsa, predator akan mengalami kelaparan dan lambat laun populasinya akan menyusut secara eksponensial pula. Secara matematis, model ini dapat dituliskan sebagai:
Presipitasi dapat terjadi bila kedalaman/ketebalan awan telah memenuhi keadaan tertentu, namun setelah beberapa waktu presipitasi juga akan menyebabkan kedalaman awan menjadi berkurang, begitupun halnya dengan jumlah konsentrasi butiran awan yang dimiliki oleh awan. Laju berkurangnya butiran awan melalui koalesensi dinyatakan sebagai pengurangan jumlah inti kondensasi awan akibat proses koalesensi antara butiran awan dan tetes hujan (coalescence scavenging). Hubungan tersebut ditunjukkan oleh gambar 1. Pengurangan konsentrasi butiran awan juga diakibatkan oleh ditangkapnya butiran awan tersebut oleh tetes hujan yang lebih besar atau disebut akresi [ 9].
dC = C (a − bR) dt
(2)
dR = R(eC − f ) dt
(3)
Dimana C adalah populasi mangsa, R adalah populasi predator. Sedangkan a, b, c, d dan e adalah konstanta. Kesetimbangan sistem terjadi bila tidak ada laju perubahan populasi mangsa (dC/dt=0) dan predator (dR/dt=0) [4]. Model predator-mangsa ini kemudian diterapkan oleh Koren dan Feingold pada kasus interaksi aerosol-awan-presipitasi. Dalam hal ini,
ISBN 978-602-19655-3-5
89
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2012 (SNIPS 2012) 7-8 Juni 2012, Bandung, Indonesia
presipitasi dianalogikan sebagai predator yang akan mengkonsumsi tetes-tes awan. Sedangkan awan sendiri dianggap sebagai mangsa yang terbentuk dengan bantuan aerosol. Dengan kata lain aerosol merupakan modulator dalam peristiwa pemangsaan awan [4].
Hasil dan diskusi Persamaan-persamaan dinamik terkopel menunjukkan hubungan yang sangat erat antara konsentrasi aerosol, konsentrasi butiran awan dan presipitasi. Solusi keadaan tunak menunjukkan hubungan yang sangat erat antara konsentrasi butiran awan terkait aerosol dan kedalaman awan seperti yang ditunjukkan oleh gambar di bawah ini:
Secara matematis persamaan model predator-mangsa pada kasus interaksi aerosolawan-presipitasi adalah sebagai berikut:
dH H 0 − H & = + H r (t − T ) dt τ1 dimana
(3)
1 αH2 & Hr = − R=− c1 H c1 N d
Persamaan (3) menunjukkan laju perubahan kedalaman awan terhadap waktu. Suku pertama ruas kanan menunjukkan besarnya laju pertumbuhan awan sebelum terjadinya hujan. Sedangkan suku kedua
H&r (t − T )
menunjukkan
laju Gambar 2. Kontur keadaan tunak kedalaman awal awan (H0) terkait konsentrasi butiran awan (Nd)
berkurangnya awan akibat terjadinya hujan. Dalam hal ini terjadi proses stokastik yang mengkonversi butiran awan menjadi tetes hujan dalam periode waktu yang relatif singkat ( H ≅ 15 menit) [4].
Kontur keadaan tunak menunjukkan bahwa -3 untuk nilai Nd yang cukup besar (>30 cm ) H ditentukan oleh H0, sementara untuk Nd yang -3 relatif kecil (<30 cm ) H berkaitan erat dengan N d. Dengan kata lain, semakin tinggi konsentrasi aerosol di awan, semakin tinggi pula kedalaman awan yang dapat terbentuk. Seperti yang dijelaskan sebelumnya pada bagian teori, hal tersebut mengandung informasi mengenai pengaruh presipitasi yang terjadi.
Selanjutnya, perubahan konsentrasi butiran awan terhadap waktu dapat dinyatakan dengan persamaan:
dN d N 0 − N d & = + N d (t − T ) dt τ2 dimana
(4)
Sementara, hasil pengamatan satelit juga menunjukan perilaku model predator-mangsa [11]:
N&d = −c2 N d R
R(t ) =
α H 3 (t − T ') N d (t − T ')
Height
Suku pertama ruas kanan menyatakan laju perubahan konsentrasi aerosol menjadi butiran awan, sedangkan suku kedua menunjukkan laju berkurangnya konsentrasi butiran awan akibat peristiwa koalesensi dalam pembentukan presipitasi. Presipitasi sendiri dirumuskan oleh persamaan berikut: (5)
time
Gambar 3. Hasil citra satelit yang menunjukkan hubungan kedalaman awan dan hujan (Data Courtesy NOAA ERSL Group, ASTEX (1992) dalam I. Koren, and G. Feingold, 2011).
Bentuk tunda (t − T ) merupakan sebuah fungsi keadaan dari awan pada beberapa periode waktu sebelum tahap waktu pengukuran yang sedang berlangsung. Dalam hal ini, bentuk tunda terkait dengan waktu terbentuknya butiran awan sampai menjadi tetes hujan [5].
ISBN 978-602-19655-3-5
90
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2012 (SNIPS 2012) 7-8 Juni 2012, Bandung, Indonesia
Kehadiran aerosol menentukan butiranbutiran awan yang terbentuk. Butiran-butiran tersebut selanjutnya bergabung satu sama lain untuk membentuk awan dengan kedalaman tertentu. Bila kedalaman awan telah mencukupi dimana terdapat tetes-tetes hujan yang banyak maka terjadilah presipitasi. Namun, setelah beberapa waktu, presipitasi sendiri juga akan membuat kedalaman awan tersebut berkurang. Dalam hal ini terjadi umpan balik. Dengan demikian, dapat dikatakan hujan merusak awan dan secara tidak langsung mengkonsumsi aerosol yang berperan sebagai inti kondensasi awan. Setelah periode waktu tertentu pada akhirnya terjadi keadaan tunak dimana kedalaman awan ini sangat rendah sehingga presipitasi terhambat dan proses terbentuknya awan dengan bantuan aerosol terjadi lagi.
[4]
I. Koren, and G. Feingold, “Aerosol-cloudprecipitation system as a predator prey problem”, Israel, Journal of PNAS (2011) [5] P. V. Hobbs, “Aerosol-Cloud-Climate Interactions, Academic Press, Inc. (1991) [6] R. Pincus, and M. B. Baker, “Effect of precipitation on the albedo susceptibility of clouds in the marine boundary layer”, Nature 372:250–252 (1994) [7] B.A. Albrecht, Aerosols, cloud microphysics and fractional cloudiness. Science 245:1227–1230 (1989) [8] R. Wood, “Rate of loss of cloud droplets by coalescence in warm clouds’, Washington, Journal of Geophysical Research (2006) [9] R. Wood, T. L Kubar, D. L Hartmann, “Understanding the importance of microphysics and macrophysics for warm rain in marine low clouds. Part II: Heuristic models of rain formation”, Washington, Journal of The Atmospheric Sciences (2009) [10] N. Boccara, “Modelling Complex Systems”, Springer-Verlag New York Inc , (2004) [11] I. Koren, and G. Feingold, “The aerosolcloud-precipitation system” : In search of simplicity, WCRP (2011)
Sementara, solusi untuk ketiga persamaan terkopel dalam penelitian ini masih dilanjutkan untuk mendapatkan simulasi yang lebih baik terkait solusi bergantung waktu. Simulasi yang diperoleh nantinya akan divalidasi dengan data observasi yang akan dilakukan di LAPAN Bandung. Kesimpulan Studi awal penerapan model predatormangsa pada sistem aerosol-awan-presipitasi memberikan pemahaman tentang perilaku interaksi antara aerosol, awan dan presipitasi secara kualitatif dan sederhana. Informasi yang diperoleh diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam prediksi perubahan cuaca akibat dampak peningkatan aerosol di atmosfer.
Rita Sulistyowati* 1
Program Studi Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Bandung Jl. Ganesha 10, Bandung 40132 Indonesia 2
Program Studi Pendidikan Fisika Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas PGRI Palembang Jl. Ahmad Yani, Lrg. Gotong Royong 9/10 Ulu, Palembang, Indonesia
[email protected]
Ucapan terima kasih Penulis mengucapkan terima kasih pada bapak Drs. Arsali, M.Sc dan Dr. Rizal Kurniadi atas bimbingan, dukungan serta dikusinya yang bermanfaat pada studi awal penelitian ini.
Dui Yanto Rahman 1
Program Studi Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Bandung Jl. Ganesha 10, Bandung 40132 Indonesia
Referensi [1] Rapat koordinasi ‘SEAC4RS’, LAPAN Bandung, 29 Mei 2012 [2] SEAC4RS Science Overview , “Southeast Asia Composition, Cloud, Climate Coupling Regional Study (SEAC4RS) Planning Document”, URl http://espo.nasa.gov/missions/seac4rs , [accessed 29 May 2012] [3] Tao, W., Chen, J., Li, Z., Wang, C., and Zhang, C., : “Impact of aerosols on convective clouds and precipitation”, Review of Geophysics, 50, RG2001, Doi:10.1029/2011RG000369!(2012)
2
Program Studi Pendidikan Fisika Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas PGRI Palembang Jl. Ahmad Yani, Lrg. Gotong Royong 9/10 Ulu, Palembang, Indonesia
[email protected]
Moh. Rosyid Mahmudi Program Studi Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Bandung Jl. Ganesha 10, Bandung 40132 Indonesia
[email protected]
*Corresponding Author
ISBN 978-602-19655-3-5
91
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2012 (SNIPS 2012) 7-8 Juni 2012, Bandung, Indonesia
STUDI AWAL INTERFERENSI GELOMBANG BUNYI DENGAN MENGGUNAKAN LAPTOP, SPEAKER, DAN MIKROFON Islamiani Safitri*, Sparisoma Viridi, dan Siti Nurul Khotimah Abstrak Percobaan untuk menentukan laju rambat gelombang bunyi telah dilakukan dengan mengamati hasil interferensi menggunakan peralatan sederhana seperti laptop yang dilengkapi dengan soundcard, speaker, dan mikrofon. Laptop berperan sebagai pembangkit sumber bunyi (menggunakan piranti lunak Tone Generator) dan sekaligus sebagai penerima dan penganalisanya (menggunakan piranti lunak Praat). Dengan melakukan variasi frekuensi bunyi dapat diperoleh profil intensitas hasil interferensi sebagai fungi dari frekuensi sumber bunyi. Sayangnya rumus untuk interferensi destruktif dan konstruktif tidak dapat memberikan laju rambat gelombang bunyi yang secara fisis dapat diterima oleh temperature ruang. Hal ini diduga karena banyaknya obyek yang dapat menjadi reflektor sumber bunyi pada ruang percobaan. Kata-kata kunci: interferensi, laju gelombang bunyi, percobaan sederhana Teori Gelombang bunyi didefinisikan sebagai gelombang longitudinal, yaitu suatu gelombang yang melibatkan osilasi-osilasi yang sejajar dengan arah rambat gelombangnya. Oleh karena itu, gelombang bunyi memerlukan medium dalam perambatannya [1]. Bunyi memiliki laju rambat berbeda untuk materi yang berbeda. Laju gelombang bunyi pada berbagai materi diperlihatkan pada tabel di bawah ini. Nilai-nilai tersebut dalam berbagai hal bergantung pada temperature, yaitu semakin tinggi temperature udara maka akan semakin besar pula laju gelombang bunyi di udara. Perhatikan tabel berikut:
Pendahuluan Pengajaran fisika dalam dunia pendidikan kebanyakan masih bersifat konvensional yang hanya menekankan pada pengerjaan soal-soal kuantitatif (perhitungan matematis) dan mengabaikan persoalan fisika yang bersifat kualitatif (pemahaman perilaku alam). Pembelajaran fisika hendaknya dapat memberikan pengalaman langsung dengan memanfaatkan sekaligus menerapkan konsep, prinsip, serta fakta melalui alat peraga. Salah satu pokok pembelajaran yang dapat diterapkan adalah interferensi gelombang bunyi. Hendaknya siswa mengetahui bagaimana peristiwa interferensi itu terjadi sehingga dapat melengkapi pemahaman teorinya. Siswa perlu dilatih untuk berpikir dan bereksperimen agar ketrampilan ilmiahnya bisa berkembang, sehingga siswa mahir dalam menganalisa suatu gejala, menggunakan alat dan bahan, mengajukan pertanyaan, merumuskan hipotesa, merencanakan, melaksanakan, menyimpulkan hasil praktikum, dan mengkomunikasikan beberapa temuan baru. Namun, seringkali yang menjadi keluhan bagi kebanyakan lembaga pendidikan adalah fasilitas laboratorium yang kurang lengkap. Padahal banyak barang yang bisa dimanfaatkan untuk melakukan suatu percobaan. Hanya saja dibutuhkan inovasi baru dan kreatif untuk melakukannya. Penentuan laju gelombang bunyi dengan menggunakan laptop, speaker, dan mikrofon, yang dilaporkan dalam makalah ini merupakan salah satu contoh pemanfaatan peralatan yang umumnya telah ada di sekitar kita, secara kreatif dan inovatif, untuk melakukan praktikum.
Tabel 1. Laju Gelombang Bunyi pada Berbagai Material [2]. No
Medium
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Aluminium Granit Steel Gelas Pyrex Perak Plastik o Air (20 C) o Air (0 C) o Hidrogen (0 C) o Helium (0 C) o Udara (20 C) o Udara (0 C)
Laju Gelombang Bunyi (m/s) 6420 6000 5960 5640 5010 2680 1482 1402 1284 965 343 331
Selama satu periode gelombang menempuh jarak sejauh satu panjang gelombang. Dengan demikian, jika t = T, maka s = λ. Oleh karena itu, bentuk lain ungkapan laju gelombang adalah : ………………………… (1) Oleh karena f
ISBN 978-602-19655-3-5
92
, maka
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2012 (SNIPS 2012) 7-8 Juni 2012, Bandung, Indonesia
……………………………. (2) Dengan λ = panjang gelombang bunyi (m), T = periode gelombang bunyi (s), dan f = frekuensi gelombang bunyi (Hz) [3]. Gelombang bunyi dapat mengalami interferensi konstruktif atau destruktif. Gelombang bunyi mengalami interferensi konstruktif secara penuh ketika beda fase sama dengan nol atau kelipatan bulat 2π, yaitu ketika:
Gambar 1. Interface utama Praat
Ketika software dijalankan akan tampak window seperti gambar 1. Dalam Praat objek window kita dapat menambahkan file suara yang disimpan sebelumnya untuk kemudian dianalisis. ketika merekam suara, Praat akan membaca sekaligus menganalisis suara yang ditangkap oleh mikrofon dalam bentuk tampilan seperti berikut.
, (3) Gelombang-gelombang mengalami interferensi destruktif penuh ketika sama dengan kelipatan ganjil π, yaitu ketika: (4) Beda fasa adalah k∆x di mana k adalah bilangan gelombang dan ∆x adalah beda jarak tempuh antara kedua gelombang bunyi penyebab interferensi. Dari Persamaan (3) dan (4) di atas, dapat diketahui bahwa kondisi ini bertepatan dengan
Gambar 2. Tampilan hasil analisis Praat
Gambar 2 bagian atas merupakan window yang menunjukkan bentuk gelombang dari suara yang dianalisis, sedangkan bagian bawah menunjukkan spectrogram suara tersebut. Garis mendatar biru menunjukkan frekuensi dari suara yang dianalisis dan garis mendatar kuning menunjukkan intensitas dari suara yang dianalisis [5].
(5) dan (6)
Eksperimen
Dalam percobaan interferensi ini, speaker 1 dan speaker 2 diletakkan saling berhadapan dengan jarak awal 110 cm. Mikrofon diletakkan diantara dua speaker tersebut dengan jarak 100 cm dari speaker 1 dan 10 cm dari speaker 2. Kemudian Praat merekam suara dari speaker melalui mikrofon tersebut. Jarak mikrofon dengan speaker 1 adalah x1 dan jarak mikrofon dengan speaker 2 adalah x2.
Eksperimen dilakukan dengan menggunakan laptop yang dilengkapi dengan perangkat lunak praat (penerima dan penganalisa bunyi) dan tone generator (sumber bunyi dengan frekuensi tunggal), speaker stereo, dan mikrofon. Praat dalam Bahasa Belanda berarti ‘suara’ merupakan freeware yang diciptakan oleh Paul Boersma dan David Weenink dari Phonetic Science Departmen University of Amsterdam. Dengan slogannya “doing Phonetic with computer”, praat merupakan software untuk melakukan analisis dan rekontruksi suara secara fleksibel [4].
Gambar 3. Rangkaian alat percobaan interferensi gelombang
Hal yang sama juga dilakukan dengan jarak kedua speaker 170 cm hingga 300 cm. Dalam
ISBN 978-602-19655-3-5
93
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2012 (SNIPS 2012) 7-8 Juni 2012, Bandung, Indonesia
hal ini mikrofon tetap diletakkan pada jarak 100 cm dari speaker 1 (x1 tetap) dan x2 berubahubah yaitu dari 10 cm hingga 200 cm dengan kelipatan 10 cm. Laju gelombang bunyi di udara yang diasumsikan adalah 330 m/s dengan panjang gelombang ( ) 1 m. Hasil dan diskusi Berdasarkan percobaan interferensi yang dilakukan, diperoleh data untuk masing-masing frekuensi adalah sebagai berikut:
Gambar 7. Grafik hubungan antara intensitas praat terhadap (x1-x2) pada frekuensi 340 Hz: teori ( ) dan eksperimen ( )
Gambar 4. Grafik hubungan antara intensitas praat terhadap (x1-x2) pada frekuensi 310 Hz: teori ( ) dan eksperimen ( ) Gambar 8. Grafik hubungan antara intensitas praat terhadap (x1-x2) pada frekuensi 350 Hz: teori ( ) dan eksperimen ( )
Gambar 5. Grafik hubungan antara intensitas praat terhadap (x1-x2) pada frekuensi 320 Hz: teori ( ) dan eksperimen ( ) Gambar 8. Grafik hubungan antara intensitas praat terhadap (x1-x2) pada frekuensi 360 Hz: teori ( ) dan eksperimen ( ) Berdasarkan data-data dan grafik-grafik hasil interferensi di atas, dapat ditentukan panjang gelombang bunyi ( ) dari suara yang dianalisis, yaitu dengan memperhatikan titik-titik konstruktif dan destruktif dari grafik-grafik di atas. Posisi titik konstruktif dan destruktif didapat dari titik puncak maksimum atau puncak minimum dari grafik interferensi. Panjang gelombang ( ) suatu bunyi adalah selisih dari dua titik konstruktif atau selisih dua
Gambar 6. Grafik hubungan antara intensitas praat terhadap (x1-x2) pada frekuensi 330 Hz: teori ( ) dan eksperimen ( )
ISBN 978-602-19655-3-5
94
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2012 (SNIPS 2012) 7-8 Juni 2012, Bandung, Indonesia
titik
destruktif
lagi original. Oleh sebab itu laju gelombang bunyi yang dihasilkan berbeda dengan laju gelombang udara pada temperatur ruang..
yang
berdekatan. Laju gelombang bunyi (v) didapatkan dari rumus laju gelombang bunyi, yaitu .
Ucapan terima kasih
Tabel 2. Hasil analisis data interferensi Frekuens i (Hz) 310 320 330
Posisi Konstrukti f (cm) -70 50 0 -40 30
Posisi Destrukti f (cm) 50 70 -60 70 -80 0
(cm ) 120 130 70
v (m/s ) 372 416 231
340 350 360
-40 -70
-40 -90 -30
110 90 90
374 315 324
30 20
70 0 80
Penulis mengucapkan terima kasih kepada FMIPA Institut Teknologi Bandung atas dukungan finansialnya dalam keikutsertaan pada kegiatan SNIPS 2012. Penulis juga berterima kasih kepada atas dikusinya yang bermanfaat. Referensi [5] David Halliday, “Dasar-dasar Fisika Versi Diperluas”, Binarupa Aksara, Tangerang, 2010, h.684 [6] James S.Walker, “Physics”, Pearson Addison-Wesley, San Fransisco, 2010, p.460 [7] Islamiani Safitri, “ Pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif Tipe NHT Terhadap Hasil Belajar Siswa Pada Materi Pokok Bunyi”, skripsi sarjana, Universitas Negeri Medan, Indonesia, 2011, h.27 [8] P. Boersma and D. Weenink, “Praat: Doing Phonetics by Computer (version 5.1.05) Computer Program”, URL www.praat.org[accessed 1 June 2012] [9] Rizaldi Danar Priambodo, “Analisis Karakteristik Akustik Suara Cadel (rhotacism) dengan Perangkat Lunak Praat”, skripsi sarjana, Institut Teknologi Bandung, Indonesia, 2011, h.28
Dari tabel analisis data interferensi di atas terlihat bahwa laju gelombang bunyi yang dihasilkan pada masing-masing frekuensi menyimpang dari laju gelombang bunyi yang secara fisis dapat diterima oleh temperatur ruang. Hal ini mengacu pada grafik interferensi yang dihasilkan. Pada grafik-grafik tersebut tidak terlihat posisi titik konstruktif dan destruktif yang sesuai dengan teori. Seharusnya titik-titik konstruktif terjadi pada dan titik-titik destruktif terjadi pada Hal ini terjadi karena banyaknya objek dalam ruangan yang menjadi reflector dari gelombang bunyi itu sendiri. Misalnya saja pada frekuensi 350 Hz, benda-benda seperti kaca pada jendela laboratorium dan benda plastik turut bergetar dengan keras sehingga suara yang ditangkap oleh mikrofon tidak original. Pada frekuensi yang lain juga terjadi hal serupa namun dengan getaran yang sangat rendah sehingga tidak teramati langsung oleh telinga. Dengan demikian karena adanya resonansi tersebut, maka laju gelombang bunyi yang dihasilkan jauh dari yang diharapkan.
Islamiani Safitri* Program Magister Pengajaran Fisika Institut Teknologi Bandung
[email protected] Sparisoma Viridi Nuclear Physics and Biophysis Research Division Institut Teknologi Bandung
[email protected]
Kesimpulan Dalam percobaan ini diduga terjadi interferensi konstruktif dan destruktif namun kurang sesuai dengan yang diharapkan. Hal ini dikarenakan kedua speaker yang digunakan tidak sepenuhnya identik, kurang sesuainya dengan teori untuk posisi konstruktif dan destruktif yang dihasilkan, dan banyaknya reflektor gelombang pada ruangan laboratorium sehingga suara yang ditangkap mikrofon tidak
ISBN 978-602-19655-3-5
Nurul Khotimah Nuclear Physics and Biophysis Research Division Institut Teknologi Bandung
[email protected]
*Corresponding author
95
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2012 (SNIPS 2012) 7-8 Juni 2012, Bandung, Indonesia
Penggunaan Software Tracker Sebagai Media Pelengkap Pembelajaran Topik Hukum Kekekalan Momentum Pada Peristiwa Tumbukan Endi Suhendi*, Achmad Samsudin, dan Setiya Utari Abstrak Penggunaan software tracker sebagai media pelengkap pembelajaran topik hukum kekekalan momentum pada peristiwa tumbukan telah dilakukan. Media pembelajaran yang digunakan adalah seperangkat alat untuk menyajikan fenomena tumbukan dua benda dan software tracker sebagai pelengkap. Software tracker digunakan untuk menganalisis posisi dan kecepatan benda-benda ketika sebelum dan sesudah bertumbukan. Hasil analisis tracker dan perhitungan menunjukkan bahwa momentum sistem sebelum tumbukan hampir sama dengan momentum sistem setelah tumbukan sehingga hukum kekekalan momentum dapat diterapkan. Kata kunci: Software tracker, Media pembelajaran, Hukum kekekalan momentum tracker dan komputer sebagai media pelengkap berbasis teknologi komunikasi dan informasi (ICT) untuk menganalisis fenomena fisis berupa peristiwa tumbukan. Pemilihan media ini karena keakuratan dan kecepatan yang tinggi [4]. Software tracker dapat diperoleh secara legal karena tersedia secara gratis/open source [5,6].
Pendahuluan Dampak kemajuan bidang sains dan teknologi yang semakin pesat sangat terasa pada bidang pendidikan. Berbagai inovasi pembelajaran sains terkait metode, model maupun media pembelajaran telah banyak dilakukan oleh para peneliti guna menghasilkan proses pembelajaran sains yang lebih efektif. Media pembelajaran menjadi salah satu hal penting dalam suatu proses pembelajaran. Media pembelajaran digunakan untuk meningkatkan pengalaman belajar agar menjadi lebih konkret. Muhammad [1] menekankan pentingnya media sebagai alat untuk merangsang proses belajar. Penelitian para ahli di Universitas California [2] pada intinya menyatakan bahwa berbagai macam media pengajaran memberikan bantuan sangat besar kepada pebelajar dalam proses belajar mengajar. Namun demikian, peran Pengajar juga menentukan terhadap efektivitas penggunaan media dalam pengajaran. Peran ini tercermin dari kemampuan memilih aneka ragam media pengajaran sesuai dengan situasi dan kondisi [3]. Proses pembelajaran sains fisika pada tingkat dasar memerlukan media untuk menyajikan berbagai fenomena fisis terkait dengan berbagai konsep yang akan dijelaskan. Dari fenomena fisis yang ditunjukkan, kita dapat menganalisisnya untuk kemudian kita jelaskan konsep-konsep fisika yang terkait dengan fenomena tersebut. Pemilihan media pembelajaran yang tepat terkait dengan konsep dasar fisika tertentu memerlukan proses yang tidak instan. Sehingga tuntutan pengajar untuk selalu kreatif dan inovatif sangat relevan dalam hal ini. Pada makalah ini, kami akan berbagi tentang apa yang telah kami lakukan dalam proses pembelajaran fisika topik hukum kekekalan momentum. Kami memanfaatkan software
ISBN 978-602-19655-3-5
Teori, Alat dan Prosedur Berdasakan teori, keberlakukan hukum kekekalan momentum mensyaratkan bahwa resultan gaya yang bekerja pada sistem sama dengan nol. Pada percobaan ini, kami membuat sistem mendekati sistem di atas yaitu dengan mereduksi gaya gesekan. Kita memasang blower yang dapat mengalirkan udara ke lubanglubang pada lintasan, sehingga ketika benda bergerak pada lintasan, gaya gesekan antara benda dengan lintasan dapat direduksi.
! Gambar 1. Seperangkat alat untuk menyajikan fenomena tumbukan. Alat-alat yang digunakan pada proses pembelajaran topik hukum kekekalan momentum ini adalah lintasan lurus dan bendabenda yang dapat bergerak bebas pada lintasan tersebut. Pada kedua ujung benda yang akan bertumbukan dipasang sejenis pegas agar tumbukan yang terjadi bersifat elastis. Seperangkat alat ditunjukkan pada gambar 1 dan bentuk benda ditunjukkan pada gambar 2. Sedangkan gambar benda beserta pegas yang digunakan ditunjukkan pada gambar 3.
96
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2012 (SNIPS 2012) 7-8 Juni 2012, Bandung, Indonesia
Gambar 4. Analisis video dengan menggunakan software tracker
Gambar 2. Bentuk benda.
Pengaturan selanjutnya adalah menentukan kerangka koordinat, yaitu menentukan sumbusumbu koordinat ruang yang digunakan. Pengaturan sumbu-sumbu koordinat ruang tidak harus horizontal dan vertikal tetapi dapat membentuk sudut. Sudut kemirngan sumbu koordinat dapat diatur sehingga gerak benda pada video bisa tepat pada sumbu-sumbu koordinat yang dibuat. Jika gerak benda tidak lurus (melengkung), sumbu-sumbu koordinat tetap bisa digunakan seperti pada gerak parabola. Berikutnya kita identifikasi objek/benda yang kita tinjau, apakah tinjauannya berupa pusat massanya, massa titik atau pilihan lain. Dalam hal ini, kami memilih massa titik. Langkah terakhir adalah membuat kurva dan menganalisis lintasan/track. Pada langkah ini, kita diberikan pilihan untuk menampilkan besaran-besaran fisis dalam bentuk kurva atau tabel posisi terhadap waktu. Kita memilih kecepatan benda A dan benda B dalam bentuk tabel.
Fenomena tumbukan antara dua benda direkam terlebih dulu dengan menggunakan web camera pada laptop atau alat lain, kemudian software tracker digunakan untuk menganalisis video hasil rekaman fenomena tumbukan tersebut. Dari hasil analisis tracker, kita dapat mengetahui besaran-besaran fisis yang diperlukan seperti kecepatan benda-benda yang saling bertumbukan. Software tracker dapat menganalisis video dengan jenis file beragam seperti mov, avi, mp4, flv, wmv dan lain-lain
Gambar 3. Benda dan pegas yang digunakan. Hasil dan diskusi
Hasil analisis tracker pada benda A dan benda B ditunjukkan pada tabel 1 dan tabel 2 berturut-turut. Pada kedua tabel ditampilkan kecepatan benda A dan benda B pada setiap selang 0,033 detik. Kita mengambil kecepatan awal benda A sebelum tumbukan adalah −23,71 cm/s atau −0,2371 m/s. Pemilihan nilai ini berdasarkan nilai yang sering muncul dari hasil analisis tracker. Hal yang sama ketika mengambil kecepatan benda B setelah tumbukan yaitu −21,21 cm/s atau −0,2121 m/s.
Fenomena fisis yang direkam adalah dua benda A dan B yang saling bertumbukan. Gambar 4 menunjukkan analisis video hasil rekaman dengan menggunakan software tracker. Pengaturan/setting yang dilakukan adalah sebagai berikut: pertama kita identifikasi frame/klip video dengan melakukan setting klip video. Kita dapat mengatur selang waktu antar frame pada klip tersebut. Tentunya semakin kecil selang waktu yang dipilih maka kita dapat mengetahui besaran-besaran fisika pada setiap saat. Pada eksperimen ini kami mengambil selang waktu antar frame sebesar 0,033 detik atau 30 frame tiap detik. Pengaturan berikutnya adalah kalibrasi skala, dalam hal ini panjang lintasan pada video di kalibrasi sesuai dengan ukuran yang sebenarnya.
ISBN 978-602-19655-3-5
Kami melakukan rekaman fenomena tumbukan lain dengan memvariasikan massa, kecepatan dan jenis tumbukan (elastis sebagian dan tidak elastis). Hasil analisis tracker dan perhitungannya ditunjukkan pada tabel 3. Sepuluh data hasil analisis tracker dan perhitungannya menunjukkan bahwa momentum sistem sebelum tumbukan hampir sama dengan momentum sistem setelah tumbukan. Rata-rata galat yang ditunjukkan oleh tabel 3 sebesar 6.12% sehingga dapat dikatakan cukup akurat.
97
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2012 (SNIPS 2012) 7-8 Juni 2012, Bandung, Indonesia
Tabel 1. Data kecepatan benda A sebelum dan sesudah tumbukan
Tabel 2. Data kecepatan benda B sebelum dan sesudah tumbukan
Tabel 3. Variasi massa, kecepatan dan perhitungan momentum.
1!
Massa$benda$ (kg)$ m 1$ m 2$ 0,0740! 0,0742!
Kecepatan$awal$ (m/s)$ V1i$ V2i$ (0,2371! 0!
2!
0,0740!
0,0742!
(0,1542!
0,1027!
0,1153!
(0,1412!
3!
0,0740!
0,0742!
(0,3337!
(0,2269!
(0,2536!
(0,3471!
4!
0,0733!
0,0738!
(0,3763!
0!
(0,1816!
(0,1946!
5!
0,0733!
0,0738!
(0,2932!
(0,2443!
(0,2810!
6!
0,0740!
0,0362!
(0,3170!
0!
7!
0,0740!
0,0362!
(0,2439!
8!
0,0740!
0,0362!
9!
0,0733!
10!
0,0733!
Data$ ke'$
Kecepatan$Akhir$ (m/s)$ V1f$ V2f$ 0! (0,2121!
Galat$$ (%)$
Awal$(Pi)$
Akhir$(Pf)$
(0.0176!
(0.0158!
10.23!
(0.0190!
(0.0190!
0!
(0.0416!
(0.0446!
7.21!
(0.0276!
(0.0276!
0!
(0,2932!
(0.0394!
(0.0421!
6.85!
(0,1168!
(0,3951!
(0.0235!
(0.0230!
2.13!
0,3035!
0,1192!
(0,3849!
(0.0291!
(0.0228!
21.65!
(0,3415!
(0,2696!
(0,2832!
(0,3541!
(0.0350!
(0.0338!
3.43!
0,0358!
(0,4074!
0!
(0,2479!
(0,2657!
(0.0299!
(0.0277!
7.36!
0,0358!
(0,3963!
(0,2798!
(0,3549!
(0,3876!
(0.0391!
(0.0400!
2.30!
dan B berubah-ubah walaupun memang perubahannya tidak besar. Kami menggunakan suatu nilai tertentu yang berulang untuk digunakan dalam perhitungan. Sebenarnya kita juga dapat menggunakan nilai rata-rata kecepatan dari tabel sebagai pembanding dan bisa menentukan koefisien restitusi dari tumbukan-tumbukan tersebut, tetapi dalam makalah ini tidak kami tampilkan.
Jika dilihat lebih detil, nilai momentum tiga digit terakhir di belakang koma yang menunjukkan perbedaan nilai momentum sistem sebelum dan sesudah tumbukan. Menurut kami, hasil ini jauh lebih baik jika dibandingkan dengan cara kami sebelumnya, yaitu menghitung kecepatan benda A dan benda B dengan menggunakan stopwatch [7]. Kita memerlukan stopwatch lebih dari tiga dan perlu ketepatan dalam mengukur waktu tersebut. Kesulitankesulitan di atas dapat teratasi dengan menggunakan analisis tracker ini. Akan tetapi, hasil analisis tracker ini bukan berarti tanpa kelemahan. Seperti data yang ditampilkan pada tabel 1 dan tabel 2 di atas, kecepatan benda A
ISBN 978-602-19655-3-5
Momentum$(kg$m/s)$
Kesimpulan Kami telah menggunakan software tracker sebagai media pelengkap pembelajaran topik hukum kekekalan momentum pada peristiwa tumbukan. Hasil analisis dan perhitungan
98
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2012 (SNIPS 2012) 7-8 Juni 2012, Bandung, Indonesia
menunjukkan bahwa momentum sistem sebelum tumbukan hampir sama dengan momentum sistem setelah tumbukan. Perbedaan nilai momentum sistem sebelum dan sesudah tumbukan terletak pada tiga digit terakhir di belakang koma dan hasil ini cukup akurat. Oleh karena itu software tracker dapat digunakan sebagai media pelengkap pembelajaran topik hukum kekekalan momentum pada peristiwa tumbukan.
Referensi [1] Muhammad, A. (2002). Pengajar dalam Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru Algensindo [2] Jackson, J. R. & McClellan, A. L. (1996). Java By Example Edisi Indonesia. Yogyakarta: ANDI Yogyakarta [3] Arsyad, A. (2002). Media Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara [4] Roestiyah, W. K. (2001). Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta [5] http://www.cabrillo.edu/~dbrown/tracker [6] http://www.opensourcephysics.org [7] Petunjuk Praktikum Fisika Dasar I Tahun Ajaran 2009/2010, Jurusan Pendidikan Fisika FPMIPA UPI.
Ucapan terima kasih Penulis mengucapkan terima kasih atas fasilitas yang disediakan oleh Laboratorium Fisika Dasar, dan para mahasiswa Tingkat I Angkatan 2011/2012 Jurusan Pendidikan Fisika Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FPMIPA) Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) atas bantuannya dalam pengambilan data.
Endi Suhendi* Jurusan Pendidikan Fisika FPMIPA Universitas Pendidikan Indonesia
[email protected]
Achmad Samsudin Jurusan Pendidikan Fisika FPMIPA Universitas Pendidikan Indonesia
[email protected]
Setiya Utari Jurusan Pendidikan Fisika FPMIPA Universitas Pendidikan Indonesia
[email protected]
*Corresponding author
ISBN 978-602-19655-3-5
99
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2012 (SNIPS 2012) 7-8 Juni 2012, Bandung, Indonesia
Formulasi Interaksi antara Eritrosit dan Trombosit dalam Peristiwa Penyumbatan Pembuluh Kapiler pada Kasus Malaria Serebral Menggunakan Metode Dinamika Molekular Luman Haris*, Sparisoma Viridi, Siti Nurul Khotimah Abstrak Telah berhasil disusun prosedur perhitungan dan algoritma simulasi penyumbatan pembuluh kapiler pada kasus malaria serebral menggunakan metode dinamika molekular. Interaksi yang terjadi antar elemen darah pada malaria serebral meliputi rosetting, cytoadherence, dan platelet-clumping. Ketiga interaksi ini dianggap bersifat seperti layaknya tumbukan inelastik di mana terdapat peristiwa repulsi dan disipasi energi. Kedua peristiwa ini direpresentasikan oleh gaya elektrostatik dan gaya normal, sedangkan pergerakan partikel direpresentasikan oleh gaya Stokes. Kemudian, menggunakan hukum kedua Newton, dilakukan perhitungan percepatan tiap partikel, dan dengan menggunakan metode Euler dicari solusi persamaan diferensial berupa posisi tiap partikel. Kata-kata kunci: gaya elektrostatik, gaya normal, gaya Stokes, metode Euler, dinamika molekular pada bagian teori sedangkan hasil berupa prosedur perhitungan dan algoritma simulasi akan dibicarakan pada bagian hasil dan diskusi.
Pendahuluan Menurut World Malaria Report 2011, kasus malaria mencapai angka 216 juta dan angka kematian di tahun 2010 mencapai 655 ribu [1]. Meski angka kematian di Afrika turun 25%, malaria masih merupakan masalah serius di Indonesia; terutama daerah di luar kota-kota besar [2]. Prevalensi malaria di Indonesia mencakup hampir semua wilayah di luar Pulau Jawa terutama kawasan Indonesia Timur. Terdapat 4 macam parasit yang dapat meyebabkan malaria pada manusia menurut [1, 3, 4] yaitu Plasmodium vivax, Plasmodium malariae, Plasmodium ovale, dan Plasmodium falciparum. Dari keempat spesies ini, yang umum ditemukan adalah P. falciparum dan P. vivax; P. falciparum merupakan spesies yang paling berbahaya [1, 3, 4]. P. falciparum umum ditemukan di kawasan Afrika, namun hasil observasi menunjukkan keberadaan spesies ini di beberapa kawasan lain yang telah dianggap steril. P. falciparum merupakan parasit malaria dengan manifestasi klinis berat, dan dapat menyebabkan gejala seperti [3, 4], anemia berat, gangguan pernafasan (berkaitan dengan asidosis), dan malaria serebral. Malaria serebral merupakan peristiwa penyumbatan kapiler akibat infeksi sel darah merah oleh P. falciparum pada pembuluh kapiler otak. Peristiwa ini merupakan kontribusi dari tiga interaksi yang peluang kejadiannya bergantung pada jumlah dan jenis stadium yang terdapat pada kapiler [5, 6]. Studi terkini berkaitan dengan malaria telah dilakukan melalui pemodelan berbasis dissipative particle dynamics method [7].
Teori Secara umum darah terdiri atas eritrosit, leukosit, trombosit, dan plasma darah; penjelasan detail mengenai masing-masing elemen darah dapat dilihat pada [8]. Pada kasus malaria serebral akibat infeksi P. falciparum, penyumbatan pada pembuluh kapiler merupakan kontribusi dari tiga interaksi yaitu rosetting, cytoadherence, dan platelet-clumping [6, 7, 9]. Rosetting merupakan interaksi yang terjadi antara eritrosit sehat dan eritrosit terinfeksi, cytoadherence adalah interaksi yang terjadi antara eritrosit terinfeksi dengan dinding kapiler, sedangkan platelet-clumping adalah merupakan interaksi antar eritrosit terinfeksi melalui media trombosit. Terdapat delapan stadium yang dijalani oleh P. falciparum sejak menginfeksi eritrosit [10]. Kedelapan stadium tersebut dapat dikelompokkan ke tiga stadium besar yaitu ring, trophozoite, dan schizont. Dari ketiga stadium tersebut, hanya stadium thropozoite (tepatnya mid trophozoite dan late trophozoite) dan schizont yang berkontribusi pada penyumbatan pembuluh kapiler. Stadium trophozoite cenderung menghasilkan interaksi rosetting dan platelet-clumping sedangkan stadium schizont cenderung menghasilkan interaksi cytoadherence sebagai upaya menghindari sistem imun. Untuk menggambarkan interaksi-interaksi di atas digunakan dua gaya yaitu gaya elektrostatik dan gaya normal. Gaya elektrostatik antara partikel i dan j didefinisikan sebagai berikut
Kini, dalam melakukan studi malaria serebral, akan dilakukan penyusunan prosedur perhitungan dan algoritma simulasi menggunakan metode dinamika molekular. Perhitungan yang digunakan akan dijabarkan
ISBN 978-602-19655-3-5
100
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2012 (SNIPS 2012) 7-8 Juni 2012, Bandung, Indonesia
& qi q j Qij = rˆij $ k q 2 $ rij %
# ! ! "
vc =
(1)
rˆij didefinisikan sebagai rij = ri − r j rij (2) rˆij = rij
vi (t k +1 ) = vi (t k ) + Δtai (t k ) ri (t k +1 ) = ri (t k ) + Δtvi (t k )i
Persamaan diferensial didapat menggunakan hukum kedua Newton
Gaya normal digunakan untuk menggambarkan peristiwa tumbukan saat interaksi terjadi. Pada saat terjadi tumbukan, terdapat dua peristiwa yang terjadi yaitu disipasi energi dan repulsi. Oleh karena itu, formulasi gaya normal terdiri atas dua suku yang merepresentasikan dua peristiwa tersebut. Salah satu gaya yang memiliki kedua properti tersebut adalah gaya osilator harmonik teredam dan diformulasikan sebagai [11]
& n 1 $ ai = S i + ∑ Qij + N ij mi $ j ≠i $% j =1
[
(4)
dan laju irisan didefinisikan sebagai
ξij =
dξ ij dt
[
]
= max sign(ξ ij ,0) rij
(5)
(6)
Persamaan (5) merupakan bentuk yang lebih kompak dari [12]. Selain kedua gaya di atas, terdapat gaya lain yang digunakan untuk menggambarkan sirkulasi darah pada pembuluh kapiler yaitu gaya Stokes. Berbeda dengan kedua gaya sebelumnya yang bekerja pada dua partikel, gaya Stokes bekerja pada tiap partikel i oleh plasma darah f. Gaya Stokes diformulasikan sebagai berikut
S i = 6πηR(v f − vi )
(7)
Dengan definisi kecepatan kritis [13]
ISBN 978-602-19655-3-5
dengan
# ! ! !"
]
(12)
Berdasarkan penyederhanaan yang dilakukan dan informasi tentang interaksiinteraksi yang terjadi pada malaria serebral, dapat dibuat model fisis sederhana seperti ditunjukkan oleh gambar 1. Gambar 1 menunjukkan model fisis yang dibuat. Elemen darah (eritrosit sehat, eritrosit terinfeksi, dan trombosit) dianggap sebagai partikel bermuatan berbentuk bola, sedangkan dinding kapiler dianggap sebagai dua buah keping bermuatan. Selain itu, gambar 1 juga menunjukkan jenis partikel yang mungkin terlibat pada masingmasing interaksi. Jumlah partikel yang berinteraksi bergantung pada besar muatan yang diberikan.
dengan
$ 1, ξ ij > 0 ! sign(ξ ij ) = # 0, ξ ij = 0 !− 1, ξ < 0 ij "
(10)
Dikaji dari sisi biologi, interaksi antar elemen darah dimediasi oleh protein sehingga konsep momen dipol lebih sesuai untuk digunakan. Namun menurut [14], pada penampang protein yang berinteraksi dengan protein lain terdapat titik-titik bermuatan. Selain itu, menurut [15], secara umum, protein dapat dianggap sebagai partikel berbentuk bola dengan muatan terdistribusi merata pada permukaannya. Dengan pertimbangan dua pernyataan di atas dan dengan tujuan menyederhanakan simulasi, digunakan konsep interaksi Coulomb di mana setiap elemen darah dianggap sebagai partikel bermuatan.
dengan irisan dua partikel didefinisikan sebagai
& 1 (d i + d j ) − rij #! % 2 "
(9)
Hasil dan diskusi
(3)
ξ ij = max $0,
(8)
Pada studi ini, digunakan metode Euler dengan formulasi sebagai berikut
Dengan vektor satuan
N ij = k r ξ ij rˆij − k vξij rˆij
Kη ρR
101
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2012 (SNIPS 2012) 7-8 Juni 2012, Bandung, Indonesia
yang bekerja pada tiap partikel untuk semua partikel. Langkah ketiga adalah menghitung percepatan masing-masing partikel menggunakan hukum kedua Newton. Langkah keempat adalah menghitung kecepatan dan posisi tiap partikel menggunakan metode Euler. Langkah kelima adalah menentukan kelajuan total semua partikel. Langkah keenam adalah melakukan pengecekan syarat terminasi. Syarat terminasi didefinisikan sebagai berikut
vtotal = ∑ vi (t k +1 ) ≈ ε n
(13)
Gambar 5 Model sederhana malaria serebral. E adalah eritrosit sehat, T adalah trombosit, R adalah eritrosit terinfeksi pada stadium ring, Tz adalah eritrosit terinfeksi pada stadium trophozoite, dan S adalah eritrosit terinfeksi pada stadium schizont.
Jika syarat terminasi terpenuhi maka simulasi dihentikan. (Algoritma dapat diunduh pada http://itb.academia.edu/LumanHaris/Papers).
Formulasi gaya normal, dikenal dengan nama linear spring-dashpot, berperan sebagai repulsi sehingga partikel tidak bertumpuk saat terjadi interaksi. Formulasi gaya Stokes pada persamaan (7) didapat dengan memindahkan kerangka acuan ke partikel sehingga yang bergerak adalah fluida yang dalam hal ini berupa plasma darah. Karena gaya Stokes diformulasikan untuk aliran laminar, maka kelajuan fluida tidak boleh melebihi kelajuan kritis. Metode Euler merupakan metode numerik yang paling sederhana dalam menyelesaikan persamaan diferensial biasa. Formulasinya sesuai dengan studi kasus yang ditinjau sehingga dapat digunakan dalam dinamika molekular.
Gambar 7 Pergerakan partikel biru pada arah x. simulasi dilakukan dari 0 detik hingga 50 detik dengan selang 0.005. Jumlah data yang diproses sebanyak 10000.
i =1
Sebagai pembuktian formulasi yang dibuat, dilakukan sebuah simulasi menggunakan tiga partikel seperti terlihat pada gambar 2. Nilai parameter yang digunakan dalam simulasi dapat dilihat pada tabel 1. Simulasi ini tidak mengimplementasikan algoritma secara keseluruhan melainkan hanya membuktikan formulasi gaya dan dinamika molekular. Tabel 1 Nilai parameter-parameter yang digunakan dalam simulasi. Partikel 1 dan partikel 2 berwarna hijau sedangkan partikel 3 berwarna biru. dt adalah selang waktu yang dipakai, dan n adalah jumlah data. Semua parameter dalam satuan SI.
Gambar 6 Simulasi tiga partikel. Partikel berwarna hijau diatur agar tidak berpindah sedangkan partikel biru bergerak ke kanan menumbuk dua partikel hijau. Ketiga partikel berdiameter sama, namun partikel hijau bermuatan positif sedangkan partikel biru bermuatan negatif.
r0 v0 d m q
Simulasi penyumbatan pembuluh kapiler pada kasus malaria serebral dilakukan berdasarkan algoritma numerik yang dibuat. Langkah pertama simulasi adalah menentukan terlebih dahulu nilai awal setiap variabel, syarat terminasi, dan keadaan awal perhitungan. Langkah kedua adalah menghitung semua gaya
ISBN 978-602-19655-3-5
102
Partikel 1 2 iˆ
Partikel 2 2 iˆ - 2.5
ˆj
Partikel 3 - iˆ - 1.25
0
0
0
2
2
2
2
2
2
+1
+1
-1
ˆj
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2012 (SNIPS 2012) 7-8 Juni 2012, Bandung, Indonesia
Partikel hijau diatur agar selalu pada posisi yang sama sedangkan partikel biru bergerak ke kanan. Pergerakan partikel biru dapat dilihat pada gambar 3. Gambar 3 menunjukkan adanya pantulan saat partikel biru menumbuk partikel hijau. Pantulan ini disebabkan oleh gaya elektrostatik antar partikel dan suku repulsi dari gaya normal. Selain itu, dapat diamati pula bahwa intensitas pantulan semakin mengecil seiring bertambahnya waktu karena efek dari suku peredam dari gaya normal.
[6] G. Dhangadamajhi, S. K. Kar and M. Ranjit, Malaria Research and Treatment 2010 (2010), pp. 1-9 [7] D. A. Fedosov, H. Lei, B. Caswell, S. Suresh and G. E. Karniadakis, PLoS Comput Biol 7 (12), e1002270 (2011) [8] D. Harmening, Clinical Hematology and Fundamentals of Hemostasis. (F.A. Davis, 2009), pp. 96-113 [9] L. Schofield and G. E. Grau, Nat Rev Immunol 5 (9), 722-735 (2005) [10] S. Kamolrat, H. P. Nguyen, W. Christopher, D. H. T. Gareth, L. Karina, T. H. M. Nguyen, A. S. Julie, T. H. Tran and J. W. Nicholas, The American Journal of Pathology 155 (2), 395-410 (1999) [11] J. Schafer, S. Dippel, and D. E. Wolf, J. Phys. I France 6 (1), 5-20 (1996) [12] Umar Fauzi, Sparisoma Viridi, and Qisthina Ghaisani, AIP Conference Proceedings 1325 (1), 124-127 (2010) [13] J. R. Cameron and J. G. Skofronick, Medical physics. (Wiley, 1978), pp 155-172 [14] A. Berwanger, S. Eyrisch, I. Schuster, V. Helms and R. Bernhardt, Journal of Inorganic Biochemistry 104 (2), 118-125 (2010) [15] C. J. Coen, J. Newman, H. W. Blanch and J. M. Prausnitz, Journal of Colloid and Interface Science 177 (1), 276-279 (1996)
Kesimpulan Telah berhasil disusun prosedur perhitungan dan algoritma simulasi penyumbatan pembuluh kapiler pada kasus malaria serebral dengan metode dinamika molekular. Langkah simulasi meliputi perhitungan gaya-gaya yang bekerja pada tiap partikel, percepatan tiap partikel menggunakan hukum kedua Newton, dan kecepatan dan posisi tiap partikel menggunakan metode Euler. Ucapan Terima Kasih Penulis berterimakasih kepada Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2012 (SNIPS 2012) dan FMIPA ITB yang menyediakan sarana presentasi tulisan ini. Referensi
Luman Haris*
[1] World Health Organization. World Malaria Report 2011. 2011. Switzerland, pp. xii-xiii [2] Malaria. Diakses 21 April 2012. http://www.expat.or.id/medical/malaria.html [3] H. M. Gilles and D. A. Warrell, BruceChwatt's Essential Malariology. (Hodder Arnold, 1999), pp. 12-44 [4] D. T. John, W. A. Petri, E. K. Markell and M. Voge, Markell And Voge's Medical Parasitology. (Saunders Elsevier, 2006), pp. 102-112 [5] Malaria. Diakses 21 April 2012. http://immunopaedia.org/index.php?id=387
Nuclear Physics and Biophysis Research Division Institut Teknologi Bandung
[email protected]
Sparisoma Viridi Nuclear Physics and Biophysis Research Division Institut Teknologi Bandung
[email protected]
Siti Nurul Khotimah Nuclear Physics and Biophysis Research Division Institut Teknologi Bandung
[email protected]
* Penulis korespondensi
ISBN 978-602-19655-3-5
103
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2012 (SNIPS 2012) 7-8 Juni 2012, Bandung, Indonesia
Program Identifikasi Sederhana untuk Ikatan Atomik Zat dari Spektrum Infrared Silvia Mergalucitra Purwani*, Siti Nurul Khotimah, dan Freddy Haryanto Diterima xx Juni 2012, direvisi xx Juli 2012, diterbitkan xx Agustus 2012 Abstrak Pada penelitian ini dibuat simulator teknik spektroskopi infrared pada bagian identifikasi ikatan atomik dari spektrum. Dilakukan ekstraksi pada spektrum infrared berformat gambar untuk didapatkan data input numerik. Dalam proses ekstraksi gambar, nilai RGB tiap piksel dirata-ratakan secara serentak kemudian ditentukan titik berat berdasarkan tingkat kehitaman untuk didapatkan piksel yang dianggap berarti. Perhitungan skala diperlukan untuk mengubah data piksel menjadi nilai-nilai yang sesungguhnya. Proses identifikasi dilakukan dengan pencarian lembah-lembah spektrum berdasarkan perubahan turun-naik grafik serta pengeliminasian lembah-lembah yang dianggap tidak berarti. Posisi lembah dalam nilai bilangan gelombang ( v ) kemudian dicocokkan dengan data ikatan atomik. Kata-kata kunci: spektroskopi, inframerah, spektrum, ekstraksi
I = I 0 e −εCd
Pendahuluan Spektroskopi infrared merupakan teknik yang menggunakan dua teknologi: interferometer Michelson dan FTIR (Fourier Transform Infrared) [4] dengan sumber radiasi dalam rentang infrared. Teknik ini bekerja berdasarkan prinsip absorbsi radiasi oleh suatu sampel karena modus vibrasi atom-atomnya. Tujuan teknik ini ialah untuk mendapatkan identitas suatu bahan dalam bentuk spektrum.
dengan
Pada spektroskopi IR, radiasi yang ditransmisikan sampel tercetak sebagai fungsi intensitas terhadap optical path difference yang kemudian ditransformasi oleh FTIR menjadi spektrum IR. Absis yang umumnya digunakan pada spektrum IR berupa bilangan gelombang -1 ( v dalam cm ) dan ordinat berupa transmitansi ( T ), sesuai dengan persamaan:
Teori Jika suatu molekul berinteraksi dengan medan elektromagnetik, transfer energi dari radiasi terhadap molekul terjadi sesuai dengan postulat Bohr (1913). (1)
v = cv
(3)
T (%) = ( I / I 0 ) x 100%
(4)
dengan c cepat rambat gelombang elektromagnetik yang tetap pada vakum sebesar 8 -1 2,997925 x 10 ms .
h merupakan tetapan Planck = 6,626 × 10-34 2 -1 m kgs , v frekuensi dalam Hertz, dan ΔE merupakan energi transisi antara dua
Untuk mengolah spektrum IR berformat gambar, terlebih dahulu dilakukan ekstraksi piksel. Suatu piksel pada gambar memiliki tiga komponen warna dasar, yaitu Red-Green-Blue (RGB) yang direpresentasikan dengan angka 0 hingga 255. Untuk dapat mengetahui tingkat kecerahan piksel, gambar dapat dikonversi dengan persamaan (5) sehingga bobot warna merah, hijau, maupun biru akan sama. Piksel dengan nilai whiteness ( W ) yang semakin tinggi akan terlihat semakin putih. W minimum bernilai 0 dan maksimum bernilai 255. Tingkat
keadaan terkuantisasi. Atom menyerap energi sejumlah ΔE untuk naik ke satu level lebih tinggi dan memancarkan energi saat turun ke satu level yang lebih rendah. Energi transisi level vibrasi atom-atom dalam molekul terdapat pada rentang radiasi infrared [2].
Ketika IR dipancarkan menembus suatu sampel, radiasi akan diserap dan sisanya ditransmisikan memenuhi hukum Lambert Beer sesuai dengan persamaan:
ISBN 978-602-19655-3-5
I 0 adalah intensitas radiasi sebelum
memasuki sampel, ε adalah koefisien absorbsi molekul (dimensi 1/mol), C adalah konsentrasi sampel, d adalah ketebalan sampel. Atom-atom zat baik dalam keadaan padat, cair, maupun gas memiliki modus vibrasi sehingga sampel yang digunakan pada spektroskopi IR dapat dalam keadaanapapun (liquid, larutan, pasta, serbuk, film, serat, gas maupun lapisan permukaan) [4].
Penelitian ini melakukan pengolahan data hasil spektroskopi infrared, yaitu mengidentifikasi ikatan atomik pada zat dari spektrum infrared. Sebagai sampel, digunakan spektrum 1-butanol dan spektrum dietil sulfat dalam format gambar.
hv = ΔE .
(2)
104
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2012 (SNIPS 2012) 7-8 Juni 2012, Bandung, Indonesia
kehitaman ( H ) didapat dari 255 dikurangi nilai W.
W =
R+G+ B 3
.
(5)
Pada grafik fungsi, satu piksel x hanya diperbolehkan untuk satu piksel y. Apabila terdapat sederetan piksel y pada satu nilai x, ditentukan “titik berat” sehingga dihasilkan satu koordinat fungsi, yaitu satu piksel y untuk satu piksel x sesuai dengan persamaan (6) berikut.
y=
y1 H 1 + y 2 H 2 + y 3 H 3 + ... + Yn H n H 1 + H 2 + H 3 + ... + Hn
.
(a)
(6)
Hasil dan diskusi Input sistem ialah spektrum IR 1-butanol (C4H10 OH) dan dietil sulfat (C4H10 O4S) dalam format gambar (Gambar 1). Gambar yang diekstrak dipastikan harus terbebas dari komponen lain selain grafik itu sendiri. Diperkirakan bahwa nilai W yang lebih besar dari 150 merupakan noise. Sehingga pada sistem, threshold W ditetapkan sebesar 150. Dengan perhitungan skala, nilai-nilai hasil ekstraksi berupa data koordinat piksel diubah menjadi nilai-nilai yang sesungguhnya.
(b) Gambar 2. Spektrum IR 1-butanol (a) dan dietil sulfat (b) yang telah diekstrak menjadi titik-titik koordinat piksel. Identifikasi dilakukan dengan pencarian lembah-lembah spektrum. Posisi lembah dalam nilai bilangan gelombang dicocokkan dengan data ikatan atomik. Program berjalan secara iteratif mulai dari titik pertama hingga titik terakhir pada grafik. Dihitung nilai gradien setiap penelusuran dua titik kemudian dilakukan perbandingan. Suatu titik akan dianggap sebagai titik balik minimum apabila perkalian dua nilai gradien yang berdampingan tidak lebih dari nol dan gradien sebelumnya bernilai kurang dari nol. Ditentukan batas daerah ordinat pada spektrum yang diolah. Penentuan batas ini berdasarkan visual dan disesuaikan dengan morfologi tiap spektrum. Tujuannya yaitu untuk menyingkirkan daerah yang mengandung lembah-lembah yang dianggap tidak berarti dan menyisakan daerah dengan lembah-lembah yang cukup ekstrem untuk dijadikan lembahlembah transmitansi. Selanjutnya ditentukan pula nilai rentang absis untuk menyelesaikan permasalahan letak lembah-lembah yang berdekatan. Jika ordinat suatu titik balik berada dalam daerah penghitungan, titik tersebut dapat diproses lebih lanjut untuk dijadikan kandidat lembah-lembah transmitansi. Apabila ditemukan lebih dari satu titik balik yang berada dalam rentang absis yang telah ditentukan, maka diambil hanya satu titik dengan nilai ordinat yang paling minimum.
Gambar 1. Spektrum IR 1-butanol (a) dan dietil sulfat (b). [7]
ISBN 978-602-19655-3-5
105
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2012 (SNIPS 2012) 7-8 Juni 2012, Bandung, Indonesia
Agar memudahkan perhitungan, spektrum dipotong pada nilai tertentu. Pada spektrum 1butanol, pemotongan gambar menghasilkan titik origin pada nilai bilangan gelombang dan transmitansi (x,y) = (300;0,15). x maksimum pada gambar dipotong pada nilai 3800 dan y maksimum 0,9. Berdasarkan morfologi gambar, batas ordinat penghitungan ditentukan sebesar 0,4 sehingga kandidat lembah hanya diperbolehkan apabila berada dalam daerah transmitansi kurang dari 0,4. Rentang absis ditentukan sebesar 150 sehingga hanya diambil satu dari titik-titik lembah yang berdekatan dalam -1 jarak kurang dari 150 cm . Pada spektrum dietil sulfat, titik origin pada (x,y) = (500;0,1). x maksimum pada gambar bernilai 4000 dan y maksimum 1. Batas ordinat penghitungan sebesar 0,8 dan rentang absis sebesar 150.
Gambar 3. Hasil identifikasi dari spektrum dietil sulftat. Ditemukan 6 titik lembah dan dua ikatan atomik. 1-butanol memiliki satu ikatan O-H, 9 ikatan C-H, dan satu ikatan C-O. Berdasarkan gambar 2, Program menemukan 4 titik lembah pada bilangan gelombang 1065, 1455, 2939, dan 3333. Program telah membaca dengan benar lembah-lembah transmitansi serta mencocokkannya dengan ikatan atomik yang sesuai dengan database.
Sebagai contoh data ikatan atomik, ke dalam sistem dimasukkan tiga jenis ikatan atomik serta nilai-nilai yang bersesuaian sebagai berikut. Tabel 1. Contoh data ikatan atomik.[4] Jenis Ikatan
Rentang -1 Absorbsi (cm )
O-H Stretching
3200-3600
C-H stretching
2800-3000
C-O
1000-1200
Dietil sulfat memiliki 10 ikatan C-H, dua ikatan C-O, dua ikatan S-O, dan dua ikatan S=O. Program menemukan 6 titik lembah pada bilangan gelombang 806, 915, 1010, 1201, 1405, dan 2986. Dua diantaranya bersesuaian dengan ikatan C-O dan C-H.
Hasil identifikasi spektrum terlihat pada gambar 2 dan 3 berupa data lembah transmitansi dalam koordinat x,y = v , T beserta ikatan atomik yang sesuai.
Untuk kelanjutan dari penelitian ini, sistem identifikasi diharapkan mampu menganalisis jenis gugus fungsi pada ikatan atomik dengan mempertimbangkan lebar lembah spektrum. Sistem diharapkan mampu membedakan kekuatan lembah dan mengkategorikannya menjadi weak, medium, dan strong yang berimplikasi pada jenis ikatan atomik yang terjadi. Agar sistem aplikatif, perlu ditambahkan database ikatan atomik lengkap dan disertai jenis gugus fungsi. Agar memudahkan pengguna, perlu dibagun GUI (Graphical User Interface) yang mudah digunakan untuk program identifikasi ini.
Gambar 2. Hasil identifikasi dari spektrum 1butanol. Ditemukan 4 titik lembah dan 3 ikatan atomik.
Kesimpulan Implementasi program identifikasi sederhana untuk ikatan atomik pada spektrum IR 1-butanol (C4H10O) dan dietil sulfat (C4H10O4S) telah dapat menemukan lembah-lembah transmitansi dan bersesuaian dengan ikatan atomik yang terdapat pada kedua sampel. Ucapan terima kasih Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ahli pemrograman, Ginan Ginanjar P. atas dikusinya yang bermanfaat.
ISBN 978-602-19655-3-5
106
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2012 (SNIPS 2012) 7-8 Juni 2012, Bandung, Indonesia
Referensi [1] E. F. H., George, W. O. and Wells, C. H. J.. 1975. Introduction to Molecular Spectroscopy. Academic Press: London. [2] Ferraro, John R., et al. 2003. Introductory Raman Spectroscopy Second Edition. Academic Press: USA. [3] Smith, Brian C.. 2011. Fundamental of Fourier Transform Infrared Spectroscopy. CRC Press: London, New York. [4] Stuart, Barbara. 2004. Infrared Spectroscopy: Fundamental and Application. John Wiley and Sons: Chichester, UK. [5] Stuart, Barbara. 1996. Modern Infrared Spectroscopy, ACOL Series. John Wiley and Sons: Chichester, UK. [6] Wartewig, Siegfried. 2003. IR and Raman Spectroscopy: Fundamental Processing. Wiley-VCH: Weinheim, Jerman. [7] NIST Chemistry WebBook (2011). U.S. Secretary of Commerce on behalf of the United States of America. < http://webbook.nist.gov/chemistry> Silvia Mergalucitra Purwani* Nuclear Physics and Biophysis Research Division Institut Teknologi Bandung
[email protected]
Siti Nurul Khotimah Nuclear Physics and Biophysis Research Division Institut Teknologi Bandung
[email protected]
Freddy Haryanto Nuclear Physics and Biophysis Research Division Institut Teknologi Bandung
[email protected]
*Corresponding author
ISBN 978-602-19655-3-5
107