Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013
Bandung, 3 - 4 Juli 2013
ISBN : 978-602-19655-4-2
Penerbit : Program Studi Magister Pengajaran Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Bandung
2013
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013
Bandung, 3- 4 Juli 2013
Himpunan Fisika Indonesia (HFI) Himpunan Fisika dan Fisika Terapan Indonesia (HF2TI) Program Magister Pengajaran MIPA ITB http://portal.fi.itb.ac.id/snips2013
ISBN 978-602-19655-4-2
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Panitia Penyelenggara Acep Purqon Fourier D.E. Latief Fatimah A. Noor Novitrian Syeilendra Pramuditya Agus Suroso Nina Siti Aminah Wahyu Hidayat Sidik Permana Neni Suryetni Ahmad Rosikhin Memoria Rosi Aghust Kurniawan
Dewan Pengarah Prof. Dr.rer.nat. Umar Fauzi Dr. Siti Nurul Khotimah, M.Sc Prof. Dr. I Made Arcana Prof. Dr. Roberd Saragih
Editor Acep Purqon Fourier D.E. Latief Sparisoma Viridi Syeilendra Pramuditya Dede Enan
ISBN 978-602-19655-4-2
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Foto-foto SNIPS 2013
ISBN 978-602-19655-4-2
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Kata Pengantar
Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) yang telah dilaksanakan pada 3-4 Juli 2013 di kota Bandung merupakan suatu kegiatan ilmiah yang terselenggara berkat dukungan dari Prorgam Studi Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Teknologi Bandung. Simposium ini merupakan tempat bertukar pikiran para pelaku bidang pembelajaran sains dan matematika yang meliputi para guru, mahasiswa, dosen, dan peneliti. Seminar ini diikuti oleh sejumlah peserta yang terdiri dari 4 orang pembicara kunci yang berasal dari Institut Teknologi Bandung (ITB), dan 93 presenter yang terbagi dalam empat kelompok presentasi paralel serta partisipan dari berbagai kalangan. Topik-topik yang disampaikan cukup beragam, di mana sebagian besar dari topik-topik tersebut merupakan hasil penelitian dan inovasi dalam bidang pengajaran dan pendidikan. Lebih dari 100 peserta dari beberapa kota di Indonesia seperti Jakarta, Bogor, Bandung, Palangkaraya dan Yogyakarta telah berpartisipasi dalam SNIPS 2013 ini. Upaya penyuntingan Prosiding ini telah diupayakan sebaik mungkin, Kami menyadari sepenuhnya, bahwa masih terdapat kesalahan dan kekurangan dalam penyusunan prosiding ini. Kritik dan saran sangat kami harapkan guna perbaikan pada penerbitan yang akan datang. Kami selaku panitia mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah mendukung dan membantu terselenggaranya acara SNIPS 2013 dan terselesaikannya penyuntingan dan penerbitan Prosiding ini. Semoga acara SNIPS 2013 dan penerbitan Prosiding ini bermanfaat bagi kita semua. Sampai jumpa dalam SNIPS berikutnya.
Acep Purqon Ketua SNIPS 2013
ISBN 978-602-19655-4-2
i
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Jadwal Simposium
ISBN 978-602-19655-4-2
ii
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Denah Ruang Simposium Lokasi: Campus Center Timur Institut Teknologi Bandung Jalan Ganesha 10, Bandung 40132, Indonesia
U
Toilet
Rump Ruang 2
Ruang 3
Pintu 2
Pintu 3
Ruan gS
Ruang 4
Pintu 1 Ruang 1
Ruang R
Pintu 4
Ruang P
Denah pembagian ruang di Campus Center Timur ITB. Terdapat empat ruang presentasi, yaitu Ruang 1 – 4. Dua pintu masuk dan keluar, yaitu Pintu 1 dan 2. Dua buah pintu darurat, yaitu Pintu 3 dan 4. Toilet terletak di luar Campus Center Timur. Ruang Ruang Ruang Ruang Ruang Ruang Ruang
1 : tempat presentasi paralel 2 : tempat presentasi paralel 3 : tempat presentasi paralel 4 : tempat presentasi utama dan paralel, pembukaan dan penutupan simposium P : tempat poster dipasang dan dipresentasikan R : tempat makan siang dan rehat kopi S : tempat sekretariat SNIPS 2013, meja registrasi terletak di depan Pintu 1
Kapasitas Kapasitas Kapasitas Kapasitas
Ruang Ruang Ruang Ruang
1 2 3 4
: : : :
25 orang 25 orang 25 orang 150 orang
ISBN 978-602-19655-4-2
iii
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
DAFTAR ISI Kata Pengantar
i
Jadwal Simposium
ii
Denah Ruang Simposium
iii
Daftar Isi
iv
Refleksi, Penyadaran, dan Sikap sebagai Tujuan Pembelajaran Kuliah A. Rusli
1
Pengembangan Model Pembelajaran On-line (e-learning) Menggunakan LMS (Learning Management System) untuk Pembelajaran Fisika di Sekolah Menengah Abdul Rajak, Amali Putra, dan Pakhrur Razi
5
Pengembangan Alat Penilaian Kinerja pada Pembelajaran Sains Berbasis Fuzzy Grading System Ade Gafar Abdullah, Ana, dan Dadang Lukman Hakim
10
Pengembangan Alat Praktikum Dasar Otomasi Industri Modular Ade Gafar Abdullah, Mochamad Riza Novian, Irfan Indrawan, Erik Haritman, dan Dandhi Kuswardhana
14
Pengaruh Bahan Metamaterial Terhadap Perambatan Gelombang Elektromagnetik Afnar Delivery
18
Studi Literatur Mengenai Diagnosa Pembusukan Pada Kaki Penderita Diabetes Melitus Dengan Menggunakan Metode Liquid Crystal Thermography (LCT) Afnar Delivery
21
Hasil dan Analisis percobaan Hukum Ohm, Jembatan Wheatstone dan Rangkaian RLC Albar Rabak Pabianan dan Euis Sustini
25
Identifikasi Parameter Kerapatan dan Kekentalan Terhadap Tinggi Zat Cair Yang Naik Pada Kaki Pipa U serta Pipa Y dengan Menggunakan Konsep Tekanan Andi Asgar Wahyu dan Inge Magdalena
29
Pembuatan Media Pembelajaran Berupa Animasi Berbasis Komputer Untuk Meningkatkan Pemahaman Siswa SMA/MA Kelas X Pada Mata Pelajaran Kimia Konsep Ikatan Kimia Andri Agustina, Ida Farida Ch. dan Cucu Zenab Subarkah
33
Analisis Keterampilan Proses Sains Siswa Melalui Pembelajaran Berbasis Proyek pada Konsep Pemisahan Campuran Andri Arifiadi, Cucu Zenab S, Risa Rahmawati S
37
ISBN 978-602-19655-4-2
iv
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Studi Awal Sintesis Material Katoda Lithium Besi Fosfat (LiFePO4) dengan Metode Solvotermal pada Konsentrasi Tinggi Anies Sayyidatun Nisa dan Ferry Iskandar
41
Eksplorasi Konsep Barisan dengan Metode Pembelajaran Berbasis Komputer Anjani Kusumaningsih dan Agus Yodi Gunawan
45
Analisis Keterkaitan Kecerdasan Majemuk Terhadap Kemampuan Berpikir Kritis Siswa SMA Setelah Diterapkan Pembelajaran Berbasis Kecerdasan Majemuk Aprianti Opi Ceisar, Winny Liliawati, dan Judhistira Aria Utama
49
Rancang Bangun Instrumen Akuisisi Data Temperatur Menggunakan IC LM35DZ dan Mikrokontroler ATMEGA8535 Berbasis Perangkat Lunak LabVIEW Arsul Rahman, Hendro, dan Neny Kurniasih
53
Profil Motivasi dan Tingkat Partisipasi Mahasiswa Calon Guru Fisika dalam Pembuatan Instrumen Soal Pilihan Ganda dan Esei Asep Sutiadi, Dadi Rusdiana, Andi Suhandi, dan Nuryani R. Rustaman
58
Penerapan Pembelajaran Berbasis Proyek Pada Materi Daur Ulang Minyak Jelantah Assyifa Junitasari; Cucu Zenab S; dan Risa Rahmawati S
62
Aplikasi Metode Disipasi Termal untuk Analisis Karakteristik Filamen dan Efektivitas Pencahayaan Berbagai Produk Lampu Pijar Budi Sigit Purwono dan Enjang Jaenal Mustopa
66
Meningkatkan Kemampuan Multi Representasi dan Translasi Antar Modus Representasi Konsep-Konsep Listrik Magnet Pada Program Preservice Guru Fisika P.Sinaga, Andi Suhandi, dan Liliasari
71
Pengembangan Aplikasi Lagu Sistem Periodik Unsur dalam Bentuk Macromedia Flash pada Materi Sistem Periodik Eka Yusmaita dan Bayharti
76
Profil Kemampuan Inkuiri Siswa dalam Penerapan Model Pembelajaran Level of Inquiry Erlina Megawati, Purwanto, dan Winny Liliawati
80
Penerapan Pemberian Tugas Awal “ Integrated Reading And Writing” dalam Pembelajran Berbasis Masalah Untuk Meningkatkan Literasi Fisika SMP Ermawati Dewi, Selli Feranie dan Saeful Karim
84
Penerapan Strategi Membaca dan Menulis pada Tugas Awal dalam Pembelajaran IPA Bertema Ultrasound untuk Meningkatkan Literasi Fisika Siswa SMP Esti Maras Istiqlal, Saeful Karim dan Selly Feranie
88
Analisis Karakter Peserta Didik Menggunakan Tes Dilema Moral pada Tema Gunung Meletus Fanni Zulaiha, Winny Liliawati, dan Taufik Ramlan Ramalis
92
Motor Solenoid Sebagai Alat Bantu dalam Pembelajaran Elektromagnetisme: Studi Pengaruh Tegangan dan Panjang Kumparan Terhadap Kecepatan Rotasi Samuel Kamajaya, Bianca Maria Hasiandra, Richard Jason, dan Fourier Dzar Eljabbar Latief
95
ISBN 978-602-19655-4-2
v
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Pengaruh Pengenceran HidrogenTerhadap Hasil Penumbuhan Silikon Nanowire dengan Metode HWC-in Plasma-VHF-PECVD Berbantuan Nanokatalis Perak Gilang Mardian Kartiwa, Rahmat Awaluddin Salam, Diki Anggoro, dan Toto Winata
99
Penerapan Pembelajaran Terpadu Model Webbed Tema Polusi Cahaya dengan Menggunakan Model Pembelajaran Susan-Loucks untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa SMP Hayyah Fauziah, Winny Liliawati, dan Judhistira Aria Utama
103
Penerapan Hands On Activity pada Pembelajaran IPA Bertema Operasi LASIK untuk Meningkatkan Literasi Fisika Siswa SMP Henita Septiyani Pertiwi*, Saeful Karim, Selly Feranie
107
Penerapan Video Based Laboratory pada Materi Getaran dan Gelombang untuk Meningkatkan Kemampuan ICT Siswa SMP Herni Yuniarti Suhendi, Selly Feranie, dan Ika Mustika Sari
111
Analisis Kemampuan Metakognitif Siswa Dengan Menerapkan Strategi Metakognitif dalam Pembelajaran Fisika Hilman Imadul Umam, Iyon Suyana, dan Agus Danawan
115
Analisis Karakter Peserta Didik Menggunakan Tes Dilema Moral pada Tema Efek Penggunaan Rokok di SMP Ifa Rifatul Mahmudah, Taufik Ramlan Ramalis, dan Winny Liliawati
119
Studi Perambatan Retakan Pada Material Bertakik Akibat Gaya Tarik Menggunakan Perangkat Lunak ABAQUS FEA Irfan Dwi Aditya, Widayani, Sparisoma Viridi, dan Siti Nurul Khotimah
122
Upaya Meningkatkan Kemampuan Creative Problem Solving Matematis Siswa SMA melalui Situation-Based Learning Isrok’atun
126
Perancangan Alat Pengukuran Keasaman (pH Meter) Menggunakan Sensor Kapasitif dan Jembatan Schering Jubaidah, Abdul Rajak, Khairiah, Tri S., Yuni W., Apit N., dan Mitra Djamal
130
Pemodelan Transmittansi Elektron pada Kapasitor MOS bermassa Isotropik dengan Menggunakan Pendekatan Fungsi Gelombang Airy Khairiah, Fatimah A. Noor, Mikrajuddin Abdullah, dan Khairurrijal
134
Perbandingan Penerapan Model Pembelajaran Guided Inquiry Dengan Model Pembelajaran Interactive Demonstration Untuk Meningkatkan Prestasi Belajar Fisika Siswa SMA Khumaedah Khasanah, Parlindungan Sinaga, dan Dedi Sasmita
138
Physics Modeling for Medical Purposes: Molecular Dynamics Simulation on MalariaInfected Blood Flow in 2-D Channel Luman Haris, Siti Nurul Khotimah, Freddy Haryanto, Sparisoma Viridi
142
Sintesis Nanopartikel Ekstrak Temulawak Berbasis Polimer Kitosan-TPP dengan Metode Emulsi Mersi Kurniati, Tyas Wulandary, Laksmi Ambarsari dan Latifah K Darusman
146
ISBN 978-602-19655-4-2
vi
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Pengaruh Doping Fe pada Oksida Kobalt Perovskit Sr0.775Y0.225CoO3- Millaty Mustaqima, Inge Magdalena Sutjahja, Febry Berthalita, Daniel Kurnia, Agustinus Agung Nugroho
150
Pengembangan Model Pembelajaran Fisika Berorientasi Kemampuan Berargumentasi dan Pemahaman Konsep Calon Guru Fisika Muslim, Andi Suhandi dan Ida Kaniawati
154
Kemampuan Siswa Menghubungkan Tiga Level Representasi Melalui Model MORE (Model-Observe-Reflect-Explain) Neng Tresna Umi Culsum, Ida Farida dan Imelda Helsy
159
-Module Pembelajaran Minyak Bumi Berbasis Lingkungan Untuk Mengembangkan Kemampuan Literasi Kimia Siswa Nevi Nurzaman, Ida Farida Ch dan Ratih Pitasari
164
Analisis Konsepsi Mahasiswa Terhadap Materi Elektrolisis Menggunakan Instrumen Tes Three Tier Multiple Choice Nia Tresnasih, Ida Farida dan Ratih Pitasari
168
Pembuktian Hukum Boyle pada Gas Ideal Berbantuan Data Studio Software dalam Praktikum Termodinamika Nofitri, Hadyan Akbar, Sinta Sri Ismawati, Herlin Verina, Vivi Nur Huda Lyjamil, Mohamad Soleh, Robi Sobirin, dan Irzaman
172
Penggunaan Macromedia Flash Untuk Meningkatkan Penguasaan Konsep Siswa Pada Materi Perkembangan Teori Atom Nur Alamsah, Heni Rusnayati, dan Chaerul Rochman
176
Model Dinamika Elemen Volume Air pada Self-Siphon dengan Pendekatan Analitik serta Konfirmasi Eksperimen dan Numerik untuk Konstruksi Ruang Kerja Parameternya Nurhayati, Wahyu Hidayat, Novitrian, Fourier Dzar Eljabbar Latief, Sparisoma Viridi, dan Freddy Permana Zen
180
Representasi Konsep Larutan Penyangga dalam Buku Teks Pelajaran Kimia SMA Nurul Fajriyah, Cucu Zenab Subarkah dan Siti Suryaningsih
184
Pengaruh Pemberian Integrated Reading and Writing Task pada Pembelajaran Berbasis Masalah dengan Tema Mesin Uap terhadap Peningkatan Literasi Fisika Siswa SMP Pandu Grandy Wangsa P., Selly Feranie, dan Dedi Sasmita
188
Pengaruh Perlakuan Refluks dalam Pembuatan Sol-Gel Nanokristal ZnO Terhadap Peningkatan Karakteristik Sel Surya Hibrid-nya Pardi Sampe Tola, Waode Sukmawati, Rahmat Hidayat
192
Peningkatan Hasil Belajar Siswa Kelas IV SD Karunadipa Palu Pada Konsep Kelipatan Persekutuan Terkecil (KPK) DAN Faktor Persekutuan Terbesar (FPB) Melalui Pendekatan Kontekstual Pathuddin
196
Penerapan Strategi Literasi Pada Pembelajaran IPA Meningkatkan Literasi Fisika R. Sinta Harosah, Ridwan Efendi, Selly Feranie
201
ISBN 978-602-19655-4-2
vii
Bertema Pelangi Untuk
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Permutasi dengan Panjang n Yang Tidak Memuat Pola dengan Panjang Tiga Rachmad Lasaka dan Djoko Suprijanto
205
Model Percobaan Sederhana untuk Pembelajaran tentang Pengukuran Efisiensi Konversi dari Energi Mekanik menjadi Energi Listrik Firman Iqro’ Bismillah, Zamzam Multazam, dan Rahmat Hidayat
208
Perancangan Automatic Gain Control pada Modem Orthogonal Frequency Division Multiplexing (OFDM) dalam rentang Frekuensi Audio Rifki Muhendra dan Maman Budiman
212
Analisis Buku Teks Kimia SMA pada Konsep Kesetimbangan Kimia Ditinjau dari Kriteria Representasi Rita Sugiarti dan Ida Farida, Ch.
216
Model Kompartemen untuk Kontaminan Timbal pada Tubuh Manusia dengan Metode Beda Hingga Sesya Sri Purwanti, Siti Nurul Khotimah, Freddy Haryanto
220
Pembelajaran Inkuiri dengan Mengkombinasikan Metode “Tigata-tigati Bermain Peran dengan Saitem” Ruswanto
224
“Monopoli Napza dan Pedeman” Sebagai Upaya Meningkatkan Aktifitas dan Hasil Belajar Biologi Pada Materi Sistem Syaraf dan Peredaran Darah Ruswanto
229
Penentuan Percepatan Gravitasi Bumi Dari Eksperimen Bandul Matematis Pada Simpangan Sudut Besar Safrudin Kiayi, Neny Kurniasih, dan Hendro
235
Studi Penggunaan Micro-CT Skyscan 1173 untuk Mengetahui Struktur Tulang Kaki Ayam Saumi Zikriani Ramdhani, Siti Nurul Khotimah, dan Freddy Haryanto
239
Analisis Prinsip Hukum Charles pada Operasi Mesin Kalor Menggunakan Heat Engine Apparatus Sinta Sri Ismawati, Hadyan Akbar, Nofitri, Herlin Verina, Vivi Nur Huda Lyjamil, Mohamad Soleh, Robi Sobirin, dan Irzaman
243
Kajian Sifat Termal Dan Kristalografi Nanopartikel Biomassa Rotan Sebagai Filler Bionanokomposit Siti Nikmatin
247
Pemanfaatan Kulit Rambutan (Nephelium sp.) Untuk Bahan Pembuatan Briket Arang Sebagai Bahan Bakar Alternatif Sitti Rahmawati
251
Konversi Energi Listrik (Joule) Menjadi Energi Panas (Kalori) Menggunakan Alat Electrical Equivalent of Heat (EEH) Mohamad Soleh, Vivi N. H. Lyjamil, Hadyan Akbar, Sinta S. Ismawati, Nofitri, Herlin Verlna, Robi Sobirin, dan Irzaman
256
Desain Sensor Keseimbangan Magnetoresistance Sony Wardoyo dan Mitra Djamal
260
ISBN 978-602-19655-4-2
Ban
Mobil
Berbasis
viii
Sensor
Magnetik
Giant
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
An Observation of a Circular Motion using Ordinary Appliances: Train Toy, Digital Camera, and Android based Smartphone Sparisoma Viridi, Tarex Moghrabi, and Meldawati Nasri
265
Rancang Bangun Alat dan Sintesis Material Lithium Besi Fosfat LiFePO4 dengan Metode Hidrotermal Sri Septiyanty Marpaung dan Ferry Iskandar
269
Pembelajaran Konsep Teorema Sisa Pada Pembagian Suku Banyak Dengan Pembagi Berbentuk ax – b Sukarni Ali dan Iwan Pranoto
273
Tinjauan Penyusunan Partikel Granular Berbentuk Cakram Lingkaran di Bawah Vibrasi Vertikal Trisna Utami, Fakhrul Rozi Ashadi, Siti Nurul Khotimah, Sparisoma Viridi
277
Uji Sifat Optik Pada Film Tipis Ba0,55Sr0,45TiO3 Umar, Faanzir, Abd. Wahidin Nuayi, Ridwan Siskandar, Heriyanto Syafutra, Husin Alatas dan Irzaman
280
Profil Kecerdasan Majemuk Siswa Setelah Diterapkan Pembelajaran Berbasis Kecerdasan Majemuk dalam Konsep Tata Surya Utami Widyaiswari, Winny Liliawati, Taufik Ramlan R.
285
Analisis Coefficient of Performance (COP) pada Pompa Kalor dengan menggunakan Piranti Termolistrik Vivi Nur Huda Lyjamil, Nofitri, Hadyan Akbar, Sinta Sri Ismawati, Herlin Verina, Mohamad Soleh, Robi Sobirin dan Irzaman
290
Desain Alat Ukur untuk Mengukur Kadar Larutan Porfirin+ Fe berbasis GMR Aisyah Amin dan Mitra Djamal
294
Keanekaragaman spesies reptil di Pulau Banggai Provinsi Sulawesi Tengah Akhmad dan Djoko Tjahjono Iskandar
298
Pemisahan Tetrafenilporfirin Menggunakan Kromatografi Kolomflash Aldih Taangga, Alpin Lainua, Phutri Milana, Ciptati, Irma Mulyani dan Veinardi Suendo
302
Pembuatan Komposit Papan Serat dari Karakterisasi Sifat Fisis dan Mekanisnya Bernart Taangga, dan Widayani
dan
306
Penerapan Model Pembelajaran Inkuiri Laboratorium Terbimbing Pada Konsep Garam Terhidrolisis Enok Aas, Risa Rahmawati S, dan Yunita
310
Dinamika Fluida Pada Aliran Laminar di Dalam Pipa Melalui Program Aplikasi Tinjauan Comsol Multiphysics 4.2 Erwin Abd.Rauf dan Suparno Satira
313
Analisis Struktur Kristal pada Lapis Tipis Ba0,55Sr0,45TiO3 Faanzir, Umar, Ridwan Siskandar, Abdul Wahidin Nuayi, Heriyanto Syafutra, Husin Alatas, dan Irzaman
317
ISBN 978-602-19655-4-2
Tandan
ix
Kosong
Kelapa
Sawit
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Analisis Efesiensi Energi Pada Tungku Berbahan Bakar Sekam Padi Mukhlis, Indah Rodianawati, Heriyanto Syafutra, Husain Alatas, dan Irzaman
321
Pengembangan Materi Praktikum Elektrokimia Skala Kecil Beserta Video Animasi Tiga Dunia Firdaus dan Muhamad Abdulkadir Martoprawiro
325
Konverter DC-AC dengan Multivibrator Digital Untuk Kebutuhan Energi Listrik Rumah Tangga Firman Laurensius Nadeak dan Suprijadi
329
Eksperimen Hukum-Hukum Radiasi Termal: Hukum Kuadrat Terbalik, Hukum Stefan-Boltzmann serta Pengaruh Warna Permukaan terhadap Radiasi Termal Hadyan Akbar, Vivi Nur Huda, Sinta Sri Ismawati, Mohamad Soleh, Nofitri, Herlin Verina, Robi Sobirin, dan Irzaman
333
Pembelajaran Tekanan Hidrostatik, Kapilaritas, dan Debit Zat Cair Melalui Power Point, Video, dan Modul Eksperimen Islamiani Safitri dan Siti Nurul Khotimah
338
Rancang Bangun Turbin Angin Vertikal Untuk Menggerakkan Pompa Air Skala Kecil Jasirus Panjaitan dan Widayani
343
Koefisien Gesekan Per Satuan Massa Antara Udara Dan Air Yang Keluar dari Lubang Kecil Pada Tangki Air Marten Rantelai dan Triyanta
347
Dekarboksilasi Asam Amino: Sintesis Kadaverin Menggunakan Lisin Masita, Didin Mujahidin, dan Rino R.Mukti
351
Studi Komputasi Reaksi-Reaksi Kimia Sederhana Dan Visualisasinya Untuk Pembelajaran Ilmu Kimia Ridwan dan Muhamad Abdulkadir Martoprawiro
355
Penerapan Model Pembelajaran Problem Based Instruction untuk Meningkatkan Prestasi Belajar Siswa pada Pembelajaran Fisika Stevida Sendi, Sutrisno, dan Parlindungan Sinaga
359
Simulasi Pencarian Basis Data dengan Algoritma Grover Suhadi, J S Kosasih, dan F P Zen
363
Ekstraksi, Isolasi, Pemurnian, dan Karakterisasi Antosianin dari Ubi Jalar Ungu (Ipomoea batatas L.) Suryo Jadmiko dan Ciptati
367
Studi awal sintesis partikel CaO dengan menggunakan EG route yang dibantu dengan pemanasan Microwave Verry Anggara Musriana, Pipit Uky Vivitasari, dan Ferry Iskandar
371
Pemodelan Sederhana Analisis Hilangnya Energi Listrik pada Proses Transmisi Listrik Jarak Jauh Sebagai Pelengkap Pemahaman Konsep Listrik Pada Proses Pembelajaran Zainuddin dan Euis Sustini
375
ISBN 978-602-19655-4-2
x
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Refleksi, Penyadaran, dan Sikap sebagai Tujuan Pembelajaran Kuliah A. Rusli Abstrak Sains dan teknologi telah dan makin cepat berkembang sejak awal abad ke 20, dan dampaknya terhadap hidup sehari-hari makin jelas. Agar masyarakat dapat menyikapi dan mengendalikan dampak sains dan teknologi itu dengan efektif dan bijaksana, pembelajaran sains memang memerlukan inovasi agar sesuai dengan perkembangan jaman, baik dari segi sainsnya maupun dari segi sifat mahasiswa yang mempelajarinya. Pada ICMNS tahun 2008 dan 2010 telah dilaporkan pola penugasan mingguan dalam perkuliahan Fisika Dasar, yang mengusahakan efektivitas pembelajaran tersebut. Presentasi ini hendak melaporkan hasil penyempurnaan pola penugasan mingguan tersebut sejak semester ganjil 2012-2013, yang mengusahakan efektivitas maupun kebijaksanaan mahasiswa, untuk dapat ikut berperan positif di masyarakat yang akan makin kompleks di masa depan. Penyempurnaan tersebut adalah, dengan mempertajam arah salah satu dari tiga butir laporan mingguan tersebut, yaitu ‘pendapat pribadi/kelompok’. Tujuan awalnya adalah untuk terutama memperoleh umpan balik tentang pendapat mahasiswa akan pelaksanaan perkuliahan dalam minggu sebelumnya. Karena adanya masukan berupa pedagogi reflektif yang bertujuan menyentuh segi afektif mahasiswa dan siswa, telah dilakukan penajaman butir ‘pendapat pribadi/kelompok’ itu menjadi tiga butir, yaitu berupa ‘hasil refleksi tentang segi manfaat’ materi perkuliahan minggu sebelumnya, ‘hasil refleksi tentang segi risikonya’, dan berdasarkan hasil refleksi itu, ‘niat menerapkan hasil pembelajaran minggu sebelumnya, melalui tindakan kecil tetapi konkret yang dapat membantu kepentingan umum, terlebih pihak yang lebih lemah’. Ternyata refleksi tentang segi positif dan segi risiko itu dapat menimbulkan tanggapan yang menunjukkan adanya kesadaran, tumbuhnya sikap positif, dan upaya merefleksi mahasiswa, tetapi ternyata rumusan ‘niat’ masih menunjukkan kesimpangsiuran pemahaman. Maka untuk semester ganjil 2013-2014 direncanakan perbaikan perumusan tiga butir baru ini. Kata-kata kunci: pembelajaran refleksi, penyadaran, sikap menangani alat elektronik seperti komputer, laptop, dan tablet, dan cara menanganinya tampak menunjukkan kemampuan “multi-tasking”, berpindah-pindah dari kegiatan yang satu ke kegiatan yang berikutnya, yang mengindikasikan pula kebiasaan “cepat-beralih-perhatian” (short span of attention). dan sebagainya.
Pendahuluan Refleksi, penyadaran, dan sikap merupakan langkah pembelajaran fisika yang dapat menghadapi makin pesatnya perkembangan ilmu dan teknologi pada jaman ini. Hipotesis ini tampak agak terdukung oleh pengamatan selama studi yang dilaporkan ini. Bahwa ilmu dan teknologi makin pesat berkembang, dapat dilihat dari makin tebalnya jilid jurnal ilmiah terkenal seperti Physical Review Letters, Journal of Rheology yang saya langgan, malah terindikasi juga dari jumlah makalah yang diterima website penampung artikel arXiv.org [1] yang dirawat oleh perpustakaan Cornell University, Amerika Serikat. Sebagai gambaran, tampak di arXiv.org bahwa pada satu hari saja, tanggal 8 Juli 2013, dilaporkan ada 46 makalah yang diterima hari Kamis dan Jumat sebelumnya (4 dan 5 Juli 2013), terdiri atas 27 makalah termasuk tentang Pendidikan Fisika, 6 buah dari bidang khusus lainnya, dan 13 buah yang diperbaharui oleh penulisnya karena diperbaiki dan sebagainya.
Dua pertimbangan ini dengan jelas mengindikasikan perlunya pola pembelajaran di kelas diubah, kalau efektivitasnya ingin dipertahankan, malahan jika dimungkinkan, malahan dipertinggi pula, untuk dapat menjadi modal masa depan yang lebih berharga bagi mahasiswa sebagainya. Perubahan ini tampaknya perlu bersifat pengalihan [3] dari upaya mencapai pemahaman sains dan pemahaman cara ilmiah (science literacy dan scientific literacy), menjadi upaya yang esensinya adalah memperoleh peta kawasan ilmu dan penyadaran tentang cara ilmiah, bukannya menjadi ahli di kawasan ilmu dan cara ilmiah itu. Dengan memiliki suatu peta itu, kiranya lebih mudah menyadari ahli apa yang perlu dikonsultasi; ini lebih efisien daripada perlu menangani semua masalah sendirian saja di dunia yang makin kompleks ini.
Di pihak lain, angkatan muda yang sedang belajar di sekolah dan perguruan tinggi, disebutkan tergolong “Generasi Milenium” yang berbeda cirinya dengan angkatan-angkatan sebelumnya [2]. Salah satu perbedaan yang teramati adalah, bahwa mahasiswa masa kini cukup gesit
ISBN 978-602-19655-4-2
Untuk dapat memperoleh peta dan penyadaran tersebut, komponen “refleksi” dalam
1
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
berdiskusi antar-mahasiswa sebagai pengakaranpendalaman dan penyadaran suatu konsep dan lainnya. Di akhir pertemuan, dosen perlu menulis beberapa istilah esensial, dan merangkum esensi kuliah tersebut, serta mengingatkan beberapa konsekuensi praktisnya.
pendidikan perlu ditingkatkan penguasaannya. Refleksi merupakan suatu kegiatan mental yang didasarkan pada data dan observasi serta informasi yang dimiliki, mengolahnya dengan nalar (rationality) [4], menilai kebenaran dan kebijaksanaannya dengan hati nurani (conscience) [5]. Hasil refleksi ini adalah suatu kepahaman tentang konsep atau konsep-konsep terkait, dan kaitan-tautannya dengan beberapa hal lain di lingkungannya. Hasil refleksi ini sebaiknya diikuti tindakan berupa suatu pilihan dan suatu tindakan, bukannya hanya berhenti pada pemikiran saja, agar manfaat bagi masyarakat dapat menjadi lebih konkret. Rujukan yang digunakan pada laporan ini sengaja mengutamakan Wikipedia, karena keterandalannya yang, walaupun tidak 100%, tetapi diperkirakan andal setidaknya 90%, untuk mengajak pembaca ikut memanfaatkannya sebagai rujukan-cepat-mudah, yang lalu seperlunya dapat dipakai untuk menemukan (juga dengan www.scholar.google.com), rujukan yang lebih ilmiah.
Dengan pola pedagogi reflektif ini [7] tampaknya penyadaran pada mahasiswa dapat ditumbuhkan, dan semoga secara jangka panjang sikap hidup reflektif dan terbuka-konstruktif tertumbuhkan pula padanya. Dengan demikian, laju perkembangan ilmu dan teknologi dapat dihadapinya dengan lebih baik dan bijaksana. Peran Dosen Peran dosen di kelas, walaupun sudah dilakukan upaya student-centred, tetap amat penting. Sikap dosen yang sengaja (atau secara alamiah) menunjukkan sifat reflektif, sikap terbuka dalam menerima sebarang pertanyaan, dan menunjukkan upaya sungguh-sungguh untuk menawarkan jawabannya, dan jika masih gagal menemukan jawab yang memuaskan, rela menjanjikan upaya yang lebih efektif pada sesi berikutnya, setidaknya menunjukkan pustaka atau topik Wikipedia yang dapat membantu, senantiasa bersikap konstruktif (bukan defensif, egosentris, melainkan meletakkan kepentingan mahasiswa sebagai pusat upayanya secara bersahabat) kiranya dapat menunjang keberhasilan jangka panjang (sering disebut “outcome”) perkuliahannya.
Pembelajaran di Kuliah Pembahasan ini difokuskan pada perkuliahan fisika, tetapi kiranya sifatnya cukup generik sehingga mudah diadaptasi pada pelajaran di sekolah menengah, dan mungkin juga secara terbatas di sekolah dasar. Agar menjadi berfokus pada mahasiswa (student-centred), perlu disediakan setidaknya satu pustaka (sedapatnya e-book yang gratis), agar mahasiswa dapat membandingkan bahasan di kelas dengan pustaka itu, dan mempertanyakan perbedaan yang ditemuinya. Melayani pertanyaanpertanyaan ini merupakan kesempatan bagus bagi dosen untuk berangsur meningkatkan keterampilannya menjawab pertanyaan secara efektif, dan menemukan pemikiran-pemikiran yang lebih mendalam dan matang tentang materi kuliahnya.
Refleksi dosen tentang topik-topik esensial beserta kemudian tautannya satu dengan lainnya, dan tidak melupakan kesadaran akan luasnya lingkungan manusia di Bumi, dan luasnya jagad dibandingkan dengan Bumi, dapat menumbuhkan pada diri mahasiswa suatu sikap kagum dan sikap rendah hati. Sebaliknya, kesadaran akan kompleksitas manusia, baik secara fisik sampai ke atom dan inti atom yang membentuk dirinya, maupun secara mental-spiritual tentang kemampuannya membayangkan hal ihwal Bumi dan jagad, atom dan inti atom, ihwal benar dan keliru, ihwal baik dan buruk, kiranya dapat menuntunnya ke kesadaran tingginya martabat seorang manusia. Satu langkah berikutnya adalah kesadaran tentang ihwal bagaimana sains dan iman kepercayaan intuitif akan Tuhan Pencipta Alam dapat saling mengasah dan saling melengkapi. Hal ini dapat menuntunnya pada penghargaan pada setiap kehidupan dan pada setiap manusia, lepas dari saling berbedanya dalam fisik ataupun pemikiran dan kepercayaan. Hal ini pun akan mendukungnya dalam menghadapi dunia yang kompleks yang masih banyak didera konflik dan kesalahpahaman ini. Akhirnya, sebagai pelatihan aspek psikomotorik mahasiswa, ditugaskan tugas mingguan seperti berikut ini.
Dengan dukungan pustaka itu, dosen lalu lebih mudah memusatkan pembahasannya pada beberapa saja dari konsep esensial yang ada di pustaka itu, dengan tidak lupa menunjukkan kaitan dan tautan antar-konsep itu, dan menjawab pertanyaan dengan sekonstruktif mungkin. Mahasiswa dapat lalu ditugasi menelusuri lebih lanjut kaitan-kaitan antar konsep itu. Latar belakang sejarah dan tautan dengan laporanlaporan ilmu dan teknologi yang dapat ditemukan di koran, akan terasa manfaatnya, di samping semoga memperpanjang juga rentang perhatian mahasiswa. Yang menjadi komponen penting pula di kelas adalah pelatihan soal dan pembahasan contoh konkret, menggunakan flashcards [6] seperti juga dibahas Pak Tony Sumaryada di SNIPS 2013 ini (EDU-18), memberi kesempatan
ISBN 978-602-19655-4-2
2
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
efektif atau jelas. Tanggapan terhadap “demi kepentingan umum” tampak amat mudah bergaung di benak mahasiswa, sedangkan “perhatian pada pihak yang lebih lemah” ada juga menimbulkan komentar “jangan memanjakan mereka”.
Tugas Mingguan Sejak memberi kuliah pada tahun 1969, telah ditemui masalah “bagaimana mengakarkan ilmu” pada para mahasiswa. Sekitar tahun 1993an, mulai diadakan tugas tertulis mingguan berupa satu halaman maksimal [8], mula-mula bagi kelompok ~5 mahasiswa agar menumbuhkan suasana diskusi, tetapi akhirnya dinilai kelompok berdua-dua menjadi format yang optimal, dari segi efektivitas melatih bekerja-baik pada diri mahasiswa, juga dari segi meringankan beban kerja mahasiswa dan dosen.
Yang juga menarik adalah bahwa umumnya mahasiswa setuju bahwa kaum miskin dan kaum difabel (different ability, cacat) tergolong kaum lemah dan patut dibantu, dan perempuan juga tergolong pihak yang lebih lemah; tetapi ada juga yang berpendapat bahwa sepatutnya perempuan dianggap lemah karena memang demikian hakikatnya (!). Jelaslah bahwa masih ada pekerjaan rumah dalam meluruskan beberapa sikap dan pandangan yang terpengaruh budayabudaya tertentu, yang belum konsisten dengan sains yang ada.
Tugas mingguan itu mula-mula terdiri atas “intisari kuliah minggu sebelumnya”, “satu pertanyaan”, dan “pendapat pribadi kelompok”. “Intisari” merupakan latihan menemukan esensi dalam suatu kuliah, dan menjadi butir yang paling sering dinyatakan berharga oleh mahasiswa. Bagi dosen, butir ini menjadi umpan balik tentang efektivitas kuliahnya. “Pertanyaan” menjadi latihan kekritisan, menemukan hal yang belum jelas dalam kuliah. Bagi dosen, butir ini menjadi alat melatih menjawab secara ringkas tetapi efektif, dan picu untuk belajar lebih lanjut tentang suatu topik. “Pendapat pribadi menjadi umpan balik pula bagi dosen, tentang cara membawakan kuliahnya. sebagainya. Akan tetapi sejak setahun yang lalu, setelah menemukan pustaka tentang pedagogi reflektif tersebut [7], butir ketiga di atas dikembangkan demi pertimbangan “refleksi” itu, menjadi 3 butir: “Hasil refleksi tentang manfaat isi kuliah minggu lalu”, “hasil refleksi tentang risiko isi kuliah minggu lalu”, dan “satu niat kecil yang dapat dilakukan berdasarkan refleksi itu, yang berguna bagi kepentingan umum, terlebih bagi pihak yang lebih lemah”. Dua butir pertama merupakan latihan merefleksi dan menalarkan sisi positif dan sisi negatif setiap hal yang dipelajari. Butir terakhir melatihkan sikap mengkonkretkan tindakan atas dasar refleksi itu. Syarat “untuk kepentingan umum” melatihkan sikap berpikir dari sudut kepentingan masyarakat, untuk mengurangi sikap egosentris yang secara alamiah ada pada diri manusia. Syarat “pihak yang lebih lemah” hendak menarik perhatian pada fakta bahwa kaum yang lebih kuat dapat lebih membela kepentingan dirinya, tetapi kaum yang lebih lemah seringkali tidak berkemampuan menolong dirinya sendiri, sehingga merekalah yang lebih memerlukan perhatian.
Kesimpulan Laporan ini telah membahas temuan yang diperoleh dari tugas mingguan, yang telah diperluas dari 3 butir menjadi 5 butir. Secara umum walaupun hanya secara kualitatif, disimpulkan bahwa perluasan ini cukup efektif, walaupun diyakini bahwa baru setelah beberapa tahun dampaknya akan dapat teramati pada mahasiswa yang sudah lulus sarjana (atau magister). Beberapa kelemahan akibat kekurangjelasan instruksi tentang “niat konkret” dalam tugas mingguan ini, direncanakan diperhatikan pada semester selanjutnya. Refleksi sebagai pendalaman pemahaman, dan penyadaran sebagai dampaknya, termasuk pertautan antar-konsep esensial materi perkuliahan, diperkirakan akan dapat ditumbuhkan sebagai suatu sikap hidup, asalkan disertai teladan oleh dosen, dalam segala keterbatasannya. Perhatian pada kepentingan umum, dan pihak yang lebih lemah, tampak masih perlu dijabarkan di masa selanjutnya. Ucapan terima kasih Terima kasih diucapkan kepada Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Katolik Parahyangan, untuk dukungan dana, sehingga dapat mengembangkan laporan ini. Terima kasih pula diucapkan atas kesempatan yang diberikan mempresentasikan laporan ini pada Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains (SNIPS) 2013 tanggal 3 dan 4 Juli 2013 di Campus Centre Timur, ITB, Bandung.
Pengalaman selama dua semester yang lalu menunjukkan bahwa empat dari lima butir isi tugas mingguan ini cukup mudah ditangkap mahasiswa. Hanya perumusan “niat” yang menghasilkan rumusan yang beraneka ragam, dari penasihatan kepada Pemerintah atau pihak lain, sampai ke isi yang memang sesuai dengan yang diminta. Rupanya petunjuk yang diberikan dosen kurang
ISBN 978-602-19655-4-2
Referensi [1] Cornell University Library, http://arxiv.org/list/physics/new, Juli 2013
3
terakses
8
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
http://en.wikipedia.org/wiki/Flashcards, terakses 8 Juli 2013 [7] J. Subagya, 2012. Paradigma Pedagogi Reflektif – Mendampingi Peserta Didik Menjadi Cerdas dan Berkarakter, edisi revisi”, terjemahan “Ignatian Pedagogy, A Practical Approach”, G S Prakash, India. Kanisius, Jogjakarta. [8] A Rusli, 2008. “Improving the Learning Process of Under- and Postgraduate Students: Some Study Results”. Proceedings of the 2nd International Conference on Mathematics and Natural Sciences (ICMNS), FMIPA, ITB, Bandung. 1314 – 1320.
[2] William Strauss & Neil Howe (2003, 2007). “Millenials Go To College: Strategies for a New Generation on Campus”. American Association of Collegiate Registrars and Admissions Offices (AACRAO) and Life Course Associates. Washington, DC [3] A Rusli, 2010, “A Format for the Basic Physics Lecture – Aiming at Science Awareness: Some Study Results”. Proceedings of the 3rd International Conference on Mathematics and Natural Sciences (ICMNS), FMIPA, ITB, Bandung. 579 – 586. [4] Wikipedia. Rationality. http://en.wikipedia.org/wiki/Rationality, terakses 8 Juli 2013 [5] Wikipedia. Conscience. http://en.wikipedia.org/wiki/Conscience, terakses 8 Juli 2013 [6] Wikipedia. Flashcard.
ISBN 978-602-19655-4-2
A. Rusli Jurusan Fisika Fakultas Teknologi Informasi dan Sains Universitas Katolik Parahyangan, Bandung
[email protected]
4
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Pengembangan Model Pembelajaran On-line (e-learning) Menggunakan LMS (Learning Management System) untuk Pembelajaran Fisika di Sekolah Menengah Abdul Rajak*, Amali Putra, dan Pakhrur Razi Abstrak Penelitian ini berawal dari kenyataan di sekolah bahwa guru masih mengalami kesulitan dalam pembelajaran fisika khususnya materi termodinamika antara lain: sarana laboratorium yang kurang mendukung, minimnya bahan ajar berbasis ICT, ketersediaan waktu jam pelajaran yang diberikan tidak sesuai dengan padatnya materi yang akan disampaikan. Mengingat fasilitas ICT seperti komputer dan internet pada umumnya sudah memadai di sekolah, maka salah satu alternatif adalah menerapkan pembelajaran berbasis ICT dengan mengembangkan model pembelajaran secara online yang disajikan dalam paket portal/situs pembelajaran online fisika (e-learning physics). Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan model pembelajaran online yang valid, efektif dan layak serta dapat mengatasi permasalahan dalam pembelajaran fisika selama ini. Berdasarkan analisis produk dan data yang telah dilakukan dapat dikemukakan empat hasil penelitian ini. Pertama, model pembelajaran online yang dihasilkan berupa portal e-learning yang di dalamnya terdiri dari: pretes, bahan ajar (halaman web, animasi dan video) dan postes untuk empat kali pertemuan. Kedua, model pembelajaran online memiliki tingkat validitas dengan kategori baik sekali dengan nilai rata-rata 86,14 untuk uji pakar dosen dan 91,32 untuk uji pakar guru. Ketiga, model pembelajaran online dapat meningkatkan motivasi belajar siswa dilihat dari perolehan rata-rata nilai motivasi 71,91 sebelum menggunakan bahan ajar online dan 76,20 sesudah menggunakan bahan ajar online. Keempat, pada ranah kognitif didapat perolehan nilai rata-rata pretes 79,88 dan nilai rata-rata postes 85,77. Dengan uji statistik t diperoleh thitung = 4,62 dan ttabel = 2,04 yang menunjukkan bahwa bahan ajar online dapat meningkatkan hasil dan motivasi belajar siswa. Kata kunci : model pembelajaran online, e-learning physics banyak digunakan untuk mengakses situs-situs umum seperti jejaring sosial (facebook dan twitter) yang seharusnya tidak mendominasi aksesnya setiap hari. Dalam pembelajaran fisika khususnya, internet banyak memberikan manfaat, salah satunya adalah dapat dijadikan sebagai wahana belajar baru di dunia maya dimana siswa dapat mengakses materi pembelajaran fisika berupa bahan ajar, modul, lks dan bentuk lainnya yang dapat memberikan banyak informasi mengenai fisika dengan mudah dan ekonomis. Berdasarkan data statistik yang disajikan pada gambar 1, memperlihatkan bahwa penggunaan fasilitas internet didominasi pada tingkat pendidikan menengah atas dan perguruan tinggi.
Pendahuluan Fisika merupakan salah satu bagian dari sains yang diharapkan dapat memberi kontribusi dalam membangun sumber daya manusia yang berkualitas karena fisika memegang peranan penting dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Mengingat begitu besarnya peranan fisika dalam menjawab tantangan global dan penunjang kemajuan teknologi, maka dituntut adanya perubahan ke arah yang lebih baik pada proses pembelajaran fisika, sehingga dapat meningkatkan mutu pendidikan. Pada kenyataan saat ini pembelajaran fisika di sekolah masih rendah dalam segi kualitas. Salah satu hal yang menunjukkan rendahnya mutu pembelajaran fisika di sekolah adalah padatnya materi pembelajaran yang tidak sesuai dengan waktu proses belajar mengajar di kelas, sehingga menyebabkan kegiatan pembelajaran tidak efektif dan efisien. Saat ini layanan internet sudah dapat dinikmati di lingkungan sekolah baik oleh siswa maupun guru, selain dari pada itu perangkat yang mendukung seperti laptop, komputer pun sudah bukan merupakan barang asing lagi, rata-rata guru dan siswa sudah memilikinya. Namun, terkadang fasilitas tersebut belum termanfaatkan secara maksimal untuk hal-hal yang sifatnya ke arah pembelajaran. Fasilitas internet oleh siswa saat ini
ISBN 978-602-19655-4-2
Gambar 1. Persentase penggunaan berdasarkan tingkat pendidikan [1].
5
internet
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
pembelajaran serta dapat dikembangkan sesuai dengan kebutuhan pengguna (user needs). Selanjutnya Clark [6] juga menambahkan LMS sangat cocok untuk pembelajaran yang dilakukan secara jarak jauh (long distance learning) baik itu formal maupun non formal, dimana seluruh aktivitas siswa dapat dimonitor (monitoring) lewat kelas digital (virtual classroom) yang dapat dirasakan seperti kelas nyata (real classroom) dengan tatap muka langsung. Secara umum Fitur yang ada pada LMS antara lain: a. Fitur Kelengkapan Belajar Mengajar: Daftar mata pelajaran, Silabus, Materi belajar (Berbasis Text atau Multimedia), Daftar Referensi atau Bahan Bacaan b. Fitur Diskusi dan Komunikasi: Forum Diskusi atau Mailing List, Instant Messenger untuk Komunikasi Realtime, Papan Pengumuman, Porfil dan Kontak Instruktur, File and Directory Sharing c. Fitur Ujian dan Penugasan: Ujian Online (Exam), Tugas Mandiri (Assignment), Rapor dan Penilaian
Teori Dasar Sistem pembelajaran yang memanfaatkan fasilitas internet sebagai media dan sumber belajar bagi siswa adalah sistem pembelajaran e-learning (electronic learning). Pembelajaran e-learning merupakan pembelajaran dengan menggunakan jasa bantuan perangkat elektronik, khususnya perangkat komputer. Dalam dunia pendidikan saat ini internet sangat dibutuhkan untuk menggali sumber-sumber belajar yang up to date. Istilah elearning memiliki definisi yang sangat luas. Elearning terdiri dari huruf e yang merupakan singkatan dari electronic dan kata learning yang artinya pembelajaran [2]. Beberapa ahli memiliki persepsi masing-masing dalam mendefinisikan elearning, akan tetapi secara garis besar terdapat dua persepsi dasar e-learning seperti yang dikemukakan oleh Munir [3] yakni : a. Electronic based learning adalah pembelajaran yang memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi, terutama perangkat yang berupa elektronik seperti OHP, Slide, LCD projector, tape dan lain-lain. b. Internet based learning, adalah pembelajaran yang menggunakan fasilitas internet yang bersifat online sebagai instrumen utamanya (berbasis web).
Metode Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian dan pengembangan (Research and Development/R&D). Pengertian R&D menurut Sugiyono [7] adalah metode penelitian yang digunakan untuk menghasilkan produk tertentu, dan menguji keefektifan produk tersebut.
Perbedaan pembelajaran konvensional dengan e-learning yaitu: pada pembelajaran konvensional guru dianggap sebagai orang yang serba tahu dan ditugaskan untuk menyalurkan ilmu pengetahuan kepada pelajarnya, sedangkan di dalam pembelajaran e-learning fokus utamanya adalah pelajar. Pelajar mandiri pada waktu tertentu dan bertanggungjawab untuk pembelajarannya [4].
Pada penelitian ini ada dua hal yang menjadi objek penelitian. Pertama adalah pada model pembelajaran online yang disajikan dalam portal pembelajaran online fisika (e-learning physics) yang dikembangkan dengan software LMS Moodle versi 1.9.9. Dan kedua adalah siswa kelas XI SMA Negeri 3 Padang. Siswa yang menjadi objek penelitian adalah satu kelas dari 2 kelas XI IPA yang statusnya kelas internasional. Kelas yang diambil adalah kelas XI IPA 1 dengan jumlah siswa sebanyak 31 orang dengan kemampuan awal yang dianggap telah mewakili kelas XI IPA yang ada di SMA N 3 Padang.
Dengan memaksimalkan pemanfaatan internet di dunia pendidikan melalui pembelajaran e-learning diharapkan dapat mengubah era lama dan menciptakan era baru dengan pembelajaran yang lebih modern dan berkualitas. Hal ini tentu perlu proses dalam pelaksanaanya, sehingga dibutuhkan kerja keras dari berbagai segi praktisi pendidikan untuk dapat mewujudkannya. Untuk mewujudkan hal tersebut, maka dibutuhkan suatu software berbasis internet yang dapat mendukung pembelajaran secara online, software tersebut adalah LMS (Learning Management System).
Penelitian yang dilakukan ini terdiri atas lima tahapan sesuai yang digambarkan oleh Razi [5] yakni : 1) Tahap Studi Pendahuluan, 2) Tahap Pengembangan, 3) Tahap Evaluasi, 4) Tahap Revisi, 5) Tahap Implementasi (uji coba).
LMS adalah perangkat lunak yang digunakan untuk membuat materi pembelajaran online (berbasis web) dan sekaligus mengelola proses pembelajaran. Salah satu software LMS adalah Moodle. Moodle itu sendiri adalah singkatan dari Modular Object Oriented Dynamic Learning Environment yang berarti tempat belajar dinamis dengan menggunakan model berorientasi objek. Razi [5] berpendapat bahwa aplikasi LMS memungkinkan siswa untuk masuk ke dalam ‘ruang kelas’ digital dan mengakses materi-materi
ISBN 978-602-19655-4-2
Sedangkan instrumen yang digunakan untuk mengumpulkan data terdiri dari tiga bagian yaitu: lembaran penilaian hasil validasi dari tenaga ahli (dosen dan guru fisika), angket motivasi belajar yang diberikan kepada siswa sebelum dan sesudah menggunakan produk dan uji keefektifan dari tes hasil belajar (pretes dan postes).
6
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
pretes dan postes sebanyak 20 soal. Tampilan halaman evaluasinya dapat dilihat pada gambar 4.
Hasil dan Diskusi Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini terbagi menjadi 2 yakni : 1. Bentuk tampilan portal e-learning Bentuk tampilan home dari portal e-learning yang telah dihasilkan dalam pengembangan ini disajikan pada gambar 2 berikut.
Gambar 4. Tampilan halaman evaluasi yang sedang dikerjakan oleh siswa. Kemudahan lain yang diberikan oleh portal e-learning yang dikembangkan adalah disediakannya menu chating antar siswa dan guru sehingga memungkinkan untuk berdiskusi mengenai materi pelajaran yang tidak dimengerti dan pengelolaan nilai-nilai latihan dan tugas-tugas siswa. Tampilan pengolahan nilai disajikan pada gambar 5.
Gambar 2. Tampilan halaman depan (home) portal pembelajaran online fisika. Pada halaman depan moodle sudah tersedia daftar materi pelajaran yang akan diikuti, untuk dapat mengikuti pembelajaran peserta diharuskan untuk registrasi (login) terlebih dahulu, data login (user name dan password) diberikan oleh admin yang sekaligus sebagai guru yang mengelola portal e-learning. Setelah siswa masuk ke dalam menu pembelajaran yang disediakan, siswa dapat mempelajari dan mengunduh (download) bahanbahan pembelajaran yang sudah disajikan dalam bentuk file pdf, powerpoint, flash, dan video. Siswa juga dapat membaca bahan ajar yang sudah disediakan dalam bentuk halaman web (web page). Selengkapnya tampilan bahan ajar yang sudah diakses siswa seperti disajikan pada gambar 3.
Gambar 5. Tampilan tabel perolehan nilai evaluasi siswa (tampilan untuk guru sebagai admin) 2.
Hasil Perolehan Data Penelitian Deskripsi data hasil uji validitas disajikan pada tabel 1 berikut ini. Tabel 1. Hasil validitas angket dari pakar dosen dan guru fisika Nilai Validasi Aspek yang No. Ket. oleh dinilai Dosen Guru Baik 1 Validitas Isi 89,00 90,00 sekali Baik Desain 83,08 92,31 2 sekali Instruksional Komunikasi Baik 3 87,00 91,00 Visual sekali Baik 4 Kebahasaan 85,50 92,00 sekali Baik Rata-rata 86,14 91,32 sekali Deskripsi nilai rata-rata isian angket motivasi belajar yang diisi oleh siswa sebelum dan sesudah
Gambar 3. Tampilan bahan ajar yang disajikan dalam p ortal pembelajaran online. Dalam hal evaluasi, siswa disajikan soal pretes dan postes dengan tingkat kesulitan yang sama dan ditampilkan secara random. Siswa diberi waktu selama 30 menit untuk mengerjakan soal
ISBN 978-602-19655-4-2
7
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
yang lengkap. Namun dalam hal kognitif, peningkatan nilai yang diperoleh kurang signifikan dari segi analisa statistik (diperoleh p-value dari Ttest sebesar 5%). Hal ini dikarenakan peneliti mengambil sampel siswa pada kelas unggul yang sudah memiliki pengetahuan yang cukup baik tentang materi yang diajarkan. Untuk penelitian kedepannya, peneliti menyarankan untuk validasi juga dilakukan kepada siswa yang menggunakan model pembelajaran ini, agar diperoleh data yang lebih lengkap dan akurat.
menggunakan model pembelajaran online ditunjukkan pada tabel 2, dan nilai rata-rata perolehan pretes dan postes siswa untuk empat kali pertemuan untuk ditunjukkan pada tabel 3. Tabel 2. Nilai Rata-rata data Angket Motivasi Belajar Siswa. No. 1. 2.
Instrumen Angket Sebelum Sesudah
Nilai Rata-rata 71,91 76,20
Tabel 3. Nilai rata-rata pretes dan postes siswa untuk empat kali pertemuan di kelas online Rata-rata kelas Pertemuan keTes Pre Tes Pos Tes
Ucapan Terima Kasih Penulis mengucapkan terimakasih kepada berbagai pihak yang telah membantu penelitian ini, diantaranya kepada pihak SMAN 3 Padang dan kepada kedua dosen pembimbing penulis.
Ratarata Total
1
2
3
4
84,68
70,32
84,84
79,68
79,88
91,13
75,81
93,55
82,58
85,77
Referensi [1] Hasbullah, “Perancangan dan Implementasi Model Pembeajaran E-Learning Untuk Meningkatkan Kualitas Pembelajaran di JPTE FPTK UPI”, Jurnal Peningkatan kualitas pembelajaran UPI (1999). [2] A. Herman, “Mengenal E-Learning”, (2005)., http://www.asep-hs.web.ugm .ac.id (diakses tanggal 28 Mei 2010). [3] Munir, “Pembelajaran Jarak Jauh Berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi”, Bandung: Alfabeta (2009) [4] Niam. “Menuju Pembelajaran Online (ELearning)”, (2009). http://www.scribd. com/doc/3365808/Pembelajaran-eLearning (diakses tanggal 28 Mei 2010). [5] Pakhrur Razi, “Pengembangan E-Learning Physics Menggunakan Learning Management System (LMS) Untuk Meningkatkan Efektifitas Belajar Mahasiswa Mata Kuliah Termodinamika Jurusan Fisika” Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas (SNFUA, 2009). [6] Clark, Ruth Colvin, “E-Learning and The Science of Instruction”, (2003) http://www. elearningguru.com/books/science_instruction.p df (diakses tanggal 28 Agustus 2010). [7] Sugiyono, “Metoda Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D”, Bandung: Alfabeta (2008). [8] A. Suharsimi, “Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik”, Jakarta: Rineka Cipta. (2006).
Selanjutnya dari hasil perolehan data pada tabel 3 dilakukan uji t dengan persamaan berikut [8]. Md
t
X d2
(1)
N ( N 1)
dengan:
Md
d
(2)
N
dimana : d = perbedaan pretes dengan postes (postes – pretes) = mean dari d Md Xd = deviasi masing-masing subjek (d-Md) ∑X2d = jumlah kuadrat deviasi N = jumlah subjek pada sampel (siswa) Dari hasil perhitungan berdasarkan persamaan 1 dan 2 diperoleh thitung sebesar 4,62. Harga ttabel yang didapatkan pada buku Arikunto [8] dengan derajat kebebasan 30 (jumlah siswa dikurang 1), dan dengan taraf signifikansi 5 % diperoleh ttabel = 2,04. Kesimpulan Telah dihasilkan model pembelajaran online (e-learning) yang disajikan dalam portal pembelajaran dengan software LMS Moodle. Produk yang dihasilkan memiliki tingkat validitas yang baik sekali setelah diuji oleh pakar ahli (86,14 untuk dosen dan 91,32 untuk guru). Model pembelajaran online dapat meningkatkan motivasi belajar siswa. Dari hasil perolehan nilai kognitif siswa dapat disimpulkan bahwa secara umum model pembelajaran online layak dan efektif diterapkan di sekolah-sekolah menengah yang sudah memiliki fasilitas komputer dan internet
ISBN 978-602-19655-4-2
8
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia Abdul Rajak* Jurusan Pendidikan Fisika, FMIPA Universitas Negeri Padang
[email protected] Amali Putra Jurusan Pendidikan Fisika, FMIPA Universitas Negeri Padang
[email protected] Pakhrur Razi Jurusan Pendidikan Fisika, FMIPA Universitas Negeri Padang
[email protected] [email protected]
*Corresponding author
ISBN 978-602-19655-4-2
9
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Pengembangan Alat Penilaian Kinerja pada Pembelajaran Sains Berbasis Fuzzy Grading System Ade Gafar Abdullah*, Ana, dan Dadang Lukman Hakim Abstrak Makalah ini memaparkan hasil pengembangan alat penilaian kinerja pada pembelajaran sains melalui pendekatan pembelajaran project based laboratory (probaslab) berbasis Fuzzy Grading System. Metode ini dikembangkan untuk mendapatkan suatu proses penilaian kinerja yang bebas dari unsur subyektifitas. Penelitian ini menggunakan metode pengungkapan pendapat. Proses penilaian kinerja FGS ini telah menghasilkan proses penilaian yang tidak kaku, lebih adil dan objektif. Unsur pemberian nilai secara subjektif dalam penilaian kinerja dapat dihindari oleh dosen karena keputusan akhir dapat ditentukan melalui proses defuzzifikasi yang sepenuhnya diputuskan oleh sistem perangkat lunak. Kata-kata kunci: fuzzy grading system, project based laboratory, penilaian kinerja, pembelajaran sains. mahasiswa bersama-sama menghasilkan dasar tata acuan dan kriteria penilaian. Kemudian kriteria yang telah disetujui disusun dalam skala fuzzy.
Pendahuluan Penilaian atas kinerja mahasiswa dalam pembelajaran sains merupakan tugas penting dalam proses pembelajaran. Perkembangan terbaru di dalam proses pembelajaran telah mengalami pergeseran yang awalnya menempatkan guru sebagai pusat proses belajar menjadi siswa sebagai pusat dari proses belajar [1]. Pembelajaran yang berpusat pada siswa salah satunya dapat dilangsungkan dalam wujud project based laboratory (probaslab) [2]-[4]. Teknik penilaian kinerja pada pembelajaran probaslab seringkali mengabaikan kaidah-kaidah sistem evaluasi yang objektif dan adil bagi mahasiswa.
Himpunan fuzzy A dalam semesta pembicaraan dinyatakan dengan fungsi keanggotaan (membership function) A , yang harganya berada dalam interval [0,1]. Secara matematika hal ini dinyatakan dengan [11] :
A : U 0,1
Himpunan fuzzy A dalam semesta pembicaraan U biasa dinyatakan sebagai sekumpulan pasangan elemen u (u anggota U) dan besarnya derajat keanggotaan (grade of membership) elemen tersebut sebagai berikut [11]:
Makalah ini menyajikan suatu metode penilaian kinerja yang disimulasikan pada pembelajaran sains berbasis komputasi cerdas menggunakan logika fuzzy. Aplikasi logika fuzzy untuk penilaian proses pembelajaran diperkenalkan dengan istilah fuzzy grading system (FGS) [5]. Himpunan fuzzy merepresentasikan “ketidakjelasan konsep” cara menilai variable subjektif dalam evaluasi pembelajaran [1]. Penelitian terkini terkait aplikasi logika fuzzy untuk penilaian pembelajaran [6]–[10] membuktikan bahwa penilaian yang bersifat otentik dan adil sangat dibutuhkan saat ini, tidak terkecuali untuk penilaian pembelajaran sains.
A u, A (u ) / u U
(2)
Tanda ‘/’ digunakan untuk menghubungkan sebuah elemen dengan derajat keanggotaannya. Jika U adalah diskrit,maka A bisa dinyatakan dengan [11]: n
A A ui / ui
(3)
i 1
dan jika U adalah kontinyu, maka himpunan fuzzy dapat dinyatakan dengan [11]:
A A u / u U
Metode
(4)
Untuk membuat model penilaian kinerja berbasis FGS dapat dilakukan melalui langkah langkah : fuzzifikasi., inferencing (rule base) dan deffuzifikasi.
Pengembangan alat penilaian kinerja pada pembelajaran sains dengan menggunakan FGS ini diterapkan pada pembelajaran yang menggunakan pendekatan probaslab, Misalnya pada proses praktikum fisika, biologi ataupun kimia. Penelitian ini menggunakan metode teknik pengungkapan pendapat dengan tujuan mendorong para mahasiswa mengambil bagian di dalam keseluruhan proses pembelajaran. Dosen dan
ISBN 978-602-19655-4-2
(1)
Fuzzifikasi merupakan suatu proses mengubah variabel non fuzzy (variabel numerik) menjadi variabel fuzzy (variabel linguistik). Misalnya telah sepakati kriteria nilai untuk aspek kerjasama kelompok : SB: Sangat Baik, B: Baik, S:
10
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Jika input penilaian kinerja praktikum fisika dasar adalah : kerjasama dalam kelompok (KDK), produk hasil proyek (DHP) dan presentasi hasil proyek (PHP) dan output penilaian kinerja adalah Nilai Kinerja Praktikum (NKP), maka rule basenya dapat disusun seperti contoh berikut :
Sedang, K: Kurang, dan SK: Sangat Kurang. Maka hubungan kriteria nilai tersebut dengan fungsi keanggotaannya dapat ditulis : 0 SB u (u 80) / 5 1
0 u 70 / 5 B u 1 85 u / 5 0 0 u 70 / 5 S u 1 85 u / 5 0 0 u 70 / 5 K u 1 85 u / 5 0 1 SK u 40 u / 5 0
0 u 80 80 u 85
(5)
85 u 100
Rule (1): IF KK=SK AND HP=SK AND PHP=SK THEN NKP=E.
0 u 70
Rule (2): IF KK=SK AND HP=SK AND PHP=K THEN NKP=E. ....dan seterusnya.
70 u 75
Proses defuzzifikasi merupakan proses pengubahan data-data fuzzy tersebut menjadi data-data numerik yang dapat dijadikan kesimpulan hasil penilaian. Terdapat dua metode defuzzifikasi yaitu metode Mamdani dan metode Sugeno. Pada penelitian ini digunakan metode defuzzifikasi Maksimum of Mean (MOM) dari Mamdani, yang didefinisikan sebagai [11]
75 u 80 80 u 85 85 u 100
(6)
0 u 50 50 u 55 55 u 70
(7)
75 u 100
35 u 40
j 1
J
(10) (11)
Dimana :
vo
(8)
50 u 55
J
55 u 100
vj
: nilai keluaran : jumlah harga maksimum : nilai keluaran maksimum ke-j
v v
0 u 35 35 u 40
vj
v j v v v
0 u 35 40 u 50
j
vo
70 u 75
: derajat keanggotaan elemen-elemen pada fuzzy set v
(9)
40 u 100
v
: semesta pembicaraan
Hubungan antara tingkatan level dengan fungsi keanggotaan fuzzy terlihat pada gambar 1 yang dibuat dengan menggunakan fungsi keanggotaan model trapesium.
Hasil dan Diskusi
Setelah proses fuzzifikasi, tahapan selanjutnya adalah tahapan inferencing, dimana pada umunya aturan fuzzy dinyatakan dalam bentuk “IF THEN” yang merupakan inti dari relasi fuzzy. Pada tahapan ini dibuat tabel hubungan antara input dan output sehingga dapat dibuat rule-base dari program fuzzy-nya.
Tabel 1. Input dan Output Penilaian Kinerja
Aplikasi FGS dalam penilaian kinerja pembelajaran probaslab disimulasikan pada proses praktikum fisika dasar. Input dan ouput penilaian kinerja ditentukan seperti pada Tabel 1.
Input
Output
Range 0-100
Produk Hasil Proyek (DHP)
0-100
Presentasi Hasil Proyek (PHP)
0-100
Nilai Kinerja Praktikum (NKP)
0–100
Langkah berikutnya adalah melakukan fuzzifikasi input dan output berdasarkan variabel dan range nilai yang telah ditentukan seperti pada tabel 1. Dengan menggunakan toolbox fuzzy logic pada Matlab maka proses fuzzifikasi dapat dilakukan dengan mudah. Gambar 2 memperlihatkan proses fuzzifikasi input dan output penilaian.
Gambar 1. Hubungan antara tingkatan level dengan fungsi keanggotaan fuzzy.
ISBN 978-602-19655-4-2
Variabel Kerjasama Dalam Kelompok (KDK)
11
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
(a)
Fuzzifikasi variabel kerjasama dalam kelompok
Gambar 3. mahasiswa.
(b)
Fuzzifikasi variabel produk hasil proyek
(c)
Fuzzifikasi variabel presentasi hasil proyek
(d)
Fuzzifikasi variabel nilai kinerja praktikum
penilaian
kinerja
Gambar 4 memperlihatkan surface viewer yaitu suatu gambar yang menunjukkan kehalusan dari gradasi warna pada perubahan tingkatan fuzzy dari rule base yang telah dibuat. Dari gambar tersebut kita dapat menakar kualitas aturan penilaian yang telah ditentukan. Perubahan gradasi warna yang semakin halus berarti menunjukkan bahwa semakin bagus aturan penilaian yang dibuat.
Gambar 4. Surface viewer hasil penilaian kinerja berbasis FGS.
Gambar 2. Fuzzifikasi input dan output penilaian kinerja praktikum fisika dasar.
Untuk mendapatkan output dari proses komputasi melalui algoritma FGS maka diperlukan defuzzifikasi sebagai proses untuk mendapatkan keluaran yang sesuai dengan statment input dan output yang dibuat. Hasil defuzzifikasi ini dapat digunakan sebagai aplikasi akhir untuk memutuskan hasil penilaian kinerja, seperti terlihat pada gambar 5. Dari aplikasi ini kita dapat langsung memutuskan hasil penilaian berbasis FGS ini.
Seperti terlihat pada gambar 2. Kita tidak terikat untuk mempergunakan salah satu fungsi keanggotaan, tetapi bisa menggunakan lebih dari satu fungsi keanggotaan seperti terlihat pada gambar 2(b) yang memperlihatkan campuran fungsi keanggotaan trapesium dan triangular untuk fuzzifikasi variabel DHP. Rentang nilai yang dibuat dapat didiskusikan secara langsung antara dosen dan mahasiswa, sehingga dapat terwujud peran serta mahasiswa dalam proses evaluasi. Setelah proses fuzzifikasi maka dilakukan proses inferensing. Untuk membangun kriteria pada proses ini mahasiswa dapat juga dilibatkan. Gambar 3 memperlihatkan hasil inferensing, dimana terbangun 125 rule IF..THEN yang akan dijadikan patokan dalam hal keputusan penilaian kinerja.
ISBN 978-602-19655-4-2
Inferensing
12
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Gambar 5. probaslab.
Defuzzifikasi
penilaian
[5] J. R. Echauz, and G. J. Vachtsevanos, “Fuzzy Grading System, IEEE Transactions on Education”, 38(2), 158-165, (1995). [6] S. Ingoley and J.W. Bakal, “Use of Fuzzy Logic in Evaluating Students Learning Achievement”, International Journal on Advanced Computer Engineering and Communication Technology (IJACECT), 1(2), 47-54, (2012). [7] T. C. Hsieh, T. I Wang, C. Y. Su and M. C. Lee, “A Fuzzy Logic-based Personalized Learning System for Supporting Adaptive English Learning”, Educational Technology & Society’ 15 (1), 273–288, (2012). [8] L. R. Gupta and A. K. Dhawan, “Diagnosis, Modeling and Prognosis of Learning System using Fuzzy Logic and Intelligent Decision Vectors”, International Journal of Computer Applications, 37(6), 25-29, (2012). [9] R. Rekik and I. Kallel, “Fuzz-Web: A Methodology Based on Fuzzy Logic for Assessing Web Sites”, International Journal of Computer Information Systems and Industrial Management Applications, 5, 126136, (2013). [10] P. Dewi, O. Sudana and D. Putra, ”Comparing Scoring and Fuzzy Logic Method for Teacher Certification DSS in Indonesia”, International Journal of Computer Science Issues, 9(6:2), 309-316, (2012). [11] S. Kuswadi, Kendali Cerdas Teori dan Aplikasi Praktisnya, Penerbit Andi, Yogyakarta, (2007).
kinerja
Kesimpulan Proses penilaian kinerja pada pembelajaran sains dengan pendekatan pembelajaran probaslab berbasis FGS telah menghasilkan proses penilaian yang tidak kaku, lebih adil dan objektif. Unsur pemberian nilai secara subjektif dalam penilaian proses kinerja dapat dihindari oleh dosen karena keputusan akhir dapat ditentukan melalui proses defuzzifikasi yang sepenuhnya diputuskan oleh sistem perangkat lunak. Ucapan terima kasih Penulis mengucapkan terima kasih kepada Universitas Pendidikan Indonesia yang telah memberikan hibah penelitian inovasi pembelajaran. Referensi
Ade Gafar Abdullah* Jurusan Pendidikan Teknik Elektro Universitas Pendidikan Indonesia
[email protected]
[1] J. Ma, and D. Zhou, “Fuzzy Set Approach to the Assessment of Student-Centered Learning”, IEEE, 43(2) , 237-241 (2000). [2] C. S. Lee, J. H. Su, K. E. Lin, J. H. Chang and G. H. Lin, “A Project-based Laboratory for Learning Embedded System Designs with Support from the Industry”, 38th ASEE/IEEE Frontiers in Education Conference, 22-25 Oktober, Saratoga Springs, New York, pp1-5, (2008). [3] Z. Nedic, A. Nafalski and J. Machotka, “Motivational project-based laboratory for a common first year electrical engineering course”, European Journal of Engineering Education,35( 4), 379–392, (2010). [4] R. Hong Chu, D. Dah-Chuan Lu, S. Sathiakumar, “ Project-Based Lab Teaching for Power Electronic and Drives” , IEEE Transaction On Education, 51(1), 108-113, (2008).
ISBN 978-602-19655-4-2
Ana Jurusan Pendidikan Kesejahteraan Keluarga Universitas Pendidikan Indonesia
[email protected] Dadang Lukman Hakim Jurusan Pendidikan Teknik Elektro Universitas Pendidikan Indonesia
[email protected] *Corresponding author
13
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Pengembangan Alat Praktikum Dasar Otomasi Industri Modular Ade Gafar Abdullah*, Mochamad Riza Novian, Irfan Indrawan, Erik Haritman, dan Dandhi Kuswardhana Abstrak Makalah ini memaparkan hasil penelitian tentang pengembangan alat praktikum dalam bidang otomasi industri berbasis perangkat pengontrol terprogram. Peralatan ini dibuat dengan konsep real mobile plant trainer dan bersifat modular, yaitu peralatan praktikum dasar otomasi industri yang betul-betul nyata seperti sistem otomasi di industri dan memudahkan ketika berpindah-pindah tempat (bersifat mobile), selain itu alat praktikum ini bersifat modular yaitu dapat dibongkar pasang sesuai dengan pekerjaan otomasi yang akan dilakukan. Peralatan praktikum dasar otomasi industri ini memiliki dua kelompok peralatan, yang pertama peralatan utama yang terdiri dari modul PLC , modul I/O dan modul catu daya, kedua peralatan real plant yang terdiri dari modul-modul yang digunakan untuk melatih logika dan aplikasi otomasi di industri, modulmodul ini dapat secara leluasa diperbanyak sesuai dengan kebutuhan pembelajaran. Perangkat modulmodul real plant dirancang untuk meningkatkan kemampuan aplikasi logika dasar dalam proses otomasi industri. Kata-kata kunci: alat praktikum, logika dasar,modular, otomasi industri, real mobile plant. dikembangkan [3]. Terdapat juga penelitian terkait pengembangan simulator sistem otomasi untuk pengukuran listrik tiga phasa yang diintegrasikan dengan perangkat lunak Labview. [4]. Penelitian lainnya telah mengembangkan suatu simulator untuk mempermudah mahasiswanya memahami prinsip kerja suatu magnet permanen pada motor stepper. Dalam penelitiannya tersebut direkomendasikan bahwa simulator ini sangat tepat untuk digunakan pada proses pembelajaran desain mekatronika [5]. Selain itu terdapat juga penelitian yang mengembangkan perangkat lunak yang dilengkapi dengan tampilan grafis untuk interaksi komplek dalam sistem komunikasi dan fungsi database. Perangkat lunak ini digunakan untuk mengembangkan proses pembelajaran tentang otomasi sistem manufaktur [6].
Pendahuluan Penyelesaian masalah pengontrolan sistem otomasi industri yang riil terjadi di industri sering kali tidak diberikan dalam pembelajaran sehingga kurang memberikan pengalaman kontekstual kepada peserta didik. Sumber belajar dan peralatan praktek sangat minim menjadi penyebab utama, sehingga peserta didik bekerja tidak optimal karena perangkat otomasi industri yang dipunyai laboratorium tidak memadai, sedangkan untuk menambah fasilitas praktikum dihadapkan pada biaya peralatan yang sangat mahal karena biasanya perangkat praktikum otomasi industri merupakan produk import. Permasalahan ini timbul disebabkan belum berkembangnya inovasi-inovasi media pembelajaran untuk bidang otomasi industri. Lembaga pendidikan masih sangat bergantung kepada peralatan praktikum produksi luar negeri yang berharga mahal.
Material dan Metode Langkah pertama sebelum perakitan dimulai adalah melakukan identifikasi peralatan dan bahan yang akan digunakan. Tabel 1. memperlihatkan peralatan dan bahan yang digunakan.
Desain peralatan praktikum dibidang teknologi otomasi sebagai penunjang pembelajaran banyak dikembangkan. Kerjasama antara universitas Arizona dengan Motorolla telah menghasilkan suatu perangkat lunak untuk management training course [1]. Telah dikembangkan pula suatu perangkat keras untuk mendukung pembelajaran mikroprosessor, dengan membuat suatu pesawat latih yang mempermudah mahasiswa merancang suatu personal mikrokomputer [2]. Laboratorium virtual untuk keperluan praktikum sistem kontrol dengan contoh kasus couple tank apparatus yang mempunyai multi input-multi output (MIMO) yang dilengkapi dengan simulator pengontrolan PID (Proportional Integral Derivative), general statespace dan Fuzzy Logic Control juga sudah
ISBN 978-602-19655-4-2
14
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
penggunaan dan beberapa jobsheet untuk uji coba peralatan.
Tabel 1. Alat dan bahan utama yang digunakan dalam perakitan modul latih. Nama Peralatan PLC Personal Komputer Acrilyc Frame Stainless Seven segmen Pilot lampu Soket banana Push button Buzzer Togle switch ON – OFF MCB Voltmeter
8) Setelah buku petunjuk dan jobsheet selesai dibuat maka tahap selanjutnya adalah melakukan ujicoba kinerja alat secara langsung pada proses pembelajaran.
Spesifikasi CP1L 20 I/O Acer Quadcore 1 m2 tebal 50mm 3m 1 buah 24Vdc Kuning, merah, hitam 2 buah 1 buah 8 buah
Pada saat makalah ini dibuat pekerjaan penelitian baru sampai pada langkah no 4. Hasil dan diskusi Alat praktikum dasar otomasi industri yang dirancang berkonsep mobile, yaitu mudah dibawa sehingga pengguna tidak mengalami kesulitan jika menginginkan mengadakan simulasi di depan kelas ataupun di tempat yang lain. Secara lengkap gambaran desain kontruksi modul latih tersebut terlihat pada Gambar 1. Kerangka modul latih ini memiliki panjang 1300 mm , lebar 500 mm dan tinggi 1200 mm. Diatas meja terdapat rak yang memiliki dua tingkat, dimana tingkat pertama disediakan untuk slot modul utama dan tingkat kedua digunakan untuk slot modul riil plant. Gambar 2 memperlihatkan frame dudukan tempat menyimpan modul utama dan modul real plant. Masing-masing tingkat dapat menampung 3 modul latih.
2A 1 buah
Tempat penelitian dilaksanakan di Laboratorium Elektronika Industri Jurusan Pendidikan Teknik Elektro FPTK UPI. Kegiatan penelitian lebih difokuskan pada proses desain, perakitan dan uji coba. Prosedur penelitian ini dapat dijelaskan sebagai berikut : 1) Tahap awal yang dilakukan adalah dengan melakukan analisis pengembangan perangkat simulator, dengan tujuan untuk mengembangkan modul-modul latih logika lanjut. 2) Tahap rancang bangun simulator logika lanjut, dilakukan dengan melakukan proses desain modul latih menggunakan perangkat lunak microsoft visio, kemudian diimplementasikan secara ketat dengan alat dan bahan sesuai perencanaan. 3) Setelah perangkat keras selesai dibuat, maka tahap berikutnya membuat rancangan dan implementasi sistem kontrol waktu nyata berbasis perangkat lunak open sources dan perangkat lunak wonderware intouch. 4) Pengujian kinerja alat meliputi pengujian pada keadaan statis dan pengujian pada keadaan dinamis.
Gambar 1. Desain kontruksi modul latih otomasi industri terintegrasi HMI
5) Optimalisasi perangkat simulator dengan melakukan pengujian kinerja oleh para pakar dalam bidang otomasi industri, media pembelajaran dan desain produk. Pengujian ini bertujuan untuk mendapatkan masukanmasukan untuk memperbaiki kinerja simulator.
Peralatan terbagi atas dua kelompok yang pertama kelompok modul utama yang terdiri dari modul PLC , modul I/O dan modul catu daya, kedua kelompok modul real plant yang terdiri dari modul-modul yang digunakan untuk melatih logika dan aplikasi otomasi di industri. Gambar 2 memperihatkan rancangan modul utama dan Gambar 3 memperlihatkan rancangan modul real plant.
6) Masukan dari para pakar digunakan sebagai bahan perbaikan simulator dan selanjutnya dilakukan berbagai optimalisasi baik pada aspek perangkat keras maupun perangkat lunaknya. 7) Pembuatan buku manual dan jobsheet sangat penting dilakukan, karena sebagai produk inovasi baru memerlukan buku petunjuk
ISBN 978-602-19655-4-2
15
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
INPUT 1
2
SWITCH 1
2
9
1
2
3 6
6
3
4
10
4
5
7
8
9
5
6
11
7
8
10
11
12
7
8
12
4
5
tingkat kompetensi yang ingin dicapai. Dalam penelitian ini diberikan tiga contoh modul real plant yang terdiri dari modul latih logika dasar, dan dua modul aplikasi industri. Modul latih logika dasar dibuat dengan tujuan untuk melatih kemampuan membangun logika dasar dalam pemrograman PLC sedangkan modul latih aplikasi industri dibuat dengan tujuan untuk memperlihatkan secara riil bagaimana proses kontrol yang terjadi di industri. Secara rinci gambaran alat praktikum ini sebagai berikut :
OUTPUT
3
COM
Modul real plant, dibuat dengan 3 kasus proses kontrol industri dengan tingkat kesulitan yang bertahap mulai dari melatih kemampuan logika dasar sampai aplikasi timer dan counter yang dicontohkan pada modul-modul aplikasi industri. PLC yang digunakan adalah PLC OMRON CP1L dengan jumlah I/O 20 buah dan perangkat lunak Cx Programmer. Modul komunikasi yang digunakan menggunakan kabel USB.
Gambar 2. Desain modul utama. Modul utama disesuaikan dengan jenis PLC yang digunakan, pada desain awal modul ini menggunakan PLC OMRON dengan tipe CP1L yang memiliki 12 terminal input dan 8 terminal output. PLC CP1L ini cukup sederhana dan sangat cocok untuk dijadikan perangkat latih sederhana untuk pembelajaran otomasi industri di perguruan tinggi. Modul catu daya terdiri dari Mini Circuit Braker (MCB), power indicator dan instrumen penunjuk tegangan, tegangan kerja yang digunakan sebesar 220Volt. Modul catu daya ini dapat digunakan untuk jenis PLC apapun. Modul I/O dibuat sesuai dengan jumlah I/O PLC yang digunakan. Modul ini disediakan untuk mempermudah menghubungkan perangkat PLC dengan real plant-nya. Pengguna tinggal menggunakan kabel konektor untuk menghubungkan terminal-terminal input ataupun output dari modul riil plan yang digunakan.
Modul Monitor kontrol menggunakan software human machine interface standar industri yaitu CX Designer dan Wonderware Intouch Peralatan praktikum dilengkapi sebuah personal komputer yang diperuntukkan sebagai alat pemrogram PLC.
Gambar 4. Modul real plant logika dasar dan visualisasi sistem kontrol real time-nya. Gambar 4. Memperlihatkan bentuk fisik Modul real plant logika dasar. Modul ini dibuat dengan tujuan untuk mempermudah pengguna pemula dalam memahami sistem logika dasar dalam pemograman PLC. Modul berisikan deretan lampu 24 VDC dengan jumlah sesuai dengan jumlah output PLC Omron CP1L. Modul dilengkapi dengan komponen seven segmen dengan tujuan untuk mengetahui cara membuat aplikasi dengan membentuk angka yang ada di seven segment. Modul traffic light dibuat dengan tujuan untuk mengetahui sistem kerja lalu lintas di pertigaan dan untuk mengetahui sistem kontrol traffic light dalam pemograman PLC. Gambar 5. memperlihatkan bentuk fisik modul tersebut serta contoh visualisasi sistem kontrol realtime-nya. Modul ini berisikan lampu 24 VDC dengan jumlah sesuai dengan jumlah output PLC Omron CP1L.
Gambar 3. Desain modul real plant. Modul-modul real plant dapat dikembangkan sebanyak mungkin sesuai dengan kebutuhan pembelajaran, tetapi harus mempertimbangkan
ISBN 978-602-19655-4-2
16
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Referensi [1] J. S. Collofello, “University/Industry Collaboration in Developing A Simulation Based Software Project Management Training Course”, IEEE Transaction on Education, 43(4), (2000). [2] J. W. Jeon, “Designing and Implementing Personal Microcomputer”, IEEE Trans. on Education, 43(4), (2000) [3] C. C. Ko, B. M. Chen, Y. Zhuang, K. C. Tan, “Development of a Web Based Laboratory for Control Experiment on a Coupled Tank Apparatus”, IEEE Trans. on Education, 44, 76-86, (2001). [4] T. J. Goulart and D. Consonni, “Automated System for Measuring Electrical Three-Phase Power Components”, IEEE Trans. on Education, 44(4), 336-341, (2001). [5] T. Kikuchi, T. Kenjo, S. Fukuda, Developing on Educational Simulation Program for the PM Stepping Motor, IEEE Trans. onEducation, 45(1), 70-79, (2002). [6] Y.Chen, “A Real Time Control Simulator Design for Automated Manufacturing System Using Petri Nets”, Proceeding of The 1991 IEEE International Conference on Robotics and Automation Sacramento, California, (1991).
Gambar 5. Modul real plant traffic light dan visualisasi sistem kontrol real time-nya. Gambaran utuh peralatan praktikum dasar otomasi industri yang telah dibuat terlihat pada gambar 6.
Ade Gafar Abdullah* Jurusan Pendidikan Teknik Elektro Universitas Pendidikan Indonesia
[email protected]
Gambar 6. Peralatan praktikum dasar otomasi industri modular.
Mochamad Riza Novian Program Studi Teknik Elektro Universitas Pendidikan Indonesia
[email protected]
Kesimpulan Peralatan praktikum dasar otomasi industri modular ini sangat direkomendasikan untuk dipergunakan sebagai peralatan praktikum sistem kontrol berbasis PLC dan dapat mendukung eksperimen sistem kontrol yang lebih kompleks. Integrasi PLC dengan perangkat HMI dilakukan untuk memenuhi tuntutan perkembangan teknologi sistem otomasi industri yang sedang berkembang. Sehingga peralatan praktikum ini diharapkan dapat meningkatkan kompetensi penggunanya. Produk ini dapat dimanfaatkan sebagai pendukung utama pembelajaran otomasi industri di perguruan tinggi.
Irfan Indrawan Program Studi Pendidikan Teknik Elektro Universitas Pendidikan Indonesia
[email protected] Erik Haritman Jurusan Pendidikan Teknik Elektro Universitas Pendidikan Indonesia
[email protected] Dandhi Kuswardhana Jurusan Pendidikan Teknik Elektro Universitas Pendidikan Indonesia
[email protected]
Ucapan terima kasih
*Corresponding author
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Universitas Pendidikan Indonesia, yang telah memberikan bantuan dana penelitian melalui skim Hibah Penelitian Berpotensi HKI.
ISBN 978-602-19655-4-2
17
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Pengaruh Bahan Metamaterial Terhadap Perambatan Gelombang Elektromagnetik Afnar Delivery Abstrak Pada tahun 1968 Victor Veselago seorang fisikawan asal Uni Soviet mempublikasikan suatu tulisan di jurnal fisika Uni Soviet edisi Januari – Februari 1968. Dalam tulisan itu Veselago menjabarkan dampak, apa yang terjadi apabila permitivitas, dan permeabilitas suatu bahan atau materi bernilai negatif, bahan ini disebut juga metamaterial. Dalam dekade terakhir ini asumsi Veselago ini menimbulkan suatu wacana baru mengenai studi tentang indeks bias negatif. Pada makalah ini akan dicoba untuk menganalisa bagaimana pengaruh bahan atau materi yang permitivitas dan permeabilitasnya bernilai negatif, terhadap gelombang elektromagnetik yang arah datangnya tegak lurus terhadap bahan, juga pengaruh bahan tersebut pada energi gelombang elektromagnetik. Metode yang digunakan untuk menganalisa, adalah dengan melakukan perhitungan analitik menggunakan teori perambatan gelombang elektromagnetik pada bahan. Hasil dari perhitungan menunjukan bahwa hukum kekekalan energi tetap berlaku pada metamaterial, dibuktikan dengan jumlah koefisien refleksi dan transmisi yang bernilai satu. Perbedaan yang mendasar yang membedakan metamaterial dengan bahan lain terdapat nilai koefisien transmisi dari bahan ini yang bernilai negatif, sehingga menimbulkan asumsi bahwa koefisien refleksi dari bahan ini, nilainya lebih dari satu. Kata kunci : Veselago, metamaterial, permitivitas, permeabilitas, indeks bias negatif. 1. Pendahuluan
2.Dasar Teori
Pada tahun 1968, Victor Veselago, seorang fisikawan asal Uni Soviet mempublikasikan suatu makalah. Dalam makalah itu Veselago membuat suatu asumsi, yaitu apa yang terjadi apabila permitivitas, dan permeabilitas suatu bahan atau materi bernilai negatif. Bagaimanakah sifat bahan tersebut apabila terpapar gelombang elektromagnetik[1]. Pada saat itu, asumsi dari Veselago ini merupakan suatu hal yang revolusioner, karena tidak ada bahan alamiataupun buatan yang nilai permitivitas, dan permeabilitasnya bernilai negatif. Untuk kedepannya bahan ini disebut bahan metamaterial.
2.1 Permitivitas, permeabilitas, dan kaitannya dengan indeks bias. Permitivitas dilambangkan dengan , adalah kemampuan suatu bahan non-konduktor (dielektrik) untuk menyimpan energi potensial listrik[2]. Permeabilitas dilambangkan dengan adalah kemampuan suatu bahan magnetik untuk mengubah fluks magnetik di dalam area yang dipengaruhi medan magnet[2]. Fluks magnetik sendiri didefinisikan sebagai penunjuk seberapa besar atau banyak medan magnet yang menembus tegak lurus suatu bidang[2].
Asumsi dari Veselago ini menimbulkan suatu wacana baru mengenai perkembangan studi mengenai bahan metamaterial.
Indeks bias atau n, adalah perbandingan antara kecepatan cahaya dengan kecepatan rambat gelombang saat memasuki medium, yang dirumuskan dengan persamaan :
Pada perkembangan berikutnya, hasil asumsi dari Veselago menjadi dasar untuk pembahasan dan perkembangan bahan berindeks bias negatif. Dalam makalah ini, akan dicoba untuk menganalisa bagaimana pengaruh bahan atau materi yang permitivitas, dan permeabilitasnya bernilai negatif terhadap gelombang elektromag
n=
(1a)
Selain melalui persamaan (1a), indeks bias juga dapat dirumuskan dengan persamaan : n 2 = .. (1b)
netik yang arah datangnya tegak lurus terhadap permukaan bahan. Kondisi tersebut digunakan untuk menganalisa apakah hukum kekekalan energi berlaku pada bahan metamaterial atau tidak. Hukum kekekalan energi merupakan salah satu hukum fisika yang harus selalu dipenuhi pada setiap kondisi.
ISBN 978-602-19655-4-2
c . v
n . .
(1c)
Dari Persamaan (1c) inilah kemudian dikembangkan ide bahwa permitivitas, dan permeabilitas suatu bahan dapat bernilai negatif.
18
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
2.2 Perambatan gelombang elektromagnetik pada bahan yang memiliki dan positif, nilai 1 berbeda dengan 2. Untuk melakukan analisa pengaruh bahan yang permitivitas, dan permeabilitasnya bernilai negatif terhadap gelombang elektromagnetik yang arah datangnya tegak lurus terhadap permukaan bahan, mari tinjau dulu suatu kasus mengenai gelombang elektromagnetik yang arah datang tegaknya lurus yang merambat pada suatu bahan yang permitivitas, dan permeabilitasnya bernilai positif, dan nilai permeabilitas medium satu, berbeda dengan medium dua.
T E 0T x E
(5)
T 1 E 0T y B v2
(6)
Karena semua komponen sejajar dengan permukaan antara medium (kedua medium linear satu sama lain), maka berlaku persamaan: E0 B1 B 2 , dimana B (7) v 1 2 0I E 0R E 0T E
(8)
Jumlahkan persamaan gelombang B : I B R B T B
(9)
Maka akan diperoleh persamaan : 0I E 0 R .E 0T E
(10)
Eliminasi persamaan 9 dengan persamaan 10, 0 I dengan E 0R , untuk mencari hubungan antara E 0I dengan E 0T . dan E
0T 2 E 1 Gambar 1. Gelombang elektromagnetik yang arah datangnya tegak dengan medium[2].
(12)
2.v 2 1.v1 R 2.v 2 1.v1
(2)
2
(15)
b. Koefisien transmisi.
Persamaan gelombang E dan B yang terpantul menjadi : R E 0r x E (3)
1 2.v 2.E 0 2 T IT 2 T , dimana T 1 II 1.v1.E 0 2 I 2
(16)
4 2 .v 2 . 1.v1 2 2.v 2 2 2. 2 .v 2 .1.v1 12.v12
(17)
(4)
T
Persamaan gelombang E dan B yang diteruskan menjadi :
ISBN 978-602-19655-4-2
0R E 0T (1 ) 2E
Kemudian hitung koefisien refleksi dan koefisien transmisi dari bahan tersebut. a. Koefisien refleksi. 1 1.v1.E 0 2 R IR 2 (14) R , dimana R 1 II 1.v1.E 0 2 I 2
Asumsikan z = 0. Persamaan gelombang E dan B yang datang menjadi : I E 0I x E (1)
R 1 E 0r y B v1
(11)
0I Dari hasil eliminasi, didapat hubungan antara E 0T melalui persamaan 11, sedangkan dengan E 0 I dengan E 0 R diperoleh dari hubungan E 0T dengan E 0I persamaan 12 dengan substitusi E dari hasil persamaan 11. 0R 1 E E (13) 0I 1
Pada gambar 1, anggap bidang x dan y membentuk suatu batas antara dua medium yang berhubungan, kemudian ada suatu gelombang dengan frekuensi ω, merambat pada arah z dan terpolarisasi pada arah x, gelombang merambat dari kiri ke kanan (dari permukaan satu ke permukaan dua). Dengan kondisi medium satu nilai dan positif, dan medium dua juga memiliki kondisi nilai dan positif, nilai medium satu berbeda dengan medium dua ( 1 2 ). Setelah itu dihitung nilai koefisien refleksi (R) dan koefisien transmisi (T) bahan tersebut, dan dianalisa apakah berlaku hubungan R + T = 1.
I 1 E 0I y B v1
E 0I
19
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Jumlahkan koefisien refleksi dengan koefisien transmisi ( R + T). 22.v22 2.2 .v2 .1.v1 12.v12 1 (18) R T 2 2 2 .v2 2.2 .v2 .1.v1 12.v12
2.v 2 1.v1 R 2.v 2 1.v1
1 2.v 2.E 0 2 T
IT T , dimana T 2 1 II
2 T
Untuk mengetahui apakah hukum kekekalan energi berlaku pada bahan metamaterial, analisa dan perhitungan yang dilakukan berdasarkan pada bagian II.2, namun ada beberapa kondisi yang berbeda.
1
B2
2
, dimana B
E0 v
(27)
4. Kesimpulan Hukum kekekalan energi berlaku pada bahan metamaterial. Hal tersebut dibuktikan melalui perhitungan yang dilakukan untuk mengetahui nilai hasil penjumlahan koefisien refleksi dan koefisien transmisi dari gelombang elektromagnetik yang merambat pada materi tersebut.
(19)
Makna fisis dari nilai koefisien R>1 dan T<0, harus ditelusuri lebih lanjut, belum dapat diketahui secara pasti apa makna dari hal tersebut, dan apa dampak hal tersebut pada gelombang elektromagnetik yang merambat pada bahan metamaterial.
Eliminasi persamaan 8 dengan persamaan 20, 0 I dengan E 0R , untuk mencari hubungan antara E 0 I dengan E 0T . Hasilnya akan berupa dan E persamaan : 0T 2 E E (21) 0I 1
Referensi [1] V. Veselago, “The Electrodynamics Of substances With Simultaneously Negative Values of and negative”, Soviet Physics Uspekhi, 10(4), (1968). [2] D. Griffiths, “Introduction to Electrodynamics”, The Prentice Hall, New Jersey, (1999). [3] J.B. Pendry dan D.R. Smith, “Physics Today”, 57(6), (2004).
(22)
0I Dari hasil eliminasi, didapat hubungan antara E 0T melalui persamaan 21, sedangkan dengan E 0 I dengan E 0 R diperoleh dari hubungan E 0T dengan E 0I persamaan 22 dengan substitusi E dari hasil persamaan 21. 0R 1 E E (23) 0I 1
Afnar Delivery Program Studi Fisika, Institut Teknologi Bandung, Jl.Ganesha No.10 Bandung 40132, Indonesia Email:
[email protected]
0 I dengan E 0R , Setelah didapat hubungan antara E 0 I dengan E 0T , kemudian hitung koefisien dan E refleksi dan koefisien transmisi dari bahan tersebut. a. Koefisien refleksi.
ISBN 978-602-19655-4-2
22.v22 2. 2 .v2 .1.v1 12.v12 1 22.v22 2. 2 .v2 .1.v1 12.v12
26)
Dari persamaan (27) dapat diketahui bahwa hukum kekekalan energi berlaku pada bahan metamaterial, namun ada perbedaan yang mendasar pada bahan ini, dibanding dengan bahan biasa yang permitivitas, dan permeabilitasnya bernilai positif, yaitu pada bahan metamaterial, nilai koefisien R>1, sedangkan nilai koefisien T<0, atau negatif.
Jumlahkan persamaan gelombang B seperti pada persamaan 21, maka akan diperoleh persamaan : 0I E 0 R .E 0T (20) E
0R E 0T (1 ) 2E
(25)
1.v1.E 0 2 I
4 2 .v 2 .1.v1 2 2.v 2 2 2. 2 .v 2 .1.v1 12.v12
R T
Diasumsikan bahwa gelombang elektromagnetik merambat dari medium satu yang memiliki permitivitas, dan permeabilitas positif ( dan = +), ke medium dua yang memiliki permitivitas, dan permeabilitas negatif ( dan = ). Nilai permeabilitas medium satu berbeda dengan permeabilitas medium dua, kedua nilai permeabilitas apabila dimutlakkan, nilai keduanya juga berbeda. Pada kondisi ini:
(24)
b. Koefisien Transmisi.
3. Hasil dan Analisa 3.1 Perambatan gelombang elektromagnetik pada bahan yang memiliki dan negatif, nilai | 1| berbeda dengan | 2|.
B1
2
20
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Studi Literatur Mengenai Diagnosa Pembusukan Pada Kaki Penderita Diabetes Melitus Dengan Menggunakan Metode Liquid Crystal Thermography (LCT) Afnar Delivery Abstrak Diabetes melitus merupakan salah satu penyakit yang menyebabkan penyakit komplikasi pada penderitanya. Salah satu jenis penyakit komplikasinya adalah Peripheral Vascular Disease (PVD). Penyakit ini dapat menyebabkan gejala kerusakan saraf, yang dapat menimbulkan rasa sakit seperti tertusuk, terbakar, dan terjepit. PVD dapat menimbulkan pembusukan, misalnya pada bagian kaki apabila mengalami trauma atau benturan, namun seringkali penderita diabetes tidak mengetahui bahwa dirinya mengalami PVD. Hal ini dapat dicegah dengan melakukan diagnosa pada penderita diabetes melitus dengan menggunakan metode LCT (Liquid Crystal Thermography). Metode LCT menggunakan Thermochromic Liquid Crystal (TLC) untuk melakukan diagnosa tersebut. TLC merupakan suatu jenis materi kristal cair yang peka terhadap perubahan suhu. Karakteristik dari TLC inilah yang dimanfaatkan pada metode LCT untuk mengukur suhu telapak kaki, sebagai referensi dalam melakukan diagnosa. Pada makalah ini akan dicoba untuk melakukan studi literatur mengenai kepresisian penggunaan metode LCT sebagai suatu cara untuk mendiagnosa penderita diabetes apakah terserang PVD atau tidak. Eksperimen pada referensi yang dirujuk dilakukan dengan membandingkan suhu telapak kaki rata-rata penderita diabetes dengan PVD, penderita diabetes tanpa PVD, dan non-penderita diabetes dengan pencitraan panas kristal cair. Hasil dari studi literatur yang dilakukan, menunjukan bahwa penyakit komplikasi PVD pada penderita diabetes dapat didiagnosa dengan metode LCT. Kata kunci : diabetes melitus, PVD, LCT, TLC. diskusi yang akan membahas mengenai hasil penelitian dari paper yang dirujuk. Kesimpulan yang akan membahas apakah metode LCT ini layak dikedepankan atau tidak, serta saran untuk metode penelitian lain yang dapat digunakan untuk mendiagnosa PVD pada penderita diabetes.
Pendahuluan Penelitian untuk menemukan suatu metode yang dapat mendiagnosa penderita diabetes yang mengalami komplikasi PVD terus dikembangkan. PVD dapat didiagnosa melalui beberapa metode seperti pencitraan panas, pencitraan optik, dan MRI, namun metode-metode ini membutuhkan biaya yang cukup besar. Pengembangan yang kemudian dilakukan adalah dengan menggunakan materi TLC, dari materi ini kemudian dikembangkan suatu metode yang disebut dengan LCT. Beberapa penelitian sudah dilakukan untuk menguji metode ini [1]-[2], dari hasil penelitian tersebut disimpulkan bahwa metode LCT layak dikedepankan untuk mendiagnosa PVD pada penderita diabetes melitus, dikarenakan kepresisian, kepraktisan, dan biaya yang relatif lebih kecil apabila dibandingkan dengan metode lain.
Dasar Teori Diabetes Melitus adalah suatu kondisi dimana tubuh tidak dapat menggunakan glukosa sebagai sumber energi bagi sel tubuh secara normal. Kadar glukosa di dalam darah dikontrol oleh hormon insulin, yang dihasilkan oleh pankreas. Insulin membantu glukosa masuk ke dalam sel tubuh[2]. Pada penderita diabetes, pankreas tidak dapat membuat cukup insulin, merupakan diabetes tipe 1 atau tubuh tidak berespon secara normal terhadap insulin yang diproduksi merupakan diabetes tipe 2, hal ini menyebabkan kadar glukosa dalam darah meningkat, sehingga timbul gejala banyak buang air kecil, sangat haus, turunnya berat badan, dan lain-lain[2].
Pada makalah ini akan dicoba untuk menjelaskan bagaimana metode LCT dapat digunakan untuk mendiagnosa PVD pada penderita diabetes, serta mengkaji ulang hasil dari penelitian mengenai metode LCT ini. Makalah ini terdiri dari dasar teori yang akan menjelaskan mengenai diabetes melitus, serta cara kerja dari TLC. Metode penelitian yang akan membahas eksperimen pada makalah yang dirujuk. Hasil dan
ISBN 978-602-19655-4-2
Selain itu, penderita diabetes juga sangat rentan terhadap penyakit-penyakit lain yang ditimbulkan dari gangguan sistem metabolisme, salah satunya antara lain PVD, penyakit ini menyebabkan perubahan aliran nutrisi dalam darah dan dapat mengganggu pasokan nutrisi ke bagian bawah kaki, hal ini dapat mengakibatkan
21
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
arah/orientasi molekul akan berulang kembali, dan pantulan warna yang dihasilkan oleh TLC tergantung pada jarak ini[3]. Pantulan cahaya atau warna akan berubah dengan berubahnya suhu, sifat dari kristal cair cholesteric ini menjadi prinsip kerja alat yang menggunakan suhu sebagai parameter utamanya[3], dan hal inilah yang dimanfaatkan metode LCT untuk mendiagnosa pembusukan pada kaki penderita diabetes.
bagian kaki lebih rentan terhadap pembusukan apabila adanya faktor pemicu seperti luka atau benturan[2]. PVD umumnya terjadi pada penderita diabetes tipe 2, pada perkembangannya untuk mendiagnosa PVD pada penderita diabetes, digunakan suatu metode yang disebut LCT[1]. Metode LCT menggunakan bahan TLC yang dapat memantulkan warna dari suatu benda sebagai representasi dari suhunya[2] untuk melakukan diagnosa. TLC merupakan bagian dari kristal cair. Kristal cair ditemukan pertama kali oleh Frederick Reinitzer pada tahun 1888, dia menemukan bahwa zat kolestril benzoat meleleh pada 145,5C dan menjadi cairan pada 178,5C. Pada rentang temperatur tersebut, kolestril benzoat mengalir seperti cairan dan memiliki sifat optik seperti padatan[3]. Keadaan suatu zat antara bersifat cair dan padat disebut mesofase atau disebut kristal cair.
TLC dapat menentukan suhu suatu benda berdasarkan warna yang dipantulkan dari benda, hal ini dikarenakan pada TLC terdapat fenomena difraksi Bragg[3]. Peristiwa difraksi merupakan pembelokan cahaya oleh benda yang dilalui cahaya, dalam difraksi Bragg, pembelokan cahaya terjadi akibat cahaya melalui atom-atom pada benda, sehingga terjadi pembelokan cahaya[4]. Pada TLC, fenomena difraksi Bragg terjadi akibat benda yang bersentuhan dengan TLC terkena paparan sinar sehingga TLC kemudian memantulkan warna yang merepresentasikan suhu dari benda tersebut.
Berdasarkan karakteristiknya, kristal cair dibedakan menjadi 2 jenis yaitu thermotropic dan lyotropic, pada metode LCT, jenis kristal cair yang digunakan adalah jenis kristal cair thermotropic, hal ini dikarenakan jenis kristal cair ini memiliki sifat memantulkan warna suatu materi berdasarkan temperaturnya, sedangkan kristal cair lyotropic tidak memiliki sifat ini[3]. Kristal cair thermotropic berdasarkan strukturnya dibedakan menjadi dua jenis, yaitu jenis smectic, dan nematic. Pada metode LCT, struktur kristal cair yang digunakan adalah nematic, hal ini diakarenakan susunan kristal pembentuknya memiliki bentuk, ukuran, dan susunan yang tidak teratur, sehingga range warna yang dihasilkan dari proses pemantulan cahaya, akan lebih banyak dibanding pada bentuk kristal smectic, yang memiliki bentuk, ukuran, dan susunan kristal yang lebih teratur[3]. Struktur kristal nematic pun, dibagi menjadi dua jenis yaitu jenis kristal cholesteric, dan yang bersifat nematic[3]
Gambar 2. Difraksi Bragg pada TLC[5]. (T) panjang gelombang cahaya yang merupakan fungsi dari temperatur, dan p (T), yaitu kedalaman bidang planar TLC yang juga merupakan suatu fungsi dari temperatur, merepresentasikan semakin tinggi temperatur maka panjang gelombang cahaya yang dipantulkan akan semakin pendek, dari panjang gelombang cahaya terpanjang yaitu merah, sampai dengan panjang gelombang cahaya terpendek yaitu ungu, jadi bisa diasumsikan, semakin tinggi temperatur dari suatu benda yang diukur suhunya, maka warna dari benda tersebut akan semakin menuju ungu, dan pada TLC, pemantulan akan terjadi pada bidang planar yang semakin dalam[5].
Gambar 1. Perbedaan antara jenis liquid crystal nematic, smectic, dan cholesteric[5]. Pada kristal cair berbentuk cholesteric, molekul berjajar dalam lapisannya, setiap lapisan dalam stuktur kolesterik mempunyai arah molekul yang berbeda dengan lapisan di atas dan di bawahnya, setelah beberapa lapisan,
ISBN 978-602-19655-4-2
22
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
tersebut, diantaranya kondisi fisik dan psikologis sampel yang diambil, kondisi alat pencitraan thermography yang digunakan, serta kemungkinan faktor peradangan pada kaki penderita diabetes PVD yang belum pada kondisi yang parah. Penelitian terakhir yang dilakukan pada tahun 2011 [7], mengemukakan bahwa metode thermography belum cukup untuk mengetahui apakah seseorang mengalami PVD atau tidak, perlu metode lain untuk memperkuat diagnosa tersebut, diantaranya adalah metode ultrasonography, untuk mengetahui kondisi kulit sampel yang diamati, apakah kakinya berpotensi mengalami peradangan atau pembusukan atau tidak. Namun untuk diagnosa awal, metode thermography dapat digunakan, walau ketepatan diagnosanya belum terlalu baik.
Gambar 3. Representasi suhu pada suhu[5]. Metode Penelitian Berdasarkan pada makalah yang dirujuk eksperimen dilakukan pada tiga kategori, yaitu penderita diabetes dengan PVD, penderita diabetes non-PVD, dan non penderita diabetes melitus[1]. Daerah temperatur permukaan kaki yang diukur suhunya, menggunakan metode LCT digambarkan pada gambar berikut ini :
Tabel 1. Hasil pengukuran dengan metode LCT[1] Penderita Diabetes
Jumlah sampel MFT (C)
PVD
Non-PVD
Nonpenderita diabetes
20
30
33
25,61,9
28,22,9
25,72,1
Kesimpulan Gambar 4. Parameter permukaan kaki yang diukur suhunya menggunakan metode LCT[1].
Metode LCT dapat digunakan untuk mendiagnosa penderita diabetes apakah mengidap PVD atau tidak Metode ini layak dikedepankan sebagai suatu langkah awal untuk mendiagnosa penderita diabetes apakah mengalami komplikasi PVD atau tidak, kelebihan lain dari metode ini adalah, metode ini lebih murah dan praktis apabila dibandingkan dengan metodemetode lain seperti thermal imaging, optical imaging, ataupun MRI.
Eksperimen dilakukan dengan menggunakan suatu seri dari Novatherm detectors. Setiap detektor terdiri dari membran lateks yang lapisan dalamnya dilapisi lembaran kristal cair, yang dipasang pada suatu kotak kedap udara yang terdapat sumber cahaya di dalamnya[1]. Permukaan telapak kaki yang akan diukur suhunya kemudian ditempelkan pada detektor ini selama 10 detik, dan direkam pencitraan panasnya dengan kamera polaroid[1]. Hasil dari pencitraan panas tersebut kemudian dihitung suhu rata-ratanya, dan dibandingkan hasilnya.
Saran Untuk menentukan MFT, penulis menyarankan metode lain yang dapat digunakan sebagai metode alternatif, yaitu dengan menggunakan termometer kristal cair.
Hasil dan diskusi Dari Tabel 1, Mean Foot Temperature (MFT) atau suhu rata-rata telapak kaki yang diukur dengan metode LCT dapat membedakan penderita diabetes PVD dengan penderita diabetes non-PVD, namun MFT pada penderita diabetes PVD, dan non-penderita diabetes ternyata hampir sama. Belum diketahui secara pasti apa yang menyebabkan hal ini, namun ada beberapa faktor yang mungkin menyebabkan hal
ISBN 978-602-19655-4-2
23
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
[3]
[4] [5]
Gambar 5. Termometer kristal cair[6].
[6]
Termometer kristal cair dapat digunakan untuk mengukur suhu telapak kaki, yang kemudian dihitung suhu kaki rata-ratanya, namun metode belum dapat dibuktikan ketepatannya dalam mendiagnosa, karena belum pernah diujicobakan. Untuk kedepannya mungkin hal ini layak untuk dikedepankan.
[7]
Referensi [1] Susan J. Benbow, Ah W. Chan, David R. Bowsher, Gareth Williams, Ian A. Macfarlane, “The Prediction of Diabetic Neuropathic Plantar foot Ulceration by Liquid-Crystal Contact Thermography”, Diabetes Care, 17: 835-839, (1994). [2] Bharara, Manish, “Liquid Crystal Thermography in Neuropathic Assessment of
ISBN 978-602-19655-4-2
the Diabetic Foot”, Bournemouth University, (2007). Hallcrest corporation, Handbook of Thermochromic Liquid Crystal technology, (1991). Beiser, Arthur, “Concept of Modern Physics”, Tata McGraw-Hill, New York, (2003). http://wiki.epfl.ch/me301tdm/documents/Cours/Mesures%20de%20te mp%C3%A9rature/slides_liquid%20crystal%2 0thermography%20lct.pdf. Diakses pada 20 Mei 2013. http://www.sisweb.com/lab/telatemp-liq-crystherm.htm. Diakses pada 20 Mei 2013. Takashi Nagase, Hiromi Sanada, Makoto Oe, Kimie Takehara, Kaoru Nishide and Takashi Kadowaki, “Screening of Foot Inflammation in Diabetic Patients by Non-Invasive Imaging Modalities, Global Perspective on Diabetic Foot Ulcerations”, Dr. Thanh Dinh (Ed.), (2001). ISBN: 978-953-307-727-7, InTech, DOI: 10.5772/28225.
Afnar Delivery Program Studi Fisika, Institut Teknologi Bandung Jl. Ganesha No.10 Bandung 40132, Indonesia Email:
[email protected]
24
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Hasil dan Analisis Percobaan Hukum Ohm, Jembatan Wheatstone dan Rangkaian RLC Albar Rabak Pabianan*, Euis Sustini Abstrak Pada makalah ini dibahas tentang hasil pembuatan dan percobaan Kit praktikum elektronika yang terintegrasi. Percobaan yang dilakukan antara lain: (1) Pembuktian Hukum Ohm, (2) Jembatan Wheatstone, (3) Rangkaian RLC Arus Bolak-Balik. Pada pembuktian hukum Ohm dengan variasi sumber tegangan, semakin besar tegangan semakin besar pula arus listrik dengan nilai pembandingnya adalah nilai resistor. Pada rangkaian jembatan Wheatstone, nilai RX dapat ditentukan jika arus listrik pada galvanometer = 0 (nol) itu artinya nilai Rb ~ nilai RX. Pada rangkaian arus bolak-balik RLC seri variasi frekuensi signal generator pada saat terjadi frekuensi resonansi antara induktor dengan kapasitor, terjadi keluaran istimewa yakni; tegangan yang minimum, arus listrik yang maksimum, impedansi yang minimum, beda fasa antara tegangan dengan arus listrik adalah nol (sefasa) dan daya yang maksimum. Pada rangkaian RLC paralel saat terjadi frekuensi resonansi antara induktor dengan kapasitor, terjadi keluaran yakni; tegangan yang maksimum, arus listrik yang minimum, impedansi yang maksimum, beda fasa antara tegangan dengan arus listrik adalah nol (sefasa) dan daya yang maksimum. Kata-kata kunci: Kit elektronika, terintegrasi, resonansi Pendahuluan
Judul Percobaan
Pelajaran fisika di sekolah terdapat dua hal penting yang saling terkait yaitu eksperimen dan teori. Siswa diharuskan memahami konsep kemudian diberikan bimbingan melalui pengembangan keterampilan ilmiah, agar harapan siswa mampu mengambil suatu kesimpulan. Pelaksanaan eksperimen bisa berjalan jika didukung sarana dan prasarana. Permasalahannya adalah “bagaimana merancang suatu Kit praktikum elektronika yang terintegrasi dari beberapa judul percobaan rangkaian listrik acdc”. Berdasarkan uraian di atas, maka penulis termotivasi untuk merancang suatu Kit praktikum elektronika yang terintegrasi pada rangkaian listrik searah (DC) dan rangkaian listrik bolak-balik (AC) di tingkat SMP dan SMA.
Alat dan Bahan
1. Pembuktian Hk. Ohm 2. Jembatan Wheatstone 3. Rangkaian RLC
Desain Kit
Teori Pada percobaan ini Kit dibuat sebagai berikut:
Gambar 1. Alur pelaksanaan penelitian Hukum Ohm Pada percobaan hk.Ohm dilakukan dengan memvariasikan sumber tegangan yang dihubungkan dengan satu hambatan (R).. Keluaran yakni: tegangan (V) dan arus listrik (I) yang melalui hambatan (R) diukur dengan menggunakan voltmeter dan amperemeter. Nilai hambatan (R) dapat ditentukan dari grafik dengan menggunakan persamaan berikut: R ta n
ISBN 978-602-19655-4-2
25
V . I
(1)
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Jembatan Wheatstone Pada percobaan jembatan Wheatstone dilakukan dengan memvariasikan hambatan (Rb) maupun hambatan (Rx). Kontak pada batang konduktor digeser-geser agar jarum galvanometer menunjuk angka nol (tidak ada arus listrik yang melalui galvanometer). Maka nilai suatu hambatan (Rx) pada gambar 2 dapat ditentukan dengan persamaan: L2 Rb . L1
Rx
tg
P
f
.
(3)
XL XC .
(4)
2
1 2
LC
.
(11)
Hasil dan diskusi Hukum Ohm Nilai R diperoleh dari grafik dengan menggunakan persamaan (1) pada gambar 8. berikut:
Tegangan
X L XC
(10)
Pada rangkaian RLC impedansi bergantung pada frekuensi, seperti yang diperlihatkan oleh persamaan (4) untuk rangkaian seri dan persamaan (8) untuk rangkaian paralel. Pada rangkaian ini ada kondisi istimewa yaitu kondisi resonansi dengan frekuensi resonansi dicapai jika XL dan XC sama.
Pada rangkaian RLC seri dapat menentukan beberapa besaran antara lain dengan menggunakan persamaan:
2
V2 C os . Z
Resonansi Dalam Rangkaian RLC
(2)
Pengambilan data pada rangkaian RLC seri dan RLC paralel dengan memvariasikan frekuensi (f) signal generator sedangkan resistor, induktor, dan kapasitor tidak diubah-ubah serta frekuensi resonansi RLC seri = 1582,5 Hz, frekuensi resonansi RLC paralel = 4099,85 Hz. a. RLC Seri
R
(9)
Daya
Rangkaian RLC
V I
1 1 . X X L C 1 R
Impedansi
R
Z
2
2
Beda fasa
XL XC
tg
R
.
(5) Gambar 2. Hubungan antara tegangan dengan arus listrik
Daya P I 2 x Z C os .
(6)
Pada gambar diatas terlihat bahwa kemiringan dari grafik adalah merupakan nilai hambatan (R) yang konstan, sesuai dengan hk. Ohm. Jembatan Wheatstone
b. RLC Paralel Pada rangkaian RLC paralel dapat menentukan beberapa besaran antara lain dengan menggunakan persamaan: Arus listrik
Hasilnya seperti pada tabel 1. berikut: 1 1 1 R XC XL
2
I V
2
.
Tabel 1. Hasil eksperimen dan analisis jembatan Wheatstone.
(7)
Impedansi 1
Z 1 R
2
1 1 X L X C
2
.
(8)
Beda fasa
ISBN 978-602-19655-4-2
26
No
Rb (Ω)
L1 (cm)
L2 (cm)
RX (Ω)
1
0,3
3,0
3,0
0,30
2
0,6
3,1
2,9
0,56
3
0,7
3,0
3,0
0,70
4
2,3
3,1
2,9
2,15
5
2,9
3,1
2,9
2,71
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Pada tabel diatas bahwa jarum galvanometer dapat menunjuk angka nol apabila nilai Rb ~ nilai Rx. Rangkaian RLC a. RLC Seri Diperoleh grafik hubungan antara tegangan, kuat arus listrik, impedansi, beda fasa dan daya dengan frekuensi dapat dilihat pada gambar berikut:
Gambar 7. Hubungan daya dengan frekuensi. Pada gambar-gambar diatas bahwa saat terjadi frekuensi resonansi, maka terjadi keluaran yaitu; tegangan yang minimum, arus listrik yang maksimum, impedansi yang minimum, beda fasa nol, dan daya yang maksimum. b. RLC Paralel Diperoleh grafik hubungan antara tegangan, kuat arus listrik, reaktansi, impedansi, beda fasa, dan daya dengan frekuensi dapat dilihat pada gambar berikut:
Gambar 3. Grafik hubungan antara tegangan dengan frekuensi.
Gambar 4. Hubungan antara kuat arus listrik dengan frekuensi.
Gambar 8. Hubungan antara tegangan dengan frekuensi.
Gambar 5. Hubungan antara impedansi dengan frekuensi.
Gambar 9. Hubungan antara arus listrik dengan frekuensi.
Gambar 6. Hubungan antara beda fasa dengan frekuensi. Gambar 10. Hubungan antara impedansi dengan frekuensi.
ISBN 978-602-19655-4-2
27
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
4. Rangkaian RLC paralel pada variasi frekuensi signal generator pada saat terjadi frekuensi resonansi antara induktor dengan kapasitor didapatkan tegangan yang maksimum, kuat arus listrik yang minimum, impedansi yang maksimum, beda fasa nol, dan daya yang maksimum. Ucapan terima kasih Gambar 11. Hubungan antara impedansi dengan frekuensi.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Pemda Provinsi Sulawesi Tengah atas bantuan beasiswa yang diberikan dan kepada semua pihak yang telah memberi peranan yang besar baik bimbingan, motivasi, inspirasi serta diskusi yang membangun dalam menyelesaikan tulisan ini. Referensi [1] Sutrisno, “Fisika Dasar, Listrik Magnet dan Termofisika Listrik”, ITB, Bandung (1979). [2] Young and Freedman, “Fisika Universitas”, edisi kesepuluh, jilid 2, Erlangga, Jakarta, (2000). [3] Eka Jati B.M dan Priyambodo TK, “Fisika Dasar, Listrik-Magnet, Optika, Fisika Modern”, Andi, Yokyakarta, (2010). [4] Ahmad Zaelani. dkk, “Bimbingan Pemantapan, Fisika Untuk SMA/MA”, Yrama Widya, Bandung, (2006). [5] Y. Zemansky, “University Physics”, Part II, Sixth Edition, Addison-Wesley Publishing Company, Inc, New York, (1981). [6] Robbins and Miller,….., Circuit Analysis Theory and Practice, 2nd Edition.
Gambar 12. Hubungan antara impedansi dengan frekuensi. Pada gambar-gambar diatas bahwa saat terjadi frekuensi resonansi, maka terjadi keluaran yaitu; tegangan yang maksimum, arus listrik yang minimum, impedansi yang maksimum, beda fasa nol, dan daya yang maksimum. Kesimpulan Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Perbandingan antara tegangan dengan kuat arus listrik menghasilkan nilai hambatan (resistansi) yang konstan. 2. Rangkaian jembatan Wheatstone dapat menentukan nilai suatu hambatan (Rx). 3. Rangkaian RLC seri pada variasi frekuensi signal generator pada saat terjadi frekuensi resonansi antara induktor dengan kapasitor didapatkan tegangan yang minimum, kuat arus listrik yang maksimum, impedansi yang minimum, beda fasa nol, dan daya yang maksimum.
ISBN 978-602-19655-4-2
Albar Rabak Pabianan* Magister Pengajaran Fisika Institut Teknologi Bandung
[email protected]
Euis Sustini Fisika Material Elektronik Institut Teknologi Bandung
[email protected]
*Corresponding author
28
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Identifikasi Parameter Kerapatan dan Kekentalan Terhadap Tinggi Zat Cair Yang Naik Pada Kaki Pipa U serta Pipa Y Dengan Menggunakan Konsep Tekanan Andi Asgar Wahyu* dan Inge Magdalena Abstrak Pada proyek akhir ini dilakukan eksperimen untuk melihat pengaruh nilai-nilai koefisien kerapatan dan kekentalan fluida pada tinggi zat cair yang naik pada kaki-kaki pipa U dan pipa Y berdasarkan konsep tekanan fluid. Metode yang digunakan adalah pengukuran langsung dengan menggunakan pipa U dan pipa Y serta perhitungan dengan menggunakan konsep variasi tekanan terhadap ketinggian fluida. Hasil eksperimen menunjukkan bahwa zat cair yang paling mudah ditarik, yaitu dilihat dari tinggi naiknya zat cair tersebut pada kaki-kaki pipa, berturut-turut adalah air laut, oli SAE 40, minyak goreng dan minyak tanah. Selanjutnya hasil analisa data menunjukkan bahwa untuk zat cair yang memiliki nilai koefisien kerapatan mendekati kerapatan aquades, perbedaan ketinggian zat cair yang naik pada kaki-kaki pipa antara data hasil eksperimen dan data hasil perhitungan memiliki nilai yang kecil dan positif. Di sisi lain, untuk zat cair yang memiliki nilai koefisien kerapatan jauh lebih besar dari kerapatan aquades, perbedaan ketinggian zat cair yang naik pada kaki-kaki pipa antara data hasil eksperimen dan data hasil perhitungan memiliki nilai yang besar dan negatif. Hal ini menunjukkan bahwa selain nilai kerapatan, faktor lain yang mempengaruhi tinggi kenaikan zat cair pada kaki-kaki pipa adalah nilai koefisien kekentalannya; nilai koefisien kekentalan zat cair yang semakin besar menandai gaya gesek yang semakin besar pula antara zat cair dengan dinding pipa. Kata-kata kunci : zat cair, koefisien kerapatan, koefisien kekentalan, tekanan, gaya gesek. Pendahuluan
Variasi Tekanan Pada Zat Cair Statik
Mekanika fluida berkaitan dengan fenomena fluida dalam keadaan statis maupun dinamis [2,4]. Dalam statika fluida, berat cairan merupakan sifat yang penting, sebab dalam kondisi kesetimbangan diasumsikan semua gaya eksternal yang berkerja pada fluida adalah nol sehingga gaya yang bekerja hanyalah gaya internal atau gaya berat fluida itu sendiri. Sedangkan dalam aliran fluida sifat yang penting adalah rapat massa (kerapatan), tekanan dan kekentalan fluida bersangkutan.
Tinjau suatu elemen zat cair dengan luas penampang A, berada pada kedalaman d ke d + h dimana nilai sama pada semua elemen zat cair. Elemen zar cair tersebut mendapatkan gaya dari zat cair diluarnya yang tegak lurus terhadap permukaannya. Resultan gaya untuk arah horizontalnya bernilai nol, sedangkan untuk arah vertikanya bekerja gaya-gaya permukaan dan gaya berat elemen zat cair itu sendiri. Gaya yang bekerja pada permukaan bagian bawah elemen zat cair tersebut adalah p0 Aˆj sedangkan pada bagian atasnya p0 Aˆj seperti Gambar 1.
Berdasarkan pemikiran diatas, maka akan dikaji pengaruh kerapatan dan kekentalan fluida pada tinggi zat cair yang naik pada kaki-kaki pipa U dan pipa Y berdasarkan konsep tekanan. Koefisien Kerapatan () Kerapatan () didefiniskan sebagai massa per-satuan volum [1,3,7] secara matematis dituliskan :
m V
Gambar 1. Elemen kecil zat cair dalam bejana. Gaya netto yang bekerja pada elemen zat cair ini harus nol karena berada dalam keseimbangan[6].
(1)
Nilai koefisien kerapatan suatu zat cair bervariasi cukup besar antara satu zat cair dengan zat cair lainnya. Umumnya zat cair mengembang saat temperatur naik dan menyusut saat temperatur rendah, tetapi pengaruh temperatur ini sangat kecil sehingga seringkali diabaikan. ISBN 978-602-19655-4-2
Oleh karena elemen zat cair berada dalam kesetimbangan maka besar tekanan p0 pada kedalaman h dibawah suatu titik dalam cairan yang tekanannya p0 lebih besar sebanyak gh. Dengan demikian dapat dituliskan menjadi:
29
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
p p0 gh
Dari Gambar 2 (b) dapat dilihat bahwa setelah katub jarum suntik sejauh ditarik x maka zat cair akan bergerak naik setinggi h. Hal ini dilakukan secara berulang untuk beberapat titik.
(2)
Koefisien Kekentalan () Kekentalan () adalah suatu pernyataan “tahanan untuk mengalir” dari suatu sistem yang mendapatkan suatu tekanan. Secara umum koefisien kekentalan suatu zat cair dapat ditentukan salah satunya dengan menggunakan persamaan Poiseuille[5], yakni :
r 4 p
Sebagai langkah awal zat cair yang digunakan adalah aquades, dimana nilai kerapatannya adalah = 995 kg/m3, percepatan gravitasinya ( g ) adalah 9,8 m/s2. Nilai perubahan tekanan (p) pada kaki pipa U sebagai hasil pergeseran katub jarum suntik (x) ditentukan dari pengamatan tinggi zat cair yang naik dan hasilnya tertera pada Tabel 2.
(3)
8QL
Tabel 2. Data pengukuran ketinggian zat cair aquades dan perhitungan nilai perubahan tekanan.
Data dan Pembahasan Data yang disajikan pada tebel berikut terdiri atas data kerapatan beberapa jenis zat cair yang ditentukan melalui pengukuran langsung (kolom 2) dan kerapatan yang diperoleh dari beberapa literatur (kolom 3) serta data kekentalan zat cair berdasarkan beberapa literatur (kolom 4).
Data Eksperimen
Data Dari Literatur
(5 kg/m3)
(5 kg/m3)
aquades
995
1000 (*)
1 (**)
Air Laut
1070
1025 (*)
1,07 10-3 (***)
Minyak Tanah
830
820 (*)
1,85 (***) 80 (**)
Minyak Goreng
910
924 (*)
Oli SAE 40
875
887 (*)
(cps)
heks. ( 0,05) (cm)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0,9 1,0 1,1 1,2 1,3 1,4
0,6 1,2 2,0 2,5 3,1 3,8 4,4 5,1 5,7 6,4 7,0 7.7 8.3 8.9
p = gh 59 117 195 244 302 371 429 497 556 624 683 751 809 868
Data perubahan tekanan (p) pada Tabel 2 digunakan sebagai pembanding untuk zat cair lainnya. Perubahan tekanan pada eksperimen ini diasumsikan sama besar antara aquades dengan zat cair lainnya karena katub jarum suntik digeser dengan jarak x yang sama besar saat mengukur ketinggian aquades yang naik pada pipa. Selain dengan pengukuran langsung, tinggi zat cair yang naik pada pipa juga dapat ditentukan secara analitik dengan menggunakan persamaan (2). Data ekperimen dan perhitungan untuk beberapa jenis zat cair ditampilakan pada Tabel 3.
556 **)
Sumber : [8,9,10] Pengukuran dan Perhitungan Tinggi Zat Cair Dengan Menggunakan Pipa U Pada eksperimen ini, fluida yang dimasukkan dalam pipa U hanya satu jenis kemudian pada salah satu kaki pipa tersebut disambungkan dengan tabung jarum suntik seperti Gambar 2, untuk memberikan perubahan tekanan pada kolom pipa.
Tabel 3 Data pengukuran dan perhitungan tinggi beberapa jenis zat cair yang naik pada kaki pipa U.
Gambar 2. Skema pengukuran dengan pipa U (a) Tabung pipa U dalam keadaan setimbang, (b) Salah satu kaki pada tabung pipa U disambungkan dengan pipa jarum suntik, dimana bila katub jarum suntik ditarik sejauh x maka zat cair pada kaki pipa U tersebut akan naik sejauh h. ISBN 978-602-19655-4-2
x ( 0,05) (cm)
(Pa)
Tabel 1. Data kerapatan zat cair yang digunakan dengan pengukuran langsung menggunakan Areometer Boume dan kerapatan serta kekentalan zat cair berdasarkan beberapa literatur. Jenis zat Cair
No
Data h eksperimen (heks.) pada Tabel 3 untuk beberapa jenis zat cair kemudian diplot dalam garfik seperti pada Gambar 3.
30
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
cair terukur. Ketika katub jarum suntik digeser sebesar x maka tekanan pada kolom pipa berubah sebesar p, akibatnya zat cair pada kedua kaki pipa Y tersebut akan bergerak naik setinggi h1 (untuk aquades) dan h2 (untuk zat cair lainnya) seperti pada Gambar 4.
Gambar 3. Grafik perubahan tekanan terhadap ketinggian beberapa jenis zat cair. Data pada Tabel 3 dapat dilihat bahwa untuk air laut selisih (selisih = heks. – hhit.) antara heks dan hhit. adalah selalu bernilai positif dengan selisih yang relatif kecil, sedangkan minyak tanah, minyak goreng dan oli SAE 40 selisih antara heks. dan hhit. selalu bernilai negatif dengan selisih yang relatif kecil. Hasil eksperimen menunjukkan bahwa selain kerapatan zat cair, hal lain yang mempengaruhi tinggi kenaikan zat cair pada pipa adalah kekentalannya. Semakin besar kekentalan zat cair, gaya gesek (gaya adhesi) juga semakin besar, dimana gaya gesek tersebut bekerja berlawanan arah dengan arah gerak zat cair, sehingga pada tekanan yang sama antara satu zat cair dengan zat cair lainnya ketinggian yang dicapai masingmasing zat cair tersebut berbeda. Dengan demikian pada sistem tersebut selain gaya berat zat cair bersangkutan, gaya gesek adhesi juga memberikan pengaruh yang besar terhadap tinggi kenaikan zat cair yang naik pada kedua kaki pipa.
Gambar 4. Skema pengukuran kerapatan dengan tabung pipa Y. Dari Gambar 4 dapat dilihat bahwa tinggi zat cair yang naik pada pipa bergantung pada besarnya perubahan tekanan pada kolom pipa Y dimana besar perubahan tekanan bergantung pada jarak pergeseran katub jarum suntik. Selain pengukuran dengan pipa Y, tinggi zat cair yang naik pada kaki 2 (h2) pipa juga dapat ditentukan secara analitik dengan menggunakan persamaan (2) sebagai dasar analisanya. Persamaan (2) dapat dituliskan kembali menjadi :
h2
(4)
Dari eksperimen dan perhitungan yang dilakukan diperoleh data-data pada tabel-tabel bertikut.
Pada prinsipnya penggunakan tabung pipa U, selain perbandingan ketinggian zat cair, kerapatan untuk masing-masing zat cair juga dapat ditentukan dengan syarat perubahan tekanan ( p) dan ketinggian (h) zat cair diketahui. Syarat ini berlaku untuk zat cair dengan nilai koefisien kekentalan yang tidak jauh berbeda dengan referensi (eksperimen ini menggunakan aquades sebagai referensi). Sedangkan untuk zat cair yang nilai koefisien kekentalan jauh lebih besar dari referensi diperlukan suatu faktor koreksi sebelum menentukan kerapatan zat cair tersebut. Hal ini dapat dilihat dari Gambar 3 dimana regresi linier antara data eksperimen dan data perhitungan hampir sama dan cukup baik (R2 > 0,998x).
Tabel 4 Data pengukuran dan perhitungan tinggi beberapa zat cair terhadap aquades.
Pengukuran dan Perhitungan Tinggi Zat Cair Dengan Menggunakan Pipa Y
Data hasil eksperimen yang diperoleh pada Tabel 4, kemudian diplot dalam grafik seperti pada gambar 5.
Eksperimen menggunakan pipa Y dilakukan dengan memberikan perubahan tekanan udara pada kolom pipa yang kedua kakinya telah dicelupkan pada zat cair berbeda yakni aquades sebagai referensi dan zat cair lainnya sebagai zat
ISBN 978-602-19655-4-2
1 h 2 1
31
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Kesimpulan Dari eksperimen dan perhitungan yang dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa selisih nilai ketinggian antara hasil eksperimen dan perhitungan untuk air laut selalu bernilai positif dengan nilai yang relatif kecil, sedangkan untuk minyak tanah, minyak goreng, dan oli SAE 40 selisihnya selalu bernilai negatif dengan nilai yang relatif besar, pada suatu nilai tekanan tertentu, tinggi zat cair yang naik pada kaki-kaki pipa U berturut-turut adalah air laut, oli SAE 40, minyak goreng dan minyak tanah, tinggi zat cair yang naik pada kaki-kaki pipa bergantung pada nilai koefisien kerapatannya. Referensi
Gambar 5. Grafik perbandingan tinggi beberapa jenis zat cair terhadap aquades.
[1] Benjamin.E.W, Streeter L.V., “Mekanika Fluida”, Edisi Delapan jilid 1, Erlangga, Jakarta, (1986). [2] Genick B.M., “Basics of Fluids Mechanics”, 7449 North Washtenaw Ave Chicago, (2011). [3] Halliday D., et al., “Fundamentals of Physics”, 9th Edition, John Wiley dan Sons, USA, (2011). [4] Munson.B.R, Young. F.D, Okiishi H.T., “Fundamentals of Fluid Mechanichs” edisi terjemahan, Erlangga, Jakarta, (2004). [5] Mikrajuddin, “Fisika Dasar I”, ITB Bandung, (2007). [6] Serwey, Jewett, “Fisika untuk Sains dan Teknik”, Salemba Teknika, Jakarta, (2009). [7] Tipler.P.A., “Physics for Scientists and Engineers” 5th Edition, W.H. Freeman and Company, New York, (2004). [8] *http://www.engineeringtoolbox.com/liquidsdensities-d_743.html (12 /4/2013, Jam 14:47 wib) [9] **http://www.vp-scientific.com/Viscosity/ Tables.htm (04-12-2013, Jam11:48 wib) [10] ***http://www.engineersedge.com/fluid_flow/fl uid_data.htm (04/12/2012 Jam : 11:57 wib)
Hasil eksperimen pada Tabel 4 menunjukkan bahwa ketinggian zat cair air laut antara hasil ekperimen dengan perhitungan selisihnya selalu bernilai positif, sedangkan untuk minyak tanah, minyak goreng, oli SAE 40 antara hasil eksperimen dan hasil perhitungan selisihnya selalu bernilai negatif. Hal ini memberikan gambaran bahwa jika kekentalan zat cair mendekati kekentalan aquades (referensi), maka gaya gesek adhesi antara dinding pipa dengan cair tersebut sangat kecil. Sedangkan jika kekentalan zat cair lebih besar dari kekentalan aquades maka gaya gesek adhesi antara dinding pipa dengan zat cair tersebut sangat besar. Hal ini terbukti saat pipa Y diangkat keluar dari wadah ketinggian zat cair aquades dan air laut pada kedua kaki pipa turun sedikit. Sedangkan saat aquades dengan minyak tanah ketinggian aquades pada pipa menurun sementara ketinggian minyak tanah tidak berubah, demikian halnya dengan zat cair minyak goreng dan oli SAE 40. Dengan demikian pada sistem zat cair tersebut selain gaya berat zat cair bersangkutan, gaya gesek adhesi juga memberikan pengaruh yang besar terhadap tinggi kenaikan zat cair pada kedua kaki pipa.
Andi Asgar Wahyu* Magister Pengajaran Fisika Institut Teknologi Bandung
[email protected]
Dari Gambar 5 tampak bahwa linearitas grafik eksperimen sangat baik (nilai R2 mendekati angka 1). Dengan demikian tabung pipa Y ini pada prinsipnya dapat digunakan untuk menentukan perbandingan kerapatan antara dua zat cair yang belum diketahui, asalkan koefisien kekentalan kedua zat cair tersebut tidak terlalu jauh berbeda. Dalam hal ini nilai perbandingan kerapatan antara dua zat cair tersebut adalah koefisien regresi linear dari grafik. Sedangkan bila nilai koefisien kekentalan kedua zat cair sangat jauh berbeda diperlukan faktor koreksi untuk ketinggian zat cair yang naik pada kedua kaki pipa Y, sebelum nilai perbandingan kerapatan antara dua zat cair tersebut ditentukan.
ISBN 978-602-19655-4-2
Inge Magdalena Sutjahja KK Fisika Magnetik dan Fotonik Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Bandung, e-mail :
[email protected]
*Corresponding author
32
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Pembuatan Media Pembelajaran Berupa Animasi Berbasis Komputer Untuk Meningkatkan Pemahaman Siswa SMA/MA Kelas X Pada Mata Pelajaran Kimia Konsep Ikatan Kimia Andri Agustina, Ida Farida Ch, dan Cucu Zenab Subarkah Abstrak Konsep ikatan kimia merupakan konsep yang mendasar dan penting untuk memahami berbagai topik dalam ilmu kimia. Konsep tersebut dinilai sulit oleh siswa. Kesulitan tersebut terletak pada ketidakmampuan siswa dalam mengorganisasikan ketiga level pengetahuan secara sistematis. Pada konsep ikatan kimia khususnya, siswa tidak dapat memvisualisasikan yang terjadi pada level submikroskopik (molekuler) kemudian menghubungkannya dengan level makroskopik (laboratorium) dan simbolik. Hal tersebut juga diakibatkan proses belajar yang masih berpusat pada guru, dan kurangnya media pembelajaran yang menarik. Peran media pembelajaran sebagai alat bantu dapat menjembatani konsep abstrak seolah menjadi konkret melalui visualisasi. Salah satu teknik visualisasi adalah dengan menggunakan media komputer berupa animasi. Animasi pada tingkat molekuler dapat mendorong proses pembelajaran yang efektif. Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan media pembelajaran berupa animasi yang digunakan untuk pembelajaran ikatan kimia di kelas. Penelitian ini menggunakan metode Research and Development (R&D), model pemrosesan informasi audiovisual digunakan untuk mendesain animasi pembelajaran. Pre-test dan post-test digunakan untuk mengetahui efektivitas penggunaan media animasi dalam pembelajaran konsep ikatan kimia. Hasil yang diperoleh menunjukan bahwa penggunaan media animasi dapat meningkatkan pemahaman siswa pada konsep ikatan kimia. Kata-kata kunci: media pembelajaran, animasi, ikatan kimia alat bantu dapat menjembatani konsep abstrak seolah menjadi konkret melalui visualisasi. Salah satu teknik visualisasi adalah dengan menggunakan media komputer berupa animasi. Animasi pada tingkat molekuler dapat mendorong proses pembelajaran yang efektif (Tasker, 2006)
Pendahuluan Ilmu kimia akan menjadi pengetahuan yang utuh manakala mampu menjelaskan fenomena kimia melalui tiga level representasi meliputi representasi makroskopik, submikroskopik dan simbolik (Jhonstone dalam Chittleborough et al, 2002). Konsep ikatan kimia merupakan konsep yang mendasar dan penting untuk memahami berbagai topik dalam ilmu kimia, juga memiliki ketiga level representasi tersebut. Berdasarkan hasil studi pendahuluan di Madrasah Aliyah Negeri Jampangtengah terhadap 20 orang siswa kelas X semester I menunjukan sebagian besar siswa mengalami kesulitan ketika diminta menjelaskan proses yang terjadi pada terbentuknya ikatan kimia. Kesulitan tersebut terletak pada ketidakmampuan siswa dalam mengorganisasikan ketiga level pengetahuan secara sistematis. Siswa tidak dapat memvisualisasikan yang terjadi pada level molekuler (submikroskopik) kemudian menghubungkannya dengan level makroskopik dan simbolik (Tasker, 2006). Hal tersebut juga diakibatkan proses belajar yang masih berpusat pada guru, dan kurangnya media pembelajaran yang menarik. Dalam suatu proses belajar mengajar, dua unsur yang amat penting adalah metode mengajar dan media pembelajaran. Media pembelajaran dapat memperjelas penyajian pesan dan informasi sehingga dapat memperlancar dan meningkatkan proses dan hasil belajar (Azhar,2002). Peran media pembelajaran sebagai ISBN 978-602-19655-4-2
Berdasarkan uraian di atas, peneliti mengadakan penelitian pembuatan media pembelajaran dalam bentuk animasi berbasis komputer pada konsep ikatan kimia. Dengan pembuatan media pemebelajaran tersebut diharapkan dapat membantu siswa dalam memahami konsep ikatan kimia. Metode Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian dan pengembangan (Research and Development/R&D). Pembuatan media animasi dilakukan dalam tiga tahap. Tahap I, perencanaan: 1). Menganalisis kurikulum supaya media yang dibuat tidak melenceng dari kurikulum. 2). Menganalisis buku teks dari berbagai sumber, seperti buku teks kimia mengenai konsep ikatan kimia serta dari sumber lain yang mendukung dengan tujuan menggali konsep yang akan dikembangkan. 3). Pembuatan skenario atau alur cerita yang menjadi panduan dalam pembuatan media animasi. 4).Pembuatan story board atau papan cerita, dimaksudkan agar mempermudah pembacaan isi cerita secara visual. Tahap II, pengintegrasian elemen-elemen media 33
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
proses pembelajaran. Tahap-tahap proses pemproduksian media pembelajaran meliputi, analisis wacana buku teks, identifikasi elemen media, transformasi hasil analisis wacana ke dalam bentuk presentasi, pembuatan skenario, dan pengintegrasian seluruh elemen media menggunakan program aplikasi macromedia flash professional 8.
menggunakan program aplikasi macromedia flash professional 8. Pembuatan media ini menuntut berbagai presentasi grafis, video, dan audio. Pengintegrasian gambar untuk objek tak bergerak dari hasil photo atau scan dan pembuatan gambar vector dengan menggunakan aplikasi Adobe Photoshop cs dan Coreldraw X4. Tahap III, uji coba media: tahap ini merupakan tahap uji coba terbatas dengan menggunakan desain Single one shot Case Study dan pemberian angket. Media pembelajaran dalam bentuk animasi tahap awal (prototype) yang telah dihasilkan, diujikan kepada siswa kelas X Madrasah Aliyah Negeri Jampangtengah untuk mendapatkan data. Uji pretest dan post-test kemudian dianalisis menggunakan N-gain untuk mengetahui signifikansi pembelajaran dengan berbantuan media. Pemberian angket dilakukan untuk mengetahui tanggapan dari siswa. Apabila hasilnya tidak signifikan, maka dilakukan perbaikan berdasarkan respon siswa. Sehingga dihasilkan media pembelajaran animasi berbasis komputer yang dapat digunakan dalam proses pembelajaran ikatan kimia di kelas.
Media pembelajaran ini menyajikan presentasi dalam bentuk grafis, audio, video dan animasi. Meliputi proses pembentukan ikatan ion, ikatan kovalen, pelarutan senyawa ionik, dan polarisasi ikatan. Berikut tabel hasil yang diperoleh setelah pengujian dilakukan terhadap siswa kelas X Madrasah Aliyah Negeri Jampangtengah kabupaten Sukabumi (N = 40). Tabel 1. Hasil Uji Pre-test dan Post-test Konsep/sub Konsep Pembentukan ikatan ion Pelarutan senyawa ion Pembentukan ikatan kovalen Polarisasi ikatan kovalen Rerata
Tahapan tersebut diatas dapat digambarkan seperti berikut:
Pre-test M SD
Post-test M SD
Ngain
4,3
0,6
6,7
0,9
0,4
3,8
1,0
6,6
0,8
0,5
3,5
0,6
5,8
0,6
0,4
3,4
0,5
5,5
0,5
0,3
3,7
0,7
6,1
0,7
0,4
Berdasarkan Tabel 1. di atas, dapat diinterpretasikan bahwa terdapat peningkatan pemahaman siswa terbukti dengan peningkatan skor rerata (M) pre-test terhadap rerata (M) posttest dengan rerata N-gain sebesar 0,4 kategori sedang. Skor N-gain terkecil atau nilai dibawah rerata diperoleh pada konsep polarisasi ikatan kovalen yaitu sebesar 0,3 dari rerata N-gain 0,4. Sementara itu skor N-gain tertinggi diatas rerata diperoleh pada konsep pelarutan senyawa ion yaitu sebesar 0,5. Sedangkan konsep pembentukan ikatan ion dan pembentukan ikatan kovalen memperoleh skor sama dengan rerata yaitu sebesar 0,4. Dibawah ini adalah grafik yang menunjukan rerata peningkatan pre-test terhadap post-test.
Gambar 1. Tahapan Penelitian Pembuatan Media Pembelajaran berupa Animasi berbasis Komputer pada Konsep Ikatan Kimia. Hasil dan diskusi Tahapan proses pemproduksian animasi dilakukan secara sistematis berkesinambungan, supaya dihasilkan pembelajaran yang benar-benar efektif diaplikasikan dan digunakan oleh guru
ISBN 978-602-19655-4-2
media dan media ketika dalam
Gambar 2. Grafik rerata skor pre-test dan post-test.
34
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
mengkoding, mengelaborasi dan mengintegrasikan materi yang sedang dipelajari sebagai pengetahuan yang tersimpan dengan baik di memori jangka panjang. Penyajian secara audio visual dinilai mampu membantu siswa memahami konsep yang selama ini dianggap sulit. Menurut Mayer (1997), bahwa multimedia pembelajaran harus mempunyai beberapa prinsip dasar diantaranya: 1). multiple representation principle. Penjelasan yang menuntut multi representasi baik visual maupun verbal. 2). contiguity principle. Penjelasan multimedia harus mempunyai keterhubungan yang sesuai. 3). split attention principle. Kata-kata yang disajikan secara auditori (diucapkan) lebih baik dari pada secara visual berupa teks dalam layar.
Sementara itu, diperoleh tanggapan siswa melalui angket, seperti yang ditunjukan pada tabel dibawah ini: Tabel 2. Tanggapan siswa terhadap pembelajaran yang telah dibuat.
media
Persentase Sangat baik
Cukup
Kurang
Buruk
1
penggunaan navigasi
47
47
6
0
0
2
interface (bentuk tampilan)
46
48
6
0
0
3
kejelasan atau kualitas isi
26
50
24
0
0
4
bentuk grafis (gambar diam)
46
39
15
0
0
5
bentuk animasi (objek bergerak)
72
22
6
0
0
6
kecepatan akses data.
26
60
14
0
0
7
kesesuaian warna
26
63
8
3
0
8
ukuran teks
0
59
22
19
0
9 10
gaya bahasa pertanyaan dan format latihan
27 37
41 37
26 20
6 6
0 0
Baik
Kriteria
No
Tanggapan siswa mengenai kualitas media, secara umum memperoleh tanggapan positif. Sehingga media yang dibuat layak digunakan untuk membantu proses pembelajaran di kelas. Tampilan grafis dalam suatu multimedia bertujuan untuk memvisualisasikan konsep yang ingin disampaikan kepada siswa, dan bentuk tampilan yang menarik bagi siswa dapat membangkitkan minat dan perhatian (Azhar, 2002). Namun demikian masih terdapat kekurangan terutama pada tampilan berupa ukuran teks sebesar 19% menyatakan kurang sisanya 22% menyatakan cukup dan 59% menyatakan baik, sehingga perbaikan media masih harus dilakukan. Kesimpulan Proses pembuatan media dilaksanakan melalui tiga tahap, diantaranya tahap perencanaan, tahap pengintegrasian media, dan tahap uji coba media. Bentuk visualisasi yang digunakan adalah teks, grafis, dan animasi. Pembelajaran dengan bantuan media animasi dapat meningkatkan pemahaman siswa pada konsep ikatan kimia kategori sedang dengan rerata N-gain sebesar 0,4.
Tanggapan siswa mengenai kualitas media menunjukan bahwa: penggunaan navigasi (tombol-tombol petunjuk), interface (bentuk tampilan), kejelasan atau kualitas isi materi, bentuk grafis, animasi, kecepatan akses data, kesesuaian warna, ukuran teks, gaya bahasa, pertanyaan dan format latihan, secara umum menyatakan baik.
Ucapan terima kasih
Konsep pembentukan ikatan ion, pelarutan senyawa ionik, pembentukan ikatan kovalen, dan polarisasi ikatan kovalen, sesungguhnya merupakan konsep abstrak yang terkadang siswa sulit untuk memahaminya. Dengan memvisualisaikan (teknik animasi) pada konsep tersebut, dapat memperlihatkan hubungan yang terjadi pada tingkat submikroskopik dengan tingkat makroskopik. Menurut Sweller (dalam Tasker, 2006), tingkat kompleksitas informasi atau materi yang sedang dipelajari (muatan kognitif intrinsik), dapat diminimumkan melalui teknik penyajian materi yang baik. Ketika muatan kognitif intrinsik menjadi minimum, diikuit oleh muatan kognitif ekstrinsik (teknik penyajian materi), maka besar kemungkinan untuk terjadinya proses konstruksi (akuisisi skema) pengetahuan, sehingga memori kerja dapat mengorganisasikan, mengkonstruksi, ISBN 978-602-19655-4-2
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Euis Nursaadah, M.Pd atas bimbingan dan dikusinya yang bermanfaat. Referensi [1] Chittleborough, Gail D et all., “Constrain to the development of first year university chemistry student’s mental model of chemical phenomena”, Theaching and Learning Forum 2002: Focusing on the Student, (2002). [2] R. Tasker and D.. Rebecca, “Reasearch into practice: visualization of the molecular world using animation”, Journal of Chemistry Education Research and Practice, 7(2), 141159, (2006).
35
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
[8] Anonim, “Ionic Bonds” URL http://g.web.umkc.edu/gounevt/Animations/An imations211/IonicvsCovalentBonds.swf, [diakses tanggal 5 April 2012]
[3] A. Arsyad, “Media Pembelajaran”, Rajawali press, Jakarta, (2002). [4] R. E. Mayer, dan M. Roxana, “A Cognitive Theory of Multimedia Learning: Implication for Design Principles”, Journal of Educational Technologies, (24) 345-376, (1997). [5] M. Yayon and R. Mamlok, “Characterizing and Representing Student’s Conceptual Knowledge of Chemical Bonding”, Journal of Chemistry Education Research and Practice, (2012). [6] Anonim, “Simulasi Uji Larutan Elektrolit”, URL http://www.agussuwasono.com/ilearning/Elekt rolit.swf, [diakses tanggal 5 April 2012] [7] Anonim, “Chemical Bonds”, URL http://www.bcs.whfreeman.com/thelifewire/co ntent/chp02/0201s.swf, [diakses tanggal 5 April 2012]
ISBN 978-602-19655-4-2
Andri Agustina* MAN Jampangtengah Purabaya
[email protected]
Ida Farida Ch. Pendidikan Kimia UIN Sunan Gunung Djatii Bandung
[email protected]
Cucu Zenab Subarkah Pendidikan Kimia UIN Sunan Gunung Djati Bandung
[email protected]
*Corresponding author
36
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Analisis Keterampilan Proses Sains Siswa Melalui Pembelajaran Berbasis Proyek pada Konsep Pemisahan Campuran Andri Arifiadi*, Cucu Zenab S, dan Risa Rahmawati S Abstrak Penelitian ini bertujuan menganalisis keterampilan proses sains siswa berdasarkan tahapan pembelajaran berbasis proyek pada konsep pemisahan campuran dengan metode destilasi. Model pembelajaran berbasis proyek terdiri dari tiga tahap yaitu perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kelas dan subjek penelitiannya adalah siswa kelas VII SMP Negeri 2 Talaga kabupaten Majalengka yang terdiri dari 21 orang siswa. Instrumen penelitian terdiri dari deskripsi pembelajaran, lembar kerja siswa dan penilaian lembar observasi. Data yang diperoleh diolah menggunakan statistik deskriptif. Berdasarkan analisis data hasil belajar siswa pada tahap perencanaan mendapat nilai 100, tahap pelaksanaan mendapat nilai 67,42 , dan evaluasi mendapat nilai 80. Kata-kata kunci: Keterampilan proses sains; pembelajaran berbasis proyek; pemisahan campuran Teori
Pendahuluan
Proyek jika diartikan mempunyai makna maksud atau rencana. pengertian pembelajaran proyek adalah salah satu cara pemberian pengalaman belajar dengan menghadapkan anak dengan persoalan sehari-hari yang harus dipecahkan secara berkelompok (Wena, 2011).
Keterampilan Proses Sains (KPS) merupakan suatu pendekatan belajarmengajar yang mengarah pada pengembangan sejumlah keterampilan tertentu pada diri siswa agar mampu memproses informasi atau hal-hal baru yang bermanfaat baik berupa fakta, konsep, maupun pengembangan sikap dan nilai (Dwiyanti, 2005).
Sehingga siswa mempunyai kemandirian dalam menyelesaikan tugas yang dihadapi. Pembelajaran berbasis proyek, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran berbasis proyek merupakan pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk menyalurkan, mengembangkan dan meningkatkan kreativitas siswa. selain itu pembelajaran berbasis proyek memuat tugas yang kompleks berdasarkan kepada pertanyaan dan menuntut siswa untuk merancang, membuat keputusan, melakukan observasi serta memberikan kesempatan kepada siswa untuk bekerja secara mandiri (Thomas dalam Wena, 2011).
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka perlu suatu proses pembelajaran yang dapat mengembangkan KPS. Pembelajaran yang memungkinkan terjadinya hal tersebut adalah dengan pembelajaran berbasis proyek. Beberapa penelitian mengenai metode proyek sebagai salah satu metode pembelajaran, diantaranya yaitu: Donnel (2007) menerapkannya dalam kimia analitik untuk melatih keterampilan proses sains. Sedangkan Rahmadani (2012) menerapkannya dalam konsep pemisahan campuran untuk meningkatkan keterampilan proses sains dan penguasan konsep. Berdasarkan studi pendahuluan di SMP Negeri 2 Talaga kabupaten Majalengka memperlihatkan bahwa dalam pembelajaran IPA, siswa cendrung menghafal teori, konsep, dan prinsip tanpa menghubungkannya dengan pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari, serta masih adanya pembelajaran yang berpusat pada guru dalam pembelajaran IPA. Selain itu disekolah tersebut tidak ada alat praktikum kimia yang mendukung untuk melakukan praktikum pemisahan campuran khususnya dengan metode destilasi.
ISBN 978-602-19655-4-2
Karakteristik dari pembelajaran berbasis proyek ini menunjukan bahwa pembelajaran tersebut berhubungan erat dengan KPS siswa, dimana pembelajaran berbasis proyek ini membantu siswa agar memiliki kemampuan untuk mengembangakan KPS seperti dalam hal merencanakan percobaan, melakukan pengamatan dan menerapkan konsep. Dengan mengembangakn keterampilan proses anak mampu menemukan dan mengembangakan sendiri fakta dan konsep serta menumbuhkan dan mengembangakan
37
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
prosedur mereka sesuai. Setelah alat destilasi sederhana selesai dan bahan telah tersedia, setiap kelompok melaksanakan proyek pemisahan campuran dengan menggunakan metode destilasi sesuai prosedur yang telah mereka buat dengan bimbingan guru. Selama mengerjakan proyek, siswa dibimbing oleh guru untuk mengarahkan siswa.
sikap dan nilai yang dituntut (Semiawan et.al, 1992). Salah satu konsep yang memungkinkan untuk diterapkan dalam pembelajaran berbasis proyek adalah konsep pemisahan campuran. Hal ini sesuai dengan kompetensi dasar pada konsep pemisahan campuran. Salah satu metode pemisahan campuran yang dapat digunakan dalam kehiduapn sehari-hari adalah prinsip destilasi (Sarifudin, 2002).
Evaluasi Setiap kelompok mempresentasikan di depan kelas, lalu sesi tanya jawab dari anggota kelompok lain. Guru menilai persentasi siswa.
Destilasi yaitu metode pemisahan campuran yang didasarkan pada perbedaan titik didih. Cara ini dapat digunakan untuk memisahkan campuran yang mempunyai titik didih berbeda.
Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kelas. Metode ini dipakai karena sesuai dengan kebutuhan peneliti yaitu untuk mendapatkan informasi secara mendalam mengenai perkembangan keterampilan proses sains pada model pembelajarn berbasis proyek.
Prosedur Penelitian yang dilakukan dibagi menjadi tiga tahap, yaitu: Perencanaan
Subjek Penelitian
Guru membagi siswa kedalam beberapa kelompok. Pembagian kelompok berdasarkan hasil nilai ulangan sebelumnya.
Subjek penelitian ini adalah siswa kelas VII SMP Negeri 2 Talaga sebanyak satu kelas berjumlah 21 siswa yang tebagi 11 orang siswa laki-laki dan 10 orang siswa perempuan.
Guru menjelaskan secara rinci rencana proyek yang akan dikerjakan. Hal ini penting dilakukan agar pada saat mengerjakan proyek, siswa lebih mengerti prosedur kerja yang akan dikerjakannya. Siswa mencari literatur tentang pemisahan campuran serta teknik pemisahan campuran dan mencari alat bahan yang diperlukan untuk dijadikan sebagai literatur dan untuk menyelesaikan permasalahan proyeknya.
Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan di SMP Negeri 2 Talaga di kabupaten Majalengka. Penelitian dilaksanakan pada hari senin pada tanggal 6 dan 13 Mei 2013. Waktu yang dilaksanakan dalam penelitian ini adalah 2x40 menit setiap pertemuan. Teknik Pengumpulan Data
Pelaksanaan
Adapun teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 1 berikut ini:
Guru memberikan wacana berdasarkan kelompok proyek. Dari wacana tersebut, siswa akan mengidentifikasi masalah dan merumuskannya dalam sebuah proyek. Wacana yang diberikan kepada siswa berupa permasalahan yang dapat mereka temukan sehari-hari. Dari masalahmasalah tersebut, siswa diharapakan dapat memecahkan dan memilih dan menggunakan metode pemisahan campuran yang tepat yaitu melalui metode destilasi.
Tabel 1. Teknik Pengumpulan Data
Setiap siswa bersama anggota kelompoknya membuat alat destilasi sederhana sesuai dengan langkah-langkah yang mereka buat. Guru membimbing setiap kelompok dan memberikan bantuan apabila siswa memerlukannya. Setiap kelompok berdiskusi untuk merancang prosedur percobaan yang akan mereka lakukan. Setelah rancangan selesai, rancangan tersebut dikonsultasikan kepada guru untuk melihat apakah
ISBN 978-602-19655-4-2
Hasil dan Diskusi Keterampilan proses sains siswa pada setiap tahap model pembelajaran berbasis proyek dapat dianalisis berdasarkan perolehan nilai LKS yang diberikan dalam setiap tahap. Analisis hasil belajar siswa pada seluruh tahapan pembelajaran untuk
38
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
setiap kelompok belajar tersaji dalam Tabel 2 berikut: Tabel 2. Nilai rata-rata KPS berdasarkan LKS pada setiap tahap pembelajaran berbasis proyek berdasarkan kelompok belajar
Gambar 2. Grafik nilai rata-rata KPS secara keseluruhan tahapan pembelajaran berbasis proyek berdasarkan kelompok belajar. Analisis terhadap aspek proses dilakukan berdasarkan nilai LKS dalam setiap tahap pembelajaran terlihat bahwa LKS pada tahap perencanaan mendapatkan nilai rata-rata terbaik dengan nilai 100 yang termasuk kategori baik sekali. Ini berarti pada tahap perencanaan, yaitu KPS yang dikembangkan adalah menerapakan konsep atau prinsip yang memiliki karakteristik menjelaskan sesuatu peristiwa dengan menggunakan konsep yang telah dimiliki berarti KPS siswa sangat baik.
Berdasarkan Tabel 2 di atas, terlihat bahwa tahap perencanaan merupakan tahap terbaik bagi siswa, hal itu dapat dilihat dari perolehan nilai rata-rata LKS pada tahap tersebut yang lebih besar daripada LKS yang lain, yaitu mencapai 100. Sedangkan tahap pelaksanaan merupakan tahap yang perolehan nilainya paling rendah, yaitu hanya mencapai 67,42.
Nilai rata-rata paling rendah terdapat pada tahap pelaksanaan, nilai rata-rata pada tahap tersebut hanya mencapai 67,42 dengan perolehan nilai tertinggi didapatkan oleh kelompok satu yaitu hanya mencapai 70,97dan nilai terendah didapatkan oleh kelompok dua dengan nilai 63,87. Ini terjadi karena pada tahap pelaksanaan aspek KPS yang dikembangkan sangat kompleks. Aspek KPS yang dikembangkan adalah: a) melakukan pengamatan yang memiliki karakteristik menggunakan indera penglihat, pendengar, pengecap, pembau, dan peraba serta menggunakan fakta yang relevan dan memadai; b) menafsirkan pengamatan yang memiliki karakteristik mencatat setiap pengamatan, menghubungkan–hubungkan hasil pengamatan dan menyimpulkan; c) merencenakan percobaan atau penyelidikan yang memiliki karakteristik menentukan alat dan bahan, menentukan langkah kerja, menentukan cara mengolah data dan menentukan apa yang diamati, diukur atau ditulis.
Kelompok belajar yang memperoleh nilai ratarata LKS paling tinggi adalah kelompok satu dengan perolehan nilai 83,66. Sedangkan kelompok yang memperoleh nilai paling rendah adalah kelompok empat dengan perolehan nilai rata-rata 80,79. Secara keseluruhan, nilai rata-rata yang diperoleh dapat dikategorikan baik sekali, yaitu dengan nilai 82,47. Tabel di atas dapat dituangkan ke dalam Gambar 1 berikut:
Tahap evaluasi untuk mengembangkan aspek KPS berkomunikasi yang memiliki karakteristik membaca grafik atau diagram dan menjelaskan hasil percobaan mendapatkan nilai rata-rata 80 dengan perolehan nilai tertinggi didapatkan oleh kelompok tiga yaitu mencapai 86,67 dan nilai terendah didapatkan oleh kelompok empat dengan nilai 73,33.
Gambar 1. Grafik nilai rata-rata KPS berdasarkan LKS pada setiap pembelajaran berbasis proyek berdasarkan kelompok belajar. Nilai rata-rata setiap kelompok belajar secara keseluruhan dapat disajikan ke dalam Gambar 2 berikut:
ISBN 978-602-19655-4-2
Hal ini menunjukan bahwa secara umum ratarata keterampilan proses sains siswa yang dikaji dalam penelitian ini dikategorikan baik sekali. Pembelajaran berbasis proyek merupakan pembelajaran yang meberikan kesempatan
39
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
kepada siswa untuk menyalurkan, mengembangkan dan meningkatkan kreativitas siswa. Sejalan dengan pendapat Thomas (dalam Wena, 2011:144) kerja proyek memuat tugas-tugas yang kompleks berdasarkan kepada pertanyaan dan permasalahan yang sangat menantang, dan menuntut siswa untuk merancang, memecahkan masalah, membuat keputusan, melakukan kegiatan insvestigasi, serta memberi kesempatan kepada siswa untuk bekerja secara mandiri.
Referensi [1] Donnel, M.C., O’Connor, C. and Serry, M.K., “Developing Practical Chemistry Skills by Means of Students-driven Problem Based Learning Mini-Projects”, Journal Chemistry Education Research and Practice 8(2), 130139, (2007). [2] Dwiyanti Gebi dan Siswaningsih, “Keterampilan Proses Sains Siswa Smu Kelas II Pada Pembelajaran Kesetimbangan Kimia Melalui Metoda Praktikum Kimia”, Tesis Magister, Universitas Pendidikan Indonesia, (2005). [3] Rahmadani Sri, “Pembelajaran Berbasis Proyek untuk meningaktkan Keterampilan Proses Sains dan Penguasan Konsep Siswa SMK Pada Pemisahn Campuran”, Tesis Magister, Universitas Pendidikan Indonesia, (2012). [4] Sarifudin Asep, “Alat Destilasi Sederhana Sebagai Wahana Pemanfaatan Barang Bekas dan Media Edukasi Bagi Siswa SMA untuk Berwirausaha Di Bidang Pertania”, Skripsi Sarjana, Institut Pertanian Bogor, (2002). [5] Semiawan Conny dkk, “Pendekatan Keterampilan Proses”, Rasindo, Jakarta, (1992). [6] Wena Made, “Strategi Pembelajaran Inovatif Kontemporer”, Bumi Aksara, Jakarta, (2011).
Penerapannya dalam pembelajaran berbasis proyek siswa dapat bekerja sama, saling menghargai dan berkomunikasi dengan teman kelompoknya. Melalui pembelajaran berbasis proyek siswa merancang sendiri proyek yang harus mereka kerjakan, sehingga akan timbul rasa ingin tahu dari setiap siswa dan akan melakukan yan terbaik untuk menyelesaikan tugasnya. Kesimpulan Kemampuan siswa dalam menyelesaikan lembar kerja siswa (LKS) setiap tahap pada model pembelajaran berbeda-beda tetapi secara keseluruahan nilai yang didapatkan baik. Pada tahap perencanaan mendapat nilai rata-rata 100 dengan kategori baik sekali, tahap pelaksanaan mendapat nilai rata-rata 67,42 dengan kategori baik, tahap evaluasi menadapat nilai rata-rata 80 dengan kategori baik sekali. Keterampilan proses sains siswa setelah mengikuti proses pembelajaran berbasis proyek dikategorikan baik sekali dengan nilai rata-rata 82,47. Dengan demikian hasil belajar seluruh kelompok dikategorikan baik sekali.
Andri Arifiadi* Prodi Pendidikan Kimia Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN SGD Bandung
[email protected]
Ucapan terima kasih Cucu Zenab Subarkah
Sebagai rasa syukur, penulis mengucapkan terima kasih kepada Prodi Pendidikan Kimia Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN SGD Bandung atas dukungannya pada penelitian ini.
Prodi Pendidikan Kimia Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN SGD Bandung
Risa Rahmawati S. Prodi Pendidikan Kimia Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN SGD Bandung
*Corresponding author
ISBN 978-602-19655-4-2
40
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Studi Awal Sintesis Material Katoda Lithium Besi Fosfat (LiFePO4) dengan Metode Solvotermal pada Konsentrasi Tinggi Anies Sayyidatun Nisa, dan Ferry Iskandar* Abstrak Lithium Besi Fosfat (LiFePO4) yang merupakan material katoda baterai lithium ion telah berhasil disintesis dengan metode solvotermal. Proses sintesis dilakukan pada konsentrasi tinggi untuk meningkatkan efisiensi sintesis. Bahan prekursor yang digunakan ialah LiOH·H2O, FeSO4·7H2O, H3PO4 dan asam sitrat dengan perbandingan mol 3:1:1:0,5. Penambahan asam sitrat dilakukan untuk meminimalisasi kemungkinan oksidasi pada Besi (II) menjadi Besi (III). Hasil sampel dikarakterisasi menggunakan XRD dan didapatkan puncak-puncak difraksi LiFePO4. Dengan menggunakan karakterisasi spektrometer FT-IR diketahui bahwa terbentuk ikatan Fe-O, PO4 dan ikatan karbon pada sampel. Kata kunci: Baterai lithium ion, konsentrasi tinggi, LiFePO4, solvotermal. karena itu dalam penelitian ini akan dilakukan sintesis dengan konsentrasi tinggi agar prosesnya lebih efisien.
Pendahuluan Lithium Besi Fosfat (LiFePO4) merupakan material katoda dari baterai lithium ion yang memiliki kapasitas teoritik yang cukup tinggi yaitu 170 mAh/g. Selain itu LiFePO4 memiliki kelebihan tegangan stabil di ~3,5 V, murah karena bahan dasarnya (besi) melimpah di alam, tidak memiliki efek memori, dan ramah lingkungan. Namun material ini memiliki kekurangan yaitu konduktivitas elektronik dan koefisien difusi ion lithiumnya yang rendah. Ada banyak cara yang sudah dikembangkan untuk meningkatkan konduktivitas elektronik dan ionik dan meningkatkan performa katoda seperti coating karbon, coating dengan logam atau logam oksida, doping dengan ion, dan optimasi ukuran partikel dan morfologi [1]. Sintesis LiFePO4 telah dilakukan dengan berbagai metode seperti solid state [2], sol-gel [3], spray pyrolisis [4], microwave [5], karbotermal [6], hidrotermal [7], solvotermal [8].
Teori Material katoda LiFePO4 memiliki struktur berbentuk olivine dengan simetri orthorhombic. Struktur olivine terdiri dari FeO6 yang berbentuk octahedra dan PO4 yang berbentuk tetrahedra. Lithium berada pada kisi kosong dekat dengan FeO6. FeO6 dan PO4 saling menempel dan membentuk zigzag skeleton. Pada kedua bentuk ini terjadi sharing oksigen. PO4 melakukan edge-sharing dengan 1 FeO6 dan 2 LiO6. Struktur PO4 ini yang membuat fasa LiFePO4 tetap stabil saat proses pelepasan ion lithium pada interkalasi [9]. Dalam proses deinterkalasi pada katoda, ketika ion lithium meninggalkan katoda maka akan dihasilkan satu bentuk fasa FePO4 yaitu isostruktural dengan heterosite. Proses pelepasan ion lithium ini terjadi karena adanya kontraksi pada bidang ab. Proses yang terjadi saat interkalasi dan deinterkalasi pada katoda LiFePO4 adalah sebagai berikut.
Metode solvotermal merupakan metode yang baik digunakan untuk sintesis material ini karena menghasilkan produk yang baik terutama dari segi kemurniannya. Selain itu dengan menggunakan metode ini maka akan memudahkan variasi kondisi seperti suhu pemanasan dan waktu pemanasan yang memengaruhi kualitas produk yang didapatkan. Dari penelitian-penelitian sebelumnya telah dilakukan pengamatan mengenai faktor suhu, waktu pemanasan dan pH larutan prekursor [8]. Namun, belum ada penelitian mengenai pengaruh peningkatan konsentrasi larutan prekursor dan sintesis material dari larutan prekursor berkonsentrasi tinggi. Sintesis yang dilakukan harus memiliki efisiensi yang tinggi agar energi yang digunakan tidak banyak terbuang. Salah satu cara mengefisienkan proses sintesis ini adalah dengan meningkatkan konsentrasi larutan prekursor yang digunakan agar mendapatkan produk dengan kuantitas yang lebih besar. Oleh ISBN 978-602-19655-4-2
LiFePO4 Li(1 x ) FePO4 xLi xe (1) Pelepasan ion lithium ini terjadi melalui proses bi-phasic yang menghasilkan struktur akhir FePO4. Struktur FePO4 ini mengalami penyusutan volume sebesar 6.8% dan kenaikan rapat massa sebesar 2.59% dibandingkan dengan struktur LiFePO4 sebelumnya. Namun, perubahan ini tidak terlalu berpengaruh pada katoda dan dikategorikan stabil. Proses penyisipan dan pelepasan ion lithium pada LiFePO4 terbatas sampai 0,6 Li+/mol dengan keadaan arus rendah [10].
41
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
digunakan juga FT-IR untuk mengetahui ikatan kimia yang ada pada material dan fasa material. FT-IR yang digunakan memiliki spesifikasi spektrometer Bruker ALPHA.
Eksperimen Prekursor yang digunakan dalam eksperimen ini terdiri dari LiOH·H2O (Merck), FeSO4·7H2O (Merck), H3PO4 (Bratachem) dan asam sitrat (Bratachem) dengan perbandingan mol 3:1:1:0,5. Asam sitrat berfungsi untuk meminimalisasi oksidasi Fe2+ menjadi Fe3+. Bahan-bahan dilarutkan dalam pelarut yang terdiri dari ethylene glycol dan air dengan perbandingan 3:2 di 100 ml. Prekursor dimasukkan ke dalam autoclave dan dilakukan pemanasan pada suhu 180°C selama 8 jam dengan proses pengadukan. Selanjutnya larutan didinginkan, disentrifugasi selama 30 menit pada 2500 rpm. Endapan yang didapatkan dicuci menggunakan aquadest, disaring dan dikeringkan pada suhu 70°C selama 30 menit.
Hasil dan Diskusi Gambar 2 merupakan serbuk sampel setelah melalui proses pengeringan. Serbuk berwarna abu kehijauan yang menandakan Fe2+ tidak teroksidasi menjadi Fe3+. Jika Fe2+ teroksidasi maka serbuk yang dihasilkan cenderung berwarna coklat kemerahan. Hal ini menunjukan bahwa asam sitrat benar berfungsi untuk meminimalisasi proses oksidasi besi.
Gambar 2. pengeringan.
Serbuk
sampel
LiFePO4
hasil
FT-IR berfungsi sebagai karakterisasi awal untuk mengetahui ikatan-ikatan yang terbentuk pada sampel. Dari hasil FT-IR (gambar 3, dan 4) 2 jenis larutan yang berbeda konsentrasi didapatkan bahwa sampel sudah sama dengan referensi FTIR LiFePO4. Selain itu didapatkan juga bahwa sudah terbentuk ikatan Fe-O pada rentang 500640 cm-1, PO4 pada rentang 940-1120 cm-1. Pada konsentrasi Li 0.3 M muncul puncak ikatan karbon di rentang 1200-1800 cm-1. Hal ini dimungkinkan adanya ethylene glycol yang tidak tercuci dengan baik sehingga muncul puncak karbon.
Gambar 1. Skema metode sintesis LiFePO4. Variasi konsentrasi prekursor yang telah berhasil disintesis ialah: Tabel 1. Variasi konsentrasi prekursor. Bahan Larutan
Li (M)
Fe (M)
PO4 (M)
A
0.3
0.1
0.1
Asam Sitrat (M) 0.05
B
0.6
0.2
0.2
0.1
Perbandingan
3
1
1
0.5
Gambar 3. Hasil FT-IR larutan prekursor dengan konsentrasi LiOH 0.3 M.
Karakterisasi material yang digunakan ialah dengan menggunakan XRD Philips Analytical PW1710 BASED dengan spesifikasi radiasi Cu Kα (λ = 1.54 Å) pada 40 kV dan 35 mA untuk menentukan jenis material yang dihasilkan dan untuk mengukur diameter kisi kristal. Selain itu
ISBN 978-602-19655-4-2
42
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
maka kemurnian dan kristalinitasnya cenderung meningkat. Sintesis ini masih memungkinkan dilakukan pada konsentrasi yang lebih tinggi. Ucapan terima kasih Penelitian ini dibiayai oleh ”Program Mobil Listrik Nasional” tahun 2013 dari DIKTI Mendiknas. Referensi [1] Y. Zhang, Q.-Y. Huo, & P.-p. Du, “Advances in new cathode material LiFePO4 for lithiumion batteries”, Synthetic Metals 162, 13151326 (2012). [2] A. K. Padhi, K. S. Nanjundaswamy, and J. B. Goodenough, “Phospho-olivines as PositiveElectrode Materials for Rechargeable Lithium Batteries”, J. Electrochem. Soc.144, 4 (1997). [3] F. Croce, A. D’Epifanio, J. Hassoun, A. Deptula, T. Olczac, and B. Scrosati, “A Novel Concept for the Synthesis of an Improved LiFePO4 Lithium Battery Cathode”, Electrochemical and Solid-State Letters 5, A47-A50 (2002). [4] S. L. Bewlay, K. Konstantinov, G. X. Wang, S. X. Dou, and H. K. Liu, “Conductivity Improvements to Spray-Produced LiFePO4 by Addition of a Carbon Source”, Material Letters 58, 1788-1791 (2004). [5] M. Higuchi, K. Katayama, Y. Azuma, M. Yukawa, and M. Suhara, “Synthesis of LiFePO4 Cathode Material by Microwave Processing”, Journal of Power Source 119121, 258-261 (2003). [6] J. Barker, M. Y. Saidi, and J. L. Swoyer, “Lithium Iron(II) Phospho-Olivines Prepared by a Novel Carbothermal Reduction Method”, Electrochemical and SolidState Letters 6, A53-A55 (2003). [7] S. Yang, P. Y. Zavalij, and M. S. Wittingham, “Hydrothermal Synthesis of Lithium Iron Phosphate Cathodes”, Electrochemistry Communications 3, 505-508 (2001). [8] L. Wang, W. Sun, X. Tang, & X. Huang, “Nano particle LiFePO4 prepared by solvothermal process”, Journal of Power Sources , 1-7 (2013) [9] O. Toprakci, A.K. Toprakci, X. Zhang, “Fabrication and Electrochemical Characteristics of LiFePO4 Powders for Lithium Ion Batteries”, KONA Powder and Particle Journal (2010) [10] G.-A. Nazri, & Gianfranco, “Lithium Batteries Science and Technology”, Springer [11] W. Miao, W. Zhaohui, & Y. LiXia, “Morphology-controllable solvothermal synthesis of nanoscale LiFePO4 in binary solvent”, Chinese Science Bulletin , 41704175 (2012).
Gambar 4. Hasil FT-IR larutan prekursor dengan konsentrasi LiOH 0.6 M. Hasil XRD yang didapatkan pada gambar 5 menunjukan kecocokan dengan referensi JCPDS#81-1173 pada sampel dengan konsentrasi LiOH 0.3 M dan 0.6 M. Dapat disimpulkan bahwa sintesis ini sudah berhasil dilakukan pada konsentrasi cukup tinggi yaitu 6 kali lipat dibandingkan yang dilakukan oleh Miao dkk [11]. Dari data diharapkan semakin tinggi konsentrasi prekursornya maka kristalinitasnya cenderung semakin tinggi. Selain itu impuritas yang didapatkan pun diharapkan akan semakin berkurang dengan meningkatnya konsentrasi prekursor. Dengan menggunakan persamaan Scherrer dari sudut intensitas tertinggi (25,6°) untuk masing-masing konsentrasi didapatkan ukuran kristal ialah 55.92 nm dan 73.15 nm.
Gambar 5. Hasil XRD tiga jenis sampel. Kesimpulan Material LiFePO4 telah berhasil disintesis dengan metode solvotermal pada konsentrasi LiOH dalam larutan prekursor 0.3 M dan 0.6 M. Dari hasil FT-IR didapatkan bahwa terbentuk ikatan Fe-O, PO4. Dari hasil XRD didapatkan bahwa sampel sudah sesuai dengan data JCPDS#81-1137. Semakin tinggi konsentrasi ISBN 978-602-19655-4-2
43
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Anies Sayyidatun Nisa Kelompok Keahlian Fisika Material Elektronik, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Bandung
[email protected]
Ferry Iskandar* Kelompok Keahlian Fisika Material Elektronik, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Bandung
[email protected]
*Corresponding author
ISBN 978-602-19655-4-2
44
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Eksplorasi Konsep Barisan Dengan Metode Pembelajaran Berbasis Komputer Anjani Kusumaningsih* dan Agus Yodi Gunawan Abstrak Perkembangan ilmu dan teknologi sangat mempengaruhi dunia pendidikan saat ini. Telah banyak diperkenalkan model pembelajaran berbasis teknologi, yaitu pembelajaran berbasis komputer atau CBL (Computer Based Learning), dengan tujuan mempermudah penyampaian materi tanpa mengurangi inti dari materi tersebut. Dengan media komputer di dalam proses pembelajaran, diharapkan proses belajar mengajar menjadi lebih kreatif dan kompetitif, khususnya dalam bidang matematika diharapkan siswa dapat mengeksplorasi kemampuannya dalam bermatematika serta menginterpretasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Dalam penelitian ini kita akan membahas salah satu topik pembelajaran matematika pada tingkat sekolah menengah, yakni mengenai konsep-konsep dasar teori barisan yang difokuskan pada barisan Fibonacci dan barisan yang diturunkan dari persamaan beda, ditinjau dari aspek geometris dan analitis. Selanjutnya, akan dibuat simulasi sederhana menggunakan aplikasi komputer untuk memvisualisasikan konsep barisan tersebut. Kata Kunci : CBL (Computer Based Learning), Barisan, Fibonacci, Persamaan Beda, Geometris, Analitis Pada bilangan real, suatu barisan dapat dinyatakan sebagai suatu fungsi pada bilangan asli, , dengan daerah hasil (range) dalam bilangan real, R . Jadi, barisan adalah fungsi : R dimana untuk setiap n nilai fungsi n ditulis sebagai
Pendahuluan Penelitian dilakukan berdasarkan studi literatur mengenai konsep dasar barisan dan peranannya dalam berbagai aspek. Pada penelitian ini difokuskan pada barisan Fibonacci dan barisan yang diturunkan dari persamaan beda, yang kemudian dibuat simulasinya. Pemahaman konsep barisan dan persamaan beda merujuk pada buku [1-3], pembahasan simulasi numerik merujuk pada buku [4], dan proses pemrograman untuk membuat simulasi merujuk pada buku [5-6].
n : xn ,
dan disebut suku ke- n barisan . Notasi yang digunakan adalah
, xn , xn : n .
Tujuan dari penelitian ini adalah membuat suatu program simulasi sederhana mengenai konsep dasar barisan yang dapat dikembangkan siswa untuk mengeksplorasi macam-macam bentuk barisan. Visualisasi dari simulasi ini penting untuk membantu siswa dalam memahami konsep kekonvergenan suatu barisan. Konsep-konsep dasar teori barisan yang terkait akan dijelaskan dalam bagian Teori dan hasilnya akan dibicarakan dalam bagian Hasil dan diskusi.
Dalam barisan, salah satu metode untuk menentukan suku ke- n adalah dengan metode rekursif yaitu metode matematika yang digunakan untuk menentukan suku dalam barisan menggunakan satu atau lebih suku-suku sebelumnya. Barisan yang menggunakan fungsi rekursif adalah barisan Fibonacci. Barisan ini pertama kali dipelajari oleh Leonardo da Pisa ketika membahas pertumbuhan ideal dari populasi kelinci.
Teori Di sekolah menengah barisan diperkenalkan sebagai kumpulan bilangan yang terurut dengan pola atau aturan tertentu. Barisan memiliki anggota yang disebut suku, dimana setiap suku berikutnya bergantung pada suku-suku sebelumnya sesuai dengan aturan dalam barisan tersebut. Pada dasarnya barisan merupakan sebuah fungsi dengan anggota himpunan asal (domain) adalah himpunan bilangan asli dan anggota himpunan kawan (kodomain) adalah himpunan suku-suku barisan tersebut.
ISBN 978-602-19655-4-2
Sepasang kelinci dewasa melahirkan sepasang bayi kelinci hanya satu kali setiap bulan. Setiap pasang bayi kelinci membutuhkan waktu satu bulan untuk tumbuh menjadi kelinci dewasa dan kemudian melahirkan sepasang bayi kelinci lagi bulan berikutnya. Tentukan banyaknya pasangan seluruh kelinci dewasa setelah beberapa bulan jika diasumsikan setiap kelinci tidak pernah mati.
45
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Misalkan fn adalah banyaknya pasangan kelinci dewasa pada bulan ke-n dan bn adalah banyaknya pasangan bayi kelinci pada bulan ke- n . Kita asumsikan pada saat bulan ke-0 hanya ada sepasang bayi kelinci, sehingga f 0 0 . Maka berlaku f n f n 1 bn 1 . Karena bn 1 f n 2 , maka diperoleh f n f n 1 f n 2 ,
sehingga diperoleh solusi yang memenuhi adalah
r lim
n
banyaknya pasangan kelinci dewasa, f n , dan pasangan
kelinci,
bn f n
fn 1.618033 . f n 1 n 1
Selanjutnya, persamaan beda menggambarkan perubahan waktu dari suatu fenomena atau kejadian. Pada penelitian ini membahas mengenai persamaan beda yang menggambar-kan perubahan suatu waktu bergantung tepat pada kejadian sebelumnya.
Tabel 1. Banyaknya pasangan bayi kelinci, bn , total
,
sebagai fungsi dari n bulan.
n
bn
fn
bn f n
n
bn
fn
bn f n
0 1 2 3 4 5
1 0 1 1 2 3
0 1 1 2 3 5
1 1 2 3 5 8
6 7 8 9 10 11
5 8 13 21 34 55
8 13 21 34 55 89
13 21 34 55 89 144
Misalkan x n adalah banyaknya populasi pada generasi ke- n , maka banyaknya populasi pada generasi ke- n 1 , x n 1 , adalah sebuah fungsi dari generasi ke- n , yaitu x n .
x n 1 f x n . Misalkan
dari banyaknya pasangan kelinci n , pada bulan ke f n 0,1,1,2,3,5,8, , inilah yang kemudian
dibentuk sebuah barisan
disebut dengan barisan Fibonacci dan persamaan (1) dikenal sebagai fungsi rekursif untuk barisan Fibonacci.
dengan
x0 , f x0 , f
n
fn
f n f n 1
0 1 2 3 4 5 6 7
0 1 1 2 3 5 8 13
1 2 1.5 1.66667 1.6 1.625
8 9 10 11 12 13 14 15
21 34 55 89 144 233 377 610
1.61539 1.61905 1.61768 1.61818 1.61798 1.61806 1.61803 1.61804
fn n , Misalkan persamaan (1) kita peroleh
maka
dst.
Jika fungsi f pada persamaan (2) kita ganti dengan fungsi g , yaitu fungsi dari dua variabel
g : R R dengan adalah himpunan bilangan bulat tak negatif dan R adalah himpunan bilangan real, maka kita peroleh:
x n 1 g n, x n .
(3)
Kasus sederhana persamaan beda linear untuk persamaan (3), yang disebut sebagai persamaan beda linear homogen orde satu, dapat ditulis sebagai berikut:
x n 1 a n x n , x n0 x 0 , 0 n0 n ,
berdasarkan
dengan solusi
n n 1 n 2
n 1 xn ai x0 . i n0
2 1 2 1 0
ISBN 978-602-19655-4-2
x0 , f 3 x0 ,
Tabel 2: Rasio barisan Fibonacci, f n f n 1 .
f n f n 1
2
f 2 x0 f f x0 , f 3 x0 f f f x0 ,
Hal menarik dari barisan Fibonacci adalah rasio dari barisan ini yang mendekati ke suatu konstanta tertentu untuk n yang besar, sehingga barisan akan mendekati barisan Geometri dengan rasio r .
fn
(2)
x0 adalah nilai awal, maka dapat
Barisan dewasa
n
Dengan demikian,
Bilangan r 1.618033 tersebut disebut dengan golden ratio.
(1)
dengan f 0 0 dan f1 1 .
banyaknya
1 5 2 1.618033 . kita peroleh
46
(4)
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
x n 1 x n hg n, x n .
Dan persamaan beda linear tak homogen dapat ditulis sebagai berikut:
y n 1 a n y n bn , y n0 y 0 , 0 n0 n , (5)
Persamaan (7) inilah yang kemudian digunakan untuk memperoleh solusi numerik untuk menghampiri solusi persamaan diferensial yang sebenarnya.
dengan solusi n 1 n 1 n 1 yn ai y0 ai b j . j n0 i j 1 i n0
Hasil dan diskusi Hasil baru dalam penelitian ini adalah membuat alat bantu visualisasi konsep barisan dalam bentuk program sederhana (Visual Basic), dimana program ini dapat dipahami oleh siswa tingkat sekolah menengah.
Dengan asumsi bahwa a n 0 dan an dan bn adalah fungsi yang bernilai real untuk 0 n0 n . Pada persamaan diferensial, skema numerik digunakan untuk mendekati solusi dari persamaan diferensial. Skema numerik ini akan mendiskritisasi persamaan diferensial menjadi sebuah persamaan beda. Pada penelitian ini digunakan Metode Euler untuk mencari solusi numerik dari persamaan diferensial biasa orde satu.
Beberapa simulasi dibuat untuk menampilkan grafik dari beberapa contoh barisan. Pada Gambar 1 memperlihatkan plot untuk ilustrasi barisan Fibonacci, f n f n 1 f n 2 . Dapat diduga bahwa barisan ini merupakan barisan divergen. Pada Gambar 2, memperlihatkan plot untuk rasio barisan Fibonacci, f n f n 1 . Terlihat bahwa grafik
Misalkan diberikan persamaan diferensial orde satu sebagai berikut: x 't g t , xt ,
menuju suatu nilai tertentu, sehingga untuk nilai n yang sangat besar barisan Fibonacci merupakan bentuk barisan Geometri. Pada Gambar 3, memperlihatkan plot untuk persamaan beda linear homogen orde satu, x n 1 a n x n , dengan n 10 ,
(6)
dengan kondisi awal xt0 x 0 dan dalam selang
x1 5 , dan a 3 , dimana barisan monoton naik dan tak terbatas. Dan pada Gambar 4, memperlihatkan plot untuk solusi persamaan diferensial, x' t kxt , dengan k 5 , x0 2 ,
waktu t 0 t b . Diskritisasi interval
t 0 , b
dengan membagi
sebanyak N subinterval dengan ukuran yang sama, yang didefinisikan sebagai h
waktu t didefinisikan t 0 , t1 , t 2 , , t N dengan t j t 0 jh .
sehingga
x 't
h 0.01 , dan n 100 , yang memperlihatkan bahwa solusi numerik akan mendekati solusi analitik.
b t0 , N
Metode Euler akan persamaan diferensial sebagai
(7)
Dari simulasi yang telah dibuat siswa dapat mengeksplorasi pemahamannya mengenai konsep barisan beserta peranannya, dengan cara mengubah input sendiri dan membuat analisis mengenai perubahan yang terjadi pada barisan tersebut.
sebagai
mengaproksimasi
x xt h xt g t , xt , t h
sehingga diperoleh
xt h xt hg t , xt , dimana t t 0 nh untuk n 0,1,2, , N 1 , sehingga diperoleh
xt0 n 1h xt0 nh hg t 0 nh, xt0 nh . Gambar 1. Simulasi barisan Fibonacci, n = 11, , a = b = 1, f 0 0 , dan f 1 1 .
Selanjutnya, dengan mensubstitusikan xt0 nh x n diperoleh persamaan beda
ISBN 978-602-19655-4-2
47
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Kesimpulan Melalui visualisasi dengan menggunakan media komputer dari simulasi konsep barisan yang telah dibuat, siswa dapat mengeksplorasi kemampuannya mengenai barisan sehingga siswa mengetahui macam-macam bentuk barisan dan kekonvergenannya. Berbagai macam bentuk barisan dengan pola atau aturan yang kompleks membuat siswa mengetahui bahwa barisan tidak hanya terbatas pada barisan Aritmatika dan barisan Geometri saja. Gambar 2. Simulasi rasio barisan Fibonacci, n 11 , a b 1 , dan f 0 f 1 1 .
Referensi [1] Dunlap, Richard A., “The Golden Ratio and Fibonacci Numbers”, World Scientific Publishing Co.Pte.Ltd., London, (1997). [2] Elaydi, Saber, “An Introduction to Difference Equations Third Edition”, Springer Science+Business Media, Inc., USA, (2005). [3] Kelley, Walter G. and Allan C. Peterson, “Difference Equations An Introduction with Applications”, 2nd Edition, Academic Press, USA, (2001). [4] Mathews, John H., “Numerical Methods for Mathematics, Science, and Engineering”, 2nd Edition, Prentice Hall, Inc., USA, (1987). [5] Suryantoro, FI. Sigit, “Visual Basic 2010 Programming”, Wahana Komputer, Semarang, (2012). [6] Zak, Diane, “Programming With Microsoft Visual Basic 2010”, Course Technology, Boston, USA, (2012).
Gambar 3. Simulasi persamaan beda linear homogen orde satu, n 10 , x1 5 , dan a 3 .
Anjani Kusumaningsih* Program Studi Magister Pengajaran Matematika Institut Teknologi Bandung
[email protected]
Agus Yodi Gunawan KK Matematika Industri dan Keuangan Institut Teknologi Bandung
[email protected]
Gambar 4. Simulasi solusi persamaan diferensial, x't kxt , dengan k 5 , x0 2 , h 0.01 , dan
*Corresponding author
n 100 .
ISBN 978-602-19655-4-2
48
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Analisis Keterkaitan Kecerdasan Majemuk Terhadap Kemampuan Berpikir Kritis Siswa SMA Setelah Diterapkan Pembelajaran Berbasis Kecerdasan Majemuk Aprianti Opi Ceisar*, Winny Liliawati, dan Judhistira Aria Utama Abstrak Siswa SMA cenderung memiliki pemahaman yang rendah mengenai materi astronomi. Salah satu penyebabnya adalah kegiatan belajar mengajar yang berlangsung di kelas belum dapat menumbuhkan minat siswa untuk mempelajari astronomi. Sebagian besar Guru mengalami kesulitan dalam mengajarkan materi astronomi, padahal materi astronomi sangat penting untuk dipelajari dan digali potensinya karena astronomi memiliki daya tarik yang sangat kuat sehingga dapat menumbuhkan minat siswa untuk mempelajari sains. Untuk menumbuhkan minat siswa dalam belajar dapat dilakukan dengan menciptakan kegiatan belajar mengajar yang menyenangkan, sesuai dengan kebutuhan, dan tepat sasaran. Menurut Howard Gardner, setiap individu memiliki kecerdasan yang kompleks dan beragam. Setiap individu memungkinkan untuk dapat memiliki lebih dari satu jenis kecerdasan. Untuk mengetahui profil kecerdasan yang dikemukakan oleh Howard Gardner dapat dilakukan dengan mengisi angket profil kecerdasan majemuk yang diadaptasi dari angket kecerdasan majemuk Thomas Amstrong. Pembelajaran berbasis kecerdasan majemuk merupakan suatu pembelajaran yang menggabungkan aspek-aspek kecerdasan majemuk dengan materi yang akan diajarkan, yaitu materi astronomi. Keterkaitan antara kecerdasan majemuk dengan kemampuan berpikir kritis siswa dapat terlihat di dalam kegiatan belajar mengajar yang dapat ditinjau langsung dengan lembar observasi aktivitas kecerdasan majemuk dan lembar observasi aktivitas kemampuan berpikir kritis. Untuk dapat lebih mengetahui keterkaitan antara kecerdasan majemuk dengan kemampuan berpikir kritis siswa, pada tahap akhir pembelajaran dilakukan test kemampuan berpikir kritis siswa yang terdiri dari beberapa sub-kemampuan berpikir kritis siswa. Dalam pembelajaran ini, siswa benar-benar dituntut untuk berperan aktif, karena aktivitas siswa dalam kegiatan belajar mengajar sangat mempengaruhi hasil penelitian yang diperoleh. Kata-kata kunci: Kecerdasan Majemuk, Berpikir Kritis, Astronomi. kecerdasan majemuk diharapkan dapat membuat siswa lebih tertarik dan antusias dalam kegiatan pembelajaran sehingga akan berpengaruh pada kemampuan memahami materi yang diajarkan. Pada tahapan selanjutnya, peneliti menganalisis keterkaitan kecerdasan majemuk yang dimiliki oleh siswa terhadap kemampuan berpikir kritis siswa setelah diterapkan pembelajaran berbasis kecerdasan majemuk.
Pendahuluan Siswa SMA cenderung memiliki pemahaman yang rendah mengenai materi astronomi. Salah satu penyebabnya adalah kegiatan belajar mengajar yang terkesan seadanya. Hal tersebut sesuai dengan penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa sebagian besar Guru kesulitan dalam mengajarkan materi Astronomi di sekolah (Winny, 2008 dalam Taufik Ramlan et al., 2009). Sebagian besar Guru mengalami kesulitan dalam mengajarkan materi astronomi karena dampak dari perubahan kurikulum 2006 (KTSP) yang kembali menggabungkan materi astronomi ke dalam mata pelajaran geografi dengan proporsi yang jauh lebih sedikit jika dibandingkan dengan materi kebumian.
Teori Teori kecerdasan majemuk merupakan salah satu perkembangan yang paling penting dan paling menjanjikan dalam dunia pendidikan. Hal tersebut selaras dengan apa yang dikatakan oleh Julia Jasmine dalam bukunya ”Mengajar dengan Metode Kecerdasan Majemuk” yang menyatakan bahwa teori kecerdasan majemuk merupakan validasi tertinggi bahwa perbedaaan individu adalah penting. Teori kecerdasan majemuk memandang bahwa kecerdasan yang dimiliki oleh setiap individu bersifat kompleks dan beragam. Dengan kata lain, setiap individu memungkinkan memiliki lebih dari satu jenis kecerdasan.
Berdasarkan hal tersebut, kami mencoba menerapkan suatu pembelajaran berbasis kecerdasan majemuk dalam materi astronomi. Teori kecerdasan majemuk merupakan suatu teori kecerdasan yang dikemukakan oleh Howard Gardner. Pembelajaran berbasis kecerdasan majemuk merupakan suatu pembelajaran yang menggabungkan aspek-aspek kecerdasan majemuk dengan materi astronomi yang akan diajarkan. Penerapan pembelajaran berbasis
ISBN 978-602-19655-4-2
Howard Gardner menyatakan delapan jenis kecerdasan yang mungkin di miliki oleh setiap 49
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
berperan aktif di dalam kegiatan pembelajaran. Sebagai contoh, pada tahap aktivitas kecerdasan musikal, Guru menyajikan beberapa lagu dan video mengenai Tata surya. Pada tahap aktivitas kecerdasan kinestesis, siswa membuat pemodelan tata surya secara sederhana, dan sebagainya.
individu, diantaranya: kecerdasan VerbalLinguistik; kecerdasan Logis-Matematis; kecerdasan Visual-Spasial; kecerdasan Kinestetik; kecerdasan Musikal; kecerdasan Interpersonal; kecerdasan Intrapersonal; dan kecerdasan Naturalis. Selaras dengan pernyataan Howard Gardner, Mark R. Kaser mendeskripsikan kecerdasan majemuk seperti gambar dibawah ini :
Setelah dilakukan pembelajaran berbasis kecerdasan majemuk, dilakukan analisis mengenai keterkaitan kecerdasan majemuk yang dimiliki oleh siswa terhadap kemampuan berpikir kritis siswa. Menurut Ennis (2010) berpikir kritis adalah berpikir secara rasional (beralasan) dan reflektif dengan menekankan pembuatan keputusan pada sesuatu yang harus diyakini atau dilakukan. Terdapat dua belas sub-kemampuan berpikir kritis dikelompokkan oleh Costa (1985, dalam Yuniar 2010), diantaranya: memfokuskan pertanyaan, menganalisis argumen, bertanya dan menjawab pertanyaan klarifikasi dan pertanyaan yang menantang, mempertimbangkan apakah sumber dapat dipercaya atau tidak, mengobservasi dan mempertimbangkan hasil observasi, mendeduksi dan mempertimbangkan hasil deduksi, menginduksi dan mempertimbangkan hasil induksi, membuat dan mengkaji nilai-nilai hasil pertimbangan, mendefinisikan istilah dan mempertimbangkan definisi, memutuskan suatu tindakan, berinteraksi dengan orang lain, mengidentifikasi asumsi.
Gambar 1. Kecerdasan Majemuk oleh Mark R. Kaser Berdasarkan gambar tersebut, dapat dijelaskan bahwa kecerdasan verbal-linguistik merupakan kemampuan individu dalam menggunakan bahasa baik lisan maupun tulisan secara tepat dan akurat. Kecerdasan logis-matematis merupakan kemampuan ilmiah suatu individu dalam berhitung, menggunakan angka-angka dan berpikir kritis. Kecerdasan visual-spasial merupakan kemampuan individu untuk memahami bentuk dan gambar juga kemampuan untuk menginterpretasikan dimensi ruang yang tidak dapat dilihat. Kecerdasan kinestetik kemampuan individu dalam menggunakan seluruh bagian tubuh untuk menyelesaikan masalah atau membuat sesuatu. Kecerdasan musikal merupakan kapasitas yang dimiliki oleh individu dalam memahami pola musik dan irama. Kecerdasan interpersonal berkaitan dengan kemampuan individu dalam konsep interaki dengan olang lain disekitarnya. Kecerdasan intrapersonal berkaitan dengan kemampuan yang dimiliki oleh masing-masing individu dalam hal memahami dirinya sendiri. Sedangkan kecerdasan naturalistik berkaitan dengan kemampuan individu dalam memahami alam semesta.
Untuk mengetahui kemampuan berpikir kritis yang dimiliki oleh masing-masing siswa, pada tahap akhir penelitian dilakukan post test berupa soal astronomi yang mengandung beberapa aspek kemampuan berpikir kritis. Selain itu, aspek-aspek kemampuan berpikir kritis juga digabungkan dengan kegiatan pembelajaran yang dilakukan. Sebagai contoh, aspek sub-kemampuan berpikir kritis siswa mengenai berinteraksi dengan orang lain dapat ditinjau dalam kegiatan diskusi. Hasil dan Diskusi Pada tahap awal penelitian, sebanyak 35 siswa mengisi angket profil kecerdasan majemuk yang diadaptasi dari angket kecerdasan majemuk Thomas Amstrong. Berikut ini merupakan gambaran profil kecerdasan majemuk siswa kelas X.7 SMAN di Kota Bandung.
Setiap jenis kecerdasan majemuk memiliki aspek-aspek tertentu, sehingga untuk membuat suatu pembelajaran berbasis kecerdasan majemuk diperlukan pengkajian dari masing-masing aspek kecerdasan majemuk yang kemudian dikaitkan dengan materi pelajaran dan kegiatan pembelajaran. Pembelajaran berbasis kecerdasan majemuk merupakan suatu pembelajaran yang mengupayakan penggabungan aspek-aspek kecerdasan majemuk dengan materi pembelajaran yang akan diberikan, dan menuntut siswa untuk
ISBN 978-602-19655-4-2
50
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
yang melibatkan kecerdasan musikal, terlihat dari nilai presentase yang dimiliki oleh masing-masing kelompok dengan kecerdasan majemuk yang dominan. Data presentase aktivitas kecerdasan majemuk yang dominan dapat disajikan dalam bentuk lain, seperti berikut ini :
Gambar 2. Profil Kecerdasan Majemuk. Data tersebut menunjukkan bahwa siswa memiliki jenis kecerdasan yang beragam. Hasil tersebut menunjukkan adanya beberapa siswa yang memiliki lebih dari satu jenis kecerdasan. Jenis kecerdasan yang paling dominan dimiliki oleh siswa adalah kecerdasan naturalis dengan presentase 21% sedangkan jenis kecerdasan yang paling sedikit dimiliki oleh siswa adalah kecerdasan visual-spasial dengan presentase sebesar 4%.
Gambar 3. Aktivitas Kecerdasan Majemuk. Semua kelompok kecerdasan majemuk yang dominan memiliki partisipasi yang sangan besar dalam kegiatan pembelajaran yang melibatkan kecerdasan musikal. Kelompok dengan presentase tertinggi adalah kelompok kecerdasan musikal dengan presentase sebesar 81%. Kegiatan pembelajaran yang dilakukan memang banyak menyajikan lagu-lagu dan video-video yang berhubungan dengan materi astronomi. Penyajian lagu dan video seperti ”the planets song” dan pembentukan tata surya dalam pembelajaran dirasakan besar manfaatnya. Musik dan video yang disajikan dapat merangsang kemauan siswa untuk belajar dan membantu siswa dalam memahami materi yang diajarkan. Sebagai contoh, siswa dapat lebih mudah dalam memahami karakter dari masing-masing planet melalui musik dan video yang ditayangkan.
Pada tahap selanjutnya, dilakukan pembelajaran berbasis kecerdasan majemuk. Pada tahap ini digunakan 2 jenis lembar observasi yaitu lembar observasi aktivitas kecerdasan majemuk dan lembar observasi aktivitas kemampuan berpikir kritis. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa pembelajaran berbasis kecerdasan majemuk merupakan inovasi pembelajaran yang menggabungkan karakteristik dari masing-masing aspek kecerdasan dengan materi astronomi yang akan diajarkan, sehingga pada pelaksanaannya aktivitas siswa mengenai kecerdasan majemuk dinilai melalui lembar observasi untuk mengetahui berapa besar partisipasi dan antusias siswa dalam kegiatan pembelajaran. Berikut ini tabel data mengenai aktivitas kecerdasan majemuk siswa kelas X.7 SMAN di Kota Bandung. Tabel 1. Majemuk. Kecerdasan Majemuk yang dicapai Dominan Logis Matematis Kinestetis Visual-Spasial Naturalis Interpersonal Musikal Intrapersonal Verbal-Linguistik
Presentase
Aktivitas
Selain lembar observasi aktivitas kecerdasan majemuk, pada kegiatan pembelajaran juga digunakan lembar observasi aktivitas kemampuan berpikir kritis siswa. Masing-masing sub-aspek kemampuan berpikir kritis tersebut dihubungkan dengan kegiatan pembelajaran yang akan dilaksanakan. Diperoleh presentase aktivitas kemampuan berpikir kritis sebagai berikut :
Kecerdasan
Verbal Logis - Visual Kinestetis Musikal Interpersonal Intrapersonal Naturalis Linguistik Matematis Spasial
36% 33% 27% 32% 37% 36% 44% 27%
48% 43% 33% 38% 44% 49% 36% 44%
43% 49% 35% 39% 40% 49% 42% 38%
40% 45% 50% 55% 59% 53% 50% 44%
75% 80% 75% 73% 75% 81% 67% 75%
41% 49% 61% 35% 39% 38% 63% 44%
70% 73% 67% 64% 67% 79% 67% 67%
35% 30% 17% 27% 44% 31% 50% 25%
Data tersebut menunjukkan bahwa masing-masing aspek kecerdasan majemuk terlaksana dengan persentase partisipasi siswa yang berbeda-beda dalam setiap kegiatan pembelajarannya. Antusias tertinggi siswa terjadi pada tahap pembelajaran
ISBN 978-602-19655-4-2
Gambar 4. Aktivitas Kemampuan Berpikir Kritis.
51
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
melakukan test kemampuan berpikir kritis. Kecerdasan yang dominan dimiliki oleh siswa adalah kecerdasan naturalis dengan presentase 21% dan yang terendah adalah kecerdasan visualspasial sebesar 4%. Semua kelompok memiliki presentase aktivitas kecerdasan majemuk paling tinggi pada aspek kecerdasan musikal, dengan perolehan tertinggi sebesar 81% yaitu kelompok dominan kecerdasan musikal. Aktivitas kemampuan berpikir kritis siswa dimiliki oleh kelompok visual-spasial sebesar 51%. Masingmasing siswa dalam kelompok kecerdasan tertentu memiliki presentase test kemampuan berpikir kritis yang cukup baik. Presentase terbesar dimiliki oleh kelompok dominan kecerdasan interpersonal sebesar 67% dan presentase terendah dimiliki oleh kelompok dominan kecerdasan intrapersonal sebesar 59%.
Masing-masing siswa ikut berpartisipasi dalam aktivitas kemampuan berpikir kritis. Partisipasi tertinggi berasal dari kelompok dengan kecerdasan visual-spasial yang dominan dengan presentase sebesar 51%. Setelah dianalisis, kelompok ini memiliki nilai presentase tertinggi karena dalam pembelajaran terdapat banyak kegiatan yang menampilkan video yang menuntut siswa untuk dapat mengobservasi dan mempertimbangkan hasil observasinya. Masingmasing sub-aspek kemampuan berpikir kritis memiliki proporsi yang berbeda-beda pada setiap pertemuannya karena disesuaikan dengan materi yang diajarkan. Setelah dilaksanakan kegiatan pembelajaran, tahap akhir dari penelitian ini adalah tahap tes kemampuan berpikir kritis. Soal dengan 6 aspek kemampuan berpikir kritis dibuat dalam 31 soal pilihan ganda, dan diperoleh hasil sebagai berikut :
Referensi [1] W. Liliawati dan D. Herdiwijaya, “Analisis Kebutuhan Astronomi Terintegrasi Berbasis Kecerdasan Majemuk (TKM) untuk Membekalkan Literasi Astronomi. Bandung”, Prosidings Seminar Himpunan Astronomi Indonesia, (2011). [2] Muhammad Yaumi, “Pembelajaran Berbasis Multiple Intelligences”, Jakarta, Dian Rakyat, cetakan pertama, (2012) [3] Yuniar, Ratna. 2010. Keterampilan Berpikir Kritis. Online : http://fisikasmaonline.blogspot.com/2010/12/keterampilanberpikir-kritis.html, diakses 23 Mei 2012 09:03 pm.
Gambar 5. Kemampuan Berpikir Kritis. Masing-masing siswa dalam kelompok kecerdasan tertentu memiliki presentase test kemampuan berpikir kritis yang cukup baik. Presentase terbesar dimiliki oleh kelompok dominan kecerdasan interpersonal sebesar 67% dan presentase terendah dimiliki oleh kelompok dominan kecerdasan intrapersonal sebesar 59%. Kelompok dominan kecerdasan intrapersonal memiliki presentase yang kecil karena pada proses pembelajaran, kelompok ini pun memiliki presentase aktivitas yang kecil. Sementara itu, presentasi yang tinggi dimiliki oleh kelompok dominan kecerdasan interpersonal karena menurut mereka materi yang diberikan cukup dapat dipahami dengan mudah, meskipun nilai presentasi aktivitas kelompok ini tidak terlalu besar hanya sebesar 45%.
Aprianti Opi Ceisar* Jurusan Pendidikan Fisika Universitas Pendidikan Indonesia
[email protected] Winny Liliawati Jurusan Pendidikan Fisika Universitas Pendidikan Indonesia
[email protected] Judhistira Aria Utama Jurusan Pendidikan Fisika Universitas Pendidikan Indonesia
[email protected] *Corresponding author
Kesimpulan Untuk mengetahui keterkaitan antara kecerdasan majemuk dan kemampuan berpikir kritis siswa, peneliti menggunakan angket kecerdasan majemuk, melaksanakan pembelajaran berbasis kecerdasan majemuk dengan meninjau aktivitas kecerdasan majemuk dan aktivitas kemampuan berpikir kritis, kemudian
ISBN 978-602-19655-4-2
52
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3 - 4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Rancang Bangun Instrumen Akuisisi Data Temperatur Menggunakan IC LM35DZ dan Mikrokontroler ATMEGA8535 Berbasis Perangkat Lunak LabVIEW Arsul Rahman*, Hendro, dan Neny Kurniasih
Abstrak Telah dibuat instrumen akuisisi data temperatur dengan menggunakan sebuah komputer. Sistem instrumen ini terdiri dari perangkat keras dan perangkat lunak. Sistem perangkat keras yang dimaksud adalah sensor temperatur LM35DZ, pengkondisi sinyal, mikrokontroler ATMEGA8535, dan sebuah komputer. Sedangkan perangkat lunak yang digunakan untuk mengolah dan memperagakan hasil pengukuran adalah berbasis LabVIEW. Informasi temperatur ditampilkan dalam bentuk digital, analog, dan grafik secara real time. Kelebihan lain dari instrumen ini ialah data temperatur dapat disimpan ke dalam format file. Berdasarkan analisis data, instrumen ini memiliki spesifiaksi akurasi 99,6 %, presisi 0,1C, resolusi 0,1C, dan sensitivitas 50 mV/C, dengan jangkauan pengukuran 0C – 100C. Kata-kata kunci: temperatur, akuisisi data temperatur, mikrokontroler, sensor temperatur menampilkan besaran temperatur, menampilkan grafik temperatur terhadap waktu secara real time, melakukan proses pencuplikan, dan penyimpanan data. Dalam perancangan instrumen ini dibatasi hanya menggunakan satu masukan (input) temperatur.
Pendahuluan Salah satu besaran fisis di alam adalah temperatur. Temperatur sering digunakan dalam penelitian baik di bidang ilmu fisika, kimia, biologi dan ilmu lainnya. Seiring dengan kemajuan teknologi, alat ukur temperatur mulai menggunakan sistem akuisisi data. Sistem akuisisi data merupakan sistem instrumentasi elektronik yang terdiri dari sejumlah elemen yang secara bersama-sama bertujuan melakukan pengukuran, menyimpan, dan mengolah hasil pengukuran. Secara sederhana, sistem akuisisi data terdiri dari sensor, perangkat keras akusisi data, dan sebuah komputer [1]. Jika dibandingkan dengan pengukuran konvensional, sistem akuisisi data berbasis komputer dapat melakukan pengolahan, visualisasi, dan penyimpanan data pengukuran [2]. Salah satu perangkat lunak yang dapat digunakan dalam membuat sistem akuisisi data berbasis komputer yang cukup terkenal adalah LabVIEW. Perangkat lunak ini dibuat oleh perusahaan National Instrument (NI). Dengan memakai pemrograman ini pembuatan program instrumen akuisisi data menjadi lebih mudah dan cepat. Perusahaan National Instrumen juga memproduksi perangkat keras akuisisi data. Namun harganya mahal sehingga menyulitkan untuk kegiatan eksperimental dalam penelitian yang bersifat mandiri. Penelitian tentang akuisisi data yang berhubungan dengan LabVIEW sebenarnya telah pernah dilakukan oleh Didik K, Katherin I [3], namun masih pada tahap perancangan sistem perangkat keras akuisisi data.
Pada Gambar 1 sensor temperatur yang digunakan dengan tipe LM35DZ. Sensor temperatur ini memiliki keistimewaan yaitu memiliki sensitivitas linear sebesar 10 mV/oC dan jangkauan maksimal operasi temperatur antara 55oC sampai +150oC [4]. Pada penelitian ini tegangan keluaran sensor ini dijadikan sebagai temperatur referensi.
Pada penelitian ini dilakukan suatu perancangan sistem instrumen akuisisi data temperatur yang cukup murah dan memiliki fungsi umum. Fungsi umum tersebut antara lain dapat
Mikrokontroler adalah sebuah terintegrasi yang di dalamnya mikroprosesor, memori, port I/O, dan lainnya. Dalam penelitian ini
ISBN 978-602-19655-4-2
Teori Untuk membuat instrumen ini, maka beberapa elemen atau komponen dan rangkaian elektronika harus diintegrasikan agar dapat saling berhubungan satu dengan yang lain melakukan suatu kerja sehingga tujuan atau fungsi sistem tercapai. Secara keseluruhan diagram blok instrumen ini ditunjukkan pada Gambar 1 berikut : Program LabVIEW
Program ADC
sensor temperatur
pengkondisi Sinyal
ADC mikrokontroler ATMEGA8535 USART
komputer
Serial Com
Gambar 1. Diagram blok sistem akuisisi data dengan komputer.
53
rangkaian terkoneksi peripheral digunakan
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3 - 4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
rentang skala temperatur yang dibuat adalah 0oC sampai 100 oC dimana ketika temperaturnya 100 o C tegangan keluaran sensor sebesar 1000 mV, maka penguatan rangkaian pengkondisi sinyal harus diatur sebesar 5 kali.
mikrokontroler keluarga AVR tipe ATMEGA8535. Salah satu kelebihan dari mikrokontroler ini adalah telah terintegrasi dengan rangkaian ADC (Analog to Digital Converter) dan memiliki USART yang telah terprogram untuk komunikasi serial dengan interface lain. Dalam penelitian ini jumlah pin dari port ADC yang digunakan hanya satu pin karena sensor temperatur yang digunakan hanya satu.
Untuk mengolah dan menampilkan data yang dikirimkan oleh mikrokontroler digunakan program perangkat lunak LabVIEW. Program LabVIEW tersebut terdiri dari jendela Block Diagram dan jendela Front Panel.,
Agar ADC mikrokontroler ATMEGA8535 dapat bekerja, maka dibuat alur program ADC seperti ditunjukkan pada Gambar 2. Mulai
Inisialisasi port A, ADC, USART
Baca sensor temperatur
Gambar 4. Jendela Block Diagram. Konversi ADC
N
Konversi ADC selesai Y Baca data digital hasil konversi
Kirim data digital ke komputer
Gambar 5. jendela Front Panel. Selesai
Perancangan program LabVIEW dibagi atas beberapa bagian. Pertama, program komunikasi serial yang berfungsi untuk membuka komunikasi data dengan mikrokontroler, Kedua, program konversi ADC ke temperatur, Ketiga, program indikator, terdiri atas penampil besaran temperatur dalam mode digital dan analog, penampil grafik temperatur terhadap waktu, dan penampil temperatur maksimum dan minimum. Program yang terakhir adalah program kontrol, terdiri atas program penyimpanan data, program pengatur temperatur maksimum-minimum dan program pencuplikan data.
Gambar 2. Alur kerja pemrograman mikrokontroler ATMEGA8535. Untuk membuat program ADC mikrokontroler dari gambar 2 dalam penelitian ini digunakan perangkat lunak CodeVision AVR. Sinyal keluaran dari sensor temperatur harus disesuaikan dengan kebutuhan input ADC mikrokontroler. Untuk menyesuaikannya dibuat rangkaian pengkondisi sinyal (Signal Conditioning). Skema rangkaiannya ditampilkan pada Gambar 3. VCC
VCC 1K5
1 2 3
10K
3
8 +
2 - LM358 4
LM35DZ
150K
Dalam penelitian ini program LabVIEW tidak memberikan perintah kepada mikrokontroler, tetapi hanya menerima input data dari mikrokontroler
150K
1
vo
300 nF 0,1 F
Agar program LabVIEW dapat mengkonversi data keluaran ADC menjadi besaran temperatur maka dibuat persamaan konversinya. Persamaan konversi ini diperoleh melalui eksperimen menggunakan medium air dan es dengan cara mencatat temperatur yang diperoleh dari sensor temperatur yang dimulai dari 0 oC sampai mencapai titik didih air dan secara bersamaan mencatat data keluaran ADC di komputer. Dari hubungan data keluaran ADC (dADC) terhadap temperatur keluaran sensor (Ts) dapat ditentukan persamaan konversinya melalui grafik. Dalam
R2 =10K
R1 = 2K
Gambar 3. Rangkaian pengkondisi sinyal. Pada Gambar 3, besar penguatan bergantung pada tegangan maksimum masukan ADC sebesar 5 V. Karena dalam rancangan instrumen ini,
ISBN 978-602-19655-4-2
54
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3 - 4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
menggunakan program LabVIEW diperlihatkan pada Gambar 7.
aplikasinya persamaan konversi tersebut dimasukan ke dalam program LabVIEW untuk diolah menjadi besaran temperatur yang ditampilkan melalui monitor komputer. Selanjutnya adalah melakukan karakterisasi instrumen. Karakterisasi instrumen terdiri atas beberapa bagian. Pertama membuat grafik dari pengukuran temperatur yang diperoleh dari monitor komputer/instrumen (Tins) terhadap temperatur keluaran dari sensor (Ts) secara bersamaan. Kedua, menentukan besaran spesifikasi instrumen yang dibuat. Besaran spesifikasi tersebut terdiri dari besaran presisi, akurasi, resolusi dan sensitivitas. Penentuan besaran presisi dan akurasi dilakukan dengan mengukur temperatur yang ditampilkan di monitor komputer secara berulang. Besaran presisi diketahui dari hasil perhitungan kesalahan mutlak temperatur (ST) menggunakan program aplikasi Microsoft Excel. Untuk besaran akurasi diperoleh dari perhitungan kesalahan relatif temperatur yang ditampilkan di monitor komputer dengan menggunakan persamaan : S Kesalahan relatif T x 100 % . T
Gambar 7. Tampilan instrumen akuisisi data temperatur menggunakan program LabVIEW. Hasil pengukuran hubungan antara data keluaran ADC (dADC) terhadap temperatur yang diperoleh dari keluaran sensor temperatur (Ts) ditampilkan melalui Gambar 8 berikut.
(1)
Besaran resolusi diperoleh dari perbandingan antara rentang skala temperatur dari instrumen yang dibuat sebesar 100oC terhadap resolusi ADC mikrokontroler ATMEGA8535 sebesar 10 bit. Sedangkan besaran sensitivitas ditentukan dengan mengukur tegangan yang dimasukkan ke ADC (vinADC) terhadap temperatur yang ditampilkan di monitor komputer (Ts). Kemudian dibuat grafik hubungan antara tegangan temperatur di monitor komputer terhadap tegangan yang dimasukkan ke ADC. Selanjutnya menentukan persamaan grafiknya.
Gambar 8. Grafik hubungan dADC - Ts. Pada Gambar 8 diperoleh persamaan grafik seperti ditunjukkan pada Persamaan (2). d
ADC
(2)
Persamaan (2) dapat dituliskan ke dalam bentuk Persamaan (3) yang merupakan persamaan konversi.
Hasil dan Diskusi T s
Dari hasil perancangan perangkat keras akuisisi data temperatur diperoleh rangkaian seperti Gambar 6.
d
1,89 ADC . 10,14
(3)
Hasil pengujian temperatur yang ditampilkan di monitor komputer (Tins) terhadap temperatur keluaran dari sensor temperatur (Ts) diperlihatkan pada Gambar 9.
Gambar 6. Rangkaian perangkat keras akuisisi data.
Gambar 9. Grafik karakterisasi Tins - Ts.
Sedangkan hasil perancangan program perangkat lunak akusisi data temperatur ISBN 978-602-19655-4-2
10,14T 1,89 . s
55
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3 - 4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Dari grafik pada Gambar 9 diperoleh hubungan dari kedua variabel yang dituliskan pada persamaan (4). T 1,000T 0,055 . ins s
(4)
Pengujian karakterisasi instrumen diperoleh hasil antara lain : Pengujian tingkat presisi dari instrumen di tampilkan melalui Gambar 10. Gambar 12 Grafik hubungan antara Tins – vin ADC Pada Gambar 12 diperoleh persamaan seperti dituliskan melalui Persamaan (5). 20,14v 0,126 . T ins in ADC
(5)
Pada Persamaan (5) diperoleh sensitivitas instrumen adalah 20,14C/V 20C/V. Nilai besaran sensitivitas tersebut dapat dituliskan dalam bentuk lain yaitu 0,02C/mV atau 50 mV/ C. Kesimpulan
Gambar 10. Grafik kesalahan mutlak pengukuran temperatur melalui instrumen.
Instrumen akuisisi data temperatur dengan menggunakan komputer, sensor temperatur IC LM35DZ, mikrokontroler ATMEGA8535, serta perangkat lunak LabVIEW, diperoleh hasil pengukuran dengan akurasi 99,4 %, presisi 0,1 C, resolusi 0,1 C, dan sensitivitas 50 mV/C atau 5 mV/0,1C dengan jangkauan pengukuran 0C sampai 100C.
Pada Gambar 10 diketahui bahwa kesalahan mutlak terkecil sebesar 0oC saat temperatur 0 oC dan kesalahan mutlak terbesar adalah 0,195 oC saat temperatur 36,0 oC. Hasil perhitungan kesalahan mutlak rata-rata 0,036 C, sehingga dapat diketahui bahwa tingkat kepresisian instrumen ini sebesar ± 0,095 C ± 0,1 C. Hasil pengujian tingkat akurasi instrumen ditampilkan melalui Gambar 11 berikut.
Ucapan terima kasih Penulis mengucapkan terima kasih kepada Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah yang telah memberikan bantuan beasiswa selama pendidikan berlangsung. Referensi [1] Larsen, “LabVIEW for Engineers”, Holly Stark (editor), Penerbit Prentice Hall, New Jersey, p.142, (2011). [2] National Instruments, ”What Is Data Acquisition”, http://www.ni.com/dataacquisition/what-is/. [accessed 28 June 2013] [3] D. Kusanto, K. Indriawati, "Perancangan Sistem Akuisisi Data Sebagai Alternatif Modul DAQ LabVIEW Menggunakan Mikrokontroler ATMEGA8535", URI http://digilib.its.ac.id/public/ITSUndergraduate-12713-Paper.pdf [accessed 28 June 2013] [4] Afrie S, “20 Aplikasi mikrokontroler ATMEGA8535 & ATMEGA16 menggunakan BASCOM-AVR”, Penerbit Andi, Yogyakarta, p. 41, (2011).
Gambar 11. Grafik Kesalahan relatif pengukuran temperatur menggunakan instrumen. Pada Gambar 11 terlihat kesalahan relatif terendah adalah 0 % pada temperatur 0C, dan kesalahan relatif tertinggi adalah 4,7 % pada temperatur 2C. Hasil perhitungan kesalahan relatif rata-rata diperoleh 99,56 %, sehingga dapat diketahui bahwa tingkat akurasi instrumen ini adalah 99,6 %. Dari hasil perhitungan diperoleh pula tingkat resolusi instrumen sebesar 0,1 C. Untuk hasil pengukuran sensitivitas ditampilkan melalui grafik seperti ditunjukkan pada Gambar 12.
ISBN 978-602-19655-4-2
56
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3 - 4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Arsul Rahman*
Hendro KK Fisika Teori Energi Tinggi dan Instrumentasi Program Studi Fisika FMIPA – ITB e-mail :
[email protected] Neny Kurniasi KK Fisika Bumi dan Sistem Kompleks Program Studi Fisika FMIPA – ITB e-mail :
[email protected] * Correspondens author
ISBN 978-602-19655-4-2
57
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Profil Motivasi dan Tingkat Partisipasi Mahasiswa Calon Guru Fisika dalam Pembuatan Instrumen Soal Pilihan Ganda dan Esei Asep Sutiadi*, Dadi Rusdiana, Andi Suhandi, dan Nuryani R. Rustaman
Abstrak Tujuan penulisan ini mendeskripsikan dan menganalisis profil motivasi dan tingkat partisipasi mahasiswa calon guru fisika dalam pembuatan instrumen soal pada perkuliahan Evaluasi Pembelajaran Fisika (EPF). Subyek penelitian deskriptif ini melibatkan seluruh mahasiswa yang mengikuti perkuliahan EPF semester ganjil 2012/2013, yaitu 15 orang. Perkuliahan dirancang berbentuk workhshop. Data dikumpulkan menggunakan kuisioner model Glynn dan Koballa, kemudian diolah menggunakan kriteria persentase. Hasil analisis menunjukkan bahwa (i) profil pencapaian motivasi calon guru fisika dalam membuat instrumen soal pilihan ganda dan esei berkatagori sedang; (ii) profil partisipasinya juga berkatagori sedang, (iii) kemampuan mahasiswa dalam membuat instrumen soal PG termasuk katagori tinggi, sedangkan kemampuan membuat instrumen soal esei termasuk sedang; (iv) motivasi dan tingkat partisipasi mahasiswa berkecenderungan kuat dan berpengaruh positif terhadap kemampuan membuat instrumen soal PG dan esei. Kata-kata kunci: Motivasi, tingkat partisipasi, calon guru fisika, instrumen soal. Pendahuluan
Metode Penelitian
Tujuan matakuliah Evaluasi Pembelajaran Fisika (EPF) adalah membekali calon guru fisika untuk memiliki kemampuan dalam merancang dan membuat instrumen penilaian [1]. Faktor penentu untuk mencapai keberhasilan tujuan dalam perkuliahan EPF bukan hanya dari faktor dosen saja, tetapi dibutuhkan partisipasi [2] dan motivasi [3] mahasiswa calon guru fisika sebagai pebelajar. Motivasi merupakan sesuatu yang dibutuhkan untuk melakukan aktivitas [4]. Hal lainnya yang dibutuhkan dalam proses belajar adalah partisipasi aktif pebelajar dalam setiap tahapan proses belajar [5,6].
Penelitian deskriptif-analisis ini melibatkan seluruh mahasiswa yang sedang mengikuti perkuliahan Evaluasi Pembelajaran Fisika (EPF) semester ganjil 2012/2013, yaitu sebanyak 15 orang. Subyek penelitian terdiri dari 11 orang lakilaki dan 4 orang wanita yang kesemuanya sudah menyelesaikan matakuliah prasyarat. Calon guru fisika tersebut dilatihkan tentang cara-cara menulis soal dalam bentuk pilihan ganda dan bentuk esei. Sebelumnya mahasiswa juga diperkenalkan dengan karakteristik dan teknik pembuatan soalsoal bentuk pilihan ganda dan esei. Kegiatan perkuliahan dirancang dalam bentuk workshop [1]. Data motivasi dikumpulkan menggunakan kuisioner motivasi hasil rancangan Glynn dan Koballa (2006), terdiri dari 4 skala jawaban, yaitu sangat kuat, kuat, lemah, dan sangat lemah. Jumlah item kuisioner adalah 30 item pernyataan. Kuisioner terbagi menjadi lima faktor, yaitu faktor 1 intrinsic motivation and personal relevance (10 item); faktor 2 self efficacy and assessment anxiety (9 item); faktor 3 self determination (4 item); faktor 4 career motivation (2 item); dan faktor 5 grade motivation (5 item). Pernyataan unfavourable terdapat pada faktor 3 sebanyak 5 item.
Calon guru fisika diharapkan ketika mengikuti perkuliahan EPF, cukup termotivasi [7] dan berpartisipasi aktif [8]. Dua faktor tersebut yang akan menjadi pembeda setelah lulus nanti. Motivasi yang lebih baik dalam belajar akan menunjukkan hasil yang baik [9]. Motivasi merupakan kekuatan, baik dari dalam maupun dari luar yang mendorong seseorang untuk mencapai tujuan tertentu yang telah ditetapkan sebelumnya [10]. Keaktifan pebelajar ditunjukkan dengan partisipasinya. Keaktifan itu dapat terlihat dari beberapa perilaku misalnya mendengarkan, mendiskusikan, membuat sesuatu, menulis laporan, dan sebagainya [3]. Jerrold [2] berpendapat bahwa partisipasi dapat diwujudkan dengan berbagai hal, diantaranya (a) keaktifan pebelajar di dalam kelas. Misalnya aktif mengikuti pelajaran, memahami penjelasan, bertanya, mampu menjawab pertanyaan dan sebagainya. (b) kepatuhan terhadap norma belajar. Misalnya mengerjakan tugas sesuai dengan perintah, datang tepat waktu, memakai pakaian sesuai dengan ketentuan, dan sebagainya.
ISBN 978-602-19655-4-2
Data terkait partisipasi juga dikumpulkan menggunakan kuisioner, yang terbagi menjadi tiga kelompok pernyataan, yaitu partisipasi kelas secara individual, partisipasi dalam diskusi kelompok, dan pernyataan bebas tentang kegiatan apasaja yang biasa dilakukan selama perkuliahan. Jawaban kuisioner partisipasi kesatu dan kedua terdiri dari empat skala jawaban, yaitu selalu, sering, kadang-kadang, dan tidak pernah. Data kuisioner dianalisis menggunakan kriteria
58
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
persentase. Butir soal buatan calon guru fisika dianalisis dengan menggunakan kaidah analisis butir soal yang dibuat oleh Direktorat Pengembangan SMA tahun 2010 yang terdiri dari aspek materi, konstruksi dan bahasa/budaya. Masing-masing aspek analisis butir soal tersebut dikembangkan lagi menjadi 18 kriteria untuk analisis butir soal PG dan 13 kriteria untuk analisis butir soal esei. Gambar 2. Capaian lima faktor motivasi.
Hasil dan diskusi
Secara garis besar komponen yang terkait motivasi adalah intrinsik dan ekstrinsik. Namun kedua komponen tersebut dapat diperluas. Sebagai contoh Personal Relevance bisa merupakan intrinsik jika pebelajar telah menetapkan tujuannya sebelum pembelajaran. Tapi jika pebelajar menetapkannya setelah melihat pebelajar lain, maka termasuk ekstrinsik. Self determination, career motivation dan grade motivation merupakan bagian dari intrinsik, karena pebelajar berkewajiban bertanggung jawab dalam hasil pembelajarannya. Self efficacy bisa merupakan intrinsik jika peserta didik memang telah memiliki kepribadian percaya diri pada setiap kondisi. Tapi bisa menjadi ekstrinsik jika ia memiliki percaya diri akibat dari pengaruh luar, misalnya ia merasa yang paling pintar daripada peserta didik yang lain. Anxiety bisa dirasakan peserta didik dari dalam (intrinsik) jika ia merasa tidak bisa mengikuti pelajaran. Tapi bisa menjadi ektrinsik jika ia melihat peserta didik yang lain lebih baik dalam pelajaran dibandingkan dengannya.
Profil Motivasi Rerata capaian motivasi calon guru fisika dalam proses pembuatan instrumen soal pilihan ganda dan esei adalah 76,50% dan ini masuk katagori sedang. Pengelompokkan kriteria motivasi responden menjadi motivasi tinggi, sedang dan rendah dapat dilihat pada gambar 1. Berdasarkan gambar 1 diperoleh fakta bahwa responden mengelompok pada kelompok motivasi sedang.
Gambar 1. Capaian tingkat motivasi.
Profil Partisipasi
Berdasarkan jenis kelamin diproleh informasi bahwa rerata capaian motivasi perempuan lebih tinggi dari capaian motivasi laki-laki, yaitu 81% berbanding 75%. Namun keduanya berada pada katagori sedang.
Rerata capaian partisipasi calon guru fisika dalam proses pembuatan instrumen soal pilihan ganda dan esei adalah 65,30% dan ini masuk katagori sedang. Pengelompokkan kriteria partisipasi responden berdasarkan item partisipasi yang diamati pada tabel 1.
Instrumen motivasi rancangan Glynn dan Koballa (2006) tersusun atas 5 faktor, yaitu (i) Faktor 1 motivasi instrinsik dan tujuan pribadi belajar (intrinsic motivation and personal relevance); (ii) Faktor 2 kepercayaan diri dan kecemasan penilaian (self efficacy and assessment anxiety); (iii) Faktor 3 penentuan nasib sendiri (self determination); (iv) Faktor 4 motivasi kerja (career motivation); dan (v) Faktor 5 motivasi berprestasi (grade motivation). Profil capaian kelima faktor motivasi ditampilkan pada gambar 2.
ISBN 978-602-19655-4-2
Berdasarkan tabel 1 diperoleh fakta bahwa partisipasi responden dalam perkuliahan EPF masih didominasi dengan hanya mendengarkan (85%). Partisipasi dalam bentuk mengajukan pertanyaan muncul 68%, mengorganisasikan ide 65%, dan ikut serta aktif mengorganisasi kelompok 58%. Namun mahasiswa juga mengakui bahwa mereka sering kacaukan suasana diskusi (43%), melamun (43%), dan mengajukan topik lain di luar yang sedang dibahas (38%).
59
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
bahwa profil partisipasi memiliki rerata lebih kecil dibandingkan dengan rerata profil motivasinya. Dengan kata lain motivasi individual mahasiswa lebih baik baik daripada tingkat partisipasinya.
Tabel 1. Tingkat partisipasi mahasiswa. Jenis Partisipasi
Persentase
Mendengarkan Ajukan pertanyaan
85 68
Mengorganisasi ide Mengorganisasi kelompok Kacaukan kegiatan Melamun Ajukan topik lain
65 58 43 43 38
Apa yang dilakukan mahasiswa calon guru fisika saat berdiskusi untuk membuat instrumen soal PG dan esei? Fakta yang teramati masih menunjukkan fenomena baik, yaitu dibuktikan dengan masih mengusulkan ide (72%), berpendapat terhadap topik yang dibahas (85%), dan tetap fokus berdiskusi hingga diperoleh kesepakatan (83%). Namun pada saat harus melaporkan hasil diskusi mahasiswa calon guru langsung sibuk masing-masing (77%).
Gambar 4. Motivasi dan partisipasi mahasiswa. Profil capaian tingkat motivasi, partisipasi, kemampuan membuat soal PG, dan kemampuan membuat soal esei ditampilkan pada gambar 5. Berdasarkan Gambar 5 terlihat bahwa rerata capaian motivasi 76,50% dan rerata capaian partisipasi mahasiswa 65,30%. Capaian rerata kemampuan membuat soal PG 80,71% dan kemampuan membuat soal esei 72,02% [1].
Ketika mahasiswa ditanya terkait kegiatan apa saja yang biasa mereka lakukan selain yang ditanyakan dalam kuisioner, maka deskripsinya ditampilkan pada gambar 3. Kondisi ini cukup memprihatinkan, karena jumlah anggota kelas tidak banyak dan kegiatan kuliah dirancang dalam bentuk workshop. Asumsinya setiap mahasiswa mengikuti setiap tahapan workshop. Namun masih ada yang sms-an (40%), mengerjakan tugas lain (6,67%), mengantuk (33,33%) dan ikut charge hp/laptop secara gratis (6,67%). Dikhawatirkan kondisi ini akan berpengaruh negatif terhadap pencapaian kemampuan mereka dalam merancang dan membuat instrumen penilaian prestasi belajar.
Gambar 5. Profil motivasi dan partisipasi serta kemampuan membuat instrumen. Hasil uji statistik [11] menunjukkan bahwa motivasi dan partisipasi berpengaruh terhadap kemampuan calon guru fisika dalam membuat instrumen soal PG sebesar 54%. Sedangkan kemampuan membuat instrumen soal esei secara statistik dipengaruhi oleh motivasi dan partisipasi sebesar 50%. Fakta ini sudah cukup untuk menyimpulkan bahwa tingkat motivasi dan partisipasi berkecenderungan kuat dan berpengaruh positif terhadap kemampuan calon guru fisika dalam membuat instrumen soal PG dan esei.
Gambar 3. Kegiatan mahasiswa selain mengikuti kuliah.
Kesimpulan Profil motivasi calon guru fisika dalam membuat instrumen soal bentuk PG dan esei adalah 76,50% dengan katagori sedang.
Gambaran tingkat motivasi dan tingkat partisipasi mahasiswa calon guru dalam perkuliahan EPF ketika membuat instrumen soal PG dan esei ditampilkan pada gambar 4. Terlihat
ISBN 978-602-19655-4-2
60
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
[8] Slameto, “Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya”, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta, (2010). [9] Oemar Hamalik, “Proses Belajar Mengajar”, Penerbit PT Bumi Aksara, Jakarta, (2011). [10] HB Uno, “Teori Motivasi dan Pengukurannya”, Penerbit PT Bumi Aksara, Jakarta, (2006). [11] Suharsimi Arikunto, “Prosedur Penelitian suatu Pendekatan Praktik”, Penerbit PT Rineka Cipta, Jakarta, (2006).
Profil tingkat partisipasi calon guru fisika dalam membuat instrumen soal PG dan esei adalah 65,30% dengan katagori sedang. Profil kemampuan calon guru fisika dalam membuat instrumen soal PG sebesar 80,71% dan instrumen soal esei sebesar 72,02%. Motivasi dan tingkat partisipasi berkecenderungan kuat dan berpengaruh positif terhadap kemampuan membuat instrumen soal PG sebesar 54% dan untuk soal esei 50%. Referensi [1] Asep Sutiadi, “Analisis Kemampuan Calon Guru Fisika dalam Membuat Instrumen Soal PG dan Esei”, Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Fisika 2013 (LPF 2013), 8 Juni, IKIP PGRI, Semarang, Indonesia. [2] Moh Usman dan Lilis Setiawati, “Upaya Optimalisasi Kegiatan Belajar Mengajar”, Penerbit PT Remaja Rosdakarya, Bandung, (2002). [3] AM Sardiman, “Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar”, Penerbit Rajawali, Jakarta, (1990). [4] Asri Laksmi Riani, “Dasar-Dasar Kewirausahaan”, Penerbit UNS Press, Surakarta, (2005). [5] Sri Esti, “Psikologi Pendidikan”, Penerbit Grafindo, Jakarta, (1989). [6] E. Nasution, “Teknologi Pendidikan”, Penerbit PT Bumi Aksara, Bandung, (1982). [7] Elida Prayitno, “Motivasi dalam Belajar”, Penerbit P2LPTK, Jakarta, (1989).
ISBN 978-602-19655-4-2
Asep Sutiadi* Jurusan Pendidikan Fisika Universitas Pendidikan Indonesia
[email protected]
Dadi Rusdiana Jurusan Pendidikan Fisika Universitas Pendidikan Indonesia
Andi Suhandi Jurusan Pendidikan Fisika Universitas Pendidikan Indonesia
Nuryani R. Rustaman Jurusan Pendidikan Biologi Universitas Pendidikan Indonesia
*Corresponding author
61
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Penerapan Pembelajaran Berbasis Proyek Pada Materi Daur Ulang Minyak Jelantah Assyifa Junitasari*; Cucu Zenab S; Risa Rahmawati S Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kinerja mahasiswa dalam pembelajaran berbasis proyek pada materi daur ulang minyak jelantah. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kelas. Subjek penelitian adalah mahasiswa Semester 2 Prodi Pendidikan Kimia UIN Sunan Gunung Djati Bandung yang berjumlah 90 orang. Instrumen penelitian terdiri dari deskripsi pembelajaran, rubrik penilaian proyek, lembar pemandu kegiatan. Data yang diperoleh diolah menggunakan statistik deskriptif. Berdasarkan analisis data, nilai rata-rata kinerja mahasiswa sebesar 146,8 dari skor ideal 177. Sedangkan untuk setiap tahapannnya, perencanaan proyek mencapai nilai rata-rata sebesar 26,5 dari skor ideal 40, pengerjaan proyek mencapai nilai rata-rata sebesar 22 dari skor ideal 22, penyajian hasil proyek mencapai nilai rata-rata sebesar 10,3 dari skor ideal 12, dan pengerjaan laporan proyek mencapai nilai rata-rata sebesar 80,2 dari skor ideal 100. Kata Kunci : Pembelajaran berbasis proyek, daur ulang minyak jelantah Misalnya dalam proyek menghasilkan suatu zat baru dalam praktikum, merancang alat praktikum, menyusun prosedur praktikum, dan lain-lain. Model pembelajaran berbasis proyek menyajikan lima tahapan pembelajaran. Tahap pertama adalah penyajian tugas proyek, tahap kedua adalah pengoganisasian mahasiswa untuk belajar, tahap ketiga adalah penanaman pemahaman konsep, tahap keempat adalah pembuatan dan penyajian tugas proyek, tahap kelima adalah penguatan dan tindak lanjut belajar.
Pendahuluan Kelompok mata pelajaran IPA, termasuk di dalamnya kimia, diselenggarakan di sekolah dalam rangka mengenalkan IPA secara utuh baik proses maupun produk kepada para peserta didik, begitupun di perguruan tinggi. Mata kuliah Kimia diharapkan dapat menjadi wahana bagi mahasiswa untuk mempelajari diri sendiri dan alam sekitar, serta prospek pengembangan lebih lanjut untuk penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. Mata kuliah Kimia juga merupakan salah satu mata kuliah dalam rumpun MIPA yang diharapkan dapat menjadi jembatan pengetahuan mahasiswa untuk dapat menganali lingkungan sekitarnya. Karena sebagian besar materi yang terdapat dalam kimia sangat erat hubungannya dengan kehidupan sehari-hari, sehingga setelah mahasiswa mempelajari kimia, selain menguasai dan memahami teori yang disampaikan pada perkuliahan, mahasiswa juga diharapkan dapat mengaplikasikan teori-teori tersebut kedalam kehidupan sehari-hari.
Teori Belajar berbasis proyek (project-based learning) adalah sebuah model atau strategi pembelajaran yang inovatif, yang menekankan belajar kontekstual melalui kegiatan-kegiatan yang kompleks. Fokus pembelajaran terletak pada konsep-konsep dan prinsip-prinsip inti dari suatu disiplin studi, melibatkan siswa dalam investigasi pemecahan masalah dan kegiatan tugas-tugas bermakna yang lain, memberi kesempatan siswa bekerja secara otonom mengkonstruk pengetahuan mereka sendiri, dan mencapai puncaknya menghasilkan produk nyata [1].
Hasil studi pendahuluan pada mahasiswa pendidikan kimia menunjukkan bahwa ternyata masih banyak mahasiswa yang belum mendapatkan motivasi untuk belajar. Praktikum masih dianggap sebagai tugas tambahan kuliah saja, tidak menjadikan jembatan untuk memahami suatu teori, dan ternyata masih banyak mahasiswa yang belum mendapatkan pemahaman yang mendalam bahwa teori kimia dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Pembelajaran berbasis proyek memiliki potensi yang amat besar untuk membuat pengalaman belajar yang lebih menarik dan bermakna untuk siswa usia dewasa, seperti siswa, apakah mereka sedang belajar di perguruan tinggi maupun pelatihan transisional untuk memasuki lapangan kerja [2]. Di dalam pembelajaran berbasis proyek siswa menjadi terdorong lebih aktif didalam belajar mereka, instruktut berposisi di belakang dan siswa berinisiatif, instruktur memberi kemudahan dan mengevaluasi proyek baik kebermaknaannya maupun penerapannya untuk
Salah satu model pembelajaran yang menyajikan tantangan berupa tugas proyek diawal pembelajaran adalah model Pembelajaran Berbasis Proyek (Project-Based Learning).
ISBN 978-602-19655-4-2
62
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
kelompok berkurang. Selain itu waktu pengerjaan proyek cenderung kurang cukup, sehingga mahasiswa mengerjakan proyek kurang maksimal.
kehidupan mereka sehari-hari. Produk yang dibuat siswa selama proyek memberikan hasil yang secara otentik dapat diukur oleh guru atau instruktur di dalam pembelajarannya. Oleh karena itu, di dalam Pembelajaran Berbasis Proyek, guru atau instruktur tidak lebih aktif dan melatih secara langsung, akan tetapi instruktur menjadi pendamping, fasilitator, dan memahami pikiran siswa.
Tahap perencanaan proyek adalah tahap yang termasuk kedalam fase ketiga yaitu penanaman pemahaman konsep, pada tahap ini mahasiswa dituntut untuk merencanakan secara garis besar, mengenai hal-hal yang harus diperhatikan dalam pengerjaan proyek. Pada tahap perencanaan proyek mahasiswa diberikan lembar pemandu kegiatan untuk memudahkan aktivitas pengerjaan proyek selanjutnya. Hasil tahap perencanaan proyek pada kinerja mahasiswa dalam pembelajaran berbasis proyek dapat dilihat pada Tabel 2.
Cara-cara daur ulang minyak jelantah diantaranya melalui pemanfaatan arang tempurung kelapa, tepung beras, mengkudu, lidah buaya, bawang merah dan pembuatan biodiesel dari jelantah. Hasil dan Diskusi
Tabel 2. Nilai Tahap Perencanaan Proyek
Kinerja Mahasiswa dalam Pembelajaran Berbasis Proyek dinilai pada saat pembelajaran berlangsung baik saat pertemuan tatap muka secara langsung maupun pertemuan secara mandiri, penilaian ini dicantumkan pada rubrik penilaian proyek perkelompok kerja. Pada pertemuan tatap mula ke-1 dilakukan penilaian pada tahapan perencanaan proyek, pada pertemuan tatap muka ke-2 dilakukan penilaian pada tahapan penyajian hasil proyek dan tahapan pengerjaan laporan proyek, dan pada pertemuan secara mandiri dilakukan penilaian pada tahapan pengerjaan proyek. Hasil kinerja mahasiswa dalam pembelajaran berbasis proyek dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Hasil Kinerja Mahasiswa Pembelajaran Berbaisis Proyek. No. IA IB IIA IIB IIIA IIIB IVA IVB VA VB
Skor Kinerja Mahasiswa 136 150 153 152 146 145 159 153 140 134
No. IA IB IIA IIB IIIA IIIB IVA IVA VA VB
Interpretasi
76,8 84,7 86,4 85,9 82,5 81,9 89,8 86,4 79,1 75,7
Rendah Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Tinggi Sedang Sedang Rendah
Berdasarkan Tabel 1 terlihat bahwa kinerja mahasiswa dalam pembelajaran berbasis proyek, mendapatkan nilai terendah sebesar 75,7 yaitu pada kelompok kerja VB dan nilai tertinggi sebesar 89,8 yaitu pada kelompok kerja IVA. Sedangkan nilai rata-rata keseluhan sebesar 82,9. Hal ini disebabakan karena adanya beberapa mahasiswa yang belum terbiasa dengan pembelajaran berbasis pyoyek dan ada juga beberapa mahasiswa yang tidak terbiasa belajar secara berkelompok, sehingga kerjasama antar anggota ISBN 978-602-19655-4-2
Nilai
Interpretasi
50 70 72,5 85 65 70 87,5 70 52,5 40
Rendah Sedang Sedang Tinggi Sedang Sedang Tinggi Sedang Sedang Rendah
Berdasarkan Tabel 2 terlihat bahwa tahap perencanaan proyek pada kinerja mahasiswa dalam pembelajaran berbasis proyek, kelompok kerja mahasiswa yang mendapatkan nilai terendah sebesar 40 yaitu pada kelompok kerja VB dan nilai tertinggi sebesar 87,5 yaitu pada kelompok kerja IVA. Sedangkan nilai rata-rata keseluhan sebesar 66,25. Kesulitan sebagian besar mahasiswa untuk mencapai skor ideal terdapat dalam jenis kegiatan menyusun langkah-langkah yang akan dilakukan untuk menyelesaikan proyek, kebanyakan mahasiswa tidak melampirkan sumber relevan pada kajian teori yang merupakan salah satu indikator ketercapaian kegiatan proyek, sehingga nilai yang didapatkan tidak bisa mencapai hasil sempurna, hal ini disebabkan karena mahasiswa kurang memiliki pengetahuan secara luas mengenai proyek yang dikerjakan.
dalam
Nilai
Skor Perencanaan Proyek 20 28 29 34 26 28 35 28 21 16
Tahap pengerjaan proyek adalah tahap yang termasuk kedalam fase keempat yaitu pembuatan dan penyajian tugas proyek, pada tahap ini mahasiswa dituntut untuk mengerjakan proyek secara mandiri dengan melakukan uji coba eksperimen. Karena pada tahap ini, mahasiswa melakukan pertemuan secara mandiri dengan kelompok kerja masing-masing, maka mahasiswa harus merekam seluruh kegiatan yang dilakukan dengan video, dan diserahkan kepada peneliti 63
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Tabel 4. Nilai Tahap Penyajian Hasil Proyek Skor Penyajian No. Nilai Interpretasi Hasil Proyek IA 11 91,67 Sedang IB 9 75 Rendah IIA 11 91,67 Sedang IIB 9 75 Rendah IIIA 10 83,3 Sedang IIIB 10 83,3 Sedang IVA 11 91,67 Sedang IVA 12 100 Tinggi VA 10 83,3 Sedang VB 10 83,3 Sedang
dalam jangka waktu yang telah ditentukan, untuk dilakukan penilaian. Pada tahap pengerjaan proyek mahasiswa diberikan lembar pemandu kegiatan untuk memudahkan aktivitas pengerjaan proyek selanjutnya. Hasil tahap pengerjaan proyek pada kinerja mahasiswa dalam pembelajaran berbasis proyek dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Nilai Tahap Pengerjaan Proyek. No. IA IB IIA IIB IIIA IIIB IVA IVA VA VB
Skor Pengerjaan Proyek 22 23 22 22 22 21 23 22 22 21
Nilai
Interpretasi
88 92 88 88 88 84 92 88 88 84
Sedang Tinggi Sedang Sedang Sedang Rendah Tinggi Sedang Sedang Rendah
Berdasarkan Tabel 4 terlihat bahwa tahap penyajian hasil proyek pada kinerja mahasiswa dalam pembelajaran berbasis proyek, kelompok kerja mahasiswa yang mendapatkan nilai terendah sebesar 75 yaitu pada kelompok kerja IB dan IIB dan nilai tertinggi sebesar 100 yaitu pada kelompok kerja IVB. Sedangkan nilai rata-rata keseluhan sebesar 85,8. Kesulitan sebagian besar mahasiswa untuk mencapai skor ideal terdapat dalam jenis kegiatan mempresentasikan produk proyek yang telah diuji di depan kelas dengan menggunakan media, kebanyakan mahasiswa kesulitan dalam penyampain isi materi dan kesesuaian isi materi itu sendiri yang merupakan salah satu indikator ketercapaian kegiatan proyek, sehingga nilai yang didapatkan tidak bisa mencapai hasil sempurna, hal ini disebabkan karena masih kurangnya kemampuan mahasiswa dalam berkomunikasi di depan kelas, dan kurangnya sumber relevan yang didapatkan untuk melengkapi isi materi yang disampaikan dalam presentasi.
Berdasarkan Tabel 3 terlihat bahwa tahap pengerjaan proyek pada kinerja mahasiswa dalam pembelajaran berbasis proyek, kelompok kerja mahasiswa yang mendapatkan nilai terendah sebesar 84 yaitu pada kelompok kerja IIIB dan VB dan nilai tertinggi sebesar 92 yaitu pada kelompok kerja IB dan IVA. Sedangkan nilai rata-rata keseluhan sebesar 88. Kesulitan sebagian besar mahasiswa untuk mencapai skor ideal terdapat dalam jenis kegiatan menguji kualitas produk yang telah dibuat, kebanyakan mahasiswa kesulitan dalam membandingankan kejernihan minyak jelantah awal dengam hasil daur ulang yang telah dilakukan yang merupakan salah satu indikator ketercapaian kegiatan proyek, sehingga nilai yang didapatkan tidak bisa mencapai hasil sempurna, hal ini disebabkan karena tidak adanya alat khusu untuk menguji kejernihan suatu zat misalnya sperektofotometri.
Tahap pengerjaan laporan proyek adalah tahap yang termasuk kedalam fase kelima yaitu penguatan dan tindak lanjut belajar, pada tahap ini mahasiswa dituntut untuk membuat laporan dari hasil proyek yang telah dibuat dan telah diperbaiki setelah melakukan presentasi. Pada tahap pengerjaan proyek mahasiswa diberikan lembar pemandu kegiatan untuk memudahkan aktivitas pengerjaannya. Hasil tahap pengerjaan laporan proyek pada kinerja mahasiswa dalam pembelajaran berbasis proyek dapat dilihat pada Tabel 5.
Tahap penyajian hasil proyek adalah tahap yang termasuk kedalam fase keempat yaitu pembuatan dan penyajian tugas proyek, pada tahap ini mahasiswa dituntut untuk menyajikan hasil proyek yang sudah dikerjakan pada tahap sebelumnya dengan melaukan presentasi di depan kelas dengan menggunakan media berserta video pengerjaan proyek yang telah dibuat sebelumnya. Pada tahap pengerjaan proyek mahasiswa diberikan lembar pemandu kegiatan untuk memudahkan aktivitas pengerjaan proyek selanjutnya. Hasil tahap penyajian hasil proyek pada kinerja mahasiswa dalam pembelajaran berbasis proyek dapat dilihat pada Tabel 4.
ISBN 978-602-19655-4-2
64
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
sebagaian besar kelompok mencapai interpretasi sedang dengan nilai rata-rata sebesar 82,8. Sedangkan untuk setiap tahapannnya, perecanaan proyek mencapai nilai rata-rata sebesar 66,25, pengerjaan proyek mencapai nilai rata-rata sebesar 88, penyajian hasil proyek mencapai nilai rata-rata sebesar 85,8, dan pengerjaan laporan proyek mencapai nilai rata-rata sebesar 88.
Tabel 5. Nilai Tahap Pengerjaan Laporan Proyek.
No. IA IB IIA IIB IIIA IIIB IVA IVA VA VB
Skor Pengerjaan Laporan Proyek 83 90 91 87 88 86 90 91 87 87
Nilai
Interpretasi
83 90 91 87 88 86 90 91 87 87
Rendah Sedang Tinggi Sedang Sedang Sedang Sedang Tinggi Sedang Sedang
Ucapan terima kasih Penulis mengucapkan terima kasih kepada Alloh SWT yang telah memberikan kemudahan dalam penyelesaian penelitian ini, orang tua penulis yang telah memberikan do’a dan dukungan, dosen pembimbing yang telah senantiasa memberikan saran untuk perbaikan penelitian ini. Penulis juga berterima kasih kepada panitia penyelenggara SNIPS 2013 atas dikusinya yang bermanfaat.
Berdasarkan Tabel 5 terlihat bahwa tahap pembuatan laporan proyek pada kinerja mahasiswa dalam pembelajaran berbasis proyek, kelompok kerja mahasiswa yang mendapatkan nilai terendah sebesar 83 yaitu pada kelompok kerja IA dan nilai tertinggi sebesar 91 yaitu pada kelompok kerja IIA dan IVB. Sedangkan nilai ratarata keseluhan sebesar 88. Kesulitan sebagian besar mahasiswa untuk mencapai skor ideal terdapat indikator ketercapaian kegiatan proyek, yaitu kajian teori, manfaat produk, simpulan dan saran, serta cara penulisan, sehingga nilai yang didapatkan tidak bisa mencapai hasil sempurna, hal ini disebabkan karena sebagian besar mahasiswa tidak mencantumkan sumber rujukan pada kajian teori, tidak mencantumkan manfaat yang lebih luas pada manfaat produk, pada bagian simpulan dan saran hanya mencantumkan sebagian kecil dari keseluruhan, dan cara penulisan yang belum sesuai dengan standar penulisan ilmiah.
Referensi [1] Gaer, S., “What is a project-based learning ?”, Jakarta: PT Gramedia Pustaka, (1989). [2] Hung, D.W., & Wong, A.F.L., “Activity Theory as a Framework for Project Work In learning”, Enfironment. Educational Technology, 40 (2), 33-37, (2000).
Assyifa Junitasari* Mahasiswa Prodi Pendidikan Kimia UIN Sunan Gunung Djati Bandung
[email protected]
Cucu Zenab S. Dosen Pembimbing Prodi Pendidikan Kimia UIN Sunan Gunung Djati Bandung
[email protected]
Kesimpulan
Risa Rahmawati S. Dosen Pembimbing Prodi Pendidikan Kimia UIN Sunan Gunung Djati Bandung
[email protected]
Berdasarkan hasil analisis data, hasil temuan, dan pembahasan yang telah dikemukakan dapat ditarik kesimpulan bahwa penerapan model pembelajaran berbasis proyek dapat mengembangkan kinerja dalam belajar pada materi daur ulang minyak jelantah pada tingkat mahasiswa. Hal ini ditunjukkan dengan nilai
ISBN 978-602-19655-4-2
*Corresponding author
65
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Aplikasi Metode Disipasi Termal untuk Analisis Karakteristik Filamen dan Efektivitas Pencahayaan Berbagai Produk Lampu Pijar Budi Sigit Purwono*, dan Enjang Jaenal Mustopa Abstrak Lampu pijar sebagai alat penerangan buatan tidak hanya menghasilkan energi cahaya, proporsi energi kalor yang dihasilkan lebih besar. Dengan menggunakan metode disipasi termal, dapat dipisahkan nilai kalor yang dihasilkan filamen lampu pijar. Pada penelitian ini akan diteliti bagaimana perubahan nilai resistansi filamen lampu pijar ketika menyala. Metode ini juga dapat mengetahui tingkat kenaikan suhu filamen lampu ketika menyala. Sekaligus akan diteliti proporsi energi kalor (termal) lampu terhadap energi listrik yang diserap lampu pijar. Tingkat proporsi energi kalor lampu pijar terhadap energi listrik yang diserap menunjukkan tingkat efektivitas pencahayaan lampu pijar. Akan dianalisis pula pengaruh pola bentuk filamen terhadap resistansi dan efisiensi lampu pijar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tiap kelompok daya lampu memberikan perbedaan dalam menghasilkan proporsi energi kalor lampu, terhadap tingkat kenaikan resistansi filamen, terhadap nilai kenaikan suhu filamen, dan terhadap efisiensi pencahayaan lampu pijar. Juga dianalisis pengaruh pelilitan (coiling) filamen terhadap efektivitas pencahayaan lampu pijar. Kata kunci: Disipasi Termal, Efektivitas Lampu Pijar, Filamen Pendahuluan
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Hingga kini, lampu pijar masih banyak digunakan oleh masyarakat di Indonesia, karena sangat ekonomis dan tidak berbahaya pada saat proses produksi [1]. Berbagai merk dan jenis produk lampu pijar beredar di masyarakat dibuat dengan spesifikasi fabrikasi yang berbeda, termasuk di dalamnya adalah tingkat energi panas yang dianggap sebagai energi residu [2]. Merujuk pada hukum pergeseran Wien tentang radiasi benda hitam, bahwa semakin tinggi suhu benda semakin besar proporsi radiasi gelombang cahaya tampak [3]. Tujuan utama penelitian ini adalah menyelidiki proporsi energi cahaya yang dihasilkan oleh berbagai produk lampu pijar di Indonesia. Akan diteliti nilai kenaikan resistansi filamen lampu pijar ketika penyalaan; nilai kenaikan temperatur kawat filamen. Di samping itu juga akan diteliti pengaruh bentuk filamen terhadap resistansi dan efektivitas pencahayaan lampu pijar.
Alat dan bahan yang digunakan adalah: Lampu pijar Termometer digital (ketelitian 0,1°C) Kalorimeter untuk diisi air dan lampu pijar Stopwatch Multimeter digital Neraca CMC (ketelitian 0,01 gram)
Gambar 1. Diagram Rangkaian Kalorimeter
A. Pengukuran Lampu Pijar
Kenaikan
Resistansi
Pengukuran hambatan awal (Ra) menggunakan ohm-meter saat lampu off. Kemudian saat penyalaan dalam kalorimeter, ukur arus (I) dan tegangan (V). Hambatan kerja (Rr) dengan persamaan Rr = V/I. Sehingga rasio kenaikan resistansi filamen adalah Rr/Ra.
Metode Penelitian Disipasi termal diterapkan untuk memisahkan dan menghitung energi kalor yang dihasilkan lampu pijar menggunakan kalorimeter khusus. Lampu yang diteliti adalah yang ada di pasaran Indonesia pada daya lampu 15 Watt, 25 Watt, dan 40 Watt. Diwakili oleh produk dari 12 merk (tiap merk diwakili oleh 5 buah lampu) jenis kaca lampu bening (clear envelope). Merk lampu pijar diganti menggunakan kode huruf secara acak untuk menghindari hal-hal yang merugikan produsen.
B. Pengukuran Kenaikan Temperatur Filamen Lampu Pijar Mengacu pada sifat kenaikan linear resistansi terhadap temperatur suatu bahan, dengan persamaan:
R Ra T ISBN 978-602-19655-4-2
Filamen
66
(1)
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Atau:
Rr Ra Ra T T0
(2)
Dengan nilai α Tungsten 4, 5 x 10-3 /°C, maka nilai kenaikan temperatur filamen saat menyala (∆T) dapat ditentukan dengan persamaan: T
Rr Ra Ra
(3)
C. Menghitung Proporsi Energi Kalor (Q) dan Energi Cahaya (Ec) Lampu Pijar Gambar 2. Perbandingan hambatan awal (Ra) dan hambatan riil (Rr) pada lampu pijar 15 Watt.
Langkah untuk menghitung proporsi energi kalor (Q) dan energi cahaya (Ec) lampu pijar adalah sebagai berikut: 1. Menentukan lampu pijar selama 10 persamaan:
besar energi listrik yang diserap (WL) selama proses penyalaan menit (600 s), menggunakan
WL V I t
(4)
2. Menghitung besar energi kalor (Q) yang dihasilkan oleh lampu pijar dalam kalorimeter, menggunakan persamaan: Qlepas (m.a.T (ma ca mAl c Al mk ck mcu ccu
(5)
m p c p )(T T0 )
Gambar 3. Perbandingan hambatan awal (Ra) dan hambatan riil (Rr) pada lampu pijar 25 Watt.
Keterangan indeks: a = air pengisi kalorimeter Al = Alumunium kalorimeter dan ulir lampu k = kaca lampu Cu = tembaga kabel dan penyangga filamen P = plastik pembungkus kabel
3. Membandingkan nilai energi kalor terhadap energi listrik yang diserap lampu pijar: Q %Q WL
100%
(6)
Maka, proporsi energi cahaya yang dihasilkan oleh lampu pijar dapat dinyatakan : W Q % Ec L 100% WL
Gambar 4. Perbandingan hambatan awal (Ra) dan hambatan riil (Rr)pada lampu pijar 40 Watt.
(7)
Rerata tingkat kenaikan nilai resistansi filamen pada 15 W adalah 9,22x; pada 25 W adalah 12,48x; sedangkan pada lampu 40 W adalah 13,05x.
Hasil dan Diskusi A. Pengukuran Lampu Pijar
Kenaikan
Resistansi
Filamen
Terlihat hubungan yang berbanding lurus. Semakin besar daya listriknya, semakin besar rasio kenaikan resistansi. Dalam kata lain, semakin besar arus pada filamen, semakin tinggi suhunya[4], maka akan menghasilkan pemuaian panjang filamen yang lebih besar, dan resistansi filamen lebih besar[5].
Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh nilai kenaikan resistansi filamen tiap kelompok daya lampu yang digambarkan pada Gambar 2, 3, dan 4 berikut:
Sifat ini disebut sebagai sifat linearitas hambatan bahan terhadap temperatur, seperti ISBN 978-602-19655-4-2
67
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
dinyatakan dalam Persamaan 1. Dimana R adalah resistansi akhir, R0 adalah resistansi hambatan awal, dan α adalah koefisien pertambahan hambatan terhadap suhu, dan ∆T adalah kenaikan suhu bahan.
lampu 15 Watt adalah 1.826,45 °C, pada 25 Watt sebesar 2.550,79 °C, sedangkan pada 40 Watt sebesar 2.677,46 °C. Dari nilai rerata pertambahan suhu, terlihat pola semakin besar nilai daya listrik lampu, semakin besar nilai kenaikan suhu filamen lampu pijar tersebut.
B. Kenaikan Suhu Filamen Lampu Pijar C. Proporsi Energi Kalor Lampu Pijar
Dengan mengetahui nilai koefisien hambatan suatu bahan terhadap temperatur, diperoleh nilai kenaikan suhu (∆T) kawat filamen. Nilai rerata tiap kelompok daya listrik adalah sebagai berikut:
Pada bagian ini, akan diteliti nilai perbandingan besar energi kalor (Q) yang dihasilkan lampu pijar bila dibandingkan terhadap energi listrik (WL) yang diserap oleh lampu pijar ketika beroperasi. Sama seperti pada bagian sebelumnya, kelompok lampu 15 W sebanyak 6 merk; kelompok 25 W sebanyak 9 merk; dan kelompok 40 W sebanyak 6 merk. Hasilnya terlihat pada Gambar 5, 6, dan 7 berikut:
Tabel 1. Rerata kenaikan suhu filamen pada lampu 15 Watt.
Tabel 2. Rerata kenaikan suhu filamen pada lampu 25 Watt.
Gambar 5. Proporsi Energi kalor (Q) terhadap Energi Cahaya (Ec) pada lampu pijar 15W.
Tabel 3. Rerata kenaikan suhu filamen pada lampu 40 Watt.
Gambar 6. Proporsi Energi kalor (Q) terhadap Energi Cahaya (Ec) pada lampu pijar 25W.
Nilai ralat tingkat kenaikan suhu filamen lampu (ralat ∆T) diperoleh dari standar deviasi pada pengambilan data berulang nilai perhitungan kenaikan suhu (∆T) filamen lampu. Dari Tabel 1, 2, dan 3 di atas, rerata nilai pertambahan suhu pada
ISBN 978-602-19655-4-2
68
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Di mana h adalah jarak antara lilitan kawat, dan h nilai Rasio Pitch (Kp) adalah . Sedangkan 2.r m Rasio Mandrel (Km) didefinisikan . Dalam 2.r penelitian yang dilakukan oleh Agrawal (2011), menyebutkan bahwa peningkatan nilai resistansi karena faktor-faktor rasio pelilitan tergolong kecil [6]. Faktor reaktansi induktif juga hanya menambah resistansi filamen dengan orde 10-4 ohm, sangat kecil. Tetapi faktor pelilitan berpengaruh signifikan terhadap peningkatan suhu filamen. Pada kuat arus listrik yang sama, panas yang dihasilkan oleh tiap satu lilit kawat akan saling memanasi lilitan kawat terdekatnya. Pelilitan kawat juga memperbesar permukaan tangkap (covered area) radiasi panas yang dihasilkan oleh filamen [6]. Sehingga temperatur kawat filamen yang digulung lebih tinggi dibandingkan tanpa pelilitan. Dengan suhu filamen lampu yang lebih tinggi maka semakin besar proporsi energi cahaya tampak yang dihasilkan suatu lampu pijar [3], [7].
Gambar 7. Proporsi Energi kalor (Q) terhadap Energi Cahaya (Ec) pada lampu pijar 40W. Dari Gambar 5, 6, dan 7, rerata proporsi energi kalor lampu pijar pada tiap kelompok lampu pijar 15 Watt sebesar 96,52%, pada 25 Watt sebesar 95,20%, dan pada 40 Watt sebesar 94,93%. Terlihat pola hubungan antara daya listrik lampu terhadap nilai proporsi energi kalor yang dihasilkan adalah berbanding terbalik. Semakin besar daya listrik lampu pijar, maka nilai persentase kalor yang dihasilkan semakin kecil. D. Pengaruh Pelilitan Filamen Terhadap Efisiensi Lampu Pijar
Kesimpulan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa efisiensi lampu pijar dipengaruhi oleh faktor pelilitan (coiling) kawat filamen. Pada kelompok daya 40 Watt memiliki diameter lilitan filamen besar, pada 25 Watt lebih kecil, dan pada lampu 15 Watt berlilitan. Diperoleh nilai pada daya 40 Watt menghasilkan efisiensi pencahayaan 5,07%, pada 25 Watt 4,80%, dan 15 Watt adalah 3,48%. Jika dibandingkan dengan pengukuran langsung menggunakan lux-meter, metode disipasi termal menghasilkan nilai yang lebih tinggi rata-rata 2,3%. Hal ini dikarenakan metode disipasi termal lebih dikhususkan untuk pengukuran energi kalor lampu, dan energi cahaya yang dihitung tidak hanya pada spektrum cahaya tampak.
Kenaikan nilai resistansi filamen lampu pijar kelompok daya listrik 15 Watt adalah 9,22 kali hambatan semula; pada 25 Watt sebesar 11,21 kali; dan pada 40 Watt sebesar 13,05 kali. Rerata nilai pertambahan suhu filamen pada lampu 15 Watt adalah 1.826,45 °C, pada 25 Watt sebesar 2.550,79 °C, sedangkan pada 40 Watt sebesar 2.677,46 °C. Rerata proporsi energi kalor yang dihasilkan oleh lampu pijar pada kelompok daya listrik 15 Watt adalah 96,52 %; pada 25 Watt adalah 95,20 %; dan pada 40 Watt sebesar 94,93%. Metode disipasi termal dapat digunakan untuk pendekatan pengukuran efisiensi pencahayaan lampu pijar dengan faktor koreksi rerata +2,3%.
Agrawal (2011) dalam jurnal penelitiannya menyebutkan dua buah parameter pada bentuk penggulungan filamen (coiling factor), yakni “rasio pitch” dan “rasio mandrel” [6].
Referensi [1] Istiawan, Saptono, “Ruang Artistik Dengan Pencahayaan” Niaga Swadaya, Jakarta, (2006) [2] Maclsaac, Dan, Gary Karner, and Graydon Anderson, "Basic Physics of the Incandesent Lamp (Lightbulb)". The Physics Teacher 37, no. 9 (December 1999): 520 – 525, (1999). [3] Tipler, Paul A, “Fisika Untuk Sains dan Teknik”, (Terjemah), Jilid 1. Erlangga. Jakarta. 637, (1991). [4] Marikani, A., “Physics”, PHI Learning Pvt. Ltd. New Delhi. p: 104 (2009). [5] Hewitt, Paul G. “Conceptual Physics” (11th Edition). Pearson Longman. Singapore, 538, (2010).
Gambar 8. Parameter dalam gulungan kawat filamen. (Agrawal: 2011).
ISBN 978-602-19655-4-2
69
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
[6] Agrawal D. C., “The Coiling Factor in the Tungsten Filament Lamps”, Department of Farm Engineering, Banaras Hindu University, 5, June: 444, (2011). [7] Peet, Mathew, “Tungsten Filament Lamp, A Case Study. Department of Engineering Material”, University of Sheffield. 4th Ed., p.2, (1999).
Budi Sigit Purwono* Magister Pengajaran Fisika Institut Teknologi Bandung
[email protected] Enjang Jaenal Mustopa Kelompok Keilmuan Fisika Bumi dan Sistem Kompleks, FMIPA Institut Teknologi Bandung
[email protected] *Corresponding author
ISBN 978-602-19655-4-2
70
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3 - 4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Meningkatkan Kemampuan Multi Representasi dan Translasi Antar Modus Representasi Konsep-Konsep Listrik Magnet Pada Program Preservice Guru Fisika P. Sinaga, Andi Suhandi, dan Liliasari Abstrak Program persiapan guru perlu mempertimbangkan tuntutan sekolah saat ini dan basis pengetahuan yang berkembang. Memahami tentang bagaimana proses belajar dan strategi pengajaran apa yang mendukung belajar tingkat tinggi serta mengevaluasi pendekatan apa untuk mempersiapkan guru yang dapat membantu mereka mendapatkan body of knowledge dan keterampilan. Permasalahan dalam penelitian ini ialah bagaimanakah meningkatan kemampuan membuat multi representasi konsep dan kemampuan mentranslasi antar jenis modus representasi mahasiswa program preservice guru Metode penelitian yang digunakan ialah pre eksperimen dengan desain one group pre test post- test . Data penelitian diperoleh dengan menggunakan instrumen penelitian berupa soal uraian terbatas , angket, dan one on one semi structure interview. Hasil pengolahan data menunjukkan bahwa kemampuan membuat multi representasi konsep pada pokok bahasan listrik magnet meningkat dengan rata rata prosentase gain yang dinormalisasi
= 70% dengan kriteria tinggi. Kemampuan mentranslasi meningkat dengan rata rata persentase gain yang dinormalisasi =40% dengan kritria sedang. Hubungan korelasional antara kemampuan mahasiswa dalam membuat multi representasi konsep dengan kemampuan translasi antara jenis modus representasi dinyatakan dengan harga koefisien korelasi r = 0,31 dan harga koefisien determinasi 9,6% yang menyatakan bahwa kemampuan dalam membuat multi representasi sedikit pengaruhnya terhadap kemampuan mentranslasi antar modus representasi. Kata kunci : multi representasi , translasi antar modus representasi, modus representasi konsep mentranslasi antar konsep fisika
Latar Belakang Ketika menyajikan berbagai informasi kepada siswa, representasi tunggal tidak dapat menyampaikan semua informasi yang diperlukan dan karenanya multi representasi harus digunakan jika pelajar diharapkan mampu melakukan melampaui tingkat yang paling dasar [1], [2]. Mengingat kemampuan siswa dalam memahami konsep fisika salah satu faktornya ditentukan oleh bagaimana konsep itu direpresentasikan baik secara lisan maupun tulisan maka sangat penting para calon guru dipersiapkan agar memiliki kompetensi membuat multi representasi konsep atau hukum hukum fisika dan mampu mentranslasi dari satu modus representasi ke jenis modus representasi yang lain..
modus
representasi
Teori Pendidikan dirasa semakin penting bagi keberhasilan individu dan bangsa, dan semakin banyak bukti menunjukkan bahwa diantara semua sumber pendidikan khususnya kemampuan guru merupakan kontributor penting untuk siswa belajar. Selain itu, tuntutan pada guru semakin meningkat. Para guru tidak semata harus mampu untuk menjaga ketertiban dan memberikan informasi berguna kepada siswa, namun mereka juga harus memiliki kemampuam untuk mempasilitasi para siswa untuk mempelajari materi yang lebih kompleks dan untuk mengembangkan keterampilan lebih luas. Program persiapan guru perlu mempertimbangkan tuntutan sekolah saat ini dan basis pengetahuan yang berkembang. Memahami tentang bagaimana proses belajar dan strategi pengajaran apa yang mendukung belajar tingkat tinggi dan untuk mengevaluasi pendekatan apa untuk mempersiapkan guru yang dapat membantu mereka mendapatkan body of knowledge dan keterampilan.Tujuan dari program persiapan guru adalah untuk membantu melengkapi semua siswa mencapai potensi terbesarnya, menimbulkan sejumlah pertanyaan penting, misalnya:1) Apa jenis pengetahuan yang harus dimiliki guru , materi
Permasalahan dalam penelitian ini ialah 1) Bagaimanakah peningkatan kemampuan membuat multi representasi konsep dan kemampuan mentranslasi antar jenis modus representasi pada pokok bahasan listrik magnet mahasiswa antara sebelum dan sesudah embedding writing in the disciplinea activity pada perkuliahan fisika sekolah III .2) Kesulitan kesulitan apakah yang dialami oleh mahasiswa dalam membuat multi representasi konsep fisika dan mentranslasi antar jenis modus representasi konsep fisika dan 3) Bagaimanakah relasi korelasional antara kemampuan membuat multi representasi konsep dengan kemampuan
ISBN 978-602-19655-4-2
jenis
71
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3 - 4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
subjek apa yang perlu dikuasai dan pengetahuan tentang proses belajar dan perkembangan siswa? 2) Keterampilan apa yang diperlukan guru dalam rangka memberikan pengalaman pembelajaran produktif' untuk suatu kelompok siswa yang beragam , untuk menawarkan umpan balik informatif pada ide-ide siswa, dan kritis mengevaluasi praktek pengajaran mereka sendiri dan memperbaiki diri sendiri? 3) Apa komitmen guru profesional yang perlu untuk membantu setiap anak sukses dan terus mengembangkan pengetahuan dan keterampilan mereka sendiri, baik sebagai individu maupun sebagai anggota suatu profesi kolektif? [3]
Metodologi Penelitian Berdasarkan permasalahan dan pertanyaan penelitian yang dikaji maka dipilih metode penelitian pre eksperimen dengan desain one group pre test post test. Sample penelitian ialah mahasiswa program preservice guru fisika peserta perkuliahan Fisika Sekolah III yang jumlahnya 18 orang. Instrumen pre test dan post test berupa soal uraian terbatas pada domain listrik magnet. Jumlah soal 22 buah dengan perincian 6 soal untuk mengukur multi representasi konsep dan 16 soal lainnya untuk mengukur kemampuan mentranslasi antar jenis modus representasi Instrumen lain yang digunakan ialah angket (questioner) dan one on one semi structure interview. sedangkan data hasil angket dideskripsikan.
Siswa belajar dengan berbagai cara, representasi yang berbeda cocok (compatible) dengan cara belajar yang berbeda. Besaran besaran fisika dan konsep konsep fisika dapat divisualisasikan dan dipahami lebih baik dengan representasi yang kongkrit. Tiap representasi konsep fisika dan penggunaan konsep konsep kunci dari fisika dapat membantu pemahaman siswa, namun di pihak lain dapat juga menyulitkan siswa. Penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan kesulitan siswa terhadap jenis representasi tertentu di antaranya ialah terdapat dalam, [4], [5], [6], [7] .
Hasil dan Pembahasan Peningkatan kemampuan multi representasi konsep Data hasil pre test dan post test, persentase rata rata dan gain yang dinormalisasi dari kemampuan multirepresentasi konsep konsep listrik magnet untuk hukum coulomb dinyatakan dalam Gambar 1 Persentase rata rata pre test ialah 43,7% , persentase rata rata post test ialah 83,3% dan persentase rata rata gain yang dinormalisasi ialah 70% dengan kategori tinggi.
Fungsi multi presentasi dapat dibagi ke dalam tiga kelas yang luas. Pertama, multi representasi dapat mendukung pembelajaran yang memungkinkan untuk informasi tambahan atau peranannya melengkapi (peran komplementer). multi representasi dalam hal ini memungkinkan informasi yang berbeda untuk direpresentasikan dengan cara yang yang paling sesuai dengan kebutuhan peserta didik. Kedua, multi representasi dapat digunakan sehingga satu modus representasi mengatasi keterbatasan interpretasi dari modus representasi lain. Seringkali peserta didik dapat menemukan representasi kompleks bentuk baru dan kemungkinan salah menafsirkankan informasi yang terkandung didalamnya. Dalam hal ini siswa dapat menggunakan modus representasi yang kedua, yang lebih akrab atau mudah untuk ditafsirkan. Cara kedua yang menghambat interpretasi dapat dicapai dengan mengandalkan sifat inherent dari satu representasi untuk membantu peserta didik mengembangkan interpretasi yang dimaksudkan dari representasi kedua. Ketiga Multi representasi dapat mendukung pembangunan pemahaman yang lebih mendalam ketika pebelajar menghubungan representasi representasi tersebut untuk mengidentifikasi fitur invarian apa yang di bagi dari domain dan apa sifat representasi individual [8].
ISBN 978-602-19655-4-2
90 p 80 e r 70 s 60 e 50 n 40 t 30 a s 20 e 10 0
pre post gain
Gambar 1. Gain multi representasi konsep. Untuk melihat adakah faktor lain yang mempengaruhi kemampuan mahasiswa dalam membuat multi representasi konsep tersebut, mahasiswa diberikan test yang sama untuk konsep yang berbeda yaitu pada konsep medan listrik, ternyata persentase jumlah mahasiswa yang menjawab benar untuk tiap jenis modus representasi masing masing pada konsep Hk Coulomb dan medan listrik hasilnya berbeda, seperti pada Tabel 1. Data penelitian ini menunjukkan bahwa kemampuan membuat multi
72
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3 - 4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
60%, dan persentase rata rata gain yang dinormalisasi ialah 40% dengan kriteria sedang.
representasi konsep fisika selain bergantung pada domainnya juga bergantung pada pemahaman konsep fisikanya.
Untuk melihat lebih detail tentang kemampuan translasi antar jenis modus representasi, Gambar 3 menampilkan secara rinci gain untuk tiap tanslasi. Kemampuan mentranslasi dari modus teks (narasi) ke modus representasi lainnya (diagram piktorial, grafik, persamaan matematik, dan tabel) persentase rata rata gain yang dinormalisasinya ialah 56% dengan kriteria sedang. Kemampuan mentranslasi dari modus representasi gambar ke jenis modus representasi lainnya (teks, dan diagram piktorial) persentasi rata rata gain yang dinormalisasinya ialah 64% dengan kriteria sedang. Kemampuan mentranslasi dari modus representasi persamaan matematik ke jenis modus representasi lainnya (teks, diagram piktorial, grafik, dan gambar) prosentase rata rata gain yang dinormalisasinya ialah 18% dengan kriteria rendah.
Tabel 1. Kemampuan multi representasi untuk konsep yang berbeda. Jenis modus representasi Hk Coulomb Teks (narasi) 75% Modus grafik 94% Modus persamaan 100% matematik Modus gambar 63% Modus diagram piktorial 81% Modus tabel 69%
Medan Listrik 50% 31% 81% 25% 25% 56%
Hal itu sesuai dengan penelitian sebelumnya oleh [9] dan [10] yang menyatakan bahwa meskipun representasi eksternal memberikan banyak manfaat untuk siswa, namun ada kesulitan tambahan yang dialami siswa. Siswa tidak hanya harus memahami representasi individu dan hubungan mereka ke domain, tetapi juga hubungan antara beberapa representasi. Karena kesulitan yang dihadapi peserta didik ketika mencoba untuk memahami dan menerjemahkan antara beberapa representasi, peserta didik sering mengabaikan multi representasi dan cenderung memperlakukan representasi dalam isolasi. Hasil angket dan wawancara tentang membuat multi representasi konsep setelah mahasiswa mempelajari , berlatih dan mengerjakan tugas tugas yang berkaitan dengan membuat multi representasi konsep fisika, sebagian besar menyatakan bahwa pemahaman mendalam terhadap konsep fisika yang mau direpresentasikan sangat menentukan kemampuan mereka dalam membuat multi representasi. Kesulitan lain yang dialami mahasiswa dalam membuat multi representasi misalnya ketika membuat representasi hukum Coulomb dengan menggunakan jenis modus representasi tabel, mereka semuanya mengalami kesulitan dalam hal : membuat tabel sedemikian hingga pembaca dapat dengan jelas melihat langsung hubungan antara variabel yang tercantum dalam tabel tersebut, dan menentukan variabel apa saja yang akan ditampilkan dalam tabel. Tenyata bahwa tiap jenis modus representasi ada kesulitannya tersendiri yang dihadapi oleh mahasiswa. Kemampuan representasi
mentranslasi
antar
Kemampuan mentranslasi dari modus representasi diagram piktorial ke jenis modus representasi lainnya (teks, matematik dan tabel) persentase rata rata gain yang dinormalisasinya 36% dengan kriteria sedang. Kemampuan translasi dari modus representasi FBD ke jenis representasi lainnya (teks, matematik) prosentase rata rata gain yang dinormalisasinya ialah 41% dengan kriteria sedang. Kemampuan mentranslasi dari modus representasi grafik ke jenis modus representasi lainnya (teks , matematik) dengan persentase rata rata gain yang dinormalisasinya 23% dengan kriteria sedang. Berdasarkan penelitian ini ditemukan bahwa untuk domain listrik magnet translasi dari modus representasi matematika ke jenis modus representasi lainnya merupakan translasi yang paling sulit yang dialami oleh mahasiswa. P e r s e n t a s
50 40
40 33
30 20 10 0 pre post gain
modus
Kemampuan mahasiswa program preservice guru fisika dalam membuat translasi antar modus representasi pada domain listrik magnet dinyatakan pada Gambar 2 . Persentase rata rata pre test 33%, persentase rata rata post test ialah
ISBN 978-602-19655-4-2
60
60
Gambar 2. Peningkatan kemampuan translasi antar modus representasi.
73
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3 - 4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
kemampuan translasi antara jenis modus representasi dinyatakan dengan harga koefisien determininasi 9,6% yang menyatakan bahwa kemampuan mahasiswa dalam membuat multi representasi konsep fisika hampir tidak berpengaruh terhadap kemampuan mentranslasi antar modus representasi.
P e r s e n t a s e
Ucapan Terima Kasih Ucapan terimakasih kami sampaikan kepada bapak Dr. Aloysius Rusli yang telah menyediakan waktu untuk mendiskusikan artikel ini dan atas saran saran yang berharganya. Referensi
[1] T. de Jong, et al., "Acquiring knowledge in science and mathematics: the use of multiple representations in technology-based learning environments," in Learning with multiple representations, M. W. Van Someren, et al., Eds., ed Oxford: Elsevier Science Ltd., p.9, (1998). [2] D. H. Jonassen, "Implications of multi-image for concept acquisition," Education Communication and Technology Journal, 27, 291-302, (1979). [3] Linda Darling Hammond & John Bransford, “Preparing Teachers for a Changing World, what teachers should learn and be able to do”. Jossey – Bass a wiley Inprint, (2005). [4] Meltzer, D.E., The relationship between mathematics preparation and conceptual learning gains in physics: A possible “hidden variable” in diagnostic pretest scores. Am. J. Phys., 70, (2002). [5] Nguyen, N. and D.E. Meltzer, “Initial understanding of vector concepts among students in introductory physics courses”, Am. J. Phys., 71, (2003). [6] Beichner, R.J., “Testing student interpretation of kinematics graphs”, Am. J.Phys., 62, (1994). [7] Flores, S., S.E. Kanim, and C.H. Kautz, “Student use of vectors in introductory mechanics”, Am. J. Phys., 72, (2004). [8] Ainsworth, "The functions of multiple representations," Computers & Education, 33, 131-152, (1999). [9] Sinaga, Andi Suhandi, dan Liliasari, “Meningkatkan Kemampuan penggunaan representation tool pada pokok bahasan gelombang melalui writing in the discipline activity”, Prosiding seminar nasional penelitian, pendidikan dan penerapan MIPA. UNY, (2013). [10] Ainsworth, "DeFT: A conceptual framework for considering learning with multiple representations," Learning and Instruction, 16, 183-198, (2006).
Gambar 3. Kemampuan mentranslasi dari tiap jenis modus representasi. Hasil angket dan wawancara yang berkaitan dengan translasi antar jenis modus representasi sebagian besar mahasiswa (87%) menyatakan kadang kadang mengalami kesulitan tergantung pada apakah mereka memahami konsep yang terkandung pada modus representasi asal yang diberikan. Apabila mereka tidak memahami konsepnya maka mereka tidak memiliki ide untuk melakukan translasi dari modus representasi asal ke modus representasi lainnya. Hubungan korelasional antar kemampuan membuat multi representasi dan kemampuan translasi antar jenis modus representasi dinyatakan oleh persamaan regresi Y = 37 + 0,26 X, dengan koefisien korelasi r = 0,31 dan harga koefisien determinasinya ialah 9,6%. Hal itu menyatakan bahwa kemampuan mahasiswa dalam membuat multi representasi kecil pengaruhnya terhadap kemampuan mahasiswa dalam mentranslasi antar modus representasi Kesimpulan Kemampuan membuat multi representasi konsep pada pokok bahasan listrik magnet meningkat dengan rata rata persentase gain yang dinormalisasi 70% dengan kriteria tinggi. Kemampuan membuat multi representasi konsep fisika dipengaruhi oleh pemahaman mahasiswa terhadap konsep fisika yang mau direpresentasikan dan juga tiap jenis modus representasi memiliki kesulitan yang berbeda beda. Kemampuan mentranslasi antar modus representasi meningkat dengan kriteria gainnya sedang. Kemampuan mentranslasi antar modus representasi sangat dipengaruhi oleh tingkat pemahaman mahasiswa terhadap konsep fisika yang mau direpresentasikan secara verbal. Hubungan korelasional antara kemampuan membuat multirepresentasi konsep dengan
ISBN 978-602-19655-4-2
74
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3 - 4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
P. Sinaga* Jurusan Pendidikan Fisika FPMIPA UPI e-mail : [email protected] Andi Suhandi Jurusan Pendidikan Fisika FPMIPA UPI Liliasari Jurusan Pendidikan Fisika FPMIPA UPI
*Corresponding author
ISBN 978-602-19655-4-2
75
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Pengembangan Aplikasi Lagu Sistem Periodik Unsur dalam Bentuk Macromedia Flash pada Materi Sistem Periodik Eka Yusmaita*, dan Bayharti Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk merancang aplikasi lagu sistem periodik dalam bentuk macromedia flash agar siswa dapat mengenal nama dan lambang unsur dengan mudah dan menyenangkan. Sistem periodik merupakan salah satu materi kimia yang dirasakan sulit oleh siswa karena memiliki perbendaharaan kata yang khusus. Pada materi sistem periodik, siswa kesulitan untuk mengenali dan menyebutkan unsur-unsur yang terdapat pada golongan atau periode tertentu. Berdasarkan kondisi tersebut, salah satu solusi yang ditawarkan oleh guru di sekolah adalah menyusun jembatan keledai sistem periodik unsur dengan metode mnemonik. Pada kenyataanya, pemanfaatan metode ini masih terbatas pada unsur-unsur tertentu. Oleh karena itu, dirancanglah suatu aplikasi lagu sistem periodik dengan metode mnemonik. Lagu tersebut berjudul Periodic Table Song (Dicta Song). Berdasarkan analisis psikologi siswa pada sekolah menengah, maka tema yang diangkatkan pada lirik lagu ini adalah persahabatan. Jenis penelitian ini adalah penelitian pengembangan yang meliputi 3 tahap yaitu pendefinisian (define), perancangan (design) dan pengembangan (develop). Perolehan analisis data melalui uji coba terbatas terhadap 24 orang siswa SMA sebesar 81,11%. Hal ini menunjukkan bahwa lagu Dicta Song layak untuk digunakan pada pembelajaran kimia di sekolah. Kata-kata kunci: lagu, sistem periodik unsur, mnemonik Pendahuluan
Teori
Kimia merupakan salah satu bidang Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) yang sering terkesan sulit. Salah satu alasan dari kesan sulit ini adalah kimia memiliki perbendaharaan kata yang khusus [1]. Berdasarkan wawancara yang dilakukan kepada guru kimia SMA diketahui bahwa siswa sangat bergantung pada tabel Sistem Periodik Unsur (SPU). Hal ini dibuktikan dengan seringnya siswa menanyakan boleh atau tidaknya membawa tabel SPU saat ulangan harian maupun ujian semester.
Aplikasi lagu sistem periodik unsur merupakan suatu media pembelajaran kimia yang mengkombinasikan unsur sains dan seni. Psikolog Rauscher dan Shaw (1994) dari University of California membuktikan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara musik dengan penguasaan keterampilan sains siswa. Penelitian dari kedua pakar ini menunjukkan bahwa siswa yang mendapat program musik, inteligensinya meningkat sebasar 46% dibandingkan siswa yang tidak mendapat program musik. Di samping itu, Schiller menyatakan bahwa mendengarkan musik dapat mengurangi stres, mengaktifkan kedua belahan otak, dan meningkatkan penalaran temporal spasial. Musik dapat memberikan banyak manfaat seperti merangsang pikiran, memperbaiki konsenstrasi dan ingatan, meningkatkan aspek kognitif, dan membangun kecerdasan emosional [2]. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Hariyadi [3], dan Salbiah [4] diketahui bahwa musik juga dapat meningkatkan daya ingat, dan konsentrasi siswa. Musik dapat meningkatan produksi hormon endorphin yang diproduksi oleh bagian hipotalamus otak [5].
Sebagai alternatif bagi siswa dalam menghafal unsur–unsur pada tabel SPU maka dirancanglah suatu aplikasi lagu sistem periodik yang diberi nama Periodic Table Song (Dicta Song). Tujuan dari pembuatan aplikasi lagu sistem periodik ini adalah untuk mempermudah siswa dalam menyebutkan nama dan lambang unsurunsur kimia. Aplikasi ini dibuat dalam bentuk macromedia flash terdiri dari dua versi. Kedua versi lagu tersebut memiliki irama yang sama, yaitunya irama jazz dengan durasi 3 menit 35 detik. Versi pertama lagu ini menampilkan lambang unsur-unsur beserta cara pelafalannya sesuai kaidah IUPAC, sedangkan versi kedua dari lagu ini dirancang dengan metode mnemonic. Lirik lagu yang diciptakan pada versi kedua mengangkat tema persahabatan yang didasarkan pada kondisi psikologi siswa sekolah menengah.
ISBN 978-602-19655-4-2
Analisis yang dilakukan terhadap media sistem periodik yang beredar melalui video you tube, charta, dan poster menunjukkan bahwa media tersebut belum cukup memadai untuk membantu siswa mengetahui seluruh unsur pada tabel SPU. Di samping itu, metode jembatan keledai yang diterapkan oleh guru di kelas masih terbatas pada unsur-unsur golongan tertentu. Oleh 76
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Pada setiap tingkat, materi ini memiliki Standar Kompetensi (SK) dan kompetensi Dasar (KD) yang berbeda. Pada kelas X Standar Kompetensi yang harus dicapai adalah memahami struktur atom, sifat-sifat periodik unsur dan ikatan kimia. Pada kelas XI Standar Kompetensinya adalah memahami struktur atom untuk meramalkan sifat– sifat periodik unsur, struktur molekul, dan sifat-sifat senyawa. Sedangkan pada kelas XII Standar Kompetensi yang harus dicapai adalah memahami karakteristik unsur–unsur penting, kegunaan dan bahayanya, serta terdapatnya di alam. Siswa akan mengalami kesulitan di kelas XII jika materi prasyarat sistem periodik dari kelas X dan XI tidak mereka pahami. Analisis konsep ini dilakukan dengan tujuan mengidentifikasi konsep-konsep utama yang diajarkan dan menyusunnya secara sistematis sesuai dengan urutan penyajiannya. Konsep penyusunan lirik lagu sistem periodik unsur ini disusun dari atas ke bawah berdasarkan golongan. Golongan yang terdapat pada tabel SPU terdiri dari 2 yakni, golongan A (utama) dan golongan B (transisi).
sebab itu, sebagai alternatif bagi siswa dalam menghafal unsur–unsur pada tabel SPU maka dirancanglah suatu aplikasi lagu sistem periodik agar siswa dapat mengenal nama dan lambang unsur-unsur dengan mudah dan menyenangkan. Penelitian ini merupakan penelitian pengembangan. Pengembangan perangkat penelitian ini disarankan oleh Thiagarajan, semmel dan semmel (1974) yang dikenal dengan model 4D meliputi 4 tahap yaitu pendefinisian (define), perancangan (design) pengembangan (develop) dan Penyebaran (desseminate) [6]. Pelaksanaan pada penelitian ini dibatasi sampai uji coba terbatas pada tahap pengembangan. Hasil dan Diskusi Luaran dari penelitian ini adalah terciptanya aplikasi lagu sisem periodik unsur yang dirancang dengan menggunakan software makromedia flash. Ada 3 tahap yang dilalui dalam penelitian ini. Tahap pertama adalah pendefinisian (define) yang meliputi, (1) analisis kebutuhan, (2) analisis siswa dan (3)analisis konsep. Analisis kebutuhan adalah analisis mengenai kesenjangan antara hal-hal yang sudah diketahui siswa dengan apa yang seharusnya akan dicapai siswa [6]. Berdasarkan hasil interview siswa kelas XI diketahui bahwa materi sistem periodik unsur tergolong materi yang cukup sulit. Menanggapi permasalahan tersebut, upaya yang telah dilakukan oleh guru adalah membuat jembatan keledai unsur, namun pemanfaatan metode ini masih terbatas pada unsur-unsur golongan tertentu. Oleh sebab itu, untuk menutupi kesenjangan tersebut maka dirancanglah sebuah lirik lagu sistem periodik unsur dengan metode mnemonik. mnemonic adalah suatu cara menghafal atau metode ’Jembatan keledai’ untuk mengingat informasi. Jembatan keledai sering berupa kata atau suku kata yang ditambahkan pada susunan kata yang ingin dihafal agar terbentuk kalimat dengan arti yang menarik atau masuk akal [7]
Tahap kedua dari penelitian ini adalah perancangan (design). Tujuan tahap ini adalah untuk menyiapkan prototipe aplikasil lagu sistem periodik unsur. Tahap ini terdiri atas 3 langkah yaitu, (1) pembuatan story board, (2) proses rekaman dan (2) perancangan media. Berikut tampilan aplikasi lagu sistem periodik dalam bentuk macromedia flash.
Berdasarkan analisis siswa, secara psikologis perlakuan pada anak usia remaja memerlukan pendekatan yang berbeda dalam proses pembelajaran. Salah satu perkembangan bahasa dan kognitif siswa pada masa remaja awal adalah menggemari literatur yang mengandung sisi fantastik dan estetik [8]. Kedua sisi ini dapat diterapkan pada musik. Musik dapat dijadikan suatu media dalam pembelajaran jika di dalam penyampaian musik itu sendiri terdapat informasi pengajaran.
Gambar 1. Versi I aplikasi lagu sistem periodik dalam bentuk macromedia flash. Pada versi I lagu ini, semua unsur pada tabel SPU ditampilkan. Agar mempermudah fokus siswa melihat tampilan versi I ini, ketika unsur tertentu dinyanyikan maka secara otomatis ada stick yang berfungsi sebagai penunjuk lambang unsur. Pada bagian bawah tabel SPU terdapat teks yang menunjukkan cara pelafalan masing-masing unsur.
Berdasarkan analisis konsep, materi sistem periodik unsur merupakan materi yang diajarkan secara berkelanjutan dari kelas X sampai kelas XII.
ISBN 978-602-19655-4-2
77
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
aplikasi lagu sistem periodik unsur mendapat tanggapan yang positif. Lagu Dicta song yang disusun berdasarkan metode mnemonic menurut siswa sangat menyenangkan sehingga siswa menjadi termotivasi dan semangat untuk belajar kimia. Mereka menginginkan agar metode ini dapat juga diterapkan pada pembelajaran materi yang lain. Tabel 1. Rekapitulasi tanggapan siswa terhadap aplikasi lagu sistem periodik unsur. No 1
Gambar 2. Versi II aplikasi lagu sistem periodik dalam bentuk macromedia flash.
2
Versi II aplikasi lagu sistem periodik ini menampilkan lirik lagu dengan tema persahabatan. Lambang masing-masing unsur ditampilkan secara bergantian berdasarkan lirik lagu yang dinyanyikan.
3 4
Kesesuaian tampilan penyajian Kesesuaian dengan kurikulum Kepraktisan Bahasa yang komunikatif
% ratarata
Kategori
83.06
setuju
81.67
setuju
79.33
setuju
79.17
setuju
Melalui tabel tersebut dapat diketahui bahwa persentase tanggapan siswa terhadap media aplikasi lagu sistem periodik unsur dalam bentuk macromedia flash secara keseluruhan adalah setuju, perolehan rata-ratanya sebesar 81,11%.
Tahapan terakhir adalah tahap pengembangan (develop), tujuan dari tahapan ini adalah untuk menghasilkan perangkat pembelajaran yang sudah direvisi berdasarkan masukan para ahli. Tahap ini meliputi: (1) validasi media, (2) revisi media, (3) uji coba terbatas. Setelah proses perancangan selesai, aplikasi lagu sistem periodik unsur dalam bentuk macromedia flash divalidasi oleh validator yang terdiri atas guru dan dosen. Tujuan validasi ini adalah melihat aspek kesesuaian media dengan kurikulum, aspek tampilan dan tata bahasa media, serta aspek kepraktisan media tersebut. Masukan dari validator menjadi rujukan dalam melakukan revisi terhadap media tersebut. Uji coba terbatas dilakukan terhadap 24 orang siswa SMA. Uji coba ini dilakukan dengan cara memutarkan aplikasi lagu sistem periodik secara keseluruhan dihadapan siswa dan kemudian meminta mereka untuk mengisi angket terkait tanggapan mereka terhadap tampilan lagu.
Kesimpulan Periodic Table Song (Dicta Song) dirancang sebagai alternatif bagi siswa dalam menghafal unsur–unsur pada tabel SPU. Berdasarkan tanggapan siswa yang diperoleh dari hasil angket dapat disimpulkan bahwa siswa memberikan tanggapan positif (baik) terhadap media aplikasi lagu sistem periodik unsur tersebut. Ucapan terima kasih Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dikti yang telah mendanai penelitian ini dalam Program Kreatifitas Mahasiswa Penelitian. Penulis juga berterima kasih kepada Hartati, Neneng dan Olan Yoga Pratama sebagai rekan penulis dalam pembuatan aplikasi lagu sistem periodik unsur.
Angket tanggapan siswa disusun dalam bentuk skala Likert. Data yang diperoleh melalui angket dalam bentuk skala kualitatif dikonversi menjadi skala kuantitatif. Untuk pernyataan yang bersifat positif kategori SS (sangat setuju) diberi skor 5, ST (Setuju) diberi skor 4, RG (Ragu-ragu) diberi skor 3, TS (Tidak Setuju) diberi skor 2 dan STS(Sangat Tidak Setuju) diberi skor 1 [9].
Referensi [1] Chang, Raymond, “Kimia Dasar, KonsepKonsep Inti”, Jakarta: Erlangga, (2005). [2] Schiller, Pam, “Star Smart, Memompa Kecerdasan Sejak Dini”, alih bahasa Damaring Tyas. Jakarta: Erlangga, (2005) [3] Hariyadi, Ajie, “Efektivitas Penggunaan Media Audio Program Musik Terhadap Peningkatan Kemampuan Daya Ingat Siswa”, Skripsi pada FIP UPI Bandung: tidak diterbitkan, (2010). [4] Salbiah, Septia, “Pengaruh Musik Klasik Terhadap Konsentrasi Belajar Anak di Dalam
Ada 15 item pernyataan yang diberikan pada angket ini, semua pernyataan tersebut dikelompokkan berdasarkan kisi-kisi angket. Penyebaran angket ini dilakukan di luar jam pembelajaran. Berdasarkan sebaran angket yang telah diberikan kepada siswa menunjukkan bahwa
ISBN 978-602-19655-4-2
Kisi-kisi angket
78
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
[5]
[6]
[7]
[8] [9]
Kelas”, Skripsi pada FIP UPI Bandung: tidak diterbitkan, (2012). Campbell, D., “Efek Mozart,, Memanfaatkan Kekuatan Musik untuk Mempertajam Pikiran, Meningkatkan kreativitas, dan menyehatkan tubuh”, Jakarta : Gramedia, (2001). Trianto, “Model Pembelajaran Terpadu: konsep, strategi, dan implementasinya dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP)”, Jakarta: Bumi Aksara, (2012). Santrock, John W., “Psikologii Pendidikan” Alih Bahasa : Tri Wibowo. Jakarta: Prenada Media Group, (2008). Toharudin, Uus, “Membangun Literasii Sains Peserta Didik”, Bandung: humaniora, (2011). Sugiyono, “Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D” Bandung: Alfa Beta, (2012).
ISBN 978-602-19655-4-2
Eka Yusmaita* Mahasiswa Pendidikan Kimia Universitas Negeri Padang [email protected]
Bayharti Dosen jurusan kimia Universitas Negeri Padang
*Corresponding author
79
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Profil Kemampuan Inkuiri Siswa dalam Penerapan Model Pembelajaran Level of Inquiry Erlina Megawati, Purwanto, dan Winny Liliawati Abstrak Pembelaran Fisika pada umumnya masih menggunakan metode ceramah. Akibatnya siswa cenderung pasif dan kemampuan inkuiri siswa tidak terlatih. Hal ini bertentangan dengan ketentuan Badan Standar Nasional Pendidikan (BNSP) yang menyatakan bahwa pembelajaran fisika harus dilaksanakan secara inkuiri ilmiah untuk menumbuhkan kemampuan berpikir, bekerja dan bersikap ilmiah serta berkomunikasi. Maka dilakukan penelitian pembelajaran fisika dengan menggunakan model pembelajaran level of inquiry untuk melihat kemampuan inkuiri siswa. Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu deskriptif sedangkan desain penelitiannya yaitu One-Shot Case Design. Lembar observasi dan Lembar Kerja Sisiwa (LKS) digunakan sebagai instrumen untuk mengukur kemampuan inkuiri siswa. Sampel dalam penelitian diambil dengan teknik purposive sample. Hasil penelitian yang dilakukan pada 30 siswa menunjukan kemampuan inkuiri siswa dalam penerapan model level of inquiry berada pada kategori terampil dengan nilai IPK sebesar 81,68%. Kemampuan inkuiri siswa pada level discovery learning sebesar 80,93%. Kemampuan inkuiri siswa pada level interactive demonstration sebesar 77,22%. Kemampuan inkuiri siswa pada level inquiry lesson sebesar 88.83%. IPK kemampuan inkuiri siswa pada level inquiry lab 78,125% dan IPK pada level hypothetical inquiry sebesar 77,29%.Berdasarkan analisis data tersebut maka dapat disimpulkan bahwa dengan menggunakan model pembelajaran level of inquiry kita dapat melatih dan mengembangkan kemampuan inkuiri siswa. Kata kunci: Level of Inquiry, Kemampuan inkuiri. interactive demonstration, inquiry lesson, inquiry lab dan hypothetical inquiry.
Pendahuluan Pembelajaran Fisika pada hakekatnya dilaksanakan secara inkuiri ilmiah (BNSP,2006:159-160). Model pembelajaran yang dianggap sesuai adalah Level of inquiry melatih kemampuan berinkuri siswa dari tingkat paling rendah sampai tingkat paling tinggi. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan Wenning (2010) pada jurnal “Levels of inquiry: Using inquiry spectrum learning sequences to teach science”.
Kemampuan - kemampuan siswa yang seharusnya muncul dalam pembelajaran fisika tersebut diklasifikasikan kedalam lima jenis kemampuan (Wenning, 2010) yang ditunjukan tabel berikut: Level inkuiri
Discovery learning
Hasil studi pendahuluan di salah satu SMA Negeri di kota Bandung menunjukan hal yang berbeda dengan ketentuan di atas. Pembelajaran fisika di sekolah ini masih menggunakan metode ceramah dan bersifat teacher centre dan kemampuan inkuiri siswa tiddak muncul. Sehingga berdasarkan literatur tersebut, maka peneliti malakukan penelitian dengan menerapkan model level of inquiry dalam pembelajaran fisika. Tujuannya adalah untuk mengetahu kemampuan siswa dalam berinkuiri.
Demonstrasi interaktif
Teori Wenning (2010) dalam jurnal “Levels of inquiry: Using inquiry spectrum learning sequences to teach science” mengelompokan inkuiri ke dalam lima level berdasarkan peningkatan kecerdasan intelektual siswa dan pergeseran pengontrol pembelajaran dari guru ke siswa. Kelima level inkuiri tersebut adalah discovery learning,
ISBN 978-602-19655-4-2
Inkuiri leson
80
Kemampuan Siswa yang Kemampuan paling dasar Mengamati Merumuskan konsep Memperkirakan Menarik kesimpulan Mengkomunikasikan hasil Mengelompokkan hasil Kemampuan dasar Memprediksi Menjelaskan Memperoleh dan mengolah data Merumuskan dan merevisi penjelasan ilmiah menggunakan logika dan bukti Mengenali dan menganalisis penjelasan pergantian dan model kemampuan menengah Mengukur Mengumpulkan dan mencatat data Membangun sebuah tabel data Merancang dan melakukan penyelidikan ilmiah Menggunakan teknologi dan matematika selama investigasi
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Inquiry lab
Hypothetical inquiry
Mendeskripsikan hubungan Kemampuan terpadu: Mengukur besaran Menetapkan hukum empiris berdasarkan bukti dan logika Merancang dan melakukan penyelidikan ilmiah Menggunakan teknologi dan matematika selama investigasi Kemampuan lanjutan: Sintesis penjelasan hipotetis kompleks Menganalisis dan mengevaluasi argumen ilmiah Menghasilkan prediksi melalui proses deduksi Merevisi hipotesis dan prediksi dalam terang bukti baru memecahkan masalah yang kompleks dunia nyata
Sampel tersebut diambil dengan menggunakan teknik sampling purposive yang merupakan salah satu jenis teknik nonprobability sampling. Hasil dan Diskusi Gambaran mengenai kemampuan berinkuiri siswa yang terlihat selama proses pembelajaran dengan menggunakan model pembelajarn level of inquiry untuk setiap level kegiatan berinkuiri secara rinci ditunjukkan pada tabel 3 berikut ini. Tabel 3. Rekapitulasi Nilai IPK Kemampuan inkuiri Siswa Level Inquiry Discovery learning Interactive demonstration Inquiry lesson Inquiry lab Hypothetical Inquiry Rata – rata Kemampuan Inkuiri Siswa
Jika berdasarkan tingkat kemampuan siswa maka siswa akan memperoleh nilai paling tinggi pada awal penerapan level of inquiry atau pada level discovery learning dan memperoleh nilai kemampuan inkuiri paling rendah pada level paling tinggi dari level of inquiry, yaitu level hypothetical inquiry.
Indeks
Terampil
88,83% 78,125% 77,29%
Terampil Terampil Terampil
80,93%
Terampil
85 83,2
Prestasi
80
Interpretasi Sangat kurang terampil Kurang terampil Cukup terampil Terampil Sangat terampil
77,22
78,125 77,29
Discovery Learning Interactive demonstration Inquiry lesson
75 Inquiry lab 70 Aspek Kemampuan Inkuiri
Peneliti menggunakan kelima level inkuiri dalam pembelajaran fisika sselama empat kali pertemuan. Pada pertemuan pertama diterapkan dua level inkuiri yaitu discovery learning dan interactive demonstration. Pada hari kedua sampai keempat berurutan dari inquiry lesson sampai hypothetical inquiry.
Gambar 1. Grafik Rekapitulasi IPK Kemampuan Inkiri Siswa pada 88,83 Setiap Level. Dari Gambar 1 diperoleh informasi bahwa kemampuan inkuiri siswa yang terlihat selama proses pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran level of inquiry berada pada kategori terampil dengan rata-rata nilai IPK sebesar 80,93%. Diperoleh informasi pula dari tabel 4.7 bahwa kelima level inkuiri tersebut berada pada kategori yang sama yaitu terampil. Hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa IPK dari level inkuiri terendah ke level inkuiri tertinggi mengalami penurunan dan peningkatan.
Pertanyaan penelitian yang muncul adalah “Bagaimana profil kemampuan inkuisi siswa SMA pada setiap level inkuiri dalam penerapan model level of inquiry?” Metode penelitian yang digunanakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Sedangkan desain penelitian yang digunakan peneliti adalah one -shoot case study.
Berdasarkan tabel 2, discovery learning tidak menjadi level dengan IPK tertinggi sebagaimana dijelaskan dalam teori. Begitupun dengan hypothetical inquiry yang tidak menjadi level
Sampel dalam penelitian ini semua siswa di salah satu kelas X di SMAN di Kota Bandung.
ISBN 978-602-19655-4-2
77,22 %
88,83
90 Nilai IPK ( % )
Kategori IPK 0,00% - 30% 31,00% - 54% 55,00% - 74% 75% - 89,00% 90% - 100,00%
Tafsiran
Kategori Terampil
Data pada Tabel 3 disajikan kemabali dalam bentuk grafik sebagai berikut :
Penilaian kemampuan inkuiri siswa dilakukan dengan mencari Indeks Prestasi Kelompok (IPK). Kemuadian IPK yang merupakan data kualiatif diinterpretasikan menurut Panggabean pada tebel sebagai berikut : Tabel 2. Kategori Kelompok.
NIlai IPK 83,2%
81
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
diakibatkan siswa kurang memahami hukum kekakalan energi tentang kesetaraan kalor listrik yang berkaitan dengan permasalahan yang disajikan oleh guru. Pada penerapan level ini guru menyajikan permaalahan bagaimana prinsip kerja teko listrik dan membuktikan kesetaraan kalor listrik.
dengan IPK terendah. IPK terendah justru diperoleh siswa pada level interactive demontration. Dari tabel terlihat terjadinya penurunan IPK dari level discovery learning ke level interactive demonstration. Hal ini dikarenakan mulai terjadinya pergeseran pihak pengontrol pembelajaran dari guru ke siswa. Pergeseran ini menuntut siswa dengan kemampuan intelektual yang lebih tinggi dibading ketika siswa masih berada pada level discovery learning. Keadaan yang demikian membuat siswa yang belum terbiasa berinkuiri mengalami kesulitan. Selain itu, waktu pembelajaran yang mendesak pada saat penerapan level interactive demonstration membuat guru juga mengalami kesulitan untuk memaksimalkan perannya untuk memberikan bimbingan sebagaimana mestinya. Mendesaknya waktu pembelajaran dikarenakan penerapan level discovery learning yang melebihi ketentuan sehingga waktu untuk penerapan level interactive demonstration menjadi berkurang. Waktu yang mendesak membuat kelas tidak kondusif karena konsentrasi siswa mulai terpecah memikirkan pelajaran yang selanjutnya.
Kesimpulan Berdasarkan data hasil kesimpulan sebagai beriku :
diperoleh
Profil kemampuan inkuiri siswa pada level discovery learning berada pada ketegori terampil dengan IPK sebesar 83,2%. Pada level interactive demonstration, kemampuan inkuiri siswa berada pada kategori terampil dengan IPK 77,22%. Dengan IPK sebesar 88,83%, maka profil kemampuan inkuiri siswa pada level inquiry lesson berada pada kategori terampil. Sedangkan profil inkuiri siswa pada level inquiry lab dan hypothetical inquiry juga berada pada kategori terampil dengan IPK masing – masing sebesar 78,125% dan 77,29%.
Dari level interactive demonstration ke level inquiry lesson, IPK kemampuan inkuiri siswa mengalami kenaikan. Hal ini dikarenakan siswa dapat memaksimalkan kemampuannya untuk berperan sebagai pihak yang mengontrol pembelajaran sesuai ketentuan pada level inquiry lesson. Kemampuan siswa ini tidak terlepas dari akibat dari penerapan dua level sebelumnya yang membuat siswa mulai terbiasa berinkuiri. Selain itu, guru dapat mengoptimalkan penerapan level inquiry lesson dengan alokasi waktu yang tersedia. Kondisi kelas cukup kondusif, sehingga guru dan siswa dapat melaksakan perannya masing – masing sesuai ketentuan level inquiry lesson.
Berdasarkan profil setiap level inkuiri tersebut, maka diperoleh profil rata – rata kemampuan inkuiri siswa berada pada kategori terampil dengan IPK sebesar 80,93%. Ucapan terima kasih Penulis mengucapkan terima kasih kepada Mr. Wenning serta kang Rahmat, Ibu Yusnim, dan siswa – siswi X-9, SMAN 6 Kota Bandung, Jurusan Pendidikan Fisika Universitas Pendidikan Indonesia, Institut Teknologi Bandung, serta teman – teman semua yang telah banyak membantu dalam penelitian ini.
Penurunan IPK kembali terjadi ketika level inkuiri meningkat dari inquiry lesson ke inquiry lab. Diketahui bahwa IPK inquiri lab hanya 72,125%. Penurunan IPK ini disebabkan karena permasalahan yang disajikan dalam pembelajaran semakin kompleks dan kontrol guru semakin berkurang. Level ini menuntut kemampuan intelektual siswa yang lebih tinggi dan menuntut siswa untuk dapat mengintrol pembelajaran. Tuntutan dalam level ini belum sepenuhnya dapat dipenuhi oleh siswa.
Referensi [1] S. Arikunto, “Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan”, (edisi revisi). Jakarta: PT. BUMI AKSARA, (2011). [2] BSNP, “Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar Dan Menengah”, Jakarta:BSNP, (2006), [Tersedia Online ] http://litbang.kemdikbud.go.id/sekretariat/cont ent/BUKUST~1(4).pdf [12-03-2013] [3] Depdiknas, “Kurikulum 2004 Standar Kompetensi Mata Pelajaran Fisika”, (2003), . [Tersedia Online] http://sasterpadu.tripod.com/sas_store/Fisika. pdf [23 -02-2013] [4] R. R. Hake, “Analizing Change/Gain Score”, USA: Dept: Of Physics, Indiana University, (1998). [5] R. Hidayat, “Profil Kemampuan Berinkuiri Siswa SMP Dan Hasil Belajar Siswa Setelah Diterapkan Model Pembelajaran Level Of
Dari level inquiry lab ke hypothetical inquiry, IPK kemampuan inkuiri siswa kembali mengalami penurunan walaupun tidak signifikan. Penyebab penurunan IPK ini hampir sama dengan penyebab penuruan IPK pada level inquiry lesson. Perbedaannya, pada level ini siswa yang dihadapkan dengan permasalahan yang lebih kompleks lagi mengalami kesulitan untuk dapat memecahkan masalah tersebut. Kesulitan ini
ISBN 978-602-19655-4-2
maka
82
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
[6]
[7]
[8]
[9]
[10] [11]
http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2011/0 9/12/pembelajaran-inkuiri/ [30-01-2013] [12] Sugiyono, “Metode Penelitian Pendidikan”, Bandung: Alfabeta, (2010). [13] C.J. Wenning, “Levels of inquiry: Hierarchies of pedagogical practices and inquiry processes”, Journal Of Physics Teacher Education Online, (2005). [Tersedia Online] : http://www.phy.ilstru.edu/jpteo [30-01-2013] [14] C.J. Wenning, (2012). The Levels of Inquiry Model of Science Teaching, Journal Of Physics Teacher Education, (2012), Online. [Tersedia Online]: http://www.phy.ilstru.edu/jpteo [30-01-2013]
Inkquiry”, Skripsi Jurusan Pendidikan FIsika FPMIPA UPI. Bandung: tidak diterbitkan, (2012). Kamus Bahasa Indonesia Onlie [Tersedia Online] http://kamusbahasaindonesia.org/motivasi#ix zz2JTIzSZIC [ 31-01-2013 ] S. Munaf, “Evaluasi Pendidikan Fisika”, Bandung : Jurusan Pendidikan Fisika FPMIPA Universitas Pendidikan Indonesia, (2001). L. P. Panggabean, “Penelitian Pendidikan”, Bandung : Jurusan Pendidikan Fisika FPMIPA UPI Bandung, (1996). N. Rustaman, “Perkembangan Penelitian Pembelajaran Berbasis Inkuiri Dalam Pendidikan Sains”, (2005), [Tersedia Online] http://file.upi.edu/Direktori/SPS/PRODI.PENDI DIKAN_IPA/195012311979032NURYANI_RUSTAMAN/PenPemInkuiri.pdf [12-03-2013] A. Sudijono, Pengantar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: RAJAGRAFINDO PERSADA, (2009). A. Sudrajat, “Pembelajaran Inkuiri”, (2011), [Tersedia Online]:
ISBN 978-602-19655-4-2
Erlina Megawati Purwanto Winny Liliawati
*Corresponding author
83
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Penerapan Pemberian Tugas Awal “ Integrated Reading And Writing” dalam Pembelajran Berbasis Masalah Untuk Meningkatkan Literasi Fisika SMP Ermawati Dewi, Selli Feranie, dan Saeful Karim Abstrak Pengetahuan awal sebelum pembelajaran dapat menentukan hasil pembelajaran yang dilakukan oleh siswa. Pengetahuan awal dapat diperoleh melalui kegiatan membaca teks sains sebelum pembelajaran dimulai. Hasil studi pendahuluan mengungkapkan bahwa kemampuan pemahaman membaca teks sains siswa salah satu SMP di Bandung rendah. Rendahnya pemahaman membaca teks sains menyebabkan kurangnya pengetahuan awal yang diperoleh siswa sehingga dapat mempengaruhi pemahaman konsep dan scientific inquiry. Kemampuan membaca, pemahaman konsep dan scientific inquiry berkaitan dengan kemampuan literasi siswa. Artinya, jika kemampuan membaca, pemahaman konsep dan scientific inquiry rendah, maka kemampuan literasi fisikanya rendah. Kemampuan literasi fisika meliputi aspek context, knowledge, competencies, sesuai dengan kemapuan literasi IPA yang diukur PISA 2006. Salah satu usaha untuk meningkatkan kemampuan literasi fisika adalah memberikan tugas awal integrated reading and writing (pemberian bahan bacaan IPA yang disertai dengan didalamnya tercangkup strategi membaca dan menulis yang diberikan sebelum pembelajaran) sebagai pengetahuan awal, serta dengan menerapkan pembelajaran berbasis masalah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peningkatan kemampuan literasi fisika siswa SMP setelah diterapkan strategi literasi pada pembelajaran berterma alat ukur gerak pada kendaraan bermotor. Penelitian ini menggunakan metode quasi eksperimen dengan desain penelitian one grup pretest posttest design. Instrumen yang digunakan untuk mengukur kemampuan literasi sain merujuk pada jenis soal PISA 2006, dengan tema “Alat Ukur Gerak Pada Kendaraan Bermotor”. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah siswa kelas VII SMPN di kota Bandung. Hasil analisis data diperoleh rata – rata nilai hasil posttest sebesar 74,48 lebih tinggi dibanding dengan rata-rata pretest sebesar 48,38, artinya terdapat peningkatan kemampuan literasi fisika setelah diterapkan strategi literasi pada pembelajaran bertema “ Alat Ukur Gerak pada Kendaraan Bermotor” dengan bersarnya nilai peningkatan 0,51 pada kategori. Kata-kata kunci: integrated reading and writing, literasi fisika. difokuskan pada satu tema yaitu “ Alat Ukur Gerak Pada Kendaraan Bermotor ”
Pendahuluan Kebiasaan teks book dalam pembelajaran fisika seharusnya dapat membatu anak –anak untuk meningkatkan pemahaman konsep dan scientific inquiry. Namun, berdasarkan studi pendahuluan terungkap bahwa kemampuan pemahaman membaca anak Indonesia rendah. Ini secara tidak langsung menunjukkan kemampuan literasi fisika rendah Pengembangan pembelajaran untuk meningkatkan kemampuan literasi siswa telah banyak dilakukan. Hanya saja pengembangan belum terfokus pada penerapan strategi literasi. Douglas Fisher, et.al mengungkapkan ada tujuh strategi literasi yang dapat diterapkan untuk meningkatkan kemampuan literasi fisika (1).
Literasi Fisika Integreted Reading and Writing, Pembelajaran Berbasis Masalah literasi fisika literasi fisika merupakan kemampuan untuk memahami konsep fisika, menjelaskan fenomena fisika secara ilmiah, dan mengaplikasikan konsep fisika untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari. Literasi fisika menuntut siswa memahami secara keseluruhan. Hobson (2003) dalam jurnalnya yang berkaitan dengan pembelajaran untuk meningkatkan kemampuan literasi fisika yaitu : 1. Harus konseptual, tidak hanya terpaku pada aljabar saja. Misalnya, mengaplikasikan sistem metriks dan grafik untuk memperkirakan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi.
Makalah ini membahas tentang penerapan strategi literasi dalam pembelajaran. Penerapan strategi literasi pada penelitian ini terintegrasi dalam dua tahap pembelajaran, yaitu tahap pra pembelajaran berupa tugas awal Integrated Reading and Writing dan tahap pelaksanaan pembelajaran menggunakan pembelajaran berbasis masalah. Agar mendapatkan keutuhan pemahaman konsep, pembelajaran literasi
ISBN 978-602-19655-4-2
2. Menggunakan pembelajaran interaktif atau teknik berinkuiri sehingga siswa terlibat dalam proses pembelajaran sains. 3. Fokus terhadap tema yang relevan.
84
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
sesuai dengan tuntutan literasi sains. Model pembelajaran yang dirasa cocok dan dapat mengintegrasikan strategi literasi adalah model pembelajran berbasis masalah. Model pembelajaran berbasis masalah Pembelajaran berbasis masalah ditandai dengan adanya pemberian masalah dalam pembelajaran. Masalah yang dihadirkan dalam pembelajaran merupakan masalah nyata yang ada dalam kehidupan sehari – hari. Menurut Gallagher (dalam Wahyuni : 2010) pembelajaran ini melibatkan peserta didik dalam proses pembelajaran yang aktif, kolaboratif, berpusat kepada mahasiswa, yang mengembangkan kemampuan pemecahan masalah dan kemampuan belajar mandiri. Heller et al (1999) berpendapat bahwa yang terpenting dalam pembelajaran berbasis masalah adalah pemahaman terhadap masalah yang disajikan sehingga siswa dapat menyelesaikan malasalah lain dengan baik. Kemampuan yang paling penting dalam pembelajaran berbasis masalah adalah memvisualisikan situasi, mengidentifikasi masalah sebenarnya dan mengidentifikasi masalah yang relevan (1999 :19).
4. Melatihkan kebiasaan sains. Melatihkan siswa untuk selalu bertanya “ Bagaimana cara kerjanya?” 5. Tidak hanya mengajarkan fisika kontemporer. 6. Terdapat topik sosial tentang energi dan lingkungan. Berdasarkan pemaparan diatas, jelaslah bahwa secara keseluruhan pembelajaran literasi fisika harus tematik agar peningkatan kemampuan literasi fisika dapat tercapai.awal Integrated Reading and Writing merupakan tugas awal yang diberikan kepada siswa berupa tugas membaca dan menulis yang disertai instruksi-instruksi untuk mengkonstruksi pemahaman konsep melalui bacaan. Tugas awal ini berfungsi untuk memberikan pengetahuan awal pada siswa. Tugas awal Intergrated Reading and Writing ini diadaptasi dari jurnal ‘ Improving Middle school Students Science Literacy through Reading Fusion (Zhihui Fang, 2010) dengan format: 1. Part A Reading, Pada Bagian ini siswa diberikan sumber bacaan yang berkaitan dengan materi yang akan diajarkan saat pembelajaran dikelas berlangsung.. Bahan acaan dapat dimbil dari buku teks fisika atau lebih baik guru yang membuat sendiri disesuaikan dengan kondisi siswa.
Adapun strategi pembelajaran berbasis masalah menurut Heller et al. (1999:2) yang dikembangkan di Universitas Minnesota mencakup diantaranya adalah: 1. Memvisualisasikan masalah, masalah di visualisasikan berdasarkan pengetahuan yang dimiliki secara kualitatif termasuk didalamnya mencari informasi terkait masalah.
2. Part B Conceptual Contruction. Bagian ini siswa diberikan pertanyaan – pertanyan untuk mengkonstruksi konsep yang ada pada bacaan. Siswa diharuskan menulis jawaban – jawaban dari pertanyaan tersebut. Pertanyaan yang disusun berkaitan dengan sumber bacaan yang ada pada part A.
2. Mengaitkan permasalahan dengan konsep fisika, pada strategi ini memungkinkan siswa untuk menyederhanakan masalah berdasarkan konsep – konsep fisika yang dimilikinya.
3. Part C Concept Mapping and Conclusion. Pada Bagian ini siswa diminta untuk menuliskan peta konsep dari sumber bacaan yang diberikan. Selain itu siswa juga diminta memberikan kesimpulan berdasarkan bacaan tersebut.
3. Merencanakan solusi, setelah merepresentasikan masalah, selanjutnya meraencanakan solusi terhadap masalah yang diberikan sesuai dengan pengetahuan yang logis.
Berdasarkan format integrated reading and writing yang diberikan diatas, terlihat bahwa siswa tidak hanya dilatihkan untuk memahami bacaan, tetapi juga untuk menuliskan kembali apa yang dibaca. Larry dkk berpendapat bahwa kemampuan membaca dan menulis itu saling berkaitan. Membaca dan menulis merupakan langkah pembelajaran yang dinamis ( Shawn dkk :1997). Sesson et.al. ( NSTA 2013) dalam handbook presentasinya mengungkapkan bahwa kemampuan membaca dan menulis point penting dalam berinkuari. Lebih lanjut, diungkapkannya bahwa membaca dan menulis merupakan bagian dari pekerjaan ilmuan.
4. Menjalankan rencana solusi, melaksanakan apa yang sudah direncanakan termasuk didalamnya melakukan pengamatan, pengukuran dan eksplorasi yang disajikan dalam bentuk data. 5. Menafsirkan dan mengevaluasi solusi, mengecek keteraksanaan rencana solusi dengan mengevaluasi terlebih dahulu solusi yang dilakukan apakah masuk akal atau tidak. Hasil dan Diskusi Pelaksanaan penelitian dengan menerapkan strategi literasi berlangsung selama empat kali pertemuan, dengan dua kali pertemuan digunakan untuk test dan dua kali pertemuan digunakan untuk treatment. Sebelum pelaksanaan
Sesuai tuntutan literasi fisika yang menuntut siswa untuk memiliki pengetahuan yang itu, diperlukan sebuah model pembelajaran yang
ISBN 978-602-19655-4-2
85
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
strategi literasi dapat diketahui. Hal ini dapat dilihat dari hasil pengisian soal berupa pernyataan yang bertujuan untuk mengetahui ketertarikan siswa terhadap pembelajaran bertema alat ukur gerak pada kendaraan bermotor yang telah dipelajari. Banyaknya soal berjumlah tiga buah berupa pernyataan yang menunjukan kondisi ketertarikan siswa. Adapun rekapitulasi hasil kemampuan literasi untuk aspek attitude dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
pembelajaran dikelas dengan menggunakan Problem Based Learning, siswa diberikan tugas rumah berupa Integrated Reading and Writing yang merupakan teks bacaan yang didalamnya terdapat strategi membaca dan menulis sesuai dengan materi pembelajaran. Tugas Integrated Reading and Writing untuk treatment pada pertemuan kedua diberikan pada pertemuan pertama setelah dilaksanakannya pretest. Sedangkan tugas Integrated Reading and Writing pada pertemuan ketiga diberikan setelah pembelajaran pada pertemuan kedua selesai. Setiap pertemuan disampaikan materi yang berbeda-beda sesuai dengan rencana pembelajaran yang dibuat. Selain itu materi yang disampaikan disesuaikan dengan tema yang dipilih, yaitu alat ukur gerak pada kendaraan bermotor
Tabel 2. Rekapitulasi Hasil Kemampuan Literasi aspek Atittude.
Tes dilakasanakan pada pertemuan pertama sebelum pembelajaran dan pertemuan terakhir setelah pembelajaran. Soal yang digunakan pada pretest sama dengan soal yang digunakan pada postes yang berjumlah 15 soal. Soal yang dibuat disesuaikan dengan tema pembelajaran. Peningkatan literasi siswa dapat dilihat berdasarkan hasil pretest dan postest. Adapun rekapitulasi presentasi peningkatan litersi sain siswa sebelum dan sesudah diterapkannya strategi literasi pada pembelajaran bertema “ Alat Ukur Gerak pada Kendaraan Bermotor” dapat dilihat pada tabel 4.1 Tabel 1. Rekapitulasi Kemapuan Literasi Fisika.
Hasil
Secara umum, setelah pembelajaran siswa mengalami peningkatan kemampuan literasi fisika. Selain itu berdasarkan aspek attitude diperoleh bahwa siswa merasa tertarik mempelajari fisika dengan penggunaan integrated reading and writing dengan pembelajaran bertema. Pada grafik dapat dilihat bahwa setelah diterapkannya treatment siswa yang merespon penting meningkat. Ini membuktikan bahwa adanya respon positif siswa terhadap pembelajran yang telah dilaksanakan.
Peningkatan
Ketertarikan siswa dalam mempelajari fisika merupakan hal positif. Pembelajaran akan lebih bermakna ketika siswa memberikan respon yang baik. Pada penelitian ini ketertarikan siswa pada pembelajaran dikarenakan siswa lebih memahami bacaan pada tugas awal yang diberikan, karena pertanyaan – pertanyaan pengarah pada bacaan merupakan bagian dari pemberian strategi membaca. Pemberian pertanyaan pengarah ini dimaksudkan untuk mengcontruksi pemahaman siswa sehingga,
Dari Tabel 1 dapat diketahui apakah siswa mengalami peningkatan literasi atau tidak setelah mendapatkan treamen berupa penerapan strategi literasi pada pembelajaran bertema “ Alat Ukur Gerak Pada Kendaraaan Bermotor”. Hasil rekapilutasi secara lengkap dapat dilihat pada lampiran. Secara umum, setelah pembelajaran siswa mengalami peningkatan kemampuan literasi, hal ini ditunjukan dengan meningkatnya skor presentase siswa sebelum dan sesudah dilaksanakannya treatment. Peningkatan skor presantase sebesar 26,67 % dari hasil pretest. Setelah dilakukan pengolahan data, diperoleh juga nilai gain ternormalisi sebesar 0,5109. Gain ternormalisasi ini menunjukan angka peningkatan kemapuan literasi setelah dilaksanakannya treatment. Artinya, peningkatan kemapuan literasi siswa secara umum sebesar 51,09 % pada kategori sedang.
pemberian tugas awal ini tidak hanya membatu siswa dalam memahami bacaan, tetapi membantu siswa memahami konsep-konep yang ada pada tugas awal. Hal ini dapat mempermudah siswa melaksanakan pembelajaran dikelas karena secara umum siswa sudah memiliki pengetahuan awal. Hanya saja, masih ada siswa yang belum terbiasa mendapatkan tugas awal berupa Integreted Reading and Writing, ada beberapa siswa yang tidak mengerjakannya secara
Tingkat literasi fisika untuk aspek attitudes setelah pembelajaran dengan menggunakan ISBN 978-602-19655-4-2
Peningkatan
86
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
makasimal. Pembelajaran menggunakan PBM sangat mempengaruhi kemampuan literasi fisika. Dalam PBM, siswa diberikan masalah yang berkaitan dengan tema pembelajaran. Tema pembelajaran ini dibuat se-contextual mungkin agar siswa merasa tertarik dan merasa sangat penting mempelajari fisika. Dengan pembelajaran menggunakan PBM, dapat meningktkan kemampuan scientific inquiry siswa. Pembelajaran berbasis masalah yang dilakukan lebih efektif karena siswa sebelumnya sudah memiliki pengetahuan awal. Pengetahuan awal membantu guru untuk melaksanakan pembelajaran secara efektif . Pengetahuan awal yang dimiliki siswa juga membantu meningkatkan rasa percaya diri siswa. Hal ini terlihat dari antusias siswa dalam melaksanakan pembelajaran. Siswa lebih mudah menyelesaikan permasalahan yang diberikan.
Referensi [1] D. Fisher, et.al., “Seven Literacy Strategies That Work”. 28, (3), 70-73, (2002). [2] Z. Fang, “Improving Middle School Student Science Literacy Through Reading Infusion”. Journal of Education Research.103, 262273.Kho Ping Hoo dan Bastian Tito, “Wiro Sableng mantu di pulau Es”, Penerbit Cerita Silat, Solo, Cetakan Ketiga, 1985, p. 23, (2010). [3] Hobson, Art., “Physics Literacy, Energy and The Environment”. Journal IOP Journal of Physics Education, 38, 109-114, (2003). [4] P. Heller, and K. Heller, “Cooperative group problem solving in physics”, University of Minnesota, (1999), Full text available online at: http://groups.physics.umn.edu/physed/Resear ch/CGPS/GreenBook.html [5] Larry, et al., “Reading to Learn – Writting to science activities from the elementary school classrom”. AETS Conference Proceding, (1997). [6] Sesson, et.al., “Integreting Literacy Strategis into the Science Intruction Program”, Handbook presentasion From Carolina Curriculum Ledership Series, (2013).
Kesimpualan Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap siswa kelas VII di salah satu SMP Negeri di Kota Bandung mengenai penerapan pemberian tugas awal integrated reading and writting ada pembelajaran bertema Alat ukur gerak pada kendaraan bermotor untuk meningkatkan literasi fisika siswa SMP dapat disimpulkan bahwa: Literasi fisika siswa untuk aspek context, competencies dan knowledge setelah diterapkannya strategi literasi pada pembelajaran bertema “Alat ukur Gerak pada Kendaraan Bermotor” di SMP mengalami peningkatan dengan kriteria sedang.
Ermawati Dewi* Jurusan Pendidikan Fisika FPMIPA Universitas Pendidikan Indonesia [email protected] Selli Feranie Jurusan Pendidika Fisika FPMIPA Universitas Pendidikan Indonesia
Ketertarikan siswa terhadap materi pembelajaran bertema alat ukur gerak pada kendaraan bermotor setelah diterapkannya pemberian tuga awal “ Integrated Reading and Writting” pada pembelajaran berbasis masalah Siswa mengalami respon yang positif dari siswa.
Saeful Karim Jurusan Pendidikan Fisika FPMIPA Universitas Pendidikan Indonesia
Ucapan Terima Kasih Penulis mengucapkan terima kepada Jurusan Pendidikan Fisika FPMIPA UPI atas sarana dan prasarananya dalam melakukan penelitian ini. Terima kasih juga kepada rekan – rekan yang tergabung dalam penelitian ini.
ISBN 978-602-19655-4-2
* Corresponing author
87
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Penerapan Strategi Membaca dan Menulis pada Tugas Awal dalam Pembelajaran IPA Bertema Ultrasound untuk Meningkatkan Literasi Fisika Siswa SMP Esti Maras Istiqlal*, Saeful Karim, dan Selly Feranie Abstrak Berdasarkan studi pendahuluan dalam pembelajaran IPA pada siswa SMP di Kota Bandung diketahui bahwa pemahaman bacaan sains siswa masih rendah, ini berdampak pada kemampuan scientific inquiry dan pemahaman konsep pembelajaran IPA yang dimiliki siswa. Tiga kemampuan ini dapat meningkatkan kemampuan literasi siswa. Oleh karena itu, diperlukan strategi pembelajaran yang dapat meningkatkan kemampuan tersebut yaitu dengan cara menerapkan strategi membaca dan menulis pada pemberian tugas awal. Strategi membaca dan menulis pada pemberian tugas awal dalam penelitian ini, yaitu pemberian tugas awal terdiri dari bahan bacaan yang meliputi strategi membaca dan menulis dengan menggunakan metode SQRW (Survey, Question, Reading and Writing) dan model pembelajaran yang dapat meningkatkan kemampuan scientific inquiry dan pemahaman konsep, yang difokuskan pada materi pembelajaran fisika. Kemampuan literasi yang diukur, yakni competencies, knowledge, context dan attitude (PISA, 2006). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penerapan strategi membaca dan menulis pada pemberian tugas awal dalam pembelajaran IPA bertema ultrasound untuk meningkatkan literasi fisika. Bentuk penelitian yang digunakan Quasi Experiment, dengan rancangan one group pretest posttest design. Sampel penelitianya yaitu siswa SMP kelas VIII di Kota Bandung. Berdasarkan hasil analisis data diperoleh N-gain sebesar 0,61, artinya terdapat peningkatan kemampuan literasi dalam kategori sedang setelah diterapkannya strategi membaca dan menulis pada pemberian tugas awal. Sebagai tambahan diperoleh nilai rata-rata posttest sebesar 80,54 lebih tinggi dibanding nilai rata-rata pretest yaitu 50,45. Penerapan strategi membaca dan menulis pada tugas awal dapat meningkatkan literasi fisika siswa. Kata-kata kunci: strategi membaca dan menulis, literasi fisika tersebut diharapkan dapat meningkatkan literasi fisika.
Pendahuluan Berdasarkan studi literasi internasional PISA (Programme International Student Assessment) tahun 2006 menunjukkan kemampuan literasi sains anak Indonesia yang berumur 15 tahun, berada pada peringkat 50 dari 57 negara peserta (Balitbang, Kemdikbud: 2011) [9]. Selama Program Pengalaman Lapangan (PPL) di salah satu Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri di Kota Bandung, penulis melakukan studi pendahuluan capaian literasi fisika terhadap 40 siswa, jumlah ini sudah cukup mewakili populasi berdasarkan buku Sugiyono dengan menggunakan teknik purposive sampling.
Penelitian yang dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya membahas strategi membaca dan menulis terhadap prestasi belajar siswa. Penelitian ini ingin mengetahui pemberian tugas awal strategi membaca dan menulis pada dalam pembelajaran IPA bertema ultrasound untuk meningkatkan literasi fisika siswa SMP. Teori Membaca menurut Anderson adalah melafalkan lambang-lambang bahasa tulis. Sedangkan menurut Poerwodarminto membaca adalah melihat sambil melisankan suatu tulisan dengan tujuan ingin mengetahui isinya [6,7]. Dapat disimpulkan kalau membaca adalah proses melisankan/melafalkan serta memahami bacaan atau sumber bacaan untuk memperoleh pesan yang ingin disampaikan penulis.
Abad ke-21 dikenal dengan abad pengetahuan. Kemampuan belajar, kemampuan berpikir, membuat keputusan dan memecahkan masalah sangat diperlukan dalam kehidupan. Selain itu juga setiap pelajaran tidak luput dari kegiatan membaca dan menulis, tidak terkecuali dengan pelajaran IPA [6]. Dengan pendidikan IPA diharapkan dapat memiliki memberikan pengalaman nyata kepada siswa dan membantu untuk memiliki kemampuan scientific inquiry, pemahaman konsep dan pemahaman membaca [1], yang difokuskan pada materi pembelajaran fisika. Siswa yang memiliki ketiga kemampuan
ISBN 978-602-19655-4-2
Tujuan utama membaca yaitu untuk mencari dan memperoleh informasi, mencakup isi serta memahami makna bacaan [9]. Strategi membaca dan menulis ini menggunakan metode membaca SQRW (Survey, Question, Reading, Writing) [3] yang diberikan sebelum proses pembelajaran sebagai tugas awal baca-tulis yang bertujuan
88
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
untuk mengetahui pengetahuan awal siswa. Menurut Pintrinch mengatakan bahwa pengetahuan awal yang tidak akurat dapat menghalangi perkembangan siswa dan kekurangan pengetahuan awal tidak memungkinkannya untuk maju [6,7]. Dari pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa pengetahuan awal sangat berperan sekali dalam proses pembelajaran. Sedangkan ketika proses pembelajaran berlangsung penelitian ini menggunakan model pembelajaran berbasis masalah.
membaca dan menulis yang diujikan, dilihat dari perbedaan nilai tes kelompok eksperimen sebelum diberi perlakuan. Penelitian ini hanya menggunakan satu sampel penelitian yaitu, kelompok kelas eksperimen saja tanpa menggunakan kelas kontrol sebagai pembanding. Kelompok eksperimen merupakan kelompok yang diberi perlakuan yaitu penerapan strategi membaca dan menulis pada tugas awal. Sedangkan desain penelitian yang digunakannya adalah one group pretest-posttest design. Secara umum digambarkan pada tabel berikut:
Pembelajaran berbasis masalah adalah model pembelajaran yang menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi siswa untuk belajar tentang cara berpikir kritis dan keterampilan masalah, serta untuk memperoleh pengetahuan dan konsep yang esensial dari materi pembelajaran [6,7,8]. Peran guru dalam pembelajaran berbasis masalah adalah menyajikan masalah, mengajukan masalah tidak dapat dilaksanakan tanpa guru mengembangkan lingkungan kelas yang memungkinkan terjadinya pertukaran ide secara terbuka. Dalam tahapan PBM siswa diharapkan untuk mencapai kemampuan berpikir tingkat tinggi (higher order thinking skills).
Tabel 1. Design Penelitian. Treatment
Posttest
O1
X
O2
Keterangan : O1 = Test awal sebelum diberi perlakuan X = Treatment ( Perlakuan dengan menerapkan strategi membaca dan menulis pada tugas awal) O2 = Test akhir setelah diberi perlakuan Pembelajaran dilaksanakan sebanyak dua kali pertemuan pada bulan Mei 2013. Populasi pada penelitian ini yaitu kelas VIII salah satu SMP Negeri di Kota Bandung. Instrument yang digunakan sebagai tes awal (pretest) dan tes akhir (posttest) dalam penelitian ini telah di-judgement dan diujicobakan terlebih dahulu, berupa soal pilihan ganda sebanyak 15 soal untuk mengukur kemampuan literasi fisika. Pada penelitian ini data yang dianalisis adalah data hasil tes literasi fisika untuk aspek context, competencies dan knowledge. Untuk aspek attitudes dianalisis secara terpisah, bentuk soal berupa pernyataan untuk mengetahui ketertarikan/respon siswa pada materi fisika tersebut.
PBM memiliki karakteristik-karakteristik sebagai berikut: (1) belajar dimulai dengan suatu masalah, (2) memastikan bahwa masalah yang diberikan berhubungan dengan dunia nyata siswa, (3) mengorganisasikan pelajaran diseputar masalah, bukan diseputar disiplin ilmu, (4) memberikan tanggungjawab yang besar kepada pebelajar dalam membentuk dan menjalankan secara langsung proses belajar mereka sendiri, (5) menggunakan kelompok kecil, dan (6) menuntut pebelajar untuk mendemonstrasikan apa yang telah mereka pelajari dalam bentuk suatu produk atau kinerja [3].
Untuk melihat peningkatan literasi fisika secara keseluruhan maka dihitung nilai gain dengan menggunakan skor pretest dan posttest. Nilai gain yang dinormalisasi merupakan perbandingan antara persentase nilai gain yang diperoleh siswa dengan persentase nilai gain maksimum yang diperoleh.
Berdasarkan pemaparan diatas bahwa dengan menerapkan strategi membaca dan menulis pada tugas awal diharapkan siswa dapat memiliki kemampuan literasi. Konsep scientific literacy mendasari penelitian yang dilakukan oleh Korpan et al. (Toharudin dkk, 2011:4), termasuk pemahaman mengenai cara siswa membaca bahan bacaan sains untuk dapat menggali informasi dan melakukan penelitian secara kritis terhadap bahan bacaan tersebut [6,7,8]. Siswa yang memiliki kemampuan pemahaman bacaan yang baik maka akan memiliki kemampuan scientific inquiry dan kemampuan pemahaman konsep fisika yang baik juga.
Hasil dan diskusi Aspek literasi fisika dalam penelitian ini meliputi aspek context, competencies, knowledge dan attitudes (PISA, 2006). Persentase rata-rata tes literasi fisika dengan menerapkan strategi membaca dan menulis pada tugas awal dalam pembelajaran bertema ultrasound disajikan pada tabel 1 berikut.
Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen semu (quasi experiment). Dengan menggunakan metode ini, keberhasilan atau keefektifan strategi
ISBN 978-602-19655-4-2
Pretest
89
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Dari hasil data rata-rata untuk semua aspek literasi fisika dapat dikatakan bahwa secara umum literasi fisika siswa mengalami peningkatan setelah diterapkannya strategi membaca dan menulis. Peran strategi membaca dan menulis pada tugas awal yang diberikan sebelum pembelajaran dapat membantu siswa ketika pembelajaran berlangsung dengan menggunakan model pembelajaran berbasis masalah.
Tabel 1. Persentase rata-rata tes literasi fisika. Pretest (%) 50,45
Posttest (%) 80,54
N-gain (%) 0,61
Persentase rata-rata tes literasi tersebut hanya untuk tiga aspek, yaitu context, competencies dan knowledge. Sedangkan aspek attitudes diolah secara terpisah. Soal literasi ini diberikan pada saat pretest dan posttest, jumlah soal sebanyak 15 soal dengan lima pengecoh. Berdasarkan tabel 1. Diatas tampak bahwa ratarata pretest(%) yaitu sebesar 50,45 lebih kecil daripada rata-rata posttest(%) yaitu sebesar 80,54. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat peningkatan persentase rata-rata pretest dan posttest. Besarnya peningkatan literasi fisika ini juga ditunjukkan oleh peningkatan nilai gain ternormalisasi, yaitu sebesar 0,61 dalam kategori sedang.
Dengan pengetahuan yang didapat siswa dari tugas awal tersebut, siswa dapat menyelesaikan masalah yang dihadapinya dengan cara mengaitkan pengetahuan fisika yang dipelajari dengan fenomena-fenomena yang terjadi di lingkungan sekitar. Serta memperoleh pengalaman belajar yang menjadikan proses belajar lebih bermakna. Salah satu bukti dari teori Bruner, bahwa dengan penemuan maka siswa akan lebih lama mengingat pengetahuan yang dimilikinya. Seperti hasil strategi membaca dan menulis pada tugas awal dapat dilihat pada tabel 3 dalam kategori cukup yang menunjukkan peningkatan pengetahuan awal yang dimiliki siswa selama proses pembelajaran. Dapat digambarkan pada saat proses pembelajaran yang tiap pertemuannya bereksperimen dalam satu kelompok para siswa memahami masalah yang dihadapi, mengaitkan permasalahan, memprediksi solusi dan menjalankan rencana solusi terlebih dahulu untuk mengisi LKS berbasis masalah yang diberikan oleh guru, sehingga data yang teramati sesuai dengan prediksi atau dapat menghasilkan data yang akurat. Data yang didapat kemudian dipresentasikan di depan kelas kemudian berdiskusi bersama-sama dengan kelompok yang lain. Para siswa menjadi tertarik terhadap pembelajaran seperti ini sehingga pelajaran fisika terasa lebih bermakna.
Nilai gain yang diperoleh dalam penelitian ini dalam kategori sedang. Hal ini dapat disebabkan beberapa hal diantaranya, siswa baru pertama kali mendapatkan soal literasi fisika, strategi membaca dan menulis ini belum secara umum digunakan oleh guru bahkan model pembelajaran berbasis masalah jarang digunakan guru untuk tingkat SMP. Hasil aspek attitudes bertujuan untuk mengetahui respon/ketertarikan siswa terhadap isu-isu atau penyelidikan ilmiah. Sama halnya dengan tiga aspek literasi diatas, aspek attitudes ini juga diberikan pada saat pretest dan posttest. Aspek ini terdiri dari tiga butir pernyataan yang memiliki empat pilihan, yaitu sangat penting (SP), penting (P), kurang penting (KP) dan tidak penting (TP). Hasil rata-rata aspek attitudes disajikan pada tabel 2 berikut.
Tabel 3. Rata-rata nilai tugas awal tiap pertemuan.
Tabel 2. Hasil pretest dan posttest aspek attitudes. Pernyataan No. 1. 2. 3.
pretest posttest
SP (%) 2,78 27,78
pretest
5,56
posttest pretest posttest
30,56 5,56 33,33
Skor
Kategori P (%) KP (%) 61,11 25,00 72,22 2,78 52,78 27,78
TP (%) 11,11 0,00 13,89
66,67
5,56
0,00
58,33 66,67
25,00 2,78
11,11 0,00
Pertemuan Ke1. 2. Rerata Nilai Tugas Awal
Strategi membaca dan menulis ini efektif untuk memiliki kemampuan pemahaman bacaan teks sains, scientific inquiry dan pemahaman konsep untuk meningkatkan kemampuan literasi fisika. Keuntungan pembelajaran fisika dengan strategi membaca dan menulis pada tugas awal diantaranya: (1) membuat siswa memiliki pengalaman untuk mengaitkan pengetahuan dengan masalah dunia nyata; (2) membentuk sikap ilmiah; (3) dapat mengkonstruksi pengetahuan awal siswa; (4) memiliki kemampuan memprediksi.
Tabel 2. diatas menunjukkan adanya peningkatan dari tiap pernyataan untuk aspek attitudes. Peningkatan ini menunjukkan bahwa secara keseluruhan penerapan strategi membaca dan menulis pada tugas awal ini dapat membuat siswa tertarik untuk mempelajari materi pembelajaran bertema ultrasound khususnya dan materi pelajaran fisika lainnya. ISBN 978-602-19655-4-2
Nilai Rata-rata Tugas Awal 61,01 77,52 69,27
90
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
pada FPMIPA UPI Bandung, (2013). tidak diterbitkan. [5] M. Hastia, “Penerapan Model Pembelajaran Inkuiri Terbimbing Untuk Meningkatkan Literasi Sains Siswa SMP”, Skripsi Sarjana pada FPMIPA UPI Bandung, (2012), tidak diterbitkan. [6] Badan Penelitian dan Pengembangan, “Kajian Kebijakan Kurikulum Mata Pelajaran IPA”, Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, (2007). [7] Program for Internasional Student Assessment. Assessing Scientific, Reading and Mathematical Literacy. By the government of Organisation for Economic Cooperation Development, (2006).
Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis soal literasi fisika diperoleh bahwa kemampuan literasi fisika siswa SMP setelah diterapkannya strategi membaca dan menulis pada tugas awal dalam pembelajaran IPA bertema ultrasound mengalami peningkatan dengan diperoleh nilai gain sebesar 0,61 dengan kategori sedang. Besarnya peningkatan literasi fisika ditunjukkan oleh hasil nilai rata-rata posttest sebesar 80,54 lebih tinggi dibanding nilai rata-rata pretest yaitu 50,45. Ini menunjukkan bahwa penerapan strategi membaca dan menulis pada tugas awal dapat meningkatkan literasi fisika siswa. Ucapan terima kasih Penulis mengucapkan terima kasih kepada SMP Negeri 45 Bandung atas dukungannya dalam proses penelitian ini.
Esti Maras Istiqlal* Jurusan Pendidikan Fisika FPMIPA Universitas Pendidikan Indonesia [email protected]
Referensi [1] Z. Fang, “Improving Middle School Student Science Literacy Through Reading Infusion”. Journal of Education Research, 103, 262-273, (2010). [2] Hobson, Art., “Physics Literacy, Energy and The Environment”. Journal IOP Journal of Physics Education, 38, 109-114, (2003). [3] S. Arikunto, “Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan”, Jakarta: Bumi Aksara, (2009). [4] M. D., Gardiantari, ”Penerapan Strategi Pembelajaran Problem Solving Dengan Reading Infusion Untuk Meningkatkan Prestasi Belajar Siswa SMP”, Skripsi Sarjana
ISBN 978-602-19655-4-2
Saeful Karim Jurusan Pendidikan Fisika FPMIPA Universitas Pendidikan Indonesia [email protected]
Selly Feranie Jurusan Pendidikan Fisika FPMIPA Universitas Pendidikan Indonesia [email protected]
*Corresponding author
91
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Analisis Karakter Peserta Didik Menggunakan Tes Dilema Moral pada Tema Gunung Meletus Fanni Zulaiha*, Winny Liliawati, dan Taufik Ramlan Ramalis Abstrak Fenomena sosial seperti kenakalan remaja, kurangnya rasa toleransi terhadap perbedaan, kurangnya kepekaan terhadap masalah sosial, dan berbagai kasus moral lainnya, telah menjadi masalah yang tak kunjung selesai hingga kini. Sesungguhnya, masalah tersebut dapat diatasi melalui kontribusi pendidikan, khususnya pada pembelajaran SAINS. Ternyata, pembelajaran SAINS tidak hanya dapat digunakan untuk meningkatkan kemampuan kognitif peserta didik. Namun, pembelajaran SAINS juga dapat digunakan untuk mengetahui karakter peserta didik selama pembelajaran. Untuk dapat menganalisis karakter siswa dalam suatu pembelajaran SAINS, dapat digunakan instrumen berupa Tes Dilema Moral. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui karakter yang tertanam selama proses pembelajaran dengan tema gunung meletus. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif dengan menggunakan instrumen Tes Dilema Moral. Tes Dilema Moral merupakan instrumen yang bertujuan untuk mengetahui karakter yang dimiliki oleh peserta didik. Sampel penelitian ini adalah 31 orang siswa sebuah sekolah menengah pertama negeri di kota bandung yang dipilih secara random. Hasil penelitian menunjukan bahwa 87,96% siswa memiliki moral knowing (pengetahuan moral), dan 75,60 % siswa memiliki moral feeling (perasaan moral). Berdasarkan hasil yang diperoleh tersebut, dapat disimpulkan komponen karakter yang baik yang terlihat setelah proses pembelajaran SAINS adalah moral knowing (pengetahuan moral) dan moral feeling (perasaan moral). Selain itu, instrumen Tes Dilema Moral ini dapat digunakan sebagai alternative instrumen untuk mengetahui karakter peserta didik selama proses pembelajaran. Kata-kata kunci: Pembelajaran SAINS, Karakter Peserta, Tes Dilema Moral. pembelajaran yang didalamnya mengintegrasikan karakter baik pada peserta didik untuk mencapai tujuan sistem pendidikan nasional. Namun, untuk dapat mengetahui apakah dalam inovasi-inovasi pembelajaran SAINS tersebut sudah terlihat atau belum karakter yang baik pada peserta didik, tentunya membutuhkan instrumen yang dapat melihat hal tersebut. Dalam penelitian ini, instrumen yang digunakan untuk dapat melihat karakter yang baik dari suatu proses pembelajaran SAINS adalah dengan menggunakan instrumen Tes Dilema Moral.
Pendahuluan Dari sekian banyak masalah yang dihadapi oleh sekolah, masalah yang sangat mengkhawatirkan adalah masalah tentang kenakalan remaja. Salah satu contoh kenakalan remaja yang sering terjadi adalah tawuran antar pelajar. Data dari Komnas Anak, jumlah tawuran pelajar sudah memperlihatkan kenaikan pada enam bulan pertama tahun 2012. Hingga bulan Juni, sudah terjadi 139 tawuran kasus tawuran di wilayah Jakarta. Sebanyak 12 kasus menyebabkan kematian. Pada 2011, ada 339 kasus tawuran menyebabkan 82 anak meninggal dunia [4]. Melihat fenomena ini, sudah jauh-jauh hari pemerintah melalui UU No 20 Tahun 2003 tentang sisdiknas pasal 3 yang berisi pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Jadi, sudah jelas bahwa salah satu fungsi dari system pendidikan nasional adalah membentuk karakter siswa [1].
Teori Karakter adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerjasama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara [5]. Karakter menggambarkan tingkah laku dengan menonjolkan nilai (benar-salah, baik-buruk) baik secara eksplisit maupun implisit. Untuk mengetahui adanya karakter baik dalam diri peserta didik, pada penelitian ini, peneliti menggunakan instrumen berupa Tes Dilema Moral. Tes Dilema Moral merupakan instrumen yang bertujuan untuk mengetahui karakter yang dimiliki oleh peserta didik [6]. Komponen karakter yang baik menurut Lickona yaitu, moral feeling (perasaan moral), moral knowing (pengetahuan moral) dan moral action (tindakan moral) [2].
Melihat kenyataan tersebut, ternyata adanya ketidaksesuaian antara fakta yang terjadi dengan fungsi dari sistem pendidikan nasional itu sendiri. Artinya, bahwa fungsi sistem pendidikan nasional belum berfungsi secara baik. Disinilah kemudian muncul ide-ide dalam melakukan inovasi dalam
ISBN 978-602-19655-4-2
92
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Tabel 1. Persentase Aspek Moral Knowing (Pengetahuan Moral) Peserta Didik di SMP.
Komponen karakter yang baik tersebut memiliki aspek-aspkek moral. Aspek-aspek moral knowing (pengetahuan moral) antara lain yaitu kesadaran moral, mengetahui nilai moral, penentuan perspektif, pemikiran moral, pengambilan keputusan, dan pengetahaun pribadi. Sedangkan untuk aspek moral feeling (perasaan moral), yaitu hati nurani, harga diri, empati, mencintai hal yang baik, kendali diri, dan kerendahan hati. Komponen karakter yang baik yang terakhir adlah moral action. Aspek moral action (tindakan moral) yaitu kompetensi, keinginan, dan kebiasaan [3]. Soal Tes Dilema Moral yang digunakan dalam penelitian ini merupakan soal Tes Dilema Moral yang sudah mengalami modifikasi dari bentuk Tes Dilema Moral yang ada.
No
1 2 3 4 5
Sampel penelitian pada penelitian ini yaitu 31 siswa kelas VIII di sekolah menengah pertama negeri (SMPN) di kota Bandung. Pemilihan sampel dilakukan secara acak (random sampling). Penelitian ini menggunakan penelitian deskriptif. Model pembelajaran yang digunakan ketika melakukan Pembelajaran terpadu model webbed tema gunung meletus adalah Susan-Louck Hoursley. Pada tahap invited dan purpose of thinking, peserta didik diberikan pengalaman melalui video yang ditampilkan oleh guru pada saat pembelajaran [6]. Video tersebut berupa video proses gunung meletus, peristiwa hujan abu, dan kondisi wilayah serta korban di pengungsian. Penayangan video ini bertujuan untuk menstimulus munculnya karakter baik dari diri peserta didik. Pada akhir pembelajaran, peserta didik diberikan satu soal Tes Dilema Moral. Tes ini merupakan salah satu alternative instrument yang dapat digunakan oleh para pendidik yang ingin mengetahui karakter peserta didiknya selain menggunakan instrument lembar observasi.
(Kesadaran moral) Knowing moral values (Mengetahui nilai moral) Perspective taking (Penentuan perspektif) Moral reasoning (Pemikiran moral) Decision making (Pengambilan Keputusan) Rata-rata
Persentase 100% 46,20% 97,90% 100% 95,70% 87, 96 %
Dari tabel 1, diketahui bahwa tidak semua aspek Moral Knowing terlihat pada peserta didik. Aspek Moral Knowing (Pengetahuan Moral) yang dominan terlihat adalah moral awareness (kesadaran moral) dan moral reasoning (pemikiran moral). Sebaliknya, aspek moral knowing (pengetahuan moral) yaitu knowing moral values (mengetahui nilai moral) kurang terlihat dominan. Artinya hanya sebagian peserta didik saja yang sudah mengetahui nilai-nilai moral dalam kehidupan. Nilai-nilai moral yang dimaksud seperti tanggung jawab, kejujuran, dan lain sebagainya. Ternyata diperlukan adanya pemasukan nilai-nilai moral dalam kehidupan pada saat pembelajaran. Tabel 2. Persentase Aspek Moral (Perasaan Moral) Peserta Didik di SMP. No
Hasil dan Diskusi
1
Setelah melakukan penelitian selama tiga kali pertemuan, diketahui bahwa hanya dua komponen karakter yang baik saja yang muncul setelah pembelajaran, yaitu moral knowing (pengetahuan moral) dan moral feeling (perasaan moral). Moral action hanya bisa diketahui jika adanya penambahan jam untuk melakukan kegiatan di luar lingkungan sekolah, atau dibuat sebuah kegiatan yang dapat memunculkan komponen karakter baik tersebut. Persentase terlihatnya aspek moral knowing (pengetahuan moral) dan moral feeling (perasaan moral) dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
ISBN 978-602-19655-4-2
Aspek Moral Knowing (Pengetahuan Moral) Moral awareness
2 3
Aspek Moral Feeling (Perasaan Moral) Conscience (Hati nurani) Empathy (empati) Loving the good (mencintai hal yang baik) Rata-rata
Feeling
Persentase 86% 62,40% 78,50% 75,60%
Seperti halnya aspek moral knowing (pengetahuan moral), ternyata aspek moral feeling (perasaan moral) pun tidak semuanya terlihat pada peserta didik. Hanya ada tiga aspek moral feeling (perasaan moral) yang dominan terlihat, yaitu conscience (hati nurani), emphaty (empati) dan loving the good (mencintai hal yang baik). Dari ketiga aspek yang terlihat ternyata tidak ada satu pun aspek moral feeling (perasaan moral) yang terlihat pada semua peserta didik. Hal ini berkaitan dengan data dari Tabel 1 yang menyatakan bahwa
93
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
[2] T. Lickona, “Educating for character. Jakarta”, PT Bumi Aksara, (2012). [3] http://edukasi.kompasiana.com/2013/05/20/p ancasila-sebagai-paradigma-pembangunanpendidikan-557806.html [accessed 22 June 2013] [4] http://hizbuttahrir.or.id/2012/11/05/kriminalitas-remaja-disekitar-kita/ [accessed 22 June 2013] [5] http://pustaka.pandani.web.id/2013/03/penger tian-karakter.html [accessed 22 June 2013] [6] Z. Darmiyati, “Pendidikan Karakter”, Yogyakarta: UNY Press, (2011).
peserta didik kurang mengetahui nilai-nilai moral dalam kehidupan. Sehingga, tentu saja hal ini berpengaruh terhadap aspek moral feeling yang dimiliki oleh peserta didik. Selain hal-hal tersebut di atas, kurang terlihatnya beberapa aspek komponen karakter yang baik ini disebabkan pada saat pembelajaran, peserta didik tidak memperhatikan dengan baik video yang ditampilkan oleh guru, padahal tujuan dari ditayangkannya video tersebut salah satunya yaitu untuk menstimulus munculnya karakter baik dari diri peserta didik. Kesimpulan
Fanni Zulaiha*
Komponen karakter yang terlihat dari peserta didik adalah moral knowing (pengetahuan moral) dan moral feeling (perasaan moral). Aspek komponen karakter yang baik yang dominan terlihat yaitu kesadaran moral dan pemikiran moral. Selain itu, instrumen tes dilema moral ini dapat digunakan sebagai alternative instrumen untuk mengetahui karakter peserta didik selama proses pembelajaran.
Jurusan Pendidikan Fisika Universitas Pendidikan Indonesia [email protected]
Winny Liliawati Jurusan Pendidikan Fisika Universitas Pendidikan Indonesia
Taufik Ramlan Ramalis Jurusan Pendidikan Fisika Universitas Pendidikan Indonesia
Referensi [1] R. Apriliaswati, “Strategi mebangun kecerdasan moral dalam pembelajaran bahasa di sekolah”, Jurnal Visi Ilmu Pendidikan, 228-240.
ISBN 978-602-19655-4-2
*Corresponding author
94
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Motor Solenoid Sebagai Alat Bantu dalam Pembelajaran Elektromagnetisme: Studi Pengaruh Tegangan dan Panjang Kumparan Terhadap Kecepatan Rotasi Samuel Kamajaya, Bianca Maria Hasiandra, Richard Jason, dan Fourier Dzar Eljabbar Latief* Abstrak Topik bahasan elektromagnet dalam mata pelajaran fisika merupakan salah satu topik yang cukup penting karena sangat banyak teknologi saat ini yang berbasis pada prinsip elektromagnetisme. Namun demikian seringkali topik ini agak sukar dipahami dan menjadi kurang menarik. Perangkat motor solenoid dapat menjadi salah satu piranti yang digunakan dalam menyampaikan topik bahasan mengenai elektromagnetisme. Teknologi motor solenoid ini dapat ditemukan pada kipas angin dan pompa. Prinsip kerja alat ini adalah mengubah energi yang dihasilkan solenoid menjadi energi kinetik. Sejumlah energi hilang akibat adanya gaya gesek dalam bentuk energi panas,sehingga motor solenoid harus didesain agar seefektif mungkin. Pada penelitian ini, akan ditentukan pengaruh tegangan dan panjang kumparan pada kecepatan rotasi dari solenoid sehingga dapat didesain motor soleonoid yang lebih efisien. Pada motor solenoid, terdapat banyak variabel yang dapat mempengaruhi kecepatan rotasi dari motor solenoid sehingga akan ditentukan beberapa batasan penelitian. Pertama, lengan poros memiliki panjang 1 cm. Listrik yang digunakan berasal dari sumber tegangan searah. Jumlah solenoid yang diteliti sebanyak 3 buah dengan jarak antar solenoid dibuat sama panjang. Panjang bahan ferromagnetik yang digunakan besarnya sama. Kumparan divariasikan pada nilai panjang 3 cm dan 5 cm. Sedangkan tegangan divariasikan pada beberapa nilai pada selang 10.5 V – 18 V. Dari hasil percobaan, diperoleh bahwa kumparan dengan panjang 3 cm menghasilkan kecepatan yang lebih besar. Semakin tinggi arus yang digunakan, semakin besar pula kecepatan putaran motor tersebut. Pada kumparan 3 cm, pertambahan kecepatan terhadap tegangan adalah 1,22 (rad/s)/V. pertambahan kecepatan teradap tegangan pada kumparan 5 cm adalah sebesar 1,65(rad/s)/V. Hubungan-hubungan antar parameter tersebut dapat digunakan pada proses pembelajaran di kelas, di mana siswa dapat melakukan percobaan sendiri, melakukan pengambilan data, representasi data dan pengolahannya, serta mengambil kesimpulan dari percobaan tersebut Kata-kata kunci: motor solenoid, elektromagnetisme, kumparan, elektromekanik. kerja motor solenoid (dalam hal ini adalah kecepatan putaran), yang dapat dijadikan pengembangan bahan ajar materi elektromagnetisme, khususnya terkait kemampuan pengamatan dan analisis.
Pendahuluan Topik bahasan fenomena elektromagnetisme dalam mata pelajaran fisika merupakan salah satu topik yang cukup penting karena sangat banyak teknologi saat ini yang berbasis pada prinsip tersebut. Namun demikian seringkali topik ini agak sukar dipahami dan menjadi kurang menarik. Padahal sangat banyak sekali perangkat seharihari yang menggunakan prinsip tersebut, misalnya kipas angin, pompa air, mesin cuci, yang bekerja berdasar pada prinsip kerja motor solenoid. Energi yang digunakan oleh motor solenoid ini tidak seluruhnya berubah menjadi energi kinetik, tetapi ada energi yang hilang akibat adanya gaya gesek dalam bentuk energi panas. Untuk meningkatkan jumlah energi yang digunakan untuk rotasi, motor solenoid ini harus didesain sedemikian rupa sehingga jumlah energi yang hilang dalam bentuk energi panas dapat dibuat sekecil mungkin.
Teori Medan magnet akan terbentuk di sekitar kawat konduktor yang dialiri oleh arus listrik. Pada sebuah batang besi yang dililit dengan kawat konduktor akan terbentuk lintasan arus kecil yang memiliki ukuran sebesar atom. Ketika sebuah elektron mengorbit di sekitar inti atom, maka akan terbentuk sebuah loop arus listrik yang sangat kecil. Semua bagian batang besi ini akan bersifat magnetik karena sebuah loop arus listrik mempunyai medan magnet dan semua atom memiliki elektron yang berevolusi pada orbitnya. Pergerakan elektron pada orbitnya dan spin (rotasi elektron di sekitar sumbu porosnya) dari elektron tersebutlah yang berpengaruh terhadap terbentuknya medan magnet.
Penelitian ini bertujuan menentukan pengaruh tegangan dan panjang kumparan pada kecepatan rotasi dari solenoid. Tujuan lain dari penelitian ini adalah mengamati parameterparameter apa saja yang terkait dengan performa
ISBN 978-602-19655-4-2
95
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
keseluruhan motor solenoid ini adalah: panjang 25 cm, tinggi 25 cm.
Solenoid elektromekanik Solenoid elektromekanik terdiri dari kumparan yang terinduksi secara elektromagnetik, yang menyelubungi piston yang dapat bergerak. Pis-ton ini harus terbuat dari bahan ferromagnetik. Kumparan didesain sedemikian rupa agar piston tersebut dapat bergerak keluar masuk kumparan. Skema solenoid elektromekanik dapat dilihat pada Gambar 1.
Sistem Elektrik: pada setiap percobaan digunakan tiga buah solenoid dengan masing – masing 1000 lilitan percobaan pertama menggunakan solenoid dengan tinggi 3 cm dan percobaan kedua menggunakan solenoid dengan tinggi 5 cm. Pada saat poros engkol berputar, lengan poros engkol akan mengenai sikat disekitarnya yang berbentuk setengah lingkaran. Sikat ini berfungsi sebagai saklar untuk mengalirkan arus dari poros engkol ke solenoid. Saat solenoid mendapat arus maka timbul medan magnet di dalam solenoid yang menarik paku yang menyebabkan poros engkol berputar. Saat paku sudah ada pada posisi paling rendah, kontak poros engkol dengan sikat terlepas sehingga paku dapat berputar naik keatas karena tidak tertarik medan magnet solenoid. Mekanisme ini diilustrasikan pada Gambar 2.
Gambar 1. Solenoid elekromekanik [1]. Gaya yang diberikan pada piston berbanding lurus dengan perubahan induktansi kumparan yang terjadi karena perbedaan posisi piston dan arus yang mengalir pada kumparan. Gaya yang diberikan pada piston akan menyebabkan piston bergerak ke arah yang menyebabkan induktansi kumparan membesar. Solenoid elektromekanik ini disebut juga solenoid linear apabila piston bergerak secara linear. Solenoid linear memiliki tiga jenis yaitu: pull force, push force, dan hold force. Saat solenoid diberi tenaga, jenis pull akan menarik piston, jenis hold akan mempertahankan posisi piston sedangkan jenis push akan mendorong piston. Besarnya gaya yang dihasilkan dipengaruhi berbagai faktor diantaranya: jumlah lilitan kumparan, ukuran solenoid, karakter magnetik dari piston, rongga antara solenoid dengan piston, dan langkah piston. Dapat dikatakan bahwa besarnya gaya berbanding terbalik dengan jarak kuadrat piston dari solenoid (rongga) [2].
Gambar 2. Skema mekanisme sikat dan poros engkol. Alat Pengukur Kecepatan: untuk mengukur kecepatan putaran motor solenoid, digunakan sistem sensor fotodioda. LED inframerah dan fotodioda dipasang bersebelahan pada rangka kayu menghadap roda gila. Prinsip dari alat pengukur kecepatan ini adalah ketika fotodioda menerima cahaya inframerah hasil pantulan dari roda gila maka terjadi perubahan potensial listrik. Perubahan potensial listrik ini lalu diolah oleh IC LM 393 menjadi data “high” dan “low” yang keluar dari pin 1. Pin 1 ini kemudian disambung-kan dengan komputer melalui port audio. Skema fotodioda pengukur kecepatan dapat dilihat pada Gambar 3.
Desain motor solenoid Motor solenoid yang digunakan dalam percobaan ini dapat dibagi menjadi tiga bagian sistem, yaitu: sistem mekanik, sistem elektrik, dan alat pengukur kecepatan. Sistem Mekanik: pada motor solenoid, silinder yang digunakan berjumlah tiga buah, setiap silinder menggunakan paku yang dihubungkan ke poros engkol. Poros engkol yang digunakan dibentuk menjadi tiga lengan dengan sudut antar lengan sebesar 120 derajat dan radius sepanjang 1 cm. Pada ujung poros dipasangkan roda gila (flywheel) sebagai penstabil putaran. Dimensi
ISBN 978-602-19655-4-2
Gambar 3. Skema sensor fotodioda.
96
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
frame yang dibutuhkan untuk membentuk 10 gelombang penuh tersebut (mis: tf). Nilai periode T diperoleh dari tf/(384000×10). Kecepatan motor solenoid dapat dihitung dengan persamaan berikut:
Bagian sisi dalam roda gila (flywheel) dilapis dengan kertas berwarna hitam, lalu diberi garis putih seperti pada Gambar 4. Sedangkan wujud motor solenoid setelah semua sistem dirangkai pada rangka kayu tampak pada Gambar 5.
2 T .
(1)
Dalam percobaan ini, dilakukan pengukuran kecepatan motor solenoid dengan kumparan dan tegangan yang berbeda-beda. Pengukuran dibagi menjadi dua tahap. Pertama mengukur kecepatan motor solenoid dengan panjang kumparan 5cm. Kedua mengukur kecepatan motor solenoid dengan panjang kumparan 3cm. Setiap jenis kumparan dicoba dengan catu daya DC bertegangan 12 V, 17 V, 21 V, 25 V. Setiap percobaan diulangi sebanyak tiga kali.
Gambar 4. Sisi sebelah dalam dari roda gila.
Hasil dan Diskusi Dalam setiap percobaan, Sumber tegangan dihubungkan dan ditunggu sampai motor berpu-tar dengan kecepatan konstan, kemudian te-gangan dan arus diukur. Data hasil percobaan dapat dilihat pada Tabel 1. Plot antara tegangan dengan kecepatan sudut untuk masing-masing panjang lilitan solenoid 3 cm dan 5 cm dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 5. Tampak keseluruhan motor solenoid. Bagian sisi yang berwarna putih akan memantulkan sinar inframerah sehingga dapat diterima oleh fotodioda. Fotodioda akan menangkap sinar inframerah satu kali selama roda gila berputar satu putaran. Saat motor solenoid sudah berputar dengan kecepatan konstan, komputer lalu merekam data yang dihasilkan oleh IC LM 393 dengan software Audacity. Rekaman tersebut memiliki sample rate sebesar 44100 sampel perdetik. Dengan demikian, periode roda gila dapat diukur dari data yang telah direkam.
Gambar 6. Grafik besar tegangan terhadap kecepatan sudut putaran motor solenoid. Dari hasil regresi didapatkan bahwa pertambahan kecepatan untuk tegangan yang berbeda-beda adalah sekitar 1,2225 (rad/s)/V untuk kumparan 3 cm; dan sekitar 1.6557 (rad/s)/V untuk kumparan 5cm. Tegangan yang terukur berbeda dengan tegangan catu daya. Hal ini dikarenakan hambatan dalam catu daya tidak berbeda jauh dengan hambatan dalam motor solenoid sehingga tegangan catu yang keluar dari catu daya mengalami penurunan.
Data yang dihasilkan oleh alat pengukur kecepatan kemudian direkam ke komputer dalam bentuk audio digital. Dalam percobaan ini, perangkat lunak Audacity berguna untuk merekam dan menampilkan bentuk gelombang suara. Rekaman tersebut lalu difilter untuk menghilangkan noise dengan menggunakan effect low pass filter. Noise ini kemungkinan terjadi karena kontak antara sikat dan poros engkol yang menyebabkan bunga api. Bunga api menghasilkan gelombang elektromagnetik yang dapat mengganggu medan listrik di sekitar sensor. Selanjutnya, dari rekaman tersebut dipilih sepuluh gelombang penuh dan dihitung berapa jumlah
ISBN 978-602-19655-4-2
Hal ini juga disebabkan karena arus yang mengalir masuk ke kapasitor lebih kecil dari pada arus yang keluar dari kapasitor, sehingga kapasitor yang harusnya menjadi penstabil tegangan tidak dapat menstabilkan tegangan.
97
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Tabel 1. Hasil pengukuran kecepatan sudut motor dengan menggunakan kumparan 3 dan 5 cm. perc. ke
Teg. (V)
arus (A)
1 2
10.5
0.46
3
Panjang solenoid 3 cm waktu frek kec.sdt (s)
5.74877
36.121
1.72653
5.79195
36.392
5.76526
36.224
1.73453
1 13.5
0.54
3
2
16
0.57
3
1.56952
6.37138
40.033
1.57071
6.36654
40.002
1.56566
6.3871
40.131
2
1.47339
6.78707
42.644
1.52362
6.56331
41.239
6.76545
42.509
1.4781
18
0.6
3 rata-rata (kec.sdt)
(A) 0.48
(s)
(Hz)
(rad/s)
1.93607
5.16511
32.4533
1.96047
5.10083
32.0494
2.04016
4.90157
30.7975
31.76676 ± 0,43% 0.6
1.60804
6.21873
39.0735
1.60179
6.243
39.2259
1.60017
6.24935
39.2658
40.05536 ± 0,02%
rata-rata (kec.sdt) 1
Panjang solenoid 5 cm waktu frek kec.sdt
36.24555 ± 0,06%
rata-rata (kec.sdt) 1
(rad/s)
1.7395
rata-rata (kec.sdt) 2
(Hz)
Arus
39.18840 ± 0,04% 0.63
1.54859
6.45748
40.5736
1.53424
6.51786
40.953
6.5051
40.8728
1.53726
42.13047 ± 0,29% 1.35718
7.36822
46.296
1.39002
7.19414
45.202
1.36755
7.31236
45.945
40.79975 ± 0,08% 1.3958
7.16437
45.015
1.4003
7.14133
44.8703
1.40039
7.14086
44.8674
0.65
45.81431 ± 0,19%
Arus yang terukur sebenarnya berubah-ubah karena kontak sikat dengan poros engkol tidak menyala secara konstan sehingga multimeter menghitung rata-rata arus tersebut berdasarkan sampel yang dia ukur per-detiknya. Hal ini juga menyebabkan arus yang terukur jauh lebih kecil daripada jika dihitung menggunakan V = I R.
Referensi
Kesimpulan dan usulan pengembangan
Samuel Kamajaya
[1] http://en.wikipedia.org/wiki/File:Commercial_S olenoid_Dawes_1920.png. Diakses pada Minggu, 14 April 2013 pukul 15.52. [2] http://www.gwlisk.com/design-guide.aspx. Diakses Senin, 8 Juli 2013 pukul 19.08
Program Studi Teknik Tenaga Listrik Sekolah Teknik Elektro dan Informatika, ITB [email protected]
Dalam percobaan ini dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: pada tegangan yang sama, panjang kumparan 3 cm akan menghasilkan kecepatan yang lebih besar dibandingkan panjang kumparan 5 cm. Hal ini bersesuaian dengan perumusan medan magnet pada solenoid yang berbanding terbalik dengan panjang lilitan. Pada kumparan 3 cm, pertam-bahan kecepatan terhadap tegangan adalah 1,22 (rad/s)/V. Pertambahan kecepatan teradap tegangan pada kumparan 5 cm adalah sebesar 1,65 (rad/s)/V. Untuk mengembangkan percobaan ini lebih lanjut dapat dicoba percobaan inti besi yang berbeda ukurannya atau poros engkol yang berbeda panjang lengannya. Direkomendasikan pula untuk melakukan pengukuran kecepatan sudut putaran menggunakan sensor cahaya yang memiliki ketelitian yang tinggi.
Bianca Maria Hasiandra Program Studi Teknik Telekomunikasi Sekolah Teknik Elektro dan Informatika, ITB Institut Teknologi Bandung [email protected]
Richard Jason Program Studi Teknik Tenaga Listrik Sekolah Teknik Elektro dan Informatika Institut Teknologi Bandung [email protected]
Fourier Dzar Eljabbar Latief* Fisika Bumi dan Sistem Kompleks Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Bandung [email protected]
*Corresponding author
ISBN 978-602-19655-4-2
44.91757 ± 0,03%
98
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Pengaruh Pengenceran HidrogenTerhadap Hasil Penumbuhan Silikon Nanowire dengan Metode HWC-in Plasma-VHF-PECVD Berbantuan Nanokatalis Perak Gilang Mardian Kartiwa*, Rahmat Awaluddin Salam, Diki Anggoro, dan Toto Winata Abstrak Telah ditumbuhkan material silicon nanowire (SiNW) diatas substrat gelas dengan metode HWC-in plasmaVHF-PECVD dan berbantuan nanokatalis perak. Dua jenis nanokatalis masing-masing dibuat dengan menguapkan 10 dan 2,5 mg perak dianil pada suhu 3800C dengan durasi yang berbeda, yaitu 40 menit dan 1 menit. Nanokatalis ini kemudian dipakai untuk penumbuhan nanowire dengan metode HWC-in plasmaVHF-PECVD. Selama proses penumbuhan, akan dicoba dialirkan gas hidrogen dengan flowrate tertentu. Hal ini lazim disebut dilution atau pengenceran. Sementara itu, parameter penumbuhan lain seperti suhu, tekanan, dan daya rf dibuat tetap dan dipilih sesuai dengan parameter optimal dari penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Kemudian dilakukan karakterisasi SEM, FTIR, dan XRD, dan disimpulkan bahwa hidrogen dengan flowrate 35 sccm dapat mengurangi jumlah ikatan Si H dan Ag O serta memunculkan satu buah peak Si dan empat peak Ag pada hasil XRD, sementara dilution dengan flowrate hidrogen diatas 40 sccm akan membuat plasma tidak bisa dinyalakan. Kata-kata kunci: pengenceran hidrogen, penumbuhan berkatalis, silikon nanowire Pendahuluan
Eksperimen
Istilah nanowire biasa digunakan untuk menunjukkan material berstruktur wire dalam ukuran nano. Dalam hal ini, diameter nanowire ideal adalah sekitar 1 hingga 100 nm dan panjang hingga beberapa μm[1]. karena ukurannya yang berskala nano, maka dimensi nanowire ini akan bersesuaian dengan skala karakteristik dari berbagai fenomena menarik yang ada pada dunia fisika zat padat antara lain panjang gelombang cahaya, jari-jari exciton Bohr, mean free path dari fonon, dan lain-lain[2]. Hal ini menyebabkan banyak sifat fisis material nanowire yang berbeda dari sifat fisis material yang sama dalam ukuran besar (bulk). Beberapa aplikasi nanowire yang dimungkinkan antara lain sebagai material elektronik seperti sel surya[3], dan fotokatalis[4].
Penumbuhan silikon nanowire dilakukan dengan menggunakan bantuan nanokatalis. Nanokatalis yang digunakan dibuat dengan cara menganiling lapisan tipis perak yang dibuat dengan metode evaporasi termal. Pada penelitian kali ini disiapkan dua jenis lapisan tipis perak, dimana masing-masing dibuat dengan menguapkan 10 mg dan 2,5 mg perak sehingga didapat lapisan tipis dengan ketebalan yang berbeda. Kedua lapisan tipis ini kemudian dianiling pada suhu 3800C selama 40 menit untuk lapisan tipis 10 mg perak dan 1 menit untuk lapisan tipis 2,5 mg perak.Lapisan tipis yang diberi perlakuan aniling akan terpecah dan membentuk droplet berukuran nano yang disebut nanokatalis. Nanokatalis ini berfungsi sebagai tempat tumbuhnya wire. Kemudian kedua nanokatalis ini dipakai pada proses penumbuhan silikon nanowire.
Beberapa penelitian mengenai penumbuhan silikon nanowire yang pernah dilakukan dengan metode HWC-in plasma-VHF-PECVD ini adalah penelitian oleh Hidayat (2012), Anggoro (2012), dan Salam (2013). Ketiga penelitian tersebut telah berhasil menumbuhkan silikon nanowire namun dengan laju penumbuhan yang terbatas. Diduga hal ini diakibatkan oleh adanya oksida perak pada nanokatalis yang bersifat menghambat proses penumbuhan. Hasil dari ketiga penelitian sebelumnya juga menunjukkan silikon nanowire yang masih berstruktur amorf. Karena itu, pada penelitian kali ini akan dicoba penumbuhan silikon nanowire dengan dilution atau pengenceran oleh gas hidrogen.
ISBN 978-602-19655-4-2
Penumbuhan silikon nanowire dilakukan dengan metode HWC-in plasma-VHF-PECVD. Nilai parameter penumbuhan yang dipakai merupakan nilai optimum yang didapat dari penelitian sebelumnya[5]. Secara umum, penelitian yang dilakukan kali ini dapat dilihat pada tabel 1: Tabel 1. Rancangan percobaan
Sampel A B C
99
Q Hidrogen (sccm) 35 0 41
Katalis 10 mg 2,5 mg 2,5 mg
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Nanokatalis lalu digunakan dalam proses penumbuhan, dengan urutan eksperimen seperti yang tertera pada tabel 1. Ketiga sampel nanowire tersebut kemudian dikarakterisasi dengan menggunakan FTIR, XRD, dan SEM. Hasil karakterisasi dari sampel nanowire ini kemudian dianalisis. Hasil karakterisasi FTIR terlhat sebagai berikut:
Hasil dan Diskusi Diameter nanokatalis yang digunakan akan sangat mempengaruhi struktur wire yang didapat, karena diameter wire akan mengikuti diameter nanokatalisnya. Hasil penumbuhan nanokatalis yang dibuat dengan menganiling lapisan tipis perak pada suhu 3800C selama 40 menit dapat dilihat pada gambar berikut:
Gambar 3. Kurva FTIR sampel A (merah), sampel B (hijau), dan nanokatalis (biru). Kurva diatas menunjukkan ikatan Si - H pada wilayah 810 hingga 950 cm-1. Namun peak pada daerah tersebut dapat juga merupakan peak milik Ag = O[6](850-1010 cm-1). Meskipun tidak dapat ditentukan secara pasti, namun perbandingan kurva transmitansi sampel A dan B pada wilayah tersebut menunjukkan bahwa sampel A (dengan dilute) memiliki puncak yang lebih kecil, dan hal ini sesuai dengan yang diharapkan karena pada kasus ini, baik ikatan Si – H maupun Ag = 0 merupakan ikatan yang ingin direduksi dengan perlakuan pengenceran hidrogen. Sementara itu, puncak pada wilayah 600 hingga 800 cm-1 merupakan puncak milik Ag – H yang berasal dari nanokatalis. Pengurangan puncak ini terjadi sebagai akibat dari pengenceran hidrogen, karena ikatan H – H memiliki energi ikat yang lebih kuat dibandingkan Si – H maupun Ag = 0, sehingga kehadiran gas hidrogen selama penumbuhan akan memutus kedua ikatan tersebut.
Gambar 1. Citra SEM nanokatalis yang dianiling selama 40 menit. Dari gambar diatas terlihat bahwa nanokatalis yang terbentuk masih memiliki ukuran yang kurang ideal (diatas 100 nm). Setelah dilakukan pengelompokan, diketahui bahwa jumlah nanokatalis berkisar pada ukuran 80 hingga 120 nm. Sebaran diameter nanokatalis yang terbentuk pada sampel ini dapat dilihat pada grafik berikut:
Sementara itu, hasil XRD yang dilakukan pada kedua sampel juga menunjukkan perbedaan yang signifikan. Sampel A menunjukkan satu puncak Si dan empat Ag, sedangkan sampel B tidak menujukkan puncak difraksi sama sekali. Perbandingan hasil XRD kedua sampel dapat dilihat pada grafik 4:
Gambar 2. Sebaran ukuran nanokatalis perak.
ISBN 978-602-19655-4-2
100
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Diketahui Ag = 0 berikatan lebih lemah daripada Si – H sehingga lebih mudah terputus selama proses pengenceran, hal ini menjelaskan mengapa puncak Ag muncul lebih banyak daripada puncak Si. Terakhir, dilakukan pula karakterisasi SEM kepada kedua sample. Hasil citra SEM dapat dilihat pada gambar berikut:
Gambar 4. Perbandingan hasil XRD sampel A (biru) dan B (merah). Seperti dijelaskan sebelumnya, kehadiran gas hidrogen akan memutus ikatan Si – H maupun Ag = 0. Ikatan Si – H akan memberikan struktur amorf seperti yang terlihat pada hasil XRD sampel B. Pemutusan ikatan oleh gas hidrogen membuat Si dan Ag yang sudah tidak berikatan akan berikatan dengan sesamanya, membentuk ikatan Si – Si dan Ag – Ag yang akan memberikan struktur berupa kristal. Akibatnya, pengenceran akan memunculkan puncak pada hasil XRD yang menunjukkan tingkat kristalinitas yang lebih baik. Perubahan struktur kimia yang terjadi dapat dijelaskan sebagai berikut:
Gambar 5. Citra SEM sampel A. Perbedaan yang cukup signifikan dapat dilihat dari perbandingan hasil SEM kedua sampel. Sampel A yang ditumbuhkan dengan melakukan pengenceran menunjukkan adanya struktur wire yang tumbuh, meskipun diameternya masih cukup besar (sekitar 120 nm) sehingga masuk ke dalam kategori whisker. Sementara pada sampel B yang ditumbuhkan tanpa pengenceran, struktur wire nampak tak teramati bahkan dengan perbesaran 40.000 kali.
2SiH H 2 2 Si 2 H 2 2 AgO 2 H 2 2 Ag 2 H 2 O .
Puncak yang muncul pada grafik 4 dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 2. Daftar puncak yang muncul pada Gambar 4.
2 0
38.1 44.40 70.50
Unsur dan indeks hkl Ag (111) Ag (200) Si (400)
77.30 81.50
ISBN 978-602-19655-4-2
Ag (311) Ag (222)
101
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
ion-ion dan radikal dari silan. Rasio hidrogen terhadap silan yang berlebihan menunjukkan kerapatan silan yang sangat rendah sehingga tidak sanggup untuk memunculkan plasma. Akibatnya penumbuhan tidak dapat dilakukan. Kesimpulan Dari percobaan diatas, disimpulkan bahwa pengenceran hidrogen dapat meningkatkan laju penumbuhan silikon nanowire dengan membersihkan oksida yang ada pada nanokatalis. Pengenceran hidrogen juga mengurangi ikatan Si H dan sehingga sekaligus Ag O meningkatkan kristalinitas wire. Namun pemberian hidrogen yang terlalu besar justru akan menyebabkan plasma tidak dapat muncul dan penumbuhan tidak dapat dilakukan.. Ucapan terima kasih Penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. Toto Winata, Ph.D selaku pembimbing, Rahmat A. Salam, M.Si , dan Diki Anggoro,M.Si atas segala dukungan dan bantuan hingga eksperimen ini dapat terlaksana. Gambar 6. Citra SEM sampel B. Referensi
Yang menarik adalah, bahwa pada percobaan kali ini flowrate total QH 2 QSiH 4 dijaga tetap
[1] Hochbaum, A.I, and Yang, P. Chem. Rev, 110, 527-546 (2010). [2] Law, M., Goldberger, J., Yang, P. D.Annu. ReV. Mater. Res., 34, 83 (2004) [3] Garnett, E.C, Brongersma, M.L, Cui, Y., and McGehee: Annu. Rev. Matter. Res., 41, 269295 (2011). [4] A. Fujishimam and K. Honda, Nature, 238, 37 (1972). [5] Anggoro, D.”Studi Awal Penumbuhan Silikon Nanowire dengan Metode HWC-in plasmaVHF-PECVD Berbantuan Nanokatalis Perak Dengan Optimasi Daya”, Magister Thesis,Institut Teknologi Bandung, Bandung, p.26. (2012). [6] Stuart, Barbara. ”Infrared Spestroscopy: Fundamentals and Applications”, John Wiley & Sons, Ltd, p.98, (2004).
sebesar 70 sccm . Artinya penumbuhan sampel B (tanpa pengenceran) dilakukan dengan flowrate silan sebesar 70 sccm sementara penumbuhan sampel A hanya menggunakan 35 sccm gas silan namun dengan dicampur hidrogen sebesar 35 sccm pula. Artinya laju penumbuhan nanowire tidak selalu ditentukan oleh tingkat flowrate silan. Perbedaan laju penumbuhan kedua sampel dapat dijelaskan sebagai berikut: seperti yang sudah dijelaskan bahwa pengenceran hidrogen dapat meningkatkan kristalinitas nanokatalis perak dengan menghilangkan oksidanya. Sementara itu, gas silan yang sudah terdeposisi akan lebih mudah untuk berdifusi masuk kedalam nanokatalis yang sudah “bersih” karena ikatan Si – O lebih mudah terbentuk daripada Ag – Si. Penghilangan oksida dari nanokatalis membuat Si lebih mudah berdifusi. Secara keseluruhan, pengenceran hidrogen akan meningkatkan laju penumbuhan nanowire. Adapun ukuran wire yang tidak ideal pada sampel A disebabkan karena diameter nanokatalis yang memang kurang baik.
Gilang Mardian Kartiwa* [email protected]
*Corresponding author
Berbeda dengan Sampel A dan B. Sampel C yang ditumbuhkan dengan dilute 41 sccm gas hidrogen gagal dilakukan karena plasma tidak menyala. Kemungkinan, nilai 41 sccm hidrogen dan 29 sccm silan merupakan rasio yang tidak ideal dimana hidrogen terlalu mendominasi ruang dalam chamber. Karena plasma yang muncul selama proses penumbuhan merupakan kumpulan ISBN 978-602-19655-4-2
102
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Penerapan Pembelajaran Terpadu Model Webbed Tema Polusi Cahaya Dengan Menggunakan Model Pembelajaran Susan-Loucks untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Smp Hayyah Fauziah*, Winny Liliawati, dan Judhistira Aria Utama Abstrak Model pembelajaran terpadu merupakan salah satu model implementasi kurikulum yang dianjurkan dalam tujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan. Sebagaimana salah satu prinsip yang tertera dalam KTSP, yaitu beragam dan terpadu. Untuk mewujudkan hal ini, maka model pembelajaran yang dilakukan dapat disajikan secara terpadu. Namun, berdasarkan hasil studi pendahuluan menunjukkan bahwa implementasi dari pembelajaran terpadu masih belum banyak diterapkan oleh pihak sekolah. Oleh karena itu, dilakukan penelitian dengan menerapkan pembelajaran terpadu model webbed tema polusi cahaya untuk meningkatkan hasil belajar siswa SMP. Pada pelaksanaannya, model pembelajaran yang digunakan yaitu model pembelajaran Susan-Loucks yang terdiri dari empat tahap, yaitu : tahap Invited, tahap explore and discover, tahap propose explanations and solutions, dan yang terkahir tahap taking action. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah quasi experimental design dengan desain penelitian one group pretest-postest design. Sampel pada penelitian ini yaitu salah satu kelas VIII SMP Negeri di Kabupaten Bandung. Data penelitian diperoleh melalui hasil belajar yang berdasarkan pada lima ranah dalam new taxonomy for sains education. Namun hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan bahwa siswa di sekolah tersebut mengalami peningkatan yang rendah dalam hasil belajar mengenai Polusi Cahaya dengan nilai rata-rata gain dinormalisasi sebesar 0,221 dengan kategori rendah. Berdasarkan hasil yang diperoleh tersebut, dapat disimpulkan bahwa penerapan pembelajaran terpadu model webbed pada tema polusi cahaya belum dapat meningkatkan hasil belajar siswa dan penanaman karakter siswa SMP. Kata Kunci :New Taxonomy For Science Education, Model Belajar Susan-Loucks, Hasil Belajar. pelajaran yang berlandaskan pada suatu tema. Melalui pembelajaran terpadu ini beberapa konsep yang relevan untuk dijadikan tema tidak perlu dibahas berulang kali dalam bidang kajian yang berbeda, sehingga penggunaan waktu untuk pembahasannya lebih efisien dan pencapaian tujuan pembelajaran pun diharapkan akan tercapai secara efektif. Konsep pembelajaran tematik dipandang sebagai model pembelajaran yang dapat memberikan pengalaman yang bermakna kepada siswa.
Pendahuluan Pembelajaran terpadu merupakan salah satu implementasi kurikulum yang dianjurkan untuk digunakan pada semua jenjang pendidikan untuk dapat meningkatkan mutu pendidikan. Seperti yang diungkapkan oleh Zuhdan (2007), “….selama ini sebagian besar pembelajaran didasarkan pada tiga ranah Taksonomi Bloom dengan berorientasi pada contents maupun procces. Namun, dalam pelaksanaanya pun tidak seimbang. Oleh karena itu, lima ranah pendidikan dalam new taxonomy for science education dipandang sebagai acuan pengembangan tiga ranah Bloom yang mampu meningkatkan aktivitas pembelajaran dan sikap positif terhadap mata pelajaran itu”. [5]
Karakteristik dari pembelajaran terpadu model webbed diantaranya, berpusat pada siswa, pemberian pengalaman langsung, pembelajaran bermakna, holistik (memahami suatu fenomena dari segala sisi), dan fleksibel (dapat dikaitkan dengan lintas mata pelajaran, dan penentuan topik atau tema dapat menggunakan lebih dari satu cara).
Berdasarkan studi literatur tersebut, penulis meneliti tentang penerapan pembelajaran terpadu model webbed dengan menggunakan model pembelajaran Susan-Loucks pada tema polusi cahaya untuk meningkatkan hasil belajar siswa. Sampel pada penelitian ini adalah siswa SMP kelas VIII di salah satu sekolah di Kabupaten Bandung Barat.
Pembelajaran sains yang didasarkan pada tiga ranah dalam Taksonomi Bloom dengan berorientasi baik pada konten maupun proses, nyatanya dilaksanakan secara tidak seimbang karena lebih menitikberatkan pada ranah kognitif saja. Sehingga pembelajaran pun terkesan kurang menyenangkan, monoton, siswa menjadi pasif, kreatifitas siswa tidak berkembang dan pembelajaran menjadi kurang efektif.
Teori Pembelajaran terpadu model webbed merupakan suatu pembelajaran yang mengintegrasikan dua atau lebih bidang mata ISBN 978-602-19655-4-2
103
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Untuk mengurangi permasalahan tersebut, dikenal taksonomi baru yang dikembangkan oleh Allan J.MacComark dan Robert E.Yager yaitu new taxonomy for science educationsebagai pengembangan dari taksonomi Bloom yang terdiri dari lima ranah atau lima domain, yaitu domain knowing and understanding, domain science process skill, domain imagine and creativity, domain attitude and value, dan yang terakhir domain connection and applying.
Studi Pendahuluan Studi Kepustakaan : - KTSP dan kurikulum 2013 - Pembelajaran IPA Terpadu - New Taxonomy for Science Education
Sebagai implementasi dari taksonomi untuk pendidikan sains, digunakan model pembelajaran Susan-Loucks Horsley. Model pembelajaran ini dipandang sebagai salah satu model pembelajaran yang berorientasi konstruktivistik yang baik dan merefleksikan keunikan kualitas sains dan teknologi secara bersamaan melalui empat tahapan pembelajaran.[5] Tahapan - tahapan pembelajaran tersebut, yaitu : tahap Invited (tahap mengundang anak untuk belajar), tahap explore and discover (tahap anak menggali pengetahuan dan temuan mereka), tahap propose explanations and solutions (tahap saat siswa menyiapkan penjelasan atas apa yang mereka pelajari), dan yang terkahir tahap taking action (tahap saat siswa mencari tahu kegunaan temuan mereka).
Studi Lapangan : - Tuntutan pengembangan kurikulum - Pembelajaran IPA di lapangan
Metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini yaitu Pre-Experimental Design. Sedangkan desain penelitian yang digunakan yaitu One Group Pretest-Postest Design. Penelitian dilakukan dengan perlakuan atau treatment sebanyak tiga kali pertemuan. Sebelum dilakukan perlakuan (treatment), siswa diberikan pretest terlebih dahulu untuk mengetahui sejauh mana pengetahuan siswa mengenai polusi cahaya. Setelah semua perlakuan (treatment) selesai dilakukan, siswa diberi posttest untuk mengukur sejauh mana peningkatan atau perubahan pengetahuan siswa berkaitan dengan polusi cahaya. Penelitian ini menggunakan desain prosedur penelitian yang mengacu padadesain Research and Development ( R&D Design ) dari Brog & Gall dalam Yeni H, yang sudah mengalami modifikasi (gambar 1).
Perancangan Program Penyusunan Perencanaan Pembelajaran Terpadu : - Penetapan Tema Penghubung - Penetapan SK, KD dari berbagai mata pelajaran - Penyusunan perangkat pembelajaran - Penetapan populasi dan sampel
Draft Program Pembelajaran : - RPP - Instrumen tes - Lembar Observasi
Gambar 1. Alur Penelitian Development (R& D Design).
Pengembangan Program Pengujian Program : Judgement ahli terhadap Instrumen
- Revisi
- Uji Coba Instrumen
- Analisis
- Uji Coba Instrumen Terbatas Pelaksanaan Program : - Pretest - Treatment penerapan pembelajaran terpadu - Postest
Research
and
Adapun instrument yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari instrumen tes soal terpadu untuk domain knowedge dan lembar observasi untuk procces of science domain serta lembar keterlaksanaan model pembelajaran SusanLoucks. Pengolahan data dilakukan terhadap data tes soal pilihan ganda pretest dan postest. Teknik pengolahan data instrumen adalah dengan menggunakan analisis kuantitatif yaitu menghitung gain yang dinormalisasikan yaitu perbandingan dari skor gain aktual dengan skor gain maksimum. g
T2 T1 S i T1
Dengan T1 adalah skor tes awal (pretest), T2 adalah skor tes akhir (posttest), Si adalah skor ideal. selanjutnya menentukan kriteria efektivitas model pembelajaran berdasarkan kriteria rata-rata gain ternormalisasi yang tercantum pada tabel berikut.
ISBN 978-602-19655-4-2
104
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
dimaksudkan untuk mengetahui perbandingan gain dari setiap kelompok tersebut.
Tabel 1. Kriteria rata-rata nilai gain (R.R. Hake, 1998). GAIN
Tabel 2. Rata-rata Skor Pretest dan Posttest Berdasarkan Kelompok Tinggi, Sedang dan Rendah.
KLASIFIKASI TINGGI SEDANG RENDAH
Kelompok Tinggi Nama
Hasil dan diskusi Pada penelitian ini, Perlakuan atau treatment dilakukan sebanyak tiga kali pertemuan. Pertemuan pertama membahas materi dengan judul mengenal polusi cahaya, terdiri dari definisi polusi cahaya, sumber cahaya, sifat cahaya, proses pembentukan dan penyebab terjadinya polusi cahaya. Pertemuan kedua membahas materi dengan judul dampak polusi cahaya terhadap berbagai bidang yaitu bidang astronomi, ekologi, lingkungan, biotik, kesehatan manusia dan bidang ekonomi. Selanjutnya, pertemuan ketiga membahas materi dengan judul pencegahan polusi cahaya, terdiri dari fungsi pencahayaan, jenis polusi cahaya, tindakan pencegahan, jenis lampu, dan jenis tudung lampu.
Kategori
NR
0.636
Sedang
KNA
0.545
Sedang
NCA
0.334
Sedang
WO
0.25
Rendag
SI
-0.199
Rendah
SN
0.364
Sedang
YM
0.364
Sedang
ZK
0.364
Sedang
SA
0.222
Rendah
Rata-rata
0,320
Sedang
Kelompok Sedang
Model pembelajaran Susan-Loucks yang digunakan terdiri dari empat tahap. Tahap pertama disebut dengan tahap invited, yaitu berupa penyajian demonstrasi atau fenomena. Tahap kedua disebut dengan tahap explore and discover yaitu menyelidiki, mengamati dan menemukan solusi untuk menjawab pertanyaan mereka sendiri terkait dengan fenomena atau demonstrasi yang dimunculkan. Tahap ketiga, murid menyiapkan penjelasan dan penyelesaian, berkaitan dengan apa yang mereka pelajari. Tahap terakhir yaitu memberi kesempatan kepada murid untuk mencari kegunaan temuan mereka dari pembelajaran yang telah dilakukan dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Nama
Kategori
TNF
0.125
Rendah
NSF
0.000
Rendah
AR
0.384
Sedang
ANA
0.333
Sedang
ET
0.273
Rendah
SN
0.199
Rendah
IS
0.111
Rendah
ATKD
0.000
Rendah
ZNM
0.000
Rendah
Rata-rata
0.158
Rendah
Kelompok Rendah Nama Kategori
Hasil belajar merupakan kemampuan individu yang diperoleh setelah proses belajar berlangsung. Hasil belajar yang diperoleh tersebut dapat berupa perubahan tingkah laku, pengetahuan, pemahaman, sikap dan keterampilan siswa sehingga lebih baik dari sebelumnya. Data hasil penelitian untuk mengukur hasil belajar diperoleh dari tes berisi 28 soal berkaitan dengan tema polusi cahaya yang digunakan untuk mengukur domain dalam new taxonomy for science education, yaitu knowledge domain (pengetahuan dan pemahaman). Berdasarkan nilai posttest yang diperoleh, siswa dikelompokkan ke dalam tiga kelompok, yaitu kelompok tinggi, kelompok sedang dan kelompok rendah dengan masing-masing kelompok berjumlah 9 orang. Pengelompokkan ini
ISBN 978-602-19655-4-2
RSK ATIP
-0.143 0.308
Rendah Sedang
LRN MR HNA
0.250 0.181 0.231
Rendah Rendah Rendah
MMS VEP GSA
0.230 0.000 0.000
Rendah Rendah Rendah
GN
0.000
Rendah
Rata-rata
0.117
Rendah
Dari hasil pengelompokkan tersebut, gain ternormalisasi pada kelompok tinggi bernilai 0,320 dengan kategori sedang, kelompok sedang bernilai 0,158 dengan kategori rendah dan kelompok kecil bernilai 0,117 dengan kategori rendah. Secara keseluruhan diluar pengelompokkan, nilai gain 105
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Cahaya”, Semarang. Jurnal Pendidikan Fisika Indonesia, (2009). [4] M. Yasin, “Implikasi Pembelajaran Sains Terpadu (Integrated Science Instruction) di SMP”, Jurnal Pemikiran Alternatif Kependidikan, (2009). [5] Zuhdan K. Prasetyo, “Taksonomi untuk Pendidikan Sains dan Implementasinya dalam Model Pembelajaran SLH”, Yogyakarta. Seminar Nasional MIPAFPIMIPA UNY, (2007).
ternormalisasi untuk penelitian ini yaitu 0,22117 dengan kategori rendah Kesimpulan Berdasarkan data hasil penelitian yang diperoleh pada penerapan pembelajaran terpadu model webbed pada tema polusi cahaya dengan menggunakan model pembelajaran Susan-Loucks, nilai gain ternormalisasi yang diperoleh yaitu 0,22117 dengan kategori sedang. Dengan begitu, penerapan pembelajaran ini belum menunjukkan adanya peningkatan hasil belajar yang siginfikan terhadap hasil belajar siswa SMP.
Hayyah Fauziah* Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Pendidikan Indonesia [email protected]
Ucapan terima kasih Penulis ingin mengucapkan terima kasih siswa-siswa kelas 8 SMP Negeri 1 Lembang yang turut membantu dan mendukung dalam penyelesaian penelitian ini.
Winny Liliawati Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Pendidikan Indonesia
Referensi [1] Cage, Bob & Turpin Tammye, “The Effects of an Integrated, Activity-Based Science Curriculum on Students Achievement, Sciences Procces Skill, and Science Atitudes”, Lousiana (USA) [2] Depdiknas, “Model Pembelajaran Terpadu IPA, SMP/MTs /SMP LB”, Puskur Kurikulum Balitbang Diknas, (2006). [3] Muqoyyanah, et.al., “Efektivitas dan Efisiensi Model Pembelajaran IPA Terpadu Tipe Integrated Dalam Pembelajaran Tema
ISBN 978-602-19655-4-2
Judhistira Aria Utama Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Pendidikan Indonesia [email protected]
*Corresponding author
106
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Penerapan Hands On Activity pada Pembelajaran IPA Bertema Operasi LASIK untuk Meningkatkan Literasi Fisika Siswa SMP Henita Septiyani Pertiwi*, Saeful Karim, dan Selly Feranie Abstrak Berdasarkan hasil studi pendahuluan dalam pembelajaran IPA disalah satu SMP di Kota Bandung, ditemukan fakta bahwa kemampuan berhipotesis siswa masih rendah. Hal ini menyebabkan pemahaman konsep siswa dalam pembelajaran IPA masih rendah. Kemampuan berhipotesis dan pemahaman konsep ini merupakan sebagian dari kemampuan literasi. Dengan demikian, kemampuan literasi siswa juga menjadi rendah. Untuk meningkatkan kemampuan literasi siswa, penulis menerapkan strategi pembelajaran hands on activity yaitu dengan memberikan lembar kerja siswa yang diawali dengan pemberian masalah serta prediksi dan penerapan model pembelajaran yang dapat meningkatkan pemahaman konsep, yang difokuskan pada materi pembelajaran fisika. Kemampuan literasi fisika yang diukur terdiri dari empat aspek, yaitu context, knowledge, competencies, dan attitudes. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui bagaimana peningkatan literasi fisika siswa setelah diterapkannya hands on activity pada pembelajaran IPA bertema operasi LASIK. Penelitian ini menggunakan metode quasi eksperimen dengan desain penelitian adalah one group pretest posttest design. Sampel dari penelitian ini adalah kelas VIII salah satu SMP Negeri di Kota Bandung tahun pelajaran 2012/2013. Hasil penelitian yang diperoleh setelah diterapkan hands on activity yaitu hasil tes literasi fisika dengan rata-rata nilai pretest 62,63 dan rata-rata nilai posttest 90,10. Hal ini berarti hasil tes literasi fisika siswa mengalami peningkatan sebesar 0,74 dengan kategori tinggi. Jadi secara umum dapat disimpulkan bahwa penerapan hands on activity dapat meningkatkan literasi fisika siswa SMP. Kata-kata kunci: Hands On Activity, Literasi Fisika, SNIPS 2013, prosiding pemahaman konsep merupakan bagian dari literasi, maka literasi fisika siswa juga rendah. Oleh karena itu penulis ingin mengetahui peningkatan literasi fisika siswa setelah diterapkannya hands on activity.
Pendahuluan Berdasarkan survei internasional PISA (Programme for International Student Assessment) yang dilaksanakan oleh OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) menunjukkan kemampuan literasi sains anak Indonesia yang sampelnya diambil secara acak berada pada tingkat rendah. Skor rata-rata prestasi literasi membaca di negara Indonesia berada pada peringkat ke 48 dari 56 negara peserta. Sedangkan skor rata-rata literasi sains di negara Indonesia berada pada peringkat ke 50 dari 57 negara peserta [5]. Berdasarkan hasil Balitbang 2011, penulis ingin mengetahui bagaimana literasi fisika siswa di Kota Bandung. Pada saat Program Pengalaman Lapangan (PPL) disalah satu SMP Negeri di Kota Bandung, penulis melakukan studi pendahuluan literasi fisika kepada satu kelas yang berjumlah 40 siswa.[5] Penulis memberikan soal literasi yang berisi teks bacaan dan beberapa soal untuk menguji kemampuan berhipotesis siswa serta pemahaman konsep mereka. Ternyata dari hasil jawaban siswa, hanya 27% siswa yang menjawab dengan benar.
Teori Hands on activity adalah suatu pembelajaran yang dirancang untuk melibatkan siswa dalam menggali informasi dan bertanya, beraktivitas dan menemukan, mengumpulkan data dan menganalisis, serta membuat kesimpulan sendiri [6]. Siswa diberi kebebasan dalam membangun pemikiran dan hasil temuan selama melakukan aktivitas. Kegiatan ini menunjang sekali pembelajaran kontekstual dengan karakteristik yaitu kerjasama, saling menunjang, gembira, belajar dengan bergairah, pembelajaran terintegrasi, menggunakan berbagai sumber, siswa aktif, menyenangkan, tidak membosankan, sharing dengan teman, siswa kritis, dan guru kreatif.(Hatta dalam Dedi: 2010).[6] Pengertian hands-on yang dikutip dari tulisan David L Haury and Peter Rillero, 1994 sebagai berikut:
Berdasarkan hasil studi literatur, penulis menemukan fakta bahwa kemampuan berhipotesis siswa di kelas ini masih rendah. Rendahnya kemampuan berhipotesis ini menandakan rendahnya pemahaman membaca dan pemahaman konsep. Karena kemampuan berhipotesis, pemahaman membaca, dan ISBN 978-602-19655-4-2
- Hands on adalah seluruh aktivitas dan pengalaman langsung siswa dengan fenomena alam.
107
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Pada penelitian ini penulis mengambil tema literasi tentang menangani resiko masyarakat dengan teknologi yaitu operasi LASIK. Penulis mengadopsi soal literasi fisika dari PISA 2006 yang menyatakan bahwa literasi fisika yang diukur terdiri dari empat aspek, yaitu context, knowledge, competencies, dan attitudes [1]. Objek penelitian ini adalah siswa kelas VIII di salah satu SMP Negeri di Kota Bandung. Penulis memberikan satu set soal literasi yang didalamnya mencakup strategi pembelajaran hands on activity. Soal yang diberikan berupa teks bacaan, soal pilihan ganda, kolom sikap, serta LKS (Lembar Kerja Siswa) yang membantu siswa untuk mengaplikasikan pengetahuan awal yang dimiliki siswa dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi. Pengetahuan awal siswa ini didapat dari tugas bacaan teks sains yang diberikan sebelum pembelajaran berlangsung. Teks bacaan ini berfungsi untuk mengkonstruk pengetahuan siswa yang terdiri dari bahan bacaan, pemahaman konsep, dan kemampuan siswa dalam membuat peta konsep serta membuat kesimpulan.
- Hands on sains adalah belajar dari materi-materi (benda-benda) dan proses alam melalui observasi langsung dan eksperimen. - Hands on membiarkan siswa mempraktikan sains secara menyeluruh.
untuk
- Hands on adalah suatu aktivitas dimana siswa memiliki objek (makhluk hidup maupun benda mati) yang secara langsung dapat dipergunakan untuk penelitian.[7] Strategi pembelajaran hands on memiliki beberapa kelebihan sebagai berikut: - Dapat meningkatkan pembelajaran - Dapat meningkatkan motivasi untuk belajar - Dapat kesenangan dalam belajar - Dapat meningkatkan keterampilan dan keahlian dalam komunikasi - Dapat meningkatkan cara berfikir sendiri dan mengambil keputusan sendiri berdasarkan penemuan langsung dan eksperimen - Dapat meningkatkan tangkap/persepsi
kreativitas
dan
daya
LKS yang diberikan berisi masalah yang harus dipecahkan oleh siswa, kolom prediksi sebelum siswa membuktikan solusinya dengan bereksperimen, dan hasil jawaban pemecahan masalah dari eksperimen yang telah dilakukan. Kemudian siswa menyamakan apakah hasil prediksi siswa sebelum dilakukan eksperimen dengan hasil jawaban siswa setelah dilakukan eksperimen sama atau tidak. Sebagai evaluasinya siswa diberi posttest berupa teks bacaan literasi fisika dengan pilihan ganda. Sebelum pembelajaran dimulai, siswa diberi pretest juga untuk mengetahui pengetahuan awal siswa. Peningkatan literasi siswa dilihat dari hasil pretest dan posttest siswa.
Dalam pembelajaran sains khususnya fisika harus diajarkan dengan cara mengilhami pemahaman dan antusiasme siswa, serta relevan dengan kebutuhan budaya dan sosial siswa dan masyarakat. Secara khususnya pembelajaran fisika harus bersifat konseptual, melibatkan siswa dalam proses pembelajaran, difokuskan pada beberapa tema, kebiasaan ilmiah yang menanamkan pikiran dengan tema berulang seperti ”bagaimana kita tahu?”, mencakup tematema sosial seperti energi, sumber daya, dan lingkungan. Topik sosial yang sesuai dengan fisika yaitu: - Materialis dan mekanik Newtonian semesta - Otomotif - Efisiensi transportasi - Uap listrik – Pembangkit listrik (bagaimana cara kerjanya, aliran energi, efisiensi energinya) - Penggunaan sumber daya dan pertumbuhan penduduk - Penipisan ozon - Pemanasan global - Pencarian kecerdasan diluar angkasa dan pertanyaan Fermi (dimana semua orang? Dan akankan peradaban teknologi bertahan?) - Penafsiran fisika kuantum dan kontras dengan fisika Newton - Radioaktif dan usia geologi - Paparan radiasi pengion - Menangani resiko masyarakat dengan teknologi - Sejarah energi fisi - Proyek Manhattan (fisi pertama) - Senjata fusi - Bukti untuk Big Bang - Masa depan energi.[1] ISBN 978-602-19655-4-2
Penelitian ini dilakukan menggunakan metode quasi eksperimen. Metode ini merupakan metode penelitian yang masih terdapat variabel luar yang ikut berpengaruh terhadap terbentuknya variabel terikat. Metode ini digunakan karena penulis tidak mampu mengontrol semua variabel yang ikut berpengaruh terhadap hasil yang ingin dicapai. Karena jumlah kelas yang diberikan perlakuan hanya satu kelas dan tanpa ada kelompok pembanding maka desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah one group pretest posttest design. Hasil dan Diskusi Peningkatan literasi fisika siswa diukur melalui rata-rata gain yang dinormalisasi dari hasil skor pretest dan posttest. Instrumen yang digunakan untuk mengukur literasi fisika siswa berjumlah 15 butir soal yang terdiri dari aspek context, knowledge, competencies dan kolom attitudes. Hasil literasi fisika siswa pada aspek knowledge, 108
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia Nilai Rata-Rata LKS Siswa
competencies dan attitudes ditunjukkan pada tabel berikut.
Pertemuan ke
Hasil Pretest dan Posttest
Pretest
Nilai RataRata 62,63
Posttest
90,10
Tes
Kategori
0,74
Tinggi
1
2
Berdasarkan tabel di atas, tampak bahwa rata-rata skor tes akhir (posttest) literasi fisika siswa lebih besar daripada rata-rata skor tes awal (pretest). Peningkatan literasi fisika siswa ditunjukkan dengan perolehan nilai gain sebesar 0,74 dengan kategori tinggi.
Saya dapat menyelesaikan masalah sederhana dalam kehidupan sehari-hari yang berkaitan dengan konsep alat optik.
Keterangan: SP: Sangat Penting KP: Kurang Penting
P Pre test: 81,82 % Post test: 48,48 % Pre test: 39,40 % Post test: 21,21 % Pre test: 27,27 % Post test: 63,64 %
KP Pre test: -
TP Pre test: -
Post test: -
Post test: -
Pre test: 12,1 2% Post test: -
Pre test: -
Pre test: 60,6 1% Post test: -
Post test: Pre test: Post test: -
Sesuai : 80% Tidak Sesuai : 20%
92,2
Sesuai : 90% Tidak Sesuai : 10%
Kesimpulan Penerapan hands on activity dalam pembelajaran IPA khususnya fisika, mampu meningkatkan kemampuan literasi fisika siswa. Hal itu ditunjukkan selama pembelajaran terjadi peningkatan jumlah siswa yang menjawab hasil prediksi sesuai dengan kesimpulan setelah penyelidikan. Agar diperoleh hasil yang lebih baik, disarankan agar guru lebih selektif dalam penentuan pemberian masalah yang akan diberikan serta untuk meningkatkan kerja sama, bertanya ataupun memberikan tanggapan, diperlukan variasi metode dalam mengajar menggunakan strategi pembelajaran hands on activity, sehingga literasi fisika siswa dapat ditingkatkan.
P : Penting TP: Tidak Penting
Berdasarkan tabel di atas, tampak bahwa literasi fisika siswa pada aspek attitudes menunjukkan respon yang sangat baik. Sebagian besar siswa tertarik dengan pembelajaran bertema Operasi LASIK. Hasil jawaban LKS siswa pada saat pembelajaran dengan menerapkan hands on activity dapat dilihat pada tabel berikut.
ISBN 978-602-19655-4-2
88,3
Deskripsi pelaksanaan pembelajaran hands on activity dijelaskan sebagai berikut: Guru memulai pembelajaran dengan memberikan LKS yang berisi pertanyaan-pertanyaan yang membangkitkan rasa ingin tahu siswa serta membimbing siswa untuk mengajukan hipotesis. Setelah siswa berhipotesis, siswa melakukan penyelidikan untuk menguji hipotesis. Setelah siswa melalukan percobaan atau penyelidikan, siswa berdiskusi dan menarik kesimpulan dari hasil percobaan. Selama diskusi guru memberikan kebebasan kepada siswa untuk bertanya ataupun memberikan tanggapan. Guru membimbing siswa menarik kesimpulan dengan memberikan kata kunci atau pertanyaan pancingan. Di akhir pembelajaran, guru membimbing siswa untuk menyimpulkan hasil kegiatan pembelajaran dan memberikan tes evaluasi kepada siswa. Dalam model ini, kemampuan literasi fisika siswa dilatih selama proses penyelidikan. Model seperti yang dijelaskan tersebut mampu menumbuhkan kemampuan berhipotesis siswa serta meningkatkan literasi fisika siswa.
Pretest dan Posttest Aspek Attitudes
SP Pre test: 18,1 8% Post test: 51,5 2% Pre test: 48,4 8% Post test: 78,7 9% Pre test: 12,1 2% Post test: 36,3 6%
Prediksi
Berdasarkan tabel di atas, tampak bahwa sebagian besar siswa memiliki kemampuan memprediksi (hipotesis) yang baik setelah diterapkannya hands on activity. Siswa dapat mengerjakan LKS melalui bimbingan dari guru ketika pembelajaran berlangsung.
Hasil literasi fisika siswa pada aspek attitudes ditunjukkan pada tabel berikut. Pernyataan Pembelajaran fisika membuat saya ingin mempelajari lebih banyak mengenai pemanfaatan operasi LASIK. Pelajaran fisika membuat saya tahu bagaimana cara kerja operasi LASIK.
Nilai Ratarata
109
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
http://ayoetea.blogspot.com/2010/07/handson-activity-dalam-pembelajaran.html. [2 Juni 2013]. [7] Haury, David L, dkk., “Perspectives of Hands on Science Teaching”, (1994), [Online]. http://www.ncrel.org/sdrs/areas/issues/conten t/cntareas/science/eric/eric-toc.html. [2 Juni 2013].
Ucapan terima kasih Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Selly Feranie atas dukungan finansialnya pada penelitian ini dan Bapak Saeful Karim atas dukungannya dalam keikutsertaan dalam kegiatan ilmiah ini. Penulis juga berterima kasih kepada teman-teman fisika yang telah berkontribusi terhadap selesainya penelitian ini.
Henita Septiyani Pertiwi*
Referensi
Jurusan Pendidikan Fisika Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Pendidikan Indonesia [email protected]
[1] Hobson, Art, “Physics Literacy, energy and the environment”, Journal of Physics Education 38 (2), 109-114 (2003). [2] Amir Sahri, Pirus Lidas, dan Kika Kari, “Penerapan parameter tak tentu dalam statistik pendidikan”, Prosiding Seminar Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2013 (SNIPS 2013), 22-23 Juni, Bandung, Indonesia, pp. 111-114. [3] S. Arikunto, “Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan”, Jakarta: Bumi Aksara, (2009). [4] Program for Internasional Student Assessment. (2006). Assessing Scientific, Reading and Mathematical Literacy. By the government of Organisation for Economic Cooperation Development. [5] Badan Penelitian dan Pengembangan. (2011). Survei Internasional PISA. Jakarta: Depdikbud. [6] Dedi, “Hands On Activity Dalam Pembelajaran Sains”, (2010), [Online]. Tersedia:
ISBN 978-602-19655-4-2
Saeful Karim Jurusan Pendidikan Fisika Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Pendidikan Indonesia [email protected]
Selly Feranie Jurusan Pendidikan Fisika Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Pendidikan Indonesia [email protected]
*Corresponding author
110
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Penerapan Video Based Laboratory pada Materi Getaran dan Gelombang untuk Meningkatkan Kemampuan ICT Siswa SMP Herni Yuniarti Suhendi*, Selly Feranie, dan Ika Mustika Sari Abstrak Berdasarkan studi lapangan di salah satu SMP Negeri di kabupaten Bandung, ditemukan bahwa proses pembelajaran masih berpusat pada guru dan lebih menekankan pada transfer pengetahuan dari guru kepada siswa sehingga tidak menempatkan siswa sebagai pengkontruksi pengetahuan. Selain itu, pengetahuan mereka dalam bidang ICT-pun masih rendah. Oleh karena itu, dilakukan penelitian penerapan Video Based Laboratory untuk mengetahui peningkatan kemampuan ICT siswa. Alat pengumpul data berupa soal tes kemampuan ICT. Penelitian ini menggunakan metode quasy experiment dengan desain penelitian one group pretest-posttest design dan sampel penelitiannya adalah kelas VIII salah satu SMP Negeri di Kabupaten Bandung tahun ajaran 2010/2011. Pengolahan data kemampuan ICT dilakukan dengan menghitung rata-rata-rata gain ternormalisasi skor pretest dan posttest. Hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat peningkatan kemampuan ICT siswa berdasarkan nilai rata-rata gain ternormalisasi, diperoleh gain ternormalisasi sebesar 0,89. Hal ini menunjukkan bahwa penerapan Video Based Laboratory dapat meningkatkan kemampuan ICT siswa. Kata-kata kunci: Video Based Laboratory, kemampuan ICT beberapa tahun terakhir ini dengan pengenalan pengolahan video yang rendah biaya, terlihat dari [5] yang mendemontrasikan bagaimana QuickTime dapat menganalisis video gerak tabrakan mobil dari Physics and Automobile Collisions Videodisc [6] dengan mengumpulkan data gerak dari tabrakan tersebut ke program Excel menghasilkan grafik dan analisis gerak dari peristiwa tersebut. Penelitian lain yang dilakukan oleh [7] menggunakan MBL dapat dengan mudah mengumpulkan data dua dimensi benda/bagian dari benda yang menjadi objek dalam video itu. Dan terakhir [8] menggunakan Video Analyzer and Visual Space-Time yang memungkinkan siswa untuk mengumpulkan, menganalisis, dan data model gerak dua dimensi dari peristiwa yang diamati terjadi di luar kelas.
Pendahuluan Hampir semua bidang pekerjaan di dunia telah dikendalikan oleh komputer. Siswa yang tidak memiliki kecakapan dalam mengoperasikan program-program komputer diperkirakan akan mengalami kesulitan yang lebih besar untuk menghadapi kehidupannya pada masa kini dan masa yang akan datang. Oleh karena itu, kemampuan untuk mengoperasikan aplikasi komputer harus dilatihkan. Selain itu, sudah menjadi pendapat umum bahwa fisika merupakan salah satu pelajaran yang kurang diminati [1]. Salah satu penyebabnya adalah fisika banyak mempunyai konsep yang bersifat abstrak sehingga sukar membayangkannya. Agar konsep-konsep yang abstrak itu lebih mudah dipahami diperlukan penyajian langsung berupa menunjukkan fenomena. Penunjukkan fenomena dapat berupa demonstrasi, simulasi, model, grafik real-time dan video. Teknik-teknik visualisasi tidak hanya memungkinkan siswa untuk mengamati bagaimana benda berperilaku dan berinteraksi, tetapi juga memberikan visualisasi yang mereka dapat tangkap, dan mempertahankan esensi dari fenomena fisik itu lebih efektif daripada deskripsi verbal [2]. Untuk proses visualisasi, komputer menjaga peran penting. Penelitian menggunakan komputer untuk menangkap gambar dari video diawali oleh [3], Siswa beichner menangkap beberapa serial gambar dan menggunakan bahasa pemograman komputer untuk mengumpulkan data jarak terhadap waktu sehingga mereka bisa menganalisis gerak dengan data tersebut. Penggunaan peralatan video-based laboratory atau VBL [4] telah meningkat di
ISBN 978-602-19655-4-2
Terkait dengan studi literatur telah dilakukan penulis mencoba untuk memberi solusi untuk menyelesaikan masalah tersebut dengan menerapkan Video Based Laboratory. Kesulitan untuk melakukan praktikum karena penggunaan laboratorium terbatas hanya di sekolah dan tidak semua konsep fisika dapat dieksperimenkan di laboratorium dapat teratasi karena pada saat proses pembelajaran guru menyajikan masalah berupa video yang berisi eksperimen bandul sederhana. Kemudian video eksperimen tersebut diolah oleh sebuah perangkat lunak yang bernama tracker sehingga menghasilkan data dan grafik. Dari video dan data hasil tracker tersebut siswa dapat mengetahui dan menjelaskan variabelvariabel getaran dan gelombang. Tak hanya itu, pada saat penerapan Video Based Laboratory ini siswa dilatihkan untuk mengoperasikan ms. office excel dan ms. office powerpoint. Dengan begitu
111
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
akhirnya siswa tidak hanya menghapal konsep yang ada tetapi paham terhadap konsep yang diajarkan. Konsep-konsep yang tadinya abstrakpun menjadi konkret karena adanya visualisasi dari video tersebut. Ditambah lagi kemampuan ICT siswa bisa meningkat dalam hal mengoperasikan software. Tujuan umum penelitian ini adalah mengetahui peningkatan kemampuan ICT siswa pada konsep getaran dan gelombang setelah diterapkan Video Based Laboratory. Teori Gambar 1. digunakan.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah eksperimen semu. Metode penelitian eksperimen semu adalah metode penelitian yang secara khas meneliti mengenai keadaan praktis yang di dalamnya tidak mungkin untuk mengontrol semua variabel yang relevan. Tujuannya adalah untuk memperoleh informasi yang merupakan perkiraan bagi informasi yang dapat diperoleh dengan eksperimen yang sebenarnya dalam keadaan yang tidak memungkinkan untuk mengontrol atau memanipulasi semua variabel yang relevan [9]. Metode eksperimen semu digunakan untuk menyelidiki pengaruh penerapan Video Based Laboratory dalam meningkatkan kemampuan ICT. Adapun desain penelitian yang digunakan adalah One Group Pretest-Posttest Design yaitu dengan memberikan perlakuan kepada subyek penelitian tanpa dibandingkan dengan kelas kontrol atau dengan kata lain suatu rancangan pretest dan posttest yang dilaksanakan pada satu kelompok saja tanpa pembanding. Kelas ini mendapatkan dua kali tes yaitu tes sebelum mendapat perlakuan (pretest) dan tes setelah mendapatkan perlakuan (posttest). Subyek penelitian ini adalah siswa kelas VIII pada salah satu SMP Negeri di kabupaten Bandung tahun ajaran 2010/2011 berjumlah 27 orang yang dipilih secara purposive sampling.
video
eksperimen
yang
Gambar 2. Software Tracker yang digunakan untuk menganalisis video eksperimen. Pengaruh penerapan Video Based Laboratory dalam pembelajaran Fisika terhadap peningkatan kemampuan ICT ditinjau berdasarkan perbandingan rata-rata gain yang dinormalisasi dari nilai pretes dan postes yang dicapai oleh kelompok eksperimen. Untuk perhitungan gain yang dinormalisasi, g, dan pengklasifikasiannya digunakan persamaan yang dirumuskan oleh [10] seperti berikut: =
Instrumen yang digunakan dalam seluruh rangkaian kegiatan penelitian ini, terdiri atas : satu set tes konseptual getaran dan gelombang untuk mengevaluasi konsepsi siswa pada saat sebelum dan sesudah pembelajaran, satu set tes kemampuan ICT untuk mengevaluasi kemampuan siswa dalam mengoperasikan ms. office excel dan ms. office powerpoint pada saat sebelum dan sesudah pembelajaran, video eksperimen seperti ditunjukkan pada Gambar 1, serta software Tracker untuk menyajikan gejala fisika secara nyata beserta representasinya baik berupa data kuantitatif dan grafiknya secara simultan hasil analisis dari video eksperimen seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.
ISBN 978-602-19655-4-2
Contoh
(1)
Spost, Spre dan SMI adalah skor tes akhir, skor tes awal dan skor maksimum ideal. Hasil dan diskusi Kemampuan ICT siswa yang dikembangkan dalam penelitian ini meliputi : kemampuan untuk mengoperasikan sistem teknologi, sistem teknologi ini dibatasi yaitu hanya mengoperasikan ms. office excel dan ms. office powerpoint. Secara keseluruhan, peningkatan aspek kemampuan ICT dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
112
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Tabel 1. Rekapitulasi rata-rata gain dinormalisasi untuk kemampuan ICT siswa. Kelas Eksperimen
0.89
Tabel 4. Rekapitulasi rata-rata gain yang dinormalisasi untuk aspek Kemampuan ICT Siswa dalam Mengoperasikan Ms. Office Excel.
yang
Kategori Tinggi
Berdasarkan Tabel 1, melalui penerapan Video Based Laboratory, peningkatan kemampuan ICT mempunyai nilai rata-rata gain yang dinormalisasi pada kategori tinggi yaitu berkisar antara 0,7
Persentase rata-rata ketercapaian skor Pretest
Aspek kemampuan ICT dalam mengoperasikan Ms. Office Excel m.e1
m.e2
m.e3
m.e4
1.96
1.56
1.00
1.78
postest
2.89
2.70
2.67
2.85
0.74
0.76
0.78
0.80
Kategori
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Data pada Tabel 5 dapat diubah ke dalam bentuk diagram seperti di bawah ini:
Peningkatan aspek kemampuan ICT dalam mengoperasikan ms. office excel pada setiap pembelajaran dapat dilihat pada tabel di bawah ini: Tabel 2. Rekapitulasi rata-rata gain yang dinormalisasi untuk kemampuan ICT pada aspek mengoperasikan ms. office excel. Kelas Eksperimen
0.83
Kategori Tinggi
Sedangkan untuk peningkatan aspek kemampuan ICT dalam mengoperasikan ms. office powerpoint pada setiap pembelajaran dapat dilihat pada tabel di bawah ini: Tabel 3. Rekapitulasi rata-rata gain yang dinormalisasi untuk kemampuan ICT pada aspek mengoperasikan ms. office powerpoint. Kelas Eksperimen
0.93
Gambar 3. Diagram batang nilai rata-rata gain yang dinormalisasi untuk aspek kemampuan ICT siswa dalam mengoperasikan ms. office excel. Dari Tabel 4 dan gambar 3 di atas terlihat bahwa secara umum setiap aspek kemampuan ICT siswa dalam mengoperasikan ms. office excel mengalami peningkatan yang diperlihatkan melalui nilai rata-rata gain ternormalisasi yang memiliki kategori tinggi yaitu berkisar antara 0,7
Kategori Tinggi
Berdasarkan Tabel 2 dan 3, kedua kemampuan ini mempunyai nilai rata-rata gain yang dinormalisasi pada kategori tinggi yaitu berkisar antara 0,7
ISBN 978-602-19655-4-2
Adapun untuk peningkatan kemampuan ICT siswa dalam mengoperasikan ms. office powerpoint dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 5. Rekapitulasi rata-rata gain yang dinormalisasi untuk aspek Kemampuan ICT Siswa dalam Mengoperasikan Ms. Office Powerpoint. Persentase rata-rata ketercapaian skor Pretest postest Kategori
113
Aspek kemampuan ICT dalam mengoperasikan Ms. Office Powerpoint m.p1
m.p2
m.p3
m.p4
m.p5
m.p6
m.p7
2 3 1 Tinggi
2 2.8 0.8 Tinggi
1.26 2.81 0.91 Tinggi
1 2.78 0.89 Tinggi
1.22 3 0.93 Tinggi
1.07 2.93 0.89 Tinggi
1,78 2,89 0,76 Tinggi
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
kasih kepada Douglas Brown atas sofware tracker yang bermanfaat.
Data pada Tabel 5 dapat diubah ke dalam bentuk diagram seperti di bawah ini:
Referensi [1] Afrizal Mayub, “E-Learning Fisika Berbasis Macromedia Flash MX”, Penerbit Graha Ilmu, Yogyakarta, 2005, p. 2 [2] R. R. Jr. Cadmus, “A video technique to facilitate the visualization of Physical Phenomena”, American Journal of Physics 58(4), 397-399 (1990). [3] R. J. Beichner, “The effect of simultaneous motion presentation and graph generation in a kinematics lab”, The Physics Teacher 27: 803-815 (1990). [4] A. Rubin, “Communication Association of Computing Machinery”, 36(5), 64 (1993). [5] D. L. Wagner, “Using digitized video for motion analysis”, The Physics teacher 32: 240-243 (1994). [6] D. A. Zollman, “Physics and Automobile Collisions Video Disc”, Wiley Distributed by Ztek Co , New York, 1984. [7] P. W. Laws, “Calculus-based physics without lectures”, Physics Today Vol 24, Number 24pp. 1 (1991). [8] L. T. Escalada, R. Grabhorn, and D. A. Zollman, “Applications of interactive digital video in a physics classroom”, Journal of Educational Multimedia and Hypermedia 5(1), 73-97 (1996). [9] Luhut P. Panggabean, “Penelitian Pendidikan (Diktat)”, Jurusan Pendidikan Fisika Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung, 1996. P. 21 [10] R. R. Hake, “Interactive-Engagement Versus Tradisional Methods : A Six ThousandStudent Survey of Mechanics Tes Data For Introductory Physics Course”, Am. J. Phys. 66 (1) 64-74 (1998).
Gambar 4. Diagram batang nilai rata-rata gain yang dinormalisasi untuk aspek kemampuan ICT siswa dalam mengoperasikan ms. office powerpoint. Dari Tabel 5 dan gambar 4 di atas terlihat bahwa secara umum setiap aspek kemampuan ICT siswa dalam mengoperasikan ms. office powerpoint mengalami peningkatan yang diperlihatkan melalui nilai rata-rata gain ternormalisasi dengan kategori tinggi yaitu berkisar antara 0,7
Herni Yuniarti Suhendi* Pendidikan Fisika Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia [email protected]
Selly Feranie Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Pendidikan Indonesia [email protected]
Ucapan terima kasih
Ika Mustika Sari
Penulis mengucapkan terima kasih atas DIA BERMUTU Batch III Jurusan Pendidikan Fisika Universitas Pendidikan Indonesia atas dukungan finansialnya pada penelitian ini dan SNIPS ITB 2013 atas dukungannya dalam keikutsertaan dalam kegiatan ilmiah ini. Penulis juga berterima
ISBN 978-602-19655-4-2
Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Pendidikan Indonesia [email protected]
*Corresponding author
114
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Analisis Kemampuan Metakognitif Siswa Dengan Menerapkan Strategi Metakognitif dalam Pembelajaran Fisika Hilman Imadul Umam*, Iyon Suyana, dan Agus Danawan Abstrak Penelitian ini dilatarbelakangi oleh rendahnya kesadaran dan kemampuan siswa dalam mengontrol kemampuan kognitifnya sehingga kesadaran siswa untuk belajar sangat rendah dan menyebabkan prestasi belajar khususnya pada pelajaran fisika menjadi kurang maksimal. Proses pembelajaran belum bisa memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengetahui bagaimana seharusnya ia belajar, mengetahui kemampuan dan modalitas yang dimiliki, dan mengetahui strategi terbaik untuk belajar efektif sehingga menyebabkan kemandirian siswa untuk belajar sangat rendah. Kemandirian belajar dapat dibangun ketika siswa memiliki kesadaran dalam mengelola dan mengatur kemampuan kognitifnya dalam merespon situasi atau persoalan. Kesadaran tersebut dapat dimiliki oleh siswa ketika ia memiliki kemampuan metakognitif. Penelitian ini bertujuan untuk melihat peningkatan kemampuan metakognitif siswa SMA setelah diterapkannya strategi pembelajaran metakognitif. Kemampuan metakognitif yang diukur dalam penelitian ini terkait pada pengetahuan dan keterampilan metakognitif. Pengetahuan metakognitif meliputi pengetahuan deklaratif, prosedural, dan kondisional. Sedangkan untuk keterampilan metakognitif meliputi keterampilan mengidentifikasi, merencanakan, monitoring tindakan, dan evaluasi. Metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah pre-eksperimental dengan desain penelitian One-Group Pretest-Posttest Design. Instrumen yang digunakan untuk pengambilan data adalah tes pengetahuan metakognitif, jurnal belajar, dan lembar observasi keterlaksanaan pembelajaran. Hasil penelitian menunjukan adanya peningkatan pengetahuan metakognitif dilihat dari nilai N-gain. Sedangkan untuk keterampilan metakognitif terlihat adanya peningkatan dari persentase jumlah siswa yang melakukan tiap tahapan keterampilan metakognitif. Peningkatan kemampuan metakognitif tersebut terjadi karena strategi pembelajaran metakognitif dapat diimplementasikan dengan kategori sangat baik berdasarkan hasil observasi. Dengan kata lain strategi pembelajaran metakognitif mampu meningkatkan kemampuan metakognitif siswa SMA khususnya pada pembelajaran fisika. Kata kunci: Strategi pembelajaran metakognitif, Kemampuan metakognitif. Salah satu strategi pembelajaran yang mampu meningkatkan kesadaran siswa untuk memahami apa yang mereka perlukan dalam pembelajaran adalah strategi metakognitif [4]. Strategi metakognitif merupakan cara untuk meningkatkan kesadaran mengenai proses berpikir tentang aktivitas belajar yang dilakukan oleh seseorang, sehingga ketika kesadaran tersebut terwujud maka orang tersebut akan mampu mengawal pemikirannya dengan merancang, memantau, dan menilai apa yang dipelajarinya [1]. Ketika siswa mampu merancang, memantau, dan merefleksi proses belajar mereka secara sadar, maka siswa akan lebih percaya diri dan lebih mandiri dalam belajar. Kemandirian belajar dapat dibangun ketika siswa memiliki kesadaran dalam mengelola kemampuan kognitifnya dalam merespon persoalan. Kesadaran tersebut dapat dimiliki oleh siswa ketika ia memiliki kemampuan metakognitif [5]. Sehingga bisa dikatakan bahwa strategi pembelajaran metakognitif mampu meningkatkan kemampuan metakognitif siswa.
Pendahuluan Proses pembelajaran yang berlangsung harus mampu memberikan kesepatan kepada siswa merekontruksi pengetahuannya secara sadar [1]. Kesadaran siswa dalam melakukan aktivitas pembelajaran sangat menentukan minat dan kemauan siswa untuk lebih memahami dan memaknai apa yang mereka pelajari [2]. Upaya untuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman terhadap proses pembelajaran harus dilakukan dengan langkah-langkah strategi kreatif dari pendidik dalam melangsungkan proses pembelajaran [3]. Namun pada kenyataanya, hasil studi empirik yang dilakukan peneliti menunjukan bahwa proses pembelajaran belum bisa memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengetahui bagaimana seharusnya ia belajar, mengetahui kemampuan dan modalitas yang dimiliki, serta mengetahui strategi terbaik untuk belajar efektif, yang menyebabkan kesadaran siswa untuk belajar sangat rendah. Berdasarkan studi empirik tersebut maka diperlukan strategi pembelajaran yang mampu membimbing siswa berperan aktif dalam merekontruksi pengetahuannya secara sadar. ISBN 978-602-19655-4-2
115
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
pretest adalah melakukan langkah-langkah pembelajaran dengan menggunakan strategi metakognitif. Siswa diberikan jurnal belajar sebagai bahan catatan kegiatan belajarnya. Didalam jurnal tersebut ada kolom-kolom yang harus diisi terkait mengidentifikasi persoalan, merancang apa yang akan dilakukan, memonitoring, dan mengevaluasi apa yang sudah dilakukan siswa
Teori Kemampuan metakognitif merupakan pengetahuan seseorang tentang kognisinya sendiri serta kemampuan dalam mengatur dan mengontrol aktivitas kognisinya dalam belajar [1]. Kemampuan metakognitif meliputi dua komponen, yaitu pengetahuan metakognitif (metacognitive knowledge), dan pengalaman atau regulasi metakognitif (metacognitive experience or regulation) [6]. Sedangkan menurut Mulbar (2008), kemampuan metakognitif dapat dibedakan menjadi pengetahuan metakognitif dan keterampilan metakognitif. Pengetahuan metakognitif meliputi pengetahuan deklaratif, prosedural, dan kondisional. Sedangkan keterampilan metakognitif meliputi keterampilan identifikasi, perencanaan, monitoring tindakan, dan evaluasi.
Hasil dan Diskusi Pelaksanaan penelitian dilakukan selama tiga kali pertemuan pembelajaran. Keterlaksanaan strategi metakognitif selama proses pembelajaran memiliki peranan sangat penting karena akan mempengaruhi peningkatan kemampuan metakognitif siswa. Hasil pengamatan observer mengenai keterlaksanaan strategi metakognitif dalam pembelajaran disajikan pada tabel 2 berikut ini:
Pada penelitian ini kemampuan metakognitif yang menjadi tinjauan adalah kemampuan metakognitif menurut Mulbar, yang meliputi Pengetahuan dan keterampilan metakognitif. Instrumen penelitian yang digunakan adalah instrumen tes pengetahuan metakognitif, jurnal belajar untuk menilai keterampilan metakognitif, dan lembar observasi keterlaksanaan strategi pembelajaran metakognitif. Langkah-langkah strategi pembelajaran metakognitif yang dilaksanakan pada penelitian ini adalah langkahlangkah strategi pembelajaran metakognitif menurut Blakey&Spence (1990) yang meliputi (1) Mengidentifikasi “apa yang kamu ketahui” dan “apa yang kamu tidak ketahui”, (2) berbicara tentang berpikir, (3) membuat jurnal berpikir, (4) membuat perencanaan dan regulasi diri, (5) melaporkan kembali proses berpikir, dan (6) evaluasi diri [7].
Table 2. Rekapitulasi hasil observasi keterlaksanaan proses pembelajaran. Keterlaksanaan
Table 1. Desain penelitian one-group pretestpostest design. Treatment
Postest
O1
X
O2
O1 = Pretest (sebelum diberi perlakuan) O2 = Postest (setelah diberi perlakuan) X = Treatment atau perlakuan terhadap sempel Adanya peningkatan kemampuan metakognitif dapat dilihat dari peningkatan pengetahuan dan keterampilan metakognitif siswa. Peningkatan pengetahuan metakognitif dapat diihat dari hasil pretest dan postest pengetahuan metakognitif. Kegiatan yang dilakukan setelah ISBN 978-602-19655-4-2
Kegiatan Guru
Kegiatan Siswa
Pertemuan I
100%
82%
Pertemuan II
91%
91%
Pertemuan III
100%
100%
Dari hasil observasi, keterlaksanaan strategi pembelajaran metakognitif sudah dikategorikan sangat baik, hal tersebut dapat terlihat dari persentase kegiatan guru dan siswa yang sudah terlaksana lebih dari 80%. Baiknya keterlaksanaan strategi pembelajaran metakognitif sangat mempengaruhi kemampuan metakognitif siswa. Pengetahuan metakognitif siswa yang meliputi pengetahuan deklaratif, pengetahuan prosedural, dan pengetahuan kondisional mengalami peningkatan skor tes setelah diberikan pembelajaran dengan menggunakan strategi metakognitif. Berikut disajikan hasil pretest dan postest untuk setiap komponen pengetahuan metakognitif pada diagram berikut ini:
Metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah pre-eksperimental dengan desain penelitian One-Group Pretest-Posttest Design. Desain yang digunakan dalam penelitian ini dapat digambarkan pada tabel 1 berikut:
Pretest
Pembelajaran
116
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Rerata Persentase Jumlah Siswa yang Melakukan Identifikasi 100 50
93,5
83,9
77,4 22,6
16,1
6,5
0 Pertemuan I
Pertemuan II
Melakukan
Gambar 1. Skor Pretest dan postest pengetahuan metakognitif.
Dari diagram tersebut terlihat bahwa persentase jumlah siswa yang melakukan identifikasi dari tiap pertemuan meningkat. Hal tersebut menunjukan bahwa strategi metakognitif mampu meningkatkan keterampilan identifikasi dari siswa. Setelah siswa melakukan identifikasi persoalan, kemudian siswa diintruksikan untuk membuat rencana tindakan sebagai bentuk persiapan dalam menghadapi pembelajaran berikutnya. Persentase jumlah siswa yang membuat perencanaan dapat dilihat dari diagram dibawah ini,
Pengetahuan Metakognitif
Nilai N-gain
Prosedural
Kondisional
0,72
0,66
0,54
Rerata Persentase Jumlah Siswa yang Membuat Perencanaan
Nilai N-gain paling besar didapat oleh pengetahuan deklaratif, hal tersebut menunjukan bahwa strategi pembelajaran metakognitif dapat melatih siswa untuk bisa mengaitkan dan menggunakan pengetahuan yang mereka miliki dalam menyelesaikan suatu persoalan yang sedang dihadapi. Secara keseluruhan setiap komponen pengetahuan metakognitif memiliki peningkatan yang cukup besar, sehingga menunjukan bahwa strategi pembelajaran metakognitif mampu meningkatkan pengetahuan metakognitif siswa.
100 50
87,1
83,9
70,9 29,1
16,1
12,9
0 Pertemuan I Pertemuan II Pertemuan III Membuat Tidak Membuat
Gambar 3. Rerata persentase jumlah siswa yang membuat perencanaan. Dari diaram tersebut menunjukan bahwa strategi metakognitif mampu meningkatkan keterampilan siswa dalam membuat perencanaan. Kemudian setelah siswa membuat rencana tindakan, tahap berikutnya siswa melakukan monitoring tindakan dari perencanaan yang sudah dibuat. Siswa melaksanakan apa yang sudah direncanakannya kemudian mengontrol dan memonitoring rencana tindakannya dengan cara mencecklist dilembar monitoring, rencana mana saja yang dilaksanakan dan tidak dilaksanakan. Peningkatan dari tahapan monitoring tindakan ini dapat dilihah pada diagram berikut ini.
Selain pengetahuan metakognitif, keterampilan metakognitif dari siswa pun mengalami peningkatan dari tiap pertemuan. Peningkatan keterampilan metakognitif tersebut dilihat dari persentase jumlah siswa yang melakukan setiap komponen keterampilan metakognitif. Komponen keterampilan metakognitif pada penelitian ini meliputi keterampilan mengidentifikasi, keterampilan perencanaan, keterampilan monitoring tindakan, dan keterampilan mengevaluasi. Untuk keterampilan mengidentifikasi peningkatan persentase jumlah siswa yang melakukan identifikasi persoalan yang diberikan bisa diliha dari diagram berikut :
ISBN 978-602-19655-4-2
Tidak Melakukan
Gambar 2. Rerata persentase jumlah siswa yang melakukan identifikasi.
Dari diagaram tersebut terlihat bahwa setiap komponen pengetahuan metakognitif mengalami peningkatan setelah diterapkanya strategi pembelajaran metakognitif. Dari hasil pretest dan postest kemudian ditentukan nilai N-gain untuk melihat seberapa besar peningkatan dari setiap komponen metakognitif tersebut. Nilai N-gain yang didapat dari setiap komponen metakognitif dapat dilihat dari tabel 3 berikut ini:
Deklaratif
Pertemuan III
117
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
dalam melaksanakan pembelajaran. Jika dibandingkan dengan metode atau strategi lain, strategi metakognitif ini sangat student oriented karena lebih berfokus pada pengembangan kesadaran dan kemandirian siswa untuk belajar. Pada saat strategi ini diterapkan maka siswa akan sadar akan pentingnya belajar.
Rerata Persentase Jumlah Siswa yang Melakukan Evaluasi 100 50
87,1
74,2
45,1 54,9
25,8
12,9
0 Pertemuan I Pertemuan II Pertemuan III Melakukan Tidak melakukan
Ucapan terima kasih Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang sudah membantu dalam kegiatan ilmiah ini, khususnya kepada Bpk. Iyon Suyana yang selalu membimbing dalam penulisan karya ilmiah ini dan umumnya kepada jurusan pendidikan fisika UPI Bandung.
Gambar 4. Rerata persentase monitoring tindakan tiap pertemuan. Pada tahap monitoring tindakan, data yang didapat dibagi menjadi tiga kategori, yaitu rencana tindakan yang dilakukan seluruhnya, sebagian, dan tidak dilakukan seluruhnya. Dari diagram tersebut terlihat adanya peningkatan jumlah siswa yang melaksanakan seluruh rencananya dari tiap pertemuan. Hal itu menunjukan bahwa strategi metakognitif mampu meningkatakan kesadaran siswa dalam melakukan kontrol dan monitoring tindakan.
Referensi [1]
[2] [3]
Setelah siswa melakukan identifikasi sampai melaksanakan rencana tindakannya, tahapan akhir yang dilakukan siswa adalah mengevaluasi semua tindakan yang sudah dilakukan. Sama seperti keterampilan metakognitif lainnya, pada tahap evaluasi ini juga persentase jumlah siswa yang melakukan evaluasi meningkat dari tiap pertemuan. Peningkatan jumlah siswa yang melakukan evaluasi dapat dilihat dari diagram berikut ini.
[4]
[5]
Rer a ta P er s en ta s e Ju m l a h Si s w a ya n g M el a ku ka n Eva l u a s i 100 50
87,1
74,2
45,1 54,9
[6]
25,8
12,9
[7]
0 Pe rte m u a n I
Pe rte m u a n I I
Me l a ku ka n
Pe rte m u a n I I I
T i d a k m e l a k u k a n
Gambar 5. Rerata jumlah siswa yang melakukan evaluasi.
Hilman Imadul Umam* Pendidikan Fisika Universitas Pendidikan Indonesia [email protected]
Kesimpulan Penelitian ini menyimpulkan bahwa strategi metakognitif mampu meningkatkan kemampuan metakognitif siswa. Hal tersebut terlihat dari adanya peningkatan pengetahuan metakognitif dan keterampilan metakognitif siswa. Peningkatan pengetahuan metakognitif dapat dilihat dari nilai Ngain dari setiap komponen pengetahuan metakognitif. Keuntungan dari strategi metakognitif ini ketika diterapkan dalam pembelajaran adalah meningkatnya kesadaran akan pentingknya belajar yang dirasakan siswa, sehingga siswa bisa mandiri ISBN 978-602-19655-4-2
Romli, M., “Strategi Membangun Metakognisi Siswa SMA dalam Pemecahan Masalah Matematika”. Jurnal Aksioma. 2(2), 1-16 (2010). Hamdani. “Strategi Belajar Mengajar”, Penerbit Pustaka Setia, Bandung, (2011). Arikunto, S. “Manajemen Penelitian”. Penerbit Rineka Cipta, Jakarta, (2006). Daryaee, A. Malkhalifeh-Rostamy, M. Amiripour, P. “Executive Actions with Emphasis on Meta-Cognitive Skills for Mathematics classrooms”. Modern Journal of Education. 1, (4/5), 16-22 (2012).. Lidinillah. “Perkembangan Metakognitif dan Pengaruhnya Pada Kemampuan Belajar Anak”. URL: http://file.upi.edu/Direktori/KD- [Accessed 6 Januari 2013] Livingston, J.A. “Metacognition: An Overview”. URL http://gse.buffalo.edu/fas/shuell/cep564/Metac og.html [Accessed 13 November 2012] Blakey, Elaine & Spence, Sheila, “Developing Metacognition”. New York: ERIC Clearinghouse on Information Resources Syracusa NY, (1990).
Iyon Suyana Pendidikan Fisika Universitas Pendidikan Indonesia Agus Danawan Pendidikan Fisika Universitas Pendidikan Indonesia *Corresponding author
118
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Analisis Karakter Peserta Didik Menggunakan Tes Dilema Moral pada Tema Efek Penggunaan Rokok di SMP Ifa Rifatul Mahmudah*, Taufik Ramlan Ramalis, dan Winny Liliawati Abstrak Pendidikan karakter merupakan hal yang sangat penting dalam membentuk karakter seseorang. Namun, krisis moral yang terjadi saat ini menyuguhkan fakta terbalik dari yang seharusnya. Tidak bisa menutup mata, masih banyak, masih banyak krisis moral yang menggemparkan dunia pendidikan, salah satunya berkaitan dengan perilaku merokok di kalangan peserta didik SMP. Penanaman karakter di lingkungan sekolah sangat perlu karena akan menetaskan generasi mendatang yang mencerminkan karakter bangsa tersebut. Untuk mengetahui sejauh mana penanaman karakter yang dapat ditanamkan pada peserta didik, sebanyak 27 peserta didik di salah satu SMP di Kota Bandung diberikan pembelajaran menggunakan pembelajaran terpadu model Webbed dengan perangkat pembelajaran model pembelajaran Sousan Loucks Horsley. Pada akhir proses kegiatan belajar mengajar, peserta didik diberikan alat evaluasi berupa 3 buah soal tes dilema moral dengan tema efek penggunaan rokok. Tes dilema moral adalah tes studi kasus yang dapat mengukur moral feeling, moral knowing, dan moral behavior peserta didik. Dengan adanya tes dilema moral ini, peneliti mendapatkan profil karater peserta didik dengan menganalisis jawaban setiap peserta didik secara garis besar. Dari hasil penelitian, diketahui sebanyak 87,63% peserta didik memiliki moral knowing dan 82,09% memiliki moral feeling. Berdasarkan hasil yang diperoleh tersebut, dapat disimpulkan bahwa karakter peserta didik dapat dianalisis menggunakan tes dilema moral. Kata Kunci : Karakter peserta didik, Tes Dilema Moral, Moral feeling, dan Moral knowing Pendahuluan
Karakter dan Tes Dilema Moral
Berdasarkan UU nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas pasal 3 menyebutkan bahwa Pendidikan Nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa [1]. Sejalan dengan tujuan itu, pendidikan karakter mulai diterapkan dalam sistem pendidikan Indonesia. Sebagai bagian dari medan pendidikan, pendidikan sains bersama unsur pendidikan lainnya turut mengembangkan karakter untuk mengatasi carut marut moral peserta didik Indonesia. Di salah satu SMP Kayuagung, warga sekolah dikejutkan oleh sejumlah peserta didik merokok di lingkungan sekolah [2]. Perilaku merokok ternyata sudah dilakukan banyak remaja, bahkan dari penggunanya semakin meningkat. Dari data dari Tobacco Control Support Center, Jumlah perokok remaja (15-19 tahun) mengalami peningkatan 12,9% dalam waktu 15 tahun (19952010) [3]. Dari fakta tersebut, terlihat bahwa karakter yang baik belum tertanam di kalangan remaja, khususnya peserta didik SMP. Padahal seharusnya, karakter yang baik harus memiliki komponen moral knowing, moral feeling, dan moral action dalam setiap tingkah laku dalam kehidupan sehari-hari.
Karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak [4]. Mendidik karakter adalah mendidik tiga aspek kepribadian manusia: moral knowing, moral feeling or attitudes, dan moral behavior [5]. Karakter yang baik memiliki tiga komponen berupa moral knowing, moral feeling, dan moral action. Ketiga komponen tersebut terdiri dari aspek-aspek yang berbeda. Moral knowing terdiri dari kesadaran moral, mengetahui nilai moral, penentuan perspektif, pemikiran moral, pengambilan keputusan dan pengetahuan pribadi. Moral feeling terdiri dari hati nurani, harga diri, empati, mencintai hal yang baik, kenali diri, dan kerendahan hati. Moral action terdiri dari kompetensi, keinginan, dan kebiasaan [6]. Pada proses penelitian, sebanyak 27 orang peserta didik SMP di Kota Bandung dipilih secara acak sebagai sampel penelitian. Sampel diberikan pembelajaran dengan materi bertema efek penggunaan rokok yang dikemas menggunakan pembelajaran terpadu model webbed dan perangkat pembelajaran menggunakan model pembelajaran Susan Loucks-Horsley. Di setiap akhir pembelajaran, sampel diberikan satu buah instrumen tes dilema moral yang berkaitan dengan tema. Tes dilema moral merupakan tes studi kasus yang berbentuk uraian. Tes ini dimaksudkan untuk
Berdasarkan permasalahan di atas, peneliti bermaksud menganalisis karakter peserta didik melalui tes dilema moral.
ISBN 978-602-19655-4-2
119
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
dapat memposisikan dirinya menjadi orang lain dalam suatu kondisi. Hal ini terjadi karena pembelajaran yang diberikan sebagai upaya stimulus untuk membangkitkan karakter belum maksimal.
melihat karakter yang terdapat dalam diri siswa setelah dilakukannya pembelajaran. Pembelajaran yang diberikan dikemas sedemikian rupa sehingga dapat menstimulus munculnya karakter setiap peserta didik. Tes Hasil jawaban peserta didik dikelompokkan dan dianalisis menjadi sebuah deskripsi yang menceritakan karakter peserta didik.
Tabel 2. Persentase moral feeling yang dimiliki peserta didik.
Hasil dan Diskusi Setelah peserta didik diberikan instrumen tes dilema moral, akan didapatkan jawaban yang bervariasi dari setiap peserta didik. Jawabanjawaban inilah yang kemudian dianalisis apakah sudah mengandung aspek-aspek karakter yang baik ataukah belum terlihat. Peneliti membatasi moral-moral yang teramati, yakni hanya moral knowing dan moral feeling. Hal ini dikarenakan untuk moral action berkaitan dengan tindakan nyata yang harus dilakukan sampel penelitian sehingga bila pengukurannya hanya menggunakan sebuah tes berupa soal, hasil yang didapat kurang dapat mewakili karakter sesungguhnya yang dimiliki siswa.
1 2 3 4 5
Persentase 96.29% 80.16%
1 2 3 4
Hati nurani Empati Mencintai Hal yang Baik Kerendahan Hati Total Rata-rata
100% 88.89% 87.65% 51.85% 328.39% 82.09%
66.67% Kesimpulan 96.29% 98.76%
Dari hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa ada beberapa aspek karakter yang baik dalam diri peserta didik. Aspek yang terlihat dari moral knowing adalah kesadaran diri, pengetahuan nilai moral, penentuan perspektif, pemikiran moral, dan pengambilan keputusan. Sedangkan untuk moral feeling, aspek yang terlihat adalah hati nurani, empati, mencintai hal yang baik, dan kerendahan hati.
396.04% 87.63%
Moral knowing yang sudah terlihat dalam diri peserta didik dalam penelitian ini adalah kesadaran moral, mengetahui nilai moral, penentuan perspektif, pemikiran moral, dan pengambilan keputusan. Tidak semua aspek dari moral knowing terlihat dalam diri siswa. Hal ini dikarenakan soal tes yang diberikan belum cukup menggali aspek-aspek lainnya.
Ucapan terima kasih Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Medianta Tarigan atas bimbingannya dan kerja samanya sehingga penelitian ini dapat berjalan dengan lancar.
Aspek pengambilan keputusan yang terlihat dalam diri peserta didik memiliki persentase terbesar. Hal ini menandakan bahwa kemampuan peserta didik dalam mengambil keputusan dalam suatu kondisi yang dialaminya sangat tinggi serta dapat memikirkan konsekuensi dari keputusan yang diambilnya. Namun, aspek penentuan perspektif dalam diri peserta didik masih rendah yang menandakan bahwa peserta didik belum
ISBN 978-602-19655-4-2
Persentase
Aspek hati nurani yang terlihat dalam diri peserta didik memiliki persentase terbesar. Hal ini menandakan bahwa peserta didik sudah mengetahui apa yang baik dan melakukan apa yang baik dalam sebuah kondisi. Sedangkan untuk aspek kerendahan hati, belum semua peserta didik menyisipkan aspek kerendahan hati dalam bertingkah laku. Hal ini terjadi karena pembelajaran yang diberikan sebagai upaya stimulus untuk membangkitkan karakter belum maksimal.
Tabel 1. Persentase moral knowing yang dimiliki peserta didik. Aspek moral knowing Kesadaran Moral Mengetahui nilai moral Penentuan perspektif Pemikiran moral Pengambilan keputusan Total Rata-rata
Aspek Moral Feeling
Moral feeling yang sudah terlihat dalam diri peserta didik dalam penelitian ini adalah hati nurani, empati, mencintai hal yang baik, dan kerendahan hati. Tidak semua aspek dari moral feeling terlihat dalam diri siswa. Hal ini dikarenakan soal tes yang diberikan belum cukup menggali aspek-aspek lainnya.
Dari penelitian ini, dapat diketahui persentase aspek-aspek yang sudah terlihat dalam diri peserta didik yang tersaji dalam tabel di bawah.
No.
No.
Referensi [1] UU sistem pendidikan nasional, p. 3 [2] Tribunnews, "Guru Aniaya Peserta didik yang Merokok di sekolah", update 06.02.2013, URI http://id.berita.yahoo.com/guru-aniaya-siswa-
120
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
[3]
[4]
[5] [6]
Ifa Rifatul Mahmudah*
yang-merokok-di-sekolah-221421221.html [accessed 6 Feb 2013] Arman, "Jumlah perokok anak semakin meningkat", update 3.06.2013, URI http://www.indonesiatobacco.com/2013/06/ju mlah-perokok-anak-semakin-meningkat.html [accessed 3 June 2013] Deni Kurniawan, "Pembelajaran Terpadu", Penerbit Pustaka Cendikia Utama, Bandung, 2011, p. 13 Darmiyati Zuchdi, "Pendidikan Karakter", Penerbit UNY Pres, Yogyakarta, 285, (2011). Thomas Lickona, "Educating for Character", Penerbit UNY Pres, Jakarta, 86, (2013).
ISBN 978-602-19655-4-2
Jurusan Pendidikan Fisika Universitas Pendidikan Indonesia [email protected]
Taufik Ramlan Ramalis Jurusan Pendidikan Fisika Universitas Pendidikan Indonesia
Winny Liliawati Jurusan Pendidikan Fisika Universitas Pendidikan Indonesia
*Corresponding author
121
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Studi Perambatan Retakan Pada Material Bertakik Akibat Gaya Tarik Menggunakan Perangkat Lunak ABAQUS FEA Irfan Dwi Aditya*, Widayani, Sparisoma Viridi, dan Siti Nurul Khotimah Abstrak Studi mengenai mekanika patahan (fracture mechanics) sangat penting untuk memahami peristiwa kerusakan pada material. Perangkat lunak ABAQUS FEA yang berbasiskan metoda beda hingga cukup baik digunakan untuk mempelajari mikromekanik material. Dengan program ini, distribusi stress dan strain pada material yang mendapat gaya luar dapat diperlihatkan. Dengan adanya takik pada bahan, secara umum takik akan menjadi lokasi pusat stress sehingga menjadi tempat awal retakan. Pada penelitian ini dilakukan studi perambatan retakan pada material epoxy bertakik akibat gaya tarik melalui simulasi 3 dimensi. Sampel bertakik ditahan di satu ujung dan diberi gaya tarik pada ujung yang lain. Dari hasil simulasi diketahui bahwa distribusi stress berubah terhadap waktu sedangkan perambatan retakan cenderung mengarah ke ujung yang ditarik. Proses retakan yang terjadi dijelaskan dengan keseimbangan energi antara energi yang diserap sampel dan energi yang dilepas sampel pada saat terbentuknya retakan. Kata-kata kunci: ABAQUS FEA, epoxy, perambatan retakan, takik, simulas tepat dibandingkan pendekatan tinjauan stress disekitar retakan.
Pendahuluan Pada tahun 1983, the National Bureau of Standards (sekarang National Institute for Science and Technology) dan Battelle Memorial Institute [1] mengestimasi kerugian akibat retakan di Amerika berkisar 119 milyar dollar per tahun pada tahun 1982. Untuk mengantisipasi hal ini, maka dilakukan studi mengenai mekanika retakan yang diinisiasi salah satunya oleh A.A Griffith (18931963). Sekitar tahun 1920, Griffith melakukan studi mengenai retakan pada kaca. Dengan memanfaatkan studi tentang retakan sebelumnya yang dilakukan oleh Inglis mengenai konsentrasi stress disekitar lubang berbentuk elips [2], Griffith melakukan studi mengenai prediksi perilaku retakan. Hingga saat ini, telah banyak studi mengenai mekanika retakan. Diantaranya dilakukan oleh Sansoz dkk, yang pada penelitiannya dilakukan studi mengenai perambatan retakan dari takik dengan metoda beda hingga dua-dimensi [3].
Gambar 1. Daerah yang tidak terbebani di sekitar retakan [4]. Ketika retakan telah merambat dengan kedalaman a, maka daerah di sekitar retakan yang berdekatan dengan permukaan bebas terlepas dari beban (load). Gambar 1 menunjukkan ilustrasi dari proses ini. Ketika retakan menjalar, daerah segitiga di sekitar retakan, dengan lebar a serta tinggi βa akan terlebas dari beban sedangkan bagian material lainnya akan tetap mengalami tekanan penuh σ (full stress). Parameter β dipilih agar memenuhi solusi Inglis, yaitu β=π. Total energi regangan (strain energy, U) yang dilepas pada proses perambatan retakan pada kedua daerah segitiga dinyatakan dengan
Pada penelitian kali ini kami melakukan studi mengenai perambatan retakan pada material bertakik dengan metoda beda hingga tiga- dimensi dengan menggunakan perangkat lunak Abaqus yang berbasiskan metoda beda hingga sebagai fondasi analisanya. Teori dan Model a. Teori Retakan terjadi ketika stress pada tingkat atomik melebihi kekuatan kohesi material [4]. Pada studinya Griffith mengemukakan gagasan bahwa dalam memprediksi retakan pada material pendekatan melalui kesetimbangan energi lebih
ISBN 978-602-19655-4-2
U
2 2E
. a 2
(1)
dengan σ ialah nilai stress yang diaplikasikan, dan E ialah Modulus Young material.
122
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Dalam pembentukan retakan, ikatan antar atom pada suatu material harus diputus, hal tersebut memerlukan energi. Energi yang diserap oleh material untuk melepas ikatan ini, disebut juga energi permukaan (surface energy, S) ialah
S 2a ,
σ
(2)
di mana γ merupakan energi permukaan (joule/meter2) dan faktor 2 diperlukan karena dihasilkan dua buah permukaan bebas yang terbentuk dari retakan. Seperti ditunjukkan oleh Gambar 2, energi total yang terlibat pada proses pembentukan retakan ini ialah penjumlahan energi yang diserap untuk membentuk permukaan baru (positif) dengan strain energy yang dilepaskan (negatif).
Gambar 3. Spesifikasi dimensi model (ketebalan 0.005 m). Tabel 1. Nilai karakteristik mekanik material (epoxy) [7]. Sifak mekanik
Nilai
Massa Jenis
1.25 Mg m-3
Modulus Young
3.5 GPa
Poisson Ratio
0.39
Max Principal Stress Damage
50 Mpa
Fracture Energy
0.3 kJ m-2
Hasil dan diskusi a. Distribusi stress pada material bertakik Hasil simulasi distribusi stress pada material bertakik ditunjukkan dalam Gambar 4 berikut.
Gambar 2. Kurva kesetimbangan energi retakan, yaitu jumlah energi regangan U dan energi permukaan S [4]. b. Simulasi
σ
Simulasi pada studi ini dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak ABAQUS FEA. ABAQUS FEA [5-6] (sebelumnya ABAQUS) adalah paket perangkat lunak untuk analisis elemen hingga, awalnya dirilis pada tahun 1978.
Gambar 4. Distribusi Stress pada material bertakik.
Adapun spesifikasi dimensi model simulasi diberikan dalam Gambar 3. Sedangkan spesifikasi mekanik material yang digunakan, dalam simulasi ini epoxy, parameter fisisnya diberikan dalam Tabel 1.
Nampak bahwa stress lebih terkonsentrasi pada daerah takik. Semakin jauh dari daerah takik, stress semakin kecil. Hal ini sesuai dengan teori yang ditunjukkan oleh Gambar 1 dimana daerah di sekitar retakan akan terbebas dari beban (load) dan garis beban akan bertumpuk pada daerah ujung takik.
Dengan menggunakan perangkat lunak ABAQUS FEA, model simulasi dibagi menjadi mesh dengan ukuran yang bervariasi. Mesh pada bagian takik dibuat lebih halus (kecil) agar analisa pada bagian tersebut lebih rinci. Sedangkan gaya yang digunakan pada pengujian material simulasi ini ialah stress (σ) sebesar 5 x 107 Pa.
ISBN 978-602-19655-4-2
b. Perambatan retakan Pada simulasi perambatan retakan, digunakan metoda XFEM sebagai dasar analisanya, karena metoda ini dapat melibatkan diskontinuitas pada sistem. Berikut hasil simulasi perambatan retakan pada ABAQUS FEA.
123
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
(a)
Gambar 6. Plot energi strain terhadap waktu. Kesimpulan Dari studi simulasi perambatan retakan pada material bertakik diperoleh informasi yang sesuai dengan teori dimana konsentrasi stress akan lebih banyak pada daerah takik. Pada proses perambatan retakan, distribusi stress berubah terhadap waktu karena proses penyeimbangan energi retakan pada material. Energi strain pada material seiring berjalannya waktu simulasi semakin besar dengan tren polinomial pangkat dua sesuai dengan teori.
(b) Gambar 5. Distribusi stress serta penjalaran retakan (a) awal simulasi (increment: 3; step time: 0.15) dan (b) akhir simulasi (increment:104; step time :1). Nampak dalam proses perambatan retakan, tekanan di sekitar retakan menurun hingga mencapai nilai yang stabil seperti Gambar 5(b) sebagaimana dilaporkan sebelumnya [3]. Hal ini juga berkaitan dengan pelepasan energi strain yang dilakukan material sehingga daerah sekitar retakan tidak terbebani. Material yang disimulasikan bersifat linier =E, maka apabila nilai strain menurun, maka nilai stress pun akan menurun.
Ucapan terima kasih Penulis mengucapkan terima kasih kepada Institut Teknologi Bandung atas dukungan finansialnya pada penelitian ini melalui Program Riset RIK-ITB tahun 2013.
Sedangkan arah retakan ditentukan dengan proses kesetimbangan energi pada material tersebut. Setelah proses retakan dimulai, gerakannya ditentukan dengan menyeimbang-kan energi yang hilang karena adanya gaya eksternal hingga tampak seperti Gambar 5(b) Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan Goldman pada penelitiannya [8].
Referensi [1] Anderson, T.L., “Fracture Mechanics: Fundamentals and Applications”, CRC Press, Boca Raton, (1991). [2] Barsom, J.M., ed., “Fracture Mechanics Retrospective, American Society for Testing and Materials”, Philadelphia, (1987). [3] F. Sansoz, B. Brethes, dan A. Pineau, “Propagation of short fatigue cracks from notches in a Ni base superalloy: experiments and modelling”, Fatigue Fract Engng Mater Struct 25, 41–53, 41-53, (2011). [4] Anderson T.L. “Fracture Mechanics Fundamentals and Applications”, Third Edition. Taylor &Francis,173-254, (2005). [5] Product Index". SIMULIA web site. Dassault Systèmes. Archived from the original on 29 May 2010. Retrieved 7 July 2010. [6] "Abaqus FEA". SIMULIA web site. Dassault [accessed 15 June 2013]. [7] Hull, D. and Clyne, T.W., “An Introduction to Composite Materials” 2nd ed, Cambridge University Press, (1996). [8] T. Goldman, A. Livne, dan J. Fineberg, Phys. Rev. Lett. 104,114301, (2010).
Dengan memplot energi strain terhadap waktu, nampak bahwa energi strain dari sistem semakin besar seiring berjalannya waktu hingga akhir simulasi dimana terjadi kesetimbangan stress. Namun karena energi strain ini merupakan proses pelepasan energi, maka diberi tanda negatif sehingga diperoleh kurva sebagai berikut seperti dalam Gambar 6. Energi strain membesar dengan tren polinomial pangkat dua. Hal ini sesuai dengan teori yang ditunjukkan pada Persamaan (1) dan Gambar 2. Karena energi strain pada simulasi ini berubah dengan tren polinomial pangkat dua terhadap waktu (sama seperti tren perubahan energi strain terhadap panjang retakan), maka dapat disimpulkan bahwa panjang retakan berubah secara linier terhadap waktu.
ISBN 978-602-19655-4-2
124
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Irfan Dwi Aditya* Kelompok Keilmuan Fisika Nuklir dan Biofisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Bandung [email protected]
Widayani Kelompok Keilmuan Fisika Nuklir dan Biofisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Bandung [email protected]
Sparisoma Viridi Kelompok Keilmuan Fisika Nuklir dan Biofisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Bandung [email protected]
Siti Nurul Khotimah Kelompok Keilmuan Fisika Nuklir dan Biofisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Bandung [email protected]
*Penulis korespondensi
ISBN 978-602-19655-4-2
125
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Upaya Meningkatkan Kemampuan Creative Problem Solving Matematis Siswa SMA melalui Situation-Based Learning Isrok’atun* Abstrak Pada pembelajaran di kelas, frekuensi guru bertanya kepada siswa jauh lebih tinggi jika dibandingkan siswa yang bertanya kepada guru. Pembelajaran lebih menekankan pada belajar menjawab pertanyaan daripada belajar menyajikan pertanyaan, sehingga menyebabkan kurangnya kesadaran siswa terhadap masalah. Hal ini mengakibatkan lemahnya kemampuan problem finding, sehingga kemampuan idea finding dan problem solving siswa juga lemah. Oleh karenanya, kemampuan creative problem solving (CPS) menjadi sangat perlu dikembangkan dalam pembelajaran matematika. Aspek-aspek kemampuan CPS yaitu objective finding, fact finding, problem finding, idea finding, solution finding, dan acceptance finding. Keenam aspek tersebut merupakan tahapan proses berpikir CPS. Untuk tujuan tersebut, diperlukan pembelajaran matematika yang lebih menggali kemampuan dalam menyajikan masalah serta menyelesaikan permasalahan yang dimunculkan oleh siswa itu sendiri, yaitu dengan menggunakan Situation-Based Learning (SBL). Penelitian ini didesain secara quasi eksperimen dengan mengggunakan kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Kelompok eksperimen mendapatkan perlakuan berupa pembelajaran SBL dan kelompok kontrol mendapatkan pembelajaran konvensional. Dari hasil penelitian ini, diperoleh kesimpulan bahwa peningkatan kemampuan CPS matematis siswa yang mendapat pembelajaran SBL lebih baik daripada siswa yang mendapat pembelajaran konvensional secara signifikan. Kemampuan CPS matematis terkuat yang dimiliki siswa yaitu pada aspek objective finding, sementara kemampuan CPS matematis terlemah yang dimiliki siswa pada aspek acceptance finding. Kata-kata kunci: CPS matematis, situation-based learning, aspek CPS terkuat, aspek CPS terlemah diterapkan melalui bahan ajar yang didesain berdasarkan karakteristik situation-based learning, supaya siswa lebih mengembangkan kreativitas dan produktivitas berpikirnya. Tugas guru di sini lebih berperan sebagai motivator dan fasilitator.
Pendahuluan Dalam pembelajaran di kelas, guru banyak bertanya kepada siswa dengan frekuensi yang tinggi tetapi dengan level yang rendah. Metode pembelajaran yang digunakan lebih pada belajar untuk menjawab, daripada belajar untuk menyajikan permasalahan sehingga tidak mengembangkan kesadaran siswa terhadap masalah dan kemampuan dalam problem solving (menyelesaikan masalah). Oleh sebab itu, kemampuan Creative Problem Solving (CPS) menjadi hal yang sangat perlu untuk dikembangkan dalam pembelajaran matematika. Kemampuan CPS matematis adalah kemampuan matematis yang terdiri atas kemampuan: 1) objective finding; 2) fact finding; 3) problem finding; 4) idea finding; 5) solution finding; dan 6) acceptance finding. Untuk setiap aspek kemampuan tersebut, siswa memulainya dengan aktivitas berpikir divergen dan diakhiri dengan aktivitas berpikir konvergen [1]; [2]; [3]; [4].
Teori 1. Situation-Based Learning (SBL) Situation-Based Learning merupakan pendekatan baru yang kuat dan fleksibel dalam membangun paradigma pembelajaran yang konstruktivistik [5]. Menurut Lave; Lave dan Wenger; Greeno, Smith, dan Moore, hal ini karena ada banyak hal yang dapat siswa pelajari dari sebuah situasi, tempat di mana ia belajar [6]. Tujuan dari SBL adalah untuk mengembangkan kemampuan siswa dalam problem posing, problem understanding, dan problem solving dari sudut pandang matematika. Situation-Based Learning adalah pembelajaran yang terdiri dari 4 tahapan proses pembelajaran, yaitu 1) creating mathematical situations; 2) posing mathematical problem; 3) solving mathematical problem; dan 4) applying mathematics, sebagaimana digambarkan dalam diagram berikut [7]; [8]; [9]; [10].
Guna mengembangkan kemampuan tersebut, perlu kiranya melakukan pembelajaran matematika yang lebih menggali kemampuan siswa dalam menyajikan masalah serta menyelesaikan permasalahan yang dimunculkan oleh siswa itu sendiri secara kreatif. Salah satu pembelajaran yang dapat mengatasi permasalahan ini, yaitu dengan menggunakan Situation-Based Learning (SBL). Proses pembelajaran SBL ini dapat
ISBN 978-602-19655-4-2
126
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
2. Pembelajaran konvensional Pembelajaran konvensional yang dimaksud pada penelitian ini adalah model pembelajaran yang digunakan oleh guru dalam proses pembelajaran sedemikian hingga peranan siswa masih kurang, pengajaran lebih berpusat pada guru, dan proses belajar lebih mengutamakan pada metode ekspositori (memberi informasi). 3. Kemampuan CPS matematis siswa
Gambar 1. Model Situation-Based Learning.
Kemampuan CPS matematis mempunyai 6 aspek, setiap aspek dimulai dari aktivitas divergen dan diakhiri dengan aktivitas konvergen. Aspek kemampuan dalam proses CPS matematis adalah sebagai berikut [1]; [2]; [3]; [4]. Osborn-Parnes creative problem solving process (OFPISA): 1) Objective finding Upaya mengidentifikasi situasi ke dalam bentuk yang menantang. 2) Fact finding Upaya mengidentifikasi semua data-data yang masih berkaitan dengan konteks situasi, mencari dan mengidentifikasi informasi yang tidak terdapat pada situasi tetapi penting. 3) Problem finding Upaya mengidentifikasi semua statement problem yang mungkin, kemudian memilahmilah mana yang penting. 4) Idea finding Upaya mengidentifikasi beberapa solusi dari statement problem, yang mungkin. 5) Solution finding Menggunakan daftar solusi yang telah dipilih pada tahap idea finding, memilih solusi yang terbaik untuk menyelesaikan problem. 6) Acceptance finding Upaya meningkatkan daya dukung, melakukan rencana aksi, dan mengimplementasikan solusi.
Creating mathematical situations adalah prasyarat. Posing mathematical problem adalah inti, sedangkan solving mathematical problem adalah tujuan, sementara applying mathematics adalah penerapan proses pembelajaran terhadap situasi baru. Adapun langkah-langkah pembelajaran SBL adalah sebagai berikut [10]. 1) Guru mengkreasi sebuah situasi Pada langkah ini, guru mengkreasi suatu situasi matematis. Dari situasi matematis tersebut, diharapkan muncul berbagai pertanyaan dari siswa, tentunya pertanyaan yang bersifat matematis, melalui kegiatan mengobservasi dan menganalisis. Situasi di sini dimulai dari situasi yang sederhana, kemudian berkembang ke situasi yang lebih kompleks. 2) Siswa menyajikan problem matematis Dengan kegiatan menyelidiki dan menebak, siswa melakukan kegiatan problem posing matematis. Tugas guru di sini adalah menempatkan masalah-masalah yang dimunculkan siswa ke dalam level-level tertentu, sesuai dengan tingkat kesulitannya. 3) Siswa menyelesaikan problem matematis Dari permasalahan yang telah dikemukakan oleh siswa pada langkah pembelajaran ke-2, guru bersama siswa memilah-milah level masalah yang ada, masalah manakah yang sekiranya perlu ditindak lanjuti untuk diselesaikan. Masalah yang diselesaikan diawali dari masalah sederhana sampai pada masalah kompleks. Guru di sini berperan untuk membimbing, mengarahkan, dan merangsang siswa dengan teknik scaffolding. Teknik scaffolding dilakukan dengan cara memberi petunjuk/arah/cara penyelesaian akan tetapi tidak secara langsung. 4) Applying mathematics Adalah sebuah proses penerapan (applying) konsep matamatika yang telah siswa temukan melalui kegiatan no.2 dan no.3. Langkah pembelajaran applying mathematics ini diharapkan dapat menjadi kebiasaan positif, yang akhirnya menjadi sebuah (atau salah satu) cara siswa dalam menyelesaikan setiap permasalahan matematis.
ISBN 978-602-19655-4-2
4. Tujuan penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah peningkatan kemampuan CPS matematis siswa yang mendapat pembelajaran SBL lebih baik daripada siswa yang mendapat pembelajaran konvensional. 5. Populasi dan sampel penelitian Populasi pada penelitian ini adalah seluruh siswa SMA di Jawa Tengah pada kategori sekolah peringkat tinggi. SMA N 1 Tegal kelas XI IPA terpilih sebagai subyek pada penelitian ini. Dari seluruh kelas XI IPA yang ada, dipilih 2 kelas secara acak sebagai sampel penelitian, yaitu 1 untuk kelas eksperimen dan 1 untuk kelas kontrol. Ditetapkan bahwa, kelas XI IPA 3 (30 siswa) sebagai kelas eksperimen, dengan mendapatkan pembelajaran SBL dan kelas XI IPA 1 (29 siswa) sebagai kelas kontrol dengan mendapatkan pembelajaran konvensional.
127
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
statistik. Adapun hasil uji statistik yang dimaksud, adalah sebagai berikut:
6. Desain penelitian Penelitian ini adalah penelitian quasi eksperimen dengan menggunakan kelompok eksperimen dan kelompok kontrol yang dikenal dengan pretest–postest control group design [11]; [12]; [13]. Kelompok eksperimen mendapatkan perlakuan berupa pembelajaran SBL dan kelompok kontrol mendapatkan pembelajaran konvensional. Adapun desain penelitian ini, dapat digambarkan sebagai berikut.
Tabel 2. Uji statistik terhadap gain kemampuan CPS matematis.
Dari tabel di atas, dapat dijelaskan bahwa peningkatan kemampuan CPS matematis kelompok siswa yang mendapatkan pembelajaran SBL lebih baik daripada kelompok siswa yang mendapatkan pembelajaran konvensional secara signifikan.
Gambar 2. Desain Penelitian Keterangan: O = pretes=postes X = pembelajaran SBL
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa meskipun kedua kelompok siswa memiliki kemampuan CPS matematis awal yang sama, tetapi kelompok siswa yang mendapatkan pembelajaran SBL dapat melampaui kemampuan yang dicapai oleh kelompok siswa kontrol pada saat postes,. Hal ini diperjelas lagi, bahwa peningkatan (gain ternormalisasi) kemampuan CPS matematis yang dicapai oleh kelompok siswa yang mendapatkan pembelajaran SBL lebih baik daripada kelompok siswa yang mendapatkan pembelajaran konvensional.
Hasil dan diskusi Setelah kedua kelas diberi perlakuan berbeda, yaitu pembelajaran SBL di kelas eksperimen dan pembelajaran konvensional di kelas kontrol, maka diperoleh hasil pencapaian kemampuan CPS matematis sebagai berikut. Tabel 1. Kemampuan CPS matematis siswa.
Penjelasan mengenai perolehan skor siswa di kelas eksperimen dalam tiap aspek kemampuan CPS matematis, serta pada aspek manakah kemampuan CPS matematis siswa ini yang terkuat atau bahkan terlemah, adalah sebagai berikut.
Berdasarkan hasil pretes, kedua kelompok berangkat dengan kemampuan CPS matematis awal yang sama secara signifikan (telah diuji statistik). Rerata kemampuan CPS matematis awal kelompok siswa yang mendapatkan pembelajaran SBL (16,07) tidak berbeda dengan kelompok siswa yang mendapatkan pembelajaran konvensional (15,66). Setelah postes, rerata kemampuan CPS matematis akhir kelompok siswa yang mendapatkan pembelajaran SBL (84,23) lebih tinggi daripada kelompok siswa yang mendapatkan pembelajaran konvensional (63,14).
Tabel 3. Kemampuan CPS matematis siswa di kelas eksperimen dilihat per aspek.
Kedua kelompok mengalami peningkatan (gain ternormalisasi) kemampuan CPS matematis yang berarti. Kelompok siswa yang mendapatkan pembelajaran SBL mengalami peningkatan kemampuan CPS matematis (0,67) pada kategori sedang dan peningkatan kemampuan CPS matematis kelompok yang mendapatkan pembelajaran konvensional sebesar 0,46, juga berada pada kategori sedang.
Persentase perolehan skor untuk tiap aspek kemampuan CPS matematis siswa, dapat dilihat pada Tabel 3. Aspek CPS matematis terkuat yang dimiliki siswa adalah aspek objective finding (65,5%). Objective finding merupakan aspek kemampuan CPS matematis melalui upaya mengidentifikasi situasi ke dalam bentuk yang menantang, dengan indikator kemampuan, yaitu
Untuk dapat mengetahui peningkatan pada kelompok mana yang lebih baik, apakah kelompok siswa yang mendapatkan pembelajaran SBL ataukah kelompok siswa yang mendapatkan pembelajaran konvensional, maka dilakukan uji
ISBN 978-602-19655-4-2
128
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
mampu menganalisis dan mengidentifikasi apa yang diketahui dari suatu situasi yang dihadapi. Sementara aspek CPS matematis terlemah yang dimiliki siswa adalah aspek acceptance finding (38%). Acceptance finding merupakan aspek kemampuan CPS matematis melalui upaya meningkatkan daya dukung jawaban yang diperoleh, melakukan rencana aksi penyelesaian, serta mengimplementasikan solusi, dengan indikator kemampuan yaitu mampu mengembangkan rencana aksi penyelesaian, mempertimbangkan rencana-rencana yang mendukung perolehan jawaban sebelumnya, serta mengungkapkan rencana dukungan jawaban tersebut.
[5]
[6]
[7]
Kesimpulan Peningkatan kemampuan CPS matematis kelompok siswa yang mendapatkan pembelajaran SBL lebih baik daripada kelompok siswa yang mendapatkan pembelajaran konvensional. Aspek CPS matematis terkuat yang dimiliki siswa adalah aspek objective finding, sedangkan aspek CPS matematis terlemah yang dimiliki siswa adalah aspek acceptance finding
[8]
[9]
Ucapan terima kasih Ucapan terima kasih kepada DIKTI atas bantuan hibah disertasi. Ucapan terima kasih juga diberikan kepada kepala sekolah, guru matematika, dan siswa SMA N 1 Tegal, Jawa Tengah atas bantuan, kerja sama, dan partisipasi dalam penelitian ini.
[10]
[11] Referensi [1] G. Ellyn, “Creative Problem Solving”, The CoCreativity Institute, Illinois, (1995). [2] W.E. Mitchell dan T.F. Kowalik, “Creative Problem Solving”, Genigraphict Inc., NUCEA,(1999). [3] T. Proctor, “Theories of Creativity and the Creative Problem Solving Process” (2007), Available at http:// www.google. co.id/ search?q=proctor. [Accessed 12 April 2012]. [4] Isrok’atun, “Creative Problem Solving (CPS) Matematis”. Rusgianto, et al (Editor), Kontribusi Pendidikan Matematika dan Matematika dalam Membangun Karakter Guru dan Siswa, 2012, Yogyakarta,
ISBN 978-602-19655-4-2
[12]
[13]
Department of Mathematics Education-FMIPA UNY, pp. MP 437-MP 448. A.U. Tarek, D. Thomas, M. Hermann, dan P. Maja, “Situation Learning or What Do Adventure Games and Hypermedia Learning have in Common”, (2000), Available at http://www. google. co.id/ search? q=situations-based+learning [Accessed 17 April 2012]. J.R. Anderson, L.M. Reder, dan H.A. Simon, “Situated Learning and Education”, Journal of Educational Researcher 25 (4), 5-11 (1996). X. Xia, C. LÜ, B. Wang, dan Y. Song, “Experimental Research on Mathematics Teaching of “Situated Creation and Problembased Instruction” in Chinese Primary and Secondary School", Journal of Front. Educ 2 (3), 366-377 (2007). X. Xia, C. LÜ, dan B. Wang, “Research on Mathematics Instruction Experiment Based Problem Posing”, Journal of Mathematics Education 1 (1), 153-163 (2008). Isrok’atun, “Meningkatkan Kesadaran Siswa terhadap Adanya Masalah Matematis melalui Pembelajaran Situated Creation and Problem-Based Instruction (SCPBI)”. Rusgianto, et al (Editor), Let’s Have Fun with Mathematics, 2012, Yogyakarta, HIMAFMIPA UNY, pp. 333-343. Isrok’atun, “Situation-Based Learning untuk Meningkatkan Kesadaran Siswa terhadap Adanya Masalah Matematis”, Jurnal Penelitian dan Pembelajaran Matematika V (2), 61-68 (2012). J.C. Fraenkel dan N.E. Wallen, “How to Design and Evaluate Research in Education”, McGraw-Hill Inc., New York, (1990). H.E.T. Ruseffendi, “Statistika Dasar untuk Penelitian Pendidikan”, IKIP Bandung Press., Bandung,(1998). Sugiyono, “Metode Penelitian Kombinasi (Mixed Methods)”, Alfabeta, Bandung, 2011.
Isrok’atun* SPs Prodi Pendidikan Matematika Universitas Pendidikan Indonesia [email protected]
*Corresponding author
129
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Perancangan Alat Pengukuran Keasaman (pH Meter) Menggunakan Sensor Kapasitif dan Jembatan Schering Jubaidah*, Abdul Rajak, Khairiah, Tri S., Yuni W., Apit N., dan Mitra Djamal Abstrak Kadar keasaman merupakan salah satu parameter fisika yang harus dipantau karena sifatnya yang korosif. Untuk itu diperlukan suatu alat ukur untuk menentukan tingkat keasaman cairan dengan menggunakan prinsip pengukuran konduktivitas cairan. Alat ukur yang rancang menggunakan sensor kapasitif plat tembaga dan diterintegrasikan dengan Jembatan Schering dan mikrokontroler ATMEGA8535 sebagai pengkondisi sinyal. Hasil pengukuran kadar keasaman air tersebut diperoleh melalui interface (antarmuka) port serial dan diproses dengan software (perangkat lunak) code vision AVR, sehingga dapat ditampilkan pada LCD digital. Dalam pengujian alat, pengambilan data dilakukan dengan pengukuran secara langsung dan divalidasi menggunakan pH meter digital sebagai pembanding. Diperoleh hubungan antara nilai pH dengan tegangan keluaran pada jembatan schering adalah berbanding terbalik, yang berarti bahwa semakin tinggi kadar keasaman larutan, maka semakin tinggi pula tegangan keluaran yang dihasilkan. Sensor kapasitif plat tembaga hanya mampu mengukur kadar keasaman larutan sampai konsentrasi 25 %. Kata-kata kunci: tingkat keasaman, pH meter, jembatan schering. Pendahuluan
Teori
Tingkat keasaman berhubungan erat dengan konduktivitas dan tekanan osmotik air. Konduktivitas dari larutan bergantung pada jumlah ion dan mobilitas ion di dalam larutan. Kekuatan konduktivitas larutan dinyatakan melalui pergerakan ion-ion di dalam medan listrik. Jika jumlah ion meningkat, maka aliran arus di dalam larutan juga meningkat [1]. Kemampuan kapasitor dalam menyimpan suatu muatan listrik disebut kapasitansi. Pada umumnya, nilai kapasitansi sebuah kapasitor ditentukan oleh bahan dielektrik yang digunakan. Air merupakan salah satu bahan dielektrik yang apabila diletakkan diantara dua plat kapasitor keping sejajar akan mempengaruhi nilai kapasitansi dari kapasitor tersebut. Penelitian analisis sensor kapasitif sebelumnya yang telah dilakukan oleh A. Nawawi [2] menggunakan plat seng untuk mengukur derajat keasaman menggunakan rangkaian pengkondisi sinyal jembatan schering. Namun, alat yang dihasilkan masih memiliki kelemahan yaitu untuk derajat keasaman yang tinggi, alat belum berfungsi dengan baik.
Syarat kesetimbangan dalam suatu rangkaian jembatan arus bolak-balik dapat dicapai apabila tanggapan detektor adalah nol atau menunjukan harga nol. Pengaturan setimbang untuk mendapatkan tanggapan nol, dilakukan dengan mengubah salah satu atau lebih dari lengan lengan jembatan [3].
Gambar 1. Rangkaian jembatan arus bolak-balik [4]. Persyaratan kesetimbangan jembatan arus bolakbalik pada gambar 1 terjadi bila: I1 Z 1 I 2 Z 2
Dari latar belakang tersebut maka peneliti merancang dan merealisasikan serta menguji sensitifitas suatu alat ukur tingkat keasaman suatu cairan menggunakan prinsip pengukuran konduktivitas dengan sensor plat tembaga yang terintegrasi dengan Jembatan Schering sebagai pengkondisi sinyal berbasis mikrokontroler ATMega8535 dan hasil pengukuran kadar keasaman air tersebut diperoleh melalui inter-face (antarmuka) yang ditampilkan melalui sebuah display.
ISBN 978-602-19655-4-2
(1)
Agar arus detektor nol (kondisi setimbang), maka:
Z1Z4 Z2 Z3 atau jika menggunakan pengganti impedansi, maka:
Y1Y4 Y2Y3
130
(2) admitasi
sebagai (3)
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Persamaan (2) adalah persamaan umum untuk kesetimbangan arus bolak-balik dan persamaan (3) digunakan bila terdapat komponenkomponen paralel dalam lengan-lengan jembatan.
menggunakan kapasitansimeter. Sehingga komponen variabel di ruas kanan dapat ditentukan dengan nilai yang diharapkan, dalam hal ini kami memilih R2 sebagai hambatan variabel.
Rangkaian jembatan schering merupakan salah satu rangkaian jembatan arus bolak balik yang dipakai secara luas untuk pengukuran kapasitansi. Sebuah rangkaian jembatan schering ditunjukan pada gambar 2 berikut.
Rancangan alat yang dibuat terdiri beberapa blok rangkaian yaitu sensor kapasitif, rangkaian pengkondisi sinyal jembatan schering, rangkaian peyearah, rangkaian ADC (Analog to Digital Converter), mikrokontroler, dan display digital.
Gambar 2. Rangkaian jembatan schering.
Gambar 3. Blok diagram rancangan alat.
Lengan 1 mengandung suatu kombinasi paralel dari sebuah tahanan dan sebuah kapasitor, lengan 3 berisi sebuah kapasitor standar. Kesetimbangan terjadi bila jumlah sudut fasa lengan 1 dan lengan 4 sama dengan jumlah sudut fasa lengan 2 dan lengan 3, yaitu 900 . biasanya dalam pengukuran besaran yang tidak diketahui, akan memilki sudut fasa yang lebih kecil dari 900, maka lengan 1 perlu diberi suatu sudut kapasitif yang kecil dengan menghubungkan kapasitor C1 paralel terhadap R1.
Sensor yang akan dirancang terbuat dari plastik berbentuk balok, dan pada kedua sisinya akan dipasang plat tembaga secara sejajar, seperti yang diperlihatkan pada gambar 4. Sensor kapasitif dihubungkan pada rangkaian jembatan schering sebagai pengganti dari kapasitansi Cx. Sensor kapasitif yang akan dirancang terbuat plat tembaga (Cu)
Syarat kesetimbangan dalam rangkaian jembatan schering dapat dicapai apabila tanggapan detektor adalah nol. Pengaturan kesetimbangan untuk mendapatkan tanggapan nol dapat dilakukan dengan mengubah salah satu atau lebih dari lengan-lengan jembatan [3]. Sehingga kapasitor C1 atau resistor R2 dibuat variabel untuk mengatur kesetimbangan. Alternatif lain untuk mendapatkan nilai kesetimbangan dari jembatan schering adalah dengan cara menurunkan persamaan kesetimbangan dengan cara memasukan nilai-nilai impedansi dan admitansi ke dalam persamaan (2) yang memenuhi kedalam persamaan :
Z x Z 2 Z3Y1
Gambar 4. Rancangan sensor kapasitif. Rangkaian jembatan schering dihubungkan pada sumber tegangan AC, dengan menggunakan trafo CT 2 Ampere sebagai penurun tegangan (step down). Sensor kapasitif yang telah dirancang (gambar 4), dihubungkan ke rangkaian jembatan schering sebagai pengganti dari kapasitansi Cx. Larutan asam cuka (CH3COOH) kemudian dimasukan ke dalam sensor kapasitif, maka akan diperoleh nilai tegangan (Vd) yang terbaca pada display sebagai nilai tegangan pada bahan (asam cuka) yang terpolarisasi.
(4)
Sesuai dengan gambar di atas, maka dapat diketahui masing impedansi dari lengan-lengan jembatan schering sehingga diperoleh :
Cx C3
R1 R2
(5)
Persamaan (5) dapat digunakan untuk membuat rangkaian jembatan schering menjadi seimbang dengan catatan nilai Cx dalam hal ini kapasitansi sampel sudah terukur dengan
ISBN 978-602-19655-4-2
131
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Tabel 1. Hasil pengukuran pH larutan asam dengan menggunakan pHmeter digital sebagai pH referensi. No
Konsentrasi Asam (%)
1
5
Suhu (oC) 2,88 26,6
2
10
2,67
26,7
3
15
2,58
26,73
4
20
2,52
26,8
5
25
2,47
26,83
6
30
2,42
26,87
Gambar 5. (a) Rangkaian jembatan schering, (b) sensor kapasitansi
7
35
2,39
26,9
8
40
2,35
26,93
Bahasa yang digunakan untuk pemrograman mikrokontroler ATMega8535 adalah bahasa assembler menggunakan software CodeVisionAVR dibuat sebagai perangkat lunak yang dirancang agar dapat menampilkan data pada display.
9
45
2,33
26,97
10
50
2,31
27,03
pH
Nilai kapasitansi cairan juga diukur sebanyak tiga kali pengukuran. Nilai rata-ratanya seperti pada tabel berikut. Tabel 2. Hasil pengukuran nilai kapasitansi dan nilai hambatan R2 yang harus disetting.
Hasil dan Diskusi Hasil rangkaian yang sudah dibuat kemudian dikemas dalam box plastik dengan ukuran (30 x 20) cm. Lebih detail hasil alat yang telah dibuat diperlihatkan pada gambar berikut ini :
1
Konsentrasi Larutan Asam (%) 5
1,4
710
2
10
2,39
420
3
15
2,75
360
4
20
3,04
330
5
25
3,98
250
6
30
4,64
220
7
35
5,06
200
8
40
4,86
210
9
45
7,43
130
10
50
9,08
110
No
Rata-Rata Nilai R2 Cs (nF) (KΩ)
Dengan menggunakan persamaan {16} maka diperoleh nilai hambatan R2 yang harus disetting agar diperoleh kesetimbangan.
Gambar 6. Alat pengukuran kadar keasaman larutan yang telah dibuat. Data pH referensi diperoleh dari hasil pengukuran cairan asam menggunakan pH meter standar tipe SevenCompact di laborato-rium Sekolah Farmasi ITB . Data diambil dengan tiga kali pengukuran yang rata-ratanya ditampil-kan pada tabel berikut ini.
Gambar 7. Kurva hubungan antara konsentrasi larutan 5-50% dan tegangan keluaran.
ISBN 978-602-19655-4-2
132
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Dari kurva di atas terlihat ada hubungan linear antara larutan di konsentrasi 5% - 25% dan 30% 50%. Dilihat dari tabel untuk pengukuran ke-1, 2 dan 3 pada konsentrasi 30% - 50% terdapat fluktuatif yang tidak signifikan, peneliti mengambil kesimpulan bahwa pada konsentrasi tersebut kadar keasaman larutan sudah tinggi dan tidak dapat lagi dibaca oleh sensor. Sehingga kami membatasi untuk hubungan kelinearan antara konsentrasi dan tegangan hanya sampai pada konsentrasi 25%. Sehingga kurvanya menjadi :
Kesimpulan Telah direalisasikan alat pengukur kadar keasaman larutan dengan menggunakan sensor kapasitif. Diperoleh hubungan antara nilai pH dengan tegangan keluaran pada jembatan schering adalah berbanding terbalik, yang berarti bahwa semakin tinggi kadar keasaman larutan, maka semakin tinggi pula tegangan keluaran yang dihasilkan. Dari data pengukuran kapasitansi diperoleh semakin tinggi konsentrasi larutan asam, maka kapasitansinya semakin tinggi, karena larutan asam memiliki sifat konduktifitas yang baik. Sensor kapasitif plat tembaga yang dibuat hanya mampu mengukur kadar keasaman larutan sampai konsentrasi 25 %. Ucapan Terima Kasih Penulis menucapkan terima kasih kepada Laboratorium Farmasi ITB yang telah menyediakan pH meter digital untuk digunakan sebagai alat ukur pembanding standar. Serta terkhusus terima kasih penulis sampaikan kepada Ahmad Nawawi atas diskusinya yang bermanfaat.
Gambar 8. Tandline hubungan antara pH larutan dengan tegangan dan persamaan yang dihasilkan kurva.
Referensi [1] Kuswandi, B, E Pisesidartha, H Budianto, Maisara dan N Novita, “Pemanfaatan Baterai Bekas Sebagai Elektroda Konduktansi Sederhana”, Jurnal Ilmu Dasar, 2(1), 34-40 (2001). [2] Nawawi, Ahmad, “Realisasi Alat Ukur Tingkat Keasaman Air Menggunakan Plat Sejajar Berbasis Komputer Dengan Komunikasi Serial”, Skripsi Jurusan Fisika. Fakultas MIPA Universitas Lampung, Bandar Lampung (2011). [3] Cooper, W. D., “Instrumentasi Elektronik dan Teknik Pengukuran”, Edisi ke 2. Erlangga. Jakarta, (1994). [4] Jones, L.D. dan A. Foster Chin, “Elektronik Instrumens and Measurements”, Second Edition. Prentice-Hall international. Singapore (1995).
Dari kurva di atas diperoleh hubungan antara tegangan dengan nilai pH larutan, yaitu berbanding terbalik. Dari garis trendline tersebut didiperoleh persamaan antara tegangan dan pH larutan asam yaitu : y = 0,025 x2 – 0,247 x + 3,09 dimana : y : pH larutan x : tegangan keluaran Dari persamaan inilah yang akan menjadi dasar untuk pemograman di komputer untuk hasil tampilan pada display. Tabel 3. Perbandingan pengujian pengukuran alat dengan referensi.
Jubaidah*, Tri S., Yuni W., Mitra Djamal Fisika Teoritik Energi Tinggi dan Instrumentasi Institut Teknologi Bandung [email protected]
Abdul Rajak, Khairiah, Apit N., Fisika Material Elektronik Institut Teknologi Bandung
*Corresponding author
Keterangan : Error = |pH referensi-pH terukur|/(pH referensi) ×100%
ISBN 978-602-19655-4-2
133
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Pemodelan Transmittansi Elektron pada Kapasitor MOS bermassa Isotropik dengan Menggunakan Pendekatan Fungsi Gelombang Airy Khairiah, Fatimah A. Noor, Mikrajuddin Abdullah, dan Khairurrijal Abstrak Pada makalah ini telah dikembangkan pemodelan transmittansi elektron pada kapasitor metal-oksidasemikonduktor (MOS) berbasis material konstanta dielektrik tinggi (high-k material) dengan menggunakan struktur n+Poly-Si/HfSiOxN/Trap/SiO2/Si bermassa isotropik. Lapisan HfSiOxN/SiO2 berskala nanometer yang digunakan sebagai gerbang oksida dalam kapasitor MOS menyebabkan terbentuknya perangkap muatan pada antarmuka HfSiOxN/SiO2. Hal ini merupakan salah satu masalah utama dalam penggunaan material high-k pada divais MOS karena dapat mempengaruhi kinerja divais. Untuk itu diperlukan pemodelan transmittansi yang melibatkan efek perangkap muatan. Transmittansi dimodelkan secara analitik dengan menggunakan pendekatan fungsi gelombang Airy dimana dalam pemodelannya melibatkan efek kopling antara energi kinetik longitudinal dan transversal yang direpresentasikan oleh kecepatan fasa elektron di gerbang. Transmittansi dihitung untuk beberapa variasi parameter yaitu, kecepatan elektron, lebar dan kedalaman perangkap muatan. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa transmittansi bertambah seiring dengan berkurangnya kecepatan elektron, dan mencapai nilai tertinggi saat dihitung tanpa melibatkan efek kopling. Diperoleh pula bahwa transmittansi membesar seiring dengan bertambahnya lebar dan kedalaman perangkap muatan. Lebih lanjut, pemodelan transmittansi yang telah dikembangkan dapat digunakan untuk menghitung arus bocor dalam divais MOSFET. Kata kunci: Transmittansi, kecepatan elektron, massa isotropik, fungsi Airy. bahan yang diharapkan untuk menggantikan SiO2 [2,3]. Namun, masalah penting dari menggunakan HfSiOxN adalah terbentuknya perangkap muatan pada antar muka HfSiOxN/SiO2 [4]. Beberapa model telah dikembangkan untuk mempelajari transmitansi dan arus bocor dalam MOSFET berbasis material high-κ [4-7]. Namun adanya perangkap muatan disertai dengan efek kopling antara energi kinetik transversal dan longitudinal dari gerak elektron tidak dibahas dalam pemodelan-pemodelan tersebut. Dalam makalah ini, dikembangkan pemodelan transmittansi dalam kapasitor MOS bermassa isotropik berbasis material high-κ (HfSiOxN) dengan melibatkan efek kopling dan perangkap muatan pada antar muka high-κ /SiO2 dengan menggunakan pendekatan fungsi gelombang Airy. Struktur n+ PolySi/HfSiOxN/perangkap/SiO2/Si(100) digunakan dalam perhitungan transmittansi.
Pendahuluan Sekarang ini perkembangan divais elektronik berskala nanometer berkembang dengan sangat pesat dengan kinerja yang semakin mengagumkan. Peningkatan untuk kerja divais ini dipicu oleh jumlah transistor yang semakin banyak dalam sebuah chip rangkaian terpadu (integrated circuit). Kerapatan transistor yang semakin besar akan diperoleh jika ukuran transistor semakin kecil. Usaha pengecilan ukuran transistor diikuti dengan peningkatan untuk kerjanya suatu saat akan mencapai titik jenuh ketika ukuran transistor tidak dapat diperkecil lagi sedangkan tuntutan peningkatan untuk kerja tidak berhenti [1]. Oleh karena itu, saat ini, ruang lingkup penelitian material sebagai komponen utama divais diarahkan pada pencarian material baru yang memiliki sifat-sifat unggul yang bersesuaian dengan divaisnya. Saat ini, transistor efek medan metal-oksidasemikonduktor (MOSFET) dibuat sangat kecil untuk mencapai kinerja yang baik dengan biaya rendah. Akibatnya, pengurangan ukuran dari MOSFET akan menyebabkan penyusutan lapisan SiO2 sampai berukuran nanometer. Hal ini akan menimbulkan hal yang tidak diinginkan di mana arus bocor yang besar akan timbul dan disipasi daya menjadi tinggi bila ketebalan SiO2 kurang dari 1,5 nm [2]. HfSiOxN dengan konstanta dielektrik tinggi (high-κ) merupakan
ISBN 978-602-19655-4-2
Teori Gambar 1 menampilkan profile potensial yang digunakan dalam pemodelan yang kami lakukan yang secara matematika dapat dinyatakan sebagai berikut z 0 0 z 0 z d1 t b a V z h bd1a t ab z d1 z d2 d d z d z d t 1 a t a 2 t b a1 t 2 3 b z d3. eVox (1)
134
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
di mana,
eVox
d1 t b d 2 d1 a b d3 d 2 a b
Hasil dan diskusi
,
Untuk menghitung transmittansi dalam kapasitor n+ Poly-Si/HfSiOxN/trap/SiO2/Si(100) digunakan parameter sebagai berikut: a = 1.5 eV, b= 3.34 eV, d1= 2.5 nm, (d3-d2)= 0.5 nm, a= 13.5, and b= 3.9 [2]. Massa efektif elektron di dalam HfSiOxN, perangkap, dan SiO2 digunakan sebesar as 0.20 m0, 0.35 m0, dan m0. Gambar 2 mengilustrasikan transmitansi elektron sebagai fungsi energi elektron untuk variasi kedalaman perangkap muatan. Lebar perangkap (w) dan kecepatan fasa elektron (ve) adalah 0,1 nm dan 1x105 m/s. Dari gambar terlihat bahwa transmittansi meningkat seiring dengan bertambahnya energi elektron. Terlihat juga bahwa saat energi lebih besar dari penghalang potensial, transmittansi berosilasi seperti yang ditunjukkan dalam inset. Dari gambar terlihat juga bahwa transmittansi yang dihitung tanpa melibatkan efek perangkap muatan memberikan hasil yang lebih rendah dari yang mempertimbangkan efek perangkap muatan, untuk energi kurang dari 1 eV.
a dan b adalah ketinggian penghalang HfSiOxN dan SiO2, h adalah kedalaman perangkap muatan. Ketebalan HfSiOxN, perangkap, dan SiO2 adalah d1, (d2-d1), dan (d3-d2). 1 , 2 , and 3 adalah konstanta dielektrik HfSiOxN, trap, dan SiO2, e adalah muatan elektron, dan Vox adalah tegangan oksida. V(z)
n+polySi
HfSiOxN
SiO2
Ef=0
Trap p-Si
I
II
III IV
0 d1 d2 d3
eVOX
V z
Gambar 1. Profil potensial dari kapasitor n+polySi/HfSiOxN/perangkap(trap)/SiO2/p-Si ketika diberikan tegangan bias mundur. Fungsi gelombang untuk masing-masing daerah I, II, III, IV dan V dalam Gambar 1 adalah A exp( i 1 ( z ) B exp( i 1 ( z ) z 0 CA ( ( z ) DB ( ( z ) 0 z d1 i i d1 z d 2 z EAi ( ( z ) FBi ( ( z ) GA ( ( z ) HB ( ( z ) d 2 z d3 i i I exp( i 5 z ) z d3.
Gambar 2. Hubungan antara Transmittansi dengan Energi Elektron dengan variasi kedalaman perangkap muatan.
(2) Pemodelan diawali dari persamaan Hamiltonian yang menggambarkan gerak elektron dalam material isotropik seperti yang diberikan dalam Ref. [8]. Persamaan Schrödinger pdalam arah-z, yang mengandung bentuk kopling antara transversal dan longitudinal yang diwakili oleh kecepatan elektron di dalam n+ Poly-Si, mudah didapat dengan menggunakan metode separasi variable. Dengan menggunakan syarat batas di setiap antar muka [9] dan mengikuti metode dalam Refs. [2,7], transmittansi dengan mudah dapat diperoleh.
ISBN 978-602-19655-4-2
135
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
gambar terlihat juga bahwa seiring dengan berkurangnya kecepatan elektron, transmittansi membesar, dan mencapai nilai maksimum saat dihitung dengan tanpa melibatkan efek kopling.
1 ‐1
10
10‐5
1 10‐1‐2 10‐3 10‐4 10‐5 10‐6 10‐7 10‐8 10‐9 10 ‐
10‐6
Tanpa Trap
Transmittansi
Transmittansi
10‐2 10‐3 10‐4
10
‐8
10
10‐9
0
2
Dalam paper ini telah dikembangkan pemodelan transmittansi elektron dalam struktur n+Poly-Si/HfSiOxN/trap/SiO2/Si(100) bermassa isotropik dengan melibatkan efek kopling antara energi kinetik transversal dan longitudinal, yang direpresentasikan oleh kecepatan elektron di n+Poly-Si, dan perangkap muatan. Diperoleh bahwa transmittansi cenderung membesar seiring dengan bertambahnya kedalaman dan lebar perangkap muatan. Transmitansi mencapai nilai tertinggi saat elektron bergerak tegak lurus terhadap antar muka lapisan. Diperoleh pula bahwa transmittansi bertambah seiring dengan berkurangnya kecepatan elektron, dan mencapai nilai tertinggi saat dihitung tanpa melibatkan efek kopling. Lebih lanjut, pemodelan transmittansi yang telah dikembangkan dapat digunakan untuk menghitung arus bocor dalam divais MOSFET.
3 4 5 6 7 8 9 10 Energi Elektron(Ev)
w1 = 0.1 nm w2 = 0.2 nm w3 = 0.3 nm
‐7
‐
Kesimpulan
4
Si (100) ve = 1x105 m/s h = 0,1 eV 8
6
10
Energi Elektron(eV)
Gambar 3. Transmittansi vs energi elektron untuk variasi lebar perangkap muatan. Pengaruh lebar perangkap muatan terhadap transmittansi ditunjukkan dalam Gambar 3. Kedalaman perangkap muatan dan kecepatan elektron digunakan sebesar 0,1 eV dan 1x105 m/s. Dari gambar terlihat bahwa transmittansi cenderung membesar seiring dengan bertambahnya lebar perangkap muatan dan berosilasi saat elektron bergerak dengan energi lebih besar dari penghalang potensial.
Ucapan Terima Kasih Penelitian ini didukung secara finansial oleh Hibah Desentralisasi DIKTI dan Riset Inovasi KK ITB tahun 2013. Referensi
10-4
Transmittansi
ve=2x105 m/s
[1] Khairurrijal, “Material dan Devais MOS: Keadaan Kini dan Perspektif Masa depan”, Pidato Ilmiah Guru Besar, Institut Teknologi Bandung, 27 Mei 2011. [2] F. A. Noor, M. Abdullah, Sukirno, Khairurrijal, A. Ohta, and S. Miyazaki, “Electron and hole components of tunneling currents through an interfacial oxide-high-k gate stack in metaloxide-semiconductor capacitors”, Journal of Applied Physics 108, 093711-1/4 (2010). [3] N. A. Chowdhury and D. Misra, “Charge Trapping at Deep States in Hf–Silicate Based High-k Gate Dielectrics”, Journal of Electrochemical Society 154(2), G30-G37 (2007). [4] A. Bouazra, S. A. –B. Nasrallah, A. Poncet, and M. Said, “Current tunnelling through MOS devices”, Materials Science and Engineering 28(5), 662-665 (2008). [5] G. D. Wilk, R. M. Wallace, and J. M. Anthony," High-k Gate Dielectrics: Current Status and Materials Properties Considerations”, Journal of Applied Physics 89(10), 5243-5275 (2001). [6] Y. Zhao and M. H. White, “Modeling of Direct Tunneling Current through Interfacial Oxide and High-k Gate Stacks”< Solid State Electronics 48(10-11), 1801-1807 (2004).
Tanpa efek kopling
ve =1x105 m/s
10-6
ve =3x105 m/s
10-8
10-10 -80 -60 -40 -20 0 20 Sudut Elektron(0)
40
60
80
Gambar 4. Transmittansi elektron sebagai fungsi dari sudut datang elektron untuk variasi kecepatan elektron. Gambar 4 menunjukkan pengaruh sudut datang elektron dan kecepatan elektron terhadap transmittansi. Terlihat bahwa elektron memiliki nilai transmittansi terbesar saat elektron bergerak menembus penghalang pada sudut 0o. Hal ini berarti bahwa elektron dapat mudah menembus penghalang saat elektron bergerak dalam arah tegak lurus terhadap antar muka lapisan. Dari
ISBN 978-602-19655-4-2
136
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Khairiah
[7] F. A. Noor, M. Abdullah, Sukirno, and Khairurrijal, “Comparison of Electron Transmittances and Tunneling Currents in an Anisotropic TiNx/HfO2/SiO2/p-Si(100) Metal– Oxide–Semiconductor (MOS) Capacitor”, Journal of Semiconductors 31(12), 1240021/5 (2010). [8] L. F. Mao, “The effects of the injectionchannel velocity on the gate leakage current of nanoscale MOSFETs”, IEEE Electron Devices Letters 28(2), 161-163 (2007). [9] K. –Y. Kim and B. Lee, “Transmission Coefficient of an Electron through a Heterostructure Barrier Grown on Anisotropic Materials”, Physical Review B 58(11), 67286731 (1998).
Kelompok Keilmuan Fisika Material Elektronik Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Bandung [email protected] Fatimah A. Noor* Kelompok Keilmuan Fisika Material Elektronik Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Bandung [email protected] Mikrajuddin Abdullah Kelompok Keilmuan Fisika Material Elektronik Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Bandung [email protected] Khairurrijal Kelompok Keilmuan Fisika Material Elektronik Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Bandung [email protected]
*Corresponding author
ISBN 978-602-19655-4-2
137
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Perbandingan Penerapan Model Pembelajaran Guided Inquiry Dengan Model Pembelajaran Interactive Demonstration Untuk Meningkatkan Prestasi Belajar Fisika Siswa SMA Khumaedah Khasanah*, Parlindungan Sinaga, dan Dedi Sasmita Abstrak Pembelajaran fisika yang dikehendaki Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) ialah pembelajaran melalui proses penemuan dan menekankan pada pemberian pengalaman belajar secara langsung sehingga dapat meningkatkan prestasi belajar. Berdasarkan studi pendahuluan ditemukan bahwa sebagian besar pembelajaran fisika untuk kelas XI dilaksanakan dengan metode ceramah. Dalam metode ceramah pembelajaran berlangsung satu arah dan lebih menekankan penyampaian materi pembelajaran, akibatnya proses pembelajaran menjadi kurang bermakna bagi siswa, hal ini dilihat dari hasil belajar siswa yang rendah dari hasil nilai ulangan siswa kelas XI IPA pada Ujian Akhir Semester (UAS) tahun ajaran 2012/2013 sebanyak 68,3% siswa masih berada di bawah KKM, sehingga dapat dikatakan bahwa prestasi belajar siswa masih tergolong rendah. Pembelajaran dengan inquiry dapat dijadikan solusi dari permasalahan tersebut. Interactive demonstration dan guided inquiry merupakan model pembelajaran inquiry sederhana yang dalam proses pembelajarannya lebih menekankan pencarian pengetahuan secara aktif yang dapat dijadikan salah satu alternatif untuk meningkatkan prestasi belajar siswa. Tujuan penelitian ini untuk meningkatkan prestasi belajar siswa dan untuk mengetahui model pembelajaran mana yang lebih signifikan dalam meningkatkan prestasi belajar siswa. Sampel penelitian adalah siswa kelas XI IPA 2 dan XI IPA 5 salah satu SMA negeri di kota Bandung tahun ajaran 2012/2013 yang berjumlah 40 orang siswa pada masing-masing kelas. Penelitian ini menggunakan metode penelitian quasi experiment dengan menggunakan the static group pretest-posttest design. Hasil penelitian menunjukkan bahwa prestasi belajar siswa meningkat dengan peningkatan rata-rata nilai gain yang dinomalisasi yaitu sebesar 0,753 dan 0,683. Pada pembelajaran sains berorientasi inquiry, model pembelajaran guided inquiry lebih signifikan dalam meningkatkan prestasi belajar siswa dibandingkan model pembelajaran interactive demonstration dengan taraf signifikansi 1%. Kata-kata kunci: interactive demonstration, guided inquiry, prestasi belajar siswa Semester (UAS) tahun ajaran 2012/2013 sebanyak 68,3% siswa masih berada di bawah KKM, sehingga dapat dikatakan bahwa prestasi belajar siswa masih tergolong rendah.
Pendahuluan IPA adalah studi mengenai alam sekitar, dalam hal ini berkaitan dengan cara mencari tahu tentang alam secara sistematis, sehingga IPA bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip saja, tetapi juga merupakan suatu proses penemuan [1], hal itu diperkuat oleh Bruner menurut Bruner belajar bermakna hanya dapat terjadi melalui belajar penemuan. Pengetahuan yang diperoleh melalui belajar penemuan dapat bertahan lama dan mempunyai efek transfer yang lebih baik. Belajar penemuan dapat meningkatkan penalaran dan kemampun berpikir secara bebas, dan melatih keterampilan-keterampilan kognitif untuk menemukan dan memecahkan masalah [2]. Berdasarkan studi pendahuluan ditemukan bahwa sebagian besar pembelajaran fisika untuk kelas XI dilaksanakan dengan metode ceramah. Dalam metode ceramah pembelajaran berlangsung satu arah dan lebih menekankan penyampaian materi pembelajaran, akibatnya proses pembelajaran menjadi kurang bermakna bagi siswa, hal ini dilihat dari hasil belajar siswa yang rendah dari hasil nilai ulangan siswa kelas XI IPA pada Ujian Akhir
ISBN 978-602-19655-4-2
Salah satu model pembelajaran yang dipandang dapat membantu dan memfasilitasi siswa untuk menguasai konsep melalui belajar penemuan sehingga dapat meningkatkan prestasi belajar siswa adalah dengan menggunakan model pembelajaran inquiry. Pembelajaran inquiry merupakan model pembelajaran fisika yang perlu dikembangkan di sekolah dasar dan menengah. Dari aspek psikologi dan falsafah, mengajarkan Fisika dengan model pembelajaran inquiry memungkinkan siswa untuk menggunakan segala potensinya (kognitif, afektif, dan psikomotor) [3]. Teori Inkuiri merupakan proses bertahap, bertingkat dan berkesinambungan dan dalam pembelajarannya harus disesuaikan dengan kemampuan siswa. Wenning menyatakan terdapat lima model pembelajaran bertingkat dalam kegiatan pembelajaran sains berorientasi inquiry yaitu discovery learning, interactive demonstration,
138
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
inquiry lesson, inquiry lab (guided inquiry lab, bounded inquiry lab, dan free inquiry lab), dan hypothetical inquiry (pure hypothetical inquiry dan apllied hypothetical inquiry), Dari kelima model pembelajaran bertingkat dalam kegiatan pembelajaran sains berorientasi inquiry, pembelajaran inquiry yang sederhana yang dapat meningkatkan prestasi belajar siswa dan dalam proses pembelajarannya melakukan kegiatan praktikum adalah model pembelajaran interactive demonstration dan model pembelajaran guided inquiry [4].
Presentase
Kelas eksperimen 1
50,75
32,2
74,5
Nilai
Gambar 1. Diagram peningkatan prestasi belajar kelas eksperimen 1. Berdasarkan hasil tes pada kelas eskperimen 2 diperoleh perbandingan antara nilai pretest, postest, gain, dan gain yang dinormalisasi seperti pada gambar 2. Peningkatan prestasi belajar siswa yang diambil berdasarkan tes diperoleh gain yang dinormalisasi sebesar 0,674. Kesimpulan yang dapat diambil adalah penerapan model pembelajaran Interactive demonstration dapat meningkatkan prestasi belajar siswa dengan kriteria sedang [7].
Kelas ekperimen 2
Penelitian ini menggunakan metode penelitian quasi experiment dengan menggunakan the static group pretest-posttest design [6]. Sampel penelitian adalah siswa kelas XI IPA 2 dan XI IPA 5 salah satu SMA negeri di kota Bandung tahun ajaran 2012/2013 yang berjumlah 40 orang siswa pada masing-masing kelas. Kelas eksperimen 1 diberikan perlakuan berupa penerapan model pembelajaran guided inquiry dan kelas eksperimen 2 diberikan perlakuan berupa penerapan model pembelajaran interactive demonstrasi, masingmasing kelas mendapat diberikan, untuk mengukur prestasi belajar siswa. Instrumen yang digunakan yaitu berupa soal pilihan ganda sebanyak 25 soal mengenai materi fluida statis.
Presentase
80 60 77,5
40 20
30,3
47,2
67,4
0 Pretest Postest gain
Nilai
G ambar 2. Diagram peningkatan prestasi belajar kelas eksperimen 2.
Hasil dan diskusi
2. Perbandingan Peningkatan Prestasi Belajar Siswa Pada Model Pembelajaran Guided Inquiry Dan Interactive Demonstration.
Peningkatan Prestasi Belajar Siswa
Berdasarkan hasil tes pada kelas eksperimen 1 diperoleh perbandingan antara nilai pretest, postest, gain, dan gain yang dinormalisasi seperti pada gambar 1. Peningkatan prestasi belajar siswa yang diambil berdasarkan tes diperoleh gain yang dinormalisasi sebesar 0,748. Kesimpulan yang dapat diambil adalah penerapan model pembelajaran guided inquiry dapat meningkatkan prestasi belajar siswa dengan kriteria tinggi [7].
ISBN 978-602-19655-4-2
82,9
Pretest Postest gain
Perbedaan dari kedua model pembelajaran tersebut terletak pada proses yang dilakukan dalam pemecahan masalah melalui belajar penemuan yang dilakukan melakukan kegiatan praktikum. Pada guided inquiry proses yang dilakukan dalam pemecahan masalah melalui belajar penemuan yang dilakukan melakukan kegiatan praktikum dilakukan langsung oleh siswa sedangkan model pembelajaran interactive demonstration proses pembelajaran dengan menggunakan eksperimen yang dilakukan oleh guru melalui kegiatan demonstrasi. E. Usman Effendi dan Juhaya S Praja menyatakan Prestasi belajar yang utama adalah pola tingkah laku yang bulat. Prestasi belajar ditandai dengan perubahan seluruh aspek tingkah laku yaitu aspek motorik, aspek kognitif sikap, kebiasaan, keterampilan maupun pengetahuannya [5].
1.
100 80 60 40 20 0
Analisis ini dilakukan untuk mengetahui apakah treatment yang diberikan, yaitu model pembelajaran guided inquiry di kelas eksperimen 1 mampu meningkatkan prestasi belajar siswa secara signifikan, dibandingkan dengan model pembelajaran interactive demonstration di kelas eksperimen2,maka dilakukan uji hipotesis proses pengujian hipotesis ini dilakukan dalam dua tahapan yaitu uji normalitas dan uji t.
139
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
1)
belajar siswa (kelas eksperimen 1) dibanding penggunaan model pembelajaran interactive demonstration (kelas eksperimen 2).
Uji Normalitas
Uji normalitas bertujuan untuk mengetahui apakah data gain ternormalisasi pada kedua kelas eksperimen terdistribusi normal ataukah tidak. Penentuan normalitas data pada kedua kelas eksperimen ini ditentukan melalui nilai Chi-kuadrat. Hasil pengolahan data Chi-kuadrat ditunjukkan pada Tabel 1.
3.
Peningkatan prestasi belajar ini juga dianalisis dari peningkatan tiap jenjang kognitif menurut Bloom [2], yang pada penelitian ini dibatasi hanya dari jenjang Hapalan (C1) sampai dengan jenjang analisis (C4). Cara menganalisisnya adalah dengan mengelompokkan instrumen tes prestasi belajar berdasarkan tiap jenjang kognitifnya, kemudian dihitung nilai gain yang dinormalisasinya. Berikut ini adalah rekapitulasi rata-rata skor pretest, posttest, serta gain yang dinormalisasi untuk tiap jenjang kognitif.
Tabel 1. Hasil Uji Normalitas terhadap skor postest. Normalitas
kelas Kelas eksperimen 1 Kelas eksperimen 2 2)
2 tabel
Distribusi
9,36
11,34
Normal
10,32
13,28
Normal
2 hitung
Tabel 4. Rekapitulasi Skor prestasi belajar siswa tiap aspek Kelas Eksperimen 1.
Uji Homogenitas Dua Variansi
Uji homogenitas dua variansi bertujuan untuk mengetahui apakah data gain ternormalisasi pada kedua kelas eksperimen benar-benar homogen atau tidak. Hasil uji homogenitas dua variansi dari gain ternormalisasi ditunjukkan pada tabel 2 di bawah ini.
Homogenitas
Fhitung Ftabel
Kelas eksperimen 1 Kelas eksperimen 2
1,17
Interpretasi
2,14
Postest Rerata Skor (%)
Rerata
Hafalan, C1
26,25
85
0,76
Pemahaman, C2
18
80
0,74
Penerapan, C3
38
85
0,7
Analisis, C4
34,4
70
0,5
Homogen Untuk kelas ekperimen 2 rekapitulasi ratarata skor pretest, posttest, serta gain yang dinormalisasi untuk tiap jenjang kognitif dapat dilihat pada tabel 5
Berdasarkan hasil uji homogenitas pada Tabel 2 maka dapat dikatakan bahwa data gain ternormalisasi pada kedua kelas eksperimen adalah homogen.
Tabel 5. Rekapitulasi Skor prestasi belajar siswa tiap aspek Kelas Eksperimen 1. Aspek
Berdasarkan tabel 2, data kedua kelas terdistribusi normal dan homogen. Jadi dilakukan uji t. Uji t dilakukan pada taraf kepercayaan 99% (signifikansi 0,01)
Tabel 3 Hasil uji hipotesis dengan uji t. Jenis Pengujian
Nilai t Hasil perhitungan
Nilai t dari Referensi tabel
Kesimpulan
Uji t
3,46
2,64
Signifikan
Postest Rerata Skor (%) 82
Rerata
Hafalan, C1
Pretest Rerata Skor (%) 36
Pemahaman, C2
20
72,5
0,65
Penerapan, C3
30
90,4
0,8
Analisis, C4
27
66
0,41
0,7
Dari hasil pengolahan data, gambaran peningkatan setiap aspek prestasi belajar tia jenjang kognitif untuk kelas eksperimen dapat dilihat pada gambar 3
Hasil uji hipotesis yang ditunjukkan pada tabel 3, menyatakan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara peningkatan prestasi belajar siswa kelas eksperimen 1 dan dikelas eksperimen 2, Dengan kata lain, dapat disimpulkan bahwa pada taraf kepercayaan 99% (signifikansi 0,01), model pembelajaran guided inquiry secara signifikan dapat lebih meningkatkan prestasi ISBN 978-602-19655-4-2
Pretest Rerata Skor (%)
Aspek
Tabel 2. Hasil Uji Homogenitas dua variansi. Kelas
Peningkatan prestasi belajar Siswa Pada Setiap Ranah Kognitif yang di Uji
140
Gain yang dinormalisasi
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
74 80 80 76 70 70 65 70 60 50 50 41 40 30 20 10 0
Referensi [1] Depdiknas, “Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Sekolah Menengah Atas”, Jakarta: Depdiknas, (2006). [2] Sukmadinata, NS., “Metode Penelitian Pendidikan. Bandung”, PT Remaja Rosdakarya, (2011). [3] Mazdarwan.2011.Beberapa metode belajar Fisika [online]. tersedia : http://www.scribd.com/doc/77307110/Bebera pa-Metode-Belajar-Fisika[12-05-2012 [4] Wenning, CJ. (2012). The Levels of Inquiry model of Science Teaching. Journal Of Physics Teacher Education Online. [Online]. Tersedia : http://www.phy.ilstru.edu/jpteo [1705-2012] [5] Hipni,R. 2011. Pengertian prestasi belajar. [online]. tersedia : http://hipni.blogspot.com/2011/10/pengertianprestasi-belajar-definisi.html [30-0-2012] [6] S. Arikunto, ”Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan”, Jakarta: Bumi Aksara, (2012). [7] Hake, RR. (2002). Relationship of Individual Student Normalized Learning Gains in Mechanic with Gender, High-School Physics, and Pretest Scores on Mathematics and Spatial Visualization. [Online] Tersedia: http://www.physics.indiana.edu/~hake/PERC2 002h-Hake.pdf [21-05-2012] [8] Margono, S., “Metodologi Penelitian Pendidikan”, Jakarta : PT. Rineka Cipta, (2004).
Kelas eksperimen 1 Kelas eksperimen 2
C1 C2 C3 C4 (%) (%) (%) (%) jenjang kognitif
Gambar 3. Diagram peningkatan prestasi belajar tiap jenjang kognit. Berdasarkan gambar 3, tampak bahwa pada umumnya kelas eksperimen 1 mengalami peningkatan yang lebih besar dibandingkan dengan kelas eksperimen 2, hanya pada aspek penerapan (C3) kelas eksperimen 1 lebih rendah dari kelas eksperimen 2 . Perbedaan peningkatan paling besar terjadi pada aspek penerapan (C3) dengan selisih gain yang dinormalisasi 10 (dalam persen). Selain itu, jika diperhatikan lagi ternyata terdapat perbedaan kecenderungan peningkatan pada kedua kelas tersebut. Peningkatan yang terjadi di kelas eksperimen 1 cenderung menurun seiring semakin tingginya tingkatan kognitif, artinya semakin tinggi tingkatan kognitif yang diujikan, semakin kecil peningkatanya. Sedangkan pada kelas eksperimen 2, hal ini tidak terjadi karena aspek penerapan (C3) nilainya jauh lebih besar hafalan (C1) dan pemahaman (C2) artinya tidak ada hubungan antara besarnya peningkatan dengan tingkatan kognitif yang diujikan.
Khumaedah Khasanah* Fakultas Pendidikan Matematikan dan IPA Universitas Pendidikan Indonesia [email protected]
Kesimpulan
Parlindungan Sinaga Fakultas Pendidikan Matematikan dan IPA Universitas Pendidikan Indonesia
Penerapan model pembelajaran guided inquiry dapat meningkatkan prestasi belajar siswa dengan rata-rata nilai gain yang dinormalisasi sebesar 0,748 dan Penerapan model pembelajaran interactive demonstration dapat meningkatkan prestasi belajar dengan rata-rata nilai gain yang dinormalisasi sebesar 0,674. Model pembelajaran guided inquiry secara signifikan lebih dapat meningkatkan prestasi belajar fisika siswa SMA dibandingkan dengan model pembelajaran interactive demonstration dengan taraf signifikansi 1%.
ISBN 978-602-19655-4-2
Dedi Sasmita Fakultas Pendidikan Matematikan dan IPA Universitas Pendidikan Indonesia *Corresponding author
141
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Physics Modeling for Medical Purposes: Molecular Dynamics Simulation on Malaria-Infected Blood Flow in 2-D Channel Luman Haris*, Siti Nurul Khotimah, Freddy Haryanto, dan Sparisoma Viridi Abstract Physics modeling has been widely used in many fields including biophysics. It utilizes numerical method and physics law to mimic the original system. It has benefits as well as unique features that differ with the case. This work uses malaria blood flow as study case to explain the step of physics modeling in which molecular dynamics was used. Through two dimensional physics model, initial orientation angle and initial vertical position dependence was found. There was also an indication that the cluster had the tendency to rotate as a response to the obstructed channel. Final angle of 00 and 1800 are favorable for unhindered cluster. Kata-kata kunci: physics modeling, real system, model, unique features. caused by the protein expressed on the blood cell surface, enabling it to bind the other blood cells. Further readings on malaria can be obtained in some parasitology literatures [4-7].
Introduction Physics modeling has been widely used in medical field to discover new features of some existing medical tools and diseases [1-3]. It utilizes numerical methods as its governing mechanism. Physics modeling can be used to simulate a condition that is otherwise difficult to achieve. Physics model can also simplify sophisticated medical system through analogy and assumptions. Aside from these benefits, there are also some features of the model itself although it is also depends on the case. This work aims to explain the step needed to create and utilize physics model for medical purposes. Malaria blood flow simulation using molecular dynamics technique will be used as study case. The focus would be the unique features generated by physics model of malaria blood flow.
There are several things that must be noted. First, the objects can be classified into two groups which are normal and infected. Second, the expressed proteins on the blood cell surface enable them to bind the surrounding blood cells. Third, protein also exists on endothelial cell, a. k. a capillary wall, enabling the wall to bind blood cells. Having assessed the involved objects and the phenomenon, it is high time to construct the corresponding physics analogy. The goal is to transform the previous model, shown in figure 1, into a much simpler physics model. First, blood cell geometry is simplified into perfect sphere called grains. Then, proteins are represented as charge that is uniformly spreading inside or outside the grain. Hence, allowing the grain to interact with the other grains forming clumping. The different value of charge will determine the interaction types. Malaria infection only affects erythrocyte and platelet; therefore, the model can be further simplified resulting in figure 2. Moreover, the wall can also be represented by two charged plates in order to simplify the calculation that is encountered in the previously created model where the wall is considered as considerably large sphere [8].
Methods The first step in physics modeling is assessing the real system behavior. The understanding of its mechanism must be grasped in order to reanimate it in physics point of view. In this case, we have to assess blood flow mechanism within capillary vessel due to malaria. This mechanism is illustrated in figure 1.
Figure 1. Biological model of malaria blood flow [4]. Figure 2. Physics model created based on biological model. It also shows all of the possible interactions between blood cells. E, T, Tz, and S represent erythrocyte, platelet, Trophozoite, and Schizont respectively.
This model involves several hematocrites; erythrocyte, leukocyte, and platelet, both normal and infected. The flow is interrupted due to the clumping formed by blood cell interaction resulting in capillary clogging and rupture. This interaction is
ISBN 978-602-19655-4-2
142
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Once physics model has been constructed, it is time to set parameters and numerical method along with its governing equations. Currently, there are not any literatures that are able to point out the exact value of infected blood cells’ parameters. However, their value, relative to normal erythrocytes, can be approximated; giving a certain degree of freedom in determining the value. They have been given in the previous paper [8, 9]. Since we will be using molecular dynamics method to determine the blood cells movement, we have to determine the corresponding physics law to mimic the real system mechanism. In accordance with the previously created model, it is easier just to use electrostatic force or Coulomb force to mimic the interactions between blood cells, and Stokes force to mimic plasma flow within the channel. There is also normal force that is used for numerical purposes. By applying Newton’s 2nd law of motion, acceleration may be obtained which will be integrated numerically to acquire the grains’ next position. In this work, Euler method will be used as the numerical integration method. The molecular dynamics numerical algorithm, both forces formulation and Euler method formulation, can be seen in the previous paper [9].
There is one quantity that is of note; binary angle . Rotation unexpectedly appeared as torque is not considered in the governing laws. Hence, it is advisable to check its relation with the other quantities. In this work, the relation between binary angle and vertical position will be considered. The simulation will be carried out over 1000 with five variations of grain binary vertical position and 19 angle variations from 0 to 180 . The binary angle is defined according to the illustration in figure 4.
The last step in physics modeling is recognizing the unique features of the proposed model. Simulation must be carried out to obtain these features. In this work, two dimensions simulation had been done using simplified form of three dimensions model depicted in figure 2. Furthermore, four grains and two interactions will be involved in it. The illustration is provided within figure 3. The scheme involves a pair of grains resembling rosetting interaction which will be called grain binary afterward, and two schizonts that is bound to the wall resembling cytoadherence interaction. The initial position of all of the grains are given exactly as shown in figure 3. The binary grain center of mass will be varied vertically (y) between 0.175 h and 0.825 h where the value of h can be anything. In this work, h is given value of 2. On the contrary, the position of both schizonts is fixed during the simulation.
Result and Discussion
Figure 4. Binary angle definition. All of the necessary parameters can be seen in the undergraduate thesis [10].
The results of the simulation are given in figure 5. They show the dependency between binary angle and vertical position (y). If both quantities are independent of each other, the result would be exactly the same. Although some binary angles appears to give out the same result for each variations of binary vertical position, the overall result shows that these quantities are dependent of each other.
(a)
Figure 3. Two dimensions simulation scheme for recognizing the model features. Red grain, purple grain, and blue grains are normal erythrocyte, trophozoite stadium erythrocyte, and schizont stadium erythrocytes respectively.
ISBN 978-602-19655-4-2
143
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
binary angle tends to change to a certain value before saturating.
(b) Figure 6. Binary angle changes over t = 1000. It shows that binary angle fluctuates and saturated for t > 100. Supporting this finding, some visualizations have been made as qualitative proofs. They are narrowed down to show only 0 0 , 50 , and 80 . The result in figure 6 will be simplified into that in figure 7 while the visualizations themselves will be provided in figure 8. (c)
Figure 7. Reduced result of binary changes to only 0 (red), 50 (green), and 80 (blue).
(d)
Figure 8. From left collumn to right collumn, binary changes for initial binary angle 0 0 , 50 , and
80 respectively. (e) They are taken at different time scale with simulation time due to technical limitation. The visualizations for 0 0 are taken (upper to
Figure 5. Binary angle changes at (a) y0 = 0.5 h, (b) y0 = 0.575 h, (c) y0 = 0.65 h, (d) y0 = 0.725 h, and (e) y0 = 0.8 h. Schizonts’ charge (q) = 0.
lower) at t=0, t=4, t=8, and t=11, 0 50 are taken
It is also shown in figure 6 (emphasizing the phenomenon shown also in figure 5) that the
ISBN 978-602-19655-4-2
at t=0, t=5, t=7, and t=34, while 0 80 are taken at t=0, t=3, t=7, and t=34.
144
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
[7] Schofield, L. and G.E. Grau, "Immunological processes in malaria pathogenesis", Nat Rev Immunol, 5(9), 722-735, (2005). [8] Haris, L., et al., "Two-Dimensional Coulomb Model of Capillary Vessel in the Case of Cerebral Malaria Using Molecular Dynamics", 12th AOCMP and 10th SEACOMP Proceedings, The Convergence of Imaging and Therapy,12, 170-172, (2012). [9] Haris, L., S. Viridi, and S.N. Khotimah, Formulasi Interaksi antara Eritrosit dan Trombosit pada Peristiwa Malaria Serebral menggunakan Metode Dinamika Molekular. Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2012, (2012). [10] Haris, L., Molecular Dynamics Simulation in Determining Clogging Probability within Capillary Vessel due to Cerebral Malaria, in Physics Department, Institut Teknologi Bandung: Bandung, 98, (2013)
Conclusion Physics model has been made for malaria blood flow case. It exhibits two unique features such as binary angle and vertical position dependency and grain binary tendency to rotate to get through obstructed channel. It is also found that final binary angles 0 and 180 are favorable to pass through it. Acknowledgement The authors would like to give the utmost thanks to Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) and FMIPA for the opportunity to present this paper as well as to Riset dan Inovasi KK ITB with contract no. 241/I.1.C01/PL/2013 for supporting this work. References [1] Guang-Mao, L., et al., "Numerical Simulation of LVAD Inflow Cannulas with Different Tip", International Journal of Chemical Engineering (1687806X), 1-8, (2012). [2] Liu, Y., et al., "Numerical investigations of MRI RF field induced heating for external fixation devices", BioMedical Engineering OnLine, 12(1), 1-14 (2013). [3] Park, Y., et al., "Refractive index maps and membrane dynamics of human red blood cells parasitized by Plasmodium falciparum", Proceedings of the National Academy of Sciences, 105(37): p. 13730-13735, (2008). [4] Dhangadamajhi, G., S.K. Kar, and M. Ranjit, "The Survival Strategies of Malaria Parasite in the Red Blood Cell and Host Cell Polymorphisms", Malaria Research and Treatment, 9, (2010). [5] Gilles, H.M. and D.A., "Warrell, BruceChwatt's Essential Malariology. An Arnold Publication Series", Hodder Arnold. 12-44, (1999). [6] John, D.T., et al., "Markell And Voge's Medical Parasitology", Saunders Elsevier. 102-112, (2006).
ISBN 978-602-19655-4-2
Luman Haris* Nuclear Physics and Biophysis Research Division Institut Teknologi Bandung [email protected]
Siti Nurul Khotimah Nuclear Physics and Biophysis Research Division Institut Teknologi Bandung [email protected]
Freddy Haryanto Nuclear Physics and Biophysis Research Division Institut Teknologi Bandung [email protected]
Sparisoma Viridi Nuclear Physics and Biophysis Research Division Institut Teknologi Bandung [email protected]
* Penulis korespondensi
145
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Sintesis Nanopartikel Ekstrak Temulawak Berbasis Polimer Kitosan-TPP dengan Metode Emulsi Mersi Kurniati*, Tyas Wulandary, Laksmi Ambarsari dan Latifah K Darusman Abstrak Telah dilakukan penyalutan ekstrak temulawak dengan mengunakan kitosan. Penyalutan dengan menggunakan partikel nano dapat mengoptimalisasi penyerapan ekstrak temulawak dalam mencapai target. Salah satu metode yang dapat digunakan untuk pembuatan nanopartikel ekstrak temulawak adalah emulsi dengan perlakuan sonikasi menggunakan ultrasonics processor (Cole-Parmer 20 kHz 130 watt). Penelitian ini menggunakan variasi konsentrasi TPP (0,5% dan 1%) dan waktu sonikasi (30 menit dan 60 menit). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada penambahan 0,5% TPP dengan waktu sonikasi 30 menit menghasilkan ukuran partikel sebesar 430 nm hingga 2900 nm dan untuk waktu sonikasi selama 60 menit sebesar 422 nm hingga 4700 nm, sedangkan pada konsentrasi TPP 1% dengan waktu sonikasi 30 menit ukuran partikel yang dihasilkan adalah 444 nm hingga 4200 nm dan untuk waktu sonikasi selama 60 menit sebesar 418 nm hingga 2300 nm. Hasil menggunakan SEM memperlihatkan bahwa partikel yang dihasilkan berupa bulatan menyerupai bola dan berkerut, hasil analisis XRD menunjukkan adanya struktur amorf, dan keberadaan ekstrak temulawak dalam penyalut dapat diketahui berdasarkan hasil FTIR. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sampel dengan konsentrasi TPP 1% dengan waktu sonikasi 60 menit, menunjukkan hasil yang terbaik berdasarkan ukuran, kehomogenan, dan keberadaan ekstrak temulawak dalam penyalut kitosan. Kata-kata kunci: sonikasi, temulawak, kitosan, TPP Pendahuluan
Teori
Indonesia merupakan salah satu negara megabiodiversitas terbesar di dunia dan juga dikenal sebagai gudangnya tumbuhan obat (herbal). Salah satu tanaman herbal yang dapat dimanfaatkan dalam teknologi nanobiomedis adalah temulawak. Ekstrak temulawak diketahui memiliki khasiat sebagai antibakteri [1], antijamur [2], dan antioksidan [3]. Akan tetapi, konsumsi ekstrak temulawak secara oral dapat mengurangi efisiensi penyerapan oleh tubuh disebabkan hilangnya sebagian senyawa aktif ekstrak temulawak akibat proses pencernaan. Salah satu upaya yang telah dikembangkan untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah penyalutan dengan metode enkapulasi. Enkapsulasi dengan menggunakan partikel nano menyebabkan ekstrak mudah menyebar dalam darah dan lebih akurat dalam mencapai target [4]. Salah satu penyalut yang aman digunakan adalah kitosan yang merupakan hasil ekstraksi limbah kulit hewan golongan Crustacea [5].
Perkembangan teknologi nanopartikel semakin dinamis setelah diketahui bahwa sistem nanopartikel sangat bermanfaat dalam bidang medis [6] telah membuktikan bahwa nanosuspensi Cuscuta chinensis yang merupakan herbal tradisional Cina dapat mengurangi resiko hepatotoksisitas secara signifikan pada tikus akibat konsumsi asetaminofen. Metode yang umum digunakan dalam pembuatan nanopartikel adalah atrisi dan pirolisis. Metode lain yang berkembang yaitu metode sonokimia dengan memanfaatkan gelombang ultrasonik. Penggunaan gelombang ultrasonik diyakini dapat menghasilkan material mikro/nano dengan dispersi yang seragam [7] dengan metode emulsifikasi jika dibandingkan penggunaan magnetik stirer yang hanya menghasilkan mikrosfer. Enkapsulasi dalam ukuran kecil memiliki keuntungan, antara lain melindungi senyawa dari penguraian dan mengendalikan pelepasan senyawa aktif, misalnya obat. Pelepasan obat terkendali dilakukan agar penggunaan obat lebih efisien, untuk memperkecil efek samping, serta untuk mengurangi frekuensi penggunaan [8]. Senyawa aktif yang dienkapsulasi umumnya yang mudah bereaksi dengan senyawa lain atau cenderung tidak stabil, atau memiliki waktu paruh eliminasi yang singkat. Polimer yang bisa digunakan pada proses enkapsulasi suatu
Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan kelarutan ekstrak temulawak dengan metode nanoenkapsulasi sehingga diharapkan dapat meningkatkan penyerapan dalam tubuh. Metode ini merupaka modifikasi metode menurut Kim et al. 2006 yang diawali dengan pembuatan nanokitosan kemudian nanokitosan dicampur ekstrak temulawak dan selanjutnya disonikasi.
ISBN 978-602-19655-4-2
146
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
senyawa aktif adalah yang bersifat kompatibel dan biodegradabel. Polimer yang digunakan dalam penelitian ini adalah kitosan [9]. Semakin lama waktu pemberian gelombang ultrasonik pada suatu larutan, proses terpotongnya rantai kimiawi bahan juga terus berjalan. Degradasi ultrasonik tercepat terjadi pada polimer dengan molekul terbesar [10]. Semakin lama proses sonikasi ini akan menyamaratakan energi yang diterima partikel diseluruh bagian sisi larutan, sehingga ukuran partikel semakin homogen. 2 theta
Hasil dan Diskusi
Gambar 1. Pola XRD nanopartikel temulawak.
Metode penelitian dilakukan dengan tahapan sebagai berikut: ekstraksi temulawak, pembuatan nanopartikel kitosan [11], pembuatan nanopartikel temulawak [3] dan terakhir karakterisasi XRD, SEM dan FTIR. Ekstrak temulawak dengan alkohol 70%, kitosan dengan derajat deasetilasi 80,45% dan bobot molekul 800 kD. Variasi waktu sonikasi dan konsentrasi TPP diberikan seperti pada Tabel 1. Tabel 1. Pengkodean sampel. Kode TPP(%) sampel 0.5 A1 0.5 A2
A1
Waktu (menit) 30 60
A3
1.0
30
A4
1.0
60
Penambahan tripolifosfat (TPP) bertujuan untuk membentuk ikatan silang ionik antara molekul kitosan sehingga dapat digunakan sebagai bahan penjerap [12].
A2
Hasil XRD (Gambar 1), menunjukkan keempat sampel bersifat amorf karena terdapat pola difraksi dengan puncak 21,04° pada sampel A1; 20,62° pada sampel A2; 20,14° pada sampel A3; dan 19,48° pada sampel A4. Hal tersebut bersesuaian dengan data kitosan dan kurkumin dalam JCPDS. Pergeseran puncak yang terlihat pada keempat sampel menunjukkan bahwa keempat sampel telah mengalami perubahan struktur kristal menjadi bentuk amorf. Nilai derajat kristalinitas yang diperoleh untuk sampel A1 25,99%; sampel A2 25,99%; sampel A3 26,50%; dan sampel A4 29,34%. Besarnya nilai derajat kristalinitas bertambah besar seiring dengan banyaknya konsentrasi TPP dan lamanya waktu sonikasi
A3
A4 Gambar 2. Morfologi SEM. Pada Gambar 2 terlihat bahwa sampel A4 menghasilkan ukuran partikel yang paling kecil dan distribusi ukuran partikelnya lebih homogen dibandingkan dengan kode sampel A1, A2, dan A3.
ISBN 978-602-19655-4-2
147
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
menunjukkan hasil yang lebih baik dengan ukuran 418 nm hingga 2300 nm . Hasil XRD menunjukkan pola kristalografi dengan struktur amorf, morfologi SEM menunjukkan partikel berbentuk bola dan berkerut. Hal ini menyatakan bahwa temulawak belum tersalut optimal oleh kitosan-TPP. Spektrum FTIR memperlihatkan munculnya gugus fungsi temulawak dan kitosan.
Kerutan pada partikel semakin berkurang dengan bertambahnya TPP dan waktu sonikasi. Perbedaan ukuran yang diperoleh memperlihatkan bahwa penambahan TPP dan waktu sonikasi cenderung mempengaruhi ukuran partikel dan meningkatkan kehomogenan ukurannya. Distribusi ukuran partikel dilakukan dengan PSA. Tabel 2 menunjukkan distribusi ukuran partikel pada keempat sampel.
Ucapan terima kasih
Tabel 2. Distribusi ukuran partikel. Kode sampel A1 A2
Diameter (nm) 430 - 2900 422 - 4700
A3
444- 4200
A4
418 - 2300
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Hibah Penelitian Unggulan IPB atas dukungan finansial pada penelitian ini. Referensi [1] Rukayadi Y, Hwang JK., “In vitro activity of xanthorrhizol against Streptococcus mutans biofilms”, Journal Compilation The Society for Appl. Microbiol. 42:400–404, (2006). [2] Rukayadi Y, Hwang JK., “In vitro antimycotic activity of xanthorrhizol isolated from Curcuma xanthorrhiza Roxb. against opportunistic filamentous fungi”, Phytother. Res. 21: 434–438, (2007). [3] Lim et al., “Antioxidant and antiinflammatory activities of xanthorrhizol in hippocampal neurons and primary cultured microglia”, J. of Neurosci. Res. 82:831–838, (2005). [4] Poulain N, Nakache E., “Nanoparticles from vesicles polymerization II. evaluation of their encapsulation capacity”, J. Polym. Sci. 36: 3035–3043, (1998). [5] Hu Z, Chan WL, Szeto YS., “Nanocomposite of chitosan and silver oxide and its antibacterial property”, J Appl Polym Sci. 108: 52–56, (2007). [6] Yen FL, Wu TH, Lin LT, Cham TM, Lin CC., “Nanoparticles formulation of Cuscuta chinensis prevents acetaminophen-induced hepatotoxicity in rats”, Food and Chem Tox. 46:1771–1777, (2008). [7] Hielscher, T. “Ultrasonic Production of NanoSize Dispersions and Emulsions”, dalam: Proceedings of European Nanosystems Conference ENS’05., (2005). [8] Babtsov et al. penemu; Tagra Biotechnologies Ltd. 30 Sept 2002. Method of microencapsulation. US patent 6 932 984. [9] UI-Ain Q, Sharma S, Khuller GK, Garg SK., “Alginate-based oral drug delivery system for tuberculosis pharmakokinetics and therapeutics effects”, (2003). [10] Jin Li, Jun Cai, Lihong Fan. “Effect of Sonolysis on Kinetics and Physicochemical Properties of Treated Chitosan”, Journal of Applied Polymer Science, 109, 2417-2425 Aristoteles Rancha, diskusi, 17 May 2013, (2008).
Karakterisasi FTIR dalam penelitian ini digunakan untuk mengetahui keberadaan ekstrak temulawak yang disalut oleh kitosan. Hasil FTIR yang diperoleh (Gambar 3), menunjukkan bahwa keempat sampel terdapat gugus fungsi hidroksil pada bilangan gelombang masing-masing 3350,62 cm-1; 3370,05 cm-1; 3341,62 cm-1; dan 3378,00 cm-1. Gugus fungsi amida pada penelitian ini muncul dalam bilangan gelombang 1567,15 cm-1 pada sampel A1; 1564,70 cm-1 pada sampel A2; 1557,33 cm-1 pada sampel A3; dan 1559,86 cm-1 pada sampel A4. Gugus fungsi khas yang dimiliki kurkumin seperti C=O, C=C, C-O, dan C-H tekuk juga terdapat pada keempat sampel. Terjadi sedikit perubahan bilangan gelombang dari keempat sampel, hal ini menunjukkan adanya interaksi kembali antar gugus fungsi akibat penambahan TPP dan waktu sonikasi. Laboratory Test Result
17.4 16 15 14 13 12 11 10 9 %T 8 7 6 5 4 3 2
Kitosan 2%+TPP 0.5%+temulawak 5% (30mnt)
1
Kitosan 2%+TPP 1%+temulawak 5% (30 mnt) Kitosan 2%+TPP 0.5%+temulawak 5% (60mnt) Kitosan 2%+TPP 1%+temulawak 5% (60mnt)
0 -1.0 4000.0
3600
3200
2800
2400
2000
1800
1600
1400
1200
1000
800
600
450.0
Gambar 3. Pola spektra FTIR sampel A1, A2, A3, A4 Kesimpulan Kelarutan ekstrak temulawak meningkat dengan penambahan kitosan-TPP. Konsentrasi TPP 1% dan waktu sonikasi 60 menit
ISBN 978-602-19655-4-2
148
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
[11] M. Kurniati, AL. Kencana, Jajang J, A. Maddu, “Chitosan against sonication treatment. viscosity and molecular weight chitosan”, Prosiding. Seminar Nasional Sains II : 293-301, (2010). [12] Mi FL, Shyu SS, Lee ST, Wong TB., “Kinetic study of chitosan-tripolyphosphate complex reaction and acid-resistive properties of the chitosan-tripolyphosphate gel beads prepared by in-liquid curing method”, J Polym Sci. 37:1551-1564, (1999).
Tyas Wulandary Department of Physics Faculty of Mathematics and Natural Sciences Institut Pertanian Bogor
Laksmi Ambarsari Department of Biochemistry Faculty of Mathematics and Natural Sciences Institut Pertanian Bogor
Latifah K Darusman Pusat Studi Biofarmaka Institut Pertanian Bogor
Mersi Kurniati* Biophysics Division Institut Pertanian Bogor [email protected]
ISBN 978-602-19655-4-2
*Corresponding author
149
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Pengaruh Doping Fe pada Oksida Kobalt Perovskit Sr0.775Y0.225CoO3- Millaty Mustaqima, Inge Magdalena Sutjahja*, Febry Berthalita, Daniel Kurnia, Agustinus Agung Nugroho Abstrak Oksida kobalt perovskit berbentuk polikristalin dengan komposisi senyawa Sr0.775Y0.225CoO3- dan Sr0.775Y0.225 (Co0.9Fe0.1)O3- telah berhasil disintesis dengan metode reaksi padatan (solid-state reaction). Kondisi preparasi senyawa adalah tekanan atmosfer dan dua kali proses pemanasan, yaitu pada temperatur 10000C dan 11000C masing-masing selama 10 jam dan 20 jam yang disertai dengan penggerusan berulang. Karakterisasi struktur dilakukan melalui pengukuran XRD dan analisis datanya menggunakan program Rietica for Windows version 1.7.7. Hasil refinement menunjukkan bahwa material ini mempunyai stuktur tetragonal dengan space group I4/mmm dengan konstanta kisi untuk Sr0.775Y0.225CoO3- adalah a = 7,689 Å dan c = 15,33 Å; sedangkan untuk Sr0.775Y0.225 (Co0.9Fe0.1)O3- adalah a = 7,680 Å dan c = 15,30 Å. Karakterisasi sifat elektrik material dilakukan dengan cara pengukuran resistivitas terhadap temperatur dengan metoda 4-titik (4-point probe). Sistem pengukuran menggunakan closed-cycle refrigerator cryogenic dengan pendinginan gas Helium dan program LabView untuk automatisasi pengumpulan data. Analisa data menunjukkan bahwa senyawa doping Fe memiliki nilai hambatan jenis (resistivitas) yang lebih tinggi dibandingkan dengan senyawa asalnya. Di sisi lain, doping Fe memberikan pengaruh pada pelebaran daerah hopping konduksi menurut model Variable Range Hopping (VRH) 3D. Kata-kata kunci: perovskit, ferromagnetik, temperatur Curie, resistivitas, metoda 4-titik, VRH, XRD Selain mempengaruhi sifat kemagnetan, kadar oksigen dalam sampel (nilai ) juga diketahui sangat berpengaruh pada sifat kelistrikan sistem, yaitu dari sifat insulator-semikonduktor [2,4] sampai dengan konduktor [3]. Dengan demikian, sistem Sr1-xYxCoO3- ini merupakan salah satu sistem yang menjanjikan aplikasi penting untuk divais spintronik di masa mendatang, menggantikan devais elektronik yang memiliki beberapa kekurangan [8]. Pada presentasi ini dilaporkan hasil kajian doping Fe pada Co untuk sampel polikristalin Sr0.775Y0.225CoO3-, untuk mempelajari efek sifat kelistrikan yang dihasilkannya.
Pendahuluan Oksida metal transisi dengan struktur perovskit menunjukkan fenomena yang menarik dan berragam. Salah satu di antaranya yaitu perovskit berbasis ion kobalt (Co) yang menunjukkan fenomena trasisi keadaan spin pada sistem LnCoO3 [1], ferromagnetik temperatur ruang pada sistem Sr1-xYxCoO3 [2-4], serta giant termoelektrik pada sistem Bi2Sr2Co2O8 [5]. Oksida SrxLn1-xCoO3- (Ln = Y atau ion lantanida/tanah jarang baris pertama) merupakan sistem perovskit tunggal ABO3 yang ditemukan oleh Withers [6] dan Istomin [7] secara terpisah. Di antara elemen tanah jarang lainnya, yttrium banyak digunakan sebagai doping pada oksida perovskit kobalt, SrxY1-xCoO3- (Ln=Y) karena menunjukkan sifat transport, magnetik, dan struktur yang menarik. Dalam kondisi ambient, sistem SrxY1-xCoO3- dapat disintesis hingga level x0,4. Kobayashi et al [2] melaporkan bahwa sampel SrxY1-xCoO3- dalam rentang 0,2≤x≤0,25 merupakan ferromagnetik bulk pada temperatur ruang, dengan transisi ferromagnetik-paramagnetik pada nilai temperatur Curie TC = 335 K yang merupakan nilai temperatur transisi paling tinggi di antara oksida perovskit kobalt lainnya. Selain itu dilaporkan pula oleh peneliti yang sama bahwa sampel dengan x=0,225 menunjukkan magnetisasi yang paling besar di antara sampel dengan rentang 0,2≤x≤0,25 yaitu mencapai nilai 0.25 B/Co pada suhu 10 K.
ISBN 978-602-19655-4-2
Eksperimen Sampel polikristalin Sr0.775Y0.225CoO3- dan disintesis dengan Sr0.775Y0.225 (Co0.9Fe0.1)O3- metode reaksi padatan (solid-state reaction). Starting material yang digunakan adalah SrCO3, Y2O3, Co3O4, dan Fe2O3. Sebagai langkah awal, bahan-bahan SrCO3, Y2O3, Co3O4, dan Fe2O3 masing-masing dipanaskan pada temperatur 4000C secara terpisah untuk menghilangkan uap air. Kemudian bahan-bahan tersebut ditimbang sesuai dengan komposisi stiokiometrinya, dicampur dan digerus selama 3 jam. Pemanasan sampel terdiri dari dua tahap yaitu kalsinasi pada temperatur 10000C selama 10 jam dan sintering pada temperatur 11000C selama 20 jam, masingmasing dilakukan dalam furnace chamber di atmosfer udara biasa dan proses pendinginan di dalam furnace. Sebelum masing-masing proses
150
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
pemanasan, sampel dicetak menjadi pelet pada tekanan tinggi yaitu sekitar 5 ton untuk meningkatkan proses difusi partikel. Diantara kedua proses pemanasan tersebut juga dilakukan penggerusan ulang selama 3 jam untuk meningkatkan homogenitas sampel. Sampel dalam bentuk powder dikarakterisasi X-ray diffraction (XRD) pada rentang 2 = 100 – 1000 untuk diketahui strukturnya menggunakan sumber radiasi Cu Kα dari mesin Philips. Hasil XRD dianalisis berdasarkan hasil refinement data menggunakan program Rietica for Windows version 1.7.7. Karakteristik sifat elektrik sampel dilakukan dengan pengukuran resistivitas terhadap temperatur pada rentang suhu 48-300 K menggunakan metoda 4-titik (4-point probe) seperti tampak pada Gambar 1(a). Pengukuran resistivitas dilakukan menggunakan sistem closedcycle refrigerator cryogenic dengan pendinginan gas Helium. Berbeda dengan sistem pengukuran resistivitas konvensional yang lazim menggunakan sumber arus DC, pada pengukuran ini digunakan sumber arus AC yang dihasilkan dari sumber tegangan AC dari Lock-in ((Lock-in Stanford Research System Model SR830), dengan skema yang ditunjukkan pada Gambar 1(b). Penggunaan lock-in juga memberi keuntungan pada sensitivitas respons yang dihasilkan, terutama untuk signal respons yang kecil atau lemah. Pengumpulan data dilakukan secara automatis menggunakan program Labview versi 8.5.
Gambar 2. Pola XRD sampel polikristalin (a) Sr0.775Y0.225(Co0.9Fe0.1)O3- dan (b) Sr0.775Y0.225CoO3-. Selanjutnya hasil refinement data XRD menggunakan program Rietica for Windows version 1.7.7 ditampilkan pada Gambar 3 dan nilainilai parameter kisi yang ditunjukkan pada Tabel 1. Dari data yang diperoleh terlihat bahwa nilai-nilai parameter kisi tersebut berbeda dengan parameter kisi sampel Sr0.775Y0.225CoO3- yang dilakukan oleh Kobayashi et al dan Balamurugan [2,4]. Selain itu, kualitas fitting yang ditunjukkan oleh nilai-nilai parameter Rp, Rwp, dan menunjukkan hasil refinement yang belum terlalu baik atau adanya impuritas/second phase pada sampel yang dikaji.
Gambar 1. (a) metode 4-titik (4-point probe) untuk pengukuran resistivitas dan (b) skema sistem pengukuran.
Gambar 3. Hasil refinement data XRD sampel a) Sr0.775Y0.225CoO3- dan (b) Sr0.775Y0.225 (Co0.9Fe0.1)O3-
Hasil dan Diskusi Hasil karakterisasi XRD untuk sampel Sr0.775Y0.225CoO3- dan Sr0.775Y0.225 (Co0.9Fe0.1)O3- ditunjukkan oleh gambar 2.
ISBN 978-602-19655-4-2
151
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
detail pada kadar oksigen dari sampel yang dikaji. Dari gambar tersebut terlihat pula bahwa resistivitas kedua sampel secara umum memiliki pola semikonduktor, dimana nilai resistivitas menurun seiring dengan kenaikan temperatur. Lebih jauh, nilai resistivitas sampel dengan doping Fe lebih besar dibandingkan dengan parent compound-nya untuk seluruh rentang nilai temperatur pengukuran.
Tabel 1: Parameter kisi dan kualitas fitting hasil refinement data XRD Parameter Tanpa doping Dengan doping Fe Fe a(Å) 7,689 7,680 c(Å) 15,33 15,30 Rp 19,46 19,31 Rwp 15,31 19,34 0,0099 0,3103
Data -T selanjutnya dianalisa berdasarkan model Variable Range Hopping 3-dimensi (VRH 3D) dari Mott [9],
Gambar 4 di bawah menunjukkan kurva I-V untuk sampel Sr0.775Y0.225 (Co0.9Fe0.1)O3- yang diambil pada nilai temperature ruang dan temperature 44 K. Dari gambar tersebut, untuk nilai T = 44 K, daerah ohmik dibatasi oleh nilai arus sekitar 0,2 mA.
1
T 4 0 exp 0 T
(1)
dimana ρ adalah resistivitas sampel, T adalah temperatur, ρ0 dan T0 adalah suatu konstanta. Hasil fitting model tersebut pada data eksperimen ditampilkan pada Gambar 6.
Gambar 4. Kurva I-V sampel Sr0.775Y0.225 (Co0.9Fe0.1)O3- pada a) temperatur ruang dan b) T= 44 K. Selanjutnya kebergantungan resistivitas terhadap temperatur untuk kedua sampel ditunjukkan pada Gambar 5.
Gambar 6. Kurva ln ρ vs T -1/4 yang menunjukkan hasil fitting data -T menggunakan model (VRH 3D). Berdasarkan kelinearan kurva ln (ρ) terhadap T-1/4, model VRH 3D dapat dipenuhi pada rentang temperatur 80≤T≤300 K untuk sampel Sr0.775Y0.225CoO3-. Sedangkan untuk sampel Sr0.775Y0.225 (Co0.9Fe0.1)O3-, model VRH dipenuhi pada rentang yang lebih besar, yaitu 50≤T≤300 K. Hasil ini menunjukkan bahwa hopping konduksi dominan terjadi pada rentang temperatur tertentu yang berbeda untuk kedua sampel. Selain itu, nilai-nilai konstanta ρ0 dan T0 masing-masing adalah 1,17×10-8 Ohm.cm dan 1,9×107 K untuk sampel parent compound serta 4,77×10-8 Ohm.cm dan 1,55×107 K untuk sampel dengan doping Fe.
Gambar 5. Kebergantungan resistivitas listrik, ρ, terhadap temperatur. Secara umum grafik resistivitas yang diperoleh untuk sampel Sr0.775Y0.225CoO3- serupa dengan hasil yang dilaporkan oleh Kobayashi et al dan Bulumurugan [2,4], namun dengan perbedaan yang jelas pada besarnya nilai resistivitas. Perbedaan nilai resistivitas ini disebabkan oleh perbedaan parameter dan keadaan lingkungan pada waktu sintesis sampel, atau secara lebih
ISBN 978-602-19655-4-2
Kesimpulan Sampel Sr0.775Y0.225 CoO3- dan Sr0.775Y0.225 (Co0.9Fe0.1)O3- telah berhasil disintesis menggunakan metode reaksi padatan. Hasil XRD
152
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
[7] S. Ya. Istomin, J. Grins, G. Svensson, O. A. Drozhzhin, V. L. Kozhevnikov, E. V. Antipov, and J. P. Attfield, Chem. Mater. 15, 4012 (2003); S. Ya. Istomin, O. A. Drozhzhin, G. Svensson, and E. V. Antipov, Solid State Sci. 6, 539 (2004). [8] S. A. Wolf D. D. Awschalom,R. A. Buhrman, J. M. Daughton, S. von Molnár, M. L. Roukes, A. Y. Chtchelkanova, D. M. Treger, “Spintronics: A Spin-Based Electronics Vision for the Future”, Science Vol. 294 no. 5546 pp. 14881495, 16 November 2001. [9] Shklovskii B. I. and A. L. Efros, Electronic properties of doped semiconductors, Springer (1984).
menunjukkan bahwa adanya doping Fe tidak mengubah struktur parent compound Sr0.775Y0.225 CoO3- yaitu tetragonal dengan grup ruang I4/mmm. Dari hasil pengukuran resisitivitas, ditunjukkan bahwa kedua sampel memiliki pola semikonduktor. Adanya doping Fe dapat memperluas daerah hopping konduksi 3D. Ucapan terima kasih Penelitian ini didanai oleh Science and Technology Research Grant dari Indonesia Toray Science Foundation (ITSF) 2013 dan Program Penelitian Riset dan Inovasi KK ITB 2013 dengan nomor kontrak: 229/I.1.C01/PL/2013. Referensi [1] J. Q. Yan, J.S. Zhou, and J.B. Goodenough, “Bond‐length fluctuations and the spin-state transition in LCoO3 (L = La, Pr, and Nd) ” Phys. Rev. B 69, 134409 (2004). [2] W. Kobayashi, S. Ishiwata, I. Terasaki, M. Takano, I Grigoraviciute, H. Yamauchi, and M. Karppinen, “Room-temperature ferromagnetism in Sr1-xYxCoO3-”, Physical Review B 72, 104408 (2005). [3] S. Balamurugan and E. TakayamaMuromachi, ”Structural and magnetic properties of high-pressure/high-temperature synthesized in (Sr1-xRx)CoO3 (R= Y and Ho) perovskites”, Journal of Solid State Chemistry 179, 2231-2236 (2006) [4] S. Bulumurugan, “Physical-properties of oxygen-deficient Co-based perovskites: Co(Sr1-xYx)O3- (0.05≤x≤0.4) [5] R. Funahashi. & M. Shikano, “Bi2Sr2Co2Oy Whiskers with High Thermoelectric Figure of Merit”, Appl. Phys. Lett., 81, 1459-1461 (2002). [6] L. Withers, M. James, and D. J. Goosens, J. Solid State Chem. 174, 198 (2003); M. James, D. Cassidy, D. J. Goosens, and R. L. Withers, J. Solid State Chem. 177, 1886 (2004).
ISBN 978-602-19655-4-2
Millaty Mustaqima Program Studi Fisika Institut Teknologi Bandung [email protected] Inge Magdalena Sutjahja* KK Fisika Magnetik dan Fotonik Institut Teknologi Bandung [email protected] Febry Berthalita KK Fisika Magnetik dan Fotonik Institut Teknologi Bandung [email protected] Daniel Kurnia KK Fisika Magnetik dan Fotonik Institut Teknologi Bandung [email protected] Agustinus Agung Nugroho KK Fisika Magnetik dan Fotonik Institut Teknologi Bandung [email protected]
*Corresponding author
153
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Pengembangan Model Pembelajaran Fisika Berorientasi Kemampuan Berargumentasi dan Pemahaman Konsep Calon Guru Fisika Muslim*, Andi Suhandi dan Ida Kaniawati Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk melihat dampak penerapan model pembelajaran fisika terhadap peningkatan kemampuan berargumentasi dan pemahaman konsep calon guru fisika. Penelitian dilakukan menggunakan desain penelitian dan pengembangan (R & D) Metode penelitian menggunakan kuasi eksperimen dengan desain pretest-postest control group. Subyek penelitian adalah mahasiswa jurusan pendidikan fisika pada salah satu LPTK di Bandung sebanyak 50 orang. Data kemampuan berargumentasi dan pemahaman konsep dijaring melalui tes. Data dianalisis menggunakan gain yang dinormalisasi dan uji statistik. Hasil penelitian menunjukkan rerata skor gain yang dinormalisasi kemampuan berargumentasi dan pemahaman konsep mahasiswa pada kelas eksperimen lebih tinggi dibandingkan dengan kelas kontrol.Uji beda rerata skor gain yang dinormalisasi pada kemampuan berargumentasi dan pemahaman konsep melalui uji t menunjukkan terdapat perbedaan yang signifikan antara peningkatan kemampuan berargumentasi maupun pemahaman konsep pada kelas eksperimen dibandingkan dengan kelas kontrol. Model pembelajaran fisika yang telah dikembangkan lebih efektif dalam meningkatkan kemampuan berargumentasi dan pemahaman konsep calon guru fisika dibandingkan dengan model pembelajaran konvensional. Kata-kata kunci: Model pembelajaran fisika, kemampuan berargumentasi, pemahaman konsep 2007 tentang standar kompetensi guru, maka tuntutan kompetensi guru fisika, antara lain: (1) memahami konsep-konsep, hukum-hukum, dan teori-teori fisika serta penerapannya secara fleksibel; (2) memahami proses berpikir fisika dalam mempelajari proses dan gejala alam; (3) Bernalar secara kualitatif maupun kuantitatif tentang proses dan hukum fisika; (4) memahami lingkup dan kedalaman fisika sekolah; (5) Kreatif dan inovatif dalam penerapan dan pengembangan bidang ilmu fisika dan ilmu-ilmu yang terkait (Depdiknas, 2007).
Pendahuluan Pendidikan memegang peran yang sangat penting dalam proses peningkatan kualitas sumber daya manusia. Guru merupakan salah satu kunci utama dalam menggerakkan kemajuan dan perkembangan dunia pendidikan. Agar proses pembelajaran berhasil dan mutu pendidikan meningkat, maka diperlukan guru yang profesional. Sumedi (2009) mengungkapkan bahwa pengembangan profesionalisme guru diutamakan pada peningkatan kompetensi keilmuan dan kompetensi pedagogis. Peningkatan dua kompetensi guru tersebut dengan sendirinya langsung maupun tidak langsung memberikan kontribusi bagi peningkatan kualitas proses pembelajaran dan mutu pendidikan. Untuk mewujudkan guru yang profesional maka Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) sebagai institusi pencetak calon guru memiliki peran yang sangat strategis dalam meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia melalui peningkatan mutu calon guru, tak terkecuali calon guru fisika yang berkesinambungan.
Berdasarkan studi pendahuluan terindikasi bahwa hasil belajar mahasiswa ditinjau dari kemampuan berargumentasi dan pemahaman konsep pada perkuliahan fisika sekolah masih rendah. Berdasarkan hasil pengamatan terhadap pelaksanaan perkuliahan fisika sekolah menunjukkan bahwa pembelajaran cenderung monoton, kurang menantang, dan tidak ada variasi dalam mengembangkan pembelajaran. Strategi pembelajaran yang diterapkan belum membekali mahasiswa untuk memberdayakan kemampuan berpikir khususnya kemampuan berargumentasi dan tidak dilatih untuk aktif membangun konsep. Fakta ini sejalan dengan temuan hasil penelitian Xie & Mui So (2012) yang menyimpulkan bahwa calon guru sains memiliki pemahaman terbatas tentang argumentasi, dan kemampuan untuk menyusun argumentasi ilmiah juga lemah.
Dalam kurikulum pendidikan fisika di LPTK, mahasiswa dibekali salah satu mata kuliah keahlian program studi yaitu fisika sekolah yang bertujuan agar mampu menguasai struktur dan materi fisika sekolah relevan dengan tuntutan kompetensi dalam standar nasional pendidikan. Fisika sekolah merupakan salah satu mata kuliah penting dalam struktur kurikulum pendidikan fisika di LPTK yang mampu menunjang kompetensi guru fisika. Berdasarkan Permendiknas No. 16 tahun
ISBN 978-602-19655-4-2
Fakta berdasarkan hasil studi pendahuluan dan hasil penelitian mengindikasikan perlunya upaya pembenahan terhadap perkuliahan fisika sekolah. Mahasiswa hendaknya diberi kesempatan
154
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
berorientasi kemampuan berargumentasi dan pemahaman konsep (MPF-BKBPK) yang diterapkan pada mata kuliah fisika sekolah. MPFBKBPK diadopsi dari model pembelajaran pembangkit argumen (Sampson & Gerbino, 2010) yang dapat digunakan guru atau dosen sains untuk membangkitkan argumentasi ilmiah di kelas. Sintaks MPF-BKBPK meliputi empat fase, yaitu: identifikasi masalah, pembangkitan argumen tentatif, sesi argumentasi, dan penulisan argumen. Model ini dirancang untuk memberikan kesempatan kepada mahasiswa mengemukakan dan menguji suatu klaim dari permasalahan fisis berdasarkan data-data yang telah dianalisis sebagai bagian dari aktivitas kelompok.
menggali pemahaman, membangun argumentasi ilmiah, dan mengembangkan kemampuan berpikir. Osborne (2007) mengungkapkan bahwa arah pendidikan sains untuk abad 21, diantaranya adalah penekanan pada pengembangan keterampilan berpikir termasuk kemampuan berargumentasi. Oleh karena itu mengembangkan kemampuan mahasiswa untuk memahami dan mempraktekkan cara-cara berargumentasi dalam konteks ilmiah melalui pembelajaran fisika menjadi penting. Kemampuan berargumentasi yaitu kemampuan dalam memberikan alasan (data, pembenaran, dukungan) untuk memperkuat atau menolak suatu klaim (McNeill, Lizotte & Krajcik, 2006; Osborne, Erduran, & Simon, 2004). Toulmin (Eduran & Jimenez, 2008) mengajukan skema yang menggambarkan struktur suatu argumentasi. Langkah pertama dalam setiap argumentasi menurut Toulmin adalah menyatakan suatu pendirian (standpoint) berupa klaim. Selanjutnya, klaim yang diajukan harus didukung oleh data. Hubungan antara data dengan klaim dijembatani oleh pembenaran (warrant). Pola argumentasi Toulmin terdiri atas: data (data), klaim (claim), pembenaran (warrant), dukungan (backing), kualifikasi (qualifier) dan sanggahan (rebuttal). Data merupakan fenomena yang digunakan sebagai bukti untuk mendukung klaim. Klaim adalah hasil dari nilai-nilai yang ditetapkan, pendapat mengenai nilai situasi yang ada, dan penegasan dari sudut pandang. Pembenaran adalah aturan dan prinsip-prinsip yang menjelaskan hubungan antara data dan klaim. Dukungan adalah dasar asumsi yang melandasi pembenaran tertentu. Kualifikasi adalah rentang situasi tertentu di mana pernyataan akurat. Sanggahan (rebuttal) adalah penolakan terhadap argumen-argumen yang berbeda (Simon et al, 2006; Yan & Erduran, 2008; Eduran & Jimenez, 2008).
Metode Penelitian dilakukan menggunakan desain penelitian dan pengembangan (R & D) melalui langkah-langkah 4D: Define-Design-DevelopDisseminate (Thiagarajan, et al., 1974). Pada penelitian ini hanya dilakukan sampai tahap develop. Tahap define dilakukan dengan menganalisis kebutuhan melalui studi pendahuluan untuk memperoleh informasi terkait dengan permasalahan pembelajaran fisika sekolah. Kegiatan yang dilakukan pada tahap ini meliputi studi lapangan dan studi literatur. Tahap design dilakukan dengan merancang perangkat MPF-BKBPK. Tahap develop dilakukan dengan mengembangkan produk MPF-BKBPK melalui validasi ahli, uji coba terbatas dan uji coba luas. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuasi eksperimen dengan desain pretestpostest control group. Subjek dalam penelitian ini adalah mahasiswa calon guru fisika semester III tahun akademik 2012/2013 program studi pendidikan fisika salah satu LPTK di Bandung sebanyak 50 orang yang terbagi menjadi dua kelas, yaitu kelas eksperimen yang menggunakan MPF-BKBPK sebanyak 26 orang dan kelas kontrol yang menggunakan pembelajaran konvensional sebanyak 24 orang. Instrumen yang digunakan pada penelitian ini adalah: (1) Tes untuk mengukur kemampuan berargumentasi berbentuk uraian sebanyak 20 soal. Tes ini mencakup empat indikator unsur kemampuan beragumentasi, yaitu: klaim, data, pembenaran (warrant) dan dukungan (backing) (Sampson & Gerbino, 2010); (2) Tes untuk mengukur pemahaman konsep berbentuk pilihan ganda sebanyak 50 soal. Tes ini mencakup tiga indikator aspek pemahaman konsep, yaitu interpretasi, komparasi, dan eksplanasi (Anderson et al, 2001). Materi fisika sekolah yang yang diujikan pada kedua tes mencakup lima topik, yaitu kinematika, gerak melingkar, dinamika, optik geometri, dan listrik dinamis.
Argumentasi merupakan komponen penting dalam literasi ilmiah. Argumentasi yang digunakan dalam pembelajaran sains tidak hanya dapat meningkatkan keterampilan mahasiswa untuk kritis dan melakukan investigasi ilmiah, tetapi juga memberikan makna praktis dalam perkembangan mahasiswa (Yan & Erduran, 2008). Kemampuan berargumentasi yang dimilki memungkinkan mahasiswa dapat mengembangkan pemahaman konsep, karena dengan kemampuan berargumentasi mahasiswa dapat mengkonstruksi pengetahuan, dan memperdalam konsep-konsep fisika sekolah sehingga melahirkan argumentasi ilmiah yang merepresentasikan pemahaman. Mencermati pentingnya mahasiswa calon guru fisika memiliki kemampuan berargumentasi dan pemahaman konsep, maka pada penelitian ini dikembangkan model pembelajaran fisika
ISBN 978-602-19655-4-2
155
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Tabel 2. Uji Normalitas, Uji Homogenitas, dan Uji beda Dua Rerata Skor Gain yang Dinormalisasi Peningkatan Kemampuan Berargumentasi dan Pemahaman Konsep.
Efektivitas penerapan MPF-BKBPK ditentukan berdasarkan perolehan rerata skor gain yang dinormalisasi () antara kelas eksperimen yang menggunakan MPF-BKBPK dan kelas kontrol yang menggunakan pembelajaran konvensional (Hake, 1998). Signifikansi peningkatan kemampuan berargumentasi dan pemahaman konsep diuji melalui uji beda dua rerata skor gain yang dinormalisasi (). Hasil dan Diskusi Hasil penelitian menunjukkan bahwa rerata skor gain yang dinormalisasi () kemampuan berargumentasi dan pemahaman konsep mahasiswa pada kelas eksperimen lebih tinggi dari kelas kontrol masing-masing dengan selisih sebesar 0,20 dan 0,25 seperti terlihat pada Tabel 1.
Dengan demikian pembelajaran fisika melalui MPF-BKBPK lebih efektif dalam meningkatkan kemampuan berargumentasi dan pemahaman konsep calon guru fisika dibandingkan dengan pembelajaran konvensional.
Tabel 1. Rekapitulasi Rerata Skor Gain yang Dinormalisasi () Kemampuan Berargumentasi dan Pemahaman Konsep antara Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa rerata skor gain yang dinormalisasi () untuk indikator tiap unsur kemampuan berargumentasi (klaim, data, pembenaran, dan dukungan) yang dicapai kelas eksperimen lebih tinggi dari kelas control seperti terlihat pada Gambar 1.
Distribusi skor gain yang dinormalisasi peningkatan kemampuan berargumentasi dan peningkatan pemahaman konsep mahasiswa, baik pada kelas eksperimen maupun kelas kontrol berdistribusi normal dan variansnya homogen. Hasil uji t menunjukkan terdapat perbedaan yang signifikan antara peningkatan kemampuan berargumentasi dan peningkatan pemahaman konsep untuk mahasiswa yang memperoleh MPFBKBPK dan mahasiswa yang memperoleh pembelajaran konvensional seperti terlihat pada Tabel 2.
Gambar 1. Perbandingan Rerata Skor Gain yang Dinormalisasi Indikator Tiap Unsur Kemampuan Berargumentasi. Perolehan rerata skor gain yang dinormalisasi () untuk indikator tiap aspek pemahaman konsep (interpretasi, komparasi, dan eksplanasi) yang dicapai kelas eksperimen lebih tinggi dari kelas kontrol seperti terlihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Perbandingan Rerata Skor Gain yang Dinormalisasi Indikator Tiap Aspek Pemahaman Konsep.
ISBN 978-602-19655-4-2
156
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
[4] Hake, R.R., “Interactive-Engagement versus Traditional Methods: A Six-Thousand-Student Survey of Mechanics Test Data for Introductory Physics Courses”. American Journal Physics. 66, (1), (1998). [5] Kolsto, S. D., & Ratcliffe, M., “Social aspects of argumentation”. In S. Erduran & M.P. Jiménez-Aleixandre (Eds.), Argumentation in science education: perspectives from classroom-based research(pp.114-133). Berlin, Germany: Springer, (2008). [6] McNeill, K. L., Lizotte, D. J., & Krajcik, J., “Supporting Students’ Construction of Scientific Explanations by Fading Scaffolds in Instructional Materials”. The Journal of the Learning Sciences, 15(2), 153-191, (2006). [7] Osborne, J., Erduran, S., & Simon, S., “Enhancing The Quality of Argumentation in School Science”. Journal of Research in Science Teaching, 41(10), 994-1020, (2004). [8] Osborne, J., “Science Education for the Twenty First Century”. Eurasia Journal of Mathematics, Science & Technology Education. 3, (3), 173-184, (2007). [9] Sampson, V. & Gerbino, F., “Two Instructional Models That Teachers Can Use to Promote and Support Scientific Argumentation in the Biology Classroom”. The American Biology Teacher. 72, (7), 427–431, (2010). [10] Simon, S., Erduran, S. & Osborne, J., “Learning to Teach Argumentation: Research and Development in The Science Classroom”. International Journal of Science Education, 28, (2-3), 235–260, (2006). [11] Sumedi, P.AS. “Pengembangan Program Pendidikan Guru Dalam Rangka Menghasilkan Lulusan Yang Bermutu dalam Pengembangan Profesionalisme Guru”, Jakarta: Uhamka Press, (2009). [12] Thiagarajan, S., Semmel, D. S., & Semmel, M., “Instructional Development for Training Teachers of Exceptional Children”, Source Book. Bloominton: Center for Innovation on Teaching the Handicapped, (1974). [13] Xie, Q and Mui So, W.W., “Understanding and practice of argumentation: A pilot study with Mainland Chinese pre-service teachers in secondary science classrooms”, AsiaPacific Forum on Science Learning and Teaching, Volume 13, Issue 2, (2012). [14] Yan, X. & Erduran, S., “Arguing Online: Case Studies of Pre-Service Science Teachers’ Perceptions of Online Tools in Supporting The Learning of Arguments”, Journal of Turkish Science Education, 5,(3), 2-31, (2008).
Dengan demikian pembelajaran melalui MPFBKBPK mampu meningkatkan pencapaian indikator tiap unsur kemampuan berargumentasi dan tiap aspek pemahaman konsep calon guru fisika dibandingkan dengan pembelajaran konvensional. Tahapan MPF-BKBPK mendorong mahasiswa terlibat aktif mengkomunikasikan gagasan dan mengevaluasi informasi sehingga berharga untuk mengembangkan kebiasaan berpikir. Memunculkan terjadinya pertukaran gagasan dalam aktivitas diskusi kelompok dan diskusi kelas dalam proses pembelajaran mempengaruhi proses konstruksi pengetahuan. Sifat argumentasi berpotensi untuk pengembangan kolektifitas dan penerimaan klaim ilmiah (Kolsto & Ratcliffe, 2008). Tahapan MPF-BKBPK sesuai dengan teori konstruksi sosial Vigotsky tentang Zone of Proximal Development (ZPD) yang dapat digunakan sebagai basis pembelajaran sains sehingga pada mahasiswa akan terjadi revolusi perkembangan dari proses alami ke proses mental yang lebih tinggi melalui peer collaboration dalam tatanan konstruksi sosial. Vigotsky (Blake & Pope, 2008) mengungkapkan bahwa belajar yang efektif terjadi jika mahasiswa bekerja sama dengan suatu lingkungan dimana interaksi sosial terjadi. Dengan demikian konstruksi argumentasi dan pemahaman konsep dapat dibangun melalui penerapan MPFBKBPK sehingga akan terbentuk argumentasi ilmiah sebagai hasil proses berpikir yang akan menghasilkan pemahaman konseptual. Kesimpulan Penerapan MPF-BKBPK lebih efektif dalam meningkatkan kemampuan berargumentasi dan pemahaman konsep calon guru fisika dibandingkan dengan pembelajaran konvensional. Ucapan terima kasih Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak A. Rusli atas diskusinya yang bermanfaat. Referensi [1] Blake, B and Pope, T., “Developmental Psychology: Incorporating Piaget’s and Vygotsky’s Theories in Classrooms”. Journal of Cross-Disciplinary Perspectives in Education. 1, (1), 59 – 67, (2008). [2] Depdiknas, Lampiran Permendiknas No. 16 Tahun 2007: Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru. Jakarta: Depdiknas, (2007). [3] Erduran, S., & Jimenez-Aleixandre, M.P.. Argumentation in Science Education. Florida State University-USA: Spinger, (2008)
ISBN 978-602-19655-4-2
157
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Muslim* Jurusan Pendidikan Fisika Universitas Pendidikan Indonesia [email protected] Andi Suhandi Jurusan Pendidikan Fisika Universitas Pendidikan Indonesia Ida Kaniawati Jurusan Pendidikan Fisika Universitas Pendidikan Indonesia
*Korespondensi Penulis
ISBN 978-602-19655-4-2
158
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Kemampuan Siswa Menghubungkan Tiga Level Representasi Melalui Model MORE (Model-Observe-Reflect-Explain) Neng Tresna Umi Culsum*, Ida Farida dan Imelda Helsy
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan kemampuan siswa menghubungkan tiga level representasi pada konsep hidrolisis garam melalui model pembelajaran MORE (Model-Observe-Reflect-Explain). Melalui metode penelitian kelas, model pembelajaran diimplementasikan terhadap 39 orang siswa kelas XI IPA 6 di salah satu SMA Negeri di Bandung. Data proses dan hasil belajar diperoleh dari lembar kerja siswa dan tes two tier multiple choice yang mengukur sepuluh indikator kemampuan tiga level representasi kimia. Hasil penelitian pada tahap model menunjukan sebagian besar siswa belum mampu membuat model susunan partikel dengan tepat, pada tahap observe siswa mampu menyelidiki sifat larutan garam melalui percobaan dengan sangat baik, pada tahap reflect dengan bantuan animasi, siswa mampu memperbaiki kemampuan pemodelan dengan baik dan pada tahap explain siswa mampu menjelaskan hubungan representasi makroskopik ke simbolik dengan baik. Dari data tes, 66% siswa mampu menghubungkan level makroskopik ke level submikroskopik, 12% siswa mampu menghubungkan level submikroskopik ke level makroskopik, dan hanya 10% siswa mampu menghubungkan level simbolik ke level submikroskopik. Dengan demikian dapat disimpulkan siswa dapat memperbaiki kemampuan representasi submikroskopik, namun belum sepenuhnya dapat menghubungkan tiga level representasi pada konsep hidrolisis garam. Kata-kata kunci: Tiga Level Representasi, Model MORE, Hidrolisis Garam. Pendahuluan
Melalui makalah ini dijelaskan bagaimana kemampuan siswa menghubungkan tiga level representasi pada konsep hidrolisis garam melalui model pembelajaran MORE (Model-ObserveReflect-Explain)
Konsep hidrolisis garam merupakan salah satu materi yang harus dipelajari siswa di SMA. Berdasarkan hasil studi pendahuluan, umumnya tujuan pembelajaran di kelas lebih menekankan pada level representasi makroskopik dan simbolik, sementara dari segi prosesnya yang berkaitan dengan representasi submikroskopik tidak dikembangkan dengan baik. Akibatnya, siswa hanya secara parsial menguasai konsep hidrolisis garam. Sejalan dengan hasil penelitian Ayas1 yang menyatakan siswa mempunyai pemikiran “reaksi netralisasi tidak menghasilkan ion OH- atau H3O+ dalam larutan”. Pemikiran siswa yang lain mengenai reaksi netralisasi adalah “reaksi netralisasi asam dan basa selalu menghasilkan garam yang bersifat netral”. Hal ini menunjukkan bahwa siswa mempunyai pemikiran asam dan basa mengkonsumsi satu sama lain dalam semua reaksi netralisasi.
Teori Model MORE (Model-Observe-ReflectExplain) merupakan salah satu model pembelajaran yang melibatkan siswa dalam penyelidikan dan perilaku partikel. Model MORE (Model-Observe-Reflect-Explain) menekankan siswa untuk membangun pengetahuannya sendiri secara aktif dan diharapkan siswa dapat menghubungkan antara pengamatan makrosopik dan perilaku partikel (atom, ion atau molekul) 2 Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kelas, karena bertujuan untuk memperbaiki pembelajaran di kelas6. Subyek penelitian adalah siswa kelas XI IPA 6 di salah satu SMA Negeri di Bandung berjumlah 39 orang. Adapun langkah pembelajaran dengan menggunakan model MORE adalah sebagai berikut : 1) Tahap model, pada tahap model siswa dibimbing untuk membuat model awal model susunan partikel beberapa larutan garam. 2) Tahap observe, pada tahap observe, siswa secara berkelompok membuktikan model awal yang telah dibuat dengan menyelidiki sifat larutan garam melalui praktikum. 3)Tahap reflect, pada tahap reflect, siswa menghubungkan hasil praktikum
Berdasarkan uraian diatas, untuk mengatasi lemahnya kemampuan siswa menghubungkan tiga level representasi dalam mempelajari konsep hidrolisis garam, maka peneliti mencoba untuk menerapkan suatu model pembelajaran yang dapat mencakup ketiga level representasi kimia. Salah satu model pembelajaran yang dapat mencakup ketiga level representasi dalam pembelajaran kimia adalah model MORE (ModelObserve-Reflect-Explain).
ISBN 978-602-19655-4-2
159
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
dengan interpretasi proses hidrolisis garam melalui bantuan media animasi. 4) Tahap explain, pada tahap explain siswa menjelaskan konsep hidrolisis garam dan membuat hubungan level representasi makroskopik ke simbolik. Setelah diterapkan model pembelajaran MORE, diberikan tes two tier multiple choice. Terdapat empat pola jawaban yaitu pola A : jawaban benar dan alasan benar artinya siswa dapat menghubungkan tiga level representasi kimia, pola B : jawaban benar dan alasan salah atau jawaban salah dan alasan benar artinya siswa secara parsial dapat menghubungkan tiga level representasi, pola C : jawaban salah dan alasan salah artinya siswa belum mampu menghubungkan tiga level representasi.
Berikut perbandingan model awal yang dibuat siswa untuk larutan garam natrium asetat (CH3COONa) pada tahap model dengan model akhir pada tahap reflect :
Hasil dan diskusi
Gambar 1. Perbandingan Model Awal dengan Model Akhir Larutan Garam CH3COONa Tipe 1
Tipe 1
Model akhir (Setelah disajikan animasi proses tranfer proton antara anion garam dengan molekul air)
Kemampuan representasi siswa pada proses pembelajaran diperoleh dari nilai lembar kerja siswa (LKS) pada setiap tahapan model MORE. Secara keseluruhan kemampuan representasi siswa pada setiap tahap dalam pembelajaran MORE disajikan pada tabel 1 berikut :
Keterangan : : model larutan CH3COOH : model larutan NaOH
Tabel 1. Nilai Lembar Kerja Siswa pada Setiap Tahapan Model MORE
No 1 2 3 4
: model ion OH-
Tahapan Pembelajaran Rata‐Rata Model 47 Observe 82 Reflect 85 Explain 79
Pada tipe 1, model awal yang dibuat siswa berupa asam basa pembentuk garam (CH3COOH dan NaOH). Ini mengindikasikan siswa mengalami miskonsepsi dalam menentukan sifat larutan garam, karena sifat larutan garam di tentukan dari asam konjugat atau basa konjugat yang bersifat kuat bukan dari asam basa pembentuk garam. Adapun model perbaikan yang dibuat berupa ionion yang dihasilkan setelah proses hidrolisis garam (transfer proton). Ini menunjukkan siswa mempunyai pemikiran bahwa peraksi habis dan tidak terjadi kesetimbangan. Padahal seharusnya ion-ion yang terdapat dalam larutan adalah CH3COO-, H2O, OH- dan CH3COOH. Perbedaan pemikiran siswa disebabkan siswa mempunyai penafsiran yang berbeda terhadap animasi yang disajikan. Sejalan dengan Wu (dalam Soika 2010 : 2) yang menyatakan bahwa pemahaman tentang animasi bisa berbeda-beda tergantung kepada kemampuan masing-masing.
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa pada tahap model nilai rata-rata siswa paling rendah. Siswa belum mampu membuat susunan partikel larutan garam dengan tepat. Kebenaran model awal siswa tidak ditekankan, model awal dimaksudkan untuk membantu siswa menyadari pemahamannya1. Pada tahap observe, siswa mampu menyelidiki sifat larutan garam melalui praktikum dengan baik yang ditunjukan dengan perolehan nilai sebesar 82. Pada tahap reflect, diperoleh nilai rata-rata siswa paling tinggi. Tingginya nilai siswa pada tahap reflect karena siswa menyadari kekeliruan gambaran awal mereka pada tahap model yang didukung data hasil praktikum dan dengan bantuan media animasi. Ini menunjukan bahwa animasi dapat membantu siswa untuk memahami proses pada tingkat molekul yang sulit dibayangkan7. Pada tahap explain, nilai yang diperoleh siswa mengalami penurunan karena siswa menjawab dengan tidak lengkap. Meskipun mengalami penurunan, siswa mampu membuat hubungan level makroskopik ke simbolik dengan baik.
ISBN 978-602-19655-4-2
Model awal (Sebelum disajikan animasi proses tranfer proton antara anion garam dengan molekul air)
160
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Tipe 2 Model awal (Sebelum disajikan animasi proses tranfer proton antara anion garam dengan molekul air)
Model akhir (Setelah disajikan animasi proses tranfer proton antara anion garam dengan molekul air)
Gambar 3. Persen Sebaran Pola Jawaban Siswa Setiap Indikator Menghubungkan Tiga Level Representasi.
Gambar 2. Perbandingan Model Awal dengan Model Akhir Larutan Garam CH3COONa Tipe 2
Keterangan indikator tes evaluasi 1. Menginterpretasi sifat larutan garam dengan menentukan representasi submikroskopik yang tepat. 2. Menjelaskan sifat asam suatu garam melalui perbandingan Ka dan Kw disertai gambar submikroskopik yang tepat 3. Memilih representasi submikroskopik larutan garam yang mengalami hidrolisis anion dengan memberikan penjelasan yang tepat 4. Menentukan persamaan reaksi dari larutan garam yang mengalami hidrolisis anion dengan memberikan representasi submikroskopik yang tepat. 5. Memprediksi reaksi transfer proton yang lebih dominan berlangsung pada larutan garam yang terhidrolisis total disertai alasan perbandingan harga Ka dan Kb 6. Menghitung pH larutan garam yang mengalami hidrolisis anion dengan memberikan alasan perhitungan yang tepat. 7. Menentukan representasi submikroskopik dari larutan garam yang mengalami hidrolisis total dengan memberikan penjelasan yang tepat 8. Menghitung pH larutan garam yang mengalami hidrolisis total dengan memberikan alasan perhitungan yang tepat. 9. Memilih gambar yang sesuai dengan pH larutan garam dengan memberikan penjelasan yang tepat. 10.Menentukan sifat larutan garam yang tidak terhidrolisis dengan memilih representasi submikroskopik yang tepat
Keterangan : : model ion CH3COO: model ion Na+ : model ion H3O+ Pada tipe 2, model awal yang dibuat siswa berupa ion ion-ion garam dan molekul air yang terionisasi (ion CH3COO- dan ion Na+). Ini mengindikasikan siswa tidak memahami reaksi hidrolisis yang terjadi, karena siswa tidak mempertimbangkan jumlah ion H3O+ dan ion OH- . Sejalan dengan hasil penelitian Ayas (2004 : 12) yang menyatakan bahwa siswa memiliki pemikiran reaksi hidrolisis garam tidak menghasilkan ion OHatau H3O+ dalam larutan, karena siswa tidak menyadari peran air dalam reaksi hidrolisis garam. Sementara model perbaikan sudah tepat yang menunjukkan siswa menyadari penentu sifat larutan garam adalah ion OH- yang dihasilkan dari hidrolisis anion dan siswa sudah memperhatikan komposisi dengan tepat. Setelah diimplementasikan model MORE, kemudian siswa diberikan tes hasil belajar dalam bentuk two tier multiple choice yang mengukur sepuluh indikator kemampuan siswa.
Berdasarkan gambar 1, 1) Sebagian besar siswa (rerata 66 %) mampu menghubungkan level makroskopik ke level submikroskopik yang tercermin pada indikator 1,2, 9 dan 10. Ini terlihat dari proses pembelajaran pada tahap observe dan reflect, siswa mampu menghubungkan hasil praktikum dengan interpretasi animasi. 2) Sebagian besar siswa (66 %) mampu menghubungkan level makroskopik ke level
ISBN 978-602-19655-4-2
161
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
menghubungkan level makroskopik ke submikroskopik. Sedangkan pencapaian indikator yang masih kurang adalah indikator menghubungkan level representasi simbolik ke level submikroskopik (10%) dan indikator menghubungkan level submikroskopik ke level makroskopik (12%). Dengan demikian siswa dapat memperbaiki kemampuan representasi submikroskopik, namun belum sepenuhnya dapat menghubungkan tiga level representasi pada konsep hidrolisis garam.
simbolik yang tercermin pada indikator 6. Namun, pada indikator 8 dengan pola yang sama, hanya sedikit siswa (21%) menjawab benar. Ini menunjukan siswa kurang mampu membedakan perhitungan pH larutan garam pada hidrolisis parsial dan hidrolisis total karena siswa cenderung menghafal rumus jadi tanpa menurunkan persamaannya. 3) Sebagian kecil siswa (rerata 12 %) mampu menghubungkan level submikroskopik ke level makroskopik yang tercerminpada indikator 3 dan 7. Pencapaian yang masih kurang karena siswa tidak cukup menguasai level submikroskopik, sehingga siswa tidak mampu menghubungkan level submikroskopik ke level makroskopik. Sejalan dengan Chittleborough & Treagust3 yang menyatakan bahwa ketidakmampuan merepresentasikan aspek submikroskopik dapat menghambat kemampuan memecahkan permasalahan yang berkaitan dengan fenomena makroskopik dan representasi simbolik. 4) Sebagian besar siswa (46%) mampu menghubungkan level submikroskopik ke level simbolik yang tercermin pada indikator 5. Siswa mampu menjelaskan proses yang terjadi pada level submikroskopik karena pada proses pembelajaran di tahap reflect disajikan media animasi 5) Sebagian kecil siswa (10 %) mampu menghubungkan level simbolik ke level submikroskopik yang tercermin pada indikator 4. Ini mengindikasikan siswa belum mampu menghubungkan level simbolik ke level submikroskopik. Diduga karena kurangnya penguasaan siswa pada level submikroskopik berdampak pada penguasaaan siswa di level simbolik. Dugaan tersebut diperkuat oleh pernyataan Dori4 yang menyimpulkan bahwa pengetahuan simbolik membutuhkan pemahaman konseptual dari struktur substansi dan pemahaman dalam bahasa simbol.
Ucapan terima kasih Penulis mengucapkan terimakasih kepada SMA 16 Bandung yang telah membantu memfasilitasi penelitian. Penulis juga berterimakasih kepada ibu Ida farida dan Imelda Hesly atas bimbingan, saran dan dukungannya. Referensi [1] Ayas, et al., “Conceptual Change Achieved Through A New Teaching Program On Acids And Bases”, Chemistry Education Research and Practice, 6 (1), 36-51, (2005). [2] Carillo, L. et al., “Enhancing Science Teaching by Doing A Framework to Guide Chemistry Student’ Thinking In The Laboratory”, The Science Teacher. 11, 60-64, (2005). [3] Chittleborough, G.D.& Treagust D.F., “The modeling ability of non-major chemistry student and their understanding of the submicroscopic level”, Chemistry Education Research and Practice, 8 :274-292, (2007). [4] Dori, J.Y. & Mira Hameiri, “Multidimensional Anlysis System For Quantitative Chemsitry Problems Symbol, Macro, Micro And Process Aspect. “Journal Of Research In Science Teaching, 40(3). 278-302, (2003). [5] Gilbert, J.K. & Treagust, D.F., “Introduction: Macro, sub-micro and symbolic representations and the relationship between them”, Key models in chemical education., (2009). [6] Hopkins. (2008). Teacher Guide Classroom Research. My Doom Maiden Hood Open University Press.[Online].Tersedia:http//www.TeacherRe search.net/R.BookReview4htm.[27 desember 2012] [7] Soika, Katrin. Priit Reiska, Rain Mikser, “The Importance Of Animation As A Visual Method In Learning Chemistry”, Proc. of Fourth Int. Conference on Concept Mapping, (2010).
Pencapaian yang belum maksimal disebabkan karena kemampuan siswa berbedabeda dan belum terbiasanya siswa pada level submikroskopik. Sejalan dengan Johnstone (dalam Gilbert dan Treagust5) kontribusi kemampuan siswa menghubungkan tiga level representasi dalam mengembangkan kemampuan berpikir siswa sangat besar. Namun, menghubungkan tiga level representasi adalah hal yang sulit. Pendapat tersebut diperkuat Gabel (dalam Gilbert dan Treagust5) bahwa siswa tidak mampu bergerak diantara tiga level representasi. Kesimpulan Model MORE dapat digunakan untuk mengembangkan kemampuan siswa menghubungkan tiga level representasi. Sebagian besar siswa (41%) mampu menghubungkan tiga level representasi pada konsep hidrolisis garam. Pencapaian indikator paling tinggi adalah indikator
ISBN 978-602-19655-4-2
162
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Neng Tresna Umi Culsum* Prodi Pendidikan Kimia UIN SGD Bandung [email protected] Ida Farida Prodi Pendidikan Kimia UIN SGD Bandung [email protected]
Imelda Helsy Prodi Pendidikan Kimia UIN SGD Bandung [email protected]
*Corresponding author
ISBN 978-602-19655-4-2
163
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
E-Module Pembelajaran Minyak Bumi Berbasis Lingkungan Untuk Mengembangkan Kemampuan Literasi Kimia Siswa Nevi Nurzaman*, Ida Farida Ch dan Ratih Pitasari Abstrak Melalui desain penelitian dan pengembangan (R&D) telah dikembangkan produk berupa E-Module pembelajaran berbasis lingkungan untuk mengembangkan kemampuan literasi kimia siswa SMA/MA pada konsep minyak bumi. Tahapan penelitian meliputi: analisis kebutuhan, pengembangan desain, validasi konten dan uji coba terbatas. Dari hasil penelitian diperoleh E-Module yang memiliki karakteristik : pemaparan konten bersifat interaktif melalui teks, gambar, animasi, video dan pertanyaan-pertanyaan yang mengacu pada indikator literasi kimia yang mencakup aspek konteks, konten, proses dan sikap sains. Validasi konten dan uji coba terbatas dilakukan agar diperoleh umpan balik mengenai aspek isi materi dan tampilan serta kelayakan penggunaannya sesuai tujuan pembuatan produk. Secara umum, hasil penelitian menunjukan bahwa penyajian isi materi dan tampilan E-Module layak dipakai sebagai sumber belajar untuk mengembangkan kemampuan literasi kimia siswa di SMA/MA pada konsep minyak bumi. Kata kunci : E-Module pembelajaran berbasis lingkungan , kemampuan literasi kimia siswa, minyak bumi Pendahuluan
Metode Penelitian
Kemampuan literasi kimia merupakan salah satu kemampuan yang perlu dikembangkan dalam pembelajaran minyak bumi. Hal itu bertujuan agar siswa dapat memiliki informasi ilmiah dan cara berpikir ilmiah dalam menyelesaikan suatu fenomena alam yang berkaitan dengan konsep minyak bumi [1]. Menurut Shwartz, et al [2] Indikator-indikator literasi kimia yang harus dimiliki oleh seorang siswa itu terdiri dari proses, konteks, konten dan sikap sains. Pengembangan kemampuan literasi kimia dalam pembelajaran minyak bumi akan tercapai jika dalam proses pembelajarannya dilakukan secara efektif, efisien dengan memanfaatkan berbagai macam media pembelajaran dan sumber belajar seperti modul pembelajaran [3]. Tetapi penggunaan modul pembelajaran ini ternyata memililki banyak kekurangan terutama dalam pembelajaran konsep minyak bumi. Hal ini disebabkan karena dalam modul cetak tersebut tidak ada visualisasi seperti gambar, audio dan video. Padahal pada konsep minyak bumi sendiri, banyak materi yang perlu visualisasi [4].
Penelitian ini menggunakan desain penelitian dan pengembangan (Research and development) yang dimodifikasi dari Gall et al [5]. Tahapan penelitian yang dilakukan meliputi, : tahap pengembangan desain produk, tahap validasi dan uji coba terbatas. Instrumen yang digunakan pada tahap validasi dan uji coba terbatas adalah : angket uji kelayakan E-Module pembelajaran yang diberikan kepada ahli multimedia, ahli bidang studi, dan mahasiswa.
Menanggulangi masalah di atas, maka dibuatlah E-Module pembelajaran minyak bumi yang mengacu pada indikator-indikator literasi kimia itu sendiri. Pemilihan E-Module ini sendiri dikarenakan media pembelajaran ini mempunyai karakteristik dan komponen-komponen pembangunnya yang begitu lengkap sebagai bahan pembelajaran mandiri. Penggunaan EModule ini dapat mempermudah penyampaian materi yang berupa langkah-langkah atau prosedur dengan menggunakan gambar, simulasi animasi dan video tutorial.
Tahap analisis ini terdiri dari : 1) analisis konsep dan pembuatan peta konsep minyak bumi berdasarkan kurikulum. Hal ini bertujuan untuk menghasilkan materi minyak bumi yang sesuai dengan E-Module yang dibuat. 2) analisis wacana konsep minyak yang disesuaikan dengan kemampuan literasi kimia yang dikembangkan Hal ini bertujuan agar dapat menentukan tujuan pembelajaran yang akan dicapai.
ISBN 978-602-19655-4-2
Hasil dan diskusi Tahapan Pembuatan E-Module Pembelajaran. Tahapan pembuatan E-Module pembelajaran minyak bumi ini mengacu pada CAI (Computer Assisted Instruction) design model tutorial [6], yang telah dimodifikasi sehingga secara umum tahapan pembuatan E-Module ini terdiri dari tahap analisis dan tahap pengembangan desain yang dijelasakan di bawah ini, sebagai berikut : Tahap Analisis
164
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Tabel 2. Indikator-indikator literasi kimia yang dikembangkan.
Tabel 1. Resume analisis wacana. Materi
Tujuan
Proses pembentukan
Berdasarkan video pembentuka n minyak bumi, siswa dapat mengidentifi kasi proses pembentuka n minyak bumi
Proses pengolah -an
Berdasarkan animasi proses pengolahan minyak bumi siswa dapat menafsirkan prinsip kerjanya
Pencema ran lingkungan
Berdasarkan video atau animasi pencemaran lingkungan siswa dapat memprediksi dampak negatifnya
Catalytic converter
Berdasarkan animasi catalytic conveter, siswa dapat menafsrikan prinsip kerja catalytic converter
Kemampuan literasi kimia Proses : keterampilan mengidentifikasi Konteks : diberikan video proses pembentukan minyak Konten : materi proses pembentukan Sikap : sikap menghemat dan memanfaatkan sumber daya alam berupa minyak bumi dan gas alam Proses : keterampilan menafsirkan Konteks : diberikan animasi mengenai proses pengolahan Konten : materi proses pengolahan Sikap : sikap menghemat dan memanfaatkan sumber daya alam berupa minyak bumi dan gas alam Proses : keterampilan memprediksi Konteks : diberikan video atau animasi pencemaran lingkungan Konten : materi pencemaran lingkungan Sikap : sikap menjaga kelestarian lingkungan sekitar Proses : keterampilan menafsirkan Konteks : diberikan video atau animasi Konten : materi catalytic converter Sikap : sikap mensyukuri kekayaan alam
Berdasarkan analisis wacana ini, dikembangkan indikator literasi kimia.
ISBN 978-602-19655-4-2
Materi Proses pembentukan minyak bumi Distilasi bertingkat Cracking Reforming Polimerisasi Treating Hujan asam Pemanasan global Efek rumah kaca Catalytic converter
Indikator Literasi Kimia Siswa Mengidentfikasi proses pembentukan minyak bumi Mengklasifikasi produk hasil distilasi bertingkat Menafsirkan prinsip kerja cracking Menafsirkan prinsip kerja reforming Menafsirkan prinsip kerja polimerisasi Menafsirkan prinsip kerja treating Memprediksi dampak hujan asam Mempredikasi dampak pemanasan global Mengkomunikasikan gas penyebab efek rumah kaca Menfasirkan prinsip kerja catalytic converter
Tahap analisis ini harus dilakukan karena pembuatannya berfungsi untuk mengidentifikasi karakteristik siswa, kemampuan siswa yang akan dikembangkan dan materi yang akan dijelaskan [7]. Tahap Pengembangan Desain Pada tahap ini, dibuat desain alur kerja atau alur suatu pemrosesan informasi berdasarkan flow chart dan peta situs (story board). Hal ini bertujuan untuk mempermudah proses pembuatan produk.
Gambar 1. Diagram Alur (Flow Chart) E-Module Pembelajaran Minyak Bumi. Setelah selesai membuat flow chart dan story board, selanjutnya dibuatlah desain E-Module dalam bentuk visualisasi.
dapat
165
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
yang akan dicapai, 8) evaluasi sikap berisi mengenai evaluasi sikap sains siswa terhadap fenomena yang berkaitan dengan materi minyak bumi, 9) daftar pustaka berisi mengenai sumber yang dipergunakan dalam membuat naskah materi, animasi serta video yang digunakan.
Tabel 3. Visualisasi materi minyak bumi. Konsep Proses pembentuka n minyak bumi Distilasi bertingkat
Jenis Media Video dan gambar Animasi
Cracking
Animasi
Reforming
Animasi
Polimerisasi
Animasi
Treating
Animasi
Hujan asam
Video
Pemanasan global
Video
Efek rumah kaca
Animasi dan gambar Animasi dan gambar
Catalytic converter
Sumber http://www.youtube.co m/watch?v=_36ojlfBY4
Pengembangan desain ini selalu dilakukan dalam pembuatan sebuah produk yang menggunakan komputer atau berbantuan teknologi. Hal ini dimaksudkan agar programmer memiliki acuan dan akan mempermudah dalam proses pembuatan produknya [7].
http://www.adventuresi nergy.org/RefiningOil/Distilling.html http://www.adventuresi nergy.org/RefiningOil/Cracking.html http://www.adventuresi nergy.org/RefiningOil/Reforming.html http://www.youtube.co m/watch?v=3gpLM8UI A_w http://www.adventuresi nergy.org/RefiningOil/Treating.html http://www.youtube.co m/watch?v=XOZ6MM _D4PI http://www.youtube.co m/watch?v=wknj48cjlj Q http://www.dirgantaral apa.co.id/jizonpolud/i mages/animasigrk.swf http://www.youtube.co m/watch?v=W6dlsC_e
Hasil Uji Validasi Tabel 4. Rata-rata Penilaian Validator Terhadap Aspek Penyajian Isi Materi. Aspek Isi Materi Urutan penyajian materi Kejelasan materi Umpan Balik Materi Soal Evaluasi Persen rata-rata
Persentase (%) Ya Tidak 100 0 100 0 75 25 86,52 13,48 90,38 9,62
Berdasarkan tabel 4 di atas, penilaian Validator ahli terhadap aspek penyajian isi materi minyak bumi ini 90,38% menyatakan setuju dan 9,62% menyatakan tidak setuju. Keterangan ini mengindikasikan bahwa secara umum materi yang ada di E-Module pembelajaran ini sangat layak dipakai sebagai sumber belajar. Tabel 5. Rata-rata Penilaian Validator Terhadap Aspek Tampilan E-Module.
Secara umum halaman - halaman yang terdapat pada E-Module pembelajaran ini terdiri dari : 1) home merupakan halaman yang berisi tentang link-link dan identitas materi, 2) petunjuk penggunaan merupakan halaman yang berisi tentang petunjuk-petunjuk bagaimana cara menggunakan E-Module pembelajaran, 3) tujuan pembelajaran berisi tentang tujuan pembelajaran pada konsep minyak bumi, 4) ayat al-quran yang berhubungan dengan materi minyak bumi seperti surat Al-‘ala ayat 1-5, surat Ar-rum ayat 41 dan surat An-nahl ayat 12, 5) wacana lingkungan berisi tentang wacana-wacana yang berkaitan dengan materi minyak bumi terdiri dari wacana kota Balikpapan, wacana pencemaran lingkungan dan wacana catalytic converter, 6) materi berisi mengenai konsep minyak bumi berdasarkan tujuan pembelajaran yang mengacu pada indikator literasi kimia, materi yang dijelaskan terdiri dari proses pembentukan minyak bumi, proses pengolahan minyak bumi, pencemaran lingkungan dan catalytic converter, 7) evaluasi pembelajaran berisi tentang evaluasi mengenai materi minyak bumi yang telah dipelajari oleh siswa, evaluasi ini terdiri dari sepeluh soal berdasarkan tujuan pembelajaran
ISBN 978-602-19655-4-2
Ahli
Aspek Tampilan E-Module Tampilan E-Module Layout E-Module Tombol navigasi Link yang disediakan Persen rata-rata
Ahli
Persentase (%) Ya Tidak 100 0 88,4 11,6 100 0 100 0 97,06 2,94
Berdasarkan tabel 5 di atas, penilaian validator ahli terhadap aspek tampilan E-Module pembelajaran minyak bumi 97,06% menyatakan setuju dan 2,94% tidak setuju. Keterangan tersebut mengindikasikan bahwa secara umum aspek tampilan yang disajikan layak digunakan. Pada tahap validasi oleh tiga orang ahli pembelajaran dan satu orang ahli multimedia, bahwa aspek penyajian isi materi dan tampilan emodule yang terdiri dari tujuan pembelajaran yang akan dicapai, umpan balik kepada siswa, materi minyak bumi yang dijelaskan, ukuran modul, tata letak, ukuran dan jenis huruf, ilustrasi pada modul, test evaluasi dan daftar pustaka pada e-module, secara umum hasilnya 90-97% menyatakan setuju terhadap produk E-Module pembelajaran yang
166
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
dibuat dan sudah layak digunakan sebagai sumber belajar, karena kelengkapan komponen-komponen yang ada pada modul tersebut. Hal ini membutktikan bahwa pada dasarnya modul atau buku teks dalam penyusunannya harus memperhatikan prinsip atau komponen dasar dalam proses pembuatannya [8].
Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan kesimpulan yang didapat, bahwa secara umum dari tahap validasi dan tahap uji coba kepada para mahasiswa, E-Module pembelajaran yang dibuat sudah layak digunakan. Hal ini bisa dibuktikan dengan persentase yang diperoleh dari uji validasi yaitu 90-97% dan hasil dari uji coba terbatas dengan persentase 90-98% menyatakan setuju terhadap produk E-Module pembelajaran yang dibuat.
Hasil Uji coba terbatas kepada mahasiswa Tabel 6. Rata-rata Penilaian Mahasiswa Terhadap Aspek Penyajian materi. Aspek Isi Materi Urutan penyajian materi Kejelasan materi Umpan Balik Materi Soal Evaluasi Persen rata-rata
Persentase (%) Ya Tidak 100 0 100 0 93,84 6.16 100 0 98,46 1,54
Referensi [1] Zuriyani, Elsy, “Literasi Sains Pendidikan”, (2012), [Online]. Tersedia : isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/101092841.pdf [Diakses 20 Februari 2013]. [2] Shwartz, et al., “The use of Scientific Literacy Taxonomy for Assessing the Development of Chemical Literacy Among High-School Students”, Journal of Chemistry Education Research and Practice. 7(4), 203-225, (2006). [3] Warsita, B., “Teknologi Pembelajaran: Landasan & Aplikasinya”, Jakarta: PT Rineka Cipta, (2008). [4] Khoir, A., “Buku Ajar Penyebab Siswa Kesulitan Belajar Sains, (2007), [Online]. Tersedia : www.ejournalunisma.net/ojs/index.php/.../107 [Diakses 20 Februari 2013]. [5] Gall, et al., “Educational Research”, United States of America : Pearson Education, (2003). [6] Darmawan, D., “Teknologi Pembelajaran”, Bandung : PT Remaja Rosda Karya, (2012). [7] Hannafin, et al., “The Design, Development and Evaluation of Instructional Software. Newyork”, Macmillan Publishing Company, (1986). [8] Sitepu, B.P. “Penulisan Buku Teks Pelajaran”, Bandung : PT Remaja Rosda Karya, (2012).
Berdasarkan tabel 6 di atas, penilaian dari 20 orang mahasiswa sebanyak 98,46% menyatakan setuju dan 1,54% tidak setuju. Keterangan tersebut mengindikasikan bahwa secara umum materi yang ada di produk E-Module pembelajaran ini layak dipakai sebagai sumber belajar. Tabel 7. Rata-rata Penilaian Mahasiswa Terhadap Aspek Tampilan E-Module. Aspek Tampilan E-Module Tampilan E-Module Layout E-Module Tombol navigasi Link yang disediakan Persen rata-rata
Persentase (%) Ya Tidak 80 20 80 20 100 0 100 0 90 10
Berdasarkan tabel 7 di atas, penilaian mahasiswa terhadap aspek tampilan E-Module pembelajaran minyak bumi 90% menyatakan setuju dan 10% tidak setuju. Keterangan tersebut mengindikasikan bahwa secara umum aspek tampilan yang disajikan layak digunakan.
Nevi Nurzaman* Pend. Kimia UIN Sunan Gunung Djati Bandung [email protected]
Pembuatan teori dan praktik dalam desain, pengembangan dan pemanfaatan teknologi dapat memfasilitasi pembelajaran agar lebih efektif, efisien, menyenangkan dan meningkatkan motivasi belajar siswa. Teori ini benar adanya karena pada saat dilakukan uji coba terbatas produk E-Module pembelajaran kepada mahasiswa, secara umum 90-98% menyatakan setuju karena E-Module pembelajaran tersebut dapat membuat siswa tertarik dan menumbuhkan motivasi untuk belajar [3].
Ida Farida Ch Pend. Kimia UIN Sunan Gunung Djati Bandung idafaridauinsgd.ac.id Ratih Pitasari SMAN XVI Kota Bandung ([email protected]) *Corresponding author
ISBN 978-602-19655-4-2
167
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Analisis Konsepsi Mahasiswa Terhadap Materi Elektrolisis Menggunakan Instrumen Tes Three Tier Multiple Choice Nia Tresnasih*, Ida Farida dan Ratih Pitasari Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis konsepsi mahasiswa calon guru kimia terhadap materi elektrolisis serta mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhinya. Studi deskriptif dilakukan terhadap 50 mahasiswa semester VI di salah satu LPTK di Bandung menggunakan tes berbentuk three tier multiple choice yang mengukur 14 indikator. Tes tersebut dapat membedakan antara mahasiswa paham dan tidak paham konsep serta mengalami miskonsepsi. Hasil penelitian secara keseluruhan menunjukan: 16% mahasiswa paham konsep, 51% tidak paham konsep serta 33% mengalami miskonsepsi. Indikator yang paling banyak dipahami oleh 36 % mahasiswa adalah pergerakan elektron dalam elektrolisis, sedangkan indikator lainnya di bawah 36%. Mahasiswa mengalami miskonsepsi pada aspek kuantitatif elektrolisis, yaitu menghitung massa zat hasil elektrolisis dengan waktu yang berbeda (70%) dan tidak paham mengenai aplikasi elektrolisis pada proses Hall (86%). Berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa konsepsi mahasiswa dipengaruhi oleh faktor internal mahasiswa, proses perkuliahan dan buku teks yang digunakan. Hendaknya hasil penelitian ini menjadi landasan untuk tindak lanjut perbaikan mutu calon guru. Kata Kunci: Konsepsi mahasiswa, three tier multiple choice, elektrolisis, diagnosis miskonsepsi et.al [5] pada konsep panas dan suhu, Pesman [6] pada konsep listrik serta Cetin et.al pada konsep asam basa. Pada makalah ini akan dibahas hasil penelitian yang bertujuan untuk menganalisis konsepsi mahasiswa calon guru kimia terhadap materi elektrolisis serta mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Pendahuluan Ilmu kimia merupakan ilmu yang sangat penting dalam kehidupan sehari-hari. Tetapi dalam mempelajarinya, seringkali menimbulkan kesulitan yang mengakibatkan miskonsepsi. Menurut Hofstein [1] ada beberapa faktor yang menyebabkan miskonsepsi yaitu faktor siswa dan faktor guru. Sedangkan menurut Barke et.al [2] yang dapat menyebabkan miskonsepsi diantaranya pengetahuan awal siswa (students’ preconcepts), miskonsepsi yang disebabkan sistem di sekolah (school-made misconceptions), gambaran siswa dan bahasa sains (student’ concepts and scientific language) dan strategi efektif dalam mengajar dan mendidik (effective strategies for teaching and learning).
Metode Penelitian Desain penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif kepada 50 mahasiswa calon guru kimia tingkat III. Dalam mengembangkan soal three tier multiple choice pada materi elektrolisis, langkah pertama yang dilakukan adalah mengkaji materi elektrolisis serta laporan penelitian yang relevan guna mengetahui karakteristik konsep. Langkah selanjutnya menyusun soal three tier multiple choice yang mengukur 14 indikator dengan 15 soal. Data dianalisis sehingga didapatkan kesimpulan mahasiswa yang memahami konsep, tidak paham konsep serta mengalami miskonsepsi dengan beberapa tipe.
Salah satu materi yang banyak menimbulkan miskonsepsi adalah elektrolisis [3]. Faktor yang menyebabkannya diantaranya adalah sebagian besar peserta didik hanya memahami elektrolisis dari segi makroskopiknya saja [4]. Mahasiswa calon guru kimia diharapkan memahami konsep kimia dengan benar dan terhindar dari miskonsepsi agar kelak mampu mentransfer belajar pada siswa dengan benar pula. Karenanya perlu diidentifikasi potensi miskonsepsi yang mungkin terjadi pada mahasiswa calon guru, mengingat secara internal konsep elektrolisis merupakan konsep yang sulit dipelajari sebagaimana dinyatakan Garnet dan Treagust. Diharapkan hasil analisis dapat digunakan untuk memperbaiki mutu calon guru. Salah satu instrumen yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi miskonsepsi adalah tes three tier multiple choice. Beberapa penelitian yang pernah menggunakan instrumen ini diantaranya Erylmaz
ISBN 978-602-19655-4-2
Indikator yang diukur meliputi rangkaian sel elektrolisis, reaksi redoks yang terjadi dengan berbagai variasi (jenis elektrode dan jenis senyawa elektrolit yang berbeda), menentukan aliran elektron, perhitungan aspek kuantitatif menggunakan hukum Faraday serta aplikasi elektrolisis dalam bidang industri (proses Hall dan pemurnian logam). Soal three tier multiple choice ini berupa soal pilihan ganda dengan 3 tier (tingkat) pertanyaan dimana tier pertama menanyakan materi, tier kedua menanyakan alasan dari jawaban tier pertama dan tier ketiga berupa indeks keyakinan
168
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Pada indikator kesebelas, mahasiswa dituntut untuk menghitung massa zat hasil elektrolisis dua sel elektrolisis dengan waktu yang berbeda yang kemudian hasil perhitungannya dikorelasikan dengan faktor yang mempengaruhi perbedaan massa zat kedua sel tersebut. Mahasiswa terkecoh dengan data konsentrasi yang diberikan sehingga menganggap konsentrasi berpengaruh terhadap massa hasil elektrolisis. Selain itu, sebagian mahasiswa melakukan penebakan karena tidak ada korelasi antara jawaban pada tier pertama dengan tier kedua sehingga diindikasikan mahasiswa dengan kriteria seperti ini dikategorikan tidak paham konsep..
mahasiswa dalam menjawab. Mahasiswa dengan indeks CRI tinggi (>2,5 dari skala 5) dan jawabannya benar maka dikategorikan paham konsep sedangkan apabila jawabannya salah mahka dikategorikan miskonsepsi. Sedangkan apabila jawaban salah dengan indeks CRI rendah (<2,5 dari skala 5) maka dikategorikan tidak paham konsep. Tabel 1. Skala dan Kriteria CRI [7]. CRI 0 1 2 3 4 5
KRITERIA Totally guessed answer (menebak) Almost guessed (hampir menebak) Not sure (tidak yakin) Sure (yakin) Almost certain (hampir pasti) Certain (pasti)
Pada indikator keduabelas, mahasiswa diberi soal mengenai rangkaian sel elektrolisis seri. Sebagian besar mahasiswa tidak mampu mengkorelasikan gambar yang diberikan dengan arus yang mengalir pada sel tersebut. Pada dasarnya, pada rangkaian seri arus listrik yang mengalir adalah sama besar. Menurut hasil wawancara pada beberapa mahasiswa mengenai indikator ini, mayoritas mahasiswa tidak mengetahui jenis rangkaian yang dimaksud padahal mereka mengetahui mengenai konsep arus listrik dalam rangkaian seri. Hal tersebut terjadi karena berdasarkan kajian dari beberapa literatur, tidak ditemukan pembahasan mengenai rangkaian sel elektrolisis seri sehingga mereka baru mengetahui bahwa sel elektrolisis bisa dirangkai secara seri.
Wawancara dilakukan kepada masing-masing 3 orang dari tiga kelompok dengan tingkat intelektual yang berbeda. Wawancara ini membantu dalam menganalisis jawaban mahasiswa serta menemukan penyebab miskonsepsi yang terjadi. Oleh karena itu, menurut Moleong, pedoman wawancara yang digunakan berupa pedoman wawancara tak terstruktur sehingga dari hasil wawancara tersebut didapatkan informasi yang lebih mendalam mengenai konsepsi mahasiswa. Hasil dan Diskusi
Secara keseluruhan, apabila dilihat dari analisis pola jawaban yang telah dibuat sebelumnya, sebagian besar mahasiswa tidak bisa menentukan katode dan anode sehingga reaksi redoks yang terjadi tidak bisa dituliskan dengan benar. Hal tersebut terjadi karena mahasiswa tidak memahami current flow (aliran arus listrik) sehingga tidak mampu mengkorelasikan antara kutub sumber arus dengan muatan elektrode seperti yang dikemukakan oleh Garnet et.al [8]. Elektrode yang terhubung dengan kutub negatif sumber arus menjadi katode dan elektrode yang terhubung dengan kutub positif sumber arus menjadi anode.
Dalam proses analisis data, mahasiswa dibagi ke dalam tiga kelompok berdasarkan tingkat intelektual menjadi kelompok tinggi, sedang dan rendah. Langkah pertama yang dilakukan adalah melakukan penskoran terhadap jawaban mahasiswa pada 2 tier pertama sedangkan tier ketiga tidak diikutsertakan. Jawaban mendapat skor satu jika jawaban 2 tier pertama benar. Apabila salah satu atau keduanya salah, maka skornya 0. Dari hasil perhitungan, skor tertinggi dicapai oleh mahasiswa dari kelompok rendah dengan skor 12. Sedangkan skor terendah dicapai oleh mahasiswa dari kelompok tinggi dan rendah dengan skor 0. Berdasarkan hasil tersebut, tersebut dapat disimpulkan bahwa mahasiswa dengan IPK tinggi belum tentu memahami materi lebih baik daripada mahasiswa dengan IPK rendah, dalam hal ini materi elektrolisis. Selain itu, berdasarkan penskoran ini indikator yang paling mudah dimengerti adalah indikator keempat yaitu indikator pergerakan elektron dengan skor 54 dari 100. Mahasiswa mengalami kesulitan pada indikator kesebelas dan keduabelas mengenai perhitungan massa zat hasil elektrolisis dengan skor masing-masing 0 dari 100. Artinya pada indikator ini tidak ada mahasiswa yang menjawab benar. Kesulitan ini mengakibatkan miskonsepsi .
ISBN 978-602-19655-4-2
Pengelompokkan jawaban mahasiswa juga dilakukan untuk mengetahui persentase mahasiswa yang paham konsep, tidak paham konsep serta yang mengalami miskonsepsi dengan pola jawaban yang diadaptasi dari Salirawati [9]. Pada pengelempokkan ini semua tier dilibatkan.
169
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Aplikasi elektrolisis (indikator 13 dan 14) dalam dunia industri memiliki tingkat ketidakpahaman sangat tinggi baik itu di kelompok tinggi, sedang maupun rendah. Presentase ketidakpahaman mahasiswa mencapai presentase 74-86%. Hal tersebut terjadi karena subkonsep ini biasanya dipelajari secara sekilas. Meskipun pada tingkat universitas seringkali dilakukan praktikum electroplating, tapi mahasiswa tidak memahami proses yang terjadi secara submikroskopik sehingga kuantitas praktikum tersebut tidak mampu meng-upgrade pemahaman mereka mengenai proses tersebut. Adapun dengan proses Hall yang merupakan indikator aplikasi elektrolisis yang memiliki persentase ketidakpahaman tertinggi (86%), konsep ini jarang sekali dipelajari sehingga sebagian besar mahasiswa menebak dalam menentukan reaksi yang terjadi. Pada buku textbook yang sering digunakan pun indikator ini jarang dibahas. Faktor lain yang menyebabkan hal tersebut terjadi karena mahasiswa tidak dapat mengkorelasikan prinsip elektrolisis pada senyawa elektrolit lelehan dengan tujuan dari proses Hall sendiri. Seperti yang dikemukakan Chang [10] bahwa pada elektrolisis lelehan yang akan mengalami reaksi redoks adalah unsur-unsur penyusun garam itu sendiri. Proses Hall merupakan proses sintesis logam alumunium sehingga apabila garam yang digunakan adalah Na3AlF3 maka fasa garam yang digunakan adalah lelehan. Miskonsepsi yang terjadi pada indikator ini merupakan gabungan dari miskonsepsi yang ditimbulkan oleh komponen-komponen perkuliahan yakni pemahaman peserta didik, strategi pembelajaran yang diterapkan oleh pendidik serta buku yang kurang memberikan informasi mengenai aplikasi elektrolisis terutama proses Hall seperti yang dikemukakan oleh Barke et.al dan Hofstein mengenai hal-hal yang dapat menyebabkan miskonsepsi.
Tabel 1. Rekapitulasi Kriteria Konsepsi Mahasiswa. Kriteria Konsepsi (%) Indikator 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 total
Paham
Miskonsepsi
16 30 24 36 18 2 10 18 16 34 0 2 4 14 16
44 28 12 32 40 42 40 30 40 26 70 28 10 12 33
Tidak Paham 40 42 56 32 42 56 50 52 44 40 30 70 86 74 51
Berdasarkan tabel di atas, tingkat pemahaman mahasiswa yang paling tinggi (36 %) pada indikator pergerakan elektron. Meskipun Indikator Ini merupakan indikator dengan tingkat pemahaman paling tinggi di antara indikator lain, tingkat miskonsepsi dan tidak paham masih dominan. Mahasiswa dengan indeks CRI tinggi beranggapan bahwa elektron bergerak di dalam larutan. Dari hasil wawancara, mahasiswa menganggap bahwa elektron bergerak dari kation menuju anion. Diindikasikan mahasiswa mengkaitkan pergerakan elektron ini dengan konsep serah terima elektron pada materi redoks. Sehingga dapat disimpulkan bahwa miskonsepsi yang terjadi disebabkan oleh kesalahan berpikir yang diakibatkan karena konsep prasyarat yang tidak terpenuhi. Indikator yang paling banyak menyebabkan miskonsepsi adalah indikator kesebelas. yaitu pada aspek kuantitatif elektrolisis, yaitu menghitung massa zat hasil elektrolisis dengan waktu yang berbeda (70%). Pada tahap penskoran yang telah dijelaskan di atas, mahasiswa yang menjawab salah pada indikator ini diindikasikan tidak paham konsep, tetapi ketika melihat ke indeks CRI yang dipilih lebih dari 2,5 maka mahasiswa dikategorikan mengalami miskonsepsi. Hal tersebut terjadi karena mahasiswa terkecoh dengan pilihan bahwa yang berpengaruh terhadap massa zat hasil reaksi adalah konsentrasi dan waktu. Konsentrasi tidak berpengaruh terhadap massa yang dihasilkan karena berapapun konsentrasi larutan yang dipakai, massa ekuivalen larutan tersebut tetap sama, yang membedakan adalah massa zat yang terkandung dalam larutan tersebut. Seperti yang dikemukakan oleh Garnet bahwa konsentrasi berpengaruh terhadap reaksi mana yang terjadi.
ISBN 978-602-19655-4-2
Secara umum, 16% mahasiswa paham konsep, 33% mengalami miskonsepsi.serta 51% tidak paham konsep. Tingkat pemahaman yang rendah tentang materi elektrolisis ini merupakan akibat dari beberapa faktor, baik itu kesulitan dalam memahami maupun ketidaktercapaian dan kurangnya pendukung perkuliahan. Diantara penyebab itu adalah faktor internal mahasiswa, proses perkuliahan dan buku teks yang digunakan. Faktor internal mahasiswa meliputi cara mahasiswa yang salah atau kurang tepat dalam memahami suatu materi sehingga terjadi miskonsepsi. Ini bisa disebabkan karena materinya yang sulit untuk dipahami karena memerlukan daya imajinasi (seperti submikroskpik dalam kimia) dan bisa juga karena cara siswa yang salah dalam memahami suatu konsep. Faktor yang mempengaruhi dalam proses perkuliahan dalam hal ini meliputi kemampuan pedagogik pengajar, materi dan textbook. Kemampuan pedagogik ini
170
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
[3] Garnett P. J. dan Treagust D. F., “Conceptual Difficulties Experienced by Senior High School Students of Electrochemistry: Electrochemical (Galvanic) and Electrolytic Cells”, Journal of Research In Science Teaching, 29, 1080, (1992). [4] Nursya’adah, E. Pembelajaran Elektrolisis Berbantuan Multimedia Untuk Meningkatkan Pemahaman Representasi Submikroskopik Keterampilan Generik Sains dan Keterampilan Berpikir Kritis Mahasiswa Calon Guru Kimia. Tesis. UPI Bandung, 2, (2011). [5] Cetin, A., Dindar & Geban, O., “Development of A-Three Tier Test to Assess High School Students’ Understanding of Acids and Bases” Elsevier, 15, 601, (2011). [6] Pesman, H., “Development Of A Three-Tier Test To Assess Ninth Grade Students’ Misconceptions About Simple Electric Circuits” Tesis. Turki, (2005). [7] Hasan, S., et al., “Misconceptions and the Certainty of Responden Index (CRI)”. Journal of Physic Education, 297, (1999). [8] Garnett P. J. dan Treagust D. F., “Conceptual Difficulties Experienced by Senior High School Students of Electrochemistry: Electrochemical (Galvanic) and Electrolytic Cells” Journal Of Research In Science Teaching, 29, 1092, (1992). [9] Salirawati, D., “Pengembangan Model Instrumen Pendeteksi Miskonsepsi Kimia Pada Peserta Didik SMA”, Disertasi. UNY. p.68, (2010). [10] Chang, R., Kimia Dasar Edisi Ketiga Jilid 2. Terjemahan oleh Suminar S.A, dkk. Jakarta : Erlangga, 219, (2005). [11] Geban, Ö. dan Pabuçcu, A., “Remediating misconceptions concerning chemical bonding Through conceptual change text”, Journal of Education, 30, 2, (2006).
merupakan kemampuan pengajar yang meliputi pendekatan dan model pembelajaran yang digunakan. Adapun faktor materi menentukan bagaimana cara penyampaian guru kepada siswa. Setiap materi membutuhkan pendekatan penyampaian yang berbeda-beda. Penyampaian yang salah akan menyebabkan persepsi yang salah dengan kata lain dapat menyebabkan miskonsepsi. Faktor penggunaan buku teks juga berpengaruh karena buku teks menjadi buku pedoman mahasiswa. Sehingga apabila terdapat kesalahan dalam penyampaian informasi dalam buku ataupun ketidaklengkapan materi maka akan berdampak kepada pemahaman siswa. Hal ini juga seperti yang dinyatakan oleh De Posada dalam Geban dan Pabuccu [11]. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terdapat beberapa kesimpulan yang didapat bahwa secara keseluruhan sebanyak 16% mahasiswa paham konsep elektrolisis, 33% miskonsepsi serta 51% tidak paham konsep elektrolisis. Secara umum, Indikator yang paling banyak dipahami oleh 36 % mahasiswa adalah konsep pergerakan elektron. Miskonsepsi tertinggi yaitu indikator menghitung massa zat hasil elektrolisis dengan waktu yang berbeda (70%) dan tidak paham mengenai aplikasi elektrolisis pada proses Hall (86%). Berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa konsepsi mahasiswa dipengaruhi oleh faktor internal mahasiswa, proses perkuliahan dan buku teks yang digunakan. Berdasarkan temuan tersebut, pembelajaran elektrolisis sebaiknya melibatkan aspek submikroskopik sehingga mahasiswa lebih memahami konsep. Pembelajaran elekrolisis juga sebaiknya tidak hanya berkutat pada reaksi yang terjadi pada sel elektrolisis tetapi aspek aplikasi elektrolisis juga diberikan secara mendalam. Selain itu, mahasiswa hendaknya mempunyai strategi kognitif (seperti jembatan keledai) sehingga mampu mengkonstruksi pemahaman sendiri supaya lebih memahami konsep tanpa harus dipaksa untuk memahami dengan gaya orang lain.
Nia Tresnasih* Pendidikan Kimia UIN Sunan Gunung Djati Bandung [email protected]
Referensi
Ida Farida Ch Pendidikan Kimia UIN Sunan Gunung Djati Bandung [email protected]
[1] Hofstein, A., Nahum, T. L., Naaman, Mamlok, R., dan Bardov, Z., “Can Final Examinations Amplify Students’ Misconceptions in Chemistry?”. Journal of Chemistry Education: Research and Practice, 5,(3) , 301, (2004). [2] Barke, H.D., Hazari, A., Yitbarek, S., “Misconceptions in Chemistry”. Jerman: Springer, 21-27, (2009).
ISBN 978-602-19655-4-2
Ratih Pitasari SMAN 16 Bandung [email protected]
171
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Pembuktian Hukum Boyle pada Gas Ideal Berbantuan Data Studio Software dalam Praktikum Termodinamika Nofitri*, Hadyan Akbar, Sinta Sri Ismawati, Herlin Verina , Vivi Nur Huda Lyjamil, Mohamad Soleh , Robi Sobirin, dan Irzaman Abstrak Gas Ideal terjadi disuatu volume yang terjadi tumbukan gas antara atom – atom dan molekul elastis sempurna dan tidak ada gaya tarik menarik antar molekul.. Karakteristik Gas Ideal meliputi tiga variabel yaitu tekanan (P), Suhu (T) dan Volume (V) Praktikum ini bertujuan untuk mendemontrasikan hukum-hukum gas ideal khususnya Hukum Boyle menggunakan software data studio. Pada Hukum Boyle tekanan yang bekerja pada volume jika suhu tetap dalam sistem tertutup. Apabila suhu gas dijaga agar selalu konstan, maka ketika tekanan gas bertambah, volume gas semakin berkurang Bahan yang digunakan pada eksperimen ini diantaranya: Small Piston Heat Engine, Pressure Sensor (CI-6532A), Science Workshop Computer Interface, Data Studio Software . Metode yang digunakan pada pengujian hukum Boyle dengan 2 kali ulangan, dengan sumber tekanan awal yang berbeda. Pembuktian ini dengan cara memberi sumber tekanan konstan pada pipa yang menghubungkan pressure sensor dengan software. Ketika diberi tekanan, maka mengakibatkan Small Piston akan turun ke bagian dasar dari posisi awalnya pada ketinggian maksimum. Maka, didapat hubungan antara volume dan tekanan yang berbanding terbalik serta hubungan tekanan dan waktu berbanding lurus. Hasil penelitian ini sesuai dengan teori termodinamika yang pada.Hukum Boyle memiliki tekanan yang berbanding terbalik dengan volume pada suatu massa dan suhu gas yang tetap. Kata kunci :Boyle, Gas Ideal, Data Studio Software bertambah, maka volume gas semakin berkurang. Demikian juga sebaliknya ketika tekanan gas berkurang, maka volume gas semakin bertambah[3].
Pendahuluan Gas Ideal terjadi disuatu volume yang terjadi tumbukan gas antara atom – atom dan molekul elastis sempurna dan tidak ada gaya tarik menarik antar molekul [1]. Karakteristik Gas Ideal meliputi tiga variabel yaitu tekanan (P), Suhu (T) dan Volume (V). Hukum Boyle menyatakan, “produk volume gas kali tekanannya adalah konstan pada suhu tertentu” [2].
Hukum Boyle dan Gay-Lussac menyatakan bahwa untuk kuantitas dari suatu gas ideal (beratnya) hasil kali dari volume dan tekanannya dibagi dengan temperatur mutlaknya adalah konstan [4].Jika Hukum Boyle,dan Gay-Lussac digabungkan dengan hukum Avogadro (bahwa volume yang sama gas memiliki jumlah molekul yang sama), untuk menghasilkan hukum gas ideal [5]. Sesuai persamaan
Terkait dengan literatur gas ideal yang ada, dilakukanlah praktikum termodinamika untuk membuktikan hukum Boyle. Praktikum ini menggunakan bantuan Data Studio Software dalam pencatatan data secara digital. Pembuktian berupa grafik hubungan tekanan dan volume. Memberikan tekanan yang konstan untuk setiap pengulangan menggunakan suntikan tetapi dengan sumber tekanan awal yang berbeda. Hal ini untuk membandingkan hasil yang didapat agar pembuktian Hukum Boyle lebih akurat
PV=nRT
Persamaan (1) dijelaskan bahwa konstanta C dalam Hukum Boyle adalah sebanding dengan n [5]. Hukum Boyle ini terjadi pada proses isotermis, yaitu proses yang terjadi pada suhu gas selalu tetap (T = tetap) [6].Dinyatakan dengan persamaan : P1V1 = P2V2
Teori
(2)
Data Studio Software merupaka software sederhana yang biasa digunakan di laboraturium. Tidak semua data praktikum bisa diambil secara manual, untuk data yang sulit dicatat secara manual, bisa digunakan Data Studio Software. Software ini bisa mencatat data – data praktikum yang kita butuhkan dengan menggunakan sensor yang sesuai dengan praktikum. Mampu mencatat
Gas merupakan satu dari tiga wujud zat, Teori Kinetik Gas merupakan setiap zat yang terdiri dari atom-atom atau molekul-molekul dan bergerak terus menerus secara sembarangan. Teori kinetik gas didasari atas 3 hukum utama yakni hukum Charles, hukum Boyle dan hukum Gay-Lussac [1]. Boyle menemukan bahwa apabila suhu gas dijaga agar selalu konstan, maka ketika tekanan gas
ISBN 978-602-19655-4-2
(1)
172
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Metode yang digunakan pada pengujian hukum Boyle dengan 2 kali ulangan, dengan cara memberi sumber tekanan konstan pada pipa yang menghubungan pressure sensor dengan Heat Engine. Tekanan awal yang diberikan antara pengulangan pertama dan kedua divariasikan agar dapat membuktikan Hukum Boyle secara akurat. Piston akan turun kebawah ketika diberikan tekanan, dari keadaan awalnya berada pada ketinggian maksimum ketika sebelum diberi tekanan. Kemudian didapat hubungan antara volume dan tekanan . Hasilnya akan terbaca pada Data Studio Software. Namun untuk volume, diolah sendiri menggunakan Microsoft Excell menggunakan data. Pada software hanya tercatat nilai tekanan dan waktu saja.
data mulai 0.1 sekon dan memberikan data berupa tabel dan grafik Eksperimen Dalam pembuktian hukum-hukum gas ideal, dilakukan praktikum termodinamika berbantuan Data Studio Software. Praktikum ini menggunakan Small Piston Heat Engine, Pressure Sensor (CI6532A), Science Workshop Computer Interface, Data Studio dan Software.
Hasil dan Diskusi Pada Hukum Boyle, apabila suhu gas dijaga agar selalu konstan, maka ketika tekanan gas bertambah, volume gas semakin berkurang. Demikian juga sebaliknya ketika tekanan gas berkurang, volume gas semakin bertambah. Dalam membuktikan hukum Boyle ini, dilakukan praktikum termodinamika berbantuan data Studio Software. Menghubungkan sensor tekanan dengan software yang diberikan, tetapi terlebih dahulu sensor tekanan sudah terhubung dengan Science Workshop Computer Interface yang juga terhubung dengan small piston. Sehingga, didapatkan grafik hubungan antara tekanan dan volume pada Boyle berbanding terbalik dengan dua kali pengulangan. Setiap pengulangan diberikan tekanan yang konstan menggunakan suntikan, tetapi dengan tekanan awal yang berbeda. Tekanan awal yang diberikan melebihi 150 KPa dan kisaran 100 KPa. Memberikan dua tekanan yang berbeda namun dengan perlakuan yang sama, akan membuktikan keakuratan pada pembuktian Hukum Boyle ini.
Gambar 1. Set-up Small Piston dan Heat Engine.
Gambar 2. Set-up praktikum hukum Boyle. Gambar 1 merupakan set up Small Piston dan Heat Enginet yang digunakan pada praktikum termodinamika ini. Set alat untuk Small Piston dan Heat Engine beserta pipa – pipa yang akan digunakan pada pembuktian Hukum Boyle. Sedangkan Gambar 2 merupakan set up untuk Hukum Boyle yang sudah dihubungkan dengan. Pressure Sensor (CI-6532A). Sensor tekanan langsung dihubungkan dengan Science Workshop Computer Interface yang kemudian menghubungkannya dengan Data Studio Software pada computer yang digunakan untuk pembuktian Hukum Boyle.
ISBN 978-602-19655-4-2
Gambar 3 Grafik hubungan tekanan dan volume dengan tekanan awal diatas 150 Kpa.
173
http://proceedings.fi.itb.ac.id/cps/
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Data Studio Software hanya memberikan pencatatan data tekanan dan waktu saja, karena sensor yang digunakan dan dihubungkan ke software yang ada pada komputer hanya sensor ini saja. Untuk volume tidak ada sensor tersendiri, tetapi kita bisa melihat perubahan volume ketika diberi tekanan yang ditandai oleh perubahan posisi pistonnya. Hasil yang diperoleh sesuai dengan literatur yang menyatakan bahwa pada hukum Boyle terdapat hubungan antara tekanan dan volume adalah berbanding terbalik, walaupun grafik yang dihasilkan belum ideal. Semakin besar tekanannya, maka volumenya semakin kecil. Berlaku sebaliknya, ketika tekanan yang diberikan semakin kecil, maka volume yang dihasilkan semakin besar.
Gambar 4. Grafik hubungan tekanan dan volume dengan tekanan awal sekitar 100 Kpa. Dilakukan dua variasi tekanan pada praktikum termodinamika ini. Gambar 3 diberikan sumber tekanan yang cukup besar, melebihi 150 KPa. Sedangkan pada gambar 4 diberikan sumber tekanan awal yang tidak terlalu besar hanya kisaran 100 KPa. Sehingga dihasilkan volume yang berbeda-beda. Namun, untuk grafik perbandingan antara tekanan dan volume adalah sama yaitu berbanding terbalik. Jika dilihat, grafik yang dihasilkan tidak ideal yang dikarenakan tidak terlalu jelasnya perubahan volume ketika diberikannya tekanan pada saat pratikum. Sehingga hanya hubungan tekanan dan volume yang berbanding terbalik saja yang terlihat sedangkan grafik yang mencerminkan gas ideal tidak terlihat. Seperti pada literature dibawah ini :
Kesimpulan Grafik pembuktian Hukum Boyle berbantuan Data Studio Software adalah benar sesuai literatur bahwa semakin besarnya tekanan maka volumenya semakin kecil karena tekanan berbanding terbalik dengan volume. Tetapi grafik yang dihasilkan belum ideal sesuai dengan grafik literaturnya. Tidak ideal karena perubahan volume yang tidak begitu jelas ketika diberikan tekanan. Pada pembuktian Hukum Boyle, semakin besarnya tekanan maka volumenya semakin kecil. Ucapan terima kasih Penelitian ini didanai oleh hibah insentif riset SINAS KMNRT Republik Indonesia dengan nomor kontrak 38/SEK/INSINAS/PPK/I/2013. Referensi [1] Peter R. Anstey, “Robert Boyle and the heuristic value of mechanism, Stud. Hist. Phil. Sci., (2002). [2] Djarwadi, Didiek, “Pengaliran Pada Inti Bendungan Tipe Urugan Pada Penggenangan Pertama Waduk (The flow through the core of fill dams during first impoundment)”, Dinamika Teknik Sipil, 6(2), 63 – 70, (2006). [3] Keith D. Putirka, “IGE Model:An Extension of The Idea Gas Model to Include Chemical Composition as Part of The Equilibrium State”, Jurnal of Thermodynamics, 2012, Article ID 870631, (2012). [4] Carlin, Laurence, “Studies in history and philosophy of science”, Boyle’s teleological mechanism and the myth of immanent teleology, (2011). [5] Keith D. Putirka, “Thermometers And Barometers For Volcanic Systems”, Reviews in Mineralogy & Geochemistry, 69, 61-120, (2008).
Gambar 5. Grafik literatur gas ideal untuk hokum Boyle. Gambar 3 dan Gambar 4 merupakan grafik yang didapat dengan menggunakan Microsoft Excell. Data yang dipakai didapat dari pencatatan data secara digital menggunakan Data Studio Software. Data Studio Software hanya memberikan pencatatan data tekanan dan waktu saja,tidak termasuk volume maupun grafiknya. Sehingga untuk volume diolah sendiri menggunakan Microsodt Excell. Setelah didapat volume, maka grafik hubungan tekanan dan volume bisa dihasilkan menggunakan Microsoft Excell.
ISBN 978-602-19655-4-2
174
http://proceedings.fi.itb.ac.id/cps/
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
[6] Zemansky, M.W & R.H Dittman, alih bahasa The Houw Liong. “Kalor dan Termodinamika”, Bandung: ITB, (1986).
Mohamad soleh Mahasiswa S1 Departemen Fisika Institut Pertanian Bogor [email protected]
Nofitri* Mahasiswa S1 Departemen Fisika Institut Pertanian Bogor
Hadyan Akbar Mahasiswa S1 Departemen Fisika Institut Pertanian Bogor
[email protected]
[email protected]
Sinta Sri Ismawati Mahasiswa S1 Departemen Fisika Institut Pertanian Bogor
Robi Sobirin Mahasiswa S1 Departemen Fisika Institut Pertanian Bogor [email protected]
[email protected]
Irzaman Staf Pengajar Departemen Fisika Institut Pertanian Bogor
Herlin Verina Mahasiswa S1 Departemen Fisika Institut Pertanian Bogor [email protected]
[email protected]
Vivi Nur Huda Mahasiswa S1 Departemen Fisika Institut Pertanian Bogor
*Corresponding author
[email protected]
ISBN 978-602-19655-4-2
175
http://proceedings.fi.itb.ac.id/cps/
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Penggunaan Macromedia Flash Untuk Meningkatkan Penguasaan Konsep Siswa Pada Materi Perkembangan Teori Atom Nur Alamsah*, Heni Rusnayati, dan Chaerul Rochman Abstrak Penelitian ini dilatarbelakangi karena guru kurang memanfaatkan media berbasis komputer khususnya aplikasi Macromedia Flash dan penguasaan konsep siswa yang masih rendah. Untuk mengatasi masalah tersebut, maka digunakan Macromedia Flash dengan tujuan untuk melihat pengaruh penggunaan Macromedia Flash terhadap penguasaan konsep siswa. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui: (1) keterlaksanaan pembelajaran yang menggunakan Macromedia Flash pada materi perkembangan teori atom di SMA Negeri 1 Cisolok. (2) penguasaan konsep siswa dengan menggunakan Macromedia Flash pada materi Perkembangan Teori Atom di SMA Negeri 1 Cisolok. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode quasi eksperiment. Penelitian dilakukan di SMAN 1 Cisolok Kabupaten Sukabumi dengan sampel sebanyak 36 yang dipilih dengan menggunakan teknik simple random sampling. Data keterlaksanaan penggunaan Macromedia Flash diperoleh dari lembar aktivitas guru dan siswa, peningkatan penguasaan konsep siswa diperoleh dari pretest-postes dengan tes berbentuk pilihan ganda, sedangkan tanggapan siswa diperoleh dari angket. Berdasarkan pengolahan data keterlaksanaan aktivitas guru dan siswa dan output Paired Samples Test melalui SPSS 17.0 for Windows, maka diperoleh kesimpulan: (1) Terdapat peningkatan pada tiap pertemuan keterlaksanaan aktivitas siswa dan guru selama mengikuti pembelajaran fisika menggunakan macromedia flash dengan rata-rata keterlaksanaan 91,68%. Nilai ini termasuk dalam kategori sangat baik. (2) Terdapat peningkatan penguasaan konsep siswa yang signifikan setelah diterapkannya pembelajaran dengan menggunakan macromedia flash. Besarnya peningkatan penguasaan konsep rata-rata yang ditunjukkan oleh indeks normal gain adalah sebesar 0,59. Nilai ini termasuk dalam kategori sedang. Kata-kata kunci: macromedia flash, penguasaan konsep, perkembangan teori atom pada penelitian ini akan menyelediki pengaruh penggunaan Macromedia Flash pada penguasaan konsep siswa pada materi Perkembangan Teori Atom.
Pendahuluan Menurut hasil penelitian Nursofi dan Budiyono, (2011) penerapan media pembelajaran berbasis Macromedia Flash dapat meningkatkan hasil belajar teknik pelapisan dan korosi mahasiswa pendidikan teknik mesin. Berdasarkan hasil penelitian Wahyudi, (2009) bahwa pemanfaatan media animasi makromedia flash dapat meningkatkan hasil belajar Fisika pada materi Gerak Translasi, Rotasi dan Keseimbangan Benda Tegar. Selain itu hasil penelitian Muslih, (2009) penerapan pendekatan pembelajaran berbasis TIK dengan bahan ajar software Adobe flash, dapat meningkatkan keaktifan peserta didik dalam mempelajari fisika modern, menjadikan suasan belajar yang menyenangkan, meningkatkan kualitas pembelajaran, dan dapat meningkatkan hasil belajar. Hasil penelitian Kristanta, (2007) bahwa penyajian materi pembelajaran dengan memvisualisasikan prosesproses fisika non visible (khususnya tentang listrik statis) dengan menggunakan Macromedia Flash dapat meningkatkan pemahaman siswa tentang konsep listrik statis. Peneletian yang dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya membahas tentang penerapan Macromedia Flash pada materi fisika Listrik Statis dan materi lainnya, sehingga
ISBN 978-602-19655-4-2
Hasil wawancara terhadap beberapa orang siswa di SMA Negeri Cisolok, pengajar lebih banyak menggunakan metode ceramah dengan hanya menggunakan media papan tulis. Sebagian kecil dari pengajar sudah mulai menggunakan media powerpoint tetapi untuk Macromedia Flash pengajar di SMA Negeri Cisolok khususnya pengajar fisika belum menggunakannya. Masalah lain yang sering terjadi di SMA Negeri 1 Cisolok, siswa kurang terlibat secara aktif dalam proses kegiatan belajar mengajar. Guru terkadang hanya menjelaskan materi pelajaran, sedangkan siswa hanya dilibatkan sebagai pendengar, penulis dan masih kurangnya kesempatan siswa untuk berpartisipasi secara aktif dalam proses pembelajaran. Hal ini boleh jadi dikarenakan guru kurang memaksimalkan peran media dalam pembelajaran khususnya dalam pembelajaran fisika. Berdasarkan pendahuluan tersebut, maka dilakukan penelitian yang berjudul “Penggunaan Macromedia Flash untuk Meningkatkan Penguasaan Konsep Siswa pada Materi Perkembangan Teori Atom”
176
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Tabel 1 jika disajikan dalam bentuk grafik sebagai berikut:
Metode Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode quasi eksperiment (eksperimen semu) dengan menggunakan satu sampel penelitian yaitu kelas eksperimen saja tanpa ada kelompok kontrol atau pembanding. Alasan penggunaan metode quasi eksperiment dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penggunaan penggunaan macromedia flash terhadap penguasaan konsep siswa pada materi perkembangan teori atom. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas XII IPA SMAN 1 Cisolok Kabupaten Sukabumi sebanyak dua kelas berjumlah 74 orang. Sampel dalam penelitian ini adalah kelas XII IPA-1 yang berjumlah 36 orang.
Aktivitas Guru dan Siswa
Sangat Baik
91,08 %
Sangat Baik
98,26 %
Sangat Baik
ISBN 978-602-19655-4-2
‐3 n Ke
n Ke
ua Pe
rte
m
m
Distribusi skor penguasaan konsep siswa dapat ditunjukan dengan membandingkan skor rata-rata pretes-postes, dan N-Gain setiap aspek kognitif pada materi perkembangan teori atom. Peningkatan penguasaan konsep siswa dari data hasil pretest dan postest tertera pada tabel 2. Tabel 2. Skor Pretest, Postest dan Normal Gain untuk Tiap Aspek Kognitif. Aspek Kognitif C1 C2 C3 C4 Ratarata
Tabel 1. Persentase Aktivitas Guru dan siswa Pertemuan Pertama, Kedua, dan Ketiga. 85,71 %
rte
Data penguasaan konsep siswa yang diperoleh melalui pretest dan postest mengalami peningkatan sebesar 51,04 antara sebelum dan sesudah pembelajaran dengan menggunakan Macromedia Flash. Rata-rata skor penguasaan konsep siswa sebelum pembelajaran dengan menggunakan Macromedia Flash adalah 18,89, sedangkan setelah menggunakan Macromedia Flash adalah 65,93.
Berdasarkan hasil analisis keterlaksanaan aktivitas guru dan siswa pembelajaran dengan menggunaka macromedia flash dari setiap pertemuan mengalami peningkatan. Adapun setiap peningkatan tersebut dapat dilihat pada tabel 1 dibawah ini.
Interpretasi
Pe
Gambar 1. Persentase Aktivitas Guru dan Siswa Pertemuan Kesatu, Kedua, dan Ketiga.
Hasil dan Diskusi
Keterlaksanaan
ua
n Ke ua m Pe
r te
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kualitatif dan data kuantitatif a. Data kualitatif diperoleh dari deskripsi lembar observasi yang digunakan untuk memberikan gambaran proses pembelajaran fisika pada materi pokok Perkembangan Teori Atom melalui pembelajaran yang menggunakan Macromedia Flash di kelas XII SMA Negeri 1 Cisolok Sukabumi yang meliputi aktivitas siswa dan guru dan jawaban alasan siswa terhadap komponen-komponen Macromedia Flash. Selain itu data kualitatif diperoleh dari data angket tanggapan siswa terhadap macromedia flash yang digunakan dalam pembelajaran. b. Data kuantitatif berupa data hasil tes siswa yang diperoleh dari pretest dan postest, digunakan untuk mengukur ada atau tidaknya peningkatan penguasaan konsep siswa sebelum atau sesudah pembelajaran fisika pada materi Perkembangan Teori Atom melalui pembelajaran mengunakan Macromedia Flash.
Tahapan Pertemuan pertama Pertemuan kedua Pertemuan ketiga
‐2
‐1
100 95 90 85 80 75
Rata-rata Pretest Postest (%) (%) 11,11 63,43 26,86 80,55 18,75 57,64 30,56 68,06
NGain
Interpretasi
0,59 0,72 0,48 0,54
Sedang Tinggi Sedang Sedang
21,82
0,58
Sedang
67,42
Distribusi skor penguasaan konsep siswa dapat ditunjukan dengan membandingkan skor rata-rata pretest dan postest siswa pada materi Perkembangan Teori Atom, hasil peningkatan penguasaan konsep siswa pada setiap aspek kognitif dapat dilihat pada gambar 1 berikut ini:
177
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Persentase Peningkatan Penguasaan Konsep Siswa
80.00 60.00
Pretes
40.00
22.22
Postes
20.00
Rendah
N‐Gain
0.00 C1
C2
C3
75
C4
Gambar 2. Skor Rata-Rata Penguasaan Konsep Tiap Aspek Kognitif.
Model atom Dalton Model atom Thomso Model atom Rutherford Model atom Bohr
13,89
75,00
NGain
Interpretasi
0,71
Tinggi
14,81
67,59
0,62
Sedang
22,22
74,07
0,67
Sedang
19,79
61,11
0,52
Sedang
Berdasarkan output Paired Samples Test, dengan α = 95 %, menghasilkan bahwa nilai Sig. = 0,000 < α = 0,05 sehingga H0 ditolak dan Ha diterima. Artinya terdapat peningkatan penguasaan konsep siswa pada materi perkembangan teori atom antara sebelum dan sesudah mengikuti pembelajaran dengan menggunakan Macromedia Flash. Indikator aspek kognitif yang mengalami kenaikan tertinggi adalah indikator aspek kognitif C2. Hal ini dikarenakan siswa mampu mengkonstruk makna dari materi pembelajaran. Ketika seorang siswa sudah memahami sebuah konsep, maka siswa tersebut dapat memecahkan sebuah permasalahan yang dalam hal ini siswa mampu untuk mengisi dengan benar soal pilihan ganda. Selain itu siswa disuguhkan dengan beberapa animasi pada pembeljaran yang sejatinya menambah pemahaman siswa mengenai suatu konsep. Indikator yang mengalami kenaikan terendah terdapat pada indikator aspek kognitif C3. Apabila seorang siswa dapat memahami suatu konsep, tetapi belum pasti siswa tersebut dapat mangaplikasikannya. Seperti halnya saja seseorang yang sangat tahu betul konsep mengemudikan mobil, tetapi belum pasti orang tersebut dapat mengemudikan mobil di jalan raya. Oleh karena itu, untuk lebih dapat menguasai indikator kognitif C3 (mengaplikasikan) perlu adanya latihan soal yang intens kepada siswa. Soal yang mengalami peningkatan penguasaan konsep terendah terdapat pada soal nomor 13 dengan indikator aspek kognitif C3. Hal ini dikarenakan siswa lupa untuk mengkonversi dari satuan (Ev) ke satuan (Joule). Oleh karena itu
Rincian banyaknya siswa yang mengalami peningkatan tiap kategori peningkatan disajikan pada tabel 4 dibawah ini: Tabel 4. Persentase banyaknya siswa setiap kategori peningkatan. Banyaknya Siswa
Persentase
Kategori
1
2,78 %
Rendah
27
75,00 %
Sedang
8
22,22 %
Tinggi
Berdasarkan tabel diatas, maka persentase peningkatan penguasaan konsep siswa tertinggi adalah pada kategori ”sedang” yaitu sebesar 75,00%, sedangkan persentase peningkatan penguasaan konsep siswa terendah terdapat pada ketegori ”rendah”. Artinya, hanya terdapat 2,78% siswa yang mengalami kenaikan penguasaan konsep dengan peningkatan dengan taraf rendah, sisanya mengalami peningkatan penguasaan konsep dengan signifikan, tabel 4 diilustrasikan pada gambar 2 berikut:
ISBN 978-602-19655-4-2
Tinggi
Uji normalitas data pada pretest diperoleh sig. (2-tailed) 0,08 > 0,05, pada postest diperoleh sig. (2-tailed) 0,23 > 0,05. Hal ini menunjukkan kedua data berdistribusi normal, karena data berdistribusi normal maka pengolahan data dilanjutkan ke uji-t menggunakan N-Gain, uji normalitas N-Gain menunjukan bahwa sig. (2tailed) 0,509 > 0,05. Hal ini menunjukkan data berdistribusi normal.
Tabel 3. Persentase Konsep Setiap Kategori Peningkatan. Rata-rata Pretest Postest
Sedang
Gambar 3. Persentase Siswa Tiap Kategori Peningkatan.
Rincian peningkatan penguasaan siswa terhadap konsep yang dipelajari disajikan pada tabel 3 berikut ini:
Konsep
2.78
178
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
[4] Ratna Wilis Dahar, “Teori-teori Belajar dan Pembelajaran”, Penerbit Erlangga, Bandung, (2011). [5] Oemar Hamalik, “Perencanaan Pengajaran Berdasarkan Pendekatan Sistem”, Penerbit Bumi Aksara, Jakarta, (2009). [6] Yanti Herlanti, “Tanya Jawab Seputar Penelitian Pendidikan Sains”, Penerbit UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, (2006). [7] Yudhi Munadi, “Media Pembelajaran”,: Penerbit Persada Press, Jakarta, (2010). [8] Uus Ruswandi, “Media Pembelajaran”, Penerbit Insan Mandiri, Bandung, (2008). [9] Syaiful Sagala, “Konsep dan Makna Pembelajaran”, Penerbit Alfabeta, Bandung, (2010). [10] Slameto “Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya”, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta, (2003). [11] Sugiyono, “Statistika untuk Penilaian”, Alfabeta, Bandung, (2008). [12] Sugiyono, “Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D”, Penerbit Alfabeta, Bandung, (2012). [13] M. Sobri Sutikno dan Rosyidah Ida, “Media Pembelajaran”, Penerbit Prospect, Bandung, (2009). [14] Yusman Wiyatmo, “Fisika Atom”, Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta, (2008).
perlu penekanan kepada siswa oleh guru untuk lebih teliti ketika mengerjakan soal tes. Kesimpulan Berdasarkan pengolahan dan analisis data hasil penelitian yang telah dilakukan di SMA Negeri 1 Cisolok mengenai penggunaan macromedia flash untuk meningkatkan penguasaan konsep siswa pada materi perkembangan teori atom, diperoleh kesimpulan: (1) Terdapat peningkatan pada tiap pertemuan keterlaksanaan aktivitas siswa dan guru selama mengikuti pembelajaran fisika menggunakan macromedia flash dengan rata-rata keterlaksanaan 91,68%. Nilai ini termasuk dalam kategori sangat baik. (2) Terdapat peningkatan penguasaan konsep siswa yang signifikan setelah diterapkannya pembelajaran dengan menggunakan macromedia flash. Besarnya peningkatan penguasaan konsep rata-rata yang ditunjukkan oleh indeks normal gain adalah sebesar 0,59. Nilai ini termasuk dalam kategori sedang. Ucapan terima kasih Penulis mengucapkan terima kasih kepada Lilik Frilantika, S.Pd. dan Diah Mulhayatiah, S.Si., M.Pd. yang telah membimibing dalam pembuatan media pembelajaran berbasis Macromedia Flash.
Nur Alamsah Universitas Islam Negeri SGD Bandung
Referensi [1] Lorin W Anderson dan David R Krathwohl,. “Kerangka Landasan untuk Pembelajaran, Pengajaran, dan Asesmen: Revisi Taksonomi Pendidikan Bloom”, Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta, (2001). [2] Suharsimi Arikunto, “Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan (revisi)”, Penerbit Bumi Aksara, Jakarta, (2010). [3] Azhar Arsyad, “Media Pembelajaran”, Penerbit Raja Grafindo Persada, Jakarta, (2007).
ISBN 978-602-19655-4-2
Heni Rusnayati Universitas Pendidikan Indonesia Chaerul Rochman Universitas Islam Negeri SGD Bandung *Corresponding author
179
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Model Dinamika Elemen Volume Air pada Self-Siphon dengan Pendekatan Analitik serta Konfirmasi Eksperimen dan Numerik untuk Konstruksi Ruang Kerja Parameternya Nurhayati*, Wahyu Hidayat, Novitrian, Fourier Dzar Eljabbar Latief, Sparisoma Viridi, dan Freddy Permana Zen Abstrak Siphon adalah suatu desain pipa, yang umumnya berbentuk menyerupai huruf-U terbalik yang digunakan untuk mengalirkan fluida melampaui ketinggian tertentu dengan memanfaatkan perbedaan tekanan dan energi potensial gravitasi. Siphon terdiri dari tiga segmen. Segmen I berbentuk pipa lurus vertikal, memiliki panjang yang dapat diubah-ubah yang dibentuk dari beberapa potongan pipa. Segmen II merupakan pipa setengah lingkaran dengan jari-jari kelengkungan sebesar 1 cm. Segmen III juga berbentuk pipa lurus vertikal yang panjangnya 15 cm. Penelitian terjadinya aliran air pada siphon telah dilakukan secara analitik dari model persamaan gerak. Model persamaan gerak berupa persamaan diferensial linear orde dua tak homogen pada segmen I dan III, sedangkan pada segmen II berupa persamaan diferensial nonlinear orde dua tak homogen. Dalam penelitian ini, beberapa metode yang telah dicoba dalam menyelesaikan model persamaan gerak di segmen II diantaranya adalah linierisasi, pendekatan deret Taylor, pendekatan deret MacLaurin, dan fungsi elliptik Jacobi. Metode-metode tersebut gagal dalam menyelesaikan persamaan diferensial pada segmen II. Dengan demikian, model persamaan gerak pada segmen II dapat diselesaikan secara numerik dengan metode Euler, dimana pasangan nilai ∆h dan ∆t yang memprediksikan ada tidaknya aliran sesuai dengan eksperimen adalah 10-4 m dan 10-7 s dengan t maksimum 5.6 × 10-3 s pada segmen I, 1.5 × 10-3 s pada segmen II, dan 7 × 10-3 s pada segmen III. Kata-kata kunci: siphon, model persamaan gerak, solusi analitik, metode Euler Pendahuluan
Model Persamaan Gerak
Penelitian mengenai cara kerja siphon telah banyak diperbincangkan oleh peneliti [1-4]. Penelitian yang telah dilakukan seperti prinsip model rantai (chain model principle) [5]. Meskipun demikian, prinsip ini tidak dapat menjelaskan aliran yang terjadi dalam siphon saat siphon yang digunakan memiliki diameter selang yang berbeda [2]. Bentuk yang lebih kompleks dari siphon ialah self-siphon, dimana self-siphon didefinisikan sebagai siphon yang dapat mengalirkan fluida dengan sendirinya [6]. Beberapa percobaan telah dilakukan untuk mengamati terjadinya aliran air pada self-siphon yang disertai dengan pemodelannya [7], simulasi dengan menggunakan dinamika molekuler [8], serta eksperimen dan simulasi dalam memprediksi terjadinya aliran air dalam konfigurasi self-siphon tersegmentasi [9]. Selain itu, telah pula dibuat media pembelajaran mengenai ruang kerja self-siphon [10]. Penelitian sebelumnya juga telah dilakukan simulasi pada segmen tegak siphon [11] yang dilanjutkan dengan eksperimen dan simulasi pada keseluruhan segmen siphon [12].
Berdasarkan pertimbangan pengaruh gaya gravitasi bumi, gaya gesek, dan gaya tekanan hidrostatik pada elemen volume air, suatu lapisan tipis air yang merupakan antarmuka antara air dan udara, maka model persamaan gerak pada segmen II adalah [18]: d 2 dt
2
8h d g cos m dt R , gA sin gAL 0 m mR
(1)
dengan η ialah viskositas air (N.s/m2), ρ ialah massa jenis air (kg/m3), ∆h ialah ketebalan elemen volume air (m), ∆m ialah massa elemen volume air (kg), g ialah percepatan gravitasi bumi (m/s2), R adalah jari-jari kelengkungan pipa (m), dan L adalah panjang pipa di atas permukaan air pada segmen I (m). Persamaan (1) dapat dituliskan sebagai d 2
Dalam penelitian ini dipaparkan beberapa metode analitik yang telah dicoba dalam menyelesaikan model persamaan gerak di segmen II.
dt
2
C1
d C2 cos C3 sin C4 0 , (2) dt
dengan C1 8h m , C2 dan C4 gAL mR .
g R , C3 gA m ,
Persamaan (2) dapat ditransformasi menjadi
ISBN 978-602-19655-4-2
180
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
d 2 dt 2 C1 d dt C5 sin C4 0 , (3)
di mana tan 1 C2
C3
d 2 dt 2 2bn d dt n 2 K n .
.
Persamaan (10) diselesaikan dengan mencari akar-akar persamaan dari bentuk homogennya, misalnya ditinjau pada diameter d = 4 mm yaitu
Solusi Analitik Beberapa metode analitik yang telah dicoba dalam menyelesaikan persamaan diferensial non linear orde dua tak homogen pada segmen II sebagaimana dipaparkan dalam bagian ini.
bn 2 n 2
g , d dt C1 C5 sin C4 ,
(11)
bn 2 n 2 adalah imajiner. Solusi total Persamaan (10) untuk posisi dan kecepatannya adalah
Solusi analitik menggunakan metode linearisasi dilakukan dengan memecahkan persamaan diferensial orde dua menjadi dua persamaan diferensial orde satu. Persamaan (3) dapat diubah menjadi persamaan diferensial nonlinear orde satu tak homogen seperti ditunjukkan pada Persamaan (4) dan (5). d , dt
, n 1, 2, , 9 ,
maka
Linearisasi
f ,
(10)
n cn ebntn sin n tn n p,n ,
(12)
dan
ni n p ,n bn n cot n tni n .(13) Solusi umum untuk waktu awal tiap sub segmen diperoleh dari persamaan posisi sudut dalam Persamaan (12) dengan
(4)
i t n sin n tn n =im e n n .
(5)
(14)
Persamaan (4) dan (5) dapat ditulis dalam bentuk Namun, pengambilan nilai seperti pada Persamaan (14) tidak berlaku untuk semua sistem, sehingga nilai tersebut tidak dapat diterapkan.
f , 0 1 0 , (6) g , 0 C1 C5 sin C4 suku gangguan suku homogen
Pada bagian setengah dari segmen II bn 2 n 2
Namun hal tersebut tetap tidak dapat diselesaikan walaupun dengan memisahkan suku sebagai gangguan.
bn 2 n 2 adalah real dan kurang dari b akar-akar persamaan adalah negatif. Solusi total Persamaan (10) untuk posisi dan kecepatannya adalah
Pendekatan deret Taylor dilakukan dengan membagi segmen II ke dalam n sub segmen dan pendekatan orde satu pada bagian sinus dan kosinusnya. Sehingga selisih posisinya adalah
Ae
n tn
Be
ntn
n n Ae
di mana θ adalah posisi sudut di sub segmen setiap saat, θ0 ialah posisi sudut di sub segmen awal, dan ∆θ adalah selisih posisi sudut. Dengan menggunakan uraian deret Taylor, maka nilai sinus dan cosinus pada Persamaan (2) dapat didekati dengan
(16)
ntn
n Be
.
(17)
Penerapkan deret MacLaurin dilakukan untuk memperoleh solusi waktu pada Persamaan (11), dimana fungsi eksponensial didekati dengan orde pertama dan fungsi sinus didekati dengan orde ketiga sehingga diperoleh
(8)
f t ebt 1 bt , (9)
dan
Selanjutnya, Persamaan (2) dapat ditulis dalam bentuk sederhana yaitu
ISBN 978-602-19655-4-2
p,n ,
Pendekatan deret MacLaurin
dan cos cos n n sin n .
n tn
dan
(7)
sin sin n n cos n ,
(15)
maka
Pendekatan Deret Taylor
0 ,
, n 1, 2, , 9 ,
181
(18)
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
g t sin t sin cos t 2 sin
dengan posisi sebagai fungsi waktu adalah 3.1239 o . Nilai ditransformasikan kembali ke
. (19)
t2 t3 3 cos 2! 3!
dalam bentuk Persamaan (26)
Persamaan (12) menjadi
n cos n 3! 2 bn n sin n 2! 3
n t 4
bn n 3 cos
nf
3!
tnf3
n 2 sin 2!
n b n
cos
n tnf2
,(20)
n t D sin 0 nf n n n
Tabel 1. Nilai kecepatan dan waktu dari solusi analitik, eksperimen, dan numerik.
Pendekatan deret MacLaurin
0
1 k 2 sin 2
,
t (s)
2
(22)
dt 2 C5 sin 0 .
sin 2 1 cos 2k 2
(23)
menggunakan syarat diperoleh nilai F , k F , k
87.1985
0 8.9059
batas
.
tersebut
d
1 k 2 sin 2
dapat
=1.3664 . (24)
C5 1.3664 105 0.0043 s ,(25)
ISBN 978-602-19655-4-2
0.256
19.8
0.003
0.0068
0.006
2
Deret Taylor
tidak diperoleh nilai waktu
3
Deret MacLaurin
nilai kecepatan dan waktu yang diperoleh tidak sesuai dengan hasil eksperimen
4
Fungsi Elliptik Jacobi
hanya dapat diselesaikan di bagian homogennya dan posisi yang diperoleh terbatas 0 o 3.6968 o
Dengan
Nilai waktu dapat diperoleh adalah t F , k
9
Tabel 2. Pendekatan beberapa metode analitik. No. Pendekatan Hasil sin sebagai suku 1 Linierisasi gangguan tidak dapat dipisahkan
Nilai batas bawah dan batas atas integral adalah 0 8.9059 o dan 87.1985 o yang diperoleh dari hubungan
Numerik
Selanjutnya, beberapa pendekatan analitik memiliki beberapa kekurangan seperti ditunjukkan pada Tabel 2.
Penerapan fungsi ini dilakukan pada bentuk persamaan homogen dari Persamaan (3)
d
Eksperimen
Dalam Tabel 1 terdapat ketidakkonsistenan antara hasil analitik, eksperimen, dan numerik. Di mana nilai kecepatan yang diperoleh dalam solusi analitik dan numerik ialah satu orde lebih tinggi dari hasil eksperimen.
(21)
di mana 0 k 2 1 , dengan k merupakan modulus elastik dari u dan . Fungsi eliptik Jacobi diberikan oleh
F 1 u, k amp u, k .
Analitik (m/s)
v
Fungsi eliptik Jacobi didefinisikan sebagai kebalikan dari integral eliptik jenis pertama [20]. Integral eliptik jenis pertama seperti di bawah ini d
(26)
Solusi analitik yang diberikan oleh Persamaan (20) dapat digunakan untuk memperkirakan waktu yang dibutuhkan air untuk menempuh keseluruhan siphon dan kecepatan rata-rata aliran air. Hasil perhitungan numerik dan perkiraan eksperimen sebagai pembanding disajikan dalam Tabel 1.
cn .
C3 3.6968 o .
pada
Hasil dan Diskusi
Persamaan (20) diselesaikan untuk mendapatkan waktu yang dibutuhkan untuk menempuh satu sub segmen dalam segmen II.
u F , k
ditunjukkan
Fungsi eliptik Jacobi hanya dapat menyelesaikan pada bagian homogen dan posisi yang diperoleh terbatas pada 0 o 3.6968 o . Segmen II memiliki rentang posisi 0 180 yang berada di luar daerah keberlakuan solusi menggunakan fungsi eliptik Jacobi.
bn sin n cos
dengan Dn nf p , n
seperti
tan 1 C2
n
182
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
[10] Masterika, F., Novitrian, dan Viridi, S., “Eksperimen Aliran Fluida Menggunakan Self Siphon”, Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran Sains, p. 47, (2011). [11] Nurhayati, Hidayat, W., Viridi. S., dan Zen, F. P., “Pemodelan Aliran Fluida dalam Pipa Lurus Vertikal Bagian dari Sifon Menggunakan Dinamika Newton”, dalam Cristian Fredy Naa (Ed.), Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains, p. 73, (2012). [12] Nurhayati, Hidayat, W., Novitrian, Viridi. S., and Zen, F. P., “Simulation of Fluid Flow in A U-Shape Self-Siphon and Its Working Space”, Proceeding of the Fourth International Conference on Mathematics and Natural Sciences, in review, (2012). [13] Gitterman, M., “The Chaotic Pendulum”, World Scientific Publishing Co. Pte. Ltd, p. 11, (2010).
Persamaan (3) tidak dapat diselesaikan secara analitik [13]. Dengan menggunakan Tabel 1 dan Tabel 2, maka Persamaan (3) hanya dapat diselesaikan secara numerik misalnya pendekatan metode Euler [12]. Kesimpulan Tidak terdapatnya solusi analitik pada segmen II. Pasangan nilai ∆h dan ∆t yang memprediksikan ada tidaknya aliran sesuai dengan eksperimen adalah 10-4 m dan 10-7 s dengan t maksimum 5.6 × 10-3 s pada segmen I, 1.5 × 10-3 s pada segmen II, dan 7 × 10-3 s pada segmen III. Ucapan terima kasih Penulis mengucapkan terima kasih kepada FMIPA Institut Teknologi Bandung, Riset Hibah Kompetisi Dikti 2012 atas dukungan finansialnya pada kegiatan SNIPS 2013, serta Laboratorium Fisika Teoretik dan Energi Tinggi.
Nurhayati* Laboratorium Fisika Teoretik dan Energi Tinggi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Bandung [email protected]
Referensi [1] Potter, A. dan Barnes, F. H., “The Siphon”, Physics Education, 6: 362 (1971). [2] Planinsic, G. dan Slisko, J., “The Pulley Analogy Does Not Work for Every Siphon”, Physics Education, 45: 356, (2010). [3] Hughes, S. W., “The Secret Siphon”, Physics Education, 46: 298, (2011). [4] Nanayakkara, N. W. K. T. R. dan Rosa, S. R. D., “Revisiting the Physics behind Siphon Action”, Proceedings of the Technical Sessions, 28: 106, (2012). [5] Hughes, S. W., “A Practical Example of A Siphon at Work”, Physics Education, 45: 162, (2010). [6] Masterika, F., “Eksperimen Aliran Fluida Menggunakan Self Siphon”, Tesis Magister Institut Teknologi Bandung, Bandung, (2011). [7] Masterika, F., Novitrian, dan Viridi, S., “Self Siphon Exsperiments and Its Mathematical Modelling Using Parametric Equation”, Proceeding of the Third International Conference on Mathematics and Natural Sciences, p. 608, (2010). [8] Viridi, S., Suprijadi., Khotimah, S. N., Novitrian, dan Masterika, F., “Self-Siphon Simulation Using Molecular Dynamics Method”, Recent Development in Computer Science, 2: 9, (2011). [9] Viridi, S., Novitrian, Masterika, F., Hidayat W., dan Zen, F. P., “Segmented Self Siphon: Experiments and Simulations”, In The 5th International Conference on Research and Education in Mathematics, Edited By E. T. Baskoro et. al., AIP Conference Proceedings, 1450: 190, (2011).
ISBN 978-602-19655-4-2
Wahyu Hidayat Fisika Teoretik Energi Tinggi dan Instrumentasi Indonesia Center for Theoretical and Mathematical Physics (ICTMP) Institut Teknologi Bandung [email protected]
Novitrian Fisika Nuklir dan Biofisika Indonesia Center for Theoretical and Mathematical Physics (ICTMP) Institut Teknologi Bandung [email protected]
Fourier Dzar Eljabbar Latief Fisika Bumi dan Sistem Kompleks Institut Teknologi Bandung [email protected]
Sparisoma Viridi Fisika Nuklir dan Biofisika Indonesia Center for Theoretical and Mathematical Physics (ICTMP) Institut Teknologi Bandung [email protected]
Freddy Permana Zen Fisika Teoretik Energi Tinggi dan Instrumentasi Indonesia Center for Theoretical and Mathematical Physics (ICTMP) Institut Teknologi Bandung [email protected] *Corresponding author
183
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Representasi Konsep Larutan Penyangga dalam Buku Teks Pelajaran Kimia SMA Nurul Fajriyah*, Cucu Zenab Subarkah dan Siti Suryaningsih Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi apakah struktur konsep larutan penyangga dan keterhubungan representasinya dalam buku teks pelajaran kimia sudah sesuai dengan standar. Representasi kimia dalam buku teks pelajaran dievaluasi menggunakan kriteria yang dikembangkan oleh Gkitzia dan dibandingkan dengan standar, buku teks Chemistry The Central Science. Metode yang digunakan dalam penelitian ini berupa studi deskriptif terhadap tiga buah buku teks pelajaran kimia yang paling banyak digunakan di SMA/MA Negeri di Kota Bandung bagian Timur. Hasil penelitian menunjukan bahwa dua dari tiga buku teks pelajaran kimia SMA menyajikan konsep larutan penyangga dalam bab yang terpisah dengan konsep KSP yang juga merupakan aplikasi dari kesetimbangan larutan; ketiga buku yang diteliti tidak menjelaskan efek ion senama yang merupakan konsep prasyarat untuk mempelajari larutan penyangga. Mengenai representasi kimia dalam buku teks pelajaran, hasil temuan menunjukan bahwa pada Buku I tidak disediakan representasi kimia kecuali pada halaman awal bab, pada Buku II , dari total 6 representasi 16,66% merupakan representasi multipel (simbolik-submikroskopik), 16,66% simbolik dan 66,6% makro. Sedangkan pada Buku III, dari total 4 representasi, 50% diantaranya merupakan representasi makro, 25% multiple dan sisanya (25%) merupakan representasi hybrid (simbolik-makroskopik). Kata-kata kunci : Buku teks Pelajaran, Larutan Penyangga, Representasi Pendahuluan
Teori
Buku teks merupakan salah satu atribut penting dalam pembelajaran, bahkan sering dikatakan sebagai sumber pengajaran utama [1]. Karena setiap fenomena kimia dapat dijelaskan melalui tiga aspek representasi kimia (makro, submikro dan simbolik), maka selain teks, representasi kimia merupakan bagian tak terpisahkan dari berbagai macam materi pengajaran kimia, termasuk dalam buku teks sekolah [2]. Larutan Penyangga adalah salah satu konsep kimia yang dimuat dalam buku teks pelajaran Kimia SMA. Konsep ini merupakan konsep abstrak [3]. Penelitian sebelumnya menunjukan bahwa sebagian besar siswa tidak mampu menghubungkan aspek makroskopis, mikroskopis, dan simbolis mereka mengenai larutan penyangga [3].
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, dengan subjek penelitian berupa 3 buah buku pelajaran kimia SMA kelas XI yang paling banyak digunakan siswa di SMA/MA Negeri di kota Bandung Bagian Timur. Buku 1 merupakan salah satu Buku Sekolah Elektronik (BSE) yang diterbitkan oleh dinas Pendidikan, sedangkan Buku 2 dan Buku 3 merupakan buku dari dua Penerbit Komersial. Penelitian diawali dengan studi pendahuluan mengenai peggunaan buku teks pelajaran oleh siswa SMA/MA Negeri di wilayah kota Bandung Bagian Timur. Dalam penelitian ini buku teks dievaluasi dengan membandingkannya dengan buku Chemistry The Central Science sebagai standar. Pemilihan standar dilakukan dengan mempertimbangkan kelengkapan konten dan keragaman jenis representasi yang ada. Selain itu dalam mengevaluasi buku teks digunakan pula kriteria representasi Kimia yang dikembangkan Gkitzia (2010). Kriteria reprsentasi ini mengevaluasi 5 hal, yaitu tipe representasi (R1), Kejelasan karakter penyusun representasi (R2), keterkaitan dan keterhubungan representasi dengan teks (R3), keberadaan caption (R4) dan derajat keterhubungan antar representasi penyusun suatu multiple representasi (R5). Tipologi untuk setiap karakteristik dapat dilihat pada Tabel 1.
Menurut Stake [4], buku teks pelajaran dapat menjadi salah satu sumber miskosepsi siswa, oleh karena itu evaluasi terhadap buku teks diperlukan sehingga baik guru dan siswa dapat menentukan buku mana yang tepat dan dapat digunakan sebagai sumber belajar. Menurut Athineva [5] buku teks dapat dianalisis berdasarkan keterpaduan konten materi, keterpaduan antar materi, kesesuaian gambar dengan teks yang disediakan, serta contoh dan latihan. Dalam makalah ini dijelaskan salah satu cara mengevaluasi buku teks pelajaran yang bukan hanya memperhitungkan konten buku tetapi juga kriteria representasi kimia.
ISBN 978-602-19655-4-2
184
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
representasi kimia kecuali pada sampul Bab. Hasil analisis terhadap Buku 2 dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 1. Karakteristik Evaluasi Representasi Kimia. Kriteria R1 a. b. c. d. e. f. R2 a. b. c. R3 a. b. c. d. e. R4
Makro
Tabel 2. Analisis Representasi Kimia Buku 2.
Submikro Simbolik Multiple Hybrid Mixed
Explisit Implisit Ambigu
c.
Sepenuhnya terkait dan tidak terhubung. Sebagian terkait dan terhubung Sebagian terkait dan tidak terhubung. Tidak terkait.
Adanya keterangan yang bermasalah. Tidak ada keterangan.
a. Cukup terhubung. b. c.
Kurang terhubung. Tidak terhubung.
Pengambilan data untuk analisis represntasi kimia dilakukan melalui metode dokumentasi [6]. Setelah data terkumpul, selanjutnya data dianalisis dengan mempersentasekan masing-masing jumlah tipologi yang muncul terhadap jumlah total representasi yang ada dalam suatu buku. Setelah persentase didapatkan akan terlihat kecenderungan pada masing-masing buku. Disamping itu konten masing-masing buku juga dibandingkan dengan konten buku standar. Hasil dan Diskusi Hasil penelitian menunjukan bahwa pada buku 1 dan Buku 3 konsep larutan penyangga disajikan dalam satu bab tersendiri, sedangkan pada buku 2 konsep larutan penyangga merupakan sub bab dari Kesetimbangan Ion dalam Larutan. Jika dibandingkan dengan standar, buku 2 lebih sesuai karena didalam buku standar, konsep larutan penyangga merupakan subab dari bab “Additional Aspect of Aqueous Equilibria”. Hal lain yang teramati adalah pembahasan konsep “Kapasitas larutan penyangga” yang hanya ada dalam Buku 3, sementara konsep efek ion senama yang ada pada konten buku standar tidak dibahas sama sekali dalam ketiga buku. Analisis representasi kimia hanya dilakukan terhadap buku 2 dan 3 karena pada buku 1 tidak terdapat
ISBN 978-602-19655-4-2
Gambar
Kategori Representasi
Gambar 1 : Representasi makro larutan penyangga dalam Buku 2
R1 :(a) makro R2 :(a) Eksplisit R3 :(b)Sepenuhnya terkait & tidak terhubung R4 :(a) terdapat caption yang memadai R5 : R1 :(d) multiple R2 :(a) Eksplisit R3 :(a) sepenuhnya terkait & terhubung R4 :(a) terdapat caption yang memadai R5 :(a) terhubung dengan jelas
Gambar 2 : Representasi multiple cara kerja larutan penyangga ketika ditambahkan sejumlah kecil asam dalam Buku 2 Gambar 3: Representasi simbolik cara kerja larutan penyangga ketika ditambahkan sejumlah kecil asam atau basa dalam Buku 2 Gambar 4 : Representasi makro fungsi larutan penyangga dalam penelitian biokimia pada Buku 2 Gambar 5 : Representasi makro fungsi larutan penyangga dalam industri makanan kemasan Gambar 6 : Represntasi makro larutan amonia dalam Buku 2.
Sepenuhnya terkait dan terhubung.
a. Adanya keterangan yang sesuai. b.
R5
Tipologi
R1 :(a) simbolik R2 :(a) Eksplisit R3 : (b)sepenuhnya terkait & tidak terhubung R4 : (a) terdapat caption yang memadai R5 : R1 :(a) makro R2 :(a) Eksplisit R3 :(d)Terkait sebagian & tidak terhubung R4 :(a)terdapat caption yang memadai R5 : R1 :(a) makro R2 :(a) Eksplisit R3 :(d)Terkait sebagian & tidak terhubung R4 :(a) terdapat caption yang memadai R5 : R1 :(a) makro R2 :(b) Eksplisit R3 :(d) Terkait sebagian & tidak terhubung R4 : (a) terdapat caption yang memadai R5 : -
Data pada Tabel 2 menunjukan bahwa jenis representasi (R1) yang cenderung digunakan adalah makro (66,6%), surface feature untuk setiap representasi (R2) cenderung eksplisit, hanya 16,66 % representasi yang terkategori terkait dan terhubung sisanya kuarang terkait dan tidak terhubung (33,33%) dan Kurang terkait tapi terhubung (50%). Karena hanya terdapat satu multiple representasi, maka hanya satu gambar yang dapat dievaluasi dengan R5, dimana setiap level representasi terhubung dengan jelas.
185
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Tabel 4. Perbandingan hasil analisis representasi kimia.
Hasil analisis representasi kimia terhadap Buku 3 dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Analisis Representasi Kimia Larutan penyangga Buku 3. Gambar
Kategori Representasi
Gambar 1 : Sifat larutan penyangga
R1 :(a) Makro R2 :(a) Eksplisit R3 :(a) Sepenuhnya terkait & terhubung R4 :(a) terdapat caption yang memadai R5 :R1 :(d) Hybrid R2 :(a) Eksplisit R3 :(b) Sepenuhnya terkait & tidak terhubung R4 : (a) terdapat caption yang memadai R5 : (b) kurang tehubung R1 :(e) Hybrid R2 :(a) Eksplisit R3 :(b) Sepenuhnya terkait & tidak terhubung R4 :(a) terdapat caption yang memadai R5 : R1 :(a) makro R2 :(b) implisit R3 :(d) Terkait sebagian & tidak terhubung R4 :(a)terdapat caption yang memadai R5 : -
Gambar 2 : komponen larutan penyangga asam Gambar 3: Komponen larutan penyangga basa Gambar 4 : Aplikasi larutan penyangga dalam kalibrasi pH meter
Kriteria Makro Simbolik Multiple Hybrid
R2
Eksplisit Implisit Ambigu Sepenuhnya terkait dan terhubung : Sepenuhnya terkait dan tidak terhubung : Kurang terkait tapi terhubung : Terdapat caption yang memadai : Terhubung dengan jelas
R3
R4 R5
33,33
50
50
25
100
100
16,6
25
Berdasarkan data jenis representasi (R1), diketahui bahwa jumlah representasi jenis multiple sangatlah minim. Padahal hubungan eksplisit antar representasi pada satu multiple representasi sistem penyangga akan lebih komprehensip dalam membantu siswa mengembangkan pemahaman konseptualnya jika dibandingkan dengan penggunaan representasi tunggal [3]. Hasil analsis R2 menunjukan buku 2 dan 3 sepenuhnya eksplisit dalam menjelaskan fitur-fitur pada setiap representasi kimia, hal ini sesuai dengan pendapat Gkitzia, bahwa setiap elemen yang ada pada representasi harus dijelaskan dengan rinci [2].
Data yang diperlihatkan pada Tabel 3 menujukan bahwa jenis representasi yang digunakan di dalam buku 2 adalah Hybrid (makrosimbolik) dan makro. Representasi Hybrid adalah representasi yang disusun oleh dua level representasi, misalnya untuk menjelaskan representasi komponen larutan penyangga, diberikan representasi gelas kimia berisi air (makro) dan zat terlarut yang dinyatakan dengan simbol kimia (simbolik). Surface feature masingmasing representasi cenderung eksplisit, representasi cenderung terkait namun tidak terhubung degan teks (75%). Semua representasi yang ada disertai dengan caption yang memadai. Namun, karena tidak ada satupun representasi jenis multiple, maka tidak ada yang dapat diuji dengan kriteria R5.
Analisis keterhubungan gambar dengan teks menunjukkan bahwa hanya 16,6% pada buku 2 dan 25 % pada buku 3 atau masing-masing 1 representasi untuk buku 1 dan Buku 3 yang terkategori sepenuhnya terkait dan terhubung, sementara sisanya termasuk kategori sepenuhnya terkait namun tidak terhubung atau sedikit terkait dan tidak terhubung. Hal ini menunjukan bahwa masing-masing penulis kurang sejalan dengan pendapat Levin dan Mayer [2] bahwa representasi visual harus berhubungan dengan teks, dan memiliki karakteristik yang hubungannya dapat dengan mudah dipahami oleh pembaca. Selain itu, teks harus terkait dengan representasi visual, dan karakteristiknya harus sesuai dengan jenis representasi visual yang disediakan. Untungnya, hasil analisis R4 mnunjukkan bahwa baik pada Buku 2 maupun Buku 3 setiap representasi dilengkapi dengan caption yang sesuai. Menurut Gkitzia [2], penyediaan caption yang sesuai sangat penting, terlebih lagi jika gambar/ representasi yang digunakan kurang terkait dengan topik yang dibahas dalam teks. Sementara itu, kriteria R5
Perbandingan hasil analisis representasi kimia pada buku 2 dan 3 dapat dilihat pada Tabel 4.
ISBN 978-602-19655-4-2
R1
Persentase (%) Buku 2 Buku 3 66,6 50 16,6 16,6 25 25 83,32 75 16 25 16,66 25
186
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Royal Society of Chemistry 9, 131–143, (2008). [4] Gökhan Demircioğlu.,et.al, ”Conceptual change achieved through a new teaching program on acids and bases”, Journal of The Royal Society of Chemistry 6 (1), 36-51 (2005). [5] A. Ahtineva, “Textbook Analysis In The Service Of Chemistry Teaching”, Journal of Education 11, 25-33 (2005). [6] Suharsimi Arikunto, “Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik” Penerbit PT. Rineka Cipta, Jakarta, (2010).
(yang menguji keterhubungan antar representasi penyusun suatu multiple representasi) hanya dapat digunakan pada masing-masing 1 representasi pada buku 2 dan buku 3 saja. Kesimpulan Berdasarkan data hasil analisis konten maupun representasi kimia yang telah dilakukan, Buku 2 merupakan buku yang paling sesuai dengan buku standar dan kriteria Buku teks menurut Gkitzia. Ucapan terima kasih Penulis mengucapkan terima kasih kepada sejumlah SMA/MA Negeri di wilayah kota Bandung Bagian Timur.
Nurul Fajriyah* Prodi Pendidikan Kimia UIN Sunan Gunung Djati Bandung [email protected]
Referensi [1] Lise-Lotte Österlund, Anders Berg and Margareta Ekborg, “Redox models in chemistry textbooks for the upper secondary school: friend or foe?”, Journal of The Royal Society of Chemistry 11, 182–192 (2010). [2] Vasiliki Gkitzia, Katerina Salta and Chryssa Tzougraki, “Development and application of suitable criteria for the evaluation of chemical representations in school textbooks”, Journal of The Royal Society of Chemistry , 12, 5–14 (2011). [3] MaryKay Orgill and Aynsley Sutherland. Undergraduate Chemistry Students’ Perceptions Of And Misconceptions About Buffers And Buffer Problems. Journal of The
ISBN 978-602-19655-4-2
Cucu Zenab Subarkah Prodi Pendidikan Kimia UIN Sunan Gunung Djati Bandung [email protected]
Siti Suryaningsih Prodi Pendidikan Kimia UIN Sunan Gunung Djati Bandung [email protected]
*Corresponding author
187
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Pengaruh Pemberian Integrated Reading and Writing Task pada Pembelajaran Berbasis Masalah dengan Tema Mesin Uap terhadap Peningkatan Literasi Fisika Siswa SMP Pandu Grandy Wangsa P.*, Selly Feranie, dan Dedi Sasmita Abstrak Berdasarkan studi pendahuluan yang telah dilakukan pada salah satu sekolah menengah pertama diperoleh bahwa tingkat pemahaman bacaan siswa rendah. Hal ini akan berpengaruh pada pemahaman konsep serta kemampuan scientific inquiry. kemampuan tersebut berkaitan erat dengan kemampuan literasi sain. Literasi sain siswa SMP rendah dapat disebabkan siswa SMP masih belum mengetahui strategi membaca dan menulis dengan baik. Oleh karenanya peneliti telah melakukan penelitian untuk melihat pengaruh pemberian IRWT (Integrated Reading Writing Task) sebelum pembelajaran untuk meningkatkan literasi sains kepada kelas eksperimen dengan penerapan model pembelajaran berbasis masalah dengan tema ‘Mesin Uap’. IRWT adalah Pemberian bahan bacaan fisika yang disertai dengan strategi membaca dan menulis. Kemudian dibandingkan peningkatan literasi fisika siswa dengan kelas kontrol dengan penerapan model pembelajaran berbasis masalah dengan tema ‘Mesin Uap’ yang sama tetapi tanpa pemberian IRWT. Penelitian ini menguji hipotesis antara kelas eksperimen dengan kelas kontrol sebagai berikut Ho: Tidak ada perbedaan yang signifikan dalam meningkatkan literasi fisika antara kelas yang diberi IRWT dan kelas yang tidak diberi IRWT pada pembelajaran berbasis masalah dengan tema Mesin uap. Kemampuan literasi fisika yang di ukur mengacu pada aspek literasi sains PISA tahun 2006 yaitu competencies, knowledge, context dan attitude. Metode penelitian ini adalah Quasi Experiment dengan desain penelitiannya Pretest-Postest Control Group Design. Pada desain penelitian ini menggunakan dua sampel yakni, kelas kontrol dan eksperimen yang masing masing terdiri dari 30 siswa. Berdasarkan hasil pengolahan data didapatkan bahwa gain ternormalisasi kelas eksperimen adalah 0,44 dengan kategori sedang, sedangkan gain ternormalisasi kelas kontrol adalah 0,29 dengan kategori rendah. Setelah diuji normalitas dan homogenitas kemudian dilakukan uji-t untuk menentukan apakah hipotesis yang dibuat diterima atau tidak. Hasil dari uji-t menunjukan thitung (9,7) ttabel (2,002) itu membuktikan bahwa H0 ditolak dan H1 diterima. Kata kunci : Integrated reading and writing task, literasi fisika, pembelajaran berbasis masalah sehingga ilmu yang didapatkan dalam pembelajaran dapat membantu dalam memecahkan masalah-masalah yang ada di dunia nyata. Salah satu penelitian yang dilakukan oleh Mega Hastia (2012) untuk meningkatkan literasi sains siswa dengan menerapkannya model pembelajaran inkuiri terbimbing didapatkan nilai gain sebesar 0,41 dengan kategori sedang [2].
Pendahuluan “Ilmu pengetahuan alam (IPA) berhubungan dengan cara mencari tahu tentang alam secara sistematis, sehingga IPA bukan Hanya penguasaan kumpulan pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip saja tetapi juga merupakan suatu proses penemuan. Pendidikan IPA menekankan pada pemberian pengalaman secara langsung untuk mengembangkan kompetensi agar siswa mampu menjelajahi dan memahami alam sekitar secara alamiah. Pendidikan IPA diarahkan untuk mencari tahu dan berbuat sehingga dapat membantu siswa untuk memperoleh pemahaman yang mendalam tentang alam sekitar [1].” Dalam pernyataan tersebut hampir selaras dengan literasi sains. Literasi sains atau scientific literacy didefinisikan PISA sebagai kapasitas untuk menggunakan pengetahuan ilmiah, mengidentifikasi pertanyaanpertanyaan dan untuk menarik kesimpulan berdasarkan bukti-bukti agar dapat memahami dan membantu membuat keputusan tentang dunia alami dan interaksi manusia dengan alam [1]. Dengan kata lain pembelajaran IPA memiliki tujuan agar siswa memiliki literasi sains yang tinggi
ISBN 978-602-19655-4-2
Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan pada salah satu smp di bandung mendapatkan bahwa pemahaman membaca siswa itu rendah, hal itu akan mempengaruhi pada pemahaman konsep dan kemampuan berinkuiri siswa. Ketiga kemampuan tersebut berhubungan dengan literasi sains yang diungkapkan oleh Jon Miller “defines ‘civic scientific literacy’ as (1) an understanding of basic scientific concepts such as the molecule and the structure of the solar system, (2) an understanding of the nature of scientific inquiry, and (3) a pattern of regular information consumption, such as reading and understanding popular science books [3].” Berdasarkan uraian tadi peneliti telah melakukan penelitian tentang strategi literasi yang dapat meningkatkan literasi siswa. Strategi tersebut diterapkan dalam model
188
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
siswa tidak hanya membaca tetapi harus memahami isi dari teks tersebut. b. Part B conceptual contruction, pada bagian ini siswa dituntut untuk memberikan judul maupun sub judul yang sudah ditentukan dalam teks serta menulis pertanyaan dan menjawab pertanyaan tujuan untuk melihat sejauh mana siswa paham tentang isi teks tersebut. c. Part C concept mapping, pada bagian ini siswa disuruh mengisi peta konsep/bagan yang kosong yang disesuaikan dengan bacaan yang ada pada teks. d. Part D conclusion, pada bagaian ini siswa membuat kesimpulan yang sesuai berdasarkan teks tersebut.
pembelajaran berbasis masalah. Selain dapat meningkatkan pemahaman konsep dalam model ini juga dapat melatih kemampuan berinkuiri siswa. Pada penelitian ini peneliti lebih berfokus pada literasi fisika. Teori Berdasarkan jurnal“seven literacy strategies that work” terdapat 7 strategi literasi [4] yaitu : (1) Read alouds, siswa membaca sebuah teks yang dikemas secara menarik dan untuk membangun pengetahuan awal siswa yang diberikan oleh guru (2) K-W-L chart, merupakan salah satu strategi membaca, namun dalam penelitian yang telah dilakukan digunakan strategi membaca SQRW (survey, question, read, write) (3) graphic organizer merupakan penulisan dalam bentuk representasi grafis dari konsep/materi yang telah mereka pelajari. (4) vocabulary instruction merupakan salah satu ketrampilan untuk memahami isi bacaan dengan memahami kosakata yang berhubungan dengan materi yang dipelajari. (5) write to learn, merupakan strategi yang berada diawal, pertengahan atau akhir kelas untuk membantu siswa bertanya, mengklarifikasi, atau mencerminkan isis konten. Strategi ini dapat membantu siswa fokus pada topik. (6) structured notetaking, siswa membuat catatan sendiri ide maupun kata kunci yang ada pada suatu materri serta menulis ringkasan singkat. (7) reciprocal teaching, merupakan cara yang paling efektif untuk melibatkan pembaca denganteks. Dengan menggunakan timbal balik pengajaran, sswa dapat membaca dan memahami lebih banyak dari pada ketika mereka membaca teks sendiri.
Pembelajaran berbasis masalah (PBM) merupakan pembelajaran yang menuntut siswa untuk memecahkan permasalahan yang terjadi dalam dunia nyata berdasarkan informasi yang didapat yang kemudaian akan dianalisis dan dicarikan sebuah solusi yang berkaitan dengan masalah tersebut. PBM mencakup 3 strategi literasi yaitu (1) write to learn (2) structured notetaking (3) Reciprocal teaching. dalam setiap model pembelajaran memiliki sintak tersendiri. sintak yang digunakan dalam penelitian ini memiliki 5 tahap yaitu : tahap 1 memberikan orientasi tentang permasalahannya pada siswa, tahap 2 mengorganisasi siswa untuk meneliti, tahap 3 membantu investigasi mandiri dan kelompok, tahap 4 mengembangkan dan mempersentasikan artefak dan exhibit, tahap 5 menganalisis dan mengevaluasi proses mengatasi-masalah [5]. Penelitian ini difokuskan pada literasi sains pada materi fisika, karena fisika merupakan ilmu sains yang sangat mendasar dibandingkan ilmu pengetahuan lainnya. Literasi fisika merupakan kemampuan untuk menggunakan konsep fisika, menjelaskan fenomena secara ilmiah danmengaplikasikan konsep fisika untuk menyelesaikan masalah yang ada dalam kehidupan.
Penerapan strategi literasi ini dalam pembelajaran dibagi kedalam 2 bagian, strategi yang ada di IRWT dan strategi yang ada di pembelajaran berbasis masalah.
Pengukuran literasi fisika siswa, mengacu pada PISA 2006 yang mengukur 4 aspek yaitu aspek kowledge, context, competencies dan atittude [6]. Untuk 3 aspek (kowledge, context, competencies) bentuk instrumennya berupa pilihan ganda sedangkan atittude merupakan pernyataan untuk mengetahui sejauh mana siswa menerima informasi dalam pembelajaran.
Integrated reading and writing task (IRWT) yang merupakan Pemberian bahan bacaan fisika yang disertai dengan strategi membaca dan menulis sebagai pengetahuan awal siswa yang diberikan sebelum pembelajaran. IRWT ini mencakup 4 strategi literasi yaitu (1) read alouds (2) K-W-L chart (3) graphic organizer dan (4) vocabulary instruction. Dalam IRWT ini memiliki 4 part yaitu :
Sampel yang digunakan merupakan siswa sekolah menengah pertama yang berjumlah 60 siswa yang dibagi menjadi dua kelas yaitu kelas eksperimen 30 siswa dan kelas kontrol 30 siswa. Dalam penelitian ini kelas eksperimen diberikan perlakuan berupa IRWT sedangkan pada kelas
a. Part A Reading, pada bagian ini siswa membaca teks yang diberikan oleh guru berupa materi yang akan disampaikan pada pembelajaran dikelas. Dalam bagian ini juga
ISBN 978-602-19655-4-2
189
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
kontrol hanya diberikan tugas membaca pada buku paket tertentu.
uji F. Hasil uji F dapat dilihat dari tabel 4 dibawah ini:
Penelitian ini juga menguji hipotesis sebagai berikut, Ho: Tidak ada perbedaan yang signifikan dalam meningkatkan literasi fisika antara kelas yang diberi IRWT dan kelas yang tidak diberi IRWT pada pembelajaran berbasis masalah dengan tema Mesin uap
Tabel 4. Hasil uji homogenitas. Variansi kelas eksperimen
0,004
Variansi kelas kontrol
0,003
Fhitun g
1,35
Ftabel
Kesimpul-an
1,85
Variansi sampel dalam keadaan homogen
Hasil dan Diskusi Pada peneltian ini didapat hasil rerata IRWT tiap kali pertemuan yang dapat dilihat pada tabel 1 dibawah ini :
Berdasarkan tabel 4 terbukti bahwa sampel dalam keadaan homogen. Setelah data terdistribusi normal, homogen baru kemudian diuji hipotesis menggunakan uji-t. Hasil uji hipotesis dapat dilihat pada tabel 5 dibawah ini :
Tabel 1. Hasil Rata-Rata Nilai Tiap IRWT. Nilai rata-rata IRWT 48,33 67,03 69,35 61,57
Pertemuan IRWT 1 2 3 Rerata nilai IRWT
Tabel 5. Hasil uji hipotesis.
Berdasarkan tabel 1 terlihat bahwa hasil IRWT dari pertemuan 1-3 meningkat sedangkan untuk rerata nilai IRWT hanya 61,57 yang termasuk pada kategori cukup [8].
Tabel 5 di atas terlihat bahwa ttabel < thitung itu membuktikan bahwa H0 ditolak sedangkan H1 diterima. Berarti ada perbedaan antara pembelajaran berbasis masalah yang diberikan IRWT dengan pembelajaran berbasis masalah yang hanya diberikan tugas membaca untuk meningkatkan literasi fisika pada tema mesin uap.
Hasil pretest dan postest kelas eksperimen dan kelas kontrol pada aspek kowledge, context, competencies memiliki perbandingan skor rata-rata pretest, postest dan N-gain yang berbida. Hal tersebut dapat dilihat dari tabel 2 dibawah ini :
Aspek atittude siswa diberikan 3 pernyataan untuk mengetahui sejauh mana informasi yang siswa dapat. Lihat tabel 6 dibawah ini :
Tabel 2. perbandingan skor rata-rata pretest, postest dan N-gain Kelas Kontrol Eksperimen
Pretest (%) 45,7 45,2
Postest (%) 61,7 69,8
N-gain
Kriteria
0,29 0,44
Rendah Sedang
Tabel 6. pernyataan aspek atittude.
Pada tabel 2 terlihat bahwa kelas eksperimen memilki nilai N-gain lebih besar dibandingkan nilai N-gain kelas kontrol. Untuk mengetahui apakah kedua sampel tersebut berditribusi normal atau tidak maka dilakukanlah uji normalitas dengan persamaan Chi-kuadrat. Maka didapatlah nilai yang dapat dilihat pada tabel 3 dibawah ini : Tabel 3. Hasil uji Normalitas. Kelas
table
eksperimen
13,2
42,6
kontrol
14,6
42,6
Untuk melihat hasil aspek atittude kedua kelas ini bisa dilihat dari tabel 6 dan tabel 7 dibawah ini:
Kesimpulan Terdistribusi normal Terdistribusi normal
Pada tabel 2 terlihat bahwa kedua sampel tersebut terdistribusi normal. Setelah sampel tersebut diuji normalitas maka dilakukan uji homogenitas untuk melihat apakah sampel memilki perbedaan varian atau tidak. Maka digunakanlah
ISBN 978-602-19655-4-2
190
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
ternyata dapat menigkatkan literasi fisika siswa dengan tema mesin uap.
Tabel 7. Hasil Pretest Dan Postest Kelas Kontrol Pada Aspek Atittude.
Ucapan Terimakasih Penulis mengucapkan terima kasih SMP Negeri 1 Kutawaluya atas dukungannya dalam proses penelitian ini. Referensi [1]
[2] Tabel 8. Hasil Pretest Dan Posttest Kelas Eksperimen Pada Aspek Atittude. [3]
[4]
[5] [6]
Aspek atittude juga melihat respon siswa terhadap isu-isu ilmiah dalam mendukung penyelidikan ilmiah.
[7]
Hasil yang diperoleh dari penelitian ini yaitu nilai N-gain kelas eksprimen lebih besar dibandingkan kelas eksperimen,ini menunjukkan bahwa IRWT dalam pembelajaran berbasis masalah dapat meningkatkan literasi fisika siswa dengan tema mesin uap. Selisih antara nilai N-gain kelas eksperimen dengan kelas kontrol tidak terlalu jauh, hal ini bisa disebabkan dengan hasil IRWT yang termasuk dengan kategori cukup, siswa yang belum terbiasa dengan soal-soal literasi fisika dan bisa disebabkan keterlaksanaan pembelajaran berbasis masalah masih kurang.
Pandu Grandy Wangsa P.* Pendidikan Fisika FPMIPA Universitas Pendidikan Indonesia [email protected] Selly Feranie Pendidikan Fisika FPMIPA Universitas Pendidikan Indonesia [email protected] Dedi Sasmita Pendidikan Fisika FPMIPA Universitas Pendidikan Indonesia
Kesimpulan
[email protected]
Berdasarkan hasil dari penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa strategi literasi dalam pemelajaran berbasis masalah yang menggunakan pengetahuan awal berupa IRWT
ISBN 978-602-19655-4-2
Badan Penelitian dan Pengembangan. Kajian Kebijakan Kurikulum Mata Pelajaran IPA. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, (2007). Hastia, Mega, “Penerapan Model Pembelajaran Inkuiri Terbimbing Untuk Meningkatkan Literasi Sains Siswa SMP”. Skripsi Sarjana pada FPMIPA UPI Bandung: tidak diterbitkan (2012). Hobson, Art., “Physics Literacy, Energy and The Environment”. Journal IOP Journal of Physics Education, 38, 109-114, (2003). Fisher. Douglas, Nancy Frey and Douglas Williams, “Seven literacy strategies that work”, 60(3), 70-73 (2002). Arends, Richard, “Learning to teach”. Yogyakarta : Pustaka Pelajar, (2008). Program for Internasional Student Assessment, Assessing Scientific, Reading and Mathematical Literacy. By the government of Organisation for Economic Cooperation Development, (2006). Arikunto, S., “Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan”, Jakarta: Bumi Aksara, (2009).
*Corresponding author
191
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Pengaruh Perlakuan Refluks dalam Pembuatan Sol-Gel Nanokristal ZnO Terhadap Peningkatan Karakteristik Sel Surya Hibrid-nya Pardi Sampe Tola, Waode Sukmawati, dan Rahmat Hidayat Abstrak Telah dilakukan preparasi lapisan tipis ZnO dan ZnO terdoping aluminum (AZO) dengan perlakuan refluks dan aplikasinya pada sel surya hibrid berbasis persambungan bulk polimer P3HT (sebagai donor) dan PCBM (sebagai akseptor). Sel surya tersebut memiliki konfigurasi terbalik (inverted) berbentuk ITO/ZnO(atau AZO)/P3HT:PCBM/PEDOT:PSS/Ag, dimana lapisan ZnO dan AZO berperan sebagai lapisan penghantar elektron (electron transport layer, ETL). Perlakuan refluks saat pembuatan prekursor ZnO dan AZO dengan proses sol-gel dalam pelarut ethanol ternyata memberi pengaruh yang signifikan pada sifat dan struktur nanokristal ZnO yang terbentuk. Hasil karakterisasi spektroskopi UV-Vis menunjukkan pengaruh perlakuan refluks yang meningkatkan sifat transparansi optik ZnO. Di samping itu, hasil pengukuran XRD menunjukkan bahwa derajad kristalinitas menjadi lebih baik dengan perlakuan refluks, yang bersesuaian dengan hasil pengamatan dengan Scanning Electron Microscopy (SEM). Pengukuran kurva rapat fotoarus vs tegangan (J-V) menunjukkan fungsi kinerja yang lebih baik pad a sel surya dengan lapisan ZnO atau AZO yang dipreparasi dengan perlakuan refluks. Perbaikan tersebut diperkirakan sebagai akibat berkurangnya pemerangkapan (trapping) dan rekombinasi non-geminate pada bidang batas polimer P3HT dan ZnO (atau AZO). Kata-kata kunci: metal oksida, ZnO, AZO, electron transfer layer, sel surya hibrid pada jenis senyawa prekursor dan metode preparasinya, seperti CVD, MOCVD, elektrodeposisi, sol-gel, dll [4,5]. Penggunaan struktur nano pada divais dapat meningkatkan daerah kontak sehingga pemisahan muatan dari lapisan aktif menjadi lebih efisien [6]. Di antara beragam metode preparasinya, proses sol-gel menawarkan beberapa keunggulan, diantaranya prosesnya mudah, penambahan material dopan mudah dilakukan, dan tidak membutuhkan peralatan mahal.
Pendahuluan Sel surya hibrid berbasis polimer terkonjugasi akhir-akhir ini menarik perhatian banyak grup riset, hal ini dikarenakan keunggulan sifat dan berpotensi memberikan nilai efisiensi yang tinggi. Sel surya hibrid memadukan material organik dan anorganik dalam struktur divaisnya, sehingga memberikan keunggulan yang dimiliki material organik dan anorganik seperti kemudahan fabrikasinya, murah, ringan, stabil, dan mobilitas elektron yang tinggi [1]. Pemanfaatan material anorganik dalam sel surya berbasis polimer terkonjugasi dilatar belakangi oleh keterbatasan material organik seperti panjang difusi eksiton yang kecil (5-20 nm) dan efisiensi disosiasi eksiton yang rendah. Selain itu sifat asam dari material organik dapat memicu ketidak stabilan antarmuka lapisan aktif dan korosi pada elektroda ITO [2,3]. Untuk meningkatkan stabilitas antarmuka dan mencegah degradasi divais, salah satu pendekatan yang menarik adalah dengan membentuk struktur terbalik (inverted), dimana ITO berperan sebagai anoda. Modifikasi struktur tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan logam oksida, yang salah satunya adalah ZnO. Pemanfaatan ZnO itu dikarenakan ZnO memiliki level energi yang dekat dengan level energi ITO, mobilitas elektron yang tinggi, dan transparan pada daerah cahaya tampak, sehingga cocok untuk diaplikasikan sebagai lapisan transpor elektron (electron transpor layer, ETL). Keunggulan lain dari ZnO adalah dapat dibentuk ke dalam struktur nano yang beragam bergantung
ISBN 978-602-19655-4-2
Pada paper ini akan dipaparkan hasil kajian preparasi lapisan transparan ZnO dan ZnO terdoping aluminum (AZO) dengan proses sol-gel, dan aplikasinya pada sel surya hibrid. Dalam kajian ini, metode sol gel yang dilakukan memiliki tahapan khusus yang berupa perlakuan refluks. Perlakuan tersebut diduga sangat berperan dalam pembentukan partikel awal dan penumbuhan struktur kristal sehingga diperkirakan akan mempengaruhi kristanilitas nanokristal ZnO dan nano-morfologi lapisan yang dibentuknya, serta fungsi kerja dari sel surya hibrid yang dibentuk. Eksperimen Lapisan tipis ZnO dan AZO dibuat dari senyawa logam organiknya, zinc acetate dihydrate [Zn(CH3COO)2.2H2O], yang berperan sebagai prekursor dan etanol sebagai pelarut. Diethanolamine (DEA) digunakan sebagai stabilizer, sedangkan AlCl3 sebagai sumber dopan aluminumnya. Larutan dari senyawa-senyawa tersebut kemudian dikenai proses sol-gel seperti
192
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Newport AM 1.5 (100 mW/cm2) yang terkoneksi dengan Digital Electrometer Keithley 2400.
dijelaskan di atas. Pengadukan dan perlakuan refluks dilakukan rata-rata selama 30 menit. Skema perlakuan refluks diperlihatkan pada Gambar 1.
Gambar 2. Struktur dan level energi sel surya hibrid. Hasil dan diskusi Dari hasil karakterisasi resistivitas didapatkan nilai hambatan sheet (Rs), yang ditunjukkan dalam Tabel 1. Mengingat ketebalan lapisan berkisar beberapa ratus nanometer saja, maka nilai hambatan sheet tersebut diperkirakan terkait dengan hambatan jenisnya berkisar ~10 Ω cm, yang berarti termasuk ke dalam kategori bahan semikonduktor.
Gambar 1. Diagram alir preparasi larutan prekursor ZnO, di dalam sistem refluks. Deposisi lapisan tipis ZnO dan AZO dilakukan dengan metode spin coating di atas substrat gelas atau ITO yang telah dibersihkan. Lapisan tipis kemudian dipanaskan untuk menghilangkan pelarut dan kontaminan serta memfasilitasi pembentukan kristal. Pemanasan dilakukan secara bertahap, yakni mula-mula pada suhu 150 ºC dan kemudian pada 450 ºC, masing-masing selama 15 menit. Lapisan tipis ZnO dan AZO dengan dan tanpa perlakuan refluks digunakan pada sel surya, lalu diamati bagaimana pengaruhnya pada karakteristik fungsi kerja sel surya tersebut.
Tabel 1. Hasil pengukuruan hambatan sheet lapisan tipis ZnO dan AZO. Sampel
Polimer komposit yang terdiri dari poly(3hexylthiophene) (P3HT) dan [6,6]-phenyl C61 butyric acid methyl (PCBM) digunakan sebagai lapisan aktif donor-akseptor dalam sistem sel surya hibrid yang akan dikaji. Lapisan tipis blen P3HT:PCBM itu dideposisikan di atas lapisan ZnO (AZO) tadi dengan metode spin coating. Untuk lapisan transpor hole digunakan PEDOT:PSS, yang dideposisi dengan metode spin coating. Untuk katoda digunakan perak (Ag) yang dideposisi dengan metode evaporasi termal. Gambar 2 menunjukkan struktur dan diagram level energi dari sel surya hibrid yang dibuat.
ZnO tanpa refluks
14,6
ZnO dengan refluks
8,01
AZO tanpa refluks
19,2
AZO dengan refluks
0,12
Perlakuan refluks dan penambahan dopan Al membuat nilai Rs lapisan tipis yang dihasilkan menjadi lebih baik, dimana nilai Rs terendah ditunjukan oleh lapisan AZO dengan perlakuan refluks yang berkisar 0,12 GΩ/. Spektrum XRD dalam Gambar 3 memperlihatkan kristalinitas terjadi dengan baik untuk lapisan tipis ZnO dan AZO dengan perlakuan refluks, sedangkan AZO tanpa perlakuan refluks tidak memperlihatkan kristalinitas yang baik. Hal ini ditafsirkan karena dalam kondisi tanpa perlakuan refluks reaksi yang terjadi sangat cepat sehingga cenderung mengakibatkan aglomerasi partikel yang berstruktur amorf. Kristalinitas yang lebih baik akan meningkatkan konduktivitas sebagai akibat berkurangnya efek hamburan pembawa muatan. Spektrum XRD tersebut memperlihatkan lapisan tipis dengan struktur polikristal, dengan intensitas difraksi berasal dari kristal dengan orientasi kristal (100), (002) dan (101).
Karakterisasi resistivitas lapisan tipis ZnO dan AZO dilakukan dengan metode two-point probe method. Sifat transparansi optik lapisan tipis dikaji dengan spektroskopi UV-Vis. Karakterisasi XRD dilakukan dengan dengan mengunakan Philip Analytical PW 1710 diffractometer, dengan Cu κα monochromatic X-ray (λ = 0,154 nm). Untuk kajian morfologi dilakukan karakterisasi SEM. Kajian karakteristik sel surya hibrid dilakukan dengan pengukuran fotoarus vs. tegangan (J-V) menggunakan perangkat solar simulator (Oriel
ISBN 978-602-19655-4-2
Rs (GΩ/)
193
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
a
b
c
d
(002) (100) (101)
Gambar 4. Nano-morfologi dari lapisan tipis (a dan b) ZnO dan (c dan d) AZO. (002) (100) (101)
1.2
1.2
Film tipis ZnO an-reflux Film tipis ZnO reflux
1.1
0.9
0.9
0.8
0.8
Absorbansi
Absorbansi
1.0
0.7 0.6
0.7 0.6
0.5
0.5
0.4
0.4
0.3
0.3
0.2
0.2 0.1
0.1 0.0
300
Film tipis AZO reflux Film tipis AZO an-reflux
1.1
1.0
400
500
600
Panjang gelombang (nm)
700
800
0.0 300
400
500
600
Panjang gelombang (nm)
700
800
Gambar 5. Absorbansi lapisan tipis ZnO dan AZO. Struktur kristal nano ZnO yang dihasilkan juga berpengaruh pada sifat transparansi optiknya yang teramati pada spektrum UV-Vis-nya. ZnO memiliki sifat transparansi yang baik pada daerah cahaya tampak. Pita absorbansi di daerah panjang gelombang < 400 nm berasal dari serapan cahaya oleh partikel-partikel ZnO, sedangkan absorbansi panjang gelombang > 400 nm berasal dari hamburan cahaya oleh partikel-partikel ZnO. Transparansi ZnO terkait dengan kualitas lapisan, struktur kristal, dan ukuran partikel nano. Susunan yang lebih rapat dan ukuran partikel nano yang lebih kecil dapat mengurangi efek hamburan sehingga sifat transparansinya lebih baik. ZnO dengan perlakuan refluks dan tanpa refluks memperlihatkan sifat transparansi yang baik, seperti terlihat pada Gambar 5.a. Akan tetapi, AZO tanpa perlakuan refluks memperlihatkan efek hamburan yang besar pada daerah cahaya tampak, seperti terlihat pada Gambar 5.b., yang disebabkan oleh terbentuknya aglomerasi partikel seperti dijelaskan di atas,
Gambar 3. Pola XRD lapisan tipis ZnO dan AZO. Dari karakterisasi SEM teramati bahwa perlakuan refluks sangat mempengaruhi ukuran partikel dan morfologi lapisan ZnO dan AZO, seperti diperlihatkan pada Gambar 4. Untuk ZnO tanpa perlakuan refluks partikel ZnO membentuk aglomerasi menyerupai jejaring berbentuk karang dengan ukuran 40 nm serta membentuk pori-pori (rongga) dalam lapisan yang terbentuk, seperti terlihat pada Gambar 4.a. Sedangkan ZnO dengan perlakuan refluks strukturnya berupa bulir dengan ukuran 30 nm, terdistribusi merata, dan tidak membentuk pori-pori, seperti terlihat pada Gambar 4.b. Penambahan dopan Al sangat berpengaruh pada stabilitas larutan, dimana pada kondisi ruang larutan akan membentuk fasa koloid akibat aglomerasi dan mempengaruhi kualitas lapisan tipis AZO yang terbentuk. Hal ini teramati dari citra SEM dari lapisan AZO tanpa perlakuan refluks, dimana terbentuk gumpalan partikel berupa batang yang berukuran 200 nm, seperti terlihat pada Gambar 4.c. Sedangkan lapisan AZO yang dihasilkan dari perlakuan refluks tidak membentuk gumpalan dan partikel terdistribusi merata dengan ukuran 20 nm, seperti terlihat pada Gambar 4.d. Perlakuan refluks pada larutan AZO dapat memperlambat terbentuknya fasa koloid sehingga kualitas lapisan tipis yang dihasilkan lebih homogen.
Hasil karakterisasi fungsi kerja sel surya hibrid dengan lapisan tipis ZnO atau AZO diperlihatkan pada Gambar 6.
Gambar 6. Kurva I-V sel surya hibrid.
ISBN 978-602-19655-4-2
194
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
hibrid yang menggunakan lapisan tipis ZnO dan AZO dengan perlakuan refluks memperlihatkan fungsi kerja sel surya yang lebih baik. Efisiensi terbesar yang dihasilkan adalah 2,42% untuk sel surya menggunakan lapisan AZO dengan perlakuan refluks.
Perlakuan refluks pada lapisan ZnO tampak jelas berpengaruh pada peningkatan fungsi kerja sel surya yang dibentuknya. Hal ini dikarenakan morfologi ZnO dengan perlakuan refluks yang lebih baik dapat meningkatkan daerah kontak lapisan ZnO dan lapisan aktif sehingga transfer muatan terjadi dengan lebih baik, pori pada struktur nano ZnO tanpa perlakuan refluks cenderung lebih mudah memicu terjadinya pemerangkapan (trapping) elektron dan rekombinasi non-geminate yang mengurangi efisiensi pemisahan muatan.
Ucapan Terima Kasih Penulis mengucapkan terima kasih atas dukungan finansial dari Asahi Glass Foundation dalam bentuk Overseas Research Grants 2010/2011.
Dalam hal lapisan AZO, teramati bahwa penambahan dopan Al meningkatkan fungsi kerja sel surya dikarenakan sifat konduktifnya yang lebih baik. AZO dengan perlakuan refluks memberikan nilai efisiensi tinggi hal ini terkait dengan konduktivitas dan struktur nano yang dimiliki AZO. Namun penambahan jumlah lapisan dapat berakibat pada efek hamburan cahaya yang lebih besar pada lapisan AZO, sebagai akibat terjadinya aglomerasi larutan prekursor. Hal ini akan mempengaruhi efektifitas serapan cahaya oleh lapisan aktif (donor), yang terindikasi dari menurunnya rapat fotoarus.
Referensi [1] Kang Hyuck L., et al., “Optimazition of an electron transport layer to enhance the power conversion efficincy of flexible inverted organic solar cell”, Nanoscale Res Lett. 5, 1908-1912, (2010). [2] M. Joegensen and K. Norrman., Sol. Energy Mater, Sol. Cell 92, 686, (2008) [3] L.M. Chen., et al., Adv. Mater. 21, 1434, (2009). [4] Lukas S., Judith L.M., “ZnO-nanostructures, defects, and devices”, Materials Today. 10(5), (2007). [5] Hadis Morkoc and Umit Ozgur., “Zinc Oxide: Fundamentals”, Materials and Device Technology, Wiley-VCH. ISBN: 978-3-52740813-9, (2007). [6] Spanhel L., “Colloidal ZnO nanostructures and functional coatings: A survey”, J Sol-Gel Sci Techn. 39, 7–24, (2006).
Tabel 3. Hasil pengukuran Jsc, Voc dan efesiensi sel surya hibrid yang dibuat. Lapisan ETL
Jsc (mA/cm2)
Voc (V)
(%)
ZnO tanpa refluks
8,06
0,14
0,364
ZnO cara I
8,09
0,16
0,39
ZnO cara II
15
0,33
1,64
AZO tanpa refluks
9,35
0,27
0,784
AZO cara I
11,2
0,22
0,81
AZO cara II
16,1
0,45
2,29
Pardi Sampe Tola Kelompok Keahlian Fisika Magnetik dan Fotonik Institut Teknologi Bandung [email protected]
Kesimpulan Perlakuan refluks pada proses sol-gel nanokristal ZnO dan AZO ternyata sangat mempengaruhi sifat optik dan listrik lapisan tipis ZnO dan AZO yang terbentuk. Larutan prekursor ZnO dan AZO dengan perlakuan refluks menghasilkan lapisan tipis dengan transparansi yang tinggi pada daerah cahaya tampak. Lapisan tipis AZO dengan perlakuan refluks memperlihatkan sifat konduktif yang baik. ZnO dan AZO dengan perlakuan refluks memiliki kristalinitas yang baik dan struktur nano yang homogen, AZO tanpa perlakuan refluks menghasilkan lapisan tipis yang tidak homogen yang menghasilkan efek hamburan yang besar pada daerah cahaya tampak. Dalam aplikasinya sebagai ETL, sel surya
ISBN 978-602-19655-4-2
Waode Sukmawati Kelompok Keahlian Fisika Magnetik dan Fotonik Institut Teknologi Bandung [email protected] Rahmat Hidayat Kelompok Keahlian Fisika Magnetik dan Fotonik Institut Teknologi Bandung [email protected] *Corresponding author
195
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Peningkatan Hasil Belajar Siswa Kelas IV SD Karunadipa Palu Pada Konsep Kelipatan Persekutuan Terkecil (KPK) DAN Faktor Persekutuan Terbesar (FPB) Melalui Pendekatan Kontekstual Pathuddin Abstrak Materi Kelipatan Persekutuan Terkecil (KPK) dan Faktor Persekutuan Terbesar (FPB) merupakan konsep dasar matematika yang harus dikuasai oleh siswa, banyak permasalahan dalam matematika, bidang lain, maupun dalam kehidupan sehari-hari berkaitan dengan materi tersebut. Meskipun demikian, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa hasil belajar siswa terhadap materi KPK dan FPB masih rendah. Usaha untuk meningkatkan hasil belajar siswa pada materi materi KPK dan FPB dapat dilakukan melalui pembelajaran matematika berorientasi pada pendekatan kontekstual. Pendekatan kontekstual merupakan suatu konsepsi yang membantu guru mengaitkan isi materi pelajaran dengan keadaan dunia nyata. Dengan model pembelajaran ini diharapkan dapat meningkatkan motivasi dan hasil belajar siswa dalam matematika. Hal ini karena siswa dapat menghubungkan pengetahuan yang diperoleh di kelas dan penerapannya dalam kehidupan siswa sebagai anggota keluarga, sebagai warga masyarakat, dan nantinya sebagai tenaga kerja. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa hasil observasi pengamat terhadap aktivitas siswa dan aktivitas guru dalam kegiatan pembelajaran mencapai kriteria sangat baik terhadap materi pembelajaran, sehingga dapat memberikan dampak dalam upaya meningkatkan hasil dan proses dalam pembelajaran matematika. Selain itu, hasil analisis tes formatif tindakan setiap siklus, pada tindakan siklus I persentase nilai rata-rata daya serap siswa mencapai 69,50% dengan persentase ketuntasan belajar secara klasikal 50% dari seluruh siswa yang mendapat nilai ≥70 atau 5 orang siswa yang tuntas dan 5 orang siswa yang belum tuntas. Sedangkan pada tindakan siklus II, persentase nilai rata-rata daya serap siswa mencapai 83% dengan persentase ketuntasan belajar secara klasikal 90% dari seluruh siswa yang mendapat nilai ≥ 70 atau 9 orang siswa yang tuntas dan 1 orang siswa yang belum tuntas terhadap materi pembelajaran. Hal ini telah menunjukkan peningkatan yang berarti dalam upaya meningkatkan pemahaman dan hasil belajar siswa terhadap materi KPK dan FPB. Agar pembelajaran matematika melalui pendekatan kontekstual dapat lebih efektif dan menyenangkan, maka guru dituntut memiliki kompetensi, kreativitas, dan beberapa keterampilan seperti kemampuan menyusun materi pembelajaran dalam paket-paket atau unit-unit pelajaran beserta alat tes dan disain yang menarik, serta kemampuan mengkaitkan konsep matematika dengan fakta-fakta dalam kehidupan seharihari atau bersifat kontekstual, yang pada gilirannya dapat meningkatkan proses dan hasil belajar matematika. Kata-kata kunci: Materi KPK dan FPB, Hasil Belajar, Pendekatan Kontekstual pengetahuan dasar dalam pembelajaran matematika lebih lanjut, banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari dan dalam bidang lain.
Pendahuluan Matematika merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan teknologi modern, mempunyai peran penting dalam berbagai disiplin dan memajukan daya pikir manusia Matematika memiliki objek yang bersifat abstrak. Karena objek matematika bersifat abstrak itu, sehingga banyak siswa mengalami kesulitan dalam belajar matematika. Hasil pantauan penulis di SD Karunadipa menunjukkan, bahwa materi ajar matematika topik pecahan merupakan materi yang sangat sulit, kesulitan tersebut disebabkan kurangnya pemahaman tentang KPK (Kelipatan Persekutuan Terkecil) dan FPB (Faktor Persekutuan Terbesar) atau sekitar 75% siswa yang belum menguasai dengan baik KPK dan FPB. Padahal KPK dan FPB merupakan materi matematika sangat penting,karena merupakan
ISBN 978-602-19655-4-2
Kebanyakan siswa mengalami kesulitan dalam mengaplikasikan matematika mereka ke dalam situasi kehidupan nyata. Hal ini yang menyebabkan sulitnya topik KPK dan FPB bagi siwa, mungkin pembelajaran matematika kurang bermakna, kurang menarik, dan kurang menyenangkan bagi siswa atau guru dalam pembelajarannya di kelas seolah-olah siswa belajar matematika yang sama sekali terlepas dengan lingkungan hidupnya. Pentingnya mengaitkan pengalaman kehidupan nyata siswa dengan ide-ide matematika dalam pembelajaran di kelas disampaikan oleh guru, bila siswa belajar matematika terpisah dari pengalaman belajar mereka sehari-hari maka siswa akan cepat lupa dan tidak dapat mengaplikasikan matematika [1].
196
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Berdasarkan pendapat di atas, maka dalam pembelajaran matematika, khususnya KPK dan FPB di kelas penekanan pada keterkaitan antara konsep-konsep KPK dan FPB dalam matematika dengan pengalaman siswa dalam kehidupan sehari-hari dan menerapkan kembali konsep tersebut sesuai dengan skemata yang telah dimiliki siswa pada kehidupan sehari-hari atau pada bidang lain, sangat penting dilakukan.
Metodologi Penelitian Setting dan Karakteristik Subyek Penelitian Penelitian ini merupakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) yang dilakukan untuk meneliti tentang peningkatan hasil belajar siswa pada konsep KPK dan FPB melalui pendekatan kontekstual. Adapun subyek dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas IV SD Karunadipa Palu yang terdaftar pada tahun ajaran 2011/2012.
Dalam upaya menjembatani kondisi dari permasalahan di atas, salah satu langkah penting yang harus dilakukan agar siswa lebih mudah memahami materi pembelajaran, lebih menarik, kreatif, dan menyenangkan, serta berpartisifasi aktif dalam kegiataan diskusi kelompok dalam pembelajaran terhadap konsep KPK dan FPB adalah dengan menggunakan strategi pembelajaran yang berorientasi pada pendekatan kontekstual.
Prosedur Penelitian Prosedur dan proses pelaksanaan PTK ini menggunakan model penelitian yang dikembangkan Kemmis & Taggart yang merupakan alur pelaksanaan yang berlangsung dalam siklus yang diulang. Penerapan Model Pembelajaran Siklus Belajar (Learning cycle) dapat meningkatkan keterampilan proses belajar siswa dan akhirnya akan meningkatkan hasil belajar siswa [4]. Dalam penelitian ini siklus direncanakan minimal dua siklus. Tiap siklus terdiri atas 4 tahapan, yaitu: perencanaan, Tindakan, observasi, dan refleksi.
Pendekatan kontekstual merupakan suatu konsepsi yang membantu guru mengaitkan isi materi pelajaran dengan keadaan dunia nyata [2]. Pembelajaran kontekstual memungkinkan siswa dapat menghubungkan isi pembelajaran dengan konteks kehidupan sehari-hari untuk menemukan makna [3].
Adapun prosedur penelitian dapat diuraikan setiap tahap berikut ini:
Pembelajaran matematika hendaknya dimulai dengan pengenalan masalah yang sesuai dengan situasi (contextual problem). Dengan mengajukan masalah kontekstual, peserta didik secara bertahap dibimbing untuk menguasai konsep matematika. Meskipun pembelajaran dengan menggunakan pendekatan kontekstual secara teoritis sangat menjanjikan dalam membelajarkan siswa secara maksimal, tetapi masih kurangnya guru yang mau menerapkan di dalam kelas. Oleh sebab itu, penulis tertarik ingin mencoba menerapkan pembelajaran tersebut dalam konsep KPK dan FPB. Dengan pendekatan kontekstual dalam pembelajaran matematika, diharapkan siswa tidak hanya sekedar belajar dengan cara menghafal, tetapi siswa dapat memahami pelajaran dengan baik melalui konteks kehidupan nyata siswa, yang pada akhirnya dapat meningkatkan proses dan hasil belajar siswa dalam matematika.
1. Perencanaan Dalam perencanaan, peneliti menyiapkan segala sesuatu yang diperlukan sehubungan dengan pelaksanaan tindakan. Adapun persiapanpersiapan sebelum pelaksanaan tindakan adalah sebagai berikut: Menyusun rencana pembelajaran, Menyiapkan materi dan media yang dibutuhkan, Menyiapkan lembar observasi aktivitas guru dan siswa dalam pembelajaran dan Menyiapkan/menyusun tes atau alat penilaian. 2. Tindakan Pelaksanaan tindakan adalah dengan menggunakan pendekatan kontekstual sesuai dengan rencana pembelajaran yang telah disusun. Pelaksanaan tindakan dilakukan melalui 2 (dua) siklus. Pada siklus I melaksanakan tindakan kelas dengan materi konsep KPK melalui pendekatan kontekstual;.Pelaksanaan siklus II ini akan dilakukan jika kegiatan pada siklus awal belum berhasil. Adapun kegiatan yang dilakukan pada siklus II adalah sebagai berikut: merumuskan tindakan baru dengan memperhatikan kekurangan pada siklus I; melaksanakan tindakan kelas dengan materi konsep FPB melalui pendekatan kontekstual. Pada tiap siklus dilaksanakan tes akhir, mengevaluasi hasil tes akhir dan melaksanakan analisis terhadap hasil penilaian.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka penulis tertarik menerapkan pendekatan kontekstual dalam pembelajaran KPK dan FPB dan memandang perlu untuk melakukan penelitian dengan judul “Peningkatan Hasil Belajar Siswa Kelas IV SD Karunadipa Palu Pada Konsep KPK dan FPB Melalui Pendekatan Kontekstual”. Dengan rumusan masalah apakah dengan penerapan pendekatan kontekstual pada konsep KPK dan FPB dapat meningkatkan hasil belajar siswa kelas IV SD Karunadipa Palu?
ISBN 978-602-19655-4-2
3. Observasi Observasi dilakukan selama kegiatan pelaksanaan tindakan berlangsung. Objek yang
197
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
diamati meliputi aktivitas guru dan siswa selama kegiatan pembelajaran berlangsung. Pengamatan dilakukan berdasarkan lembar observasi yang telah disiapkan dan selanjutnya dievaluasi.
b. Daya serap secara klasikal Skor total peserta tes % daya serap secara klasikal x 100% Skor ideal seluruh soal
4. Refleksi
c.
Refleksi dilakukan untuk melihat keseluruhan proses pelaksanaan tindakan dan hasil belajar siswa. Merefleksi adalah menganalisis data-data yang diperoleh dari observasi. Tahap refleksi meliputi kegiatan memahami, menjelaskan dan menyimpulkan data. Proses pembelajaran dikatakan baik jika telah tercapai indikator keberhasilan tindakan sesuai yang telah ditetapkan.
Ketuntasan
belajar
% ketuntasanbelajar
Nilai rata rata
Jumlah nilai yang diperoleh seluruh siswa Jumlah siswa
Kriteria Keberhasilan Penelitian Kriteria keberhasilan tindakan adalah sebagai berikut: minimal 80% aktivitas guru dan aktivitas siswa dalam kegiatan pembelajaran memiliki kriteria baik dan sangat baik, minimal 80% dari seluruh siswa yang dikenai tindakan memperoleh nilai lebih dari atau sama dengan 70 (persentase nilai daya serap individual minimal 70 %) dan dikatakan tuntas belajar secara klasikal, jika 80 % atau lebih siswa tuntas belajar
Teknik Analisis Data Teknik analisis data yang dilakukan dengan menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Data kualitatif diperoleh dengan mengumpulkan informasi dari data hasil observasi aktivitas guru, dan observasi aktivitas siswa pada saat pembelajaran berlangsung. Data kuantitatif, diperoleh dari hasil evaluasi yang diberikan pada setiap akhir tindakan yang kemudian menjadi bahan menentukan hasil belajar siswa. [5]. Selanjutnya dilakukan penarikan kesimpulan dengan pengungkapan akhir dari setiap tindakan, sehingga dapat diperoleh data yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan. Dalam penelitian tindakan kelas, peningkatan hasil belajar siswa sebagai hasil tindakan merupakan aspek paling diharapkan. Oleh sebab itu analisis yang dipergunakan berkaitan erat dengan analisis tentang hasil belajar siswa seperti : analisis daya serap, ketuntasan belajar, dan nilai rata-rata [6]. Adapun rumus yang digunakan [7] sebagai berikut:
Hasil dan Pembahasan Pengamatan aktivitas siswa dalam proses belajar mengajar pada tindakan siklus I masih terdapat kekurangan-kekurangan yang dilakukan siswa dalam kegiatan pembelajaran. Hal ini disebabkan bahwa strategi pembelajaran melalui pendekatan kontekstual masih hal baru bagi siswa. Oleh karena itu, perlu dibiasakan siswa belajar dengan konteks kehidupan mereka, agar siswa dapat memahami pentingnya matematika dalam kehidupan sehari-hari. Hasil analisis data observasi aktivitas guru dan siswa selama kegiatan pembelajaran berlangsung pada siklus 1 dan 2, dapat diklasifikasikan pada Tabel 1 di bawah ini: Tabel 1. Klasifikasi Hasil Analisis Data Observasi Aktivitas Guru dan Siswa Siklus I dan Siklus II Observasi
a. Daya serap individu
Aktivitas Guru siklus I Aktivitas Siswa Siklus I Aktivitas Guru siklus II Aktivitas Siswa siklus 2
x 100%
Skor maksimal soal
Ketuntasan belajar secara individu. Peserta dikatakan tuntas belajar secara individu bila memperoleh persentase daya serap individu 70 %
ISBN 978-602-19655-4-2
x 100%
Peserta dikatakan tuntas belajar secara klasikal bila memperoleh persentase daya secara klasikal 80 % d. Rata-rata hasil belajar
Data yang akan diraih dalam penelitian ini adalah: (1) lembar observasi yang digunakan adalah untuk mengamati aktivitas guru dan aktivitas siswa pada saat pembelajaran berlangsung, (2) tes yang digunakan untuk melihat hasil pekerjaan siswa terhadap tes yang telah diberikan.
% daya serap individu
klasikal.
Jumlah seluruh siswa
Teknik Pengumpulan Data
Skor yang diperoleh peserta
secara
Jumlah siswa yang tuntas
198
Skor Maksimal
Jmh skor
Persentase
85
75
88,24%
Baik
95
84
88,42%
Baik
85
82
96,47%
Sangat Baik
95
91
95,79%
Sangat Baik
Kriteria
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Mereka sangat aktif bekerja dalam kelompok masing-masing dan aktif dalam melakukan diskusi. Semua siswa antusias mengikuti kegiatan pembelajaran yang dilaksanakan. Hal ini terlihat dari aktivitas siswa dalam diskusi kelompok, pengerjaan tugas individual maupun pada pengerjaan tugas secara kelompok (maju di depan kelas) di papan tulis. Hal ini sesuai dengan karakteristik pembelajaran melalui pendekatan kontekstual adalah: kerjasama, saling menunjang, menyenangkan tidak membosankan, belajar dengan bergairah, pembelajaran terintegrasi, menggunakan berbagai sumber, siswa aktif, dan sharing dengan teman [8].
Ketika siswa belajar dalam kelompok, siswa kurang aktif bekerja sama dan kurang aktif berdiskusi dalam kelompok, siswa yang memiliki kemampuan tinggi mendominasi diskusi kelompok tanpa memperhatikan anggota kelompoknya, dilain pihak siswa yang memiliki kemampuan rendah merasa minder dengan anggota kelompoknya. Untuk mengatasi kekurangan yang terjadi dalam kelompok, maka setiap anggota dalam kelompok diberikan tugas yang berbeda pada masingmasing anggota kelompok, di samping itu, dapat diatasi dengan pendekatan sosiologis bahwa manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Oleh sebab itu, siswa merasa perlu bekerja sama dan berlatih bekerja sama dalam belajar secara kelompok secara kooperatif.
Semua butir sasaran yang terdapat dalam lembar pengamatan guru terhadap peneliti telah dilakukan dengan baik, sehingga kegiatan pembelajaran pada tindakan siklus II dapat berjalan dengan lancar. Hal ini dapat dibuktikan dengan hasil pengamatan guru terhadap aktivitas siswa dalam kegiatan pembelajaran mencapai kriteria sangat baik. Selain itu, pengamatan aktivitas guru dalam kegiatan belajar mengajar dapat menciptakan suasana yang kondusif dalam menyusun skenario pembelajaran, sehingga siswa aktif mengikuti pembelajaran. Hal ini sesuai dengan hakekat pembelajaran yang menyatakan bahwa suatu kegiatan dilakukan oleh guru sehingga terjadi perubahan tingkah laku siswa kea rah yang lebih baik. Perubahan hasil belajar merupakan salah satu indikator perubahan tingkah laku siswa [9].
Dalam pembentukan kelompok secara kooperatif dilihat dari latar belakang kemampuan akademik yang berbeda, baik dari kemampuan rendah, sedang, maupun tinggi, sehingga para siswa yang mempunyai kemampuan berbeda dimasukkan dalam kelompok yang sama, maka siswa yang berkemampuan rendah dan sedang akan termotivasi dalam belajar, sedangkan siswa yang berkemampuan tinggi akan semakin meningkat kemampuan komunikasi verbalnya. Adapun kekurangan yang lain dalam kegiatan siswa dalam pembelajaran adalah siswa kurang aktif memberikan jawaban dari guru dan kurang aktif mengajukan pertanyaan. Dalam upaya mengatasi kekurangan tersebut, sebaiknya siswa dibiasakan untuk mengajukan pertanyaan dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan oleh guru kepada siswa, sehingga siswa merasa terbiasa untuk bertanya dan menjawab pertanyaan yang timbul dalam kegiatan pembelajaran.
Hasil analisis tes formatif tindakan siklus I hanya mencapai daya serap 69,50% dan ketuntasan belajar secara klasikal hanya mencapai target 50%, jika dibandingkan pada siklus II persentase daya serap 83% dengan ketuntasan belajar secara klasikal mencapai target 90%. Berdasarkan hasil analisis yang diperoleh siswa memberikan gambaran terhadap adanya tingkat kemajuan prestasi belajar siswa dalam matematika dengan menggunakan pembelajaran melalui pendekatan kontekstual. Materi yang diajarkan sangat berguna bagi mereka, karena mengandung masalah kontekstual dan nyata bagi mereka. Hal ini sesuai karakteristik dalam pembelajaran kontekstual adalah pembelajaran bermakna; pembelajaran dirasakan terkait dengan kehidupan nyata atau siswa mengerti manfaat isi pembelajaran, serta penerapan pengetahuan; siswa memahami apa yang dipelajari dan diterapkan dalam kehidupan sekarang atau masa depan [10].
Hasil analisis observasi pengamat terhadap aktivitas guru dan aktivitas siswa selama kegiatan pembelajaran pada tindakan siklus I, telah mencapai taraf keberhasilan sesuai kriteria yang telah ditetapkan, yaitu berada dalam kategori baik. Tetapi karena hasil tes formatif tindakan siklus I belum mencapai indikator keberhasilan sesuai kriteria yang ditetapkan atau minimal 80% siswa yang mendapat nilai ≥ 70, sedangkan hasil perolehan siswa terhadap hasil belajar berdasarkan persentase ketuntasan belajar secara klasikal 50% atau ada 5 orang siswa yang telah tuntas dan 50% atau ada 5 orang siswa yang belum tuntas. Hasil analisis observasi pengamat terhadap aktivitas guru dan aktivitas siswa pada tindakan siklus II, mengalami peningkatan, dimana taraf keberhasilan tindakan telah sesuai kriteria yang ditetapkan, yaitu berada dalam kategori sangat baik. Hal ini terlihat adanya perubahan yang berarti dalam upaya peningkatan hasil belajar siswa. Siswa nampak sangat senang dalam belajar. Siswa sangat senang bekerja dalam kelompok.
ISBN 978-602-19655-4-2
Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa pembelajaran materi KPK dan FPB melalui pendekatan kontekstual dapat meningkatkan hasil belajar siswa terhadap materi pembelajaran. Hasil analisis data menunjukkan bahwa baik dari keterlibatan siswa maupun dari
199
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
segi hasil belajar. Hasil penelitian ini ternyata sejalan dengan penelitian yang dilakukan sebelumnya bahwa pembelajaran kontekstual mampu meningkatkan hasil belajar siswa [11], [12].
[5]
Kesimpulan
[6]
Pembelajaran matematika melalui pendekatan kontekstual akan dapat mengakrabkan matematika dengan lingkungan, situasi belajar menjadi lebih dinamis sehingga siswa kelas IV SD Karunadipa merasa senang dan tertarik belajar matematika. Pembelajaran ini sangat bermakna karena terkait dengan pengetahuan awal siswa, dan akan tumbuh rasa saling menghargai pendapat orang lain dan kemampuan menyampaikan gagasan melalui kerja kelompok, sehingga hasil belajar siswa kelas IV SD Karunadipa meningkat. Hasil analisis tes pada tindakan siklus I persentase nilai rata-rata daya serap siswa mencapai 69,50% dengan persentase ketuntasan belajar secara klasikal 50% dari seluruh siswa yang mendapat nilai ≥70 meningkat pada tindakan siklus II, persentase nilai rata-rata daya serap siswa menjadi 83% dengan persentase ketuntasan belajar secara klasikal 90%.
[7]
[8]
[9] [10]
[11]
Daftar Pustaka [1]
[2]
[3] [4]
Soedjadi, R., “Kiat Pendidikan Matematika di Indonesia, Konstatasi Keadaan Masa Kini Menuju Harapan Masa Depan”. Jakarta: Depdiknas, (2000). Suyanto, Kasiani K.E., Latief, Adnan, dan Nurhadi, “Pembelajaran Berbasis CTL (Contextual Teaching and Learning)”. Makalah disajikan dalam Kegiatan Sosialisasi CTL bagi Dosen UM. Malang, 15 Pebruari, (2002). Johnson, Elaine B., “Contextual Teaching and Learning: What it is and why it’s here to stay”, California, Corwin Press, Inc, (2002). Bowo Sugiharto, “Penerapan Model Pembelajaran Siklus Belajar (Learning cycle) untuk meningkatkan keterampilan proses belajar sains siswa kelas X-2 SMA
ISBN 978-602-19655-4-2
[12]
Negeri 3 Surakarta tahun pelajaran 2010/2011”, Jurnal Pendidikan, 1(1), 1-11, (2011). Arikunto, S., “Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek”, Jakarta: Reneka Cipta, (2002). Depdiknas, “Penerapan model Konstruktivisme Pada Pembelajaran IPA Menggunakan Teknik Probing”, Jakarta : Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah, (2006). Depdikbud, “Petunjuk pelaksanaan Penelitian Pendidikan”, Palu : Bagian Proyek Peningkatan Pendidikan, BPG, (1996). Nurhadi & Senduk A.G., “Pendekatan Kontekstual (Contextual Teaching and Learning (CTL))”, Malang: Universitas Negeri Malang, (2002). Darsono, M., “Belajar dan Pembelajaran”, Semarang: IKIP Semarang Pres., (2001). Rustana, Cecep E., “Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah: Pembelajaran dan Pengajaran Kontekstual”, Jakarta: Dirjen Dikdasmen, (2002). Nur, Mohamad, dkk., “Laporan Pengembangan Perangkat Pembelajaran Kontekstual untuk MIPA bagi Siswa SLTP”, Laporan penelitian tidak dipublikasikan, (2002). Widodo, Wahono, “Laporan Pengembangan Perangkat Pembelajaran Kontekstual untuk MIPA bagi Siswa SLTP Kelas I Cawu 1”, (2002), Laporan penelitian tidak dipublikasikan.
Pathuddin Program Studi Pendidikan Matematika, PMIPA FKIP Universitas Tadulako Kampus Bumi Tadulako Tondo, Jl. Sukarno Hatta Km. 9 Palu Sulawesi Tengah email: [email protected]
200
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Penerapan Strategi Literasi Pada Pembelajaran IPA Bertema Pelangi Untuk Meningkatkan Literasi Fisika R. Sinta Harosah, Ridwan Efendi, dan Selly Feranie Abstrak Berdasarkan studi pendahuluan pada siswa salah satu SMP di Kota Bandung diperoleh bahwa pemahaman bacaan IPA siswa rendah. Hal ini dapat menyebabkan pemahaman konsep dan kemampuan scientific inquiry rendah. Ketiga kemampuan tersebut sangat berhubungan erat dengan literasi fisika. Oleh karena itu diperlukan strategi literasi yang dapat meningkatkan kemampuan literasi fisika. Strategi literasi yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dengan memberikan Integrated Reading Writing Task yaitu berupa tugas yang terdiri dari bahan bacaan IPA yang disertai strategi membaca dan menulis, serta menerapkan model pembelajaran untuk meningkatkan kemampuan scientific inquiry. Adapun kemampuan literasi fisika yang diukur yaitu context, knowledge, competencies, dan attitudes. Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui efektivitas peningkatan literasi fisika siswa setelah diterapkan strategi literasi pada pembelajaran IPA bertema pelangi. Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Quasi Experiment dengan rancangan One Group Pretest Posttest Design sedangkan sampel penelitian yaitu siswa SMP Kelas VIII di Kota Bandung. Hasil yang diperoleh saat penelitian mengalami peningkatan sebesar 0,46 kategori sedang. Hasil penelitian memperlihatkan nilai gain sedang karena siswa masih belum mengetahui bentuk soal literasi fisika. Peningkatan hasil penelitian ini dapat dilihat dari adanya peningkatan nilai rata-rata pretest dan nilai rata-rata posttest yaitu dari sebesar dari 46,36 menjadi 71,21. Kata-kata kunci: strategi literasi, literasi fisika. Melalui kompetensi itu, siswa akan mampu belajar lebih lanjut dan hidup di masyarakat yang saat ini banyak dipengaruhi oleh perkembangan sains dan teknologi yang berguna bagi dirinya dan masyarakat. Kompetensi itulah yang dimaksud sebagai literasi sains menurut Programme for International Student Assessment (PISA). Dalam studi literasi internasional PISA (Programme for Internatinal Student Assessment) yang dilaksanakan oleh OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) pada tahun 2006 [3] menunjukkan kemampuan literasi sains anak Indonesia yang beumur 15 tahun, yang sampelnya diambil secara acak berada pada tingkat rendah. Indonesia menduduki peringkat 50 dari 57 negara peserta (Balitbang-kemdikbud, 2011) [9]. Kemampuan literasi sains yang diukur oleh PISA dibagi kedalam empat aspek yaitu context, knowledge, competencies, dan attitudes.
Pendahuluan Banyak guru telah melakukan inovasi pembelajaran namun keaktifan siswa saat proses pembelajaran masih kurang. Hal ini dapat terjadi karena salah satu faktor, yaitu kurangnya pengetahuan awal yang dimiliki siswa saat mengikuti pembelajaran dan siswa juga kurang memanfaatkan sumber bacaan lain seperti bukubuku cetak IPA SMP. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) memberikan suasana baru dalam dunia pendidikan terutama untuk mata pelajaran IPA, yang memungkinkan baik guru maupun siswa dapat memberdayakan potensi dan kemampuan yang ada. KTSP merupakan sebuah kurikulum yang menuntut suatu kegiatan pembelajaran yang bersifat student centered. Dalam kegiatan belajar mengajar, guru berperan sebagai fasilitator. Siswa diharuskan untuk mendapat prinsip dan pengalaman proses ilmiah yang lebih banyak. Dengan adanya KTSP maka kurikulum pendidikan IPA telah dirancang sebagai pembelajaran yang berdimensi kompetensi. KTSP memiliki tujuan yang sejalan dengan tujuan pendidikan IPA saat ini, yaitu untuk mencapai manusia yang melek sains (Scientific Literacy). Salah satu upaya untuk meningkatkan perkembangan sains dan teknologi pada pembelajaran IPA dalam KTSP yang menyatakan bahwa, “proses pembelajarannya menekankan pada pemberian pengalaman langsung untuk mengembangkan kompetensi agar menjelajahi dan memahami alam sekitar secara ilmiah” [9].
ISBN 978-602-19655-4-2
Berdasarkan studi pendahuluan yang telah dilakukan, pelaksanaan pembelajaran masih didominasi dengan metode yang terpusat dari guru, sehingga pembelajaran berlangsung dengan komunikasi satu arah. Selama Program Pengalaman Lapangan (PPL) di salah satu Sekolah Menengah Pertama di Kota Bandung, penulis melakukan studi pendahuluan capaian literasi fisika siswa yang terdiri atas kemampuan pemahaman membaca siswa dengan persentase 35%, kemampuan berhipotesis siswa dengan persentase 27%, dan pemahaman konsep siswa dengan persentase 15%. Siswa hanya mampu mengerjakan 3 soal dari 10 soal literasi fisika [6-8].
201
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
membaca), graphic organizer (strategi menulis) dan vocabulary instruction terintegrasi dalam pemberian tugas awal Integrated Reading-Writing. Pemberian tugas awal Integrated Reading-Writing yang adalah tugas rumah baca-tulis instruksional yang diberikan pada siswa untuk menambah pengetahuan awal siswa sebelum pembelajaran dimulai. Pengetahuan awal ini sangatlah penting dalam proses pembelajaran. Integrated ReadingWriting yang diadaptasi dari jurnal ‘Improving Middle school Students Science Literacy through Reading Infusion [1] dengan format: Part A: Reading, Pada Bagian ini siswa membaca sumber bacaan yang berkaitan dengan materi yang akan diajarkan. Bahan bacaan dapat diambil dari buku teks fisika. Part B: Conceptual Contruction. Pada bagian ini siswa harus menulis jawaban pertanyaan-pertanyaan pengarah yang disusun oleh guru yang berkaitan dengan sumber bacaan untuk mengkontruksi konsep dari sumber bacaan. Part C: Concept Mapping and Conclusion. Pada Bagian ini siswa harus menuliskan peta konsep dari sumber bacaan yang diberikan dan juga kesimpulan/inti sari dari bacaannya. Sedangkan tiga strategi literasi lainnya termasuk ke dalam pembelajaran berbasis masalah.
Selain itu, kemampuan pemahaman membaca, kemampuan berhipotesis, dan pemahaman konsep siswa pun masih rendah. Hal ini terlihat saat pembelajaran, dimana pembelajaran berlangsung terpusat hanya dari guru saja. Siswa belum mampu mengaitkan konsep fisika dengan fenomena-fenomena dalam kehidupan sehari-hari. Berdasarkan data studi pendahuluan diatas dapat disimpulkan bahwa literasi fisika siswa tersebut masih rendah. Teori Hubungan antara proses pembelajaran dan pembelajaran siswa adalah kunci dari rencana pengembangan. Guru professional perlu pengembangan berkelanjutan yang memungkinkan untuk pertumbuhan keahlian di departemen dan dengan pengalaman bertahuntahun mengajar. Semua guru perlu untuk mempelajari setiap strategi, berlatih dalam kelas mereka dengan dukungan teman sebaya, dan akhirnya memikul tanggung jawab untuk memberikan pengembangan masa depan siswa. Setelah meninjau bukti penelitian tentang kemanjuran dari strategi, dengan cepat guru mengadopsi frase tujuh strategi literasi sebagai bagian dari pembelajaran sekolah tersebut. Strategi Literasi merupakan strategi yang memiliki tujuan untuk mengetahui seberapa besar efek peningkatan literasi fisika siswa. Strategi literasi ini memiliki tujuh strategi. Tujuh strategi literasi tersebut diintegrasikan dalam paket pembelajaran yang terdiri dari pemberian tugas awal Integrated Reading-Writing dan pembelajaran berbasis masalah. Strategi literasi ini dilakukan pada saat pembelajaran berlangsung dengan menggunakan model pembelajaran berbasis masalah dan Integrated Reading-Writing. Ketujuh strategi ini diantaranya read-alouds (membaca keras), K-W-L chart/SQRW (strategi membaca), graphic organizer (strategi menulis), vocabulary instruction, writing to learn, structured notetaking, reciprocal teaching [1].
Oleh karena itu, penulis menggunakan strategi literasi dalam pembelajaran karena di dalam ketujuh strategi literasi yang digunakan terdapat beberapa komponen Integrated ReadingWriting dan pembelajaran berbasis masalah yang bertujuan untuk mengetahui pengetahuan awal siswa dan mengetahui peningkatan literasi fisika. Dengan diterapkan strategi literasi pada pembelajaran yang disertai dengan pemberian tugas awal Integrated Reading-Writing pada siswa, diharapkan dapat meningkatkan kemampuan literasi fisika siswa. Pembelajaran ini diterapkan pada model pembelajaran berbasis masalah, sehingga disini siswa ditanamkan kemampuan untuk menyelesaikan masalah secara bekerjasama dengan teman kelompoknya dalam menyelesaikan berbagai persoalan fisika yang diberikan oleh guru. Selain itu, pada model pembelajaran ini materi ajar dijelaskan oleh siswa pada kegiatan presentasi berdasarkan pengetahuan awal yang dimilikinya sebelum pembelajaran dimulai, guru hanya berperan dalam meluruskan konsep yang dijelaskan oleh siswa. Sehingga pembelajaran pun tidak terpusat pada aktifitas guru, melainkan adanya keaktifan dari siswanya sendiri saat pembelajaran berlangsung dan guru lebih dominan berperan sebagai fasilitator saja. Adapun metode yang digunakan oleh penulis yaitu Quasi Experiment dengan rancangan one group pretest-posttest design. Dalam penelitian ini hanya digunakan satu kelas eksperimen saja. Kelompok eksperimen merupakan kelompok yang diberi perlakuan yaitu penerapan strategi literasi. Sedangkan desain
Sedangkan literasi fisika merupakan kemampuan yang dimiliki oleh seseorang untuk memahami fisika, menggunakan keterampilan proses fisika, serta menerapkan pengetahuan dan keterampilan proses fisika untuk menyelesaikan permasalahan dalam kehidupan sehari-hari. Untuk mengetahui seberapa besar peningkatan literasi fisika, digunakan alat ukur berupa tes soal pilihan ganda yang mengadopsi pada pengembangan soal literasi sains yang dibuat oleh PISA tahun 2006 yang berdasarkan empat aspek literasi sains, yaitu context, knowledge, competencies, serta attitudes untuk mengetahui respon siswa terhadap pembelajaran. Empat strategi literasi diatas, yaitu readalouds (membaca keras), K-W-L chart (strategi
ISBN 978-602-19655-4-2
202
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
penelitian yang digunakannya adalah one group pretest-posttest design seperti dijelaskan dalam Sugiyono [3]. Secara umum digambarkan pada tabel berikut:
Persentase Nilai 80,00% 60,00% 40,00% 20,00% 0,00%
Tabel 1. Design Penelitian. Pretest O1
Treatment X
Posttest O2
71,21%
46,36%
46,00%
Pretest Posttest N‐Gain
Keterangan :
Gambar 1. Persentase nilai literasi fisika.
O1 = Test awal sebelum diberi perlakuan X = Treatment (menerapkan strategi literasi) O2 = Test akhir setelah diberi perlakuan
Aspek attitudes adalah suatu aspek untuk mengetahui respon atau ketertarikan siswa terhadap pembelajaran yang telah diberikan. Sama halnya dengan ketiga aspek literasi lainnya, aspek attitudes juga diberikan saat pembelajaran melalui pretest dan posttest. Aspek ini terdiri dari 3 pernyataan, yaitu pernyataan pertama mengenai ketertarikan siswa terhadap pembelajaran, pernyataan kedua yaitu mengenai prinsip kerja berdasarkan tema yang diberikan guru, dan pernyataan ketiga yaitu mengenai menyelesaikan masalah berdasarkan tema dengan menggunakan konsep ilmiah. Pernyataan-pernyataan diberikan dengan empat pilihan, yaitu sangat penting (SP), penting (P), kurang penting (KP), dan tidak penting (TP). Hasil aspek ini dapat dilihat dari tabel 2 dibawah dalam persentase nilai pretest dan posttest aspek attittudes.
Untuk melihat peningkatan literasi fisika secara keseluruhan maka dihitung nilai gain dengan menggunakan skor pretest dan posttest. Nilai gain yang dinormalisasi merupakan perbandingan antara persentase nilai gain yang diperoleh siswa dengan persentase nilai gain maksimum yang diperoleh. Hasil dan Diskusi Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan setelah diterapkannya strategi literasi dalam pembelajaran IPA bertema pelangi didapat peningkatan literasi fisika siswa. Hal ini dapat dilihat dari adanya peningkatan nilai rata-rata pretest dan nilai rata-rata posttest yaitu dari sebesar dari 46,36 menjadi 71,21. Peningkatan literasi fisika siswa dapat terlihat dari nilai pretest dan posttest siswa. Tes yang diberikan pada siswa berupa soal pilihan ganda yang diberikan pada awal pertemuan pembelajaran dan akhir pertemuan pembelajaran dengan jumlah seluruh soal adalah 10 soal. Hasil penelitian dapat dilihat dari tabel 1 dibawah ini:
Tabel 2. Persentase nilai aspek attitudes. Pernyataan no. 1 2 3
Tabel 1. Persentase nilai literasi fisika siswa. Pretest (%)
Posttest (%)
n-gain
46.36
71.21
0,46
pretest posttest pretest posttest pretest posttest
SP (%) 39,39 45,45 51,51 66,67 6,06 21,21
P (%) 54,54 54,54 48,48 33,33 60,60 60,60
KP (%) 6,06 30,30 18,18
TP (%) 3,03 -
Dari tabel 2 diatas dapat dilihat bahwa terdapat nilai persentase aspek attitudes terhadap setiap pernyataan yang diberikan kepada siswa. Hal ini menunjukkan adanya respon atau ketertarikan siswa terhadap pembelajaran IPA bertema pelangi setelah diterapkannya strategi literasi dengan memberikan integrated reading writing dengan menggunakan model pembelajaran berbasis masalah.
Soal literasi fisika yang dimaksud adalah soalsoal yang didalamnya terdapat kemampuan untuk mengidentifikasi isu ilmiah fisika, menjelaskan fenomena fisika secara ilmiah, dan menggunakan bukti ilmiah itu dalam kehidupan sehari-hari berdasarkan konsep fisika. Dalam penelitian ini aspek yang diteliti yaitu aspek context, knowledge, competencies, dan attitudes. Persentase nilai ratarata pretest dan posttest diatas hanya untuk 3 aspek literasi saja, yaitu aspek context, knowledge, dan competencies. Sedangkan untuk aspek attitudes diolah secara terpisah. Setelah menormalisasikan nilai gain didapat nilai n-gain sebesar 0,46 dengan kategori sedang. Hal ini dapat dilihat dari gambar 1 dibawah ini dalam persentase nilai persentase literasi fisika siswa.
ISBN 978-602-19655-4-2
Skor
Hasil penelitian ini memiliki nilai gain ternormalisasi sebesar 0,46 dalam kategori sedang. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya yaitu siswa belum terbiasa menyelesaikan soal literasi fisika, siswa dan guru belum terbiasa dengan model pembelajaran berbasis masalah, dan guru belum mengetahui bentuk soal literasi fisika dengan baik. Berdasarkan data hasil penelitian diatas, secara umum dapat disimpulkan bahwa terdapat
203
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Hastia, Mega, “Penerapan Model Pembelajaran Inkuiri Terbimbing Untuk Meningkatkan Literasi Sains Siswa SMP”, Skripsi Sarjana pada FPMIPA UPI Bandung: tidak diterbitkan, (2012). Fisher. Douglas, Nancy Frey and Douglas Williams, “Seven literacy strategies that work”, 60(3), 70-73 (2002). Fang, Zhihui, “Improving Middle School Student Science Literacy Through Reading Infusion”. Journal of Education Research, 103, 262-273, (2010). Hobson, Art., “Physics Literacy, Energy and The Environment”. Journal IOP Journal of Physics Education. 38, 109-114, (2003). Arikunto, S., “Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan”, Jakarta: Bumi Aksara, (2009). Sugiyono, “Metode Penelitian Kuantitaif Kualitatif dan R & D”, Bandung : Alfabeta, (2012).
peningkatan literasi fisika siswa dalam seluruh aspek. Kesimpulan Penerapan strategi literasi dalam pembelajaran IPA bertema pelangi meliputi pemberian tugas awal Integrated Reading-Writing yang diberikan sebelum pembelajaran berlangsung dengan menggunakan model pembelajaran berbasis masalah selama proses pembelajaran menunjukkan peningkatan literasi fisika. Peningkatan literasi fisika tersebut dapat dilihat dari peningkatan nilai rata-rata pretest siswa sebesar 46,36% menjadi nilai rata-rata posttest siswa sebesar 71,21%. Besarnya peningkatan literasi fisika ini ditunjukkan pula oleh nilai gain yang ternormalisasi yaitu sebesar 0,46 dalam kategori sedang.
R. Sinta Harosah* Pendidikan Fisika FPMIPA Universitas Pendidikan Indonesia [email protected]
Ucapan terima kasih Penulis mengucapkan terima kasih kepada SMP Negeri 19 Bandung atas dukungannya dalam proses penelitian ini, dan rekan-rekan yang telah membantu dalam keikutsertaan pada penelitian ini.
Ridwan Efendi Pendidikan Fisika FPMIPA Universitas Pendidikan Indonesia [email protected]
Referensi Badan Penelitian dan Pengembangan, “Kajian Kebijakan Kurikulum Mata Pelajaran IPA”, Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, (2007). Program for Internasional Student Assessment, “Assessing Scientific”, Reading and Mathematical Literacy. By the government of Organisation for Economic Co-operation Development, (2006).
ISBN 978-602-19655-4-2
Selly Feranie Pendidikan Fisika FPMIPA Universitas Pendidikan Indonesia [email protected] *Corresponding author
204
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Permutasi dengan Panjang n yang Tidak Memuat Pola dengan Panjang Tiga Rachmad Lasaka, dan Djoko Suprijanto Abstrak Permutasi p dikatakan memuat suatu pola-q, jika p memiliki sedikitnya sebuah subbarisan yang unsurunsurnya saling berkorespondensi dengan unsur-unsur di q. Jika tidak terdapat subbarisan seperti itu pada permutasi p, maka p disebut tidak memuat pola-q. Pola-q dikatakan memiliki panjang tiga jika q terdiri atas tiga unsur. Dalam makalah ini akan kami tinjau kembali bagaimana menentukan banyaknya permutasi yang tidak memuat pola dengan panjang tiga. Kata kunci : permutasi, pola-q, pola dengan panjang tiga. Unsur a, b, dan c disebut membentuk pola132 karena unsure a, b, c dan angka 1, 2, 3 saling berkorespondensi.
Pendahuluan Misalkan terdapat n orang anak dengan tinggi badan yang berbeda-beda. Misalkan 1,2,3,…, n menyatakan anak-anak tersebut yang diurut berdasarkan tinggi badan, jadi 1 adalah anak yang terpendek, dan n adalah anak yang tertinggi. Mereka membuat suatu permainan unik dengan membentuk satu barisan berbanjar dengan aturan sebagai berikut : setiap anak menghadap punggung teman yang mendahuluinya, dan setiap anak harus dapat melihat semua anak yang lebih pendek dan mendahului dirinya. Jika anak-anak tersebut membentuk barisan 1423567, maka barisan tersebut bukanlah barisan yang tepat, karena anak nomor 2 atau 3 terhalang oleh anak nomor 4 sehingga tidak dapat melihat temannya yang nomor 1 yang lebih pendek sekaligus mendahului mereka. Namun barisan 6723415 merupakan salah satu barisan yang tepat, sebab setiap anak dalam barisan tersebut dapat melihat semua anak yang lebih pendek dan mendahului dirinya.
Contoh 2 : Permutasi p=25641387 dikatakan memuat pola132 karena terdapat (2,6,4) yang saling berkorespondensi dengan unsur 132. Definisi 3 : Misalkan p adalah sebuah permutasi. Jika tidak terdapat tiga unsur di p yang membentuk pola-132, maka p disebut tidak memuat pola-132. Contoh 4 : Permutasi t = 456312 tidak memuat pola-132 karena tidak ada tiga unsur di t yang berkorespondensi dengan 132. Dari definisi dan contoh-contoh di atas, dapat dikatakan bahwa suatu permutasi p dikatakan memuat suatu pola-q, jika p memiliki sedikitnya sebuah subbarisan yang unsur-unsurnya saling berkorespondensi dengan unsur-unsur di q. Secara matematis, uraian di atas dapat didefinisikan sbb :
Lantas, bagaimanakah cara anak-anak membentuk barisan tersebut? dan berapa banyak barisan yang dapat mereka bentuk ?
Definisi 5 : Misalkan q = q1q2 … qk Sk adalah permutasi dengan panjang k dan p = p1p2 … pn Sn adalah permutasi dengan panjang n, dengan k n. Permutasi p dikatakan memuat pola-q jika terdapat subbarisan pi1 p12 pik di p sedemikian hingga
Anak-anak dapat membentuk barisan tersebut jika tidak terdapat tiga orang anak dalam barisan itu, misalkan a, b, c sedemikian hingga a < c < b. Artinya, a adalah anak yang terpendek, b anak yang tertinggi, dan c anak yang memiliki tinggi diantara keduanya.
i1 i2 ik dan pia pib qa qb , dimana a 1, k b .
Definisi 1 : Misalkan a, b, dan c adalah tiga unsur permutasi (dalam urutan kiri ke kanan, tapi tidak harus berurutan). Jika a < c < b, maka unsur a, b, dan c disebut membentuk pola-132.
ISBN 978-602-19655-4-2
jika dan hanya jika
Dalam makalah ini, penulis meninjau kembali cara menentukan banyaknya permutasi dengan panjang n yang tidak memuat pola dengan panjang tiga.
205
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
1. Sn(213) Definisi 6 (balikan permutasi) : Misalkan p = p1p2 … pn adalah permutasi dengan panjang n. Balikan dari p adalah permutasi pr = pnpn-1 ... p1 Berdasarkan definisi tersebut, 231 merupakan balikan dari 132. Dengan demikian terdapat bijeksi antara himpunan permutasi yang tidak memuat pola-231 dengan himpunan permutasi yang tidak memuat pola-132. Sehingga jika suatu permutasi tidak memuat pola-132, maka balikan dari permutasi tersebut tidak memuat pola231, dan sebaliknya. Dengan demikian, Sn(231) = Sn(132)
Banyaknya Permutasi dengan Panjang n yang Tidak Memuat Pola 132
2. Sn(312) Definisi 7 (komplemen permutasi) : Misalkan p = p1p2 … pn adalah permutasi dengan panjang n. Komplemen dari p adalah permutasi pc yang unsur ke-i nya adalah n+1-pi. Berdasarkan definisi tersebut, 312 merupakan komplemen dari 132. Dengan demikian terdapat bijeksi antara himpunan permutasi yang tidak memuat pola-312 dengan himpunan permutasi yang tidak memuat pola-132. Sehingga jika suatu permutasi tidak memuat pola-132, maka komplemen dari permutasi tersebut tidak memuat pola-312, dan sebaliknya. Dengan demikian, Sn(312) = Sn(132)
Banyaknya permutasi dengan panjang n yang tidak memuat pola-132 sama dengan banyaknya lintasan terpendek dari A ke B yang tidak memotong garis l : y = x + 1. Banyaknya permutasi ini dilambangkan dengan Sn(132). Misalkan m adalah lintasan terpendek dari A ke B yang memotong garis l. T adalah titik potong pertama antara m dengan l. Misalkan m1 adalah bagian m yang berada di antara A dan T, sedangkan m2 adalah bagian m yang berada di antara T dan B.
3.
Sn(213) Karena 213 merupakan balikan dari 312 sekaligus merupakan komplemen dari 231, maka : Sn(213) = Sn(132)
Jika m1 direfleksikan terhadap l, maka bayangan A adalah G, dan bayangan m1 adalah m’1, yaitu lintasan terpendek dari G ke T. Akibatnya, jika m’1 dihubungkan dengan m2, maka akan diperoleh lintasan terpendek dari G ke B.
4. Sn(123) Definisi 8 (left-to-right minimum) : Suatu unsur permutasi yang lebih kecil dari semua unsur yang mendahuluinya disebut left-to-right minimum.
Perhatikan bahwa setiap lintasan terpendek dari G ke B haruslah berpotongan dengan l, sehingga T dapat berada di titik manapun di sepanjang l. Oleh karena itu, melalui refleksi prapeta dari setiap lintasan terpendek dapat diperoleh. Dengan demikian, terdapat bijeksi antara lintasan m dengan lintasan terpendek dari G ke B.
Untuk membangun bijeksi f dari himpunan permutasi yang tidak memuat pola-132 ke himpunan permutasi yang tidak memuat pola-123, digunakan langkah-langkah sebagai berikut : 1) Ambil sembarang permutasi p yang tidak memuat pola-132. 2) Tetapkan semua unsur left-to-right minimum dari p 3) Hapus semua unsur p yang bukan left-to-right minimum. 4) Dimulai dari kiri ke kanan, letakkan kembali unsur-unsur yang bukan left-to-right minimum tadi ke tempat kosong di antara left-to-right minimum dalam urutan menurun. 5) Setelah semua tempat kosong terisi, maka diperoleh permutasi baru f(p) yang merupakan hasil peta dari permutasi p.
Jadi, banyaknya lintasan terpendek dari A ke B yang tidak memotong garis l sama dengan selisih antara banyaknya seluruh lintasan terpendek dari A ke B dengan banyaknya lintasan terpendek dari A ke B yang memotong garis l. Atau dapat dituliskan : 2n 2 n 2 n n S n (132) cn . n n 1 n 1 Bilangan cn ini disebut dengan Bilangan Catalan.
ISBN 978-602-19655-4-2
206
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Sekarang akan dibuktikan bahwa f bijeksi dengan menunjukkan inversnya. Untuk itu, akan digunakan langkah-langkah sebagai berikut : 1) Ambil sembarang permutasi q yang tidak memuat pola-123. 2) Tetapkan semua unsur left-to-right minimum dari q 3) Hapus semua unsur q yang bukan left-to-right minimum. 4) Dimulai dari kiri ke kanan, letakkan kembali unsur-unsur yang bukan left-to-right minimum tadi ke tempat kosong di antara left-to-right minimum, sedemikian hingga setiap unsur yang ditempatkan merupakan unsur terkecil dari semua unsur yang belum ditempatkan, namun lebih besar dari left-to-right minimum yang mendahuluinya. 5) Setelah semua tempat kosong terisi, maka diperoleh permutasi baru g(q) yang merupakan hasil peta dari permutasi q.
Penutup Permutasi p dikatakan memuat suatu polaq, jika p memiliki sedikitnya sebuah subbarisan yang unsur-unsurnya saling berkorespondensi dengan unsur-unsur di q. Jika p tidak memiliki subbarisan yang dimaksud, maka p dikatakan tidak memuat pola-q. Banyaknya permutasi dengan panjang n yang tidak memuat pola dengan panjang tiga 2n n adalah . n 1 Daftar Pustaka [1] Bona, M., A Walk Through Combinatorics, Second Edition, World Scientific, (2006). [2] Bona, M., The Absence of A Pattern and The Occurrences of Another. Discrete Mathematics and Theoretical Computer Science. 12(2), 89-102, (2010) [3] Bona, M., Combinatorics of Permutations, Second Edition, CRC Press, (2012). [4] Bona, M., Surprising Symmetries in Objects Counted by Catalan Numbers, The Electronic Journal of Combinatorics 19, #P62. (2012).
Hal ini membuktikan bahwa g(f(p)) = p, sehingga f bijeksi. Jadi, berdasarkan uraian di atas, Sn(123) = Sn(132) 5.
Sn(321) Karena 321 merupakan balikan sekaligus komplemen dari 123, maka : Sn(213) = Sn(132) Dengan demikian telah diperoleh bahwa :
Rachmad Lasaka Program Studi Magister Pengajaran Matematika FMIPA-ITB Jl. Ganesha No.10 Bandung [email protected]
S n (132) Sn (231) S n (312) 2n n S n (213) Sn (123) Sn (321) n 1
Djoko Suprijanto Kelompok Keahlian Matematika Kombinatorika FMIPA-ITB Jl. Ganesha No.10 Bandung, [email protected]
Artinya bahwa banyaknya permutasi dengan panjang n yang tidak memuat pola dengan panjang tiga adalah sama.
ISBN 978-602-19655-4-2
207
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Model Percobaan Sederhana untuk Pembelajaran tentang Pengukuran Efisiensi Konversi dari Energi Mekanik menjadi Energi Listrik Firman Iqro’ Bismillah, Zamzam Multazam, dan Rahmat Hidayat Abstrak Kebutuhan akan energi alternatif dan terbarukan semakin besar akhir-akhir ini. Oleh karena itu, pegenalan dan pembelajaran tentang energi alternatif dan terbarukan hendaknya diperkenalkan sejak dini, bahkan sejak di bangku sekolah menengah. Energi alternatif dan terbarukan yang bersumberkan pada air, angin ataupun ombak didasari pada konversi dari energi mekanik menjadi energi kinetik. Salah satu parameter penting dari konversi energi itu adalah efisiensi. Sebuah model percobaan sederhana dengan memanfaatkan motor listrik dan proses akuisisi data secara real time telah dibuat sebagai media pembelajaran terkait proses konversi energi dan efisiensinya. Proses akusisi data secara real time memungkinkan untuk menghitung energi keluaran meski tegangan dan arus keluarannya berubah-ubah terhadap waktu. Efisiensi kemudian dapat dihitung dari perbandingan energi listrik keluaran terhadap perubahan energi mekanik dari sistem. Kata kunci: energi alternatif, efisiensi, motor listrik, generator, model percobaan praktikum jatuh dan memutar katrol, energi potensial dari beban akan diubah menjadi energi kinetik translasi beban dan energi kinetik rotasi katrol. Energi kinetik rotasi katrol tersebut digunakan untuk memutar kumparan dalam generator sehingga akan menghasilkan tegangan induksi.
Pendahuluan Permasalahan energi di Indonesia telah menjadi bahasan penting di kalangan pendidikan. Solusi dari contoh permasalahan tersebut, seperti krisis dan efisiensi energi, telah banyak kita ketahui, yaitu penggunaan energi alternatif dan terbarukan. Namun pengajaran dan pengenalan hal tersebut pada jenjang pendidikan sekolah menengah dan perguruan tinggi di Indonesia masih kurang. Oleh karena itu pembuatan model pembelajaran mengenai energi ini sangat penting. Percobaan ini merupakan model sederhana dari pembangkit listrik yang menggunakan energi input berupa energi mekanik, misalnya turbin PLTA dan kincir angin. Dalam model ini energi mekanik yang diberikan berupa energi potensial awal suatu beban pada ketinggian tertentu. Nilai efisiensi konversi dipengaruhi oleh kondisi sistem generator. Variasi parameter yang dilakukan adalah massa. Besaran mekanik dan listrik menjadi parameter penting dalam analisis efisiensi konversi energi mekanik menjadi energi listrik.
Gambar 1. Alur konversi energi mekanik menjadi listrik. Perubahan energi sistem total merupakan perubahan energi mekanik ditambah energi listrik, yakni: ∆Esistem = ∆Emek + Elistrik
Konsep Percobaan
Perubahan energi mekanik (∆Emek) merupakan penjumlahan dari perubahan energi potensial, perubahan energi kinetik dan energi hilang akibat gerak mekanik, yakni
Generator listrik merupakan sebuah alat yang digunakan untuk menghasilkan energi listrik dari sumber mekanik. Prinsip kerja dari generator listrik adalah induksi elektromagnetik akibat adanya perubahan fluks magnet. Untuk menghasilkan perubahan fluks magnet dapat dilakukan dengan memutar kumparan, gaya yang digunakan untuk memutar kumparan tersebut berasal dari luar generator pada percobaan ini berasal dari energi gerak beban yang dijatuhkan (Energi potensial gravitasi). Ketika katrol dilepaskan maka akan
ISBN 978-602-19655-4-2
(1)
∆Emek = ∆Epot + ∆Ekin + Eloss
(2)
Energi kinetik yang dihasilkan akan dikonversi menjadi energi listrik oleh model generator itu. Energi listrik yang dihasilkan kemudian digunakan untuk menyalakan LED dan sebagian menjadi energi hilang listrik pada rangkaian.
208
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Elistrik = ELED + Eloss
(3)
Besarnya efisiensi konversi energi mekanik menjadi listrik dapat ditentukan dengan menghitung perbandingan antara energi yang digunakan oleh lampu LED (listrik) dan perubahan energi potensial sistem.
ELED E pot
(4)
Dengan melakukan percobaan ini, kita dapat memperkirakan efisiensi konversi dengan membandingkan energi gerak yang dihasilkan oleh beban dengan energi yang listrik yang dihasilkan. Jika diasumsikan energi listrik yang dihasilkan oleh model generator itu seluruhnya hanya terdisipasi di beban listrik (yakni lampu LED), maka energi yang dihasilkan (=WLED) selama selang waktu beban bergerak jatuh dapat dihitung cara seperti berikut ini. Jika V dan I selalu konstan, maka WLED Pt Vit
Gambar 1. Skema model percobaan sederhana yang memanfaatkan motor listrik dan katrol.
(5)
Jika V dan I tidak konstan, maka WLED V (t )i (t )dt
(6)
WLED V (t )i (t )dt
(7)
atau
Gambar 2. Sistem generator listrik yang terdiri dari motor listrik, katrol dan beban.
Keterangan: WLED : energi yang digunakan oleh lampu LED, yang diasumsikan sama dengan energi yang dihasilkan oleh model generator P(t) : daya sesaat V(t) : tegangan sesaat i(t) : arus sesaat
Susunan setup pengukuran tegangan dan arus, yang dilakukan secara real time saat beban jatuh, ditunjukkan dalam Gambar 3 dan Gambar 4. Hubungkan kabel USB untuk akusisi data arus dari digital multimeter ke komputer. Jalankan program komputer untuk mengakusisi data tersebut. Kemudian pasanglah beban yang terlebih dahulu telah ditimbang beratnya pada katrol. Putarlah katrol sehingga beban berada pada posisi yang tertinggi. Lepaskanlah beban secara bersamaan dengan menekan tombol akusisi data dalam program. Ukur pula waktu gerak beban hingga menyentuh lantai. Percobaan dilakukan dua kali untuk setiap beban untuk pengukuran tegangan dan arus. Variasi data dilakukan dengan mengubah jenis LED dan nilai beban yang berbeda. Plot grafik tegangan terhadap waktu, arus terhadap waktu dan daya terhadap waktu.
Metode dan Prosedur Percobaan Alat-alat yang digunakan dalam percobaan ini yaitu satu set generator listrik yang terbuat dari sebuah motor yang tergandeng dengan sebuah katrol, multimeter digital yang terkoneksi dengan komputer, lampu LED, set beban, dan kabel-kabel penghubung. Energi listrik yang dihasilkan dari energi gerak (energi potensial gravitasi) yang berasal dari beban yang terkait dengan katrol (Gambar 1). Data yang didapat berupa tegangan dan arus yang diukur secara real time ketika beban bergerak jatuh ke bawah. Besar beban dipilih agar putaran katrol tidak terlalu cepat, tetapi masih cukup untuk menghasilkan tegangan yang diperlukan untuk menyalakan lampu LED.
ISBN 978-602-19655-4-2
209
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Gambar 3. Setup pengukuran tegangan
Gambar 5. Kurva tegangan yang terukur pada LED terhadap waktu.
Gambar 4. Setup pengukuran arus. Hasil dan Diskusi Data pengukuran mekanik yang dilakukan adalah massa beban, ketinggian beban, dan waktu. Beban divariasikan dengan tiga nilai massa yang berbeda. Waktu dihitung dengan aplikasi penghitung waktu yang terintegrasi dengan pencatat nilai tegangan dan arus. Energi mekanik yang dimiliki oleh beban adalah energi potensial awal sebelum beban dijatuhkan. Maka dengan persamaan energi potensial dapat dihitung energi potensial untuk tiga massa beban yang berbeda, dapat dilihat pada Tabel 1.
Gambar 6. Kurva kuat arus listrik yang terukur pada LED terhadap waktu.
Data pengukuran listrik yang didapatkan adalah nilai tegangan dan arus yang dicatat secara real time. Grafik kedua besaran tersebut terhadap waktu ditunjukkan pada gambar 6 dan gambar 7. Terlihat bahwa nilai keduanya bervariasi setiap waktunya. Variasi ini masih berada pada rentang arus dan tegangan searah (DC), yaitu diatas nol. Sesuai dengan persamaan 5 untuk menentukan nilai daya yang dihasilkan, maka didapatkan grafik daya seperti pada gambar 7. Nilai energi listrik yang dihasilkan adalah luas di bawah grafik tersebut. Secara numerik dapat dihitung dengan mengalikan nilai daya yang dihasilkan tiap waktunya dengan selang waktu pengambilan data, sehingga akan didapatkan nilai energi listrik sesaat tiap selang waktunya. Kemudian energi listrik total dihitung dengan menjumlahkan keseluruhan energi listrik sesaat.
ISBN 978-602-19655-4-2
Gambar 7. Kurva daya listrik yang dihasilkan terhadap waktu. Efisiensi konversi dihitung dengan persamaan 4 dan didapatkan hasil seperti pada Tabel 1. Nilai efisiensi bervariasi terhadap massa yang diberikan. Terdapat dua regu yang berbeda yang telah melakukan percobaan dengan variasi massa tertentu pada dua set generator yang berbeda. Hasil keduanya menunjukkan kecenderungan nilai efisiensi terhadap variasi massa yang saling berkebalikan, yaitu untuk regu A nilai efisiensi
210
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Model percobaan ini cukup sederhana untuk memodelkan proses konversi energi mekanik menjadi energi listrik. Untuk pengembangan lebih lanjut dan lebih menarik, model ini dapat dimodifikasi dengan menggunakan energi input berupa aliran fluida atau angin sehingga menyerupai pembangkit listrik pada umumnya.
sebanding dengan massa sedangkan untuk regu B nilai efisiensi berbanding terbalik terhadap massa. Tabel 1. Contoh hasil pengolahan data dari dua regu praktikum yang berbeda.
No
Massa (gram)
Energi Listrik (J)
Perubahan Energi Potensial (J)
Efisiensi
Kesimpulan Model percobaan sederhana ini telah dapat menunjukkan bagaimana proses konversi energi mekanik menjadi energi listrik dan cara mengukur efesiensi konversinya dengan mudah. Model ini juga bisa dimodifikasi lebih lanjut sehingga dapat diajarkan dan diperkenalkan mulai dari sekolah menengah hingga perguruan tinggi.
Regu A 1
79,3
0,136
1,399
20,6 %
2
35,2
0,045
0,620
14,0 %
Regu B 1
58,0
0,185
1,160
15,9 %
2
79,4
0,165
1,580
10,4 %
3
123,5
0,166
24,664
6,7 %
Ucapan Terima Kasih Penulis berterima kasih kepada teknisi/laboran Laboratorium Fisika Dasar (LFD) FMIPA ITB atas bantuan pembuatan setup modul percobaan ini.
Massa beban ternyata dapat mempengaruhi nilai efisiensi dengan cara yang berbeda. Pada regu B, hal ini berkaitan dengan gesekan. Semakin besar massa beban yang digunakan maka laju putar katrol juga lebih cepat. Sedangkan intensitas gesekan pada sistem gear dipengaruhi oleh laju translasinya sehingga semakin besar massa maka kemungkinan terjadi gesekan hingga slip pada katrol juga semakin besar. Sedangkan pada regu A nilai efisiensi sebanding dengan massa karena sistem generator yang digunakan lebih sedikit terjadi gesekan. Energi gesekan dalam sistem generator ini merupakan energi hilang mekanik.
Referensi [1] Halliday, D., Resnick, R., Walker, J., Fundamental of Physics, John Willey & Sons, 2007.
Firman Iqro’ Bismillah Laboratorium Fisika Dasar Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Bandung [email protected]
Motor listrik yang berfungsi sebagai generator juga memiliki karakteristik efisiensi tersendiri dalam mengkonversi energi kinetik menjadi energi listrik. Karakteristik tersebut tidak linear terhadap energi mekanik (input) yang diberikan. Oleh karena itu suatu sistem generator akan memiliki kondisi efisiensi optimal pada nilai energi input tertentu.
Zamzam Multazam Laboratorium Fisika Dasar Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Bandung [email protected]
Untuk menambah nilai efisiensi konversi perlu dilakukan perbaikan pada sistem gear agar meminimalisasi besar energi hilang mekanik berupa gesekan. Hal ini akan menambah energi kinetik yang dapat dihasilkan sehingga efisiensinya meningkat. Selain itu energi hilang ini dapat diminimalisasi dengan menggunakan katrol dan motor listrik yang seporos.
ISBN 978-602-19655-4-2
Rahmat Hidayat Laboratorium Fisika Dasar Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Bandung [email protected]
*Corresponding author
211
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Perancangan Automatic Gain Control pada Modem Orthogonal Frequency Division Multiplexing (OFDM) dalam rentang Frekuensi Audio Rifki Muhendra*, dan Maman Budiman Abstrak Orthogonal frequency-division multiplexing (OFDM) merupakan metode modulasi digital di mana sebuah sinyal dibagi menjadi beberapa saluran subcarrier pada frekuensi yang berbeda. Teknologi ini cocok untuk televisi digital, dan sedang dipertimbangkan sebagai metode untuk mendapatkan kecepatan tinggi transmisi data digital melalui saluran telepon konvensional. Pada penelitian ini sistem ini akan diaplikasikan untuk mengirimkan suara secara real time. Salah satu permasalahan dalam pengembangan sistem OFDM ialah masalah peningkatan data rate OFDM dengan menggunakan Mapping 64 QAM dan penambahan Automatic Gain Control (AGC) untuk memperbaiki performa sinyal pada receiver. Dengan peningkatan Mapping pada sistem diharapkan jumlah sinyal yang dioperasikan menjadi lebih besar mencapai 8 kpps. Berdasarkan hasil simulasi dan implementasi Automatic Gain Control pada modem OFDM dalam jangkauan frekuensi audio dapat disimpulkan Automatic Gain Control dapat mengatasi fluktuasi sinyal suara yang diterima setelah melewati kanal terutama dalam penggunaan modulasi yang cukup besar seperti 64 QAM. Hasil simulasi menunjukkan kemampuan Automatic Gain Control dengan metode ini mampu secara efektif memperbaiki performa suara pada walaupun dari sisi jumlah bit error masih menunjukkan hasil yang kurang baik terhadap variasi frekuensi offset, panjang FFT dan variasi frekuensi sampling. Kata-kata kunci: Automatic Gain Control, OFDM, mapping, FFT (bandwidth < 3 kHz). Dengan memanfaatan frekuensi audio sebagai carrier maka sistem ini dapat digunakan sebagai modem universal yang dapat disambungkan pada berbagai alat komunikasi yang telah ada seperti telepon kabel, telepon cellular, radio komunikasi dsb. Modem ini dapat digunakan untuk mengirim suara, gambar, teks maupun data file. Pada penelitian ini sistem ini akan diaplikasikan untuk mengirimkan suara secara real time. Salah satu permasalahan dalam pengembangan sistem OFDM ialah masalah peningkatan data rate OFDM dengan menggunakan Mapping 64 QAM dan penambahan Automatic Gain Control (AGC) untuk memperbaiki performa sinyal pada receiver. Dengan peningkatan Mapping pada sistem diharapkan jumlah sinyal yang dioperasikan menjadi lebih besar mencapai 8 kpps. Pada penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas system OFDM yang pernah dirancang sebelumnya oleh Rianto (2009).
Pendahuluan OFDM (Orthogonal Frequency Division Multiplexing) merupakan teknik modulasi yang menggunakan banyak frekuensi pembawa (multicarrier), dimana antar subcarrier satu dengan yang lain saling ortogonal. Karena sifat ortogonalitas ini, maka antar subcarrier yang berdekatan tidak saling berinterferensi. Hal ini akan membuat sistem OFDM mempunyai efisiensi spektrum yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan teknik modulasi multicarrier konvensional. Pada saat ini, OFDM telah dijadikan standar dan dioperasikan di Eropa yaitu pada proyek DAB (Digital Audio Broadcast), selain itu juga digunakan pada HDSL (High Bit-rate Digital Subscriber Lines; 1.6 Mbps)[1], VHDSL (Very High Speed Digital Subscriber Lines; 100 Mbps)[2], HDTV (High Definition Television)[3] dan juga komunikasi radio. Teknologi ini sebenarnya sudah pernah diusulkan pada sekitar tahun 1950, dan penyusunan teoriteori dasar dari OFDM sudah selesai sekitar tahun 1960. Pada tahun 1966, OFDM telah dipatenkan di Amerika[2]. Kemudian pada tahun 1970-an, muncul beberapa paper yang mengusulkan untuk mengaplikasikan DFT (Discrete Fourier Transform) pada OFDM, dan sejak tahun 1985 muncul beberapa paper yang memikirkan pengaplikasian teknologi OFDM ini pada komunikasi wireless.
Modem OFDM akan disimulasikan dengan menggunakan software Simulink pada MATLAB 2010a dan selanjutnya diimplementasikan pada OMAP L-137 TMS320C6747 Texas Instrument.
Melihat kelebihan yang dimiliki teknik OFDM ini, maka penulis tertarik untuk mengembangkan sistem OFDM ini pada jangkauan frekuensi audio
ISBN 978-602-19655-4-2
212
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Teori
n
Secara umum, komponen yang membentuk sistem komunikasi wireless terdiri dari bagian transmitter, channel, dan receiver. Demikan juga halnya dengan sistem OFDM.
x 2 (t )
n | X ( f ) |2 n
Dimana X ( f ) FFT {x(t )} jumlah sampel x(t)
dan n adalah
Dalam kasus ini, nilai RMS secara komputasi dalam domain waktu sama dengan domain frekuensi yaitu : RMS
1 x 2 (t ) n n
1 | X ( f ) |2 n n
n
X(f ) n
2
Perancangan Sistem OFDM Untuk memudahkan pengujian algoritma dan desain sistem serta implementasi pada OMAP L137 TMS320C6747, maka sistem dimodelkan dan simulasikan dengan menggunakan software simulink pada MATLAB 2010a. Gambar 1. Desain OFDM[4].
Perancangan Simulasi OFDM
Sebuah sinyal carrier OFDM terdiri dari sejumlah orthogonal subcarrier. Data baseband pada masing-masing subcarrier dimodulasi menggunakan teknik modulasi yang umum, seperti Quadrature Amplitude Modulation (QAM) atau Phase Shift Keying (PSK)[4].IFFT dihitung pada setiap set simbol, memberikan satu set sampel kompleks pada domain waktu. Set sampel ini kemudian dicampur (mixed) secara kuadratur untuk passband .
Simulasi dilakukan untuk menganalisa performa dari automatic gain control pada sistem OFDM yang telah dirancang. Performa automatic gain control disimulasikan dengan melewatkan sinyal OFDM pada kanal transmisi berupa noise, delay dan frekuensi offset. Performa dari automatic gain control diukur berdasarkan jumlah bit error pada penerima. Dalam simulasi ini jumlah bit yang dikirim adalah sebanyak 10000 bit.
Pada sisi receiver, dilakukan proses yang berkebalikan dengan proses yang terjadi pada sisi transmitter . FFT digunakan untuk mengubah kembali ke domain frekuensi. Aliran data kembali paralel, yang masing-masing dikonversi menjadi aliran biner menggunakan detektor simbol yang sesuai. Aliran simbol ini kemudian kembali digabungkan menjadi aliran serial s[n] yang merupakan aliran biner asli dari transmitter
Gambar 2. Perancangan Simulasi OFDM[10]. Pengujian Sistem Modem OFDM
Automatic Gains Control (AGC)
Modem OFDM yang telah dirancang dan disimulasikan kemudian ditanam pada board TMS320C6747. Pada pengujian dilakukan proses perekaman suara output receiver untuk membandingkan kualitas suara yang dihasilkan seperti yang ditunjukkan pada gambar 3.
Automatic gain control dapat diartikan sebuah sistem yang secara otomatis dapat memvariasikan penguatan frekuensi penerima terhadap perubahan sinyal pada masukan. AGC[5] dengan metoda RMS (Root Mean Square) berguna ketika sinyal perlu untuk kompres atau dibatasi, namun masih mempertahankan cukup banyak sensasi dinamis, dan lebih mungkin untuk digunakan dengan sinyal musik yang lebih kompleks. Untuk mencari RMS suatu sinyal dalam domain frekuensi dapat di jelaskan dengan teori Parseval
Gambar 3. Pengujian sistem modem OFDM.
ISBN 978-602-19655-4-2
213
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Gambar 5. menunjukkan hasil pengujian dengan menggunakan 64 QAM dengan panjang FFT 64 dan frekuensi sampling 8 kHz.
Hasil dan Diskusi Performa Automatic Gain Control Performa OFDM dengan dan tanpa Automatic Gain Control ditunjukkan dengan grafik jumlah bit error terhadap besarnya frekuensi offset dengan variasi SNR dari 10 dB sampai 60 dB seperti pada Gambar 4. Banyaknya data yang disimulasikan adalah 10000 bit.
Gambar 5. Output suara pada receiver dengan variasi mapping. 64 QAM (atas: tanpa AGC, bawah: dengan AGC). Untuk jenis mapping 64 QAM mempunyai kualitas suara yang lebih baik dari 16 QAM. semakin besar modulasi yang digunakan maka performa Automatic Gain Control semakin bagus karena kualitas suara menjadi lebih stabil dan kuat. Namun demikian, kemampuan suatu digital signal prosesor (DSP) memiliki batas kecepatan siklus instruksi. Hasil pengujian pada DSP TMS320C6747 buatan Texas Instrument dapat berjalan hingga frekuensi sampling 8 kHz pada panjang FFT 64.
Grafik 1. Performa OFDM (a) tanpa Automatic Gain Control (b) dengan Automatic Gain Control. Dengan peningkatan frekuensi offset pada simulasi yang dilakukan cendrung mengalami penurunan perbandingan sinyal dan noise dalam pengujian. Sistem OFDM tanpa menggunakan Automatic Gain Control lebih baik dalam mengatasi efek inter carrier interference (ICI) dari pada OFDM yang menggunakan Automatic Gain Control. Automatic Gain Control pada dasarnya mengurangi variasi amplitudo yang terjadi pada sinyal yang dapat menyebabkan hilangnya informasi yang di tangkap pada receiver. Tetapi jika dibandingkan jumlah data yang dikirim dengan jumlah error yang ditimbulkan pada penggunaan Automatic Gain Control, nilai error yang didapat sekitar 0,3 persen.
Kesimpulan Berdasarkan hasil simulasi dan implementasi Automatic Gain Control pada modem OFDM dalam jangkauan frekuensi audio dapat disimpulkan Automatic Gain Control dapat mengatasi fluktuasi sinyal suara yang diterima setelah melewati kanal terutama dalam penggunaan modulasi yang cukup besar seperti 64 QAM. Hasil simulasi menunjukkan kemampuan Automatic Gain Control dengan metode ini mampu secara efektif memperbaiki performa suara pada walaupun dari sisi jumlah bit error masih menunjukkan hasil yang kurang baik terhadap variasi frekuensi offset, panjang FFT dan variasi frekuensi sampling. Selanjutnya pada simulasi ini efek ICI juga akan semakin besar jika jarak antar subcarrier semakin kecil, sehingga performa Automatic Gain Control yang paling optimal yaitu pada frekuensi sampling 8 kHz dengan panjang FFT 64.
Selanjutnya dapat kita lihat konstelasi performa OFDM dengan perubahan frekuensi offset
Referensi
(a)
[1] IEEE Standard for Local and metropolitan area networks Part 16: Air Interface for Fixed and Mobile BWA Systems-Amendment 2 and Corrigendum 1. 2005. [2] IEEE Standard for Local and metropolitan area networks-Part 16: Air Interface for Fixed Broadband Wireless Access Systems. 2004. [3] I. C. Msadaa, F. Filali, and F. Kamoun. An Adaptive QoS Architecture for IEEE 802.16
(b)
Gambar 4. Konstelasi OFDM dengan Automatic Gain Control (a) frekuensi offset 1 Hz (b) frekuensi offset 3 Hz. Analisa performa Automatic gain control terhadap pengujian sistem OFDM
ISBN 978-602-19655-4-2
214
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
[4]
[5]
[6]
[7]
[8]
[9] [10]
Broadband Wireless Networks. To be published in Proc. Of MASS 2007, (2007). J. Chen, W. Jiao, and H. Wang. A Service Flow Management Strategy for IEEE 802.16 Broadband Wireless Access Systems in TDD Mode. In Proc. of ICC2005, (2005). D. Cho, J. Song, M. Kim, and K. Han. Performance Analysis of IEEE 802.16 Wireless Metropolitan Area Network. In Proc. of DFMA’05, pp. 130-137, (2005). K. Wongthavarwat and A. Ganz. Packet Scheduling for QoS support in IEEE 802.16 broadband wireless access systems. International Journal of Communication systems, 16:8196, (2003). A. Sayenko, O. Alanen, J. Karhula, and T. Hämäläinen. Ensuring the QoS requirements in 802.16 Scheduling. In Proc. ofMSWIM 2006, pp. 108-117, (2006). A. E. Xhafa, S. Kangude, and X. Lu. MAC performance of IEEE 802.16e. In Proc. of VTC-2005-Fall, vol. 1, pp. 685-689, 2005. http://elchusany.blogspot.com/2011/03/ofdmorthogonal-frequency-division.html Rianto, Perancangan Carrier recovery pada Modem OFDM dalam range frekuensi radio. 2009. ITB
ISBN 978-602-19655-4-2
Rifki Muhendra*, Laboratorium Elektronika dan Instrumentasi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institur Teknologi Bandung Jl. Ganesa 10 Bandung 40132 [email protected]
Maman Budiman Laboratorium Elektronika dan Instrumentasi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institur Teknologi Bandung Jl. Ganesa 10 Bandung 40132 [email protected]
*Corresponding author
215
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Analisis Buku Teks Kimia SMA pada Konsep Kesetimbangan Kimia Ditinjau dari Kriteria Representasi Rita Sugiarti* dan Ida Farida, Ch. Abstrak Penelitian ini bertujuan menganalisis buku teks kimia SMA pada konsep kesetimbangan kimia menggunakan lima kriteria representasi buku dari Gkitzia, et al yaitu jenis representasi (R1); fitur interpretasi (R2): keterkaitan teks, (R3): keberadaan keterangan gambar (R4):, derajat keterhubungan antara komponen multiple representasi (R5). Sebagai buku standar digunakan buku teks kimia “Chemistry” karangan Mc Murry. Analisis dilakukan terhadap Buku Sekolah Elektronik Kimia (buku A), dan buku kimia yang banyak digunakan sebagai buku pengayaan (buku B). Hasil analisis menunjukkan: dari segi representasi gambar, buku A memuat tiga representasi dengan jenis (R1) makroskopik (33%) dan multiple (67 %) ; fitur eksplisit, implisit dan ambigu sebanding (R2 33%) ; keterkaitan teks (R3 66%), keterangan sesuai (R4 66%) dan R5 tak terhubung (66%). Buku B, memuat enam representasi dengan jenis (R1) makroskopik (17%); submikroskopik (17%) dan multiple (66%), fitur eksplisit (R2 : 83%), keterkaitan teks (R3 83%), keterangan sesuai (R4 83% ) dan R5 tidak terhubung (17%) .Dari segi kesesuaian representasi konsep, Kedua buku yang diteliti tidak menjelaskan fungsi nilai tetapan kesetimbangan Kc dan hanya buku B yang menjelaskan fungsi nilai Qc dan Kc. Dibandingkan dengan buku A, buku B menyajikan konsep hampir sesuai dengan buku standar dan hampir memenuhi lima standar kriteria representasi buku. Kata-kata kunci : Representasi Kimia, Kesetimbangan Kimia, Analisis Buku Teks Kimia dari buku ke buku. Sehingga diperlukan adanya selektifitas dalam memilih buku teks pelajaran yang tepat, termasuk dalam memilih buku pelajaran kimia yang memiliki banyak konsep abstrak. Ahtineva [4] mengajukan metode analisis buku, khususnya buku kimia yaitu dengan cara klasifikasi konsep inti dan klasifikasi aktifitas atau kegiatan berdasarkan tingkat kesulitan tugas. Selanjutnya ada enam pendekatan yang diajukan Ahtineva [4] dalam menganalisis konsep inti, yaitu: 1) Mendefinisikan konsep inti; 2) Mengaitkan dengan pengetahuan lain; 3) Melengkapi konsep dengan gambar; 4) Memberikan contoh atau latihan yang terkait dengan konsep; 5) Empiris (dapat dibuktikan); 6) Menghubungkan konsep dengan kehidupan faktual.
Pendahuluan Kimia sering dianggap sulit, salah satu alasannya yaitu beberapa konsep pada kimia bersifat abstrak [1]. Salah satu materi dalam ilmu kimia adalah kesetimbangan kimia. Pada materi kesetimbangan kimia banyak terdapat konsepkonsep abstrak yang cenderung tidak mudah dipahami. Hal ini memungkinkan terjadinya kesalahan konsep pada siswa sebagaimana ditemukan oleh oleh Adaminata dan Marsih [2], yaitu: 1) keadaan kesetimbangan akan tercapai jika konsentrasi pereaksi sama dengan konsentrasi hasil reaksi, 2) tidak dapat mengkaitkan nilai K dengan komposisi kimia saat kesetimbangan, 3) pada suhu tetap penambahan padatan atau cairan murni akan menggeser kesetimbangan heterogen; 4) tidak dapat menentukan pengaruh dari suatu gangguan terhadap kesetimbangan; 5) penambahan katalis akan meningkatkan nilai K.
Dalam mengevaluasi representasi kimia pada buku teks, terdapat lima kriteria yang diajukan oleh Gkitzia, et al., [5]. Yang selanjutnya dirinci, sebagai berikut: (R1) Jenis representasi, terdiri dari enam tipologi: a) makroskopik, b) submikroskopik, c) simbolik, d) multiple, e) hybrid, d) mixed; (R2) fitur interprestasi, terdiri dari tiga tipologi: a) eksplisit, b) implisit, c) ambigu; (R3) Keterkaitan dengan teks, terdiri dari lima tipologi: a) sepenuhnya terkait dan terhubung, b) sepenuhnya terkait dan tidak terhubung, c) sebagian terkait dan terhubung, d) sebagian terkait dan tidak terhubung, e) tidak terkait; (R4) ada atau tidaknya keterangan gambar, terdiri dari tiga tipologi: a) adanya keterangan yang sesuai, b) adanya keterangan yang bermasalah, c) tidak ada keterangan (R5) Derajat keterhubungan antara komponen multiple representasi, terdiri dari tiga tipologi: a) cukup terhubung, b) kurang
Kesulitan siswa belajar konsep bukan hanya disebabkan oleh proses belajar saja , namun juga dapat dipengaruhi buku teks yang digunakannya. Representasi kimia berupa teks dan gambar pada buku teks pelajaran kimia SMA bisa menjadi salah satu penyebab munculnya permasalahan tersebut, sehingga diperlukan adanya evaluasi representasi kimia pada buku teks kimia SMA agar calon guru dapat memilih bahan ajar yang tepat bagi siswa sehingga kemungkinan kesalahan konsep yang disebabkan oleh buku teks dapat diperkecil atau bahkan dapat dihilangkan. Menurut Dahar [3] jumlah konsep-konsep yang disajikan dan ketepatan uraian suatu konsep sering berbeda
ISBN 978-602-19655-4-2
216
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
memuat representasi kimia paling sesuai dengan standar kriteria representasi buku dan pada akhirnya kita dapat mengetahui buku yang paling berkualitas dan paling cocok diterapkan dalam pembelajaran kimia sehingga dapat meningkatkan pemahaman siswa.
terhubung, c) tidak terhubung. Standar kriteria representasi gambar yang baik dalam buku teks kimia menurut Gkitzia adalah (R1) multiple, (R2) eksplisit, (R3) sepenuhnya terkait dan terhubung, (R4) adanya keterangan yang sesuai, (R5) cukup terhubung. Makalah ini membahas mengenai hasil analisis buku teks kimia SMA pada konsep kesetimbangan kimia menggunakan lima kriteria representasi buku yang diajukan Gkitzia, et al. Setelah tahap analisis, kemudian diadakan perbandingan antar buku teks kimia SMA hingga didapatkan buku yang hampir memenuhi standar kriteria.
Hasil dan Diskusi Berdasarkan analisis, teks standar memuat konsep kunci: 1) keadaan setimbang, 2) tetapan kesetimbangan Kc, 3) tetapan kesetimbangan Kp, 4) kesetimbangan homogen, 5) kesetimbangan heterogen, 6) asas Le Chatelier, 7) faktor-faktor yang mempengaruhi keadaan kesetimbangan. Semua konsep ini dilengkapi dengan representasi gambar yang memenuhi standar kriteria representasi buku. Selain itu juga, konsep-konsep pada teks standar dilengkapi dengan contoh soal yang jawabannya terperinci dengan jelas sehingga konsep yang dijelaskan dapat dengan mudah dipahami oleh pembaca.
Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif yang bertujuan untuk mendeskripsikan hasil analisis representasi kimia pada materi kesetimbangan kimia yang terdapat dalam dalam buku teks kimia SMA kelas XI, yang kemudian dibandingkan dengan buku teks kimia lain yang sebagai teks standar.
Berikut ini hasil analisis Buku A dan Buku B: Dari segi representasi konsep pada buku A, hampir semua konsep kunci pada teks standar juga dijelaskan pada buku A, tetapi penjelasan pada buku A lebih singkat dan tidak mendalam, contohnya dalam menjelasan konsep kesetimbangan heterogen, pada teks standar diberikan pengertian kesetimbangan heterogen, contoh reaksinya, serta aturan penentuan persamaan tetapan kesetimbangan Kc dan Kp dalam reaksi kesetimbangan heterogen, selain itu juga diberikan gambar representasi multiple dalam melengkapi penjelasan, dan tentunya juga dilengkapi dengan contoh soal. Sedangkan dalam menjelaskan konsep kesetimbangan heterogen, buku A hanya memberikan contoh reaksinya saja, tanpa dilengkapi dengan penjelasan apapun dan juga tidak memberikan contoh soal. Selain itu, dalam menjelaskan tetapan kesetimbangan Kc, buku A tidak menjelaskan fungsi tetapan kesetimbangan Kc, padahal konsep ini penting untuk mengetahui ketuntasan reaksi. Buku A juga tidak menjelaskan konsep Qc, padahal konsep Qc penting untuk memprediksi arah reaksi.
Subjek penelitian ini adalah dua jenis buku teks kimia SMA yaitu buku Kimia untuk SMA/ MA Kelas XI Program Ilmu Alam karangan Budi Utami, dkk. (2009) yang kemudian disebut Buku A, dan buku Kimia untuk SMA Kelas XI karangan Michael Purba (2007) yang kemudian disebut sebagai Buku B. Alasan pemilihan kedua buku ini karena berdasarkan studi pendahuluan, Buku A dan Buku B merupakan buku yang paling banyak digunakan di sekolah-sekolah sebagai sumber pembelajaran. Teks standar dibuat dengan menganalisis konsep kesetimbangan kimia pada Textbook Chemistry fourth edition karya Mc Murry Fay [6]. Isi Textbook karya Mc Murry Fay ini hampir memenuhi seluruh kriteria pendekatan yang diajukan oleh Ahtineva [4]. Data-data dikumpulkan menggunakan teknik dokumentasi check-list, dimana peneliti memberikan tanda di setiap pemunculan gejala yang dimaksud [7]. Langkah pertama adalah menganalisis teks standar menggunakan tabel kategorisasi teks dan tabel kategorisasi gambar. Selanjutnya dianalisis representasi materi subjek pada Buku A dan Buku B. Representasi kimia berupa gambar yang ada di dalam buku teks ditelaah dan dianalisis menggunakan standar kriteria representasi buku Gkitzia, et al. [5], selanjutnya diklasifikasikan berdasarkan tipologi yang sesuai dari R1-R5. Setelah itu, hasil analisis representasi gambar dipersentasekan dengan menghitung jumlah tipologi yang muncul dan membaginya dengan jumlah total tipologi dikali seratus persen. Hasil persentase tersebut kemudian dibandingkan dengan persentase buku lain, sehingga dapat diketahui buku mana yang
ISBN 978-602-19655-4-2
Dari segi representasi konsep buku B menunjukan bahwa hampir semua konsepnya menjelaskan konsep-konsep kunci yang ada dalam teks standar. Tetapi buku B tidak terlalu banyak memberikan contoh soal seperti pada teks standar. Sama halnya seperti buku A, buku B juga tidak memberikan penjelasan fungsi nilai tetapan kesetimbangan Kc. Walaupun begitu, konsep yang dijelaskan pada buku B lebih lengkap dan terperinci bila dibandingkan dengan buku A. Misalnya, pada Buku B dijelaskan konsep Qc dalam memprediksi arah reaksi, sedangkan Buku A tidak menjelaskannya. Untuk melengkapi penjelasannya, Buku B juga lebih banyak
217
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
memberikan representasi dibandingkan dengan Buku A.
gambar
Tabel 2. Analisis representasi gambar Buku B.
bila
Gambar kurva perubahan konsentrasi pada reaksi kesetimbangan (1) dan kurva perubahan laju reaksi pada kesetimbangan (2) submikroskopik Keadaan reaksi setimbang pada keadaan awal dan pada keadaan akhir (3)
Berikut ini hasil analisis representasi gambar menggunakan kriteria Gkitzia et,al. [4]. Buku A memuat tiga representasi gambar, yaitu gambar yang : 1). menunjukkan proses kesetimbangan dinamis air dalam sistem tertutup; 2) mengilustrasikan proses tercapainya kesetimbangan dinamis N2O4 dari segi makroskopik dan submakroskopik, dan 3) menunjukkan skema pembuatan asam sulfat dengan cara proses kontak. Berikut ini tipe representasi untuk setiap gambar. Tabel 1. Analisis representasi gambar Buku A. Gambar Proses kesetimbangan dinamis air dalam sistem tertutup (1)
Tipe representasi R1d. Multiple R2c. Ambigu R3a. Sepenuhnya terkait dan terhubung R4a. Adanya keterangan yang sesuai R5c. Tidak terhubung
Proses tercapainya kesetimbangan dinamis N2O4 dari segi makroskopik dan submakroskopik (2)
R1d. Multiple R2b. Implisit R3a. Sepenuhnya terkait dan terhubung R4a. Adanya keterangan yang sesuai R5a. Cukup terhubung
Skema pembuatan asam sulfat dengan cara proses kontak (3)
R1a. Makroskopik R2a. Eksplisit R3c. Sebagian terkait dan terhubung R4b. Adanya keterangan yang bermasalah R5c. Tidak terhubung
Pengaruh perubahan tekanan dan volume pada kesetimbangan campuran N2, H2, dan NH3 (4) Kurva hubungan antara konsentrasi dengan waktu yang menunjukan perbedaan pencapaian kesetimbangan reaksi tanpa katalis dan dengan katalis (5) Skema pembuatan ammonia skala industri melalui proses HaberBosch (6)
R1d. Multiple R2a. Eksplisit R3a. Sepenuhnya terkait dan terhubung R4a. Adanya keterangan yang sesuai R5a. Cukup terhubung
Berdasarkan analisis diatas, dapat terlihat bahwa jumlah representasi gambar pada Buku B juga sangat berbeda dengan teks standar, tetapi bila dibandingkan dengan buku A, buku B memuat representasi gambar dua kali lipat lebih banyak daripada buku A. Sama halnya dengan teks standar, buku B memiliki representasi yang cenderung menampilkan representasi multiple serta memiliki representasi yang sepenuhnya terkait dan terhubung. Selain itu, buku B juga tidak memiliki representasi ambigu dan tidak memiliki representasi yang ada keterangan bermasalah. Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa buku B lebih banyak memunculkan representasi yang sesuai dengan standar kriteria representasi buku dan hampir memiliki kesesuaian representasi yang sama dengan teks standar. Adapun perbandingan representasi gambar buku A dan buku B dengan teks standar secara nyata dapat dilihat pada Tabel 3:
Berdasarkan analisis diatas, dapat terlihat bahwa Buku A memiliki perbedaan yang sangat jauh dengan teks standar dalam hal jumlah representasi gambar. Buku A hanya memuat tiga representasi gambar, sedangkan teks standar memuat duapuluh dua representasi gambar dalam menjelaskan konsep kesetimbangan kimia. Sama halnya dengan gambar pada teks standar, representasi Buku A cenderung menampilkan representasi multiple serta memiliki representasi yang sepenuhnya terkait dan terhubung dengan teks. Tetapi Buku A memiliki representasi ambigu dan terdapat representasi yang ada keterangan bermasalah. Lain halnya dengan teks standar, tidak terdapat representasi ambigu dan juga tidak terdapat representasi yang ada keterangan bermasalah.
ISBN 978-602-19655-4-2
Tipe representasi R1d. Multiple R2a. Eksplisit R3a. Sepenuhnya terkait dan terhubung R4a. Adanya keterangan yang sesuai R5a. Cukup terhubung R1b. Submikro R2a Eksplisit R3a. Sepenuhnya terkait dan terhubung R4c. Tidak ada keterangan R5c. Tidak terhubung R1d. Multiple R2a. Eksplisit R3b. Sepenuhnya terkait dan tidak terhubung R4a. Adanya keterangan yang sesuai R5b. Kurang terhubung R1d. Multiple R2b. Implisit R3a. Sepenuhnya terkait dan terhubung R4a. Adanya keterangan yang sesuai R5a. Cukup terhubung
218
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Tabel 3. Perbandingan persentase representasi buku A, buku B dan teks standar sesuai degan tipologi representasi yang muncul. Tipologi Makroskopik (R1a) Sub-mikroskopik (R1b) Simbolik (R1c) Multiple (R1d) Mixed (R1e) Eksplisit (R2a) Implisit (R2b) Ambigu (R2c) Sepenuhnya terkait & terhubung(R3a) Sepenuhnya terkait & tidak terhubung(R3b) Sebagian terkait & terhubung(R3c) Sebagian terkait & tidak terhubung(R3d) Adanya ket. sesuai (R4a) Adanya ket. bermasalah (R4b) Tidak ada keterangan (R4c) Cukup terhubung(R5a) Kurang terhubung(R5b) Tidak terhubung(R5c)
Teks Standar 13%
33%
Buku B -
5%
-
17%
9% 68% 5% 59% 32% 9%
67% 33% 33% 33%
83% 83% 17% -
85%
67%
83%
5%
-
17%
5%
33%
-
5%
-
-
77%
67%
83%
-
33%
-
23%
-
17%
32%
33%
66%
41%
-
17%
27%
67%
17%
Buku A
Kesimpulan Dari segi kesesuaian representasi konsep, Kedua buku yang diteliti tidak menjelaskan fungsi nilai tetapan kesetimbangan Kc dan hanya buku B yang menjelaskan fungsi nilai Qc dan Kc. Dari segi representasi gambar, bila dibandingkan dengan buku A, buku B lebih banyak memunculkan representasi yang sesuai dengan standar kriteria representasi buku dan hampir memiliki kesesuaian representasi yang sama dengan teks standar Saran Bagi calon penulis buku teks kimia SMA hendaknya memperhatikan keberadaan representasi kimia dalam melengkapi penjelasan setiap konsep. Kriteria representasi buku yang diajukan Gkitzia, et al.dapat dijadikan standar dalam penyusunan buku teks kimia. Referensi [1] Chang, R., “Kimia Dasar Konsep-Konsep Inti”, Edisi Ketiga Jilid 1. Jakarta: Erlangga, (2004). [2] Adaminata, M. dan Marsih, I. ”Analisis Kesalahan Konsep Siswa SMA pada Pokok Bahasan Kesetimbangan Kimi”, Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2011 (SNIPS 2011) Bandung, Indonesia. [3] Dahar, R.W., “Teori-Teori Belajar”, Jakarta: Erlangga, (1996). [4] A. Ahtineva, “Textbook Analysis In The Service Of Chemistry Teaching”, Journal of Education 11, 25-33 (2005). [5] Gkitzia, V., Salta, K,. dan Tzougraki, C. “Development and Application of Suitable Criteria for the Evaluation of Chemical Representations in School Textbooks”, Chemistry Education Research and Practice, 12, 5-14, (2010). [6] Mc Murry. J. dan Fay, R., Chemistry (fourth edition). New York: Pretrice Hall, (2006). [7] Arikunto, S., “Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik”, Jakarta: PT. Rineka Cipta, (2010).
Standar kriteria representasi gambar yang baik dalam buku teks kimia menurut Gkitzia adalah (R1) multiple, (R2) eksplisit, (R3) sepenuhnya terkait dan terhubung, (R4) adanya keterangan yang sesuai, (R5) cukup terhubung. Pada (R1) multiple, buku B memiliki persentase paling tinggi yaitu 83%. Pada R2, buku B lebih banyak memiliki representasi eksplisit (83%) daripada buku A (33%). Pada R3, buku B lebih banyak memiliki representasi sepenuhnya terkait dan terhubung (83%) daripada buku A (67%). Pada R4, buku B lebih banyak memiliki representasi adanya keterangan sesuai (83%) daripada buku A(67%). Pada R5, buku B lebih banyak memiliki representasi cukup terhubung (66%) daripada buku A(33%). Dari hasil analisis representasi gambar dapat ditarik kesimpulan bahwa buku B lebih banyak memunculkan representasi yang sesuai dengan standar kriteria representasi buku.
Rita Sugiarti* Program Studi Pendidikan Kimia UIN Sunan Gunung Djati Bandung [email protected]
Ida Farida, Ch. Program studi pendidikan Kimia UIN Sunan Gunung Djati Bandung [email protected]
Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan, buku kimia SMA di Indonesia belum ada yang memenuhi standar kriteria Gkitzia.
ISBN 978-602-19655-4-2
219
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Model Kompartemen untuk Kontaminan Timbal pada Tubuh Manusia dengan Metode Beda Hingga Sesya Sri Purwanti*, Siti Nurul Khotimah, dan Freddy Haryanto Abstrak Timbal merupakan salah satu polutan logam berat yang banyak terdapat di lingkungan sekitar, dan berpeluang besar mengkontaminasi tubuh manusia. Menurut proses metabolismenya, timbal masuk ke dalam tubuh manusia dengan 2 cara, yaitu inhalasi dan injesi, dan kemudian menyebar ke seluruh tubuh. Model kompartemen dapat digunakan untuk menggambarkan proses metabolisme timbal, dan juga dapat mengetahui laju konsentrasinya dari setiap bagian tubuh tempat timbal terakumulasi yaitu pada darah, jaringan lunak, dan tulang. Untuk menyederhanakan permasalahan, digunakanlah model 2 kompartemen yang menggambarkan pertukaran zat secara reversible antara kompartemen darah dan bagian lainnya di dalam tubuh. Kemudian digunakan model 3 kompartemen yang lebih mendekati permasalahan, dengan darah sebagai kompartemen sentral, sedangkan tulang dan jaringan menjadi 2 kompartemen lainnya. Metode perhitungan yang digunakan untuk mengetahui laju konsentrasi dari setiap kompartemen pada penelitian ini adalah metode beda hingga. Pada model 2 kompartemen, dilakukan perbandingan antara hasil perhitungan metode beda hingga dengan hasil analitik. Pada perhitungan laju konsentrasi timbal dalam darah, kurva error terhadap nilai Δt (time step) memiliki nilai terkecil 1,2410‐5 % pada Δt = 310-4 hari. Sedangkan pada model 3 kompartemen, hasil metode beda hingga dibandingkan dengan hasil referensi yang dilakukan oleh Rabinowitz (1976). Laju konsentrasi untuk kompartemen darah yang dihasilkan metode beda hingga naik lebih cepat jika dibandingkan dengan referensi, namun demikian secara umum memiliki pola yang sama. Kata-kata kunci: Kompartemen, Laju Konsentrasi, Metode Beda Hingga, Timbal. konsentrasi timbal yang terakumulasi di beberapa bagian tubuh.
Pendahuluan Keracunan logam berat merupakan salah satu masalah kesehatan yang masih banyak timbul di negara negara berkembang, termasuk Indonesia, terutama di kota kota besar. Hal tersebut terjadi karena pada negara berkembang terdapat banyak kegiatan industri yang dilakukan sehingga banyak terjadi pencemaran lingkungan, salah satunya adalah pencemaran logam berat.
Metode Sebelum membuat model kompartemen ini, hal yang harus terlebih dahulu dipahami adalah bagaimana proses sebenarnya dari metabolisme timbal dalam tubuh. Timbal masuk ke dalam tubuh manusia melalui dua cara, pertama yaitu dengan cara inhalasi (saluran pernafasan), dengan sumber timbal berupa asap kendaraan bermotor dan cat tembok. Sebanyak 35 % dari timbal yang terhirup akan masuk ke dalam peredaran darah. Sedangkan yang kedua adalah dengan cara injesi (saluran pencernaan), dengan sumber berupa limbah industri, dan sebanyak 8 % dari timbal yang tertelan akan masuk ke dalam peredaran darah. Selain dapat masuk dan terakumulasi di dalam tubuh, timbal juga dapat keluar melalui beberapa jalur ekskresi, diantaranya urine, feses, keringat, dan rambut[3].
Pada studi yang dilakukan oleh Lestari dan Edward (2004), ditemukan bahwa air laut di pantai Ancol mengandung kadar logam berat di atas kadar ambang batas yang telah ditetapkan oleh kementrian lingkungan hidup, dengan konsentrasi terbesar adalah 0,55 ppm untuk timbal[1]. Selain itu berdasarkan survey yang dilakukan oleh Rachel Albalak dkk(2003), pada 397 orang siswa SD di daerah Jakarta. Sebanyak 35% memiliki kadar timbal di atas 10 µg/dl yang merupakan kadar ambang batas untuk anak anak dan bahkan 2.4% sangat tinggi yaitu diatas 20 µg/dl[2].
Untuk menggambarkan proses metabolisme dan mengetahui laju konsentrasi timbal yang terakumulasi dalam beberapa bagian di dalam tubuh, dapat digunakan model kompartemen. Model kompartemen pertama yang diuji adalah model 2-kompartemen yang menggambarkan pertukaran zat antar kompartemen darah dan kompartemen bagian lain dalam tubuh selain
Berdasarkan kedua survei tersebut, dapat disimpulkan bahwa timbal merupakan polutan logam berat yang memiliki konsentrasi yang tinggi di lingkungan dan masih berpotensi cukup besar dalam mengkontaminasi tubuh manusia. Maka, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi model kinetika untuk metabolisme timbal pada tubuh manusia, serta menentukan
ISBN 978-602-19655-4-2
220
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
darah, yang bersifat reversible, seperti terlihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Model 2-kompartemen dengan proses reversible. Laju konsentrasi dari setiap kompartemen dapat dirumuskan dengan Persamaan (1) dan (2).
dC
1
dt
dC dt
k 21C 2 k 12C 1 2
k 12C 1 k 21C 2
Gambar 2. Model 3-kompartemen (Darah, Tulang, dan Jaringan Lunak) dengan 1 jalan masuk dan 2 jalan keluar.
(1)
Laju konsentrasi dari masing kompartemen dapat dirumuskan dengan Persamaan (3) , (4), dan (5).
(2)
dC
A k C k C k C k C k C 1
dt
Dengan C1 adalah konsentrasi timbal pada kompartemen 1 yaitu darah, C2 merupakan konsentrasi timbal pada kompartemen 2 yaitu bagian lain pada tubuh selain darah, dapat berupa jaringan/tulang, sedangkan k12 adalah konstanta transfer untuk zat yang berpindah dari kompartemen 1 (darah) ke kompartemen 2 (tulang/jaringan), dan k21 sebaliknya. Kondisi awal yang digunakan, yaitu C1(0) = 1, yang menggambarkan kompartemen isi dan C2(0) = 0, yang menggambarkan kompartemen kosong. Besarnya konstanta transfer yang digunakan adalah k12 yanng bernilai 5,7810-3 /hari, dan k21 dengan nilai 3,2510-5/hari . Lamanya pengamatan yaitu 630 hari, karena pada saat tersebut konsentrasi dari masing masing kompartemen sudah relatif stabil.
13
dC dt
21
1
2
1o
2
12
1
31
dt
3
3
(3)
1
k 12C 1 k 21C 2 k 2oC 2
dC
k 13C 1 k 31C 3
(4)
(5)
Dengan A merupakan jumlah zat yang masuk kedalam tubuh melalui udara dan makanan, indeks 1 pada simbol C1 merupakan penunjukan untuk kompartemen 1 / kompartemen darah, sedangkan indeks 2 menunjukan kompartemen 2 yaitu kompartemen jaringan, sedangkan indeks 3 untuk menunjukan kompartemen tulang, dan k1o merupakan konstanta transfer dari kompartemen 1 ke luar system, begitupun dengan k2o. Keadaan awal yang digunakan pada model ini didasarkan pada referensi yang didapat, yaitu studi yang dilakukan oleh Rabinowitz (1976) untuk pengukuran kadar timbal dalam darah pada 5 orang pria dewasa. Saat t=0 hari, salah satu pasien tersebut memiliki konsentrasi timbal dalam darah / C1(0) sebesar 0,17 µg/g. Sedangkan C2(0) dan C3(0) adalah 0 µg/g. Waktu pengamatan yang digunakan yaitu 10 hari, sesuai dengan waktu yang digunakan pada referensi. Pasien tersebut di berikan masukan timbal sebanyak 142 µg/hari yang berasal dari makanan dan minuman, dan 68 µg berupa tracer yang diberikan hanya pada hari pertama[4].
Langkah berikutnya, untuk lebih mendekati keadaan yang sebenarnya, model tersebut dapat dikembangkan menjadi model 3-kompartemen. Pada model ini, kompartemen darah dianggap sebagai kompartemen sentral, dan kompartemen tulang/jaringan pada model sebelumnya, dapat dibagi menjadi 2 kompartemen yang berbeda. Hal tersebut dapat dilakukan karena masing masing kompartemen memiliki nilai konstanta transfer yang berbeda. Selain itu, pada model 3kompartemen terdapat satu jalan masuk timbal ke dalam tubuh yaitu melalui makanan dan udara, serta 2 jalan keluar yaitu melalui urine yang keluar melalui kompartemen darah, dan rambut serta keringat yang keluar melalui kompartemen jaringan. Untuk dapat lebih jelasnya, dapat dilihat pada Gambar 2.
ISBN 978-602-19655-4-2
Untuk menyelesaikan persamaan persamaan tersebut, metode yang digunakan yaitu metode beda hingga dengan bentuk forward, karena waktu pengamatan yang dilakukan hanya dari t=0 hari hingga[5]. Pada model 2-kompartemen hasil perhitungan akan dibandingkan dengan hasil analitik, dengan beberapa variasi nilai time step (Δt), dan kemudian melakukan variasi nilai konstanta transfer. Sedangkan untuk model 3kompartemen, hasil perhitungan metode beda
221
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
hingga dibandingkan dengan hasil referensi yaitu studi yang dilakukan oleh Rabinowitz (1976).
digunakan, maka semakin akurat data / semakin kecil error yang dihasilkan.
Hasil dan diskusi
Tabel 1. Variasi nilai time step dengan % error yang dihasilkan.
Hasil pada model 2-kompartemen dapat dilihat pada Gambar 3 yang menunjukan bahwa tidak nampak perbedaan yang besar antara grafik hasil perhitungan metode beda hingga dengan hasil analitik, jika dilihat dari grafik konsentrasi terhadap waktu. Namun, jika dilihat dari data, akan terdapat perbedaan yang bervariasi setiap waktunya. Pada saat t = 630 hari, dengan time step sebesar 2,8610-4 hari, didapatkan error sebesar 1,2410-5 %. Time step tersebut menghasilkan nilai error terkecil yang dapat dicapai.
Time step (Δt) 10 hari 5 hari 3 hari 2,8610-4 hari
Error 8,60% 4,33% 2,61% 1,2410-5 %
Selain itu, pada model 2 kompartemen juga dilakukan variasi nilai konstanta transfer (kij). Dapat dilihat pada Gambar 4, bahwa jika k12 diperbesar dengan tidak mengubah nilai k21 , maka laju konsentrasi dari masing masing kompartmen akan semakin cepat. Sebaliknya, jika k21 diperbesar tanpa merubah nilai k12 , maka laju konsentrasi akan melambat.
(a) (a)
(b) Gambar 4. Variasi nilai kij , saat time step = 3 hari: (a) k12 di perbesar 10 kali dan k21 tetap, (b) k21 di perbesar 1000 kali dan k12 tetap. Hal tersebut menunjukan bahwa besarnya konstanta transfer akan berpengaruh pada besarnya time step yang digunakan. Jika semakin cepat laju konsentrasi yang dihasilkan akibat dari nilai konstanta transfer, maka untuk mendapatkan data yang lebih akurat nilai time step yang digunakan harus cukup kecil, dan begitupun sebaliknya.
(b) Gambar 3. Grafik konsentrasi terhadap waktu model 2 kompartemen : (a) metode beda hingga, (b) analitik. Beberapa nilai time step (Δt) sudah diuji, diantaranya 10 hari, 5 hari, dan 3 hari. Berdasarkan hasil dari beberapa nilai time step tersebut, dapat disimpulkan bahwa pada model 2kompartemen ini, semakin kecil time step yang
ISBN 978-602-19655-4-2
Sedangkan hasil untuk model 3-kompartemen dengan penggunaan time step sebesar 0,4 hari, dapat dilihat pada Gambar 5. Besarnya time step
222
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
ini diambil karena menghasilkan data yang cukup optimum dengan % error yang kecil, yiatu sebesar 4,41%. Pada gambar tersebut dapat terlihat adanya perbedaan pada kecepatan naiknya grafik untuk kompartemen darah. Pada hasil metode beda hingga, terlihat grafik naik lebih tajam jika dibandingkan dengan hasil referensi. Namun jika dilihat dari segi bentuk sudah cukup menyerupai.
Kesimpulan Pada model 2-kompartemen error paling kecil yaitu 1,2410-5 % dapat dicapai dengan time step sebesar 2,8610-4 hari. Sedangkan pada model 3kompartemen, grafik yang didapat dari hasil perhitungan sudah menyerupai hasil referensi, walaupun masih terdapat sedikit perbedaan pada kemiringan untuk grafik total timbal. Referensi [1] Lestari, Edward, Dampak Pencemaran Logam Berat Terhadap Kualitas Air Laut dan Sumber Daya Perikanan. Makara Sains, 8(2), 52-58 (2004). [2] Rachel Albalak, Blood Lead Levels and Risk Factors for Lead Poisoning Among Children in Jakarta, Indonesia. The Science of the Total Environment, 301, 75-85, (2003). [3] Frederika E. Steyn, Stephen V. Joubert, Charlotta E. Coetzee,, A Discreet Compartemental Model for Lead Metabolism in the Human Body, (2008). [4] Michael Rabinowitz, George Wetherill, and Joel D. Kopple, Kinetic Analysis of Lead Metabolism in Healthy Humans. The Journal of Clinical Investigation, 58, (1976). [5] Olver, J Peter, Introduction to Partial Differential Equations: Chapter 5. Numerical Methods: Finite Differences, (2012).
(a)
Sesya Sri Purwanti* KK Fisika Nuklir dan Biofisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Bandung [email protected]
Freddy Haryanto KK Fisika Nuklir dan Biofisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Bandung [email protected]
Siti Nurul Khotimah KK Fisika Nuklir dan Biofisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Bandung [email protected]
(b) Gambar 5. Grafik konsentrasi terhadap waktu model 3 kompartemen : (a) metode beda hingga, (b) referensi (disadur dari studi Rabinowitz et.al., 1976).
ISBN 978-602-19655-4-2
* Penulis korespondensi
223
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Pembelajaran Inkuiri dengan Mengkombinasikan Metode “Tigata-tigati Bermain Peran dengan Saitem” Ruswanto* Abstrak Mengkombinasikan metode Inkuiri Tigata-tigati Bermain Peran dengan Saitem, merupakan langkah nyata yang dapat dilakukan oleh guru biologi untuk meningkatkan kemampuan berpikir tingkat tinggi dan meningkatkan dan hasil belajar siswa di SMA N 1 Purbalingga. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1).Pembelajaran Inkuiri dengan Mengkombinasikan Metode “Tigata-tigati Bermain Peran dengan Saitem” dapat meningkatkan kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa kelas X-3 di SMA Negeri 1 Purbalingga. Kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa dikatakan meningkat jika jumlah persentase pertanyaan dan jawaban tingkat tinggi siswa pada siklus II lebih besar dari siklus I. Persentase pertanyaan tingkat tinggi siswa siklus I sebesar 42,86%, sedangkan persentase pertanyaan tingkat tinggi siswa siklus II sebesar 57,89%. Persentase jawaban dengan kemampuan analisis tinggi siklus I sebesar 51,43%, sedangkan persentase jawaban dengan kemampuan analisis tinggi siklus II sebesar 59,08%. 2).Hasil belajar siswa dikatakan meningkat jika persentase peningkatan hasil belajar pada siklus II lebih besar dari siklus I. Ratarata skor post-tes siklus I sebesar 77,55, sedangkan rata-rata skor post-tes siklus II sebesar 87,95. Persentase peningkatan ketuntasan belajar siswa siklus I sebesar 60,52%, sedangkan persentase peningkatan ketuntasan belajar siswa siklus II sebesar 89,47%.3).Penerapan pembelajaran ini dapat membuat siswa lebih aktif dalam proses pembelajaran. Berdasarkan data yang diperoleh persentase ratarata siswa yang memilih ″ya″ sebesar 73,67 %, sedangkan dalam ketentuan yang sudah dibuat dikatakan jika persentase rata-rata mencapai lebih dari 50 % maka pembelajaran yang dilakukan mendapat respons positif dari siswa. Kata-kata kunci: Inkuiri. “Tigata-tigati Bermain Peran dengan Saitem” dalam dunia yang memiliki tiga komponen yaitu sains, teknologi dan masyarakat. Pendekatan Saitem (Sains Teknologi Masyarakat) adalah suatu usaha untuk menyajikan sains (IPA) melalui pemanfaatan masalah-masalah dalam kehidupan sehari-hari. Pendekatan sains teknologi dan masyarakat melibatkan siswa dalam penentuan tujuan pembelajaran, prosedur pelaksanaan pembelajaran, pencarian informasi bahan pembelajaran dan bahkan pada evaluasi belajar. Tujuan utama pendekatan sains teknologi dan masyarakat (Saitem) yaitu agar dihasilkan siswasiswa yang memiliki bekal ilmu dan pengetahuan agar nantinya mampu mengambil keputusankeputusan terkait masalah-masalah dalam masyarakat. Pembelajaran Inkuiri merupakan rangkaian kegiatan pembelajaran yang menekankan pada proses berpikir secara kritis dan analitis untuk mencari dan menemukan sendiri jawaban dari masalah yang dipertanyakan, sedangkan Saitem merupakan salah satu pendekatan pembelajaran yang mengintegrasikan antara isu-isu (masalah) sains, teknologi dan masyarakat. Penggabungan strategi Tiga tamu tiga tinggal dengan bermain peran diharapkan siswa dapat berkomunikasi aktif saat bertamu dalam suasana yang menyenangkan dengan menggunakan skenario yang di buat kelompoknya. meningkatkan kemampuan berpikir tingkat tinggi dan hasil belajar biologi siswa.
Pendahuluan Pembelajaran IPA akan lebih bermakna jika siswa diberi kesempatan untuk tahu dan terlibat secara aktif dalam menemukan konsep dari faktafakta yang dilihat dari lingkungan dengan bimbingan guru. Oleh karena itu pembelajaran yang cocok adalah pembelajaran dengan penemuan (inkuiri). Role playing atau bermain peran adalah sejenis permainan gerak yang didalamnya ada tujuan, aturan dan sekaligus melibatkan unsur senang (Jill Hadfield, 1986). Dalam role playing murid dikondisikan pada situasi tertentu di luar kelas, meskipun saat itu pembelajaran terjadi di dalam kelas. Selain itu, role playing sering kali dimaksudkan sebagai suatu bentuk aktivitas dimana pembelajar membayangkan dirinya seolaholah berada di luar kelas dan memainkan peran orang lain (Basri Syamsu, 2000). Model pembelajaran kooperatif tipe Two Stay Two Stray dikembangkan pertama kali oleh Spencer Kagan (1990). Dengan struktur kelompok kooperatif seperti tipe two stay two stray ini dapat memberikan kesempatan kepada tiap kelompok untuk saling berbagi informasi dengan kelompokkelompok lain. Saitem (Sains Teknologi Masyarakat) merupakan suatu pendekatan yang memusatkan atau memfokuskan permasalahan yang nyata
ISBN 978-602-19655-4-2
224
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Alasan ini mendasari penerapan pembelajaran inkuiri dengan mengkombinasikan metode “Tigatatigati Bermain Peran dengan Saitem”
Lapisan IV Spons / Kapas
Pelaksanaan Pembelajaran Rancangan Alat Kompetensi dasar siswa yang harus dicapai pada materi pencemaran lingkungan adalah siswa mampu memberikan contoh kegiatan-kegiatan manusia untuk mengurangi pencemaran lingkungan. Untuk mencapai kompetensi tersebut, maka diperlukan alat-alat : 1. Biofilter Air untuk materi Pencemaran Air 2. Biofilter Udara untuk materi Pencemaran Udara 3. Pot-pot Organik untuk materi Pencemaran Tanah 4. The Inovative Pest Traps untuk Pencemaran Kimia
BAGI Gambar 3. Rancangan Biofilter Udara.
Berikut ini uraian Rancangan alat yang di gunakan untuk mencapai kompetensi dasar pada konsep alat yang dapat memberikan pemahaman ke siswa tentang kegiatan manusia dalam mengatasi pencemaran Air, Udara, Tanah dan Kimia.
Gambar 4. Rancangan Biofilter Udara. Susunan komposisi bahan penyerap dan penjerap yang terdiri dari campuran kompos, arang aktif, serpihan kayu, dan zeolit alam ditunjukkan pada Gambar yang menunjukkan irisan melintang biofilter sehingga tampak bagian dalam penyusunnya
. Gambar 1. Rancangan Biofilter Air.
Gambar 5. Rancangan Garbex.
Gambar 2. Biofilter Air. Struktur alat perjernih air alat perjernih air terbuat dari pipa pralon yang diisi oleh 4 lapisan dari bahan-bahan : Lapisan I Spons / Kapas Lapisan II Batu Ziolit Lapisan III Arang Tempurung kelapa
ISBN 978-602-19655-4-2
Gambar 6. Garbex. Nama Garbex itu sendiri diambil dari perpaduan antara bahasa jawa dengan nama
225
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
sebagai media penjebak dan penanpung hama yang telah tersengat oleh aliran listrik.
polibag, " Istilah ini berasal dari kata"gar" gar itu "Sigar" dalam bahasa Jawa, dalam bahasa Indonesianya "belah" dan "Bex" berasal dari kata polibag, jadi supaya mudah diingat orang jari "Gar" dan "Bex". Garbex memiliki sifat hampir sama dengan gunting yakni bisa terbelah, ini dimaksudkan agar mempermudah mengeluarkan tanah beserta tanaman. (Leonardo 2010).
Selain ketiga komponen utama diatas, Perangkap 3 in 1 juga menggunakan perangkat tambahan berupa atap. Perangkat ini bertujuan untuk melindungi dari hujan karena penggunaannya yang berada di alam terbuka. Desin atap dibuat agak melebaragar aliran air hujan tidak mengenai bagian Light Trap dan Electric Trap yang dapat menyebabkan kerusakan. Bahan yang digunakan sebagai atap ini bersifat transparan agar tidak menghalangi pancaran cahaya dari Light trap sehingga luas jangkauan cahaya semakin besar.
Alat ini diciptakan untuk mewujudkan 0% Iimbah pertanian, Plastik polibag merupakan Iimbah pertanian karena hanya digunakan sekali pakai untuk satu benih tanaman sesudah itu dibuang dan menjadi sampah. GARBEX digunakan untuk menggantikan plastik polibag dan dapat digunakan berkai-kali.
Hasil dan Diskusi
Cara pembuatannya dengan cara memotong paralon besi yang meudian di las menyerupai pot. Alat ini di desain dapat dibuka dan di tutup.
Pembelajaran Inkuiri Mengkombinasikan Metode “Tigata-tigati Bermain Peran dengan Saitem” Melalui Media Aneka Biofilter, Pot Organik, dan Perangkap 3 in 1 ini dapat mengaktifkan siswa dan penerapannya siswa dituntut untuk menemukan sendiri konsep-konsep yang dipelajari berdasarkan pengamatan yang dilakukan siswa. Pembelajaran ini melatih siswa untuk menerapkan dan mengkaitkan konsep dan proses yang dipelajari dalam Sains dengan masalah kehidupan nyata siswa, sehingga tepat bagi siswa dan menjadi pengalaman bermakna. Hal ini sesuai dengan pendapat Wulandari (2006) yang menyatakan bahwa siswa yang melakukan pembelajaran dengan pendekatam SAINS dapat menemukan konsep yang berguna dalam kehidupan siswa sendiri, selain itu siswa senantiasa dapat mengkaitkan konsep dengan situasi yang baru. Jika siswa mempunyai kemampuan untuk menganalisis dan mengevaluasi suatu masalah maka siswa mampu menciptakan suatu hal yang baru yang mungkin berguna dalam kehidupannya, dengan demikin siswa dapat dikatakan berpikir tingkat tinggi.
Gambar 7. Rancangan Prangkap 3 in 1.
Penelitian tindakan kelas di SMA Negeri 1 Purbalingga Mengkombinasikan Metode “Tigatatigati Bermain Peran dengan Saitem, ini siswa lebih cakap dalam menghadapi masalah yang timbul di lingkungan masyarakat kemudian dapat meningkatkan keaktifan siswa kelas X-3 di SMA Negeri 1 Purbalingga dalam belajar Biologi. Hal ini disebabkan siswa terlibat langsung dalam proses pebelajaran yang dilakukan, mulai dari mempersiapkan bahan yang akan dipelajari, kemudian siswa merumuskan masalah dan menyusun hipotesis sendiri, hingga siswa terlibat aktif dalam proses pengamatan dan menyimpulkan hasil kegiatan yang telah dilakukan. Pembelajaran tersebut menjadikan siswa lebih aktif mencari informasi-informasi berhubungan dengan materi yang sedang dipelajari. Pembelajaran ini membuat siswa tidak hanya terpaku pada buku teks yang
Gambar 8. Perangkap 3 in 1. Light Trap adalah media perangkap yang menggunakan cahaya sebagai media penjebak. Penggunaan Electric Trap bertujuan untuk membunuh hama yang tertarik oleh pancaran cahaya dari Light Trap. Water Trap merupakan perangkap yang diletakan pada bagin paling bawah. perangkap ini berisi air yang berfungsi
ISBN 978-602-19655-4-2
226
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
sudah ada, melainkan siswa yang mengelola informasi-informasi yang diperoleh, dengan demikian memugkinkan siswa mampu menciptakan konsep-konsep baru dari hasil temuan mereka sendiri.
2). Hasil Belajar Siswa Hasil belajar adalah perubahan-perubahan tingkah laku siswa yang dikehendaki benar-benar terjadi setelah siswa mengalami proses belajar. Hasil belajar sering disebut dengan prestasi belajar. Prestasi belajar siswa atau hasil belajar siswa biasanya dinyatakan dalam skor hasil tes. Hasil belajar dalam penelitian ini dinyatakan dengan hasil tes yang diberikan pada awal siklus belajar, disebut sebagai pre-tes yang diberikan sebelum pembelajaran dan disebut post-tes yang diberikan setelah pembelajaran berakhir. Skor yang diperoleh siswa dalam pre-tes dan post-tes dapat digunakan sebagai indiktor peningkatan hasil belajar siswa pada penelitian ini. Adanya peningkatan skor siswa dari pre-tes ke post-tes dan skor siswa dari siklus I ke siklus II dapat menggambarkan peningkatan hasil belajar siswa pada ranah kognitif. Berdasarkan pendapat Haryono (2006) penilaian hasil belajar dapat mengungkapkan semua aspek domain pembelajaran. Sopyan (2006) menyatakan sistem evaluasi yang ada sekarang perlu dikembangkan sesuai dengan teknik pembelajaran yang selaras dengan tujuan pendidikan IPA itu sendiri.
Mengkombinasikan Metode “Tigata-tigati Bermain Peran dengan Saitem di SMA Negeri 1 Purbalingga dapat meningkatkan kemampuan berpikir tingkat tinggi dan hasil belajar siswa. Disamping itu, dapat meningkatkan hasil belajar dan kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa kelas X-3. Hal tersebut dapat terjadi karena pada proses pembelajaran siswa terlibat aktif menggunakan proses berpikirnya sehingga dapat meningkatkan kemampuan berpikir tingkat tinggi. Selain itu karena siswa terlibat aktif dalam proses pembelajaran menyebabkan pengetahuan siswa bertambah, hal inilah yang menyebabkan hasil belajar siswa meningkat. Tigata-tigati merupakan istilah yang penulis adopsi dari model pembelajaran Two Stay Two Stray (Spencer Kagan, 1992). Merupakan model pembelajaran yang memberi kesempatan kepada kelompok untuk membagikan hasil dan informasi dengan kelompok lainnya dengan cara bertamu. Pada Two Stay Two Stray yaitu dua tamu dua tinggal, sedangkan pada model TIGATA-TIGATI yaitu Tiga Tamu Tiga Tinggal. Proses pelaksanaan. Tiga siswa dikelompoknya menerima tamu yang datang dan member informasi kepada tamunya. Sementara tiga tamu yang datang menanyakan kepada tiga yang tinggal di kelompok.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan diperoleh data bahwa Skor rata-rata post-tes pada siklus I mencapai 77,55 dan siklus II mencapai 87,95. Berdasarkan analisis data tersebut diketahui bahwa terjadi peningkatan skor rata-rata post-tes dari siklus I ke siklus II, dengan demikian dapat dikatakan ada peningkatan hasil belajar. Adanya peningkatan hasil belajar tersebut dapat diketahui bahwa pembelajaran dengan Pembelajaran Inkuiri Mengkombinasikan Metode “Tigata-tigati Bermain Peran dengan Saitem” Melalui Media Aneka Biofilter, Pot Organik, dan Perangkap 3 in 1”dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Menurut Ibrahim (2005) hasil belajar adalah nilai yang diperoleh siswa setelah kegiatan pembelajaran. Sedangkan menurut Wulandari (2006) hasil belajar adalah hasil yang dicapai siswa dalam proses pembelajaran yaitu dengan adanya peningkatan persentase hasil belajar dalam hal konsep, kretivitas, keterampilan proses, aplikasi dan sikap siswa terhadap pembelajaran. Syarat ketuntasan belajar siswa telah ditetapkan sebesar 85%, dengan ketuntasan masing-masing siswa sebesar 70. Pada siklus I ketuntasan belajar klasikal mencapai 42,10%, dengan demikian pada siklus I dapat dikatakan bahwa siswa tidak mencapai ketuntasan belajar. Persentase ketuntasan pada siklus II mencapai 89,47%, dengan demikian pada siklus II siswa mencapai ketuntasan belajar. Hal ini membuktikan bahwa dengan adanya perbedaan ketuntasan belajar dari siklus I ke siklus II dapat dijadikan indikator adanya peningkatan hasil belajar siswa.
Hasil yang Diperoleh dari Pembelajaran Inkuiri Mengkombinasikan Metode “Tigata-tigati Bermain Peran dengan Saitem Melalui Media Aneka Biofilter, Pot Organik, dan Perangkap 3 in 1” 1). Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi Kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa dapat diukur melalui pertanyaan dan jawaban yang diajukan oleh siswa. Pertanyaan yang diajukan oleh siswa kemudian dianalisis sesuai tingkat kognitifnya. Berdasarkan analisis persentase data diperoleh hasil bahwa persentase pertanyaan tingkat tinggi siswa pada siklus II lebih besar dari pada siklus I. Selain itu jawaban siswa dengan kemampuan analisis tinggi pada siklus II persentasenya lebih besar dari pada siklus I. Adanya peningkatan persentase kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa dari siklus I ke siklus II dapat digunakan sebagai indikator bahwa pembelajaran yang diterapkan berhasil, dengan demikian dapat dikatakan bahwa Pembelajaran Inkuiri Mengkombinasikan Metode “Tigata-tigati Bermain Peran dengan Saitem” Melalui Media Aneka Biofilter, Pot Organik, dan Perangkap 3 in 1” yang dilakukan di SMA Negeri 1 Purbalingga dapat meningkatkan kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa.
ISBN 978-602-19655-4-2
227
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa Pembelajaran Inkuiri Mengkombinasikan Metode “Tigata-tigati Bermain Peran dengan Saitem”Melalui Media Aneka Biofilter, Pot Organik, dan Perangkap 3 in 1” mampu meningkatkan hasil belajar siswa kelas X-3 SMA Negeri 1 PURBALINGGA. Meningkatnya hasil belajar ini dikarenakan dalam proses pembelajaran yang dilakukan dalam penelitian siswa berperan aktif dalam proses pembelajaran. Adanya peningkatan hasil belajar siswa dapat dijadikan sebagai indikator bahwa siswa sudah melakukan proses belajar. Selain itu, materi Pencemaran Lingkungan sangat cocok jika diajarkan dengan “Metode Pembelajaran “PEPES TERI” Melalui Media Aneka Biofilter, Pot Organik, dan Perangkap 3 in 1” sehingga membuat siswa lebih mudah dalam memahaminya.
peningkatan ketuntasan belajar siswa siklus II sebesar 89,47%. 3). “Metode Pembelajaran “PEPES TERI” Melalui Media Aneka Biofilter, Pot Organik, dan Perangkap 3 in 1” mendapat respons positif dari siswa kelas X-3 SMA Negeri 1 Purbalingga . Penerapan pembelajaran ini dapat membuat siswa lebih aktif dalam proses pembelajaran.
Respons Siswa terhadap Pembelajaran Inkuiri Mengkombinasikan Metode “Tigata-tigati Bermain Peran dengan Saitem” Melalui Media Aneka Biofilter, Pot Organik, dan Perangkap 3 in 1”
[1] http://www.blackxperience.com/index.php?pa ge=events-detail&aeid=1704 [2] Haryanto, “Penerapan Metode DiscoveriInkuiri pada Pembelajaran IPA Meningkatkan Kerja R 34ah Siswa Kelas IV SemR 11 2 Tahun Pelajaran 2004-2005 Sekolah dasar Negeri pasinan III Kecamatan Lekok Pasuruan”. Skripsi tidak diterbitkan. Malang: Program Sarjana Strata 1 UM, (2006). [3] Ibrahim, Salim, Djabid, “Penerapan Pembelajaran dengan Pendekatan SAINS untuk Meningkatkan Hasil belajar Konsep Bioteknologi dan Respons Siswa Kelas X SMA Negeri 2 Ternate Tahun Pelajaran 2004/2005”, Tesis tidak diterbitkan. Malang: Program Pascasarjana UM, (2005). [4] Mas’udah, Y. 2005. Penerapan pendekatan SAINS (Sains, Teknologi, Masyarakat) untuk Meningkatkan Hasil Belajar Biologi Pokok Bahasan Bioteknologi Pada Siswa SMUN 01 Batu Kelas X”, Tesis tidak diterbitkan. Malang: Program Pascasarjana UM, (2005). [5] Sopyan,Ahmad, “Pengaruh Tehnik Pembelajaran Kreatif dan Kemampuan Penalaran Terhadap Hasil Belajar Siswa SMP”, (2006). (Online), (http://wijayalabs.wordpress.com/2008/01/10/ penelitian-kuantitatif/, diakses 18 Januari 2008).
Ucapan Terima Kasih Penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh civitas SMA N 1 Purbalingga atas dukungan finansialnya pada penelitian ini dan SMA N 1 Purbalingga dukungannya dalam keikutsertaan dalam kegiatan ilmiah ini. Referensi
Berdasarkan data yang diperoleh persentase rata-rata siswa yang memilih ″ya″ sebesar 80,83%, sedangkan dalam ketentuan yang sudah dibuat dikatakan jika persentase rata-rata mencapai lebih dari 50 % maka pembelajaran yang dilakukan mendapat respons positif dari siswa. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa siswa mempunyai tanggapan atau respons positif terhadap penerapan Pembelajaran Inkuiri Mengkombinasikan Metode “Tigata-tigati Bermain Peran dengan Saitem”Melalui Media Aneka Biofilter, Pot Organik, dan Perangkap 3 in 1” Kesimpulan “Pembelajaran Inkuiri Mengkombinasikan Metode “Tigata-tigati Bermain Peran dengan Saitem”” dapat meningkatkan kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa kelas X-3 di SMA Negeri 1 Purbalingga. Kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa dikatakan meningkat jika jumlah persentase pertanyaan dan jawaban tingkat tinggi siswa pada siklus II lebih besar dari siklus I. Persentase pertanyaan tingkat tinggi siswa siklus I sebesar 42,86%, sedangkan persentase pertanyaan tingkat tinggi siswa siklus II sebesar 57,89%. Persentase jawaban dengan kemampuan analisis tinggi siklus I sebesar 51,43%, sedangkan persentase jawaban dengan kemampuan analisis tinggi siklus II sebesar 59,08% .
Ruswanto SMA N 1 Purbalingga [email protected]
http://www.ruswanto.com/
Hasil belajar siswa dikatakan meningkat jika persentase peningkatan hasil belajar pada siklus II lebih besar dari siklus I. Rata-rata skor post-tes siklus I sebesar 77,55, sedangkan rata-rata skor post-tes siklus II sebesar 87,95. Persentase peningkatan ketuntasan belajar siswa siklus I sebesar 42,10%, sedangkan persentase
ISBN 978-602-19655-4-2
228
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
“Monopoli Napza dan PeDeMaN” Sebagai Upaya Meningkatkan Aktifitas dan Hasil Belajar Biologi Pada Meteri Sistem Syaraf dan Peredaran Darah Ruswanto* Abstrak Dewasa ini narkoba telah menjadi momok bagi masyarakat dan pemerintah sebagai sesuatu yang sangat membahayakan. Penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, psikotropika dan bahan berbahaya lainnya (narkoba) dengan berbagai implikasi dan dampak negatifnya merupakan suatu masalahnya internasional maupun mengancam kehidupan masyarakat, bangsa dan negara serta dapat melemahkan ketahanan nasional yang pada mulanya dapat menghambat jalannya pembangunan. Menghadirkan MONOPOLI NAPZA pada materi Sistem Syaraf, merupakan salah satu upaya untuk melahirkan sumber daya manusia berkualitas yang bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan membangun manusia Indonesia bebas Narkoba. Adapun MONOPOLI PeDeMan merupakan hasil pembelajaran yang didapatkan setelah siswa mendapatkan materi monopoli sebelumnya. Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan aktivitas belajar dan hasil belajar Biologi materi belajar Biologi pada materi Pengaruh NAPZA terhadap Sistem Syaraf dan Sistem Peredaran Darah Manusia kelas XI IPA5 SMA Negeri 1 Purbalingga Tahun Pelajaran 2010/2011. Hasil penelitian menunjukan: 1). Pembelajaran dengan menggunakan Media Monopoli dapat meningkatkan hasil belajar siswa di SMA Negeri 1 Purbalingga. Pada siklus II telah dilaksanakan pembelajaran dengan menggunakan Monopoli yang dibuat oleh siswa Hasil belajar dan Aktifitas siswa mengalami peningkatan dibandingkan dengan siklus I. Pada siklus 1 nilai post test sebesar 72,14 sedangkan pada siklus ke 2 sebesar 93,71. 2). Pembelajaran dengan menggunakan Media Monopoli dapat meningkatkan Aktifitas siswa di SMA Negeri 1 Purbalingga. Aktivitas belajar Biologi mengalami peningkatan dibandingkan dengan siklus I. Aktifitas berdasarkan Kualifikasi pada siklus 1 yang mempunyai nilai kurang sebesar 42,86%, nilai cukup 48,57%, nilai baik 8,57%, dan sangat baik 0%. Sedangkan pada siklus2 yang mempunyai nilai kurang 0%, nilai cukup 8,57%, nilai baik 42,86%, sangat baik 48,57%. Kata-kata kunci: NAPZA dan PeDeMan, Aktifitas, Hasil Belajar Biologi Sistem Peredaran Darah biasa disampaikan guru dalam bentuk ceramah
Pendahuluan Monopoli adalah salah satu permainan papan yang paling terkenal di dunia. Tujuan permainan ini adalah untuk menguasai semua petak di atas papan melalui pembelian, penyewaan dan pertukaran properti dalam sistem ekonomi yang disederhanakan. http://id.wikipedia.org/ Monopoli. Setiap pemain melemparkan dadu secara bergiliran untuk memindahkan bidaknya, dan apabila ia mendarat di petak yang belum dimiliki oleh pemain lain, ia dapat membeli petak itu sesuai harga yang tertera. Bila petak itu sudah dibeli pemain lain, ia harus membayar pemain itu uang sewa yang jumlahnya juga sudah ditetapkan.
Prosedur Tindakan Penelitian ini dilakukan dengan metode Penelitian Tindakan Kelas terdiri dari 2 siklus. Tindakan dalam setiap siklus saling berkaitan erat. Pada siklus I pembelajaran dilakukan dengan penggunaan Monopoli secara kelompok dengan bentuk permainan di siapkan oleh guru, sedangkan pada siklus II penggunaan Monopoli secara kelompok dibuat oleh siswa. Siklus I dan II berlangsung pada 6 pertemuan (6 jam pelajaran). Variabel yang diteliti adalah penggunaan Monopoli sebagai penyebab serta aktivitas belajar dan hasil belajar sebagai akibat. Langkah-langkah dalam tiap siklus terdiri dari (1) membuat perencanaan tindakan, (2) melaksanakan tindakan sesuai yang direncanakan, (3) melakukan pengamatan terhadap tindakan yang dilakukan, dan (4) merefleksi deskriptif komparatif. Langkah-langkah tersebut sebagai berikut:
“MONOPOLI NAPZA” singkatan dari Monopoli Narkotika Psikotropika, dan Zat Adiktif. Media ini sengaja penulis hadirkan, disebabkan konsep pengaruh Napza terhaap sistem syaraf biasa disampaikan dalam bentuk ceramah, LCD, dan Poster. “MONOPOLI PeDe Man” singkatan dari Monopoli Peredaran Darah Manusia. Media ini sengaja penulis hadirkan, disebabkan konsep
ISBN 978-602-19655-4-2
229
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Siklus I 1. Perencanaan (planning) 2. Pelaksanaan Tindakan (Acting) 3. Pengamatan (Observing) 4. Refleksi (Reflecting)
Tahap Tindakan a. Hasil Pengamatan Ulangan harian dalam bentuk tes tertulis dilakukan pada akhir siklus I untuk mendapatkan data hasil belajar siswa. Berikut adalah tabel hasil belajar pada siklus 1
Siklus II 1. Perencanaan (planning) 2. Pelaksanaan Tindakan (Acting) 3. Pengamatan (Observing) 4. Refleksi (Reflecting)
Jmlh Skor Test KELOMPOK
Pre-Test Post-Test
Jumlah Siswa yang Tuntas Pre-Test
Post-Test
Sudah Belum Sudah Belum
Miras A
350
370
2
3
2
Miras B
355
360
1
4
2
3 3
Miras C
300
340
1
4
2
3
Hasil Penelitian dan Pembahasan
Miras D
345
360
2
3
3
2
Narkotik 1
360
360
1
4
2
3
Monopoli ini di desain untuk memahami tentang dunia Napza. Pada pembahasan ini akan dibuat secara runut tentang cara memahami dunia Napza. Artinya, dengan media monopoli ini pemain dapat memahami tentang Narkoba, dampak penyalahgunaan, faktor penyebab penyalahgunaan, strategi penanganan, dan peran pemuda dalam menangani masalah narkoba.
Narkotik 2
340
370
1
4
2
3
Psikotropika
365
365
2
3
2
3
JUMLAH
2415
2525
10
25
15
20
Rata-rata
69
72.14
28.6
%
57.14
42.86
Berdasarkan Tabel 4.1 diketahui bahwa skor rata-rata post-tes pada siklus I mencapai 72.14. Dari 35 siswa yang mengikuti pre-tes, siswa yang nilainya ≥ 75 sebanyak 10 siswa dan untuk posttes dari 35 siswa yang nilainya ≥ 75 adalah 20 siswa. Berdasarkan skor hasil pre-tes dan post- tes pada siklus I dapat diketahui persentase ketuntasan belajar siswa pada saat post-tes yaitu mencapai 42.86%. Persentase ketuntasan belajar yang diperoleh siswa kurang dari 85 %, dengan demikian pada siklus I dapat dikatakan siswa belum mencapai ketuntasan belajar. b. Hasil Pengamatan Aktivitas Belajar Biologi Pada siklus I pembelajaran menggunakan Monopoli yang dibuat oleh guru. Permainan berjalan kurang lancar karena siswa kesulitan menjawab pertanyaan yang ada pada Kartu Kesempatan dan Dana Umum. Diskusi kelompok berjalan cukup baik. Kerjasama yang baik dalam kelompok terlihat pada kelompok Miras A, siswa dalam kelompok terlihat sangat antusias mengikuti permainan. Kelompok Narkotik 2 didominasi oleh 1 anggotanya, sementara anggota yang lain kurang aktif. Aktivitas belajar Biologi pada pembelajaran menggunakan Monopoli secara kelompok diamati dengan menggunakan lembar observasi siswa. Ada tugas aspek yang diamati, yaitu diskusi, kerjasama, dan keaktifan. Hasil pengamatan aktivitas belajar nampak pada tabel berikut.
Bahan permainan Monopoly terdiri dari: papan, uang, token, dua jenis kartu ( Dana Umum dan Kesempatan), 2 buah dadu, Kartu hak milik tanah dan bangunan, 32 rumah dan 12 hotel.
Gambar 1: Media monopoli NAPZA yang dibuat oleh guru sabagai model. Kartu Dana Umum dan Kesempatan adalah kartu dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan dan pemahaman tentang Sistem Syaraf pada manusia, Undang-Undang RI No 22/1997 tentang NARKOTIKA, Undang-undang RI Nomor 5 Tahun 1997 tentang PSIKOTROPIKA. Adakalanya pemain mendapat hadiah dari Bank atau bahkan membayar denda ke Bank atau ke tiap pemain. Siswa di perkenalkan nyanyian tentang Napza. Lirik lagu sebagai berikut: Sampun wancinipun kito sami mbasmi miras, Miras niku dados saraf kito mboten waras, Sampun wanci nipun kito ngadoh ko Narkoba. Narkoba niku dados ngrusak generasi muda.Mugi monopoli niki saged migunani. Kagem muda-mudi ingkang bade mbangun negri
ISBN 978-602-19655-4-2
71.43 42.9
28.57
KELOMPOK Miras A Miras B Miras C Miras D Narkotik 1 Narkotik 2 Psikotropika JUMLAH
230
Kualifikasi Jumlah B S.B C 1 3 1 0 5 2 3 0 0 5 3 2 0 0 5 1 3 1 0 5 2 3 0 0 5 4 1 0 0 5 2 2 1 0 5 15 17 3 0 35 42.86 48.57 8.57 0.00
K
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
M ira M sA ira M sB ira s M C i Na ras rk D Na o tik r Ps ko 1 ik tik ot ro 2 pi ka
5 4 3 2 1 0
yang dilengkapi model yang di susun oleh siswa. Pelaksanaan Tindakan
Kurang Cukup
Monopoli
Tindakan yang dilakukan pada pembelajaran mengacu pada perencanaan tindakan yang telah dibuat. Materi ajar yang disajikan pada siklus adalah Sistem Peredaran Darah. Apersepsi: -Guru menyiapkan peserta didik secara psikis dan fisik untuk mengikuti proses pembelajaran. -Guru memberikan pertanyaan awal untuk mengetahui pengetahuan siswa mengenai materi Sistem peredaran darah.
Baik Sangat Baik
Refleksi Refleksi Aktivitas Belajar Biologi. Pada siklus I telah dilaksanakan pembelajaran dengan menggunakan Monopoli yang dibuat oleh guru, aktivitas belajar Biologi mengalami peningkatan dibandingkan dengan kondisi awal. Refleksi Hasil Belajar Biologi Pada siklusI telah dilaksanakan pembelajaran dengan menggunakan Monopoli yang dibuat oleh guru pada materi Sistem syaraf, hasil belajar siswa mengalami peningkatan dibandingkan dengan kondisi awal. Refleksi Tindakan Siklus I Dalam pelaksanaan tindakan ada beberapa hal yang menjadi catatan, yaitu: 1. Guru perlu memberikan perhatian lebih kepada anggota kelompok yang cenderung individual, sehingga tidak terjadi dominasi 1 atau 2 siswa. 2. Guru perlu lebih tegas menegur siswa yang cenderung pasif atau tidak serius, bercakapcakap dan bahkan bermain-main dengan teman. 3. Papan monopoli perlu dibuat oleh siswa. 4. Siswa membuat pertanyaan dan jawaban yang ada di kartu kesempatan dan Dana Umum 5. Pertanyaan dan jawaban yang ada di kartu dana umum dan kesempatan di bacakan secara bergilir. 6. Untuk meningkatkan aktivitas belajar, maka semua siswa perlu mendapatkan daftar yang berisi pertanyaan-pertanyaan pada kartu, sehingga semua siswa dapat terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran. 7. Siswa memainkan monopoli karya siswa yang lain.
b. Kegiatan Inti 1. Eksplorasi. -Guru membagi peserta didik ke dalam kelompok kooperatif. -Guru membagikan gambar-gambar yang berkaitan dengan sistem peredaran darah. -Guru melibatkan peserta didik mencari menggunting dan menempel gambar-gambar
Siswa diminta untuk membuat kartu dana umum dan kartu kesempatan yang dimasukan ke dalam amplop
Siswa sedang menukar amplop yang berisi pertanyaan dan jawaban kartu dana umum dan kesempatan Guru memfasilitasi terjadinya interaksi antar peserta didik serta antar peserta didik dengan guru. Elaborasi -Guru memberi kesempatan peserta didik untuk berpikir, menganalisis, dan menyelesaikan masalah dari pertanyaan yang di buat oleh siswa pada kartu Dana Umum dan Kesempatan. -Kelompok mendiskusikan jawaban dari pertanyaan kartu Dana Umum dan Kesempatan -Guru memfasilitasi peserta didik dalam pembelajaran kooperatif dan kolaboratif dengan mengarahkan jalannya permainan Monopoli.-Guru memfasilitasi peserta didik untuk menyajikan hasil kerja kelompok Konfirmasi -Guru memberikan umpan balik positif dan penguatan dalam bentuk lisan dan tertulis terhadap keberhasilan peserta didik. Guru
Deskripsi Hasil Siklus II a. Tahap Perencanaan Tahap perencanaan tindakan yang dilakukan pada siklus II meliputi penyusunan rencana pelaksanaan pembelajaran, daftar pertanyaan, gambar-gambar yang berkaitan dengan Sistem Peredaran Darah. Adapun lembar observasi aktivitas belajar siswa menggunakan format yang sama dengan siklus I. Penyusunan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) dilakukan dengan cara memperbaiki dengan menyesuaikan program pembelajaran yang telah dibuat di awal semester. RPP disusun sesuai dengan model RPP
ISBN 978-602-19655-4-2
permainan
231
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
memberikan konfirmasi terhadap hasil eksplorasi dan elaborasi. -Guru memfasilitasi peserta didik untuk memperoleh pengalaman belajar yang bermakna dalam mencapai kompetensi dasar dengan memberi informasi untuk bereksplorasi lebih jauh.
KELOMPOK
Penutup.-Guru memberikan penghargaan kepada kelompok yang hasilnya bagus. -Guru bersama-sama dengan peserta didik membuat rangkuman/ simpulan pelajaran-Guru memberikan umpan balik terhadap proses dan hasil pembelajaran.
Pre-Test Post-Test
Post-Test
340
400
4
1
4
1
Miras B
300
450
4
1
5
0
Miras C
420
460
4
1
5
0
Miras D
380
500
5
0
5
0
Narkotik 1
420
480
3
2
5
0
Narkotik 2
385
490
3
2
5
0
Psikotropika
360
500
4
1
5
0
JUMLAH
2605
3280
27
8
34
1
Rata-rata
74.43
93.71
77.14
22.86
97.14
%
77.14
Miras A
0
1
3
1
Miras B
0
0
2
3
5 5
Miras C
0
1
3
1
5
Miras D
0
0
2
3
5
Narkotik 1
0
0
2
3
5
Narkotik 2
0
1
3
1
5
Psikotropika
0
0
0
5
5
JUMLAH
0
3
15
17
35
%
0
8.57
42.86
48.57
Kurang Cukup Baik Sangat Baik
Pada siklus II telah dilaksanakan pembelajaran dengan menggunakan Monopoli yang dibuat oleh siswa. Aktivitas belajar Biologi mengalami peningkatan dibandingkan dengan siklus I. Aktifitas berdasarkan Kualifikasi pada siklus 1 yang mempunyai nilai kurang sebesar 42,86%, nilai cukup 48,57%, nilai baik 8,57%, dan sangat baik 0%. Sedangkan pada siklus2 yang mempunyai nilai kurang 0%, nilai cukup 8,57%, nilai baik 42,86%, sangat baik 48,57%.
2.86
97.14
Berdasarkan Tabel 4.2 diketahui bahwa skor rata-rata post-tes pada siklus 2 mencapai 93,71. Dari 35 siswa yang mengikuti pre-tes, siswa yang nilainya ≥ 75 sebanyak 8 siswa dan untuk post-tes dari 35 siswa yang nilainya ≥ 75 adalah 34 siswa. Berdasarkan skor hasil pre-tes dan post- tes pada siklus I dapat diketahui persentase ketuntasan belajar siswa pada saat post-tes yaitu mencapai 97,14%. Persentase ketuntasan belajar yang diperoleh siswa lebih dari 85 %, dengan demikian pada siklus 2 dapat dikatakan siswa mencapai ketuntasan belajar.
b. Refleksi Hasil Belajar Biologi Pada siklus II telah dilaksanakan pembelajaran dengan menggunakan Monopoli yang dibuat oleh siswa Hasil belajar dan Aktifitas siswa mengalami peningkatan dibandingkan dengan siklus I. Pada siklus 1 nilai post test sebesar 72,14 sedangkan pada siklus ke 2 sebesar 93,71. Hal ini berarti ada kenaikan sebesar 21,57% c. Refleksi Tindakan Siklus II
Hasil Pengamatan Aktivitas Belajar Biologi
Dalam pelaksanaan tindakan ada beberapa hal yang menjadi catatan, yaitu: Permainan Monopoli berjalan lancar, siswa sudah memahami aturan permainan; siswa antusias mengikuti permainan, anggota kelompok terlibat aktif.
Pembelajaran menggunakan Monopoli yang dibuat oleh siswa dapat mempengaruhi aktifitas siswa, hal ini dapat dilihat karena siswa lancar menjawab pertanyaan yang ada pada Kartu Kesempatan dan Dana Umum. Diskusi kelompok berjalan baik. Kerjasama yang baik dalam kelompok terlihat pada semua kelompok. Aktivitas belajar Biologi pada pembelajaran menggunakan Monopoli secara kelompok diamati dengan menggunakan lembar observasi siswa. Ada tugas aspek yang diamati, yaitu diskusi, kerjasama, dan keaktifan. Hasil pengamatan aktivitas belajar nampak pada tabel berikut.
ISBN 978-602-19655-4-2
Jumlah
a. Refleksi Aktivitas Belajar Biologi
Sudah Belum Sudah Belum
Miras A
S.B
Refleksi
Jumlah Siswa yang Tuntas Pre-Test
B
M ira M sA ira M sB ira s M C i Na ras rk D Na o tik Ps rko 1 ik tik ot ro 2 pi ka
Ulangan harian dalam bentuk tes tertulis dilakukan pada akhir siklus 2 untuk mendapatkan data hasil belajar siswa. Berikut adalah tabel hasil belajar pada siklus 2 : Jmlh Skor Test
C
5 4 3 2 1 0
Hasil Pengamatan
KELOMPOK
Kualifikasi K
Pembahasan Sebagian permasalahan dalam penelitian ini adalah rendahnya aktivitas dan hasil belajar Biologi. Hal tersebut karena guru belum menggunakan media yang tepat untuk membantu siswa mempelajari materi Biologi. Untuk mengatasi
232
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
(2006) hasil belajar adalah hasil yang dicapai siswa dalam proses pembelajaran yaitu dengan adanya peningkatan persentase hasil belajar dalam hal konsep, kretivitas, keterampilan proses, aplikasi dan sikap siswa terhadap pembelajaran. Syarat ketuntasan belajar siswa telah ditetapkan sebesar 85%, dengan ketuntasan masing-masing siswa sebesar 75. Pada siklus I ketuntasan belajar klasikal mencapai 42,86%, dengan demikian pada siklus I dapat dikatakan bahwa siswa tidak mencapai ketuntasan belajar. Persentase ketuntasan pada siklus II mencapai 97,14%, dengan demikian pada siklus II siswa mencapai ketuntasan belajar. Hal ini membuktikan bahwa dengan adanya perbedaan ketuntasan belajar dari siklus I ke siklus II dapat dijadikan indikator adanya peningkatan hasil belajar siswa.
hal tersebut guru perlu pemilihan media yang tepat untuk memecahkan masalah tersebut. Media Monopoli dalam penelitian tindakan kelas ini terdiri dari 2 siklus, penggunaan media monopoli yang di buat oleh guru pada siklus I dan monopoli yang dibuat oleh siswa pada siklus II Media permainan Monopoli dapat meningkatkan Aktifitas dan Hasil belajar siswa, hal ini sependapat dengan Yati Kurniwati 2010, bahwa permainan Game Kertu dengan menggunakan Kartu Doli dapat Meningkatkan Aktivitas dan Hasil Belajar Listrik Pada Siswa Kelas IX E SMP Negeri 7 SalatigaTahun Pelajaran 2010/2011. Pemilihan media pembelajaran yang tepat dapat membantu meningkatkan Hasil Belajar siswa. Pada permainan Monopoli ini siswa terlihat antusias dan aktif. Hal ini sependapat dengan Susiana, 2007 bahwa Media pembelajaran yang tepat dapat melibatkan siswa berperan secara aktif baik secara fisik, mental maupun emosional. Media pembelajaran dapat menarik minat dan gairah belajar siswa. Hasil belajar adalah perubahanperubahan tingkah laku siswa yang dikehendaki benar-benar terjadi setelah siswa mengalami proses belajar. Hasil belajar sering disebut dengan prestasi belajar. Prestasi belajar siswa atau hasil belajar siswa biasanya dinyatakan dalam skor hasil tes. Hasil belajar dalam penelitian ini dinyatakan dengan hasil tes yang diberikan pada awal siklus belajar, disebut sebagai pre-tes yang diberikan sebelum pembelajaran dan disebut post-tes yang diberikan setelah pembelajaran berakhir. Skor yang diperoleh siswa dalam pre-tes dan post-tes dapat digunakan sebagai indiktor peningkatan hasil belajar siswa pada penelitian ini. Adanya peningkatan skor siswa dari pre-tes ke post-tes dan skor siswa dari siklus I ke siklus II dapat menggambarkan peningkatan hasil belajar siswa pada ranah kognitif. Berdasarkan pendapat Haryono (2006) penilaian hasil belajar dapat mengungkapkan semua aspek domain pembelajaran. Sopyan (2006) menyatakan sistem evaluasi yang ada sekarang perlu dikembangkan sesuai dengan teknik pembelajaran yang selaras dengan tujuan pendidikan IPA itu sendiri.
Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa Media Monopoli yang dibuat oleh siswa mampu meningkatkan hasil belajar siswa kelas XIIPA 5-3 SMA Negeri 1 Purbalingga. Meningkatnya hasil belajar ini dikarenakan dalam proses pembelajaran yang dilakukan dalam penelitian siswa berperan aktif dalam proses pembelajaran. Adanya peningkatan hasil belajar siswa dapat dijadikan sebagai indikator bahwa siswa sudah melakukan proses belajar. Respons Siswa terhadap pembelajaran Monopoli, dalam penelitian ini diukur dengan menggunakan angket. Angket respons siswa mencakup tanggapan siswa terhadap “Pembelajaran dengan Menggunakan Media Monopoli”. Berdasarkan data yang diperoleh persentase rata-rata siswa yang memilih ″ya″ sebesar 100%, sedangkan dalam ketentuan yang sudah dibuat dikatakan jika persentase rata-rata mencapai lebih dari 50 % maka pembelajaran yang dilakukan mendapat respons positif dari siswa. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa siswa mempunyai tanggapan atau respons positif terhadap penerapan “Media Monopoli”. Kesimpulan Pembelajaran dengan menggunakan Media Monopoli dapat meningkatkan hasil belajar siswa di SMA Negeri 1 Purbalingga. Pada siklus II telah dilaksanakan pembelajaran dengan menggunakan Monopoli yang dibuat oleh siswa Hasil belajar dan Aktifitas siswa mengalami peningkatan dibandingkan dengan siklus I. Pada siklus 1 nilai post test sebesar 72,14 sedangkan pada siklus ke 2 sebesar 93,71.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan diperoleh data bahwa Skor rata-rata post-tes pada siklus I mencapai 72.14 dan siklus II mencapai 93.71. Berdasarkan analisis data tersebut diketahui bahwa terjadi peningkatan skor rata-rata post-tes dari siklus I ke siklus II, dengan demikian dapat dikatakan ada peningkatan hasil belajar. Adanya peningkatan hasil belajar tersebut dapat diketahui bahwa pembelajaran dengan menggunakan media monopoli yang di buat oleh siswa dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Menurut Ibrahim (2005) hasil belajar adalah nilai yang diperoleh siswa setelah kegiatan pembelajaran. Sedangkan menurut Wulandari
ISBN 978-602-19655-4-2
Pembelajaran dengan menggunakan Media Monopoli dapat meningkatkan Aktifitas siswa di SMA Negeri 1 Purbalingga. Aktivitas belajar Biologi mengalami peningkatan dibandingkan dengan siklus I. Aktifitas berdasarkan Kualifikasi pada siklus 1 yang mempunyai nilai kurang sebesar 42,86%, nilai cukup 48,57%, nilai baik
233
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
8,57%, dan sangat baik 0%. Sedangkan pada siklus2 yang mempunyai nilai kurang 0%, nilai cukup 8,57%, nilai baik 42,86%, sangat baik 48,57%. Ucapan Terima Kasih Penulis mengucapkan terima kasih kepada Organisasi Badan Narkotika Kabupaten Purbalingga atas dukungan finansialnya pada penelitian ini dan Polres Purbalingga atas dukungannya dalam keikutsertaan dalam kegiatan ilmiah ini. Penulis juga berterima kasih kepada Kapolres Purbalingga atas dikusinya yang bermanfaat. Referensi [1] Http://id.wikipedia.org/wiki/monopoli [2] Hamalik,O. 2004.Psikologi Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru Algensindo. [3] Nasution. 2003. Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar dan Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara [4] Nasution.1995. Didaktik Asas-asas Mengajr. Jakarta: Bumi Aksara. Ruswanto* SMA N 1 Purbalingga [email protected] http://www.ruswanto.com/
ISBN 978-602-19655-4-2
234
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Penentuan Percepatan Gravitasi Bumi dari Eksperimen Bandul Matematis Pada Simpangan Sudut Besar Safrudin Kiayi*, Neny Kurniasih, dan Hendro Abstrak Tujuan dari penelitian ini adalah menentukan percepatan gravitasi bumi dari eksperimen bandul matematis berdasarkan faktor koreksi periode osilasi solusi eksaknya. Eksperimen dilakukan dengan merancang sebuah alat sederhana berupa ayunan bandul untuk diambil data periode osilasinya dengan parameter simpangan awal dan panjang tali ayunan. Sebelum koreksi periode dilakukan, semakin besar sudut simpangan awal bandul semakin kecil nilai percepatan gravitasi bumi. Tetapi setelah koreksi periode dilakukan, nilai percepatan gravitasi bumi menunjukkan nilai yang sama untuk berbagai sudut simpangan awal. Koreksi periode ditentukan dari solusi eksak dan pendekatan deret. Nilai rata-rata percepatan gravitasi bumi sebelum dikoreksi adalah (9,65 0,03) m/s2, sedangkan nilainya setelah dikoreksi adalah (9,78 0,03) m/s2. Menurut perhitungan teoretik diperoleh nilai percepatan gravitasi bumi sebesar 9,77868m/s2. Nilai ratarata percepatan gravitasi bumi sebelum dikoreksi menunjukkan kesalahan relatif 1,32 % dan setelah dikoreksi 0,01 % terhadap percepatan gravitasi bumi teoretik. Kata-kata kunci : bandul matematis, faktor koreksi, periode, percepatan gravitasi bumi Pendahuluan
Teori
Penentuan percepatan gravitasi bumi seringkali diperoleh melalui eksperimen bandul matematis [1]. Eksperimen bandul matematis di Sekolah Menengah Atas (SMA) umumnya dilakukan dengan pendekatan sudut kecil
Solusi Eksak dengan Pendekatan Sudut Kecil Persamaan diferensial yang dibentuk melalui Hukum II Newton yang diterapkan pada osilasi bandul adalah [3,4,5]:
( 100 ) ; sangat jarang eksperimen dilakukan 0 tanpa pendekatan sudut kecil ( 10 ) . Materi
2
d θ dt
pelajaran bandul matematis, khususnya tentang solusi eksak tanpa pendekatan sudut kecil, tidak diajarkan kepada siswa SMA karena persoalan matematiknya yang sulit dipahami oleh siswa. Oleh karena itu, eksperimen yang dikenalkan kepada siswa hanya didasarkan pada solusi eksak dengan pendekatan sudut kecil atau solusi osilasi harmonik sederhana.
sin θ , 2
(1)
0
dengan sebagai perpindahan sudut, t adalah 12
g waktu dan 0 l
, dengan l merupakan
panjang tali bandul dan g adalah percepatan gravitasi bumi. Bila sudut simpangan kecil, sin sehingga Persamaan (1) dapat disederhanakan menjadi :
Dalam penelitian ini penulis menentukan percepatan gravitasi bumi dari eksperimen bandul matematis berdasarkan faktor koreksi periode osilasi solusi eksaknya. Eksperimen dilakukan dengan merancang sebuah alat sederhana berupa ayunan bandul untuk diambil data periode osilasinya dengan parameter simpangan awal dan panjang tali ayunan. Sebagai pembanding, penulis melakukan pengukuran menggunakan Gravity Meter Lacoste & Romberg tipe G-928 dan juga perhitungan teoretik berdasarkan referensi [2] untuk mengetahui tingkat keakuratan eksperimen yang dilakukan.
ISBN 978-602-19655-4-2
2
2
d θ dt
2
2
θ ,
(2)
0
Solusi Persamaan (2) dapat ditulis sebagai berikut [3,6]: θ θ 0 cos (ω 0 t ) .
(3)
dengan θ0 adalah posisi sudut awal dan adalah tetapan fasenya.
235
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Dengan
menggunakan
0 2 T
kaitan
Hasil dan Diskusi
0
Berdasarkan data eksperimen dengan sudut
diperoleh periode osilasi harmonik sederhana sebagai berikut [6] :
0
12
l T0 2 . g
0
0
0
simpangan awal 5 , 10 , 20 , dan 30 , massa bandul 0,225 kg dan panjang tali 0,6 m telah dibuatkan grafik hubungan posisi bandul dengan waktu, seperti terlihat pada Gambar 2 berikut.
(4)
Dari Persamaan (4) dapat ditentukan percepatan gravitasi bumi dengan variasi panjang tali yang berbeda. Eksperimen dilakukan di Laboratorium Fisika Dasar (LFD) ITB dengan rancangan eksperimen bandul matematis seperti ditunjukkan oleh Gambar 1.
Gambar 2. Grafik hubungan posisi terhadap waktu hasil eksperimen untuk sudut simpangan awal 0
0
0
0
5 , 10 , 20 , dan 30 , massa bandul 0,225 kg, dan panjang tali 0,6 m
Berdasarkan Gambar 2 terlihat bahwa semakin besar sudut simpangan awal bandul maka semakin besar periodenya, sehingga perlu dilakukan koreksi periode. Gambar 1. matematis.
Rancangan
eksperimen
bandul
Solusi Eksak tanpa Pendekatan Sudut Kecil Belendez, dkk, telah menyelesaikan Persamaan (1) sehingga diperoleh solusi eksak sebagai berikut [7]:
θ0
2
θ(t) 2 arcsin sin
sn K sin
2
θ0 2
2 ω0 t ; sin
θ0 2
(5)
dengan K merupakan fungsi integral elliptik dan sn adalah fungsi Jacobian elliptik. Jika amplitudo tidak kecil, persamaan umum periodenya dapat didekati dengan deret tak berhingga berikut [5]:
1
4
T T0 1
sin
2
0 2
9 64
sin
4
0 2
Gambar 3. Grafik hubungan kuadrat periode terhadap panjang tali dengan sudut simpangan awal 5
... . (6)
Berdasarkan Persamaan (5) dan (6) dapat ditentukan faktor koreksi periode (T T0 ) yang merupakan rasio periode osilasi tanpa pendekatan sudut kecil (amplitudo tidak kecil) terhadap periode osilasi dengan pendekatan sudut kecil (amplitudo kecil) [8].
ISBN 978-602-19655-4-2
236
0
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
tali adalah sekitar 99,99%. Persamaan garis terkait Gambar 3 adalah T
2
4,0378l 0,0997 s dengan 2
gradien grafik sebesar 4,0378 s 2 m . Percepatan gravitasi bumi diperoleh dari nilai gradien grafik untuk sudut simpangan awal yang berbeda. Percepatan gravitasi bumi yang diperoleh harus dikoreksi berdasarkan faktor koreksi periode menggunakan pendekatan deret maupun berdasarkan solusi eksak. Nilai percepatan gravitasi bumi secara eksperimen dan teoretik serta kesalahan relatif rata-rata percepatan gravitasi bumi [9] ditunjukkan oleh Tabel 1. Gambar 4. Grafik hubungan kuadrat periode terhadap panjang tali dengan sudut simpangan
Tabel 1. Perbandingan nilai percepatan gravitasi bumi hasil eksperimen dan perhitungan teoretik.
0
awal 10 . 0 0
g g m/s 2
g g m
sebelum dikoreksi
setelah dikoreksi
5
9,777 ± 0,030
9,787 ± 0,030
9,789 ± 0,030
10
9,747 ± 0,023
9,784 ± 0,023
9,786 ± 0,023
20
9,62 ± 0,04
9,77 ± 0,04
9,77 ± 0,04
30
9,45 ± 0,04
9,78 ± 0,04
9,78 ± 0,04
9,65 ± 0,03
9,78 ± 0,03
9,78 ± 0,03
1,34
0,02
0,02
1,32
0,01
0,01
dengan pendekatan deret
g g
s2
dengan solusi eksak
e (%) g terhadap g Gravitymeter
a
e (%) g terhadap g teoretik a
b
g Gravity meter 9 , 7815549 m/s
2
[8] dan
b
g teoretik 9 , 77868 m/s
2
[2]
Berdasarkan Tabel 1, terlihat bahwa sebelum koreksi dilakukan, semakin besar sudut simpangan awal bandul semakin kecil nilai percepatan gravitasi buminya. Tetapi setelah koreksi dilakukan, nilai percepatan gravitasi bumi menunjukkan nilai yang sama untuk berbagai sudut simpangan awal.
Gambar 5. Grafik hubungan kuadrat periode terhadap panjang tali dengan sudut simpangan 0
awal 20 .
Kesimpulan Dari hasil pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa sebelum koreksi dilakukan, semakin besar sudut simpangan awal bandul semakin kecil nilai percepatan gravitasi bumi. Tetapi setelah koreksi dilakukan, nilai percepatan gravitasi bumi menunjukkan nilai yang sama untuk berbagai sudut simpangan awal. Nilai rata-rata percepatan gravitasi bumi sebelum dikoreksi adalah
2
sedangkan
nilainya
setelah dikoreksi adalah (9,78 0,03) m/s . Nilai rata-rata percepatan gravitasi bumi sebelum dikoreksi menunjukkan kesalahan relatif 1,32 % dan setelah dikoreksi 0,01 % terhadap percepatan gravitasi bumi teoretik. 2
Gambar 6. Grafik hubungan kuadrat periode terhadap panjang tali dengan sudut simpangan 0
awal 30 . Berdasarkan Gambar 3, 4, 5, dan 6, terlihat bahwa terdapat hubungan linear antara kuadrat periode dengan panjang tali. Sebagai contoh, nilai
Ucapan terima kasih
R 0,9999 pada Gambar 3 menyatakan bahwa variansi linear kuadrat periode terhadap panjang 2
ISBN 978-602-19655-4-2
(9,65 0,03) m/s
Kami mengucapkan terima kasih kepada Program Studi Fisika selaku penyelenggara
237
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains tahun 2013. Safrudin Kiayi* Magister Pengajaran Fisika Institut Teknologi Bandung [email protected]
Referensi [1] Khairurrijal, Eko Widiatmoko, Wahyu Srigutomo, dan Neny Kurniasih, “Measurement Of Gravitational Acceleration Using A Computer Microphone Port”, Indonesia, IOP Science, Physics Education. 47709, p. 711, (2012). [2] Kaye, G. W. C, M.A. D.Sc. F.R.S., dan Laby, T. H, M.A. Sc.D. F.R.S., : “Tables of Physical and Chemical Constants and Some Mathematical Functions”, Eleventh Edition, Longmans, Green and Co LTD, p.18, (1956). [3] Serway, R., dan Jewet, J., Chriswan Sungkono‚ “Fisika untuk Sains dan Teknik“, Buku I Edisi 6, Penerbit Salemba Teknika, Jakarta, pp. 708-709, (2009). [4] Young, H. D., dan Freedman, R. A. “Sears dan Zemansky Fisika Universitas“, Edisi Kesepuluh Jilid I, Penerbit Erlangga, Jakarta, p. 405, (2002). [5] Pain, H.J., “The Physics Of Vibration And Waves“, Sixth Edition, John Wiley Sons ltd, Chichester, West Sussex, England, p. 459, (2005). [6] Ferdinand P.B., Russell Jhonston Jr., dan William E. Clausen., “Vector Mechanics for Engineers: Dynamics“, 8th Edition, Mc Graw Hill Higher Education, USA, p. 1218, (2007). [7] Belendez, A., Pascual, C., Mendez, D. I., Belendez, T., dan Neipp, C.,”Exact Solution for The Nonlinear Pendulum”, Brazil, Revista Brasileira de Ensino de Fisica., 29, pp. 645648, (2007). [8] Kiayi, Safrudin., “Penentuan Percepatan Gravitasi Bumi Dari Eksperimen Bandul Matematis Berdasarkan Faktor Koreksi Periode Osilasi Solusi Eksaknya”, Proyek Akhir, Institut Teknologi Bandung, Bandung, p. 8, (2013). [9] Halliday, D., Resnick R., dan Walker, J., ; Euis Sustini‚ Sparisoma Viridi, Ferry Iskandar, Fatimah Arofiati Noor “Fisika Dasar“, Edisi 7 Jilid 1, Penerbit Erlangga, Jakarta, p. 9, (2010).
ISBN 978-602-19655-4-2
Neny Kurniasih Fisika Bumi dan Sistem Kompleks Institut Teknologi Bandung [email protected]
Hendro Fisika Teoritik Energi Tinggi dan Instrumentasi Institut Teknologi Bandung [email protected]
*Corresponding author
Lampiran 1 Tabel Data faktor koreksi periode dari kurva solusi eksak dengan faktor koreksi periode menggunakan pendekatan deret untuk berbagai sudut simpangan awal
No
238
0
0
Faktor koreksi periode
T
T0
Pendekatan deret
Solusi eksak
2 suku
3 suku
4 suku
1
5
1,0006
1,0005
1,0005 1,0005
2
10
1,0020
1,0019
1,0019 1,0019
3
20
1,0077
1,0075 1,0077 1,0077
4
30
1,0174
1,0167
1,0174 1,0174
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran dan Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Studi Penggunaan Micro-CT Skyscan 1173 untuk Mengetahui Struktur Tulang Kaki Ayam Saumi Zikriani Ramdhani*, Siti Nurul Khotimah, dan Freddy Haryanto Abstrak Micro-computed tomography (micro-CT) merupakan sebuah alat pencitraan non destruktif dengan sumber radiasi sinar-x dan dapat digunakan untuk studi pre-klinik. Pada studi ini akan dibahas penggunaan MicroCT Skyscan 1173 pada obyek berupa tulang kaki bagian Tibia dan Metatarsus ayam pejantan. Proses akuisisi dilakukan pada tegangan 25 kV, arus 100 A, dan waktu paparan 250 ms. Resolusi kamera yang digunakan adalah 1120 x 1120 piksel dengan image piksel sebesar 71,25 m. Hasil proyeksi yang diperoleh direkonstruksi menggunakan software khusus. Agar citra yang dihasilkan memiliki kualitas yang baik maka dilakukan beberapa koreksi untuk mengurangi artefak yang muncul seperti beam hardening dan artefak cincin. Hasil citra yang diperoleh berupa potongan lintang obyek. Informasi yang dibutuhkan dapat diketahui dengan menganalisa menggunakan software CTAn dan membuat ROI (Region of Interest) pada masingmasing bagian tulang kaki dengan ketebalan 100 slice sehingga diperoleh perbandingan volume antara tulang dan soft tissue pada ROI tersebut. Kata-kata kunci: kaki ayam, micro-CT Skyscan 1173, sinar-x, tulang Atenuasi linier dipengaruhi oleh energi dan densitas dari material yang digunakan. Pada sinarx energi tinggi, berkas sinar lebih banyak yang diteruskan sehingga nilai koefisien atenuasinya menurun dibandingkan dengan menggunakan energi rendah. Material yang memiliki densitas tinggi akan lebih banyak menyerap sinar-x sedangkan material densitas rendah cenderung untuk meneruskan berkas.
Pendahuluan Studi pre-klinik yang mengarah pada studi diagnostik dengan memodelkan penyakit manusia kedalam hewan telah banyak berkembang saat ini. Salah satu modalitas yang digunakan adalah micro-CT scan karena mempunyai resolusi spasial hingga 10 µm sehingga dapat memberikan informasi yang lebih detail [1]. Obyek yang digunakan tidak terbatas pada hewan tetapi juga dapat dilakukan dengan menggunakan phantom untuk menguji performansi kerjanya untuk kontras densitas rendah [2,3] . Pada studi ini akan dilakukan pengamatan dengan menggunakan ayam sebagai obyek pada micro-CT Skyscan 1173. Bagian yang akan diteliti adalah struktur tulang kaki ayam pada daerah Tulang Tibia dan Tulang Metatarsus. Teori dan Eksperimen a. Teori
Gambar 1. Grafik koefisien atenuasi massa terhadap perubahan energi pada tulang dan jaringan lunak [4].
Sumber energi yang digunakan pada micro-CT Skyscan 1173 adalah sinar-x. Micro-CT Skyscan 1173 bekerja dengan menggunakan prinsip dasar rekonstruksi proyeksi citra berdasarkan atenuasi sinar-x. Berkas sinar-x yang melewati obyek mengalami atenuasi sehingga intensitasnya berkurang sesuai dengan Hukum Lambert-Beer berikut : I I 0 exp ( x) .
Gambar 1 menunjukkan nilai koefisien atenuasi massa terhadap energi sinar-x yang digunakan pada tulang dan soft tissue (jaringan lunak). Berdasarkan gambar tersebut dapat dilihat bahwa semakin besar energi sinar-x yang digunakan maka koefisien atenuasi massa untuk tulang dan soft tissue (jaringan lunak) akan memberikan nilai yang hampir sama yang ditunjukkan dari kurva keduanya yang berhimpit. Berdasarkan gambar tersebut kontras atau perbedaan antara tulang dengan jaringan lunak terlihat jelas pada energi dibawah 40 keV. Oleh karena itu digunakan sinar-x
(1)
dengan I menyatakan intensitas berkas setelah menembus obyek, I0 adalah intensitas awal berkas sinar-x, dan adalah koefisien atenuasi linier pada material obyek dengan ketebalan x.
ISBN 978-602-19655-4-2
239
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran dan Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
dengan energi rendah untuk diagnostik agar dapat terlihat perbedaan antara satu jaringan dengan jaringan lainnya sehingga tidak terjadi kesalahan interpretasi. Pada Micro-CT Skyscan 1173, berkas sinar-x akan ditransmisikan menuju obyek yang diletakkan pada stage yang dapat berputar hingga 360. Informasi berupa intensitas berkas sinar setelah melewati obyek akan dideteksi oleh detektor panel datar. Detektor ini terdiri dari sejumlah array yang bekerja berdasarkan proses sintilasi. Hasil pembacaan dari detektor kemudian diolah sehingga menghasilkan proyeksi tunggal obyek pada sudut tertentu. Kumpulan dari proyeksi obyek pada setiap sudut putaran akan menjadi sinogram.
Gambar 2. Sistem rangka pada ayam [7].
Rekonstruksi citra dilakukan dengan menggunakan software nRecon yang bekerja dengan metode FBP (Filtered backprojection) [5]. Hasil dari rekonstruksi berupa penampang lintang obyek dalam bidang x-y. Citra yang dihasilkan memiliki kedalaman 8 bit dengan skala keabuan dari 0 sampai 255. Untuk mendapatkan informasi digunakan CT number yang dapat menunjukan suatu material atau jaringan tertentu. Nilai CT yang diukur adalah hasil kalibrasi nilai skala keabuan ke dalam satuan Hounsfield (HU).
b. Eksperimen Obyek dibersihkan dari bulu halus yang melekat kemudian dipotong menjadi 2 bagian yaitu paha bawah dan ceker seperti terlihat pada Gambar 3.(a). Obyek kemudian diletakkan dalam wadah berisi es untuk mencegah pembusukan. Selang waktu antara pemotongan hingga akuisisi data antara 4-5 jam. Pada saat akan dilakukan akuisisi, obyek dikeluarkan kemudian dikeringkan untuk mengurangi kadar air akibat diletakkan dalam es. Obyek diletakan pada arah sumbu-z dalam wadah yang terbuat dari kertas karton dan direkatkan pada dinding wadah untuk mencegah obyek bergerak pada saat akuisisi data berlangsung (Gambar 3(b)). Setelah obyek diletakkan dalam wadah kemudian dimasukan ke dalam chamber untuk selanjutnya dilakukan proses akuisisi (Gambar 3(c)).
Hounsfield Unit (HU) merupakan nilai yang digunakan pada CT sebagai karakteristik dari koefisien atenuasi suatu material obyek yang dikonversi terhadap medium air. Nilai (HU) memiliki rentang dari -1000 sampai dengan +1000. Soft tissue memiliki rentang nilai HU dari +40 sampai +80 sedangkan tulang memiliki rentang nilai HU dari +400 sampai +1000 [6]. Obyek yang digunakan untuk studi ini adalah ayam pejantan (Gallus domesticus). Ayam pejantan memiliki ukuran yang lebih kecil dibandingkan dengan ayam broiler maupun ayam kampung. Bagian yang akan dilihat strukturnya terletak pada bagian kaki ayam, yaitu Tulang Tibia dan Tulang Metatarsus.Tulang Tibia terletak pada bagian paha bawah dan Tulang Metetarsus merupakan tulang panjang yang terletak pada bagian ceker kaki ayam. Sistem rangka dari ayam pejantan dapat dilihat pada Gambar 2.
(a)
(b)
(c) Gambar 3.(a) Obyek yang telah dibersihkan (b) obyek direkatkan pada wadah (c) obyek diletakan pada chamber Micro-CT.
ISBN 978-602-19655-4-2
240
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran dan Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Akuisisi data dilakukan pada resolusi medium (1120 x 1120 piksel) dengan tegangan sebesar 25 kV, arus 100 µA, dan waktu paparan 25 mAs. Proses akuisisi data berlangsung selama 1 jam 32 menit. Untuk mengurangi artefak yang muncul dilakukan koreksi beam hardening sebesar 50% dan ring artefak 2 tingkat pada hasil proyeksi sebelum dilakukan proses rekonstruksi. Hasil rekonstruksi yang didapatkan sebanyak 1412 penampang (slice). Penomoran penampang dimulai dari bagian bawah ke atas seperti ditunjukkan pada Gambar 4(a). Dalam setiap penampang terdapat bagian Tulang Tibia pada bagian paha bawah serta Tulang Metatarsus pada bagian ceker seperti terlihat pada Gambar 4(b).
Tabel 1. Analisa 2D dan 3D bagian tulang pada Tulang Metatarsus penampang ke-0827 sampai 0926. Parameter Total Volum ROI Volume Obyek
Satuan mm3 mm3
2D 169,23 73,07
3D 168,89 72,28
Persen Obyek Total Vol. Pori Luas Obyek Luas obyek per penampang
% mm3 mm2
43,16 339,83
42,28 96,54 292,23
mm2
10,24
-
Tabel 2. Analisa 2D dan 3D bagian tulang pada Tulang Tibia penampang ke-0827 sampai 0926. Parameter Total Volum ROI Volume Obyek
Satuan mm3 mm3
2D 225,72 111,97
3D 225,19 111,09
Persen Obyek
%
49,60
49,33
mm mm2
340,79
114,09 303,68
mm2
15,69
-
Total Vol. Pori Luas obyek Luas obyek per penampang
(a)
Berdasarkan Tabel 1 dan Tabel 2, analisa dengan cara 2D dan 3D untuk beberapa parameter memiliki hasil yang sedikit berbeda. Hal ini dikarenakan perhitungan secara 2D dilakukan pada masing-masing penampang. Sehingga untuk luas obyek secara 2D merupakan penjumlahan dari luas obyek pada setiap penampang. Perhitungan dengan analisis secara 3D berdasarkan rendering surface volume. Selain itu terdapat beberapa parameter yang hanya dapat diketahui dengan menggunakan metode analisis tertentu. Parameter yang hanya dapat diketahui dari analisa 2D adalah luas obyek pada setiap penampang sedangkan pada analisa 3D yaitu volum total pori. Volum pori merupakan volum jaringan lain yang berada diluar nilai HU yang ditetapkan pada ROI tersebut.
(b)
Gambar 4.(a) Hasil proyeksi (b) hasil rekonstruksi penampang ke-0926. Analisa dilakukan menggunakan software CTAn pada penampang ke-0827 sampai penampang ke-0926 yang berjumlah 100 buah penampang. Bagian ini terdiri dari Tulang Tibia yang berongga serta bagian Tulang Metatarsus yang belum mengalami percabangan. ROI (Region of Interest) yang digunakan melingkupi bagian tulang seperti terlihat pada Gambar 5 untuk Tulang Metatarsus. Analisa dilakukan secara 2D dan 3D untuk melihat perbandingan antara tulang dan soft tissue untuk bagian Tulang Tibia dan Tulang Metatarsus.
Gambar 5. Metatarsus.
Penentuan
ROI
pada
Tabel 3. Perbandingan tulang dan soft tissue pada Tulang Metatarsus pada penampang ke-0827 sampai 0926
Tulang
Hasil dan Diskusi Analisa 2D dan 3D untuk bagian tulang menggunakan software CTAn untuk masingmasing ROI dapat dilihat pada tabel berikut :
ISBN 978-602-19655-4-2
3
241
Parameter
Satuan
Tulang
Total Volum ROI Volum obyek Persen volum obyek Luas obyek
mm3 mm3
168,8 72,28
Soft tissue 168,8 1,35
% mm2
42,81 292,23
0,79 121,41
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran dan Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Ucapan terima kasih
Tabel 4. Perbandingan tulang dan soft tissue Tulang Tibia pada penampang ke-0827 sampai 0926. Parameter
Satuan
Tulang
Total Volum ROI Volum Obyek Persen volum obyek Luas obyek
mm3 mm3
225,2 111,09
Soft tissue 225,2 3,13
% mm2
49,33 303,68
1,38 213,01
Penulis mengucapkan terima kasih Bapak Fourier Dzar El Jabbar atas bantuannya dalam penggunaan alat Micro-CT Skyscan 1173 di laboratorium BSC-A ITB. Referensi [1] M. Ling Jan, Y. Ching Ni, K. Wei Chen, H. Ching Liang, K. Shih Chuang, dan Y. Kai Fu, “A Combined Micro-PET/CT Scanner for Small Animal Imaging”, Journal of Nuclear Instruments and Methods in Physics Research, A 569, p. 314-318. [2] Sari Marlia, “Studi Hounsfield Unit dan Koefisien Atenuasi dari Struktur Hewan Jangkrik Berdasarkan Pemindaian dan Rekonstruksi Citra Hasil Micro CT Skyscan1173”, Skripsi Sarjana, Institut Teknologi Bandung, Indonesia, 2013. [3] Wa Ode Sriwayu, "Evaluasi Performa Mikrotomografi Skyscan 1173 untuk Material Densitas Rendah", Tesis Magister, Institut Teknologi Bandung, Indonesia, 2012. [4] Cole,H. Dan C.P Lewinsi, “Development in Radiography and Fluoroscopy”, Imaging,18, p.75-81. [5] SkyScan, NV,”SkyScan 1173 User Guide”, Belgia, 2011.
Analisa yang digunakan untuk mengetahui perbandingan antara tulang dan soft tissue pada Tabel 3 dan Tabel 4 adalah analisa 3D. Berdasarkan data pada Tabel 3, volum tulang pada Tulang Metatarsus lebih banyak dibandingkan soft tissue pada kondisi volum ROI yang sama. Hal ini dikarenakan pada bagian tersebut lebih banyak tulang padat dan soft tissue hanya melekat pada bagian luar tulang. Sedangkan pada Tulang Tibia berdasarkan Tabel 4, komposisi tulang mencapai lebih dari 49% pada volum ROI yang sama dibandingkan dengan soft tissue. Meskipun demikian total volum tulang dan soft tissue tidak sampai setengah dari volum ROI. Jika diperhatikan pada Gambar 4(b), bagian yang dijadikan ROI merupakan tulang yang berbentuk seperti cincin berongga yang didalamnya terdapat jaringan atau material lainnya.
[6] -, “Chapter 1 Introduction to CT Physics”, URlhttp://web.archive.org/web/200709262312 41/http://www.intl.elsevierhealth.com/ebooks/pdf/940.pdf [accessed 13 Juni 2013] [7] Jacob,Jaque, Tony Pescatore, dan Austin Cantor, “The avian skeletal system”, University of Kentucky, 2011, (a)
(b)
(c)
Gambar 6.(a) Penampang ke-0820 (b) penampang ke-0755 (c) penampang ke-0720 Saumi Zikriani Ramdhani*
Berdasarkan citra hasil rekonstruksi diketahui pada bagian Tulang Metatarsus terjadi percabangan tulang. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 6 pada area yang diberi kotak merah. Tulang metatarsus mulai terlihat jelas terpisah pada penampang ke-0755 dan pada penampang ke-0720 terlihat masing-masing tulang yang akan terhubung ke cakar ayam terpisah menjadi 3 bagian.
KK Fisika Nuklir dan Biofisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Bandung [email protected]
Siti Nurul Khotimah KK Fisika Nuklir dan Biofisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Bandung [email protected]
Kesimpulan Freddy Haryanto
Micro-CT dapat digunakan untuk mengetahui struktur kaki ayam pada Tulang Tibia dan Metatarsus. Komposisi dari ROI tidak hanya terdiri dari tulang padat saja tetapi juga soft tissue yang menempel pada tulang. Pada tulang metatarsus ditemukan percabangan pada ujung tulang utama yang akan terhubung ke bagian cakar ayam.
ISBN 978-602-19655-4-2
KK Fisika Nuklir dan Biofisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Bandung [email protected]
* Penulis korespondensi
242
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Analisis Prinsip Hukum Charles pada Operasi Mesin Kalor Menggunakan Heat Engine Apparatus Sinta Sri Ismawati*, Hadyan Akbar, Nofitri, Herlin Verina, Vivi Nur Huda Lyjamil, Mohamad Soleh, Robi Sobirin, dan Irzaman Abstrak Hukum Charles merupakan salah satu hukum gas ideal yang menyatakan bahwa pada tekanan konstan, volume suatu massa atau kuantitas tertentu gas bervariasi langsung terhadap suhu mutlak. Tujuan praktikum ini adalah untuk mendemonstrasikan operasi mesin kalor dan membuktikan hukum-hukum gas ideal (Hukum Charles). Pada praktikum kali ini kami melakukan dua macam percobaan, yakni operasi mesin kalor dan hukum Charles. Alat dan bahan yang digunakan yaitu Heat Engine Apparatus, massa 50-70 gram, termometer digital, es batu, dan air. Tahapan praktikum dimulai dari operasi mesin kalor dengan menggunakan 3 variasi massa yaitu 50, 60, dan 70 gram. Dengan menggunakan prinsip kerja pompa hidrolik, massa disini berperan sebagai tekanan (P) untuk mengetahui pengaruh perubahan suhu (∆T) terhadap daya angkat piston (∆h). Sehingga operasi mesin kalor ini menggunakan prinsip hukum Charles, yakni volume (V) berbanding lurus dengan suhu (T). Selanjutnya, percobaan hukum Charles dengan mengasumsikan tekanan dalam keadaan konstan 1 atm dengan mengatur posisi Small piston pada Heat Engine Apparatus dalam keadaan horizonal. Hasil percobaan pada operasi mesin kalor, dari ketiga massa yang digunakan, massa 50 dan 60 gram menunjukkan besarnya perbedaan suhu (∆T) berbanding lurus dengan pertambahan tinggi piston (∆h). Sedangkan untuk massa 70 gram tidak linier sempurna karena ada pengaruh suhu lingkungan dan faktor waktu yang terlalu cepat sehingga suhu yang terukur belum merata. Terlepas dari itu, dari 3 variasi massa yang digunakan dapat terlihat bahwa volume piston bertambah seiring bertambahnya suhu yang diberikan. Hal tersebut menunjukkan adanya prinsip hukum Charles dalam operasi mesin kalor. Begitupun pada percobaan hukum Charles, ketika tekanan konstan (1 atm), volume (V) berbanding lurus dengan suhu. Hasil tersebut sekaligus membuktikan teori hukum Charles. Kata kunci : hukum Charles, massa, tekanan, suhu, volume Pendahuluan
Teori
Jacques Charles (1746-1823) menyelidiki hubungan antara suhu dan volume gas. Tekanan gas dijaga konstan, suhu mutlak gas bertambah dan ketika suhu mutlak gas berkurang, maka volume gas berkurang. Selain ditentukan oleh tekanan, volume gas dalam ruang tertutup juga dipengaruhi oleh suhu. Jika suhu dinaikkan, maka gerak partikel-partikel gas akan semakin cepat sehingga volumenya bertambah. Apabila tekanan tidak terlalu tinggi dan dijaga konstan, volume gas akan bertambah terhadap kenaikan suhu. Aplikasi hukum charles pada pemuaian zat padat, zat cair dan gas. Jika wadah ditempati oleh sampel gas pada tekanan konstan maka volume berbanding lurus dengan suhu [1].
Gas ideal merupakan kumpulan dari sel-sel yang tidak berinteraksi satu sama lain, dimana tidak ada pengaruh dari luar terhadap gas secara non-relativistik [2]. Pada umumnya, gas yang kita temui di alam bebas dapat dianggap ideal. Agar dapat dianggap menjadi ideal, molekul dan atom dalam gas harus dimodelkan sebagai partikel titik yang hanya berinteraksi melalui tumbukan elastis antara partikel satu sama lain atau antara pasrtikel dengan lingkungannya. Adapun gerak dan tumbukan partikel yang sebagian tidak memenuhi sifat-sifat gas ideal itu disebabkan oleh jarak antar partikel terlalu dekat [3]. Hukum Charles menyatakan bahwa pada saat tekanan konstan, volume akan sebanding dengan suhu [4].
Terkait dengan literatur, dilakukan praktikum termodinamika ini untuk membuktikan hukum Charles. Pengambilan data secara manual, sebanyak lima kali pengulangan menggunakan Heat Engine Apparatus. Pada operasi mesin kalor, data yang diambil berupa grafik yang menggambarkan hubungan antara perubahan suhu terhadap pertambahan tinggi piston. Sedangkan pada hukum charles, pembuktian berupa grafik yang menggambarkan hubungan suhu dan volume pada tekanan konstan.
ISBN 978-602-19655-4-2
PV nRT
(1)
Pada tekanan konstan, diperoleh:
V cT
(2)
Persamaan (1) merupakan persamaan gas ideal, dimana P (Pa) adalah tekanan gas, V (m3) adalah volume gas, n (mol) adalah jumlah substansi gas (juga dikenal sebagai jumlah mol), T (K) adalah
243
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
biasa yang bersifat dua arah, kemudian untuk menimbulkan efek tekanan konstan (1 atm), small Piston diatur dalam posisi horizontal. Selain itu, pengambilan data dilakukan setelah suhu dibiarkan setimbang yaitu ketika mencapai batas maksimum volume pada silinder dalam small piston.
suhu gas dan R (=8.3145 J/mol K) adalah konstanta gas umum, sama dengan perkalian antara konstanta Boltzmann dan konstanta Avogadro (=6.0221 x 1023 /mol). Sedangkan pada persamaan (2) menceritakan V (m3) adalah volume gas, T (K) adalah suhu mutlak, dan c adalah konstanta. Heat Engine Apparatus memiliki komponen utama yaitu small piston, pada umumnya piston digunakan dalam industri untuk mengurangi emisi gas buang bagi pekerja. Massa pada piston dapat berfungsi sebagai tekanan yang bersifat seperti pompa hidrolik.[5] Mangkuk piston digunakan untuk merinci prediksi pemodelan sebagai suhu silinder dan distribusi tekanan, kecepatan gas, dan fraksi massa bahan bakar [6].
Hasil dan Diskusi Operasi Mesin Kalor Operasi mesin kalor pada dasarnya merupakan proses perpindahan kalor dari suhu tinggi ke suhu rendah dan menghasilkan energi. Pada percobaan operasi mesin kalor, digunakan prinsip hukum Charles. Dimana, variasi massa 50, 60 dan 70 gram diberikan sebagai tekanan konstan. Pengambilan data berupa tinggi dan suhu dengan ulangan sebanyak lima kali, diperoleh data dan grafik yang menunjukkan hubungan linier antara selisih suhu dingin dan panas ∆T dan pertambahan tinggi piston ∆h pada Heat Engine Apparatus.
Kalor merupakan suatu perpindahan energi internal. Kalor mengalir dari satu bagian sistem ke bagian yang lain atau dari sistem ke sistem yang lain karena terdapat perbedaan temperatur [7]. Operasi mesin kalor digunakan pada praktikum kali ini dengan menerapkan prinsip hukum Charles di dalamnya, dimana perbedaan suhu yang ada menimbulkan energi pendorong piston sehingga volume udara dalam silinder bertambah. Hukum Charles dapat diuji dengan pembacaan volume gas dalam jarum suntik yang direndam pada suhu tertentu [8]. Dalam praktikum ini gas berasal dari tabung udara yang direndam dalam kontainer air panas dan dingin, kemudian mengalir melalui pipa menuju small piston. Eksperimen
Gambar 1. Grafik hubungan selisih suhu ∆T dan pertambahan tinggi piston ∆h dengan massa 50 gram sebanyak 5 kali ulangan.
Praktikum dilakukan pada bulan Januari-Juni 2013 di laboratorium Eksperimen Fisika IPB. Bahan yang digunakan yaitu air dan es batu. Sedangkan alat yang digunakan adalah Heat Engine Apparatus, termometer digital, kontainer air dingin dan air panas, heatter, massa 50-70 gram. Metode yang dilakukan, praktikum terbagi menjadi dua percobaan, yaitu operasi mesin kalor dan hukum Charles. Pada operasi mesin kalor, set-up Heat Engine Apparatus menggunakan pipa bercabang yang terdapat one way check valve pada percabangannya dan variasi massa 50, 60 dan 70 gram sebagai sistem yang memberi tekanan konstan. Untuk memperoleh selisih suhu, tabung udara dimasukkan kedalam kontainer air dingin, kemudian dimasukkan kedalam air panas sehingga udara dalam tabung berekspansi dan mendorong piston naik. Adanya one way check valve yang bersifat mengalirkan satu arah, membantu mencegah piston turun ketika tabung udara dimasukkan kedalam kontainer air dingin lagi. Proses pencelupan dilakukan hingga massa terangkat sempurna. Sedangkan pada percobaan hukum Charles, pipa yang digunakan adalah pipa
ISBN 978-602-19655-4-2
Gambar 2. Grafik hubungan selisih suhu ∆T dan pertambahan tinggi piston ∆h dengan massa 60 gram sebanyak 5 kali ulangan.
244
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Gambar 3. Grafik hubungan selisih suhu ∆T dan pertambahan tinggi piston ∆h dengan massa 70 gram sebanyak 5 kali ulangan.
Kesimpulan
Dari grafik di atas, adanya variasi massa yang digunakan sebagai tekanan pada small piston menyebabkan terjadinya perbedaan nilai pertambahan tinggi piston ∆h. Dimana, pada massa 50 gram hanya dengan 2 kali pencelupan kedalam air dingin dan air panas, massa pada platform piston sudah terangkat sempurna. Sedangkan ketika massa yang digunakan semakin besar, yakni 60 dan 70 gram maka daya angkat piston atau pertambahan tinggi piston semakin lambat, sehingga data yang diperoleh sampai massa terangkat sempurna semakin banyak. Pada massa 70 gram, grafik yang tebentuk tidak linier, hal tersebut disebabkan adanya pengaruh suhu lingkungan dan faktor waktu yang terlalu cepat sehingga suhu yang terukur oleh termometer belum merata. Terlepas dari itu, data yang diperoleh dari 3 variasi massa sebagai tekanan menunjukkan bahwa volume udara dalam silinder berbanding lurus suhu yang diberikan.
Dari dua percobaan yang telah dilakukan, dapat diambil kesimpulan bahwa terbukti adanya prinsip hukum Charles pada operasi mesin kalor. Dimana pada saat tekanan konstan, volume suatu massa berbanding lurus dengan suhu mutlaknya. Terbukti dari percobaan operasi mesin kalor, dari 3 variasi massa yang diberikan sebagai tekanan, volume udara dalam silinder berbanding lurus dengan suhu yang diberikan. Begitu pula pada percobaan hukum Charles, terbukti bahwa volume berbanding lurus dengan suhu pada tekanan konstan. Ucapan terima kasih Penelitian ini didanai oleh hibah insentif riset SINAS KMNRT Republik Indonesia dengan nomor kontrak 38/SEK/INSINAS/PPK/I/2013. Referensi [1] Halliday dan Resnick, “Fisika Jilid I”. Terjemahan. Jakarta: Erlangga, (1991). [2] Arnaud, Jacques, Laurent Chusseau and Fabrice Philippe. On Classical Ideal Gases. Entropy 2013, 15, 960-971; doi:10.3390/e15030960 [3] Mujriati, Annisa., dan Abdul Basid, “Simulasi Tumbukan Partikel Gas Ideal dengan Model Cellular Automata Dua Dimensi”, Jurnal Neutrino, 2(2) 134-140, (2010). [4] Doyle, John, Physics of Gases and Fluids: A Clinical Perspective. Ohio : Department of General Anesthesiology, Cleveland Clinic Foundation, 9500 Euclid Avenue E31, (2011). [5] Al-Helou, Bassam A. “Evolving an Inverted Extruction Piston” Journal of Applied Sciences, 4(1), 171-176, (2004). [6] Bell, TM (dkk), “Investigating Diesel Engine Performance and Emission Using CFD”, Energy and Power Engineering, 5, 171-180, (2013). [7] Nabawiyah, Khilfatin dan Ahmad Abtokhi, “Penentuan Nilai Kalor dengan Bahan Bakar Kayu Sesudah Pengarangan Serta Hubungannya dengan Nilai Porositas Zat Padat”, Jurnal Neutrino, 3(1), 46, (2010). [8] Chang, Tzyh-lee, Chang Pi-ling and Cheung, “A Connection Of Ideal Gas Laws by Experiment”, Journal of National Taipei Teacher College, XIV, 529-542, (2001).
Hukum Charles Pada percobaan hukum charles, ketika digunakan pipa tanpa one way check valve udara dapat mengalir dua arah. Ketika tabung udara dipanaskan, udara berekspansi mengalir melalui pipa menuju small piston dan menimbulkan energi atau gaya untuk mengangkat piston sehingga volume bertambah. Dengan menganggap gas yang ada ideal, maka pada tekanan konstan jumlah partikel sama meski volume bertambah.
Gambar 4. Grafik hubungan antara volume dan suhu pada tekanan konstan 1 atm dengan lima kali ulangan. Gambar 4 menunjukkan bahwa dari lima kali ulangan yang dilakukan, diperoleh data yang sesuai dengan literatur, yaitu volume berbanding lurus dengan suhu pada tekanan konstan 1 atm. Tekanan diasumsikan sebesar 1 atm karena posisi small piston horizontal sehingga tekanan di dalam sama dengan tekanan di luar. Hasil praktikum ini sekaligus membuktikan teori hukum Charles yang menyatakan bahwa ‘pada tekanan konstan, volume suatu massa atau kuantitas tertentu gas bervariasi langsung terhadap suhu mutlak’.
ISBN 978-602-19655-4-2
245
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Sinta Sri Ismawati* Mahasiswa S1 Departemen Fisika Institut Pertanian Bogor [email protected]
Mohamad soleh Mahasiswa S1 Departemen Fisika Institut Pertanian Bogor [email protected]
Nofitri Mahasiswa S1 Departemen Fisika Institut Pertanian Bogor [email protected]
Hadyan Akbar Mahasiswa S1 Departemen Fisika Institut Pertanian Bogor [email protected]
Herlin Verina Mahasiswa S1 Departemen Fisika Institut Pertanian Bogor [email protected]
Robi Sobirin Mahasiswa S1 Departemen Fisika Institut Pertanian Bogor [email protected]
Vivi Nur Huda Lyjamil Mahasiswa S1 Departemen Fisika Institut Pertanian Bogor [email protected]
Irzaman Staf Pengajar Departemen Fisika Institut Pertanian Bogor [email protected] *Corresponding author
ISBN 978-602-19655-4-2
246
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Kajian Sifat Termal Dan Kristalografi Nanopartikel Biomassa Rotan Sebagai Filler Bionanokomposit Siti Nikmatin* Abstrak Pengembangan teknologi bionanokomposit di Indonesia memiliki prospek yang sangat potensial karena ketersediaan sumber daya alam khususnya hasil pertanian dan limbahnya yang melimpah dan dapat diperoleh sepanjang tahun. Kulit rotan merupakan salah satu biomassa pertanian yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan pengisi untuk bionanokomposit. Tujuan penelitian ini adalah menganalisa sifat termal dan kristalografi nanopartikel biomassa rotan sebagai filler bionanokomposit yang akan digunakan untuk menggantikan fiber glass pada komposit aplikasi komponen sepeda motor. Nanopartikel kulit rotan dibuat dengan metode High Energy Milling (HEM) variasi waktu milling 1, 5, 10 jam dan sintesa bionanokomposit menggunakan alat injeksi molding dengan matrik polipropillen, coupling agent PPMA (1%). Hasil karakterisasi kristalografi dengan X-Ray Diffraction (XRD) pada sintesa nanopartikel optium (HEM 5 jam) adalah memiliki struktur kristal monoklinik dengan a= 7.87 ; b=10.31 ; c=10.13; == 90, =120, berfasa selulose, memiliki puncak tertinggi pada 2θ = 22 derajat dengan intensitas difraksi 400 count. Sementara itu hasil sintesa bionanokomposit optimum (filler kulit rotan 5%) menunjukkan struktur kristal monoklinik dan ortorombik (a=14.5, b= 5.6, c= 7.4, ===90) dengan puncak difraksi pada 2θ = 16 derajat dengan intensitas 600 count (hkl = 110). Kajian sifat termal bionanokomposit menggunakan DTA menghasilkan puncak endoterm 171.1 ºC (∆H = + 468.3 K-1 J/g ), puncak eksoterm 1 = 255.6 oC (∆H = + 467.5 K-1J/g), eksoterm 2 = 335.3 oC (∆H = - 230 K-1J/g), eksoterm 3 = 356.5 oC (∆H = -185.9 K-1J/g), eksoterm 4 = 386 oC (∆H = - 697.2 K-1J/g), eksoterm 5 = 460.4 oC (∆H = - 692.37 K-1J/g) dan kapasitas panas (Cp) 0.0585 J/ºC. Kata-kata kunci: Bionanokomposit, nanopartikel, biomassa rotan, filler, matrik. pasar, dan sisanya dibakar [2]. Oleh sebab itu perlu adanya revolusi teknologi rekayasa material melalui pengolahan limbah secara optimal dan mempunyai nilai ekonomi tinggi yaitu menjadi filler bionanokomposit. Tujuan penelitian ini adalah menganalisa sifat termal dan kristalografi nanopartikel serat kulit rotan (SKR) yang dibuat dengan metode High Energy Milling (HEM) sebagai filler bionanokomposit pada aplikasi komponen sepeda motor dengan matrik polipropillen. Penelitian sebelumnya adalah eksplorasi data sifat fisis-mekanik, kulit dan batang rotan masak tebang dari Kalimantan [3], kemudian ekstraksi selulosa kulit rotan dengan metode fermentasi kapang dan karakterisasinya pada parameter optimum proses [4], selanjutnya sintesa nanopartikel SKR dengan membandingkan metode ultrasonikasi dan HEM [5] dan pembuatan bionanokomposit filler SKR dengan metode injeksi molding [6].
Pendahuluan Inovasi teknologi pemanfaatan biomasa pertanian berkelanjutan berbasis sumber daya lokal dengan nanoteknologi mempunyai peran yang strategis dalam perekonomian nasional. Peran strategis tersebut dapat diwujudkan melalui kontribusi nyata dalam menghasilkan rekayasa material guna menyelamatkan lingkungan, meningkatkan nilai ekonomi biomassa pertanian sebagai bahan baku industri, daya saing produk impor, sumber devisa negara dan berujung pada peningkatan kesejahteraan petani. Rotan merupakan komoditas pertanian yang dapat dibengkokkan tanpa deformasi yang nyata dan memberi kehidupan bagi 2 juta petani di Kalimantan, Sulawesi dan Sumatera. Indonesia adalah negara penghasil rotan terbesar yang memberikan sumbangan 85% kebutuhan rotan dunia. Tahun 2012, produksi rotan di Indonesia mencapai lebih dari 1 juta ton/th dengan kebutuhan industri rotan Indonesia jauh dibawahnya Cirebon, sebagai kawasan industri pengolahan rotan terbesar, hanya memiliki kapasitas 240.000 ton/th [1]. Jika 70% batang rotan diekspor, 30% digunakan untuk kecukupan dalam negeri, maka biomasa rotan (kulit) menumpuk dilingkungan tempat tinggal petani yang pemanfaatannya masih relatif terbatas. Saat ini petani menggunakannya sebagai atap rumah, ikat tali sayuran yang dijual di
ISBN 978-602-19655-4-2
Teori Komposit di definisikan sebagai kombinasi dua material atau lebih yang secara makroskopis berbeda bentuknya, komposisi kimianya, dan tidak saling melarutkan dimana material yang satu berperan sebagai penguat (filler) dan yang lainnya sebagai pengikat (matrik), sehingga akan terbentuk material baru yang lebih baik dari material penyusunnya. Filler dapat berupa struktur,
247
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
partikel atau serat yang berfungsi sebagai penguat dimana distribusi tegangan yang diterima oleh komposit akan diteruskan ke filler. Sementara itu matrik, digolongkan kedalam tiga kelompok besar yaitu logam, polimer, dan keramik [7]. Komposit filler nanopartikel menggunakan partikel sebagai penguat yang homogen dan terdistribusi secara merata dalam matriksnya dan sekaligus mengikatnya dengan ikatan interfase secara bersama-sama. Komposit ini memiliki keunggulan terhadap sifat mekanik dengan luas permukaan (surface area) yang semakin meningkat seiring dengan mengecilnya ukuran serat [8]. Biomassa rotan diperoleh dari desa Madusari Pontianak Kalimantan sementara itu matrik polipropillen (PP7032EMCC) dan coupling agent PPMA (Licocene) didapatkan dari industri komponen kendaraan bermotor. Proses perlakuan awal adalah kulit rotan dibersihkan dan direbus (1000C ; 15 menit) lalu dikeringkan. Hal ini bertujuan untuk menghilangkan impuritas, melunakkan kulit rotan dan meregangkan ikatan nonselulosa. Selanjutnya kulit rotan dimilling dan diayak secara mekanik hingga mencapai ukuran 75 µm. Alat milling yang digunakan adalah pen disk milling dan elektrmagnetic shaker. Selanjutnya partikel kulit rotan dimilling menggunakan HEM guna mendapatkan partikel berukuran nanometer. Variasi yang dilakukan selama proses milling adalah 1, 5, dan 10 jam, perbandingan Ball Powder Rasio 5:1 dengan kecepatan 1000 rpm. Hasil akhir nanopartikel SKR dilakukan pengujian struktur kristal dengan Partikel Size Analyser (PSA) dan XRD. Ukuran partikel terkecil ditimbang dengan konsentrasi 5%, 10%, 15% terhadap % berat total komposit. Pembuatan bionanokomposit menggunakan injeksi molding Toshiba GS Series. Suhu yang digunakan selama proses pelelehan adalah konstan meliputi 5 zona yaitu 170-2000C. Sedangkan suhu pendinginan adalah 440C selama 30 detik.. Bionanokomposit yang dihasilkan selanjutnya dilakukan pengujian terhadap sifat termal dan X-Ray Diffraction .
a
b
c Gambar 1. High Energy Milling SKR dan pengujian PSA sampel milling 1 jam (a), 5 jam (b), dan 10 jam (c). Berdasarkan hasil analisis kristalografi SKR dengan menggunakan alat XRD dan JCPDS dihasilkan 1 puncak struktur kristal pada 2θ = 22 derajat dengan intensitas difraksi 400 count berstruktur monoklinik (hkl 002). Semakin lama waktu milling dihasilkan intensitas difraksi yang semakin turun dan makin lebar puncak difraksi yang dihasilkan. Hal ini disebabkan karena kristal yang berukuran besar dengan satu orientasi menghasilkan puncak difraksi yang mendekati sebuah garis vertikal. Kristal yang sangat kecil menghasilkan puncak difraksi yang sangat lebar. Lebar puncak difraksi tersebut memberikan informasi tentang ukuran kristal yang dapat diprediksi dengan perumusan interferensi celah banyak melalui aproksimasi Schererer (Gambar 2).
Hasil dan diskusi Berdasarkan analisis pengujian PSA menggunakan metode commulant (number distribution) dihasilkan SKR milling 1 jam dengan ukuran partikel 22.39 nm (distribusi 10%), milling 5 jam menghasilkan ukuran partikel 16.22 nm dengan distribusi 10%, dan milling 10 jam ukuran partikel mencapai 81.30 pada distribusi 1% (Gambar 1).
Gambar 2. Hasil XRD nanopartikel SKR variasi waktu milling HEM.
ISBN 978-602-19655-4-2
248
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
dan 15%. Pada Bionanokomposit filler 5% dihasilkan puncak endoterm pada temperatur 171.1 oC dimana terjadi perubahan wujud padat menjadi cair. Selanjutnya terjadi puncak eksoterm 1 = 255.6 oC (∆H = + 467.5 K-1J/g), eksoterm 2 = 335.3 oC (∆H = - 230 K-1J/g), eksoterm 3 = 356.5 o C (∆H = -185.9 K-1J/g), eksoterm 4 = 386 oC (∆H = - 697.2 K-1J/g), eksoterm 5 = 460.4 oC (∆H = 692.37 K-1J/g), kapasitas panas (Cp) 0.0585 J/ºC. Puncak eksoterm 1 sampai ke-3 menunjukkan proses dekomposisi komposit yang mengalami proses penguapan bahan secara keseluruhan hingga puncak eksoterm 5 dan berubah fasa menjadi gas. ∆H adalah perubahan kalor yang terjadi selama proses penerimaan atau pelepasan kalor sedangkan Cp adalah jumlah panas yang diperlukan untuk menigkatkan temperatur padatan sebesar satu derajat Kelvin.
a
T
b
Pada Gambar 3b menunjukkan puncak endoterm komposit filler 10% pada temperatur 167.1 oC (∆H = + 468.3 K-1 J/g) dengan eksoterm 1 = 249.7 oC (∆H = - 252 K-1J/g), eksoterm 2 = 311.6 o C (∆H = - 460.8 K-1J/g), eksoterm 3 = 354 oC (∆H = -1030.7 K-1J/g), eksoterm 4 = 477.5 oC (∆H = 11811 K-1J/g). Cp = 0.0173 J/ºC. Pada gambar 3c menunjukkan sifat termal bionanokomposit filler 15% dengan puncak endoterm 167.9 oC (∆H = + 517.2 K-1 J/g), eksoterm 1 = 247.5 oC (∆H = - 162 K-1J/g), eksoterm 2 = 268.4 oC (∆H = - 61.6 K-1J/g), eksoterm 3 = 291.6 oC (∆H = -2173.6 K-1J/g), eksoterm 4 = 362 oC (∆H = - 500.6 K-1J/g), eksoterm 5 = 471.8 oC (∆H = - 15705.6 K-1J/g). Kapasitas panas (Cp) 0.0832 J/ºC.
c
Pola XRD bionanokomposit pada variasi filler 5% (Gambar 4a) menunjukkan struktur kristal monoklinik (a= 7.87, b=10.31, c=10.13, ==90,=120) dan ortorombik (a=14.5, b= 5.6, c= 7.4, ===90). Puncak difraksi terdapat pada 2θ = 16 derajat dengan intensitas 600 count (hkl = 110). Pola difraksi sampel komposit sintetis berpenguat fiber glass (Gambar 4a) menunjukkan struktur kristal dengan puncak dan intensitas difraksi yang hampir sama dengan bionanokomposit filler SKR (Gambar 4b) demikian juga dengan analisa termal menggunakan alat DTA (Gambar 3d), kemampuan komposit sintetis dalam menyerap dan melepaskan panas dari wujud padat hingga gas berada pada kisaran yang hampir sama. Komposit sintetis standar industri dibutuhkan fiber glass dengan konsentrasi 10%, sementara itu pada bionanokomposit didapatkan dilai optimum termal dan kristalografi pada konsentrasi filler 5%. Hal ini disebabkan karena nanopartikel memiliki densitas ringan dengan surface area yang besar
d
Gambar 3. Grafik DTA pada bionanokomposit variasi filler 5% (a), 10% (b), dan 15% (c), dan komposit filler fiber glass 10% (d). Pada Gambar 3a menunjukkan analisis termal bionanokomposit berdasarkan variasi filler 5, 10
ISBN 978-602-19655-4-2
249
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
I(count) [6]
[7]
2θ (a) I (count)
[8]
[9]
[10] 2θ (b) Gambar 4. Pola XRD bionanokomposit filler 5% dan komposit filler fiber glass 10%.
[11]
Kesimpulan Nanopartikel optimum dihasilkan pada waktu HEM 5 jam dengan ukuran 16.22 nm distribusi 10%. Bionanokomposit optimum dihasilkan pada konsentrasi filler SKR 5% dengan karakteristik termal endoterm pada temperatur 171.1 oC, eksoterm 1 = 255.6 sampai eksoterm 5 = 460.4 oC (∆H = - 692.37 K-1J/g) dan Cp = 0.0585 J/ºC. Bionanokomposit memiliki struktur kristal dengan sistem monoklinik dan ortorombik.
[12]
Referensi
[15]
[13] [14]
[1] J. N Supriana. The resistant of eight rattan species against the powder post beetle dinoderus minutes Farb. Proceding of The Fourth International Conference of Wood Science. Wood Technology and Foresty. Missenden Abbey. 14th – 16Th (1999). [2] S. Nikmatin, “Karakterisasi kulit dan batang rotan”,Jurnal Biofisika, 2 (1),7-12 (2009). [3] S. Nikmatin, “Pengaruh fermentasi kapang terhadap rendemen selulosa kulit rotan”,Jurnal Biofisika, 4 (2), 41-49 (2010). [4] S. Nikmatin, “Karakterisasi selulosa kulit rotan sebagai material pengganti serat sintetis”, Jurnal Agrotek UNEJ. 5 (1), 40-47, (2011). [5] S. Nikmatin, “Analisa struktur mikro pemanfaatan limbah kulit rotan menjadi
ISBN 978-602-19655-4-2
nanopartikel pengganti serat sintetis”, Jurnal Biofisika, 7 (1), 41-49 (2011). S. Nikmatin, “Analisis struktur selulosa kulit rotan sebagai filler bionanokomposit dengan difraksi sinar x”, Jurnal Sains Material Indonesia,13 (2), 97-102 (2012). K. Myrtha. Alternatif pemanfaatan tandan kosong kelapa sawit: sebagai penguat komposit plastik dan aplikasinya untuk komponen otomotif. Laporan Akhir Kompetitif LIPI (Periode 2005 s.d 2007) Pusat Peneliti Fisika. Dipa Biro Perencanaan Dan Keuangan LIPI dan Pusat Peneliti Informatika LIPI. V. R. Monlezum. “Through-thickness ultrasonic characterization of wood and agricultural”, Journal Fiber Composites. Forest Products 54, 233-239 (2004). Febrianto, “Influence of wood flour and modifier contents on the physical and mechanical properties of wood-recycle polypropylene composites”, Jurnal Biological Sciences 6, 337-343 (2006). A. Khalil, Ismail, “Polypropylene/Silica/ Rice Husk Ash hybrid composites: A Study on the mechanical. water absorption and morphological properties”, Journal Thermoplastic Composite Materials, 16, 121137 (2003). Ongo, J. T Astuti, “Chemical properties and morphology of some local banana fiber and their prospects”, Proceedings of Technology Seminar. Yogyakarta. C7 (2003) 1-7. R. Shaler, M. A. Jamaludin, “Properties of medium density fibreboard from oil palm empty fruit bunch fibre”, Journal. of Oil Palm Research 14, 34-40 (2002). A. Selenkovyski, "Solid ion epitaxy", Skripsi Sarjana, Institut Teknologi Lembang, Indonesia, 1997, p. 50 A. Selenkovyski, "Uniaxial solid ion epitaxy", Tesis Magister, Institut Teknologi Lembang, Indonesia, 1999, p. 113 A. Selenkovyski, "Unisotropic solid ion epitaxy", Desertasi Doktor, Institut Teknologi Lembang, Indonesia, 2002, p. 44
Siti Nikmatin* Fisika FMIPA Institut Pertanian Bogor (IPB) Kampus Dramaga Bogor, Indonesia [email protected]
*Corresponding author
250
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Pemanfaatan Kulit Rambutan (Nephelium sp.) Untuk Bahan Pembuatan Briket Arang Sebagai Bahan Bakar Alternatif Sitti Rahmawati Abstrak Rambutan adalah buah musiman yang tumbuh cukup subur di Indonesia. Kulit rambutan mengandung tannin dan saponin yang merupakan bahan mudah terbakar. Hal ini menjadi sebuah indikasi bahwa kulit rambutan dapat diolah menjadi bahan bakar alternatif. Salah satu cara pengolahan menjadi bahan bakar alternative adalah limbah kulit rambutan diolah sebagai briket arang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pembuatan briket arang dari limbah kulit rambutan dan mengkarakterisasi briket arang yang dihasilkan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuantitatif dengan menghitung dan menguji berbagai aspek yang terdapat dalam briket arang pada umumnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa energy panas yang dihasilkan dari briket arang yang terbuat dari limbah kulit rambutan adalah sebesar 6.302,775 kal/gr dengan 0,59 gr/cm3 – 0,62 gr/cm3, laju pembakaran 0,13 gr/s, kadar air 6,21%, dan kadar abu 4,19% serta kadar zat yang mudah menguap 78,48%. Hal ini menunjukkan bahwa kulit rambutan dapat dimanfaatkan untuk bahan pembuatan briket arang sebagai bahan bakar alternatif. Kata kunci : Briket arang, Kulit Rambutan diperbaharui, dan produknya mudah digunakan oleh seluruh manusia, misalnya limbah organik padat yang biasa disebut biomassa. Biomasa memiliki kandungan bahan volatil tinggi namun kadar karbon rendah. Kadar abu biomasa tergantung dari jenis bahannya, sementara nilai kalornya tergolong sedang. Tingginya kandungan senyawa volatil dalam biomassa menyebabkan pembakaran dapat dimulai pada suhu rendah [2].
Pendahuluan Rambutan adalah buah musiman yang tumbuh cukup subur di Indonesia. Saat musim buah Rambutan datang, tidak dapat dipungkiri bahwa limbah dari kulit rambutan akan bertebaran dimana-mana dan kurang termanfaatkan. Padahal, Sampah tumbuhan tersebut apabila diolah dengan zat pengikat polutan akan menjadi suatu bahan bakar padat buatan yang lebih luas penggunaannya [1].
Biomassa tersebut memiliki potensi untuk diolah menjadi sumber energi alternatif dengan kandungan energi yang relatif besar. Salah satu limbah organik padat (biomassa) yang sangat berlimpah dan kurang termanfaatkan adalah limbah kulit rambutan. Rambutan merupakan salah satu jenis buah yang mudah dijumpai dan selama ini kulit buah rambutan hanya dianggap sebagai limbah, padahal kulit buah rambutan mengandung senyawa flavonoid, tanin dan saponin [3]. Bahanbahan ini merupakan bahan yang mudah terbakar. Hal ini menjadi sebuah indikasi bahwa kulit rambutan dapat diolah menjadi bahan bakar alternative. Salah satu cara pengolahan menjadi bahan bakar alternatif adalah limbah kulit rambutan diolah sebagai briket arang. Briket arang tersebut dapat digunakan sebagai pengganti bahan bakar minyak tanah harganya cukup mahal, serta dapat mengatasi masalah timbunan limbah kulit rambutan saat musimnya tiba. Berdasarkan latar belakang diatas maka penelitian ini bertujuan menggunakan limbah kulit rambutan sebagai bahan briket arang sebagai bahan bakar alternatif.
Sumber energi utama bahan bakar yang digunakan oleh manusia selama ini adalah bahan bakar fosil karbon. Namun ketersediaan bahan bakar fosil karbon tidak sebanding dengan meningkatnya laju populasi manusia dan laju industri di berbagai Negara di dunia khususnya Indonesia. Hal tersebut menimbulkan kekhawatiran terjadinya krisis bahan bakar. Di samping itu kepedulian manusia terhadap lingkungannya memunculkan pemikiran penggunaan energi alternatif yang bersih pengganti bahan bakar fosil. Selain kelangkaan, penggunaan bahan bakar fosil juga mengakibatkan pencemaran lingkungan yang berdampak langsung terhadap polusi udara. Polusi udara tersebut akibat sisa gas bebas dari pembakaran dan aktivitas bahan bakar fosil. Untuk itu, muncul berbagai pemikiran penggunaan energi alternatif yang bersih dan aman untuk lingkungan. Salah satu solusi yang ditawarkan adalah briket arang yang sudah familiar pada masyarakat Indonesia sehingga bisa dimaksimalkan pemanfaatannya. Briket arang sebagai pengganti sumber energi alternatif ini harus didasarkan pada bahan baku yang mudah diperoleh, dapat
ISBN 978-602-19655-4-2
251
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Kerapatan (densitas) Metode Penelitian
Kerapatan suatu bahan adalah jumlah massa suatu bahan setiap satuan volumenya. Kerapatan dipengaruhi oleh besarnya tekanan pengempaan yang diberikan dan hal ini berpengaruh pada efisiensi pembakaran briket sebagai bahan bakar. Prinsip penentuan kerapatan atau berat jenis dinyatakan dalam hasil perbandingan antara berat dan volume briket.
Pembuatan arang Limbah kulit rambutan dijemur selama tiga hari hingga benar-benar kering. Tempat pembuatan arang yang digunakan adalah kaleng cat yang besar, kemudian pada tutupnya dibuat lubang diameter sekitar 15 cm. Limbah kulit rambutan yang sudah kering dimasukkan ke dalam kaleng, kemudian dibakar hingga semua limbah kulit rambutan telah terbakar menjadi arang yang ditandai dari tidak keluarnya lagi asap. Menimbang arang yang diperoleh, kemudian membuat menjadi tepung dengan cara menumbuk dan menampung dalam baskom sebelum mengolah menjadi arang briket
Kerapatan=
Berat(gram) Volume (cm3 )
(1)
Laju Pembakaran Prinsip yang digunakan adalah untuk mengetahui berat briket terbakar habis per satuan waktu. Laju pembakaran ini terkait dengan kerapatan briket. Laju pembakaran dinyatakan dengan persamaan berikut :
Pembuatan arang briket Arang hasil pembakaran limbah kulit rambutan yang sudah dihaluskan dimasukkan ke dalam baskom pencampur. Sagu ditimbang sebanyak 300 gram dan menambahkan air sebanyak 480 ml, selanjutnya mengaduk-aduk hingga sagu tercampur baik dengan air. Mengukur air sebanyak 3360 ml, kemudian memasukkan ke dalam panci masak dan menunggu hingga mendidih. Memasukkan sagu yang telah dicampur dengan air ke dalam air yang sedang mendidih dan mengaduk-aduk hingga menghasilkan gel. Memasukkan gel yang dihasilkan ke dalam baskom yang berisi tepung arang, mengaduknya hingga tercampur dengan baik. Memasukkan campuran arang dengan gel sagu ke dalam cetakan dan ditekan hingga padat. Mengeringkan briket yang dihasilkan dengan sinar matahari hingga kering (memerlukan waktu sekitar 2 sampai 3 hari)
dimana : v = Laju pembakaran briket(gr/det), Mt = Massa briket yang terbakar (gram) dan t = Waktu pembakaran (detik) Penetapan Kadar Abu Cawan porselin yang masih kosong ditempatkan dalam tanur listrik pada suhu 600 °C sampai berat cawan konstan. Kemudian contoh dimasukkan ke dalam cawan porselin tersebut. Cawan berisi contoh ditempatkan kembali dalam tanur listrik dengan suhu 600 °C selama 3 jam. Selanjutnya didinginkan dalam eksikator dan ditimbang.
Pengujian arang briket yang dihasilkan
dimana : wa, berat cawan + abu; wc, berat cawan kosong; ws , berat cawan + contoh mula-mula.
Parameter utama uji mutu produk briket yang diteliti pada penelitian adalah: nilai kalor, kerapatan (densitas), laju pembakaran serta kemudahan penggunaan produk briket yang dihasilkan.
Kadar abu berbanding terbalik dengan nilai kalor. Makin kecil kadar abu kualitasnya makin baik.
v
Kadar Abu
(2)
wa wc 100% ws wc
(3)
Penetapan Kadar Zat Menguap Prinsip penetapan kadar zat menguap adalah dengan menguapkan bahan yang tidak termasuk air dengan menggunakan energi panas. Cawan porselin yang berisi contoh yang berasal dari penentuan kadar air dipanaskan dalam tanur listrik dengan suhu 950 °C selama 6 menit dan didinginkan dalam eksikator selanjutnya ditimbang.
Penentuan nilai kalor Nilai kalor suatu bahan bakar adalah jumlah energi panas yang dapat dilepaskan pada setiap satu satuan massa bahan bakar tersebut apabila terbakar habis dengan sempurna (dalam satuan kkal/kg). Prinsip penentuan nilai kalor adalah mengukur energi yang ditimbulkan pada pembakaran satu gram arang dengan mengukur perubahan suhu pada volume tetap.
ISBN 978-602-19655-4-2
Mt t
Kadar Zat Mudah Menguap
252
A B 100% (4) C
http://proceedings.fi.itb.ac.id/cps/
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
diperoleh sebanyak 1,265 kilo gram kemudian ditumbuk dan dihaluskan hingga menjadi serbuk arang. Serbuk arang ini nantinya akan diolah menjadi arang briket. Kehalusan briket sangat berpengaruh terhadap kualitas briket yang dihasilkan. Pencampuran Serbuk Arang dengan Perekat Tujuan pencampuran serbuk dengan perekat adalah untuk memberikan lapisan tipis dari perekat pada permukaan partikel arang. Penggunaan bahan perekat dimaksudkan agar ikatan antar partikel akan semakin kuat. Kriteria untuk menilai ketepatan komposisi bahan pengikat dalam briket adalah meratanya campuran, campuran dapat digumpalkan, air tidak merembes keluar pada saat pencetakan, dan peregangan kembali briket tidak terlalu besar setelah proses pengeringan [5]. Tahap ini merupakan tahapan penting dan menentukan mutu briket yang dihasilkan. Perekat yang digunakan sebaiknya yang mempunyai bau yang baik bila dibakar, kemampuan merekat yang baik, harganya murah, dan mudah diperoleh [6]. Pada penelitian ini, digunakan bahan perekat dengan jenis bahan perekat tepung sagu karena memenuhi beberapa kriteria tersebut.
dimana A berat contoh kering dari kadar air; B berat contoh kering; C berat contoh mula-mula pada kadar air. Penetapan Kadar Karbon Terikat Prinsip penetapan kadar karbon terikat adalah dengan menghitung fraksi karbon dalam briket, tidak termasuk zat menguap dan abu. Kadar karbon terikat dapat dihitung dengan rumus Kadar Karbon Terikat = 100 – (Kadar abu + Kadar zat menguap)%
(5)
Penetapan Kadar Air Prinsip penetapan kadar air adalah dengan menguapkan bagian air bebas yang terdapat dalam briket sampai terjadi keseimbangan antara kadar air briket dengan udara sekitar dengan menggunakan energi panas. Contoh sebanyak satu gram (bobot kering udara) ditempatkan di dalam cawan porselin yang telah diketahui bobot keringnya. Cawan yang telah berisi contoh tersebut dipanaskan di dalam oven bersuhu 105 °C selama 3 jam. Kadar Air
w0 wk 100% w0
(6)
Pencetakan Briket dan Pengeringan Briket Serbuk arang yang telah dicampurkan dengan gel sagu dimasukkan ke dalam cetakan dan ditekan hingga padat. Semakin tinggi tekanan yang diberikan akan semakin baik kerapatan briket. Dalam percobaan kali ini, cetakan yang digunakan adalah cetakan berbentuk silinder sehingga briket arang yang dihasilkan menjadi lebih padat dan teratur bentuknya. Briket yang telah dicetak, kemudian dijemur kembali di bawah panas matahari selama dua hari.
Dimana w0 berat contoh mula-mula; wk berat contoh setelah dikeringkan. Hasil Dan Pembahasan Proses Pembuatan Briket Arang dari Limbah Kulit Rambutan Penjemuran Limbah Kulit Rambutan Limbah kulit rambutan yang telah dikumpulkan, dijemur di bawah panas matahari selama tiga hari. Kulit rambutan yang telah dijemur dipastikan harus benar-benar kering hingga berwarna cokelat kehitaman. Proses penjemuran diharapkan dapat mengurangi kadar air dan kelembapan dari kuliit rambutan sehingga dapat menghasilkan arang yang mudah dihaluskan dan dapat diolah menjadi briket yang mempunyai kualitas tinggi. Pembuatan Serbuk Arang Arang adalah residu yang berbentuk padatan yang merupakan sisa dari pengkarbonan bahan berkarbon dengan kondisi terkendali di dalam ruangan tertutup seperti dapur arang [4]. Limbah kulit rambutan yang telah dikeringkan kemudian dibakar dalam kaleng cat besar. Kulit rambutan dibakar dengan api yang cukup kecil agar hasilnya menjadi arang bukan abu. Kulit rambutan dibiarkan terbakar hingga seluruh kulit rambutan menjadi arang yang ditandai tidak timbul asap lagi. Arang yang telah terbentuk dibiarkan hingga dingin kemudian ditimbang. Arang yang
ISBN 978-602-19655-4-2
Pengujian Karakteristik Briket Kerapatan Kerapatan menunjukkan perbandingan antara massa dan volume briket arang. Besar kecilnya kerapatan dipengaruhi oleh ukuran serbuk dan kekuatan tekanan saat proses pencetakkan. Nilai kerapatan berpengaruh terhadap laju pembakaran dan nilai kalor briket. Kerapatan dipengaruhi oleh homogenitas campuran perekat dengan arang, dengan pengadukan yang semakin merata, maka briket arang yang dihasilkan akan semakin kuat, hal ini menyebabkan partikel arang cukup merata [7]. Kerapatan briket yang dihasilkan berkisar antara 0,59 gr/cm3 – 0,62 gr/cm3. Nilai ini telah memenuhi standar kerapatan briket Indonesia yang berkisar 0,44 gr/cm3. Semakin tinggi kerapatan,maka semakin laju pembakarannya, dan semakin baik kualitas briket tersebut.
253
http://proceedings.fi.itb.ac.id/cps/
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Laju Pembakaran Perhitungan sebagai berikut:
laju
pembakaran
Tabel 4. Perbandingan mutu briket dari berbagai Negara [1].
adalah
Kualifikasi Briket
Sifat Briket
v
Mt 165,8gram t 21menit 50sekon
Kadar air (%) Kadar abu(%) Kadar zat menguap (%) Kadar karbon terikat (%) Kerapatan 3 (g/cm ) Keteguhan tekan (kg/cm2) Nilai kalori (kal/g)
165,8gram gr 0,13 1260sekon s
Laju pembakaran berhubungan dengan kerapatan briket. Karena kerapatan yang telah dihitung cukup besar yaitu berkisar antara 0,59 gr/cm3 – 0,62 gr/cm3 maka laju pembakarannya juga akan semakin lambat. Semakin besar kerapatan (density) biobriket maka semakin lambat laju pembakaran yang terjadi. Namun, semakin besar kerapatan briket menyebabkan semakin tinggi pula nilai kalornya [2]. Nilai Kalor Penetapan nilai kalor bakar briket merupakan salah satu parameter untuk menentukan kualitas briket dalam penggunaannya, layak atau tidak digunakan sebagai bahan bakar. Nilai kalor merupakan parameter utama pengukuran kualitas bahan bakar, bertujuan untuk mengetahui nilai panas pembakaran yang dihasilkan briket. Semakin tinggi nilai kalor, semakin baik kualitas briket yang dihasilkan dan harga jualnya pun akan tinggi [7]. Semakin besar kerapatan briket menyebabkan semakin tinggi pula nilai kalornya [2].
Jepang
Inggris
Amerika
Indonesia
6–8
3–4
6
7,75
3–6
8 – 10
18
5,51
15 – 30
16
19
16,14
60 – 80
75
58
78,35
1–2
0,84
1
0,4407
60
12,7
62
0,46
6000 7000
6500
7000
6814,11
Kadar Air Kadar air briket berpengaruh terhadap nilai kalor. Semakin kecil nilai kadar air maka semakin bagus nilai kalornya. Briket arang mempunyai sifat higroskopis yang tinggi. Sehingga penghitungan kadar air bertujuan untuk mengetahui sifat higroskopis briket arang hasil penelitian. Kadar air dihitung berdasarkan persamaan (6) sebagai berikut: 2, 0027 1,8783 Kadar Air 100% 2, 0027 6, 2%
Untuk menentukan nilai kalor briket arang hasil penelitian digunakan bomb calorimeter yang berada di laboratorium FKIP kimia UNTAD. Perhitungan nilai kalor menggunakan rumus:
Berdasarkan perhitungan di atas kadar air yang dihasilkan 6,21%, Nilai ini telah memenuhi standar kadar air, yaitu briket Amerika 6,2%.
(T xCv ) koreksi kawat m [(29,84 27, 65) x1707, 46] 20,7 0,59 6302,775 kal / gr
Nilai Kalor
Kadar Abu Abu merupakan bagian yang tersisa dari proses pembakaran yang sudah tidak memiliki unsure karbon lagi. Kadar abu briket arang dipengaruhi oleh kandungan abu, silika, bahan baku, dan kadar perekat yang digunakan. Salah satu unsure utama penyusun abu adalah silika dan pengaruhnya kurang baik terhadap nilai kalor briket arang yang dihasilkan. Kadar abu dihitung berdasarkan persamaan (3) sebagai berikut:
Berdasarkan hasil perhitungan, nilai kalor briket arang yang dihasilkan pada penelitian ini berkisar 6302.775 kal/gr. Nilai ini telah memenuhi standar kalor briket, yaitu briket Jepang 6000-7000, Amerika 6230, Indonesia 6814 kal/gr.
82,9898 82,9058 x 100% 84,9096 82,9058 0, 0840 x 100% 4,19% 2, 0038
Kadar Abu =
Berdasarkan Perhitungan di atas kadar abu yang dihasilkan 4,19%, Nilai ini telah memenuhi standar kadar abu, yaitu briket Jepang 3-6.
ISBN 978-602-19655-4-2
254
http://proceedings.fi.itb.ac.id/cps/
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Semakin tinggi kadar abu maka semakin rendah kualitas briket karena kandungan abu yang tinggi dapat menurunkan nilai kalor briket arang. Kadar Zat Mudah Menguap
Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian kulit rambutan dapat dimanfaatkan menjadi briket arang sebagai bahan padat alternative briket arang guna menghasilkan energi panas sebagai sumber energi dengan nilai kalor sebesar 6302,775 kal/gr. Hasil pengujian mutu produk briket dari kulit rambutan, diperoleh: kerapatan 0,59 gr/cm3 – 0,62 gr/cm3, laju pembakaran 0,59 gr/cm3 – 0,62 gr/cm3, kadar air 6,21%, kadar abu 4,19%, dan kadar zat mudah menguap 79,48%.
Kadar zat mudah menguap adalah zat (volatile matter) yang dapat menguap sebagai hasil dekomposisi senyawa-senyawa yang masih terdapat di dalam arang selain air. Kandungan kadar zat menguap yang tinggi di dalam briket arang akan menyebabkan asap yang lebih banyak pada saat briket dinyalakan. Kandungan asap yang tinggi disebabkan oleh adanya reaksi antar karbon monoksida (CO) dengan turunan alcohol [8]. Tinggi rendahnya kadar zat menguap briket arang yang dihasilkan dipengaruhi oleh jenis bahan baku, sehingga perbedaan jenis bahan baku berpengaruh nyata terhadap kadar zat menguap briket arang [9].
Daftar Pustaka [1] Widarti, Enik Sri, “Studi Eksperimental Karakteristik Briket Organik Dengan Bahan Baku dari PPLH Seloliman”, Institut Teknologi Sepuluh November, Surabaya, (2010). [2] Siti Jamilatun, “Sifat-Sifat Penyalaan dan Pembakaran Briket Biomassa, Briket Batubara dan Arang Kayu”, Jurnal Rekayasa Proses, 2(2), (2008). [3] Dalimartha, S., “Atlas Tumbuhan Obat Indonesia”, Jakarta. Puspa Swara, (2003). [4] Wijayati, Sundari Diah, “Karakteristik Briket Arang dari Serbuk Gergaji dengan Penambahan Arang Cangkang Kelapa Sawit”, Skripsi, Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, (2009). [5] Lina Lestari, Aripin, Yanti, Zainudin, Sukmawati, Marliani, “Analisis Kualitas Briket Arang Tongkol Jagung Yang Menggunakan Bahan Perekat Sagu dan Kanji”, Jurnal Aplikasi Fisika, 6(2), (2010). [6] Karch, G. E. dan M. Boutette, “Charcoal Small Scale Production and Use. German Approriate Technology Exchange”, Federal Republic of German, (1983). [7] Natsir Usman, “Mutu Briket Arang Kulit Buah Kakao Dengan Menggunakan Kanji Sebagai Perekat” Jurnal Perennial, 3(2), 55-58, UNHAS. Makassar, (2007). [8] Triyono, A., “Karakteristik Briket Arang dari Campuran Serbuk Gergajian Kayu Afrika dan Sengon dengan Penambahan Tempurung Kelapa”, Sskripsi, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, (2006). [9] Hendra, D., “Pembuatan Briket Arang dari Campuran Kayu, Bambu, Sabut Kelapa dan Tempurung Kelapa sebagai Sumber Alternatif” Jurnal Penelitian Hasil Hutan 25: 242-255, (2007).
Nilai kadar zat menguap dari penelitian briket arang dari limbah kulit rambutan adalah 16,33%. Nilai ini telah memenuhi standar kualitas dengan kadar zat menguap briket arang buatan Jepang (15%-30%) dan SNI (16,14%). Kadar zat mudah menguap dapat dihitung berdasarkan persamaan (4) sebagai berikut: 1,8783 1,5512 100% 2, 0027 16,333
Kadar Zat menguap
Tinggi rendahnya kadar zat menguap pada briket arang diduga disebabkan oleh kesempurnaan proses karbonisasi dan juga dipengaruhi oleh waktu dan suhu pada proses pengarangan [8]. Semakin besar suhu dan waktu pengarangan maka semakin banyak zat menguap yang terbuang, sehingga pada saat pengujian kadar zat menguap akan diperoleh kadar zat menguap yang rendah. Kadar karbon terikat Karbon terikat (fixed carbon) yaitu fraksi karbon (C) yang terikat di dalam arang selain fraksi air, zat menguap, dan abu. Keberadaan karbon terikat di dalam briket arang dipengaruhi oleh nilai kadar abu dan kadar zat menguap. Kadarnya akan bernilai tinggi apabila kadar abu dan kadar zat menguap briket arang tersebut rendah. Karbon terikat berpengaruh terhadap nilai kalor bakar briket arang. Nilai kalor briket akan tinggi apabila nilai karbon terikatnya tinggi. Briket arang yang baik diharapkan memiliki kadar karbon terikat yang tinggi. Adapun kadar karbon terikat yang diperoleh dari penelitian ini adalah 79,48 %. Nilai ini telah memenuhi standar kualitas dengan kadar karbon terikat briket arang buatan Jepang (60-80).
ISBN 978-602-19655-4-2
Sitti Rahmawati Prodi Pendidikan Kimia, PMIPA FKIP UNTAD Kampus Bumi Tadulako Tondo, Jl. Sukarno Hatta Km. 9 Palu Sulawesi Tengah email: [email protected]
255
http://proceedings.fi.itb.ac.id/cps/
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Konversi Energi Listrik (Joule) Menjadi Energi Panas (Kalori) Menggunakan Alat Electrical Equivalent of Heat (EEH) Mohamad Soleh, Vivi N. H. Lyjamil, Hadyan Akbar, Sinta S. Ismawati, Nofitri, Herlin Verlna, Robi Sobirin, dan Irzaman. Abstrak Energi dapat ditransfer dari suatu tempat ke tempat lain dengan arus listrik. Salah satu efek penting arus listrik adalah efek pemanasan ketika arus listrik dalam konduktor sebagian energi lisrik dikonversi menjadi energi panas. Faktor konversi antara energi listrk yang diukur dalam joule dan energi panas yang diukur dalam kalori disebut ekivalen listrik-panas (Je).Tujuan dari eksperimen ekivalensi listrik-panas ini menentukan nilai Je serta menentukan efisiensi lampu pijar Pada eksperimen ini menggunakan metode campuran untuk mengubah energi listrik dari lampu menjadi energi panas yang diserap air dengan mengunakan alat EEH serta dilakukan empat variasi. Ketika arus listrik melalui filament lampu pijar sebagian energi diubah menjadi energi cahaya dan sisanya diubah menjadi energi panas. Proses konversi energi listrik menjadi energi panas dari lampu pijar pada eksperimen tidak semua diubah menjadi energi panas namun ada energi yang hilang akibat konduksi, konveksi dan radiasi. Besar dari nilai konversi energi listrik panas yaitu 4.186 J/kal dan nilai efisiensi lampu pijar pada alat PASCO antara 10% -15%. Berdasarkan eksperimen didapatkan bahwa besar ekivalen listrik panas yaitu 4.295 J/kal, 4.282 J/kal, 4.344 J/kal, dan 4.235 J/kal serta efisinsi lampu pijar 12.723%, 11.843%, 10.820% dan 11.232,. Besar ekivalensi listrik panas hasil eksperimen nilainya lebih besar dari literatur. Kata Kunci : energi , efisinsi lampu, kalor, konversi energi, listrik. Berdasarkan prinsip kekekalan energi, bahwa kerja yang dilakukan dalam mendorong muatan listrik melewati hambatan (resistor) sebanding dengan energi panas yang dihasilkan. Pernyataan ini merupakan hasil dari Hukum I Termodinamika, yang menyatakan:
Pendahuluan Hukum kekekalan energi mengatakan bahwa energi tidak dapat dibuat dan energi tidak dapat dihancurkan, energi hanya dapat diubah dari satu bentuk ke bentuk lain [1]. Salah satunya energi dapat ditransfer dari suatu tempat ke tempat lain dengan arus listrik. Salah satu efek penting arus listrik adalah efek pemanasan ketika arus listrik dalam konduktor sebagian energi lisrik dikonversi menjadi energi panas. Faktor konversi antara energi listrik yang diukur dalam joule dan energi panas yang diukur dalam kalori disebut ekivalen listrik-panas (Je) [2].
W∝H atau W = JeH.
Pada persamaan (1) bahwa W merupakan Kerja (energi listrik) dalam Joule dan H energi panas dalam kalori. Faktor konversi antara energi listrik yang diukur dalam joule dan energi panas dalam kalori disebut ekivalen listrik-panas. Penggunaan simbol Je untuk factor konversi ini adalah penghargaan bagi James Joule orang pertama yang mendemonstrasikan validitas persamaan 1 di atas.
Berdasarkan hukum kekekalan energi ini menjadi dasar utama dalam melakukan eksperimen ekivalensi listrik-panas Tujuan dari eksperimen ini menentukan nilai Je serta menentukan efisiensi lampu dengan mengunakan electrical equivalent of heat apparatus.
Pada kondisi ideal, dimana tidak ada energi panas bertukar antara sistem lingkungan udara, semua energi panas yang dihasilkan di dalam resistor diserap oleh air. Jika menyamakan energi yang dihasilkan di dalam resistor (Joules) dengan energi yang diterima oleh air (kalori), dapat ditentukan ekivalen listrik-panas, yaitu
Teori Termodinamika membahas sistem dalam keseimbangan Ilmu ini dapat digunakan untuk meramalkan energi yang diperlukan untuk merubah sistem dari suatu keadaan seimbang ke keadaan seimbang lain, tetapi tidak meramalkan kecepatan perpindahan itu disebabkan waktu proses perpindahan berlangsung sistem dalam keadaan seimbang Konversi energi adalah proses perubahan energi.
ISBN 978-602-19655-4-2
(1)
Je = W/H = 4.186 Joules/kal. “Ekivalen listrik-panas memiliki nilai yang sama seperti ekivalen mekanik- panas, yaitu 1 cal = 4.186 Joules.”
256
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Peralatan pendukung yang digunakan dalam eksperimen ini yaitu: Power supply, 3 A pada 12 V, Volt-Ammeter digital untuk mengukur input daya ke lampu dan kabel penghubung. Stopwatch untuk menentukan energi listrik yang mengalir ke dalam lampu (energi = daya x waktu), termometer atau probe termistor. Timbangan untuk mengukur massa air.
Ilmu perpindahan panas menjelaskan bagaimana energi kalor berpindah dari satu benda ke benda lain dan meramalkan laju perpindahan yang terjadi pada kondisi-kondisi tertentu. Perpindahan panas terjadi oleh karena adanya perbedaan temperatur, dimana panas mengalir dari benda bertemperatur tinggi ke benda bertemperatur lebih rendah. Perpindahan panas terjadi dengan tiga cara yaitu: konduksi, konveksi dan radiasi [3].
Eksperimen ini dilakukan empat variasi variabel secara acak untuk mendapatkan nilai Je dan efisiensi lampu. Adapun set-up alat dapat dilihat pada gambar 1.
Konduksi adalah proses dengan mana panas mengalir dari daerah yang bersuhu tinggi ke daerah yang bersuhu lebih rendah di dalam suatu medium (padat, cair, gas) atau antara mediummedium yang berlainan yang bersinggungan secara langsung. Konveksi adalah proses transpot energi dengan kerja gabungan dari konduksi, penyimpanan energi dan gerakan campuran [4]. Radiasi adalah proses mengalirnya panas yang bersuhu tinggi ke benda yang bersuhu rendah bila benda tersebut didalam ruang, bahkan terdapat ruang hampa diantara benda-benda tersebut. Radiasi adalah pemancaran energi dari permukaan suatu benda [5].
Gambar 1. Set-up alat eksperimen Pada eksperimen Ekivalensi listrik-panas EEH jar di isi air dingin dengan suhu antara 6-12 0C yang dicampur sedikit tinta india. Penggunaan tinta india agar air terlihat buram sehingga air sangat efektif dalam menyerap kalor yang dilepaskan lampu EEH. Pasang kalorimetr pada EEH dan Setup seperti Gambar 2. Selanjutnya hidupkan power supply dengan tegangan antara maksimum 13 V, dan arus maksimum 3 A. Catat Waktu yang diperlukan untuk memanaskan air sampai suhu air diatas suhu kamar.
Eksperimen mengenai ekivalensi listrik panas dimulai pada tahun 1818 oleh James Prescott Joule. Berdasarkan eksperimennya bahwa : 1 Kalori = 4,2 Joule dan 1 Joule = 0,24 Kalori Efisiensi lampu didefinisikan sebagai energi yang dikonversi menjadi cahaya tampak dibagi dengan energi listrik total yang dialairkan ke lampu. Nilai efisiensi lampu pijar pada alat PASCO antara 10% -15% [1]. Dengan membuat asumsi bahwa semua energi yang tidak berkontribusi terhadap nilai H dilepaskan sebagai cahaya tampak, persamaan untuk efisiensi lampu menjadi:
Prosedur untuk eksperimen kedua dalam menentukan nilai efisiensi lampu pijar sama seperi mencari nilai konversi listrik panas, namun pada eksperimen ini tidak menggunakan tinta india dan kalorimeter. Hasil dan Diskusi
Efisiensi (η) =
x 100%
(2)
Ketika arus listrik melalui filamen lampu pijar sebagian energi diubah menjadi cahaya, sisanya diubah menjadi panas. Elektron-elektron yang mengalir di dalam rangkaian mengambil energinya dari sumber tegangan. Ketika elektron-elektron tersebut melintasi kawat tembaga, mereka bertumbukan dengan atom-atom tembaga di dalam kawat dan kehilangan sebagian energinya pada setiap tumbukan. Energi yang ditransfer ke atom-atom menghasilkan kenaikan suhu kawat.
Eksperimen Metode yang digunakan untuk mengubah energi listrik dari lampu menjadi energi panas yang diserap air yaitu dengan mengunakan metode campuran. Metode ini menggunakan EEH apparatus.
Daya rata-rata P yang terdisipasi oleh arus dan mengalikannya dengan waktu arus mengalir di dalam rangkaian untuk mengambil energi listrik yang dikonversi oleh resistor. Sehingga besar energi listrik dari lampu sebesar W = VI∆t. Pada kondisi ideal, dimana tidak ada energi panas bertukar antara sistem lingkungan udara, semua
Gambar 1. Electrical Equivalent of Heat Apparatus.
ISBN 978-602-19655-4-2
257
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
itu air yang dibuat hitam menggunakan tinta india agar cahaya lampu tidak ada yang diradiasikan, namun masih terlihat sinar lampu pada lubang yang memungkinkan adanya radiasi dari sistem maupun dari lingkungan.
energi panas yang dihasilkan di dalam resistor diserap oleh air[2]. Tabel 1. Data empat variasi acak percobaan ekivalen listrik panas. Variabel V (Volt) I (A) ∆ t (s) Mt (gr) Tr (0C) To (0C) Tf (0C) ∆T (0C) H (kal) E (J) Je (J/kal) K(%)
1 11,02 2,56 662 217,4
Variasi 2 3 10,9 10,9 2,54 2,54 830 840 214,7 214,2
4 10,5 2,5 971 200,6
27 12 32 20 4348 18676 4,295 97,39
28 7 32 25 5366,3 22979 4,282 97,70
29 6 36 30 6018,9 25489 4,235 98,84
28 7 32 25 5354,3 23256 4,344 96,24
Tabel 2. Data empat variasi acak prercobaan efisiensi lampu pijar.
Berdasarkan percobaan bahwa besar Je dari empat variasi yaitu 4.295 J/kal, 4.282 J/kal, 4.344 J/kal, dan 4.235 J/kal, dengan nilai ketepatan (K) masing-masing diatas 96 % (tabel 1). Hal ini karena energi yang diserap air yang dicampur tinta india mengakibatkan air menyerap kalor dengan sempurna (asumsi keadaan ideal). Berdasarkan data bahwa nilai Je yang paling mendekati literatur ketika dilakukan variasi ke empat pada suhu awal 60C yaitu 4,234 J/kal.
Variasi 2 3 10,9 10,9 2,54 2,54 949 949 216,36 215,78 28 28 6 6
4 10,4 2,5 1116 202,74 29 6
Tf (0C) ∆T (0C) H (kal) E (J) Hj (J) η (%)
31 25 5485 26994 23560 12,723
31 25 5409 26274 23162 11,843
36 30 6082,2 29016 25757 11,232
31 25 5394,5 26274 23431 10,820
Berdasarkan data yang didapatkan bahwa nilai efisiensi lampu mencapai 12,723%, 11,843%, 10,820%, dan 11,232%. Nilai efisiensi yang didapatkan sangat kecil karena dalam eksperimen cahaya tampak tidak diserap seluruhnya oleh air karena air yang transparan (jernih) dan EEH jar tidak ditutup kalorimeter sehingga adanya radiasi dari sistem ke lingkungan.
Energi listrik berupa cahaya tampak dari lampu pijar akan diserap air yang merupakan penyerap radiasi inframerah yang baik. Sebagian besar energi yang terpancarkan sebagai cahaya tampak akan memberikan konstribusi untuk besar kalor yang diserap air (H). Total energi yang hilang pada lampu merupakan jumlah energi cahaya tampak dan energi panas yang diserap air. Untuk mendapatkan hasil yang akurat, maka massa yang digunakan untuk perhitungan kalor yang diserap yaitu dari penjumlahan massa air dan Me (Kapasitas panas EEH Jar ekivalen dengan kirakira 23 gram air).
Kejernihan air yang digunakan akan mempengaruhi nilai Je dan efisiensi lampu pijar. Semakin jernih air yang digunakan maka nilai Je semakin besar, namun efisiensinya semakin kecil. Nilai efisinsi ini didapatkan dari energi yang dikonversi menjadi cahaya tampak dibagi dengan energi listrik total yang dialairkan ke lampu. Pada eksperimen ini menggunakan nilai konversi listrikpanas untuk menentukan nilai efisiensi lampu pada masing-masing variasi. Nilai efisiensi lampu berada pada interval 10%-15% yang menandakan bahwa lampu pijar tersebut masih dalam keadaan baik karena sesuai dengan nilai efisiensi literatur alat tersebut (PASCO).
Besar Je hasil eksperimen nilainya lebih besar dari literatur dengan Je literatur sebesar 4,186 J/Kal. Hal ini karena tidak semua energi listrik diserap menjadi energi panas karena adanya energi yang hilang akibat perpindahan energi yaitu konduksi, konveksi dan radiasi. Energi yang hilang akibat konduksi karena EEH apparatus memiliki lubang untuk meletakan termometer sehingga kalor akan ditrasfer melaui termometer dan akan kontak dengan lingkungan, selain itu kalor tidak hanya diserap air, namun akan diserap oleh wadah (Jar) dari Lampu. Lubang pada EEH apparatus ini juga mempengaruhi terjadinya konveksi karena adanya udara yang keluar- masuk sistem. Selain
ISBN 978-602-19655-4-2
V (Volt) I (A) ∆ t (s) Mt (gr) Tr (0C) To (0C)
1 10,9 2,54 975 219,4 27 6
Variabel
Kesimpulan Berdasarkan eksperimen yang dihasilkan bahwa nilai konversi listrik-panas lebih besar dibandingkan dengan literatur karena adanya transfer panas dari sitem ke lingkungan. Nilai Je yang paling mendekati literatur ketika dilakukan variasi ke empat pada suhu awal 60C yaitu 4,234 J/kal dengan nilai ketepatan 98,836% dan nilai efisiensi lampu pijar mencapai 11,232%. Kejernihan air mempengaruhi nilai Je dan efisiensi. Semakin jernih maka nilai Je semakin besar, namun nilai efisiensi semakin kecil. Hal ini karena
258
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Mohamad Soleh* Mahasiswa S1 Departemen Fisika Institut Pertanian Bogor [email protected]
air yang jernih akan meningkatkan radiasi lampu pijar dari sistem ke lingkungan sehingga air yang diserap lebih kecil. Nilai efisiensi lampu berada pada interval 10%-15% yang menandakan bahwa lampu pijar tersebut masih dalam keadaan baik karena sesuai dengan literatur alat.
Nofitri Mahasiswa S1 Departemen Fisika Institut Pertanian Bogor [email protected]
Ucapan Terima Kasih Penelitian ini didanai oleh hibah insentif riset SINAS KMNRT Republik Indonesia dengan nomor kontrak 38/SEK/INSINAS/PPK/I/2013.
Sinta Sri Ismawati Mahasiswa S1 Departemen Fisika Institut Pertanian Bogor [email protected]
Referensi [1] Satria Ugahari. Studi Eksperimental Energi Bangkitan Vibration energi recovery system (VERS) Generasi II dan Pengaruhnya Terhadap Reformam Suspensi Mobil Isuzu dan Panther. Jurusan Teknik Mesin, ITS [2] Pasco Scientific, Instruction Manual and Experiment Guide for the PASCO scientific Model TD-8552 : Electrical Equivalent of Heat . 012-02833D 5/94, (1987). [3] Ekadewi Anggraini Handoyo, “Pengaruh Tebal Isolasi Termal Terhadap Efektivitas Plate Heat Exchanger”, Jurnal Teknik Mesin Volume 3 No 73-78, (2000). [4] Aklis, Nur, “Studi heat losses pada isobaric zone reaktor HYL III direct reduction plant PT. Krakatau Steel”, Jurnal Media Mesin, 7(2), 63-69. (2006). [5] Kiran, S. Ravi, “Electro-thermal modelling of infrared microemitters using PSPIC”, Journal Sensors and Actuators, A72 110–114, (1999).
Herlin Verina Mahasiswa S1 Departemen Fisika Institut Pertanian Bogor [email protected] Vivi Nur Huda Lyjamil Mahasiswa S1 Departemen Fisika Institut Pertanian Bogor [email protected] Hadyan Akbar Mahasiswa S1 Departemen Fisika Institut Pertanian Bogor [email protected] Irzaman Staf Pengajar Departemen Fisika Institut Pertanian Bogor
[email protected]
*Corresponding author
ISBN 978-602-19655-4-2
259
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Desain Sensor Keseimbangan Ban Mobil Berbasis Sensor Magnetik Giant Magnetoresistance Sony Wardoyo* dan Mitra Djamal Abstrak Putaran ban yang tidak seimbang dapat mengakibatkan efek getaran pada mobil. Hal ini ditimbulkan akibat gaya sentrifugal yang dikeluarkan oleh ban yang tidak seimbang. Efek getaran yang dihasilkan sangat mempengaruhi performa dari mobil, sehingga perlu dilakukan balancing pada ban. Pada kenyataannya pengemudi mobil hanya bisa merasakan getaran melalui setir tanpa adanya suatu penanda getaran. Didesain dan dirancang suatu sensor yang dapat mendeteksi ketidakseimbangan putaran ban mobil. Pada penelitian ini model desain sensor ban mobil di padukan dengan tipe suspensi MacPherson dan berbasis Giant Magnetoresistance pada sensor getarannya. Prototipe berupa ban depan serta suspensinya dengan skala 1:10. Dimana akan disimulasikan putaran ban yang tidak seimbang. Ban dalam kondisi seimbang akan diberi massa pengganggu 3, 6, dan 9 gram untuk menghasilkan putaran yang tidak seimbang. Sensor GMR mendeteksi ketidakseimbangan putaran melalui pergeseran pegas pada suspensi. Kata-kata kunci: Giant Magnetoresistance, Getaran, Prototipe, Sensor, Suspensi MacPherson harus dikompensasi dengan gaya tambahan yang sama tapi arahnya berlawanan.
Pendahuluan Dalam perkembangan dunia otomotif, banyak ditekankan fitur keamanan dan kenyamanan untuk pengendaranya. Salah satu penekanannya terdapat pada sistem suspensi dan roda, sistem utama ini merupakan komponen vital sehingga perhatian khusus dalam penanganannya. Sistem suspensi dan roda mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam hal manuver dan stabilitas kendaraan. Dalam penelitian ini didesain sensor keseimbangan ban mobil tipe suspensi MacPherson, yang mana tipe suspensi ini banyak digunakan dan terkenal karena kesederhanaan dan fleksibilitasnya dalam kendaraan roda empat. Penggunaan sensor magnetik giant magnetoresistance oleh karena tingkat kepekaan dan kestabilan dalam berbagai kondisi suhu. Teori
Gambar 2. Model getaran dari putaran ban tidak seimbang (Sumber : Jaya, Suhardjono, 2004).
Ketidakseimbangan pada roda kendaraan terjadi bila pusat massa tidak sesumbu dengan sumbu putarnya, pada gambar 1.
Pada gambar 2. Sumber massa unbalance yang terjadi pada roda kendaraan disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya ketidaksempurnaan proses manufaktur velg dan ban serta keausan yang tidak merata pada ban akibat kondisi kekasaran jalan raya yang berbeda. Ban yang bagian distribusi massa yang besar, cenderung menghasilkan gaya sentrifugal yang besar pula dibandingkan bagian ban yang distribusi massanya kecil. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya getaran.
Gambar 1. Pusat massa berpindah akibat distribusi massa ban yang tidak merata.
Persamaan diferensial gerak sistem dapat ditulis sebagai berikut :
Agar roda kendaraan dapat berputar seimbang, maka gaya sentrifugal yang timbul
ISBN 978-602-19655-4-2
260
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
m. y r. y k . y Fu .sin .t
(1.1)
Dengan asumsi gaya unbalance (u) dan respon getaran harmonik, maka ˆ it Fˆu eit (m 2 ir k ). ye
(1.2)
Dimasa yang akan datang ban mobil mempunyai sifat yang cerdas, karena mampu memonitor kondisi ban seperti tekanan, deformasi, beban yang dialami ban, gesekan, serta tingkat keausan ban. (Matsuzaki, Todoroki, 2008). Untuk menghasilkan kendaraan yang mempunyai sistem penyeimbang, tentunya membutuhkan analisis dinamika kendaraan dan sistem kontrol. (Arndt dkk, 2011).
Gambar 4. Rangkaian penguat sensor GMR. Pada sensor GMR, rangkaian penguat yang digunakan terdapat pada gambar 4, yang mana komponen yang digunakan : Op-Amp TL071, R1 = R3 = 4,27 kΩ, dan R2 = R4 = 4,7 kΩ. Dan tipe sensor GMR yang digunakan adalah AA002-02 low-field magnetic produksi NVE (www.nve.com).
Hasil dan diskusi Desain yang dibuat seperti pada gambar 2.16 merupakan kombinasi dari ban mobil, peredam guncangan (shock absorber), suspensi tipe MacPherson dan sensor GMR. Untuk ban, peredam guncangan dan suspensi tidak digunakan pada kondisi yang sesungguhnya, melainkan material yang digunakan adalah rasio diperkecil 1 : 10 (dalam kondisi sesungguhnya perlu penelitian lebih lanjut).
Gambar 3. Desain balancing dan keseimbangan GMR serta suspensi.
Pada gambar 5, merupakan hasil konfigurasi posisi sensor pada simulator, pada kondisi ini jarak maksimal antara magnet dan sensor adalah 8 mm dengan ketinggian 10 mm. Hasil ini berdasarkan linearitas output sensor yang digunakan pada sensor jarak (gambar 6).
Gambar 5. Desain posisi sensor pada simulator berdasarkan data.
sensor
Eksperimen sensor GMR dalam bentuk sensor jarak, dilakukan untuk mendapatkan posisi yang tepat dalam konfigurasi posisi sensor dan aktuator pada simulator suspensi. Sehingga daerah jangkauan dari pergeseran pegas dapat diketahui melalui keluaran pada sensor
Untuk mengkondisikan putaran ban yang tidak seimbang, velg pada ban akan di pasang benda pengganggu putaran diantaranya 3, 6 dan 9 gram. Pada simulator (gambar 3), posisi sensor dapat diatur sedemikian rupa berdasarkan hasil pengukuran sensor jarak.
ISBN 978-602-19655-4-2
261
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Gambar 6. Konfigurasi magnet dan sensor GMR pada sensor jarak dan Grafik. Gambar 8. seimbang.
Eksperimen
putaran
ban
tidak
Pada posisi awal sensor berada pada posisi 6 mm atau pada keluaran 0.225 volt. Hal ini dilakukan agar posisi magnet berada ditengahtengah jangkauan sensor. Digunakan 3 massa pengganggu dengan beban yang berbeda-beda.
Gambar 7. Hasil rancangan simulator suspensi dan sensor GMR. Pada gambar 7. memperlihatkan hasil rancangan simulator suspensi dan sensor GMR.
Gambar 9. Pergeseran pegas vs Rotasi ban dengan massa pengganggu 3 gram.
Hasil rancangan yang didapat merupakan prototip yang kemungkinan kesalahan pengukuran pasti ada. Tahap perancangan ada beberapa kesulitan yang di dapat, diantaranya mendapatkan material seperti ban dan suspensi yang tidak di buat untuk kondisi bahan riset. Hal ini terlihat pada peredam kejut yang cukup keras sehingga pada saat pengambilan data tidak terlalu maksimal, walaupun didapat hasil sedikit sesuai dengan prediksi. Pada gambar 8. eksperimen dilakukan dengan mendeteksi pergeseran pegas suspensi melalui keluaran dari sensor GMR yang terlihat pada voltmeter.
ISBN 978-602-19655-4-2
Gambar 10. Pergeseran pegas vs Rotasi ban dengan massa pengganggu 6 gram.
262
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Gambar 11. Pergeseran pegas vs Rotasi ban dengan massa pengganggu 9 gram.
Gambar 13. Pergeseran suspensi vs Rotasi ban dengan massa penyeimbang 3 gram.
Dari hasil eksperimen didapat bahwa sensor mampu mendeteksi pergeseran pegas akibat dari putaran ban yang tidak seimbang. Hal ini terlihat pada posisi normal 6 mm, pegas suspensi bergeser pada 7 mm jangkauan (amplitudo) terkecil dan 10 mm pada jangkauan (amplitudo) terbesar. Dengan hasil desain, rancangan dan eksperimen, dihasilkan sensor magnetik GMR untuk mendeteksi ketidakseimbangan putaran ban mobil.
Kondisi awal 0.225 volt berada pada posisi 6 mm, dengan massa penyeimbang 6 gram
Pada gambar 12. eksperimen dilakukan dengan pemasangan massa penyeimbang pada ban yang di balancing, keluaran dari sensor akan tercatat pada voltmeter, yang mana jika kondisi ban telah seimbang maka tidak terjadi getaran. Gambar 14. Pergeseran suspensi vs Rotasi ban dengan massa penyeimbang 6 gram. Kondisi awal 0.225 volt berada pada posisi 6 mm, dengan massa penyeimbang 9 gram
Gambar 12. Eksperimen balancing ban yang tidak seimbang. Kondisi awal 0.225 volt berada pada posisi 6 mm, dengan massa penyeimbang 3 gram.
Gambar 15. Pergeseran suspensi vs Rotasi ban dengan massa penyeimbang 9 gram Kesimpulan Dari hasil eksperimen didapat bahwa dengan pemasangan massa penyeimbang 3, 6 dan 9 gram dalam kondisi tak seimbang ban, di dapat putaran ban menjadi seimbang. Hal ini dapat dilihat dari
ISBN 978-602-19655-4-2
263
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
[5] DongHun, L., BongGun, C., DongRak, L., dan Kwangsuck, B., (2008), Development of A Displacement Sensor for Intelligent Suspension, Regional Industrial Technology Program by the Ministry of Commerce Industry and Energy (MOCIE) of The Korean Government, 1-7 p.
keluaran sensor yang nyaris tidak terjadi perubahan, pergeseran suspensi tidak terjadi fluktuasi sebagai akibat dari kondisi ban yang telah seimbang putarannya. Referensi [1] Arndt, D., Bobrow, J.E., Peters, S., Iagnemma, K., dan Dubowsky, S., ”Two-Wheel SelfBalancing of a Four-Wheeled Vehicle”, IEEE Control System Magazine, (2011). [2] Beard, J.E., dan Sutherland, J.W., Robust Suspension System Design. DE-Vol. 65-1, Advance in Design Automation-Volume 1, ASME. 1-3, (1993). [3] Caruso, M.J., Bratland, T., Smith, C.H., dan Schneider, R. (1998). A New Perspective on Magnetic Field Sensing. Honeywell, SSEC., Nonvolatile Electronics, Inc. 1-16 p. [4] Djamal, M., Ramli, Wirawan, R., dan Sanjaya, E. (2012). Sensor Magnetik GMR, Teknologi dan Aplikasi Pengembangannya. Prosiding Pertemuan Ilmiah XXV HFI Jateng & DIY. 1 p.
ISBN 978-602-19655-4-2
Sony Wardoyo* Fisika Teoritik Energi Tinggi dan Instrumentasi Institut Teknologi Bandung [email protected] Mitra Djamal Fisika Teoritik Energi Tinggi dan Instrumentasi Institut Teknologi Bandung [email protected]
*Corresponding author
264
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
An Observation of a Circular Motion using Ordinary Appliances: Train Toy, Digital Camera, and Android based Smartphone Sparisoma Viridi*, Tarex Moghrabi, and Meldawati Nasri Abstract Using a digital camera (Sony DSC-S75) in its video mode and a smartphone (Samsung GT-N700) equipped with an acceleration sensor, observation of a uniform circular motion of a toy train (Thomas & Friends, Player World, CCF No. 2277-13) is conducted. From the first observation average centripetal acceleration about 0.154 m/s2 is obtained, while the second gives 0.350 m/s2 of average centripetal acceleration by assuming ideal condition, where measured accelerations in z direction is not interpreted. Keywords: circular motion, smartphone, acceleration sensor, physics teaching. (1) and (2), but the orientation of x' and y' depend on value of ωt.
Introduction Uniform linier motion (ULM), non-uniform linear motion (NLM), simple harmonic motion (SHM), and Uniform circular motion (UCM) are examples of simple motion that is usually taught in teaching motion in physics and they are related to Newton equations of motion (NEM) [1]. ULM, NLM, and SHM can be derived smoothly from NEM but not UCM, since the last requires finding solution of two second order differential equations that are coupled [2]. Other problem with UCM is when observation taken place at the moving object, since its frame of reference (FR) is not inertial to laboratory FR, that means a fiction force must be applied in order to maintain the validity of NEM [3]. Current information technology innovation in a form of smartphone equipped with acceleration sensor opens an opportunity to measure acceleration of moving object with only a few difficulties [4]. Other way to observe motion of an object is by analyzing its recorded movie [5, 6]. Observation of a UCM using a digital camera in video mode and a smartphone with its acceleration sensor is reported in this work.
y x O ωt y' O' x' Figure 1. Two different RF: O for laboratory and O' for moving object. Using relation between RFs, it can be written that x X x'
Theoretical background
X 0 R cos 0
Let us define two FR that are labeled with O and O', where O stands for laboratory FR and O' for moving object FR. Along with O there are x, y, and z coordinates and also with O' there are x', y', and z'. For a 2-d UCM that moves only in xy plane with constant angular velocity ω, origin of moving object FR can be written as X X 0 R cos 0 R cos t 0 ,
(1)
Y Y0 R sin 0 R sin t 0 ,
(2)
(3)
.
(4)
R cos t 0 x ' y Y y' Y0 R cos 0 R cos t 0 y '
If the moving object is placed on the origin (x' = 0, y' = 0) and is always at rest according to O', then x and y from Equations (3) and (4) will be equal to Equations (1) and (2).
where X = X0 and Y = Y0 at t = 0. Actually, moving object RF in this case is not easily defined since it rotates while the object moves as it is illustrated in Figure 1. Position of O' is simply given by Equation
ISBN 978-602-19655-4-2
,
Until now, the force that maintains the object to moving with O' has not yet been discussed. If there is no net force according to O, then the object can not stick and then moves together with
265
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Classic (version 6.4.9.1 rev 86) with Δt = 0.5 s accuracy. A smartphone (Samsung GT-N700) is equipped K3DH acceleration sensor and acquisition software SensorLogger (10 ms sampling rate) and Sensor Ex (100 ms sampling rate). The smartphone is attached on top of the train toy and it recorded the acceleration as the train performed a circular motion.
O'. On the other side, there should be no net force according to O' since the object is always at rest. Suppose that there are net forces Fx' and Fy' according to O' (they will be later proved to be zero), then NEM in O' are m
d2x' Fx ' , dt 2
(5)
m
d2y' Fy ' . dt 2
(6)
Results and discussion Observation of train toy motion using digital camera in its video mode will produce a series of images, where four of them are given as illustration in Figure 2. The times when the train toy arrives at every quarter of circle circumference are recorded and these data are listed in Table 1. Values in most right column in the table are obtained from the other two columns using Equation (12) by assuming an ideal condition from Equation (11). Average tangential velocity vT is found about 0.235 m/s, which produces 0.154 m/s2 for centripetal acceleration through Equations (9) and (10).
According to O there must be also net forces, with similar form to Equation (5) and (6). Deriving Equations (3) and (4) two times with respect to time t and then substitute Equation (5) and (6) and also for Fx and Fy, will produce Fx ' Fx 2 R cost 0 , m m
Fy ' m
Fy m
2 R sin t 0 .
(7) (8)
Table 1. Observed elapsed distance s from recorded video and calculate tangential velocity vT for time t.
The terms Fx'/m and Fy'/m will be measured by acceleration sensor while average ω will be obtained from recorded observation video.
t (s) 0 3 5 8 10 13 15 18 20 23 25 28 30 33 35 38 40 43 45 48 50 53 55 58 60
An object that performs a circular motion with tangential velocity vT at radius R will give angular velocity
vT R
(9)
and centripetal acceleration aC 2 R .
(10)
Tangential velocity vT is calculated for every quarter of circle circumference vT
s t t s t , t
(11)
where for ideal condition, the relation vT
R 2 t
(12)
will hold with Δt is the time needed for the moving object to elapse length of a quarter of circle circumference. Experimental setup Train toy (Thomas & Friends, Player World, CCF No. 2277-13) has track radius r = 36 cm and track width Δr = 3 cm. Motion of the train is recorded from above using a digital camera (Sony DSC-S75) with 160 px × 112 px video size and 25 fps. The video is then analyzed using Media Player
ISBN 978-602-19655-4-2
266
s (m) 0.000 0.565 1.131 1.696 2.262 2.827 3.393 3.958 4.524 5.089 5.655 6.220 6.786 7.351 7.917 8.482 9.048 9.613 10.179 10.744 11.310 11.875 12.441 13.006 13.572
vT ( m/s) 0.188 0.283 0.188 0.283 0.188 0.283 0.188 0.283 0.188 0.283 0.188 0.283 0.188 0.283 0.188 0.283 0.188 0.283 0.188 0.283 0.188 0.283 0.188 0.283 0.226
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
acceleration in x, y, and z direction as given in Figure 3. Two different softwares, which are SensorLogger and Sensor Ex, are used for obtaining acceleration data. They seem to produce similar data as illustrated in Figure 3. Measured acceleration in z direction must be first subtracted with gravitation acceleration g since the sensor also measures g. Even acceleration data in this direction is not so important but it is a good sign that the sensor reports reading values that have physical meaning. Averaged values for ax', ay', and az'-g are -0.336 m/s2, -0.097 m/s2, and -0.481 m/s2, respectively. For ideal condition, average of Equations (7) and (8) will give acceleration in x and y direction in lab FR, respectively. By assuming this condition for data in Figure 3 (top) and (middle), value of total acceleration 0.350 m/s2 is obtained according to lab FR, which consist only the centripetal acceleration.
Figure 2. Train toy performs a clockwise circular motion at time t: (a) 13 s, (b) 15 s, (c) 18 s, and (d) 20 s.
Both values of obtained centripetal acceleration 0.154 m/s2 and 0.350 m/s2 can not be guaranteed too much, since they are much smaller than the fluctuated measured values in Figure 3 (top) and (middle). More improvement is needed to overcome this problem. One of the suggestions is by driving the toy train with higher tangential velocity to produce higher centripetal force compared to the fluctuation. Conclusion Observations of train toy performing a circular motion have been conducted using video and acceleration sensor. From both observations different values of averaged centripetal acceleration are obtained, which are 0.154 m/s2 and 0.350 m/s2. These values are still too small compare to fluctuation observed in the acceleration sensor, which means both values are still questionable to be trusted. Improvement is needed to overcome this problem. Acknowledgments SV would like to thank Prof. Mikrajuddin Abdullah, Dr. Suprijadi, and Mr. Agus Suroso for fruitful discussion atmosphere in analyzing the data and also for research program Riset Inovasi KK ITB (RIK-ITB) in year 2013 with contract number 248/I.1.C01/PL/2013 for supporting this work. References [1] D. Halliday, R. Resnick, and J. Walker, “Principle of Physics”, John Wiley & Sons, Hoboken, 9th Edition, International Student Version, 22-72, (2011). [2] L. I. S. F. Yani, S. N. Khotimah, dan S. Viridi, "Merumuskan Gaya Sentripetal pada Gerak Melingkar Beraturan Menggunakan Hukum Kedua Newton dan Gaya Magnetik",
Figure 3. Acceleration measured by K3DH acceleration sensor for: x' (top), y' (middle), and z' (bottom) direction using SensorLogger (O) and Sensor Ex (×) software in moving object FR. Acceleration sensor in the smartphone attached on the train toy produces time series for
ISBN 978-602-19655-4-2
267
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
[3]
[4]
[5]
[6]
Sparisoma Viridi*
Prosiding Seminar Nasional Fisika 2010, Ed. E. Sustini et al., 11-12 Mei 2010, Bandung, Indonesia, pp. 453-461. J. Ramadas, S. Barve, and A. Kumar, “Alternative Conceptions in Galilean Relativity: Inertial and Non ‐ Inertial Observers”, International Journal of Science Education 18 (5), 615-629 (1996). P. Vogt and J. Kuhn, “Analyzing Free Fall with a Smartphone Acceleration Sensor”, The Physics Teacher 50 (3), 182-183 (2012). R. J. Beichner, “The Impact of Video Motion Analysis on Kinematics Graph Interpretation Skill”, American Journal of Physics 64 (10), 1272-1277 (1996). D. Brown and A. J. Cox, “Innovative Uses of Video Analysis”, The Physics Teacher 47 (3), 145-150 (2009).
ISBN 978-602-19655-4-2
Nuclear Physics and Biophysis Research Division Institut Teknologi Bandung [email protected]
Tarex Moghrabi Mechatronics Engineer, Sensor Ex, TarCo, URI sites.google.com/site/tarsensorics [email protected]
Meldawati Nasri Sukma Bangsa Bireun High School, Bireun, Aceh 24251, Indonesia [email protected]
*Corresponding author
268
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Rancang Bangun Alat dan Sintesis Material Lithium Besi Fosfat LiFePO4 dengan Metode Hidrotermal Sri Septiyanty Marpaung dan Ferry Iskandar* Abstrak Pada penelitian ini, telah dilakukan perancangan alat yang digunakan untuk sintesis material LiFePO4 pada temperatur dan tekanan tinggi. Alat yang digunakan terdiri atas autoclave, pengontrol suhu, dan pengaduk magnetik. LiFePO4 disintesis dengan menggunakan alat yang telah dirancang. Sintesis LiFePO4 dilakukan dengan menggunakan metode hidrotermal pada suhu 180°C selama 5 jam. Bahan yang digunakan yaitu LiOH·H2O, FeSO4·7H2O, H3PO4, dan asam sitrat sebagai material prekursor. Dari hasil karakterisasi FT-IR, ditunjukkan adanya ikatan Fe-O, PO4, dan ikatan karbon pada sampel yang disintesis yang mengindikasikan terbentuknya LiFePO4. Kata-kata kunci: autoclave, baterai lithium-ion, LiFePO4, metode hidrotermal Pendahuluan
Teori
Penelitian mengenai teknologi baterai semakin dikembangkan hingga saat ini seiring dengan diproduksinya baterai lithium-ion dengan material katoda lithium kobalt oksida (LiCoO2) oleh Sony, Co pada tahun 1991 [1]. Salah satu faktor yang menentukan performa baterai lithium-ion adalah material katodanya. Padhi, dkk telah melakukan penelitian mengenai material lithium besi fosfat (LiFePO4) yang berpotensi digunakan sebagai material katoda baterai lithium-ion menggantikan LiCoO2 [2]. Akan tetapi, material LiFePO4 memiliki konduktivitas ionik dan elektronik yang masih rendah [3]. Konduktivitas ionik dan elektronik mempengaruhi kapasitas baterai lithiumion. Di samping itu, besi sebagai material penyusun sangat mudah teroksidasi. Oleh karena itu, dilakukan penambahan karbon untuk mengatasi kekurangan tersebut [4].
Baterai lithium-ion terdiri dari elektroda positif (katoda), elektroda negatif (anoda), elektrolit, dan separator. Katoda memegang peranan penting pada performa baterai lithium-ion. Pada umumnya, katoda baterai lithium-ion tersusun dari material LiMO2, dengan M merupakan logam transisi sehingga mudah teroksidasi atau tereduksi pada proses interkalasi [11]. Interkalasi ditandai dengan adanya pelepasan dan penyisipan ion pada struktur elektroda [12]. Pada proses pengisian (charging), ion lithium dari katoda akan bergerak menuju anoda dan menempati kisi-kisi material anoda. Sebaliknya pada saat proses pengosongan (discharging), ion lithium akan bergerak meninggalkan anoda dan kembali ke katoda. Reaksi yang terjadi di katoda, anoda, dan reaksi total pada saat proses interkalasi ditunjukkan pada persamaan di bawah ini.
Berbagai metode sintesis material LiFePO4 telah dilakukan, diantaranya metode solid state [2], sol-gel [5], spray pyrolysis [6], microwave [7], karbotermal [8], dan hidrotermal [9]. Pada sintesis material dengan menggunakan metode hidrotermal, dilakukan proses pemanasan pada temperatur yang relatif rendah jika dibandingkan dengan metode solid-state. Hasil sintesis dengan metode hidrotermal memiliki kemurnian yang tinggi dan tidak terjadi aglomerasi partikel [10]. Oleh karena itu, dilakukan sintesis material LiFePO4 dengan menggunakan metode hidrotermal. Akan tetapi, metode sintesis ini memiliki kekurangan yaitu alat sintesis yang relatif mahal. Selain itu, alat sintesis tersebut tidak dilengkapi dengan pengaduk sehingga hasil sintesis menjadi kurang homogen. Oleh karena itu, dilakukan rancang bangun alat berupa sistem pemanas yang dilengkapi dengan pengaduk magnetik untuk sintesis material LiFePO4 menggunakan metode hidrotermal.
ISBN 978-602-19655-4-2
LiMO2 Li1 x MO2 xLi xe
(1)
6C xLi xe Lix C6
(2)
LiMO2 6C Li1 x MO2 Lix C6
(3)
Persamaan (1) menunjukkan reaksi yang terjadi pada katoda saat proses pengisian. Terjadi oksidasi logam transisi M yang menyebabkan terlepasnya ion lithium. Persamaan (2) menunjukkan reaksi yang terjadi pada anoda saat proses pengisian. Ion lithium akan berikatan dengan kisi karbon yang merupakan material penyusun anoda. Persamaan (3) menunjukkan reaksi total yang terjadi pada saat proses pengisian. Material lithium besi fosfat merupakan material katoda baterai lithium-ion yang memiliki kapasitas teoretik yang tinggi yaitu mencapai 170
269
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Ah/kg [13]. Lithium besi fosfat memiliki struktur olivine yang terdiri dari struktur besi tetrahedral FeO6 yang terpisah dari bagian oktahedral PO4 [14]. Ion lithium menempati kekosongan antara kisi-kisi kristal tersebut sehingga pada saat terjadi proses pengisian, ion lithium akan meninggalkan kekosongan tersebut. Tabel 1. Ukuran dan volume sel kristal LiFePO4 dan FePO4 [14]. Parameter
LiFePO4
FePO4
a (Å) b (Å) c (Å) Volume (Å3)
6,008 10,334 4,693 291,392
5,792 9,821 4,778 273,357
Gambar 1. Alat sintesis berupa sistem pemanas.
Pada Tabel 1 ditunjukkan ukuran sel kristal LiFePO4 dan FePO4. Katoda akan mengalami penyusutan volume pada saat proses pengisian karena ion lithium meninggalkan katoda dan hanya tersisa kristal FePO4 saja.
dilakukan dengan Sintesis LiFePO4 mencampurkan bahan LiOH·H2O (Merck), FeSO4·7H2O (Merck), H3PO4 (Bratachem) dan sumber karbon yang dilarutkan di dalam air dengan perbandingan mol 3:1:1:0,5. Sumber karbon yang digunakan yaitu asam sitrat (C6H8O7) dan D-glucose (C6H12O6). Prekursor dipanaskan di dalam autoclave pada temperatur 180°C selama 5 jam. Setelah melalui proses pemanasan, larutan disaring dan dikeringkan di dalam oven pemanas pada temperatur 100°C selama 30 menit. Kemudian didapatkan serbuk LiFePO4 berwarna abu-abu kehijauan.
Kelebihan material lithium besi fosfat dibandingkan material katoda lainnya seperti LiCoO2, LiNiO2, dan LiMn2O4 adalah rapat energinya yang tinggi [15]. Selain itu besi bersifat tidak beracun dan juga keberadaannya di alam sangat melimpah. Oleh karena itu, banyak penelitian yang dilakukan untuk meningkatkan performa lithium besi fosfat (LiFePO4) sebagai material katoda baterai lithium-ion.
Tabel 2. Komposisi bahan pada setiap sampel.
Karbon merupakan salah satu bahan tambahan yang umumnya digunakan pada sintesis material LiFePO4. Penambahan karbon ke dalam prekursor dilakukan untuk meminimalisasi oksidasi Fe(II) menjadi Fe(III). Sedangkan untuk meningkatkan konduktivitas ionik dan elektronik LiFePO4, dilakukan coating karbon. Eksperimen
LiOH (g)
A B C
1,077 0,215 1,077
Pada Tabel 2 ditunjukkan konsentrasi bahan pada setiap sampel. Pada sampel A dan B, digunakan asam sitrat sebagai sumber karbon. Sedangkan pada sampel C, digunakan D-Glucose sebagai sumber karbon.
Alat sintesis dirancang untuk pemanasan larutan prekursor pada sintesis material LiFePO4 menggunakan metode hidrotermal. Alat sintesis terdiri dari autoclave, selimut glass wool, stirrer, pengontrol temperatur, dan multimeter. Autoclave terbuat dari bahan stainless steel yang berisi tabung teflon di dalamnya dengan kapasitas 400 ml. Tekanan di dalam autoclave dapat mencapai 5 MPa. Pada bagian dalam selimut glass wool, terdapat lilitan kawat yang berfungsi sebagai pemanas autoclave. Glass wool berfungsi untuk menahan panas di sekitar autoclave agar tetap stabil. Temperatur pemanasan dikontrol dengan power relay yang terhubung dengan termokopel sebagai detektor temperatur bagian luar autoclave. Multimeter digunakan untuk mendeteksi temperatur di dalam autoclave. Stirrer ditempatkan di bawah bagian autoclave dan digunakan untuk mengaduk prekursor selama proses pemanasan.
ISBN 978-602-19655-4-2
Sampel
Konsentrasi Bahan Sumber FeSO4 H3PO4 karbon (g) (ml) (g) 4,1703 22,5 1,441 0.834 3 0.288 4,1703 22,5 1,486
Sampel dikarakterisasi dengan menggunakan alat Fourier Transform Infra Red Spectrometer (FTIR) Bruker ALPHA untuk mengidentifikasi ikatan-ikatan kimia yang terdapat pada sampel. Dari karakterisasi FTIR didapatkan grafik % transmitansi terhadap bilangan gelombang (cm-1). Hasil dan Diskusi Karena besi memiliki sifat yang mudah teroksidasi, dilakukan identifikasi warna sampel. Sampel A, B, dan C berwarna abu-abu kehijauan yang mengindikasikan tidak terjadinya oksidasi Fe(II) menjadi Fe(III). Besi yang teroksidasi akan
270
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
menghasilkan larutan yang cenderung berwarna merah. Gambar 2 menunjukkan adanya ikatan Fe-O pada rentang bilangan gelombang 500−640 cm-1 dan ikatan PO4 pada rentang bilangan gelombang 940−1080 cm-1 pada Sampel A.
Gambar 4. Hasil karakterisasi FTIR sampel C. Pola ikatan kimia melalui karakterisasi FTIR pada Sampel B telah mendekati referensi yang ditunjukkan dengan adanya ikatan karbon pada rentang bilangan gelombang 1400−1600 cm-1. Ikatan karbon tidak terbentuk pada Sampel A dan Sampel C karena adanya perbedaan konsentrasi larutan. Konsentrasi larutan Sampel A dan C lebih tinggi dibandingkan dengan Sampel B. Hal tersebut juga mengindikasikan material yang belum homogen.
Gambar 2. Hasil karakterisasi FTIR sampel A. Hasil karakterisasi FTIR pada sampel B menunjukkan adanya ikatan Fe-O pada rentang bilangan gelombang 500−640 cm-1, ikatan PO4 pada rentang bilangan gelombang 940−1120 cm-1, dan ikatan karbon pada rentang bilangan gelombang 1400−1600 cm-1 yang ditunjukkan pada Gambar 3.
Gambar 5. Hasil karakterisasi XRD sampel A Gambar 5 menunjukkan pola difraksi pada sampel A yang dikarakterisasi menggunakan XRD. Hasil tersebut menunjukkan sampel A belum homogen dan terdapat puncak difraksi LiFe5O4 dan PO4. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengadukan lebih cepat pada saat proses pemanasan. Kecepatan rotasi pengadukan dapat ditingkatkan menjadi 600−700 rpm agar didapatkan hasil yang lebih baik.
Gambar 3. Hasil karakterisasi FTIR sampel B. Hasil karakterisasi FTIR pada sampel C menunjukkan adanya ikatan Fe-O pada rentang bilangan gelombang 500−680 cm-1 dan ikatan PO4 pada rentang bilangan gelombang 940−1120 cm-1 yang ditunjukkan pada Gambar 4.
Kesimpulan Alat sintesis berupa sistem pemanas telah berhasil dirancang. Sistem pemanas telah digunakan untuk sintesis material LiFePO4 pada
ISBN 978-602-19655-4-2
271
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
temperatur 180°C selama 5 jam. Dari hasil karakterisasi FTIR, ditunjukkan bahwa Sampel B memiliki pola yang mendekati referensi sehingga dapat disimpulkan bahwa sumber karbon asam sitrat lebih baik dibandingkan dengan D-Glucose. Untuk memperoleh material yang homogen pada konsentrasi tinggi, dilakukan pengadukan dengan kecepatan rotasi antara 600−700 rpm.
[8] J. Barker, M. Y. Saidi, and J. L. Swoyer, “Lithium Iron(II) Phospho-Olivines Prepared by a Novel Carbothermal Reduction Method”, Electrochemical and SolidState Letters 6, A53-A55 (2003). [9] S. Yang, P. Y. Zavalij, and M. S. Wittingham, “Hydrothermal Synthesis of Lithium Iron Phosphate Cathodes”, Electrochemistry Communications 3, 505-508 (2001). [10] Y. Wang, J. Wang, J. Yang, and Y. Nuli, “High-Rate LiFePO4 Electrode Material Synthesized by a Novel Route from FePO4·4H2O”, Advanced Functional Materials 16, 2135-2140 (2006). [11] M. S. Whittingham, “Material Challengers Facing Electrical Energy Storage” MRS Bulletin 33, 411-419 (2010). [12] O. Toprakci, H. A. Toprakci, L. Ji, and X. Zhang, “Fabrication and Electrochemical Characteristic of LiFePO4 Powders for Lithium-Ion Batteries”, KONA Powder and Particle Journal 28, 50-73 (2010). [13] H. Huang, S. C. Yin, and L. F. Nazar, “Approaching Theoretical Capacity of LiFePO4 at Room Temperature at High Rates”, Electrochem. Solid State Lett. 4, A170-A172 (2001). [14] P. P. Prosini, “Iron Phosphate Materials as Cathodes for Lithium Batteries”, Springer, London, p. 4-5 (2011). [15] B. Scrosati and J. Garche “Lithium Batteries : Status, Prospects, and Future” Journal of Power Sources 195, 2419-2430 (2012).
Ucapan terima kasih Penelitian ini dibiayai oleh DIKTI Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan dalam Program Mobil Listrik Nasional Tahun 2013. Referensi [1] T. Nagura and K. Tozawa, “Program Batteries and Solar Cell”, 10, 218 (1991). [2] A. K. Padhi, K. S. Nanjundaswamy, and J. B. Goodenough, “Phospho-olivines as PositiveElectrode Materials for Rechargeable Lithium Batteries”, J. Electrochem. Soc.144, 4 (1997). [3] Y. Zhang, Q. Huo, P. Du, L. Wang, A. Zhang, Y. Song, Y. Lv, and G. Li, “Advances in New Cthode Material LiFePO4 for Lithium-Ion Batteries”, Synthetic Metals 162, 1315-1326 (2012). [4] J. Chen and M. S. Whittingham, “Hydrothermal Synthesis of Lithium Iron Phosphate”, Electrochemistry Communications 8, 855-858 (2006). [5] F. Croce, A. D’Epifanio, J. Hassoun, A. Deptula, T. Olczac, and B. Scrosati, “A Novel Concept for the Synthesis of an Improved LiFePO4 Lithium Battery Cathode”, Electrochemical and Solid-State Letters 5, A47-A50 (2002). [6] S. L. Bewlay, K. Konstantinov, G. X. Wang, S. X. Dou, and H. K. Liu, “Conductivity Improvements to Spray-Produced LiFePO4 by Addition of a Carbon Source”, Material Letters 58, 1788-1791 (2004). [7] M. Higuchi, K. Katayama, Y. Azuma, M. Yukawa, and M. Suhara, “Synthesis of LiFePO4 Cathode Material by Microwave Processing”, Journal of Power Source 119121, 258-261 (2003).
ISBN 978-602-19655-4-2
Sri Septiyanty Marpaung Kelompok Keahlian Fisika Material Elektronik Institut Teknologi Bandung [email protected]
Ferry Iskandar* Kelompok Keahlian Fisika Material Elektronik Institut Teknologi Bandung [email protected]
*Corresponding author
272
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Pembelajaran Konsep Teorema Sisa Pada Pembagian Suku Banyak Dengan Pembagi Berbentuk ax – b Sukarni Ali* dan Iwan Pranoto Abstrak Dalam artikel ini disampaikan tentang pembelajaran konsep teorema sisa pada pembagian suku banyak dengan pembagi berbentuk ax b . Pertama, dalam penelitian ini dilakukan diagnosa terhadap pemahaman siswa tentang konsep teorema sisa. Khususnya, tingkat pemahaman yang diharapkan sampai tahap pembuktian. Penelitian kualitatif ini dilakukan di kelas XII pada salah satu SMA di Bandung. Hasil tes diagnostik menunjukkan bahwa siswa belum mampu menjelaskan, menerapkan dan membuktikan konsep teorema sisa. Kedua, setelah dilakukan diagnosa, diterapkan pembelajaran yang mendalam melibatkan proses pembuktian. Setelahnya, dilakukan evaluasi, ternyata pengetahuan siswa yang diteliti dalam menjelaskan, menerapkan, dan membuktikan konsep teorema sisa dapat ditingkatkan. Kata-kata kunci: Pembelajaran, konsep, teorema sisa, pemahaman. kedua, siswa dapat belajar matematika dengan pemahaman. Belajar ditingkatkan di dalam kelas dengan cara siswa diminta untuk menilai ide-ide mereka sendiri atau ide-ide temannya, didorong untuk membuat dugaan tentang matematika lalu mengujinya dan mengembangkan keterampilan beralasan yang logis [3].
Pendahuluan Matematika adalah disiplin ilmu yang mengembangkan tata cara berpikir dan mengolah logika baik secara kualitatif maupun secara kuantitatif. Konsep pembelajaran matematika mempertimbangkan siswa sebagai pembelajar dan proses yang melibatkan pengembangan berpikir dan belajar. Sebagaimana tercantum dalam Standar Isi, salah satu tujuan pembelajaran matematika adalah agar peserta didik memiliki kemampuan untuk memahami konsep, menjelaskan keterkaitan antarkonsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma secara luwes, akurat, efisien dan tepat dalam pemecahan masalah [1].. Tuntutan ini tidak akan tercapai bila pembelajaran hanya berbentuk hafalan, latihan mengerjakan soal rutin serta proses pembelajaran yang tidak menuntut siswa untuk mengoptimalkan daya pikirannya untuk mencapai suatu pemahaman. Siswa yang menghafal fakta atau prosedur tanpa pemahaman, sering tidak yakin kapan atau bagaimana menggunakan apa yang mereka ketahui, dan belajar seperti itu sering kali cukup rapuh. Branfor, dkk dalam [2].
Namun kenyataan di lapangan tidak jarang ditemui di sekolah-sekolah pada saat ini, pembelajaran hanya menekankan pada contoh dan latihan soal khususnya pada materi Teorema Sisa. Sehingga banyak siswa yang mengeluh pada saat guru memberikan soal latihan atau Pekerjaan Rumah (PR) yang berbeda dengan contoh yang telah diberikan atau dijelaskan. Hal ini terjadi karena siswa cenderung untuk sekedar meniru atau menjiplak langkah-langkah penyelesaian masalah matematika yang melibatkan konsep yang sama, sehingga jika dibutuhkan modifikasi dari masalah yang diberikan, siswa kebingungan dan hilang akal untuk menentukan langkah penyelesaian yang diharapkan. Artinya bahwa apa yang terbentuk pada siswa selama ini lebih menekankan pada memahami langkah-langkah menyelesaikan soal-soal, tanpa melihat lebih dalam mengapa langkah-langkah tersebut dapat dilakukan.
National Council of Teachers of Mathematics (NCTM) merekomendasikan satu prinsip pembelajaran matematika yaitu: ”Para siswa harus belajar matematika dengan pemahaman, secara aktif mengembangkan pengetahuan baru dari pengalaman dan pengetahuan sebelumnya”[2]. Prinsip ini didasarkan pada dua ide dasar. Yang pertama, belajar dengan pemahaman adalah penting. Belajar matematika tidak hanya memerlukan keterampilan menghitung tetapi juga memerlukan kecakapan untuk berpikir dan beralasan secara matematis untuk menyelesaikan soal-soal baru dan mempelajari ide-ide yang akan dihadapi siswa di masa yang akan datang. Yang
ISBN 978-602-19655-4-2
Oleh karena itu, penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang bagaimana membelajarkan konsep teorema sisa pada pembagian suku banyak dengan pembagi yang berbentuk ax – b. Melalui pembelajaran ini diharapkan siswa tidak hanya sekedar menggunakan teorema tersebut, tetapi juga memberikan makna dengan pendekatan membelajarkan bukti.
273
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
diagnostik. Tes diagnostik yang diberikan mencakup pengukuran tentang kemampuan siswa menjelaskan sisa pembagian suku banyak, kemampuan menggunakan teorema sisa dalam menentukan sisa pembagian suku banyak dan kemampuan membuktikan teorema sisa. Adapun hasil dari tes diagnostik tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
Teori Hubungan pegetahuan konsep, prosedur dan pemahaman Dalam mempelajari matematika, pengetahuan konsep, prosedur dan pemahaman tidak dapat dipisahkan. Pengetahuan konsep adalah pengetahuan yang berisi banyak hubungan atau jaringan ide. Hieber & Carpenter dalam [4] juga menyatakan “pengetahuan konsep adalah pengetahuan yang dipahami. Sedangkan pengetahuan prosedur tentang matematika adalah pengetahuan tentang aturan atau cara yang digunakan untuk menyelesaikan tugas-tugas matematika”. Sehingga untuk membagun pemahaman siswa tidak hanya sekedar mengetahui prosedur tetapi yang terpenting adalah memiliki pengetahuan konsep. Sebab prosedur tanpa konsep merupakan aturan tanpa alasan yang seringkali membawa kesalahan pada pemahaman. Hieber & Carpenter dalam [4]) “mendefinisikan Pemahaman sebagai ukuran kualitas dan kuantitas hubungan suatu ide dengan ide yang telah ada. Ide yang dipahami dihubungkan dengan banyak ide yang lain oleh jaringan konsep dan prosedur yang bermakna”.
a)
Mengukur kemampuan siswa menjelaskan tentang sisa pembagian suku banyak. 1. Diberikan persamaan sebagai berikut:
p( x) ( x 2 1)( x 2) ( x 3 1) Apakah x 1 merupakan sisa dari pembagian suku banyak p (x) oleh 3
x 2 1 . Jelaskan jawaban anda.
Gambar 1:Jawaban siswa tentang makna sisa. Pada soal nomor 1 ini dari tiga subjek penelitian hanya satu orang yang menjawab benar sedangkan dua orang menjawab salah. Hasil tes ini menunjukkan bahwa subjek penelitian belum mengerti tentang sisa pembagian suku banyak karena mereka tidak dapat menjelaskan dengan benar. Dari jawaban subyek ini menunjukkan bahwa subjek masih menghafal bahwa suatu suku banyak dapat dituliskan dalam bentuk pembagi dikali hasil bagi ditambah sisa sehingga menyebabkan mereka salah dalam menjawab.
Belajar matematika adalah suatu proses psikologis berupa kegiatan aktif dalam upaya seseorang untuk mengkonstruksi, memahami atau menguasai materi matematika agar tercapai tujuan belajar. Pada pembelajaran matematika untuk pemahaman lebih menekankan pada penjelasan, penafsiran, penerapan, dan memiliki selfknowledge. Hal ini berarti bahwa seseorang dapat dikatakan paham tentang ide-ide atau gagasan matematika ketika mereka dapat menjelaskan, dapat menafsirkan, dapat menerapkan dan memiliki self-knowledge terhadap ide-ide atau gagasan tersebut. b)
Berdasarkan uraian di atas, maka pemahaman konsep sangat penting dalam pembelajaran matematika. Untuk mengetahui bahwa seseorang memahami konsep dalam matematika, dapat dilihat ketika mereka dapat menjelaskan, menginterpretasikan, mengaplikasikan dan memiliki self-knowledge terhadap konsep yang dipelajarinya. Implikasinya adalah bagaimana seharusnya guru merancang pembelajaran dengan baik sehingga mampu membantu siswa membangun pemahaman terhadap konsep yang dipelajarinya.
Mengukur kemampuan siswa menggunakan teorema sisa dalam menentukan sisa pembagian suku banyak. 2. Apa sisanya jika
x 20 1 dibagi oleh
x 2 3x 2 .
Hasil Diagnosa Gambar 2. Jawaban siswa tentang penggunaan Teorema Sisa.
Untuk mendiagnosa pemahaman siswa tentang teorema sisa, maka dilakukan tes
ISBN 978-602-19655-4-2
274
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
membelajarkan konsep teorema sisa pembuktian teorema.
Dari hasil tes ini diperoleh bahwa ketiga subyek penelitian tidak ada yang menjawab dengan benar. Hal ini mungkin karena siswa hanya dapat menggunakan pembagian cara bersusun dan cara sintesis sehingga untuk soal seperti ini sulit bagi siswa untuk menentukan sisanya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa subjek penelitian belum dapat menggunakan teorema sisa dalam menyelesaikan masalah. c)
Mengukur kemampuan membuktikan teorema sisa.
Dalam membelajarkan Teorema Sisa, penulis merujuk pada buku terbitan Luar Negeri yaitu “Advance Level Mathematics 2 & 3 (High Neill and Douglar Quadling)”. Di mana, penulis membelajarkan konsep teorema sisa melalui bukti teorema dengan terlebih dahulu membandingkan antara sisa pembagian suku banyak f (x ) oleh
x b dengan nilai fungsi. Suku banyak f (x) dapat dipandang sebagai fungsi lalu mensubstitusi nilai x b untuk memperoleh nilai f (b) yang merupakan materi prasyarat dalam membelajarkan konsep teorema sisa. Dengan cara ini siswa dapat dibimbing untuk membuat dugaan tentang sisa pembagian suku banyak. Untuk meyakinkan subyek atas dugaan tersebut, barulah penulis membimbing subyek untuk membuktikan teorema. Bimbingan ini mengarahkan subyek untuk menemukan sendiri bukti dari teorema tersebut yang dibangun dari pemahaman tentang defisini pembagian dua suku banyak dan nilai suatu suku banyak yang telah dipelajari sebelumnya. Yang pada akhirnya subyek merasa senang dengan apa yang mereka lakukan karena berhasil membuktikan teorema tersebut.
siswa
Adapun pendekatan yang digunakan dalam pembelajaran ini adalah melalui pembuktian teorema. Karena melalui pembuktian dapat merangsang penalaran siswa, membiasakan siswa berpikir deduktif dan menanamkan rasa percaya diri siswa. Karena diawal penelitian ini, terlihat bahwa siswa kurang percaya diri dalam mengekspresikan ide dan hasil pemikiran mereka kedalam bahasa matematika. Secara umum, ketika ditanya subyek menjawab secara singkat baik secara lisan maupun tertulis tanpa disertai alasan. Dengan metode tanya jawab guru dapat melatih kemampuan siswa, untuk mengkomunikasikan apa yang mereka ketahui sehingga akan terbentuk pemahaman yang bermakna dan untuk membangun pemahaman baru tentang konsep teorema sisa.
Gambar 3. Jawaban siswa tentang pembuktian Teorema. Dari hasil tes ini diperoleh bahwa ketiga subyek penelitian tidak dapat mengisi kotak dengan jawaban yang benar. Ini menunjukkan bahwa ketiga siswa tidak dapat melengkapi uraian pembuktian yang di berikan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ketiga siswa tidak memiliki kemampuan untuk membuktikan teorema sisa.
Evaluasi Untuk mengukur pemahaman siswa setelah membelajarkan konsep teorema sisa melalui bukti teorema, penulis memberikan tes evaluasi. Dengan hasil tes evaluasi sebagai berikut:
Pembelajaran
1. Mengukur kemampuan siswa menjelaskan makna sisa.
Dari hasil tes diagnostik di atas menunjukkan bahwa subyek penelitian belum dapat menjelaskan, menggunakan, dan membuktikan teorema sisa. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa subyek penelitian belum memahami konsep teorema sisa. Oleh karena itu sebagai tindak lanjut, maka peneliti melakukan pembimbingan dengan
ISBN 978-602-19655-4-2
melalui
275
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Kesimpulan Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa membelajarkan teorema sisa dengan mengkaji konsep terlebih dahulu tampaknya menunjukkan hasil yang baik. Pendekatan ini tentu masih perlu dikaji lebih mendalam dengan ukuran populasi subyek yang lebih besar dan umum.
Gambar 4. Jawaban siswa tentang makna sisa. Dari soal nomor 1, diperoleh bahwa ketiga siswa dapat menjelaskan pemahamannya tentang sisa pembagian suku banyak.
Ucapan Terima Kasih Penulis pertama mengucapkan terima kasih kepada Iwan Pranoto dan Sapto Wahyu Indratno, yang telah memberikan bimbingan.
2. Mengukur kemampuan siswa menerapkan teorema sisa.
Referensi [1] BSNP, “Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah”, Jakarta, Depdiknas, p.146, (2006). [2] NCTM, “Principles and Standars for School Mathematics”, Reston,VA, National Council of Teachers of Mathematics.p.20, (2000). [3] John A. Van de Walle, “Matematika Sekolah Dasar dan Menengah”, Pengembangan Pengajaran. Jakarta, Erlangga, p.26, 29, (2008). [4] Grant Wiggins and Jay Mc Tighe, “Understanding by Design”, USA, Association for Supervision and Curriculum Development (ASCD).p.84, (2005). [5] Alan Sultan & Alice F.Artzt, “The Mathematic That Every secondary School Math Teacher Needs To Know”, New York, Routledge, p.49, (2011). [6] High Neill and Douglar Quadling, “Advance Level Mathematics 2 & 3”, Cambridge, University of Cambridge.p.11, (2008),
Gambar 5. Jawaban siswa tentang pemggunaan Teorema Sisa. Dari jawaban ketiga siswa pada soal nomor 2, diperoleh bahwa ketiga siswa dapat menerapkan teorema sisa dalam penyelesaian masalah dengan jawaban dilengkapi alasan 3. Mengukur kemampuan siswa membuktikan teorema sisa.
Gambar 6. Jawaban siswa tentang bukti teorema. Dari jawaban siswa pada soal nomor 3 diperoleh bahwa ketiga siswa dapat membuktikan teorema sisa serta siswa sudah dapat berargumen dalam menyelesaikan pembuktian tersebut.
Sukarni Ali* Program Studi Magister Pengajaran Matematika Institut Teknologi Bandung [email protected]
Dengan membandingkan hasil yang diperoleh pada tes diagnostik dan tes evaluasi, tampaknya pendekatan ini berhasil. Dengan demikian maka pendekatan yang diterapkan sangat efektif digunakan karena dapat melatih nalar siswa, membiasakan siswa berpikir deduktif, siswa memiliki sikap positif terhadap matematika karena memahami konsep yang dipelajarinya.
ISBN 978-602-19655-4-2
Iwan Pranoto Kelompok Keahlian Matematika Industri dan Keuangan Institut Teknologi Bandung [email protected]
276
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2012, Bandung, Indonesia
Tinjauan Penyusunan Partikel Granular Berbentuk Cakram Lingkaran di Bawah Vibrasi Vertikal Trisna Utami, Fakhrul Rozi Ashadi, Siti Nurul Khotimah, dan Sparisoma Viridi Abstrak Kami melakukan percobaan dan mengamati fenomena penyusunan partikel granular berbentuk cakram lingkaran dibawah getaran vertikal di dalam wadah berbentuk persegi panjang. Kami mengamati mayoritas setelah selang waktu tertentu yang bergantung pada jumlah partikel, frekuensi dan amplitodo vibrasi, medium akan membentuk suatu penyunan yang disebut “compact packing” dimana partikel berada di titik sudut dan titik pusat dari segi enam sama sisi dengan sisi berukuran dua kali jari-jari cakram. Kata-kata kunci: kisi heksagonal, penyusunan granular, vibrasi vertikal. Pendahuluan
Compact Packing
Fenomena penggetaran suatu assembli dari medium granular merupakan suatu fenomena yang banyak diamati. Pada prakteknya, ada banyak pendekatan (terutama yang berkaitan dengan teori tumbukan biner) yang digunakan untuk menjelaskan berbagai macam perilaku yang diperlihatkan medium granular. Sementara itu, di sisi lain, terdapat suatu teori yang berhubungan banyak dengan peninjauan penyusunan beberapa objek geometri dalam suatu wadah terbatas. Pada penelitian ini, tinjauan ini dipakai untuk mengkarakterisasi penyusunan suatu medium granular yang digetarkan .
Penyusunan cakram-cakram lingkaran di dalam suatu bidang berdimensi dua dikatakan compact apabila setiap cakram D menyentuh suatu barisan cakram-cakram D1 , D2 , , Dn sedemikian sehingga cakram D1 akan menyentuh cakram Di 1 untuk i = 1,2,3,…,n dengan Dn 1 D1 . Dalam tinjauan awal kita seluruh cakram memiliki radius sama sehingga satu-satunya kemungkinan “compact packing” adalah kisi segitiga dimana setiap cakram dikelilingi oleh enam cakram yang lain. Dari sudut pandang geometri kombinatorial hasil ini dinyatakan oleh teorema Thue yaitu :
Metode
Teorema (Axel Thue). Kisi Heksagonal adalah satu-satunya kemungkinan pola penyusunan yang membentuk “complete packing” untuk cakram berbentuk lingkaran dengan berjari-jari sama.
Kami melakukan serangkaian eksperimen dengan rancangan sebagai berikut. Suatu wadah berbentuk kotak berukuran 20cm x 13 cm diisi dengan objek berbentuk cakram lingkaran dengan diameter 0,7 cm(selanjutnya kita sebut partikel granular) dengan ukuran tinggi diambil ketebalan kotak sedemikian sehingga eksperimen dapat direduksi ke dalam tinjauan dimensi dua. Kotak berisi granular ini selanjutnya dipasangkan ke suatu alat penggetar. Pada kondisi awal sebelum diberikan getaran granular dimasukkan sehingga menempati posisi acak di dalam wadah kotak. Percobaan dilakukuan dengan berbagai variasi frekuensi dan jumlah partikel granular. Secara empirik diperoleh hasil bahwa dibawah pengaruh gangguan luar, secara kualitatif dapat disimpulkan, dalam setelah selang waktu tertentu sejak wadahnya digetarkan partikel granular akan bergerak untuk menempati posisi yang sedemikian sehingga secara kolektif partikel-partikel ini membentuk pola penyusunan yang disebut “compact packing”.
Bukti dari teorema ini dapat dilihati di [1].
Gambar 1. Kisi heksagonal. Dalam tinjauan fisis, istilah “complete packing” dapat dipahami sebagai pola penyusunan dengan kerapatan yang paling tinggi. Dalam hal ini untuk cakram dengan jari-jari yang serba sama, tidak hanya pola penyusunan ini memiliki kerapatan paling tinggi namun juga nilainya homogen disetiap titik tinjauan. Fenomena penyusunan sempurna di bawah pengaruh ganguan luar berupa getaran pada arah vertikal dapat kita jelaskan dengan beberapa
ISBN 978-602-19655-4-2
277
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2012, Bandung, Indonesia
hanya ada sembilan nilai perbandingan antara ukuran jari-jari ini dan setiap perbandingan ini menuntut barisan penyusunan dengan pola tertentu dari kedua jenis cakram tersebut. Dengan demikian secara umum fenomena penyusunan sempurna adalah fenomena yang jarang dapat terpenuhi oleh suatu sistem granular biner.
argumentasi sederhana. Pertama, sistem partikel granular dapat kita pandang sebagai sistem klasik. Di bawah pengaruh getaran vertikal, dinamika dari partikel-partikel granular khususnya posisi partikel dapat kita gambarkan melalui statistika klasik yaitu statistika Maxwell-Boltzmann yaitu : E
P(r )
1 kbT e Z
Dalam bagian dua juga telah dijelaskan bahwa mustahil vibrasi dengan frekuensi dan amplitudo yang mendorong suatu sistem granular bergerak menuju “compact packing” dapat sekaligus menjadi vibrasi yang merusak penyusunan itu sendiri. Berbeda dengan kasus dengan intruder dimana terdapat partikel granular lain dengan ukuran berbeda, maka meskipun ukuran partikel tersebut bersesuaian dengan syarat “compact packing” namun konfigurasi yang dihasilkan tidaklah tunggal sehingga kita mengamati fenomena dimana jika mula-mula intruder berada di dasar wadah maka di bawah frekuensi dan amplitudo yang bersesuaian kita akan mengamati intruder tersebut bergerak ke atas.
P(r) = probabilitas posisi partikel granular, Z = fungsi partisi yang sekaligus bekerja sebagai konstanta normalisasi, E adalah energi partikel dalam hal ini dinyatakan oleh energy potensial, k = kontanta Boltzmann, dan T = Temperatur, maka, secara sederhana max P(r ) min
E kb T
Dapat kita lihat, jika getaran yang diberikan relatif beramplitudo kecil dan berfrekuensi rendah maka setelah suatu selang waktu berhingga sejak awal digetarkan, partikel-partikel granular dapat dipandang bergerak dengan kecepatan seragam. Karena kecepatan partikel penyusun medium berbanding lurus dengan suhu dari medium maka berdasarkan ini kita dapat mengambil suku bernilai konstan. Kondisi ini dipenuhi oleh “compact packing”.
Data Eksperimen Dalam ekperimen yang kami lakukan diperoleh penyusunan pertikel berlangsung dalam skala waktu logaritmik. Sejumlah data yang diperoleh sebagai berikut:
Feneomena lain terkait dengan “compact packing” adalah apabila kondisi ini telah terpenuhi maka teramati bahwa tidak ada perubahan posisi dalam kisi untuk partikel relatif terhadap partikel yang lain. Hal ini dapat dipahami karena di bawah kondisi “compact packing” perubahan posisi partikel di dalam kisi membutuhkan energy yang tinggi dalam hal ini frekuensi dan amplitudo vibrasi. Karena vibrasi berlangsung dangan amplitudo dan frekuensi konstan maka mustahil vibrasi yang menghasilkan“compact packing” akan dapat merusak susunan itu sendiri. Kasus dengan Intruder Pada bagian dua kita telah menjelaskan secara sederhana fenomena penyusunan yang disebut “compact packing” untuk suatu sistem granular di bawah pengaruh vibrasi eksternal. Sepintas lalu fenomena ini dapat disebut sebagai peristiwa homogenisasi, namun perlu dicatat bahwa fenomena homogenisasi adalah fenomena umum dalam artian ada banyak pola penyusunan yang lain dimana medium granular bisa kita sebut homogen.
Gambar 2. Data pada frekuensi 40 Hz untuk sistem dengan 16 lapisan.
Selanjutnya tinjau kasus dimana kita menempatkan satu partikel granular lain berjari-jari lebih besar dibandingkan dengan medium di sekitarnya. Untuk tinjauan penyusunan kelompok cakram jari-jari berbeda, dari [2] kita pelajari bahwa
ISBN 978-602-19655-4-2
278
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2012, Bandung, Indonesia
dalam suatu penyusunan sempurna. Fenomena ini dapat kita bayangkan seperti rengkahanrengkahan di tanah atau dinding. Kasus yang terakhir ini tentu saja menarik jika kita mempertanyakan lebih jauh tentang fenomena pengelompokan ini misalnya bagaimana mekanisme pengelompokan (clustering) ini terjadi, bagaimana interaksi dan dinamika antar kelompok dan sebagainya. Pada kasus dengan intruder berbentuk lingkaran dengan jari-jari lebih besar dari cakram, teramati fenomena di mana di bawah getaran, partikel yang lebih besar akan bergerak ke atas.Ini lazim dikenal dengan sebutan Brazil Nut Effect. Referensi [1] Chang,H-C,, Wang, L.-C., ,A Simple Proof of Thue's Theorem on Circle Packing, arXiv:1009.432.v1. [2] Kennedy, T.,Compact Packing of The Plane with Two Sizes of Dics. Discrete Computational Geometry, 2006. DOI:10.1007/s00454-005-1172-4, p. 255-267. [3] Clement, E., et al. Granular Packing Under Vibration. Europhysics News, 1998. DOI: 10.1007/s00770-998-0107-z
Gambar 3. Data pada frekuensi 60 Hz untuk sistem dengan 10 lapisan. Data-data ini didapatkan dengan mengamati granular yang divibrasi secara vertikal selama lebih kurang 10 detik. Setelah partikel mencapai keadaan compact packing, dihitung ada berapa partikel pada masing-masing lapisan yang memenuhi susunan “compact packing” relatif terhadap partikel-partikel pada lapisan di bawahnya.
Trisna Utami Kelompok Keilmuan Fisika Nuklir dan Biofisika Institut Teknologi Bandung [email protected]
Pada eksperimen ini, jika kita melihat secara sederhana data yang dihasilkan, diperoleh mayoritas grafik waktu vs frekuensi menghasilkan pola yang dapat didekati oleh suatu fungsi (logaritmik), dimana terlihat terdapat hubungan antara laju penyusunan partikel dengan jumlah partikel, frekuensi dan amplitudo vibrasi.
Fakhrul Rozi Ashadi Kelompok Keilmuan Fisika Nuklir dan Biofisika Institut Teknologi Bandung [email protected]
Kesimpulan dan Saran Di bawah pengaruh gravitasi dan vibrasi vertikal, teramati suatu sistem granular yang terdiri dari partikel-partikel berbentuk cakram lingkaran mengalami fenomena penyusunan sempurna dan dalam kebanyakan kasus yang diamati menunjukkan fenomena jamming dimana medium teramati mengalami peningkatan rapat massa atau dengan kata lain memadat.
Siti Nurul Khotimah Kelompok Keilmuan Fisika Nuklir dan Biofisika Institut Teknologi Bandung [email protected]
Sparisoma Viridi Kelompok Keilmuan Fisika Nuklir dan Bifisika Institut Teknologi Bandung [email protected]
Tentu saja hasil di atas adalah suatu idealisasi dari ekperimen. Pada kenyataannya, kita juga mendapatkan kasus-kasus dimana partikelpartikel penyusun medium granular kita tersusun berkelompok seperti gumpalan-gumpalan namun teramati bahwa setiap gumpalan tetap muncul
ISBN 978-602-19655-4-2
279
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Uji Sifat Optik Pada Film Tipis Ba0,55Sr0,45TiO3 Umar*, Faanzir, Abd. Wahidin Nuayi, Ridwan Siskandar, Heriyanto Syafutra, Husin Alatas dan Irzaman* Abstrak Telah dilakukan penumbuhan film tipis Ba0,55 Sr0.45Tio3 (BST)1 M dengan waktu penahanan annealing selama 15 jam pada suhu 750 oC dan 775oC diatas subtract Si (100) tipe p dengan menggunakan metode chemical solution decomposition (CSD) yang diikuti proses spin coating pada kecepatan 3000 rpm selama 30 detik. Uji sifat optik berupa analisis absorbansi dan transmitansi, menunjukkan bahwa peningkatan suhu annealing dapat meningkatkan sifat absorbansi dan energi gap dari BST. Energi gap yang diperoleh dengan menggunakan metode tauc plot, sebesar 3,05 eV untuk suhu annealing 750 oC dan 3,225 eV untuk suhu annealing 775oC. Katakunci: sifat optik, film tipis, BaxSrx-1Ti03, absorbansi, energy gap, CSD Aplikasi bahan ferroelectric untuk peralatan optoelektronika seperti sel surya, fotoreseptor, sensor warna memerlukan informasi tentang karakteristik optik dari material tersebut, seperti sifat absorbansi dan sifat transmittansi [2]. Pada makalah ini, disampaikan hasil penelitian tentang pembuatan lapisan film tipis Ba0,55Sr0,45TiO3 (BST) dengan menggunakan metode chemical solution decomposite (CSD) yang diikuti dengan proses spin coating pada kecepatan 3000 rpm dan proses anealling pada suhu 750oC dan 775oC selama 15 jam diatas subtrat silicon (100) type p. Film tipis yang didapatkan dikarakterisasi sifat optiknya meliputi pengukuran nilai asorbansi dan transmitansi film BST.
Pendahuluan Lapisan film tipis ferroelectric telah digunakan untuk berbagai macam aplikasi pada bidang elektronik dan listrik-optik. Diantara bahan ferroelectric tersebut, barium stronsium titanate (BST) adalah merupakan bahan ferroelectric yang sangat menarik karena memiliki rugi optik yang rendah, konstanta dielektrik dan kapasitas penyimpanan muatan yang tinggi [1,6,10], sehingga dapat digunakan sebagai ferroelectric random access (FRAM). Selain itu sifat hysteresis dan konstanta dielektrik yang tiggi juga dapat diterapkan pada sel memori dynamic random acces memory (DRAM) dengan kapasitas penyimpanan melampaui 1 Gbit [1,2,3,6,10]. Sifat piezoelectric dan piroelectric memungkinkan BST digunakan untuk aplikasi sensor[5], sedangkan sifat elektro-optiknya dapat diterapkan pada switch termal infra merah [1,6]. Kelebihan-kelebihan BST tersebut menyebabkan BST menjadi pusat penelitian untuk dikembangkan menjadi devais generasi baru [6,7,9].
Metodologi Penelitian 1. Alat dan bahan Alat yang digunakan pada penelitian ini berupa neraca analitik model Sartonius BL6100, reaktor spin coater, Spektroskopi UV-VIS-NIR OceanOptics. Furnace merek Vulcan TM-3000, dan Ultrasonik model Branson 2510. Sedangkan bahan yang digunakan berupa bubuk barium asetat [Ba(CH3COO)2, 99%], stronsium asetat [Sr(CH3COO)2, 99%], titanium isopropoksida [Ti(C12O4H28), 97.999%], 2-metoksietanol [H3COOCH2CH2OH, 99%], etanol 96%, Substrat Si tipe-p (100), aquades atau di water (deionisasi water), HF 5%.
Pembuatan BST dapat dilakukan dengan berbagai teknik, diantaranya dengan Chemical Solution Deposition (CSD), Pulsed Laser Deposition (PLD), sputtering, dan Metallo-Organic Chemical Vapor Deposition (MOCVD) [2,6,8]. Chemical solution deposition telah dikenal sebagai suatu metode deposisi film semikonduktor sejak tahun 1869. Metode ini merupakan cara pembuatan film tipis dengan mendeposisikan larutan kimia di atas subtrat dan kemudian dipreparasi dengan menggunakan spin coating pada kecepatan tertentu. Kelebihan dari metode ini adalah lebih murah, sederhana, suhu rendah dan proses yang cepat [2,8]. Masalah utama pada metode ini adalah kestabilan larutan, dimana terkadang terjadi endapan selama penyimpanan.
ISBN 978-602-19655-4-2
2. Persiapan film tipis Pada penelitian ini digunakan substrat Silikon (Si) tipe p (100) yang dipotong dengan menggunakan pemotong kaca dengan ukuran 1 cm2. Substrat tersebut kemudian dicuci dengan menggunakan campuan asam florida (HF) aquadestilasi selama 3 detik dan kemudian dicuci lagi dengan menggunakan aquadestilasi murni
280
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
hv=energi foton (eV) n=menyatakan transisi electron pada semikonduktor bernilai ½ untuk transisi langsung dan 2 untuk transisi langsung.
selama 30 detik. Substrat Si tersebut ditimbang untuk mendapatkan berat substrat silikon. 3. Pembuatan Larutan BaxSr1-xTiO3 Pembuatan larutan BST yang ditumbuhkan pada permukaan subtrat Si dilakukan dengan menggunakan metode Chemical Solution Decomposition (CSD), yaitu dengan mencampurkan Barium Acetate ,Ba(CH3COO)2, Stronsium Acetate Sr(CH3COOH)2 dan Titanium Isopropoxide Ti(C3H7O)4 dengan menggunakan 2metilethanol C3H8O2 sebagai pelarut. Fraksi molar Ba adalah 0,55, dan Sr adalah 0,45. Larutan yang dibuat selanjutnya melalui proses sonikasi selama 90 menit untuk mendapatkan campuran BST yang homogen.
Energi gap diperoleh dengan membuat plotting hubungan antara (αhv)1/n terhadap hv. Ekstrapolasi dilakukan pada kurva yang meningkat tajam untuk mendapatkan nilai Eg yang sesuai. Metode ini dikenal dengan metode Tauch [10]. Jika gelombang cahaya mengenai suatu material, maka intnsitas gelombang cahaya tersebut akan diredam. Amplitude gelombang akan berkurang secara eksponensial. Salah satu parameter untuk mengetahui efek peredaman tersebut adalah konstanta redaman. Besar konstanta redaman dihitung menggunakan persamaan [12]:
4. Prosedur Penumbuhan Film Tipis.
(2)
k ( ) /(4 )
Campuran BST selanjutnya diteteskan pada subtrak silikon dan diputar dengan menggunakan spin coating selama 30 detik dengan kecepatan 3000 rpm. Proses pelapisan BST pada substrat Si dilakukan 3 kali dengan waktu jeda selama 30 detik. Setelah semua sampel telah dilapisi dengan BST, lapisan tipis film selanjutnya ditimbang
Selain nilai Absorbansi dan Trasmitansi, hasil pengukuran dengan menggunakan spectrometer juga mendapatkan nilai refrektansi. Nilai refrektansi digunakan untuk menghitung indeks bias berdasarkan persamanan [13];
5. Proses Annealling.
Hasil Dan Pembahasan
Proses annealing dilakukan dengan menggunakan furnance model vulcan TM-300 yang bertujuan untuk mendifusikan larutan BST pada substrat. Proses annealing pada suhu yang berbeda akan menghasilkan karakterisasi film BST yang berbeda dalam hal struktur kristal, ketebalan dan ukuran butir. Substrat Si tipe p yang telah ditumbuhi lapisan BST diannelling pada suhu 725oC dan 775 oC, selama 15 jam dengan kenaikan temperatur 1,67 oC/menit.
1. Sifat Absorbsi dan Transmitansi
n 1
0.9
(3)
suhu 750 suhu 775
0.85
Absorbansi(%)
0.8
Pengujian absorbansi dilakukan untuk melihat spektrum serapan film tipis BST. Sumber cahaya yang digunakan adalah sumber cahaya tampak, sedangkan alat yang digunakan untuk dalam karakterisasi ini adalah spektroskopi optik VIS-NIR model ocean optics DT-mini-2. Spektroskopi optik yang digunakan dapat mendeteksi sifat absorbansi, transmitansi dan reflektansi film tipis BST. Data yang diperoleh dari hasil pengukuran ini selanjutnya diolah untuk mendapatkan karakteristik absorbansi dan reflektansi dari BST. Nilai koefisien absorbansi merupakan fungsi dari panjang gelombang dan fungsi energi foton yang dituliskan dalam bentuk persamaan [4,8]:
0.75 0.7 0.65 0.6 0.55 0.5 400
500
600 700 800 Panjang Gelombang(nm)
900
Gambar 1. Karakteristik absorbansi film tipis barium stronsium titanat (BST).
(1)
dengan:
ISBN 978-602-19655-4-2
R
Uji absorbansi dan transmitansi dilakukan untuk melihat spektrum serapan BST, yang selanjutnya dijadikan dasar untuk memilih sumber cahaya yang akan digunakan ketika film BST dijadikan sensor, terutama sensor cahaya.
6. Karakterisasi Optik Film Tipis BST
(h Eg ) n
R / 1
281
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia 135
38
130
suhu 750 suhu 775
ahv(0.5) (eV cm-1)0,5
Transmitansi (%)
36 34 32 30
125 120 115 110
28
105
26
100
24 400
500
600 700 800 Panjang Gelombang(nm)
900
2.6
2.8
3 Eg (eV)
3.2
3.4
Gambar 3. Energi gap film tipis barium stronsium titanat (BST) pada suhu annealing 750oC
Gambar 2. Karakteristik transmitansi film tipis barium stronsium titanat (BST).
Gambar 3 menunjukkan bahwa energi gap untuk BST dengan suhu annealing 750oC adalah 3,05 eV, sedangkan untuk suhu annealing 775oC diperoleh energi gap sebesar 3,225 eV, hal ini disebabkan peningkatan nilai absorbansi BST pada suhu 775oC menyebabkan energi gap untuk BST pada suhu 775oC memiliki energi gap yang lebih besar dibandingkan dengan BST pada suhu 750oC
Hasil karakeristik absorbansi pada gambar 1 menunjukkan bahwa sampel dengan suhu annealing 750 oC maksimum menyerap cahaya dengan panjang gelombang 450nm dan minimum menyerap cahaya pada panjang gelombang 750nm. Sampel dengan suhu 775oC mempunyai titik maksimum penyerapan cahaya yang cukup lebar, yaitu 510 nm – 620nm, sedangkan titik minimum absorbsi berada pada panjang gelombang kurang dari 500nm dan lebih besar dari 800nm.
130
ahv(0.5) (eV cm-1)0,5
125
Sifat transmitansi dari BST diperlihatkan pada gambar 2. Sampel dengan suhu 750oC memiliki titik transmitansi maksimum pada panjang gelombang 750 nm dan titik transmitansi minimum terjadi pada 440nm. sedangkan untuk subtrak dengan suhu annealing 775oC memiliki titik transmitansi minimim pada panjang gelombang 550nm dan transmitansi maksimum pada gelombang kurang dari 400nm dan lebih dari 850 nm. Pada titik transmitansi minimum ini menunjukkan bahwa elektron tidak dapat menyerap energi pada panjang gelombang tersebut sehingga energi yang diberikan hanya dilewatkan saja.
120 115 110 105 100
3.225 3
3.1
3.2 3.3 Eg (eV)
3.4
3.5
3.6
Gambar 4. Energi gap film tipis barium stronsium titanat (BST) pada suhu annealing 775oC 3. Konstanta peredaman (k) 0.03
Koefisien Peredaman (k)
Peningkatan suhu annealing menyebabkan semakin bertambah besarnya grand sized dan strain mikro film BST yang ditumbuhkan [11]. Hal ini menyebabkan kemampuan absobsi cahaya oleh BST dengan suhu annealing juga meningkat seperti yang diperlihatkan pada gambar 1. 2. Energi gap (Eg) Gambar 3 dan 4 menunjukkan hubungan (αhv)0.5 sebagai fungsi hv. Nilai Eg diperoleh dengan melakukan ekstrapolasi pada masingmasing grafik tersebut.
ISBN 978-602-19655-4-2
3.05
0.025
suhu 750 suhu 775
0.02 0.015 0.01 0.005 400
500
600 700 800 Panjang Gelombang(nm)
900
Gambar 5. Konstanta peredaman(k) film tipis barium stronsium titanat (BST) pada suhu annealing 775oC.
282
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
[3] Bud Noren, Thin Film Barium Stronsium Titanate (BST) For New Class Of Tunable RF Components, Microwave Journal, 2004, Horizon House Publication. [4] Abd. Wahidin Nuayi, Peningkatan Absorbsi Foton Pada Film Tipis Semikonduktor BaxSr1xTiO3 Dengan Menggunakan Kristal Fotonik, Thesis, Departemen Fisika, Fakultas Matematikan Dan Ilmu Pengetahuan Alam IPB, 2013. [5] A. Ardian et al, Penerapan Film Tipis Ba0,6Sr0,4TiO3 (BST) yang Didadah Ferium Oksida Sebagai Sensor Suhu Berbantukan Mikrikontroler, Jurnal Berkala Fisika Vol 13 No. 2 (C53-C64), 2010. [6] Ayub Imanuel A.S, Pembuatan Dan Karakterisasi Film Ba0,4Sr0,6TiO3 dibandingkan dengan Film Ba0,5Sr0,5TiO3, skripsi, Departemen Fisika, Fakultas Matematikan Dan Ilmu Pengetahuan Alam IPB, 2012. [7] M. Enhessari et al, Synthesis And Characterization Of Barium Stronsium Titanate (BST) micro/nanostructures Prepared By Improved Methods, International Journal Of Nano Dimension, 2011, (85-103). [8] S.Bobby Singh et al, Optical And Structural Properties Of Nano-Sized Barium Stronsium Titanate (Ba0,6Sr0,4TiO3) Thin Film, Modern Physics Letters, Vol. 22 No.9, 2008, (693-70). [9] Thomas Remmel et al, Characterization Of Barium Strontium Titanate Using XRD, JCPDS, 1999. [10] M.Romzie, Studi Konduktivitas Listrik, Kurva I-V dan Celah Energi Fotodioda Berbasis Film Tipis Ba0,75Sr0,25TiO3 (BST) yang Didadah Galium (BSGT) Menggunakan Metode Chemical Solution Deposition (CSD), Skripsi, Departemen Fisika Fakultas Matematikan Dan Ilmu Pengetahuan Alam IPB, 2008. [11] Irzaman et al, Microstrain, particle size and lattice constant of CaCO3 ceramic by Rietveld Analysis. International Publication of The Malaysia Nuclear Society (MNS), page 43-46 (2007). [12] Akhiruddin Maddu, Pengaruh Ketebalan Terhadap Sifat Optik Lapisan Semikonduktor CuO2 yang dideposisikan dengan Chemical Bath Dposition.
Dari gambar 5, terlihat bahwa konstanta peredaman dari BST dengan suhu annealing 775oC lebih tinggi dibandingkan dengan BST dengan suhu annealing 750oC. Hal ini disebabkan bahwa nilai absorbansi dari BST 775 oC lebih besar karena pengaruh bertambahnya grand sized dan strain mikro BST ketika suhu annealingnya ditingkatkan. 4. Indeks bias Gambar 5 menunjukkan hubungan antara indeks bias sampel sebagai fungsi dari panjang gelombang. Dari gambar tersebut terlihat bahwa indeks bias sampel dengan suhu annealing 775oC lebih kecil dari indeks bias sampel dengan suhu annealing 750oC. 5 suhu 750 suhu 775
ahv(0.5)
4.5
4
3.5
3 400
500
600 700 Eg(eV)
800
900
Gambar 5. Indeks bias film tipis barium stronsium titanat (BST) pada suhu annealing 750oC dan 775oC. Kesimpulan Film tipis Ba0,55Sr0,45TiO3 (BST) yang ditumbuhkan diatas subtrak Si tipe p memiliki spektrum absorbansi cahaya pada gelombang yang lebar sehingga memungkinkan untuk diaplikasikan sebagai sensor cahaya. Peningkatan suhu annealing meningkatkan sifat absorbansi dan energi gap serta menurunkan indeks bias dari BST. Ucapan terima kasih Dirjen Dikti Kemendikbud atas dana hibah Pekerti Unkhair-IPB. Referensi [1] Irzaman, Studi Fotodiode Film Tipis Semikonduktor Ba0,6Sr0,4TiO3 Di Dadah Tantalum, Jurnal Sains Material Indonesia 2008 vol 10, No.1 (18-22). [2] Ananto Yudi H, Sifat Optik Film Tipis Ba0,6Sr0,4TiO3 Doping Fe2O3, Skripsi, Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam IPB, 2008.
ISBN 978-602-19655-4-2
283
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Heriyanto Syafutra Departemen Fisika FMIPA Institut Pertanian Bogor
Umar* Teknik Elektro Universitas Khairun Kampus II, Gambesi- Kota Ternate [email protected]
Husin Alatas Departemen Fisika FMIPA Institut Pertanian Bogor
Faanzir Teknik Elektro Universitas Khairun Kampus II, Gambesi- Kota Ternate
Irzaman* Departemen Fisika FMIPA – IPB email:[email protected], [email protected]
Abdul Wahidin Nuayi Mahasiswa S2 Biofisika Departemen Fisika FMIPA Institut Pertanian Bogor.
*Corresponding author
Ridwan Siskandar Mahasiswa S2 Biofisika Departemen Fisika FMIPA Institut Pertanian Bogor.
ISBN 978-602-19655-4-2
284
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Profil Kecerdasan Majemuk Siswa Setelah Diterapkan Pembelajaran Berbasis Kecerdasan Majemuk dalam Konsep Tata Surya Utami Widyaiswari*, Winny Liliawati, dan Taufik Ramlan R. Abstrak Penelitian dilakukan untuk memfasilitasi siswa agar dapat mempelajari konsep Tata Surya melalui berbagai cara dan dengan memperhatikan serta memanfaatkan berbagai kecerdasan yang dapat dikembangkan, oleh karena itu diterapkan pembelajaran berbasis kecerdasan majemuk. Penelitian dilakukan di salah satu SMP di Bandung pada kelas IX. Dalam penelitian ini, data diperoleh dari hasil penilaian diri siswa berupa angket kecerdasan majemuk sebelum dan sesudah penerapan pembelajaran. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebelum diterapkan pembelajaran berbasis kecerdasan majemuk, setiap siswa dalam satu kelas memiliki kecerdasan dominan yang berbeda-beda. Kecerdasan kinestetik memiliki persentase tertinggi, sedangkan kecerdasan verbal menunjukkan persentase terendah. Setelah diterapkan pembelajaran berbasis kecerdasan majemuk, ternyata siswa memiliki kecenderungan peningkatan kecerdasan interpersonal. Hal ini ditunjukkan oleh tingginya persentase kecerdasan interpersonal dibandingkan kecerdasan lainnya. Hasil tersebut menunjukkan bahwa kecerdasan majemuk siswa dapat dikembangkan melalui penerapan pembelajaran berbasis kecerdasan majemuk. Kata-kata kunci: kecerdasan majemuk, tata surya, pembelajaran yang mereka miliki. Oleh karena itu, diperlukan pembelajaran yang melibatkan siswa secara aktif agar siswa dapat mengembangkan kemampuannya dalam memahami materi tersebut melalui berbagai cara dan memanfaatkan berbagai kecerdasan. Maka perlu dilakukan penelitian yang menerapkan pembelajaran berbasis kecerdasan majemuk dalam materi Tata Surya. Untuk melihat bagaimana pemahaman siswa dan melihat kecenderungan kecerdasan majemuk yang mereka miliki.
Pendahuluan Kecerdasan majemuk adalah sebuah perubahan cara pandang terhadap definisi kecerdasan yang dikemukakan oleh Howard Gardner pada tahun 1983. Kecerdasan majemuk mulai digunakan sebagai salah satu pendekatan atau metode dalam pembelajaran dan penilaian seperti penelitian terdahulu yang dilakukan Jinchen Xie dan Ruilin Lin [1]. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa pembelajaran berbasis kecerdasan majemuk dapat meningkatkan efektivitas pembelajaran. Hasil lainya dari penelitian tersebut menyatakan bahwa siswa dalam suatu kelompok memiliki kecerdasan dominan yang berbeda-beda dan guru perlu memfasilitasi mereka untuk mengembangkan pengetahuannya dengan memaksimalkan kecerdasan tersebut dan didukung dengan kecerdasan lainnya. Perbedaan kecerdasan dominan setiap individu juga dikemukakan oleh Howard Gardner (1993), menurutnya, setiap individu memiliki tingkatan yang berbeda-beda dalam tiap kecerdasan, individu memiliki perbedaan tingkatan kecerdasan yang merupakan kombinasi dari beberapa jenis kecerdasan.
Teori Kecerdasan menurut Howard Gardner adalah bahasa-bahasa yang dibicarakan oleh semua orang dan sebagian dipengaruhi oleh kebudayaan dimana individu itu berada (Santika, 2008) [2]. Delapan jenis kecerdasan menurut Gardner (dalam Armstrong, 2009), adalah sebagai berikut: Kecerdasan Bahasa (Linguistic Intelligence); Kecerdasan Logika-Matematika (LogicalMathematical Intelligence); Kecerdasan VisualSpasial (Visual-Spatial Intelligence); Kecerdasan Kinestetik (Bodily-Kinesthetic Intelligence); Kecerdasan Musikal (Musical Intelligence); Kecerdasan Interpersonal (Interpersonal Intelligence); Kecerdasan Intrapersonal (Intrapersonal Intelligence); dan Kecerdasan Naturalis (Naturalist Intelligence) [3].
Tata surya sebagai salah satu bagian dari sains dalam kurikulum Sekolah Menengah Pertama (SMP) merupakan salah satu materi IPBA. Berdasarkan hasil wawancara saat studi pendahuluan, materi Tata Surya disampaikan oleh guru dan murid hanya menerima secara pasif, dan bahkan terkadang siswa hanya ditugaskan untuk membaca dan membuat rangkuman mengenai Tata Surya. Padahal, untuk memahami Tata Surya, siswa dapat memanfaatkan berbagai kecerdasan
ISBN 978-602-19655-4-2
Tata surya diambil sebagai materi yang dibelajarkan dalam penelitian kali ini karena banyaknya peristiwa yang berkaitan dengan tata surya belakangan ini. Salah satu yang terbaru adalah peristiwa Supermoon yang terjadi pada tanggal 23 Juni 2013 lalu. Untuk menyadari
285
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
peristiwa tersebut diperlukan kecerdasan naturalis. Kecerdasan ini membantu siswa peka terhadap peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan tata surya. Kecerdasan lainnya pun tak kalah pentingnya. Seperti pentingnya kecerdasan visualspasial untuk membayangkan posisi benda langit saat terjadi gerhana, pentingnya kecerdasan logika-matematika untuk menganalisis alasan Pluto bukan lagi planet dalam tata surya, dan lain sebagainya. Ini menunjukkan bahwa banyak kecerdasan yang bisa dikembangkan dalam mempelajari materi tata surya. Dengan menggali kecerdasan majemuk siswa, diharapkan kecerdasan siswa di tiap jenis kecerdasan dapat dikembangkan, seperti yang dikemukakan oleh Armstrong, Most people can develop each intelligence to an adequate level of competency [4].
Hasil dan diskusi Berdasarkan identifikasi kecerdasan majemuk siswa, diperoleh data kecerdasan dominan tiap siswa. Data tersebut kemudian direkap dan dipersentasekan dalam tabel berikut. Tabel 1. Persentase Jumlah Siswa yang Dominan untuk Tiap Kecerdasan Berdasarkan Identifikasi Kecerdasan Majemuk.
Persentase
2
6%
3
9%
3
9%
8
24%
Musikal
5
15%
Interpersonal
3
9%
Intrapersonal
3
9%
Naturalis
7
21%
Kecerdasan Verballinguistik Logika Matematika Visual Spasial Kinestetik
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Penelitian dilakukan dengan menerapkan pembelajaran berbasis kecerdasan majemuk dalam materi tata surya di salah satu SMP di Bandung. Langkah pembelajaran yang dilakukan disesuaikan dengan Standar Proses dalam Permendiknas No. 41 Tahun 2007 dengan menggunakan metode cooperative learning, dimana setiap siswa bekerja dalam kelompok. Pembelajaran berkelompok dilakukan guna menciptakan pembelajaran yang interaktif sesuai dengan amanat UU No. 20 Tahun 2003 dan Peraturan Pemerintah No. 19 Bab IV Tantang Standar Proses. Sampel yang terlibat dalam penelitian ini sebanyak 23 siswa yang mengikuti secara keseluruhan rangkaian penelitian dan pembelajaran. Mula-mula dilakukan identifikasi kecerdasan majemuk yang dimiliki siswa melalui pengisian angket identifikasi kecerdasan majemuk. Angket yang digunakan untuk identifikasi kecerdasan majemuk diadaptasi dari daftar cek identifikasi kecerdasan majemuk yang dikemukakan Armstrong [5]. Setelah itu, diterapkan pembelajaran berbasis kecerdasan majemuk selama tiga pertemuan yang setiap pertemuannya memanfaatkan berbagai cara belajar yang memanfaatkan berbagai kecerdasan yang dimiliki siswa. Setelah selesai pembelajaran, siswa melakukan penilaian diri kembali melalui pengisian angket aktivitas kecerdasan majemuk yang bertujuan untuk melihat kecerdasan mana saja yang mampu ditingkatkan siswa. Angket aktivitas kecerdasan majemuk yang digunakan berbeda dengan angket yang digunakan saat identifikasi. Angket aktivitas kecerdasan majemuk berisi pernyataan yang berkaitan dengan kegiatan selama pembelajaran. Hasil penelitian diolah secara kualitatif dan disajikan dalam bentuk tabel dan diagram.
ISBN 978-602-19655-4-2
Jumlah Siswa yang Dominan
Tabel di atas menunjukkan jumlah siswa yang dominan untuk masing-masing jenis kecerdasan. Satu siswa dapat memiliki dua atau lebih kombinasi kecerdasan majemuk yang dominan. Berdasarkan tabel di atas, kecerdasan kinestetik merupakan kecerdasan dominan yang dimiliki paling banyak siswa, namun tidak sampai setengah dari keseluruhan jumlah siswa sampel. Dua kecerdasan lainnya yang banyak menjadi kecerdasan dominan siswa adalah kecerdasan naturalis dan kecerdasan musikal. Sedangkan jumlah siswa yang dominan pada kecerdasan verbal-linguisitik paling sedikit jika dibandingkan dengan kecerdasan lainnya. Tabel tersebut merupakan hasil identifikasi awal kecerdasan majemuk sebelum penerapan pembelajaran berbasis kecerdasan majemuk. Sedangkan hasil identifikasi aktivitas kecerdasan majemuk siswa melalui angket aktivitas kecerdasan majemuk setelah pembelajaran ditunjukkan pada tabel 2.
286
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Tabel 2. Persentase Jumlah Siswa yang Dominan untuk Tiap Kecerdasan Berdasarkan Hasil Aktivitas Kecerdasan Majemuk. Jumlah Siswa yang Dominan
Persentase
1
4%
1
4%
1
4%
0
0%
Musikal
1
4%
Interpersonal
19
73%
Intrapersonal
0
0%
Naturalis
3
12%
Kecerdasan Verballinguistik Logika Matematika Visual Spasial Kinestetik
Gambar 1. Diagram Persentase Ketercapaian Aktivitas Kecerdasan Majemuk. Gambar di atas menunjukkan bahwa ketercapaian aktivitas tertinggi diperoleh oleh kecerdasan interpersonal yaitu sebesar 91%. Artinya, siswa banyak menggunakan kecerdasan interpersonalnya selama pembelajaran. Sedangkan untuk kecerdasan lainnya rata-rata ketercapaiannya sebesar 52%. Dari Gambar 1 juga terlihat bahwa untuk kecerdasan selain kecerdasan interpersonal, tidak ada perbedaan yang jauh antar kecerdasan yang satu dengan yang lain. Gambar tersebut menunjukkan bahwa pembelajaran mampu mengembangkan setiap kecerdasan siswa meskipun masih ada kecerdasan yang mendominasi.
Tabel di atas menunjukkan persentase siswa yang dominan untuk tiap kecerdasan setelah dilakukan pembelajaran berbasis kecerdasan majemuk. Berdasarkan tabel di atas, diketahui bahwa mayoritas siswa memiliki kecerdasan dominan interpersonal. Tidak ada siswa yang dominan pada kecerdasan kinestetik dan kecerdasan intrapersonal. Hal ini tidak berarti bahwa siswa tidak melakukan aktivitas kecerdasan kinestetik dan kecerdasan intrapersonal, hanya saja tidak ada siswa yang paling banyak melakukan aktivitas kecerdasan tersebut selama pembelajaran. Ini berarti, dalam pembelajaran siswa banyak menggunakan kecerdasan interpersonal mereka. Hal ini wajar terjadi karena selama proses pembelajaran siswa selalu bekerja bersama kelompok, sehingga siswa harus terus membangun kemampuan mereka dalam berinteraksi dengan orang lain yang berkaitan dengan kecerdasan interpersonal.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa setelah dilaksanakan pembelajaran, kecerdasan naturalis, kecerdasan visual-spasial, kecerdasan logika-matematika, dan kecerdasan verballinguistik belum berkembang pesat, padahal kecerdasan tersebut yang banyak bersinggungan dengan materi tata surya. Kurang berkembangnya kecerdasan naturalis disebabkan kurangnya kesadaran siswa dalam mengamati gejala alam yang terjadi di sekitarnya, kurangnya waktu untuk mengajak dan menyadarkan siswa agar gemar mengamati fenomena alam yang berkaitan dengan tata surya. Untuk menanggulangi hal tersebut, perlu diberikan kesadaran dan pembiasaan kepada siswa untuk lebih peka terhadap lingkungannya mulai dari tingkat sekolah dasar.
Hasil tersebut menunjukkan bahwa siswa yang dominan di salah satu kecerdasan tidak berarti lemah dan tidak dapat mengembangkan kecerdasan lainnya. Masing-masing kecerdasan dapat dilatihkan dan dikembangkan oleh masingmasing individu. Seperti yang telah dikatakan sebelumnya, persentase yang ditunjukkan pada Tabel 2 tersebut tidak mewakili ketercapaian aktivitas kecerdasan majemuk siswa. Ketercapaian aktivitas kecerdasan majemuk siswa diperoleh dari jawaban setuju siswa terhadap pernyataan untuk tiap kecerdasan. Jumlah siswa yang menjawab ‘ya’ kemudian dipersentasekan dan digambarkan pada Gambar 1.
ISBN 978-602-19655-4-2
Selain itu, kurangnya waktu dan alat untuk melaksanakan pengamatan terhadap fenomena astronomi secara langsung menjadi kendala dalam mengembangkan dan melatih kecerdasan naturalis siswa. Dibutuhkan waktu tambahan di luar jam pelajaran untuk melaksanakan pengamatan terhadap benda langit atau fenomena astronomi lainnya. Kecerdasan visual-spasial tidak berkembang pesat seperti kecerdasan interpersonal karena siswa sulit membayangkan
287
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
lainnya. Kecerdasan siswa dapat dikembangkan dengan menerapkan pembelajaran yang mengakomodasi beberapa jenis kecerdasan. Untuk memfokuskan pembelajaran, dapat mengkhususkan jenis kecerdasan yang ingin dikembangkan.
sesuatu yang bentuknya tiga dimensi seperti kedudukan bumi, bulan, matahari, dan planetplenat lainnya yang mengelilingi matahari sekaligus berputar pada porosnya. Untuk menanggulangi hal ini siswa perlu dilatih kemampuan perspektifnya. Kemampuan ini dapat dikembangkan dalam mata pelajaran lainnya. Kecerdasan logika-matematika ketercapaiannya hanya sebatas rata-rata karena kemampuan siswa dalam memberikan argumen masih kurang. Untuk menanggulanginya, siswa perlu dibiasakan memberikan argumen baik secara lisan maupun tulisan yang berkaitan dengan kecerdasan verballinguistik siswa. Selain itu, kemampuan siswa dalam berpikir kritis perlu ditingkatkan karena berpikir kritis berkaitan dengan logika siswa dalam menganalisis argumen dan mengambil keputusan mana yang benar dan mana yang harus dilakukan [6]. Armstrong juga mengaitkan berpikir kritis dengan kecerdasan logika matematika, dalam bukunya ia menuliskan bahwa berpikir kritis merupakan salah satu contoh aktivitas pembelajaran logika-matematika [7]. Untuk melihat keterkaitan keduanya perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai keterkaitan antara kecerdasan logika-matematika dengan kemampuan berpikir kritis.
Ucapan terima kasih Penulis mengucapkan terima kasih kepada pembimbing yang telah membimbing dan membantu penelitian dan penulisan karya ini. Penulis juga berterima kasih kepada pihak sekolah dan siswa yang menjadi sampel yang telah mendukung terlaksananya penelitian ini, dan tak lupa pula kepada keluarga dan seluruh pihak yang terlibat dalam penyelesaian penyusunan karya ilmiah ini. Referensi [1] Jingchen Xie dan Ruilin Lin, “Research on Multiple Intelligences Teaching and Assessment”. Asian Journal of Management and Humanity Sciences 4, (2-3), 106-124 (2009), URL: http://www.asia.edu.tw/ajmhs/vol_4_2and3/3. pdf [diakses 12 September 2012] [2] Ninong Santika, “Mengajarkan IPA Berbasis Kecerdasan Majemuk”, Penerbit Tinta Emas Publishing, Bandung, 2008. [3] Thomas Armstrong, “Multiple Intellgences in the Classroom”, [PDF], 2009, p. 6-7, URL: http://www.slideshare.net/mikrop_2/multipleintelligences-in-the-classroom-3-ed [diakses 21 Oktober 2012] [4] Thomas Armstrong, “Multiple Intellgences in the Classroom”, [PDF], 2009, p. 15, URL: http://www.slideshare.net/mikrop_2/multipleintelligences-in-the-classroom-3-ed [diakses 21 Oktober 2012] [5] Bassham, Irwin, Nardone, Wallace, “Critical Thinking; A Student’s Introduction”, Penerbit McGraw-Hill, Fourth Edition, 2010, p. 22-26 [6] Bassham, Irwin, Nardone, Wallace, “Critical Thinking; A Student’s Introduction”, Penerbit McGraw-Hill, Fourth Edition, 2010, p. 1 [7] Thomas Armstrong, “Multiple Intellgences in the Classroom”, [PDF], 2009, p. 58, URL: http://www.slideshare.net/mikrop_2/multipleintelligences-in-the-classroom-3-ed [diakses 21 Oktober 2012]Jaka Sembung, "Kiat-kiat menulis", Antologi penulis pemula, Dian Sastro (editor), Penerbit Aneka, Solo, 1997, p. 150
Kecerdasan kinestetik, kecerdasan musikal, dan kecerdasan intrapersonal persentase ketercapaiannya juga hanya di sekitar persentase rata-rata. Hal ini dapat terjadi karena kecerdasan tersebut hanya digunakan untuk beberapa bagian dalam materi tata surya. Untuk itu perlu dibiasakan menggunakan kecerdasan tersebut agar siswa memiliki lebih banyak pertimbangan dari sudut pandang berbagai kecerdasan ketika akan menyelesaikan permasalahan. Agar profil kecerdasan yang siswa yang berkembang terlihat lebih jelas dan lebih akurat, maka diperlukan penelitian lebih lanjut yang menerapkan penilaian kecerdasan majemuk. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dibahas, dapat disimpulkan bahwa kecerdasan majemuk dapat dilatih dan dikembangkan melalui pembelajaran berbasis kecerdasan majemuk. Dalam penelitian ini kecerdasan yang ketercapainnya paling tinggi adalah kecerdasan interpersonal sebagai dampak dari pembelajaran yang kegiatannya dilaksanakan secara berkelompok. Individu yang cerdas dominan di salah satu kecerdasan tidak selalu cerdas dominan pada kecerdasan yang sama ketika sebuah pembelajaran diterapkan karena setiap jenis kecerdasan dapat dilatihkan dan dikembangkan. Siswa yang cerdas dominan di salah satu kecerdasan tidak berarti tidak bisa mengembangkan dan memaksimalkan kecerdasan
ISBN 978-602-19655-4-2
288
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Utami Widyaiswari* Mahasiswa Jurusan Pendidikan Fisika Universitas Pendidikan Indonesia [email protected] Winny Liliawati, Jurusan Pendidikan Fisika Universitas Pendidikan Indonesia Taufik Ramlan Ramalis Jurusan Pendidikan Fisika Universitas Pendidikan Indonesia
*Corresponding author
ISBN 978-602-19655-4-2
289
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Analisis Coefficient of Performance (COP) pada Pompa Kalor dengan menggunakan Piranti Termolistrik Vivi Nur Huda Lyjamil*, Nofitri, Hadyan Akbar, Sinta Sri Ismawati, Herlin Verina, Mohamad Soleh, Robi Sobirin dan Irzaman Abstrak Mesin pendingin mempunyai peranan penting dalam kehidupan sehari-hari, baik untuk keperluan rumah tangga maupun dunia industri. Pada mesin kalor, kalor mengalir secara alami mengalir dari reservoir panas ke dingin. Namun pada pompa kalor bekerja kebalikan dari mesin kalor, pompa kalor bekerja memompa kalor dari reservoir panas ke reservoir dingin sehingga dibutuhkan input energi. Tujuan dari eksperimen ini adalah menentukan Coefficient of Performance (COP) pompa kalor dengan menggunakan piranti termolistrik. Piranti yang digunakan pada eksperimen ini adalah Thermal Efficiency Aparatus (TD-8564). Metode yang digunakan yaitu dengan menaikkan daya input yang bervariasi, pengambilan data dilakukan sebanyak lima kali pengulangan. Ketika input daya yang diberikan berturut-turut adalah 12.17 Watt, 16.09 Watt, 20.55 Watt, 25.31 Watt, dan COP yang dihasilkan adalah 2.37, 2.42, 2.48, 2.56. Hasil eksperimen menunjukkan bahwa terjadi kenaikan suhu pada reservoir panas terlihat dari nilai resistansi yang menurun sehingga sudah sesuai dengan teori. Namun pada reservoir dingin mengalami kenaikan suhu sehingga tidak sesuai dengan teori, hal itu dikarenakan pada reservoir dingin terjadi interaksi panas dengan lingkungan karena sistem pada reservoir dingin tidak tertutup. Kata kunci : Pompa kalor, COP, piranti termolistrik Pendahuluan
besar perbedaan temperatur, menyebabkan terjadinya kenaikan bilangan performansi [3].
Mesin pendingin atau pompa kalor saat ini mempunyai peranan yang sangat penting bagi kebutuhan rumah tangga maupun industri. Mesin pendingin dapat berfungsi sebagai refrigerator, freezer, chiller yang digunakan untuk kebutuhan Air Condition dalam menunjang proses produksi. Gedung-gedung bertingkat tanpa jendela sangat membutuhkan mesin pendingin untuk menkodisikan udara di dalam gedung.
Pompa kalor adalah suatu alat yang mentransfer panas dari media bertemperatur rendah ke media bertemperatur tinggi. Tujuan dari mesin pendingin adalah untuk menjaga ruang refrigerasi tetap dingin dengan meyerap panas dari ruang tersebut. Pompa kalor adalah sistem tertutup yang dihubungkan satu dengan ainnya dengan sistem pempipaan [4].
Teori Mesin pendingin bekerja berdasarkan prinsip Hukum Termodinamika II yang dinyatakan oleh Clausius, yaitu bahwa tidak ada suatu peralatan yang bekerja dengan siklus yang dapat memindahkan panas dari benda bertemperatur rendah ke benda bertemperatur tinggi dengan sendirinya, selalu diperlukan input energi dari luar. Input energi ini biasanya berupa energi listrik [1]. Efek termoelektrika adalah hubungan antara energi panas dan energi listrik yang terjadi pada titik temu antara dua jenis logam yang berbeda. efek termoelektrik ini kini dikembangkan dalam suatu alat yang disebut elemen Peltier. Elemen peltier atau pendingin termoelektrik adalah alat yang dapat menimbulkan perbedaan suhu antara kedua sisinya jika dialiri arus listrik searah pada kedua kutub materialnya, dalam hal ini semikonduktor [2]. Pada pompa kalor, besarnya bilangan performansi sebanding dengan besarnya perbedaan temperatur kedua reservoir. Semakin
ISBN 978-602-19655-4-2
Gambar 1. Prinsip kerja pompa kalor. Thermal Efficiency Aparatus adalah mesin panas nyata yang dapat digunakan untuk menyelidiki dan mengklarifikasi prinsip-prinsip yang bekerja di mesin panas yang ideal Carnot. Seperti Model Carnot, dapat dioperasikan sebagai mesin panas, mengkonversi panas menjadi kerja, atau dioperasikan secara terbalik sebagai pompa panas/mesin pendingin. Thermal Efficiency Aparatus (TD-8564) dibangun dengan piranti termolistrik yang disebut piranti Peltier. Salah satu
290
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
kalor secara paksa) sehingga air tersebut menjadi lebih dingin. Kalor yang diambil dari air tersebut dilepaskan ke lingkungan oleh pompa, kemudian air yang telah diambil kalornya dikembalikan kedalam bejana sehingga seharusnya air pada bejana menjadi lebih dingin dan pada reservoir panas menjadi semakin panas, sedangkan pada reservoir dingin menjadi semakin dingin.
piranti Peltier ditetapkan pada suhu dingin kostan dengan air es yang dipompa dari luar, dan sisi lainnya ditetapkan pada suhu panas konstan menggunakan resistor pemanas di dalam blok dengan mengalir arus dari luar. Suhu-suhu diukur dengan termistor yang terdapat di dalam blok-blok panas dan dingin [5]. Untuk kerja sebuah pompa kalor diberikan oleh Coefficient of Performance (COP), yaitu jumlah kalor yang dipompa dari reservoir dingin ke reservoir panas dibagi dengan kerja yang diperlukan untuk memompa kalor tersebut [6] yang dapat ditulis dengan СОР = Qe / Win
Tabel 1. Hasil pengukuran ulangan 1
(1)
selain itu, COP maksimum sebuah pompa kalor hanya bergantung pada suhu-suhu reservoir, sehingga dapat ditulis Κmaks = Tc / (Th – Tc)
I (A)
Rh (kΩ)
Rc (kΩ)
Th (oC)
Tc (oC)
COP
6.0
2.05
4.26
141
104
17
2.36
7.0
2.28
2.55
127
104
19
2.41
8.0
2.64
1.94
118
104
21
2.47
9.0
2.87
1.12
106
104
23
2.53
Tabel 2. Hasil pengukuran ulangan 2
(2)
dengan suhu dalam Kelvin. Eksperimen Eksperimen ini bertujuan untuk mencari nilai COP dengan menggunakan piranti termoelektrik. Pengambilan data dilakukan dengan melakukan lima kali pengulangan dengan besar input daya listrik yang bervariasi yaitu 12.17 Watt, 16.09 Watt, 20.55 Watt dan 25.31 Watt serta konsidi awal air pada bejana dengan suhu 15oC dan waktu pemberian daya listrik masing-masing selama 5 menit.
V (V)
I (A)
Rh (kΩ)
Rc (kΩ)
Th (oC)
Tc (oC)
COP
6.0
2.03
4.18
137
104
19
2.41
7.0
2.27
2.56
124
104
20
2.44
8.1
2.54
1.55
111
104
22
2.50
9.0
2.73
1.05
99.2
104
25
2.56
Tabel 3. Hasil Pengukuran ulangan 3
Hasil dan Diskusi
V (V)
I (A)
Rh (kΩ)
Rc (kΩ)
Th (oC)
Tc (oC)
COP
6.0
1.95
3.56
134
104
19
2.41
7.1
2.27
2.41
123
104
20
2.44
8.0
2.47
1.58
111
104
22
2.50
9.1
2.76
1.01
99
104
25
2.60
Tabel 4. Hasil pengukuran ulangan 4
Telah diketahui bahwa panas akan berpindah dari media bertemperatur tinggi ke media bertemperatur rendah dengan spontan. Pernyataan Clausius tidak mengimplikasikan bahwa membuat sebuah alat siklus yang dapat memindahkan panas dari media bertemperatur rendah ke media bertemperatur tinggi adalah tidak mungkin dibuat. Hal tersebut mungkin terjadi asalkan ada efek luar yang dalam kasus tersebut dilakukan/diwakili oleh kompresor yang mendapat energi dari energi listrik misalnya.
V (V)
I (A)
Rh (kΩ)
Rc (kΩ)
Th (oC)
Tc (oC)
COP
6.1
2.06
4.04
141
104
17
2.35
7.0
2.29
2.55
128
104
19
2.41
8.1
2.53
1.54
114
104
21
2.47
9.2
2.79
0.99
101
104
24
2.56
Tabel 5. Hasil pengukuran ulangan 5
Berdasarkan Hukum Termodinamika II yang menjelaskan bahwa tidak ada suatu peralatan yang bekerja dengan siklus yang dapat memindahkan panas dari benda bertemperatur rendah ke benda bertemperatur tinggi dengan sendirinya, selalu diperlukan input energi dari luar. Pada eksperimen kali ini, waktu pemberian daya masing-masing selama 5 menit dengan pengambilan data dilakukan dengan lima kali pengulangan. Pompa kalor bekerja berkebalikan dengan mesin kalor. Air dingin yang diambil dari bejana kemudian diambil panasnya oleh pompa (melepas
ISBN 978-602-19655-4-2
V (V)
291
V (V)
I (A)
Rh (kΩ)
Rc (kΩ)
Th (oC)
Tc (oC)
COP
6.0
2.02
4.36
150
104
19
2.33
7.1
2.32
2.48
133
104
20
2.41
8.1
2.56
1.58
120
104
22
2.47
9.1
2.79
1.06
109
104
25
2.53
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
ditunjukkan dengan nilai hambatan pada termistor yang semakin rendah pada reservoir panas (Gambar 4). Namun pada reservoir dingin juga mengalami kenaikan suhu (Gambar 3), hal ini bertolak belakang dengan teori. Suhu pada reservoir bertambah panas karena air pada bejana berada pada sistem terbuka sehingga terjadi transfer panas antara air dengan lingkungan sehingga suhu air meningkat. Panas yang dilepas air secara paksa oleh pompa kalor lebih kecil dibandingkan dengan kalor yang diterima air dari lingkungan. Gambar 2. Suhu pada reservoir panas.
Gambar 6. Nilai Coefficient of Performance (COP) Nilai COP pada eksperimen mengalami kenaikan karena adanya perubahan suhu pada reservoir panas dan reservoir dingin. Namun nilai COP yang didapatkan kurang akurat karena keterbatasan konversi data dari termistor pada Thermal Efficiency Aparatus (TD-8564). Nilai suhu maksimum untuk konversi hambatan ke suhu adalah 104oC dengan nilai resistansi sebesar 4.91 kOhm, padahal hasil pengukuran menujukkan resestansi dibawah 4.91 kOhm. COP didapatkan dari perbandingan suhu pada reservoir dingin dibagi dengan selisih suhu pada reservoir panas dan reservoir dingin. nilai COP semakin meningkat karena perbedaan suhu antara reservoir dingin dan reservoir panas semakin kecil sehingga nilai COP meningkat. semakin besar perbedaan suhu antara reservoir panas dan reservoir dingin maka kerja masukan yang dibuthkan juga semakin besar dan nilai COP semakin kecil.
Gambar 3. Suhu pada reservoir dingin.
Gambar 4. Resistansi pada reservoir panas.
Kesimpulan COP didapatkan dari perbandingan suhu pada reservoir dingin dibagi dengan selisih suhu pada reservoir panas dan reservoir dingin. Ketika daya input yang diberikan adalah 12.17 Watt, 16.09 Watt, 20.55 Watt, 25.31 Watt, maka COP yang dihasilkan adalah 2.37, 2.42, 2.48 dan 2.56. Kenaikan suhu pada reservoir dingin dikarenakan sistemnya terbuka sehingga terjadi pertukaran panas anrata air dengan lingkungan. Semakin besar perbedaan suhu reservoir panas dan reservoir dingin maka nilai COP semakin kecil dan kerja yang dibutuhkan semakin besar.
Gambar 5. Resistansi pada reservoir dingin. Berdasarkan data yang diperoleh, didapatkan suhu pada reservoir panas bertambah panas,
ISBN 978-602-19655-4-2
292
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Vivi Nur Huda Lyjamil* Departemen Fisika Institut Pertanian Bogor [email protected]
Ucapan Terima Kasih Penelitian ini didanai oleh hibah insentif riset SINAS KMNRT Republik Indonesia dengan nomor kontrak 38/SEK/INSINAS/PPK/I/2013.
Nofitri Departemen Fisika Institut Pertanian Bogor [email protected]
Referensi [1] Ekadewi A. H. dan Agus Lukito, “Analisis Pengaruh Pipa Kapiler Yang Dililitkan Pada Line Section Terhadap Performansi Mesin Pendingin”. Jurnal Teknik Mesin. 4 (2), 94– 98, (2002). [2] R. Umboh, J. O. Wuwung, E. Kendek Allo, B.S. Narasiang, “Perancangan Alat Pendinngin Portable Menggunakan Elemen Peltier”. 1-6, (2005). [3] Halaudin, “Penentuan Bilangan Performan Pompa Kalor Berdasarkan Perbedaan Temperatur”. Jurnal Gradien. I (I). 16-19, (2005). [4] R. Suwarno, “Pengering Suhu Rendah Untuk Menjaga Mutu Bahan Pertanian”. Jurnal Teknologi Dan Industri Pertanian. 16 (2), 168173, (2005). [5] Instruction Manual and Experiment Guide for the PASCO scientific Model TD8564.PASCO. [6] Muhammad Hasan Basri, “Efek Perubahan Laju Aliran Massa Air Pendingin Pada Kondensor Terhadap Kinerja Mesin Refrigerasi Focus 808”. Jurnal Smartek. 7 (3), 197-203, (2009).
Sinta Sri Ismawati Departemen Fisika Institut Pertanian Bogor [email protected] Herlin Verina Departemen Fisika Institut Pertanian Bogor [email protected] Mohamad Soleh Departemen Fisika Institut Pertanian Bogor [email protected] Hadyan Akbar Departemen Fisika Institut Pertanian Bogor [email protected] Irzaman Departemen Fisika Institut Pertanian Bogor [email protected]
*Corresponding author
ISBN 978-602-19655-4-2
293
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Desain Alat Ukur untuk Mengukur Kadar Larutan Porfirin+ Fe berbasis GMR Aisyah Amin1 dan Mitra Djamal2 Abstrak Banyak metode yang digunakan untuk memberikan indikasi tentang kesehatan dalam pengukuran konsentrasi dari suatu biomolekul. Biosensor merupakan perangkat untuk mendeteksi biomolekul akan suatu zat kimia tertentu. Biomolekul yang memiliki bahan magnet dalam kandungannya dapat diukur sifat kemagnetannya dengan menggunakan sensor yang peka terhadap sifat magnet, sedangkan untuk biomolekul yang tidak mengadung bahan magnet dapat dilabeli dengan ion-ion magnet seperti yang dilakukan pada porfirin. Porfirin adalah senyawa aromatik heterosiklik makrosiklik yang tersusun oleh empat cincin pirol dan dihubungkan oleh jembatan metin interpirol. Dalam penelitian ini dibuat desain alat untuk mengukur konsentrasi larutan Porfirin+Fe berbasis GMR dengan parameter konsentrasi larutan dan medan magnet luar. Hasil yang didapat pada pengukuran yaitu semakin besar konsentrasi dan medan magnet luar yang diberikan maka semakin besar nilai tegangan keluarannya. Konsentrasi porfirin dalam tubuh akan mempengaruhi kadar hemoglobin dalam darah, yang berfungsi mengangkut oksigen dari paru-paru keseluruh tubuh. Semakin besar kadar hemoglobin dalam darah semakin baik untuk kesehatan. Pengembangan alat ukur ini dengan parameter-parameter tersebut akan mejadi acuan untuk mengembangkan GMR sebagai sensor magnetik serta prospek GMR sebagai biosensor. Kata-kata kunci: biomolekul, porfirin, hemoglobin, biosensor, GMR, sensor magnetik. akibat dari respon terhadap keberadaan medan magnet dari luar. Fenomena dari efek GMR ini pertama kali dilakukan oleh Baibich, dkk (1988)[2]. Perubahan yang terjadi pada resistansi GMR sebagai akibat keberadaan magnet luar dapat dirumuskan dalam persamaan :
Pendahuluan Giant magneto-resistance (GMR) sangat berpotensi untuk dikembangkan menjadi berbagai devices pendeteksi medan magnet untuk pekermbangan masa mendatang (next generation magnetic field detection devices). Sehingga pengembangan GMR dapat diaplikasikan sebagai sensor magnetik. Banyak penelitian sebelumnya yang menggunakan aplikasi sensor berbasis GMR diantaranya sensor medan mangetik, sensor arus, sensor putaran dan biosensor[1].
R = f (B)
dimana R = resistansi (Ω), B = medan magnet (T). Efek GMR merupakan efek mekanika kuantum yang diamati dalam struktur lapisan tipis yang terdiri dari lapisan-lapisan feromagnetik yang dipisahkan oleh lapisan nonmagnetik. Efek ini berhubungan dengan kenyataan bahwa spin elektron memiliki dua nilai yang berbeda (spin up dan spin down). Ketika spin-spin tersebut melintasi material yang telah termagnetisasi, maka salah satu jenis spin mungkin mengalami hambatan (resistance) yang berbeda daripada jenis spin lainnya. Sifat ini menunjukkan adanya hamburan bergantung spin (spin-dependent scattering). Dalam multilayer magnetik terjadi dua jenis hamburan yaitu hamburan bergantung spin dan hamburan pembalikan spin (spin flip scattering).
Melihat perkembangan yang terjadi secara signifikan pada sensor-sensor tersebut, penulis tertarik untuk mencoba mengembangkan sensor magnetik untuk bisa diaplikasikan pada bidang kesehatan (biosensor). Sesuai dengan perkembangan divais GMR yang menunjukkan potensi yang sangat besar sebagai elemen untuk mendeteksi biomolekul dimana hambatan sensor GMR berubah bila medan magnet dikenakan pada sensor sehingga biomolekul yang dilabeli secara magnetis yang dapat menimbulkan sinyal. Meninjau karakteristik GMR yang bisa diintegrasikan dengan elektronik dan mikrofluida untuk mendeteksi banyak analit yang berbeda pada sebuah chip tunggal. Salah satu contoh penerapan biosensor GMR adalah pendeteksian hemoglobin pada darah dan DNA.
Hamburan bergantung spin ini menyebabkan timbulnya GMR, sedangkan hamburan pembalikan spin merusak timbulnya GMR. Kedua jenis hamburan ini dibedakan berdasarkan perubahan arah perambahan elektron. Perbedaan sifat konduksi mayoritas dan minoritas dari spin elektron dalam logam feromagnetik diamati oleh Mott yang menjelaskan 2 hal[17] yakni kondukvitas listrik dalam logam
Teori Prinsip kerja dari magnetoresistance (MR) merupakan perubahan resistivitas material sebagai
ISBN 978-602-19655-4-2
(1)
294
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
dapat diuraikan dalam hubungan dengan dua saluran konduksi bebas, dimana hubungan pertama dengan elektron spin up dan hubungan yang lainnya dengan elektron spin down sedangkan pada logam feromagnetik laju hamburan dari spin up dan spin down elektronnya berbeda-beda. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kajian fisika dari GMR dilihat berdasarkan pengaruh spin terhadap sifat konduksi dan sifat penerobosannya. Menurut Mott arus listrik yang terjadi sematamata dibawa oleh elektron-elektron dari pita valensi sp dengan massa efektif yang rendah dan mempunyai mobilitas tinggi. Pita valensi d bertugas menyediakan keadaan akhir untuk hamburan elektron-elektron dalam pita sp. Pita d untuk feromagnetik adalah bertukar-pisah (exchange-split), sehingga rapat keadaan electronelektron pada tingkat energi fermi tidak sama untuk spin up ataupun spin down. Peluang hamburan dalam keadaan ini sebanding dengan kerapatannya, sehingga laju hamburan bergantung pada spin, sehingga hamburan akan berbeda untuk kedua sifat konduksi diatas.
Gambar 1. Struktur lapisan tipis GMR, (a). sandwich, (b), spin valve, (c) multilayer[3]. Porfirin adalah suatu senyawa organik yang banyak terdapat di alam. Porfirin juga dikenal sebagai pigmen dalam sel darah merah. Porfirin adalah senyawa aromatik heterosiklik makrosiklik yang tersusun oleh empat cincin pirol dan dihubungkan oleh jembatan metin interpirol[4]. Struktur cincin tetrapirol pada porfirin ditunjukkan pada gambar 10.
Struktur sensor GMR terdiri atas struktur sandwich, spin valve (sandwich pinned) dan multilayer. Stuktur sandwich adalah struktur yang paling dasar dari GMR yang terdiri dari 3 lapisan dengan susunan bahan magnetic yaitu ferromagnetic-non magnetic-ferromagnetic (FMNM-FM). Struktur spin valve merupakan struktur sandwich yang diberi lapisan pengunci (pinning layer), sedangkan untuk struktur multilayer merupakan struktur pengulangan lapisan ferromagnetic-non magnetic-ferromagnetic (FM/NM)n dengan n merupakan indeks pengulangan. Gambar dibawah ini merupakan struktur dari lapisan GMR beserta lapisannya.
Gambar 2. Struktur Porfirin ( C20H14N4). Porfirin mempunyai karakteristik berupa kristal berwarna ungu tua yang dalam kloroform akan memberi larutan tersebut berwarna ungu kemerahan dan menunjukkan fluorensi merah yang kuat pada radiasi ultraviolet. Propirin juga merupakan senyawa berbentuk planar, larut sempurna dalam pelarut organik dan tidak larut air (hal ini dikarenakan sifat hidrofobiknya). Sifat khas porfirin adalah atom nitrogennya mampu mengikat ion logam[5]. Contohnya pada heme pada Hb dan mengikat Fe, sedangkan pada tumbuhan hijau klorofil mengikat Mg. Salah satu jenis porfirin yang paling dikenal dalam ilmu kesehatan adalah heme, pigmen sel darah merah. Heme merupakan kofaktor dari protein hemoglobin.
ISBN 978-602-19655-4-2
295
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
dilakukan untuk melihat seberapa besar pengaruh medan magnet luar pada proses magnetisasi yang terjadi sehingga bisa di deteksi oleh sensor GMR. Hasil pengukuran porfirin+Fe(III) ditunjukkan pada grafik 1,2 dan gambar 4.
Heme merupakan kompleks senyawa protoporfirin IX dengan logam besi yang merupakan gugus prostetik berbagai protein seperti hemoglobin, mioglobin, katalase, peroksidase, sitokrom c dan triptophan pirolase. Kemampuan hemoglobin dan mioglobin mengikat oksigen tergantung pada gugus prostetik ini yang sekaligus memberi warna khas pada kedua hemeprotein tersebut.
Tabel 1. Hasil pengukuran Larutan porfirin dilabeli 2+ dengan (Fe ). Propirin + (Fe 2+) Konsentrasi (M) Vo (Volt) Tanpa Pengenceran 0.00143 1.275 Pengenceran 3 kali 0.000476 1.181 Pengenceran 6 kali 0.000238 0.643 Pengenceran 10 kali 0.000143 0.411 Pengenceran 50 kali 0.0000286 0.342 Pengenceran 100 kali 0.0000143 0.129 Pengenceran 200 kali 0.00000715 0.117 Pengenceran 500 kali 0.00000286 0.053 Pengenceran 1000 kali 0.000000143 0.004
Heme terdiri atas bagian organik dan suatu atom besi. Bagian organik protoporfirin tersusun dari empat cincin pirol. Keempat nya terikat satu sama lain melalui jembatan metenil, membentuk cincin tetrapirol. Empat rantai samping metil, dua rantai samping vinil dan dua rantai samping propionil terikat kecincin tetrapirol tersebut . Atom besi didalam heme mengikat keempat atom nitrogen dipusat cincin protoporfirin. Atom 2+ 3+ besi dapat berbentuk fero (Fe ) atau feri (Fe ) sehingga untuk hemoglobin yang bersangkutan disebut juga sebagai ferohemoglobin dan ferihemoglobin atau methemoglobin[6]. Hanya bila besi dalam bentuk fero, senyawa tersebut dapat mengikat oksigen.
Tabel 2. Hasil pengukuran Larutan porfirin dilabeli 3+ dengan (Fe ). Propirin + (Fe 3+) Konsentrasi (M) Vo (Volt) Tanpa Pengenceran 0.00143 1.279 Pengenceran 3 kali 0.000476 1.188 Pengenceran 6 kali 0.000238 0.651 Pengenceran 10 kali 0.000143 0.441 Pengenceran 50 kali 0.0000286 0.387 Pengenceran 100 kali 0.0000143 0.146 Pengenceran 200 kali 0.00000715 0.121 Pengenceran 500 kali 0.00000286 0.066 Pengenceran 1000 kali 0.000000143 0.0041
Gambar 3. Heme B; porfirin mengikat logam Fe[7]. Pada penelitian ini porfirin diberi label dengan atom besi sehingga ketika diberi magnet luar akan terjadi magnetisasi sehingga bisa dideteksi dengan sensor magnet berbasis GMR.
Gambar 19. Hasil pengukuran larutan porfirin+Fe.
Hasil dan Diskusi
Hasil yang didapat menunjukkan bahwa rentang deteksi GMR sangat besar, terlihat pada larutan propirin+Fe tanpa pengenceran didapat tegangan keluaran sebesar 1,279 V dan untuk pengenceran 1000 kali masih bisa terdeteksi oleh GMR yakni sebesar 0,004 V. Dari hasil ini kita dapat melihat bahwa rentang deteksi dari GMR sangat baik.
Pada porfirin ketika dilabeli dengan atom besi (Fe) maka atom besi tersebut dapat berbentuk fero 2+ 3+ (Fe ) atau feri (Fe ) sehingga untuk hemoglobin yang bersangkutan disebut juga sebagai ferohemoglobin dan ferihemoglobin atau methemoglobin. Larutan porfirin yang tersedia 2+ 3+ untuk diukur juga dilabeli dengan (Fe ) dan (Fe ).
Hasil pengukuran yang didapat menunjukkan bahwa GMR dapat memberikan nilai tegangan keluaran yang berhubungan dengan konsentrasi porfirin+Fe. Semakin besar tegangan keluaran maka semakin banyak konsentrasi porfirin yang
Hasil yang didapat dari pengukuran porfirin+Fe(III) dengan memvariasikan konsentrasi porfirin hingga 1000 kali pengenceran didapat hasil yang cukup signifikan. Medan magnet luar yang diberikan cukup besar yakni 0,833 T. Hal ini
ISBN 978-602-19655-4-2
296
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
mengangkut oksigen dari paru-paru ke seluruh tubuh. Apabila konsentrasi porfirin yang didapat dari pengukuran berbasis GMR bisa diaplikasikan menjadi biosensor yang dapat mengantikan pengukuran kadar hemoglobin secara konvensional.
terdeteksi. Hasil ini akan mempermudah penentuan kadar hemoglobin dalam darah bila dibandingkan dengan penentuan hemoglobin secara konvensional. Kemampuan GMR dalam mendeteksi sifat magnet pada porfirin menjadi acuan untuk pengembangan biosensor dalam mengetahui kadar hemoglobin pada manusia. GMR dapat dikembangkan agar nantinya cara konvensional pengukuran kadar hemoglobin, dengan mengambil sampel darah lalu diuji laboratorium digantikan dengan alat kesehatan yang hanya dengan cara menempelkan alat yang berisi GMR pada tubuh manusia, dapat memberikan hasil pengukuran kadar hemoglobin yang diinginkan.
Referensi [1] M. Djamal, Ramli, R. Wirawan, E. Sanjaya. Sensor Magnetik GMR, Teknologi dan Aplikasi Pengembangannya. Prosiding Pertemuan Ilmiah XXV HFI Jateng dan DIY. 2011. [2] M. Djamal, Ramli. Giant Magnetoresistance. Dalam Kapita Selekta Fisika teoritik Energi Tinggi dan Instrumentasi. ITB Bandung. 2009. [3] M. N. Baibich, et. al, Giant Magnetoresistance of (001) Fe/(001) Cr Magnetic Superlattices, J, Phys. Rev. Lett. 68 pp 2472-2475, 1988. [4] A. Fert, A. Barthelemy and F. Petroff, Spin Transport in Magnetic Multilayers and Tunnel Juction, Elsevier B.V, Amsterdam, 2006. [5] Milgrom R. Lionel. An Introduction to the Chemistry of Porphyrin and Related Compounds. Oxford University Press. 1997. [6] Murray, RK. Porfirin dan pigmen empedu. Dalam: Andry Hartono, penerjemah. Harper’s Biochemistry. 25th ed. Eds. R.K. Murray, D.K. Granner, P.A. Mayes, V.W. Rodwell. McGraw-Hill Companies, New York, 2006: 342 - 9. [7] Mardiani, Helvi. Metabolisme Heme. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. 2010.
Kesimpulan Sensor magnetik berbasis GMR merupakan sensor yang bekerja berdasarkan efek perubahan resistansi yang sangat besar pada bahan logam bila berada dalam medan magnet luar. Sehingga GMR memiliki potensial sebagai pengindera medan magnet yang cukup potensial, karena karakteristik yang memiliki ratio magnetoresistansi yang tinggi, sifat-sifat magnetik dan merupakan elektrik yang baik. Teknologi nano memungkinkan GMR dibuat dalam ukuran sekecil mungkin dengan biaya produksi yang lebih murah. Potensi pengembangan GMR ke depan sebagai biosensor sangat potensial terutama untuk instrument biomedis. Biosensor merupakan perangkat instrumentasi analitik yang menggunakan biomolekul (enzim, antibodi, jaringan, sel dan mikroba) untuk melakukan pengenalan/deteksi/ rekognisi akan suatu zat (bio) kimia tertentu. Hambatan sensor GMR akan berubah jika medan magnet diberikan pada sensor, sehingga biomolekul yang dilabeli secara magnetis akan menghasilkan sinyal. Dibandingkan dengan pendeteksi optik tradisional yang banyak digunakan dalam biomedis, sensor GMR lebih baik karena lebih sensitif, portabel dan memberikan pembacaan elektronik sepenuhnya.
Aisyah Amin, Program Master of Teaching Physics, Institut Teknologi Bandung, Jl. Ganesha 10 Bandung, 40132. [email protected] Mitra Djamal*) KK Fisika Teori Energi Tinggi dan Instrumentasi Institut Teknologi Bandung, Jl. Ganesha 10 Bandung, 40132. E-mail : [email protected]
Sebagai langkah awal untuk melakukan pengembangan sensor GMR pada biomolekul di lakukan magnetisasi larutan porfirin yang telah dilabeli oleh ion Fe2+ dan Fe3+ lalu dideteksi polarisasi medan magnet dalam larutan tersebut. Hasil dari pengukuran didapatkan bahwa semakin besar konsentrasi sebuah larutan maka nilai tegangan keluaran akan semakin besar pula, begitu juga ketika diberi medan magnet luar yang divariasikan, semakin besar medan magnet yang diberikan nilai tegangan keluarannya juga besar. Porfirin sangat berpengaruh pada kadar hemoglobin dalam darah, jika konsentrasi porfirin besar maka kadar hemoglobin juga besar. Dalam ilmu kesehatan hemoglobin berfungsi untuk
ISBN 978-602-19655-4-2
*) Corresponding author
297
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Keanekaragaman Spesies Reptil di Pulau Banggai Provinsi Sulawesi Tengah Akhmad* dan Djoko Tjahjono Iskandar Abstrak Penelitian mengenai keanekaragaman reptil di Pulau Banggai, menggunakan metode Visual Encounter Survey dengan teknik pengambilan sampel menggunakan perangkap lubang dan perangkap lem. Pengambilan sampel di lakukan dari tanggal 19 Desember 2012 sampai tanggal 31 Februari 2013, berhasil mengumpulkan 16 spesies reptil dengan jumlah total 232 individu. Secara umum keanekaragaman spesies reptil di Pulau Banggai di kategorikan rendah bila di bandingkan dengan hasil penelitian dari kawasan lain yang termasuk dalam kawasan Wallacea. Keanekaragaman spesies terendah terdapat pada habitat kebun cengkeh (H’=1,79). Sedangkan keanekaragaman tertinggi terdapat pada habitat hutan sekunder (H’=2,23). Indeks kemerataan terendah terdapat pada habitat hutan bekas tebangan (E=0,79). Sedangkan kemerataan spesies tertinggi terdapat pada habitat kebun cengkeh (E=0,92). Rendahnya keanekaragaman spesies reptil di Pulau Banggai karena adanya aktivitas konversi hutan primer yang merupakan habitat alami spesies reptil, menjadi lahan perkebunan dan kegiatan pemanfaatan hutan lainnya. Kata kunci : Keanekaragaman, habitat, Pulau Banggai, reptil, konversi hutan dan aktivitas manusia. sangat diperlukan (Iskandar dan Erdelen., 2006). Penduduk Pulau Banggai sebagian besar adalah petani, maka penebangan hutan untuk dijadikan lahan perkebunan, untuk keperluan bahan bangunan, perluasan perkampungan, pembukaan jalan baru, dan kegiatan lainnya , memanfaatkan hutan yang ada di pulau tersebut. Pemanfaatan hutan seperti ini diperkirakan mempengaruhi keanekaragaman spesies reptil yang hidup di dalamnya. Dengan melakukan kajian mengenai keanekaragaman reptil di Pulau Banggai, diharapkan akan didapatkan informasi mengenai : (1). keanekaragaman reptil di Pulau Banggai. (2). Mengetahui kelimpahan populasi tiap spesies reptil di berbagai tipe habitat yang dikaitkan dengan gangguan manusia, sehingga dapat menjadi informasi untuk membantu upaya - upaya penanggulangan kerusakan lingkungan hidup di wilayah ini.
Pendahuluan Menurut Biodiversity Action Plan for Indonesia, Indonesia termasuk negara yang memiliki keanekaragaman hayati yang sangat besar, yang mana terdapat sekitar 16 % reptil dan amfibi dunia. Khusus spesies reptil saja, Indonesia memiliki lebih dari 600 spesies yang merupakan peringkat ketiga dunia (Bappenas,1993). Seiring dengan cepatnya konversi lahan di Asia Tenggara, termasuk Pulau Sulawesi di Indonesia, menjadikan Pulau Sulawesi penting untuk konservasi, karena memiliki keanekaragaman spesies yang sangat tinggi terutama untuk spesies yang endemik (Wanger et al., 2011). Letak Pulau Banggai yang terpencil, dan dikelilingi oleh lautan yang secara geografis terpisah dari Pulau Sulawesi memiliki tipe – tipe habitat yang beragam seperti hutan mangrove, hutan pantai, dan hutan dataran rendah. Letak geografis dan keanekaragaman tipe habitat seperti ini memungkinkan terdapat keanekaragaman satwa liar yang endemik termasuk reptil.
Teori Keanekaragaman hayati, atau biodiversitas, adalah suatu istilah yang digunakan untuk menggambarkan semua bentuk kehidupan diatas bumi ini mulai dari makhluk sederhana seperti jamur dan bakteri hingga makhluk yang mampu berpikir seperti manusia, serta berbagai materi genetik yang dikandungnya dan keanekaragaman sistem ekologi di mana mereka hidup.(Bappenas, 2004).
Pengetahuan tentang reptil Sulawesi diantaranya bersumber dari publikasi penelitian oleh Iskandar dan Tjan (1996) yang mencatat lebih dari 115 spesies reptil, banyak di antaranya bersifat endemik. Namun setelah itu survey dan penelitian tentang keberadaan reptil Sulawesi dan pulau – pulau sekitarnya relatif sangat sedikit (Gillespie et al., 2005).
Keanekaragaman hayati di golongkan ke dalam tiga tingkat (Bappenas, 2004) yakni :
Meninjau dari cepatnya penebangan dan pengalihan fungsi hutan, maka usaha untuk melindungi komponen biologi termasuk reptil
ISBN 978-602-19655-4-2
1. Keanekaragaman ekosistem, mencakup eanekaragaman bentuk dan susunan bentang
298
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
luas kawasan 2.179,91 km² diperoleh 13 Famili dan 54 spesies (Wanger et al.,2011).
alam, daratan maupun perairan, yang mana makhluk hidup (tumbuhan, hewan dan mikroorganisme) berinteraksi dan membentuk keterkaitan dengan lingkungan fisiknya.
Kekayaan spesies yang terdapat pada tiap pulau tersebut dibandingkan dengan luas masing – masing pulau Gambar (1). MacArthur dan Wilson (dalam Campbell et al., 2003) menyatakan kekayaan spesies meningkat seiring dengan ukuran pulau, namun kemungkinan bertambahnya jumlah spesies yang akan ditemukan di Pulau Banggai masih akan terjadi bila waktu pengamatan diperpanjang. Gambar (2).
2. Keanekaragaman spesies, adalah keaneragaman spesies organisme yang menempati suatu ekosistem, di darat maupun di perairan. Dengan demikian masing – masing organisme mempunyai ciri yang berbeda satu dengan yang lain. 3. Keanekaragaman genetis, adalah keanekaragaman individu di dalam suatu spesies. Keanekaragaman ini disebabkan oleh perbedaan genetis antar individu. Gen adalah faktor pembawa sifat yang dimiliki setiap organisme dan dapat diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Keanekaragaman spesies reptil dari berbagai tipe habitat di Pulau Banggai dapat digambarkan sebagai berikut : Nilai indeks Keragaman (Shannon – Wiener) mulai dari nilai terendah sampai nilai tertinggi yaitu nilai terendah terdapat pada tipe habitat kebun cengkeh sebesar (H’=1,79), kebun cokelat (H’=1,83) dan hutan bekas tebangan (H’=1,95) sedangkan nilai Indeks Keragaman tertinggi terdapat pada habitat hutan sekunder, yaitu dengan nilai sebesar (H’=2,23).
Untuk mendeskripsikan keanekaragaman spesies reptil menggunakan beberapa ukuran (Krebs, 1989) yaitu : 1. Kekayaan pesies (Species Richness) diukur menggunakan Indeks Kekayaan Shannon Wiener. Indeks Shannon-Wiener : H’ = - ∑ Pi ln Pi 2. Kemerataan spesies (Evennes), indeks kemerataan adalah :
Faktor yang menyebabkan tingginya keanekaragaman spesies pada habitat hutan sekunder, karena vegetasi yang terdapat pada habitat hutan sekunder lebih beragam dengan struktur umur yang bervariasi. Keragaman vegetasi pada habitat hutan sekunder dan hutan bekas tebangan dapat menyediakan sumber makanan yang lebih banyak dan bervariasi, sebagai tempat bernaung dan berlindung yang baik, juga tempat yang baik bagi satwa liar termasuk reptil untuk berkembang biak, kondisi seperti ini tidak terdapat pada kebun cengkeh dan kebun cokelat 2. Kemerataan spesies ( Evenness)
formula
H, H' atau E ln s H maks Hasil dan diskusi 1. Keanekaragaman spesies. Pengamatan dan pengumpulan sampel dari tiap lokasi berhasil menemukan 16 spesies reptil dengan jumlah total 232 individu, dua spesies ditemukan di luar plot pengamatan sebagai tambahan, yaitu Crysopelea paradisi celebensis satu individu, dan Varanus salvator satu individu sehingga keseluruhan spesies reptil yang dicatat dalam penelitian ini adalah 18 spesies yang tergabung dalam lima famili, dengan jumlah total 234 individu. Daftar spesies reptil yang ditemukan dari berbagai tipe habitat di Pulau Banggai. Secara umum kekayaan spesies reptil yang diperoleh dari Pulau Banggai dalam penelitian ini tergolong rendah, dibandingkan dengan hasil penelitian terdahulu dari pulau – pulau lain yang termasuk dalam kawasan Wallacea, maupun dari pulau lainnya. Pulau Buton Sulawesi Tenggara dengan luas 4.400 km² terdapat 13 Famili dan 55 Spesies, Pulau Kabaena dengan luas 1000 km² terdapat 28 spesies (Gillespie et al., 2005) dan dari pulau Waigeo seluas 3.155 km² terdapat 32 spesies (Hamidy dan Setiadi, 2006) sedangkan dari Taman Nasional Lore Lindu di Sulawesi Tengah dengan
ISBN 978-602-19655-4-2
Hasil perhitungan Indeks kemerataan spesies dari semua lokasi pengamatan adalah (E=0,49) sedangkan nilai Indeks kemerataan dari masing – masing habitat dari yang terendah sampai yang tertinggi adalah, hutan bekas tebangan (E=0,79), kebun cokelat (E=0,83), hutan sekunder (E=0,87) dan kebun cengkeh (E=0,92). Hasil perhitungan tersebut memiliki nilai kurang dari 1, hal ini berarti komposisi spesies yang terdapat pada habitat yang diamati tidak merata, terdapat beberapa spesies memiliki jumlah individu yang melimpah sedangkan jumlah individu dari spesies lainnya terdapat dalam jumlah yang relatif lebih kecil. Eutropis multifasciata dan Lamprolepis smaragdina ditemukan pada semua lokasi yang diamati dalam jumlah yang relatif melimpah dibandingkan spesies yang lainnya. Hasil ini menunjukan bahwa semua habitat yang diamati telah terganggu oleh adanya aktivitas manusia. Menurut Wanger et al, (2010) dalam habitat yang masih utuh atau belum terganggu memiliki kelimpahan spesies yang relatif merata
299
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
yang mana ditemukan 18 spesies dari 5 famili. Keanekaragaman terendah terdapat pada habitat kebun cengkeh (H’=1,79) dan keanekaragaman tertinggi terdapat pada habitat hutan sekunder (H’=2,23). Sedang kemerataan terendah terdapat pada habitat hutan bekas tebangan (E=0,79) dan kemerataan tertinggi terdapat pada habitat kebun cengkeh (E=0,92).
sedang dalam habitat yang sudah terganggu kelimpahan beberapa spesies lebih menonjol.
Spesies
Jumlah individu Semua habitat
Jumlah individu per habitat KCH HBT KCT HTS
Ahaetulla prasina
9
2
2
-
5
Dendrelaphis pictus
4
-
2
-
2
Psammodynastes pulverulentus
1
-
1
-
-
Ucapan Terima Kasih Penulis mengucapkan terima kasih atas beasiswa yang diberikan oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah melalui Dinas Pendidikan dan Kebudayaan. Referensi
Chrysopelea paradisi celebensis*
1
-
-
-
-
Varanus salvator*
1
-
-
-
-
Sphenomorphus nigrilabris
11
2
3
3
3
6
-
-
3
3
Emoia ruficauda
11
-
6
-
5
Emoia caeruleocauda
26
7
5
7
7
Eutropis multifasciata
68
16
22
14
16
Lamprolepis smaragdina
58
12
17
13
16
Gehyra mutilata
10
3
1
2
4
Gehyra variagata
5
-
2
1
2
Hemidactylus frenatus
1
-
-
1
-
Cyrtodactylus sp
1
-
-
-
1
Gekko monarchus
1
-
1
-
-
Gekko smithii
1
-
-
-
1
19
4
7
3
5
Emoia sp
Draco rhytisma
[1] Campbell, N. A., Reece, J. B., dan Mitchell, L. G. “Biologi” Edisi ke-5 – Jilid 3. Jakarta: Penerbit Erlangga, (2003). [2] Gillespie, G., Howard, S., Lockie, D., Scroggie, M., dan Boeadi, “Hepertofaunal richness and community structure of off – shore island of Sulawesi”, Indonesia. Biotropica, 37: 279 – 290, (2005). [3] Hamidy, A., dan Setiadi, M. I, “Jenis – jenis hepertofauna di pulau Halmahera. Pusat Studi Biodiversitas dan konservasi Universitas Indonesia dan Musium Zoologicum Bogoriense”, Puslit Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, (2006). [4] Heyer, W. R., Donnelly, M. A., McDiarmid, R. W., Hayek, L. C., dan Foster, M. S. “Measuring and Monitoring Biological Diversity Standar Methods for Amphibians”, Washington: Smithsonian Institution Press, (1994). [5] Iskandar, D. T., dan Erdelen, W. R., Conservation of amphibians and reptiles in Indonesia : Issues and problems. Amphibian and Reptile Conservation. 4(1): 60 – 93, (2006). [6] Iskandar, D. T., dan Tjan, K. N., “The Amphibians and Reptiles of Sulawesi, with notes on the Distribution and Chromosomal Number of frogs”. In Kitchener, D. J., Suyanto, A. (Eds), First international conference in eastern Indonesia – Australian vertebrate fauna, Manado, 1994. Western Australian Museum, pp : 39 – 46, (1996). [7] Krebs, C. J., “Ecology The Experimental Analysis of Distribution and Abundance Ecological Methodology”, New York : Harper and Row Publisher, (1989). [8] Molles, M. C.Jr., “Ecology Concepts and aplication”, 4th Edition. McGraw Hill New York, America, (2008). [9] Mumpuni, “Pedoman pengumpulan data keanekaragaman fauna”, Bogor : Bidang
Menurut Molles (2008) keanekaragaman spesies akan lebih tinggi pada lingkungan yang lebih kompleks. Kesimpulan Keanekaragaman spesies reptil dari berbagai tipe habitat di Pulau Banggai bila di bandingkan dengan keanekaragaman spesies dari daerah lain dalam kawasan Wallacea masih tergolong rendah,
ISBN 978-602-19655-4-2
300
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
zoologi Pusat Penelitian Biologi. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, (2004). [10] Wanger, T. C., Iskandar, D. T., Motzke, I., Brook, B. W., Sodhi, N. S., Clough, Y., dan Tscharntke, T., “Land-use change affects community composition and traits of tropical amphibians and reptiles in Sulawesi (Indonesia)”. Conservation Biology. 24 (3) : 795 – 802, (2010a). [11] Wanger, T. C., Motzke, I., Shahabuddin, S., Iskandar, D. T., “The amphibians and reptiles of the Lore Lindu National Park area Central
Sulawesi”, Indonesia Salamandra. 47 (1) : 17 – 29, (2011).
Akhmadi* SMA Negeri 1 Banggai, Sulawesi Tengah [email protected] Djoko Tjahjono Iskandar Sekolah Ilmu Teknologi Hayati Institut Teknologi Bandung *Corresponding author
ISBN 978-602-19655-4-2
301
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Pemisahan Tetrafenilporfirin Menggunakan Kromatografi Kolomflash Aldih Taangga, Alpin Lainua, Phutri Milana, Ciptati, Irma Mulyani dan Veinardi Suendo* Abstrak Porfirin dan turunannya telah banyak dipelajari sebagai fotosensitizer pada sel surya dan agen fotodinamik terapi untuk pengobatan kanker maupun tumor. Salah satu turunan senyawa porfirin yang banyak dikembangkan yaitu tetrafenilporfirin (TPP). Sintesis TPP dilakukan dengan menggabungkan metode solventless dan metode Microwave-Assisted Organic Synthesis (MAOS). Pada penelitian ini dilakukan pemisahan senyawa hasil sintesis menggunakan kromatografi kolom flashtermodifikasi dengan tujuan untuk mengoptimasi pemisahan agar lebih efisien, baik dalam pemisahan maupun penggunaan pelarut. Kromatografi kolom flash ini didesain tersambung dengan pompa vakum. Perbedaan tekanan udara akan membuat laju pemisahan 3 kali lebih cepat dan volume sampel yang dapat dipisahkan menjadi 10 kali lebih banyak dibandingkan kromatografi kolom gravitasi.Spektrum UV-Vismenunjukan bahwa senyawa TPPmenyerap kuat pada panjang gelombang 419 nm (pita soret) dan serapan lemahnya (pita Q) pada panjang gelombang 515, 547, 592, dan 648 nm.Penentuan struktur senyawa hasil sintesis ditetapkan berdasarkan data spektroskopi infra-merah, Raman, dan Resonansi Magnetik Inti (NMR). Serapan FT-IR menunjukkan terbentuknya cincin porfirin dengan teramatinya vibrasi ulur N-H asimetrik dan simetrikdalam cincinpada 3317 cm-1dan 3383 cm-1.Mode-mode vibrasi pada spektrum Raman, yaitu pada 336 cm-1 dan 406 cm-1 yang menyatakan mode vibrasi ulur N-H dalam cincin porfirin, 1001 cm-1 yang menyatakan vibrasi ulur breathing pirol, 1293 cm-1 dan 1382 cm-1 yang masing-masing menyatakan vibrasi ulur setengah cincin pirol dan seperempat cincin pirol. Kelima mode vibrasi ini menunjukkan telah terbentuknya cincin porfirin pada produk reaksi (TPP). Spektrum proton NMR tetrafenilporfirin menunjukkan sinyal proton pirol terdapat pada δ 8,843 ppm, sinyal proton orto-fenil pada δ 8,22 ppm, dan sinyal proton meta dan para fenil pada δ 7,77 ppm. Proton pirol yang sangat terlindung (shielding) dalam cincin porfirin memberikan sinyal dibawah TMS yaitu -2,768 ppm. Produk dari pemisahan senyawa hasil sintesis menggunakan kromatografi kolom flash termodifikasi dihasilkan kristal berwarna ungu sebanyak 1,1363 gram dengan rendemen 18,23 %. Kata kunci : Microwave-Assisted Organic Synthesis (MAOS), porfirin, sintesis tetrafenilporfirin, UV-Vis, kromatografi flash. sulit untuk dipisahkan. Hal ini dapat diatasi dengan menggunakan resolusi pemisahan yang tinggi.
Pendahuluan
Dari penelitian sebelumnya, telah dilakukan pemisahan TPP dari hasil sintesis menggunakan kromatografi kolom gravitasi yang berdiameter 1 cm dengan volume sampel 0,5 mL dan massa silika 8,5 g [4]. Hal tersebut menghasilkan pemisahan yang baik namun masih terdapat beberapa kelemahan, antara lain waktu pengerjaan relatif lama, sampel yang dipisahkan sedikit, menggunakan banyak pelarut serta menghasilkan band tailingsehingga pemisahannya kurang baik [5]. Pada penelitian ini, dikembangkan suatu desain kromatografi kolom flash termodifikasi untuk memisahkan senyawa hasil sintesis dengan bahan uji yang digunakan yaitu tetrafenilporfirin (TPP).
Porfirin dan turunannya telah banyak dipelajari sebagai fotosensitizer pada sel surya dan agen fotodinamik terapi untuk pengobatan kanker maupun tumor [1].Sintesis porfirin pertama kali dilaporkan oleh Paul Rothemund, dimana kondisi reaksinya yaitupemanasan pada suhu 145 –155oC selama 30 jam dan menggunakan pelarut piridin dan metanol, menghasilkan senyawa porfirin dengan rendemen ~10% [2].Salah satu turunan senyawa porfirin yang banyak dikembangkan yaitu tetrafenilporfirin (TPP). Sintesis TPP dilakukan melalui reaksi kondensasi pirol dengan aldehid menggunakan katalis asam.Padapenelitian ini sintesis TPP dilakukan dengan menggabungkan metode solventless dengan metode Microwave Assisted Organic Synthesis (MAOS). Penggunaan MAOS dinilai lebih efektif karena mempunyai beberapa keuntungan, antara lain mengurangi waktu reaksi, meningkatkan hasil reaksi, dan mengurangi penggunaan pelarut (green chemistry) [3]. Pemisahan TPP hasil sintesis menjadi kendala yang serius karena produk samping hasil reaksi mempunyai kepolaran yang hampir mirip sehingga
ISBN 978-602-19655-4-2
Teori Tetrafenilporfirin merupakan porfirin sintesis dengan subtituen berupa empat gugus fenil yang simetrik. Sintesis tetrafenilporfirin dilakukan dengan menggunakan metode MAOS,yang dikembangkan sejak 20 tahun yang lalu [6].MAOS merupakan metode yang memanfaatkan energi elektromagnetik dengan frekuensi rendah yaitu
302
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
terlihat pada gambar 3a. Hasil uji KLT menunjukan bahwa masih dihasilkan banyak noda pada hasil sintesis sehingga diperlukan pemisahan menggunakan kromatografi kolom flash termodifikasi. Kromatografi kolom flash termodifikasi ini dilengkapi dengan kran yang dapat mengatur laju pemisahan pita-pita senyawa. Selain itu, diameter kolom tidak terlalu besar (3 cm) membuat fasa diam (silika) lebih tinggi (13,5 cm) sehingga meningkatkan kualitas pemisahan (resolusi yang lebih tinggi). Hasil pemisahan menggunakan kromatografi kolom flash tersebut diperoleh beberapa pita-pita senyawa seperti telihat pada gambar 3b. Pita berwarna ungu terelusi lebih dahulu dan diduga bahwa pita ungu tersebut merupakan pita senyawa tetrafenilporfirin karena tetrafenilporfirin bersifat nonpolar dan berwarna ungu.
0.3-300 GHz.Materi atau molekul memiliki kemampuan yang berbeda untuk dipanaskan oleh gelombang mikro tergantung pada sifat molekul itu sendiri. Pemanasan secara gelombang mikro lebih efisien karena gelombang mikro dapat mentranfer energi langsung pada molekul pereaksi [7]. Teknik yang paling umum digunakan dalam pemisahan senyawa yaitu kromatografi kolom gravitasi. Teknik pemisahan ini masih mempunyai kekurangan yaitu waktu yang diperlukan untuk pemisahan relatif lama dan sampel yang akan dipisahkan sedikit. Harwood mengembangkan teknik pemisahan yaitu kolom kering flash Dengan diameter kolom 10 – 13cm seperti terlihat pada gambar 1a. Metode ini mampu memisahkan senyawa dengan baik, mudah diterapkan pada kromatografi skala besar (hingga 100 g) dan cepat [8]. Namun pemisahan ini dianggap kurang baik karena membutuhkan sejumlah adsorben dan pelarut. Selanjutnya Pedersen dan Rosenbohm mengembangkan suatu alat kromatografi vakum kering namun alat tersebut mempunyai kekurangan yaitu tidak dapat mengatur laju pemisahan pita-pita senyawanya [9]. Seperti terlihat pada gambar 1b.
a
b
Gambar 2. (a) Hasil KLT awal setelah ekstraksi, (b) Hasil pemisahan TPP. (a)
(b)
Kromatografi kolom flash termodifikasi sangat cocok untuk pemurnian sampel porfirin dalam skala besar karena dapat memisahkan senyawa dalam jumlah besar, yaitu 10 kali lebih banyak dan kecepatan pemisahannya 3 kali lebih cepat dari kromatografi kolom gravitasi. Selain itu, pemisahan dengan menggunakan kromatografi kolom flashdapat mengurangi penggunaan pelarut sampai dengan 50% dan silika gel hingga 30%, seperti terlihat pada tabel 1.
(c)
Gambar 1. (a) Kromatografi yang disarankan oleh L. M. Harwood (b) Kromatografi yang disarankan oleh Pedersen dan Rosenbohm dan (c) desain kromatografi kolom flash termodifikasi. Pada penelitian ini, dikembangkan suatu desain kromatografi kolom flash termodifikasi pada gambar 1c, untuk memisahkan senyawa hasil sintesis dalam jumlah besar dengan Materi uji yang digunakan yaitu tetrafenilporfirin.
Tabel 1. Perbandingan menggunakan kromatografi kromatografi kolom gravitasi
Hasil dan Diskusi
Perlakuan
Sintesis TPP dilakukan dengan mereaksikan benzaldehid dan pirol dalam wadah mortar menggunakan fasa pendukung silika gel. Campuran reaksi diradiasi gelombang mikro dengan daya 100% selama 2 x 5 menit. Hal ini bertujuan untuk mencegah terjadinya letupan (bumping) selama reaksi karena pemanasan yang berlebihan.Senyawa hasil sintesis diekstraksi dengan etil asetat, selanjutnya dievaporasi pada tekanan rendah untuk menguapkan pelarutnya. Analisis awal hasil sintesis dilakukan dengan menggunakan kromatografi lapis tipis (KLT) dengan eluen n-heksana : etil asetat (7:1) seperti
ISBN 978-602-19655-4-2
Diameter kolom Jumlah silika gel Volume sampel Waktu Volume eluen
pemisahan TPP kolom flash dan
Kromatografi kolom flash 3 cm 60 gram 5 mL 30 menit 240 mL
Kromatografi kolom gravitasi 1 cm 8,5 gram 0,5 mL 90 menit 50 mL
Larutan ungu yang dihasilkan dari pemisahan menggunakan kromatografi kolom flash modifikasi kemudian dievaporasi dan dikristalisasi untuk tahap pemurnian dengan menggunakan diklorometana sehingga diperoleh kristal ungu kemerahan seperti terlihat pada gambar a. Untuk melihat morfologi dari kristal TPP yang diperoleh,
303
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
selanjutnya dilakukan analisis Scanning Electron Microscopy (SEM) dan dihasilkan bentuk morfologi kristal TPP dengan berbagai pembesaran sebagai berikut ; b
a
Tabel 3. Jenis vibrasi pada spektrum FT-IR Bilangan gelombang (cm-1) 2855 2923 2970 3022 3055 3317
c
Gambar 3. Scanning Electron Microscopy (a) Kristal TPPdengan pembesaran 50 kali (b) Sudut Kristal dengan pembesaran 500 kali (3) patahan kristal dengan pembesaran 5000 kali.
1296 1001 406 336
Literatur
(seperempat
1382
cincin pirol) (setengah cincin pirol) (pirol breathing) (N-H) (N-H)
Proton
Integritas
Multiplisitas
δ (ppm)
H-pirol H-orto fenil H-meta dan para fenil H-pirol dalam cincin
8H 8H 12H
siglet doblet multiplet
8,843 8.22 7,77
2H
singlet
-2,768
Tabel 4 menunjukan sinyal proton pirol terdapat pada δ 8,843 ppm (8H, s), sinyal proton orto-fenil pada δ 8,22 ppm (8H, d), dan sinyal proton meta dan para fenil pada δ 7,77 ppm (12H, m).Proton pirol pada cincin porfirin sangat tidak terlindungi (deshielding) karena adanya efek arus cincin seperti yang terjadi pada hidrogen fenil sedangkan proton pirol yang berada dalam cincin porfirin sangat terlindungi (shielding) sehingga memberikan sinyal dibawah TMS yaitu -2,768 ppm (2H, s).Hal ini disebabkan karena adanya efek anisotropik. Elektron π terdelokalisasi di sekitar cincin akan berputar ke arah medan magnet sehingga menghasilkan medan magnet imbasan yang berlawan dengan medan magnet luar. Karena proton berada pada sumbu magnet imbasan, maka proton pirol menjadi terlindungi. Hal ini yang mengakibatkan proton dalam cincin porfirin muncul pada upfield. Data spektrum proton NMR ini membuktikan terbentuknya cincin porfirin pada produk reaksi (TPP).
1293 1002 407 336
Vibrasi Raman pada bilangan gelombang 336 cm-1 dan 406 cm-1 merupakan mode vibrasi ulur NH dalam cincin porfirin, 1001 cm-1 menunjukkan vibrasi ulur breathing pirol, 1293 cm-1 dan 1382 cm-1 masing-masing menyatakan vibrasi ulur setengah cincin pirol dan seperempat cincin pirol. Kelima mode vibrasi ini menunjukkan telah terbentuknya cincin porfirin pada produk reaksi (TPP).Spektrum serapan FT-IR menunjukkan pada bilangan gelombang 3317 cm-1merupakan vibrasi asimetri pada cincin porfirin. Vibrasi ini menunjukan terbentuknya cincin pirol pada senyawa hasil sintesis.
ISBN 978-602-19655-4-2
asim (N-H porfirin)
2855 2922 2957 3027 3056 3018
Tabel 4. Hasil pengukuran proton NMR
Tabel 2. Mode-mode vibrasi dari spektrum Raman Jenis vibrasi
asim (H-fenil) asim (H-fenil) sim (H-fenil) sim (Cβ-H) sim (Cβ-H)
Literatur
Pada penelitian ini dilakukan analisis spektroskopi proton NMR untuk mengidentifikasi senyawa tetrafenilporfirin hasil sintesis.
Karakterisasi senyawa hasil sintesis menggunakan Spektrum UV-sinar tampak menunjukkan bahwa senyawa tetrafenilporfirin hasil sintesis dalam toluen menyerap cahaya pada panjang gelombang 419 nm serapan maksimum (pita soret) dan serapan lemahnya (pita Q) pada panjang gelombang 515, 547, 592, dan 648. sedangkan spektrum emisi senyawa tetrafenilporfirin hasil penelitian dalam larutan toluen menunjukkan puncak emisi yaitu pada panjang gelombang yaitu 651 nm.Pengukuran Raman diperoleh mode-mode vibrasi seperti terlihat pada tabel 2. Bilangan gelombang (cm-1) 1385
Jenis Vibrasi
Kesimpulan Pemisahan TPP menggunkan kromatografi kolom flash termodifikasi sangat cepat (3 kali lebih cepat) dan kapasitas sampel yang dipisahkan 10 kali lebih banyak dibandingkan kromatografi kolom gravitasi. Sehingga dengan kapasitas sampel yang sama dapat disimpulkan bahwa laju pemisahan 30 kali lebih cepat, mengurangi penggunaan pelarut hingga 50% dan silika gel hingga 25-30%. Produk kristal TPP yang dihasilkan dari pemisahan menggunakan kromatografi kolom flash
304
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
[9] D.S. Pedersen, C. Rosenbohm,“Dry Column Vacuum Chromatography”, Shyntesis, New York,(16) 2431-2434 2001.
termodifikasi sebanyak 1,1363 gr dengan rendemen 18,23%. Karakterisasi senyawa hasil sintesis menggunakan spektroskopi FTIR, Raman, dan proton NMR menunjukan bahwa senyawa yang dihasilkan merupakan senyawa tetrafenilporfirin. Ucapan Terima Kasih
Aldih Taangga SMAN 1 Lembo, Jl. Protokol No. 2, Kec.Lembo, Kabupaten Morowali, Propinsi Sulawesi Tengah. [email protected]
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Yana M. Syah atas pengukuran spektroskopi proton NMR. Penilitian ini didukung secara finansial oleh Program Riset Inovasi dan KK ITB 2011 (No. 225/I.1.C01/PL/2011), Hibah Riset DIKTI-DIKNAS 2013, serta Riset Inovasi dan KK ITB 2013 (No. 218/I.1.C01/PL/2013).
Alpin Lainua SMKN 1 Petasia, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah. [email protected]
Daftar Pustaka [1] R. Bonnett, “Chemical Aspects of Photodynamic Therapy”, Gordon and Breach Science Publishers. Amsterdam.159,166-168 (2000). [2] P. Rothemund, A New Porphyrin Synthesis. “The Synthesis of Porphyrin”,Journal of American Chemical Society, 58 (4),625-627, (1936) [3] D.R. Sauer, D. Kalvin,K.M. Phelan, “Microwave-Assisted Synthesis Utilizing Supported Reagents: A Rapid and Efficient Acylation Procedure”, Organic Letter,5,47214724, (2003). [4] Putri Milana, “Synthesis and Characterization of Tetraphenylporphyrin and Its Derivative Using Microwave-Assisted Organic Synthesis (MAOS)”, Tesis Magister, Institut Teknologi Bandung, 2012, p.22. [5] W.C. Still, M. Kahn, A. Mitra, “Rapid Chromatographic Technique for Preparative Separations with Moderate Resolution”, Journal of Organic Chemistry,43, 2923-2925 (1978). [6] R.Martinez-Palou, “Ionic Liquid and Microwave-Assisted Organic Synthesis:A “Green” and Synergic Couple”,Journal of Mexico Chemical Society,51(4), 252-246. (2007). [7] D.E. Sternberg, D. Dolphin, “Porphyrin-based Photosensitizers forUse in Photodynamic Therapy”, Tetrahedron,54, 4151–4202, (1998). [8] L.M Harwood, “Dry column vacuum chromatography”, Aldrichimica Acta, 8, 25 (1985)
ISBN 978-602-19655-4-2
Phutri Milana Organic Chemistry Research Division, Faculty of Mathematics and Natural Sciences, Institut Teknologi Bandung. [email protected] Ciptati Organic Chemistry Research Division, Faculty of Mathematics and Natural Sciences, Institut Teknologi Bandung. [email protected] Irma Mulyani Inorganic and Physical Chemistry Research Division, Faculty of Mathematics and Natural Sciences, Institut Teknologi Bandung. [email protected] Veinardi Suendo* Inorganic and Physical Chemistry Research Division, Faculty of Mathematics and Natural Sciences, Institut Teknologi Bandung. National Research Center for Nanotechnology, InstitutTeknologi Bandung. [email protected] *Corresponding author
305
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Pembuatan Komposit Papan Serat dari Tandan Kosong Kelapa Sawit dan Karakterisasi Sifat Fisis dan Mekanisnya Bernart Taangga*, dan Widayani Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk membuat dan mempelajari sifat fisis dan mekanis komposit berupa papan serat berbasis tandan kosong kelapa sawit (TKKS). Pada penelitian ini dibuat komposit menggunakan perekat dengan konsentrasi 1,96 %, 3,85 %, 5,66 %. Persiapan serat TKKS dilakukan dengan perendaman dalam larutan NaOH 4 % dan lama perendaman 72 jam. Hasil pengujian sifat fisis papan serat dengan konsentrasi perekat 1,96 %; 3,85 %; dan 5,66 % berturut-turut diperoleh (a) massa jenis 1,142 g/cm3; 1,131 g/cm3; 1,190 g/cm3, (b) kadar air 10,14 %; 10,48 %; dan 9,83 %, (c) daya serap air 65,31 %; 59,39 %; 63,69 %, dan (d) pengembangan tebal 60,14 %; 49,36 %; 58,66 %. Dari pengujian sifat mekanis diperoleh kuat tarik, keteguhan lentur, dan keteguhan patah berturut-turut dalam rentang (75,83 – 123,38) kgf/cm2, (15921,58 – 24009,85) kgf/cm2, dan (197 – 260,39) kgf/cm2. Hasil penelitian menunjukan bahwa komposit papan serat dengan konsentrasi perekat 3,85 % mempunyai kekuatan mekanis yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang lainnya. Kata kunci : TKKS, rendaman alkali, perekat UF, komposit papan serat, sifat fisis,sifat mekanis Pendahuluan
Hemiselulosa
Salah satu limbah terbesar yang dihasilkan oleh pabrik/industri minyak kelapa sawit adalah limbah tandan kosong kelapa sawit (TKKS). Produksi minyak kelapa sawit kasar Indonesia mencapai 6 juta ton per tahun. Secara bersamaan dihasilkan pula limbah TKKS dengan potensi sekitar ± 2,5 juta ton per tahun (Anonim, 1999).
Hemiselulosa termasuk dalam kelompok polisakarida heterogen yang dibentuk melalui biosintetis yang berbeda dengan selulosa. Hemiselulosa relatif mudah dihidrolisasi oleh asam menjadi komponen-komponen monomernya (Sjotrom, 1995).Hemiselulosa menyebabkan serat bersifat lentur sehingga mempermudah dalam proses penggilingan pulp.
Salah satu usaha untuk mengatasi hal tersebut adalah dengan memanfaatkan TKKS menjadi produk yang berguna dan bernilai tambah, misalnya dengan mengolahnya menjadi papan serat. Papan serat banyak digunakan sebagai bahan konstruksi, peralatan listrik, dan produkproduk panel lainnya.
Lignin Lignin termasuk dalam kelompok polimer komplek yang mempunyai bobot molekul yang tersusun atas satuan-satuan fenil propane yaitu senyawa yang bersifat menghambat pertumbuhan cendawan tanpa mematikannya. Lignin terdapat diantara sel-sel dan dinding sel dan berfungsi sebagai perekat antara sel agar tetap bersamasama, memberikan ketegaran pada sel serta memperkecil perubahan dimensi sehubungan dengan perubahan kadar air (Haygreen dan Bowyer,1989)
Teori Kandungan kimia tandan kosong kelapa sawit menurut Irawadi (1991) terdiri dari 32,55 % selulosa, 31,70 % hemiselulosa, 28,54 % lignin, 5,35 % lemak dan 4,45 % protein yang dihitung berdasarkan berat serat saat dipanaskan dalam oven. Selain dari senyawa di atas dalam TKKS juga terdapat zat ekstraktif yang berupa minyak dan lemak.
Pengujian Sifat Fisis Papan Serat Kerapatan
Selulosa
Pengujian kerapatan dilakukan pada kondisi kering udara dan kering oven. Massa contoh uji ditimbang terlebih dahulu ( M 1 ), kemudian panjang, lebar dan tebalnya diukur untuk menghitung volumenya (V1). Sedangkan massa untuk kerapatan kering oven (M2) dan volume diukur setelah dikeringkan dalam oven (V2).
Selulosa adalah polisakarida yang dihasilkan oleh sitoplasma sel tanaman yang membentuk dinding sel, dan jumlahnya yang cukup besar. Bobot molekulnya tinggi, strukturnya teratur dan merupakan polimer linier (Achmadi, 1990)
ISBN 978-602-19655-4-2
306
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Kerapatan (g/cm3)=
M1 V1
lenturnya contoh uji diukur tebal ( l ) dan lebarnya ( b ). besar nilai keteguhan lentur dihitung dengan rumus:
(1)
Kadar Air MOE(kg/cm2)=
Contoh uji yang digunakan sama dengan contoh uji kerapatan. Contoh uji kering udara ditimbang ( M 1 ) kemudian dikeringkan dalam oven
M1 M 2 100% M2
(6)
Keterangan :
pada suhu 103 0C ( M 2 ). Nilai kadar air contoh uji dihitung dengan rumus sebagai berikut : Kadar air(%) =
PL3 4Ybl 3
MOE P L Y b l
(2)
= keteguhan lentur = Beban pada batas proporsi (kg) = Jarak sangga (14 cm) = Defleksi P (cm) = Lebar contoh uji (cm) = Tebal contoh uji (cm)
Pengembangan tebal Keteguhan Patah
Dimensi tebal contoh uji dalam keadaan kering udara diukur dengan caliper (jangka sorong). Tebal contoh uji diukur pada sisinya ( t1 ), kemudian contoh uji direndam dalam air secara horizontal pada ketinggian 3 cm dibawah permukaan air selama 24 jam. Setelah itu tebal contoh uji diukur kembali tepat ditempat Nilai pengukuran sebelumnya ( t 2 ). pengembangan tebal contoh uji dihitung dengan rumus sebagai berikut : Pengembangan Tebal (%) =
Pengujian keteguhan patah menggunakan contoh uji yang sama dengan contoh uji keteguhan lentur. Pengujiannya juga menggunakan mesin Amsler dan dilakukan dalam kondisi kering udara. Nilai MOR dihitung dengan rumus : MOR (kg/cm2) =
(7)
Keterangan :
t 2 t1 100% ...(3) t1
MOR P L B L
Daya Serap Air Contoh uji daya serap air sama dengan contoh uji pengembangan tebal. Contoh uji ditimbang dahulu massanya ( B1 ) kemudian direndam dalam air dan ditimbang kembai massanya ( B 2 ). Nilai daya serap air dihitung dengan rumus sebagai berikut:
B2 B1 100 % B1
3PL 2bl 2
= Keteguhan patah = Beban pada batas proporsi (kg) = Jarak sangga (12 cm) = Lebar contoh uji (cm) = Tebal contoh uji (cm)Teori
Hasil dan Diskusi Hasil uji sifat fisis dan mekanis papan serat. Tabel 1. Hasil uji kerapatan papan serat kering udara (KU) dan kering oven (KO). Konsentrasi Perekat (%)
Kerapatan KU (g/cm3)
Kerapatan KO (g/cm3)
1.96
1.14
1.13
Uji Tarik
3.85
1.13
1.10
Contoh uji diukur panjang ( l ), lebar ( b ), dan tebal ( d ) kemudian dilekatkan pada mesin uji dengan posisi tegak lurus dan diberi beban tegak lurus permukaan (ditarik) hingga contoh uji putus (beban maksimum P ). mesin yang digunakan untuk uji ini adalah suisze dengan beban 150 kg
5.66
1.19
1.17
Daya Serap air =
KT =
P bl
(4)
Hasil pengukuran massa jenis kering udara dan massa jenis kering oven yang diperoleh menunjukan bahwa massa jenis kering udara lebih besar dibandingkan massa jenis kering oven. Hal ini disebabkan pada saat contoh uji dikeringkan dalam oven, kadar air contoh uji akan berkurang dan terjadi penyusutan sehingga massa dan volume contoh uji akan berkurang. Dengan demikian maka massa jenis kering oven akan lebih kecil dari massa jenis kering udara.
(5)
Keteguhan Lentur (MOE) Pengujian keteguhan lentur diuji dengan alat uji simadzu autograph. Sebelum diuji keteguhan
ISBN 978-602-19655-4-2
307
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
penyebaran perekat pada saat pencampuran perekat dengan pulp TKKS saat pembentukan lembaran papan serat tersebar merata dibandingkan pada konsentrasi perekat 1,96 % dan konsentrasi perekat 5,66 %.
Tabel 2. Hasil uji kadar air papan serat. Konsentrasi perekat (%)
Kadar Air (%)
1.96 3.85 5.66
10.41 10.48 9.83
Tabel 6. Hasil uji keteguhan lentur papan serat.
Hasil pada tabel 2 menunjukkan bahwa kadar air pada papan dengan konsentrasi perekat 5,66 % lebih kecil dibandingkan pada konsentrasi perekat 1,96 % dan konsentrasi perekat 3,85 %. Hasil menunjukkan bahwa semakin besar massa jenis papan serat, kadar airnya semakin rendah.
Daya serap air (%)
1.96 3.85 5.66
65.31 59.39 63.69
Daya serap air papan serat berkisar antara 59.39 – 65.31 % . Meningkatnya nilai daya serap air dapat diakibatkan oleh penggunaan NaOH yang relatif tinggi. Penggunaan NaOH yang terlalu tinggi dapat meningkatkan kemampuan serat untuk menyerap air akibat rusaknya struktur kristalin dari rantai selulosa, Widya Fatriasari (2001).
Pengembangan tebal (%)
1.96 3.85 5.66
60.14 49.36 58.66
1.96 3.85 5.66
82.01 123.38 75.83
Keteguhan patah (kgf/cm2)
1,96 3,85 5,66
199,20 260,39 197,08
Hasil uji kadar air, kuat tarik, keteguhan lentur, dan keteguhan patah tidak memenuhi standar FAO (1966) untuk papan serat berkerapatan tinggi namun semuanya memenuhi standar FAO (1966) untuk papan serat berkerapatan sedang dan untuk daya serap air dan pengembangan tebal tidak memenuhi standar
Pada penelitian ini diperoleh nilai kuat tarik papan serat tertinggi pada konsentrasi perekat 3,85 %, hal ini menunjukkan kemungkinan
ISBN 978-602-19655-4-2
Konsentrasi perekat (%)
Dalam pembuatan papan serat digunakan metode pembuatan papan serat berkerapatan sedang namun pada saat pengujian kerapatan, hasil yang diperoleh termasuk dalam golongan papan serat berkerapatan tinggi. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh pemberian tekanan yang tidak terkontrol pada saat pembentukan lembaran papan serat.
Tabel 5. Hasil uji kuat tarik papan serat. Kuat Tarik (kgf/cm2)
1,81 × 104 2,40 × 104 1,59 × 104
Nilai keteguhan patah yang diperoleh pada konsentrasi perekat 3,85 % lebih besar dari nilai pada konsentrasi perekat 1,96 % dan konsentrasi perekat 5,66 %. Seperti halnya pada keteguhan lentur, pendistribusian perekat yang merata pada saat pencampuran perekat dengan pulp TKKS akan menghasilkan keteguhan patah yang lebih baik.
Pengembangan tebal papan serat dapat juga disebabkan oleh tingginya konsentrasi NaOH pada perendaman pulp sehingga makin intensifnya degradasi selulosa. Degradasi selulosa menyebabkan ikatan antara serat dalam lembaran menjadi lemah, Widya Fatriasari (2001).
Konsentrasi Perekat (%)
1,96 3,85 5,66
Tabel 7. Hasil uji keteguhan patah papan serat.
Tabel 4. Hasil uji pengembangan tebal papan serat. Konsentrasi Perekat (%)
Keteguhan lentur (kgf/cm2)
Hasil pengujian Keteguhan Lentur papan serat diperoleh nilai yang bervariasi dan tertinggi berada pada konsentrasi perekat perekat 3,85 % dan terendah pada konsentrasi perekat 5,66 %. Hasil tersebut menunjukkan bahwa penggunaan konsentrasi perekat yang lebih besar tidak mempengaruhi keteguhan lentur papan serat. Kekuatan papan serat tergantung pada jalinan serat yang terbentuk saat pembentukan lembaran (Maloney, 1977) sedangkan pemberian perekat pada saat pembentukan lembaran hanya untuk memperbaiki ikatan antar serat (Koch, 1985).
Tabel 3. Hasil uji daya serap air papan serat. Konsentrasi Perekat (%)
Konsentrasi perekat (%)
308
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
FAO (1966) baik untuk papan serat berkerapatan tinggi maupun papan serat berkerapatan sedang.
Referensi [1] Anonim, “Project proposal: Pulp and paper from empty oil-palm bunches”, PT Triskisatrya Daya Pratanma. Jakarta, Indonesia, (1999). [2] Achmadi, S. S., “Kimia Kayu”, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Pendidikan Tinggi. PAU Ilm u Hayat. Institut Pertanian Bogor, (1990). [3] Sjostrom, E. 1995. Kimia Kayu. Dasar-dasar dan Penggunaan. Edisis 2. Terjemahan Hardjono Sastromidjojo. Gajahmada University Prees. Yogyakarta. [4] Haygreen, J. G and J. L. Bowyer. 1989. Hasil Hutan dan Ilmu Kayu Suatu Pengantar. Diterjemahkan oleh Dr. Ir. Sutjipto A. Hadikusumo. Gajah Mada University Press : Yogyakarta. [5] Asdar, M. 1998. Pengaruh Asetilisasi Pulp Kayu Akasia dan Sengon terhadap sifat Fisis Mekanis Papan Serat Berkerapatan Sedang. Fakultas Pasca Sarjana IPB. Bogor. [6] Darmoko dan Erwinsyah. 2000. Papan Partikel dari Tandan Kosong Kelapa Sawit. Universitas Winaya Mukti. Jatinangor. [7] Widya fatriasari. 2001. Pengaruh Perlakuan Alkali Pada Pulp Tandan Kosong Kelapa Sawit Terhadap morfologi Serat Dan Sifat Fisis Mekanis Serat Berkerapatan Sedang. Skripsi Fahutan IPB. Bogor. [8] Maloney, T. M. 1977. Modern Particle Board and Dry Prodess Fibreboard Manufacturing. Miller Freeman Publications. San Fransisco [9] Koch, P. 1985. Utilization of Hardwoods Growing on Southern Pine Sites. Vol III U. S. departemen of Agriculture. Forest Service Washington DC.
Tabel 8. Standar yang digunakan. Sifat fisis dan mekanis Standar FAO (1966).
Sifat fisis dan mekanis
Standar FAO (1966) Papan Papan serat serat berkerapatan berkerapat sedang an tinggi
Kerapatan (g/cm3)
0,42-0,80
0,90 – 1,20
Kadar Air (g/cm3)
-
-
Keteguhan patah (Kgf/cm2)
105-280
300 – 550
Keteguhan lentur (Kgf/cm2)
14.00049.000
28.000 – 56.000
Keteguhan tarik (Kgf/cm2)
85-210
210 – 400
6-40
10 – 30
Daya serap air (%) Pengembangan tebal (%)
4 -15
Kesimpulan Dari hasil uji kerapatan, papan serat yang dihasilkan adalah termasuk dalam golongan papan serat berkerapatan tinggi. Hasil uji karakterisasi papan serat untuk uji kadar air, kekuatan tarik, keteguhan lentur, dan keteguhan patah tidak memenuhi standar untuk papan serat berkerapatan tinggi namun semuanya memenuhi standar untuk papan serat berkerapatan sedang hal ini disebabkan karena dalam pembentukan papan serat menggunakan metode papan serat berkerapatan sedang.
Bernart Taangga* Guru SMK Negeri 1 Petasia Kab. Morowali Sulawesi Tengah [email protected]
Ucapan Terima Kasih
Widayani
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Pemda Sulawesi Tengah atas Program kerja sama dengan FMIPA Institut Teknologi Bandung untuk beasiswa yang telah diberikan dan kepada Dinas Pendidikan Daerah Kabupaten Morowali yang telah memberikan izin untuk belajar di ITB dan kepada semua pihak yang telah membantu sehingga penelitian ini dapat berjalan dengan lancar.
ISBN 978-602-19655-4-2
KK Fisika Nuklir dan Biofisika Institut Teknologi Bandung [email protected]
*Corresponding author
309
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Penerapan Model Pembelajaran Inkuiri Laboratorium Terbimbing Pada Konsep Garam Terhidrolisis Enok Aas*, Risa Rahmawati S, dan Yunita Abstrak Model pembelajaran inkuri laboratorium terbimbing terdiri dari lima tahap yaitu orientasi, eksplorasi, penemuan konsep, aplikasi dan penutup merupakan model pembelajaran yang bisa menjadi alternatif untuk mengefektifkan pembelajaran berbasis parktikum. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis keterampilan proses sains siswa pada setiap tahap model pembelajaran inkuri laboratorium terbimbing. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kelas dan subjek penelitiannya adalah siswa kelas XI SMA Negeri Jatinangor yang terdiri dari 34 orang siswa. Instrumen penelitian terdiri dari deskripsi pembelajaran, lembar kerja siswa dan penilaian psikomotor. Data yang diperoleh diolah menggunakan statistik deskriptif. Berdasarkan analisis data hasil belajar siswa pada tahap orientasi mendapat nilai 94, tahap eksplorasi mendapat nilai 65,7, tahap penemuan konsep mendapat nilai 56, tahap aplikasi mendapat nilai 61, dan penutup mendapat nilai 65,7. Kata-kata kunci: format manuscript, SNIPS 2013, prosiding menyelidiki. (Martinello dan Cook dalam McBride et.al 2004:1).[2]
Pendahuluan Model pembelajaran inkuri laboratorium terbimbing menekankan pada pemahaman konsep berdasarkan pengalaman belajar siswa. Tahapan model pembelajaran ini menggunakan tahapan learning cycle yang dikemukakan oleh Hanson yaitu, orientasi, eksplorasi, penemuan konsep dan penutup. Penelitian sebelumnya dilakukan oleh Megadommani (2010)[1] menunjukkan model pembelajaran inkuiri laboratorium terbimbing dapat meningkatkan penguasaan konsep siswa.
Tahapan model pembelajaran inkuiri laboratorium terbimbing ini merujuk pada tahapan model pembelajaran inkuri terbimbing dengan menggunakan learning cycle (Hanson D.M dalam Megadommani, 2011:15 ) Tahap 1: Orientasi Pada tahap ini guru mempersiapkan siswa untuk belajar, dan memberi motivasi yang kreatif sehingga siswa merasa ingin tahu.
Berdasarkan studi pendahuluan di SMA Negeri Jatinangor, praktikum dirasakan kurang efektif dalam hal waktu pembelajraan sehingga perlu adanya model pembelajaran yang tepat. Salah satunya, adalah inkuri laboratorium terbimbing. Sehingga peneliti melakukan penelitian di SMA Negeri Jatinangor pada konsep garam terhidrolisis. Penelitian ini dilakukan di kelas XI IPA 1, dalam dua kali pertemuan yaitu pada tanggal 78 mei 2013. Metode penelitian yang di gunakan adalah metode penelitian kelas. Hasilnya kemudian dianalisis dengan statistik deskriptif dan dijelaskan secara kualitatif dan kuantitatif.
Tahap 2:Eksplorasi Pada tahap ini siswa melakukan penyelidikan, berupa mengamati, menganalisis data, melakukan percobaan, menghubungkan hasil penyelidikan, bertanya dan menguji hipotesis. Tahap 3:Penemuan Konsep Siswa menemukan konsep dibantu dengan inkuri terbimbing berupa pertanyaan-pertanyaan yang kritis dan dapat membuat siswa menganalisis, sehingga dapat membantu siswa dalam menemukan konsep, menghubungkan konsep dan membantu siswa dalam menemukan kesimpulan
Teori Model Pembelajaran Terbimbing
Inkuri
Laboratorium
Tahap 4: Aplikasi Pada tahap ini pengetahuan siswa diperluas dengan memberikan wacana yang dihubungkan dengan fenomena yang terjadi. Sehingga siswa akan lebih yakin terhadap pamahaman konsep yang dimilikinya.
Inkuiri berasal dari bahasa inggris “inquiry” yang artinya penyelidikan. Inkuiri adalah proses dimana anak secara aktif di dunia melalui pertanyaan dan mencari jawaban atas pertanyaan. Proses ini ditandai dengan tindakan seperti bertanya, mencari, mengeksplorasi dan
ISBN 978-602-19655-4-2
310
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
dirata-ratakan nilai yang paling tinggi diperoleh kelomok 1. Untuk memperjelas perbedaan dari setiap kelompok dalam setiap tahapan bisa dilihat pada gambar 1 dibawah ini.
Tahap 5:Penutup Pada tahap ini siswa dan guru merefleksi dan memvalidasi apa yang telah dipelajari selama pembelajaran tentang garam terhidrolisis. Garam Terhidrolisis Kata “hidrolisis” diturunkan dari kata Yunani (hidro) yang berarti ”air” dan lisis yang berarti “membelah” (Chang, 2005:116). Garam adalah senyawa ionik yang terbentuk oleh reaksi antara asam dan basa. (Chang, 2005:116). Istilah garam terhidrolisis adalah reaksi antara anion dan kation dari suatu garam dengan air. Peristiwa garam terhidrolisis biasanya mempengaruhi pH. Sifat-sifat larutan garam ditentukan oleh asam dan basa konjugat pembentuknya. Apabila anion dan kation pembentuk garam berekasi dengan air maka akan terjadi kesetimbangan disosiasi yang mengakibatkan terjadinya transfer proton antara spesi-spesi menurut reaksi asam basa bronsted lowry. Hasil dan diskusi Penerapan model pembelajaran inkuri laboratorium terbimbing dilaksanakan dengan cara membentuk siswa dalam lima kelompok belajar. Hasil belajar siswa pada setiap tahap model pembelajaran ini dianalisis berdasarkan lembar kerja siswa (LKS) yang telah diisi oleh siswa. Nilai setiap kelompok untuk setiap tahapan dapat dilihat pada tabel 4 Nilai LKS pertahapan untuk setiap kelompok belajar.
Gambar 1. Diagram Nilai Setiap Kelompok Belajar Berdasarkan Tahapan Inkuiri Laboratorium Terbimbing. Nilai rata-rata yang paling besar pada tahap orientasi dengan nilai rata-rata 94 dan merupakan nilai yang sangat baik, tetapi rata-rata nilai yang paling rendah pada tahap penemuan konsep dengan nilai rata-rata 56.
Tabel 1. Nilai LKS Pertahapan untuk Setiap kelompok Belajar. Kelompok Tahap
Jml
RataRata 94
1
2
3
4
5
1
96
92
92
94
96
470
2
73
60
69
65
63
330
66
3
56
55
54
57
59
281
56.2
4
61
63
58
62
64
308
61.6
60
69
66
64
67
326
65.2
346
339
339
342
349
69
68
68
68.4
69.8
5 Jml RataRata
Proses pembelajaran menggunakan model pembelajaran inkuri laboratorium terbimbing dibantu dengan menggunakan LKS yang dibuat sesuai dengan tahapan model pembelajaran. Tujuannya untuk mengetahui kemampuan siswa dalam menyelesaikan soal yang berhubungan dengan konsep garam terhidrolisis secara bertahap dan terarah. Analisis data hasil kemampuan siswa dalam menyelesaikan lembar kerja siswa (LKS) di setiap tahapan model pembelajaran inkuri labaoratorium terbimbing dapat dilihat pada tabel 4 Nilai LKS pertahapan setiap kelompok belajar. Dari tabel tersebut dapt dilihat bahwa nilai tertinggi ada pada tahap orientasi dengan nilai rata-rata 94 dan nilai rata-rata terendah pada tahap penemuan konsep dengan nilai 56. Kelompok yang memiliki nilai tertinggi pada tahap orientasi adalah kelompok 1 dan 5, sedangkan kelompok yang memiliki nilai
Berdasarkan nilai yang diperoleh setiap kelompok dalam setiap tahapan terlihat bahwa pada tahap eksplorasi dan orientasi kelompok 1 mempunyai nilai paling besar yaitu 96 dan 72. Pada tahap penemuan konsep dan aplikasi nilai yang paling tinggi diperoleh kelompok 5 dengan nilai 59 dan 63 sedangkan pada tahap penutup nilai yang paling besar diperoleh kelompok 3. Bila
ISBN 978-602-19655-4-2
311
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
dengan model ini memperoleh hasil dengan kategori baik. Pada tahap orientasi mendapat nilai 94 dengan kategori sangat baik, tahap eksplorasi mendapat nilai 65,7 dengan kategodri baik, tahap penemuan konsep mendapat nilai 56 dengan kategori sukup, tahap aplikasi mendapat nilai 61 dengan kategori baik, dan penutup mendapat nilai 65,7 dengan kategori baik.
terendah pada tahap penemuan konsep adalah kelompok 2 dan 3. Berdasarkan data nilai yang diperoleh dapat dilihat bahwa nilai rata-rata setiap kelompok beragam. Hal ini disebabkan karena kemampuan siswa yang beragam, bila dirata-ratakan nilai ratarata yang didapatkan adalah 67. Jika pada tahap orientasi nilai tertinggi diperoleh kelompok 1 dan 5 maka pada tahap eksplorasi diperoleh kelompok 1 dengan nilai 72, nilai ini menunjukkan bahwa kelompok 5 dalam tahap eksplorasi kurang aktif.
Ucapan Terima Kasih Penulis mengucapkan terima kasih kepada Allah swt atas segala nikmatnya, staf dosen pendidikan kimia Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung atas segala dukungan dan masukannya dalam penelitian ini. Penulis juga berterimaksih kepada pihak sekolah yang telah mendukung dan memfasilitasi dalam penelitian, sahabat-sahabat yang senantiasa berdiskusi dalam penelitian.
Penemuan konsep merupakan tahap ketiga, pada tahap ini kelompok yang mempunyai nilai tertinggi adalah kelompok 5 dengan nilai 59 dan nilai terendah didapatkan oleh kelompok 2 dan 3. Pada tahap aplikasi nilai tertinggi diperoleh kelompok 5 dengan niali 63 dan nilai terendah diperoleh kelompok 3 dengan nilai 58. Pada tahap penutup nilai terrendah diperoleh kelompok 1 dan nilai tertinggi diperoleh kelompok 2. Nilai-nilai yang didapatkan setiap kelompok tersebar secara merata, tetapi pada umunya nilai terbesar diperoleh kelompok 1 dan 5 dan nilai terendah diperoleh kelompok 2 dan 3 kecuali untuk tahap penutup kelompok 2 memiliki nilai tertinggi.
Referensi [1] Megadommani, A., “Model Pembelajaran Inkuiri Laboratorium Terbimbing Untuk Meningkatkan Penguasaan Konsep Dan Keterampilan Generik Siswa SMA Pada Materi Kelarutan Dan Hasil Kali Kelarutan. Tesis.Universitas Pendidikan Indonesia. Tidak Diterbitkan, (2011). [2] Mc.Bride et.al. Using an inquiry approach to teach science to secondary school. Physics Education.39(5) [3] Chang, Raymond, “Kimia Dasar: KonsepKonsep Inti”, Jilid 2 (Ed.Ketiga). Terjemahan pleh Suminar Setiati Achmadi. Jakarta: Erlangga, (2005).
Perdedaan nilai dari setiap kelompk tidak terlalu berbeda. Nilai yang diperoleh lebih rendah dari KKM yaitu 77. Nilai perorangan yang didapatkan oleh setiap siswa paling besar diperoleh oleh siswa yang bernama Mey dari kelompok 1 dengan nilai 76,4, siswa ini juga secara kelompok prestasi termasuk siswa dengan kelompok prestasi sedang. Siswa dengan kelompok prestasi tinggi yang mempunyai nilai tertinggi 74, sedangkan siswa dengan kategori rendah mempunyai nilai paling tinggi 68. Nilai ini menunjukkan bahwa model pembelajaran inkuiri laboratorium terbimbing cocok untuk siswa dengan motivasi belajar yang tinggi dan kemampuan interaksi yang baik.
Enok Aas Nurhayat Program Studi Pendidikan Kimia Jurusan MIPA Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung [email protected]
Perolahan nilai dari setiap kelompok bukan merupakan hasil akhir dari pembelajaran inkuiri laboratorium terbimbing karena selanjutnya peneliti memberikan tes tertulis pada siswa setelah pembelajaran selesai.
Risa Rahmawati Program Studi Pendidikan Kimia Jurusan MIPA Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung [email protected]
Kesimpulan
Yunita Program Studi Pendidikan Kimia Jurusan MIPA Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung
Berdasarkan hasil penelitian terhadap penerapan model pembelajaran inkuiri laboratorium terbimbing pada konsep garam terhidrolisis di kelas XI IPA 1 SMA Negeri Jatinangor diperoleh kesimpulan bahwa hasil belajar siswa pada konsep garam terhidrolisis
ISBN 978-602-19655-4-2
*Corresponding author
312
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Dinamika Fluida Pada Aliran Laminar di Dalam Pipa Melalui Program Aplikasi Tinjauan Comsol Multiphysics 4.2 Erwin Abd.Rauf* dan Suparno Satira Abstrak Dinamika fluida adalah salah satu disiplin ilmu yang mempelajari perilaku dari zat cair dan gas dalam keadaan diam ataupun bergerak dan interaksinya dengan benda padat. Dalam kajian dinamika fluida membahas berbagai karakteristik fluida. Tiga pendekatan kajian (teori, eksperimen, dan komputasi) dilakukan orang dari berbagai disiplin ilmu termasuk fisika untuk memahami karakteristik tersebut. Meskipun diketahui bahwa kebanyakan aliran adalah turbulen dibandingkan laminar, tetapi akan dijelaskan fluida yang mengalir dalam pipa yang dikhususkan aliran laminar berkembang penuh. Pemahaman sederhana dalam pembahasan dinamika fluida dengan membuat analisa menggunakan program Comsol Multiphysics 4.2 untuk persamaan Navier – Stokes pada aliran fluida untuk aliran tunak laminar di dalam pipa. Pengamatan dilakukan untuk mengetahui distribusi dan profil kecepatan dan tekanan serta parameter aliran fluida di dalam pipa. Hasil yang diperoleh bahwa kecepatan dan tekanan di dalam pipa dipengaruhi oleh kecepatan awal(v0), dan nilai viskositas (μ) dari jenis fluida yang mengalir. Kata-kata kunci :dinamika fluida, aliran laminar, Comsol Multiphysic 4.2 dalam ruangan cenderung konstan, meskipun masing-masing partikel dapat berubah baik dalam besar maupun arah selama gerakannya. [2]
Pendahuluan Komputasi dinamika fluida (CFD) adalah suatu cabang dinamika fluida yang menggunakan metode numerik dan algoritma untuk memecahkan dan menganalisa masalah-masalah yang melibatkan aliran fluida. Pembahasan karakteristik fluida yang mengalir di dalam pipa yang panjang, dengan diameter konstan dari sebuah pipa menjadi aliran berkembang penuh yang menunjukkan bahwa profil kecepatannya sama pada setiap penampang manapun dari pipa tersebut. Meskipun diketahui bahwa kebanyakan aliran adalah turbulen dibandingkan laminar, tetapi akan dijelaskan fluida yang mengalir dalam pipa yang dikhususkan aliran laminar berkembang penuh.
Bilangan Reynolds Aliran fluida di dalam sebuah pipa mungkin merupakan aliran laminar atau turbulen. Secara kuantitatif, pengelompokan aliran atas aliran laminar dan turbulen dapat dilakukan dengan menghitung suatu parameter tak berdimensi yang disebut bilangan Reynolds dan didefenisikan sebagai : Re
vd
(1)
Berdasarkan pemikiran diatas, maka akan dibuat analisa dengan menggunakan program Comsol Multiphysics 4.2 untuk persamaan Navier – Stokes pada aliran fluida untuk aliran tunak laminar di dalam pipa.
Dilihat dari kecepatan aliran, menurut Reynolds diasumsikan atau dikategorikan laminar bila aliran tersebut mempunyai bilangan Reynolds (Re) < 2300 aliran Laminar, untuk aliran transisi berada 2300 < Re < 4000 sedangkan aliran turbulen mempunyai bilangan Reynolds (Re) > 4000 [1]
Aliran Fluida
Persamaan Navier-Stokes
Suatu aliran dikatakan kental bila terjadi gerak relatif antara berbagai lapisan yang bergerak sejajar, terjadi gesekan internal sehingga terjadi disipasi energi. Bila gesekan internal ini tak terjadi maka aliran disebut sebagai aliran tak kental. Aliran internal ini dinyatakan dalam parameter viskositas. Pada aliran tidak kental, aliran fluida dapat dikategorikan aliran laminar, aliran transisi,dan turbulen.
Persamaan Navier Stokes dianggap sebagai persamaan diferensial pengatur dari gerakan fluida Newtonian tak mampu-mampat.Persamaan ini memberikan suatu gambaran matematis yang lengkap dari aliran fluida Newtonian tak mampumampat. Maka diperoleh persamaan untuk arah x [3]. 2u 2u (2) u u u p u v g x 2 2 x y x y t x
Dalam aliran tunak, setiap elemen yang melalui titik tertentu akan mengikuti pola yang sama, maka laju aliran fluida pada berbagai titik
ISBN 978-602-19655-4-2
dan untuk arah y
313
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Besarnya gradient tekanan, p lebih besar
2 v 2 v (3) v v v p u v g y 2 2 x y y y t x
x
didaerah masuk dari pada di daerah berkembang penuh, dimana gradien tersebut merupakan sebuah konstanta.
Ketika aliran telah berkembang penuh (fully developed), persamaan Navier-Stokes dapat disederhanakan. Jika alirannya tunak dan memiliki karakteristik kecepatan maka persamaan momentum searah sumbu x dapat dituliskan kembali menjadi :
2u p 2 0 y y
(4) Gambar 2. Distribusi tekanan sepanjang pipa horizontal [3].
Melalui proses dua kali pengintegralan terhadap y dan beberapa asumsi diperoleh persamaan yang menggambarkan profil kecepatan parabolik : u
1 p 2 ( y h2 ) 2 x
Aliran fluida di dalam pipa pada gambar 2 merupakan salah satu kasus yang penting untuk ditinjau guna memahami sifat dasar pergerakan fluida. Hal ini dikatakan demikian karena setidaknya aliran di dalam pipa adalah contoh aliran internal dengan kondisi batas yang sederhana.
(5)
Dari persamaan (4) dapat pula diperoleh laju volume aliran(q), yang melewati pipa sebagai berikut h
q udy
(6)
Data dan Pembahasan
h
Data yang disajikan berikut terdiri atas data pengamatan untuk profil dan distribusi kecepatan serta tekanan. Spesifikasi geometri dari simulasi adalah panjang pipa 20 m dan berdiameter 1 m. Spesifikasi aliran adalah fluida jenis gliserin yang memiliki = 1260 kg/m3, viskositas dinamik (μ) = 1,5 Pa.s. Geometrinya diasumsikan fluida Newtonian,aliran laminar, Incompressible fluid, Steady state flow dan kondisi isothermal.
diperoleh persamaan q
2h 3 p 3 x
(7)
Gradien tekanan p adalah negatif, karena x
tekanan berkurang dalam arah aliran. Jika kita tetapkan Δp mewakili penurunan tekanan antara dua titik yang terpisah sejauh l , maka p p l x
(8)
hubungan-hubungan dalam penurunan tekanan sebanjang pipa dan laju aliran atau kecepatan rata-rata. Kecepatan maksimum, umax terjadi di tengah-tengah pipa yaitu pada y = 0, sehingga dari persamaan (4) diperoleh u max
h2 2
3 p atau u max v 2 x
(a)
(9)
Gambar 3. (a) Distribusi kecepatan v0 = 1m/s, (b) Profil kecepatan v0 = 1m/s
Pada daerah masuk terdapat keseimbangan antara gaya-gaya tekanan, viskos dan inersia (percepatan). Hasilnya adalah distribusi tekanan sepanjang pipa horizontal seperti yang ditunjukkan pada gambar 1 di bawah ini
Gambar 1. Distribusi tekanan sepanjang pipa horizontal [4].
ISBN 978-602-19655-4-2
(b)
Gambar 4. Daerah aliran masuk dan daerah aliran berkembang penuh.
314
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
daerah dengan kecepatan tinggi ke daerah kecepatan rendah, sehingga menimbulkan sebuah gaya dalam arah aliran fluida. Gaya ini adalah tegangan geser viskos. Pada daerah aliran turbulen, lapisan fluida yang jelas tidak lagi terlihat karena hampir semua aliran berbentuk linier dan pada dinding pipa dan lapisan batas berkembang pada sisi masuk. Lapisan batas mengisi keseluruhan pipa, dan aliran disebut berkembang penuh.
Dalam daerah aliran yang tidak berkembang penuh, seperti pada daerah masuk sebuah pipa, fluida mengalami percepatan atau perlambatan selagi mengalir (profil kecepatan berubah dari profil seragam pada bagian masuk pipa menjadi profil berkembang penuh pada ujung akhir daerah masuk), pada daerah masuk terdapat keseimbangan antara gaya-gaya tekanan, viskos dan inersia (percepatan).
Pengamatan dilakukan dengan merubah kecepatan awal dari 1 m/s sampai dengan 5 m/s. Untuk perubahan kecepatan awal yang diikuti dengan perubahan kecepatan maksimum pada tengah pipa dihitung secara analitik dengan menggunakan persamaan (9) dan dibandingkan dengan hasil simulasi disajikan pada tabel 1 sebagai berikut :
Untuk mendapatkan profil kecepatan pada daerah masuk dan daerah aliran berkembang penuh, maka diplot pada salah satu titik pada kedua daerah tersebut dan diperoleh profil kecepatan untuk daerah masuk sebagai berikut.
Umax (m/s)
Secara Analitik Umax (m/s)
1
1
1.4984
1.5
2
2
2.9969
3
3
3
4.4955
4,5
4
4
5.9941
6
5
5
7.4928
7.5
No.
Kecepatan Awal Vo (m/s)
(a)
(b)
Gambar 5. (a) Plot profil kecepatan di titik x = 2 m, (b) Profil kecepatan di titik x = 2 m.
Pada gambar 3 dapat dilihat bahwa kecepatan aliran fluida yang paling besar terjadi pada bagian tengah pipa untuk v0 2m/s dengan nilai sebesar 2,9969 m/s atau setara dengan 3,0 m/s. Hal ini dapat terjadi karena besar kecilnya pengaruh faktor gesek antara fluida dengan dinding pipa. Pada bagian tengah yang jaraknya lebih jauh dari dinding pipa mengalami tekanan yang lebih besar hal ini diakibatkan pengaruh gesekan dengan dinding pipa lebih kecil bahkan bisa dikatakan nol. Sedangkan kecepatan aliran fluida yang dekat dengan dinding pipa jauh lebih kecil, hal ini diakibatkan faktor gesekan yang lebih besar antara fluida dengan dinding pipa, sehingga akan menghambat gerakan fluida yang berpengaruh pada kecepatan aliran fluida yang menjadi lebih kecil
Untuk daerah aliran berkembang penuh adalah:
(a)
(b)
Gambar 5. (a) Plot profil kecepatan di titik x = 18 m, (b) Profil kecepatan di titik x = 18 m. Bentuk relatif profil kecepatan pada aliran laminar berbentuk parabola. Sedangkan bentuk profil aliran turbulen profilnya berbentuk linier di dekat dinding. Bentuk linier ini karena adanya sublapisan laminar pada dinding. Diluar sublapisan ini, profil kecepatan lebih rata jika dibandingkan dengan profil laminar. Mekanisme fisik dari viskositas adalah sebuah pertukaran momentum. Misalkan aliran adalah laminar, molekul bisa berpindah dari satu lamina ke lamina lainnya, membawa momentum sesuai dengan kecepatan aliran. Terdapat momentum yang bergerak dari
ISBN 978-602-19655-4-2
Hasil Simulasi
Distribusi dan Profil Tekanan Selain distribusi kecepatan dan profil kecepatan pada aliran fluida juga dilakukan simulasi terhadap distribusi tekanan. Dengan spesifikasi geometri yang sama untuk fluida jenis gliserin dengan tekanan masuk diberikan sebesar 200 Pa sebagai berikut.
315
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Kesimpulan Pada aliran laminar di dalam pipa diketahui bahwa kecepatan tertinggi berada pada daerah tengah pipa sedangkan kecepatan terkecil berada pada daerah yang lebih dekat dengan dinding pipa dan profil dari kecepatan adalah berbentuk parabolik. Distribusi tekanan pada aliran laminar di dalam pipa mengalami differensiasi tekanan secara merata. Tekanan terbesar terletak pada bagian inlet dan tekanan terkecil berada pada bagian outlet
(a)
Dari hasil pengamatan diperoleh bahwa sifat suatu aliran fluida dapat dinyatakan bahwa aliran merupakan aliran laminar, digunakan beberapa parameter yang berkaitan dengan analisa bilangan Reynolds yaitu kecepatan awal , viskositas, dan besarnya tekanan yang dialami aliran fluida
(b) Gambar 4. (a) Distribusi Tekanan, (b) Profil Tekanan.
Referensi [1] Frank M. White., “Mekanika Fluida” (terjemahan ) edisi kedua jilid 1. Erlangga, Jakarta. [2] Hallyday & Resnick, “Fisika” edisi ketiga Jilid satu. Erlangga, Jakarta, (1999). [3] Munson. B. R, Young.F.D, Okiishi H.T., “Mekanika Fluida” (terjemahan) edisi keempat jilid 1 .Erlangga, Jakarta, (2003). [4] Munson. B.R, Young. F.D, Okiishi H.T.,. “Mekanika Fluida” (terjemahan) edisi keempat jilid 2 .Erlangga, Jakarta, (2003).
Berdasarkan gambar 4 simulasi di atas dapat diketahui bahwa tekanan yang masuk pada pipa (inlet) semakin lama besarnya semakin menurun. Semakin menjauh dari inlet, besarnya tekanan fluida semakin kecil nilainya karena aliran fluida menjadi semakin stabil sehingga kecepatan semakin teratur dan tekanan semakin kecil pula, di mana tekanan paling kecil terdapat pada daerah outlet sebesar 0 Pa. Penurunan tekanan pada pipa hasil simulasi ditunjukkan pada tabel 2 sebagai berikut : Tabel 2. Perhitungan gradien tekanan.
Erwin Abd.Rauf* Magister Pengajaran Fisika Institut Teknologi Bandung [email protected] Suparno Satira KK Fisika Teoretik Energi Tinggi dan Instrumentasi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Bandung, [email protected]
*Corresponding author Perhitungan gradian tekanan pada tabel 2 digunakan persamaan (8) Besarnya gradient tekanan, p lebih besar didaerah masuk dari x
pada di daerah berkembang penuh, dimana gradien tersebut merupakan sebuah konstanta Sifat alamiah aliran pipa sangat bergantung apakah aliran tersebut laminar atau turbulen.
ISBN 978-602-19655-4-2
316
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Analisis Struktur Kristal pada Lapis Tipis Ba0,55Sr0,45TiO3 Faanzir1, Umar1, Ridwan Siskandar2 ,Abdul Wahidin Nuayi2,Heriyanto Syafutra3, Husin Alatas3, dan Irzaman3 Abstrak Telah dilakukan penumbuhan film tipis Ba0,55Sr0,45TiO3 (BST) 1 M dengan waktu penahanan annealing Selama 15 jam pada suhu tetap 800, 850, 900 0C diatas subtract Si (100) tipe p dengan menggunakan metode chemical solution deposition (CSD) yang diikuti proses spin coating pada 3000 rpm selama 30 detik. Analisis struktur Kristal Ba0,55Sr0,45TiO3menggunakan metode XRD menunjukkan bahwa struktur Kristal Ba0,55Sr0,45TiO3 berbentuk pseudo tetragonal. Kata kunci : Struktur Kristal, film tipis, Ba0,55Sr0,45TiO3, Spin Coating, XRD, Pseudo tetragonal. Bahan dan Metode Penelitian
Pendahuluan Penguasaan ilmu dasar dan teknologi film tipis sangat penting dalam pengembangan ilmu bahan massa mendatang. Peranan bahan pyroelektrik LiTaO3, BaxSr1-xTiO3, BGNT dan bahan sensor foton MCT, HgCdTe, GaAs/AlGaAs sangat menarik untuk diteliti karena dalam penerapannya dapat digunakan sebagai sensor cahaya untuk pengembangan teknologi robotik.
Alat dan Bahan 1. Pelarut metoksi etanol, Barium asetat (Ba(CH3COO)2), Stronsium asetat (Sr(CH3COO)2), Titanium isopropoksida (Ti(OC3H7)4), 2. Subtrat /Si(100), 3. Alat timbangan Sartorius, 4. Alat pemanas Furnace Nabertherm Model S27, 5. Seperangkat peralatan sistem reaktor Spin coating, 6. Seperangkat alat X-Ray Diffraction (XRD) tipe 7000 merk SHIMADZU
Model teoritis dan eksperimen untuk meningkatkan mutu film tipis BST dengan metode Chemical Solution Deposition (CSD) dan spin coating berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Frutos et.al,8 Lim et.al,9 dan IBM J. Res. Develop10, kemudian dimodifikasi dengan memperhitungkan faktor-faktor meliputi tegangan permukaan, viskositas film, kerapatan larutan, kecepatan alir fluida, kecepatan berputar, waktu penumbuhan, bentuk substrat, dan proses penguapan pelarut.11,12,13,14,15
Metode Penelitian 1. Penyiapan bahan silikon sebagai subtrat pada ukuran 1x1 cm 2. Dilakukan pencucian pada aquades dan HF 3. Menimbang subtrat Silikon yang telah dicuci 4. Proses pembuatan larutan BST dengan konsentrasi 1 M Ba0.55Sr0.45TiO3 (BST) diawali dengan pencampuran Asetat (Ba(CH3COO)2) 99.999%, Strontium Asetat (Sr(CH3COO)2) 99.995%, asam asetat (CH3COOH) dengan massa tertentu, dikocok dengan sonifikasi. 5. Proses spin coating diawali dengan penetesan larutan BST (murni atau doping) pada : Si (silicon) diputar dengan kecepatan 3000 rpm selama 30 detik. 6. Proses annealing, dilakukan pada suhu annealing (800 0C, 850 0C dan 9000 C), untuk proses pembentukan kristal BST. 7. XRD (X-Ray Diffraction) tipe 7000 merk SHIMADZU untuk menganalisa parameter kisi, grain size dan strain mikro.
Komponen utama XRD yaitu terdiri dari tabung katoda (tempat terbentuknya sinar-X), sampel holder dan detektor. XRD memberikan data-data difraksi dan kuantisasi intensitas difraksi pada sudut-sudut dari suatu bahan. Data yang diperoleh dari XRD berupa intensitas difraksi sinarX yang terdifraksi dan sudut-sudut 2θ. Tiap pol ayang muncul pada pola XRD mewakili satu bidang kristal yang memiliki orientasi tertentu. Persamaan yang disebut dengan hukum Bragg adalah : Beda lintasan (δ) = n λ
(1)
nλ = 2dsinθ
(2)
dengan λ merupakan panjang gelombang, d adalah jarak antar bidang, n adalah bilangan bulat (1,2,3, …) yang menyatakan orde berkas yang dihambur, dan θ adalah sudut difraksi.
Hasil dan Pembahasan Pola difraksi sinar-X film yang dihasilkan pada Gambar 1, menunjukan puncak-puncak
ISBN 978-602-19655-4-2
317
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
difraksi yang terbentuk mengindikasikan partikel film Ba0.55Sr0.45TiO3 memiliki distribusi orientasi kristal. Teramati adanya puncak Si. Munculnya puncak Si dikarenakan masih terlalu tipisnya
lapisan Ba0.55Sr0.45TiO3 yang terbentuk sehingga sinar-X mampu menembus film, dengan demikian hamburan yang dihasilkan berasal dari Si.
Gambar 1. Pola difraksi film Ba0.55Sr0.45TiO3. Tabel 1. Parameter kisi film, grain size dan strain film Ba0.55Sr0.45TiO3 Suhu Annealing (0C)
a (0A)
c (0A)
c/a
800
4.1722
3.9951
850
4.2107
900
4.1862
Parameter kisi
Strain
0.9576
425.569
0.00157
3.9268
0.9326
427.933
0.00158
3.9427
0.9418
167.634
0.01156
a (0A)
c (0A)
3.977
3.988
(200). Hal ini disebabkan oleh banyaknya bidang pendifraksi pada bidang (200) yang memiliki parameter kisi sama dengan jarak yang berdekatan, sehingga gelombang-gelombang yang mengalami difraksi tidak terlalu berbeda fasa, dan cenderung konstruktif3.
Indeks miller film Ba0.55Sr0.45TiO3 ditentukan dari puncak-puncak difraksi dengan menganggap struktur kristal film Ba0.55Sr0.45TiO3 adalah struktur kubik1. Indeks miller yang diperoleh digunakan untuk menentukan parameter kisi dengan menganggap film BST dalam struktur tetragonal2. Tabel 1 memperlihatkan nilai parameter kisi a dan c dari film BST berturut-turut 4.1722Å, 4.2107Å, 4.1862Å dan 3.9951Å, 3.9268Å, 3.9427Å. Parameter kisi c lebih kecil dari parameter kisi a, dengan nilai c/a masing-masing film BST berturutturut 0.9576, 0.9326 dan 0.9418, sehingga diperoleh c/a untuk masing-masing film BST kurang dari 1. Disimpulkan bahwa struktur film Ba0.55Sr0.45TiO3 yang dibuat adalah peusedo tetragonal. Hal tersebut menunjukan telah terjadinya perubahan fasa pada film Ba0.55Sr0.45TiO3 dari struktur tetragonal menjadi peusedo tetragonal.
Perbedaan dari tiga film Ba0.55Sr0.45TiO3 yang disintesa terlihat pada tinggi dan rendahnya intensitas difraksi pada masing-masing film Ba0.55Sr0.45TiO3. Secara keseluruhan intensitas difraksi tertinggi dimiliki oleh sampel dengan suhu annealing 8500C. Intensitas difraksi terendah dimiliki oleh sampel dengan suhu annealing 9000C. Disimpulkan film dengan annealing 8500C adalah sampel yang memiliki struktur kristal paling baik dibanding kedua sampel lainnya. Hal ini dikarenakan semakin tinggi puncak intensitas difraksi maka semakin menunjukan banyaknya jumlah bidang pendifraksi yang seragam dalam orientasi bidang yang sama4. Perbedaan lainnya yaitu terlihat adanya sedikit pergeseran sudut difraksi pada sebagian bidang yang terlihat berbeda disetiap film Ba0.55Sr0.45TiO3. Hal ini
Suatu kristal mengandung beberapa bidang atom. Bidang-bidang ini mempengaruhi sifat dan perilaku material, sehingga bermanfaat untuk mengidentifikasi berbagai bidang dalam kristal. Difraksi kuat tiap film BST terjadi pada bidang
ISBN 978-602-19655-4-2
JCPDS
Grain size (0A)
318
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
[2] JCPDS, “International Centre for Diffraction Data”, USA: Campus Boulevard, (1997). [3] Tipler P. A., “Physics for Scientist and Engineers”, Worth Publisher Inc., (1991). [4] Suhandi A, Sutanto H, Arifin P, Budiman M, Barmawi, “Karakteristik Film Tipis GaAs yang ditumbuhkan dengan Metode MOCVD Menggunakan Sumber Metal Organik TDMAAs (Trisdimethylaminoarsenic)”, J Matematika dan Sains 10, 11-15, (2005). [5] S. Youssef, R. Al Asmar, J. Podlecki, B. Sorli and A. Foucaran, “Structural and optical characterization of oriented LiTaO3 thin films”, Eur. Phys. J. Appl. Phys. 43, 65-71, (2008). [6] V. Kumar, S. K. Sharma, T. P. Sharma, V. Singh, “Band gap determination in thick films from reflectance measurement”, Optical Material. 12, 115-119, (1999). [7] K. Muktavat, A. K. Upadhayaya, “Applied physics”, International Publishing House Pvt. Ltd. New Delhi, (2010). [8] Frutos, J., A.M. Gonzales, M.C. Duro, F. Lopez, J. Meneses, A.J. de Castro and J. Melendez. New Environmental Infrared Sensors. IEEE Electron Device Letters. P. 203 – 206 (1998). [9] Lim, S.S. M.S. Han, S.R. Hahn and S.G. Lee. Dielectric and Pyroelectric Properties of (Ba,Sr,Ca)TiO3 Ceramics for Uncolled Infrared Detectors. Jpn. J. Appl. Phys. 39 (8), p. 4835 – 4838 (2000). [10] Washo, B.D. Reology and Modelling of the Spin Coating Process. IBM Res. Develop. page 190 – 198 (1977). [11] Meyerhofer, D. Characteristics of Resist Films Produced by Spining. J. Appl. Phys. 49 (7), p. 3993 – 3997 (1978). [12] Daughton, W.J. and F.L. Givens. An Investigation of the Thickness Variation of Spun-on Thin Films Commonly Associated with the Semiconductor Industry. J. electrochem. Soc., p. 173 – 179, (1982). [13] Scriven, L.E. Physics and Application Dip Coating and Spin Coating. Mat. Res. Soc. Symp. Proc. 121, page 717 – 729, (1988). [14] Fitrilawati, F., M.O. Tjia, J. Zieger, C. Bubeck. Effects of Solvent and Processing Parameters on the Surface and Optical Qualities of Sincoated PVK Films. (1999), internal publication. [15] Walsh, C.B., and E.I. Franses. Thickness and Quality of Spin Coated Polymers Films by Two Angle Ellisopmeter. Thin Solid Films. 347, p. 167 - 177 (1999).
dikarenakan adanya pengaruh perbedaan perlakuan suhu annealing yang berbeda. International Centre for diffraction Data (JCPDS) memaparkan bahwa film BST memiliki parameter kisi a adalah 3.977 0A, sedangkan c adalah 3.988 0A2. Nilai parameter kisi masingmasing film Ba0.55Sr0.45TiO3 ditunjukan pada Tabel 1. Suhu annealing 8500C memiliki nilai parameter kisi dan grain size paling besar. Kristalitas lapisan film sebanding dengan bertambahnya ukuran grain. Ini berarti bahwa semakin besar grain size dari suatu morfologi film, kualitas kristalnya semakin baik5. Perlakuan panas menggunakan suhu annealing yang bervariasi dapat berpengaruh terhadap mikrostruktur bahan6. Semakin tinggi suhu annealing, semakin besar ukuran grain. Pertumbuhan grain terjadi karena peningkatan suhu memperbesar energi vibrasi termal, yang kemudian mempercepat difusi atom melintasi batas ukuran grain dari grain yang kecil menuju grain yang besar7. Ketika suhu annealing dinaikan menjadi 9000C nilai parameter kisi dan grain sizenya menurun. Hal ini menunjukan fungsi annealing maksimum pada suhu 8500C. Annealing pada suhu 9000C mempengaruhi ukuran grain film menjadi lebih kurang rapat, kurang kompak, kurang teratur dan kurang homogen, sehingga menurunkan grain size dari suatu morfologi film, sehingga kualitas kristalnya menjadi kurang baik. Semakin tinggi suhu annealing akan mengakibatkan ukuran butir kristal film membesar. Membesarnya ukuran butir mempengaruhi jarak atom-atom dalam kristal yang semakin berdekatan sehingga akan mengakibatkan parameter kisi menurun. Kesimpulan Perbedaan perlakuan suhu annealing menyebabkan pergeseran sudut difraksi pada sebagian bidang yang terlihat berbeda disetiap film Ba0.55Sr0.45TiO3. Partikel film Ba0.55Sr0.45TiO3 memiliki distribusi orientasi kristal. Terjadinya perubahan fasa pada film Ba0.55Sr0.45TiO3 dari struktur tetragonal menjadi peusedo tetragonal (c/a < 1). Ucapan Terima Kasih Dirjen Dikti Kemendikbud atas dana Hibah Pekerti untuk Unkhair-IPB. Referensi [1] Suvorova N. A, Lopez, C. M, Irenea, E. A., “Comparison of Interfaces for (BaSr)TiO3 Film Deposited on Si and SiO2/Si Substrates”, J of applied physics 9, 26722673, (2004).
ISBN 978-602-19655-4-2
319
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Faanzir* Teknik Elektro Universitas Khairun Kampus II, Kelurahan Gambesi Kec. Ternate Selatan – Kota Ternate [email protected]
Heriyanto Syafutra Departemen Fisika FMIPA Institut Pertanian Bogor Husin Alatas Departemen Fisika FMIPA Institut Pertanian Bogor
Umar Teknik Elektro Universitas Khairun Kampus II, Kelurahan Gambesi Kec. Ternate Selatan – Kota Ternate
Irzaman Departemen Fisika FMIPA Institut Pertanian Bogor email:[email protected], [email protected]
Ridwan Siskandar S2 Biofisika Departemen Fisika FMIPA Institut Pertanian Bogor.
*Corresponding author Abdul Wahidin Nuayi Mahasiswa S2 Biofisika Departemen Fisika FMIPA Institut Pertanian Bogor.
ISBN 978-602-19655-4-2
320
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Analisis Efesiensi Energi Pada Tungku Berbahan Bakar Sekam Padi Mukhlis1, Indah Rodianawati1, Heriyanto Syafutra2, Husain Alatas2, dan Irzaman2 Abstrak Telah berhasil dibuat tungku berbahan sekam sebagai energy alternative dengan variari tinggi behel 5 cm dan 2 cm. Sekam padi merupakan limbah penggilingan padi yang meliputi kariopsis, terdiri dari dua belahan (lemma dan Palea) yang saling bertautan limbah sekam padi berhasil dimanfaatkan sebagai bahan bakar alternative untuk memasak dengan bantuan tungku pembakaran yang disebut tungku sekam. Tungku sekam digunakan dalam proses pembakaran sekam dengan bantuan aliaran udara pada tungku tersebut. Analisa efesiensi energi tungku sekam diperoleh nilai rentan 7,37 sampai 8,85 %. Kata kunci : energi alternatife, efesiensi tungku sekan, sekam padi 2008; Rohaeti dkk, 2010; Darmasetiawan dkk, 2010; Puspita dkk, 2010). Di tengah-tengah kerucut, ada kendi yang berlubang bagian atas dan bawahnya. Di dalam kendi, dipasang seng berbentuk silinder yang sisi-sisinya diberi lubanglubang kecil. Cara kerja tungku ini, yaitu dengan memasukan sekam dari atas ke kerucut terbalik tersebut dan api dimasukan pada lubang tungku. Kemudian, tinggal mengatur oksigen dari lubang tungku itu. Residu dari tungku yang berupa abu bisa dijadikan abu gosok untuk mencuci. Adapun spesifikasi tungku sekam sbegai berikut:
Pendahuluan Melihat potensi yang besar pada sekam, sangat memungkinkan untuk memasyarakatkan penggunaan sekam sebagai bahan bakar untuk rumah tangga dan warung sebagai pengganti energi kayu atau minyak tanah. Penggunaan sekam sebagai sumber energi telah banyak diteliti. sekam mempunyai nilai kalor 3300 kkal/g. Hal itu menunjukkan sekam dapat digunakan sebagai sumber energi alternatif. Untuk kebutuhan rumah tangga telah diteliti dan ditemukan tungku dengan bahan sekam. Kelebihan tungku adalah sangat hemat karena sekam tersedia sangat banyak di lapangan. Penelitian yang telah dilakukan adalah pengembangan tungku sekam IPB yang hasil energinya dapat menggantikan pula kompor minyak tanah maupun gas untuk ketahanan energi nasional. Kebaharuan tungku sekam adalah penampung sekam berbentuk kerucut terbalik, di mana sekam hanya ditaburkan saja. Dengan memberikan pembakaran awal agar terbentuk bara sekam di bagian bawah tungku maka bara sekam akan menyusut, sedang sekam yang terdapat di atasnya yang belum terbakar secara gravitasi akan turun. Setiap bulir sekam yang menyentuh bara sekam akan menghasilkan api yang baik. Dari gambaran penelitian sebelumnya maka dilakukan pengembangan penelitian dengan membandingkan jumlah energy yang dihasilkan tungku sekam dan efesiensi tungku sekam dengan variasi tinggi behel 5 cm dan 2 cm dalam memanaskan 2 liter air. Tujuanya untuk mengetahui jumlah enegri yang butuhkan tungku sekam dan mengetahui dimensi behel yang lebih efesien dalam pemanfaatan sekam padi sebagai energi alternatife
Gambar 1. Spesifikasi Tungku Sekam hasil Rancangan Departemen Fisika FMIPA IPB (Irzaman dkk, 2008, Rohaeti dkk, 2010; Darmasetiawan dkk, 2010; Puspita dkk, 2010). Keterangan gambar : A. Penampung sekam berbentuk kerucut terbalik B. Silinder pembakaran sekam C. Isolator kompor sekam D. Badan kompor sekam E. Lubang udara F. Penampungan abu sekam sementara
Perhitungan efesiesni tungku sekam Dalam perhitungan efesiensi tungku sekam harus mengetahui laju bahan bakar dengan persamaan berikut: FCR=mt/t .
Teori
Keterangan: FCR = laju bahan bakar
Spesifikasi tungku sekam hasil rancangan Departemen Fisika FMIPA IPB (Irzaman dkk,
ISBN 978-602-19655-4-2
321
(1)
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Mt = massa terpakai T = waktu memasak sedangkan jumlah energi yang dibutuhkan untuk memasak dengan menggunakan persamaan (belonio, 1985)
Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan tiga tahap yaitu: (1) preparasi tungku sekam yakni mereparasi 2 buah tungku sekap dengan masing-masing tinggi behel 5 cm dan 2 cm. Reservoir tungku diisi dengan sekam padi dan apinya dinyalakan sampai stabil. Jika sekam padi telah beruba jadi abu, maka perlu dilakukan penggantian dengan sekam padi yang baru. (2) pengukuran lama pendidihan air yakni panci berisi 2 liter air diletakkan diatas tungku. Air dididihkan sampai suhu mencapai 100 0C dan waktunya dicatat. Pengulanag dilakukan sebanyak 3 kali untuk masing-masing tungku tinggi behel 5 cm dan 2 cm. (3) Perhitungan efesiensi tungku sekam yakni untuk menghitung efesiensi bahan bakar perlu dicari terlebih dahulu laju energi yang dibutuhkan untuk memasak
(2) Keterangan : Qn = laju energi yang dibutuhkan (kcal/jam) Mf = massa makanan (kg) Es = Energi spesifik (kcal/Kg) t = Waktu pemasakan (jam) sedangkan untuk menentukan efesiensi bahan bakar dapat dihitung menggunakan persamaan berikut ;
Hasil dan Pembahasan
. .....................(3) Keterangan;
Hasil pengukuran parameter sistem tungku sekam berbahan sekam padi untuk mendidihkan air 2 liter air dengan jenis tungku yang berbeda
= Efesiensi Bahan Bakar (%) FCR = (Fuel Comsumption Rate) laju bahan bakar yang dibutuhkan (kg/jam) Qn = laju energy yang dibutuhkan (kcal/kg) HVf = (heat Value Fuel) Energi yang terkandung dalam bahan bakar (kcal/kg)
a. Tungku dengan tinggi behel 5 cm
Tabel 1. Hasil pengukuran efesiensi tungku dengan tinggi behel 5 cm
Massa sekam padi (Kg)
Suhu 0 panci C
Percobaan
Suhu 0 arang C
Waktu mendidih (menit)
waktu mendidih (jam)
laju bahan bakar (kg/jam)
energi yang dibutuhkan (kcal/jam)
efesiensi tungku (%)
maw
ms
mar
mt
I
1
0.50
0.20
0.30
100.10
308.80
12.80
0.21
1.41
342.19
7.37
II
1
0.52
0.19
0.29
100.40
300.10
12.26
0.20
1.42
357.26
7.63
III
1
0.51
0.21
0.28
100.60
310.10
13.01
0.22
1.29
336.66
7.90
Mf = 1 Kg
Es = 73 kcal/kg
HVF = 3300 kcal/kg sekitar 1.41, 1.42, dan 1.29 kg/jam, (4) efesiensi tungku sekitar 7.37, 7.36, dan 7.90 %
Tabel 1 memperlihatakan bahwa hasil 3 kali percobaan pada tungku sekam tinggi behel 5 cm di dapatkan bahwa untuk memanasakan 2 liter air diperoleh : (1) massa sekam terbakar sekitar 0.30, 0.29, dan 0,28 kg, (2) waktu mendidih sekitar 0.21, 0.20, dan 0.22 jam, (3) laju bahan bakar
b. tungku dengan tinggi behel 2 cm
Table 2. Hasil pengukuran efesiensi tungku dengan tinggi behel 2 cm Massa sekam padi (Kg) Percobaan
Suhu panci
Suhu arang
Waktu mendidih (menit)
waktu mendidih (jam)
laju bahan bakar
energi yang dibutuhkan
efesiensi tungku
maw
ms
mar
mt
I
1
0.60
0.15
0.25
103.30
309.20
9.29
0.15
1.61
471.47
8.85
II
1
0.58
0.16
0.26
103.80
306.10
9.26
0.15
1.68
473.00
8.51
III
1
0.59
0.16
0.25
104.90
308.10
9.31
0.16
1.61
470.46
8.85
ISBN 978-602-19655-4-2
322
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Mf = 1 Kg
Es = 73 kcal/kg
HVF = 3300 kcal/kg Karbon (Asap) Dengan Metode Kavitasi”, Prosiding Pertemuan Ilmiah XXV Himpunan Fisika Indonesia Jawa Tengah - DI Yogyakarta, halaman 145 – 147, (2011).
Tabel 2 memperlihatkan hasil 3 kali percobaan pada tungku sekam tinggi behel 2 cm di dapatkan bahwa untuk memanasakan 2 liter air di peroleh : (1) massa sekam terbakar sekitar 0.25, 0.26, dan 0.25 kg, (2) waktu mendidih sekitar 0.15, 0.15, dan 0.16 jam, (3) laju bahan bakar sekitar 1.61, 1.68, dan 1.61 kg/jam, (4) efesiensi tungku sekitar 8.85, 8.51, dan 8.85 %.
[3] Belonio, Rice Huso gas store handbook”
Approriate Technology Centre. Departement of Agricultural Engineering and Environmental Management. Collage, (1985).
Dari table tersebut dapat dilihat persentase perbandingan tungku sekam dengan tinggi behel 5 cm dan 2 cm yakni pada tabel 1 dapat dilihat hasil rata-rata 3 kali percobaan efisiensi tungku sekam dengan tinggi behel 5 cm pada pemaskan air 2 liter ialah membutuhkan waktu rata-rata sekitar 0,21jam serta memilki laju konsumsi bahan bakar (FCR) sebesar 1,37 Kg/jam sedangkan energi panas yang dibutuhkan (Qn) untuk mendidihkan air sebanyak 2 liter adalah 345,37 Kcal /jam sehingga diperoleh efisiensi tungku sekam sebesar 7.63% dan data tabel 2 dapat dilihat hasil rata-rata 3 kali percobaan efisiensi tungku sekam dengan tinggi behel 2 cm pada pemaskan air 2 liter ialah membutuhkan waktu rata-rata sekitar 0,15 jam serta memilki laju konsumsi bahan bakar (FCR) sebesar 1,63 Kg/jam sedangkan energi panas yang dibutuhkan (Qn) untuk mendidihkan air sebanyak 2 liter adalah 471.64 Kcal /jam sehingga diperoleh efisiensi tungku sekam sebesar 8.74 %.
[4] E. Rohaeti, N.G. Pamungkas, Irzaman, “Kajian Efisiensi Energi Proses Penyulingan dan Sifat Fisik Hasil Penyulingan Minyak Serai Dapur menggunakan Tungku Sekam dan Heating Mantel”, Berkala Fisika, Jurusan Fisika FMIPA Universitas Diponeoro Semarang, 13(2) h C13 – C20, (2010). [5] H. Darmasetiawan, Irzaman, Demijati, Siswadi, “Kajian Hasil Pembuatan Tiga Macam Ukuruan Lubang Berbentuk Persegi Panjang pada Tubuh Tungku Sekam”, Berkala Fisika, Jurusan Fisika FMIPA Universitas Diponeoro Semarang, 13(2) h. C1 – C4, (2010). [6] Irzaman, H. Darmasetiawan, H. Alatas, Irmansyah, A.D. Husin, M.N. Indro, 22 – 24 July 2008, Workshop on Renewable Energy Technology Applicaitons to Support E3i Village, Jakarta Indonesia. [7] Irzaman, H. Darmasetiawan, H. Alatas, Irmansyah, A. D. Husin, M. N. Indro, 1 – 2 November 2008, Optimization of Energy Efficiency of Cooking Stove with Rice-Husk Fuel. Presented in JAPAN – INDONESIA SYMPOSIUM & EXPO 2008, Kemayoran, Indonesia. [8] Irzaman. Bless Stove. 19 – 21 September 2011, Intel DST Asia Pacific Challenge, Asian Pacific Incubator Network, Bangalore India. [9] M. Rifki, Irzaman, H. Alatas, “Optimasi Efisiensi Tungku Sekam dengan Ventilasi Lubang Utama pada Badan Kompor”, Prosiding Seminar Nasional Sains, FMIPA IPB, halaman 155 – 161, (2008). [10] R.D. Puspita, Desna, A.D. Husin, Irzaman, H. Darmasetiawan, Siswadi, “Tungku Sekam sebagai Bahan Bakar Alternatif pada Sterilisasi Media Jamur Tiram”, Berkala Fisika, Jurusan Fisika FMIPA Universitas Diponeoro Semarang, 13(2) h. C45 – C48, (2010). [11] R. Ridwan, “Giliran Sekam untuk Bahan Bakar Alternatif”, Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 28(2), (2006).
Kesimpulan Persentase efesiensi tungku dengan tinggi behel 6 cm memiliki efesiensi rata-rata 7.63 %, Sedangkan untuk tinggi behel 2 cm memiliki efesiensi rata-rata 8,74 %. Ini artinya bahwa tinggi behel 2 cm lebih efesien dalam memanaskan 2 liter air. Ucapan Terima kasih Penelitian didanai oleh Direktorat Jenderal Pendidikkan Tinggi,Departemen Pendidikkan Nasional sesuai surat perjanjian Pelaksanaan Hibah Pekerti tahun 2013 Referensi [1] A.D. Husin, M. Misbakhusshudur, Irzaman, Jajang Juansah, Sobri Effendy, “Pemanfaatan dan Kajian Termal Tungku Sekam Untuk Penyulingan Minyak Atsiri Dari Daun Cengkeh Sebagai Pengembangan Produk dan Energi Alternatif Terbarukan”, Prosiding Seminar Nasional Sains III FMIPA IPB, halaman 364 – 372, (2010). [2] Asnan, Irzaman, Pudji Untoro, “Efisiensi Energi dari Tungku Sekam dengan Kompor Bahan Bakar Campuran Air, Minyak dan Gas
ISBN 978-602-19655-4-2
323
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
ISBN 978-602-19655-4-2
324
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Husain Alatas Departemen Fisika FMIPA Institut Pertanian Bogor
Mukhlis Teknik Mesin Universitas Khairun Kampus II, Kelurahan Gambesi Kec. Ternate Selatan – Kota Ternate [email protected]
Irzaman Departemen Fisika FMIPA Institut Pertanian Bogor email:[email protected], [email protected]
Indah Rodianawati Teknik Pertanian Universitas Khairun Kampus II, Kelurahan Gambesi Kec. Ternate Selatan – Kota Ternate Heriyanto Syafutra Departemen Fisika FMIPA Institut Pertanian Bogor
*Corresponding author
ISBN 978-602-19655-4-2
325
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Pengembangan Materi Praktikum Elektrokimia Skala Kecil Beserta Video Animasi Tiga Dunia Firdaus* dan Muhamad Abdulkadir Martoprawiro Abstrak Kendala mendasar yang menghambat pembelajaran kimia adalah kondisi laboratorium sekolah yang berbeda-beda, dengan peralatan praktikum yang tidak mencukupi, bahkan di beberapa sekolah tidak tersedia sama sekali karena sulit dan mahalnya. Selain itu terdapat beberapa materi kimia yang sulit dipahami siswa karena memerlukan pemahaman perilaku di tingkat atom, seperti elektrokimia. Pada penelitian ini, dibuat alat praktikum kimia skala kecil (small-scale chemistry), yang diterapkan ke dalam paket pembelajaran yang mencakup video dengan animasi, dan penjelasan berbasis metode 3-dunia (makroskopik, sub-mikroskopik, dan simbol). Hal ini dilakukan untuk memudahkan siswa mempelajari dan memahami elektrokimia khususnya sel Galvani. Langkah-langkah yang dilakukan meliputi tahap persiapan yaitu pembuatan microplate dan jembatan garam dengan menggunakan alat suntik, gabus, tisu dan pipet. Selanjutnya tahap pencarian nilai konsentrasi terkecil bahan yang masih memberikan harga E sel yaitu membuat variasi konsentrasi larutan Cu2+, Zn2+, Fe2+ dan Al3+, dengan rentang konsentrasi 1 M - 0,01M. Potensial sel diukur dengan multimeter digital mini untuk sistem Cu2+- Zn2+, Cu2+- Fe2+, Cu-Al, dan Fe2+-Zn2+. Pada penelitian ini juga dilakukan variasi konsentrasi yang berbeda dari logam yang tereduksi dan logam teroksidasi. Hal ini dilakukan untuk menentukan kecenderungan sifat reduksi dan oksidasi logam tersebut terhadap nilai potensial yang dihasilkan. Dari konsentrasi minimal yang didapatkan, dibuat video percobaan dan animasinya dengan menggunakan software Animasi. Penjelasan disusun dengan metode 3-dunia, yang selanjutnya dirangkum dalam satu paket pembelajaran utuh menggunakan software Windows Movie Maker. Dari pengukuran potensial sel, diperoleh konsentrasi terkecil untuk sistem Cu2+-Zn2+ yang masih memberikan pembacaan potensial yang baik adalah 0,04 M dengan volume 5 mL dengan nilai potensial sel 1,08 V. Hasil untuk sistem lain berturut-turut Cu2+- Fe2+ konsentrasi 0,3 M pada volume 20 mL dengan potensial sel = 0,72 V, Fe2+-Zn2+ konsentrasi 0,06 M dengan potensial sel = 0,35 V. Data percobaan sel Galvani sistem Cu-Zn, Fe-Zn, Cu-Fe dan Cu-Al menunjukkan bahwa semakin besar konsentrasi ion logam teroksidasi, semakin kecil potensial selnya. Penelitian ini menghasilkan alat praktikum berupa microplate dan paket pembelajaran sel Galvani skala kecil yang utuh mencakup video dengan animasi dan penjelasan berbasis metode 3-dunia. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kesempatan yang sama kepada siswa-siswa di berbagai daerah untuk melaksanakan praktikum di sekolahnya, serta memberikan kemudahan untuk memahami prinsip maupun fenomena yang terjadi pada sel Galvani. Selain itu, produk penelitian ini juga diharapkan menarik perhatian guru untuk mengembangkan alat praktikum kimia skala kecil dan paket pembelajaran yang serupa untuk materi kimia lainnya. Kata kunci : kimia skala kecil, elektrokimia, 3-dunia, sel Galvani. dihadapkan kesalahpahaman mahasiswa secara dramatis menurunkan proporsi siswa secara konsisten menunjukkan kesalahpahaman bahwa elektron dapat melakukan perjalanan melalui larutan air. Namun pada kondisi tertentu animasi komputer dan simulasi harus menghilangkan beberapa bagian eksperimen nyata karena alat tidak mampu menggantikan pengamatan langsung fenomena dalam eksperimen yang dapat dijalankan di lingkungan sekolah (Ruang kelas, laboratorium). Orla dan Finlayson (2011) menyatakan bahwa kerja praktek sekarang menjadi bagian utama dari rencana pengajaran kimia. Pengurangan penggunaan bahan kimia ke tingkat minimum di mana eksperimen dapat dilakukan secara efektif dikenal sebagai kimia mikro atau skala kecil. Namun, itu adalah tantangan nyata untuk menemukan waktu untuk melakukan semua percobaan, bertindak sebagai
Pendahuluan Materi elektrokimia yang dipelajari di SMA cukup sulit dan sering menimbulkan kesalahan konsep bagi siswa, konsep yang sulit tersebut diantaranya konsep potensial reduksi [1]. Pada umumnya siswa hanya mengetahui data potensial reduksi yang terdapat dalam tabel tanpa mengetahui dengan baik makna konsep tersebut serta bagaimana mendapatkan datanya. Sanger dan Greenbowe telah mengidentifikasi 'kesalahpahaman mahasiswa dalam elektrokimia [2]. Salah satu kesalahpahaman umum adalah gagasan bahwa aliran elektron melalui jembatan garam dan elektrolit solusi untuk menyelesaikan sirkuit. Burke et al. (1999) menyarankan bahwa menggunakan komputer animasi yang menggambarkan reaksi kimia pada tingkat molekuler dan pendekatan pengajaran yang
ISBN 978-602-19655-4-2
325
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
kecil 12 mL dan ukuran besar 25 mL. Bahan yang digunakan meliputi lempeng tembaga, seng, besi, almunium, garam tembaga sulfat, garam seng sulfat, garam besi sulfat, garam almunium sulfat, garam natrium klorida. Dalam penelitian ini dibuat microplate dari bahan gabus dan alat suntik sebagai wadah reaksi. Untuk meminimalkan penggunaan bahan dalam praktikum sel Galvani maka dalam tahap research dilakukan kegiatan pencarian konsentrasi bahan-bahan dan volume sekecil mungkin yang masih dapat memberikan potensial sel mendekati nilai potensial sel literatur. Larutan yang digunakan Cu2+, Zn2+, Fe2+, Al3+, dengan rentang konsentrasi : 1M-0,01M. Percobaan yang dilakukan direkam dengan menggunakan kamera aiptek AHD 500 yang memiliki spesifikasi Full HD Camcorder dengan kekuatan 16 megapixel. Rekaman video dilakukan pada percobaan pada sistem larutan sel Galvani yang konsentrasinya paling kecil. Software Windows Movie Maker digunakan untuk menyusun video percobaan dan animasi yang dibuat dengan software animasi.
teknisi laboratorium dengan mempersiapkan untuk pekerjaan praktis dan menjaga ketersediaan bahan, menjaga keamanan di laboratorium juga jadi hal utama [3]. Namun dalam mengajarkan konsep-konsep dasar kimia dengan metode praktikum dan animasi perlu dikaitkan dengan metode tiga dunia. Hal ini menjadi sesuatu yang juga sangat penting karena materi kimia tidak terlepas dari 3-dunia yaitu dunia nyata (makroskopik), dunia atom (submikroskopik), dan dunia lambang. Pendekatan 3-Dunia adalah hasil kesepakatan American Chemical Society yang dijadikan sebagai disiplin ilmu untuk memberikan kemudahan dalam mempelajari dan memaknai ilmu kimia. Konstruktivis-animasi instruksi menyediakan animasi visual yang jelas untuk memfasilitasi pemahaman siswa yang kompleks, konsep-konsep imajinasi dan dinamis di tingkat presentasi simbolis, makroskopik dan mikroskopik. perkembangan pesat ilmu pengetahuan dan teknologi seiring dengan perubahan dalam struktur masyarakat mempengaruhi sistem pendidikan. Kecenderungan itu membawa usaha baru dan kebutuhan dalam hal proses kegiatan belajarmengajar. Di antara upaya-upaya baru adalah penggunaan komputer dalam usaha pembelajaran karena mereka dianggap sebagai alat komunikasi yang efektif [4]. Dalam hal tertentu praktikum digunakan untuk melihat persoalan dan mengembangkan pola konsep teori, namun bukan untuk mengilustrasikan teori yang bersifat imajinasi, begitu pula halnya dengan animasi tidak dapat menggantikan praktikum yang bersifat nyata. Selain itu pembelajaran kimia perlu dikaitkan dengan konsep tiga dunia. Dengan demikian dalam pembelajaran kimia perlu dipadukan antara teori, eksperimen dan deskripsi yang dapat dibuat dalam satu paket pembelajaran utuh.
Hasil dan diskusi Mikroplate didesain sedemikian rupa terbuat dari bahan yang mudah didapatkan dan murah yaitu dengan menggunakan gabus dan suntik bekas. Mikroplate tersebut dapat dilihat pada gambar IV.1.
Animasi sel Galvani telah dibuat dengan judul Voltaic Cell dan Constructivist Animation Sel Galvani, Namun dalam pembuatannya tidak memperhatikan pendekatan 3-Dunia sehingga masih bercampur baur antara dunia submikroskopik dan simbolik, selain itu dunia makroskopik ditampilkan dalam bentuk animasi yang seharusnya dunia makroskopik merupakan fenomena nyata yang dapat diamati. Sehingga hasil penelitian menunjukkan 80% responden menganggap bahwa animasi komputer “cukup” untuk memberikan pemahaman ditingkat sekolah menengah, tetapi hampir semua siswa setuju animasi komputer dan simulasi tidak bisa menggantikan percobaan sesungguhnya (96% responden) [5].
Gambar 1. Microplate. Selanjutnya jembatan garam dibuat dengan menggunakan pipet yang dimasukkan dengan tissue sebagai media dari larutan NaCl. Jembatan garam ini memiliki kelebihan bahan yang digunakan mudah didapatkan, biaya murah, dan lebih praktis penggunaannya.
Gambar 2. Jembatan garam.
Teori
Telah banyak diproduksi oleh pabrik, tetapi harganya yang mahal,dan kesulitan pengadaannya membuat banyak sekolah tidak memilikinya, utamanya sekolah yang berada
Dalam penelitian ini alat yang digunakan meliputi : multimeter digital mini, gabus, pisau, penggaris, pensil, tissue, pipet, alat suntik ukuran
ISBN 978-602-19655-4-2
326
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
didaerah terpencil. Pada penelitian ini, alat peraga yang dihasilkan dapat dibuat dan dikembangkan oleh guru maupun siswa. Jika dibandingkan dengan alat makro yang sudah ada, penggunaan alat praktikum ini sangat praktis dan mudah sehingga waktu yang digunakan lebih efisien, dengan demikian siswa dapat mengikuti pelajaran dengan baik. Selain itu menggunakan sedikit bahan kimia sehingga menghasilkan sedikit limbah. Alat ini juga aman digunakan karena terbuat dari plastik.
Layar pelajaran terdiri dari empat tombol utama yaitu tombol ‘alat sel Galvani’, Cu-Zn, Fe-Zn dan Cu-Fe. Setiap tombol utama dilengkapi dengan 3 tombol pelengkap yaitu ‘play’dan 'Restart animasi'. Guru dan siswa bisa mengontrol animasi dengan menggunakan tombol-tombol ini, ulangi setiap tahap animasi atau restart animasi dari awal lagi bila diperlukan. Pada titik ini, penjelasan guru melalui diskrit serta animasi lengkap akan memfasilitasi dan mempromosikan kejelasan dan masuk akalnya ide-ide baru, yang meningkatkan pemahaman siswa. Sebagai contoh, animasi menunjukkan siswa aliran elektron, perubahan kimia dan fisik dari sel Galvani dari waktu ke waktu.
Untuk sel Galvani sistem Cu2+-Fe2+, digunakan volume 20 mL, karena pada keadaan standar konsentrasi 1 M potensial sel memberikan data yang nilainya mendekati literature yaitu sebesar 0,75 V. Hasil yang diperoleh untuk sistem Cu2+- Zn2+ adalah konsentrasi 0,04 dengan volume 5 mL memberikan harga potensial sel = 1,08 V, Cu2+- Fe2+ konsentrasi 0,3 M dengan volume 20 mL memberikan harga potensial sel = 0,72 V, Fe2+konsentrasi 0,06 M memberikan harga Zn2+ potensial sel = 0,35 V.Pada percobaan sel Galvani, jumlah bahan yang digunakan pada umumnya ( volume 100 mL konsentrasi 1 M ), zat yang digunakan sebanyak 1 M x 100 mL = 100 mM. Sedangkan dalam penelitian ini, untuk sistem Cu2+-Fe2+ zat yang digunakan sebanyak 40 ml x 0,3 M = 12 mM, sistem Zn2+-Cu2+ sebanyak 0,04 M x 10 ml = 0,4 mM, dan sistem Fe2+-Zn2+ sebanyak 0,06 M x 10 ml = 0,6 mM. Berdasarkan perhitungan hasil percobaan tersebut, maka apabila dibandingkan dengan jumlah bahan yang pada umumnya digunakan, Apabila dibandingkan dengan jumlah bahan yang digunakan pada umumnya ( volume 100 mL konsentrasi 1 M ), untuk sistem Cu2+-Fe2+ kita dapat menghemat 1/8 kali lipat lebih hemat, sistem Zn2+-Cu2+ 1/250 kali lipat lebih hemat, sedangkan sistem Fe2+-Zn2+ 1/167 kali lipat lebih hemat.
Upaya untuk menyamakan animasi ini dengan fakta, prinsip dan fenomena yang sebenarnya terjadi pada sel Galvani dilakukan agar siswa bisa membedakan dunia makroskopik, dunia submikroskopik dan dunia simbolik. Seperti arus elektron yang mengalir dari katoda ke anoda pada animasi-animasi yang sudah ada selalu digambarkan dengan huruf e- yang bergerak pada kawat, yang tentu saja hal ini dapat menimbulkan miskonsepsi. Siswa akan menganggap bahwa elektron berada pada dunia simbolik berupa huruf e-. Untuk itu dalam pembuatan animasi ini untuk menghindari miskonsepsi elektron diilustrasikan sebagai dua buah bulatan kecil yang menggambarkan bahwa elektron memiliki bentuk bukan sebagai huruf yang digunakan dalam dunia simbolik. Penggambaran ion-ion positif dan negatif pada larutan dan jembatan garam memiliki perbedaan, begitupun dengan warna pada elektroda dan perubahan warna yang terjadi pada larutan perlu disesuaikan dengan warna pada percobaan yang dilakukan agar siswa tidak kebingungan. Paket pembelajaran ini diharapkan dapat membantu siswa untuk dapat memahami prinsip dan fenomena yang terjadi dalam materi elektrokimia dari sisi 3-dunia (makroskopik, submikroskopik, dan simbolik), khususya pada sel Galvani. Berikut gambar tampilan salah satu video animasi 3-dunia untuk sistem Cu-Zn.
Hasil Rekaman percobaan digunakan untuk memenuhi dunia makroskopik sedangkan untuk dunia sub-mikroskopik dan simbolik dibuat dengan software animasi. Berikut gambar layar paket pembelajaran yang dibuat :
Gambar 4. Dunia makroskopik. Gambar 3. Layar Utama Paket Pembelajaran Video Animasi Berbasis 3-Dunia.
ISBN 978-602-19655-4-2
327
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Ucapan Terima Kasih Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Wiwit, Ibu Mimin Aminah, dan Pak Yayat Yang banyak membantu penulis dalam memenuhi kebutuhan penelitian. Referensi [1] Fitriani, W., “Praktikum Skala-Kecil Dengan Alat Sederhana Untuk Mengukur Potensial Reduksi Baku Dan Tak-Baku”, Master Theses from JBPTITBPP, 1-2, (2008). [2] Michael J. Sanger and Thomas J. Greenbowe, Department of Chemistry, University of Northern Iowa, Cedar Falls, IA 50614-0423, Journal of Chemical Education, 76, 853., (1999). [3] Burke, K. A., Greenbowe, T. J., and Windschltl, M. A., “Developing and using conceptual computer animations for chemistry instruction”, Journal of Chemical Education, 75, 1658–1661, (1999). [4] Ersen Çıgrık dkk. Procedia Sosial dan Ilmu Perilaku 1 (2009) 2470-2474 2473. [5] Bayrak, C., ”Effects of Computer Simulations Programs on University Students, Achievments in Physics”, Journal of Distance Education-TOJDE, 9, 1302-6488, (2008).
Gambar 5. Dunia makroskopik + dunia atom.
Gambar 6. Dunia makroskopik + dunia atom + dunia simbol. Kesimpulan
Firdaus*
Apabila dibandingkan dengan jumlah bahan yang digunakan pada umumnya ( volume 100 mL konsentrasi 1 M ), untuk sistem Cu2+-Fe2+ kita dapat menghemat 1/8 kali lipat lebih hemat, sistem Zn2+-Cu2+ 1/250 kali lipat lebih hemat, sedangkan sistem Fe2+-Zn2+ 1/167 kali lipat lebih hemat. Penelitian ini menghasilkan alat praktikum berupa microplate dan paket pembelajaran sel Galvani yang didalamnya mencakup video percobaan, animasi dan penjelasan berbasis metode 3-dunia.
Kelompok Keilmuan Kimia Organik dan Fisik Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Bandung [email protected]
Muhamad Abdulkadir Martoprawiro Ph.D. Kelompok Keilmuan Kimia Organik dan Fisik Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Bandung
[email protected] *Corresponding author
ISBN 978-602-19655-4-2
328
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Konverter DC-AC dengan Multivibrator Digital Untuk Kebutuhan Energi Listrik Rumah Tangga Firman Laurensius Nadeak* dan Suprijadi Abstrak Kondisi pedesaan di Indonesia masih banyak yang belum tersentuh energi listrik terutama dalam hal penerangan. Misalnya, di Sulawesi Utara terdapat 54 desa yang belum dialiri listrik PLN. Untuk itu, diperlukan energi alternatif seperti energi matahari, air dan angin. Energi listrik yang bersumber dari sinar matahari akan disimpan dalam bentuk muatan listrik di aki. Masalah yang timbul adalah tegangan aki berupa tegangan DC 6-12 volt. Oleh karena itu, diperlukan inverter yang dapat menghasilkan tegangan AC 220 volt. Pada makalah ini akan dibahas tentang konverter DC-AC yang berbasis multivibrator CD 4047B . Berdasarkan design dan rancang bangun rangkaian ini diperoleh inverter yang mampu menyalakan lampu pijar 40 watt dengan normal. Kata-kata kunci: energi alternatif, konverter DC-AC, multivibrator pada suatu temperatur menunjukkan karakteristik tertentu dan perubahan bentuknya sangat bergantung pada temperatur. Pada tahun 1900 Plank melaporkan penemuan formulanya yang secara teliti menerangkan spektra radiasi benda hitam untuk semua panjang gelombang dan suhu [4],[5],[6][7] .
Pendahuluan Sebanyak 54 desa di Sulawesi Utara belum dialiri listrik. Rumah penduduk di desa ini menggunakan penerangan dengan lampu berbahan bakar minyak dan listrik swadaya masyarakat. Akibatnya, lampu menyala dalam waktu beberapa jam saja, sehingga kebutuhan energi listrik sering menjadi masalah utama bagi penduduk. Masalah ini bisa diatasi dengan memanfaatkan berbagai sumber energi alternatif seperti biodiesel, tenaga angin, biogas, pembangkit listrik energi pasang surut dan pembangkit listrik tenaga surya. [1],[2].
Efek fotolistrik adalah peristiwa terlepasnya elektron-elektron dari permukaan logam (dinamakan elektron foto) ketika logam tersebut dikenai gelombang elektromagnetik.[5],[7],[8] Prinsip kerja sel surya silikon adalah berdasarkan konsep semikonduktir p-n junction. Sel terdiri dari lapisan semikonduktor doping-n dan doping-p yang membentuk p-n junction, lapisan antirefleksi, dan substrat logam sebagai tempat mengalirnya arus dari lapisan tipe-n (elektron) dan tipe-p (hole). Semikonduktor tipe-n didapat dengan mendoping silikon dengan unsur dari golongan V sehingga terdapat kelebihan elektron valensi dibanding atom sekitar. Pada sisi lain semikonduktor tipe-p didapat dengan doping oleh golongan III sehingga elektron valensinya defisit satu dibanding atom sekitar. Ketika dua tipe material tersebut mengalami kontak maka kelebihan elektron dari tipe-n berdifusi pada tipe-p. Sehingga area doping-n akan bermuatan positif sedangkan area doping-p akan bermuatan negatif. Medan elektrik yan terjadi antara keduanya mendorong elektron kembali ke daerah-n dan hole ke daerah-p. Pada proses ini telah terbentuk p-n junction. Dengan menambahkan kontak logam pada area p dan n maka telah terbentuk dioda, cara kerja sel surya ditunjukkan pada Gambar 1. [4],[6].
Intensitas radiasi matahari di desa ini sama dengan intensitas radiasi matahari rata-rata diseluruh Indonesia yaitu sekitar 4.8 kWh/m2 per hari, hal ini menjadi salah satu alternatif sumber energi listrik yang dapat dimanfaatkan.energi listrik yang diperoleh sel surya berupa tegangan DC, sehingga untuk digunakan dalam peralatan listrik rumah tangga tegangan tersebut harus diubah terlebih dahulu menjadi tegangan AC. Salah satu cara mengubah tegangan DC menjadi AC adalah menggunakan Inverter multivibrator.[2], [3]. Pada makalah ini akan dibahas analisis dan eksperimen pengembangan inverter DC-AC berbasis multivibrator digital dengan menggunakan IC CD 4047 B. Teori Fenomena pemancaran cahaya (gelombang elektromagnetik) dari suatu bahan yang dipanaskan pada suhu tinggi, seperti pada besi dalam sebuah tungku atau elemen pemanas pada kompor listrik dikenal sebagai radiasi termal. Pengukuran spektroskopi terhadap intensitas gelombang elektromagnetik yang dipancarkan sebagai fungsi panjang gelombang λ atau frekuensi f menghasilkan bentuk karakteristik dari spektra tersebut. Spektra radiasi benda hitam
ISBN 978-602-19655-4-2
329
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Gambar 1.cara kerja sel surya[4],[6]. Panel surya atau Panel photovoltaik (PV Panel) adalah perangkat rakitan sel-sel fotovoltaik yang mengkonversi sinar matahari menjadi listrik. Komponen utama panel photovoltaik adalah modul yang merupakan unit rakitan beberapa sel surya. Tegangan keluaran panel surya berupa tegangan DC.[4],[6] Skema perubahan energi matahari menjadi energi listrik ditunjukkan pada Gambar 2.
Gambar 3. Skema rangkaian inverter Komponen-komponen yang digunakan eksperimen adalah: U1 : IC CD 4047 B D1=D2 : dioda VF 4007 U2=U3 : mosfet IRFP 460 V1 : LM 7812 T1 : transformator CT C1 : kapasitor 100 nF R1 : potensiometer 500 kohm A : keluaran IC CD4047 B B : keluaran IC CD4047 B
dalam
Parameter yang diukur dalam eksperimen adalah tegangan sumber (aki), arus masukan ke inverter, tegangan output (transformator) dan arus keluaran. Arus listrik yang dihasilkan pada rangkaian didapat dari baterai basah sering disebut dengan aki. Energi yang diubah oleh mutan (q) yang bergerak melintasi beda potensial (V) adalah qV. Maka daya (P), yang diubah oleh peralatan listrik merupakan kecepatan perubahan energi, adalah
Gambar 2. skema perubahan energi matahari menjadi energi listrik.[9]. Untuk mengubah tegangan DC 12 volt menjadi 220 volt AC digunakan inverter. Inverter yang telah dirancang menggunakan multivibrator digital berbasis IC CD4047B. arus listrik dari energi matahari disimpan di Aki dalam bentuk muatan listrik yang bertegangan DC. Skema rangkaian yang digunakan untuk mendapatkan tegangan AC ditunjukkan dalam Gambar 3.
P daya
energi yang diubah qV waktu t
[10]
Karena muatan yang mengalir persatuan waktu (q/t) merupakan arus listrik (I) maka diperoleh P = IV
(1)
Persamaan (1) juga menyatakan daya yang diberikan oleh sumber teganangan seperti baterai [10] Kecepatan perubahan energi pada hambatan R dapat dituliskan dengan menggunakan hukum Ohm (V= IR), dalam dua cara [10], yaitu: P I 2R
ISBN 978-602-19655-4-2
330
(1-a)
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
P
V2 R
(1-b)
Untuk uji coba performansi inverter digunakan rumus energi listrik (w) adalah perkalian antara daya (P) dengan waktu (t). W = P.t
(2)
Hasil dan diskusi Sinyal keluaran multivibrator IC CD4047B berupa gelombang kotak dengan frekuensi 57 Hz diperoleh dengan menggunakan osiloskop ditunjukkan pada Gambar 4.
Gambar 4. Sinyal keluaran multivibrator IC CD 4047B. Sinyal keluaran dari IC CD4047B akan dikuatkan oleh mosfet IRFP 460 yang selanjutnya dihubungkan dengan transformator step-up. Transformator diberi beban lampu pijar 5 watt, 25 watt, 40 watt, 60 watt dan 100 watt. Foto uji coba rangkaian inverter yang dibuat ditunjukkan pada Gambar 5.
Gambar 5. Foto ujicoba rangkaian inverter (a) sebelum dihubungkan aki (b) setelah dihubungkan aki. Ujicoba rangkaian inverter menggunakan baterai aki 12 volt 5 Ah. Hubungan tegangan output lampu pijar 5 watt (a), 25 watt (b) dan 40 watt (c) dengan waktu ditunjukkan pada Gambar 6. Masing –masing lampu menyala dengan normal untuk tegangan 220 volt, sesuai dengan teori yaitu lampu pijar dengan daya kecil akan menyala lebih lama dibandingkan dengan daya besar.
Gambar 6. Hubungan tegangan keluaran dengan waktu untuk 3 buah lampu pijar.
ISBN 978-602-19655-4-2
331
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Untuk lampu pijar dengan daya diatas 40 watt, seperti lampu pijar 60 watt dan 100 watt tegangan keluaran yang dihasilkan lebih kecil dari 220 volt, sehingga nyala lampu pijar tersebut redup dengan durasi lebih kecil dari satu menit. Hal ini disebabkan daya masukan aki yang digunakan terlalu kecil, yaitu 5Ah. Hubungan tegangan keluaran dengan waktu untuk lampu pijar 60 watt ditunjukkan pada Gambar 7.
Referensi [1] https://www.google.co.id/search/beritamanad o.com. diakses 17 Januari 2013 pukul 10.28 am. [2] www.oocities.org/markal_bppt/publish/.../plrah ard.pdf/ analisis potensi pembangkit listrik tenaga surya di indonesia. diakses 17 januari 2013 pukul 11.20 am [3] http://www.electroschematics.com/diakses 2 februari 2013 pukul 8.13 am [4] Wilman Septina dkk, Pembuatan Prototipe Solar Cell Murah dengan Bahan OrganikInorganik (Dye-sensitized Solar Cell), Institut Teknologi Bandung, Bandung 2007. [5] Serway Jewett, Fisika untuk Sains dan Teknik (Physics for Scientists and Engineers with Modern Physics), Penerjemah Chriswan Sungkowo, Salemba Jakarta [6] Wulandari Handini, Performansi sel Surya,Skripsi FT UI, Jakarta, 2008. [7] Kenneth Krane, Fisika Modern, Penerjemah Hans J Wospakrik, Penerbit Universitas Indonesia, 2011. [8] Serway Jewet,Physics for Scientists and engineers with modern physics ,seventh edition [9] http://www.google.co.id/imgres?imgurl=http:// solarenergylive.com/images/solar_power_ho me_system.jpg&imgrefurl=http://solarenergyli ve.com/ diakses 1/14 2013 pukul 2.34 pm [10] Douglas C. Giancoli, “Fisika 2”, Penerjemah Yuhilza Hanum dan Irwan Arifin, Penerbit Erlangga, Jakarta, Edisi Kelima, 2001, p. 74.
Gambar 7. Hubungan tegangan keluaran dengan waktu untuk lampu pijar 60 watt. Performansi inverter terlihat pada Tabel 1.
yang
dikembangkan
Tabel 1. Nilai parameter ujicoba performansi rangkaian
daya(watt) 5 25 40 60
waktu(menit) 35 17 10 <1
Rangkaian inverter yang dibuat mampu menyalakan lampu secara normal selama 10 menit untuk lampu pijar 40 watt, 17 menit untuk lampu pijar 25 watt dan 35 menit untuk lampu pijar 5 watt.
Firman Laurensius Nadeak* Magister Pengajaran Fisika Institut Teknologi Bandung Email: [email protected]
Kesimpulan Suprijadi KK Fisika Teori Energi Tinggi dan Instrumentasi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Bandung E-mail : [email protected]
Telah berhasil dibuat rangkaian inverter tegangan DC menjadi AC berbasis multivibrator IC CD4047 dengan menggunakan baterai 12 volt 5 AH mampu menyalakan lampu pijar 40 watt secara normal selama 10 menit.
*Corresponding author
ISBN 978-602-19655-4-2
332
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Eksperimen Hukum-Hukum Radiasi Termal: Hukum Kuadrat Terbalik, Hukum Stefan-Boltzmann serta Pengaruh Warna Permukaan terhadap Radiasi Termal Hadyan Akbar*, Vivi Nur Huda, Sinta Sri Ismawati, Mohamad Soleh, Nofitri, Herlin Verina, Robi Sobirin, dan Irzaman Abstrak Semua permukaan bahan memancarkan radiasi termal yang intensitasnya bergantung pada temperatur dan karakteristik permukaan bahan tersebut. Tujuan penelitian ini adalah membahas pembuktian hukum radiasi termal meliputi hukum kuadrat terbalik, hukum Stefan-Boltzmann serta pengaruh warna permukaan terhadap radiasi termal. Sumber radiasi termal yang digunakan adalah kubus radiasi termal dan lampu StefanBoltzmann. Pengambilan data dilakukan sebanyak lima kali ulangan untuk setiap eksperimen. Dari eksperimen hukum kuadrat terbalik, terlihat bahwa radiasi sebanding dengan kuadrat terbalik jarak. Untuk eksperimen hukum Stefan-Boltzmann, didapatkan bahwa radiasi yang dipancarkan lampu Stefan-Bolzmann sebanding dengan pangkat empat temperatur filamen. Sedangkan pengaruh warna terhadap radiasi termal terlihat bahwa warna putih mengemisikan radiasi termal dengan intensitas terbesar dibandingkan warna hitam, kusam, atau silver. Kata-kata kunci: kuadrat terbalik, radiasi termal, Stefan-Boltzmann, temperatur filamen Eksperimen ini menggunakan set-up peralatan sensor radiasi, kubus radiasi termal, lampu StefanBoltzmann, multimeter, dan penggaris. Sensor radiasi (PASCO TD-8553) merupakan elemen pendeteksi yang menghasilkan voltase sebanding dengan intensitas radiasi. Sensor ini dapat menghasilkan tegangan dengan range mikrovolt sampai dengan 100 milivolt. Kubus radiasi termal (PASCO TD-8554A) merupakan kubus dengan empat permukaan berbeda dan dapat dipanaskan sampai temperatur 120°C. Temperatur dapat dihitung dengan mengukur nilai hambatan pada kubus yang dapat dikonversi menjadi temperatur. Lampu Stefan-Boltzmann (PASCO TD-8555) merupakan sumber radiasi panas temperatur tinggi (dapat mencapai 3000°C). Temperatur filamen dapat dihitung dengan mengukur tegangan dan arus [2].
Pendahuluan Energi panas dapat ditransfer dalam tiga bentuk, yaitu konveksi, konduksi, dan radiasi. Radiasi termal merupakan fenomena radiasi gelombang elektromagnetik yang disebabkan oleh temperatur suatu permukaan bahan. Pemanfaatan pengetahuan mengenai radiasi termal sangat berkembang pesat seiring perkembangan teknologi. Tulisan ini berisi hasil eksperimen dari hukumhukum radiasi termal yang meliputi hukum kuadrat terbalik, hukum Stefan-Boltzmann serta pengaruh warna permukaan terhadap radiasi termal dengan ulangan sebanyak lima kali. Teori Semua permukaan bahan memancarkan radiasi termal yang spektrum intensitasnya bergantung pada temperatur dan karakteristik permukaan bahan tersebut. Karakteristik radiasi termal dari permukaan bahan mengikuti hukum kuadrat terbalik dan hukum Stefan-Boltzmann. Hukum Stefan-Boltzmann menyatakan bahwa energi radiasi total yang dipancarkan keluar dari bagian terbuka per satuan waktu sebanding dengan pangkat empat temperatur mutlaknya.
Pada dasarnya eksperimen Stefan-Boltzmann dapat dilakukan dengan mengganti sumber radiasi termal (lampu Stefan-Boltzmann) dengan lampu pijar komersial dengan daya yang bervariasi dan akan didapatkan hasil yang sesuai dengan teori [3]. Radiasi termal dapat diaplikasikan dalam banyak hal seperti pada sistem pembangkit termofotovoltaik [4]. Selain itu, radiasi termal juga berperan penting dalam proses industri polimer. Kualitas produk akhir bergantung pada faktor sistem kontrol panas [5].
Perpindahan kalor radiasi menyangkut mekanisme fisik adalah perambatan energi elektromagnetik yang dipancarkan suatu benda karena temperaturnya. Angka emisivitas termal akan bertambah dengan naiknya temperatur dan semakin bertambah pula jika permukaannya semakin gelap [1].
ISBN 978-602-19655-4-2
Hasil dan diskusi Pada eksperimen hukum kuadrat terbalik, digunakan lampu Stefan-Boltzmann dengan power supply 10 V. Jarak divariasikan mulai dari 2.5cm sampai 100cm (atau sampai radiasi yang terbaca
333
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
pada voltmeter bernilai 0). Jarak diukur dari ujung sensor sampai filamen pada lampu (radiasi panas terbesar berasal dari filamen). Dari data didapatkan semakin jauh jarak lampu dengan sensor, maka radiasi yang diterima semakin kecil. Jika dilihat grafik antara radiasi terhadap jarak maka terlihat hubungan eksponensial negatif (Gambar 1). Apabila diplot grafik radiasi dengan kuadrat terbalik jarak didapatkan garis yang linier dan sesuai dengan teori yang ada (Gambar 2). Gambar 3. Grafik radiasi terhadap temperatur filamen.
Gambar 1. Grafik radiasi terhadap jarak.
Gambar 4. Grafik radiasi terhadap temperatur pangkat empat fiamen. Dari eksperimen pengaruh warna terhadap radiasi panas digunakan sumber panas berupa kubus radiasi termal dengan variasi daya 5W, 6.5W, 8W, dan High. Disimpulkan bahwa semakin besar daya maka radiasi termal yang tertangkap sensor semakin besar, dengan masing-masing permukaan dengan warna yang berbeda memberikan nilai yang berbeda. Permukaan warna putih mengemisikan radiasi termal lebih besar dibandingkan warna hitam, kusam, maupun silver. Hasil ini sedikit berbeda dengan literatur yang ada dimana warna hitam mengemisikan radiasi termal 100% dan warna putih 96.86% [2].
Gambar 2. Grafik radiasi terhadap kuadrat terbalik jarak. Pada eksperimen hukum Stefan-Boltzmann digunakan lampu Stefan Boltzmann dengan catu daya bervariasi dari 1V sampai dengan 12V sehingga didapatkan temperatur filamen yang berbeda dan berakibat perbedaan pembacaan radiasi termal oleh sensor. Jarak antara sumber termal dengan sensor disusun konstan dengan jarak 6cm (agar tidak ada efek hukum kuadrat terbalik). Dari data yang didapat jika diplot grafik radiasi dengan temperatur maka terlihat eksponensial positif (Gambar 3). Apabila diplot grafik radiasi terhadap temperatur pangkat empat maka didapatkan garis yang linier (Gambar 4). Hal ini sesuai dengan hukum Stefan-Boltzmann.
Tabel 1. Pengaruh warna dan daya lampu terhadap radiasi termal. Daya
Putih
Hitam
Kusam
Silver
5
1.58
1.44
0.58
0.2
6.5
1.86
1.82
0.72
0.24
8
2.22
2.14
0.84
0.24
High
2.54
2.48
0.98
0.28
Kesimpulan Hasil dari keseluruhan eksperimen sesuai dengan teori dari hukum kuadrat terbalik dan hukum Stefan-Boltzmann. Untuk eksperimen pengaruh warna terhadap radiasi terlihat bahwa
ISBN 978-602-19655-4-2
336
Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Hadyan Akbar* Mahasiswa Departemen Fisika Institut Pertanian Bogor [email protected]
warna putih dapat ditembus radiasi termal dengan intensitas terbesar dibandingkan warna hitam, kusam, atau silver. Ucapan Terima Kasih
Vivi Nur Huda Mahasiswa Departemen Fisika Institut Pertanian Bogor [email protected]
Penulis mengucapkan terima kasih atas bimbingan dari Irzaman selaku dosen ahli dan teman-teman asisten praktikum yang telah membantu, serta kepada Departemen Fisika Institut Pertanian Bogor atas dukungan penyediaan laboratorium dan peralatan dalam eksperimen ini.
Sinta Sri Ismawati Mahasiswa Departemen Fisika Institut Pertanian Bogor [email protected]
Referensi
Mohamad Soleh Mahasiswa Departemen Fisika Institut Pertanian Bogor [email protected]
[1] FA. Rusdi Sambada, “Pengaruh Warna terhadap Emisivitas Termal pada Kaca”, SIGMA, Vol.4 , No.2. ISSN 1410-5888 (2001) [2] Bruce Lee and Eric Ayres, “Instruction Manual and Experiment Guide for PASCO Scientific Model TD-8553/ 8554A/ 8555 Thermal Radiation System”. PASCO Scientific. [3] Imtiaz Ahmad, Sidra Khalid, and Ehsan E. Khawaja, “Filamen Temperatur of Low Power Incandesecent Lamps : Stefan-Boltzmann Law”, Journal Physic Education, Vol.4 , No.1. ISSN 1870-9095 (2010). [4] Makoto Shimizu and Hiroo Yugami, “Thermal Radiation Control by Surface Gratings as an Advance Cooling System for Electronic Device”, Journal of Thermal Science and Technology, Vol.6, No.2. DOI : 10.1299 /jtst. 6.297 (2011). [5] Stanford Shateyi and Sandile Sydney Motsa, “Thermal Radiation Effect on Heat and Mass Transfer over an Unsteady Stretching Surface”, Research Article, Volume 2009, DOI : 10.1155/ 2009/965603.
Nofitri Mahasiswa Departemen Fisika Institut Pertanian Bogor [email protected] Herlin Verina Mahasiswa Departemen Fisika Institut Pertanian Bogor [email protected] Robi Sobirin Mahasiswa Departemen Fisika Institut Pertanian Bogor [email protected] Irzaman Staff Pengajar Departemen Fisika Institut Pertanian Bogor [email protected], [email protected] *Corresponding author
ISBN 978-602-19655-4-2
337
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Pembelajaran Tekanan Hidrostatik, Kapilaritas, Dan Debit Zat Cair Melalui Power Point, Video, dan Modul Eksperimen Islamiani Safitri* dan Siti Nurul Khotimah Abstrak Masalah yang sering dihadapi di beberapa sekolah adalah kesulitan guru dalam mentransfer bahan ajar fisika kepada siswanya. Untuk mengatasi masalah tersebut, dapat dilakukan desain perangkat pembelajaran fluida statik dan dinamik berupa power point, video, dan modul eksperimen. Penentuan tinggi permukaan dua jenis cairan dalam pipa U ditentukan dengan prinsip tekanan hidrostatika, sedangkan penentuan sudut kontak dan kenaikan kapilaritas dilakukan dengan memvariasikan diameter pipa kapiler. Penentuan laju dan debit aliran pada fluida dinamik dilakukan dengan menggunakan beaker yang berlubang di bagian samping. Percobaan menghasilkan persen beda tinggi permuakaan cairan adalah 5,3% - 14,4%, serta kenaikan kapilaritas sebesar 0,00425 m untuk pipa berdiameter 0,0025 m dan 0.00555 m untuk pipa berdiameter 0,002 m. Besar sudut kontak air yang didapatkan adalah 68,90-69,90. Dengan menghitung debit dari grafik volume sebagai fungsi waktu, didapatkan laju aliran yang keluar lubang beaker mengecil terhadap waktu. Hasil percobaan yang diperoleh dibandingkan dengan hitungan fluks volume serta hukum Torricelli. Jarak terjauh jatuhnya air di lantai juga ditentukan. Kata-kata kunci:kapilaritas, sudut kontak, debit, dan laju aliran ini, topik fisika yang menjadi bahasan adalah “Fluida Statik dan Fluida Dinamik.”
Pendahuluan Guru fisika yang profesional harus memiliki beberapa kompetensi dalam perencanaan dan pelaksanaan proses pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. Untuk itu guru dituntut mampu menyampaikan bahan ajar dengan sebaik mungkin, yaitu wajib menguasai konsep dan prinsip dasar fisika, terampil dan mampu mengembangkan diri, kreatif dalam mengajar, serta dapat membawa siswanya untuk menyenangi pelajaran fisika.
Teori Fluida Statik Fluida adalah suatu zat yang dapat mengalir karena tidak dapat menahan tegangan geser. Dalam alirannya, fluida dapat menyesuaikan diri dengan bentuk sembarang wadah yang ditempatinya. [1]. Setiap fluida memiliki densitas yang berbedabeda. Densitas atau massa jenis (ρ) merupakan ukuran konsentrasi zat yang dinyatakan dalam massa per satuan volume. Sifat ini ditentukan dengan cara menghitung perbandingan massa zat yang terkandung dalam suatu bagian tertentu terhadap volume bagian tersebut.
Namun persiapan itu saja tidaklah cukup dalam mengajarkan fisika. Kasus yang sering dihadapi di berbagai instansi pendidikan adalah kesulitan guru fisika dalam mentransfer bahan ajar kepada siswanya. Fasilitas laboratorium yang kurang lengkap dan rendahnya kreativitas mengajar menjadikan guru tidak produktif dalam mengembangkan pedagogik siswa di bidang fisika. Akibatnya, siswa merasa bosan dan tidak tertarik untuk belajar sehingga berimbas pada kurangnya pemahaman konsep fisika.
(1)
Tabel 1. Densitas dari berbagai cairan[2]. Suhu (± 0,5 0C)
Densitas (± 0,0025 g/cm3)
Oli SAE 40
25
0,88
Minyak Kelapa
25
0,91
Air
25
1,00
Gliserin
25
1,26
Nama Zat
Untuk membantu mengatasi kasus tersebut, dibutuhkan perangkat pembelajaran untuk mempermudah guru fisika dalam mentransfer bahan ajarnya sehingga siswa memiliki pemahaman konsep dasar fisika yang baik. Lebih dari itu, guru juga dengan mudah dapat menggali kreativitas siswa sehingga muncul inovasi baru dan bermanfaat. Perangkat pembelajaran yang dimaksud meliputi pembuatan ringkasan materi ajar dalam power point yang dilengkapi dengan video dan modul eksperimennya. Pada penelitian
ISBN 978-602-19655-4-2
m V
Tekanan zat cair dalam keadaan statik dan hanya disebabkan oleh beratnya sendiri disebut tekanan hidrostatika. Adapun persamaan tekanan hidrostatika adalah sebagai berikut.
338
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
p p0 gh
h. Ketika penutup lubang dibuka, ketinggian air berkurang dengan laju aliran v2.
(2)
Sudut Kontak dan Kapilaritas
Untuk menentukan v2 pada lubang, dapat diterapkan persamaan Bernoulli. Titik 1 terletak pada permukaan beaker dan titik 2 pada permukaan lubang. Karena diameter lubang jauh lebih kecil dari diameter beaker, maka kecepatan air dipermukaan gelas dianggap 0 (v1 = 0). Permukaan gelas beaker dan permukaan lubang dalam kondisi terbuka sehingga tekanan keduanya sama dengan tekanan atmosfir, P1 = P2 = Pu. dengan demikian persamaan Bernoulli untuk kasus ini adalah sebagai berikut.
Pertemuan gas-cairan umumnya membentuk lengkungan ke atas atau ke bawah di dekat permukaan padat. Sudut θ yang dibentuk oleh lengkungan tersebut adalah sudut kontak (contact angel) dan kurva permukaan cairan disebut meniscus. Ketika gaya kohesi antar partikel lebih kecil daripada gaya adhesinya, maka cairan akan membasahi atau melekat pada permukaan padat. Bidang batas cairan-gas tersebut akan membentuk kurva yang melengkung ke bawah (cekung) dan memiliki sudut kurang dari 90o.
p1 gy1 pi gh1
Tegangan permukaan menyebabkan terbentuknya bagian yang tinggi dan rendah pada cairan dalam tabung yang sempit. Efek inilah yang disebut dengan kapilaritas, yaitu peristiwa naik atau turunnya permukaan zat cair pada pipa kapiler.
2 cos rg
(4)
Fluks Volume Laju aliran pada lubang juga dapat dicari dengan pemdekatan analitik fluks volume. Jika volume awal air dalam gelas beaker adalah A1h1 dan volume air per satuan waktu yang mengalir pada lubang adalah A2v2, maka volume yang tersisa di dalam gelas beaker A1h. Sehingga dapat diturunkan sebagai berikut.
(3)
Vol awal – Vol mengalir = Vol terisa
Fluida Dinamik
A1h1 A2 v2 t A1h
Hukum Torricelli
Jika t = 0, maka volume awal sama dengan volume tersisa. Namun, jika t = t, maka penurunannya adalah:
Jika air di dalam wadah mengalami kebocoran, kelajuan air yang memancar keluar dari lubang tersebut dapat dihitung. Berdasarkan Hukum Toricelli, jika diameter lubang kebocoran pada dinding wadah sangat kecil dibandingkan diameter wadah, kelajuan air yang keluar dari lubang sama dengan kelajuan yang diperoleh jika air tersebut jatuh bebas dari ketinggian h.
h1
1 1 (0) 2 pu gh2 v22 2 2
v2 2 gh
Gambar 1. Sudut kontak air dan raksa [3].
h
1 2 1 v1 p2 gy2 v22 2 2
A2 v2 t A1h1 A1h v2
A1 (h1 h) A2 t
(5)
Persamaan 5 merupakan laju aliran air pada lubang dengan menggunakan pendekatan analisa fluks volume.
h
Eksperimen Tekanan Hidrostatik Dua jenis cairan dengan densitas yang berbeda dimasukkan ke dalam pipa U, kemudian diamati tinggi permukaan cairan pada tabung kiri (air dan minyak) dan kanan (air dan gliserin).
Gambar 2. Aliran fluida pada gelas beaker berlubang Gambar 2. menunjukkan sebuah wadah berisi air dengan ketinggian tertentu dalam keadaan awal statis. Pada bagian dinding bawah diberi lubang dengan luas penampang A2, berbeda dengan luas penampang wadah A1. Ketinggian antara permukaan air dengan pusat lubang adalah
ISBN 978-602-19655-4-2
339
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
hA
Pada tabung sebelah kanan, baik air maupun gliserin akan selalu berada di posisi paling bawah jika dicampur dengan oli atau minyak kelapa. Hal ini terjadi karena air dan gliserin memiliki densitas lebih besar dibandingkan dengan densitas minyak kelapa dan oli. Namun, jika gliserin dicampur dengan air, maka gliserin terlihat berada di posisi paling bawah, hal ini terjadi karena densitas gliserin lebih besar dibandingkan dengan densitas air. Cairan dengan densitas yang lebih besar akan selalu berada di posisi paling bawah. Di bawah ini adalah data hasil pengamatan kenaikan kapilaritas pada air.
hB
Gambar 3. Tinggi permukaan dua jenis cairan pada Pipa U. Kapilaritas Pipa kapiler dengan diameter yang berbedabeda (0,2 cm, 0,25 cm, dan 0,45 cm) dicelupkan satu per satu ke dalam beaker berisi air, kemudian diamati kenaikan kapilaritasnya.
Tabel 3. Hasil pengamatan kapilaritas
Gambar 4. Kenaikan kapilaritas pada air.
Dua beaker berdiameter 8,5 cm dan 11,5 cm yang memiliki lubang masing-masing 3 mm dan 1 mm. Beaker diisi air ketika lubang dalam keadaan tertutup. Kemudian penutup di buka (lihat Gambar 2) dan diamati jarak maksimum (x) air pertama kali jatuh dan perubahan tinggi h sebagai fungsi waktu.
Fluida Dinamik Berdasarkan eksperimen fluida statik untuk pengamatan tinggi permukaan dua jenis cairan pada pipa U yang dilakukan, diperoleh data sebagai berikut.
hB eks (cm)
% Beda
Air
Minyak kelapa
6,6
7,2
8,3
14,4
Air
Oli
7,0
7,9
8,4
5,6
Gliserin
Oli
7,4
10,6
11,0
3,8
Gliserin
Air
9,2
11,6
12,9
11,2
Gliserin
Minyak kelapa
9,6
13,3
14,0
5,3
-
0,0025
0,00425
68,9
0,0020
0,00555
69,9
Berikut ini grafik hasil eksperimen fluida dinamik.
Data tabel 2 menyatakan bahwa tinggi awal permukaan cairan (air atau gliserin) yang belum dicampur dengan cairan lain adalah sama, artinya hA sama dengan hB. Namun, ketika cairan tersebut dicampur dengan cairan lain, permukaan hA lebih rendah dari permukaan hB.
ISBN 978-602-19655-4-2
0
Fluida Dinamik
Tabel 2. Data pengukuran dua jenis cairan pada Pipa U. hB hit. (cm)
o θ air ( )
Jika γ air, percepatan gravitasi g, dan ρ air masing-masing adalah 0,0756 m [4], 9,8 m/s2, dan 1000 kg/m3, maka sudut kontak air untuk pipa kapiler berdiameter 0,002 m dan 0,0025 m adalah 68,90 dan 69,90, artinya gaya kohesi air lebih kecil dari gaya adhesinya sehingga air membasahi dinding.
Hasil dan Diskusi
hA (cm)
h air (m)
Data table 3 menyatakan bahwa jika pipa kapiler dicelupkan ke dalam air, terjadi kenaikan kapilaritas. Dimana semakin kecil diameter pipa, maka semakin tinggi pula kenaikan kapilaritasnya. Namun, pada pipa kapiler berdiameter 0,0045 m tidak teramati adanya kenaikan kapilaritas. Hal ini terjadi karena rentang untuk diameter pipa kapiler yang mungkin masih teramati kenaikan kapilaritasnya adalah 0,0005 m - 0,003 m.
Debit Zat Cair
Jenis Fluida
Diameter Pipa kapiler (m) 0,0045
Gambar 5. Grafik laju v air pada berdiameter 3 mm sebagai fungsi waktu.
340
lubang
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Tabel 3. Data pengukuran jarak maksimum aliran air yang jatuh.
Gambar 6. Grafik laju v air pada berdiameter 1 mm sebagai fungsi waktu.
Xmaks eksp. -2 (x 10 m)
Xmaks hit. -2 (x 10 m)
% Beda
3,8
4,3
11,6
3
6,5
5,1
27,0
Data tabel 3 menyatakan bahwa jarak maksimum air jatuh pada diameter lubang yang lebih besar akan lebih jauh, namun persen bedanya semakin besar. Hal ini terjadi karena laju air pada saat pertama kali mengalir sangat cepat sehingga cukup sulit untuk mengamati jarak maksimum air ketika jatuh.
lubang
Titik dimana t = 0 merupakan kondisi awal ketika penutup lubang tepat akan dibuka, yaitu tepat air akan mengalir. Berdasarkan h (t) dan volume tertampung yang diperoleh dari hasil eksperimen, dapat dihitung debit aliran air dan laju aliran v2 (t) praktek. Debit aliran Q diperoleh dari perubahan volume sebagai fungsi waktu yaitu dV Q A2 v2 A1v1 , sedangkan v2 (t) praktek dt diperoleh dari perbandingan Q terhadap A2, maka Q v2 . Dengan menggunakan h (t) yang A2 diperoleh dari eksperimen, dapat dihitung v2 (t) Toricelli dan v2 (t) fluks volume sebagai pembanding.
Kesimpulan Dua jenis cairan dalam pipa U baik berdiameter sama maupun berbeda, cairan yang densitasnya lebih besar akan selalu berada di posisi paling bawah. Densitas gliserin air >
minyak oli SAE 40 Terjadi kenaikan kapilaritas air pada pipa berdiameter 0,002 m dan 0,0025 m, dimana kenaikan kapilaritas pada pipa yang berdiameter lebih kecil akan lebih tinggi. Besar sudut kontak θ air adalah 68,90 dan 69,90.
Grafik pada Gambar 5 dan 6 menunjukkan sebuah laju aliran air yang kontinu terhadap satu satuan waktu. Dalam penghitungan v2 (t) Torricelli dan v2 (t) fluks volume, h (t) yang digunakan adalah h (t) yang diperoleh dari eksperimen sebagai pembanding untuk v2 (t) praktek. Dari grafik terlihat bahwa v2 (t) Torricelli selalu lebih besar dari v2 (t) praktek, hal ini dikarenakan ada perbedaan kondisi antara eksperimen dengan Torricelli. Hukum Toricelli digunakan jika perbandingan luas wadah dengan lubang adalah sangat besar sehingga v1 = 0, namun pada eksperimen masih teramati tinggi air pada wadah yang terus berkurang sehingga v1 tidak dapat dianggap nol.
Laju aliran v2 (t) torricelli selalu lebih besar dari v2 (t) eksperimen. Persen beda antara v2 (t) praktek dengan v2 (t) fluks volume adalah 13,8% 56,4% untuk diameter lubang 3 mm dan 0,1% 21,5% untuk diameter lubang 1 mm. Persen beda antara xmaks praktek dan xmaks hitung adalah 11,6% untuk diameter lubang 1 mm dan 27% untuk diameter lubang 3 mm. Referensi [1] Hallyday dan Resnick, “Dasar-dasar Fisika”, Jilid 1 Versi Diperluas. Tangerang: Binarupa Aksara Publisher, 568, (2010). [2] Safitri, Islamiani, “Perangkat Pembelajaran Fluida Statik dan Dinamik Berupa Power point, Video, dan Modul Eksperimen”, Proyek akhir Magister, ITB, 2013, hal.22. [3] http://nsaadah75.wordpress.com/2011/02/28/ kapilaritas/ accesed 14 Juny 2013, 01:11 am [4] Young dan Freedman. 2002. Fisika Universitas, Edisi Kesepuluh Jilid 1. Jakarta: Erlangga. Hal. 436.
Untuk v2 (t) fluks volume juga terlihat lebih besar dari v2 (t) praktek dengan persen beda 13,8% - 56,4% untuk diameter lubang 3 mm dan 0,1% - 21,5% untuk diameter lubang 1 mm. Hal ini terjadi karena fluks volume digunakan pada aliran yang benar-benar stabil, artinya tepat pada saat air mengalir dengan mulus. Sedangkan pada v2 (t) praktek, perhitungan laju aliran dilakukan pada kondisi awal hingga akhir aliran air sehingga laju aliran tidak stabil di kondisi tertentu.
ISBN 978-602-19655-4-2
diameter lubang (x 10-3 m) 1
341
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Islamiani Safitri* Program Magister Pengajaran Fisika Institut Teknologi Bandung [email protected] Siti Nurul Khotimah KK Fisika Nuklir dan Biofisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Bandung [email protected]
*Corresponding author
ISBN 978-602-19655-4-2
342
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Rancang Bangun Turbin Angin Vertikal Untuk Menggerakkan Pompa Air Skala Kecil Jasirus Panjaitan*, dan Widayani Abstrak Semakin menipisnya energi fosil yang menjadi bahan baku utama dalam menggerakkan mesin-mesin penghasil tenaga listrik di Indonesia, membuat para peneliti berusaha untuk mencari pengganti energi fosil dengan energi-energi lain yang terbarukan. Salah satu energi terbarukan adalah energi angin. Angin dapat menggerakkan turbin, dimana turbin angin dalam penggunaannya dapat dipakai untuk menggerakkan pompa air. Tujuan penelitian ini adalah membuat turbin angin vertikal yang dapat menggerakkan pompa air skala kecil, dimana pompa ini nantinya akan menaikkan air dari kedalaman tertentu dengan debit air yang tertentu pula. Adapun penelitian ini dimulai dari pembuatan turbin angin jenis vertikal, kemudian dilakukan uji unjuk kerja turbin angin vertikal dengan menggunakan angin buatan yang dihasilkan dari kipas angin bermerek Tornado berukuran 18 inci. Pada pengujian ini turbin digunakan untuk menaikkan air setinggi 40 cm. Pengamatan menunjukkan bahwa turbin yang dibuat mampu menaikkan air. Analisis hasil pengujian menunjukkan bahwa debit air yang dihasilkan bergantung pada laju angin. Hasil perhitungan dengan menggunakan data yang diperoleh menunjukkan bahwa pada kecepatan angin 4 m/s, 5 m/s dan 6 m/s dihasilkan debit air berturut-turut 12,1 ml/s; 16,8 ml/s dan 22,0 ml/s Kata kunci: energi angin, turbin angin vertikal, pompa skala kecil pemanfaatannya saat ini misalnya sebagai pembangkit listrik, pemompaan air untuk irigasi, pengering atau pencacah hasil panen, aerasi tambak ikan/udang [Adityo Putranto,dkk, 2011]. Pemanfaatan energi angin dapat dilakukan di mana-mana, baik di daerah dataran rendah maupun dataran tinggi, juga dapat di terapkan di laut.
Pendahuluan Dengan semakin menipisnya cadangan bahan bakar fosil, pencanangan hemat energi listrik terus disampaikan oleh pemerintah lewat iklan media cetak maupun elektronik. Persoalan yang dihadapi adalah kebutuhan listrik yang terus meningkat baik rumah tangga maupun kalangan industri tetapi penyediaan energi listrik tidak berubah secara seimbang dengan kebutuhan yang diperlukan [Akhwan Bastomi,2010]. Ini disebabkan energi listrik yang ada di Indonesia berasal dari generator yang dibangkitkan melalui tenaga diesel, dimana generator diesel membutuhkan bahan bakar bensin atau solar, sedangkan bensin dan solar berasal dari bahan bakar fosil. Oleh karena itu diperlukan cadangan energi yang cukup untuk menghasilkan energi listrik atau menggantikan energi listrik [ Pan Horan, 2005].
Teori 1. Energi Angin Angin adalah udara yang bergerak akibat adanya rotasi bumi dan perbedaan tekanan udara di sekitarnya. Angin bergerak dari tempat bertekanan udara tinggi ke bertekanan udara rendah. Jika dipanaskan, udara akan memuai sehingga massa jenisnya turun, sehingga akan naik. Akibat naiknya udara yang suhunya tinggi, tekanan udara akan turun karena udaranya berkurang. Udara dingin disekitarnya akan menggantikan daerah yang ditinggalkan. Akibat aliran udara panas naik dan udara dingin turun, akan terjadi siklus perputaran udara atau disebut angin. Daerah Indonesia yang dilintasi garis katulistiwa yang memiliki suhu tinggi, sehingga udara dikhatulistiwa akan naik keatas. Sebaliknya di daerah kutub yang dingin, udaranya bersuhu rendah dan turun ke bawah kemudian bergerak mengisi kekosongan udara di daerah khatulistiwa. Udara panas yang semula naik di khatulistiwa akan bergerak ke arah kutub. Dengan demikian terjadi suatu perputaran udara, berupa perpindahan udara bersuhu rendah dari kutub ke garis katulistiwa menyusuri permukaan bumi, dan
Penelitian yang dikembangkan untuk mencari sumber energi alternatif selain dari bahan bakar fosil adalah pemanfaatan energi matahari, angin, air dan biogas. Pemanfaatan tenaga angin dilakukan dengan membuat kincir angin yang mengubah energi kinetik angin menjadi energi listrik atau energi angin tersebut digunakan untuk menggerakkan alat. Oleh karena itu pemahaman mengenai proses konversi energi angin menjadi energi lain dapat menjadi bahan pertimbangan dalam mengembangkan energi angin menjadi salah satu sumber energi alternatif yang terbarukan dan tidak menimbulkan polusi bagi lingkungan. Pemanfaatan tenaga angin sebagai sumber energi terbarukan banyak dipakai untuk berbagai keperluan. Pengembangan
ISBN 978-602-19655-4-2
343
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
sudu propeller menghadap arah datang angin. (Alamsyah, 2007). Daya maksimal dapat diperoleh apabila angin yang datang dengan daerah yang melawati putaran sudu. Untuk turbin sumbu horisontal, daerah yang melewati rotor sudu adalah:
sebaliknya suatu perpindahan udara bersuhu tinggi dari daerah katulistiwa kembali ke kutub utara, melalui lapisan udara yang lebih tinggi. (Daryanto Y, 2007). 2. Energi Kinetik Angin Energi kinetik angin adalah yang energi dihasilkan karena adanya pergerakan angin dan secara matematis dituliskan:
A
E K mv 2
Turbin angin Darrieus adalah jenis turbin angin berporos. Turbin angin ini pertama kali ditemukan oleh GJM Darrieus tahun 1920 . Keuntungan dari turbin jenis Darrieus adalah tidak memerlukan pengarah sudu seperti pada turbin angin propeller. (Alamsyah, 2007). Mukund R. Patel menambahkan, untuk turbin angin Darrieussumbu vertikal, penetapan luas sapuan rotor rumit karena melibatkan integral elips. Namun, dengan menganggap blade sebagai parabola persamaannya menjadi sederhana:
m V dimana: m = massa udara (kg) V = Volume (m3) ρ = Kepadatan/ kerapatan udara (kg/m3) Daya adalah energi persatuan waktu. Oleh karena itu, daya dapat diturunkan sebagai berikut:
2 A (lebar maksimum rotor) x (tinggi rotor) 3
P
D2
b.Turbin Angin Vertikal (Darrieus)
Massa udara didefinisikan sebagai perkalian antara Volume udara dengan kerapatan udara :
4
dimana D adalah diameter rotor (m)
dimana: Ek = energi kinetik angin (J) m = Massa udara (kg) v = Kecepatan udara (m/s)
dEk dt 1 d . m.v 2 2 dt 1 d . .V .v 2 2 dt 1 dV 2 . . .v 2 dt 1 . . A.v 3 2
Turbin angin memiliki ukuran dan efisiensi yang berbeda. Karenanya diperlukan pengetahuan dan pengalaman yang baik untuk mendapatkan fungsinya yang tepat. Turbin angin yang sudunya banyak (soliditas tinggi) memiliki torsi yang besar. Turbin angin seperti ini banyak digunakan untuk keperluan mekanik seperti pemompaan air, pengolahan hasil pertanian dan aerasi tambak. Sedangkan turbin angin dengan sudu sedikit misalnya dua sudu atau tiga sudu (soliditas rendah) memiliki torsi rendah. Turbin angin ini banyak digunakan untuk keperluan pembangkitan listrik.(Daryanto, 2007).
dimana: A = daerah yang melawati rotor sudu (m2)
3. Turbin Angin 4. Pompa air 3.1 Jenis Turbin Angin
Pompa merupakan mesin yang bekerja memindahkan zat cair atau gas melalui pipa dari suatu tempat ke tempat yang lain. Dalam prinsip kerjanya pompa membuat perbedaan tekanan antara tekanan masuk dan tekanan keluar, dimana fungsinya mengubah tenaga mekanis berupa gerakan pompa menjadi tenaga kinetis yaitu kecepatan aliran zat cair atau gas yang keluar dari pompa.[Kurnianto Heri, 2008]
Berdasarkan bentuk susunan sudunya, Turbin angin dibagi menjadi dua jenis yaitu turbin angin horizontal (propeller) dan turbin angin vertikal (darrieus). Dalam penerapannya kedua jenis turbin ini terus dikembangkan pemanfaatnya baik sebagai pembangkit energi listrik maupun sebagai pemompa air. a.Turbin Angin Horisontal (Propeller)
Volume air yang dapat dialirkan oleh pompa dalam waktu tertentu disebut debit air, dengan persamaan:
Turbin angin Propeller adalah turbin angin dengan poros horisontal dan sudunya bentuknya seperti baling – baling pesawat terbang. Turbin angin propeller menggunakan pengarah sudu agar
ISBN 978-602-19655-4-2
344
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Q
dV dt
Dimana Q adalah Debit air yang mengalir (ml/s), V adalah volume air yang terangkat (ml). Hasil dan diskusi Turbin angin yang dibuat adalah turbin angin vertikal dengan tiga buah sudu yang tiap sudunya berukuran lebar 40 cm, tinggi 80 cm dengan kelengkungan sudu berjarak 25 cm dari antar lebar sudu. Tinggi keseluruhan kincir angin vertikal adalalah 230 cm. Berat turbin angin (poros + lengan sudu + sudu) adalah 7070 gram. Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan sumber pembangkit tenaga angin dari kipas angin bermerek regency berukuran 18 inci dengan jarak kipas angin pada turbin angin adalah 40 cm. Data yang diambil adalah banyaknya volume air yang dapat diangkat oleh pompa setinggi 40 cm dalam selang waktu tiap 30 detik. Pengujian dilakukan dengan variasi kecepatan angin yaitu: 4 m/s ; 5 m/s dan 6 m/s. Data yang diperoleh dalam unjuk kerja seperti ditampilkan dalam tabel 1.
Gambar 1. Grafik perolehan debit air pada kecepatan angin 4 m/s, 5 m/s, 6 m/s.
Dari gambar 1 juga nampak bahwa jika laju angin semakin besar, maka debit air semakin besar. Dari regresi linier diperoleh debit air untuk laju angin 4 m/s; 5 m/s dan 6 m/s berturut-turut adalah 12,093 ml/s; 16,796 ml/s dan 22,004 ml/s. Tabel 1. Volume air yang dihasilkan dengan kecepatan angin 4 m/s, 5 m/s, dan 6 m/s.
Pengujian yang dilaksanakan menunjukkan bahwa pompa air yang dibuat dapat bekerja dengan baik, yaitu mampu menarik air ke atas. Kemampuan angkat air pada pompa yang dibuat lebih rendah dari pompa yang dibuat pada penelitian sebelumnya. Pompa air tenaga angin telah dibuat oleh Taufik dkk [Taufik.A dan Beny Yudiantoro. B, 2004] untuk mengakomodasi kebutuhan air sawah lahan kering. Pompa tersebut mampu menghasilkan debit air yang dihasilkan adalah 97,92 ml/s. Penelitian lain dilakukan oleh Nanang dkk [Nanang Okta Viyanto, dkk, 2004] yaitu studi pembuatan prototipe pompa kapiler mekanik tenaga angin jenis savenious untuk persawahan lahan kering. Banyaknya debit air yang dihasilkan oleh pompa tersebut adalah 201,35 ml/s.
No
(s)
Gambar 1 menunjukkan grafik volume air yang dinaikkan oleh turbin terhadap waktu untuk tiga laju angin berbeda. Gambar tersebut menunjukkan bahwa untuk semua nilai laju angin, jumlah volume air yang dinaikkan bertambah secara linier terhadap waktu. Hal ini berarti pompa berfungsi secara konsisten. Dengan gambaran ini, maka pompa yang dibuat berpeluang untuk mendapatkan debit air lebih besar jika digunakan di lapangan terbuka, khususnya di tempat yang laju anginnya besar.
ISBN 978-602-19655-4-2
Waktu
345
Volume air pada saat kecepatan angin 4 m/s (ml)
Volume air pada saat kecepatan angin 5 m/s (ml)
Volume air pada saat kecepatan angin 6 m/s (ml)
1
30
350
490
680
2
60
660
1030
1380
3
90
920
1570
2030
4
120
1440
2050
2710
5
150
1800
2550
3370
6
180
2150
3030
4010
7
210
2510
3560
4660
8
240
2890
4060
5360
9
270
3240
4560
6000
10
300
3590
5040
6660
11
330
3950
5510
7340
12
360
4330
6040
7980
13
390
4680
6570
8630
14
420
5040
7070
9310
15
450
5400
7570
9960
16
480
5750
8070
10600
17
510
6130
8520
11260
18
540
6490
9110
11940
19
570
6840
9630
12600
20
600
7190
10130
13250
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
[4] Daryanto, Y., “Kajian Potensi Angin untuk Pembangkit Listrik Tenaga Bayu”, Balai PPTAGG – UPT – LAGG, Yogyakarta, (2007) [5] Hery Kurnianto, “Rancang Bangun dan uji unjuk Kerja Pompa Gear Pada suhu 70 0C, Fakultas Tehnik”, Universitas Diponegoro, (2008). [6] Karnowo, “Pengaruh perubahan overlap sudu terhadap torsi yang dihasilkan turbin savonius tipe U”, Majalah ilmiah STTR Cepu, simetriS No.8,Sep-Des 2008. [7] Nanang Okta. V, dkk, studi pembuatan prototipe pompa kapiler mekanik tenaga angin jenis savonius untuk persawahan lahan kering di Propinsi Lampung. [8] Pan Horan, “The cost efficiency of Kyoto flexible mechanisms: a top-down study with the GEM-E3 world model”, International Journal of Environmental Modelling & Software, 20, 1401–1411, (2005). [9] Taufik. A, dkk, “Teknologi Pemanfaatan energi angin dengan pompa kapiler mekanik”, makalah lomba TTG, Balitbang, Propinsi Lampung, (2004). [10] Taufik A dan Yudiantoro B, “Pompa air tenaga angin : hasil survey dan Pemodelan, yayasan pijar cendikiawan”, Bandar Lampung, (2004). [11] Yudiantoro B, dkk, “Pembuatan prototype pompa kapiler mekanik tenaga angin (PKMTA) untuk persawahan masyarakat pedesaan lahan kering di Propinsi Lampung”, Universitas Lampung, (2004).
Pembuatan turbin angin vertikal ini masih perlu terus disempurnakan untuk memperoleh hasil yang lebih baik. Perlu dilakukan pengujian di lapangan untuk mendapatkan karakteristik pompa air tenaga turbin angin. Dengan kondisi angin dilapangan yang berubah –ubah akan dapat pula diuji ketahanan pompa. Kesimpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah dilakukan, dapat diambil beberapa kesimpulan : 1) Turbin angin vertikal yang dirancang dan dibuat telah dapat menggerakkan pompa air sehingga dapat menaikkan air setinggi 40 cm. 2). Debit air yang dihasilkan adalah 12.093 ml/s pada kecepatan angin 4 m/s, 16,796 ml/s debit air yang dihasilkan pada kecepatan angin 5 m/s dan 22,004 ml/s debit air yang dihasilkan pada kecepatan angin 6 m/s. 3). Dari data yang dihasilkan nampak bahwa semakin cepat kelajuan angin semakin besar debit air yang dihasilkan. Ini menandakan bahwa turbin angin vertikal dapat bekerja dengan besar kecepatan angin yang berubah-ubah. 4). Studi yang dilakukan menunjukkan bahwa turbin angin vertikal berpotensi untuk membantu ketersediaan air dalam rangka penghematan energi listrik, dimana hal ini adalah sesuai dengan manfaat penelitian. Ucapan terima kasih Penulis mengucapkan terima kasih atas Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Sulawesi Tengah atas beasiswa yang diberikan. Referensi
Jasirus Panjaitan*
[1] Adityo Putranto, dkk, “Rancang bangun turbin angin vertikal untuk penerangan rumah tangga”, Universitas Diponegoro, Semarang, (2011). [2] Akhwan Bastomi, “Simulasi konversi energi angin menjadi energi listrik pada turbin angin sumbu horizontal dengan menggunakan Matlab”, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim, Malang, (2010). [3] Alamsyah, Hery, “Pemanfaatan Turbin Angin Dua Sudu Sebagai Penggerak Mula Alternator Pada Pembangkit Listrik Tenaga Angin”, Skripsi, Pendidikan Teknik Elektro, Universitas Negeri Semarang, (2007).
ISBN 978-602-19655-4-2
SMP Negeri 2 Parigi, Sulawesi Tengah E-mail : [email protected]
Widayani KK Fisika Nuklir dan Biofisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Bandung E-mail : [email protected]
*Corresponding author
346
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Koefisien Gesekan Per Satuan Massa Antara Udara Dan Air Yang Keluar Dari Lubang Kecil Pada Tangki Air Marten Rantelai*, dan Triyanta Abstrak Pada umumnya benda yang bergerak mengalami hambatan dari medium yang dilewatinya. Hambatan tersebut diungkapkan dalam bentuk sebuah gaya yang disebut gaya gesekan. Di sini kita meninjau model gaya gesekan yang sebanding dengan kecepatan benda, f=−kv, untuk kasus gerak air yang keluar dari lubang kecil pada tangki air. Set percobaan Toricelli yang telah dimodifikasi dibangun untuk menentukan koefisien gesekan per satuan massa air. Handycam dan movie maker dimanfaatkan untuk mendapatkan data posisi dan waktu jatuh air yang lebih akurat. Kami menggunakan nilai percepatan gravitasi g=9,76±0,035 m/s2 yang diperoleh melalui percobaan bandul matematis. Kami peroleh bahwa besar koefisien gesekan persatuan massa air adalah k/m=103,73±0,007/s. Kami juga peroleh bahwa untuk ketinggian permukaan air tangki yang tetap terhadap lantai, jarak horisontal jatuh terjauh terjadi ketika lubang tangki berada di tengah-tengah antara lantai dan permukaan air tangki. Ini sama dengan kasus tanpa gesekan, namun dengan jarak jatuh yang lebih pendek. Hasil di atas diperoleh melalui pendekatan ungkapan fungsi eksponensial sebagai deret pangkat sampai orde keempat. Nilai kt/m yang besar (>1) dan perbedaan signifikan antara nilai jarak jatuh hasil eksperimen dan hasil teori menunjukkan pendekatan tersebut masih sangat kasar. Pendekatan lebih halus tidak dilakukan karena perolehan nilai k/m menjadi tidak mudah. Kata Kunci : Koefisien gesekan, gerak proyektil, Hukum Toricelli Pendahuluan
Teori
Gerak benda jatuh dibahas di buku-buku fisika dasar [1-5] dengan tanpa memperhitungkan gesekan udara karena tingkat kerumitan matematika terlalu tinggi untuk mahasiswa program sarjana tahun pertama. Gesekan udara baru diperhitungkan pada buku-buku mekanika untuk mahasiswa tingkat lanjut, misalnya [6-7]. Demikian pula pada pembahasan pancaran air dari sebuah lubang kecil pada sebuah tangki. Pada pembahasan pancaran air dengan gesekan udara diabaikan diungkapkan bahwa bila tinggi permukaan air pada tangki air dibuat tetap maka air akan jatuh di lantai pada jarak horisontal terjauh bila posisi lubang kecil tempat keluarnya air berada di tengah-tengah antara lantai dan permukaan air dalam tangki.
Pancaran air dapat dipandang sebagai kumpulan benda-benda kecil (elemen-elemen air) yang bergerak di bawah pengaruh gaya gravitasi mg dan gaya gesekan antara air dengan udara f = - kv (m adalah massa elemen air dan k koefisien gesekan antara elemen air dan udara). Pada saat keluar dari lubang kecil setiap elemen air memiliki laju dengan g adalah percepatan gravitasi dan h adalah tinggi permukaan air dalam tangki terhadap lubang. Laju tersebut merupakan laju awal pancaran air yang keluar dan jatuh ke lantai. Dengan posisi lubang berada di bagian samping tangki maka kecepatan awal air berarah horisontal. Persamaan gerak elemen air adalah
Makalah ini akan membahas pancaran air yang keluar dari lubang kecil pada sebuah tangki dengan memperhitungkan gesekan udara. Diasumsikan bahwa gesekan udara sebanding dengan kecepatan air. Kombinasi analisis teoretis dan percobaan Toricelli yang dimodifikasi akan memberikan nilai koefisien gesekan per satuan massa antara air dan udara. Percobaan juga akan memberikan pola jarak horizontal air jatuh dengan fraksi posisi lubang terhadap lantai dan posisi permukaan air dalam tangki terhadap posisi lubang. Pola ini kemudian dibandingkan dengan pola yang sama untuk kasus tanpa gesekan.
Dalam ungkapan di atas, m adalah massa titik air, k adalah koefisien gesekan antara titik air dan udara, serta vx dan v y adalah komponen mendatar
ISBN 978-602-19655-4-2
max kvx , may mg kvy .
(1)
dan vertikal dari kecepatan titik air sedangkan ax dan a y adalah komponen mendatar dan vertikal dari percepatan titik air. Dengan notasi tersebut maka kecepatan awal titik air dinyatakan oleh v0 x 2 gh , v0 y 0. Dengan mengambil sumbu horisontal berada pada lantai dan sumbu vertikal memotong lubang pada ketinggian yo maka solusi dari persamaan di atas adalah
347
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
vx
vy x
m k
y yo
k /m t 2 gh e ,
sedangkan desain dan susunan alat percobaan dapat dilihat pada Gambar 2. Ketidakpastian dalam pengukuran mengacu pada [8,9].
(2)
mg k /m t 1 e , k
(3)
k / m t 2 gh 1 e ,
(4) (a)
mg m 2 g t 2 1 e ( k / m )t . k k
(b)
(c)
(d)
(e)
Gambar 1. Alat dan bahan (a) Tangki air (b) Statif bermeteran (c) Meteran (d) mistar (e) handycam
(5)
Besaran t di atas menyatakan waktu tempuh titik air dihitung dari saat titik air lepas dari lubang. Untuk selanjutnya kita tinjau t sebagai saat titik air sampai di lantai, atau t sebagai lama waktu titik air berada di udara. Pada saat tersebut y=0 sehingga persamaan terakhir dapat dituliskan menjadi
t
ky0 m 1 e ( k / m)t . mg k
(6) Gambar 2 Desain dan alat eksperimen.
Besaran-besaran pada persamaan di atas yang dapat diukur langsung adalah t dan y0. Percepatan gravitasi g diukur dengan menggunakan bandul matematis. Besaran m dan k tidak dapat diukur secara langsung. Dengan besaran-besaran yang dapat diukur kita dapat menentukan nilai perbandingan antara koefisien gesekan dan massa titik air, k/m, melalui persamaan di atas dengan menggunakan pendekatan e kt / m 1
Hasil dan diskusi 1. Percobaan I Pengukuran besar percepatan gravitasi Bumi yang berlaku di tempat pelaksanaan percobaan dilakukan dengan percobaan gerak bandul sederhana (gerak ayunan). Panjang tali yang digunakan 150 cm dan simpangan maksimum diambil 3 cm dari titik kesetimbangan sehingga persyaratan gerak harmonik dipenuhi. Pengukuran waktu diukur untuk setiap 10 kali ayunan agar diperoleh periode ayunan (T) yang akurat. Pengukuran dilakukan sebanyak 10 kali kemudian dirata-ratakan. Setelah dihitung dengan menggunakan persamaan diperoleh nilai percepatan gravitasi Bumi yang berlaku pada tempat pelaksanaan percobaan g 9, 76m / s 2
5
kt ( kt ) 2 ( kt )3 ( kt ) 4 kt 0 . (7) m 2! m 2 3! m3 4! m 4 m
Pendekatan sampai orde pangkat empat tersebut diambil karena inilah orde terbesar yang dapat memberikan formula k/m. Pendekatan ini hanya baik bila nilai kt/m yang diperoleh cukup kecil. Pendekatan ini memberikan nilai k/m: 2 2 k m 1,2 t 2 t
6 y
0
2 gt 2 g
.
dengan g 0, 0035m / s 2 , setelah memperhatikan aturan penulisan ketidakpastian pengukuran. 2 Percobaan II
(8)
Formula di atas akan digunakan untuk memperoleh koefisien gesekan per satuan massa antara titik air dan udara
Dalam percobaan ini diambil h tetap (0,350 0,0005 m) dan diukur lama waktu titik air di udara untuk beberapa posisi y0 yang berbeda (Lihat Tabel 1). Dengan memanfaatkan persamaan (8) diperoleh nilai k/m seperti tampak pada tabel di bawah.
Percobaan Percobaan yang dilakukan terdiri dari Percobaan I untuk menentukan percepatan gravitasi Bumi, Percobaan II merancang dan melakukan percobaan sederhana model percobaan Toricelli dengan sedikit modifikasi yaitu mengubah-ubah ketinggian lubang air diukur dari dasar meja (lantai) ke lubang air, Percobaan III melaksanakan percobaan Toricelli pada ketinggian (y) tetap. Alat dan bahan yang digunakan dalam percobaan ini dapat dilihat pada Gambar 1
ISBN 978-602-19655-4-2
348
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
3.Percobaan III
Tabel 2.1. Nilai koefisien gesekan persatuan massa antara udara dan air yang keluar pada lubang kecii pada tangki air pada beberapa ketinggian h
y0
0,350 0,600 0,350 0,500 0,350 0,400 0,350 0,300 0,350 0,200 0,350 0,100 Rata-rata
k/m
k / m
KTP relatif
AB
101,17 102,91 104,92 105,58 102,90 104,91 103,73
0,008 0,008 0,007 0,007 0,006 0,005 0,007
8,17E-05 7,44E-05 6,79E-05 6,17E-05 5,84E-05 5,20E-05 6,59E-05
5,08 5,12 5,17 5,21 5,23 5,22 5,18
Sebagai pembanding dalam mendukung pelaksanaan percobaan ini adalah dengan melakukan percobaan percobaan Toricelli dalam menentukan jarak terjauh yang dapat ditempuh oleh air. Kemudian membandingkannya dengan jarak tempuh secara teori. Dalam kasus ini tinggi permukaan air pada tangki dibuat tetap sedangkan jarak lubang terhadap permukaan air dibuat bervariasi. Data hasil pengukuran dan perhitungn dapat dilihat dalam tabel di bawah ini. Ungkapannya dalam grafik dapat dilihat dalam Gambar 3.1.
Pada tabel di atas dapat dilihat bahwa nilai rata-rata koefisien gesekan persatuan massa antara udara dan air yang keluar dari lubang kecil pada tangki air pada beberapa ketinggian lubang air adalah k/m=103,73/s dengan KTP relatif 6,59514E-05 dan 5 angka berarti sehingga pelaporannya dapat dituliskan k/m=103,73 ± 0,007/s.
Tabel 3.1. Data jarak tempuh air secara eksperimen ( xeks) dan secara teori (xteori) pada tinggipermukaan air tetap (y) 50 cm. Y (m) 0,50 0,50 0,50 0,50 0,50 0,50
Di samping itu data waktu dapat dimanfaatkan untuk menentukan posisi jatuh air sebagai xteori, dengan menggabungkan persamaan (4) dan (8), yaitu xteori vox
m 1 1 exp 2 1 k ta
6 y 0 2 gt a2 . g
Yo (m) 0,40 0,35 0,30 0,25 0,20 0,15
h (m) 0,10 0,15 0,20 0,25 0,30 0,35
y0 / h 4,000000 2,333333 1,500000 1,000000 0,666667 0,428571
x (m) xeks(m)
xteori (m)
0,269 0,309 0,328 0,352 0,300 0,272
0,400000 0,458258 0,489898 0,500000 0,489898 0,458258
(9)
Hasilnya kemudian kita bandingkan dengan posisi jatuh titik air yang diperoleh langsung dari percobaan sebagai xeks, lihat Tabel 2 Tabel 2.2. Jarak tempuh air secara percobaan dan secara teori y0 (m) 0,60 0,50 0,40 0,30 0,20 0,10
V0x (m/s) 2,614 2,614 2,614 2,614 2,614 2,614
k/m (1/s) 101,17 102,91 104,92 105,58 102,90 104,91
t a(s)
0,12 0,11 0,11 0,10 0,09 0,08
g (m/s2) 9,76 9,76 9,76 9,76 9,76 9,76
xeksp (m) 0,545 0,494 0,420 0,362 0,279 0,161
Gambar 3..1 Grafik antara jarak tempuh air secara eksperimen (xeks) dan secara teori (xteori) vs yo / h .
Xteori (m) 0,258 0,252 0,247 0,248 0,246 0,246
Hasil di atas memberikan kesimpulan yang sama dengan percobaan sebelumnya bahwa xeksp>xteori. Selain itu diperoleh bahwa baik berdasarkan xeksp maupun xteori jarak jatuh terjauh terjadi pada nilai perbandingan y0 dan h sekitar satu, artinya jarak terjauh diperoleh ketika posisi lubang berada di tengah-tengah antara permukaan air dalam tangki dan lantai. Kesimpulan ini sama dengan kesimpulan bila gaya gesekan tidak ada, tetapi tentunya dengan perbedaan nilai jarak jatuh.
Perbandingan jarak tempuh air secara percobaan dan secara teori memiliki perbedaan yang sangat signifikan. Ini menggambarkan bahwa keakurasian antara eksperiemen maupun teori masih rendah. Nilai rendahnya akurasi disebabkan oleh diperolehnya nilai k/m dalam orde ratusan sedangkan selang waktu dalam orde puluhan sehingga nilai kt/m belum cukup kecil dan menyebabkan pendekatan melalui persamaan (7) kurang baik. Sayangnya bila kita mengikutkan suku-suku pangkat lebih tinggi dari empat penentukan besaran k/m sulit dilakukan. Dengan demikian inilah hasil terbaik yang bisa didapatkan.
ISBN 978-602-19655-4-2
Kesimpulan Berdasarkan hasil percobaan dan hasil pengolahan data dapat disimpulkan: Percepatan gravitasi Bumi yang berlaku di tempat pelaksanaan percobaan bernilai g = 9,76±0,035 m/s2 dan besar koefisien gesekan persatuan massa antara udara dan air yang keluar dari lubang kecil pada tangki air untuk beberapa ketinggian lubang air adalah sebesar k/m 103,73 ± 0,007/s. Di sini kami
349
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
menggunakan model gaya sebanding dengan kecepatan.
gesekan
yang
Referensi [1] Hewit, P.G., “Conceptual physics”, Addison Wesley, (2006). [2] Sutrisno, “Fisika Dasar Mekanika”, Penerbit ITB, (1997). [3] Halliday, D., Resnick, R., and Walker, J. “Fundamentals of Physics”, 8th ed. John Wiley & Sons, (2007). [4] Serway, R.A., Jewett, J.W. “Physics for Scientists and Engineers”, Cengage Learning, (2010). [5] Giancoli, D.C., “Physics”, 6th ed., Prentice Hall, (2005). [6] Arya, Atam P, ( 1998), Introduction to Classical Mechanics 2nd ed., Prentice Hall [7] Symon, K.R., “Mechanics”, Addison Wesley,, (1971). [8] Djonoputro, D., “Teori Ketidakpastian”, ITB Bandung, (1984). [9] Young, H. D., “Statistical treatment of experimental data”, McGraw-Hill, New York, (1962).
Pengaruh terhadap nilai kt/m yang besar mengakibatkan timbulnya perbedaan signifikan antara teori dan eksperimen untuk jarak tempuh horizontal titik air yang keluar pada lubang kecil sampai di tanah. Hal ini karena nilai kt/m yang besar membuat pendekatan eksponensial hanya sampai orde keempat saja menjadi sebuah pendekatan yang amat kasar. Kami tetap menggunakan pendekatan sampai orde keempat karena peningkatan orde pendekatan membuat sulitnya (atau bahkan tidak mungkin) mendapatkan nilai k/m yang merupakan tujuan utama makalah ini. Untuk ketinggian permukaan air yang tetap, jarak horizontal yang ditempuh titik air diamati untuk variasi perbandingan ketinggian lubang dan jarak antara lubang dan permukaan air dalam tangki. Diperoleh bahwa jarak horizontal bernilai maksimum bila tinggi lubang air (y0) terhadap lantai sama dengan tinggi permukaan air (h) terhadap lubang. Kesimpulan ini berlaku untuk xeksp maupun xteori. Hal yang menarik bahwa kesimpulan ini sama dengan kesimpulan pada percobaan Toricelli tanpa gesekan udara yang diungkapkan dalam sejumlah buku referensi..
MartenRanteala* Magister Pengajaran Fisika, FMIPA, ITB Jl. Ganesha No.10 Bandung40132 SMA Negeri 1 Lembo Kec. Lembo Kab. Morowali Sul-Teng 94666 email: [email protected]
Ucapan terima kasih Penulis mengucapkan terima kasih kepada FMIPA-ITB dan Pemprov Sulawesi Tengah yang memungkinkannya mengikuti pendidikan di Program magister Pengajaran Fisika FMIPA-ITB.
Triyanta KK Fisika Teoretik Energi Tinggi dan Instrumentasi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Bandung E-mail: [email protected]
*Corresponding author
ISBN 978-602-19655-4-2
350
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Dekarboksilasi Asam Amino: Sintesis Kadaverin Menggunakan Lisin Masita*, Didin Mujahidin, dan Rino Rakhmata Mukti Abstrak Reaksi dekarboksilasi asam amino merupakan salah satu reaksi penting dalam mendapatkan senyawa amina. Disamping karena jumlahnya yang berlimpah di alam, asam amino juga memberikan keragaman gugus samping pada senyawa amina yang dihasilkan. Salah satu senyawa amina yang bisa disintesis melalui reaksi dekarboksilasi asam amino lisin adalah kadaverin atau dikenal 1,5-diaminopentana. Senyawa kadaverin dapat dipergunakan sebagai kerangka pengarah struktur pada zeolit atau yang lebih dikenal sebagai SDA (Structure Directing Agent). Senyawa ditetrapropilamonium (di-TPA) yang disintesis dari kadaverin akan mengarahkan struktur pada sintesis zeolit dengan menghasilkan struktur zeolit MFI (Mordenit Framework Inverted). Pada penelitian ini, penelitian diawali dengan mencampur lisin dengan kalsium oksida yang telah dipanaskan dan disimpan dalam desikator terlebih dahulu. Kemudian, dilanjutkan dengan penggerusan campuran beberapa menit dengan tujuan untuk mempermudah terjadinya reaksi. Setelah itu, campuran dimasukkan ke dalam labu pemanas yang diletakkan dalam penangas minyak silikon dan ditutup rapat agar tidak terjadi penguapan. Selanjutnya, dipanaskan dengan menggunakan pemanas listrik selama 48 jam. Adapun suhu diukur menggunakan termometer yang dipasang pada wadah penangas silikon oil pada penunjukkkan suhu 170℃. Pada penelitian ini telah berhasil disintesis senyawa kadaverin dari hasil dekarboksilasi lisin menggunakan pereaksi kalsium oksida. Reaksi berlangsung pada suhu 170 ℃ selama 48 jam. Produk yang dihasilkan berupa larutan yang berwarna kuning. Proses selanjutnya, produk tersebut dikarakterisasi menggunakan NMR dan kromatografi gas. Kata-kata kunci : Dekarboksilasi asam amino, Kadaverin, Lisin, Zeolit MFI. Berdasarkan dari berbagai cara untuk mendapatkan amina-kadaverin, maka peneliti tertarik mensintesis kadaverin dengan metode dekarboksilasi menggunakan lisin. Metode ini menggunakan pereaksi yang mudah didapatkan dan relatif murah, dan prosesnya relatif sederhana.
Pendahuluan Kadaverin (1,5-diaminopentana) adalah amina primer yang terdiri dari dua gugus amina atau biasa disebut diamina. Kadaverin dalam berbagai sintesis senyawa banyak dimanfaatkan, diantaranya kadaverin sebagai inhibitor dan sebagai prekursor[1]. Kadaverin dapat dipergunakan sebagai kerangka pengarah struktur pada zeolit atau yang lebih dikenal sebagai SDA (Structure Directing Agent). Dekarboksilasi asam amino adalah salah satu metode yang efektif untuk memperoleh sejumlah senyawa amino. Secara umum, dekarboksilasi asam amino telah dilakukan dengan berbagai cara yakni, penggunaan katalis, pemanasan suhu tinggi, pelarut dengan sinar UV, pemanasan dalam pelarut difenilmetana dan melalui penggunaan bakteri [2]. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Gale, (1944) [3] memberikan penjelasan bahwa ke dalam larutan dextrosa dimasukkan Enterobacteriaceae kemudian ditambahkan lisin sehingga akan diperoleh kadaverin. Namun, pada penelitian tersebut hanya mengetahui ada tidaknya kandungan kadaverin. Pada penelitian yang dilakukan oleh Hashimoto dkk (1986) [4], kadaverin dapat disintesis dari asam amino dengan metode dekarboksilasi menggunakan katalis keton (2-cyclohexen-1-one), diperoleh hasil 87,8%, namun katalis yang digunakan harganya mahal dan sulit didapatkan.
ISBN 978-602-19655-4-2
Teori Dekarboksilasi adalah reaksi dimana asam karboksilat kehilangan CO2. Meskipun stabilitas yang tidak biasa dari karbon dioksida menunjukkan bahwa dekarboksilasi dari asam bersifat eksotermik, namun dalam prakteknya, reaksi dekarboksilasi tidak selalu mudah untuk dilaksanakan karena reaksi yang terjadi sangat lambat, oleh karena itu dibutuhkan molekul khusus (katalis) yang harus mempercepat laju reaksi [5]. Hal tersebut dapat digambarkan sebagai berikut: O
dekarboksilasi R
R
H
+
CO2
OH
Gambar 1. Reaksi dekarboksilasi. Sebanyak 5,0 gram lisin dicampurkan dengan 25,0 gram kalsium oksida kemudian digerus hingga halus. Setelah itu dimasukkan ke dalam labu pemanas dan dipanaskan dalam penangas silicon oil pada suhu 170℃selama 48 jam atau hingga tidak terbentuk produk lagi. Produk
351
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
kadaverin yang terbentuk dikarakterisasi 1H NMR, dengan menggunakan pelarut deuteriokloroform (CDCl3). Karakterisasi juga dilakukan dengan menggunakan kromatografi gas (GC).
pada atom karbon dan memiliki coupling 4 H. Pada sinyal kedua terdapat pada geseran kimia 3,500 ppm menunjukkan integrasi 4H yang terikat pada atom Nitrogen dan mempinyai coupling 10 H.
Selain itu dilakukan pula uji kualitatif sederhana dengan tanpa menggunakan spektroskopi yakni: Menguji asam amino, asam karboksilat, dan amina. Pengujian sederhana ini dapat diterapkan di sekolah yang belum dilengkapi dengan alat spektroskopi.
Berdasarkan dari hasil analisa yang ditunjukkan pada spektrum 1H NMR telah diperoleh hasil sintesis yaitu kadaverin. Diketahui bahwa kadaverin adalah salah satu amina primer, dimana amina mempunyai geseran kimia yang berada pada 1 – 5 ppm. Adapun spektrum 1H NMR terdapat pada Gambar 3 berikut ini:
Sebanyak 5 tetes lisin dimasukkan ke dalam tabung reaksi 1 dan sebanyak 5 tetes kadaverin dimasukkan dalam tabung reaksi 2. kemudian ditambahkan masing-masing 1-2 tetes ninihidrin untuk uji asam amino, natrium bikarbonat unuk uji asam karboksilat dan dragendorff untuk pengujian amina. Hasil dan diskusi Pada penelitian ini, reaksi yang terjadi pada proses dekarboksilasi berlangsung sangat lambat. Oleh karena itu digunakan kalsium oksida sebagai pereaksi yang mudah didapatkan dan relatif aman. Reaksi yang terjadi yaitu pemutusan ikatan pada lisin dengan melepaskan karbon dioksida dan selanjutnya karbon dioksida yang terbentuk bereaksi dengan kalsium oksida membentuk kalsium karbonat dapat dilihat pada gamber berikut: H2N
CH CH2 CH2
COOH 170oC CaO kalsium oksida
H2 N
NH2 kadaverin
Gambar 3. Spektrum 1H NMR kadaverin.
+ CaCO3 Kalsium karbonat
Di samping itu, dilakukan juga pengukuran kromatografi gas untuk kadaverin standar sebagaimana yang ditunjukkan pada Gambar 4 berikut ini:
CH2 CH2 NH2 Lisin
Gambar 2. Reaksi Dekarboksilasi Lisin. Dari sintesis yang telah dilakukan melalui pemanasan pada suhu 170 ℃ selama 48 jam diperoleh hasil kadaverin berupa larutan kuning sebanyak 0,856 g dengan rendemen sebesar 24,64%. Kurangnya hasil yang diperoleh di karenakan wadah atau labu penangas yang digunakan agak kekecilan yang mengakibatkan luas permukaan zat kecil sehingga pada saat reaksi terjadi kurang maksimal. Selain itu, kadaverin yang terbentuk ada yang menempel di dinding wadah. Hasil yang telah diperoleh dikarakterisasi dengan menggunakan spektroskopi 1H NMR. Berdasarkan resolusi alat NMR yang digunakan, diperoleh data spektrum 1H NMR dengan hasil pengukuran NMR yang menunjukkan adanya 2 sinyal. Sinyal pertama muncul pada geseran kimia 1,631 ppm mempunyai integrasi 10 H yang terikat
ISBN 978-602-19655-4-2
352
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
adanya zat yang menempel pada dinding saat injeksi dilakukan. Selain itu, dilakukan pula pengujian kualitatif. Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui adanya asam amino, asam karboksilat dan amina. Pengujian sederhana ini dapat diterapkan di sekolah menengah yang belum menggunakan alat spektroskopi. Pada pengujian asam amino, digunakan larutan ninhidrin yang diteteskan pada lisin dan kadaverin hasil sintesis, setelah itu dipanaskan beberapa menit dan akan terlihat perubahan warna pada larutan lisin dengan warna awal yang bening berubah menjadi warna biru keunguan yang menunjukkan adanya asam amino primer. Sedangkan pada kadaverin tidak terjadi perubahan warna. Hasil ini menunjukkan bahwa kadaverin bukanlah asam amino melainkan termasuk salah satu amina primer. Uji kualitatif untuk mengetahui adanya asam karboksilat dengan menggunakan natrium bikarbonat yang diteteskan pada lisin dan kadaverin. Hasil yang diperoleh pada lisin terdapat adanya gelembung gas CO2, sedangkan pada kadaverin tidak menunjukkan adanya perubahan. Pengujian dilanjutkan dengan tes pH yang menunjukkan bahwa pH lisin adalah 6, sedangkan pH kadaverin adalah 8. Hasil pengujian ini menunjukkan bahwa lisin memiliki asam karboksilat sedangkan kadaverin memiliki basa amina.
Gambar 4. Kromatogram Kadaverin Standar. Gambar 5 berikut ini menunjukkan Hasil kromatogram kadaverin hasil sintesis
Pada pengujian amina, digunakan dragendorff yang diteteskan pada lisin dan kadaverin. Hasil yang ditunjukkan pada lisin dan kadaverin adalah terdapatnya endapan putih kekuningan. Hasil ini sesuai dengan teori bahwa lisin dan kadaverin mempunyai gugus amina. Adapun hasil perlakuan di lihat pada Tabel 1 berikut ini: Tabel 1 Hasil pengujian senyawa lisin dan kadaverin.
Gambar 5. Kromatogram Kadaverin Hasil Sintesis. Hasil pengukuran spektrum kromatografi gas menunjukkan puncak pada waktu retensi 1,355 dengan persen area 98,45064%. Berdasarkan kesesuaian kromatogram kadaverin hasil sintesis dengan kromatogram kadaverin standar yang menunjukkan waktu retensi 1,140 dengan persen area 100%. Melalui perbandingan waktu retensi dengan standar (0,215) dan memperhatikan +/- 0,5 dari waktu retensi standar tersebut, maka hasil ini menunjukkan bahwa telah dihasilkan kadaverin. Adanya perbedaan waktu retensi, dipengaruhi oleh cepat lambatnya pada saat injeksi dan juga karena
ISBN 978-602-19655-4-2
353
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
[4] .Hashimoto, M., Eda, Y., Osanai, Y., Iwai, T and Aoki, S., “Amino Acid Decarboxylation Catalyzed by 2-Cyclohexen-1-One”, Chemistry Letters. 893-896, 91986). [5] Solomon G. T. W dan Fryhle. B C. I “Organic Chemistry Tenth Edition”, John Willey & sons, inc, 754, (2011).
Kesimpulan Pada penelitian ini, kadaverin dapat disintesis dengan metode dekarboksilasi lisin menggunakan kalsium oksida. Ucapan Terima Kasih Terima kasih kepada Prof. Yana M. Syah dan Rian Pebriana, M.Si untuk diskusi dan karakrterisasi senyawa organik.
Masita* Magister Pengajaran Kimia, FMIPA Institut Teknologi Bandung [email protected]
Referensi [1] Cornelius, K., Dsouza, N. R., dan Werner, M. N., “Cucurbituril-Mediated Supramolecular Acid Catalysis”, School of Engineering and Science, Jacobs University Bremen, Campus Ring 1, Germany. Org. Lett. 11 (12), 25952598, (2009). [2] Gilles, L dan Bernardi, T.G., “One-pot Sequence for the Decarboxylation of a-Amino Acids”, School of Natural Sciences Chemistry, Bedson Building, University of Newcastle upon Tyne, Newcastle upon Tyne. Synlett., 4, 0542-0546, (2003). [3] Gale E.F., “Studies on bacterial amino acid decarboxylases 1. l lysine decarboxylase”, Journal Biochem. J. 38(3) 232 42, (1994).
ISBN 978-602-19655-4-2
Didin Mujahidin Kelompok Keilmuan Kimia Organik Institut Teknologi Bandung [email protected]
Rino R. Mukti Kelompok Keilmuan Kimia Anorganik dan Kimia Fisik Institut Teknologi Bandung [email protected]
*Corresponding author
354
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Studi Komputasi Reaksi-Reaksi Kimia Sederhana Dan Visualisasinya Untuk Pembelajaran Ilmu Kimia Ridwan dan Muhamad Abdulkadir Martoprawiro * Abstrak Pelajaran ilmu kimia yang bersifat membutuhkan imajinasi perilaku di tingkat atom yang amat kecil, menyebabkan kimia sulit dipelajari dan kurang diminati siswa. Oleh karena itu guru dituntut untuk menciptakan suasana pembelajaran yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis dan dialogis dengan menggunakan sarana yang ada. Komputer mampu memvisualisasikan reaksi kimia, menentukan sifat molekul, dan struktur molekul melalui perhitungan kimia komputasi. Penelitian ini bertujuan membuat media pembelajaran tentang reaksi-reaksi kimia, yang dibangun berdasarkan studi komputasi reaksi-reaksi kimia sederhana, dan memvisualisasikannya. Perhitungan dilakukan dengan perangkat lunak komputasi molekul secara kuantum, yaitu NwChem 6.1 dengan metode SCF basis 6-31G. Visualisasi dilakukan dengan perangkat lunak Jmol sehingga dapat dilihat gambar struktur pereaksi, maupun hasil reaksi, selain itu didapat parameter panjang ikatan, sudut ikatan dan sudut dihedral. Untuk pengembangan media pembelajaran, yang lebih banyak diperlukan adalah hasil visualisasi struktur hasil perhitungan di atas, yang sebagiannya ditampilkan dalam bentuk gambar tiga dimensi, dan sebagian lainnya digunakan sebagai dasar untuk membuat animasi reaksi dengan tampilan tiga dimensi Kata-kata kunci: Visualisasi, Kimia komputasi, Optimasi geometri guru (pemakai) multimedia dapat melakukan navigasi, berinteraksi, berkreasi dan berkomunikasi [3]. Pada kondisi saat ini pemanfaatan komputer sebagai media untuk struktur model molekul.
Pendahuluan Pembelajaran ilmu kimia membutuhkan metode yang bersifat eksprimental daripada hanya sekedar pengajaran deskriptif. Ilmu kimia yang bersifat abstrak menyebabkan kimia sulit dipelajari dan kurang diminati siswa [1], oleh karena itu diperlukan eksprimen dan pemodelan molekul. Pemodelan molekul dapat yang telah dilakukan adalah pemodelan dengan molymood dan pemanfaatan software kimia komputasi. Pemodelan dengan dengan pemanfaatan perangkat lunak kimia komputasi dapat dilaku-kan dengan berbagai software yang dapat digunakan pada aplikasi visualisasi struktur molekul [2]. Reaksi kimia adalah suatu proses alam yang selalu menghasilkan peruba-han senyawa kimia. Senyawa-senyawa awal yang terlibat dalam reaksi disebut seba-gai pereaksi. Reaksi kimia biasanya dikarakterisasikan dengan perubahan kimia, dan akan menghasilkan satu atau lebih hasil-reaksi yang biasanya memiliki ciri-ciri yang berbeda dari reaktan. Perkembangan teknologi komputer seiring dengan perkembangan dalam ilmu kimia yaitu muncul bidang kimia komputasi. Dengan kimia komputasi dapat membantu kimiawan dalam berbagai hal yaitu: menentukan sifat dari molekul, struktur dan perhitungan kimia kompu-tasi dalam berbagai parameter struktur antara lain: panjang ikatan, sudut ikatan, sudut dihedral. Komputer sebagai media pendidikan akan sangat menunjang pencapaian tujuan pem-belajaran karena komputer mampu mengga-bungkan teks, grafik, audio, gambar bergerak (video dan animasi) menjadi satu kesatuan dengan link dan tool yang tepat sehingga
ISBN 978-602-19655-4-2
Hasil perhitungan yang dilakukan pada komputasi ditampilkan dalam bentuk visualisasi gambar tiga dimensi yang nantinya akan ditampilkan dalam pembelajaran reaksi kimia di sekolah sebagai media pembelajaran. Visualisasi dikembangkan dengan menggunakan software animasi dengan praktis juga murah karena software yang digunakan adalah software yang tidak dibeli (gratis) dapat didownload secara bebas. Pada penelitian ini telah dikaji studi komputasi reaksi-reaksi kimia sederhana yang dibahas pada tingkat SMU dan memvisualisasikannya, dan membuat media ajar sehingga dapat membantu siswa memahami reaksi kimia dalam pembelajaran kimia. Penelitian ini bertujuan membuat media pembelajaran tentang reaksi-reaksi kimia, yang dibangun berdasarkan studi komputasi reaksireaksi kimia sederhana, dan visualisasinya. Teori Ikatan kimia adalah daya tarik-menarik antara atom yang menyebabkan suatu senyawa kimia dapat bersatu. Kekuatan daya tarik–menarik ini menentukan sifat-sifat kimia suatu zat, dan cara ikatan kimia berubah jika suatu zat bereaksi digunakan untuk mengetahui jumlah energi yang dilepas atau diabsorbsi selama terjadi reaksi. Besarnya energi stabilisasi yang berkaitan dengan sebuah molekul disebut energi ikatan.
355
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Dalam perhitungan energi digunakan perangkat lunak NwChem 6.1 dengan teori SCF (Self Consistant Field).
Energi ikatan sama dengan energi disosiasi. Energi potensial (Etotal) suatu molekul pada atom sebagai fungsi dari jarak antar inti. Etotal mencakup energi elektron (Eel) yang diperoleh dari persamaan Schrodinger dan energi tolakan inti (VNN) seperti pada persamaan 1. E
tot
= E el + V NN
Hasil dan diskusi Hasil penelitian ini terdiri dari dua bagian yaitu: satu energi hasil optimasi , kedua struktur hasil optimasi. Bagian satu, energi hasil optimasi dengan menggunakan perangkat lunak NWChem 6.1 energi yang didapat ada dua yaitu: 1. Energi elektronik, 2.Entalpi termal koreksi. Untuk reaksi subtitusi 2:
(1)
Keadaan dasar sebuah molekul dua atom bukan merupakan energi minimum dari energi potensial adiabatik sehingga energi total untuk pemutusan ikatan (energi disosiasi) Do dinyatakan dengan persamaan 2. Do = De - E
CH3CH2Cl+CH3OH→ CH3CH2OCH3+HCl
(2)
1. Energi Elektronik Energi elektronik peraksi= energi elektronik peraksi1 + energi elektronik peraksi2 = -538,080179047274H+(-114,988165633188H ) =- 653,068344680462 H Energi elektronik hasil-reaksi = Energi elektronik hasilreaksi 1 + Energi elektronik hasil-reaksi 2 =-193,019564397842H+(-460,037173212983 H ) = -653,056737610825H Jadi energi elektronik reaksi = Energi elektronik hasil-reaksi - Energi elektronik pereaksi =-653,056737610825 H-(-653,068344680462) H = 0,011607069637 H = 0,011607069637 H × 2625,5 kJ/mol =30,47545495kJ/mol = 30,48 kJ/mol
Ev ⁰ adalah Entalpi termal koreksi pada suhu 0 yang dinyatakan dari osilator harmonik seperti persamaan 3,
E = 1/2 h
(3)
ʋ adalah frekuensi vibrasi pada keadaan dasar. Perhitungan frekuensi dapat memberikan informasi struktur keadaan transisi. Energi pereaksi dan hasil reaksi optimasi dengan syarat seperti pada persamaan 4,
E /q = 0 dan 2 E /q12 > 0 .
(4)
E = energi struktur dan q adalah parameter struktur. Struktur keadaan transisi diperkirakan dari struktur pereaksi dan hasil reaksi dengan memilih parameter struktur yang berbeda diantara kedua struktur tersebut. Struktur keadaan transisi dioptimasi dengan syarat–syarat pada perhitungan energi pereaksi dan energi hasil reaksi, tetapi untuk salah satu parameter struktur, dengan syarat harus berbeda pada persamaan 5.
E 2 /q 2 0
2. Entalpi termal koreksi Entalpi termal koreksipereaksi=Entalpi termal koreksipereaksi1+ Entalpi termal koreksiperaksi2 =47,937kkal/mol+37,071kkal/mol = 85,008 kkal/mol Energi termal koreksihasil-reaksi=Entalpi termal koreksihasil-reaksi1+Entalpi termal koreksi hasil-reaksi 2 = 76,913 kkal/mol+6,252kkal/mol =83,165 kkal/mol Energi termal koreksireaksi = Etermal koreksi hasilreaksi–Etermalkoreksipereaksi =83,165kkal/mol–85,008kkal/mol = - 1,843 kkal/mol =-1,843kkal/mol×4,186kJ/mol = -7,714,798 kJ/mol = -7.715 kJ/mol ∆Hreaksi = E elektronikreaksi + E termal koreksi reaksi ∆Hreaksi = 30,48 kJ/mol+ (-7.715 kJmol) =+ 22,79 kJ/mol
(5)
Nilai frekuensi bernilai negatif disebabkan oleh getaran vibrasi ke arah pereaksi dalam reaksi satu arah dan ke hasil reaksi pada arah yang lain. Keadaan transisi (tereksitasi) terjadi akibat adanya promosi elektron ke orbital yang lebih tinggi energinya. Akibat molekul dalam keadaan tereksitasi mempunyai energi ikatan yang lebih rendah dan panjang ikatan yang lebih panjang [5]. Pada penelitian ini telah dikaji studi komputasi reaksi-reaksi kimia sederhana yang dibahas pada tingkat SMU dan memvisualisasikannya, dan membuat media ajar sehingga dapat membantu siswa memahami reaksi kimia dalam pembelajaran kimia. Reaksi-reaksi kimia yang dikaji adalah rekasi substitusi, reaksi eliminasi, reaksi adisi, dan reaksi esterifikasi. Metode kerja dalam penelitian ini dibagi menjadi beberapa tahap, yaitu :1. Tahap persiapan, 2. Tahap optimasi, 3. Tahap perhitungan energi, 4. Tahap pembuatan media.
ISBN 978-602-19655-4-2
Berdasarkan hasil perhitungan didapat perubahan entalpi reaksi adalah +22,79 kJ/mol. Perubahan entalpi ini menandakan bahwa ada kenaikan energi potensial dari zat-zat pada reaksi tersebut. Dengan perhitungan yang sama untuk reaksi substitusi 1, eliminasi 2, eliminasi 1, adisi dan esterifikasi didapat ∆H reaksi pada Tabel 1
356
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Tabel 1. Hasil perhitungan energi dengan metode SCF 6-31G. Reaksi SN 2 SN 1 E2 E1 Adisi Esterifikasi
∆Hreaksi (kJ/mol) +22,79 +49,06 -89,48 +191,26 -116,51 +34,23 kJ
Struktur hasil optimasi keadaan transisi divisualisasikan dengan menggunakan perangkat lunak Jmol. Pada reaksi elimnasi 2 hasil visualisasinya dapat dilihat pada gambar 5 adalah pereaksi, gambar 6 adalah keadaan transisi, gambar 7 adalah hasil-reaksi
Jenis reaksi Endoterm endoterm eksoterm endoterm eksoterm endoterm
Bagian kedua, struktur hasil optimasi divisualisasi dengan menggunakan perangkat lunak Jmol. Untuk reaksi substitusi 2 visualisasi hasil optimasi pada gambar 1, dan gambar2. Gambar 5. struktur (CH3)2CHBr dan CH3CH2ONa.
Gambar 1. Struktur CH3CH2Cl dan: Struktur CH3OH.
Gambar 3. Struktur CH3CH2OCH3 dan Struktur HCl. Gambar 6. Keadaan transisi.
Keadaan transisi Untuk perhitungan energi pada keadaan transisi hanya pada reaksi eliminasi 2 karena pada reaksi ini keadaan transisi hasil optimasi sudah didapat , sedangkan reaksi yang lain belum didapat saat pencarian. CH3CH2Br+CH3ONa→CH3CH=CH2+ CH3CH2OH + NaBr Energi elektronik = –2831,08397549 H =-2831,08397549H –( -2831,0643086)H = -0,0196669 H
= ‐0,00196669 H × 2625,5 kJ/mol = -51,6354474 kJ/mol Energi termal koreksi = 0,179203 kkal/mol 0,181867 kkal/mol = -1,744 kkal/mol = -1,744 kkal/mol × 4,186 kJ/mol = -7,300384 kJ/mol Energi aktivasi keadaan transisi = Energi elektronik + Entalpi termal koreksi = -69,87707786 kJ/mol + (-7,300384) kJ/mol = -77,17767268 kJ/mol
ISBN 978-602-19655-4-2
Gambar 7. Struktur CH3CH2OH & NaBr.
produk
CH3CH=CH2
,
Hasil perhitungan optimasi dengan IRC divisualisasikan dengan menggunakan perangkat lunak Jmol, sehingga akan didapat struktur setiap energi kemudian energi yang didapat diambil gambar strukturnya kemudian setiap gambar tersebut digabung dalam software animasi sehingga kelihatan struktur setiap keadaan dari
357
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
[10] Depdiknas, Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Mata Pelajaran Kimia. Direktorat Pembinaan SMA, (2003). [11] Grant, “Computational Chemistry”, Oxford Science Publication Oxford University Press, (1995). [12] Jensen. F., “Introdution to Computational Chemistry”, 2ed, Departement of Chemistry, University of Southem Denmark Odense, Denmark, John Wiley & Sons, Ltd., (2007). [13] Leach, A.R., “Molecular modelling principle and aplications”, Addison Wishley Logman, (2001). [14] Mulyanta, Leong M., Tutorial membangun multimedia interaktif Media Pembelajaran, Universitas Atma Jaya Yogya-karta, (2009). [15] Ohno, K., “Quantum Chemistry”, Buku teks online Penerjemah Bambang Prijam-boedi, Iwanami Shoten, Publisers, Tokyo, (2004). [16] Oxtoby, D.W., Gillis H.P., Nachtrieb, N.H., “Principle of modern chemistry 2”, 4ed, Penerjemah Suminar Setiati A,PT. Erlangga Jakarta, (1999). [17] Pranjoto, U.M., “Adaptasi kurikulum kimia SMA bertaraf Internasional terhadap kurikulum di negara OECD (Organization for Economic Cooperation adan Devemploment)”, Makalah disampaikan pada kegiatan Pengabdian Pada Masya-rakat FMIPA Universitas Negeri Yokyakarta, (2011). [18] Saito T, “Muki kagaku”, Buku teks online Penerjemah Ismunandar, Iwanami Shoten, Publisers, Tokyo, (1996). [19] Solomon, T,W. Graham, “Organic Chemistry”, 10th ed, John Wiley & Sons, Inc, (2011).
pereaksi, keadaan transisi sampai menjadi hasilreaksi, dengan kecepatan tertentu akan menjadi gambar bergerak sehingga dapat dijadikan sebagai media pembelajaran. Kesimpulan Berdasarkan penelitian ini dapat disimpulkan bahwa dari berbagai teori sederhana dalam perhitungan energi optimasi dipilih teori SCF basis 6-31G karena penghematan waktu 2 kali dan hasil perhitungan energinya sesuai dengan data eksperimen secara kualitatif, reaksi substitusi 1 & 2, reaksi eliminasi 1 dan reaksi esterifikasi adalah reaksi endoterm, sedangkan reaksi eliminasi 2 dan reaksi adisi adalah reaksi eksoterm, energi pengaktifan reaksi eliminasi 2 adalah 77,17767268 kJ/mol membuat visualisasi hasil optimasi reaksi eliminasi 2 dengan menggabung gambar struktur tersebut. Referensi [1] Dahar. R.W., “Teori-teori belajar”, PT. Erlangga Jakarta, (1996). [2] Prianto,B., “Pemodelan kimia komputasi”, artikel berita dirgantara 8 No 1, 8-9. (diakses 24 Okt 2012: 11.28), (2007). [3] Yuliani, D., “Studi komputasi sifat dan prilaku berbagai molekul sederhana dan peranannya dalam pembelajaran kimia”, Tesis Program Magister Pengajaran, Institut Teknologi Bandung, (2009). [4] Iqmal T, Makalah seri kimia komputasi, Pemanfaatan Software Kimia Komputasi untuk Pembelajaran Ilmu Tingkat SMU Melalui Visualisasi Model Molekul. Jurusan kimia FMIPA UGM, (2008). [5] Robert. A.A, Farington., “Physical Chemistry”, 5th ed, SI version Penerjemah N.M. Surdia, M.Sc. dkk, PT. Erlangga Jakarta, (1992). [6] Ashadi, “Kesulitan belajar kimia bagi siswa Sekolak Menegah”, UPT Perpustakaan UNS. (akses 26 Sep 2012 : 10.26), (2009). [7] Chang, R., “General Chemistry”, The Essential Concepts,Third ed, McGraw-Hill, Boston, penerjemah: M. Abdulkadir M, dkk, PT. Erlangga. Jakarta, (2003). [8] Cramer, C.J., “Essentials of Computational Chemistry Theories and Models”, 2nd ed. Jhon Wiley & Sons,Ltd, (2004). [9] Dekock, R.J., “Chemical Structure and Bonding”, First Ed.University Science books, Sausalito, California, (1989).
ISBN 978-602-19655-4-2
Ridwan Magister Pengajaran Kimia FMIPA, Institut Teknologi Bandung
Muhamad Abdulkadir Martoprawiro * KK Kimia Fisik dan Anorganik FMIPA, Institut Teknologi Bandung [email protected]
*Corresponding author
358
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Penerapan Model Pembelajaran Problem Based Instruction untuk Meningkatkan Prestasi Belajar Siswa pada Pembelajaran Fisika Stevida Sendi, Sutrisno, dan Parlindungan Sinaga Abstrak Tujuan mata pelajaran Fisika tercantum dalam Permendiknas tentang standar isi. Namun, fakta di lapangan pembelajaran fisika di sekolah belum sesuai dengan tujuan yang tercantum dalam standar isi. Berdasarkan hasil studi pendahuluan di salah satu SMA Negeri di kota Bandung, yang diperoleh melalui penyebaran angket dan wawancara bahwa pembelajaran fisika di sekolah masih berpusat pada guru, sementara siswa masih cenderung pasif dan kemampuan siswa dalam menyelesaikan masalah masih tergolong rendah. Hal ini berakibat pada prestasi belajar siswa yang dapat dilihat dari persentase siswa yang nilainya mencapai Kriteria Ketuntasan Minimum (KKM) hanya 15% dari jumlah siswa, nilai KKM yang telah ditetapkan yaitu sebesar 75, sehingga prestasi belajar siswa masih tergolong rendah. Untuk mengatasi permasalahan tersebut penerapan model Pembelajaran Problem Based Instruction dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif, karena dalam model ini siswa dituntut untuk terlibat secara langsung dalam menyelesaikan masalah yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari melalui penyelidikan. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kuasi eksperimen dengan desain penelitian pretest and posttest group design. Instrumen yang digunakan adalah tes berupa soal pilihan ganda dengan nilai reliabilitas sebesar 0.83. Sampel dalam penelitian ini adalah siswa kelas XI di salah satu SMA Negeri di Kota Bandung semester genap tahun pelajaran 2012/2013 sebanyak 38 siswa. Berdasarkan hasil penelitian, prestasi belajar siswa mengalami peningkatan. Hal tersebut terlihat dari skor rata-rata yang diperoleh siswa sebelum diberikan perlakuan sebesar 26.97, sedangkan setelah diberikan perlakuan berupa penerapan model Pembelajaran Problem Based Instruction mengalami peningkatan menjadi 82.80 dengan rata-rata gain ternormalisasi sebesar 0,76 yang berada pada kriteria tinggi. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa model Pembelajaran Problem Based Instruction dapat meningkatkan prestasi belajar siswa. Kata kunci : Problem Based Instruction, Prestasi Belajar jumlah siswa, nilai KKM yang telah ditetapkan yaitu sebesar 75, sehingga prestasi belajar siswa masih tergolong rendah. Untuk mengatasi masalah tersebut diperlukan suatu model pembelajaran yang memfasilitasi siswa untuk dapat memecahkan masalah. Salah satu model pembelajaran yang sesuai adalah model pembelajaran Problem Based Instruction.
Pendahuluan Mata pelajaran fisika merupakan salah satu cabang mata pelajaran IPA yang dimaksudkan sebagai wahana untuk menumbuhkan kemampuan berpikir yang berguna untuk memecahkan masalah di dalam kehidupan seharihari [1]. Berdasarkan kutipan tersebut jelas bahwa pembelajaran fisika di sekolah harus lebih menekankan pembelajaran yang berpusat pada siswa yang berarti bahwa seharusnya siswa ikut terlibat aktif dalam proses pembelajaran agar siswa dapat memecahkan masalah dengan pemahamannya sendiri, sehingga pembelajaran akan lebih bermakna.. Hal ini sesuai dengan pendapat Bruner (1966) yaitu ‘berusaha sendiri untuk mencari pemecahan masalah serta pengetahuan yang menyertainya, menghasilkan pengetahuan yang benar-benar bermakna’ [2].
Teori “Problem Based Instruction merupakan suatu model pembelajaran yang didasarkan pada banyaknya permasalahan yang membutuhkan penyelidikan autentik yakni penyelidikan yang membutuhkan penyelesaian nyata dari permasalahan yang nyata” [3]. Dalam model pembelajaran Problem Based Instruction permasalahan yang disajikan berkaitan dengan materi pembelajaran yang akan dipelajari. Permasalahan ini diberikan pada awal pembelajaran, sehingga siswa dilatih melalui proses berpikir dan keterampilan dalam memecahkan masalah yang akhirnya siswa akan dapat membangun pengetahuanya sendiri melalui penyelidikan.
Hasil studi pendahuluan menunjukkan bahwa pembelajaran fisika di sekolah masih berpusat pada guru di mana guru masih menggunakan metode ceramah, sehingga siswa cenderung pasif dan kemampuan siswa dalam menyelesaikan masalah masih tergolong rendah. Hal ini berakibat pada prestasi belajar siswa yang dapat dilihat dari persentase siswa yang nilainya mencapai Kriteria Ketuntasan Minimum (KKM) hanya 15% dari
ISBN 978-602-19655-4-2
Model pembelajaran Problem Based Instruction tidak lahir dan berkembang dengan
359
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Pada setiap pertemuan sebelum memulai pembelajaran yaitu sebelum diterapkan model pembelajaran Problem Based Instruction, siswa diberi tes awal (pretest) untuk mengetahui pengetahuan dan kemampuan awal siswa mengenai materi yang akan dipelajari. Perlakuan berupa penerapan model pembelajaran Problem Based Instruction dilaksanakan setelah pemberian tes awal (pretest) sesuai dengan tahapan-tahapan model pembelajaran Problem Based Instruction. Setelah pembelajaran selesai, guru memberikan posttest untuk kemampuan siswa setelah diberi perlakuan (treatment) berupa penerapan model pembelajaran Problem Based Instruction.
sendirinya, tetapi memiliki landasan teori. Teori yang melandasi Model pembelajaran Problem Based Instruction yaitu konstruktivisme, belajar penemuan dan cooperative learning. Model pembelajaran Problem Based Instruction memiliki lima tahapan, yaitu: (1) orientasi siswa pada masalah, (2) mengorganisasikan siswa untuk belajar, (3) membimbing penyelidikan individual maupun kelompok, (4) mengembangkan dan menyajikan hasil karya, dan (5) menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah [4]. Model pembelajaran Problem Based Instruction merupakan model pembelajaran yang melibatkan siswa secara aktif, sehingga model ini dapat meningkatkan prestasi belajar siswa.
Pengolahan data prestasi belajar siswa ditunjukkan melalui data hasil Pretest dan Posttest yang dianalisis dengan cara menentukan nilai gain dan nilai rata-rata gain ternormalisasi dengan menggunakan rumus:
Poerwanto (1986:28) memberikan pengertian prestasi belajar yaitu: “hasil yang dicapai oleh seseorang dalam usaha belajar sebagaimana yang dinyatakan dalam raport” [5]. Prestasi belajar merupakan hasil dari pengukuran terhadap peserta didik pada aspek kognitif setelah mengikuti proses pembelajaran yang diukur dengan menggunakan instrumen tes yang dinyatakan dengan nilai atau angka.
g
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, prestasi belajar siswa mengalami peningkatan. Peningkatan prestasi belajar siswa ditunjukkan dengan rekapitulasi hasil pengolahan skor pretest dan posttest yang dapat dilihat pada Tabel 2 di bawah ini. Tabel 2. Rekapitulasi Pengolahan Data Prestasi Belajar Siswa.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode eksperimen semu (quasi experimentI) dan desain penelitian yang digunakan yaitu pretest and posttest group design dengan pola sebagai berikut.
% <Si> 26.975
Post-test 02
Sampel yang digunakan adalah salah satu kelas XI IPA di salah satu SMA Negeri di kota Bandung yang dipilih secara acak dengan jumlah siswa sebanayak 38 orang.
100
Instrumen yang digunakan untuk mengetahui peningkatan prestasi belajar siswa yaitu instrumen tes berupa soal pilihan ganda sebanyak 38 soal. sebelum soal digunakan, soal diuji coba dengan nilai reliabilitas yang diperoleh sebesar 0.83. dari 38 soal hanya 28 soal yang digunakan sebagai instrumen penelitian.
40
0.764
Kriteria Tinggi
80 60
20 0 Pretest
Posttest
Gambar 1. Diagram Peningkatan Prestasi Belajar.
Penelitian ini dilaksanakan selama tiga kali pertemuan dengan materi fluida statik. Di mana pokok bahasan pada setiap pertemuan masingmasng yaitu tekanan hidrostatis, hukum pascal dan hukum archimedes.
ISBN 978-602-19655-4-2
% <Sf> 82.8
Peningkatan prestasi belajar tersebut dapat digambarkan dalam bentuk diagram batang seperti pada gambar berikut.
Tabel 1. Desain Penelitian Pre-test and post-test group design Treatment X
(100 % Si )
Hasil dan diskusi
Benyamin Bloom, mengklasifikasikan aspek kognitif ke dalam enam jenjang kemampuan secara hirarkis, yaitu pengetahuan (C1), pemahaman (C2), penerapan (C3), analisis (C4), sintetis (C5) dan evaluasi (C6) [6].
Pre-test 01
(% S f % Si )
Berdasarkan Tabel 2 dan Gambar 1 diketahui bahwa persentase rata-rata skor pretest yang diperoleh sebelum diterapkan model pembelajaran Problem Based Instruction yaitu sebesar 26.975%, sementara setelah diberikan perlakuan berupa
360
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
pemahaman (C2) mengalami peningkatan yang paling tinggi hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Brunner bahwa berusaha sendiri untuk mencari pemecahan masalah serta pengetahuan yang menyertainya, menghasilkan pengetahuan yang benar-benar bermakna [2]. Dalam hal itu siswa berusaha sendiri mencari pemecahan masalah melalui penyelidikan sehingga siswa benar-benar memahami pengetahuan yang diperolehnya dan pengetahuan tersebut akan lebih lama diingat.
penerapan model pembelajaran Problem Based Instruction persentase rata-rata skor posttest meningkat menjadi 82.8%. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat peningkatan prestasi belajar siswa setelah diberikan perlakuan berupa penerapan model pembelajaran Problem Based Instruction. Hasil penelitian tersebut, sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya yang berjudul Problem Based Instruction sebagai alternatif Model Pembelajaran Fisika di SMA bahwa setelah diterapkan model pembelajaran Problem Based Instruction hasil belajar siswa mengalami peningkatan, di mana rata-rata hasil pretest sebelum diberikan treatment untuk kelompok rendah sebesar 3.25 dan untuk kelompok tinggi sebesar 4.25, sementara rata-rata hasil posttest setelah diberikan treatment berupa penerapan model pembelajaran Problem Based Instruction untuk kelompok rendah sebesar 7.25 dan untuk kelompok tinggi sebesar 9.75 [9].
Berdasarkan teori Brunner dapat dikatakan bahwa model pembelajaran Problem Based Instruction dapat meningkatkan prestasi belajar siswa pada jenjang pemahaman (C2) dengan peningkatan yang lebih besar dibandingkan dengan peningkatan pada jenjang kognitif yang lainnya. Jenjang kognitif yang mengalami peningkatan paling kecil adalah jenjang pengetahuan (C1) yaitu 0.67 yang berada pada kriteria sedang, hal ini terjadi karena tujuan utama dari model pembelajaran Problem Based Instruction bukan hanya untuk mengingat informasi sebanyak mungkin, melainkan mendidik siswa untuk dapat menyelesaikan permasalahan dalam kehidupan sehari-hari melalui penyelidikan. Untuk jenjang pemahaman (C2), Penerapan (C3), dan analisis (C4) berada pada kriteria tinggi, yang menunjukkan bahwa siswa sudah mampu untuk memahami, menerapkan dan menganalisis materi yang telah dipelajari.
Peningkatan prestasi belajar siswa juga dapat dianalisis pada setiap jenjang kognitif dari jenjang pengetahuan (C1) sampai jenjang analisis (C4) yang dapat dilihat pada tabel 2. Tabel 3. Peningkatan Prestasi Belajar Siswa tiap Jenjang Kognitif. Jenjang Kognitif Pengetahua n (C1) Pemahaman (C2) Penerapan (C3) Analisis (C4)
% <Si>
% <Sf>
Nilai
Kriteria
24
75.56
0.67
Sedang
33.25
88.99
0.83
Tinggi
20.17
79.38
0.74
Tinggi
26.97
83.55
0.77
Tinggi
Kesimpulan Model pembelajaran Problem Based Intrsuction dapat meningkatkan prestasi belajar siswa pada pokok bahasan fluida statik, hal ini ditunjukkan dengan perolehan rata-rata gain ternormalisasi sebesar 0.76 yang berada pada kriteria tinggi. Adapun peningkatan prestasi belajar siswa dapat dilihat pada setiap jenjang kognitif yang meliputi jenjang pengetahuan (C1), pemahaman (C2), penerapan (C3), dan analisis (C4). Untuk jenjang pengetahuan (C1) perolehan rata-rata gain ternormalisasi sebesar 0.67 yang berada pada kriteria sedang, untuk jenjang pemahaman (C2) perolehan rata-rata gain ternormalisasi sebesar 0.83 yang berada pada kriteria tinggi, untuk jenjang penerapan (C3) perolehan rata-rata gain ternormalisasi sebesar 0.74 yang berada pada kriteria tinggi dan untuk jenjang analisis (C4) perolehan rata-rata gain ternormalisasi sebesar 0.77 yang berada pada kriteria tinggi.
Peningkatan prestasi belajar tersebut dapat digambarkan dalam bentuk diagram batang seperti pada gambar berikut:
Gambar 2. Diagram Peningkatan Prestasi Belajar Siswa Tiap Jenjang Kognitif. Pada Tabel 3 dan Gambar 2 dapat dilihat bahwa urutan peningkatan prestasi belajar siswa untuk setiap jenjang kognitif dari yang paling tinggi adalah jenjang pemahaman (C2), analisis (C4), penerapan (C3), dan pengetahuan (C1). Jenjang
ISBN 978-602-19655-4-2
Referensi [1] Litbang, Kemdikbud. (2006). Standar Isi. [online]. Tersedia: http://litbang.kemdikbud.
361
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
[2] [3]
[4]
[5]
[6]
[7] [8]
[9]
[10]
[11] Sanjaya, Wina, “Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan”, Jakarta: Kencana, (2010). [12] Sugiyono, “Metode Penelitian Pendidikan”, Bandung: Alfabeta, (2011). [13] Trianto, “Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif”, Jakarta: Kencana, (2011). [14] Arikunto, Suharsimi, “Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan”, Jakarta: Bumi Aksara., (2012).
go.id/content/BUKUST~1(4).pdf. [24 Mei 2012] Dahar, Ratna Wilis, “Teori-teori Belajar”, Jakarta: Erlangga, (1989). Trianto, Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, (2007). Arends, Richard I. “Learning to Teach Belajar untuk Mengajar”, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, (2007). Sunartombs. (2009). Pengertian Prestasi belajar. [online]. Tersedia: http://sunartombs.wordpress.com/2009/01/05/ pengertian-prestasi-belajar/. [1 November 2012] Munaf, Syambasri, “Evaluasi Pendidikan Fisika”, Bandung : Jurusan Pendidikan Fisika FPMIPA Universitas Pendidikan Indonesia, (2001). Arikunto, Suharsimi, “Prosedur Penelitian”, Jakarta: Rineka Cipta, (2002). Hake, R. R. (1998). Interactive Engagement Methods In IntroductoryMechanics Courses. [online]. Tersedia : http://www.physics.indiana.edu/~sdi/IEM2b.pdf. [27 September 2012] Prayekti,. “Problem Based Instruction sebagai alternatif Model Pembelajaran Fisika di SMA”, Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, 16(1), 51-63, (2010). Koes, Supriyono, “Strategi Pembelajaran Fisika”. Bandung: Jurusan Pendidikan Fisika FPMIPA UPI, (2003).
ISBN 978-602-19655-4-2
Stevida Sendi* Jurusan Pendidikan Fisika FPMIPA Universitas Pendidikan Indonesia [email protected]
Sutrisno Jurusan Pendidikan Fisika FPMIPA Universitas Pendidikan Indonesia
Parlindungan Sinaga Jurusan Pendidikan Fisika FPMIPA Universitas Pendidikan Indonesia [email protected]
*Corresponding author
362
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Simulasi Pencarian Basis Data dengan Algoritma Grover Suhadi*, Jusak S. Kosasih, Freddy P. Zen Abstrak
Dikaji ulang algoritma Grover pada komputasi kuantum untuk pencarian data dalam suatu basis data. Selain itu, dengan simulasi yang menggunakan bahasa pemrograman Java ditunjukkan bahwa pencarian/query pada basis data N data tak terurut dengan kompleksitas waktu
N .
Kata-kata kunci: query,basis data, algoritma Grover. Pendahuluan
1
N
Komputasi Kuantum dapat diimplementasikan berdasarkan serangkaian gerbang kuantum [1] yang beroperasi secara uniter [2][3][4][5] Dalam mekanika kuantum operasi uniter ini diperlukan agar probabilitas sistem setelah operasi tidak beruba [6] dan sifat ini digunakan sebagai dasar operasi berkebalikan pada Komputasi Kuantum selain prinsip superposisi yang menjadikan Komputasi Kuantum lebih powefull terhadap komputer klasik [2]. Salah satu contoh sukses besar Komputasi Kuantum adalah algoritma Grover [7] pada masalah pencarian M data dari sejumlah N entri tak terurut dari suatu basis data dengan
kompleksitas
waktu
N
.
2n 1
k0;1
(3)
k
n
dengan N 2 di mana n adalah jumlah qubit. Superposisi pada persamaan (2) dapat dilakukan dengan menggunakan gerbang Hadamard H
Pada
pencarian
1 2
1 1 . 1 1
data
M
(4)
suatu
basis
data
n
sepanjang N 2 entri data tak terurut, algoritma Grover terdiri dari dua register [9]. Register pertama merupakan superposisi semua kemungkinan state vektor yang ada seperti persamaan (3), sementara register kedua merupakan register yang mengkodekan solusi. Secara sederhana, algoritma Grover adalah : 1. Siapkan sistem dalam keadaan superposisi seperti persamaan (3). 2. Lakukan perulangan untuk operasi : (5) a. ' O
Pada
makalah ini kami tinjau ulang tentang algoritma Grover tersebut, dan dibuat aplikasi untuk mensimulasikan algoritma ini dalam bahasa pemrograman Java. Bagian teori makalah ini adalah tinjauan ulang mengenai algoritma Grover, bagian simulasi berisi tentang simulasi dalam bahasa pemrograman Java, dan bagian hasil dan diskusi menjelaskan hasil dari simulasi yang diperoleh.
b. '' D '
(6)
3. Lakukan pengukuran terhadap '' . Algoritma Grover
Perulangan akan behenti jika ''
Representasi data pada komputer klasik dituliskan dalam bentuk bilangan biner 0 dan 1 yang disebut bit [8]. Sementara data pada Komputasi Kuantum dituliskan dalam bentuk
1 0 , 1 0 1
0
O I 2
0 1 , 2
0 1 2
1 ; k
O
1 ; k
(7)
,
(8)
yang berfungsi mem-flip-kan state vektor kepada solusi. Sementara operator D pada persamaan (6) didefinisikan seperti
(2)
D 2 I
atau secara umum dapat ditulis
ISBN 978-602-19655-4-2
, jika tidak
yang bekerja pada register pertama seperti
(1)
yang disebut qubit (quantum bit) [2]. Jika bit hanya dapat berada pada keadaan 0 dan 1 , maka qubit dapat berada pada keadaan 0 dan 1 seperti
ulangi langkah 2. Oracle O pada persamaan (5) didefinisikan
atau dapat ditulis dalam bentuk matrik
363
(9)
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
2 1 N 2 D N 2 N
2 N 2 1 N 2 N
2 N
2 1 N
0.500 0.500 ‐0.500 0.500 0.500 0.500 0.500 ‐0.500 13. +++ Iterasi ke : 1 Psi : 0.000 0.000 0.000 1.500 14. Psi akhir pada Iterasi ke : 1 0.000 0.000 0.000 1.500
.
(10)
Pada aplikasi simulasi tersebut terdapat pembulatan aplitudo state vektor yang dicari. Pembulatan ini ditujukan untuk memilih seberapa besar probabilitas state vektor akhir yang kita inginkan. Jika kita memilih pembulatan ini sama denga satu, artinya kita menginginkan amplitudo kesuksesan untuk state vektor yang kita cari.
Simulasi Guna mensimulasikan algoritma Groverm, dibuat Source code dalam bahasa pemrograman Java terdiri dari prosedur utama yaitu : 1. public void construct(double N){ ... } yang digunakan untuk menyiapkan sistem. 2. public void operasi(Matrix psi, Matrix oracle, Matrix difusi){... } yang digunakan untuk melakukan langkah pada algoritma. 3. public void ukur(Matrix psi){ ... } yang digunakan ukur mengukur sistem setelah operasi. Source code lengkap dapat dilihat pada lampiran. Berikut contoh penggunaan aplikasi ini untuk T pencarian data dengan indek 3 0 0 0 1 pada basis data dengan jumlah data N 4 : 1. >> Masukkan panjang Database (lebih dari 2) atau [1] untuk Simulasi Banyak input [0] untuk keluar. 2. Input oleh pengguna : 4 3. Siapkan Sistem ... Panjang database : 4.0 Jumlah qubit : 2 Dimensi ruang Hilbert : 4.0 x 4.0 4. Masukkan item yang dicari dalam range 0; 3
Hasil dan Diskusi Pada bagian sebelumnya telah disimulasikan T pencarian data dengan indek 3 0 0 0 1 pada basis data dengan jumlah data N 4 , dengan hasil bahwa state vektor yang dicari ditemukan paad iterasi ke 1. Hasil simulasi untuk jumlah data N 4 sampai N 4096 diberikan oleh Tabel.1. Tabel 1. Hasil simulasi algoritma Grover.
Adapun data pada tabel tersebut dapat dilihat pada Gambar 1.
5. Input oleh pengguna : 3 6. Target : 0.000 0.000 0.000 1.000 7. Pilihan pembulatan amplitudo : [1] > 0.550 [2] > 0.750 [3] > 0.950 [4] = 1.000 8. Input oleh pengguna : 3 9. Psi : 0.500 0.500 0.500 0.500 10. Estimasi Iterasi : 2 11. Oracle : 1.000 0.000 0.000 0.000 0.000 1.000 0.000 0.000 0.000 0.000 1.000 0.000 0.000 0.000 0.000 ‐1.000 12. Difusi : ‐0.500 0.500 0.500 0.500 0.500 ‐0.500 0.500 0.500
ISBN 978-602-19655-4-2
Gambar 1. Plot data hasil simmulasi algoritma Grover. Gambar 1 merupakan plot dari iterasi yang diperlukan pada simulasi algortima Grover untuk berbagai pembulatan amplitudi state vektor yang
364
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
dicari. Dari gambar terlihat untuk pembulatan A 0.65 , A 0.85 dan A 0.95 jumlah iterasi yang diperlukan lebih kecil dari
N ,
J S Kosasih Laboratorium Fisika Teoritik dan Energi Tinggi, Indonesian Center for Theoretical and Mathematical Physics
akan
Institut Teknologi Bandung [email protected]
tetapi untuk probabilitas sukses menemukan data 100% , untuk jumlah data 4 N 128 jumlah iterasi yang dibbutuhkan lebih besar dari
N ,
sedangkan untuk jumlah data
N 256
jumlah
. Dari hasil simulasi yang telah
N
F P Zen Laboratorium Fisika Teoritik dan Energi Tinggi, Indonesian Center for Theoretical and Mathematical Physics
iterasi
yang
diperlukan
Institut Teknologi Bandung [email protected]
dilakukan dapatlah disimpulkan bahwa untuk kesuksesan pencarian 100% , algoritma Grover berhasil diterapkan untuk pencarian data dengan jumlah data yang besar khusunya untuk N 256 .
*Corresponding author Lampiran import Jama.Matrix; import Quantum.Quantum; import java.io.*; import java.util.*; public class GAbDi { public double input; public int n, item, sama, prec; public Matrix oracle, difusi, ketPsi, psiUkur, target, I; InputStreamReader isr; BufferedReader br; public ArrayList listData, listEstimasi, listIterasi055, listIterasi075, listIterasi095; public GAbDi(){ System.out.println(); System.out.println(" $$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$"); System.out.println(" Simulasi Algoritma Grover"); System.out.println("$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$"); isr = new InputStreamReader(System.in); br = new BufferedReader(isr); listData = new ArrayList(); listEstimasi = new ArrayList(); listIterasi055 = new ArrayList(); listIterasi075 = new ArrayList(); listIterasi095 = new ArrayList(); } public void setInput(){ try{ System.out.println(); System.out.println(">> Masukkan panjang Database (lebih dari 2) atau \n [1] untuk Simulasi Banyak input \n [0] untuk keluar"); input=Integer.parseInt(br.readLine()); }catch(Exception e){ e.printStackTrace(); } } public double getInput(){ return input; } public void construct(double N){ n=0; System.out.println(" Siapkan Sistem ..."); System.out.println(" Panjang database : "+N); int tmpn = (int) Math.floor(Math.log(N)/Math.log(2)); if(Math.log(N)/Math.log(2)%tmpn==0) n=tmpn; else n=tmpn+1; System.out.println(" Jumlah qubit : "+n); System.out.println(" Dimensi ruang Hilbert : "+Math.pow(2, n) +" x "+Math.pow(2, n)); System.out.println(); int ratas = (int) Math.pow(2, n)‐1; System.out.println(" Masukkan item yang dicari dalam range {0 ; "+ratas+"}"); try{ item=Integer.parseInt(br.readLine()); }catch(Exception e){ e.printStackTrace(); } target = new Matrix((int)Math.pow(2, n),1); target.set(item, 0, 1); System.out.println(" Target : "); target.transpose().print(4, 3); ketPsi = new Matrix((int)Math.pow(2, n),1); for(int i=0;i
Ucapan terima kasih Penulis, mengucapkan ucapan terima kasih kepada rekan - rekan Laboratorium Fisika Teoretik ITB atas diskusi yang telah dilakukan. Referensi [1] Jordan S P, “Quantum Computation Beyond the Circuit Model”, [quant-ph], arXiv:0809.2307v1, 2008 [2] NielsenMA. and Chuang I L., “Quantum Computation and Quantum Information 10th Anniversary Edition”, Cambridge University Press, 2010. [3] Harrow A W., Hassidim A and Lloyd S, “Quantum Algorithm for Linear Systems of Equations”, Phys. Rev. Lett, 103, 150502, (2009). [4] Pittenger A O., “An Introduction to Quantum Computing Algorithms”, Birkhäuser Boston, 2000. [5] Perry R T., “The Temple of Quantum Computing Version 1.2”, 2010. [6] Greiner W, Müller B, “Quantum Mechanics Symetries”, Springer, 1989. [7] Grover L K, “A fast quantum mechanical algorithm for database search”, Proc. 28th Annual ACM Symposium on the Theory of Computing (STOC), May (1996) 212- 219. [8] Suhadi, “Adiabatic Quantum Computing tesis”, Institut Teknologi Bandung, 2013. [9] Lavor C., Manssur L.R.U., Portugal R., “Grover’s Algorithm: Quantum Database Search”, arXiv:quant-ph/0301079v1, 2003.
Suhadi* Laboratorium Fisika Teoritik dan Energi Tinggi Institut Teknologi Bandung [email protected]
ISBN 978-602-19655-4-2
365
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia int tmpn = (int) Math.floor(Math.log(N)/Math.log(2)); if(Math.log(N)/Math.log(2)%tmpn==0) n=tmpn; else n=tmpn+1; target = new Matrix((int)Math.pow(2, n),1); target.set(this.item, 0, 1); ketPsi = new Matrix((int)Math.pow(2, n),1); for(int i=0;i
for(int prec=1;prec<=3;prec++){ double p=0; if(prec==1){ p=0.650; }else if(prec==2){ p=0.850; } else if(prec==3){ p=1.000; } System.out.println(); System.out.println(" ==> Untuk pembulatan >"+p+"\n"); int j=4; while(j<multiN){ System.out.println(" Sedang mencari untuk N : "+j+"==> item " +(j‐1)+" ... "); g.autoConstruct(j, j‐1, prec); int i=0; int it=0; int k = (int)(Math.round((Math.PI/4)*Math.sqrt(Math.pow(2, g.getNQBit())))); while(i2){ g.construct(g.getInput()); System.out.println(" Psi : "); g.getKetPsi().transpose().print(4, 3); int i=0; int it=0; int k = (int)(Math.round((Math.PI/4)*Math.sqrt(Math.pow(2, g.getNQBit())))); System.out.println(" Estimasi Iterasi : "+k); if(Math.pow(2, g.getNQBit())<=16){ System.out.println(" Oracle : "); g.Oracle().print(5, 3); System.out.println(" Difusi : "); g.Difusi().print(5, 3); }else{ System.out.println(" Oracle dan Difusi tidak ditampilkan ... "); } while(i Iterasi ke : "+it); g.operasi(g.getKetPsi(), g.Oracle(), g.Difusi()); g.cekPsi(g.getTarget(), g.getItem(), g.getKetPsi(), g.getPrec()); System.out.println(" Psi : "); g.getKetPsi().transpose().print(4, 3); if(g.getFlag()==g.getKetPsi().getRowDimension()){ break; } i++; } System.out.println(" =============================================="); System.out.println("**********************************************"); System.out.println(" Psi akhir pada iterasi ke : "+it); g.ukur(g.getKetPsi()); g.getPsiUkur().transpose().print(4, 3); System.out.println("**********************************************"); g.setInput(); } }else{ g.setInput(); }
} public int getNQBit(){ return n; } public int getItem(){ return item; } public Matrix getKetPsi(){ return ketPsi; } public Matrix getTarget(){ return target; } public int getFlag(){ return sama; } public Matrix Oracle(){ I.set(item, item, ‐1); return oracle = I; } public Matrix Difusi(){ Matrix tmp = new Matrix((int)Math.pow(2, n), (int)Math.pow(2, n)); for(int i=0; i= precc)){ sama++; } } } public void ukur(Matrix psi){ for(int i=0;i0.650 \tP* >0.850 \tP* =1.000"); System.out.println(" ============================================"); for(int i=0;i<listData.size();i++){ System.out.println("\t"+listData.get(i)+"\t\t\t"+estimasi.get(i)+"\t\t"+listIterasi055. get(i)+"\t\t"+listIterasi075.get(i)+" \t\t"+listIterasi095.get(i)); } System.out.println(" =================================================); System.out.println(" Keterangan : *\n k : Estimasi Iterasi\n P : Pembulatan Amplitudo state vektor"); }
} package groveralgorithm; import java.io*; import java.util.logging.*; public class Main { public static void main(String[] args) { GAbDi g = new GAbDi(); g.setInput(); while (g.getInput()>0){ if(g.getInput()==1){ g.getListData().clear(); g.getEstimasi().clear(); g.getListIterasi055().clear(); g.getListIterasi075().clear(); g.getListIterasi095().clear(); System.out.println(" Masukkan banyak panjang database ( > 4 )"); InputStreamReader isr = new InputStreamReader(System.in); BufferedReader br = new BufferedReader(isr); int multiN=0; //int prec=0; try { multiN = Integer.parseInt(br.readLine()); } catch (IOException ex) { printStackTrace(); }
ISBN 978-602-19655-4-2
} } }
366
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Ekstraksi, Isolasi, Pemurnian, dan Karakterisasi Antosianin dari Ubi Jalar Ungu (Ipomoea batatas L.) Suryo Jadmiko* dan Ciptati Abstrak Antosianin merupakan metabolit sekunder dari golongan flavonoid, yang memiliki aktivitas sebagai antioksidan, antimutagenik, antihipertensi, dan dapat digunakan sebagai pewarna makanan. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan ekstraksi, isolasi, pemurnian, karakterisasi dan uji aktivitas antosianin dari ubi jalar ungu (Ipomoea batatas L.). Ekstraksi sampel menggunakan pelarut etanol-HCl 0,01%, menghasilkan padatan ekstrak kasar sebesar 2,74 g/100 g sampel basah. Isolasi antosianin menggunakan kromatografi kolom flash termodifikasi dengan fasa diam poliamida CC-6 dan fasa gerak air dan etanol. Antosianin yang didapatkan sebesar 0,132 g/100 g sampel basah. Kromatogram HPLC dengan pelarut air-asam format 5% dan asetonitril-asam format 5% menunjukkan sampel mengandung berbagai jenis antosianin. Spektrum UVVis dalam metanol-HCl 0,01%, menunjukkan serapan pada panjang gelombang 206, 329, dan 527 nm. Spektrum transmisi FT-IR menunjukkan gugus-gugus utama yang terdapat dalam struktur antosianin. Spektrum 1H NMR menunjukkan aglikon antosianin ialah petunidin. Spektrum LCMS menunjukkan aglikon ialah petunidin dan sianidin. Kata kunci : Antosianin, ubi jalar ungu (Ipomoea batatas L.), kromatografi kolom flash, poliamida CC-6. Pendahuluan
Teori
Antosianin adalah metabolit sekunder dalam kelompok flavonoid. Antosianin merupakan pigmen tumbuhan yang dapat larut dalam air maupun pelarut polar lain dan menyebabkan warna biru, ungu dan merah pada jaringan tumbuhan. Biasanya ditemukan sebagai glikosida atau asilglikosida, keduanya merupakan representasi dari aglikon antosianidin. Jenis antosianin yang paling sering dijumpai di alam ialah cyanidin (Cy), delphinidin (Dp), petunidin (Pt), peonidin (Pn), pelargonidin (Pg), dan malvidin (Mv). Antosianin menarik perhatian para peneliti karena aktivitasnya sebagai antioksidan, antimutagenik, melindungi fungsi hati dan antihipertensi.
Antosianin memiliki stabilitas yang rendah. Stabilitas antosianin sangat dipengaruhi oleh konsentrasi antosianin, pH, suhu, keberadaan enzim, oksigen dan cahaya, serta keberadaan senyawa lain seperti asam askorbat, pigmen, protein, logam dan gula. Untuk mencegah terjadinya degradasi, perlu penambahan asam pada pelarut yang digunakan (Rodrigues-Saona dan Wrolstad, 2001). Ekstraksi sampel dilakukan secara maserasi dengan merendam sampel dalam pelarut etanolHCl 0,01% selama 14 jam pada suhu ruang. Pemisahan antosianin dari ekstrak sampel dilakukan dengan kromatografi kolom flash termodifikasi dengan poliamida CC-6 sebagai fasa diam dan sebagai fasa gerak ialah air dan etanol. Untuk mengetahui jumlah senyawa antosianin dalam sampel, dilakukan High Performance Liquid Chromatography (HPLC). HPLC menggunakan fasa diam C18 dan fasa gerak gradien pelarut air : asam format (95:5) dan asetonitril : asam format (95:5). Selanjutnya antosianin dihidrolisis dengan HCl 2 N dalam penangas air selama 100 menit untuk menghasilkan aglikon (antosianidin). Untuk mengetahui sifat optik antosianin hasil pemisahan dilakukan pengukuran spektrum UV-Vis dan untuk mengetahui struktur antosianidin dilakukan pengukuran spektrum inframerah, spektrofotometer massa dan resonansi magnetik inti. Bioaktivitas antosianin hasil pemisahan diukur dengan uji antioksidan menggunakan metode 1,1difenil-2-pikrilhidrazil.
Pemurnian antosianin dari ekstrak tumbuhan dapat dilakukan dengan berbagai macam resin, misalnya resin penukar ion, poliamida, dan gel (Rodrigues-Saona dan Wrolstad, 2001). Antosianin tipe cyanidin, peonidin dan pelargonidin ditemukan dalam jumlah yang berbeda pada ubi jalar ungu varietas Stokes Purple, NC 415 dan Okinawa (Truong, dkk, 2010). Uji aktivitas antioksidan dengan metode DPPH diketahui bahwa nilai IC50 antosianin yang diisolasi dari ubi jalar ungu (Ipomoea batatas L.) varietas ayamurasaki ialah 24 μg/mL ( Kano, dkk, 2005). Dalam Penelitian ini peneliti melakukan ekstraksi, isolasi, pemurnian dan karakterisasi serta menguji aktivitas antioksidan antosianin dari ubi jalar ungu (Ipomoea batatas L.). Sampel yang diteliti ialah ubi jalar ungu yang dibudidayakan oleh masyarakat di sekitar Gunung Kawi, Jawa Timur.
ISBN 978-602-19655-4-2
367
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
terelusi terlebih dahulu berwarna kecoklatan hingga coklet kemerahan. Fraksi etanol tampak sebagai pita ungu yang terelusi pada kolom kromatografi. (Gambar 2.a). Tiap fraksi dikumpulkan dalam wadah berbeda berdasarkan nilai Rf. KLT dalam sistem pelarut n-butanol : asam asetat : air (4:2:1), dihasilkan nilai Rf fraksi air, fraksi campuran, fraksi etanol berturut-turut adalah 0,58 ; 0,5 dan 0,58 ; 0,5 dan 0,57. Jika dibandingkan dengan nilai Rf ekstrak, maka hasil tesebut menunjukkan adanya pemisahan yang cukup baik.
Hasil dan diskusi Sampel ubi jalar ungu (Ipomoea batatas L.) yang diteliti memiliki kadar air sebesar 59 – 65%. Sampel dibersihkan dan diserut hingga berukuran ± 3 x 3 x 30 mm . Kemudian dimaserasi selama ± 14 jam dalam pelarut etanol-HCl 0,01%. Dibutuhkan 1,8 L pelarut untuk tiap kilogram sampel dan dihasilkan 1,5–1,6 L ekstrak kasar untuk tiap kilogram sampel. Ekstrak kasar yang dihasilkan berwarna ungu kemerahan. Ekstrak kasar didiamkan dalam lemari pendingin pada suhu ± 5 oC agar pati dapat mengendap, kemudian didekantasi. Ekstrak dipisahkan dari pati dengan cara dekantasi. Sebagian ekstrak yang telah bebas dari pati dilakukan kering beku (freeze dry), menghasilkan rendemen sebesar 2,74 g/100 g sampel basah. HPLC yang dilakukan terhadap ekstrak menunjukkan 10 puncak dengan 3 puncak utama pada waktu retensi 31,79 ; 43,64 ; dan 45,54 menit berturur-turut sebesar 28,84% ; 13,65%; dan 30,48%.
(a)
(b)
Untuk menghilangkan kandungan flavon lainnya dalam ekstrak, dilakukan ekstraksi pelarut dengan etil asetat. Fraksi etil asetat berwarna kekuningan. Spektrum UV-Vis fraksi etil asetat dan fraksi air (ekstrak) ditunjukkan oleh Gambar 1. Dari kedua spektrum tersebut dapat diprediksikan bahwa senyawa yang larut dalam kedua fraksi merupakan senyawa yang berbeda. Adanya puncak serapan pada 526 nm dari ekstrak menunjukkan bahwa ekstrak mengandung antosianin.
Gambar 2. (a). Pita ungu antosianin yang terelusi dalam kolom kromatografi, (b). Fraksi-fraksi yang dihasilkan oleh kromatografi kolom flash.
Gambar 1. Spektrum serapan UV-Vis ekstrak dan fraksi etil asetat.
Gambar 3. Spektrum UV-Vis fraksi hasil pemisahan dengan kromatografi kolom flash.
Pemisahan antosianin yang terkandung dalam ekstrak dilakukan dengan kromatografi kolom fasa terbalik karena antosianin merupakan senyawa polar. Untuk memisahkan gula bebas dan senyawa polar lainnya, digunakan air sebagai eluen. Sedangkan etanol digunakan untuk mengelusi antosianin. Proses elusi dalam kolom dilakukan dengan memasukkan eluen sedemikian rupa secara berurutan : air kemudian etanol. Proses ini menghasilkan tiga fraksi yaitu fraksi air, fraksi campuran, dan fraksi etanol. Fraksi air yang
Fraksi etanol yang diindikasikan sebagai antosianin selanjutnya diuapkan dengan rotary evaporator hingga didapatkan pasta. Fraksi etanol tidak dapat kering dengan baik karena antosianin mengandung gugus gula. Rendemen fraksi etanol yang dihasilkan dari kromatografi kolom flash sebesar 0,132 g/100 g sampel basah.
ISBN 978-602-19655-4-2
Spektrum UV-Vis fraksi air, fraksi campuran dan fraksi etanol ditunjukkan oleh Gambar 3. Dari spektrum tersebut dapat dilihat bahwa fraksi air tidak mengandung antosianin, yang ditunjukkan tidak adanya puncak pada panjang gelombang sekitar 520 nm. Sedangkan fraksi campuran menyerap pada 524 nm dan fraksi etanol menyerap pada 527 nm.
HPLC yang dilakukan pada fraksi etanol menunjukkan 13 puncak dengan 3 puncak utama pada waktu retensi 31,54 ; 43,31 ; dan 45,20 menit
368
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
dengan persentase masing-masing sebesar 23,58%, 17,06% dan 33,66%. Hasil ini sama dengan puncak-puncak yang dihasilkan pada HPLC ekstrak. Perbedaan terlihat pada puncak dengan waktu retensi 32,56 dan 49,87 menit yang terdapat pada kromatogram HPLC fraksi etanol. Puncak tersebut sebenarnya terlihat pada kromatogram HPLC ekstrak namun tidak terbaca oleh alat instrumen. Hasil ini menunjukkan bahwa pemisahan antosianin dengan kromatografi kolom flash dengan fasa diam poliamida CC-6 tidak menyebabkan perubahan komposisi senyawa antosianin yang terkadung dalam sampel.
Gambar 5. Spektrum UV-Vis fraksi etanol dan aglikonnya. Dari spektrum transmisi inframerah fraksi etanol (antosianin) hasil kolom kromatografi dan aglikon (antosianidin) tampak bahwa terdapat vibrasi gugus-gugus pada bilangan gelombang 3426,84 cm-1; 1950,3 cm-1, 1619,88 cm-1; dan 1278,33 cm-1 (Gambar 6). Gugus –OH bervibrasi pada bilangan gelombang ± 3500 cm-1. Adanya gugus –OH pada struktur antosianin maupun aglikonnya menyebabkan adanya transmisi energi pada bilangan gelombang 3426,84 cm-1. Namun vibrasi gugus –OH ini tidak dapat dijadikan petunjuk bahwa senyawa yang diukur merupakan antosianin, sebab adanya uap air yang terserap oleh sampel juga menunjukkan vibrasi pada bilangan gelombang sekitar 3500 cm-1. Vibrasi dari ikatan karbonil (C=O+) pada cincin aromatik pada struktur antosianin dan aglikonnya teridentifikasi pada bilangan gelombang 1619,88 cm-1, sedangkan gugus CH teridentifikasi pada 1950,3 cm-1. Pita serapan CO teridentifiksi pada bilangan gelombang 1278,33 cm-1. Perbedaan yang tampak dari kedua spektrum IR tersebut ialah adanya puncak ganda pada bilangan gelombang 1950 cm1 yang dimiliki oleh aglikon.
Gambar 4. Kromatogram HPLC ekstrak (atas), dan fraksi etanol hasil pemisahan dengan kromatografi kolom flash (bawah). Fraksi etanol (antosianin) selanjutnya dihidrolisis sehingga dihasilkan aglikon (antosianidin). Spektrum UV-Vis fraksi etanol dan aglikon ditunjukkan oleh Gambar 5. Dari spektrum serapan UV-Vis fraksi etanol (antosianin) dan hasil hidrolisis fraksi etanol (aglikon) tampak bahwa perbedaan utama ialah serapan pada daerah sinar tampak. Antosianin menyerap pada panjang gelombang 527 nm, sedangkan aglikon menyerap energi pada 530,5 nm (inzet) dengan absorbansi yang sangat lemah. Adanya gugus gula yang terikat pada cincin C menyebabkan elektron lebih mudah mengalami eksitasi. Gugus gula dapat bertindak sebagai pendorong elektron ke arah cincin C, sehingga cincin C lebih kaya elektron dan jarak ikatan menjadi lebih pendek. Hal ini menyebabkan elektron pada ikatan rangkap yang terkonjugasi menjadi lebih mudah mengalami eksitasi.
Gambar 6. Spektrum FTIR fraksi (antosianin) dan aglikon (antosianidin).
etanol
Pengukuran 1H NMR aglikon menghasilkan geseran kimia (δ) H pada 6,0 – 8,5 ppm yang menunjukkan bahwa adanya proton yang terikat pada cincin aromatik. Struktur antosianidin ditandai dengan adanya puncak H singlet yang terikat pada C-4 (8,24 ppm). Nilai δ H-6 ialah 6,85 ppm (dd) dan H-8 adalah 7,14 ppm (d). Sedangkan nilai δ H-
ISBN 978-602-19655-4-2
369
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
2’ adalah 7,52 ppm (d) ; H-3’ 6,26 ppm (dd) ; H-5’ 7,02 ppm (m) ; dan H-6’ 8,46 ppm. Selain itu terdapat puncak metoksi pada δ 3,70 ppm (s). Adanya proton metoksi pada struktur aglikon, diperkirakan bahwa jenis antosianidin (aglikon) ialah petunidin, namun hal ini perlu dikonfirmasi lebih lanjut dengan spektroskopi massa. Sedangkan pengukuran dengan spektroskopi massa (MS) terhadap aglikon menunjukkan adanya sianidin (m/z = 217,5) dan petunidin (m/z = 317,25).
[3]
[4]
Pengukuran aktivitas antioksidan terhadap ekstrak kasar dan fraksi etanol (antosianin) dengan metode DPPH menghasilkan nilai IC50 untuk ekstrak kasar sebesar 34,43 ppm dan IC50 fraksi etanol sebesar 5,62 ppm. Nilai tersebut dibandingkan dengan nilai IC50 asam askorbat yaitu sebesar 9,84 ppm. Menurut kriteria Blois, maka ekstrak kasar maupun fraksi etanol merupakan jenis antioksidan yang sangat kuat. Aktivitas antioksidan fraksi etanol lebih kuat daripada ekstrak kasar karena ekstrak kasar masih mengandung gula bebas
[5]
[6]
[7]
Kesimpulan Antosianin telah berhasil dipisahkan dengan kromatografi kolom flash berfasa diam poliamida CC-6 dan fasa gerak air dan etanol. Ekstrak kasar dan fraksi etanol yang telah dipisahkan merupakan antioksidan yang sangat kuat.
[8]
Ucapan Terima Kasih Penulis mengucapkan terimakasih pada Pemerintah Daerah Sulawesi Tengah atas beasiswa dalam studi dan dukungan finansial pada penelitian ini. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada pembimbing yang telah memberikan masukan dalam diskusi yang telah dilakukan.
Suryo Jadmiko* Magister Pengajaran Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pegetahuan Alam Institut Teknologi Bandung [email protected]
Referensi [1] Davies, K., “Modifying Anthocyanins Production in Flowers”, Anthocyanins, Biosynthesis, Function and Applications, Gould, K., Davies, K., dan Winefield, C. (editor), Springer Science + Business Media, LLC. (2009), p. 50 – 83 [2] Jiao, Y., Jiang, Y., Zhai, W., Yang, Z., “Studies on antioxidant capacity of anthocyanin extract from purple sweet potato
ISBN 978-602-19655-4-2
(Ipomoea batatas L.)”, African Journal of Biotechnology 11(27), 7046 – 7054 (2012) Jusuf, M., Rahayuningsih, A., Ginting, E., “Ubi Jalar Ungu”, Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Balitkabi, Vol 30, No 4 (2008). Kano, M., Takayanagi, T., Harada, K., Makino, K., Ishikawa, F., “Antioxidative Activity of Anthocyanins from Purple Sweet Potato, Ipomoera batatas Cultivar Ayamurasaki”, Bioscience, Biotechnology and Biochemistry, 69 (5), 979 – 988 (2005). Mateus, N., de Freitas, V., “Anthocyanins as Food Colorants”, Anthocyanins, Biosynthesis, Function and Applications, Gould, K., Davies, K., dan Winefield, C. (editor), Springer Science + Business Media, LLC. (2009), p.284-304 Molyneux, P.,”The Use of The Stable Free Radical Diphenylpicrylhydrazyl (DPPH) for Estiming Antioxidant Activity”, Songklanakarin Journal of Science and Technology, 26. 211 – 219 (2004). Rodrigues-Saona, L.E., dan Wrolstad, R.E. “Extraction, Isolation and Purification of Anthocyanin, Current Protocols in Food Analytical Chemistry”, John Wiley & Sons Inc, F1.1.1–F1.1.11, (2001). Truong, V., Deighton, N., Thompson, R.T., McFeeters, R.F., Dean, L.O., Pecota, K.V., dan Yencho, G.C., “Characterization of Anthocyanins and Anthocyanidins in PurpleFleshed Sweetpotatoes by HPLC-DAD/ESIMS/MS, Journal of Agricultural and Food Chemistry”, 58, 404-410. (2010).
Ciptati Kelompok Keahlian Kimia Organik Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Bandung [email protected]
*Corresponding author
370
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Studi awal sintesis partikel CaO dengan menggunakan EG route yang dibantu dengan pemanasan Microwave Verry Anggara Musriana, Pipit Uky Vivitasari, dan Ferry Iskandar. Abstrak CaO telah lama digunakan sebagai desulfurizing agent yang banyak diaplikasikan sebagai filter untuk mengurangi polusi gas SOx pada flue-gas yang dihasilkan industri. Performa partikel CaO sebagai desulfurizing agent salah satunya ditentukan oleh luas area permukaan pada partikel tersebut. Pada penelitian ini telah berhasil disintesis partikel CaO dengan menggunakan bahan dasar (prekursor) Ca(NO3)2 dan NaOH, melalui EG route yang dibantu dengan pemanasan microwave untuk membantu reaksi sintesis. Hasil akhir eksperimen berupa serbuk putih CaO yang kemudian dikarakterisasi dengan metode FTIR, XRD dan BET. Hasil karakterisasi FTIR menunjukan adanya ikatan Ca-O, Ca(OH)2, dan CaCO3. karakterisasi XRD menunjukan puncak spectrum perpaduan antara Ca(OH)2 dan CaO. Kata-kata kunci: Desulfurizing-agent, CaO, Microwave-assisted method, metode thermal decomposition [2]. Dan yang lain adalah dengan metode sol-gel. Metode thermal decomposition merupakan metode yang paling sering digunakan untuk produksi serbuk CaO dalam jumlah banyak, dikarenakan prosesnya yang mudah, dan murah. Hanya saja metode ini menghasilkan partikel CaO yang besar (>100 nm) yang akan menyebabkan luas surface area dari partikel yang diperoleh tidak terlalu besar. Sedangkan metode sol-gel mampu menghasilkan CaO dengan uluran partikel yang sangat kecil (~14 nm), hanya saja metode ini kurang praktis untuk digunakan untuk produksi massal serbuk CaO dikarenakan prosesnya yang rumit, memakan waktu lama dan biaya pembuatan yang mahal.
Pendahuluan Pembangkit listrik tenaga batu bara menjanjikan potensi yang sangat besar untuk Indonesia. Ini dikarenakan harga batubara yang relatif lebih murah, dan jumlahnya yang melimpah di Indonesia. Saat ini terdapat 5 pembangkit listrik tenaga batu bara milik pemerintah, dan 15 pembangkit milik swasta. 35 unit lagi akan dibangun sampai tahun 2019 dengan kapasitas total 10,000 MW, 10 unit di Jawa, 25 unit di Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua [1]. Namun pembakaran batu bara menyisakan beberapa kelemahan, antara lain adalah pelepasan gas SOx. SOx merupakan gas yang terbentuk dari bahan bakar yang mnegandung sulfur seperti batu bara dan minyak bumi. Gas SOx ini mudah teroksidasi untuk membentuk sulfate dan bereaksi dengan uap air di udara membentuk sulfuric acid, yang kemudian akan menjadi hujan asam yang dapat gas SOx juga dapat menyebabkan gangguan pernapasan akut, dan dapat meracuni tanaman, hewan, dan manusia. Kandungan SOx dari pembakaran batubara dihilangkan dengan cara desulfurization. Metode ini menggunakan desulfurizing agent, yaitu suatu adsorbent yang dapat memiliki surface area yang tinggi dan dapat menyerap zat-zat tertentu ke permukaannya melalui gaya-gaya intermolekuler. Proses desulfurization ini menggunakan material adsorbent sebagai desulfurizing agent. Adsorbent yang baik memiliki beberapa kriteria, antara lain ; selektif, kapasitas penyerapan yang tinggi, surface area yang tinggi, tidak beracun, dan biaya produksi murah.
Sementara itu, metode sintesis material melalui metode EG-Route telah banyak digunakan untuk pembentukan partikel berukuran nano karena terbukti dapat membantu reaksi partikel dalam ukuran yang lebih kecil dengan mencegah penggumpalan partikel prekursor. Selain itu metode pemanasan Microwave juga sedang populer belakangan ini sebab metode ini dapat digunakan untuk mengakselerasi reaksi kimia dan dikenal sebagai yang cepat, mudah, energyefficient, dan waktu singkat [3][4]. Transfer energy dari microwave ke material terjadi melalui resonansi dan relaksasi partikel yang menyebabkan pemanasan dalam waktu cepat, dan lebih merata pada seluruh bagian material. [5] [6] Pada penelitian ini kami akan meneliti mengenai pembuatan CaO untuk menghasilkan partikel dengan surface area yang lebih tinggi dengan menggabungkan metode EG-route, dan Microwave heating, yang kemudian akan diaplikasikan sebagai desulfurizing agent.
CaO merupakan material adsorbent yang telah cukup lama digunakan sebagai desulfurizingagent untuk bahan-bahan kimia berbahaya. Secara umum ada 2 metode yang digunakan untuk mensintesis CaO. Yang pertama adalah
ISBN 978-602-19655-4-2
371
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
larutan dipanaskan dengan microwave. Diperoleh larutan yang berwarna putih, warna putih ini disebabkan adanya telah terbentuknya partikel Ca(OH)2 didalam larutan. Hal ini menandakan bahwa pemanasan microwave berhasil memicu terjadinya reaksi. Setelah melalui treatment berikutnya (filtrasi, pencuciam, pengeringan, dan kalsinasi). Hasil akhir berupa serbuk putih kemudian dikarakterisasi dengan metode FTIR, BET, dan XRD.
Eksperimen Prekursor yang digunakan pada eksperimen ini adalah Ca(NO3)2 . 4H2O, dan NaOH yang diperoleh dari Bratachem. Selain itu digunakan juga Ethylene Glycol (Merck) sebagai surfactant untuk reaksi, serta aquades dan ethanol 95% untuk mencuci material.
Hasil analisis FTIR digunakan untuk melihat jenis-jenis ikatan yang terdapat pada material CaO yang dibentuk. Berikut adalah hasil gambar yang diperoleh beserta jenis ikatan yang diperoleh
Gambar 1. Prosedur Eksperimen untuk sintesis CaO Prosedur eksperimen yang digunakan dijelaskan dalam skema pada Gambar 1. Prekursor dipersiapkan dengan melarutkan 5.902 gr Ca(NO3)2.4H2O dalam larutan EG untuk membentuk larutan 50 ml dan terus diaduk dengan menggunakan magnetic stirrer, kemudian 1.404 gr NaOH dilarutkan dalam aquades untuk membentuk larutan 50 ml. kemudian larutan NaOH ditritrasi menggunakan pipet tetes kedalam larutan Ca(NO3)2 yang terus diaduk secara perlahan. Pencampuran ini akan menghasilkan larutan yang kental dan bening kekuningan. Larutan ini kemudian dimasukan kedalam oven Microwave (MW) dgn frekuensi 2.45 GHz selama 3 menit dengan daya 180 MW. Pemanas MW ini akan membuat larutan yang tadinya bening menjadi berwarna putih. Setelah itu larutan disaring menggunakan corong dan kertas saring kemudian dicuci menggunakan aquades dan ethanol. Kemudian hasil presipitasi dikeringkan dalam oven bersuhu 120oC dalam waktu 2 jam, kemudian di kalsinasi dengan suhu 900oC dalam furnace selama 4 jam. Setelah dikalsinasi makan akan diperoleh hasil akhir berupa serbuk putih halus.
Gambar 2. Grafik karakterisasi FT-IR.
absorbsi
dari
hasil
Dari data FTIR yang diperoleh tersebut secara garis besar diperoleh puncak-puncak yang dirangkum dalam tabel berikut : Tabel 1. Afiliasi peak-position pada hasil FT-IR dengan jenis ikatan dan fasa sesuai dengan referensi [7][8][9][10] Peak Position (cm-1) 3643 1476 870 553
Serbuk CaO yang diperoleh kemudian dikarakterisasi dan dianalisa dengan menggunakan 3 metode. Struktur kristal dianalisis dengan menggunakan X-ray diffractograms (XRD), surface area dihitung dengan menggunakan Brunauer-Emmett-Teller (BET). Dan Fourrier Transform Infra-Red (FT-IR).
Ikatan
Fasa
OH (CO3)-2 (CO3)-2 Ca-O
Ca(OH)2 CaCO3 CaCO3 CaO
Dari data tersebut terlihat bahwa ikatan CaO cukup dominan. Namun dari data yang diperoleh terlihat beberapa puncak yang menggambarkan ikatan Ca(OH)2 dan CaCO3. Ca(OH)2 ini terbentuk karena CaO yang bereaksi dengan H2O yang ada di udara. Sedangkan CaCO3 terbentuk karena reaksi dengan ethanol yang terjadi saat pencucian.
Hasil dan Diskusi Pada eksperimen yang telah dilakukan pencampuran larutan Ca(NO3)2.4H2O yang telah dilarutkan dalam EG dan NaOH yang telah dilarutkan dalam air menghasilkan larutan yang bening, hal ini menandakan bahwa belum terjadi reaksi antara Ca(NO3)2.4H2O dan NaOH. Setelah
ISBN 978-602-19655-4-2
data
Pada karakterisasi BET. Data yang diambil pada 11 titik dengan tekanan yang berbeda. Grafik yang diperoleh terlihat pada gambar diatas. Dari data terseput kemudian dihitung dengan menggunakan single point BET menggunakan
372
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Ukuran kristal (D) dihitung dengan menggunakan persamaan Scherrer[11] berikut :
software ASIQWin. Dari hasil perhitungan didapatkan nilai surface area sebesar 45.420 m2/g
D
0.9 . 1/ 2 cos
(1)
Dimana λ adalah panjang gelombang X-ray, β1/2 adalah lebar angular pada intensitas halfmaximum, dan Ɵ adalah sudut Bragg. Dengan menganalisis data XRD yang ada, kita peroleh parameter berikut ; λ = 0.1540598 nm β1/2
= 0.00579 rad
Ɵ = 17.0475 o Dari data tersebut kita peroleh ukuran kristal sebesar 25.271 nm, ini merupakan ukuran kristal yang cukup kecil (nano-kristal). Gambar 3. Grafik data perbandingan volume nitrogen yang terikat dan relative pressure pada karakterisasi BET.
Kesimpulan Serbuk CaO telah berhasil disintesi dengan menggunakan prekursor Ca(NO3)2 dan NaOH menggunakan perpaduan EG-Route dan Microwave heating. Analisis FTIR, BET dan XRD menunjukan bahwa sampel yang dibentuk berupa CaO partikel dengan ukuran kristal 25.271 nm. Metode ini merupakan metode yang relative simpel dan efisien untuk memproduksi partikel CaO dengan ukuran kecil dan surface area yang relatif tinggi. Langkah berikutnya yang akan kami lakukan adalah dalam penelitian ini adalah melakukan optimasi dengan memvariasikan berbagai variabel dalam penelitian ini (seperti molaritas, dan temperatur) untuk mendapatkan partikel CaO dengan surface area yang lebih tinggi
Nilai surface area yang diperoleh ini merupakan nilai yang cukup tinggi bila dibandingkan dengan laporan-laporan lain yang pernah didapatkan sebelumnya. Pada hasil analisis XRD, diperoleh grafik berikut :
Ucapan terima kasih Penelitian ini didanai oleh KITECH (Korea Insitute of Industrial Technology) pada tahun 2013 sebagai bentuk kerjasama joint-research antara KITECH dan Institut Teknologi Bandung. Referensi [1] ‘Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik PT PLN (Persero) 2010-2019’. PT PLN (Persero), 2010. [2] I. R. Bellobono, E. Selli and L. Righetto, ’Flow dynamical charecterization of sorbents immobilized as composites in membranes prepared by photochemical grafting onto polymers’. Mater.Chem. Phys. 19, 131 (1988). [3] I. R. Bellobono, L. Castellano and A. Tozzi. ’Sulphur dioxide control by reactive photografted membranes immobilizing high surface area calcium oxide’. Mater. Chem. Phys. 28, 69 (1991).
Gambar 4. Grafik data XRD. Hasil analisis XRD menunjukan bahwa terdapat puncak CaO dan Ca(OH)2 namun dari hasil XRD tersebut terlihat bahwa yang lebih dominan terlihat adalah puncak Ca(OH)2. Hal ini disebabkan karena pada rentang waktu antara sintesis dan karakterisasi XRD, material telah menyerap cukup banyak uap air dari udara. Namun uap air ini dapat dihilangkan dengan memanaskan kembali material di oven dengan suhu diatas 100oC.
ISBN 978-602-19655-4-2
373
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
ray powder diffraction and IR studies’. J. Eur. Ceram. Soc. 17, 963 (1997). [10] A. R. West, Solid State Chemistry and its Applications (Wiley, New York, 1989). [11] A. Klug and L. Alexander, ’X-ray Diffraction Procedure’ (Wiley, New York, 1962).
[4] D. M. P. Mingo, P. Baghurst, David R. ‘Microwaves in Chemical Synthesis’ . New Chem. 67-75 (2000). [5] D.M.P. Mingo and P. Whittaker. ’Microwave Dielectric Heating Effects in Chemical Synthesis’. G. Chem. Extreme Non-Classical Cond. (1997). [6] Arup Joy and J. Bhattacharya, ’MicrowaveAssisted Synthesis and Characterization of CaO Nanoparticles’. International Journal of Nanoscience. Vol. 10, No. 3 (2011). 413-418. [7] R. A. Nyquist and R. O. Rageli, Handbook of Infrared and Raman Spectra of Inorganic Compounds and Organic Salts., Vol. 4 (Infrared Spectra of Inorganic Compounds 3800_4500 cm_1) (Academic, San Diego, 1997), pp. 207. [8] G. Penel, G. Leroy, C. Rey, B. Sombert, J. P. Huvenne and E. Bres, ’Infrared and Raman microspectroscopy study of flour-flour hydroxy and hydroxy-apatite’. J. Mater. Sci. 8, 271 (1997). [9] Y. Sargin, M. Kizilyalli, C. Telli and H. Guler, ’ A new method for the solid-state synthesis of tetracalcium phosphate, a dental cement: X-
ISBN 978-602-19655-4-2
Verry Anggara Musriana Fisika Material Elektronik Institut Teknologi Bandung [email protected]
Pipit Uky Vivitasari Fisika Material Elektronik Institut Teknologi Bandung pipituky @students.itb.ac.id
Ferry Iskandar Fisika Material Elektronik Institut Teknologi Bandung [email protected]
374
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
Pemodelan sederhana analisis hilangnya energi listrik pada proses transmisi listrik Jarak Jauh sebagai pelengkap pemahaman konsep listrik pada proses pembelajaran Zainuddin* dan Euis Sustini Abstrak Penelitian ini merupakan jaringan listrik dalam skala kecil yang menggunakan komponen bahan kaca mika dengan ukuran 75 cm x 50 cm, transformator input 110 Volt, 220 Volt dan 240 Volt dengan output 12 Volt, 15 Volt, 18 Volt, 24 Volt dan 30 Volt sebagai pembangkit tegangan (TR-1), Transformator Step-Up (TR- 2) dengan perbandingan 1 : 2 dan Transformator Step-Down (TR-2) dengan perbandingan 3 : 1, Power Suply Model GPS 3030D (Accu 12 Volt), kawat nikrom 1 = 0,40 mm dengan resistansi 11,2 Ω/m, 2 = 0,60 mm dengan resistansi 4,79 Ω/m dan
3 =
0,80 mm dengan resistansi 2,44 Ω/m, panjang kawat nikrom 95 cm,
lampu perces 12 Volt 5 watt. Hasil eksperimen diperoleh besarnya nilai regulasi tegangan (VR) pada kawat transmisi berdiamter 0,40 mm > 0,60 mm > 0,80 mm yaitu 18,47 % < 4,27 % < 2,38 % untuk tegangan 30 Volt untuk ketiga jenis diameter kawat transmisi listrik tegangan rendah. Besarnya nilai P(rugi daya) adalah 1,13 Watt, 0,30 Watt dan 0,16 Watt dengan efisiensi transmisi 84,35 %, 95,59 % dan 97,95 % untuk ketiga jenis diameter kawat transmisi listrik tegangan rendah. Besarnya nilai regulasi tegangan (VR) pada kawat transmisi berdiamter 0,40 mm > 0,60 mm > 0,80 mm yaitu 2,43 % > 1,07 % > 0,40 % untuk tegangan 30 Volt untuk ketiga jenis diameter kawat transmisi listrik tegangan tinggi. Besarnya nilai P (Rugi daya) adalah 0,12 Watt, 0,05 Watt dan 0,02 Watt dengan efisiensi transmisi 97,26 %, 98,86 % dan 99,54 % untuk ketiga jenis diameter kawat transmisi listrik tegangan tinggi. Kata-kata kunci: Transformator, Transmisi Daya, Hukum Joule, Hukum Ohm. Pendahuluan Arus listrik didefinisikan banyaknya muatan yang mengalir dalam sebuah kawat penghantar tiap satuan waktu. Elektron bebas dan ion dalam konduktor bergerak karenapengaruh medan listrik yang dapat dihubungkan dengan beda potensial. Dalam bahan isolator, elektron bebas terikat kuat pada masing-masing atom sehingga bahan isolator tidak dapat menghantarkan arus.Jika akibat beda potensial dV mengalir muatan dQ pada suatu permukaan dA dalam waktu dt, maka didefinisikan arus listrik[1].
I
dQ dt
Gambar 1. Aliran arus pada suatu konduktor dengan luas penampang. Hukum Ohm adalah kuat arus yang mengalir pada suatu penghantar, sebanding dengan beda potensial antara ujung-ujung penghantar, asalkan suhu penghantar tetap. Berdasarkan hukum ohm, rapat arus sebanding dengan medan listrik yang menimbulkannya, maka[2]: J E
(1)
untuk logam berpenarnpang serba sarna dialiri arus I dihubungkan dengan panjang l dan tegangan V, sebagai berikut:
Rapat arus (J) adalah kuat arus per satuan luas penampang.dinamakan kerapatan arus, maka kerapatan arus listrik didefinisikan sebagai: J
I A
(4)
(2)
atau
J nev
Gambar 2. Konduktivitas arus dalam logam.
(3)
persamaan untuk penghantar :
besar R
ISBN 978-602-19655-4-2
375
l A
hambatan
listrik
(5)
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
perbandingan 1:2 dan transformator penurun tegangan (step-Down) yang mempunyai perbandingan 3:1 yang dihubungkan dengan menggunkan kawat nikrom sebagai kawat transmisi yang berdiameter masing-masing 0,40 mm, 0,60 mm dan 0,80 mm. Transformator adalah sebuah alat untuk menaikkan atau menurunkan tegangan listrik bolak-balik AC. Transformator merupakan komponen elektronika yang dapat menghubungkan jaringan listrik yang mempunyai berbagai macam tegangan, sehingga teganga listrik dapat didistribusikan secara meluas dan berfungsi untuk mengubah tegangan[6].
Jika kawat pemanas dimasukan kedalam cairan yang lebih dingin makaakan terjadi pemindahan panas dari kawat ke cairan. Bila sebatang logam dialiri arus listrik, maka tumbukan oleh pembawa muatan dalam logam mendapat energi sehingga menjadi panas dan atom-atom akan bergerak semakin kuat. Daya listrik yang diubah menjadi getaran atom dalam logam, dikenal sebagai energi hilang sebagai kalor. Ini dapat dipahami bahwa muatan dQ yang bergerak pada tempat dengan beda potensial V akan menggunakan energi sebesardW = VdQ, karena arus dan kecepatan tetap, maka energi yang hilang persatuan waktu[3]: dW V dQ
Transformator step-up adalah transformator yang memiliki lilitan sekunder lebih banyak daripada lilitan primer, sehingga berfungsi sebagai penaik tegangan, sedangkan Transformator stepdown memiliki lilitan sekunder lebih sedikit daripada lilitan primer, sehingga berfungsi sebagai penurun tegangan[7].
(6)
persamaan daya listrik pada proses transmisi adalah: P V . I
(7)
Sehingga diperoleh rugi daya: 2
P I .R
(8)
Gambar 3. (a) Simbol transformator step-up, (b) imbol transformator step-down.
Sumber listrik yang mengalirkan energi listrik kerumah-rumah berasal dari pusat pembangkit tenaga listrik. Pada pusat pembangkit tenaga listrik ini, energi gerak diubah menjadi energi listrikLetak pusat pembangkit listrik sangat jauh dari rumah pelanggang, sehingga dibutuhkan kawat yang sangat panjang sebagai penghantar.Kita sudah mempelajari bahwa makin panjang kawat penghantar, makin besar hambatan listriknya. Hambatan yang terlalu besar dapat menyebabkan banyak energi listrik yang berubah menjadi energi panas dalam perjalannya.Demikian pula, jika kawat penghantar itu mempunyai kuat arus yang terlalu besar, energi listrik berubah menjadi energi panas. Hambatan yang terlalu besar dapat menyebabkan banyak energi listrik yang berubah menjadi energi panas dalam perjalannya. Demikian pula, jika kawat penghantar itu mempunyai kuat arus yang terlalu besar, energi listrik berubah menjadi energi panas. Pada saluran proses transmisi listrik serta pada beban atau hambatan dan faktor daya yang digunakan. Regulasi tegangan (voltage regulation) atau jatuh tegangan. Selama dalam proses transmisi listrik besar daya yang ditransmisikan dari pangkal pengiriman dan besar daya yang diterima pada ujung pangkal penerimaan akan diperoleh besar rugi daya yang hilang dan efisiensi selama proses trnasmisi listrik[5].
Teori Penelitian ini adalah untuk menghitung nilai regulasi tegangan, rugi daya dan persentase rugi daya di dalam kawat transmisi, jika daya listrik ditransmisikan dengan tegangan rendah, arus besar dan tegangan tinggi, arus kecil dan faktor yang mempengaruhi besarnya rugi daya dalam kawat nikrom dimana ada beberapa variabel yang terkait diantaranya transformator, kawat nikrom, Accu, lampu perces dan Inverter, sehingga dibutuhkan beberapa instrument diantaranya : 1.Menentukan daya yang akan ditransmisikan.
2.Mentransmisikan daya listrik dengan tegangan rendah dan arus besar. 3.Menentukan rugi daya jika ditransmisikan dengan tegangan rendah.
4.Menentukan regulasi tegangan, rugi daya dan efisiensi listrik jika ditransmisikan dengan tegangan rendah. 5.Menentukan rugi daya jika ditransmisikan dengan tegangan tinggi.
Dalam kegiatan penelitian tersebut digunakan tiga transformator yaitu: transformator pembangkit tegangan dengan sumber tegangan 12 Volt, 15 Volt, 18 Volt, 24 Volt dan 30 Volt, transformator penaik tegangan (step-up) yang mempunyai
ISBN 978-602-19655-4-2
376
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
menggunakan trafo penaik tegangan (Step Up) dan trafo penurun tegangan (Step Down) dan hanya menggunakan sumber tegangan pembangkit saja, hasil tersebut terlihat seperti grafik 2. di bawah ini:
Hasil dan Diskusi Kegiatan 1. Mentransmisikan daya listrik dengan tegangan rendah dan arus besar. Kegiatan 2 .Menentukan rugi daya jika ditransmisikan dengan tegangan rendah. Berdasarkan kegiatan 1 dan 2, diperoleh hasil bahwa regulasi tegangan untuk kawat yang berdiameter 0,40 mm, 0,60 mm dan 0,80 mm, besarnya nilai tegangan dan diameter kawat yang digunakan dapat mempengaruhi besarnya nilai regulasi tegangan yang terjadi, terlihat bahwa semakin besar diameter kawat yang digunakan dan tegangan yang ditransmisikan maka semakin kecil regulasi tegangan yang akan terjadi atau kawat transmisi berdiamter 0,40 mm > 0,60 mm > 0,80 mm pada transmisi listrik tegangan rendah. Agar hambatan listrik tidak terlalu besar maka kawat nikrom yang digunakan tidak terlalu kecil, hasil tersebut seperti grafik 1. di bawah ini:
Grafik 2. Diagram efisiensi transmisi listrik tegangan dengan variasi diameter kawat transmisi tegangan rendah. Berdasarkan kegiatan 3 dan 4, diperoleh hasil bahwa terlihat hasil regulasi tegangan untuk kawat yang berdiameter 0,40 mm, 0,60 mm dan 0,80 mm, besarnya nilai tegangan dan diameter kawat yang digunakan dapat mempengaruhi besarnya nilai regulasi tegangan yang terjadi, terlihat bahwa semakin besar diameter kawat dan tegangan yang ditransmisikan maka semakin kecil nilai regulasi tegangan yang akan terjadi atau kawat transmisi berdiamter 0,40 mm > 0,60 mm > 0,80 pada kawat transmisi listrik tegangan tinggi. Agar hambatan listrik tidak terlalu besar maka kawat nikrom yang digunakan tidak terlalu kecil, hasil tersebut terlihat pada grafik 3. di bawah ini:
Grafik 1. Diagram regulasi tegangan dengan variasi diameter kawat transmisi tegangan rendah. Kegiatan 3. Mentransmisikan daya listrik dengan tegangan rendah dan arus besar. Kegiatan 4. Menentukan rugi daya jika ditransmisikan dengan tegangan tinggi dan arus kecil. Berdasarkan pengolahan data rugi daya dan efisiensi selama dalam proses transmisi listrik tegangan rendah, terlihat perbedaan efisiensi transmisi listrik antara ketiga jenis diameter kawat transmisi yang digunakan dengan variasi tegangan 12 Volt, 15 Volt, 18 Volt, 24 Volt dan 30 Volt sehingga diperoleh hasil rugi daya dan efisiensi maksimal sebagai berikut: kawat transmisi yang berdiameter 0,40 mm memiliki rugi daya 1,13 Watt dengan efisiensi 84,35%, kawat transmisi yang berdiameter 0,60 mm memiliki rugi daya 0,30 Watt dengan efisiensi 95,99% dan kawat transmisi yang berdiameter 0,80 mm memiliki rugi daya 0,16 Watt dengan efisiensi 97,95 %. Dari hasil tersebut kawat transmisi yang berdiameter 0,80 mm memiliki efisiensi yang ideal, dengan sistem transmisi listrik jarak jauh yang tidak
ISBN 978-602-19655-4-2
Grafik 3. Diagram regulasi tegangan dengan diameter kawat transmisi tegangan tinggi. Berdasarkan pengolahan data rugi daya dan efisiensi selama dalam proses transmisi listrik tegangan tinggi, terlihat perbedaan efisiensi transmisi listrik antara ketiga jenis diameter kawat transmisi yang digunakan dengan variasi tegangan 12 Volt, 15 Volt, 18 Volt, 24 Volt dan 30 Volt sehingga diperoleh hasil rugi daya dan efisiensi maksimal sebagai berikut: kawat transmisi yang berdiameter 0,40 mm memiliki rugi daya 0,06 Watt dengan efisiensi 98,45 %, kawat transmisi yang berdiameter 0,60 mm memiliki rugi daya 0,03 Watt dengan efisiensi 99,03 % dan kawat transmisi yang berdiameter 0,80 mm memiliki rugi daya 0,02 Watt dengan efisiensi 99,54 %. Dari hasil tersebut
377
Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2013 (SNIPS 2013) 3-4 Juli 2013, Bandung, Indonesia
kawat transmisi yang berdiameter 0,60 dan 0,80 mm memiliki efisiensi yang ideal sedangkan kawat yang berdiamter 0,40 mm pada tegangan 12 Volt sudah mendekati nilai efisiensi ideal, hal ini disebabkan adanya sistem transmisi listrik jarak jauh yang menggunakan trafo penaik tegangan (Step Up) dan trafo penurun tegangan (Step Down) yang diasumsikan sebagai sistem transmisi tegangan tinggi dan arus kecil yang sangat berpengaruh terhadap rugi daya dan efisiensi sistem transmisi listrik, hasil tersebut terlihat pada grafik 4. di bawah:
Ucapan Terima Kasih Penulis mengucapkan terima kasih kepada Pemerintah Daerah Provinsi Sulawesi Tengah yang telah memberikan dukungan pembiayaan melalui program Beasiswa KERMA Sul-Teng. Referensi [1] Sears dan Zemansky, Fisika Universitas Edisi ke sepuluh, jilid 2. Penerbit Erlangga 2003. [2] Josepsh A.Edminister, Theory and Problems of Electromagnetics, Schaum’s Otline Series 1993. [3] http://www.scribd.com/doc/39996100/HukumJoule, di akses mulai September 2012 [4] Sri Sulastri, Bilingual Physics Science, penerbit Erlangga 2012. [5] Eliza Andayani, Pembuatan miniatur transmisi daya listrik sebagai media pembelajaran fisika SMA pada kelas X, 2008. [6] Dunia-listrik.blogspot.com/2008/12/sistemdistribusi-tenaga-listrik.html, di akses mulai bulan juli 2012. [7] Rinawan Abadi, Panduan pendidik Fisika Untuk SMA/MA Kls XII, Intan Pariwara Bandung 2010.
Grafik 4. Diagram efisiensi transmisi listrik tegangan dengan diameter kawat transmisi tegangan tinggi Kesimpulan
Zainuddin*
Berdasarkan hasil dan diskusi dari pengolahan data yang dilakukan, dapat simpulan bahwa: Kualitas kawat tembaga yang digunakan pada lilitan transformator sangat berpengaruh terhadap nilai efisiensi transformator, penggunakan transformator Step-Up dan StepDown sangat mempengaruhi system transmisi listrik jarak jauh, besarnya tegangan sumber input dan diameter kawat transmisi akan mempengaruhi besarnya intensitas cahaya, regulasi tegangan, rugi daya dan efisiensi transmisi listrik jarak jauh dan penggunaan tegangan tinggi pada sistem transmisi lstrik dapat memperkecil rugi daya yang terjadi.
ISBN 978-602-19655-4-2
Dikjar pendididkan dan kebudayaan Kab. Donggala [email protected]
Euis Sustini Fisika Material Elektronika Institut Teknologi Bandung [email protected]
* Corresponding author
378
© 2013 Program Studi Magister Pengajaran Fisika FMIPA - ITB