1
SEMINAR RADAR NASIONAL III
2009
Prosiding Bandung 30 April 2009 Savoy Homann Bidakara Hotel
Penyelenggara: ppet
Pusat Penelitian Elektronika dan Telekomunikasi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PPET - LIPI)
LIPI
dan Sekolah Teknik Elektro dan Informatika (STEI - ITB) bekerjasama dengan International Research Centre for Telecommunications and Radar (IRCTR) Delft University of Technology (TU Delft) The Netherlands
Sponsor:
i
Prosiding Seminar Radar Nasional III 2009
ISSN : 1979 - 2921
Hak cipta © 2009 oleh Pusat Penelitian Elektronika dan Telekomunikasi – LIPI Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang menyalin, memproduksi dalam segala bentuk, termasuk mem-fotocopy, merekam, atau menyimpan informasi, sebagian atau seluruh isi dari buku ini tanpa ijin tertulis dari penerbit.
Prosiding Seminar Radar Nasional / [editor by] Mashury Wahab, Asep Yudi Hercuadi A.A. Lestari, A.B. Suksmono, , Yuyu Wahyu, Pamungkas Daud. vi + pp.; 21,0 x 29,7 cm ISBN : 1979 - 2921 Radio Detecting and Ranging (Radar)
Technical editing by Yudi Yuliyus Maulana, Dadin Mahmudin, Deni Permana K,Yadi Radiansah, Sulistyaningsih, Folin Oktaviani. Cover design by Yadi Radiansah.
Diterbitkan oleh :
Pusat Penelitian Elektronika dan Telekomunikasi (PPET) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Kampus LIPI Jl. Sangkuriang, Bandung Telp. (022) 2504661 Fax. (022) 2504659 Website : www.ppet.lipi.go.id
ii
Pelindung Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Teknik LIPI
Ketua Umum Mashury Wahab
Panitia Pengarah Lilik Hendradjaja, Dephan Adang Suwandi, ITB Syahrul Aiman, LIPI Tatang A. Taufik, BPPT Hiskia Sirait, LIPI Andriyan B. Suksmono, ITB A. Andaya Lestari, IRCTR-IB Endon Bharata, IRCTR-IB Nana Rachmana, ITB Yuyu Wahyu, LIPI Syamsu Ismail, LIPI Rustini S. Kayatmo, LIPI Eko Tjipto Rahardjo, UI Adit Kurniawan, ITB
Panitia Pelaksana Iskandar, ITB Andi Kirana, RCS Gunawan Handayani, ITB Pamungkas Daud, LIPI Folin Oktaviani, LIPI Sulistyaningsih, LIPI Yudi Yulius Maulana, LIPI Dadin Mahmudin, LIPI Deni Permana K., LIPI Sri Hardiati, LIPI Iqbal Syamsu, LIPI Asep Yudi Hercuadi, LIPI Yadi Radiansah, LIPI Zaenul Arifin, LIPI Endang Ridwan, LIPI Lisdiani, LIPI Poppy Sumarni, LIPI Noorfiya Umniyati, LIPI Dicky Desmunandar, LIPI
iii
KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunianya sehingga Seminar Radar Nasional (SRN) III pada tanggal 30 April 2009 ini dapat terselenggara. Selanjutnya kami mengucapakan selamat datang di Kota Bandung kepada para peserta seminar, pembicara kunci, pemakalah dan para undangan lainnya. Tujuan diadakannya seminar ini adalah untuk menjadi sarana sosialisasi dan forum pertukaran informasi antara para pakar, peneliti dan pengguna Radar, sehingga akan membantu pemerintah dalam menjawab permasalahan dibidang Radar dan mendorong kemandirian dalam penyediaan Radar di Indonesia. Suatu hal yang tidak mustahil bila teknologi, kebijakan dan pemecahan masalah tentang Radar akan terungkap dalam seminar ini. Seminar ini menghadirkan beberapa pembicara tamu dari berbagai latar belakang yaitu pembuat kebijakan, pengguna dan tenaga ahli dibidang Radar. Ada sekitar 30 makalah yang dipresentasikan dalam sesi paralel seminar. Kami mengharapkan para peserta dapat memperoleh tambahan informasi/pengetahuan melalui kegiatan Seminar ini. Akhirnya Kami Panitia mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang telah mendukung terselenggaranya kegiatan SRN III 2009 ini yaitu antara lain Kepala LIPI, Deputi Bidang IPT – LIPI, IRCTR-IB, IRCTR TU-Delft, ITB, Pembicara tamu P2SDKP, Pembicara tamu BMKG, Pembicara Tamu MABESAU, Pembicara tamu Staf Ahli Menristek Bidang Hankam, Hp-Agilent, PT. Solusi 247-RCS, Telkom Bandung, para peserta dan pihak-pihak lain yang tidak dapat kami sebutkan satupersatu.
“Selamat mengikuti seminar, dan sampai jumpa pada acara seminar berikutnya“
Bandung, 30 April 2009
Panitia
iv
Daftar Isi Susunan Panitia ................................................................................................. iii Kata Pengantar ................................................................................................... iv Daftar Isi .............................................................................................................. v Daftar Makalah .................................................................................................... vi
v
Daftar Makalah
1.
Tinjauan Pemanfaatan Teknologi Seluler GSM Diaplikasikan Sebagai Pasif Radar ............................................................................................................. Febrian Wijoseno, Adit Kurniawan, Arwin D.W.Sumantri
2.
Analisa FDOA-RADAR Sekunder Terhadap Gangguan Random Noise Wahyu Widada dan Sri Kliwati …………………………………………………………..
3.
Sistem Identifikasi Pesawat Menggunakan Kecepatan dan Radar Cross Section Pesawat Berbasis Jaringan Syaraf Tiruan Backpropagation ………… Maman Darusman, Arwin Datumaya Wahyudi Sumari, Aciek Ida Wuryandari
4.
5.
The Performance Of Supervised And Unsupervised Neural Networks In Performing Aircraft Identification Tasks ……………………………………………. Arwin Datumaya Wahyudi S, Aciek Ida Wuryandari, Maman Darusman, Nur Ichsan Utama Minimalisasi Sinyal Harmonik Radar Indra I dengan IF Lumped Element Filter ........................................................................................................................ Liarto, A.A Lestari, Sri Hardiati
1-5
6-10
11-15
16-22
23-26
6.
First Results Of The Signal Processing Of INDERA …………………………….. W. Sediono, A. A. Lestari
7.
Teknik Pengukuran Pola Radiasi Transduser Dwi-Fungsi Akustik Bawah Air ………………………………………………………………………………… Syamsu Ismail
30-32
Analisis Penyesuai Impedansi NTL Menggunakan Metode Ekspansi Fourier ..................................................................................................................... Rudy Yuwono, Achmad Setiawan, D.J. Djoko H.S
33-38
Antena Array Electronic Switch Beam Untuk Pengerahan Beam Antena Pada Sistem Radar ................................................................................................. Yoko Wasis, Bambang Edhie Sahputra, Iswahyudi, Yogi Koswara, A.A Pramudita
39-41
8.
9.
27-29
10.
Antena UWB Bentuk T Untuk Aplikasi SFCW-GPR 100-1000 Mhz ................... A.Adya Pramudita, A. Kurniawan, A. Bayu Suksmono, A.Andaya Lestari
42-46
11.
Sistem Trigger Pada Radar Maritim Indera .......................................................... Oktanto Dedi Winarko, A. Andaya Lestari
47-51
12.
Penelitian-Penelitian Radar Dan Pendukungnya di Lipi ..................................... Masbah R.T. Siregar
52-56
13.
Karakterisasi Penggunaan Garis Kurva Pada Lengan Seri 3 dB Hybrid Coupler MicrostripPita Lebar ................................................................................ Y.K. Ningsih, F.Y. Zulkifli, E.T. Rahardjo, A.A. Lestari
57-62
Optimasi Pemodelan Arima Dengan Efek Deteksi Outlier Pada Data Curah Hujan Di Surabaya ...................................................................................... Achmad Mauludiyanto, Gamantyo Hendrantoro, Mauridhi Hery P, Suhartono
63-67
Desain Dan Simulasi Tranceiver Stepped Frequency ContinuousWave Ground Penetrating Radar (SFCW GPR) 700 – 1400 Mhz .................................. Tommi Hariyadi, Endon Bharata, Andriyan Bayu Suksmono
68-74
14.
15.
vi
16.
Sistem Antena Radar VHF Lapan ......................................................................... Peberlin Sitompul, Aries Kurniawan, M. Sjarifudin, MarioBatubara, Harry Bangkit, Timbul Manik, J.R Roettger
17.
Pembuatan Modul Receiver Untuk Sistem Perangkat Pemancar Jamming ………………………………………………………………………………….. Elan Djaelani
79-84
Pemanfaatan Sistem Pakar dalam Perancangan Sistem Analisa Masalah Dan Penentu Tindakan Pemeliharaan Radar ....................................................... Edith Nurhidayat Kurniawan S. , Aciek Ida Wuryandari , Arwin D.W. Sumari
85-88
18.
75-78
19.
Penggunaan Radar Bagi Kepentingan Pertahanan Udara ................................. Suparman D, MM
20.
Kerjasama DEPHUT Dan Lembaga International dalam Penggunaan Radar Untuk Mendukung Pengelolaan Hutan yang Lestari ……………………………... Iwan Setiawan Priyambudi Santoso
95-96
Perbandingan Performansi Sistem Identifikasi Pesawat Menggunakan Jaringan Syaraf Tiruan Mode Adaptive Resonance Theory 1 Dan 2 ................. Nur Ichsan Utama, Aciek Ida Wuryandari, Arwin D. W. Sumari
97-101
Ilmu Pengetahuan Rekayasa dan Teknologi Dan Seni (ILPERTEKS) Untuk Pengembangan Radar Pengawas Pantai ................................................. , Elan Djaelani Prof. Dr. Rohani J Widodo, Ridodi Anantaprama, Iwan Setiawan
102-108
21.
22.
89-94
23.
Usulan Pemakaian Radar Langit Untuk Daerah Khusus Atau Rawan .............. Hari Satriyo Basuki
109-113
24.
Implementasi Peta Dinamis Pada Radar INDERA ............................................... Deni Yulian, W. Sediono, A. Andaya Lestari
114-118
25.
Perancangan dan Realisasi Antena Rolled Dipole Untuk Keperluan Ground Penetrating (GPR) Dengan Menggunakan Metoda Finite Different Time Domain (FDTD) .............................................................................. Yudi Yuliyus Maulana, Yuyu Wahyu, Folin Oktafiani dan AA Lestari
119-124
26.
Antena Ground Penetrating Radar Adaptif Terhadap Multi Pulsa ..................... Folin Oktafiani, Yuyu Wahyu, Yudi Yuliyus, A.A Lestari
27.
Estimasi Electromagnetic Interference (EMI) Dalam Sistem Antena Patch Array Untuk Radar ................................................................................................. Sri Hardiati, Sulistyaningsih
129-132
Antena Dipole Dengan Pembebanan Resistif dan Layer Dielektrik Untuk Ground Penetrating Radar (GPR) ......................................................................... Y.Wahyu, A.Kurniawan, Sugihartono, A.S Ahmad, A A Lestari
133-137
28.
125-128
29.
Kajian Mengenai Radar Clutter Dan Pengaruhnya Pada Unjuk Kerja Radar ... Mashury Wahab dan Sulistyaningsih
138-142
30.
Pembangkit Chirp Untuk Radar FMCW Menggunakan DDS .............................. Purwoko Adhi
143-146
vii
TINJAUAN PEMANFAATAN TEKNOLOGI SELULER UNTUK DIAPLIKASIKAN SEBAGAI PASSIVE RADAR Febrian Wijoseno 1), Adit Kurniawan 2), Arwin Datumaya Wahyudi Sumari 3) 1)2)3) Sekolah Tinggi Elektro dan Informatika, Institut Teknologi Bandung Gedung Ahmad Bakrie Lt. 2, Jl.Ganesha 10, Bandung,40132-INDONESIA Email :
[email protected],
[email protected],
[email protected] 3)Departemen Elektronika, Akademi Angkatan Udara Jl. Laksda Adisutjipto, Yogyakarta, 55002-INDONESIA ABSTRAK Tulisan ini membahas tentang tinjauan pemanfaatan teknologi seluler diaplikasikan sebagai passive radar untuk mendeteksi pesawat terbang. Sesuai dengan fungsinya, maka pemodelan ini memerlukan beberapa asumsi dasar antara lain model propagasi “Llyods mirror” dihitung, dan model propagasi yang digunakan adalah propagasi sinyal di ruang bebas. Selanjutnya dibahas penggunaan sinyal pilot pada WCDMA untuk cellular radar.Cellular radar ini bekerja berdasar gabungan antara prinsip radar konvensional dengan deteksi oleh cellular yang memanfaatkan proses sinkronisasi pararel sinyal PN. Dengan skema ini proses deteksi akan mencari nilai terbesar dari autokorelasi antara urutan PN dengan nomor path. Kata kunci : radar, passive radar,cellular radar, WCDMA, seluler, Llyods mirror 1.
Komunikasi seluler sendiri, sekarang ini sedang berkembang pesat di Indonesia. Coverage dari komunikasi seluler ini, hampir melingkupi seluruh pelosok Indonesia. Dengan latarbelakang inilah, penulis melakukan penelitian untuk menganilisis kemungkinan pemanfaatan teknologi GSM sebagai passive radar. Pemanfaatan teknologi seluler sebagi passive radar ini lebih dikenal dengan sebutan cellular radar. Diharapkan dengan memanfaatkan infrastruktur yang telah ada, cellular radar ini, dapat merealisasikan kebutuhan TNI AU untuk covering daerah-daerah yang belum ada radarnya.
PENDAHULUAN
TNI AU memiliki tugas pokok menjaga kedaulatan negara di udara. Dengan kondisi geografis wilayah Indonesia yang sangat luas dan potensi konflik yang rawan terjadi dengan pihak luar, dibutuhkan unsur pertahanan udara yang selalu siap. Untuk mewujudkannya, selain diperkuat dengan beberapa jenis pesawat tempur, TNI AU juga menggelar satuan radar di berbagai pelosok Indonesia. Pada saat ini, dari Sabang sampai Merauke, terdapat 17 satuan radar yang dimiliki TNI AU. Fungsi radar sendiri bisa sebagai early warning ataupun ground interceptor bagi pertahanan udara. Early warning merupakan sistem peringatan dini jika ada ancaman dari pesawat asing / rudal yang memasuki wilayah kedaulatan udara Indonesia. Sedangkan ground interceptor berfungsi sebagai pemandu pesawat tempur di udara. Satuan-satuan radar tersebut lebih banyak terkonsentrasi di wilayah Indonesia bagian barat. Sedangkan di bagian timur Indonesia masih banyak daerah-daerah yang belum terlindungi dengan radar, sehingga sering terjadi pelanggaran kedaulatan udara di wilayar tersebut. Dilain pihak, untuk mengadakan satu site radar baru diperlukan dana yang cukup besar. Dengan kondisi di atas, perlu dicarikan solusi alternatif untuk mengatasinya. Tentunya dengan memprerhatikan segala aspek, termasuk dari segi pendanaan. Alternatif yang memungkinkan, yaitu dengan menggunakan passive radar. Sementara ini, telah banyak konsep tentang passive radar dikembangkan di dunia barat. Contoh passive radar yaitu dengan memanfaatkan sinyal dari siaran radio, televisi dan telopon seluler.
2. DASAR TEORI 2.1 Radar Radar (Radio And Detecting ranging), merupakan peralatan elektronik yang dapat mendeteksi posisi suatu obyek (target) di udara. Radar banyak digunakan di kalangan militer untuk keperluan pertahanan udara. Selain itu, pemanfaatan radar dapat ditemui di bandara-bandara sebagai alat monitoring ATC (Air Traffic Controller) Prinsip kerja Radar Secara sederhana, komponen radar bagian transmitter yang memproduksi pulsa-pulsa untuk diradiasikan ke ruang bebas. Pulsa yang mengenai target, kemudian menghasilkan echo dipantulkan kembali ke Radar. Dengan antenna penerima yang sangat sensitive, receiver radar menerima sinyal echo selanjutnya sinyal tersebut diolah untuk mengidentifikasi target. Hasil identifikasi target berupa jarak target terhadap radar, ketinggian target bahkan dengan signal processing modern dapat diketahui jenis dari target tersebut. 1
memanfaatkan infrastruktur yang sudah ada, ditambahkan dengan sistem penerima sinyal yang mempunyai algorithma untuk mengolah sinyal echo dari sumber tersebut menjadi informasi target. Pendeteksian target passive radar menggunakan prinsip Passive Coherent Location. Contohnya, dengan memanfaatkan sinyal FM, sinyal VHF televisi dan sinyal seluler. Passive Coherent Location Proses penentuan lokasi suatu target dengan sistem ini Passive Coherent Location dapat digambarkan sebagai berikut : Gambar 1 :Prinsip kerja Radar
Rumus –rumus Radar Berikut daftar simbol yang digunakan dan satuan-satuannya : Transmitted Power Watt Pt Received Power (direct path) Watt Pr Scattered power Watt Ps Noiser Power Watt Pn Gain transmitter Gt Gain receiver Gr λ Panjang gelombang m Jarak antara Transmitter ke target m R1 h Ketinggian target m σ Radar cross section m2
Gambar 2 : Proses deteksi target dengan passive coherent location
Receiver dibuat secara khusus untuk mendeteksi sinyal echo dari target. Selanjutnya sinyal tersebut diolah untuk menentukan posisi dari target.
Rumus Umum Radar : Pe = Pt . G2. σ. λ2 / (4Π)3 R4
2.3 Celular Radar Passive radar yang menggunakan sinyal seluler dikenal dengan sebutan cellular radar. Dengan teknologi seluler, passive radar dimungkinkan untuk mendeteksi target yang berada di tempat jauh dan bergerak cepat secara real time dengan biaya yang relatif murah. Cellular radar ini, berlaku sebagai sebuah sistem radar yang mampu mendeteksi dan memproses data dengan cepat. Sedangkan sebagai sistem seluler, mempunyai coverage yang luas. Bagian pertama dari identifikasi target adalah pendeteksian oleh sejumlah receiver yang memproses secara digital sinyal echo dari target. Yang ke dua, yaitu sistem seluler mendeteksi target dengan melakukan pengolahan dan pengkombinasikan sinyalsinyal echo tersebut. Sinyal-sinyal tersebut diolah oleh sebuah jaringa yang mengakomodir BTS-BTS penerima sinyal. Di Indonesia, teknologi seluler sudah digunakan secara luas. BTS-BTS seluer tersebut sudah menjangkau daerah-daerah pelosok yang tidak dilingkupi oleh sistem radar TNI-AU. Dengan alasan tersebut, digunakanlah teknologi seluler untuk dikembangkan sebagai cellular Radar.
..….(1) Sehingga jarak R dapat diperoleh dengan rumus :
R=
4
Pt.G 2 .λ 2 .σ Pe.(4ππ )3 ..….(2)
Jarak jangkau maksimum Radar (Rmax) Dari rumus di atas, dapat diturunkan rumus untuk mencari jangkauan maksimum radar. Dengan asumsi (Ps, G, λ) konstan, radar cross section = 1m2.
Rmax =
4
Pt.G 2 .λ 2 .σ Pemin .(4ππ )3
…………(3)
Pemin = Daya terkecil yang mampu diditeksi oleh radar. Rmax = Jarak jangkau maksimum radar.
3.
2.2 Passive radar Passive radar merupakan salah satu teknologi Radar yang memanfaatkan iluminasi GEM dari sumber lain untuk mendeteksi target. Teknologi ini
SEMIANALITIK TEORI
Semianalaitik dari teori passive radar dengan memanfaatkan teknologi seluler ini memakai asumsi
2
antenna yang digunakan adalah isotropis. Walaupun dalam kenyataan tidak mungkin membuat antenna isotropis, tapi dalam hal ini penggunaan antenna isotropis bertujuan untuk memudahkan analisis dan perhitungan. Selanjutnya ntuk menentukan jangkauan dari passive radar dapat didefinisikan dari SCR (Sinyal to Cluster Rasio) yang diturunkan dari rumus persamaan radar (11) di atas.
Ketika target terbang rendah, dimana ketinggiannya kurang dari jarak antara BTS satu dengan yang lainnya (h<< Rx, ) berdasar :
Dan dengan kondisi BTS yang banyak maka, jarak Transmitter ke target (Rts) dan jarak Transmitter ke receiver (Rtr) jika dikomparasikan akan mempunyai nilai yang lebih besar dibanding jarak target ke receiver (Rsr). Sehingga rumus di atas dapat disederhanakan menjadi
..….(4) Untuk antenna isotropis :
Maka diperoleh rumus SCR yang baru sebagai berikut:
..….(5) Llyods Mirror Dengan memakai asumsi target terbang rendah dekat dengan tanah, maka efek Llyods mirror perlu diperhitungkan. Pengaruh pada factor propagasi sinyal adalah sebagai berikut :
..….(9) Melalui metode pendekatan dapat diperoleh
2
P (r,h,H) ≈ 4 Sin (khH/r)
SCR> -71 – 20 Log[Rx(km)] + σ + propagasi
Karena khH/r <<1 maka nilai Sin () dapatdi expand mejadi
Nilai -71 sudah termasuk faktro 4π dan konversi dari meter ke kilo meter. Karena posisi target yang masih rendah maka 2D Geometric dilution of precission (GDOP) akan bernilai kecil sedangkan 3D GDOP bernilai besar. Hal ini dikarenakan posisi target, transmitter dan receiver yang relatif berada pada satu bidang datar. Dengan kata lain resolusi 3D nya bernilai rendah, tapi posisi horizontal target dapat ditentukan dengan baik.
..….(6) Dengan r merupakan ground range dan R adalah slant range, untuk target yang terbang rendah r R sehingga persamaan dapat disederhanakan menjadi:
Target terbang sedang Berdasar rumus (4), posisi target yang berada di ketinggian sedang dibandingkan dengan perbandingan jarak antara transmitter ke receiver. Nilai Rts dan Rsr Rx , pada kondisi tersebut efek Llyods mirror akan bertambah karena semakain banyaknya path propagasi sinyal. Faktor Llyods mirror yang berpengaruh pada setiap path yaitu :
..….(7) Lyods Mirror dengan target jauh Ketika target berada jauh dari BTS, dengan maka nilai SCR dapat kondisi Rt Rsr Rx disederhanakan sebagai berikut :
4 sin2(khH/r) ..….(8)
mempunyai rata-rata factor 2 ( +3dB). Karena dinumerator terdapat 2 faktor Llyods mirror sedangkan di denominator hanya mempunyai satu kmaka nilainya akan menjadi 3dB lebih tinggi dibanding propagasi sinyal di ruang bebas. Dari kondisi di atas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : *) ketika target terbang pada ketinggian sedang dengan parameter hamper sama dengan jarak antara transmitter ke receiver maka
Pendeteksian Target Berdasarkan ketinggian target, perkiraan posisi target dapat dikategorikan menjadi 3 buah posisi. a) Target terbang rendah b) Target terbang sedang c) Target terbang tinggi Target terbang rendah
3
SCR > -68 – 20 log [Rx(km)] + σ
Pada umumnya, besarnya nilai SNR minimum dapat dicari dengan menghitung Pd dan Pfa. Dari hal tersebut dapat ditentukan jarak maksimum jangkauan radar. Dari tumus (1), dengan kondisi Rmax dapat dicari probabilitas sebuah radar mendeteksi sasarannya. Perbedaannya, pada saat terjadi false alarm hanya terdapat sinyal noise.
*) nilai 2D dan 3D GDOP akan menjadi bagus Target terbang tinggi Kondisi ini mirip pada konvensional radar, dimana Rts ~ Rsr ~ R. Untuk menentukan target, maka sinyal dibandingkan kekuatannya dari area yang luas. Ukuran luas area akan sebanding dengan kuadrat dari ketinggian target. Dari kondisi tersebut, maka nilai SCR dapat dihitung sebagai berikut :
Pe min ( Pfa , Pd ) =
Pt.G 2 .λ 2 .σ Rmax 4 .(4π )3 ..….(10)
SCR> -68 -20log[Rx/R2(km)] + σ
Rumus di atas menggambarkan, bagaimana pengaruh Pemin (SNR) berpengaruh terhadap Rmax. Sedangkan pada rumus selanjutnya (13), menggambarkan hubungan antara Pfaa dengan proportioning noise envelopo(Tfa) terhadap waktu.
Dengan menambahkan power dari beberapa receiver ∆SCR=20log(R/Rx(km)) maka nilai SCR sistem menjadi: SCRsystem > -68-20log{Rtr/RxR(km)] + σ
N
Jarak , elevasi maupun azimuth target dapat dihitung pada kondisi ini, namun transverse posisinya akan lebih susah ditetukan. Dari rumusan di atas, dapat disimpulkan secara teoritis teknologi seluler dapat dimanfaatkan untuk passive radar. Dengan kondisi semakin jauh target dari transmitter/receiver maka performasi cellular radar untuk mendeteksi target akan semakin turun.
Pfa =
∑t k =1 N
k
∑T k =1
=
(tk ) av 1 = (Tk ) av T fa .B
k
..….(11) ∞
Pd = ∫ Ps ( R ) dR Vt
4.
CELLULAR RADAR DENGAN TEKNOLOGI WCDMA
∞
Pd = ∫ Vt
4.1 Perhitungan probabilitas deteksi oleh Radar
R
ω0
.e
(−
R 2+ A2 ) 2ω0
.I 0 .(
RA
ω0
).dR
..….(12) Rumus (12) menggambarkan hubungan antara probabilitas deteksi dengan besarnya sinyal yang memenuhi level threshold. Berdasarkan rumus empiris yang diusulkan oleh albersheim, hubungan antara Pd ,Pfa dan SNR adalah sebagai berikut :
Deteksi pada konsep radar berdasar pada besarnya sinyal echo yang ditangkap oleh radar dibatasi level threshold (Vt). Jika sinyal tersebut masuk level threshold berarti radar berhasil melakukan deteksi (detection). Sedangkan jika sinyal tersebut besarnya di bawah level threshold, berarti false alarm. Besarnya probabilitas detectin (Pd) maupun False alarm (Pfa) dapat dicari dengan cara yang sama, berdasarkan pada level threshold. Perbedaannya, pada saat terjadi false alarm hanya terdapat sinyal noise.
SNR = A + 0.12 AB + 1.7B Ket : A = ln (0.62/Pfa) B = ln [Pd/(1-Pd)]
4.2 Perhitungan probabilitas deteksi oleh cellular Dengan skema sinkronisasi parallel, maka cara ini akan mencari nilai terbesar dari autokorelasi antara urutan PN (PN sequence) dengan nomor path. Receiver akan men-generate sinyal PN untuk setiap path, dan menghasilkan intentional time-delay sesuai dengan pathnya. Sebuah sinyal PN yang diterima, meliputi time-delay yang dihasilkan oleh channel dan sinyal yang dikorelasikan dengan PN –codes (yang di-generate di setiap path oleh receiver). Penggabungan PN dilakukan dengan menyeleksi path
Gambar 3 : Threshold level pada sistem Radar
4
yang menunjukkan nilai autokorelasi terbesar diantara path-path tersebut. Oleh karena itu, berikut kejadian yang dimungkinkan selama penggabungan PN : - Deteksi : sukses deklarasikan path yang mempunyai nilai korelasi terbesar. - False alarm : sukses deklarasikan path, tetapi path tersebut bukan merupakan nilai yang terbesar. -Miss : gagal deklarasikan path, walaupun path tersebut mempunyai nilai korelasi terbesar. Probabilitas deteksi dalam penggabungan PN dapat dirumuskan sebagai berikut :
⎛u −μj Pd = ∫ ∏ Φ ⎜ ⎝ σ −∞ j =1, j ≠ k ∞
∞
x
P(u|k th path is aligned) du
∫ ∏
⎞⎛ 1 ⎞ ⎟⎟ . ⎜ ⎟ .e ⎠ ⎝ σ 2π ⎠
R 2+ A2 ) 2ω0
Pilot power Pilot frequency Detection hight Detection radius False alarm probability Height of RX & TX Dwell time Path-loss exponents
∫ P(u j
⎛u−μj Φ ⎜⎜ Pd = −∞ j =1, j ≠ k ⎝ σ
(−
.I 0 .(
RA
ω0
.du
).dR ..….(14)
Melakukan simulasi untuk membuktikan deteksi cellular radar. Besarnya parameter-parameter yang dipakai dalam simulasi ditentukan sebagai berikut :
−∞
L
∫ ω0 V
.e
− ( u − μk ) 2 2σ 2
4.4 Pekerjaan mendatang
∞
∞
R
⎞⎛ 1 ⎞ ⎟ .⎜ ⎟ .e ⎠ ⎝ σ 2π ⎠
t
Pd = P(u k is the largest|k th path is aligned) Pd = P(u j
L
− ( u − μk ) 2 2σ 2 .du
..….(13) Probabilitas ditentukan oleh autokorelasi urutan PN. Keseluruhan autokorelasi dipengaruhi oleh jarak yang dilalui sinyal. Dengan kata lain, jarak antara Base Station (BS) , target, dan receiver merupakan faktor paling signifikan dalam menentukan besarnya probabilitas deteksi oleh seluler. Besarnya sinya yang diterima dari sistem komunikasi berbeda antara daerah perkotaan dengan daerah luar kota. Tentunya variasi dari sinyal penerimaan ini mempengaruhi besarnya proabilitas deteksi seluruh sistem cellular radar.
5
3.6 W 100 pilot / second 500-2000m 0-2000m 1.11 x 109 30 m 104 sec 2 (suburban) 3 (urban)
KESIMPULAN
Secara teoritis teknologi seluler dapat dimanfaatkan sebagai passive radar atau dikenal dengan sebutan cellular radar. Dengan teknologi selulser WCDMA deteksi pada cellular radar sudah didefinisikan sebagai gabungan antara deteksi pada seluler dan deteksi pada Radar, yaitu sinkronisasi sempurna pada penggabungan PN dan kuat sinyal berada dalam threshold level . Tulisan ini dapat menjadi dasar untuk dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai pemanfaatan teknologi seluler sebagai passive radar. Dan dengan memanfaatkan infrastruktur yang sudah ada, tidak menutup kemungkinan memanfaatkan teknologi cellular radar ini, sebagai teknologi alternatif guna memenuhi tuntutan kebutuhan TNI –AU.
4.3 Perhitungan probabilitas deteksi oleh cellular radar-WCDMA Definisi deteksi pada sistem Radar maupun sistem komunikasi seluler telah ditetapkan. Kedua pendfinisian tersebut penting untuk mendefinisikan deteksi cellular radar-WCDMA. Pada sistem cellular radar, sistem seluler harus sinkron secara sempurna dengan prosedur penggabungan PN, sebelum menentukan apakah sinyal masuk dalam threshold level atau tidak. Untuk itu, definisi dari deteksi cellular radar berdasar teknologi WCDMA ditetapkan sebagai berikut : sebuah sinyal terdeteksi apabila sinkronisasi sempurna pada penggabungan PN dan kuat sinyal berada dalam threshold level. Secara matematis, merupakan perkalian dari deteksi radar dengan deteksi cellular :
DAFTAR REFERENSI [1] http://www.cit.iit.bas.bg/cit_online_contents.html [2] http://www.nga.mil/MSISiteContent/StaticFiles/N AV_PUBS/RNM/310ch1.pdf [3] http://www.radartutorial.eu [4] http://www.tniau.mil.id/forum/printable.asp?m=47 9 [5] Mabes TNI AU, Doktrin TNI AU Swa Bhuwana Paksa, Jakarta, 2007. [6] Miceli,Andrew,Wirelesstechnician’shandbook.2nd ed,Artec house Inc.,2003 [7] Sahr John D, An investigation of a distributed passive radar system,2001.
5
Analisa FDOA-RADAR Sekunder Terhadap Gangguan Random Noise Wahyu Widada dan Sri Kliwati Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional Jl. Raya LAPAN Rumpin, Bogor Indonesia Email:
[email protected],
[email protected]
ABSTRAK RADAR (Radio Detecting And Ranging) tipe sekunder untuk tracking roket dikembangkan dengan menggunakan linear chirp signal sebagai sub-carrier. Perbedaan frekuensi signal yang dikirim dan diterima digunakan untuk menghitung jarak. Tulisan ini membahas hasil analisa pengaruh random noise terhadap akurasi pengukuran jarak. Hasil simulasi menunjukkan metoda FDOA (Frequency Domain of Arrival) sangat handal terhadap gangguan noise hingga SNR (signal to noise ratio) 0.33. Kata Kunci: FDOA, RADAR sekunder, noise, tracking roket. Transponder
1. PENDAHULUAN D=
LAPAN sedang mengembangkan sistem RADAR sekunder untuk memantau ujicoba peluncuran roket. RADAR yang dikembangkan menggunakan radio dengan frekuensi UHF antara 300 – 500 MHz. Radio tersebut dikembangkan sendiri secara khusus sehingga dapat menjangkau jarak jauh dan tidak terganggu oleh frekuensi radio amatir. Sedangkan sub-carrier yang berupa signal RADAR digunakan untuk deteksi delay waktu dan jarak roket. Signal pulsa dengan frekuensi dan repetition tertentu telah dicoba sebagai sub-carrier dan dapat mengukur delay secara akurat menggunakan algoritma Generalized Cross-Correlation (GCC). Sedangkan alternatif lainnya adalah menggunakan signal chirp. Signal ini mempunyai amplitudo yang konstan dan frekuensi yang berubah baik secara linier, parabolik, dan lain-lain. Tulisan ini membahas hasil analisa FDOA pada sistem RADAR sekunder untuk aplikasi tracking roket terhadap gangguan random noise. Penambahan random noise hingga SNR menjadi 0.33, sehingga sudah cukup mewakili terjadinya noise hingga menutupi signal yang dipantulkan oleh transponder.
ΔT × C 2
Range
Antenna
SSR Transceiver Ground Station
Gambar 1: Sistem RADAR sekunder untuk tracking roket.
Transponder pada muatan roket seperti sebuah cermin retroreflector yang dapat memantulkan kembali sinar yang diterima, sehingga signal radio yang diterima langsung dikirim kembali ke stasiun pengamat. Jika kecepatan gelombang radio adalah C = 3×108m/s dan waktu yang dibutuhkan oleh signal radio di atmosphere adalah TA, maka jarak tempuhnya D adalah sebagai berikut.
D=
CT A 2
(1)
Delay signal ini dapat diukur dari signal referensi dan signal yang diterima. Sub-carrier signal RADAR sekunder dapat menggunakan chirp signal, sehingga delay waktu dapat dihitung dari perbedaan frekuensi antara signal yang dikirim dan signal yang dipantulkan. Akurasi pengukuran jarak menjadi sangat tergantung pada koreksi perubahan frekuensi dan kecepatan perubahan frekuensi (chirp rate). Persamaan berikut adalah hubungan antara perubahan frekuensi dan delay waktu.
2. FDOA RADAR SEKUNDER Sistem RADAR sekunder adalah seperti pada gambar dibawah. Ground station terdiri dari transmitter dan receiver. Kemudian pada muatan roket terdiri dari receiver dan transmitter (transponder), dengan masing-masing gelombang frekuensi yang berbeda (Gambar 1).
6
ΔT =
Δf
2.1 Pengaruh Perubahan Bandwidth Frekuensi.
(2)
μ
Dari persamaan (2) di atas, maka jika perubahan Δf semakin cepat (bandwidth lebar) akan semakin akurat.
Disini μ adalah sebagai chirp rate dalam Hertz/detik. Semakin lebar perubahan frekuensi atau semakin cepat nilai μ, maka akurasi delay waktu juga semakin akurat.
Gambar 3 di atas adalah hubungan antara perubahan frekuensi dan waktu. Dalam pengembangan hardware, maka harus diusahakan agar waktu perubahan secepat mungkin dan frekuensi yang dirubah menjadi lebih lebar.
Tabel 1: Parameter analisa akurasi FDOA.
Parameter
Nilai
Jarak maksimum f0 ft Tc
10 km 1 kHz 100 kHz 10/c detik 3x108 m/detik
C
2.2 Pengaruh Noise Terhadap Akurasi Jarak. Jika sinyal yang dikirim adalah s(t), maka dengan penambahan noise random n(t) dapat ditulis kembali menjadi sebagai berikut: S R (t ) = s(t ) + n(t ) (3) Disini SR(t) adalah sinyal yang diterima. Signal to Noise ratio SNR sinyal yang diterima dapat dirubahrubah dengan amplitudo random noise. Dalam analisa kali ini perubahan SNR hingga senilai 0.3 diaplikasikan untuk menguji algoritma pada receiver.
Gambar 2 adalah ilustrasi perubahan frekuensi pada signal chirp terhadap delay yang terjadi. Analisa dilakukan dengan parameter untuk pengukuran roket hingga hingga 10 km. Rangkuman parameter adalah seperti pada Tabel 1 distas.
3. HASIL ANALISA Gambar 4 adalah signal linear chirp signal sebagai sub-carrier. Signal tersebut jika ditulis dengan persamaan sebagai berikut:
⎧ β ⎫ S (t ) = cos 2π ⎨ f 0t + t 2 ⎬ TC ⎭ ⎩
(4)
Disini f0 adalah frekuensi awal, ß adalah lebar perubahan frekuensi dan TC adalah waktu yang diperlukan untuk merubah frekuensi. 1
Gambar 2: Ilustrasi signal RADAR yang dikirim dan yang dipantulkan. y(t)
0.5
0
-0.5
u B
f
-1 0
0.2
0.4
0.6
0.8
time(s)
Tc
Gambar 4: Signal linear chirp sebagai sub-carrier. Spektrum signal pada gambar 4, dapat dihitung dengan algoritma FFT seperti pada gambar 5 berikut.
t
Gambar 3: Time-frequency feature of an LFM.
7
1
0.1
Power
0.08
0.06
0.04
0.02
0 0
100
200 300 Frequency (Hz)
400
500
Gambar 8: Spektrum signal yang dipantulkan .
Gambar 5: Spektrum frekuensi chirp signal.
Kemudian perubahan frekuensi antara signal yang dipantulkan dan yang dikirim seperti pada gambar 9 berikut. Delay waktu adalah 0.3 detik, sehingga menurut persamaan (2) diatas, perbedaan frekuensi yang timbul adalah sebesar 75 Hz. Pada gambar 9 juga terlihat hasil yang mirip antara delay yang telah ditentukan dengan delay dari algoritma yang telah dikembangkan. 1
0.8
Power
Gambar 6: Spektrogram signal chirp antara frekuensi dan waktu.
Spektrogram signal antara perubahan waktu dan frekuensi dapat dihitung dengan algoritma SFFT seperti pada gambar 6. Signal yang dipantulkan pada saat delay 0.3 detikadalah seperti gambar 7. Dari perbedaan frekuensi pada gambar 4 dan 7 maka delay terebut dapat kita prediksi.
0.6
0.4
0.2
0 0
100
200 300 Frequency (Hz)
400
500
Gambar 9: Delay waktu dengan menghitung perubahan frekuensi.
1
2
0.5
1
0 y(t)
y(t)
1.5
0.5
-0.5 0
-1 0
-0.5
0.2
0.4
0.6
0.8
1
time(s)
-1 0
Gambar 7: Signal RADAR yang dipantulkan dengan delay 0.3 detik.
0.2
0.4
0.6
0.8
1
time(s)
Gambar 10:Signal yang dipantulkan ditambah dengan random noise (SNR=1).
Kemudian spektrogram dari signal di atas adalah seperti pada gambar 8 berikut.
8
Hasil perhitungan delay waktu antara gambar 9 dan gambar 13 menunjukkan nilai yang sangat mirip. Hal ini menunjukkan bahwa dari hasil tersebut algoritma yang telah dikembangkan handal terhadap gangguan noise (SNR=1). Sedangkan gangguan noise yang lebih besar lagi (SNR=0.33), perubahan frekuensi masih dapat dideteksi seperti pada gambar 14 dibawah ini.
0.2
Power
0.15
0.1
0.05
3 0 0
100
200 300 Frequency (Hz)
400
2.5
500
Gambar 11:Spektrum signal frekuensi yang dipantulkan. Power
2
Untuk menguji algoritma di atas maka dengan menambahkan random noise seperti pada gambar 11 di atas. Pada gambar tersebut terjadi perubahan frekuensi sekitar 75 Hz dan pada signal frekuensi rendah. Kemudian dengan algoritma spektrogram, maka signal dalam waktu dan frekuensi adalah seperti pada gambar 12. Pada gambar tersebut, perubahan ciri chirp masih terlihat dengan jelas. Sedangkan pengaruh noise hanya menambah offset dari frekuensi yang melatar belakangi.
1.5 1 0.5 0 0
100
200 300 Frequency (Hz)
400
500
Gambar 14: Hasil perhitungan frekeunsi saat SNR = 0.33.
4. KESIMPULAN Pada sistem FDOA untuk RADAR sekunder, bandwidth signal chirp dan kecepatan lebih lebar dan cepat akan menambah akurasi delay yang diukur. Untuk jarak maksimum roket 10 km bandwidth yang diperlukan pada signal chirp minimal 40 kHz. Tambahan random noise hingga SNR = 0.33 tetap dapat mengukur dengan baik, sehingga aplikasi FDOA ini juga cocok untuk RADAR sekunder. Hardware signal chirp generator akan dibahas lebih detail dalam tulisan tersendiri. UCAPAN TERIMAKASIH
Gambar 12: Spektrogram signal dengan noise.
Terimakasih kepada LAPAN yang telah memfasilitasi dan mendanai proyek pengembangan RADAR sekunder.
Kemudian delay waktu dihitung seperti pada gambar 8, dan hasilnya seperti terlihat pada gambar 13 berikut.
DAFTAR REFERENSI
1.4
1.
1.2
Power
1 0.8
2.
0.6 0.4
3.
0.2 0 0
100
200 300 Frequency (Hz)
400
500
4.
Gambar 13:Perubahan frekuensi yang menunjukkan perubahan delay.
9
Wahyu Widada dan Sri Kliwati,” Desain Sistem Passive RADAR Radio UHF Untuk Aplikasi Uji Terbang Roket ”, Posiding SITIA ITS-Surabaya 2008. Wahyu Widada dkk,” Metoda Kalibrasi TDOA Untuk Sistem Passive RADAR Trayektori Roket”, IES ITS 2008 Surabaya. Wahyu Widada, Sri Kliwati,”Frequency-Domain TDOA Estimation Of Passive RADAR For Rocket Flight Test”,Prosiding Seminar Nasional Fisika 2008 ITB Bandung. Robert J. Purdy etal, "Radar Signal Processing", LINCOLN LABORATORY JOURNAL VOLUME 12, NUMBER 2, 2000.
5.
6.
Wahyu Widada, ”Rancangbangun Robot Pencari Asal Arah Suara Berbasis Jaringan Saraf Tiruan”, Thesis Sarjana Engineering Waseda University, Tokyo JAPAN 1994. Donald F. Breslin, “ADAPTIVE ANTENNA ARRAYS APPLIED TO POSITION LOCATION”, Master Thesis Virginia Polytechnic Institute and State University.
10
Sistem Identifikasi Pesawat Menggunakan Kecepatan dan Radar Cross Section Pesawat Berbasis Jaringan Syaraf Tiruan Backpropagation Maman Darusman 1, Arwin Datumaya Wahyudi Sumari 2, Aciek Ida Wuryandari 3 1) 2) 3) Sekolah Teknik Elektro dan Informatika – ITB, Gedung Labtek VIII Kampus ITB, Jl. Ganesha No. 10 Bandung, 40132 – INDONESIA 2) Departemen Elektronika, Akademi TNI Angkatan Udara, Ksatrian Akademi TNI AU, Lanud Adisutjipto, Yogyakarta, 55002 - INDONESIA 1)
[email protected], 2)
[email protected], 3)
[email protected]
ABSTRAK Radar digunakan untuk mendeteksi adanya obyek yang digunakan baik itu untuk kepentingan militer maupun sipil. Dalam bidang militer, Radar digunakan untuk mendeteksi adanya pesawat terbang yang sedang beroperasi di wilayah udara yang bersangkutan. Radar tidak hanya dapat mendeteksi pesawat tetapi juga dapat menerima informasi mengenai karakteristik pesawat, sehingga informasi karakteristik pesawat tersebut dapat digunakan untuk mengidentifikasi jenis pesawat. Informasi pesawat terbang yang dapat diketahui melalui Radar di antaranya adalah kecepatan dan penampang atau Radar Cross Section (RCS). Untuk kepentingan pertahanan dan keamanan negara diperlukan aplikasi di Radar yang dapat mengolah informasi pesawat yang terdeteksi sehingga menghasilkan keluaran berupa jenis pesawat. Dalam makalah ini dibahas desain dan implementasi perangkat lunak system identifikasi jenis pesawat terbang berbasis jaringan syaraf tiruan backpropagation menggunakan data kecepatan dan radar cross section sebagai parameter identifikasi. Aplikasi ini diberi nama Sistem Identifikasi Pesawat Terbang Berbasis Backpropagation Network (SIPT-BBPN). Aplikasi ini diimplementasikan menggunakan bahasa pemrograman MATLAB dengan memanfaatkan toolbox neural network. Hasil simulasi terhadap perangkat lunak disertakan untuk menunjukkan bahwa perangkat lunak yang dibuat memiliki kemungkinan besar untuk dapat diterapkan pada sistem radar nyata untuk kepentingan identifikasi pesawat terbang. Kata kunci : Backpropagation, Identifikasi, Jaringan syaraf tiruan, Kecepatan, Radar, RCS
1.
PENDAHULUAN
1.1 Konsep Dasar Radar
Frekuensi gelombang elektromagnetik yang dipancarkan bervariasi mulai dari sekitar 3 MHz sampai 100 GHz. Frekuensi gelombang yang digunakan disesuaikan dengan jarak pendeteksian.
Radar adalah singkatan dari radio detection and ranging. Radar digunakan untuk mendeteksi, memperoleh posisi dan jarak suatu pesawat terbang, menghitung kecepatan, menghitung Radar Cross Section (RCS), dan mengetahui arah pesawat.
1.2 Jaringan Syaraf Tiruan
Prinsip utama dari teknologi radar adalah pemantulan gelombang elektromagnetik dan efek Doppler. Untuk mendeteksi suatu pesawat terbang radar memancarkan gelombang elektromagnetik melalui pemancarnya (transmitter) dan menerima pantulan gelombang elektromagnetik dari pesawat terbang tersebut dan diterima oleh penerima (receiver) radar. Konsep efek Doppler digunakan untuk menghitung kecepatan dan jarak dari pesawat terbang yang sedang dideteksi. Radar juga dapat membedakan obyek yang bergerak, misalnya pesawat, dengan obyek yang tidak bergerak dengan memanfaatkan konsep efek Doppler.
Jaringan Syaraf Tiruan (JST) adalah suatu metoda pengolahan informasi yang menirukan kemampuan sel-sel syaraf manusia dalam mengolah data. Manusia mempunyai sel-sel syaraf yang disebut neuron yang memungkinkan dapat belajar, berfikir tentang sesuatu, mengenali dan mengingat sesuatu, membuat keputusan dan lain-lain. Itulah yang membedakan antara manusia dengan makhluk yang lain. JST terdiri atas neuron-neuron yang berfungsi untuk mengolah informasi yang masuk. Data yang masuk ke suatu neuron diolah oleh suatu fungsi yang disebut fungsi aktivasi.
11
Sebagaimana halnya pada manusia, sebelum JST dapat digunakan untuk mengolah data, terlebih dahulu harus dilakukan pelatihan agar JST dapat mengetahui sasaran (target) yang benar dari suatu data yang dimasukkan. Dalam pelatihan tersebut terjadi penyesuaian terhadap bobot antar neuron. Penyesuaian bobot-bobot ini adalah proses penambahan pengetahuan pada JST setiap ia mengolah data atau informasi baru. Selama proses pelatihan, nilai bobot-bobot jaringan diperbarui terusmenerus hingga selisih atau kesalahan (error) antara keluaran jaringan terhadap mendekati targetnya sangat kecil sesuai yang telah ditentukan. Dalam praktiknya, terdapat beberapa metoda JST yakni perceptron, adaline, backpropagation, Adaptive Resonance Theory (ART), Adaptive Bidirectional Associative Memory (BAM).
a. b.
c.
d.
Berikut ini adalah data-data yang digunakan untuk melatih jaringan : Tabel 1: Data jenis pesawat terbang, kecepatan rata-rata dan RCS[5].
1.3 Backpropagation
No
Backpropagation merupakan jaringan syaraf tiruan yang terdiri atas beberapa layer yaitu lapisan masukan (input layer), lapisan tersembunyi (hidden layer) dan lapisan keluaran (output layer). Pelatihan jaringan backpropagation adalah sebagai berikut : •
data masukan ditransmisikan dari lapisan masukan ke lapisan tersembunyi kemudian ke lapisan keluaran dengan nilai bobot awal,
•
dihitung error antara keluaran dengan targetnya,
•
jika error tersebut masih lebih besar dari error yang diharapkan maka nilai error tersebut ditransmisikan kembali dari lapisan keluaran ke lapisan tersembunyi kemudian ke lapisan masukan,
•
bobot disesuaikan untuk memperkecil error,
•
kemudian data masukan ditransmisikan lagi ke lapisan keluaran melalui lapisan tersembunyi dengan bobot baru yang telah disesuaikan,
•
pelatihan selesai jika nilai kuadrat kesalahannya atau mean square error (MSE) telah lebih kecil dari MSE yang diharapkan.
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Jenis pesawat terbang Bell 47G F-16 Fighting Falcon Hawk 200 Su-30 Sukhoi Cobra AH-1S Casa C-212 CN-235 PT DI A-310 Airbus
Kecepatan rata-rata (km/jam) 168,532 1.470
RCS (m2)
1000,08 2.878,75 227,796 364,844 459,296 980
8 15 18 27 30 100
3 5
Dikarenakan jenis pesawat terbang ditentukan oleh dua jenis data yaitu kecepatan rata-rata dan RCS, maka diperlukan dua JST untuk mengolah kedua data tersebut. JST pertama berfungsi untuk mengolah data kecepatan diberi nama JST1, sedangkan JST kedua berfungsi untuk mengolah data RCS diberi nama JST2. Dari data di atas dapat dibuat hubungan masukan dan target untuk kedua jaringan. Masukan dan target untuk kedua JST diperlihatkan pada Tabel 2 dan Tabel 3. Tabel 2: Masukan data dan pola target kecepatan pada JST1
Fungsi aktivasi yang biasa digunakan dalam backpropagation di antaranya adalah sigmoid biner, sigmoid bipolar dan linier. 2.
data masukan untuk perangkat lunak ini adalah kecepatan dan RCS pesawat; perangkat lunak ini belum diterapkan di Radar, maka data masukan dimasukkan melalui keyboard; perangkat lunak ini dibuat dengan menggunakan program Matlab dengan memanfaatkan toolbox neural network yang ada di Matlab; data sampel yang digunakan untuk dilatih oleh JST backpropagation ada 8 jenis pesawat beserta kecepatan dan RCS- nya.
No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
PERANCANGAN DAN IMPLEMENTASI SISTEM IDENTIFIKASI PESAWAT TERBANG BERBASIS JST BACK PROPAGATION NETWORK
Perangkat lunak identifikasi jenis pesawat yang dibuat memiliki beberapa batasan di antaranya adalah sebagai berikut :
12
Masukan 168,532 1.470 1000,08 2.878,75 227,796 364,844 459,296 980
Target 00000001 00000010 00000100 00001000 00010000 00100000 01000000 10000000
Tabel 3: Masukan data dan pola target RCS pada JST2
No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Masukan 3 5 8 15 18 27 30 100
Jaringan JST1 dan JST2 yang dibuat kemudian dilatih dengan MSE yang diharapkan sebesar 0,001. Agar kedua jaringan yang dibuat dapat melakukan pelatihan dengan cepat dan akurat, maka perlu dilakukan pengujian terhadap beberapa kondisi yang mempengaruhi performa jaringan. Setelah dilakukan pengujian atau trial and error didapatkan hasil yaitu beberapa kondisi terbaik sebagai berikut :
Target 00000001 00000010 00000100 00001000 00010000 00100000 01000000 10000000
Arsitektur untuk kedua JST diperlihatkan pada Gambar 1 dan Gambar 2.
a.
Kondisi JST1
•
•
Fungsi aktivasi di hidden layer adalah sigmoid biner dan fungsi aktivasi di output layer adalah linear. Jumlah neuron di hidden layer sebanyak 1000 neuron. Learning rate yang digunakan besarnya 1.
b.
Kondisi JST2
•
Fungsi aktivasi di hidden layer adalah sigmoid biner dan fungsi aktivasi di output layer adalah linear. Jumlah neuron di hidden layer sebanyak 20 neuron. Learning rate yang digunakan besarnya 1.
•
• •
3.
Hasil Pelatihan SIPT-BBPN
Berikut ini adalah hasil pelatihan atau pembelajaran JST1 dan JST2 pada kondisi yang terbaik setelah dilakukan pengujian terhadap beberapa kondisi sebelumnya. Gambar 1: Arsitektur JST1.
3.1 Hasil Pelatihan JST1 Performance is 0.00096893, Goal is 0.001
2
10
1
Training-Blue Goal-Black
10
0
10
-1
10
-2
10
-3
10
-4
10
0
100
200
300 400 659 Epochs
500
600
Gambar 3: Grafik hasil pembelajaran JST1. Gambar 2: Arsitektur JST2.
Dari grafik di atas diperoleh hasil MSE yang diharapkan dari pelatihan JST1 telah tercapai pada epoch ke 659.
13
Tabel 4a : Keluaran JST1 untuk data kecepatan Keluaran 1 -0.0005
Keluaran 2 -0.0022
Keluaran 3 0.1514
Keluaran 4 -0.0004
0.0003
0.0005
-0.0163
0.0001
0.0001
0.0007
-0.0520
0.0001
0.0001
0.0005
-0.0367
0.0001
-0.0001
-0.0007
0.0529
0.9999
-0.0003
-0.0006
1.0232
-0.0001
0.0002
1.0003
-0.0162
1.0003
0.0004
-0.0132
0.0100
-0.0342
0.0501
-0.0107
0.9843
0.0238
-0.0313
1.0046
0.0039
0.0601
0.9045
0.0413
-0.0095
0.9264
0.1128
-0.0384
-0.0082
0.0001
Keluaran 6 0.0617
Keluaran 7 -0.0359
Keluaran 8 0.9994
0.0001
-0.0008
0.0091
0.9893
-0.0002
Keluaran 6 -0.0001
Keluaran 7 0.0019
Keluaran 8 0.8487
0.0003
0.0003
1.0001
0.0168
-0.0001
0.9999
-0.0008
0.0518
1.0000
0.0000
-0.0005
0.0366
0.0001
0.0001
0.0008
-0.0526
-0.0003
-0.0003
0.0000
-0.0237
0.0001
0.0001
-0.0001
0.0164
0.0003
0.0002
0.0001
0.0137
-0.0084
0.9895
0.0168
-0.0011
0.9725
0.0590
-0.0389
-0.0003
0.0307
-0.0395
0.0204
0.0018
-0.0038
0.0041
-0.0018
-0.0007
0.0062
-0.0146
0.0110
-0.0017
0.0268
-0.0333
0.0155
0.0029
Berdasarkan hasil pembelajaran pada masukanmasukan data kecepatan dan RCS yang diperlihatkan pada Tabel 4 dan Tabel 5, maka SIPT-BBPN yang dirancang dan diimplementasikan telah mampu mencapai hasil yang memuaskan. Untuk menguji sistem, akan dilakukan validasi pada Bagian IV. 5.
Hasil Pelatihan JST2
VALIDASI SIPT-BBPN
Setelah dibuat jaringan yang optimal kemudian dibuat perangkat lunaknya. Pada penelitian ini untuk mengidentifikasi dilakukan tiga kali deteksi terhadap pesawat oleh radar. Jenis pesawat ditentukan melalui voting dari hasil kedua jaringan syaraf tiruan.
Performance is 0.000984005, Goal is 0.001
10
0
10 Training-Blue Goal-Black
0.0045
Keluaran 5 -0.0384
Keluaran 5 -0.0001
1
-0.0261
Tabel 5b: Keluaran JST2 untuk data RCS
Tabel 4b: Keluaran JST1 untuk data kecepatan
4.
0.0185
-1
10
-2
10
-3
10
-4
10
0
100
200
300
400 500 824 Epochs
600
700
800
Gambar 4: Grafik hasil pembelajaran JST2. Dari grafik di atas diperoleh hasil MSE yang diharapkan dari pelatihan JST2 telah tercapai pada epoch ke 824.
Gambar 5: Tampilan jendela SIPT-BBPN.
Tabel 5a: Keluaran JST2 untuk data RCS Keluaran 1 -0.0068
Keluaran 2 0.0084
Keluaran 3 -0.0055
Keluaran 4 0.0160
0.0297
-0.0426
0.0138
-0.0031
-0.0096
0.0117
-0.0032
0.0074
a.
Pengujian kesatu
Untuk pengujian, SIPT-BBPN akan menerima tiga data masukan sebagaimana diperlihatkan pada Tabel 6, sedangkan hasil pengujiannya diperlihatkan pada Tabel 7.
14
Tabel 6: Data validasi SIPT-BBPN
Data masukan Data kecepatan Data RCS
Deteksi pertama 168 3
Deteksi kedua 169 3.2
Dari validasi yang telah dilakukan, SIPT-BBPN berusaha melakukan generalisasi untuk mengidentifikasi data masukan parameter-parameter pesawat terbang yang diterimanya sehingga mampu memberikan estimasi yang tepat mengenai identitas pesawat terbang yang dideteksinya. Dengan hasil ini, SIPT-BBPN memiliki kemungkinan untuk diuji coba pada sistem radar namun tentunya dengan beberapa penyempurnaan yang diperlukan.
Deteksi ketiga 167 2.7
Tabel 7: Hasil validasi SIPT-BBPN
Keluaran Berdasarkan Informasi Kecepatan RCS Hasil akhir b.
Jenis Jumlah Pesawat Informasi Terbang Bell 47G 3 Bell 47G 3 Bell 47G
DAFTAR REFERENSI [1] [2]
Pengujian kedua Untuk pengujian, SIPT-BPN akan menerima tiga data masukan sebagaimana diperlihatkan pada Tabel 8, sedangkan hasil pengujiannya diperlihatkan pada Tabel 9.
[3]
Tabel 8: Data validasi SIPT-BBPN
Data masukan Data kecepatan Data RCS
Deteksi pertama 100 4
Deteksi kedua 200 5
[4] Deteksi ketiga 300 6
[5]
Tabel 9: Hasil validasi SIPT-BBPN
Keluaran Berdasarkan Informasi Kecepatan RCS
Jenis Jumlah Pesawat Informasi Terbang Cobra AH-1S 1 F-16 Fighting 3 Falcon Hasil akhir F-16 Fighting Falcon Hasil ini menunjukkan bahwa SIPT-BBPN dapat mengidentifikasi dengan tepat jenis pesawat terbang yang dideteksi dengan variasi data kecepatan dan RCS yang diterimanya. 6. KESIMPULAN
[6]
[7]
[8]
[9]
Dari penelitian ini dapat ditarik kesimpulan bahwa JST-BPN dapat digunakan untuk mengidentifikasi jenis pesawat terbang berdasarkan kecepatan dan RCS. Kemampuan identifikasi ini diperoleh dari proses pembelajaran bertahap dengan pemilihan parameter-parameter pembelajaran JST yang meliputi jumlah neuron, laju pembelajaran, dan jenis fungsi aktivasi yang diaplikasikan pada lapisan tersembunyi dan lapisan keluaran guna untuk mendapatkan MSE sebesar 0,001. Dengan MSE yang sangat minimal, kesalahan identifikasi pesawat terbang dapat diminimalkan. Pada tahap pelatihan jaringan untuk memperoleh MSE yang diharapkan dengan waktu yang lebih cepat maka cara yang diambil adalah menambah jumlah neuron di hidden layer, cara ini terbukti dengan baik.
[10]
[11]
[12]
[13]
15
Fausett, Laurene (1993), Fundamental of Neural Networks, Prentice-Hall. Freeman, James A., Skapura, David M. (1991), Neural Networks Algorithms, Applications, and Programming Techniques, Addison Wesley Longman Publishing Co., Inc., Redwood City. Hall, David L., Llinas, James (2001), Handbook of Multisensor Data Fusion, CRC Press, United States of America. Harre, Ingo (2004), RCS in Radar Range Calculations for Maritime Targets, http://www.mar-it.de/Radar/RCS/RCS_xx.pdf, 24 November 2008, 20.30 WIB. Nopriansyah (2008), System Identification Friend, Foe or Neutral Radar Menggunakan Radar Cross Section dan Kecepatan Pesawat, Tugas Akhir, Institut Teknologi Bandung. Skolnik, Merril I. (1990), Radar Handbook, McGraw-Hill, United States of America, 2nd Edition. Wesling, Andreas (2002), Radar Target Modelling Based on RCS Measurement, Linkoping. ______________, Doppler Effect in Accoustics, http://physicsanimations.com/Physics/English/wave_txt.htm #Doppler, 25 November 2008, 20.00 WIB. ______________, A-OA-148-001/AG-000 Manual of Instrument Flying, http://www.icpschool.com/Downloads/files/OOA-148/pdfs/Chap21a.PDF, 2 Desember 2008, 09.00 WIB. ______________, http://www.airtoaircombat.com, 3 Februari 2008, 11.00 WIB. ______________, Lab Exercise 7 : Doppler Radar, http://www.eecs.umich.edu /emag/labmanual/EECS330_LE7.pdf, 3 Desember 2008, 10.00 WIB. ______________, Radar, http://lasonearth.files.wordpress.com/2008/05/ pdf_ radar1.pdf, 3 Desember 2008, 10.15 WIB. ______________, (2004), Neural Network Toolbox For Use with with Matlab® : Getting Started, The MATH WORKS Inc., Version 7.
The Performance of Supervised and Unsupervised Neural Networks in Performing Aircraft Identification Tasks Arwin Datumaya Wahyudi Sumari 1) Aciek Ida Wuryandari 2) Maman Darusman 2) Nur Ichsan Utama 2) 1) Departemen Elektronika, Akademi Angkatan Udara Jl. Laksda Adisutjipto, Yogyakarta 55002 – INDONESIA Telp. 0274 486922 ext 6101 Fax. 0274 488918 Email:
[email protected] 2) Sekolah Teknik Elektro dan Informatika - ITB, Kampus ITB Labtek VIII Lantai 2, Jl. Ganesa 10, Bandung 40132 – INDONESIA Telp. 022 2502260 Fax. 022 2534222 Email:
[email protected],
[email protected],
[email protected]
ABSTRACT This paper is a report on our research progress in the area of aircraft identification by utilizing neural networks and information fusion. In this paper we address the performance comparison of supervised and unsupervised neural networks in aircraft identification tasks in a generic system called Neural Network-based Aircraft Identification System (NN-AIS). We select Adaptive Resonance Theory (ART) for the unsupervised neural network and Back Propagation Network (BPN) for the supervised one. As for previous research, we use two kinds of input namely aircraft Radar Cross Section (RCS) and average speed. Their performance will be validated by using already-learnt and never-learnt patterns. Keywords: ART, BPN, aircraft identification, RCS, speed In this paper we address the utilization of two kinds of neural network architecture for performing aircraft identification tasks namely supervised and unsupervised. We use the two types of input for training and validating the networks and measure their performance. In general our proposed system is called as Neural Network-based Aircraft Identification System (NN-AIS). The structure of the paper is as follows. Section 1 cover the background of the paper and it will be followed by Section 2 which covers a short introduction to neural networks as well as related matters to aircraft RCS and speed. Section 3 presents the NN-AIS design as well as the NN training. Section 4 delivers the system validation. The paper is summarized in Section 5 with some concluding remarks.
1. INTRODUCTION Aircraft identification task is a critical matter to recognize the identity of an aircraft that is entering a monitored air space. The sooner the observed aircraft is identified, the faster the authorized authority can make a decision. In normal flight procedure, all aircraft flight plans must be reported to the authorized authority to be recorded. The records will be used to monitor every single aircraft movement in the monitored air space. The reported flight plans ease the authority to track and identify a certain aircraft that is displayed on monitor room’s displays. A problem is arisen when the authority cannot identify a certain aircraft that is detected by radar system. There are two possibilities when an aircraft cannot be identified. First, there is a possibility the aircraft transponder for answering the interrogation signal from ground station is not working properly or failed. Second, there is an intention to turn-off the transponder in order to hide the aircraft identity. For the second reason, we can conclude that the aircraft must be in undercover missions and can be a threat to our country’s sovereignty. Because of it, the authority must have a way to identify the unidentified aircraft before something harmful occurs in the future. One of ways in identifying aircraft is by using its Radar Cross Section (RCS) value and combining it with its speed. On the other hand, one approach that has been known well for object recognition is neural networks.
2. A SHORT INTRODUCTION TO NEURAL NETWORK AND AIRCRAFT RCS In this section, we will present a short introduction to neural network, its learning paradigm taxonomy, and a brief explanation regarding two types of learning paradigm we select for our research. We also deliver a very brief explanation regarding aircraft RCS and speed. 2.1. Neural Network The most basic constructing element of a human nervous system is a neuron which is called as “processing unit” as presented in Figure 1. According
16
to Shepherd and Koch (1990) in Haykin (1994), human brain has more than 10 billion neurons and 60 trillion synapses or connections between neurons. Even though it is relatively slower than computer systems that are made up from nano-technology silicon gates, it can do highly complex, nonlinear, and parallel tasks such as pattern recognition and perception, faster and very much better than the best computing system that human ever created.
In NN model, neuron takes a set of inputs, xm , along with a set of connection or link or synaptic which are characterized by weights, w km . The summing junction, ∑, sums up the input signals that are amplified by the connection weights. The activation function, ϕ ( . ) , limits the net outputs in allowable values. The architecture of the NN model is depicted in Figure 2. The general mathematical equations for neural information processing are given in Equation 1 for inputs summing process to obtain v k m
vk = ∑ wkj x j
(1)
j =0
and Equation 2 for producing the NN output, yk . yk = ϕ ( v k ) (2) Figure 1: Neuron or nerve cell.
2.2. Neural Network Learning Model Taxonomy
Because the neural networks are good for recognition tasks, some earlier researchers such as McCulloch-Pitts, Grossberg, Minsky, etc., tried to model the nervous processing unit so its mechanism can be emulated in computing systems. From this perspective, we define Artificial Neural network (ANN) or usually called as just Neural Network (NN) as an emulation of human nervous system when performing information processing. Its characteristics are displayed on the ability to obtain new knowledge after a successful learning process and store it in the information storage which is its synaptic weights. In more detail, NN is generalization of mathematical models of human cognition based on the assumptions that (Fausset, 1994): • information processing occurs at many simple elements called neuron, • signals are passed between neurons over connection links, • each connection link has an associated connection weight which multiplies the signals transmitted, • each neuron applies an activation function which is usually non linier, to its net input to determine its output signals.
According to Haykin’s (1994) taxonomy, there are three NN learning models. • Supervised. The essential of this paradigm is the availability of an external supervisor, so there will be an input-output relation in order to find the most minimum disagreement between the NN outputs with the examples given by the supervisor. • Unsupervised or Self-Organized. In this learning paradigm, there is no external teacher or examples to be learnt by the NNs. So, the NNs will perform a competitive learning rule where the winning neuron is entitled to keep the input in its memory. • Reinforcement Learning. This is the on-line learning of an input-output mapping through a process of trial and error designed to maximize a scalar performance index called as reinforcement signal. 2.3. Supervised Neural Propagation Network
Network
–
Back
The BPN was developed to cope with the limitations of single-layer NN. The BPN actually is a feedforward NN that is trained by backpropagation which means the signals is propagated in reverse direction. The primary aim of NN training is to train the NN to achieve a balance between the ability to respond correctly to the input patterns that are used for training or memorization, and the ability to give reasonable responses to input that is similar that used in training or generalization. In training the NN with backpropagation mechanism, there will be three steps, namely: • feedforwarding the input training patterns to the NN input layer,
Figure 2: A mathematical model of a neuron.
17
Figure 4: ART1-NN architecture (Sumari et.al, 2008a).
•
calculating the NN outputs and backpropagating the associated error, • adjusting the connection weights to minimize the error. After passing the training session, the NN uses the final connection weights when recognizing the input patterns given to it. As commonly in a multilayer NN, BPN has three layers namely input layer, hidden layer, and output layer. The number of input and output layers is depended on the input pattern and the output’s target. The number of hidden layer is depended on particular applications, but commonly one hidden layer is sufficient for many applications. The architecture of BPN is depicted in Figure 3.
ART-NN, as presented in Figure4, is designed to facilitate degree controlling of pattern similarity that is placed at the same cluster and overcomes stabilityplasticity problem that is faced by other NN. The ART1-NN is also designed to group (cluster) binary input vectors. It has two layers, F1 layer is divided into two sublayers namely F1(a) as input part, and F1(b) as interface part, and layer F2 (cluster) along with reset unit that is used to control degree of patterns similarity that is put down at the same unit cluster. F1 and F2 layers are connected by two groups of weight paths, bottom-up weight and top-down weight. To control learning process, some complement units are also entangled at this NN. For performing pattern matching, ART is provided with a parameter called vigilance parameter, ρ with a value in range 0 < ρ ≤ 1 . Higher values of ρ are applied for training session, while lower values are applied for operating session. ART1-NN architecture consists of two parts. The architecture of the ART1-NN is depicted in Figure 4. • Computation Units. It consists of F1 layer (input part and interface part), F2 layer, and reset unit. The F2 layer is also called as competitive layer. • Complementary Units. This unit provides a mechanism so that the computation that is carried out by ART1 algorithm can be done by using NN principles. These units are also called as gain control units. For the ART1-NN algorithm in detail, refer to (Skapura, 1991).
Figure 3: The architecture of the BPN model (Priyanto et.al, 2008).
1) Training Algorithm. Refer to (Fausset, 1994) for detailed BPN training algorithm. 2) Activation Function. There are four common NN activation functions namely: • identity function which produces binary output (0 or 1), • binary step function with threshold θ , • binary sigmoid (logistics sigmoid), • bipolar sigmoid, • hyperbolic tangent. The sigmoid function and hyperbolic tangent are the most common activation function for training NN with backpropagation mechanism.
2.5. Aircraft Radar Cross Section and Speed Radar Cross Section (RCS) is comparison between power density that is reflected to transmitting source and power density that is reflected by detected target or object. Figure 5 shows example of aircraft RCS that captured by Radar. Every aircraft or air object has sharply differentiated RCS in accordance with configuration elements that form RCS itself.
2.4. Unsupervised Neural Network – Adaptive Resonance Theory
18
Figure 6: The concept of information fusion (Ahmad & Sumari, 2008).
The information sources can be from as follows: • observation data from distributed sensors, • commands and data from operator or user, • a priori data from an existing database. Referring to (Hall, 2001) in (Ahmad & Sumari, 2008), for obtaining a comprehensive information in decision level, we can select many technique options such as Boolean operator methods (AND, OR) or heuristics value such as M-of-N, maximum vote, or weighted sum from hard decision and Bayes method, Dempster-Shafer, and fuzzy variable for soft decision. In this paper we use the Boolean operator for all approaches.
Figure 5: Common aircraft RCS (Nopriansyah et.al, 2008).
Aircraft speed that is presented at Radar screen can be obtained by using Doppler principle that is shown in Equation 3. Figure 3 illustrates how to calculate object speed by using Doppler principle.
fd =
2.v
λ
cos θ
(3)
which fd is Doppler shift, v is aircraft speed, λ is wavelength, and θ is angle between direction of incoming signal propagation with direction of antenna movement. In this paper we use RCS and speed data taken from previous research done by Nopriansyah et.al, (2008) as presented in Table 1.
3. A GENERIC MODEL OF NEURAL NETWORK AIRCRAFT IDENTIFICATION SYSTEM The NN-AIS generic model is modified from Sumari et. al (2008b) which consists of three processing blocks namely Pre-processing Block, Aircraft Identification Block, and Post-processing Block.
Table 1: List of aircraft RCS and speed data (Nopriansyah et.al, 2008). No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Aircraft Type Bell 47G F-16 Fighting Falcon Hawk200 Su-30 Sukhoi Cobra AH-1S Cassa C-212 CN-235 A-310 Airbus
RCS 3 5 8 15 18 27 30 100
Speed (km/hour) 168.532 1470 1,000.08 2,878.75 227.796 364.844 459.296 980
3.1. NN-AIS Diagram Block
2.6. A Brief Introduction to Information Fusion In general, information fusion is a technique in combining physical or non-physical information form from diverse sources to become single comprehensive information to be used as a basis for prediction or estimation of a phenomenon. The prediction or estimation is then used as the basis for performing decisions or actions. Figure 6 illustrates the concept of information fusion.
Figure 7: Generic NN-AIS architecture.
Because the system processes two different data, so there will be two NNs within the system, one is for processing aircraft RCS data and the other is for processing aircraft speed data. The generic architecture of NN-AIS is depicted in Figure 7.
19
In general, the Pre-processing Block prepares the inputs in form of vector patterns to the two NNs. The Aircraft Identification Block performs identification of the received inputs to the knowledge stored in the NNs. The Post-processing Block fuses the output resulted from Aircraft Identification Block, converts and displays the estimated identity of the received inputs. The peculiar feature of an NN is if it already learned the received input, it will produce an exact result. But if it has never learnt the received input, it will try to find the best match or estimated result. 3.2. Training in Supervised NN-AIS (Darusman et.al., 2009) In the NN1 architecture we use 150 neurons in hidden layer, while in the NN2 architecture we use 20 neurons. We take these numbers after carrying out some observations to find the most appropriate numbers. For training the two NNs, we did some researches to find the most appropriate activation functions to be utilized to the NN architectures. We select the combination of logsig and purelin activation functions for hidden layer and output layer. The BPN needs some time to train its structure in order to learn the vector patterns given to it by minimizing the difference error between the net’s outputs with the target’s values. In order to train the supervised BPN, we created vector patterns as presented in Table 2 and Table 3. The results of the NNs training are depicted in Figure 8 and Figure 9.
Figure 8: NN1 knowledge for aircraft speed data.
Table 2: Aircraft speed as inputs to NN1 and the NN1 learning’s targets. No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Aircraft Speed 168.532 1470 1,000.08 2,878.75 227.796 364.844 459.296 980
Target 00000001 00000010 00000100 00001000 00010000 00100000 01000000 10000000
Figure 9: NN2 knowledge for aircraft RCS data.
3.3. Training in Unsupervised NN-AIS (Utama et.al, 2009)(Wuryandari et.al, 2009) In the same as the supervised one, we also created vector patterns for unsupervised ART but in different perspective as presented in Table 4 and Table 5. Table 4: Aircraft RCS data and its associated pattern
Table 3: Aircraft speed as inputs to NN2 and the NN2 learning’s targets. No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Aircraft RCS 3 5 8 15 18 27 30 100
No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Target 00000001 00000010 00000100 00001000 00010000 00100000 01000000 10000000
20
Aircraft Type Bell 47G F-16 Fighting Falcon Hawk 200 Su-30 Sukhoi Cobra AH-1S Cassa C-212 CN-235PTDI A-310 Airbus
RCS 3 5 8 15 18 27 30 100
Vector Pattern 000000000011 000000000101 000000001000 000000001111 000000010010 000000011011 000000011110 000001100100
Table 5: Aircraft speed data and its associated pattern No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Aircraft Type Bell 47G F-16 Fighting Falcon Hawk 200 Su-30 Sukhoi Cobra AH-1S Cassa C-212 CN-235 PT DI A-310 Airbus
Average speed (km/h) 158.532 1,470 1000.08 2,878.75 227.796 364.844 459.296 980
Table 6: Validation data for supervised NNs. Vector Pattern
Input Data
000010011111 010110111110 001111101000 101100111111 000011100100 000101101101 000111001011 001111010100
Speed RCS
1st Detection 168 3
2nd Dectection 169 3.2
3rd Detection 167 2.7
Table 7: Validation result. Output Types Speed RCS Final result
The results of the unsupervised NNs training are depicted in Figure 10 and Figure 11.
Aircraft Number of Type Information Bell 47G 3 Bell 47G 3 Bell 47G
Figure 12: The identification process carried out by the supervised NNs.
Figure 10: Unsupervised NN1 knowledge in form of topdown and bottom-up weights for speed pattern.
4.2. Unsupervised NN-AIS To validate the unsupervised NN-based system, we select three aircrafts in random manner, namely Cobra AH-1S and Bell 47G. In this validation we set up the vigilance parameter ρ = 0.5. The results are presented in Figure 13and Figure 14.
Figure 11: Unsupervised NN2 knowledge in form of topdown and bottom-up weights for RCS pattern.
Figure 13: Identification process result for Cobra AH-1S.
4. NN-AIS VALIDATION In this section we present the NN-AIS validation on the two types of NNs we already explained. 4.1. Supervised NN-AIS Figure 14: Identification process result for Bell 47G.
To validate the unsupervised NN-based system, we select three aircrafts in random manner, namely Bell 47G as presented in Table 6. In this validation we modify the speed and RCS inputs to see if the system works as it is designed. The results are presented Table 7 and the identification process is depicted in Figure 12.
4.3. Measuring the Performance 4.3.1.
Supervised NN-AIS
As we can see from the validation presented in Table 5, the NNs in supervised NN-AIS tries to
21
recognize the detected aircraft’s patterns by generalizing the knowledge of what they “see” and what they have already learnt during training session. The result is the system is able to produce the correct aircraft estimation, namely Bell 47G helicopter. 4.3.2.
[4]
Unsupervised NN-AIS
Figure 14 and Figure 15 clearly present the mechanism carried out by unsupervised NN-AIS in identifying the detected aircrafts. The identification is done directly by matching the detected aircrafts’ patterns with the knowledge they already memorized during the training session. The result is the system is able to produce the correct aircraft estimation, namely Bell 47G and Cobra AH-1S helicopters.
[5]
[6]
[7] 5. CONCLUDING REMARKS We have presented the utilization of supervised BPN and unsupervised ART NNs and observe their performances in identifying the identity of aircrafts in NN-AIS framework. The two approaches result in good estimations even though the vector patterns have been modified. The supervised NNs use the generalization capability to recognize the patterns while the unsupervised ones use matching mechanism in recognizing the patterns. By noticing the results of this research, there is a possibility that these approaches can be combined with the real-life Radar system in order to increase its identification tasks. The NNs-based system can give significant advantage especially to identify harmful unlisted detected aircrafts.
[8]
[9]
REFERENCES [10] [1] A.I. Wuryandari, A.D.W. Sumari, and Nopriansyah, Aircraft Identification by Using Combination of Neural Network and Information Fusion, to be appeared in Jurnal Penelitian dan Pengembangan Telekomunikasi (JURTEL), No. 2, Vol. 13, Desember 2008, ITTelkom, Bandung [2] A.S. Ahmad, and A.D.W. Sumari, Multi-Agent Information Inferencing Fusion in Integrated Information System, Seri “Information Science and Computing”, Sekolah Teknik Elektro dan Informatika, Institut Teknologi Bandung, Penerbit ITB, 2008, ISBN 978-979-1344-31-9. [3] A.D.W. Sumari, et.al., Application of Adaptive Resonance Theory 1 for Identification Friend, Foe, or Neutral System, Proceedings of the 4th International Conference Information & Communication Technology and System 2008 (ICTS2008), Institut Teknologi 10 Nopember
[11]
[12]
22
Surabaya, Surabaya, 5 August 2008a, pp. 602609, ISSN 1858-1633. A.D.W. Sumari, A.S. Ahmad, A.I. Wuryandari, and Nopriansyah, Object Identification by Using Combination of Neural Network and Information Fusion, Proceedings of the 1st International Graduate Conference on Engineering and Science 2008 (IGCES2008), Universiti Teknologi Malaysia, Johor, Malaysia, D31, 2324 December 2008b, ISSN 1823-3287. D.L. Hall and J. Llinas, Eds., Handbook of Multisensor Data Fusion, USA: CRC Press LLC, 2001. D.M. Skapura, Artificial Neural Networks: Algorithms, Applications, and Programming, Addison-Wesley, 1991. D. Priyanto, A.D.W. Sumari, and E.P.T. Wibowo, Design of Neural Network-based Intelligent Classroom System: A Preliminary Research, Proceedings of the 1st Makassar International Conference on Electrical Engineering and Informatics 2008 (MICEEI2008), Universitas Hasanuddin, 13-14 Nopember 2008, Makassar, pp. 67-72, ISBN 978-979-18765-0-6. L. Fausset, Fundamentals of Neural Networks: Architectures, Algorithms, and Applications, Prentince-Hall, USA, 1994. M. Darusman, A.D.W. Sumari, and A.I. Wuryandari, Desain dan Implementasi Sistem Identifikasi Pesawat Terbang Berbasis Jaringan Syaraf Tiruan Model Back Propagation Network, Prosiding Seminar Nasional Teknologi Informasi dan Aplikasinya 2009 (SENTIA09), Politeknik Negeri Malang, Malang, 12 March 2009, pp. F55-F60, ISSN 977-208-5234-00-7. Nopriansyah, A.D.W. Sumari, A.I. Wuryandari, and Andaruna, Radar Identification Friend, Foe, or Neutral System using Aircraft’s Radar Cross Section and Speed based on Adaptive Resonance Theory 1 Artificial Neural Network and Information Fusion, Proceedings of 2008 National Radar Seminar, ISSN 1979-2921, April 30, Jakarta, 81-86 (in Indonesian). N.I. Utama, A.D.W. Sumari, and A.I. Wuryandari, Aplikasi Jaringan Syaraf Tiruan Adaptive Resonance Theory 1 pada Sistem Identifikasi Pesawat Terbang, Prosiding Seminar Nasional Teknologi Informasi dan Aplikasinya 2009 (SENTIA09), Politeknik Negeri Malang, Malang, 12 March 2009, pp. F22-F27, ISSN 977-208-5234-00-7. S. Haykin, Neural Networks: A Comprehensive Foundation, IEEE Press, USA, 1994.
Minimalisasi Sinyal Harmonik Radar INDRA I dengan IF Lumped Element Filter Liarto 1), A.A Lestari 2), Sri Hardiati, 3) 1, 2) Radar and Communication Systems (RCS) Segitiga Emas Bussines Park, Jl Prof. Dr. Satrio KAV 6 Telp. 62 21 579511 33 Fax 62 21 579511 38, email:
[email protected],
[email protected] 3) Pusat Penelitian Elektronika & Telekomunikasi - LIPI Jl. Cisitu 21/154 D Bandung 40135, Indonesia. Phone : 0222504661, Fax 022 2504659 email:
[email protected].
ABSTRAK Radar INDRA I adalah jenis radar maritim (ship radar) dengan teknologi Frekwensi Modulation Continous Wave (FMCW). Pada radar INDRA I digunakan DRO (Dielectric Resonator Oscillator) 9.856GHz sebagai clock sentral dari sistem radar. Agar tercapai kondisi singkron, maka stiap sinyal input sistem radar INDRA I diturunkan dari sinyal DRO 9.856GHz (clock sentral). Penurunan sinyal dilakukan dengan cara membagi frekwensi clock sentral menggunakan cip divider. Pembagian frekwensi menggunakan cip divider memunculkan sinyal harmonik pada frekwensi – frekwensi turunannya, yang menyebabkan terbacanya objek ganda pada radar. Pada paper ini akan dilakukan minimalisasi harmonik pada sistem radar INDRA I dengan cara menambahkan lumped element filter pada bagian IF sistem transmit radar. Penambahan IF lumped element filter mengakibatkan penekanan harmonik hingga level (-40dB), sehingga terbacanya objek ganda dapat dihindari. Kata kunci : IF Lumped Element Filter, FMCW
1.
PENDAHULUAN penting pada sistem radar. Pada paper ini akan dilakukan perancangan dan pabrikasi dari filter IF sehingga dapat mengurangi besarnya sinyal harmonik. Pembuatan filter diutamakan pada sinyal IF, karena sinyal IF adalah turunan dari clock sentral yang tertumpangi banyak sinyal harmonik, disamping faktor pabrikasi filter pada bagian Xband membutuhkan perangkat yang memadai.
Wilayah kelautan Negara Republik Indonesia (NKRI) yang luas membutuhkan sistem pengamanan berteknologi tinggi untuk menjamin pengawasannya. Salah satu teknologi yang dapat dipergunakan untuk pengawasan kelautan adalah teknologi radar maritim. INDRA I (Indonesia Maritime Radar I) adalah radar maritim berteknologi FMCW yang dirancang untuk aplikasi ship radar (radar kapal). Radar INDRA I (Gambar 1) tepat digunakan untuk kebutuhan navigasi maupun pengawasan terhadap illegal-logging, hal ini ditunjang dengan penggunaan teknologi FMCW yang memungkinkan tidak terganggunya perangkat lain pada jarak dekat dan mengurangi kemungkinan terdeteksinya sinyal radar INDRA I oleh radar scanner yang banyak digunakan oleh kapal illegal [1-2]. INDRA I sepenuhnya sudah menggunakan solid state (bukan tabung), yang memungkinkan radar INDRA I memiliki masa pakai lebih lama. Pada sistem radar berteknologi FMCW, permasalahan yang sering terjadi adalah adanya sinyal harmonik dari divider (pembagi) pada proses penurunan frekwensi sentral clock 9.856Ghz sampai ke level IF (Intermediate Frequency) radar. Sinyal harmonik menyebabkan terbacanya objek ganda pada radar. Untuk mengurangi sinyal harmonik maka peranan filter menjadi
Gambar 1: Radar INDRA I
23
2.
SISTEM HARDWARE INDRA
3. PERANCANGAN IF FILTER
Radar INDRA I bekerja pada kisaran X-band (9.4GHz). Sinyal X-band pada sisi transmit dihasilkan oleh pencampuran sinyal 9.856GHz dari DRO dengan sinyal IF dari output divider (Gambar 2). Untuk mendapatkan jarak maksimum 40nm digunakan bandwith sweep maksimum 50MHz (9.37GHz – 9.43GHz). Sinyal sweep dihasilkan oleh DDS (Direct Digital Syithesizer), dimana bandwidth sweep bersifat variabel untuk menentukan range scale yang dibutuhkan. Input sinyal DDS diperoleh dari turunan sinyal DRO, sehingga menghasilkan sinyal harmonik (Gambar 3). Agar diperoleh sinyal transmit dengan bandwith 50 MHz tanpa harmonik, maka dibutuhkan filter yang sempurna pada sisi IF (output DDS).
3.a Simulasi IF Filter Karena sinyal harmonik terdapat dalam bandwidth frekwensi IF radar, maka dibutuhkan band-pass filter. Band-pass filter dirancang untuk frekwensi tengah 456MHz (Bandwith 50MHz) dengan respon butterworth dan perancangan digunakan pemodelan lumped element. Dari hasil simulasi diperoleh nilai – nilai lumped element (L dan C) filter yang pada tahap pabrikasi sulit direalisasikan. Diagram dari band-pass filter dapat dilihat pada Gambar 4(a) dan hasil simulasi respon band-pass filter ditampikan pada Gambar 4(b).
Gambar 2: Diagram mixer (a)
Gambar 3: Output sinyal DDS 456MHz (tanpa sweep) dilihat pada spectrum analyzer : start 100Mhz stop, 600Mhz
(b)
Gambar 4: a) Diagram band-pass filter (L dan C), b) respons S11dan S21 band-pass filter.
24
Untuk mengatasi kesulitan realisasi IF band-pass filter, maka band-pass filter dirancang dari kombinasi highpass filter dan low-pass filter. Diagram dari high-pass filter ditampilkan pada Gambar 5. Dari hasil simulasi ditunjukkan bahwa high-pass filter dapat menekan sinyal harmonik hingga 40dB pada frekwensi 205MHz. Perhitungan dasar dari low-pass filter ditampilkan pada persamaan (1-3)
fc = 1
τ
=
fc =
1 2πτ
(a)
(1)
1 RC
(2)
1 2π RC
(3)
(b)
Gambar 5: a) Diagram high- pass filter ( L dan C), b) respons S11dan S21 high- pass filter.
3.b Realisasi High-Pass filter Realisasi high-pass filter digunakan lumped element dengan L tetap dan C variabel, untuk melakukan perbaikan respon. Faktor penting dalam pembuatan filter adalah masalah kesempurnaan grounding dan interferensi sinyal dari lingkungan sekitar. Karena alasan tersebut maka filter dibuat dalam cassing logam yang rapat. Realisasi high-pass filter 456MHz ditampilkan pada Gambar 6.
Transformasi dari lowpass-filter kedalam highpass filter dapat dilakukan perhitungan seperti pada persamaan (4-5)[3-4].
C=
Cn 2π f c R
(4)
L=
RLn 2π f c n
(5)
Dimana : f c = Frekwensi cuttoff (Hz)
R = Besarnya beban resistif (Ohm) C = Kapasitansi (Farad) Cn = Elemen prototype kapasitor (Farad)
Ln = Elemen prototype induktor (Henry) L = Induktansi (Henry) Gambar 6: Realisasi lumped element high-pass filter 456MHz dalam cassing.
3.
PENGUKURAN DAN ANALISIS
Pengukuran high-pass filter dilakukan dalam dua tahap. Pertama pengukuran menggunakan generator, pengukuran ini bertujuan untuk mengetahui response filter secara umum. Sedangkan tahap berikutnya adalah dengan input sinyal dari IF sistem radar, sehingga diketahui efektifitas high-pass filter menekan harmonik. Pengukuran respon highpass filter ditampilkan pada Gambar 8. Untuk pengukuran besarnya penekanan high-pass filter
25
Gambar 9: Setting pengukuran high-pass filter dengan input sinyal dari radar INDRA I.
terhadap harmonik ditampilkan pada Gambar 10.
Dari karakteristik filter dapat diketahui bahwa high-pass filter memiliki frekwensi cutoff yang cukup tajam (-40dB = 318MHz). Besarnya sinyal harmonik radar sudah dapat berkurang seperti ditampilkan pada Gambar 10.
Gambar 7: Setting pengukuran high-pass filter dengan input sinyal dari generator.
Gambar 10: Respon high-pass filter (input sinyal radar INDRA tanpa sweep )
4. KESIMPULAN 1.Pabrikasi band-pass filter menggunakan lumped element untuk kisaran frekwensi IF cukup sulit dilakukan. 2.Kombinasi high-pass filter dan low-pass filter merupakan solusi dari masalah pabrikasi pada band-pass filter. 3.Harmonik pada sisi IF yang muncul dapat ditekan menggunakan kombinasi low-pass filter dan highpas filter.
Gambar 8: Respon high-pass filter (input generator)
Karakteristik 456MHz high-pass filter : -3 dB : 397 MHz -10dB : 380 MHz -20dB : 360 MHz -40dB : 318 MHz Dengan IL (insertion loss) 1.9db
DAFTAR REFERENSI [1] A.G. Stove, “Linear FMCW radar techniques, “ IEE Proceeding-F, Vol.139, No.5, October 1992. [2] Richard J. Kenefic, “Performance of an FMCW Radar Sensor, “IEEE Transactions, Vol. 40, No. 11, November 1992. [3] http://en.wikipedia.org/wiki/Low-pass_filter [4] http://my.integritynet.com.au/purdic/high-passfilters.htm
26
First Results of the Signal Processing of INDERA W. Sediono1,2) ,A. A. Lestari1,3) 1)
Radar & Communication Systems, Jl. Prof. Dr. Satrio KAV 6, Jakarta 12940 – INDONESIA 2) Agency for the Assessment and Application of Technology, Jl. M. H. Thamrin 8, Jakarta 10340 – INDONESIA 3) International Research Centre for Telecommunication and Radar - Indonesian Branch ( IRCTR-IB ), STEI-ITB / IRCTR-TU Delft, Jl. Ganesha 10, Bandung 40132 – INDONESIA ABSTRACT INDERA is the first Indonesia's maritime radar designed to be installed and operated on a ship. This radar is based on the FMCW principle for which a reliable method for processing the radar signal plays an important role. In this paper the method used for processing radar signals received by the Rx-antenna is discussed. Thereafter first results from the field test of INDERA will be presented at the end of the method description. Keywords: INDERA, maritime radar, FMCW, signal processing. the target can be determined by measuring the peak distance from the axis origin.
1. INTRODUCTION In the frequency-modulated continuous wave (FMCW) radar, the transmitter frequency is changed as a function of time in a known manner, e.g. sawtooth shape modulation (fig. 1).
2. METHOD The stepwise signal processing of an ideal beat signal received by the Rx-antenna is demonstrated in the following computer simulation (fig. 2). 1
1 0.8 | Y(f) |
y(t)
0.5
0
0.6 0.4
-0.5 0.2 -1 0
2 3 time [s]
0
4
1
1 0.8
2 Fm R, c
ΔF . ts
0.4
200 300 Range cell
400
0.5
| Y avg |
0.2
0
0.2
0.4 0.6 R / Rmax
0.8
1
0
100
500
Fig. 2: Computer simulation step by step: ideal beat signal (top left), range-FFT (top right), thresholding (bottom left) and smoothing (bottom right). The distance of the signal peak from the origin determines the range R of target [3,4].
(1)
In consideration of the fact that the incoming raw beat signal from Rx-antenna is not ideal this raw data need to be preprocessed first. Starting from that point we can apply the Fourier transform (FFT) to the signal resulting from the mentioned pre-conditioning stage. Then, in the last step we perform a post-FFT processing before the signal can be finally sent to the radar monitor or PPI display. So, the basic principle of the processing of an FMCW radar signal can be shown in the following block diagram (fig. 3).
where Fm is defined as
Fm =
0.3
0.4
0.2
fR =
0.2
0.6
0.4
0
0.1
f / fs
0.8 0.6
After reflecting the radar signal a target at a distance R from the origin of radar will generate a beat signal with the frequency [1,2]
0
-4
x 10
| Y threshold |
Fig. 1: Sawtooth shaped FMCW radar signal. The frequency of the transmitted signal is linearly increased about ΔF within the sweep time ts.
1
(2)
By applying the Fourier transform we will obtain the spectrum of this beat signal. The range or distance of
27
Fig. 3: Basic principle of the signal processing of an FMCW radar.
As shown in the above figure the analog beat signal coming from the Rx-antenna must be converted first into digital signal using an ADC. A sample of such signal is shown in figure 4. We can see that the received raw data is far from an ideal beat signal. Fig. 6: Result of FFT. The peak indicates that a target is present in that distance.
A simple way to detect peaks reflected from real targets is by applying a uniform threshold to the signal. But this technique does not work effectively if the clutter has a similar magnitude with the target. So we need a smart algorithm to detect peaks from the FFT result. A good reference to this problem can be found in [5]. An overview of all conducted steps in the processing of the radar signal of INDERA is shown in figure 7.
Fig. 4: Beat signal coming out from the ADC. The raw data is sampled at the rate of 2.5 MHz.
Consequently we must preprocess the data before conducting the Fourier transform. A first step we need for that purpose is equalizing the data to suppress the wandering curve baseline. Furthermore we must suppress the ‘burst’-like peaks within the raw data since this part does not contribute to the end result (fig. 5). In some cases, after equalizing the raw data, additional steps like smoothing and enveloping are necessary to be completed.
Fig. 7: Steps of the signal processing of INDERA.
The result of the applied peak detection algorithm is shown in fig. 8 where the signal amplitude is given in logarithmic (dB) scale.
Fig. 8: Result of the post-FFT processing that shows a target detected in the cell (range pixel) number 85.
As shown in the figure a target was detected in the cell (range pixel) number 85. According to the current setting of the radar range scale this number is equivalent to a distance of 0.66 NM from the origin of the radar.
Fig. 5: Result of the preprocessing of the beat signal.
After the equalization stage we can perform the FFT to achieve the range data (fig. 6). The next problem to solve is how we can differentiate the real object from the clutter enclosed within the signal.
28
From the above PPI display we can recognize many objects (e.g. object A, B and C) in the surrounding area of the port. Besides, coastal line and the small island in front of the port can also be detected successfully. However, as found in the figure, a problem of the ringing phenomena still exists in the reconstruction result. This unwanted phenomenon will appear if an object of strong RCS detected in the near field of radar. This kind of problem should be eliminated in the next newer method of the signal processing.
3. RESULTS In this section we present the first results of INDERA field test carried out in the year 2008 at port Bojonegara, Cilegon (fig. 9). At that time the weather was clear and the sea state around the port was registered in the scale 2.
4. CONCLUSION In this paper a method used for processing radar signal of INDERA is presented. This method consists of three main stages, namely pre-conditioning, FFT and post-FFT stage. Pre-conditioning stage is applied to make the raw data as close as possible to an ideal beat signal. The FFT is used to transform raw data into a frequency-domain data that is linear proportional to the range data of targets. Post-FFT stage is performed to differentiate real targets from clutter. It has been shown that the developed method for processing radar signal of INDERA delivers quite reliable results.
Fig. 9: Satellite image of the test site. Although this satellite image provided by GoogleEarth was outdated, it can still be used as a good reference in recognizing objects in the surrounding area.
Using the above mentioned processing steps we can reconstruct the scanning result on the radar monitor. An example of such reconstruction in the range scale of 0.8 NM is shown in the following (fig. 10).
REFERENCE [1] M. I. Skolnik: Introduction to Radar Systems, McGraw-Hill, Auckland, 1980. [2] F. E. Nathanson, J. P. Reilly, M. N. Cohen: Radar Design Principles: Signal Processing and the Environment 2e, McGraw-Hill, Mendham, 1991. [3] W. Sediono, A. A. Lestari: A Method to Determine Radial Speed of Target from the FMCW Radar Signal, Proc. Seminar Radar Nasional 2008, pp. 25-28, 2008. [4] S, de Waele, P.M.T. Broersen: Modeling Radar Data with Time Series Models, Eusipco 2000, Proc. 10th European Signal Processing Conf., Tampere, Finland, p 1-4, 2000. [5] W. J. Tompkins (ed.): Biomedical Digital Signal Processing: C-Language Examples and Laboratory Experiments for the IBM Pc, Prentice Hall, 1993.
Fig. 10: Reconstructed PPI display of INDERA showing the scanning result in the range scale of 0.8 NM.
29
Teknik Pengukuran Pola Radiasi Transduser Dwi-Fungsi Akustik Bawah Air Syamsu Ismail Pusat Penelitian Elektronika dan Telekomunikasi LIPI, Jl. Cisitu 21/154D Bandung 40135 E-mail:
[email protected] ABSTRAK Transduser akustik bawah air, atau TABA, dwi-fungsi ialah transduser yang dapat berfungsi sebagai hidrofon dan juga projector, transduser ini terletak di ujung depan dari system komunikasi bawah air, disingkat SKoBA. Istilah unit transduser mempunyai arti dua atau lebih keping transduser yang disusun sedemikian rupa untuk mendapatkan pola radiasi tertentu. Pola radiasi, atau kadang-kadang disebut pola berkas, dari unit transduser mempunyai peran penting dalam SKoBA, sepert untuk aplikasi SONAR, karena faktor ini berkaitan langsung dengan faktor penguatan dari unit itu sendiri. Pengukuran pola radiasi TABA mirip dengan pengukuran pola radiasi pada suatu antena radio. Di dalam tulisan ini akan didiskusikan teknik pengukuran pola radiasi akustik bawah air. Pengukuran ini harus dalam kondisi tertentu, seperti luas area dan kedalaman memadai, syarat medan jauh untuk jenis dan frekuensi operasi transduser terpenuhi, bebas obstakel di sekitar area pengukuran dan bebas dari arus bawah, dan lain-lain. Pengukuran pola radiasi untuk projektor dan hidrofon dilakukan sama, yaitu memperlakukan transduser sebagai hidrofon atau projektor. Untuk transduser dwi-fungsi, maka teknik pengukuran dapat dilakukan lebih sederhana yaitu dengan memperlakukan transduser yang dikarakterisasi sebagai hidrofon. Sebagai sumber akustik digunakan transduser, sebagai projektor, dengan posisi, arah radiasi, dan level daya sinyal dibuat tetap. Sedangkan, untuk transduser yang sedang dikarakterisasi ditempatkan pada posisi dengan jarak lebih jauh dari daerah medan jauh. Secara fisik, transduser harus dapat diputar bertahap hingga satu putaran penuh, atau 360°, dan transduser berada di pusat lingkaran. Setiap pergeseran arah dengan sudut yang telah ditetapkan, sebuah penerima yang dihubungkan dengan hidrofon, akan menerima kuat sinyal pada arah tersebut. Pencatatan kuat sinyal pada setiap arah dilakukan berulang kali, karena sering terjadi fluktuasi level akustik karena pergerakan air. Dengan mencatat setiap kuat sinyal pada masing-masing arah, kemudian mengkalkulasi, tabulasi, dan mengintegrasikan, maka pola radiasi dari transduser tersebut dapat digambarkan. Kata kunci : Pengukuran, Pola Radiasi, Transduser, Projektor, hidrofon, Medan Jauh. 1.
yang lebih komplex[5]. walau syarat batas medan jauh sudah terpenuhi, akan tetapi benda-benda diluar batas yang berpotensi sebagai reflektor harus tetap diperhitungkan, karena dapat mempengaruhi hasil pengukuran. Untuk memperoleh luas area memadai, pengukuran dapat dilakukan di kolam luas, atau danau. Pengukuran akan dimulai dengan pemilihan lokasi memadai, kemudian memeriksa ombak dan arus bawah, kedalaman, dan situasi sekitarnya. Obstakel diusahakan sekecil mungkin, pemeriksaan, dapat dilakukan dengan sonar.
PENDAHULUAN
Transduser untuk bawah air piezoelektrik atau magnetostriktif yang beredar di pasaran elektronik, sering tidak dilengkapi dengan lembar data teknis. Hal tersebut menyulitkan untuk mengoptimalkan kinerja transduser. Oleh karena itu, karakterisasi dari sebuah elemen transduser merupakan keharusan[2] yang tidak dapat ditawar-tawar. Data tentang radiation pattern penting untuk aplikasi yang sifatnya terarah, seperti SONAR, underwater guiding system, dan sebagainya. Pengukuran pola radiasi diperlukan pada pengembangan atau pembuatan transduser susun fasa untuk mendapatkan direktifitas besar. Pengukuran pola radiasi transduser untuk bawah air membutuhkan tempat yang cukup luas, karena pola radiasi diukur pada tempat berjarak beberapa kali lebih panjang dari ukuran dimensi terpanjang dari transduser yang diukur. Pada jarak yang relatif lebih dekat kepada transduser, kurang lebih daerah pada mana lebar dari berkas nominal yang ditentukan dari sudut berkas medan jauh lebih kecil dari pada panjang transduser akan diperoleh hasil
2.
LANDASAN TEORI
Responsifitas pada transduser-transduser tersusun, selanjutnya disebut T-susunan atau unit transduser, akan berubah terhadap arah relatif muka susunan. Faktor pengarahan, direktifitas, sangat penting dalam aplikasinya dalam menentukan sudut datang suatu objek. Untuk hidrofon, faktor ini dapat menghindari penerimaan sinyal akustik dari arah lain. Di sisi projektor, faktor ini mengoptimalkan sinyal akustik hanya pada tempat yang dituju[6].
30
diagram blok motor untuk gerak putar, penguat sinyal kuat medan dan informasi sudut.
Respons yang bervariasi terhadap arah ini menentukan pola radiasi transduser susunan. Pada pengiriman dapat dibayangkan getaran akustik terkurung di dalam beam, atau berkas. Dengan analogi, penerimaan juga memiliki berkas yang merupakan sudut padat dalam mana responsnya efektif. Sifat dari keterkurungan, untuk pengiriman atau juga penerimaan, pada sudut terbatas disebut direktifitas. Pengukuran pola radiasi pada transduser bawah air dilakukan terhadap sumber akustik dengan frekuensi dan daya konstan. Sumber getaran akustik ditempatkan pada jarak lebih besar dari daerah medan jauh. Ada dua mode sinyal sebagai pencatu daya ultrasonik untuk projektor, yaitu mode kontinyu dan mode intermiten. Mode intermiten berguna untuk menghindari titik jenuh projektor. Tsusunan yang sedang diukur dioperlakukan sebagai hidrofon. Gambar 1 menunjukkan setup pengukuran pola radiasi transduser bawah air. Dari gambar 1, dapat dijelaskan bahwa getaran akustik bawah air yang dipancarkan dari titik P oleh projektor diterima pada titik H oleh T-susunan, sebagai hidrofon, yang sedang diukur dengan jarak D > Far Field.
Gambar 2: Diagram blok penguat sinyal kuat medan dan informasi sudut[3].
3.
PENGUKURAN POLA RADIASI
Transduser bawah air untuk aplikasi jarak jauh biasanya berdaya tinggi dan frekuensi kerja rendah. Dengan demikian dimensi fisik transduser menjadi besar. Untuk karakterisasi transduser seperti itu membutuhkan tempat yang cukup luas. Pengukuran pola radiasi di lapangan, untuk di laut ataupun danau, situasi ‘akustiknya’ sama sekali berbeda dengan situasi laboratorium. Maka dari itu, prosedur pengukuran transdusrnya juga akan berbeda. Telah dijelaskan di atas bahwa ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, seperti obstakel di sekitar lokasi dan kedalaman. Keadaan itu sebelum pengukuran harus diperikasa secara visual, dengan sonar, atau metoda lain. Sebagai penampil citra pengukuran ada beberapa kemungkinan, di antaranya dengan menggunakan sepasang rekorder yang tampil sejajar, yaitu untuk menampilkan sinyal kuat medan dan informasi sudut defleksi. Gambar 3 adalah proses rekorder hasil pengukuran.
Gambar 1: Setup pengukuran pola radiasi transduser bawah air[1].
Sumber daya untuk projektor diatur pada frekuensi kerja T-susunan, dengan frekuensi tunggal. Di sisi lokasi pengukuran, sinyal elektrik keluaran dari T-susunan berdaya kecil dan bercampur dengan noise akustik dari sekitar tempat pengukuran. Oleh karena itu, dibutuhkan rangkaian pembatas frekuensi dan penguat daya sinyal setelah rangkaian keluaran preamplifier T-susunan. Lebar pita frekuensi filter input penguat hidrofon dibuat sempit, dalam orde beberapa ratus Hertz, untuk menghindari getaran sekitar frekuensi kerja yang mungkin ada di sekitar lokasi pengukuran. Tegangan keluaran VT adalah kuat daya akustik yang telah dikonversikan oleh Tsusunan dan diperkuat oleh rangkaian preamplifier. Sedangkan Ø merupakan sinyal informasi sudut bearing atau pointing dari muka T-susunan. Sinyal Ø diperoleh dari sensor magnetik yang dipasang pada piringan yang berputar bersama dengan Tsusunan. Posisi magnetik sensor sejajar dengan garis normal muka T-susunan. Putaran dari unit Transduser digerakan oleh motor M, sedang informasi sudut dideteksi oleh sensor MS, dan kuat medan dideteksi oleh TUT. Gambar 2 menunjukkan
Gambar 3: Rekorder hasil pengukuran.
Dari proses rekorder pengukuran, gambar 3, ada obstakel pada daerah sukitar 45° dan 90°. Transduser terarah pada pemancar dapat membantu untuk menghindari obstakel di sekitar arah depan 270° dan 90°, tetapi pada arah belakang tidak dapat dihindari dengan cara ini. Untuk ketelitian pengukuran, maka dilakukan pengukuran berulang, penempatan pemancar dipindah ke posisi lain,
31
sehingga target yang dicurigai obstakel mungkin dapat teridentifikasi. Perekaman hasil pengukuran dapat dilakukan dengan wave editor atau alat perekam lain.
5.
Ketelitian karakterisasi transduser bawah air di lapangan, danau Cirata, antara lain ditentukan oleh dua hal, yaitu kegiatan pra karakterisasi, dan saat karakterisasi. Kegiatan pra karakterisasi yaitu mengukur kedalaman, identifikasi obstakel, arus bawah. Sedangkan kegiatan saat karakterisasi, mengambil harga rata-rata pada pembacaan hasil pengukuran berulang dan pengulangan karakterisasi pada posisi pemancar berbeda.
Gambar 4: Pencitraan hasil pengukuran dengan komputer[3].
UCAPAN TERIMA KASIH
Teknik pencitraan pengukuran model lain adalah dengan teknik digital dan bantuan komputer. Sinyal kuat medan dikonversikan ke dalam data digital, sedangkan informasi sudut defleksi didapat dari rotation encoder. Dengan menggunakan program Automatic Tabulation kedua data di tabelkan dalam dua kolom. Gambar 4 menunjukkan pencitraan hasil pengukuran dengan komputer. 4.
Terima kasih atas kesempatan yang diberikan untuk mempublikasikan tulisan ini. Ucapan yang sama ingin kami sampaikan pada rekan-rekan yang telah memberikan bantuan dalam percobaan teknik pengukuran pola radiasi di danau Cirata. DAFTAR REFERENSI [1]Ismail Syamsu, Pengembangan Sistem Komunikasi Strategis Menggunakan Sinyal Akustik, Laporan Penelitian PPET-LIPI Bandung : 2008. [2] Ismail Syamsu, Deni P., Karakterisasi Elemen Transduser Piezoelektrik Untuk Sistem Komunikasi Bawah Air, Jurnal Elektronika dan Telekomunikasi, Vol. 7 No. 2, Juli 2007. [3] Ismail Syamsu, Log Book Penelitian Sistem Komunikasi Strategis dengan Sinyal Akustik, Bandung : 2008. [4] Reson Transducer Projector Directivity TC10261 data sheet, 2005. [5] Tucker D.G, D.Sc, B.K. Gazey, PhD., Applied Underwater Acoustics, Elsevier Publishing Company, New York : 1962. [6] Urick J. Robert, Principles of Under water Sound, 3D Edition McGraw-Hill Book Company, New York : 1983.
BEBERAPA HASIL PENGUKURAN
Beberapa hasil pengukuran pola ditunjukkan pada beberapa gambar berikut.
KESIMPULAN
radiasi
Gambar 5: Pola radiasi hidrofon HPR-04, f= pengukuran di danau Cirata[1].
Gambar 6: Pola radiasi Broad Band Power Transducer TC2116 Reson[4].
32
Analisis Penyesuai Impedansi NTL Menggunakan Metode Ekspansi Fourier Rudy Yuwono1) , Achmad Setiawan2), D.J. Djoko H.S.3) 1, 2, 3)
Teknik Elektro Universitas Brawijaya Jl. MT. Haryono 169 Malang Indonesia Telp. 0341 571260 Fax 0341 580801 Email:
[email protected] dan
[email protected]
ABSTRAK Metode desain penyesuai impedansi menggunakan saluran Non Uniform adalah metode yang menawarkan keunggulan lebih dibandingkan metode sebelumnya (Metode trafo 1/4λ, metode multisection 1/4λ dan metode stub). Dalam metode ini panjang fisik penyesuai dibuat konstan, sedangkan proses transformasi impedansi dilakukan dengan mengubah nilai impedansi karakteristik saluran (Zo) secara gradual (Taper) ataupun nongradual (NUTL). Dalam penelitian ini, distribusi nilai impedansi karakteristik saluran atau Zo(z) dimodelkan sebagai deret Fourier Cosinus. Dari hasil pengujian dilaboratorium maupun secara simulasi didapatkan bahwa panjang ekspansi mempengaruhi Bandwidth dari penyesuai impedansi yang dirancang. Untuk panjang ekspansi sebesar 7, 11 dan 15 didapatkan lebar frekuensi kerja masing-masing adalah: 500 MHz, 1.5Ghz dan 1.55GHz. Antara hasil simulasi secara teoritik dengan hasil simulasi menggunakan perangkat lunak AWR didapatkan deviasi kesalahan rata-rata sebesar 4.7 %, sedangkan antara hasil simulasi teoritik dengan pengukuran didapatkan deviasi kesalahan rata-rata sebesar 15%. Walaupun deviasi kesalahan masih relatif besar, akan tetapi pola respon frekuensi dari ketiga pengujian tersebut menunjukkan konsistensi antara metode yang dipaparkan dengan implementasi praktisnya. Kata Kunci: Penyesuai Impedansi, Saluran transmisi NonUniform, Ekspansi Fourier
NonUniform sebagai penyusun sistem penyesuai impedansi. [2][3][4][5]. Penggunaan penyesuai Impedansi berbasis saluran transmisi Non Uniform (selanjutnya disebut sebagai NTL-Non Uniform Transmission Lines) mempunyai keuntungan dari segi panjang fisik dan jangka frekuensi kerjanya (Bandwidth). Penyesuai impedansi berbasis NTL. menggunakan variasi impedansi karakteristik saluran untuk mengkompensasi panjang saluran yang dibuat tetap. Dari hasil penelusuran pustaka paling tidak terdapat 3 metode yang dapat digunakan untuk mensintesa sebuah NTL menjadi sebuah penyesuai impedansi. Metode tersebut adalah metode analitik [1], metode Orlov [4] dan metode Ekspansi Fourier [5]. Metode Ekspansi Fourier menawarkan keluwesan dalam desainnya karena metode ini dikembangkan menggunakan prinsip-prinsip analisa numerik.
1. PENDAHULUAN Penyesuai Impedansi adalah salah satu konsep penting dalam rekayasa bidang Gelombang Mikro dan sistem Frekuensi Tinggi. Dalam dua dekade ini terdapat usaha yang cukup signifikan untuk mengembangkan metode-metode dalam membangun suatu sistem penyesuai impedansi yang efisien, utamanya sistem penyesuai impedansi yang dapat digunakan untuk menyepadankan dua impedansi real maupun komplek dengan jangka frekuensi kerja (bandwidth) yang lebar. Metode Lumped atau penggunaan komponen lumped sebagai penyusun sistem penyesuai impedansi adalah metode yang umum digunakan untuk menyesuaikan dua buah impedansi berbeda. Permasalahannya adalah, komponen lumped hanya sesuai untuk sistem-sistem yang bekerja pada frekuensi rendah. Sedangkan untuk sistem-sistem yang bekerja pada daerah frekuensi tinggi dan gelombang mikro, penyesuai impedansi berbasis saluran transmisi adalah metode yang paling umum digunakan. Sebagai contohnya adalah penyesuai impedansi menggunakan metode taper, metode stub, dan metode multisection 1/4λ [1]. Metode lain yang juga dikembangkan cukup intensif saat ini adalah penggunaan saluran transmisi
2. TINJAUAN PUSTAKA Saluran Transmisi Non Uniform adalah saluran Transmisi yang mempunyai nilai impedansi karakteristik tak seragam untuk setiap titiknya [1][6][3]. Secara diagram suatu saluran transmisi Non Uniform (NTL) dapat digambarkan sebagai berikut.
33
tidak berubah sepanjang satu segmen-nya, maka akan didapatkan model berikut ini:
Z1
Zo
Z2
....
ZN ZL
Gambar 1: (NTL)[5]
Ilustrasi Saluran Transmisi Non Uniform
ρο
Apabila saluran transmisi sebagaimana Gambar 1 tersebut digunakan sebagai sebuah penyesuai impedansi, maka diperlukan pengaturan nilai impedansi karakteristik dari saluran tersebut sedemikian rupa sehingga sumber dapat memandang saluran dan beban (ZL) sebagai suatu sistem yang sepadan (Match). Untuk menganalisa saluran transmisi NonUniform (NTL) sebagaimana Gambar 1 tersebut, Collin dalam [1] mengusulkan untuk membagi saluran tersebut atas segmen-segmen yang lebih kecil sebagaimana Gambar 2:
dengan
* i = Koefisien pantul pada sisi input 0..N = Koefisien pantul disetiap segmen d = panjang saluran N = jumlah Segmen Sedangkan nilai koefisien pantul pada tiap segmennya dapat ditentukan sebagai:
Z1 − Z0 Z1 + Z0 ...
segmen
pada
saluran
Z −Z n = Z n+1 + Z n n+1 n ZL − ZN N = Z + Z L N
Non
(3a) Untuk nilai ρn yang cukup kecil, persamaan (3a) tersebut dapat pula didekati dengan cukup teliti mengunakan persamaan berikut:
Jika segmen sepanjang Δz tersebut diasumsikan uniform, maka nilai koefisien pantul pada segmen tersebut dapat dinyatakan sebagai: d
1 2
Ν
*i = 0 + 1 e −2jO+ 2 e −4jO+ .... + N e −j2NO (2)
Δz
* (Iz ) =
ρ
Nilai koefisien pantul total pada sisi input (Γi) dari model diatas dapat dinyatakan sebagai:
0 =
Gambar 2: Pembagian Uniform[1]
ρ2
Gambar 3 :Ilustrasi saluran transmisi Non Uniform yang telah disegmentasi
z+ Δ z
z
ρ1
n = ln
Z/Z ) e −j2Iz d(ln(1) dz dz
Z n+1 Zn
(3b)
0
Dari persamaan (2) dan persamaan (3) dapat disimpulkan bahwa apabila informasi mengenai nilai impedansi tiap segmen dari saluran Non Uniform (NTL) tersebut dapat diketahui, maka impedansi input total (Zi) dari system dapat diketahui dengan tepat.
Yang menjadi persoalan kemudian adalah bagaimana mendapatkan nilai distribusi ln(Z) sehingga didapatkan karakteristik penyesuai impedansi yang diharapkan. Dewasa ini telah dikembangkan beberapa pendekatan untuk mendesain suatu penyesuai impedansi berdasarkan distribusi ln(Z) tersebut, yaitu: pendekatan Segitiga, Eksponensial [1], deret Taylor, Finite Diference dan Ekspansi Fourier [5]
2.2 Sintesis Penyesuai Impedansi NTL dengan Ekspansi Fourier Untuk keperluan sintesa, yaitu mendapatkan kembali nilai impedansi karakteristik (Zon) berdasarkan informasi koefisien pantul total (Γi), maka persamaan (2) perlu disederhanakan lagi. Jika diasumsikan nilai ρn bersifat Simetrik, maka persamaan (2) tersebut dapat disederhanakan menjadi [1]:
2.1 Analisis NTL menggunakan pendekatan pantulan kecil Pandang kembali saluran transmisi Non Uniform (NTL) pada Gambar 2 sebelumnya. Jika keseluruhan NTL sebagaimana Gambar 2 tersebut di-segmentasi dan diasumsikan nilai impedansi karakteristiknya
34
[*i ] = [W ][i ]
*i = e −jNO{1 (e jNO+ e −jNO) + 2 (e j(N−2)O+ e −j(N−2)O) + ... + (N−1)/2 (e jO+ e −jO)} N ganjil
Karena ρn telah didefinisikan bersifat Simetrik, maka nilai ρN/2+1 hingga ρN atau ρN/2 hingga ρN dapat ditentukan berdasarkan sifat kesimetrikan . 3. Menentukan persamaan batas berdasarkan ratio antara impedansi beban ZL dengan impedansi sumber Zs. Persamaan batas ini didapatkan dengan membuat nilai θ = 0 dan Z *(0) = L Zs , sehingga matrik pada persamaan (7) dan persamaan (8) berubah menjadi
= 2e −jNO{1 cos(N)O+ 2 cos(N − 2 )O+ ... } + (N−1)/2 cos O
N ganjil
*i = e −jNO{1 (e jNO+ e −jNO) + 2 (e j(N−2)O+ e −j(N−2)O) + ... + N/2 e jHN/2 } N genap
= 2e −jNO{1 cos(N)O+ 2 cos(N − 2 )O+ ... + 1 N/2 } 2
Z
0.5 log ZsL * (f 2 ) . . . * (f (N−1)/2 )
N genap
Persamaan (4) dan persamaan (5) pada dasarnya adalah sebuah deret Fourier untuk Cosinus dengan panjang ekspansi N [6]. Jika terdapat saluran Non Uniform (NTL) sepanjang d dan ingin digunakan untuk menyepadankan (matching) beban ZL dengan impedansi sumber Zs sebagaimana Gambar 2, maka langkah yang perlu dilakukan adalah: 1. Membagi NTL sepanjang d tersebut atas N bagian sehingga didapatkan Δz sebesar:
=
1 1 cos NO cos(N − 2 )O 2 2 . . . . . . cos NO (N−1)/2 cos(N − 2 )O (N−1)/2 Z
'z = d N
2.
0.5 log ZsL * (f 2 ) . . . * (f (N)/2 )
(6)
Banyaknya pembagian ini berkaitan langsung dengan panjang ekspansi Fourier yang digunakan sebagaimana uraian sebelumnya Berdasarkan persamaan (4) atau persamaan (5), maka nilai koefisien pantul tiap segmen (ρn) dapat ditentukan apabila nilai koefisien pantul total (Γ) dan nilai θ telah ditentukan. Dalam bentuk matrik, (N-1)/2 atau N/2 buah persamaan tersebut dapat dituliskan sebagai berikut: *(f 1 ) * (f 2 ) . . . * (f (N−1)/2 )
=
cos NO cos(N − 2 )O 1 1 cos NO cos(N − 2 )O 2 2 . . . . . . cos NO (N−1)/2 cos(N − 2 )O (N−1)/2
=
cos NO cos(N − 2 )O 1 1 cos NO cos(N − 2 )O 2 2 . . . . . . cos NO (N)/2 cos(N − 2 )O (N)/2
... ... ... ... ... ...
1 1 . . . 1
=
o 1 . . . (N−1)/2
... 1 cos O ... 2 ... . ... . ... . ... cos O (N−1)/2
1 1 cos NO cos(N − 2 )O 2 2 . . . . . . cos NO (N)/2 cos(N − 2 )O (N)/2
... ... ... ... ... ...
1 1 . . . 1
o 1 . x . . 1/2(N)/2
4.
... cos O 1 cos O ... 2 ... . ... . ... . ... cos O (N−1)/2
Menyelesaikan persamaan (7) atau (8) sehingga didapatkan nilai ρo sampai dengan ρN/2 atau ρ(N1)/2. Penyelesaian matrik ini secara umum dapat dituliskan sebagai:
[i ] = [W ] −1 [*i ]
5.
o 1 . x . . (N−1)/2 *(f 1 ) * (f 2 ) . . . * (f (N)/2 )
(9)
(12) Apabila keseluruhan nilai ρn telah dapat ditentukan, maka langkah berikutnya adalah menentukan nilai impedansi karakteristik untuk tiap segmen dari penyesuai impedansi tersebut (Zon).
2.3 Langkah-langkah penelitian Secara ringkas, langkah-langkah penelitian untuk menguji algoritma yang telah dipaparkan sebelumnya, dapat dijabarkan sebagai berikut: 1. Mempersiapkan model penyesuai impedansi berbasis saluran NonUniform (NTL) sebagai obyek uji dari metode yang telah dipaparkan sebelumnya
o 1 . . . 1/2(N)/2
Atau secara umum dapat pula dituliskan sebagai:
35
Model tersebut dipilih untuk dapat beroperasi pada jangka frekuensi antara 400MHz sampai dengan 900MHz dengan nilai koefisien pantul total maksimal sebesar 0.05 pada keseluruhan jangka tersebut. Karena keterbatasan kemampuan fabrikasi, maka panjang prototipe dibatasi hanya sepanjang 28 cm saja. Data-data ini kemudian digunakan sebagai masukan bagi persamaan (9) atau (10). 2. Nilai Zn yang diperoleh pada butir 1 kemudian digunakan sebagai variabel untuk menghitung koefisien total dari penyesuai yang dirancang. 3. Meng-implentasikan variasi nilai Zn pada butir 1 pada sebuah stripLine. Sebelum prototipe ini diaplikasikan pada selembar logam, maka dilakukan pengujian menggunakan perangkat lunak AWR 4. Setelah prototipe sebagaimana butir 3 terwujud, maka langkah berikutnya adalah mengadakan uji ukur di laboratorium. Hasil uji ukur dilaboratorium, hasil uji menggunakan AWR serta hasil uji menggunakan MatLab kemudian dirangkum untuk dianalisa lebih lanjut sehingga nantinya dapat ditarik suatu kesimpulan akhir.
Karena salah satu fokus dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi mengenai pengaruh panjang ekspansi Fourier terhadap kinerja (koefisien pantul pada sisi input) penyesuai yang dirancang selain akurasi dari metode yang dipaparkan, maka dalam penelitian ini dirancang 3 buah model dengan N yang berlainan, yaitu N= 7, 11 dan 15, untuk parameter frekuensi kerja, panjang fisik (d), maupun ratio transformasi yang tetap. Dengan menggunakan data-data yang telah disebutkan sebelumnya, yaitu: Panjang Sistem (d) Jumlah Segmen(N) Panjang tiap segmen Frekuensi kerja Koefisien pantul (Γι) Perbandingan ZL, Zo Impedansi input
= 0.28m (28 cm) = 15, 11 dan 7 = 1.866,2.545, 4 = 400-1300 MHz = < 0.02 = 2:1 (100:50) = 50 Ohm
maka dengan persamaan (9) atau (10) akan didapatkan prototipe yang mempunyai karakteristik sebagai berikut: * i (O ) 7 = 0.0710 cos 7O+ 0.0212 cos 5O + 0.04124 cos 3O+ 0.0421 cos O
2.4 Implementasi Model pada StripLine Untuk menguji metode yang telah dipaparkan sebelumnya, maka metode tersebut diimplementasikan sebagai penyesuai impedansi pada sebuah stripline. Penyesuai impedansi tersebut dirancang agar dapat melakukan proses transformasi impedansi dari impedansi beban (ZL) sebesar 100
(13)
* i (O ) 11 = 0.08 cos(11O ) − 0.03 cos(9O ) + 0.08 cos(7O ) − 0.023 cos(5O ) + 0.05 cos(3O ) + 0.023 cos O
(14)
* i (O ) 15 = 0.1095 cos(15O ) − 0.1276 cos(13O ) + 0.2028 cos(11O ) − 0.1853 cos(9O ) + 0.2081 cos(7O ) − 0.1416 cos(5O ) + 0.1161 cos(3O ) − 0.0086 cos O
Ohm menuju impedansi sumber (Zs) sebesar 50 Ohm (ratio 2:1). Adapun jangka frekuensi kerja dari penyesuai impedansi tersebut, direncanakan antara 400MHz hingga 1300MHz dengan sebaran nilai koefisien pantul (Γ(f)) sebagaimana Tabel 1 berikut ini.
Implementasi dari model matematis diatas pada sebuah stripline dapat ditunjukkan dengan gambar berikut:
Tabel 1: Nilai sebaran koefisien pantul No Frek.(MHz) Koef. Pantul 1 400 0.02 2
850
0.02
3
1,300
0.02
(15)
Gambar 4: Prototipe stripline dari PCB Gambar 5: StripLine yang terpasang pada kotak logam
36
3. PENGUJIAN Prototipe yang dihasilkan dari proses sebelumnya kemudian diuji untuk mendapatkan informasi mengenai tingkat akurasi dan pengaruh jumlah segmen terhadap kinerja dari sistem penyesuai
Gambar 9 :
3.1 Analisa Hasil Uji Koefisien Pantul Dalam Gambar 6, Gambar 7 dan Gambar 8 disajikan hasil uji koefisien pantul terhadap sistem penyesuai impedansi dengan jumlah segmen masing-masing adalah 7, 11 dan 15 (N = 7, 11, 15). Hasil uji tersebut meliputi hasil uji menggunakan MatLab, AWR dan uji laboratorium. Dari Gambar 6, Gambar 7 dan Gambar 8 terlihat bahwa walaupun hasil pengujian masih menunjukkan adanya deviasi kesalahan, akan tetapi ketiga metode uji tersebut masih menunjukkan trend (kecenderungan) yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa metode perencanaan sistem penyesuai impedansi yang dipaparkan mempunyai konsistensi antara ranah teori dengan ranah praktis. Deviasi kesalahan yang terjadi terutama disebabkan oleh: 1. Adanya pembatasan derajat ketelitian dari nilai koefisien pantul tiap segmen (ρn) yang dihasilkan. 2. Adanya penurunan derajat ketelitian dari nilai Zn (nilai impedansi karakteristik per-segmen) yang disebabkan oleh proses konversi nilai ρn menjadi Zn menggunakan persamaan (3). Karena persamaan tersebut adalah persamaan pendekatan, maka akan terjadi proses penurunan terhadap derajat ketelitian, ketika konversi tersebut dilaksanakan. 3. Adanya pembatasan terhadap nilai-nilai parameter fisik dari prototipe ketika disimulasikan ke dalam AWR. Dalam AWR, besaran-besaran fisik tersebut didapat dengan mengkonversi nilai Zn yang didapatkan pada butir 2. 4. Adanya ketidak-telitian dalam proses fabrikasi ketika sistem penyesuai tersebut dibangun. Ketidak-telitian tersebut antara lain adalah: ketidak-telitian pembuatan strip logam (panjang maupun lebar logam yang tidak tepat), ketidaktelitian penempatan strip logam pada kotak logam (jarak dari logam dasar) dan ketidak-tepatan nilai koefisien bahan (konduktifitas) yang digunakan. Adapun pengaruh jumlah segmen terhadap BandWidth dari penyesuai impedansi tersebut tersajikan dalam Gambar 9. Dalam gambar tersebut terlihat bahwa semakin besar jumlah segmen yang digunakan, semakin besar bidang frekuensi kerja yang
Gambar 6 : Hasil uji koefisien pantul dari penyesuai impedansi dengan N = 7
Gambar 7 :
Hasil uji koefisien pantul dari penyesuai impedansi dengan N = 11
Gambar 8:
Hasil uji koefisien pantul dari penyesuai impedansi dengan N = 15
Uji koefisien pantul untuk penyesuai impedansi dengan N = 7, 11, 15 dengan perangkat lunak AWR
37
dihasilkan oleh penyesuai Perhatikan resume berikut ini
impedansi
tersebut.
Tabel 2: Pengaruh jumlah segmen terhadap jangka frekuensi kerja dari prototipe No Jumlah Jangka frek. Lebar Jangka (GHz)
(GHz)
1
7
0.35 - 1
0.65
2
11
0.35 - 1.85
1.5
3
15
0.35 - 1.9
1.55
2.
DAFTAR REFERENSI [1] Collin, 1996. Advanched Microwave Engineering. Mc Graw Hill, New York. [2] Trakadas, C.N.C., 2001. Validation of a modified FDTD method on NonUniform Transmission Lines. PIER, 31: 311 - 329. [3] Haase, H., 2005. Full Wave Field Interactions of Nonuniform Transmission Lines, Magdeburg University, Magdeburg. [4] Urbani Fabio, F.B., Lucio Vegni, 2005. Synthesis of Filtering Structures for Microstrip Active Antennas Using Orlov's Formula. ETRI Journal, 27: 166. [5] Khalaj-Amirhosseini, M., 2006. Analysis of Periodic and Aperiodic Coupled NonUniform Transmission Lines Using The Fourier Series Expansion. PIER, 65: 15 - 26. [6] Kriezig, I., 1979. Advanched Engineering Mathematics. John Wlley & Sons, New York. [7] Khalaj-Amirhosseini, M., 2006. Analysis of Coupled or Single NonUniform Transmisson Lines using Step-By-Step Numerical Integration. PIER, 58: 187 - 198.
4. KESIMPULAN Dari hasil pemaparan secara teori, implementasi menjadi bentukan stripline dan pengujian, baik secara pengukuran dilaboratorium maupun secara simulasi menggunakan piranti lunak, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Algoritma perencanaan penyesuai impedansi menggunakan saluran NonUniform yang dipaparkan, menunjukkan pola respon yang konsisten antara respon simulasi (menggunakan perangkat lunak AWR dan MatLab) dengan respon pengukuran. 2. Deviasi kesalahan yang terjadi pada respon ukur dibandingkan dengan respon teoritik adalah sebesar 15%. Deviasi ini disebabkan oleh adanya ketidak-tepatan dalam proses pembentukan dimensi StripLine 3. Deviasi kesalahan yang terjadi pada respon simulasi prototipe (menggunakan simulator AWR) dibandingkan dengan respon teoritik adalah sebesar 4.7%. Deviasi tersebut disebabkan oleh adanya penurunan derajat ketelitian dari parameter lebar strip (W) akibat dilakukannya proses konversi dari ρn menjadi Zn, dan dari Zn menjadi parameter lebar strip. 4. Nilai lebar frekuensi kerja (BandWidth) dari penyesuai impedansi dipengaruhi oleh jumlah segmen yang digunakan. Dari pengujian yang dilakukan didapatkan kenyataan bahwa semakin besar jumlah segmen (N) yang digunakan, maka semakin lebar pula BandWidth yang dihasilkan dan karena jumlah segmen (N) berkaitan langsung dengan panjang ekspansi Fourier, maka dapat dikatakan pula bahwa semakin panjang ekspansi yang digunakan, semakin lebar pula BandWidth yang dihasilkan. 5. SARAN 1.
(matrik mendekati matrik singular). Disarankan agar ada studi lebih lanjut untuk mendapatkan rumusan tertutup dari syarat batas tersebut. Informasi mengenai pengaruh panjang ekspansi (N) terhadap kinerja penyesuai impedansi dalam penelitian ini didapatkan secara eksperimental. Disarankan ada studi lanjut untuk mendapatkan rumusan analitik mengenai panjang ekspansi ini untuk kinerja yang diinginkan.
Dalam penelitian ini saluran transmisi Non Uniform dimodelkan dengan ekspansi Fourier Cosinus. Kelemahan dari model ini adalah perlunya pengamatan yang lebih intensif pada syarat batasnya. Tanpa pengamatan ini koefisien pantul yang diperoleh akan bernilai sangat besar
38
Antena Array Electronic Switch Beam untuk Pengarahan Beam Antena pada Sistem Radar Yoko Wasis1, Bambang Edhie Sahputra1, Iswahyudi1, Yogi Koswara1, A.A Pramudita2 1
Dislitbang TNI AU STEI - ITB, Jl. Ganesha 10 Bandung 40132, Indonesia 2 Unika Atmajaya Jakarta Indonesia ABSTRAK Sistem radar konvensional menggunakan sistem mekanik untuk mengarahkan beam antena pada saat melakukan proses scanning. Pada penelitian ini diusulkan suatu metode untuk mengatur pengarahan beam antena untuk proses scanning dengan menggunakan sistem antena array dengan electronic switch beam. Metode ini diharapkan dapat menjadi suatu alternatif metode scanning yang lebih effisien. Pada paper ini dijelaskan tentang konsep metode scanning dengan antena array elektronik switch beam dan hasil kajian simulasi penerapan antena mikrostrip persegi sebagai elemen array sirkular. RF relay G6Z telah diukur dan dipilih sebagai komponen switching. Kata Kunci : scanning, array, microstrip ,RF switch
1.
untuk mendorong tercapainya kemampuan nasional dalam penguasaan perekayasaan dan pembuatan teknologi untuk pertahanan dalam rangka kemandirian, kemudian juga tercapainya peningkatan dan terpeliharanya kemampuan pertahanan aspek matra udara, khususnya Radar. Penelitian ini akan dilaksanakan diawali dengan melakukan kajian konsep-konsep operasi dan permasalahan sistem antena untuk sistem radar. Kemudian dilakukan perancangan sistem antena dan rangkaian elektronik switch yang dikendalikan dengan basis suatu mikrokontroler. Perancangan dilakukan dengan kegiatan simulasi software untuk mendapatkan suatu desain sistem array yang diharapkan. Antena disusun secara sirkular untuk mendapatkan kemampuan scanning. Pada paper ini dilaporkan hasil simulasi penerapan elemen mikrostrip persegi sebagai elemen array. Elemen antena mikrostrip dipilih karena karakterisitik pancarannya yang bersifat direksional.
PENDAHULUAN
Teknologi radar dan navigasi merupakan teknologi yang memiliki peran penting dalam bidang militer. Teknologi radar juga memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai metode pengidraan dan pencitraan pada bidang-bidang lain. Pengamanan dan pengawasan wilayah NKRI yang terdiri dari kurang lebih 17.504 pulau dengan 2/3 wilayah terdiri dari lautan memerlukan sumberdaya baik aparat ataupun peralatan yang sangat besar [1]. Sistem radar konvensional menggunakan sistem mekanik untuk mengarahkan beam antena pada saat melakukan proses scanning. Sistem mekanik tersebut memerlukan usaha yang besar dan dimensi sistem yang besar. Antena array dapat dikembangan untuk pengaturan beam antena dengan suatu mekanisme elektrik tertentu baik pengaturan distribusi arus, fasa atau dengan electronic switch. Electronic switch beam antena telah diusulkan untuk beberapa aplikasi komunikasi. Four sectoral switch beam antena telah dikaji penerapannya untuk WLAN [2]. Penggunakan array circular dengan PIN dioda sebagai komponen switching telah dikembangkan sebagai sistem smart antena untuk komunikasi ISM band [3]. Pada penelitian ini diusulkan suatu metode untuk mengatur pengarahan beam antena untuk proses scanning dengan menggunakan sistem antena array dengan electronic beam. Pengaturan beam secara elektronik ini diharapkan dapat menjadi suatu alternatif metode scanning yang lebih effisien. Tujuan dari penelitian ini adalah merancang dan membuat suatu antena array dengan sistem elektronik switch yang dapat dikendalikan dengan software untuk proses scanning pada sistem radar. Kegiatan penelitian ini
2.
DESAIN ANTENA
Setiap elemen pada array harus memiliki karakteristik radiasi yang directional, sehingga penyusunan antena secara circular dapat diterapkan untuk mencakup seluruh area scanning radar. Pada penelitian ini dipilih antena mikrostrip sebagai elemen array sirkular. Pemilihan antena mikrostrip sebagai elemen array didasarkan atas karakteristik pola radiasinya yang bersifat direksional. Alasan lainnya adalah karena bentuk antena mikrostrip yang kompak dan konformal sehingga mudah untuk disusun dengan berbagai bentuk [6]. Rangkaian elektronik switch digunakan untuk mengaktifkan setiap elemen array secara berurutan.
39
Rangkaian elektronik switch ini dikendalikan dengan mikrokontroler sehingga pemrograman mikrokontroler menjadi bagian dari kegiatan penelitian ini. Rangkaian elektronik switch akan dirancang dengan suatu komponen RF switch yang aktivasinya dikendalikan oleh suatu masukan DC.
Gambar 3: Rangkaian RF switch 0 off on
-10 -20 -30 S 21(dB) -40
Gambar 1: Pengarahan beam pada Sistem antena radar konvensional dengan sistem mekanik.
-50 -60 -70 -80
0.5
1
1.5 2 Frekuensi (GHz)
2.5
3 8
x 10
Gambar 4: Karakterisik transfer RF relay G6Z Tabel 1: Dimensi antena mikrostrip persegi
antena
h
p x l
a
b
1
elemen 1
0.8
35.57 x 18
16.1
9
1.6
36.13 x 18
15.5
9
2
elemen 2
0.8
35.48 x 35.48
14
17.74
1.6
35.2 x 35.2
14
17.6
p
Gambar 2: Ilustrasi Antena array sirkular
pacth
Rangkaian RF switch pada gambar 3, terdiri dari RF relay G6Z Omron yang diaktivkan dengan tegangan 5v dc dan memiliki rentang frekuensi hingga 3 GHz. Kemampuan RF relay telah dikaji dengan suatu kegiatan pengukuran dan hasil pengukuran ditunjukan pada gambar 4. Antena mikrostrip persegi dipilih sebagai elemen array usulan. Selain pertimbangan pola radiasi yang dimiliki, antena mikrostrip persegi lebih sederhana untuk dianalisa dan proses pembuatannya lebih mudah. Pada penelitian ini antena didesain untuk sistem radar frekuensi 2 GHz. Array usulan memiliki 36 elemen, sehingga dengan dimensi antena sekitar 3.5 cm maka diameter array sekitar 40 cm. Pada tahap ini telah dikaji dua desain antena mikrostrip persegi pada substrat FR-4 (εr=4.4) dengan tebal substrate 1.6 mm dan 0.8 mm. Pencatuan koaksial dipilih untuk mendukung struktur antena array. Dimensi kedua antena ditunjukkan pada tabel 1.
40
Feed point b a
l h
Ground plane
Gambar 5: Struktur antena mikrostrip persegi
3.
HASIL SIMULASI
Simulasi dilakukan dengan menggunakan metode momen. Hasil simulai menunjukan bahwa kedua antena mikrostrip persegi memiliki pola radiasi yang direksional. Struktur ground plane menyebabkan komponen radiasi ke belakang sisi ground plane hilang. Pola radiasi elemen 1,2 memiliki bentuk yang hampir sama seperti ditunjukan pada gambar 6. Gambar 7 menunjukkan karakteristik S11 dari setiap elemen. Nampak bahwa penggunaan substrat yang
lebih lebar akan memperlebar bandwidth antena. Elemen 1 memiliki efisiensi radiasi dan gain yang lebih rendah dibanding elemen 2. Hasil simulasi ditunjukkan pada tabel 2.
dengan pengintegrasian sistem array dengan rangkaian RF switch.
Tabel 2: Perbandingan gain dan efisiensi radiasi elemen 1 dan 2.
Elemen mikrostrip persegi dapat diterapkan sebagai elemen pada antena array sirkular usulan untuk proses scanning pada sistem radar. Antena mikrostrip persegi memiliki karakteristik pancaran yang direksional sehingga memenuhi persyaratan sebagai elemen array sirkular usulan. Proses pengukuran diperlukan untuk memverifikasi hasil simulasi. RF relay G6Z telah diuji dengan pengukuran dan dapat diterapkan sebagai komponen switching.
antena
efisiensi
gain
1
elemen 1
86%
3.98 dBi
2
elemen 2
94%
4.86 dBi 90
1
120
4.
elemen 1 elemen 2
60 0.8
KESIMPULAN
0.6 150
30 0.4
DAFTAR REFERENSI
0.2 180
0
210
[1]
Mashuri Wahab, at al, Rancang bangun Radar pengawas pantai INDRA II di PPET LIPI, Prosiding seminar Radar Nasional, Jakarta, April 2008.
[2]
F.Thudor, A Louzir, Low Cost Multi Beam Antenna for WLAN Application, Thomson Mutimedia Corporate Research,2002.
[3]
E. Palantei, Dual Frequency Plag and Play Steerable Antenna for ISM band Communication, Proseding ICEEI, ITB bandung, Juni 2007.
[4]
M.I. Skolnik, Radar handbook, 2nd edition, McGraw Hill, 1990.
[5]
G. Richard Curri, Radar System Performance Modelling, 2nd edition, Artech House,2005. David Pozar, Daniel Schaubert, “The Analysis And Design Of Microstrip Antennas and Array”, IEEE Antena and Propagation Society, IEEE PRESS 1995. Tatsuo Itoh, “Planar Antenna Arrays for Ku/Q Bands”, Department of Electrical Engineering, University of California, Los Angeles, California 90095. Final Report 2000-2001 for MICRO Project 00-041: Rockwell Science Center.
330
240
300 270
Gambar 6: Pola radiasi elemen 1 dan elemen 2.
-5
S 11(dB)
-10
-15
-20
[6]
-25
elemen 1 (h=0.8 mm) elemen 1 (h=1.6 mm) elemen 2 (h=1.6 mm) elemen 2 (h =0.8 mm)
-30
1.97
1.98
1.99 2 frekuensi (GHz)
2.01
[7]
2.02
Gambar 7: Karakteristik S11 elemen mikrostrip persegi
Dari hasil simulasi Nampak bahwa elemen 2 memiliki kelebihan pada gain dan efisiensi radiasi, sehingga elemen 2 selanjutnya dipilih sebagai elemen pada array sirkular yang diusulkan. Jika diperlukan beam yang lebih sempit untuk meningkatkan akurasi scanning maka tiap elemen dapat dikembangkan menjadi sub sistem array. Array sirkular disusun dengan sumbu susunan horizontal, sedang subsistem array dapat disusun dengan sumbu susunan vertikal. Langkah penelitian selanjutnya adalah realisasi elemen 2 dan pengukuran. Kemudian dilanjutkan
41
Antena UWB bentuk T untuk Aplikasi SFCW-GPR 1001000MHz A.Adya Pramudita1,2, A. Kurniawan1, A. Bayu Suksmono1, A.Andaya Lestari1 1
International Research Centre for Telecommunications and Radar – Indonesian Branch (IRCTR-IB) STEI - ITB, Jl. Ganesha 10 Bandung 40132, Indonesia 2 Unika Atmajaya Jakarta Indonesia
[email protected]
ABSTRAK Sistem Ground Penetrating Radar(GPR) memerlukan antena dengan karakteristik ultra wideband(UWB). Pada penelitian ini telah dikaji desain baru antena UWB dan diusulkan sebagai antena untuk aplikasiSFCWGPR 1001000MHz. Struktur antena terdiri dari strip line bentuk T dan stub persegi. Stub persegi ditambahkan dan dioptimasi untuk meningkatkan gain. Pembebanan resistif ditambahkan pada setiap ujung-ujung strip line bentuk T untuk meningkatkan bandwidth dan meningkatkan kestabilan impedansi input antena pada kondisi tanah berbeda. Studi parametrik telah dilakukan untuk menentukan dimensi yang optimum. Simulasi computer telah dilakukan dan hasilnya telah diverifikasi dengan pengukuran. Kata Kunci : GPR, Antena UWB, impedansi input
1. PENDAHULUAN Aplikasi GPR memerlukan rentang frekuensi kerja yang bersifat UWB untuk mendapatkan resolusi pendeteksian yang baik. Antena merupakan bagian yang sangat penting dalam sistem GPR. Sistem GPR memerlukan antena yang memiliki karakteristik UWB. Pada penelitian ini, antena usulan, dirancang untuk aplikasi SFCW GPR dengan rentang Frekuensi 1001000 MHz, sehingga antena yang dirancang harus bersifat UWB. Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian tentang sistem antena array dengan kemampuan pengaturan footprint. Desain antena UWB tersebut selanjutnya dikaji kembali potensinya untuk digunakan sebagai elemen pada sistem antena array usulan. Beberapa Metode peningkatan bandwidth antenna telah diteliti pada penelitian sebelumnya. Bandwidth antena dapat ditingkatkan dengan dengan menerapkan bentuk-bentuk flare. Modified printed two-tapered monopole antena diusulkan sebagai desain baru antenna UWB yang memiliki persen bandwidth 100% dan frekuensi tengah 7.2GHz [1]. Antena bow-tie dengan konduktor penutup berbentuk persegi dengan ujung terbuka, diusulkan sebagai antenna GPR [2]. Bentuk bow-tie merupakan salah satu bentuk flare yang sering diterapkan untuk menghasilkan desain antenna dengan bandwidth yang lebar. Bentuk-bentuk flare yang telah diusulkan sebelumnya semuanya diterapkan untuk daerah frekuensi di atas 1 GHz, sehingga untuk diterapkan pada frekuensi yang lebih rendah menghasilkan bandwidth yang lebih sempit. Antena monopole dengan berbagai bentuk telah dibahas penerapannya sebagai elemen UWB
42
untuk berbagai aplikasi seperti telekomunikasi, radar dan pencitraan dan aplikasi elektronik pada [3]. Multiple resonan juga telah diusulkan sebagai metode untuk mendapatkan bandwith antena yang lebar. Dengan menyusun beberapa antena narrowband maka diharapkan mendapatkan antenna yang wideband [4]. Berdasar [5] meningkatkan ketebalan subtrat untuk menaikkan bandwidth namun disertai dengan menurunnya efisiensi. Metode pembebanan terhadap antena juga telah diusulkan sebagai metode untuk meningkatkan bandwidth antena. Pembebanan dengan profile tertentu dapat memberikan karakteristik impedansi yang relatif konstan pada rentang frekuensi yang lebar. Wu-King merumuskan secara matematis terhadap suatu profil pembebanan pada antena dipole sehingga berprilaku sebagai traveling wave antena [6]. Pada sistem GPR pembebanan pada antenna dilakukan juga untuk menekan refleksi ujung sehingga dapat menekan level ringing yang terjadi. Level ringing menjadi parameter penting dalam system GPR karena akan mempengaruhi hasil pendeteksian. Kemudian berbagai profil pembebanan, seperti kombinasi resistif-kapasisif [7], profile-profile R-card dengan fungsi tertentu dikaji untuk menekan ringing level [8]. Untuk memenuhi persyaratan bandwidth antara 100 MHz sampai dengan 1000 MHz dilakukan penggabungan beberapa metode peningkatan bandwidth antena pada perancangan. Pada penelitian ini antena monopole bentuk T dengan stub persegi yang diusulkan sebagai antena untuk 100-1000MHz SFCW GPR. Antena tersebut menggabungkan bentuk monopole dengan pembebanan resistif untuk dapat memenuhi persyaratan bandwidth.
2. DESAIN ANTENA
4
Antena dicetak pada material FR-4 epoxy yang memiliki εr sekitar 4.4. Ketebalan material sekitar 0.8mm. Antena terdiri dari monopole strip dengan bentuk T dimana pada setiap lengan dari bentuk T tersebut diterminasi dengan resistor dan kaki dari bentuk T merupakan saluran pencatuan yang berbentuk mikrostrip line 50 ohm. Saluran pencatuan dihubungkan dengan konektor SMA. Panjang total lengan-lengan T merupakan seperempat panjang gelombang bersesuaian dengan frekuensi tengah pada rentang 100-1000MHz. Stub persegi ditambahkan pada monopole strip untuk mengoptimalkan pengarahan radiasi antena bersesuaian dengan orieantasi pemasangan antena saat digunakan. Penambahan stub persegi juga meningkatkan gain antena secara signifikan. Struktur antena UWB monopole bentuk T ditunjukkan pada gambar 1.
d=5mm d=3mm d=2mm
3.5
VSWR
3
2.5
2
1.5
1
1
2
3
4
5 6 frequency (Hz)
7
8
9
10 8
x 10
Gambar 2: Pengaruh ukuran d terhadap karakteristik antena
43
4 L=8mm L=12mm L=16mm
3.5
3 VSWR
Untuk mendapatkan dimensi optimum dilakukan studi parametrik terhadap g, d, L dan P. g adalah lebar dari slot persegi yang terletak pada sisi ground plane. D adalah lebar strip horisontal pada bentuk T. Sedangkan L dan P adalah ukuran dari stub persegi. Penentuan desain antena diawalai dengan menentukan panjang dari lengan-lengan strip T. Panjang lengan a ditentukan dari nilai setengah panjang gelombang dari frekuensi tengah rentang aplikasi GPR yang diacu. Lengan-lengan strip T merupakan struktur radiator utama dari antena tersebut, dimana saluran transmisi mikrostrip kaki T merupakan merupakan saluran transmisi pencatu 50 ohm. Ujungujung lengan strip T diterminasi dengan resistor 100 ohm. Kemudian untuk ketebalan strip T diatur sedemikian hingga mendapatkan koefisien refleksi yang minimum pada port input antena. Studi parametrik diawali terhadap ukuran ketebalan strip yaitu d. Hasil studi parametrik terhadap d ditunjukkan pada gambar 2. Dari gambar 2 nampak bahwa bahwa dengan memperkecil ukuran d maka nilai VSWR dapat diperkecil disertai pula dengan turunnya gain antena karena berkurangnya luasan apertur. Pengaruh ukuran d lebih signifikan pada derah frekuensi rendah dari pada frekuensi tinggi. Perubahan d dari 5mm jadi 3mm menurunkan gain maksimum sekitar 2dB sedang perubahan d dari 3mm ke 2 menurunkan gain sekitar 4dB. Jika d diturunkan lagi maka gain akan semakin turun drastis(d=1mm, gain turun sekitar 6 dB).
2.5
2
1.5
1
1
2
3
4
5 6 frequency (Hz)
7
8
9
10 8
x 10
Gambar 3: Pengaruh ukuran L terhadap karakteristik antena 4 P=70mm P=100mm P=130mm
3.5
3 VSWR
Gambar 1: Stuktur antena UWB monopole bentuk T
Untuk memperbaiki gain antena maka ditambahkan stub persegi pada strip T. Kemudian dilakukan pengaturan ukuran stub persegi tersebut sedemikian hingga mendapatkan koefisien refreksi yang optimal pada port input. Studi parametrik dilakukan dengan terhadap dimensi stub L dan P. Gambar 3 menunjukan pengaruh ukuran L terhadap karakteristik antena. Nampak bahwa dengan memperbesar nilai L akan memperbesar koefisien refleksi pada daerah frekuensi rendah dan memperkecil koefisien refleksi di daerah frekuensi tinggi. Gambar 4 menunjukan pengaruh ukuran P terhadap karakteristik antena. Nampak bahwa dengan memperbesar nilai P akan memperbesar koefisien refleksi pada daerah frekuensi rendah dan memperkecil koefisien refleksi di daerah frekuensi tinggi. Namun pengaruh P pada frekuensi tinggi lebih signifikan dari pada di daerah frekuensi rendah.
2.5
2
1.5
1
1
2
3
4
5 6 frequency (Hz)
7
8
9
10 8
x 10
Gambar 4: Pengaruh ukuran P terhadap karakteristik antena
optimum. Dimensi optimimum dicapai saat nilai L=12mm,P=100mm, d=2mm, dengan dimensi total antena adalah 60mm x 260 mm. Pengukuran dilakukan dengan Network Analyzer. Berdasarkan hasil simulasi dan pengukuran nampak bahwa antena memenuhi persyaratan untuk diterapkan pada GPR dengan rentang 100-1000MHz. Adanya perbedaan antara hasil pengukuran terhadap hasil simulasi disebabkan karena penggunaan material FR-4 yang biasanya bersifat dispersif dan homogenitas matarial yang tidak terlalu baik. Sedangkan pada simulasi hanya bisa dimodelkan dengan material yang ideal. Gambar 8 menunjukan stuktur antena yang telah difabrikasi.
5.5 g=14mm g=22mm g=30mm
5 4.5
VSWR
4 3.5 3 2.5 2 1.5 1 0.1
0.2
0.3
0.4
0.5 0.6 Frequency(GHz)
0.7
0.8
0.9
1
Gambar 5: Pengaruh ukuran g terhadap karakteristik antena
Gambar 5 menunjukkan pengaruh ukuran g terhadap karakteristik antena. Ukuran g tidak memberikan pengaruh yang signifikan pada rentang frekuensi diatas 700 MHz. Peningkatan ukuran g berdampak pada naiknya nilai VSWR pada port input antena. Gambar 6 menunjukan perbandingan gain antena pada saat ditambah stub persegi dan tanpa stub persegi. Penambahan stub dengan ukuran optimum akan meningkatkan gain antena maksimum sekitar 7 dB.
Gambar 8: Realisasi antena
Dengan karakteristik antena yang relatif konstan pada rentang 100-1000MHz maka akan memungkinkan timbulnya distorsi mininal terhadap sinyal eksitasi optimum yang diberikan. Gambar 9 menunjukkan penghitungan pulsa monocycle pada port input antena. Dengan melakukan pengukuran, dilakukan pengkajian karakteristik antena saat diletakkan sangat dekat dengan tanah. Antena diletakan diatas tanah dengan elevasi 1 cm. Pengukuran dilakukan pada tiga kondisi tanah yang berbeda permitivitasnya yaitu pasir kering, lempung dan lempung basah.
0 without stub with stub
-5 -10
Gain (dB)
-15 -20 -25 -30 -35 -40
1
2
3
4
5 6 frequency (Hz)
7
8
9
8
0.4
Gambar 6: Perbandingan gain antena saat ditambah stub dan sebelum ditambah stub. Amplitudo (V)
0.3
5 Computed Measurement
4.5
VSWR
5 ns 4 ns 3 ns 6 ns
0.5
10 x 10
0.2 0.1 0
4
-0.1
3.5
-0.2 -0.3
3
2.2
2.5
2.4
2.6
2.8
3 3.2 time(second)
3.4
3.6
3.8
4 -8
x 10
Gambar 9: Pulsa monocycle yang ditransmisikan ke antena
2 1.5 1
1
2
3
4
5 6 frequency (Hz)
7
8
9
Hasil pengukuran ditunjukkan pada gambar 10. Hasil pengukuran menunjukan bahwa kondisi tanah memberikan pengaruh yang lebih besar pada daerah 500-900MHz dimana daerah tersebut mencakup daerah frekuensi resonansi antena sehingga dampak interaksi kondisi tanah dengan antena menjadi lebih besar dibanding daerah frekuensi lainnya. Pada
10 8
x 10
Gambar 7: Perbandingan hasil simulasi dan pengukuran
Gambar 7. menunjukan perbandingan hasil simulasi dan hasil pengukuran antena dengan dimensi
44
kondisi tanah dengan permitivitas lebih rendah (pasir dan lempung kering) koefisien refleksi pada port input antena tidak terlalu signifikan terpengaruh oleh kondisi tanah. Namun pada kondisi lempung basah koefisien refleksi pada port input berubah. Terutama pada rentang 500-850 MHz . Hal ini menunjukan bahwa kondisi tanah lempung basah memberikan pengaruh yang lebih besar pada impedansi input antena. Kondisi tersebut bisa saja tidak menguntungkan saat nilai S11 menjadi semakin naik diatas -10 dB, sehingga perlu suatu metode untuk mengkompensasi pengaruh kondisi tanah sedemikian hingga kondisi matching pada port input antena dapat tetap optimal. Namun jika dilihat kembali pada hasil pengukuran pada gambar 10, nampak bahwa perbedaan nilai S11 pada ketiga kondisi tanah tersebut tidak terlalu signifikan. Hal ini membuktikan juga bahwa pembebanan resistif dapat neningkatkan kestabilan karakteristik S11 antena. Untuk menyelidiki potensi penerapan antenna monople T-shape pada antena array usulan, maka dilakukan kajian simulasi terhadap beberapa antenna T-shape dengan dimensi yang berbeda-beda. Tabel 1 menunjukan dimensi dari 5 antena T-shape yang dikaji. Gambar 11 menunjukan karakteristik S11 dari setiap antena T-shape pada Tabel 1. Hasil tersebut menunjukan bahwa antena T-hsape sangat potensial untuk diterapkan sebagai elemen penyusun pada antena array usulan. Sejumlah antena T-shape dengan dimensi yang berbeda-beda masih memenuhi persyaratan bandwidth dari 100MHz sampai 1000MHz. Hasil simulasi menunjukan bahwa variasi dimensi antena yang dapat dilakukan maksimum adalah 8. Gambar 12 menunjukan perbandingan bentuk gelombgan yang ditransmisikan antena UWB bentuk T dengan strip dipole
0
-5
S11(dB)
-10
a 260mm 240mm 200mm 170mm 140
B 30mm 30mm 30mm 30mm 30mm
d 2mm 2mm 2mm 2mm 2mm
G 30mm 30mm 30mm 30mm 30mm
L 12mm 12mm 12mm 12mm 12mm
-15
-20
-25
-30 0.1
0.2
0.3
0.4
0.5 0.6 Frequency (GHz)
0.7
0.8
0.9
1
Gambar 11: Karakteristik antena pada beberapa jenis tanah -3
x 10
Elemen 1 Elemen 2 Elemen 3 Elemen 4 Strip dipole
2.5 2 1.5
E(t) (v/m)
1 0.5 0 -0.5 -1 -1.5 -2 5
5.2
5.4
5.6 time (second)
5.8
6
6.2 -8
x 10
Gambar 12: Gelombang yang ditransmisikan masing masing elemen T-shape pada kedalaman 10 cm pada medium pasir kering.
Dari perbandingan bentuk gelombang yang ditransmisikan, nampak bahwa antena bentuk T memiliki karakteristik UWB. Dilihat dari karakterisitik VSWR Nampak bahwa antena tersebut memenuhi persyataran bandwidth aplikasi SFCW yang diacu. Antena UWB bentuk T dapat dapat digunakan sebagai elemen pada sistem antena array yang diusulkan sebagai sistem antena yang memiliki kemampuan untuk pengaturan footprint. Antena tersebut kemudian akan dikaji lebih jauh potensinya sebagai sistem array untuk pengaturan footprint.
Tabel 1: Dimensi dari setiap antena T-shape uji. Elemen 1 2 3 4 5
Elemen -1 Elemen -2 Elemen -3 Elemen -4 Elemen -5
P 120mm 100mm 90mm 80mm 60mm
0 pasir kering lempung basah lempung kering
3. KESIMPULAN
-5
Pada penelitian ini telah dikaji secara numeric dan pengukuran laboratorium antena UWB bentuk T. Hasil simulasi dan pengukuran menunjukan bahwa antena tersebut memiliki karakteristik UWB dan memenuhi persyaratan bandwidth sistem SFCW GPR 100-1000MHz. Penerapan pembebanan resistif memberikan stabilitas impedansi input pada beberapa kondisi tanah yang berbeda. Antena UWB bentuk T ini potensial diterapkan sebagai elemen pada sistem antena array yang diusulkan sebagai suatu sistem antena dengan kemampuan pengaturan footprint.
11
S (dB)
-10
-15
-20
-25
1
2
3
4
5 6 Frekuensi (Hz)
7
8
9
10 8
x 10
Gambar 10: Karakteristik antena saat diletakkan diatas beberapa jenis tanah dengan elevasi 1cm.
45
DAFTAR REFERENSI [1]
[2]
[3]
[4]
[5]
[6]
[7]
[8]
R. Zaker, Ch. Ghobadi, and J. Nourinia, A modified microstrip-fed two tapered monopole antenna for UWB and WLAN Application, Progress In Electromagnetics Research, PIER 77, 137–148, 2007. G. E. Atteia and A. A. Shaalan, Wideband Partially-covered Bowtie Antenna For GPR, Progress In Electromagnetics Research, PIER 71, 211–226, 2007. B. Allen, Mischa Dohler, Ernest E okon, UltraWideband Antenna and propagation for communication, radar and imaging, John Willey and Sons, 2007. Magnus Karlsson, Shaofang Gong, “ Wideband Patch Antena Array For Multiband UWB”, Dept technology and Natural Science ITN, Linkkoping University , Sweden 2003. David Pozar, Daniel Schaubert, “The Analysis And Design Of Microstrip Antennas and Array”, IEEE Antena and Propagation Society, IEEE PRESS 1995. T.T. Wu, R.W.P. King, “The cylindrical antenna with nonreflecting resistive loading”, IEEE Trans.Antennas Propagation., vol. AP-13, pp. 369-373, May 1965. A.A. Lestari, A.G Yarovoy, L.P Linghart, “ RC loaded bow-tie antenna for improved pulse radiation”, IEEE Transaction on Antenna and Propagation, 52,2555-63, 2004. Kwan-Ho Lee, Chi Chin Chen, Fernando L, “ Modeling And Investigation For a Geometrically Complex UWB GPR Antena Using FDTD”, IEEE Transactions On Antennas And Propagation, Vol.52, No.8, August 2004
46
Sistem Trigger Pada Radar Maritim INDERA Oktanto Dedi Winarko1, A. Andaya Lestari2,3 1
Radar Communication Systems (RCS) Segitiga Emas Business Park, Unit No. 4 & 5 Jalan Prof. Dr. Satrio, Kav. 6 Jakarta 12940, Indonesia Phone: +62-21-57951132 Fax: +62-21-57951128, Email :
[email protected] 2 International Research Centre for Telecommunications and Radar – Indonesian Branch STEI – ITB, Jalan Ganesha 10 Bandung, Indonesia, Email :
[email protected] 3 International Research Centre for Telecommunications and Radar – TU Delft Mekelweg 4 2628 CD Delft, The Netherlands HU
U
U
ABSTRAK Dalam suatu radar FMCW, sistem trigger merupakan komponen yang berfungsi sebagai penginisialisasian sweep sinyal dan indikator kapan proses pengambilan sampel sinyal yang diterima radar dimulai pada (Analog to Digital Converter) ADC. Oleh karena itu, Direct Digital Synthesizer (DDS) maupun ADC harus ditrigger secara bersamaan atau diberi masukan trigger yang sama. ADC Handyscope-4 yang dipergunakan pada INDERA tidak memiliki masukkan trigger dari luar sehingga proses sinkronisasi antara sinyal yang dikirimkan dengan sinyal yang diterima oleh radar harus menggunakan pemrosesan tambahan. Pemrosesan tambahan tersebut adalah menggunakan salah satu dari kanal masukan sebagai masukan trigger dan kemudian melakukan pemrosesan penentuan trigger. Dengan demikian, terjadi sinkronisasi antara sinyal yang dikirimkan DDS dengan proses pengambilan data pada ADC. Kata Kunci : Radar, ADC, INDERA, triggering, HS4 1.
pemrosesan trigger, pengkorvesian data dan yang paling penting adalah pemrosesan sinyal untuk menentukan target. Pemrosesan tersebut dilakukan pada suatu personal computer (PC) tersendiri dengan kemampuan yang cukup tinggi.
PENDAHULUAN
INDERA atau Indonesia Radar adalah radar pertama buatan Indonesia yang memanfaatkan teknologi Frequency Modulated Continuous Wave (FMCW). Radar maritim INDERA dibangun dengan kemampuan mendeteksi dan mengukur jarak suatu kapal dilautan dengan menggunakan daya pancar yang sangat rendah. Karena daya pancar yang sangat rendah INDERA dapat dioperasikan dimana saja dan tidak akan mengganggu perangkat – perangkat lain disekitarnya. Pada tanggal 24 Oktober 2008, untuk pertama kalinya INDERA diujicobakan di pantai Cilegon, Banten. Ujicoba ini disaksikan juga oleh dinas Litbang TNI-AL. Dalam penampilan perdananya, INDERA mengukuhkan eksistensinya sebagai radar maritim. Hal ini dibuktikan dengan kemampuannya mendeteksi dan mengukur jarak sebuah kapal yang berlayar di laut dengan akurat. Prinsip kerja radar adalah dengan memancarkan gelombang elektromagnetik melaui suatu transmiter, yang kemudian akan dihamburkan oleh objek-objek yang dikenainya seperti daratan, laut, pesawat atau kapal. Sebagian kecil energi yang dihamburkan tersebut akan diterima kembali oleh receiver radar, yang biasanya, tapi tidak selalu, terletak berdekatan dengan transmitter. Setelah dikuatkan di receiver, sinyal diproses untuk mereduksi clutter yang merupakan echo yang tidak diinginkan dengan mengombinasikan pemrosesan sinyal secara elektronik dan software computer (data processing) [1]. Pemrosesan sinyal secara komputer dilakukan setelah sinyal yang diterima didigitalisasi. Pemrosesan tersebut meliputi sinkronisasi data,
2.
DASAR TEORI
Ketika menyampel sinyal masukkan, penyampelan selalu dilakukan dengan interval yang tetap. Pada setiap interval sampel, dilakukan kuantisasi dari sinyal masukkan yang kemudian diubah menjadi suatu nomor. Tingkat akurasi dari penomeran tersebut tergantung dari resolusi perangkat, semakin tinggi resolusi, semakin kecil pembagian level tegangan yang diberikan oleh perangkat kepada sinyal masukan. Jumlah sampling yang diambil setiap detik disebut sebagai frekuensi sampling. Semakin tinggi frekuensi sampling, maka semakin rendah jarak sampling yang satu dengan sampling yang lainnya. Dengan frekuensi sampling yang lebih tinggi, maka sinyal masukan dapat direkonstruksi lebih bagus. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat sesuai dengan gambar 1. Frekuensi sampling harus lebih besar dua kali dari frekuensi input maksimum, ketentuan ini disebut sebagai laju nyquist. Secara teoritis, rekonstruksi dapat dilakukan apabila setiap perioda sinyal memiliki dua lebih sampel. Pada kenyataannya, jumlah sampling yang lebih tinggi pada kisaran sepuluh kali lebih pada setiap perioda akan menghasilkan sinyal yang jauh lebih bagus. Record Length adalah jumlah sampling yang diambil pada durasi pengukuran dan frekuensi sampling yang
47
telah ditentukan. Dengan meningkatkan jumlah record length, maka waktu pengukuran juga akan meningkat. Pada gambar 2 dan 3, dapat dilihat dua hasil pengukuran satu dengan panjang pengukuran 12 sampel dan satunya dengan 24 sampel. Total durasi pengukuran dapat ditentukan sesuai dengan persamaan 1.
Trigger INDERA berasal dari dielectric resonance oscillator (DRO) yang merupakan jantung dari radar INDERA yang diturunkan frekuensinya menjadi 1.567 kHz. Sinyal tersebut dipergunakan sebagai trigger masukkan untuk direct digital synthesizer (DDS) dan analog to digital converter (ADC). INDERA menggunakan ADC HandyScope 4 (HS4), salah satu produk dari Tiepie Engineering yang secara umum dipergunakan sebagai oscilloscope. HS4 memiliki empat kanal masukan dengan kecepatan sampling 25 MSPS. Kanal pertama dipergunakan sebagai masukan beat signal yaitu selisih antara sinyal yang dipancarkan dan yang diterima oleh radar. Kanal kedua dipergunakan sebagai input trigger yang bertujuan untuk menentukan awal sweep sinyal. Perangkat ADC ini tidak memiliki external trigger, sehingga awal dari sweep sinyal yang dipancarkan dengan awal pengumpulan sinyal sampling tidak selalu bersamaan. Dengan demikian, sampel sinyal yang diperoleh oleh ADC tidak diketahui secara pasti letak dari awal sweep sinyal. Oleh sebab itu, kanal kedua dipergunakan sebagai penentuan trigger. Blok diagram trigger sistem INDERA dapat dilihat pada gambar 4. Pada blok diagram gambar 4, terlihat bahwa clock dari DRO yang telah diturunkan menjadi 205.33 MHz dipergunakan untuk memberikan clock masukan pada DDS AD9956. AD9956 mempunyai pin untuk keluaran clock sinkronisasi (Sync_out). Sinyal keluaran dari pin tersebut, kemudian diturunkan menjadi 1.567 kHz. Sinyal inilah yang kemudian dipergunakan untuk memberikan trigger pada perangkat INDERA. Software untuk sistem trigger, ADC serta program – program untuk low access hardware lainnya pada INDERA dikembangkan menggunakan bahasa pemrogaman C. Bahasa C merupakan bahasa pemrograman yang memiliki tingkat kehandalan yang cukup tinggi.
Gambar 1: Perbandingan jumlah sampling
Gambar 2: Record Length 12
4.
INDERA I menggunakan HandyScope-4 sebagai perangkat ADC. HandyScope-4 (HS4) merupakan salah satu jenis ADC dari Tiepie Engineering yang memiliki kecepatan sampling sebesar 25 MSPS dengan masukan sebanyak 4 kanal. Product ini mampu untuk melakukan streaming pada semua kanalnya dengan kecepatan sustained througput sebesar 2.5 MSPS. Hal tersebut bisa tercapai dengan ketentuan bahwa dia menggunakan driver yang baru dan menggunakan software Multi Channel (MC). Akibat dari hal tersebut, maka salah satu cara adalah mengembangkan program MC yang diberikan oleh TiePie. Pengembangan program MC merupakan proses awal penggunaan ADC HS4. Proses pengembangan program multichannel bisa dilihat pada blok diagram yang terdapat pada Gambar 5. Writter.dll yang merupakan perantara antara
Gambar 3: Record Length 24
Td = Rl / Fs
(1)
Dimana : Td = Total durasi pengukuran (detik) Rl = Panjang pengukuran (Sampel) Fs = Frekuensi Sampel 3.
SISTEM ADC
BLOK DIAGRAM SISTEM TRIGGER INDERA
48
software multi channel dengan software prossesing telah dikembangkan. Writter.dll berisikan rutin – rutin yang bertugas untuk menyimpan data hasil sampling (ukuran besarnya data yang akan disimpan oleh dll ini sesuai dengan settingan ukuran data collector pada multi channel) menuju ke media file yang dikehendaki. Karena proses penyimpanan ini berjalan dengan sangat cepat, maka data disimpan ke dalam RAM disc dan dalam format binary file. Gambar 6:Beat Signal
Proses pengembangan kedua menggunakan aplikasi yang terlepas dari program MC. Pengembangan aplikasi tersebut menggunakan library yang telah disediakan oleh TiePie untuk mengakses driver HS4. Mode pengumpulan data sampling menggunakan mode blok. Berikut merupakan hasil uji performansi HandyScope-4 dengan parameter blok buffer sebesar 1024 sampling, dan frekuensi sampling 2.5 MSPS : (a) Host dengan USB controller 1.0 Sample 1 = 92.27 milli secs Sample 2 = 46.04 milli secs Gambar 4: Blok Diagram System Trigger INDERA
Sample 3 = 47.29 milli secs Sample 4 = 42.30 milli secs Sample 5 = 42.56 milli secs Sample 6 = 45.30 milli secs (b) Host dengan USB controller 2.0 Sample 1 = 41.98 milli secs Sample 2 = 6.80 milli secs Sample 3 = 7.29 milli secs Sample 4 = 7.29 milli secs Sample 5 = 6.27 milli secs Sample 6 = 7.35 milli secs 5. SISTEM TRIGGER INDERA PADA ADC Pada sub bab ini akan dibahas lebih dalam mengenai sistem trigger pada INDERA. Sinyal masukan trigger memiliki frekuensi 1.567 KHz, sinyal masukan tersebut dipergunakan sebagai input trigger pada DDS. Dengan demikian, frekuensi sweep sinyal yang dipancarkan oleh radar INDERA I memiliki frekuensi sebesar 1.567 Khz. Periode sweep sinyal yang dipancarkan dapat dihitung sesuai dengan persamaan 2. (2) T =1 f
Gambar 5: Blok Diagram Pengembangan Program Multichannel
Proses penggunaan ADC HS4 untuk aplikasi INDERA dengan menggunakan MC kurang memenuhi kriteria real time pada INDERA. Waktu yang dibutuhkan ADC pada host yang memiliki usb controller 2.0 untuk tiap pengambilan sample selama satu sweep radar membutuhkan waktu 15 ms.
dimana : T = Periode sweep sinyal (S) f = Frekuensi sweep sinyal (Hz) dengan menggunakan persamaan 2, dapat ditentukan
49
nilai dari perioda sweep sinyal adalah sebesar 0.638 mS. INDERA menggunakan frekuensi sampling sebesar 2.5 MSPS. Besar frekuensi sampling diambil sesuai dengan persamaan laju nyquist yaitu besar frekuensi sampling harus lebih besar sama dengan dua kali dari frekuensi maksimum input sinyal. Maksimum frekuensi dari beat sinyal adalah 1 MHz. Dengan menggunakan persamaan 1, maka diperoleh jumlah sampling setiap sweep kurang lebih 1595 sampling. Trigger processing adalah suatu metode untuk mengatasi kekurangan ADC HS4 yang tidak dapat ditrigger dari luar. Metode yang dipergunakan untuk mendeteksi trigger pada INDERA ada dua macam yaitu dengan metode pendeteksian frekuensi dan dengan metode pendeteksian rising edge. Metode pendeteksian frekuensi menggunakan masukan yang berasal dari keluaran DDS yang telah diturunkan frekuensinya menjadi dibawah 1 MHz. Dengan demikian hasil sampling yang diterima dari kanal dua (frekuensi sweep sampling) diolah dalam tiap – tiap blok untuk kemudian dideteksi frekuensi dari sinyal input. Apabila dideteksi frekuensi yang dikehendaki maka, kolom array dari data tersebut dikirimkan pada header data kanal beat frekuensi. Besarnya kebutuhan pengambilan tiap – tiap blok tergantung dari besarnya panjang gelombang dari sinyal yang dideteksi.
Z o = Sn +1 /( Sn +1 + Sn )
Z1 = Sn / (Sn
- Sn +1 )
(3) (4)
ii. Lower cycle Pada lower cycle, Z0 terjadi ketika Sn > Sn+1 dan Z1 terjadi ketika Sn+1 > Sn . Untuk menghitung besarnya nilai Z0 dan Z1 dapat dilakukan dengan menggunakan persamaan 5 dan 6. Z 0 = Sn +1 /( Sn − Sn +1 ) Z 1 = S n /( S n +1 − S n )
(5) (6)
Perbedaan kedua metode tersebut diatas terdapat pada proses penentuan zero crossing dan perhitungan besarnya nilai Z0 dan Z1. Untuk menentukan besarnya frekuensi dari sinyal masukkan dapat menggunakan persamaan 7. Fs (7) F= 2( Z 0 + Iterasi + Z 1 )
Dimana : Iterasi = Jumlah iterasi (Zo – Z1) Metode pendeteksian rising edge dipergunakan untuk input trigger yang memiliki bentuk sinyal pulsa. Metode ini lebih bersifat adaptif, dan lebih cepat karena hanya terdapat dua proses perhitungan saja yaitu proses perhitungan rata – rata amplitudo sinyal input dan pencarian titik crossing rising edge pada hasil sampel. Proses perhitungan rata – rata amplitudo sinyal input hanya sebagai inisialisasi, hal ini bertujuan untuk selalu menyesuaikan perubahan nilai rata – rata tegangan ketika radar dinyalakan.
Gambar 7: Upper and Lower Cycle
Metode pendeteksian frekuensi dibagi menjadi dua macam yaitu : i. Upper cycle Kita asumsikan bahwa Zero crossing awal adalah Z0 dan Zero Crossing kedua adalah Z1. Z0 terjadi ketika Sn+1 > Sn dan Z1 terjadi ketika Sn > Sn+1. Hal tersebut menjadi kriteria untuk mendeteksi zero crossing awal dan zero crossing kedua. Untuk menghitung besarnya nilai Z0 dan Z1 dapat dilakukan sesuai dengan persamaan 3 dan 4.
Gambar 8: Blok Diagram Deteksi Trigger dengan Rising Edge
50
6. 1.
2. 3. 4.
KESIMPULAN
C merupakan bahasa pemrogaman yang memiliki tingkat kehandalan yang cukup tinggi dalam pemrosesan data dan pengaksesan hardware. Sistem Trigger INDERA berasal dari DRO yang merupakan jantung dari INDERA. INDERA menggunakan HS4 sebagai ADC. Metode Trigger ADC dengan pendeteksian rising edge lebih efektif jika dibandingkan dengan metode pendeteksian frekuensi.
DAFTAR REFERENSI 1.
2.
3.
4. 5.
Kingsley, Simon, Quegan, Shaun, “Understanding Radar System,” 2001, Standard Publisers Distributors, Delhi Maritime Safety Information Center at the National Imagery and Mapping Agency. “Radar Navigation and Maneuvering Board Manual Seventh Edition 2001,”2001, National Imagery and Mapping Agency, Maryland. Kester, Walt, “ANALOG-DIGITAL CONVERSION”, 2004, ADI Central Aplications Department, USA. http://rcs.solusi247.com/indra_mx1.html http://www.tiepie.com/uk/classroom/Measur ement_basics/Digital_Data_Acquisition.htm l HU
U
HU
U
51
Penelitian-Penelitian Radar dan Pendukungnya di LIPI Masbah R.T. Siregar 1) 1) Pusat Penelitian Fisika Komplek Puspiptek Serpong, Jl. Raya Serpong, Tanggerang - Indonesia Tlp. 021-7560089, Fax. 021-7560554, Email:
[email protected] ABSTRAK Dalam makalah ini dilakukan pemaparan tentang berbagai kegiatan penelitian di LIPI terutama di kedeputian Bidang IPT. Kegiatan-kegiatan yang menunjang penelitian dan pengembangan dibidang Radar serta unit-unit kerja yang berkaitan dijelaskan dengan rinci. Pengalaman-pengalaman dibidang litbang Radar dimasa lalu dan juga pengembangan Radar yang sedang dilakukan di LIPI juga dipaparkan dalam makalah ini. Kata Kunci: penelitian, pengembangan, Radar, LIPI, pengalaman, bidang IPT 1.
mendukung untuk mewujudkan satu produk sistem Radar yang dapat digunakan untuk memantau/mengawasi wilayah NKRI. Dalam makalah ini, kegiatan-kegiatan penelitian dibidang kedeputian ilmu pengetahuan teknik (IPT) termasuk yang terkait dengan Radar serta pengalamanpengalaman dibidang Radar akan dipaparkan. Kegiatan pengembangan Radar yang saat ini sedang berjalan juga dijelaskan. Semoga paparan makalah ini dapat menjelaskan kontribusi LIPI ke masyarakat dan pemerintah.
PENDAHULUAN
Teknologi transportasi berperan penting untuk kemajuan suatu bangsa karena memberikan kemudahan pada semua warga negara dalam melakukan aktivitasnya untuk berpartisipasi dalam pembangunan. Dengan berkembangnya perekonomian Indonesia, maka semakin banyak intensitas pemakaian sarana transportasi seperti pesawat dan kapal laut. Akan tetapi, beberapa kecelakaan transportasi terakhir yang terjadi di Indonesia untuk transportasi udara dan kapal laut menunjukkan bahwa pemantauan dan pengawasan terhadap lintasan pesawat atau kapal ke tempat tujuannya membutuhkan peralatan yang dapat berfungsi secara akurat.
Secara struktural, organisasi kedeputian IPT dapat digambarkan sebagai berikut:
Sehubungan dengan permasalahan diatas, pada saat ini aparat yang berwenang banyak menggunakan peralatan Radar untuk melakukan pemantauan dan pengawasan. Sebagian besar Radar yang dimiliki kurang berfungsi akurat karena kondisi Radar yang dimiliki sudah ketinggalan jaman dan berusia tua, jumlah dan kemampuannya terbatas serta pemeliharaannya yang tidak kontinu. Pada beberapa kecelakaan pesawat (termasuk peristiwa kecelakaan Adam Air pada tahun 2006), Indonesia terpaksa meminta bantuan negara tetangga untuk melacak keberadaan pesawatpesawat yang hilang karena negara-negara tetangga memiliki Radar yang jauh lebih baik dari Indonesia sehingga dapat mengawasi/melihat sampai jauh ke dalam wilayah Indonesia.
Gambar 1: Struktur organisasi Kedeputian bidang IPTLIPI.
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) selaku lembaga pemerintah non departemen berkewajiban membantu pemerintah dalam melakukan pelayanannya kepada masyarakat dan mempertahankan/melindungi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Oleh karena itu, LIPI telah melakukan banyak penelitian yang hasilnya dapat digunakan untuk membantu pemerintah dan masyarakat. Pada saat ini banyak kegiatan-kegiatan penelitian yang dapat di-integrasikan dan saling
2.PENELITIAN-PENELITIAN DIBIDANG IPT Dalam seksi ini dijelaskan beberapa hasil penelitian dikedeputian bidang IPT LIPI yang terkait dengan bidang telekomunikasi, pembangkitan energi terbarukan, robotik, transportasi, sensor dan sarana laboratorium pendukung. Hasil-hasil penelitian ini dinyatakan dalam gambar-gambar berikut ini.
52
Remote Unit
Komponen Elektronika
P2ET-
Modul TV/ Telepon
P2ET-
Specification:
z
Pemancar TV Multi Kanal
P2ET-LIPI UPT Sinyal dan Navigasi-
Antena Aktif
P2ET-LIPI UPT Sinyal dan Navigasi-
Sistem Pemancar, Relay TV &
P2ET-LIPI P2Telimek-
Central Unit
z z
(Bangka, Belu, Rotendau, Kaltim)
Frequency Band: VHF : 157 – 162 MHz UHF : 330 – 370 MHz, 390 – 512 MHz
Modulation: Digital GFSK Audio Frequency Band: 300 – 3400 Hz
Gambar 6: Hasil penelitian telepon radio pedesaan.
Gambar 2: Penelitian sistem relay TV dan komponenkomponennya.
Passive Antenna at 2.4 and 5.8 Active Antenna at 12 GHz
GPR Adaptive Antenna
Gambar 3: Penelitian antena mikrostrip untuk telekomunikasi.
Gambar 7 : Pembuatan komponen hybrid.
Antena Grid
Penumbuhan Kristal (PPF-LIPI)
Pembuatan Wafer (PPF-LIPI) Fabrikasi Sel Surya (P2ET-LIPI) Teknologi Kapsulisasi Panel Sel Surya (P.T. LEN)
Antena Parabola
Karakterisasi Sistem, Pengkajian dan Penerapan (BPPT)
Gambar 8: Pembuatan sel-surya.
Gambar 4: Antena mekanik untuk telekomunikasi.
Polymer Electrolyte Membrane (P2F)
Gambar 9: Pembuatan fuel-cell sebagai pembangkit energi.
Gambar 5: Hasil penelitian devais optik.
53
P2M Characterisation Kit Test Pres. 0,5-3 kgf/cm2 BATAN dan P2F
Grafit Bipolar
Stack Cassing
Konsorsium Fuel Cell Indonesia (BPPT, BATAN, LIPI, Universitas)
P2F
Stack DMFC
Sepeda
Demo Fuel Cell
Gambar 14: Pengujian antena.
BPPT, BATAN, LIPI,
Gambar 10: Skema alur penelitian fuel-cell.
Gambar 15: Sarana pengetesan antena.
ISO 17025 Certified Magnetic Material Testing Lab.
Gambar 11: Pembuatan robot penjinak bom.
Magnetic Component
wisata Body: Raw material, cat, dll
city car smart car linen (baverage) patroli polisi visitor dokter mobilisasi pasien
P2F - LIPI dan P2K – LIPI
Battery / Fuel Cell
P2F - LIPI
Engine
P2Telimek, P2M dan UPT-BPML-LIPI
Control
P2 Telimek - LIPI dan P2ET – LIPI
Electronic
P2 Telimek - LIPI dan P2ET - LIPI
Pengujian, Pengkajian & Penerapan
BPPT, POLRI, Dep. Perhubungan & LIPI
Gambar 16: Laboratorium uji magnet. 3. PENGALAMAN DIBIDANG RADAR Dalam seksi ini, dipaparkan pengalaman unit-unit kerja di Kedeputian IPT-LIPI dibidang Radar. Kegiatan-kegiatan masa lalu dibidang Radar yang pernah dilakukan adalah: z Perbaikan Radar Rusia P30 (1988-1989). z Pembuatan komponen Phase Shifter untuk Radar udara (tahun 1993). z Perbaikan Simulator pesawat tempur A-4 (tahun 1995). z Pembuatan komponen Voltage Controlled Oscillator (VCO) dan Phase Shifter untuk Radar pesawat tempur (tahun 1998) bekerjasama dengan. z Perbaikan Radar Receiver pesawat tempur F-16 (2001). z Perbaikan Radar pesawat tempur F-5 (tahun 2006). Penelitian Radar dilakukan untuk melakukan rekondisi Radar early
golf
Gambar 12: Penelitian mobil listrik.
Ch
Micro-Gas t h
Miniaturised Flow Injection Analysis (FIA) System for water quality monitoring Channel track 50 mm wide, 4 m long
Thermal Conductivity Detector
Micro Pump Sensor Temperatur dan Conductivity
Gambar 13: Penelitian sensor.
54
z
z
warning (peringatan dini) buatan Rusia termasuk membuat perangkat interface (antar muka) ke Display yang sudah menggunakan teknologi Digital. Membuat transmitter S-Band Early Warning Radar (EWR) dengan daya menengah (25 kW) untuk mendeteksi obyek diudara (air surveillance). Membuat transmitter X-band untuk Radar navigasi Kapal dengan daya rendah 1.8 kW.
pencurian pasir laut, penyelundupan BBM, penyelundupan kayu illegal dan pencurian kekayaan laut termasuk ikan (sumber: Kompas, 11 September 2003). Kerjasama penelitian dan pengembangan untuk Radar pengawas pantai (coastal surveillance Radar) ini dilakukan bekerja sama dengan IRCTRTU Delft sejak tahun 2006. Satu sistem lengkap Radar pengawas pantai ini akan dibangun sepenuhnya di LIPI dan diharapkan sudah dapat beroperasi pada tahun 2009.
z Pembuatan Synchro to Digital Converter dari P30X ke Display Thomson
M/E Conv P30X
Gambar 19: Prototip Radar pengawas pantai. Synchro to Digital Converter R-16
Gambar 17: Contoh kegiatan perbaikan Radar yang pernah dilakukan.
Prototipe Receiver Module
Gambar 20: Sistem antena Radar dengan dudukan motor.
Prototipe Radar Transmitter
Gambar 18: Contoh pembuatan prototip Radar.
4.KEGIATAN LITBANG RADAR PENGAWAS PANTAI Saat ini sedang dilakukan kegiatan penelitian dan pengembangan Radar pengawas pantai. Latar belakang dari litbang ini adalah: Wilayah Indonesia terdiri dari lebih 17 ribu pulau dan 2/3 diantaranya berupa lautan. Berdasarkan konvensi Hukum Laut PBB tahun 1982, jumlah luas perairan +/- 8,5 juta km persegi. Jarak dari Sabang di NAD ke Jayapura di Papua +/- 3 ribu mil laut (5.556 km). Jumlah Kapal TNI-AL 117 buah dan 77 kapal diantaranya berusia 21-60 tahun. Perbandingan jumlah kapal terhadap luas wilayah perairan: 1:72 ribu km persegi. Dibutuhkan sekitar 350 kapal patroli untuk seluruh wilayah perairan (Sumber: Dephan 2005). Sedikitnya Indonesia sudah mengalami kerugian sekitar 188 trilyun rupiah karena
Gambar 21: Modul antena yang digunakan.
5.KETERPADUAN KEGIATAN-KEGIATAN DIBIDANG IPT UNTUK PENGEMBANGAN RADAR Keterpaduan pada pengembangan sistem Radar dengan menggunakan potensi semua unit kerja yang relevan di Kedeputian IPT-LIPI dapat digambarkan pada gambar 22. Skema ini menyatakan bahwa banyak unit kerja yang dapat berkontribusi dalam pengembangan Radar.
55
Sistem Radar
Pengembang an dan Aplikasi Teori:
Kompone n (aktif dan pasif)
Antena, Propagasi, Teknik Modulasi, Teknik Frekuensi Radio, Rangkaian frekuensi tinggi dan
Contoh: komponen hybrid, Mixer dan
PPET
Perangkat Lunak:
Mekatronika dan Kontrol
Sumber Daya Energi
Kalibrasi
Contoh: Pengolaha n Sinyal dan Citra (image)
Contoh: menara antena, pengendalian gerakan antenna
Contoh: Solar Cell, Fuel Cell
P2KIM
PPET
Masalah ekonom i, sosial dan politik
PPET – P2F
P2Telimek
PPET –
Gambar 22: Skema pengembangan sistem Radar di Kedeputian Bidang IPT.
6.
PENUTUP
Telah disampaikan hasil-hasil penelitian di lingkungan Kedeputian Bidang IPT-LIPI. Pengalaman dibidang Radar dimasa lalu menjadi landasan bagi Kedeputian IPT-LIPI dalam pengembangan Radar. Saat ini sedang dilakukan pengembangan Radar Pengawas Pantai dengan bekerjasama dengan Institusi diluar negeri (IRCTR TU-Delft). Telah dipaparkan juga skema keterpaduan dalam pengembangan sistem Radar dengan menggunakan semua potensi unit-unit kerja di lingkungan Kedeputian IPT-LIPI. Diharapkan makalah ini dapat menjelaskan kontribusi dan hasil penelitian di LIPI ke masyarakat dan pemerintah.
56
Karakterisasi Penggunaan Garis Kurva pada Lengan seri 3 dB Hybrid Coupler Microstrip Pita Lebar Y.K. Ningsih 1),2),3)
1)
, F.Y. Zulkifli 2), E.T. Rahardjo 3), A.A. Lestari
4)
Antenna propagation and Microwave Research Group (AMRG) Center for Information and Communication Engineering Research (CICER) Department of Electrical Engineering, University of Indonesia Kampus Baru UI Depok, West Java,16424, Indonesia 2) 3) E-mail: 1)
[email protected],
[email protected],
[email protected] 4)
International Research Centre for Telecommunication and Radar – Indonesion Branch (IRCTR-IB) STEI-ITB, Jln. Ganesha 10 Bandung 40132, Indonesia 4) E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Pemilihan substrat menjadi hal yang perlu diperhitungkan dalam mendisain perangkat yang menggunakan bahan mikrostrip. Penggunaan substrat dengan ketebalan (h) > 1 dan dengan konstanta dielektrik (εr) yang kurang dari 2,2 pada 3 dB hybrid coupler untuk aplikasi frekuensi tingg,i ternyata perlu dilakukan kompromi dan modifikasi agar diperoleh kinerja yang diharapkan. Makalah ini memaparkan karakterisasi modifikasi 3 dB hybrid coupler yang bekerja pada frekuensi X band. Modifikasi dilakukan dengan menggunakan impedansi multisection pada lengan seri dimana nilai impedansinya tidak linear tetapi membentuk garis kurva. Garis kurva tersebut merupakan fungsi eksponensial. Berdasarkan hasil simulasi pada 3 dB hybrid coupler yang telah dimodifikasi, diperoleh hasil rata-rata ketidakseimbangan daya yang terbagi pada kedua port output sebesar 0,4 dB dan kesalahan fasa sebesar 2°, sedangkan nilai koefisien refleksi dan koefisien isolasi yang diperoleh adalah kurang dari -15 dB, dengan lebar pita yang diperoleh sebesar 1,2 GHz yang termasuk sebagai katagori pita lebar. Kata kunci : 3 dB microstrip hybrid coupler, pita lebar, faktor kopling , faktor isolasi , faktor refleksi
1. PENDAHULUAN Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia yang terletak di Asia Tenggara, melintang di khatulistiwa antara benua Asia dan Australia serta antara Samudra Pasifik dan Samudra Hindia, mempunyai panjang garis pantai sebesar 81.000 km yang merupakan negara berpantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada. Kondisi ini merupakan potensi yang dapat memberikan sumber devisa yang besar bagi Negara, namun tentunya memerlukan pengamanan di sepanjang wilayah perairan laut Kepulauan Indonesia untuk menjaga kedaulatan dan kekayaan alam Negara Indonesia. Luasnya wilayah perairan Indonesia menyulitkan pengawasan secara langsung bila tidak didukung dengan peralatan teknologi tinggi yang dapat mendeteksi benda-benda (objek) dari jarak jauh di sepanjang perairan Indonesia. Alat yang dapat mendukung hal tersebut adalah radar (radio detection and ranging).
Radar yang digunakan untuk pengawasan wilayah perairan dapat berupa radar yang dapat mendeteksi kapal (marine/ship radar) dan radar untuk pengawasan daerah pantai (coastal surveillance radar) [1]. Radar marine atau ship radar harus memiliki beberapa kriteria sehingga mempunyai kemampuan mendeteksi objek pada jangkauan yang cukup panjang dengan akurasi yang tinggi dan dapat mendeteksi objek yang berkecepatan rendah maupun yang tinggi sesuai dengan spesifikasi yang ditentukan Saat ini kebutuhan radar mengarah pada radar yang memiliki multi fungsi dengan kemampuan menghasilkan banyak beam. Hal tersebut diantaranya dapat mengurangi frame waktu (Tf) yang dibutuhkan untuk pengamatan area yang diobservasi [1] karena dengan semakin banyak jumlah beam maka frame waktu yang dibutuhkan semakin kecil. Rotman Lens, Blass Matrix dan Butler Matrix adalah jaringan pencatu yang dapat menghasilkan banyak beam yang digunakan pada Radio Frequency (RF). Kelebihan Butler Matriks dibandingkan dengan Rotman Lens dan Blass Matriks adalah karena jumlah hybrid coupler yang lebih sedikit. Hybrid coupler merupakan salah satu perangkat yang ada pada ketiga jaringan pencatu tersebut. Hybrid
57
coupler pada dasarnya adalah suatu perangkat pasif empat port yang memiliki 4 buah lengan yang simetris untuk dapat menghasilkan sinyal output yang berbeda fasa 90º. Normal hybrid coupler menggunakan saluran transmisi ¼ λ [2]. Pemilihan substrat menjadi hal yang perlu diperhitungkan dalam merancang mikrostrip khususnya untuk mendapatkan karakteristik pita lebar. Hal tersebut dikarenakan dengan penggunaan substrat yang tebal dengan konstanta dielektrik yang rendah akan dapat menurunkan faktor kualitas (Q) sehingga lebar pita dapat ditingkatkan. Selain itu pemilihan material substrat secara tidak langsung juga dapat mempengaruhi dimensi. Banyak penelitian telah dilakukan untuk menurunkan dimensi normal hybrid coupler [35]. Pada penelitian [3] telah berhasil mengurangi ukuran dengan cara mensubsitusikan 2 buah stub yang diletakkan miring secara diagonal,sebuah induktor dan sebuah kapasitor. Dengan cara ini telah berhasil menurunkan dimensi sebesar 27%, namun dengan cara tersebut menyebabkan fabrikasinya menjadi tidak mudah. Sedangkan pada penelitian [4][5] berhasil menurunkan dimensi namun dalam kondisi pita sempit. Penelitian yang bertujuan untuk meningkatkan lebar pita diantaranya dilakukan pada penelitian [6]. Pada penelitian tersebut hybrid coupler dibuat dengan struktur tandem N section. Dengan cara demikian berhasil mendapatkan pita lebar sebesar 1,9 GHz pada frekuensi 3,6 GHz 5,5 GHz namun disainnya menjadi kompleks. Dari hasil penelusuran literatur [3-8], material substrat yang digunakan pada penelitian-penelitian tersebut adalah yang memiliki ketebalan (h) kurang dari 1 mm dengan konstanta dielektrik (εr) lebih besar dari 2,2. Makalah ini membahas proses karakterisasi hasil modifikasi 3 dB hybrid coupler untuk penggunaan substrat yang memiliki ketebalan 1,57 mm dengan konstanta dielektrik sebesar 2,2. Dasar pemilihan substrat ini karena memenuhi persyaratan untuk aplikasi frekuensi tinggi. Bagian lengan seri dari 3 dB hybrid coupler membentuk garis kurva. Kondisi ini merupakan hasil modifikasi dari 3 dB hybrid coupler yang normal. Dengan desain tersebut diharapkan dapat diperoleh 3 dB hybrid coupler yang memiliki karakteristik pita lebar dengan disain yang lebih sederhana dan dimensi yang lebih kecil untuk aplikasi di frekuensi X band. 2. PERANCANGAN 3dB HYBRID COUPLER Rancangan dasar 3 dB hybrid coupler yang normal ditunjukkan pada Gambar 1. Saluran input pada hybrid coupler terbagi menjadi lengan seri dan lengan shunt. Jarak antar lengan
sejauh ¼ λ dimana saluran inputnya memiliki karakteristik impedansi sebesar Z0 Ω, sedangkan impedansi pada lengan seri sebesar Z0 / 2 Ω dan impedansi pada lengan shunt sebesar Z0 Ω.
Z0 2
Z0 2
Gambar 1: Normal 3 dB Hybrid Coupler [2]
Lebar saluran mikrostrip (W) tergantung dari impedansi karakteristik (Z0), ketebalan (h) dan konstanta dielektrik (εr) dari substrat yang digunakan. Adapun rumus untuk menghitung lebar saluran mikrostrip diberikan oleh persamaan di bawah ini [2]. W=
ε r −1 ⎡ 2h ⎪⎧ 0, 61 ⎤ ⎪⎫ ⎨ B − 1 − ln(2 B − 1) + ⎬ ⎢ln( B − 1) + 0,39 − π ⎩⎪ 2ε r ⎣ ε r ⎥⎦ ⎭⎪
(1)
Dengan εr adalah konstanta dielektrik relatif dan : B=
60π 2 Z0 ε r
(2)
Berdasarkan Gambar 1 dan persamaan (1)(2) maka lebar saluran masing-masing lengan untuk hybrid coupler dapat dihitung. Pada lengan shunt dari 3 dB hybrid coupler yang normal memiliki nilai impedansi masukan Zo = 50 Ω, maka lebar salurannya adalah sebesar 5 mm dan lengan seri yang memiliki nilai impedansi Zo/√2 = 35 Ω maka lebar salurannya akan sebesar 8 mm. Dengan hasil tersebut berarti lebar saluran pada lengan seri sama besar dengan jarak antar lengan seri, dimana jarak ¼ λ untuk 9,4 GHz adalah sebesar 8 mm. Sehingga kedua lengan seri menjadi berhimpitan untuk mendapatkan jarak ¼ λ. Dengan kondisi demikian, kinerja yang dihasilkan tidak sesuai dengan yang diharapkan. Agar dapat diperoleh kinerja yang baik maka perlu dilakukan modifikasi dengan mengurangi lebar saluran pada lengan seri dari hybrid coupler normal. Pengurangan lebar saluran pada lengan seri berarti memperbesar nilai impedansi pada lengan tersebut. Dalam melakukan proses karakterisasi, hal yang menjadi dasar pertimbangan dalam penentuan besarnya nilai impedansi pada lengan seri adalah dengan tetap menjaga jarak antar lengan sebesar ¼ λ. Selain itu juga diasumsikan semua lengan memiliki karakteristik impedansi yang sama besar dengan karakteristik impedansi pada input yaitu sebesar Zo = 50 Ω. Dengan kedua kondisi awal tersebut maka dilakukan proses optimalisasi nilai impedansi pada lengan seri untuk mendapatkan hasil yang sesuai dengan kinerja yang diharapkan.
58
Terdapat 3 parameter yang digunakan untuk melakukan analisis karakterisasi hybrid coupler yaitu faktor isolasi, faktor refleksi dan faktor kopling [1]. Bila port 1 dan port 2 merupakan port input serta port 3 dan port 4 merupakan port output, maka faktor isolasi adalah parameter yang diukur antara kedua port input (S12, S21) dan antara kedua port output (S32,S23). Faktor Refleksi diukur dengan parameter S11,S22,S33,S44. Sedangkan faktor kopling diukur dengan parameter S13,S14. Hasil simulasi nilai koefisien dari faktor kopling harus memiliki magnitude yang sama besar dengan beda fasa 90º. Ketiga faktor tersebutlah yang menjadi ukuran kinerja 3 dB hybrid coupler. 3. KARAKTERISASI 3 dB HYBRID COUPLER DENGAN GEOMETRI GARIS KURVA PADA LENGAN SERI Karakterisasi dilakukan untuk mendapatkan rancangan modifikasi 3 dB hybrid coupler optimal. Proses karakterisasi dilakukan melalui simulasi dengan menggunakan metode momen untuk memperoleh kinerja 3 dB hybrid coupler yang diharapkan berdasarkan parameter faktor isolasi, faktor refleksi dan faktor kopling. Dalam proses karakterisasi dilakukan optimalisasi terhadap 5 nilai impedansi pada lengan seri dengan jarak antar lengannya dijaga tetap sebesar ¼ λ. Kondisi ideal faktor kopling adalah memiliki magnitude yang ekivalen sama besar karena secara struktur bentuknya simetri, dengan beda fasa antara output port sebesar 90°. Kondisi magnitude yang tidak sama antar kedua port disebut dengan kondisi ketidakseimbangan daya sedangkan kondisi beda fasa antar port yang tidak 90°disebut dengan kesalahan fasa. Tabel 1 menunjukkan hasil simulasi untuk kelima nilai impedansi pada lengan seri terhadap kinerja 3 dB hybrid coupler. Tabel 2 menunjukkan kondisi ketidakseimbangan daya dan kesalahan fasa yang terjadi untuk beberapa nilai impedansi pada lengan seri. Berdasarkan Tabel 2 terlihat bahwa saat nilai impedansi lengan seri sebesar 50 Ω, kesalahan fasa yang terjadi cukup besar yaitu 6,5°, selanjutnya menurun pada 3 nilai impedansi lainnya (50,6 Ω, 52,5 Ω dan 54,5 Ω ) dan kembali meningkat saat nilai impedansi sebesar 56,7 Ω. Hal ini menunjukkan apabila jarak antar lengan seri tidak lagi ¼ λ maka akan mempengaruhi beda fasa antar kedua port keluaran. Faktor refleksi yang terendah saat impedansi lengan seri sebesar 50,6 Ω dimana hasilnya mencapai -25.45 dB dengan faktor isolasi mencapai -17,26 dB. Dengan demikian nilai impedansi sebesar 50,6 Ω yang dipilih karena memiliki kinerja
optimal. Berdasarkan persamaan (1) dengan nilai impedansi 50,6 Ω maka lebar salurannya adalah sebesar 4,75 mm. Dengan lebar tersebut menghasilkan jarak antar lengan seri mendekati ¼ λ. Hasil rancangan dari modifikasi 3 dB hybrid coupler yang memiliki kinerja yang optimal ditunjukkan pada Gambar 2. Bentuk geometri tersebut sama dan simetri sehingga port manapun yang digunakan sebagai port masukan dan port keluaran akan menghasilkan kinerja yang sama. Tabel 1: Pengaruh Nilai Impedansi Lengan Seri
Impe- Faktor Faktor Faktor Kopling dansi Refleksi Isolasi lengan S13 S13 S14 S14 S11 S12 seri (dB) (°) (dB) (°) (dB) (dB) (Ω) 50
-20,33
-13,74
-3,4
164,4
-3,8
80,97
50,6
-25,45
-17,26
-2,8
155,7
-4,0
67,8
52,5
-22,51
-17,45
-2,8
155,5
-4,0
67,73
54,5
-20,7
-17,46
-2,8
155,4
-4,0
67,72
56,7
-19,3
-17,47
-2,9
155,2
-3,8
67,71
Tabel 2: Rata-rata ketidakseimbangan daya dan kesalahan fasa yang terjadi terhadap kondisi ideal impedansi lengan seri (Ω)
unbalance (dB)
φ error (°)
50
0,6
6,5
50,6
0,6
2,1
52,5
0,6
2,2
54,5
0,6
2,3
56,7
0,45
2,5
Gambar 2: Bentuk Geometri 3 dB Hybrid Coupler tanpa Garis Kurva
Berdasarkan [9] salah satu cara untuk memperbaiki kondisi matching yang lebih baik adalah dengan menggunakan impedansi multisection. Maka selanjutnya dilakukan optimalisasi kembali dengan penggunaan impedansi multisection pada lengan seri 3 dB hybrid coupler yang dimodifikasi. Dengan demikian nilai impedansi pada lengan seri tidak linear tetapi membentuk garis kurva. Garis kurva tersebut merupakan fungsi eksponensial. Tabel 3 dan Tabel 4
59
menunjukkan perbandingan kinerja geometri tanpa dan dengan garis kurva.
antara
bentuk geometri garis kurva pada lengan seri, faktor isolasinya menjadi -19,28 dB untuk frekuensi kerja di 9,4 GHz. Gambar 4 menunjukkan hasil keseluruhan dari nilai koefisien isolasi.
Tabel 3: Perbandingan Kinerja Berdasarkan perbedaan Geometri Lengan Seri pada fr= 9,4 GHz
S11 (dB) TanpaKurva Dengan Kurva
-18
Fak- Faktor tor Refle Isolas ksi i
S12 S13 (dB) (dB)
-25,45 -17,26 -21,4
Faktor Kopling
-19,28
S14 S14 (dB) (°)
S13 (°)
-2,8 155,7 -3,2 159,3
-4,1 -3,6
unbalance (dB)
φ error (°)
Tanpa curve
0,6
2,1
Garis curve
0,4
2
-22 DB(|S(2,1)|) hybrid coupler garis kurva DB(|S(1,2)|) hybrid coupler garis kurva port 2 DB(|S(4,3)|) Hybrid coupler garis kurva port 3 DB(|S(3,4)|) Hybrid coupler garis kurva port 4
-26 9
71,3
Gambar 3 merupakan hasil akhir dari rancangan baru 3 dB hybrid coupler dimana pada lengan serinya menggunakan impedansi multisection sehingga membentuk geometri garis kurva.
9.4 GHz -19.26 dB
-20
-24
67,8
Tabel 4: Perbandingan Rata-rata Ketidakseimbangan daya dan fasa berdasarkan geometri lengan seri Geometri lengan seri (Ω)
Magnitude (dB)
Geometri lenegan seri
-16
9.2
9.4
9.6
Frequency (GHz)
Gambar 4: Hasil simulasi Faktor Isolasi Hybrid Coupler dengan Garis Kurva pada Lengan Seri
4.2. Faktor Refleksi Parameter S11, S22, S33, S44 adalah parameter untuk mengetahui faktor refleksi. Pada Tabel 3 terjadi penurunan nilai faktor refleksi sebesar 4 dB pada rancangan 3 dB hybrid coupler dengan geometri garis kurva. Nilai return loss atau nilai refleksi yang diperoleh pada frekuensi kerja 9,4 GHz sebesar 21,4 dB seperti terlihat pada Gambar 5. Namun kondisi tersebut masih dalam nilai toleransi yang diinginkan yaitu < -20 dB dan masih cukup baik bila digunakan standar RL sebesar -10 dB, artinya daya yang dipantulkan masih cukup kecil -20
Magnitude (dB)
-20.5 -21 -21.5
9.4 GHz -21.402 dB
-22 DB(|S(1,1)|) hybrid coupler garis kurva DB(|S(2,2)|) hybrid coupler garis kurva port 2
-22.5
DB(|S(3,3)|) Hybrid coupler garis kurva port 3 DB(|S(4,4)|) Hybrid coupler garis kurva port 4
-23 9
9.2
9.4
9.6
Frequency (GHz)
Gambar 5: Hasil simulasi Faktor Refleksi Hybrid Coupler dengan Garis Kurva pada Lengan Seri
Gambar 3: Bentuk Geometri 3 dB Hybrid Coupler dengan Garis Kurva pada Lengan Seri
4. HASIL DAN ANALISIS 4.1. Faktor Isolasi Guna mengetahui kondisi isolasi antara port input maka dilakukan simulasi S12, S21,S34 dan S43. Berdasarkan Tabel 3, faktor isolasi pada hybrid coupler dengan geometri pada lengan seri berbentuk garis kurva dapat meningkat 2 dB dibandingkan dengan hybrid coupler tanpa kurva. Hal tersebut menunjukkan bahwa dengan
4.3. Faktor Kopling Salah satu hal yang penting saat merancang 3 dB hybrid coupler adalah kemampuannya membagi daya yang sama dengan beda fasa sebesar 90° antara port output yang saling terkopel. Dari Tabel 3 dapat dilihat hasil simulasi S13 dan S14 pada frekuensi 9,4 GHz, magnitude pada port yang saling terkopel yaitu pada S13 sebesar -3,2 dB dan pada S14 sebesar -3,6 dB sehingga dengan kondisi demikian berarti rata-rata ketidakseimbangan daya yang terbagi antara kedua port
60
tersebut sebesar -3.4 dB dari yang seharusnya 3dB. Sedangkan beda fasa yang dihasilkan antara keduanya sebesar 88° yang berarti terjadi error fasa sebesar 2°. Dari Gambar 6-7 terlihat nilai koefisien faktor kopling pada keempat port sama besar, hal ini mencerminkan bahwa geometri 3 dB hybrid coupler sama dan simetri.
Tabel 5 memperlihat perbandingan dimensi ketiga kondisi dari hybrid coupler tersebut. Tabel 5: Perbandingan Dimensi
-3.2 -3.3
9.4 GHz -3.2389 dB
M a g n itu d e (d B )
-3.4
Parameter
Normal
Tanpa curve
Dengan Curve
Lebar lengan seri
8 mm
4,75 mm
4,75 mm
Luas Bidang tembaga
384 mm2
278,5 mm2
277 mm2
9.4 GHz -3.6321 dB
-3.5 -3.6 -3.7 -3.8
DB(|S(3,1)|) hybrid coupler garis kurva
DB(|S(1,3)|) Hybrid coupler garis kurva port 3
DB(|S(4,1)|) hybrid coupler garis kurva
DB(|S(2,3)|) Hybrid coupler garis kurva port 3
DB(|S(3,2)|) DB(|S(1,4)|) hybrid coupler garis kurva port 2 Hybrid coupler garis kurva port 4
-3.9
DB(|S(4,2)|) DB(|S(2,4)|) hybrid coupler garis kurva port 2 Hybrid coupler garis kurva port 4
-4 9
9.2
9.4
9.6
Begitu juga dengan lebar pita, pada beberapa aplikasi dibutuhkan pita lebar. Pada rancangan ini berhasil diperoleh lebar pita sebesar 1,3 GHz atau sekitar 14,28 % dari frekuensi kerja di 8,5 GHz – 9,8 GHz seperti ditunjukkan pada Gambar 8, dimana digunakan standar VSWR sebesar 2 dan dengan mempertimbangkan daya yang terbagi mendekati – 3 dB serta perbedaan fasa pada port output sebesar 90° dan RL sebesar -10 dB.
Frequency (GHz)
Gambar 6: Hasil simulasi Faktor Kopling – Respon Magnitude pada Hybrid Coupler dengan Garis Kurva pada Lengan Seri
VSWR
3
DB(VSWR(1)) DB(VSWR(1)) hybrid coupler port 1 hybrid coupler port 3 DB(VSWR(1)) DB(VSWR(1)) hybrid coupler port 2 hybrid coupler port 4
200 2.5
P h a s e (d e g re e )
8.5631 GHz 2 dB
150
100
Ang(S(4,2)) (Deg) hybrid coupler garis kurva port 2
Ang(S(2,3)) (Deg) Hybrid coupler garis kurva port 3
Ang(S(3,1)) (Deg) hybrid coupler garis kurva
Ang(S(1,3)) (Deg) Hybrid coupler garis kurva port 3
Ang(S(4,1)) (Deg) hybrid coupler garis kurva
Ang(S(1,4)) (Deg) Hybrid coupler garis kurva port 4
Ang(S(3,2)) (Deg) hybrid coupler garis kurva port 2
Ang(S(2,4)) (Deg) Hybrid coupler garis kurva port 4
8.8 GHz 1.721 dB
9.2 GHz 1.594 dB
9.4 GHz 1.662 dB
9.8421 GHz 9.6 GHz 2 dB 1.792 dB
2
9.3988 GHz 159.3 Deg
9.4 GHz 71.28 Deg
1.5 8.2
8.7
9.2 Frequency (GHz)
9.7
10
Gambar 8: Lebar Pita Hybrid Coupler dengan Garis Kurva pada Lengan Seri
50 9
9.1
9.2 9.3 Frequency (GHz)
9.4
9.5
Gambar 7: Hasil simulasi Faktor Kopling – Respon Fasa pada Hybrid Coupler dengan Garis Kurva pada Lengan Seri
4.4. Perbandingan Dimensi dan Lebar Pita Hal yang penting pada suatu rancangan adalah ukuran, karena diharapkan suatu komponen harus memiliki ukuran seminimal mungkin, sehingga bila diintegrasikan dengan komponen lain secara keseluruhan menjadi lebih kompak. Pada rancangan 3 dB hybrid coupler dengan garis kurva ini berhasil dilakukan reduksi dimensi karena lebar saluran pada lengan seri yang dirancang memiliki ukuran yang lebih kecil dari standar/normal 3 dB hybrid coupler. Dengan digunakannya geometri garis kurva pada lengan seri dari rancangan 3 dB hybrid coupler membuat dimensinya semakin kecil.
5. KESIMPULAN Pada penelitian ini telah berhasil dirancang disain baru 3 dB hybrid coupler pita lebar dengan lebar pita yang diperoleh sebesar 1,3 GHz (14,28%) yang termasuk sebagai katagori pita lebar. Dengan menggunakan impedansi multisection yang membentuk garis kurva pada bagian lengan serinya diperoleh ketidakseimbangan daya yang terbagi pada kedua port output sebesar 0,4 dB dan kesalahan fasa sebesar 2o. Di samping itu, nilai koefisien refleksi dan nilai koefisien isolasi yang diperoleh kurang dari -15 dB. DAFTAR REFERENSI [1] W-D. Wirth, Radar Techniques Using Array Antennas, IEE, 2001
61
[2] Pozar,D.M.,1998, Microwave Engineering, New York, John Wiley&Sons,2nd ed. [3] Shamsinejad S., M. Soleimani,and N. Komjani, 2008, Novel Enhanched and Miniaturized 90° Coupler for 3G EH Mixer, Progress In Electromagnetics Research Letters, Vol. 3,43-50. [4] Sun, K.O., S.J. Ho., C.C.Yen and D.V.D. Weide, 2005, A Compact Branch Line Coupler Using Discontinuous Microstrip Lines”, IEEE Microwave and Wireless Component Letters, Vo. 15, No. 8,August. [5] Liao,S.S., P.T.Sun, N.C.Chin, and J.T.Peng, 2005, A Novel Compact Size Branch Line Coupler, IEEE Microwave and Wireless Component Letters, Vo. 15, No. 9, September [6] Cho, Jeong Hoon, Hee Yong Hwang and Sang Won Yun, 2005, A Design Of Wideband 3 Db Coupler With N Section Microstrip Tandem Structure, IEEE Microwave and Wireless Components Letters, Vol. 15, No.2, February [7] WR Li,CY Chu,et al, 2004, Switched Beam Antenna Based On Modified Butler Matrix With Low Side Lobe Level, Electronics Letters 4th, Vol. 40 No. 5 ,March. [8] Denidni ,Tayeb A.,and Taro Eric Libar, 2003, Wideband Four Port Butler Matrix for Switched Multibeam Antenna Array, the 14th IEEE International Symposium on Personal,Indoor and Mobile Radio Communication Proceedings
[9] Collin,R.E,1992,Foundation for Microwave Engineering,2-nd Edition,Mc Graw Hill International Edition,pp 347-348.
62
Optimasi Pemodelan ARIMA dengan Efek Deteksi Outlier pada Data Curah Hujan di Surabaya Achmad Mauludiyanto(1), Gamantyo Hendrantoro(1), Mauridhi Hery P.(1), Suhartono(2) (1)
Jurusan Teknik Elektro, FTI Jurusan Statistik, FMIPA Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya Email : {maulud,gamantyo}@ee.its.ac.id (2)
ABSTRAK Tujuan dari makalah ini adalah untuk memberikan hasil kajian optimasi pemodelan ARIMA dengan efek deteksi outlier pada data curah hujan di Surabaya. Proses pemodelan dilakukan dengan menggunakan program SAS. Tahap awal dari pemodelan ARIMA adalah identifikasi stasioneritas data, baik dalam mean dan varians, dan identifikasi bentuk ACF dan PACF dari data yang sudah stasioner untuk menentukan orde model ARIMA dugaan. Tahapan selanjutnya adalah estimasi parameter dengan metode MLE (Maximum Likehood Estimation) dan evaluasi signifikansi parameter melalui uji statistik t. Jika hasil uji t pada suatu parameter menunjukkan nilai p-value yang lebih kecil dari 0,05 (level signifikansi pengujian) maka parameter tersebut adalah signifikan dan perlu dipertahankan dalam model ARIMA. Sebaliknya, jika hasil uji t menunjukkan bahwa parameter tidak signifikan maka dilakukan eliminasi parameter atau orde dari model ARIMA dugaan.Tahap terakhir adalah cek diagnosa untuk mengetahui kesesuaian model dan deteksi outlier. Hasil lengkap tentang proses deteksi outlier dan jenis outlier menunjukkan bahwa terdapat 4 outlier pada data yang sangat mempengaruhi akurasi prediksi. Secara umum hasil kajian menunjukkan proses deteksi outlier secara iteratif dan otomatis pada suatu model ARIMA menghasilkan nilai MSE (Mean Square Error) yang lebih kecil dibanding dengan metode yang tidak coba-coba, yaitu penurunan nilai MSE sebesar 44%. Sebagai rekomendasi dari pemodelan ARIMA pada data curah hujan atau pada data time series lainnya sebaiknya digunakan metode deteksi outlier secara otomatis agar mendapatkan MSE yang maksimal. Kata kunci : model ARIMA, deteksi outlier, MLE, MSE. ditunjukkan dengan kurva CCDF (Compliment Cummulative Distribution Function) dari ditribusi lognormal, dan kurva dari fungsi autokorelasi ternormalisasi. Namun model AR ini hanya baik untuk rainrate kurang dari 20 mm/h, seperti ditunjukkan oleh kurva CCDF durasi curah hujan melampaui threshold kurang dari 40 mm/h. Sedangkan untuk threshold melebihi 40 mm/h model AR sangat jauh dari data ukur di Barcelona. Model ARMA [2,3] hanya dapat digunakan untuk data deret waktu yang stasioner, sehingga tidak dapat memodelkan data curah hujan yang tidak stasioner. Karena itu maka diperlukan suatu langkah sehingga data tak stasioner menjadi stasioner yang terdapat pada model ARIMA yaitu proses differencing data. Model ARIMA [4] sudak dapat memodelkan data tak stasioner, namun model ini belum menunjukkan uji statistik yang diperlukan untuk melihat suatu model sudah signifikan. Oleh karenanya pada makalah ini akan ditunjukkan langkah-langkah yang diperlukan untuk model ARIMA dari data curah hujan 1 even, sekaligus akan ditunjukkan uji statistik yang diperlukan. Prosedur Box-Jenkins yang terdiri dari tahap identifikasi, estimasi parameter, dan cek diagnosa merupakan prosedur standar yang banyak
1. PEDAHULUAN Curah hujan merupakan faktor utama yang mempengaruhi redaman hujan pada gelombang milimeter. Gelombang milimeter adalah gelombang radio yang bekerja diatas frekuensi 10 GHz. Nilai redaman hujan adalah sebanding dengan redaman spesifik dikalikan panjang link, sedangkan redaman spesifik sebanding dengan curah hujan. Jika diasumsikan panjang link 1 km maka besar redaman hujan akan bergantung pada curah hujan untuk frekuensi tertentu. Karena itu perlu ditinjau bagaimana model curah hujan yang terjadi setiap saat. Dengan mengetahui model curah hujan, maka dapat ditentukan model redaman hujan. Pemodelan curah hujan sudah banyak dilakukan dalam beberapa penelitian, antara lain dengan model AR(Autorgressive) [1], model ARMA (Autoregressive Moving Average) [2,3] dan model ARIMA (Autoregressive Integrated Moving Average) [4]. Keluarga model ARMA hanya berlaku khusus pada data stasioner dan tidak berlaku pada data non-stasioner. Sedangkan model ARIMA adalah model yang dapat digunakan untuk data yang tidak stasioner dalam mean. Pada model AR pada [1] sudah cukup baik dibandingkan dengan data di Barcelona seperti
63
digunakan dalam pemodelan ARIMA. Tahap identifikasi berkaitan dengan evaluasi stasioneritas data dan identifikasi bentuk ACF (Autocorrelation Function) dan PACF (Partial Autocorrelation Function) dari data yang sudah stasioner. Inferensi transformasi Box-Cox adalah salah satu uji yang dapat digunakan untuk mengevaluasi stasioneritas data dalam varians. Nilai λ=1 pada hasil transformasi Box-Cox menunjukkan data sudah stasioner dalam varians. Bentuk ACF dan PACF dari data yang sudah stasioner digunakan untuk mendapatkan dugaan orde model ARIMA. Tahap selanjutnya adalah estimasi parameter model ARIMA dugaan. Pada tahap ini dilakukan evaluasi signifikansi parameter yang telah diestimasi melalui uji statistik t. Parameter model adalah signifikan jika p-value dari uji t kurang dari level signifikansi pengujian (misal 0,05). Tahap cek diagnosa dilakukan untuk mengetahui kesesuaian model ARIMA yang telah diperoleh. Beberapa uji yang digunakan pada tahap ini adalah uji LjungBox untuk evaluasi apakah residual sudah memenuhi syarat white noise dan uji KolmogorovSmirnov untuk mengetahui normalitas data [5]. Penelitian ini akan menggunakan software SAS dalam pemodelan ARIMA dan deteksi outlier [6]. Pemodelan ARIMA mencakup tiga tahapan utama, yaitu identifikasi, estimasi, dan cek diagnosa. Tahapan selanjutnya yang diuraikan dalam makalah ini adalah cara mendeteksi outlier dan implikasinya terhadap akurasi ketepatan model. Secara umum, tujuan penulisan makalah ini adalah mendapatkan suatu model curah hujan yang tepat dan handal. Ukuran ketepatan model ditunjukkan dengan kriteria atau besaran statistik yang biasa digunakan dalam analisa statistik terhadap persoalan pengukuran di lapangan, seperti hasil ukur curah hujan.
Tahap selanjutnya adalah identifikasi, estimasi dan cek diagnosa model ARIMA, serta deteksi outlier. Pada tahap identifikasi menunjukkan data hasil transformasi log-natural belum stasioner dalam mean, sehingga perlu dilakukan differencing. Hasil differencing d=1 menunjukkan bahwa data telah stasioner. Model dugaan yang diperoleh pada tahap ini adalah AR(2), sehingga secara lengkap model yang diduga adalah ARIMA(2,1,0).
Gambar 1: Alur model dengan efek outlier
2. METODOLOGI Sumber data yang digunakan untuk pemodelan mengacu pada makalah [7]. Untuk pemodelan digunakan data curah hujan yang terjadi pada 1 Maret 2007. Model yang akan digunakan seperti flowchart pada makalah [8]. Pada metode ini langkah-langkah perbaikan sistem dilakukan dengan manual (satu persatu memasukkan efek outlier dengan cobacoba) sehingga MSE menurun. Seperti pada [8], pada tahap awal dilakukan transformasi log-natural pada data asli untuk memenuhi stasioner data dalam varians. Selanjutnya dilakukan differencing pada data transformasi agar memenuhi data yang stasioner dalam mean. Identifikasi ACF dan PACF dari data yang sudah stasioner dalam mean dan varians digunakan untuk mendapatkan orde model ARIMA dugaan.
Model lain yang disampaikan pada makalah ini seperti pada diagram pada gambar 1 disebut dengan metode B. Metode ini memberikan fasilitas pemodelan ARIMA dan deteksi outlier secara otomatis dengan jumlah outlier yang ditentukan terlebih dahulu. Penggunaan fasilitas pemodelan ini dapat menghindari terjadinya ‘spurious outlier’, dan meminimalisasi terjadinya outlier yang terdeteksi berulang-ulang. 3. HASIL ANALISA Pada bagian ini studi kasus penelitian diambil satu contoh data, yaitu akan diberikan hasil pemodelan dan analisis data. Sebagai data curah hujan yang terjadi pada 1 Maret 2007. Bentuk grafik curah hujan pada 1 Maret 2007 seperti pada [8]. Berikut adalah hasil setiap tahapan pemodelan ARIMA dan deteksi outlier.
64
Dari output deteksi outlier dapat dijelaskan bahwa ada kejadian outlier pada pengamatan t = 76, dan 194. Jenis outlier yang teridentifikasi ada satu macam, yaitu outlier shift pada pengamatan t = 76, dan 194. Tahap selanjutnya adalah pemodelan ARIMA dengan memasukan efek outlier secara iteratif, yaitu efek satu per satu dari 2 outlier yang terdeteksi tersebut.
a) Output model ARIMA(2,1,0) dan deteksi 4 outlier Ada tiga output utama sebagai hasil dari pemodelan ARIMA dan deteksi outlier. Bagian pertama adalah output tentang hasil estimasi MLE(Maximum Likehood Estimation) model ARIMA dugaan, kedua adalah hasil cek diagnosa, dan ketiga adalah hasil deteksi outlier. Output menunjukkan bahwa parameter model ARIMA(2,1,0) dugaan adalah signifikan, yang berarti sudah memenuhi syarat kebaikan model. Hasil cek diagnosa melalui uji Ljung-Box menunjukkan bahwa model ARIMA(2,1,0) telah memenuhi syarat white noise, yang berarti bahwa model sudah sesuai. Dari output deteksi outlier dapat dijelaskan bahwa ada kejadian outlier pada pengamatan t = 237, 153, 76, dan 192. Jenis outlier yang teridentifikasi ada dua macam, yaitu outlier additive pada data t = 237, dan 192, dan outlier level shift pada pengamatan t = 153, dan 76. Tahap selanjutnya adalah pemodelan ARIMA dengan memasukan efek outlier secara iteratif, yaitu efek satu per satu dari keempat outlier yang terdeteksi tersebut.
d) Model ARIMA(2,1,0) dengan memasukkan efek 3 outlier pertama, dan deteksi 1 outlier yang lain Seperti pada bagian sebelumnya, berikut ini adalah hasil estimasi parameter model dengan memasukkan efek 3 outlier di t = 237, 153 dan 76, khususnya nilai MSE(Mean square error) dan deteksi 1 outlier yang lain. Dari output MLE dapat dijelaskan bahwa ada penurunan nilai MSE dibanding model sebelumnya, yaitu dari 0,143494 menjadi 0,137983. Dari output deteksi outlier dapat dijelaskan bahwa ada kejadian outlier pada pengamatan t = 194. Jenis outlier yang teridentifikasi ada satu macam, yaitu outlier shift pada pengamatan t = 194. Tahap selanjutnya adalah pemodelan ARIMA dengan memasukan efek outlier secara iteratif, yaitu efek satu per satu dari 1 outlier yang terdeteksi tersebut.
b) Model ARIMA(2,1,0) dengan memasukkan efek outlier additive di t = 237, dan deteksi 3 outlier lain
e) Berikut ini adalah hasil estimasi parameter model dengan memasukkan efek outlier di t = 237, khususnya nilai MSE dan deteksi 3 outlier yang lain. Output menunjukkan bahwa MSE model mengalami penurunan yang signifikan dibanding model ARIMA sebelumnya, yaitu dari 0,307514 menjadi 0,153795. Dari output deteksi outlier dapat dijelaskan bahwa ada kejadian outlier pada pengamatan t = 153, 91, dan 76. Jenis outlier yang teridentifikasi ada dua macam, yaitu outlier additive pada data t = 91 dan outlier level shift pada pengamatan t = 153, dan 76. Tahap selanjutnya adalah pemodelan ARIMA dengan memasukan efek outlier secara iteratif, yaitu efek satu per satu dari 3 outlier yang terdeteksi tersebut. c)
Model ARIMA(2,1,0) dengan memasukkan efek 4 outlier
Hasil estimasi parameter model ARIMA(2,1,0) dengan memasukkan efek 4 outlier di t = 237, 153, 76, dan 194, khususnya nilai estimasi dan hasil pengujian signifikansi parameter tersebut. Hasil ouput ini menunjukkan bahwa nilai estimasi ML (Maximum Likehood) untuk AR-2 adalah tidak signifikan, karena Pr.⎜t⎜>0,05. Model ini juga menunjukkan adanya penurunan nilai MSE, yaitu dari 0,137983 menjadi 0,132305. Langkah selanjutnya adalah mengeliminasi koefisien AR-2, karena koefisien tersebut tidak signifikan. f)
Model ARIMA(2,1,0) dengan memasukkan efek 2 outlier pertama, dan deteksi 2 outlier yang lain
Model ARIMA(1,1,0) dan ARIMA(0,1,1) dengan memasukkan efek 4 outlier.
Hasil estimasi parameter model ARIMA(1,1,0) dengan memasukkan efek 4 outlier di t = 237, 153, 76, dan 194, adalah sebagai berikut. Hasil menunjukkan bahwa model ARIMA(1,1,0) dengan efek 4 outlier memberikan nilai estimasi parameter yang semuanya signifikan. Perbandingan nilai MSE menunjukkan bahwa MSE model ini (0,132828) lebih besar dibanding model sebelumnya (0,132305). Pada bagian selanjutnya akan dicobakan model ARIMA yang lain, yaitu model ARIMA(0,1,1),
Hasil estimasi parameter model ARIMA(2,1,0) dengan memasukkan 2 efek outlier di t = 237, dan 153, khususnya nilai MSE serta deteksi 2 outlier yang lain. Output menunjukkan bahwa ada penurunan nilai MSE dibanding model sebelumnya, yaitu dari 0,153795 menjadi 0,143494.
65
dengan memasukkan efek dari keempat outlier sebelumnya. Berikut ini adalah hasil estimasi dan uji signifikansi parameter model. Hasil pada output MLE menunjukkan bahwa model ARIMA(0,1,1) dengan efek 4 outlier memberikan nilai estimasi parameter model yang semuanya signifikan. Perbandingan nilai MSE menunjukkan bahwa MSE model ini (0,134258) lebih besar dibanding model sebelumnya (0,132305) Perbandingan lengkap berkaitan dengan akurasi prediksi yang ditunjukkan oleh nilai MSE dari model-model yang telah dicobakan secara lengkap dapat dilihat pada tabel 1. Dari tabel 1 dapat dijelaskan bahwa model ARIMA(2,1,0) menghasilkan nilai MSE yang paling kecil. Namun karena ada parameter model yang tidak signifikan pada level pengujian 0,05, maka model ini tidak dipilih sebagai model terbaik untuk prediksi data curah hujan. Dengan demikian, model yang dipilih sebagai model terbaik untuk prediksi data curah hujan adalah model ARIMA (1,1,0) dengan memasukkan efek 4 outlier yang telah teridentifikasi, dengan MSE sebesar 0,132828. Pemilihan model ARIMA(1,1,0) ini juga didukung oleh besaran SBC (Schwarz Bayesian Criterion), yang menunjukkan bahwa SBC terkecil pada model ARIMA(1,1,0). Nilai MSE pada ARIMA(1,1,0) adalah sebesar 0,132828, sedangkan MSE pada ARIMA(0,1,1) sebesar 0,134258. Jadi model ARIMA(1,1,0) lebih baik jika dibandingkan model ARIMA(0,1,1), dengan perbaikan penurunan MSE sebesar 1,1%. Hasil perbandingan di atas juga menunjukkan bahwa MSE pada model ARIMA(1,1,0) dengan SAS jika dibandingkan dengan nilai MSE dari model ARIMA(2,1,0) dengan metode A mengalami perbaikan penurunan MSE, yaitu sebesar 44%. Pada tabel 1 ditunjukkan hasil estimasi parameter dari beberapa model yang diperoleh. Terlihat pada tabel 1 model dengan MSE paling kecil terjadi pada model 7. Dengan demikian, model terbaik yang diperoleh pada data curah hujan ini adalah model ARIMA(1,1,0) dengan deteksi 4 outlier, yang secara matematis dapat ditulis dalam bentuk :
secara coba-coba (trial and error). Hal ini disebabkan karena metode deteksi outlier secara otomatis lebih fleksibel untuk deteksi outlier, yaitu dapat digunakan pada model ARIMA(p,d,q) secara umum, sedangkan metode coba-coba (trial and error) hanya dapat dipakai untuk deteksi outlier hanya pada model ARIMA(p,d,0). Model yang sesuai untuk data studi kasus, yaitu data curah hujan adalah model ARIMA(1,1,0) dengan memasukkan efek 4 outlier yang terdeteksi. Perbandingan akurasi prediksi model menunjukkan bahwa model ARIMA(1,1,0) dengan efek 4 outlier tersebut berhasil menurunkan nilai MSE sampai 44% jika dibandingkan dengan hasil metode cobacoba (trial and error). Sebagai rekomendasi dari pemodelan ARIMA pada data curah hujan atau pada data time series lainnya sebaiknya digunakan metode deteksi outlier secara otomatis agar mendapatkan MSE yang minimal. Dengan MSE yang minimal maka residu data akan menunjukkan white noise distribution(residu dengan distribusi normal). DAFTAR REFERENSI [1.] Hendrantoro,G., Mauludiyanto,A., Handayani,P., An Autoregressive Model For Simulation Of Time-Varying Rain Rate, ANTEM 2004/URSI, July 20-23, Ottawa, Canada. [2.] Yadnya, M.S., Mauludiyanto, A., Hendrantoro, G., “ARMA Modelling from rain rate Measurement to Simulation Communication Channel Modelling for Millimeter Wave in Surabaya”, The 6th Kumamoto University Forum, November 5-6, 2008, Surabaya, Indonesia [3.] Yadnya, M.S., Mauludiyanto, A., Hendrantoro, G., “Pemodelan ARMA untuk Curah Hujan di Surabaya”, Prosiding SITIA, Mei 2008, Jurusan Teknik Elektro, ITS. [4.] Mauludiyanto, A., Hendrantoro, G., Kalfarosi, D., “Pemodelan Curah dan Redaman Hujan dengan Model ARIMA Sebagai Evaluasi Sistem Radio Gelombang Milimeter ”, submit ke Jurnal Penelitian dan Pengembangan Telekomunikasi, PPLMI, Institut Teknologi Telkom, Oktober 2008. [5.] Iriawan, N., Astuti, S.P., “Mengolah Data Statistik dengan Mudah Menggunakan Minitab 14”, Andi Yogyakarta, 2006. [6.] Brocklebank, J.C., Dickey,D.A., “SAS for Forecasting Time Series”, SAS Institute and Wiley, 2003. [7.] Mauludiyanto,A,, Muriani, Markis,L., Hendrantoro,G., Matsushima,A., “Preliminary Results from the Study of Raindrop Size Distribution and Rainfall Rate in Indonesia for
LnY(t) = –0,3942 LnY(t–1) – 5,10536 X1(t) + 1,61283 X2(t) + 1,09859 X3(t) + 1,06430 X4(t).
4. KESIMPULAN Berdasar hasil analisis dan pembahasan pada bagian sebelumnya, ada beberapa kesimpulan yang dapat diperoleh dari penelitian ini, antara lain : Model terbaik diperoleh dengan metode deteksi outlier secara otomatis menghasilkan nilai MSE yang signifikan lebih kecil dibandingkan dengan hasil pemodelan dengan metode deteksi outlier
66
the Development of Millimetre-Wave Systems in Tropical Regions”, ISAP2007, August 2024, 2007 Niigata, Japan. [8.] Mauludiyanto,A., Hendrantoro,G., Purnomo, M.H., Suhartono, “Pemodelan ARIMA dan
Deteksi Outlier Data Curah Hujan Sebagai Evaluasi Sistem Radio Gelombang Milimeter”, submit ke JUTI (Jurnal Teknologi Informasi), FTI ITS Surabaya, Desember 2008.
Tabel 1: Perbandingan model ARIMA
Model
1 2 3
4
5
6
ARIMA (p,d,q) ARIMA (2,1,0) ARIMA (2,1,0) ARIMA (2,1,0) ARIMA (2,1,0) ARIMA (2,1,0)
ARIMA (2,1,0)
Jumlah Efek outlier
MSE
No outlier
0,307514
4 outlier
0,2358
1 outlier
0,153795
2 0utlier
0,143494
Parameter AR φ(p) -0,50989 -0,21467 - 0.842 - 0.335 -0,27073 -0,05976
Parameter outlier
Keterangan
X1
X2
X3
-
-
-
- 5.69
1.80
1.70
- 0.369
-5,13394
-
-
-
1,58436
-
-
Outlier additive t= outlier shift t=153
237,
-5,10007
1,60572
1,12548
-
Outlier additive t= outlier shift t=153, 76
237,
-5,09044
X4 -
-0,35469
Metode A pada [8] Outlier additive t= 237
-0,09095 -0,37228 3 outlier
0,137983 -0,10854
Outlier additive t= 237, outlier shift t=153, 76, 194
-0,43174 4 outlier
0,132305
-5,07242
1,66605
1,11896
1,06137
-0,09097 7 8
ARIMA (1,1,0) ARIMA (0,1,1)
4 outlier
0,132828
-0,39342
-5,10536
1,61283
1,09859
1,06430
Outlier additive t= 237, outlier shift t=153, 76, 194
4 outlier
0,134258
0,35128
-5,110226
1,59036
1,13619
0,85941
Outlier additive t= 237, outlier shift t=153, 76, 194
Catatan : Model 2 mengacu pada metode A [8] Model 1,3-8 mengacu pada metode B
67
Desain dan Simulasi Transceiver Stepped Frequency Continuous Wave Ground Penetrating Radar (SFCW GPR) 700 – 1400 MHz Tommi Hariyadi, Endon Bharata, Andriyan Bayu Suksmono Teknik Elektro – ITB LTRGM Jl. Ganesha No. 10 Bandung – INDONESIA Telp. 022 2501661 Fax. 022 2534133 email: tommi, endonb,
[email protected]
ABSTRAK Stepped Frequency Continuous Wave Ground Penetrating Radar (SFCW-GPR) merupakan alternatif realisasi perangkat transceiver GPR yang memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan GPR yang menggunakan impuls. Dalam tulisan ini akan dipaparkan langkah-langkah desain dan simulasi SFCW-GPR. Transceiver menggunakan arsitektur homodyne karena biayanya relatif murah dan lebih sederhana. Dalam simulasi ini medium dianggap homogen. Untuk menggambarkan adanya suatu target pada kedalaman tertentu penulis menggunakan waktu tunda. Hasil yang diperoleh dari simulasi ini adalah A-scan dari transceiver SFCW-GPR. Karena ketidakidealan komponen hardware menyebabkan pergeseran fasa. Oleh karena itu perlu dilakukan kalibrasi terlebih dahulu sebelum dilakukan pengukuran. Kemudian hasil pengukuran di-offset dengan hasil kalibrasi sehingga diperoleh data yang mendekati sebenarnya. Kata kunci: Stepped Frequency Continuous Wave Ground Penetrating Radar, transceiver, homodyne, IFFT, Ascan. 1. PENDAHULUAN
2. TEORI DASAR
Radar penembus permukaan (GPR/Ground Penetrating Radar) adalah suatu alat pencitra gelombang elektromagnetik (EM) yang mampu “melihat” benda-benda di bawah permukaan tanah atau dibalik dinding. Secara prinsip ada dua macam teknologi pancaran radiasi EM yang bisa dipakai untuk membuat radar, yaitu pancaran impuls dan pancaran gelombang kontinyu. Tulisan ini akan menjelaskan GPR yang dibuat berdasarkan prinsip kedua, yakni radar dengan teknik SFCW (Stepped-Frequency Continuous Wave). Untuk kepentingan praktis tertentu yang memerlukan resolusi tinggi, durasi impuls (efektif) yang diperlukan haruslah sangat singkat (sampai orde sub-nano detik). Sumber impuls yang demikian sulit untuk dibuat atau dicari, sangat mahal, memerlukan rangkaian RF yang tidak sederhana, dan perlu penguat daya yang tidak mudah dibeli. Masalah ini dapat diatasi dengan teknik SFCW, meskipun akan meningkatkan waktu akuisisi data dan pengolahan sinyal. Teknik multipleksing ruang-frekuensi, dimana beberapa frekuensi dapat dipancarkan secara serempak pada beberapa titik koordinat spasial sekaligus dapat dipakai sebagai pilihan dalam mengatasi masalah kecepatan pencitraan. Disamping itu, perkembangan mutakhir dari teknik pencitraan kompresif juga menjanjikan solusi bagi masalah yang sangat mendasar ini.
2.1. Stepped Frequency Continuous Wave Radar
Frequency-stepping merupakan teknik modulasi yang digunakan untuk meningkatkan bandwidth total dari suatu radar. Radar yang menggunakan stepped frequency, masing-masing sinyal frekuensinya dinaikkan secara linier dengan frequency step diskrit tertentu. Bentuk gelombang dari SFCW radar terdiri dari sejumlah N sinyal koheren dengan frekuensi dinaikkan secara linier dengan kenaikan frekuensi tertentu Δf. Frekuensi sinyal ke-N dapat dituliskan sebagai: (1) Dengan adalah frekuensi awal, adalah ukuran frequency step, dan nilai i adalah . SFCW radar menentukan jarak suatu benda dari pergeseran fasa sinyal yang dipantulkan oleh benda. SFCW radar menentukan jarak ke target dengan meng-konstruksi profil jarak sintetik dalam domain waktu menggunakan Inverse Fast Fourier Transform (IFFT).
2.2. Prinsip Kerja GPR Citra benda yang diperoleh sistem radar secara umum pada dasarnya merupakan sekumpulan pantulan gelombang EM sebagai fungsi dari posisi dan
68
sifat benda pemantul. Untuk sebuah radar ideal, impuls radar dapat dianggap sebagai suatu fungsi delta dirac δ(t). Bagian pengirim (Tx) memancarkan impuls δ(t), kemudian impuls akan mengenai objek dimana sebagian gelombang akan dipantulkan kembali dan akhirnya sampai ke sistem penerima (Rx). Sinyal yang diterima ini bisa dinyatakan sebagai δ(t-Δt). Karena kecepatan gelombang EM dalam medium tertentu telah diketahui, maka jarak antara antenna ke benda dapat dihitung berdasarkan waktu tunda. Sebuah impuls dapat dibangkitkan melalui dua cara, yaitu: (1) pembangkitan pada kawasan waktu, dan (2) pembangkitan pada kawasan frekuensi. Cara (1) disebut juga cara langsung, sedangkan cara (2) adalah cara yang tidak langsung dengan sintesa tanggapan frekuensi. Tinjau suatu fungsi waktu atau sinyal kontinyu s(t). Penguraian sinyal ini kedalam komponen frekuensi dilakukan dengan transformasi Fourier sebagai berikut:
magnitudo dan fasa gelombang pantul. Indeks k menyatakan urutan frekuensi ke-k dari sinyal.
Gambar 1: Konstruksi dasar sistem SFCW-GPR
Diagram blok sederhana dari sistem SFCWGPR diperlihatkan pada gambar 1. Pada gambar tersebut, sekumpulan gelombang dengan frekuensi dibangkitkan oleh frequency synthesizer tertentu dan dipancarkan secara berurutan melalui antena. Penerima akan menangkap pantulan gelombang melalui antena penerima untuk di-demodulasi dengan IQ demodulator. Hasilnya adalah sinyal Ik (inphase) dan sinyal Qk (quadrature) yang secara bersama-sama membentuk koefisien Fourier kompleks:
(2)
(3) Dengan
(6)
adalah frekuensi angular dan
Setelah dicuplik dengan ADC, pengolah sinyal akan merekonstruksi sinyal kawasan waktu dengan algoritma IDFT.
adalah bilangan imajiner. Teknik SFCW berhubungan langsung dengan sintesis Fourier. Dalam hal ini, sinyal s diperoleh dengan terlebih dahulu mengukur nilai S sebagai fungsi frekuensi. Karena pada umumnya S bernilai kompleks, sintesis s memerlukan magnitudo maupun fasa dari S. Sehingga pada sisi implementasi sistem deteksi sinyal harus dibuat sedemikian hingga komponen magnitudo dan fasa, atau bagian riil dan imajiner bisa didapatkan.
3. DESAIN
3.1. Pemodelan Sinyal yang Dipancarkan dan Diterima Persamaan gelombang Helmholtz yang dapat diturunkan dari persamaan Maxwell untuk propagasi gelombang datar di dalam medium yang lossy digunakan untuk memodelkan sifat gelombang di dalam tanah. Solusi persamaan gelombang Helmholtz adalah sebagai berikut: untuk medan listrik
2.3. Teknik Sintesa Frekuensi untuk Radar Nilai S hanya dapat diperoleh untuk sekumpulan frekuensi yang berubah secara diskrit. Dengan demikian, proses yang sebenarnya lebih sesuai untuk memodelkan sistem radar SFCW adalah analisis dan sintesis sinyal dengan transformasi Fourier diskrit (DFT) sbb:
(7) adalah kuat medan listrik awal, γ adalah konstanta propagasi yang terdiri dari komponen riil dan imajiner yaitu α sebagai konstanta redaman dan β sebagai konstanta fasa. Dari persamaan tersebut dapat dilihat bahwa sinyal yang merambat melalui medium yang lossy akan mengalami redaman dan pergeseran fasa.
(4)
3.2. Spesifikasi
(5)
3.2.1. Pemancar
Sintesa untuk membentuk impuls dilakukan dengan persamaan (5), sedangkan koefisien Fourier Sk yang bernilai kompleks diperoleh dari pengukuran
Untuk mendapatkan resolusi yang tinggi diperlukan SFCW-GPR dengan bandwidth yang lebar.
69
Pada simulasi ini frekuensi yang digunakan adalah 700 – 1398.5 MHz. Di dalam tanah dengan permitivitas relative dan bandwidth 698.5 MHz, memberikan resolusi jarak:
Dengan adalah daya yang diterima, adalah daya yang dipancarkan, dan masing-masing gain antenna pemancar dan antenna penerima, adalah panjang gelombang dalam medium, adalah radar cross section, adalah konstanta redaman yang nilainya sama dengan sedangkan adalah skin depth, dan adalah jarak ke target. Untuk menghitung redaman antenna dianggap sebagai antenna isotropis. Persamaan redaman pada medium adalah:
(8) Nilai permitivitas relatif diambil karena nilai tersebut merupakan nilai permitivitas relatif pasir yang terdapat di GPR Test Range milik Laboratorium Telekomunikasi Radio dan Gelombang Mikro ITB. 3.2.2. Frequency Stepsize
(12) Dengan adalah panjang gelombang di medium yang nilainya dinyatakan oleh:
, adalah selisih jarak Frequency stepsize, antara frekuensi ke-i dengan dengan frekuensi ke. Frequency stepsize dari simulasi ini
i+1 adalah:
(13) (9) (14) konduktivitas Dan adalah radar cross section yang nilainya dinyatakan oleh:
Untuk adalah jumlah frequency step dipilih 128 karena beberapa pertimbangan. Pertama, berhubungan dengan proses IFFT. Proses IFFT akan lebih cepat jika jumlah sample-nya merupakan kelipatan pangkat 2 dengan untuk menghasilkan angka yaitu 128. Kedua, berhubungan dengan jarak unambiguous yaitu:
(15) jari-jari benda (target) Persamaan radar cross section menggunakan persamaan 15 karena benda (target) dianggap berbentuk seperti bola sehingga nilainya hanya ditentukan oleh dimensi benda.
(10) Jarak ini sudah cukup untuk aplikasi GPR. Dan pertimbangan ketiga adalah karena keterbatasan memori dari komputer yang digunakan untuk simulasi.
3.2.5. Penerima 3.2.3. Daya Pancar
Sistem penerima menggunakan arsitektur homodyne. Pemilihan arsitektur homodyne karena lebih sederhana daripada heterodyne dan karena lebih sederhana sehingga relatif lebih murah. Arsitektur homodyne dapat dilihat seperti pada gambar di bawah ini.
Daya pancar disesuaikan dengan hardware yang tersedia terutama power amplifier. Power amplifier yang digunakan memiliki spesifikasi daya output maksimum pada 1dB compression sekitar 20 dBm. Dengan kata lain daya pancar maksimum dari transmitter tidak akan lebih dari nilai tersebut. 3.2.4. Propagasi di Medium (Kanal) Spesifikasi propagasi di medium akan menentukan seberapa besar sinyal akan teredam setelah melewati medium sebagai fungsi frekuensi. Untuk menentukan seberapa besar redaman dalam medium kita gunakan persamaan radar yang sudah dimodifikasi untuk GPR yaitu:
Gambar 2: Arsitektur homodyne
Radar homodyne merupakan system yang mendeteksi sinyal secara sinkron menggunakan sinyal
(11)
70
asli yaitu sinyal yang dipancarkan dalam hal ini yang berasal dari frequency synthesizer. Hal ini diperoleh dengan me-mixing sinyal yang diterima dengan duplikat sinyal yang dipancarkan seperti tampak pada gambar di atas. Keluaran mixer terdiri dari sinyal DC dari sinyal yang dipancarkan. dan dua kali Sinyal ini kemudian dilewatkan melalui low pass filter untuk mendapatkan informasi komponen DC.
Sederhananya adalah pada loop ke-1 dibangkitkan , pada loop ke-2 dibangkitkan , dan seterusnya hingga loop ke-128 dibangkitkan , dengan terlebih dahulu memasukkan parameter step 5.5 MHz. Untuk keluaran frequency synthesizer adalah sekitar 10 dBm untuk rentang frekuensi 700-1400 MHz sesuai dengan spesifikasi dari hardware yang tersedia yaitu menggunakan frequency synthesizer dari Synergy Microwave Corp. dengan seri LFSW6017050. Bagian berikutnya dari pemancar adalah power amplifier. Power amplifier yang digunakan adalah ZHL-1042J dari Mini-Circuits. Antenna pemancar selain sebagai radiator untuk meradiasikan sinyal yang berasal dari pemancar juga berfungsi seolah-olah sebagai bandpass filter karena frekuensi kerja dari antenna itu sendiri hanya pada band tertentu saja. Dalam simulasi ini antenna dimodelkan sebagai differentiator karena keluaran dari antenna dapat berupa turunan pertama dari sinyal yang dimasukkan. Berikut ini adalah diagram blok dari pemancar.
3.3. Ringkasan Spesifikasi Desain Tabel 1. Parameter Frekuensi start Frekuensi stop Bandwidth Jumlah frekuensi step Frekuensi step
Simbol
Rumus
Nilai 700 MHz 1398.5 MHz 698.5 MHz 128 5.5 MHz
Resolusi jarak
9.5 cm
Resolusi waktu
1.43 ps
Jarak maksimum unambiguous
12.07 m
Gambar 4. : Model transmitter
4. SIMULASI DAN HASIL SIMULASI System transceiver yang akan disimulasikan menggunakan arsitektur homodyne. Gambar berikut adalah diagram blok dari SFCW-GPR.
4.2. Kanal Pemodelan kanal merupakan salah satu bagian yang tersulit dalam simulasi ini karena dari beberapa literatur diperoleh rumus yang berbeda. Hal ini dapat terjadi karena pendekatan dari masingmasing peneliti berbeda. Untuk simulasi ini penulis menggunakan persamaan radar yang sudah dimodifikasi untuk memodelkan kanal seperti pada persamaan 11. Dari literatur lain dikatakan bahwa pada GPR selain redaman karena lintasan ada juga redaman mismatch antenna dan redaman karena perubahan medium dari udara ke tanah dan sebaliknya. Kedua jenis redaman tersebut juga dimasukkan dalam simulasi ini dan dimodelkan dengan attenuator. Selain mengalami redaman sinyal juga mengalami pergeseran fasa karena perambatan gelombang di medium. Untuk memodelkannya menggunakan waktu tunda yang nilainya adalah:
Gambar 3: Diagram blok transceiver SFCW-GPR
Dalam tulisan ini yang akan di simulasikan adalah pemancar dan penerima saja sedangkan signal processing hanya untuk mendapatkan A-scan menggunakan bantuan MATLAB®.
4.1. Pemancar Dalam SFCW-GPR frequency synthesizer harus bisa membangkitkan sinyal dengan frekuensi tertentu dan berubah setiap saat dengan step tertentu seperti yang sudah dijelaskan di atas. Untuk memodelkan frekuensi synthesizer, penulis mengunakan salah satu fitur dari simulator yang disebut Variable Parameter Token yang memungkinkan simulator untuk membangkitkan frekuensi step dengan memanfaatkan system loop.
(16) Redaman dalam medium merupakan fungsi frekuensi. Untuk memodelkannya penulis menggunakan filter FIR yang respon frekuensinya sesuai dengan nilai redaman untuk masing-masing frekuensi. Model untuk kanal adalah sebagai berikut:
71
Gambar 5: Model kanal
4.3. Penerima Sistem penerima terdiri dari antenna penerima, filter (BPF), LNA, dan I/Q demodulator. Model antenna penerima sama dengan antenna pemancar, begitu juga dengan BPF sama dengan BPF yang ada di pemancar. Untuk LNA dimodelkan dengan amplifier juga namun dengan parameter yang berbeda dengan power amplifier pada pemancar. LNA yang digunakan adalah ZRL-3500+ dari MiniCircuits. Untuk I/Q demodulator menggunakan ADL5382 dari Analog Devices. Dari datasheet komponen dapat dilihat bahwa I/Q demodulator pada dasarnya adalah 2 buah mixer dengan LO masing-masing mixer fasanya . Oleh karena itu, dalam simulasi ini I/Q berbeda demodulator dimodelkan dengan 2 buah mixer yang diberi LO dengan beda fasa Keluaran dari I/Q demodulator kemudian dilewatkan ke lowpass filter (LPF) untuk mendapatkan komponen I dan Q berupa sinyal DC. Kemudian sinyal DC tersebut disampling dan dikuantisasi menggunakan ADC 16 bit untuk selanjutnya diolah menggunakan DSP sehingga diperoleh suatu citra. Namun demikian karena keterbatasan simulator, dalam tulisan ini untuk hasil simulasi hanya sampai mendapatkan A-scan saja. Untuk B-scan dan C-scan yang merupakan pengembangan dari A-scan dapat dilakukan ketika pengukuran di lapangan. Gambar 6 adalah model penerima.
Gambar 7: Model sistem keseluruhan (transceiver dan kanal)
Untuk mendapatkan hasil A-scan dari suatu benda, penulis menggunakan waktu tunda sebagai parameter yang mewakili kedalaman suatu benda. Misalnya untuk benda dengan kedalaman 0.2 m penulis menggunakan waktu tunda detik. Sedangkan untuk kalibrasi dilakukan dengan men-set waktu tunda detik.
Gambar 8: Keluaran I/Q demodulator (Inphase) 0.2 m
Gambar 9:Keluaran I/Q demodulator (Quadrature) 0.2 m
Hasil keluaran dari simulasi ini adalah berupa sinyal inphase (riil) dan quadrature (imajiner) sebagai keluaran dari I/Q demodulator. Kedua sinyal tersebut kemudian diproses menggunakan bantuan MATLAB® untuk mendapatkan A-scan. Gambar 8 dan gambar 9 adalah sinyal inphase dan quadrature keluaran I/Q demodulator untuk benda dengan kedalaman 0.2 m. Sedangkan untuk hasil A-scan-nya dapat dilihat pada gambar 10.
Gambar 6: Model penerima
4.4. Transceiver dan Kanal Model untuk masing-masing bagian sudah dijelaskan di atas seperti pemancar, kanal, dan penerima. Berikutnya adalah pemodelan secara keseluruhan dari ketiga bagian tersebut. Gambar 7 menunjukkan model system secara keseluruhan.
72
Gambar 12: A-scan 3 benda
Gambar 10: A-scan untuk benda dengan Jarak 0.2 meter
Sebagai perbandingan, gambar 13 merupakan hasil A-scan dari pengukuran menggunakan Vector Network Analyzer (VNA) yang dilakukan di GPR Test Range milik Laboratorium Telekomunikasi Radio dan Gelombang Mikro (LTRGM) ITB. Permitivitas relatif pasir yang digunakan adalah 5.1 dan benda dikubur di dalam pasir sedalam kurang lebih 0.2 m. Benda yang dikubur berbentuk silinder. Rentang frekuensi dan jumlah sample dibuat sama dengan simulasi yaitu 700-1398.5 MHz dan 128 sample.
Dari gambar 10 terlihat bahwa jaraknya bukan 0.2 m tetapi 1.508 m. Untuk mendapatkan hasil yang sebenarnya kita bandingkan dengan hasil kalibrasi. Hasil A-scan kalibrasi dapat dilihat pada gambar 11. Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa sebelum ada waktu tunda pun sudah terjadi pergeseran fasa karena komponen RF yang ditunjukkan seolaholah ada sebuah benda pada jarak 1.296 m. Dengan kata lain hasil dari simulasi untuk jarak 0.2 m dikurangkan terlebih dahulu dengan hasil kalibrasi dan hasilnya adalah jarak yang sebenarnya. Dalam kasus ini untuk mendapatkan hasil A-scan yang sebenarnya untuk jarak benda 0.2 m di dalam tanah adalah 1.5081.296 = 0.212 m. Hasilnya cukup mendekati yang sebenarnya dengan perbedaan sebesar 0.212-0.2 = 0.012 m atau 1.2cm.
Gambar 13:. A-scan hasil pengukuran menggunakan VNA
5. KESIMPULAN Dari hasil simulasi di atas dapat disimpulkan bahwa transceiver dengan arsitektur homodyne dapat diimplementasikan untuk SFCW-GPR dengan rangkaian yang sederhana sehingga harganya relatif murah. Karena ketidakidealan komponen, sebelum pengukuran terlebih dahulu dilakukan kalibrasi untuk mendapatkan offset sehingga dapat diperoleh jarak yang sebenarnya. Kesalahan pengukuran masih dalam batas toleransi yang diperbolehkan yaitu kurang dari nilai resolusi.
Gambar 11: Kalibrasi A-scan
Gambar 12 menunjukkan perbandingan hasil A-scan untuk benda dengan jarak 0.2 m (kiri), 1 m (tengah), dan 2 m (kanan). Dari gambar tersebut terlihat bahwa untuk jarak 0.2 m, 1 m, dan 2 m berturut-turut tertulis 1.508 m, 2.286 m, dan 3.276 m. Dengan melakukan offset kalibrasi menjadi 0.212 m, 0.99 m, dan 1.98 m. Hasilnya memang tidak tepat sama dengan yang sebenarnya namun sudah cukup mendekati yang sebenarnya dengan perbedaan terbesar 0.02 m atau 2 cm pada benda dengan jarak 2 m dengan resolusi 9.5 cm. Artinya kesalahan masih dalam batas toleransi.
UCAPAN TERIMA KASIH Penelitian ini telah dibiayai oleh ITB-TU Delft International Research Grant. Oleh karena itu penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada ITB dan TU Delft atas kerja samanya sehingga penelitian ini dapat berjalan dengan baik.
DAFTAR REFERENSI [1]
73
Daniels, David J. Ground Penetrating Radar 2nd Edition. 2004. IEE: London.
[2] [3]
[4]
[5]
[6] [7]
http://suksmono.wordpress.com Mngadi, Andile. Design of a SystemView Simulation of a Stepped Frequency Continuous Wave Ground Penetrating Radar. 2004. University of Capetown: Capetown. Farquharson, Gordon. Design and Implementation of a 200 to 1600 MHz, Stepped Frequency, Ground Penetrating Radar Transceiver. 1999. University of Capetown: Capetown. Noon, David A. et al. A FrequencyIndependent Characterization of GPR Penetration and Resolution Performance. 1998. Journal of Applied Geophysics. Langman, Alan et al. Development of a Low Cost SFCW Ground Penetrating Radar. 1996. IEEE paper. Severns, Rudy. Skin Depth and Wavelength in Soil. 2005. http://www.antennasbyn6lf.com
74
SISTEM ANTENA RADAR VHF LAPAN Peberlin Sitompul1, Aries Kurniawan1, M. Sjarifudin1, Mario Batubara1, Harry Bangkit1, Timbul Manik1, J.R Roettger2 1)Pusat Pemanfaatan Sains Antariksa – LAPAN Jln Dr. Djunjunan No 133 Pasteur Bandung Email :
[email protected] 2)DLR ( Deutsche Zentrum für Luft und Raumfahrt ) Jerman Email :
[email protected]
ABSTRAK Radar VHF LAPAN merupakan jenis Radar MST ( Mesosfer Stratosfer Troposfer ) yang dibangun didaerah Pamengpeuk, Garut, Jawa Barat dan letaknya di tepi pantai Lautan Hindia untuk meningkatkan pemahaman tentang cuaca dan iklim dikawasan selatan Indonesia serta mendukung informasi beberapa fenomena lainya seperti ENSO dan QBO. Beroperasi pada frekuensi 150 MHz dengan daya puncak 1 KW ( masih dalam pengembangan). Radar ini merupakan versi mini dari Radar TRAINERS dalam rangka kerjasama proyek multinasional TRAINERS. Pendukung utama proyek ini adalah LAPAN, DLR Jerman dan ISRO India. Dengan pengaturan arah pancar sinyal yang ditransmisikan, radar VHF LAPAN juga dapat dipakai untuk penelitian irregularitas ionosfer pada lapisan E dan F seperti fenomena ES dan ESF, serta penelitian VHF-TEP di daerah Equator. Dalam makalah ini dibahas sistem antenna radar VHF LAPAN meliputi Jenis Antena, Power Divider/ Combine , Koneksi, Analisa Pengaturan Beam dan Phase Shifter. Kata Kunci : Antena, Power Divider, Power Combiner, Pengaturan Beam, Phase Shifter.
1.
MHz yang diambil dari penerima radar, dan signal pulsa dari mikrokontroller dan dicampur dengan frequency mixer ADEX-10L. Pengaturan lebar dan perioda signal yang dibangkitkan pada PC menggunakan perangkat lunak LabView Profesional versi 8.
LATAR BELAKANG
Proyek kerjasama multi-nasional TRAINERS ( Tropical Atmosphere and Ionosphere New Equatorial Radar System ) yang dimulai pada tahun 2003 didukung oleh LAPAN ( Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional ) Indonesia, DLR ( Deutsche Zentrum fur Luft und raumfahrt ) Jerman dan ISRO ( Indian Space Research Organisation ) India. Pada proyek TRAINERS akan dibangun radar TRAINERS yang merupakan sebuah radar atmosphere dengan frekuensi 150 MHz dan daya pancar puncak 10 kW di Pamenungpeuk, Garut, Jawa Barat. Pada awalnya radar TRAINERS ditargetkan selesai tahun 2008. Radar ini akan digunakan untuk memantau perilaku atmosphere dan ionosfer dikawasan barat Indonesia. Kegiatan dalam proyek ini cukup menantang karna adanya kegiatan mengkonstruksi system radar VHF dari awal, dan menciptakan komunitas pengguna ilmiah yang kompeten dari semua pendukung proyek. Juga terdapat missi pendidikan teknologi, rekayasa, riste ilmiah dan penangan logistic yang berguna bagi LAPAN ( Roetger, 1989 ). 2.
Gambar 1: Diagram Radar VHF LAPAN
2.1 Antena Ada 4 fungsi dasar antena : a. Memusatkan output transmitter menjadi beam yang sempit, oleh karena itu menaikkan kerapatan daya dalam beam b. Menyesuaikan impedansi saluran transmisi radar dengan media perambatan. c. Menangkap energi echo dari target. Penangkapan echo ini akan efektif dari arah sumbu antenna d. Mengatur arah pancaran transmisi (beam) dan penerimaan sinyal yang dapat diatur kearah yang diinginkan.
RADAR VHF LAPAN
Radar VHF Lapan terdiri dari Pemancar 150 MHz, 1 kW yang dibeli dari Vikas Communication Pvt. Ltd. Penerima 3-kanal frekuensi 150 MHz, LO frekuensi 120 MHz, IF frekuensi 30 MHz, Bandwidth 3.4 MHz, yang dibeli dari United system Engineering Ltd. India ( USE ). Pengontrol Radar menggunakan signal 150
75
Antena yang dipasang adalah timbal balik, karakter dan parameter sama untuk transmisi dan penerimaan sinyal. 2.2 Specifikasi Antena Radar VHF LAPAN Antena YAGI, 4 element, elemen terbuat dari aluminium bulat dengan d = 10 mm, f = 150 MHz. L = 150 cm. Director Director
54 cm
Driven
Element
Reflektor
l
cm cm
86 cm
l=86 l=100
L
22 cm
cm cm
l=80
l=80
5 cm
Gambar 4: Arah Beam
Gambar 5: Pola Beam dengan phasa yang sama
Untuk pengukuran arah dan kecepatan angin vertikal, zonal dan meridional diperlukan pancaran arah sinyal radar ( beam ) kearah tertentu seperti gambar 4. Hal ini bisa dilakukan dengan cara manual dan secara elektronik. Dimana dengan cara manual, arah antena diubah-ubah secara fisik, bisa dengan menggunakan rotator. Sedangkan secara elektronik ini dilakukan dengan cara mengubah besar sudut phasa sinyal pada tiap-tiap antena. Ini seperti dilakukan di EAR ( Equatorial Radar Atmosphere ) Kototabang. Pada gambar 6 diatas terlihat main beam berubah sebesar sudut θ dari sudut zenitnya. Bila jarak antara antenna S (antenna 3 dan 4), maka perbedaan jarak yang ditempuh signal antenna 3 dan 4 akan berbeda sebesar ∆r.
Gambar 2: Antena Radar VHF LAPAN
Gambar 3 :Gambar Array Antena Radar VHF LAPAN
2.3 Kajian Pengaturan Beam Antena Array Jika satu group antena diberikan sinyal dengan phasa yang sama, maka arah beam akan terpusat di tengah. Pada gambar 4 terlihat ada lima antena, dimana pada setiap arah itu merupakan penjumlahan dari kelima signal tersebut dengan arah yang berbeda beda. Pada gambar paling atas (arah panah) dimana ada beam ( side beam ) yang mana besar beam didominasi oleh antena 1. Dibawahnya terlihat besar beam sama dengan nol, itu dikarenakan semua signal mempunyai arah yang berbeda-beda dengan perbedaan sudut 360 / 5 = 72 derajat, dan pada derajat ini lah disebut nul beam (pada derajat tersebut besar signal akan sama dengan nol). Yang paling diharapkan seperti gambar paling tengah dimana besar signal pada beam tersebut merupakan penjumlahan signal dari antena 1+2+3+4+5, dan pada arah ini disebut sebagai main beam ( beam utama ).
Ant 3 s Ant 4
s
θ ∆r
Gambarr 6: Pola beam dengan phasa signal berbeda
76
Untuk mendapatkan pergeseran beam sebesar θ derajat, maka perbedaan phasa antara antena 3 dan 4 adalah : ∆r = S. Sin θ
2.5 Pengkabelan Antena Untuk membentuk array antena yang diinginkan, maka koneksi antenna dibuat dengan menggabungkan antena dengan combiner / divider dengan pola tertentu.
Maka perbedaan phasa antara antena 3 dan 4 adalah : ∆ø = ( S. Sin θ/λ ) x 360 derajat
ANT1
ANT2
ANT3
Untuk radar VHF LAPAN, s = 2.4 meter, 2 antena, sejajar, jika mau membuat arah beam sebesar 10 derajat terhadap sudut zenith, maka
B3
ANT10
ANT19
ANT18
ANT11
ANT20
C9
C10
C15
C16
ANT30
ANT31
B8
ANT42
ANT41
D2
ANT32
B11
∆ø
S. Sin θ 2.4 x Sin 100 0.4167 meter (2.4 x Sin (100)/ 2) x 3600 75 derajat
ANT65
ANT66
ANT68
C33
B17
ANT79
ANT89
ANT90
C52
C51 ANT101
ANT102
B23
ANT103
ANT113
ANT106
B24
ANT116
B29
ANT123
2.3.1
D11
B30
ANT125
ANT88
ANT98
B25
ANT99
ANT100
C50 C56 ANT110
ANT111
ANT112
B28
ANT118
ANT119
ANT120
C60 C64
C63 ANT124
D12
ANT126
ANT127
ANT128
B32
E3
Metode Pengaturan Phasa Antena Array
ANT109
C59
C62 ANT122
B31
ANT97 C49
ANT108
ANT117
C58 C57 C61
C38 C44
C55
ANT107
ANT76
ANT75
ANT87
ANT86
B22
ANT96
B27
ANT115
ANT74
C43
D10
ANT114
ANT64
C37
B19
C54
D9
C27 ANT63
ANT62
ANT73
ANT85
C48
C53 ANT105
ANT104
B26
ANT121
ANT72
ANT84
ANT95
ANT94
C47
ANT52
C26
C31
B21
ANT93
C46
C25
B18
ANT83
E2
ANT92
ANT91
C45
ANT82
D8
ANT40
ANT51
B16
C42
D7
ANT81
ANT39
ANT50
ANT61 B13
C36
C41 ANT80
B20
ANT38
B10
ANT49
ANT60
ANT71
C35
C40 ANT78
ANT48
B12 B15
ANT70
ANT69
C34
C39 ANT77
ANT37
C30 ANT59
ANT28
C14 C20
B7 ANT36
C24
ANT58
ANT27
ANT26
C19
ANT47
F1
ANT67
ANT25
C13
B9
C29
D6
ANT16
ANT15
ANT24
ANT35
ANT46
D5
ANT57
ANT14
C18
C23
ANT56
C8
C12
ANT45
B14
C4
B6
C28 ANT55
B4
ANT23
ANT34
C22
ANT54
ANT13
ANT22
D3 D4 E1
ANT33
ANT8
ANT6
B2
ANT12
C17
ANT44
C27 ANT53
= = = = =
C7
C11
ANT43
C21
C3
C6
ANT21
B5 ANT29
ANT5
ANT5
C2
D1
B1 ANT9
ANT17
∆r
ANT4
C1 C5
1.4 mtr
⎫ ⎧2π Φmn (θ ,φ) = −⎨ ( X mn Sinθ Cosφ +Ymn Sinθ Sinφ ) +αmn ⎬ ⎭ ⎩λ
Gambar 8: Koneksi Array Antena
Antena untuk 1 penerima terdiri dari 128 buah antena (seperti gambar 8). Antena yang sejajar ANT 1-4, 5-8 digabung dengan PDC 4:1 dengan menggunakan Belden RG-8 type 9914, dengan panjang 4 meter. kemudian group antena 1-4 dan 5-8 digabung dengan PDC 2:1. Antena yang lain disambung dengan metode yang sama, sehingga ada sebuah kabel yang terhubung dari group antena dengan Transmitter/Receiver dengan panjang 50 meter. Diagram satu garis koneksi antena seperti terlihat di gambar 9.
Φ mn ( θ , φ ) (rad) = phase setting value of the
phase shifter in mnth TRx MDL m = mth point in the Y direction n = nth point in the X direction θ, φ (rad) = beam scan angle λ (mm) = wavelength = 299792.458/ f (mm) f (MHz) = frequency Xmn (mm)= X coordinate of mnth point of element antenna Ymn(mm) = Y coordinate of mnth point of element antenna Xmn = (25.5 – n). dx (mm) Ymn = (14.5 – m). dy (mm) dx = 2250.0 (mm), dy = 3897.1 (mm) αmn (rad) = phase correcting value of mnth transmission line
A n t 1 -4 A n t 5 -8
D1
c1
E1
c2 A n t 9 -1 2 A n t 1 3 -1 6
D2
c3 c4
A n t 1 7 -1 8 A n t 1 9 -2 2
c5 D3
c6 A n t 2 3 -2 6 A n t 2 7 -2 8
c7 c8 A n t 2 9 -3 0
A n t 3 1 -3 4
c9 c10
D4
A n t 3 5 -3 8 c11
A n t 3 9 -4 0
E2
c12 A n t 4 1 -4 2 A n t 4 3 -4 6
c13 c14 A n t 4 7 -5 0
2.4 Power Divider / Combiner ( PDC )
A n t 5 1 -5 2
D5
c15 c16 A n t 5 3 -5 4
F1 c17
Power Divider berfungsi sebagai pembagi sinyal ke masing-masing antena, sedangkan combiner berfungsi untuk menggabungkan sinyal yang diterima.
A n t 5 5 -5 8
To TR x D6
c18 A n t 5 9 -6 2 A n t 6 3 -6 4
c19 c2 0 A n t 6 5 -6 6
A n t 6 7 -7 0
c2 1 c22
D7
A n t 7 1 -7 4 c23
A n t 7 5 -7 6 c24
Specifikasi PDC dengan frekuenci 140-150 MHz, 50 ohm dengan tipe AT-2 dan AT-4, panjang 50 cm, berat 0.25 kg.
A n t 7 7 -7 8 A n t 7 9 -8 2
c25 D8
c26 A n t 8 3 -8 6 c27
A n t 8 7 -8 8
E3 c28 A n t 8 9 -9 0 c29
A n t 9 1 -9 4 c30
D9
A n t 9 5 -9 8 c31 A n t 9 9 -1 0 0 c32 A n t 1 0 1 -1 0 2 C33 A n t 1 0 3 -1 0 6
C 34
D 10
A n t 1 0 7 -1 1 0 C 35 A n t 1 1 1 -1 1 2 C 36 A n t 1 1 3 -1 1 6 C 37
D11
A n t 1 1 7 -1 2 0
E4
C38 A n t 1 2 1 -1 2 4 C 39 D12 A n t 1 2 5 -1 2 8 C 40
Gambar 9: Diagram garis koneksi Antena
Gambar 7: Power Divider/ Combiner
77
2.6 Prinsip Phase Shifter Phase shifter adalah penggeseran phasa signal transmisi, dengan penggeseran phasa ini sehingga diperoleh perbedaan phasa signal tiap antenna.
Gambar 11: Directional Coupler.
3.3
Pengukuran besar power.
Untuk mengetahui besar power di transmitter maka dilakukan pengukuran dengan Pulse Watt meter Bird 4314 B, dan juga pengukuran di group antena untuk mengetahui besar power pada di tiap-tiap grup antenna.
Gambar 10: Metoda Penggeseran phasa secara digital
3.
Ant 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
3.2.
PENGUJIAN PHERIPERAL a. Hasil Pengukuran SWR Antena SWR R X 3 2.4 mtr mtr 3 2.4 3 1.3 1.1 43 48 10 1.1 1.1 44 40 6 1 1.1 47 52 2 1 1 50 49 4 1.2 1.1 44 42 9 1.4 1.2 36 45 9 1.1 1.1 49 50 6 1.1 1.1 50 49 8 1.1 1.2 45 58 0 1.4 1 49 50 16 1.1 1.1 50 52 8 1.2 1 59 50 10 1.3 1.1 38 48 9 1.3 1.1 55 50 50 1.6 1 50 49 25 1.3 1 50 51 15 1.1 1 41 48 4 1.2 1 37 49 2 1 1.2 50 51 7 1.3 1 48 53 13
2.4 7 0 5 2 0 11 6 8 8 1 6 1 7 13 2 2 11 2 11 1
Gambar 12: Watt meter
4. 1.
2.
KESIMPULAN
Radar sangat diperlukan sebagai alat untuk mengamati berbagai macam objek, secara khusus dalam hal ini untuk pengamatan phenomena yang terjadi di atmosfir dan antariksa. Pemahaman tentang prinsip-prinsip setiap komponen radar khususnya sistem array antena sangat diperlukan untuk mendapatkan radar dengan kemampuan pengaturan arah pancar sinyal untuk pengukuran arah dan kecepatan angin. DAFTAR REFERENSI
(1) M.Sjarifudin, Aries Kurniawan, Adi Purwono, Peberlin Sitompul, “Sistem Instrumentasi dan Konfigurasi Perangkat Keras Radar VHF Lapan”, Seminar Nasional Sains Antariksa III, LAPAN, Bandung, 2006. (2) Mitsubishi Electronic Corporation, “ Equatorial Atmosphere Radar Technical Manual”, 2001 (3) NCU, “International School of Atmospheric Radar” ISAR-NCU, 2006
Pengukuran Sinyal dengan Directional Coupler.
Untuk membandingkan pola sinyal pada sinyal generator dengan sinyal di masing-masing antena maka dilakukan pengukuran dengan alat Directional Coupler yang diamati dengan asiloskop, untuk memastikan kesamaan pola sinyalnya.
78
Pembuatan Modul Receiver untuk Sistem Perangkat Pemancar Jamming Elan Djaelani1 1)
Pusat Penelitian Informatika-LIPI Jl.Cisitu No.21/154D.Kompleks LIPI Bandung.40135 Telp.022-2504711,Fax.022-2504712 Email:
[email protected] ABSTRAK Penelitian mengenai pembuatan Receiver untuk keperluan sistem perangkat pemancar jamming telah dilakukan. Jamming ialah memancarkan gelombang elektro magnetic ( GEM) daya yang besar ke sasaran posisi musuh dengan besaran frekuensinya sama atau sesuai dengan frekuensi yang sudah teridentifikasi sehingga dengan daya yang lebih besar diharapkan sistim komunikasi musuh menjadi lumpuh. Untuk mengetahui alokasi frekuensi dan sistim modulasi didalam suatu peperangan elektronik (EW) diperlukan suatu alat pemantau / monitor yaitu Radio Directional Finder (RDF). RDF adalah untuk mengamati, menganalisa dan fungsi utamanya yaitu menentukan arah posisi musuh, bila posisi musuh sudah teridentifikasi maka tugas selanjutnya mengacaukan atau memacetkan sistim komunikasi musuh dengan cara melakukan pemacetan (Jamming). RDF terdiri dari bagian bagian:Antena dan sistem rotator,Kompas, Buffer, Attenuator, Receiver, S-Meter, Analog to Digital Coverter, Mikrokontroler dan Komputer Yang akan dibahas pada makalah ini bagian Receiver,karena bagian ini merupakan awal proses penerimaan sinyal sehingga perlu sensitivitas,selektivitas dan penerimaan sinyal harus baik. Bagian ini terdiri dari RF Stage, Oscillator, Mixer, Filter dan 10,7-MHz IF stage, dan IF system. Kata kunci: RF Stage, Oscillator, Mixer, Filter dan 10,7-MHz IF stage, dan IF system.
1.
PENDAHULUAN
Perangkat pemancar jamming adalah pemancar radio yang digunakan untuk melumpuhkan sistim komunikasi musuh didalam suatu peperangan elektronik (EW), dengan cara memancarkan daya yang lebih besar pada frekuensi yang sama maka fihak lawan hanya akan mendeteksi sinyal jamming saja, ini akan mengakibatkan komunikasi terganggu atau bahkan macet sama sekali.[ 3]. Perangkat pemancar jamming telah dibuat mempunyai spesifikasi sebagai berikut:[2 ] Daerah frekuensi: 30 MHz – 80 MHz
Sistem : Pemancar Heterodyne Modulasi : Modulasi Frekwensi/Modulasi Amplituda. Input Modulasi : Wideband Noise Pembawa : Sweeper 30 – 80 MHz Waktu Sweep : Variable Power Output : 100Watts Harmonic Frekuensi out of band- 45 dB Antenna : Broadband Omnidirectional Blok diagram system perangkat pemancar jamming dan Radio Direction Finder (RDF) seperti pada gambar 1.
79
Gambar 1: Blok diagram sistem perangkat pemancar jamming dan RDF.
Untuk mengetahui alokasi frekuensi dan sistim modulasi didalam suatu peperangan elektronik (EW) diperlukan suatu alat pemantau / monitor yaitu RDF. Seperti telah dijelaskan sebelumnya fungsi RDF adalah untuk mengamati, menganalisa dan fungsi utamanya yaitu menentukan arah posisi musuh, bila posisi musuh sudah teridentifikasi maka tugas selanjutnya mengacaukan atau memacetkan sistim komunikasi musuh dengan cara melakukan pemacetan (Jamming). Jamming sendiri ialah memancarkan gelombang elektro magnetik (GEM) daya yang besar ke sasaran posisi musuh dengan besaran frekuensinya sama atau sesuai dengan frekuensi yang sudah teridentifikasi sehingga dengan daya yang lebih besar diharapkan sistim komunikasi musuh menjadi lumpuh. Proses melumpuhkan sistim komunikasi musuh seperti diperlihatkan dalam Gambar 1. Dalam gambar 1, terdiri dari 2 bagian antara lain: Bagian I a. Unit Radio Directional Finder (Radio Penerima) b. Unit Radio Penggangu (Pemancar Radio Jammer)
Bagian II Objek Jamming (musuh) terdiri dari sepasang Radio tranceiver yang sedang melakukan komunikasi komunikasi. Secara singkat proses adalah sebagai berikut : [6]. RDF memonitor scanning spektrum frekuensi musuh yang sudah teridentifikasi sehingga dapat membedakan antara frekuensi kawan (Friend) dan frekuensi lawan (Foe), dengan menggunakan Antena pengarah (Directional Antena) besaran kekuatan sinyal GEM yang dipancarkan oleh fihak musuh dapat diidentifikasi meliputi beasaran frekuensi dan modulasi yang dipakai. Setelah melalui proses pengolahan sinyal dalam suatu microcontroller diperoleh data posisi arah musuh untuk selanjutnya Pemancar Jammer diaktifkan untuk melakukan pemacetan atau memancarkan sinyal GEM yang sangat besar ke arah posisi yang sudah diitentukan dari hasil monitoring RDF. Dalam gambar 2 diperlihatkan secara rinci blok diagram RDF [6]
80
Band 4 frekuensi 68 s/d 87,975 MHz, Pemilihan band diatur melalui microprocessor untuk mengaktifkan rangkaian RF, dengan cara memberi tegangan supply ke salah satu modul band yang akan diaktifkan (dipilih). Modul receiver terdiri dari blok RF stage, Mixer, Oscillator , Filter dan 10,7 MHz IF stage, dan IF system (Demodulator),seperti diperlihatkan pada Gambar.3[ 7 ]
Gambar 2: Blok diagram RDF Gambar 3: Diagram blok modul receiver
RDF terdiri dari: a.Antena dan sistem rotator b.Kompas c.Buffer d.Attenuator e. Radio Receiver f.S-Meter g.Analog to Digital Coverter h.Mikrokontroler i.Komputer Yang akan dibahas makalah ini adalah bagian Receiver.
RF Stage RF stage berfungsi untuk menerima dan memilah sinyal RF dari tuner antenna, yang akan diproses selanjutnya. RF stage terdiri dari 4 Rx band, dimana pemilihan band dilakukan melalui microprocessor dengan memberi tegangan supply ke modul Rx band yang akan diaktifkan tersebut. Rx band 1 – frekuensi 30 s/d 39,975 MHz Rx band 2 – frekuensi 42 s/d 51,975 MHz Rx band 3 – frekuensi 52 s/d 67,975 MHz Rx band 4 – frekuensi 68 s/d 87,975 MHz Sinyal RF dari tuner antenna akan diterima dan diperkuat oleh salah satu Rx band untuk selanjutnya diteruskan ke mixer. Sebagai contoh apabila sinyal RF yang ingin diterima adalah pada frekuensi 31 MHz, maka band yang akan diaktifkan adalah Rx band 1. Setiap Rx band, berupa penguat RF ( RF amplifier) yang dibangun dari transistor bipolar. Setiap transistor ditune pada bagian input dan output, sehingga dapat bekerja memperkuat sinyal RF pada band frekuensi yang diinginkan. Sinyal RF pada frekuensi tertentu ( fRF ) yang telah diperkuat oleh Rx band, selanjutnya akan diteruskan ke rangkaian mixer untuk dicampurkan dengan sinyal dari local oscillator (dibangkitkan oleh suatu blok rangkaian frequency synthesizer) dengan frekuensi sebesar fLO .
2. RECEIVER[ 7 ] Modul receiver terdiri dari diagram blok seperti gambar 3. berikut ini Modul receiver berfungsi untuk menerima sinyal RF yang berasal dari tuner antenna, dan kemudian melakukan proses demodulasi sinyal RF yang mengandung informasi sehingga diperoleh kembali sinyal audio (informasi). Selanjutnya sinyal audio akan diperkuat oleh audio amplifier untuk dihubungkan ke loadspeaker. Receiver ini mempunyai jangkauan frekuensi dari 30 s/d 88 MHz, dibagi dalam 4 band frekuensi. Band 1 frekuensi 30 s/d 39,975 MHz Band 2 frekuensi 42 s/d 51,975 MHz Band 3 frekuensi 52 s/d 67,975 MHz
81
mixer, limiting amplifier, quadrature discriminator, active filter dan squelch. Sinyal IF sebesar 10,7 MHz yang termodulasi FM akan dikonversi oleh rangkaian quadrature discriminator menjadi sinyal AM dengan frekuensi 10,7 MHz. Selanjutnya sinyal AM sebesar 10,7 MHz tersebut, akan di down-conversion menjadi frekuensi IF AM sebesar 455 kHz. Dengan cara mencampurkan frekuensi sebesar 10,245 MHz dari Oscillator dengan frekuensi sinyal AM sebesar 10,7 MHz, sehingga dihasilkan sinyal IF AM dengan frekuensi sebesar 0,455 MHz atau 455 kHz. Sinyal AM dengan frekuensi sebesar 455 kHz ini kemudian akan dilakukan proses deteksi atau demodulasi, sehingga didapatkan kembali sinyal audio atau sinyal informasi yang terkandung didalamnya. Selanjutnya sinyal audio ini akan diperkuat oleh rangkaian audio amplifier, sehingga dapat terdengar lewat loudspeaker.
Oscillator. Sinyal local oscillator fLO di suplai dari rangkaian frequency synthesizer, pemilihan frekuensi fLO keluaran frequency synthesizer ini diatur melalui microprocessor. Besarnya fLO diatur pada range frekuensi 40,7 MHz s/d 77,3 MHz. Mixer. Mixer berfungsi untuk mencampurkan sinyal fRF keluaran Rx stage dengan sinyal fLO dari local oscillator (frequency synthesizer), sehingga dihasilkan sinyal-sinyal baru dengan frekuensi yang lebih rendah atau lebih tinggi dari sinyal fRF . Sinyal baru ini disebut sinyal IF. Rangkaian mixer dibangun dari sebuah dual gate MOSFET yang dioperasikan pada daerah atau karakteristik non linier untuk menghasilkan intermodulasi. Sehingga pada keluaran mixer dapat dihasilkan sinyal IF hasil intermodulasi dari sinyal fRF dan sinyal fLO . Biasanya diambil harmonisa pertama atau kedua, dengan frekuensi sebesar : fIF = fRF + fLO Æ frekuensi lebih tinggi = fRF - fLO Æ frekuensi lebih rendah Pada rangkaian mixer ini, difungsikan sebagai frequency down conversion. Sehingga diperoleh frekuensi IF yang lebih rendah dari fRF , yaitu sebesar 10,7 MHz ( frekuensi IF FM ) dari persamaan fIF = fRF - fLO Sebagai contoh : Untuk mengambil dan memperkuat sinyal RF = 53 MHz, frequency synthesizer sebesar fRF harus membangkitkan frekuensi fLO sebesar = fRF - fLO fIF 10,7 MHz = 53 MHz - fLO Sehingga besarnya fLO = 42,3 MHz
3.
METODOLOGI [ 3 ].
Pada pembuatan Receiver ini penulis melaksanakan metoda reverse engineering. Rangkaian rangkaian RF Stage, Oscillator, Mixer, Filter dan 10,7-MHz IF stage, dan IF system merupakan salah satu sumber dari bahan studi literature yang menerangkan prinsip kerja dari rangkaian diatas ,sehingga prinsip dari Receiver dapat diketahui. Pada literatur literatur tersebut ada diagram blok sistem RF Stage, Oscillator, Mixer, Filter dan 10,7-MHz IF stage, dan IF system, beserta diagram-skematiknya. Komponen komponen baik pasif dan aktif seperti : transistor,diode, resistor, capasitor, induktor, dan lainnya yang ada pada literatur dipelajari data datanya untuk digunakan mencari komponen ekivalennya, sesuai yang ada di pasar komponen elektronika kita. Satu persatu rangkaian rangkaian kami coba dan diukur , sehingga kami dapatkan rangkaian rangkaian yang dapat bekerja. Percobaan percobaan dilaksanakan dengan cara coba langsung tiap blok, lalu diukur hasilnya serta hasil pengukuran dievaluasi Uji coba dilaksanakan terus sehingga didapatkan hasil yang baik. Dari hal diatas dapat disimpulkan bahwa metodologi yang kami laksanakan adalah sebagai berikut :
Filter dan 10,7-MHz IF stage. Filter IF berfungsi untuk memilih frekuensi keluaran mixer. Filter IF berupa filter kinerja tinggi, yang dibangun dari eight-pole monolithic crystal yang bekerja pada frekuensi tengah sebesar 10,7 MHz. sehingga dapat memilah sinyal pada frekuensi IF hasil down conversion dari mixer yang besarnya 10,7 MHz. Filter ini mempunyai penguatan, yang dibangun dari penguat berupa dual-gate MOSFET. Dengan adanya penguatan ini, IF stage dapat memperkuat sinyal IF sebelum diproses lebih lanjut oleh bagian IF system.
1. 2. 3.
IF system. IF system berupa rangkaian IC (narrowband FM IF system) yang terdiri dari oscillator,
82
Studi literatur dari daftar pustaka. Mengumpulkan data data komponen yang kemungkinan akan dipergunakan Mengumpulkan data data komponen equivalent tersebut diatas,supaya kita dapat mengganti dengan komponen yang ada dipasasran. Mendisain ulang rangkaian exciter
dengan komponen yang ada dipasar , terutama bagian RF Stage, Oscillator, Mixer, Filter dan 10,7-MHz IF stage, dan IF system. Membuat rangkaian rangkaian : RF Stage, Oscillator, Mixer, Filter dan 10,7-MHz IF stage, dan IF system. 4. Mengukur hasil percobaan dan melaksanakan evaluasi. Mengulangi percobaan,pengukuran dan evaluasi sampai didapatkan RF Stage, Oscillator, Mixer, Filter dan 10,7-MHz IF stage, dan IF system yang memenuhi persyaratan untuk perangkat Receiver
5.
pendekatan lain yang jarang dilakukan, adalah melewatkan sinyal melalui loudspeaker kemudian menggunakan transduser yang terhubung dengan SINAD meter, yang akan menkonversi audio menjadi besaran elektrik. Hal ini memastikan setiap distorsi yang dihasilkan oleh speaker dijumlahkan, mengatasi masalah dengan menggabungkan akses koneksi speaker yang pada kondisi tertentu tidak memungkinkan. Gambar yang dihasilkan untuk sinyal ditambah gangguan dan distorsi serta gangguan ditambah distorsi saja memungkinkan perhitungan besar SINAD untuk radio penerima dari perlengkapan lain.
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1.Hasil Pengukuran Sensitivitas.
Sensitifitas didefinisikan : besarnya sinyal yang diberikan pada input receiver untuk menghasilkan sinyal output tertentu.[4], Dalam percobaan ini output 0,1 W. Diagram blok pengukuran adalah seperti pada gambar 4. Selektifitas suatu penerima dapat dibedakan dari kemampuan memisahkan sinyal dengan frekwensi yang diinginkan terhadap sinyal frekwensi lain.[ 4 ], Selektifitas ini dapat dinyatakan oleh tegangan sinyal masuk sebagai fungsi pergeseran frekwensi dari frekwensi resonansi untuk menghasilkan standar output. Dalam percobaan ini 0,1 watt. SINAD adalah pengukuran pengurangan sinyal yang diakibatkan oleh sinyal lain yang tidak diinginkan termasuk gangguan (noise) dan distorsi, SINAD dapat digunakan untuk setiap divais radio komunikasi. Namun, pengukuran SINAD biasa digunakan untuk mengukur dan membedakan sensitivitas sebuah radio penerima (receiver). Definisi SINAD sangat jelas, yaitu perbandingan antara total sinyal, sinyal+gangguan+distorsi (total signal power level) dengan sinyal yang tidak diinginkan, gangguan+distorsi (unwanted signal power). Oleh karena itu, semakin besar nilai SINAD, semakin baik pula kualitas sinyal audio. [ 5 ]. Untuk membuat pengukuran, sebuah sinyal yang telah dimodulasi dengan nada audio (audio tone) diberikan pada radio penerima. Frekuensi 1 kHz diberikan sebagai standar karena berada pada audio. Pengukuran pertengahan bandwidth dilakukan pada keseluruhan sinyal atau dengan kata lain sinyal yang telah ditambah gangguan dan distorsi. Bila frekuensi nada diketahui, sinyal yang dihasilkan audio akan dilewatkan pada notch filter untuk menghilangkan nada. Sisa gangguan dan distorsi pun dapat diukur. Meskipun mengukur keluaran besaran elektrik pada terminal keluaran radio receiver audio adalah hal yang biasa,
Gambar.4: Diagram blok pengukuran Sensitivitas. Cara pengkururan: -Generator FM, outputnya dihubungkan pada input receiver -Generator dihidupkan ,frekwensi diatur pada daerah 30-80 MHz, output 1 m volt dan internal modulasi. -Receiver dihidupkan ,tune diatur pada frekwensi sama dengan generator. -Bila tone kedengaran pada pengeras suara besarkan volume -Pengeras suara diganti dengan tahanan output diukur dengan voltmeter -Besarkan output generator dan jaga volume sampai output audio 1 volt. Hasil pengukuran pada tabel1. Tabel 1: Pengukuran Sensitivitas Freq(MHz) Input Output 50 0,25 uV 1 volt 55 0,25 uV 1 volt 60 0,25 uV 1 volt 65 0,25 uV 1 volt 70 0,25 uV 1 volt 75 0,25 uV 1 volt 80 0,25 uV 1 volt
83
memisahkan sinyal dengan frekwensi yang diinginkan terhadap sinyal frekwensi lain. Selektifitas ini dapat dinyatakan oleh tegangan sinyal masuk sebagai fungsi pergeseran frekwensi dari frekwensi resonansi untuk menghasilkan standar output. Definisi SINAD sangat jelas yaitu, perbandingan antara total sinyal, sinyal+gangguan+distorsi (total signal power level) dengan sinyal yang tidak diinginkan, gangguan+distorsi (unwanted signal power). Sensitivity 0,25 uV, selektivity 60 dB dan SINAD= 12 dB. Oleh karena itu, semakin besar nilai SINAD, semakin baik pula kualitas sinyal audio.
4.2.Hasil Pengukuran Selectivitas. Cara pengukuran: • Dengan peralatan seperti pada pengukuran sensitivitas. • Frekwensi generator ditentukan misal 50,000 MHz. • Penerima diatur frekwensinya 50,000 MHz. • Volume dibesarkan sampai maksimum. • Naikan frekuensi output sinyal generator sebesar 25 KHz , hingga menjadi 5,025 MHz • Ukur tegangan audio ouput. • Turunkan frekuensi output sinyal generator sebesar 25 KHz , hingga menjadi 4,975 MHz • Ukur tegangan audio ouput. • Catat hasilnya pada tabel dibawah. • Hasil pengukuran dapat dilihat pada tabel2.
UCAPAN TERIMA KASIH Penelitian ini dilaksanakan di Puslit Elektronika dan Telekomunikasi-LIPI. Terima kasih disampaikan kepada : 1. Daday Ruhiat Amd, Djaelani dan Dede Ibrahim, dan Prof.Ir.Ika Hartika Ismet, Puslit Elektronika dan Telekomunikasi-LIPI 2. Ir.Sihono, DITHUBAD-TNI AD. 3. Rustamaji Ir,MT., Jurusan Teknik Elektro – ITENAS. yang telah membantu dalam melaksanakan penelitian dan penulisan makalah ini.
Tabel 2:Pengukuran Selektivitas
Frek. Penerima MHz 5,000 5,025 4,975
Frek.Out.Gen. MHz 5,000 5,000 5,000
Output Audio ( volt) 1,00 0,001 0,001
Pengukuran SINAD [5 ]
DAFTAR REFERENSI [1].Elan Djaelani,Agus Subekti,”VHF Electronic Jamming Device For Electronic Warfare”,Proceeding of :Asia Pacific On Arts,Science,Engineering & Technology,Solo May 19-22 2008,ISBN:979 3688 88 2 [2].LaporanAkhirPerangkatVHF Electronic JammingUntukElectronicWarfare,Program Insentif Riset Terapan ,Ristek,2007. [3].ElanDjaelani,DadayRuhiat,”Pembuatan Voltage Control Oscilator untuk Perangkat Pemancar Jamming”, Prosiding Seminar Radar Nasional 2007.Jakarta,18-10 April 2007,ISBN 9-793-688896 [4].Praktikum Teknik Frekwensi Tinggi ,Jurusan Teknik Elekto ,ITB. [5].SINAD and SINAD Measurement .Dari Web SINAD [6].ElanDjaelani,RidodiAnantaprama,”Design Of Radio Direction Finder Device”, Proceeding of :Asia Pacific On Arts,Science,Engineering & Technology,Solo May 19-22 2008, ISBN:979 3688 88 2 [7]. Module Receiver,Manual Books Radio PRC 1077.
Gambar 5 : Blok diagram pengukuran SINAD SINAD
=
10Log ( SND / ND )
dimana: SDN= level power kombinasi (sinyal + noise + distorsi) ND= level power kombinasi ( noise + distorsi) Dari hasil pengukuran didapat nilai SINAD=12 dB. 6.
PENUTUP.
Parameter yang penting pada receiver antara lain adalah:Sensitivitas, Selectivitas dan SINAD. Sensitifitas didefinisikan : besarnya sinyal yang diberikan pada input receiver untuk menghasilkan sinyal output tertentu. Sedangkan Selektifitas suatu penerima dapat dibedakan dari kemampuan
84
Pemanfaatan Sistem Pakar Dalam Perancangan Sistem Analisa Masalah dan Penentu Tindakan Pemeliharaan RADAR 1)
2)
3)
Edith Nurhidayat Kurniawan S. , Aciek Ida Wuryandari , Arwin D.W. Sumari 1) 2) 3) Sekolah Teknik Elektro dan Informatika, Institut Teknologi Bandung Gedung Labtek VIII Kampus ITB, Jl. Ganesa No. 10, Bandung, 40132– INDONESIA Email:
[email protected],
[email protected],
[email protected] 3) Departemen Elektronika, Akademi TNI Angkatan Udara Ksatrian Akademi TNI AU, Lanud Adisutjipto, Yogyakarta, 55002 – INDONESIA
ABSTRAK Pemeliharaan merupakan aspek penting yang tidak bisa diabaikan oleh suatu satuan dalam melakukan fungsi operasinya. Pemeliharaan harus dilaksanakan secara kontinu, cepat dan tepat sasaran sehingga menjamin kesiap operasian alat utama sistem senjata udara (alutsistaud) yang diawaki oleh satuan operasi tersebut. Satuan radar sebagai contoh satuan operasi yang dimiliki oleh TNI Angkatan Udara tersebar di seluruh pelosok wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, terutama di daerah-daerah terluar sebagai telinga pertahanan udara Indonesia. Hal ini menyebabkan pemeliharaan berat yang dilakukan seringkali terkendala oleh msalah jarak, waktu dan personel karena pusat kegiatan pemeliharaan terletak di pulau Jawa. Maka dari itu dibutuhkan suatu sistem terpadu yang dapat menjembatani permasalahan pemeliharaan antara satuan operasi dengan pusat pemeliharaan sehingga satuan operasi dapat memaksimalkan kesiapoperasian alutsistaud yang dibawahinya. Kata kunci : alutsistaud, siap operasi, radar, pemeliharaan, sistem pakar
1.
tanpa terkendala jarak dan waktu sehingga operasi dari suatu sistem tidak akan mengalami hambatan dan dapat berjalan lancar.
PENDAHULUAN
Perkembangan teknologi yang makin pesat dan maju saat ini telah banyak membantu manusia dalam segala aspek kehidupan. Sistem berbasis kecerdasan buatan, sebagai salah satu teknologi yang menjadi topik hangat dan terus dikembangkan telah membawa banyak manfaat dalam kehidupan manusia. Dengan menggunakan sistem dan metoda yang tepat, penerapan aplikasi berbasis kecerdasan buatan dapat membuat tugas spesifik yang sebelumnya sulit dilakukan menjadi mungkin dan mendapatkan hasil yang lebih akurat. Salah satu metode kecerdasan buatan yang ada dan telah banyak digunakan saat ini adalah Sistem Pakar. Sistem pakar pada dasarnya merupakan penggabungan dari pengetahuan (knowledge) yang dimiliki oleh seorang pakar / ahli dengan basis data pengetahuan (knowledge database) yang digunakan untuk membantu pengguna (user) untuk memecahkan masalah yang dihadapinya. Sistem pakar bersifat spesifik sesuai dengan tujuan dan masalah yang akan dipecahkan. Sistem Analisa Masalah dan Penentu Tindakan Pemeliharaan sebagai salah satu aplikasi dari Sistem Pakar yang dirancang untuk memecahkan masalah di bidang pemeliharaan (maintenance). Dengan menggunakan SAPP, diharapkan kegiatan pemeliharaan dapat dilaksanakan secara kontinu,
2.
DASAR TEORI
Pemeliharaan Pemeliharaan alutsistaud merupakan suatu kegiatan yang harus dilaksanakan secara berkesinambungan agar alutsistaud yang dimiliki senantiasa berada dalam kondisi siap guna sehingga dapat digunakan dalam segala operasi setiap waktu. Kegiatan pemeliharaan mencakup personel, peralatan, prosedur pemeliharaan dan material. Alat Utama Sistem Senjata Udara (Alutsistaud) Alutsistaud didefinisikan sebagai sistem persenjataan yang terkait langsung dengan penggelaran suatu operasi udara di antaranya adalah pesawat-pesawat terbang (tempur, angkut dan helikopter) beserta kelengkapan avionik di dalamnya, radar-radar yang digelar, peralatan peperangan elektronika, peluru kendali dan lain sebagainya [1]. Alutsistaud membutuhkan pemeliharaan yang teratur, tepat dan cepat sehingga dapat terjamin kesiapoperasiannya kapanpun dibutuhkan dan dimanapun digelar.
85
Kecerdasan Buatan Kecerdasan buatan merupakan bagian dari ilmu pengetahuan komputer yang ditujukan untuk perancangan otomatisasi tingkah laku cerdas dalam sistem kecerdasan komputer. Dengan demikian diharapkan komputer bisa menirukan beberapa fungsi otak manusia, seperti berpikir dan belajar. Kecerdasan merupakan kemampuan untuk memperoleh, mengerti dan menggunakan kemampuan yang dimilikinya untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapinya. Tujuan dari dibuatnya kecerdasan buatan adalah : • Membuat mesin menjadi lebih pintar (tujuan utama) • Memahami apa itu kecerdasan (tujuan ilmiah) • Membuat mesin lebih bermanfaat (tujuan entrepreneurial) Sedangkan ciri dari suatu sistem dapat dikatakan “cerdas” adalah : • Mampu belajar dari pengalaman • Memahami pesan-pesan yang ambigous atau kontradiktif • Merespon situasi baru secara cepat dan benar • Melakukan reasoning (pertimbangan) untuk menyelesaikan masalah
Gambar 1: Diagram Backward Chaining
3. SAPP Perancangan SAPP dirancang sebagai bagian dari suatu sistem yang lebih besar, yaitu Sistem Pemeliharaan Jarak Jauh Alutsista Udara (SPJJ). Sedangkan SPJJ itu sendiri merupakan gabungan dari 3 sub sistem, yakni : 1. Sistem Pelaporan Diri Otomatis (SPDO) 2. Sistem Pemantau Tindakan Pemeliharaan Mobile (SPTM) 3. Sistem Analisa Masalah dan Penentu Tindakan Pemeliharaan (SAPP)
Sistem Pakar (Expert System) Sistem pakar merupakan sebuah program komputer yang dirancang untuk memodelkan kemampuan menyelesaikan masalah seperti layaknya seorang pakar (human expert). Dalam penyusunannya, sistem pakar mengkombinasikan kaidah-kaidah penarikan kesimpulan (inference rules) dengan basis pengetahuan tertentu yang diberikan oleh satu atau lebih pakar dalam bidang tertentu. Kombinasi dari kedua hal tersebut disimpan dalam komputer, yang selanjutnya digunakan dalam proses pengambilan keputusan untuk penyelesaian masalah tertentu. Beberapa alasan yang mendasari pengembangan dan pemanfaatan sistem pakar [2], adalah : • Dapat menyediakan kepakaran setiap waktu dan diberbagai lokasi • Secara otomatis mengerjakan tugas-tugas rutin yang membutuhkan seorang pakar. • Seorang Pakar akan pensiun atau pergi • Seorang Pakar adalah mahal • Kepakaran dibutuhkan juga pada lingkungan yang tidak bersahabat (hostile environtment)
Gambar 2: Sistem Pemeliharaan Jarak Jauh Alutsista Udara[3]
Sedangkan proses kerja SAPP dengan diagram alur sebagai berikut :
Backward Chaining Backward chaining merupakan strategi pencarian yang memulai proses dari ruang lingkup yang lebih besar menuju ke titik-titik informasi yang lebih mendasar. Strategi ini disebut juga goal driven. Gambar 3: Diagram Alur SAPP
86
dirancang
Proses kerja SAPP terdiri dari 1. Input Data Pada proses ini, user akan memberikan data fakta atau masalah yang terjadi di lapangan, yakni kerusakan yang terjadi. 2. Pre Processing Komputer akan mengolah data masukan yang diberikan oleh user dan mencocokannya dengan pengelompokan kategori kerusakan yang sudah tersimpan di knowledge database. 3. Klarifikasi Komputer akan mengklarifikasikan ciri-ciri kerusakan kepada user secara tahap per tahap sesuai dengan data tersimpan di knowledge database. 4. Pengambilan Keputusan Setelah semua data diterima oleh komputer, selanjutnya mesin inferensi akan mengolah data masukan dan data di knowledge database untuk kemudian diberikan suatu solusi pemecahan masalah dan penentuan tindakan perbaikan yang selanjutnya disampaikan kepada user .
SAPP diujicoba dengan menggunakan software WinExsys yang memang dirancang untuk mensimulasikan program-program expert system. Untuk ujicoba ini, dirancang suatu dummy program yang dapat menggambarkan tahap-tahap pencarian dan klarifikasi SAPP hingga menentukan kerusakan apa yang dialami oleh sistem yang dianalisis masalah kerusakannya. Dummy program ini mengambil Display System sebagai contoh sistem yang dijadikan objek pemeliharaan, namun kerusakan yang dicontohkan masih belum disesuaikan dengan sistem yang sesungguhnya. Dummy Program yang dirancang mengikuti searching tree seperti pada gambar 4.
Adapun proses pengolahan informasi dapat dilihat pada gambar berikut :
Gambar 4: Proses Pengolahan Informasi
Gambar 5: Searching Tree Dummy Program
Proses pengolahan informasi dilakukan oleh mesin inferensi untuk menghasilkan kesimpulan. Setelah user memberika n input data berupa masalah yang dihadapi di lapangan, maka data itu akan dikomparasikan dengan knowledge database yang telah berisi data pengetahuan pakar berupaciri-ciri, kerusakan, dan aturan pengambilan keputusan. Selanjutnya akan dihasilkan solusi yang kemudian disampaikan ke user sebagai langkah atau tindakan pemeliharaan yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah yang dihadapi. Proses pengambilan kesimpulan SAPP menggunakan algoritma Backward Chaining, dimana sistem akan mencari akar permasalahan secara bertahap dari permasalahan utama yang diberikan oleh user. Sistem akan mengidentifikasi tahap per tahap kerusakan yang terjadi kemudian ditentukan langkah-langkah perbaikan yang sebaiknya dilaksanakan. Implementasi
Searching tree di atas kemudian diimplementasikan pada software WinExsys dengan memberikan qualifier, choice dan rule-rule dengan mengikuti proses yang diinginkan. Hasilnya dapat dilihat sebagai berikut :
87
maintenance book dari sistem yang hendak dianalisa. Proses pencarian dan penentuan keputusan dapat dilakukan dengan cepat sehingga menghemat waktu dan dapat meningkatkan kinerja perbaikan. Pengembangan SAPP ini baru diujicoba dengan menggunakan software WinExsys, dimana software ini memiliki kelemahan dalam berintegrasi dengan program lainnya, terutama jika diimplementasikan sebagai Web-based Applications. Untuk pengembangan selanjutnya, SAPP dapat diimplementasikan dengan beberapa bahasa pemrograman lain yang telah banyak digunakan pada saat ini. Selain itu, SAPP juga dapat diintegrasikan dengan database suku cadang yang ada di Depo Pemeliharaan terkait untuk memberikan informasi pada user mengenai ketersediaan suku cadang yang dibutuhkan terkait dengan kerusakan yang dialami oleh sistem di satuan. Hal ini akan meningkatkan kesigapan dari user maupun Depo untuk menentukan langkah pemeliharaan yang harus segera dilakukan. 5. KESIMPULAN Dengan perancangan Sistem Analisa Masalah dan Penentu Tindakan Pemeliharaan ini maka Operasi pemeliharaan yang dilaksanakan oleh TNI – AU khususnya Satuan Radar yang tersebar di seluruh daerah-daerah terluar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak lagi terkendala oleh waktu, jarak dan kesiapan teknisi di pusat pemeliharaan karena sistem ini dapat beroperasi 24 jam secara online sehingga kapanpun ditemui kerusakan yang memerlukan penanganan dengan segera maka kegiatan pemeliharaan dapat segera dilakukan. DAFTAR REFERENSI [1] Sumari, Arwin D.W., S.T., Mayor Lek, “Konsep Desain dan Implementasi Sistem Pemeliharaan Alat Utama Sistem Persenjataan Udara Berbasis Kecerdasan”, Jurnal TNI Angkatan Udara “Angkasa Cendekia”, 2008. Jakarta : Dispenau, hal 23 – 46. [2] Arhami, Muhammad, Konsep Dasar Sistem Pakar, Yogyakarta : Andi. 2005 [3] Sumari, Arwin D.W., S.T., Mayor Lek, “Konsep Sistem Pemeliharaan Jarak Jauh Alat Utama Sistem Senjata Udara”, Buletin Koharmatau, Edisi ke-10, 2008, Bandung : Koharmatau, hal 25 - 28. [4] Russel, Stuart and Norvig, Peter, Artificial Intelligence : A Modern Approach, USA: Prentice-Hall. 2002. [5] Suyanto, Artificial Intelligence, Bandung : BiObsess. 2007. [6] ----------, “Department of Defense Dictionary of Military and Associated Terms”, Joint Publication 1-02, US DoD, 12 April. 2001.
Gambar 5 a.b.c.d : SAPP dengan WinExsys
4. HASIL DAN PEMBAHASAN Dari perancangan dan simulasi yang telah dilaksanakan, dapat terlihat bahwa SAPP dengan menggunakan sistem pakar memberikan kemudahan dalam melakukan analisa terhadap masalah kerusakan yang dihadapi dan dapat segera memberikan saran tindakan yang harus dilakukan disertai dengan part mana yang harus diperbaiki. Sistem ini dapat digunakan oleh baik orang yang telah terlatih maupun tidak dengan hasil diagnosa yang memiliki tingkat kepercayaan tinggi karena database yang digunakan berasal dari
88
Penggunaan RADAR bagi Kepentingan Pertahanan Udara Suparman D, MM Kolonel Lek NRP 504939 Askomlek Kas Kohanudnas ABSTRAK Pada dasawarsa 60-an dan 70-an, wilayah udara dipantau dengan menggunakan Radar-Radar generasi pertama yang menggunakan teknologi tabung, antara lain Radar Nysa (Polandia), Decca, Plessey (AWS IIInggris) dan P-30 (Uni Sovyet). Meskipun teknologi yang dimiliki masih sangat sederhana dan hanya menyuguhkan bearing dan range saja pada console, namun dengan kemampuan deteksi rata-rata 120 NM sampai dengan 180 NM, keberadaan Radar-Radar tersebut cukup mampu memberikan informasi seluruh pesawat yang memasuki wilayah udara Indonesia, khususnya pulau Jawa. Pada dasawarsa 80 sampai dengan 90-an sistem pertahanan udara dikembangkan dengan adanya pembangunan Radar-Radar Thomson di beberapa tempat, baik type TRS 2230 (Plannar) ataupun TRS 2215 (Hyperbolic). Berbeda dengan generasi terdahulu, Radar-Radar generasi ini sudah lebih modern. Walau masih menggunakan teknologi Tabung, penunjukan sasaran sudah dalam 3 (tiga) dimensi (3D ; bearing, range, altitute). Dalam era ini Radar sudah dapat di gelar ditempat yang berpindah-pindah (mobile). Penambahan sistem komunikasi ground to air, sangat memudahkan pengendalian dan pemberian informasi adanya pesawat asing di sekitarnya. Penyampaian informasi posisi dan pergerakan lawan yang cepat dan akurat sangat membantu para penerbang melaksanakan misinya. Pengiriman teknisi-teknisi ke India (Naya) dan Polandia dalam rangka melaksanakan alih teknologi, yang diharapkan nantinya mampu menangani permasalahan di seputar Radar. Namun dengan berjalannya waktu ke waktu teknologi berkembang dengan cepat, dan mulai meninggalkan masalah yang krusial dan akhirnya menjadi kendala yang sulit terpecahkan. Kasus kekurangan dan langkanya suku cadang mulai menimbulkan kerusakan-kerusakan permanen yang sulit diatasi. Antara tahun 1990 dan 2000-an, penambahan Sista Radar jatuh pada pilihan Plessey Commander, yaitu AR-327 dan AR-327, yang di gelar di Kosek II. Radar-Radar ini merupakan generasi lanjutan dari Radar Plessey terdahulu. Dengan menggunakan teknologi layar datar dan TID (Touch Input Devices), penampilan console terlihat lebih simple. Pembangunan MROC (Multi Role Operation Centre) ada dalam satu paket dengan Radar Plessey generasi tersebut. Diharapkan MROC mampu berfungsi sebagai pengganti SOC, apabila terjadi hal-hal yang tidak di inginkan. Pada era 2000-an penggelaran Radar lebih memilih type Master T untuk melengkapi kesiapan Radar di tanah air dalam rangka memperkuat sistem pertahanan udara dan menutup seluruh wilayah udara NKRI. Untuk dapat mengcover seluruh wilayah udara nasional memerlukan dana yang tidak kecil maka dibangunlah beberapa MCC (Military and Civil Coordination) yang berfungsi untuk mengintegrsikan Radar-Radar Hanud dengan Radar sipil. Dalam hal ini peranan TDAS (Trasmission Data Air Situation) juga sangat membantu proses integrasi tersebut. Dengan adanya TDAS ini situasi wilayah udara dapat di kirim ke Posek (Pusat Operasi Sektor) dan Popunas (Pusat Operasi Pertahanan Udara Nasional) secara real time. Sistem Komando Kendali Komputerisasi dan Informasi atau K3I, dibangun dan dikembangkan dengan sistem SBM. Luasnya wilayah dirgantara, makin meratanya hasil-hasil pembangunan dan tersebarnya obyek vital yang harus diamankan, menuntut keberadaan Sista yang handal dan memadai, juga menuntut para personil yang mengawaki secara professional dan disiplin, sehingga diperlukan suatu piranti yang dapat beroperasi terus menerus secara mantap, terpadu, responsive, efektif dan efisien dalam menjaga kedaulatan Negara sepanjang tahun. Kata Kunci :Radar, Sista, K3I,Posek, Popunas 1.
sektor dimana sasaran itu berada. Sedangkan Radar generasi modern mampu menangkap sasaran dengan menentukan koordinat sasaran secara akurat, ketinggian, jarak, kecepatan serta informasi keuntungan lainnya. Pada era globalisasi peran dan fungsi Radar dalam kehidupan sehari-hari manusia amat penting, indikasinya dapat dilihat dari betapa urgen
PENDAHULUAN
Sejak diketemukannya Radar oleh Sir Robert Watson Wat (the Father of Radar) pada tahun 1932 sampai saat ini telah mengalami perkembangan yang sangat cepat di bidang teknologinya. Perkembangan ini ditujukan pada penambahan efektifitas penggunaan dan penambahan efisiensi penggelaran dan pemeliharaan serta peningkatan kehandalan sistemnya. Sebagai ilustrasi, Radar pertama hanya mampu menangkap sasaran dan hanya mampu menunjukkan
kehidupan dalam masyarakat sipil dan kepentingan militer yang didukung oleh perangkat Radar.
89
Dukungan kebutuhan tersebut terjadi pada sistem transportasi udara dan sistem senjata udara yang bergerak dengan berkecepatan sangat tinggi. Melalui aplikasi demikian diketahuilah bahwa tanpa bantuan Radar, kedua jenis sistem di atas tidak mungkin dapat menjalankan fungsinya dengan aman. Penyebab pesatnya perkembangan teknologi Radar adalah akibat dari pesatnya perkembangan teknologi komponen elektronika, perkembangan teknologi gelombang mikro dan perkembangan teknologi komputer. Pengaruh teknologi lain dalam perkembangan teknologi Radar sangatlah kecil apabila dibandingkan dengan perkembangan teknologi tersebut di atas. Dari ketiga teknologi yang secara signifikan mempengaruhi sistem Radar, maka teknologi komputerlah baik software maupun hardware yang paling besar memberikan kontribusi dalam perkembangan teknologi Radar, sehingga sistem semakin modern, simple, efektif dan efisien namun mahal dalam pemeliharaannya. Dalam operasi atau kegiatan militer; terutama pada perang udara untuk menjaga dan mempertahankan keunggulan di udara, maka Radar menjadi pemegang peran sebagai mata sekaligus telinga baik dalam sistem pertahanan maupun sistem penyerangan udara. Radar menentukan tempat kedudukan sasaran serta memberi peringatan dini akan adanya ancaman udara yang membahayakan. Radar juga dapat digunakan sebagai sarana navigasi taktis (Tactical Navigation = Tacan) serta fighter recovery untuk menuntun pesawat Tempur Sergap kembali ke home base. 2.
RADAR
2.1 Definisi Radar. Adalah singkatan dari Radio Detection And Ranging sebagai bagian dari implementasi teknik radio yang bekerja menggunakan pancaran dan pantulan gelombang elektromagnetik sehingga dapat berfungsi untuk menemukan dan menentukan koordinat sasaran, besar ukuran penampang sasaran serta parameter gerakannya. 2.2 Prinsip Radar. Secara Garis Besar prinsip kerja Radar didasarkan pada sifat pantulan gelombang elektromagnetik yang dipancarkan oleh Transmitter Radar terhadap permukaan atau penampang pesawat terbang yang lazim disebut dengan Primary Radar yang biasanya beroperasi pada L-Band, S-Band untuk Radar pertahanan udara. Sedangkan prinsip kerja Radar lainnya ada yang menggunakan Interogattor (tranmitter yang ada di darat) dan Transponder untuk memantulkan kembali signal yang diterima pada pesawat yang sedang terbang yang biasanya disebut Secondary Surveillance Radar (SSR ). Dari prinsip kerja ini maka Radar dapat dibedakan menjadi Primary Radar yang biasa digunakan dalam lingkungan militer, sedangkan SSR biasa digunakan
dalam lingkungan sipil untuk mendukung pengaturan lalu lintas dan keselamatan penerbangan dengan menggunakan Mode 3/A dan Mode C. SSR dalam lingkungan Militer lazim disebut Identification Friend and Foe (IFF) yaitu untuk membedakan pesawat kawan dan lawan dalam operasi militer dengan menggunakan Mode 1, Mode 2, Mode 3/A, dan Mode C. 2.3 Data Taktis a. Data taktis Radar merupakan data kemampuan Radar dalam menjalankan operasinya. Data ini diperoleh setelah terhadap sebuah Radar diadakan test lapangan. Hasil dari test lapangan ini yang sifat pelaksanaannya berulang-ulang akan menghasilkan data taktis. Data taktis suatu Radar harus memenuhi tuntutan taktis yang ditentukan oleh pengguna Radar. Biasanya tuntutan taktis (operational requrement) ditentukan berdasarkan kebutuhan operasional Radar itu sendiri. b. Data taktis sangat didukung oleh data teknis. Karena secara teoritis data teknislah yang akan mendukung tercapainya data taktis di lapangan. Data taktis suatu Radar tergantung dari fungsi Radar itu sendiri. Pada umumnya data taktis Radar adalah sebagai berikut : • Jarak deteksi maksimum dan minimum. • Limit pengamatan pada bidang horizontal (biasanya 3600 untuk Radar darat dan + 450 untuk Radar pesawat terbang). • Ketinggian maksimum dan minimun • Resolusi azimuth dan resolusi jarak. • Ketepatan pengukuran koordinat sasaran • Kemampaun menghadapi ECM (“Jamming Immunity”). • Kemampuan mengolah informasi. • Waktu penggelaran dan waktu penggulungan untuk Radar yang besifat Mobile. 2.4 Jenis Radar. Dari prinsip pemancaran dan proses penerimaan sinyal pantul Radar dibagi dalam 4 (empat) jenis : rudal balistik antar benua atau sebagai Radar astronomi atau sebagai teropong bidik malam. 2.4.1 Radar Aktif dengan Jawaban Aktif. Yang dimaksud dari Radar Aktif dengan Jawaban Aktif adalah Radar yang secara aktif memancarkan sinyal gelombang elektromagnetik dan sasaran yang dikenai sinyal tersebut akan mengolah kembali sinyal tersebut menjadi sinyal lain dengan frekuensi dan kharakteristik yang berbeda. Radar ini disebut Secondary Surveillance Radar (SSR) dalam penggunaan sipil atau Interrogation Friend or Foe (IFF) dalam penggunaan militer. 2.4.2 Radar Aktif dengan Jawaban Pasif. Adalah Radar yang secara aktif memancarkan sinyal elektromagnetik dan penerimanya akan mengolah
90
sinyal yang dipantulkan oleh sasaran. Sinyal-sinyal lain, misalnya sinyal dari stasiun Radar yang berdekatan atau sinyal yang ditimbulkan dari bunga api listrik merupakan sinyal derau. 2.4.3 Radar Semi Aktif. Adalah Radar dimana pemancar memancarkan sinyal secara aktif gelombang elektromagnetik dan penerimanya menerima sinyal pantul dari sasaran. Akan tetapi kedudukan antara pemancar dan penerimanya terpisah. Radar ini adalah Homing Radar, dimana pemancar berada dipermukaan bumi, sedangkan penerima berada dipeluru kendali dan pemantul adalah sasaran pesawat terbang. 2.4.4 Radar Pasif. Radar ini tidak memancarkan sinyal gelombang elektro-magnetik akibat efek “Back Body Radiation” (BBR). Efek BBR adalah suatu gejala alami, dimana benda/zat dengan temperatur di akan memancarkan gelombang atas 0 0K elektromagnetik pada daerah infra merah. Radar ini biasanya dipakai sebagai alat untuk mendeteksi peluncuran 3. PENGARUH TEKNOLOGI KOMPUTER TERHADAP RADAR
a)Side Lobes Suppression, dalam rangka meningkatkan “Surviveability” Radar dalam pengaruh ECM lawan. b)Antena tidak perlu digerakkan baik secara vertikal maupun horizontal, karena sudah terjadi “Scanning Beam” secara elektronik. Dengan demikian kesalahan karena kecepatan angin pada antena sudah tidak berlaku lagi (terutama untuk Radar kapal laut). 4.
PERUNTUKAN RADAR
Peruntukan Radar bagi kepentingan komersial digunakan untuk transportasi udara dan laut terutamanya untuk keselamatan penerbangan dan pelayaran serta kepentingan lainnya terkait dengan kesejahteraan dan keamanan diantaranya untuk : • Air Traffic Control Radar. • Ground Control Approach Radar. • Navigation Radar. • Ground Mapping Radar. • Terrain Following and Terrain Avordance Radar. • Weather Radar dll. Sedangkan untuk kepentingan Militer. digunakan untuk : • GCI/EW Radar • Navigation Radar. • Surveillance Radar. • Acquisition Radar. • Tracking Radar. • Homing Radar. • Airborne Interception Radar.
a. Pengaruh perkembangan teknologi komputer memberikan dampak revolusioner terhadap kemajuan teknologi sistem Radar. Dengan adanya perkembangan komputer, terjadi perubahan “State of the Art” dari sistem Radar. Ini berarti sistem Radar sebelum sentuhan komputer sangat berbeda jauh bila dibandingkan dengan Radar dengan sentuhan komputer. Perbedaan ini terletak pada hal-hal sebagai berikut :
4.1 Penggunaan Radar Dalam Sistem Pertahanan Udara
• Kemampuan ECCM (Electronics CounterCounter Measures) atau pencegahan perlawanan elektronika. • Kemampuan pengendalian pemancaran dengan menggunakan Mode yang berbeda-beda sesuai dengan peruntukannya dan kepentingan operasional seperti Early Warning (pancaran sejauh-jauhnya), Moving Target Indicator ( MTI) dll. • System design indicator / Present Position Indicator (PPI). • Sistem pemrosesan signal. • Aplikasi Software untuk pengendalian intersepsi lebih efektif dan efisien. • Penggunaan Software untuk kepentingan simulasi latihan awak Radar apakah Radar Operator maupun GCI Controller. • Teknologi antena pun terjadi suatu proses “anomali” yaitu proses yang sangat luar biasa dikaitkan dengan kepentingan militer. “Array Antena” yang merupakan antena kuno, disulap menjadi antena modern (Planar Arry Antena) dengan perbaikan kharakteristik sebagai berikut :
a. Radar di dalam sistem pertahanan udara memegang peranan yang sangat menentukan. Radar bertindak sebagai mata dan telinga sistem pertahanan udara yang berfungsi sebagai; alat peringatan dini tentang adanya sasaran udara yang bermusuhan, alat pengendali satuan buru sergap dan satuan peluru kendali anti pesawat terbang serta alat koordinasi tempur dalam melaksanakan fungsi pertempuran. Mengingat pentingnya fungsi Radar dalam sistem pertahanan udara ini, maka Radar akan merupakan sasaran pertama dan utama yang harus dihancurkan/dilumpuhkan oleh pihak penyerang. b. Pengoperasian Radar di lingkungan TNI dilaksanakan oleh Kohanudnas guna mendukung tugas kohanudnas sebagai penyelenggara upaya pertahanan keamanan terpadu atas wilayah udara nasional secara mandiri ataupun bekerja sama dengan Komando Utama Operasional lainnya dalam rangka mewujudkan kedaulatan dan keutuhan serta kepentingan lainnya dari Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan melaksanakan fungsi
91
• Operasi Pertahanan Udara. Menyelenggarakan segala usaha, kegiatan dan pekerjaan untuk mengamati wilayah udara nasional, memberikan peringatan dini, mencegah dan menindak setiap bentuk ancaman udara serta menanggulangi akibat serangan udara lawan. • Tempur Udara. Menyelenggarakan segala usaha, kegiatan dan pekerjaan mengenai pertempuran udara yang dilaksanakan oleh unsur Tempur Sergap dan Radar terhadap lawan udara. • Patroli Udara Tempur/CAP (Combat Air Patrol). Menyelenggarakan segala usaha, kegiatan yang dilaksanakan oleh Satuan Tempur untuk melindungi wilayah, posisi dan obyek vital nasional terhadap ancaman serangan udara lawan. • Perlindungan Udara. Menyelenggarakan segala usaha, kegiatan dan pekerjaan yang dilaksnakan oleh unsur Radar Hanud dan Unsur Tempur Sergap untuk melindungi pesawat, kapal laut/KRI dan ke satuan darat kawan terhadap ancaman serangan udara lawan. 4.2 Penataan Sistem dan Site Radar a. Sistem Radar dibentuk dengan menempatkan beberapa Radar dimedan operasi. Pembentukan sistem Radar ditujukan untuk pelaksanaan operasi Radar itu sendiri dan peningkatan “surviveability” terhadap serangan udara lawan dan terhadap ECM lawan. Dalam membentuk sistem Radar harus diperhatikan “Overlapping” antara Radar-Radar yang bertetangga dan ketinggian dimana lawan akan menyerang. b. Penataan Site Radar ditujukan agar Radar memiliki “surviveability” yang tinggi terhadap serangan udara lawan. Apabila musuh berhasil mengebom Site Radar kita, harus diupayakan agar kerusakan yang diperoleh menjadi sedikit mungkin. Upaya ini dilaksanakan dengan penataan Site Radar secara engineering sebagai berikut :
Setelah masa Perang Dunia II, atas kepentingan bersama Polandia membangun beberapa station Radar di wilayah Jawa dan Sumatra (waktu itu prioritas hanya untuk mempertahankan wilayah udara Jawa dan Sumatra) dan disusul di wilayah Indonesia Timur. Demikian pula hubungan dengan Rusia pada era tahun 1960-an juga berdampak pada pemenuhan kebutuhan Alutsista pesawat maupun Radar yang menjadikan Indonesia disegani di kawasan Asia karena kekuatan udaranya. Setelah kemerdekaan, ada beberapa Radar yang masih beroperasi (Plessey AWS II). Berbagai jenis Radar telah dibangun, namun sesuai dengan perkembangan teknologi dan tuntutan kebutuhan, sebagian telah diganti dengan generasi yang lebih maju. Sejak tahun 1962 (secara resmi Kohanudnas dibentuk), seluruh Radar yang tergelar di wilayah Indonesia beroperasi di bawah komando Kohanudnas. Jenis Radar yang pernah dan masih digelar di wilayah Indonesia adalah : •
•
•
•
• Hanya sistem antena yang muncul kepermukaan. Sistem lainnya ada di dalam tanah. • Jarak antar kabin sejauh mungkin, melebihi “Minimum Safe Distance” sebuah bom/rudal anti Radar. • Site Radar agar disamarkan. • Selalu ada cadangan Site Radar, yang berarti bahwa ada site dimasa damai dan ada site di masa perang. • Site Radar dipilih sedemikian rupa sehingga tidak mengurangi kemampuan operasi Radar.
•
•
•
5. PERKEMBANGAN JENIS RADAR YANG PERNAH DAN MASIH DIOPERASIKAN KOHAHUDNAS
•
Dalam upaya menciptakan ketahanan Nasional khususnya mempertahankan wilayah udara, Negara Kesatuan Republik Indonesia telah banyak bekerja sama dengan negara-negara maju lainnya.
92
Radar Type NYSA – A dan NYSA – B (Polandia tahun 1960). Lokasi penempatannya adalah di Jakarta (JKT), Cikarang (CKR), Cibalimbing (CBL), Morotai (MRT), Ambon (ABN), Supadio (SPA), Makassar (MKS), Bula/Seram (BLL), Biak (BIK), Medan (MDN), Ploso (PLO), Ranai (RNI). Radar Type P – 30 (Rusia tahun 1961). Lokasi penempatannya adalah di Palembang (PLB), Pekanbaru (PBU), Tanjung Pandan (TDN), Banjarmasin (BJM), Kalijati (KJT), dan Polek 02 (SLO). Radar Type DECCA PLESSEY HF 200 (Inggris tahun 1962). Lokasi penempatannya sebagian mengganti stasiun yang sudah ada di Ploso (PLO) dan penempatan baru di Tanjung Kait (TKT). Radar Type DECCA PLESSEY FR (Inggris tahun 1962). Lokasi penempatannya sebagian mengganti starion yang sudah ada di Ploso (PLO) dan penempatan baru di Cisalak (CSL). Fungsi Radar ini untuk membantu penerbang menemukan landasan pacu yang di tuju (fighter recovery). Radar Type DECCA PLESSEY HYDRA (Inggris tahun 1962). Lokasi penempatannya menyempurnakan kondisi Radar di Tanjungkait (TKT). Radar Type DECCA PLESSEY LC (Inggris tahun 1962). Lokasi penempatannya di Pemalang (PML) dan penempatan baru di Ngiyep (NLI). Radar Type THOMSON THD – 047 (CSF Perancis tahun 1978). Lokasi penempatannya di Tanjung Pinang (TPI). h. Radar Type THOMSON TRS – 2215 (CSF Perancis tahun 1981). Lokasi penempatannya di Ranai (RNI), Kupang (KPN), Dumai (DMI) Lhokseumawe (LSE).
•
• •
•
Radar Type THOMSON TRS 2215 D (CSF Perancis tahun 1986). Lokasi penempatannya di Cibalimbing (CBL), Sabang (SBG), dan Sibolga (SBG). Radar Type THOMSON TRS – 2230 (CSF Perancis tahun 1987). Lokasi penempatannya di Tanjungkait (TKT). Radar Type Plessey AR – 325 Commander (Inggris tahun 1991). Lokasi penempatannya di Tarakan (TRK), Balikpapan (BPP) dan Kwandang (KWD). Meski masih menggunakan sistem tabung (TWT), sistem yang digunakan lebih praktis, sehingga tidak memerlukan pembesaran power secara bertingkat seperti yang digunakan Thomson TRS 2230 (CFA I dan CFA II). Radar Type MASTER – T (Thales Perancis tahun 2005). Lokasi penempatannya di Biak (BIK) dan Tanjung Pinang (TPI). Radar type ini sudah menggunakan full solid state, sistem yang digunakan lebih simple tanpa mengurangi kemampuan deteksi Radar itu sendiri. Dengan menggunakan sistem modul, proses pemeliharaan dapat dilaksanakan lebih mudah.
Pada umumnya untuk Radar-Radar lama mampu menangkap sasaran sejauh 120 NM. Namun hasil penangkapannya masih berupa informasi plot dalam bentuk RAW video yang sangat sederhana, deteksi lebih diutamakan pada arah datangnya ancaman saja. Pengukuran jarak dan ketinggian belum tersedia, dan dilaksanakan secara manual. Sementara kemampuan Radar-Radar baru dapat menangkap sasaran sampai 240 NM (SSR) dan 180 NM sampai dengan 250 NM (PSR tergantung mode yang dioperasikan), sudah menyajikan pengolahan sasaran dalam bentuk sintetic yang dilengkapi dengan bearing, range dan altitude secara otomatis. Penyediaan sarana untuk melaksanakan self maintenance, penyediaan BITE (Built In Test Equipment), random mode operational dan sarana gahwanika mulai dilengkapi. Dengan adanya teknologi komputer dalam sistem Radar, maka hampir seluruh Radar generasi tahun 80-an ke atas sudah dapat diintegrasikan ke Pusat Operasi Pertahanan Udara baik di SOC/Posek maupun ADOC/Popunas dengan menggunakan jaringan SBM/K3I dan VPNIP. Bahkan Sejak Tahun 1995 dimulai Riset antara ITS Surabaya dan personel Radar Kohanudnas untuk mengetahui protokol Radar guna mengintegrasikan Radar-Radar sipil dan Militer dan pada tahun 2001 telah berhasil membuat/dibangun sistem TDAS (Transmission Data Air Situation), sehingga Radar sipil maupun militer dapat diintegrasikan di Popunas dan secara real time, seluruh tangkapan Radar dapat dimonitor dengan menggunakan sistem ini. 5.1 Kerjasama Sipil - Militer dalam Bidang Radar Dimulainya kerjasama ITS dan TNI AU pada Tahun 1995-an karena adanya kesulitan untuk
93
mengintegrasikan dua Radar antara Radar Plessey yang dibuat Inggris dan Radar Thomson buatan Perancis karena masing-masing pihak bertahan untuk kepentingan bisnisnya. Sehingga TNI AU/Kohnudnas berinisiatif untuk mengadakan riset dengan melibatkan ITS Surabaya dan Ahli Radar Kohanudnas untuk mengetahui bagaimana informasi situasi udara tergambar dalam data Radar, dan bagaimana “percakapan” (atau dikenal Protokol) antara peralatan Radar dan pemrosesnya saling berkomunikasi. Berkat ketekunan para peneliti muda ITS Surabaya perlahan tapi pasti mulai dapat menemukan kandungan informasi penting dalam data Radar seperti identitas pesawat, posisi, kecepatan dan arah pergerakan pesawat yang kemudian dinamakan sistem TDAS (Transmission Data Air Situation). TDAS merupakan suatu sarana yang terdiri dari piranti lunak dan keras yang dapat dipergunakan sebagai media/monitor untuk menampilkan situasi wilayah udara dalam Coverage Radar tertentu secara real time. Dengan menggunakan sarana ini semua data hasil deteksi Radar baik sipil maupun militer dapat ditampilkan di Posek-Posek dan Popunas. Saluran yang digunakan untuk transmission adalah saluran SBM K3I, VPNIP/Lease Chanel. Secara singkat manfaat TDAS adalah sebagai berikut : •
• •
• •
5.2 AU
Dapat menampilkan situasi udara suatu wilayah di luar jangkauan Radar militer dengan bantuan Radar-Radar sipil yang digelar di seluruh Indonesia secara real time. Memperpendek/mempermudah proses identifikasi electronik dengan bantuan korelasi dari MCC. Hasil deteksi Radar ditampilkan dalam real time, memungkinkan setiap pergerakan di udara dapat dipantau oleh Posek di masing-masing Sector Operation Centre (SOC) sekaligus dapat di identifikasi jenis serta tujuan pergerakan tersebut. Membantu liputan daerah-daerah yang tidak terliput oleh Radar TNI AU dan memperpanjang jarak jangkau Radar militer. Sebagai sarana alternatif pengendalian pesawat tempur menuju sasaran, apabila terjadi kerusakan atau malfunction pada Radar militer. Penggunaan Radar dalam Operasi
TNI
Sejak awal tahun 1962, banyak operasi yang dilaksakan dengan melibatkan kekuatan pesawat terbang, baik pesawat angkut maupun pesawat tempur. Dengan demikian secara otomatis seluruh Satuan Radar yang dapat mengcover pergerakan operasi tersebut terlibat. Operasi Radar yang pada awalnya hanya untuk mendeteksi arah datangnya musuh, meningkat menjadi sarana untuk penuntunan penyergapan, penghancuran dan penyelamatan. Operasi yang melibatkan satuan Radar secara langsung antara lain :
•
•
•
•
•
•
•
Operasi Garuda (15 Mei 1962). Merupakan operasi penuntunan serta fighter recovery pesawat-pesawat Dakota, B-25 Mitchell, Albatros, dan P–51 Mustang, misi operasi adalah penerjunan ke daerah Kaimana, Fakfak dan Sorong. Operasi Serigala (17-19 Mei 1962). Merupakan operasi penuntunan Pesawat Dacota yang menerjunkan sebanyak 39 personil PGT di Sorong dan sekitarnya serta penuntunan C-130 Hercules yang menerjunkan 84 personil di Sorong-Teminabuan Operasi Naga (26 Juni 1962). Merupakan penuntunan 3 buah pesawat C-130 Hercules dari Halim Perdana Kusuma menuju Merauke yang menerjunkan 210 personil dan 8400 kg logistik. Operasi Gurita (26-29 Juni 1962). Merupakan operasi penuntunan pesawat pengintai dari serangan kekuatan udara Belanda dan sekaligus sebagai perlindungan dalam operasi Badar Lumut. Operasi Siaga. Disiapkan untuk menghadapi serangan belanda Pesawat yang akan diarahkan adalah TU-16, TU-16 KS, IL-28, Mig-17, P-51 Mustang, B-25 Mitchell, B-26, Dacota, C-130 Hercules, UF-1, PBY-5ª, MI-4 dan OTTER. Operasi Kilat (Januari 3 Februari 1965). Penuntunan penyerangan, pemboman dan perlindungan daerah yang dikuasai oleh pemberontak Kahar Muzakar dengan menggunakan pesawat pembom taktis B-25, IL28, MI-4H-202 dan 5 buah C-130 Hercules.
•
•
•
Operasi Tumpas. Merupakan penuntunan pesawat C-130 Hercules dan AN-12 Antonov dalam rangka memulangkan seluruh personil dari Pangkalan Udara Hasanuddin menuju Pangkalan Udara Husein Sastranegara. Operasi Pemulihan Timor Timur. Merupakan operasi pengamatan udara yang dipusatkan di atas wilayah udara Timor Timur dalam rangka ikut mengamankan proses disintegrasi. Operasi Sepanjang Tahun. Merupakan operasi pengamatan udara di seluruh wilayah udara nasional yang dilaksanakan oleh satuan–satuan Radar dalam rangka mendeteksi setiap ancaman melalui wahana udara yang memasuki wilayah Indonesia sepanjang tahun. Operasi Gabungan Terkoordinasi. Merupakan operasi pengamatan pertahanan udara yang diawali deteksi, identifikasi dan penindakan sasaran secara terkoordinasi dan terpadu dengan negara tetangga. 6.
PENUTUP
Demikian naskah tentang Penggunaan Radar Bagi Kepentingan Pertahanan Udara dibuat dengan harapan dapat dijadikan sebagai bahan masukan bagi peserta seminar sekalian.
94
Kerjasama Dephut dan Lembaga International dalam Penggunaan RADAR untuk Mendukung Pengelolaan Hutan Yang Lestari Iwan Setiawan, Priyambudi Santoso Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kehutanan, Departemen Kehutanan
[email protected] ABSTRACT Indonesia is one of the country's most rapid decreased in forested area. Forested area in Indonesia has decreased due to illegal logging, forest conversion into oil palm plantation, conversions into other activities. One of the contribution of spatial applications is to utilize satellite imagery as tool for identification the location and measure the forested area. Department of Forestry as the government institutions that have competence to provide and utilize remote sensing data especially in forestry applications has been using a variety of satellite imagery from optical imagery such as Landsat, SPOT and radar imagery such as ALOS MODIS and PALSAR through cooperation with several international institutions such as EU, JICA, and other international institutions. Key Words : Forestry, Satellite, imagery, international
1.
menggunakan berbagai citra satelit mulai dari citra optik seperti LANDSAT, SPOT sampai citra radar seperti ALOS, MODIS dan PALSAR melalui kerjasama dengan beberapa lembaga international seperti Uni Eropa, JICA, dan lembaga international lainnya.
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan salah satu negara paling cepat dalam mengalami penurunan luas hutan. Wilayahwilayah hutan di Indonesia mengalami penurunan luas akibat penebangan liar, konvensi hutan untuk perkebunan, serta konvensi hutan untuk kegiatan lainnya. Salah satu sumbangsih aplikasi spatial adalah dengan memanfaatkan citra satelit sebagai alat bantu identifikasi lokasi dan luasan penutupan hutan. Secara teknis kegiatan ini sangat mudah, hanya dengan memproses citra satelit kemudian mengklasifikasikan ke dalam hutan dan non hutan, maka akan dapat diindentifikasikan wilayahwilayah yang hutannya masih luas atau sudah tidak ada hutan sama sekali. Penggunaan citra ini juga dapat dipakai untuk mengidentifikasi kegiatan penebangan liar di kawasan hutan. Dengan menggunakan analisis sederhana overlay dengan peta-peta batas wilayah kerja HPH misalnya, maka wilayah yang dicurigai sebagai lokasi penebangan liar dapat diindetifikasi apakah masuk wilayah kerja atau diluar wilayah kerja yang sudah memiliki ijin. Departemen Kehutanan sebagai instansi pemerintah yang mempunyai kompetensi untuk menyediakan data penginderaan jauh dan memanfaatkannya khususnya dalam aplikasi di bidang kehutanan telah
2. KERJASAMA PENGGUNAAN RADAR Beberapa kerjasama yang dilakukan Departemen Kehutanan dengan lembaga donor lain dalam penggunaan RADAR diantaranya adalah: A. ALOS Kyoto & Carbon (K&C) Initiative. Tujuan kerjasama ini adalah untuk menentukan, mengembangkan dan memvalidasi pemetaan radar dan hasil-hasil monitoring yang diperoleh dari data radar ALOS PALSAR l-band baik utnuk hutan maupun lahan basah. Produk yang dihasilkan diharapkan sesuai dengan kebutuhan informasi yang spesifik berkaitan dengan konvensi lingkungan, siklus karbon dan konservasi lingkungan. Mitra yang terkait dalam kerjasama ini diantaranya adalah Japan Aerospace Exploration Agency (JAXA / EORC), University of Leicester, Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Tengah,
95
Papua, Conservation International, Berbak National Park / Wetlands International,
Adapun target lokasi untuk kerjasama ini adalah Kalimantan, dengan menggunakan citra MODIS, ALOS/PALSAR akan dihasilkan data interpretasi yang bebas awan dan manual interpretasi jenis hutan untuk data ALOS/PALSAR.
B. ESA INDREX-II campaign Pol-InSAR data evaluation - 2nd phase. Tujuan kerjasama ini adalah penggunaaan misi Earth Observation generasi berikutnya untuk monitoring lingkungan. The INDREX-II akan mendemonstrasikan kegunaan radar band- Lband dan radar band-P untuk aplikasi di hutan tropis terutama untuk pemetaan biomass hutan dan monitoring. Mitra kerjasama ini adalah German Aerospace Center (DLR), SarVision Indonesia, Wageningen University, ESA.
3.
Kerjasama penggunaan RADAR yang dilakukan Departemen Kehutanan dengan lembaga atau negara donor dapat menjadi suatu upaya penyediaan data spasial yang mampu mendukung pengambilan keputusan berdasarkan data yang akurat dan up todate. Penggunaan RADAR menjadi satu solusi bagi masalah penutupan awan di kawasan tropis seperti Indonesia karena data citra RADAR yang sifatnya bebas dari awan dan penyediaan yang cukup teratur akan sangat membantu Departemen Kehutanan dalam upaya mengelola hutan secara lestari dan berkesinambungan. Beberapa kerjasama yang telah ada perlu dipertahankan dan ditindak lanjuti sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan.
C. Sistem Respon Cepat illegal logging menggunakan ENVISAT ASAR. Tujuan kerjasama ini adalah penggunaan radar ENVISAT ASAR radar untuk monitoring lingkungan secara sistematik terutama monitoring illegal logging di hutan tropis. Mitra kerja diantaranya Wageningen University, Borneo Orang-utan Survival Foundation (BOS), NIVR (Netherlands Agency for Aerospace Programmes)
DAFTAR REFERENSI
D. the Project for the support on Forest Resources Management through Leveraging Satellite Image Information. Melalui kerjasama dengan JICA (Japan International Cooperation Agency), Departemen Kehutanan telah melakukan satu kerjasama dalam mendukung pengelolaan sumberdaya hutan melalui penigkatan informasi citra satelit yang telah ditandatagani oleh Kepala Badan Planologi Depertemen Kehutanan dan JICA. Tujuan dari kerjasama ini adalah meningkatkan pengelolaan hutan secara lestari melalui peningkatan penilaian dan monitoring sumberdaya hutan melalui pelatihan dan transfer teknologi. Beberapa kegiatan kerjasama ini adalah: 1.
2. 3.
4.
5. 6.
yang
dilakukan
PENUTUP
[1] Anonymous. 2009. Report of First Joint Coordinating Meeting for the Project for the Support on Forest Resources Management through [2] Leveraging Satellite Image Information. JICA-Departemen Kehutanan. [3] Anonymous. 2009. Sar Vision Application in Remote Sensing. [4]http://www.sarvision.nl/content.php?sn=projects /proj_nav.php&ct=projects/projects.php
melalui
[5]http://www.sarvision.nl/content.php?sn=projects /proj_nav.php&ct=projects/projects.php
Tren global penilaian dan monitoring sumberdaya hutan dengan metodologi terkait seperti FRA 2010, penghitungan carbon denganREDD. Perbandingan penggunaan teknologi PALSAR/MODIS. Penggunaan teknik penilaian dalam sistem penilaian dan monitoring sumberdaya hutan. Transfer teknologi PALSAR/MODIS kepada BAPLAN dan pengenalan system penilaian dan monitoring yang digunakan. Pengoperasian peningkatan system tersebut. Program pelatihan untuk perbaikan system untuk BAPLAN.
[6]http://www.sarvision.nl/content.php?sn=projects /proj_nav.php&ct=projects/projects.php
96
Perbandingan Performansi Sistem Identifikasi Pesawat Menggunakan Jaringan Syaraf Tiruan Mode Adaptive Resonance Theory 1 dan 2 Nur Ichsan Utama 1*, Aciek Ida Wuryandari 2*, Arwin D. W. Sumari 3*! * Sekolah Teknik Elektro dan Informatika, Institut Teknologi Bandung Departemen Elektronika, Akademi Angkatan Udara Indonesia, Yogyakarta Sekolah Teknik Elektro dan Informatika, Labtek VIII, Institut Teknologi Bandung Jl. Ganesha 10, Bandung – 40132 !
email:
[email protected] 1,
[email protected] 2,
[email protected] ABSTRAK Radar akan memancarkan gelombang elektromagnetik untuk mengidentifikasi suatu obyek di udara dan mengetahui data-data yang berkaitan dengan obyek tersebut meliputi jarak, ketinggian, arah dan kecepatan. Biasanya untuk memudahkan identifikasi, sebuah radar akan dilengkapi dengan interrogator IFF (Identification Friends or Foe) yang sering disebut juga sebagai SSR (Secondary Surveillance Radar). Interrogator IFF akan mengirimkan sinyal pertanyaan kepada obyek yang ingin diidentifikasi. Pesawat atau obyek yang dilengkapi dengan transponder (transmitter responder) akan menjawab sinyal pertanyaan tersebut secara otomatis berupa kode identifikasi pesawat. Bila pesawat tidak dapat merespon pertanyaan yang diberikan , maka pesawat akan diidentifikasikan sebagai penerbangan gelap (black flight). Untuk mengidentifikasi pesawat pada kasus penerbangan gelap dapat dilakukan dengan menganalisa data RCS (Radar Cross Section) dan kecepatan dari obyek yang bersangkutan. Seringkali data yang tertangkap di radar berupa RCS dan kecepatan pesawat dari sebuah obyek tidak selalu sama. Agar proses identifikasi obyek di udara dapat dilakukan dengan cepat dan memiliki tingkat keakuratan yang cukup tinggi diperlukan sebuah sistem yang mampu mengidentifikasi suatu obyek dengan kemampuan beradaptasi dengan data yang berubah-ubah namun tetap stabil. Sistem yang mampu memenuhi kriteria tersebut adalah sistem yang mengaplikasikan jaringan saraf tiruan. Jaringan saraf tiruan yang digunakan pada tugas akhir ini adalah jaringan saraf tiruan Adaptive Resonance Theory (ART) yang mampu beradapatasi dengan data masukan baru namun tetap mampu mengenali dan menjaga kestabilan datadata yang telah dipelajari sebelumnya. Kata Kunci: radar cross section, kecepatan, adaptive resonance theory, fusi informasi.
1.
akan dijadikan parameter untuk menentukan jenis pesawat dari obyek yang tidak dikenal tadi. Biasanya analisis data-data dari radar yang akan digunakan untuk menentukan jenis pesawat yang ingin diidentifikasi dilakukan secara manual dan hal ini membutuhkan waktu. Agar waktu identifikasi pesawat dapat dilakukan secara cepat dengan tingkat keakuratan yang cukup baik, diperlukan sebuah sistem identifikasi yang mampu beradaptasi dengan input data yang berubah-ubah yang berasal dari radar berupa RCS (Radar Cross Section) dan kecepatan pesawat. Penelitian pada tugas akhir ini bertujuan untuk membuat software yang dapat mendeteksi jenis pesawat dari suatu obyek pesawat yang tertangkap oleh radar dengan cepat dan tingkat keakuratan yang cukup baik. Jenis pesawat dapat diketahui dengan mengolah data kecepatan dan RCS pesawat yang terdeteksi oleh radar dengan menggunakan jaringan syaraf tiruan adaptive resonance theory 1 (ART-1) dan adaptive resonance theory 2 (ART-2).
PENDAHULUAN
Kemampuan radar untuk mendeteksi identitas suatu obyek merupakan aspek penting dalam keamanan udara, baik itu pada bidang militer maupun sipil. Untuk mendeteksi identitas suatu obyek, sebuah radar yang dilengkapi dengan interrogator IFF (Identification Friend or Foe) akan mengirimkan sinyal pertanyaan kepada obyek sasaran. Kemudian secara otomatis obyek sasaran yang dilengkapi dengan transponder (transmitter responder) akan mengirimkan sinyal balasan berupa kode identifikasi pesawat. Apabila pesawat tidak dapat merespon pertanyaan yang diberikan maka pesawat akan diidentifikasikan sebagai penerbangan gelap (black flight) atau pesawat musuh (hostile). Sebagai alternatif sistem identifikasi IFF atau yang biasa juga disebut SSR (Secondary Surveillance Radar), radar akan memancarkan gelombang mikro ke arah obyek yang diidentifikasi sebagai hostile dan menangkap pantulan dari gelombang itu untuk mendapatkan data-data yang mungkin dari obyek yang bersangkutan. Data-data yang didapatkan ini
2. TEORI DAN APLIKASI JARINGAN SYARAF ART
97
2.1 Konsep Radar Radar adalah kependekan dari Radio Detection and Ranging. Radar merupakan sistem gelombang elektromagnetik yang digunakan untuk mendeteksi, mengukur jarak, kecepatan dan membuat map benda-benda seperti pesawat terbang, kendaraan bermotor dan obyek-obyek lainnya[15]. Dalam dunia penerbangan radar biasa digunakan untuk mendeteksi suatu obyek yang sedang terbang dalam suatu kawasan wilayah tertentu.
Gambar 2: Gambaran Plot RCS. 2.3 Kecepatan Pesawat pada Radar Untuk mendeteksi kecepatan sebuah obyek, radar akan menggunakan penggabungan antara teknik pantulan gelombang dan azaz doppler. Teknik pantulan gelombang biasa digunakan untuk mengukur jarak antara sebuah obyek dan sumber pemancar gelombang. Sedangkan azaz doppler menjelaskan tentang perubahan frekuensi gelombang dikarenakan gerakan relatif sebuah benda terhadap benda lainnya dalam hal ini dapat dikatakan antara sumber gelombang terhadap obyek sasaran. Pada radar, kecepatan pesawat yang tertangkap dapat diketahui dengan menggunakan persamaan[14] 1 sebagai berikut.
Gambar 1:. Konsep Kerja Radar.
Prinsip yang menjadi kunci utama teknologi ini adalah pantulan gelombang mikro dan implementasi efek Doppler. Radar akan memancarkan sinyal atau gelombang mikro kepada obyek yang ingin diidentifikasi. pantulan dari gelombang mikro yang mengenai obyek akan ditangkap oleh radar untuk dianalisa lebih lanjut untuk mengetahui lokasi dan bahkan jenis obyek tersebut. Sistem radar memiliki tiga komponen utama yaitu: antena, transmitter (pemancar sinyal) dan receiver (penerima sinyal)[15]. 2.2 Radar Cross Section
fd = −
2u
λ
cos(θ )
(1)
Dimana fd adalah dopler shift, λ adalah panjang gelombang, u adalah kecepatan pesawat, dan θ adalah sudut antara arah pergerakan sinyal dan arah obyek.
Radar Cross Section (RCS) adalah ukuran dari kemampuan sebuah obyek untuk memantulkan kembali sinyal yang dikirimkan ke arah radar. Berdasarkan penjelasan teknis, RCS adalah suatu perbandingan antara daya yang dipantulkan oleh obyek kembali ke radar dengan kerapatan daya yang dipancarkan radar kepada obyek. Besaran nilai RCS tidak kemudian menunjukan luas sebenarnya dari fisik obyek sasaran, namun lebih menunjukan kemampuan obyek untuk memantulkan sinyal radar ke arah antena radar penerima. Gambar 2 menunjukan contoh RCS dari sebuah pesawat terbang.
2.4 Adaptive Resonance Theory Algoritma Adaptive Resonance Theory (ART) dikembangkan untuk mengatasi masalah stabilitasplastisitas (stability-plasticity dilemma) yang dihadapi oleh algoritma JST lainnya. Masalah stabilitas-plastisitas mempertanyakan mengenai bagaimana sebuah sistem pembelajaran dapat menjaga pengetahuan yang telah dipelajari sebelumnya namun tetap memiliki kemampuan untuk mempelajari input-input baru. Kunci untuk menyelesaikan masalah stabilitas-plastisitas adalah dengan menambahkan mekanisme feedback diantara competitive layer (layer F2) dan input layer pada jaringan.
98
Sensor
Database
Sistem Informasi Fusi
Decision
Operator
Gambar 3: Arsitektur ART-1.
Knowledge
Gambar 5: Konsep Fusi Informasi.
Kelas-kelas tataran fusi informasi sensor majemuk (multisensor) pada ummnya digunakan untuk aplikasi pengenalan sasaran otomatis (automatic target recognition, ATR). a. Fusi tataran piksel Tataran ini diaplikasikan kepada data piksel teregistrasi dari sekumpulan citra untuk kepentingan fungsi deteksi dan diskriminan. Data citra diperoleh dari sensor-sensor citra seperti RADAR dan Forward Looking Infra Red (FLIR).
Gambar 4: Arsitektur ART-2.
Arsitektur JST ART terdiri atas : satu lapisan pengolahan masukan yang juga sebagai lapisan perbandingan (comparison layer) pola yang disebut dengan lapisan F1, unit-unit cluster yang merupakan lapisan pengenalan yang disebut dengan lapisan F2 dan suatu mekanisme untuk mengontrol derajat kemiripan pola-pola untuk ditempatkan pada cluster yang sama yang disebut dengan mekanisme Reset. JST ART dirancang untuk memudahkan pengontrolan derajat kemiripan pola yang ditempatkan pada cluster yang sama. Sebuah sistem ART terdiri dari 2 subsistem, yaitu attentional subsystem dan orienting subsystem. 2.5 Informasi Fusi Fusi informasi atau fusi data adalah suatu teknik pengombinasian data atau informasi untuk memperkirakan (estimate) atau memprediksi hasil keluaran dari berbagai keadaan entitas. Entitasentitas tersebut dapat berbentuk fisik atau non-fisik. Masukan-masukan suatu sistem informasi dapat berupa : data hasil observasi sensor-sensor, masukan-masukan perintah dan data dari operator atau pengguna, data pendahuluan dari suatu basis data yang telah ada.
b.
Fusi tataran fitur Tataran ini mengombinasikan fitur-fitur obyek yang dideteksi dan dipisahkan di dalam masingmasing wilayah sensor. Fitur-fitur setiap obyek diekstraksi secara independen di dalam setiap wilayah dan membentuk satu ruang fitur bersama untuk klasifikasi obyek.
c.
Fusi tataran keputusan Tataran ini mengombinasikan keputusankeputusan dari jalur-jalur klasifikasi atau deteksi sensor-sensor dengan nilai heuristik seperti M-of-N, suara terbanyak maksimum (maximum vote), atau jumlah terbobot (weighted sum) untuk keputusan tegas (hard decision) dan metoda Bayes, DS dan variabel fuzzy untuk keputusan halus (soft decision).
3. DESAIN SISTEM DAN IMPLEMENTASI KONSEP 3.1 Desain Sistem sistem identifikasi pesawat dibagi menjadi tiga blok yaitu blok inisiasi, blok identifikasi, dan blok pemrosesan final.
99
Arsitetktur sistem dapat dilihat pada Gambar
Blok identifikasi dibagi menjadi dua blok yaitu blok mode pembelajaran dan blok mode pakai. 3.3.1 Blok
5 Gambar 6: Arsitetktur Sistem. 3.2 Blok Proses Inisiasi Blok proses inisiasi merupakan blok yang akan diproses untuk mempersiapkan input yang akan digunakan oleh blok identifikasi. Untuk mendapatkan data input, sistem akan mengekstrak data RCS dan kecepatan dari database pesawat.c
Mode Pembelajaran Gambar 7: Diagram Blok Pembelajaran.
Untuk proses yang menggunakan ART-1, data-data yang ada pada database pesawat akan diubah terlebih dahulu ke dalam bentuk biner. Pada penelitian ini, proses inisiasi hanya melakukan tugas sederhana, yaitu merubah data dalam bentuk angkaangka ke dalam bentuk biner. Data-data masukan pada database dapat dilihat pada Tabel 1.
Blok mode belajar dimulai dengan sistem menerima data masukan berupa vektor berdimensi tertentu. Sistem kemudian akan berusaha mengelompokkan data masukan ke dalam cluster tertentu berdasarkan parameter vigilance dan hasil perhitungan data yj. Apabila hasil perhitungan yj dan tes vigilance memperlihatkan data masukan tidak dapat dikelompokkan dalam suatu cluster, sistem akan menandai cluster itu dan mencoba perhitungan untuk data cluster lainnya. Pencocokan akan terus dilakukan selama data masukan masukan belum memenuhi tes vigilance dan data belum habis.
3.3 Blok Identifikasi
3.3.2 Blok Mode Pakai Blok mode pakai pada prinsipnya sama dengan diagram alir mode belajar. Hanya saja pada mode pakai, setelah dilakukan proses pencocokan, apabila kemudian ditemukan cluster pemenang dan memenuhi tes vigilance, sistem tidak akan melakukan modifikasi terhadap bobot-bobot cluster. Hal yang sama juga berlaku, apabila pada proses pencocokan tidak ada satupun cluster yang memenuhi parameter vigilance yang diberikan maka sistem tidak akan melakukan proses pemasukan cluster baru. 3.4 Blok Pemrosesan Final Blok pemrosesan final merupakan blok fusi hasil yang didapatkan dari proses ART RCS dan proses
100
ART kecepatan. Blok fusi diimplementasikan agar diperoleh hasil identifikasi yang lebih akurat. 3.5 Hasil Implementasi dan Uji Simulasi
Gambar 11:Contoh Tampilan Program BelajarART-2
Gambar 12: Contoh Tampilan Program Mode Pakai ART-2
Gambar 8: Contoh Report Kecepatan ART-1
Gambar 12: Contoh Tampilan Program Simulasi Gambar 9: Contoh Report RCS ART-1
KESIMPULAN
Tabel 1: Tabel Hasil Pembelajaran
Berdasarkan seluruh proses perancangan, implementasi, dan pengujian sistem, dapat diambil kesimpulan sebagai berkut. ¾ Pada JST ART-1, semakin besar parameter vigilance maka jumlah cluster yang terbentuk akan semakin banyak. Sedangkan pada JST ART-2, semakin kecil parameter vigilance maka jumlah cluster yang terbentuk akan semakin banyak. ¾ Pada JST ART-1, semakin besar parameter vigilance maka ketelitian pencocokan akan semakin baik. Ketelitian pencocokan yang sangat baik tidak menjamin sistem dapat bekerja dengan efektif. ¾ Besarnya nilai parameter vigilance perlu ditentukan dengan baik agar sistem dapat bekerja dengan optimal. Hasil uji simulasi pada bab 4 menunjukkan nilai parameter vigilance yang optimal akan berbeda-beda untuk jenis data masukan yang berbeda. ¾ Jumlah cluster yang terbentuk pada fase pembelajaran akan berpengaruh terhadap ketelitian pencocokan pada mode pakai. Semakin banyak cluster yang terbentuk ketelitiannya akan semakin baik. DAFTAR REFERENSI
Gambar10:Contoh Tampilan Program Belajar ART-1
101
[1] [2]
[3]
[4]
[5]
[6] [7]
[8]
[9]
[10]
[11]
[12]
[13]
[14]
[15]
Fausett, Laurene (1993), Fundamental of Neural Networks, Prentice-Hall. Freeman, James A., Skapura, David M. (1991), Neural Networks Algorithms, Applications, and Programming Techniques, Addison Wesley Longman Publishing Co., Inc., Redwood City. Hall, David L., Llinas, James (2001), Handbook of Multisensor Data Fusion, CRC Press, United States of America. Harre, Ingo (2004), RCS in Radar Range Calculations for Maritime Targets, http://www.marit.de/Radar/RCS/RCS_xx.pdf, 24 November 2008, 20.30 WIB. Hestiningsih, Idhawati (____), Kecerdasan Buatan, http://www.unimmer.ac.id/ download/Kecerdasan_buatan.pdf, 3 Desember 2008, 10.30 WIB. Kung, S.Y. (1993), Digital Neural Networks, Prentice Hall, Inc., Englewood Cliffs, N.J. Nopriansyah (2008), Sistem Identification Friend, Foe, or Neutral Radar Menggunakan Radar Cross Section dan Kecepatan Pesawat, Tugas Akhir Sarjana, Institut Teknologi Bandung. Skolnik, Merril I. (1990), Radar Handbook, McGraw-Hill, United States of America, 2nd Edition. Sumari, Arwin D.W. (2008), Desain Implementasi Sistem Fusi Informasi Multiagen untuk Mendukung Pengambilan Keputusan dalam Perencanaan Operasi Udara, Tesis Magister, Institut Teknologi Bandung. Sumari, Arwin D.W. (1996), Metode Temu Kembali Informasi Secara Cerdas Menggunakan Jaringan Syaraf Tiruan Model Adaptive Resonance Theory, Tugas Akhir Sarjana, Institut Teknologi Bandung. ______________, Doppler Effect in Accoustics, http://physicsanimations.com/Physics/English/wave_txt.ht m#Doppler, 25 November 2008, 20.00 WIB. ______________, A-OA-148-001/AG-000 Manual of Instrument Flying, http://www.icpschool.com/Downloads/files/OOA-148/pdfs/Chap21a.PDF, 2 Desember 2008, 09.00 WIB. ______________, http://www.airtoaircombat.com, 3 Februari 2008, 11.00 WIB. ______________, Lab Exercise 7 : Doppler Radar, http://www.eecs.umich.edu /emag/labmanual/EECS330_LE7.pdf, 3 Desember 2008, 10.00 WIB. ______________, Radar, http://lasonearth.files.wordpress.com/2008/05 /pdf_ radar1.pdf, 3 Desember 2008, 10.15 WIB.
102
Ilmu Pengetahuan, Rekayasa Teknologi dan Seni (ILPERTEKS) Untuk Pengembangan RADAR Pengawas Pantai Elan Djaelani 1), Prof. Dr. Rohani J Widodo 2) Ridodi Anantaprama1), Iwan Setiawan1) 1)
Puslit Informatika-LIPI,
[email protected], 2) Pensiunan Pendidik Elektro ITB Ketua Umum Masyarakat Sistem Kendali Indonesia (MASDALI)
[email protected] &
[email protected]
ABSTRAK Makalah ini membahas peranan Ilmu Pengetahuan, Rekayasa, Teknologi dan Seni (ILPERTEKS) untuk meningkatkan mutu RADAR di Indonesia. Pendekatan berdasarkan Kesejahteraan dan Keamanan. Kesejahteraan dapat dilihat dari empat (4) aspek yaitu : Fisikal, Intelektual, Emosional dan Spiritual (PIES). Ada tiga (3) kebutuhan pokok untuk keempat aspek diatas yaitu : Materi, Energi dan Informasi (MEI). Keempat aspek tersebut diatas menentukan mutu Sumber Daya Manusia (SDM). Dengan mutu SDM yang tinggi kegiatan Pendidikan & Pelatihan (DIKLAT) dan Penelitian & Pengembangan (LITBANG) dari ILPERTEKS akan dapat menghasilkan kondisi Kesejahteraan dan Keamanan yang baik dan benar. Salah satu unsur dari Sistem Pertahanan suatu bangsa adalah Sistem Teknologi RADAR. Dengan dilandasi oleh ILPERTEKS kegiatan DIKLAT dan LITBANG dari SDM yang bermutu akan dapat menghasilkan Sistem Teknologi RADAR suatu bangsa, termasuk Indonesia. Kegiatan kegiatan DIKLAT dan LITBANG tersebut diatas memerlukan SDM dan lembaga lembaga yang bermutu. Pendidik, Peneliti, Perencana, Pengambil Keputusan dan Pebisnis (P-5) perlu saling kerjasama dengan erat. Keberhasilan Sistem Teknologi RADAR sekarang, dapat menjadi umpan balik untuk kegiatan kegiatan selanjutnya. Kata kunci : ILPERTEKS, RADAR, PIES, SDM, DIKLAT, LITBANG, P-5.
serta LITBANG -nya yang tepat, setiap orang harus memberikan perhatian kepada kondisi lokal, seperti tradisi, adat dan istiadat, standar dari DIKLAT, serta kualitas dari prasarana. Saat ini secara umum sudah diterima bahwa prinsip ILPERTEKS, dengan DIKLAT serta LITBANG yang tepat meliputi :
1. PENDAHULUAN Pembangunan ILPERTEKS, dengan DIKLAT serta LITBANG-nya melambangkan kekuatan yang sangat mempengaruhi manusia, kehidupan dan peradaban. Tujuan dari ILPERTEKS dengan DIKLAT serta LITBANG-nya adalah mendukung usaha pembangunan manusia, jadi mereka merupakan bagian dari pembangunan walaupun mereka juga merupakan bagian dari pengendalian kekuatan untuk pemercepatan pembangunan. Sasaran ILPERTEKS, dengan DIKLAT serta LITBANG-nya adalah bermaksud untuk peningkatan kualitas dari kehidupan manusia. Pembangunan yang berkelanjutan harus didukung oleh ekonomi yang sehat. Dalam menyingkap tabir ekonomi yang sehat, bidang industri mengutamakan kekuatan buruh. Dengan demikian pembangunan yang sehat adalah terkait secara erat dengan pemerataan pendapatan yang terlihat dari dua aspek yang berbeda, yaitu dengan mengamati pemerataan yang wajar dari hasil-hasil pembangunan, dan mengamati perkembangan kesempatan kerja. Perluasan kesempatan kerja tidak dapat dipisahkan dari ILPERTEKS, dengan DIKLAT serta DIKLAT-nya dan secara khusus dari ILPERTEKS, ILPERTEKS, dengan DIKLAT
1.
Biaya yang rendah, sesuai dengan level pendapatan dari populasi lokal.
2.
Penyediaan kesempatan pekerjaan.
3.
Alat-alat dan perlengkapan yang dipakai harus membutuhkan biaya sedikit dan kesederhanaan dalam pemeliharaannya.
4.
Perlengkapan dan materi perlu tersedia secara lokal atau hanya sejumlah kecil saja yang perlu diimport.
5.
Keselarasan dengan kondisi sosial-budaya lokal.
6. Tidak memerlukan prasarana yang rumit Peningkatan nilai tambah perlu dicapai melalui aplikasi ILPERTEKS, dengan DIKLAT serta LITBANG-nya dalam arti yang lebih luas. ILPERTEKS, dengan DIKLAT serta LITBANGnya yang dibangun seharusnya disesuaikan dengan
102
kondisi sosial, sumber daya alam dan lingkungannya. Kendala utama pembangunan ILPERTEKS, dengan DIKLAT serta LITBANGnya dalam negara berkembang adalah dana, materi, dan tenaga kerja. Dalam hubungan ini, akan diperlukan untuk adaptasi ILPERTEKS, dengan DIKLAT serta LITBANG -nya yang sudah ada dan membawanya ke dalam keselarasan dengan kondisi lokal dalam negara. Hal itulah mengapa diperlukan untuk menegaskan aspek manajerial yang utama yang harus melingkupi LITBANG dari tradisi yang ada, adat dan hasrat dari komunitas dengan memperhatikan kemampuan-kemampuan lokal. 2.
2. Sumber daya alam 3. ILPERTEKS 4. Hukum dan Pemerintahan 5. Prasarana Kegiatan-kegiatan DIKLAT, LITBANG untuk pembangunan seharusnya mempertimbangkan : 1. Pembangunan sumber daya manusia (DIKLAT) 2. LITBANG 3. Industri dan Prakarya 4. Implementasi dan aplikasi dari ILPERTEKS 5. Perbaikan, pemeliharaan dan rehabilitasi. Interaksi dan Kerjasama
PEMBANGUNAN ILPERTEKS
Ada dua pendekatan yang harus diperhatikan dalam pembangunan ILPERTEKS, dengan DIKLAT serta LITBANG-nya : 1. Pendekatan kesejahteraan 2. Pendekatan Keamanan Pendekatan kesejahteraan akan didiskusikan secara utama dalam tulisan ini. Ada tiga aspek yang harus diperhitungkan, yaitu : 1.Aspek Fisik 2. Aspek Intelektual 3. Aspek Spiritual-Psikologis
Negara Brkembang
Negara Maju
Transformasi dan Promosi
Gambar.2: Symbiosis E&T, R&D untuk pengembangan SET antara Negara berkembang dan maju. (SET) SCIENCE,ENGINEERING AND TECHNOLOGY DEVELOPMENT
Prosperity approach
dapat menjadi efektif melalui pembuatan yang konsisten dari produk terintegrasi dan realistis perencanaan-perencanaan secara progresif menuju ke teknologi-teknologi mutakhir yang meliputi manufaktur dari produksi industry dasar. LITBANG di negara maju adalah untuk penelitian dan pengembangan bagi ILPERTEKS, sedangkan secara umum dalam negara berkembang adalah untuk pemasukan dan pemanfaatan dari ILPERTEKS saja.
Security approach
1. .Physical aspect 2. Intellectual aspect 3. Spiritual- Psychological aspect (PISE)
2.1. Kebutuhan Pembangunan
Energy
Information
Gambar.1: Diagram Pembangunan Berbasis Dua Pendekatan
dan
Pertimbangan
Kebutuhan dasar manusia, pertama kali adalah makanan, pakaian, perumahan, kesehatan, dan pendidikan. Kita memerlukan peningkatan secara besar-besaran produktivitas dari produksi makanan. Kita perlu untuk menggunakan ILPERTEKS modern dan muktakhir bagi produksi modern, sehingga surplus pemasaran jauh melebihi jumlah yang diperlukan oleh petani untuk konsumsi mereka sendiri dan kebutuhan-kebutuhan produksinya. Area luas kedua untuk investasi lebih jauh adalah dalam prasarana ILPERTEKS bagi informasi, energi dan prasarana pembangunan dan pemanfaatan sumber daya alam. Negara-negara ASEAN oleh karena itu memberikan perhatian bagi kemungkinan dalam pembangunan perminyakan dan gas alam berdasarkan industri-industri, yang
Physical Basic Needs Material
Dasar
ILPERTEKS
Aspek fisik dan intelektual memerlukan tiga kebutuhan dasar secara fisik, yaitu : 1. Materi 2. Energi 3. Informasi Subsistem dari sistem sosial adalah : 1. Kependudukan (SDM)
103
memanfaatkan oil dan gas alam bagi bahan mentah untuk diproses selanjutnya bersama bahan mentah, pupuk, plastic, dan fiber. Dalam penelitian dan pengembangan industri, untuk pembangunan dan perluasan dari fasilitas ILPERTEKS, usaha-usaha telah dibuat untuk menjadikan industri ILPERTEKS sebagai solusi utama bagi berbagai problem. Kebutuhan-kebutuhan bagi komunikasi dan prasarana transportasi termasuk transportasi lautan, transportasi udara, transportasi darat, bersama pelayanan pos dan telekomunikasi dan jaringan radio dan televisI juga penting untuk diperhatikan. Pergantian dari hubungan ILPERTEKS ke pendirian dari gedung-gedung manufaktur untuk memenuhi kebutuhan nasional bagi produk-produk industri seperti telah disebutkan sebelumnya hanya
INPUTS Materi Energi Informasi
Aktivitas, Penelitian, dan Pengembangan
dari usaha yang direncanakan untuk memindahkan, mengadaptasikan, dan mengembangkan ILPERTEKS yang sesuai dan bermanfaat untuk penciptaan dan perluasan dari proses produksi secara nasional. ILPERTEKS yang berhubungan dengan pertahanan adalah area ke empat yang merupakan investasi tambahan yang akan dibuat. Kebutuhan untuk memperkuat ILPERTEKS untuk mendukung pertahanan nasional dan kapasitas keamanan adalah pemberian yang nyata dari lokasi strategisnya, kelimpahanya dari sumber daya dan keistimewaan yang unik secara geografis. Sebuah negara harus dapat mengendalikan wilayahnya secara hukum dan mempertahankan diri terhadap aksi-aksi yang membahayakan kedaulatannya, kesuksesan dari tujuan-tujuan pembangunan nasionalnya, seperti distribusi yang merata, pertumbuhan, stabilitas, dan kemajuan dari usahausahanya pada pembangunan nasional. Sebuah negara harus siap untuk memajukan sumber daya untuk memanfaatkan teknologi pertahanan yang berhubungan dengan kekuatan dari sistem pertahanan rakyatnya yang beradaptasi dengan budaya nasional, geografis, dan kondisi-kondisi ILPERTEKS, dan untuk manufaktur sistem persenjataan yang sesuai dengan sistemnya. Akhirnya masyarakat bekerja untuk memasukkan, mengadaptasikan dan lebih jauh lagi megembangkan bahkan ILPERTEKS yang paling modern dan mengaplikasikannya dalam lingkungan budaya yang sudah ada dengan mengambil ukuranukuran untuk mencegah aplikasi dari ILPERTEKS yang baru dari pengikisan dan penghancuran nilainilai budayanya yang mengatasi sisa-sisa identitas nasionalnya. Seperti pada kasus dalam masyarakat lainnya, identitas nasional memberi contoh dengan nilai-nilai budaya dan nilai-nilai baru yang melekat dalam ILPERTEKS yang modern, LITBANG dalam ilmu pengetahuan sosial, dalam budaya dan filosofinya dari kehidupan telah menunjukkan sebagai area yang kelima tapi mungkin sebagai area yang terpenting di mana prasarana akan diperkuat. Pembangunan dari prasarana ILPERTEKS dalam area ini diperlengkapi dengan pemeliharaan dari kemampuan masyarakat nasional untuk melindungi kesesuaian dari nilai-nilai budayanya dengan kemajuan dari ILPERTEKS sebagaimana dalam area keempat yang pertama kali telah didiskusikan sebelumnya. ILPERTEKS dan keahlian sangat diperlukan. Tanpa ilmu pengetahuan dan ILPERTEKS tidak ada satu negara pun yang dapat mengembangkan ekonominya secara potensial. Transfer yang sukses dan pembangunan dari ILPERTEKS hanya dapat ditempatkan melalui sebuah kendaraan yang secara konsisten dijalankan sesuai rencana yang realistis dan program-program yang nyata dari pemahaman dan kehebatan dari kesuksesan ILPERTEKS yang lebih muktakhir. Hanya melalui cara ini dari perencanaan manufakturing yang progresif dapat
OUTPUT Pengemb RADAR
Gambar.3: Aktivitas aktivitaspembangunan ,Rekayasa &Teknologi, LITBANG dengan feedback.
Untuk implementasi dari perencanaan dengan hasil yang progresif membutuhkan pengusaha-pengusaha industri yang mengadopsi sebuah perilaku yang aktif bahkan agresif terhadap perolehan dari ILPERTEKS. Pengusaha-pengusaha tersebut tidak dapat bersifat tetap pasif dan statis menunggu ILPERTEKS untuk dilanjutkan lagi. Dalam rangka menolong pengembangan sikap dinamis dan aktif mereka harus disokong dan didukung oleh institusi ILPERTEKS dan laboratorium LITBANG yang menyediakan pelayanan ILPERTEKS yang berhubungan dengan proses produksi dan ILPERTEKS yang dimaksudkan untuk dilanjutkan. Akhirnya, pemerintah harus membuka pusat pembangunan ILPERTEKS, yakni sebuah tahapan industri ILPERTEKS yang direncanakan untuk mengkompromikan sebuah konstruksi laboratorium pengujian, sebuah laboratorium energi, sebuah laboratorium kalibrasi dan instrumentasi, sebuah laboratorium elektronik, sebuah reactor penelitian multi-guna, sebuah labroatorium kimia, sebuah laboratorium fisika, sebuah laboratorium aerodinamis, gas dinamis, dan vibrasi, sebuah laboratorium termodinamika dan propulsi, sebuah laboratorium proses teknologi dan laboratoriumlaboratorium lainnya. Hal ini akan menjadi fokus
104
mengembangkan masyarakatnya sendiri kepada suatu kekuatan produktif dan oleh karena itu anggota dari keluarga yang terpercaya dan terhormat dari nasional hadir di dunia hari ini dan di masa depan.
2. Sudah memulai mendapatkan pengalaman pekerjaan dari aktifitas ILPERTEKS dalam area kepentingannya. 3. Sudah memulai untuk memahami diversifikasi dari alam dan sejarah masyarakat manusia sebagai mana dalam literatur, filosofi dan tradisi keseniannya. 4. Sudah mempunyai keahlian dan motivasi untuk melanjutkan pendidikan masing-masing. 5. Sudah memiliki kesempatan untuk melatih kecerdasan dan keahlian pada sebuah proyek penelitian. 6. Sudah memiliki kesempatan untuk merekayasa sintesis pada sebuah desain proyek. 7. Sudah mengembangkan keahlian komunikasi penulisan dan pidato. 8. Sudah memulai untuk memahami dan memperhatikan isu ekonomi, manajemen, politik, sosial dan lingkungan sekitar pembangunan ILPERTEKS
2.2. Kebijaksanaan ILPERTEKS Kebijaksanaan pada ILPERTEKS perlu diarahkan kepada pembangunan kemampuan-kemampuan nasional dalam ILPERTEKS seperti yang diperlukan untuk pembangunan nasional yang sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan dan prioritas dari pembangunan nasional. Kebijaksanaan global pada ILPERTEKS dapat digarisbawahi secara umum meraih target-targetnya, ketika definisi dari DIKLAT, LITBANG dan ILPERTEKS dapat diimplementasikan tepat sesuai dengan rencana. Bagaimanapun, masih tetap diperlukan untuk studi dan formulasi dukungan program DIKLAT, LITBANG, dan ILPERTEKS, untuk meraih di antara rencana dengan hasil yang kita harapkan. Perhatian yang khusus harus diberikan kepada yang berikut ini : 1. Koordinasi dan interaksi antar institusi, secara khusus distribusi dan pemanfaatan yang optimal dari informasi yang disediakan pada ILPERTEKS, 2. Ketentuan dari pendanaan dan staf ahli yang tepat sesuai dengan matriks DIKLAT, LITBANG, dan ILPERTEKS, di mana pembangunan dan partisipasi dari wilayahwilayah yang berhubungan dengan pembangunan dan partisipasi dari wilayah-wilayah dengan kondisi-kondisi pembangunan yang lebih jauh harus ditingkatkan. 3. Dorongan dan penggajian yang sesuai untuk staf DIKLAT, LITBANG, dan ILPERTEKS i yang menunjukkan performansi tinggi, harus di rencanakan dan diformulasikan sebagai sebuah kebijaksanaan yang perlu diperkenalkan dalam masyarakat kita. 4. Dukungan kebijaksanaan juga diperlukan untuk mendistribusikan dan mempopulerkan alasan untuk transfer ILPERTEKS dari luar negeri, melalui keterlibatan dari SDM dan materi secara nasional, dalam sebuah program yang sistematis dan efektif di dalam tahapan programnya.
Sebuah pandangan yang baik dari kerjasama universitas-industri perlu memiliki kemampuan yang berbeda termasuk berikut ini : 1. Orientasi inovasi dan masa depan. 2. Cita-cita untuk memimpin kepada masa depan yang lebih baik secara jelas untuk organisasi. 3. Kesesuaian dengan budaya, nilai, dan sejarah organisasi. 4. Mampu meraih dimensi-dimensi yang baru. 5. Kemampuan standar dari kesempurnaan dan pencerminan aspirasi dan cita-cita yang tinggi. 6. Klarifikasi arah dan tujuan, termasuk sasaransasaran yang terukur. 7. Inspirasi antusias dan dorongan komitmen 8. Mencerminkan keunikan dari organisasi, identitas dan kompetensi utama. Industri dapat mengambil keuntungan berikut ini dari kerjasamanya dengan institusi penelitian : 1. Pendefinisian kembali dari tujuan industri, menyebabkan peningkatan orientasi pada kebutuhan dan permintaan. 2. Pelayanan Konsultasi dan konseling pada hukum properti industri, desain dan pengembangan dari produksi, pengendalian mutu, dan sebagainya. 3. Fasilitas-fasilitas pengujian. 4. Bantuan dalam negosiasi dengan proyek dan pemasok peralatan. 5. Peramalan secara teknis-ekonomis 6. Pertukaran informasi dari ILPERTEKS 7. Pembukaan komunikasi dengan institusi LITBANG luar negeri, dan lain-lain.
2.3. Hubungan Antara Industri dan Universitas Tujuan Pendidian dan Pelatihan adalah sebagai berikut : 1. Sudah mempunyai lembaga perusahaan dalam bidang ILPERTEKS yang berdasarkan bidangnya.
Faktor-faktor yang mendorong kerjasama antara institusi LITBANG, institusi-institusi DIKLAT, dan dunia industri termasuk : 1. Kemajuan dari batas komunikasi, kontribusi kepada hubungan harmonis yang lebih baik antara sumber daya dan kebutuhan-kebutuhan.
105
2. Keterlibatan dan tanggung jawab dari personal, didukung oleh sebuah sistem penggajian yang memuaskan. 3. Mobilitas dari personal antara institusi ILPERTEKS, institusi DIKLAT dan dunia industri. 4. Efek yang menguntungkan dari proyek-proyek pembangunan.
Telekomunikasi (P2ET) dan International Research Centre for Telecommunications-transmission and Radar Technical University (IRCTR-TU) Delft, Belanda. LIPI bertanggung jawab membuat hardware yang terdiri dari rangka, penerima sinyal, dan antena radar. Desainnya dirancang TU-Delft. Disepakati bahwa yang digunakan haruslah public component. Artinya, bisa dibeli di tempat lain, tak harus di Belanda. Telah dilaksanakan pelatihan pelatihan antara lain : pelatihan yang dilaksanakan di LIPI, pelatihan yang dilaksanakan di ITB, dan pelatihan yang dilaksanakan di negeri Belanda. Pengamanan dan pengawasan Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang terdiri dari lebih 17.000 pulau dengan 2/3 wilayah terdiri dari lautan memerlukan aparat dan peralatan yang berjumlah sangat besar. Akan tetapi kemampuan TNI-AL dan POLRI untuk mengawasi wilayah RI sangat terbatas sehingga wilayah perairan Indonesia rawan akan percurian ikan, pelanggaran wilayah oleh kapal kapal asing, pembajakan kapal laut dan penyelundupan. Salah satu cara untuk meningkatkan kemampuan aparat pemerintah dalam mengawasi dan mengamankan wilayah dengan menggunakan teknologi RADAR untuk mengawasi pergerakan semua objek yang masuk dalam wilayah NKRI sehingga dapat dicegah tindakan - tindakan yang dapat merugikan atau mengancam kedaulatan NKRI. Penggunaan RADAR dapat digunakan untuk mengawasi wilayah NKRI.
2.4. Tantangan dan Kesempatan ILPERTEKS 1. Kasus Pengembangan RADAR Pengawas Pantai RADAR singkatan dari Radio Detection and Ranging adalah suatu sistem yang menggunakan gelombang elektromagnetik untuk mengamati jangkauan, ketinggian, arah atau kecepatan baik obyek bergerak maupun diam seperti pesawat terbang, kapal laut, kendaraan bermotor, keadaan cuaca dan lapangan. Prinsip kerjanya adalah suatu pemancar memancarkan gelombang radio, yang direfleksikan oleh target dan dideteksi oleh alat penerima yang biasanya berlokasi sama dengan alat pemancar. Walaupun sinyal radio yang dikembalikan biasanya masih lemah, sinyal radio tersebut dengan mudah dapat diperkuat. Hal ini memungkinkan radar dapat mendeteksi obyek pada jangkauan dimana pancaran lain seperti suara atau sinar sangat lemah untuk dideteksi, oleh karena itu penggunaan radar mempunyai keuntungan antara lain : - Dapat mendeteksi target yang berada ditempat yang sangat jauh. - Dapat mengukur jangkauan dengan cepat dan teliti. - Dapat bekerja pada tempat gelap dan disegala cuaca dengan uap, asap, kabut dan sebagainya. - Kecepatan relatif target dapat diukur.
ILPERTEKS Tinggi
Tantangan
Adapun kelemahannya: - Aspek resolusi terbatas: - Raw video yang mewakili sinyal yang kembali tidak mengidikasikan sudut target (target angle) - Sulit membedakan obyek obyek yang berdekatan - Kadang kadang sinyal yang kembali palsu.
- Job opportunities, unemployment and labor market - Small quantitative importance - Change of working conditions
Radar banyak digunakan untuk berbagai keperluan seperti : - Medeteksi dan mengukur jarak obyek ditanah,laut maupun udara. - Air traffic Control - Guidance - Tracking - Penggunaan di Meteorologi - Pengukuran kecepatan
Peluang
- Increase productivity - Attract investments - Impress researches and development climate - Save working risks
Gambar 4: Diagram dari tantangan dan peluang dari ILPERTEKS tinggi.
Kesimpulannya dapat diraih berdasarkan empat faktor : Pertama, Puslit Elektronika dan Telekomunikasi (PPET) adalah institusi penelitian yang mempunyai track record pada penelitian RADAR. Puslit memiliki SDM yang cukup banyak memiliki kompetensi bidang RADAR dan juga mempunyai sarana prasarana yang cukup untuk penelitian
Kerjasama penelitian radar Pengembangan radar ini merupakan hasil kerja sama Pusat Penelitian Elektronika dan
106
RADAR.Diperlukan SDM yang multi disiplin antara lain: teknik elektro,telekomunikasi,tenaga listrik,mekanik,kontrol ,komputer dan informatika. Selain itu Puslit sejak dahulu telah melaksanakan penelitian secara reverse engineering,[13] dimana belajar dari buku manual peralatan yang kita punyai atau manual kita dapatkan. Rangkaian rangkaian dari buku manual peralatan merupakan salah satu sumber dari bahan studi literature yang menerangkan prinsip kerja dari rangkaian peralatan diatas, sehingga prinsip dari peralatan dapat diketahui. Pada literatur literatur tersebut ada diagram blok sistem peralatan beserta diagramskematiknya, sehingga mengetahui komponen komponen peralatan yang dipakai. Komponen komponen baik pasif dan aktif seperti : transistor,diode, resistor, capasitor, induktor, dan lainnya yang ada pada literatur dipelajari data datanya untuk digunakan mencari komponen ekivalennya, sesuai yang ada di pasar komponen elektronika kita. Satu persatu rangkaian rangkaian kami coba dan diukur, sehingga kami dapatkan rangkaian rangkaian yang dapat bekerja. Percobaan percobaan dilaksanakan dengan cara coba langsung tiap blok, lalu diukur hasilnya serta hasil pengukuran dievaluasi. Uji coba dilaksanakan terus sehingga didapatkan hasil yang baik. Dari hal diatas dapat disimpulkan bahwa metodologi yang kami laksanakan adalah sebagai berikut : 1. Studi literatur dari daftar pustaka. 2. Mengumpulkan data data komponen yang kemungkinan akan dipergunakan 3. Mengumpulkan data data komponen equivalent tersebut diatas,supaya kita dapat mengganti dengan komponen yang ada dipasaran. Mendisain ulang rangkaian peralatan dengan komponen yang ada dipasar Membuat rangkaian rangkaian peralatan. 4. Mengukur hasil percobaan dan melaksanakan evaluasi. Mengulangi percobaan,pengukuran dan evaluasi sampai didapatkan peralatan yang memenuhi persyaratan untuk peralatan tersebut.
multiband, reconfigurable dan reprogrammable dengan menggunakan software.
Pada penerima software-defined-radio (SDR) yang ideal. Pada ilustrasi tersebut tingkatan analog telah dikurangi. Komponen yang analog adalah hanya antena, bandpass-filter (BPS), dan Low Noise Amplifier (LNA). Konversi analog kedigital dilakukan oleh ADC (Analog Digital Converter). Pengolahan sinyal secara digital dimulai dari sinyal digital yang dihasilkan oleh keluaran konverter A/D. Pengolahan tersebut dilakukan oleh software (perangkat lunak) yang diprogram dalam peralatan Digital Signal Processor (DSP) yang reprogrammable. Selain peralatan DSP, peralatan yang reprogrammable seperti FPGA (Field Programmable Gate Arrays) dan prosessorprossesor yang umum (Pentium dan lainnya) dapat juga digunakan sebagai peralatan mengolah sinyal (10,11) Pembuatan penerima SDR yang digital multiband dan multistandard dilakukan dengan mengaplikasikan sistem radio yang dikehendaki ke dalam software yang sesuai dan memuat (mendownload) program software tersebut ke peralatan DSP. Hal ini selain tidak memerlukan peralatan tambahan juga memiliki sistem pemilihan yang dapat dilakukan dengan perubahan yang sederhana [12]. Pemilihan sistem radio yang dikehendaki dapat dilakukan dengan perubahan yang Adapun kelebihan aplikasi sistem SDR antara lain: Mudah dan sederhana. yaitu cukup mengaktifkan sistem radio yang dikehendaki tersebut. Begitu juga pengembangan untuk jenis sistem radio dan servis yang baru mudah untuk diaplikasikan. Memperkecil ukuran. Dengan aplikasi sistern SDR, memungkinkan ukuran hardware yang lebih praktis dengan kapasitas kemampuan yang cukup banyak. Mendukung pengembangan. Sistem SDR mampu mendukung pengembangan sistem komunikasi radio yang lebih maju. Untuk pembuatan sistem radio yang baru tidak perlu menambah ataupun mengganti hardware (perangkat keras), tetapi cukup dengan penambahan software saja yang dimuat ke dalam DSP. Mampu beradaptasi. Sistem SDR mampu untuk beradaptasi ke setiap jenis sistem radio yang ada dengan pemakaian
Kedua, sebagian para peneliti dan teknisi telah terbiasa pada perbaikan peralatan juga sekaligus pemeliharaan. Pemeliharan peralatan tidaklah mudah, terutama bersikap baik terhadap peralatan. Misalnya bagaimana peralatan kalau sering di-on off-kan. Pemeliharan dari kotoran debu, pemeriksaan peralatan apakah ada yang rusak dicatat dan segera diperbaiki. Ketiga, dengan berkembangnya teknologi SoftwareDefined-Radio (SDR) atau dapat disebut juga dengan software-radio, umumnya didefenisikan [10, 11] . Sofware-radio adalah sebuah sebagai berikut teknologi yang muncul untuk membangun sistem radio yang fleksibel, multiservice, multistandard,
107
multiband dan multistandar. tidak memerlukan penambahan/perubahan hardware.
4.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada : Puslit Informatika atas bantuannya memberikan kesempatan waktu dalam menyiapkan makalah ini.
Keempat, dalam 10 tahun, program pelatihan dapat menggeser para peneliti dan teknisi kepada teknologi baru sehingga dapat menguasai peralatan yang baru. Peralatan baru biasanya didalamnya ada pengatur atau prosesor sehingga peralatan tersebut dapat dengan mudah dioperasikannya dan lebih nyaman pemakaian dan tentu lebih akurat. Pemograman atau perangkat lunak yang memegang peranan ini, ini akan dikuasai oleh peneliti dan teknisi.
DAFTAR REFERENSI 1. Choate, P., 1982. Retooling The American Work Force, Northeast-Midwest Institute. 2. Dato’ Lee Yee Cheong, 2003. The President of World Federation of Engineering Organizations, Keynote Address: Current Activities of the World Federation of Engineering Organizations, CAFEO-21, Jogjakarta, Indonesia, 22-23. 3. Habibie, B.J., 1991. Science, Technology and Nation Building, vol. I, Technology Indonesia & The Agency for The Assessment and Application of Technology, Jakarta. 4. Habibie, B.J., 1991. Science, Technology and Nation Building, vol. II, Technology Indonesia & The Agency for The Assessment and Application of Technology, Jakarta. 5. Thoby Mutis, Widodo, R.J. 2004, Science,Engineering and Technology (SET) Development for Public Welfare. Proceedings of ASPAC on ASET, Bandung, Indonesia. 6. Widodo, R.J, . 1992. Automatic Control for Reducing Energy Consumption and Improving Energy Conservation, (CAFEO-10), Manila, Phillipines, 5-6. 7. Widodo, R.J., 1993. Control Education at Bandung Insitute of Technology,(CAFEO-11), Singapore, 18-19. 8. Widodo, R.J., 1995. Development of Control Applications in Electrical Power Systems, PSDC’95, Bandung Institute of Technology, Bandung, 14-16. 9. Zuboff, S., 1982. Computer-Mediated Work: A New World, The President and Fellows of Harvard College. 10. Enrico Buracchini, CSEL T , The Software Radio Concept, IEEE Comm. Magazine, hal. 138-143, September 2000. http://www.mprg.org/people/buehrer/research/do cs/The%20Software%20Radio%20Concept.pdf 11. Dusko Zgonjanin, Kiril Mitrevsi, Ljubomir Zelenbaba,"Software Radio: Principles and Overview",http://www.telfor.org.yu/telfor2001/ra dovi/11-15.pdf 12. Safety Wireless Network (PSWN) Program, Software Enabled Wireless Interoperability Assessment Report-SDR Subscriber Equipment, Maret 2002. http://www.pswn.gov./admin/librarydocs9/softwa re_defined_radio_report_final.pdf 13. ElanDjaelani,DadayRuhiat,”Pembuatan Voltage Control Oscilator untuk Perangkat Pemancar Jamming”, Prosiding Seminar Radar Nasional 2007.Jakarta,18-10 April 2007,ISBN 9-79368889-6
2. Melengkapi Kekuatan Pekerjaan. DIKLAT untuk para peneliti dan teknisi pelaksana penelitian RADAR dilaksakan pada waktu awal dan pertengahan waktu periode penelitian.Setelah melaksanakan DIKLAT lalu bekerja kembali melaksanakan penelitian. Sistem penelitian RADAR ( kita sebut sistem)mempunyai keinginan mendapat teknologi RADAR yang bermamfaat bagi kesejahteraan masyarakat.Misalkan output sistem pada saat ini belum tercapai, maka DIKLAT merupakan pengontrol dari sistem yang memberikan umpan balik tentang kebutuhan teknologi RADAR kepada input sistem.DIKLAT dilaksanakan beberapa kali untuk macam kompetensi sehingga mengontrol input sistem dan membuat output sistem akan mendekati yang diinginkan sistem.DIKLAT melengkapi kekuatan pekerjaan penelitian RADAR. 3.
UCAPAN TERIMA KASIH
PENUTUP
Laporan ini telah menghadirkan aktivitas dari kunjungan belajar, dan sebagai penutupnya : 1.Pembangunan dari DIKLAT, ILPERTEKS, dan LITBANG menyatakan kekuatan-kekuatan yang mempengaruhi secar kuat bagi manusia, kehidupan, dan pemasyarakatan 2. Dengan ILPERTEKS, banyak negara akan dapat membangun potensi ekonominya. 3. Kebijaksanaan dari ILPERTEKS,akan diarahkan kepada kemampuan pembangunan nasional dalam ILPERTEKS, seperti yang diperlukan untuk pembangunan nasional sesuai dengan kebutuhan dan prioritas dari pembangunan nasional. 4.Semangat dari kerja sama di antara saintis / akademis antar universitas harus sangat tinggi. 5.Pertukaran program-program akan sangat bermanfaat untuk saintis, akademis, dan insinyur dengan cara berdiskusi dan berbagi dalam pengalaman pembangunan terakhir dari DIKLAT, LITBANG, dan ILPERTEKS,untuk Materi, Energi, dan Informasi.
108
Usulan Pemakaian RADAR Langit untuk Daerah Khusus atau Daerah Rawan Hari Satriyo Basuki Bidang Kendali Pusat Penelitian Informatika Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Jl. Cisitu 21/154D Sangkuriang Bandung 40135 E-mail :
[email protected] ABSTRAK Banyak sekali type Radar yang dipakai untuk memantau suatu daerah tertentu. Misalkan Radar Pantai untuk memantau sekitar pantai dimana dipasang radar tersebut. Radar Peringatan Dini atau Early Warning Radar untuk memantau suatu daerah dan memberitahukan secara dini akan adanya sesuatu. Tentunya radar radar tersebut mempunyai keterbatasan dan keunggulan masing masing. Dan kalau digabungkan tidak memungkinkan. Radar pantai untuk kapal yang berlayar di atas laut didaerah pantauannya, Radar Peringatan Dini untuk memantau pesawat terbang yang terbang diatas suatu daerah pantauannya. Radar Cuaca untuk memantau cuaca suatu daerah. Radar Angkasa untuk memantau keadaan bumi. Kegunaannya yang berbeda. Untuk memantau suatu daerah yang cukup luas akan tetapi banyak halangan maka diusulkan untuk menggenakan radar langit. Dalam makalah ini dijelaskan apa yang dimaksud dengan radar langit, kegunaannya, teknologinya dan kemampuannya walau baru dalam bayangan akan tetapi masih dimungkinkan untuk dibuat atau di impelementasikan di daerah yang memerlukan seperti sekitar Batam Singapura, Selat Makasar, Selat Sunda atau Selat Lombok. Sekitar Natuna dan daerah lainnya. Kata Kunci : Radar Langit, Daerah pantauan khusus 1.
atau Radar lainnya. Hal yang membatas penggunaan Radar Pantai adalah jarak jangkau yang dibatasi dengan kelengkungan bumi dan adanya gunung yang lebih tinggi dari lokasi antena radar. Akibatnya maksimum jarak jangkau adalah sekitar 60 kilometer.Untuk Radar pantau jarak ini sudah cukup akan tetapi bila akan melihat jarak yang lebih jauh lebih luas maka hal tersebut tidak memungkinkan. Diusulkan menggunakan Radar Langit ini dengan jarak jangkau yang lebih luas dan dapat untuk keperluan lainnya.
PENDAHULUAN
Indonesia adalah negara kepulauan terbesar didunia dengan pulau besar kecil yang perlu dipantau keamanannya. Dengan adanya daerah yang berbatasan dengan negara lain maka sangat mudah terjadi konflik dan peperangan. Daerah yang rawan dan sering terjadi konflik adalah daerah sekitar Batam yang berbatasan dengan Singapura dan Malaysia, daerah yang sangat padat pelayaran kapalnya dan juga udaranya, dan Selat Lombok dan Makasar yang merupakan selat yang dalam sehingga banyak sekali kapal asing yang lewat tanpa dapat dipantau.Sebenarnya teknologi radar itu sudah berkembang lama akan tetapi modifikasi dan pengembangan disana sini dengan maksud pemutakhiran serta dijitalisasi juga terus dilaksanakan. Salah satunya adalah yang disebut penulis Radar Langit. Kalau Radar Pantai di pasang dipantai atau di pelabuhan atau di gunung dekat pantai yang akan dipantau dan memancarkan sinyalnya kearah pantai. Kalau Radar Peringatan Dini selalu berdaya pancar besar dan berjarak pantau jauh dan berputar kesegala arah. Sedangkan Radar Langit diletakkan di angkasa untuk memantau daerah yang tidak begitu luas untuk keperluan tertentu. Misalkan untuk memantau pelayaran yang terjadi disekitar Batam dan Singpura, untuk memantau Selat Makasar/Lombok sekitar Natuna dan lain sebagainya yang tidak memungkinkan bila menggunakan Radar Pantai
2.
TEKNOLOGI RADAR
Radar dipergunakan untuk memantau suatu daerah dengan menggunakan teknologi pantul gelombang elektromagnetik oleh benda dari bahan yang dapat memantulkan seperti besi, aluminium, tembaga atau bahan logam lainnya. Sinyal di pancarkan dari antena pemancar radar dan memancar kesuatu arah dengan kecepatan 300.000 kilometer perdetik dan bila mengenai sesuatu objek/benda yang dapat memantulkan maka akan dipantulkan kearah kesegala arah dan diterima oleh antena radar itu juga. Dapat di gambarkan seperti dibawah ini :
109
akan berubah, pancaran antena yang ke ruang kendali akan tidak terhubung. Bila tidak terhubung maka akan tidak terkendali dan radar dapat jatuh, bergeser entah kemana, daerah cakup akan bergeser dan lain sebagainya. Melihat hal tersebut maka ketinggian radar tersebut harus dijaga dengan baik, arah antena dan kedudukan radar dijaga pada posisi yang benar.Selain itu teknologi pendeteksi yang dipergunakan harus dapat untuk membedakan kapal dengan lautan, kapal dengan daratan, kapal besi dengan kapal kayu atau fiber. Dengan ilmu hitung segitiga bila diketahui sudut pancar (beamwidth) dari antena maka akan dapat ditentukan daerah cakup pada ketinggian tertentu. Semakin tinggi lokasi pemacar akan semakin luas daerah cakup tersebut. Daya pancar pemancar juga dapat ditentukan bila sudah diketahui jarak pemancar ke bumi (daerah cakupannya) dan akan diketahui juga daya untuk seluruh sistem.
Gambar 1 : sistem radar
Sinyal pulsa radar akan memancar dari antena dan terpantul oleh kapal laut atau kapal terbang dan pantulan diterima oleh antena diproses dan ditampilkan di penampil. Putaran antena disesuaikan dengan putaran di penampil sehingga akan diketahui arah dari benda yang memantulkan tersebut. Pada umumnya pemancar diletakkan di atas gunung atau diatas gedung di pantai agar dapat mencapai jarak dan daerah yang lebih jauh dikarenakan oleh melengkungnya permukaan bumi dan penerima atau display diletakkan di ruang kendali yang dapat satu ruang dengan ruang pemancar (pada Early Warning Radar) atau di lokasi lain seperti pada radar pantai atau radar lapangan terbang. 3.
Tinggi
RADAR LANGIT
Karena radar menerima echo dari benda yang memantulkan seperti pesawat terbang, kapal atau lainnya maka peletakan antenna setinggi mungkin akan menambah daerah cakup. Sistem Radar langit dengan menempatkan pemancar di langit atau diatas bumi dengan ketinggian tertentu pada jarak tertentu tergantung pada system yang akan dipakai. Antena tetap mengarah kebumi kearah daerah yang akan dipantau. Ada dua macam penempatan pemancar dan segala peralatannya di atas bumi.
Daerah cakup Gambar 2 : Hubungan daerah cakup dan sudut pancar (beamwidth)
Hal hal yang menjadi pegangan dari sebuah sistem Radar Langit adalah : 1. Luas daerah yang akan di lihat dan dipantau 2. Lebar Sudut pancar antena (beamwidth) dan bila diperlukan dapat di fokuskan dengan beberapa antena 3. Lokasi penempatan radar langit bukan di jalur penerbangan 4. Berat komponen Radar Langit (omancar, antena, dan elektronika lainnya) 5. Sumber tenaganya (baterai, panel surya dan avtur) 6. Sistem kendali (Telemetri, Tracking and Commandnya) 7. Dimungkinkan untuk menaikan dan menurunkannya 8. Untuk beamwidth sebesar 30 derajat atau 45 derajat maka untuk daerah cakupnya dapat di perkirakan dibandingkan dengan ketinggian radar langit adalah :
3.1 Jauh diatas bumi dengan antena tetap mengarah ke bumi Sistem langitnya terletak diketinggian tertentu, geostasioner, antena mengarah ke daerah cakup yang ada dibawahnya, dikendalikan dengan sistem kendali, tenaga dari matahari dan baterai, memancarkan hasil penerimaan gambar ke sistem bumi. Permasalahan utamanya adalah bagaimana menjaga agar koordinat dan ketinggian stasiun pemancar dan semua peralatannya stabil dan dapat dijaga agar tidak bergeser karena tidak begitu tinggi dan masih dipengaruhi hal hal yang ada di bumi seperti angin, suhu, dan lainnya. Ada dua alasan agar dijaga posisi radar di atas tersebut pada kedudukannya, pertama adalah cakupan daerah yang disinari dan hubungan ke ruang kendali di bumi. Bila bergeser maka daerah cakup pancaran
110
Sudut pancar 30 derajat Tinggi Daerah (km) cakup (km) 1 0.55 10 5.5 100 55 500 275 1000 550
sistem langit dipasang dibawah ballon udara zeppelin, atau helikopter besar, atau ballon yang di pegang dengan tali.
Sudut pancar 45 derajat Ttinggi Daerah (km) cakup (km) 1 0.885 10 8,85 100 88,5 500 442.5 1000 885
Dengan perkiraan daerah cakup seluas 250 kilometer sudah memadai sebagai daerah pantauan trafic kapal laut di daerah antara Bintan-BatamSingapura, bila beamwidthnya 30 derajat, maka ketinggian radar langitnya adalah sekitar 450 kilometer sampai 500 kilometer.Bila bemawidth 45 derajat maka tingginya adalah sekitar 300 kilometer. Dengan ketinggian tersebut tentunya memerlukan teknologi yang cukup handal dan tinggi karena harus tetap diposisinya terhadap daerah pantaunya dan masih terlalu dekat dengan bumi sehingga pengaruh bumi masih kuat dan lain sebagainya.. Bila dengan menggunakan beamwidth yang lebih besar atau dengan beberapa sistem spot maka tentunya penempatan peralatan atau sistem elektroniknya dapat lebih rendah. Akan tetapi tentunya akan lebih banyak pemancar dan antena dan lebih kuat daya pancarnya dimana tentunya memerlukan dana yang lebih besar.
Gambar 4 : Sistem Radar di ketinggian
Misalkan di letakkan di ketinggian 250 meter atau 1 kilometer diatas gunung atau gedung tertinggi dan bukan didaerah jalur penerbangan, antena mengarah kebawah berputar atau phase array yang bersudut pancar (beamwidth) lebar sehingga daerah cakupnya dapat dipilih dan ditentukan. Dengan ketinggian tersebut dan menggunakan kabel pemegang maka tegangan listrik masih dapat disalurkan ke sistem langit. Bila menggunakan ballon atau helikopter maka masih memungkin dinaikkan turunkan dengan mudah dan cepat. Yang perlu di pantau dengan telemetrinya adalah : -
250 km
4. 4.1
Gambar 3 : Contoh daerah cakup Singapura-BatamBintan
3.2
Posisi balon/heli terhadap bumi, Koordinat balon/heli Tegangan baterai Arus pengisian baterai Posisi solar panel Tegangan solar panel Arah pancar antena Daya pancar pemancar Penerima dan pemancar ke ruang kendali Suhu Angin Dan lain sebagainya SISTEM
Sistem langit
Sistem langit dari radar langit hampir sama dengan Radar darat akan tetapi yang diatas selain mempunyai pemancar untuk sistem radar yang mengarah ke bumi dan menerima pantulan dari bumi dan memprosesnya akan tetapi terdapat pula pemancar yang memancarkan hasil pemrosesan sinyal pantulan ke lokasi penampil/sistem bumi di tempat yang ditentukan. Selain itu ada sistem telemetrinya yang akan menerima perintah dari sistem bumi, melakukan perintah tersebut dan
Diatas bumi dengan ketinggian tertentu
Untuk daerah khusus seperti BatamSingapura-Bintan atau selat Sunda atau Selat Makassar dan lain sebagainya dapat pula menggunakan sistem langit yang yang diletakkan diatas ketinggiuan tertentu, jauh lebih tinggi dari gunung tertinggi didaerah tersebut dan antenanya berputar kesegala arah. Sebagai contoh adalah
111
memancarkan hasil perintah ke sistem bumi. Secara blok diagram dapat digambarkan sebagai berikut :
Penampil video echo dapat diatur perubahannya sesuai kebutuhan misalkan setiap 15 detik atau 1 menit dan menggunakan penampil yang bulat seperti layaknya radar. Begitu juga tampilan telemetrinya juga ditampilkan sesuai dengan kebutuhan atau bila ada perubahan yang besar. Tampilan hasil pengukuran berupa tabel dan bila ada perubahan besar dapat ditambahkan alarm untuk memberitahu operator.
Gambar 5 : Sistem langit
Sistem pemancar akan emmancarkan sinyal memantau daerah cakup melalui antena dan antena akan menerima sinyal pantul dari bawah. Sinyal panyulan tersebut di proses dan dipancarkan kembali ke stasiun penerima di bumi melalui antena lain. Sistem telemetrinya akan mengendalikan dan memantau posisi sistem langit dan menjaganya pada posisi tersebut. Pengendalian dan pemantauanb dilaksanakan oleh sistem di bumi dan komunikasi pengendalian dilaksanakan melalui frequensi dan antena lainnya. Semua peralayan elektronika di catu dari sistem catu daya yang merubah tegangan dari sistem baterai yang menerima arus dari sistem panel surya.
Gambar 7 : Penampil Radar dan Telemetri (TT&C)
5.
PERMASALAHAN
Yang utama dalam suatu sistem radar adalah daerah yang akan dicakup, luas daerah cakup sangat tergantung pada ketinggian, sangat dibatasi oleh adanya gedung dan gunung. Oleh karena itu pemancar sebagai pembangkit sinyal pancar dan penerima sinyal pantul seharusnya diletakkan setinggi mungkin dari tanah. Teknologi elektronikanya kemungkinan masih dapat dibuat, permasalahan utama adalah penempatan sistem langit dengan ketinggian ratusan kilometer atau ratusan meter dengan sistem balon atau helikopter dan penjagaan posisi sistem langitnya. Telemtri dan kendali harus sedemikian bagus untuk menjaga sistem secara keseluruhan. Kemungkin dapat dicoba dengan penempatan 50 sampai 250 meter diatas Gunung Krakatao di Selat Sunda atau di atas gedung tertinggi di Pulau Batam. Diatas Gunung Krakatao untuk memantau pelayaran daerah Selat Sunda sedangkan diatas pulau Batam untuk memantau traffic kapal yang berlangsung disekitar Batam.
4.2 Sistem Bumi Sistem bumi dibuat untuk menampilkan hasil penglihatan antena di sistem langit yang diterima melalui antena dan dikirim melalui transmisi khusus untuk pengiriman data gambar. Selain menampilan gambar pantulan (echo) di sistem bumi juga menampilkan hasil pengukuran telemetri dan hal hal penting berkenaan dengan posisi sistem langit lainnya.
6.
KESIMPULAN dan SARAN
Dari pemabahasan ini dapat ditarik kesimpulan bahwa untuk daerah khusus dan perlu pemantauan daerah yang luas maka sistem pemancar radar ditempatkan di ketinggian tertentu yang bebas dari hal hal yang membatasi pemantauannya. Ada 2 cara penempatan yaitu di langit yang tinggi sekali atau diatas gunung. Untuk mencoba sistem ini perlu koordinasi berbagai instansi dan tenaga pelaksana baik peneliti maupun perekayasa yang tersebar di berbagai lembaga litbang dan instansi terkait. Secara
Gambar 6 : sistem Bumi
112
teknologi dapat dimungkinkan akan tetapi perlu dana yang cukup besar. Akan tetapi mengingat hasil pantauan dan sistem ini dapat dicoba demi keamanan wilayah Indonesia. DAFTAR REFERENSI 1. 2. 3. 4. 5.
www.radartutorial.eu/01.basics/rb04.en.html http://www.radartechinc.com/ http://www.fas.org/nuke/guide/usa/airdef/tars.h tm ttp http://www.vectorsite.netadar.ht/ttrml h://www.stratign.com/aerostat_surveillance_sy stems.htm
113
Implementasi Peta Dinamis Pada Radar INDERA Deni Yulian 1, W. Sediono 1,2, A. Andaya Lestari 3,4 1
Radar and Communication Systems (RCS) Segitiga Emas Business Park, Unit No. 6 Jalan Prof. Dr. Satrio, Kav. 6 Jakarta 12940, Indonesia Phone: +62-21-57951133 Fax: +62-21-57951138, Email :
[email protected] 2 Agency for the Assessment and Application of Technology, Jl. M. H. Thamrin 8, Jakarta 10340 – INDONESIA 3 International Research Centre for Telecommunications and Radar – Indonesian Branch STEI – ITB, Jalan Ganesha 10 Bandung, Indonesia, Email :
[email protected] 4 International Research Centre for Telecommunications and Radar – TU Delft Mekelweg 4 2628 CD Delft, The Netherlands ABSTRAK Pada radar kapal modern, fungsi display radar atau PPI (Plan Position Indicator) biasanya tidak hanya sebatas menampilkan refleksi dari objek disekitarnya akan tetapi juga digabungkan dengan fungsi navigasi dengan menyertakan peta electronik ke dalam layar radar. Hal ini menuntut kami untuk mengimplementasikan hal yang serupa pada radar INDERA (Indonesian Radar) yang tengah kami kembangkan. Dalam tulisan ini, akan dipaparkan konsep dasar peta vektor sebagai peta digital yang akan digunakan untuk fungsi navigasi dan bagaimana mengimplementasikannya pada radar INDERA sehingga bisa menjadi peta dinamis yang dapat terupdate secara otomatis sesuai dengan pergerakan kapal. Kata kunci : INDERA , Radar, PPI, Peta, Peta Vektor, Peta Raster, Laitude, Longitude FMCW (Frequency-Modulated Continuous Wave) dan bekerja pada range frekuensi X-band dengan frekuensi carier 9.4 GHz. Konsumsi power yang sangat rendah, yaitu sebesar 1 watt, menjamin kestabilan dan kehandalan sistem dengan meningkatkan lifetime radar. Terlebih lagi, sinyal radar yang terlalu lemah untuk dapat dideteksi oleh detektor radar menjadikan INDERA sebagai “silent radar” yang ideal untuk digunakan pada operasioperasi pertahanan dan keamanan.
1. PENDAHULUAN Pada display radar di masa lalu yang menggunakan tabung CRT (Cathode Ray Tube), PPI hanya berfungsi untuk menampilkan refleksi radar dari objek di sekitarnya. Namun seiring berkembangnya waktu serta kemajuan software, kini PPI lebih mengarah kepada multi function display, yaitu display yang tidak hanya dapat menampilkan data radar saja akan tetapi juga terintegrasi dengan conning display yang menampilkan informasi dari berbagai sensor yang terpasang bersama radar seperti kompas, gps, dan sensor kecepatan serta navigation display yang biasanya berupa peta elektronik yang di-overlay pada display radar. Adanya peta pada display radar sangat membantu operator untuk melihat kedua informasi baik data radar maupun informasi geografis di sekitarnya secara bersamaan. Hal ini sangat berguna terutama ketika kapal mendekati wilayah (area) kepulauan, melintasi celah sempit ataupun kanal. Penggunaan peta pada radar statis seperti radar pelabuhan jauh lebih sederhana dibandingkan pada radar yang bergerak secara dinamis seperti pada radar yang digunakan di kapal. Agar peta dapat secara aktual menunjukan posisi kapal di permukaan bumi maka diperlukan peta dinamis yang dapat di-update secara otomatis mengikuti perubahan posisi kapal.
Gambar 1:Radar INDERA
Selain itu, INDERA juga mengimplementasikan teknologi dual antenna terbaru dan pemrosesan sinyal yang dapat meningkatkan kemampuan dalam mendeteksi, mendiskriminasi, dan melokalisasi target [1].
2. SEKILAS TENTANG INDERA INDERA atau Indonesian Radar merupakan radar maritim pertama karya anak bangsa untuk berbagai jenis kapal yang menggunakan teknologi
114 1
3. PETA VEKTOR DAN PETA RASTER
4. STRUKTUR PETA VEKTOR
Dalam dunia navigasi ada dua jenis peta yang digunakan, peta vektor dan peta raster. Peta vektor merupakan kumpulan data vektor sistem informasi geografi bumi (GIS) pada berbagai level dan detail [2]. Pada peta jenis ini, informasi peta tersimpan dalam titik titik vektor yang dapat dengan mudah diperbesar atau diperkecil tanpa mengubah resolusi dan kualitas gambarnya. Sedangkan peta raster merupakan suatu peta yang memiliki struktur data yang umumnya merepresentasikan sebuah rectangular grid yang berupa kumpulan piksel, atau titik-titik warna [3]. Peta raster disimpan dalam sebuah file gambar dengan berbagai format. Peta raster biasanya merupakan hasil kopi atau scanning langsung dari sebuah peta kertas (paper chart) dengan akurasi dan reabilitas yang sama. Sebagaimana file gambar pada umumnya, gambar peta akan pecah ketika dilakukan perbesaran pada level tertentu. Masing-masing jenis peta ini memiliki keunggulan dan kelemahan. Beberapa di antaranya dipaparkan oleh Dawson, J dari U.K. hydrographic office, sebagai berikut [4],
Secara umum, struktur peta vektor terdiri dari beberapa layer yang masing-masing memberikan informasi geografis dan informasi tambahan yang diperlukan oleh user untuk keperluan navigasi, seperti yang dapat dilihat pada gambar 2. Masingmasing layer terdiri dari kumpulan region, polyline, dan point. Region dan polyline sendiri dibentuk oleh kumpulan point-point yang merupakan dasar pembentuk peta vektor.
Tabel 1: Keuntungan dan Kerugian Peta Vektor dan Peta Raster Gambar 2: Bagan struktur peta vektor
Region berfungsi untuk membentuk suatu gambaran daratan, perbedaan kedalaman laut, ataupun informasi geografis yang berupa suatu area. Polyline berfungsi untuk membentuk gambaran geografis yang dibentuk oleh kumpulan garis atau kurva terbuka seperti jalan, sungai ataupun garis batas. Sedangkan point biasanya digunakan untuk menggambarkan suatu tempat, posisi, ataupun sebuah titik spesifik yang berisi informasi yang sangat diperlukan user seperti manara suar ataupun posisi radar di pelabuhan. Untuk lebih jelasnya bisa dilihat pada gambar 3.
Dengan menimbang keuntungan dan fleksibilitas peta vektor dibandingkan dengan peta raster, kami lebih memilih menggunakan peta vektor sebagai peta dinamis pada radar INDERA.
Gambar 3: Contoh struktur peta vektor
Selain tersusun atas beberapa Layer yang
115 1
terdiri dari kumpulan region, polyline, ataupun point, peta vektor juga memiliki attribute yang memberikan informasi tentang bagaimana seharusnya peta vektor digambarkan, seperti warna pada suatu region, jenis garis dan warna pada suatu polyline, simbol suatu point, dan sebagainya, yang diperlukan oleh user untuk keperluan navigasi.
Gambar 5: Konsep penggabungan peta vektor dengan radar
Setiap titik-titik yang menyusun peta vektor harus memiliki informasi posisi, latitude dan longitude, pada permukaan bumi, atau minimal ada satu titik yang dijadikan sebagai referensi yang memiliki informasi tersebut. Pada peta yang kami gunakan hanya titik pusat peta yang memiliki informasi posisi geografis di permukaan bumi. Posisi geografis titik-titik yang lainnya dapat dihitung dengan memperhitungkan posisi relatif terhadap titik pusat peta (gambar 6). Untuk menampilkan peta pada display radar, titik-titik pada peta vektor harus disesuaikan dengan titik-titik piksel pada PPI dalam koordinat kartesian. Nilai x dan y pada koordinat kartesian dapat diperoleh dengan persamaan sebagai berikut,
Gambar 4: Contoh Layer Layer dalam sebuah peta vektor
Layer-layer yang menyusun suatu peta vektor berisi informasi yang spesifik sehingga dapat ditampilkan secara selektif. Sebagai contoh (lihat gambar 4) layer 1 bisa berisi informasi tentang kedalaman laut, Layer 2 informasi tentang daratan, layer 3 informasi tentang garis batas, area spesifik, dan titik-titik penting pada peta. Pada saat menampilkan peta di display, user bisa saja mengatur agar peta hanya menampilkan layer 1 dan 2 yang berisi kedalaman laut dan daratan. Atau pada saat yang lain user bisa menampilkan seluruh layersesuai kebutuhan.
x= xMap*range/maxRange y= yMap*range/maxRange dimana, range=jarak/radius peta vector xMap=nilai titik-titik peta pada sumbu x yMap= nilai titik-titik peta pada sumbu y maxRange=jarak maksimum radar pada PPI
4. IMPLEMENTASI PETA VEKTOR PADA DISPLAY RADAR INDERA Konsep integrasi peta statis dengan display radar sangat sederhana. Layer peta dapat ditempatkan tepat di bawah layer display radar (gambar 5). Karena statis, peta tidak memerlukan fungsi updating sehingga peta hanya berfungsi layaknya background gambar pada umumnya. Lain halnya dengan peta dinamis yang memerlukan fungsi updating sesuai dengan perubahan posisi radar atau kapal. Dalam kasus seperti ini tampilan peta harus bisa mengikuti perubahan posisi kapal dipermukaan bumi serta dapat di-scaling sesuai dengan jarak maksimum jangkauan radar yang terlihat di PPI.
Gambar 6: Properti dalam sebuah peta vektor
116 1
(1) (2)
Kemudian menghitung sudut antara kedua titik tersebut, dengan persamaan [6],
Karena nilai x dan y merupakan fungsi dari jarak maksimum radar pada PPI, secara otomatis skala peta akan ikut berubah ketika jarak maksimum radar pada PPI di ubah. Untuk meng-update peta sesuai dengan pergerakan kapal, harus diperhitungkan pergeseran titik pusat peta terhadap titik pusat radar (gambar 7). Dengan menggunakan dua nilai variabel yang mutlak yaitu nilai latitude dan longitude dari masing-masing titik, jarak antara kedua titik dapat dihitung dengan menggunakan formula Harvesine [5],
Δlat = lat2− lat1 Δlong = long2− long1 a = sin²(Δlat/2) + cos(lat1).cos(lat2).sin²(Δlong/2) c = 2.atan2(√a, √(1−a)) d = R.c (dalam satuan kilometer (km))
∅ =mod(atan2(sin(lon1-lon2)*cos(lat2), cos(lat1)*sin(lat2)-sin(lat1) *cos(lat2)*cos(lon1-lon2)), 2*pi)
(8)
di mana, lon1=nilai longitude pada titik 1 lat1=nilai latitude pada titik 1 lon2=nilai longitude pada titik 2 lat2=nilai latitude pada titik 2
(3) (4)
Setelah didapatkan nilai jarak dan sudut antara kedua titik tersebut, kemudian dicari nilai pergeserannya dalam koordinat kartesian terhadap sumbu x dan y,
(5) (6) (7)
Jika,
dimana, lon1=nilai longitude pada titik 1 lat1=nilai latitude pada titik 1 lon2=nilai longitude pada titik 2 lat2=nilai latitude pada titik 2 R = jari-jari bumi (jari-jari rata-rata = 6,371km)
maxRange= jarak maksimum radar pada PPI maka, Δx= (d*sin( ∅ ))/maxRange Δy= (d*cos( ∅ ))/maxRange
(9) (10)
Dari persamaan di atas, maka nilai titiktitik peta pada koordinat kartesian setelah disertakan nilai pergeseran akibat perpindahan posisi adalah sebagai berikut, x= xMap*range/maxRange ± Δx y= yMap*range/maxRange ± Δy
(11) (12)
Berikut ini adalah contoh hasil scanning radar INDERA di atap gedung RCS/SOLUSI247 (6°13'21.44"S, 106°49'22.66"E) di Segitiga Emas Business Park, Kuningan, Jakarta dengan radius 0.75 nautical mile atau sekitar 1.389 kilometer. Orientasi radar adalah North-Up, yang berarti bagian atas radar merupakan sumbu utara bumi. Gambar 8 menunjukkan PPI sebelum dioverlay dengan peta, tampak refleksi dari gedung-gedung dan struktur bangunan di sekitarnya, dan gambar 9 setelah dioverlay dengan peta vektor dengan hanya satu layer, tampak posisi dari refleksi gedung-gedung tersebut terhadap jalan raya yang membelah daerah segitiga emas dan sekitarnya. Gambar 7: Konsep pergerakan peta dinamis
117 1
DAFTAR REFERENSI 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Gambar 8: Display PPI INDERA tanpa peta
Gambar 9: Display PPI INDERA dengan peta
5. KESIMPULAN Dibandingkan peta raster, peta vektor jauh lebih fleksibel untuk diimplementasikan sebagai peta dinamis pada radar INDERA. Dengan menggunakan Harvesine formula untuk menghitung jarak dan perhitungan sudut antara dua titik di permukaan bumi, posisi peta terhadap radar atau sebaliknya dapat di-update dengan mudah. Sedangkan fungsi zoom-in dan zoom-out dapat dilakukan dengan melakukan scaling terhadap titik-titik yang membangun peta vektor. Penggunaan peta dinamis pada radar INDERA diperlukan untuk membantu navigasi terutama ketika kapal mendekati kepulauan atau melintasi celah sempit ataupun kanal. Dengan dilengkapi oleh peta yang berisi informasi geografis dan informasi penting lainnya akan memudahkan user untuk mengamati daerah sekitarnya dan mengambil keputusan pada saat berlayar.
118 1
http://rcs.solusi247.com/indra_mx1.html http://en.wikipedia.org/wiki/Vector_Map http://en.wikipedia.org/wiki/Raster_graphics http://www.usna.edu/Users/oceano/pguth/w ebsite/so432web/rastervector.htm http://www.movabletype.co.uk/scripts/latlong.html http://williams.best.vwh.net/avform.htm#Cr s
Perancangan dan Realisasi Antena Rolled Dipole untuk Keperluan Ground Penetrating Radar (GPR) dengan MenggunakanMetode Finite-Difference Time-Domain (FDTD) Yudi Yuliyus Maulana1), Yuyu Wahyu1), Folin Oktafiani1) dan , AA Lestari2) 1) Pusat Elektronika dan Telekomunikasi-LIPI Kampus LIPI Gd.20 Lt.4 Jl. Sangkuriang Bandung - INDONESIA Telp.022-2504660 Fax. 022-2504659 Email :
[email protected] 2) International Research Centre for Telecommunication and Radar - Indonesian Branch ( IRCTR-IB ), STEI-ITB / IRCTR-TU Delft, Jl. Ganesha 10, Bandung 40132 – INDONESIA
ABSTRAK Antena GPR yang dirancang adalah antena Rolled dipole. Antena rolled dipole adalah sebuah antena dipole yang dibuat melingkar yang diberi pembebanan resistif. Untuk keperluan analisis digunakan metode Finite Difference Time Domain (FDTD) dengan software FDTD3D untuk menganailisa sistem antena. Software FDTD3D akan secara langsung menghasilkan bentuk dan amplitudo sinyal transmisi antena rolled dipole. Dalam pengukuran digunakan network analyzer (VNA) untuk mengukur impedansi input, VSWR, dan footprint antena. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa hasil simulasi dan realisasi berbeda. Hal ini disebabkan oleh gejala staircasing yang terjadi dalam mendesain geometri antena Kata kunci : antena GPR, rolled dipole, FDTD, scattering parameter, network analyzer ground penetrating radar. Antena rolled dipole adalah sebuah antena dipole yang dibuat melingkar yang diberi pembebanan resistif. Antena dibuat melingkar untuk memperkecil dimensi antena, sehinggga akan mempermudah penggunaan dilapangan. Antena tersebut dirancang untuk eksitasi pulsa monocycle dengan durasi 1,6 ns ( frekuensi pusat 600 MHz ). Frekuensi tersebut cocok untuk aplikasi GPR resolusi menengah, yang digunakan untuk mendeteksi target yang kedalaman nya kurang dari 1m (contohnya ranjau, pipa, dan kabel). Untuk menganalisa kinerja antena, digunakan pemodelan numerik dengan metode finite-difference time-domain (FDTD) dengan menggunakan software FDTD3D. Pemilihan metode ini karena keunggulan yang dimilikinya, diantaranya : FDTD bekerja pada domain waktu dimana untuk rentang frekuensi yang lebar dapat diselesaikan hanya dengan sekali simulasi sehingga efektif jika digunakan pada sistem yang menggunakan pulsa monocycle sebagai sumber eksitasi. Kemudian FDTD memungkinkan pengguna untuk mendefinisikan sifat material pada semua titik di dalam domain simulasi, sehingga antena yang di desain lebih nyata atau realistis [3].
1. PENDAHULUAN GPR (Ground Penetrating Radar) merupakan device yang berguna untuk proses pendeteksian objek yang terkubur di bawah permukaan tanah hingga kedalaman tertentu. Dengan GPR, berbagai kegiatan atau penelitian untuk mengetahui informasi tentang keadaan di bawah permukaan tanah dapat dilakukan dengan cepat dan mudah. Contohnya untuk mendeteksi kabel yang ada di bawah permukaan tanah, pondasi dari sebuah tower, dan masih ada bidang lain dimana aplikasi GPR digunakan. Sehingga jelas bahwa penggunaan GPR akan terus berkembang seiring dengan pengembangan teknologi yang menggunakan subsurface (permukaan di bawah tanah) sebagai medianya. Dalam sistem GPR antena memainkan peran yang sangat penting, karena performansi umum dari GPR yang menggunakan impuls radar sangat ditentukan oleh kemampuan antena untuk meradiasikan impuls ke tanah dengan tingkat loss dan distorsi yang seminimal mungkin. Secara umum, persyaratan antena GPR dan antena untuk aplikasi lain seperti telekomunikasi secara esensi berbeda. Antena GPR impuls secara umum memerlukan ultra wide band (UWB) dan dapat memancarkan pulsa-pulsa UWB secara baik. Antena harus mempunyai kopling yang baik terhadap tanah untuk memaksimalkan energi yang ditransmisikan dibawah permukaan tanah. Pada makalah ini akan dibahas perancangan dan realisasi antena rolled dipole untuk keperluan
2. SIMULASI Pulsa yang dipilih dalam perancangan antena GPR yang diusulkan ini adalah pulsa monocycle dengan durasi 1.6 ns . Dalam spektrum frekuensi pulsa monocycle dengan durasi 1.6 ns memiliki
119
1.6 ns, (a) titik pengamatan 5cm (b) titik pengamatan 10cm pada arah broadside antena dipol
frekuensi center pada 600 MHz. Simulasi antena dilakukan dengan software FDTD-3D.
Tabel 1: Nilai amplitudo peak to peak dan ringing bentuk gelombang yang ditransmisikan oleh antena rolled dipole yang dieksitasi oleh pulsa monocycle 1.6 ns dengan titik pengamatan 5 cm dan 10 cm pada arah broadside antena. Jarak Sinyal Transmisi (cm) 5 10
Amplitudo puncak (V/m) 665 436
Amplitudo ringing (V/m) 39 56
Level ringing (dB) -24,6 -17.8
Dari tabel 1 terlihat nilai ringing yang kecil dibandingkan amplitudo sinyal pulsa utama. Hal ini berarti antena rolled dipole baik untuk transmisi sinyal dengan pulsa lebar. Gambar 1: Hasil simulasi mat3d antena rolled dipole
Pada hasil simulasi Mat3d Antena Rolled dipole terlihat bentuk pendeskripsian yang sesuai dengan yang diharapkan. Dimana hal ini berarti antena yang kita desain telah sesuai dengan rancangan awal dan selanjutnya kita dapat melihat karakteristik sinyal transmisi dari antena yang telah kita dideskripsikan diawal.
(a)
(a) (b) Gambar 3: Impedansi input antena rolled dipole saat simulasi. (a) udara, (b) pasir
Salah satu parameter impedansi input dari antena ultrawideband adalah ia memiliki impedansi input dengan nilai resistansi yang flat atau konstan pada range frekuensi tertentu dan nilai reaktansi nol [11]. Pada gambar 3 terlihat bahwa terlihat karakteristik impedansi input yang mirip antara udara dan pasir. Hal ini membuktikan antena ini adaptif pada permukaan yang berbeda. Pada gambar tersebut juga terlihat bahwa impedansi input dalam medium pasir memberikan nilai yang lebih flat dibandingkan dengan udara. Dimana hal ini terjadi
(b) Gambar 2: Bentuk gelombang yang ditransmisikan oleh antena rolled dipole yang dieksitasi oleh pulsa monocycle
120
sebab pasir adalah absorber yang mengakibatkan perubahan karakteristik antena. Pasir ini akan menyerap daya yang ditransmisikan antena. Pada bagian antara dua medium pasir dan udara akan terjadi juga efek kopling, dimana efek kopling yang ada berupa pemantulan daya. Efek ini sering juga disebut clutter untuk sisyem GPR. Efek kopling ini dapat diatasi dengan mendekatkan antena dengan pasir. Pada simulasi ini antena dibuat menempel ke tanah. Pada simulasi VSWR ini digunakan durasi pulsa 1.6 ns yang dalam spektrum frekuensinya mempunyai center frequency pada 600 MHz. Pada makalah ini akan dianilisis nilai VSWR pada nilai 600 MHz ini. Antena yang baik untuk transmisi durasi pulsa 1.6 ns memiliki nilai VSWR yang rendah pada frekuensi tersebut.
Hal ini membuktikan antena ini layak digunakan untuk transmisi pulsa dengan frekuensi center 600 MHz.
Gambar 5: Footprint antenna Rolled dipole disimulasikan pada kedalaman 10 cm di pasir dalam desibel berdasarkan amplitude peak to peak
Pada gambar 5 terlihat footprint antena rolled dipole pada permukaan tanah. Footprint yang digunakan pada percobaan ini menggunakan peak to peak amplitudo. Tabel 2 menunjukkan besar daerah -3 dB dan -10 dB footprint antena. Nilai penurunan -3dB dan -10 dB adalah nilai yang paling banyak digunakan dalam aplikasi GPR.
(a)
Tabel 2: Nilai footprint antenna rolled dipole pada simulasi 10 cm dibawah pasir (dalam dB) Level (dB) -3 -10
X (cm) 30 40
Y (cm) 50 90
3. PENGUKURAN DAN ANALISA - Bentuk Gelombang Yang Ditransmisikan
(b) Gambar 4: VSWR antena rolled dipole saat simulasi. (a) udara, (b) pasir
Pada gambar 4 (a) dan (b) terlihat bahwa antena rolled dipole memiliki nilai VSWR yang cukup baik (rendah) terhadap frekuensi . Hal ini sesuai dengan karakteristik VSWR yang diharapkan dalam mendesain sebuah antena GPR dimana antena GPR harus memiliki nilai yang baik (renda) untuk range frekuensi yang besar. Pada gambar 4 (a) dan (b) terdapat sedikit perbedaan dalam nilai VSWR. VSWR yang rendah pada gambar 4 (a) didapat pada frekuensi 825 Mhz dengan nilai VSWR 1,2 sedangkan pada 600 MHz didapat VSWR 2,8. Pada gambar 4 (b) didapat VSWR yang rendah pada 667 MHz sebesar 1,5 sedangkan pada 600 MHz didapat VSWR 1,9. Sesuai dengan desain awal, diharapkan didapatkan sebuah antena yang memiliki VSWR yang rendah pada 600MHz, hal ini dapat terbukti dari data diatas.
Gambar 6: Sinyal transmisi antena GPR Rolled dipole
Pada gambar 6 terlihat bahwa antena memiliki ringing yang rendah sebear -18dB. Gejala ringing yang rendah menunjukkan antena GPR yang kita desain yaitu antena rolled dipole dapat digunakan untuk keperluan GPR. Durasi sinyal pulsa utama pada gambar 6 sebesar 1,6 ns. Hal ini sesuai dengan durasi pulsa yang ditransmisikan pada percobaan ini.
121
Bentuk gelombang yang ditransmisikan pada gambar 6 menunjukkan hasil yang menyerupai dengan simulasi. Nilai ringing pada simulasi 10 cm pada tabel sebesar 17,8. Hal ini menunjukkan realisasi antena berhasil. Terdapat perbedaan hasil simulasi dan pengukuran, Hal ini antara lain disebabkan oleh : gejala staircasing pada geometri antena simulasi, perbedaan jarak spasi resistor dan celah pengisian resistor dalam simulasi dan realisasi, perbedaan nilai resistor simulasi dan realisasi, material pasir yang tidak sama antara simulasi dan realisasi, dan faktor pembulatan perhitungan.
juga disebut clutter untuk sisyem GPR. Efek kopling ini dapat diatasi dengan mendekatkan antena dengan pasir. Perbedaan perkiraan nilai impedansi input hasil simulasi (gambar 3) dan hasil realisasi (gambar 7) disebabkan oleh perbedaan nilai permitivitas dan ketebalan substrat yang digunakan dalam perealisasian antena dan dalam simulasi. Perbedaan ini juga disebabkan gejala staircasing dalam simulasi antena rolled dipole dengan metode FDTD. Perbedaan nilai permitivitas akan mempengaruhi scattering parameter antena yang selanjutnya mempengaruhi karakteristik impedansi input antena.
- Impedansi Input Antena Rolled Dipole - VSWR Antena Rolled Dipole
(a)
(a)
(b) Gambar 7: Impedansi input antena Rolled dipol pada perhitungan (a)udara (b) pasir
Pada gambar 7 terdapat hasil impedansi input dalam medium pasir yang lebih flat dibandingkan udara. Hal ini terjadi sebab pasir merupakan medium absorber, sehingga terjadi bentuk yang lebih flat. Dalam perhitungan terdapat masih adanya impedansi input yang tinggi, hal ini disebabkan refleksi antena yang terjadi. Hal ini terjadi sebab tidak mungkin membuat pembebanan dengan panjang yang tak terbatas. Dalam perhitungan pada gambar 7 terdapat pola impedansi input yang mirip antara impedansi input di udara dengan di pasir, Hal ini menunjukkan antena yang didesain sudah adaptif untuk pemakaian di udara maupun pasir dan dapat digunakan untuk keperluan GPR. Impedansi input di pasir lebih flat dari udara, hal ini terjadi sebab pasir adalah absorber yang mengakibatkan perubahan karakteristik antena. Pasir ini akan menyerap daya yang ditransmisikan antena. Pada bagian antara dua medium pasir dan udara akan terjadi juga efek kopling, dimana efek kopling yang ada berupa efek yang diakibatkan pemantulan daya. Efek ini sering
(b) Gambar 8: VSWR antena rolled dipole pada pengukuran di pasir (a) frekuensi center (b) umum
Pada gambar 8 terlihat antena rolled dipole ini memilki karakteristik VSWR yang baik pada frekuensi 600 MHz. Pada pengukuran didapat nilai VSWR 1,55. Hal ini sesuai dengan desain awal antena, dimana pulsa yang dikirimkan menggunakan center frekuensi 600MHz. Terdapat perbedaan antara VSWR hasil simulasi (gambar 4) dan pengukuran realisasi (gambar 8). Perbedaan ini terutama disebabkan oleh perbedaan nilai substrat material FR-4 pada simulasi dan realisasi. Dalam proses realisasi ini penulis menggunakan medium dilektrik FR-4 dengan permitivitas relatif 4,4 . Hal ini berbeda dengan
122
simulasi yang menggunakan permitivitas relatif sebesar 3,55. Hal ini akan menggeser nilai frekuensi center. Nilai frekunsi center yang didaptkan dari hasil perhitungan dengan permitivitas relatif 4,4 menjadi 538 MHz. Pergeseran yang dicapai mencapai 62 MHz.
Dari gambar 10 terlihat footprint spektrum frekuensi dari antena saat digunakan pada frekuensi yang berbeda-beda. Frekuensi yang digunakan pada antena ini, yaitu : 400MHz, 600 MHz, 1 GHz, 2 GHz, 3GHz dan 4 GHz. Dari gambar terlihat intensitas spektrum yang terbaik didapat saat digunakan pulsa 600 MHZ. Dimana saat penggunaan 600 MHZ, didapat spektrum yang terbesar dengan magnitude yang tinggi. Hal ini menunjukkan antena ini dapat digunakan untuk pulsa dengan frekuensi center 600 MHz. Gambar footprint hasil simulasi menunjukkan hasil yang berbeda dengan footprint hasil pengukuran realisasi antena. Hal ini terutama disebabkan penggunaan medium pasir yang berbeda dalam simulasi dan realisasi dan perbedaan dalam geometri simulasi dan realisasi antena. Perbedaan pasir ini akan mengakibatkan perbedaan absorbing dan pemantulan pasir (faktor kopling) yang selanjutnya juga mengakibatkan perbedaan hasil simulasi dan pengukuran. Perbedaan footprint ini juga disebabkan kedalaman Tx loop yang berbeda antara simulasi dan realisasi. Tx loop dalam realisasi tak dapt ditentukan secara pasti. Perbedaan kedalaman Tx loop ini mengakibatkan perbedaan footprint simulasi dan pengukuran. Hal ini disebabkan adanya penurunan medan listrik pada kedalaman yang berbeda secara eksponensial dan redaman yang berbeda untuk jenis pasir yang berbeda.
- Footprint Antena Rolled Dipole Normalised peak to peak voltage in dB 60
-30 -20
-10
-1 0
20
-3 0
-1 0
-60
-30
-30
-20
-20
-40
0 -3
-10
-20
-20
-10
-30
-30
Y (cm)
-20
40
0
-3 0
-2 0
-20
-60
-40
-20
0 X (cm)
20
40
60
Gambar 9: Footprint antena Roll Dipole berdasarkan peak to peak amplitudo diukur pada pasir (real eps = 4) Tabel 3: Ukuran footprint antenna rolled dipole pada pengukuran di pasir Level (dB) 0 -3 -10
X(cm) 30 34 48
Y(cm) 60 48 80
4. KESIMPULAN
Tabel 3: Menunjukkan ukuran footprint antenna rolled dipole pada pengukuran di pasir.
Setelah melakukan semua proses simulasi, realisasi, dan pengukuran antena GPR rolled dipole yang dioptimasi terhadap pulsa 1.6 ns dapat disimpulkan bahwa 1. Antena rolled dipole dapat memperkecil dimensi dengan penggunaan elemen resistor yang dipasang tergulung. 2. Panjang antena optimum yang dapat digunakan untuk menghasilkan radiasi maksimum bergantung pada substat bahan dielektrik dan frekuensi center dari pulsa yang ditransmisikan 3. Penggunaan pembebanan resistif pada lengan yang dipasang di sepanjang antena dapat menguransi ringing dan memperbesar bandwidth dari antena tersebut 4. Antena rolled dipole memilki karakteristik impedansi input selayaknya karakteristik antena ultrawideband yang baik, yaitu : memiliki nilai impedansi yang konstan dan reaktansi yang rendah (nol) 5. Antena rolled dipole memiliki footprint dengan puncak spectrum dengan resolusi paling tinggi pada ukuran x= 30 cm dan y=60 cm yang bekerja pada frekuensi 600 MHz sesuai dengan perancangan. Gambar 10: Footprint antena rolled dipole berdasarkan spektrum magnitude diukur pada pasir (real eps =4) dalam dB
123
5. UCAPAN TERIMAKASIH Kami ucapkan terimakasih kepada program DIPA 2008 yang telah membiayai pelaksanaan kegiatan penelitian ini.
DAFTAR REFERENSI [1]. A.A. Lestari, Antennas For Improved Ground Penetratimg Radar: Modeling, Tools, Analisys And Design, Ph.D.Dissertation, ISBN 9076928-05-3, Delft University of Technology, The Netherlands, 2003. [2]. T.T.Wu, R.W.P.King,”The cylindrical antenna with non reflecting resistiv loading”, IEE Trans.Antennas Propagat., vol.AP-13, no.5, pp.369-373, May 1965. [3]. J.G.Maloney, G.S.Smith, “A study of transient radiation fron the Wu-King resistif monopoleFDTD analisys and experimental measurements’, IEE Trans.Antennas Propagat., vol.41, no.5, pp.668-679, May 1993. [4]. A.A Lestari, E. Bharata, A.B. Suksmono, “Extection of the Cooperative IRCTR-ITB Research Project on GPR Antennas” [5]. A.A. Lestari, A.B. Suksmono, E. Bharata, A.G. Yarovoy,and L.P. Ligthart, “Small UWB antenna with improved efficiency for pulse radiation,” Proc. 2005 IEEE Int. WorkshopAntenna Technology (IWAT 2005), pp. 295-298, Singapore, Mar. 2005. [6]. TP.Montoya, G.S.Smith,”A study of pulse radiation from several broad-band loaded monopoles”, IEE Trans.Antennas Propagat., vol.44,no.8,pp.1172-1182,Aug.1996-a. [7]. Denny Yulian, Perancangan dan Realisasi Sistem Antena GPR Yang dioptimasi Terhadap Beberapa Durasi Pulsa dengan Menggunakan Metode FDTD. Tugas Akhir, ITB, 2006 [8]. A. Yarovoy, R. De Jongh, L. Lighart, “Ultrawideband sensor for elektromagnetic field measurement in time-domain”, Elect.Lett, vol. 36, no 20, pp.1679-1680, sep. 2000.
124
Antena Ground Penetrating Radar Adaptif Terhadap Multi Pulsa Folin Oktafiani 1), Yuyu Wahyu 1), Yudi Yuliyus 1), A.A Lestari 2) 1).Pusat Penelitian Elektronika dan Telekomunikasi – LIPI Jl. Cisitu 21/ 154D Bandung 40135 Telp. 022 250 4660, 250 4661 Fax. 022 250 4659 2) IRCTR-TU DELFT The Netherland Email :
[email protected] ABSTRAK Pada makalah ini dibahas tentang antena ground penetrating radar adaptif terhadap multi pulsa. Antena terdiri dari 2 buah antena dipole yang dibuat seperti struktur bow-tie. Antena didesain untuk dieksitasi pulsa pendek dan pulsa panjang. Untuk mengetahui unjuk kerja dari antena maka sebelumnya dilakukan simulasi dengan menggunakan software FDTD 3D. Pulsa yang digunakan untuk eksitasi antena adalah 1,2 ns dan 2,4 ns. Sedangkan pada pengukuran digunakan pulsa eksitasi 0,6 ns, 1,2 ns, 2,4 ns dan 4,8 ns. Hasil simulasi dan pengukuran menunjukan bahwa antena dapat beradaptasi dengan pulsa-pulsa tersebut dan mentransmisikan masing-masing pulsa tersebut dengan peak-to peak amplitudo maksimal pada arah pancaran. Antena ini dapat digunakan untuk operasi GPR pada aplikasi yang berbeda-beda dengan menggunakan sistem antena tunggal Kata kunci : antena, ground penetrating radar, multi pulsa yang mempunyai lebar pulsa berbeda memerlukan 1. PENDAHULUAN antena yang berbeda pula. Hal ini sangat tidak Ground Penetrating Radar (GPR) merupakan suatu efektif dalam penggunaan di lapangan terutama bila alat yang digunakan untuk proses deteksi benda – digunakan untuk aplikasi yang berbeda. benda yang berada / terkubur di bawah tanah Dengan melihat penjelasan diatas, pada dengan tingkat kedalaman tertentu, dengan tulisan ini dipaparkan pengembangkan antena GPR menggunakan gelombang radio, biasanya dalam dimana dapat digunakan secara efektif terhadap range 10 MHz sampai 1GHz . GPR dapat beberapa pulsa eksitasi yang berbeda. Sehingga digunakan untuk memetakan kondisi geologi yang diharapkan dapat dibuat suatu antena GPR yang meliputi kedalaman batuan dasar, kedalaman skema dapat bekerja pada range aplikasi yang luas. air di bawah permukaan tanah, kedalaman dan ketebalan strata tanah dan sedimen di daratan dan 2. DESAIN ANTENA di bawah permukaan air bersih, dan lokasi ronggarongga di bawah permukaan tanah serta Geometri antena yang dirancang disini dapat dilihat patahan/retakan batuan dasar. Aplikasi lain pada Gambar 1. diantaranya digunakan untuk mengetahui keberadaan seperti pipa, drum, tangki, kabel, dan batuan-batuan besar, pemetaan lahan dan batasanbatasan saluran air, dan melaksanakan penelitian arkeologis. Beberapa aplikasi GPR membutuhkan resolusi dan kedalaman penetrasi yang berbeda-beda. Sebagai contoh, pemeriksaan jalan dengan menggunakan GPR membutuhkan resolusi yang tinggi dengan Gambar 1: Geometri Antena GPR: kedalaman penetrasi hanya beberapa cm, (a). Keseluruhan antena (b). Sisi lengan kanan antena sedangkan untuk aplikasi hidrologi secara umum membutuhkan resolusi yang rendah dengan Lengan antena terdiri atas elemen panjang kedalaman penetrasi mencapai puluhan meter. dan pendek yang dibuat seperti struktur bow-tie. Untuk mendapatkan resolusi tinggi suatu impulse Elemen panjang dan pendek dioptimasi terhadap GPR mengirimkan (mentransmisikan) pulsa pulsa 2.4 ns dan 1,2 ns. pendek, sedangkan resolusi rendah dan kedalaman Pada gambar 1 dapat dilihat bahwa masingpenetrasi yang besar diperoleh dengan masing elemen terdiri dari bagian tanpa beban / mengirimkan pulsa panjang. Oleh karena itu, untuk unloaded (antara feedpoint dan tekukan) dan bagian masing-masing aplikasi GPR akan membutuhkan terbebani/loading (antara tekukan dan bagian akhir antena dengan ukuran yang berbeda-beda. Antena antena). Panjang dari bagian unloaded pada GPR secara umum hanya efektif untuk lebar pulsa masing-masing elemen ditentukan sebesar λc/4 tertentu. Jadi apabila GPR bekerja dengan impuls
125
untuk mendapatkan radiasi maksimal pada arah pancaran dari antena, seperti yang telah dijelaskan di atas. Apabila elemen panjang dioptimasi untuk pulsa 2,4 ns (frekuensi tengah 450 MHz), diasumsikan permitivas relatif efektif dari substrat adalah 2,5 maka panjang optimal dari bagian unloaded adalah skitar 10 cm. Untuk elemen pendek, yang dioptimasi untuk pulsa 1,2 ns (frekuensi sentral 900 MHz) maka panjang bagian tanpa beban adalah duakali lebih pendek dari elemen panjang. Selain itu, analisa FDTD mengindikasikan bahwa pemisahan angular 70o antar bagian tanpa beban, seperti ditunjukkan pada gambar 1, menghasilkan isolasi yang baik antara kedua elemen tersebut. Pembebanan resistif untuk menekan ringing ditambahkan pada bagian antena antara tekukan dan bagian akhir antena. Pada masing-masing elemen antena, bagian dari pembebanan yang terdekat dengan tekukan, dan pada tekukan itu sendiri menghasilkan diskontinuitas yang berperan sebagai sumber radiasi sekunder untuk meningkatkan pentransmisian pada arah pancaran. Pada penelitian ini digunakan 25 resistor seri sebagai pembebanan resistif dengan menggunakan profil pembebanan yang dihasilkan pada [1]. Pada prakteknya, resistor tersebut disolder melintang diantara gap sepanjang bagian loaded, seperti ditunjukkan pada Gambar-1. Gambar-2 menunjukkan realisasi dari antena.
Gambar 3 : Pulsa untuk eksitasi antena: monocycle 1,2 ns dan 2,4 ns (a). Bentuk gelombang (b). Spektrum frekuensi
Gambar 3 (a) menunjukan monocycle 1,2 ns dan 2,4 ns yang merupakan turunan pertama dari fungsi gausian, sedangkan spektrum frekuensinya ditunjukan pada gambar 3 (b) dimana dapat dilihat bahwa nilai frekuensi central adalah sekitar 900 MHz untuk monopulse 1,2 ns dan 450 MHz untuk monopulse 2,4 ns. Hasil simulasi dari antena GPR dapat dilihat pada gambar dibawah ini
a.
Gambar 2: Realisasi antena GPR yang dicetak diatas substrat FR-4
3. SIMULASI Software simulasi yang digunakan adalah FDTD 3D (Finite Difference Time Domain 3 Dimensions) untuk perancangan antena. Pada saat simulasi hanya 2 pulsa yang digunakan untuk mengeksitasi antena. Pulsa yang digunakan disini adalah monocycle dengan durasi 1,2 ns dan 2,4 ns.
b.
a. b.
Gambar 4: Gelombang transmisi dari Antena GPR, yang dieksitasi dengan monocycle 1,2 dan 2,4 ns elemen pendek yang dihubungkan elemen panjang yang dihubungkan
4. HASIL PENGUKURAN Setelah dilakukan simulasi maka langkah selanjutnya yaitu membuktikan secara eksperimen kemampuan antena GPR yang telah didesain dan disimulasikan untuk dieksitasi dengan monocycle 0.6ns, 1.2 ns, 2.4 ns dan 4.8 ns. Alat yang digunakan pada perngukuran ini adalah generator pulsa 30 ps, sampling converter, PC, UWB probe. Setup untuk pengukuran gelombang yang ditransmisikan ditunjukan pada gambar 5.
126
Gambar 6: Pulsa untuk eksitasi antena: monocycle 0.6, 1.2, 2.4, 4.8 ns (a). Bentuk gelombang (b). Spektrum frekuensi
Gambar 5: Setup untuk pengukuran gelombang yang ditransmisikan
Subjek utama yang menjadi pengamatan pada pengukuran ini adalah besarnya peak-to-peak amplitudo dari pulsa yang ditransmisikan. Hasil pengujian Antena GPR dapat dilihat pada gambar dibawah ini
Sensor elektromagnetik UWB yang diperkenalkan pada [2] digunakan sebagai probe dan dihubungkan dengan sampling converter yang dikontrol secara keseluruhan oleh PC. Antena yang diukur dihubungkan dengan generator pulsa yang mengeksitasi monocycle dengan durasi 30ps setelah mendapat trigger dari sampling converter. Spektrum dari 30ps lebih besar dari pulsa yang dipertimbangkan disini sehingga dapat diketahui respon antena yg dieksitasi oleh pulsa tersebut. Antena dan probe dicatu dengan kawat twin semirigrid (TSR) untuk menghindari kebutuhan dari balun menggunakan teknik yang dibahas pada [3]. Pada pengujian antena GPR ini pengantian antara elemen panjang dan elemen pendek dilakukan secara manual dengan menghubung pendekkan gap yang dekat dengan titik pencatuan. Untuk pengukuran kami mempertimbangkan 3 seting elemen yang berbeda, yaitu: 1) elemen pendek “on”, elemen panjang “off” 2) elemen panjang “on”, elemen pendek “off” 3) semua elemen “on” dimana “on” kami asumsikan elemen yang sesuai terhubung dengan titik pencatuan dan “off” kami asumsikan elemen tidak terhubung. Seperti yang kami sebutkan sebelumnya elemen disini dihubungkan dengan menghubung pendekkan gap yang dekat dengan titik pencatuan. Untuk masing-masing seting elemen, antena dieksitasi dengan masing-masing pulsa monocycle 0.6, 1.2, 2.4, 4.8 ns . Bentuk gelombang dan spektrum frekuensinya ditunjukan pada gambar 6.
127
untuk pulsa-pulsa rendah (0.6 ns dan 1.2 ns), seting 2 untuk pulsa panjang (4.8 ns), dan seting 3 untuk pulsa sedang (2.4 ns). Hasil ini menunjukan kemampuan adaptasi dari antena untuk transmisi optimal dari multipulsa. Pada hasil diatas diperhitungkan juga mismatch loss. 6. KESIMPULAN Telah diperkenalkan dan diuji secara eksperimen antena GPR adaptif untuk transmisi optimal dari multi pulsa. Antena telah digunakan untuk mentransmisikan 4 monocycle dengan durasi yang berbeda yaitu 0.6 ns, 1.2 ns , 2.4 ns, 4.8 ns. Hasil eksperimen menunjukan bahwa antena dapat beradaptasi dengan pulsa-pulsa tersebut dan mentransmisikan masing-masing pula tersebut dengan peak-to peak amplitudo maksimal pada arah pancaran. Antena ini dapat digunakan untuk operasi GPR pada aplikasi yang berbeda-beda dengan menggunakan sistem antena tunggal
Gambar 7: Pengukuran gelombang yang ditransmisikan oleh antena untuk seting elemen yang berbeda (a). 0.6 ns, (b). 1.2 ns, (c). 2.4 ns, (d) 4.8 ns
5. ANALISA Hasil simulasi yang ditunjukan pada gambar 4.(a) dapat dilihat bahwa pulsa 1,2 ns dapat ditransmisikan dengan optimal oleh antena dipole pendek dimana amplitudo gelombang secara substansial lebih besar dibandingkan dengan pulsa 2,4 ns. Hasil ini menunjukan bahwa untuk kasus ini antena efektif terhadap pulsa 1,2 ns, seperti yang diharapkan. Pada gambar 4.(b) dapat dengan jelas diamati bahwa amplitudo gelombang dengan pulsa 2,4 ns pada arah pancaran antena lebih besar dibandingkan pulsa 1,2 ns. Jadi terbukti bahwa antena GPR dipole panjang efektif untuk eksitasi pulsa 2,4 ns. Pada pengujian secara eksperimen kami menambahkan 2 pulsa untuk dieksitasi ke antena GPR yaitu monocycle 0.6 ns dan 4.8 ns, meskipun pada mulanya antena dioptimasi untuk monocycle 1.2 ns dan 2.4 ns. Dengan penambahan ini maka akan dapat dilihat kemampuan adaptasi dari antena dimana antena juga dapat bekerja pada pulsa eksitasi tambahan tersebut, sehingga memperluas daya guna dari antena. Pengukuran gelombang yang ditransmisikan untuk seluruh seting elemen dan pulsa yang dieksitasi ditunjukan pada gambar 7. Nilai peak-to-peak amplitudo dari gelombang yang diukur dapat dilihat pada tabel 1.
DAFTAR REFERENSI [1]. A.A. Lestari, et al., “Design and realization of a GPR Antenna for Hydrological Application,” Proc. 2005 IEEE Int. Workshop Antenna Technology (IWAT 2005), pp. 295-298, Singapore [2] A. Yarovoy, R. de Jongh, and L.P. Ligthart, “Ultra-wideband sensor for electromagnetic field measurement in time domain”, Electr. Lett., vol. 36, no. 20, pp. 1679-1680, Sep.2000 [3] A.A. Lestari, A.B. Suksmono, A. Kurniawan, E. Bharata, A.G. Yarovoy, L.P. Ligthart, “A facility for UWB antenna measurements in time domain”, Proc. 2005 IEEE Int. Workhop Antenna Technology (IWAT @))%), pp.109112, Singapore, march 2005 [4]
Tabel 1. Nilai Amplitudo relatif untuk bermacam-macam seting elemen Peak-to-peak amplitudo Elemen Kedua Elemen Durasi panjang”on” elemen ”on pendek ”on” Monocycle Elemen ” Elemen pendek ”off panjang ”off” ” 0.6 ns 1 0.65 0.88 1.2 ns 1 0.84 0.91 2.4 ns 0.96 0.85 1 4.8 ns 0.73 1 0.96
Berdasarkan tabel 1, dapat dilihat bahwa hasil yang diperoleh sesuai dengan hasil simulasi antena. Seting 1 memberikan radiasi maksimal
128
Mur G, 2000, User’s guide for FDTD3D; the C++ finite difference code for electromagnetic field in three dimentions and time, IRCTR and Laboratory for Electromagnetic Research Delft.
Estimasi Electromagnetic Interference (EMI) Dalam Sistem Antena Patch Array Untuk Radar Sri Hardiati dan Sulistyaningsih Pusat Penelitian Elektronika dan Telekomunikasi Jl Cisitu 21/ 154D (Komplek LIPI Gd 20) Bandung 40135 Phone : 022 2504660 Fax : 022 2504659 Email:
[email protected],
[email protected] ABSTRAK Antena merupakan suatu perangkat yang memiliki peranan penting dalam sistem Radar. Antena patch array yang diaplikasikan untuk Radar merupakan salah satu bentuk antena yang dibuat dengan mencetak elemenelemen sebagai radiator pada suatu lempengan substrat. Sumber utama radiasi ini adalah penyusuran medanmedan elektrik antara tepi-tepi elemen konduktor dan ground plane. Mekanisme medan elektromagnet yang dibangkitkan dalam peralatan elektronik ditransmisikan dalam antena patch array dan energi RF tersebut akan dipancarkan melalui antena patch array, dimana pancaran medan elektromagnetik dari antena patch array diperlukan suatu pengendalian pancaran atau pencegahan penerimaan dari energi RF yang tidak diinginkan. Dalam paper ini akan mengupas interaksi EMI (Electromagnetic Interference) pada antena patch, dimana EMI ini diperkirakan dapat mengganggu efisiensi radiasi dari antena patch array. Kata kunci : Antena patch array, Radar, Electromagnetic Interference komunikasi, Radar lain dan juga datang dari dalam sistem Radar itu sendiri. EMI yang timbul dari pancaran radiasi dominan diatas 30 MHz dan pancaran konduksi dibawah 30 MHz. Pengaruh EMI pada antena patch array, akan berpengaruh terhadap efisiensi radiasi dan menurunkan gain dari antena patch array. Dari kondisi tersebut mengakibatkan penurunan performance suatu sistem Radar. Penggunaan antena array bertujuan untuk meningkatkan Emitted Radiated Power (ERP) dari sistem antena sehingga dapat menjangkau obyek-obyek yang berada pada jarak puluhan kilometer.
1. PENDAHULUAN Gangguan elektromagnetik (EMI/Electro Magnetic Interference) terjadi bila noise pancaran spektrum elektromagnetik yang dihasilkan dari peralatan atau sistem mengganggu sinyal spektrum yang ditimbulkan dari peralatan lain atau sistem lain. Sinyal RF yang dibangkitkan oleh sistem pemancar Radar merupakan energi elektromagnetik yang ditransmisikan ke dalam free space dengan menggunakan suatu antena. Antena patch array mempunyai 2 tipe dasar yaitu rectangular dan circular. Antena microstrip patch yang terdiri dari lapisan patch mempunyai suatu lapisan dielectric dan ground plane yang digunakan untuk memancarkan energi dari arus yang terjadi oleh suatu pencatuan secara elektrik dari suatu pemancar Radar. Energi RF yang dipancarkan melalui antena patch array merupakan gelombang elektromagnetik. Gelombang elektromagnetik terdiri dari medan listrik dan medan magnet yang propagasi melalui free space dan arah propagasi dikenal sebagai Transverse Electromagnetic Wave (TEM). Dalam proses transmisi sinyal RF ada beberapa bentuk gangguan (interference) diantaranya suatu gangguan yang dikenal dengan nama EMI (Electromagnetic Interference). EMI yang terdiri dari sinyal yang tidak diinginkan yaitu spurious, sinyal konduksi, sinyal radiasi yang asal mulanya elektrik dapat menyebabkan penurunan performance suatu sistem atau peralatan. Pancaran radiasi yang dihasilkan antena patch array dalam hal ini sebagai contoh adalah rectangular pacth array, dapat dipengaruhi oleh EMI, dimana EMI dapat datang dari pancaran
2. EMI DAN ANTENA PATCH ARRAY Gangguan Electromagnetik (EMI) yaitu sinyal pancaran yang tidak diinginkan dari energi konduksi atau energi radiasi sebagai medan elektromagnetis. Pancaran konduksi berupa tegangan dan arus, adapun pancaran radiasi terdiri dari medan elektrik dan atau medan magnet. Spektrum sinyal EMI diidentifikasi dalam bentuk amplitudo yang merupakan kebalikan dengan frekuensi pancaran sinyal dari suatu sumber EMI. Amplitudo spektrum pancaran dapat berupa pancaran konduksi atau radiasi. Secara teori jenis pancaran EMI ada Broadband EMI, Narrowband EMI, Conducted EMI, dan Radiated EMI [1]. Antena mikrostrip merupakan salah satu jenis antena yang mempunyai kelebihan dan kekurangan sebagai berikut : 1. a
129
Kelebihan Mempunyai bentuk yang tipis, ringan serta ukuran kecil
b
c d e f
2. a b c d e
Teknik fabrikasi yang mudah dan murah, dan diproduksi dengan menggunakan teknik printed-circuit atau dengan teknik pemotongan biasa. Dapat diintegrasikan langsung Bisa menghasilkan polarisasi sirkular maupun linier Bisa dibuat compact sehingga cocok untuk komunikasi bergerak Bisa beroperasi pada single, dual, ataupun multi band
(panjang) dan l (lebar), dimana parameter tersebut akan mempengaruhi lebar bandwidth atau sinyal yang akan dipancarkan antena. Pencatuan dapat berupa koaksial atau stripline. Pencatuan saluran mikrostrip ada 2 bagian yang mengarahkan energi electromagnet dari sumber ke daerah patch.
Kekurangan Bandwidth sempit, yaitu <1% Gain yang rendah, berkisar 3-10 dBi untuk satu patch Membutuhkan substrate berkualitas baik (mahal) Efisiensi rendah Kecilnya alat mengakibatkan perlu ketelitian yang tinggi dalam perancangannya Gambar 2 : Mekanisme Pancaran Radiasi Keterangan Gambar : p = panjang patch. l = lebar pacth. t = tinggi substrate Bentuk geometri dasar dari rectangular patch antena terdiri dari elemen konduktor yang melakukan radiasi, dimana elemen tersebut dapat dieksitasi saluran mikrostrip atau kopling electromagnet. Mekanisme pancaran radiasi dari antena patch dapat dilihat seperti dalam gambar 2, dimana ini menunjukkan suatu konduktor rectangularcross-section pada permukaan dielectric substrate dengan suatu ground plane yang terletak pada bagian bawah subsrtrat, dan kondisi ini berhubungan dengan saluran transmisi. Radiasi dari patch sejenis radiasi dari 2 slot, pada tepi kanan dan kiri dari patch. Slot adalah pemisah yang sempit antara patch dan ground plane. Patch dan ground plane berjarak t yang berisi substrat. Analisa 2 saluran konduktor untuk menentukan arus pada konduktor dan tegangan antara 2 konduktor. Tegangan dan arus dari suatu saluran transmisi berhubungan dengan persamaan saluran transmisi. Struktur dasar dari medan electromagnet sekitar konduktor saluran transmisi Transverse merupakan struktur medan electromagnetic (TEM) yang mana vector intensitas medan listrik dan medan magnet pada point tersebut dalam ruang hampa (space) bukan komponen paralel terhadap saluran konduktor, tetapi vektor medan adalah transverse (garis melintang) atau tegak lurus terhadap sumbu. Gelombang yang propagasi sepanjang saluran
Gambar 1: Gambaran Umum Antena Mikrostrip
Secara garis besar antena mikrostrip dibagi menjadi 3 bagian: a. Patch, patch atau bisa kita sebut sebagai trace adalah lapisan yang terbuat dari konduktor. Lapisan ini berfungsi untuk meradiasikan gelombang elektromagnetik ke udara, terletak paling atas dari keseluruhan sistem antena. b. Substrat dielektrik, terbuat dari bahan dielektrik yang berfungsi sebagi media penyalur gelombang elektromagnetik dari catuan menuju daerah dibawah patch. Substrat sangat berpengaruh pada besar parameterparameter antena. Pengaruh ketebalan substrat dielektrik terhadap parameter antena adalah pada bandwidth. Semakin tebal substrat dan semakin kecil permetivitas relatif maka akan memperbesar bandwidth. c. Groundplane, groundplane berfungsi sebagai reflektor yang memantulkan sinyal yang tidak diinginkan. 3. PANCARAN RADIASI PATCH ARRAY Antena patch merupakan salah satu bentuk antena yang dibuat dengan cara mencetak elemen sebagai radiator pada suatu lempengan substrate. Bentuk rectangular patch yang terlihat dalam gambar 2: mempunyai parameter t (ketebalan), p
130
dinyatakan mode TEM yang propagasi dengan vector medan melintang terhadap arah propagasi.
- Untuk mode TM10, arus magnetik sepanjang l bersifat konstan dan berada di dalam phase, sementara arus magnetik sepanjang p berubah secara sinusoidal diluar phase. Maka tepi l (lebar) dikenal sebagai tepi radiasi, karena pada saat itu sebagian besar pancaran kontribusi untuk radiasi. Tepi p dikenal sebagai tepi non radiasi. - Untuk mode TM01, arus magnetik bersifat konstan sepanjang p dan didalam phase, dan arus magnetic sepanjang l berubah-ubah secara sinusoidal diluar phase. Tepi p merupakan tepi radiasi untuk mode TM01. Tiga mode tersebut mempunyai pattern radiasi broadside. Antena rectangular patch mempunyai efisiensi radiasi :
Gambar 3: Susunan Pencatuan Antena Patch
Bentuk patch dapat dianalisa dengan aplikasi dari model cavity. Medan listrik dari mode resonan dalam cavity diberikan :[3]
e=
⎛ mπx ⎞ ⎛ nπy ⎞ ⎟⎟ + ⎜ Ez = E o cos⎜⎜ ⎟ ................. (1) ⎝ p ⎠ ⎝ l ⎠
PT(total) dari Mode TM10,TM01, sebagai fungsi dari frekuensi resonant. Directivity (D) dari antena didefinisikan sebagai perbandingan power density dan main beam terhadap power density rata-rata, kemudian Gain (G) adalah :
m, n = 0,1,2. p = adalah panjang, l = adalah lebar Frekuensi resonansi :
(
G= e D .......................................(10)
)
f mn = k mn c / 2π ε r ........................ (2)
Distribusi medan elektromagnetik dalam antenna patch yaitu sinyal yang berasal dari pemancar Radar ditransmisikan ke antena patch array. Distribusi medan gelombang elektromagnetik dalam patch array dipandu sepanjang stripline dan dipancarkan dibawah patch. Bila gelombang elektromagnetik mencapai batas patch maka sebagian gelombang direfleksikan dan beberapa gelombang diradiasikan dalam ruang terbuka.
dimana :
⎛ mπ k mn = ⎜⎜ ⎝ p 2
2
⎞ ⎛ nπ ⎞ ⎟⎟ + ⎜ ⎟ ........................ (3) ⎠ ⎝l ⎠ 2
Untuk menghitung fringing field pada garis keliling patch, dapat digunakan dimensi efektif :
pe = p +
Pr ........................................(9) PT
t ................................................. (4) 2
t ..................................................... (5) 2 εr 1 f r1 = f r 0 ........................ (6) ε e ε e (1 + Δ )
le = l +
p l dimana : Gambar 4 : Gambar Distribusi Medan Elekromagnetik
0.164(ε r −1) (ε r + 1) ⎞ ⎛ 1⎛ ⎞⎞ ⎛p ⎟ x⎜ 0.758 + ln⎜ + 1.88 ⎟ ⎟⎟ Δ = ⎜⎜ 0.882 + + p⎝ πε r ⎟⎠ ⎜⎝ t ε 2r ⎠⎠ ⎝
........................................................................ (7)
ε r (u ) =
4. IDENTIFIKASI EMI DALAM PANCARAN RADIASI PATCH ANTENA
ε r +1 ε r −1 ⎡ 2
+
2
10t ⎤ ⎢⎣1 + u ⎥⎦ ......... (8)
Konfigurasi antena microstrip mempunyai cara eksitasi dari elemen radiasi diperlukan pertimbangan-pertimbangan dalam sistem pencatuan yang digunakan untuk mengkopel energi elektromagnetik. Pencatuan harus diperhatikan untuk mengurangi efek- efek yang merugikan pada kinerja (performance) antana patch array,
f0 merupakan frekuensi resonansi yang diberikan persamaan: 2 Karakteristik dasar dari antena patch rectangular mempunyai distribusi medan listrik dan arus magnetik permukaan pada sisi dinding adalah mode TM10,TM01 dan TM20.
131
contohnya redaman conductor loss dan dielectric loss. Redaman tersebut akan mengurangi efisiensi juga gain dari antena pacth array. Penurunan atau kenaikan impedance transformer, pembengkokan, penyambungan, pembagian, transisi, dan terminasi secara elektrik dan fisik pada antena patch array tidak berkesinambungan, maka dalam praktek jarang untuk mengeliminasi efek-efek elektrik secara sempurna dengan teknik matching yang normal. Hal ini akan mengakibatkan terjadinya losses reflection. Ketidak kesinambungan dalam pencatuan microstrip akan menyababkan loss surface-wave dan radiasi spurious. Pencatuan probe ke patch akan terjadi loss karena mentransfer energi dengan propagasi model paralel plat antara ground plane. Energi ini terkopel bebas dengan probe yang terdekat, hal ini merupakan dasar untuk menghasilkan radiasi spurious. Pancaran spurious ini berbentuk sinyal narrowband dan pancaran spurious tercakup pada harmonic pada multipel dari frekuensi dasar.
loss diperhitungkan dari medan elektromagnetik daerah medan jauh. Efisiensi radiasi (e) yang merupakan perbandingan power radiasi terhadap power input dapat diberikan dengan persamaan [3]
5. ANALISA DAN PEMBAHASAN
6. KESIMPULAN
Antena patch array yang terlihat dalam gambar 5, merupakan susunan dari elemen patch yang mempunyai distribusi medan elektromagnetik dan susunan dari antena patch tersebut diharapkan dapat menaikkan gain antena sesuai yang diinginkan. Dari susunan patch satu dengan yang lain akan terjadi cakap silang (crosstalk). Cakap silang antara 2 jalur tersebut merupakan kombinasi 3 faktor yaitu induktif, kapasitif dan route common ground impedance. Perbaikan gain yangbesarnya tidak sebenarnya, ini disebabkan pancaran arus balik meluas langsung dibawah jalur sinyal. Ground plane dapat juga mengurangi mutual inductance coupling dengan menjamin bahwa loop arus kopel tidak sebidang. Kopling kapasitif tidak langsung dipengaruhi oleh ground plane, tetapi impedansi terendah dari saluran akan mengurangi amplitudo cakap silang kapasitif. Keuntungan dari ground plane yaitu mengijinkan untuk area minimum dari loop radiasi. Ini menjamin pancaran differentialmode minimum dari PCB. Dengan melihat gambar 4, permukaan S atas terletak diluar patch dan permukaan bawah tepat terletak diluar ground plane. Permukaan vertikal S sesuai dengan medan magnet dari cavity. Karena medan listrik pada permukaan atas dan bawah yaitu medan magnet tangensial pada permukaan vertikal adalah nol. Kontribusi untuk sumber yang sama merupakan tangensial medan listrik (E) pada permukaan vertikal dari cavity. Losses dalam cavity dibawah patch terdiri dari dielectric loss (Pd), conductor loss(Pc), radiation loss (Pr) dan surface wave loss(Psw). Dielectric loss dan conductor loss diperhitungkan dari medan listrik dibawah cavity dan bila radiation
Dalam komunikasi wireless seperti sistem Radar ini mempunyai medium efisiensi transmisi antara pemancar dan penerima. Medium transmisi dalam sistem Radar adalah suatu antena pemancar, saluran propagasi dan antena penerima. Untuk memfokuskan energi ke arah penerima, sifat antena ini dinamakan gain antena. Dalam proses transmisi energi RF ada beberapa jenis EMI yang timbul dari bermacammacam sumber yang dapat masuk melalui antena patch array dan dapat juga masuk melalui saluran internal yang masuk ke antena patch array, seperti loss surface-wave dan pancaran spurious. EMI yang timbul pada sistem pencatuan patch array ini, bila dilihat dari persamaan 11, maka dapat diperkirakan akan menurunkan efisiensi antena patch array dan berpengaruh terhadap gain antena.
e(%) =
Pr × 100% .(11) Pr + Pd + Pc
Gambar 5 Distribusi Ez untuk 2 elemen patch
DAFTAR REFERENSI 1.
2.
3.
4. 5.
132
J.L. Norman Violette, Ph.D., Donald R. J. White, MSEE, Michael F. Violette,BSEE, Electromagnetic Compatibility Handbook, copyright 1987,Van Nostrand Reinhold Company Inc Clayton R Paul, Electromagnetics for Engineers with Applications, copyright 2004, John Wiley & Sons JR James & PS Hall, Handbook of Microstrip Antennas Volume, copyright 1989, Peter Peregrinus Ltd Thomas Milligan, Modern Antenna Design, 1985,Mc Graw Hill Book Company Clayton R Paul, Introduction to Electromagnetic Compatibility, copyright 1992,John Wiley& Sons
Antena Dipole dengan Pembebanan Resistif dan Layer Dielektrik untuk Ground Penetrating Radar (GPR) Y.Wahyu1), A.Kurniawan2), Sugihartono2), A.S Ahmad2), A A Lestari3) 1) Puslit Elektronika dan Telekomunikasi-LIPI 2) Sekolah Teknik Elektro dan Informatika-ITB 3) IRCTR-TU DELFT The Netherland Email :
[email protected] ABSTRAK Pantulan dari bidang batas medium merupakan hal yang tidak dapat dihindarkan pada antena GPR.yang menyebabkan energi yang berhasil ditransmisikan ke dalam medium menjadi lebih kecil. Hal ini ditunjukkan dengan menurunnya amplituda gelombang yang ditransmisikan. Untuk meminimalisasi pantulan ini digunakanlah layer dielektrik sebagai media transisi dari antena ke medium yang diharapkan amplituda dari sinyal yang sampai ke medium akan semakin tinggi. Selain dari amplitud perlu juga diperhatikan level ringing. Antena yang baik mempunyai level ringing yang kecil. Oleh karena itu digunakan pembebanan resistif yang diharapkan gelombang pantulan dari ujung antena dapat diperkecil. Jadi adanya pembebanan resistif dan layer dielektrik diharapkan sinyal yang ditransmisikan ke dalam medium mempunyai level ringing yang rendah dan juga mempunyai amplituda yang tinggi. Kata kunci : antena GPR, ringing, layer dielektrik.
1.
mendaptkan profil optimal dari lapisan dielektrik untuk pulsa tertentu
PENDAHULUAN
GPR merupakan device yang berguna untuk proses pendeteksian objek yang terkubur di bawah permukaan tanah hingga kedalaman tertentu tanpa perlu dilakukan penggalian tanah. GPR dapat memberikan berbagai kegiatan atau penelitian untuk mengetahui informasi tentang keadaan di bawah permukaan tanah dapat dilakukan dengan cepat dan mudah. Dalam sistem GPR antena memainkan peran yang sangat penting karena performansi umum dari GPR yang menggunakan impuls radar sangat ditentukan oleh kemampuan antena untuk meradiasikan impuls ke tanah dengan tingkat loss dan distorsi yang seminimal mungkin. Ini berarti bahwa impuls antena GPR harus mampu meminimalkan late-time ringing. Pembebanan resistif digunakan untuk mengatasi refleksi internal tersebut [1].
Untuk menganalisa bentuk amplituda yang sampai ke dalam medium digunakan pemodelan numerik dengan metode finite-difference time-domain (FDTD) dengan menggunakan software FDTD3D. Pemilihan metode ini dengan pertimbangan bahwa hasil yang ingin didapatkan adalah bentuk gelombang dalam domain waktu. Keuntungan lain penggunaan FDTD diantaranya : FDTD bekerja efektif pada sistem yang menggunakan pulsa monocycle sebagai sumber eksitasi, kemudian FDTD memungkinkan pengguna untuk mendefenisikan sifat material pada semua titik dalam domain komputasi sehingga antena yang didesain lebih realistis [2]. 2.
DESAIN SISTEM ANTENA
Antena GPR yang diusulkan yaitu antena dipole dengan pembebanan resistif dan layer dielektrik. Penggunaan antena dipole tak lain adalah karena antena dipole merupakan antena yang sering digunakan untuk aplikasi GPR terutama karena kesederhanaannya [3]. Permasalah utama antena dipole untuk aplikasi GPR adalah sifatnya yang narrowband, padahal untuk aplikasi GPR dibutuhkan antena dengan karakteristik ultra wideband. Untuk mengatasi hal ini pada lengan antena dilakukan pembebanan resistif (sebut saja lengan ini lengan beban) dengan profil Wu-King untuk mengurangi late-time ringing akibat multiple reflection antara ujung antena dan feedpoint.
Salah satu kemungkinan untuk adaptasi didepan antenna adalah melekatkan lempengan dilektrik yang berlapis diantara antena dan tanah yang diilustrasikan pada gambar 2. Tujuan pendekatan ini meciptakan transisi yang optimal penjalaran gelombang elektromagnetik dari antena kedalam tanah sehingga antena tidak sensitif dengan kehadiran tanah. Dengan demikian pendekatan ini akan memaksimalkan energi yang dipancarkan oleh antena ke dalam tanah sebagaimana transisi yang optimal yang akan meminimalkan refleksi dari permukaan tanah. Masalah yang utama pada pendekatan ini adalah
133
Geometri antena dapat dilihat pada gambar 1. Garis putus-putus menggambarkan lengan beban sedangkan celah yang memisahkan garis merupakan tempat pembebanan resistif dengan menyisipkan elemen lumped resistor sesuai dengan profil Wu-King. Jumlah resistor yang digunakan 65 buah dengan resistansi awal 200 ohm. Dari [5] diketahui bahwa jarak antara feedpoint dengan dimana c resistor pertama dipilih sejauh merupakan kecepatan cahaya, f merupakan merupakan frekuensi tengah pulsa dan permitifitas relatif substrat (εr = 4.34) agar radiasi dari resistor pertama saling menguatkan dengan radiasi dari feedpoint pada arah broadside antena. Substrat FR-4
Feedpoint
2 3 4 5 6
3.57 4.85 6.14 7.42 8.71
1.67 cm 1.67 cm 1.67 cm 1.67 cm 1.67 cm Antenna Under Test (AUT)
12 10 cm 12 cm
3
4 15 cm
5
Z
Layer dielektrik
6
7 cm
Resistor
X
Medium
Gambar 3: Titik-titik pengamatan simulasi 4 cm Main section (6 cm)
Loaded section (57.9 cm)
132 cm
Gambar 1: Geometri antena dipole dengan pembebanan resistif
Selanjutnya pada antena dipasang 6 layer dielektrik sebagai transisi dari antena ke medium seperti terlihat pada gambar 2. Profil layer dielektrik yang digunakan adalah linear dimana selisih εr antar layer dielektrik yang berurutan sama besar. Alasan pemilihan profil linear ini adalah karena kesederhanaannya. Nilai εr dari masing – masing layer dielektrik dan tebalnya dapat dilihat pada tabel 1. Untuk simulasi ini digunakan 6 titik pengamatan seperti terlihat pada gambar 3. Titik 1 dan 2 digunakan untuk menghasilkan grafik impedansi input dan VSWR karena program FDTD3D tidak menghasilkan langsung impedansi input dan VSWR. Data yang dihasilkan dari titik 1 dan 2 harus diolah lebih lanjut dengan menggunakan Matlab agar dapat menghasilkan grafik impedansi input dan VSWR. Titik 3, 4, 5 dan 6 digunakan untuk melihat amplituda peak to peak sinyal dan ringing yang dihasilkan. Medium yang digunakan memiliki εr = 10 dan σ = 0.05) Feed Line
Gambar 4: Model Antena dengan FDTD
3.
a.
Antena
Medium
Gambar 2 : Antena dengan layer dielektrik Tabel 1: Profil layer dielektrik yang digunakan
2.28
Pengaruh pembebanan resistif
Tabel 2: Level ringing tanpa pembebanan dan dengan pembebanan resistif
Layer dielektrik
Layer 1
HASIL SIMULASI
Tebal 1.67 cm
134
Titik
Level ringing tanpa pembebanan resistif (%)
Level ringing dengan pembebanan resistif (%)
Titik 3
160.54
1.14
Titik 4
108.33
1.06
Titik 5
168.67
1.11
Titik 6
110.23
1.09
Gambar 7: VSWR dengan pembebanan resistif (resistansi awal 200 ohm)
Gambar 4: Impedansi input tanpa pembebanan resistif
Gambar 8: Impedansi input dengan pembebanan resistif (resistansi awal 40 ohm)
Gambar 5: VSWR tanpa pembebanan resistif (Z0=200 ohm)
Gambar 9: Impedansi input dengan pembebanan resistif (resistansi awal 40 ohm)
b. Pengaruh penambahan layer dielektrik dan pembebanan resistif
Tabel 3: Level ringing dan kanaikan peak to peak pulsa utama dengan penambahan layer dielektrik dan pembebanan resistif
Gambar 6: Impedansi input dengan pembebanan resistif (resistansi awal 200 ohm)
135
Titik
Level ringing (%)
Kenaikan peak to peak pulsa utama (%)
Titik 3
5.23
304.62
Titik 4
4.56
278.66
Titik 5
5.22
270.46
Titik 6
4.60
250.93
4 . ANALISIS Pengaruh pembebanan resistif dapat dilihat dari tabel 2. Dari tabel didapat bahwa dengan penambahan pembebanan resistif maka level ringing dapat ditekan menjadi sekitar 1% (-40dB). Pada aplikasi GPR resolusi tinggi diperlukan syarat level ringing maksimal 1% (-40dB). Hasil simulasi menunjukkan pembebanan resistif mampu memenuhi persyaratan resolusi tinggi. Namun pembebanan resistif ini akan memberikan dimensi antena yang lebih besar. Dari segi impedansi input, ketika tidak ada pembebanan resistif maka impedansi input fluktuatif pada range 0 – 2.5 GHz. Hal ini menunjukkan sifat antena dipole yang narrowband. Sedangkan untuk aplikasi GPR dibutuhkan antena yang ultrawideband.Dengan penambahan pembebanan resistif grafik yang dihasilkan lebih flat. Dengan Z0 = 200 ohm dapat dilihat VSWR pada gambar 7. Frekuensi resonannya berada di sekitar 830 MHz. Range frekuensi VSWR = 2 adalah 666 – 1233MHz. Bandwidth yang didapat sekitar 567 MHz (fractional bandwidth = 0.59). Syarat ultrawideband adalah fractional bandwidth lebih besar dari 0.25. Oleh karena itu antena yang diusulkan sudah memenuhi syarat ultrawideband. Pada gambar 6 dan 7 digunakan resistansi awal 200 MHz dan mengikuti profil Wu-King. Jika resistansi awal diubah menjadi 40 ohm dan tetap mengikuti profil Wu-King maka hasil yang didapat seperti terlihat pada gambar 8 dan 9. Impedansi input yang didapat lebih flat daripada menggunakan resistansi awal 200 ohm. Dengan resistansi awal 40 ohm didapat range frekuensi VSWR = 2 adalah 508 – 2910 MHz. Bandwidth antena sekitar 2.4 GHz (fractional bandwidth 1.40) dan frekuensi resonan 800 MHz. Impedansi input yang dihasilkan oleh profil Wu-King dengan resistansi awal 40 ohm lebih flat daripada dengan resistansi awal 200 ohm karena dengan resitansi awal 40 ohm pantulan yang terjadi dari ujung antena semakin kecil. Namun dalam simulasi untuk melihat efek penambahan layer dielektrik penggunaan pembebanan resistif dengan resistansi awal 40 ohm hanya digunakan untuk menganalisa impedansi input dan VSWR saja. Hal ini karena ketika menggunakan FDTD untuk mensimulasikan resistansi yang kecil maka waktu yang diperlukan makin besar. Apalagi untuk menganalisa ringing maka data yang dihasilkan harus sampai lebih besar daripada 2 kali durasi pulsa yaitu 3.2 ns sejak awal pulsa dimulai. Titik observasi yang berada di dalam medium membuat selang waktu yang diperlukan agar sinyal merambat sampai ke medium juga bertambah sehingga menambah waktu simulasi. Jadi dengan pertimbangan di atas efek dari penambahan layer dielektrik tidak dilakukan untuk resistansi awal 40 ohm.
Gambar 10: Impedansi input dengan layer dielektrik dan pembebanan resistif (resistansi awal 200 ohm)
Gambar 11: VSWR dengan layer dielektrik dan pembebanan resistif (resistansi awal 200 ohm)
Gambar 12: Impedansi input dengan layer dielektrik dan pembebanan resistif (resistansi awal 40 ohm)
Gambar 13: VSWR dengan layer dielektrik dan pembebanan resistif (resistansi awal 40 ohm)
136
Kemudian setelah melihat pengaruh penambahan pembebanan resistif, dilihat juga pengaruh penambahan layer dielektrik dan pembebanan resistif sekaligus. Dari tabel 3 dapat dilihat kenaikan level ringing dan peak to peak pulsa utama jika dibandingkan dengan tanpa penambahan layer dielektrik. Level ringing rata-rata naik menjadi 4.56% - 5.23% sedangkan kenaikan pulsa utama bervariasi di setiap titik dari 304% pada titik 3 sampai 250% di titik 6. Kenaikan level pulsa utama ini menunjukkan energi yang berhasil ditransmisikan ke dalam medium semakin besar. Kenaikan level ringing terjadi akibat banyak pantulan pada bidang batas 2 medium berbeda. Oleh karena cepat rambat dalam setiap medium juga berbeda maka ada sebagian sinyal yang sampai mendahului pulsa lain. Sinyal yang sampai lebih daripada 3.2 ns sejak awal pulsa dimulai akan dianggap sebagai ringing. Impedansi input dan VSWR dengan resistansi awal 200 ohm dapat dilihat pada gambar 10 dan 11. Dari gambar jika dibandingkan dengan gambar 6 dan 7 dapat dilihat bentuk grafik masih mirip. Perbedaannya adalah dengan layer dielektrik terjadi pergeseran sebesar 130 MHz ke arah frekuensi yang lebih kecil. Range frekuensi VSWR = 2 adalah 584 – 1050 MHz. Bandwidth yang didapat sekitar 466 MHz (fractional bandwidth 0.57). Kemudian jika digunakan pembebanan resistif dengan resistansi awal 40 ohm maka didapat pergeseran frekuensi resonan 110 MHz menjadi 690 MHz. Range frekuensi VSWR = 2 adalah 397 – 2637 MHz. Bandwidth yang didapat menjadi 2240 MHz (fractional bandwidth 1.47).
DAFTAR REFERENSI
[1].
[2]. [3].
[4].
[5].
5. KESIMPULAN Dari keseluruhan simulasi di atas dapat diketahui bahwa dengan penambahan pembebanan resistif dapat menekan level ringing yang diinginkan. Penambahan layer dielektrik akan menaikkan amplituda peak to peak pulsa utama namun akan menaikkan juga level ringing. Dari segi impedansi input dan VSWR, pembebanan resistif dapat membuat impedansi input yang dihasilkan lebih flat. Penambahan layer dielektrik yang diusulkan tidak merubah bentuk impedansi input dan VSWR yang dihasilkan secara keseluruhan namun akan menggeser grafik tersebut sekitar 100 MHz ke arah frekuensi lebih kecil. Level ringing yang dihasilkan dengan layer dielektrik berprofil linear ini belum dapat memenuhi aplikasi GPR resolusi tinggi yang mengharuskan level ringing lebih kecil dari 1% (40dB). Oleh karena itu perlu dikembangkan lagi profil layer dielektrik dan pembebanan resistif yang optimal sehingga dapat memberikan amplituda peak to peak yang tinggi namun dapat tetap menjaga level ringing dibawah 1% (-40dB).
137
A.A. Lestari, A.G. Yarovoy, L. P. Ligthart, Adaptive Antenna for Ground Penetrating Radar , Delft University of Technology, The Netherlands. D.J.Daniels, Ground Penetrating Radar 2nd edition, The Institution of Electrical Engineers, London, United Kingdom. TP.Montoya, G.S.Smith,”A study of pulse radiation from several broad-band loaded monopoles”,IEE Trans. Antennas Propagat., vol.44,no.8, pp.1172-1182, Aug.1996-a. A.A.Lestari,D.Yulian,A.B.Sukmono, E.Bharata, A.G.Yarovoy, and L.P.Ligthart, Rolled Dipole Antenna for Low-resolution GPR, Progress In Electromagnetics Research Symposium 2007, Beijing, China. A.A. Lestari, A.G. Yarovoy, L.P. Ligthart, “RC loaded bow-tie antenna for improved pulse radiation,” IEEE Trans. An-tennas Propagat., vol. 52, no. 10, pp. 2555-2563, Oct. 2004.
Kajian Mengenai Radar Clutter Dan Pengaruhnya Pada Unjuk Kerja Radar Mashury Wahab 1) dan Sulistyaningsih 2) 1) 2) Pusat Penelitian Elektronika dan Telekomunikasi Komplek LIPI Gdg. 20 Lt. 4, Jl. Sangkuriang, Bandung- Indonesia Tlp. 022-2504661, Fax. 022-2504659, Email:
[email protected] ABSTRAK Dalam makalah ini dilakukan studi dan evaluasi dari clutter yang biasa dikenal dalam bidang keilmuan dan aplikasi Radar. Implementasi Radar, seperti yang sedang dilakukan oleh PPET-LIPI dengan Radar Pengawas Pantainya, harus memperhitungkan dampak clutter ini terhadap kinerja Radar untuk menghindari kesalahan deteksi yang tinggi dan menurunnya akurasi. Kajian mengenai clutter ini dimulai dengan definisi, teori dasar, jenis clutter, pendekatan model clutter, dan pereduksian clutter. Diharapkan kajian ini dapat menjadi sumbangan pemikiran untuk penelitian dan pengembangan Radar di Indonesia. Kata kunci: clutter, kajian, kinerja, pereduksian, implementasi, Radar. 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Radar berperan sangat penting dalam aktivitas kehidupan manusia baik untuk membantu pengaturan lalu lintas dan peningkatan keselamatan dalam transportasi udara dan laut, pengawasan wilayah dibidang Hankam, pengamatan cuaca, pemetaan dan lain lain. Mengingat wilayah Indonesia yang sangat luas maka diperlukan Radar dalam jumlah banyak untuk mengawasi seluruh wilayah NKRI sepanjang waktu. Berdasarkan hal-hal diatas perlu dibangun kemandirian bangsa dalam pembuatan Radar. Kondisi ini, diperparah oleh kondisi perekonomian bangsa yang sedang terpuruk ini tidak memungkinkan pemerintah untuk membeli peralatan Radar dari luar negeri yang umumnya bernilai sangat mahal (dari U$100.000 sampai dengan jutaan U$ dollar). Hal ditambah dengan sulitnya mekanisme pembelian Radar yang bernilai strategis dibidang keamanan. Penelitian dan pengembangan Radar harus memperhitungkan banyak faktor-faktor yang dapat mempengaruhi keakuratan Radar dalam pendeteksian target yang diinginkan, seperti pesawat udara atau kapal laut. Faktor-faktor ini antara lain lebar berkas dari sinyal yang dipancarkan antena, kekuatan sinyal yang dipancarkan, sudut penerimaan dan pemancaran, jenis dan tingkat gangguan pada sinyal yang dipancarkan/diterima, dan lain-lain. Pada makalah ini kami membahas salah satu gangguan yang dialami pada saat aplikasi Radar yaitu clutter. Tergantung pada jenisnya, clutter ini ada beberapa jenis. Paparan makalah ini lebih banyak pada segi teoritis. Diharapkan makalah ini dapat memberikan kontribusi pada pemahaman clutter pada bidang keilmuan Radar. 1.2 Definisi Clutter
Clutter adalah suatu istilah yang digunakan untuk menguraikan beberapa obyek yang membangkitkan kembalian Radar yang tidak dikehendaki yang mengganggu terhadap pengoperasian Radar normal [1, 3, 6]. Parasitic returns yang memasuki Radar melalui main lobe antena disebut main lobe clutter; jika tidak disebut dengan side lobe clutter. Clutter dapat diklasifikasikan menjadi dua kategori utama: surface clutter dan airborne atau volume clutter [1, 3, 6]. Surface clutter meliputi pohon-pohon, tumbuh-tumbuhan, landasan tanah lapang, stuktur buatan manusia, dan permukaan laut (sea clutter). Volume clutter secara normal mempunyai luas besar (ukuran) dan meliputi sekam, hujan, burung-burung, dan serangga. Surface clutter mengubah dari satu area ke yang lain sedangkan volume clutter mungkin lebih dapat diprediksikan. Clutter echoes, acak dan mempunyai karakteristik seperti thermal noise karena komponenkomponen clutter tersendiri (tersebar-sebar) mempunyai fase-fase acak dan luas. Pada banyak kasus, tingkatan isyarat clutter lebih tinggi dibandingkan dengan tingkatan gangguan penerima. Jadi, kemampuan Radar untuk mendeteksi target dengan high clutter background tergantung pada Signal-to-Clutter Ratio (SCR) dari pada Signal-toNoise Ratio (SNR) [1, 2, 3]. White noise secara normal memperkenalkan jumlah yang sama dari noise power across semua Radar range bins, sedangkan daya clutter dapat bermacam-macam di dalam satu single range bin [1, 2, 3]. Sejak kembalian clutter adalah target seperti echoes, satu-satunya cara suatu Radar dapat membedakan kembalian target dari clutter echoes didasarkan pada Radar Cross Section (RCS) target σt, dan antisipasi RCS clutter σc (melalui peta clutter). Clutter RCS dapat didefinisikan sebagai ekivalen RCS dihubungkan dengan pemantulan dari suatu area Clutter, Ac. Rata-rata RCS clutter dirumuskan:
138
Sudut kritis (1)
kemudian akan menghitung ketika (pertama nol), maka
adalah koefisien clutter dimana scattering, suatu kuantitas tanpa dimensi yang sering dinyatakan dalam dB. Beberapa insinyur Radar dalam cm persegi tiap meter persegi.
menyatakan
Pada kasus-kasus ini, dari normal.
(4) atau ekivalen,
adalah 40 dB lebih tinggi
2. JENIS-JENIS CLUTTER
(5)
2.1 Surface Clutter Surface Clutter meliputi keduanya daratan dan clutter laut, dan sering disebut area clutter [1, 2, 3]. Area Clutter menunjukkan bahwa area clutter sendiri dalam airborne Radar dalam mode look-down. Ini juga suatu perhatian utama untuk ground based Radar ketika mencari-cari target pada low grazing Gambar 1: Definisi dari grazing angle .
adalah sudut dari angles. The grazing angles permukaan bumi ke sumbu utama dari illuminating beam, seperti digambarkan pada Gambar 1. Tiga faktor yang mempengaruhi jumlah dari clutter di dalam berkas sinyal Radar. Mereka adalah grazing angle, kekasaran permukaan, dan panjang gelombang Radar [1, 2, 3]. Secara khas koefisien lebih besar untuk panjang clutter scattering gelombang yang lebih kecil. Gambar 2 menunjukkan pada grazing uraian ringkas ketergantungan dari angle. Tiga daerah yang dikenali: yaitu daerah low graz ing angle, daerah datar atau dataran tinggi, dan daerah high grazing angle. Daerah low grazing angle memperluas dari nol kepada sudut kritis. Sudut kritis didefinisikan oleh Rayleigh sebagai bawah sudut yang mana suatu permukaan dianggap menjadi lembut, dan diatas permukaan dianggap menajdi kasar. Merupakan ratarata akar kuadrat (rms) dari suatu ketidakteraturan
Gambar 2: Daerah Clutter.
, kemudian tingginya permukaan sebagai menurut criteria Rayleigh permukaan yang dianggap lembut jika
(2) Mengingat peristiwa gelombang pada atas suatu permukaan, ditunjukkan pada Gambar 3. Dalam kaitan dengan ketidakaturan tingginya permukaan (permukaan kasar), “alur kasar” lebih panjang dibanding dengan “alur lembut” dengan suatu jarak .Beda alur ini diterjemahkan dalam suatu diferensial fase
: (3)
Gambar 3: Definisi permukaan kasar.
Di dalam kasus sea clutter, sebagai contoh, rms ketidakteraturan tingginya permukaan adalah (6) di mana status lautan, yang mana disusun tabel di dalam beberapa acuan yang diuji. Status laut dikarakteristikan oleh tingginya gelombang, periode, panjang, kecepatan partikel, dan =3 mengacu kecepatan angin. Sebagai contoh, pada status laut sedang, di mana dalam hal ini tingginya gelombang kira-kira sepadan antara 0.9144 sampai 1.2192 m, periode gelombang 6.5 sampai 4.5
139
s, panjang gelombang 1.9812 sampai 33.528 m, kecepatan gelombang 20.372 sampai 25.928 Km/hr, dan kecepatan angin 22.224 sampai 29.632 Km/hr. Clutter pada daerah high grazing angle sering dikenal sebagai clutter dihamburkan, di mana ada sejumlah besar kembalian clutter di dalam beam Radar (pemantulan tidak koheren). Pada daerah yang datar atas grazing angle adalah ketergantungan pada minimal. Clutter di dalam daerah high grazing angle lebih specular (pemantulan koheren) dan hamburan komponen clutter menghilang lenyap. Di daerah ini dari permukaan lembut mempunyai lebih besar permukaan kasar, kebalikan daerah low grazing angle .
Dalam hal ini dipertimbangkan suatu Radar airborne naik di udara pada look-down mode ditunjukkan pada Gambar 4 [1, 2, 3]. Persimpangan dari berkas sinyal antena dengan landasan menggambarkan suatu footprint berbentuk lonjong. Ukuran dari footprint adalah suatu fungsi dari grazing , seperti angle dan antena 3dB beam width digambarkan pada Gambar 5. Footprint dibagi menjadi banyak ground range bins masing-masing , di mana suatu lebar pulsa.
Dari Gambar 5, Area Clutter
adalah
(7)
Gambar 4: Airborne Radar pada mode look-down.
(8) di mana seperti biasanya,
adalah puncak daya
dipancarkan, adalah penguatan antena, adalah panjang gelombang, dan adalah target RCS. Dengan cara yang sama, daya yang diterima dari clutter adalah
(9)
2.1.2 Persamaan Radar untuk Clutter Area
ukuran
Daya yang diterima oleh Radar dari suatu oleh persamaan scatterer dalam Ac dinyatakan berikut:
digunakan untuk di mana tulisan di bawah garis area clutter. Substitusi persamaan (1) untuk ke dalam Persamaan (9), kita dapat memperoleh SCR untuk area clutter yang dibagi pada persamaan (8) dengan persamaan (9). Dengan tepat,
(10) 2.2 Volume Clutter Volume clutter mempunyai luas besar (ukuran) dan meliputi hujan (cuaca), sekam, burungburung, dan serangga. Koefisien volume clutter secara normal dinyatakan dalam meter persegi (RCS per volume resolusi) [1, 2, 3, 6]. Burung-Burung, serangga, dan beterbangan lainnya sering dikenal sebagai angle clutter atau clutter biologi. Seperti tersebut diawal, sekam digunakan sebagai suatu teknik ECM oleh hostile forces. Itu terdiri dari sejumlah besar reflektor dipole dengan besar nilai RCS. Menurut sejarah, sekam dibuat dari aluminium foil; di tahun terakhir kebanyakan sekam yang dibuat dari rigid fiber glass dengan conductive coating. Maksimum sekam RCS terjadi manakala panjangnya dipole L adalah satu setengah panjang gelombang Radar. Clutter cuaca atau hujan lebih mudah untuk to suppress dibanding sekam, karena rain droplets dapat dipandang sebagai lapisan kecil sempurna. Kita dapat menggunakan perkiraan Rayleigh tentang lapisan sempurna untuk menafsirkan rain droplets' RCS. Perkiraan Rayleigh, tanpa memperhatikan propagasi indeks medium dari pantualan, adalah (11) dimana droplet.
Gambar 5. Definisi Footprint.
dan
adalah radius dari rain
Gelombang elektromagnetik ketika dicerminkan dari suatu lapisan sempurna menjadi strongly co-polarized (mempunyai polarisasi yang sama sebagai incident waves). Konsekwensi, jika
140
Radar memancarkan, disebut, suatu polarisasi gelombang Right-Hand-Circularly (RHC), kemudian polarisasi gelombang yang diterima Left-HandCircularly (LHC), sebab sedang menyebarkan dalam arah berlawanan. Oleh karena itu, energi backscattered dari rain droplets mempertahankan perputaran gelombang yang sama (polarisasi) sebagai incident wave, tetapi telah dibalikkan arah dari propagasi. Hal itu mengikuti bahwa Radar dapat suppress rain clutter dengan co-polarizing antena pemancar Radar dan penerima. Penjelasan seperti , dihitung sebagai RCS per volume resolusi unit penjumlahan dari semua individu scatterers RCS di dalam volume [3]
di mana resolusi.
(12) total jumlah dari scatterers dalam volume Total RCS dari suatu volume resolusi tunggal
adalah
adalah ith diameter droplet. Sebagai contoh, dan temperatur antara 32 o F dan 68 o F adalah
(17) dan untuk es persamaan (17) dapat diperkirakan sebagai
(18) Substitusi persamaan (17) ke dalam persamaan (12) hasilnya adalah
di mana koefisien clutter cuaca sebagai
(19) digambarkan
(20) Secara umum, diameter rain droplet diberikan dalam milimeter dan volume resolusi Radar dinyatakan dalam meter kubik, begitu unit dari Z . sering dinyatakan dalam
(13) 2.2.1 Persamaan Radar untuk Volume Clutter Suatu resolusi volume ditunjukkan pada Gambar 6, dan diperkirakan dengan
Persamaan Radar memberi jumlah tenaga yang diterima oleh Radar dari suatu target Jarak R sebagai [1, 3]
(14) dan adalah, berturut-turut, antenna di mana, azimuth dan elevasi beam width dalam radian, lebar pulsa dalam detik, c kecepatan cahaya, dan R adalah jarak.
pada
(21) di mana semua parameter dalam persamaan (21) telah digambarkan lebih awal. Daya yang diterima Clutter cuaca oleh Radar adalah
(22) Menggunakan persamaan (13) dan persamaan (14) ke dalam persamaan (22) dan digabung menghasilkan Gambar 6: Definisi dari volume resolusi.
Mempertimbangkan propagasi medium dengan suatu indeks pantul . ith rain droplet RCS diperkiraan dalam medium ini adalah
(23) SCR untuk clutter cuaca dihitung dengan pembagian persamaan (21) dengan persamaan (23). Dengan tepat,
(15) dimana
(16)
(24) di mana tulisan di bawah garis V digunakan untuk menandakan volume clutter.
141
3. MODEL CLUTTER Model clutter yang dibahas dalam seksi ini adalah model statistik dari clutter [3]. Sejak clutter dalam suatu sel resolusi atau volume adalah terdiri atas sejumlah scatterers dengan fase acak dan amplitudo secara statistic, yang diuraikan oleh suatu fungsi distribusi probabilitas. Jenis distribusi tergantung pada sifat alami clutter sendiri (laut, daratan, volume), Radar yang beroperasi frekwensi, dan grazing angle. Jika clutter laut atau daratan terdiri atas dari banyak kecil scatterers ketika kemungkinan dari echo penerima dari satu menyebar secara statistik tidak terikat pada echo penerima dari menyebar yang lain, kemudian clutter mungkin diperagakan menggunakan distribusi Rayleigh,
perhitungan jangkauan (Range) pada suatu sistem Radar. Penekanan ini penting dilakukan apabila dalam pengukuran-pengukuran dengan sudut elevasi rendah karena Radar lebih dekat dengan tanah.
(25)
Gambar 7: Penekanan clutter pada Doppler spectrum.
di mana
rata-rata nilai x kuadrat. Log-Normal distribusi yang terbaik menguraikan clutter daratan pada grazing angle. Hal ini juga sesuai dengan clutter laut dalam daerah dataran tinggi. Diberikan oleh
(26) di mana
angka median dari variabel acak,
dan
adalah simpangan baku tentang variabel acak ln(x). Distribusi Weibull digunakan untuk model clutter pada low grazing angles (lebih sedikit dibanding lima derajat) untuk frekwensi antara 1 dan 10 GHz. Fungsi probabiliti Weibull Density ditentukan oleh parameter slope Weibull (sering ditabelkan) dan koefisien nilai tengah scatter
, dan dirumuskan
(27) di mana
dikenal sebagai bentuk parameter.
distribusi Weibull Catatlah bahwa ketika menjadi suatu distribusi Rayleigh. 4. PEREDUKSIAN CLUTTER Dalam seksi ini dijelaskan mengenai salah satu cara sederhana yang dipakai untuk penekanan clutter tanah (ground clutter) untuk Radar-Radar yang dipasang diatas tanah dengan kemampuan untuk deteksi kecepatan target (Doppler) [4, 5]. Hal ini dilakukan melalui penghilangan (clipping) puncak Doppler spektrum pada kecepatan Doppler 0 m/s (kedudukan Radar terhadap tanah tidak berubah), lihat Gambar 7. Pengurangan terhadap rata-rata dari U(t) sebelum FFT Doppler akan memberikan hasil yang sama, dimana U(t) ini adalah sinyal setelah proses
5. KESIMPULAN Clutter mempunyai dampak terhadap kinerja Radar berupa kesalahan deteksi yang tinggi dan menurunnya akurasi. Telah dipaparkan kajian dan evaluasi dari clutter pada bidang keilmuan Radar. Ada dua jenis clutter yang dipaparkan yaitu area dan volume clutter. Dipresentasikan juga model statistik untuk clutter. Salah satu contoh pereduksian clutter dengan metoda clipping juga dipresentasikan. DAFTAR REFERENSI [1] Leo P. Ligthart, ’Short Course on Radar Technologies’, International Research Centre for Telecommunications and Radar, TU Delft, September 2005. [2] Mark Richards, ’Radar Signal Processing’, McGraw-Hill, 2005. [3] Bassem R. Mahafza, ‘Radar Systems Analysis and Design Using MATLAB’, Chapman & Hall, 2005. [4] S.H. Heijnen, ‘TARA Data Processing’, Report for Cloudnet, October 2003. [5] S.H. Heijnen, J.S. Van Sinttruijen, W.F. Van der Zwan, L.P. Ligthart, ’A Dedicated Computer System for FM-CW Radar Applications’, Proceeding of 13th International Conference on Microwaves, Radar and Wireless Communications, 2000 (Mikon-2000). [6] M.I. Skolnik, ’Radar Handbook’, McGraw-Hill, 1990.
142
Pembangkitan Chirp untuk Radar FM CW Menggunakan DDS Purwoko Adhi Pusat Penelitian Elektronika dan Telekomunikasi LIPI Kampus LIPI Gd.20 Lt.4 Jl. Sangkuriang Bandung 40135 Indonesia Telp. +62 22 2504661 Fax. +62 22 2504659 Email:
[email protected]
ABSTRAK Tulisan ini membahas penggunaan direct digital synthesis (DDS) untuk membangkitkan sinyal chirp pada radar dengan frequency modulated (FM) continuous wave (CW) .Perioda pengulangan chirp bisa dipilih secara manual menggunakan jumper. Frekuensi bawah, frekuensi atas, dan perioda pengulangan chirp digunakan untuk menghitung kenaikan frekuensi dan seberapa sering kenaikan frekuensi. Kemudian frekuensi bawah dan frekuensi atas dihitung kembali dengan memasukkan guard time. Semua parameter diprogram dengan memasukkan nilai bilangan biner yang sesuai pada register-register DDS yang telah ditentukan. Kata kunci:radar, chirp, dds, fm cw
1.
PENDAHULUAN
Berbeda dengan radar pulse yang memancarkan pulse-pulse frekuensi secara periodik, radar FM CW adalah radar generasi baru yang memancarkan sinyal secara terus menerus. Sebagai penganti fungsi pulse, sinyal yang dipancarkan oleh radar FM CW dimodulasi dengan sebuah sinyal yang memiliki period ekuivalen dengan periode pulse. Sinyal yang digunakan untuk memodulasi pada radar FM CW bisa berupa sinyal sinusoidal, segi tiga, gigi gergaji, atau bentuk lain. Sinyal yang dimodulasi bisa dibangkitkan dengan berbagai cara, di antaranya dengan menggunakan voltage controlled ocsillator (VCO) yang diberi sinyal sinusoidal, segitiga, atau gigi gergaji sebagai input, dengan menggunakan DDS, atau dengan cara lain. Dalam aplikasi radar yang dikembangkan PPETLIPI, telah dipilih sinyal gigi gergaji sebagai sinyal pemodulasi. Untuk alasan kemudahan dalam pengendalian sinyal dibangkitkan menggunakan DDS. Output DDS berupa chirp yang berulang dengan periode yang sama dengan sweeptime ditambah guardtime.
2.
DDS
DDS adalah sebuah teknik yang menggunakan blok-blok pengolahan data digital sebagai cara untuk membangkitkan sebuah sinyal output yang bisa diatur frekuensi dan fasanya berdasarkan pada sebuah clock referensi yang presisi dan memiliki frekuensi tetap. Dalam sebuah asitektur DDS clock referensi dibagi dengan faktor skala yang telah diset sebelumnya dalam sebuah bilangan tuning biner yang bisa diprogram. Bilangan tuning memiliki antara 24 dan 48 bit yang memungkinkan sebuah implementasi DDS untuk menghasilkan resolusi frekuensi tuning dari output yang lebih tinggi.
Produk-produk DDS masa kini yang relatif murah, berperforma tinggi, terintegrasi secara fungsi, dan dikemas dalam ukuran kecil segera menjadi alternatif untuk solusi sintesiser analog tradisional. Integrasi sebuah konverter D/A, yang berkecepatan dan berperforma tinggi, dan arsitektur DDS di atas sebuah chip tunggal (membentuk apa yang dikenal dengan solusi DDS lengkap) memungkinkan teknologi ini menjadikan beragam aplikasi yang lebih luas sebagai sasaran dan, dalam banyak kasus, menyediakan alternatif yang menarik untuk sintesiser PLL analog. Untuk banyak aplikasi, solusi DDS memiliki kelebihan khusus dari sintesiser frekuensi analog ekuivalen yang menggunakan rangkaian PLL. Beberapa kelebihan DDS di antaranya. Resolusi tuning mikro Hertz dari frekuensi output dan kemampuan tuning fasa di bawah satu derajat, semua di bawah kontrol digital penuh. Hopping speed yang sangat tinggi pada frekuensi output tuning atau fasa. Arsitektur digital DDS tidak memerlukan manual tuning berkaitan dengan umur dan pergeseran suhu. Interface pengendalian digital dari DDS arsitektur mempermudah situasi di mana sistem bisa dikendalikan dari jarak jauh dan dioptimasi di bawah kendali prosesor. Dan ketika digunakan sebagai sebuah sintesiser kuadratur, DDS menghasilkan matching dan kontrol yang tak tertandingi dari output I dan Q. Komponen DDS yang digunakan dalam tulisan ini adalah AD9956 dari Analog Devices. Komponen ini memiliki 3 mode operasi. Yang pertama dan yang juga merupakan mode operasi default adalah mode single-tone. Akumulator fasa bekerja pada frekuensi tetap, sesuai dengan bilangan tuning dari profile yang aktif. Demikian juga dengan offset fasanya yang tetap dan sesuai dengan bilangan offset fasa dari profile yang aktif. Divais ini memiliki 8 profile fasa/frekuensi yang berbeda, masing-masing memiliki bilangan tuning frekuensi 48 bit dan bilangan offset fasa 14 bit. Profile dipilih dengan memberikan nilai digital pada
143
pin-pin profile-select (PS2, PS1, dan PS0). Namun tidak dimungkinkan menggunakan fasa dari satu profile dan frekuensi dari profile lain. Yang kedua adalah mode linear sweep. Mode diaktifkan dengan memberikan nilai logik 1 pada bit linear sweep enable dari control register (CFR1<17>=1) namun dengan tetap membiarkan 0 pada bit linear sweep no dwell (CFR1<16>=0). Ketika komponen dalam mode linear sweep, akumulator frekuensi meningkatkan frekuensi output dari divais dari frekuensi bawah yang telah diprogram ke frekuensi atas atau sebaliknya. Frekuensi bawah diatur oleh bilangan tuning frekuensi dari Profile 0, dan frekuensi atas diatur oleh bilangan tuning frekuensi dari Profile 1. Kombinasi logika dalam akumulator frekuensi mengharuskan nilai yang disimpan pada FTW0 selalu lebih rendah dari nilai yang disimpan dalam FTW1. Arah sweep dikendalikan oleh PS0. Logika 1 pada pin ini memerintahkan output untuk sweep ke FTW1. Logika 0 memerintahkan output untuk sweep ke FTW0. Akumulator frekuensi membutuhkan 4 nilai, yang disimpan dalam register-register. Yang pertama adalah nilai kenaikan frekuensi yang menentukan berapa besar kenaikan frekuensi setiap kali frekuensi naik. Nilai ini disimpan dalam rising delta frequency tuning word (RDFTW). Yang kedua adalah seberapa sering frekuensi naik. Nilai ini disimpan dalam rising sweep ramp rate word (RSRR). Nilai RSRR menentukan berapa banyak siklus SYNC_CLK yang harus dihitung oleh akumulator frekuensi dari kenaikan frekuensi ke kenaikan frekuensi berikutnya. Yang ketiga dan keempat adalah ekuivalen dari yang pertama dan kedua untuk arah yang berlawanan, yaitu falling delta frequency tuning word (FDFTW) dan falling sweep ramp rate (FSRR). Mode operasi yang ketiga adalah mode linear sweep no dwell. Mode inilah yang digunakan dalam aplikasi untuk radar yang sedang dikembangkan oleh PPET-LIPI. Mode ini diaktifkan dengan memberikan logika 1 pada bit linear sweep enable dan bit linear sweep no dwell dari register control (CFR<17:16>=1). Ketika komponen dalam mode ini, akumulator frekuensi menaikkan frekuensi output dari divais dari frekuensi bawah ke frekuensi atas. Pada saat frekuensi atas tercapai, akumulator langsung kembali ke frekuensi bawah, tanpa melihat apakah PS0 kembali ke 0 atau tidak. Mode ini hanya menggunakan RDFTW dan RSRR. Operasinya masih dikendalikan oleh pin PS0. Namun pin ini berfungsi sebagai trigger. Ketika transisi pada pin PS0 dari 0 ke 1 terdeteksi, komponen melakukan sweep penuh, tanpa melihat apakah pin PS0 kembali ke 0 atau tidak. Setelah sweep, selesai sweep lain bisa dilakukan dengan memberikan rising edge lain pada pin PS0. Ini berarti pin PS0 harus dikembalikan ke 0 sebelum sweep berikutnya.
AD9956 memiliki 14 register yang bisa diakses, dibaca atau ditulis, melalui port interface serial. Mereka adalah Control Function Register 1 (CFR1), CFR2, Rising Delta Frequency Tuning Word (RDFTW), Falling Delta Frequency Tuning Word (FDFTW), Rising Sweep Ramp Rate (RSRR), Falling Sweep Ramp Rate (FSRR), Profile Control Register 0 (PCR0), PCR1, PCR2, PCR3, PCR4, PCR5, PCR6, dan PCR7. Untuk aplikasi radar, PPET-LIPI registerregister yang digunakan adalah CFR1, CFR2, RDFTW, RSRR, PCR0, dan PCR1.
3.
CHIRP
Sebuah chirp adalah sebuah sinyal yang memiliki frekuensi yang naik atau turun dengan waktu. Chirp bisa dihasilkan dengan memodulasi secara FM sebuah sinyal dengan sinyal gigi gergaji. Representasi frekuensi-waktu dari chirp yang ingin dibangkitkan dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1: Representasi frekuensi-waktu dari chirp
Perioda (T), sweeptime (Tsweep), dan guardtime (Tguard) memiliki hubungan seperti pada Persamaan 1. Sedangkan frekuensi tengah (fc), frekuensi bawah (fl), dan frekuensi atas (fh) memiliki hubungan seperti pada Persamaan 2.
Sinyal chirp dalam frequency-domain dapat ditulis dengan Persamaan 3,
di mana k adalah chirp rate. Dengan demikian k dapat ditulis seperti pada Persamaan 4,
144
di mana frd adalah kenaikan frekuensi setiap step dan Tr adalah periode step.
4.
PEMROGRAMAN AD9956
Frekuensi clock referensi yang digunakan adalah 394.24MHz. Frekuensi yang sama akan digunakan untuk system clock (SYSCLK). Untuk itu kita bypass RF-DIVIDER dengan memberi logika 1 pada bit RF Divider SYSCLK Mux (CFR2<16>=1). Dengan demikian frekuensi synchronisation clock (SYNC_CLK) adalah sebesar SYSCLK dibagi 4, atau sebesar 98.56MHz. Frekuensi ini bisa didapat pada pin output SYNC_OUT. Frekuensi sweep yang diinginkan adalah sekitar 2MHz, atau sweeptime sekitar 0.5ms. Frekuensi terdekat yang didapat dengan cara membagi SYNC_CLK dengan bilangan 2n adalah 1503.906Hz, di mana n=16. Berarti sweeptime sama dengan 0.665ms atau 65536 siklus SYNC_CLK. Untuk meyakinkan bahwa akumulator frekuensi telah kembali ke frekuensi bawah, maka digunakan guardtime sebesar 4 siklus SYNC_CLK, sehingga sweep dari frekuensi bawah ke frekuensi atas dilakukan selama 65532 siklus SYNC_CLK. Untuk mendapatkan frekuensi ekskursi sekitar 1.5MHz, nilai 1 dimasukkan pada RSRR. Nilai ini menghasilkan kenaikan frekuensi setiap Tr = 0.010146104us, atau setiap satu siklus SYNC_CLK. Kenaikan frekuensi yang dibutuhkan setiap kali adalah sekitar 22.8896Hz dan yang mendekati ini adalah fr = 23.49853516Hz yang bisa diperoleh dengan memberikan nilai 4 pada RDFTW. Nilai-nilai di atas akan menghasilkan frekuensi ekskursi sebesar 1.539906MHz untuk sweeptime yang telah ditentukan di atas. Tabel I menunjukan nilai-nilai RSRR dan RDFTW untuk frekuensi ekskursi yang lain.
12.319248 24.638496 49.276992
153.840376 147.680752 135.361504
166.159624 172.319248 184.638496
Frekuensi bawah dan frekuensi atas digunakan untuk menghitung FTW0 dan FTW1 dengan menggunakan Persamaan 5.
di mana fs adalah frekuensi clock referensi. Selanjutnya FTW0 dan FTW1 ditulis bersama dengan POW0 dan POW1, yang dibiarkan 0, pada PCR0 dan PCR1.
5.
SINYAL TRIGGER
Untuk menjaga koherensi, sinyal triger dibangkitkan dengan membagi sinyal SYNC_CLK yang bisa diperoleh pada pin SYNC_OUT dari AD9956. Untuk meyakinkan bahwa pembagi bisa bekerja pada frekuensi SYNC_CLK, untuk pembagi tahap awal digunakan komponen TTL tipe fast (F). Setelah didapat frekuensi yang lebih rendah, pada tahap berikutnya bisa digunakan tipe lain. Diagram skema rangkaian pembagi dapat dilihat pada Gambar 2.
Tabel 1: Nilai-nilai RSRR dan RDFTW.
RSRR
RDFTW
1 1 1 1 1 1
4 8 16 32 64 128
Frekuensi ekskursi (MHz) 1.539906 3.079812 6.159624 12.319248 24.638496 49.276992
Gambar 2: Rangkaian pembagi untuk trigger.
Dengan mengambil 160MHz sebagai frekuensi tengah maka frekuensi rendah dan frekuensi tinggi untuk masing-masing frekuensi ekskursi dapat dilihat pada Tabel II. Tabel II. Frekuensi bawah dan frekuensi atas. Frekuensi ekskursi (MHz) 1.539906 3.079812 6.159624
Frekuensi bawah (MHz) 159.230047 158.460094 156.920188
Frekuensi atas (MHz) 160.769953 161.539906 163.079812
Dalam rangkaian tersebut digunakan dua buah IC 74F74 yang masing-masing memiliki dua buah DFlipflop yang difungsikan sebagai pembagi dua. Keempat D-Flipflop dirangkai membentuk pembagi 16. Sinyal output pada pin SYNC_OUT sudah kompatibel dengan sinyal TTL, sehingga bisa dihubungkan ke clock dari D-Flipflop pertama melalui sebuah kapasitor. D-Flipflop terakhir menghasilkan sinyal dengan frekuensi 6.160MHz. Selanjutnya sinyal ini dibagi 256 menggunakan 2 buah counter 4 bit yang ada dalam sebuah IC 74HC393 dan difungsikan sebagai pembagi 16. Selanjutnya sebuah counter pada IC 74HC393 lain difungsikan sebagai pembagi 2, 4, 8,
145
dan 16, di mana outputnya bisa diperoleh pada masing-masing dari 4 pin output. Keempat output memiliki frekuensi 12.031KHz, 6.016KHz, 3.008KHz, dan 1.504KHz yang bisa dipilih dengan jumper untuk input trigger DDS pada PS0.
6.
PENGUKURAN
Sinyal output dari DDS dimonitor dengan sebuah spectrum analyzer. Sebelumnya sinyal dilewatkan melalui sebuah low pas filter untuk membuang frekuensi yang lebih tinggi. Contoh spektrum sinyal dengan frekuensi ekskursi 64MHz dan frekuensi tengah 160MHz yang dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 3. Penurunan level pada daerah mendekati frekuensi atas disebabkan oleh gain filter yang tidak rata pada rentang frekuensi output.
Gambar 3: Contoh spektrum sinyal output.
7.
KESIMPULAN
Sinyal yang dimodulasi secara FM dengan sebuah sinyal gigi gergaji menghasilkan chirp. Sinyal yang sama bisa dibangkitkan dengan menggunakan komponen DDS. Untuk membangkitkan sinyal tersebut, DDS diprogram untuk mode operasi linear sweep no dwell. Parameter yang dimasukkan adalah frekuensi bawah, frekuensi atas, kenaikan frekuensi, dan seberapa sering kenaikan frekuensi yang masingmasing dimasukkan dalam register PCR0, PCR1, RDFTW, dan RSRR. Pengulangan dibuat dengan memberikan trigger periodik pada pin PS0. Semua parameter disesuiakan dengan periode trigger yang ekuivalen dengan sweeptime.
DAFTAR REFERENSI 1.
A Technical Tutorial on Digital Signal Synthesis, Analog Devices, 1999
2.
Data Sheets of AD9956 (2.7 GHz DDSBased AgileRF Synthesizer), Analog Devices, 2004
146
3.
Mahafza, Bassem R., Radar Systems Analysis and Design Using MATLAB, 2nd Edition, Chapman and Hall/CRC, Boca Raton, 2005.
4.
Miller, Gary M. and Beasley, Jeffrey S., Modern Electronic Communication, 7th Edition, Prentice Hall, 2002.