Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pembelajarannya. Jurusan Matematika, FMIPA UM. 13 Agustus 2016
TANTANGAN PENGEMBANGAN DIMENSI KETERAMPILAN STANDAR KOMPETENSI LULUSAN KURIKULUM 2013 EDISI REVISI DITINJAU DARI RUMUSAN KOMPETENSI DASAR MATEMATIKA JENJANG SEKOLAH MENENGAH PERTAMA Abdur Rahman As’ari 1) Universitas Negeri Malang
[email protected] 1)
Abstrak Rumusan dimensi keterampilan dari standar kompetensi lulusan yang dimuat dalam Permendikbud No. 20 Tahun 2016 mengalami perubahan penting. Perubahan tersebut antara lain memuat keterampilan-keterampilan yang menurut para pakar pendidikan merupakan keterampilan yang sangat diperlukan untuk bisa hidup sukses di era global. Pemerintah menetapkan bahwa lulusan sistem pendidikan di Indonesia harus memiliki keterampilan berpikir dan bertindak: kreatif, produktif, kritis, mandiri, kolaboratif, dan komunikatif. Akan tetapi, di saat yang bersamaan, di dalam Permendikbud No. 24 Tahun 2016, kata-kata kerja yang tertuang di dalam rumusan kompetensi dasar matematika Sekolah Menengah Pertama untuk Kompetensi Inti 3 (pengetahuan), sebagian besar berbentuk kata menjelaskan, dan untuk Kompetensi Inti 4 (keterampilan) hampir semua berbentuk kata memecahkan masalah. Merujuk kepada kata-kata kerja operasional dari Taksonomi Bloom, penggunaan kata menjelaskan ini memberi peluang para guru hanya akan membatasi target pembelajaran mereka ke jenjang kognitif C2 yaitu sebatas memahami (understanding), sedang kata memecahkan masalah hanya akan membatas target pembelajaran ke jenjang kognitif C3 (applying). Kalau itu terjadi, pembelajaran matematika akan kurang mengembangkan aspek keterampilan berpikir dan bertindak sebagaimana dituntut di atas. Karena itu, di dalam artikel ini, penulis mencoba menyajikan makna yang lebih utuh dari kata menjelaskan tersebut, dan mengkaji potret pembelajaran yang diharapkan mampu menumbuh-kembangkan keterampilan berpikir dan bertindak kreatif, produktif, kritis, mandiri, kolaboratif, dan komunikatif di atas. Kata kunci: berpikir dan bertindak, kompetensi dasar, menjelaskan, pembelajaran matematika, standar kompetensi lulusan.
PENDAHULUAN Kemdikbud (2016a), melalui Permendikbud No. 20 Tahun 2016, menetapkan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) terbaru. Salah satu hal yang membuat penulis tertarik untuk menulis artikel ini adalah rumusan SKL dalam dimensi keterampilan. Karakteristik lulusan yang memiliki keterampilan berpikir dan bertindak kreatif, produktif, kritis, mandiri, kolaboratif, dan komunikatif memuat keterampilan-keterampilan yang diperlukan untuk hidup di era global (As’ari 2016a; As’ari 2016b; Devlin-Foltz & McInvaine, 2008; Di Giacomo, Fishbein, Monthey, & Pack, 2013). Mengingat SKL ini dinyatakan sebagai acuan utama dalam pengembangan seluruh aspek pendidikan nasional, mulai dari pengembangan standar isi, standar proses, standar penilaian dan lain-lain (Kemdikbud, 2016a), tampaknya pemerintah, melalui kurikulum 2013 edisi revisi betul-betul mengharapkan agar peserta didik agar mampu dan sukses berkiprah di dalam kancah persaingan global.
Selanjutnya, Kemdikbud (2016b) melalui Permendikbud No. 24 Tahun 2016, menetapkan kumpulan kompetensi dasar (KD) setiap mata pelajarannya. Hal menarik dari kumpulan KD tersebut adalah kata-kata kerja yang digunakan untuk menggambarkan kompetensi yang harus dimiliki siswa. Kajian penulis terhadap kata-kata kerja yang digunakan untuk menyatakan KD untuk Kompetensi Inti (KI) 3 kelas 7 menunjukkan data sebagai berikut: (1) 9 KD menggunakan kata kerja menjelaskan, (2) 1 KD menggunakan kata membedakan, (3) 3 KD menggunakan kata menganalisis, dan (4) 1 KD menggunakan kata mengaitkan. Jadi, dari 12 KD dalam KI 3, sekitar 58% KD menggunakan kata menjelaskan. Di kelas 8, 50% dari kata kerja yang digunakan menggunakan kata menjelaskan. Di kelas 9, justru sekitar 86% KD menggunakan kata kerja menjelaskan. Kata-kata kerja yang digunakan memang sudah menunjukkan bahwa kurikulum matematika SMP tahun 2013 edisi revisi sudah menuntut siswa menggunakan higher order thinking skills (HOTS), namun kata kerja menjelaskan tampak sangat mendominasi. Sementara itu, KD-KD dalam KI 4 juga menarik perhatian penulis. Di kelas 7, 8, dan 9 semua KD-nya menggunakan kata yang sama, yaitu kata menyelesaikan masalah. Ini menarik perhatian penulis dalam kaitannya dengan pengembangan kurikulum yang mengharapkan tumbuh berkembangkan keterampilan berpikir dan bertindak kreatif, produktif, kritis, mandiri, kolaboratif, dan komunikatif di atas. Apalagi, kata kerja yang digunakan untuk KD-KD dalam KI 4, yang nota bene diarahkan untuk pengembangan aspek keterampilan, ternyata hanya satu kata saja, yaitu menyelesaikan masalah. Apakah pemilihan kata kerja tersebut memberikan peluang terbentuk keterampilan berpikir dan bertindak seperti di atas? Artikel ini dikembangkan untuk menganalisis tantangan yang dihadapi guru dalam rangka mengembangkan keterampilan berpikir dan bertindak kreatif, produktif, kritis, mandiri, kolaboratif, dan komunikatif ditinjau dari rumusan kompetensi dasar yang ada. Penulis ingin mengidentifikasi seberapa jauh rumusan KD tersebut berpeluang mewujudkan keterampilan tersebut di atas, dan tindak pembelajaran yang bagaimanakah yang perlu dikembangkan agar keterampilan tersebut bisa terwujudkan. PEMBAHASAN Di dalam pembahasan ini, pertama kali penulis akan mencoba menggambarkan makna kata menjelaskan sebagaimana yang termuat dalam sebagian besar KD Matematika Kurikulum 2013 edisi revisi. Selanjutnya penulis akan menjelaskan makna dari kata menyelesaikan masalah. Makna menjelaskan. Di dalam permendikbud nomor 24 tahun 2016, kompetensi dasar didefinisikan sebagai kemampuan dan materi pembelajaran minimal yang harus dicapai peserta didik untuk suatu mata pelajaran pada masing-masing satuan pendidikan (Kemdikbud, 2016b). Ada kata minimal di dalam definisi tersebut. Karena itu, rumusan KD tersebut seharusnya tidak menghalangi upaya guru untuk mengembangkan keterampilan berpikir dan bertindak kreatif, produktif, kritis, mandiri, kolaboratif, dan komunikatif siswa. Guru diperkenankan untuk mengembangkan rumusan KD yang secara khusus dirancang untuk mengembangkan keterampilan berpikir dan bertindak seperti di atas. Namun sebelumnya, penulis akan mencoba mengkaji secara lebih mendalam makna dari dua kata yang dominan dalam rumusan-rumusan KD di atas, yaitu menjelaskan dan menyelesaikan masalah. Menjelaskan atau dalam Bahasa Inggris to explain memiliki arti to make something clear or easy to understand by describing or giving information about it, tapi juga bisa berarti to give reasons for your behavior (Cambridge Dictionary). Definisi yang senada juga dikemukakan dalam Merriam-Webster Dictionary yang menyatakan bahwa to explain artinya adalah to make (something) clear or easy to understand atau to tell, show, or be the reason for or cause of something. Kalau dihubungkan dengan materi matematika tertentu, maka kemampuan menjelaskan ini adalah kemampuan untuk menjadikan orang lain mudah memahami semua yang terkait dengan materi matematika itu. Terkait dengan kemampuan siswa, maka siswa yang 2
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pembelajarannya. Jurusan Matematika, FMIPA UM. 13 Agustus 2016
memiliki kompetensi ini artinya adalah siswa yang mampu membuat jelas segala macam yang ada kaitannya dengan objek matematika yang sedang dipelajari. Menurut Samuel (2012), berdasarkan pendapat Gagne, terdapat empat objek belajar langsung matematika, yaitu: (1) fakta matematis, yang biasanya merupakan hasil konvensi atau kesemufakatan dalam matematika, (2) keterampilan matematis, yang berupa operasi dan prosedur yang diharapkan dapat dilakukan dengan lancar oleh para siswa, (3) konsep matematis, yang merupakan ide abstrak yang memungkinkan siswa bisa mengklasifikasikan objek atau peristiwa, dan menyatakan apakah objek atau peristiwa tersebut merupakan contoh atau bukan dari ide abstrak tersebut, dan (4) prinsip matematis, yang merupakan kumpulan konsep dan hubungan yang terdapat di antara konsep tersebut. Samuel, lebih lanjut, mengatakan bahwa cara mempelajari objek-objek matematika tersebut berbeda-beda. Fakta matematis biasanya bisa dipelajari cukup dengan mengingat-ingat, drill and practice (latihan berulangulang), games (permainan), atau kontes. Keterampilan matematis dapat dipelajari melalui demonstrasi, dan berbagai macam jenis drill & practices seperti LKS, mengerjakan di papan tulis, atau kerja kelompok dan permainan. Konsep matematis bisa dipelajari melalui definisi atau melalui kajian pengamatan. Sementara itu, prinsip dapat dipelajari melalui proses inkuiri ilmiah, penemuan terbimbing, diskusi kelompok, penggunaan strategi pemecahan masalah, dan demonstrasi. Fakta matematis tidak perlu mendapatkan penjelasan yang rumit. Simbol-simbol yang ada adalah fakta yang diperoleh dari kesepakatan bersama. Andaikata ada yang perlu dijelaskan, mungkin hanya cara menyimbulkannya, tetapi itu pun tidak terlalu penting. Terkait dengan keterampilan matematis, hal yang perlu dijelaskan antara lain adalah: (1) mengapa menggunakan operasi tersebut? (2) apa yang menjamin bahwa hasil operasinya benar atau bisa dipertanggungjawabkan? Sebagai contoh, ketika seorang siswa menggunakan aturan permutasi untuk mengerjakan soal “dua orang akan dipilih dari 5 orang yang tersedia untuk dijadikan pengurus yang terdiri dari satu orang pimpinan dan satu orang sekretaris. Ada berapa banyak susunan pengurus yang mungkin terbentuk?”, dia harus mampu menjelaskan mengapa menggunakan operasi algoritma permutasi (mengapa bukan kombinasi)?, dan mengapa hasilnya sama dengan 10?. Terkait dengan konsep matematis, hal yang perlu mendapatkan penjelasan adalah mengapa objek ini bisa dikategorikan sebagai contoh dari konsep itu? Kalau seorang siswa mengerjakan sesuatu berdasarkan konsep permutasi, misalnya, dia harus mampu menyajikan fakta-fakta bahwa karakteristik atau ciri-ciri permutasi ada di dalam soal yang dikerjakannya. Sehubungan dengan prinsip matematis, biasanya seseorang menggunakan prinsip matematis ini dalam memecahkan masalah. Kalau itu terjadi, dia harus mampu menjelaskan: (1) mengapa prinsip ini bisa digunakan?, (2) apakah premis dari prinsip tersebut terpenuhi?, (3) asumsi apa yang ada di dalamnya?, (4) apa keterbatasan dari prinsip ini? (5) kapan prinsip ini tidak bisa digunakan, (6) konklusi apa yang mengikuti premisnya?, dan lain sebagainya. Berikut penulis uraikan dua contoh lagi. Perhatikan KD berikut: Menjelaskan dan menentukan urutan pada bilangan bulat (positif dan negatif) dan pecahan (biasa, campuran, desimal, persen). Objek matematis dalam KD ini adalah urutan bilangan bulat dan pecahan. Fakta matematis sehubungan dengan objek matematika dalam KD ini antara lain bahwa jika a, b, c, d, e, f adalah susunan dalam urutan menanjak (increasing order) dari bilanganbilangan a, b, c, d, e, dan f, maka a adalah bilangan terkecil dan f adalah bilangan terbesar. Sebaliknya, bila a, b, c, d, e, f tersebut adalah susunan dalam urutan menurun (decreasing order), maka a adalah bilangan terbesar, dan f adalah bilangan terkecil. Terkait dengan konsep matematis, yang perlu mendapatkan penjelasan dalam hal ini adalah ketika seorang anak menyatakan bahwa , anak tersebut harus mampu memberikan penjelasan mengapa Mengapa bukan atau dan alternatif hubungan yang lainnya. Anak tersebut harus mampu menggunakan pemahamannya tentang konsep urutan, dan menggunakan berbagai macam representasi yang memudahkan diperolehnya pemahaman.
Terkait dengan prinsip matematis, siswa harus bisa menjelaskan beberapa sifat dari urutan bilangan, misalnya dan sifatsifat ketaksamaan lainnya. Kalau pun mereka tidak mampu menggunakan pembuktian secara deduktif prinsip-prinsip tersebut, mereka harus mampu mengilustrasikan atau menggunakan representasi tertentu untuk menyatakan kebenaran dari prinsip tersebut. Kemudian, terkait dengan keterampilan matematis, siswa harus mampu menjelaskan mengapa langkah demi langkah yang digunakan dalam menjalankan prosedur matematis itu diperkenankan, dan memberikan verifikasi tentang kebenaran pelaksanaan algoritmanya.Siswa tidak boleh hanya sekedar mampu menerapkan prinsip atau algoritma. Siswa harus mampu menerapkan algoritma tersebut dengan penuh pemahaman. Bagaimana dengan KD: Menjelaskan sistem persamaan linear dua variabel dan penyelesaiannya yang dihubungkan dengan masalah kontekstual? Muatan materi dalam KD ini sedikit lebih kompleks. Materinya bukan hanya sistem persamaan linear dua variabel, akan tetapi juga memuat sistem persamaan linear dalam konteks dunia nyata. Siswa yang menguasai KD ini memiliki kemampuan memahami apa itu sistem persamaan linear dua variabel, bagaimana cara memecahkan masalah sistem persamaan dua variabel, bagaimana mengubah masalah kontekstual ke dalam sistem persamaan linear dua variabel, siswa bisa menerapkan cara menyelesaikan sistem persamaan linear dua variabel tersebut sehingga diperoleh selesaian yang tepat dan akurat. Namun demikian, setelah memiliki kemampuan tersebut, siswa juga harus mampu menjelaskannya kepada orang lain sehingga orang lain tersebut mengerti dengan baik. Ketika seorang anak bisa menentukan sistem persamaan linear dua variabel dari suatu masalah kontekstual, misalnya saja dia mampu menyatakan bahwa model matematika dari masalah itu adalah {
ada beberapa hal yang harus dijelaskan. Pertama, apa
yang dimaksud dengan variabel dan di dalam sistem persamaan tersebut. Kedua, mengapa koefisien adalah 2 dan mengapa koefisien sama dengan 1. Mengapa pula konstanta di sebelah kanan tanda sama dengan adalah 50.000. Kalau ternyata dia mampu menyelesaikan masalah kontekstual tersebut, selanjutnya dia juga harus mampu memberikan penjelasan terhadap beberapa pertanyaan berikut: (1) mengapa dia menggunakan cara tersebut? (2) apakah ada cara lain yang lebih sederhana dan lebih efektif?, (3) apakah asumsi dan persyaratan untuk menggunakan cara tersebut sudah terpenuhi? Dengan demikian, ada beberapa hal yang perlu dikuasai oleh siswa agar memiliki kemampuan menjelaskan tersebut, yaitu: (1) kemampuan membuat koneksi, baik antar objek matematika tertentu maupun koneksi antara objek matematika dengan konteks keseharian, (2) kemampuan menalar, yaitu kemampuan menyusun argument secara valid berdasarkan faktafakta pernyataan yang diberikan, (3) kemampuan membuat representasi yang memungkinkan tergambarkannya hubungan yang jelas antar variabelnya, serta memungkinkan pengerjaan prosedur matematika bisa dilakukan secara lebih efektif dan efisien, (4) kemampuan mengomunikasikan ide matematisnya secara jelas dan mantap. Hampir semua standar proses yang dikemukakan oleh NCTM (2000) tergali dan diharapkan tumbuh berkembang melalui tuntutan kemampuan menjelaskan ini. Karena itu, kegiatan menjelaskan ini sudah memiliki potensi yang bagus, terutama dalam kaitannya dengan pengembangan standar proses pembelajaran sebagaimana dikemukakan oleh NCTM. Makna Menyelesaikan Masalah Menyelesaikan masalah adalah melibatkan diri ke dalam suatu tugas dimana metode penyelesaiannya masih belum diketahui (engaging in a task for which the solution method is not known in advance) (NCTM, 2000, p. 52). Pendapat di atas adalah pendapat kebanyakan pendidik matematika. Ini berbeda dengan pendapat matematikawan (Laterell, tanpa tahun), yang menyatakan bahwa menyelesaikan masalah adalah proses menilai teknik yang mugkin, proses penerapan teknik, proses mencapai selesaian, proses pemeriksaan hasil untuk kepentingan 4
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pembelajarannya. Jurusan Matematika, FMIPA UM. 13 Agustus 2016
akurasi, dan proses penulisan seselsaian ke dalam bentuk yang koheren (the process of evaluating possible techniques, applying techniques, reaching a solution, checking the results for accuracy, and writing out the solution in a coherent fashion). Menurut hemat penulis, dua pendapat tersebut sebenarnya saling melengkapi. Seseorang dikatakan sedang memecahkan masalah, manakala dia mencoba menemukan ide dan teknik yang tepat untuk digunakan dalam menjadikan jelas hubungan antara hal yang diketahui dengan yang ditanyakan, menjalankan ide dan rencana yang telah dibuat sambil menuliskan hasilnya, serta memeriksa kembali kebenaran proses dan hasilnya. Ini sesuai dengan pandangan Polya (1973) tentang tahap-tahap pemecahan masalah yang terdiri dari 4 tahap, yaitu: (1) memahami masalah, (2) merumuskan rencana penyelesaiannya, (3) menjalankan rencana penyelesaian yang telah diputuskan, dan (4) memeriksa kembali proses dan hasil yang telah diperoleh. Kaitannya dengan Keterampilan Berpikir dan Bertindak Ada enam keterampilan berpikir dan bertindak yang ingin diwujudkan melalui Kurikulum 2013 edisi revisi ini (Kemdikbud, 2016a). Keterampilan berpikir dan bertindak tersebut adalah: (1) kreatif, (2) produktif, (3) kritis, (4) mandiri, (5) kolaboratif, dan (6) komunikatif. Enam hal ini sebenarnya susah dipisah satu persatu. Orang yang kreatif menuntut dimilikinya kemampuan berpikir mandiri dan kritis, yang didukung dan berkembang karena praktik kolaboratif yang penuh komunikasi yang efektif. Produktif-nya orang kreatif ditunjukkannya dengan luwesnya yang bersangkutan dalam menghasilkan karya-karya yang kreatif inovatif. Pertanyaannya adalah “apakah orang yang mampu menjelaskan dan mampu menyelesaikan masalah dengan sendirinya memiliki keterampilan berpikir dan bertindak seperti yang diharapkan di atas?”. Menurut penulis, keterampilan berpikir dan bertindak kreatif, produktif, kritis, mandiri, kolaboratif, dan komunikatif ini tidak dengan serta merta dapat dibangun oleh kemampuan menjelaskan dan menyelesaikan mnasalah tersebut. Guru masih dituntut untuk berbuat lebih banyak lagi. Kemampuan Berpikir dan Bertindak Kreatif dan Produktif Kreatif dan produktif seringkali dipandang sebagai hal yang sama. Ini ditunjukkan oleh ditetapkannya aspek “fluency/kelancaran”, yang nota bene akan mengarahkan kepada produktifitas, sebagai salah satu aspek dari berpikir kreatif (Siswono, 2011). Akan tetapi, menurut Oxford Dictionary, produktif diartikan sebagai sifat yang menunjukan kemampuan orang untuk menghasilkan sejumlah besar barang, atau hal lain. Sedangan kreatif diartikan sebagai kemampuan mengaitkan dan menggunakan imajinasi atau ide orisinil untuk menciptakan sesuatu. Menurut Merriam-Webster Dictionary, produktif diartikan sebagai sifat dari orang yang bekerja keras sehingga menghasilkan sesuatu dalam jumlah yang besar. Sedangkan, kreatif diartikan sebagai sifat dari seseorang yang memiliki kemampuan membuat hal baru atau pemikiran baru yang sering bersifat tidak lazim. Karena itu, kemampuan berpikir dan bertindak kreatif dan produktif ini tidak bisa diandalkan hanya berlandaskan kepada kemampuan menjelaskan dan menyelesaikan masalah sebagaimana rumusan kompetensi dasar dalam kurikulum matematika 2013 edisi revisi. Di samping bisa menjelaskan dan menyelesaikan masalah, mereka harus dibina agar menjadi insan yang kreatif dan produktif. Perlu ada tindak pembelajaran tambahan selain sekedar menjadikan mereka mampu menjelaskan dan menyelesaikan masalah. Mereka harus didorong untuk kreatif dan produktif. Kemampuan Berpikir dan Bertindak Kritis Kemampuan berpikir dan bertindak kritis memungkinkan seseorang untuk selalu berada di dalam jalur yang benar. Ennis (2011) menyatakan berpikir kritis sebagai kemampuan untuk berpikir reflektif yang masuk akal yang difokuskan kepada upaya untuk memutuskan apakah yang bersangkutan harus mempercayai klaim atau informasi yang dihadapi, dan melakukan apa yang diminta atau diperintahkan atau tidak. Orang yang berpikir dan bertindak kritis, tidak akan dengan serta merta mempercayai segenap klaim yang datang kepadanya. Orang tersebut
cenderung akan mencari informasi lain sebagai bahan perbandingan dan pertimbangannya. Orang tersebut cenderung mengedepankan akurasi dan biasanya akan mempertimbangkan seluruh aspek yang mungkin. Kemampuan menjelaskan dan menyelesaikan masalah belum dengan sendirinya mengembangkan kemampuan berpikir dan bertindak kritis. As’ari (2016c) menemukan fakta yang membuktikan bahwa calon guru matematika yang nota bene sudah memahami matematika dengan baik, dan mampu menjelaskan serta menyelesaikan masalah matematika pun ternyata tidak selalu berpikir dan bertindak kritis. Dalam penelitiannya, As’ari (2016c) melihat ( ) kenyataan bahwa ketika diberikan soal “buktikan bahwa jika ( ) , maka , hampir semua calon guru, baik yang masih di jenjang S1 maupun di jenjang S2, langsung menjalankan tugas atau perintah tersebut tanpa memperhatikan apakah domain dari kedua fungsi tersebut sama. Ketika diberikan tugas untuk menghitung keliling dari segitiga, yang informasi dalam gambarnya sengaja dibuat tidak tepat (lihat gambar 1.1), mereka juga langsung menggunakan teorema pitagoras tanpa memeriksa kebenaran dari informasi yang disediakan. Ketika diminta menentukan himpunan selesaian dari persamaan kuadrat mereka langsung menggunakan asumsi bahwa semestanya adalah himpunan semua bilangan real R, sehingga jawaban mereka adalah {-1,1}. Mereka tidak mencoba mempertanyakan semesta dari variabel tersebut. Oleh karena itu, perlu ada upaya khusus untuk mengembangkan kemampuan berpikir dan bertindak kritis tersebut.
Gambar 1.1. Soal tentang segitiga siku-siku denganinformasi yang tidak tepat Kemampuan Berpikir dan Bertindak Mandiri Kemampuan berpikir dan bertindak mandiri ini menunjukkan bahwa dalam diri siswa sudah tertanam kemampuan menata diri sendiri (self regulated learning strategies). Siswa yang mandiri ini, mampu mengatur dirinya sendiri kapan harus melakukan apa, berapa lama, menggunakan apa, bersama siapa, dengan target produk seperti apa. Effeny, Carrol, & Bahr (2013) mengemukakan bahwa kemampuan berpikir dan bertindak mandiri ini merupakan aspek yang sangat penting bagi proses dan kesukesan belajar seseorang. Siswa yang mandiri, cenderung bisa mengatur diri kapan harus belajar, apa yang harus dipelajari, dimana mempelajarinya, bersama siapa, berapa lama, seberapa intensif dan lain sebagainya. Menurut Zumbrunn, Tadlock, & Roberts (2011), kemampuan menata diri ini merupakan hal penting dalam proses belajar siswa. Lebih lanjut dikemukakan bahwa, kemampuan menata diri ini membantu siswa menciptakan kebiasaan belajar yang baik, meningkatkan keterampilan belajar mereka, meningkatkan hasil belajar mereka. Kemampuan ini akan menjadikan mereka sebagai expert learner atau pebelajar yang hebat (Ertmer & Newby (1996). Dalam teori tentang dimensi belajar Marzano & Pickering (1997), expert learner ini sudah mencapai dimensi yang terakhir, yaitu dimensi lima yang disebut dengan habits of mind. Siswa ini sudah terbiasa berpikir kritis, dan kreatif. Sementara itu, siswa yang mampu menjelaskan mungkin baru pada dimensi ke-2 (acquire and integrate knowledge), atau paling pada dimensi ke-3 (extent and refine knowledge). Sedang siswa yang mampu menyelesaikan masalah mungkin baru pada level ke-4 (apply knowledge meaningfully). Karena itu, menurut hemat penulis, kemampuan menjelaskan dan kemampuan menyelesaikan masalah saja belum tentu dengan sendirinya menjamin terbentuknya keterampilan berpikir dan bertindak mandiri ini.
6
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pembelajarannya. Jurusan Matematika, FMIPA UM. 13 Agustus 2016
Kemampuan Berpikir dan Bertindak Kolaboratif serta Komunikatif Kemampuan ini menuntut siswa bekerja sama dengan temannya baik untuk menghasilkan sesuatu atau menyelesaikan masalah. Siswa yang memiliki kemampuan untuk berpikir dan bertindak kolaboratif memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi apakah yang harus dihasilkannya memerlukan bantuan atau kerjasama dengan orang lain atau tidak. Selanjutnya, siswa ini juga harus mampu mengidentifikasi siapa mitra kerja yang perlu diperoleh dan siapa yang tidak. Ia harus mampu mengidentifikasi kekuatan, kelemahan, peluang, dan hambatan yang mungkin dihadapi untuk bisa menjalin kerjasama dengan mitra yang diperlukannya, dan mampu memanfaatkan hasil identifikasi atau hasil analisisnya itu untuk membangun jejaring yang kuat dan saling menguntungkan. Salah satu yang menentukan dalam membangun jejaring tersebut adalah kemampuan komunikasi siswa. Siswa harus memiliki kemampuan menjelaskan apa yang ada dalam pikirannya dengan baik sehingga mitra kerjanya memahami dengan baik, dan memperoleh keyakinan akan manfaat dibentuknya jejaring dengan siswa tersebut. Tapi, di sisi yang lain, siswa juga harus mampu mendengarkan penjelasan mitranya dengan baik, sopan, dan menyenangkan sehingga mitranya merasa tersanjung dan tidak merasa dilecehkan. Terkait dengan kemampuan kolaborasi dan komunikasi ini, OECD (2005) mengemukakan bahwa perlunya setiap individu memiliki kompetensi interpersonal untuk sukses hidup di abad ke-21. Kemampuan-kemampuan tersebut antara lain: (1) kemampuan untuk bergaul dengan orang lain, yang menuntut: (a) rasa empati, dan (b) pengelolaan emosi diri; (2) kemampuan untuk bekerjasama (to cooperate) yang mencakup: (a) kemampuan menyajikan ide kepada dan mendengarkan ide dari orang lain, (b) kemampuan memahami dinamika suatu perdebatan dan tindak lanjutnya, (c) kemampuan mengembangkan aliansi yang taktis dan langgeng, (d) kemampuan bernegosiasi, dan (e ) kemampuan mengambil keputusan yang membuat berbagai pihak bahagian; (3) kemampua mengelola dan menyelesaikan masalah yang mencakup: (a) kemampuan menganalisis isyu yang berkembang, asal usul konflik, dan nalar masing-masing pihak yang berkonflik, dan menyadari bahwa mereka berada dalam posisi yang berbeda, (b) kemampuan mengidentifikasi hal-hal yang disepakati bersama dan hal-hal yang masih belum disepakati bersama, (c) kemampuan untuk membingkai ulang masalah, dan (d) kemampuan memprioritaskan apa yang dibutuhkan dan kemana arah yang sebaiknya dituju, serta memutuskan di bagian mana dan dalam kondisi apa seseorang harus mengalah demi kepentingan yang lebih besar. Karena itu, kemampuan menjelaskan dan menyelesaikan masalah saja tampaknya tidak cukup untuk mengembangkan kemampuan berpikir dan bertindak kolaboratif serta komunikatif. Harus ada upaya tertentu yang ditambahkan selain mengembangkan kemampuan menjelaskan dan menyelesaikan masalah tersebut. Bagaimana Sebaiknya? Menurut hemat penulis, agar kemampuan berpikir dan bertindak kreatif, produktif, kritis, mandiri, kolaboratif, dan komunikatif tersebut bisa terkembangkan pada diri siswa, banyak sekali yang harus dilakukan. Namun demikian, dalam kesempatan yang terbatas ini, penulis mencoba menawarkan beberapa hal yang tampaknya perlu dipraktikkan secara rutin oleh guru: (1) biasakan siswa dengan soal non rutin yang bersifat open-ended yang menuntut kerjasama beberapa siswa, (2) dorong siswa untuk mengembangkan algoritma daripada menerapkan prosedur, (3) tantang siswa untuk memikirkan kembali jawaban semula untuk ditemukan alternatif jawaban yang lebih baik, lebih efektif, dan lebih efisien. Soal non rutin akan mendorong siswa untuk berpikir ulang. Siswa tidak bisa mengandalkan memori mereka tentang rumus atau prosedur yang ada dalam menyelesaikan masalah. Mereka harus mengidentifikasi masalah, merancang desain untuk pemecahan masalahnya, mengumpulkan informasi yang lengkap untuk diolah dan dianalisis, menganalisisnya, serta melaporkan hasil yang diperoleh. Ini akan mendorong siswa untuk
berpikir dan bertindak kreatif. Dengan sifat masalah yang bersifat open-ended, terbuka peluang diperolehnya jawaban yang berbeda-beda (sesuai dengan asumsi yang digunakan), yang selanjutnya memberikan peluang kepada siswa untuk mengembangkan kemampuan komunikasi yang baik. Mereka harus mampu memahami sudut pandang temannya, proses berpikir yang dilakukan temannya, dan mengindentifikasi kelemahan yang bisa menjadi bahan untuk perdebatan, mengemukakan usul berdasarkan sudut pandang berbeda, membandingkan proses dan hasil yang bereda, sehingga mereka akan mampu mengembangkan kemampuan berpikir kritisnya sekaligus juga kemampuan berkomunikasi. Tugas yang mendorong anak mengembangkan algoritma memberikan peluang anak menjadi kreatif, sekaligus kritis. Misalkan kita menata stick atau batang korek api sebagai berikut.
Pertanyaan seperti “Kalau bentuk seperti di atas diperpanjang terus sampai panjang tertentu, bagaimana cara menemukan banyaknya stick atau batang korep api yang diperlukan?”, akan mendorong anak untuk menemukan cara yang mungkin berbeda. Cara anak yang satu dengan cara anak yang lain akan variatif, dan mereka bisa saling belajar serta mengambil manfaat dari proses berpikir yang berbeda tersebut. Hal ini akan membuat anak menjadi lebih kreatif, dan mungkin juga kritis. Akan berbeda reaksi anak kalau pertanyaan guru diubah menjadi “Kalau bentuk di atas dipanjangkan sampai banyak stick tegaknya berjumlah sebanyak 253, berapakah banyak stick seluruhnya?. Pertanyaan ini cenderung menghasilkan satu jawaban benar saja.Di samping itu, adanya berbagai jawaban yang benar, mendorong anak yang “kurang” sekalipun, untuk ikut berkontribusi menemukan strategi. Mereka akan berpartisipasi aktif dalam belajar. Ketika siswa berhasil menjawab pertanyaan bahwa akar dari persamaan kuadrat adalah -1, dan 1 karena − ( − )( −
)
𝑡 𝑢 𝑡 𝑢
−
maka, guru bisa mengajak siswa untuk memikirkan kembali soal tersebut. Sebut saja, semesta dari variabel . Ajak siswa untuk menganalisis, apakah semesta dari variabel itu harus himpunan bilangan real. Ajak mereka apakah himpunan penyelesaiannya berubah kalau semestanya berubah. Dengan begitu, mereka akan lebih berpikir kritis, dan mengurangi kebiasaan yang monoton dan rutin prosedural belaka. Ketika kita mengajarkan prosedur membuat “steam and leaf diagram”, misalnya kita bisa menuliskan di papan hasil dari setiap langkah berpikir untuk membuat “steam and leaf diagram” beberapa data tanpa mengeluarkan satu patah kata sekalipun, kemudian meminta siswa untuk bekerja berkelompok menuliskan prosedur pembuatan “steam and leaf diagram”, dan diakhiri dengan saling membandingkan hasil pemikiran mereka. Kita dorong mereka untuk saling mendebat, terkait dengan kekuatan dan kelemahan dari prosedur yang diusulkan masing8
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pembelajarannya. Jurusan Matematika, FMIPA UM. 13 Agustus 2016
masing kelompok, dengan memberikan argumentasi yang kuat. Dengan begitu, mereka akan lebih mengembangkan dimensi keterampilan seperti yang diharapkan dalam SKL Kurikulum 2013 edisi revisi. KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan pembahasan di atas, untuk mengembangkan dimensi keterampilan sebagaimana yang dikemukakan dalam Permendikbud No 20 tahun 2016, tentang Standar Kompetensi Lulusan, guru tampaknya harus berjuang lebih keras dari sekedar berusaha memfasilitasi anak agar menguasai KD-KD pengetahuan dan keterampilan sebagaimana tertuang dalam Permendikbud No 24 tahun 2016. Selain mendorong siswa mengembangkan kemampuan menjelaskan dan menyelesaikan masalah, masih banyak hal lain yang perlu dilakukan guru agar siswa kelak memiliki kemampuan berpikir dan bertindak kreatif, produktif, kritis, mandiri, kolaboratif, dan komunikatif tersebut. Beberapa saran yang sempat penulis sajikan dalam tulisan ini antara lain: (1) kembangkan soal non rutin yang memiliki multi jawab benar, (2) kembangkan kebiasaan memproduksi algoritma, daripada sekedar menjalankan algoritma baku yang sudah ada, dan (3) biasakan anak untuk memikirkan ulang apa yang sudah dipikir dan dikerjakannya, dan dorong mereka untuk menemukan alternatif lain yang memungkinan proses yang lebih efisien dan hasil yang lebih efektif. DAFTAR RUJUKAN As’ari, A.R. 2016a. Pengembangan Karakter dalam Pembelajaran Matematika: Prioritas dalam rangka Mengembangkan 4Cs. Makalah disajikan dalam Seminar Nasional di Universitas Muhammadiyah Surabaya. Maret 2016 As’ari, A.R. 2016b. Menjawab Tantangan Pengembangan 4C’s Melalui Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran Matematika. Makalah disajikan dalam Seminar Nasional Pendidikan Matematika Pascasarjana Universitas Negeri Malang. 28 Mei 2016. As’ari, A.R. 2016c. Preliminary Investigation of Prospective Teachers’ Critical Thinking Disposition. Paper disajikan dalam Asian Mathematical Conference, Denpasar, Bali, Indonesia, 26 – 29 Juli 2016. Cambridge Dictionary versi Online. Diakses tanggal 1Agustus 2016 pukul 09.00 WIB dari alamat http://dictionary.cambridge.org/dictionary/english/ Devlin-Foltz, B. & McInvaine, S. 2008. Teacher Preparation for the Global Age: The Imperative for Change. Longview Foundation. Di Giacomo, F.T., Fishbein, B.G., Monthey, W., & Pack, C. 2013. Global Competency Education: Research Brief 2013-1. College Board Research Effany, G., Carrol, A., & Bahr, N. 2013. Self-Regulated Learning: Key Strategies and Their Sources in a Sample of Adolescent Males. Australian Journal of Educational and Developmental Psychology. Vol. 13, pp. 58 – 74 Ennis, R.H. 2011. The Nature of Critical Thinking: An Outline of Critical Thinking Disposition and Abilities. Diunduh dari http://faculty.education.illinois.edu/rhennis/documents/TheNatureofCriticalThinking_51 711_000.pdf pukul 09.30 tanggal 3 Agustus 2016. Ertmer, P.A. & Newby T.J. 1996. The Expert Learner: Strategic, Self-Regulated, and Reflective. Instructional Science, Volume No. 24, pp 1 -- 24 Kemdikbud, 2016a. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2016 tentang Standar Kompetensi Lulusan Pendidikan Dasar dan Menengah.
Jakarta: Biro Hukum dan Kepegawaian Kemdikbud. 2016b. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2016 tentang Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar pada Kurikulum 2013 pada Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: Biro Hukum dan Kepegawaian Laterell, C.M. tanpa tahun. What is Problem-solving Ability? Duluth: University of Minnesotta Marzano, R.J. & Pickering, D.J. 1997. Dimensions of Learning: Teacher’s Manual. Second Edition. McRell, Colorado, USA. NCTM, 2000. Principles and Standards for School Mathematics. Reston, VA: NCTM OECD. 2005. The Definition and Selection of Key Competencies: Executive Summary Parts. Paris, France pp 12 – 13 tersedia online di http://www.oecd.org/dataoecd/47/61/35070367.pdf Oxford Dictionary versi online. Diakses tanggal 8 Agustus 2016 pukul 08.56 dari alamat http://www.oxforddictionaries.com/definition/english/creative Polya, G. 1973. How to Solve It. Princeton, NJ: Princeton University Press. Samuel, B. 2012. Overview on R Gagne’s Theory for Teaching Mathematics. Paper submitted for fulfilling the task of Advance Strategies of Teaching Mathematics Course. Winneba: Department of Mathematics Education, University of Education Siswono, T.Y.E. 2011. Level of student’s creative thinking in classroom mathematics. Educational Research and Review. Vol. 6 (7), pp. 548-553. Merriam-Webster Dictionary versi Online. Diakses tanggal 1 Agustus 2016 pukul 09.05 dari alamat http://www.merriam-webster.com/ Zumbrunn, S., Tadlock, J., & Roberts, E.D. 2011. Encouraging Self-Regulated Learning in the Classroom: A Review of the Literature. Metropolitan Educational Research Consortium, Virginia Commonwealth University -oOo-
10