PROSIDING SEMINAR NASIONAL 2017 Kerja Sama Universitas Panca Bhakti Universitas Tanjungpura Dengan Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia Dalam Rangka Rapat Kerja PERHIMPUNAN EKONOMI PERTANIAN INDONESIA (PERHEPI)
TEMA
Pontianak 21 Januari 2017
Penerbit
UNIVERSITAS PANCA BHAKTI Pontianak 21 Januari 2017
PROSIDING SEMINAR NASIONAL PERHIMPUNAN EKONOMI PERTANIAN INDONESIA 2017
Penyunting: Rahmatullah Rizieq Donna Youlla Sri Widarti Ekawati Ellyta
Tim Ahli: Dr. Endah Murniningtyas Dr. Agusalim Masulili Dr. Suardi Bakri Dr. Erlinda Yurisinthae
Desain dan Tata Letak: Rahmatullah Rizieq Setiawan
Kerjasama
Alamat Redaksi Universitas Panca Bhakti Potianak Jl. Kom. Yos Sudarso, Pontianak Telp: (0561) 772627 Laman http://upb.ac.id ii
PROSIDING SEMINAR NASIONAL 2017 PERHIMPUNAN EKONOMI PERTANIAN INDONESIA (PERHEPI)
TEMA “Solusi Penyediaan Lahan untuk Kesejahteraan Petani Berkelanjutan” Pontianak 21 Januari 2017
Editor: Rahmatullah Rizieq Sri Widarti Ekawati Dona Youlla Ellyta
UNIVERSITAS PANCA BHAKTI
iii
KATA PENGANTAR Dengan mengucap syukur kehadirat Allah SWT, Seminar Nasional Perhimpunan Ekonomi Pertanian 2017 yang dilaksanakan di Pontianak tanggal 21 Januari 2017 telah dilaksanakan. Seminar ini bertema ”Solusi Penyediaan lahan Untuk Kesejahteraan Petani Berkelanjutan”. Seminar ini dilaksanakan sebagai rangkaian acara Rapat Kerja Nasional PERHEPI 2017. Seminar ini merupakan kerjasama antara Program Studi Agribisnis Universitas Panca Bhakti dan Program Studi Agribisnis Universitas Tanjungpura dengan PERHEPI Komisariat Daerah Pontianak dengan Seminar ini dibagi menjadi dua sesi. Sesi pertama menghadirkan 5 (lima) orang pembicara yang terdiri dari Pembicara Kunci dan Pembicara Panel. Pembicara kunci adalah Bapak Sofyan Jalil (Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia), sedangkan 4 (empat) orang pembicara lainnya adalah (1). (2). (3). dan (4). Pada sesi kedua, ada 76 pemakalah yang dibagi kedalam 4 (empat) subtema. Prosiding ini merupakan kumpulan dari makalah yang disampaikan pada seminar tersebut. Semoga prosiding ini dapat menjadi bahan bacaan dan merupakan sumbangan pemikiran bagi pembangunan ekonomi di Indonesia.
Ttd
Tim Editor
iv
DAFTAR ISI SISTEM PERLINDUNGAN INDIKASI GEOGRAFIS DALAM MENDUKUNG REFORMA AGRARIA UNTUK AGRIBISNIS BERKELANJUTAN Adi Ankafia, Budi Mulyanto, Erik Saropie ....................................................................... 1 MENGHADIRKAN KEMBALI MODEL TATA KELOLA LAHAN BERBASIS MASYARAKA LOKAL Yayat Sukayat, Ahmad Choibar Tridakusamah, Lies Sulistyowati ...................................
9
ANALISIS PROFITABILITAS DAN NILAI TAMBAH INDUSTRI GULA AREN SEBAGAI LANGKAH AWAL PEMANFAATAN HUTAN RAKYAT DENGAN BUDIDAYA TANAMAN AREN DI KABUPATEN ACEH BARAT Awin Nasution ................................................................................................................... 13 PENGELOLAAN LAHAN BERKELANJUTAN MELALUI PENDEKATAN LAND RENT Cungki Kusdarjito, Any Suryantini ................................................................................... 21 IMPLEMENTASI DAN DAMPAK PERATURAN BIDANG LAHAN DAN AIR DI PROVINSI JAWA TIMUR Cut R. Adawiyah, Chairul Muslim dan Rusli Burhansyah ...............................................
29
PEMBERDAYAAN LAHAN KOMUNAL MELALUI AKSI RISET SEKOLAH KOPI RAKYAT (SKR) DI KABUPATEN MAMASA (COMMUNAL LAND EMPOWERMENT THROUGH ACTION RESEARCH “SEKOLAH KOPI RAKYAT” (SKR) IN MAMASA REGENCY) Eka Intan Kumala Putri, Sofyan Sjaf, Danang pramudita, Hanifiah Fauziah Gunadi .... 39 ANALISIS STRATEGI PEMBERDAYAAN KELOMPOK TANI PADA PROGRAM KEBUN BENIH RAKYAT UNTUK KEGIATAN PENGHIJAUAN LINGKUNGAN DI KECAMATAN PONTIANAK UTARA Dona Youlla ...................................................................................................................... 47 KEBIJAKAN PENINGKATAN PENDAPATAN USAHA WANITA PENGRAJIN KERUPUK KEMPLANG YANG BERKELANJUTAN DI DESA MERANJAT II KECAMATAN INDRALAYA SELATAN KABUPATEN OGAN ILIR PROPINSI SUMATERA SELATAN Eka Mulyana ...................................................................................................................... 55 POLA KONSUMSI DAN KESEJAHTERAAN RUMAHTANGGA PETANI PADI SAWAH DI KECAMATAN RAMBAH SAMO KABUPATEN ROKAN HULU, PROVINSI RIAU Elinur ................................................................................................................................ 61 RESPON PETANI TERHADAP SISTEM TANAM JARWO DI DESA RIAM BUNUT KABUPATEN KETAPANG Ellyta, Lusia Sri Purwaningsih .........................................................................................
69
ANALISIS KOMODITAS UNGGULAN UNTUK PENGELOLAAN LAHAN PERTANIAN BERKELANJUTAN DI KAWASAN PERBATASAN KECAMATAN JAGOI BABANG, BENGKAYANG Eva Dolorosa .................................................................................................................... 77 ANALISIS PERMINTAAN DAGING SAPI DI PASAR MINGGU (PTM) KOTA BENGKULU Fitri Mufriantie, Rita Feni, Riko Riswanto ....................................................................... 83 SISTEM BAGI HASIL: PENGELOLAAN USAHATANI PADI UNTUK GENERASI MUDA PETANI (STUDI KASUS DI KABUPATEN KLATEN) Lestari Rahayu Waluyati, Jamhari, Abi Ratiwa Sireger ................................................... 89 AGRICULTURAL HOUSEHOLD ECONOMICS PADA KONDISI KEKERINGAN DI LAHAN SAWAH AKIBAT PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA M. Yamin, Nurilla Elysa Putri .......................................................................................... 95 PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DAN TEKNIK PEMANFAATAN LAHAN PEKARANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGANDI KOTA TARAKAN Nia Kurniasih, Nur Indah Mansyur, Eko hary Pudjiwati ................................................. 101 SISTEM PENGUASAAN LAHAN RUMAHTANGGA PETANI PADI GOGO DI KONAWE SELATAN Siti Aida Adha Taridala, Nur Isiyana Wianti .................................................................... 107 POLICY INITIATIVE FOR SUSTAINABLE AGRIBUSINESS TO PROMOTES ECONOMIC GROWTH AND THE WELL-BEING: A CASE OF WEST KALIMATAN Nurliza ............................................................................................................................... 117 TINDAK BUDIDAYA TERHADAP PRODUKTIVITAS DAUN LIDAH BUAYA (ALOE VERA L.) DI KOTA PONTIANAK Setiawan ............................................................................................................................ 127 KEWAJIBAN NEGARA DALAM PEMENUHAN KEPEMILIKAN TANAH BAGI MASYARAKAT KHUSUSNYA KEPADAPARA PETANI Setyo Utomo ......................................................................................................................
133
RESPON KELOMPOK WANITA TANI (KWT) TERATE TERHADAP PEMANFAATAN PESTISIDA NABATIPADA TANAMAN PEKARANGANDI DESA SEPANG KECAMATAN TOHO Sri Widarti, Suparmi ......................................................................................................... 141 PENGELOLAAN LAHAN YANG BERKELANJUTAN MENDUKUNG PENINGKATAN DAYA SAING PERKEBUNAN SAWIT RAKYAT Suci Wulandari .................................................................................................................. 147
REVITALISASI KANDANG DALAM RANGKA MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN PETERNAK RAKYAT AYAM RAS PEDAGING Unang, Rina Nuryati, Enok Sumarsih ............................................................................... 153 PENGEMBANGAN AGRIBISNIS KARET DALAM UPAYA MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN PETANI DI KABUPATEN ACEH BARAT Sri Handayani …………………………...............................................................................
167
ANALISIS PENENTUAN KOMODITI UNGGULAN TANAMAN PERKEBUNAN DI KABUPATEN ACEH BARAT. Liston Siringoringo, Yoga Nugroho, Suharni ...........................................................................
173
SISTEM PERLINDUNGAN INDIKASI GEOGRAFIS DALAM MENDUKUNG REFORMA AGRARIA UNTUK AGRIBISNIS BERKELANJUTAN
Adi Ankafia1), Budi Mulyanto2), Erik Saropie3) 1)
Pusat Inovasi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Bogor, Indonesia E-mail:
[email protected]
2)
Departemen Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor, Indonesia E-mail:
[email protected]
3)
Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM RI, Jakarta, Indonesia E-mail:
[email protected]
Abstract. Indikasi Geografis merupakan salah satu rezim Kekayaan Intelektual. Menurut Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek pasal 56, Indikasi Geografis dilindungi sebagai suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang, yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia, atau kombinasi dari kedua faktor tersebut memberikan ciri dan kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan. Dijelaskan oleh Daniel F. Aling (2009) secara teoritis, produk potensial yang bisa diberikan perlindungan Indikasi Geografis bisa mencakup produk pertanian, pangan, dan bahkan barang-barang kerajinan. Sampai tahun 2016, Indikasi Geografis yang telah tercatat pada Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM RI baru 52 pendaftaran. Indonesia sebagai negara kepulauan dengan budaya agraris memiliki lahan luas yang membentang dari Sabang sampai Merauke sekitar 1,9 juta Km2 luas daratan dan sekitar 7,9 juta Km2 luas lautan yang ironisnya sebagian besar belum dikelola dengan baik. Fenomena tersebut di satu sisi telah menyentuh dampak isu strategis bangsa seperti kemiskinan, pengangguran, kesenjangan sosial, ketimpangan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah, kedaulatan pangan dan energi, persoalan kerusakan lingkungan hidup, serta sengketa dan konflik pertanahan. Oleh karena itu, permasalahan ini harus diselesaikan dengan cara melaksanakan Reforma Agraria yang telah menjadi bagian dari program Nawacita Pemerintah. Reforma Agraria yang didukung oleh penerapan sistem perlindungan Indikasi Geografis diharapkan mampu menjamin masyarakat agraris Indonesia dalam melaksanakan haknya untuk mengolah dan menghasilkan produk-produk pertanian yang memiliki potensi ekonomi tinggi sebagai bentuk agribisnis yang berkelanjutan sehingga bisa memberikan dampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat agraris Indonesia. Kata Kunci: Reforma Agraria, Kekayaan Intelektual, Indikasi Geografis, Agribisnis. Geographical Indication (GI) is one of the Intellectual Property regim. Based on Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek pasal 56 stated that Geographical Indication be protected as a sign used on the area of origin of products that because geographical enviromental include natural factors, human factors, or combination both of those provide specific characteristics and quality on the goods produced. Daniel F. Aling (2009) said that theoritically, Geographical Indication protection can covered potential product, such as agricultural products, food, even handicraft items. Until 2016, Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM RI was record 52 registered of Geographical Indication. Indonesia as a archipelago country with agrarian culture have large areas of land which sweep away from Sabang to Merauke approximately 1,9 milion Km2 of land and 7,9 milion Km2 of marine which ironically mostly not managed properly. The phenomenon is on the one hand has touched the impact of the nation's strategic issues such as poverty, unemployment, social inequality, inequality of control, ownership, use and exploitation of land, food and energy sovereignty, the issue of environmental damage, as well as land disputes and conflicts. Therefore, this problem should be solved by carrying out Reforma Agraria that has been part of the Government program that’s call Nawacita. Reforma Agraria is supported by the application of Geographical Indications protection system is expected to guarantee Indonesian agricultural society in exercising their right to cultivate and produce agricultural products that have a high economic potential as a form of sustainable agribusiness so that it can have an impact on improving the welfare of Indonesian agricultural society. Keywords: Reforma Agraria, Intellectual Property, Geographical Indications, Agribusiness.
1
penataan akses masyarakat terhadap sumber-sumber ekonomi dan politik yang memungkinkan masyarakat untuk memanfaatkan tanahnya secara baik. Di dalam penyelenggaraan Land Reform Plus diselenggarakan dua hal penting, yaitu Aset Reform dan Akses Reform.
I. PENDAHULUAN a.
Indikasi Geografis Indikasi Geografis merupakan salah satu rezim Kekayaan Intelektual. Menurut Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek pasal 56, Indikasi Geografis dilindungi sebagai suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang, yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia, atau kombinasi dari kedua faktor tersebut memberikan ciri dan kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan. Dijelaskan oleh Daniel F. Aling (2009) secara teoritis, produk potensial yang bisa diberikan perlindungan Indikasi Geografis bisa mencakup produk pertanian, pangan, dan bahkan barang-barang kerajinan. Sampai tahun 2016, Indikasi Geografis yang telah tercatat pada Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM RI baru 52 pendaftaran. Indikasi Geografis sebagai bagian dari aset nasional.
b.
Reforma Agraria Dikutip dari www.bpn.go.id/Program/Reforma-Agraria Reforma Agraria atau secara legal formal disebut juga dengan Pembaruan Agraria adalah proses restrukturisasi (penataan ulang susunan) kepemilikan, penguasaan, dan penggunaan sumber-sumber agrarian (khususnya tanah). Dalam Reforma Agraria, tanah merupakan komponen dasar. Tanah yang ditetapkan sebagai objek Reforma Agraria adalah tanah-tanah negara dari berbagai sumber yang menurut peraturan perundang-undangan dapat dijadikan sebagai objek Reforma Agraria. Oleh sebab itu kegiatan penyediaan merupakan langkah strategis bagi keberhasilan reforma agraria. Salah satu contoh sumber tanah objek Reforma Agraria adalah tanah terlantar sesuai dengan Pasal 9 PP Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar. Subjek Reforma Agraria adalah penduduk miskin di pedesaan, baik petani, nelayan, maupun non-petani/nelayan. Penduduk miskin dalam kategori ini dapat dimulai dari yang di dalam lokasi ataupun yang terdekat dengan lokasi, dan dibuka kemungkinan untuk melibatkan kaum miskin dari daerah lain baik pedesaan atau perkotaan. Dalam pasal 2 TAP MPR RI Nomor IX/MPR/2001 dijelaskan bahwa Pembaruan agraria mencakup suatu proses yang berkesinambungan berkenaan dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan sumberdaya agraria, dilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastian dan erlindungan hukum serta keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam tataran operasional Reforma Agraria di Indonesia dilaksanakan melalui 2 (dua) langkah, yaitu : a) Penataan kembali sistem politik dan hukum pertanahan berdasarkan Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), b) Proses penyelenggaraan Land Reform Plus, yaitu penataan aset tanah bagi masyarakat dan
2
Urip Budiyanto (2013) menjelaskan bahwa Aset Reform merupakan penataan kembali penguasaan, kepemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah berdasarkan hukum dan perundang-undangan pertanahan, mencakup redistribusi tanah dan legalisasi aset. Sedangkan Akses Reform adalah proses penyediaan akses bagi penerima manfaat terhadap sumber-sumber ekonomi dan politik serta partisipasi ekonomi politik, modal, pasar, teknologi, pendampingan, peningkatan kapasitas dan kemampuan yang memungkinkan petani untuk mengembangkan tanahnya sebagai sumber kehidupan. Aset Reform tanpa diikuti Akses Reform tidak akan akan berhasil membuat petani keluar dari kemiskinan. Sebaliknya, Asset Reform yang diikuti dengan Akses Reform akan menjadi jalan bagi petani untuk keluar dari kemiskinan. Agar dapat berjalan dengan baik, pelaksanaan Reforma Agraria harus melibatkan seluruh pihak, tidak hanya pemerintah, tetapi juga swasta dan lembaga swadaya masyarakat, serta masyarakat penerima tanah (petani tanpa tanah). c.
Agribisnis Berkelanjutan Bungaran Saragih, dalam makalah berjudul Pembangunan Sistem Agribisnis Di Indonesia Dan Peranan Public Relation yang disampaikan pada seminar “Peranan Public Relation Dalam Pembangunan Pertanian” (2001) menjelaskan bahwa strategi pembangunan sistem agribisnis yang bercirikan yakni berbasis pada pemberdayagunaan keragaman sumberdaya yang ada di setiap daerah (domestic resources based), akomodatif terhadap keragaman kualitas sumberdaya manusia yang dimiliki, tidak mengandalkan impor dan pinjaman luar negeri yang besar, berorientasi ekspor (selain memanfaatkan pasar domestik), diperkirakan mampu memecahkan sebagian besar permasalahan perekonomian yang ada, selain itu strategi pembangunan sistem agribisnis yang secara bertahap akan bergerak dari pembangunan yang mengandalkan sumberdaya alam dan sumberdaya manusia belum terampil (factor driven), kemudian beralih kepada pembangunan agribisnis yang digerakkan oleh barang-barang modal dan sumberdaya manusia lebih terampil (capital driven) dan selanjutnya beralih kepada pembangunan agribisnis yang digerakkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan sumberdaya manusia terampil (innovation-driven) diyakini mampu mengantarkan perekonomian Indonesia memiliki daya saing dan bersinergi dalam perekonomian dunia.
II. TUJUAN PENELITIAN Penelitian ini mempunyai tujuan memotret peluang sistem perlindungan Indikasi Geografis dalam mendukung Reforma Agraria untuk agrisbisnis berkelanjutan. Sistem yang terintegrasi tersebut diharapkan bisa memberikan gambaran suatu konsep pengelolaan lahan atau tanah melalui kegiatan agribisnis yang didukung oleh sistem perlindungan Indikasi Geografis untuk memberikan jaminan hukum serta nilai tambah ekonomi suatu kawasan dan masyarakat yang berkegiatan serta produk-produk yang dihasilkan.
perjanjian Internasional, seperti persetujuan Trade Related Aspects Of Intelectual Property Rights (TRIPs) melalui Keppres No. 7 Tahun 1994 dan The Paris Convention for the Protection of Industrial Property 1883, namun perlindungan terhadap produk Indikasi Geografis Indonesia masih jauh dari harapan. Terhitung sejak tahun 2008 hingga 2016, Perlindungan Indikasi Geografis yang telah terdaftar di Direktorat Kekayaan Intelektual, Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia baru mencapai 52 pendaftaran dengan 46 jenis pendaftaran produk dalam negeri dan 6 jenis pendaftaran untuk produk dari luar negeri (pendaftaran internasional).
III. METODE PENELITIAN Penelitian dilakukan dengan metode kualitatif dengan analisis data secara deskriptif melalui pendekatan literatur dan penelusuran penelitian-penelitian terdahulu terkait Indikasi Geografis, Reforma Agraria dan Agribisnis.
IV. PEMBAHASAN A. Indikasi Geografis Dalam ranah Kekayaan Intelektual, khususnya di Indonesia, Indikasi Geografis masih belum sepopuler varian Kekayaan Intelektual lainnya , seperti Paten, Hak Cipta, dan Merek. Indikasi Geografis sendiri merupakan aturan sisipan dari Merek yang baru secara gencar dikembangkan. Seperti yang tercantum dalam Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek pasal 56, Indikasi Geografis dilindungi sebagai suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang, yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia, atau kombinasi dari kedua faktor tersebut memberikan ciri dan kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan. Indonesia sebagai negara kepulauan dengan budaya agraris memiliki lahan luas yang membentang dari Sabang sampai Merauke sekitar 1,9 juta Km2 luas daratan dan sekitar 7,9 juta Km2 luas lautan dengan kekayaan flora dan fauna yang melimpah (mega bio-diversity) serta potensi perlindungan Indikasi Geografis mengingat sangat banyak sekali identitas unsur-unsur budaya yang unik, termasuk sistem budidaya pertanian, sistem masyarakat, adat istiadat, dan lain sebagainya yang merupakan ekspresi kondisi alam lingkungan dan sumberdaya yang dimiliki. Aset bangsa tersebut perlu untuk terus menerus dikembangkan dan dilestarikan, salah satunya melalui sistem perlindungan Indikasi Geografis. Yeti Sumiyati dkk (2008) dalam Kajian Yuridis Sosiologis Mengenai Indikasi Geografis Sebagai Sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) menjelaskan bahwa hak Indikasi Geografis, disamping melahirkan hak eksklusif dan manfaat ekonomi bagi pemegangnya, juga menunjukkan tingkatan peradaban dan budaya komunitas. Ironisnya, aset potensial bangsa yang perlu perlindungan tersebut belum semuanya mendapat perhatian yang memadai baik dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Meskipun Indonesia telah meratifikasi berbagai
Sumber : Diolah dari Direktorat Kekayaan Intelektual, Kementerian Hukum dan HAM RI (2016) Gambar 1. Jumlah Pendaftaran Indikasi Geografis Per Tahun di Indonesia.
Sumber : Diolah dari Direktorat Kekayaan Intelektual, Kementerian Hukum dan HAM RI (2016) Gambar 2. Jenis Pendaftaran Indikasi Geografis Di Indonesia.
3
Sumber : Diolah dari Direktorat Kekayaan Intelektual, Kementerian Hukum dan HAM RI (2016) Gambar 3. Negara Asal Pendaftar Indikasi Geografis Di Indonesia. B. Reforma Agraria Budi Mulyanto (2016) dalam kajian Mewujudkan Pertanian (Dan Budidaya Lainnya) Berkelanjutan menjelaskan bahwa kondisi pertanian di Indonesia saat ini kurang mencerminkan karakter bangsa agraris, seperti ditandai dengan masih banyaknya jumlah impor untuk produk pertanian pokok, seperti beras, gula, jagung, kedelai, daging sapi, buah-buahan, sayur mayur, bawang putih, cabe, dan bahkan garam sebagaimana yang tertera pada Tabel I. TABEL I
No
Jenis
No
Pulau
Luas Sawah (Ha)
Sumatera Jawa-Bali
Jumlah (Ton) 33.800 260.000
3
Kalimantan
733.397
58.360
675.037
4
Sulawesi
903.952
414.290
489.662
5
406.232
180.060
226.172
6
Nusa Tenggara dan Maluku Papua
1 2
Beras Gula
3
Garam
276.299
4
Daging Sapi
125.415
5
Kedelai
1.800.000
6
Jagung
2.400.000
7
Buah-Buahan
482.000
8
Bawang Putih
58.000
9
Bawang Merah
10
Kentang
60.000
11
Wortel
20.000
12
Cabe Kering Tumbuk
13
Cabe Awet
15
1.853 15
JUMLAH IMPOR PRODUK PERTANIAN POKOK
Disamping itu persoalan alih fungsi lahan yang masih gencar terjadi telah menyentuh dampak isu strategis bangsa seperti kemiskinan, pengangguran, kesenjangan sosial, ketimpangan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah, kedaulatan pangan dan energi, persoalan
Total Persentase (%)
2.267.449 4.269.014
Peruntukan Dalam RTRW (Ha) NonPertanian Pertanian Lahan Lahan Basah Basah 710.230 1.557.219 1.669.600 2.599.414
1 2
Sumber : Kemenperin (2016)
4
kerusakan lingkungan hidup, serta sengketa dan konflik pertanahan. Semakin hari lahan pertanian di Indonesia semakin berkurang seiring laju pertambahan penduduk serta pergeseran budaya agraris menuju industri. BPS pernah mencatat sepanjang tahun 1998 hingga 2002, setidaknya terjadi konversi lahan pertanian ke lahan non pertanian seluas 110.000 Ha/tahun dan masih terus berlangsung. Kondisi ini sangat mengkhawatirkan mengingat pertanian memiliki peran fundamental sebagai penyedia pangan, energi, obat-obatan, dan berbagai kebutuhan hidup bagi manusia di bumi ini, lebih khusus lagi bagi masyarakat Indonesia. Menurut Budi Mulyanto (2016) dalam kajian Mewujudkan Pertanian (Dan Budidaya Lainnya) Berkelanjutan ditegaskan bahwa pengelolaan pertanian untuk meningkatkan kedaulatan dan ketersediaan pangan tidak pernah dapat dilepaskan dengan pengelolaan agraria dan ruang, pertanian hanya dapat dilaksanakan dengan produktif melalui pengelolaan tanah, ruang atau ekosistem tertentu, seperti sumberdaya nabati dan sumberdaya manusia yang melaksanakan. Tabel II merupakan hasil kajian potensi konversi sawah menggunakan data tahun 2009.
131.520
66.460
65.060
8.580.044
3.099.000
5.481.044
100
36,12
63,88
TABEL II HASIL KAJIAN POTENSI KONVERSI SAWAH
Sumber : Budi Mulyanto (2016) dalam kajian Mewujudkan Pertanian (Dan Budidaya Lainnya) Berkelanjutan. Fenomena tanah terlantar di Indonesia juga menjadi salah satu pokok persoalan bangsa yang patut mendapat perhatian. Tanah terlantar, baik di perdesaan maupun perkotaan, banyak dimiliki oleh pemodal besar sehingga mengakibatkan ketimpangan kepemilikan dan penguasaan tanah serta akses pemanfaatan atau penggunaan tanah untuk pertanian. Pemerintah diharapkan dapat menindaklanjuti kebijakan peralihan tanah terlantar menjadi tanah negara agar terwujud keadilan sosial yang secara konstitusional diamanatkan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, yaitu tanah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Sarjita, S.H., M.Hum (2011) dalam Kajian Yuridis Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar Serta
Pengenaan Jenis dan Tarif PNBP yang Berlaku Pada BPN Dalam Upaya Pelaksanaan Kewenangan Daerah Di Bidang Pertanahan menjelaskan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah berkewajiban memberikan perlindungan dan pemberdayaan serta insentif yang sesuai kepada petani yang memiliki hak atas tanah yang ingin memanfaatkan tanahnya untuk pertanian pokok, tetapi miskin dan memiliki keterbatasan akses terhadap faktor-faktor produksi sehingga menelantarkan tanahnya. Tanah terlantar memunculkan banyak kasus dan sengketa tanah. Mengacu pada Pasal 1 ayat (5) PP No. 36 Tahun 1998 tanah terlantar adalah tanah yang ditelantarkan oleh pemegang hak atas tanah, pemegang hak pengelolaan, atau pihak yang telah memperoleh dasar penguasaan atas tanah tetapi belum memperoleh hak atas tanah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Indikasi tanah terlantar adalah tanah yang dikuasai subjek dengan Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Pengelolaan atau dasar penguasaan tanah yang : (i) tidak diusahakan, (ii) tidak dipergunakan, atau (iii) tidak dimanfaatkan sesuai keadaan atau sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar penguasaan. Berdasarkan data Badan Pertanahan Nasional (BPN), sampai tahun 2013 telah tercatat 4.885.000 Hektar (Ha) tanah terlantar di Indonesia. Sebesar 37.000 Ha diantaranya telah dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan. Pemerintah melalui Badan Pertanahan Nasional (BPN) membuat rencana umum mengenai persediaan, peruntukkan, dan penggunaan bumi (tanah), air, dan ruang angkasa atau rencana tata ruang dan wilayah (RTRW) untuk lima keperluan, diantaranya (1) keperluan negara, (2) keperluan peribadatan dan keperluankeperluan suci lainnya, (3) keperluan pusat-pusat kehidupan masyarakat, sosial, kebudayaan, dan lain-lain kesejahteraan, (4) keperluan perkembangan produksi pertanian, peternakan, perikanan, serta sejalan dengan itu, dan (5) keperluan perkembangan industri, transmigrasi, dan pertambangan. Tanah terlantar telah ditetapkan sebagai objek Reforma Agraria sebagaimana termaktub dalam PP Nomor 11 Tahun 2010. Konsep Reforma Agraria adalah penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan sumberdaya agraria dalam rangka mencapai kepastian dan perlindungan hukum serta keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia. Reforma Agraria terdiri atas dua butir gagasan yang dikenal dengan Aset Reform dan Akses Reform. Aset Reform adalah penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah berdasarkan hukum dan peraturan perundangan pertanahan. Sedangkan Akses Reform adalah proses penyediaan akses bagi penerima manfaat terhadap sumber-sumber ekonomi sehingga dapat memanfaatkan tanahnya sebagai sumber kehidupan yang memakmurkan. Aset Reform merupakan kegiatan untuk meningkatkan kemudahan masyarakat dalam mendapatkan kesempatan menguasai atau memiliki atau menggunakan dan memanfaatkan tanah untuk berbagai kegiatan yang
menimbulkan kesejahteraan. Butir-butir penting dalam Aset Reform antara lain distribusi atau redistribusi tanah, konsolidasi tanah untuk meningkatkan efektifitas penggunaan dan pemanfaatan tanah, pengendalian penguasaan tanah serta penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar, serta legalisasi aset tanah (sertipikasi) tanah-tanah masyarakat. Akses Reform merupakan kegiatan pasca Aset Reform dalam rangka meningkatkan kemampuan sumberdaya manusia (SDM) serta untuk meningkatkan kesejahteraan subyek Reforma Agraria yang dilakukan dengan koordinasi kementerian, lembaga, Satuan Kerja Perangkat Daerah, dan para pemangku terkait. Butir-butir penting dalam Akses Reform antara lain pendampingan, pelatihan, bimbingan, penyuluhan, penyiapan infrastruktur (sarana dan prasarana, seperti jalan, irigasi, pupuk, bibit, dan lain sebagainya, disiapkan oleh pemerintah), fasilitasi akses permodalan, teknologi, dan pemasaran. Direktur Tata Ruang dan Pertanahan, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas (2015) menjelaskan bahwa Reforma Agraria melalui redistribusi tanah, pemberian tanah, dan bantuan pemberdayaan masyarakat merupakan arah kebijakan yang menjawab isu terkait ketimpangan penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah. Redistribusi tanah dilakukan dengan memberikan hak atas tanah kepada masyarakat yang tidak memiliki tanah. Kebijakan redistribusi tanah tersebut membantu menyeimbangkan kepemilikan tanah di masyarakat. Sedangkan upaya penyamarataan kesejahteraan rakyat dilakukan melalui pemberdayaan masyarakat (Akses Reform) lewat upaya mengkoordinasi dan menghubungkan (channeling) masyarakat kepada sumber-sumber ekonomi produktif menggunakan strategi penyediaan sumber Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA) dan pelaksanaan pemberian hak milik atas tanah (Aset Reform) yang meliputi redistribusi tanah dan legalisasi aset. C. Agribisnis Berkelanjutan Menurut Drs. H. Sudradjat Laksana, M.Ikom (2006). dalam makalah Model Dan Strategi Pengembangan Pertanian Agribisnis dijelaskan bahwa agribisnis merupakan seperangkat unsur yang secara teratur saling berkaitan yang terdiri dari berbagai subsistem yang tergabung dalam rangkaian interaksi dan interpendensi secara reguler serta teroganisir sebagai suatu totalitas. Subsistem tersebut terdiri dari : a) Subsistem Penyediaan Sarana Produksi - Menyangkut kegiatan pengadaan dan penyaluran, mencakup perencanaan, pengelolaan dari sarana produksi, teknologi dan sumberdaya agar penyediaan sarana produksi atau input usahatani memenuhi kriteria tepat waktu, tepat jumlah, tepat jenis, tepat mutu, dan tepat produk. b)
Subsistem Usahatani atau Proses Produksi - Mencakup kegiatan pembinaan dan pengembangan usahatani dalam rangka meningkatkan produksi primer pertanian, terdiri
5
dari perencanaan pemilihan lokasi, komoditas, teknologi, dan pola usahatani dalam rangka meningkatkan produksi primer. Ditekankan pada usahatani yang intensif dan sustainable (lestari), artinya meningkatkan produktivitas lahan semaksimal mungkin dengan cara intensifikasi tanpa meninggalkan kaidah-kaidah pelestarian sumberdaya alam, yaitu tanah dan air. Disamping itu ditekankan usahatani yang berbentuk komersial yang diarahkan untuk memenuhi kebutuhan pasar dalam artian ekonomi terbuka. c)
Subsistem Penunjang - Merupakan penunjang kegiatan pra panen dan pasca panen yang meliputi : (1) sarana tataniaga, (2) perbankan/perkreditan, (3) penyuluhan agribisnis, (4) kelompok tani, (5) infrastruktur agribisnis, (6) koperasi agribisnis, (7) BUMN, (8) swasta, (9) penelitian dan pengembangan, (10) pendidikan dan pelatihan, (11) transportasi, (12) kebijakan pemerintah.
Bungaran Saragih, dalam makalah berjudul Pembangunan Sistem Agribisnis Di Indonesia Dan Peranan Public Relation yang disampaikan pada seminar “Peranan Public Relation Dalam Pembangunan Pertanian” (2001) menyampaikan bahwa untuk mengatasi masalah ekonomi yang begitu kompleks diperlukan strategi pembangunan ekonomi yang mampu memberi solusi. Strategi pembangunan yang dimaksud harus memiliki karakteristik sebagai berikut : (1) memiliki jangkauan kemampuan memecahkan masalah ekonomi dan ketika strategi ini diimplementasikan maka persoalan ekonomi akan dapat diatasi, (2) strategi yang dipilih harus dapat memanfaatkan hasil-hasil pembangunan sebelumnya sehingga pembangunan sebelumnya tidak menjadi sia-sia, (3) strategi yang diilih harus mampu membawa perekonomian Indonesia yang lebih cerah dan menjadi sinergis (interdepency economy) dengan perekonomian dunia. Strategi pembangunan yang memenuhi karakteristik tersebut adalah Pembangunan Agribisnis (Agribusiness Led
6
1.
Subsistem Agroindustri atau Pengolahan Hasil - Menyangkut keseluruhan kegiatan mulai dari penanganan pasca panen produk pertanian sampai pada tingkat pengolahan lanjutan dengan maksud memberikan nilai tambah (value added) dari produk.
d) Subsistem Pemasaran - Mencakup pemasaran hasil-hasil usahatani dan agroindustri baik untuk pasar domestik maupun ekspor. Kegiatan utama subsistem ini adalah pemantauan dan pengembangan informasi pasar dan market intelligence (merupakan bagian dari sistem informasi, sebuah strategi untuk memperoleh informasi yang dilakukan dengan pengumpulan data dan analisis pasar sesuai dengan keadaan saat ini) pada pasar domestik dan pasar luar negeri. e)
Development), yaitu strategi pembangunan ekonomi yang mengintegrasikan pembangunan pertanian berkelanjutan (perkebunan, peternakan, perikanan, dan kehutanan) dengan pembangunan industri hulu dan hilir pertanian serta sektor-sektor jasa yang terkait di dalamnya.
2.
V. KESIMPULAN Indikasi Geografis di Indonesia merupakan aset nasional yang perlu mendapat perhatian serius mengingat begitu banyak potensi kekayaan flora dan fauna yang melimpah (mega bio-diversity). Disamping itu sangat banyak sekali identitas unsurunsur budaya yang unik, termasuk sistem budidaya pertanian, sistem masyarakat, adat istiadat, dan lain sebagainya yang merupakan ekspresi kondisi alam lingkungan dan sumberdaya yang dimiliki. Aset bangsa tersebut perlu untuk terus menerus dikembangkan dan dilestarikan, salah satunya melalui sistem perlindungan Indikasi Geografis. Sebagai salah satu rezim Kekayaan Intelektual, Indikasi Geografis dapat meningkatkan derajat ekonomi komunitas lokal. Produk-produk masyarakat adat dan komunitas lokal yang umumnya diberi label sesuai nama tempat asal akan memiliki jaminan hukum sehingga terhindar dari pencurian aset Kekayaan Intelektual. Reforma Agraria menjadi arah kebijakan yang menjawab isu terkait ketimpangan penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah. Terkait tanah terlantar yang telah ditetapkan sebagai Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA), Pemerintah melalui lembaga yang berwenang diharapkan dapat menindaklanjuti kebijakan peralihan tanah terlantar menjadi tanah negara agar terwujud keadilan sosial yang secara konstitusional diamanatkan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, yaitu tanah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat yang dapat dilakukan melalui tahapan inventarisasi tanah terlantar, penertiban tanah terlantar, konsolidasi tanah terlantar, pendayagunaan tanah terlantar, pengerahan dana investasi, dan pengembangan lahan produksi. Disamping itu dukungan untuk penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah berdasarkan hukum dan peraturan perundangan pertanahan (Aset Reform) melalui distribusi atau redistribusi tanah, konsolidasi tanah untuk meningkatkan efektifitas penggunaan dan pemanfaatan tanah, pengendalian penguasaan tanah serta penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar, serta legalisasi aset tanah (sertipikasi) tanah-tanah masyarakat. Serta dukungan proses penyediaan akses bagi penerima manfaat terhadap sumber-sumber ekonomi sehingga dapat memanfaatkan tanahnya sebagai sumber kehidupan yang memakmurkan (Akses Reform) melalui pendampingan, pelatihan, bimbingan, penyuluhan, penyiapan infrastruktur (sarana dan prasarana, seperti jalan, irigasi, pupuk, bibit, dan lain sebagainya, disiapkan oleh pemerintah), fasilitasi akses permodalan, teknologi, dan pemasaran.
3.
Agrisbisnis sebagai suatu usaha berbasis pertanian atau bidang lain yang mendukungnya baik di sektor hulu maupun di hilir memberikan peluang peningkatan ekonomi melalui strategi memperoleh keuntungan dengan mengelola aspek budidaya pascapanen, proses pengolahan, proses pengemasan, hingga pemasaran. Agribisnis berkelanjutan akan memberikan manfaat peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani, menciptakan sistem ketahanan pangan, meningkatakan daya saing produk pertanian baik di pasar domestik maupun global, membangun aktifitas ekonomi pedesaan, serta meningkatkan lapangan pekerjaan di pedesaan.
4.
Integrasi dari konsep Sistem Perlindungan Indikasi Geografis, Reforma Agraria, dan Agribisnis Berkelanjutan dapat dilakukan melalui tahapan penyediaan tanah di kawasan potensial Indikasi Geografis bagi petani. Penyediaan tanah dilakukan melalui distribusi atau redistribusi tanah, konsolidasi tanah untuk meningkatkan efektifitas penggunaan dan pemanfaatan tanah, pengendalian penguasaan tanah serta penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar, serta legalisasi aset tanah (sertipikasi) tanah-tanah masyarakat (Aset Reform) dan setelah itu dilakukan pendampingan, pelatihan, bimbingan, penyuluhan, penyiapan infrastruktur (sarana dan prasarana, seperti jalan, irigasi, pupuk, bibit, dan lain sebagainya, disiapkan oleh pemerintah), fasilitasi akses permodalan, teknologi, dan pemasaran. Produk dari hasil kegiatan petani didaftarkan perlindungan Indikasi Geografis ke Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual, Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia. Pendaftaran Indikasi Geografis akan menjamin perlindungan hukum atas produk yang merepresentasikan daerah asal sehingga terhindar dari pencurian kekayaan intelektual. Perlindungan Indikasi Geografis menimbulkan hak eksklusif dan manfaat ekonomi bagi pemegangnya, juga menunjukkan tingkatan peradaban dan budaya komunitas. Melalui kegiatan agribisnis, Indikasi Geografis dalam mendukung Reforma Agraria menjadi Sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD).
[5] Daniel F. Aling., Sistem Perlindungan Indikasi Geografis Sebagai Bagian Dari Hak Kekayaan Intelektual Di Indonesia , Departemen Pendidikan Nasional RI, Universitas Sam Ratulangi, Fakultas Hukum, Manado, 2009. [6] Direktorat Kekayaan Intelektual, Kementerian Hukum dan HAM RI., http://www.dgip.go.id/images/ki-images/pdffiles/indikasi_geografis/permohonan-yg-terdaftar-logo-updateagustus.pdf. Diakses pada tanggal 08 Januari 2017. [7] Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas., Profil Pertanahan Nasional. 2015. [8] Drs. H. Sudradjat Laksana, M.Ikom. 2006. Model Dan Strategi Pengembangan Pertanian Agribisnis. [9] Kemenperin. 2016., Jumlah Impor Produk Pertanian Pokok. [10] Urip Budiyanto.2013., Legalisasi Aset Untuk Kepastian Hukum. [11] Yeti Sumiyati dkk., Kajian Yuridis Sosiologis Mengenai Indikasi Geografis Sebagai Sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD). 2008.
ACKNOWLEDGMENT Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan masukanmasukan baik kritik maupun saran demi memperkaya sudut pandang topik penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA [1] Badan Pertanahan Nasional., www.bpn.go.id/Program/ReformaAgraria. Diakses pada tanggal 08 Januari 2017. [2] Badan Pertanahan Nasional. 2013., Tanah Terlantar di Republik Indonesia. [3] Budi Mulyanto.2016. Mewujudkan Pertanian (Dan Budidaya Lainnya) Berkelanjutan. [4] Bungaran Saragih., Pembangunan Sistem Agribisnis Di Indonesia Dan Peranan Public Relation., dalam seminar “Peranan Public Relation Dalam Pembangunan Pertanian”, 2001.
7
8
MENGHADIRKAN KEMBALI MODEL TATA KELOLA LAHAN BERBASIS MASYARAKA LOKAL Yayat Sukayat, Ahmad Choibar Tridakusumah, Lies Sulistyowati*) 1)
Prodi Agribisnis Faperta Universitas Padjadjaran, Bandung, Indonesia E-mail:
[email protected]
Abstract. Recognition and enforcement of the right to food and land rights and also respect for the rights of indigenous peoples over their lands are some of the most fundamental pillars of food sovereignty [1]. Furthermore, food sovereignty of indigenous people who take advantage of, controlling, managing and implementing regulation of land use by themselves (self governing) needed for rural development could actually promote broad-based economic development and inclusive or specifically improve the welfare of farmers. This article aims to analyse various conceptual models of institutional governance of land in the context of the local community in East Flores and South Sukabumi. Indigineous Stewardship Methods (ISM) Approaches is used to describe the activity of land management organized in two locations within reach the goal of increasing the welfare of farmers. Based on the analysis, that the land management in accordance with the prevailing social system in both cases, namely in the customs and cultures has lasted for generations, in other words by using the adaptation concept approach to the relation state-community shows that the governance model of land-based society ( society-centered approaches) is a model that can be developed as a typical Indonesian institutional management can improve the welfare of farmers in a sustainable manner. Keywords : local community, food sovereignty, land governance, ISM, social relation.
I. PENDAHULUAN Indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki keragaman suku, budaya dan adat istiadat yang diturunkan dari generasi ke generasi serta dimanifestasikan menjadi semboyan “Bhineka Tunggal Ika” yang tercantum dalam lambang negara Garuda Pancasila. Hal tersebut ditunjukkan dengan keberadaan Indonesia yang memiliki 19 wilayah adat mulai dari Aceh sampai dengan Papua[2]. Pengakuan dan penegakan hak atas pangan dan tanah serta penghormatan terhadap hak wilayah adat masyarakat lokal atas tanah-tanah mereka merupakan beberapa diantara pilar-pilar paling fundamental dari kedaulatan pangan[1]. Selanjutnya masyarakat lokal seyogyanya dalam memanfaatkan, menguasai, mengusahakan dan melaksanakan pengaturan tata kelola sumberdaya alam oleh mereka sendiri (self governing) dibutuhkan agar pembangunan pedesaan bisa benar-benar memajukan pembangunan ekonomi yang berbasis luas dan inklusif sehingga dapat mensejahterakan masyarakat. Tata kelola sumberdaya alam bukan hanya terbatas pada aspek fisik saja tetapi lebih luas lagi merupakan bentuk pengurusan lahan baik formal maupun non formal yang mengatur ruang sosial dan merupakan arena dimana negara dan masyarakat lokal berinteraksi dalam mengambil keputusan pengelolaan lahan pertaniannya tersebut. Tata kelola sumberdaya alam formal merupakan peran lembagalembaga negara seperti pemerintahan desa, lembaga negara yang mengurus pertanian, hutan, sumberdaya air, infrastruktur dan lain sebagainya yang menunjang peningkatan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Sisi lain tata kelola sumberdaya alam non formal pada masyarakat lokal bukan hanya bagaimana mengelola areal pertaniannya saja. Tetapi merupakan kesatuan dengan tata kelola sumberdaya alam lainnya di sekitar masyarakat
lokal tersebut tinggal, seperti hutan, gunung, sungai, tumbuhan, hewan dan sebagainya. Selain itu pengelolaan sumberdaya alam oleh masyarakat lokal di Indonesia sudah berlangsung dari generasi ke generasi dan merupakan sub bagian dari relasi sosial[3] yang mencakup hak dan kewajiban masyarakat terhadap akses dan pemanfaatan lahan. Sehingga hak-hak dasar komunitas masyarakat setempat dan adat harus benar-benar dijaga dengan baik bagi keberlangsungan masyarakat lokal tersebut untuk generasi selanjutnya. Pengurusan formal dan informal dalam tata kelola sumberdaya alam khususnya di perdesaan, dapat dilihat dalam UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, dimana hak asal usul diakui oleh hukum formal negara. Hak asal usul tersebut menyebabkan desa adat benar-benar dikembalikan kepada keanekaragaman bentuk desa dan desa adat serta keberadaannya kembali diakui. Sehingga sekarang ini merupakan momentum yang tepat untuk mengembalikan kembali model-model tata kelola sumberdaya alam berbasis masyarakat lokal yang diintegrasikan dengan model tata kelola sumberdaya alam negara Indonesia. Hanya saja perlu dirumuskan metode dan model yang tepat dan terarah sehingga model tata kelola sumberdaya alam merupakan kesatuan antara tata kelola berbasis masyarakat lokal dan negara. sebagai contoh tata kelola sumberdaya alam oleh masyarakat lokal mencakup pembukaan hutan untuk usaha perladangan dan pertanian lainnnya, penggembalaan ternak, pemburuan satwa liar dan pemungutan hasi hutan dikelola secara lestari oleh masyarakat sebagai sumber kehidupan dengan segala kearifannya[2]. Keberadaan praktek tata kelola sumberdaya alam untuk pertanian dikenal dengan berbagai istilah seperti Mamar di Flores Timur Nusa Tenggara Timur dan Huma Talun di Masyarakat Sunda Jawa Barat.
9
Berdasarkan uraian di atas, Artikel ini bertujuan untuk menganalisis model konseptual kelembagaan dikaitkan dengan tata kelola lahan dalam konteks masyarakat lokal di Flores Timur dan Sukabumi Selatan. Pendekatan Indigeneous Stewardship Method (ISM) digunakan untuk menjelaskan aktivitas tata kelola lahan masyarakat lokal di 2 lokasi tersebut di dalam mencapai tujuan peningkatan kesejahteraan petani.
II. PEMBAHASAN Konsep tata kelola berbasis hak masyarakat lokal[4], lebih melihat hubungan antar aktor negara dan non negara, struktur-struktur yang mendorong interaksi antar aktor, ruang negosiasi dengan pemegang otoritas publik, dan mekanisme akuntabilitas antar aktor. Tata kelola adalah ”the formation and stewardship of the formal and informal rules that regulate the public realm, the arena in which state as well as economic and societal actors interact to make decisions.”[5] Serangkaian aktivitas masyarakat lokal dalam tata kelola lahan yang sejak turun temurun dalam hal ini digunakan dalam berbagai keperluan antara lain digunakan lahan pertanian untuk memenuhi kebutuhan pangan, bahan bangunan untuk tempat tinggal serta berbagai keperluan lainnya. Oleh karena itu, sistem aktivitas kehidupan pada masyarakat lokal Ciptagelar di Desa Sirnaresmi Kecamatan Cisolok Kabupaten Sukabumi dan Desa Serinuho Kecamatan Titihena di Flores Timur, merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan antara aktivitas manusia dan lingkungan alam. Selanjutnya untuk memahami tata kelola lahan terutama pengurusan (stewardship) oleh masyarakat lokal, digunakan pendekatan Indigenous Stewardship Method (ISM), yang merupakan metode penggunaan dan pemanfaatan sumberdaya alam berkelanjutan secara ekologis[6] sesuai dengan kapasitas mereka untuk mempertahankan proses alamiah dengan menghormati kearifan generasi terdahulu serta memastikan bahwa pemanfaatan SDA tersebut tidak mengurangi atau menghilangkan potensi untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi generasi yang akan datang. ISM merupakan bagian dari pengetahuan tradisional ekologis (Traditional ecological knowledge), dimana masyarakat lokal memperoleh pengetahuan secara turun temurun melalui pengalaman langsung dan kontak dengan lingkungan. ISM merupakan hubungan fisik, spiritual, mental, emosional dan intuitif dari masyarakat lokal beserta semua aspek dan elemen lingkungannya. Hubungan antara manusia dan alam tersebut merupakan kombinasi dari pengetahuan, pengalaman, tradisi, ruang, lokalitas, benda hidup dan benda mati, keterampilan, praktik, teori, strategi sosial, momen, spiritualitas dan sejarah. Sehingga ISM dapat diterapkan untuk pengelolaan sumber daya alam kontemporer, bahkan dalam lembaga birokrasi yang tujuannya adalah untuk membantu masyarakat dalam mengelola lahannya.
10
Praktik Tata Kelola Lahan Masyarakat Lokal Masyarakat Lokal Ciptagelar Komunitas masyarakat adat Ciptagelar merupakan bagian dari Desa Sirnaresmi Kecamatan Cisolok Kabupaten Sukabumi, dimana prinsip pengelolaan sumberdaya alam merupakan penghormatan terhadap “Ibu Bumi, Bapak Langit” alam semesta adalah seperti penghormatan terhadap Ibu dan Bapak[7]. Dalam realitas kehidupan prinsip ini diterjemahkan bahwa mengelola sumber daya alam harus berdasarkan hati sanubari. Hubungan sang penciptamanusia-alam dapat dilihat dalam penerapan prinsip komunitas Ciptagelar mengelola hutan dan lahan pertanian. Pengelolaan lahan pertanian berdasarkan gugusan bintang Kereti dan Kidang yang bergerak dari Timur ke Barat selama satu tahun (Tanggal kereti turun beusi – tanggal kidang turun kujang – Tilem kidang, turun kungkang). Sedangkan dalam pengelolaan hutan harus dipelihara sebaik mungkin agar dapat lestari dan berfungsi sebagai sumber mata air, penyeimbang iklim, habitat satwa dan konservasi. Berdasarkan hal tersebut, komunitas Ciptagelar menerapkan tata kelola lahan berdasarkan fungsinya. Pertama adalah lahan yang diperuntukkan sebagai pemukiman, hutan (gunung kayuan), tebing berhutan bambu (lamping gawir awian), kebun kayu, sayur, buah-buahan, tanaman obat (kebon talun), persawahan (datar sawahan) dan kolam ikan (legok balongan). Selanjutnya dalam menjaga hutan agar lestari dikenal pembagian leuweung titipan (hutan konservasi adat), leuweung tutupan (hutan penyangga) dan leuweung bukaan (hutan garapan). Tata kelola lahan yang dipraktikkan oleh masyarakat lokal Ciptagelar, dikelola secara komunal dan dinaungi oleh aturan adat, sehingga tercipta harmoni antara manusia dan alam. Sistem aktivitas manusia di Ciptagelar melalui tata kelola lahan yang baik ini menunjukkan bahwa lahan pertanian untuk kebutuhan pangan masyarakat selama beberapa generasi selalu terjaga dengan baik dan dapat memenuhi kebutuhan seluruh Komunitas Ciptagelar, di satu sisi kelestarian hutan tetap terjaga dengan baik. kondisi nyata tata kelola tersebut merupakan Masyarakat Lokal Serinuho "Ola tugu, here happen, llua watana, Gere Kiwan, Pau kewa heka ana, Geleka lewo gewayan, toran murin laran" Pepatah lama masyarakat Flores Timur merefleksikan cara mereka mengelola sumberdaya alam, antara lain bekerja di pertanian, membuat tuak dari gula aren, mencari kerang, bekerja di gunung, menyediakan kebutuhan keluarga, memelihara tanah dan air sampai dengan penghormatan terhadap tamu[8]. Berdasarkan hal tersebut terlihat bahwa setiap aktivitas manusia yang berhubungan dengan penggunaan sumberdaya alam merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Serinuho mulai dari menjaga kelestarian sumberdaya alam baik berupa hutan, tanah dan air sampai dengan pemenuhan kebutuhan pangan rumah tangga. bertani merupakan interface antara manusia dan alam, sehingga harus diperlakukan secara hati-hati dan penuh penghormatan dan
memasukkan berbagai ritual untuk menjamin keberhasilan panennya. Adat istiadat masyarakat Serinuho Flores Timur berpusat pada Rerawulan-Tanaekan, yaitu hubungan antara sang pencipta dan manusia, langit dan bumi. Rerawulan mengacu pada sang pencipta yang mengendalikan manusia dan seluruh dunia, sedangkan Tanaekan mengacu pada manusiasebagai hamba Rerawulan dalam kegiatan mereka. Oleh karena itu, manusia harus memberikan hadiah (sesajian, pao-bae, dan Huke) untuk memperoleh rahmat (kuat-kemuha) dari Rerawulan. Keyakinan ini tercermin dalam ritual pada setiap aspek hidup termasuk pengelolaan sumberdaya alam. Lahan di Serinuho diatur melalui hukum adat dan bersifat komunal, dengan kata lain apabila ada keluarga yang akan mengusahakan lahan komunal harus mendapat persetujuan dari seluruh masyarat Serinuho dan setidaknya mengadakan upacara adat sebanyak tiga kali sebagai penghormatan terhadap sang pencipta alam dan masyarakat Serinuho itu sendiri. Hal tersebut menunjukkan bahwa sumberdaya alam berupa lahan digunakan sebaik-baiknya bagi seluruh masyarakat Serinuho bukan untuk kepentingan individual semata.
Indigenous Stewardship Method (ISM) Tata Kelola Lahan Berbasis Masyarakat Lokal Praktik pertanian tradisional, memancing dan berburu diwariskan dari mulut ke mulut dari generasi sebelumnya dan langsung diuji di lapangang melalui pengalaman dan eksperimen. Pada banyak kasus, masyarakat lokal tidak tidak memerlukan pembuktian limiah dalam praktiknya dan hanya berjalan seiring waktu. Masyarakat lokal melakukan metode tersebut dalam periode waktu yang panjang dan keberadaan mereka di dunia ini diharapkan bermanfaat bagi mereka dan juga bagi lingkungan alam. Pola hidup masyarakat lokal menawarkan banyak pelajaran bagi masyarakat lainya terkait pengelolaan sumberdaya alam dalam kompleksitas ekosistem hutan, gunung dan lahan pertanian. Masyarakat lokal mendapatkan pengetahuan melalui akumulasi pengetahuan lokal dan pengalaman yang menghubungkan kemanusiaan dan warisan nenek moyang. Apabila masyarakat lokal hilang, maka merupakan suatu kerugian bagi masyarakat yang lebih besar, karena kita bisa belajar banyak dari keterampilan tradisional mereka dalam mengelola sistem ekologi yang sangat kompleks untuk tetap lestari. berbagai penelitian dan artikel ilmiah terkait bagaimana mencari titik temu antara tata kelola lahan oleh masyarakat lokal dan negara, antara lain bagaimana mengelola sumberdaya alam berbasis kelembagaan lokal[9], pengelolaan hutan mangrove dan pesisir[10], dan hubungan tata kelola deforestasi dan desentralisasi[11]. Ketiga artikel di atas menggambarkan pentingnya tata kelola sumberdaya alam yang lebih baik karena, terutama pentingnya peranan masyarakat lokal yang hidup dan mengambil manfaat dari sumberdaya alam tersebut. Perhatian penulis dalam artikel ini dititikberatkan pada aspek yang lebih spesifik, yaitu pengurusan
(stewardship) sumberdaya alam terutama sumberdaya lahan pertanian sebagai penyedia kebutuhan pangan bagi masyarakat. Pengurusan sebagai bagian dari tata kelola lahan pertanian menjadi penting untuk ditelaah, karena dari aspek praktis seperti waktu tanam, pemupukan, pemeliharaan sampai dengan pemanenan dapat menggambarkan bagaiman pengelolaan lahan yang baik menurut masyarakat lokal mengutamakan keseimbangan antara manusia dan alam, sehingga kelestarian alam tetap terjaga, satu sisi kebutuhan pangan masyarakat dapat berkelanjutan melalui tata kelola lahan yang ekologis. Model dengan pendekatan ISM menawarkan kolaborasi yang didasarkan pada kepercayaan, rasa hormat, kejujuran dan berbagi tanggungjawab dalam rangka mendapatkan pemahaman yang sama terhadap keberadaan sumberdaya alam bagi keberlanjutan kehidupan manusia, kolaborasi tersebut dapat dilihat pada Gambar 1 di bawah ini. Gambar 1 Praktik Tata Kelola Lahan Berbasis Masyarakat Tata Kelola SDA Eksisting Masyarakat Lokal
Hukum adat Lahan komunal Pertanian alami Upacara adat
Tata Kelola SDA Model ISM UU No. 6 Th 2014 Lahan individu yang dikelola secara kolektif Teknologi pertanian ramah lingkungan Sinergi Pengetahuan lokal dan pengetahuan Negara Adaptasi perubahan lingkungan
Tata Kelola SDA Eksisting Negara Hukum Formal Lahan Individual Pertanian berkelanjutan Teknologi Pertanian Produksi & Produktivitas
Hukum adat merupakan dasar dari praktik tata kelola sumber daya alam, dalam hal ini lahan yang digunakan oleh masyarakat lokal untuk menunjang kehidupannya, hal tersebut menunjukkan bahwa nilai-nilai yang di anut oleh masyarakat lokal diimplementasikan ke dalam aturan main pengelolaan SDA berupa norma yang mengatur perilaku masyarakat dalam memperlakukan sumberdaya alam. Pada masyarakat lokal Ciptagelar hukum adat berpedoman pada tiga pilar kehidupan yaitu Tilu sapamulu, Dua Sakarupa dan Nu Hiji eta-eta keneh[7]. Ketiga hal tersebut memperlihatkan harmonisasi kehidupan yaitu antara niat (tekad) – ucapan (ucap)- tindakan (lampah). Penegakan hukum adat diterapkan sebagai sarana kesadaran individu dalam menjaga keseimbangan Jagat leutik (sanubari) – Jagat gede (bumi dan langit). Lahan komunal merupakan ciri masyarakat lokal dalam mengelola lahannya, salah satu tujuannya agar tidak terjadi saling mengklaim antar individu, dan menunjukkan bahwa lahan pertanian dan sumberdaya alam lainnya adalah milik bersama dan hasil pertanian yang didapatkan pun digunakan untuk kepentingan bersama.
11
Pertanian alami yang dipraktikkan masyarakat adat antara lain diterapkan dalam waktu tanam dan waktu panen menggunakan formasi perbintangan dalam aktivitas pertaniannya. Upacara adat dilaksanakan sebagai bentuk penghormatan dan rasa syukur atas pemanfaat sumber alam yang memberikan hasil yang cukup bagi kebutuhan pangan masyarakat. Aktivitas pertanian mulai dari penanaman sampai pemanenan disertai dengan upacara adat yang merupakan rasa syukur kepada sang pencipta bahwa panen berhasil dengan memuaskan, dimana pada masyarakat Ciptagelar di kenal dengan upacara Seren Taun dan Wuun Lolon dan Koke Bale pada Masyarakat di Flores Timur. Salah satu hukum formal Republik Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan, yang bertujuan untuk melindungi dan mengembangkan secara konsisten untuk menghasilkan pangan bagi kemandirian, ketahanan dan kedaulatan pangan nasional. Sehingga salah satu kebijakannya adalah redistribusi lahan bagi petani dengan kepemilikan individu berupa sertifikat kepemilikan tanah, sehingga diharapkan petani mampu mandiri dan sejahtera dengan mengelola lahannya sendiri. Pemerintahan Jokowi-JK menargetkan mencanangkan Swasembada pangan dalam 3 tahun ke depan, tetapi satu sisi 52% sarana irigasi rusak dan menjadi prioritas untuk segera dibenahi sebagai masalah infrastruktur dalam pemenuhan kebutuhan pangan nasional. Selain itu kebijakan pembangunan pertanian Republik Indonesia 2015-2019 salah satunya melalui diseminasi teknologi pertanian berupa sistem informasi dan sistem pembibitan serta. Perhatian terhadap adaptasi dan mitigasi perubahan iklim serta penanganan pasca bencana alam yang dapat menurunkan produksi dan produktivitas hasil pertanian. Uraian praktik tata kelola lahan pertanian baik masyarakat lokal dan negara pada Gambar 1 di atas, berdasarkan analisis ISM dapat dikolaborasikan menjadi bentuk tata kelola sumberdaya alam khususnya lahan pertanian yang menggabungkan tata kelola masyarakat lokal dan negara. Salah satu peluangnya adalah melalui UndangUndang No 6 Tahun 2014 tentang Desa dapat menjadi jalan masuk terciptanya kolaborasi tata kelola lahan pertanian melalui aspek pengurusan (stewardship) lahan pertanian untuk menunjang kedaulatan pangan nasional. Sebagai langkah awal adalah pengurusan Lahan individu yang dapat dikelola secara kolektif melalui lembaga yang sudah ada yaitu Gapoktan ditunjang dengan penggunaan teknologi pertanian ramah lingkungan dan yang berbasiskan kearifan lokal dan memperhatikan perubahan iklim sehingga dapat terjadi sinergi Pengetahuan lokal dan pengetahuan modern dalam dunia pertanian .
III. PENUTUP Berdasarkan hasil analisis, bahwa tata kelola lahan sesuai dengan sistem sosial yang berlaku di kedua kasus tersebut yaitu secara adat dan budaya telah berlangsung turun temurun, dengan kata lain dengan menggunakan adaptasi konsep pendekatan relasi negara-komunitas menunjukkan bahwa model tata kelola lahan yang berbasis masyarakat (society-centered approaches) merupakan model
12
yang dapat dikembangkan sebagai tata kelola lahan pertanian khas Indonesia yang dapat meningkatkan kesejahteraan petani secara berkelanjutan.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya terhadap Fakultas Pertanian Unpad yang telah memfasilitasi kami dalam mengikuti kegiatan Seminar PERHEPI 2017. REFERENSI [1] Rosset. P. et al. Reforma Agraria: Dinamika Aktor dan Kawasan. Yogyakarta Indonesia. Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN). 2008. [2] Sirait M. Kajian Kebijakan Hak-Hak Masyarakat Adat di Indonesia: Suatu Refleksi Pengaturan Kebijakan dalam era Otonomi Daerah. Jakarta Indonesia. P3AE-UI..2001. [3] Solon L.B. Land Reform in Developing Countries: The Role of The State and The Actors. Discussion Paper No.101, June 1999. [4] Saunders J dan Reeve R. Monitoring Governance for Implementation of REDD+. Monitoring Governance Safeguards in REDD+ Expert Workshop 24th-25th, Chatham House London. 2010. [5] Hyden G, Court J dan Mease K. Making Sense of Governance – Empirical Evidence from 16 Developing Countries. Lynne Rienner Publishers. 2004. [6] Leonetti C. Indigenous Stewardship Methods and NRCS Conservation Practices. UNDP USA. 2010. [7] Suganda U. Komunitas Masyarakat Adat Kasepuhan Ciptagelar – Hutan Untuk Masa Depan : Pengelolaan Hutan Adat di Tengah Arus Perubahan Dunia. AMAN-DTE. Jakarta. 2009. [8] Hestiawan M.S. Reclaiming Diversity: The Practice and Everyday Politics of Local Food Movement in Flores Timur Indonesia. Master Thesis Sociology of Development and Change. Wageningen University. Holland. 2016. [9] Hidayat. Pengelolaan Sumberdaya Alam Berbasis Kelembagaan Lokal. Jurnal Sejarah Citra Lekha. Vol XV. No. 1 Februari 2011: 1932. [10] Meliasari dan Sugiana. Collective action and ecological sensibility for sustainable mangrove governance ini Indonesia:challenges and opportunities. Journal of Political Ecology Vol 19, 2012. [11] Suwarno dan Hein. Governance, Desentralisation and Deforestation: The case of Central Kalimantan Province, Indonesia. Quarterly Journal of International Agriculture 54 No 1: 77-100. 2015.
ANALISIS PROFITABILITAS DAN NILAI TAMBAH INDUSTRI GULA AREN SEBAGAI LANGKAH AWAL PEMANFAATAN HUTAN RAKYAT DENGAN BUDIDAYA TANAMAN AREN DI KABUPATEN ACEH BARAT Aswin Nasution Dosen Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Teuku Umar
[email protected] Abstract. Palm sugar is a nira water refined product from palm trees leads. Palm sugar industry generally was done by around forest area community, this industry if managed properly will provide additional income for farmers households. This study was conducted to determine profitability and value added palm sugar industry as the basis for the utilization of public forests with the palm sugar cultivation in West Aceh district. The study conducted on 17 palm sugar industry shows for every day of processing palm sugar is obtained ROA 0.034 and ROE 0.037. The study also show that by using the Hayami Analysis Method palm sugar industry give value added Rp. 2,168.62.- per pack with value added ratio 52.98%, benefit Rp.1,780.97.- per pack by a margin of 82.12%, operating margin Rp. 2,593.28.- per pack with distribution margin 14.95% on labor income, 16.38% on other input donations and 68.68% on profit craftsmen. Results of the study recommend the indispensable role of the Regional Government of West Aceh District to help development of domestic industry palm sugar as efforts to improve household incomes and economic development of the region. Keywords: palm sugar, profitability, value added
PENDAHULUAN Latar Belakang Gula merupakan salah satu dari sembilan bahan pokok atau sembako yang dibutuhkan oleh masyarakat setiap harinya sehingga gula menjadi komoditi penting bagi masyarakat Indonesia bahkan bagi masyarakat dunia. Menurut badan kesehatan dunia WHO kebutuhan gula yang baik untuk dikonsumsi dalam sehari adalah 5% dari total kalori atau 50 gram gula dalam sehari untuk orang dewasa dengan berat badan normal (Anindia, 2016). Menurut data Asosiasi Gula Indonesia (AGI) konsumsi gula nasional pada tahun 2016 sebesar 2,8 juta ton sedangkan produksi gula kristal putih nasional hanya 2,5 juta ton sehingga untuk memenuhi kebutuhan gula nasional pemerintah harus mengimpor 300.000 ton gula (Anonymous, 2016). Pemenuhan kebutuhan gula nasional selama ini mengandalkan gula pasir kristal yang berbahan baku tebu (Saccrum officinarum). Sementara itu masih ada sumber bahan baku lain yang dapat digunakan untuk pembuatan gula yaitu air nira yang diperoleh dari pohon aren (Arenga pinnata). Sebagai bahan baku pembuatan gula pohon aren memiliki keunggulan produk, ekonomi dan kesejahteraan petani. Pohon aren dapat menghasilkan air nira sebagai bahan baku gula dengan potensi 1.500 liter / hari dari populasi 200 batang pohon aren / Ha. Air nira tersebut dapat diproduksi menjadi gula kristal layaknya gula tebu sampai 50-100 ton/Ha/tahun. Jumlah ini sangat jauh dari kemampuan produksi gula dari bahan baku tebu yang hanya 5 – 7 ton/Ha/tahun. Keunggulan lain dari pohon aren adalah bisa ditanam pada lahan marginal berupa lahan kering berbukit-bukit yang selama ini kurang produktif dan tergolong lahan marginal. Sedangkan tanaman tebu selalu bersaing dengan lahan-lahan sawah produktif dan lahan untuk pangan lainnya karena tanaman tebu menginginkan
lahan datar yang tidak memiliki faktor pembatas atau lahan kelas S1 (Kusumanto, 2016). Industri gula aren di Kabupaten Aceh Barat Provinsi Aceh sudah dilakukan oleh masyarakat sejak lama. Pada umumnya usaha ini merupakan usaha rumah tangga yang dikerjakan turun temurun oleh anggota keluarga. Sebagaimana industri rumah tangga pada umumnya, usaha ini masih memiliki skala produksi yang rendah dengan tingkat kualitas produk yang masih beragam. Kondisi lainnya adalah perekonomian pengrajin gula aren yang kelihatan masih belum baik, namun usaha terus dilaksanakan setiap harinya untuk penambahan biaya hidup keluarga. Terkait dengan perlunya campur tangan Pemerintah Kabupaten Aceh Barat dalam pengembangan industri gula aren ke depan, informasi profitabilitas dan nilai tambah usaha gula aren menjadi penting bagi pengrajin gula aren dan pemerintah daerah. Dengan demikian perlu penelitian analisa profitabilitas dan nilai tambah industri gula aren di Kabupaten Aceh Barat. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan maka dapat dirumuskan masalah pada penelitian ini yaitu bagaimana profitabilitas dan nilai tambah industri gula aren di Kabupaten Aceh Barat. Tujuan Penelitian Untuk mengetahui profitabilitas dan nilai tambah industri gula aren sebagai dasar pengembangan industri gula aren di Kabupaten Aceh Barat.
13
METODA PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di desa Gempa Raya Kecamatan Woyla Kabupaten Aceh Barat pada bulan Januari sampai dengan April 2016. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja karena daerah ini merupakan sentra produksi gula aren di Kabupaten Aceh Barat. Populasi dan Sampel Populasi penelitian adalah seluruh pengrajin gula aren di desa Gempa Raya Kecamatan Woyla Kabupaten Aceh Barat yang berjumlah 17 pengrajin, sedangkan sampel diambil secara jenuh yaitu seluruh populasi dijadikan sebagai sampel atau responden penelitian. Metoda Pengumpulan Data Metoda pengambilan data yang digunakan adalah metoda survey dengan jenis data primer dan data sekunder. Data primer yang diambil meliputi keadaan pengrajin gula aren yaitu umur, pendidikan, tanggungan keluarga dan pengalaman menjadi pengrajin gula aren. Selain itu untuk data primer juga dikumpulkan data produksi, keuangan, alat dan peralatan, tenaga kerja, penjualan dan data lain yang berhubungan dengan usaha gula aren. Data sekunder diambil meliputi data pendukung yang berasal dari BPS Kabupaten Aceh Barat, data pokok desa dan dari literatur yang berhubungan dengan penelitian. Tehnik Pengumpulan Data. Tehnik pengumpulan data dilakukan secara observasi dan wawancara untuk mendapatkan data secara objektif dan langsung pada pengrajin gula aren. Wawancara yang dilakukan dalam pengumpulan data yaitu dengan tanya jawab pada responden dan menggunakan quistioner penelitian. Metoda Analisa Data Data yang diperoleh pada penelitian ditabulasi dan dianalisa dengan menghitung total biaya, penerimaan, keuntungan, profitabilitas dan nilai tambah terhadap produk. Selanjutnya hasil analisa dibandingkan dan dihubungkan dengan teori dan data penelitian lain yang berhubungan. Total Biaya Untuk mengetahui total biaya produksi dilakukan dengan penjumlahan antara biaya tetap dan biaya variabel, secara matematis total biaya dirumuskan Soekartiwi (2003) sebagai berikut : TC = TFC + TVC Dimana : TC = Total Biaya ( Rupiah) TFC = Total Biaya Tetap (Rupiah) TVC = Total Biaya Variabel (Rupiah)
14
(1)
Penerimaan Penerimaan adalah hasil kali antara total produksi dengan harga per satuan produk, secara matematis penerimaan dirumuskan Soekartiwi (2003) sebagai berikut: TR = P × Q
(2)
Dimana : TR = Total Penerimaan (Rupiah) P = Harga produk (Rupiah) Q = Jumlah Produksi (Bungkus) Keuntungan Menurut Mulyadi (2013) keuntungan bersih adalah seluruh pendapatan yang diperoleh dalam satu periode produksi dikurangi dengan biaya produksi, keuntungan dapat dirumuskan sebagai berikut. = TR – TC
(3)
Dimana : = Pendapatan/Keuntungan TR = Total Revenue TC = Total Cost Profitabilitas Menurut Fahmi (2014) profitabilitas digunakan untuk mengukur efektivitas manajemen secara keseluruhan untuk menghasilkan laba, semakin besar rasio profitabilitas maka menggambarkan semakin baik kemampuan perusahaan memperoleh keuntungan. Menghitung profitabilitas usaha dapat dilakukan dengan rumus ROE (Return of Equity) dan ROA (Return of Assets). ROE (Return of Equity) yaitu rasio yang mengukur sejauh mana usaha mendapatkan laba bersih setelah pajak dengan mengelola modal yang diinvestasikan, dihitung dengan rumus :
ROE =
Laba Bersih Setelah Pajak Total Ekuitas
(4)
ROA (Return of Assets) yaitu rasio yang mengukur sejauh mana usaha mendapatkan laba bersih setelah pajak dengan mengelola aktiva yang dimiliki, dihitung dengan rumus :
ROA =
Laba Bersih Setelah Pajak Total Aktiva
(5)
Nilai Tambah Dalam menganalisis nilai tambah air nira untuk diproduksi menjadi gula aren digunakan Metode Hayami. Menurut Tarigan (2004) dan Rahmawati (2009) nilai tambah suatu usaha diperoleh dari nilai produk akhir dikurangi biaya antara atau intermediate cost yang terdiri dari biaya bahan baku dan bahan penolong dalam melakukan proses produksi. Besarnya nilai tambah ini tidak seluruhnya menyatakan keuntungan yang diperoleh oleh perusahaan, karena masih mengandung imbalan terhadap pemilik faktor produksi lain dalam proses pengolahan yaitu sumbangan input lain. Besarnya nilai output produk dipengaruhi oleh besarnya bahan baku, sumbangan input
lain dan keuntungan. Sehingga nilai tambah dapat dihitung dengan ( Nilai tambah = Nilai Output – Sumbangan Input Lain – Bahan Baku) HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Daerah Penelitian Penelitian ini dilakukan di Gampong Gempa Raya Kecamatan Woyla yang berjarak tempuh 35 Km dari Meulaboh ibu kota Kabupaten Aceh Barat. Daerah ini memiliki topografi ± 35 % berada pada daerah dataran rendah dan 65 % daerah dataran tinggi dengan ketinggian rata 10 – 45 meter di atas permukaan laut. Gampong Gempa Raya memiliki 2 dusun, yakni dusun Tengah dan Tunong. Adapun batas-batas wilayah Gampong sebagai berikut: - Sebelah Utara berbatas dengan Gampong Aron Tunong - Sebalah Selatan berbatas dengan Gampong Ranto Panyang - Sebalah Timur berbatas dengan Gampong Padang Jawa - Sebelah Barat berbatas dengan Gampong Pasi Pandan Berdasarkan monografi tahun 2016, Gampong Gempa Raya memiliki jumlah penduduk 376 jiwa yang terdiri dari laki – laki 181 jiwa dan Perempuan 195 jiwa dengan jumlah 101 KK. Umumnya masyarakat diwilayah tersebut berprofesi sebagai petani, pekebun dan pengrajin gula aren. Gampong Gempa Raya yang luasnya + 170 ha, penggunaan lahannya pada tahun 2016 terdistribusi sebagai pemukiman 50 ha (29,4 %), persawahan 30 ha (17,6 %), perkebunan 80 ha (47,1 %) dan ladang tegalan 10 ha (5,9 %). Usaha Pengolahan Gula Aren Di Gampong Gempa Raya Gampong Gempa Raya dikenal di Kabupaten Aceh Barat sebagai penghasil produk turunan pohon aren seperti gula aren, manisan aren, dan sapu ijuk. Namun yang lebih dikenal adalah gula arennya. Hal ini disebabkan banyaknya pohon aren yang tumbuh alami di wilayah
tersebut. Usaha gula aren sudah ditekuni masyarakat setempat secara turun temurun. Meskipun usaha tersebut belum sepenuhnya meningkatkan taraf hidup masyarakat dari segi pendapatan, namun sudah mampu memenuhi kebutuhan hidup sehari – hari. Usaha pembuatan gula aren umumnya dikelola oleh ibu – ibu rumah tangga sedangkan kepala keluarga hanya bertugas mengambil air nira dari pohonnya. Usaha pembuatan gula aren selain sebagai sumber penghasilan juga berperan dalam membantu menciptakan lapangan pekerjaan bagi kaum ibu rumah tangga. Hasil wawancara dengan Bapak Abu Yazid selaku Keuchik dan beberapa tokoh masyarakat Gampong Gempa Raya, yakni Bapak Mukhtaruddin (Mukim Kecamatan Kuala Bhee), Tgk. Jamin (Imam Chik Gampong), Bapak Salihin (Ketua Kelompok Tani), Ibu Saudah (Kelompok Wanita Tani), dan Bapak Mukhtar (Tuha Peut) yang bahwa, saat ini jumlah pengrajin gula aren menurun drastis bila dibandingkan 5 tahun yang lalu. Hal ini antara lain akibat kurangnya perhatian pemerintah daerah terhadap industri gula aren khususnya di Gampong Gempa Raya seperti tidak membantu peralatan, proses pemasaran, sehingga pemasaran hanya terjadi pada tingkat Kecamatan Woyla. Lahan aren yang selama ini menjadi pemasok bahan baku dalam pembuatan gula aren kini mulai beralih fungsi menjadi lahan kelapa sawit, karet dan komoditi perkebunan dan pertanian lainnya yang dianggap lebih menguntungkan. Karakteristik Responden Karakteristik responden adalah gambaran umum atau identitas responden, dengan menguraikan identitas responden akan lebih memudahkan dalam memahami responden dalam hubungannya dengan penelitian yang dilaklukan. Karakteritik responden pada penelitian ini secara umum dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Karakteristik Responden Umur (Thn)
Jumlah (Org)
< 35 3 35 – 40 7 41 – 45 2 46– 50 2 >50 3 Jumlah 17 Umur Rata – rata 40,94 Tahun Tingkat Pendidikan Jumlah (Org) SD SMP SMU S1 Jumlah Pendidikan Rata – rata SMP
8 8 1 0 17
Persentase 17,65 % 41,18 % 11,76 % 11,76 % 17,65 % 100,00 % Persentase 47,06 % 47,06 % 5,88 % 0,00 % 100,00 %
Tanggungan Jumlah (Org) Keluarga (Org) 3 2 4 4 5 8 6 2 7 1 Jumlah 17 Tanggungan Rata – rata 4,76 Orang Pengalaman Bekerja Jumlah (Org) (Thn) <=5 4 6 – 10 9 11 – 15 2 >15 2 Jumlah 17 Pengalaman Rata – rata 10,53 Tahun
Persentase 11,76 % 23,53 % 47,06 % 11,76 % 5,88 % 100,00 % Persentase 23,53 % 52,94 % 11,76 % 11,76 % 100,00 %
Sumber : Data Primer (2016 Diolah)
Data karakteritik responden menunjukkan bahwa 41,18 % pengrajin gula aren berumur 35 – 40 tahuan dengan umur rata – rata 40,94 tahun, ini menunjukkan bahwa pengrajin gula aren masih muda dan produktif
dalam bekerja. Beberapa peneliti menyatakan bahwa umur merupakan faktor penting dalam mempengaruhi aktivitas seseorang, dimana selain akan mempengaruhi produktivitas
15
umur juga akan mempengaruhi seseorang dalam penyerapan tekhnologi ( Sukiyono at.al, 2012 ). Secara umum pengrajin gula aren memiliki tanggungan keluarga 5 orang dengan jumlah pengrajin sebanyak 8 orang atau 47,06 % dan rata – rata tanggungan 4,76 orang. Menurut Siagian (2008) jumlah tanggungan adalah jumlah anggota keluarga yang menjadi tanggungan seseorang atau suatu rumah tangga. Semakin banyak tanggungan keluarga maka pendapatan keluarga harus semakin besar sehingga memaksa tenaga kerja atau kepala keluarga untuk meningkatkan produktivitasnya dengan bekerja lebih giat (Wirosuharjo, 2004). Data tingkat pendidikan pengrajin gula aren menunjukkan bahwa secara umum pengrajin gula aren memiliki tingkat pendidikan SD dan SMP yang berjumlah 16 orang atau 94,12 %, tingkat ini dapat dikatakan rendah. Menurut Simanjuntak (2005) tingkat pendidikan seseorang akan berpengaruh terhadap capaian produksinya karena orang yang memiliki pengetahuan yang lebih tinggi akan memiliki kemampuan untuk meningkatkan kinerjanya. Akan tetapi pada penelitian ini kegiatan pengrajin gula aren menggunakan tekhnologi yang sangat sederhana dan lebih mengandalkan ketrampilan dari pada pengetahuan, sehingga tingkat pendidikan tinggi tidak dibutuhkan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata – rata pengalaman kerja pengrajin gula aren adalah 10,53 tahun dengan pengalaman terlama lebih dari 15 tahun ada 2 orang. Data ini menunjukkan bahwa pengrajin termasuk berpengalaman dalam memproduksi gula aren. Pada dasarnya masa bekerja identik dengan pengalaman kerja atau lamanya seseorang bekerja, besar kecilnya pengalaman kerja dapat mempengaruhi seseorang dalam mengelola dan melaksanakan tugas kerjanya (Itafia, at.al, 2014). Semakin lama masa kerja atau pengalaman kerjanya seseorang akan semakin mahir dalam melakukan pekerjaannya (Rivai, 2004). Analisis Biaya dan Pendapatan Gula Aren Biaya produksi merupakan keseluruhan biaya yang digunakan untuk membiayai keseluruhan proses usaha tersebut. Biaya produksi untuk mengolah gula aren terdiri dari biaya variabel (Variable Cost) dan biaya tetap (Fixed Cost). Penerimaan merupakan perkalian antara total produk yang terjual dengan harga persatuan produk. Penerimaan usaha pembuatan gula aren diperoleh dari hasil penjualan gula aren. Keuntungan yang diperoleh dari usaha pembuatan gula aren merupakan selisih antara penerimaan dengan biaya total. Besarnya biaya, penerimaan dan keuntungan usaha gula aren per harinya dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Rata – Rata Biaya dan Pendapatan Usaha Gula Aren Per Hari No
Uraian
Volume
Harga (Rp/Satuan)
I 1 2 3 4
16
Biaya Variabel Air Nira Kelapa Kayu Bakar Kemasan / Daun Pisang
48,24 ltr 4,82 butir 1,59 ikat 1,18 ikat
1.500 1.500 7.000 2.000
Jumlah (Rp) 72.353 7.235 11.118 2.353
II 1 3
Biaya Tetap Tenaga Kerja Penyusutan Alat
III 1
Penerimaan Gula Aren
IV. Keuntungan / Laba
Jumlah Biaya Variabel
93.059
1 Hari 18.529 1 Hari 2.000 Jumlah Biaya Tetap Total Biaya
18.529 2.000 20.529 113.588
21,94 Bungkus
9.000
197.471 83.882
Sumber : Data Primer (2016)
Biaya Biaya total adalah semua biaya yang digunakan dalam usaha pembuatan gula aren meliputi biaya variabel dan biaya tetap. Adapun total biaya usaha pembuatan gula aren setiap harinya dapat dilihat pada Tabel 2. Besarnya biaya yang dikeluarkan setiap hari untuk pembuatan gula aren adalah Rp. 113.588,- yang terdiri dari biaya variabel Rp. 93.059,- dan biaya tetap Rp. 20.529,-. Biaya variabel adalah biaya yang besar kecilnya sangat tergantung kepada skala produksi. Berdasarkan hasil observasi dilapangan, biaya variabel dalam usaha pembuatan gula aren meliputi air nira, kelapa, kayu bakar dan kemasan. Adapun tujuan penggunaan kelapa untuk membantu pengentalan gula aren agar tidak meluap air nira tidak cepat berubah menjadi asam atau yang sering disebut tuak. Rata–rata biaya variabel yang dikeluarkan setiap hari dalam pembuatan gula aren adalah Rp 93.059,. Biaya ini didominasi oleh biaya bahan baku utama yaitu air nira yang jumlahnya Rp. 72.353,-. Biaya tetap adalah biaya yang besar kecilnya tidak tergantung kepada skala produksi. Berdasarkan hasil observasi dilapangan, biaya tetap dalam usaha pembuatan gula aren meliputi biaya penyusutan alat dan biaya tenaga kerja. Biaya penyusutan diambil dari penyusutan alat pengolahan gula aren berupa cetakan gula, wajan, drum tungku, penampung nira, pengaduk dan pisau. Besaran biaya peralatan secara keseluruhan adalah Rp 1.041.912,-, sedangkan biaya penyusutan peralatan menurut umur masa pakai adalah sebesar Rp 720.000,- per tahun sehingga penyusutan per bulan adalah Rp. 60.000,- dan per harinya adalah Rp. 2000,-. Adapun nilai sisa peralatan saat ini adalah Rp. 321.912,-. Untuk biaya tenaga kerja, usaha pembuatan gula aren dikerjakan oleh anggota keluarga yang umumnya kaum ibu – ibu. Meskipun anggota keluarga, namun biaya tenaga kerja tetap dihitung, rata – rata biaya tenaga kerja yang harus dibayar setiap harinya adalah Rp 18.529,-. Pendapatan yang diperoleh ibu – ibu tidak hanya dari biaya tenaga kerja tetapi juga keuntungan usaha sehingga jika dijumlahkan menjadi Rp. 102.411,- per hari. Nilai ini tentunya membantu pendapatan keluarga, sebagaimana penelitian yang dilakukan Luhukay (2010) dikecamatan Saparua Maluku Tengah dimana pendapatan usaha gula aren yang dilakukan ibu rumah tangga berkontribusi 80,02 % terhadap pendapatan keluarga. Keuntungan Keuntungan yang diperoleh dari usaha pembuatan gula aren di Gampong Gempa Raya merupakan selisih antara penerimaan dengan biaya total. Rata-rata jumlah produksi gula aren yang dihasilkan oleh pelaku industri
rumah tangga di Gampong Gempa Raya Kecamatan Woyla setiap harinya adalah 21,94 bungkus dengan rata - rata harga jual Rp 9.000,- / bungkus maka penerimaan yang diperoleh responden setiap harinya adalah Rp 197.471. Harga Rp. 9000,- / bungkus merupakan harga yang ditawarkan kepada pedagang pengecer dan konsumen pemakai yang membeli langsung kepada produsen. Dari penerimaan yang diperoleh setelah potong biaya Rp. 113.588,- maka usaha gula aren memperoleh rata – rata keuntungan setiap harinya sebesar Rp 83.882,-. Jika nilai ini dikonversikan per bulan dengan rata – rata hari kerja 25 hari maka akan diperoleh keuntungan Rp.2.097.050,- per bulan atau Rp. 127.246,- per hari. Dibandingkan dengan daerah lain nilai ini masih rendah, dimana penelitian yang dilakukan Sukiyono (2012) bahwa penerimaan pengrajin gula aren di kabupaten Rejang Lebong Provinsi Bengkulu untuk satu hari atau sekali produksi Rp. 137.928,47,- atau Rp. 3.448.112,- per bulan. Penelitian yang dilakukan Wa Ode dan Kurniansi (2015) penerimaan pengrajin gula aren di Kabupaten Kolaka Provinsi Sulawesi Tenggara Rp. 3.181.150,- per bulan. Jika hitung dari nilai penerimaan Rp. 197.471,per hari atau keuntungan sebesar Rp 83.882,- per hari dengan pembanding kebutuhan rumah tangga secara normal Rp. 350.000,- – Rp. 400.000,- per hari nilai ini termasuk rendah. Akan tetapi usaha ini pada umumnya merupakan kegiatan ibu – ibu rumah tangga sehingga nilai ini dapat dikatakan sudah cukup. Hal ini sebagaimana hasil wawancara dengan tokoh masyarakat Gempa Raya Bapak Abu Yazid selaku Keuchik, Bapak Mukhtaruddin selaku mukim Kuala Bhee, Tgk. Jamin selaku Imam Chik Gampong, Ibu Saudah selaku ketua Kelompok Wanita Tani dan dan Bapak Mukhtar selaku Tuha Peut yang secara umum menyatakan bahwa meskipun usaha gula aren belum sepenuhnya meningkatkan taraf hidup masyarakat dari segi pendapatan, namun sudah mampu memenuhi kebutuhan hidup sehari – hari dari sisi pendapatan rumah tangga. Profitabilitas Usaha Gula Aren Profitabilitas merupakan kemampuan industri di dalam menghasilkan laba. ROA (Retrun On Assets) merupakan angka yang menunjukkan berapa besar relatif laba bersih (setelah pajak) terhadap total aktiva. Sedangkan ROE (Return On Equity) merupakan rasio yang menunjukkan berapa persen tingkat efisiensi pengunaan ekuitas (modal). Dari rumusan tersebut maka untuk medapatkan nilai profitabilitas suatu usaha maka harus diperoleh nilai keuntungan dan neraca usaha. Tabel 3. berikut adalah rata–rata neraca keuangan usaha gula aren responden penelitian. Tabel 3. Neraca Keuangan Per Januari 2016. Aktiva Aktiva Lancar : Kas Rp Piutang Persediaan Total Aktiva Lancar Aktiva Tetap :
Rp Rp Rp
1.035.000 197.353 181.770 1.414.123
Pasiva Hutang Jangka Pendek : Hutang Rp 193.253 Dagang Hutang Rp 17.500 Total Hutang Modal :
Rp
210.753
Penyusutan
Rp
720.000
Peralatan Total Aktiva Tetap
Rp Rp
321.912 1.041.912
Total Aktiva
Rp
2.456.035
Modal /Ekuintas
Rp
2.245.282
Total Pasiva
Rp
2.456.035
Sumber : Data Primer (Diolah, 2016)
Berdasarkan Tabel 3, Neraca Keuangan maka dilakukan perhitungan profitabilitas dengan menggunakan rumus ROA dan ROE dalam pembuatan gula aren yakni sebagai berikut : 𝑅𝑂𝐴=
𝑅𝑝.83.882,− 𝑅𝑝.2.456.035,−
𝐿𝑎𝑏𝑎𝐵𝑒𝑟𝑠𝑖ℎ𝑆𝑒𝑡𝑙𝑎ℎ𝑃𝑎𝑎 𝑗𝑘 = 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐴𝑘𝑡𝑖𝑣𝑎
= 0,034
Berdasarkan hasil perhitungan ROA (Retrun On Assets) yakni laba bersih usaha pembuatan gula aren Rp 83.882,- / hari dibagi dengan total aktiva sebesar Rp 2.456.035,- maka diperoleh nilai ROA sebesar 0,034. Artinya setiap 1 rupiah nilai aktiva yang digunakan oleh responden dalam usaha pembuatan gula aren di Gampong Gempa Raya maka akan memperoleh laba sebesar Rp 0,034,- per hari. Jika nilai ROA ini dikonversikan per bulannya maka akan diperoleh 1,02 yang artinya setiap 1 rupiah aktiva yang digunakan oleh responden maka akan memperoleh laba sebesar Rp 1,02,- per bulan. 𝑅𝑂𝐸=
𝐿𝑎𝑏𝑎𝐵𝑒𝑟𝑠ℎ 𝑖𝑆𝑒𝑡𝑒𝑙𝑎ℎ𝑃𝑎𝑗𝑎𝑘 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐸𝑘𝑢𝑖𝑡𝑎𝑠
=
𝑅𝑝.83.882,− 𝑅𝑝.2.245.282,−
= 0,037
Berdasarkan hasil perhitungan ROE, yakni laba bersih usaha Rp 83.882,,- / hari dibagi dengan total ekuitas yaitu sebesar Rp 2.245.281,- maka diperoleh nilai ROE sebesar 0.037. Artinya setiap 1 rupiah modal atau ekuitas yang digunakan oleh responden dalam usaha pembuatan gula aren di Gampong Gempa Raya maka akan memperoleh laba sebesar Rp 0,037,- per hari. Jika nilai ROE ini dikonversikan per bulannya maka akan diperoleh 1,110 yang artinya setiap 1 rupiah ekuitas yang digunakan oleh responden maka akan memperoleh laba sebesar Rp 1,11,- per bulan. Nilai Tambah Pembuatan Gula Aren Analisis nilai tambah merupakan metode perkiraan sejauh mana bahan baku yang mendapat perlakuan mengalami perubahan nilai, sehingga menimbulkan nilai tambah yang dipengaruhi dalam proses pengolahan gula aren. Analisis nilai tambah dilakukan menggunakan metode Hayami. Adapun hasil analisis nilai tambah pengolahan gula aren dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Analisis Nilai Tambah Gula Aren Variabel I. Output, Input, dan Harga 1. Output yang dihasilkan (Bks/hari) 2. Bahan baku yang digunakan (Ltr/hari) 3. Tenaga Kerja (HK/hari) 4. Faktor Konversi (1/2) 5. Koefisien Tenaga Kerja (3/2)
Nilai 21,94 48,24 0,34 0,45 0,01
17
6. 7. II. 8. 9. 10. 11.
Harga Output (Rp/Bks) Upah rata-rata tenaga kerja (Rp/HK) Penerimaan dan Keuntungan Harga Bahan Baku (Rp/Ltr) Sumbangan Input Lain (Rp/Bks) Nilai Output (4 x 6) (Rp/Bks) a. Nilai Tambah (10 – 9 - 8) (Rp/Bks) b. Rasio Nila Tambah (11a/10) x 100 % 12. a. Pendapatan Tenaga Kerja (5 x 7) (Rp/HK) b. Bagian Tenaga Kerja (12a/11a) x 100 % 13. a. Keuntungan (11a – 12a) (Rp/Bks) b. Tingkat Keuntungan (13a / 11a ) x 100 % 14. Margin (10 - 8) (Rp/Bks) a.Pendapatan T. Kerja (12a/14) x 100 % b.Sumbangan input lain (9/14) x 100 % c.Keuntungan perajin gula aren (13a/14) x 100 % Sumber : Data Primer (Diolah, 2016)
9.000,00 55.000,00 1.500,00 424,67 4.093,00 2.168,62 52,98 % 387,65 17.88 % 1.780,97 82,12 % 2.593,28 14,95 % 16,38 % 68,68 %
Berdasarkan Tabel 4 terlihat bahwa jumlah gula aren yang dihasilkan per hari adalah 21,94 bungkus. Bahan baku utama yang masuk dalam perhitungan nilai tambah adalah air nira, dimana setiap hari pengolahan gula aren digunakan 48,24 liter air nira. Perbandingan antara jumlah gula aren dengan jumlah bahan baku dalam satu hari menghasilkan faktor konversi sebesar 0,45 yang menandakan bahwa setiap satu liter air nira yang diolah menghasilkan 0,45 bungkus gula aren. Harga bahan baku utama berupa air nira adalah Rp 1.500 per liter, sedangkan untuk sumbangan input lainnya adalah Rp 424,67,- per bungkus output atau gula aren. Nilai output gula aren yang diperoleh dari perkalian antara faktor konversi dengan harga output adalah sebesar Rp 4.093,- per bungkus menandakan bahwa nilai gula aren yang dihasilkan dari tiap liter air nira adalah sebesar Rp 4.093,-. Nilai tambah yang diperoleh dari pengolahan air nira menjadi gula aren adalah sebesar Rp 2.168,62,- per bungkus. Rasio nilai tambah terhadap nilai output yang sebesar 52,98 %, ini menunjukkan bahwa setiap Rp 100,nilai output gula aren, akan diperoleh nilai tambah sebesar Rp 52,98,-. Marjin yang diperoleh dari selisih antara nilai produk dengan harga bahan baku per liter tiap air nira menjadi gula aren diperoleh marjin sebesar Rp 2.593,28,perbungkus yang didistribusikan untuk masing-masing faktor tenaga kerja sebesar 14,95 %, sumbangan input lain 16,38 % dan keuntungan pengrajin gula aren 68,68 %. Hasil analisis tenaga kerja memperlihatkan dalam satu hari tenaga kerja pembuatan gula aren bekerja selama 0,34 HK, yang jika dikonversikan maka diperoleh hasil perhitungan koefisien tenaga kerja sebesar 0,01. Koefisisen tenaga kerja sebesar 0,01 ini berarti waktu yang dibutuhkan tenaga kerja untuk mengolah tiap satu liter air nira agar menjadi gula aren adalah 0,01 HK. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap usaha gula aren di Gampong Gempa Raya Kecamatan Woyla Kabupaten Aceh Barat maka dapat disimpulkan : 1. Usaha pengolahan gula aren memiliki nilai profitabilitas ROA (Retrun On Assets) dan ROE (Return On Equiti) yang baik karena nilai ROA sebesar
18
0,034 dan ROE 0,037 artinya setiap Rp 1,- aktiva yang digunakan akan memberikan keuntungan sebesar Rp. 0,034,- per hari atau Rp. 1,02,- per bulan, setiap Rp. 1,modal yang gunakan akan menghasilkan keuntungan Rp. 0,037,- per hari atau Rp. 1,11,- per bulan. 2. Analisis nilai tambah yang dilakukan menunjukkan bahwa usaha pengolahan gula aren memberikan nilai tambahn Rp. 2.168,62,- per bungkus dengan rasio 52,98 %, dari margin yang diperoleh Rp. 2.593,28,- per bungkus yang terdistribusi dari tenaga kerja 14,95 %, dari input lain 16,38 % dan dari keuntungan pengrajin gula aren 68,68 %. Saran 1. Oleh karena usaha gula aren jika dilihat dari sisi profitabilitas dan nilai tambah usaha termasuk baik, maka perlunya peran Pemerintah Kabupaten Aceh Barat dalam membantu pengembangan industri rumah tangga gula aren sebagai sebagai upaya peningkatan pendapatan masyarakat pengrajin gula aren dan perekonomian masyarakat serta perekonomian daerah secara umum. 2. Dalam menyediakan bahan baku air nira untuk industri gula aren dalam jangka panjang perlu peran pemerintah Kabupaten Aceh Barat memprogramkan budidaya tanaman aren terutama pada areal-areal hutan rakyat yang dikhusus untuk budidaya tanaman hutan. DAFTAR PUSTAKA [1] Anindiam, Dewi Ema, Kebutuhan Gula Tubuh 5% Gula Dari Kalori per Hari, Medis klikdokter.com,https: //www.klikdokter.com /healthnewstopics /health-topics/ kebutuhan-gulatubuh-5-gula-dari-kalori-per-hari (Diakses September 2016), 2016. [2] Anonymous, Kemendag: Impor Bukan Karena Gula Kurang, AgroIndonesia.co.id. http://agroindonesia.co.id /index.php /2016/05/31/ kemendag-impor-bukan-karena-gula-kurang ( Diakses Oktober 2016), 2016. [3] Fahmi, I, Manajemen Keuangan Perusahaan dan Pasar Modal, Mitra Wacana Media, Jakarta, 2014. [4] Hayami Y, Agricultural Marketing and Processing in Upland Java, a Perspective From Sunda Village. CGPRT Center: Bogor, 1990. [5] Itafia, Y., Cipta, W., dan Yuditatmaja, Pengaruh Pengalaman Kerja dan Kepuasan Kerja Terhadap Produktivias Kerja karyawan, e-Jurnal Universitsa Pendidikan Ganesa, Jurusan Manajemen Vo. 2 Tahun 2014, 2014. [6] Kusumanto, D, Analisis Peluang Pengembangan Industri Gula Aren Dalam Mendukung Swasembada Gula Nasional, Jurnal Pertanian Tropik, No. 2 Agustus 2016 (15):150-170 ISSN Online No. 23564725 Vol 3, 2016. [7] Luhukay, J.M, Profil Wanita Pembuat Gula Aren Sebagai Penafkah Dalam Rumah Tangga, Jurnal Agroforestry, Vol V, Nomor 3 September 2010, 2010.
[8] Mulyadi, Sistem Akuntansi. Salemba Empat, Jakarta, 2013. [9] Rahmawati, Emi. Kajian Nilai Tambah Produk Agribisnis. Fakultas Pertanian UNLAM: Banjar Baru, 2009. [10] Siagian, S.P, Manajemen Sumber Daya Manusia, Bumi Aksara, Jakarta, 2008. [11] Simanjuntak, P.J, Manajemen dan Evaluasi Kinerja, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI, Jakarta, 2005. [12] Sukiyono, K., Nusril, Sumantri, B. dan Silvia, E., Analisa Efesiensi, Titik Impas, dan Resiko Usaha Kecil Gula aren di Kabupaten Rejang Lebong, Seminar Nasional dan Rapat Tahunan Bidang Ilmu-
[13] [14] [15]
[16]
ilmu Pertanian BKS-PTN Wilayah Barat, Fakultas Pertanian USU, Medan, 2002. Soekartiwi, Teori Ekonomi Produksi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003. Tarigan, R. Ekonomi Regional. Jakarta: Bumi Angkasa, 204. Wa Ode, Yusria dan Kurnianti, Analisis Biaya Pendapatan Pengolahan Gula Aren di Desa Tolowe Ponre Waru Kecamatan Wolo Kabupat Kolaka, Jurusan Agribisnis Universitas Holuoleo, Kendari, 2015. Wirosuhardjo, K, Dasar dasar Demografi. Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, 2004..
19
20
PENGELOLAAN LAHAN BERKELANJUTAN MELALUI PENDEKATAN LAND RENT Cungki Kusdarjito1), Any Suryantini2) 1)
Universitas Janabadra, Yogyakarta, Indonesia E-mail:
[email protected]
2)
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia E-mail:
[email protected]
Abstract. Basically, there are two classical approaches to determine the value of land rent, i.e. Ricardian Rent and Locational Rent. Ricardian Rent approach based on the fertility of land, which can be expressed in terms of land capability and suitability. If commodity prices increase, the marginal land become profitable for farmer which is previously too costly to be cultivated. Locational rent is calculated based on the distance and transport cost. Transport cost will suppress the selling price of agricultural commodities if the distance production center from the market increases. Not only the price will be suppressed, but also the number of the workforce must be reduced so that it can continue to operate, and if the distance increases substantially then the labor wage rate should be decreased. Based on the approach of locational rent, land with higher value of land rent would displacing land uses with lower value of land rent. The interest rate and tax will also affect the land use. Related to this, land rent would affect land use patterns as well as the level of conservation and conversion of agricultural land. Neglecting land rent may cause the application of zoning regulations will be ineffective. Keywords: Land Rent; Ricardian Rent; Locational Rent
I. PENDAHULUAN Konversi lahan merupakan sesuatu yang tak dapat dihindarkan tetapi bukan berarti tidak dapat diarahkan perkembangannya. Apabila mekanisme pasar dibiarkan berlangsung, konversi lahan terjadi antara kegiatan yang menghasilkan land rent yang lebih tinggi menggantikan kegiatan dengan land rent yang lebih rendah. Konversi ini dapat menguntungkan secara ekonomi tetapi apabila tidak dikendalikan akan dapat merugikan, seperti misalnya penggunaan yang saling tidak bersesuaian dapat terjadi dan dapat mengakibatkan externalitas negatif bagi penduduk di sekitarnya. Selain itu, konversi lahan yang tidak terkendali dapat mengurangi ruang terbuka dan jalur hijau (green belt). Konversi lahan yang tidak terkendali juga dapat menimpa lahan-lahan pertanian yang subur dan berpengairan teknis. Apabila hal ini dibiarkan terjadi, biaya yang telah dikeluarkan untuk membangun sarana irigasi untuk pertanian menjadi siasia serta dapat mengganggu produksi pertanian dan ketersediaan pangan.
Rp
MC AC L
P
LAND RENT M
R
N
S Output
Gambar 1 Konsep land rent[1]
Pada Gambar 1 dapat diilihat bahwa nilai produk total yang dihasilkan sebesar segi empat besar LNSP, sedangkan biaya total dari input variabel sebesat MNRS. Surplus yang tersisa adalah sebesar LMRP dan surplus sebesar LMRP inilah yang disebut sebagai land rent. B. Ricardian Rent
II. KONSEP LAND-RENT A. Land Rent Land rent didefinisikan sebagai surplus keuntungan dari faktor produksi lahan yang merupakan sisa dari nilai total produk (total value product) setelah dillakukan pembayaran terhadap biaya input total [1]. Gambar 1 menyajikan pengertian land rent.
Teori yang dikemukakan oleh Ricardo berdasarkan pada kualitas lahan atau kesuburannya. Teori ini berdasarkan pemikiran bahwa manusia dalam memilih lokasi lahan pertanian (dan pemukiman) didasarkan pada kualitas lahan atau kesuburan tanahnya. Pengertian land rent pada konsep yang dikemukakan oleh David Ricardo sering pula disebut sebagai Ricardian Rent. Asumsi yang dipergunakan dalam pengembangan konsep Ricardian Rent adalah lahan ada dalam jumlah tidak terbatas dengan kualitas lahan yang berbeda. Lahan dengan kualitas
21
tinggi (dalam hal ini tingkat kesuburannya) ada dalam jumlah yang terbatas [2]. Pada awalnya manusia bertempat tinggal dan bercocok tanam di daerah yang subur. Dengan berkembangnya waktu, jumlah penduduk semakin bertambah sehingga lahan yang kurang subur mulai dimanfaatkan. Ketika lahan yang kurang subur mulai dimanfaatkan, pemilik lahan yang lebih subur akan memperoleh surplus. Agar lahan yang kurang subur dapat mulai dimanfaatkan maka diperlukan adanya kenaikan harga hasil produksi sehingga biaya produksi pada lahan yang kurang subur dapat tertutupi [1]. Ilustrasi mengenai Ricardian Rent disajikan pada Gambar 2. Rp
Rp
Rp MC AC
MC AC
MC AC land rent
land rent
Output
Output
Output
Gambar 2 Ricardian rent [1]
A. Nilai Lahan Untuk menentukan nilai suatu lahan didasarkan pada aliran nilai sekarang (present value) nilai land rent di masa mendatang
Pht
p
t1 (1
h
(1)
r)
dimana adp ahlah nilai land rent pada periode . B. Ricardian Rent Untuk membahas Ricardian Rent, diasumsikan bahwa kesuburan tanah dinotasikan sebagai F, dimana 0 < F < . Semakin besar nilai F maka akan semakin subur suatu lahan. Selanjutnya zi menunjukkan jenis tanaman i yang ditanam dengan fungsi produksi yang didefinisikan sebagai berikut: zi = ai(L, h, F) (2) L adalah tenaga kerja, h adalah (luas) lahan, dan ai adalah suatu konstanta yang menujukkan nilai proporsi tanaman z i. Output per satuan luas lahan ditentukan dengan z i = zi/h sehingga diperoleh fungsi produksi sebagai berikut:
C. Locational Rent Asumsi yang dipergunakan oleh von Thunen dalam menyusun teorinya adalah: Pertama, kualitas lahan di sekitar kota adalah homegen. Kedua, kota tersebut terisolir dari kota lainnya. Ketiga, sistem pengangkutan dari wilayah penyangga (hinterland) ke kota diasumsikan bersifat homogen dan biaya pengangkutan berbanding lurus dengan jarak[2],[3]. Apabila biaya berbanding lurus dengan jumlah produk yang dijual, maka biaya transport dapat dianggap sebagai faktor yang menekan harga jual komoditi pertanian. Akibatnya, wilayah yang jauh dari pusat kota agar dapat bersaing dengan wilayah yang relatif lebih dekat dengan pusat kota harus mempunyai harga jual komoditi pertanian yang lebih rendah [1]. Ilustrasi mengenai locational rent disajikan pada Gambar 3. Pada Gambar 3, lahan di lokasi 1 terletak lebih dekat dengan pusat kota sehingga mempunyai biaya transportasi yang lebih rendah dan mempunyai surplus yang paling besar dibandingkan dengan dua lokasi lainnya. Lokasi III mempunyai tingkat harga hasil produksi yang paling rendah karena adanya biaya transpor yang besar. Rp
Rp
Rp
MC AC
MC AC
MC
land rent land rent land rent
Output
Output
Output
zi = ai(L, F)
(3)
dimana L = L/h. Produktivitas marjinal L dan F adalah bernilai positif dan menurun (increasing at decreasing rate/diminishing). Apabila pzi adalah harga output dan w adalah upah tenaga kerja, keuntungan (profit) per satuan luas lahan dapat dinyatakan sebagai: = pzi ai(L, F) – wL – ph(F)
(4)
dalam keseimbangan pasar persaingan sempurna, nilai akan mengarah ke nol (0) sehingga 0 = pzi ai(L, F) – wL – ph(F)
(5)
Nilai ph(F) bisa bernilai positif (nilai minimumnya adalah = 0) sehingga ph(F) = pziai(L, F) – wL
(6)
Pada nilai pzi, w dan tingkat teknologi tertentu akan terdapat suatu nilai ph(F) minimum yaitu pada saat ph(Fmin) = 0. Kondisi ini terjadi apabila pz iai(L, Fmin) = wL. Setiap lahan dengan nilai kesuburan lebih kecil dari Fmin tidak akan diusahakan. Meskipun demikian, apabila terdapat kenaikan harga komoditi pzi (ceteris paribus) maka akan diperoleh nilai F’min < Fmin dan akan tercipta kesetimbangan baru Akibatnya, lahan-lahan yang lebih marjinal akan diusahakan.
Gambar 3 Locational rent [1]
III. PENDEKATAN KUANTITATIF Pendekatan kuantitatif mengacu pada model yang dikembangkan [2] dengan pengembangan lebih lanjut oleh penulis.
22
C. Locational Rent Pada model von Thunen diasumsikan bahwa jarak dan tingkat kesuburan lahan tidak berpengaruh terhadap produksi.
Selain itu, tingkat kesuburan lahan diasumsikan seragam/homogen). Fungsi produksi per satuan luas lahan pada model von Thunen dapat dinyatakan sebagai: zi = ai(L)
(7)
Meskipun demikian, jarak akan berpengaruh secara langsung terhadap keuntungan (profit) , sehingga: h i = (pz i– sz D)a i(L) – wL – p (D) i
(8)
s adalah biaya transport (ton-km). ph(D) menunjukkan land rent yang berkaitan dengan jarak. Pada pasar persaingan sempurna, kesetimbangan akan dicapai pada saat i = 0, sehingga diperoleh 0 = (pzi – sziD)ai(L) – wL – p h(D)
(9)
p (D) = (pz – sz D)ai(L) – wL
(10)
h
i
= (pz – sz D)ai (L) L
(14)
dimana Dmax adalah jarak maksimum lahan yang diusahakan. Lahan dengan jarak lebih besar dari D max tidak akan diusahakan, kecuali dengan adanya peningkatan harga p zi. Dengan bertambahnya jarak, nilai land rent akan berkurang, penggunaan tenaga kerja dan upah tenmaga kerja juga akan berkurang. Pada saat jarak = D max, maka nilai land rent, penggunaan tenaga kerja dan tingkat produksi sama dengan nol. D. Penggunaan Lahan Ditinjau dari Pendekatan von-Thunen Optimasi penggunaan tenaga kerja per satuan ditentukan oleh: (pz1 – sz1 D)a 1 (L1) = w = (pz2 – sz2 D) a2 L1
(L2) L 2
L
(15)
i
–w=0
(11)
L
diasumsikan bahwa output diukur dalam satuan berat, biaya transpor untuk kedua komoditi a i sama (sz1 = sz2) dan nilai a1 > a2 Untuk nilai L (tenaga kerja per satuan luas lahan) tertentu, pada saat D (jarak) = 0, (pz1 – sz1D)a1 > (pz2 – sz2D)a2
dimana ai (L)
luas
i
Optimasi penggunaan tenaga kerja per satuan luas ditentukan dengan
i
Dmax = pzi/szi
(16)
adalah produktivitas marjinal (marginal
physical product atau MPP) tenaga kerja. Nilai
a i (L)
L
diasumsikan menaik dengan tingkat kenaikan yang semakin menurun (increasing at decreasing rate; yaitu state II). Jika jarak D meningkat, maka biaya tranportasi s ziD juga akan meningkat, akibatnya nilai p zi – sziD akan menurun. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa s ziD adalah faktor penekan bagi harga output (yaitu p zi). Karena nilai (pzi – sziD) menurun, maka nilai a i (L) harus L
komoditi z1 akan diusahakan pada saat D = 0. Jika jarak D bertambah besar, nilai (pz1 – sz1D)a1 akan menurun lebih cepat dibandingkan dengan (pz2 – sz2D)a2. Jika nilai D cukup besar, terdapat suatu keadaan dimana nilai (p z1 – sz1D)a1 < (pz2 – sz2D)a2, dan z2 akan diproduksi. Sebagai kesimpulan, komoditas dengan biaya transpor lebih besar (misalnya karena lebih berat) akan diusahakan secara monokultur pada jarak 0 < D D1 dan komoditas dengan bobot lebih ringan (biaya transport lebih kecil) akan diusahakan pada pada daerah D1 D Dmax.
meningkat agar E. Kapasitas Penggunaan Lahan = (pz – sz D)ai (L) – w = 0 i i L L
(12)
dimana nilai ai adalah konstan. Meningkatnya nilai a i (L) L pada daerah II berarti menurunnya pengunaan tenaga kerja dan tingkat produksi. Apabila penurunan penggunaan tenaga kerja masuk pada daerah I (state I) maka nilai a i (L) akan menurun L
demikian pula dengan tingkat produksi. Pada daerah I agar nilai = 0, maka nilai w harus menurun dengan L
bertambahnya jarak. Penggunaan tenaga kerja akan terus berkurang dengan bertambahnya jarak, dan mencapai nol pada saat: pzi – sziDmax = 0
(13)
Perluasan dari konsep land rent yang dikemukakan oleh Ricardo dan Von Thunen adalah dengan mempergunakan pendekatan kapasitas penggunaan lahan (land use capacity). Kapasitas penggunaan ini merupakan pengaruh kumulatif dari berbagai faktor, seperti kesuburan tanah dan lokasi lahan yang mencerminkan aksesibilitas ke perkotaan. Daerah dengan kapasitas penggunaan yang lebih besar pada umumnya mempunyai nilai land rent yang lebih tinggi karena mempunyai potensi produksi yang lebih baik. Apabila diasumsikan terdapat suatu bentang lahan yang mempunyai kapasitas penggunaan yang menurun secara kontinyu, dengan daerah yang mempunyai kapasitas penggunaan yang paling tinggi di titik A serta daerah dengan kapasitas penggunaan yang rendah di titik D, maka land rent yang ada dapat digambarkan seperti diilustrasikan pada Gambar 4
sehingga
23
24
land rent
Rp
Jika diasumsikan sebidang lahan dipergunakan untuk lahan pertanian dengan tingkat pertumbuhan land rent sebesar ga untuk pengusahaan pertanian. Lahan pertanian tersebut akan h menghasilkan land rent sebesar p a0 . Nilai land rent untuk h penggunaan perkotaan pada saat ini sebesar p u0 , dimana p hu0<
biaya produksi no rent margin
A
D
D
penurunan kapasitas penggunaan penurunan kapasitas penggunaan
Gambar 4 Kapasitas penggunaan lahan, biaya produksi dan land rent
apabila kapasitas penggunaan lahan semakin menurun land rent yang ada juga akan semakin menurun.
maka
Lahan yang mempunyai kapasitas penggunaan yang lebih tinggi dan potensi pendapatan dari proses produksi yang lebih besar pada umumnya akan menekan penggunaan lahan untuk kepentingan yang mempunyai kapasitas penggunaan yang lebih rendah. Uraian pada Gambar 4 di atas didasarkan pada asumsi bahwa hanya ada satu jenis pengusahaan lahan. Pada kenyataannya terdapat berbagai jenis penggunaan lahan pada saat yang bersamaan (persamaan 15). Segitiga-segitiga yang menunjukkan besarnya rent dapat saling tumpang tindih. Hipotenusa (sisi terpanjang) segitiga pada Gambar 4 (sebelah kanan) menunjukkan intensive margin. Intensive margin dalam penggunaan lahan di bidang pertanian adalah kondisi yang menunjukkan jumlah input yang dapat diberikan sebelum biaya marjinal melebihi penerimaan marjinal. No rent margin adalah suatu kondisi dimana tidak terdapat marjin. Dengan kata lain, hasil yang diperoleh tidak dapat menutup biaya yang dikeluarkan. E land rent
A F ab
B
G
bc
H
Harga lahan juga akan berubah jika terdapat peluang terjadinya konversi lahan, atau setidaknya akan ada pengalihan penggunaan lahan. Kita mengetahui bahwa setelah t*, harga lahan akan tumbuh sebesar g u. Sebelum t*, apabila terdapat pada sebidang lahan tidak terdapat prospek untuk penggunaan perkotaan, maka harga lahan adalah sebesar h
p at* at* = r ga
P' R
P
dengan adanya konversi lahan, harga lahan akan berubah menjadi h
karena p
h
h
P
h
=
t*
p ut* h
D
Model penerapan pajak atas lahan yang paling sederhana adalah pajak ditetapkan secara proporsional terhadap nilai land rent dan harga lahan seperti diilustrasikan pada Gambar 7.
Dalam bentuk 3D (tiga dimensi), pola penggunaan lahan berdasarkan model Von Thunen diilustrasikan pada Gambar 6.
Rp costs dan returns per unit output
1
0.5
1 2
0
0.5
Rp land rent
biaya rata-rata per unit output
land tax
1
0 -2
0
a0
VI. PENGARUH PAJAK DAN TINGKAT BUNGA
S' kap asitas penggunaan lahan
Gambar 5 Alokasi penggunaan lahan
0.25
h
ut* = p at* dan gu > ga, maka P > P pada saat t*. t* at* Oleh karena itu, mulai saat t*, harga lahan yang ada akan lebih besar dari harga untuk penggunaan pertanian. Jika suatu lahan pertanian terdapat prospek untuk dikonversikan ke penggunaan perkotaan, maka harga lahan pada saat akan lebih besar jika hanya dipergunakan untuk lahan pertanian, yaitu h > h (19) 0
0.75
(18)
rgu
P P
R' S
(17)
h
C cd
P
p h . Meskipun demikian, nilai pertumbuhan land rent untuk a0 penggunaan perkotaan gu lebih besar dari pertumbuhan land rent untuk penggunaan pertanian g a (ga < gu). Oleh karena itu dapat diperkirakan bahwa pada pada saat t tertentu (katakan t*) akan terjadi konversi penggunaan lahan dari penggunaan pertanian ke penggunaan perkotaan. Kondisi ini terjadi pada h ut = p at* .
gross land rent
A
-0.5
intensitas penggunaan
no rent margin/ extensive margin
intensitas penggunaan
-1 -1
0
Gambar 7 Penerapan pajak atas lahan secara proporsional
-1
1 2 -2
-1
-0.5
0
0.5
Gambar 6 Pola penggunaan lahan dalam perspektif 3D
V. PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN
1
Model pada Gambar 7 cukup sederhana karena hanya mengasumsikan satu penggunaan lahan. Lahan di daerah no rent margin (extensive margin) tidak membayar pajak, karena lahan tersebut tidak mempunyai nilai land rent. Perubahan nilai pajak pada model ini tidak akan berpengaruh pada pemilik lahan dalam mengusahakan lahan yang dimilikinya.
Dalam dunia nyata, setiap lahan mempunyai berbagai kemungkinan penggunaan yang saling bersaing. Pengembangan model yang memasukkan beberapa kemungkinan penggunaan lahan disajikan pada Gambar 8. harga produk dan land rent yang lebih tinggi karena adanya pajak
A ab B
Rp
c osts d an returns per unit output
gross la nd rent
Rp
C. Pengaturan Kepemilikan dan Penguasaan Lahan Biasanya digunakan dengan menerapkan diskriminasi pakjak. Misalnya pembebasan pajak untuk lahan pertanian yang diusahakan koperasi (Cekoslovakia dan Polandia) dan menerapkan pajak yang tinggi kepada petani perorangan.
land rent
D. Meningkatkan (Menurunkan) Nilai Properti biaya rata-rata per unit output
land tax intensitas penggunaan
Penerapan pajak yang terpisah (tidak dilakukan terus menerus), misalnya penarikan pajak hanya dilakukan pada saat hasil hutan dipanen, atau pembebasan pajak pada hutan yang sedang dalam amsa peremajaan. Pendekatan ini juga dapat diterapkan pada lahan pertanian.
intensitas penggunaan
Gambar 8 Penerapan pajak berbagai penggunaan lahan (Barlowe, 1972)
Gambar 8 menerangkan penerapan pajak pada lahan dengan dua penggunaan yang berbeda, yaitu penggunaan A dan penggunaan B. Pemilik lahan pada daerah no rent margin tetap dikenai pajak, demikian pula pada zone transisi. Hal ini terjadi karena lahan yang dimilki seseorang akan mempunyai nilai yang lebih baik apabila dipergunakan untuk penggunaan lahan yang berbeda dengan penggunaan pada saat ini. Pajak yang diterapkan akan mengakibatkan adanya tambahan biaya produksi. Oleh karena itu, harga hasil produksi juga harus meningkat untuk mengimbangi kenaikan biaya produksi akibat adanya pajak. Peningkatan harga jual produk akan meningkatkan nilai land rent untuk penggunaan B. Untuk penggunaan A juga terjadi kenaikan harga output meskipun dengan proporsi yang lebih kecil dibandingkan dengan penggunaan B. Penerapan pajak dapat dipergunakan untuk mengarahkan lahan untuk penggunaan yang lebih intensif; mengarahkan konservasi lahan dan sumber daya alam lainnya; pengaturan kepemilikan lahan, meningkatkan (menurunkan) nilai properti.
Nilai pajak dapat meningkat- (menurun-) kan nilai properti. Peningkatan nilai lahan terjadi apabila hasil yang diperoleh dari penarikan pajak dip[ergunakan untuk memberikan pelayanan umum (misalnya penyediaan air minum, pemadam kebakaran, pembangunan jalan dll). Apabila pajak mengakibatkan biaya tinggi bagi pemilik lahan tanpa memberikan pelayanan umum yang baik, maka pajak akan menurunkan harga properti. Meskipun demikian, dampak positif pajak terhadap peningkatan nilai properti hanya akan efektif apabila terdapat permintaan efektif terhadap pelayanan umum tersebut. VII.
URBANISASI
Beberapa tahun mendatang diperkirakan jumlah penduduk yang tinggal di daerah perkotaan akan meningkat pesat. Di Indonesia pun akan terjadi peningkatan jumlah penduduk perkotaan, seperti di Jakarta dan Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Semarang, Medan, Makassar. Adanya ekspektasi terjadinya konversi lahan akan semakin mendorong peralihan lahan. Gambar 9 menujukkan jumlah penduduk yang tinggal di wilayah urban pada tahun 2015 yang disarikan dari BPS [4].
A. Mengarahkan Lahan untuk Penggunaan yang Intensif. Penerapan pajak berdasarkan nilai aktual dan atau potensial dari kemungkinan penggunaan yang terbaik akan dapat menstimulasi ke penggunaan lahan yang lebih intensif. Pendekatan ini akan efektif apabila terdapat permintaan akan penggunaan lahan yang lebih intensif dan lahan yang bersangkutan memenuhi syarat untuk pengembangan yang lebih intensif. Apabila kedua syarat ini tidak terpenuhi akan mendorong pengembangan lahan secara prematur (terlalu dini). NJOP juga medorong terjadinya konversi lahan, karena pajak ditentukan oleh harga lahan. B. Mengarahkan Konservasi Lahan dan Sumberdaya Alam Lainnya Apabila pemilik tambang, hutan dikenakan pajak setiap tahun berdasarkan nilai maksimum hasil tambang/hutan yang dapat diperoleh akan mendorong terjadinya deplisi. Pemilik hutan cenderung tidak akan menanam kembali hutanyya (pembibitan tidak dilakukan). Demikian pula dengan pemilik tambang, akan menghabiskan hasil tambangnya secepat mungkin.
Gambar 9 Persentase penduduk tinggal di wilayah urban (2015)
Gambar 10 menunjukkan persentase perubahan jumlah petani gurem dari tahun 2003 sampai dengan 2013 [5]. Berdasarkan data dari analisis tematik transformasi struktural usahatani dan petani di Indonesia [5] terlihat bahwa jumlah petani gurem cenderung menurun dan sebagian keluar dari sektor pertanian.
25
Gambar 10 Persentase perubahan rumah tangga pertanian gurem (2003-2013)
Meskipun belum dilakukan analisis statistika, dengan membandingkan Gambar 8 dan Gambar 9, wilayah dengan penambahan jumlah petani gurem yang tinggi terjadi di wilayah dengan wilayah perkotaan yang kecil. Hal ini terjadi Karena tidak tersedianya alternatif pekerjaan yang lain. Di wilayah dengan tingkat urbanisasi yang tinggi, petani gurem dengan luas lahan kurang dari 0,5 hektar cenderung menjual lahannya, Karena nilai lahan yang tinggi [5]. Kenaikan jumlah petani gurem terjadi di Papua, Kalimantan Utara, Sulawesi Barat, Maluku, Aceh, Maluku Utara dan Sulawesi Tengah [5]. Gambar 11 Urbanisasi Greater Yogyakarta
VIII.
Gambar 11 Persentase perubahan rumah tangga usaha pertanian pengguna lahan (2003-2013)
Jumlah rumah tangga usaha pertanian pengguna lahan dalam kurun waktu 2003-2013 secara nasional menurun sebesar 15 persen, dengan penurunan terbesar terjadi di propinsi yang terletak di Pulau Jawa. Meskpun demikian, terjadi kenaikan di Papua, Kalimantan Utara, Sulawesi Barat, Riau, Nusa Tenggara Timur, Jambi, Sulawesi Tengah, Kalimantan Barat, Maluku Utara, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Selatan (Gambar 11). Gambar 12 menunjukkan proses perluasan kota Yogyakarta pada tahun 1984 (atas) dan tahun 2016 (bawah). Terliat jelas bahwa wilayah semula merupakan lahan terbuka (sawah maupun ladang) telah berubah menjadi wilayah pemukiman. Bagi Yogyakarta, kondisi tersebut dapat mengancam ketersdiaan air bersih Karena tertutupnya daerah penangkapan air hujan di wilayah sisi utara kota Yogyakarta
26
IMPLIKASI KEBIJAKAN
Kebijakan pengunaan lahan dan pertanian saat ini harus dilakukan pada tataran nasional, dengan melihat hubungan antar daerah. Pulau Jawa telah memasuki tahapan industrialisasi. Bahkan di Pulau Jawapun terdapat keragaman. Jakarta sudah mulai meninggalkan industry padat karya, sedangkan Jawa tengah sedang industri tersebut. Di luar jawa, kegiatan pertanian juga mulai menunjukkan geliatnya. Beberapa kebijakan yang harus diperhatikan adalah: Kenaikan harga komoditas di luar Jawa diperlukan agar lahan yang tidak sesubur di Pulau Jawa dapat diusahakan. Meskipun demikian, biaya trasportasi akan menekan harga komoditas pertanian. Upaya yang dapat dilakukan adalah memperbaiki sarana transportasi dan pengolahan lahan hasil pertanian di tempat produksi. Tanpa adanya sarana transportasi, maka pemakaian jumlah tenaga kerja akan menurun untuk mengimbangi biaya transportasi. Harga lahan di wilayah yang berkembang pesat menjadi wilayah urban akan mendorong ekpekstasi kemungkinan pada penggunaan lahan yang lebih intensif, sehingga akan mendorong pelepasan lahan. Pada satu sisi dapat mengurangi jumlah petani gurem karena bekerja sepenuhnya di sektor nonfarm, pada sisi lain, akan berpengauh pada daya dukung lingkungan dan ketersediaan pangan. Penerapan pajak dapat digunakan untuk mengarahkan perkembangan kota yang terjadi. Penerapan pajak berdasar nilai lahan akan mendorong terjadinya konversi lahan. Oleh karena itu, diperlukan zona dengan penerapan pajak khusus jika suatu wilayah ingin dipertahankan sebagai lahan pertanian atau sabuk hijau. Diperlukan penetapan wilayah-wilayah untuk sentra produksi tanaman pangan, peternakan, kehutanan, horikultura,
perikanan yang saling terkait antara satu wilayah dengan wilayah lainnya. Indonesia beruntung mempunyai wilayah yang besar sehingga menungkinkan pendekatan kebijakan ini. Penetapan ini tidak kaku, tetapi juga melihat kondisi kemampuan dan kesesuaian lahan, kondisi sosial-ekonomi masyarakat dan jenis komoditi pertanian (perishable atau tidak, volume dan ukuran produk pertanian, kemungkinan dilakukan pengolahan di tempat untuk memperkecil biaya transport dan memberi nilai tambah. Menerapkan pertanian perkotaan, baik di lahan pekarangan, di rumah susun ataupun dengan media buatan. Memperkecil area lahan yang menganggur akibat urban sprawl, penggunaan yang tidak bersesuaian, ataupun akibat pembukaan hutan. IX.
PENUTUP
Proses urbanisasi akan terus berlangsung dengan ecepatan yang semakin tinggi. Lahan yang sidah berubah menjadi penggunaan untuk perkotaan akan sangat sulit dikembalikan untuk kegiatan pertanian. Konversi lahan akan terjadi di daerah pinggiran kota karena kegiatan non-pertanian akan memberikan rent yang lebih tinggi dibandingkan dengan kegiatan pertanian. Jumlah penduduk desa juga akan semakin berkurang yang selanjutnya dapat mendorong pelepasan lahan. Oleh karena itu, upaya pembangunan pertanian harus melihat permasalahan yang ada di masa mendatang untuk menjamin kecukupan pangan penduduk perkotaan. Masalah ekologi dan sosial juga akan menyertai dengan berkembangnya megacities di berbagai belahan dunia. DAFTAR PUSTAKA [1] [2]
[3] [4]
[5]
R. Barlowe, Land Resource Economic Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice Hall, Inc, 1972 A. Randal, Resource Economics Second Edition: An Economic Approach to Natural Resource and Enviromental Policy Toronto: John Wiley and Son, 1987 J. Harvey, Urban Land Economics Fourth Edition, London: Macmillan Press. Ltd, 1987 (2017) Badan Pusat Statistik website. [Online]. Available: https://www.bps.go.id/Subjek/view/id/12#subjekViewTab3|accordiondaftar-subjek1 Badan Pusat Statistik dan MB-IPB, Analisis Tematik ST2013 Subsektor Transformasi Struktural Usahatani dan Petani Indonesia, Jakarta: Badan Pusat Statistik, 2015
27
28
IMPLEMENTASI DAN DAMPAK PERATURAN BIDANG LAHAN DAN AIR DI PROVINSI JAWA TIMUR Cut R. Adawiyah1), Chairul Muslim1) dan Rusli Burhansyah2) 1) Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Jl. Tentara Pelajar No.3 B Bogor Email :
[email protected] 2) BPTP Kalbar, Jl. Budi Utomo No. 45 Siantan Hulu, Kalimatan Barat Email :
[email protected] Abstrak. Ketersediaan lahan dan air untuk pangan menghadapi tekanan akibat persaingan penggunaannya dengan banyak sektor yang masing masing bertumbuh sejalan dengan pertumbuhan ekonomi dan penduduk. Pertumbuhan ekonomi di semua sektor telah meningkatnya permintaan lahan dan air, terjadi konflik memperebutkan lahan dan air. Lahan pertanian banyak dikonversi dan terjadi degradasi lahan dan air. Penelitian dilakukan di provinsi Jawa Timur pada tahun 2013, bertujuan mengevaluasi implementasi dan dampak peraturan perundangan di bidang lahan dan air terkait dengan sasaran swasembada pangan. Metode analisis yang digunakan adalah Analisis deskripsi implementasi peraturan perundangan di bidang lahan dan air, serta Analisis Perkiraan Dampak Peraturan di bidang Lahan dan Air, dilakukan melalui analisa kualitatif dampak yang bersifat positif/netral/negatif; atau dampak mempercepat/netral/memperlambat. Hasil analisis menunjukkan Implementasi UU No. 41/2009 masih akan membutuhkan waktu panjang, karena implementasi No. UU 41/2009 memerlukan syarat yang diterbitkan dalam produk hukum yang diamanatkan dalam UU No. 41/2009. Dampaknya tersendatnya implementasi UU No.41/2009 yang berkaitan dengan adanya aturan tentang sangsi dimana setiap pejabat pemerintahan yang berwenang menerbitkan izin alih fungsi lahan pertanian pangan berkelanjutan tidak sesuai dengan ketentuan dapat dipidana dengan pidana penjara sangat berat. Untuk kedepannya masalah lahan dan air perlu dicermati kembali oleh para pengambil kebijakan untuk dapat dengan segera dilakukan penanganan secara komprehensif dan intensif. Selain itu juga diperlukan komitmen yang kuat dari pemerintah daerah termasuk lembaga legislasi daerah untuk hal tersebut untuk penguatan swasembada pangan nasional. Kata kunci : Implementasi, Dampak, Peraturan Bidang Lahan Dan Air
I. PENDAHULUAN Penyediaan lahan dan air bagi pangan berada pada kondisi kritis saat ini, karena terjadi penurunan luas lahan produktif, degradasi sumberdaya lahan, air dan lingkungan serta struktur kepemilikan lahan yang tidak semestinya. Sisi lain keberadaan luas panen komoditi pangan berkaitan dengan ketersediaan air. Luas lahan sawah cenderung menurun akibat konversi lahan, sementara intensitas penanaman padi juga menurun akibat menurunnya pasokan air irigasi dan penurunan layanan jaringan irigasi. Konversi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian mempunyai dampak negatif terhadap pembangunan pertanian, yaitu (a) secara langsung konversi lahan pertanian produktif ke
nonpertanian telah menurunkan kapasitas produksi pertanian, (b) rusaknya sistem pengairan di daerah produksi yang terbangun, dan (c) kondisi ini berarti kerugian investasi yang telah ditanamkan dalam membangun waduk, jaringan irigasi dan pencetakan sawah, (Sumaryanto et al 1996). Undang-undang di bidang lahan, telah diterbitkan beberapa UU dan turunannya, seperti UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang, UU No. 12/1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman; UU No. 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan; UU No. 2/2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, UU No. 28/2009 Perumahan dan kawasan permukiman, UU No. 18/2004 tentang Perkebunan, UU No. 13/2010 29
tentang Hortikultura dan lainnya; Di bidang air, ada dua UU penting yang berkaitan dengan pengairan, yaitu UU No. 7/2004 tentang Sumberdaya Air; UU No. 11/1974 tentang pengairan. Konflik yang terkandung dalam pengelolaan lahan dan air bukan saja menjadi fakta sosio-politik-historis, melainkan juga telah disadari sebagai masalah yang harus dikelola negara. Dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dinyatakan “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Menurut Sumarno (2011), pada tahun 2010 dengan total luas lahan sawah 7,89 juta ha dan luas panen 12,69 juta hektar serta produktivitas 5,16 ton/Ha, maka untuk memproduksi pangan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pangan penduduk 240 juta jiwa, maka “land carrying capacity” atau kemampuan lahan pertanian menyediakan pangan yang layak bagi penduduk sejumlah 240 juta telah berada pada batas kritis. Penurunan luas sawah terutama terjadi di wilayah Bali dan Nusa Tenggara, Jawa dan Kalimantan, semantara di kawasan lainnya menunjukkan kenaikan luas lahan sawah. Menurut (Rachmat, 2011), konversi lahan di Jawa sulit dihindari akibat pertumbuhan ekonomi yang pesat di wilayah tersebut. Sisi lain bahwa banyak daerah terutama Sumatera konversi penggunaan sawah adalah untuk perluasan kebun sawit (Kasryno. F dan Taher, 2011). Dari uraian diatas makalah ini bertujuan mengevaluasi implementasi dan dampak peraturan perundangan di bidang lahan dan air terkait dengan sasaran swasembada pangan. Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan di beberapa provinsi dengan mempertimbangkan: (a) tingkat ancaman terhadap konversi lahan, (b) potensi bagi pengembangan areal/perluasan areal, dan (c) program pembangunan kedepan terutama berkaitan dengan kawasan pengembangan dalam MP3EI. Salah satunya di provinsi Jawa Timur. Responden dan Data
30
Sesuai dengan tujuan dalam tulisan makalah, respoden dan data yang digunakan mencakup data dan informasi sekunder dan primer. Data/informasi sekunder berupa: (1) data nasional, Provinsi dan Kabupaten/Kota tentang luas lahan dan air, dan (2) berbagai peraturan perundangan yang terkait dengan lahan dan air ditingkat Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota. Data sekunder diperoleh dari berbagai instansi yang terkait dengan lahan dan air dari Pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota. Data primer diperoleh dari berbagai sumber yaitu kelompok tani, dan sumber informasi kunci lainnya yang relevan. Metode Analisis a)
Metoda analisis yang digunakan adalah Analisis deskripsi implementasi peraturan perundangan di bidang lahan dan air.
b)
Analisis Perkiraan Dampak Peraturan di bidang Lahan dan Air, dilakukan melalui analisa kualitatif dampak yang bersifat positif/netral/negatif; atau dampak mempercepat/netral/memperlambat.
HASIL DAN PEMBAHASAN Peran UU No. 41/2009 dalam Melindungi Lahan Pangan Berkelanjutan Pada hakekatnya UU No. 41/2009 tentang PLP2B bertujuan untuk melindungi kawasan dan lahan pertanian pangan; menjamin ketersediaan lahan pertanian pangan berkelanjutan untuk mewujudkan kemandirian, ketahanan dan kedaulatan pangan, dan melindungi kepemilikan lahan pertanian pangan petani. Secara garis besar UU No. 41/2009 mencakup butir- butir pokok: (a) perlindungan lahan pertanian berkelanjutan, (b) pengaturan alih fungsi lahan, (c) sistem informasi lahan berkelanjutan, (d) pemberdayaan masyarakat, dan (e) sistem insentif dan sangsi. Perlindungan Lahan di Jawa Timur Provinsi Jawa Timur telah menetapkan kawasan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) dan Lahan Cadangan Pertanian Pangan
Berkelanjutan (LCP2B) yang dituangkan dalam RTRW Provinsi Jawa Timur. Penetapan perda RTRW ini menunjukkan bahwa Pemda sudah memiliki kesatuan referensi perihal lahan pertanian pangan yang dapat dilindungi dan dikembangkan secara konsisten untuk menghasilkan pangan pokok masyarakat. Ke-15 kabupaten tersebut antaranya adalah
Kabupaten Bangkalan, Pasuruan, Pacitan, Ngawi, Blitar, Bojonegoro, Gresik, Nganjuk, Madiun, Malang, Lumajang, Kediri, Jombang, Probolinggo, Sidoarjo dan Bondowoso. Selain itu lima kotamadya yang sudah menyusun Perda RTRW adalah kotamadya Blitar, Batu, Probolinggo, Malang, Madiun, dan Kediri. Perda dari beberapa kabupaten tersebut secara terinci dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Inventarisasi Peraturan Daerah (Perda) berkaitan dengan Lahan Provinsi/ Kab/Kota Prov. Jawa Timur
Perda
tentang
No. 5/2012
RTRW Prop.Jatim 2011-2031
Kota Batu
No. 7/2011
Kabupaten Blitar Kabupaten Kediri
dalam proses akhir No 14/2011
RTRW Kota Batu 2010-2030 -
Kab Mojokerto
No.9/2012
RTRW 2010 – 2030
RTRW 2012–2032
Materi
Rencana sistem jaringan sumberdaya air Kawasan hutan lindung. Kawasan budidaya. Konservasi air Das Brantas (Hulu). Pengembangan pariwisata -
Kawasan LP2B Sistim jaringan sumber daya air dan prasarana lainnya Pengembangan kawasan industri
Penetapan LP2B dan LCP2B oleh pemda Pemberian insentif dapat berupa pengembangan diharapkan mampu meminimalisir alih fungsi infrastruktur pertanian, pembiayaan penelitian, lahan pertanian. Misalnya, lahan pertanian di Bali pengembangan benih dan varietas unggul, serta yang justru didukung lembaga adat sehingga kian akses informasi dan teknologi. mempersempit peluang konversi fungsi lahan pertanian. Karena penetapan kawasan lindung Pengelolaan Sumberdaya Air Jawa Timur pertanian pangan itu merujuk PP No. 12 Tahun Berbeda dengan lahan, peraturan daerah 2012 tentang Insentif. Pemerintah pusat akan terkait dengan air untuk tingkat Kabupaten/Kota memberikan intensif perlindungan lahan masih belum diatur yang dituangkan dalam pertanian pangan berkelanjutan kepada para peraturan daerah. Dari Tabel 2. terlihat bahwa petani yang tidak mengalihfungsikan lahan peraturan terkait dengan air baru dilakukan di sawahnya untuk keperluan lain. Insentif tersebut tingkat provinsi dalam bentuk peraturan gubernur diharapkan bisa meredam konversi lahan (Pergub). pertanian. Konversi lahan terjadi karena pertumbuhan ekonomi yang meningkat. Tabel 2. Inventarisasi Peraturan Daerah (Perda) berkaitan dengan Air Provinsi/Kab/ Kota Prov. Jawa Timur Prov. Jawa Timur
Perda No.188/119/KPT S/013/2012 No.3/2009
tentang Tim susur sungai DAS Brantas Prov. Jatim Irigasi
Materi Mengidentifikasi pencemaran DAS Brantas. Menginventarisasi industri . Azaz dan prinsip pengembangan dan pengelolaan system irigasi. Kelembagaan pengelolaan irigasi. Pemberdayaan dan partisipasi masyarakat petani dalam penyelenggaraan system irigasi.
31
Prov. Jawa Timur Prov.Jawa Timur
Kepgub no.188/484/KPTS /013/2009 No.5/2011
Dewan Sumber Daya Air Prov. Jatim 20092014 Pengelolaan Sumber Daya Air
Setiap kabupaten di Provinsi Jawa Timur telah ada Tim Koordinasi Pengelola Sumber Daya Air terutama yang wilayahnya dilalui oleh sungai yang ditangani oleh Kementerian Pekerjaan Umum. Provinsi Jawa Timur telah menindaklanjuti beberapa PP terkait Sumber Daya Air berupa peraturan gubernur (Pergub). Pergub tersebut telah disosialisasikan dengan Kabupaten/Kota untuk dapat ditindak lanjuti. Namun sampai saat ini Bapeda Kabupaten/Kota belum menindaklanjuti karena keterbatasan dana, belum menjadi prioritas karena air belum menjadi kendala yang harus ditangani saat ini, belum memahami secara baik tentang peraturan pengelolaan Sumber Daya Air Sebanyak 15 Kabupaten dan 6 Kotamadya di wilayah Jawa Timur (Jatim) telah menetapkan dan menyerahkan peraturan daerah (Perda) Rancangan Tata Ruang Tata Wilayah (RTRW). Provinsi Jawa Timur mempunyai luas wilayah sebesar 46.428,57 KM2, meliputi 38 Kabupaten/Kota. Pada tahun 2011, luas lahan sawah mencakup lahan teknis, setengah teknis, sederhana dan desa (non PU) mencapai 931.107 hektar. Dari sejumlah areal tersebut, sekitar 73,3 persen adalah lahan teknis yang dapat ditanami tiga kali dalam satu tahun. Terkait dengan usahatani, salah satu faktor penting yang mempengaruhi produksi dan produktivitas tanaman adalah ketersediaan air. Di provinsi Jawa Timur, kewenangan daerah irigasi secara umum dibagi tiga yaitu kewenangan pusat, provinsi dan Kabupaten/Kota. Kewenangan pusat, apabila daerah irigasi 32
Pengelolaan air irigasi dan asset irigasi. Pengembangan jaringan irigasi. Pembiayaan irigasi. Alih fungsi lahan beriringan Koordinasi pengelolaan sistim irigasi dan pengawasan. Menyelenggarakan fungsi koordinasi melalui konsultasi,intergrasi, penyelarasan, pemantauan dan evaluasi kebijakan terkait sumber daya air Landasan dan rencana pengelolaan Sumber Daya Air Pelaksanaan konstruksi, O & P Pendayagunaan Sumber Daya Air -Pengendalian daya rusak air Perizinan dalam pengelolaan Sumber Daya Air Sistem informasi, pembiayaan, pengawasan, sanksi administratif
termasuk lintas provinsi, lintas Kabupaten/Kota dan utuh Kabupaten/Kota. Kewenagan provinsi apabila daerah irigasi termasuk lintas Kabupaten/Kota dan utuh Kabupaten/ Kota. Sementara itu, kewenangan Kabupaten/Kota apabila utuh Kabupaten/Kota dan diatur oleh masing-masing wilayah. Luas daerah irigasi di Jawa Timur sebesar 693,604 ha, meliputi: 221,15 ha kewenangan pusat; 118,18 ha kewenangan provinsi dan 354,275 ha kewenangan Kabupaten/Kota. Dalam pengelolaan sumbedaya air terutama untuk daerah rigasi yang merupakan kewenangan Provinsi dilakukan oleh Dewan Sumber Daya Air (SDAir) Provinsi yang melakukan pertemuan dan kegiatan secara rutin untuk menyusun program kerja, meninjau lapangan untuk evaluasinya. Pembiayaan kegiatan ini dibebankan kepada DIPA APBD Dinas Pekerjaan Umum (PU) Pengairan Provinsi Jawa Timur. Seperti pada tahun 2013, dilaksanakan Sidang Komisi SDAir Provinsi Jawa Timur yang membahas secara detail rekomendasi dan matrik tindak lanjut pelaksanaan kebijakan dan strategi pengelolaan SDAir termasuk pelaksanaan kujungan lapangan. Sesuai dengan amanat UU dan PP Dewan Sumber Daya Air, keanggotaan SDAir harus melibatkan lembaga swadaya dan masyarakat. Terdapat tempat komisi dalam Dewan SDAir yaitu komisi Pendayagunaan, komisi Konservasi, komisi pengendalian daya rusak air dan pemberdayaan masyarakat. Berdasarkan hasil sidang Dewan SDAir tanggal
5-6
Desember
2012,
permasalahan
dan
tindaklanjutnya seperti pada Tabel 3.
Tabel 3. Permasalahan dan Rencana Tindak Lanjut Terkait Sumberdaya Air No 1
2
3
4
Permasalahan RencanaTindakLanjut KomisiPengendalianDayaRusak Air Luas genangan banjir di Jatim sebesar 9.371,8 ha akibat: a) Perbaikan tanggul kritis khusunya di sungai Bengawan Solo Terdapat tanggul kritis pada sungai berpotensi longsor, b) Penertiban pemanfatan lahan bataran sungai dan sempadan Penyempitan badan sungai akibat pemanfaatan bantaran sungai melalui reloksi penduduk oleh Pemda sungai tidak sesuai peruntukkan, c) Meningkatnya alif fungsi RTRW ditindaklanjuti dng Perda lahan, d) Tidak ada sinkronisasi antara drainase wilayah Seluruh instansi pemerintah membuat sumur resapan dan pengembang perumahan dan drainase perkotaan disosialisasikan kpd masyarakat Pengelolaan daerah rawan banjir oleh Pemda menyediakan pusat evakuasi korban banjir Setiap pengembangan baru wajib membangun/ merevitalisasi jaringan drainase kota dari outlet drainase pengembang Komisi Pendayagunaan SDA DAS rusak, banyaknya alih fungsi lahan dan kecelakaan Mendorong pemerintah (pusat/daerah) membangun berakibat korban jiwa pengguna transportasi air akibat: a) embung2 geomembran pada wilayah yang tanahnya pourus Banya kembung kritis dan DAS rusak, b) Sedimentasi di Pengembangan budidaya padi hemat air dng sistem SRI beberapa wilayah sungai, c) Kurang sosialisasi Biopori, d) Pemetaan LP2B dan disosialisasikan kepada masyarakat Penggunaan air berlebihan pada tan. Padi sebanyak 25 m3, e) agar berperan aktif dlm pengawasan pengendalian fungsi mudahnya alih fungsi lahan, system drainse yang kurang lahan baik dan banyaknya lahan kritis; f) belum memadainya Membangun infrastruktur transportasi air yang memadai transportasi air Komisi Konservasi SDA Kurangnyaperlindungandanpelestariansumber air akibat Reboisasi dan penghijauan dng jenis tanaman sesuai program penanamanpohon di sekitar mata air/ daerah permintaan masyarakat tangkapan air kurang berhasil (jenis pohon tidak sesuai dng Gerakan menghijaukan kembali di setiap desa minimal 1 masyarakat), alih komoditas tanaman (dari tahunan ke ha/tahun semusim utk ketahanan pangan, pembudidayaan kurang Pembebasan lahan di daerah sempadan mata air sesuai dng kaidah konservasi lahan Pembuatan embung/pemanenan air hujan/bending gerak Pembinaan/pembelajaran kpd masyarakat KomisiPemberdayaanMasyarakat Kurangnya partisipasi masyarakat dlm pengelolaan SDA Penyediaan infrastruktur Sistem Informasi SDA di tiap karena minimnya pengetahuan/kesadaran; meningkatnya kab/kota sbg pusat informasi dan pengaduan tentang SDA pengembangan perumahan dan bangunan baru tanpa Setiap pengembang diwajibkan membuat sumur resapan dan memperhatikan daya dukung lingkungan; kurang optimalnya ruang terbuka hijau konsep jasa lingkungan dan sulitnya penegakan hokum Mengoptimakan peran HIPPA dan HIPPAM dlm konsep mengenai lingkungan Jasa Lingkungan Membuat gerakan minimal 1 resapan atau 1 pohon/rumah Memasukkan pendidikan dan sosialisasi SDA mulai pendidikan dasar
Sungai Brantas adalah sungai yang terbesar di Provinsi Jawa Timur, bahkan sungai terpanjang kedua di Pulau Jawa setelah Bengawan Solo.Sungai Brantas bermata air di Desa Sumber Brantas (Kota Batu) yang berasal dari simpanan air Gunung Arjuno. Kemudian air tersebut mengalir ke KabupatenMalang, Blitar, Tulungagung, Kediri, Jombang, dan Mojokerto. Di Kabupaten Mojokerto, sungai ini bercabang dua manjadi Kali Mas (ke arah Surabaya) dan Kali Porong (ke arah Porong, Kabupaten Sidoarjo). Sungai Brantas mempunyai Daerah Aliran Sungai (DAS) seluas 14.103 km² melintasi 15 Kabupaten/Kota. Adapun DAS yang diairi
sungai Brantas sebagai berikut: 1) DAS Kali Brantas seluas 11,988 km2 (6 Sub DAS, 32 Basin Block; 2) DAS Tengah seluas 596 km2 (sungai Ngampo, Tengah dan Tumpak Nongko); 3) DAS Ringin Bandulan seluas 595 km2 (sungai Klatak, Kedungbanteng, Ngrejo dan Sidorejo) serta 4) DAS Kondang merak seluas 924 km2 (sungai Glidik, Bambang). Upaya-upaya untuk Meningkatkan Ketersediaan Air di Sungai Brantas adalah : 1. Penghijauan DAS Brantas secara berkelanjutan dilakukan dengan peningkatan 33
2. 3.
4. 5. 6. 7.
8.
9.
kualitas lingkungan sumberdaya air, tersusunnya kelas peruntukan seluruh sungai yang berada d WS Brantas. Pencapaian hal tersebut diharapkan 3.495 Ha hutan konservasi dan 31.173,2 Ha hutan produksi telah direboisasi Rehabilitasi dan pembangunan rumah pompa dan JIAT Perbaikan saluran drainase, tebing, jaringan irigasi, embung. Setiap danau, embung, waduk memiliki status tropik Pengerukan sedimen di berbagai sungai secara berkelanjutan Memperkuat lembaga penegak hukum di lingkungan WS Brantas Meningkatkan peran sekretariat TKPSDA Brantas Peningkatan kegiatan Prokasih secara intensif dan berkelanjutan dengan melibatkan semua elemen masyarakat Pengendalian budidaya perikanan keramba/jaring apung di danau/waduk/ rawa dan pencemaran limbah Menggunakan jasa hutan buatan dari BPPT
Dampak Implementasi Peraturan Perundangan di bidang Lahan dan Air Terkait dengan Sasaran Swasembada Pangan Terbitnya peraturan seharusnya ditindak lanjuti oleh pemerintah daerah terkait sumberdaya lahan seperti RTRW ( Rencana Tata Ruang Wilayah) dan LP2B (2009). Selain itu, juga peraturan pemerintah terkait sumberdaya air seperti UU Sumber Daya Air (2004) beserta peraturan pemerintah (PP) dan keputusan presiden (Kepres) dan peraturan presiden (Perpres) yang diluncurkan pada tahun berikutnya. Namun tampaknya aturan-aturan tersebut belum banyak ditindaklanjuti oleh pemerintah daerah dalam bentuk peraturan daerah baik peraturan gubernur (pergub) maupun peraturan bupati (perbup) dengan berbagai alasan dan kendala. Penyusunan RTRW memang memerlukan waktu yang relatif lama, banyak tahapan yang harus dilakukan baik dari sisi pemerintah maupun dari sisi parlemen. Berdasarkan Peraturan Kementerian Dalam Negeri No. 28 tahun 2008 tentang Tata Cara Penyusunan RT/RW sebagai berikut: 1) Penyusunan naskah akademis, 2) Rekomendasi 34
gubernur, 3) Penyerahan dokumen ke Kemendagri untuk persetujuan substansi, 4) Pembahasan dengan dewan untuk memperoleh kesepakatan bersama, 5) Penyempurnaan di tingkat Provinsi dengan mengevaluasi rancangan daerah dan 6) Hearing dengan dewan. Pada umumnya belum tuntasnya penyusunan RTRW selain memang memerlukan tahapan yang lama juga karena adanya rencana pembangunan fasilitas baru seperti pembangunan waduk, jalan, jembatan, bandara dan lainnya; RTRW baru selesai disahkan kemudian muncul peraturan LP2B sehingga memerlukan penyesuaian; munculnya peraturan baru lainnya yang harus diakomodir dalam RTTW seperti munculnya peraturan dari Kementerian Kehutanan yang mengharuskan Provinsi Jatim mengalokasikan lahan untuk hutan seluas 110.000 ha. Beberapa hal tersebut diatas berdampak lambatnya penyelesaian RTRW, sehingga sampai saat ini di semua lokasi penelitian belum satupun yang menyelesaikan rancangan sampai detail yang dikenal dengan RTRWD. Permasalahan lain terkait LP2B yaitu delinisiasi lahan untuk LP2B belum selesai dan masih belum siapnya penentuan sistem insentif baik besaran dan sumber dananya serta alasan lainnya. Pada umumnya penyelesaian RTRW memerlukan waktu sekitar 3-4 tahun, seperti kasus di Kabupaten Cirebon, yang dimulai sejak tahun 2007, baru selesai tahun 2011. Adanya peraturan terkait dengan kewenangan daerah irigasi, yaitu: 1) Kewenangan pusat, apabila daerah irigasi termasuk lintas provinsi, lintas Kabupaten/Kota dan utuh Kabupaten/Kota, 2) Kewenangan provinsi, apabila daerah irigasi termasuk lintas Kabupaten/Kota dan utuh Kabupaten/Kota dan 3) Kewenangan Kabupaten/Kota apabila utuh Kabupaten/Kota dan diatur oleh masing-masing wilayah. Namun hal tersebut, tidak sepenuhnya dilaksanakan dengan maksimal, seolah-olah hanya pemerintah pusat yang melaksanakan kewajiban terkait dengan pengelolaan air dengan baik. Apalagi terkait dengan bangunan fisik, pembangunan atau rehabilitasi sarana prasarana irigasi dominan dilakukan oleh pemerintah pusat, sehingga kasus kerusakan jaringan irigasi banyak terjadi diberbagai lokasi. Kondisi demikian ini, berdampak pada kurang maksimalnya
pemanfaatan lahan sawah sehingga terjadi perubahan pola dan intensitas tanam. Selanjutnya pembiaran jaringan irigasi yang dilakukan beberapa tahun akan mempermudah terjadinya konversi lahan sawah untuk penggunaan lainnya. Walaupun ada peraturan terkait dengan pencegahan konversi lahan sawah, namun kenyataannya konversi lahan sawah masih terus terjadi. Belum adanya RDTR (Rencana Detail Tata Ruang) sebagai kelanjutan dari RTRW dan juga belum adanya RTRW maka secara hukum masih dimungkinkan akan terjadi konversi lahan pertanian. Beberapa kasus dari hasil wawancara dengan stakeholder di lapangan, substansi yang digunakan untuk acuan penyusunan RPJM adalah janji-janji Gubernur/Bupati pada waktu kampanye, tidak sepenuhnya didasarkan pada potensi dan pengembangan wilayah kedepan. Tidak semua dari implementasi peraturan tersebut berdampak negatif, karena harus diakui beberapa peraturan terutama terkait dengan air juga baru dikeluarkan oleh pemerintah, sehingga masih pada tahap sosialisasi. Oleh karena itu, diharapkan peraturan ini digunakan sebagai acuan dalam penyusunan dan implementasi kebijakan baik secara langsung maupun tidak langsung terkait dengan masalah lahan dan air. Dampak positif dari peraturan di bidang air adalah dibentuknya Tim Koordinasi Pengelolaan Sumber Daya Air di setiap Provinsi sebagai tindak lanjut peraturan Menteri PU. Lembaga ini yang berperan dalam pengelolaan sumber daya air mencakup perencanaan, pelaksanaan, dan monitoring. Kegiatan ini didanai oleh dana APBN yang melekat pada Dinas Pekerjaan Umum Provinsi dan hanya tim ini yang melakukan pertemuan dan kegiatan secara rutin untuk menyusun program kerja, meninjau lapangan untuk melakukan evaluasi. Beberapa kondisi lahan dan air di setiap provinsi Jawa Timur adalah; Lahan yang dilindungi paling sedikit 90 % dari total baku lahan sawah Rata-rata konversi lahan sawah per tahun 1895 ha (2000-2009) Kerusakan jaringan utama wewenang pusat (19,4%) dan prasarana pengairan Kerusakan daerah tangkapan hujan (perambahan hutan, penebangan, dll)
Sedimen tinggi pada bendunganbendungan yang ada di aliran sungai Penurunan dasar kali Brantas mulai dari Ploso sampai Mojokerto (kali Porong) Sedimentasi tinggi Bendungan Sutami (pengembangan permukiman dan industri) Kasus Jawa Timur, secara agregat lahan yang dilindungi untuk pertanian relatif tinggi, walaupun di wilayah tertentu terutama dekat dengan ibukota provinsi terjadi kecenderungan konversi lahan sawah yang relatif tinggi. Seperti di Kota Batu sebagai daerah hulu sungai Brantas, sehingga kerusakan wilayah hulu akan berdampak pada ketersediaan air Sungai Brantas. Padahal peranan sungai Brantas sangat vital, tidak hanya penyedia air untuk irigasi tetapi juga untuk air minum dan keperluan industri. Namun demikian, yang menjadi prioritas adalah air untuk irigasi. Oleh karena itu, Perum Jasa Tirta I sebagai pengelolaan sungai Bantas terus melakukan pengawasan, perbaikan dan monitoring secara reguler terhadap kuantitas dan kualitas Sungai Brantas. Lahan yang dicadangkan untuk LP2B hanya di Kota Batu hanya sekitar 50 persen dari total lahan pertanian. Kota Batu merupakan pengembangan Kabupaten Malang selain kota pelajar juga kota wisata. Kota Batu telah tumbuh bangunan perumahan, villa dan hotel-hotel. Dalam RTRW, potensi wilayah Kota Batu adalah wilayah pertanian, perumahan dan perdagangan. Konversi lahan di Kabupaten Blitar masih dapat terkendali, demikian pula ketersediaan air untuk berbagai keperluan masih tercukupi, dikarenakan terjaganya lingkungan resapan di sekitar Gunung Kelud dan Gunung Kawi. Selain itu, pemerintah daerah terus menanam pohon pinus bekerjasama dengan Kementerian Kehutanan untuk memperbaki konservasi lahan dan air serta menjaga resapan air terutama di wilayah hulu. Di Kabupaten Kediri, lahan untuk LP2B sekitar 80 persen dari luas baku lahan pertanian, namun sampai sekarang rancangan detail juga masih dalam proses penyelesaian. Hal ini juga terkait belum selesainya RTRW Kabupaten Kediri, sehingga masih terus dilakukan penyempurnaan rancangan. Berbeda di wilayah lain yang cenderung konversi lahan sawah untuk industri atau perumahan, kalau di Kediri terjadi 35
kompetisi penggunaan lahan sawah antara padi dengan tebu. Apalagi PTP X telah mencanangkan peningkatan rendemen tebu menjadi 9,2 sehingga banyak petani yang beralih menanam padi ke tebu di Kabupaten Mojokerto. Potensi terjadi konversi lahan irigasi didaerah sekitar Kabupaten Gresik, hal ini sesuai dengan misi bupati yang menjadikan Kabupaten Mojokerto sebagai daerah industri. Dengan pencanangan tersebut, pemerintah daerah akan melakukan pencanangan pencetakan sawah pada lahan kering untuk mengganti lahan sawah yang dijadikan industri.
KESIMPULAN KEBIJAKAN
DAN
IMPLIKASI
Kesimpulan 1)
Kemajuan di segala bidang/sektor telah berakitan meningkatnya permintaan/ tuntutan terhadap lahan. Konflik kepentingan dalam rangka memperebutkan penggunaan lahan terjadi, sehingga kejadian konversi lahan pertanian ke penggunaan lahan pertanian tidak dapat dielakkan. Untuk mendapatkan hak atas lahan dan air tersebut, masing masing sektor/bidang telah mengeluarkan peraturan yang memungkinkan diperolehnya hak untuk mendayagunakan lahan tersebut. 2) Dalam rangka pengamanan produksi pangan jangka panjang dan pengendalian konversi lahan telah disusun UU 41/2009 tentang UU 41/ 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Ketidak harmonisan dalam rangka perebutan lahan bagi produksi pangan (UU 41/2009 tentang PLP2B), Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum (UU No 2/1012), lahan untuk perumahan dan kawasan permukiman (UU 1/2011), lahan untuk produksi perkebunan (UU 18/2004), lahan untuk Hortikultura (UU 13/2010), lahan untu peternakan (UU 28/2009), dan lainnya. 3) Dalam kaitan itu, agar secara legal lahan pertanian pangan tidak banyak dikonversi diperlukan pemantauan, pendampingan/advokasi kepada daerah dalam penyusunan Perda RTRW secara intensif.
36
4)
Luas lahan yang dicadangkan untuk lahan pangan pertanian berkelanjutan bervariasi antar wilayah, padahal seharusnya semua luas lahan sawah beririgasi dan sebagian lahan kering dapat dicadangkan untuk LP2B. Hal ini bedampak pada proses konversi lahan yang terus berjalan. Pemerintah daerah belum melaksanakan wewenangnya terkait dengan pengelolaan air irigasi, sehingga banyak jaringan irigasi rusak sedimentasi yang tinggi di waduk, DAS dan lainnya. Pada beberapa kasus, pengalihan fungsi waduk, tidak hanya untuk kegiatan pertanian lahan sawah tetapi juga untuk perikanan, tambang dan lainnya. 5) Walaupun terdapat banyak UU dan peraturannya terkait sumber daya lahan dan air, namun belum semua wilayah menyelesaikan RTRW, bahkan belum ada pemerintah daerah yang mengimplementasikan UU LP2B secara detail (dimana lokasi lahan, milik siapa dan sebagainya). Demikian pula, UU sumber daya air juga belum banyak yang ditindaklanjuti oleh pemerintah daerah. 6) Implementasi UU 41/2009 akan masih akan membutuhkan waktu panjang, karena implementasi UU 41/2009 memerlukan syarat: a. Telah diterbitkannya seluruh produk hukum turunan yang diamanatkan dari UU 41/2009 berupa Peraturan Pemerintah (PP) dan Permentan, b. Harus terlebih dahulu telah disusun Perda Tata Ruang Propinsi dan selanjutnya Perda Tata Ruang Kabupaten /Kota yang didalamnya berisi arahan tentang kawasan lahan pertanian yang dilindungi secara wilayah, dan c. Harus telah disusun peraturan/perda/perbuptentang rencana Detail Tataruang yang didalamnya memuat antara lain rencana lebih rinci setiap desa/blok. Disamping itu langkah penting lain adalah pentingnya kegiatan sosialisasi secara terus menerus kepada masyarakat agar dalam implementasinya tidak terjadi konflik. 7) Lambatnya implementasi UU No.41/2009 juga berkaitan dengan adanya aturan tentang
sangsi dimana setiap pejabat pemerintahan yang berwenang menerbitkan izin alih fungsi lahan pertanian pangan berkelanjutan tidak sesuai dengan ketentuan dapat dipidana dengan pidana penjara sangat berat. 8) Pemerintah daerah (gubernur/bupati) belum banyak yang mengimplementasikan tindak lanjut peraturan di bidang lahan dan air. Kalaupun telah menyusun Pergub/Perda terkait sumber daya air namun peraturan tersebut belum dilaksanakan secara optimal. Masalah air masih dianggap belum penting, masih konsentrasi di bidang lahan sehingga belum sepenuhnya melaksanakan tugas di bidang air yang menjadi kewenangannya. Kerusakan sarana prasarana irigasi akan semakin parah, tata guna air juga semakin tidak seimbang (pertanian/industri/air minum). Oleh karena itu, masalah lahan dan air perlu dicermati kembali oleh para pengambil kebijakan untuk dapat dengan segera dilakukan penanganan secara komprehensif dan intensif. Selain itu juga diperlukan komitmen yang kuat dari pemerintah daerah termasuk lembaga legislasi daerah untuk hal tersebut untuk penguatan swasembada pangan nasional. Implikasi Kebijakan 1) Penerapan/pelaksanaan UU No.41/2009 perlu dipercepat derngan cara: a) Segera diterbitkan seluruh produk hukum turunan yang diamanatkan dari UU No.41/2009 berupa Peraturan Pemerintah dan Permentan, b) Daerah diperingatkan untuk segera menyusun Perda RTRW ( Propinsi dan Kabupaten/Kota) c) Harus pula disusun peraturan/perda/perBup tentang rencana Detail Tataruang yang didalamnya memuat antara lain rencana lebih rinci setiap desa/blok. d) Dilakukan sosialisasi kepada masyarakat agar dalam implementasinya tidak terjadi konflik. Sosialisasi tidak cukup hanya kepada para kepala dinas/badan akan tetapi juga kepada semua elemen masyarakat, misal melalui gapoktan, LSM, dan sebagainya.
2) Dengan ditetapkannya perda RTRW disamping diperoleh kepastian lahan pertanian pangan yang dilindungi juga merupakan titik awal alokasi sebagian lahan yang legal untuk dikonversi. Agar alokasi lahan pertanian yang legal akan dikonversi tersebut dapat diminimal maka secara dini perlu pemantauan, pendampingan/advokasi kepada daerah (Dinas pertanian dan Bappeda) dalam penyusunan Perda RTRW propinsi dan RTRW kabupaten/kota lebih peduli dalam melindungi lahan pertanian pangan. 3) Pada masa transisi dari pemberlakuan UU 41/2009 tersebut, memungkinkan terjadinya konversi lahan. Pada masa transisi sebelum UU 41/2009 benar benar diterapkan perlu diterbitkan aturan (Perpres/ Permentan) Tentang Pelarangan Konversi Lahan Pertanian Pangan Produktif. 4) Pada hakekatnya pemberlakuan UU 41/2009 tidak akan dapat mencegah konversi lahan, bahkan konversi lahan menjadi legal sesuai UU dan Perda RTRW. Pada kondidi demikian lahan pertanian pangan akan berkurang dan mempengaruhi produksi pangan dan program swasembada pangan/beras. Untuk itu program perluasan lahan untuk produksi pangan harus mendapat perhatian lebih serius. Salah satu aspek penting yang harus disiapkan menjelang diberlakukannya UU 41/2009 adalah penyiapan sistem insentifnya. 5) Keberhasilan dalam penerapan UU No 41/2009 tentang LP2B sangat bergantung kepada pengetahuan dan selanjutnya komitmen dari seluruh komponen masyarakat terutama pengambil kebijakan pembangunan akan pentingnya penyediaan pangan masa depan dan keberadaan lahan pertanian untuk memproduksi pangan tersebut. Dengan terbangunnya kesadaran dan komitment akan arti stategis ketersediaan lahan untuk pangan akan terjadi saling mengawasi, saling mengingatkan dan saling koreksi berkaitan dengan kegiatan yang menyangkut pengrusakan, konversi dan penghilangan lahan pertanian pangan di masyarakat. 6) Indikator keberhasilan dari terbangunnya komitmen tersebut tertuang dengan adanya: (a) kebijakan/program pembangunan yang 37
meminimalkan terjadinya konversi lahan pertanian pangan, kegiatan yang meningkatkan optimalisasi produktivitas lahan pertanian pangan dan perluasan lahan pertanian pangan, dan (b) terbangunnya kearifan masyarakat yang melindungi lahan pertanian pangan secara berkelanjutan. Langkah awal dari upaya membangun komitment harus berasal dari pengambil kebijakan mulai dari tingkat pusat, propinsi, kabupaten/kota, kecamatan sampai desa, Untuk itu perlu dibangun lembaga/institusi di setiap tingkatan (pusat sampai daerah) yang berfungsi dalam mensosialisasikan, mengawasi penerapan dan menyelesaikan permasalahan kerkaitan dengan penyediaan lahan pangan berkelanjutan. Dalam kaitan itu Kementerian Pertanian dan jajarannya memfasilitasi keberadaan lembaga dan terbangunnya forum-forum dalam rangka terbangunnya komitmen masyarakat dalam menjaga ketersediaan lahan pertanian berkelanjutan.
[4]
[5]
[6]
DAFTAR PUSTAKA [1] Bappeda Jawa Jawa Timur. 2012. Perda No. 5 tahun 2012 tentang RTRW Provinsi Jawa Timur . Surabaya. [2] Bappeda Jawa Jawa Timur. 2012. Perda No. 5 tahun 2012 tentang RTRW Provinsi Jawa Timur . Surabaya. [3] Kasryno, F. Dan A. Taher. 2011. Perubahan Peruntukan lahan Sawah Menjadi Lahan Perkebunan Kasus irigasi Batanghari. Dalam
38
[7] [8] [9]
Sahat Pasaribu, Handewi P.S, haryono, S. Effendi, P. Dan Faisal, K. (editor). 2011. Konversi Dan Fragmentasi Lahan Ancaman Terhadap Kemandirian Pangan. Badan Penelitian Dan Pengembangan Pertanian. Kementerian Pertanian. IPB Press. Sumarno, 2011. Ketersediaan Sumberdaya Lahan Pertanian Dan Ketahanan Pangan Nasional. Bahan Seminar Di Pusat Sosial Ekonomi Dan Kebijakan Pertanian, Bogor, 29 Nopember 2011. Sumaryanto, Hermanto, dan E. Pasandaran. 1996. Dampak Alih Fungsi Lahan Sawah terhadap Pelestarian Swasembada Beras dan Sosial Ekonomi Petani. Dalam Prosiding Lokakarya “Persaingan Dalam Pemanfaatan Sumberdaya Lahan dan Air, Dampaknya Terhadap Keberlanjutan Swasembada Beras: 92 -112. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Ford Foundation. Bogor. Rachmat, Muchjidin.2011. Kebijakan Dibidang Lahan Pertanian Dalam Membangun Kemandirian Pangan. Dalam Sahat Pasaribu, Handewi P.S, Haeryono, S. Effendi, P. dan faisal, K. (Editor) .2011. Konversi Dan Fragmentasi Lahan Ancaman Terhadap Kemandirian Pangan. Badan Penlitia Dan Pengembangan Pertanian. Kementerian Pertanian. IPB Press. UU 41/2009 Tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. UU 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air
PEMBERDAYAAN LAHAN KOMUNAL MELALUI AKSI RISET SEKOLAH KOPI RAKYAT (SKR) DI KABUPATEN MAMASA (COMMUNAL LAND EMPOWERMENT THROUGH ACTION RESEARCH “SEKOLAH KOPI RAKYAT” (SKR) IN MAMASA REGENCY) Eka Intan Kumala Putri1), Sofyan Sjaf2) Danang Pramudita2) Hanifah Fauziah Gunadi2) 1)
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan (PSP3), Institut Pertanian Bogor E-mail:
[email protected] 2)
Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Institut Pertanian Bogor E-mail:
[email protected]
Abstract. The villages in Mamasa which have social capital and power in the natural resources management will be able to prosper its people. Potential economic development in Mamasa can be done through the coffee cultivation. A total of 68 percent (35.925 farmers) in Mamasa cultivate Arabica and Robusta Coffee spread across the districts area. Coffee have an output multiplier of 1.25 and income multiplier of 1.38. The purpose of action research SKR Mamasa are: (1) to identify the agrarian governance systems (2) to see the level of regional development (3) to identify the location and potential land (litak anak muane') which can be used as a collective business (4) to increase capacity building of coffee farmers through SKR Mamasa. Based on the results there are two main types of land management in Mamasa, namely wetlands (paddy field) and dry land. Paddy fields are usually privately owned, while the dry land are common property. Agricultural sector has the largest contribution to Mamasa GDP with an average contribution over 35% in the last 5 years. Based on analysis of potential location for SKR development, Arabica Coffee has the highest comparative advantage in the sub district Nosu and Tabang. Meanwhile the comparative advantage of Robusta Coffee remains in others six districts. Skalogram analysis showed that Messawa Sub District has the highest development index, so the facility to support the coffee development in this region is much better than in other regions. Mamasa SKR action research involves the potential coffee farmers as representatives from farmer groups in Mamasa which further directed to drive the SKR. Keyword: litak anak muane’, Mamasa coffee, SKR.
I. PENDAHULUAN Mamasa adalah kabupaten Sulawesi Barat berciri dataran tinggi (pegunungan) dan berada di tengah “hutan”. Toprografi Kabupaten Mamasa didominasi oleh dataran tinggi dengan ketinggian maksimal 3.000 meter di atas permukaan laut dan dan ketinggian terendah adalah 100 meter di atas permukaan laut [2]. Hasil penelitian Adiwibowo, Intan, Sjaf et. al [1] di Kabupaten Mamasa menyebutkan bahwa desa-desa di Mamasa yang memiliki modal sosial dan berdaya dalam pengelolaan sumberdaya alamnya akan mampu mensejahterakan rakyatnya. Studi ini menjelaskan keberdayaan pengelolaan sumberdaya alam Orang Mamasa nampak terlihat pada komoditas kopi. Lebih lanjut berdasarkan data BPS [3] sebanyak 68 persen (35.925 orang) petani kebun di Mamasa membudidayakan kopi jenis Arabika maupun Robusta dan menyebar di seluruh wilayah kecamatan se-Mamasa. Walau kopi mulai terdesak oleh kakao di Mamasa, akan tetapi kopi memberikan nilai multiplier output sebesar 1,25 dan multiplier pendapatan sebesar 1,38. Tidak itu saja, jika dilihat dari indeks keterkaitannya, komoditi kopi memberikan nilai backward linkages sebesar 1,06 dan forward linkages sebesar 0,89 [11]. Pada kondisi ini kopi masih mempunyai peranan yang cukup penting dalam mendukung perekonomian wilayah Kabupaten Mamasa, khususnya dari sektor perkebunan.
Meski demikian, beberapa persoalan pengembangan kopi di Mamasa menjadi “pekerjaan rumah” bersama para pemangku kepentingan. Seperti halnya pengembangan usaha kopi rakyat di Indonesia, persoalan pengembangan komoditi kopi Mamasa, meliputi: (1) persoalan teknis budidaya; (2) persoalan pengolahan; dan (4) persoalan kelembagaan. Pada aspek makro dan meso pengembangan komoditas kopi di Kabupaten Mamasa juga perlu mempertimbangkan aspek kewilayahan. Aspek kewilayahan mencakup pewilayahan komoditas kopi di Kabupaten Mamasa. Kabupaten Mamasa mempunyai dua komoditas perkebunan utama yaitu kopi dan kakao. Setianto dan Susilowati [13] menyatakan perencanaan pembangunan berdasarkan perwilayahan komoditas dapat mengatasi persaingan jenis komoditas antar wilayah. Proses identifikasi dan analisa potensi wilayah menjadi informasi awal dalam merumuskan atau mempersiapkan strategi pengembangan potensi kopi di Kabupaten Mamasa. Lokasi potensial untuk pengembangan komoditas kopi di Kabupaten Mamasa juga perlu didukung dengan kelembagaan lokal yang ada. Litak basah (sawah) dan litak kering (kebun) dimaknai berbeda oleh masyarakat Mamasa [14]. Selama ini litak basah ditempatkan sebagai aset penting dibandingkan litak kering, baik dilihat dari dimensi ekonomi maupun sosial [9]. Padahal dari segi pemanfaatan oleh masyarakat, litak kering lebih terbuka untuk dimanfaatkan
39
oleh seluruh lapisan sosial. Pada lahan kering ini terdapat litak ana’muane, yaitu lahan kosong yang dapat dimanfaatkan secara gratis oleh masyarakat dan umumnya terletak di kawasan bukit yang sulit untuk diakses [1]. Keterlibatan petani di aspek mikro merupakan faktor penting dalam mendukung pengembangan lahan untuk budidaya kopi di Mamasa. Menurut Gaventa dan Cornwall [6], kegiatan pemberdayaan salah satunya dapat dilakukan melalui aksi riset. Instrumen Sekolah Kopi Rakyat (SKR) Mamasa merupakan bentuk aksi riset yang dapat dikembangkan. Dalam SKR, petani kopi akan bertindak sebagai subyek dalam pengorganisasian usaha (bussiness) kopi, meliputi: teknis budidaya, pengolahan, dan rantai pasok. Pengorganisasian usaha dimaksudkan agar petani kopi bertindak secara bersama-sama untuk membangun bisnis kolektif (collective bussiness) kopi rakyat. Pada tahap awal SKR mendorong kesadaran petani kopi untuk melakukan perubahan mindset dalam mengelola kopi. Semua ini dapat dilakukan apabila adanya pengetahuan (knowledge) petani kopi dalam mengambil keputusan dalam berbisnis kopi. Aksi riset “Sekolah Kopi Rakyat (SKR) Mamasa” memiliki beberapa tujuan, yaitu: (1) mengidentifikasi sistem tata kelola agraria yang ada (2) melihat tingkat pembangunan wilayah (3) mengidentifikasi lokasi dan lahan potensial (litak anak muane’) yang dapat dijadikan sebagai bisnis kolektif; (4) peningkatan kapasitas bagi petani kopi melalui SKR Mamasa. II. METODE PENELITIAN Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode yang dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif. Pendekatan kuantitatif digunakan untuk menganalisis hasil penelitian terkait kewilayahan, sedangkan pendekatan kualitatif digunakan untuk menjelaskan mengenai tata kelola agraria dan keterlibatan petani dalam SKR Mamasa. Penelitian dilakukan di wilayah Kabupaten Mamasa sebagai penghasil komoditas kopi. Data primer dikumpulkan melalui teknik wawancara dengan kuesioner, in depth interview serta Focus Group Discussion. Pemilihan sampel dilakukan dengan metode non probabilitas (purposive) yaitu sebanyak 20 petani. Pemilihan secara purposive didasarkan pada pengalaman (informasi di lapangan) dan pertimbangan tertentu [7]. Wawancara juga dilakukan dengan key informan dari beberapa instansi di Kabupaten Mamasa. Data sekunder dikumpulkan dari laporan penelitian pernah dilakukan sebelumnya dengan Pemerintah Daerah Mamasa, BPS dan Bappeda Kabupaten Mamasa. Analisis data dilakukan secara (a) analisis deskriptif kualitatif; (b) Location Quotient; dan (d) Analisis Skalogram. Analisis deskriptif kualitatif digunakan untuk mendapat gambaran tentang sistem tata kelola agrarian di Kabupaten Mamasa. Location Quotient merupakan metode analisis yang digunakan dibidang ekonomi wilayah, untuk menunjukkan lokasi pemusatan/basis (aktivitas) dan mengetahui kapasitas ekspor perekonomian suatu wilayah serta tingkat kecukupan barang dan jasa dari produksi lokal suatu wilayah [12]. LQ merupakan suatu indeks untuk membandingkan parsial sub wilayah dalam aktivitas tertentu dengan pangsa total aktivitas tersebut dalam total aktivitas wilayah (Sektor
40
Basis). Budiharsono [5] menyatakan, secara implisit di dalam pembagian kegiatan ekonomi terdapat sektor basis dan non basis yang keduanya terdapat hubungan sebab dan akibat sehingga membentuk teori basis ekonomi Persamaan dari LQ ini adalah: LQij = Xij / Xi. X.j / X.. Dimana: Xij = derajat aktivitas ke-j di wilayah ke-i Xi. = total aktivitas di wilayah ke-i X.j = total aktivitas ke-j di semua wilayah X.. = derajat aktivitas total wilayah Asumsi dari analisis LQ adalah : (1) kondisi geografis relatif seragam, (2) pola-pola aktivitas bersifat seragam, dan (3) setiap aktivitas menghasilkan produk yang sama. Interpretasi hasil analisis LQ: Jika nilai LQij > 1, maka terjadinya konsentrasi suatu aktivitas di sub wilayah ke-i secara relatif dibandingkan dengan total wilayah atau terjadi pemusatan aktivitas di sub wilayah ke-i. Jika nilai LQij = 1, maka sub wilayah ke-i tersebut mempunyai pangsa aktivitas setara dengan pangsa total atau konsentrasi aktivitas di wilayah ke-i sama dengan rata-rata total wilayah. Jika nilai LQij < 1, maka sub wilayah ke-i tersebut mempunyai pangsa relatif lebih kecil dibandingkan dengan aktivitas yang secara umum ditemukan di seluruh wilayah. Analisis Skalogram, digunakan untuk menentukan hirarki wilayah, dimana seluruh fasilitas umum yang dimiliki oleh setiap unit wilayah didata dan disusun dalam suatu tabel untuk dianalisis ketersediaan fasilitas tersebut di suatu wilayah [8]. Selain itu, melalui metode ini juga dapat diidentifikasi jenis, jumlah dan karakteristik infrastruktur yang diperlukan sebagai sarana yang mendukung perkembangan komoditas kopi disuatu kawasan. Hasil analisis kemudian dikelompokan untuk melihat Indeks Perkembangan Kecamatan. Secara matematis hirarki kelompok tersebut dikategorikan sebagai berikut:
X X
+ 2 Stdev ≤ Kel. I untuk Kelompok I (Tinggi) + 2 St-dev > Kel. II ≥
III. HASIL DAN
X untuk kel. II (Sedang )
. .
Kelompok III < X untuk Kelompok III ( Rendah)
PEMBAHASAN
A. Tata Kelola Agraria di Kabupaten Mamasa Penggunaan lahan merupakan bentuk pemanfaatan dan atau fungsi dari perwujudan suatu bentuk penutup lahan. Istilah penggunaan lahan didasari atas fungsi kenampakan penutup lahan yang menggambarkan fungsi aktivitas manusia dalam memanfaatkan lahan untuk kehidupan saat ini dan yang akan datang. Kenampakan visual lahan dengan berbagai fungsi peruntukannya terjadi baik secara alamiah maupun bentuk aktivitas manusia terhadap lahan bukan alamiah (buatan manusia). Luas lahan berdasarkan
penggunaannya di Kabupaten Mamasa ditunjukkan pada Gambar 1.
13%
Hutan Lindung
17% 50%
Hutan Produksti Terbatas Sawah Perkebunan
8% Lainnya 12%
Gambar 1. Tata Guna Lahan di Kabupaten Mamasa tahun 2015 Sumber : BPS Kabupaten Mamasa, 2015 (diolah)
Berdasarkan Gambar 1, dari luas wilayah Kabupaten Mamasa sebesar 3.005,88 km2, luas hutan mendominasi area di Kabupaten Mamasa dengan 50% diantaranya termasuk dalam kawasan hutan lindung, sisanya sebagai hutan produksi terbatas. Luas lahan pertanian sawah di Kabupaten Mamasa hanya sebesar 8% dari luas wilayah. Area sawah ini relatif terbatas di Kabupaten mamasa karena sulit untuk mendapatkan lahan yang relatif datar. Sementara itu perkebunan mempunyai proporsi 13% terhadap luas lahan di Kabupaten Mamasa. Potensi perkebunan di Kabupaten Mamasa cukup besar karena banyaknya area yang pegunungan yang dapat dimanfaatkan untuk tanaman tahunan. Berdasarkan rencana pola ruang Kabupaten Mamasa, dominasi tutupan lahan yang berada pada kawasan lindung berfungsi sebagai hutan lindung, sementara pada kawasan budidaya didominasi penggunaannya oleh perkebunan, sesuai dengan kondisi topografi wilayahnya yang berbukit-bukit. Sistem penguasaan dan pemilikan sumberdaya agraria dalam hal ini adalah lahan (dalam bahasa lokal disebut litak) yang terdapat di Mamasa dibedakan menjadi lahan basah dan lahan kering. Menurut Sjaf et.al [14] sistem kepemilikan lahan (litak) di Mamasa secara rinci adalah sebagai berikut: a) Sistem kepemilikan pribadi (private property system), yaitu penguasaan terhadap jenis litak tertentu oleh lapisan sosial tertentu. Bentuk penguasaan litak ini berupa hak kepemilikan, meliputi: akses memiliki, menggunakan, memanfaatkan dan mengelola. Jenis litak yang masuk dalam pola ini adalah lahan basah dan lahan penggembalaan yang kepemilikannya didominasi lapisan atas seperti tana’ bulawan dan tana’ bassi. b) Sistem kepemilikan komunal (communal property system) yaitu penguasaan terhadap jenis litak tertentu oleh ada’ dan tidak boleh dimiliki secara pribadi tetapi hanya bisa dimanfaatkan, digunakan dan diolah oleh lapisan bawah yakni tana’ karurung dan tana’ koakoa. Berdasarkan hasil wawancara mendalam dengan masyarakat, diketahui jika lahan kering seperti lahan yang ditanami kopi dan kakao adalah lahan yang dikelola turun temurun dan tidak dimiliki oleh pribadi. Lahan jenis ini yang dikenal dengan istilah litak anak muane yaitu litak yang
dilindungi ada’ yang diperuntukkan bagi pakka (masyarakat umum) yang termasuk kategori maa’padanan peleko (mereka yang tidak memiliki sawah). Hasil yang diperoleh dari pengelolaan litak ini sepenuhnya milik mereka yang mengelola. Jenis komoditi yang ditanami di litak anak muane adalah kopi, kakao, padi ladang, ubi kayu dan lainlain. Dalam pengelolaan tanaman dan biji kopi di Mamasa, dikenal istilah Bulelenan yaitu gotong royong saling membantu antar petani kopi dalam berbagai hal yang berkaitan dengan pengelolaan kopi mulai dari membuka lahan, pemeliharaan sampai pemanenan. Dalam hal ini, Toma’ tua atau tokoh adat yang dianggap sepuh dan dihormati berperan untuk mengorganisasi para petani kopi khususnya dalam hal pembagian waktu membuka lahan dan memanen kopi. Hal ini dilakukan agar setiap petani yang akan membuka lahan dan memanen kopi dijamin mendapatkan bantuan dari para petani kopi lain. Dalam kelembagaan lokal Bulelenan ini, para petani yang membantu tidak mendapat imbalan berupa uang melainkan mendapat biji kopi hasil panen dengan jumlah yang telah disepakati atau mereka sepakat untuk bergantian membantu jika salah satu di antara mereka juga akan membuka lahan atau memanen kopi. Bulelenan ini tidak hanya dilakukan ketika akan membuka lahan dan memanen kopi. Tapi juga dilakukan ketika membangun tempat tinggal sementara di sekitar lahan kopi yang sedang digarap. Lokasi lahan yang sangat jauh dengan pemukiman menyebabkan para petani kopi harus membangun tempat tinggal sementara di sekitar lahan, menetap di kebun selama seminggu hingga dua minggu kemudian pulang ke rumah. B. Tingkat Pembangunan Wilayah Kabupaten Mamasa Terdapat beberapa butir pokok yang bisa dijadikan sebagai indikator dalam analisis pengembangan wilayah yang dapat memberikan gambaran bagaimana posisi Kabupaten Mamasa dalam perkembangan ekonomi wilayahnya. Diantaranya adalah mencakup (1) kinerja perekonomian wilayah dan (2) sektor unggulan komparatif dan kompetitif. Identifikasi terhadap perkembangan ekonomi wilayah di Kabupaten Mamasa mejadi dasar untuk melihat potensi pengembangan perekonomian ke depan dari aspek makro. Keunggulan sekaligus kendala geografis yang dihadapi Kabupaten Mamasa menjadi peluang dalam pengembangan sektor perekonomian yang berperan penting bagi wilayah. Berdasarkan kinerja perekonomian wilayah tahun 20102014, Kabupaten Mamasa masih mengandalkan sektor primer sebagai pemicu pertumbuhan ekonomi wilayah di Kabupaten Mamasa. Sektor pertanian masih menjadi sektor dengan sumbangan terbesar bagi PDRB Kabupaten Mamasa dengan rata-rata sumbangan di atas 35 persen dalam 5 tahun terakhir (Gambar 2). Sementara untuk sektor lainnya yang memberikan sumbangan cukup besar bagi perekonomian wilayah Kabupaten Mamasa adalah sektor jasa dan perdagangan serta restoran. Integrasi antara sektor pertanian dengan proses pengolahan dan pemasaran dapat meningkatkan sumbangan yang lebih besar terhadap perekonomian wilayah. Upaya integrasi antara produk hasil budidaya pertanian dengan pengolahan sudah mulai dilakukan untuk komoditas kopi walaupun jumlah produk
41
kopi yang diolah masih terbatas. Lokasi sentra kopi di Kecamatan Messawa dan Kecamatan Sumarorong sudah mempunyai beberapa pedagang besar yang juga mengolah kopi. 45.00
Pertanian
40.00
Pertambangan dan Penggalian
35.00
Industri Pengolahan
30.00
Listrik Gas dan Air Bersih
25.00
Konstruksi
20.00
Perdagangan Hotel dan Restoran
15.00
Transportasi dan Pengangkutan
10.00
Keuangan Real Estate dan Jasa Perusahaan
5.00
Administrasi Pemerintahan
0.00
Jasa-Jasa
2010
2011
2012
2013
2014
Gambar 2. Kontribusi lapangan usaha di Kabupaten Mamasa tahun 2010-2014 Sumber: BPS Kabupaten Mamasa, 2016 (diolah)
C. Potensi Lahan Kopi di Kabupaten Mamasa Kopi merupakan salah satu komoditas perkebunan unggulan di Kabupaten Mamasa. Meskipun pamor kopi dalam 10 tahun terakhir sempat mengalami penurunan karena adanya pengembangan lahan untuk kakao namun kopi masih menjadi ciri khas Kabupaten Mamasa. Lahan Kopi di Kabupaten Mamasa menyebar di beberapa wilayah kecamatan. Lahan kopi menyebar secara dominan pada Kecamatan Nosu, Bambang, Sumarorong, Mambi, Mamasa, Tawalian, Messawa, Balla, dan Aralle. Lahan kopi berdasarkan sebaran actual tersebar secara geografis pada area lahan berbukit sampai bergelombang dengan kemiringan di atas 15 persen. Lahan kopi di Kabupaten Mamasa salah satunya terdapat di kaki Gunung Mambuliling dimana terdapat ribuan petani yang tinggal disekitarnya untuk membudidayakan tanaman kopi. Tabel 1. Sebaran Lahan Kopi Potensial di Kabupaten Mamasa Kecamatan
Luas (Ha)
D. Identifikasi Lokasi Pengembangan Sekolah Kopi Rakyat di Kabupaten Mamasa Terdapat beberapa komoditas perkebunan utama yang ditaman masyarakat di Kabupaten Mamasa, diantaranya adalah Kopi, Kakao, Aren dan Seong [2]. Masing-masing kecamatan mempunyai keunggulan komparatif yang berbeda karena terdapat perbedaan sentra produksi antara kakao dengan kopi khususnya. Dua tanaman perkebunan ini merupakan primadona di Kabupaten Mamasa. Tabel 2. Hasil analisis LQ tanaman perkebunan di Kabupaten Mamasa No
Kecamatan
Kopi Arabika
Kopi Robusta
Kakao
Aren
1
Sumarorong
4,83
23,67
0,07
0,47
13,43
2
Messawa
8,38
20,34
0,01
0,00
26,11 18,11
Seong
Bambang
6.001,50
3
Pana
2,50
20,79
0,18
0,85
Mamasa
12.105,51
4
Nosu
44,16
2,93
-
-
0,17
Mambi
3.090,28
5
Tabang
11,04
6,20
0,50
14,69
14,49
Nosu
3.309,83
6
Mamasa
7,00
5,80
0,55
268,2
1,00
323,65
7
Tanduk Kalua
0,91
9,89
0,70
0,57
1,15
Sumarorong
7.603,34
8
Balla
9,89
5,06
0,64
1,14
4,47
Tabang
4.348,20
9
Sespa
0,47
0,56
1,02
-
2,55
Tawalian
1.848,23
10
Tawalian
1,73
2,02
0,95
-
0,46
11
Mambi
-
1,79
1,00
-
0,83
12
Bambang
0,06
0,06
1,06
-
0,03
13
Rantebulahan
0,37
1,19
1,01
-
0,21
14
Mehalaan
2,64
7,94
0,73
-
1,06
15
Aralle
-
0,03
1,06
-
0,08
Rantebulahan Timur
Sumber: Masterplan Kopi Mamasa (2014)
Gunung Mambuiling berada di sekitar Kecamatan Mamasa, dimana kecamatan ini mempunyai luas lahan kopi potensial yang paling besar di Kabupaten Mamasa (Tabel 1). Salah satu jenis kopi unggulan di Kabupaten Mamasa yang
42
sudah ditanam secara luas dan turun temurun adalah kopi jenis robusta. Tanaman kopi sudah lama dikenal oleh masyarakat di Kabupaten Mamasa terutama pada desa-desa yang terletak di ketinggian lebih dari 1.000 m di atas permukaan laut. Tanaman kopi sudah ada sebelum tahun 1980 dengan jenis kopi yang banyak ditanam adalah kopi robusta. Namun demikian terdapat juga jenis kopi arabika yang telah berkembang dan cukup besar tersebar di wilayah Mamasa. Tanaman kopi arabika cukup baik ditanam pada kondisi tanah dengan ketinggian tempat diatas 700 mdpl. Sebagian besar tanaman kopi di Kabupaten Mamasa diusahakan pada daerah berlereng dengan akses menuju kebun kopi yang tidak mudah. Berdasarkan data pada tahun 2015 luas areal tanaman kopi robusta dan arabika di Kabupaten Mamasa mencapai 5.019 ha dan 4.468 ha. Kopi robusta terdiri atas tanaman belum menghasilkan (TBM) 1.625 ha dan tanaman menghasilkan seluas 3.392 ha. Tanaman kopi robusta ditanam hampir di semua kecamatan di Kabupaten Mamasa. Sedangkan kopi arabika terdiri atas tanaman belum menghasilkan (TBM) 1.121 ha dan tanaman menghasilkan seluas 3.347 ha. Tanaman kopi arabika banyak ditanam di kecamatan Nosu dan Sumarorong (Disperta 2015). Lokasilokasi potensial untuk pengembangan budidaya kopi di Kabupaten Mamasa memiliki sistem pengelolaan lahan (tata kelola) agraria yang hampir sama. Posisi lahan kopi yang banyak berada di perbukitan banyak bersinggungan dengan litak anak muane’ yang sifatnya dimiliki secara komunal sehingga setiap orang dapat membudidayakan kopi dengan izin dari komunitas.
16
Buntu Malangka
17
Tabulahan
-
0,79
1,03
0,00
0,62
0,002
0,02
1,06
0,04
-
Perhitungan pada Tabel 2 untuk menguatkan hasil identifikasi awal terhadap kecamatan potensial untuk menjadi sentra kopi di Kabupaten Mamasa. Dengan menggunakan teknik analisis Location Quotient (LQ) dihitung potensi keunggulan komparatif untuk tanaman kopi robusta dan kopi arabika. Berdasarkan hasil analisis LQ pada Tabel 2, diketahui bahwa tanaman kopi di Kabupaten Mamasa mempunyai keunggulan komparatif yang relatif tinggi dibandingkan dengan tanaman kakao. Nilai LQ>1 menunjukkan kecamatan tersebut mempunyai keunggulan komparatif dibandingkan dengan kecamatan lainnya, artinya produksi kopi di kecamatan tersebut lebih baik dibandingkan dengan rata-rata di tingkat kabupaten. Hasil perhitungan LQ menunjukkan jenis Kopi Arabika mempunyai keunggulan komparatif tertinggi di Kecamatan Nosu dan Tabang dengan nilai LQ yang cukup tinggi dibandingkan dengan kecamatan lain. Meskipun dua kecamatan ini mempunyai nilai LQ yang relatif tinggi, namun masih terdapat enam kecamatan lainnya yang mempunyai nilai LQ > 1 untuk Kopi Arabika. Pada jenis Kopi Robusta, terdapat 12 kecamatan dari 17 kecamatan yang mempunyai keunggulan komparatif dalam budidaya kopi (LQ >1). Kondisi ini menunjukkan tanaman Kopi Robusta lebih banyak dibudidayakan oleh masyarakat, sehingga penyebarannya relatif lebih merata. Sentra produksi Kopi Robusta berdasarkan hasil analisis pada Tabel 2 terdapat di Kecamatan Sumarorong, Messawa dan Pana. Tiga kecamatan ini mempunyai nilai LQ yang cukup tinggi dibandingkan dengan daerah lainnya. Secara potensial tanaman kopi di Kabupaten Mamasa dapat menjadi sumber pendapatan utama masyarakat dengan luas tanam yang cukup besar serta jumlah petani yang cukup banyak. Selama ini petani masih membudidayakan kopi dengan cara tradisional yang menghasilkan kualitas kopi yang kurang baik. Petani tidak mempunyai posisi tawar yang baik karena kualitas kopi mereka diperlakukan sama oleh pedagang pengumpul. Proses penanganan pasca panen dan budidaya yang dilakukan petani masih perlu ditingkatkan dengan tetap mempertahankan kearifan lokal budidaya kopi yang dimiliki petani. Salah satu permasalahan utama yang dihadapi adalah kurangnya pengetahuan petani mengenai kualitas kopi yang dibudidayakan oleh petani. Pemilihan lokasi untuk pilot project Sekolah Kopi Rakyat juga didasarkan pada hasil analisis skalogram pada kecamatan potensial untuk budidaya kopi di Kabupaten Mamasa. Metode skalogram lebih menitikberatkan pada jumlah dan jenis pelayanan, meskipun ada modifikasi dengan mempertimbangkan tidak hanya keberadaan fasilitas layanan tetapi juga aspek kapasitas layanan, serta akses berdasarkan jarak fisik dan waktu tempuh menuju fasilitas tersebut. Pada bagian ini analisis skalogram digunakan untuk melihat wilayah mana yang dari segi fasilitas mendukung untuk dijadikan menjadi pusat unggulan kopi di Kabupaten Mamasa. Data yang digunakan untuk analisis skalogram diperoleh dari data Kabupaten Mamasa dalam angka 2016, yang terdiri atas 1) data jumlah industri rumah tangga 2) jumlah industri kecil 3) jumlah industri sedang 4) data akses terhadap listrik
5) jumlah pasar 6) jumlah pedagang 7) jumlah koperasi dan 8) kondisi jalan. Data yang digunakan merupakan data tingkat kecamatan, data ini sebagai proksi untuk melihat kesiapan wilayah dalam mendukung pengembangan kopi. Analisis ini bermaksud mengidentifikasi kecamatan mana saja yang menjadi wilayah pusat dengan hirarki yang tinggi yang dicirikan dengan tingginya nilai ketersediaan fasilitas untuk pengembangan kopi di Kabupaten Mamasa. Tabel 3. Hasil analisis skalogram pada kecamatan potensial untuk budidaya kopi di Kabupaten Mamasa No
Kecamatan
IPK*
Jumlah Jenis Fasilitas
Hirarki
1
Sumarorong
35,34
8
Hirarki 1
2
Messawa
37,59
7
Hirarki 1
3
Pana
0,60
6
Hirarki 3
4
Nosu
5,60
6
Hirarki 3
5
Tabang
1,34
4
Hirarki 3
6
Mamasa
35,07
7
Hirarki 1
7
Balla
21,39
6
Hirarki 2
8
Tawalian
11,70
5
Hirarki 3
9 Mehalaan 1,86 3 Hirarki 3 * Indeks Pembangunan Kecamatan dari aspek fasilitas yang mendukung budidaya kopi Sumber : BPS 2016 (diolah)
Berdasarkan hasil analisis skalogram pada Tabel 3 terdapat tiga kecamatan yang termasuk ke dalam hirarki 1. Ketiga kecamatan tersebut berada pada area lintasan jalan utama di Kabupaten Mamasa, sehingga fasilitas untuk mendukung pengembangan kopi yang ada pada wilayah ini jauh lebih baik daripada wilayah lain. Kecamatan Messawa mempunyai nilai indeks pembangunan kecamatan yang paling tinggi, sehingga pemilihan lokasi untuk pilot project Sekolah Kopi Rakyat di Kabupaten Mamasa sesuai dengan analisis skalogram. Wilayah-wilayah dengan hirarki 2 dan hirarki 3 diarahkan untuk menjadi wilayah basis produksi kopi, sementara kecamatan dengan hirarki 1 dapat menjadi pusat untuk pengolahan kopi di Kabupaten Mamasa. Sinergi antar kecamatan dan prioritas pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten akan sangat mendorong terhadap pengembangan komoditas kopi di Kabupaten Mamasa E. Pelibatan Petani Potensial dalam Pelatihan Budidaya Kopi Mamasa Setelah diperoleh petani potensial yang akan membudidayakan kopi di Kecamatan Messawa, dilakukan identifikasi terhadap potensi dan masalah dalam pengembangan kopi yang selama ini dihadapi petani. Identifikasi dilakukan melalui proses wawancara mendalam dengan petani informan dan penyuluh. Selain itu dilakukan juga Focus Grup Discussion dengan petani untuk mengidentifikasi permasalahan terkait budidaya kopi. Hasil FGD dengan petani kopi menghasilkan informasi sebagai berikut; a). Persoalan utama yang cenderung masih dihadapi adalah tingkat pengetahuan kemampuan teknis dan aplikatif
43
c).
d).
e).
f).
Pilot Project Sekolah Kopi Rakyat (SKR) Mamasa merupakan rangkaian kegiatan untuk meningkatkan kapasitas petani kopi dalam hal budidaya dan pascapanen komoditas kopi. Kegiatan SKR Mamasa pada tahap awal berupa pelatihan budidaya dan pascapanen kopi yang terdiri atas (1) uji cita rasa kopi melalui metode cupping dan (2) penyampaian materi, praktek dan diskusi mengenai teknik budidaya dan pascapanen kopi. Kegiatan pelatihan budidaya dan pascapanen kopi ini diisi oleh 2 orang narasumber dari Rumah Kopi Ranin dan coffee and spices tester PT. Lintang Visikusuma. Dua lembaga tersebut menjadi representasi dari penikmat kopi sekaligus penggiat hulu hingga hilir komoditas kopi. Sebelum pelaksanaan pelatihan dilakukan pre-test sebelum materi disampaikan dan post-test setelah kegiatan pelatihan berakhir. Pre-test dilakukan untuk mengukur kemampuan awal partisipan terhadap materi pelatihan sedangkan post-test untuk mengetahui tingkat pemahaman dan penguasaan partisipan terhadap seluruh materi pembelajaran. Setelah itu, selisih antara nilai pre-test dan post-test merupakan gambaran tingkat pemahaman yang diperoleh peserta dari hasil pelatihan yang murni (bukan dari sumber lain). Pre-test dan post-test dilakukan dengan menggunakan soal yang sama. Pertanyaan dalam pre-test dan post-test meliputi pengetahuan mengenai asal usul kopi, jenis-jenis kopi, teknik budidaya serta pascapanen kopi. Ketika pelatihan 20 orang petani dibagi ke dalam 3 kelompok. Masing – masing kelompok melakukan uji cita rasa kopi atau dikenal dengan istilah cupping. Setelah cupping dan pre-test selesai, perwakilan setiap kelompok diminta untuk mempresentasikan aroma dan rasa kopi menurut kelompoknya masing-masing. Narasumber mengarahkan peserta untuk membandingkan rasa antara kopi tersebut. Narasumber memfokuskan bahasan pada jenis kopi yang dirasa masih kurang baik dalam hal rasa.
44
Dari kegiatan cupping ini, narasumber menekankan agar petani kopi mengenal kualitas rasa kopi yang dihasilkan sendiri. Dengan begitu, petani akan memiliki kekuatan untuk menjaga harga jual kopi tetap tinggi. Artinya, petani tidak langsung menjual biji kopi dengan harga rendah karena tidak mengetahui kualitasnya. Setelah itu, narasumber menyampaikan kekeliruan yang biasa dilakukan petani mulai dari hulu hingga hilir yang dapat mengurangi kualitas rasa kopi. Materi yang disampaikan baik berupa teori maupun praktek langsung meliputi poin-poin sebagai berikut. a)
Jenis - jenis kopi dan faktor - faktor yang berpengaruh terhadap cita rasa b) Proses pascapanen kopi c) Cacat mutu kopi dan pengaruhnya terhadap cita rasa d) Teknik sortasi dan penentuan mutu pada kopi mentah Selama rangkaian pelatihan SKR Mamasa dilaksanakan, seluruh peserta mengikuti kegiatan tersebut dengan semangat dan penuh antusias. Seluruh peserta menyimak materi yang disampaikan oleh narasumber dengan baik, aktif bertanya, menjawab serta memberi tanggapan ketika sesi diskusi dimulai. Berdasarkan pre-test dan post-test yang dilakukan menunjukkan bahwa pelatihan memberikan peningkatan pengetahuan kepada para peserta. Seluruh peserta pun menyatakan bahwa sangat mendukung dan berharap agar pelatihan dalam SKR Mamasa ini dilakukan secara rutin dan berkelanjutan. 35 30 25 20 15
Nilai
b).
dalam pengelolaan kopi dari hulu hingga hilir yang masih rendah. Teknik budidaya tradisional yang dilakukan petani, khususnya petani kopi hutan sudah menerapkan prinsip organic namun demikian masih perlu perbaikan dalam teknik-teknik budidadaya tertentu. Lahan kopi yang ada relatif luas dan menyebar serta jarak yang agak jauh dari desa. Kondisi ini juga terkait dengan masih terbatasnya kemampuan petani dalam mengelola manajemen tata kelola tanaman dan pasca panen sehingga proses budidaya masih belum optimal Adanya keterbatasan infrastruktur pendukung untuk pengangkutan kopi menyebabkan terbatasnya informasi pemasaran dan ekonomi. Selain itu ketersediaan alat untuk pengolahan pasca panen masih sangat terbatas dari segi kuantitas, walaupun petani sudah mengembangkan teknologi tepat guna dalam budidaya kopi ini. Belum optimalnya kelembagaan petani dalam mengelola manajemen pengelolaan kopi skala luas menjadikan persoalan kapasitas Sumber Daya Manusia petani perlu untuk mendapatkan perhatian lebih. Petani kopi belum mengetahui atau sulit mengukur kualitas kopi yang dihasilkan dari kebunnya, sehingga hal ini berimplikasi terhadap harga jual yang rendah, apalagi petani belum menerapkan proses sortasi dan grading kopi.
10 5 0 1 2 3 4 5 6 7 8 Responden
9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 Pre Tes Post Test
Gambar 3. Nilai pre-test dan post-test petani pada pelatihan budidaya kopi
Berdasarkan Gambar 3, nilai post-test untuk seluruh petani mengalami peningkatan setelah mengikuti pelatihan, sehingga dapat dikatakan bahwa pelatihan di SKR Mamasa berjalan dengan baik dan dapat meningkatkan tingkat pengetahuan petani. Secara rata-rata nilai petani yang mengikuti pelatihan meningkat, nilai maksimal yang diperoleh petani juga meningkat, sehingga dapat dikatakan peningkatan kapasitas petani kopi pada SKR di Kecamatan Messawa relatif cukup baik. Upaya diseminasi dan juga penyampaian materi oleh petani yang ikut pelatihan kepada petani yang tidak ikut pelatihan diharapkan berjalan setelah pelatihan, apalagi petani melakukan praktek sendiri dalam SKR sehingga pengetahuan yang mereka dapatkan lebih diingat. Selama rangkaian pelatihan dalam SKR Mamasa dilaksanakan, seluruh peserta mengikuti kegiatan tersebut dengan semangat dan penuh antusias. Seluruh peserta menyimak materi yang disampaikan oleh narasumber
dengan baik, aktif bertanya, menjawab serta memberi tanggapan ketika sesi diskusi dimulai. Berdasarkan pretest dan postest yang dilakukan menunjukkan bahwa pelatihan memberikan peningkatan pengetahuan kepada para peserta. Seluruh petani pun menyatakan bahwa sangat mendukung dan berharap agar pelatihan dalam SKR Mamasa ini dilakukan secara rutin dan berkelanjutan. IV. SIMPULAN Berdasarkan data tata guna lahan dan rencana pola ruang di Kabupaten Mamasa, potensi perkebunan di Kabupaten Mamasa cukup besar karena banyaknya area yang pegunungan yang dapat dimanfaatkan untuk tanaman tahunan salah satunya adalah kopi. Sistem penguasaan dan pemilikan sumberdaya agraria dalam hal ini adalah lahan (litak) yang terdapat di Mamasa dibedakan menjadi lahan basah (sawah) dan lahan kering (kebun). Berdasarkan hasil analisis LQ tanaman kopi di Kabupaten Mamasa mempunyai keunggulan komparatif yang relatif tinggi dibandingkan dengan tanaman perkebunan lainnya. Kecamatan Messawa menjadi lokasi untuk pilot project Sekolah Kopi Rakyat berdasarkan pertimbangan analisis LQ, Skalogram dan kesiapan petani. Berdasarkan pretest dan postest yang dilakukan menunjukkan bahwa pelatihan yang diberikan memberikan peningkatan pengetahuan. Upaya diseminasi dan juga penyampaian materi oleh petani yang ikut pelatihan kepada petani yang tidak ikut pelatihan. Seluruh peserta pun menyatakan bahwa sangat mendukung dan berharap agar pelatihan dalam SKR Mamasa ini dilakukan secara rutin dan berkelanjutan
UCAPAN TERIMA KASIH
Penelitian ini merupakan bagian dari Penelitian Institusi Tema 8 “Kajian Kebijakan Reforma Agraria Untuk Penguatan Kapasitas Masyarakat dalam Rangka Kemandirian Pangan dan Pengentasan Kemiskinan” LPPM Institut Pertanian Bogor. Kami mengucapkan terima kasih kepada Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi yang telah memberikan pedanaan untuk penelitian ini, serta pemerintah daerah Kabupaten Mamasa yang telah memberikan bantuan dalam pelaksanaan penelitian ini
REFERENSI [1] Adiwibowo S, Putri Eka I, Sjaf S, et al. 2014. Kajian Kebijakan Reforma Agraria Untuk Penguatan Kapasitas Masyarakat dalam Rangka Kemandirian Pangan dan Pengentasan Kemiskinan. Bogor (ID). Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat, Institut Pertanian Bogor. (Unpublished) [2] [BPS Kabupaten Mamasa]. Badan Pusat Statistik Kabupaten Mamasa. 2016. Kabupaten Mamasa dalam Angka 2016. Mamasa (ID): BPS Kabupaten Mamas. [3] [BPS Kabupaten Mamasa]. Badan Pusat Statistik Kabupaten Mamasa. 2015. Kabupaten Mamasa dalam Angka 2015. Mamasa (ID): BPS Kabupaten Mamasa. [4] [BPS Provinsi Sulawesi Barat]. Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Barat. 2016. Sulawesi Barat dalam Angka 2016. Mamuju (ID): BPS Provinsi Sulawesi Barat. [5] Budhiharsono. 2005. Teknik Analisis Pembangunan Wilayah Pesisir dan Lautan. Jakarta (ID): Pradnya Paramita [6] Gaventa J, and Cornwall A. 2001. Power and Knowledge. In P. Reason & H. Bradbury (Eds). Handbook of Action Research: Participative Inquiry and Practice (pp. 70-80). London (UK). Sage Publications. [7] Guarte J.M and Barrios E.B. 2006. Estimation under purposive sampling. Communication in Statistic-Simulation and Computation. 35(2006); 277-284. [8] Hendayana, R., 2003. Aplikasi Metode Location Quotient (LQ) dalam Penentuan Komoditas Unggulan Nasional. Jurnal Informatika Pertanian. 12(1):20-26. [9] Junita R. 2016. Dinamika Kelembagaan Padi Sawah Pa’totiboyongan, Desa Ballatumuka, Kabupaten Mamasa. [Tesis]. Bogor (ID). Institut Pertanian Bogor. [10] [PSP3-IPB, Bappeda Kabupaten Mamasa]. Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan Institiut Pertanian Bogor, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Mamasa. 2014. Penyusunan Perencanaan Pengembangan Ekonomi Masyarakat Kabupaten Mamasa (Unpublished). [11] [PSP3-IPB, Bappeda Kabupaten Mamasa]. Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan Institiut Pertanian Bogor, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Mamasa. 2015. Penyusunan Masterplan Kopi Kabupaten Mamasa (Unpublished). [12] Rustiadi, E., Saefulhakim, dan Panuju, D.R., 2011. Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Jakarta (ID). Crestpent Press dan Yayasan Pustaka Obor Indonesia. [13] Setianto P dan Susilowati I. 2014. Komoditas Perkebunan Unggulan yang Berbasis Pada Pengembangan Wilayah Kecamatan di Kabupaten Banjarnegara Provinsi Jawa Tengah. Jurnal Wilayah dan Lingkungan. 2(2):143-156. [14] Sjaf S, Asma L, Retno PA. 2007. Potret Kedaulatan Pangan Mamasa. Bogor (ID): SAINS (Sajogyo Institute) [15] Soetarto, Endriatmo dan Tantan Hermansah. 2011. Memerankan Reforma Agraria Untuk Desa 2030: Strategi Untuk Memerankan Pertanian dan Kehutanan. Yogyakarta.(ID). Percetakan Pohon Cahaya. [16] Tjondronegoro, S.M.P. 2011. Desa: Retrospeksi ke-1800 Menuju Prospek 2030 dalam Menuju Desa 2030. Yogyakarta (ID). Percetakan Pohon Cahaya. [17] Van Vollenhoven, Cornelis. 2012. Orang Indonesia dan Tanahnya. Sajogyo Institute Bogor. “PDCA12-70 data sheet,” Opto Speed SA, Mezzovico, Switzerland.
45
46
ANALISIS STRATEGI PEMBERDAYAAN KELOMPOK TANI PADA PROGRAM KEBUN BENIH RAKYAT UNTUK KEGIATAN PENGHIJAUAN LINGKUNGAN DI KECAMATAN PONTIANAK UTARA Donna Youlla1) 1)
Staff Pengajar pada Fakultas Pertanian Universita Panca Bhakti Program Doktor Ilmu Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya
2)
E-mail:
[email protected]
Abstract. Construction of the People's Garden Seeds (KBR) is one of the priority programs of the Ministry of Forestry, which has been implemented since 2010, in order to prepare quality seeds in sufficient quantities to support a planting program in the target land area Forest and Land Rehabilitation throughout Indonesia. People's Garden Seeds is a temporary nursery located close to the area to be planted; small and simple; managed at the time of seed production. To implement these activities are groups of people who are members of farmer groups or cooperatives. The district of North Pontianak is the only sub-district in the city of Pontianak which get program People's Garden Seeds (KBR) in 2012. The purpose of the implementation is to provide opportunities and activities to the farmers to be able to self-employment reforest on its own territory, especially to empower farmer groups there were further later can improve the environmental conditions of the region. The method used in the research is to use analysis of the empowerment strategy formulation farmer groups, namely the analysis of strenght, Weakness, Opportunity and Threat (SWOT). The analysis was conducted to compare the chance of external factors (opportunities) and threats (threats) by a factor of internal strength (strenght) and weaknesses (weaknesses). Keywords : Kebun Benih Rakyat, Pemberdayaan, Analisa SWOT I. PENDAHULUAN
berbagai pola pemberdayaan masyarakat pelaku
Upaya meningkatkan partisipasi masyarakat dan swasta dihadapkan pada berbagai kendala, untuk itu dalam rangka pemberdayaan masyarakat tidak saja memerlukan pendekatan teknis seperti yang telah diterapkan selama ini, tetapi juga pendekatan sosial budaya (socio-cultural) yang mampu merangsang perubahan sikap, perilaku dan pola kerja. Untuk mendukung proses perubahan tersebut, maka peran pemerintah yang dapat dilakukan
antara
lain
melalui: (1) fasilitasi penyediaan
sarana
dan
prasarana fisik yang difokuskan pada pemenuhan kebutuhan publik untuk mendukung sektor pertanian serta lingkungan usaha secara luas, (2) dalam rangka
fasilitasi
percepatan pembangunan diwilayah,
(3) fasilitasi untuk terciptanya iklim yang kondusif bagi perkembangan kreativitas dan kegiatan ekonomi masyarakat serta merangsang tumbuhnya investasi masyarakat dan dunia usaha
serta (4) penerapan
pembangunan pertanian (Prihartono, 2009). Pola
pemberdayaan
dilakukan
guna
mengatasi
masalah utama di tingkat usaha tani keterbatasan modal petani, di
samping
yaitu masalah
belum berkembangnya usaha di hulu, hilir dan jasa penunjang dalam pembangunan pertanian, rendahnya penguasaan teknologi serta lemahnya SDM dan kelembagaan petani. Departemen Pertanian sudah sejak lama merintis penerapan pola pemberdayaan seperti ini melalui berbagai kegiatan pembangunan di daerah.Kelembagaan kelompok menjadi lembaga usaha yang dapat meningkatkan kewirausahaandan pengembangan pemberdayaan
usaha seperti
ekonomi
produktif.
ini
Pola
diharapkandapat
merangsang tumbuhnya usaha dan mempercepat terbentuknya jaringankelembagaan pertanian yang akan menjadi embrio tumbuhnya inti kawasan pembangunanwilayah (Giarci, 2001).
47
Pembangunan Kebun Bibit Rakyat (KBR) merupakan
dari pengalaman tersebut, dipandang perlu untuk
salah satu program prioritas Kementerian Kehutanan
merumuskan kegiatan penyediaan bibit berkualitas
yang telah dilaksanakan sejak tahun 2010, guna
berbasis pemberdayaan masyarakat dengan nama
menyiapkan bibit berkualitas dalam jumlah yang
Kebun Bibit Rakyat.
cukup untuk mendukung program penanaman
Kebun
di
Bibit
Rakyat
merupakan
fasilitasi
areal lahan sasaran Rehabilitasi Hutan dan Lahan di
pemerintah dalam penyediaan bibit tanaman hutan
seluruh Indonesia. Kebun Bibit Rakyat merupakan
dan jenis tanaman serbaguna (MPTS)
persemaian sementara yang lokasinya dekat dengan
prosesnya dibuat secara swakelola oleh kelompok
areal yang akan ditanami; berukuran kecil dan
tani. Bibit hasil Kebun Bibit
sederhana;
untuk merehabilitasi dan menanam di lahan kritis,
dikelola
pada
saat
produksi
bibit.
lahan
yang
wilayahnya. Di samping itu, Kebun Bibit
dalam
kelompok
tani
atau
dan
lahan
tidak
digunakan
Pelaksana kegiatan ini adalah kelompok masyarakat tergabung
kosong
Rakyat
yang
produktif
di
Rakyat
koperasi.Keberadaan kelompok ini dapat diinisiasi
juga dipakai sebagai sarana untuk mengurangi
dan dibentuk oleh Pimpinan Persyarikatan sebagai
terjadinya resiko sosial berupa kemiskinan akibat
bagian amal usaha.Kelompok yang sudah dibentuk
degradasi hutan dan lahan serta sebagai tempat
ini selanjutnya mengajukan proposal pengembangan
pemberian
Kebun Bibit Rakyat (KBR) kepada Kementerian
mengenai
Kehutanan
dengan menggunakan benih/bibit yang berkualitas.
RI,
dalam
hal
ini
Kepala
Balai
pengetahuan pembuatan
dan
keterampilan
persemaian,
penanaman
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) di
Kecamatan Pontianak Utara merupakan satu-satunya
wilayah terdekat.
Kecamatan
Upaya
menanam
di
lahan kritis
atau lahan
di
wilayah
Kota
Pontianak
yang
mendapatkan program Kebun Bibit Rakyat (KBR)
kosong dan lahan tidak produktif dengan jenis
pada tahun 2012.Kecamatan Pontianak Utara saat ini
tanaman
terbagi menjadi empat kelurahan, yakni Batu Layang,
hutan
dan
jenis
tanaman
serbaguna
merupakan salah satu upaya pemulihan kondisi DAS
Siantan Hilir, Siantan Tengah, dan Siantan Hulu.
yang kritis. Upaya tersebut juga dapat memberikan
Pada tanggal 14 Juli 2008, disahkan Perda Kota
hasil berupa kayu, getah, buah, serat, pakan ternak,
Pontianak No. 12 Tahun 2008 yang memekarkan
dan lain sebagainya.Keinginan masyarakat untuk
Pontianak Utara menjadi delapan kelurahan, yakni
menanam
tanaman
hutan
tanaman
Siantan Hulu, Parit Pangeran, Siantan Tengah, Selat
serbaguna
dalam
berbagai
rehabilitasi
Panjang, Siantan Hilir, Sungai Selamat, Batu Layang
dan
jenis
upaya
hutan dan lahan, dibatasi oleh ketidakmampuan
Timur, dan Batu Layang Barat. Namun hingga kini,
mereka untuk memperoleh bibit yang berkualitas.
pemekaran itu belum dapat terealisasi.
Sebagai akibatnya, masyarakat cenderung menanam
Maksud dilaksanakannya Penanaman Kebun Bibit
tanaman hutan dan jenis tanaman serbaguna dari
Rakyat di wilayah Kecamatan Pontianak Utara pada
biji atau benih asalan, sehingga tanaman tersebut
dua kelompok tani yang ada yaitu Kelompok Tani
memerlukan
Sinar Fajar Tani di Kelurahan Batu Layang dan
waktu
lebih
panjang
untuk
berproduksi dan apabila berproduksi kualitas dan
Kelompok Tani Usaha Bersama di Kelurahan Siantan
kuantitas hasilnya kurang memuaskan. Bertolak
Hulu adalah untuk memberikan kesempatan dan
48
kegiatan kepada masyarakat petani untuk secara
swakarya
melakukan
dapat
penghijauandi
wilayahnya sendiri terutama untuk memberdayakan kelompok tani yang ada yang selanjutnya nanti dapat
II. METODE PENELITIAN
memperbaiki kondisi lingkungan wilayah tersebut.
Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Pontianak
Kebun Bibit Rakyat (KBR) yang dilaksanakan di
Utara tepatnya di dua kelurahan yaitu di Kelurahan
Kecamatan
Batu Layang dan Kelurahan Siantan Hulu.Waktu
Pontianak
Utara
masing-masing
di
Kelurahan Batu Layang dan Kelurahan Siantan Hulu
penelitian
bulan
sejak
dengan memberdayakan kelompok tani yang ada di
pengumpulan data hingga selesai.Metode
yang
wilayah tersebut, namun perlu ditinjau sampai sejauh
digunakan dalam pengumpulan data yakni :
mana efektifitas kegiatan ini sehingga ke depannya dapat memberikan manfaat yang sangat besar. Adapun manfaat utama dari pelaksanaan program ini
- Populasi pada
luasnya
sampling) yaitu sebanyak 15 orang dari
wilayah
Kelompok Tani Sinar Fajar Tani di Kelurahan Batu Layang dan 15 orang dari Kelompok Tani
bertambahnya pembangunan beberapa buah pabrik
Usaha Bersama di Kelurahan Siantan Hulu.
wilayah tersebut. Pelaksanaan program KBR di
Sehingga total petani responden adalah 30
wilayah ini dengan memberdayakan kelompok tani
orang. Berdasarkan pendapat ahli seperti yang
yang ada di wilayah tersebut diharapkan dapat tujuan
pemerintah
yaitu
dikemukakan oleh Gay dalam Husein Umar
untuk
(2002), yaitu ukuran sampel minimum yang
menyediakan bibit tanaman hutan dan jenis tanaman serbaguna
(MPTS)
yang
dilaksanakan
secara
swakelola oleh kelompok masyarakat, terutama di pedesaan. Dimana bibit yang nantinya dihasilkan dapat digunakan untuk merehabilitasi hutan
dan
lahan kritis serta kegiatan penghijauan lingkungan. Tujuan yang ingin dicapai yakni : 1. Untuk mengetahui sektor-sektor strategis pemberdayaan kelompok tani pada program Kebun Benih Rakyat. 2. Untuk mengetahui strategi pemberdayaan kelompok tani yang paling efektif yang perlu dikembangkan pada Program Kebun Benih Rakyat di Kecamatan Pontianak Utara.
ini adalah dua
Pontianak Utara. Sebagai responden (total
pemukiman penduduk dan disertai dengan makin
mencapai
penelitian
kelompok tani di dua kelurahan di Kecamatan
penghijauannya telah banyak berkurang seiring bertambah
4
primer.
tersebut dimana dari dua kawasan tersebut wilayah
makin
selama
1. Metode pengambilan data dan ragam data / data
adalah untuk penghijauan lingkungan di daerah
dengan
dilakukan
dapat diterima adalah 30 responden. -
Penyebaran kuisioner
-
Studi literatur untuk menambah kelengkapan
data yang diperoleh dengan cara mempelajari, mengutip buku dan laporan yang berkaitan dengan penelitian. 2.
Data sekunder diperoleh dari lembaga-
lembaga yang berhubungan dengan penelitian yang bisa berupa laporan-laporan dan data-data yang berhubungan dengan kegiatan penelitian ini. Analisis Data Untuk perumusan analisa strategi pemberdayaan kelompok tani yang lebih tepat digunakan analisis
49
strenght,
weakness,
(SWOT).
opportunity
Analisis
and
threat
Pembuatan matriks internal dan eksternal.
dilakukan
untuk
eksternal
peluang
faktor yang telah termasuk kedalam kekuatan,
(opportunities) dan ancaman (threats) dengan
kelemahan, peluang ataupun ancaman setelah
faktor internal kekuatan (strenght) dan kelemahan
dilakukan pembobotan, peratingan, dan penilaian.
(weaknesses)
membandingkan
SWOT
faktor
(Rangkuti,
diberi
2002).
Perumusan strategi umum dalam bentuk
(nilai)
kemudian
memperoleh
beberapa
Tujuannya merumuskan strategi umum (grand
alternative stategi dengan rangking tertinggi
strategy), adalah mengembangkan peningkatan
merupakan alternatif strategi kebijakan dalam
kelompok dengan memanfaatkan hasil Analisis
peningkatan pendapatan kelompok tani.
SWOT kedalam suatu format dengan memilih 5-
Proses dalam merumuskan strategi mencakup tiga
10 faktor utama tiap kekuatan, kelemahan,
tahap, yaitu:
peluang, dan ancaman.
dihubungkan
1)
bobot
Unsur-unsur
Tujuannya adalah melihat berapa posisi tiap
untuk
matriks SWOT.
Evaluasi faktor internal dan eksternal.
Tabel 1 Model matriks analisis SWOT
Langkah menganalisis faktor strategis internal dan
EFAS
eksternal adalah sebagai berikut : a.
Menginventarisir
faktor
EFAS internal
yang
mempengaruhi pencapaian goals/sasaran,
visi,
Kekuatan
Kelemahan
(S)
(W)
Strategi
Strategi
S-O
W-O
Strategi
Strategi
S-T
W-T
dan misi yang telah ditetapkan secara rinci (detail) dengan
teknik
brainstorming.
Kemudian
Peluang (O)
mendiskusikan setiap factor internal apakah termasuk kekuatan atau kelemahan dibandingkan dengan
kelompok
lain,
dengan
carapoling
Ancaman (T)
pendapat.
Kekuatan adalah faktor internal yang positif.
Kelemahan adalah faktor internal yang
negatif. b.
Sumber: Rangkuti, 2002
III.
Menginventarisir
faktor
eksternal
yang
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan
hasil
data
kuisioner,
keadaan
mempengaruhi pencapaian goals/sasaran, visi dan
populasi
misi yang telah ditetapkan secara rinci (detail)
mempunyai karakteristik yang cukup beragam
dengan
antara masing-masing
teknik
brainstorming.
Kemudian
responden
dalam
penelitian
responden.Perbedaan
mendiskusikan setiap faktor eksternal apakah
karakteristik ini terutama dalam hal umur dan
termasuk
tingkat pendidikan.
peluang
atau
ancaman
dibanding
ini
kelompok lain, dengan cara poling pendapat.
1.
Peluang adalah faktor eksternal yang positif.
Umur merupakan salah satu faktor yang dapat
Ancaman adalah faktor eksternal yang
dapat menjadi indikator keberhasilan dalam suatu
negatif.
50
Umur Responden
usaha.Dalam penelitian ini menyajikan suatu
kelompok yang berdasarkan perbedaan umur. Ada
dalam menyerap informasi dan inovasi. Semakin
tiga kelompok umur yaitu kelompok umur 30
tinggi tingkat pendidikan seseorang diharapkan
tahun kebawah, kelompok umur 31 sampai 40
semakin banyak pula informasi dan inovasi yang
tahun dan kelompok umur 41 tahun keatas.
akan diserap guna meningkatkan kemampuan
Untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas
sumberdaya manusia yang dimilikinya untuk
mengenai karakteristik responden berdasarkan
meningkatkan produktifitas kerjanya, tetapi hal ini
kelompok umur dapat dilihat pada tabel berikut
juga tidak terlepas dari pengalaman tiap-tiap
ini.:
responden itu sendiri. Selain pendidikan formal, pendidikan non formal serta pengalaman juga
Tabel 2
sangat
Kelompok Umur Responden
mempengaruhi
produktifitas
dan
keberhasilan usahatani. No
Kelompok Umur
Jumlah
Persen
Pada penelitian ini tingkat pendidikan yang
1
< 30 Tahun
13
43.3
dimaksudkan adalah tingkat pendidikan formal
2
31 – 40 Tahun
10
33.3
yang pernah ditempuh oleh responden yang
3
41 – 50 Tahun
7
23.3
dikelompokkan menjadi Sekolah Dasar (SD),
30
100.0
Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP),
Jumlah
Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA), dan
Sumber : Data Primer (2015)
Perguruan Berdasarkan
penjabaran
tersebut,
dapat
disimpulkan bahwa semua responden adalah
Tinggi.
Karakteristik
responden
berdasarkan tingkat pendidikan adalah sebagai berikut:
termasuk dalam penduduk yang produktif. Hal ini
Tabel 3
sesuai dengan pendapat Kartono (2004) dalam
Tingkat Pendididkan responden
Astuti (2013), bahwa penduduk yang tergolong ke
No
dalam kelompok umur yang secara ekonomis
1
SD
2
produktif merupakan penduduk yang berumur antara 15–64 tahun, sedangkan kelompok umur yang secara ekonomis tidak produktif adalah kelompok umur 65 tahun ke atas. Hal ini serupa
Pendidikan
Jumlah
Persen
11
36.7
SLTP
6
20.0
3
SLTA
13
43.3
4
Akademi/Sarjana
-
-
30
100.0
Jumlah
dengan pendapat Warisa (2001) dalam Astuti (2013), bahwa setiap setiap orang yang berumur antara 15–64 tahun disebut sebagai
umur
Sumber : Data Primer (2015)
angkatan kerja (umur produktif), sedangkan
A.
kelompok umur yang tidak produktif adalah orang
Identifikasi lingkungan internal meliputi unsur
yang berumur 65 tahun ke atas.
kekuatan dan kelemahan dari pemberdayaan
2.
kelompok tani pada program Kebun Benih
Tingkat Pendidikan
Analisis Lingkungan Internal
Tingkat pendidikan merupakan salah satu faktor
Rakyat.
yang dapat menentukan kemampuan responden
a.
Kekuatan (Strenghts)
51
Beberapa faktor kekuatan internal yang menjadi
7)
Kegiatan pelatihan atau sosialisasi, yaitu
penentu dalam menunjang keberhasilan program
intensitas kegiatan pelatihan atau sosialisasi
Kebun Benih Rakyat di Kecamatan Pontianak
yang pernah diikuti oleh petani responden
Utara yaitu:
sebagai pendidikan non formal.
1)
2)
3)
4)
5)
Basis Pendidikan, yaitu latar belakang pendidikan yang dimiliki oleh para peserta
1.
program Kebun benih rakyat.
Analisis faktor eksternal mengidentifikasi faktor-
Faktor-faktor Eksternal
Umur, yaitu umur dari setiap anggota
faktor yang menjadi peluang dan ancaman
kelompok tani
dalam pemberdayaan kelompok tani pada
Motivasi, yaitu keinginan yang kuat untuk
program kebun benih rakyat. Faktor-faktor
turut serta dalam program Kebun Benih
eksternal yang menjadi peluang maupun
Rakyat
ancaman dalam penelitian, yaitu sebagai
Persepsi terhadap program, yaitu pandangan
berikut:
dan pendapat terhadap program Kebun
a.
benih rakyat yang sedang diikuti.
Aksesibilitas lokasi tempat penyemaian benih
Peluang (Opportunity)
Pertemuan rutin, yaitu keikutsertaan dalam
rakyat, yaitu termasuk di dalamnya akses
setiap program Kebun Benih rakyat dari
jalan dsb.
mulai kegiatan tahap awal sampai tahap
1)
Dukungan dari Pemerintah Daerah, yaitu dukungan atau support dari pemerintah
akhir.
setempat. 2)
Pemasaran hasil benih yaitu akses dan
b.
Kelemahan (Weaknesses)
1)
Luas lahan usahatani yaitu luas lahan yang
kemudahan ketika petani akan memasarkan
dimiliki oleh petani responden
produknya
2)
Pengalaman,
yaitu
pengalaman
3)
4)
5)
6)
52
benih
yang
telah
disebarkan.
petani
responden dalam penanaman benih rakyat.
berupa
3)
Ketersedian pemasok sarana produksi, yaitu
Mobilitas kegiatan, yaitu pelaksanaan dan
keberadaan
aktifitas
menyediakan atau menjual sarana produksi
kerja
yang dilakukabn petani
sejumlah
pihak
yang
responden.
seperti pupuk dan pestisida yang dibutuhkan
Kegiatan lainnya, yaitu apakah dengan
petani serta dapat dijangkapasaru dengan
keberadaan kegiatan lainnya memberikan
mudah oleh petani responden di lokasi
input yang postif bagi petani
penelitian.
Masa kerja, yaitu berapa lama petani
4)
Ketersediaan
lembaga
kredit
mencurahkan waktu kerja bagi penanaman
pinjaman perorangan,
benih yang telah diberikan.
sejumlah pihak yang dapat dijadikan sebagai
Manajemen,
yaitu
kemampuan
dalam
tempat
meminjam
yaitu
maupun
modal
keberadaan
bagi
petani
mengelola kelompok tani terutama dalam
responden yang membutuhkan, dan dengan
hal anggota kelompoknya.
persyaratan yang mudah dan terjangkau.
c.
Ancaman (Treaths)
IV.
1)
Fasilitas sarana produksi, yaitu fasilitas yang
Dari hasil penelitian yang telah diuraikan dalam
ada dan yang disediakan oleh kelompok tani
pembahasan
Dukungan modal, yaitu ketersediaan modal
kesimpulan yaitu sebagai berikut:
yang dimiliki oleh petani yang sangat
Faktor-faktor internal dan eksternal yang strategis
terbatas jumlahnya.
bagi pemberdayaan kelompok tani pada program
Resiko penanaman, yaitu tingkat resiko yang
kebun benih rakyat terdiri atas beberapa faktor
dihadapi petani responden dalam melakukan
yaitu:
usaha
ancaman.
2)
3)
penanaman
benih
yang
telah
Pekerjaan lain di luar kegiatan program Faktor-faktor internal dan eksternal tersebut di atas pada dasarnya tidak terlepas dari pendapat
para
ahli,
seperti
menurut
Hernanto (1996) dalam Anonymous (2011), bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan usahatani adalah faktor intern dan faktor ekstern diantaranya adalah: 1.
Faktor-faktor pada usahatani itu sendiri (intern). Faktor-faktor pada usahatani yang dapat mempengaruhi keberhasilan usahatani antara lain: petani pengelola, tanah usahatani, tenaga kerja, modal, tingkat teknologi, kemampuan petani mengalokasikan penerimaan keluarga, dan jumlah keluarga.
2.
di
kekuatan,
atas,
maka
kelemahan,
dapat
diambil
peluang
dan
Daftar Pustaka
diberikan. 4)
KESIMPULAN
Faktor-faktor di luar usahatani (ekstern) Faktor-faktor di luar usahatani yang dapat
berpengaruh
terhadap
keberhasilan suatu usahatani adalah: tersedianya sarana transportasi dan komunikasi, menyangkut
aspek-aspek pemasaran
hasil
yang dan
bahan usahatani, tersedianya fasilitas kredit, dan sarana penyuluhan bagi petani.
[1] Departemen Pertanian. 2008, Peraturan Menteri Pertanian No.16/OT.140/2/2008. Jakarta. [2] Departemen Pertanian. 2008, Kebijakan Teknis Program Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan, Jakarta: Departemen Pertanian RI. [3] Giarci. 2001, Pemberdayaan masyarakat dan pembangunan berkelanjutanhttp://www.pemberdayaan.com/p embangunan/pemberdayaanmasyarakat danpembangunan - berkelanjutan.html. [4] Hikmat A. 2006, Strategi Pemberdayaan Masyarakat. Bandung: Humaniora Utama Press. 240 hlm. [5] Irwanto. 2006, Focus group discussion (FGD): Sebuah pengantar praktis. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. [6] M. Koko Prihartono. 2009, Dampak Program Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan Terhadap Kinerja Gapoktan Dan Pendapatan Anggota GapoktanSkripsi. Bogor: Departemen Agribisnis Fakultas Ekonomi Dan Manajemen Institut Pertanian Bogor. [7] Mulyana, D. 2000, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung. [8] Permendagri No 07. 2007, Tentang Kader Pemberdayaan Masyarakat. [9] Rangkuti. 2002, Measuring Customer Satisfaction, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. [10] Samsudin, 2003, Manajemen Penyuluhan Pertanian, Bina Cipta, Bandung. [11] Suharto E, 2005, Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat. Kajian Strategi Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial. Bandung: PT Refika Aditama. [12] Soekanto. 2002, Sosiologi Suatu Pengantar, Bina Cipta, Bandung. [13] Tan, Mely G. 1995. “ Perempuan dan Pemberdayaan” makalah dalam kongres Ikatan Sosiologi Indonesia (ISI), Ujung Pandang. [14] Trimo, STP. 2006, Evaluasi Penyuluhan Pertanian, Permasalahan dan Upaya Pemecahannya di
53
Kecamatan Boyolali.
54
Banyudono
Kabupaten
[15] Umar, Husein. 2002. Metode Penelitian Untuk Skripsi dan Tesis Bisnis. Jakarta
Kebijakan Peningkatan Pendapatan Usaha Wanita Pengrajin Kerupuk Kemplang Yang Berkelanjutan Di Desa Meranjat II Kecamatan Indralaya Selatan Kabupaten Ogan Ilir Propinsi Sumatera Selatan Eka Mulyana, S.P.,M.Si.1) 1)Agribisnis
Universitas Sriwijaya Surel:
[email protected]
ABSTRACT The purposes of this study is identifying attempt to raise the income of women who make Kemplang (traditional cracker) toward their household income in Meranjat II Village. The data used in this study are primary and secondary data. Primary data is obtained from the interviews and the results of the sample who filled in the questionnaire by Kemplang makers. While secondary data is obtained from agencies such as the Government of Ogan Ilir, the Central Bureau of Statistics, and other data sources. The attempts was analyzed in maximizing the income byusing SWOT analysis. Efforts should be made to maximize the income are to maintain the quality of crackers kemplang, retain the customers and expand the scope of business. Keyword : policy,Kemplang (traditional cracker), the women who make Kemplang. Abstrak Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi upaya untuk memaksimalkan pendapatan wanita pengrajin kerupuk kemplang di Desa Meranjat II. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder. Data primer merupakan data yang didapat dari hasil wawancara langsung dan dari hasil pengisian kuisioner oleh sampel pengrajin kerupuk kemplang. Sedangkan data sekunder merupakan data yang diperoleh dari lembaga atau instansi terkait seperti Pemerintah Kabupaten Ogan Ilir, Badan Pusat Statistik, dan sumber data lainnya. Untuk menganalisis upaya memaksimalkan pendapatan usaha wanita pengrajin kerupuk kemplang dengan menggunakan analisis SWOT. Upaya yang dapat dilakukan untuk memaksimalkan pendapatan usaha wanita pengrajin kerupuk kemplang salah satunya adalah mempertahankan kualitas kerupuk kemplang, mempertahankan pelanggan, dan memperluas ruang lingkup usaha pembuatan kerupuk kemplang. Kata kunci : Kebijakan, Kerupuk Kemplang, Wanita pengrajin kerupuk kemplang.
Dari kebijakan pemberdayaan UKM dalam secara umum
I. PENDAHULUAN
diarahkan
A. Latar Belakang Di Sumatera Selatan ada salah satu kerupuk yang sangat
kemiskinan
untuk dan
mendukung upaya-upaya penanggulangan kesenjangan
yang
menjadi
prioritas
di kenal oleh masyarakat luas yakni “Kerupuk Kemplang”.
pembangunan nasional yang terdapat di daerah. Dalam kerangka
Industri kerupuk Sumatera Selatan umumnya berbahan dasar ikan
itu, pengembangan organisasi tingkat usaha kecil dan menengah
yang disebut Kerupuk Ikan, masyarakat Indonesia mengenalnya
(UKM) diarahkan agar memberikan kontribusi yang signifikan
dengan Kerupuk Ikan Palembang.
terhadap penciptaan kesempatan kerja dan peningkatan daya
Industri kerupuk ikan yang cukup potensial terdapat di
saing, sementara itu pengembangan usaha skala mikro diarahkan
provinsi Sumatera Selatan, yang menghasilkan produk makanan
untuk memberikan kontribusi dalam peningkatan pendapatan
olahan berbahan baku ikan yang lebih dikenal dengan nama
masyarakat berpendapatan rendah, khususnya di sektor kerajinan
kerupuk kemplang. Kerupuk kemplang cukup populer di
kerupuk (Kristianto, 2011).
masyarakat, baik sebagai makanan ringan (snack)
maupun
Berdasarkan latar belakang diatas peneliti melihat
sebagai lauk penyedap atau penambah selera makan. Produksi
fenomena di Desa Meranjat II yang ada pada
indusrti
kerupuk yang ada di provinsi Sumatera Selatan seperti di
rumahtangga kerupuk kemplang, dimana industri rumahtangga
Palembang, Ogan Ilir, Kayu Agung, Pedamaran,Bangka, Belitung
kerupuk kemplang di daerah tersebut sekarang cukup banyak dan
dan Musi Banyuasin (Veranita, 2013).
juga bagi sebagian masyarakat pembuat kerupuk usaha tersebut
55
merupakan mata pencaharian utama dan bagi pengrajin wanita
mengidentifikasi semua elemen positif dan negatif yang dapat
merupakan penghasilan untuk meningkatkan pendapatan rumah
mempengaruhi setiap kegiatan yang baru.
tangga. Dapat dikatakan bahwa Desa Meranjat II Kecamatan Indralaya Selatan merupakan salah satu sentra penghasil krupuk kemplang di daerah Ogan Ilir.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Analisis SWOT Pengrajin Kerupuk Kemplang Desa Meranjat II Kecamatan Indralaya Selatan Kabupaten Ogan Ilir
B. Tujuan Penelitian
Analisis SWOT digunakan dalam melakukan perumusan
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi upaya untuk memaksimalkan pendapatan wanita pengrajin kerupuk kemplang di Desa Meranjat II.
strategi untuk memaksimalkan pendapatan wanita pengrajin kerupuk kemplang. Dalam analisis SWOT ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (strength) dan
II. METODE PENELITIAN
peluang
A. Tempat dan Waktu Penelitian
(opportunity),
serta
secara
bersama-sama
dapat
meminimalisirkan kelemahan (weakness) dan ancaman (threat).
Penelitian ini dilakukan di Desa Meranjat II Kecamatan
Pada
analisis
SWOT
ini
dilakukan
terlebih
dahulu
Indralaya Selatan Kabupaten Ogan Ilir. Pemilihan lokasi
pengidentifikasian dan analisis faktor-faktor internal dan eksternal
penelitian
dengan
untuk merumuskan strategi dalam meningkatkan pendapatan
pertimbangan bahwa Desa Meranjat II merupakan salah satu
wanita pengrajin kerupuk kemplang yang sangat berpengaruh
sentra pembuatan kerupuk kemplang yang kebanyakan tenaga
terhadap pendapatan rumahtangga.
kerjanya berasal dari penduduk wanita setempat yang berperan
1. Faktor Internal
dilakukan
secara
sengaja
(purposive)
dalam meningkatkan pendapatan rumahtangganya. Penelitian ini
Faktor internal meliputi kekuatan dan kelemahan yang
dilaksanakan pada bulan September 2015 sampai bulan Oktober
terdapat dalam upaya meningkatkan pendapatan wanita pengrajin
2015.
kerupuk kemplang. Identifikasi dan analisis faktor internal ini dilakukan untuk untuk mengetahui kondisi internal pada usaha
B. Metode Pengumpulan Data
pembuatan kerupuk kemplang di Desa Meranjat II. Identifikasi
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data
internal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :
primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang
a. Kekuatan
didapat dari hasil wawancara langsung dan dari hasil pengisian
1). Adanya jiwa kewirausaaan
kuisioner oleh para sampel pengrajin
kerupuk
kemplang.
Kaum
wanita
mempunyai
peranan
penting
dalam
Pengrajin kerupuk kemplang yang dijadikan sampel penelitian
meningkatkan perekonomian tak hanya untuk keluarga namun
adalah para wanita penduduk desa setempat. Sedangkan data
juga bagi negara. Kesadaran perempuan Indonesia untuk maju
sekunder merupakan data yang diperoleh dari lembaga atau
dan berkembang dalam ekonomi dan keluarga membantu
instansi terkait seperti Pemerintah Kabupaten Ogan Ilir, Badan
peningkatan dan berkembangnya bibit-bibit jiwa wirausaha
Pusat Statistik, dan lain-lain. Selain itu, data sekunder yang
perempuan serta kondisi krisis ekonomi secara tak langsung juga
digunakan dalam penelitian ini berupa literatur dan sumber data
mendukung tumbuhnya jiwa kewirausahaan kaum wanita di Desa
lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini.
Meranjat II dalam rangka menciptakan kemandirian ekonomi pribadi dan keluarga.
C. Metode Pengolahan Data
2). Cita rasa kerupuk kemplang yang khas
Untuk menganalisis upaya memaksimalkan pendapatan
Kerupuk kemplang di Desa Meranjat II memiliki cita rasa
usaha wanita pengrajin kerupuk kemplang dengan menggunakan
yang gurih dari khas ikan. Ini membuat membuat produsen
analisis SWOT. Analisis SWOT umumnya digunakan dalam
memiliki banyak pelanggan tetap, baik dari pemasok maupun
pemasaran dan bisnis sebagai metode untuk mengidentifikasi
konsumen langsung.
oposisi (perlawanan) untuk usaha dan strategi baru. SWOT adalah
3). Tenaga kerja yang terampil
singkatan dari Strengths (kekuatan), Weaknessess (Kelemahan),
Kebanyakan tenaga kerja yang dipekerjakan dalam proses
Opportunities (Peluang) dan Threats (Ancaman). Dengan
produksi pembuatan kerupuk kemplang adalah pekerja baik dari
menerapkan
keluarga sendiri maupaun tenaga kerja upahan dari tetangga-
SWOT
memungkinkan
para
peneliti untuk
tetangga sekitar. Mereka memiliki keterampilan dalam pembuatan
56
kerupuk kemplang karena sudah memiliki pengalaman dalam hal
Dalam proses pengemasan kerupuk kemplang hanya
proses produksi kerupuk kemplang selama bertahun-tahun.
menggunakan plastik bening yang diikat dengan tali. Kemasan
4). Kualitas bahan baku yang cukup baik
yang seperti ini kurang menarik karena tidak adanya merk pada
Bahan baku yang digunakan memiliki kualitas yang
kemasan, tidak ada keterangan komposisi gizi, berat bersih,
bagus. Ikan yang digunakan selalu dalam keadaan segar karena
informasi kadarluarsa, kode produksi, serta nama dan alamat
selepas pengrajin membeli ikan dari pedagang yang datang ke
produsen, padahal dengan lengkapnya elemen pada kemasan
desa, ikan tersebut langsung diolah. Sagu yang digunakan juga
tersebut akan memudahkan produk dikenal masyarakat.
merupakan sagu kualitas yang bagus karena akan berpengaruh
5). Sempitnya ruang pengolahan
terhadap
kualitas
menghasilkan
kerupuk,
warna
kerupuk
sagu
berkualitas
kemplang
baik
setelah
akan
Ruang pengolahan pada industri ini merupakan salah satu
digoreng
kelemahan karena tidak mencukupi kebutuhan penempatan alat
cenderung bagus dan putih.
dan bahan baku pembuatan kemplang.
5). Harga yang terjangkau Kerupuk kemplang di Desa Meranjat II memiliki harga
2. Faktor Eksternal
yang terjangkau dan harga antara satu pengrajin dengan pengrajin
Identifikasi dan analisis factor eksternal dilakukan untuk
kerupuk kemplang yang lain tidak terlampau jauh. Salah satu
mengetahui factor luar yang terdiri dari peluang dan ancaman
yang membuat konsumen cocok dengan harga jual kerupuk
yang berasal dari luar lingkungan usaha pembuatan kerupuk
kemplang di Desa Meranjat II adalah harga jualnya yang tidak
kemplang yang dilakukan oleh para wanita pengrajin di Desa
pernah berubah-rubah walau harga faktor-faktor produksi tidak
Meranjat II. Identifikasi dan analisis faktor eksternal dapat
tetap.
dijelaskan sebagai berikut :
b. Kelemahan
a. Peluang
1). Tingkat kebersihan yang kurang selama proses produksi
1). Banyaknya konsumen kerupuk kemplang
Selama proses produksi, pengrajin kerupuk kemplang
Konsumen
yang
memesan
dan
membeli
kerupuk
kurang memperhatikan tingkat kebersihan tempat pembuatan
kemplang para pengrajin di Desa Meranjat II bukan hanya dari
kerupuk kemplang yaitu dari kontaminasi kuman atau debu yang
daerah-daerah di seputar Palembang dan Sumatera Selatan tapi
tidak diinginkan dan banyaknya lalat yang hinggap dimana-mana.
juga daerah-daerah diluar Sumatera Selatan.
2). Ketidaktersedian peralatan yang lebih modern
2). Adanya relasi yang membantu dalam proses pemasaran
Selama proses produksi peralatan yang
digunakan
Proses pemasaran kerupuk kemplang sangat tergantung
masih tradisional dan masih sangat mengandalkan tenaga
dengan banyaknya relasi yang dimiliki pengrajin kerupuk
manusia. Kebanyakan pengrajin kerupuk kemplang yang ada di
kemplang, karena relasi akan membantu produk kerupuk
Desa Meranjat II membutuhkan alat yang lebih modern untuk
kemplang yang dihasilkan banyak dikenal masyarakat walaupun
menunjang produksi kerupuk kemplang mereka seperti alat
produk belum memiliki merk dagang.
pengering, alat pengepres kemasan, spinner.
3). Mempunyai toko
3). Penggunaan bahan yang berpotensi menganggu kesehatan
Beberapa industri kerupuk kemplang di Desa Meranjat
Saat proses penggorengan, minyak yang digunakan oleh
yang memang mampu menghasilkan produksi dalam skala besar
sebagian pengrajin kerupuk kemplang adalah minyak yang
sudah memiliki toko sendiri di pasar Indralaya.
penggunaanya sudah berulang kali pakai hingga warnanya
4). Adanya pemasok kerupuk kemplang
terlampau gelap, minyak goreng yang seperti ini tidak layak lagi
Beberapa industri kerupuk kemplang yang ada di Desa
digunakan karena akan mengganggu kesehatan, namun sebagian
Meranjat memiliki lokasi-lokasi khusus yang dijadikan langganan
pengrajin kerupuk kemplang tetap menggunakanya untuk
dalam memasok kerupuk kemplang yang mereka produksi
meminimalkan biaya produksi. Berdasarkan penelitian yang
contohnya industri rumah makan.
dilakukan pemanasan pada minyak selama 30 menit dengan suhu
b. Ancaman
di atas 125 derajat celcius dapat menyebabkan munculnya
1). Pesaing
senyawa-senyawa baru yang beracun bagi tubuh dari pemutusan
Produk
kemplang
saat
ini
sudah
mulai
marak
rantai-rantai asam lemak.
berkembang seiring dengan permintaan kemplang. Dengan
4). Kemasan belum memiliki merk dagang
diketahui
permintaan
kerupuk
kemplang
yang semakin
57
meningkat,
maka
semakin
bertambahnya
wanita
yang
matriks SWOT. Berdasarkan hasil yang telah diperoleh, matriks
berkecimpung dalam usaha pembuatan kerupuk kemplang baik
SWOT dapat dilihat pada Tabel 3.1
didalam Desa Meranjat II maupun pesaing dari desa lain.
Tabel. 3.1 Matriks SWOT Usaha Pembuatan Kerupuk Kemplang di Desa Meranjat II Kecamatan Indralaya Selatan
2). Ketersediaan bahan baku yang tak menentu Selama usaha pembuatan kerupuk kemplang berlangsung maka akan ada saat dimana minimnya ketersediaan bahan baku yang diperlukan dikarenakan berbagai macam faktor misalnya
Internal
sedang tidak ada pasokan ikan. Hal ini akan berpengaruh terhadap jumlah kerupuk kemplang yang bisa mereka produksi.
Eksternal
3). Pembeli menawar dengan harga rendah Ada kalanya pembeli menawar dengan harga rendah, maka dari itu perlu dilakukan analisis penentuan harga produk
Strenght (S) 1).Adanya ji kewirausaaan 2). Cita rasa kerup kemplang yang khas 3). Tenaga kerja ya terampil 4). Kualitas bahan ba yang cukup baik 5). Harga yang terjangkau
terendah agar biaya produksi tetap tertutupi walaupun pembeli menawar dengan harga rendah. 4). Harga bahan baku yang tidak tetap Keadaan dimana harga bahan baku yang kadang berubah memungkinkan biaya produksi yang dikeluarkan tidak tetap yang tidak berimbang dengan harga kerupuk kemplang yang cenderung tidak pernah berubah. 5). Pergantian peralatan yang tidak bisa dipakai lagi Setiap peralatan yang digunakan dalam pembuatan kerupuk kemplang memiliki umur pakai dimana saat umur pakai sudah habis atau peralatan terjadi kendala seperti rusak maka pengrajin kerupuk kemplang harus menggantinya dengan yang baru, untuk itu perlu disisihkan sejumlah uang dari pendapatan yang diperoleh untuk menangani hal-hal yang tidak diinginkan seperti ini. 6). Cuaca yang tidak menentu Faktor alam sangat menentukan kualitas dari kerupuk kemplang yang dihasilkan. Sebelum proses penggorengan, kerupuk kemplang yang masih mentah harus dijemur dibawah terik matahari selama kurang lebih 2 hari. Jika proses penjemuran tidak dilakukan dengan baik, maka akan mengurangi kualitas kerupuk kemplang yang dihasilkan, sekalipun bisa digantikan dengan alat pengering namun hasil kerupuk kemplang yang akan lebih
optimal
jika
menggunakan
panas
terik
matahari
Pendapatan
Wanita
dibandingkan menggunakan alat pengering.
B.
Strategi
Memaksimalkan
Pengrajin Kerupuk Kemplang di Desa Meranjat II Kecamatan Indralaya Selatan Kabupaten Ogan Ilir Setelah dilakukan identifikasi dan analisis faktor-faktor internal dan eksternal maka hasilnya akan digunakan pada tahap selanjutnya untuk merumuskna strategi yang akan disusun pada
58
Opportunities Strategi S-O (O) 1). Mempertahankan 1). Banyakny kualitas kerupuk konsumen kemplang, pelanggan, kerupuk dan memperluas ruang kemplang lingkup usaha industri 2). Adanya kemplang dengan cara relasi yang membuka toko, membantu memasok ke lokasidalam proses lokasi khusus. pemasaran 2). Memberikan 3). pelayanan yang baik Mempunyai pada tingkat pemasaran 3). Menjaga kontinuitas toko 4). Adanya kerupuk kemplang pemasok kerupuk kemplang Threats (T) Strategi S-T 1). Menjamin kualitas 1). Pesaing kerupuk kemplang 2). dengan harga bersaing Ketersediaan bahan baku serta mengembangkan yang tak peluang yang ada. menentu 3). Pembeli menawar dengan harga rendah 4). Harga bahan baku yang tidak tetap 5). Pergantian peralatan yang tidak bisa dipakai lagi 6). Cuaca yang tidak menentu Kabupaten Ogan Ilir
Weaknesses (W) 1). Tingkat kebersihan yang kurang selama proses produksi 2). Ketidaktersedian peralatan yang lebih modern 3). Penggunaan bahan yang berpotensi menganggu kesehatan 4). Kemasan belum memiliki merk dagang 5). Sempitnya ruang pengolahan Strategi W-O 1). Meningkatkan kapasitas produksi kerupuk kemplang yang berkualitas dengan memakai peralatan yang lebih modern. 2). Memberikan merk dagang pada kemasan. 3). Membangun ruang pengolahan yang cukup besar dan untuk ruang bahan baku.
Strategi W-T 1). Meningkatkan sarana dan prasarana yang dimiliki 2). Menjaga kebersihan peralatan dan saat proses produksi 3). Menghentikan penggunaan bahan yang berpotensi mengganggu kesehatan
tentang informasi dari produk yang mereka konsumsi seperti
a. Strategi S-O Strategi S-O adalah strategi yang menggunakan Strenght
keterangan komposisi gizi, berat bersih, informasi kadaluarsa,
(kekuatan) untuk memanfaatkan Opportunities (peluang). Strategi
kode produksi, serta nama dan alamat produsen, dengan
yang dapat dilakukan adalah :
memberikan kemasan yang lebih menarik, maka produsen dapat
1. Mempertahankan kualitas kerupuk kemplang,mempertahankan
meningkatkan nilai jual dari kerupuk kemplang yang mereka
pelanggan, dan memperluas ruang lingkup usaha industri
produksi.
kemplang.
3. Membangun ruang pengolahan yang cukup besar dan untuk
Jumlah peminat kemplang yang meningkat saat ini
ruang bahan baku.
dengan
Ruang pengolahan yang cukup besar perlu dibuat karena
mempertahankan pelanggan, mengembangkan jaringan usaha,
diperlukan selama proses produksi dan untuk penyimpanan bahan
misalnya membuka cabang, dengan cara membuka toko, dan
baku.
memasok ke lokasi-lokasi khusus seperti industri rumah makan.
c. Strategi S-T
merupakan
suatu
peluang
dan
dapat
diteruskan
Melakukan pendistribusian pada daerah yang masih jarang
Strategi S-T adalah strategi yang memanfaatkan strenght
produksi kerupuk. Dengan demikian produk kerupuk kemplang di
(kekuatan) untuk mengendalikan threat (ancaman). Strategi S-T
Desa Meranhat II akan dapat memenuhi pangsa pasar yang lebih
yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut :
luas
1.
2. Memberikan pelayanan yang baik pada tingkat pemasaran Memberikan pelayanan yang baik pada berbagai tingkat pemasaran yaitu dengan menjalin kemitraan yang baik dengan industri kemplang lainnya, penjual kemplang, dan masyarakat setempat dapat memacu berkembangnya usaha.
cita rasa yang khas dan tidak berubah dari setiap kali produksi, namun harga jual harus bersaing dengan produsen lain yaitu dengan harga jual yang terjangkau dan tidak berubah walau harga bahan baku berubah.
3. Menjaga kontinuitas kerupuk kemplang
d. Strategi W-T
Dengan banyaknya permintaan akan kerupuk kemplang maka industri kerupuk kemplang yang ada di Desa Meranjat II harus menjaga kontinuitas kerupuk kemplang yaitu dengan melakukan pembuatan kerupuk kemplang dalam intensitas yang
Strategi W-T adalah strategi yang menilai weakness (kelemahan) dan memprediksi threat (ancaman) yang mungkin terjadi. Strategi S-T yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut : 1. Meningkatkan sarana dan prasarana yang dimiliki
sering, dan jika dikhawatirkan produksi meningkat pada hari-hari besar maka hal ini dapat ditangani dengan menambah tenaga kerja terampil untuk pembuatan kerupuk kemplang agar produksi tidak terputus.
Sarana dan prasarana perlu ditingkatkan dalam proses pembuatan kerupuk kemplang misalnya dengan pengadaaan peralatan yang lebih modern contohnya dengan penggunaan alat pengering, maka pengrajin kerupuk kemplang tetap bisa
b. Strategi W-O
memproduksi kerupuk kemplang walaupun cuaca sedang tidak
Strategi W-O adalah strategi yang menilai Weakness (kekurangan) dan memanfaatkan Opportunities
Menjamin kualitas kerupuk kemplang dengan harga bersaing serta mengembangkan peluang yang ada. Kualitas kerupuk kemplang harus terjaga dengan memiliki
(peluang).
Strategi yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut :
mendukung, ini perlu dilakukan karena terus adanya permintaan dari konsumen. 2. Menjaga kebersihan peralatan dan saat proses produksi
1. Meningkatkan kapasitas produksi kerupuk kemplang yang berkualitas dengan memakai peralatan yang lebih modern. Peoses pembuatan kerupuk kemplang memiliki
dengan produk kerupuk kemplang jika produsen menjaga
permintaan yang meningkat terutama saat hari-hari besar hingga
kebersihan maka akan berdampak pada kualitas produk,
mengakibatkan permintaan tidak terpenuhi, maka dengan
sedangkan kaitannya dengan peralatan adalah jika kebersihan dari
penggunaan alat yang lebih modern dapat meningkatkan kapasitas
alat
produksi.
memperpanjang umur ekonomis dari alat-alat tersebut.
2. Memberikan merk dagang pada kemasan.
3.
Produksi kerupuk kemplang di Desa Merajat II belum memiliki merk dagang pada kemasan sehingga belum
bisa
Selama proses produksi kebersihan perlu dijaga, berkaitan
produksi
tetap
Menghentikan
dijaga
maka
penggunaan
bisa
bahan
berpotensi
yang
untuk
berpotensi
mengganggu kesehatan Untuk menjaga kesehatan konsumen, penggunaan bahan
dikenali bahwa produk tersebut berasal dari Desa Meranjat II.
yang berpotensi menggangu
kesehatan
konsumen
perlu
Pelabelan pada kemasan diperlukan agar konsumen mengetahui
dihentikan yaitu dengan melakukan pengawasan mutu pada bahan
59
baku, misalnya untuk garam harus menggunakan garam yang beryodium, untuk minyak yang digunakan harus maksimal 3 kali proses penggorengan.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN 1. Pada
analisis
SWOT
terlebih
dahulu
dilakukan
pengidentifikasian dan analisis faktor-faktor internal dan eksternal. Faktor internal terdiri dari kekuatan dan kelemahan. Sedangkan faktor eksternal terdiri dari peluang dan ancaman. 2. Strategi
memaksimalkan
pendapatan
wanita
pengrajin
kerupuk kemplang di Desa Meranjat II Kecamatan Indralaya Selatan Kabupaten Ogan Ilir disusun melalui matriks SWOT terdiri dari Strategi S-O, Strategi W-O, Strategi S-T dan Strategi W-T.
B. SARAN 1. Sebaiknya industri kerupuk kemplang di Desa Meranjat II mengutamakan kebersihan saat proses produksi
baik
peralatan maupun bahan baku. 2. Sebaiknya industri kerupuk kemplang yang ada di Desa Meranjat II segera memberi merk dagang atau label pada kemasan kerupuk kemplanng yang mereka produksi. 3. Sebaiknya pemerintah dan pihak-pihak yang terkait dapat memberikan
bantuan
berupa
ruang
pengolahan
yang
memadai.
DAFTAR PUSTAKA Kristianto, Adi Putra. 2011. Ekonomi Makro, Jakarta: Period. William, Veranita Cyntia. 2013. Analisis SWOT Sebagai Penentu Strategi Pemasaran PT Kencana Laju Mandiri (Motor Roda 3Karya) Di Medan.Skripsi. Medan: FE USU.
60
POLA KONSUMSI DAN KESEJAHTERAAN RUMAHTANGGA PETANI PADI SAWAH DI KECAMATAN RAMBAH SAMO KABUPATEN ROKAN HULU, PROVINSI RIAU Elinur Universitas Islam Riau, Pekanbaru, Indonesia E-mail:
[email protected]
This research analyzed dominant factor that influence household food consumption patterns of paddy farming households and level of households walfare. This research used secondary data on 2016. The logistic regression method are used to answer the first goal and the second objective used indicators of poverty line. There are result in the research, first; household food consumption patterns of paddy farmers is low (less than 50%). Second, household income and education of farmers positive effect on the allocation of household food expenditure.The greater the household income and education of farmers will give farmers opportunities to allocate their spending on food consumption growers getting greater. The number of family members and the type of work does not significantly influence the consumption patterns of farmers household. Fourth, all the farmers samples were included in the category of prosperous, because household food expenditure greater than the poverty line. Keyword: household food consumption patterns, walfare
I. PENDAHULUAN Kebutuhan dasar manusia adalah pangan yang harus terepenuhi secara kontinue. Pangan dan gizi berperan penting dalam meningkatan kualitas sumberdaya manusia dalam jangka panjang. Pemenuhan kebutuhan pangan dapat dilihat dari pola konsumsi pangan rumahtangga. Pola konsumsi pangan rumahtangga adalah menggambarkan kombinasi pilihan komoditi yang akan dikonsumsi rumahtangga untuk memenuhi kebutuhan dasar dan asupan gsi yang cukup dan berimbang. Pola konsumsi pangan rumahtangga memiliki keragaman yang berkatan erat dengan demografis, aspek sosial, ekonomi dan potensi sumberdaya setempat. Selain itu perbedaan konsumsi pangan antar daerah juga dilihat dari faktor kebiasaan, yang berkaitan dengan sosial budaya dan kebutuhan biologis. Pentingnya kebiasaan makan ini akan menunjukkan makin beragamnya jenis makanan yang dikonsumsi oleh rumahtangga [13]. Pola konsumsi rumahtangga diproksi dari pengeluaran pangan rumahtangga. Pengeluaran pangan rumahtangga akan berbeda berdasarkan produksi yang dihasil oleh masyarakat setempat. Pengaluaran pangan rumahtangga petani padi akan berbeda dengan rumahtangga petani tanaman perkebunan. Menurut [2], pangsa pengeluaran rumahtangga petani padi lebih kecil dari pada rumatangga tanaman perkebunan. Pangsa pengeluaan pangan rumahtangga petani sekitar 50,1 persen yang diikut dengan rumahtangga petani sayuran dan palawija.Pangsa pengeluaran pangan rumahtangga petani perkebunan (padi sawah sawit, karet, kakao dan tebu) sebesar 63,8 persen.
Kecamatan Rambah Samo merupakann kecamatan yang berada di Kabupaten Rokan Hulu Rrovinsi Riau. Kecamatan tersebut terdiri dari 14 desa dan hanya 6 desa sebagai penghasil padi sawah. Jumlah rumahtangga penghasil padi sawah sebanyak 2.831 rumahtangga. Tanaman padi banyak diusahakan di lahan sawah. Usahatani padi sawah merupakan sumber utama pendapatan rumahtangganya. Sebagai sumber utama pendapatan rumahtangga, usahatani padi sawah dikelola petani dengan maksimal agar menghasilkan keuntungan yang maksimal dengan cara meningkatkan produksinya. Produksi padi sawah Kecamatan Rambah Samo disajikan pada Tabel 1. TABEL 1. LUAS PANEN DAN PRODUKSI PADI SAWAH DI KECAMATAN RAMBAH SAMO TAHUN 2014-2016
Luas Panen
Produksi
(Ha)
(ton)
2014
1,950.00
13,129.35
2015
2,328.00
15,674.42
1,927.00 2016 Sumber: [9], [10]
12,974.49
Tahun
Tabel 1 menunjukkan luas panen dan produksi padi sawah mengalami penurunan dari tahun tersebut. Walaupun luas panen dan produksi padi sawah menujukkan penurunan, namun pertumbuhan luas panen dan produks padi sawah ratarata per tahun masih positif, yaitu sebesar 1.08 persen.
61
TABEL 2. PENGELUARAN RUMAHTANGGA (RP/BULAN/KAPITA) MENURUT KLOMPOK MAKANAN DAN NON MAKANAN DI KABUPATEN ROKAN HULU TAHUN 2014 – 2015
Tahun 2014
Makanan
%
Non Makanan
%
Total Pengeluaran
411732.78
57.30
306881.42
42.70
718614.20
2015 492004.85 Sumber: [10]
54.18
416010.11
45.82
908014.96
Tabel 2 menunjukkan persentase pengeluaran makanan dibawah 60 persen dan pengeluaran non makanan dibawah 50 persen. Pengeluaran makanan rumahtangga menunjukkan penurunan dan pengeluaran non makanan menunjukkan peningkatan. Hal ini berarti pengeluaran makanan lebih tinggi dari pengeluaran non makanan. Pengeluaran pangan rumahtangga merupakan salah satu indikator tingkat kesejateraan rumahtangga ([13]; [11]). Rumahtangga dengan pangsa pengeluaran pangan tinggi tergolong rumah tangga dengan tingkat kesejahteraan rendah relatif dibanding rumah tangga dengan proporsi pengeluaran untuk pangan yang rendah. Rumahtangga dengan pengluaran pangan tinggi tergolong pada pola konsumsi pangannya tinggi, dan pola konsumsi non pangannya rendah. Menurut [3], tingkat kesejahteraaan masyarakat diukur dari jumlah dan persentase penduduk miskin. Semakin berkurang penduduk miskin mencerminkan pendapatan penduduk yang meningkat. Pendapatan yang meningkat mengindikasikan masyarakat sudah sejahtera. Kemiskinan penduduk dapat dilihat dari garis kemiskinan. Garis kemiskinan merupakan jumlah rupiah minimum yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan pokok minimum makanan dan bukan makanan. Penduduk dikategorikan miskin apabila memiliki rata-rata pengeluaran perkapita perbulan dibawah garis kemiskinan. Oleh karena itu unilai garis kemiskinan berpengaruh terhadap jumlah penduduk miskin pada suatu waktu. Kabupaten Rokan Hulu merupakan salah satu kabupaten yang memiliki tingkat kemiskinan yang tinggi dari beberapa kabupaten di Provinsi Riau. Persentase Jumlah penduduk
62
miskin di Kabupaten Rokan Hulu dan beberapa kabupaten Provinsi Riau disajikan Gambar 1.
PENDUDUK MISKIN (%)
Peningkatan produksi padi sawah sangat ditentukan oleh ketersediaan sarana produksi, menerapan teknologi dan kondisi musim pada tahun yang bersangkutan dan didukung oleh air irigasi. Komponen ini akan menentukan rumahtangga dalam menentukan kegiatan produksinya. Keberhasilan produksi rumahtangga petani padi sawah akan menentukan pendapatan rumahtangga yang akan digunakan untuk pengeluaran rumahangga. Pengeluaran rumahtangga terdiri dari pengeluaran makanan dan non makanan. Pengeluaran pangan rumahtangga terdiri pengluaran pangan karbohidrat, protein, sayuran dan buah serta konsumsi pangan lainnya. Pengeluaran non pangan meliputi pengeluaran untuk pakaian, perumahan, kesehatan, pendidikan dan hiburan. Pengeluaran konsumsi pangan rumahtangga merupakan jumlah pangan yang dikonsumsi oleh rumahangga. Pengeluaran pangan dn non pangan penduduk di Kecamatan Rambah Samo disajikan di Tabel 2.
20.00 18.00 16.00 14.00 12.00 10.00 8.00 6.00 4.00 2.00 0.00
2010
2011 8.17
2012 8.05
2013 8.42
2014 7.99
2015 8.82
Rohul
17.61
15.06
15.34
17.05
16.48
18.47
Kuansing
12.57
10.19
10.29
11.28
10.75
6.15
Pelalawan
14.51
11.93
11.11
12.00
11.15
8.85
Inhil
9.41
7.65
7.81
7.88
7.51
5.31
Inhu
8.90
7.25
7.17
7.50
7.28
4.14
Riau
Sumber: [4], [5], [6], [7], [8], [10]
Gambar 1. Persentase Jumlah Penduduk Miskin di Kabupaten Provinsi Riau Berdasarkan Gambar 1 Jumlah penduduk miskin di Kabupaten Rokan Hulu (Rohul) menunjukkan tren yang meningkat. persentase jumlah penduduk miskin tertinggi pada tahun 2015 dan terendah tahun 2011 dengan rata-rata pertahun sebesar 16,67 persen. Angka tersebut tergolong tinggi dibandingkan dengan kabupaten lainnya. Tingginya persentase jumlah penduduk misikin di Kabupaten Rokan Hulu ini bukan berarti garis kemiskinan lebih rendah dari kabupaten lain. Garis kemiskinan kabupaten Rokan Hulu tahun 2016 Rp 384.226 kapita/bulan, sedangkan garis kemiskinan Kabupaten Indragiri Hilir sebesar Rp 295.781 kapita/bulan. Hal ini menunjukkan bahwa pengeluaran kebutuhan makanan dan non makanan Rokan Hulu lebih tinggi dari Kabupaten Indragiri Hilir. Tingginya pengeluaran kebutuhan per kapita per bulan menunjukkan tingkat kemampuan rumahtangga dapat memenuhi kebutuhannya. Terpenuhinya kebetuhan tersebut merupakan indikator tingkat kesejahteraan rumahtangga. Berdasarkan uraian diatas perlu dilakukan penelitian pola konsumsi rumahtangga petani rumaatangga petani padi sawah dan tingkat kesejateraannya. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis faktor dominan yang mmpengaruhi pola konsumsi pangan rumahtangga petani dan tingkat kesejahteraan rumahtangga petani padi sawah. II. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Lokasi Penelitian da Lokasi penelitian terssebar di empat desa Kecamatan Rambah Samo, yaitu Desa Rambah Baru, Rambah Utama, Karya Mulya dan Pasir Makmur. Penetapan lokasi dengan sengaja dengan pertimbangan bahwa desa tersebut mrupakan
desa yang memiliki luas tanam yang cukup luas dan produksi yang tinggi. B. Jenis, Sumber Data dan Teknis Pengambilan Sampel Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer tahun 2016. Data tersebut dikumpulkan dengan metode wawancara langsung dengan responden menggunakan kuesioner yang telah dipersiapkan. Selain itu, peneliltian menggunakan data sekunder yang telah dipublikasi yang bersumber dari Badan Pusat Statistik dan instansi-instansi terkait. Pengambilan sampel dilakukan dengan metode Multy Stage Ramdom Sampling. Sampel diambil diambil dari empat desa yaitu Rambah Baru, Rambah Utama dan Karya Mulya. Dari masing-masing desa diambil berdasarkan kelompok tani yang aktif. Masing-masing kelompok tani diambil 2 sampel, sehingga jumlah sampel yangdiambil berjumlah 40 rumahtangga petani padi sawah. C. Metode Analisis Data Analsis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis deskriptif dan regresi linier logistic. Analisis deskritif digunakan untuk menggambarkan karateristik pengeluaran pangan rumahtangga berdasarkan kelompok pengeluran, pendapatan rumahtangga, lama pendidikan petani dan jumlah anggota keluarga petani padi sawah. Analisisi regresi linier logistic untuk menjawab faktor dominan yang mempengaruhi pola pengeluaran rumahtangga petani padi sawah. Pola pengeluaran pangan rumahtangga petani dikelompokkan menjadi 2 kelompok yaitu, pola pengeluaran pangan tinggi dan rendah. Pola pengeluaran pangan tinggi apabila pangsa pengeluaran pangan diatas 50% (D =1) dan sebaliknya rendah apabila dibawah 50% (D = 0). Menurut [11], faktor yang mempengaruhi perubahan pola pengeluaran pangan rumahtangga yang dianggap penting adalah pendapatan rumahtangga, lama pendidikan petani, jumlah anggota rumahtangga dan jenis pekerjaan. Untuk melihat hubungan fungsional antara variabel tersebut terhadap pola pengeluaran rumahtanggga menggunakan model regresi linier logisik. Model tersebut menunjukkan peluang (probabilitas) rumahtangga berdasarkan pola pengeluaran pangan dengan model logaritma natural. Secara umum model tersebut dapat dituliis dengan persamaan sebagai berikut: 𝑃𝑖 𝐿𝑖 = 𝐿𝑛 [ ] = 𝑍𝑖 …………………………… (1) 1−𝑃𝑖
Persamaan (1) dirubah menjadi model spesifik dalam penelitian ini 𝑃𝑖 yaitu: 𝐿𝑖 = 𝐿𝑛 [ ] =β + β X + β X + β X + β X + ∈ (2) 1−𝑃𝑖
0
1
1
2
2
3
3
4
4
Y = β0 + β1X1 + β2X2 + β3X3 + β4X4 + ∈ ……………… (3) dimana:
𝐿𝑛 [
𝑃𝑖
] = Kemungkinan rumahtangga dalam pola
1−𝑃𝑖
konsumsi tertentu = Variabel dummy peluang peningkatan proporsi pengeluaran pangan rumahtangga petani padi sawah = 1, konsumsi pangan tinggi yakni alokasi untuk konsumsi pangan > 50% dari total pengeluaran = 0, konsumsi pangan rendah yakni alokasi untuk konsumsi pangan < 50% dari total pengeluaran = Pendapatan total rumahtangga petani (Rp/bulan) = Lama pendidikan (Tahun) = Jumlah anggota keluarga (Orang) = enis pekerjaaan pekerjaan terdiri atas: 0, bertani padi sawah sebagai pekerjaan utama dan1, bertani padi sawah sebagai pekerjaan sampingan = Logaritma natural = Parameter koefisien logistik = Galat atau residu
Y
Y
Y
X1 X2 X3 X4
Ln Β ∈
Metode yang digunakan untuk mengestimasi nilai parameter koefisien logistic adalah metode estimasi maksimum likelihood. Untuk mengukur tingkat kesejahteraan rumahtangga petani padi sawah, penelitian menggunakan konsep kemiskinan, yaitu kemiskinan absolut dengan indicator garis kemiskinan. Garis kemiskinan merupakan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan dan non makanan perkapita perbulan. Kriteria yang digunakan adalah sejahtera apabila pengeluaran pangan rumahtangga lebih besar dari angka garis kemiskinan. Sebaliknya, tidak sejahtera apabila pengeluaran pangan rumahtangga lebih kecil dari angka garis kemiskinan. III.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Pola Konsumsi Rumahtangga Petani Padi Sawah Pola konsumsi pangan merupakan susunan dan jumlah pangan yang dkonsumsi oleh seseorang atau kelompok pada waktu tertentu. Pola konsumsi mengarahkan pada pola pemanfaatan pangan dalam tubuh yang dapat dioptimalkan dengan gizi seimbang mencakup energy, protein, vitamin dan mineral yang aman. Konsumsi pangan mengandung makanan pokok, lauk pauk, sayuran dan buah-buahan, dan dimakan dalam umlah yanga cukup sesuai dengan kebutuhan. Dalam penelitian ini konsumsi pangan diukur dalam pengeluaran pangan rumahtangga petani padi sawah perbulan. Pengeluaran pangan adalah besarnya uang yang dikeluarkan oleh rumahtangga untuk membeli sejumlah barang untuk dikonsumsi oleh seluruh anggota rumahtangga dalam satuan rupiah perbulan. Alokasi pengeluaran untuk kebutuhan pangan rumahtangga petani padi sawah disajikan pada Table 3.
63
TABEL 3. PENGELUARAN PANGAN RUMAHTANGGA PETANI PADI SAWAH MENURUT KELOMPOK PENGELUARAN DI KECAMATAN RAMBAH SAMO TAHUN 2016.
No.
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Kelompok Pengeluaran (Rp.000/bulan) 500 - 899 900 – 1299 1300 – 1599 1600 – 1899 1900 – 2299 2300 – 2599 Jumlah
Alokasi Pengeluaran Pangan Terhadap Total Pengeluaran Rumahtangga per bulan (%) Rendah Tinggi Jumlah (< 50%) (>50%) 100,00 100,00 75,00 62,50 83,33 100,00 77,50
0,00 0,00 25,00 37,50 16,67 0,00 22,50
100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00
Berdasarkan Tabel 1 dapat dilihat bahwa 77,50 persen rumaahtangga petani padi sawah pengeluaran pangannya tergolong rendah dan 22,50 persen tergolong tinggi. Berdasarkan kelompok pengeluaran, rumahtangga petani padi sawah yang pengeluarannya sebesar Rp 500.000 sampai Rp. 1.299.000 dan Rp 2.300.000 – Rp 2.599.000 terdapat 100 persen tergolong rendah. Artinya proporsi konsumsi pangan terhadap total pengeluaran rumahtanggga tersebut lebih kecil dari 50 persen. Rumahtangga dengan pengeluaran Rp 1.300.000 - Rp 1.599.000, Rp 1.600.000 – Rp 1.899.000 dan Rp 1.900.000 – Rp 2.299.000 memilik proporsi konsumsi pangan terhadap total pengeluaran rumahtangga tersebut lebih kecil dari 50 persen, dengan persentase masing-masing sebesar 75 persen, 62,50 persen dan 83,33 persen. Hal ini berarti terjadi perbedaan alokasi pengeluaran pangan terhadap total pengeluaran rumatangga. Perbedaan pengeluaran pangan terhadap pengeluaran total rumahtangga dipengaruhi oleh tingkat pendapatan rumahtangga, lama pendidikan, jumlah anggota keluarga dan jenis pekerjaan ([11]). Pendapatan rumahtangga akan dialokasikan untuk pengeluaran pangan dan non pangan. Rumahtangga biasanya akan mengalokasikan pendapatannnya untuk kebutuhan non pangan setelah kebutuhan pangan terpenuhi, demikian halnya dengan rumahtangga petani padi sawah. Alokasi pengeluaran pangan rumahtangga petani padi sawah berdasarkan tingkat pendapatan disaikan pada Tabel 4. TABEL 4. ALOKASI PENGELUARAN PANGAN RUMAHTANGGA PETANI PADI SAWAH MENURUT KELOMPOK PENDAPATAN DI KECAMATAN RAMBAH SAMO TAHUN 2016.
No.
1. 2. 3. 4. 5. 6.
64
Presentase Alokasi Pengeluaran Kelompok Pangan Terhadap Total Pengeluaran Pendapatan Rumahtangga per bulan (Rp.000/bulan) Rendah Tinggi Jumlah (<50%) (>50%) (%) 100,00 3000 - 4499 0,00 100,00 4500 - 5999 80,00 20,00 100,00 6000 - 7499 75,00 25,00 100,00 7500 - 8999 40,00 60,00 100,00 9000 - 10499 80,00 20,00 100,00 11000 - 13000 100,00 0,00 100,00 Jumlah 77,50 22,50 100,00
Tabel 4 menunjukkan bahwa seluruh rumahtangga petani padi sawah dengan kelompok pendapatan rumahtangga Rp 3.000.000 – Rp 4.000.000 dan pendapatan Rp 11.000.000 – Rp 13.000.000 memiliki proporsi pengeluaran pangan lebih kecil dari 50 persen. Pendapatan rumahtangga Rp 7.500.000 – Rp8.999.000 memiliki proporsi pengeluaran pangan tergolong tinggi (lebih dari 50 persen). Hal ini dapat disimpulkan bahwa pada umumnya rumahtangga petani padi sawah dengan berbagai tingkat pendapatan memiliki alokasi pengeluaran pangan terhadap total pengeluaran rumahtangga tergolong rendah. Selain pendapatan, pendidikan petani juga mempengaruhi pengeluaran pangan rumahtangga. Hal ini disebabkan pendidikan sesorang akan mampu mengelola usahanya, pekerjaannya dan pola konsumsi dan rumahtangganya. Alokasi pengluaran pangan rumahtangga petani padi sawah berdasarkan tingkat pendidikan petani disajikan pada Tabel 5. TABEL 5. ALOKASI PENGELUARAN PANGAN RUMAHTANGGA PETANI PADI SAWAH MENURUT KELOMPOK LAMA PENDIDIKAN PETANI DI KECAMATAN RAMBAH SAMO TAHUN 2016
No.
1. 2. 3. 4. 5.
Lama Pendidikan
1- 3 4- 6 7- 9 10 - 12 13 - 15 Jumlah
Presentase Alokasi Pengeluaran Pangan Terhadap Total Pengeluaran Rumahtangga per bulan Rendah Tinggi (>50%) Jumlah (50%) 75,00 25,00 100,00 78,57 21,43 100,00 81,82 18,18 100,00 66,67 33,33 100,00 100,00 0,00 100,00 28,89 71,11 100,00
Tabel 5 menunjukkan pendidikan petani 1 sampai 6 tahun memiliki persentase alokasi pengeluaran pangan terhadap total pengeluaran rumahtangga lebih rendah (<, 50%), yaitu sebanyak 75-78,57 persen dan seluruh petani (100 persen) lama pendidikan 13 – 15 tahun memiliki alokasi pengeluaran pangan lebih rendah dari 50 persen. Namun secara umum petani dengan berbagai tingkat penddikan memiliki pengeluaran pangan lebih tinggi dari 50 persen. Jumlah anggota keluarga juga mempengaruhi pola konsumsi rumahtangga petani. Dengan kata lain semakin banyak jumlah anggota keluarga maka pengeluaran pangan rumahtangga semakin besar, sehingga semakin besar beban rumahtangga dalam memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari. Alokasi pengeluaran pangan rumahtangga petani padi sawah berdasarkan jumlah anggota keluarga disajikan pada Tabel 6.
TABEL 6. ALOKASI PENGELUARAN PANGAN RUMAHTANGGA PETANI PADI SAWAH MENURUT JUMLAH ANGGOTA KELUARGA DI KECAMATAN RAMBAH SAMO TAHUN 2016
No.
1. 2. 3.
Jumlah Anggota Keluarga (Orang) 2-3 4-5 6-7 Jumlah
Presentase Alokasi Pengeluaran Pangan Terhadap Total Pengeluaran Rumahtangga per bulan Rendah Tinggi Jumlah (<60%) (>60%) 100,00 0,00 100,00 75,00 25,00 100,00 100,00 0,00 100,00 77,50 22,50 100,00
Tabel 6 menunjukkan bahwa seluruh rumahtangga dengan jumlah anggota keluarga 2 – 3 orang memiliki alokasi pengeluaran pangan lebih kecil dari 50 persen. Demikian hal dengan rumahtangga dengan jumlah anggota keluarga 6 – 7 orang. Secara umum alokasi pengeluaran pangan rumahtangga terhadap total pengeluaran rumahtangga tergolong rendah. B. Faktor-faktor Dominan yang Mempengaruhi Pola Konsumsi Pangan Rumahtangga Petani Padi Sawah Konsumsi pangan rumahtangga merupakan salah satu indikator yang digunakan untuk mengukur tingkat kesejaheraan rumahtangga, yaitu dengan menghitung pangsa pengeluaran pangan terhadap total pengeluaran rumahtangga. Semakin tinggi pangsa pengeluaran pangan semakin sejahtera suatu rumahtangga ([2]). Pengeluaran pangan rumahtangga petani akan menggambarkan pola konsumsi pangan rumahtangganya. Dalam penelitian ini, pola konsumsi pangan rumahtangga dikatagorikan rendah dan tinggi. Pola konsumsi pangan rendah apabila pangsa pengeluaran pangan rumahtangga lebih kecil dari 50 persen (Y= 0). Sebaliknya, tinggi apabila pangsa pengeluaran pangan rumahtangga lebih besar dari 50 persen (Y = 1). Faktor yang mempengaruhi pola konsumsi pangan diantaranya adalah pendapatan , lama pendidikan, jumlah anggota keluarga dan jenis pekerjaan. Untuk menjawab faktor dominan yang mempengaruhi pola konsumsi pangan rumahtangga petani padi sawah digunakan model regresi logistik yang dianalisis menggunakan metode binary logistic, yaitu mengukur seberapa besar peluang pengeluaran pangan rumahtangga, yang nilainya berkisar antara 0 dan 1. Apabila nilai peluang 1, berarti pengeluaran pangan rumahtangga petani padi sawah cenderung tinggi, sebaliknya pelang 0 berarti pengeluaran pangan rumahtangga petani padi sawah cenderung rendah. Untuk dapat mengetahui hal tersebut tahap awal dilihat hasil ukuran asosiasi peubah dependen dengan peubah independen. Hasil ukuran asosiasi peubah dependen dengan peubah independen dijelaskan pada Tabel 7. Tabel 7 menunjukkan bahwa nilai persen kesesuaian (Percent Concordant) sebesar 78,10 persen. Hal ini berarti peluang katagori konsumsi pangan rumahtangga rendah (Y=0) sebesar 78,10 persen. Konsumsi pangan rumahtangga
tersebut memiliki peluang lebih besar dari kategori konsumsi pangan tinggi. Dari nilai persen ketidaksesuaian (Percent Disconcordant) sebesar 21,5 persen, berarti bahwa peluang katagori konsumsi pangan tinggi (Y=1) sebesar 21,5 persen. Hal ini hal ini menunjukkan bahwa di daerah penelitian peluang rumahtangga yang mengalokasikan pengeluarannya untuk konsumsi pangan dalam kategori rendah lebih banyak dibanding kategori tinggi. Nilai persen keterkaitan (Percent Tied) menunjukkan persentase pengamatan dengan kategori konsumsi pangan rendah peluang tinggi dibandingkan dengan kategori konsumsi pangan tinggi, yaitu 0,4 persen sehingga nilai ini tidak dapat diabaikan. TABEL 7. UKURAN ASOSIASI PEUBAH DEPENDEN DENGAN PEUBAH INDEPENDEN
Prediksi kemungkinan dan respon penelitian Percent Concordant 78,10 Somers' D Percent 21,5 Gama Disconcordant Percent Tied 0,4 Tau-a Pairs 279 C
0,566 0.568 0.203 0.783
Hasil pendugaan model regresi logistik pada variabel independen terhadap pola konsumsi pangan rumahtangga petani padi sawah memberikan hasil signifikan. Semua variabel independen yang dimasukkan kedalam model memiliki nilai koefisien yang bernilai positif. Hasil pendugaan model regresi logistik disajikan pada Tabel 8. TABEL 8. HASIL PENDUGAAN MODEL REGRESI LOGISTIK PELUANG TINGKAT KONSUMSI PANGAN RUMAHTANGGA PETANI PADI SAWAH DI KECAMATAN RAMBAH SAMO TAHUN 2016
Variabel
Koefisien (B)
Wald
Pr>Chi Sq
Konstanta Pendapatan Lama pendidikan Jmlh ang. keluarga Jenis pekerjaan
-4.6673 4.637E-7 0.2270
1.7254 2.5242 2.2859
0,1890 0,1121 0,1306
1,000 1,255
0.6738
1,369
0.9759
0,999
0.3140
Odd Ratio/ Exp (B)
0.1771 8.8304 0.001
Keterangan: Taraf nyata α = 20%
Tabel 8 menunjukkan terdapat dua variabel yang signifikan mempengaruhi pola konsumsi rumahtangga petani padi sawah pada taraf nyata sebesar 20 persen. Variabel tersebut adalah pendapatan rumahtangga petani dan lama pendidikannya. Variabel pendapatan dan lama pendidikan berbeda nyata dengan nol terhadap peluang pola konsumsi pangan. Variabel jumlah anggota rumahtangga dan jenis pekerjaan tidak signifikan dalam mempengaruhi peluang konsumsi pangan rumahtangga petani padi sawah. Berdasarkan tabel tersebut, pendapatan rumahtangga terhadap pola konsumsi pangan rumahtangga petani padi sawah bernilai positif yaitu 4,637E-7 dengan nilai Pr>ChiSq sebesar 0,1890. Hal ini menunjukkan bahwa pendapatan
65
rumahtangga petani dengan peluang alokasi pengeluaran pangan akan berhubungan positif. Artinya semakin besar pendapatan petani maka peluang petani untuk mengalokasikan pendapatannya untuk pangan semakin besar. Dengan kata lain semakin tinggi pendapatan maka peluang proporsi pengeluaran pangan akan lebih tinggi pada pengeluaran non pangan. Berdasarkan nilai Odds Ratio yaitu sebesar 1,00 artinya apabila pendapatan rumahtangga petani padi sawah meningkat Rp 1 maka peluang rumahtangga petani untuk mengkonsumsi pangan akan meningkat sebesar 1 kali lipat. Penelitian ini sesuai dengan penelitian [2] dimana pangsa pengeluaran pangan rumahtangga berbagai tipe agroekosistem menunjukkan peningkatan. Hal ini terjadi karena rumahtangga tersebut diduga masih memilik pendapatan yang rendah, tingkat konsumsi pangan yang belum sesuai dengan anjuran. Kenaikan pendapatan justru digunakan untuk pemenuhan kebutuhan pangan yang berarti pengeluaraan untuk pangan akan masih terus bertambah. Apabila hukum Engel yang menyatakan semakin tinggi tingkat pendapatan petani suatu rumahtangga, maka persentase pengeluaran untuk konsumsi makanan cenderung semakin rendah. Dalam hal ini, peningkatan pengeluaran pangan akibat peningkatan pendapatan bukan berarti bahwa rumahtangga petani padi sawah tidak sejahtera. Peningkatan pengeluaran pangan rumahtangga tersebut justru dalam mengalami perbaikan, dari pengeluaran pangan yang rendah ke yang tinggi ([2]). Tabel 8 juga dapat dijelaskan lama pendidikan petani terhadap pola konsumsi rumahtangga petani padi sawah di Rambah Samo bernilai positif yaitu 0,2270 dengan nilai Pr>ChiSq 0,1306. Hal ini menunjukkan lama pendidikan petani padi sawah dengan peluang alokasi pengeluaran pangan akan berhubungan positif. Hal ini berarti semakin lama pendidikan petani maka peluang petani untuk mengalokasikan pendapatannya untuk pangan semakin besar. Dengan kata lain semakin lama pendidikan petani maka peluang proporsi pengeluaran pangan rumahtangganya lebih tinggi, namun pengeluaran non pangan semakin rendah. Nilai Odds Ratio yaitu sebesar 1,255 artinya apabila pendidikan petani sawah meningkat 1,2 tahun maka peluang rumahtangga petani untuk mengkonsumsi pangan akan meningkat sebesar 1,255 kali. Peningkatan pendidikan petani akan membuat petani dapat mengelola konsumsi pangannya kearah yang lebih baik, pemenuhan gizi yang seimbang dan beragam. Mengkonsumsi makanan yang bergizi dan beragam akan membutuhkan biaya yang relative besar. Berdasarkan Tabel 8 dapat dilihat variabel jumlah anggota keluarga yang tidak berpengaruh nyata terhadap pola konsumsi rumahtangga petani pada taraf kepercayaan 20 persen. Hal ini disebabkan daerah penelitian merupakan daerah yang mayoritas penduduknya berada pada tingkat pendapatan yang rendah. Pada kondisi rumahtangga dengan tingkat pendapatan yang rendah banyaknya jumlah anggota keluarga tidak akan berpengaruh terhadap alokasi pengeluaran pangan rumahtangga.
66
Variabel lainnya adalah jenis pekerjaan juga tidak signifikan terhadap pola konsumsi rumatangga petani padi sawah pada taraf kepercayaan 20 persen. Jenis pekerjaan petani adalah membedakan antara petani padi sawah yang mengelola usahataninya secara penuh dan petani yang mengelola usahatani paruh waktu dan menggunakan tenaga kerja luar keluarga. Berdasarkan hasil penelitian mnunjukkan bahwa pada umumnya petani mengerjakan usahataninya secara penuh dan menggunakan tenaga kerja dalam keluarga. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan 93 pesen petani mengerajakan usahataninya secara penuh dan menggunakan tanaga kerja dalam keluarga. Dengan demikian tidak ada perbedaan jenis pekerjaan petani terhadap pola konsums rumahtangga. C. Kesejahteraan Rumahtangga Petani Padi Sawah Kesejahteraan adalah suatu kondisi masyarakat yang telah terpenuhi kebutuhan dasarnya. Tingkat kesejahteraan masyarakat dapat diukur dengan menggunakan beberapa cara namun dalam penelitian ini kesejahteraan rumahtangga petani padi sawah dilihat dari kemiskinan absolut yang dihitung melalui garis kemiskinan. Rumahtangga dikatakan miskin secara absolut apabila pendapatannya lebih rendah dari garis kemiskinan di Kabupaten Rokan Hulu. Kriteria yang digunakan adalah rumahtangga dengan pendapatan lebih besar dari garis kemiskinan dapat dikatakan sejahtera dan sebaliknya rumahtangga dengan pendapatan lebih kecil dari garis kemiskinan dapat dikatakan tidak sejahtera. Berdasarkan [10], garis kemiskinan di Kabupaten Rokan Hulu 2016 adalah sebesar Rp 384.226 per kapita perbulan. Dengan membandingkan pengeluaran pangan rumahtangga petani padi sawah dengan garis kemiskinan maka dapat ditentukan kesejahteraan rumahtangga petani padi sawah. Tingkat kesejahteraan rumahtangga petani padi sawah disajikan pada Tabel 9. TABEL 9. KESEJAHTERAAN RUMAHTANGGA PETANI PADI SAWAH BERDASARKAN GARIS KEMISKINAN KABUPATEN ROKAN HULU TAHUN 2016
No.
Garis Kemiskinan
1. 2.
< Rp 384.226 > Rp 384.226
Jumlah (Rumahatangga) 0 40
Tabel 9 menunjukkan bahwa seluruh petani sampel termasuk dalam kategori sejahtera. Ini dikarenakan total pendapatan rumahtangga petani padi sawah lebih besar dari garis kemiskinan yakni lebih besar dari Rp 384.226. Hal ini berarti bahwa tingkat kehidupan petani padi sawah di Kecamatan Rambah Samo sudah tergolong baik, dan sumber pendapatan yang dikelola dengan baik sehingga memberikan hasil yang dapat memenuhi kebutuhan hidup rumahtangga petani padi sawah. IV. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian terdahulu dapat diambil kesimpulan, yaitu” (1) rumahtangga petani padi sawah memiliki peluang alokasi pengeluaran pangan tegolong rendah, dengan pangsa pengeluaran pangan kecil dari 50 persen dari total pengeluaran rumahtangga; (2). faktor dominan yang mempengaruhi pola konsumsi rumahtangga adalah pendapatan rumahtangga petani padi sawah dan lama pendidikannya dan berpengaruhi postif; dan (3) rumahtangga petani padi sawah tergolong sejahtera, karena pangsa pengeluaran pangan rumahtangga lebih besar dari angka garis kemiskinan. B. Implikasi Kebijakan Penelitian yang dilakukan di Kecamatan Rambah Samo terhadap pendapatan rumahtangga petani padi sawah di dapatkan bahwa sumber pendapatan rumahtangga petani padi sawah terbesar bersumber dari usahatani padi sawah. Berdasarkan hal tersebut maka dalam rangka meningkatkan kesejahteraan petani padi sawah maka perlu upaya untuk meningkatkan pendapatan usahatani padi sawah. Implikasi yang dapat dilakukan untuk meningkatkan pendapatan usahatani padi sawah adalah meningkatkan produksi padi sawah dengan perbaikan sistem irigasi, dan memberikan bantuan peralatan dan mesin untuk mengolah komoditas padi sawah menjadi produk agroindustri sehingga petani memiliki nilai jual yang lebih tinggi. Peningkatan pendapatan petani padi sawah juga dipengaruhi oleh harga komoditas padi sawah. Apabila harga output meningkat maka pendapatan petani akan meningkat sehingga pola konsumsi rumahtangga petani semakin baik dan petani semakin sejahtera. Tingkat harga padi sawah di Kecamatan Rambah Samo selalu mengalami kondisi naik turun (berfluktuasi), untuk itu pemerintah dapat menerapkan kebijakan harga yang stabil serta upaya pengendalian harga input. Informasi harga di tingkat petani padi sawah masih sangat minim sehingga petani selau dalam posisi yang lemah. Selain harga output, harga input seperti hargabenih, pupuk dan pestisida juga mempengararuhi pendapatan petani. Harga input yang mahal akan meningkatkan biaya produksi sehingga pendapatan usahtani padi sawah menurun. Oleh karena itu pemerintah tetap mempertahanka subsidi input untuk petani padi sawah dan tidak membatasi jumlah pembelin input yang disubsidi. Disamping itu dalam rangka untuk meningkatkan pengetahuan petani padi sawah maka perlu didukung oleh kegiatan pelatihan dan pembinaan dengan penekanan pada peningkatan skill dan praktek/aplikasi.
DAFTAR PUSTAKA [1] Ariani, M, “Analisis Konsumsi Pangan Tingkat Masyarakat Mendukung Pencapaan Diversifikasi Pangan”, Gizi Indon, vol. 33(1), pp. 20-28, 2010 [2] Ariani, M dan Handewi, P. 2008. Pola pengeluaran dan konsumsi. Prosiding Seminar Nasional “Dinamika Pembangunan Pertanian dan Perdesaan”, Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor, 2008, pp. 183-199. [3] Badan Pusat Stastistik Indonesia, Indikator Kesejahteraan Rakyat 2016, Badan Pusat Stastistik Indonesia, Jakarta, 2016. [4] Badan Pusat Stastistik Kabupaten Indragir Hilir, Kabupaten Indragir Hilir Dalam Angka 2016, Badan Pusat Stastistik Kabupaten Indragir Hilir, Tembilahan. 2016. [5] Badan Pusat Stastistik Kabupaten Indragiri Hulu, Kabupaten Indragiri Hulu Dalam Angka 2016, Badan Pusat Stastistik Kabupaten Indragiri Hulu, Rengat, 2016. [6] Badan Pusat Stastistik Kabupaten Kuantan Singingi, Kabupaten Kuantan Singingi Dalam Angka 2016, Badan Pusat Stastistik Kabupaten Kuantan Singingi, Taluk Kuantan, 2016. [7] Badan Pusat Stastistik Kabupaten Pelalawan, Kabupaten Pelalawan Dalam Angka 2016, Badan Pusat Stastistik Kabupaten Pelalawan, Pelalawan, 2016. [8] Badan Pusat Stastistik Provinsi Riau, Provinsi Riau Dalam Angka 2016, Badan Pusat Stastistik Provinsi Riau, Pekanbaru, 2016 [9] Badan Pusat Stastistik Rokan Hulu, Kabupaten Rokan Hulu Dalam Angka 2014, Badan Pusat Stastistik Kabupaten Rokan Hulu, Pasir Pangaraian, 2014. [10] Badan Pusat Stastistik Rokan Hulu. Kabupaten Rokan Hulu Dalam Angka 2016, Badan Pusat Stastistik Kabupaten Rokan Hulu, Pasir Pangaraian, , 2016. [11] Hatta, Z. (2011). Pola Konsumsi Masyarakat. [Online]. http:/ekonkop.blogspot.com/2011/11/polakonsumsi-masyarakat.html. [12] Rahman, HPS, “Kajian Pola Konsumsi dan Permintaan Pangan Masyarakat berpendapatan Rendah Jawa Tengah dan Nusa Tenggara Barat:, Jurnal Agro Ekonomi, Vol. 15(2), pp. 36-532001 [13] Sayekti, A, A, S. (2009). Pola Konsumsi Masyarakat. [Online] Http://pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/MP_Pro s_B2_2009.pdf, Pp. 201 – 218.
67
68
RESPON PETANI TERHADAP SISTEM TANAM JARWO DI DESA RIAM BUNUT KABUPATEN KETAPANG Ellyta1), Lusia Sri Purwaningsih2) 1)
2)
Universitas Panca Bhakti Pontianak
[email protected]
Universitas Panca Bhakti Pontianak
Abstract. One of the recommendation to increase the rice production from Agriculture Ministry is the application of the system which is right and good planting through spacing is known as Jajar Legowo planting system. The obstacles that found in this effort is still relatively difficult to implement. In the village of Riam Bunut of Ketapang, many farmers are planting without irregular spacing, whereas with proper spacing and the correct technique will be obtained planting efficiency and effectiveness as well as facilitate where as the action goes. Selection of respondents of 31 people conducted by purposive sampling. This method was chosen because the farmer group Mulia Karya is the only group of farmers who apply cropping systems Jajar Legowo. The analysis showed a response from the aspect of knowledge score was 3.77, so that the criteria for a response from the aspect of knowledge expressed Good (> 3.4 to 4.2). The average score of the response from the aspect of attitude was 3.79, so the response of the criteria stated attitude aspect Good (> 3.4 to 4.2). While the average score of the response of skill aspect is 3:19, so the response criteria of skill aspect can be expressed Pretty Good (> 2.6 to 3.4). While the recapitulation of response scores of the aspects of knowledge, attitudes and skills obtained a mean score of 3.69, so it can be concluded response Farmers Group members work on the system Mulia Legowo row planting otherwise well. Keywords: Jajar legowo, respon, petani.
I.
Introduction
Kementerian Pertanian melalui Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Pertanian telah banyak mengeluarkan rekomendasi untuk diaplikasikan oleh petani sebagai upaya meningkatkan produktivitas tanaman padi. Salah satu rekomendasi ini adalah penerapan sistem tanam yang benar dan baik melalui pengaturan jarak tanam yang dikenal dengan sistem tanam jajar legowo. Kendala untuk mewujudkan upaya tersebut masih relatif besar, karena jika diperhatikan masih banyak petani yang belum mau melaksanakan anjuran sepenuhnya. Masih banyak petani yang bertanam tanpa jarak tanam yang beraturan, padahal dengan pengaturan jarak tanam yang tepat dan teknik yang benar, dalam hal ini adalah sistem tanam jajar legowo, maka akan diperoleh efisiensi dan efektifitas pertanaman serta memudahkan tindakan kelanjutannya. Kecamatan Sungai Laur merupakan salah satu kecamatan yang berada di Kabupaten Ketapang, terdiri dari 18 desa, dan sebagian besar penduduk setiap desa bermata pencaharian sebagai petani padi dengan luas lahan sawah yang cukup signifikan. Desa Sepotong merupakan desa yang memiliki luas tanam dan luas panen tanaman padi yang paling luas, sedangkan luas tanam dan luas panen terkecil terdapat pada Desa Randau Limat dan Mekar Harapan. Sementara data produktivitas tanaman padi di
Kecamatan Sungai Laur rata-rata berada diatas 3 ton Gabah Kering Panen (GKP)/Ha, dan produktivitas GKP tertinggi terdapat di Desa Riam Bunut, sedangkan produktivitas GKP terendah terdapat di Desa Tanjung Maju. Petani padi di Desa Riam Bunut telah tergabung dalam wadah kelompok tani, sehingga memudahkan dalam pembinaan sumberdaya manusia pertanian oleh instansi terkait. Salah satu kelompok tani yang terbentuk adalah Mulia Karya. Kelompok Tani Mulia Karya menghasilkan produktivitas tanaman padi yang paling tinggi, dan merupakan satusatunya kelompok tani yang sebagian besar anggotanya telah menerapkan Sistem Tanam Jajar Legowo. Petani padi di Desa Riam Bunut, pada umumnya melakukan usaha tani padi masih tergolong petani subsisten/tradisional, serta senantiasa berpegang teguh pada metode konvensional dalam setiap proses budidaya yang mereka lakukan, terutama metode pangaturan jarak tanam. Berdasarkan observasi yang dilakukan, metode dan jarak tanam yang mereka terapkan selama ini sangat tidak beraturan, jauh dari kata efektif dan efisien dalam pemanfaatan lahan dan benih, sehingga produktivitas padi yang dihasilkan masih tergolong rendah. Untuk itu, perlu kiranya diperkenalkan secara bertahap suatu terobosan inovasi teknologi yang telah direkomendasikan agar terjadi perubahan terhadap metode berusaha tani yang mereka lakukan, sehingga
69
kedepan diharapkan terjadi peningkatan produktivitas usaha tani yang mereka lakukan. Usaha untuk mengubah perilaku (pengetahuan, sikap, dan keterampilan) masyarakat tani Indonesia yang masih berpegang teguh pada kebiasaan lama yang telah digeluti secara turun temurun untuk menerapkan suatu inovasi teknologi pertanian bukanlah suatu perkara mudah, termasuk salah satunya adalah menerapkan inovasi teknologi sistem tanam Jajar Legowo. Permasalahan yang bisa berpengaruh terhadap respon petani tradisional terhadap inovasi baru yang ditawarkan antara lain adalah, kebiasaan lama yang telah turun temurun diterapkan dan telah dianggap sebagai sesuatu yang baik, menciptakan kecenderungan untuk kokoh pada pendirian dan sulit untuk menerima sesuatu yang dianggap baru dan belum terbukti kebenarannya. Selain itu, faktor usia yang rata-rata diatas 50 tahun dan tingkat pendidikan yang rata-rata tamatan Sekolah Dasar (SD), serta jauh dari akses dan sumber informasi, keadaan ekonomi yang rata-rata relatif berada pada kelas menengah kebawah, menjadikan proses adopsi terhadap suatu inovasi teknologi menjadi relatif rendah. Namun disisi lain, keinginan untuk berusaha meningkatkan pendapatan dan hidup lebih layak memotivasi mereka untuk mencoba sesuatu yang baru, sehingga proses pendampingan dan pembinaan secara berkesinambungan perlu dijadikan perhatian serius. Respon diartikan sebagai tanggapan, reaksi dan jawaban (Poeradawarrminta, 1999 [1] ).Respon adalah suatu kegiatan (activity) dari organisme itu bukanlah semata-mata suatu gerakan yang positif, setiap jenis kegiatan (activity) yang ditimbulkan oleh suatu perangsang dapat juga disebut respon. Secara umum respon atau tanggapan dapat diartikan sebagai hasil atau kesan yang didapat (ditinggal) dari pengamatan tentang subjek, peristiwa atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan-pesan. (Rahmat, 1999 [2]). Penyuluhan sistem tanam jajar legowo yang disampaikan oleh penyuluh di Riam Bunut tahun sejak 2015 perlu diketahui reaksi dari petani apakah mau melakukan system tana mini pada musim tanam berikutnya.Menurut Padmowiharjo (1993 [3]), evaluasi penyuluhan pertanian merupakan suatu proses sistematis untuk memperoleh informasi yang relevan dan mengetahui sejauh mana perubahan perilaku petani dan hambatan yang dihadapi petani, sejauhmana efektivitas rancangan program penyuluhan pertanian dalam merencanakan program kerja petani.Maka untuk mengetahui bagaimana respon petani di Riam Bunut yang telah menerapkan Sistem Tanam Jajar Legowo, perlu dilakukan suatu proses penilaian ataupun eavaluasi dari penyuluhan dengan maksud untuk mengukur pengetahuan, sikap, dan keterampilan dari sistem tanam yang diimplementasikan.
II.
Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam pengambilan sampel ini adalah menggunakan metode Purposive sampling, yaitu penentuan sampel berdasarkan kriteria tertentu yang ditetapkan berdasarkan tujuan penelitian (Nawawi, 1998 [4]). Metode ini dipilih karena sasaran yang akan dijadikan sampel adalah seluruh pengurus dan anggota Kelompok Tani Mulia Karya yang berjumlah 31 orang, karena dari 4 kelompok tani yang ada di Desa Riam Bunut, kelompok tani Mulia Karya adalah satusatunya kelompok tani yang sebagian anggotanya telah menerapkan Sistem Tanam Jajar Legowo. Analisis Data Data yang diperoleh dari hasil penilaian terhadap aspek pengetahuan, keterampilan dan sikap selanjutnya ditabulasikan dan diolah secara deskriptif kualitatif yang dikuantitatifkan. Sedangkan untuk menginterpretasikan nilai yang diperoleh tersebut pada kriteria respon, mengacu pada pendapat Umar (2010 [5]), dimana rentang skor dihitung Skor Tertinggi – Skor Terendah Rentang Skor Tertinggi dengan rumus sebagai berikut: Total Range =
Rata-rata Range =
Total Sample
Dimana:
Skor : 31 x 5 = 155 Tertinggi Skor : 33 x 1 = 31 Terendah Total Range : 155 – 31 / 5 = 24,8 Rata-rata : 24,8 / 31 = 0,8 Range Sehingga kriteria respon dari responden dapat dilihat dari rata-rata skor nilai yang diperoleh, dengan penjelasan sebagai berikut: a. 4,2 – : Sangat Baik 5,0 b. 3,4 – < : Baik 4,2 c. 2,6 – < : Cukup Baik 3,4 d. 1,8 – < : Rendah 2,6 e. 1,0 – < : Sangat Rendah 1,8 III.
70
Total Range
HASIL DAN PEMBAHASAN
Baik A. Karakteristik Responden
Jumlah
Pengelompokan umur anggota Kelompok Tani Mulia Karya yang dijadikan responden pada proses penelitian ini dapat dilihat pada sajian tabel 1berikut.
No (1) 1. 2.
Tabel 1.Umur Responden Jumlah Nilai Umur (tahun) (Jiwa) Respon (5) (2) (3) 35 - 45 14 3.52 46 – 57 17 3.19 Jumlah
Kriteria Respon (6) Baik Cukup Baik
31
Tabel 1 menunjukkan bahwa anggota Kelompok Tani Mulia Karya yang dijadikan responden sebagian besar berumur antara > 45 tahun. Umur tersebut masih tergolong usia produktif, namun mencerminkan bahwa usahatani pada umumnya belum diminati oleh tenaga kerja muda. Nilai respon menunjukkan bahwa responden yang berumur 35-45 tahun dikategorikan memiliki respon baik terhadap system tanam Jajar Legowo, sedangkan responden dengan kisaran umur 46-57 tahun termasuk kategori respon cukup baik, sehingga dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa responden yang berumur lebih muda relatif memiliki respon yang lebih baik dari pada yang berumur lebih tua. Ini selaras dengan apa yang dikemukakan oleh Lionberger (1960) dalam Suharyanto, dkk (2009[6]) bahwa semakin muda umur responden, semakin tanggap terhadap inovasi baru, dan semakin tinggi peluang responden untuk menerapkan teknologi, sedangkan yang lebih tua pada umumnya bertahan pada sistem yang lama yang sudah biasa diterapkan oleh masyarakat. Responden yang terpilih tidak semuanya memberikan respon yang positif/baik, terutama untuk pelaksanaan dilapangan, berbagai alasan mereka kemukakan sehingga pelaksana dilapangan dituntut memiliki kesabaran yang tinggi agar kegiatan bisa terlaksana dengan baik. Mardikanto (1993[7]) menyatakan bahwa, semakin tua (diatas 50 tahun) biasanya seseorang akan lamban dalam penyerapan inovasi baru. Jenis Kelamin Data sebaran jenis kelamin anggota Kelompok Tani Mulia Karya yang dijadikan responden pada proses penelitian ini dapat disimak pada sajian Tabel 2 berikut. Tabel 2 Jenis Kelamin Responden No 1. 2.
Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan
Jumlah (Jiwa) 27 4
Nilai Respon 4,16 3,39
Kriteria Respon Baik Cukup
31
Tersaji dengan jelas pada tabel 2, bahwa anggota Kelompok Tani Mulia Karya didominasi oleh laki-laki, sehingga dapat dikatakan bahwa tenaga kerja tani memang didominasi oleh tenaga kerja laki-laki. Banoewidjojo (1983[8]) mengemukakan bahwa unsurunsur pokok pembangunan pertanian, khususnya menyangkut pertanian rakyat yang merupakan mata pencaharian sebagian besar penduduk di Indonesia, adalah petani dan usahataninya. Hasil analisis nilai respon berdasarkan jenis kelamin menyatakan bahwa, responden yang berjenis kelamin laki-laki dinyatakan memiliki respon yang lebih baik dari pada responden perempuan terhadap sistem tanam Jajar Legowo. Hal ini diasumsikan bahwa laki-laki sebagai kepala keluarga dan kepala rumah tangga memegang peranan penting dalam mengambil keputusan, ini mengacu pada pernyataan Ibrahim, dkk (2003[9]), bahwa dalam usaha tani, petani laki-laki sebagai kepala keluarga memegang komando pengambilan keputusan dan kebijakan, melakukan percobaan, dan mengadopsi inovasi baru. Tingkat Pendidikan Sebaran tingkat pendidikan anggota Kelompok Tani Mulia Karya yang dijadikan responden dapat dilihat pada sajian tabel 3 berikut: Tabel 3. Data Sebaran Tingkat Pendidikan Responden N Tingkat Jumlah Nilai Kriteria o Pendidikan (Jiwa) Respon Respon 1. SD 10 3.19 Cukup Baik 13 3.23 2. SMP Cukup Baik 3. SMA 8 4.42 Sangat Baik Jumlah 31 Tabel 3menunjukkan bahwa tingkat pendidikan SMP adalah yang terbesar, dan posisi kedua tamat SD, hanya 25.81% yang menamatkan pendidikan dampai di tingkat SMA, namun seluruh responden pernah menjalani pendidikan formal. Dari hasil analisis nilai respon berdasarkan tingkat pendidikan, diketahui bahwa dari 31 orang anggota kelompok tani Mulia Karya, anggota yang memiliki tingkat pendidikan SMA dinyatakan memiliki respon sangat baik terhadap system tanam Jajar Legowo, sedangkan anggota yang tingkat pendidikannya SD dan SMP termasuk kategori memiliki respon cukup baik. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa respon anggota kelompok tani Mulia Karya yang memiliki pendidikan formal lebih tinggi, termasuk ketegori memiliki respon lebih baik dibanding yang pendidikan formalnya lebih rendah, karena tingkat pendidikan seseorang akan sangat berpengaruh pada pengembangan nalar, rasionalitas, dan pola pikirnya kearah yang lebih dewasa, penuh pertimbangan, dan bijaksana dalam menghadapi sesuatu. Hal ini sejalan dengan ungkapan Soedijanto (2005[10]),
71
yang menyatakan bahwa tingkat pendidikan seseorang dapat merubah pola pikir, daya penalaran yang lebih baik, sehingga makin lama seseorang mengenyam pendidikan akan semakin rasional, sehingga secara umum petani yang berpendidikan tinggi akan lebih baik cara berpikirrnya, sehingga memungkinkan mereka bertindak lebih rasional dalam mengelola usahataninya. Pengalaman Usaha Tani Distribusi data pengalaman berusaha tani anggota Kelompok Tani Tani Mulia Karya yang dijadikan responden dalam penelitian ini dapat dilihat pada sajian tabel 4 berikut:
sedangkan dalam sistem yang tradisional, tempo adopsi juga lebih lambat. Luas Kepemilikan Lahan Sebagian besar angota Kelompok Tani Mulia Karya memiliki luas kepemilikan lahan antara 0.75 – 1.5 ha, luas lahan tersebut sudah termasuk dalam kategori cukup luas untuk kalangan ekonomi petani. Data luas kepemilikan lahan anggota Kelompok Tani Mulia Karya dapat dilihat pada tampilan tabel 5 berikut.
No Tabel 4. Data Pengalaman Berusaha Tani Responden Jumlah (Jiwa)
Nilai Respon
Kriteria Respon
1. 2.
Pengalaman Berusaha Tani (Th) 9 - 15 16 - 25
7 12
3.65 3.19
3.
26 - > 30
12
2,94
Jumlah
31
-
Baik Cukup Baik Cukup Baik -
No
Berdasarkan tabel 4 dapat diketahui bahwa pengalaman berusaha tani didominasi oleh yang berusaha tani antara 16– >30 tahun (77.42%), sedangkan sisanya memiliki pengalaman berusaha tani < 16 tahun, hal ini disebabkan karena responden pada dassarnya merupakan penduduk yang betul-betul memiliki mata pencaharian sebagai petani. Hasil analisis respon berdasarkan pengalaman berusaha taninya, responden yang memiliki pengalaman berusaha tani lebih lama dikategorikan memiliki respon yang cenderung lebih rendah daripada yang memiliki pengalaman berusaha tani lebih singkat. Ini menunjukkan bahwa, kebiasaan yang merupakan kebiasaan lama, tradisional, budaya, dan warisan dari turun temurun, menyebabkan seseorang sulit untuk menerima hal-hal baru, terutama yang berhubungan dengan norma dan kebiasaan. Ini selaras dengan Ibrahim, dkk (2003[9]), yang menyatakan bahwa semakin lama petani menjalani usahanya, maka dia akan senantiasa bertahan pada bentuk dan cara yang telah diyakininya, sehingga sangat sukar baginya untuk percaya pada inovasi dan gagasan baru yang belum pernah mereka ketahui sebelumnya. Hanafi (1987[11]) menyatakan seseorang yang telah memutuskan untuk menerimainovasi pada tahap keputusan ada kemungkinan untuk meneruskan ataumenghentikan penggunaannya. Hal lain yang perlu dipertimbangkan juga mempengaruhi kecepatan pengadopsian suatu inovasi adalah sistem sosial, terutama norma-norma sistem. Dalam suatu sistem modern tempo adopsi mungkin lebih cepat karena di sini kurang ada rintangan sikap diantara para penerima,
72
1. 2.
Tabel 5. Data Luas Kepemilikan Lahan Kategori Luas Lahan Jumlah Nilai (Ha) (Jiwa) Respon Respon 0.75 – 1.5 19 3,58 Baik >1.5 – 2.5 12 3,58 Baik Jumlah 31
Tabel 8 menunjukkan bahwa Hasil analisis respon dari karakteristik luas kepemilikan lahan, dinyatakan bahwa responden yang memiliki luas lahan 0,75 – 2,5 ha dinyatakan sama-sama memiliki respon yang baik terhadap system tanam Jajar Legowo. Dengan luas lahan tersebut, dapat dikatakan bahwa respon dan proses penerimaan suatu inovasi teknologi pertanian akan berlangsung cepat, karena luas kepemilikan lahan sangat berkorelasi dengan tingkat perekonomian masyarakat tani, artinya semakin luas kepemilikan lahan usaha taninya, maka semakin tinggi pendapatannya, semakin tinggi pendapatannya maka semakin baik tarap perekonomiannya, semakin baik tarap perekonomiannya maka semakin tinggi motivasinya untuk mencoba hal-hal dan inovasi baru yang dianggap menguntungkan. Ini sejalan dengan teori yanga menyatakan bahwa semakin luas lahan usaha tani biasanya semakin cepat mengadopsi, kerena memiliki kemampuan ekonomi yang lebih baik (Lionberger dalam Mardikanto. dkk, 1993 [7]). Petani yang menguasai lahan sawah yang luas akan memeperoleh hasil produksi yang besar dan begitu sebaliknya. Dalam hal ini, luas sempitnya lahan sawah yang dikuasai petani akan sangat menentukan besar kecilnya pendapatan usahatani. Luas lahan yang diusahakan relatif sempit seringkali menjadi kendala untuk mengusahakan secara lebih efisien. Dengan keadaan tersebut, petani terpaksa melakukan kegiatan diluar usahataninya untuk memperoleh tambahan pendapatan agar mencukupi kebutuhan keluarganya (Mardikanto, 1993[7]). Kemauan untuk melakukan percobaan atau perubahan dalam difusi inovasi pertanian yang cepat sesuai dengan kondisi pertanian yang dimiliki oleh petani, maka umumnya hal ini yang menyebabkan pendapatan petani yang lebih tinggi (Soekartawi, 1988 [12]). B. Respon Petani Terhadap Jajar Legowo
Kriteria respon dari 31 responden dapat diketahui melalui hasil rata-rata nilai analisis respon terhadap masing-masing variable yang terdapat pada aspek pengetahuan, sikap dan keterampilan. Untuk lebih jelasnya, rekapitulasi nilai respon pada aspek pengetahuan, sikap dan keterampilan pada masingmasing variable dapat dilihat pada sajian tabel 6 berikut. Tabel 6. Rekapitulasi Nilai Respon Anggota Kelompok Tani Mulia Karya terhadap Sistem Tanam Jajar Legowo
No
1 2 3 4
5
6
7
8
1
2
3
4 5
Pernyataan Aspek Pengetahuan Pengetahuan tentang pengertian Sistem Tanam Jajar Legowo Pengetahuan tentang tipe atau model Sistem Tanam Jajar Legowo Pengetahuan tentang manfaat dan keuntungan jika menggunakan Sistem Tanam Jajar Legowo Pengetahuan tentang sumber informasi tentang Sistem Tanam Jajar Legowo Pengetahuan tentang tipe atau model Sistem Tanam Jajar Legowo yang direkomendasikan oleh peneliti dan lebih cocok untuk diterapkan oleh petani Pengetahuan tentang jarak tanam yang dianjurkan untuk Sistem Tanam Jajar Legowo Pengetahuan tentang tipe atau model Sistem Tanam Jajar Legowo bagaimana yang direkomendasikan oleh peneliti untuk penangkar benih Pengetahuan tentang kekurangan/kelemahan dari Sistem Tanam Jajar Legowo Jumlah Rata-rata Aspek Sikap Sikap terhadap pernyataan bahwa penggunaan Sistem Tanam Jajar Legowo akan meningkatkan produksi padi secara nyata Sikap terhadap pernyataan bahwa mau menerapkan Sistem Tanam Jajar Legowo dalam setiap musim tanam Sikap terhadap pernyataan bahwa Sistem Tanam Jajar Legowo Memperbaiki kualitas gabah karena akan semakin banyaknya tanaman pinggir Sikap terhadap pernyataan bahwa jika seluruh petani dianjurkan menggunakan Sistem Tanam Jajar Legowo secara terus menerus Sikap terhadap pernyataan bahwa Sistem
Ratarata Skor
Tanam Jajar Legowo mampu meningkatkan populasi/jumlah rumpun tanaman padi.
(1) 6
7 4.23 3.71 8 3.52 3.58
4.16
1
3.39
2
4.35
3
3.19 3.77
4.16
4.42
3.97
3.97 3.00
(2) Sikap terhadap pernyataan bahwa Sistem Tanam Jajar Legowo akan mempermudah dalam perawatan tanaman padi baik dalam proses pemupukan maupun penyemprotan Sikap terhadap pernyataan bahwa penggunaan Sistem Tanam Jajar Legowo akan dapat mengurangi serangan hama dan penyakit pada tanaman padi Sikap terhadap pernyataan bahwa penggunaan Sistem Tanam Jajar Legowo dapat menghemat pupuk, karena yang dipupuk hanya di bagian dalam baris tanaman saja Jumlah Rata-rata Aspek Keterampilan Keterampilan memeragakan cara pengaturan jarak tanam Sistem Tanam Jajar Legowo dengan tipe/model (5 : 1) sepanjang 5 meter Keterampilan memeragakan cara pengaturan jarak tanam Sistem Tanam Jajar Legowo dengan tipe/model (4 : 1) sepanjang 5 meter Keterampilan memeragakan cara pengaturan jarak tanam Sistem Tanam Jajar Legowo dengan tipe/model (2 : 1) sepanjang 5 meter Jumlah Rata-rata Jumlah Total Rerata Skor
(3) 4.23
2.94
3.65
3.79
2.87
3.77
2.94 3.19 70.05 3.69
Berdasarkan tabel 6 dapat diketahui rata-rata skor respon dari aspek pengetahuan adalah 3.77, sehingga kriteria respon dari aspek pengetahuan dinyatakan Baik (>3,4 – 4,2). Hasil analisis aspek pengetahuan dari keseluruhan variabel menunjukkan bahwa pendidikan dan pengetahuan memiliki hubungan yang erat, semakin tinggi tingkat pendidikan responden, maka pengetahuan mereka terhadap Sistem Tanam Jajar Legowo relatif lebih baik daripada responden yang memiliki tingkat pendidikan lebih rendah, sehingga kriteria respon mereka terhadap inovasi tersebut menunjukkan hasil lebih baik. Analisis ini selaras dengan ungkapan Soekartawi (1988[12]) yang mengemukakan pendapatnya, bahwa petani yang berpendidikan tinggi adalah relatif lebih baik respon dan cepat mengadopsi suatu inovasi teknologi. Begitu pula sebaliknya, mereka yang berpendidikan rendah, cenderung akan relative lebih sulit untuk
73
merespon dan mengadopsi inovasi teknologi dengan cepat. Rata-rata skor respon dari aspek Sikap adalah 3.79, sehingga kriteria respon dari aspek sikap dinyatakan Baik (>3,4 – 4,2). Hasil analisis dari aspek sikap, dari seluruh variabel menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif antara sikap dengan pengetahuan responden, artinya semakin tahu, faham dan mengerti responden tentang inovasi Sistem Tanam Jajar Legowo, maka sikapnya akan lebih menerima dan cenderung merespon baik inovasi tersebut. Hasil observasi dan identifikasi sebagai tindaklanjut pembuktian setelah dilakukan analisis respon menunjukkan bahwa, sikap positif dan menerima inovasi juga berpengaruh signifikan terhadap peningkatan suatu produk. Sikap positif dan menerima, serta penerapan inovasi sistem tanam Jajar Legowo oleh petani menunjukkan bahwa petani responden yang telah menerapkan metode sistem tanam Jajar Legowo ternyata mampu meningkatkan produktivitas dan pendapatan usaha tani mereka dibandingkan dengan petani yang menerapkan sistem tanam konvensional. Analisis secara umum menunjukkan bahwa, sikap petani terhadap sistem tanam Jajar Legowo masih tergolong ragu-ragu, indikatornya adalah belum seluruh anggota kelompok tani Mulia Karya mengaplikasikan sistem tanam Jajar Legowo pada usaha tani padi yang mereka lakukan. Dari 31 petani anggota kelompok tani Mulia Karya yang dijadikan responden, 22 orang telah mengaplikasikan, sedangkan 9 orang lainnya belum mengaplikasikan. Berdasarkan hasil wawancara diperoleh informasi bahwa, keragu-raguan tersebut disebabkan karena petani belum sepenuhnya percaya pada sistem tanam Jajar Legowo, dan masih menunggu bukti dari hasil petani yang telah mengaplikasikan. Seseorang akan merespon positif sesuatu jika dia faham dan melahirkan persepsi akan sesuatu, seseorang akan merespon positif jika sikapnya menerima, menyetujui dan dirasakan sesuai serta tidak bertentangan dengan beberapa hal yang diyakini, dan seseorang dikategorikan memiliki respon positif jika dia mampu mengaktualisasikan sesuatu tersebut dalam usaha dan kehidupannya. Ini sesuai dengan pernyataan bahwa adopsi terhadap inovasi dipengaruhi oleh variabel kependudukan, karakteristik teknologi, sumber informasi, pengetahuan, kesadaran, sikap dan pengaruh kelompok (Oladele, 2005 dalamMardikanto, 1993 [7]). Analisis dari aspek keterampilan dari seluruh variable menunjukkan bahwa antara keterampilan dengan kebiasaan menunjukkan hubungan yang erat. Walaupun rata-rata pengalaman berusaha tani responden diatas 16 tahun, namun dalam analisis keterampilan ini, tidak seluruh petani responden yang berpengalaman diatas 16 tahun memiliki tingkat keterampilan tinggi, namun responden yang telah merespon baik dan telah mengaplikasikan sistem tanam Jajar Legowo yang memiliki keterampilan lebih baik. Dari ketiga type/model
74
Jajar Legowo yang diperagakan, type/model Jajar Legowo (4 : 1) yang menghasilkan nilai keterampilan yang lebih tinggi, dan menghasilkan respon baik dibanding type/model (2 : 1) dan (5 : 1 ), ini disebabkan karena petani ketika aplikasi dilapangan, memang menggunakan sistem tanam Jajar Legowo type/model (4 : 1), namun secara umum dari analisis aspek keterampilan, rata-rata keterampilan yang mereka miliki sudah cukup baik. Ketika peragaan penilaian keterampilan dilakukan, hasil penilaian menyatakan bahwa petani bernama Lamhaidi yang memiliki pengalaman berusaha tani 16 tahun, dinilai cukup terampil dari pada Badiri yang memiliki pengalaman berusaha tani 35 tahun, ini disebabkan karena Lamhaidi telah mengaplikasikan sistem tanam Jajar Legowo pada usaha tani padinya, sedangkan Badiri belum atau tidak mengaplikasikan. Hasil analisis dari aspek keterampilan tersebut dapat dinyatakan bahwa semakin terbiasa responden menerapkan sesuatu, maka semakin terampil responden dalam mengerjakannya. Keterampilan disini juga diartikan bahwa responden telah menerima dan menerapkan sesuatu dengan penuh kesadaran, tidak sekedar hanya mengetahui, namun telah sampai pada rasa percaya diri yang tinggi. Deskripsi hasil analisis tersebut sesuai dengan ungkapan yang menyatakan bahwa penerimaan mengandung arti tidak sekadar tahu, tetapi sampai benar-benar dapat melaksanakan atau menerapkannya dengan benar serta menghayatinya dalam kehidupan dan usaha taninya. Penerimaan inovasi tersebut, biasanya dapat diamati secara langsung maupun tidak langsung oleh orang lain, sebagai cerminan dari adanya perubahan: sikap, pengetahuan, dan atau keterampilannya (Mardikanto, 1993[7]). Sedangkan ratarata skor respon dari aspek keterampilan adalah 3.19, sehingga kriteria respon dari aspek keterampilan dapat dinyatakan Cukup Baik (>2,6 – 3,4). Sementara hasil rekapitulasi skor respon dari dari aspek pengetahuan, sikap dan keterampilan diperoleh rerata skor 3.69, sehingga dapat disimpulkan respon anggota Kelompok Tani Mulia Karya terhadap system tanam jajar legowo dinyatakan Baik (>3,4 – 4,2). Ini sejalan dengan hasil wawancara dan apa yang telah diimplementasikan dilapangan, bahwa dari 31 orang anggota kelompok tani Mulia Karya, sebanyak 22 orang (70,97%) telah konsisten dan secara terus menerus mengaplikasikan system tanam Jajar Legowo pada setiap Musim Tanam (MT) pada usaha tani padinya, sedangkan 9 orang (29,03%) masih belum sepenuhnya menerapkan, masih ada keraguan karena belum sepenuhnya memahami kelebihan dan keuntungan menerapkan system tanam Jajar Legowo, sehingga diperlukan pendampingan dan pembinaan secara berkelanjutan. Seseorang akan merespon positif sesuatu jika dia faham dan melahirkan persepsi akan sesuatu, seseorang akan merespon positif jika sikapnya menerima, menyetujui dan dirasakan sesuai serta tidak bertentangan
dengan beberapa hal yang diyakini, dan seseorang dikategorikan memiliki respon positif jika dia mampu mengaktualisasikan sesuatu tersebut dalam usaha dan kehidupannya. Ini sesuai dengan ungkapan bahwa adopsi dalam proses penyuluhan, pada hakekatnya dapat diartikan sebagai proses perubahan perilaku baik yang berupa: pengetahuan (cognitive), sikap (affective), maupun keterampilan (psyco-motoric) pada diri seseorang setelah menerima inovasi yang disampaikan penyuluh oleh masyarakat sasarannya. Penerimaan di sini mengandung arti tidak sekadar tahu, tetapi sampai benarbenar dapat melaksanakan atau menerapkannya dengan benar serta menghayatinya dalam kehidupan dan usahataninya. Penerimaan inovasi tersebut, biasanya dapat diamati secara langsung maupun tidak langsung oleh orang lain, sebagai cerminan dari adanya perubahan: sikap, pengetahuan, dan atau keterampilannya (Mardikanto, 1993 [7]). Mengadopsi inovasi teknologi artinya memutuskan untuk menerapkannya secara terus menerus dalam berusaha, dan seseorang dalam mengadopsi suatu inovasi dipengaruhi oleh factor-faktor internal maupun eksternal, antara lain lingkungan sosial, karakteristik teknologi, jenis dan sumber informasi, pengaruh dan keikutsertaan dalam organisasi, pengetahuan, kesadaran, minat, sikap, dan keinginan untuk berubah. Ini selaras dengan ungkapan yang menyatakan bahwa beberapa faktor yang mempengaruhi kecepatan mengadopsi inovasi ditinjau dari ragam golongan masyarakat yang meliputi: (a) luas usahatani, (b) tingkat pendapatan, (c) keberanian mengambil resiko, (d) umur, (e) tingkat partisipasinya dalam kelompok/organisasi di luar lingkungannya sendiri, (f) aktivitas mencari informasi dan ide-ide baru, (g) sumber informasi yang dimanfaatkan (Lionberger dalam Mardikanto, 1993 [7]). Selanjutnya Oladele(2005[13]) mengemukakan bahwa adopsi terhadap inovasi merujuk kepada keputusan untuk menerapkan suatu inovasi dan terus menerus menggunakannya. Keputusan inovasi merupakan proses mental, sejak seseorang mengetahui adanya inovasi sampai mengambil keputusan untuk menerima atau menolaknya kemudian mengukuhkannya. Keputusan inovasi merupakan suatu tipe pengambilan keputusan yang khas (Suprapto dan Fahrianoor, 2004 [14]). Lingkungan ekonomi, merupakan kekuatan ekonomi yang berada di sekitar seseorang, ini menjadi satu dari banyak faktor yang menyebabkan seseorang memutuskan mau atau tidak untuk mengadopsi sesuatu. Mardikanto (1993[7]) menyampaikan bahwa kegiatan pertanian tidak dapat lepas dari kekuatan ekonomi yang berkembang di sekitar masyarakatnya. Kekuatan ekonomi tersebut meliputi: 1) tersedianya dana atau kredit usahatani, 2) tersedianya sarana produksi dan peralatan usahatani, 3) perkembangan teknologi pengolahan hasil, 4) pemasaran hasil. Lingkungan sosial, petani sebagai pelaksana usahatani (baik sebagai juru tani maupun sebagai
pengelola) adalah manusia yang di setiap pengambilan keputusan untuk usahatani tidak selalu dapat dengan bebas dilakukan sendiri, tetapi sangat ditentukan oleh kekuatan-kekuatan di sekelilingnya. Dengan demikian, jika ia ingin melakukan perubahan-perubahan untuk usahataninya, dia juga harus memperhatikan pertimbangan-pertimbangan yang diberikan oleh lingkungan sosialnya (Mardikanto, 1993[7]). Sebelumnya Soerkartawi (1988[12]) juga telah menyatakan bahwa lingkungan sosial yang mempengaruhi perubahanperubahan itu adalah famili atau keluarga, tetangga, kelompok sosial dan status sosial. IV.
KESIMPULAN
Skor respon dari aspek pengetahuan adalah 3.77, sehingga kriteria respon dari aspek pengetahuan dinyatakan baik (>3,4 – 4,2). Rata-rata skor respon dari aspek Sikap adalah 3.79, sehingga kriteria respon dari aspek sikap dinyatakan baik ( >3,4 – 4,2). Sedangkan rata-rata skor respon dari aspek keterampilan adalah 3.19, sehingga kriteria respon dari aspek keterampilan dapat dinyatakan cukup baik (>2,6 – 3,4). Sementara hasil rekapitulasi skor respon dari dari aspek pengetahuan, sikap dan keterampilan diperoleh rerata skor 3.69, sehingga dapat disimpulkan respon anggota Kelompok Tani Mulia Karya terhadap sistem tanam jajar legowo dinyatakan baik. Daftar Pustaka [1] Poerdawarminta. 1999. Psikologi Komunikasi, UT Jakarta. [2] Rahmat, J. 1999. Psikologi Komunikasi. Remaja Rosdakarya. Bandung. [3] Padmowihardjo, S. 1999. Evaluasi Penyuluhan Pertanian. Universitas Terbuka Jakarta. [4] Nawawi, 1998. Metode Penelitian Bidang Sosial. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. [5] Umar, 2010. Metode Penelitian Untuk Skripsi dan Tesis Bisnis. Penerbit PT. Raja Grafindo Persada. [6] Suharyanto, Destialisma dan IA Parwati. 2001. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Adopsi Teknologi Tabela Di Provinsi Bali. BPTP. [7] Mardikanto,T. 1993. Penyuluhan Pembangunan Pertanian. Sebelas Maret University Press. Surakarta [8] Banoewidjojo, M. 1983. Pembangunan Pertanian. Usaha Nasional. Surabaya. [9] Ibrahim, J.T, Arman. S, dan Harpowo. 2003. Komunikasi dan Penyuluhan Pertanian. Bayumedia Publishing. Malang. [10] Soedijanto, 2005. Memberdayakan Sumberdaya Manusia Petani. Ekstensia. Jakarta [11] Hanafi, A. 1987. Memasyarakatkan Ide-Ide Baru. Penerbit Usaha Baru. Surabaya
75
[12] Soekartawi. 1988. Prinsip Dasar Komunikasi Pertanian. UI Press. Jakarta [13] Oladele. A. 2005. A Tobit Analisys of Propensity to Discontinue Adoption of Agricultural Technology Among Farmers in Southwestern Nigeria. Journal of Central European Agriculture. [14] Suprapto, T.dan Fahrianoor. 2004. Komunikasi Penyuluhan dalam Teori dan Praktek. Arti Bumi Intaran. Yogyakarta.
76
ANALISIS KOMODITAS UNGGULAN UNTUK PENGELOLAAN LAHAN PERTANIAN BERKELANJUTAN DI KAWASAN PERBATASAN KECAMATAN JAGOI BABANG, BENGKAYANG Eva Dolorosa1) 1) Fakultas Pertanian Universitas Tanjungpura, Pontianak, Indonesia E-mail:
[email protected]
Abstract. Management of sustainable agriculture as efforts towards food self-sufficiency. The availability of agricultural land and recognizing the main commodities cultivated, as one important factor to achieve self-sufficiency and food security in the border region district of Jagoi Babang, Bengkayang. The purpose of this study to determine the availability of agriculture land and analyze the main commodities for sustainable land management in the border area. The result indicated that there was declining in the number of land agriculture area and the crop production. Based on Location Quotient (LQ) analysis, the main commodities in the border area districts Jagoi Babang, Bengkayang are paddy from rice fields, paddy from unirrigated agricultural field, yams and palm oil Keywords: land agriculture, border area, food self-sufficiency, location quotient
I. PENDAHULUAN
Wilayah perbatasan antar negara di Kalimantan Barat mempunyai nilai yang strategis baik ditinjau dari aspek kerjasama ekonomi, perdagangan maupun sosial, termasuk didalamnya aspek geografis, budaya, politik serta pertahanan dan keamanan negara. Namun demikian, pembangunan di beberapa wilayah perbatasan masih sangat jauh tertinggal dibandingkan dengan pembangunan di wilayah negara tetangga. Permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat di wilayah perbatasan adalah kemiskinan yang diakibatkan oleh rendahnya pendidikan, keterampilan serta ketidakpastian jenis pekerjaan yang ditekuni dan penghasilannya. Potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia masih berpeluang besar untuk dikembangkan sehingga dibutuhkan program yang bisa memfasilitasi masyarakat dalam mengakses potensi sumber daya dan untuk meningkatkan kualitas dan kesejahteraan masyarakat di kawasan perbatasan. Ketahanan pangan merupakan pilar bagi pembentukan sumber daya manusia yang berkualitas. Apabila dikaitkan dengan upaya membangun kualitas manusia maka akses terhadap pangan dan ketersediaan pangan merupakan kunci utamanya. Dengan demikian, kemandirian pangan di tingkat rumah tangga perlu mendapat perhatian lebih, karena kemandirian pangan rumah tangga
adalah cikal bakal bagi kemandirian pangan wilayah dan nasional. Untuk mencapai kemandirian dan ketahanan pangan perlu didukung dengan ketersediaan lahan pertanian dan hasil produksi yang baik. Beberapa isu sentral terkait permasalahan ketersediaan lahan pertanian di kawasan perbatasan antara lain adanya konversi lahan pertanian di kawasan perbatasan menjadi lahan pemukiman, perdagangan, perkebunan, industri, atau infrastruktur fisik lainnya sehingga menjadikan upaya peningkatan produksi pangan semakin terkendala. Sementara itu salah satu unsur penting dalam memproduksi pangan adalah ketersediaan lahan karena lahan merupakan faktor produksi utama untuk memproduksi pangan. Kegiatan budidaya pertanian didesak ke lahan-lahan marjinal yang kurang atau tidak sesuai untuk pertanian. Pengelolaan lahan marjinal ini agar sesuai untuk pertanian tentu membutuhkan biaya tambahan, misalnya untuk pengembangan sistem tata air, pemupukan, dan pengapuran untuk menaikkan pH. Kabupaten Bengkayang merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Kalimantan Barat yang berbatasan langsung dengan Malaysia. Permasalahan yang dialami saat ini, kondisi pembangunan yang masih tertinggal dibandingkan dengan daerah-daerah Iainnya di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh dampak dari paradigma pembangunan masa lampau, yang menempatkan
77
kawasan perbatasan sebagai halaman belakang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang membawa implikasi terhadap kondisi kawasan perbatasan saat ini yang terisolir dan tertinggal dari sisi sosial dan ekonomi [1]. Paradigma tersebut perlu dirubah yang mengarah pada percepatan pertumbuhan ekonomi masyarakat di wilayah perbatasan, khususnya di Kabupaten Bengkayang, dengan mengubah arah kebijakan pembangunan yang selama ini cenderung berorientasi inward looking menjadi outward looking, sehingga wilayah tersebut dapat dimanfaatkan sebagai pintu gerbang aktivitas ekonomi dan perdagangan dengan negara tetangga melalui pendekatan kesejahteraan (prosperity approach) dan pendekatan keamanan (security approach) [2]. Pembangunan di wilayah perbatasan Kabupaten Bengkayang, yang berbasiskan pertanian, harus ditingkatkan guna mengatasi permasalahan pembangunan yang terjadi selama ini yang didukung oleh kemampuan pelayanan infrastruktur, pendidikan, sosial, kesehatan, dan lainnya, sehingga mampu menggerakkan perekonomian perdesaan dan menciptakan nilai tambah yang dapat dinikmati oleh masyarakat. Mengingat jenis komoditas pertanian yang dikembangkan di wilayah perbatasan cukup banyak, maka perlu diprioritaskan pertumbuhan komoditas unggulan pertanian yang benar-benar mampu menangkap efek ganda yang tinggi baik bagi kepentingan pembangunan wilayah kecamatan perbatasan. Identifikasi komoditas dan mengetahui ketersediaan lahan ini diharapkan akan dapat berperan penting dalam pengelolaan lahan secara berkelajutan di kawasan perbatasan ini Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui ketersediaan lahan pertanian dan menganalisis komoditas unggulan untuk pengelolaan lahan berkelanjutan di kawasan perbatasan kecamatan Jagoi Babang, Kabupaten Bengkayang II. METODE PENELITIAN
Kabupaten Bengkayang yang merupakan salah satu wilayah yang memiliki kawasan perbatasan terletak di sebelah utara provinsi Kalimantan Barat. Secara astronomis terletak pada 0033’LU - 1030’ LU dan 108039’ BT - 110010’ BT. Secara administrasi, kawasan perbatasan di Kabupaten
78
Bengkayang meliputi 2 (dua) kecamatan meliputi Kecamatan Jagoi Babang dan Siding. Penelitian dilaksanakan di Kecamatan Jagoi Babang yang merupakan salah satu daerah lini I kawasan perbatasan Bengkayang yang berbatasan langsung dengan negara tetangga (SerawakMalaysia Timur), dan wilayah ini juga merupakan salah satu kawasan PKSN (Pusat Kegiatan Strategis Nasional) Kalimantan Barat.
Gambar 1. Peta Wilayah kawasan Perbatasan Kabupaten Bengkayang Menghitung LQ Produksi [3]
LQ = Location Quotient pi = Produksi jenis komoditas i pada tingkat kecamatan pt = Produksi tanaman pangan semua komoditas j pada tingkat kecamatan Pi = Produksi jenis komoditas i pada tingkat kabupaten Pt = Produksi tanaman pangan komoditasi j pada tingkat kabupaten LQ > 1 menunjukkan terdapat konsentrasi relative disuatu wilayah dibandingkan dengan keseluruhan wilayah. Hal ini berarti komoditas i disuatu wilayah merupakan sektor basis yang berarti komoditas i di wilayah itu memiliki keunggulan komparatif. LQ = 1 merupakan sektor non basis, artinya komoditas i disuatu wilayah tidak memiliki
keunggulan komparatif. produksi komoditas yang dihasilkan hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sendiri dalam wilayah itu. LQ < 1. merupakan sektor non basis, artinya komoditas i disuatu wilayah tidak memiliki keunggulan komparatif, produksi komoditas i di wilayah itu tidak dapat memenuhi kebutuhan sendiri dan harus mendapat pasokan dari luar wilayah. III. HASIL DAN PEMBAHASAN A.
Perkembangan Luasan Lahan Pertanian di Kabupaten Bengkayang
Ketersediaan lahan pertanian yang diukur dari jumlah luasan lahan merupakan salah sratu indikator untuk mengetahui hasil produksi komoditas tanaman pangan dan perkebunan. Penyediaan lahan pertanian untuk pangan saat ini menghadapi tekanan akibat persaingan dengan sektor lain sebagai akibat pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan jumlah penduduk. Kondisi demikian menyebabkan lahan pertanian pangan dihadapkan kepada masalah penurunan luas lahan akibat dikonversi ke penggunaan non pertanian. Tabel 1. Luas lahan Pertanian (tanaman pangan & perkebunan) kabupaten Bengkayang No 1 2
Lahan (ha) Tanaman pangan Perkebunan
2012 71,402
Tahun 2013 2014 73,869 67,659
2015 56,698
115,861
126,873
154,006
Sumber : Badan Pusat Statistik 2016
131,766
Berdasarkan Tabel 3.1. dan Gambar 3.1 luasan lahan untuk tanaman pangan mengalami penurunan sebesar 47% sejak tahun 2012, penurunan luas lahan terutama untuk komoditas padi sawah dan padi ladang, sedangkan tanaman perkebunan luas lahan nya meningkat, yang disebabkan luas lahan kebun sawit meningkat pesat, kurang lebih terjadi peningkatan sebesar 42% dari tahun 2012. Hal ini mengindikasikan, berkurangnya luasan lahan akan menurunkan jumlah produksi tanaman pangan sehingga ketahanan pangan di kawasan perbatasan semakin dihadapkan pada masalah keterbatasan lahan yang potensial untuk memproduksi bahan pangan terutama beras yang merupakan bahan pangan pokok bagi sebagian besar penduduk. Sementara itu lahan menjadi factor yang paling responsif dalam upaya peningkatan produksi beras [5] B. Perkembangan Hasil Produksi Komoditas Pertanian di Kabupaten Bengkayang Tanaman utama yang mayoritas diusahakan oleh petani di wilayah kawasan perbatasan Kabupaten Bengkayang adalah kelompok tanaman pangan (padi ladang, padi sawah, jagung, ubi kayu, dan ubi jalar), tanaman perkebunan adalah karet, lada dan kelapa sawit. Beberapa komoditas pertanian ini selalu mengalami fluktuasi luas lahan dan hasil produksi setiap tahunnya. Perkembangan hasil produksi komoditas pertanian dapat dilihat pada tabel dan gambar berikut: Tabel 2. Hasil Produksi Komoditas Pertanian (pangan dan perkebunan) Kabupaten Bengkayang Tahun 2012-2015 (ton) Komoditas Padi Ladang Padi Sawah Jagung Ubi Kayu Ubi Jalar Karet Lada Kelapa Sawit
2012 35,791 104,366 124,621 28,984 1,434 23,529 1,182 42,734
Tahun 2013 2014 36,614 22,422 98,461 101,735 123,613 103,855 34,427 38,292 1,885 1,989 23,748 23,306 1,409 1,223 38,539 51,455
2015 20,106 60,286 77,482 40,731 2,023 23,073 1,293 74,618
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2016 [4]
[4] 140,000 120,000 100,000 2012 80,000 60,000
2013 2014 2015
40,000 20,000 0
Sumber : Kabupaten Bengkayang dalam Angka Tahun 2016
Sumber : Badan Pusat Statistik 2016 Gambar 2. Grafik Luas lahan Komoditas Pertanian Kabupaten Bengkayang Tahun 2012-2015 (ha)
Gambar 3. Grafik Hasil Produksi Komoditas Pertanian Kabupaten Bengkayang Tahun 2012-2015 (ton)
79
Berdasarkan grafik hasil produksi komoditas pertanian (gambar 1 dan 2) terlihat bahwa penurunan luas lahan tanaman pangan akan menurunkan hasil produksi, yaitu pada komoditas padi sawah, padi ladang dan jagung. Sementara kenaikan luas lahan tanaman perkebunan juga akan meningkatkan hasil produksinya (karet, lada, dan kelapa sawit). Untuk mengoptimalkan pemanfaatan lahan dan menjaga keberlanjutan jumlah produksi, maka diperlukan dukungan teknologi pengairan yang memungkinkan pasokan air dapat tersedia musim kemarau, misalnya dengan teknologi pembuatan embung, pembuatan sumur dan/atau pompanisasi, sesuai dengan kondisi sumber daya air yang tersedia. Petani seharusnya menggunakan benih varietas unggul baru dan berkualitas baik, sehingga perlu dikembangkan penangkaran benih secara in situ agar produksi benih dapat disesuaikan dengan kebutuhan petani dan selera pasar. Penggunaan pupuk organik secara intensif di lahan sawah perlu dilakukan introduksi teknologi pengolahan limbah tanaman menjadi pupuk organik dan pengembangan sistem usaha tani terintegrasi tanaman-ternak untuk meningkatkan penyediaan bahan pupuk organik. Sementara itu, penerapan metode Pengendalian Hama Terpadu (PHT) dilakukan untuk memperkecil risiko gagal panen yang tidak menimbulkan dampak lingkungan. Sebagai tambahan perlu diusahakan kelembagaan asuransi tanaman sehingga risiko gagal panen tidak sepenuhnya ditanggung oleh petani. Hal penting lainnya adalah dalam mengusahakan suatu komoditas di suau wilayah perlu dipilih komoditas unggulan wilayah tersebut. C. Analisis Identifikasi Komoditas Unggulan Setiap daerah mempunyai karakteristik wilayah, penduduk, dan sumber daya yang berbeda-beda. Hal ini membuat potensi masing-masing daerah akan menjadi berbeda pula dan akan mempengaruhi arah kebijakan pengembangan kegiatan ekonomi di wilayah tersebut. Penetapan komoditas unggulan di suatu wilayah menjadi suatu keharusan dengan pertimbangan bahwa komoditas-komoditas yang mampu bersaing secara berkelanjutan dengan komoditas yang sama yang dihasilkan oleh wilayah lain adalah komoditas yang secara efisien diusahakan dari sisi teknologi dan sosial ekonomi serta memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif. Komoditas unggulan adalah komoditas andalan yang memiliki posisi strategis, didasarkan baik pada pertimbangan teknis (kondisi tanah dan iklim) maupun sosial ekonomi dan kelembagaan (penguasaan teknologi, kemampuan sumberdaya manusia, infrastruktur, dan kondisi sosial budaya setempat), untuk dikembangkan di suatu wilayah. Penetapan komoditas unggulan di suatu wilayah menjadi suatu keharusan dengan pertimbangan, bahwa komoditaskomoditas yang mampu bersaing secara berkelanjutan dengan komoditas-komoditas yang sama yang dihasilkan oleh wilayah lain, adalah komoditas yang diusahakan secara efisien dari sisi teknologi dan sosial ekonomi serta memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif. Kemampuan suatu wilayah untuk memproduksi dan memasarkan semua komoditas yang sesuai dengan kondisi lahan dan iklim di wilayah tertentu juga sangat terbatas.
80
Dalam lingkungan daerah dalam suatu negara, suatu komoditas dikatakan mempunyai daya saing apabila komoditas tersebut tidak hanya laku dijual di pasar lokal di daerahnya sendiri, melainkan juga dapat bersaing diluar daerahnya. Pada tingkat agregat, suatu komoditas dari suatu daerah dapat dikatakan mempunyai daya saing apabila komoditas tersebut tidak hanya mampu memasok kebutuhan didaerahnya melainkan juga diluar daerahnya. Komoditas yang mempunyai karakteristik demikian dinamakan sebagai komoditas unggulan. Pendayagunaan sumber daya alam daerah harus lebih diarahkan secara produktif pada pengembangan komoditas unggulan yang didasarkan pada potensi daerah. Selain itu juga harus dilaksanakan secara terpadu dan diarahkan pada upaya peningkatan nilai tambah dan daya saing produk di pasaran regional, nasional, maupun internasional. Untuk mendukung langkah kebijakan yang lebih terarah yang dapat mendorong kegiatan investasi dan pembangunan daerah, maka diperlukan identifikasi potensi daerah secara komprehensif untuk mengetahui pewilayahan komoditas unggulan dan peluang pengembangannya di masa yang akan dating. Pewilayahan komoditas pertanian sesuai dengan daya dukung lahan dimaksudkan agar produktivitas lahan yang diusahakan mencapai tingkat optimal. [6]. Produktivitas lahan dalam mendukung kegiatan agribisnis ditujukan untuk suatu tipe penggunaan lahan (Land Utilization Types) baik secara campuran (multiple land utilization types) maupun individual (compound utilization types) mampu berproduksi optimal [7]. Dilihat dari aspek ekonomi komoditas yang dihasilkan harus mempunyai peluang pasar, baik sebagai komoditas domestik maupun ekspor. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka komoditas harus dikembangkan pada lahan yang paling sesuai sehingga akan mempunyai keunggulan komparatif dan kompetitif. Pada umumnya setiap tanaman dan/atau kelompok tanaman mempunyai persyaratan tumbuh yang spesifik untuk dapat berproduksi secara optimal. Hal ini menunjukkan bahwa suatu wilayah kemungkinan hanya memiliki kesesuaian untuk komoditas tertentu tetapi tidak untuk yang lain. Bagi pertanian, lahan merupakan faktor produksi yang utama dan unik karena tidak dapat digantikan. Oleh karena itu, bagi pertanian yang bersifat land base agricultural, ketersediaan lahan merupakan syarat mutlak atau keharusan untuk mewujudkan peran sektor pertanian secara berkelanjutan, terutama dalam perannya mewujudkan kebijakan pangan nasional, menyangkut terjaminnya ketersediaan pangan (food availability), ketahanan pangan (food security), akses pangan (food accessibility), kualitas pangan (food quality) dan keamanan pangan (food safety). Sehingga apabila persyaratan tumbuhnya dari segi lahan tidak terpenuhi maka tidak selalu setiap jenis komoditas dapat diusahakan di setiap wilayah. Perbedaan karakteristik lahan yang mencakup iklim terutama suhu udara dan curah hujan, tanah (sifat fisik, morfologi, kimia tanah), topografi (elevasi, lereng), dan sifat fisik lingkungan lainnya dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan untuk seleksi awal dalam menyusun zonasi pengembangan komoditas pertanian. Penyusunan tata ruang pertanian melalui pendekatan pewilayahan komoditas dengan mempertimbangkan daya dukung lahan akan dapat
menjamin produktivitas lahan yang berkelanjutan tanpa merusak lingkungan. Analisis Location Quotient (LQ) digunakan untuk mengetahui sektor maupun subsektor pertanian yang menjadi unggulan dalam perekonomian Kabupaten Bengkayang. Analisis ini digunakan untuk menentukan sektor atau subsektor yang merupakan sektor yang dapat mengekspor dalam perekonomian Kabupaten Bengkayang. Analisis LQ adalah suatu indikator sederhana yang menunjukkan kekuatan atau besar kecilnya peranan suatu subsektor pada daerah dibandingkan dengan peranan subsektor yang sama di daerah referensi (Nasional). Analisis LQ merupakan salah satu pendekatan tidak langsung yang digunakan untuk mengetahui apakah suatu sektor atau komoditas merupakan sektor basis atau non-basis. Nilai LQ akan memberikan indikasi kemampuan suatu daerah dalam menghasilkan suatu komoditas, apakah mempunyai potensi untuk mensuply daerah lain, mendatangkan dari daerah lain, atau dalam keadaan seimbang. Pentingnya ditetapkan komoditas unggulan di suatu wilayah (Kecamatan Jagoi Babang) dengan metode LQ didasarkan pada pertimbangan bahwa ketersediaan dan kapabilitas sumberdaya (alam, modal dan manusia) untuk menghasilkan dan memasarkan semua komoditas yang dapat diproduksi di suatu wilayah secara simultan relative terbatas. Selain itu, hanya komoditas-komoditas yang diusahakan secara efisien yang mampu bersaing secara berkelanjutan. Hasil analisis LQ komoditas pertanian yang mayoritas diusahakan oleh masyarakat di Kabupaten Bengkayang dapat dilihat pada Tabel berikut: Tabel 3. Hasil Analisis Location Quotient (LQ) Komoditas Pertanian (tanaman pangan dan perkebunan) Kecamatan Jagoi Babang Tahun 2012-2015 Sub 2012 2013 2014 201 ReSektor 5 rata Padi 2.20 1.86 1.72 1.95 1.93 Sawah Padi 0.92 1.78 1.24 1.64 1.39 Ladang Jagung 0.17 0.26 0.26 0.43 0.28 Ubi Kayu 0.33 0.43 0.81 0.35 0.48 Ubi jalar 1.75 1.22 2.30 0.98 1.56 Karet 0.21 0.26 0.59 0.08 0.28 Lada 0.67 0.75 0.60 0.23 0.56 Kelapa 1.52 1.55 1.26 1.36 1.42 Sawit Sumber : Data sekunder diolah (2016) Keterangan : B = Basis (unggulan) NB = Non Basis (non unggulan)
Kriteria B B NB NB B NB NB B
Penentuan komoditas unggulan dilakukan dengan menggunakan nilai referensi sebagai dasar perhitungan, dalam hal ini penelitian menggunakan data nilai produksi dari komoditas. Keunggulan penggunaan nilai produksi
sebagai dasar perhitungan LQ antara lain bahwa komoditas unggulan yang dianalisis sudah mempertimbangkan tidak hanya aspek agronomis (produksi) akan tetapi juga aspek pasar (nilai produksi). Berdasarkan hasil analisis LQ menunjukkan bahwa yang menjadi komoditas unggulan di Kecamatan Jagoi Babang Kabupaten Bengkayang yaitu tanaman padi sawah, padi ladang, ubi jalar, dan kelapa sawit, sedangkan tanaman jagung, ubi kayu, karet dan lada termasuk komoditas non unggulan karena nilai LQ yang diperoleh lebih kecil dari satu. IV. KESIMPULAN Untuk mewujudkan ketahanan pangan di kawasan perbatasan melalui strategi kemandirian pangan yang diarahkan diarahkan pada pemenuhan pangan secara mandiri berdasarkan sumberdaya alam, kemampuan produksi dan kreativitas masyarakat. Ketersediaan lahan pertanian merupakan faktor yang sangat penting untuk mewujudkan kemandirian pangan Lahan pertanian untuk tanaman pangan di kawasan perbatasan Kecamatan Jagoi Babang cenderung menurun luasan lahannya dan hasil produksinya, sedangkan lahan perkebunan kelapa sawit cenderung meningkat. Sementara itu, komoditas yang menjadi unggulan di kawasan perbatasan kecamatan Jagoi Babang, kabupaten Bengkayang untuk tanaman pangan adalah padi sawah, padi ladang, dan ubi jalar, sedangkan tanaman perkebunan adalah kelapa sawit. Sehingga sangat perlu dipertahankan dan ditingkatkan luasan lahan tanaman pangan khususnya padi sawah dan padi ladang agar produksinya juga semakin meningkat dan berkelanjutan. REFERENCES [1] Bappenas. Kawasan Perbatasan, Kebijakan dan startegi nasional Pengelolaan Kawasan perbatasan Antarnegara di Indonesia. Kementerian Perencanaan Pebangunan Nasional. Bappenas. Jakarta, 2004. [2] Bappenas. Rencana Induk Pengelolaan Perbatasan Negara, Buku Utama Prinsip dasar, Arah kebijakan, Strategi dan Program Pembangunan. Bappenas. Jakarta, 2005. [3] Henrayana, R. Aplikasi Metode Location Quotient (LQ) dalam Penentuan Komoditas Unggulan nasional. Informatika Pertanian. Volume 12, 2003 [4] Badan Pusat Statistik. 2016. Kecamatan Jagoi Babang dalam Angka Tahun 2016. BPS Pontianak Kalimantan Barat [5] Kusnadi, N, Netti Tinaprilla, Sri Hery Susilawati, Adreng Purwoto. 2011. “Analisis Efisiensi Usahatani padi di beberapa Sentra Produksi Padi di Indonesia”. Jurnal Agro Ekonomi Vol 29 No.1: 25-48 [6] Alkadri, Muchdie, dan Suhandojo, 2001. Tiga Pilar Pengembangan Wilayah. Ed ke-2 (rev). Jakarta: Pusat Pengkajian KTPW BPPT. P. 314 . 2001 [7] Djaenudin D, Marwan H, Subagjo H, Hidayat A. Petunjuk Teknis Evaluasi Lahan untuk Komoditas Pertanian. Bogor: Balai Penelitian Tanah, Puslitbangtanak. p.154. 2003.
81
82
ANALISIS PERMINTAAN DAGING SAPI DI PASAR MINGGU (PTM) KOTA BENGKULU Fithri Mufriantie1, Rita Feni1, Riko Riswanto2 1) Dosen Prodi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Bengkulu 2) Alumni Prodi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Bengkulu E-mail :
[email protected] E-mail:
[email protected]
ABSTRACT This study aims to determine the factors aboutthe affectof demand beef in the Minggu Market/PasarMinggu(PTM) of Bengkulu City. The method used is a survey method, by determining the location of intentionally (purposive) in PasarMinggu (PTM) of Bengkulu. Determination of the sample using by sampling accidental spontaneous or anyone who is considered to representative the populations based on defined criteria. Data collected primary data and secondary data. Data were analyzed with multiple linear regression analysis. From the research multiple regression analysis, it is jointly variable educational level (X1), income level (X2), the number of family members (X3), the price of beef (X4), the purpose of consumption (D5), a very significant influence ( **) against the demand for beef (Y). Individually variable income levels (X2), the purpose of consumption (D5) very significant effect (**) against the demand for beef, while the education level variable (X1), a variable number of family members (X3), and the variable of beef price (X4) is not effect (ns) to request the beef from MingguMarket (PTM) of Bengkulu City. Keyword : Demand, beef, multiple regression PENDAHULUAN Sub sektor peternakan merupakan bagian dari sektor pertanian yang sangat potensial untuk dikembangkan. Pengembangan sub sektor peternakan perlu untuk dilakukan karena sub sektor ini bisa memberikan nilai tambah bagi pertanian Indonesia. Kontribusi sub sektor peternakan terhadap pertanian Indonesia ditentukan oleh seberapa jauh kemampuan kita untuk mengembangkan usaha peternakan tersebut agar mempunyai prospek yang baik di pasaran. Terkait dengan hal tersebut, maka sub sektor peternakan yang ingin di bangun di masa depan adalah yang mempunyai peranan besar. Menurut kebijaksanaan pemerintah, sub sektor peternakan sapi sebagai salah satu usaha yang
perlu terus di kembangkan karena ternak sapi bisa di manfaatkan sebagai tenaga pengolah tanah pertanian, penghasil pupuk kandang, dan sekurang- kurangnya sebagai tabungan. (Anonim, 1990 : 5). Ternak sapi, khususnya sapi potong merupakan salah satu sumber daya penghasil daging yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Seekor atau sekelompok ternak sapi bisa menghasilkan berbagai macam kebutuhan, terutama sebagai bahan makanan berupa daging. Daging sangat besar manfaatnya bagi pemenuhan gizi berupa protein hewani. Sapi sebagai salah satu hewan pemakan rumput sangat berperan sebagai pengumpul bahan bergizi rendah yang diubah menjadi bahan bergizi tinggi. ( Sugeng dan Sudarsono, 2008:8). 83
Perkembangan usaha peternakan di X2 : Tingkat Pendapatan (Rp/Bln) Indonesia menunjukan bahwa pertumbuhan X3 : Jumlah Anggota Keluarga ( orang) yang terus meningkat sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk dan X4 : Harga Daging Sapi (Rp) pergeseran pola konsumsi yang cenderung D5. : Tujuan Konsumsi membeli bahan yang mempunyai nilai gizi atau nutrisi yang lebih baik. Hal ini 1= Konsumsi Rumah Tangga berhubungn dengan kesadaran dan kebutuhan 0= Selain Konsumsi Rumah Tangga gizi yang seimbang dengan pengetahuan tentang kandungan gizi yang terdapat dalam e : Kesalahan Pengganggu daging sapi. b .. b : Koefisein Regresi. Tujuan Penelitian adalah untuk 1 5 mengetahui faktorfaktor yang mempengaruhi permintaan daging sapi di Menurut Riduan dan Akdon pasar minggu kota Bengkulu. 2008:169-172, Untuk mengetahui apakah varieabel bebas secara bersama-sama METODOLOGI PENELITIAN berpengaruh terhadap variabel terikat Metode penelitian yang digunakan digunaka uji F adalah metode survey yaitu metode dengan H0 : b1 = 0 cara mengambil sampel dari sejumlah Hi : b1 ≠ 0 populasi dengan menggunakan kuisioner Dimana I = 1,2,3,4,5 sebagai alat pengumpulan data pokok Nilai f hitung dicari dengan rumus : (Sugiyono, 2014). 𝟐 Penentuan lokasi penelitian diambil 𝐑 / 𝑲−𝟏 𝑭 = (𝟏−𝐑𝟐)/(𝐧−𝐤) secara sengaja (purposive) di Pasar Minggu (PTM) Kota Bengkulu dengan pertimbangan pasar minggu sebagai sentra penjualan daging Dimana : sapi . R² : koefisien determinan Penentuan sampel menggunakan metode K : banyaknya variabel yang diamati aksidental sampling dimana penentuan n : jumlah sampel sampel secara spontanitas atau siapa saja yang dianggap mewakili populasi Dengan kriteria uji berdasarkan kriteria yang ditetapkan. Jumlah 1. jika f hitung ≤ f tabel maka Ho diterima sampel yang diambil sebanyak 30 orang. artinya secara bersama- sama variabel Data yang dikumpulkan adalah data primer bebas berpengaruh tidak nyata terhadap dan data sekunder. variabel terikat. 2. jika f hitung ≥ f tabel H0 ditolak, artinya secara bersama-sama variabel bebas ANALISIS DATA berpengaruh nyata terhadap variabel Menurut Firdaus 2004:72, Untuk terikat. menganalisa faktorfaktor yang Untuk mengetahui pengaruh variabel mempengaruhi permintaan konsumen daging bebas dan tak bebas secara parsial digunakan sapi digunakan analisis regresi berganda uji t sebagai berikut : dengan model sebagai berikut: H0: bi = 0 Y = a + b1X1 + b2 X 2+ b3 X3 + b 4 X 4 + b 5 D 5 + e Hi : bi ≠ 0 Dimana I = 1,2,3,4,5 Dimana: Nilai t hitung dapat dicari dengan rumus : bi Y : Permintaan Daging Sapi t- Hitung = a : Intersip S bi X1 : Tingkat Pendidikan (Thn) 84
Y = - 38,714 +0,216X1+ 0,856X2 – 0,921X3
Dimana : bi : koefisien regresi ke 1 Sbi : simpangan baku ke 1
+ 0,318X4 + 34,857D5
Dengan kriteria uji 1. jika t hitung ≤ t tabel Ho diterima , artinya secara parsial variabel bebas berpengaruh tidak nyata terhadap variabel terikat 2. jika t hitung ≥ t tabel maka Ho ditolak , artinya secara parsial variabel bebas berpengaruh nyata terhadap variabel terikat. HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam menguji faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan daging sapi yang digunakan analisis regresi linier berganda yang bertujuan untuk menghitung variabel bebas (X) yang diduga mempengaruhi permintaan daging sapi (Y). Dari hasil analisis regresi linier berganda diperoleh persamaan antara variabel tidak bebas (Y) dengan variabel bebas (X) adalah sebagai berikut:
Hasil uji statistik yaitu uji F diperoleh F hitung sebesar 44,62 sedangkan F tabel 0,01 = 3,89 dengan demikin Ho ditolak artinya secara bersama – sama seluruh variabel bebas X yang terdiri dari tingkat pendidikan (X1), tingkat pendapatan (X2), jumalah anggota keluarga (X3), harga daging sapi (X4), tujuan konsumsi (D5), berpengaruh sangat nyata terhadap variabel tidak bebas (Y) yaitu permintaan daging sapi. Nilai koefisien determinasi (R2) adalah sebesar 0,903 hal ini menunjukan bahwa dalam penelitian ini tingkat keragaman variabel tidak bebas (Y) permintaan daging sapi mampu diterangkan atau dijelaskan oleh variabel bebas (X) sebesar 90,3 % sedangkan 9,7 % dipengaruhi oleh faktor lain di luar variabel yang di uji. Seluruh hasil regresi linier berganda yang telah dilakukan dalam penelitian ini untuk masing – masing variabel X diuraikan pada tabel 1.
Tabel 1. Hasil analisis regresi linier berganda variabel bebas (X) dan variabel tidak bebas (Y). No
Nomor
Koefisien
t hitung
1
Tingkat Pendidikan (X1)
0.216
0.633 ns
2
Tingkat Pendapatan (X2)
0.856
3.008 **
3
Jumlah Anggota keluarga (X3)
- 0.921
-1.098 ns
4
Harga daging sapi (X4)
0.318
0.350 ns
5
Tujuan Konsumsi (D5)
34.857
11.467 **
6
Konstan
-38.714
7
R2
0.903
8
F hitung
44.562
Sumber : Data primer, diolah 2016 Keterangan : F tabel 0,05 = 2,62 F tabel 0.01 = 3,89 85
t tabel 0,05 = 2,06 t tabel 0,01 = 2,79 (**) = Berpengaruh sangat nyata (ns) = non signifikan Masing-masing variabel bebas (X) berpengaruh terhadap variabel tidak bebas (Y) dijelaskan dalam uraian sebagai berikut. Tingkat Pendidikan (X1) Dilihat dari analisis regresi linier berganda pada variabel tingkat pendidikan (X1) diperoleh thitung sebesar 0,633 Oleh karena itu nilai thitung < ttabel (0,633 < 2,06 untuk α = 5% atau 0,05 dengan tingkat kepercayaan 95%) maka H0 diterima. Artinya secara individual tingkat pendidikan tidak berpengaruh terhadap permintaan daging sapi. Dalam penelitian ini latar belakang pendidikan bukan merupakan alasan untuk mengetahui kandungan gizi yang ada pada daging sapi karena pendidikan masa kini tidak hanya di dapatkan melalui pendidikan formal saja tetapi melalui mediamedia lain yang juga memberikan informasi sehingga dapat meningkatkan pengetahuan. Dari hasil identifikasi responden tentang tingkat pendidikan menjelaskan bahwa tingkat pendidikan dalam penelitian ini sangat beragam mulai dari tamat SD sampai dengan tamat S1. Nilai koefisien regresi tingkat pendidikan sebesar 0,216 menunjukan bahwa bertambahnya pendidikan selama 1 tahun akan meningkatkan permintaan terhadap daging sapi sebesar 0,126 Kg/bln. Tingkat pendapatan (X2) Analisis regresi linier berganda pada variabel tingkat pendapatan (X2) diperoleh thitung sebesar 3,008. Oleh karena itu nilai thitung > ttabel (3,008 > 2, 06 untuk α = 5% atau 0,05 dengan tingkat kepercayaan 95% maka H0 ditolak. Artinya secara individual tingkat pendapatan berpengaruh sangat nyata terhadap permintaan daging sapi, sehingga dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa kecenderungan kenaikan tingkat pendapatan 86
seorang individu akan mempengaruhi tingkat keinginan untuk mengkonsumsi asupan protein karena adanya peningkatkan pendapatan. Semakin tinggi pendapatan maka daya beli akan menjadi lebih tinggi sehingga jumlah permintaan terhadap daging sapi dipasar minggu (PTM) kota Bengkulu akan meningkat. Nilai koefisien regresi tingkat pendapatan sebesar 0,856 menunjukan bahwa kenaikan pendapatan setahun akan meningkatkan permintaan terhadap daging sapi sebesar 0,856 Kg/bln. Jumlah Anggota keluarga (X3) Dilihat dari analisis regresi linier berganda pada variabel Jumlah anggota keluarga (X3) diperoleh thitung sebesar 1,098. Oleh karena itu nilai thitung < ttabel 1,098 < 2,05 untuk α = 5% atau 0,05 dengan tingkat kepercayaan 95% maka H0 diterima. Artinya secara individual tidak ada pengaruh signifikan antara jumlah anggota keluarga (X3) dengan permintaan daging sapi. Pada umumnya bertambahnya anggota keluarga akan mempengaruhi tingkat permintaan akan tetapi pada penelitian ini dapat disimpulkan bahwa secara individual jumlah anggota keluarga tidak berpengaruh nyata terhadap permintaan daging sapi dipasar minggu (PTM) kota Bengkulu. Hal ini dikarenakan di kota Bengkulu cenderung jumlah anggota keluarganya lebih sedikit dapat dilihat dari data responden, bahwa persentase jumlah anggota keluarga terbanyak yaitu 4-5 orang dalam satu keluarga. Bertambahnya jumlah anggota keluarga tanpa di imbangi dengan bertambahnya pendapatan akan mengurangi daya beli terhadap daging sapi tersebut. Nilai koefisien regresi jumlah anggota keluarga sebesar –1,098 menunjukan bahwa dengan bertambahnya jumlah anggota keluarga akan menurunkan
permintaan terhadap daging sapi sebesar 1,1098 Kg/bln. Harga Daging Sapi (X4) Diihat dari analisis regresi linier berganda pada variabel harga daging sapi (X4) diperoleh thitungsebesar 0,350. Oleh karena itu nilai −thitung < −ttabel (0,350 < 2,79 untuk α = 1% atau 0,01 dengan tingkat kepercayaan 99% maka H0 diterima artinya secara individual tidak ada pengaruh sangat signifikan antara harga daging sapi (X4) dengan permintaan daging sapi (Y). Menurut teori hukum permintaan apabila suatu harga naik maka permintaan akan turun , sebaliknya bila harga barang tersebut turun maka permintaannya akan naik (bangun, 2010: 17). Tetapi dari hasil analisis uji t diketahui bahwa harga daging sapi tidak berpengaruh nyata terhadap permintaan daging sapi dipasar minggu (PTM) kota Bengkulu. Hal ini dikarenakan tidak adanya perubahan harga pada saat penelitian ini dilaksanakan. Nilai koefisien regresi harga daging sapi sebesar 0,318 menunjukan bahwa meningkatnya harga daging sapi sebesar 1rupiah akan meningkatkan permintaan terhadap daging sapi sebesar 0,318 Kg/bln. Tujuan Konsumsi (D5) Pada variabel tujuan konsumsi (D5) diperoleh thitung sebesar 11,467. Oleh karena itu nilai thitung > ttabel (11,467>2,79 untuk α = 1% atau 0,01) dengan tingkat kepercayaan 99% maka H0 ditolak artinya secara individual berpengaruh sangat signifikan antara tujuan konsumsi (D5) dengan permintaan daging sapi (Y). Jadi dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa secara individual dengan adanya tujuan konsumsi yang berupa konsumsi rumah tangga, untuk pesta, rumah makan dan untuk bahan baku makanan akan adanya pengaruh yang sangat signifikan terhadap permintaan daging sapi dipasar minggu(PTM) kota Bengkulu. Nilai koefisien regresi tujuan konsumsi sebesar 34,857 artinya peningkatan satu satuan dari tujuan
konsomsi akan meningkatkan permintaan sebesar 34,875 Kg/bln.
KESIMPULAN Dari hasil penelitian analisis permintaan daging sapi di pasar minggu (PTM) kota Bengkulu dapat disimpulkan sebagai berikut 1. Secara bersama-sama variabel tingkat pendidikan (X1), tingkat pendapatan (X2), jumlah anggota keluarga (X3), harga daging sapi (X4), Tujuan konsumsi (D5), berpengaruh sangat signifikan (**) terhadap permintaan daging sapi dipasar Minggu(PTM) kota Bengkulu. 2. Secara individual variabel tingkat pendapatan (X2), tujuan konsumsi (D5) berpengaruh sangat signifikan (**) terhadap permintaan daging sapi sedangkan variabel tingkat pendidikan (X1), variabel jumlah anggota keluarga (X3), dan variabel harga daging sapi (X4) tidak berpengaruh (ns) terhadap permintaan daging sapi dipasar Minggu (PTM) kota Bengkulu.
DAFTAR PUSTAKA [1] [2] [3] [4] [5] [6]
Anonim. 1990. Sapi Potong(seri budi daya). Kanisius. Yogyakarta. Bangun, Wilson .2010. Teori Ekonomi Mikro. Reflika Aditama. Bandung Firdaus, Muhammad . 2011. Ekonomitrika Suatu Pendekatan Aplikatif. Bumi Aksara. Jakarta Riduwan, Akdon. 2008. Rumus dan Data dalam Aplikasi Statistika. Alfabeta. Bandung Sugeng YB, A.S. Sudarsomo. 2008 . Sapi Potong. Penebar Swadaya . Jakarta edisi revisi. Sugiyono. 2014. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D. Alfabeta. Bandung.
87
88
SISTEM BAGI HASIL: PENGELOLAAN USAHATANI PADI UNTUK GENERASI MUDA PETANI (STUDI KASUS DI KABUPATEN KLATEN) Lestari Rahayu Waluyati 1), Jamhari 2), Abi Pratiwa Siregar 3) 1)
Universitas Gadjah Mada,Indonesia
E-mail:
[email protected] 2)
Universitas Gadjah Mada,Indonesia E-mail:
[email protected]
Abstract.Permasalahan utama dalam peningkatan produksi padi di pulau Jawa adalah luas lahan yang semakin sempit,petani berusia tua, penerapan teknologi budidaya pertanian, penanganan pascapanen, informasi pasar dan pemasaran serta permodalan. Kelompok tani Rejo Agung Jaten Kecamatan Juwiring Klaten mendorong petani muda untuk meningkatkan produktivitas dan pendapatan usahataninya melalui sistem bagi hasil. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui pengelolaan usahatani padi dengan sistem bagi hasil dan faktor yang mempengaruhi produktuvitasnya. Sampel 60 petani dengan metode analisis menggunakan analisis deskriptif dan regresi linier berganda. Hasil analisis menunjukkan bahwa petani penyakap sebesar 38%, dengan usia yang lebih muda, luas lahan penguasaan 0,7 ha, layak secara ekonomi yaitu R/C 1,6 dan profit/C 0,25, dan tingkat produktivitas 6m3 ton/ha yang lebih tinggi dari petani pemilik. Sistem bagi hasil pada usahatani padi di Kabupaten Klaten merupakan system penggunaan lahan dan tenaga kerja yang memberikan insentif baik bagi penyakap maupun pemilik lahan. Keywords: system bagi hasil, produktivitas padi
89
I. PENDAHULUAN
Sektor pertanian di Indonesia memiliki peran yang sangat strategis dalam pembangunan perekonomian nasional. Fakta menunjukkan bahwa sektor ini merupakan sumber mata pencaharian bagi sekitar38,29 juta orang (34,00%) yang merupakan pangsa terbesar dari seluruh penduduk Indonesia yang termasuk dalam angkatan kerja (BPS, Februari 2016). Data BPS juga menyebutkan bahwa pada tahun 2016 sektor pertanian, kehutanan dan perikanan merupakan penyumbang PDB terbesar kedua yaitu 13,34% setelah sektor industri pengolahan (21,02%). Selain itu, sektor ini juga menjadi sumber pasokan bahan baku sekaligus pasar bagi sektor industri. Pada komoditas tertentu seperti kelapa sawit, sektor pertanian merupakan sektor andalan penghasil devisa bagi negara. Namun demikian, dalam perkembangannya sektor pertanian banyak menghadapi kendala yang bersumber dari berbagai aspek, yaitu luas lahan yang semakin sempit utamanya di pulau Jawa, sumberdaya manusia yaitu petani berusia tua, penerapan teknologi budidaya pertanian, penanganan pascapanen, informasi pasar dan pemasaran serta permodalan. Luas lahan sawah dari waktu ke waktu semakin sempit. Hal ini disebabkan alih fungsi lahan untuk non pertanian semakin besar. Selama 10 tahun dari tahun 2002 sanpai dengan 2012 luas sawah berkurang 42.994 ha atau sebesar 4,3% (Gambar 1). Hasil penelitian Dwipradnyana (2014) faktor pendorong konversi eksternal berpengaruh nyata terhadap konversi lahan. Faktor pendorong yang berpengaruh terhadap konversi lahan adalah mutu tanah, kebutuhan tempat tinggal dan kesempatan membeli lahan di tempat lain. Saran untuk mengurangi konversi adalah pemerintah harus mempertegas regulasi di bidang perizinan terutama untuk membangun di lahan basah. Pemerintah juga harus memperketat peraturan jual beli lahan terutama lahan pertanian boleh dijual tetapi tetap diperuntukkan untuk lahan pertanian
Luas Lahan Sawah
1000000 990000 980000 970000 960000 950000 940000 930000
Tahun
Gambar 1. Luas sawah Jawa Tengah 2002 - 2012 Sumber : BPS 2017
90
Luas lahan sawah yang semakin sempit berakibat luas penguasaan juga semakin berkurang. Disisi lain usia petani Indonesia semakin tua. Pada 2016 terdiri 61,8 persen berusia lebih 45 tahun, 26 persen berusia 35-44 tahun dan 12 persen berusia kurang dari 35 tahun. Selain itu upah nominal harian buruh tani nasional pada November 2016 naik sebesar 0,31 persen dibanding upah buruh tani Oktober 2016, yaitu dari Rp48.368,00 menjadi Rp48.517,00 per hari. Upah riil mengalami penurunan sebesar 0,55 persen. NTP nasional Desember 2016 sebesar 101,49 atau naik 0,18 persen dibanding NTP bulan sebelumnya. Kenaikan NTP dikarenakan Indeks Harga yang Diterima Petani (It) naik sebesar 0,53 persen, lebih besar dari kenaikan Indeks Harga yang Dibayar Petani (Ib) sebesar 0,36 persen. Pada Desember 2016 terjadi inflasi perdesaan di Indonesia sebesar 0,42 persen disebabkan oleh naiknya seluruh kelompok penyusun indeks konsumsi rumah tangga.Nilai Tukar Usaha Rumah Tangga Pertanian (NTUP) nasional Desember 2016 sebesar 110,72 atau naik 0,35 persen dibanding NTUP bulan sebelumnya. (BPS, 2017). Permasalahan luas lahan yang semakin sempit dan petani yang tua-tua serta upah buruh tani semakin mahal menjadikan sistem bagi hasil sebagai salahsatu solusinya. Petani pemilik lahan yang sudah tua akan menyakapkan lahannya pada petani generasi penerus yang notabene tidak memiliki lahan. Sistem bagi hasil dimungkinkan karena secara tunai tidak akan dikeluarkan oleh petani penyakap. Dengan menyakap skala luas akan menghasilkan pendapatan usahatani yang tinggi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengelolaan usahatani sistem bagi hasil yang dilakukan oleh petani generasi muda dan faktor yang mempengaruhi produktivitasnya. Menurut teori Marshall (Martinez, 2008) system bagi hasil merupakan system yang tidak efisien dalam penggunaan lahan dan tenaga kerja. Namun beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa system bagi hasil lebih efisien dibandingkan dengan upah tenaga kerja sehingga produksi meningkat dan pemilik lahan maupun penyakap akan mendapatkan pendapatan yang lebih tinggi. Cheung (1969) menyatakan bahwa system bagihasil merupakan system penggunaan lahan dan tenaga kerja yang tetap konsisten memberikan motivasi mendapatkan keuntungan karena adanya pembagian risiko dan biaya transaksi yang rendah. Hal ini didukung penelitian Reid (1979) karena penyakap memperoleh insentif untuk bekerja lebih baik. Hasil penelitian Waluyati (1990) pada usahatani padi di Kabupaten Sleman menunjukkan bahwa system bagihasil mempunyai produktivitas dan efisiensi yang sama dengan pemilik. II.
METODE PENELITIAN
Lokasi penelitian di kabupaten Klaten sebagai
sentra produksi padi Jawa Tengah. Sampel kecamatan diambil di Kecamatan Juwiring dengan pertimbangan sebagai sentra produksi padi. Desa terpilih adalah desa Jaten dengan sampel kelompok tani.Data yang digunakan adalah data sekunder dan utamanya data primer dari petani. Pencarian data primer dengan metode survey dengan wawancara terstruktur menggunakan kuesioner. Analisis tabel digunakan untuk menghitung struktur biaya dan pendapatan usahatani padi, dan informasi mengenai pengelolaan dengan sistem bagi hasil.Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap produktivitas padi menggunakan analisis regresi berganda. Kelayakan usahatani padi diketahui dengan menggunakan analisis kelayakan usaha, yaitu: a. R/C Rasio> 1 Penerimaan
R/C =
Total biaya
b. 𝜋/𝐶𝑅𝑎 𝑖𝑜𝑠>0 𝜋/C = Keuntungan Total biaya c. 𝜋/𝐶𝑅𝑎𝑠𝑖𝑜 > r, r adalah suku bunga bank (dalam penelitian ini, suku bunga KUR sebesar 9 persen)
T
=
E
=
III. HASIL DAN PEMBAHASAN Sebanyak 38,33% petani merupakan petani penggarap (petani penyakap) dan 36,67% petani pemilik (Lihat Tabel 1).Dengan curahan tenaga kerja yang cukup besar di usahatani maka sebanyak 27,69 persen kepala keluarga tidak mempunyai pekerjaan sampingan. Karakteristik petani penyakap yaitu umur ratarata adalah 58 tahun, dimana umur termuda 35 tahun. Fenomena ini cukup menarik, karena dapat mendukung pergantian generasi petani dalam usahatani pangan khususnya padi. Tingkat pendidikan petani penyakap rata-rata adalah sekolah menengah pertama (SMP), dimana tingkat pendidikan paling rendah adalah tidak sekolah, sementara pendidikan tertinggi adalah sarjana (S1). Tabel 1. Distribusi Petani berdasarkan Pekerjaan Pokok dan Sampingan Pekerjaan Pokok
%
Petani Pemilik
22
36,67
5
7,69
Petani Penggarap
23
38,33
10
15,38
Petani Penyewa
3
5,00
4
6,15
Buruh Tani
0
0,00
8
12,31
Pengumpul
0
0,00
0
0,00
Supplier
0
0,00
0
0,00
Pedagang
1
1,67
7
10,77
Lainnya
11
18,33
13
20,00
0
0,00
18
27,69
60
100,00
65
100,00
Jenis Pekerjaan
Model regresi yang digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas padi adalah model regresi linier berganda dengan metode kuadratterkecil biasa (Ordinary Least Square). Secara matematis, persamaan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap produktivitas adalah:
Tidak ada Total
Ln Y = a + b1 Ln X1it + b2 Ln X2it + b3 Ln X3it + b4 Ln X4it + b5it Ln X5it + b6 D1it + b7 D2it + b8 D3it+ uit Keterangan: Ln Y a Lnb1– b8 Ln X1 Ln X2 Ln X3 Ln X4
= = = = = = =
Ln X5
=
D1
=
D2
=
D3
=
i
=
produktivitas Intersep koefisien regresi Benih Pupuk Pestisida curahan waktu tenaga kerja dalam keluarga curahan waktu tenaga kerja luar keluarga akses kredit (1, apabila petani akses kredit dan 0, tidak akses kredit) sewa lahan (1, apabila petani sewa lahan dan 0, lainnya) sakap lahan (1, apabila petani sakap lahan dan 0, lainnya) jumlah observasi (60 observasi)
periode waktu (musim tanam I, II, dan III) error
Pekerjaan Sampingan
%
. Luas penguasaan lahan penyakap rata-rata 0,7 ha. Kelayakan usahatani (R/C Rasio) petani penyakap pada setiap musim tanam berada di atas 1, begitu ju ga halnya R/C Rasio petani pemilik. Jika di rata-rata, selama 3 musim tanam, R/C rasio petani penggarap adalah 1,61 sementara petani pemilik adalah 3, 01. Petani pemilik memiliki R/C rasio yang relatif leb ih tinggi dibandingkan petani penyakap karena tidak nsi mengeluarkan biaya bagi hasil sebagai konsekue dari sistem bagi hasil. Tabel 2.R/C Rasio Petani Penyakap dan Petani Pemilik Musim Tanam Petani Penyakap Petani Pemilik I 1,69 3,10 II 1,81 3,40 III 1,35 2,63
Indikator yang digunakan selanjutnya untuk melihat tingkat kelayakan usahatani padi adalah 91
𝜋/𝐶𝑅𝑎𝑠𝑖𝑜 > 0. Berbeda dengan R/C rasio, dimana biaya yang dihitung terbatas pada baya eksplisit. Pada perhitungan 𝜋/𝐶 total biaya adalah gabungan dari biaya eksplist dan implisit. Jika di rata-rata selama tiga musim tanam, 𝜋/𝐶rasio petani penyakap adalah 0,25 sedangkan petani pemilik 0,64. Di antara petani penyakap dan petani pemilik, keduanya dapat dikatakan layak karena nilainya lebih besar dari nol. Tabel 3.𝜋/𝐶Rasio Petani Penyakap dan Petani Pemilik Musim Tanam Petani Penyakap Petani Pemilik I 0,34 0,74 II 0,44 1,01 III -0,03 0,22
Produktivitas petani penyakap dan petani pemilik relative hamper sama., Selama 3 musim tanam, rata-raata petani penyakap mampu menghasilkan 6,3 ton dari setiap hektar lahan yang diusahakan, sedangkan petani pemilik relatif lebih rendah yaitu 6,1 ton setiap hektarnya. Tabel 4.Produktivitas Rasio Petani Penyakap dan Petani Pemilik (Ton/Hektar) Musim Tanam Petani Penyakap Petani Pemilik I 6,5 6,2 II 6,6 6,4 III 5,7 5,7
Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap produktivitas diketahui dengan menggunakan analisis regresi berganda data panel. Variabel dependen adalah produktivitas pada musim tanam I, II, dan III, sementara variabel independennya adalah jumlah per hektar dari benih, pupuk, pestisida, curahan waktu tenaga kerja dalam keluarga (TKDK), curahan waktu tenaga kerja luar keluarga (TKLK), tenaga kerja mesin, akses kredit, status penggunaan lahan (sewa), dan status penggunaan lahan (sakap). Nilai koefisien determinasi sebesar 0,44. Artinya, variasi variabel independen mampu menjelaskan produksi sebesar 44 persen. Sisanya sebesar 56 persen dijelaskan variabel lain di luar model.
92
Tabel 5. Hasil Analisis Regresi Berganda Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Produktivitas Coefficient
Std. Error
t-Stat istic Prob.
C -1,673534 0,129015 -12,97165 0,0000 Benih -0,040281** 0,016170 -2,491177 0,0137 Pupuk 0,078407*** 0,021260 3,688012 0,0003 Pestisida 0,052768*** 0,013620 3,874318 0,0002 TKDK 0,028567** 0,011358 2,515218 0,0128 TKLK 0,029732** 0,014241 2,087733 0,0383 Akses Kredit 0,329294*** 0,109729 3,000980 0,0031 Penggunaan_Laha n_ 0,878902*** 0,113087 7,771891 0,0000 Sewa Penggunaan_Lahan_ 0,263252*** 0,097613 2,696903 0,0077 Sakap R-squared 0,466648 Adjusted R-squared 0,441696 S.E. of regression 0,556929 F-statistic 18,70173 Durbin-Watson stat 0,2731 Prob(F-statistic) 0,000000 Keterangan: ***: signifikanpada α = 1 %, ** : signifikanpada α = 5 %
Berdasarkan nilai probabilitas F yang berada di bawah tingkat kepercayaan (0,00 < 0,05), maka dapat disimpulkan bahwa seluruh variabel independen secara bersama-sama berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen. Tabel 5 menunjukkan bahwa benih, pupuk, pestisida, curahan waktu tenaga kerja dalam keluarga (TKDK), curahan waktu tenaga kerja luar keluarga (TKLK), tenaga kerja mesin, akses kredit, status penggunaan lahan (sewa), dan status penggunaan lahan (sakap), memiliki pengaruh yang sginifikan terhadap produktivitas. Benih memiliki pengaruh signifikan dan negatif terhadap produktivitas. Apabila faktor lain dianggap tetap, maka setiap bertambahnya satu persen penggunaan benih, akan mengakibatkan menurunnya produktivitassebesar 0,04 persen.Benih yang digunakan petani di Kabupaten Klaten pada umumnya adalah inpari 30, Ciherang, dan situbagendit. Varietas yang digunakan dalam usahatani padi berdasarkan kesenangan terhadap varietas tertentu. Oleh karena itu, pada musim tanam I, II, atau III, bisa saja varietas yang digunakan tidak sama. Meskipun demikian, masih terdapat petani di Kabupaten Klaten yang memperhatikan aspek intensitas hujan di dalam penentuan benih yang akan digunakan. Apabila intensitas hujan diperkirakan tinggi, maka pada awal musim tanam, petani tersebut cenderung memilih varietas yang memiliki pertumbuhan tidak terlalu tinggi. Tujuannya agar tanaman padi tidak mudah roboh, khususnya menjelang musim panen. Rata-rata penggunaan benih setiap musim tanam adalah 41,15 kg. Musim tanam I relatif banyak menggunakan benih daripada musim tanam lainnya. Pupuk memiliki pengaruh signifikan dan positif terhadap produktivitas. Hal tersebut ditunjukkan dari nilai signfikansi yang lebih rendah
dari tingkat kepercayaannya (0,00< 0,01). Koefisien sebesar 0,07 berarti bahwa apabila faktor lain dianggap tetap, maka setiap bertambahnya satu persen penggunaan pupuk, akan mendorong peningkatan produktivitasrata-rata sebesar 0,07 persen.Penggunaan pupuk yang berlebihan memiliki konsekuensi meningkatnya biaya produksi usahatani padi. Dari sisi tanaman dan tanah, pemberian pupuk secara berlebihan dapat: (1) mengurangi tingkat kesuburuan tanah, dan cenderung mengakibatkan tanah menjadi masam. Meningkatnya keasaman tanah berdampak pada terhambatnya penyerapan unsur hara, dan (2) mengakibatkan tanaman menjadi mudah terserang hama maupun penyakit karena pemupukan urea yang berlebihan menjadikan tanaman sukulen. Begitu juga halnya jika pupuk yang digunakan lebih rendah daripada yang dibutuhkan oleh tanaman, maka pertumbuhan tanaman menjadi tidak optimal. Dengan demikian, dibutuhkan pemberian pupuk berimbang, yaitu cara pemberian pupuk makro yang seimbang yang sesuai dengan kebutuhan tanaman dan kandungan hara tanah, dengan tetap memperhatikan pemberian unsur hara mikro yang lain. Untuk kebutuhan pupuk yang mengandung unsur N, P, K, dan s dapat diambil dari pupuk kimia, sedangkan unsur hara mikro dapat diambil dari pupuk organik atau pupuk kandang. Tabel 6. Banyaknya Penggunaan Pupuk Urea, KCL, dan SP 36 berdasarkan Rekomendasi Permentan Nomor 40/Permentan/OT.140/04/2007 (satuan persen) Urea M
M
MT I
T II
T III
I
M T II
MT III
M T I
M T II
MT III
rekomendasi Di bawah rekomendasi Di atas
35
35
37
0
2
0
0
0
30
33
35
100
0 9
83
62
68
70
rekomendasi
35
15
38
32
30
Keterangan Tepat sesuai
KCL MT
7 32
28
0
3
SP 36
Sebagian besar petani menggunakan pupuk KCL dan SP 36 di bawah rekomendasi. Dilihat berdasarkan penggunaannya, diketahui bahwa petani jarang sekali mengaplikasikan pupuk berdasarkan rekomendasi yang telah ditentukan. Faktor utamanya adalah keterbatasan modal petani untuk membeli pupuk. Di antara urea, KCL, dan SP 36, petani cenderung mengalokasikan lebih banyak urea di dalam usahataninya. Pestisida memiliki pengaruh signifikan dan positif terhadap produktivitas. Hal tersebut ditunjukkan dari nilai signfikansi yang lebih rendah dari tingkat kepercayaannya (0,00< 0,01). Koefisien sebesar 0,05 berarti bahwa apabila faktor lain dianggap tetap, maka setiap bertambahnya satu persen
penggunaan pestisida, akan mendorong peningkatan produktivitasrata-rata sebesar 0,05 persen. TKDK memiliki pengaruh signifikan dan positif terhadap produktivitas. Hal tersebut ditunjukkan dari nilai signfikansi yang lebih rendah dari tingkat kepercayaannya (0,01< 0,05). Koefisien sebesar 0,02 berarti bahwa apabila faktor lain dianggap tetap, maka setiap bertambahnya satu persen curahan waktu TKDK, akan mendorong peningkatan produktivitasrata-rata sebesar 0,02 persen. TKLK memiliki pengaruh signifikan dan positif terhadap produktivitas. Hal tersebut ditunjukkan dari nilai signfikansi yang lebih rendah dari tingkat kepercayaannya (0,00< 0,01). Koefisien sebesar 0,02 berarti bahwa apabila faktor lain dianggap tetap, maka setiap bertambahnya satu persen curahan waktu TKLK, akan mendorong peningkatan produktivitasrata-rata sebesar 0,02 persen. Akses kredit memiliki pengaruh signifikan dan positif terhadap produktivitas. Hal tersebut ditunjukkan dari nilai signfikansi yang lebih rendah dari tingkat kepercayaannya (0,00< 0,01). Koefisien sebesar 0,32 berarti bahwa apabila faktor lain dianggap tetap, maka petani yang mengakses kredit memiliki produktivitas yang lebih tinggi rata-rata sebesar 0,32 persen dibandingkan petani yang tidak mengakses kredit dalam usahataninya. Status penggunaan lahan (sewa) memiliki pengaruh signifikan dan positif terhadap produktivitas. Hal tersebut ditunjukkan dari nilai signfikansi yang lebih rendah dari tingkat kepercayaannya (0,00< 0,01). Koefisien sebesar 0,87 berarti bahwa apabila faktor lain dianggap tetap, maka petani yang menyewa lahan memiliki produktivitas yang lebih tinggi rata-rata 0,87 persen dibandingkan petani yang tidak menyewa lahan. Status Penggunaan lahan (sakap) memiliki pengaruh signifikan dan positif terhadap produktivitas. Hal tersebut ditunjukkan dari nilai signfikansi yang lebih rendah dari tingkat kepercayaannya (0,00<0,01). Koefisien sebesar 0,26 berarti bahwa apabila faktor lain dianggap tetap, maka petani yang menyakap lahan memiliki produktivitas yang lebih tinggi ratarata 0,26 persen dibandingkan petani yang tidak menyakap lahan.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN 1. Petani penyakap sebagian berusia muda dengan rata-rata penguasaan lahan 0,7 ha. 2. Usahatani padi dengan system bagi hasil memberikan pendapatan dan keuntungan baik bagi penyakap maupun pemilik lahan.
93
3. Produktivitas padi dengan system bagi hasil lebih tinggi dibandingkan dengan pemilik yang mendukung teori Chung Saran 1. System bagihasil layak dan produktivitasnya tinggi sehingga dapat dikembangkan untuk mengurangi tingkat konversi lahan dan alih generasi pada usahatani padi REFERENCES Cheungm Stephen NS 1969. The Theory of Share Tenancy. Chicago: University of Chicago Press, 1969 Bishop, C.E dan W.D Toussaint. 1986. Pengantar Analisa Ekonomi Pertanian. Mutiara Sumber Widya. Jakarta. Debertin, David.L. 1986. Agricultural Production Economics. Macmillan Publishing Company. New York Dwipradnyana I Made (2014) Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan Pertanian serta Dampaknya terhadap Kesejahteraan Petani ( Studi Kasus di Subak Jadi, Kecamatan Kediri, Tabanan ) http://www.pps.unud.ac.id/thesis/pdf_thesis/unud-1076283548412-tesis%20lengkap%20mahadi.pdf. Diakses tanggal 13 Januari 2017-01-14 Martínez‐Alier 2008 Sharecropping: Some illustrations Pages 94-106 | Published online: 05 Feb 2008. http://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/0306615830843819 9. dikases 10 Januari 2017 Waluyati Lestari 1990. Pengaruh status penguasaan lahan pada ushatani padi di Kabupaten Sleman. Skripsi (unpublished) .
94
AGRICULTURAL HOUSEHOLD ECONOMICS PADA KONDISI KEKERINGAN DI LAHAN SAWAH AKIBAT PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA M. Yamin1), Nurilla Elysa Putri2) 1)
Universitas Sriwijaya, Palembang, Indonesia E-mail:
[email protected].
2)
Universitas Sriwijaya, Palembang, Indonesia E-mail:
[email protected]
Abstract. Agriculture household economics describe three kind of economic activities, there are as a producer, a consumer and supplier of labor. There activities could be changed by the farmer as impact of the climate change. This research was aimed to know the changes of income structure and the household consumption pattern, the decreasing of household economic level cause of dray season. This research was conducted in South Sumatra Province and South Sulawesi Province. Both of them are representation of Indonesia and Its are rice production center areas beside Java Island. The survey method was used in this research especially unproportioned simple random sampling. The research found that there is the difference household income among rainy and dry season, the income level in rainy is higher than dry season. There is indifferent of consumption pattern in rainy and dry season. There is shifting of work from on farm to non-farm. Keywords: kekeringan, pendapatan, konsumsi.
I. INTRODUCTION Perubahan iklim global mengakibatkan tidak tegasnya perbedaan musim hujan dan musim kemarau serta terjadinya cuaca yang ekstrim pada setiap musim di Indonesia. Hal ini sering dijumpai dimana terjadi kemarau yang durasinya lebih panjang dari musim biasanya sehingga terjadi kekeringan di mana-mana. Salah satu permasalahan yang dihadapi petani adalah kekeringan lahan sawah pada musim kemarau sehingga bergesernya waktu tanam dan tidak jarang terjadi gagal panen (Zhang, 2014 [1]; Hanslow, K., et al., 2014[2]) Pada tahun 2014 terjadi musim kemarau yang ekstrim dimana sampai bulan Oktober belum ada hujan, sehingga cukup banyak lahan sawah yang kekeringan hampir di seluruh provinsi di Indonesia. Sebagai contoh dampak dari kekeringan di Provinsi Jawa Barat pada musim kering Januari-Juli 2012, luas lahan pertanian di Provinsi Jawa Barat yang mengalami kekeringan mencapai 38.111 hektare (Surat Khabar Kompas, 16 Mei 2014). Dari luas kekeringan itu, lahan pertanian yang mengalami gagal panen atau puso mencapai 2.345 hektare. Kabupaten Sukabumi menjadi daerah yang lahan pertaniannya paling luas mengalami kekeringan yaitu 7.553 hektare. Indramayu ada di peringkat kedua yaitu 7.345 hektare. Untuk luas puso, Kabupaten Sukabumi juga menempati urutan pertama yaitu 988 hektare, di ikuti Ciamis (399 ha), serta beberapa kabupaten lainnya. Musim kemarau tahun 2014 ini juga akan mengancam kekeringan sekitar sekitar 59.181 hektare lahan pertanian yang tersebar di 17 kabupaten dan 3 kota di Jawa Barat (Surat Khabar Tempo, 5 Oktober 2014). Kejadian seperti ini tentunya terjadi hampir di seluruh Indonesia. Sehingga sangat mempengaruhi produksi beras nasional dan ekonomi rumahtangga petani yang menjadi semakin terpuruk, oleh karenanya diperlukan suatu kajian
yang diharapkan mampu memberikan suatu jalan keluar atau strategi bagi rumahtangga petani untuk mampu mempertahankan kondisi ekonomi rumahtangga serta mampu mempertahankan kelanjutan usahatani sawahnya dengan beradaptasi dengan kondisi kekeringan akibat perubahan iklim global yang terjadi saat ini (Kentrian Pertanian, 2012[3]). Tujuan Penelitian: 1. Mengetahui perubahan struktur pendapatan rumahtangga petani sawah akibat terjadinya kekeringan lahan. 2. Mengetahui perubahan pola konsumsi dan pengeluaran rumahtangga petani pada saat sawah mengalami kekeringan dan kondisi normal. 3. Mengetahui berapa besar penurunan tingkat ekonomi rumahtangga dan tingkat kerentanan rumahtangga jatuh miskin.
II. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di 2 wilayah di Indonesia yaitu Provinsi Sumatera Selatan dan Provinsi Sulawesi Selatan. Kedua wilayah tersebut dipilih secacara sengaja (porvosive) dengan kriteria sebagai daerah andalan penghasil padi di Indonesia, lahan sawahnya terkena bencana kekeringan pada tahun 2014. Selain itu di wilayah ini terdapat areal persawahan yang relatif cukup luas dan berada pada pulau yang berbeda sehingga dapat mewakili Indonesia, sekaligus sebagai lumbung pangan nasional. Upaya pencegahan terjadinya kekeringan akibat adanya perubahan iklim global di Indonesia memerlukan strategi agar rumahtangga petani mampu memiliki sumber pendapatan yang berkelanjutan (sustainability livelihood) di tengah bencana kekeringan akibat perubahan iklim sehingga dapat menjadi instrumen bagi pengambil kebijakan dalam pelaksanaan pembangunan secara nasional.
95
Secara keseluruhan kegiatan penelitian dilaksanakan selama 8 bulan, yang dimulai bulan April 2015 dan berakhir bulan Nopember 2015. Metode penelitian yang digunakan adalah metode survei, menjelaskan bahwa metode penelitian survei adalah penyelidikan yang diadakan untuk memperoleh fakta-fakta dan gejala-gejala yang ada dan mencari keterangan secara faktual, baik tentang institusi sosial, ekonomi atau politik dari suatu kelompok atau suatu daerah dengan menggunakan sampel yang mewakili populasi. Metode survei digunakan untuk mengungkapkan masalah-masalah ataupun mendapatkan pembenaran tentang keadaan maupun praktekpraktek yang tengah berlangsung. Namun demikian analisisnya dilakukan masing-masing sejalan dengan metode penelitiannya (Singarimbun, 1989 [4]). Metode penarikan sampel wilayah yang digunakan adalah metode penarikan contoh yang dilakukan secara sengaja (purposive sampling) terhadap terhadap wilayah penelitian. Sedankan penentuan sampel petani dilakukas dengan metode acak sederhana (simple random sampling). Adapun unit analisis (sample frame) dalam penelitian ini adalah petani padi yang sawahnya mengalami kekeringan pada tahun 2014 akibat peribahan iklmi. Pada penelitian ini akan diambil sampel sebanyak 60 orang dengan rincian lebih kurang 30 sampel per wilayah kajian dengan kata lain jumlah sampal disproportionate di wilayah Sumatera Selatan dan Sulawesi Selatan (Cochran, 1974[5]). Selain itu akan digali informasi dari instansi atau lembaga/pemerintah setempat yang berkaitan dengan penelitian ini. Supaya mendapatkan informasi yang penyeluruh maka akan dipilih secara sengaja tokoh-tokoh formal maupun nonformal untuk mewakili populasi yang memenuhi kriteria tersebut sebagai sumber informasi (key informan). Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui motode trianggulasi yaitu terdiri dari wawancara dengan instrument kuisioner kepada responden petani padi sawah, wawancara secara mendalam (depth interview) kepada tokoh masyarakat, dan pengamatan secara langsung di lapangan (observasi) (Mantra, 1998[6]). Data sekunder dalam penelitian ini diambil melalui penerapan metode penelusuran informasi yang terdokumentasi di berbagai lembaga pemerintah, maupun swasta yang diperoleh dari instansi-instansi terkait seperti Bappedalda Provinsi Bagian Lingkungan Hidup, Pemerintah Daerah, Badan Pusat Statistik, serta instansi lainnya yang terkait baik tingkat provinsi maupun tingkat pusat, data sekunder juga diperoleh melalui studi pustaka dan literatur serta sumber data lainnya yang menunjang penelitian ini. Data yang dikumpulkan akan diolah secara kuantitatif menggunakan perhitungan matematis dan statistik serta konsep penghitungan sesuai kajian yang kemudian dilanjutkan dengan analisis deskriptif, yaitu dengan memaparkan hasil yang didapat dalam bentuk uraian yang sistematis. Metode analisis Data yang dikumpulkan melalui kuisioner diperiksa ulang 10 % diantaranya untuk uji validitas dan reabilitas sehinga lebih diyakini kebenarannya. Sedangkan data sekunder dicek silang antar beberapa sumber data, dan setelah itu baru diedit dan disusun secara
96
tabulatif dan dikelompokkan sesuai dengan jenis data serta tujuan penelitian (Irianto dan Mardikanto, 2011[7]). Untuk menghitung struktur pendapatan rumahtangga petani padi setelah terjadi kekeringan lahan dapat mengunakan konsep yang telah dilakukan oleh John Strauss (1986)[8]. Model ini cukup komprehensif karena telah mengakomodir semua aktivitas ekonomi rumahtanga. Adapun persamaannya sebagai berikut:
Dimana: Y : Pendapatan penuh (full income) rumahtangga, T : waktu bekerja untuk mendapatkan income w : tingkat upah Qj : output, untuk j=1,..., M Vi : input variabel selain tenaga kerja, untuk i=1, ....., N L : permintaan tenaga kerja pj : harga uotput (Qj) pi : harga input variabel (Vi) E : pendapatan exogen (exogenous income) Untuk menghitung pola konsumsi dan pengeluaran, model yang digunakan adalah konsep yang dilakukan oleh Singh, Squire dan Strauss (1986)[9] yaitu yang dikenal dengan model The Linear Logarithmic Expenditure System (LLES) dengan rumus sebagai berikut:
Dimana: Xj : jumlah barang yang di konsumsi pj : harga barang a : karakteristik rumahtangga α, β, σ: parameter Studi ini juga menggunakan metode kualitatif yang bersifat interpretatif dengan tujuan menggambarkan dan menerjemahkan fenomena sosial yang terjadi pada lingkungan. Metode ini digunakan untuk mamahami dan menafsirkan makna suatu peristiwa interaksi manusia dan lingkungannya. Analisis dilakukan dengan metode Indept Study atau wawancara mendalam pada responden dan key informant yang berhubungan dan mewakiti populasi sampel dalam penelitian ini (Sugiono, 2007[10]).
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karateristik Petani Contoh Umur merupakan salah satu faktor yang menentukan kegiatan petani dalam mengelola usahataninya. Petani yang umumnya relatif muda mempunyai kemampuan dan tenaga yang besar untuk melaksanakan apa yang diinginkannya.
Sebaliknya, petani yang semakin tua makin sulit untuk melaksanakan pekerjaannya karena tenaganya semakin lemah. Komposisi umur anggota keluarga juga menunjukkan apakah rumah tangga tersebut didominasi oleh umur produktif atau umur non produktif. Petani contoh dalam penelitian ini adalah petani di Desa Pelabuhan Dalam yang melakukan kegiatan usahatani padi dalam dua kali musim tanam selama satu tahun. Adapun klasifikasi umur petani dapat dilihat pada Tabel 1. TABEL 1. KLASIFIKASI UMUR PETANI CONTOH. Tingkat Umur (Tahun) 20-30 31-40 41-50 51-60 61-70
No 1. 2. 3. 4. 5. Jumlah Sumber : Monografi Desa, 2014.
% 20 26,67 26,67 23,33 23,33 100,00
Berdasarkan Tabel 1. diketahui bahwa kelompok umur terbanyak untuk petani contoh yaitu kelompok umur 31-40 sebanyak 8 orang (26,67%) dan kelompok umur 41-50 sebanyak 8 orang (26,67%). Kelompok umur yang paling sedikit adalah kelompok umur 61-70. Klasifikasi umur ini menunjukkan bahwa petani berusia produktif lebih banyak daripada petani berusia tidak produktif, yaitu dimulai dari rentang 20 tahun sampai 60 tahun masih produktif, sedangkan di atas 60 tahun sudah tidak produktif lagi. Tingkat pendidikan juga mempunyai pengaruh bagi petani dalam menjalankan usahataninya, selain umur seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, karena dengan semakin tingginya pendidikan, petani dapat lebih mudah dalam mengambil keputusan apabila petani tersebut dihadapkan pada suatu permasalahan yang berkaitan dengan kegiatan usahatani yang dilakukannya. Tingkat pendidikan juga berpengaruh terhadap bagaimana seorang petani mengatur pendapatan seperti memilih untuk menyimpan, menggunakan ataupun menginvestasikan pendapatan agar hasil yang didapat sesuai apa yang diinginkan. Tingkat pendidikan petani di Desa Pelabuhan Dalam dapat dilihat pada Tabel 2. berikut. TABEL 2. TINGKAT PENDIDIKAN PETANI CONTOH. No Tingkat Pendidikan Persentase (%) 40 1. SD/Sederajat 2. SMP/Sederajat 40 3. SMA/Sederajat 20 Jumlah 100 Sumber : Monografi Desa, 2014
Berdasarkan Tabel 2. dapat dilihat bahwa jumlah petani contoh paling banyak berpendidikan SD yaitu sebanyak 40% dan paling sedikit berpendidikan SMA yaitu sebanyak 20%. Tingkat pendidikan yang tinggi akan mempengaruhi pola pikir seseorang yang dalam hal ini adalah pola pikir petani contoh dalam kegiatan berusahatani. Pola pikir yang baik dan terarah, secara langsung akan mempengaruhi penerimaan dan pendapatan yang akan diperoleh oleh petani. Jumlah anggota keluarga tiap rumah tangga petani ratarata 3 orang. Besar kecilnya anggota keluarga petani merupakan salah satu faktor yang menentukan keputusan petani dalam mengambil keputusan berusahataninya. Petani
dengan jumlah anggota keluarga yang besar biasanya merupakan sumber tenaga kerja yang besar bagi usahataninya dan pemacu semangat untuk lebih giat lagi dalam meningkatkan usahataninya atau mencari tambahan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Anggota keluarga petani merupakan keseluruhan orang yang masuk dalam tanggungan kepala keluarga, meliputi istri, anak serta saudara-saudari lainnya apabila ikut ditanggung, untuk lebih rinci dapat dilihat pada Tabel 3. TABEL 3. JUMLAH ANGGOTA KELUARGA PETANI CONTOH No Jumlah Anggota Keluarga % 1. 1-2 36,67 2. 3-4 50,00 3. 5-6 13,33 Jumlah 100,00 Sumber: Data primer yang diolah, 2015.
Berdasarkan Tabel 3. dapat dilihat bahwa kelompok jumlah anggota keluarga 3-4 paling banyak yaitu sebanyak 50%. Hal ini menunjukkan bahwa petani harus lebih giat lagi dalam melakukan usahataninya untuk dapat memenuhi kebutuhan keluarga. Untuk kelompok jumlah anggota keluarga 1-2 sebanyak 36,67% disebabkan karena banyak anggota keluarga yang telah berkeluarga sehingga tidak lagi menjadi tanggungan. Luas garapan lahan yang dimiliki petani di Desa Pelabuhan Dalam dan Desa Manurung digolongkan menjadi dua, yaitu petani yang menggarap dengan luas lahan 1 hektar dan yang menggarap dengan luas 2-3 hektar. Luas lahan garapan tidak berpengaruh terhadap banyaknya tipe lebak yang dimiliki. Semakin luas lahan yang digarap bukan berarti akan semakin banyak tipe lebak yang dimiliki. Hal ini ditunjukkan dengan adanya beberapa petani yang memiliki luas lahan 2-3 hektar tetapi hanya memiliki satu tipe lebak tidak ada petani yang memiliki luas garapan di bawah 1 hektar. Secara rinci luas garapan petani dapat dilihat pada Tabel 4. TABEL 4. LUAS GARAPAN PETANI CONTOH. No Luas Lahan Persentase (%) 1. 1 40 2. 2-3 60 Jumlah 100 Sumber: Data primer yang diolah, 2015.
Berdasarkan Tabel 4. terlihat jumlah petani yang memiliki luas garapan 1 ha tidak berbeda jauh dengan petani yang memiliki luas garapan 2-3 ha, yakni sebesar 40% yang memiliki luas garapan 1 ha sebanyak 60% yang memiliki luas garapan 2-3 ha. Rata-rata luas garapan petani contoh adalah sebesar 1,65 ha. Pengalaman berusahatani padi merupakan lamanya waktu yang telah dilalui petani dalam melakukan kegiatan usahatani tersebut. Pengalaman berusahatani yang dimiliki petani contoh berbeda-beda. Hal ini dikarenakan ada yang memang dari kecil sudah memiliki pengalaman berusahatani padi, ada juga yang baru menjalani kegiatan usahatani padi. Kelompok tani yang ada ini sudah termasuk aktif dalam pengadaan pelatihan yang diadakan selama enam kali dalam setahun, dari awal penanaman sampai dengan panen. Jenis pelatihan yang diadakan dalam kelompok tani ini adalah penerapan sistem tanam, pemupukan berimbang,
97
pengolahan lahan modern, pengolahan gulma, pengolahan hama dan penyakit tumbuhan serta pemanfaatan golongan antar percetakan sawah. TABEL 5. PENGALAMAN ATAU LAMA BERUSAHATANI PADI PETANI. No Pengalaman (Tahun) Persentase (%) 1. 1-10 2. 11-20 3. 21-30 4. 31-40 5. 41-50 Jumlah Sumber: Data primer yang diolah, 2015.
13,33 33,33 43,33 6,67 3,33 100,00
Dari Tabel 5. dapat dilihat bahwa persentase pengalaman berusahatani padi palingbesar yaitu selama 2130 tahun yaitu sebanyak 43,33%. Hal ini menunjukkan bahwa petani cukup memiliki pengalaman yang banyak dalam melakukan usahatani padi. B. Perubahan Struktur Pendapatan Struktur nafkah rumahtangga memberikan gambaran besaran kontribusi masing-masing kegiatan mata pencaharian rumahtangga, sehingga dari struktur nafkah yang ada ini dapat diketahui kegiatan mata pencaharian apa saja yang dilakukan oleh rumahtangga responden, dan kecenderungan pergesaran kegiatan mata pencaharian rumahtangga ke masa yang akan datang, sehingga dapat diperoleh gambaran kondisi ketahanan ekonomi rumah tangga tersebut. Pergeseran kegiatan mata pencaharian (sumber nafkah) rumahtangga Petani sawah akibat bencana kekeringan yang terjadi saat ini sebenarnya telah menjadi isu nasional, dimana terjadi pergeseran sumber nafkah utama dari pertanian (On Farm) ke sumber nafkah lainnya di luar pertanian (Non Farm). Semakin mengecilnya kontribusi pendapatan dari pertanian terhadap total pendapatan rumah tangga, menyebabkan semakin membesarnya tingkat peralihan mata pencaharian rumahtangga ke kegiatan non pertanian, dan jika hal ini dibiarkan maka akan mempengaruhi tingkat produksi pertanian pangan di wilayah ini. TABEL 5. JENIS MATA PENCAHARIAN RUMAHTANGGA RESPONDEN. No Mata Persentase Pencaharian (%) 1 On Farm 2 Off Farm 3 Non Farm Sumber: Data primer yang diolah, 2015.
100 0 26,66
Data primer yang diperoleh menunjukkan bahwa semua responden di kedua lokasi studi yaitu Desa Pelabuhan Dalam, Sumatera Selatan dan Desa Manurung, Sulawesi Selatan masih bermata pencaharian utama sebagai petani sawah (100%). Akan tetapi dengan adanya kekeringan yang terjadi pada lahan sawah, rumahtangga petani mulai terlihat melakukan kegiatan mata pencaharian di luar usaha tani (non farm), Di Desa Pelabuhan Dalam, Sumatera Selatan rumahtangga responden yang melakukan kegiatan non farm sebanyak 26,66 persen, dan di Desa Manurung, Sulawesi Selatan rumahtangga responden yang melakukan kegiatan non farm sebanyak 43,33 persen.
98
Hal ini dikarenakan pada saat kekeringan petani mengalami penurunan pendapatan atau bahkan sama skali tidak memperoleh pendapatan dari lahan usahatani sawah, sehingga rumahtangga memerlukan laternatif sumber pendapatan rumahtangga untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Tingkat Peralihan mata pencaharian masih cukup sedikit di Desa Pelabuhan Dalam, Sumatera Selatan akan tetapi sudah mulai menunjukkan potensi yang besar di Desa Manurng, Sulawesi Selatan. Hal ini dikarenakan terdapat perbedaan kondisi usahatani yang dilakukan di kedua lokasi ini. Jika di Desa pelabuhan Dalam, Sumatera Selatan Petani tetap dapat melakukan penanaman pada saat musim kemarau dengan melakukan pompanisasi, sementara di Desa Manurung, Sulawesi Selatan, rata-rata rumahtangga tidak melakukan penanaman di musim kemarau, hal ini dikarena kondisi kontur lahan yang berbukit sehingga pompanisasi tidak dapat dilakukan maksimal. Pekerjaan sampingan para petani yang menjadi sampel dalam penelitian ini mayoritas adalah sebagai buruh harian, sebagian lagi bekerja sebagai ojek keliling antar desa. Sebagai buruh harian, para petani di Desa Pelabuhan Dalam ini dibayar per hari, berkisar sebesar Rp.60.000,00Rp.85.000,00 per hari. Pekerjaan tukang ojek yang dilakoni para petani sampel juga pendapatan rata-rata per hari adalah sebesar Rp.55.000,00-Rp.70.000,00 per hari. Berikut akan disajikan pendapatan total petani dalam bentuk tabel. TABEL 6. PENDAPATAN TOTAL PETANI PADA MUSIM HUJAN DAN KEMARAU Keterangan Musim Kemarau (Rp.) Musim Hujan (Rp.) Usahatani Padi 1.773.836,89 8.127.994,52 Luar Usahatani 4.576.000,00 4.238.666,67 Total Pendapatan 6.349.836,89 12.366.661,19 Sumber: Data primer yang diolah, 2015.
Tabel di atas terlihat perbedaan pendapatan total petani padi pada saat musim hujan dan musim kemarau di Desa Pelabuhan Dalam. Pendapatan luar usahatani pada saat musim kemarau memang terlihat lebih besar daripada pendapatan saat musim hujan, tetapi secara keseluruhan, pendapatan total musim hujan lebih besar daripada pendapatan saat musim kemarau. Tabungan merupakan jumlah uang yang disimpan oleh petani contoh didapat dari pendapatan yang diperoleh kemudian dikurangi dengan konsumsi total, mencakup konsumsi pangan dan non pangan. Tabungan dalam setiap r3u0mah tangga 10s0udah pasti berbeda, karena perbedaan p1endapatan ser3ta,33perbedaan besarnya pengeluaran konsumsi y1a3ng dikeluark4a3n,33oleh masing-masing rumah tangga, sesuai dengan kebutuhan. Asset adalah jumlah tabungan yang dipunyai oleh petani dalam bentuk fisik yang mempunyai nilai jual jika dijual kembali. Asset yang dimiliki setiap rumah tangga juga berbeda karena beberapa petani mengalokasikan dananya untuk membeli sesuatu sementara beberapa petani juga bahkan tidak memiliki sisa uang untuk membeli barang yang dapat dijadikan asset. Berikut akan dijelaskan dalam bentuk tabel perbedaan asset dan tabungan petani contoh pada musim kemarau dan musim hujan. Hal ini jelas sangat berbeda, karena produksi yang dihasilkan oleh petani pada musim hujan dan musim kemarau juga mengalami
perbedaan, yang mengakibatkan berbeda pula jumlah tabungan yang dimiliki oleh petani contoh.
TABEL 8 RATA-RATA PENGELUARAN KONSUMSI PANGAN RUMAH TANGGA PETANI PADA MUSIM KEMARAU DAN MUSIM HUJAN.
TABEL 7. No RINCIAN JENIS ASSET YANG DIMILIKI PETANI CONTOH PADA MUSIM KEMARAU DAN MUSIM HUJAN. No
Musim Kemarau
RataMusim Hujan Rata-rata rata (Rp.) (Rp.) 1. Kredit Motor 3.500.000 Kredit Motor 3.500.000 2. Kulkas Baru 1.700.000 Pembelian Emas 4.750.000 3. Pembelian Motor Bekas 7.850.000 4. Pembelian Motor Baru 9.250.000 5. Pembelian Lemari Baju 900.000 Jumlah 5.200 .000 26.250.000 Sumber: Data primer yang diolah, 2015.
Jenis asset yang dimiliki oleh petani contoh yaitu untuk pembayaran kredit motor, untuk pembelian motor baru dan motor bekas, pembelian emas bagi beberapa petani dan akan menjualnya kembali ketika harga emas di pasaran naik jika suatu saat mereka membutuhkan dana, pembelian kulkas baru, serta pembelian lemari pakaian untuk anak. Tetapi, tidak semua petani mengalokasikan uangnya untuk pembelian asset, yaitu hanya sekitar 23,33% pada musim kemarau dan sekitar 26,66% pada musim hujan. Ada beberapa petani yang memanfaatkan pendapatan pada musim hujan tersebut menjadi modal pada musim tanam selanjutnya. Pendapatan beberapa petani pada musim kemarau bahkan ada yang tidak mencukupi dalam pemenuhan kebutuhan konsumsi, sehingga harus meminjam uang kepada rentenir, sehingga pendapatan pada musim hujan digunakan untuk membayar kembali hutang. Untuk menutupi kekurangan pendapatan tersebut, petani tersebut biasanya mencari pekerjaan sampingan. Kebanyakan dari petani tersebut tidak mampu mengatur keuangan yang didapat, sehingga uang yang ada langsung habis digunakan untuk pembelian kebutuhan sehari-hari. Hal ini dikarenakan sebagian besar pekerjaan sampingan dari petani contoh adalah buruh bangunan yang menerima pendapatan per hari. C. Pengeluaran Konsumsi pada Musim Kemarau dan Hujan Secara umum pengeluaran konsumsi rumah tangga terdiri dari konsumsi pangan dan konsumsi non pangan. Tingkat pengeluaran pada masing-masing rumah tangga berbeda antara satu dengan yang lain. Besar pengeluaran rumah tangga bervariasi sesuai dengan besarnya pendapatan yang diperoleh. Pendapatan yang tinggi dapat mengindikasi bahwa pengeluaran untuk pangan semakin kecil sedangkan persentase untuk non pangan seperti pendidikan, kesehatan dan barang mewah semakin meningkat. Begitu juga sebaliknya, pendapatan rendah akan menyebabkan sebagian besar pendapatan dikeluarkan untuk kebutuhan pangan. Pengeluaran konsumsi pada saat musim hujan dan musim kemarau juga berbeda karena pendapatan yang diterima petani pada kedua musim tersebut juga berbeda. Pengeluaran konsumsi pangan petani pada musim kemarau dapat dilihat pada Tabel 8. berikut.
1. 2. 3. 4.
Konsumsi Pangan
Kemarau (Rp./thn) 1.325.333,33 321.333,33 279.000,00 225.333,33 250.000,00 125.000,00 107.200,00 234.800,00 60.700,00 395.566,67 59.966,67
Pepadian Umbi Ikan dan Daging Telur dan Susu Tempe dan Tahu 5. 6. Gula Pasir 7. Sayuran 8. Buah-Buahan 9. Minyak Goreng 10. Kopi/Teh 11. Rokok/Tembakau 12. Makanan dan Minuma Jadi Jumlah 3.384.733,33 Sumber: Data primer yang diolah, 2015.
Hujan (Rp./thn) 1.425.833,33 321.833,33 281.000,00 233.166,67 239.833,33 185.833,33 158.900,00 276.333,33 114.866,67 423.066,67 111.833,33 3.762.500,00
Konsumsi pangan dalam penelitian ini merupakan seluruh pengeluaran yang dikeluarkan oleh petani untuk memenuhi kebutuhan pangannya dimana pemenuhan kebutuhan pangan ini benar-benar mengeluarkan uang petani contoh dalam memperolehnya. Konsumsi pangan petani contoh ini terdiri dari padi (beras), umbi, ikan dan daging, telur dan susu, tempe dan tahu, gula pasir, sayuran, buahbuahan, minyak goreng, kopi/teh, rokok/tembakau, serta makanan dan minuman jadi. Berdasarkan Tabel 8. jelas terlihat bahwa pengeluaran terbesar yang dikeluarkan petani pada musim kemarau yaitu pepadian (beras) sebesar Rp.1.325.333,33 per musim tanam. Hal ini disebabkan karena masyarakat Indonesia memang terkenal dengan makanan pokoknya adalah beras. Konsumsi yang tidak mengeluarkan biaya adalah konsumsi umbi, dimana petani menanam sendiri umbian yang ingin dikonsumsi di pekarangan rumah mereka masing-masing. Berdasarkan diatas juga terlihat bahwa pengeluaran terbesar yang dikeluarkan petani pada musim hujan adalah pemenuhan makanan utama yaitu beras. Setelah umbi, pengeluaran terendah kedua yang dikeluarkan petani adalah dalam pembelian makanan dan minuman jadi. Hal ini disebabkan karena para petani memang membatasi pengeluaran tersebut, dengan alasan jarang jajan keluar rumah. Biaya yang dikeluarkan petani dalam pemenuhan konsumsi pangan pada musim kemarau dan musim hujan, memang terlihat berbeda. Pengeluaran konsumsi pada musim hujan lebih besar daripada pengeluaran konsumsi pangan pada musim kemarau. Hal ini dikarenakan beberapa alasan, dimana alasan terbesarnya adalah pendapatan yang diterima oleh petani contoh sehingga dalam pemenuhan beberapa konsumsi juga mengalami perubahan. Selisih pengeluaran konsumsi antara musim hujan dengan musim kemarau adalah sebesar Rp.377.766,67. Menurut Hicks (1941) [11], dengan pendapatan yang meningkat maka persentase untuk pengeluaran konsumsi pangan semakin kecil sedangkan persentase konsumsi non pangan semakin meningkat. Tabel 9. berikut ini akan menunjukkan konsumsi non pangan petani.
99
TABEL 9. RATA-RATA PENGELUARAN KONSUMSI NON PANGAN RUMAH TANGGA PETANI PADA MUSIM KEMARAU. No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Jumlah
Konsumsi Non Pangan Listrik, Air Komunikasi Transportasi Pendidikan Kesehatan Pakaian Perabotan RT dan Elektronik LPG Keperluan Pesta dan Adat
MusimKemarau Musim Hujan (Rp./thn) (Rp./thn) 579.983,33 599.783,33 329.333,33 347.700,00 377.333,33 377.200,00 412.000,00 412.000,00 245.900,00 313.766,67 223.900,00 13.666,67 15.000,00 292.300,00 289.966,67 168.333,33 203.666,67 2.629.083,33 2.572.750,00
Berdasarkan Tabel 9. di atas, dapat dilihat bahwa pengeluaran konsumsi non pangan terbesar adalah biaya pembayaran listrik dan air yaitu sebesar Rp.579.983,33. Setelah biaya listrik dan air, biaya pendidikan merupakan biaya dengan pengeluaran terbesar yaitu sebesar Rp.412.000,00. Hal ini dikarenakan para petani ingin anak mereka mendapatkan pendidikan yang layak sehingga memasukkan anaknya bersekolah sampai ke jenjang menengah ke atas. Kemudian, biaya transportasi menempati urutan ketiga terbesar yaitu sebesar Rp.377.333,33, karena rata-rata petani di desa tersebut sudah memiliki motor, selain itu juga tidak tersedia angkutan umum sehingga semua petani menggunakan sepeda motor untuk aktivitas mereka sehari-hari. Berdasarkan tabel diatas, dapat dilihat bahwa pengeluaran konsumsi non pangan terbesar adalah biaya pembayaran listrik dan air yaitu sebesar Rp.599.783,33. Pengeluaran non pangan petani pada musim hujan dan musim kemarau memang tidak terlalu jauh berbeda. Hal ini dikarenakan tidak adanya faktor pendukung yang memungkinkan petani mengeluarkan biaya yang berbeda pada musim tertentu. Secara keseluruhan, pengeluaran konsumsi non pangan yang dikeluarkan petani contoh pada musim kemarau lebih besar dibandingkan pada musim hujan, dengan selisih sebesar Rp.56.333,33. IV. KESIMPULAN Adapun kesimpulan dalam penelitian ini adalah: 1. Terjadi perbedaan pendapatan total rumahtangga petani antara musim hujan dan musim kemarau, dimana pendapatan musim kemarau lebih rendah dibandingkan dengan musim hujan. 2. Tidak terjadi perbedaan pola konsumsi antara musim hujan dengan musim kemarau. Karena konsumsi yang dilakukan rumahtangga seacar umum adalah kebutuhan pokok yang harus dilakukan dalam kondisi apapun. 3. Terjadi kerentanan ekonomi yang cukup tinggi akibat penurunan pendapatan dari musim hujan ke musim kemarau. Terjadi peralihan sumber penghidupan dari sektor on farm menjadi non farm saat terjadi Kekeringan. DAFTAR PUSTAKA [1] Zhang, Y., Climate Channge and Green Growth: Persfective of of Division of Labor, Chainese and World Economics. Vol.22 No.5. hal. 96-116. 2014.
100
[2] Hanslow, K., et al., Economic Impact of Climate Change on Australia Dairy Sector. The Australian Journal of Agriculture and Resources Economics, 58, hal. 66-70. 2014. [3] Kementrian Pertanian. Pedoman teknis Pengembangan antisipasi anomali Iklim. Direktorat pengelolaan Irigasi. Jakarta. 2012. [4] Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi, (eds), Metode Penelitian Survey, Yogyakarta, LP3ES. 1989. [5] Cochran, G, William, Sampling Techniques, John Wiley & Sons Inc, New York. 1962. [6] Mantra, I.B., Langkah-langkah Penelitian Survey: Usulan Penelitian dan Laporan Penelitian, Badan Penelitian Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 1998. [7] Irianto, Heru dan Mardikanto, Totok., Metode Penelitian dan Evaluasi Agribisnis, Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian, UNS, Solo. 2011, [8] Strauss, J. The T, Theory and Comparative Statics of Agricultural Household Models; A General Approach. in Agricultural Household Models, Extentions, Apllications, and Policy. edited by Singh, I., Square, L., and Strauss, J., The Johns Hopkins University Press., London. 1986. [9] Singh, I., Square, L., and Strauss, J., The Basic Model: Theory, Empirical Result, and Policy Conclutions., in Agriculltural Household Models, Extentions, Apllications, and Policy. by edited Singh, I., Square, L., and Strauss, J., The Johns Hopkins University Press., London. 1986. [10] Sugiono, Metode Penelitian Bisnis, Alfabeta CV, Bandung. 2009. [11] Hicks, J.R. The Rehabilitation of Consumption Surplus. The Review of Economic Studies, Vol.8 No.2, hal. 108116. 1941.
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DAN TEKNIK PEMANFAATAN LAHAN PEKARANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN DI KOTA TARAKAN Nia Kurniasih Suryana1), Nur Indah Mansyur2), Eko Hary Pudjiwati3) ,1)2)3)
Universitas Borneo Tarakan,Indonesia E-mail:
[email protected]
Abstract.Cultivated yard land can be utilized by all family members to fullfill the micro nutritional needs of families, it also can improve the welfare of the family in particular and society in general. Development of food security is essentially community empowerment, this means increasing the independence and capacity of the community to play an active role in achieving food security, food distribution and consumption of food all the time. Good management of yard land must be considered the spacious yard and utilization techniques to determine the commodity and proper cultivation system. The purpose of this study is to formulate a model of community empowerment in utilizing the yard area and know the techniques of land use grounds. This research was conducted in the Tarakan city.Samples were taken at random (random sampling) of households getting Food Consumption Diversification Acceleration program (P2KP). Analysis of the data used is Generalized Structure Component Analysis (GSCA) and descriptive analysis. The results showed that food security will be achieved when there is a change of behavior (Y3) that resulted from the process of community empowerment (Y2), and public participation (Y1) in the process of community empowerment. Participation of the community itself (Y1) is influenced by innovation (X2) and post-harvest (X3).Utilization of the yard with verticulture techniques and tabulampot make positive contributions to the fulfillment of food and nutrition needs of independently supporting the realization of food security in theTarakan city. Keywords: Community empowerment, land, yard, food security, tabulampot, verticulture
I. PENDAHULUAN Peningkatkan pangan dan gizi masyarakat secara mandiri dapat dilakukan dengan pemanfaatan lingkungan pekarangan yang dikelola secara mandiri oleh keluarga melalui program pemberdayaan masyarakat.Pemenuhan dan kecukupan kebutuhan pangan dan gizi di tingkat rumah tangga/keluarga merupakan tujuan dan sasaran serta syarat dari ketahanan pangan (Food Security) nasional, serta upaya upaya diversifikasi pangan adalah amanat dari Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 14 tahun 1974 tentang Upaya Perbaikan Menu Makanan Rakyat (UPMMR), dan Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2009 tentang Kebijakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal. Pembangunan ketahanan pangan pada hakekatnya adalah pemberdayaan masyarakat,hal ini berarti meningkatkan kemandirian dan kapasitas masyarakat untuk berperan aktif dalam mewujudkan ketersediaan pangan, distribusi pangan dan konsumsi pangan dari waktu ke waktu. Pemberdayaan masyarakat dapat diupayakan melalui peningkatan kapasitas sumber daya manusia (SDM) agar dapat berusaha menciptakan dan meningkatkan pendapatan rumah tangga (Suryana, 2015). Lahan pekarangan yang dimanfaatkan secara baik memiliki fungsi multiguna, yaitu : 1) sumber pangan, sandang dan papan penghuni rumah; 2) sumber plasma nutfah dan ragam jenis biologi; 3) lingkungan hidup bagi berbagai jenis satwa; 4) pengendali iklim sekitar rumah dan tempat untuk kenyamanan; 5) penyerap karbondioksida dan penghasil oksigen; 6) tempat resapan air hujan dan air limbah keluarga
ke dalam tanah; 7) melindungi tanah dari kerusakan erosi; serta 8) tempat pendidikan bagi anggota keluarga. Kota Tarakan bukanlah wilayah produsen bahan pangan, karena ketersediaan pangan lebih banyak berasal dari pasokan luar daerah, sebagai contoh kebutuhan beras dan sayuran dataran tinggi masih sangat tergantung dari luar daerah (Sulawesi, Jawa dan Malaysia), sehingga pengelolaan stock pangan harus menjadi perhatian yang besar agar terjamin ketersediaan pangan. Kota Tarakan memiliki luas wilayah 657,33 km2 dengan luas daratan 250,80 km2 dan lautan 406,53 km2 (BPS Kota Tarakan, 2015). Luas tanah berdasarkan penggunaannya , untuk pemukimanseluas 1.376 ha. Hal tersebut merupakan potensi yang dapat dijadikan alternatif peningkatan produksi pangan melalui pemanfaatan pekarangan dan dapatmenjadi salah satu program kerja Dinas Peternakan dan Tanaman Pangan Kota Tarakan. Usaha pengelolaan dan pemanfaatan pekarangan dapat dilakukan pada pekarangan luas dan juga pekarangan yang sempit.Pada pekarangan yang luas dapat memilih jenis dan model pengelolaan pekarangannya, sedangkan pada pekaranganyang sempit dapat diterapkan sistem tabulampot dan vertikultur yang diatur sesuai dengan bentuk pekarangannya.Namun pengetahuan dan keterampilan keluarga perkotaan yang memiliki pekarangan yang relatif sempit masih sangat terbatas, serta animo masyarakat yang masih rendah dalam memanfaatkan teknik budidaya tabulampot dan teknik vertikultur tersebut
II. METODE PENELITIAN
101
Penelitian ini dilaksanakan di Kota Tarakan..Sampel diambil secara accidental sampling/ convenience samplingyaitu subyek dipilih karena aksesibilitas nyaman dan kedekatan mereka kepada peneliti (Sekaran, 2011). Dari seluruh populasi yaitu masyarakat Kota Tarakan yang memperoleh program pemberdayaan masyarakat P2KP (Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan) sebanyak 120 orang diambil sampel sebanyak 42 orang . Hal tersebut mengacu pada pendapat Arikunto (2006) , bahwa apabila objek penelitian lebih dari 100 dapat diambil antara 10-15%, atau 20-25%, atau lebih tergantung dari waktu, tenaga , dana, luas wilayah pengamatan atau besar sedikitnya data, besar kecilnya resiko penelitian serta tingkat homogenitas sample.Untuk merumuskan model pemberdayaan masyarakat dalam memanfaatkan lahan pekarangan dianalisis menggunakan Generalized Structure Component Analysis (GSCA). Menurut Gozali (2008), pendekatan Variance Based atau Componen Based dengan GSCA berorientasi analisis prediksi (predictive model), selain dapat juga digunakan untuk mengkonfirmasi teori/model dengan data empirisnya. Langkah-langkah pembentukan model persamaan strukturalnya adalah sebagai berikut : (1) Spesifikasi Model (2) Uji Kecocokan model (Goodness of Fit) (3) Model pengukuran (Measurement Model) (4) Model struktural. Indikator dan parameter yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat dalam tabel berikut. Tabel 1.Indikator dan parameter penelitian Indikator Parameter Faktor Produksi Diukur dari : Sumberdaya alam (X1): (X1.1), Sumberdaya manusia (X1.2), Modal (X1.3), Manajemen (X1.4) Inovasi (X2) Diukur melalui aspek : Keuntungan (X2.1), Kesesuaian (X2.2), Kerumitan (X2.3), Ketercobaan (X2.4), Mudah dilihat (X2.5) Pasca Panen Diukur melalui : Sortasi (X3.1), (X3) : Pengepakan (X3.2) Pemasaran (X4) Diukur melalui : Saluran pemasaran (X4.1) ,Promosi (X4.2) Partisipasi (Y1) Diukur melalui : Insensitas dalam : kegiatan (Y1.1), Kualitas keikutsertaan (Y1.2), Kualitas Manfaat (Y1.3) Proses Diukur melalui : Pendidikan (Y2.1), Pemberdayaan Bantuan Modal (Y2.2), Masyarakat Pendampingan (Y2.3) (Y2) Perubahan Diukur melalui : Pengetahuan Perilaku (Y3) (Y3.1), Sikap (Y3.2), Keterampilan (Y3.3) Tingkat Diukur melalui : Ketersediaan Ketahanan pangan (Y4.1), Akses pangan Pangan (Y4) : (Y4.2), Penyerapan pangan (Y4.3) Untuk mengetahui teknik pemanfaatan lahan pekarangan digunakan analisis deskriftif, yaitu statistik yang digunakan untuk menganalisa data dengan cara mendeskripsikan atau menggambarkan data yang telah terkumpul sebagaimana adanya tanpa bermaksud membuat
102
kesimpulan yang berlaku untuk umum atau generalisasi (Sugiono, 2004). III. HASIL DAN PEMBAHASAN Model Pemberdayaan Masyarakat dalam Memanfaatkan Pekarangan dalam mewujudkan Ketahanan Pangan. Spesifikasi Model Model awal ini diformulasikan berdasarkan suatu teori atau penelitian sebelumnya.Bollen (1993) mengatakan bahwa analisis tidak akan dimulai sampai peneliti menspesifikasikan sebuah model yang menunjukkan hubungan di antara variabel-variabel yang akan dianalisis. Spesifikasi model struktural, kontruk atau variabel laten tidak dapat diukur secara langsung. Oleh karena itu perlu diukur melalui variabel manifest atau variable teramati. Secara umum spesifikasi model Pengukuran dapat dijabarkan sebagai berikut: 1) Variabel laten faktor produksi (ξ1) diukur oleh 2 variabel teramati, yaitu X1.3 dan X1.4. 2) Variabel laten inovasi (ξ2) diukur oleh 3 variabel teramati, yaitu X2.2, X2.3 danX2.5. 3) Variabel laten pasca panen (ξ3) diukur oleh 2 variabel teramati, yaitu X3.1 dan X3.2. 4) Variabel laten pemasaran (ξ4) diukur oleh 1 variabel teramati, yaitu X4.1. 5) Variabel laten partisipasi (η1)diukur oleh 3 variabel teramati, yaitu Y1.1, Y1.2 dan Y1.3. 6) Variabel laten proses pemberdayaan masyarakat (η2)diukur oleh 2 variabel teramati, yaitu Y2.1, dan Y2.3. 7) Variabel laten perubahan perilaku (η3)diukur oleh 2 variabel teramati, yaitu Y3.1, dan Y3.3. 8) Variabel laten tingkat ketahanan pangan (η4)diukur oleh 2 variabel teramati, yaitu Y4.1, dan Y4.2. Variabel teramati tersebut di atas, mewakili indicator yang merupakan factor yang paling kuat dan yang memiliki nilai loading factor pembentuk konstruk latennya. Uji Kecocokan Model (Goodness of Fit) Uji kecocokan keseluruhan model menggunakan pedoman ukuran-ukuran GOF dan hasil GOF statistic, maka dapat dilakukan analisis kecocokan model FIT. Hasil Goodness of fit Index (GOF)FIT sebesar 0,692 sehingga dikatakan modelgood fitkarena > 0,500. Model Pengukuran (Measurement model) Rekapitulasi hasil evaluasi validitas dan reliabilitasdiketahui bahwa persamaan struktural nilai muatan faktor standarnya lebih besar dari 0,50, Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa validitas persamaan struktural variabel-variabel manifes terhadap variabel latennya adalah baik. Tabel. 2. Evaluasi Validitas Variabel Laten
Variabel Teramati
Faktor Produksi (X1) Inovasi (X2)
Validitas CFA Loading Factors
Rule of Thumb
Kesimpulan
X1.3
0,966
0,500
Valid
X1.4
0,916
0,500
Valid
X2.2
0,969
0,500
Valid
X2.3
0,956
0,500
Valid
selain dari variabel tersebut. Diketahui variabel pemasaran (X4) memiliki nilai koefisien jalur sebesar 0,659 dengan nilai X3.1 0,500 Valid Pasca panen CR sebesar 1,18. Karena nilai CR lebih kecil dari Critical 0,996 (X3) 0,500 Valid Value (1,18 < 1,96), maka hipotesis statistik menyatakan H0 X3.2 0,985 Pemasaran diterima, artinya pemasaran (X4) memiliki pengaruh yang 0,500 Valid tidak signifikan terhadap partisipasi (Y1), yaitu dengan (X4) X4.1 1,000 pengaruh sebesar 43,43%, sedangkan 56,57% sisanya kontribusi selain dari variabel tersebut. Sedangkan dari hasil perhitungan reliabilitas merupakan Pada Sub-Struktur 2, Diketahui variabel partisipasi menunjukkan bahwa persamaan struktural nilai (Y1) memiliki nilai koefisien jalur sebesar 0,993 dengan nilai reliability lebih besar dari 0,70, dengan demikian CR sebesar 3,44. Karena nilai CR lebih besar dari critical dapat disimpulkan bahwa persamaan struktural value (3,44 > 1,96), maka hipotesis statistik menyatakan H0 variabel-variabel laten tersebut memiliki reliabilitas ditolak, artinya partisipasi (Y1) memiliki pengaruh yang signifikan terhadap proses pemberdayaan masyarakat (Y2), yang baik. yaitu dengan pengaruh sebesar 98,6%, sedangkan 1,4% Tabel 3. Evaluasi Reabilitas sisanya merupakan kontribusi selain dari variabel tersebut. Reliabilitas Alpha Cronbach Diketahui variabel faktor produksi (X1) memiliki nilai koefisien jalur sebesar 0,724 dengan nilai CR sebesar 0,94. Variabel Laten X2.5
0,8
Reliability
0,500
Valid
Rule of
Thumb
Kesimpulan
Partisipasi (Y1)
0,923
0,700
Reliabel
Proses Pemberdayaan Masyarakat (Y2)
0,722
0,700
Reliabel
0,804
0,700
Reliabel
0,907
0,700
Reliabel
Perubahan Perilaku (Y3) Tingkat Ketahanan Pangan (Y4)
Model Struktural (Structural model) Hubungan kausal dinyatakan tidak signifikan jika nilai critical ratio (C.R ) berada diantara rentang -1.96 dan 1.96 dengan tingkat signifikansi 0,05. Dengan bantuan aplikasi program GSCA, diketahui hasil estimasi dan pengujian hipotesis (Suryana, 2015) : Pada Sub-Struktur 1, Diketahui variabel faktor produksi (X1) memiliki nilai koefisien jalur sebesar -0,664 dengan nilai CR sebesar 0,88. Karena nilai CR lebih kecil dari Critical Value (0,88 < 1,96), maka hipotesis statistik menyatakan H0 diterima, artinya Faktor Produksi (X1) memiliki pengaruh yang tidak signifikan terhadap partisipasi (Y1), yaitu dengan pengaruh sebesar 44,09%, sedangkan 55,91% sisanya merupakan kontribusi selain dari variabel tersebut. Diketahui variabel inovasi (X2) memiliki nilai koefisien jalur sebesar 0,639 dengan nilai CR sebesar 3,08. Karena nilai CR lebih besar dari Critical Value (3,08 > 1,96), maka hipotesis statistik menyatakan H0 ditolak, artinya inovasi (X2) memiliki pengaruh yang signifikan terhadap partisipasi (Y1), yaitu dengan pengaruh sebesar 40,83%, sedangkan 59,17% sisanya merupakan kontribusi selain dari variabel tersebut. Diketahui variabel pasca panen (X3) memiliki nilai koefisien jalur sebesar 0,381 dengan nilai CR sebesar 2,98. Karena nilai CR lebih besar dari Critical Value (2,98 > 1,96), maka hipotesis statistik menyatakan H0 ditolak, artinya pasca panen (X3) memiliki pengaruh yang signifikan terhadap Partisipasi (Y1), yaitu dengan pengaruh sebesar 14,52%, sedangkan 85,48% sisanya merupakan kontribusi
Karena nilai CR lebih kecil dari Critical Value (0,94 < 1,96), maka hipotesis statistik menyatakan H0 diterima, artinya faktor produksi (X1) memiliki pengaruh signifikan terhadap proses pemberdayaan masyarakat (Y2), yaitu dengan pengaruh sebesar 52,42%, sedangkan 47,58% sisanya merupakan kontribusi selain dari variabel tersebut. Diketahui variabel inovasi (X2) memiliki nilai koefisien jalur sebesar -0,224 dengan nilai CR sebesar 0,65. Karena nilai CR lebih kecil dari Critical Value (0,65 < 1,96), maka hipotesis statistik menyatakan H0 diterima, artinya Inovasi (X2) memiliki pengaruh yang tidak signifikan terhadap proses pemberdayaan masyarakat (Y2), yaitu dengan pengaruh sebesar 5,02%, sedangkan 94,98% sisanya merupakan kontribusi selain dari variabel tersebut. Diketahui variabel pasca panen (X3) memiliki nilai koefisien jalur sebesar -0,515 dengan nilai CR sebesar 1,6. Karena nilai CR lebih kecil dari Critical Value (1,6 < 1,96), maka hipotesis statistik menyatakan H0 diterima, artinya Pasca panen (X3) memiliki pengaruh yang tidak signifikan terhadap proses pemberdayaan masyarakat (Y2), yaitu dengan pengaruh sebesar 26,52%, sedangkan 73,48% sisanya merupakan kontribusi selain dari variabel tersebut. Diketahui variabel pemasaran (X4) memiliki nilai koefisien Jalur sebesar -0,527 dengan nilai CR sebesar 1,01. Karena nilai CR lebih kecil dari Critical Value (1,01 < 1,96), maka hipotesis statistik menyatakan H0 diterima, artinya Pemasaran (X4) memiliki pengaruh yang tidak signifikan terhadap proses pemberdayaan masyarakat (Y2), yaitu dengan pengaruh sebesar 27,77%, sedangkan 72,23% sisanya merupakan kontribusi selain dari variabel tersebut. Pada Sub-Struktur 3, Diketahui variabel proses pemberdayaan masyarakat (Y2) memiliki nilai koefisien jalur sebesar 0,46 dengan nilai CR sebesar 3,99. Karena nilai CR lebih besar dari Critical Value (3,99 > 1,96), maka hipotesis statistik menyatakan H0 ditolak, artinya proses pemberdayaan masyarakat (Y2) memiliki pengaruh yang signifikan terhadap perubahan perilaku (Y3), yaitu dengan pengaruh sebesar 21,16%, sedangkan 78,84% sisanya merupakan kontribusi selain dari variabel tersebut. Pada Sub-Struktur 4, Diketahui variabel proses pemberdayaan masyarakat (Y2) memiliki nilai koefisien jalur sebesar -0,244 dengan nilai CR sebesar 1,18. Karena nilai CR lebih kecil dari Critical Value (1,18 < 1,96), maka hipotesis
103
statistik menyatakan H0 diterima, artinya proses pemberdayaan masyarakat (Y2) memiliki pengaruh yang tidak signifikan terhadap tingkat ketahanan pangan (Y4), yaitu dengan pengaruh sebesar 5,95%, sedangkan 94,05% sisanya merupakan kontribusi selain dari variabel tersebut. Diketahui variabel perubahan perilaku (Y3) memiliki nilai koefisien Jalur sebesar 0,712 dengan nilai CR sebesar 6,32. Karena nilai CR lebih besar dari Critical Value (6,32 > 1,96), maka hipotesis statistik menyatakan H0 ditolak, artinya perubahan perilaku (Y3) memiliki pengaruh yang signifikan terhadap tingkat ketahanan pangan (Y4), yaitu dengan pengaruh sebesar 50,69%, sedangkan 49,31% sisanya merupakan kontribusi selain dari variabel tersebut. Diketahui variabel partisipasi (Y1) memiliki nilai koefisien jalur sebesar 0,155 dengan nilai CR sebesar 0,92. Karena nilai CR lebih kecil dari critical value (0,92 < 1,96), maka hipotesis statistik
menyatakan H0 diterima, artinya partisipasi (Y1) memiliki pengaruh yang tidak signifikan terhadap tingkat ketahanan pangan (Y4), yaitu dengan pengaruh sebesar 2,4%, sedangkan 97,6% sisanya merupakan kontribusi selain dari variabel tersebut.
X11
X13
Faktor Produksi
Y1
Y12
Y13
X14
ζ1
Partisipasi
(η1)
X21
Y41
Y42
Y43
X22 X23
Inovasi
ζ2
(ξ )
Tingkat Ketahanan
X24 X25
X31
ζ3 Pasca panen
Pemberdayaa n Masyarakat
Perubahan Perilaku
(η2)
(η )
X32
Y21 X41
Y22
Y23
Y31
Pemasara n
(ξ )
X42 Gambar 1.Diagram Jalur Model Pengukuran dan Model Struktural
104
Y31
Y31
ζ4
Partisipasi masyarakat dalam mencapai ketahanan pangan didukung oleh inovasi yang sesuai serta kegiatan pasca panen. Partisipasi dapat mempengaruhi ketahanan pangan rumah tangga petani jika melalui pemberdayaan masyarakat yang menyebabkan perubahan perilaku. Jika terjadi perubahan perilaku maka ketahanan pangan dapat tercapai
pekarangan yang sempit.Pada sistem ini budidaya dilakukan untuk mengoptimalkan lahan dengan memanfaatkan media yang ditempatkan secara vertikal, selain itupola ini juga menghemat dalam penggunaan pupuk dan air.Vertikultur sangat bermanfaat untuk memaksimalkan hasil karena jumlah tanaman yang dapat dibudidayakan menjadi lebih banyak dan bisa beragam jenis bila diinginkan.
Inova si Partisipa si Pasc a Pane n
Pemberday aan Masyarakat
Ketahan an Pangan
Perubahan Perilaku Gambar 2. Model Pemberdayaan Masyarakat dalam Memanfaatkan Lahan Pekarangan
.
Gambar 3. Teknik budidaya vertikultur Teknik budidaya vertikultur dalam penelitian ini menggunakan 3 macam berdasarkan tata letaknya, yaitu vertikultur bertingkat, vertikultur berdiri dan vertikultur bergantung.Kesemua jenis tersebut mudah untuk dilakukan oleh anggota keluarga dan sangat cocok untuk tanaman sayuran Pemanfaatan lahan pekarangan yang intensif dengan teknik budidaya tabulampot dan vertikultur dapat menghemat pengeluaran keluarga, peningkatan gizi dan kesehatan keluarga, perbaikan lingkungan hidup perkotaan melalui penghijauan dan pengurangan polusi. Jika sayuran dan buah yang diproduksi melebihi kebutuhan sendiri maka produk tersebut dapat dijual, sehingga kegiatan ini dapat berkembang menjadi usaha keluarga. Pemanfaatan lahan pekarangan tidak hanya terfokus dengan penggunaan menanam tanaman hortikultura, masih banyak jenis tanaman lain yang bisa ditanam di pekarangan rumah, seperti tanaman obat-obatan yakni yang sering dikenal saat ini adalah “toga”, namun konsep yang seperti ini masih segelincir masyarakat yang mengetahuinya, dikarenakan kembali lagi dari pengetahuan dan kesadaran yang dimiliki masyarakat masih rendah.
IV. KESIMPULAN 1. Gambar 2. Teknik budidaya tabulampot Dari hasil penelitian diperoleh bahwa dari 42 responden sejumlah 7 orang (16,70%) memanfaatkan pekarangan dengan menggunakan sistem tabulampot, 5 orang (12,00%) menggunakan sistem vertikultur dan 30 orang (71,30) menggunakan sistem tabulampot dan vertikultur. 1. Teknik budidaya vertikultur Sistem pemanfaatan pekarangan dengan teknik budidaya vertikultur adalah sistem budidaya yang dilakukan secara vertikal atau bertingkat.Sistem ini sangat cocokditerapkan di wilayah perkotaan seperti wilayah tempat dilakukan penelitian ini (Kota Tarakan) yang memiliki lahan
2.
Hasil penelitian ini dapat disimpulkan : Model pemberdayaan masyarakat dalam pemanfaatan lahan pekarangan, dilakukan melalui partisipasi yang didukung oleh inovasi yang sesuai serta kegiatan pasca panen. Partisipasi dapat mempengaruhi ketahanan pangan rumah tangga petani jika melalui pemberdayaan masyarakat yang menyebabkan perubahan perilaku. Teknik pemanfaatan pekarangan dilakukan dengan sistem tabulampot dan sistem vertikultur.
DAFTAR PUSTAKA [1]
Arikunto.S .2006. Prosedur Penelitian Pendekatan Praktek. Rineka Cipta. Jakarta.
Suatu
105
[2] Badan Pusat Statistik Kota Tarakan. 2015. Tarakan dalam Angka. Pemerintah Kota Tarakan. Tarakan. [3] Bollen, Kenneth A., dan J. Scot Long (editors). 1993. Testing Structural Equation Model, Sage Publication [4] Ghozali, Imam. 2005. Structural Equation Modeling Dengan Program LISREL 8.54, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Persamaan Strukturalarang [5] Prihatin. Djuni, Sunarru, Mudiyono. 2012. Ancaman Ketahanan Pangan Rumah Tangga Petani. Jurnal Ilmiah CIVIC. Volume 11. No 2. Juli 2012. [6] Suryana, Nia Kurniasih. 2015. Model Ketahanan Pangan Melalui Pemberdayaan Masyarakat (Studi Kasus di Kota Tarakan). Disertasi. Program Doktor Ilmu Pertanian.Universitas Brawijaya.Malang. [7] Sekaran, Uma..2011. Research Methods for Business.Edisi I and 2. Jakarta: Salemba [8] Suryana, Nia Kurniasih.Sugiyanto, Keppy Suksesi. YayukYuliwati. 2015. Alternatives of food security model on the farmer’s household through social empowerment in tarakan .EA Journals Vol 3, Issue 1, March 2015.
106
SISTEM PENGUASAAN LAHAN RUMAHTANGGA PETANI PADI GOGO DI KONAWE SELATAN Siti Aida Adha Taridala1 dan Nur Isiyana Wianti2 1
1 Staf pengajar pada Jurusan Agribisnis, Fakultas Pertanian Universitas Halu Oleo Staf pengajar pada Jurusan Penyuluhan Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Halu Oleo
Abstrak Tulisan ini ingin menggambarkan sistem penguasaan lahan pertanian bukan hanya dari sisi resiko yang ditimbulkannya, melainkan dari sisi peluang bagi pengembangan padi ladang di Konawe Selatan. Kemudian, tulisan ini merupakan sebagian kecil dari temuan Baseline Survey Rumahtangga Padi Gogo di Konawe Selatan, yang dilaksanakan pada bulan Mei-Juni 2016 dengan jumlah total responden sebesar 445 rumahtangga petani padi ladang, di empat sentra pertanian padi ladang di Kabupaten Konawe Selatan antara lain Kecamatan Wolasi, Laeya, Baito, dan Kolono. Berdasarkan data, dapat dikatakan bahwa sebagian besar petani padi ladang di keempat kecamatan yang menjadi wilayah penelitian merupakan petani pemilik. Petani lapisan bawah yang berlahan sempit atau gurem bahkan tidak berlahan atau tunakisma mengelola kegiatan pertanian bukan dengan sistem bagi hasil yang mengikat melainkan dengan sistem pinjam pakai dari pihak desa. Secara umum jika melihat seluruh luasan lahan yang dikuasai oleh responden rumahtangga petani untuk peruntukkan tidak hanya sebagai ladang, kebun campuran, persawahan dan lahan sagu, rata-rata luasan lahan yang dikuasai oleh responden baik secara milik sendiri maupun pinjam pakai maka rata-rata keseluruhan seluas 1 Ha. Pada beberapa kasus, memiliki lahan saja tidaklah cukup, karena luas lahan yang dimiliki sempit, kemudian mendorong responden petani di empat kecamatan terpilih untuk meminjam lahan pertanian. Gejala polarisasi kelas petani berdasarkan status kepemilikan lahan yang demikian tajam, yang biasa terjadi pada komunitas pertanian padi, di empat lokasi penelitian kecenderungan tersebut tidak terlihat nyata khususnya yang terjadi pada dua kecamatan antara lain di Wolasi dan Kolono. Hal ini dikarenakan selain sistem pertanian padi ladang dengan metode tebang bakar (slash and burn) atau huma yang berciri perladangan berpindah, juga karena adanya budaya orang Tolaki yang menjunjung nilai-nilai “pinjam tanpa balasan”. Keywords : Sistem, Penguasaan Lahan, Padi Gogo, Konawe Selatan.
Latar belakang Konsep ketahanan pangan merupakan istilah yang pertama kali muncul pada Konferensi Pangan Dunia (World Food Conference) tahun 1974, yakni menunjukan suatu kondisi di mana adanya ketidakmampuan suatu negara untuk mengelola dan memenuhi peningkatankonsumsi pangan serta mengelola fluktuasi harga dan produksi pangan yang seringkali terjadi yang dapat berujung pada munculnya kelaparan di tengah masyarakat. Cara pandang terhadap ’ketahanan pangan’ tentu berimplikasi pada pembentukan kebijakan-kebijakan yang terkait dengan pertanian dan penyediaan pangan. Dengan cara pandang seperti di atas, kebijakan pertanian pangan kemudian lebih banyak diarahkan pada kegiatan produksi pangan secara massal dan tersedianya akses orang per orang, keluarga per keluarga, dan masyarakat secara keseluruhan atas produk pangan yang dikembangkan melalui perdagangan (pangan didistribusi melalui mekanisme perdagangan) (Bernstein dan Bachriadi, 2014) Kedaulatan pangan’ (food sovereignty) sebagai sebuah konsep tandingan terhadap konsep ketahanan pangan yang muncul pada saat berlangsungnya World Food Summit 1996 di Roma. Kedaulatan Pangan menekankan pada hak dan otonomi warga untuk mengembangkan sistem pangannya sendiri dan menolak gagasan “pangan dapat berasal dari mana saja” (“food from somewhere”) (Wittman, 2011 dalam Bernstein dan Bachriadi, 2014). Gagasan ‘kedaulatan pangan’ (food sovereignty) menegaskan kembali hak-hak masyarakat atas otonominya dalam memutuskan apa yang hendak mereka produksi dan konsumsi (Menesez 2001: 30); karena itu, produksi pertanian lokal, pemeliharaan hak petani untuk menghasilkan pangan dan jaminan hak-hak masyarakat untuk membuat pilihan terhadap kebijakan pertaniannya sangat diutamakan (Baumuller dan Tansey 2008, dalam Bernstein dan Bachriadi, 2014). Rumusan ‘kedaulatan pangan’ memiliki enam pilar, yakni: (1) fokus pada pangan untuk rakyat, (2) penghargaan pada produser pangan, (3) pengembangan sistem pangan 1
Staf pengajar pada Jurusan Agribisnis, Fakultas Pertanian Universitas Halu Oleo pengajar pada Jurusan Penyuluhan Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Halu Oleo
2 Staf
107
lokal, (4) menempatkan kontrol produksi pangan di tingkat lokal, (5) membangun pengetahuan dan keahlian, dan (6) bekerja selaras dengan alam (Forum for Food Sovereignty 2007 dalam Bernstein dan Bachriadi, 2014). Gagasan mengenai kedaulatan pangan yang dijabarkan di atas nampak lekat dengan kondisi petani padi gogo/ladang di Konawe Selatan yang mewujudkan makna kedaulatan pangannya sebagai suatu perilaku bertani yang mempertahankan haknya untuk melakukan kegiatan pertanian secara tradisional dengan sistem tebang bakar (slash and burn) atau Huma sehingga menghasilkan pangan yang sehat, meskipun cenderung masih bersifat subsistensi (khususnya pada petani lokal Tolaki), namun berdaulat menentukan makanan dan sistem pertaniannya. Namun, baik konsep ketahanan pangan maupun kedaulatan pangan selalu dikaitkan dengan sistem penguasaan lahan pertanian (land tenure). Wibowo (2013) dalam Harun dan Dwiprabowo (2014) menyatakan bahwa land tenure adalah isu yang paling kontemporer, penting dantidak pernah “mati”, bahkan semakin kontekstual dan menemukan posisinya dalam dinamika pembangunan saat ini. Tulisan ini ingin menggambarkan sistem penguasaan lahan pertanian bukan hanya dari sisi resiko yang ditimbulkannya, melainkan dari sisi peluang bagi pengembangan padi ladang di Konawe Selatan. Metodologi Tulisan ini merupakan sebagian kecil dari temuan Baseline Survey Rumahtangga Padi Gogo di Konawe Selatan, yang dilaksanakan pada bulan Mei-Juni 2016 dengan jumlah total responden sebesar 445 rumahtangga petani padi ladang, di empat sentra pertanian padi ladang di Kabupaten Konawe Selatan antara lain Kecamatan Wolasi, Laeya, Baito, dan Kolono. Jumlah total responden sebanyak 445 rumahtangga. Jumlah responden di Kecamatan Wolasi sebanyak 73, di Kecamatan Baito sebanyak 156, di Kecamatan Kolono sebanyak 100 responden, dan di Kecamatan Laeya sebanyak 116 responden. Hasil dan Pembahasan Gambaran Status Sosial dan Struktur Agraria Rumahtangga Petani Padi Ladang Status sosial rumahtangga petani padi ladang dalam penelitian ini dimaknai sebagai posisi kepala rumahtangga dalam struktur sosial. Posisi tersebut terkait dengan penguasaan lahan pertanian antara lain apakah lahan yang dikelola dikuasai melalui kepemilikan secara sah, atau kah lahan dikuasai dengan sistem sewa, bagi hasil, pinjam, dan sebagainya yang menjadi penegas bahwa rumahtangga petani merupakan petani lapisan bawah. Serta posisi tertentu terkait prestise kepala rumahtangga di dalam komunitasnya, misalnya apakah responden merupakan aparat desa ataupun tokoh masyarakat yang disegani karena terkait keturunan (ascribe status) ataupun kemampuan tertentu yang dimiliki (achieve status) misalnya sebagai pemimpin agama di komunitasnya. Di dalam tulisan ini, yang dimaksud dengan hak milik lahan yakni hak kepemilikan lahan yang dikuasai langsung oleh rumahtangga responden sendiri tanpa dapat diganggu gugat oleh siapapun yang ditunjukkan oleh tanda bukti dari pihak adat, maupun dari desa dan pemerintah atau BPN yang diperoleh baik melalui warisan maupun jual beli. Status kepemilikan sewa yaitu mengolah lahan orang lain atau pihak lain dengan konpensasi membayar uang atau biaya ataupun bentuk lainnya yang telah disepakati oleh kedua belah pihak yakni antara penyewa dengan pemilik lahan. Status kepemilikan bagi hasil yaitu mengelola lahan milik orang lain, dengan perjanjian bagi hasil tertentu yang telah disepakati oleh pemilik lahan pertanian dengan petani pengolah lahan pertanian. Sedangkan status kepemilikan pinjam yaitu mengelola lahan orang lain, tanpa ada perjanjian pembayaran uang atau biaya kompensasi tertentu, pada beberapa kasus, sistem pinjam cenderung pada kompensasi secara sosial.
108
Tabel 1 dan Gambar 1 menggambarkan sebaran responden berdasarkan status sosialnya pada setiap kecamatan terpilih sebagai lokasi penelitian.
Gambar 1. Sebaran Responden Berdasarkan Status Sosial di Kecamatan Wolasi, Baito, Kolono, dan Laeya, 2016 Tabel 1. Proporsi Responden Rumahtangga Petani Padi Ladang di Kecamatan Wolasi, Baito, Kolono, dan Laeya berdasarkan Status Sosial, 2016 Variabel
Komunitas Rumahtangga Petani Gogo Kecamatan Wolasi Kecamatan Baito Kecamatan Kolono Kecamatan Laeya Status Sosial Petani n % n % n % n % Petani Lapisan Atas (pemilik) 43 62% 117 75% 57 88% 63 53% Petani Lapisan Bawah (petani Gurem) 22 32% 39 25% 8 12% 56 47% Aparat Desa 3 4% 1 1% 0 0% 0 0% Pemimpin Agama 0 0% 0 0% 0 0% 0 0% Pemimpin Adat 0 0% 0 0% 0 0% 0 0% Tengkulak 0 0% 0 0% 0 0% 0 0% Lainnya 1 1% 0 0% 0 0% 0 0% Total 69 100% 157 100% 65 100% 119 100%
Berdasarkan data pada Gambar 1 dan Tabel 1 dapat dikatakan bahwa sebagian besar petani padi ladang di keempat kecamatan yang menjadi wilayah penelitian merupakan petani pemilik. Sebanyak 43 responden rumahtangga petani di Kecamatan Wolasi atau sekitar 62 persen merupakan petani pemilik; Sebanyak 117 responden rumahtangga petani di Kecamatan Baito atau sekitar 75 persen merupakan petani pemilik; Sebanyak 57 responden rumahtangga petani di Kecamatan Kolono atau sekitar 88 persen merupakan petani pemilik; Sebanyak 63 responden rumahtangga petani di Kecamatan Kolono atau sekitar 53 persen merupakan petani pemilik. Proporsi nyaris berimbang antara Petani lapisan bawah atau petani gurem dengan petani lapisan atas atau petani pemilik terjadi di Kecamatan Laeya. 63 responden petani merupakan petani lapisan atas atau pemilik, sementara 56 responden merupakan petani lapisan bawah atau petani gurem. Status sosial rumahtangga petani tidak bisa dilepaskan dengan status penguasaan sumberdaya agraria dalam hal ini adalah lahan pertanian. Menurut Hayami dan Kikuchi (1987) bahwa sistem penguasaan tanah merupakan penentu utama alokasi sumberdaya dan distribusi pendapatan dalam komunitas agraris. Struktur agraria juga menunjukkan gejala polarisasi atau deferensiasi kelas petani. Pada kenyataannya yang terjadi pada komunitas padi ladang di dua kecamatan terpilih kurang menunjukkan gejala polarisasi petani seperti yang banyak terjadi pada kegiatan pertanian padi Sawah di wilayah Pulau Jawa terkecuali pada Kecamatan Baito dan Laeya seperti yang telah diuraikan pada bagian uraian dimensi etnis sebelumnya. Gambaran mengenai struktur kepemilikan lahan padi ladang oleh responden di empat kecamatan terpilih dapat dilihat dalam Gambar 2 dan Tabel 2.
109
Gambar 2. Proporsi Responden Rumahtangga Petani Padi Ladang di Kecamatan Wolasi, Baito, Kolono, dan Laeya berdasarkan Status Penguasaan Lahan Pertanian, 2016 Petani lapisan bawah yang berlahan sempit atau gurem bahkan tidak berlahan atau tunakisma mengelola kegiatan pertanian bukan dengan sistem bagi hasil yang mengikat melainkan dengan sistem pinjam pakai dari pihak desa. Misalnya di Kecamatan Wolasi, 7 orang responden atau sekitar 10 persen responden menguasai lahan pertanian dengan sistem pinjam pakai dengan pihak desa. Di Kecamatan Baito 9 rumahtangga petani atau sekitar 6 persen menguasai dengan sistem pinjam pakai. Di Kecamatan Kolono hanya 15 orang responden atau sekitar 15 persen yang menguasai lahan pertanian dengan sistem pinjam pakai kepada pemilik lahan pertanian. Sementara di Kecamatan Laeya sebanyak 31 orang atau 27 persen petani menguasai lahan pertanian dengan sistem pinjam pakai dengan pemilik lahan pertanian di desanya. Tabel 2. Proporsi Responden Rumahtangga Petani Padi Ladang di Kecamatan Wolasi, Baito, Kolono, dan Laeya berdasarkan Status Penguasaan Lahan Pertanian, 2016 Variabel Komunitas Rumahtangga Petani Gogo Status Lahan yang dimiliki Kecamatan Wolasi Kecamatan Baito Kecamatan Kolono Kecamatan Laeya n % n % n % n % Milik Sendiri 65 90% 147 94% 85 85% 85 73% Sewa 0 0% 0 0% 0 0% 0 0% Pinjam 7 10% 9 6% 15 15% 31 27% Lainnya 0 0% 0 0% 0 0% 0 0% Total 72 100% 156 100% 100 100% 116 100%
Secara umum jika melihat seluruh luasan lahan yang dikuasai oleh responden rumahtangga petani untuk peruntukkan tidak hanya sebagai ladang, kebun campuran, persawahan dan lahan sagu, rata-rata luasan lahan yang dikuasai oleh responden baik secara milik sendiri maupun pinjam pakai maka rata-rata keseluruhan seluas 1 Ha. Untuk Kecamatan Wolasi seluas 1,4 Ha, Kecamatan Baito rata-rata seluas 3,7 Ha, Kecamatan Kolono rata-rata seluas 3,5 Ha, dan Kecamatan Laeya rata-rata seluas 116 Ha (lihat Tabel 3 dan Gambar 3). Tabel 3. Proporsi Responden Rumahtangga Petani Padi Ladang di Kecamatan Wolasi, Baito, Kolono, dan Laeya berdasarkan Total Keseluruhan Luasan Lahan Pertanian yang Dikuasai, 2016 Variabel Total Luas Lahan yang dikuasai oleh Responden ≥ 25 7 s.d 24 ≤6 Total Rata-rata (per kecamatan) rata-rata keseluruhan (semua kecamatan)
110
Komunitas Rumahtangga Petani Gogo Kecamatan Wolasi Kecamatan Baito Kecamatan Kolono Kecamatan Laeya n % n % n % n % 3 4% 11 7% 1 1% 2 2% 4 6% 11 7% 6 6% 2 2% 65 90% 134 86% 93 93% 112 97% 72 100% 156 100% 100 100% 116 100% 1,5 3,7 3,5 1,7 1
Gambar 3. Proporsi Responden Rumahtangga Petani Padi Ladang di Kecamatan Wolasi, Baito, Kolono, dan Laeya berdasarkan Total Keseluruhan Luasan Lahan Pertanian yang Dikuasai, 2016 Jumlah responden di Kecamatan Wolasi dominan pada kategori luas lahan yang dikuasai kurang atau sama dengan 6 Ha, demikian halnya untuk tiga Kecamatan lainnya.
Gambar 4.
Sebaran responden berdasarkan Luasan Lahan yang Dimiliki di Kecamatan Wolasi, Baito, Kolono, dan Laeya, 2016
Berdasarkan Tabel 4 dan Gambar 4 ditegaskan bahwa responden petani menguasai lahan pertanian dengan memiliki atau status sebagai pemilik rata-rata dengan luasan lahan sebesar 1,1 Ha. Luasan lahan pertanian di atas rata-rata keseluruhan terjadi di Kecamatan Baito dan Kolono, masing-masing 1,2 dan 1,3 Ha. Rata-rata terendah terjadi di Kecamatan Laeya yakni sekitar 0,7 Ha. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya pada pembahasan bagian etnis bahwa petani Tolaki dominan Tunakisma, untuk mengolah lahan petani tunakisma kemudian mengolah lahan HTI ex. Pt. Kapas secara Huma untuk memenuhi kebutuhan pangan rumahtangga. Tabel 4. Proporsi Responden Rumahtangga Petani Padi Ladang Berdasarkan Status Lahan yang Dimiliki di Kecamatan Wolasi, Baito, Kolono, dan Laeya, 2016 Variabel Luas lahan yang dimiliki sendiri Luas (≥ 3,4 Ha) Sedang (0,4 s.d 3,3 Ha) Sempit (≤ 0,3 Ha) Total Rata-rata (per kecamatan) rata-rata keseluruhan (semua kecamatan)
Komunitas Rumahtangga Petani Gogo Kecamatan Wolasi Kecamatan Baito Kecamatan Kolono Kecamatan Laeya n % n % n % n % 1 1% 5 3% 2 2% 0 0% 57 79% 138 88% 83 83% 82 71% 14 19% 13 8% 15 15% 34 29% 72 100% 156 100% 100 100% 116 100% 1,0 1,2 1,3 0,7 1,1
111
Sebagian besar responden di empat Kecamatan terpilih masuk di dalam kategori luasan lahan dari 0,4 Ha hingga 3,3 Ha. Petani berlahan luas yakni memiliki ladang dengan ukuran lebih besar dari 3,4 Ha paling banyak diantara emapt kabupaten terpilih berada di Kecamatan Baito. Sebanyak 5 orang atau sekitar 3 persen responden merupakan petani pemilik berlahan luas. Data penelitian menunjukkan bahwa di Kecamatan Laeya terdapat dua responden rumahtangga petani yang memiliki lahan pertanian, juga menguasai lahan milik orang lain dengan sistem pinjam pakai. Rata-rata luas lahan yang dikuasai dengan sistem pinjam tersebut yakni 1 Ha. Sementara lahan milik sekitar 0,625. Pada beberapa kasus, memiliki lahan saja tidaklah cukup, karena luas lahan yang dimiliki sempit, kemudian mendorong responden petani di empat kecamatan terpilih untuk meminjam lahan pertanian. Meminjam lahan juga terjadi jika responden petani tidak memiliki lahan. Pada Gambar dan Tabel berikut akan diuraikan mengenai responden petani yang melakukan pinjam pakai dengan pihak desa, pemilik lahan dan pengelola lahan ex. PT. Kapas.
Gambar 5. Sebaran responden berdasarkan Luasan Lahan yang Dipinjam di Kecamatan Wolasi, Baito, Kolono, dan Laeya, 2016 Tabel 5.
Proporsi Responden Rumahtangga Petani Padi Ladang Berdasarkan Status Lahan yang Dipinjam di Kecamatan Wolasi, Baito, Kolono, dan Laeya berdasarkan Status Sosial, 2016 Variabel
Luas lahan pinjam Luas (≥ 2,1 Ha) Sedang (0,3 s.d 2,0 Ha) Sempit (≤ 0,2 Ha) Total Rata-rata (per kecamatan) rata-rata keseluruhan (semua kecamatan)
Komunitas Rumahtangga Petani Gogo Kecamatan Wolasi Kecamatan Baito Kecamatan Kolono Kecamatan Laeya n % n % n % n % 0 0% 0 0% 0 0% 1 3% 6 86% 9 100% 15 100% 30 97% 1 14% 0 0% 0 0% 0 0% 7 100% 9 100% 15 100% 31 100% 0,1 0,2 0,7 0,5 0,1
Responden petani di empat kecamatan terpilih yang meminjam lahan pertanian, rata-rata meminjam seluas 0,1 Ha. Di Kecamatan Wolasi 6 responden meminjam lahan dengan kategori luasan lahan pertanian antara 0,3 sampai dengan 2 Ha. Responden petani di Kecamatan Kolono, rata-rata memiminjam sekitar 0,7 Ha. Sebanyak 15 orang responden meminjam juga dengan kategori luas lahan pada kisaran 0,3 sampai dengan 2 Ha. Di Kecamatan Laeya, terdapat 1 orang responden yang meminjam dengan luasan lahan di atas 2,1 Ha. Gejala polarisasi kelas petani berdasarkan status kepemilikan lahan yang demikian tajam, yang biasa terjadi pada komunitas pertanian padi, di empat lokasi penelitian kecenderungan tersebut tidak terlihat nyata khususnya yang terjadi pada dua kecamatan antara lain di Wolasi dan Kolono. Hal ini dikarenakan selain sistem pertanian padi ladang dengan metode tebang bakar (slash and burn) atau huma3 yang berciri perladangan Menurut Wolf (1983) system swidden (tebang-bakar) yakni system dimana tanah yang sudah tandus dibiarkan menganggur untuk jangka waktu yang lama (long-term following systems), yang kemudian dikaitkan dengan pembakaran hutan untuk membuka tanah dan bercocok tanam dengan menggunakan tajak. Sistem-sistem ini dinamakan swidden systems yang diambil dari sebuah kata dialek Inggris yang berarti “membuka tanah dengan membakar”. Bercocok tanam dengan mencakup beberapa tahap. Pertama, tanah dibuka dengan jalan membakar vegetasi yang menutupinya. Kedua, benih ditaburkan di atas lahan itu, biasanya tanpa diberi pupuk tambahan selain abu vegetasi yang 3
112
berpindah, juga karena adanya budaya orang Tolaki yang menjunjung nilai-nilai “pinjam tanpa balasan”. Hampir semua responden mengungkapkan bahwa tidak ada kesepakatan tertulis mengenai balas jasa atas pinjaman lahan yang mereka peroleh. Misalnya saja kasus rumahtangga informan kunci Ibu IM mengungkapkan bahwa selama berpuluh-puluh tahun Ia dan keluarganya tidak memiliki lahan pertanian, dan selama ini melakukan sistem perladangan berpindah. Lahan yang dipinjam atas persetujuan pihak desa sebagai pemilik sah lahan pertanian yang mereka kelola. Tidak ada upeti atau pemberian tertentu dari masyarakat kepada pihak desa. Demikian halnya yang terjadi pada kegiatan pertanian padi ladang di kecamatan Kolono. Para petani yang tunakisma meminjam lahan pertanian kepada pemilik lahan pertanian, dan tidak ada kewajiban memberikan hasil pertanian kepada pemilik pertanian seperti layaknya di pedesaan Jawa. Pemilik lahan pertanian sudah cukup bersyukur atas bantuan petani tunakisma tersebut yang merawat dan menjaga lahan pertanian yang dimilikinya. Responden petani tidak hanya mengandalkan ladang untuk kegiatan pertanian, beberapa kasus ditemukan petani memiliki sawah dan kebun campuran, serta ternak yang biasanya digunakan sebagai buffer income dan sumber nutrisi bagi unsur hara tanah melalui kotoran ternak, sehingga tidak mengherankan jika ternak unggas dibiarkan bebas berkeliaran di ladang. Bahkan untuk petani yang telah mapan dan berlahan luas, ternak khususnya sapi digunakan untuk tabungan bahkan sebagai modal usaha jual beli ternak sapi.
Gambar 6. Sebaran responden berdasarkan Luasan Lahan yang Dipinjam di Kecamatan Wolasi, Baito, Kolono, dan Laeya, 2016 Berdasarkan data hasil pada Gambar 6, menunjukkan bahwa responden petani memiliki rata-rata luas lahan sawah bervariasi di empat kecamatan terpilih. Kecamatan Wolasi dan Kecamatan Baito rata-rata seluas 1,2 Ha dengan status milik sendiri. Sementara untuk Kecamatan Kolono, rata-rata luas lahan sawah milik sendiri sekitar 1,1 Ha demikian pula yang berstatus sewa. Untuk kecamatan Laeya, rata-rata luasan lahan pertanian padi sawah sekitar 1 Ha baik yang dimiliki sendiri maupun dengan sistem sewa. Rumahtangga responden khususnya petani etnis Tolaki yang memiliki lahan maupun tidak memiliki lahan atau memiliki lahan pertanian yang sempit, nyaris sebagian besar atau pun semua hasil panen padi ladang disimpan baik untuk bibit pertanian padi ladang pada musim tanam berikutnya khususnya yang menggunakan varietas local, juga disimpan untuk dikonsumsi. Sementara bagi rumahtangga responden yang hasil panennya tidak mencukupi kebutuhan pangan rumahtangga hingga musim panen berikutnya, maka hasil panen tanaman palawija antara lain ubi kayu, ubi jalar dan jagung yang ditanam di kebun menjadi andalan
sudah dibakar itu. Ketiga, lahan itu kemudian ditanami selama satu tahun atau lebih, tergantung kepada keadaan setempat. Keempat, lahan itu kemudian ditinggalkan untuk waktu tertentu agar menjadi subur kembali. Kelima, lahan baru dibuka kembali untuk ditanami. Urutan itu diulangi dengan sejumlah lahan, sampai si petani kembali ke lahan yang pertama kali dibuka, dan mengulangi siklusnya. Ada tiga factor yang sangat penting dalam system huma ini, antara lain: tersedianya tanah, tersedianya tenaga kerja untuk memproduksi hasil tanaman yang paling pokok (key crop), dan lamanya musim tanam dimana hasil tanaman yang paling pokok (yang dapat teridiri dari satu atau beberapa jenis) dapat diproduksi atau diselingi dengan tanaman-tanaman pelengkap (suplementer). Kebutuhan akan tanah ditentukan oleh lamanya waktu yang diperlukan oleh lahan pertama, setelah dibuka dan ditanami sampai hasil panennya berkurang tajam, untuk memulihkan keseuburannya yang semula. Kemampuan itu sangat berbeda antara daerah yang satu dengan daerah lainnya, dan oleh karena itu setiap pemukulrataan mengandung bahaya.
113
rumahtangga untuk aman pangan. Gambar berikut akan menunjukkan kepemilikan kebun campuran yang biasanya ditanami tanaman palawija oleh responden di empat Kecamatan terpilih.
Gambar 7. Sebaran responden berdasarkan Luasan Lahan yang Dipinjam di Kecamatan Wolasi, Baito, Kolono, dan Laeya, 2016 Berdasarkan Gambar 7, rata-rata kepemilikan kebun campuran secara keseluruhan pada empat kecamatan terpilih sekitar 2,3 Ha. Di Kecamatan Wolasi dengan status milik sendiri rata-rata sekitar 3,8 Ha. Kebun campuran di Kecamatan Wolasi biasanya ditanami tanaman palawija seperti ubi kayu, ubi jalar, jagung tumpang sari dengan tanaman kacang-kacangan dan sayur-sayuran. Biasanya tanaman jagung terkonsentrasi pada petakan lahan tertentu. Di Kecamatan Baito rata-rata kepemilikan kebun campuran sekitar 1,7 Ha, di Kecamatan Baito dan Laeya kebun campuran biasanya selain ditanami tanaman palawija juga ditanami dengan tanaman perkebunan seperti cengkeh, merica, dan jambu mete. Di Kecamatan Kolono seorang responden menyewa kebun dari pemilik lahan seluas 0,9 Ha, untuk ditanami tanaman palawija yang hasilnya kemudian dijual. Sagu menjadi panganan khas khususnya bagi sebagian besar petani Tolaki. Sagu kemudian diolah menjadi panganan khas yakni sinonggi sebagai karbohidrat pengganti nasi. Berikut data rata-rata luasan lahan sagu yang dikuasai oleh responden petani di empat kecamatan terpilih.
Gambar 8. Sebaran responden berdasarkan Luasan Lahan Sagu yang Dipinjam di Kecamatan Wolasi, Baito, Kolono, dan Laeya, 2016 Secara umum rata-rata luasan lahan sagu milik responden di empat kecamatan terpilih sekitar 3 Ha. Rata-rata luasan lahan sagu terbesar berada pada kecamatan Kolono. Rata-rata petani memiliki 7,6 Ha lahan sagu sebagai sumber pangan selain hasil padi ladang. Di Kecamatan Laeya, rata-rata lahan sagu sekitar 2,3 Ha, di Kecamatan Wolasi sekitar 1,7 Ha. Yang paling sempit luasan lahan sagu di Kecamatan Baito sekitar 0,2 Ha. Kesimpulan
114
Berdasarkan data, dapat dikatakan bahwa sebagian besar petani padi ladang di keempat kecamatan yang menjadi wilayah penelitian merupakan petani pemilik. Petani lapisan bawah yang berlahan sempit atau gurem bahkan tidak berlahan atau tunakisma mengelola kegiatan pertanian bukan dengan sistem bagi hasil yang mengikat melainkan dengan sistem pinjam pakai dari pihak desa. Secara umum jika melihat seluruh luasan lahan yang dikuasai oleh responden rumahtangga petani untuk peruntukkan tidak hanya sebagai ladang, kebun campuran, persawahan dan lahan sagu, rata-rata luasan lahan yang dikuasai oleh responden baik secara milik sendiri maupun pinjam pakai maka rata-rata keseluruhan seluas 1 Ha. Pada beberapa kasus, memiliki lahan saja tidaklah cukup, karena luas lahan yang dimiliki sempit, kemudian mendorong responden petani di empat kecamatan terpilih untuk meminjam lahan pertanian. Gejala polarisasi kelas petani berdasarkan status kepemilikan lahan yang demikian tajam, yang biasa terjadi pada komunitas pertanian padi, di empat lokasi penelitian kecenderungan tersebut tidak terlihat nyata khususnya yang terjadi pada dua kecamatan antara lain di Wolasi dan Kolono. Hal ini dikarenakan selain sistem pertanian padi ladang dengan metode tebang bakar (slash and burn) atau huma yang berciri perladangan berpindah, juga karena adanya budaya orang Tolaki yang menjunjung nilai-nilai “pinjam tanpa balasan”. Berdasarkan temuan penelitian, pemerintah Kabupaten dan desa harus segera melakukan pemetaan terhadap tata ruang desa, berdasarkan kajian tata ruang tersebut pemerintah juga harus menegaskan sistem kepemilikan lahan dan memberikan regulasi untuk melindungi petani-petani tunakisma yang berladang berpindah. Karena bisa dipastikan bahwa jika petani tunakisma tersingkir dari kegiatan pertanian padi ladang berpindah, akan timbul kerawanan pangan, yang memicu kemiskinan kronis, dan meledaknya kasus kriminalitas sebagai dampak dari kemiskinan. Selain itu pemerintah daerah juga harus menetapkan regulasi yang jelas dan tegas mengenai pengalihan kepemilikan lahan pertanian. Karena kecenderungan yang terjadi petani Tolaki semakin miskin tanah karena adanya budaya jual beli tanah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan kebutuhan sosial (untuk biaya menikahkan anak), sementara petani pendatang khususnya petani Jawa dan Bugis memiliki lahan yang semakin lama semakin luas. Jika tidak disikapi bisa jadi petani-petani Tolaki akan menjadi petani gurem bahkan tunakisma yang akan menyebabkan mereka jatuh dalam kondisi kemiskinan kronis, dan pada kondisi yang klimaks akan memicu konflik sosial antara masyarakat lokal dan masyarakat pendatang akibat munculnya polarisasi sosial yang semakin tajam. Daftar Pustaka [1] Bernstein, Henry dan Bachriadi, Dianto. 2014. Tantangan Kedaulatan Pangan. Bandung : ARC Books. [2] Harun, Marinus Kristiadi dan Dwiprabowo, Hariyatno. 2014. Model Resolusi Konflik Lahan Di Kesatuan Pemangkuan Hutan Produksi Model Banjar (Resolution Model Of Land Conflicts In Banjar Production Forest Management Unit Model). [3] Hayami, Yujiro, dan Kikuchi, Masao. 1987. Dilema Ekonomi Desa (Suatu Pendekatan Ekonomi terhadap Perubahan Kelembagaan di Asia). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia [4] Wolf, Eric R. 1983. Petani Suatu Tinjauan Antropologis. Jakarta: Rajawali Press.
115
116
POLICY INITIATIVE FOR SUSTAINABLE AGRIBUSINESS TO PROMOTES ECONOMIC GROWTH AND THE WELL-BEING: A CASE OF WEST KALIMATAN Nurliza1) 1)
Department of agribusiess, Faculty of Agriculture, University of Tanjungpura, Pontianak, Indonesia E-mail:
[email protected]
Abstract. West Kalimantan area economy and its agribusiness sector eventually have change. But, changes have been slowly taking root. Steady growth in some sectors, such as food industry, wood, cork (excluding furniture) and woven from bamboo, rattan, furniture’s, and fabrics, etc, has diversified the local economy. The social and economic effects of these major sub sector have formed the characteristics of the West Kalimantan agribusiness system i.e. economic performance; quality of life; income and social well-being; and food processing and manufacturing. This paper tried to give the policy initiative for the sustainable agribusiness in West Kalimatan region through two sections. First, examines the contribution sustainable agribusiness. Thus, to identifies several kinds of capacities that go toward making up the community capacity that can lead to economic and social outcomes. Second, strategic initiatives to develop strategic priorities and policy recommendations to expand the size and influence of the agribusiness sector in a way that promotes the economic growth of the region and the well-being of area residents which can be achieved by fostering agro-value chains, building green value chains, agro-machinery for tooling up food security, food technology to processing efficiency, adding value to agro-commodities, fostering chain reactions in rural life, rural enterprises, women entrepreneurs, creative industries to capitalizing on cultural heritage, and partnerships across the public-private divide. Keywords: Sustainable agribusiness; economic growth; quality of life; income and social well-being; policy initiative
I. INTRODUCTION West Kalimantan area economy and its agribusiness sector eventually have change. The region has a significant attrition in forest products employment because of offshore competition and slumping housing construction. While historically heavily reliant on timber industry and forest products, the loss of employment in those industries has affected other sectors including input suppliers and businesses dependent on the spending of workers such as retail trade and personal services. Moreover, the employment losses have led to unemployment. But, changes have been slowly taking root. Steady growth in some sectors, such as food industri, wood, cork (excluding furniture) and woven from bamboo, rattan, furnitures, and fabrics, etc, has diversified the local economy. A similar transformation is happening in the agribusiness sector, which remains a formidable economic force in the region. Farming employment has decreased over the last decade in response to rice farming losses, productivity improvements, alternative off-farm employment opportunities, and continued aging out of the farm workforce. However, a decrease in performance did not ring the death knell for rice farming as once thought but instead stimulated a priority policy of the government to improve food security through paddy field programs. Furthermore, the Government have supported the development of palm oil plantations by independent smallholders to improve their productivity and competitiveness, also to reduce the negative accusations on environmental issues. Permentan No.19 in 2011 year has been declaring to meet the standard certificate of Indonesian
Sustainable Palm Oil (ISPO) and to penetrate the international market. This sector has increased, vaulting them into first place as a source of farm cash receipts. While, livestock, aquaculture and capture fisheries have increased, provide additional income in the agribusiness sector. In addition, fruits and vegetables, aloe vera, agritourism, specialty products, and direct sales have grown in importance. Even more important in terms of economic impact are the contributions of agribusiness value-added industries. Thus, the outline major classes of social and economic effects can be linked to characteristics of the West Kalimantan agribusiness system and present summary information about the overall performance of the system. There are three focus broad classes of social and economic effects: (i) Economic performance; (ii) Broader indicators of quality of life, such as working conditions, job satisfaction, and freedom of choice to pursue taste and lifestyle preferences; and (iii) Associated impacts on worker wellbeing. While, affected individuals fall into three groups: (1) people involved directly in agricultural food production (e.g., farmers); (2) people involved in the rest of the food system (e.g., processing, manufacturing, food service, and retailing); and (3) consumers. This paper tried to give the policy initiative for the sustainable agribusiness in West Kalimatan region through two sections. First, examines the contribution sustainable agribusiness. Thus, to identifies several kinds of capacities that go toward making up the community capacity that can lead to economic and social outcomes. Second, strategic
117
initiatives to develop strategic priorities and policy recommendations to expand the size and influence of the agribusiness sector in a way that promotes the economic growth of the region and the well-being of area residents. II. THE CONTRIBUTION OF SUSTAINABLE AGRIBUSINESS The competitiveness of the agribusiness sector is critical to the sustainability of regional West Kalimantan, where agribusiness is directly responsible for income, job, worker health and well-being (UNICA, 2005; FAO, 2011; Sccompetes, 2015). Although it is recognised that environmental must be considered in order to ‘sustain’ the natural resources used in agribusiness sector. Thus, the Government actively is encouraging the development and maintenance of sustainable networks of agribusiness-related entities in regional and rural area. A framework to understanding the effectiveness of agribusiness communities in the context of rural and regional development and defines social capital as the ‘norms and networks facilitating collective action for mutual benefit’which characterises social capital at two scales: the macro scale of a region and the micro scale of the community. The micro-scale of the community refers to intra-community ties and the extent to which community members have access to a range of non-community members. For development to be successful both integration within a community and linkage to those outside a community are required (Hansford et.al., 2003; Bernier & Meinzen-Dick, 2014). At the macro-scale social capital relates to the relationships between the state (in the form of public officials) and society (citizens), where an effective complementarity and cooperation is required between the state and civil society if development is to be enhanced (Wallis et.al., 2003). In the context of rural and regional development macro-scale social capital relates to the role of the state in fostering, encouraging and investing in development (UNESCO, 2002; Hansford et.al., 2003; SDSN, 2013). Therefore, we may conceive an interrelated hierarchy of social capital starting with the degree of community integration and their linkages (micro-scale social capital) and the partnerships with government (macro-scale social capital). Economic development follows from sharing human capacity (knowledge and skills) and the structures within the community (leadership capacity and organisational capacity) which facilitate the sharing of human capacity to build community capacity. Thus, to identifies several kinds of capacities that go toward making up the community capacity that can lead to economic and social outcomes. ECONOMIC PERFORMANCE The agribusiness sector includes farmers, ranchers, fishers, hired workers, their family members, and residents in the communities in which these individuals reside (primarily, but not exclusively, rural or small town). Occupations in this sector involve planting, caring for, and harvesting raw food items, livestock, and seafood (The Food Chain Workers Alliance, 2012; SDSN, 2013). Agribusiness traders and commodity organisations are also engaged in buying and
118
selling as well as coordination, promotion, advertising, and even lobbying for agricultural products (Vorley et.al., 2008). Many are engaged in food marketing and services. Millions of people are employed in agribusinesses, and people throughout the world depend on agribusinesses, some for production needs and others for food and non-food requirements. The performance of agribusiness sector is becoming increasingly significant because of its contribution to the economy growth (Cervantes-Godoy & Dewbre, 2010; SDSN, 2013). The role of agribusiness sector in West Kalimantan proved in GDP value at current prices was Rp 41.33 trillion and at constant prices (in 2010) was Rp 29.97 trillion, and the second highest source of economic growth in third quarter of 2016 (y-on-y) was agriculture, forestry and fisheries (1.05%) due to seasonal factors after mining sector as material alumina production base and an increased in physical development in the third quarter of 2016. While, the output contribution of large and medium industry for West Kalimantan shown that the sub-sector of food; wood, cork (excluding furniture) and woven from bamboo, rattan etc; and rubber, rubber and plastics products were the highest compare to the others with their contribution respectively were 46.37%; 16.17%; and 34.98% in the period 2010-2012. Furthermore, the growth of value-added base on current market and cost of production showed almost the same values; the value-added base on current market respectively were 116.06%; 205.51%; and -37.67% compare than the value-added base on cost of production respectively 117.07%; 209.20%; and -37.99% (BPS, 2016). Moreover, impressively that the everage contribution of the sub-sector of food; wood, cork (excluding furniture) and woven from bamboo, rattan etc; and rubber, rubber and plastics products for indirect tax were respectively 24.31%; 53.65%; 4.40% and and its contribution continued to increase from year to year. While, quaterly production index of large and medium industry in 2014 was 8.4 higher than in 2013 that was 1.38. The aveage quaterly industrial production index for micro and small industry was 3.30 with an average growth rate was 333.96% in 2011-2014 (BPS, 2016). This fact proved that these sub-sectors played an important role for economic growth in West Kalimantan (BPS, 2016). Meanwhile, the contribution of agribusiness sector through sub-sector food; wood, cork (excluding furniture) and woven from bamboo, rattan etc; and rubber, rubber and plastics products in large and medium industry for hired worker respectively were 35,93%; 44,86%; and 11,16%; with their average expenditure respectively were 472,271,253.3 thousand Rupiah; 322,524,496.3 thousand Rupiah; and 97,344,667 thousand Rupiah. Their contributions are increasingly important. Hired workers in West Kalimantan tend to work for labor-intensive, relatively low wages, which has led to levels of underemployment, unemployment, and poverty in many worker households (BPS, 2016). Recently, the transformation of agribusiness appears to be driven by significant constraints, demands, and shifts that occur in the economy as development proceeds. The major drivers can be identified as: (i) Scarcity of land and the need to improve productivities; (ii) Markets and increasing
commercialisation of Agriculture; (iii) Need for change in scale and reorganisation of production and marketing; (iv) Economic liberalisation, reducing government involvement, income growth, WTO and trade; (v) Changing food consumption pattern and demand for quality and convenience; (vi) Development of the rural economy, infrastructure, rural-urban migration, and globalisation; (vii) Information and communication technology revolution (Gandhi, 2014). The transformation of agribusiness because of land used structure in West Kalimantan noted by Pusdatin (2014), about 330,883 ha (0.035%) is used for wetland; 87,750 ha (0.009%) is used for irrigated wetland; 243,133 ha (0.026%) is used for non irrigated wetland; 672,231 ha (70.673%) is used for dry field/garden; 277,307 ha (29.154%) is used for shifting cultivation land; and 990,839 ha (0.104%) is used for temporarily unused land. The land used changes are likely to have noticeable trend of shrinking from year to year due to land conversion and population so that increased in productivity becomes very important to confront these challenges (FAO, 2011; UN, 2011; Alexandratos & Bruinsma, 2012). However, Bappenas (2015) noted that production of rice in West Kalimantan increased by 1.62% from the previous year and reached 1,394,882 tonnes because of increased in productivity and land used in 2015. However, this production was still below the national standard. Actually, agro-ecosystem of West Kalimantan is very supportive for the development of agricultural commodities. There are some other major commoditites region i.e. corn, soybean, cassava, livestock, fishery, and plantation. Other food needs also come from livestock, with self-produced or supply from other areas. Ketapang and Pontianak is the biggest beef supplier in West Kalimantan; while, Ketapang, Melawai, Sintang become the largest suppliers of pork. Pork production increases every year and dominates meat production in West Kalimantan Province. Pork and beef production from West Kalimantan contributed to national production respectively by 9.17% and 1.46% in 2015 (Bappenas, 2015). Consequently, the efforts for increasing market and commercialisation of Agriculture as well as the change in scale and the reorganization of production and marketing is very urgent (Grosfeld & Roland, 1996; OECD, 2004; Leavy & Poulton, 2006; IICA, 2011). Taken as a whole, those main sub sector contribution to West Kalimantan economy have experienced growth in output respectively were 111,07%; 128,51%; except for rubber was -5,92% because of the world prices was slumped. Furthermore, the average growth of their productivity respectively were 144.39%; 228.25%; and 128.51% and this fact proved that total combine use of factor input (capital, labor, purchased inputs) was increasing return to scale.Increasing returns to scale means that output increases in a greater proportion than the increase in inputs. Another reason for increasing returns to scale is the indivisibility of factors. Some factors are available in large and lumpy units and can, therefore, be utilised with utmost efficiency at a large output. If all the factors are perfectly divisible, increasing returns may not occur. Returns to scale may also increase because of greater possibilities of specialisation of land and machinery (Debertin, 2012).
As the agribusiness system has evolved, the overall efficiency and relative economic power of each subsector in the food supply chain (van der Vorst et.al., 2007; FAO & UNIDO, 2009; (FGI et.al., 2013). The agriculture sector usually receives consumer food rupiah as gross farm receipts, down from consumer food spending (FAO, 2011). The change primarily reflects the pronounced shift toward food consumed away from home (where a higher share of food expenditures cover the cost of preparation and service), but it also reflects an increased number and technical sophistication of processing and marketing channels between farmers and consumers. A smaller fraction of consumer food rupiah flow into agriculture so the economic well-being of farm households has not always prosperous. Large commercial farmers typically earn incomes higher than the average household, and many are wealthy especially for those who opened palm oil plantation. Thus, technically farming operations should equip to meet the demands of first line handlers and processors (as transaction costs are lower when larger volumes of consistent quality product can be acquired from fewer producers). The changes in the structure of first-line handlers and processors can affect returns to some farmers (Reimund et.al., 1977). For example, in the highly consolidated industry, the processors/manufacturers can wield both monopsony and monopoly power. That is, they can set the prices they pay for supplies and the prices they charge for their products. Other concerns with increased concentration of market shares in the hands of few firms are the potential loss in competition and decline in the transparency of markets. In the packing sector, a small number of firms control most of the business and independent farmers (without production contracts from packing firms) can find it difficult to access open and competitive markets for their livestock. Recent reviews of the literature suggest that adverse impacts on product prices or consumer welfare have been relatively small, but the distribution of economic returns among different-sized actors or segments of the foo supply chain can be affected (Sexton, 2013). However, the economic competitiveness in West Kalimantan Agriculture is shaped by heterogeneous public policies that support commodity prices, export markets, and influence labor and environmental practices. Public investments in infrastructure for transportation, price information, market coordination, financing opportunities, and tax benefits also shape agribusiness sector performance (Elbehri & Sarris, 2009; OECD & WBG, 2015). QUALITY OF LIFE Because economic returns to agriculture have generally been volatile and below prevailing market rates of return to capital and labour (Tabor, 2015; UN, 2016), economists and sociologists have long sought to understand the motivation of farm operators to persist in farming (Moumouni & Streiffeler, 2010; Inwood, 2013). Motivations to enter and remain in farming include a desire to maintain a family tradition, be one's own boss, work outdoors, and spend time with and teach work ethics to one's children (Hussin et al., 2012). Concern is growing, however, that the high capital costs and uncertain economic returns associated with modern
119
agriculture have made it difficult for young farmers to successfully enter the sector. The average age of household farming are between 35 – 44 in 2013 (BPS, 2013). To some extent, this shifting demographic reflects the overall aging of the population, but it also results from a steady decline in the rate of new farm entry and the reduced number of transfers of family farm businesses across generations. Although qualitative research on farm households in the West Kalimantan consistently underscores the importance of quality of life outcomes to farm sector dynamics, quantitative indicators of positive quality of life effects on farmers and farm households are more difficult to find. One indicator is the degree of decision-making control that farmer operators have over day-to-day work allocation or production practices. In some livestock sectors—particularly beef cattle and poultry—the vast majority of production is marketed under contract through traditional spot market (non-negotiated) transactions by independent producers eventually has shifted to marketing contracts, for example for mass of poultry with Charoen Pokphan, which has both benefits and costs. Some of the benefits from vertical integration are higher efficiencies and a reliable supply of product (for the integrators) and more price certainty and aid with decisions about inputs and planting/management strategy (for the farmers). Other benefits or costs vary by contract. Farmers, however, have lost some entrepreneurial autonomy and decision-making power over assets due to unbalanced relationships in bargaining power with agribusiness firms (Kirsten & Sartorius, 2002; Bijman, 2008; Bijman, 2012; FAO, 2014). For example, producers often assume most of the fixed capital investment costs, but they have less control over production practices and depend on the availability of future contracts to survive. In addition, independent farmers find it increasingly difficult to gain access to competitive cash markets for their products. While, according to the 2013 Census of Agriculture, most of “primary” farm operators in the West Kalimantan are male or 91.25 percent of (BPS, 2013). However, women are the principal operators of another 8.75 percent of all household farms (Hoppe and Korb, 2013). The role of women in agriculture has always been significant, though their presence in official statistics has often underestimated their contributions because until recently the Census only enumerated characteristics of the primary farm operator on each farm (Hoppe and Korb, 2013). The economic performance and quality of life for farm operators and hired farm workers can be an important contributor for community life and well-being, particularly in rural areas where farming is a major driver of local social and economic activity. Researchers know that rural communities that rely most heavily on farming for their local economic base are more likely to experience economic stagnation and population declines (Isserman et.al., 2009). Growing farm size and specialization of production may be associated with declining local purchasing patterns and reduced landscape amenities that could attract non-farm development (Foltz et.al., 2002; Anríquez & Stamoulis, 2007). Traditionally, family farming systems with relatively equitable patterns of asset ownership and reliance on a family labor force have been linked to healthy dynamics in community social arenas and local businesses (Labao &
120
Stofferahn, 2008). Evidence also suggests that more diversified farming systems can generate ecological and aesthetic landscape benefits and increase reported quality of life (Kremen et.al., 2012; Bacon et.al., 2012). INCOME AND SOCIAL WELL-BEING OF WORKERS AND COMMUNITIES There are some highlights of the differences in social and economic outcomes for participants in each of the major post-farming subsectors of agribusiness supply chain. These sectors are highly interdependent, and changes in any one sector influence the performance of other sectors as well as the price and availability of food. Competitive pressures within each sector (and across sectors) have been major drivers of changes in technology and organizational structure (e.g., consolidation, vertical integration, market expansion, and market differentiation) (Dahlman, 2007; Curristine & Lonti, 2007). These, in turn, drive economic efficiencies, opportunities and rewards to labor, and food options to consumers. Moreover, farmers in the primary production sector obtain a wide range of materials and services from the agricultural input sector. These inputs include seeds, chemicals, equipment, financing, and information needed for commercial farming (Blandford, 2013). Historically, many first line–handling firms as well as input suppliers were organized as agricultural cooperatives that provided fuel, chemicals, seed, and other inputs to their members. Members of a cooperative are paid a dividend annually that depends on company profits. Cooperative organizations enabled many small producers to band together to gain bulk discounts on farm input purchases and to find markets for their products (Ronchi, 2006; OCDC, 2007; Patkar et.al., 2012). Globalization, technological innovation, and organizational restructuring have created competitive advantages for agribusiness firms with superior products that thrive with economies of scale (Gálvez-Nogales, 2010; Sakchutchawan et.al., 2011). In addition to providing inputs, many major agricultural input suppliers contract with farmers to purchase their output. Closer coordination of production, processing, and distribution in vertically integrated operations can lead to gains (e.g., increased efficiency, more uniform food products, and reduced prices for consumers) (Vukina, 2001; Alfaro et.al., 2016). Consolidation, however, can lead to costs to the workforce (e.g. less employment opportunities in the sector) (ILO, 2010) and to smaller operations that might not have the resources to compete. Concentration of food and agricultural input firms can lead to shifts in market power and affect the distribution of economic returns among food chain sectors (Sexton, 2013). Because larger firms generally incur more research and development costs than do most small firms, they must recover these costs as well as capital, regulatory, labor, and other costs. Because these larger firms also experience economies of scale, their ability to raise prices does not always mean that they do raise prices. Moreover, when fewer firms operate in an industry sector, they compete fiercely with each other, which can hold down prices to their customers (Chung & Tostao, 2012; Sexton, 2013). However, in the case of agricultural input suppliers, farmers are willing
to pay higher prices if doing so results in greater yields on crops and livestock or results in higher prices for better quality output. The prices of most farm inputs tend to rose more rapidly than the commodity prices received by farmers (Fuglie et.al., 2012). FOOD PROCESSING AND MANUFACTURING This sector is composed of first line handlers who receive, package, and store raw agricultural products in preparation for shipment to the next party down the food supply chain and of food processors and manufacturers who turn ingredients into edible, packaged, storable, and safe food for final preparation and consumption by consumers or food service. The measures of the performance of companies are size and profitability (Pervan & Višić, 2012; Niresh & Velnampy, 2014; Al-Matari et.al., 2014). In general, the largest profits are found in the food manufacturing sector, primarily among in the food service sector (Defra, 2006; Bukeviciute et.al., 2009; FIA, 2016). Economic returns to manufacturing industries and their investors are larger than in most other sectors partly because this sector has relatively high concentration. In the food service sector, consumers pay for experiences and convenience as well as food; several of the chain operations operate. Many companies that buy farmers' goods do so through contracts that guarantee the purchase of a certain amount of product for a predetermined price, assuming that the raw goods meet the quality specifications of the buyer. The benefit of this arrangement is that it alleviates the farmer's risk of not finding a market and of not knowing what the price will be at harvest time. It also can provide an opportunity to hedge against price declines in case of unforeseen market circumstances. The companies' contracts also provide technical advice and set standards of quality and safety that help to ensure a uniform supply of product that will be accepted by the downstream market. The demand from processors and retailers for uniform size and quality of product plays a large role in the benefits from contract farming (Bijman, 2008; UN, 2011; ADB, 2015). While, changes in the structure of first line handlers can affect competitive pressures and returns to farmers (MacDonald et.al., 2007; Olson & Boehlje, 2010). Concentration of market shares in the hands of few firms can also lead to potential loss in competition and decline in the transparency of markets (OECD, 2013; OECD et.al., 2014). Food processors and manufacturers tend to be large corporations, and many are multinational in scope. They are focused on learning consumer preferences and designing foods to increase their market share. Food processors and manufacturers are constantly adapting to feedback from retailers' sales and orders. Food manufacturing adds value added in the food supply chain, the second highest amount after the food service sector (Montalbano, Nenci, & Salvatici, 2015; Lanz & Maurer, 2015; Dani, 2016). III. POLICY INITIATIVES Policy initiatives have presented for consideration and perspective to expand the size and influence of the agribusiness sector in a way that promotes the economic
growth of the region and the well-being of area residents through fostering agro-value chains; building green value chains; agro-machinery for tooling up food security; food technology to processing efficiency; adding value to agrocommodities; fostering chain reactions in rural life; rural enterprises; women entrepreneurs; creative industries to capitalizing on cultural heritage; and partnerships across the public-private divide. FOSTERING AGRO-VALUE CHAINS Current trends such as global and regional economic integration, urbanization, privatization and the diminishing role of national governments present both threats and opportunities to agro-industries. Penetration of the market economy into isolated areas opens up opportunities for the production and processing of new goods. However, this also poses great challenges, particularly for transitional economy like West Kalimantan, where the agro-industrial sector is facing increasing competition and market volatility. A large proportion of resources are used to meet the demand for agricultural products through technology improvements mainly in seeds, fertilizers and irrigation. Little attention has been given to the value chains through which agricultural products reach end users. Thus, the magnitude of opportunity losses caused by this neglect becomes obvious if one considers the enormous added value and employment gains that can be generated along agro value chains from commodity to consumption. These challenges confront governments and support institutions that have to make fundamental changes in policies, strategies, work-force skills and organizational linkages to respond to developments in the world markets and to promote sustainable employment in the agroindustrial sector. Support institutions such as design and technology centres, professional associations, nongovernmental organizations and private consultancy companies are at present staffed by people who are often insufficiently familiar with the requirements of regional and international markets. The Agribusiness policy is thought out to promotes investment in agribusiness and value chain development (OECD, 2013; EU, 2013; Konig, da Silva, & Mhlanga, 2013) and carries out interventions in support of efforts to ensure food security in mostly crisis-affected rural areas. It’s also to promote the establishment of small-scale businesses in rural areas and helps create employment and entrepreneurial opportunities for vulnerable population groups (IFAD, 2003; OECD, 2004; FAO, 2013). Services rendered by the government the following key areas. First, advice on techno-economic development options for strengthening the agro-industrial sector and fostering the equitable integration of agro-enterprises into market-oriented systems. Second, capability building at institutional and industry levels were the critical means of enhancing industrial productivity and marketing performance. Particular attention is paid to strengthening technical support institutions and professional associations as well as to the creation of design and technology centres and demonstration units for basic and advanced technologies. Third, support to agro-industries to improve their productivity and efficiency, increase their integration into global value chains and
121
promote diversity in rural livelihoods. This entails skill upgrading, working methodologies and guidelines, process optimization, the diffusion of appropriate agro-engineering systems, product innovation and diversification, compliance with quality and environmental standards, and participation in trade fairs. Fourth, direct recipients of assistance include policy-makers, support institutions–research and development centres, vocational training facilities, professional associations, chambers of commerce and industry – and all types of agro-enterprises. BUILDING GREEN VALUE CHAINS Moreover, the wood sector is both a major component and a controversial ingredient in the agro-industrial mix of many of the developing world’s economies. While it is an important source of employment and income, the sector is beleaguered by sensitive environmental issues. The government could promote a higher share of operations that add value to forestry products and allow a more sustainable use of forest resources. Forest licensing schemes and plantation projects, waste reduction in primary processing and utilization of production waste and by-products were used to map viable green value chains for the sector. AGRO-MACHINERY FOR TOOLING UP FOOD SECURITY A significant proportion of households in West Kalimantan continue to depend on agriculture for their livelihood. However, productivity is generally very low and this is mainly caused by a lack of agro-machinery. Adequate mechanization is the main engine of productivity and competitiveness in agriculture. It allows the transition from subsistence farming to commercial agriculture and market access. Improvements in agro-machinery as a response to specific needs of local farmers, including women, can reduce time constraints and harvest waste, increase productivity and contribute significantly to food security. Moreover, where epidemics reduce labour availability or where the farming work force includes children and the elderly, proper tools and machinery can help maintain agricultural production at satisfactory levels. The government could facilitate agro-machinery and tools. It facilitates the transfer of hardware and innovative technologies to support institutions that cater to the needs of small businesses in the farming and food sectors and consequently helps such enterprises improve their competitiveness and market access. As it performs these functions were to ensure food security and income generation. The support provided by the government in agribusiness technology benefits other services that rely on agro-equipment as an essential factor in the endeavour to add value to farm products and raise living standards in rural communities. FOOD TECHNOLOGY TO PROCESSING EFFICIENCY The lack of basic processing technologies plagues the food industry in developing countries especially in West Kalimantan. In addition, inadequate preservation practices cause a prevalence of contaminated food and food-borne diseases, especially in rural areas. The government could focus its assistance on technology improvements, process
122
optimization, and the utilization of by-products. Its pilot food-processing centres are a time-tested means of spreading the know-how of efficient value addition to food resources. To promote food safety, the government could assists enterprises in implementing good hygiene practices and introducing food-safety systems based on risk analysis and prevention, and traceability. While, to strengthen the linkage between agriculture and industry through technological upgrading, the government could establishes pilot food-processing centres equipped to capitalize on the value-addition potential of key local agrocommodities. The centres render advisory services to local farmers to ensure the desired quality of raw material supply, train processors in the use of new technologies and equipment, promote product diversification, and facilitate access to outlets. ADDING VALUE TO AGRO-COMMODITIES The accelerated agribusiness and agro-industries development initiative to promote and support the establishment of highly productive and profitable value chains for key agricultural commodities in West Kalimantan. The government could designs and implements technical assistance projects and provides policy support. Its interventions target all key aspects of agribusiness development; it upgrades value chains, strengthens the technology base, promotes innovative means of financing, stimulates private sector participation, contributes to infrastructure improvements, and facilitates market access. Constraints are identified along the value chains of commodities singled out by local governments as priorities. Subsequently, the government designs and validates with all stakeholders specific interventions aimed at harvest efficiency, value addition, supply chain management, and trade promotion. FOSTERING CHAIN REACTIONS IN RURAL LIFE With the increased population, the drastic reduction of poverty and hunger is the most critical – and until now one of the more elusive. The challenge faced by all parties who strive to contribute effective remedies is daunting in its complexity. To enhance the food security in all its basic aspects – availability, quality, access and stability – much more has to be done along the entire span of commodity-toconsumer agro-value chains. Agricultural development needs for a holistic process of rural transformation, firmly inserting growers in a value chain from resource to processing industry and markets. The government’s core contribution to achieve sustainable growth in the supply of safe food as well as adequate access to it are services based on its expertise in food processing technology, rural entrepreneurship development, and the organization of supply chains and markets. The government need to carry out some programmes to enhance the performance of the region’s value chain. By improving the raw material supply system, promoting processing efficiencies and facilitating access to finance and markets, the programme seeks to boost the local supply. To date, farmers and farmers’ cooperatives could be assisted with improved seed stocks, investment credit, and training in
best agricultural practices. Moreover, farmers’ unions could receive seed cleaning and grading machinery. Government could have initiative for feasibility study in the establishment of a factory by using the expert financial analysis; the project outlines the business potential of a public-private partnership that would benefit from the incentives provided by the free trade zone to absorb the abundant supply provided by locals. RURAL ENTERPRISES Most rural inhabitants depend for their livelihood on small-scale food-crop agriculture, fishery, animal husbandry, wage labour on plantations and ranches, or ancillary activities linked to rural townships. However, increasingly smaller parcels of land, low agricultural productivity, volatile weather conditions and soil erosion compel many rural families to seek additional sources of income. Rural non-farm productive activities can contribute significantly to wealth creation and the well-being of rural communities. Consequently, government could promotes growth strategies based on diversification in rural economies, and consistently supports the development of agro-value chains and facilitates the transition of informal economic activities into the formal sector. Based on assessments of local resources and needs, value chain development programmes include the establishment of small pilot processing units, skill development, technology transfers, compliance with quality standards, and product development. At recently opened one-stop shops, the prompt availability of information, business registration, and licensing and taxation services ensures significant cost and time savings. Programmes-designed entrepreneurship courses at secondary schools and technical training programmes are improving the self-employment prospects and simultaneously supporting the local private sector organizations in their effort to respond to the growing demand for quality services and products, particularly in the tourism sector. WOMEN ENTREPRENEURS Mostly women became the agricultural labour force and they account as food production. In spite of their significant contributions to socio-economic development, women suffer from various constraints that prevent them from fully realizing their potential. One of the major obstacles women face as entrepreneurs is the unequal access to resources and services such as finance and skill upgrading opportunities. The lack of an enabling business environment and a feeble entrepreneurial culture are also significant impediments. The dire consequence is that many young men and women find themselves trapped in unrewarding occupations as unskilled workers, far from the mainstream of economic development. To respond to these challenges, government could apply mainstreaming strategies that help women realize their economic potential and thereby improve their standard of living. The entrepreneurship development is a priority objective with technical training receiving the largest share of assistance to prepare women for jobs or self-employment in trades for which there is a high demand in local markets. Some programmes could specifically designed to help
women succeed as small-business owners in sectors where they make up a large part of the labour force and can often capitalize on their cultural heritage. CREATIVE INDUSTRIES TO CAPITALIZING ON CULTURAL HERITAGE
Creative industries have significant potential for wealth creation when supported by appropriate policies and development programmes as a source of innovation and income. Yet, there are many constraints that affect the growth of small and medium-size enterprises in creative industries, most of these impediments being directly related to organization size, the frequent isolation of small-scale enterprises, and the institutional environment. To help meet these challenges, the government could provides assistance at three levels: advice to policy-makers on establishing a favourable regulatory environment; capability building support to business service providers; and direct technical and managerial services rendered to existing and potential entrepreneurs. Economic activities associated with a country’s cultural heritage can be an important instrument of growth especially for small and medium-size enterprises. It was this rationale that inspired a remarkably successful endeavour: the incorporation of traditional West Kalimatan motifs into the designs of leather accessories. Carried out as part of programme to upgrade the products leather and leather products sector, the project selected designs of traditional West Kalimatan artefacts with decorative, colourful accessories as a unique blend of ethnic and sophisticated modern design and variety of materials (in addition to leathers) such as fabrics, metals and beads, and subsequently held workshops to improve the skills of local designers. Collection samples can be presented at a promotional event. Within the framework of creative industries programme, the government could carry out a pilot programme to tap the potential of traditional textiles. Encouraging results, such as new employment and entrepreneurial opportunities mainly for women in rural areas, and additional income from tourism, have led to the current expansion of the initiative to cover traditional food as well as wood working and other crafts. PARTNERSHIPS ACROSS THE PUBLIC-PRIVATE DIVIDE In order to accelerate sustainable growth and development, a rural transformation process is needed to raise the economic value of agricultural commodities and create offfarm employment opportunities in areas; farming must be seen as a modern industry with distinctive scientific, technological and management inputs (beyond agriculture and towards agribusiness). In a typical agribusiness value chain, the actors are farmers and traders; suppliers of fertilizers, pesticides and seeds; rural utility companies; transporters and processors; and providers of technology and rural finance. A coordinated mobilization of resources is required to improve the productivity of resource endowments and production factors – land, labour and technology. This involves enhancing skills and know-how in areas such as management and marketing; capital through finance and investment; adoption
123
of quality control and food safety measures; and new and adapted technologies. Most of these resources are now held by the private sector. Services to agribusiness investors include developing pipelines for private finance; sharing basic information on agribusiness and value chains; promoting innovative sources of finance and linkages between private finance and development projects in general; and, most importantly, exploring synergies between private finance and public investment projects. At post-investment stage, development assistance will reduce transaction costs for agribusiness investors while supporting smallholder farmers by organizing the supply side in rural communities; developing wherever warranted out-grower schemes; building processing capabilities in rural SMEs and improving their productivity and the quality and consistency of their output; or facilitating the management of supply chains.
REFERENCES [1] ADB. (2015). Contract Farming for Better Farmers-Enterprise Partnerships. Manila: Asian Development Bank (ADB). [2] Alexandratos, N., & Bruinsma, J. (2012). World Agriculture Toward 2030/2050, ESA Working Paper No. 12-03. www.fao.org/economic/esa: Agricultural Development Economics Division Food and Agriculture Organization of the United Nations . [3] Alfaro, L., Concini, P., Fadinger, H., & Newman, A. F. (2016). Do Prices Determine Vertical Integration? Review of Economic Studies (2016) , 1-34. [4] Al-Matari, E. M., Al-Swidi, A. K., & Bt Fadzil, F. H. (2014). The Measurements of Firm Performance’s Dimensions. Asian Journal of Finance & Accaounting 6(1) , 25-49. [5] Anríquez, G., & Stamoulis, K. (2007). Rural Development and Poverty Reduction: Is Agriculture Still the Key? . Rome: The Food and Agriculture Organization United nations. [6] Bacon, C. M., Getz, C., Kraus, S., Montenegro, M., & Holland, K. (2012). The Social Dimensions of Sustainability and Change in Diversified Farming Systems. Ecology and Society 17(4) , 41. [7] Bappenas. (2015). Seri Analisis Pembangunan Wilayah Propinsi Kalimantan Barat 2015. http://simreg.bappenas.go.id/document/Publikasi/DokPub/Analisis% 20Provinsi%20Kalimantan%20Barat%202015_ok.pdf: Bappenas. [8] Bernier, Q., & Meinzen-Dick, R. (2014). Resilience and Social Capital. Building Resilience for Food & Nutrition Security, 2020 Conference Paper 4, May 2014 (pp. 1-22). Washington, D.C.: International Food Policy Research Institute (IFPRI). [9] Bijman, J. (2008). Contract farming in developing countries: an overview. http://edepot.wur.nl/1763. [10] Bijman, J. (2012). Support for Farmer's Cooperatives. http://ec.europa.eu/agriculture/sites/agriculture/files/externalstudies/2012/support-farmers-coop/fulltext_en.pdf. [11] Blandford, D. (2013). Green Growth in the Agro-Food Chain; What Role for The Private Sector? OECD. [12] BPS. (2016). Berita Resmi Statistik No. 63/11/61/Th.XIX, 7 November 2016. Pontianak: BPS Kalbar. [13] BPS. (2013). Laporan Hasil Sensus Pertanian 2013 (Pencacahan Lengkap). Pontianak: BPS Propinsi Kalimantan Barat. [14] BPS. (2016). Statistik Propinsi Kalimantan Barat. Pontianak: BPS. [15] Bukeviciute, L., Dierx, A., & Ilzko, F. (2009). The functioning of the food supply chain and its effect on food prices in the European Union. Brussels: Directorate-General for Economic and Financial Affairs, European Communities. [16] Cervantes-Godoy, D., & Dewbre, J. (2010). Economic Importance of Agriculture for Poverty Reduction. http://dx.doi.org/10.1787/5kmmv9s20944-en: OECD Food, Agriculture and Fisheries Working Papers, No. 23. [17] Chung, C., & Tostao, E. (2012). Effects of horizontal consolidation under bilateral imperfect competition between processors and retailers. Applied Economics 44(26) , 3379–3389.
124
[18] Curristine, T., & Lonti, Z. (2007). Improving Public Sector Efficiency: Challenges and Opportunities. OECD Journal on Budgeting 7(1) , 1-41. [19] Dahlman, C. (2007). Technology, globalization, and international competitiveness: Challenges for developing countries. http://www.un.org/esa/sustdev/publications/industrial_development/1 _2.pdf.: United Nations. [20] Dani, S. (2016). Food Supply Chain Management and Logistics. London: Koga Page. [21] Debertin, D. L. (2012). Agricultural Production Economics, Second Edition. Upper Saddle River, N.J. USA: Macmillan Inc. [22] Defra. (2006). Food Industry Sustaianable Strategy. London: Department for Environment, Food and Rural Affairs. [23] Elbehri, A., & Sarris, A. (2009). Farm Support Policies that Minimize Global Distortionary Effects. FAO Expert Meeting on “How to Feed the World in 2050” FAO, June 24-26, 2009 (pp. 1-20). Rome: Trade and Markets Division, Food and Agriculture Organization of United Nations. [24] EU. (2013). Agribusiness and Developemnt: How investment in the African agri-food sector can help support development. Brussels: European Union. [25] FAO. (2011). The state of the world’s land and water resources for food and agriculture (SOLAW)– Managing systems at risk. New York: The Food and Agriculture Organization of the United Nations and Earthscan. [26] FAO. (2014). Contract Farming for Inclusive Market Acess. Rome: Food and Agriculture Organization of the United Nations (FAO). [27] FAO. (2013). Promoting economic diversification and decent rural employment towards greater resilience to food price volatility. Rome: Food and Agriculture Organization. [28] FAO. (2011). The State of Food and Agriculture. Rome: Food and Agriculture Organization of the United Nations. [29] FAO. (2011). The State of Food Insecurity in the World: How does international price volatility affect domestic economies and food security? Rome: Food and Agriculture Organization of United nations. [30] FAO, & UNIDO. (2009). Agro-Industries for Development. Rome: CAB International and FAO. [31] FGI, NTU, & WTO. (2013). Global value chains in a changin world. Switzerland: WTO. [32] FIA. (2016). The Economic Impact of the Food Industry in Singapore . London: Oxford Economics. [33] Foltz, J. D., Jackson-Smith, D., & Chen, L. (2002). Do purchasing patterns differ between large and small dairy farms? Econometric evidence from three Wisconsin communities? Agricultural and Resource Economics Review 31(1) , 28–38. [34] Fuglie, K., Heisey, P., King, J., & Schimmelfennig, D. (2012). Rising concentration in agricultural input industries influences new farm technologies. Amber Waves 10(4) , 1-6. [35] Gálvez-Nogales, E. (2010). Agro-based clusters in developing countries: staying competitive in a globalized economy. Rome: Food and Agriculture Organization of United Nations. [36] Gandhi, V. P. (2014). Growth and Transformation of the Agribusiness Sector: Drivers, Models and Challenges. Indian Journal of Agricultural Economics 69(1) , 44-73. [37] Grosfeld, I., & Roland, G. (1996). Defensive and Srtategic Restructuring in Central Europe Enterprises. Emergo, Journal of Transforming Economies and Societies 3 (4) , 1-44. [38] Hansford, P., Cary, J., & Coath, E. (2003). Sustainable Agribusiness: Developing Local Solutions to Global Challenges in the Regional Agribusiness Sector in Australia. International Food and Agribusiness Management Review 5(4) . [39] IFAD. (2003). Rural Enterprises and Poverty Reduction. Rome: The International Fund for Agricultural Development (IFAD). [40] IICA. (2011). Promoting Competitive and Sustainable Agricultural in the Americas. http://www.summitamericas.org/jswg/iica_rep_2010.pdf.: Organization of American States (OAS). [41] ILO. (2010). A Skilled Workforce for Strong, Sustainable and Balance Growth. Geneva: ILO. [42] Inwood, S. (2013). Social Forces and Cultural Factors Influencing Farm Transition. Choices 28(2) , 1-5. [43] Isserman, A. M., Feser, E., & Warren, D. E. (2009). Why some rural places prosper and others do not. International Regional Science Review 32(3) , 300–342.
[44] Kirsten, J., & Sartorius, K. (2002). Linking agribusiness and smallscale farmers in developing countries: Is there a new role for contract farming? Development Southern Africa 19(4) . [45] Konig, G., da Silva, C. A., & Mhlanga, N. (2013). Enabling environments or agribusiness and agro-industries development: Regional and country perspectives. Rome: FAO. [46] Kremen, C., Iles, A., & Bacom, C. M. (2012). Diversified Farming Sysytem: An agroecological, systems-based alternative to modern industrial agriculture. Ecology and Society 17(4) , 44. [47] Labao, L., & Stofferahn, C. W. (2008). The community effects of industrialized farming: Social science research and challenges to corporate farming laws. Agriculture and Human Values 25 , 219–240. [48] Lanz, R., & Maurer, A. (2015). Services and Global Value ChainsSome Evidence on Cerftification of Manufacturing and Services Networks. Geneva: WTO. [49] Leavy, J., & Poulton, C. (2006). Commercialisation in Agriculture. Ethiopian Journal of Economics 15(1) , 1-40. [50] MacDonald, J. M., O’Donoghue, E. J., McBride, W. D., Nehring, R. F., Sandretto, C. L., & Moshei, R. (2007). Profits, Costs, and the Changing Structure of Dairy Farming. Washington, D.C. : USDA. [51] Mohd Hussin, M. R., Abu Hassan Asaari, M. H., Karia, N., & Ali, A. J. (2012). Small farmers and factors that motivate them towards agricultural entepreneurship activities. Journal of Agribusiness Marketing Vol. 5 , 47-60. [52] Montalbano, P., Nenci, S., & Salvatici, L. (2015). Trade, value chains and food security. Rome: FAO. [53] Moumouni, I. M., & Streiffeler, F. (2010). Understanding the motivation of farmers in financing agricultural research and extension in Benin. Quarterly Journal of International Agriculture 49(1) , 47-68. [54] Niresh, J. A., & Velnampy, T. (2014). Firm Size and Profitability: A Study of Listed Manufacturing Firms in Sri langka. International Journal of Business and Management 9(4) , 57-64. [55] OCDC. (2007). Cooperatives: Pathways to Economic, Democratic and Social Development In the Global Economy. http://www.coopdevelopmentcenter.coop/: US OCDC (Overseas Cooperatives Development Council). [56] OECD. (2013). Competition Issue in the Food Chain Industry. http://www.oecd.org/daf/competition/: OECD. [57] OECD. (2004). Promoting Enterpreneurship and Innovative SMEs in Global Economiy: Towards a More Responsible and inclusive Globalisation. 2nd OECD Conference of Ministers Responsible fo Small and Mediaum-Sized Enterprises (SME's) (pp. 1-56). Istanbul, Turkey: http://www.oecd.org/cfe/smes/31919278.pdf. [58] OECD. (2013). Promoting Investment in Kazakhtan's Agribusiness Value Chain. https://www.oecd.org/countries/kazakhstan/Promoting%20Investmen t%20in%20Kazakhstan's%20Agribusiness%20Value%20Chain.pdf: OECD. [59] OECD, & WBG. (2015). Inclusive Global Value Chains: Policy options in trade and complemantary areas GVC integration by small and medium enterprises and low-incomes developing countries. Istambul, Turkey: OECD and World Bank Group. [60] OECD, WTO, & WBG. (2014). Global Value Chains: Challenges, Opportunities, and Implication for Policy. Sydney: OECD, WTO and World Bank Group. [61] Olson, K., & Boehlje, M. (2010). Fundamental Force Effecting Agribusiness Industries. Choices 25(4) . [62] Patkar, S., Asthana, S., Arya, S., Natawidjaja, R., Widyastuti, C., & Shenoy, S. (2012). Small-scale farmers’ decisions in globalised markets: Changes in India, Indonesia and China. London: IIED. [63] Pervan, M., & Višić, J. (2012). Influence of Firm Size onn Its Business Success. Croatian Operational Research Review (CRORR) 3 , 2013-233. [64] Pusdatin. (2014). Statistics of Agricultural Land 2009-2013. Jakarta: Center for Agricultural Data and Information Sysytem-Ministry of Agriculture. [65] Reimund, D. A., Moore, C. V., & Martin, J. R. (1977). Factors Effecting Structural Change in Agricultural Subsectors: Implications for Research. Southern Journalof Agricultural Economics, July , 1120. [66] Ronchi, L. (2006). “Fairtrade” and Market Failures “Fairtrade” and Market Failures . Washington, D.C: World Bank . [67] Sakchutchawan, S., Hong, P. C., Callaway, S. K., & Kunnathur, A. (2011). Innovation and Competitive Advantage: Model and
Implementation for Global Logistics. International Business Research 4(3) , 10-21. [68] Sccompetes. (2015). The Impact of the Agribusiness Sector on the South Carolina Economy. http://sccompetes.org/wpcontent/uploads/2015/02/ag-impact2015.pdf.: London & Associates. [69] SDSN. (2013). Solutions forSustainable Agriculture and Food Systems: TECHNICAL REPORT FOR THE POST-2015 DEVELOPMENT AGENDA. http://unsdsn.org/wpcontent/uploads/2014/02/130919-TG07-Agriculture-ReportWEB.pdf: The Sustainable Development Solutions NetworkUnited Nation (SDSN). [70] Sexton, R. J. (2013). Market power, misconceptions, and modern agricultural markets. American Journal of Agricultural Economics 95(2) , 209-219. [71] Tabor, S. R. (2015). Constraints to Indonesia's Economic Growth. Manila: Asian Development Bank (ADB). [72] TheFoodChainWorkersAlliance. (2012). The Hands That Feed Us: Challanges and Opportunities For Workers Along the Food Chain. http://foodchainworkers.org/wp-content/uploads/2012/06/HandsThat-Feed-Us-Report.pdf.: The Food Chain Workers Allience. [73] UN. (2011). Population Distribution, Urbanization, Internal Migration and Development: An International Perspective. Rome: Department of Economic and Social Affairs Population Division. [74] UN. (2011). The right to food . Rome: United Nations. [75] UN. (2016). World Economic Situation and Prospects 2016. New York: United Nations. [76] UNESCO. (2002). Social capital and poverty reduction: which role for the civil society organizations and the state? Paris: The United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization. [77] UNICA. (2005). Sugar Cane's Energy: Twelve studies on Blazilian sugar cane agribusiness and its sustaiability. São Paulo : Berlendis & Ver tecchia. [78] van der Vorst, J. G., da Silva, C. A., & Trienekens, J. H. (2007). Agroindustrial supply chain management: concepsts and applications. Rome: Food and Agriculture Organization of The unites Nations. [79] Vorley, B., Lundy, M., & MacGregor, J. (2008). Business models that are inclusive of small farmers. International Conference ‘Inclusive Business in Agrifood Markets: Evidence and Action’ in Beijing March 5-6, 2008 (pp. 1-34). Beijing : Regoverning Markets Consortium (www.regoverningmarkets.org). [80] Vukina, T. (2001). Vertical Integration and Contracting in the U.S Poultry Sector. Journal of Food Distribution Research, July , 29-38. [81] Wallis, J., Killerby, P., & Dollery, B. (2003). Social Economics and Social Capital. Armidale, Australia: Unversity of New England, School of Economics. [82] [83] S. M. Metev and V. P. Veiko, Laser Assisted Microtechnology, 2nd ed., R. M. Osgood, Jr., Ed. Berlin, Germany: Springer-Verlag, 1998. [84] J. Breckling, Ed., The Analysis of Directional Time Series: Applications to Wind Speed and Direction, ser. Lecture Notes in Statistics. Berlin, Germany: Springer, 1989, vol. 61. [85] S. Zhang, C. Zhu, J. K. O. Sin, and P. K. T. Mok, “A novel ultrathin elevated channel low-temperature poly-Si TFT,” IEEE Electron Device Lett., vol. 20, pp. 569–571, Nov. 1999. [86] M. Wegmuller, J. P. von der Weid, P. Oberson, and N. Gisin, “High resolution fiber distributed measurements with coherent OFDR,” in Proc. ECOC’00, 2000, paper 11.3.4, p. 109. [87] R. E. Sorace, V. S. Reinhardt, and S. A. Vaughn, “High-speed digital-to-RF converter,” U.S. Patent 5 668 842, Sept. 16, 1997. [88] (2002) The IEEE website. [Online]. Available: http://www.ieee.org/ [89] M. Shell. (2002) IEEEtran homepage on CTAN. [Online]. Available: http://www.ctan.org/texarchive/macros/latex/contrib/supported/IEEEtran/ [90] FLEXChip Signal Processor (MC68175/D), Motorola, 1996. [91] “PDCA12-70 data sheet,” Opto Speed SA, Mezzovico, Switzerland. [92] A. Karnik, “Performance of TCP congestion control with rate feedback: TCP/ABR and rate adaptive TCP/IP,” M. Eng. thesis, Indian Institute of Science, Bangalore, India, Jan. 1999. [93] J. Padhye, V. Firoiu, and D. Towsley, “A stochastic model of TCP Reno congestion avoidance and control,” Univ. of Massachusetts, Amherst, MA, CMPSCI Tech. Rep. 99-02, 1999. [94] Wireless LAN Medium Access Control (MAC) and Physical Layer (PHY) Specification, IEEE Std. 802.11, 1997.
125
126
TINDAK BUDIDAYA TERHADAP PRODUKTIVITAS DAUN LIDAH BUAYA (ALOE VERA L.) DI KOTA PONTIANAK Setiawan 1)
Universitas Panca Bhakti Pontianak E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui (a) pengaruh pelaksanaan antara faktor tindak budidaya Lidah buaya (Aloe vera L.) yang meliputi pemupukan (X1), jarak tanaman (X2), penyiangan (X3), pemilihan bibit (X4), pembumbunan (X5), pengambilan daun (X6), dan pengendalian OPT (X7) terhadap produktivitas daun lidah buaya (Aloe vera L.) di Kota Pontianak Kalimantan Barat, (b) pengaruh langsung atau bertingkat dari pelaksanaan tindak budidaya Lidah Buaya (Aloe Vera L.) terhadap produktivitas daunnya yang dikelola petani di Kota Pontianak Kalimantan Barat. Penelitian ini dilaksanakan di kebun-kebun petani lidah buaya Kecamatan Pontianak Utara Kota Pontianak Provinsi Kalimantan Barat. Dari penyusunan proposal, pengumpulan data dan pengolahan data dimulai dari bulan Juni sampai Desember 2012. Hasil penelitian menunjukan bahwa Populasi tanaman, pemberian Abu, pupuk kandang, frekuensi pemangkasan dan frekuensi panen masing-masing berpengaruh sangat nyata (P < 0,01), dan pemberian pupuk Urea dan pupuk KCl masing-masing berpengaruh nyata (P < 0,05) terhadap produktivitas tanaman lidah buaya, kecuali tinggi bedengan, jalur tanaman per bedeng, jumlah daun bibit, umur bibit, pemberian kapur, pupuk SP-36, dan pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman. Petani yang menggunakan jumlah populasi tanaman yang lebih padat antara 20.000 tanaman sampai 30.000 per hektar dengan jarak tanam 50 cm x 60 cm, 50 cm x 70 cm, 60 cm x 70 cm dan 60 cm x 80 cm mencapai 45,00 %, populasi rendah dengan jarak tanam 100 cm x 120 cm (populasi 8.000 tanaman ) sebesar 32,50 %, selebihnya T1 jarak tanam bervariasi dengan kisaran populasi antara 10.000 tanaman sampai 18.000 tanaman sebesar 22,50 %. Pemberian Abu, Urea, KCl, dan pupuk kandang masing-masing 932,25 Kg ha-1, 133,00 Kg ha-1, 209,38 Kg ha-1, dan 1,134 t ha-1. Pengaruh langsung terbesar tindak budidaya terhadap produktivitas tanaman lidah buaya adalah frekeuensi panen dengan sumbangan sebesar 38,76 %, kemudian diikuti oleh frekuensi pemangkasan daun (13,26 %), pemberian Abu (13,19 %), pupuk kandang (5,69 %), Urea (2,05 %) dan KCl (2,02 %). Pengaruh tak-langsung dari pupuk Urea, KCl dan pupuk kandang terhadap produktivitas yang disalurkan melalui Abu akan lebih besar pengaruhnya jika dibandingkan pengaruh langsungnya. Kata kunci : tindak, lidah buaya, produktivitas
PENDAHULUAN Tanaman lidah buaya (Aloe vera L.) merupakan tanaman sukulen yang telah lama di kenal masyarakat Dunia sebagai salah satu tanaman obat penting dan tanaman hias.Lidah buaya (Aloe vera L.) telah lama juga dikenal di kalangan masyarakat Indonesia karena kegunaanya sebagai tanaman obat untuk aneka
penyakit. Belakangan tanaman ini menjadi semakin popular karena manfaatnya yang semakin luas di ketahui yakni sebagai sumber penghasil bahan baku untuk aneka produk dari indrustri makanan, farmasi, dan komestik. Pada saat ini, berbagai produk lidah buaya dapat kita jumpai di kedai, toko, apotek, restoran, pasar swalayan, dan internet yang
127
kesemuanya mengisyaratkan terbukanya peluang ekonomi dan komoditi tersebut bagi perbaikan ekonomi nasional yang terpuruk dewasa ini. Tanaman lidah buaya meskipun bukan merupakan tanaman asli Indonesia ternyata dapat tumbuh baik di Negara kita, bahkan di Propinsi Kalimantan Barat, khususnya di Kota Pontianak, tanaman ini beradaptasi jauh lebih baik daripada di tempattempat lainya. Hal ini diakui oleh pakar lidah buaya mancanegara yang karenanya juga turut menyayangkan bilamana keunggulanya komporatif yang dimiliki oleh tanaman ini tidak di manfaatkan oleh Indonesia. Kepentingan pasar global, setidaknya regional, terhadap lidah buaya Indonesia perlu ditindaklanjuti dengan berbagai program yang mendukung pengembangan komoditi ini dari mulai pembudidayaanya di lahan petani, pengolahan hasilnya menjadi berbagai produk agroindrusti, dan pemasaran produk-produk tersebut baik secara domestik maupun global. Tulisan ini akan menyajikan informasi berdasarkan hasil studi lapang yang mencakup aspek-aspek tindak budidaya yang berpengaruh terhadap produtivitas daun lidah buayadan kondisisosial yang terkait dengan pengembangan lidah buaya tersebut. Di Kalimantan Barat khusunya Kota Pontianak tanaman lidah buaya ini ditanam secara khusus oleh petani keturunan Cina untuk dijual dalam bentuk daun atau rebusan cendol atau dawet yang berasal dari lender daun lidah buaya.Hal ini oleh kalangan penduduk keturunan diyakani berkhasiat mengatasi panas dalam dan merupakan minuman penyegar pada musim kemarau.Oleh karena itu, pembudidayaan tanaman dilakukan secara intensif, karena bernilai ekonomi cukup tinggi.Selain itu, tanaman dapat di panen secara berkala.Untuk menghasilkan daundaun yang siap dipanen.Apalagi tanaman lidah buaya ini juga tergolong tanaman yang tahan lama dan tingkat resiko kegagalanya rendah. Di Kalimantan Barat tanaman ini diolah untuk dijadikan minuman segar dan kue seperti dodol lidah buaya. Selain itu ada juga dijual dalam bentuk daun saja (dalam bentuk segar), Bahkan sekarang ini lidah buaya sudah menjadi salah satu makanan Khas Kalimantan Barat.
128
Perumusan Masalah Kota Pontianak memiliki suatu kawasan sentra agribisnis lidah buaya yang hanya satu-satunya di Indonesia, tepatnya berada di kecamatan Pontianak Utara. Kawasan ini merupakan areal lahan gambut yang memerlukan penanganan secara khusus dan bijaksana didalam pengelolaannya agar berkelanjutan dan tetap lestari salah satunya untuk pengembangan tanaman lidah buaya yang terus menerus mengalami peningkatan dalam produksi daunnya. Secara umum bahwa hasil suatu tanaman sangat ditentukan faktor lingkungan, genetik tanaman, dan pemeliharaan. Faktor lingkungan diantaranya adalah tanah dan iklim. Faktor genetik adalah faktor sifat dari bahan tanaman yang digunakan. Sedangkan faktor pemeliharaan meliputi pemupukan, pengendalian hama dan penyakit serta kegiatan yang berkaitan dengan pemeliharaan. Dari berbagai faktor pelaksanaan tindak budidayayang telah dilakukan oleh para petani tentu ada yang mempengaruhi sehingga adanya peningkatan dalam produksi daun lidah buaya, maka perlu dilakukan penelitian agar dapat mengetahui: 1. Apakah ada pengaruh dari tindak budidaya lidah buaya (Aloe vera L.) yang meliputi pemupukan, jarak tanaman, penyiangan, pemilihan bibit, pembubunan, pengambilan daun, dan pengendalian hama penyakit terhadap meningkatnya produktivitas daun lidah buaya (Aloe vera L.) di Kota Pontianak Kalimantan Barat ? 2. Apakah dengan penelitian ini akan terbaca atau terlihat tindak budidaya yang mana yang dapat mempengaruhi secara langsung atau tidak langsung terhadap peningkatan produksi daun lidah buaya? 3. apakah karena adanya peningkatan ilmu pengetahuan yang lebih baik dari petani pengelola setalah berjalan bertahun-tahun dalam penanganan budidayanya ? 4. Apakah karena adanya peranan dari pemerintah yang memberikan penyuluhan tentang cara budidaya yang disampaikan oleh para PPL ?
Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mengetahui pengaruh pelaksanaan antara faktor tindak budidaya Lidah buaya (Aloe vera L.) yang meliputi pemupukan (X1), jarak tanaman (X2), penyiangan (X3), pemilihan bibit (X4), pembumbunan (X5), pengambilan daun (X6), dan pengendalian OPT (X7) terhadap produktivitas daun lidah buaya (Aloe vera L.) di Kota Pontianak Kalimantan Barat. 2. Mengetahui pengaruh langsung atau bertingkat dari pelaksanaan tindak budidaya Lidah Buaya (Aloe Vera L.) terhadap produktivitas daunnya yang dikelola petani di Kota Pontianak Kalimantan Barat. METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di kebunkebun petani Kecamatan Pontianak Utara Kota Pontianak Provinsi Kalimantan Barat. Analisis Data Analisis Regresi Analisis data yang diperlukan untuk mengetahui pengaruh faktor teknik budidaya terhadap produktivitas lidah buaya di kota Pontianak adalah analisis regresi berganda dengan variable dummy sebagai berikut : Yᵢ = b0 + b1X1 + b2X2 + b3X3 + b4X4 + b5X5 + b6X6 + b7X7
Gambar 3. Model hipotetik lintasan suatu peubah Pengaruh tak-langsung peubah sebab Xi terhadap Y yang disalurkan melalui peubah Xj (yang ordonya tidak lebih dari Xi) ialah jumlah hasil kali koefisien lintas semua lintasan yang menghubungkan peubah Xj dengan peubah Y.
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Hubungan Tindak Budidaya Terhadap Produktivitas Hasil analisis koefisien korelasi antar peubah tindak budidaya dapat dilihat pada Tabel Lampiran 3. Dari Lampiran 3 tersebut dapat diketahui pemberian Abu, pupuk Urea, KCl, pupuk kandang, bobot daun menunjukkan adanya hubungan linear positif sangat nyata, dan jumlah daun bibit, frekuensi pangkas dan frekuensi panen masing menunjukan hubungan linear positif terhadap produktivitas tanaman lidah buaya, sedangkan tinggi bedengan, jalur tanaman per bedeng, populasi tanaman, kapur, pupuk SP-36 dan pengendalian hama dan penyakit masingmasing tidak berkorelasi nyata. Korelasi antara Abu, Urea, KCl dan pupuk kandang masing-masing menunjukkaan hubungan nyata terhadap bobot daun per helai. Analisis korelasi tersebut menunjukkan keeratan hubungan antar peubah, tetapi belum menggambarkan peubah sebab dan akibat.Oleh karena itu dilanjutkan dengan analisis koefisien lintas.Dalam analisis ini koefisien korelasi diuraikan ke dalam dua komponen, yaitu pengaruh langsung peubah sebab dan pengaruh-pengaruh tak-langsungnya yang disalurkan melalui peubah-peubah lainnya yang tataannya lebih rendah (Wright, 1921; 1934; Tukey,1954; Dewey dan Lu, 1959, 1971). Hasil analisis koefisien lintas disajikan Tabel 21 dan Gambar 6. Tabel 21. Analisis koefisien lintas pengaruh langsung peubah-peubah tindak budidaya terhadap produktivitas tanaman lidah buaya
= pengaruh langsung = Korelasi antar dua peubah
129
Sumber : Analisis Data primer,2012
Dari Tabel 21 dan Gambar 6 dapat diketahui pengaruh langsung terbesar tindak budidaya terhadap produktivitas tanaman lidah buaya adalah frekeuensi panen dengan
130
sumbangan sebesar 38,76 %, kemudian diikuti oleh frekuensi pemangkasan daun (13,26 %), pemberian Abu (13,19 %), pupuk kandang (5,69 %), Urea (2,05 %) dan KCl (2,02 %). Pengaruh tak langsung Abu terhadap produktivitas yang disalurkan melalui pupuk Urea adalah 0,645 x 0,143 = 0,092, melalui KCl adalah 0,707 x 0,142 = 0,100, melalui pupuk kandang adalah 0,768 x 0.239 = 0.184. Jadi, pengaruh langsung pemberian Abu terhadap produktivitas masih lebih besar pengaruhnya dibandingkan dengan pengaruh tak-langsungnya yang disalurkan melalui pupuk Urea, KCl dan pupuk kandang. Pengaruh tak-langsung pupuk Urea yang disalurkan melalui Abu adalah 0,645 x 0.363 = 0.234, disalurkan melalui KCl adalah 0,589 x 0,142 = 0.084, sedangkan yang disalurkan melalui pupuk kandang adalah 0,618 x 0,239 = 0,148. Berdasarkan perhitungan analisis koefisien lintas ternyata pengaruh taklangsung pupuk Urea menjadi lebih besar jika disalurkan melalui Abu dan Pupuk Kandang. Pengaruh tak-langsung pupuk KCl yang disalurkan melalui Abu adalah 0,707 x 0,363 = 0,257, melalui Urea adalah 0,589 x 0.143 = 0,084, melalui pupuk kandang adalah 0,515 x 0,239 = 0,123. Dapat disimpulkan bahwa pengaruh tak-langsung KCl terhadap produktivitas akan lebih besar perannya jika disalurkan melalui Abu. Pengaruh tak-langsung pupuk kandang yang disalurkan melalui Abu adalah 0,768 x 0,363 = 0,279, melalui Urea adalah 0,618 x 0.143 = 0,088, melalui KCl adalah 0,515 x 0,142 = 0,073. Dapat disimpulkan bahwa pengaruh tak-langsung pupuk kandang terhadap produktivitas akan lebih besar perannya jika disalurkan melalui Abu. Berdasarkan analisis korelasi menunjukkan adanya hubungan sangat nyata antara Abu, Urea, KCl dan pupuk kandang masing-masing terhadap bobot daun per daun. Berdasarkan analisis koefisien lintas memperlihatkan pengaruh langsung Abu sumbangannya lebih besar (42,67 %) dibandingkan pupuk Urea (0,17 %), KCl (2,81 %) dan pupuk kandang (1,00 %) Pembahasan
Hubungan Tindak Budidaya Terhadap Produktivitas Pemberian Abu, pupuk Urea, KCl, pupuk kandang, bobot daun menunjukkan dan jumlah daun bibit, frekuensi pangkas dan frekuensi panen masing menunjukan hubungan linear positif terhadap produktivitas tanaman lidah buaya, sedangkan tinggi bedengan, jalur tanaman per bedeng, populasi tanaman, kapur, pupuk SP-36 dan pengendalian hama dan penyakit masingmasing tidak berkorelasi nyata. Hal ini menunjukkan bahwa tindakan budidaya mempunyai keeratan hubungan terhadap produktitas tanaman lidah buaya. Berdasarkan analisis koefisien lintas pengaruh langsung tindak budidaya yang pengaruhnya terbesar terhadap produktitas adalah frekeuensi panen dengan sumbangan sebesar 38,76 %, kemudian diikuti oleh frekuensi pemangkasan daun (13,26 %), pemberian Abu (13,19 %), pupuk kandang (5,69 %), Urea (2,05 %) dan KCl (2,02 %). Frekuensi panen ini paling besar pengaruhnya terhadap produktivitas tanaman. Semakin banyak panen dilakukan maka produktivitas tanaman akan meningkat pula. Namun demikian, tentunya agar pertumbuhan tanaman terus terpacu maka unsur-unsur penunjang sangat perlu diperhatikan dalam menyediakan unsur-unsur hara yang dibutuhkan tanaman. Pemberian Abu, Urea, KCl dan pupuk kandang masing-masing memberikan pengaruh langsung terhadap produktivitas. Dari keempat unsur tersebut yang paling besar pengaruh langsungnya adalah Abu. Pengaruh tak-langsung dari pupuk Urea, KCl dan pupuk kandang terhadap produktivitas yang disalurkan melalui Abu akan lebih besar pengaruhnya jika dibandingkan pengaruh langsungnya. Jadi, peranan pupuk Urea, KCl dan pupuk kandang akan terlihat perannya jika digabungkan dengan Abu. Dari pengamatan di lapang, para petani sebelum menanam, lubang tanam terlebih dahulu diberikan abu, pupuk Urea, KCl secara bersamaan. Dengan kombinasi Abu dengan pupuk Urea, KCl, dan pupuk kandang diduga pengaruh langsung Abu dan pengaruh tak-langsung Urea, KCl, dan Pupuk Kandang yang disalurkan melalui Abu pengaruhnya akan lebih besar
produktivitas. Demikian pula dengan Abu yang digunakan berasal dari kulit daun lidah buaya yang dikeringkan dan sebagian gulma yang ada di areal pertanaman, kemudian dalam pembakarannya dicampur dengan kapur sehingga menghasilkan unsur-unsur yang diduga dapat mensubstitusi K, Ca, silikat dan karbon.Hal ini menunjukkan bahwa Abu berpotensi dimanfaatkan sebagai ameliorant pada tanah gambut untuk tanaman lidah buaya. Pengaruh langsung bobot daun per helai terhadap produktivitas sangat kecil. Hal ini disebabkan bobot daun yang dipanen beratnya relative sama dari kisaran 0,7 kg – 1,6 kg dengan rata-rata per helai daun 1,15 kg per helai. Hal ini menunjukkan bahwa produktivitas tanaman masih ditentukan oleh faktor lain seperti banyak daun yang dipanen dan frekuensi panen. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Pemberian Abu, Urea, KCl, dan pupuk kandang masing-masing 932,25 Kg ha-1, 133,00 Kg ha-1, 209,38 Kg ha-1, dan 1,134 t ha-1 2. Pengaruh langsung terbesar tindak budidaya terhadap produktivitas tanaman lidah buaya adalah frekeuensi panen dengan sumbangan sebesar 38,76 %, kemudian diikuti oleh frekuensi pemangkasan daun (13,26 %), pemberian Abu (13,19 %), pupuk kandang (5,69 %), Urea (2,05 %) dan KCl (2,02 %). 3. Pengaruh tak-langsung dari pupuk Urea, KCl dan pupuk kandang terhadap produktivitas yang disalurkan melalui Abu akan lebih besar pengaruhnya jika dibandingkan pengaruh langsungnya Saran 1. Peningkatan produktivitas dalam satu periode panen dapat ditingkatkan dengan meningkatkan Frekuensi panen dan menggunakan populasi tanam yang padat. 2. Potensi Abu dapat dimanfaatkan sebagai amelioran pada tanaman lidah buaya di lahan gambut daerah Pontianak. 3. Pengaruh langsung populasi tanaman, Abu, Urea, KCl dan pupuk kandang memperlihatkan peranan yang signifikan
131
dalam produktivitas tanaman lidah buaya. Untuk meningkatkan produktivitas yang maksimal disarankan penelitian ini perlu dikembangkan lagi dengan melanjutkan penelitian tentang populasi tanaman, Abu, Urea, KCl dan pupuk kandang agar diketahui berapa populasi tanaman yang tepat dan berapa takaran pupuk yang diperlukan agar produktivitas tanaman lidah buaya mencapai hasil yang maksimal DAFTAR PUSTAKA [1]
Cochran, W. 1969. Sampling Technigues. John Wiley and Son. New York. [2] Dewey,D. R. And Lu, K. H. 1959. A correlation and path coefficient analysis of Components of crested wheatgrass seed production. Agron. J. [3] Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Daerah Tingkat I Kalimantan Barat, 2010. Laporan Tahunan Dinas 2010/2011. Pontianak. [4] Dinas Urusan Pangan Kota Pontianak, 2012. Data Produktivitas Tanaman Lidah Buaya. Pontianak [5] Furnawanthi, 1. 2002. Khasiat dan Manfaat Lidah Buaya. Agromedia Pustaka. Jakarta. [6] Gujarati, D. 1999. Ekonometrika. Penerbit Erlangga. Jakarta. [7] Schnitzer, M. 1986. Pengikatan bahan humat. dalamInteractions of Soil Minerals with Natural Organics and Microbes. terjemahan. Goenadi, D. H., Sudarsono 1997. Interaksi Mineral Tanah Dengan Organik Alami dan Mikroba. Gajah Mada University Press. Yogyakarta, Indonesia. Hal. 119- 156. [8] Singh, K. B. and B. D. Chaudary. 1985. Biometrical Method. In Quantitative GeneticAnalysis. Kalyani Publisher, New Delhi. [9] Sudarto, Y. 1998. Lidah Buaya. Kanisius. Yogyakarta [10] Sudjana, 1989. Desain dan Analisis Eksperimen. Tarsito. Bandung. [11] Sutedjo, 1995. Pupuk dan Cara Pemupukan. Rineka Cipta. Jakarta. [12] Sutejo, M.M. dan A.G. Kartasaputra, 1990. Pupuk dan cara Pemupukan. Rineka Cipta. Jakarta. [13] Supranto, 1983. Ekonometrik. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta
132
KEWAJIBAN NEGARA DALAM PEMENUHAN KEPEMILIKAN TANAH BAGI MASYARAKAT KHUSUSNYA KEPADA PARA PETANI Setyo Utomo1 1 Dosen
Fakultas Hukum Universitas Panca Bhakti, Pontianak email:
[email protected]
Abstrak Sebagaimana yang kita ketahui bahwa semangat awal dari pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria pada tahun 1960 adalah di samping dimaksudkan untuk menghapus produk hukum agraria peninggalan kolonialisme yang bersifat dualisme juga dimaksudkan untuk menjamin terpenuhinya kepemilikan tanah bagi masyarakat Indonesia terutama para petani. Namun lebih dari lima dasawarsa berlakunya UUPA, khusus mengenai jaminan pemenuhan kepemilikan tanah kepada masyarakat khususnya para petani masih belum terealisasi sepenuhnya, mengingat masih banyak masyarakat/petani yang hanya memiliki tanah dalam skala kecil bahkan tidak memiliki tanah sama sekali. Bertitik tolak dari kenyataan tersebut, sehingga memunculkan pertanyaan, yaitu : kendala apa saja yang dihadapi oleh Negara (pemerintah) dalam upaya pemenuhan kepemilikan tanah kepada masyarakat/petani dan upaya apa saja yang seharusnya dilakukan untuk mewujudkan upaya tersebut. Meskipun pemerintah melalui kebijakan redistribusi tanah berupaya dalam pemenuhan kepemilikan tanah bagi masyarakat khususnya kepada para petani, namun kebijakan dimaksud bukan berarti tidak terdapat kendala dalam pelaksanaannya. Redistribusi tanah bisa ditempuh oleh pemerintah terhadap obyek tanah yang berstatus tanah negara bebas. Namun terhadap tanah-tanah yang sebelumnya berstatus tanah negara tidak bebas, tentunya dibutuhkan prosedur yang tidak sederhana baik dari segi waktu maupun pendanaannya. Agar kebijakan pemerintah dalam pemenuhan kepemilikan tanah bagi masyarakat khususnya kepada para petani dapat dilaksanakan secara optimal, maka hal-hal yang dapat dilakukan adalah dengan menyederhanakan prosedur yang ada saat ini, penyediaan dana anggaran untuk penggantian hak atas tanah, dan pendataan pemilikan tanah secara online. Kata Kunci : Kewajiban Negara, Kepemilikan Tanah, Masyarakat, Petani.
133
Berkaitan dengan hal tersebut di atas dalam Undang Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria (Untuk selanjutnya disebut UUPA), adalah berdasarkan Pasal 2 ayat (1) UUPA menyatakan, bahwa : “Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang Undang Dasar dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Tanah merupakan salah satu sumber utama bagi kelangsungan hidup dan penghidupan bangsa dalam mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat yang terbagi secara adil dan merata, maka tanah adalah untuk diusahakan atau digunakan bagi pemenuhan kebutuhan yang nyata. Sehubungan dengan itu, penyediaan, peruntukan, penguasaan, penggunaan dan pemeliharaannya perlu diatur agar terjamin kepastian hukum dalam penguasaan dan pemanfaatannyaserta sekaligus terselenggara perlindungan hukum bagi rakyat banyak, terutama golongan petani, dengan tetap mempertahankan kelestarian kemampuannya dalam mendukung kegiatan pembangunan yang berkelanjutan. Di samping itu tanah merupakan sumber daya yang penting bagi masyarakat, baik sebagai media tumbuh tanaman, maupun sebagai ruang atau wadah tempat melakukan berbagai kegiatan. Tanah juga merupakan salah satu faktor produksi yang sangat vital bagi kehidupan manusia dan pembangunan suatu bangsa. Tanah dalam masa pembangunan bertambah penting artinya, karena adanya peningkatan volume pembangunan dalam bidang-bidang pertanian, industri modern, perumahan, kelestarian lingkungan hidup, pengamanan sumber kekayaan alam, kesejahteraan sosial dan lain-lain. Hal ini semakin komplek bila dikaitkan dengan pertambahan penduduk yang memerlukan areal yang luas, otomatis mengakibatkan mengecilnya atau berkurangnya persediaan tanah. Sebagai Negara yang berlatar agraris, tanah merupakan sesuatu yang memiliki nilai yang sangat penting di dalam kehidupan masyarakat Indonesia, terlebih lagi bagi petani di pedesaan. Tanah berfungsi sebagai tempat di mana warga masyarakat bertempat tingal dan tanah juga memberikan penghidupan baginya. 4
A. Pendahuluan Falsafah Indonesia dalam konsep hubungan antara manusia dengan tanah menempatkan individu dan masyarakat sebagai kesatuan yang tak terpisahkan (kedwitunggalan) bahwa pemenuhan kebutuhan seseorang terhadap tanah diletakan dalam kerangka kebutuhan seluruh masyarakat sehingga hubungannya tidak bersifat individualistis semata, tetapi lebih bersifat kolektif dengan tetap memberikan tempat dan penghormatan terhadap hak perseorangan.2 Sesuai ketentuan Pasal 33 ayat (3) Undang Undang Dasar 1945 menyatakan, bahwa : “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya, dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat”. Pasal tersebut di atas mengandung maksud bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya, adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat. Oleh karena itu dalam pengaturan dan pemanfaatannya harus dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Pada tanggal 24 september 1960 disahkan Undang-Undang nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. UndangUndang ini lebih dikenal dengan sebutan Undang-Undang Pokok Agraria. Tujuan diundangkannya Undang-Undang Pokok Agraria sebagaimana yang dimuat dalam penjelasan umum, yaitu; 1.Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan Hukum Agraria Nasional, yang merupakan alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi Negara dan rakyat, terutama rakyat tani, dalam rangka masyarakat adil dan makmur; 2.Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan hukum pertanahan; 3.Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.3
2
Maria S.W. Sumardjono, Kebijakan Pertanahan antara Regulasi dan Implementasi, Jakarta, Penerbit Buku Kompas, 2001, hal. 158. 3 Urip Santoso, Pendaftaran dan Peralihan Hak atas Tanah, Jakarta, Kencana, 2001, hal.1.
134
4
Soerjono Soekanto dan Soleman B. Taneko, Hukum Adat Indonesia, Cetakan Keempat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001, hal. 172.
Tanah merupakan sumber hidup dan kehidupan bagi manusia. Tanah mempunyai fungsi yang sangat strategis, baik sebagai sumber daya alam maupun sebagai ruang untuk pembangunan. Mengingat ketersediaan tanah yang relative tetap sedangkan kebutuhan akan tanah terus meningkat seiring pertumbuhan penduduk dan kegiatan pembangunan yang terus meningkat pula, sehingga pengelolaannya harus berdayaguna untuk kepentingan sebesarbesarnya kemakmuran rakyat. Hal tersebut diatas telah di prediksi sebelumnya oleh pembentuk Undang-Undang dimana kita ketahui bahwa didalam UUPA terdapat pasal-pasal yang mengatur mengenai pembatasan tentang kepemilikan tanah dalam hal ini diatur dalam pasal 7 UUPA. Pasal 7 UUPA mengenai pembatasan kepemilikan tanah ini berkaitan erat dengan pasal 16 UUPA dan pasal 17 UUPA. Penerapan pasal 7 UUPA dan pasal 17 tentang batas maksimum pemilikan tanah, dalam kenyataannya juga sering dilanggar. Berbagai kekisruhan yang terjadi selama ini mengindikasikan terjadinya penumpukanpemilikan tanah di satu pihak, sedangkan di pihak lain, banyak yang tidak mempunyai tanah. Ketidakseimbangan dalam distribusi pemilikan tanah inilah baik untuk tanah pertanian maupun bukan pertanian yang menimbulkan ketimpangan baik secara ekonomi, politis maupun sosiologis. Pada akhirnya, rakyat lapisan bawah yang memikul beban terberat akibat ketidakseimbangan distribusi ini.
Tanah merupakan salah satu komponen dari hak asasi manusia (HAM) 5 . Setiap orang harus diberi akses untuk memperoleh, memiliki, memanfaatkan dan mempertahankan bidang tanah yang akan atau yang sudah dimilikinya, sebagai hak dasar, hak atas tanah sangat berarti bagi eksistensi seseorang, kebebasan harkat dirinya sebagai manusia sehingga pemenuhannya harus selalu diupayakan. Setiap kebijakandan tindakan pemerintah yang bermaksud untuk mengurangi atau meniadakan hak atas tanah dan hak lain yang ada di atasnya milik warga masyarakat, akan mempengaruhi terhadap eksistensi dan keutuhan HAM.6 Hak atas tanah bisa ditafsirkan pada mempersoalkan substansi hidup. Tanah adalah awal mula terciptanya kebutuhan akan pangan-terutama sekali di negeri agraris. Tanah adalah “langkah” awal bagi aktivitas keberlanjutan kehidupan manusia. Dengan adanya tanah berarti satu langkah untuk hidup lebih lanjut telah tercapai. Kendala yang dihadapi adalah pertumbuhan terus meningkat, sedangkan ketersediaan tanah yang sangat terbatas. Mengingat terbatasnya tanah yang tersedia dan kebutuhan akan tanah semakin bertambah, dengan sendirinya akan menimbulkan benturan-benturan kepentingan akan tanah, yang berakibat timbulnya permasalahan atas tanah.
B. Permasalahan Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan pada bagian pendahuluan tersebut di atas, adapun permasalahan yang akan dibahas lebih lanjut dalam penulisan artikel ini adalah : 1. Kendala apa saja yang dihadapi oleh Negara (pemerintah) dalam upaya pemenuhan kepemilikan tanah kepada masyarakat/petani. 2. Upaya apa saja yang seharusnya dilakukan untuk mewujudkan upaya tersebut.
Petani merupakan kelompok masyarakat yang aktivitasnya sehari-hari selalu berhubungan dengan tanah. Seorang petani hanya disebut petani, bukan buruh tani apabila ia memiliki lahan yang cukup untuk menopang kehidupan keluarganya. Salah satu pokok permasalahan dalam pembangunan pertanian di Indonesia adalah sempitnya rata-rata penguasaan lahan dan
C. Pembahasan 1. Kendala Dalam Upaya Pemenuhan Kepemilikan Tanah Kepada Masyarakat/Petani
5
pada 18-20 April 2001, Organisasi petani dan masyarakat sipil menyelenggarakan Konferensi Nasional Pembaruan Agraria untuk Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Asasi Petani di Cibubur, Jawa Barat. Konferensi ini melahirkan Deklarasi Hak Asasi Petani. Konferensi ini juga menetapkan 20 April sebagai Hari Hak Asasi Petani Indonesia. Sejak saat inilah tema “hak asasi petani” menjadi salah satu tema sentral tuntutan petani di nusantara. 6 Syarifuddin Kalo, Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, Pustaka Bangsa Press, Jakarta, 2004, hal. 8-9.
135
minimnya hak para petani yang menyangkut dengan agraria sehingga program yang dikembangkan Departemen Pertanian belum sepenuhnya berjalan seperti yang direncanakan. Berdasarkan alasan di atas, maka muncul permasalahan baru yaitu kemiskinan. Menurut Yando Zakaria dkk, persoalan kemiskinan tersebut berpangkal dari adanya konsentrasi atau penumpukan penguasaan tanah dan pemanfaatan tanah beserta sumber daya alamnya yang sengaja dibiarkan berkembang. 7 Ketimpangan dalam penguasaan tanah dan pemanfaatan sumber daya alam akan sangat menentukan dinamika hubungan antar lapisan sosial. Selain masalah kemiskinan dan tingginya asset agraria pada sebagian kecil masyarakat terdapat permasalahan lain, yaitu tingginya sengketa dan konflik pertanahan 8 , semakin menurunnya kualitas lingkungan hidup serta lemahnya akses sebagian terbesar masyarakat terhadap hak-hak dasar rakyat termasuk seumber-sumber ekonomi keluarga. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) dalam catatan akhir tahun 2014 menerangkan angka sengketa, konflik, dan kekerasan yang menyertai pada isu akses tanah terus meningkat tinggi.9 Dalam laporan tersebut juga diterangkan bahwa adanya peningkatan konflik di sektor tanah menunjukkan beberapa indikasi seperti hilangnya kontrol dan akses warga yang bermukim di pedesaan dan pedalaman untuk
mengelola tanah dan sumber daya alam yang mereka kelola selama ini. Selain itu ada signifikan pergeseran di dalam profesi-profesi yang berkaitan langsung dengan akses terhadap sumber tanah, seperti petani termasuk pemukiman yang menyertainya.10 Ketimpangan redistribusi tanah menjadi kendala utama bagi proses berkeadilan. Meskipun tidak selalu pemenuhan ini berarti rakyat mempunyai kontrol langsung, maka tak pelak lagi jika kepemilikan atas tanah menjadi kunci bagi seseorang atau sekelompok orang untuk bisa merdeka. Sebab tanpa adanya peluang untuk memperbesar pemilikan dan penguasaan tanah-tanah pertanian , sektor pertanian telah kehilangan daya tariknya meskipun sudah berada di bawah program revolusi hijau yang mengandalkan peningkatan teknologi. 2. Reforma Agraria Dan Redistribusi Tanah Terlantar Istilah pembaharuan agraria (agrarian reform) dalam arti rekstruturisasi penguasaan dan pemanfaatan sumber daya agraria sudah dikenal cukup lama, meski dalam bentuk dan sifat yang berbeda-beda tergantung pada jaman dan Negara tempat terjadinya pembaharuan agraria tersebut. Hal ini mengingat setiap Negara mempunyai struktur agraria dan sistem politik yang berbeda-beda meskipun ada beberapa persamaan yang mendasar dalam pembaharuan agraria itu. Gunawan Wiradi dalam bukunya Ida Nurlinda menyatakan pada intinya pembaharuan agraria adalah upaya perubahan struktural yang mendasarkan diri pada hubungan-hubungan intra dan antar subjek-subjek agraria dalam kaitan akses (penguasaan dan pemanfaatan) terhadap obyek-obyek agraria. Namun secara konkret, pembaharuan agraria diarahkan untuk melakukan perubahan struktur penguasaan tanah dan perubahan jaminan kepastian penguasaan tanah bagi rakyat yang memanfaatkan tanah dan kekayaan alam yang menyertainya.11
7
Yando Zakaria dkk, Mensiasati Otonomi Daerah Demi Pembaharuan Agraria, Konsorsium Pembaruan Agraria, Bandung, 2001, hal, 71. 8 Dalam pendahuluan kerta kerja usulan reforma agraria secara jelas dikatakan bahwa sengketa agraria yang massif terjadi dengan intensitas dan kedalaman kekerasan yang menyertainya serta ketimpangan struktur penguasaan tanah sumbersumber agrarian yang ada merupakan dua persoalan besar di bidang agrarian Indonesia saat ini. 9 Dalam catatan akhir tahun Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) secara fokus digunakan terminologi agraria yang terkait dengan akses terhadap sumbersumber agraria, termasuk “semua bagian bumi yang memberi penghidupan bagi manusia, meliputi isi perut bumi, tanah, air, udara maupun tumbuhtumbuhan yang terdapat di atasnya”. Dokumen dapat diakses di: Catatan Akhir Tahun 2014_Membenahi Masalah Agraria: Prioritas Kerja Jokowi-JK Pada tahun 2015: http://www.academia,edu/9872310/Catatan_Akhir_ Tahun_2014_KPA, diakses 9 Januari 2017.
136
10
Ibid, Laporan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) juga menerangkan bahwa setiap 60 detik 1 rumah petani hilang, begitu juga seperempat hektar dari lahan pertanian lenyap, digantikan menjadi arena pembangunan non pertanian. Perpindahan tanah pertanian menjadi unit-unit ekonomi dalam skala yang luas seperti sector pertambangan, perkebunan, kehutanan dan infrastruktur adalah situasi yang nyaris tidak dapat dihindari. 11 Ida Nurlinda, Prinsip-Prinsip Pembaharuan Agraria Perspektif Hukum, Edisi I, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2009, hal.77.
Pengertian pembaharuan agraria tidak hanya terbatas pada aspek landreform semata, tetapi mencakup juga penataan hubunganhubungan produksi (penyakapan, kelembagaan) dan pelayanan pendukung pertanian secara umum. Dalam tataran implementasi, pembaharuan agraria sering dipadankan dengan landreform. Pada intinya, landreformdiartikan sebagai restrukturisasi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah. Dalam praktek Elias H. Turma dalam buku Ida Nurlinda berpendapat bahwa konsep landreform telah diperluas cakupannya dengan menekankan peran strategis dari tanah untuk pertanian dan pembangunan.12 Maria Sumardjono menyatakan bahwa pada intinya pembaharuan agraria merupakan : a. Suatu proses yang berkesinambungan; b. Berkenaan dengan restrukturisasi pemilikan/penguasaan dan pemanfaatan sumber daya agraria oleh masyarakat, khususnya masyarakat pedesaan; c. Dilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastian hukum dan perlindungan hukum atas kepemilikan tanah dan pemanfaatan sumberdaya alam /agraria, serta terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat.13 Dari rumusan yang demikian luas tampak bahwa konsep pembaharuan agraria bukanlah semata-mata konsep redistribusi tanah, tetapi merupakan sebuah konsep pembanguan yang bertujuan untuk pemerataan pendapatan dan keadilan sosial. Menurut Elias H. Tuma, konsep operasional antara landreformdan pembaharuan agraria sama saja, yaitu mencakup lima bentuk pembaharuan yaitu : a. Pembaharuan diarahkan pada struktur pemilikan tanah dan ketentuan-ketentuan penguasaan; b. Redistribusi kepemilikan tanah dari individu yang satu kepada individu yang lain, dari individu kepada kelompok/komunitas yang lebih besar, atau dari suatu kelompok kepada individu-individu; c. Penataan skala usaha pertanian dengan cara memperbesar atau memperkecil skala operasinya; d. Perbaikan pola budidaya pertanian dari segi teknis untuk mempengaruhi produktivitasnya secara langsung;
12 13
Ibid, hal. 78. Maria S.W. Sumardjono, Op.Cit. hal.2.
e. Perbaikan pada aspek diluar wilayah pertanian, seperti kredit, pemasaran dan pendidikan.14 Secara normatif, Pasal 2 Tap MPR No.IX /MPR/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam menyatakan bahwa“ Pembaharuan Agraria mencakup suatu proses yang berkesinambungan berkenaan dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan sumber daya agraria, dilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastian dan perlindungan hukum serta keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia. Dari pemahaman di atas, tampak bahwa pembaharuan agraria ditujukan untuk merestrukturisasi penguasaan dan pemanfaatan sumber daya agraria agar lebih berkeadilan, berkelanjutan dan menyejahterakan rakyat dalam upaya mewujudkan Negara kesejahteraan (welfare state), karena dalam negara kesejahteraan, negara harus mengutamakan kepentingan rakyat (umum), turut secara aktif dalam pergaulan sosial sehingga kesejahteraan sosial semua orang tetap terpelihara.Sumber daya agraria yang meliputi bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada bangsa Indonesia merupakan kekayaan nasional yang wajib disyukuri. Oleh karena itu harus dimanfaatkan secara optimal untuk generasi mendatang dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur yang berdasarkan Pancasila. Pemanfaatan sumber daya agraria yang menggunakan asas sentralisasi banyak menimbulkan penurunan kualitas lingkungan, ketidakadilan dalam penguasaan, pemilikan dan pemanfaatannya serta menimbulkan berbagai konflik. Untuk mengatasi semua permasalahan itu diperlukan adanya deregulasi peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya agraria yang adil, berkelanjutan dan ramah lingkungan harus dilakukan dengan cara terkoordinasi, terpadu, dan menampung dinamika, aspirasi, dan peran serta masyarakat . Pembaharuan agraria sebagai upaya untuk merestrukturisasi aspek penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah dan sumber daya agraria lainnya sebagaimana tertuang dalam Ketetapan MPR Nomor IX tahun 2001 merupakan komitmen politik awal di bidang pertanahan dan sumber daya agraria lainnya untuk mereformasi (merestrukturisasi) berbagai peraturan dan kebijakan yang terkait dengannya. 14
Ida Nurlinda, Op.Cit, hal. 80.
137
Restrukturisasi perlu dilakukan karena selama ini telah terjadi ketimpangan struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah dan pada akhirnya menimbulkan konflik, disamping terjadinya penurunan kualitas lingkungan. Pembaharuan agraria mencakup suatu proses yang berkesinambungan berkenaan dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan sumber daya agraria, dilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastian, dan perlindungan hukum serta keadilan, dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia. Pembaharuan agraria dan pengelolaan sumber daya alam yang terkandung di darat, laut dan angkasa dilakukan secara optimal, adil, berkelanjutan dan ramah lingkungan. Dengan demikian reforma agraria dimaksudkan untuk merestrukturisasi aspek penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah dan sumber daya agraria lainnya. Dalam penjelasan Pasal 15 ayat (1) PP No.11 Tahun 2010 tentang Penertiban Dan Pendayagunaan Tanah Terlantar, Reforma agraria merupakan kebijakan pertanahan yang mencakup penataan sistem politik dan hukum pertanahan serta penataan asset masyarakat dan akses masyarakat terhadap tanah sesuai dengan jiwa Pasal 2 Ketetapan MPR RI Nomor IX /MPR/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, dan Pasal 10 UUPA. Penataan asset masyarakat dan akses masyarakat terhadap tanah dapat dilakukan melalui distribusi dan redistribusi tanah negara bekas tanah terlantar. Kebijakan pemerintah dalam pendayagunaan tanah negara bekas tanah terlantar melalui pendistribusian tanah negara merupakan suatu usaha untuk mewujudkan keadilan terhadap tanah untuk semua orang Indonesia. Melalui reforma agraria tanah-tanah negara bekas tanah terlantar dalam pendayagunaannya dapat dibagikan kepada masyarakat. Pendayagunaan tanah negara bekas tanah terlantar memberikan kesempatan kepada masyarakat khususnya para petani penggarap untuk memanfaatkan tanah negara bekas tanah terlantar tersebut. Berdasarkan PP No.11 Tahun 2010 tentang Penertiban Dan Pendayagunaan Tanah Terlantar, Pendayagunaan tanah Negara Bekas tanah terlantar sebagai cadangan Negara diperuntukkan untuk memenuhi kebutuhan tanah untuk kepentingan pemerintah, pertahanan dan keamanan, kebutuhan tanah akibat adanya bencana alam, relokasi dan pemukiman kembali
138
masyarakat yang terkena pembangunan untuk kepentingan umum. Pasal 33 UUD 1945, mengamanatkan kekayaan alam dan cabang produksi yang menyangkut hajat hidup orang banyak dikuasai Negara dengan tujuan untuk kemakmuran rakyat. Untuk mengimplementasikan Pasal 33 UUD 1945 di lapangan agraria (kekayaan alam), UUPA menegaskan bahwa setiap hak atas tanah memiliki fungsi sosial. Artinyapemanfaatan tidak hanya memberi manfaat bagi pemiliknya, tetapi juga masyarakat sekelilingnya dan tidak boleh merugikan kepentingan umum. Pasal 7 UUPA menegaskan bahwa untuk tidak merugikan kepentingan umum, maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan. Kemudian dalam Pasal 18 UUPA dinyatakan bahwa untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan mengganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan undangundang. Artinya dengan alasan kepentingan umum Negara dapat mengambil alih tanah-tanah masyarakat maupun swasta. Pengertian tanah terlantar adalah tanah yang sudah diberikan hak oleh negara berupa Hak Milik, hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai dan Hak Pengelolaan, atau dasar penguasaan atas tanah yang tidak diusahakan, tidak dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya. (Peraturan Kepala BPN RI No. 4 Tahun 2010, Bab I, Pasal 1 ayat 6). Penertiban tanah terlantar adalah proses penataan kembali tanah terlantar agar dapat dimanfaatkan seoptimal mungkin untuk kepentingan masyarakat dan negara. (Peraturan Kepala BPN RI No. 4 Tahun 2010, Bab I, Pasal 1 Ayat 7). -
Obyek Tanah Terlantar Yang menjadi obyek tanah terlantar adalah (PP Nomor 11 Tahun 2010, Bab II, Pasal 2) : 1.) Tanah yang telah berstatus hak, yaitu Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna bangunan, hak Pakai danhak Penelolaan yang tidak diusahakan, tidak dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya. 2.) Tanah yang telah memperoleh dasar
penguasaan (ijin, keputusan, surat) apabila tanahnya tidak dimohon hak, tidak diusahakan, tidak dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan persyaratan atau ketentuan yang ditetapkan. Adapun yang dikecualikan dari obyek penertiban tanah terlantar adalah (PP No. 11 Tahun 2010, bab II, Pasal 3): 1. hak Milik atau hak Guna Bangunan atas nama perseorangan yang secara tidak sengaja tidak dipergunakan sesuai dengan sifat atau tujuan pemberian haknya. 2. Tanah yang dikuasai pemerintah, baik secara langsung maupun tidak langsung dan sudah berstatus maupun belum berstatus barang Milik Negara yang secara tidak sengaja tidak dipergunakan sesuai dengan sifat atau tujuan pemberian haknya. -
Langkah – langkah Proses Penertiban (Peraturan Kepala BPN RI Nomor 4 Tahun 2010, bab II, Pasal 3) : 1. Inventarisasi Inventarisasi tanah yang terindiaksi terlantar dilakukan oleh Kepala Kanwil BPN Provinsi setempat atas dasar hasil pemantauan lapangan oleh Kantor Wilayah, Kantor Pertanahan atau dari laporan dinas/instansi lainnya, laporan tertulis dari amsyarakat, atau pemegang hak. 2. Identifikasi dan Penelitian Tanah terindikasi terlantar yang telah diinventarisasi ditindaklanjuti dengan : Untuk tanah berstatus Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan hak Pakai, identifikasi dan penelitian administrasi terhitung mulai 3 (tiga) tahun sejak diterbitkannya sertipikatnya Untuk tanah yang memperoleh dasar penguasaan (ijin, keputusan, surat) dasar penguasaan atas tanah dari pejabat yang berwenang, identifiaksi dan penelitian terhitung sejak berakhirnya dasar penguasaan tersebut 3. Peringatan Apabila berdasarkan hasil identifikasi dan penelitian disimpulkan terdapat tanah yang ditelantarkan, maka Kepala kantor wilayah memberitahukan sekaligus memberikan peringatan
pertama kepada pemegang hak, agar dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkannya surat peringatan tersebut, menggunakan tanahnya sesuai keadaannya atau menurut sifat dan tujuan pemberian haknya atau sesuai izin/keputusan/surat sebagai dasar penguasaannya Apabila pemegang hak tidak mengindahkan peringatan pertama, maka Kepala kantor Wilayah memberikan peringatan tertulis kedua dengan jangka waktu yang sama dengan peringatan pertama Apabila pemegang hak tidak mengindahkan peringatan kedua, maka Kepala kantor Wilayah memberikan peringatan tertulis ketiga dengan jangka waktu yang sama dengan peringatan kedua Apabila pemegang hak tetap tidak melaksanakan peringatan, Kepala kantor wilayah mengusulkan kepada Kepala BPN untuk menetapkan tanah tersebut sebagai tanah terlantar 4. Penetapan tanah terlantar Kepala BPN menetapkan tanah terlantar terhadap tanah yang diusulkan oleh Kepala Kantor Wilayah sehingga tanah terlantar tersebut berada dalam keadaan status quo. Status quo dimaksud dimulai sejak tanggal pengusulan hingga diterbitkan penetapan tanah terlantar dan tidak dapat dilakukan perbuatan hukum atas tanah dimaksud. D. Kesimpulan Berdasarkan pemaparan sebagaimana yang telah diuraikan pada bagi pembahasan tersebut di atas, penulis dapat mengemukakan kesimpulan sebagai berikut : 1. Adapun kendala yang dihadapi oleh pemerintah dalam upaya pemenuhan hak masyarakat/petani atas tanah adalah karena terjadinya suatu ketimpangan pemilikan dan penguasaan sumber daya alam berupa tanah, di mana terdapat sebagian kecil anggota masyarakat yang menguasai sebagian besar sumber daya alam berupa tanah, di samping faktor kemiskinan yang mengakibatkan ketidakmampuan daya beli masyarakat terhadap obyek tanah. 2. Upaya yang dapat dilakukan oleh Pemerintah dalam pemenuhan hak masyarakat/petani atas tanah adalah :
139
- Melalui Pembaharuan Agraria (Agrarian Reform), yang meliputi restrukturasi aspek penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah dan sumber daya agrarian lainnya. - Redistribusi tanah Negara bekas tanah terlantar kepada masyarakat/petani dalam upaya untuk mewujudkan keadilan untuk semua warga Negara Indonesia. E. Rekomendasi Agar kebijakan pemerintah dalam pemenuhan kepemilikan tanah bagi masyarakat khususnya kepada para petani dapat dilaksanakan secara optimal, maka hal-hal yang dapat dilakukan adalah dengan menyederhanakan prosedur yang ada saat ini, penyediaan dana anggaran untuk penggantian hak atas tanah, dan pendataan pemilikan tanah secara online. DAFTAR PUSTAKA [1] Arie Sukanti Hutagalung, Program Redistribusi Tanah di Indonesia; Suatu Sarana ke Arah Pemecahan Masalah Penguasaan dan Pemilikan Tanah,CV. Rajawali, Jakarta, 19985. [2] Ida Nurlinda., Prinsip-Prinsip Pembaharuan Agraria Perspektif Hukum, Edisi I, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2009. [3] Maria S.W. Sumardjono., Kebijakan Pertanahan antara Regulasi dan Implementasi, Jakarta, Penerbit Buku Kompas, 2001. [4] Urip Santoso., Pendaftaran dan Peralihan Hak atas Tanah, Jakarta, Kencana, 2001. [5] Syarifuddin Kalo., Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, Pustaka Bangsa Press, Jakarta, 2004. [6] Soerjono Soekanto dan Soleman B. Taneko, Hukum Adat Indonesia, Cetakan Keempat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001 [7] Yando Zakaria dkk., Mensiasati Otonomi Daerah Demi Pembaharuan Agraria, Konsorsium Pembaruan Agraria, Bandung, 2001.
140
RESPON KELOMPOK WANITA TANI (KWT) TERATE TERHADAP PEMANFAATAN PESTISIDA NABATIPADA TANAMAN PEKARANGANDI DESA SEPANG KECAMATAN TOHO Sri Widarti1), Suparmii2) 1)
Universitas Panca Bhakti Pontianak E-mail:
[email protected]
2)
Alumni Universitas Panca Bhakti Pontianak
Abstract.Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui respon (peningkatan pengetahuan, keterampilan dan sikap) KWT Terate terhadap pemanfaatan pestisida nabati pada tanaman pekarangan di Desa Sepang, Kecamatan Toho.Metode yang digunakan dalam pengambilan sampel ini adalah menggunakan metode Purposive sampling dimana responden pada penelitian ini adalah seluruh anggota KWT Terate. Analisis data menggunakan metode deskriptif, dimana data yang diperoleh diolah, disusun, dianalisis dan disimpulkan, dan dalam tabulasi data digunakan dua pendekatan, yaitu kualitatif dan kuantitatif. Penilaian terhadap aspek Pengetahuan, Sikap, dan Keterampilan dihitung menggunakan skala likert.Hasil penelitian menyimpulkan bahwa rata-rata skor respon dari aspek Pengetahuan adalah 2.35, sehingga kriteria respon dari aspek Pengetahuan dinyatakan Baik, rata-rata skor respon dari aspek Sikap adalah 2.31, sehingga kriteria respon dari aspek Sikap dinyatakan Cukup Baik, sedangkan rata-rata skor respon dari aspek Keterampilan adalah 2.10, sehingga kriteria respon dari aspek Keterampilan dinyatakan Cukup Baik. Hasil rekapitulasi skor respon dari dari aspek Pengetahuan, Sikap dan Keterampilan diperoleh rerata skor 2.25, sehingga respon anggota KWT Terate terhada p penggunaan pestisida nabati pada tanaman pekarangan dinyatakan Cukup Baik. Keywords: kelompok wanita tani, pestisida nabati, respon.
PENDAHULUAN Peran petani dan wanita sebagai ibu rumah tangga dalam mendukung dan melaksanakan program pertanian organik sangat diharapkan. Tanpa keterlibatan petani dan kaum wanita, program “back to nature” tidak akan tercapai dengan maksimal. Untuk pencapaian program tersebut, alternatif yang paling sederhana dan mudah untuk dilakukan para ibu-ibu rumah tangga adalah dengan memanfaatkan bahan-bahan organik yang ada disekitar kita untuk dijadikan sebagai pestisida nabati dalam pengendalian serangan hama pada tanaman di pekarangan yang aman dan ramah lingkungan (Soemardjo, 2011). Tingginya intensitas serangan hama dan penyakit pada komoditas pertanian saat ini menyebabkan para petani menghadapi dua pilihan yang sama-sama merupakan dilema, disatu sisi jika komoditas usaha tani yang terserang hama dan penyakit yang tidak dikendalikan menggunakan pestisida kimia maka resiko gagal panen yang akan dialami. Sementara disisi lain, jika komoditi pertanian yang terserang hama dan penyakit dikendalikan menggunakan pestisida kimia, maka kandungan residu kimia pada produk pangan yang dihasilkan akan tinggi, dan tentunya sangat merugikan para konsumen dari segi kesehatan serta berdampak buruk pula bagi lingkungan. Resiko serangan hama dan penyakit pada tanaman pekarangan yang mereka usahakan menjadi kendala utama untuk tingginya tingkat keberhasilan. Sehingga sebagai alternatif pengendalian serangan hama dan penyakit tersebut langkah yang ditempuh adalah penggunaan pestisida kimia. Bagi anggota yang memiliki kemampuan dari aspek finansial, tentu menggunakan pestisida kimia adalah merupakan pilihan walaupun harga pestisida kimia relatif mahal, namun bagi anggota yang tidak memiliki kemampuan dari aspek finansial, menggunakan pestisida
kimia tentu bukan merupakan pilihan, sehingga resikonya adalah tanaman pekarangan yang diusahakan tidak produktif seperti tujuan yang diharapkan. Terobosan inovasi yang bermanfaat bagi peningkatan tarap hidup masyarakat tani senantiasa disampaikan oleh petugas instansi terkait dengan pembinaan sumberdaya manusia pertanian, salah satu terobosan inovasi yang telah sampaikan adalah teknik pembuatan dan pemanfaatan tembakau dan daun papaya sebagai pestisida nabati sebagai pengendali segala jenis hama pada tanaman pekarangan. Inovasi ini jika dinilai memang terlihat sederhana, namun manfaat dan dampak yang ditimbulkan dikemudian hari dinilai cukup baik untuk keberlanjutan penghasil produk pangan yang sehat, aman, dan ramah lingkungan. Pestisida Nabati merupakan salah satu alternatif yang bisa dipilih dalam proses pengendalian hama dan penyakit komoditi pertanian. Pestisida Nabati adalah pestisida yang bahan dasarnya berasal dari tanaman atau tumbuhan (Sudarmo, 2005). Potensi bahan baku pembuatan pestisida nabati yang cukup tersedia di wilayah, sekiranya perlu dimanfaatkan seoptimal mungkin guna menghasilkan produk pangan yang sehat dan aman untuk di konsumsi. Yang menjadi kendala adalah karena terbatasnya pengetahuan, keterampilan dan sikap para petani dalam pembuatan dan pemanfaatan Pestisida Nabati. Penelitian terhadap respon KWT Terate ditujukan untuk melakukan evaluasi terhadap perubahan dan peningkatan kognitif, afektif,dan psikomotor, karena Azwar (1988) dalam Pratama (2011) menyatakan bahwa respons terdiri dari tiga komponen yaitu komponen kognisi (pengetahuan), komponen afeksi (sikap) dan komponen psikomotorik (tindakan).
141
Respon berupa peningkatan terhadap aspek pengetahuan, sikap dan keterampilan anggota KWT Terate terhadap pemanfaatan Pestisida Nabati pada tanaman pekarangan belum diketahui, karena walaupun telah diberikan materi tentang Pemanfaatan Pestisida Nabati Pada Tanaman Pekarangan sejak Tahun 2012, namun masih ada anggota yang belum menerapkan pemanfaatan Pestisida Nabati secara berkelanjutan walaupun sebelumnya setelah diberikan materi tersebut seluruh anggota pernah mencoba untuk mengaplikannya. METODE PENELITIAN Penelitian dilaksanakan di KWT Terate, Desa Sepang, Kecamatan Toho, Kabupaten Mempawah. Pengambilan sample dilakukan menggunakan metode purposive sampling, artinya diantara 4 KWT yang ada di Kecamatan Toho, dipilihlah KWT Terate yang beranggotakan 33 orang sebagai sample, dengan pertimbangan bahwa komoditas usaha tanaman pekarangan pada KWT Terate lebih beragam, dan sebagian besar anggotanya telah memanfaatkan pestisida nabati dalam mengendalikan serangan hama pada komoditas yang diusahakan. Analisis Data Data penilaian aspek pengetahuan, sikap, dan keterampilan dihitung menggunakan skala likert. Ini berpedoman pada apa yang dinyatakan oleh Amirin (2011), bahwa skala likert kerap digunakan sebagai skala penilaian karena memberi nilai terhadap sesuatu. Jawaban hasil pengukuran respon pada setiap item instrument pada aspek pengetahuan, sikap, dan keterampilan ini dalam menentukan skala intervalnya mengacu pada pendapat Suliyanto (2011), bahwa skala likert selalu ganjil dan ada pilihan netral atau undecided. Sehingga kriteria penilaian skor terhadap jawaban adalah sebagai berikut: a. Tahu/Setuju/Terampil : 3 b. CukupTahu/Ragu-ragu/Cukup : 2 c. Tidak Tahu/Tidak Setuju/Tidak Terampil : 1 Rentang skor dihitung dengan rumus sebagai berikut: Skor Tertinggi – Skor Terendah Total Range = Rentang Skor Tertinggi Rata-rata Range =
Total Range Total Sample
Dimana:
Skor Tertinggi Skor Terendah
Total Range : Rata-rata Range:
: :
33 x 3 = 99 33 x 1 = 33
99 – 33 / 3 = 22 22 / 33 = 0,67
Sehingga kriteria respon dari responden dapat dilihat dari rata-rata skor nilai yang diperoleh, dengan penjelasan kriteria sebagai berikut: a. > 2,34 – 3 : Baik b. > 1,67 – 2,34 : Cukup Baik c. 1 – 1,67 : Rendah
142
HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Respon Responden Terhadap Penggunaan Pestisida Nabati Pada Tanaman Pekarangan 1. Aspek Pengetahuan a). Pengetahuan Tentang Pengertian Pestisida Nabati Hasil analisis diperoleh : 15 responden (45.45%) dinyatakan Tahu dan 18 responden (54.54%) dinyatakan Cukup Tahu. Sementara dilihat dari hasil rata-rata skor, dapat dinyatakan bahwa kriteria respon anggota KWT Terate terhadap pengertian pestisida nabati dinyatakan Baik, hal ini disebabkan karena ratarata nilai 2,45 yang diperoleh berada pada kriteria keputusan Baik, pada interval skor > 2,34 – 3. b). Pengetahuan Tentang Nama-nama Tanaman Atau Tumbuhan Yang Dapat Dijadikan Sebagai Bahan Pembuatan Pestisida Nabati Hasil analisis diperoleh : 21 responden (63.64%) dinyatakan Tahu dan 12 responden (36.36%) dinyatakan Cukup Tahu. Sementara dilihat dari hasil rata-rata skor, dapat dinyatakan bahwa kriteria respon anggota KWT Terate terhadap nama-nama tanaman atau tumbuhan yang dapat dijadikan sebagai bahan pembuatan pestisida nabati dinyatakan Baik, hal ini disebabkan karena rata-rata nilai 2,64 yang diperoleh berada pada kriteria keputusan Sangat Baik, pada interval skor > 2,34 – 3. c). Pengetahuan Tentang Hama yang Sering Menyerang Tanaman Sayuran Dipekarangan Hasil analisis diperoleh : 17 responden (51.52%) dinyatakan Tahu dan 16 responden (48.48%) dinyatakan Cukup Tahu. Sementara dilihat dari hasil rata-rata skor, dapat dinyatakan bahwa kriteria respon anggota KWT Terate terhadap hama yang sering menyerang tanaman sayuran dipekarangan dinyatakan Baik, hal ini disebabkan karena rata-rata nilai 2,52 yang diperoleh berada pada kriteria keputusan Baik, pada interval skor > 2,34 – 3. d). Pengetahuan Tentang Bahan-bahan yang Dipergunakan Untuk Membuat Pestisida Nabati Tembakau Dan Daun Pepaya Hasil analisis diperoleh : 15 responden (45.45%) dinyatakan Tahu dan 18 responden (54.55%) dinyatakan Cukup Tahu. Sementara dilihat dari hasil rata-rata skor, dapat dinyatakan bahwa kriteria respon anggota KWT Terate terhadap bahan-bahan yang dipergunakan untuk membuat pestisida nabati tembakau dan daun pepaya dinyatakan Baik, hal ini disebabkan karena rata-rata nilai 2,45 yang diperoleh berada pada kriteria keputusan Baik, pada interval skor > 2,34 – 3. e). Pengetahuan Tentang Hama/Penyakit Yang Dapat Dikendalikan Menggunakan Pestisida Nabati Tembakau Dan Daun Pepaya Hasil analisis diperoleh : 4 responden (12.12%) dinyatakan Tahu, 26 responden (78.79%) dinyatakan Cukup Tahu, dan 3 responden (9.10%) dinyatakan Tidak Tahu.
f).
g).
h).
i).
Sementara dilihat dari hasil rata-rata skor, dapat dinyatakan bahwa kriteria respon anggota KWT Terate terhadap hama/penyakit yang dapat dikendalikan menggunakan pestisida nabati tembakau dan daun pepaya dinyatakan Cukup Baik, hal ini disebabkan karena rata-rata nilai 2.03 yang diperoleh berada pada kriteria keputusan Cukup Baik, pada interval skor > 1,67 – 2,34. Pengetahuan Tentang Waktu yang Tepat untuk Menggunakan/Menyemprotkan Pestisida Nabati Pada Tanaman Yang Terserang Hama/Penyakit Hasil analisis diperoleh : 17 responden (51.52%) dinyatakan Tahu, 13 responden (39.39%) dinyatakan Cukup Tahu, dan 3 responden (9.09%) dinyatakan Tidak Tahu. Sementara dilihat dari hasil rata-rata skor, dapat dinyatakan bahwa kriteria respon anggota KWT Terate terhadap waktu yang tepat untuk menggunakan/menyemprotkan pestisida nabati pada tanaman yang terserang hama/penyakit dinyatakan Baik, hal ini disebabkan karena ratarata nilai 2,42 yang diperoleh berada pada kriteria keputusan Baik, pada interval skor > 2,34 – 3. Pengetahuan Tentang Apa Saja Kelemahan Dari Pestisida Nabati Hasil analisis diperoleh : 4 responden (12.12%) dinyatakan Tahu, 28 responden (84.85%) dinyatakan Cukup Tahu, dan 1 responden (3.03%) dinyatakan Tidak Tahu. Sementara dilihat dari hasil rata-rata skor, dapat dinyatakan bahwa kriteria respon anggota KWT Terate terhadap kelemahan dari pestisida nabati dinyatakan Cukup Baik, hal ini disebabkan karena rata-rata nilai 2.09 yang diperoleh berada pada kriteria keputusan Cukup Baik, pada interval skor > 1,67 – 2,34. Pengetahuan Tentang Keunggulan/Keistimewaan Pestisida Nabati Hasil analisis diperoleh : 8 responden (24.24%) dinyatakan Tahu, 23 responden (69.70%) dinyatakan Cukup Tahu, dan 2 responden (6.06%) dinyatakan Tidak Tahu. Sementara dilihat dari hasil rata-rata skor, dapat dinyatakan bahwa kriteria respon anggota KWT Terate terhadap keunggulan/keistimewaan pestisida nabati dinyatakan Cukup Baik, hal ini disebabkan karena rata-rata nilai 2,18 yang diperoleh berada pada kriteria keputusan Cukup Baik, pada interval skor > 1,67 – 2,34. Pengetahuan Tentang Bagian Dari Tanaman Atau Tumbuhan Yang Dapat Dijadikan Pestisida Nabati Hasil analisis diperoleh : 9 responden (27.27%) dinyatakan Tahu, 23 responden (69.70%) dinyatakan Cukup Tahu, dan 1 responden (3.03%) dinyatakan Tidak Tahu. Sementara dilihat dari hasil rata-rata skor, dapat dinyatakan bahwa kriteria respon anggota KWT Terate terhadap bagian dari tanaman atau tumbuhan yang dapat dijadikan pestisida nabati dinyatakan Cukup Baik, hal ini disebabkan karena rata-rata nilai 2,24 yang diperoleh berada pada
j).
2.
kriteria keputusan Cukup Baik, pada interval skor > 1,67– 2,34. Pengetahuan Tentang Urutan Langkah Kerja Pembuatan Pestisida Nabati Tembakau Dan Daun Pepaya Hasil analisis diperoleh : 16 responden (48.48%) dinyatakan Tahu, dan 17 responden (51.52%) dinyatakan Cukup Tahu. Sementara dilihat dari hasil rata-rata skor, dapat dinyatakan bahwa kriteria respon anggota KWT Terate terhadap langkah kerja pembuatan pestisida nabati tembakau dan daun pepaya dinyatakan Baik, hal ini disebabkan karena rata-rata nilai 2.48 yang diperoleh berada pada kriteria keputusan Cukup Baik, pada interval skor > 2,34 – 3.
Aspek Sikap a). Sikap Terhadap Pernyataan Bahwa Penggunaan Pestisida Nabati Mampu Meningkatkan Kualitas Tanaman Buah Maupun Sayuran Hasil analisis diperoleh : 8 responden (24.24%) dinyatakan Setuju, dan 25 responden (75.76%) dinyatakan Ragu-ragu. Sementara dilihat dari hasil rata-rata skor, dapat dinyatakan bahwa kriteria respon anggota KWT Terate terhadap pernyataan bahwa penggunaan pestisida nabati mampu meningkatkan kualitas tanaman buah maupun sayuran dinyatakan Cukup Baik, hal ini disebabkan karena rata-rata nilai 2,24 yang diperoleh berada pada kriteria keputusan Cukup Baik, pada interval skor > 1,67– 2,34. b). Sikap Terhadap Pernyataan Bahwa Proses Pembuatan Pestisida Nabati Tembakau Dan Daun Pepaya Sangat Sederhana Dan Mudah Dilakukan Hasil analisis diperoleh : 9 responden (27.27%) dinyatakan Setuju, 20 responden (60.61%) dinyatakan Ragu-ragu, dan 4 responden (12.12%) dinyatakan Tidak Setuju. Sementara dilihat dari hasil rata-rata skor, dapat dinyatakan bahwa kriteria respon anggota KWT Terate terhadap pernyataan bahwa proses pembuatan pestisida nabati tembakau dan daun pepaya sangat sederhana dan mudah dilakukan dinyatakan Cukup Baik, hal ini disebabkan karena rata-rata nilai 2,15 yang diperoleh berada pada kriteria keputusan Cukup Baik, pada interval skor > 1,67 – 2,34. c). Sikap Terhadap Pernyataan Bahwa Penggunaan Pestisida Nabati Aman Bagi Manusia, Tidak Merusak Tanaman, Akrab Lingkungan, Murah Dan Mudah Dibuat Oleh Petani. Hasil analisis diperoleh : 16 responden (48.48%) dinyatakan Setuju, 16 responden (48.48%) dinyatakan Ragu-ragu, dan 1 responden (3.04%) dinyatakan Tidak Setuju. Sementara dilihat dari hasil rata-rata skor, dapat dinyatakan bahwa kriteria respon anggota KWT Terate terhadap pernyataan bahwa penggunaan pestisida nabati aman bagi manusia, tidak
143
d).
e).
f).
g).
144
merusak tanaman, akrab lingkungan, murah dan mudah dibuat oleh petani dinyatakan Baik, hal ini disebabkan karena rata-rata nilai 2,45 yang diperoleh berada pada kriteria keputusan Baik, pada interval skor > 2,34 –3. Sikap Terhadap Pernyataan Bahwa Pestisida Nabati Sangat Cocok Dan Baik Diterapkan Oleh Petani Buah Maupun Sayuran. Hasil analisis diperoleh : 6 responden (18.18%) dinyatakan Setuju, 23 responden (69.70%) dinyatakan Ragu-ragu, dan 4 responden (12.12%) dinyatakan Tidak Setuju. Sementara dilihat dari hasil rata-rata skor, dapat dinyatakan bahwa kriteria respon anggota KWT Terate terhadap pernyataan bahwa pestisida nabati sangat cocok dan baik diterapkan oleh petani buah maupun sayuran dinyatakan Cukup Baik, hal ini disebabkan karena rata-rata nilai 2,06 yang diperoleh berada pada kriteria keputusan Cukup Baik, pada interval skor > 1,67 – 2,34. Sikap Terhadap Pernyataan Bahwa Seluruh Petani Buah Dan Sayur Harus Menggunakan Pestisida Nabati Secara Terus Menerus. Hasil analisis diperoleh : 4 responden (12.12%) dinyatakan Setuju, 27 responden (81.82%) dinyatakan Ragu-ragu, dan 2 responden (6.06%) dinyatakan Tidak Setuju. Sementara dilihat dari hasil rata-rata skor, dapat dinyatakan bahwa kriteria respon anggota KWT Terate terhadap pernyataan bahwa seluruh petani buah dan sayur harus menggunakan pestisida nabati secara terus menerus dinyatakan Cukup Baik, hal ini disebabkan karena rata-rata nilai 2,06 yang diperoleh berada pada kriteria keputusan Cukup Baik, pada interval skor > 1,67 – 2,34. Sikap Terhadap Pernyataan Bahwa Pestisida Nabati Tembakau Dan Daun Pepaya Mampu Memberantas Kutu Daun Dan Ulat Daun, Pada Tanaman Sayuran. Hasil analisis diperoleh : 7 responden (21.21%) dinyatakan Setuju, 23 responden (69.70%) dinyatakan Ragu-ragu, dan 3 responden (9.09%) dinyatakan Tidak Setuju. Sementara dilihat dari hasil rata-rata skor, dapat dinyatakan bahwa kriteria respon anggota KWT Terate terhadap pernyataan bahwa pestisida nabati tembakau dan daun pepaya mampu memberantas kutu daun dan ulat daun, pada tanaman sayuran dinyatakan Cukup Baik, hal ini disebabkan karena rata-rata nilai 2,12 yang diperoleh berada pada kriteria keputusan Cukup Baik, pada interval skor > 1,67 – 2,34. Sikap Terhadap Pernyataan Bahwa Petani Buah Dan Sayur Harus Didorong Untuk MengembangkanBerbagai Persyaratan Teknis Bahwa Produk Harus Dihasilkan Dengan Teknologi Yang Akrab Lingkungan
Hasil analisis diperoleh : 24 responden (72.73%) dinyatakan Setuju, dan 9 responden (27.27%) dinyatakan Ragu-ragu. Sementara dilihat dari hasil rata-rata skor, dapat dinyatakan bahwa kriteria respon anggota KWT Terate terhadap pernyataan bahwa petani buah dan sayur harus didorong untuk mengembangkanberbagai persyaratan teknis bahwa produk harus dihasilkan dengan teknologi yang akrab lingkungan dinyatakan Baik, hal ini disebabkan karena rata-rata nilai 2.73 yang diperoleh berada pada kriteria keputusan Baik, pada interval skor > 2,34 – 3. h). Sikap Terhadap Pernyataan Bahwa Penggunaan Pestisida Nabati Akan Mampu Meningkatkan Nilai Jual Produk Hasil analisis diperoleh : 5 responden (15.15%) dinyatakan Setuju, 15 responden (45.45%) dinyatakan Ragu-ragu, dan 13 responden (39.40%) dinyatakan Tidak Setuju. Sementara dilihat dari hasil rata-rata skor, dapat dinyatakan bahwa kriteria respon anggota KWT Terate terhadap pernyataan bahwa penggunaan pestisida nabati akan mampu meningkatkan nilai jual produk dinyatakan Cukup Baik, hal ini disebabkan karena rata-rata nilai 1,76 yang diperoleh berada pada kriteria keputusan Cukup Baik, pada interval skor > 1,67 – 2,34. i). Sikap Terhadap Pernyataan Bahwa Penggunaan Pestisida Kimia Bisa Menimbulkan Berbagai Macam Penyakit Bagi Manusia Hasil analisis diperoleh : 23 responden (69.70%) dinyatakan Setuju, 9 responden (27.27%) dinyatakan Ragu-ragu, dan 1 responden (3.03%) dinyatakan Tidak Setuju. Sementara dilihat dari hasil rata-rata skor, dapat dinyatakan bahwa kriteria respon anggota KWT Terate terhadap pernyataan bahwa penggunaan pestisida kimia bisa menimbulkan berbagai macam penyakit bagi manusia dinyatakan Baik, hal ini disebabkan karena rata-rata nilai 2,67 yang diperoleh berada pada kriteria keputusan Baik, pada interval skor > 2,34 – 3. j). Sikap Terhadap Pernyataan Bahwa Untuk Mengurangi Dampak Negatif Penggunaan Pestisida Kimia, Upaya Perlindungan Tanaman Sayuran Dilakukan Harus Berbasis Pada Pengelolaan Ekosistem Secara Terpadu Dan Berwawasan Lingkungan Hasil analisis diperoleh : 27 responden (81.82%) dinyatakan Setuju, dan 6 responden (18.18%) dinyatakan Ragu-ragu. Sementara dilihat dari hasil rata-rata skor, dapat dinyatakan bahwa kriteria respon anggota KWT Terate terhadap pernyataan bahwa untuk mengurangi dampak negatif penggunaan pestisida kimia, upaya perlindungan tanaman sayuran dilakukan harus berbasis pada pengelolaan ekosistem secara terpadu dan berwawasan lingkungan
dinyatakan Baik, karena rata-rata nilai 2,82 yang diperoleh berada pada kriteria keputusan Baik, pada interval skor > 2,34 – 3. 3.
Aspek Keterampilan a). Keterampilan Dalam Menyiapkan Alat-Alat Dan Bahan-Bahan Yang Dipergunakan Untuk Membuat Pestisida Nabati Tembakau Dan Daun Pepaya. Hasil analisis diperoleh : 25 responden (15.15%) dinyatakan Terampil, dan 25 responden (84.85%) dinyatakan Cukup Terampil. Dari hasil rata-rata skor, dapat dinyatakan bahwa kriteria respon anggota KWT Terate dalam menyiapkan alat-alat dan bahan-bahan yang dipergunakan untuk membuat pestisida nabati tembakau dan daun pepaya dinyatakan Cukup Baik, hal ini disebabkan karena ratarata nilai 2,15 yang diperoleh berada pada kriteria keputusan Cukup Baik, pada interval skor> 1,67 –2,34. b). Keterampilan Dalam Mengkomposisi Semua Bahan Untuk Dibuat Menjadi Pestisida Nabati Tembakau Dan Daun Pepaya Sesuai Takaran Yang Telah Dilatihkan Hasil analisis diperoleh : 12 responden (36.37%) dinyatakan Terampil, 11 responden (33.33%) dinyatakan Cukup Terampil, dan 10 responden (30.30%) dinyatakan Belum Terampil. Dari hasil rata-rata skor, dapat dinyatakan bahwa kriteria respon anggota KWT Terate dalam mengkomposisi semua bahan untuk dibuat menjadi pestisida nabati tembakau dan daun pepaya sesuai takaran yang telah dilatihkan dinyatakan Cukup Baik, hal ini disebabkan karena rata-rata nilai 2.06 yang diperoleh berada pada kriteria keputusan Cukup Baik, pada interval skor > 1,67 – 2,34. c). Keterampilan Dalam Meragakan Langkah Kerja Proses Pembuatan Pestisida Nabati Tembakau Dan Daun Pepaya Sebelum Sampai Pada Proses Pemeraman Hasil analisis diperoleh : 5 responden (15.15%) dinyatakan Terampil, 26 responden (78.79%) dinyatakan Cukup Terampil, dan 2
responden (6.06%) dinyatakan Belum Terampil. Sementara dilihat dari hasil rata-rata skor, dapat dinyatakan bahwa kriteria respon anggota KWT Terate dalam meragakan langkah kerja proses pembuatan pestisida nabati Tembakau dan Daun Pepaya sebelum sampai pada proses pemeraman dinyatakan Cukup Baik, hal ini disebabkan karena ratarata nilai 2,09 yang diperoleh berada pada kriteria keputusan Cukup Baik, pada interval skor > 1,67 – 2,34. KESIMPULAN 1. Rata-rata skor respon dari aspek Pengetahuan adalah 2.35, sehingga kriteria respon dari aspek Pengetahuan diinterpretasikan Baik, karena berada pada interval > 2,3 – 3 2. Rata-rata skor respon dari aspek Sikap adalah 2.31, sehingga kriteria respon dari aspek Sikap diinterpretasikan Cukup Baik, karena berada pada interval > 1,67– 2,34. 3. Rata-rata skor respon dari aspek Keterampilan adalah 2.10, sehingga kriteria respon dari aspek Keterampilan diinterpretasikan Cukup Baik, karena berada pada interval > 1,67– 2,34.. 4. Hasil rekapitulasi skor respon dari dari aspek pengetahuan, sikap dan keterampilan diperoleh rerata skor 2.25, sehingga respon anggota KWT Terate terhadap penggunaan pestisida nabati pada tanaman pekarangan diinterpretasikan Cukup Baik, karena berada pada interval > 1,67– 2,34. DAFTAR PUSTAKA [1] [2] [3]
[4]
[5]
[6]
Azwar, 1997. Sikap Manusia, Teori dan Pengukurannya. Pustaka Pelajar, Yogyakarta Mardikanto. T. 1993. Penyuluhan Pembangunan Pertanian. Sebelas Maret University Press. Jakarta Soemardjo, 2011, Peran Penyuluhan Pertanian dalam Mendukung program Diversifikasi Pangan berbasis Sumberdaya Lokal.Ekstensia,Jakarta. Subagyo, 2011, Inovasi Teknologi mendukung Pengembangan Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL). Ekstensia, Jakarta. Sudarmo S, 2005. Pestisida Nabati, Pembuatan dan Pemanfaatannya. Penerbit Kanisius (Anggota IKAPI), Jakarta. Sugiyono, 2016. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Penerbit: CV. Alfabeta, Bandung.
145
146
PENGELOLAAN LAHAN YANG BERKELANJUTAN MENDUKUNG PENINGKATAN DAYA SAING PERKEBUNAN SAWIT RAKYAT Suci Wulandari1) 1)
Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan Email:
[email protected]
ABSTRAK Industri perkebunan kelapa sawit di Indonesia telah menghasilkan manfaat ekonomi yang penting. Pada sisi yang lain, pengembangan areal perkebunan kelapa sawit menimbulkan isu lingkungan yang dianggap menjadi salah satu faktor penghambat dalam pengembangan kelapa sawit Indonesia. Berbagai isu pengelolaan lahan ini telah mempengaruhi daya saing industri sawit nasional. Salah satu strategi mengatasi hal tersebut adalah dengan menerapkan Pengelolaan Lahan Berkelanjutan (Sustainable Land Management). Kementerian Pertanian telah menerbitkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor: 11/Permentan/OT.140/3/2015 tentang Sistem Sertifikasi Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil / ISPO). Penerapan ISPO dilakukan secara sukarela (voluntary) bagi perkebunan rakyat. Tulisan ini merupakan review yang bertujuan untuk: (1) menganalisis faktor-faktor pengelolaan lahan berkelanjutan pada perkebunan sawit rakyat, (2) menganalisis implementasi ISPO terhadap pengelolaan lahan yang berkelanjutan, dan (3) menyusun strategi untuk mendukung pengelolaan lahan berkelanjutan pada perkebunan sawit rakyat. Pilar Pengelolaan Lahan Berkelanjutan terdiri dari: meningkatkan atau mempertahankan produksi (produktivitas/productivity), mengurangi tingkat risiko produksi (keamanan/security), melindungi potensi sumber daya alam serta mencegah degradasi tanah dan air (perlindungan/protection), kelayakan secara ekonomi (kelangsungan/viability), dan diterima secara sosial (penerimaan/acceptability). Aspek dan kriteria ISPO pada dasarnya sejalan dengan prinsip Pengelolaan Lahan Berkelanjutan (Sustainable Land Management). Untuk mendorong tercapainya Pengelolaan Lahan Berkelanjutan berbasis ISPO, maka diperlukan: (1) sistem evaluasi dalam bentuk Rapid Assessment for Sustainable Land Management dan (2) Support Facilities Model. Metode analisis yang digunakan statistik deskriptif untuk pengukuran nilai indikator dan Analitycal Hierarchy Process (AHP) untuk pembobotan aspek pengelolaan lahan berkelanjutan. Keywords: sawit, lahan, pengelolaan, berkelanjutan
1. PENDAHULUAN Industri perkebunan kelapa sawit di Indonesia memegang peranan penting dalam perekonomian nasional. Pada sisi lain, preferensi konsumen untuk membeli CPO sensitif terhadap berbagai isu negatif (black campaign) (Putri, 2013). Isu yang ada terkait dengan: (1) konsumsi CPO berbahaya bagi kesehatan karena diindikasikan mengandung lemak jenuh (saturated fat) yang tinggi, dan (2) produksi CPO yang dianggap menghancurkan lingkungan, terutama di lahan kering (Akyuwen and Sulistyanto, 2011). Perkembangan peran Indonesia dalam industri sawit dunia, diiringi dengan berbagai isu lingkungan terkait dengan pengelolaan lahan berkelanjutan seperti: isu deforestasi, degradasi hutan, rusaknya hábitat dan terbunuhnya satwa liar yang dilindungi, dan meningkatnya emisi Gas Rumah Kaca. Sistem pengelolaan lahan yang dinilai tidak ramah lingkungan selain pembakaran hutan, adalah penggunaan pupuk kimia untuk meningkatkan kesuburan tanah dan penggunaan
pestisida. Praktik tidak ramah lingkungan seperti teknik pembukaan lahan dengan pembakaran hutan dan pembuangan limbah yang tidak terkendali telah menimbulkan citra buruk bagi industri kelapa sawit Indonesia (Butler, 2008). Berbagai isu pengelolaan lahan ini telah mempengaruhi daya saing industri sawit nasional. Dalam upaya untuk mengantisipasi berbagai isu negatif pada industri sawit nasional, Kementerian Pertanian telah menetapkan satu kebijakan baru di bidang perkelapasawitan dengan menerbitkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor: 11/Permentan/OT.140/3/2015 tentang Sistem Sertifikasi Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil / ISPO). Pemerintah dan stakeholders kelapa sawit Indonesia perlu menyiapkan strategi dalam implementasi pembangunan kelapa sawit berkelanjutan, dimana salah satunya adalah menggunakan Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) sebagai alat promosi, advokasi dan kampanye publik untuk memperkuat posisi tawar
147
kelapa sawit Indonesia (Dradjat, 2012). Perkebunan sawit rakyat mendominasi luas areal sawit nasional. Kementerian Pertanian mendorong sertifikasi kebun sawit milik rakyat dengan standar ISPO. Penerapan ISPO bagi perkebunan rakyat bersifat sukarela (voluntary). Penerapan ISPO menuju terbangunnya sistem usaha di bidang perkebunan kelapa sawit yang layak ekonomi, layak sosial, dan ramah lingkungan yang di dasarkan pada peraturan perundang-undangan di indonesia. Tulisan ini merupakan review yang bertujuan untuk: (1) mengidentifikasi faktor-faktor pengelolaan lahan berkelanjutan pada perkebunan sawit rakyat, (2) analisis implementasi ISPO terhadap pengelolaan lahan yang berkelanjutan, dan (3) menyusun strategi untuk mendukung pengelolaan lahan berkelanjutan pada perkebunan sawit rakyat. 2. PERKEMBANGAN INDUSTRI SAWIT NASIONAL Peluang pengembangan industri kelapa sawit sangat besar. Hal ini ditunjukkan dengan tingginya peran kelapa sawit dalam pasar minyak nabati dunia, dimana mencapai pangsa produksi sebesar 34%. Kelapa sawit memiliki produksi dan biaya produksi yang lebih efisien dibandingkan sumber minyak nabati lainnya seperti kedelai, minyak lobak (rapeseed oil), minyak bunga matahari (sunflower oil), minyak jagung, minyak kapas, dan minyak kelapa. Rendemen kelapa sawit dalam memproduksi Crude Palm Oil (CPO) yaitu sebesar 4-5 juta ton per hektar dengan biaya produksi yang tergolong lebih murah daripada tanaman pesaing lainnya. Hal ini menjadi dasar pertimbangan mengapa harga CPO memiliki harga yang lebih terjangkau bagi konsumen dunia dibandingkan dengan harga minyak nabati lainnya (Herianto, 2008). Secara nasional, total ekspor minyak sawit Indonesia pada tahun 2014 mencapai 22,9 juta ton dengan nilai 17.465 juta US$ (Dirjenbun, 2016). Negara tujuan ekspor terbesar Indonesia pada tahun 2014 masih diduduki India, negara Uni Eropa dan China. Ekspor ke India tahun 2014 mencapai 5,1 juta ton, atau turun 17% dibandingkan dengan tahun lalu dimana volume ekspor mencapai 6,1 juta ton. Turunnya ekspor ke India disebabkan berbagai faktor seperti melambatnya pertumbuhan ekonomi India akibat inflasi di dalam negeri yang tinggi, lemahnya nilai tukar rupee terhadap dollar AS pada pertengahan hingga akhir tahun, India menaikkan pajak impor minyak nabati mentah/crude dari 2,5% menjadi 7,5%, sementara untuk refined oil dari 7,5% menjadi 15%. Perkembangan industri sawit nasional masih dihadapkan pada berbagai kendala. Permasalahan yang dihadapi pada industri sawit
148
nasional (GAPKI, 2015) adalah sebagai berikut: (1) kepastian hukum menyangkut tata ruang masih tetap menjadi momok bagi industri kelapa sawit dan masih terdapat kebun-kebun lama yang sudah HGU banyak mengalami masalah tumpang tindih dengan kawasan hutan; (2) infrastruktur yang masih belum mengalami kemajuan yang menyebabkan naiknya biaya transportasi yang berakibat pada kurangnya daya saing CPO Indonesia; (3) terbitnya beberapa regulasi baru yang akan berdampak pada pengembangan industri sawit seperti PP 71/2014 tentang pengelolaan lahan gambut, UU 18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, dan lain-lain; (4) pelaksanaan mandatori BBN 10% masih belum efektif sehingga penyerapan didalam negeri belum tinggi dan penetapan harga BBN juga masih belum kondusif di sisi produsen; (5) Perda di daerah, jumlah perda “bermasalah” semakin banyak, (6) Kampanye negatif dari dalam dan luar negeri dimana di beberapa negara Eropa telah melaksanakan food labeling “Palm Oil Free” terkait informasi produk makanan kepada konsumen dan pemberlakuan biodiesel anti dumping duty; serta (7) kasus kebakaran lahan masih menjadi ancaman karena masalah kebakaran lahan diproses hukum dianggap sebagai masalah pidana. Selain itu beberapa negara Eropa telah melaksanakan food labeling “Palm Oil Free” terkait informasi produk makanan kepada konsumen dan pemberlakuan biodiesel anti dumping duty. Luas areal kelapa sawit mencapai 10.754,8 ribu ha dimana sebesar 41,19% dimiliki oleh perkebunan rakyat. Produktivitas tanaman kelapa sawit rakyat sekitar 2 ton per ha untuk minyak sawit mentah (crude palm oil) atau 12 ton per ha untuk tandan buah segar (TBS) dengan rendemen 18-20%. Pada sisi lain, perkebunan sawit milik perusahaan besar swasta dan milik negara mampu mencapai 5-6 ton per ha untuk CPO atau 25-30 ton per ha untuk TBS dengan rendemen 21-25%. 3. PENGELOLAAN LAHAN BERKELANJUTAN Pengelolaan Lahan Berkelanjutan (Sustainable Land Management) didefinisikan (Dumanski dan Smyth, 1994) sebagai suatu sistem yang menggabungkan teknologi, kebijakan dan kegiatan yang ditujukan untuk mengintegrasikan prinsip Sosial Ekonomi dengan masalah lingkungan secara bersamaan. Implementasi dari pengelolaan lahan berkelanjutan ditujukan untuk: meningkatkan atau mempertahankan produksi (produktivitas/productivity), mengurangi tingkat risiko produksi (keamanan/security), melindungi potensi sumber daya alam serta mencegah degradasi tanah dan air (perlindungan/protection), kelayakan secara ekonomi (kelangsungan/viability),
dan diterima secara sosial (penerimaan/acceptability). Pada tingkat usaha perkebunan, operasionalisasi dari pilar pengelolaan lahan berkelanjutan ditunjukkan dengan indikator (Gameda et al., 2000) yang terdiri dari: produktivitas (productivity): trend yield, adopsi teknologi dan teknik baru, serta ketersediaan dan kinerja varietas keamanan (security): bencana alam atau perubahan iklim perlindungan (protection): trend degradasi, lamanya rotasi, lama bera kelangsungan (viability): pendapatan, program pemerintah, manajemen tujuan penerimaan (acceptability): ketersediaan layanan, dampak off farm Berdasarkan hal tersebut, maka pilar pengelolaan lahan berkelanjutan adalah: (1) produktivitas (productivity), (2) keamanan (security), (3) perlindungan (protection), (4) kelangsungan (viability), dan (5) penerimaan (acceptability) (Dumanski dan Smyth, 1993). Framework for Evaluation of Sustainable Land Management (FESLM) adalah prosedur analisis jalur logis untuk panduan evaluasi penggunaan lahan berkelanjutan melalui serangkaian ilmiah langkah (Smyth dan Dumanski, 1993). Produktivitas sawit nasional tergolong rendah rata-rata sekitar 3,64 ton CPO/ha/tahun. Padahal potensi produktivitas yaitu mencapai 7-8 ton/ha/tahun. Produktivitas perkebunan sawit rakyat lebih rendah yaitu 3,14 ton CPO/ha/tahun. Hal ini menunjukkan tingginya kesenjangan dengan target pemerintah dalam program 35-26 yaitu produktivitas TBS sebesar 35 ton/ha/tahun dan rendemen minyak sawit sebesar 26%. Angka ini setara dengan produktivitas sebesar CPO 7 ton/ha/tahun. Rendahnya produktivitas tidak terlepas dari pengelolaan sistem usahatani yang belum sesuai anjuran baik dalam pemupukan, konservasi air dan tanah, serta pengendalian hama penyakit. Selain itu kualitas bahan tanam yang digunakan karena penggunaan bibit palsu. Dampak perubahan iklim yang paling menonjol adalah degradasi sumber daya lahan, perubahan pola tanam, serta penurunan luas tanam dan produktivitas pertanian (Septiawan, 2015). Strategi utama sektor pertanian menghadapi perubahan iklim adalah optimalisasi sumber daya lahan, penyesuaian pola tanam dan pengelolaan lahan, serta diversifikasi pertanian yang didukung oleh inovasi teknologi adaptif dan ramah lingkungan, seperti varietas unggul rendah emisi, toleran kakeringan, banjir, salinitas, tahan OPT, pengelolaan lahan dan air (Haryono et al., 2011). Komponen iklim yang berpengaruh terhadap pertumbuhan kelapa sawit antara lain suhu udara, curah hujan dan kelembaban udara. Untuk
pertumbuhan kelapa sawit, memerlukan rata-rata curah hujan tahunan berkisar 2.000 mm tanpa bulan kering. Cekaman air tanah (kekeringan) akan menunjukkan penurunan produksi kelapa sawit, karena meningkatnya jumlah tandan buah jantan (Pahan, 2006). Kisaran rata-rata suhu udara tahunan yang optimum untuk kelapa sawit 25-28 derajat Celcius, tetapi masih dapat berproduksi pada rata-rata suhu udara tahunan antara 24-38 derajat Celcius. Kombinasi antara curah hujan dan suhu udara sangat berperan dalam mekanisme proses fotosintesis. Bila dua faktor tersebut ada gangguan tentunya akan mengganggu fotosinsesis yang beujung pada menurunnya produksi kelapa sawit. Komponen iklim yang berpengaruh terhadap pertumbuhan kelapa sawit antara lain suhu udara, curah hujan dan kelembaban udara. Kombinasi curah hujan dan suhu udara sangat berperan dalam mekanisme proses fotosintesis (Paoli et al., 2012). Bila dua faktor tersebut ada gangguan tentunya akan mengganggu fotosinsesis yang beujung pada menurunnya produksi kelapa sawit. El Nino berpengaruh pada penurunan produksi TBS karena banyak munculnya bunga jantan, cadangan bunga dan buah sedikit bahkan kosong, muncul lebih dari 3 daun tombak hingga terjadi malforasi tandan. El-nino pada tahun 2016, telah menurunkan produktivitas sawit sekitar 515%. Pernyataan terkait penggunaan sawit bagi Bahan Bakar Nabati yang diduga sebagai penyebab perubahan iklim merupakan black campaign, karena untuk penyerapan B20 pemerintah tidak meminta membuka lahan baru tapi meningkatkan produktifitas kelapa sawit (Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian, 2016). Secara nasional, industri sawit nasional memberikan sumbangan devisa terbesar pada tahun 2016, yaitu mencapai 18 miliar US$. Industri kelapa sawit mampu menyerap tenaga kerja yang cukup besar, meningkatkan perekonomian masyarakat dan kondisi sosial masyarakat. Industri kelapa sawit berperan besar dalam pendapatan penduduk pedesaan. Pendapatan rata-rata petani kecil kelapa sawit tujuh kali pendapatan petani yang mengandalkan hidup dari tanaman pangan (Oil World, 2010). Pengembangan industri sawit merupakan sumber yang signifikan dalam penurunan angka kemiskinan melalui budidaya pertanian dan proses pengelolaan sawit (World Growth, 2009). Pengelolaan perkebunan kelapa sawit di Indonesia juga diikuti dengan isu terkait aspek sosial. Perkebunan kelapa sawit dipandang sebagai bagian penting dari struktur sosial di daerah pedesaan (Cook et al., 2016). Beberapa isu tersebut antara lain: sengketa kepemilikan lahan, proses perizinan lahan, hak dan hubungan karyawan dengan perusahan perkebunan, pemberdayaan penduduk lokal, pergeseran sosial
149
budaya, terkikisnya kearifan lokal, kecemburuan sosial akibat adanya pekerja dari pendatang, perubahan mata pencaharian penduduk lokal, serta penurunan kualitas lingkungan biofisik yang mengakibatkan turunnya kesehatan masyarakat sebagai dampak beroperasinya perusahaan perkebunan kelapa sawit (Agustina, 2014). 4. DUKUNGAN ISPO TERHADAP PENGELOLAAN LAHAN YANG BERKELANJUTAN ISPO merupakan perangkat yang memandu pengelolaan usaha perkebunan sawit agar dilaksanakan secara berkesinambungan dalam aspek sosial, ekonomi dan lingkungan. Penerapan ISPO diharapkan dapat mengatur pelaku pada industri kelapa sawit untuk memproduksi kelapa sawit berkelanjutan sesuai peraturan, melindungi dan mempromosikan usaha perkebunan kelapa sawit agar berdayasaing di pasar dunia, serta mendukung komitmen Indonesia dalam pelestaraian sumber daya alam dan fungsi lingkungan hidup (Agustina, 2014). Pengelolaan lahan berkelanjutan sejalan dengan prinsip-prinsip ISPO. Terkait dengan aspek produktivitas, sejalan dengan prinsip kedua ISPO yaitu: penerapan Pedoman Teknis Budidaya dan Pengangkutan Kelapa Sawit. Kriteria yang tercantum didalam prinsip kedua meliputi: (1) pembukaan lahan, (2) perbenihan, (3) penanaman pada tanah mineral, (4) penanaman pada lahan gambut, (5) pemeliharaan tanaman, (6) pengendalian organisme pengganggu tumbuhan (OPT), (7) pemanenan, (8) pengangkutan buah, serta (9) penjualan dan kesepakatan harga TBS. Pembukaan lahan diharapkan memenuhi kaidah-kaidah konservasi tanah dan air, serta tidak dengan membakar. Pemenuhan kriteria ini ditunjukkan dengan: (1) Pekebun melaksanakan pembukaan lahan sesuai Pedoman Pembukaan Lahan Tanpa Bakar, (2) Pekebun membuka lahan dengan memperhatikan kaidah-kaidah konservasi lahan dan air, serta (3) Tersedia dokumen pembukaan lahan tanpa bakar. Adapun panduan yang menjadi acuan adalah: Pedoman Teknis Pembukaan Lahan tanpa Bakar. Pada lahan miring dapat ditanami dengan melakukan terasering. Lahan yang memerlukan konservasi dilakukan dengan pembuatan sistem drainase dan terasering. Dari aspek perbenihan, benih yang digunakan harus berasal dari sumber benih yang telah mendapat rekomendasi dari pemerintah. Pemenuhan kriteria ini dilakukan melalui: (1) Benih tanaman berasal dari sumber benih yang direkomendasi oleh pemerintah. Apabila Pekebun menggunakan benih asalan, dalam peremajaan Pekebun harus menggunakan benih unggul bersertifikat, (2) Pelaksanaan perbenihan dan pembibitan kelapa sawit sesuai dengan pedoman yang telah dibuat oleh Kementerian Pertanian, serta
150
(3) Tersedia catatan asal benih. Pelaksanaan proses perbenihan harus dapat menjamin bahwa: Benih atau bahan tanam yang digunakan merupakan benih bina yang berasal dari sumber benih yang telah mendapat pengakuan dari pemerintah dan bersertifikat dari instansi yang berwenang, Umur dan kualitas benih yang disalurkan sesuai ketentuan teknis, serta adanya catatan perbenihan di Pekebun, kelompok tani dan koperasi. Pada prinsip penanaman, pekebun, kelompok tani, koperasi dalam melakukan penanaman harus sesuai baku teknis dalam mendukung optimalisasi produktivitas tanaman. Indikator aspek ini adalah: (1) Pekebun melaksanakan penanaman yang sesuai Pedoman Teknis Budidaya Kelapa Sawit Terbaik (GAP), dan (2) tersedia catatan pelaksanaan penanaman. Pemeliharaan tanaman dalam mendukung produktivitas tanaman. Pekebun, kelompok tani, koperasi harus melakukan pengamatan pengendalian OPT dengan menerapkan Pengendalian Hama Terpadu (PHT) sesuai dengan ketentuan teknis dengan memperhatikan aspek lingkungan. Terkait dengan aspek keamanan (security) diketahui bahwa pada ISPO terdapat prinsip pengelolaan dan pemantauan lingkungan yang diharapkan dapat memenuhi kewajiban terkait ijin lingkungan, pencegahan dan penanggulangan kebakaran, pelestarian biodiversity. Aspek perlindungan (protection) terkait dengan upaya untuk menjaga kuantitas dan kualitas sumberdaya lahan dengan disertai konservasi untuk mempertahankan keragaman genetik atau melestarikan spesies tanaman atau hewan. Pada prinsip pengelolaan dan pemantauan lingkungan terdapat kriteria pelestarian biodiversity. Pelaku dalam industry kelapa sawit harus menjaga dan melestarikan keaneka ragaman hayati pada areal yang dikelola. Aspek viabilitas terkait dengan terkait dengan aspek ekonomi dimana kegiatan memiliki tingkat kelayakan yang tinggi. Pada prinsip peningkatan usaha secara berkelanjutan Pekebun, kelompok tani, koperasi, dengan bimbingan lembaga terkait lainnya terus menerus meningkatkan kinerja (sosial, ekonomi, dan lingkungan) dengan mengembangkan dan mengimplementasikan rencana aksi yang mendukung peningkatan produksi kelapa sawit berkelanjutan. Peningkatan yang berkelanjutan diharapkan dapat mempercepat peningkatan kesejahteraan petani dan masyarakat. Aspek penerimaan terkait dengan penerimaan secara sosial. Prinsip yang terkait dengan aspek ini adalah Prinsip Legalitas Kebun yaitu kriteria Lokasi Perkebunan, dan Prinsip Pengelolaan Kebun yaitu kriteria Sengketa Lahan dan Kompensasi serta Sengketa Lainnya. Lokasi Perkebunan dimana lokasi kebun Pekebun swadaya
secara teknis, sesuai dengan tata ruang dan lingkungan untuk perkebunan kelapa sawit. Sengketa Lahan dan Kompensasi serta Sengketa Lainnya dimana Koperasi dan kelompok tani harus memastikan bahwa lahan perkebunan bebas dari status sengketa dengan masyarakat disekitarnya atau sengketa lainnya. Berdasarkan penjelasan di atas, diketahui bahwa Pengelolaan Lahan Berkelanjutan sejalan dengan prinsip dan kriteria pada ISPO dalam upaya meningkatkan daya saing perkebunan sawit rakyat. Untuk mendorong tercapainya Pengelolaan Lahan Berkelanjutan berbasis ISPO, maka diperlukan sebuah sistem evaluasi dan sistem pendukung dalam bentuk Support Facilities Model. Tahapan evaluasi Pengelolaan Lahan Berkelanjutan terdiri dari: (1) identifikasi tujuan evaluasi, khususnya sistem penggunaan lahan dan pengelolaan praktis; (2) definisi proses analisis, yang terdiri dari faktor evaluasi, kriteria diagnostik, indikator, dan ambang batas; dan (3) penilaian akhir yang mengidentifikasi status keberlanjutan penggunaan lahan sistem di bawah evaluasi (Gameda et al., 2000). Evaluasi pengelolaan lahan berkelanjutan berbasis prinsip dan kriteria ISPO dalam operasionalisasinya membutuhkan sistem evaluasi dan alat analisis. Kriteria diagnostik dibangun dengan memperhatikan prinsip dan kriteria pada ISPO, sedangkan penilaian dilakukan dengan membangun sebuah metode analisis yang komprehensif. Mengingat bahwa pengelolaan lahan bersifat dinamis, maka nilai aspek pengelolaan lahan diduga akan mengalami pergeseran relatif. Berdasarkan hal tersebut maka diperlukan sebuat alat analisis yang dapat memperhitungkan bobot atau nilai relatif kepentingannya. Metode analisis adalah statistik deskriptif untuk pengukuran nilai indikator dan Analitycal Hierarchy Process (AHP) untuk pembobotan aspek. Pemerintah dapat memberikan kontribusi untuk memastikan penerapan hukum dan keamanan dalam pengelolaan industri sawit Indonesia, memberikan pelayanan dalam memasok infrastruktur dan lisensi, kebijakan moneter seperti tingkat suku bunga dan nilai tukar, dan kebijakan fiskal kebijakan seperti pajak untuk ekspor dan pajak PPN (Dharmawan et al., 2015). Selain itu untuk mendorong tercapainya Pengelolaan Lahan Berkelanjutan, diperlukan sebuah sistem pendukung dalam bentuk Support Facilities Model untuk melengkapi konsep ISPO. Pada model ini dikembangkan operasionalisasi prinsip dan kriteria ISPO dalam konteks yang lebih luas serta dukungan fasilitas yang diperlukan oleh perkebunan sawit rakyat. Fasilitasi adalah modifikasi dari sebuah sistem yang akan membuat sesuatu menjadi lebih mudah dalam proses pencapaian tujuan. Fasilitasi digambarkan sebagai sebuah kondisi dari kesempatan, sumberdaya,
dukungan terhadap sebuah kelompok untuk mencapai tujuan mereka (NAPSF, 2008). Fasilitasi bagi pengembangan komoditas melibatkan pemerintah, dunia usaha, donor, dan masyarakat. Bentuk fasilitasi dari setiap pelaku sejalan dengan peran yang diemban dalam pengembangan komoditas. Terdapat berbagai bentuk fasilitas yang dapat diberikan dalam upaya mempercepat pencapaian tujuan yaitu: fasilitas teknis, fasilitas finansial, fasilitas sumberdaya, fasilitas legal dan administratif (BSFMCT, 2008). Fasilitasi dapat diberikan dalam berbagai bentuk. Ditinjau dari instrumen yang dapat diberikan (Jaffee 2008) adalah sebagai berikut: (1) adopsi dan pengembangan teknologi: penelitian dan pengembangan untuk perbaikan benih, penanganan pasca panen, teknologi informasi dan pengetahuan, dan penyuluhan (2) manajemen unit usaha: manajemen usahatani, manajemen usaha pengolahan, manajemen pengadaan barang, manajemen mutu, dan manajemen keamanan pangan; (3) instrumen finansial: pembiayaan, dan hedging; (4) infrastruktur: transportasi dan komunikasi, energi, transfer informasi dan pengetahuan, fasilitas penyimpanan dan penanganan produk, dan fasilitas pengolahan; (5) kebijakan: institutional arrangement, pengaturan, kebijakan pemerintah, HAKI, dan peraturan perburuhan; serta (6) kemitraan: tindakan oleh kelompok tani, asosiasi, koperasi, dan kerjasama. 6. KESIMPULAN DAN SARAN KESIMPULAN Pengelolaan Lahan Berkelanjutan (Sustainable Land Management) menjadi langkah strategis dalam mengantisipasi isu pada perdagangan sawit di pasar internasional. Pada sisi yang lain, dalam upaya untuk mengantisipasi berbagai isu negatif pada industri sawit nasional, Kementerian Pertanian telah menetapkan satu kebijakan baru di bidang perkelapasawitan dengan menerbitkan Sistem Sertifikasi Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil atau ISPO) yang berlaku juga bagi perkebunan sawit rakyat. Aspek dan kriteria ISPO pada dasarnya sejalan dengan prinsip Pengelolaan Lahan Berkelanjutan (Sustainable Land Management). SARAN Evaluasi pengelolaan lahan berkelanjutan berbasis prinsip dan kriteria ISPO dalam operasionalisasinya membutuhkan sistem evaluasi dan alat analisis. Kriteria diagnostik dibangun dengan memperhatikan prinsip dan kriteria pada ISPO, sedangkan penilaian dilakukan dengan membangun sebuah metode analisis yang komprehensif. Mengingat bahwa pengelolaan lahan bersifat dinamis, maka nilai aspek pengelolaan lahan diduga akan mengalami pergeseran relatif. Berdasarkan hal tersebut maka
151
diperlukan sebuat alat analisis yang dapat memperhitungkan bobot atau nilai relatif kepentingannya. Metode analisis adalah statistik deskriptif untuk pengukuran nilai indikator dan Analitycal Hierarchy Process (AHP) untuk pembobotan aspek. Untuk mendorong tercapainya Pengelolaan Lahan Berkelanjutan, maka diperlukan sebuah sistem pendukung dalam bentuk Support Facilities Model untuk melengkapi konsep ISPO. Pada model ini dikembangkan operasionalisasi prinsip dan kriteria ISPO dalam konteks yang lebih luas serta dukungan fasilitas yang diperlukan oleh perkebunan sawit rakyat. DAFTAR PUSTAKA [1] Agustina D. 2014. Analisis Lingkungan Sosial Ekonomi Pengelolaan Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Berdasarkan Kriteria ISPO (Studi Kasus PT. X Kalimantan Selatan). Thesis pada Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 73p. [2] Akyuwen R and Sulistyanto. 2011. Factors Affecting the Performance of Indonesia’s Crude Palm Oil Export. International Conference on Economics and Finance Research IPEDR vol.4 (2011), p:281-289. [3] BSFMCT. Business Support Facilities Management of Cape Town, 2008. Business Support Framework. Business Support Facilities Management [4] Butler RA. 2008. Minyak Kelapa Sawit Tidak Harus Buruk bagi Lingkungan. http://mongabay.com/indonesian/kelapa2.html. [5] Cook S, Sugianto H, Lim CH, Mohanaraj SN, Samosir MSY, Donough CR, Oberthiir T, Lim YL, Cook J, dan Kam SP. 2016. Kelapa Sawit di Persimpngan Jalan: Peranan Plantation Intelligence dalam Mendukung Perubahan, Keuntungan, dan Keberlanjutan. Info Sawit Edisi Maret 2016. p:22-25. [6] Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. 2016. Mewujudkan Wilayah Sumatera, sebagai Sentra Supply Chain Industri Perkebunan Kelas Dunia. 29p. [7] Dharmawan D and Sarianti T. 2015. Indonesia’s Crude Palm Oil (CPO) Againts Black Campaign. The Macrotheme Review 4(5), Summer 2015. P: 59-80 [8] Dirjenbun. 2016. Statistik Tanaman Perkebunan: Kelapa Sawit 2011-2015. 79p. [9] Dradjat B. 2012. Upaya Mengatasi Black Campaign Kelapa Sawit dan Langkah Strategis ke Depan. Prosiding Seminar Nasional: Petani dan Pembangunan Pertanian, 2012. p: 276-292. [10] Dumanski J and Smyth AJ. 1994. The issues and challenges of sustainable land management. Proc. International Workshop on Sustainable Land Management for the 21st Century. In Wood, R.C. and Dumanski, J. (eds). Vol. 2: Plenary Papers. Agricultural Institute of Canada, Ottawa. 381p. [11] Gameda S, Dumanski J, and Acton D. 2000. Farm Level Indicator of Sustainable Land Management
152
[12]
[13]
[14]
[15]
[16]
[17]
[18]
[19]
[20]
[21]
[22]
[23]
[24]
for the Development of Decision Support System. 9p. GAPKI, 2015. Refleksi Industri Kelapa Ssawit 2015 dan Prospek 2016. https://gapki.id/refleksiindustri-kelapa-sawit-2015-dan-prospek-2016/ Haryono dan Las I. 2011. Strategi Mitigasi dan Adaptasi Pertanian terhadap Dampak Perubahan. Prosiding Seminar Nasional "Era Baru Pembangunan Pertanian: Strategi Mengatasi Masalah Pangan, Bioenergi dan Perubahan Iklim". 10p. Herianto DD. 2008. Analisis Dayasaing Industri CPO Indonesia di Pasar Internasional. Skripsi pada Program Sarjana Ekstensi Manajemen Agribisnis Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. 185p. Jaffee S, Paul S, Colin A. 2008. Rapid Agricultural Supply Chain Risk Assessment. Conceptual Framework and Guidelines for Application. Commodity Risk Management Group Agriculture and Rural Development Department. World Bank. NAPSF. Nigeria Agriculture Policy Support Facilities. 2008. National Economic Empowerment and Development Strategy. National Economic Empowerement and Development. Oil World. 2010. Fakta Kelapa Sawit Indonesia dalam Tim Advokasi Minyak Sawit IndonesiaDewan Minyak Sawit Indonesia (TAMSI-DMSI). Indonesia (ID). Pahan, I. 2006. Panduan Lengkap Kelapa Sawit. Jakarta (ID): Penebar Sawadaya. Oil World. 2012. Global Supply Demand and Price Outlook of Poils and Fats. New Orleans (US) : Paper given at the Global Oils & Forum of the APOC. Paoli GD, Gillespie P, Philip L. Wells, Hovani L, Aisyah E. Sileuw, Franklin N dan Schweithelm J. 2012. Sawit Di Indonesia: Tata Kelola, Pengambilan Keputusan dan Implikasi bagi Pembangunan Berkelanjutan. Puteri MA. 2013. Studi Kelayakan Usaha Peremajaan Perkebunan Kelapa Sawit Melalui Koperasi dan Mandiri (Kasus di Desa Harapan Makmur dan Desa Sekoci, Kabupaten Langkat). Skripsi pada Institut Pertanian Bogor. 103 p. Putri MD. 2013. Analisis Dampak Black Campaign Minyak Kelapa Sawit (CPO) Terhadap Volume Ekspor CPO Indonesia. Skripsi pada Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor. 57p. Septiawan H. 2015. Analisis Pengelolaan Lingkungan Pabrik Kelapa Sawit Batu AmparPT Smart Tbk Dalam Implementasi Indonesian Sustainable Palm Oil. Tesis pada Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, 81p. Smyth, A.J. and Dumanski, J. 1993. FESLM: An International Framework for Evaluating Sustainable Land Management. World Soil Resources Report 73. FAO, Rome. 74p. World Growth. 2009. Palm Oil – The Sustainable Oil, Arlington, VA. http://www.worldgrowth.org/assets /files/Palm_Oil.pdf.
REVITALISASI KANDANG DALAM RANGKA MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN PETERNAK RAKYAT AYAM RAS PEDAGING Unang1), Rina Nuryati2Enok Sumarsih3) Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Siliwangi
E-mail: 1)
[email protected] 2)
[email protected] 3)
[email protected]
Abstract. The study aims to look at the general condition of the stables owned by ranchers and
its influence on the productivity of the stables, to identify the feasibility of the stable revitalization program as well as to identify the extent of the revitalization program of the stables whether have an impact on increased productivity and farmer income . The survey was conducted in the district of Ciamis, District and the City of Tasikmalaya. The stable conditions had decreased functionally. Stables used by farmers in the study area had a quite diverse condition. There was a tendency of the productivity difference between good stable condition categories with broken categories. Feed Conversion Ratio (FCR) in the stables with a broken category were 1.73 to 1.77 and Performance Index (IP) of 227 -273, while in the stables with good conditions FCR were 1.42 to 1.54 with the IP amounted to 308 -372. The stables revitalization program would increase farmer income, indicated by the increasing the productivity of the stables after revitalization. Financing Pattern Model of Revitalization were recommended to finanlcial credit provider with an interest rate of 14 percent per year, with the assumption that 50 percent damage level stable of 3000's chicks scale business, All the business pattern ( Maloon, partnership and outomoous pattern) were feasible.
Keywords: Revitalization stable, stable productivity, financing PENDAHULUAN
Komoditas unggas mempunyai prospek pasar yang sangat baik karena didukung oleh karakteristik produk unggas yang dapat diterima oleh masyarakat Indonesia , dengan harga relatif murah dengan akses yang mudah diperoleh. Komoditas ini merupakan pendorong utama penyediaan protein hewani nasional, sehingga prospek yang sudah bagus ini harus dimanfaatkan untuk memberdayakan peternak di pedesaan melalui pemanfaatan sumberdaya secara lebih optimal. Untuk memastikan keberhasilan usaha para pengusaha perunggasan khususnya usaha ternak ayam ras pedaging (broiler) perlu memperhatikan kondisi lingkungan dimana ayam dipelihara, yaitu kandang. Untuk mendapatkan kondisi kandang yang nyaman agar ayam terhindar dari cekaman. Cekaman antara lain disebabkan tingginya suhu udara yang menyebabkan ayam banyak minum untuk mendinginkan tubuhnya, kejadian ini akan berdampak pada turunnya konsumsi pakan ayam. Pengurangan konsumsi pakan akan mengakibatkan penurunan produktivitas ayam. Cekaman suhu tinggi
dan sanitasi yang buruk juga dapat menyebabkan ayam mudah terserang penyakit. Di Kabbupaten Ciamis rata-rata usia kandang ayam yang dimiliki peternak sudah tua sejalan dengan itu indikasi penurunan produktivitas ternak ayam juga telah terjadi. Indeks Performa (IP) peternak di Kabupaten Ciamis berkisar antara 280300 sementara itu IP di Wabin Farm (peternakan yang dikelola oleh Jaffa Confeed) misalnya, untuk open house mencapai 340-360 tiap periode sementara untuk closed house ada di angka 400-an. Berdasarkan data dari Dinas Peternakan Jawa Barat, Kabupaten Ciamis merupakan produsen ayam ras pedaging kedua terbesar di Jawa Barat setelah Bogor. Menurut Ajat Sudrajat, Ketua Kerukunan Peternakan, ayam Priangan Timur, kurang lebih lima ribu kandang ternak ayam yang ada, sekarang ini kosong dan kondisinya rusak. Lebih lanjut dijelaskan bahwa sudah hampir delapan tahun peternakan ayam di Priangan Timur mengalami kemandekan. Banyak kandang kosong dan rusak sehingga perlu diperbaiki atau direvitalisasi agar
153
usaha budi daya ternak bisa kembali berkembang sehingga roda ekonomi di daerah Priangan Timur, terus bergerak ke arah yang lebih baik Usaha ternak ayam ras pada umumnya dilakukan dalam tiga sistem pengelolaan usaha yaitu pola usaha kemitraan, pola usaha makloon dan pola usaha mandiri. Dari ketiga sistem pengelolaan usaha tersebutdi Kabupaten Ciamis , Kabupaten dan Kota Tasikmalaya sistem makloon merupakan sistem pengelolaan yang paling banyak dilakukan (80 persen), diikuti dengan sistem kemitraan (16 persen) dan mandiri (4 persen). Kondisi ang menyulitkan para peternak adalah untuk mengakses sumber pembiayaan dari pihak perbankan, karena berdasarkan hasil wawancara dengan pihak perbankan juga terungkap bahwa sistem makloon tidak layak untuk mendapatkan fasilitas kredit. Padahal dalam sistem makloon ini terdapat share biaya produksi antara inti dengan plasma, berupa sarana produksi (DOC, pakan, dan obat-obatan ) dari inti sedangkan kandang dan seluruh komponennya disediakan oleh plasma/peternak. Sementara itu biaya yang diperlukan untuk kandang dan seluruh komponennya cukup besar terutama pada saat kandang tersebut mengalami kerusakan dan perlu diperbaiki.
Rumusan Masalah Diperlukan kajian untuk mengetahui kelayakan program revitalisasi kandang, dan mengidentifikasi sejauhmana program revitalisasi kandang akan berdampak terhadap peningkatan produktivitas dan pendapatan peternak rakyat. Selanjutnya bagaimana pola pembiayaan atau lending model sebagai alat yang ditujukan kepada lembaga pembiayaan dalam rangka mendorong pengembangan usaha ternak karena untuk revitalisasi kandang diperlukan sejumlah biaya tertentu yang memerlukan keterlibatan pihak lembaga keuangan untuk memfasilitasi penyediaan kredit yang dibutuhkan.
Tujuan Penelitian a. Melihat secara umum kondisi kandang milik peternak rakyat serta pengaruhnya terhadap produktivitas panen. b. Mengidentifikasi kelayakan program revitalisasi kandang c. Mengidentifikasi sejauhmana program revitalisasi kandang akan berdampak terhadap peningkatan produktivitas dan pendapatan peternak rakyat d. Menyusun pola pembiayaan atau lending model sebagai alat yang ditujukan kepada lembaga pembiayaan dalam rangka mendorong pengembangan usaha ternak.
154
METODE PENELITIAN Penelitian dilaksanakan Kabupaten Ciamis dan Kabupaten/Kota Tasikmalaya, dimana industri ini memberikan kontribusi ekonomi secara signifikan. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode survey. Tahapannya meliputi pengumpulan informasi awal tentang usaha peternakan ayam ras pedaging yang dijadikan responden (Tahap I), survey selanjutnya adalah mengumpulkan data primer menggunakan alat bantu kuesioner (tahap II), dan wawancara dan observasi mendalam (in depth) dengan peternak dan stakeholders industri ayam ras pedaging ( Dinas Peternakan, Poultry Shop, Asosiasi, dan perbankan). Data sekunder dikumpulkan dari instansi terkait, antara lain BPS Kabupaten Ciamis, Dinas Peternakan Kabupaten Ciamis, Asosiasi Pengusaha Perunggasan, literatur terkait industri ayam ras pedaging, dokumen-dokumen lainnya Data dari peternak meliputi: 1). Keadaan atau kondisi kandang, instalasi listrik, instalasi air, tempat pakan dan tempat minum, pemanas serta perlengkapan lainnya; 2) elemen biaya produksi meliputi pembelian DOC, pakan, vaksin, obat-obatan dan vitamin, biaya listrik dan bahan bakar, tenaga kerja, perawatan kandang, penyusutan kandang dan peralatan, transportasi serta biaya tak terduga lainnya; 3) pendapatan yang berasal dari penjualan ayam hidup. 4). Data yang terkait dengan pola usaha yang dijalankan, pada umumnya peternak di daerah kajian menjalankan tiga pola usaha yaitu Pola Usaha Mandiri, Pola Kemitraan dan Pola usaha Makloon. Data profil peternak (menyangkut identitas peternak) dan teknis pemeliharaan (pemberian pakan dan minum, umur jual ayam, jumlah periode pemeliharaan per tahun, dan lain-lain). Data sekunder yang diperoleh meliputi data populasi ayam ras pedaging, jumlah peternakan ayam ras pedaging, dan gambaran umum peternakan ayam ras pedaging. Pada penelitian ini peternak dikelompokan berdasarkan sistem usaha yang dilaksanakan yaitu sistem mandiri, kemitraan dan makloon. Data yang dikumpulkan melalui kuisioner terstruktur bertujuan untuk mengumpulkan informasi tentang kondisi kandang, input-ouput, harga dari input-output, dan kondisi sosial ekonomi usaha peternakan di Kabupaten Ciamis Data nilai output adalah nilai yang diperoleh dari hasil produksi usaha peternakan ayam ras pedaging. Sedangkan data input tanggungan keluarga, pengalaman peternak dalam memproduksi ayam ras pedaging, pekerjaan pokok dan pekerjaan sampingan, tingkat pendidikan serta kontribusi pendapatan usaha ternak terhadap pendapatan keluarga. Data yang terkumpul selanjutnya dianalisis secara kuantitatif dengan bantuan program excel, lalu disajikan dalam bentuk tabulasi dan diuraikan
secara deskriptif. Analisis yang dilakukan pada penelitian sebagai berikut: 1. Analisis Deskriptif Analisis ini digunakan untuk memperoleh gambaran umum kondisi kandang milik peternak rakyat meliputi lokasi kandang, kontruksi kandang, iklim mikro kandang, serta kelengkapan peralatan kandang. Selain melihat gambaran umum kondisi kandang analisis deskriptif juga digunakan untuk melihat poduktivitas hasil panen dan pendapatan dari usaha ayam ras pedaging yang dilaksanakan oleh peternak. Kondisi kandang secara umum yang dimiliki peternak diklasifikasikan berdasarkan kategori rendah, sedang dan tinggi. Gambaran kondisi kandang akan dinilai berdasarkan rumus yang digunakan Rusidi (1992) sebagai berikut : Interval = (R × SKti × P) – (R × SKtr × P) K :
Keterangan : R = Jumlah pernyataan SKti = Skor tertinggi SKtr = Skor terendah P = Jumlah pertanyaan K = Kriteria penilaian
Dari keterangan rumus diatas, maka dapat ditentukan interval penilaian sebagai berikut : Interval = (20×3× ) –(20×1×1) = (60 – 20) = 13,33 3 3 Maka : a. Rendah = 20 – 33 b. Sedang = 34 – 47 c. Tinggi = 48 – 60
Kriteria nilai tersebut di atas digunakan untuk mengidentifikasi kelayakan program revitalisasi kandang ayam ras pedaging milik peternakan rakyat, apabila nilai kriteria berada pada kategori rendah dan sedang maka diperlukan adanya program revitalisasi kandang. 2. Analisis Korelasi Analisis korelasi digunakan untuk melihat sejauh mana pengaruh kondisi kandang yang dimiliki peternak terhadap produktivitas hasil panen serta dampaknya terhadap pendapatan peternak rakyat. Analisis korelasi Rank Spearman (Harinaldi, 2005) akan digunakan untuk melihat pengaruh atau hubungan antara kondisi kandang (Variabel X) dengan produktivitas hasil panen (Variabel Y). a. Penentuan Hipotesis
Ho : s 0 Kondisi kandang tidak
mempengaruhi produktivitas hasil panen (Tidak terdapat hubungan antara kondisi
kandang dengan produktivitas hasil panen).
H1 : s 0 Kondisi kandang empengaruhi
b.
produktivitas hasil panen (Terdapat hubungan antara kondisi kandang dengan produktivitas hasil panen). Menentukan Nilai Korelasi (rs)
Bila tanpa rank kembar atau rank kembar hanya sedikit menggunakan rumus sebagai berikut : n
rs 1
6 di 2 i1
n3 n
Untuk rank kembar yang cukup banyak digunakan rumus : rs
x y di 2 x . y 2
2
2
2
2
Nilai x2 dan ∑y2 diperoleh dengan rumus sebagai berikut: 3
x 2 n n Tx 12
Tx
Keterangan :
3
dan
3
tt 12
dan
y 2 n n Ty 12 t3 t Ty 12
t = banyak kembaran data n = jumlah sampel / responden
c. Menguji Nilai Korelasi (trs) (trs) dihitung dengan enggunakan rumus:
trs rs
n 2 2 1 rs
tα dicari dengan menggunakan tabel B, pada derajat bebas (db) = n – 2 pada taraf nyata (α = 0,05). Kaidah keputusan: Bila trs tα(n-2)→ Terima H1 dan Tolak H0 Kondisi kandang tidak mempengaruhi produktivitas hasil panen (Tidak terdapat hubungan antara kondisi kandang dengan produktivitas hasil panen) Bila : trs < tα(n-2) → Terima H0 dan Tolak H1 Kondisi kandang mempengaruhi produktivitas hasil panen (Terdapat hubungan antara kondisi kandang dengan produktivitas hasil panen). 3. Analisis Pendapatan Usahatani Pendapatan total usahatani merupakan selisih antara penerimaan total dan pengeluaran total.
155
Rumus penerimaan, total biaya, dan pendapatan adalah: π=TR-TC TR = Y+L+TC = (P+D+O)+(S+Tk+BB+Bl)
b. Internal Rate of Return (IRR) Kriteria keputusan yang dipilih dalam analisis ini adalah layak, jika nilai IRR ≥ i. Formula matematiknya adalah :
Keterangan : π = Pendapatan TR = Total penerimaan atau Total Revenue (Rp) TC = Total biaya atau Total Cost (Rp) Y = Penerimaan dari penjualan ayam (Rp) L = Penerimaan lain-lain (Rp) B = Penerimaan bonus (Rp) P = Biaya pakan (Rp) D = Biaya DOC (Rp) O = Biaya obat-obatan, vitamin, vaksin (Rp) S = Biaya sekam (Rp) Tk = Biaya tenaga kerja untuk buruh (Rp) BB = Biaya bahan bakar pemanas (Rp) Bl = Biaya penyusutan dan lain-lain (Rp)
4. Analisis Kelayakan Investasi Analisis penggunaan input output usaha peternakan, pola usaha yang dijalankan oleh peternak (Mandiri, Kemitraan atau Makloon), digunakan sebagai dasar untuk menyusun proyeksi usaha serta tingkat kelayakan usaha di masa yang akan datang dengan membuat proyeksi biaya dan penerimaan. Menurut Kadariah (2001), analisis kelayakan finansial dapat dihitung dengan menggunakan kriteria-kriteria investasi sebagai berikut :
Keterang an : i1 = Tingkat suku bunga yang menghasilkan NPV1 (%) i2 = Tingkat suku bunga yang menghasilkan NPV2 (%) NPV1 = Nilai NPV yang bernilai positif NPV2 = Nilai NPV yang bernilai negative
c. Benefit Cost Ratio (BCR) Benefit Cost Ratio (BCR) adalah perbandingan antara present value manfaat dengan present value biaya. Dengan demikian benefit cost ratio menunjukkan manfaat yang diperoleh setiap penambahan satu rupiah pengeluaran. BCR akan menggambarkan keuntungan dan layak dilaksanakan jika mempunyai BCR > 1. Apabila BCR = 1, maka usaha tersebut tidak untung dan tidak rugi, sehingga terserah kepada penilai pengambil keputusan dilaksanakan atau tidak. Apabila BCR < 1 maka usaha tersebut merugikan sehingga lebih baik tidak dilaksanakan.
a. Net Present Value (NPV) Kriteria kelayakan investasi berdasarkan nilai NPV adalah sebagai berikut: Keterangan : a) NPV > 0, maka proyek menguntungkan dan n = Periode usaha (tahun) layak Bt = Penerimaan pada tahun ke-t (Rp) dilaksanakan. Ct = Biaya yang dikeluarkan pada tahun ke-t (Rp) b) NPV < 0, maka proyek merugi dan lebih i = Tingkat suku bunga baik t = Tahun (1,2,3,…n) untuk tidak dilaksanakan. c)NPV = 0, maka berarti proyek tersebut tidak d. Payback Period (PP) untung dan tidak rugi. Payback Period adalah jangka waktu tertentu yang menunjukkan terjadinya arus penerimaan (cash in flow) secara kumulatif sama dengan jumlah investasi dalam bentuk present value. Keterangan : Analisis Pay Back Periode dalam studi kelayakan n = Periode usaha (tahun) perlu juga ditampilkan untuk mengetahui berapa Bt = Penerimaan total pada tahun ke-t (Rp) lama usaha/proyek yang dikerjakan baru dapat Ct = Biaya yang dikeluarkan pada tahun ke-t (Rp) mengembalikan investasi. Semakin cepat dalam i = Tingkat suku bunga pengembalian biaya investasi sebuah proyek, t = Tahun (1,2,3,…n) semakin baik proyek tersebut karena semakin lancar perputaran modal. Menurut Ibrahim (2003),secara matematis dapat dirumuskan sebagai berikut :
156
Akil, 2006).
HASIL DAN PEMBAHASAN Keterangan : PP : Payback Periode Tp-1 : Tahun Sebelum terdapat Payback Periode I1 : Jumlah Investasi yang sudah didiscount Bcp-1 : Jumlah Benefit yang di-discount sebelum Payback Periode Bp : Jumlah Benefit pada Payback Periode 5. Analisis Sensitivitas Analisis Sensitivitas ini dilakukan pada tahap perencanaan. Analisis ini bertujuan untuk mengetahui kepekaan proyek atau usaha tehadap perubahan perubahan yang terjadi pada arus biaya dan manfaat pada saat proyek berlangsung. Perubahan-perubahan yang akan diuji adalah peningkatan harga input produksi dan penurunan harga jual output yang terjadi pada waktu penelitian. Gittinger (1986), menyatakan bahwa hal tersebut merupakan suatu cara untuk menghadapi ketidakpastian yang dapat saja terjadi pada keadaan yang telah diperkirakan, dan hal ini perlu dilakukan karena analisis kelayakan biasanya didasarkan pada proyeksi-proyeksi. 6. Analisis Efisiensi (kelayakan teknis) a. Feed Coversion Ratio Konversi Ransum (Feed Conversion Ratio / FCR). Konversi ransum adalah nilai yang menunjukkan banyaknya ransum yang diperlukan (g) untuk menghasilkan satu gram pertambahan bobot badan dalam satuan waktu tertentu. Konversi ransum dihitung dengan rumus:
b. Index Performance (IP) Penghitungan Index Performance (IP) merupakan salah satu parameter keberhasilan pemeliharaan ayam broiler.
Keterangan: IP : Indes performance D : persentase deplesi BB : bobot badan rata – rata saat panen FCR : Feed Conversion Ratio A/U ; umur rata – rata panen/lama pemeliharaan
Standar IP yang baik ialah di atas 300. Oleh karena itu semakin tinggi nilai IP maka semakin berhasil suatu peternakan Broiler tersebut (Syahril
1. Analisis Kondisi Kandang dan Peralatan Kondisi kandang peternak umumnya termasuk dalam kategori kurang baik dan rusak. Peternak kemitraan kondisi kandang yang termasuk dalam kategori kurang baik mencapai 63 persen, yang rusak 4 persen dan yang kondisi kandang termasuk dalam kategori baik hanya mencapai 33 persen. Sementara itu peternak makloon, kondisi kandang yang termasuk dalam kategori kurang baik mencapai 86 persen, 1 persen termasuk dalam kategori rusak dan yang masuk kategori baik kondisi kandangnya hanya 13 persen. Untuk peternak mandiri seluruh peternak responden kondisi kandangnya termasuk dalam kategori kurang baik. Artinya kondisi kandang peternak secara umum harus diperbaiki agar daya guna kandang bisa maksimal tanpa mengurangi persyaratan kandang bagi ternak yang dipelihara. Williamsons dan Payne (1993) menyatakan ayam akan terus menerus berada di dalam kandang, oleh karena itu kandang harus dirancang dan ditata agar menyenangkan dan memberikan kebutuhan hidup yang sesuai bagi ayam-ayam yang berada di dalamnya. B Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan adalah pemilihan tempat atau lokasi untuk mendirikan kandang serta konstruksi atau bentuk kandang itu sendiri. Kandang merupakan modal tetap (investasi) yang cukup besar nilainya, maka sedapat mungkin semenjak awal dihindarkan kesalahan-kesalahan dalam pembangunannya, apabila keliru akibatnya akan menimbulkan permasalahan, perbaikan tambal sulam tidak banyak membantu. Kondisi umum peralatan milik peternak kemitraan termasuk dalam kategori baik mencapai 56 persen, termasuk kategori kurang baik 36 persen dan yang termasuk dalam kategori rusak 8 persen. Sementara itu untuk peternak makloon, kondisi peralatan yang termasuk kategori baik mencapai 51 persen, kurang baik 41 persen dan yang rusak 8 persen. Peternak mandiri yang termasuk kategori baik sebesar 83 persen, kurang baik 17 persen dan tidak ada yang termasuk dalam kategori rusak. Revitalisasi kandang perlu dilakukan pada kandang dengan kondisi kurang baik dan rusak. Kondisi kandang dikategorikan kurang baik apabila kondisi kandang secara fisik sudah mengalami penurunan, baik dari fungsi primer maupun fungsi skunder, dan secara tidak langsung akan berdampak pada keberlangsungan usaha peternak. Untuk melihat sejauhmana kondisi kandang secara fungsional apakah memenuhi persyaratan untuk direvitalisasi atau tidak, dilakukan analisis secara deskriptif terhadap kondisi kandang. Kondisi kandang yang kurang baik secara fungsional masih dapat dipergunakan oleh peternak namun peternak perlu membenahi bagian-bagian tertentu dari kandang sehingga dapat mengurangi dampak negatif dari kerusakan kandang tetapi hanya bersifat sementara. Kerusakan kandang yang paling berat karena
157
bahan-bahan yang digunakan sudah mulai lapuk. Kandang seperti ini masih tetap dipergunakan, karena kandang masih berfungsi secara primer. Namun kondisi ini akan berakibat fatal jika dibiarkan karena apabila kandang tersebut roboh dan menimpa ayam yang dipelihara akan mengakibatkan kerugian yang tidak sedikit. Revitalisasi kandang ayam ras pedaging yang dimiliki oleh peternakan rakyat perlu segera dilakukan, namun karena keterbatasan modal yang dimiliki oleh peternak tentu bukan suatu hal yang mudah untuk melakukan perbaikan kandang. Oleh karena itu peternak tetap menggunakan kandang ayamnya meskipun secara teknis sudah tidak layak untuk dipergunakan. Kondisi kandang seperti ini sebenarnya masih dapat diperbaiki dengan menggunakan dana perbaikan kandang yang tidak terlalu besar, berdasarkan hasil wawancara di lapangan peternak rata-rata membutuhkan dana perbaikan kandang ayam berkisar antara 5 juta sampai dengan 30 juta. Estimasi kebutuhan biaya tertinggi untuk perbaikan kandang yang sudah rusak berat antara 50 juta sampai dengan 60 juta rupiah.
2. Pola Pembiayaan Usaha Ternak Ayam Ras Hasil penelitian diketahui bahwa sumber pembiayaan usaha peternakan ayam ras pedaging sangat dipengaruhi oleh pola usaha yang diterapkan. Sumber pembiayaan yang dipilih oleh para peternak sebagian besar adalah sumber pembiayaan modal milik sendiri, hanya sebagian kecil yang sumber pembiayaan usahanya berasal dari Lembaga Keuangan seperti perbankan. Sebagai gambaran presentase pemanfaatan kredit bank yang dipilih oleh peternak pola usaha kemitraan adalah sebesar 59 persen, pola usaha mandiri adalah 40 persen dan pola usaha makloon sebesar 22 persen. Penggunaan kredit pada umumnya adalah untuk pembiayaan investasi yang berupa kandang dan peralatan terutama untuk pola usaha kemitraan dan makloon sedangkan bagi peternak mandiri kredit dimanfaatkan untuk investasi maupun modal kerja. Peternak dengan pola usaha mandiri sumber pembiayaan berasal dari modal sendiri serta hanya sebagian yang mengandalkan modal pinjaman dari bank baik untuk biaya investasi maupun modal kerja. Alur barang dan uang pada pola usaha yang berbeda dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Alur barang dan uang pola Mandiri
158
Sumber pembiayaan pola usaha kemitraan berasal dari modal senndiri dan lembaga keuangan atau perbankan. Modal ini digunakan untuk membiaya investasi seperti pembuatan kandang, dan peralatan. Peternak dengan pola usaha kemitraan mendapatkan pinjaman sarana produksi/input seperti pakan, DOC, dan obat-obatan dari mitra/inti dan dibayar pada saat ayam dipanen. Sarana produksi lainnya tetap dibiayai oleh peternak seperti liter, gas dan tenaga kerja. Alur barang dan uang pada pola usaha yang berbeda dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Alur barang dan uang pola kemitraan Selanjutnya untuk peternak makloon, sumber pembiayaan berasal dari modal sendiri dan mitra/Poultry shop. Modal sendiri digunakan untuk membiayai investasi seperti pembuatan kandang, dan peralatan. Peternak dengan pola usaha makloon sarana produksi/input seperti pakan, DOC, dan obatobatan disediakan oleh mitra/inti. Sarana produksi lainnya tetap dibiayai oleh peternak seperti liter, gas, listrik dan tenaga kerja. Alur barang dan uang pada pola usaha makloon ditampilkan pada Gambar 3.
Gambar 3. Alur barang dan uang pola makloon Dilihat dari ketiga pola usaha ayam ras pedaging di wilayah kajian, tergambarkan bahwa pola usaha makloon dapat memperoleh sumber pembiayaan dari perbankan dengan PS (inti) sebagai avalis, hal ini dapat dipahami mengingat pendapatan peternak makloon yang relatif kecil sehingga apabila peternak makloon langsung mengajukan kredit ke bank, kecil kemungkinan usahanya dinilai layak. Meskipun ada beberapa peternak yang langsung mengajukan kredit ke bank dan disetujui itupun dikarenakan peternak memiliki pekerjaan sampingan dan memiliki collateral yang cukup. Keberadaan peternak makloon sangat tergantung kepada inti. Kerjasama yang baik dari kedua belah pihak tentunya sangat diharapkan untuk mencapai keuntungan bagi kedua belah pihak.
3. Pola Pembiayaan Revitalisasi Kandang Ternak Ayam Ras a. Kebutuhan Dana untuk Revitalisasi Dana yang diperlukan untuk revitalisasi kandang ayam milik peternak sangat bervariasi, dari Rp 300.000 hingga Rp 80.000.000. Hal ini sangat wajar sehubungan dengan tingkat kerusakan kandang antara 5 persen sampai dengan 80 persen , sehingga masing-masing responden membutuhkan biaya revitalisasi yang berbeda. Namun demikian, kebutuhan revitalisasi kandang yang relative kecil kemungkinannya masih dapat ditanggulangi oleh peternak itu sendiri atau mengajukan pinjaman kepada mitra. Pada peternak dengan pola usaha kemitraan kerap kali pihak mitra memberikan pinjaman kepada peternak untuk keperluan perbaikan kandang dan penyediaan peralatan yang dibayar dengan cara diangsur. Sementara untuk anggaran yang sudah mencapai Rp 80.000.000 sudah tidak dikategorikan dalam revitalisasi akan tetapi sudah termasuk dalam kategori investasi, sehingga tidak merupakan bagian dalam kajian ini. Berkenaan dengan hal tersebut maka kajian dilakukan pada revitalisasi kandang untuk anggaran yang diperlukan pada tingkat kerusakan kandang 50 persen pada skala usaha 1500 dan 3000 ekor. Besaran anggaran berdasarkan pada hasil analisis pada besaran nilai yang diperlukan untuk biaya investasi kandang untuk masing-masing skala usaha, yang ditentukan sebesar satu perempat dari nilai investasi untuk kategori kerusakan 25 persen dan satu perdua dari nilai investasi untuk tingkat kerusakan 50 persen. Hal tersebut juga didukung oleh hasil wawancara dengan pihak Poulty Shop (perusahaan inti) yang menyatakan bahwa biaya pembuatan kandang (investasi) untuk skala usaha 3000 ekor berkisar antara Rp 35.000.000 hingga Rp 45.000.000 dengan bahan panggung dari bambu sementara untuk kandang postal lebih mahal (kepadatan ternak antara kedua jenis kandang sama yaitu 10 ekor per meter persegi). Besaran biaya tersebut belum termasuk biaya untuk peralatan, padahal peralatan merupakan komponen yang tidak terpisahkan dengan keberadaan kandang, sehingga besaran revitalisasi pada kajian ini sudah termasuk Kebutuhan dana untuk peralatan yang diperhitungkan pada nilai Rp 4.000/ekor sehingga total anggaran yang dibutuhkan seperti yang tercantum pada Tabel 1. Tabel 1.Rincian Kebutuhan Anggaran untuk Revitalisasi Kandang Berdasarkan Tingkat kerusakan dan Skala Usaha Skala Usaha (ekor) 1500 3000 6000
Tingkat Kerusakan Kandang 25% 50% Rp. 7.125.000 Rp. 14.250.000 Rp. 14.250.000 Rp. 28.500.000 Rp. 28.500.000 Rp. 57.000.000
b. Struktur Modal Usaha Ternak Ayam Ras
Struktur modal tergantung pada jenis pola usaha. Pola usaha ternak kemitraan berasal dari modal sendiri dan lembaga keuangan atau perbankan. Modal ini digunakan untuk membiayai investasi pembuatan kandang, dan penyediaan peralatan. Peternak dengan pola usaha kemitraan mendapatkan pinjaman sarana produksi/input seperti pakan, DOC, dan obat-obatan dari mitra/inti dan dibayar pada saat ayam dipanen. Sarana produksi lainnya tetap dibiayai oleh peternak seperti liter, gas dan tenaga kerja. Pola usaha peternak makloon, struktur modalnya terdiri dari modal sendiri untuk membiayai investasi seperti pembuatan kandang dan peralatan. Sedangkan sarana produksi/input berupa pakan, DOC, dan obat-obatan disediakan oleh mitra/PS. Sarana produksi lainnya tetap dibiayai oleh peternak makloon seperti liter, gas, listrik. Sedangkan struktur modal peternak dengan pola usaha mandiri sebagian besar berasal dari modal pribadi dan hanya sebagian kecil yang mengandalkan modal pinjaman dari bank baik untuk biaya investasi maupun modal kerja. Dengan demikian, seluruh peternak pada ketiga sistem pengelolaan usaha sudah berkontribusi pada penyediaan modal sendiri terutama untuk penyediaan kandang dan peralatannya dan hal ini berarti sudah sesuai dengan yang dipersyaratkan oleh pihak perbankan. Dilihat dari struktur modalnya, pola mandiri memiliki struktur modal yang paling baik ditinjau dari aspek likuiditasnya karena sebagian besar modal yang dimiliki adalah berasal dari modal milik sendiri. Akan tetapi apabila ditinjau dari besarnya modal usaha peternak mandiri memiliki keterbatasan dalam hal jumlah modal usaha, karena skala usaha yang ditekuni hanya berkisar antara 1000 s/d 2000 ekor. 4. Proyeksi Dampak Program Revitalisasi Terhadap Peningkatan Produktivitas dan Pendapatan Usaha Ternak Ayam Ras a.
Analisis Hubungan Kondisi kandang dengan produktivitas
Hasil analisis korelasi yang dilakukan pada penelitian ini menunjukkan bahwa hubungan antara kondisi kandang dengan produktivitas usaha ternak (FCR) pada ketiga pola pengelolaan usaha ternak yang diteliti tidak signifikan yang berarti kondisi kandang tidak berpengaruh langsung terhadap produktivitas usaha ternak. Nilai korelasi pada ketiga sistem pengelolaan usaha bernilai negatif masing-masing sebesar -7,80 persen untuk peternak kemitraan, -6,10 persen untuk peternak makloon dan -27,0 persen untuk peternak mandiri. Nilai korelasi yang negative dari hasil analisis menunjukkan bahwa semakin jelek kondisi kandang akan menyebabkan semakin besar nilai FCR atau semakin tidak efisien
159
penggunaan pakan dari usaha ternak ayam yang dilakukan. Tentu saja hal demikian tidak mungkin terjadi. Kejadian ini dapat dijelaskan demikian : kondisi kandang yang memang sudah termasuk dalam kriteria kurang baik atau rusak secara fisik, namun fungsi primer kandang tetap memenuhi syarat untuk tumbuh baik bagi ayam yang dipelihara. Peternak berupaya sedemikian rupa agar kerusakan kandang tidak menyebabkan ayam yang dipeliharanya menjadi tidak nyaman. Misalnya jika kandang bocor segera ditambal. Peternak berusaha membenahi bagian-bagian tertentu dari kandangnya sehingga dapat mengurangi dampak negative dari kerusakan kandang meskipun hanya bersifat sementara. Menururt Mazia Centia Murni (2009), produktivitas ternak sangat tergantung pada lingkungan dimana ia hidup, produktivitas yang tinggi bisa tercapai apabila didukung oleh pada setiap pola usaha, seperti yang sudah disampaikan pada bahasan sebelumnya bahwa secara umum kondisi kandang milik peternak sebagian besar sudah berumur lebih dari sepuluh tahun dan kondisi ini cukup memprihatinkan. Kondisi kandang ayam ras milik peternak umumnya berada pada kriteria kurang baik. Pada Tabel 2 terlihat kecenderungan terdapatnya perbedaan produktivitas antara usaha ternak ayam ras pada kondisi kandang kategori baik dengan produktivitas usaha ternak ayam ras pada kondisi kandang kategori rusak. Kondisi kandang kategori baik FCR nya lebih rendah dibandingkan FCR pada kondisi kandang kategori rusak dengan perbedaan produktivitas 11 persen. Perbedaan produktivitas antara kandang kategori baik dan rusak pada peternak makloon sama dengan peternak kemitraan.
b. Produktivitas dan pendapatan usaha ternak ayam ras sebelum dan sesudah revitalisasi Dasar yang digunakan pada kajian untuk menganalisis dampak program revitalisasi terhadap peningkatan produktivitas dan pendapatan usaha ternak dilakukan pada proyeksi perubahan produktivitas dan pendapatan usaha ternak setelah program revitalisasi sebesar 11 persen. Dari Tabel 14 diketahui adanya kenaikan IP menyebabkan pendapatan peternak kemitraan naik karena kenaikan IP diikuti dengan kesempatan atau peluang untuk memperoleh bonus IP. Sehingga keuntungan peternak kemitraan meningkat sebesar 42 persen. Peningkatan IP ini akan menyebabkan upah pemeliharaan peternak makloon peningkatan IP menjadi 276, menyebabkan upah peternak makloon meningkat Dari Tabel 3 diketahui adanya kenaikan IP menyebabkan pendapatan peternak kemitraan naik karena kenaikan IP diikuti dengan kesempatan atau
160
lingkungan hidup ternak yang nyaman dan aman sehingga sosial walfare ternak terjamin. Dengan demikian umur kandang tidak berkorelasi positif dengan kondisi kandang, karena pada sebuah kandang dapat dilakukan berbagai upaya untuk mengurangi penurunan fungsi kandang sehingga meskipun sebuah kandang sudah berumur lama namun tetap dapat berfungsi untuk memberikan kenyamanan bagi ayam, mudah dalam tata laksana, dapat memberikan produksi yang optimal, dan memenuhi persyaratan kesehatan. Faktanya peternak kerap kali melakukan perbaikan terhadap kondisi kandang yang dimilikinya misalnya dengan membetulkan genting yang bocor, mengatur sirkulasi udara kandang dengan melakukan mekanisme buka tutup tirai dan pengaturan pemanas serta upaya lainnya. Namun demikian kondisi kandang Sebaliknya pada peternak mandiri tidak ditemukan kandang dalam kategori rusak, akan tetapi nilai FCR peternak mandiri pada kondisi kandang kategori baik nilai FCR nya paling rendah dibandingkan nilai FCR peternak kemitraan dan makloon pada kategori kandang yang sama Tabel 2. Perbedaan Produktivitas Usaha Ternak Kondisi Kandang Kategori Baik dengan Kandang Kategori Rusak Kondisi kandang Kriteria Produkti Kemitraan Makloon Mandiri vitas Rusak Baik Rusak Baik Rusak Baik FCR 1,,73 1,54 1,77 1,,58 1,42 IP 273 340 227 308 372 peluang untuk memperoleh bonus IP. Sehingga keuntungan peternak kemitraan meningkat sebesar 42 persen. Peningkatan IP akan menyebabkan upah pemeliharaan peternak makloon peningkatan IP menjadi 276, menyebabkan upah peternak makloon dari Rp 885/ekor menjadi Rp 1.245/ekor atau terjadi peningkatan pendapatan peternak makloon sebesar 29 persen. Demikia juga pada peternak mandiri, program revitalisasi akan meningkatkan bobot ratarata panen dan menurunkan nilai FCR sehingga IP peternak mandiri meningkat dari 298 menjadi 333. Hal ini menyebabkan pada peternak mandiri mengalami kenaikan pendapatan sebesar 45 persen. Dengan demikian program revitalisasi berdampak pada peningkatan produktivitas dan pendapatan peternak pada ketiga sistem pengelolaan usaha, sehingga program revitalisasi merupakan program yang perlu direalisasikan untuk membantu keberlangsungan usaha ternak.
Tabel 3 : Produktivitas dan Pendapatan Usaha Ternak Sebelum dan sesudah Revitalisasi (pada harga jual Rp 14.609/kg) Sebelum Revitalisasi Sesudah Revitalisasi Kriteria Kemitraan Makloon Mandiri Kemitraan Makloon Mandiri Mortalitas 4% 5% 4% 4% 5% 4% 1,55 kg 1,69 kg 1,75 kg 1,64 kg 1,78 kg Bobot panen/ekor 1,,67 kg 1,77 1,69 1,63 1,67 1,51 FCR 1,73 Lama 34 hari 34 hari 34 hari 34 hari 34 hari 34 hari pemeliharaan IP 273 227 298 302 278 333 Penerimaan 71.013.446 71.704.925 74.783.760 75.491.578 Upah pelihara 685 1.010 Bonus kematian 50 Bonus IP 110 Selisih FC 40 Pendapatan dari 200 200 200 200 200 200 limbah *) Total biaya 65.730.000 67.113.000 65.730.000 67.113.000 Pendapatan per 2.552.250 4.591.925 9.053.760 3.736.000 8.378.578 5.283.446 3000 ekor Pendapatan rata2 1.761 885 1.530 3.018 1.245 2.793 per ekor *) harga : DOC Kemitraan : Rp 5.434 mandiri Rp 5.400, Pakan kemitraan Rp 6.087 pakan mandiri
5. Analisis Kelayakan Program Revitalisasi Pendekatan kelayakan program revitalisasi pada usaha ternak ayam ras dilakukan berdasarkan kriteria nilai NPV, Net B/C, IRR dan Pay Back Period (PBP) pada tingkat 50 persen dengan skala usaha 1500 dan 3000 ekor.
Rp 6.000
Hasil analisis kelayakan program revitalisasi pada tingkat kerusakan kandang 50 persen dengan skala usaha 1500 ekor dan 3000 ekor pada ketiga pengelolaan usaha menunjukkan bahwa peternak kemitraan dan mandiri layak untuk direvitalisasi sedangkan peternak makloon tidak layak untuk direvitalisasi (Tabel 4)
a. Kelayakan Revitalisasi Pada Tingkat Kerusakan Kandang 50 Persen Dengan Skala Usaha 1500 ekor dan 3000 ekor Tabel 4 Kelayakan Program Revitalisasi Pada Tingkat Kerusakan Kandang 50 Persen Skala Usaha 1500 ekor Skala Usaha 3000 ekor Kriteria Kelayakan Kemitraan Makloon Mandiri Kemitraan Makloon Mandiri NPV (Rp.) 23.92.064 (6697.250) 53.990.172 43.149.469 (1.394.501) 165.002.225 IRR (%) 70,88 12,00 134,75 66,00 12,00 193,75 Net B/C 2,,68 0,95 4,79 2,51 0,95 6,75 PP (Tahun) 1,61 5,17 0,83 1,73 5,17 0,54 Keputusan layak Tidak layak layak layak Tidak layak layak b.Pendapatan Bersih dan Besaran Angsuran Tahun Pertama Pada Tingkat Kerusakan Kandang 50 Persen
memiliki kemampuan pengembalian kredit apabila program revitalisasi diaplikasikan. Peningkatan skala
Hasil analisis terhadap pendapatan bersih dan besaran angsuran tahun pertama diketahui bahwa peternak pola kemitraan dan pola Mandiri memiliki kemampuan untuk melaksanakan kewajibannya dalam membayar angsuran kredit jika program revitalisasi diterapkan pada usaha ternak ayamnya dengan kemampuan pengembalian kredit yang lebih baik seiring dengan peningkatan skala usaha. Namun peternak pada pola makloon tidak
usaha pada peternak makloon menyebabkan beban kredit menjadi lebih tinggi baik angsuran pokok maupun bunganya sehingga semakin menyulitkan peternak untuk memenuhi kewajibannya. Hal ini terlihat dari hasil analisis, pendapatan usaha ternak peternak makloon menjadi negative apabila pendapatan bersih usaha ternak ayamnya digunakan untuk membayar angsuran kredit dari program revitalisasi (lihat Tabel 5)
161
Tabel 5. Pendapatan Bersih dan Besaran Angsuran per tahun Pada Tingkat Kerusakan kandang 50 Persen Berdasarkan Skala Usaha (Rupiah) Kemitraan Maklon Mandiri Uraian 1500e 3000e 1500e 3000e 1500e 3000e Pendapatan 15.006.414 19.94.188 1.290.631 2.581.2263 19.245.178 55.099.891 bersih Angsuran: Pokok 2.116.252 4.232.504 2.116.252 4.232.504 2.116.252 4.232.504 1.862.619 3.725.237 1.862.619 3.725.237 1.862.619 3.725.237 Bunga Pendapatan 12.890.162 15.715.684 (825.621) (1.651.241) 17.128.926 50.867.387 setelah kewajiban Catatan: 6 siklus pemeliharaan per tahun. (…) menunjukan negatif
5. Analisis Sensitivitas Kelayakan Revitalisasi Selama usaha berjalan, kemungkinan beberapa faktor akan berubah dan mempengaruhi kelayakan usaha dari usaha ternak ayam ras sehingga dilakukan analisis sensitivitas untuk kondisi di mana ada perubahan baik faktor teknis seperti IP (dengan indicator FCR dan bobot panen) maupun faktor ekonomi lainnya seperti peningkatan harga DOC dan harga pakan. Perbedaan pola usaha ternak ayam akan menghadapi perbedaan risiko yang ditanggung oleh masing-masing peternak. Pada peternak kemitraan sarana produksi disediakan oleh mitra yang diperhitungkan dan dibayar pada saat panen dengan kontrak harga pada tingkat harga yang disepakati. Sehingga pada usaha ini yang akan berpengaruh terhadap pendapatan peternak adalah harga sarana produksi khususnya DOC dan pakan yang merupakan komponen biaya produksi terbesar. Dengan demikian analisis sensitivitas pada usaha ternak sistem kemitraan dilakukan pada kondisi apabila terjadi perubahan harga DOC dan harga pakan. Sementara itu pada peternak mandiri semua risiko usaha ditanggung oleh peternak sendiri dan yang akan mempengaruhi hasil usahanya adalah bila terjadi kenaikan harga DOC, harga pakan dan harga jual. Hasil perhitungan sensitivitas diketahui bahwa pola usaha kemitraan lebih sensitif terhadap perubahan harga input baik harga DOC maupun harga pakan dibandingkan dengan pola usaha mandiri. Hal ini bisa dilihat dari data pada Tabel 6, yang memperlihatkan bahwa pada pola usaha kemitraan untuk tetap layak, harga DOC tidak boleh melebihi Rp 6.364 dan harga pakan tidak boleh lebih tinggi dari Rp 6247, sementara itu pada pola usaha mandiri, harga DOC dan pakan masingmasing masih dapat ditoleransi sampai batas harga Rp 8.071/ekor untuk harga DOC dan Rp 7.035 untuk harga pakan (cateris paribus).
162
Tabel 6. Analisis Sensitivitas Pada Pola Usaha Kemitraan dan Mandiri Uraian
Kemitraan 1500e
Harga DOCaktual Harga Pakanaktua Harga DOC simula Harga
Mandiri
3000e
1500e
3000e
5.4000
5.400
5.4000
5.400
6.000
6.000
6.087
6.087
8.071
8.071
6.364
6.778
7.035 7.035 Pakansimulasil NPV actual 82.501.113 165.002.225 NPV simulasi (26.721) (53.442)
6.247 6.578 28.753.80 62.596.419 (11.858) (94.531)
Namun demikian pada pola usaha kemitraan, peternak masih mendapatkan jaminan dari mitra yang berupa harga kontrak (harga garansi) sehingga usaha ternaknya yang sangat sensitif terhadap perubahan harga input dapat diminimalisir dengan adanya peranan mitra. Sedangkan pada peternak mandiri meskipun sensitivitas usaha ternaknya lebih rendah dari pola kemitraan akan tetapi pada usaha ini memiliki tingkat risiko yang lebih besar, sehubungan dengan adanya ketidakpastian usaha (harga jual hasil panen). Hasil analisis kelayakan usaha ternak ayam ras pada sistem kemitraan untuk skala usaha 1500 ekor pada tingkat kerusakan kandang 50 persen tidak layak untuk difasilitasi program revitalisasi kandangnya sementara untuk skala usaha 3000 ekor pada tingkat kerusakan kandang yang sama layak untuk difasilitasi keperluan revitalisasi kandangnya. Pada peternak mandiri, usahanya layak untuk difasilitasi program revitalisasi sampai tingkat kerusakan kandang 50 persen baik pada skala usaha 1500 maupun 3000 ekor. Sementara itu untuk peternak makloon, meskipun hasil analisis kelayakan usahanya layak dilihat dari nilai NPV nya yang positif, akan tetapi dilihat dari proyeksi laba ruginya menunjukkan bahwa kemampuan bayar peternak makloon sangat kecil. Meskipun ada peningkatan pendapatan bersih apabila dilaksanakan peningkatan skala usaha akan tetapi beban pinjaman peternak juga akan meningkat sehingga tidak akan
meningkatkan kemampuan bayar dari peternak yang bersangkutan. Dengan demikian, dilihat dari sistem pengelolaan usaha maka sistem pengelolaan usaha ternak mandiri paling layak dilihat dari aspek capacity. Namun sistem usaha ini sering berhadapan dengan berbagai risiko dan ketidak pastian usaha sehingga meskipun layak dari aspek capacity akan tetapi rentan terhadap perubahan kondisi ekonomi secara keseluruhan. Dari hasil konfirmasi kepada pihak perbankan, hampir semua pihak perbankan menyatakan bahwa usaha ternak ayam ras merupakan usaha yang penuh dengan risiko. Bahkan pihak perbankan menyatakan dengan lancar dan detail risiko usaha ternak ayam ras yaitu karena peternak belum berpengalaman, kemudian meskipun peternak sudah berpengalaman risiko menurut pihak perbankan tetap besar karena dipertanyakan eksistensi usahanya sehubungan dengan memiliki ketergantungan yang tinggi dengan inti, dan apabila peternak lepas dari inti maka dia tidak mampu membeli pakan/sarana produksi dengan harga murah sehingga biaya produksi akan tinggi, demikian juga dengan penanggulangan penyakit ayam kemampuan peternak rendah sehingga keuntungan rendah maka kemampuan pengembalian kredit dipertanyakan. (kondisi likuiditas usaha sangat menjadi pertimbangan pihak perbankan). Risiko berikutnya menurut perbankan adalah harga daging sangat berfluktuasi dan seringkali sangat sulit untuk dapat diprediksi. Namun demikian, pihak pengusaha ternak khususnya pihak mitra (Poultry Shop) telah melakukan upaya antisipasi untuk mengatasi hal tersebut, diantaranya adalah dengan terus melakukan proses produksi meskipun pada kondisi harga turun dengan harapan pada satu saat harga naik kerugian yang terjadi dapat tertutupi dari keuntungan yang diperoleh pada proses produksi selanjutnya dan hal ini terungkap dari hasil wawancara dengan pihak mitra. KESIMPULAN 1) Usaha ayam ras pedaging di Kabupaten Ciamis, Kota dan Kabupaten Tasikmalaya dilaksanakan melalui tiga model pola usaha yaitu Pola Kemitraan, Pola Makloon dan Pola Mandiri. Sistem pengelolaan usaha dengan sistem makloon merupakan sistem pengelolaan yang paling banyak dilaksanakan para peternak ayam ras di wilayah kajian (80 persen), diikuti dengan sistem kemitraan (16 persen) dan mandiri (4 persen). 2) Kondisi umum kandang milik peternak responden tingkat kerusakannya bervariasi, disebabkan oleh umur kandang yang sudah tua rata-rata di atas 10 tahun. Hubungan kondisi kandang dengan produktivitas tidak nyata, sehubungan peternak di lapangan berupaya meminimalisir kerusakan kandang dengan berbagai cara sehingga kandang dapat tetap berfungsi secara primer. 3) Program revitalisasi berdampak pada peningkatkan produktivitas dan pendapatan usaha ternak ayam ras pedaging.
4) Hasil kajian kelayakan kredit, memberikan gambaran bahwa Aspek capacity peternak makloon lebih rendah daripada peternak kemitraan dan mandiri, hal ini tercermin dari sisi profitabilitas usaha yang rendah demikian juga dengan aspek capital , namun peternak makloon masih memungkinkan untuk dapat meneruskan kontinuitas usahanya dikarenakan keberadaan mitra. Peternak mandiri dari aspek capacity merupakan usaha ternak yang layak untuk direvitalisasi akan tetapi dari aspek capital yang dimilikinya terbatas dan dari aspek condition of enocomics sangat rentan terhadap perubahan kondisi makro serta lemah dari aspek collateral. Sementara itu peternak kemitraan layak baik dari aspek capacity maupun capital namun pada pola usaha ini terdapat syarat-syarat tertentu dari mitra yang seringkali tidak dapat dipenuhi oleh peternak rakyat. 6. SARAN
DAN
REKOMENDASI
KEBIJAKAN
Berdasarkan pada hasil dan pembahasan kajian revitalisasi kandang ayam ras pedaging yang berada di wilayah Kabupaten Ciamis, Kabupaten dan Kota Tasikmalaya maka saran dan rekomendasi kebijakan yang dapat disampaikan adalah : 1) Mekanisme pembiayaan bank yang dapat menjamin keamanan kredit program revitalisasi kandang ayam ras pedaging model pola makloon dapat dilakukan bekerjasama dengan PS atau Inti sebagai avalis. 2) Perlu difasilitasi penyediaan dana CSR untuk peternak makloon guna mendukung keberlangsungan usaha ternaknya sehubungan dengan pola usaha ini merupakan pola usaha yang banyak dilakukan oleh peternak di daerah kajian. 3) Perlu diterapkannya suatu peraturan yang menyangkut ketentuan kerjasama yang diterapkan oleh pihak PS atau mitra kepada peternak. Serta adanya pengontrolan dari pihak pengambil kebijakan kepada setiap inti dalam menerapkan ketentuan kerjasama dengan petani makloon secara periodik.
DAFTAR PUSTAKA [1]
Anggorodi, R. 1994. Ilmu Makanan Ternak Umum. PT Gramedia. Jakarta.
[2]
Anonimus, 1994 dalam Etika Manajemen Ternak Ayam Broiler.
Pariska 2012.
[3] Bambang Suharno, 1999. Agribisnis Ayam Ras. PT. Penebar Swadaya. Jakarta. [4] Gittinger, J. P. 1986. Analisis Ekonomi ProyekProyek Pertanian. Edisi Kedua. UI Press. Jakarta. [5] Gunawan Agun. 2012. Sistem Perkandangan Broiler. http :// dgunzsmoker .blogspot. com/2012/08/sistem-perkandangan-broiler.html. [6] Harinaldi, 2005. Prinsip-prinsip Statistik Untuk Teknik Dan Sains. 2005. Erlangga : Jakarta.
163
[7] Ibrahim, Y. 2003. Studi Kelayakan Bisnis. PT. Rineka Cipta. Jakarta. [8] Kadariah. 2001. Evaluasi Proyek Analisis Ekonomi. LPFE. Universitas Indonesia. Jakarta. Persada. Jakarta. [9] Lubis, D. A. 1992. Ilmu Makanan Ternak. PT Pembangunan, Jakarta. Mazia Centia Murni, 2009. Mengelola Kandang dan Peralatan Ayam Pedaging. Mata Diklat-02. KODE 02-MKPAP [10] Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2013 Tentang Pemberdayaan Peternak. [11] Rasyaf, M. 2004. Beternak Ayam Pedaging. Penebar Swadaya. Jakarta. [12] Rasyaf, M. 2000. Manajemen Peternakan Ayam Broiler. PT. Penebar Swadaya. Jakarta. [13] Rusidi, 1992. Dasar-Dasar Penelitian Dalam Rangka Pengembangan Ilmu. Unpad. Bandung. [14] Soeyatno, 1999. Kelembagaan Perbankan. Edisi Ketiga. PT Gramedia PustakaUtama. Jakarta. [15] Sugiarto, Dergibson Siagian, Lasmono Tri Sunaryanto dan Deny S. Utomo. 2001. Teknik Sampling. PT Gtramedia Pustaka Utama. Jakarta. [16] Suprijatna, Umiyati dan Ruhyat. 2008. Ilmu Dasar Ternak Unggas. Penebar Swadaya. Cetakan Kedua, Jakarta. [17] Syahril Akil, 2006 , SERVICE CP Buletin. Nomor 78/Thn VII. Edisi Juni 2006
167
PENGEMBANGAN AGRIBISNIS KARET DALAM UPAYA MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN PETANI DI KABUPATEN ACEH BARAT Sri Handayani Universitas Teuku Umar Meulaboh, Aceh, Indonesia E-mail:
[email protected]
Abstract. The commodities of rubber is one of the superior commodities in West Aceh besides oil palm, cocoa and patchouli. The Development of rubber is a strategic step in the empowerment of the regional economy and improving people's prosperity and also as a source of raw materials industry. This research aims to identify the problems and the potential of rubber in West Aceh in the agribusiness system that is used as an indicator of the stages of sustainability efforts in improving the prosperity of farmers. The method of this research is a literature review or research library. The data obtained are secondary data which was presented in descriptively. Keywords: Rubber, agribusiness system, empowerment
I. PENDAHULUAN Tanaman karet memiliki peranan yang besar dalam kehidupan perekonomian Indonesia. Banyak penduduk yang hidup dengan mengandalkan komoditas penghasil latek ini. Karet tak hanya diusahakan oleh perkebunan-perkebunan besar milik negara yang memiliki areal ratusan ribu hektar, tetapi juga diusahakan oleh swasta dan rakyat. Tanaman karet mulai dikenal di Indonesia sejak zaman penjajahan Belanda. Awalnya karet ditanam dikebun Raya Bogor sebagai koleksi. Dan selanjutnya karet dikembangkan menjadi tanaman perkebunan dan tersebar dibeberapa daerah (Tim Penebar Swadaya, 2013). Di kabupaten Aceh Barat kebun karet sudah ada sejak puluhan tahun silam. Sebelum konflik dan tsunami melanda Aceh banyak pabrik pengolah karet. Jumlahnya mencapai puluhan. Meskipun pabrik tersebut berskala kecil, tetapi mampu mengolah getah karet menjadi bahan baku. Pabrik tersebut dibangun berdampingan dengan kebun karet warga akibat konflik (situasi keamanan yang tidak kondusif) para pemilik pabrik karet terpaksa menutup usahanya. Warga juga tidak berani berkebun. Karena situasi tersebut banyak tanaman karet yang mati tidak terurus. Karet merupakan salah satu komoditas perkebunan unggulan di Aceh Barat selain kelapa sawit, kakao dan nilam. Menurut Ali (1998) komoditas unggulan adalah komoditas yang mempunyai keunggulan komparatif dan kompetitif, teknologi yang sudah dikuasai dan memberikan nilai tambah bagi pelaku bisnis yang diusahakan oleh petani dalam suatu kawasan yang tersentralistik, terpadu, vertikal dan horizontal. Dengan kriteria komoditas unggulan daerah harus mampu memenuhi beberapa kriteria, yaitu (1) kesesuaian agroekologi yang tinggi, (2) pasar yang jelas, (3) kemampuan yang tinggi dalam menciptakan nilai tambah, (4) kemampuan dalam meningkatkan ketahanan pangan masyarakat berpendapatan rendah, (5) dukungan kebijakan pemerintah dalam bidang-bidang teknologi, prasarana, sarana, kelembagaan, permodalan dan infrastruktur lain
168
dalam arti luas, (6) basis masyarakat yang mengusahakan dan, 7) kelayakan untuk diusahakan baik secara finansial maupun ekonomi. Kabupaten Aceh Barat merupakan daerah dengan areal tanaman karet terluas di Provinsi Aceh. Berdasarkan data statistik luas lahan yang diusahakan oleh masyarakat sampai tahun 2013 adalah 49.063 ha dengan produksi 39.903 ton (BPS,2013). Pengembangan tanaman karet di Aceh Barat merupakan langkah strategis dalam pemberdayaan ekonomi daerah dan peningkatan kesejahteraan masyarakat dan sekaligus sebagai sumber bahan baku industri. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi permasalahan dan potensi karet di Aceh Barat dalam sistem agribisnis yang digunakan sebagai indikator tahapan keberlanjutan usaha dalam meningkatkan kesejahteraan petani karet.
II. METODE PENELITIAN Metode penelitian bersifat kajian pustaka. Data yang diperoleh merupakan data sekunder yang disajikan secara deskriptif.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Profil Kabupaten Aceh Barat Kabupaten Aceh Barat merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Aceh. Sebelum pemekaran, Aceh Barat mempunyai luas wilayah 10.097.04 km² atau 1.010.466 Ha dan merupakan bagian wilayah pantai barat dan selatan kepulauan Sumatera yang membentang dari barat ke timur mulai dari kaki gunung Geurute (perbatasan dengan Aceh Besar) sampai ke sisi Krueng Seumayam (perbatasan Aceh Selatan) dengan panjang garis pantai sejauh 250 km. Sesudah dimekarkan luas wilayah menjadi 2.927,95 km². Batas-batas administrasi Aceh Barat adalah sebagai berikut: Sebelah Utara: Kabupaten Aceh Jaya dan Kabupaten Pidie
5000 4500 4000 3500 3000 2500 2000 1500 1000 500 0
2011 2012 2013
Johan Pahlawan Samatiga Bubon Arongan Lambalek Woyla Woyla Barat Woyla Timur Kaway XVI Meureubo Pante Ceureumen Panton Reu Sungai Mas
2014 2015
Sumber: Aceh Barat dalam Angka Tahun 2011-2015 Gambar 1. Luas Areal (Ha) Tanaman Perkebunan Karet 6000 5000 4000 3000
2011
2000
2012
1000
2013
0
Johan Pahlawan Samatiga Bubon Arongan Lambalek Woyla Woyla Barat Woyla Timur Kaway XVI Meureubo Pante Ceureumen Panton Reu Sungai Mas
Sebelah Selatan:Samudera Indonesia dan Kabupaten Nagan Raya Sebelah Timur : Kabupaten Aceh Tengah dan Kabupaten Nagan Raya Sebelah Barat: Samudera Indonesia Aceh Barat mempunyai wilayah kecamatan yaitu Arongan Lambalek, Bubon, Johan Pahlawan, Kaway XVI, Meureubo, Pantai Ceureumen, Panton Reu, Samatiga, Sungai Mas, Woyla, Woyla Barat dan Woyla Timur. Wilayah kabupaten Aceh Barat sebagian besar merupakan wilayah dataran yang berada pada ketinggian 0-500 meter dpl dan sebagian lagi berada di atas 500 meter dpl. Daerah perbukitan dan pegunungan yang memiliki ketinggian di atas 1500 meter dpl terdapat di Kecamatan Sungai Mas yang berbatasan langsung dengan kabupaten Pidie. Berdasarkan tingkat kelerengannya, sebagian besar kondisi wilayahnya merupakan lahan datar dengan kelerengan 0-8 persen dan datar bergelombang 8-25 persen, sedangkan wilayah terjal berada pada nilai kelerengan 25-40 persen. Daerah yang mempunyai kelerengan diatas 40% hanya terdapat di Kecamatan Sungai Mas seluas 31.119 ha. Sebagian besar lahannya terdiri dari tanah jenis pedsoli merah kuning dengan kedalaman tanah yang relatif dalam, yaitu di atas 60cm terdapat di Kecamatan Kaway XVI dan Sungai Mas, sedangkan kedalaman diatas 90cm terjadi hampir merata diseluruh kecamatan. Pada dasarnya jenis tanah dikabupaten tersebut adalah podsolik, latosol, litosol, regosol, orgonosol, renzina dan alluvial. Hasil penelitian Suyitno,dkk (2012) menunjukkan bahwa untuk tanaman karet di Aceh Barat masih memanfaatkan baik lahan mineral maupun lahan gambut. Pemanfaatan lahan gambut untuk untuk perkebunan dalam hal ini tak dapat dihindari karena belum ada kebijakan untuk membatasinya. Penggunaan lahan gambut termasuk lahan yang kurang subur sehingga dapat mengurangi kualitas daripada karet tersebut. Pemanfaatan ruang atau penggunaan lahan di Kabupaten Aceh Barat digunakan untuk pemukiman, perkebunan, sawah, ladang, tegalan, semak belukar dan hutan. Alokasi ruang terbesar berupa hutan primer mencapai luas 136.390 ha dan perkebunan seluas 49.224 ha. Aceh Barat memiliki kesesuaian lahan untuk pengembangan sektor perkebunan karet, kelapa sawit, kelapa, nilam dan lain sebagainya. Adapun luas areal tanaman perkebunan karet di Kabupaten Aceh Barat dapat dilihat pada Gambar 1. Berdasarkan Gambar 1. bahwa kecamatan Woyla Barat memiliki luas areal perkebunan yang luas dibandingkan dengan wilayah kecamatan yang lain yang ada di kabupaten Aceh Barat. Dan berdasarkan Gambar 2. berdasarkan data maka dapat dilihat bahwa produksi karet selama 5 tahun terakhir didominasi oleh kecamatan Woyla Barat. Adapun produksi (Ton) tanaman perkebunan karet di Kabupaten Aceh Barat dapat dilihat pada Gambar 2.
2014 2015
Sumber : Aceh Barat dalam Angka 2011-2015 Gambar 2. Produksi (Ton) Tanaman Perkebunan Karet 2. Pendekatan Sistem Agribisnis Dafis and.Golberg dalam tulisannya memberikan makna bahwa agribisnis adalah kegiatan yang berhubungan dengan proses kegiatan termasuk didalamnya pabrikasi dan distribusi sarana produksi, kegiatan produksi dari usahatani, pergudangan, pengolahan hasil dan distribusi dari komoditas usahatani dan produk yang dihasilkan. Jadi agribisnis merupakan kegiatan produksi komoditas pertanian, peternakan, perikanan, kehutanan (produksi primer), pengadaan sarana produksi, pengelolaan hasil (produksi sekunder) dan pemasaran (produksi tersier/jasa) dari komoditas usahatani dan barang yang dihasilkan. Agribisnis terdiri dari berbagai sub sistem yang tergabung dalam rangkaian interaksi dan interpedensi secara reguler, serta terorganisir sebagai suatu totalitas. Menurut Su’ud (2007) baik perusahaan besar, menengah maupun usaha kecil agribisnis dalam melaksanakan kegiatannya paling tidak terdapat 4 subsistem yang terlibat dari hulu sampai ke
169
hilir. Adapun 4 subsistem tersebut yaitu; 1) subsistem pengadaan sarana produksi (agroinput/ agroindustri hulu), 2) subsistem produksi usahatani yang menghasilkan produksi primer agribisnis, 3) subsistem pengolahan dan industri hasil pertanian (agroindustri hilir), 4) subsistem pemasaran dan perdagangan (agromarketing). 1) Subsistem pengadaan sarana produksi (agroinput/ agroindustri hulu), yaitu subsistem yang berhubungan dengan kegiatan dalam menghasilkan sarana produksi bagi usaha perkebunan karet seperti bibit karet, pupuk, dan alat serta mesin pertanian. Pelaku pada kegiatan ini antara lain perusahaan swasta, lembaga pemerintah dan koperasi Dalam hal pemberian bibit, pemerintah Aceh Barat telah memberikan bibit karet untuk setiap petani 500 batang perhektare. Dimana bantuan tersebut diberikan bervariasi sesuai dengan luas lahan milik petani. Dan pasca tsunami dalam rangka membantu masyarakat untuk mendapatkan akses plasma nutfah yang baik, beberapa kecamatan di Aceh Barat telah mendapat pelatihan dari ICRAF untuk petani yang dilakukan mulai dari menanam hingga memanen. Icraf memberikan dukungan teknis dan sarana pertanian meliputi pupuk, bibit karet unggul, dan obat-obatan yang diperlukan petani. 2) Sub sistem produksi usahatani (usaha perkebunan) yang menghasilkan produksi primer agribisnis. Subsistem ini, berhubungan dengan penggunaan sarana produksi yang dihasilkan oleh sub sistem pengadaan sarana produksi untuk menghasilkan lateks di tingkat kebun. 3) Subsistem pengolahan dan industri hasil perkebunan (agroindustri hilir), yaitu kegiatan ekonomi yang mengolah hasil pertanian menjadi produk olahan untuk dikonsumsi. Dan dalam hal ini kegiatan ekonomi yang dimaksud yaitu berhubungan dengan kegiatan mengolah lateks menjadi produk olahan setengah jadi (seperti lateks pekat) maupun sebuah produk akhir (ban, alat olahraga dan kesehatan, peralatan rumah tangga dan sebagainya). Selain itu, subsistem ini juga mencakup kegiatan pembinaan dan pengembangan usahatani dalam rangka meningkatkan produksinya. Termasuk kedalam kegiatan ini adalah perencanaan pemilihan lokasi, komoditas, teknologi, dan pola usahatani dalam rangka meningkatkan produksi. Penanaman karet secara berkelanjutan menjadi pilihan dalam pemulihan pengolahan lahan pasca tsunami. Pada tahun 2013di kabupaten Aceh Barat telah dibangun pabrik karet yang mengelola hak guna usaha (HGU) perkebunan karet di wilayah setempat. Adapun perusahaan perkebunan penanam investasi industri pengolah karet itu yakni PT Potensi Bumi Sakti (PBS) di Gampong (desa) Gle Siblah, Kecamatan Woyla Barat serta PT Sari Inti Rakyat (SIR) di Kecamatan Panton Reu. Jika pabrik pengolahan bahan baku karet mentah sudah tersedia dan beroperasi akan ada nilai tambah bagi masyarakat petani dan pemerintah daerah serta dapat menekan pula angka pengangguran dan kemiskinan di wilayah tersebut. Meskipun demikian hal tersebut belum dapat menjamin kestabilan harga karet khususnya di Aceh Barat. Harga karet masih sangat
170
berfluktuatif. Hal tersebut disebabkan oleh panjangnya mata rantai penjualan dan kondisi cuaca yang tidak menentu. Hasil penelitian Pradjan (2012) menunjukkan bahwa harga komoditas tanaman perkebunan pada tingkat petani di Aceh Barat adalah rendah karena kualitas. Peningkatan kualitas dan skema pemasaran secara bersamaan merupakan solusi. Demikian pula untuk pembangunan pabrik karet (crumb rubber) di wilayah Aceh Barat diharapkan dapat meningkatkan harga karet ditingkat petani. Peningkaan kualitas dapat dilakukan melalui peningkatan sumber plasma nutfah dari bibit yang ditanam. 4) Subsistem pemasaran dan perdagangan (agromarketing). Pada subsistem ini terdapat pedagang-pedagang yang tidak terbatas jumlahnya dengan berbagai bentuk usaha yang dikelola dan berbagai jenis komoditas yang ingin diperdagangkan. Subsistem produksi berpindah ke pasar yang dapat dijangkau konsumen melalui operasional fungsi pemasaran. Atau dengan kata lain, pada subsistem ini terjadi proses pengumpulan, penyimpanan dan penyaluran berbagai produk pertanian yang dihasilkan usaha tani atau hasil olahannya kepada konsumen. Lingkup kegiatan ini tidak hanya aktivitas pengolahan sederhana di tingkat petani, tetapi menyangkut keseluruhan kegiatan mulai dari penanganan pasca panen produk pertanian sampai pada tingkat pengolahan lanjutan dengan maksud untuk menambah value added (nilai tambah). Para petani karet di Aceh Barat, menjual hasil panennya kepada penampung desa dan kecamatan dan dari penampung-penampung hasil panen tersebut dijual ke Medan. Hasil panen tersebut masih dalam bentuk bahan mentah atau belum diolah menjadi bahan baku tertentu yang siap pakai. Berdasarkan hal tersebut bahwa kegiatan agribisnis merupakan kegiatan yang berbasis pada keunggulan sumberdaya alam (on farm agribusiness) dengan penerapan teknologi dan sumberdaya manusia bagi perolehan nilai tambah (off-farm agribusiness). Kegiatan tersebut mempunyai ruang lingkup yang luas bagi suatu usaha baik skala kecil, menengah maupun besar. Dengan kondisi petani yang lemah modal, skill pengetahuan dan penguasaan lahan yang terbatas akan dapat ditempuh melalui penerapan sistem pengembangan agribisnis. Menurut Saragih (2005) komponen-komponen agribisnis tersebut pada dasarnya identik dengan sektor-sektor ekonomi agregat, karena komponen agriproduksi (usahatani) sebagai penghasil produk primer yang identik dengan sektor primer; komponen agriindustri (hulu dan hilir) identik dengan sektor sekunder; dan komponen agriniaga dan agriservis identik dengan sektor tersier. Dimana pola transformasi perkembangan agribisnis dimulai dari perkembangan agriproduksi kemudian berlangsung kepada agriindustri dan agriservis, dalam hal kontribusi pada pertumbuhan ekonomi maupun menyangkut transformasi serapan tenaga kerja. Hal ini berarti bahwa dengan membangun dan memajukan agribisnis maka sesungguhnya sama dengan mendorong transformasi ekonomi agregat.
IV. KESIMPULAN 1. Aceh Barat merupakan kabupaten yang memiliki luas areal dan produksi terbesar di provinsi Aceh. 2. Pengembangan agribisnis merupakan suatu bentuk yang dapat memberikan keuntungan bagi pelaku agribisnis dalam bentuk peningkatan nilai tambah dan perluasan kesempatan kerja. 3. Subsistem agribisnis menjadi satu kesatuan utuh yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain sehingga saling terkait.
DAFTAR PUSTAKA [1] [2] [3] [4] [5] [6] [7]
[BAPPEDA] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah. Profil Aceh Barat. 2005. Aceh Barat: BAPPEDA. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2016. Aceh Barat dalam Angka 20112015. Aceh Barat: BPS. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2016. Aceh dalam Angka 2011-2015. Provinsi Aceh: BPS. Pradhan, PU. 2012. Refleksi Penelitian Agroforestri Pasca Tsunami Aceh. Bogor: Icraf Saragih, B. 2005. Pembangunan sistem dan Usaha Agribisnis. LPPM: IPB Suud, H dan Fitri,S. 2007. Manajemen Agribisnis. Banda Aceh: Pena Tim Penulis PS. Karet. 2013. Jakarta : Penebar Swadaya.
171
172
ANALISIS PENENTUAN KOMODITI UNGGULAN TANAMAN PERKEBUNAN DI KABUPATEN ACEH BARAT. Liston Siringoringo1), Yoga Nugroho2), Suharni3) 1) Universitas Teuku Umar, Meulaboh, Indonesia E-mail:
[email protected] 2) Universitas Teuku Umar, Meulaboh, Indonesia E-mail:
[email protected] 3) Mahasiswa Universitas Teuku Umar, Meulaboh, Indonesia Abstract. This study aims to determine the superior commodity in every sub-district in West Aceh district. This study was conducted in West Aceh district. Data analysis method used is the analysis of Location Quotient (LQ). The results of research based on the average production of the past five years of commodity plantation crops in each sub-district in West Aceh district produce commodity selected based on value LQ> 1 as follows: Johan Pahlawan sub-district selected superior commodity hybrid coconut (9.57), coconut (4.22) cocoa (3.91) nut (3.75); Samatiga sub-district selected superior commodity nutmeg (8.50) coconut (4.93) pepper (3.25) rubber (3.20) cocoa (2.61); Bubon sub-district selected superior commodity nut (1.20) rubber (1.67) Cocoa (1.16); Arongan Lambalek subdistrict selected superior commodity hybrid coconut (8.28) coconut (3.45) and rubber (1.33); Woyla sub-district selected superior commodity pepper (3.36) nut (2.19) cocoa (1.80) coffee beans (1.49); West Woyla sub-district selected superior commodity rubber (3.07) pepper (2.46) coffee beans (1.59) cocoa (1.22) nut (1.22); East Woyla sub-district selected superior commodity pepper (4.64) coffee beans (2.98) nut (2.18) nutmeg (1.19) Rubber (1.06); Kaway XVI sub-district selected superior commodity kapok (1.53) and palm oil (1.22); Meurebo sub-district selected superior commodity Pinang (1.14) hybrid coconut (1.10) cocoa (1.10) Pante Ceureumen sub-district selected superior commodity coconut (1.66) coffee beans (1.66) Cocoa (1.05); Panton Reu sub-district selected superior commodity pepper (8.50) nut (7.77) Cocoa (5.60) coffee beans (3.57) cotton (2.45) coconut (1.65) rubber (1.51) nutmeg (1.22); Sungai Mas sub-district selected superior commodity coffee beans (2.91) kapok (2.32) cocoa (1.97) nutmeg (1.41) nut (1.12) Keywords: Location Quotient, Commodity, Aceh Barat
1. PENDAHULUAN Perencanaan pembangunan daerah sangat penting dalam meningkatkan perekonomian daerah. Perencanaan pembangunan juga sebagai perencanaan untuk memperbaiki sumber-sumber daya yang ada di daerah dengan harapan dapat mencapai keadaan perekonomian yang lebih baik. Masing-masing daerah mempunyai potensi sumber daya alam yang berbeda antara satu dengan yang lain. Oleh karena itu perlu adanya pemanfaatan semaksimal mungkin dalam pengelolaanya. Hal ini sangat berkaitan dengan pengembangan potensi lokal yang dapat diunggulkan, berdaya saing, sehingga dapat meningkatkan perekonomian masyarakat dan daerah. Badan Litbang Pertanian (2003) dalam Firdaus (2009), komoditas unggulan adalah komoditas andalan yang memiliki posisi strategis, dimana berdasarkan pertimbangan teknis (kondisi tanah dan iklim) maupun sosial ekonomi dan kelembagaan (penguasaan teknologi, kemampuan sumberdaya
manusia, infrastruktur, dan kondisi sosial budaya setempat) layak untuk dikembangkan di suatu wilayah. Kabupaten Aceh Barat mempunyai sektor pertanian yang berpengaruh dalam pendapatan daerahnya. Angka Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) tahun 2013, sektor penyumbang Nilai Tambah Bruto (NTB) terbesar adalah sektor pertanian (36,58 persen ditahun 2013), dimana subsektor yang dominan disini adalah perkebunan dan tanaman bahan makanan. Tanaman perkebunan memberikan kontribusi terbesar yaitu sebesar 13,97 persen, kemudian tanaman bahan makanan sebesar 8,64 persen, perikanan sebesar 7,29 persen, peternakan sebesar 4,08 persen dan kehutanan sebesar 2,60 persen (BPS Aceh Barat, 2014). Untuk melihat komoditi apa saja dari sub sektor perkebunan yang perlu dikembangkan, penentuan komoditas unggulan sub sektor perkebunan perlu dilakukan. Disamping itu penentuan komoditas unggulan perlu untuk menentukan potensi daerah. Penentuan
173
komoditas unggulan ditingkat kecamatan ini cukup efektif untuk menentukan potensi kabupatennya.
2. METODEPENELITIAN Pengidentifikasian komoditas unggulan dapat dilakukan dengan pendekatan metode Location Quotien (LQ), dimana metode ini penerapanya yang sederhana, mudah dan tidak memerlukan program pengolahan data yang rumit, namun perlu diperhatikan akurasi data. Data yang digunakan merupakan data sekunder yang dicatat secara sistematis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh Barat. Dalam bahasan ini digunakan data produksi komoditi perkebunan masing-masing Kecamatan yang ada di Kabupaten Aceh Barat selama enam tahun (2009-2014) Pengidentifikasian komoditi unggulan perkebunan di wilayah masing-masing kecamatan Kabupaten Aceh Barat digunakan pendekatan Location Quotient (LQ), secara matematis dirumuskan sebagai berikut (Di Adaptasi dari Daryanto dan Hafizrianda, 2010): 𝐿𝑄 =
Vij /Vj Yin /Yn
(1)
Vij
= Produksi komoditi perkebunan i di kecamatan j Kabupaten Aceh Barat
Vj
= Produksi total komoditi perkebunan di kecamatan j Kabupaten Aceh Barat
Yin
= Produksi komoditi perkebunan i di Kabupaten Aceh Barat
Yn
= Produksi total komoditi perkebunan di Kabupaten Aceh Barat.
Adapun kriteria dalam pengambilan keputusan adalah:
LQ < 1 = komotitas i bukan merupakan komoditas ungggulan untuk wilayah j
LQ > 1 = komotitas i merupakan komoditas ungggulan untuk wilayah j
LQ = 1 = komotitas I merupakan komoditas ungggulan tetapi hanya cukup untuk kebutuhan wilayah j 3.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil analisis Location Quotient (LQ) pada 12 Kecamatan di Kabupaten Aceh Barat dengan
menggunakan inditator produksi dalam satuan ton selama kurun waktu enam tahun mulai tahun 2009 hingga tahun 2014. Suatu komoditi dikatakan unggulan di suatu kecamatan jika niali LQ > 1. Adapun yang menjadi komoditi unggulan subsktor perkebunan untuk setiap kecamatan adalah sebagai berikut: Tabel 1. Komoditi Perkebunan Unggulan di Wilayah Setiap Kecamatan Kabupaten Aceh Barat tahun 20092014 Kecamatan Johan Pahlawan Samatiga
Jlh Komoditi 4 7
Bubon
4
Arongan Lambalek Woyla
3
Woyla Barat
5
Woyla Timur Kaway XVI Meureubo
5
Pante Ceureumen Panton Reu
3
Sungai Mas
6
5
2 4
8
Komoditi perkebunan Kelapa Dalam, Kelapa Hibrida, Kakao, Pinang Karet, Kelapa Dalam, Kakao, Pinang, Biji Kopi, Lada, Pala Karet,Kelapa Dalam, Kakao, Pinang, Karet, Kelapa Dalam, Kelapa Hibrida Kelapa Sawit, Kakao, Pinang, Biji Kopi, Lada, Karet, Kakao, Pinang, Biji Kopi, Lada, Karet, Pinang, Biji Kopi, Lada, Pala Kelapa Sawit, Kapuk Kelapa Sawit, Kelapa Hibrida, Kakao, Pinang, Kelapa Dalam, Kakao, Biji Kopi, Karet, Kelapa Dalam, Kakao, Kapuk, Pinang, Biji Kopi, Lada, Pala Karet, Kakao, Kapuk, Pinang, Biji Kopi, Pala
Sumber : Data Diolah (2016) Dari tabel menunjukkan komoditi unggulan masing-masing kecamatan yang mempunyai nilai LQ rata-rata >1, dimana komoditi ini mampu memenuhi kecamatan sendiri dan surplusnya dapat di jual atau didistribusikan ke luar kecamatan (wilayah lain). Kecamatan yang paling banyak memiliki komoditi basis adalah kecamatan Panton Reu yaitu sebanyak delapan jenis komoditi perkebunan, diikuti kecamatan Samatiga sebanyak tujuh jenis komoditi perkebunan, kecamatan Sungai Mas yaitu enam jenis komoditi, kecamatan Woyla, Woyla Barat dan Woyla Timur sebanyak lima jenis komoditi, kecamatan Bubon dan Mereubo sebanyak empat komoditi,
174
kecamatan Arongan Lambalek dan kecamatan Pante Cereumen mempunyai tiga jenis komoditi dan yang sedikit komoditi basis adalah Kaway XVI hanya dua jenis komoditi. a.
Kecamatan Johan Pahlawan
Jika mengacu pada nilai LQ maka dari empat jenis komoditi Kelapa Dalam, Kelapa Hibrida, Kakao, dan Pinang, yang paling unggul adalah komoditi Kelapa Hibrida yaitu 9,57. Hal ini didukung luas areal komoditi Kelapa Hibrida sebesar 5,50 hektar dari tahun 2009- 2014, dan tidak ada penambahan maupun penurunan luas areal tanam, namun adanya peningkatan produksi dari tahun 2012. Produksi komoditi Kelapa Hibrida di kecamatan Johan Pahlawan tidak terlalu besar, hal ini bisa mengacu pada pengertian LQ sendiri yang merupakan pembagian antara share terhadap share (Hendayana, 2003). Mengingat share produksi komoditi Kelapa Hibrida terhadap total produksi komoditi perkebunan di kecamatan Johan Pahlawan lebih besar dibandingkan share produksi komoditi Kelapa Hibrida kabupaten Aceh Barat terhadap total produksi komoditi perkebunan kabupaten Aceh Barat, maka hasilnya nilai LQ komoditi Kelapa Hibrida di kecamatan Johan Pahlawan relatif lebih tinggi. Oleh karena itu, nilai LQ yang tinggi bukan mencerminkan produksi yang banyak (tinggi), akan tetapi merupakan cerminan nilai relatif terhadap share komoditas dalam kecamatan. b.
Kecamatan Samatiga
Berdasarkan nilai LQ komoditi tanaman perkebunan yang paling unggul adalah Pala yaitu 8,50. Kecamatan Samatiga memiliki luas areal tanam dan produksi Pala lebih besar dibandingkan dengan kecamatan-kecamatan lain. Pada tahun 2014 luas areal Pala Kecamatan Samatiga yaitu 21,00 hektar dengan besar produksi yaitu 4,20 ton. Selanjutnya disusul oleh komoditi kelapa dalam dengan nilai LQ 4,93 hal ini didukung wilayah kecamatan ini berbatasan dengan samudera Indonesia sehingga komoditi Kelapa dapat tumbuh dengan baik di daerah pesisir. c.
ini juga didukung faktor wilayah Arongan Lambalek berada didaerah pesisir pantai sangat mendukung untuk budidaya komoditi Kelapa. Diwilayah bagian lain produksi Karet cukup tinggi. d.
Kecamatan Woyla
Komoditi Lada merupakan komoditi yang mempunyai nilai LQ rata-rata paling besar dibandingkan komoditi lain yaitu sebesar 3,36. Apabila ditinjau dari besarnya produksi, Lada merupakan komoditi paling kecil produksinya di Kecamatan Woyla. Namun, karena yang dihitung adalah pangsa relatifnya terhadap komoditi perkebunan di kecamatan Woyla terhadap pangsa relatif komoditi perkebunan kabupaten maka nilai LQ komoditi Lada tersebut menjadi lebih tinggi. Selanjutnya Pinang merupakan komoditi unggulan kedua yang mempunyai nilai LQ= 2,19, di ikuti dengan komoditi Kakao (LQ= 1,80) dan Biji Kopi (LQ= 1,49). e.
Kecamatan Woyla Barat
Jika mengacu pada nilai LQ maka dari lima jenis komoditi tersebut yang paling unggul adalah komoditi Karet dengan nilai LQ rata-rata 3,07. Dari tabel juga dapat dilihat nilai LQ komoditi ini menurun pada tahun 2013 dan 2014, padahal dari nilai produksinya tahun 2013 dan 2014 mulai meningkat dibandingkan tahun sebelumnya, hal ini kembali mengacu pada pengertian LQ sendiri yang merupakan pembagian antara share terhadap share. Urutan kedua komoditi perkebunan unggul di kecamatan Woyla Barat adalah komoditi Lada yang mempunyai nilai LQ rata-rata sebesar 2,46. Sedangkan komoditi yang paling kecil nilai LQ adalah komoditi Kakao dan Pinang yang mempunyai LQ rata-rata yang sama yaitu 1,22. f.
Kecamatan Woyla Timur
Komoditi yang mempunyai nilai paling tinggi LQ rata-rata yaitu komoditi Lada (LQ = 4,64), Komoditi selanjutnya yang memiliki nilai LQ>1 yaitu komoditi Biji Kopi (LQ = 2,98), Pinang (LQ = 2,18), Pala (LQ = 1,19) dan komoditi LQ paling kecil adalah Karet (LQ = 1,06).
Kecamatan Arongan Lambalek g.
Komoditi kelapa Hibrida memiliki Nilai LQ tertinggi di Kecamatan Arongan Lambalek sebesar 8,28. Pada Tahun 2011 luas areal tanam Kelapa Hibrida di Kecamatan Arongan Lambalek mencapai 160,00 hektar dengan produksi sebesar 82,00 ton. Hal
Kecamatan Kaway XVI
Kecamatan Kaway XVI hanya terdapat dua jenis saja komoditi perkebunan yang mempunyai nilai LQ> 1 yaitu komoditi Kelapa Sawit, dan Kapuk. Komoditi Kapuk dengan nilai LQ rata-rata 1,53,
175
sedangkan Kelapa Sawit memiliki nilai LQ rata-rata 1,22. Luas areal tanam Kelapa Sawit di kecamatan Kaway XVI pada tahun 2014 yaitu 2454,00 hektar dengan produksi mencapai 25326,00 ton. h. Kecamatan Meurebo Komoditi yang mempunyai nilai paling tinggi LQ rata-rata yaitu komoditi Pinang dengan nilai LQ rata-rata yaitu 1,14, komoditi selanjutnya yaitu Kakao dan Kelapa Hibrida masing-masing memiliki nilai LQ rata-rata 1,10. Komoditi Kelapa Hibrida mengalami penurunan dan produksi mulai tahun 2012. Pada tahun 2009-2011 produksi Kelapa Hibrida di kecamatan Mereubo mencapai 27,20 ton, sedangkan pada tahun 2012-2013 produksinya hanya 4,50 ton, dan pada tahun 2014 tidak ada produksi. i.
Kecamatan Pante Cuereumen
Kecamatan Pante Ceuremen terdapat tiga jenis komoditi perkebunan yang mempunyai nilai LQ> 1 yaitu komoditi Kelapa Dalam, Kakao, dan Biji Kopi. 66, sedangkan komoditi selanjutnya Kakao memiliki nilai LQ rata-rata 1,05. Jika ditinjau dari segi produksinya komoditi Kelapa Dalam, Kakao, dan Biji Kopi mengalami penurunan mulai tahun 2012. Sedangkan untuk komoditi Karet dan Kelapa Sawit terus meningkat mulai tahun 2012. Hal ini dimungkinkan tingginya harga Karet dan Kelapa Sawit saat itu dibandingkan komoditi yang lain sehingga banyak masyarakat lebih memilih budidaya Karet dan Kelapa Sawit dibandingkan komoditi perkebunan lain. j.
Kecamatan Panton Reu
Kecamatan Panton Reu terdapat delapan jenis komoditi perkebunan yang mempunyai nilai LQ> 1 yaitu komoditi Karet, Kelapa Dalam, Kakao, Kapuk, Pinang, Biji Kopi, Lada dan Pala. Komoditi yang mempunyai nilai paling tinggi LQ rata-rata yaitu komoditi Lada sebesar 8,50, disusul komoditi Pinang sebesar 7,77, Kakao sebesar 5,60, Biji Kopi sebesar 3,57, Kapuk sebesar 2,45, Pala sebesar 1,22, Kelapa Dalam 1,56, dan Karet 1,51. Kecamatan Panton Reu merupakan pemekaran dari Kecamatan Kaway XVI, yang berdiri pada bulan April 2007. Menurut Dinas Perkebunan, pada tahun 2009 banyak komoditi perkebunan belum berproduksi di Kecamatan Panton Reu sehingga tidak tersedia data tahun 2009 kecuali komoditi Karet.
k.
Kecamatan Sungai Mas
Kecamatan Sungai Mas terdapat enam jenis komoditi perkebunan yang mempunyai nilai LQ> 1 yaitu komoditi Karet, Kakao, Kapuk, Pinang, Biji Kopi, dan Pala. Komoditi yang mempunyai nilai paling tinggi LQ rata-rata yaitu komoditi Biji Kopi sebesar 2,91, disusul komoditi Kapuk sebesar 2,32, Kakao sebesar 1,97, Pala sebesar 1,41, dan Karet sebesar 1,04.
4.
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa komoditi yang mempunyai nilai LQ>1 atau komoditi unggulan di masing-masing kecamatan di Kabupaten Aceh Barat yaitu sebagai berikut : - Kecamatan Johan Pahlawan memiliki empat komoditi unggulan (Kelapa Dalam, Kelapa Hibrida, Kakao, dan Pinang), sedangkan untuk komoditi prioritas utama kecamatan Johan Pahlawan tidak mempunyai. - Kecamatan Samatiga mempunyai tujuh komoditi unggulan (Karet, Kelapa Dalam, Kakao, Pinang, Biji Kopi, Lada dan Pala), komoditi prioritas utama juga tidak dimiliki. - Kecamatan Bubon mempunyai empat komoditi unggulan (Karet, Kelapa Dalam, Kakao, dan Pinang ) sedangkan untuk komoditi prioritas utama kecamatan Samatiga juga tidak mempunyai. - Kecamatan Arongan Lambalek mempunyai tiga komoditi unggulan (Karet, Kelapa Dalam, Kelapa Hibrida), dan juga tidak mempunyai komoditi prioritas utama. - Kecamatan Woyla mempunyai lima komoditi unggulan (Kelapa Sawit, Kakao, Pinang, Biji Kopi, dan Lada), kecamatan ini juga tidak mempunyai komoditi prioritas utama. - Kecamatan Woyla Barat mempunyai lima komoditi unggulan (Karet, Kakao, Pinang, Biji Kopi, dan Lada), kecamatan ini juga tidak mempunyai komoditi prioritas utama - Kecamatan Woyla Timur mempunyai lima komoditi unggulan (Karet, Pinang, Biji Kopi, Lada dan Pala), kecamatan ini mempunyai satu komoditi prioritas utama yaitu komoditi Karet. - Kecamatan Kaway XVI mempunyai dua komoditi unggulan (Kelapa Sawit dan Kapuk), kecamatan ini juga tidak mempunyai komoditi prioritas utama.
176
-
-
-
-
-
Kecamatan Meureubo mempunyai empat komoditi unggulan (Kelapa Sawit, Kelapa Hibrida, Kakao dan Pinang), kecamatan ini juga tidak mempunyai komoditi prioritas utama. Kecamatan Meureubo mempunyai empat komoditi unggulan (Kelapa Sawit, Kelapa Hibrida, Kakao dan Pinang), kecamatan ini juga tidak mempunyai komoditi prioritas utama Kecamatan Pante Ceureumen mempunyai tiga komoditi unggulan (Kelapa Dalam, Kakao dan Biji Kopi), kecamatan ini juga tidak mempunyai komoditi prioritas utama Kecamatan Panton Reu mempunyai delapan komoditi unggulan (Karet, Kelapa Dalam, Kakao, Kapuk, Pinang, Biji Kopi, Lada dan Pala), kecamatan ini mempunyai satu komoditi prioritas utama yaitu komoditi Karet. Kecamatan Sungai Mas mempunyai enam komoditi unggulan (Karet, Kakao, Kapuk, Pinang, Biji Kopi, dan Pala), kecamatan ini juga mempunyai satu komoditi prioritas utama yaitu komoditi Karet DAFTAR PUSTAKA
[1] Badan Pusat Statistik. 2010. Kabupaten Aceh Barat Dalam Angka 2010 : Aceh Barat. [2] . 2011. Kabupaten Aceh Barat Dalam Angka 2011: Aceh Barat [3] . 2012. Kabupaten Aceh Barat Dalam Angka 2012: Aceh Barat [4] . 2013. Kabupaten Aceh Barat Dalam Angka 2013: Aceh Barat [5] . 2014. Kabupaten Aceh Barat Dalam Angka 2014: Aceh Barat [6] . 2015. Kabupaten Aceh Barat Dalam Angka 2015: Aceh Barat [7] Daryanto, Arief dan Yundy Hafizrianda. 2010. Model-Model Kuantitatif Untuk Perencanaan Pembangunan Ekonomi Daerah. Bogor : IPB Press [8] Firdaus, Muhammad, et all. 2009. Penentuan Komoditas Pertanian Unggulan Di Kabupaten Jember. Jurnal SEP. Vol 3 No 1 Tahun 1997.
177