PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
1
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
PROSIDING KONFERENSI NASIONAL PENGUATAN PERAN PEREMPUAN MUDA MENUJU INDONESIA BERKEMAJUAN
Tim Penyunting : Anjarwati Dewi Amanatun Iwan Satriawan Jazaul Iksan Lutfi Nurdian A Mamik Hajaroh Muhammad Ma’ruf Muhammad Shobar Nur Fitri Mutmainah Siti Khotimah Widaryati
II
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
PROSIDING KONFERENSI NASIONAL : PENGUATAN PERAN PEREMPUAN MUDA MENUJU INDONESIA BERKEMAJUAN
Tim Penyunting : Anjarwati Dewi Amanatun Iwan Satriawan Jazaul Iksan Mutmainah Lutfi Nurdian A Widaryati Siti Khotimah
Muhammad Ma’ruf Muhammad Shobar Mamik Hajaroh Nur Fitri
Setting dan Layout : Tim Panitia Desain Cover : Tim Panitia Cetakan 1, Juli 2016 ISBN : 978-602-18471-3-8 Diterbitkan Oleh :
Jl. Ring Road Barat No. 63, Mlangi, Nogotirto, Gamping Sleman, Yogyakarta 55292 Telp : (0274) 4469199, Fax : (0274) 4469204 Email :
[email protected] Website : www.unisayogya.ac.id
©2016, Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
III
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
iv
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL.......................................................................................................................... ii KATA PENGANTAR REKTOR UNIVERSITAS 'AISYIYAH YOGYAKARTA......................... iv DAFTAR ISI....................................................................................................................................... v PENGARUH PEMBERIAN MAKANAN TAMBAHAN DAN TINGKATPENDIDIKAN TERHADAP PENINGKATAN KADAR HEMOGLOBIN IBU HAMIL ANEMIA DI KOTA YOGYAKARTA............................................ 1 UPAYA PENGUATAN KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS KAUM JANDA LANSIA DENGAN PENDEKATAN KASIH SAYANG....................................... 7 PELAKSANAAN PROGRAM PELAYANAN KESEHATAN PEDULI REMAJA (PKPR) DALAM MENDUKUNG KETAHANAN PRIBADI REMAJA..................................................... 18 PENGARUH PENDIDIKAN KESEHATAN TENTANG PROSES PENUAAN TERHADAP TINGKAT KEMAMPUAN KELUARGA MERAWAT LANSIA DENGAN GANGGUAN ELIMINASI DI KELURAHAN SEWUKAN MAGELANG............... 34 REKRUTMEN CALON ANGGOTA LEGISLATIF PEREMPUAN PADA PARTAI GERINDRA KOTA YOGYAKARTA DALAM PEMILU LEGISLATIF TAHUN 2014 .............. 41 PENGARUH LATIHAN KESIMBANGAN FISIK TERHADAP RISIKO JATUH PADA LANSIA DI PANTI SOSIAL TRENA WERDHA YOGYAKARTA UNIT BUDI LUHUR KASONGAN BANTUL................................................................................. 53 STUDI PUSTAKA KLASIFIKASI DAN DESKRIPSI MANFAAT KOMPONEN AIR SUSU IBU: MENINGKATKAN PENGETAHUAN DAN PERAN IBU MENYUSUI................................................................................................................. 67 MANFAAT SENAM NIFAS PADA PROSES INVOLUSIO UTERUS POSTPARTUM.............. 76 DINAMIKA KOMPETENSI PENGASUHAN PADA IBU YANG MENJALANI LONG DISTANCE MARRIAGE.................................................................................................................... 84 PERAN PERSEPSI BUDAYA ORGANISASI DAN MODAL PSIKOLOGI TERHADAP KINERJA PEGAWAI DENGAN WORK ENGAGEMENT SEBAGAI VARIABEL MEDIATOR....................................................................................................................................... 93 ADVOKASI SAHABAT PEREMPUAN UNTUK PEMENUHAN HAK PEREMPUAN KORBAN KEKERASAN DI KABUPATEN MAGELANG........................................................... 105 CHILDCARE POLICY IN MUHAMMADIYAH: A CASE STUDY OF INSTITUTION SUPPORT TOWARD FAMILY STRENGTHENING IN YOGYAKARTA CITY........................ 127 PERAN PEREMPUAN DALAM KASUS KORUPSI DI INDONESIA.......................................
153
TENDENSI BUDAYA POLITIK PRA PILPRES 2014 DI KECAMATAN BANGUNTAPAN KABUPATEN BANTUL................................................................................................................... 168 IMPLEMENTASI PERATURAN BUPATI KULON PROGO NOMOR 66 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN PUSAT PELAYANAN TERPADU PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK DALAM PENANGANAN KORBAN KEKERASAN PEREMPUANDAN ANAK TAHUN 2015....................................................................................... 178 AFFIRMATIVE ACTION : STRATEGI MENINGKATKAN KETERWAKILAN PEREMPUAN PADA PEMILU LEGISLATIF 2019....................................................................... 188
v
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
PEREMPUAN DI SEKTOR EKONOMI INFORMAL SEBUAH PELAJARAN DARI BURUH GENDONG PEREMPUAN DI PASAR BERINGHARJO .............................................................................................................................. 204 BERHARAP PADA PENDIDIKAN RAMAH ANAK................................................................... 217 PERAN ELIT LOKAL DALAM KEMENANGAN PARTAI GERINDRA PADA PEMILIHAN UMUM LEGISLATIF TAHUN 2014 DI KABUPATEN LUWU UTARA........... 224 PERAN DESAIN INTERIOR TERHADAP KEMAJUAN PENDIDIKAN KHUSUS AUTIS.. 235 PEREMPUAN DALAM PERCATURAN POLITIK INDONESIA............................................. 241 KUALITAS PELAYANAN RSUD KABUPATEN MIMIKA BERDASARKAN PERSEPSI MASYARAKAT...................... 249 WISATA KULINER YOGYAKARTA, PEMETAAN ULANG DAN UPAYA REVITALISASI DALAM RANGKA PENINGKATAN PEREKONOMIAN UMKM........................................... 268 POTENSI KANDUNGAN SENYAWA PHENOL AMARANTH SEBAGAI ANTIOKSIDAN ALAMI............................................................................................... 277 ANALISIS ISI (CONTENT ANALYSIS) PADA UNDANG-UNDANG TINDAK KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DI INDONESIA DALAM MEMFASILITASI JENIS-JENIS KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN......................................................... 283 PENGUATAN PERAN PEREMPUAN DALAM MEWUJUDKAN KEMAJUAN POLITIK, SOSIAL DAN BUDAYA LOKAL................................................................................ 301 PERAN LEMBAGA PENDAMPINGAN ANAK REMAJA DAN KELUARGA (EL PARKA) PIMPINAN CABANG AISYIYAH (PCA) WIROBRAJAN DALAM MENDAMPINGI KELUARGA KORBAN KEKERASAN MENUJU KELUARGA SAKINAH DI KECAMATAN WIROBRAJAN............................................................................. 310 GAYA KEPEMIMPINAN TRANSFORMATIF DALAM MENINGKATKAN POTENSI DAERAH DALAM BIDANG PARIWISATA................................................................................ 319 KEMANDIRIAN EKONOMI PEREMPUAN MELALUI PENGEMBANGAN DESA PRIMA (PEREMPUAN INDONESIA MAJU MANDIRI)........................................................... 332 KONFLIK PENYELENGGARAAN PILKADA LANGSUNG DALAM OTONOMI DAERAH....................................................................................................... 345
vi
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
PENGARUH PEMBERIAN MAKANAN TAMBAHAN DAN TINGKAT PENDIDIKAN TERHADAP PENINGKATAN KADAR HEMOGLOBIN IBU HAMIL ANEMIA DI KOTA YOGYAKARTA AYU DWI PUTRI
women. Increased level of hemoglobin in the treatment group and the comparison group was 2.2 g/dl and 1.21 g/dl, respectively, with a p>0.05 and CI 95% (0.45-1.61). education significant effect on anemia (p = 0.047). After assuming that there was an influence with the variable of education, supplementary feeding could affect a change in hemoglobin levels by 14 %. Conclusion: The provision of supplementary food during pregnancy in the third trimester affected hemoglobin levels and this would increase as influenced by the level of education.
Abstrak --- Background: The prevalence
of maternal anemia in Yogyakarta Municipality in 2011 and 2012 was 25.9% and 24.33%, respectively. Efforts to address this problem are conducted by administering Fe tablet. But the re ality on the ground , the re are still many pregnant women who ignore it , one contributing factor was the knowledge that is influenced by the level of education. An effort to improve the nutritional status of the women during pregnancy is by the provision of supplementary feeding. Providing supplementary food containing high protein is expected to increase hemoglobin levels. Objective: To assess the effect of supplementary feeding in the third trimester of pregnancy on the increased hemoglobin levels. Methods: This was a quantitative study. The study design was quasiexperimental with a non-equivalent control group study design. The location of the study was in several health centers in Yogyakarta Municipality. The experiments were conducted with supplementary feeding for 30 days. The samples were third trimester pregnant women, amounting to 101 people. The examination of hemoglobin levels was carried out before and after the intervention by using an Hb QuickCheck. This study used T-test, Regression, and Oneway Anova with a significance level of P <0.05 and 95 % CI. Results: The cases of anemia in this study were 54 (53.47%) pregnant
Keywords: Pregnant women, hemoglobin, anemia, education and supplementary feeding
PENDAHULUAN Anemia merupakan suatu keadaan kesehatan yang telah menjadi masalah kesehatan global terutama di negara berkembang. Ibu hamil dengan anemia mempunyai risiko lebih tinggi untuk mengalami kematian dan dapat berdampak buruk terhadap pertumbuhan dan perkembangan janin yang dikandungnya. Anemia dapat diakibatkan karena rendahnya status gizi pada ibu hamil yang ditunjukkan oleh prevalensi anemia yang cukup tinggi (Adriani & Wirjatmadi, 2012). Menurut Scholl (2011) prevalensi anemia tertinggi terjadi pada trimester ketiga kehamilan. Prevalensi anemia ibu hamil di tingkat nasional menunjukan bahwa masalah anemia di Indonesia
1
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
anemia. Protein merupakan sumber utama zat besi dalam makanan (Arisman, 2008). Menghindari dampak dari anemia, ibu hamil perlu mendapatkan perhatian khusus. Pemberian vitamin dan makanan tambahan yang mengandung protein tinggi diharapkan dapat memenuhi kebutuhan gizi dan meningkatkan kadar Hb, sehingga kejadian anemia pada ibu hamil dapat dihindari.
termasuk dalam kategori gawat. Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) yang dilakukan di Indonesia pada tahun 2004 melaporkan bahwa 50,5% ibu hamil mengalami anemia dan tahun berikutnya angka tersebut naik menjadi 50,9% (Sarminto, 2011). Anemia masih menjadi suatu masalah di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), prevalensi anemia selama tiga tahun berturut-turut sejak tahun 2008 sampai 2010 yaitu sebesar 22,01%, 23,48% dan 22,45%. Kejadian anemia di Kota Yogyakarta tahun 2008 sampai dengan 2010 secara berurutan adalah 22,02%, 23,48% dan 22,45%. Kejadian anemia di Provinsi DIY pada tahun 2011 menurun menjadi 18,90%. Berbeda dengan Provinsi, kejadian anemia di Kota Yogyakarta meningkat menjadi 25,38% (Dinkes Provinsi DIY, 2012). Tahun 2012 kejadian anemia di Kota Yogyakarta menurun menjadi 24,33% (Dinkes Kota Yogyakarta, 2013). Di Indonesia anemia defisiensi besi masih merupakan salah satu masalah gizi yang utama. Dampak anemia defisiensi besi pada ibu hamil yaitu meningkatkan angka kesakitan meliputi perdarahan, ketuban pecah dini, kematian maternal, risiko terjadinya bayi berat lahir rendah (BBLR). Penyebab utama kematian maternal salah satunya adalah perdarahan postpartum yang bersumber pada anemia defisiensi besi (Arisman, 2008). Upaya untuk meningkatkan status gizi ibu selama masa kehamilan adalah dengan cara pemberian makanan tambahan (PMT). Pemberian makanan tambahan yang diberikan berbasis pangan lokal, sehingga mudah didapatkan di setiap daerah. Tujuan pemberian makanan tambahan pada ibu hamil adalah untuk memenuhi kebutuhan zat gizi selama kehamilan sehingga dapat mencegah kekurangan zat gizi dan akibat yang ditimbulkan (Milman, 2010). Protein merupakan komponen penting dalam pembentukan hemoglobin, sehingga dengan mengkonsumsi protein yang cukup akan mencegah terjadinya
METODE PENELITIAN Jenis penelitian yang digunakan adalah kuantitatif. Rancangan penelitian ini adalah quasi experiment dengan desain non-equivalent control group. Kelompok penelitian dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok perlakuan dan kelompok pembanding. Kelompok perlakuan akan diberi makanan tambahan, sedangkan kelompok pembanding dikontrol konsumsi tablet Fe. Penelitian dilakukan di beberapa wilayah kerja Puskesmas di Kota Yogyakarta, Provinsi DIY. Penelitian dilakukan pada bulan Agustus - Oktober 2013. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh ibu hamil trimester ketiga yang terdata di beberapa wilayah kerja Puskesmas di Kota Yogyakarta dengan jumlah 128 orang dan sampel sebanyak 104 orang. Subjek pada penelitian ini adalah ibu hamil yang memenuhi kriteria. Adapun kriteria inkluasinya yaitu ibu hamil dengan usia kehamilan trimester III, tidak mengalami kekurangan energi kronis (KEK), menerima tablet Fe dari tenaga kesehatan, bersedia menjadi subjek penelitian dengan menandatangai informed consent, merencanakan persalinan di Kota Yogyakarta. Kriteria ekslusinya adalah subjek pindah alamat sehingga sulit untuk dilacak, subjek terdiagnosa penyakit tertentu yang berbahaya bagi kehamilan (penyakit sistemis dan penyakit infeksi) dan subjek mengalami kelainan darah (kelainan penjendalan, talasemia).
2
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan Kelompok Intervensi .
Perlakuan n %
Pembanding n %
Statistik
P
Pendidikan Tinggi
39
79.6
37
71.2
Rendah
10
20.4
15
28.6
0.96X
0.326
Instrumen yang digunakan pada penelitian ini yaitu formulir wawancara, formulir recall 24 jam, alat pemeriksaan kadar hemoglobin Quik-Check Hb dan bahan olahan ikan tuna (otak-otak, nuget, ajifurai, rolade dan kaki naga). Analisis bivariabel digunakan untuk mengetahui hubungan antara satu variabel terhadap outcome dengan menggunakan uji regression, t-test dan oneway Anova. Analisis multivariabel digunakan untuk melihat pengaruh beberapa faktor terhadap outcome dengan menggunakan uji multiple regression. Pemeriksaan kadar hemoglobin dilakukan sebelum dan setelah pemberikan makanan tambahan. Makanan tambahan diberikan ke subjek penelitian selama 30 hari dengan menu yang bergantian.
perlakuan (79.6%) maupun pada kelompok pembanding (71.2%), yaitu sebagian besar berpendidikan tinggi dan tidak bermakna secara statistik. Pada kelompok perlakuan sebanyak 61.2% dan kelompok pembanding sebanyak 61.5%, dan tidak bermakna secara statistik.
Tabel 1 Uji Homogenitas Karakteristik Subjek Penelitian Berdasarkan Kelompok Intervensi pada Ibu Hamil Trimester III di Kota Yogyakarta
Hasil tabel 2 menunjukkan analisis paired t-test perubahan kadar hemoglobin sebelum dan setelah perlakuan. Rata-rata kadar hemoglobin pada kedua kelompok meningkat. Pada kelompok perlakuan ratarata kadar hemoglobin sebelum perlakuan 10.88 gr/dl, setelah perlakuan rata-rata kadar hemoglobinnya meningkat menjadi 13.1 gr/dl. Pada kelompok pembanding juga terjadi peningkatan rata-rata kadar hemoglobin. Sebelum dipantau konsumsi tablet Fe rata-rata kadar hemoglobin pada kelompok pembanding yaitu 11 gr/dl dan setelah dipantau meningkat menjadi 12.2 gr/dl. Kesimpulan dari hasil uji ini adalah baik secara statistik maupun secara klinis, ada pengaruh yang bermakna antara perbedaan kadar hemoglobin sebelum dan setelah perlakuan.
HASIL PENELITIAN Subjek penelitian dibagi menjadi dua kelompok, kelompok perlakuan yang diberi makanan tambahan terdiri dari 52 orang dan kelompok pembanding yang dikontrol konsumsi tablet Fe terdiri dari 52 orang. Pada akhir penelitian jumlah tersebut berkurang menjadi 101 orang, 49 orang pada kelompok perlakuan dan 52 orang pada kelompok pembanding. Penyebab terjadi pengurangan jumlah subjek penelitian karena adanya subjek penelitian yang mengundurkan diri, aleri terhadap ikan yang diketahui setelah beberapa hari mengkonsumsi makanan tambahan dan bayi yang dikandung meninggal dunia. Analisis data menggunakan program komputerisasi Stata versi 11.0. Berdasarkan hasil uji homogenitas karakteristik sujek penelitian, menunjukkan bahwa tingkat pendidikan ibu hamil yang menjadi subjek penelitian tidak jauh berbeda baik pada kelompok
Tabel 2 Perbedaan Kadar Hemoglobin Sebelum dan Setelah Perlakuan pada Kedua Kelompok Ibu Hamil Trimester III di Kota Yogyakarta Kadar hemoglobin (gr/dl) Hb sebelum mean SD
Hb setelah mean
Beda mean
95% CI
SD
Perlakuan
10.9 1.2
13.1 0.9
2.2*
1.76 - 2.64
Pembanding
11 1.2
12.2 1.3
1.2*
0.83 - 1.58
Hasil uji statistik tabel 3 menunjukkan bahwa setalah perlakuan pada kelompok perlakuan rata-rata selisih
3
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
kadar hemoglobinnya akan meningkat sebesar 2.2 gr/dl, sedangkan pada kelompok pembanding rata-rata selisih kadar hemoglobinnya akan meninggkat sebesar 1.2 gr/dl. Secara statistik ada hubungan yang bermakna antara perlakuan dengan selisih kadar hemoglobin. Perbedaan rata-rata selisih kadar hemoglobin pada tingkat pendidikan yaitu sebesar 0.71 gr/dl. Secara statistik ada pengaruh yang bermakna antara tingkat pendidikan dengan selisih kadar hemoglobin.
Variabel Kelompok Perlakuan
Constanta N R2
Kadar Hemoglobin (gr/dl) SD
Kelompok 2.2
1.5
Pembanding
1.17
1.4
Pendidikan Tinggi
1.8
1.5
Rendah
1.1
1.5
1.03 0.45 - 1.61 0.001
0.98 0.40 - 1.55 0.0006
1.17 101 0.11
-0.59 -1.26 - 0.06 0.78 1.34 101 0.14
Hasil tabel 5 memaparkan bahwa pada kelompok perlakuan ibu 1 orang yang sebelum perlakuan mengalami anemia dan setelah perlakuan tetap mengalami anemia, sedangkan ibu yang diawal penelitian sebelum perlakuan mengalami anemia dan setelah perlakuan tidak mengalami anemia sebanyak 25 orang, secara statistik hasil ini bermakna. Berbeda pada kelompok pembanding, sebanyak 6 orang ibu hamil yang diawal penelitian mengalami anemia dan setelah dipantau konsumsi tablet Fe selama 30 hari tetap mengalami anemia. Ibu hamil yang di awal penelitian mengalami anemia dan setelah penelitian tidak lagi mengalami anemia ada sebanyak 22 orang dan hasil bermakna secara statistik.
.
Perlakuan
M2 Koefisien CI 95%
Kontrol Pendidikan Tinggi
Tabel 3 Perbedaan Selisih Kadar Hemoglobin pada Ibu Hamil Trimester III di Kota Yogyakarta mean
M1 Koefisien CI 95%
Hasil analisis multivariabel antara pengaruh pemberian makanan tambahan terhadap kelompok intervensi dengan mempertimbangkan faktor pendidikan dan PMT. Model pertama menunjukkan bahwa pemberian makanan tambahan dapat meningkatkan selisih kadar hemoglobin pada kelompok perlakuan sebanyak 1.03 gr/dl, berpengaruh sebesar 11 % dan signifikan secara statistik. Hasil model kedua menunjukkan bahwa setelah mempertimbangkan tingkat pendidikan, pemberian makanan tambahan tetap berpengaruh terhadap beda selisih peningkatan kadar hemoglobin yaitu 0.98 gr/dl dan berpengaruh sebesar 14 %.
Tabel 5 Kejadian Anemia Sebelum dan Setelah Perlakuan pada Kelompok Intervensi Ibu Hamil Trimester III di Kota Yogyakarta Setelah Sebelum Perlakuan Pembandi ng
Anemia
Tidak Anemia
Anemia
1
25
Tidak Anemia
0
23
Anemia Tidak Anemia
6 0
22 24
X2
P
25. 00
0.00 0
22. 00
0.00 0
PEMBAHASAN Berdasarkan variabel pendidikan, hasil penelitian menunjukkan bahwa ada pengaruh yang bermakna antara tingkat pendidikan dengan selisih kadar hemoglobin sebelum dan setelah perlakuan dengan nilai p<0.05. Rata-rata selisih kadar hemoglobin pada tingkat pendidikan tinggi lebih banyak dibanding pendidikan rendah dengan selisih sebesar 0.71 gr/dl.
Tabel 4 Pengaruh Pemberian Makanan Tambahan Terhadap Kadar Hemoglobin Dengan Mempertimbangkan Faktor Pendidikan
4
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
setelah diberikan makanan tambahan dan tablet Fe terjadi peningkatan rata-rata kadar hemoglobin pada kelompok perlakuan (1.35 mg/dl) dan kelompok kontrol (1.78 mg/dl) dan secara statistik bermakna. Penelitian yang mendukung hasil penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Hapzah et al.(2013) yaitu pemberian gizi mikro terhadap perubahan kadar hemoglobin dan asupan makanan pada ibu hamil anemia trimester II. Hasil penelitiannya menunjukkan adanya perubahan kadar hemoglobin setelah perlakuan selama 12 minggu. Peningkatan kadar hemoglobin antara sebelum dan sesudah intervensi pada kelompok perlakuan sebesar 0.350 gr/dl sedangkan pada kelompok kontrol peningkatan kadar hemoglobin sebesar 0.053 gr/dl, namun hasil ini tidak bermakna secara statistik (p=0.267). Penambahan asupan besi, baik melaui maknan dan/atau pemberian suplemen, terbukti mampu meningkatkan hemoglobin akibat hemodilusi (Arisman, 2008). Menurut Sayogo (2006) dalam tulisannya memaparkan bahwa protein hewani mempunyai keunggulan dibanding dengan protein nabati, protein hewani mudah diserap oleh tubuh sehingga sangat berhubungan dengan metabolisme zat besi.
Penelitian Bencaiova et al. (2012) memaparkan bahwa tingkat pendidikan dapat mempengaruhi rata-rata kadar hemoglobin ibu hamil. Selain itu penelitian yang dilakukan di Bangladesh memperlihatkan bahwa ibu yang tidak berpendidikan, mempunyai kadar hemoglobin lebih rendah secara signifikan dibanding ibu yang menamatkan pendidikan paling kurang tamat SMA (Ahmed, et. al, 2003). Rendahnya tingkat pendidikan ibu hamil dapat menyebabkan keterbatasan dalam upaya menangani masalah gizi dalam keluarga. Menurut Arisman (2008) faktor pendidikan juga berpengaruh saat pemberian tablet Fe. Efek samping dari tablet Fe yang dapat menggagu seperti mual dan muntah, sehingga orang cenderung menolak tablet yang diberikan. Penolakan tersebut berpangkal dari ketidaktahuan mereka terhadap penambahan kebutuhan zat besi selama kehamilan. Selaian itu Balajaran et.al (2011) berpendapat bahwa tingkat pendidikan yang dicapai seseorang mempunyai hubungan nyata dengan pengetahuan gizi dari makanan yang dikonsumsinya. Berdasarkan hasil analisis bivariabel dan multivariabel menunjukkan bahwa pemberian makanan tambahan dapat meningkatkan rata-rata selisih kadar hemoglobin pada kelompok perlakuan sebesar 2.2 gr/dl dan pada kelompok pembanding sebesar 1.2 gr/dl. Jika membandingkan antara kedua kelompok tersebut, perbedaan rata-rata selisih kadar hemoglobinnya adalah sebesar 1.03 gr/dl dan bermakna secara statistik p>0.05. Hasil uji multivariabel dengan mempertimbangkan tingkat pendidikan, pemberian makanan tambahan tetap berpengaruh terhadap beda selisih peningkatan kadar hemoglobin yaitu sebesar 0.98 gr/dl dan pengaruhnya sebesar 14 %. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Taslim, et,al (2006) pada ibu hamil yang KEK, menunjukkan bahwa
KESIMPULAN DAN SARAN Pemberian makanan tambahan pada ibu hamil trimester ketiga dapat meningkatkan kadar hemoglobin dan akan tetap bermakna dengan mempertimbangkan tingkat pendidikan.
DAFTAR PUSTAKA Adriani, M. & Wirjatmadi, B. (2012) Pengantar Gizi Masyarakat, Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Scholl, T. O. (2011) Maternal Iron Status : Relation To Fetal Growth, Lenght Of
5
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
Gestation And The Neonate's Iron Endowment. Nutr Rev, 69(Suppl 1): S23-S29.
Ahmed, J., Mahmuda, I., A, S. & Akhtaruzzaman (2003) Anaemia and Vitamin A Deficiency in Poor Urban Pregnant Women of Bangladesh. Asia-Pac. J. Clin. Nutrition, 12(4): 460-466.
Subarda, Hakimi, M. & Helmyati, S. (2011) Pelayanan Antenatal Care dalam Pengelolaan Anemia Berhubungan dengan Kepatuhan Ibu Hamil Minum Tablet Besi Jurnal Gizi Klinik Indonesia, 8(1): 7-13
Balarajan, Y., Ramakrishnan, U., Ozaltin, E., Shankar, A. H. & Subramanian, S. V. (2011) Anaemia in low-income and middle-income countries. Lancet, 378(9809): 2123-35.
Sarminto (2011) Peran Pemerintah Daerah (Dinas Kesehatan Provinsi) dalam Pelayanan Darah, Yogyakarta: Dinas Kesehatan Provinsi DIY.
Taslim, N. A., Karya, E. M. & Hadju, V. (2006) Pengaruh Pemberian Makanan Tambahan dan Tablet Besi Terhadap Kadar Hemoglobin Ibu Hamil yang Menderita Kurang Energi Kronik di Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan. Medika Nusantara, 26: 24-29.
Dinkes Provinsi DIY (2012) Profil Kesehatan Provinsi DIY, Yogyakarta. Dinkes Kota Yogyakarta (2013) Profil Kesehatan, Yogyakarta: Dinkes Kota Yogyakarta.
Hapzah, Hadju, V. & Sirajuddin, S. (2013) Pengaruh Konseling Gizi dan Suplementary Gizi Mikro Dua Kali Seminggu Terhadap Peningkatan Kadar Hemoglobin dan Asupan Makanan Ibu Hamil. Media Gizi Masyarakat Indonesia, 2(2): 64-70.
Arisman (2008) Buku Ajar Ilmu Gizi : Gizi Dalam Daur Kehidupan,Ed.2, Jakarta: EGC. Milman, N. (2010) Anemia—still a major health problem in many parts of the world! Springer-Verlag, 90: 369-377.
Sayogo, S. (2006) Gizi Remaja Putri, Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Bencaiova, G., Burkhardt, T. & Breymann, C. (2012) Anemia Prevalence and Risk Factors in Pregnancy. European Journal of Internal Medicine, 23: 529–533.
6
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
UPAYA PENGUATAN KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS KAUM JANDA LANSIA DENGAN PENDEKATAN KASIH SAYANG (STUDI DI LSM LUH JINGGAN PONDOK PESANTREN AL-KAMAL TAMBAKSARI KUWARASAN KEBUMEN JAWA TENGAH) Dr. Azam Syukur Rahmatullah., S.H.I.,M.S.I.,M.A Doktor Psikologi Pendidikan Islam Program Studi Psikologi Pendidikan Islam Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Yogyakarta, Indonesia
[email protected]
Abstrak --- Tingkat pertumbuhan kaum janda lansia pertahun meningkat, terutama janda lansia yang tidak menikah lagi. Mereka sangat membutuhkan hal-hal yang menjadikan tingkat kesejahteraan psikologis meningkat. Oleh karenanya perlu program kegiatan yang menjadikan mereka damai, nyaman serta sejahtera. Dalam hal ini terdapat Lembaga Swadaya Masyarakat yang diberinama LSM Luh Jinggan yang berada di bawah naungan Madrasah Aliyah Plus Nururrohmah Pondok Pesantren Al-Kamal Tambaksari Kuwarasan Kebumen yang memiliki berbagai program kegiatan yang berupaya untuk mensejahterakan psikologis kaum janda lansia. Berbagai kegiatan tersebut berada pada bingkai pendekatan kasih sayang, yakni secure attachment, high motivation, frienship, personal adjusment, dan rich of religious-illahiyah.
tenaga. Kurang ilmu, berarti sang janda tua sejak masa muda dan dewasa tidak memiliki bekal keilmuan-formal yang cukup, mereka tidak menikmati bangku sekolah, bahkan kuliah, sehingga di akhir masa tuanya mereka tidak mampu mempergunakan keilmuan yang seharusnya dimiliki sejak dini dengan baik, akibatnya mereka merana dan tidak berdaya untuk menghidupi diri mereka sendiri. Sedangkan kurang harta bisa dimaknai seorang janda tua ketika ditinggalkan suami tercinta tidak dibekali harta berlebih, bahkan cenderung kurang, sehingga akibatnya ketika menjanda dalam kondisi yang kurang bahkan tidak nyaman sama sekali, karena tidak memiliki harta. Kurang skill bagi seorang janda tua dapat dimaknai bahwa mereka tidak memiliki kemampuan lain yang dapat diandalkan, yang sejatinya meskipun secara keilmuan formal tidak dimiliki, namun apabila memiliki kelebihan skill lain tentu saja mampu membawa para janda dalam posisi nyaman, karena mampu menghidupi diri mereka sendiri. Namun dalam hal ini disebabkan minimnya skill yang dimiliki mengakibatkan mereka menderita di masa tua. Sedangkan yang dimaksud dengan kurang tenaga adalah posisi daya tahan dan kekuatan para kaum janda tua tersebut yang semakin melemah, sehingga tidak mampu memaksimalkan dengan baik, akibatnya mereka hanya bisa
Kata Kunci: Janda lansia, LSM Luh Jinggan, Pendekatan kasih Sayang dan Kesejateraan Psikologis PENDAHULUAN Menjadi janda bagi seorang perempuan tentu saja bukan pilihan, apalagi kondisi menjanda pada masa tua yang kurang ilmu, kurang harta, kurang skill dan kurang
7
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
tua melewati masa-masa sulitnya dan membantu mereka mendapatkan predikat kesejahteraan psikologis. Di sisi lain, penulis ingin mengetahui perihal program-program apa saja yang dilaksanakan oleh LSM tersebut yang berpondasikan kasih sayang. Harapannya dengan tulisan ini akan diperoleh formulasi yang tepat dalam hal menangani para kaum janda tua.
bekerja sesuai dengan kekuatan yang semakin melemah tersebut, sehingga wajar apabila ending-nya mereka tidak mampu mendapatkan uang yang layak untuk menghidupi keseharian mereka. Berbagai macam kelemahan dan kekurangan para janda yang tersebut di atas semakin diperparah dengan ketidakpunyaan anak, atau memiliki anak tetapi justru menjadi beban para kaum janda tua tersebut. Akibatnya para janda tua semakin tertekan dalam hidup, mereka terkadang merasa bingung akan menggantungkan keluh kesah kepada siapa. Hal ini menjadikan mereka jauh dari penyebutan istilah “kesejahteraan psikologis di masa tua.” Masa tua yang idealnya menjadi masa keemasan hidup yakni masa penuh kenyamanan, kedamaian, penyatuan kepada Tuhan, justru menjadi masa paling buruk dalam sejarah kehidupannya karena banyak memiliki kekurangan dan kelemahan. Sehubungan dengan kondisi di atas, terdapat Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bernama Luh Jinggan yang berada di desa Tambaksari Kuwarasan Kebumen, di mana LSM ini menstressingkan diri khusus membantu para kaum janda tua yang tidak mampu dan lemah secara materi dan immateri. Selain itu LSM ini memberikan pendampingan kepada para kaum janda tua yang mengalami problem psikis, dan mental, yang dalam hal ini pihak LSM membantu mencerahkan para kaum janda agar kembali menemukan jalan terang dan mampu melanjutkan kehidupannya secara gemilang, serta meraih predikat kesejahteraan psikologis, sesuatu yang banyak dituju dan menjadi idaman manusia. Berbagai cara yang digunakan oleh pihak LSM Luh Jinggan sangat kuat dan kental nuansa kasih sayang, Melalui tulisan ini, penulis bermaksud untuk menggali lebih dalam perihal apa dan bagaimana upaya LSM Luh Jinggan dalam membantu para kaum janda
JANDA LANSIA DALAM KONTEKS KEKINIAN Tingkat pertumbuhan kaum lansia di Indonesia semakin tinggi, hal ini dapat dibuktikan dengan data dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia yang menyebutkan bahwa berdasarkan sensus penduduk pada tahun 2010, jumlah lanjut usia di Indonesia yaitu 18,1 juta jiwa (7,6% dari total penduduk). Pada tahun 2014, jumlah penduduk lanjut usia di Indonesia menjadi 18,781 juta jiwa dan diperkirakan pada tahun 2025, jumlahnya akan mencapai 36 juta jiwa. (http://www.depkes.go.id/article/view/150527 00010/pelayanan-dan-peningkatan-kesehatanusia-lanjut.html#sthash.hD42NLna.dpuf, diakses pada tanggal 25 Juni 2016). Menurut data yang akurat dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia melalui Buletin Jendela Data dan Informasi Kesehatan tahun 2013 dinyatakan bahwa berdasarkan jenis kelamin, pola status perkawinan antara lansia laki-laki dan lansia perempuan tidaklah sama. Hal ini sesuai dengan data yang dihasilkan secara parsial bahwa lansia perempuan lebih banyak yang berstatus cerai mati yakni sekitar 59, 15%, sedangkan untuk lansia laki-laki lebih banyak yang menikah lagi atau bertastus kawin yakni sekitar 82,71 %. Menurut penjelasan yang diuraikan pada Buletin Jendela tersebut bahwa status perkawinan lansia adalah persentase yang cukup tinggi dari lansia perempuan yang berstatus cerai. Hal ini
8
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
cara ketiga adalah menfungsikan relasi atau jaringan sosial, dalam hal ini para janda lansia memanfaatkan perkenalan atau relasinya untuk membantu mencarikan pekerjaan atau justru memberinya pekerjaan. Apapun jenis pekerjaan akan dikerjakan oleh janda lansia, yang terpenting bagi mereka selaras dengan kekuatan yang dimiliki. Dari pemaparan hasil penelitian tersebut terlihat dengan jelas bahwa para kaum janda lansia yang memiliki kelemahan atau kekurangan sebagaimana yang telah penulis paparkan pada bab pendahuluan, yakni kekurangan ilmu, tenaga, skill dan harta, memang benar-benar merasakan penderitaan yang tidaklah ringan, dan kondisi tersebut dijalani bertahun-tahun, yang tentu saja akan menyebabkan secara kejiwaan sang janda lansia mengalami tekanan, beban mental, yang dimungkinkan akan berujung pada penyakit psikosomatik dan somapsikotik. Hasil penelitian Yanih Mardiana dan Zelfino (2014) menunjukkan bahwa dari sekitar 60 lansia yang diantaranya adalah para janda lansia diberi 18 bentuk pertanyaan mengenai tingkat stress yang dilakukan di daerah Kunciran Tangerang. Hasilnya dapat ditemukan 51 reponden (85%) lansia mengalami tingkat stress dan beban mental sedangkan lansia yang mengalami hipertensi hanya sekitar 30 responden (50%). Hasil penelitian Yanih dan Selfino semakin memperkuat dugaan bahwa para lansia terutama janda lansia memiliki tingkat stress dan tekanan mental yang tinggi. Mereka rentan terjangkiti gangguan-gangguan perasaan seperti cemas, takut, gelisah, waswas, yang pada akhirnya apabila terusmenerus terjadi tanpa adanya “perhatian khusus” akan mengarah pada gangguan kejiwaan. Menurut Moeljono Notosoedirjo dan Latipun (2014) tidak hanya rawan gangguan kejiwaan tetapi para lansia apalagi janda lansia rawan terkena gangguan kepribadian dan mengalami mentality
disebabkan sebagian besar perempuan setelah cerai tidak kawin lagi dalam jangka waktu yang relatif lama. Sebaliknya lansia laki-laki yang bercerai umumnya segera kawin lagi. (Buletin Jendela Data dan Informasi Kesehatan, semester I tahun 2013, ISSN 2088-270X) Kondisi yang kebanyakan lansia perempuan tidak menikah lagi inilah yang menjadikan para janda lansia banyak mengalami problem dalam menciptakan kesejahteraan psikologis diri, terutama problem dalam menyambung hidup dan menyelesaikan problem-problem psikis. Sebagaimana hasil penelitian Enita Fitrianingrum dan Martinus Legowo yang kemudian ditulis dalam jurnal berjudul “ Strategi Bertahan Hidup Janda Lansia” (2014), melalui penelitian tersebut terlihat bahwa para janda lansia untuk menopang kehidupannya agar tetap bisa berjalan meskipun harus tertatih-tatih menggunakan tiga pendekatan, yakni; Pertama, mengikat sabuk lebih kencang, yang berarti mereka menyengaja diri untuk makan hanya sekali atau dua kali dalam sehari, hal ini difungsikan agar mereka bisa menahan lapar. Kondisi yang demikian tentu saja disebabkan krisis atau lemahnya perekonomian yang dimiliki. Di sisi lain dimungkinkan faktor lebih mendahulukan memberi makan anak-anak atau cucu-cucu mereka dari pada diri mereka sendiri. Prinsip yang dipegang adalah “biarkan diri ini kelaparan asalkan jangan sampai anak dan cucu yang kelaparan.” Cara kedua yang dilakukan kaum janda lansia untuk menyambung hidup adalah menggunakan alternatif subsistensi, yakni memberdayakan diri dengan berjualan ringan, seperti berjualan gorengan, makanan ringan, atau menjadi tukang penjaga toko, penjaga warung makan, dan berbagai kegiatan yang selaras dengan tenaga yang dimilikinya. Hal kesemua itu dilakukan agar kehidupannya terus bisa berjalan dengan baik. Sedangkan
9
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
disorder d (gaangguan meental). Oleh karenanya menurut m Kaartini Kartonno (2010) para p lansia harus h mend dapatkan perhatian p yaang lebih terutama t darri orang-oranng terdekatnnya, paling tidak t mam mpu membu uat nyamann, damai, tenang t kejiiwaannya, sehingga s paara lansia terkhusus t j janda lansiaa akan terrjaga dari gangguan-ga g angguan yaang telah teersebut di atas. a
MEN NSEJAHTER RAKAN PS SIKOLOGI KAUM M JANDA LANSIA DENGAN PEND DEKATAN KASIH SA AYANG Dalam kondisi k yangg renta dan ttidak memiliki banyak kelebihan, para p janda laansia memaang membuttuhkan meddia yang maampu menseejahterakan psikologis mereka. Sebab S dengaan kesejahteeraan psikoloogis itulah akan menguurangi tingkkat stressin ng dan tekaanantekanaan yang mengarahkaan pada zona ketidaaknyamanan diri. Menuurut penuliss ada beberaapa hal menndasar yang dibutuhkan para janda lansia, yanng kesemua itu berada pada bingkai “pendekaatan kasih sayang,”bebe s erapa hal yaang dimaksud antara lainn:
Gaambar 1 Un nsur Pendek katan Kasih h Sayang Un ntuk Janda Lansia
Securee Atachmeent
R of Rich Re eligiousSp pirituality
High Motivation M
Person nal Adjusme ent
Friendhip p
Seccure attacmeent, merupak kan bentuk kelekatan k y yang aman yang dipeeruntukkan bagi b para jannda lansia. Secure S attachhment bisa dimaknai d pula deengan m memberikan keamanan, k kedamaian, dan hal--hal yang membuat m paara janda lannsia tenang serta tidak menggelisah m hkan jiwaa mereka.. Dalam Syukur penelitian p Disertasi Azam
Rahm matullah (20113) dinyatakaan bahwa nuuansa yang paling kuuat dalam sekup seecure hment adaalah adannya penguuatan attach emosiional untuk menghadirrkan kehanggatan serta keharmonissan yang nyata, sehiingga dengaan kondisi yang dem mikian seseoorang yang berada padaa zona terseebut akan beenarbenar merasakann kebahagiaaan yang tidak
10
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
membutuhkan kawan dan sahabat yang mampu mencerahkan pikiran dan membawa mereka ada area husnudzan. Hal keempat yang dibutuhkan kaum janda lansia adalah personal adjusment. Di dalam personal adjusment terdapat poin-poin penting yang mampu mendamaikan perasaan dan kejiwaan kaum janda lansia, yakni adanya penghargaan bagi mereka. Para kaum janda lansia sangat membutuhkan penghargaan dari orang-orang sekitarnya, meskipun penghargaan yang sifatnya ringan, seperti ucapan terima kasih. Hal ini disebabkan secara kejiwaan kaum lansia mudah trenyuh, mudah sedih, mudah terbawa emosi dan pikiran. Kondisi yang demikian perlu dicegah dengan hal-hal yang membuat mereka tidak gelisah dan resah, yang salah satunya adalah menghargai semua tindak tanduk kebaikan yang mereka lakukan. Hal kelima yang tidak kalah penting yang dibutuhkan kaum janda lansia adalah memperkaya mereka dengan sisi religiusitasillahiyah, yakni upaya melekatkan diri dengan Sang Hyang Pencipta. Para kaum janda lansia idealnya dibantu untuk selalu dekat dan lekat dengan Tuhannya, karena dengan semakin dekat dan lekat dengan Tuhannya, akan semakin memperingan beban dan tekanan diri, hal ini dikarenakan mereka merasa bahwa ada Dzat Hyang Maha Menolong, adanya Dzat Hyang Maha memperingan keadaan, dan hal ini otomatis membawa dampak pencerahan diri yang baik dari para janda lansia tersebut. Namun berbeda apabila semakin jauh dan menjauh dari Tuhan, beban diri semakin berat, sebab mereka merasa hidup hanya sendiri, tidak ada yang mampu membantunya, sehingga mata batin semakin tertutup, dan melupakan Sang Hyang Maha Pencipta, akibatnya kondisi semakin memprihatinkan. Oleh karenanya menjadi kewajiban bagi siapaun untuk membawa para janda lansia untuk aktif bertemu Tuhannya agar semakin tercerahkan dalam hidup.
semu. Hal kedua yang berada pada bingkai kasih sayang adalah motivasi yang berkualitas kepada para kaum janda lansia. Dengan berbagai kelemahan yang dimiliki tidak hanya harta yang dibutuhkan, tetapi ada tahapan selanjutnya yang diinginkan para janda lansia yakni motivasi hidup. Motivasi ini sangat diperlukan bagi mereka untuk mengarahkan para kaum janda pada derajat subjective well being. Menurut Azam Syukur Rahmatullah dalam buku berjudul Psikologi Penderitaan (2015) dinyatakan bahwa seseorang yang berhasil mencapai derajat subjective well being hidupnya akan penuh dengan rasa syukur kepada Illahi rabbi atas apa yang dianugerahkan kepadanya, selain itu kaya dengan penerimaan dan kepasrahan diri, yang kesemua itu justru akan semakin menguatkan untuk terus hidup lebih baik dan terus lebih baik. Hal ketiga yang dibutuhkan kaum janda lansia yang berada di bawah bingkai kasih sayang adalah friendhip atau fellowship, yakni menjalin pertemanan, perkawanan bahkan mengarahkan pada persahabatan dengan para kaum janda lansia. Hal ini dikarenakan mereka membutuhkan kawan dekat untuk berbagi rasa, sebagai tempat untuk bercerita atas keluh kesah yang dimiliki. Dengan persahabatan inilah menjadi media yang tepat bagi salah satu pihak yang menjadi tempat sandaran untuk memasukkan nuansa-nuansa husnudzan (berbaik sangka) kepada para kaum janda lansia dalam menjalani hidup. Ahmad Sagir dalam bukunya berjudul Husnudzan dalam Perspektif Psikologi (2011) menyatakan bahwa sumber dari kedamaian hidup sejatinya adalah pengkayaan diri dengan sikap husnudzan kepada Allah, dengan sikap inilah akan terbangun pikiran-pikiran positif sehingga tatkala menapaki hidup akan terasa ringan tanpa beban, meski sesugguhnya memiliki beban cobaan yang berat. Dalam hal ini para kaum janda lansia sangat
11
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
inilah yang membedakan dengan LSM-LSM lainnya. Berawal dari kegelisahan para dewan guru di Madrasah Aliyah Plus “Nururrohmah” Pondok Pesantren Al-Kamal yang merasa resah dikarenakan di sekitar lingkungan Pesantren dan Madrasah Aliyah banyak terdapat janda-janda lansia yang hidupnya memprihatinkan dan membutuhkan banyak sentuhan berbasis kasih sayang. Ada banyak dari mereka yang hidupnya di bawah garis kemiskinan. Hal inilah yang menjadikan asabab-musabab LSM Luh Jinggan berada di bawah naungan Madrasah Aliyah Plus “Nururrohmah” Pondok Pesantren Al-Kamal. Sehubungan dengan keberadaan LSM Luh Jinggan berikut akan dipaparkan visi, misi, serta program yang ada pada LSM Luh Jinggan, yang kesemuanya kental dengan nuansa pendekatan kasih sayang. (Sumber dari dokumen LSM Luh Jinggan, yang diambil pada tanggal 25 Juni 2016). 1. Visi LSM Luh Jinggan Menjadi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang Murni Membantu Sesama Karena Illahi Rabbi, dan Berpijak pada Ruh-ruh Agama yang Hakiki
LSM LUH JINGGAN, POTRET KEKINIAN YANG MEMPERDULIKAN KAUM JANDA LANSIA DENGAN PENDEKATAN KASIH SAYANG Upaya mensejahterakan psikologis para kaum janda lansia yang tersebut di atas, dilaksanakan sepenuhnya oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (selanjutnya disingkat LSM) yang terbilang unik. Sebab umumnya Lembaga Swadaya Masyarakat menstressingkan pada bidang pemberdayaan dan pemerhatian anak yatim, yatim piatu, anak jalanan, kaum fakir dan miskin. Namun dalam hal ini LSM yang diberi nama LSM Luh Jinggan menstressingkan pada pemberdayaan dan pemerhatian bidang kaum janda dan duda lansia, yang mana mereka tidak mampu memberdayakan diri mereka sendiri. LSM Luh Jinggan ini didirikan pada bulan Januari 2014 oleh Nurul Fitriyah Awaliyatul Laili, M.Pd.I yang juga merupakan Kepala Madrasah Aliyah Plus “Nururrohmah” Pondok Pesantren Al-Kamal Tambaksari Kuwarasan Kebumen. Dengan No Notaris Darmono SH: 133/27-01-2014 dan No Pengadilan: 23/HK.02.01/318/2014.Motto yang diunggulkan dan berupaya diterapkan dengan baik oleh pihak LSM adalah khairu an-nās anfa’uhum li an-nās, yang berarti sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lain. Bersumber dari motto mulia inilah LSM Luh Jinggan didirikan dengan asumsi mampu membawa manfaat positif bagi para kaum janda dan duda lansia. Hal yang menjadi pertanyaan adalah mengapa LSM Luh Jinggan dibawah naungan Madrasah Aliyah Plus Nururrohmah Pondok Pesantren Al-Kamal? Hal ini dikarenakan dari mulai ide pendirian serta seluruh stake holder dan pengurus berasal dari dewa asatidz (guru) di Madrasah Aliyah Plus “Nururrohmah,” hal
Visi ini dibangun dengan harapan: a. Berorientasi penuh untuk menolong sesama bukan karena ada tendensi/pamrih apapun, kecuali hanya menolong karena Allah Ta’ala. b. Menstabilkan diri untuk tetap meluruskan niat, memurnikan hati, dan mensucikan jiwa untuk senantiasa membantu sesama dan meringankan beban penderitaan sesama. c. Berpijak pada nilai-nilai agama, berjuang untuk sesama dengan landasan agama yang dianut dengan sesungguhnya. 2. Misi
12
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
e. Janda/duda tua yang tidak memiliki rumah/tempat tinggal, atau yang selama ini menumpang pada orang lain. f. Janda/duda tua yang bukan mendapat pensiunan PNS/atau memiliki anak yang dikategorikan mampu menghidupi/membantu orang tuanya. g. Janda/duda tua yang ditelantarkan anaknya sendiri sehingga tidak terurus dengan catatan anak kandungnya meski mampu sama sekali tidak memperdulikan nasib orang tuanya sendiri. h. Janda/duda tua yang tidak memiliki sanak saudara dan kehidupannya terlantar, atau memiliki sanak saudara namun tidak ada satupun yang memperdulikan nasibnya.
Berlandaskan dari visi, maka penjabaran dari misi ke depan LSM ‘Luh Jinggan’ ini adalah; a. Mengentaskan penderitaan masyarakat terkhusus ‘masyarakat tua’ (janda/duda tua) guna menuju Indonesia bebas derita bagi ‘masyarakat tua’ (janda/duda tua). b. Membangun koordinasi dan kemitraan yang sehat dengan pihak-pihak yang memiliki visi, misi dan tujuan yang serumpun untuk membantu pemerintah membebaskan masyarakat dari penderitaan/beban mental. c. Mewujudkan harmonisasikedamaian perilaku dan jiwa kepada kaum janda/duda tua khususnya, dengan pengembangan sumber daya manusia (human resources) manakala masih dimungkinkan bagi mereka.
4. Program Kegiatan Pendirian dari LSM ‘Luh Jinggan’
3. Sasaran Bantuan Sosial/Kemanusiaan LSM ‘Luh Jinggan’ memberikan bantuan sosial kemanusiaan—untuk sementara waktu—dikhususkan kepada para janda/duda tua yang memang benar-benar membutuhkan uluran tangan dan ‘perhatian khusus’, dengan beberapa kriteria; a. Janda/duda tua yang tergolong fakir dan miskin yang tidak memiliki pekerjaan yang layak. b. Janda/tua yang berumur di atas 60-an tahun, atau di bawah umur tersebut tetapi dalam kondisi yang benar-benar memprihatinkan. c. Janda/tua yang tidak memiliki keturunan/anak dan atau memiliki anak/keturunan namun tidak mampu menafkahi orang tuanya karena memiliki beban perekonomian yang memprihatinkan pula. d. Janda/duda tua yang sakit-sakitan, tidak mampu menghidupi dirinya sendiri.
ini
memiliki
beberapa
program,
di
antaranya; a. Memberikan santunan harian, mingguan dan bulanan (disesuaikan kondisi) kepada para kaum janda/duda tua berupa santuan materi agar supaya mereka terkurangi beban kesulitan perekonomian. b. Memberikan bantuan biaya hidup selama janda/duda mengalami sakit tua, apalagi tidak ada yang bersedia memikirkan kehidupannya. c. Memberikan bantuan biaya sakit yang terjangkau dengan kemampuan pihak LSM ‘Luh Jinggan’ d. Memberikan bantuan pakaian layak pakai bagi kaum janda/duda tua e. Memberikan bantuan menguruskan jamkesmas/BPJS agar mereka mendapatkan hak sehat dari Negara.
13
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
attachment antara lain adalah memberikan santunan baik sifatnya harian, mingguan maupun bulanan, berupaya memikirkan kelangsungan hidup para janda dan duda lansia, selain itu memberikan pelayanan konseling secara kejiwaan dan spiritual. Menurut Allen N Mendler (2010:41) ikatan personal akan semakin kuat manakala terdapat pembiasaan yang mengarah pada penyatuan hati dan jiwa yang di dalamnya kental nuansa kasih sayang. Dalam hal ini kegiatan yang dilakukan LSM Luh Jinggan merupakan sarana untuk memperkuat ikatan personal dan berupaya untuk memberi rasa aman terutama bagi para kaum janda lansia. Apalagi di dalamnya terdapat kegiatan memotivasi para kaum janda dan duda lansia dengan pendekatan yang kaya dengan kekeluargaan (friendship). Kegiatan tersebut ditunjukkan dengan adanya program councelling yang dilakukan ke rumah-rumah para kaum janda/duda lansia. Dalam hal ini pihak LSM Luh Jinggan berupaya untuk membangun komunikasi interpersonal, yang menurut Suciati (2015:3) komunikasi ini dibangun untuk menciptakan keintiman dalam hubungan antar sesama. Salah satu tanda berhasilnya bangunan komunikasi yang intim adalah adanya perasaan bahagia, legowo, interaksi yang hangat antara kedua pihak yang saling berinteraksi, yang ending-ya membawa pada titik kedamaian sejati. Adapun kegiatan berupa rich of religious-spirituality yang dilakukan oleh LSM Luh Jinggan adalah berupaya mencarikan guru pembimbing mengaji, dan berbagai ibadah untuk meningkatkan kualitas iman dan Islam bagi para kaum janda/duda lansia. Selain itu berupa memberikan pelayanan konseling kejiwaan/spiritual. Kedua program tersebut mengarah pada bangunan komunikasi transendental. Menurut Suciati (2016:118) komunikasi transendental merupakan interaksi kepada Tuhan dengan maksud untuk mencerahkan jiwa sehingga lebih dekat dan lekat dengan Tuhannya. Ketika sampai pada tahapan dekat dan lekat dengan Tuhannya akan menjadikan manusia selalu damai meskipun berbagai ujian dan hantaman datang mendera.
f. Memberikan bantuan biaya pengurusan jenazah bagi para kaum janda/duda tua g. Memberikan bantuan mencarikan tempat tinggal bagi yang tidak memiliki tempat tinggal’ h. Memberikan bantuan perlengkapan rumah tangga bagi yang belum memiliki i. Memberikan pelayanan konseling kejiwaan/spiritual j. Mengunjungi para kaum janda/duda lansia ke rumahrumah dan mendengarkan keluh kesah mereka k. Berupaya mencarikan guru pembimbing mengaji, dan berbagai ibadah untuk meningkatkan kualitas iman dan Islam bagi para kaum janda/duda lansia. Mendasarkan dari pemaparan di atas semakin menguatkan dengan jelas bahwa berbagai hal yang berhubungan dengan LSM Luh Jinggan seperti visi, misi, sasaran bantuan sosial/kemanusiaan dan berbagai program, bemuatan penuh kasih sayang. Hal ini dapat dilihat dari visi yang pijakan dasar menolong dan membantu hanya karena Allah Ta’ala, bukan karena bisnis atau ingin menumpuk kekayaan dari bantuan-bantuan yang ada untuk kepentingan pribadi. Kemudian dapat dilihat dari misi yang bermaksud untuk mengentaskan penderitaan masyarakat janda/duda tua dengan harmonisasi jiwa yang menuju kedamaian. Hal ini tentu saja sangat kuat ruh kasih sayangnya. Serta tentang sasaran bantuan sosial dan kemanusiaan serta berbagai program kegiatan nampak bermuatan kasih sayang baik kasih sayang yang diwujudkan secara materi seperti memberikan berbagai hal untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka, maupun yang bermuatan immateri yang mengarah pada ketenangan jiwa. Beberapa kegiatan dan program yang tersebut di atas mengarah pada zona secure
14
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
Ending-nya, program kegiatan bebasis kasih sayang yang dilaksanakan oleh LSM Luh Jinggan perlu ditingkatkan dan dieksiskan keberadaannya, sebab kegiatan ini bersifat memuliakan orang lain dan membawa orang lain pada posisi yang mensejahterakan. Di sisi lain para lansia merasa mendapatkan dukungan sosial, sesuatu yang memang sangat dibutuhkan oleh mereka. Sebagaimana hasil temuan Dinie Ratri Desiningrum (2014) yang menyatakan bahwa adanya hubungan posotof antara perpespsi terhadap dukungan sosial dan kesejateraan psikologis pada lansia (r = 0,739; p< 0,001). Hasil Uji-t menunjukkan lansia janda/duda memiliki persepsi lebih positif terhadap dukungan sosial (t(35) = 3,594; p< 0,001) dan menunjukkan kesejahteraan psikologis yang lebih baik daripada lansia duda/janda (t(42)= 2,944; p= 0,004).
tidak berlebihan dan tidak menyepelekannya dan memuliakan para pemimpin yang berbuat adil.(HR. Abu Dawud : 4843) dihasankan oleh Syaikh Albani dalam Shahih al-jami’ No 2199) Dalam Hadis lain Rasulullah Saw menyatakan “ Bukan ternasuk golongan kami orang yang tidak menyayangi anak-anak kecil dan tidak menghormati orang tua. “(HR. Tirmidzi: 1842; AS-Shahihah No. 2196). Berdasarkan kedua Hadis di atas terlihat adanya kewajiban untuk menghormati orang yang sudah lansia, yakni …..”dan menghormati orang-orang tua dari kami.”Wujud penghormatan adalah tidak menghardik para kaum lansia, tidak menyakiti perasaannya, dan tidak menjadikan kejiwaan mereka terganggu, tetapi sebaliknya yakni menjadikan kejiwaan mereka damai dan sentosa. Hal kedua yang harus dilakukan kepada kaum lansia adalah memuliakannya, sebagaimana Hadis yang menyebutkan “Sesungguhnya termasuk pengagungan kepada Allah adalah memuliakan orang yang sudah beruban lagi muslim.” Wujud memuliakannya dengan jalan memperbagus pergaulan dengan para kaum lansia, menampakkan kecintaan kepada mereka serta memperbagus panggilan kepada mereka. Bentuk pemuliaan kepada kaum lansia terutama kaum janda adalah dengan memperhatikan kesehatan mereka, baik kesehatan fisik maupun kesehatan jiwa. Hal ini dikarenakan kaum lansia merupakan kaum yang lemah dari aspek fisik dam kejiwaannya. Hal ini selaras dengan pernyataan Allah dalam QS. Ar-Rum ayat 54, yang berbunyi:
MENSEJAHTERAKAN PSIKOLOGIS KAUM LANSIA DENGAN KASIH SAYANG DAN DALIL NAQLI YANG MENYERTAINYA Program kegiatan yang dilaksanakan oleh LSM Luh Jinggan yang berbasis kasih sayang selaras dengan apa yang diajarkan oleh Al-Qur’an dan Hadis. Beberapa ajaran yang dimaksud adalah Pertama, ajaran untuk memuliakan kaum lansia. Rasulullah Saw bersabda “Sesungguhnya termasuk pengagungan kepada Allah adalah memuliakan orang yang sudah beruban lagi muslim, memuliakan ahli Qur’an dengan
$tΒ ß,è=øƒs† 4 Zπt7øŠx©uρ $Z÷è|Ê ;ο§θè% ω÷èt/ .⎯ÏΒ Ÿ≅yèy_ ¢ΟèO Zο§θè% 7#÷è|Ê Ï‰÷èt/ .⎯ÏΒ Ÿ≅yèy_ ¢ΟèO 7#÷è|Ê ⎯ÏiΒ Νä3s)n=s{ “Ï%©!$# ª!$# * ∩∈⊆∪ ãƒÏ‰s)ø9$# ÞΟŠÎ=yèø9$# uθèδuρ ( â™!$t±o„ Artinya : Allah, Dialah yang menciptakan kamu dari Keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah Keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya dan Dialah yang Maha mengetahui lagi Maha Kuasa.
Kedua, ajaran untuk memberikan kasih sayang tanpa syarat kepada para kaum lansia, terutama para janda dan duda tua.
Muhammad Anis (2010:53-55) menyatakan bahwa sebenarnya Allah telah mengajarkan kepada umat manusia untuk senantiasa
15
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
memiliki sifat rahmah yakni sifat yang penuh kasih sayang terhadap makhluk-makhluk sesama manusia maupun selain manusia, sebab yang menyayangi akan selalu
memberikan kebaikan kepada yang disayangi.Hal ini selaras dengan pernyataan Qur’an yang berbunyi:
∩⊇⊃∠∪ š⎥⎫Ïϑn=≈yèù=Ïj9 ZπtΗôqy‘ ωÎ) š≈oΨù=y™ö‘r& $tΒuρ
Artinya: Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.
Prinsip yang dikembangkan oleh LSM Luh Jinggan sebagaimana terlihat pada visi, misi dan berbagai program kegiatan
adalah tolong-menolong, prinsip ini selaras dengan perintah Allah dalam Qur’an QS. AlMāidah Ayat 2
É>$s)Ïèø9$# ߉ƒÏ‰x© ©!$# ¨βÎ) ( ©!$# (#θà)¨?$#uρ 4 Èβ≡uρô‰ãèø9$#uρ ÉΟøOM}$# ’n?tã (#θçΡuρ$yès? Ÿωuρ ( 3“uθø)−G9$#ρu ÎhÉ9ø9$# ’n?tã (#θçΡuρ$yès?uρ ¢ ∩⊄∪ Artinya: dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolongmenolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.
Sebaliknya Allah swt melarang mendukung segala jenis perbuatan batil yang melahirkan dosa dan permusuhan.
Menurut Ibnu Katsir memahami makna umum ayat ini berdasarkan redaksinya bahwa Allah SWT memerintahkan semua hamba-Nya agar senantiasa tolong menolong dalam melakukan kebaikan. Termasuk kategori Al-birr dan mencegah dari terjadinya kemungkaran sebagai realisasi dari takwa.
Ayat lain yang merujuk pada prinsip tolong-menolong yang menjadi pondasi LSM Luh Jinggan adalah QS.At-Taubah ayat 71:
Ìs3Ζßϑø9$# Ç⎯tã tβöθyγ÷Ζtƒuρ Å∃ρã÷èyϑø9$$Î/ šχρâßΔù'tƒ 4 <Ù÷èt/ â™!$uŠÏ9÷ρr& öΝßγàÒ÷èt/ àM≈oΨÏΒ÷σßϑø9$#uρ tβθãΖÏΒ÷σßϑø9$#uρ ©!$# ¨βÎ) 3 ª!$# ãΝßγçΗxq÷zy™ y7Íׯ≈s9'ρé& 4 ÿ…ã&s!θß™‘u uρ ©!$# šχθãèŠÏÜãƒuρ nο4θx.¨“9$# šχθè?÷σãƒuρ nο4θn=¢Á9$# šχθßϑŠÉ)ãƒuρ
∩∠⊇∪ ÒΟŠÅ3ym ͕tã
Artinya: Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Kalimat “sebahagian mereka menjadi penolong bagi sebahagian yang lain” ini merupakan kalimat “penjelas” yang menunjukkan tingkat rasa cinta yang menciptakan rasa perdamaian, keharmonisan, penghargaan, welas asih antar sesama. Tidak adanya saling menghakimi, saling
mengunggul-unggulkan diri dan saling “merasa benar sendiri”. Hal inilah yang diteladani sebagai bagian dari akhlak mahmudāh. Imam Nawawi al-Bantani (2005: 205) dalam kitabnya Nashāihul Ibād menyatakan salah satu tujuh gologan yang tidak akan dirahmati Allah pada hari kiamat
16
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
Buletin Jendela Data dan Informasi Kesehatan, semester I tahun 2013, ISSN 2088-270X Darmiyati Zuchdi, Humanisasi Pendidikan, Menemukan Kembali Pendidikan yang Manusiawi, Jakarta, Bumi Aksara, 2010 Dinie Ratri Desiningrum, Kesejahteraan Psikologis Lansia Janda/Duda Ditinjau dari Persepsi Terhadap Dukungan Sosial dan Gender, Jurnal Psikologi Undip Vol.13 No.2 Oktober 2014, 102-106 Enita Fitrianingrum dan Martinus Legowo, Strategi Bertahan Hidup Janda Lansia, Jurnal Paradigma. Volume 02 Nomer 03 Tahun 2014
yakni orang-orang yang tidak dapat menjadi penolong bagi orang lain terutama tetangga dekatnya sendiri, bahkan seringkali menyakiti. KESIMPULAN Berdasarkan dari pemaparan di atas terlihat dengan jelas bahwa kaum lansia pada hakikatnya tidak hanya membutuhkan hal-hal yang bersifat kebendaan saja, tetapi hal-hal yang bersifat immateri yakni berupa dukungan moril, dukungan sosial, perhatian, secure attachment, motivasi, persahabatan yang kesemuanya berbingkai kasih sayang. Dengan hal-hal yang bersifat immateri inilah para lansia mampu berdiri tegak meski berbagai ujian Tuhan menyertai, dan dengan dorongan immateri ini pula menjadi wasilah untuk mensejahterakan psikologi para kaum janda lansia. Oleh karenanya perlu dimaksimalkan pemberdayaan atas program kegiatan yang bersifat materi dan immateri kepada para kaum janda lansia sehingga mereka merasa dimanusiakan sebagai makhluk sosial.
Imam Nawawi al-Bantani, Nashāikhul Ibād ; Nasihat-nasihat untuk Para Hamba Menjadi Santun dan Bijak , terj. Fuad Kauma , Bandung : Irsyad Baitus Salam, 2005
Muhammad Anis, Quantum al-Fatihah ; Membangun Konsep Pendidikan Berasis Surah al-Fatihah, Yogyakarta : Pedagogia, 2010 Moeljono Notosoedirdjo, Latipun, Kesehatan Mental, Konsep dan Penerapan, Malang, UMM Press, 2014 Kartini Kartono, Patologi Sosial, Gangguangangguan Kejiwaan, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2010 Suciati, Komunikasi Interpersonal, Sebuah Tinjauan Psikologis dan Perspektif Islam, Yogyakarta: Buku Litera, 2015 __________, Komunikasi Transendental, Implementasi Komunikasi Islami dalam Lingkup Praktek dan Keilmuan, Yogyakarta, LP3M Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, 2016
DAFTAR PUSTAKA Ahmad Sagir, Husnuzzan Dalam Perspektif Psikologi, Yogyakarta, Mitra Pustaka, 2011 Allen N Mendler, Mendidik dengan Hati, penerj. Edriyano Azwaldi, Jakarta: Kaifa, 2010 Azam Syukur Rahmatullah, Psikologi Penderitaan, Kebumen, Azkiya Media, 2015 ____________________,Penanganan Kenakalan Remaja Pecandu NAPZA dengan Pendidikan Berbasis Kasih Sayang (Studi Di Pondok Remaja Inabah XV Putra Pondok Pesantren Suryalaya Tasikmalaya), Seri Disertasi, Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, 2013
Yanih Mardiana dan Zelfino, Hubungan Antara Tingkat Stress Lansia dan Kejadian Hipertensi pada Lansia di RW 01 Kunciran Tangerang, Forum Ilmiah, Volume 11 Nomor 2, Mei 2014 261
17
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
PELAKSANAAN PROGRAM PELAYANAN KESEHATAN PEDULI REMAJA (PKPR) DALAM MENDUKUNG KETAHANAN PRIBADI REMAJA (Studi Pada Puskesmas Gondokusuman II Di Kecamatan Gondokusuman, Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta) Husnul Khotimah PP Nasiyatul ‘Aisyiyah Daerah Istimewa Yogyakarta
[email protected]
Abstrak --Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (PKPR) merupakan program pelayanan kesehatan bagi remaja di Puskesmas.Layanan mewujudkan remaja sehat dan mengurangi perilaku negatif pada remaja.Program layanan diinisiasi Kementerian Kesehatan RI sejak tahun 2003. Layanan program PKPR Puskesmas Gondokusuman II Kota Yogyakarta adalah salah satu layanan percontohan di Kota Yogyakarta. Penelitian ini dilatarbelakangi masih minimnya pelaksanaan program PKPR di Puskesmas dan pentingnya kesehatan remaja dalam menciptakan generasi yang berkualitas, sehat fisik dan Psikis. Tujuan penelitian ini mengkaji pelaksanaan program PKPR di Puskesmas dan dukungan program PKPR terhadap ketahanan pribadi remaja.Studi pada Puskesmas Gondokusuman II di Kecamatan Gondokusuman, Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta. Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan data wawancara mendalam, Fokus Group Discussion (FGD), observasi,
dokumentasi dan studi pustaka.Teknik analisis data mengunakan open coding dan axial Coding.Dua analisis data ini menjelaskan bentuk pelaksanaan program PKPR di Puskesmas Gondokusuman II Kota Yogyakarta dan dukungan program terhadap ketahanan pribadi remaja. Pelaksanaan program PKPR di Puskesmas Gondokusuman II Kota Yogyakarta secara teknis telah berjalan cukup baik, kegiatan dilaksanakan dalam bentuk penyuluhan kesehatan di sekolah dan masyarakat, Focus group Discussion (FGD) tentang kesehatan remaja, konseling, dan kegiatan lomba-lomba kesehatan. Penyuluhan kesehatan remaja menjadi barometerutama.layanan Tim PKPR Puskesmas Gondokusuman II aktif mempromosikan program pada remaja di sekolah dan di kelurahan. Puskesmas mampu menyediakan layanan sebagai media akses remaja.Alur pelayanan Puskesmas membawa kemudahan para remaja.Peran petugas PKPR Puskesmas Gondokusuman II dapat
18
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
mendukung katahanan pribadi remaja. Disisi lain, layanan kurang maksimal disebabkan tiga faktor krusial. Faktor pada jam layanan bersamaan dengan jam masuk sekolah. Faktor ruang PKPR tidak ada. Faktor dana menyebabkan keterbatasan kegiatan. Pelaksanaan program PKPR dapat mendukung ketahanan pribadi remaja ditandai munculnya sikap remaja PKPR yang percaya diri, memiliki kontrol diri, empati dan aktif dalam mengikuti kegiatan. Kata
Kunci:
Pelayanan Remaja, Pribadi.
Kesehatan, Ketahanan
I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Masa remaja merupakan fase terjadinya pertumbuhan dan perkembangan baik fisik, psikologis, intelektual maupun sosial. Baik buruknya perkembangan remaja lingkungan ikut andil memberikan kontribusi, baik lingkungan keluarga, sekolah maupun masyarakat termasuk teman sebaya. Pada masa ini, remaja mengalami beberapa perubahan yaitu dalam aspek jasmani, rohani, sosial, emosional dan personal. Akibat berbagai perubahan tersebut, remaja juga akan mengalami perubahan tingkah laku yang dapat menimbulkan konflik dengan orang di sekitarnya. Konflik tersebut terjadi karena akibat adanya perbedaan sikap, pandangan hidup, maupun norma yang berlaku di masyarakat. Keadaan ini dapat mendatangkan konflik apabila keputusan yang diambil tidak tepat. Sehingga remaja dapat jatuh ke
dalam perilaku beresiko baik masalah fisik atau psikososial. Susilastuti (2014) mengatakan Indonesia lima tahun lalu masuk dalam 10 besar Negara pengakses situs pornografi di dunia maya. Bahkan Kementrian Komunikasi dan Informatika, menyebutkan setiap tahun peringkat tersebut selalu meningkat. Pranawati (2014) menguatkan salah satu dampak kekerasan seksual meningkat adalah akibat menonton pornografi. Hasil penelitian ‘Aisyiyah tahun 2014 menunjukkan masih minimnya informasi tentang kesehatan remaja khususnya Kesehatan reproduksi dan layanan konseling. Hal ini perlu adanya upaya yang serius dalam menyikapi kondisi remaja. Upaya ini tentu tidak lepas dari peran serta pemerintah, instansi dan masyarakat dalam mengembangkan potensi remaja dan perkembangan remaja baik dari segi kecerdasan, keterampilan maupun mental demi terciptanya bangsa Indonesia yang produktif di masa depan.Kementrian Kesehatan RI (2010) mengatakan, untuk mewujudkan remaja yang sehat, tangguh, dan produktif serta mampu bersaing, tentu diperlukan upaya untuk meningkatkan dan membina kesehatan remaja yang melibatkan semua pihak termasuk orang tua, sekolah, masyarakat, dan pemerintah, sehingga Kementrian Kesehatan Republik Indonesia menginisiasi adanya model pelayanan kesehatan dengan pelayanan kesehatan peduli remaja (PKPR). Isu kesehatan remaja dalam program PKPR di Puskesmas ini sangat penting untuk mendapatkan
19
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
perhatian khusus dalam mewujudkan remaja yang sehat baik lahir maupun batin.Puskesmas diharapkan dapat memberikan pelayanan kepada remaja sesuai dengan kebutuhannya sehingga dapat mewujudkan remaja yang sehat dan tangguh.Hal tersebut
di atas, yang membuat peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang “Pelaksanaan Program Pelayanan Kesehatan Peduli remaja dalam mendukung Katahanan Pribadi Remaja Studi Pada Puskesmas Gondokusuman II Di Kecamatan Gondokusuman, Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta”.
B. Rumusan Masalah Penelitian Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan menjadi dua rumusan masalah penelitian, yaitu: 1. Bagaimana pelaksanaan program pelayanan kesehatan peduli remaja (PKPR) di Puskesmas Gondokusuman II, Kecamatan Gondokusuman, Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta? 2. Bagaimana pelaksanaan program pelayanan kesehatan peduli remaja (PKPR) dalam mendukung ketahanan pribadi remaja peserta program PKPR Puskesmas Gondokusuman II di Kecamatan Gondokusuman, Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta? II. METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini adalah jenis penelitian kualitatif. Dimana penelitian kualitatif merupakan penelitian yang terlibat secara aktif dalam pengumpulan data, yaitu secara fisik menemui partisipan, lingkungannya, serta institusi tempat
penelitian. Peneliti kualitatif adalah peneliti deskriptif, dan peneliti lebih tertarik dengan proses. Dalam konteks ini menggambarkan pelaksanaan program PKPR di Puskesmas Gondokusuman II Kota Yogyakarta Dalam Mendukung Ketahanan Pribadi Remaja. Adapun karakteristik subyek penelitian yaitu:
Tabel 2. 1 Karakteristik subyek penelitian
Infor man 1
Remaja SMP
Jenis Kelamin P
17-19 Th
Pendid ikan SMP
2
Remaja SMA
L dan P
19 Th
SMA
3
Remaja Umum
P
17-19 Th
4
Masyarakat Binaan Puskesmas
P
17-19 Th
SMP dan SMA SMP dan SMA
Jabatan
Umur
B. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian ini di Puskesmas Gondokusuman II Kota Yogyakarta. Didasarkan atas pertimbangan bahwa Puskesmas Gondokusuman II merupakan Puskesmas terpilih di Kecamatan, sebagai Puskesmas percontohan program PKPR.Puskesmas ini mendapat predikat sebagai Puskesmas yang ramah remaja. C. Pengumpulan Data Menurut Moleong (2006) Sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata dan tindakan, yaitu data yang diperoleh dari hasil wawancaradan pengalamatan lain, data tambahan lain sumber tertulis seperti dokumen resmi, sumber arsip, majalah ilmiyah, dokumen tertulis resmi, dan termasuk studi pustaka. Berkaitan
20
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
dengan itu, peneliti menggunakan data sebagai berikut. 1. Wawancara Teknik wawanara ini peneliti awali dengan melakukan wawancara dengan koordinator program PKPR Puskesmas Gondokusuman II Kota Yogyakartadengan menggunakan data wawancara yang telah dibuat berdasarkan panduan wawancara terbuka. Bertanya tentang pelaksanaan program PKPR, proses wawancara kemudian berkembang dengan pertanyaan yang sesuai kondisi atau jawaban informan. Berikutnya yaitu wawancara dengan beberapa tim atau anggota petugas PKPR Puskesmas Gondokusuman II Kota Yogyakarta lain termasuk kepada Kepala Puskesmas, Kepada Promosi Kesehatan DIY, remaja dan masyarakat. Teknik wawancara peneliti bertanya langsung kepada informan yang dipilih, yaitu pihak yang berkompeten yang dianggap mampu memberikan gambaran dan informasi guna memberikan jawaban permasalahan penelitian.Untuk mendukung banyaknya informasi, peneliti melakukan wawancara individu kepada siswa SMA BOBKRI II dan SMPN 6 Kota Yogyakarta sebagai peserta penyuluhan program PKPR. Dalam wawancara peneliti menggunakan teknikSnowball.Siswa yang menjadi informan dalam penelitian ini teridiri dari 4 (empat) perempuan dan 1 (satu) laki-laki. 2. Focus Grup Discussion (FGD) Selain wawancara dengan pemangku kebijakan dan pelaksana program PKPR di Puskesmas Gondokusuman II Kota Yogyakarta peneliti juga mengambil data pada
remaja atau siswa SMA danSMP sebagai objek atau sasaran program PKPR.Untuk membuktikan sejauhmana pelaksanaanprogram PKPR di lapangan.Peserta focus grup discussion (FGD) terdiri dari56siswa. Sebagai peserta FGD Yaitu, siswa SMANegeri 3 Kota Yogyakarta sebanyak 6 (enam) siswa, dengan kriteria salah satu sekolah yang sudah mendapatkan sosialisasi program PKPR dan SMPNegeri 8 Kota Yogyakarta sebanyak 5 (lima) siswa sebagai sekolah binaan Puskesmas Gondokusuman II Kota Yogyakarta yang ikut sebagai peserta lomba kader kesehatan. Dari 11 siswa yang menjadi informan semua adalah perempuan.Hal ini menunjukkan bahwa siswi memiliki kapasitas yang baik. 3. Observasi Teknik lainyang digunakan peneliti adalah observasi. Peneliti mengobservasi langsung di lapangan pada kegiatan program PKPR yang dilaksanakan oleh Puskesmas Gondokusuman II Kota Yogyakarta yaitu pada kegiatan sosialisasi program PKPR yang merupakan wujud dari kegiatan pemberian informasi dan edukasi di SMA BOBKRI II Kota Yogyakarta dan SMPNegeri 6 Kota Yogyakarta. Peneliti juga observasi kegiatan lomba kader kesehatan yang dilaksanakan di SMA Muhammadiyah 1 Kota Yogyakarta sertaterlibat langsung dalam pelaksanaan kegiatan sosialisasi program PKPR kepada remaja dan kader posyandu remaja di Kelurahan Terban Gondokusuman II Kota Yogyakarta. 4. Dokumentasi
21
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan pengumpulan data dari Dinas Kesehatan DIY sebagai penentu kebijakan dan Puskesmas Gondokusuman II Kota Yogyakarta sebagai puskesmas pelaksana program PKPR, remaja yang terlibat kegitan program PKPR, dan masyarakat sekitar. Data diperoleh dari buku panduan, dokumendokumen dan laporan pelaksanaan kegiatan PKPR. Selanjutnya peneliti melakukan analisis terhadap dokumen tersebut dengan membuktikan di lapangan. 5. Studi pustaka
No
1
2
3
4
Metode dan Informan
Studi pustaka dilakukan oleh peneliti untuk memperkaya perspektif dan pengetahuan peneliti sehingga proses analisis data dapat terarah dan memenuhi kaidah ilmiah. Selain itu peneliti juga melakukan penelitian data pendukung yaitu pengumpulan data dari Unit Perpustakaan Universitas Gadjah Mada, Perpustakaan Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada dan Perpustakaan Universitas Negeri Yogyakarta, sehingga hasil proses dan hasil penelitian dapat lebih maksimal.
Tabel 3.5 Pengumpulan Data Karakteristik data • Latar belakang adanya program PKPR • Pelaksanaan program PKPR • Sasaran Program PKPR • Pengaruh program PKPR terhadap ketahanan pribadi remaja • Ketahanan pribadi remaja • Program PKPR • Pengalaman mengikuti kegiatan PKPR • Pengaruh program PKPR pada remaja • Pelayanan yang diinginkan remaja
Keterangan
• Kondisi yang melatarbelakangi adanya program PKPR • Proses pelaksanaan program Wawancara PKPR di lapangan • Manfaat dan pengaruh program PKPR terhadap diri remaja dalam menjalani • Melakukan FGD langsung kepada siswa SMP dan SMA FGD binaan Puskesmas Gondokusuman II di Kecamatan Gondokusuman, Kota Yogyakarta, Provinsi DIY • Mengamati langsung kegiatan PKPR yang dilakukan oleh • Karakteristik Puskesmas Puskesmas Gondokusuman II • Pelaksanaan Kegiatan PKPR Kota Yogyakarta Observasi • Remaja di Sekolah dan • Bagaimana kondisi Puskesmas Masyarakat • Kondisi remaja dan siswa • Petugas PKPR Sekolah pasca mengikuti kegiatan PKPR • Kegiatan program PKPR • Fotokegiatan Dokumentasi • Ruang layanan PKPR • Ruang PKPR dan kegiatan
22
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
No
5
Metode dan Informan
Studi Pustaka
Karakteristik data • Puskesmas Gondokusuman II Kota Yogyakarta • Penelitian • Laporan • Dokumen resmi dan buku
D. Teknik Analisis Data Analisis data dilakukan peneliti yaitu dengan mengorganisasikan data, menyusun kedalam pola yang sudah peneliti tentukan, memilih mana yang penting dan yang akan dipelajari, kemudian membuat kesimpulan. Data sekunder yang diperoleh peneliti dibuktikan dengan data lapangan yang peneliti peroleh ketika wawancara dan observasi di lapangan sesuai kebutuhan. Data tersebut kemudian diolah dan dianalisis dengan menggunakan teknis coding sebagai penganalisaan, yaitu Open coding dan Axial coding (Corbin dan Strauss, 1998).
III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1. Pelaksanaan Program PKPR Secara teknis, pelaksanaan program dapat terlaksana dengan baik,dengan partisipasi yang tinggi dari tim petugas PKPR. Sumber daya manusia sangat penting keberadaanya dalam pelaksanaan program kesehatan. Sebagai Puskesmas yang memiliki peran sebagai penyedia layanan yang preventif, kuratif, promotif dan Rehabilitatif, ketenagaan menjadi sangat penting. Faktor ketenagaan ini meliputi jumlah, jenis dan kualitas. Seperti Jumlah petugas PKPR terdiri
Keterangan
• Penelitian terdahulu yang berkaitan dengan judul, • Laporan Kegiatan PKPR • buku-buku yang mendukung
dari tenaga perawat yang menjadi sebagai koordinator program PKPR, satu dokter, Bidan, dokter dan psikolog. Tenaga merangkap tugas sebagai tenaga kesehatan Puskesmas secara umum. Perangkapan tugas ini berimplikasi pada tingginya beban kerja petugas PKPR sehingga dapat mempengaruhi kinerja kurang maksimal. Meskipun demikian, Koordinator petugas program PKPR sangat loyal, care dengan remaja, mau jemput bola, Peran petugas kesehatan sangat menentukan dalam menyediakan informasi dan edukasi. Adapun program PKPR Puskesmas Gondokusuman II Kota Yogyakarta yaitu: a. Peningkatan Kesadaran Remaja Dalam Pencegahan Perilaku berisiko dan Komunikasi antar Remaja 1) Konseling Layanan konseling di Puskesmas Gondokusuman II Kota Yogyakarta dibuka setiap hari senin dan jum’at pada jam buka layanan Puskesmas. Jam buka layanan ini dikeluhkan oleh remaja sekolah karena waktu jam buka layanan konseling bersamaan dengan jam masuk sekolah. Meskipun sebetulnya sudah ada rekomendasi dari sekolah namun remaja malu dan takut keluar di jam sekolah. Hal ini menjadi kendala bagi remaja sekolah
23
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
sehingga remaja memilih tidak keluar sekolah pada jam pelajaran. 2) Focus Group Discussion (FGD) FGD dilaksanakan di sekolah SMP dan SMA binaan puskesmas Gondokusuman II Kota Yogyakarta.Dalam pelaksanaanya masing-masing siswa dibagi kelompok untuk mendiskusikan dan membahas satu topik tentang remaja dan kesehatan seperti narkoba, reproduksi sehat, bahaya rokok, HIV/AIDS dan perilaku hidup sehat.Siswa diminta diskusi kelompok dan memecahkan masalah tersebut kemudian mempresentasikan hasil analisisnya.Peserta FGD yang direkomendasikan oleh sekolah yang mewakili lomba sekolah adalah siswa perempuan.Hal ini dapat membuktikan bahwa perempuan memiliki kemampuan akademik dan skill yang baik. b. Peningkatan Kualitas Kesehatan Remaja Hasil pengamatan peneliti di lapangan, Peningkatan kualitas kesehatan remaja dilakukan melalui kegiatan yang menunjang kualitas kesehatan remaja. Kegiatan bersifat promotif dan preventif diberikan secara langsung kepada remaja atau siswa di sekolah dan luar sekolah yang tinggal di daerah binaan Puskesmas Gondokusuman II Kota Yogyakarta tepatnya di Wilayah Terban dan Kota Baru, dengan berbagai bentuk kegiatan: 1) Penyuluhan tentang kesehatan remaja Kegiatan dilakukan di Sekolah SMP dan SMA di Wilayah Puskesmas Gondokusuman II Kota Yogyakarta yang telah ditetapkan oleh Puskesmas dan Kecamatan
setempat yaitu SMP Negeri 5 Kota Yogyakakarta SMP Negeri 6, SMA. Negeri 3 Kota Yogyakarta dan SMABOBKRI II Kota Yogyakarta.
Bahaya merokok, Pacaran Sehat, Narkoba, HIV/AIDS, Kesehatan Reproduksi, Pola Hidup Sehat.
2) Pengobatan dan layanan Medis Berdasarkan hasil penelitian, pelayanan medis di Puskesmas Gondokusuman II Kota Yogyakarta terhubung langsung dengan pelayanan di semua unit.Tindakan medis dilakukan oleh dokter atau petugas KIE bagi remaja yang memerlukan pelayanan terkait kesehatan reproduksi.Pemberian layanan dilakukan oleh bidan di Puskesmas.Remaja dapat mendapatkan pelayanan langsung tanpa harus melalui pendaftaran di loket umum. c. Channeling Puskesmas Gondokusuman II Kota Yogyakarta membangun channeling dengan lintas sektor yaitu Dinas Pendidikan, Kepolisian, Dinas Kesehatan DIY sebagai pemangku kebijakan program PKPR, pejabat di masyarakat setempat seperti ketua RW, ketua RW, pengurus Ponyandu remaja dan remaja sendiri sebagai sasaran program. juga dengan Community Development (CD) dalam pelaksanaan program termasuk dengan LSM seperti PKBI. Berikut ini adalah gambaran pelaksanaan program PKPR di Puskesmas Gondokusuman II Kota Yogyakart. Program pelayanan kesehatan peduli remaja merupakan program pengembangan Puskesmas dalam rangka menanggulangi masalah kesehatan remaja. Program
24
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
ini relevan dengan kondisi masyarakat saat ini khususnya remaja yang kian hari semakin meningkat permasalahanya baik
permasalahan kekerasan, narkoba, merokok, KTD dan HIV/AIDS. Dengan adanya kegiatan yang positif, remaja mampu melakukan hal-hal yang baik dalam kehidupann.
Pemberian informasi melalui penyuluhan terkait kesehatan adalah bagian penting dalam pelayanan kesehatan peduli remaja. Masalah ini terkait erat dengan perilaku berisiko pada remaja. Data perilaku berisiko dari Badan Narkotika Nasional DIY, wilayah Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman sepanjang tahun 2013 menjadi wilayah paling tinggi dalam kasus penanggulangan narkotika dan obat terlarang. Hasil riset Komisi Penanggulangan AIDS DIY tahun 2014 juga menyebutkan bahwa Yogyakarta menduduki peringkat pertama dari ke-4 Daerah (Tribunnews.com). Pelaksanaan program PKPR di Puskesmas Gondokusuman II Kota Yogyakarta apabila dikaitkan dengan teori model segitiga pelayanan (The Service Triangle) yang pertama, dalam konteks strategi pelayanan yang tersusun secara baik, yaitu terkait dengan akses pelayanan. Pelayanan program PKPR dapat terakses oleh remaja secara luas, baik remaja sekolah maupun remaja di luar sekolah atau masyarakat. Kedua, Orang di lini depan berorentasi pada pelangan. Pelanggan yang dimaksud dalam penelitian ini yaitu remaja. Petugas PKPR Puskesmas Gondokusuman II Kota Yogyakarta
yang memprioritaskan program PKPR diakses oleh remaja. Remaja sebagai sasaran utama dalam pelaksanaan program PKPR. Baik remaja sekolah maupun luar sekolah. Ketiga, sistem pelayanan yang ramah, terlihat adanya alur pelayanan PKPR yang berbeda dengan alur pelayanan pasien lain atau umum. Alur tersebut terpasang di ruang depan loket pendaftaran yang dapat diakses semua pengunjung. Remaja dapat dilayani langsung tanpa harus antri seperti pasien pada umumnya. Ini membuktikan adanya pelayanan yang ramah bagi remaja. Program PKPR yang dilaksanakan Puskesmas Gondokusuman II Kota Yogyakarta telah memberikan kontribusi dalam mendukung ketahanan pribadi remaja. Hal ini dapat terlihat dari sikap remaja peserta program PKPR Puskesmas Gondokusuman II Kota Yogyakarta yang percaya diri, mampu mengontrol dirinya dengan baik, memiliki empati pada lingkungan dan berperan aktif dalam mengikuti kegiatan. Berikut ini adalah bagan pelaksanaan program PKPR Puskesmas Gondokusuman II Kota Yogyakarta dalam Mendukung Ketahanan Pribadi Remaja.
25
Pelaksana Puskesmas Gondokusu man II, Kecamatan Gondokusu man Kota Yogyakarta
Sasaran Remaja
Sub Kegiatan 9 Konseling Personal dan kelompok
9 Focus Group 9 Pacaran Sehat Discussion 9 Narkoba 9 Bahaya Merokok 9 Pola Hidup Sehat 9 HIV/AIDS 9 Kesehatan Rep
Program Sub Program Jenis Kegiatan Pelayanan 9 Peningkatan Kesadaran 9 Konseling Kesehatan Peduli Remaja Dalam Pencegahan Remaja (PKPR) Perilaku Berisiko dan Komunikasi antar Remaja
9 Remaja ikut dalam kegiatan-kegiatan yang positif baik kegiatan keluarga, sekolah dan lingkungan sosial 9 Memberikan motivasi kepada teman sebaya yang memiliki masalah
Hasil 9 Kemampuan Merespon teman yang konsultasi 9 Mampu berempati padasaat teman sebaya bercerita masalahnya 9 Memberikan solusi atas masalah yang diceritakan teman sebanya 9 Percaya diri
Tabel 1 Pelaksanaan Program Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (PKPR) Di Puskesmas Gondokusuman II, Kecamatan Gondokusuman, Kota Yogyakarta, Provinsi DIY
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
26
Pelaksana Sasaran Puskesmas Remaja Gondokusu man II, Kecamatan Gondokusu man Kota Yogyakarta
9 Channeling
lintas
Hasil tidak 9 Berusaha merokok 9 Menjaga kebersihan diri dan sekolah 9 Seleksi memilih teman 9 Tidak mengikuti arus lingkugan yang negatif 9 Kontrol Sosial
9 Lomba Kader 9 Dinas Pendidikan 9 Koordinasi Sektoral 9 Dinas Kesehatan Kesehatan 9 Kementerian Kesehatan 9 CDBETHESDA 9 Sekolah SMP dan SMA binaan Gondokusuman II Kota Yogyakarta 9 Guru BK dan UKS
Sub Kegiatan 9 Bahaya merokok 9 Pacaran Sehat 9 Narkoba 9 HIV/AIDS 9 Pengobatan dan 9 Kesehatan Layanan Medis Reproduksi 9 Pola Hidup Sehat
Program Sub Program Jenis Kegiatan 9 Peningkatan kualitas 9 Penyuluhan Pelayanan Kesehatan Kesehatan Remaja Kesehatan Peduli Remaja Remaja (PKPR)
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
27
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
d. Kendala Dalam Pelaksanaan Program PKPR 1) Waktu Layanan Jam buka layanan PKPR khususnya dalam layanan konseling pukul 08.0013.00 WIB. Jam buka layanan bersamaan dengan jam sekolah remaja. Remaja lebih memilih masuk sekolah karena pertimbangan tidak ingin meninggalkan pelajaran di sekolah. 2) Ruangan PKPR Ruangan PKPR di Puskesmas Gondokusuman II Kota Yogyakarta masih bergabung dengan ruang psikolog. Puskesmas seharusnya memiliki ruang tersendiri untuk pelayanan remaja PKPR. idealnya setting ruangan bernuansa selera remaja, tenang, nyaman, menjamin privasi dan kerahasiaan. 3) Pendanaan Apabila Suatu program dapat terlaksana dengan baik, salah satunya didukung pendanaan yang baik. Program PKPR di Puskesmas Gondokusuman II Kota Yogyakarta belum mendapat dana khusus untuk pelaksanaan program tersebut. Dana yang digunakan untuk program PKPR selama ini berasal dari Biaya Operasional Kesehatan (BOK).
Sikap kontrol diri begitu nampak pada sikap remaja, Remaja yang rentan dengan masalah hal ini akan dapat menjadi hal yang serius. 3) Empati Remaja PKPR mampu merespon teman yang konsultasi, mampu merasakan apa yang dirasakan dan dialami teman sebaya pada saat bercerita, remaja juga mampu memberikan solusi atas masalah yang diceritakan teman sebanya.
4) Aktif Remaja PKPR sebagian besar memiliki banyak aktivitas di lingkungannya.Berdasarkan hasil observasi peneliti dilapangan, remaja terlihat aktif mengikuti kegiatan Posyandu remaja di lingkungan rumahnya.Untuk remaja di sekolah sebagian besar telah mengikuti kegiatan ekstra kurikuler, remaja terlihat aktif sebagai kader kesehatan dan sebagian mengikuti lomba kader kesehatan. Berdasarkan hasil penelitian di atas, peneliti menarik kesimpulan, ketahanan pribadi remaja dapat terlihat dari sikap remaja peserta program PKPR Puskesmas Gondokusuman II Kota Yogyakarta yang ditampilkan seperti percaya diri, memiliki kontrol diri yang baik, termasuk mandiri dan mampu beradaptasi dengan lingkungan, empati terhadap kondisi lingkungan dan dapat bersikap aktif dalam mengikuti kegiatan di lingkungannya. Remaja yang memiliki sikap tersebut menunjukkan telah memiliki katahanan pribadi dalam menyikapi kondisi lingkingan dan permasalahan yang muncul. b. Dukungan Program PKPR Terhadap Ketahanan Pribadi Remaja Unsur-unsur penting dalam ketahanan pribadi seperti percaya diri, kontrol diri, empati, dan keaktifan remaja dalam menjalankan aktivitasnya dapat mendukung pribadi remaja menjadi lebih baik dalam berperilaku. Jika remaja telah memiliki kepercayaan diri, maka akan mampu menghadapi lingkungan dengan baik. Remaja yang percaya diri akan dapat
2. Pelaksanaan Program PKPR Dalam Mendukung Ketahanan Pribadi a. Unsur – Unsur Ketahanan Pribadi Remaja Peserta Program PKPR Berdasarkan hasil penelitian, peneliti mendapatkan beberapa unsur ketahanan pribadi pada remaja peserta program PKPR Puskesmas Gondokusuman II Kota Yogyakarta seperti di bawah ini: 1) Percaya Diri Remaja cenderung memiliki sikap rasa ingin mencoba hal-hal baru, sikap dan rasa ini tentu perlu dikontrol. Sikap percaya diri sangat dibutuhkan bagi remaja dalam menjalani kehidupannya. Tanpa percaya diri akan menghambat remaja untuk maju. 2) Kontrol Diri
13
28
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
serta optimis dan mandiri akan dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Berdasarkan informan penelitian,mayoritas perempuan, ini menunujukkan bahwa kualitas sumberdaya manusia khususnya remaja (perempuan) memiliki kapasitas dan skill serta ketahanan pribadi yang baik dalam diri. Sehingga perempuan ikut andil dalam mewujudkan katahanan pribadi remaja.Ketahanan pribadi remaja ini memberikan kontribusi dalam mengembangkan kualitas sumber daya perempuan.Kualitas sumber daya manusia yang baik akan dapat mendukung ketahanan nasional suatu bangsa juga baik. Ketahanan nasional suatu bangsa tidak hanya dilihat dari sisi pertahanan dan sumbe rdaya alamnya saja tetapi dari kualitas sumber daya manusia.Bangsa yang memiliki ketahanan nasional yang baik adalah bangsa yang individunya memiliki ketahanan pribadi yang baik, begitu juga sebaliknya. Di bawah ini adalah tahapan pelaksanaan pelaksanaan program PKPR dalam mendukung ketahanan pribadi remaja.
mengontrol dirinya dari perilaku berisiko dan mampu beradaptasi dengan lingkungannya secara baik. Remaja yang memiliki kontrol diri baik akan dapat berempati pada lingkungannya.Secara tidak langsung remaja telah mampu berperan aktif dalam mengahadapi lingkungan. Sikap lainnya yang nampak dari remaja yaitu kemandirian dan optimisme dalam menjalani kehidupannya khususnya dalam meraih apa yang menjadi keinginan remaja. Sikap remaja tersebut memberikan dukungan yang besar bagi remaja itu sendiri dalam mengembangkan kepribadian dan ketahanan pribadinya. Ketahanan pribadi merupakan hal penting dan tidak bisa ditawar dalam membangun ketahanan nasional. Dalam membangun ketahanan nasional dibutuhkan ketahanan pribadi bangsa yang tangguh, percaya diri dan mandiri. Ketahanan pribadi sangat dibutuhkan guna terwujudnya ketahanan Nasional suatu bangsa. Ketahanan pribadi suatu bangsa tidak lepas dari kualitas sumber daya manusianya. Kualitas sumber daya manusia yang percaya diri, memiliki kontrol diri yang baik, empati pada lingkungan dan mampu berperan aktif
29
1.Faktor Internal (adanya inisiatif dari Kementrian Kesehatan RI munculnya program pelayanan kesehatan peduli remaja 2.Faktor eksternal (Remaja menjadi agen perubahan, rentan dengan masalah, (sex bebas, kekerasan seksual, Narkoba, HIV/AIDS, minimnya inormasi dan akses layanan kesehatan remaja
Kondisi Penyebab (Causal Condition)
30
Pengaruh (Intervening) 1. Koordinasi lintas Sektoral 2. Perkembangan teknologi 3. Doubel Peran petugas PKPR 4. Waktu 5. Ekonomi
PROGRAM PELAYANAN KESEHATAN PEDULI REMAJA (PKPR)
Antisipasi Kerentanan masalah remaja
Fenomena (Phenomena)
Konteks (Contekstual Conditions) 1. Dukungan Pemerintah melalui penyediaan dana dan fasilitas penunjang kegiatan 2. Puskesmas mampu memberikan pelayanan kepada remaja secara promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitative 3. Dorongan menguatkan remaja yang ada di Wilayah Puskesmas 4. Ketersediaan Sumber Daya Manusia
Gondokusuman, Kota Yoyakarta, Daerah Istimewa Yogyakar
Terciptanya remaja yang meliliki katahanan pribadi remaja
Bagan 2 : Pelaksanaan Program PKPR Dalam Mendukung Ketahanan Pribadi Remaja Puskesmas Gondokusuman II Di Kecamatan
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Kesimpulan terkait dengan penelitian Pelaksanaan Program Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (PKPR) Dalam Mendukung Ketahanan Pribadi Remaja Di Puskesmas Gondokusuman II Kota Yogyakarta adalah: 1. Pelaksanaan Program PKPR di Puskesmas Gondokusuman II Kota Yogyakarta yang merupakan program ramah pada remaja sudah berjalan cukup baik ditandai dari dominasi pelaksanaan kegiatan langsung seperti program pemberian informasi dan edukasi melalui kegiatan penyuluhan, Konseling dan Focus Group Discussion. Meskipun sarana prasana belum memadai, tidak menghambat pelaksaan program. Pelaksanaan program PKPR secara teknis dapat dilaksanakan dengan baik dengan peran serta sumber daya yang loyal dan motivasi yang tinggi dalam menggerakkan remaja. Pelaksanaan program PKPR perlu ditingkatkan karena belum memenuhi standar pelayanan PKPR yang ditetapkan Kementrian Kesehatan RI seperti belum adanya ruangan khusus PKPR dan pendidikan konselor sebaya. 2. Pelaksanaan Program PKPR dalam mendukung ketahanan pribadi remaja memiliki dampak yang positif bagi perkembangan kepribadian remaja khususnya pada ketahanan diri remaja dalam menumbuhkan sikap percaya diri, kontrol diri, sehingga remaja
mampu mengontrol dirinya dari perilaku berisiko, empati terhadap lingkungan dan dapat terlibat aktif mengikuti kegiatan di lingkungann. B. Saran. Untuk peningkatan pelaksanaan program PKPR Dinas Kesehatan sebagai panjang tangan Kementrian Kesehatan perlu melakukan realokasi anggaran untuk program PKPR, menfasilitasi Channeling lintas sektor dalam pelaksanaan program PKPR dan Evaluasi Program PKPR. Bagi Puskesmasharus aktif dalam melaksanakan program PKPR, memperkuat Channeling lintas sektor, baik pihak Swasta, Pemerintah, Instansi terkait, Organisasi masyarakat, termasuk organisasi kepemudaan di wilayah binaan Puskesmas dan masyarakat serta melibatkan remaja dalam pelaksanaan program PKPR, NGO, mengadakan ruangan khusus PKPR dengan desain yang sesuai selera remaja, Puskesmas harus lebih fleksibel dalam memberikan layanan yang lebih panjang waktunya agar remaja mampu mengakses layanan diluar jam sekolah, membentuk dan memperkuat keberadaan konselor sebaya melalui pelatihan secara berkelanjutan sehingga mampu menjangkau pelayanan kesehatan secara luas di sekolah, menggunakan metode yang menarik dan partisipatif dalam penyampaian materi atau pemberian informasi program PKPR, meningkatkan promosi program PKPR secara lebih luas di sekolah dan lingkungan masyarakat melalui liflet, media sosial dan kegiatan-kegiatan
31
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
Kesehatan Peduli RemajaDi Jakarta: Puskesmas, Kementrian Kesehatan RI.
sosial yang ramah remaja. Dan melibatkan Masyarakat dan orang tua dalam pelaksanaan program PKPR. Remaja perlumeningkatkan kapasitas keilmuannya, terlibat aktif dalam mengikuti program PKPR di lingkungannya, menjalankan peran konselor sebaya baik di lingkungan sekolah maupun luar sekolah
Moleong, J Lexy, 2006, Metodelogi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Poetry, V,R, Ramli, Pratiwi, 2012, “Resiliensi Pada Mahasiswa Baru Penyandang Cerebral Palsy (CP)”, Jurnal Psikologi UB, Hal. 1-13. Pranawati, Rita, 2014, Peran Orang Tua Dalam Perlindungan Anak Untuk Membentuk Karakter Generasi Z, Makalah, Dalam Seminar Parenting.
DAFTAR PUSTAKA A. Buku, Jurnal, dan Karya Ilmiyah Aisyiyah, 2012, Dukungan ‘Aisyiyah Terhadap Peningkatan Kualitas Kesehatan Reproduksi Remaja DI Kabupaten Bantul, Policy Paper, Jakarta: Royal Netherlands Embassy. Arso,
Satrianegara, F. M., 2014, Organisasi dan Manajemen Pelayanan Kesehatan: Teori Dan Aplikasi Dalam Pelayanan Puskesmas dan Rumah Sakit, Jakarta: Salemba Pustaka.
P.S., 2014, “Implementasi Program Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (PKPR) Di Puskesmas Wilayah Dinas Kesehatan Kabupaten Tegal”, BHAMADA, Jurnal JITK, Vol.4, No.1, Januari 2014.
Soedarsono, Soemarno, 1997, Ketahanan Pribadi & Ketahanan Keluarga Sebagai Tumpuan Ketahanan Nasional, Jakarta: PT. Intermasa. Susilastuti, 2014, Perempuan Di Parlemen: Perlu Mengawal Regulasi Pro Perempuan, Yogyakarta: Majalah Suara ‘Aisyiyah.
Corbin, J. dan Strauss, A., 1998, Basic of Quantitative Research: Technique and Procedure for Developing Grounded Theory, London: Sage Publications, Inc. Helmaleni, 2012, Efektivitas Suport Group Therapy Dalam Meningkatkan Resiliensi Warga Binaan Wanita Kasus Narkotika, Tesis, Universitas Gadjah Mada. Kementrian Kesehatan Pedoman
Suwarjo, 2008, Konseling Teman Sebaya (Peer Counseling) Untuk Mengembangkan Resiliensi Remaja, Makalah, Dalam Seminar Pengembangan Ilmu Pendidikan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta, Universitas Negeri
RI, 2010, Pelayanan
32
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
Yogyakarta: Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia.
B. Perundang-undangan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 H tentang Hak Warga Negara. Undang-undang Tahun 2009 pasal 137 (1) tentang Kesehatan.
33
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
PENGARUH PENDIDIKAN KESEHATAN TENTANG PROSES PENUAAN TERHADAP TINGKAT KEMAMPUAN KELUARGA MERAWAT LANSIA DENGAN GANGGUAN ELIMINASI DI KELURAHAN SEWUKAN MAGELANG Rita Sundari, Yuli Isnaeni Program Studi Ilmu Keperawatan, Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas ‘Aisyiyah Yogyakarta email :
[email protected]
Abstrak --- This research aims to determine the effect of health education about the aging process for ability of treating elderly family with impaired elimination in Kelurahan Sewukan Magelang. Pre-experimental research method with one group pretest-posttest without control group. Respondents consist of 15 people taken by simple random sampling technique. Collecting data using observation sheet with Paired t-test with the significant level 0,05. The value obtained is the value of p = 0.012. Health education about the aging process affects the ability of treating elderly family with impaired elimination in Kelurahan Sewukan Magelang. Kata Kunci : Health education, the ability of treating elderly family, impaired elimination.
I. PENDAHULUAN Menua merupakan proses menurunnya daya tahan tubuh dalam menghadapi rangsangan dari dalam maupun luar tubuh. Walaupun
34
demikian lansia akan sering mengalami gangguan kesehatan seperti kehilangan jaringan otot, susunan saraf dan jaringan lain termasuk penurunan fungsi eliminasi (Stanley dan Beare, 2007). Berdasarkan prevalensi Depkes (2012) di Indonesia yang berusia 60 tahun keatas pada tahun 2010 berjumlah 9,77% dan diperkirakan pada tahun 2020 sebesar 11,34% dengan usia harapan hidup 71,1 tahun. Peningkatan jumlah lansia tersebut juga akan menimbulkan peningkatan gangguan kesehatan yang terjadi pada lansia. Gangguan kesehatan pada lansia terutama penurunan fungsi eliminasi dapat menimbulkan ketidakmampuan dalam mengontrol BAB maupun BAK, sehingga dapat menimbulkan masalah seperti inkontinensia urine, inkontinensia alvi dan lain-lain (Stanley dan Beare, 2007). Berdasarkan hasil penelitian Iglesias (2011) di Spanyol pada komunitas lansia umur ≥ 65 tahun, prevalensi inkontinensia urin pada wanita lansia dalam komunitas berkisar antara 5-20%. Di Indonesia
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
masalah inkontinensia urin merupakan salah satu manifestasi penyakit yang sering ditemukan pada pasien geriatri. Diperkirakan prevalensi inkontinensia urin berkisar antara 15–30% lansia di komunitas masyarakat sedangkan 2030% pasien geriatri yang dirawat di rumah sakit mengalami inkontinensia urin, kemungkinan bertambah berat inkontinensia urinnya 25-30% saat berumur 65-74 tahun (Gustomoridho, 2012). Menurut Meridean (2011, dalam Astuti, 2013) mengatakan bahwa dampak dari banyaknya masalah eliminasi yang mungkin dialami oleh lansia antara lain dapat menyebabkan harga diri rendah, hambatan dalam kontak sosial, adanya penolakan orang lain dan meningkatnya biaya perawatan untuk lansia. Sedangkan menurut Maryam, dkk (2008) masalah tersebut juga dapat menyebabkan masalah seperti terjadinya iritasi kulit, menimbulkan stres keluarga, teman dan orang yang merawat, serta membutuhkan biaya untuk kebutuhan tampon, kateter, tenaga perawat dan penanganan komplikasi. Masalah eliminasi pada lansia yang terjadi diperlukan bantuan maupun pertolongan dari orang lain terutama keluarga. Keluarga sebagai care giver yang mempunyai peran penting dalam masalah kesehatan keluarga (Suryati dkk, 2012). Kemampuan keluarga merawat lansia di rumah merupakan sebagai kemampuan keluarga dalam memenuhi kebutuhan fisik,
psikologis, sosial, dan spiritual pada lansia (Kholifah, Yetti & Besral 2011). Berdasarkan hasil penelitian Kholifah, Yetti & Besral (2011) menunjukkan bahwa sebanyak 48,3% keluarga termasuk kategori mampu merawat dan 51,7% termasuk tidak mampu merawat lansia di rumah. Perawatan keluarga pada lansia memerlukan arahan maupun bimbingan dari orang-orang yang memiliki keahlian dalam pemeliharaan kesehatan seperti perawat maupun petugas kesehatan lain. Menurut Fallen dan Dwi (2010, dalam Sumantri, 2014) mengatakan bahwa peran perawat adalah sebagai pendidik (edukator) dalam hal ini perawat mempunyai peran memberikan informasi yang memungkinkan klien (individu atau keluarga) membuat pilihan, mempertahankan autonominya dan memotivasi klien untuk meningkatkan dan memelihara kesehatan. Cara memberikan informasi perawat dalam perawatan kesehatan pada lansia dapat dengan cara memberikan pendidikan kesehatan kepada anggota keluarga. Berdasarkan hal tersebut maka Notoatmodjo (2007) mengatakan bahwa pendidikan kesehatan merupakan suatu pemberian pendidikan kesehatan agar dapat tercapai suatu promosi kesehatan yaitu tentang perubahan perilaku. Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan di Kelurahan Sewukan Magelang, dilakukan wawancara kepada 10 anggota
35
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
keluarga yang memiliki lansia dengan gangguan eliminasi dan didapatkan bahwa tingkat kemampuan anggota keluarga dalam merawat lansia belum sesuai intervensi perawatan pada gangguan eliminasi. Perawatan pada lansia dengan gangguan eliminasi yang dilakukan keluarga yaitu membersihkan sisa eliminasi dan membantu ke kamar mandi ketika lansia meminta bantuan. Ketika lansia melakukan BAB atau BAK di tempat tidur pada malam hari, keluarga akan membersihkan sisa eliminasi pada pagi hari sehingga hal tersebut dapat mengganggu kenyamanan bagi lansia. Keluarga juga menyediakan ember di kamar lansia sebagai tempat eliminasi lansia, akan tetapi hal tersebut memberikan dampak buruk bagi lansia dikarenakan tidak segera dibersihkan oleh anggota keluarga. Kondisi tersebut dapat mengganggu kenyamanan lansia karena bau yang menyengat dari sisa kotoran eliminasi lansia. Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah yang diajukan pada penelitian ini adalah, “Bagaimana pengaruh pendidikan kesehatan tentang proses penuaan terhadap
tingkat kemampuan keluarga merawat lansia dengan gangguan eliminasi di Kelurahan Sewukan Magelang?” II. METODE PENELITIAN Jenis penelitian ini adalah jenis penelitian eksperimen, yaitu untuk menilai pengaruh pendidikan kesehatan tentang proses penuaan terhadap tingkat kemampuan keluarga merawat lansia dengan gangguan eliminasi. Penelitian ini menggunakan desain pra-eksperimen design yaitu menggunakan rancangan one group pretest-postest tanpa kelompok kontrol (Imron, 2014). Perlakuan yang diberikan pada penelitian ini yaitu pendidikan kesehatan tentang proses penuaan yang bertujuan untuk mengetahui perbedaan antara sebelum dan sesudah diberikan perlakuan. III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Karakteristik responden yang diamati pada penelitian ini meliputi umur lansia yang dirawat, pekerjaan responden, nilai pretest dan nilai postest. Distribusi tersebut dapat dilihat sebagai berikut :
36
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
G Gambar 1. Karak kteristik Ressponden berdasarkan Umur U Lanssia yang Dirrawat
Karakterristik Resp ponden beerdasarkan n Umur Lansiaa yang Dirrawat
3 33%
0
20%
600-70 tahun 711-80 tahun
47%
811-90 tahun
Pada gambar 1 dapat d dilihaat bahwa daari 15 responden sebagian besar m merawat lan nsia yang berrumur 71-800 tahun yaituu 7 respondeen (47%) daan sebagian k kecil lansia yang y berumuur 60-70 tahhun yaitu 3 reesponden (200%). G Gambar 2. Karakterristik Respoonden berda asarkan Pek kerjaan
Karak kteristik R Responden n berdasarrkan P Pekerjaan Ibu Rum mah Tangga 13%0%
27%
Petani
60%
Pedagangg
g 4.2 dapat dilihhat bahwa dari d 15 respponden sebaagian besar Pada gambar a adalah petaani yaitu 9 responden (60%) dan n sebagian kecil bekerj rja sebagai p pedagang yaaitu sebesar 2 respondenn (13%).
37
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
Tabel 1. Hasil Tingkat Kemampuan Responden Merawat Lansia dengan Gangguan Eliminasi Sebelum dan Sesudah Perlakuan Pretest Postest Kategori Jumlah persentase Jumlah persentase responden responden Baik 0 0% 15 100% Cukup 12 80% 0 0% Kurang 3 20% 0 0% Total 15 100% 15 100% Pada tabel 1 dapat dilihat bahwa dari 15 responden sebelum diberikan perlakuan sebanyak 12 responden (80%) kemampuan merawat lansia dengan gangguan eliminasi cukup dan 3 responden (20%) kemampuan merawat lansia dengan gangguan eliminasi kurang. Sedangkan sesudah perlakuan berupa pendidikan kesehatan, sebanyak 15 responden (100%) kemampuan merawat lansia dengan gangguan eliminasi baik sehingga dari keseluruhan responden tingkat kemampuan keluarga merawat lansia dengan gangguan eliminasi meningkat. A. PEMBAHASAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat kemampuan keluarga merawat lansia dengan gangguan eliminasi sebelum dan sesudah perlakuan mengalami perbedaan yaitu sebanyak 15 responden mengalami peningkatan dalam kemampuan merawat lansia. Hal ini sesuai dengan tabel 1 bahwa 15 responden dalam penelitian ini tingkat kemampuan keluarga merawat lansia sebelum perlakuan
yaitu 12 responden (80%) dinyatakan cukup dan 3 responden lainnya (20%) dinyatakan kurang. Sesudah perlakuan, tingkat kemampuan keluarga merawat lansia sebanyak 15 responden (100%) dinyatakan baik. Perbedaan tingkat kemampuan pada sebelum dan sesudah perlakuan dipengaruhi oleh pemberian pendidikan kesehatan tentang cara merawat lansia dengan gangguan eliminasi. Responden yang pada awalnya tidak mengetahui cara yang tepat dan benar dalam memberikan perawatan menjadi mengerti dan paham bagaimana cara merawat lansia dengan gangguan eliminasi secara tepat dan benar, sehingga tingkat kemampuan keluarga dalam merawat lansia mengalami peningkatan daripada sebelumnya. Hal ini dibuktikan dengan hasil nilai pretest dan postest tingkat kemampuan keluarga merawat lansia dengan gangguan eliminasi sebelum dan sesudah perlakuan dari hasil penghitungan menggunakan SPSS dan didapatkan hasil nilai sig = 0,012. Nilai sig ini <0,05 maka Ho ditolak dan HI diterima sehingga ada
38
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
perbedaan antara pretest dan postest yang berarti pendidikan kesehatan tentang proses penuaan berpengaruh terhadap tingkat kemampuan keluarga merawat lansia dengan gangguan eliminasi. Perlakuan yang diberikan kepada responden berupa pendidikan kesehatan tentang cara merawat lansia dengan gangguan eliminasi yang diberikan sebanyak tiga kali dapat memberikan pengaruh terhadap tingkat kemampuan keluarga merawat lansia dengan gangguan eliminasi. Penambahan kemampuan dan pengetahuan seseorang dapat melalui tehnik belajar atau bimbingan dengan tujuan untuk mengetahui kondisi secara nyata dan aktif mendapatkan informasi sehingga terjadi perubahan perilaku pada individu, kelompok atau masyarakat agar lebih mandiri dalam mencapai tujuan hidup sehat. Peningkatan kemampuan dalam merawat lansia dikarenakan pemberian pendidikan kesehatan berdasarkan pada kemampuan seseorang untuk mengubah perilaku melalui pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan dalam melakukan perubahan yang diinginkan. Menurut Bandiyah (2009) yaitu tingkat kemampuan keluarga merawat lansia dipengaruhi oleh pengetahuan dan keterampilan keluarga dalam memberikan perawatan. Apabila anggota keluarga tidak mengerti cara-cara dalam memberikan perawatan maka dapat menurunkan tingkat kemampuan
keluarga dalam memberikan perawatan pada lansia sehingga dapat menimbulkan stres pada keluarga. IV. KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Kelurahan Sewukan Magelang tahun 2016, dapat disimpulkan bahwa tingkat kemampuan keluarga merawat lansia dengan gangguan eliminasi sebelum perlakuan yaitu 12 responden (80%) dalam kategori cukup dan 3 responden (20%) dalam kategori kurang. Sesudah diberikan perlakuan tingkat kemampuan responden merawat lansia dengan gangguan eliminasi sebanyak 15 responden (100%) dalam kategori baik. Hal ini dinyatakan bahwa ada perbedaan pada tingkat kemampuan keluarga sebelum dan sesudah diberikan perlakuan yaitu berupa pendidikan kesehatan tentang cara merawat lansia dengan gangguan eliminasi mengalami peningkatan. Berdasarkan hasil tersebut diketahui bahwa pendidikan kesehatan tentang proses penuaan berpengaruh terhadap tingkat kemampuan keluarga merawat lansia dengan gangguan eliminasi. Diharapkan bagi keluarga dan masyarakat terutama keluarga yang memiliki anggota keluarga lansia dengan gangguan eliminasi dapat memahami tentang perubahan yang terjadi pada lansia sehingga dapat meningkatkan kemampuan keluarga dan menerapkan dengan benar cara memberikan perawatan kepada lansia dengan gangguan eliminasi. Masalah
39
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
kesehatan yang terjadi pada lansia bukan untuk dihindari atau dilupakan akan tetapi diberikan perhatian dan perawatan untuk memelihara status kesehatan lansia. Bagi peneliti selanjutnya diharapkan melakukan penelitian lebih lanjut tentang cara meningkatkan kemampuan keluarga merawat lansia dengan gangguan eliminasi menggunakan metode dan media lain serta dapat menggunakan kelompok kontrol sebagai pembanding penelitian.
DAFTAR PUSTAKA Astuti, D.F. (2013). Hubungan antara Status Mental dengan Pola Eliminasi Usia Lanjut di PSTW Budi Luhur Kasongan Bangunjiwo Kasihan Bantul Yogyakarta. Skripsi. Yogyakarta : STIKES 'Aisyiyah Yogyakarta. Bandiyah, S. (2009). Lanjut Usia dan Keperawatan Gerontik. Jakarta : Mulia Medika. Depkes. 2012. http://www.depkes.go.id. Diakses pada tanggal 2 November 2015. Gustomoridho. 2012. https://gustomoridho.wordpress. com. Diakses pada tanggal 30 Oktober 2015. Imron, T.M. 2014. Metodologi Penelitian Bidang Kesehatan. Jakarta : Sagung Seto.
Kholifah, S.N., Yetti, K. & Besral. 2011. Kemampuan Keluarga Merawat Usia Lanjut Berdasarkan Karakteristik Keluarga dan Usia Lanjut. Jurnal Keperawatan. Diakses pada tanggal 23 November 2015. Maryam, R.S., dkk. 2008. Mengenal Usia Lanjut dan Perawatannya. Jakarta : Salemba Medika. Notoatmodjo, S. 2007. Promosi Kesehatan & Ilmu Perilaku. Jakarta : Rineka Cipta. Sangadji, M.R. 2014. http://repository.usu.ac.id. Diakses pada tanggal 31 Oktober 2015. Stanley, M. dan Beare, P.G. 2007. Buku Ajar Keperawatan Gerontik Edisi 2. Jakarta : EGC. Sumantri, A. 2014. Pengaruh Pendidikan Kesehatan Hipertensi Pada Keluarga Terhadap Kepatuhan Diet Rendah Garam Lansia Hipertensi di Kecamatan Sukolilo Kabupaten Pati. Skripsi. Yogyakarta : STIKES ‘Aisyiyah Yogyakarta. Suryati, E.S., dkk. 2012. Beban Keluarga Merawat Lansia Dapat Memicu Tindakan Kekerasan dan Penelantaran Terhadap Lansia. Jurnal Keperawatan. Diakses pada tanggal 3 November 2015.
40
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
REKRUTMEN CALON ANGGOTA LEGISLATIF PEREMPUAN PADA PARTAI GERINDRA KOTA YOGYAKARTA DALAM PEMILU LEGISLATIF TAHUN 2014 Roni Tamara Saputra, Titin Purwaningsih Program Studi Megister Ilmu Politik Universitas Muhammadyah Yogyakarta Email:
[email protected] Abstrak - Disahkannya Undang-Undang Partai Politik No. 2 Tahun 2011 Tentang Partai Politik memberikan mandat kepada partai politik untuk memenuhi kuota 30% bagi perempuan. Guna memenuhi kuota tersebut maka Partai Gerindra Kota Yogyakarta harus melakukan proses rekrutmen dengan baik, agar perempuan yang menjadi caleg bukan hanya untuk memenuhi kuota tetapi juga dapat meningkatkan perolehan suara dalam Pileg. Ada dua tujuan dalam penelitian ini yaitu 1) Untuk mengetahui proses rekrutmen caleg perempuan dalam pemilu legislatif tahun 2014 pada Partai Gerindra Kota Yogyakarta. 2) Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi perempuan aktif di Partai Gerindra Kota Yogyakarta. Dalam penelitian ini metode yang digunakan adalah metode analisis kualitatif dengan cara deskriptif. Data-data dalam penelitian ini diperoleh melalui wawancara dan dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses dalam perekrutan caleg perempuan dalam Pileg 2014 dilakukan secara terbuka. Adapun mekanisme rekrutmen yang dilakukan dengan 3 cara yaitu tahap administrasi, psikotes dan rekrutmen wawancara. Faktor yang menyebabkan seorang aktif di Partai Gerindra Seseorang berperilaku karena pertama behavioral beliefs yaitu perempuan yang aktif di partai politik telah mengetahui apa keuntungan atau kerugian yang didapatkan ketika perempuan aktif di partai politik. Kedua norma subjektif yaitu adanya dukungan dari orang di sekitarnya seperti keluarga ketika seorang perempuan aktif di partai piolitik. Ketiga Control beliefs merupakan kepercayaan perempuan terhadap faktor-faktor yang mampu memberi kemudahan dalam mewujudkan sebuah tujuan ketika aktif di partai politik.
Kata Kunci: Rekrutmen, Partai Gerindra dan Pileg. Abstract - The passage of the Law on Political Parties No. 2 Year 2011 concerning Political Parties give a mandate to the political parties to meet the 30% quota for women. In order to meet the quota then Gerindra Yogyakarta have to do the recruitment process well, so that women who become candidates not only to meet but also can increase the quota of votes in Pileg. There are two objectives in this study are 1) To know the process of recruitment of women candidates in the legislative elections in 2014 in the city of Yogyakarta Gerindra. 2) To determine the factors that influence women Gerindra active in the city of Yogyakarta. In this research method used is qualitative analysis method in a descriptive way. The data in this study were obtained through interviews and documentation. The results showed that the process for the recruitment of women candidates in the 2014 Pileg conducted openly. The mechanism of recruitment done in 3 ways: stage administrative, psychological and recruitment interviews. Factors that cause a person active in Gerindra behave as the first behavioral beliefs that women are active in a political party has to know what the advantages or disadvantages that can be acquired when women active in political parties. Both subjective norm namely the support of those around him like family when a woman active in the party piolitik. Third Control beliefs is the belief of women to factors capable of facilitating the realization of a goal when active in party politics. Keywords: Recruitment, Gerindra and Pileg
1
41
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
PENDAHULUAN Kuota 30% ditetapkan pertama kali pada pemilu 2004 seiring dengan perjuangan dan tuntutan dari para aktivis perempuan. Hasilnya 61 perempuan terpilih menjadi anggota legislatif dari keseluruhan 500 anggota DPR RI (11,09%) dan pada pemilu 2009 jumlah perempuan yang menjadi anggota DPR RI meningkat menjadi 101 orang atau 17,86% (Susiana, 2014). Sementara itu pada tahun 2014 jumlah perempuan yang menjadi anggota DPR RI kembali mengalami penurunan menjadi 97 orang atau 17% dari total 560 anggota DPRI (Parlemen Indonesia, 2014:5). Hasil pemilihan anggota DPR RI ini belum sejalan dengan prinsip Undang-Undang Parpol tersebut. Prinsip kesetaraan gender juga tercermin pada, Pasal 53 (UUP) legislatif yang menyatakan bahwa daftar bakal calon juga harus memuat paling sedikit 30% keterwakilan perempuan. Pada Pasal (8) butir di UndangUndang Pemilu, sekurang-kurangnya dalam kepengurusan Parpol memuat kuota 30% keterwakilan perempuan baik di tingkat pusat maupun ditingkat daerah sebagai salah satu persyaratan parpol untuk menjadi peserta pemilu. Tidak terpenuhinya kuota 30% keterwakilan perempuan juga terjadi di DPRD Kota Yogyakarta. Hal ini dapat dilihat dari total anggota DPRD Kota Yogyakarta sebanyak 40 orang hanya 10 orang anggota berjenis kelamin perempuan atau hanya 25% dari jumlah keseluruhan. Ke-10 perempuan calon yang terpilih menjadi anggota DPRD Kota Yogyakarta itu berasal dari Gerindra (lima orang), Golkar (dua orang), dan PDIP, PAN, dan PPP masing-masing satu orang (Prabowo, 2014). Dari ke-10 perempuan yang menjadi Anggota DPRD Kota Yogyakarta, 5 diantaranya berasal dari Partai Gerindra. Adapun caleg perempuan yang menjadi anggota DPRD Kota Yogyakarta adalah sebagai berikut: I.
Tabel 1.1 Perempuan Anggota DPRD Kota Yogyakarta 2014-2019 No Nama Partai 1 Andri Kusumawati, SE Gerindra 2 Christiana Agustiani Gerindra
3 4 5
Dhian Novitasari, S.Pd Gerindra Novi Allisa Semendawai Gerindra Ririk Banowati Gerindra Permanasari 6 Estri Utami, SE PAN 7 R.Ay.F. Diani Golkar Anindhitiati, S.Sos, MM 8 Sila Rita, SH, MH PPP 9 Suryani, SE, M.Si PPP 10 Dra. Sri Retnowati Golkar Sumber: KPU-jogjaKota.go.id Data diolah (2015) Dari tabel di atas, dapat diketahui bahwa caleg perempuan yang terpilih menjadi anggota DPRD Kota Yogyakarta pada Pileg 2014 didominasi oleh Partai Gerinda, dimana 5 dari 10 caleg perempuan yang terpilih berasal dari Partai Gerinda. Namun demikian keberhasilan perempuan dari Partai Gerindra yang menduduki kursi DPRD di Kota Yogyakarta tidak diikuti oleh 4 Kabupaten lainnya di Provinsi DIY. Di Kabupaten Gunung Kidul dan Kabupaten Bantul misalnya tidak ada satu pun perempuan yang berhasil menduduki kursi DPRD Kabupaten Gunung Kidul dan Kabupaten Bantul. Sedangkan di kabupaten Sleman, Partai Gerindra berhasil menempatkan dua kader perempuannya di DPRD Kabupaten Sleman dan satu orang kader perempuan Partai Gerindra yang berhasil menjadi anggota DPRD Kabupaten Kulonprogo. Adapun data selengkapnya dapat dilihat pada tabel 1.2 berikut: Tabel I.2 Perempuan Anggota DPRD Kab Gunung Kidul, Kulonprogo, Bantul dan Sleman 2014-2019. N Nama o 1 Suhartini 2 Endah Subekti Kuntariningsih, S.E 3 Desiyanti, S.E 4 Dra. Endang Sri Sumartini, M.A.P 5 Tina Chadarsi 6 Ery Agustin Sudiyanti, S.E., M.M
Partai PKB PDI-P PDI PDI Golka r Golka r
Kabupate n
GUNUN G KIDUL
2
42
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
7 Wiwik Widiastuti 8 Supriyani Astuti 1 Dra. Keksi Wuryaningsih 2 Akhid Nuryati 3 Ika Damayanti Fatma Negara, SIP 4 Nur Eni Rahayu, SE 5 Titik Wijayanti, SE 6 Siti Ismiyatun 1 Suratun, SH 2 Arni Tyas Palupi, ST 3 Nur Laili Maharani, A.Md 1 Farida Fuatwati 2 Dara Ayu Suharto 3 Ismi Sutarti, S.H 4 Remila Mursinta, S.IP 5 Nila Rifianti, S.Pd
PAN Demo krat PDI PDI Gerin KULONP dra ROGO PKB PKB Demo krat PAN Golka r BANTUL PKB Gerin dra Gerin dra Nasde m Nasde m PDI-P
6 Dwi Yogamashinta, PDI-P S.Hut Dra. Hj. Sri PDI-P SLEMAN Muslimatun, M.Kes Ida Suryanti, ST PAN Nuril Hanifah PAN Rahayu Widi Nuryani, PKB S.H Rahayu Widicahyani, PKB S.H., M.M Fika Chusnul PPP Chotimah, S.H Iffah Nugraheni, PPP S.Ag., M.Si Nuryanta PPP Sumber: Data diolah (2015) Berdasarkan latar belakang diatas maka dapat diketahui bahwa Partai Gerindra memiliki jumlah anggota DPRD terpilih terbanyak jika dibandingkan dengan 12 partai lainnya di Kota Yogyakarta. Selain itu jumlah keterpilihan kader perempuan Partai Gerindra yang
terbanyak juga terdapat di Kota Yogyakarta, sehingga penyusun tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Rekrutmen Caleg Perempuan Pada Partai Gerindra Kota Yogyakarta Dalam Pemilu Legislatif tahun 2014”. Berdasarkan penjelasan latar belakang diatas, pertanyaan dalam penelitian ini adalah: 1). Bagaimana proses rekrutmen caleg perempuan dalam pemilu legislatif tahun 2014 pada Partai Gerindra Kota Yogyakarta? 2).Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi perempuan aktif di Partai Gerindra Kota Yogyakarta? Tujuan dalam penelitian ini adalah: 1). Untuk mengetahui proses rekrutmen caleg perempuan dalam pemilu legislatif tahun 2014 pada Partai Gerindra Kota Yogyakarta. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi perempuan aktif di Partai Gerindra Kota Yogyakarta. Manfaat Penelitian ini adalah: 1) Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah untuk memperluas khazanah ilmu pengetahuan dibidang penelitian sosial dan politik. 2). Manfaat praktis dari penelitian ini adalah memberikan kontribusi yang signifikan, baik bagi ilmu pengetahuan pemerintahan, sosial politik, khususnya memberikan pengetahuan tentang proses rekrutmen calon anggota legislatif perempuan. Terdapat beberapa penelitian yang terkait dengan penelitian ini, seperti: penelitian yang dilakukan oleh Soetomo (2007) dengan judul penelitian “Perspektif Teoritis Model Rekrutmen Perempuan di Bidang Politik”. Hasil dari penelitian ini adalah berbagai teori dan model rekrutmen perempuan di bidang politik yang dibahas merupakan suatu upaya mendekatkan perempuan pada konsep sebenarnya tentang rekrutmen perempuan di bidang politik. Penelitian tentang rekrutmen perempuan juga di lakukan oleh Umaimah Wahid (2011) dengan judul penelitian “Perempuan dan Kekuasaan Politik dalam Pemilukada DKI Jakarta Tahun 2012”. Hasil dari penelitian ini adalah dalam wilayah politik, diskriminasi yang diakibatkan oleh kekerasan dan hegemoni negara sangat faktual. Salah satu indikator yang dapat dilihat adalah minimnya bahkan tidak adanya keterwakilan perempuan dalam Pilkada DKI Jakarta 2012. Penelitian berikutnya dilakukan oleh Ai Siti Komaria 3
43
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
(2012) dengan judul penelitian “Peran Partai Politik dalam Meningkatkan Keterwakilan Perempuan Di Lembaga Legislatif Kabupaten Cianjur: Studi Deskriptif Tentang Pendidikan Politik Bagi Kader Perempuan di Partai Politik”. Hasil dari penelitian ini adalah Pertama bentuk program kaderisasi partai politik bagi kader perempuan dilakukan oleh partai politik melalui AD ART partai politik yang sudah tersusun secara sistematis dan terprogram secara berjenjang/tingkatan yang dilakukan mulai dari DPP, DPW, DPC, PAC, sampai dengan tingkat Ranting. II.Kerangka Teori Terdapat dua teori pokok yang digunakan dalam penelitian ini yaitu model Rekrutmen politik dari Model Rush & Althoff (2007) dan theory of planned behavior dari Ajzen (1991). Teori model rekrutmen politik dari Model Rush & Althoff (2007) digunakan untuk menganalisa bagaimana rekrutmen caleg perempuan dalam pemilu legislatif tahun 2014 pada Partai Gerindra Kota Yogyakarta. Alasan penyusun menggunakan teori model rekrutmen politik dari Model Rush & Althoff (2007) karena teori ini adalah yang paling komplet. Sedangkan theory of planned behavior digunakan untuk menganalisa faktor apa yang mempengaruhi perempuan aktif di Partai Gerindra Kota Yogyakarta. Alasan penyusun menggunakan theory of planned behavior dari Ajzen (1991) karena teori ini adalah teori yang paling populer dalam menganalisa perilaku manusia. Adapun mekanisme rekrutmen politik partai yang dikemukakan oleh Rush dan Althoff adalah: “proses perekrutan politik memiliki dua sifat yaitu: (1) sifat tertutup; adalah suatu sistem perekrutan administratif yang didasarkan atas patronase. (2) sifat terbuka; adalah sistem yang berdasarkan pada ujian-ujian terbuka (Rush dan Althoff , 2007:247) Michel Rush dan Philip Althoff (2007) model perekrutan politik meliputi 5 proses kegiatan yang dapat diterapkan juga pada perekrutmen perempuan di bidang politik, yaitu: penyediaan dan permintaan, agensi, kriteria, kontrol, dan tuntutan.
Penyediaan Agensi Kriteria Kontrol Tuntutan Gambar II.1 Model Rekruitmen Secara lengkap gambar di atas dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Penyediaan dan permintaan Penyediaan rekrutmen politik terhadap caleg, merupakan tahapan awal yang dilakukan partai dalam perekrutan caleg. Penyediaan dan permintaan terdiri dari: 1) Mekanisme rekrutmen caleg yang dilakukan partai politik. 2) Waktu dan tempat pelaksanaan rekrutmen caleg partai politik. 3) Sarana rekrutmen caleg partai politik Dapat dikatakan pada tahap penyediaan dan permintaan merupakan tahapan awal yang harus dipersiapkan oleh Partai Gerindra untuk melakukan perekrutan caleg perempuan. Dalam tahap ini Partai Gerindra harus mempersiapkan bagaimana mekanisme perekrutan seperti apa syarat-syarat yang harus dipenuhi. Selain itu partai harus mempersiapkan tempat dan menggunakan berbagai sarana untuk sosialisasi. 2. Agensi Agensi rekrutmen politik merupakan penetapan beraneka ragam kriteria, meliputi ciri-ciri dan keterampilan yang mereka anggap layak dan harus dikuasai oleh caleg yang bersangkutan. Setiap partai tentunya mempunyai kriteria yang berbeda antara partai yang satu dengan partai lainnya. Oleh karenanya partai sebelum melakukan rekrutmen partai sudah mempersiapkan kriteria dan keterampilan seperti apa yang harus dimiliki oleh perempuan agar dapat menjadi caleg yang diinginkan oleh Partai Gerindra. 3. Kriteria Kriteria caleg oleh partai politik menurut S Katz dan Crotty (2006) antara lain yaitu: 4
44
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
1) Usia, dimana seorang calon haruslah memiliki usia yang cukup yakni 21 tahun untuk dapat dicalonkan menjadi anggota legislatif. Usia adalah hal yang penting karena dapat menentukan tingkat analisa seseorang dalam menghadapi masalah. Biasanya faktor usia juga dapat mengukur kematangan dan pengalaman seseorang dalam masyarakat. 2) Popularitas, yakni seorang calon adalah orang yang dikenal masyarakat luas dan memiliki reputasi yang baik. 3) Pendidikan, yaitu seorang calon anggota legislatif harus mempunyai tingkat pendidikan yang bagus minimal sarjana agar calon tersebut dapat memahami dan mengatasi masalah-masalah sosial yang terjadi di masyarakat. 4) Keuangan dan finansial, hal ini adalah suatu syarat yang juga dianggap penting, seorang calon anggota legislatif haruslah mempunyai dana yang cukup besar yang digunakan ketika mengadakan kampanye. 5) Akseptabilitas, yakni penerimaan masyarakat terhadap seorang calon anggota legislatif. Penerimaan ini akan muncul ketika masyarakat merasa calon tersebut adalah orang-orang yang benar-benar dapat menyuarakan kepentingannya. 6) Kapabilitas, yakni kemampuan untuk menyerap aspirasi masyarakat, kemudian merumuskan aspirasi tersebut terhadap bentuk pernyataan yang jelas dan menyampaikan hasil rumusan itu kepada masyarakat. Kriteria utama pada umumnya adalah caleg yang mempunyai popularitas dan finansial yang baik, karena keduanya sangat dibutuhkan untuk mempermudah memenangkan persaingan. Adapun pendidikan, akseptabilitas dan kapabilitas biasanya merupakan faktor yang kurang di utamakan. 4. Kontrol Kontrol rekrutmen politik caleg, merupakan peran yang dilakukan partai politik dalam mengontrol jalannya rekrutmen caleg. Adapun pelaksanaan kontrol rekrutmen politik dilakukan pada: a) Bakal calon anggota legislatif dari internal partai.
b) Bakal calon anggota legislatif dari eksternal partai Dalam pelaksanaan rekrutmen caleg, partai mempunyai dua sumber calon yaitu calon dari internal partai dan dari eksternal partai. Rekrutmen yang baik tentunya rekrutmen yang berasal dari internal partai karena mereka adalah kader yang sudah memahami tujuan berdirinya partai. Namun karena kurangnya criteria yang dimiliki oleh internal partai maka partai melakukan penjaringan caleg dari luar partai. 5. Tuntutan Partai politik membuat kontrak politik dengan para caleg agar dapat memenuhi kriteria caleg yang diinginkan oleh masyarakat. Kontrak politik ini dibuat agar para caleg perempuan dapat memenuhi komitmennya untuk bisa menyampaikan aspirasi masyarakat. Selanjutnya dalam penelitian ini peneliti menggunakan teori Theory of Planned Behavior menurut Ajzen. Teori ini mencakup 3 hal yaitu behavioral beliefs, normative beliefs, dan control beliefs. Adapun lebih jelasnya mengenai Theory of Planned Behavior menurut Ajzen di atas adalah sebagai berikut: 1. Behavioral Beliefs (Sikap) Sikap adalah suatu keyakinan perilaku positif atau negatif individu untuk menunjukkan perilaku yang spesifik. Dalam teori perilaku terencana, sikap merupakan produk dari outcome evaluation dan behavioral beliefs. Outcome evaluation adalah evaluasi/penilaian individu terhadap kriteria keuntungan atau kerugian yang didapatkan dari suatu perilaku. Sedangkan behavioral beliefs merupakan keyakinan individu terhadap hasil atau konsekuensi yang didapatkan ketika ia mewujudkan perilaku tersebut didasarkan pada kriteria yang telah dinilai/dievaluasi nya dalam outcome evaluation (Ajzen, 1991:179). 2. Normative Beliefs (Norma Subjektif) Norma subjektif adalah dorongan sosial yang menentukan seseorang melakukan atau tidak melakukan suatu perilaku. Dalam teori perilaku terencana, Ajzen and Fishbein (2005:27-31) menyebutkan norma subjektif merupakan fungsi dari motivation to comply 5
45
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
dan normatif beliefs. Motivation to comply adalah pandangan individu terhadap faktorfaktor lingkungan yang mampu memberi referensi untuk mewujudkan sebuah perilaku. Dalam mekanismenya, normative beliefs adalah orang-orang yang memiliki pengaruh terhadap subjek dalam konteks perilaku yang dihadapinya. Keyakinan mengenai perilaku apa yang bersifat normatif (yang diharapkan oleh orang lain). Kemudian motivation to comply adalah sejauh mana kekuatan referensi tersebut mampu mempengaruhi subjek untuk mewujudkan perilakunya. 3. Control Beliefs Perceived behavioral control ditentukan oleh pengalaman masa lalu dan perkiraan individu mengenai seberapa sulit atau mudahnya untuk melakukan perilaku yang bersangkutan. Dalam konstrak teori perilaku terencana, kontrol perilaku yang dipersepsikan merupakan hasil fungsi dari control beliefs dan power of control beliefs. Control beliefs adalah kepercayaan individu terhadap faktor-faktor yang mampu memberi hambatan atau mempermudah dirinya dalam mewujudkan sebuah perilaku. Sedangkan power of control beliefs adalah derajat seberapa besar faktorfaktor kontrol tersebut mempengaruhi keputusan seseorang untuk mewujudkan perilaku atau tidak. III. METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif. Menurut Sukmadinata (2011:54) penelitian deskriptif bertujuan untuk menggambarkan kejadian pada saat sekarang secara apa adanya. Penelitian deskriptif (descriptive research) adalah suatu metode penelitian yang ditujukan untuk menggambarkan fenomena-fenomena yang ada, yang berlangsung pada saat ini atau saat yang lampau. Penelitian ini tidak mengadakan manipulasi atau pengubahan pada variabelvariabel tetapi menggambarkan suatu kondisi dengan apa adanya. Sedangkan penelitian kualitatif menurut Bogdan dan Taylor adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data
deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati (Moleong, 2007:4). Dapat disimpulkan bahwa penelitian deskriptif kualitatif adalah penelitian yang berupaya menggambarkan fenomena yang terjadi dengan apa adanya dengan cara mendeskripsikan katakata tertulis atau lisan dari orang yang dipilih menjadi narasumber penelitian suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan metode ilmiah. B.Teknik Pengumpulan Data Jenis data dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder, oleh karenanya teknik pengumpulan data dalam penelitian ini teknik wawancara dan dokumentasi. 1. Wawancara Menurut Moleong (2007:186) wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan. Sedangkan menurut Esterberg wawancara adalah pertemuan dua orang untuk bertukar informasi dan ide melalui tanya jawab sehingga dapat dikonstruksikan maknanya dalam suatu topik tertentu (Sugiyono, 2012:317). Dapat disimpulkan bawa wawancara adalah dialog antara peneliti dengan informan secara tatap muka atau melalui media (misal telepon) guna memperoleh data penelitian. Melalui kegiatan wawancara, peneliti akan mengetahui hal-hal yang lebih mendalam tentang partisipan dalam menginterprestasikan situasi dan fenomena yang terjadi. Penelitian kualitatif sering menggabungkan teknik observasi partisipatif dengan wawancara mendalam. Wawancara yang akan penyusun tanyakan kepada informan mengenai adalah bagaimana proses perekrutan caleg perempuan, apa alasan Partai Gerindra mencalonkan caleg perempuan yang terpilih, apa yang dilakukan Partai Gerindra sehingga caleg perempuan dapat terpilih. 2. Dokumentasi Dokumentasi merupakan benda-benda tertulis seperti buku-buku, majalah, dokumen, peraturan-peraturan, notulen, catatan harian, dan sebagainya (Arikunto, 2010:201). Adapun 6
46
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
menurut Guba dan Lincolin sebagaimana dikutip oleh Moleong (2002:161) dokumentasi adalah setiap bahan tertulis atau film dari record yang tidak dipersiapkan karena adanya permintaan dari seorang penyelidik. Menurut Sugiyono (2011:329) dokumentasi merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu. Dokumen bisa berbentuk tulisan, gambar, atau karyakarya monumental dari seseorang. Pada penelitian ini dokumentasi yang penyusun perlukan adalah AD/ART Partai Gerindra, Struktur kepengurusan Partai Gerindra dan Tugas dan fungsi pengurus partai. 3. Observasi Menurut Sukmadinata (2006: 220) observasi atau pengamatan merupakan suatu teknik atau cara mengumpulkan data dengan jalan mengadakan pengamatan terhadap kegiatan yang sedang berlangsung. Sedangkan menurut Bungin (2007:115) observasi adalah metode pengumpulan data yang digunakan untuk menghimpun data penelitian melalui pengamatan dan pengindraan. C. Analisis Data Menurut Hamidi (2005:75) unit analisis adalah satuan yang akan diteliti bisa berupa individu, kelompok, benda atau suatu latar peristiwa sosial seperti misalnya aktivitas individu atau kelompok sebagai subjek penelitian. Dengan mengungkap unit analisis data dengan menetapkan kriteria responden tersebut, peneliti dengan sendirinya akan memperoleh siapa dan apa yang menjadi subjek penelitiannya. Dalam hal ini peneliti akan mencoba menemukan informan awal yakni orang yang pertama memberi informasi yang memadai ketika peneliti mengawali aktivitas pengumpulan data. Adapun unit analisis dalam penelitian ini adalah ketua DPC Gerindra Kota Yogyakarta, Staf Partai Gerindra dan anggota DPRD fraksi Gerindra. IV.Deskripsi Wilayah Penelitian Mengacu pada AD/ART Partai Gerindra, maka Partai Gerindra memiliki beberapa Dewan Pimpinan Cabang yang berada pada tiap-tiap Kabupaten/Kota diseluruh Indonesia. Salah satunya adalah DPC Partai Gerindra Kota Yogyakarta. Partai Gerindra DPC Kota Yogyakarta beralamat di Jl. Printis
Kemerdekaan No. 19A, Pandeyan, Umbulharjo, Yogyakarta. Ketua DPC Partai Gerindra Kota Yogyakarta saat ini dijabat oleh Bapak Anton Prabu Semendawai, SH dengan sekretarisnya yang dijabat oleh Bapak Hariyanto, SH. Dewan Pimipinan Cabang Kota Yogyakarta adalah Dewan Pelaksana Partai yang bersifat kolektif di Daerah Tingkat Kabupaten/Kota. Dewan Pimpinan Cabang adalah dewan pimpinan partai sebagai pelaksana keputusan kongres, peraturan organisasi, keputusan musyawarah daerah, musyawarah cabang serta memimpin semua kegiatan partai di tingkat cabang serta kepengurusan di bawahnya. Selain itu Dewan Pimpinan Cabang mewakili partai dalam bertindak ke dalam dan ke luar di tingkat cabang. Pengesahan berdirinya DPC ditetapkan oleh DPP atas usulan DPD. DPC mempunyai berbagai kewajiban, yaitu melaksanakan segala ketentuan dan kebijakan sesuai Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga, Keputusan Kongres, Keputusan Rapat Tingkat Nasional, Keputusan Musyawarah Daerah, Keputusan Rapat Tingkat Daerah, Keputusan Musyawarah Cabang, Keputusan Rapat Tingkat Cabang, dan Peraturan Partai lainnya. Memberikan perintah, persetujuan, arahan, dan pedoman tentang kegiatan Fraksi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tingkat kabupaten/ Kota. Memberikan perintah, persetujuan, arahan, dan pedoman kepada dewan pimpinan partai di semua tingkatan di bawahnya dalam melaksanakan keputusan-keputusan dan strategi, Kebijakan, dan Rencana Aksi serta ketentuan partai. Menyampaikan laporan berkala kepada ke pada Dewan Pimpinan Pusat dan Dewan Pimpinan Daerah. Memberikan pertanggungjawaban pada Musyawarah Cabang. Dewan Pimpinan Cabang terdiri atas Pengurus Pleno dan Pengurus Harian. Demi kelancaran kegiatan partai di tingkat cabang maka DPC Partai Gerindra mempunyai hak untuk membuat berbagai peraturan pelaksana dan kebijakan dalam rangka pelaksanaan keputusan musyawarah cabang. Selain hal tersebut pula DPC juga berhak untuk memberhentikan fungsionaris DPC melalui rapat pleno DPC dan dilaporkan dalam Rapat Pimpinan Cabang. Menerima atau 7
47
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
menolak ketetapan rapat pleno Dewan Pimpinan Ranting dan Rapat Pimpinan Anak Ranting tentang pemberhentian fungsionaris Dewan Pimpinan Ranting dan Pimpinan Anak Ranting. Membatalkan keputusan Dewan Pimpinan Ranting dan Pimpinan Anak Ranting atau Musyawarah Ranting dan Rapat Pimpinan Anak Ranting melalui Rapat Pleno Cabang, apabila keputusan tersebut bertentangan dengan keputusan dan kebijakan partai atau membahayakan partai. Bertindak mewakili partai di tingkat cabang dan mengadakan hubungan kerja sama serta persahabatan dengan organisasi lain di tingkat cabang. Jumlah Pengurus Harian DPC sebanyak-banyaknya 17 orang, dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% V. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Rekrutmen Caleg 1) Penyediaan dan Permintaan Dari hasil penelitian mengenai penyediaan dan permintaan, penyusun menyimpulkan bahwa Partai Gerindra telah melakukan tahapan rekrutmen dengan baik. Hal ini dibuktikan dengan terpenuhi 3 unsur dalam penyediaan dan permintaan yaitu mekanisme rekrutmen yang dilakukan dengan 3 cara yaitu tahap administrasi, psikotes dan rekrutmen wawancara. Unsur yang kedua dalam penyediaan dan permintaan adalah waktu dan tempat pelaksanaan. Partai Gerindra Kota Yogyakarta sudah memulai melakukan proses rekrutmen caleg perempuan 1 tahun sebelum Pileg dilaksanakan. Lamanya waktu ini menunjukkan Partai Gerindra Kota Yogyakarta benar-benar menginginkan kader perempuan yang berkualitas. Unsur ke tiga dalam penyediaan dan permintaan adalah sarana rekrutmen. Dalam melakukan sosialisasi perekrutan caleg perempuan Parta Gerindra menggunakan banyak media seperti koran, baliho, pamflet, media sosil dan lain sebagainya. Namun dalam hal sarana rekrutmen sebenarnya Partai Gerindra Kota Yogyakarta lebih banyak menggunakan word of mouth.
Dari hasil penelitian juga membuktikan bahwa anggota Bapilu tidak hanya berasal dari internal partai, namun juga melibatkan tokohtokoh eksternal Partai Gerindra. Pelibatan tokoh diluar anggota Partai Gerindra ini menurut penulis akan menghadirkan netralitas yang tinggi. Netralitas ini sangat diperlukan dalam proses rekrutmen Caleg perempuan, mengingat bakal Caleg perempuan juga dapat berasal dari internal Partai Gerindra. Sehingga jika semua anggota Bapilu berasal dari pengurus Partai Gerindra maka penilaian dalam proses rekrutmen menjadi tidak objektif. 3) Kriteria Dari hasil penelitian ditemukan bahwa ada beberapa kriteria yang telah ditentukan oleh Partai Gerindra apakah seorang perempuan tertentu layak menjadi caleg perempuan dari Partai Gerindra atau tidak. Kriteria pertama adalah usia, sesuai dengan peraturan KPU usia Caleg harus di atas 21 tahun, sehingga Partai Gerindra dalam melakukan rekrutmen Caleg perempuan juga memperhatikan peraturan dari KPU tersebut. Rata-rata usia yang di usung oleh Partai Gerindra 30-40 tahun. Hal ini dapat dikatakan bahwa Partai Gerindra juga menginginkan Caleg perempuan yang sudah memiliki pengalaman dalam politik. Namun demikian Partai Gerindra juga memberikan kesempatan bagi para pemuda untuk ikut serta dalam politik, hal ini dibuktikan dengan adanya Caleg perempuan yang berusia di bawah 26 tahun. Tabel III.1 Usia Caleg Perempuan No 1 2 3 4 5 6
2) Agensi
Nama TTL Usia Andri 08/12/1976 37 Kusumawati, SE Christiana 26/8/1980 33 Agustiani Dhian Novitasari, 11/06/1985 28 S.Pd Novi Allisa 14/6/1974 39 Semendawai Ririk Banowati 14/11/1966 47 Permanasari Theresia Mursiwi 28/9/1967 46 Haryaningtyas, SH 8
48
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
7
RR.CH Nawaning 23/3/1963 50 Dyah Siwi 8 Kuntari 18/1/1966 47 Jatiningsih 9 Sarmaida 14/12/1973 40 Tampubolon, SH 10 MB. Dian Ariany 09/06/1965 48 Rosita 11 Arum Sriyati, SH 12/04/1971 42 12 Chrisna Putri 17/2/1989 24 Febriani, A.Md 13 Bandriyati 10/09/1967 46 14 Ester Sudaryanti 10/10/1968 45 Oktarini, SE, AAA.IJ 15 Dwiningsih, S.S 12/07/1983 30 Sumber: KPUD Yogyakarta diolah kembali (2014) Kriteria kedua adalah popularitas. Walaupun popularitas tidak menjadi jaminan untuk dapat terpilih dalam Pileg namun setidaknya dengan tingkat popularitas yang dimiliki oleh Caleg dapat membantu pada saat berkampanye. Hal ini dikarenakan seseorang yang memiliki kapabilitas namun tidak dikenal oleh masyarakat maka belum tentu akan terpilih. Kriteria ke tiga adalah pendidikan. Tingkat pendidikan bakal calon legislatif juga merupakan salah satu pertimbangan dalam direkrut atau tidaknya perempuan untuk menjadi caleg. Tingkat pendidikan dapat mencerminkan kemampuan seseorang dalam bidang tertentu. Namun nyatanya Partai Gerindra tidak hanya menerima Caleg perempuan yang memiliki gelar sarjana, namun ada juga Caleg perempuan yang hanya lulusan SMA. Hal ini menunjukkan jika Partai Gerindra memandang bahwa pendidikan bukanlah yang terpenting akan tetapi pengalaman yang menentukan. Seberapa tingginya pendidikan seseorang namun tidak memiliki pengalaman dalam politik, akan mudah tersingkir ataupun kalah dalam persaingan. Kriteria keempat adalah kemampuan keuangan dan finansial. Dari data menunjukkan bahwa kemampuan finansial menjadi pertimbangan dalam menentukan caleg tetapi bukan merupakan faktor utama bagi perempuan yang ingin menjadi bakal calon caleg Partai
Gerindra Kota Yogyakarta. Idealnya untuk menjadi caleg dalam Pileg sedikitnya para calon memiliki dana antara 200-300 juta. Sementara itu para caleg perempuan dari Partai Gerindra Kota Yogyakarta banyak yang hanya memiliki kemampuan finansial sebesar Rp 100 juta tetap di terima menjadi caleg Partai Gerindra Kota Yogyakarta pada Pileg tahun 2014. Kriteria ke lima adalah akseptabilitas. Akseptabilitas merupakan faktor terpenting Partai Gerindra dalam merekrut caleg perempuan. Hal ini dikarenakan walaupun memiliki finansial yang baik jika caleg yang bersangkutan tidak diterima oleh masyarakat maka akan kecil kemungkinan dapat terpilih. Oleh karena itu Partai Gerindra merekrut caleg perempuan yang memiliki akseptabilitas baik dengan cara melihat tingkat keaktifan caleg di masyarakat. Kriteria ke enam adalah kapabilitas. Kapabilitas (capability) adalah sebuah kemampuan tertentu atau kapasitas yang dimiliki seseorang untuk mencapai tujuan atau hasil tertentu. Dapat dikatakan bahwa semua perempuan yang menjadi caleg Partai Gerindra di Kota Yogyakarta merupakan caleg yang memiliki kemampuan. Kemampuan tersebut dapat dilihat dari pengalaman yang dimiliki dan dari tingkat pendidikan yang telah di tempuh. Dari sini dapat dilihat bahwa perempuanperempuan yang menjadi Caleg Partai Gerindra di Kota Yogyakarta merupakan perempuan yang layak dicalonkan. 4) Kontrol Bentuk kontrol juga dilakukan dengan penandatanganan fakta integritas yang berisi tentang kesanggupan para bakal caleg perempuan untuk mengikuti seluruh aturan dan atau kegiatan baik yang sudah ada maupun yang akan ada dikemudian hari, yang akan diadakan oleh DPC Gerindra Kota Yogyakarta. Fakta integritas juga mencantumkan bahwa apabila terpilih menjadi anggota DPRD Tingkat II Kota Yogyakarta, maka bakal caleg bersangkutan akan mematuhi apa yang menjadi aturan-aturan dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Partai Gerindra Kota Yogyakarta. Dengan tegas juga menyatakan bahwa apabila bakal caleg melanggarnya, maka
9
49
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
bakal Caleg akan menerima sanksi dalam bentuk apapun. 5) Tuntutan Berikut bukti bahwa ada tuntutan tertentu terhadap para caleg dari Partai Gerindra Kota Yogyakarta. Bukti ini dapat dilihat pada adanya keharusan bagi para Caleg untuk menandatangani fakta integritas yang berisi tentang pernyataan bahwa Caleg akan mengikuti seluruh aturan dan atau kegiatan baik yang sudah ada maupun yang akan ada di kemudian hari, yang akan diadakan oleh DPC Gerindra Kota Yogyakarta. Dan apabila saya terpilih menjadi anggota DPRD Tingkat II Kota Yogyakarta, saya akan mematuhi apa yang menjadi aturan-aturan dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Partai Gerindra Kota Yogyakarta. Apabila saya melanggarnya, saya siap menerima sanksi dalam bentuk apapun. Agar caleg perempuan memiliki kualitas maka Partai Gerindra membuat berbagai macam tuntutan. Tuntutan ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas dari para caleg perempuan itu sendiri. Tuntutan untuk patuh dan taat pada Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga, Manifesto Perjuangan dan peraturan-peraturan serta ketetapan Partai Gerindra merupakan salah satu bukti nyata bahwa Partai Gerindra menginginkan para caleg nantinya adalah manusia-manusia yang memiliki visi dan misi dari Partai Gerindra. 2. Faktor yang Mempengaruhi Perempuan Aktif di Partai Gerindra Kota Yogyakarta a) Behavioral Beliefs (Sikap) Dari hasil penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa tidak semua perempuan yang aktif di partai politik memiliki tujuan yang sama. Ada yang hanya ingin menambah pengalaman berorganisasi dan ada juga yang menjadikannya sebagai alat untuk membawa aspirasi. Namun ada pula responden yang belum tahu apa keuntungan yang akan diperoleh pada saat aktif di partai politik, karena pada saat bergabung dengan partai politik responden mengaku hanya diajak oleh Partai Gerindra untuk bergabung guna memenuhi kuota 30%.
b) Norma subjektif Dapat disimpulkan bahwa faktor dukungan keluarga sangat menentukan aktif tidaknya perempuan untuk aktif di partai politik. Hal ini dikarenakan setiap perempuan yang akan berpartisipasi dalam pemilihan anggota legislatif diharuskan melampirkan persetujuan suami. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dukungan keluarga merupakan salah satu faktor penting dalam menentukan aktif tidaknya perempuan dalam partai politik. c) Control beliefs Faktor selanjutnya adalah Control beliefs yang merupakan kepercayaan individu terhadap faktor-faktor yang mampu memberi kemudahan dalam mewujudkan sebuah tujuan ketika aktif di partai politik. Salah satu kemudahan yang diperoleh adalah dapat mengikuti Pileg dari partai yang di ikutinya. Setelah caleg perempuan memperoleh kesempatan untuk bertarung dalam Pileg maka mereka memiliki kesempatan untuk dapat dipilih oleh masyarakat. Agar dapat terpilih maka caleg perempuan tersebut mengeluarkan semua kemampuannya untuk menarik simpati masyarakat untuk kemudian memilihnya. VI.Kesimpulan a. Kesimpulan Proses rekrutmen caleg perempuan dalam pemilu legislatif tahun 2014 pada Partai Gerindra Kota Yogyakarta dilakukan secara terbuka. Pada rekrutmen caleg perempuan dalam pemilu legislatif tahun 2014 Partai Gerindra Kota Yogyakarta dilakukan secara terbuka. Pelaksanan rekrutmen secara terbuka ini dilakukan agar dapat memenuhi kuota caleg perempuan sesuai dengan ketentuan perundangundangan. Dilihat dari model perekrutan politik yang meliputi 5 proses kegiatan yang dapat diterapkan juga pada perekrutan perempuan di bidang politik, yaitu: penyediaan dan permintaan, agensi, kriteria, kontrol, dan tuntutan telah dipenuhi oleh Partai Gerindra Kota Yogyakarta dalam melakukan rekrutmen caleg perempuan Faktor yang menyebabkan seorang aktif di Partai Gerindra pertama behavioral beliefs 10
50
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
yaitu perempuan yang aktif di partai politik telah mengetahui apa keuntungan atau kerugian yang didapatkan ketika perempuan aktif di partai politik. Kedua, norma subjektif yaitu adanya dukungan dari orang di sekitarnya seperti keluarga ketika seorang perempuan aktif di partai piolitik. Ketiga Control beliefs merupakan kepercayaan perempuan terhadap faktor-faktor yang mampu memberi kemudahan dalam mewujudkan sebuah tujuan ketika aktif di partai politik. b. Saran Dari kesimpulan di atas maka saran yang penyusun sampaikan yaitu bagi Partai Gerindra Kota Yogyakarta diharapkan dapat mempertahankan pola rekrutmen caleg perempuan yang berasal dari kader partai. Hal ini dikarenakan jika seorang caleg dari internal partai maka akan lebih memahami visi dan misi partai DAFTAR PUSTAKA [1] Ai Siti Komaria. 2012. “Peran Partai Politik dalam Meningkatkan Keterwakilan Perempuan Di Lembaga Legislatif Kabupaten Cianjur: Studi Deskriptif Tentang Pendidikan Politik Bagi Kader Perempuan di Partai Politik”. Tesis. Universitas Pendidikan Indonesia [2] Ajzen, Icek. “The Theory of Planned Behavior”, Organizational Behavior and Human Decision Processes, Vol. 50, 1991. hlm. 179-211. [3] Ajzen, Icek dan Martin Fishbein, “TheoryBased Behavior Change Interventions: Comments on Hobbis and Sutton”, Journal of Health Psychology, Vol. 10, No. 1, 2005, hlm. 2731. [4] Arikunto, Suharsimi. 2010. Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: RinekaCipta
Prosedur
[5] Bungin, Burhan 2007. Penelitian Kualitatif. Jakarta: Kencana
[6] Hamidi. 2005. Metode Penelitian Kualitatif. Malang : UMM Press [7] Moleong, Lexy J. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. [8] Moleong, Lexy. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. remaja Rosdakarya [9] Parlemenindonesia. 2014. “Anatomi Caleg DPR RI Terpilih Pada Pemilu 2014”. Diakses secara online di parlemenindonesia.org [10] Rush, Michael dan Phillip Althoff. 2007. Pengantar Sosiologi Politik, Alih Bahasa oleh Kartini Kartono. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. [11] Soetomo. 2007. “Perspektif Teoritis Model Rekrutmen Perempuan Di Bidang Politik”. Jurnal Mimbar Volume XXIII No. 2 April – Juni 2007 [12] Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Bisnis (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta. [13] Sugiyono. 2011. Metode Kuantitatif, kualitatif dan R & D. Bandung: Alfabeta.
Penelitian
[14] Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&B. Bandung: Alfabeta [15] Sukmadinata, N.S. 2011. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya [16] ________________. 2006. Metode Penelitian Tindakan. Bandung: Remaja Rosda Karya [17] Susiana, Sali. 2014. “Penurunan Keterwakilan Perempuan Dalam Pemilu 2014” Info Singkat Vol. VI, No. 10/II/P3DI/Mei/2014
11
51
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
[18] Umaimah Wahid. 2011. “Perempuan dan Kekuasaan Politik dalam Pemilukada DKI Jakarta Tahun 2012. Tesis. Program Studi Magister Ilmu Komunikasi Universitas Budi Luhur [19] Umar, Husein. 2003. Metode Riset Bisnis. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. [20] Undang-undang No. 2 Tahun 2011 Pasal 1 tentang Partai Politik Internet [1] http://www.republika.co.id. “Ingin Jadi Anggota DPRD Kabupaten? Siapkan Uang Rp 300 Juta”. Diakses dari http://www.republika.co.id/berita/nasional/jawa -tengah-diy nasional /13/04/23/mlon2cingin-jadi-anggota-dprd-kabupaten-siapkanuang-rp-300-juta. Tanggal 6 April 2016 [2] http://www.republika.co.id. “ Izin Suami Diduga Penyebab Tidak Terpenuhinya Kuota Perempuan” Diakses dari http://www.republika.co.id/berita/nasional/polit ik/13/04/01/mkkzr4 izin-suami-diduga-penyebab-tidakterpenuhinya-kuota-perempuan. tanggal 6 April 2016 [3] http://jogja.tribunnews.com. “Novi Lepas Profesi Sebagai Pengacara”. Diakses dari http://jogja.tribunnews.com/2014/05/22/novilepas-profesi-sebagai pengacara. Tanggal 6 April 2016 [4] KPU-jogjaKota.go.id [5] Prabowo, Danang. 2014. “10 Kursi DPRD Kota Yogyakarta Milik Perempuan”. Diaskses dari http://pemilu.sindonews.com/read/862979/113/ 10-kursi-dprd-Kota yogyakarta-milik-perempuan-1399927831
12
52
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
PENGARUH LATIHAN KESIMBANGAN FISIK TERHADAP RISIKO JATUH PADA LANSIA DI PANTI SOSIAL TRENA WERDHA YOGYAKARTA UNIT BUDI LUHUR KASONGAN BANTUL Suratini Program Studi Ilmu Keperawatan, Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas ‘Aisyiyah Yogyakarta Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia
[email protected]
Abstrak --- Resiko jatuh pada lansia sering terjadi pada semua lansia, salah satu upaya yang dilakukan untuk melakukan latihan kesimbangan fisik. Tujuan penelitian ini diketahuinya pengaruh latihan kesimbangan fisik l terhadap risiko jatuh pada lanjut usia di Panti Sosial Trena Werdha Yogyakarta unit Budi Luhur KasonganBantul.Penelitian ini dilaksanakan pada bulanJuni 2014. Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimen semu dengan desain one group pre test post test with control, jumlah responden dalam penelitian ini adalah 12 orang kelompok intervensi dan 12 orang kelompok kontrol.Hasil uji statistik dengan dengan Pair T test didapatkan bahwa p v = 0,000 pada kelompok intervensi dan pv 0,027 pada kelompok kontrol. Kesimpulannya ada pengaruh pemberian Latihan Keseimbangan fisik terhadap terhadap risiko jatuh pada lansia di PSTW yogyakarta unit Budi Luhur Kasongan Bantul. Oleh sebab itu disarankan bagi petugas panti untuk dapat memberikan bimbingan latihan kesimbangan fisik secara rutin dan terstruktur di panti dalam upaya mencegah risiko jatuh pada lansia.
osteoporosis, dan perubahan pada sistem saraf pusat. Hal ini dapat menyebabkan penurunan kekuatan otot terutama otot ekstremitas bawah, ketahanan, dan koordinasi serta terbatasnya range of motion (ROM) (Miller, 2004). Kelemahan otot ekstemitas bawah dapat menyebabkan gangguan keseimbangan tubuh sehingga mengakibatkan kelambanan bergerak, langkah pendek-pendek, kaki tidak dapat menapak dengan kuat dan terlambat mengantisipasi bila terpeleset atau tersandung (Tinetti, 1992; Kane, 1994; Reuben, 1996; Campbell & Brocklehurst, 1987 dalam Darmojo, 2004). Kondisi ini akan menimbulkan risiko terjadinya jatuh. Kemunduran dan kelemahan yang biasanya diderita oleh lansia dikenal dengan istilah 13 I, salah satunya adalah instability (falls). Reuben (1996, dalam Darmojo, 2004) mengartikan jatuh sebagai suatu kejadian yang dilaporkan oleh penderita atau saksi mata yang melihat kejadian dan mengakibatkan seseorang mendadak terbaring atau terduduk di lantai dengan atau tanpa kehilangan kesadaran atau luka. Hal ini sesuai dengan survei masyarakat di AS yang mendapatkan sekitar 30 % lansia dengan usia lebih dari 65 tahun jatuh setiap tahunnya, setengah dari angka tersebut mengalami jatuh berulang. Insiden di rumahrumah perawatan (nursing home) 3 kali lebih banyak dan lima persen dari penderita jatuh ini memerlukan perawatan di rumah sakit (Tinetti, 1992 dalam Darmojo, 2004). Begitu pula dengan Kane, et al. (1989) yang mendapatkan data dari survei masyarakat di AS sekitar 1/3 lansia dengan usia lebih dari 65
Kata kunci: Latihan Keseimbangan fisik, Risiko Jatuh , PSTW
LATAR BELAKANG Salah satu kemunduran atau perubahan fisik yang terjadi adalah pada sistem muskuloskeletal yaitu berkurangnya massa otot, kekakuan jaringan penghubung,
53
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
gangguan berjalan serta gangguan neuromuskular atau muskuloskeletal. Bila terdapat tiga disability, maka risiko jatuh 100 %, sedangkan tanpa disability mempunyai risiko jatuh sekitar 12 % per tahun.
tahun pernah menderita jatuh setiap tahunnya sedangkan di rumah-rumah perawatan berkisar 50 % penghuninya mengalami jatuh yang berakibat 10 – 25 % memerlukan perawatan di RS. Kecenderungan yang sama dapat pula terjadi di Indonesia.
Perubahan yang terjadi pada lansia seperti penurunan penglihatan, pendengaran, dan muskuloskeletal dapat mengakibatkan gangguan keseimbangan dan kelemahan otot ekstremitas bawah yang merupakan salah satu penyebab jatuh pada lansia. Perawat sebagai bagian dari pemberi pelayanan kesehatan pada lansia, mempunyai tanggung jawab untuk melakukan pencegahan terhadap jatuh. Hal ini juga merupakan area praktek keperawatan komunitas. Oleh karena itu, agar bantuan yang diberikan pada agregat lansia tepat maka perlu dikenalkan berbagai bentuk intervensi atau latihan fisik untuk mencegah risiko jatuh akibat keseimbangan tubuh yang tidak optimal.
Kasus jatuh yang terjadi di poliklinik layanan terpadu usia lanjut RSCM pada tahun 2000 sebesar 15,53 % (285 kasus). Pada tahun 2001 tercatat 15 pasien lansia (dari 146 pasien) yang dirawat karena instabilitas dan sering jatuh. Pada tahun 1999, 2000, dan 2001 masingmasing tercatat sebanyak 25 pasien, 31 pasien, dan 42 pasien yang harus dirawat karena fraktur femur akibat jatuh (Supartondo, Setiati & Soejono, 2003). Hal ini menandakan bahwa kejadian jatuh pada lansia semakin meningkat dari tahun ke tahun. Oleh karena itu, usaha pencegahan terjadinya jatuh pada lansia merupakan langkah yang perlu dilakukan, karena bila sudah terjadi jatuh, pasti akan menyebabkan komplikasi, meskipun ringan tetap memberatkan kondisi lansia (Darmojo, 2004). Kondisi ini nampak juga pada lansia yang tinggal di panti werdha.
Menurut Ceranski (2006, dalam Fefendi, 2008) salah satu latihan yang direkomendasikan untuk meningkatkan keseimbangan postural lansia adalah dengan latihan keseimbangan (balance exercise) yaitu aktivitas fisik yang dilakukan untuk meningkatkan kestabilan tubuh dengan meningkatkan kekuatan otot ekstremitas bawah. Hal ini sesuai dengan beberapa hasil studi yang menyatakan bahwa aktivitas fisik atau latihan fisik dapat meningkatkan keseimbangan tubuh untuk mencegah jatuh pada lansia (Puffer, 1996; Carmeli, 2000; Skelton, 2001; Carter, 2001; Dharmmika, 2005; Wiramihardja, 2005).
Berdasarkan data yang diperoleh dari petugas PSTW Yogyakarta Unit Budi Luhur Kasongan Bantul didapat data jumlah lansia meningkat dalam 1 tahun terakhir didadapat 75 lansia yang tinggal di tempat tersebut. Data riwayat jatuh pada lansia di PSTW ini sepanjang tahun 2013 berjumlah 10 orang (13,3 %). Lansia yang menderita penyakit kronik yang sering mengalami kejadian jatuh terdapat 12,1%. Hal ini menandakan bahwa komplikasi lebih lanjut akibat jatuh menyebabkan kecacatan yang permanen pada lansia seperti fraktur maupun dislokasi.
Intervensi dengan latihan keseimbangan fisik dapat dilakukan oleh perawat atau petugas sosial yang berada di panti werdha, salah satunya adalah Panti Sosial Tresna Werdha (PSTW) Yogyakarta unit Budi Luhur Kasongan Bantul. Intervensi mengenai latihan keseimbangan dan penilaian fungsi keseimbangan belum pernah dilakukan pada lansia di PSTW ini dan kegiatan yang berkaitan dengan kebugaran fisik hanya dilakukan dua kali seminggu, yaitu senam pagi
Penyebab jatuh yang diakibatkan oleh gangguan keseimbangan dan gait serta kelemahan otot ekstremitas bawah terjadi sekitar 17 % (Shobha, 2005). Hal ini diperkuat dengan pendapat Probosuseno (2006) yang menyatakan bahwa disability (ketidakmampuan)terdiri dari kelemahan paha, artritis, penyakit parkinson, kelemahan badan secara umum, gangguan keseimbangan, dan
54
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
Penelitian dilakukan selama 2 minggu dengan instrumen latihan kesimbangan yang terdiri dari 8 gerakan untuk kaki. Sedangkan untuk Risiko jatuh dengan menggunakan time Up Go. Peneliti melakukan rekapan setiap kali latihan seminggu 3 kali dan dilakukan setiap dua hari sekali dengan frekuensi dinaikkan secara bertahap.
dan tidak semua lansia mengikutinya. Oleh karena itu, pemberian asuhan keperawatan pada lansia akibat kelemahan organik (impairment), keterbatasan kemampuan (disability), dan ketidamampuan melakukan kegiatan (handicap), termasuk pencegahan risiko jatuh menjadi sangat penting. Pencegahan jatuh pada lansia dapat dilakukan dengan melakukan latihan keseimbangan fisik, yang sebelumnya diperiksa fungsi keseimbangan tubuhnya dengan menggunakan penilaian Skala Keseimbangan Berg (Berg Balance Scale). Penilaian ini dilakukan untuk melihat bagaimana keseimbangan badannya dalam melakukan gerakan antara lain berdiri dari posisi duduk, berpindah tempat, berputar, dan berdiri di atas satu kaki.
Aktivitas latihan keseimbangan fisik yang dilakukan responden antara lain dengan gerakan 1) pemanasan. 2) Latihan Bipedal toe raises dan heel raises. 3) Bipedal inversion dan eversion 4) Unipedal toe raises dan heel raises 5) Unipedal inversion dan eversion. 6) Wall slides 7) Unipedal balance 8) Pendinginan. Penelitian dilakukan peneliti dan asisten peneliti selama dua minggu dengan latihan kesimbangan dengan 8 gerakan pada kelompok kontrol dan kelompok intervensi. Pada dua kelompok tersebut dilakukan pengukuran risiko jatuh pada lansia dengan menggunakan Time Up Go ( TUG) dengan mencatata pada lembar hasil penelitian yang telah dipersiapkan sebelumnya. Kemudian melakukan intervensi pada kelompok dengan ptalihan keseimbangan yang meliputi 8 gerakan dasar. Pada latihan tahap awal minggu pertama setiap aktivitas dimulai untuk setiap gerakan dengan hitungan 10 kali, kemudian laitihan kedua 15 kali dan pada latihan selanjutnya 20 kali. Kemudian pada minggu kedua pada latihan awal 20 kali gerakan untk setiap gerakan dan latihan kedua 25 kali dan latihan terakhir 30 kali.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh latihan kesimbangan fisik terhadap risiko jatuh pada lanjut usia di PSTW Yogyakarta Unit Budi Luhur Kasongan Bantul METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen semu (quasi experiment) dengan desain nonequivalentpretest-postest with controlgroup. Penelitian ini membandingkan antara kelompok yang dilakukan latihan keseimbangan fisik sebagai kelompok intervensi dengan kelompok yang tidak dilakukan latihan keseimbangan fisik sebagai kelompok kontrol. Desain ini menggunakan pengukuran dua kali, yaitu sebelum dan sesudah perlakuan. Pengukuran yang dilakukan sebelum intervensi disebut pretest, dan pengukuran yang dilakukan sesudah intervensi disebut postest.
Hasil penelitian selajutnya dioleh dengan menggunkan SPSS versi 19 dengan melakukan uji normalitas data. Hasil uji normalitas dengan spiro wilk didapatkan hasilnya data dalam ditribusi normal sehingga analisis data yang digunakan untuk menguji ada tidaknya pengaruh dengan menggunakan maka menggunakan analisis komparatif sebelum dan sesudah perlakuan pada kelompok berpasangan (Paired T-test). Penelitian ini menggunakan taraf signifikan 0,05. Apabila nilai P hitung lebih kecil dari
Sampel dalam penelitian ini terdiri atas kelompok kontrol dan kelompok intervensi masing-masing terdiri dari 12 responden. Rseponden dalam penelitian ini diambil secara selektif sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi yang telah ditetapkan oleh peneliti. Instrumen penelitian tidak dilakukan uji coba karena kedua instrumen ini merupakan instrumen yang sudah baku.
55
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
intervensi dan kelompok kontrol terdapat perbedaan yaitu pada kelompok intervensi lebih banyak wanitanya. Sedangkan untuk agama selurhnya responden memeluk agama islam baik pada kelompok kontrol maupun pada kelompok intrevensi.
nilai taraf signifikan maka Ha diterima dan Ho ditolak artinya ada pengaruh latihankeseimbanganfisikdengan risiko jatuh pada lanjut usia di PSTW Yogyakarta unit Budi Luhu kasongan Bantul. Jika P hitung lebih besar dari nilai taraf signifikan maka Ha ditolak dan Ho diterima artinya tidak ada latihan keseimbangan fisik dengan risiko jatuh pada lanjut usia.
Tabel 4.2 menunjukkan rata-rata usia lansia pada kelompok intervensi dan kontrol adalah 74,1 tahun (95 % CI: 70,38-78,22) dengan standar deviasi 7,64 tahun. Usia termuda 61 HASIL DAN PEMBAHASAN tahun dan umur tertua 85 tahun. Dari hasil A. Analisis Univariat estimasi interval didapatkan bahwa 95 % 1. Karakteristik Responden diyakini rata-rata umur lansia berada di antara Karakteristik responden yang akan 70,38 sampai dengan 78,22 tahun digambarkan dalam analisis univariat meliputi usia, jenis kelamin, dan aktivitas fisik. a. Karakteristik responden menurut jenis kelamin. Analisis univariat terhadap karakteristik Karakteristik responden berdasarkan jenis responden dapat dijelaskan sebagai berikut. kelamin pada penelitian dapat dilihat pada tabel 4.3. Tabel 4.1. Distribusi Frekuensi usia lansia di Tabel 4.3 menunjukkan proporsi lansia PSTW Budi Luhur Kasongan Bantul 2014 perempuan lebih banyak (58,4 %) dibandingkan dengan proporsi lansia laki-laki (41,6 %) pada kedua kelompok intervensi dan No Karakteristik Kelompok Intervensi Kelompok Kontrol responden kontrol. 1. Usia Frekuensi Persentase Frekuensi Persentase 2. Karakteristik responden menurut aktivitas fisik 60-75 Tahun 5 41,6 7 58,4 Karakteristik responden berdasarkan aktivitas 75-85 Tahun 7 58,4 5 41,6 fisik pada penelitian ini dapat dilihat pada Total 12 100 12 100 tabel 4.4. 2. Jenis Frekuensi Persentase Frekuensi Persentase Kelamin
3.
Laki-laki Perempuan Total Agama Islam Total
4 8 12 Frekuensi 12 12
33,3 66,7 100 Persentase 100 100
6 6 12 Frekuensi 12 12
50 50 100 Persentase 100 100
Tabel 4.1. Menunjukkan pada kelompok intervensi usianya sebagian besar 75-85 tahun (58,4%) dan untuk kelompok intervensi sebagaian besar berusia 60-75 tahun (58,4%). Antara kelompok intervensi dengan kelompok kontrol terdapat perbedaan usia, untuk kelompok kontrol lebih didominasi dengan usia 60-75 tahun, sedangkan untuk kelompokintervensi lebih didominasi pada kelompok umur 75-85 tahun. Jenis kelamin untuk kelompok kontrol sebagian besar perempuan dengan jumlah 8 orang (66,7%) dan pada kelompok kontrol antara laki-laki dan perempuan dengan jumlah sama yaitu 6 orang ( 50%). Antara kelompok
Tabel 4.4 menunjukkan proporsi lansia yang aktivitas fisiknya kurang (54,8 %) lebih banyak daripada lansia yang aktivitas fisiknya baik (45,2 %) pada kedua kelompok intervensi dan kontrol. 3. Keseimbangan Tubuh Lansia Sebelum Perlakuan Rata-rata keseimbangan tubuh lansia sebelum dilakukan latihan keseimbangan fisik pada kelompok intervensi dan kontrol dapat dilihat pada tabel 4.5. Tabel 4.5 menunjukkan rata-rata keseimbangan tubuh lansia sebelum perlakuan pada kelompok intervensi sebesar 45,61 dengan standar deviasi 4,29 dan pada kelompok kontrol rata-rata keseimbangan tubuh lansia sebesar 47,78 dengan standar deviasi 5,29.
56
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
sebesar 50 % dibandingkan dengan usia kurang dari 80 tahun. Begitu pula dengan proporsi lansia perempuan dan aktivitas fisik yang kurang dilakukan akan cenderung mengalami gangguan keseimbangan sebesar 100 % dan 50 %.
3. Keseimbangan Tubuh Menurut Usia, Jenis Kelamin, Aktivitas Fisik Keseimbangan tubuh lansia yang mengalami gangguan dapat dilihat hubungannya dengan usia, jenis kelamin, dan aktivitas fisik seperti yang akan dijelaskan di bawah ini.
Tabel 4.6 menunjukkan bahwa proporsi pada usia lebih dari 80 tahun cenderung akan mengalami gangguan keseimbangan tubuh Tabel 4.2. Distribusi Responden Menurut Usia Lansia di PSTW Budiluhur Kasongan Bantul 2014 Variabel
n
Mean
Median
SD
Min-Maks
95 % CI
p value
Usia
24
74,1
71
7,64
61-85
70,3878,22
0,205
Tabel 4.3. Distribusi Frekuensi Responden Menurut Jenis Kelamin Lansia di PSTW Budi Luhur Kasongan Bantul 2014 Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Total
Kelompok Intervensi Kontrol n % N % 4 25 6 50 8 75 6 50 12 100 12 100
Total N 10 14 24
p value
% 41,6 58,4 100,0
1,000
Tabel 4.4Distribusi Frekuensi Responden Menurut Aktivitas Fisik Lansia di PSTW Budi Luhur Kasongan Bantul tahun 2014 Aktivitas Fisik Kurang Baik Total
Kelompok Intervensi Kontrol n % N % 8 66,7 3 25 4 33,3 9 75 12 50 12 50
Total n 11 13 24
p value
% 45,8 44,2 100,0
0,810
Tabel 4.5Rata-Rata risiko jatuh Tubuh Lansia Sebelum Perlakuan di PSTW Budi Luhur Kasongan Bantul Tahun 2014 Kelompok n Mean SD Min-Maks p value Intervensi 12 29,2 4,29 24-34 0,058 Kontrol 12 23,2 5,29 18-29 Total 24 26,2 4,91 36-55 Tabel 4.6Distribusi Frekuensi Gangguan Keseimbangan Tubuh Menurut Usia, Jenis Kelamin, Aktivitas Fisik di PSTW Unit Budi Luhur Kasongan Bantul tahun 2014 No Variabel Gangguan Keseimbangan Tubuh Frekuensi
57
%
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
1
Usia 60-69 tahun 70-79 tahun > 80 tahun Total
1 1 2 4
25 25 50 100,0
2
Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Total
0 4 4
0 100 100,0
3
Aktivitas Fisik Kurang Baik Total
2 2 6
50 50 100,0
4. Keseimbangan Tubuh Menurut Kelompok Intervensi dan Kontrol Keseimbangan tubuh lansia yang mengalami gangguan dapat dilihat distribusinya berdasarkan kelompok intervensi dan kontrol seperti yang akan ditampilkan berikut ini. Tabel 4.7 Distribusi Frekuensi Gangguan Keseimbangan Tubuh Menurut Kelompok Intervensi dan Kontroldi PSTW Yogyakarta Unit Budi Luhur Kasongan Bantul 2014 Kesimbangan Tubuh Gangguan Normal Total
Kelompok Intervensi Kontrol n % n % 0 0,0 4 25 12 100,0 8 25 12 100,0 37 100,0
Tabel 4.8 Distribusi Frekuensi Aktivitas Fisik Baik Menurut Usia Lansiadi PSTW Unit Budhi Luhur Kasongan Bantul tahun 2014 Variabel Usia 60-69 tahun 70-79 tahun > 80 tahun
Total
Aktivitas Fisik Baik n
%
6 3 3
50 25 25
12
100,0
Tabel 4.8 menunjukkan bahwa proporsi pada usia 60-69 masih dapat melakukan aktivitas fisik dengan baik sebesar 50 % dibandingkan Tabel 4.7 menunjukkan bahwa proporsi pada dengan usia lebih dari 80 tahun yang hanya kelompok kontrol dan intervensi mengalami melakukan aktivitas fisik sebesar 25 %. gangguan keseimbangan sebesar 25 % 6. Aktivitas fisik Menurut Jenis Kelamin dibandingkan dengan kelompok intervensi Lansia yang keseimbangannya normal. Aktivitas fisik berkategori kurang yang 5. Aktivitas Fisik Menurut Usia Lansia dilakukan lansia dapat dihubungkan dengan Aktivitas fisik berkategori baik yang jenis kelamin seperti yang akan ditampilkan dilakukan lansia dapat dihubungkan dengan berikut ini. dari faktor usia seperti yang akan ditampilkan berikut ini.
58
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
Tabel 4.10 Rata-Rata Risiko Jatuh Lansia Pada Kelompok Intervensi di PSTW Yogyakarta unit Budi Luhur Kasongan Bantul tahun 2014
Tabel 4.9 Distribusi Frekuensi Aktivitas Fisik Kurang Menurut Jenis Kelamin Lansiadi PSTW Yogyakarta Unit Budi Luhur Kasongan Bantul 2014 Variabel
Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Total
Aktivitas Fisik Kurang n
%
8 6
57 43
14
100,0
Tabel 4.9 menunjukkan bahwa proporsi lansia perempuan cenderung kurang dalam melakukan aktivitas fisik dibandingkan dengan lansia laki-laki yaitu sebesar 57 %. Analisis Bivariat 1. Kesetaraan Karakteristik Responden Uji homogenitas atau kesetaraan karakteristik responden dan keseimbangan tubuh lansia sebelum perlakuan antara kelompok intervensi dan kontrol dilakukan sebelum berlanjut pada analisis bivariat dan multivariat. Berdasarkan hasil analisis, didapatkan nilai p value dari variabel usia (0,105); jenis kelamin (1,000); aktivitas fisik (0,716): dan keseimbangan tubuh sebelum perlakuan (0,058) dalah lebih dari 0,05, maka variabel tersebut homogen (tidak ada perbedaan) sehingga dapat memenuhi asumsi uji t. Oleh karena itu, variabel tersebut memenuhi prasyarat untuk dilakukan analisis bivariat dan multivariat lebih lanjut seperti yang akan diuraikan berikut ini. 2. Perbedaan Rata-rata Keseimbangan Tubuh Lansia Sebelum dan Sesudah Perlakuan pada Kelompok Intervensi
59
Risiko Jatuh
n
Mean
SD
Sebelum Sesudah Perubahan
12 12 12
30,2 22,2 8
4,10 2,10 2
p value 0,000
Tabel 4.10 menunjukkan ada perbedaan secara bermakna rata-rata keseimbangan tubuh lansia antara sebelum dan sesudah diberikan latihan keseimbangan pada kelompok intervensi (p value = 0,000; α = 0,05). Dan perubahan rata-rata keseimbangan tubuh lansia pada kelompok intervensi sebesar 7,10 3. Perbedaan Rata-rata Keseimbangan Tubuh Lansia pada Kelompok Kontrol Sebelum dan Sesudah diberikan Perlakuan Tabel 4.11 Rata-Rata Risiko Jatuh Lansia pada Kelompok Kontrol di PSTW Yogyakarta Unit Budi Luhur Kasongan Bantul tahun 2014 Risiko Jatuh
n
Mean
Sebelum Sesudah Perubahan
12 12 12
22,4 26,2 3,8
SD
p value 4,29 0,027 3,15 1,14
Tabel 4.11 menunjukkan ada perbedaan yang bermakna pula rata-rata keseimbangan tubuh lansia pada kelompok kontrol sebelum dan sesudah diberikan latihan keseimbangan pada kelompok intervensi (p value = 0,027; α = 0,05) tetapi, perubahan rata-rata keseimbangan tubuh lansianya hanya sebesar 1,50 Perubahan rata-rata keseimbangan pada kelompok intervensi lebih besar yaitu 1,50
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
dibandingkan dengan perubahan rata-rata keseimbangan pada kelompok kontrol yang hanya sebesar 1,14. Hal ini juga tergambar pada kenaikan nilai rata-rata masing-masing tes keseimbangan yang lebih dominan pada kelompok intervensi dibandingkan dengan kelompok kontrol sesudah diberikan latihan keseimbangan bahkan, pada kelompok kontrol terdapat nilai rata-rata keseimbangan yang menurun. 4. Perbedaan Rata-rata Keseimbangan Tubuh Lansia Sesudah Perlakuan pada Kelompok Intervensi dan Kelompok Kontrol Tabel 4.12 Rata-Rata Risiko Jatuh Tubuh Lansia Sesudah Perlakuandi PSTW yogyakarta Unit Budi Luhur Kasongan Bantul 2014 Kelompok n Mean SD p value Intervensi 12 24,50 2,05 0,000 Kontrol 12 28,30 3,30 Tabel 4.12 menunjukkan ada perbedaan yang bermakna rata-rata keseimbangan tubuh lansia sesudah diberikan latihan keseimbangan pada kelompok intervensi dibandingkan dengan kelompok kontrol (p value = 0,000; α = 0,05). b. Pembahasan 1. Karakteristik Responden Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa keseimbangan dapat dipengaruhi oleh faktor usia dimana lansia dengan usia lebih dari 80 tahun akan cenderung mengalami gangguan keseimbangan sebesar 66,7 % dibandingkan dengan usia kurang dari 80 tahun. Hal ini ditandai pula dengan meningkatnya usia, maka aktivitas fisik yang dilakukan semakin menurun sehingga akan mengganggu keseimbangan tubuhnya. Hasil ini memperkuat penelitian yang dilakukan Barnedh (2006) bahwa proporsi pada kelompok usia lebih dari 80 tahun akan mengalami gangguan keseimbangan sebesar 70%.
60
Meningkatnya usia akan menyebabkan menurunnya sistem muskuloskeletal yang disebabkan oleh proses menua dapat berpengaruh terhadap keseimbangan tubuh karena pada ekstremitas bawah terjadi penurunan kekuatan otot sehingga mengakibatkan perubahan keseimbangan untuk menopang berat tubuh dan berisiko untuk jatuh. Hal ini diperkuat pula dengan data yang menyebutkan bahwa prevalensi jatuh di atas usia 80 tahun sebesar 50 % (Hazzard, 2003). Risiko jatuh terjadi pada lansia perempuan disebabkan yang menjadi responden dalam penelitian ini lebih banyak perembuan daripada laki-laki. Hasil penelitian juga menujukkan bahwa lebih banyak lanjut usia perempuan cenderung terjadi gangguang keseimbangan. Hal ini terjadi dikarenakan proses menua pada lansia perempuan lebih cepat dibandingkan dengan laki-laki karena penurunan sistem hormonal sehingga mengakibatkan gangguan salah satunya pada sistem muskuloskeletalnya. Asumsi ini memperkuat pendapat Flynn, et al. (1989 dalam Wolfson, 1995) yang menyatakan bahwa pada lansia lebih dari 60 tahun massa otot akan berkurang dimana pada lansia perempuan sebesar 1 % dibandingkan dengan lansia laki-laki yang hanya berkurang 0,5 %. Hal ini didukung pula oleh pendapat Frontera, et al. (1991 dalam Wolfson, 1995) yang mengatakan bahwa kekuatan kaki pada lansia perempuan 23 % lebih rendah daripada kekuatan kaki lansia laki-laki. Kekuatan kaki pada lansia perempuan akan berkurang dikarenakan penurunan massa otot dan kekuatan otot salah satunya pada ekstremitas bawah sehingga akan mempengaruhi keseimbangan dan gaya berjalan. Hal ini memperkuat penelitian yang dilakukan Steffen, Hacker dan Mollinger (2002) yang mendapatkan nilai keseimbangan lansia perempuan lebih rendah dibandingkan dengan lansia laki-laki. Begitu pula dengan Eliopoulos (2005) yang mengatakan bahwa kematian akibat jatuh lebih banyak terjadi pada perempuan yang
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
Lansia yang termasuk kurang dalam melakukan aktivitasnya, diharapkan dapat diberi motivasi dan diberikan intervensi latihan keseimbangan fisik secara langsung. Karena apabila lansia tidak melakukan mobilisasi, dapat berakibat pada terjadinya kemunduran yang lebih parah. Hal ini diperkuat oleh penelitian Perrin, et al. (1999) yang menyebutkan bahwa lansia yang mempunyai kegiatan olahraga, bahkan yang sudah berhenti lama pun mempunyai kontrol terhadap tubuh yang lebih baik dibandingkan dengan lansia yang inaktif karena pada keadaan imobilisasi kekuatan otot dapat berkurang tiap harinya (Kane, 1989 dalam Darmojo, 2004)
berusia 65 tahun atau lebih yaitu sekitar 51 % dibandingkan dengan laki-laki. Lansia perempuan yang kurang dalam melakukan aktivitas fisik dibandingkan dengan lansia laki-laki dapat memengaruhi keseimbangan tubuhnya. Hal ini dikarenakan aktivitas fisik yang dilakukan lansia seharihari dapat melatih ekstremitas bawah untuk senantiasa menjaga keseimbangan ketika melakukan aktivitas berdiri, berpindah tempat, dan berjalan sehingga memiliki efek terhadap keseimbangan tubuhnya. Hal ini ditandai dengan hasil penelitian yang menyebutkan bahwa aktivitas fisik yang kurang akan mengakibatkan gangguan keseimbangan tubuh. Hasil ini memperkuat penelitian Barnedh (2006) yang menyatakan bahwa aktivitas fisik mempunyai hubungan bermakna dengan gangguan keseimbangan dimana aktivitas fisik yang rendah salah satunya tidak teratur berolahraga berisiko untuk terjadinya gangguan keseimbangan.
2. Perbedaan keseimbangan tubuh lansia sesudah latihan keseimbangan fisik Ada perbedaan yang bermakna rata-rata keseimbangan tubuh lansia sesudah diberikan latihan keseimbangan pada kelompok intervensi dibandingkan dengan kelompok kontrol. Hal ini diperkuat pula dengan adanya peningkatan rata-rata keseimbangan tubuh lansia sebelum dan sesudah diberikan latihan keseimbangan fisik pada kelompok intervensi dibandingkan dengan kelompok kontrol. Dan rata-rata perubahan keseimbangan tubuh lansia lebih tinggi pada kelompok intervensi yaitu sebesar 7,28 dibandingkan dengan kelompok kontrol yang rata-rata perubahan keseimbangan tubuh lansianya hanya sebesar 1,05.
Hasil di atas diperkuat pula oleh pendapat Chang, et al. (2004, dalam Al-Faisal, 2006) yang mengatakan bahwa peningkatan aktivitas fisik dapat menjadi salah satu komponen efektif dalam mencegah jatuh karena aktivitas yang dilakukan dapat meningkatkan keseimbangan dan koordinasi. Oleh karena itu, peneliti berasumsi bahwa apabila lansia tetap melakukan aktivitas sehari-harinya sesuai dengan kegiatan yang ada di panti dan melakukan latihan keseimbangan secara teratur diharapkan dapat meningkatkan kekuatan ekstremitas bawah dan keseimbangan. Hal ini perkuat oleh pendapat Skelton (2001) yang mengatakan bahwa aktivitas fisik mempunyai efek positif terhadap keseimbangan tubuh atau faktor risiko jatuh, yaitu meningkatkan keseimbangan, kemampuan fungsional, mobilitas, kekuatan dan tenaga, koordinasi dan gait serta menurunkan depresi dan ketakutan terhadap jatuh.
Hasil penelitian di atas memperkuat penelitan Ballard, et al. (2004) yang memperlihatkan peningkatan secara signifikan 5 item dari 14 item instrumen keseimbangan akibat latihan keseimbangan yang dilakukan sehingga program latihan ini dapat meningkatkan keseimbangan dan kekuatan kaki. Begitu pula dengan penelitian yang dilakukan oleh Gunarto (2005) dan Dharmmika (2005) yang menyatakan bahwa latihan keseimbangan dapat meningkatkan nilai keseimbangan dan memperbaiki keseimbangan fungsional.
61
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
(2003, dalam Anonim, 2007) menyatakan bahwa program latihan fisik yang terdiri dari pemanasan diikuti dengan keseimbangan, koordinasi, dan latihan kekuatan otot serta pendinginan yang dilakukan 1 jam per minggu selama satu tahun dapat menurunkan angka kejadian jatuh sebesar 40 %.
Oleh karena latihan keseimbangan fisik memiliki dampak secara langsung terhadap peningkatan keseimbangan tubuh lansia, maka hal ini memperkuat pendapat Pudjiastuti dan Utomo (2003) yang menyatakan bahwa latihan fisik dilakukan untuk meningkatkan kebugaran jasmani dan kondisi fisik lansia sehingga dapat meningkatkan kekuatan otot, daya tahan, kecepatan, keterampilan, dan kelenturan sendi. Hal ini juga sesuai dengan pendapat Wolfson (1995) bahwa kekuatan ekstremitas bawah adalah komponen yang penting dari fungsi sensorimotorik dalam membantu mobilisasi karena akibat dari penurunan kekuatannya dapat berhubungan dengan kejadian jatuh.
latihan keseimbangan fisik ini dapat dilakukan secara teratur dan terukur serta bersamaaan dengan mengidentifikasi faktorfaktor yang mempengaruhi keseimbangan, perbaikan kondisi lingkungan, dan meningkatkan kualitas pelayanan baik kepada lansia yang masih produktif maupun pada lansia yang kurang atau tidak produktif diharapkan dapat mengurangi risiko jatuh. Hal ini memperkuat pendapat Brandt, et al. (1986, dalam Rogers, 2001) bahwa program latihan yang dibarengi dengan perbaikan input sensori sangat bermakna dalam meningkatkan keseimbangan tubuh. Sedangkan strategi manajemen yang meliputi kombinasi latihan keseimbangan yang terstruktur, modifikasi lingkungan, penghentian atau pengurangan obat-obatan psikotropik serta perbaikan visus dapat menurunkan risiko jatuh sampai 25-39 % (Robbins, 1989 dalam Barnedh, 2006).
Hasil analisis didapatkan bahwa latihan keseimbangan fisik memiliki pengaruh terhadap keseimbangan peneliti berasumsi bahwa latihan keseimbangan fisik yang dilakukan 2 kali seminggu selama 6 minggu pada kelompok intervensi ternyata memiliki pengaruh yang besar terhadap keseimbangan tubuh lansia. Hal ini diperkuat oleh pendapat Colon-Emeric (2002) yang menyatakan bahwa latihan fisik merupakan salah satu bentuk intervensi tunggal yang dapat dilakukan pada lansia karena kekuatan kedua ekstremitas bawah dan keseimbangan dapat terlihat peningkatannya secara nyata dengan program latihan yang sederhana dan terukur.
DAFTAR PUSTAKA Al-Faisal, W. (2006). Falls Prevention for Older Persons. Diakses dari http://www.who.int/ageing, tanggal 2 Februari 2014.
Pendapat di atas didukung pula oleh Stanley dan Beare (1999) yang menyatakan bahwa keuntungan dari program latihan pada lansia terutama pada sistem muskuloskeletalnya adalah peningkatan kekuatan otot, ROM (Range of Motion), kelenturan, kepadatan tulang, dan keseimbangan.
Anonim. (2006). Suggested Therapy Interventions for Patients with Balance and Gait Deficits. Diakses dari www.anodynetherapy.com, tanggal 5 Februari 2014).
Latihan keseimbangan fisik yang dilakukan peneliti secara teratur diawali dengan pemanasan, latihan inti dan diakhiri dengan pendinginan diharapkan secara tidak langsung dapat meningkatkan kekuatan otot kaki sehingga menurunkan angka kejadian jatuh yang banyak dialami lansia. Hal ini diperkuat oleh penelitian Barnett, et al.
Anonim. (2007). Summary table of studies investigating whether regular physical activity reduces rates of falls and fall-related injuries in older adults who are at increased risk by physical activity guidelines advisory
62
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
older adults. Journal of Gerontology, 4, 218-224.
committe report. Diakses dari http://www.health.gov/PAGuideline,t anggal 3 Februari 2014.
Budiharjo, S., Romi, M.M., & Prakosa, D. (2004). Pengaruh latihan fisik intensitas sedang terhadap persentase lemak badan wanita lanjut usia. Berkala Ilmu Kedokteran, Vol. 36, No.4: 195-200.
Balance improvements in older women: effects of exercise training oleh Judge, J.O., Lindsey, C., Underwood, M., & Winsemius, D., (http://www.ptjournal.org/cgi/content /abstract/73/4/254, diperoleh 2 Februari 2014).
Carmeli, E., Reznick, A.B., Coleman, R., & Carmeli, V. (2000). muscle strength and mass of lower extremities in relation to functional abilities in elderly adults. Journal of Gerontology, 46: 249-257.
Ballard, J.E., McFarland, C., Wallace, L.S., Holiday, D.B., & Roberson, G. (2004). The effect of 15 weeks of exercise on balance, leg strength, and reduction in falls in 40 women aged 65 to 89 years. Journal Am Med Womens Association, 59(4), 255-61.
Carmeli, E., Bar-Chad, S., Lotan, M., Merrick, J., & Coleman, R. (2003). Five clinical tests to assess balance following ball exercises and treadmill training in adult persons with intellectual disability. Journal of Gerontology, Vol. 58A, 8, 767-772.
Barnedh, H. (2006). Penilaian Keseimbangan menggunakan Skala Keseimbangan Berg pada Lansia di Kelompok lansia Puskesmas Tebet. Tesis. Jakarta:FKUI.
Colon-Emeric, C.S. (2002). Falls in older adults: assessment and intervention in primary care. Journal Hospital Physician, 55-66
Berg Balance Test oleh Berg, K., Dauphinee, W., Williams, J.I., & Maki, B., (1992, http://www.fallspreventiontaskforce.or g/pdf/BergbalanceScale.pdf, diperolah 23 Februari 2009). Bethesda. (2000). Balance Disorders. NIH Publication, 99, 4374.
Darmojo, R.B.& Martono, H.H. (2004). Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut). Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Bethesda. (2009). Preventing Falls and Related Fractures. Diakses dari http://www.niams.nih.gov/Health_inf o, tanggal 23 Februari 2014
Depkes RI. (1997). Pola Pembinaan Kesehatan Usia Lanjut Di Panti Wredha. Jakarta: Direktorat Bina Kesehatan Keluarga.
Buchner, D.M., Cress, M.E., de Lateur, B.J., Esselman, P.C., Margherita, A.J., Price, R., et al. (1997). The effect of strength and endurance training on gait, balance, fall risk, and health services use in community-living
Depkes RI. (2001). PedomanPembinaan Kesehatan Usia Lanjut bagi Petugas Kesehatan. Jakarta: Direktorat Bina Kesehatan Keluarga. Depkes RI. (2003). Pedoman Pengelolaan Kegiatan Kesehatan di Kelompok
63
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
http://www.indonesiannursing.com, tanggal 13 Januari 2014.
Usia Lanjut. (Edisi 2). Jakarta: Direktorat Kesehatan Keluarga. Dharmmika, S. (2005). Pengaruh Latihan Stabilitas Postural terhadap Keseimbangan Fungsional pada Pasien Polineuropati Diabetik Anggota Gerak Bawah. Tesis. Jakarta: FKUI
Hastono, S.P. (2007). Analisis Data Kesehatan. Modul Pengajaran. UI: FKM. Hauer, K., Rost, B., Rutschle, K., Opitz, H., Specht, N., Bartsch, P., et al. (2001). Exercise training for rehabilitation and secondary prevention of falls in geriatric patients with a history of injurious falls. Journal American Geriatrics Society, 49, 10-20.
Eliopoulos, C. (2005). Gerontological Nursing. (6th Edition). Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. Erwin.
(2005). Sebaran Faktor-faktor Intrinsik Lokal serta Hubungannya dengan Instabilitas Postural/ Jatuh pada Usia Lanjut di Divisi Geriatri RSCM. Tesis. Jakarta: FKUI
Hawk,
Feder, G., Cryer, C., Donovan, S., & Carter, Y. (2000). Guideline for the prevention of falls in people over 65. British Medical Journal, 321, 10071011.
C., Hyland, J.K., Rupert, R., Colonvega, M., & Hall, S. (2006). Assessment of balance and risk for falls in a sample of communitydwelling adults aged 65 and older. BioMed Central, Chiropractic & Osteopathy
Hirsch, M.A., Toole, T., Maitland, C.G., & Rider, R.A. (2003). The effects of balance training and high-intensity resistance training on persons with Idiopathic Parkinson’s Disease. Journal Arch Phys Med Rehabil, Vol. 84., 1109-1117.
Fuller, G.F. (2000). Falls in the elderly. The American Academy of Family Physicians, 1-11. Gill, J., Allum, H.J., Carpenter, M.G., Ziolkowska, M.H., Adkin, A.L., Honegger, F., et al. (2001). Trunk sway measures of postural stability during clinical balance test: Effects of age. Journal of Gerontology, 7, 438447.
Hollis, M., & Fletcher-Cook, P. (1999). Practical Exercise Therapy. (Fourth Edition). UK: Blackwell Science Ltd. Howe, T.E., Rochester, L., Jackson, A., Banks, P.M., & Blair, V.A. (2007). Exercise for improving balance in older people. Cochrane Database Syst Rev, 4, CD004963.
Gillespie, L.D., Gillespie, W.J., Robertson, M.C., Lamb, S.E., Cumming, R.G., & Rowe, B.H. (2009). Interventions for preventing falls in elderly people. The Cochrane Library 2009, Issue 1
Jimmy. (2008). Perawatan Lanjut Usia yang mengalami Gangguan. Diakses dari http://jimmy74.wordpress.com, tanggal 26 Februari 2009.
Fefendi. (2008). Latihan Keseimbangan Postural pada Lansia. Diakses dari
64
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
Probosuseno. (2006). Mengapa Lansia sering tiba-tiba Roboh?. Diakses dari http://www.litbang.depkes.go.id/aktu al/kliping/lansia280506.htm., tanggal 1 Desember 2014).
Kane, R.L., Ouslander, J.G., & Abrass, I.B. (1989). Essentials of Clinical Geriatrics. (2nd Edition). US: McGraw-Hill Langley, F.A., & Mackintosh, S.F.H. (2007). Functional balance assessment of older community dwelling adults: a systematic review of the literature. The Internet Journal of Allied Health Sciences and Practice, Vol. 5
Pudjiastuti, S.S., & Utomo, B. (2003). Fisioterapi pada Lansia. Jakarta: EGC. Puffer, J.C. (1996). Tai Chi an innovative approach to reduce falling in the elderly. Journal Watch Dermatology, July
Lueckenotte, A.G. (1997). Pengkajian Gerontologi. Alih Bahasa, Anik, M. (Edisi 2). Jakarta: EGC.
Sabri, L., & Hastono, S.P. (2006). Statistik Kesehatan. (Edisi Revisi). Jakarta: PT RajaGrafindo Persada
Lueckenotte, A.G. (2000). Gerontologic Nursing. (2nd Edition). St. Louis, Missouri: Mosby, Inc.
Sastroasmoro, S., & Ismael, S. (2002). Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis. Jakarta: Sagung Seto.
Meiner, S.E., & Lueckenotte, A.G. (2006). Gerontologic Nursing. (3rd Edition). St. Louis, Missouri: Mosby Elsevier
Setiawan. (2008). Keseimbangan dan Koordinasi. Diakses dari http://binhasyim.wordpress.com, tanggal 6 Februari 2014.
Miller, C.A. (2004). Nursing for Wellness in Older Adults. Theory and Practice. (4th Edition). Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. Nies,
Siswono. (2006). Menabung Kalsium untuk Kesehatan Tulang. Diakses dari http://www.gizi.net/cgibin/berita/fullnews, tanggal 19 Februari 2009
M.A., & McEwen, M. (2007). Community/ Public Health Nursing: Promoting the Health of Populations. St. Louis, Missouri: Saunders Elsevier.
Sherrington, C., Whitney, J.C., Lord, S.R., Herbert, R.D., Cumming, R.G., & Close, J.C.T. (2008). Effective Exercise for the Prevention of Falls: A Systematic Review and MetaAnalysis. Journal American Geriatrics Society, 56 (12): 22342243
Notoatmodjo, S. (2005). Metodologi Penelitian Kesehatan. (Edisi Revisi). Jakarta: Penerbit Rineka Cipta. Nugroho, W. (2000). Keperawatan Gerontik. (Edisi 2). Jakarta: EGC. Ozcan, A., Donat, H., Gelecek, N., Ozdirenc, M., & Karadibak, D. (2005). The relationship between risk factors for falling and the quality of life in older adults. BMC Public Health, 5, 9
Soepardi, E.A., & Iskandar, N. (2001). Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
65
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
Stanley, M., & Beare, P.G. (1999). Gerontological Nursing. (2nd Edition). Philadelphia: F.A. Davis Company. Stanley, M. (2006). Buku Ajar Keperawatan Gerontik. Alih Bahasa, Nety, J., Sari, K. (Edisi 2). Jakarta: EGC. Steffen, T.M., Hacker, T. A., & Mollinger, L. (2002). Age and gender-related test performance in communitydwelling elderly people: Six Minute Walk Test, Berg Balance Scale, Timed Up & Go Test, and Gait Speeds. Journal Physical Therapy, Vol. 82, 2. Sugiyono. (2006). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Penerbit Alfabeta Supartondo, Setiati, S., & Soejono, C.H. (2003). Penatalaksanaan Pasien Geriatri dengan Pendekatan Interdisiplin. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan FKUI Tinetti, M.E. (2003). Preventing Falls in Elderly Persons. The New England Journal of Medicine, 348 Watson, R. (2003). Perawatan pada Lansia. Alih Bahasa: Musri. Jakarta: EGC.
66
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
Studi Pustaka Klasifikasi dan Deskripsi Manfaat Komponen Air Susu Ibu: Meningkatkan Pengetahuan dan Peran Ibu Menyusui Titin Aryani1, Agil Dhiemitra Aulia2, Andri Nur Sholihah3 1
Universitas ‘Aisyiyah Yogyakarta, D IV Analis Kesehatan, Fakultas Ilmu Kesehatan 2 Universitas ‘Aisyiyah Yogyakarta, S1 Fisioterapi, Fakultas Ilmu Kesehatan 3 Universitas ‘Aisyiyah Yogyakarta, D IV Bidan Pendidik, Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas ‘Aisyiyah Yogyakarta Yogyakarta, Indonesia
[email protected]
Abstrak–Generasi yang unggul dan berkemajuan dimulai dari pembentukan generasi yang sehat dan cerdas sejak dini, baik melalui pemberian asupan makanan sehat bergizi, pendidikan, mapun lingkungan yang berkualitas. Pemberian Air Susu Ibu telah banyak menjadi pilihan para ibu menyusui sebagai upaya pemberian makanan sehat bergizi untuk bayi. Meskipun demikian, pengetahuan mengenai komponen air susu ibu secara lebih rinci, baik melalui studi pustaka maupun penelitian masih kurang memadai. Padahal, pengetahuan mengenai komponen air susu ibu diharapkan dapat memberikan pengetahuan, memotivasi dan meningkatkan peran ibu menyusui mengingat banyaknya komponen bermanfaat yang terdapat dalam air susu ibu. Hal inilah yang menjadi latar belakang perlunyamembahassecara rinci klasifikasi dan deskripsi komponen bermanfaat yang terdapat dalam air susu ibu. Tujuan penelitian ini adalah mampumengklasifikasikan dan mendeskripsikan komponen bermanfaat dalam air susu ibu. Metode penelitian ini menggunakan metode library research. Hasil penelitian studi pustaka menunjukkan bahwa air susu ibu diklasifikasikan menjadilima komponen yaitu komponen zat gizi, komponen pendukung sistem imun, komponen hormonal, komponen pendukung kecerdasan otak, dan komponen protektif.
I. PENDAHULUAN
Kecerdasan dan kesehatan yang dibentuk sejak dini, diharapkan akan mencetak generasi yang unggul dan berkemajuan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi di masa depan sehingga dapat berkontribusi dalam meningkatkan daya saing bangsa di ranah internasional. Penyiapangenerasiyang berkualitasdimulai dari peran keluarga, seperti halnya ibu. Ibu menyusui merupakan tokoh penting dalam upaya penyiapangenerasi berkualitas sejak dini melalui program ASI Ekslusif. World Health Organization (WHO), United Nations Childtren’s Fund (UNICEF) dan Departemen Kesehatan Republik Indonesia melalui SKMenteri Kesehatan No.450/Menkes./SK/IV/2004 telah menetapkan rekomendasi pemberian ASI eksklusif selama 0 sampai 6 bulan. Dalam rekomendasi tersebut, dijelaskan bahwa untuk mencapai pertumbuhan, perkembangan dan kesehatan yang optimal, bayi usia 0 sampai 6 bulan pertama harus diberi ASI eksklusif. Selanjutnya demi tercukupinya nutrisi bayi, maka ibu akan mulai memberikan makanan pendamping ASI dan ASI dapat dilanjutkan hingga bayi berusia sampai 2 tahun1. Berdasarkan profil data kesehatan Indonesia tahun 2011 menunjukkan pemberian ASI eksklusif di Indonesia masih sangat
Kata Kunci : Air Susu Ibu, Generasi, Sehat, Cerdas,
1
SK Menkes 2004 No.450/Menkes./SK/IV/2004
67
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
rendah, persentase bayi yang menyusu eksklusif 0 sampai 6 bulan hanya 61,5%. Hal ini disebabkan kesadaranmasyarakat dalam mendorong peningkatan pemberian ASI eksklusif masih relatif rendah.2 Upaya untuk mendorong peningkatan pemberian ASI eksklusif telah banyak dilakukan, baik melalui penyuluhan, media informatif, dan sebagainya. Akan tetapi, semua itu tidak akan bisa berhasil tanpa kesadaran yang tinggi dari para ibu menyusui untuk mensukseskan program ASI eksklusif. Informasi yang memuat pengetahuan menarik tentang air susu ibu dapat menjadi pilihan untuk memotivasi ibu menyusui sehingga diharapkan dapat meningkatkan kesadaran ibu menyusui agar bisa mensukseskan program ASI Eksklusif dan dilanjutkan hingga bayi berusia dua tahun. Pengetahuan mengenai komponen bermanfaat yang terdapat dalam air susu ibu diharapkan dapat memotivasi para ibu menyusui mengingat banyaknya komponen bermanfaat dalam air susu ibu. Meskipun demikian, pengetahuan mengenai komponen air susu ibu khususnya yang membahas menurut klasifikasi dan deskripsi air susu ibusecara lebih rinci, baik melalui studi pustaka maupun penelitian dinilai masih kurang memadai. Sebagian besar sumber yang memuat pengetahuan mengenai komponen air susu ibu belum terklasifikasi secara rinci, sehingga timbul multitafsir bagi pembacanya. Berdasarkanuraiandiatas, latar belakang penelitian iniadalah “perlunya memberikan pengetahuan, memotivasi dan meningkatkan peran ibu menyusui dengan cara memberikan pengetahuan mengenai klasifikasi dan deskripsi komponen bermanfaat yang terdapat dalam air susu ibu’. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah“Bagaimanakahklasifikasi dan deskripsi komponen air susuibu?”. Adapun tujuan penelitian adalah “Mampu mengklasifikasikan dan mendeskripsikan komponen bermanfaat yang terdapat dalam air
susu ibu”.Manfaatdaripenelitianiniadalahmemberika n pengetahuan kepada masyarakat tentang klasifikasi dan deskripsi komponen bermanfaat yang terdapat dalam air susu ibu, sehingga dapat meningkatkan peran ibu menyusui dalam penyiapan generasi bangsa yang unggul dan berkemajuan. II. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan atau Library Research, maka penelitian ini dilakukan di perpustakaan Universitas Aisyiyah Yogyakarta, dan di tempat tinggal peneliti. Sedangkan waktu untuk melakukan penelitian ini adalah pada tanggal 1 Juni-12 Juli 2016. B. Jenis, Pendekatan, dan Spesifikasi Penelitian Jenispenelitian yang digunakandalampenelitianiniadalahpenelitianku alitatif, yakni penelitian yang menghasilkan penemuan-penemuan yang tidakdapat dicapai dengan cara atau prosedur statistik.Pendekatan penelitianmenggunakan pendekatan analisis wacana. Analisis wacana penelitian ini digunakan untuk memperoleh data mengenai komponen bermanfaat yang terdapat dalam air susu ibu. Kemudian dilakukan metode analisisindeksikalitas yaitu, mengelompokkan tiap-tiap materi kedalam kategori-kategoriyang telah ditentukan, yang kemudian hasil analisis disajikan dalambentuk deskriptif, sehingga penelitian ini secara spesifik dapat disebut sebagaipenelitian deskriptif kualitatif. C. Definisi Operasional dan Prosedur Penelitian Penelitian yang diteliti adalah teks, maka dalam hal ini penelitian menggunakan pendekatananalisis wacana dalam menganalisis data yang ada, guna mengetahui materi yang relevan dengan komponen yang terdapat dalam air susu ibu. Prosedur penelitian ini adalah;
2
Kemenkes RI. 2012. Profil Data Kesehatan Indonesia Tahun 2011. Jakarta: KementrianKesehatanRepublik Indonesia
68
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
1. Mengumpulkan pustaka (artikel, jurnal, buku, dan sebagainya) yang membahas komponen air susu ibu. 2. Memberikan klasifikasi terhadap komponen bermanfaat yang terdapat dalam air susu ibu. 3. Memasukkan sub bagian komponen air susu ibu kedalam klasifikasi yang sesuai. 4. Memberikan deskripsi terhadap berbagai klasifikasi dan sub bagiannya. D. Jenis dan Sumber Data Penelitian ini menggunakan jenis data sekunder yaitu data mengenai komponen air susu ibu, serta data pendukung ataulainnya yang dalam hal ini digunakan untuk memperoleh landasan teori mengenai komponen air susu ibu. E. Teknik Pengumpulan Data Dalam pengumpulan data ini, penulis menggunakan metode penelitianLibrary research.Library research adalah suatu riset kepustakaan.Pendekatan ini digunakan untuk memperoleh data yang bersifat teoritis sebagai landasan teoriilmiah, yakni dengan cara memilih dan menganalisa literatur-literatur yang relevandengan judul penelitian.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Komposisi ASI menurut Proverawati, Air SusuIbu (ASI) diproduksi secara alami oleh ibu dan sebagai nutrisi dasarterlengkap untuk bayi selama beberapa bulan pertama hidup sang bayi.3ASI dibedakan menjadi 3 kelompok dan tahap secara terpisah yaitu : a. Kolostrum Kolostrum adalah cairan yang dihasilkan oleh kelenjarpayudara setelah melahirkan (2-4 hari) yang berbeda karakteristikfisik dan komposisinya dengan ASI matang dengan volume 150-300 ml/hari. Berwarna kuning keemasan atau krem (creamy).Lebih kental dibandingkan dengan cairan susu tahap berikutnya.Kolostrum mempunyai kandungan
3
Proverawati, 2010.KapitaSelekta ASI &Menyusui.PenerbitNuhaMedika: Yogyakarta.
69
yang tinggi protein, vitaminyang terlarut dalam lemak, mineral-mineral dan imunoglobulin. b. Transitional milk (ASI peralihan) ASI peralihan adalah ASI yang dihasilkan setelahkolostrum (8-20 hari) dimana kadar lemak, laktosa, dan vitaminlarut air lebih tinggi dan kadar protein, mineral lebih rendah, sertamengandung lebih banyak kalori daripada kolostrum. c. Mature milk (ASI matang) ASI matang adalah ASI yang dihasilkan 21 hari setelahmelahirkan dengan volume bervariasi yaitu 300-850 ml/haritergantung pada besarnya stimulasi saat laktasi. 90% adalah air yang diperlukan untuk memelihara hidrasi bayi. Sedangkan 10%kandungannya adalah karbohidrat, protein dan lemak yangdiperlukan untuk kebutuhan hidup dan perkembangan bayi. 1) Foremilk Jenis ini dihasilkan selama awal menyusui danmengandung air, vitamin-vitamin dan protein. 2) Hind-milk Jenis ini dihasilkan setelah pemberian awal saatmenyusui dan mengandung lemak tingkat tinggi dan sangatdiperlukan untuk pertambahan berat bayi. Berdasarkan studi pustaka dari berbagai sumber, komponen bermanfaat yang terdapat dalam air susu ibudalam penelitian ini dikategorikan menjadi lima golongan, yaitu; 1. Komponen Zat Gizi Komponen zat gizi pada air susu ibu dibagi menjadi dua golongan, yaitu; a. Komponen zat gizi makro Zat gizi makro adalah zat gizi yang dibutuhkan dalam jumlah banyak oleh makhluk hidup. a) Lemak Sumber kalori utama dalam ASI adalah lemak. Sekitar50% kalori ASI berasal dari lemak. Kadar lemak dalam ASI 3,5-4,5%. Walaupun kadar lemak dalam ASI tinggi, tetapi mudahdiserap oleh bayi oleh karena trigliserida dalam ASI lebih duludipecah menjadi asam
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
lemak dan gliserol oleh enzim lipase yangterdapat dalam ASI. b) Karbohidrat Karbohidrat utama dalam ASI adalah laktosa, yangkadarnya paling tinggi dibanding susu mamalia lain (7g%).Laktosa mudah diurai menjadi glukosa dan galaktosa. Denganbantuan enzim lactase yang sudah ada dalam mukosa saluranpencernaan sejak lahir. Laktosa mempunyai manfaat lain, yaitumempertinggi absorbsi kalsium dan juga merangsangpertumbuhan Laktobasillis bifidus. c) Protein Protein dalam susu adalah kasein dan whey. Kadar protein ASI adalah whey 0,9%,60% diantaranya adalah whey, yang lebihmudah dicerna dibanding kasein (protein utama susu sapi). b. Komponen zat gizi mikro Zat gizi mikro adalah komponen zat gizi yang dibutuhkan dalam jumlah sedikit oleh makhluk hidup 1) Garam dan Mineral Ginjal neonatus belum dapat mengkonsentrasikan airkemih dengan baik, sehingga diperlukan susu dengan kadar garam dan mineral yang rendah. ASI mengandung kadar garam danmineral lebih rendah dibanding susu sapi. Bayi yang mendapatsusu sapi atau susu formula dapat menderita tetani (otot kejang).Karena hipokalsemia kadar kalsium dalam susu sapi lebih tinggidibanding ASI, tetapi kadar fosfornya jauh lebih tinggi, sehinggamengganggu penyerapan kalsium dan juga magnesium. 2) Vitamin ASI cukup mengandung vitamin yang diperlukan bayi.Vitamain K yang berfungsi sebagai katalisator pada prosespembekuan darah terdapat dalam ASI dengan jumlah yang cukupdan mudah diserap.4
keutuhan tubuh sebagai perlindungan terhadap bahaya yang dapat ditimbulkan oleh berbagai bahan dalam lingkungannya. Sistem imun terbagi menjadi sistem imun spesifik dan non spesifik. Sistem imun spesifik terdiri dari sistem humoral (limfosit B), selular (limfosit T), sistem limfoid primer, sistem limfoid sekunder (limpa, kelenjar limfe dan sistem imun mukosa). Sistem imun non spesifik terdiri dari yang bersifat fisik/mekanik (kulit, selaput lendir, silia, batuk, bersin), yang larut (asam lambung, lisosim, laktoferin, asam neuraminik, komplemen, interferon, CRP) dan selular (monosit, makrofag, neutrofil, eosinofil, sel NK, sel K, basofil, mastosit, trombosit).5 Air susu ibu (ASI) memiliki sistim pertahanan (sistem imun) tidak spesifik dan spesifik. Apabila kuman/zat asing yang masuk tidak dapat ditangkal oleh sistem kekebalan tubuh tidak spesifik, maka diperlukan sistem kekebalan dengan tingkat yang lebih tinggi atau sistem kekebalan spesifik. Kekebalan tubuh tidak spesifik adalah sistem kekebalan tubuh yang ditujukan untuk menangkal masuknya berbagai zat asing dari luar tubuh yang dapat menimbulkan kerusakan/penyakit, seperti bakteri, virus, parasit atau zat berbahaya lainnya. 1) Pertahanan tidak spesifik ASI Di dalam ASI terdapat banyak sel, terutama pada minggu-minggu pertama menyusui. Kolostrum dan ASI dini mengandung 1-3 juta sel darah putih (leukosit) per ml. Pada ASI matur, yaitu ASI setelah 2-3 bulan menyusui, jumlah sel ini menurun menjadi 1000 sel per ml yang terdiri dari monosit/makrofag (59-63%), sel neutrofil (18-23%), dan sel limfosit (7-13%) ASI juga mengandung faktor pelindung (protektif) yang larut dalam ASI seperti enzim lisozim, laktoferin (sebagai pengikat zat besi), sitokin (zat yang dihasilkan oleh sel kekebalan untuk mempengaruhi fungsi sel lain), dan protein yang dapat mengikat vitamin B12, faktor bifidus, enzim-enzim, dan antioksidan.
2. Komponen Sistem Imun Sistem imun adalah semua mekanisme yang digunakan tubuh untuk mempertahankan 4
5
Suradi R, dkk. 2003. BahanBacaanManajemenLaktasi. Jakarta: PerkumpulanPerinatalogi Indonesia
https://asilaktasi.com/2015/03/28/9040/diakses tanggal 11 Juli 2016
70
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
a. Sel makrofag Sel makrofag ASI merupakan sel fagosit (pemusnah bakteri) aktif sehingga dapat menghambat pertumbuhan bakteri patogen pada saluran cerna. Selain sifat pemusnah, sel makrofag juga memproduksi enzim lisozim, zat komplemen (komponen cairan tubuh yang berperan dalam perusakan bakteri), laktoferin, sitokin, serta enzim lainnya. Makrofag pada ASI dapat mencegah infeksi saluran cerna melalui enzim yang diproduksinya. b. Sel neutrofil Neutrofil yang terdapat di dalam ASI mengandung sIgA yang dianggap sebagai alat transpor IgA dari ibu ke bayi. Peran neutrofil ASI lebih ditujukan pada pertahanan jaringan payudara ibu agar tidak terjadi infeksi pada permulaan laktasi. c. Lisozim Lisozim dapat menghancurkan dinding sel bakteri yang terdapat pada selaput lendir saluran cerna. Kadar lisozim dalam ASI adalah 0,1 mg/ml yang bertahan sampai tahun kedua menyusui, bahkan sampai penyapihan. Dibanding dengan susu sapi, ASI mengandung 300 kali lebih banyak lisozim per satuan volume yang sama.6 d. Komplemen Komplemen adalah protein yang berfungsi sebagai penanda sehingga bakteri yang ditempel oleh komplemen dapat dengan mudah dikenal oleh sel pemusnah. Disamping itu, komplomen sendiri secara langsung dapat menghancurkan bakteri. e. Sitokin Sitokin meningkatkan jumlah antibodi IgA kelenjar ASI. Sitokin yang berperan dalam sistim imun di dalam ASI adalah IL-l (interleukin-1) yang berfungsi mengaktifkan sel limfosit T. Sel makrofag juga menghasilkan TNF-α dan interleukin 6 (IL-6) yang mengaktifkan sel limfosit B sehingga antibodi IgA meningkat.
f. Laktoferin Laktoferin bersifat bakteriostatik (menghambat pertumbuhan bakteri). Efek ini dicapai dengan mengikat besi yang dibutuhkan untuk pertumbuhan sebagian besar bakteri patogen (misalnya Staphylococcus dan E. Coli). Kadar laktoferin dalam ASI adalah 1-6 mg/ml dan tertinggi pada kolostrum. g. Peroksidase Peroksidase adalah enzim yang dapat menghancurkan kuman patogen. Berbeda dengan susu sapi, ASI tidak mengandung laktoperoksidase yang dapat menyebabkan reaksi peradangan di dinding usus bayi, kalaupun ada kadarnya kecil. 2) Pertahanan spesifik ASI Mekanisme pertahanan spesifik oleh ASI diperantarai oleh limfosit T dan antibodi. a. Limfosit T Sel limfosit T merupakan 80% dari sel limfosit yang terdapat dalam ASI. Sel limfosit T dapat menghancurkan kapsul bakteri E. Coli dan mentransfer kekebalan selular dari ibu ke bayi yang disusuinya. b.Imunoglobulin (antibodi) Imunoglobulin dihasilkan oleh Sel limfosit B. Sel limfosit B terutama memproduksi sekretori IgA (sIgA) yang berfungsi melindungi IgA dari enzim penghancur protein (tripsin, pepsin) di saluran cerna bayi dan keasaman lambung. Imunoglobulin M (IgM) akan ditransfer pada awal kehidupan bayi sebagai perlindungan terhadap E.coli dan polio, bila ibu sudah pernah terpajan sebelumnya. Imunoglobulin G IgG) dimiliki oleh bayi dari transfer melalui plasenta. Imunoglobulin D hanya sedikit sekali ditemukan dalam ASI, sedangkan IgE tidak ada. Kadar sIgA, IgG, dan IgM, tidak dipengarui oleh usia ibu, jumlah anak yang pernah dilahirkan, dan usia kehamilan. Imunoglobulin di dalam ASI tidak diserap oleh bayi tetapi berperan memperkuat sistim imun lokal saluran cerna. Limfosit B pada saluran cerna ibu diaktifkan oleh bakteri pada saluran cernanya, selanjutnya limfosit aktif ini bermigrasi ke kelenjar payudara menjadi sel plasma dan menghasilkan antibodi. Selain itu,
6
Mataram I.K.A. (2011). AspekImunologi Air SusuIbu.JurnalIlmuGizi. vol(no):2(1). 1 Februari 2011.
71
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
beberapa kajian juga memperlihatkan kandungan antibodi terhadap jamur dan parasit pada ASI. Air susu ibu juga dilaporkan dapat meningkatkan jumlah sIgA pada saluran napas dan kelenjar ludah bayi usia 4 hari. Hal ini dibuktikan dengan lebih rendahnya kejadian penyakit radang telinga tengah, pneumonia, penyebaran bakteri ke bagian tubuh lainnya, meningitis (radang selaput otak), dan infeksi saluran kemih pada bayi yang mendapat ASI dibanding bayi yang mendapat susu formula. Fakta ini lebih nyata pada 6 bulan pertama dan dapat terlihat sampai tahun kedua. Demikian pula angka kematian bayi yang mendapat ASI lebih rendah dibanding bayi yang mendapat susu formula. c. IgA Sekretori (sIgA) Imunoglobulin A banyak ditemukan pada permukaan saluran cerna dan saluran napas. Dua molekul imunoglobulin A bergabung komponen sekretori membentuk IgA sekretori (sIgA). Fungsi utama sIgA adalah mencegah melekatnya kuman patogen pada dinding saluran cerna dan menghambat perkembangbiakan kuman di dalam saluran cerna. IgA sekretori di dalam ASI dilaporkan memiliki aktivitas antibodi terhadap virus (polio, Rotavirus, echo, coxsackie, influenza, Haemophilus influenzae, virus respiratori sinsisial/RSV), bakteri (Streptococcus pneumoniae; E. coli, klebsiela, shigela, salmonela, campylobacter), dan enterotoksin yang dikeluarkan oleh Vibrio cholerae, E. coli serta Giardia lamblia. Begitu pula terhadap protein makanan seperti susu sapi dan kedelai (bergantung pada pajanan ibunya). Oleh karena itu, ASI dapat mengurangi angka kesakitan infeksi saluran cerna dan saluran pernapasan bagian atas. d. Kolostrum Kolostrum mengandung sIgA dengan kadar sampai 5000 mg/dL yang cukup untuk melapisi permukaan saluran cerna bayi terhadap berbagai bakteri patogen dan virus. Begitu pula dengan antibodi lainnya, paling banyak terdapat dalam kolostrum. Selain itu, terdapat lebih dari 50 proses pendukung perkembangan imunitas
termasuk faktor pertumbuhan dan perbaikan jaringan. Perbedaan usia ibu mempunyai pengaruh terhadap kadar antibodi yang terkandung dalam kolostrum. Ibu yang masih remaja, kolostrumnya memiliki kadar IgA dan IgM sekretorik lebih banyak dibanding ibu yang usianya lebih tua. Adanya kadar antibodi yang masih tinggi terhadap virus polio dalam kolostrum perlu dipertimbangkan pada pemberian imunisasi polio per oral. Pada keadaan ini sebaiknya ASI tidak diberikan 2 jam sebelum dan sesudah pemberian vaksin polio per oral pertama, agar tidak terjadi netralisasi vaksin polio oleh sIgA kolostrum. 3. Komponen Hormonal Selain kandungan nutrisi ASI mengandung hormon dan faktor pertumbuhan (growth factor) yang merupakan komponen bioaktif protein. Komponen tersebut berfungsi terutama untuk meningkatkan kemampuan adaptasi saluran cerna setelah bayi lahir dengan cara merangsang pertumbuhan sel saluran cerna, pematangan sistem saluran cerna, pembentukan koloni kuman baik, dan perkembangan jaringan limfoid saluran cerna. Faktor pertumbuhan yang terdapat dalam ASI antara lain IGF-1, EGF, TGF- a dan –b. Leptin dan adiponektin Leptin merupakan hormon pengatur nafsu makan/asupan makanan dan metabolisme energi. Pada kegemukan ditemukan kekurangan leptin atau resistensi terhadap kerja leptin. Casabiele dkk. (1977) pertama kali membuktikan adanya leptin ini dalam ASI. Meskipun makna keberadaan leptin dalam ASI belum banyak diteliti, namun Mirales dkk. (2006) mengungkapkan bahwa kadar leptin dalam ASI selama periode menyusui berbanding lurus dengan kadar leptin dalam darah ibu dan indeks massa tubuh ibu. Peran leptin dalam ASI adalah pada asupan makanan. Hal ini dapat menerangkan mengapa berat badan bayi yang mendapatkan ASI lebih ringan dibanding bayi yang mendapat susu formula. Pada keadaan resistensi terhadap kerja leptin, kadar leptin tidak kurang tetapi leptin
72
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
tidak dapat bekerja dengan baik. Makin banyak bayi mendapat ASI maka makin kecil kemungkinan si bayi mengalami kegemukan di kemudianhari.7 Selain leptin, ASI juga mengandung adiponektin yang berfungsi mencegah terjadinya penebalan pembuluh darah (aterosklerosis) dan radang. Diperkirakan kedua hormon ini akan dapat mengurangi risiko anak dari penyakit kardiovaskular di kemudian hari. Seperti diketahui, obesitas pada usia dini dapat merupakan faktor risiko kelainan kardiovaskular (hipertensi, penyakit jantung koroner) pada usia dewasa.
3) Gangliosida Gangliosida merupakan salah satu komponen dari membran sel manusia, terutama membran sel saraf dan otak. Untuk mendapat asupan nutrisi gangliosida optimal, bayi memang sebaiknya mendapat gangliosida dari ASI. Dalam ASI, ada dua jenis gangliosida yaitu, GD3 (disialogangliosides 3) dan GM3 (monosialogangliosides 3). Gangliosida banyak terdapat pada air susu ibu pada enam minggu pertama masa menyusui. Pada awal menyusui, ASI yang memancar didominasi GD3. Saat proses menyusui hampir usai, GM3 mendominasi. Kadar GD3 pada ASI adalah 2-8 mcg/ml. Sedangkan GM3 mencapai 2-14 mcg/ml.9 4) Kolesterol Komponen lain yang sangat dibutuhkan untuk tumbuh kembang optimal bayi adalah kolesterol. Bagi orang dewasa, makanan dengan label ‘rendah kolesterol’ dinilai lebih sehat untuk dikonsumsi, namun bagi bayi, mereka membutuhkan komponen kolesterol dalam jumlah tertentu yang diperlukan dalam pembentukan jaringan syaraf yang salah satunya terdapat pada otak bayi.
4. Komponen Pendukung Kecerdasan Otak 1) Asam amino sistin dan taurin Selain mudah dicerna, dalam ASI terdapat asam amino yang tidak terdapat dalam susu sapi yaitu sistin dan taurin. sistin diperlukan untuk pertumbuhan somatik, sedangkan taurin untuk pertumbuhan otak. Selain dari ASI, sebenarnya sistin dan taurin dapat diperoleh dari penguraian tirosin, tetapi pada bayi baru lahir enzim pengurai tirosin ini belum ada. 2) DHA Komponen ini sering diasosiasikan dengan tingkat kecerdasan anak. DHA (docasahexaenoic acid) adalah salah satu bentuk asam lemak omega-3 yang berperan vital dalam pertumbuhan dan perkembangan jaringan pada organ otak. Penelitian mengungkap bahwa dalam otak mereka yang mendapatkan ASI ekslusif memiliki kadar DHA yang lebih tinggi dibanding mereka yang mengkonsumsi susu formula, dan kadar DHA dalam otak berbanding lurus dengan lamanya menyusui si kecil(http://balitapedia.com/3komponen-ajaib-dalam-asi-untuk-kecerdasananak/3366). Dalam penelitian Aryani et al (2015) terbukti terdapat asam lemak omega-3 dalam air susu ibu.8
5. Komponen Protektif ASI mengandung protein yang dapat mengikat vitamin B12 sehingga dapat mengontrol pertumbuhan mikroorganisme di dalam saluran cerna. Makin banyak vitamin B12 yang diikat oleh protein mengakibatkan makin sedikit vitamin B12 yang digunakan oleh bakteri patogen. Air susu ibu juga mengandung glikoprotein (gabungan karbohidrat dan protein), glikolipid (karbohidrat dan lemak), dan oligosakarida yang berfungsi menyerupai bakteri pada permukaan mukosa saluran cerna bayi, sehingga dapat menghambat perlekatan bakteri patogen. pada mukosa saluran cerna. Gabungan makronutrien ini juga berfungsi mengikat racun kuman (toksin). Antioksidan dalam ASI, seperti tokoferol-α dan karotin-β merupakan faktor anti peradangan. Di dalam
7
http://www.idai.or.id/artikel/klinik/asi/aspek-hormonalair-susu-ibu. Diaksestanggal 11 Juli 2016 8 Aryani T, et al. (2015). PengaruhSuhudan Lama PenyimpananterhadapKerusakanAsamLemak Omega-3 Pada Air SusuIbu.LaporanHasilPenelitian. Kopertis Wilayah V: Yogyakarta
9
http://dechacare.com/ASI-untuk-Kecerdasan-AnakAnda-I599-1.html. Diaksestanggal 11 Juli 2016.
73
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
ASI juga terdapat faktor ketahanan terhadap infeksi stafilokokus (faktor antistafilokok) dan komponen yang menyerupai gangliosida yang dapat menghambat bakteri E. Coli. Hasil penelitian Aryani et al menyebutkan bahwa didalam ASI terdapatasamlaurat dengan kadar rata-rata 26,85% dari total asam lemak ASI.10Asamlaurat di dalamtubuhakandiubahmenjadimonolaurin. Hasilpenelitian yang telahdilakukanmenunjukkanbahwamonolaurinb ersifat antivirus, antibakteridanantijamur.Menurut Bruce Fife asam laurat mempunyai beberapa manfaat. Manfaat tersebut antara lain: 1) mengurangi resiko aterosklerosis dan penyakit yang terkait, 2) menurunkan resiko kanker dan penyakit degeneratif lainnya, 3) membantu mencegah infeksi virus, 4) mensupport sistem kekebalan tubuh, 5) membantu mencegah osteoporosis, 6) membantu mengontrol diabetes, 7) memulihkan kembali (kehilangan) berat badan, 8) menyediakan sumber energi yang cepat, 9) menyediakan sedikit kalori dibandingkan dengan lemak lain, 10) menyediakan nutrisi penting untuk kesehatan, 11) memperbaiki sistem pencernaan dan penyerapan nutrisi, 12) membantu kulit tetap lembut dan halus, 13) membantu mencegah kanker kulit, 14) tidak mengandung kolestrol, 15) tidak menaikkan kolestrol darah, dan 16) tidak menyebabkan kegemukan.11 Asam laurat yang memiliki 12 atom karbon pada trigliseridanya termasuk dalam kelompok Medium Chain Fatty Acid (MCFA) atau ALRM. ALRM memiliki 6 sampai 12 atom karbon (Marten, et. al., 2006). Keunggulan ALRM dalam proses pencernaan dibanding asam lemak tak jenuh yaitu lebih
cepat proses metabolismenya dan diserap oleh usus.12 Asam laurat memiliki aktivitas antioksidan yang tinggi dan terbukti dapat menghambat pertumbuhan bakteri patogen Listeria monocytogenes.13
10
12
IV. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa air susu ibu diklasifikasikan menjadi lima bagian penting yaitu, komponen zat gizi, komponen pendukung sistem imun, komponen hormonal, komponen pendukung kecerdasan otak, dan komponen protektif.
DAFTAR PUSTAKA
Aryani T, et al. (2015). Pengaruh Suhu dan Lama Penyimpanan terhadap Kerusakan Asam Lemak Omega-3 Pada Air Susu Ibu. Laporan Hasil Penelitian. Kopertis Wilayah V: Yogyakarta. Aryani T, et al. (2016). Identifikasi Kadar Asam Laurat pada Air Susu Ibu dan Susu Formula bayi usia 0-6 bulan. Laporan Hasil Penelitian. Universitas ‘Aisyiyah: Yogyakarta. Fife, B. (2003). The Healing Miracle of Coconut Oil. Download 7 Februari 2011. Mary Shomon, Editor/Webmaster. Kemenkes RI. (2012). Profil Data Kesehatan Indonesia Tahun 2011. Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia Marten, B., Pfeuffer, M. dan Schrezenmeir, J. (2006). Medium-chain triglycerides :
Aryani T, et al. (2016). Identifikasi Kadar Asam Laurat pada Air Susu Ibu dan Susu Formula bayi usia 0-6 bulan. Laporan Hasil Penelitian. Universitas ‘Aisyiyah: Yogyakarta. 11 Fife, B. (2003). The Healing Miracle of Coconut Oil. Download 7 Februari 2011. Mary Shomon, Editor/Webmaster.
Marten, B., Pfeuffer, M. danSchrezenmeir, J. (2006). Medium-chain triglycerides : Review. International Dairy Journal.16: 1374-1382. 13 Wang, L.L. dan Johnson, E.A. (1992).Inhibition of Listeria monocytogenes by fatty acids and monoglycerides. Applied and Envioronmental Microbiology. 58: 624-629.
74
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
Review. International Dairy Journal.16: 1374-1382. Mataram, I.K.A. (2011). Aspek Imunologi Air Susu Ibu. Jurnal Ilmu Gizi. vol(no):2(1). 1 Februari 2011. Proverawati.(2010). Kapita Selekta ASI & Menyusui. Penerbit Nuha Medika: Yogyakarta. Suradi R, dkk. (2003). Bahan Bacaan Manajemen Laktasi. Jakarta: Perkumpulan Perinatalogi Indonesia Surat Keputusan Menteri Kesehatan. (2004). No.450/Menkes./SK/IV/2004. Wang, L.L. dan Johnson, E.A. (1992). Inhibition of Listeria monocytogenes by fatty acids and monoglycerides. Applied and Envioronmental Microbiology. 58: 624-629. https://asilaktasi.com/2015/03/28/9040. Diakses tanggal 11 Juli 2016. http://www.idai.or.id/artikel/klinik/asi/aspekhormonal-air-susu-ibu. Diakses tanggal 11 Juli 2016. http://www.idai.or.id/artikel/klinik/asi/air-susuibu-dan-kekebalan-tubuh. Diakses tanggal 11 Juli 2016. http://balitapedia.com/3-komponen-ajaibdalam-asi-untuk-kecerdasananak/3366)\. Diakses tanggal 11 Juli 2016. http://dechacare.com/ASI-untuk-KecerdasanAnak-Anda-I599-1.html.
Diakses
tanggal 11 Juli 2016.
75
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
MANFAAT SENAM NIFAS PADA PROSES INVOLUSIO UTERUS POSTPARTUM Yuni Purwati Program Studi Ilmu Keperawatan, Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas ‘Aisyiyah Yogyakarta Yogyakarta, Indonesia email:
[email protected]
Abstrak --- Proses involusi baik jika kontraksi uterus kuat sehingga harus dilakukan upaya untuk memperbaiki melalui senam nifas. Tujuan penelitian dapat diaplikasikan senam nifas untuk mempercepat proses involusio uteri pada ibu nifas di RSU PKU Muhammadiyah Bantul. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen dengan posttest only design. Sampel dipilih dengan purposive sampling sejumlah 40 subyek, 20 orang sebagai responden kelompok eksperimen dan 20 orang sebagai responden kelompok kontrol. Alat mengumpulkan data dengan lembar observasi hasil pengukuran tinggi fundus uteri dan kontraksi rahim responden, analisis statistik dengan independent saples ttest. Hasil analisis statistik dengan independent samples t test menunjukkan nilai signifikansi 0,000 < α=0,05, sehingga senam nifas bermanfaat secara efektif dalam mempercepat involusio uteri di RSU PKU Muhammadiyah Bantul. Saran utama bagi tenaga kesehatan dapat mengajarkan dan memotivasi ibu postpartum secara rutin melaksanakan senam nifas.
I. PENDAHULUAN Pembangunan kesehatan pada prinsipnya selalu diarahkan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, termasuk pembangunan di bidang kesehatan ibu dan anak. Salah satu indikator yang digunakan untuk mengukur derajat kesehatan masyarakat adalah angka kematian ibu postpartum dan bayi. Indikator kemampuan pelayanan kesehatan suatu negara menurut WHO bisa dilihat dari angka kematian ibu selama masa perinatal, intranatal, dan postnatal. Hal ini sesuai dengan visi yang ditetapkan Perserikatan Bangsa-Bangsa dan pemerintah Indonesia. Visi Indonesia sehat 2015 mempunyai delapan sasaran (Millennium Development Goals/MDGs) MDGs yang salah satunya yaitu mengurangi angka kematian bayi dan ibu pada saat persalinan. Angka Kematian Ibu (AKI) atau Maternal Mortality Ratio (MMR) di Indonesia menurut data SDKI 2002-2003 ialah sebesar 307/100.000 kelahiran hidup. Sedangkan angka kematian ibu di Provinsi Jawa Barat masih cukup tinggi dibandingkan dengan rata-rata nasional yaitu sebesar 321,15/100.000 kelahiran hidup. Angka kematian ibu melahirkan disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya karena pendarahan. Pendarahan menjadi penyebab utama kematian ibu di Indonesia. Penyebab
Kata Kunci: Senam Nifas, Involusio Uteri
76
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
PKU Muhammadiyah Bantul, bahwa senam nifas tidak dilakukan secara rutin oleh ibu-ibu yang telah melakukan persalinan. Pertama karena setelah diajarkan oleh fisioterapi, belum bisa hafal gerakannya untuk mengulangi secara mandiri. Kedua karena bahagianya melahirkan anak yang sehat, jadi yang terpikirkan hanya bagaimana cara mengasuh anak yang baik. Ketiga karena kondisi tubuh ibu masih lemah dan untuk bangun masih terasa sakit, maka tidak terpikirkan oleh ibu untuk melakukan senam nifas. Belum ada penelitian yang dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui dampak senam nifas pada perubahan involusio uteri. Berdasarkan permasalahan tersebut, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian “Pengaruh senam nifas terhadap involusio uteri di RSU PKU Muhammadiyah Bantul 2015”. Tujuan umum penelitian ini adalah dapat diketahui pengaruh senam nifas terhadap involusio uteri pada ibu nifas di RSU PKU Muhammadiyah Bantul. Tujuan khusus penelitian ini, dapat diketahui involusio uteri pada ibu nifas yang melakukan senam nifas secara rutin di RSU PKU Muhammadiyah Bantul. Dapat diketahuinya involusio uterus pada Ibu nifas yang tidak melakukan senam nifas secara rutin di RSU PKU Muhammadiyah Bantul. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah database ilmu pengetahuan keperawatan khususnya keperawatan maternitas dalam pelaksanaan senam nifas bagi Ibu postpartum. Bagi unit pelayanan keperawatan maternitas dapat menjadikan acuan standart operasinal prosedur dalam meningkatkan pelayanan pada Ibu postpartum.
kedua ialah eklamsia lalu infeksi (Depkes RI, 2012). Upaya pencegahan perdarahan post partum dapat dilakukan semenjak persalinan kala 3 dan 4 dengan pemberian oksitosin. Hormon oksitosin ini sangat berperan dalam proses involusi uterus. Proses involusi akan berjalan dengan bagus jika kontraksi uterus kuat sehingga harus dilakukan tindakan untuk memperbaiki kontraksi uterus . Upaya untuk mengendalikan terjadinya perdarahan dari tempat plasenta dengan memperbaiki kontraksi dan retraksi serat myometrium yang kuat dengan ambulasi dini maupun latihan. Oleh karena itu upaya mempertahankan kontraksi uterus dapat dilakukan melalui senam nifas (Cuningham, 2006). Dalam penelitian Larson, dkk (2008) yang melakukan survey secara acak tentang efek senam nifas bagi ibu nifas pada 1003 Wanita Amerika mengaku setelah mengikuti program senam nifas dengan latihan yang teratur mengalami kontraksi rahim yang lebih kuat, selain itu juga mengalami penurunan pada berat badan selama enam minggu setelah melahirkan. Dan dalam studi dari 1432 ibu nifas di Swedia yang melakukan senam nifas ditemukan bahwa mayoritas 71 % wanita tersebut mengalami metabolisme tubuh yang lancar, dan pemulihan fisik yang lebih cepat.Manfaat senam nifas diantaranya adalah membantu penyembuhan rahim, perut, dan otot pinggul yang mengalami trauma serta mempercepat kembalinya bagia-bagian tersebut ke bentuk normal, membantu menormalkan sendi-sendi yang menjadi longgar akibat kehamilan dan persalinan, serta mencegah perlemahan dan peregangan lebih lanjut (Danuatmaja,et al.2008). Latihan senam nifas dapat segera dimulai 24 jam setelah melahirkan. Dari hasil wawancara peneliti terhadap 2 ibu nifas pada tanggal 23 April 2015 yang dirawat di Ruang An-nisa RSU
II. METODE PENELITIAN Rancangan penelitian menggunakan metode eksperimen (experiment research) yang merupakan kegiatan percobaan (research) dengan
77
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
tujuan untuk mengetahui suatu gejala atau pengaruh yang timbul sebagai akibat dari adanya suatu perlakuan tertentu. Rancangan eksperimen yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan Posttest Only Design. Rancangan ini menggunakan pengambilan sampel dengan menggunakan purposive sampling yaitu pengambilan sampel yang telah memenuhi syarat atau kriteria yang telah ditetapkan oleh peneliti (Sugiyono, 2009). Jumlah sampel pada penelitian ini sejumlah 40 Ibu postpartum, 20 orang sebagai responden kelompok eksperimen dan 20 orang sebagai responden kelompok kontrol. Alat yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah lembar observasi hasil pengukuran tinggi fundus uteri dan kontraksi rahim responden. Uji analisis parametris bekerja berdasarkan asumsi bahwa setiap variabel yang akan dianalisis berdasarkan distribusi normal. Sebelum uji statistik parametrik, dilakukan uji normalitas data menggunakan
kelompok pembanding, menguji perbedaan-perbedaan setelah perlakuan yang diberikan. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh Ibu postpartum normal di RSU PKU Muhammadiyah Bantul. Tehnik uji one sample kolmogov-sminorv. Hasil uji pada taraf kesalahan ߙ > 0,05 maka Ho diterima dan Ha ditolak, artinya data berdistribusi normal.Analisis data yang dilakukan untuk data tidak berpasangan yang berdistribusi normal yaitu dengan menggunakan independent sample t-test Apabila hasil uji statistik membuktikan nilai signifikansi ߙ < 0,05, dapat disimpulkan bahwa Ho ditolak dan Ha diterima. Ha : Terdapat efektifitas senam nifas terhadap perubahan mood Ibu postpartum di RSU PKU Muhammadiyah Bantul. Ho: Tidak terdapat efektifitas senam nifas terhadap perubahan mood Ibu postpartum di RSU PKU Muhammadiyah Bantul.
III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil analisis deskriptif karakteristik responden dapat digambarkan sebagai berikut: a. Usia Responden
Tabel 1. Karakteristik responden berdasarkan usia Usia Kelompok Eksperimen Kelompok Kontrol Frekuensi Persentase Frekuensi Persentase < 20 tahun 1 5% 2 10% 20-35 tahun 18 90% 14 80% ¾ 35 tahun 1 5% 2 10% Jumlah 20 100% 20 100%
Pada tabel 1. menunjukkan sebanyak 14 responden (80%) pada mayoritas berusia 20-35 tahun, sebanyak 18 kelompok kontrol. responden (90%) kelompok eksperimen dan . b. Status Paritas Tabel 2. Karakteristik responden berdasarkan status paritas Status Kelompok Eksperimen Kelompok Kontrol paritas Frekuensi Persentase Frekuensi Persentase 1 kali 10 50% 12 60% 2 kali 8 40% 5 25%
78
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
≥ 3 kali Jumlah
2 20
10% 100%
3 20
15% 100%
Pada tabel 2. menunjukkan pada kontrol sebagian besar responden dengan kelompok eksperimen paling banyak status paritas 1 kali yaitu 12 responden dengan status paritas 1 kali yaitu sebanyak (60%). 10 responden (50%). Pada kelompok c. Hasil Penelitian Involusio Uteri Tabel 3. Hasil Pengukuran Tinggi Fundus Uteri Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol. Penurunan Kelompok Eksperimen Kelompok Kontrol TFU Frekuensi Persentase Frekuensi Persentase Hari ke-2 ≥ 2 cm 12 60% 1 5% (baik) 1-2 cm 6 30% 12 60% (cukup) < 1 cm 2 10% 7 35% (buruk) Jumlah 20 100% 20 100% Tabel 3. ini menunjukkan perubahan/penurunan tinggi fundus uteri dari hari ke-0 postpartum sampai dengan hari ke-2 postpartum. Pada kelompok eksperimen setelah diberikan latihan senam nifas 1 hari 1 kali, penurunan TFU pada hari ke-2 paling banyak dalam kategori baik,
yaitu menurun 2 cm atau lebih sebanyak 12 responden (60%). Pada kelompok kontrol dengan diberikan panduan senam nifas saja secara tertulis, sebagian besar 12 respondenn (60%) dalam kategori cukup dengan penurunan 1-2 cm.
d. Hasil Analisis Statistik Tabel .4. Hasil Analisis Statistik Independent Samples T-Test
Hasil
TFU
t
df
4.000
38
Sig. (2tailed) 0.000
Mean Difference 0.8000
Berdasarkan kecenderungan hasil tabulasi silang pada tabel 4, dibuktikan dengan hasil analisis statistik independent samples t-test, didapatkan hasil t hitung 4,000 lebih besar dari t tabel dengan taraf siginifikansi 0,000 lebih kecil dari α = 0,05. Berdasarkan hasil tersebut disimpulkan bahwa Ho ditolak dan Ha diterima, artinya bahwa dengan latihan senam nifas yang diberikan setiap hari bermanfaat secara
St. error 0.2000
95% CI Lower
0.3951
Upper 1.204 9
signifikan dalam mempercepat proses involusio uteri ibu postpartum. Salah satu cara agar kontraksi tetap baik sampai akhir nifas adalah mobilisasi dan gerakan sederhana seperti senam nifas. Karena dengan senam nifas maka otot-otot yang berada pada uterus akan mengalami kontraksi dan retraksi yang mana dengan adanya kontraksi ini akan menyebabkan pembuluh darah pada uterus yang meregang dapat terjepit sehingga
79
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
kontraksi otot rahim, dimana dengan peningkatan kerja otot rahim ini akan mengakibatkan otot-otot dalam rahim terjepit dan pembuluh darah juga akan pecah, sehingga menyebabkan jaringan otot kekurangan zat-zat yang diperlukan sehingga jaringan otot bisa mengecil dan ukuran rahim juga akan mengecil (Masruroh, 2015). Hasil penelitian lain menyebutkan bahwa senam nifas yang dilakukan dengan teratur dapat membantu segera meningkatkan kualitas hidup ibu postpartum. Gerakan secara ritmis yang dilakukan pada senam nifas dapat membantu meningkatkan kontraksi uterus, meningkatkan peristaltik usus, sirkulasi darah, sehingga terhindar dari berbagai penyakit yang dapat terjadi pascapartum. Hubungan emosional bayi dan Ibu akan terjalin lebih erat karena Ibu bisa segera merawat bayinya secara langsung (Bahadoran, et.all., 2007). Kontraksi uterus dapat meningkat dengan adanya senam nifas, hhal ini terjadi dari adanya peningkatan ion kalsium di ekstra sel yang berikatan dengan komudulin, setelah komudulin dan kalium ini berikatan maka akan meningkatkan miosin kinase dan terjadi fosforilase pada kepala miosin yang berikatan dengan aktin sehingga terjadilah tarikan otot secara berkala sehingga terjadi kontraksi uterus yang terus menerus. Adanya kontraksi dan retraksi dari uterus yang terus menerus maka akan terjadi penjepitan pembuluh darah sehingga pembuluh darah pecah dan terganggulah peredaran darah ke uterus. Sehingga menyebabkan jaringan otot kekurangan zat yang diperlukan sehingga ukuran jaringan otot uterus akan mengecil. Selain itu juga peredaran darah ke uterus yang kurang ini mengakibatkan uterus mengalami atropi dan ukuran akan kembali kebentuk semula. Penurunan TFU ini terjadi secara gradual, artinya tidak sekaligus tetapi setingkat demi setingkat. TFU ini akan berkurang 1-2 cm setiap harinya dan pada hari ke 9 uterus tidak dapat teraba. Pada ibu yang senam
perdarahan dapat terhindari. Menurut hasil penelitian Davenport, et.al. (2011) menyatakan bahwa Ibu postpartum yang melakukan latihan postpartum secara teratur akan mengurangi resiko penyakit yang diakibatkan postpartum seperti perdarahan postpartum, bahkan penyakit kronis seperti penyakit sindrom metabolik, penyakit akibat obesitas maupun penyakit kardiovaskuler. Senam nifas sebaiknya dilakukan setelah melahirkan, lalu secara teratur setiap hari. Dengan melakukkan senam nifas sesegera mungkin, hasil yang didapat diharapkan bisa optimal. Dalam pelaksananya, harus dilakukan secara bertahap, sistematis, dan kontinyu. (Hamnah, 2013). Senam nifas dilakukan untuk melatih mobilisasi dini ibu postpartum, sehingga dapat membantu proses pemulihan organ tubuh setelah persalinan. Senam nifas yang dilakukan setelah melahirkan merupakan salah satu bentuk ambulasi dini untuk mengembalikan perubahan fisik seperti saat sebelum hamil dan mengembalikan tonus otot-otot perut bagian bawah. Kontraksi otot-otot akan membantu proses involusi yang dimulai setelah plasenta keluar segera setelah melahirkan. Ambulasi secepat mungkin dan frekuensi sering sangat diperlukan dalam proses involusi (Saunder, 2002 dalam Indriyastuti, 2014).Kaitannya dengan proses involusi uteri, maka dengan melakukan senam nifas diharapkan dapat mempercepat proses involusi uteri tersebut (Bahiyatun, 2009). Diungkapkan oleh Rulynil, dkk (2014), senam nifas yang dilakukan pada ibu post partum berpengaruh terhadap pemulihan fisik sembilan kali lebih baik pada ibu yang tidak diberikan intervensi senam nifas. Latihan fisik berupa senam nifas pada masa post partum berpengaruh terhadap pemulihan fisik ibu post partum lebih cepat. Ibu postpartum yang melakukan senam nifas dengan teratur dan sesuai dengan tehnik yang benar sesuai yang telah diajarkan dapat membantu menguatkan
80
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
terbimbing dapat menyebabkan gangguan proses pemulihan kondisi fisik ibu postpartum yaitu proses involusi uteri dan kejadian diartasis rectus abdominis (pemisahan otot-otot perut). Gangguan proses involusiuteri yang tidak sempurna diantaranya adalah subinvolusiuteri yang dapat mengakibatkan perdarahan,selain itu adalah hiperinvolusi uteri. Keberhasilan penelitian ini juga didukung oleh adanya usia responden yang mayoritas antara 20-35 tahun. Pada kelompok eksperimen sebanyak 18 responden (90%) dan pada kelompok kontrol sebanyak 16 responden (80%). Pada usia produktif ini responden lebih mudah menerima informasi, taat terhadap latihan yang diberikan dan keinginan yang lebih tinggi untuk segera pulih dari kondisi postpartumnya, sehingga dapat beraktifitas lebih optimal lagi secara lebih cepat setelah mmelahirkan. Disamping itu responden dalam penelitian ini juga sebagian besar dengan status paritas primipara, yaitu pada kelompok eksperimen sebanyak 10 responden (50%) dan pada kelompok kontrol sebanyak 12 responden (60%). Ibu postpartum yang baru melahirkan yang pertama kali belum mempunyai pengalaman banyak untuk perawatan setelah melahirkan sehingga paparan informasi, pelatihan yang ditujukan untuk perawatan postpartum akan diikuti lebih tertib, disiplin dan kontinyu untuk mencapai kesehatan postpartum yang sedang dijalaninya. Pada pelaksanaan penelitian ini terdapat kendala-kendala yang dialami peneliti yang tidak diprediksi sebelumnya. Peneliti menemui kendala dalam pemilihan responden penelitian. Pada perencanaannya, responden penelitian ini adalah ibu postpartum normal yang dirawat di Ruang Annisa RSU PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Hal ini tidak dapat terpenuhi karena pasiien yang dirawat dengan postpartum di ruang An-nisa sebagian besar karena persalinan dengan tindakan sectio caesarea. Hal ini berkaitan dengan ketentuan
nifas penurunanTFU berlangsung lebih cepat dari pada yang tidak senam (Dasuki, 2008 dalam Martini, 2012; Masruroh, 2015). Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Fadlina (2015), menyatakan bahwa terdapat perbedaan involusi uterus antara kelompok yang melakukan senam nifas dengan kelompok yang tidak melakukan senam nifas. Senam nifas akan merangsang kontraksi otot uterus sehingga proses involusi berjalan lebih cepat. Latihan fisik berupa senam nifas dapat menimbulkan rangsangan sehingga meningkatkan aktivitas kimiawi, terjadi peningkatan metabolisme mitokondria untuk menghasilkan ATP sebagai energi untuk kontraksi. Hasil penelitian ini pada juga selaras dengan hasil penelitian Inayati (2004) dalam Indriyastuti (2014) tentang pengaruh senam nifas terhadap pemulihan fisik ibu postpartum.primipara fase puerperium dini di Ruang Flamboyan RSUD Dr. Koesma Tuban, yang menyebutkan bahwa ibu postpartum yang melakukan senam nifas pemulihan fisiknya lebih cepat. Pada kelompok kontrol menunjukkan hasil bahwa sebagian besar 12 responden (60%) dalam kategori cukup dengan penurunan 1-2 cm. Pada kelompok kontrol ini tidak diajarkan melakukan senam nifas secara langsung, akan tetapi diberikan panduan senam nifas yang dapat dijadikan acuan ibu postpartum dalam melakukan senam nifas. Perbedaannya dengan kelompok intervensinbahwa pada kelompok kontrol upaya senam nifas bisa saja dilakukan oleh ibu postpartum secara mandiri, namun dalam pelaksanaannya tidak terjadual. Pada kelompok eksperimen pelaksanaan senam nifas dilakukan secara terbimbing dan terjadual dengan rytme yang sama pada setiap harinya. Ambarwati (2008) dalam hasil penelitiannya menyatakan, bahwa tanpa adanya upaya perawatan masa postpartum diantaranya dengan treatment senam nifas yang
81
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
Bahiyatun. 2009. Buku Ajar Asuhan Kebidanan Nifas Normal. Jakarta: EGC.
pelayanan BPJS bahwa pasien yang diindikaasikan dapat melakukan persalinan normal, maka unit pelayanan yang harus dituju adalah unit pelayanan tingkat I yaitu Puskesmas, sehingga yang tidak dapat dilayani pada unit tingkat I, selanjutnya baru dirujuk ke unit pelayanan kesehatan tingkat II. Sehingga pada penelitian ini, peneliti menggunakan responden ibu postpartum dengan sectio caesarea hari ke-0 sampai hari ke-2 post partum. Pada pelaksanaan penelitian juga ditemukan responden drop out, tidak mau melanjutkan pelaksanaan senam nifas dengan alasan badannya kurang nyaman atau responden pulang sebelum hari ke-2, sehingga peneliti mencari responden penggganti dengan kriteria yang sama untuk memenuhi jumlah sampel penelitian.
Cuningham. 2006. Obsietri Williams. Edisi 21.Volume 1. Jakarta: EGC. Danuatmaja, B. & Meiliasari, M. 2008. Persalinan Normal Tanpa Rasa Sakit. Jakarta: Puspaswara. Dasuki, R. (2008). Perbandingan Efektifitas Misoprostol Per Oral Dengan Oksitosin Untuk Prevensi Perdarahan Postpartum. http://www.chnrl.net.publikasi.pdf.M PO. Diakses 27 April 2016. Davenport, M.H., Giroux, I., Sopper, M.& Motolla M. F. 2011. Postpartum Exercise Regardless of Intensity Improves Chronic Disease Risk Factors. Official Journal Of The American College of Sport Medicine, Vol. 43, No.6: 951-958.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN Latihan senam nifas efektif secara signifikan dalam mempercepat proses involusio uteri ditunjukkan dari parameter penurunan TFU di RSU PKU Muhammadiyah Bantul. Saran bagi RSU PKU Muhammadiyah Bantul, yaitu pada pemangku kebijakan dapat menggunakan hasil penelitian ini untuk membuat kebijakan dalam penyusunan SOP perawatan postpartum, sehingga klien postpartum dapat cepat pulih dan beraktifitas normal.
Depkes RI. 2012. Rencana pembangunan jangka panjang bidang kesehatan 2005-2025. http://www.depkes.go.id/downloads/n ewdownloads/rancangan_RPJPK_200 5-2025.pdf . (diakses tanggal 20 April 2015). Fadlina, A. 2015. Pengaruh Senam Nifas Terhadap Penurunan Tinggi Fundus Uteri Pada Ibu Post Partum. eprints.ums.ac.id/35853/12/naskah%2 0publikasi.pdf.
DAFTAR PUSTAKA Ambarwati, Eny, R., Wulandari, D. 2008. Asuhan Kebidanan Nifas. Yogyakarta: Mitra Cendekia Press.
Hamnah, S. U. 2013. Senam Nifas. www.asysyariah.com.
Bahadoran, P., Abbasi, F., Yousefi, A.R.& Kargarfard, M. 2007. Evaluating The Effect of Exercise on The Postpartum Quality Of Life. Iranian Journal of Nursing and Midwifery Research Winter, Vol. 12 No.1:17.
Indriyastuti, H.I., Kusumastuti, Aryanti, T. 2014. Pengaruh Senam Nifas Terhadap Kecepatan Involusio Uterus Pada Ibu Nifas di BPS Sri Jumiati Buluspesantren Kebumen. Jurnal Involusi Kebidanan. Vol. 4, No.8:3346.
82
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
Larson-Meyer, E.2008. Effects Reguler Exercise on Mother and Child. International SportMed Journal Vol.4 No. 6 Martini. 2012. Hubungan Inisiasi Menyusui Dini dengan TFU Ibu Postpartum Hari ke-Tujuh di Wilayah Kerjaa Puskesmas Kotabumi II Lampung Utara. Thesis Progra Pascasarjana Fakultass Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia, Jakarta. Masruroh. 2015. Pengaruh Senam Nifas Terhadap Penurunan Tingi Fundus Uteri Pada Ibu Post Partum. Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Darul Ulum, Jombang. Rulynil, N. T., Ermawati & Evareny, L. 2014. Pengaruh Senam Nifas Terhadap Penurunan Tinggi Fundus Uteri Ibu Postpertum di RSUP DR. Djamil Padang. Jurnal Kesehatan Andalas. 2014:3(3). http://jurnal.fk.unand.ac.id Sugiyono, 2009. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D, Bandung Alfabet
83
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
DINAMIKA KOMPETENSI PENGASUHAN PADA IBU YANG MENJALANI LONG DISTANCE MARRIAGE ADEANTY ROOSDIANA MARTHADEWI, ENDAH PUSPITA SARI Program Studi Psikolog, Universitas Islam Indonesia
[email protected] Abstrak --- Penelitian kualitatif ini bertujuan untuk 1) mengetahui kondisi pengasuhan pada ibu yang menjalani long distance marriage, 2) mengetahui kompetensi pengasuhan yang muncul pada ibu yang menjalani long distance marriage, 3) mengetahui dinamika kompetensi pengasuhan pada ibu yang menjalani long distance marriage. Responden terdiri dari dua ibu yang telah menjalani long distance marriage selama 6 tahun dan 15 tahun, telah memiliki anak, dan memiliki waktu khusus yang telah ditentukan untuk bertemu dengan pasangan. Metode pengambilan data yang digunakan adalah wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara disertai probing. Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian adalah analisis konten. Hasil penelitian ini adalah kondisi pengasuhan yang terdapat pada ibu yang menjalani long distance marriage akan memunculkan strategi untuk menyiasati konflik yang muncul. Interaksi kondisi pengasuhan yang dialami dengan strategi yang dilakukan ternyata dapat memunculkan kompetensi pengasuhan yang baik bagi pengasuhan anak.
rintangan-rintangan. Permasalahan yang mucul kerap kali datang dari faktor ekonomi, anak, kesehatan, hingga pekerjaan. Permasalahan-permasalahan tersebut tidak jarang akhirnya memisahkan anggota keluarga berada di tempat yang terpisah dalam kurun waktu yang tidak menentu. Pernikahan jarak jauh (long distance marriage) sebagian besar disebabkan oleh tekanan ekonomi. Souccar dalam Ekasari, Wahyuningsih, & Setyaningrum (2008) menuturkan beberapa hal yang menjadi masalah pada long distance marriage, yaitu: 1) masalah psikologis, yakni kondisi kejiwaan yang dirasakan subjek secara afektif dan kognitif. Pada aspek kognitif hal yang ditekankan adalah komunikasi yang merupakan masalah terberat pada keluarga long distance marriage. Menurut Hendershott dalam Ekasari, dkk (2008) masalah anak menjadi topik utama yang menjadi perhatian khusus. Suami yang tidak tinggal bersama anak akan kehilangan peristiwa-peristiwa penting dalam proses perkembangan anak. Pengasuhan yang dijalankan oleh seorang istri saja akan memberikan hasil yang berbeda dari pengasuhan yang dijalankan pasangan suami-istri yang tinggal dalam satu rumah. 2) masalah peran sosial, yakni hasil dari ketidakharmonisan harapan berbagai pihak atau persepsi adanya ketidakcocokan antara tuntutan peran dengan kebutuhan dan nilai-
Kata kunci : kompetensi pengasuhan, long distance marriage
LATAR BELAKANG MASALAH Kehidupan yang dijalani oleh sebuah keluarga untuk mencapai tujuan pernikahan tidak mudah dan banyak mengalami
84
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
yang dilakukan peneliti tanggal 16 Juni 2010, responden NW merasa bahwa ternyata seorang anak tidak cukup hanya mendapatkan sentuhan dari ibu, karena sentuhan dari ibu dengan sentuhan dari ayah berbeda. Lebih lanjut ditambahkan bahwa anak tidak bisa tumbuh tanpa sentuhan ayah, ayah juga harus terlibat dalam pendidikan di dalam rumah. Pengasuhan merupakan tugas yang disandang suami istri ketika mereka sudah memiliki keturunan. Dapat pula diartikan sebagai tugas yang berkaitan dengan mengarahkan anak menjadi mandiri di masa dewasanya, secara fisik dan psikologis (Widyawati, 2008). Shanock dalam Widyawati (2008) menggunakan pengasuhan sebagai suatu hubungan yang intens berdasarkan kebutuhan yang berubah secara pelan, sejalan dengan perkembangan anak. Idealnya, orangtua akan mengambil bagian dalam pendewasaan anak-anak karena dari kedua orangtualah anak akan belajar untuk mandiri, entah melalui belajar sosial dengan modeling ataupun melalui proses resiprokal dengan prinsip pertukaran sosial. Pada kenyataannya, walaupun di dalam teori dinyatakan bahwa kehadiran kedua orangtua penting dalam mengasuh anak, dengan kondisi long distance marriage akan lebih banyak tantangan yang harus dihadapi. Dalam penelitian ini peneliti akan menggali lebih mendalam mengenai dinamika kompetensi pengasuhan pada ibu yang menjalani long distance marriage.
nilai individu. 3) masalah biologis, yaitu adanya dorongan seksual yang harus diatasi sendiri ketika tidak ada pasangan dalam melakukan hubungan seksual. Tantangan lain pada long distance marriage terkait dengan pengasuhan salah satunya dikemukakan oleh Sadarjoen (2008) yang menyatakan bahwa kehadiran anak dalam keluarga long distance marriage menyebabkan kehidupan keluarga menjadi lebih kompleks. Pada keluarga yang memiliki anak, biasanya anak tinggal bersama dengan istri di daerah asal sedangkan suami bekerja di daerah lain (Scoot, 2002). Lebih lanjut, pasangan yang tidak tinggal bersama anak-anak dapat fokus pada karir, namun pasangan lain, biasanya istri yang tinggal dengan anak merasakan peran sebagai orang tua tunggal. Oleh sebab itu, kehidupan istri menjadi lebih kompleks dan merasakan peran sebagai orang tua tunggal yang harus memperhatikan dan menjaga anak. Istri pada pasangan long distance marriage sering kali merasa mempunyai peran sebagai orang tua tunggal dan konflik peran meskipun pasangan long distance marriage menganut peran egalitarian, yaitu pasangan suami istri mempunyai peran yang sama dalam keluarga. Namun, ketika salah satu pasangan meninggalkan keluarga, pasangan tersebut akan menyerahkan perannya dalam keluarga kepada pasangan yang tinggal dengan keluarga. Berangkat dari kasus dan masalah yang muncul pada long distance marriage di atas, peneliti tertarik utnuk menganalisis pengaruh long distance marriage pada kompetensi pengasuhan anak. Dari preliminary research (Sari & Utami, 2010)
85
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
Sebagaimana kebanyakan ilmu pengetahuan perilaku lainnya, dasar-dasar teoretis dan empiris yang mendasari kompetensi pengasuhan sebagian besar berbasis kultur barat, terutama Amerika Serikat. Menurut Whiting dan Edwards (Teti dan Candelaria, 2002) terdapat kesepakatan universal di antara orangtua di seluruh dunia bahwa tujuan sentral pengasuhan adalah membantu anak-anak menjadi anggota masyarakat yang produktif dan bermanfaat. Jadi apa yang dipromosikan sebagai kompetensi pengasuhan memiliki citarasa budaya barat, meskipun sejumlah bukti menunjukkan ada sejumlah kompetensi pengasuhan yang memiliki validitas lintas budaya. Teti dan Candelaria (2002) menyimpulkan secara umum ada tiga poin penting terkait kompetensi pengasuhan. Pertama, kehangatan (warmth), penerimaan (acceptance), dan kepekaan terhadap kebutuhan-kebutuhan dasar anak-anak (sensitivity to children’s basic needs), indikasi-indikasi sosial dan apa yang disebut tepat menurut tingkat perkembangan anak merupakan komponen universal kompetensi pengasuhan. Oleh karena itu, membangun hubungan positif dan resiprokal mutualisme orangtua-anak sedini mungkin menjadi tujuan pertama dan terpenting dari sosialisasi dini karena dampaknya terhadap kualitas orientasi anak terhadap orangtua dan kemudahan tahap sosialisasi selanjutnya. Kedua, pengasuhan negatif, kekerasan, dan koersif secara universal diakui berdampak buruk terhadap anak-anak, meskipun tingkat kerusakannya bervariasi dan tergantung pada usia dan disposisi temperamental anak. Ketiga, keterlibatan orangtua merupakan
TINJAUAN TEORITIS Konseptualisasi kompetensi pengasuhan sangat tergantung pada dampak spesifik yang diharapkan dari perkembangan anakanak. Sebagai contoh, perkembangan bahasa tampaknya sangat baik dikembangkan oleh lingkungan-lingkungan pengasuhan yang kaya akan input-input bahasa, diarahkan sesuai dengan tingkat perkembangan anakanak, dan responsif terhadap kecenderungan komunikasi anak (Bornstein & TamisLeMonda dalam Teti dan Candelaria, 2002). Lebih lanjut pengalaman-pengalaman menguasai bahasa yang disediakan orangtua dan responsivitas orangtua terhadap perilaku anak sangat penting untuk mempromosikan perkembangan intelektual anak-anak dan untuk hal seperti ini para orangtua dapat menstruktur lingkungan anak-anak yang secara intelektual dapat menstimulasi perkembangan bahasa (sebagai contoh, menyediakan secara tepat bahan-bahan permainan sehari-hari dan yang menstimulasi dan bervariatif) (Bradley dalam Teti dan Candelaria, 2002). Sebaliknya, teori-teori kelekatan akan mendefinisikan kompetensi pengasuhan dalam terma sensitivitas pengasuhan atau abilitas orangtua untuk membaca dan merespon secara tepat terhadap stres anak, kecenderungan untuk mencari kenyamanan, dan tanda-tanda untuk berinteraksi dan menarik diri (Ainsworth dalam Teti dan Candelaria, 2002). Konseptualisasi kompetensi pengasuhan juga akan berbeda dalam kaitannya dengan perbedaanperbedaan usia anak yang mencakup kompetensi-kompetensi perkembangan dan kebutuhan-kebutuhan spesifik anak.
86
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
Maines dalam Ekasari dkk (2008) mengartikan pernikahan jarak jauh (long distance marriage) adalah pernikahan terpisah antara suami istri yang didasari atas komitmen sebelum pernikahan karena tuntutan karir atau pekerjaan. Lebih lanjut ditambahkan bahwa long distance marriage merupakan kondisi yang mengharuskan suami dengan istri beserta anak-anaknya berpisah karena tekanan ekonomi dan sosial. Gerstel dan Gross dalam Julinda (2009) mendefinisikan long distance marriage sebagai kesepakatan yang dilakukan dengan sukarela oleh pasangan suami istri yang berada pada dua lokasi geografis yang berbeda dengan pekerjaan masing-masing dan dipisahkan setidaknya tiga malam dalam satu minggu selama sesedikitnya tiga bulan. Rhodes dalam Julinda (2009) menambahkan bahwa dengan demikian, sales, pekerja dengan pekerjaan yang berhubungan dengan perjalanan, personel militer, migran yang menjadi pekerja, pekerja konstruktif dan pramugari yang meninggalkan rumah untuk waktu tertentu bukan termasuk dalam definisi long distance marriage.
indeks kompetensi pengasuhan yang baik meskipun tidak bisa berdiri sendiri. Poin penting lainnya adalah kontrol orangtua, meskipun tidak mengindikasikan kompetensi pengasuhan, dalam konteks kehangatan dan kepekaan yang tinggi ditemukan menghasilan anak-anak yang lebih kompeten dan penyesuaian diri baik. Sebagaimana studi awal tentang praktek-praktek disiplin dan internalisasi mengindikasikan, pada tingkatan tertentu kontrol orangtua dalam bentuk menarik kembali cintanya kepada anak jika anak melanggar disiplin atau memaksa anak mematuhi disiplin dengan kekuasaan yang dimiliki sebagai orangtua mungkin diperlukan bagi sejumlah anak agar memperhatikan pesan orangtua, tetapi para orangtua harus hati-hati agar terhindar dari kontrol eksesif yang dapat mengancam otonomi anak dan dampak sampingnya adalah anak lebih menaruh perhatian emosi orangtua yang mendasari pentingnya pesan, bukan pesan itu sendiri. Kompetensi pengasuhan dipengaruhi oleh beberapa faktor (Belsky dalam McDermott, 2002), yaitu sumber daya orangtua, misalnya efikasi diri (Widyawati, 2008) dan religiusitas (Myers, 1996); dan konteks psikososial , misalnya karakteristik anak, harga diri, kepuasan hidup, religiusitas (Muller & Ellison, 2001; Regnerus, 2003). Belsky dalam McDermott (2002) lebih jauh menjelaskan bahwa kompetensi pengasuhan merupakan hal yang sensitif bagi kemampuan mengasuh anak dan berkomunikasi. Hal tersebut dipengaruhi oleh: karakteristik anak, sumber daya orangtua, dan konteks atau kondisi psikososial.
FOKUS PENELITIAN Fokus penelitian ini adalah bagaimana kompetensi pengasuhan pada ibu yang menjalani long distance marriage sehingga sukses mengasuh anak-anaknya. Dalam teori dinyatakan bahwa kehadiran kedua orangtua penting dalam mengasuh anak, dengan kondisi long distance marriage akan lebih banyak tantangan yang harus dihadapi. Anderson dalam Ekasari, dkk. (2008) menyatakan bahwa salah satu orangtua biasanya tinggal di rumah bersama dengan
87
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
anak-anak, sehingga akan mengemban tanggung jawab, stres, dan jumlah pekerjaan yang lebih besar, dan orangtua lainnya biasanya akan pindah ke lokasi yang lebih dekat dengan pekerjaannya. Namun dengan kompetensi pengasuhan yang baik para orangtua yang menjalani long distance marriage dapat mengatasi kendala-kendala tersebut. Kompetensi pengasuhan tidak lepas dari faktor-faktor yang mempengaruhi sesuai yang dikemukakan oleh Belsky dalam McDermott (2002), yaitu: karakteristik anak, sumber daya orangtua, dan konteks atau kondisi psikososial. Oleh karena itu, peneliti ingin mengeksplor lebih mendalam terkait dengan dinamika kompetensi pengasuhan pada ibu yang menjalankan long distance marriage.
kompleks tentang fenomena yang sulit diungkapkan oleh metode kuantitatif (Strauss & Corbin, 2003). Metode yang akan digunakan pada penelitian ini adalah pendekatan studi kasus. Yin (2009) menjelaskan, untuk menjawab pertanyaan bagaimana (how) dan mengapa (why) maka pendekatan yang dapat digunakan adalah studi kasus. Lebih lanjut, ditambahkan bahwa kedua pertanyaan tersebut mengindikasikan perlunya eksplorasi terhadap permasalahan yang ingin dijawab melalui penelitian. Penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data wawancara mendalam (in-depth interview) dengan menggunakan pertanyaan semistructure. Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian adalah analisis konten yang bertujuan untuk memperoleh tema-tema dari pengalaman-pengalaman responden.
DESAIN PENELITIAN
SUBJEK PENELITIAN
Penelitian ini ditujukan untuk mengungkap dinamika kompetensi pengasuhan pada ibu yang menjalani long distance marriage. Oleh karena itu, peneliti menggunakan pendekatan kualitatif, metode ini dinilai lebih baik karena tidak membatasi pada pengujian hubungan antara satu atau beberapa variabel saja. Penelitian kualitatif digunakan untuk menjawab pertanyaan penelitian yang mengharuskan peneliti melakukan eksplorasi mendalam terhadap permasalahan yang diajukan. Metode kualitatif dapat digunakan untuk mengungkapkan dan memahami sesuatu di balik fenomena yang sedikit pun belum diketahui dan dapat memberi rincian yang
Karakteristi responden dalam penelitian ini adalah ibu yang menjalani long disance marriage yang berdomisili di Yogyakarta, telah memiliki anak, dan memiliki waktu khusus yang telah ditentukan untuk bertemu dengan pasangan. Tabel 1: Identitas Responden
88
Responden
Inisial Responden
Pekerjaan
I II
M S
Guru Dosen
Lama menjalani LDM 6 tahun 15 tahun
Jumlah anak 3 orang 3 orang
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
dengan suami, dan peran ayah dan ibu di saat bersamaan. Kompetensi pengasuhan yang muncul pada ibu yang menjalani long distance marriage yaitu: • Kompetensi interpersonal meliputi: membangun komunikasi, memenuhi kebutuhan anak, mencontohkan ibadah, dan mampu mendeteksi keinginan anak. • Kompetensi intrapersonal meliputi: memiliki ilmu pengetahuan, religiusitas Islam, pola pendidikan anak, belajar, evaluasi, figur keayahan, pola asuh, dan meneladani Rasulullah Saw.
HASIL PENELITIAN Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, diketahui bahwa responden penelitian telah menjalani long distance marriage selama 6 tahun dan 15 tahun. Kedua responden bekerja sebagai pendidik atau staf pengajar. Ketidakhadiran suami atau ayah di dalam rumah membuat responden harus berperan ganda. Kondisi pengasuhan yang terwujud sejalan dengan pengasuhan pun memiliki nilai kekuatan (strength), kelemahan (weakness), kesempatan (opportunity), dan ancaman (threats). Guna memperjelas hasil penelitian, berikut adalah rincian jawaban dari pertanyaan penelitian yang telah peneliti kemukakan sebelumnya. Kondisi pengasuhan pada ibu yang menjalani long distance marriage adalah: • Kekuatan (strength) meliputi: memiliki kepuasan berkeluarga, memiliki sistem pendukung, mampu memprioritaskan anak, berperan ganda dalam keluarga, merintis sekolah taman kanak-kanak, mampu menciptakan suasana keluarga yang terbuka dan memiliki kehangatan keluarga. • Kelemahan (weakness) meliputi: karakteristik pribadi responden, suami yang lupa akan moment penting, pengulangan kesalahan oleh suami, dan nada bicara suami. • Kesempatan (opportunity) meliputi: memiliki apresiasi moment penting dalam keluarga, memiliki kelekatan dengan anak, memiliki waktu pertemuan, memiliki kegiatan rutin. • Ancaman (threats) meliputi: kesibukan suami, adanya perbedaan pola pikir
PEMBAHASAN Memiliki waktu pertemuan merupakan karakteristik pasangan yang menjalani long distance marriage yang dikemukakan Rhodes dalam Julinda (2009), yaitu pasangan biasanya melakukan reuni dengan variasi periode waktu yang berbeda-beda. Beberapa diantaranya melakukan reuni pada akhir pekan tanpa mempertanyakan kapan akan melakukan reuni selanjutnya. Waktu pertemuan responden berkisar 1-2 minggu sekali atau empat pertemuan dalan satu bulan. Kehadiran pembantu yang merupakan sistem pendukung di dalam keluarga sangat membantu jalanya kegiatan rumah tangga. Pemakaian jasa pembantu di keluarga responden dimulai sejak anak-anak masih kecil. Kedua responden merupakan ibu rumah tangga yang memiliki pekerjaan, sehingga hanya memiliki waktu yang terbatas untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Bahkan pada saat anak-anak responden masih kecil, pembantulah yang
89
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
lebih menyulitkan dengan adanya kehadiran anak yang tinggal di rumah. Hal ini tercermin dalam konflik-konflik yang muncul misalnya pada masalah pendampingan dan kebinggungan saat masa pengambilan rapor. Menurut preliminary research (Sari & Utami, 2010) kompetensi pengasuhan yang ideal dibagi menjadi 2 kompetensi, yaitu kompetensi pengasuhan interpersonal dan kompetensi pengasuhan intrapersonal. Kompetensi yang berasal dari luar diri individu dan berperan besar dalam kompetensi pengasuhan orangtua dinamakan sebagai kompetensi interpersonal. Kompetensi yang berasal dari dalam diri individu dan berperan besar dalam kompetensi pengasuhan orangtua dinamakan sebagai kompetensi intrapersonal. Membangun komunikasi merupakan kompetensi interpersonal yang nampak pada kedua responden. Komunikasi merupakan wujud dari empati yang merupakan kemampuan orangtua untuk mengenali perasaan, mempersepsi, dan merasakan apa yang anak-anak mereka rasakan (Sari & Utami, 2010). Responden selalu menjalin komunikasi pada seluruh anggota keluarga untuk mengetahui informasi mengenai keadaan, kabar, dan kondisi psikologis anak. Persamaan kompetensi intrapersonal kedua responden adalah religiusitas Islam. Menurut Sari dan Utami (2010) religiusitas merupakan satu hal yang tidak bisa terlepas dari kehidupan manusia, tak terkecuali dalam hal pengasuhan. Hampir semua responden menggunakan landasan religiusitas dalam model pengasuhannya. Meneladani Rasulullah Saw merupakan
lebih sering bermain dan menyuapi anakanak. Hal ini terkadang menimbulkan perasaan bersalah kepada anak-anak. Rhodes dalam Julinda (2009) menjelaskan bahwa banyak orangtua yang melakukan perpisahan merasakan rasa bersalah telah berpisah dengan keluarga dan melewatkan bagianbagian penting dalam perkembangan anakanak mereka. Perasaan bersalah muncul saat responden tidak bisa mendampingi anak secara intens. Peran ganda ibu dalam keluarga pada kedua responden jelas tampak bahwa responden mendominasi peran dalam keluarga, terlebih saat suami responden tidak berada di rumah. Lebih lanjut Rhodes dalam Julinda (2009) menjelaskan bahwa orangtua yang melakukan perpisahan dengan keluarga dapat lebih fokus dengan pekerjaannya, namun orang tua yang tinggal dengan anakanak biasanya mengambil peran sebagai orangtua tunggal (single parent). Biasanya orangtua yang tidak melakukan perpisahan akan merasa kecil hati dengan perubahan dalam tanggung jawab dan pengaturan hidup. Responden memiliki peran ganda saat suami tidak berada di rumah, sehingga keadaan ini membuat responden menjadi sangat sibuk. Responden lebih sering mengambil keputusan terhadap kebijakan keluarga namun tetap dengan persetujuan bersama. Kondisi pengasuhan berupa ancaman yang terdapat pada kedua responden adalah kesibukan suami responden dan peran ayah ibu di saat bersamaan keluarga yang menjalani long distance marriage. Rhodes dalam Julinda (2009) berpendapat bahwa pasangan yang menjalankan long distance marriage akan mengalami pola hidup yang
90
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
yang menjalani long distance marriage juga memiliki kepuasan berkeluarga.
salah satu wujud religiusitas yang teraplikasi pada responden. Belajar, memiliki ilmu pengetahuan, dan evaluasi termasuk dalam enhancement yang merupakan pengembangan diri yang mutlak dibutuhkan agar orang tua bisa meningkatkan kualitas pengasuhan bagi anak-anaknya (Sari & Utami, 2010).
SARAN Saran yang dapat peneliti berikan melalui penelitian ini adalah: a. Memilih responden penelitian pada keluarga yang menjalani long distance marriage yang memiliki anak usia 0-14 tahun. Pada anak usia tersebut, tentu pengasuhan yang diterapkan berbeda dengan penelitian ini yang anak-anak responden berusia remaja dan akan munculkan konflik yang berbeda. b. Meneliti aspek kesejahteraan psikologis anak yang keluarganya mengalami long distance marriage. c. Peneliti diharapkan dapat mewawancarai suami/ pasangan yang menjalani long distance marriage. d. Peneliti diharapkan memiliki kemampuan wawancara yang baik agar dapat melakukan probing dengan tepat sehingga dapat menggali informasi yang dibutuhkan secara lebih mendalam.
KESIMPULAN Dinamika kompetensi pengasuhan pada ibu yang menjalani long distance marriage adalah: Keadaan long distance marriage yang dijalani membuat ibu memiliki kondisi pengasuhan tertentu. Bekal pengasuhan yang dimiliki ibu memberi modal pada pengasuhan pertama yang diberikan kepada anak. Lebih khusus, pada orangtua yang sama-sama bekerja dalam kondisi long distance marriage menambah tantangan tersendiri dalam mengasuh anak. Interaksi hal-hal tersebut menciptakan kondisi pengasuhan yang bersifat kekuatan (strength), kelemahan (weakness), kesempatan (opportunity), dan ancaman (threats). Hadirnya tantangan atau konflik dalam hubungan suami-istri dan orangtuaanak membuat ibu yang menjalani long distance marriage membentuk suatu langkah strategi untuk menyiasati dan mengatasi konflik-konflik yang muncul. Hal ini ternyata mampu meminimalisir konflik dan tantangan yang terjadi dan membentuk kompetensi pengasuhan yang baik. Kompetensi pengasuhan yang muncul meliputi kompetensi interpersonal dan kompetensi intrapersonal. Kompetensi pengasuhan yang ideal ini mengindikasikan pengasuhan yang berkualitas sehingga ibu
DAFTAR PUSTAKA Ekasari, N., Wahyuningsih, S., & Setyaningrum, I. 2008. Permasalahan pada Istri dalam Commuter Marriage (Proceedings). Temu Ilmiah Nasional Ikatan Psikologi Perkembangan Indonesia: Menata Karakter Bangsa. 28-29 November. Bandung : Hotel Papandayan. Julinda. 2009. Gambaran Kepuasan Pernikahan Istri pada Pasangan Commuter Marriage. Skripsi. Medan: Fakultas Psikologi Universitas
91
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
Diterbitkan). Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia
Sumatera Utara. Diakses tanggal 24 Februari 2011 dari http://repository.usu.ac.id/bitstream/12 3456789/19285/3/Chapter%2011.pdf
Scoot, A. T. 2002. Communication Characterizing Successful Long Distance Marriages. Disertasi. Lousiana State University: Faculty of Agricultural and Mechanical College. Diakses tanggal 24 Februari 2011 dari http://etd.lsu.edu/docs/available/etd0416102172102/unrestricted/Scott_dis.pdf
McDermott, D. 2002. Parenting Education from K-12: Theoritical and Empirical Background and Support. Diakses pada tanggal 12 November 2010 dari http://www.preparetomorrowparents.or g Muller, C. & Ellison, C.G. 2001. Religious Involvement, Social Capital, and Adolescents’ Academic Progress: Evidence from the National Education Longitudinal Study of 1988 (Abstract). Sociological Focus, 34, 2.
Strauss, A., & Corbin, J. 2003. Dasar-dasar Penelitian Kualitatif: Tatalangkah dan Teknik-teknik Teorisasi Data. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Teti, D. M., & Candelaria, M. A. 2002. Parenting Competence. In Bornstein, M. H. (Eds.). Handbook of Parenting (Vol.4): Social Condition and Applied Parenting. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates.
Myers, S. M. 1996. aN Interactive Model of Religiousity Inheritance: The Importance of Family Context. American Sociological Review, 61, 5, 858-866.
Widyawati, L. 2008. Efektivitas Pelatihan Keterampilan Pengasuhan untuk Meningkatkan Efikasi Diri Pengasuhan: Studi Preliminer. Skripsi (Tidak Diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia.
Regnerus, M.D. 2003. Religion and Positive Adolescent Outcomes: A Review of Research and Theory. Review of Religious Research, 44, 4, 394-413. Sadarjoen, S. S. 2008. Mengelola Perkawinan Jarak Jauh (Proceedings). Temu Ilmiah Nasional Ikatan Psikologi Perkembangan Indonesia: Menata Karakter Bangsa. 28-29 November. Bandung: Hotel Papandayan.
Yin, R. K. 2009. Case Study Research: Designs and Methods (4th Ed.). California: Sage Publication Inc.
Sari, E. P., & Utami, D. S. 2010. Kompetensi Pengasuhan untuk Anakanak Indonesia yang Lebih Sejahtera. Laporan Penelitian (Tidak
92
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
PERAN PERSEPSI BUDAYA ORGANISASI DAN MODAL PSIKOLOGI TERHADAP KINERJA PEGAWAI DENGAN WORK ENGAGEMENT SEBAGAI VARIABEL MEDIATOR Atik Noor Rohmah dan Marcham Darokah Universitas Ahmad Dahlan, Magister Profesi Psikologi, Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta, Indonesia
[email protected]
Abstrak --- Penelitian ini bertujuan untuk melihat peran persepsi budaya organisasi dan modal psikologi terhadap kinerja pegawai dengan dimediasi oleh work engagement. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif eksplanasi, yaitu mencari penjelasan atau menguji peran antar variabel yang terumus pada hipotesis penelitian. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan skala kinerja, work engagement, modal psikologi dan budaya organisasi, terhadap 103 pegawai di Sekretariat Daerah Katingan Kalimantan Tengah. Data yang diperoleh dianalisis dengan metode structural equation modeling (SEM). Hasil penelitian menunjukkan modal psikologi mempunyai peranan langsung terhadap work engagement dengan koefisien parameter sebesar 0,793 dan nilai P lebih kecil dari 0,05. Sumbangan efektif modal psikologi terhadap work engagement sebesar 62,8%. Persepsi budaya organisasi mempunyai peranan langsung terhadap work engagement dengan koefisien parameter sebesar 0,270 dan nilai P lebih kecil dari 0,05. Sumbangan efektif persepsi budaya organisasi terhadap work engagement hanya sebesar 7,2 %. Modal psikologi tidak berperan meningkatkan kinerja pegawai, dilihat dari koefisien parameter sebesar -0,008 dan nilai P lebih besar dari 0,05. Sumbangan efektif modal psikologi terhadap kinerja sebesar 0,000. Sementara itu work engagement berperan
93
langsung terhadap kinerja dengan koefisien parameter sebesar 0,708 dan nilai P lebih kecil dari 0,05. Sumbangan efektif work engagement terhadap kinerja sebesar 50,1 %. Persepsi budaya organisasi juga tidak berperan terhadap peningkatan kinerja, dilihat dari koefisien parameter -0,138 dan nilai P lebih besar dari 0,05. Sumbangan efektif persepsi budaya organisasi sebesar 1,9 %. Kata kunci : Kinerja, work engagement, modal psikologi, budaya organisasi.
LATAR BELAKANG MASALAH Otonomi daerah menjadi tonggak motivasi bagi masing-masing pemerintah daerah di Indonesia untuk mengembangkan potensi yang ada, termasuk sumber daya manusia dalam mewujudkan pemerintahan yang baik (good governance). Kabupaten Katingan menjadi salah satu pemerintah kabupaten yang berusaha terus menerus melakukan upaya pengembangan kinerjanya untuk mewujudkan prinsip-prinsip good governance tersebut. Data yang diperoleh dari narasumber menggambarkan bahwa kinerja pegawai sampai saat ini masih memerlukan perbaikan, meskipun dalam Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) untuk tahun 2014, Kabupaten Katingan memperoleh kenaikan skor dari C menjadi C+. Menurut narasumber, kinerja pegawai di lingkungan pemerintah kabupaten masih belum sesuai harapan,
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
banyak permasalahan seperti kedisiplinan pegawai yang rendah, kesadaran melaksanakan tugas tanpa diperintah, ketepatan waktu dan permasalahan lainnya. Kinerja pegawai yang rendah tersebut tentu tidak akan mampu mendukung keberhasilan pemerintah untuk mewujudkan good governance. Kinerja pegawai tidak lepas dari berbagai aspek eksternal dan internal yang saling mempengaruhi, seperti budaya organisasi sebagai aspek eskternal dan kepribadian individu yang menjadi aspek internal. Aspek eksternal dapat diwakili oleh budaya organisasi, sementara aspek internal diwakili dengan modal psikologi. Penelitian ini membahas kedua aspek tersebut dengan dimediasi oleh work engagement. TUJUAN PENELITIAN 1. Untuk mengetahui struktur model peranan budaya organisasi dan modal psikologi terhadap kinerja dengan work engagement sebagai variabel mediator. 2. Untuk melihat variabel mana yang memberikan sumbangan terbesar terhadap kinerja pada model tersebut. MANFAAT PENELITIAN 1. Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar untuk pengembangan penelitian selanjutnya, khususnya yang berkaitan dengan budaya organisasi dan modal psikologi terhadap kinerja pegawai dengan work engagement sebagai variabel mediator. 2. Praktis Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan terutama bagi Pemerintah Kabupaten Katingan dalam proses peningkatan kinerja pegawai melalui variabel-variabel terkait.
94
KERANGKA TEORI 1.
Kinerja
Terdapat beberapa definisi mengenai kinerja, antara lain dari Gibson (1997) yang mendefinisikan kinerja adalah suatu hasil dari pekerjaan yang berhubungan dengan tujuan organisasi, efisiensi dan efektifitas kinerja lainnya. Sementara Bernardin (2000) mendefinisikan kinerja sebagai berikut : “Performance is defined as the record of outcomes produced on a specified job function or activity during a time period“ Definisi kinerja dari Bernardin tersebut menitikberatkan pada pencapaian atau hasil-hasil yang diperoleh dari suatu pekerjaan atau kegiatan selama periode waktu tertentu. Dessler (2010) mengartikan kinerja adalah prestasi aktual karyawan yang diperbandingkan dengan prestasi yang diharapkan dari karyawan. Prestasi kerja yang diharapkan merupakan prestasi standar yang menjadi acuan atau dasar untuk melihat kinerja karyawan sesuai dengan posisinya dibandingkan dengan standar yang dibuat. Kinerja dapat diukur melalui aspekaspeknya, dan sesuai dengan definisi dari beberapa ahli maka ada beberapa aspek kinerja antara lain dari Bernardin (2000) yang mengungkapkan enam aspek kinerja yaitu : 1. Kualitas kerja, yaitu aspek kinerja yang berkaitan dengan tingkat pelaksanaan kerja individu diukur dari tujuan atau harapan yang telah ditetapkan. 2. Kuantitas kerja, yaitu aspek kinerja yang berhubungan dengan sejumlah hasil yang diperoleh dari perilaku kerja individu pada suatu waktu. 3. Ketepatan waktu, merupakan aspek kinerja yang melihat akumulasi waktu individu dalam menyelesaikan tugas-tugasnya sesuai dengan batas waktu yang ditentukan. 4. Efektifitas merupakan aspek kinerja yang memperhitungkan penggunaan sumber daya yang tersedia untuk
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
dapat menghasilkan produk yang maksimal. Termasuk dalam efektifitas ini adalah kemampuan mengurangi tingkat kerugian dari sumber daya yang ada. 5. Kebutuhan terhadap supervisi berkaitan dengan kemampuan karyawan dalam bekerja tanpa membutuhkan pengawasan yang mengantisipasi tindakan yang tidak diharapkan. 6. Dampak interpersonal, sejauh mana karyawan mampu menjaga nama baik individu dan organisasi, menjaga relasi, dan harga dirinya dengan maksimal. Kinerja seorang karyawan dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor baik yang berasal dari dalam atau dari luar organisasi. Menurut Amstrong (1998) beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kinerja karyawan adalah sebagai berikut : 1. Faktor individu (personal factors) merupakan faktor yang berkaitan dengan keadaan karyawan bersangkutan seperti kemampuan, motivasi, komitmen, dll. 2. Faktor kepemimpinan (leadership factors), berkaitan dengan tingkat kualitas dukungan dan pengarahan yang diberikan oleh pimpinan, manajer, atau ketua kelompok kerja. 3. Faktor kelompok/rekan kerja (team factors) merupakan faktor yang berkaitan dengan kelompok/rekan kerja berkaitan dengan kualitas dukungan yang diberikan oleh rekan kerja. 4. Faktor sistem (system factors). Faktor sistem berkaitan dengan sistem/metode kerja yang ada dan fasilitas yang disediakan oleh organisasi. 5. Faktor situasi (contextual/situational factors). Faktor situasi berkaitan dengan tekanan dan perubahan lingkungan, baik lingkungan internal maupun eksternal. Menurut Kreitner dan Kinicki (2005) faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja
95
karyawan dapat berasal dari dalam diri sendiri dan dari luar. Faktor yang berasal dari dalam diri yaitu : 1. Karakteristik individu 2. Kemampuan 3. Pengetahuan kerja 4. Motivasi 5. Sementara faktor yang berasal dari luar karyawan antara lain : 6. Budaya organisasi 7. Rancangan kerja 8. Kualitas supervisi 2.
Work Engagement
Istilah Engagement awalnya diperkenalkan oleh Kahn dalam Schaufeli (2006) dan didefinisikan dengan penguasaan seseorang terhadap perannya sebagai karyawan, bagaimana orang tersebut mengikatkan diri dengan pekerjaannya kemudian mengekspresikan secara fisik, kognitif dan emosi dalam memerankan diri sebagai karyawan. Komponen fisik menunjukkan bagaimana seseorang mengerahkan energi fisiknya untuk berperan sebagai karyawan, sedangkan komponen kognitif mengacu pada keyakinan dan kepercayaan karyawan terhadap organisasi, pimpinan dan lingkungan kerjanya. Sementara komponen emosi mengacu pada perasaan positif dan negatif karyawan terhadap organisasi, pimpinan dan lingkungan kerjanya. Perkembangan selanjutnya muncul istilah work engagement yang mempunyai beberapa definisi antara lain dari Maslach (2001) yang mendefinisikannya melalui pendekatan burnout. Menurut Maslach work engagement adalah kondisi emosional yang menetap dan bersifat positif, sedangkan burnout bersifat negatif. Sehingga dapat dikatakan work engagement dan burnout merupakan dua kutub yang berlawanan. Definisi work engagement yang lebih luas dan sering digunakan adalah berasal dari Schaufeli et.al (2002), work engagement adalah keadaan mental yang positif, pemenuhan, pandangan terhadap kondisi
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
kerja yang dikarakteristikkan dengan adanya vigor, dedication dan absorption. Penelitian ini menggunakan teori dari Schaufeli dengan pertimbangan teori tersebut telah sering digunakan dalam penelitianpenelitian yang berkaitan dengan work engagement, antara lain penelitian Breevart et. al (2015) mengenai member-exchange, work engagement dan job performance, hasilnya menunjukkan adanya hubungan positif antara job performance dengan work engagement. Penelitian lain dari Karatepe (2013) mengenai High-Performance Work Practices and Hotel Employee Performance:The mediation of Work Engagement”, menunjukkan work engagement berperan secara penuh terhadap job performance. Aspek-aspek dari work engagement menurut Macey et. al (2009) meliputi dua aspek yaitu : 1. Work engagement sebagai energi psikis, hal ini dirasakan individu pada saat larut dalam pekerjaannya. 2. Work engagement sebagai energi tingkah laku, yaitu bagaimana perilaku work engagement dapat dilihat oleh orang lain. 3. Menurut Schaufeli work engagement mempunyai tiga aspek yaitu : 4. Vigor yaitu sejumlah energi yang dikerahkan individu dalam bekerja, ketabahan dan keuletan dalam menghadapi kesulitan, dan kemauan yang besar untuk bekerja. 5. Dedication adalah bagaimana perasaan individu terhadap pekerjaannya. Individu merasa sangat terlibat pada pekerjaannya, dan memandang pekerjaannya sebagai sesuatu yang penuh makna, menginspirasi, sehingga individu merasa bangga, antusias dan tertantang dengan pekerjaannya tersebut. 6. Absorption mengacu pada tingginya konsentrasi dan minat individu pada saat bekerja, sehingga melupakan keadaan di sekitarnya dan terlarut dalam pekerjaannya.
96
Aspek-aspek dari Schaufeli yang terdiri dari tiga aspek yaitu vigor, dedication dan absorption tersebut akan digunakan sebagai dasar penyusunan skala work engagement dalam penelitian ini. Menurut Bakker dan Demerouti (2008) menguraikan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi work engagement yaitu : 1. Personal resources (sumber daya personal), yaitu evaluasi diri positif yang berhubungan dengan daya tahan, dan mengacu pada kemampuan individu untuk mengendalikan dan memberikan dampak yang baik pada lingkungan mereka 2. Sumber daya (job resources) yaitu aspek fisik, sosial dan organisasional yang berfungsi sebagai media untuk mencapai tujuan pekerjaan baik secara fisiologis maupun psikologis, serta menstimulasi pertumbuhan dan perkembangan individu. Work engagement menjadi salah satu faktor internal yang dapat mempengaruhi kinerja seseorang, sebagaimana dijelaskan sebelumnya tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja. Work engagement yang tinggi akan meningkatkan kinerja seseorang, karena seseorang akan lebih mengikatkan dirinya baik secara fisik, mental maupun psikis terhadap pekerjaannya, dan termotivasi untuk mencapai keberhasilan dalam bekerja. Sebaliknya Work engagement rendah menyebabkan kinerja seseorang kurang maksimal karena kurang adanya keterikatan. Kadar work engegament seseorang dipengaruhi oleh budaya organisasi sebagai faktor eksternal seseorang dan modal psikologi sebagai faktor internal seseorang. Budaya organisasi sebagai lingkungan kerja akan menanamkan nilai-nilai organisasi yang akhirnya akan terserap oleh pegawai, sedangkan modal psikologi sebagai faktor internal ikut menentukan tingkat work engagement seseorang. Melalui penjelasan ini dapat diketahui kaitan antara variabel kinerja, work engagement, modal psikologi dan budaya organisasi.
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
3.
Modal Psikologi
Modal psikologi adalah kondisi psikologis yang positif dari seseorang, dicirikan dengan empat aspek yaitu ; (1) self efficacy yaitu kepercayaan diri dalam menghadapi tugas-tugas yang menantang dan berusaha dengan cukup untuk menyelesaikan tugas-tugas tersebut, (2) optimism yaitu berkaitan dengan pandangan yang positif tentang keberhasilan di masa sekarang dan masa depan, (3) hope yaitu perasaan seseorang untuk tidak mudah menyerah dalam mencapai tujuan dan kemampuan membuat aternatif lain sebagai solusi untuk mencapai tujuan tersebut, dan (4) resiliency yaitu berkaitan dengan ketahanan seseorang dan kemampuannya kembali setelah menghadapi kesulitan (Luthans, 2007). Modal psikologi menurut Osigweh dalam Mulyasari (2012) adalah suatu pendekatan terhadap keadaan seseorang, dengan dicirikan dimensi-dimensi yang dapat mengoptimalkan potensi individu sehingga mendukung kinerja organisasi. Dimensi-dimensi tersebut adalah self efficacy, optimism, hope dan resiliency. Definisi yang digunakan dalam penelitian ini adalah yang berasal dari Luthans, modal psikologi adalah kondisi psikologis yang positif dari seseorang, dicirikan dengan empat aspek yaitu self efficacy, optimism, hope dan resiliency. Berdasarkan teori dari Luthans, modal psikologi mempunyai empat aspek, yaitu : 1. Self Efficacy; menurut Bandura Self Efficacy adalah persepsi tentang kemampuan individu untuk mengorganisasi dan mengimplementasikan tindakan untuk menampilkan kecakapan tertentu. Pengertian ini menjelaskan adanya kepercayaan diri pada individu mengenai kemampuannya untuk melakukan suatu tindakan. Masih menurut Bandura, Self Efficacy bersumber dari beberapa faktor yaitu : a. Pengalaman penguasaan atau pencapaian kinerja
97
b. Pengalaman pribadi dan pemodelan c. Persuasi sosial d. Peningkatan fisik dan psikologis 2. Hope; Snyder dalam Luthans (2006) merumuskan hope sebagai keadaan positif yang didasarkan pada rasa keberhasilan, energi yang terarah pada tujuan, dan rencana mencapai tujuan. Hope mempunyai komponen berikut ini : a. Goal (tujuan), merupakan sasaran dari aktifitas mental individu yang kemudian menghasilkan suatu aspek kognitif. Tujuan dapat beragam bentuknya dapat berupa tujuan terhadap sesuatu yang positif dan ingin dicapai atau diharapkan terjadi, dapat juga berupa tujuaningin menghentikan sesuatu yang bersifat negatif. Selain itu tujuan individu dapat berupa tujuan yang berjangka pendek maupun jangka panjang. b. Pathway Thinking, merupakan kemampuan individu untuk menentukan suatu cara atau jalur dalam rangka pencapaian tujuan, termasuk mengembangkan cara lain atau alternatif lain ketika menghadapi hambatan. c. Agency Thinking, komponen ini berkaitan erat dan saling mendukung dengan pathway thinking. Apabila pathway thinking merupakan kemampuan individu untuk menentukan cara pencapaian tujuan beserta alternatifnya, maka Agency Thinking ini lebih kepada kemampuan individu untuk bertahan pada saat menghadapi hambatan, sehingga dapat dikatakan Agency Thinking merupakan komponen motivasi dalam tujuan. 3. Optimism; Seligman menyatakan bahwa optimism merupakan pandangan seseorang yang menyeluruh, memandang sesuatu dengan positif,
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
berpikir secara positif dan mudah memberikan makna yang berarti bagi dirinya (Seligman, 1991). 4. Resiliency, merupakan fenomena yang ditandai dengan pola-pola adaptasi positif dalam konteks kesulitan atau resiko yang signifikan. Komponen perilaku psikologi positif ini dipandang sebagai kapasitas untuk memikul kesulitan, kegagalan, konflik, kejadian yang positif, kemajuan dan tanggung jawab secara meningkat (Luthans, 2006). Kemampuan untuk memikul meliputi beberapa hal seperti fleksibilitas, penyesuaian, kemampuan adaptasi, responsif terus menerus terhadap perubahan. Empat aspek dari modal psikologi yaitu self efficacy, optimism, hope dan resiliency yang dijelaskan Luthans akan digunakan dalam penelitian ini sebagai dasar pengukuran modal psikologi responden. 4.
Persepsi Budaya Organisasi
Persepsi adalah kesan yang diperoleh seseorang melalui panca inderanya, kemudian dianalisis, diinterpretasi dan dievaluasi, sehingga orang tersebut memperoleh pemahaman (Robbins, 2003). Sedangkan Kreitner dan Kinicki (2005) mendefinisikan persepsi adalah proses kognitif yang memungkinkan seseorang dapat menafsirkan dan memahami lingkungan sekitarnya. Kesimpulan dari definisi persepsi tersebut bahwa persepsi adalah proses kognitif seseorang dalam memahami lingkungannya dengan melibatkan panca inderanya, karena masing-masing orang mempunyai perbedaan maka persepsi masing-masing orang juga dapat berbedabeda dan besifat subjektif. Definisi budaya organisasi menurut Schein dalam Luthans (2006) adalah suatu pola asumsi dasar yang diciptakan, ditemukan atau dikembangkan oleh kelompok tertentu pada saat menyesuaikan diri dengan masalah-masalah eksternal dan internal. Pola tersebut dipandang sebagai hal
98
yang berharga sehingga diajarkan kepada anggota baru sebagai cara yang benar untuk menyadari, berpikir dan merasakan hubungan dengan masalah tersebut. Sementara Pettigrew dalam Sobirin (2009) mendefinisikan budaya organisasi adalah sistem makna yang diterima secara terbuka dan kolektif, berlaku untuk waktu tertentu dan kelompok tertentu. Robbins (2008) mendefinisikan budaya organisasi adalah sebuah sistem makna bersama yang dianut oleh anggota, yang membedakan satu organisasi satu dengan yang lainnya. Robbins juga menjelaskan bahwa budaya organisasi berhubungan tentang cara anggota melihat organisasi, dan bagaimana anggota menyerap budaya organisasi tersebut menjadi bagian dari perilakunya. Kreitner (2005) menggambarkan budaya organisasi sebagai satu wujud anggapan yang dimiliki, diterima secara implisit oleh kelompok dan kemudian menentukan bagaimana kelompok tersebut merasa, berpikir, dan bereaksi terhadap lingkungan. Berdasarkan definisi dari Robbins bahwa persepsi adalah kesan yang diperoleh seseorang melalui panca inderanya, kemudian dianalisis, diinterpretasi dan dievaluasi, sehingga orang tersebut memperoleh pemahaman. Kemudian definisi mengenai budaya organisasi adalah sebuah sistem makna bersama yang dianut oleh anggota, yang membedakan satu organisasi satu dengan yang lainnya, maka dapat disimpulkan bahwa persepsi budaya organisasi adalah kesan seseorang melalui panca inderanya dalam memahami sistem yang dianut anggota dalam organisasinya. Pengertian persepsi budaya organisasi inilah yang akan digunakan dalam penelitian. Budaya organisasi mempunyai sejumlah aspek yang membedakan dengan budaya lain, dalam hal ini Luthans (2006) menjelaskan karakteristik budaya organisasi yaitu : 1. Aturan atau perilaku yang diamati, meliputi bahasa, istilah, ritual umum yang berkaitan dengan rasa hormat dan cara berperilaku.
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
2. Norma ; standar dalam berperilaku meliputi pedoman yang digunakan dalam melaksanakan pekerjaan. 3. Nilai dominan ; nilai-nilai utama yang diharapkan oleh organisasi seperti kualitas produk tinggi, sedikit absen dan efisiensi tinggi. 4. Filosofi ; kebijakan yang membentuk kepercayaan organisasi mengenai bagaimana karyawan atau pelanggan diperlakukan. 5. Aturan ; pedoman yang berkaitan dengan pencapaian organisasi. 6. Iklim organisasi ; keseluruhan “perasaan” yang disampaikan dengan pengaturan yang bersifat fisik, cara berinteraksi. Sementara itu menurut Robbins (2008) budaya organisasi mempunyai aspek-aspek sebagai berikut : 1. Inovasi dan keberanian mengambil resiko ; sejauh mana karyawan didorong untuk bersikap inovatif dan berani mengambil resiko. 2. Perhatian pada hal-hal yang rinci ; sejauh mana karyawan diharapkan menjalankan presisi, analisis dan perhatian pada detil. 3. Orientasi hasil ; sejauh mana manajemen fokus pada hasil daripada teknik dan proses yang digunakan untuk mencapai hasil. 4. Orientasi orang ; sejauh mana keputusan manajemen mempertimbangkan efek dari hasil tersebut terhadap orang yang ada di dalam organisasi. 5. Orientasi tim ; sejauh mana kegiatankegiatan kerja diorganisasikan pada tim daripada individu. 6. Keagresifan ; sejauh mana orang bersikap agresif dan kompetitif daripada santai. 7. Stabilitas ; sejauh mana kegiatan organisasi menekankan pada mempertahankan status quo. Kreitner (2005) menjelaskan adanya tiga karakteristik dari budaya organisasi yaitu :
99
1. Budaya organisasi diberikan kepada anggota baru melalui proses sosialisasi. 2. Budaya organisasi mempengaruhi perilaku di tempat kerja. 3. Budaya organisasi berlaku pada dua tingkat berbeda, masing-masing tingkat mempunyai variasi yang berkaitan dengan pandangan keluar dan kemampuan bertahan terhadap perubahan. Berdasarkan uraian mengenai aspekaspek budaya organisasi tersebut, sesuai dengan dasar teori yang digunakan maka penelitian ini menggunakan aspek-aspek budaya organisasi dari Robbins yang terdiri dari tujuh aspek, yaitu inovasi, perhatian pada hal-hal yang rinci, orientasi hasil, orientasi orang, orientasi tim, keagresifan, dan stabilitas. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan pada 103 pegawai di lingkungan Sekretariat Daerah Kabupaten Katingan. Metode yang digunakan untuk pengumpulan data dalam penelitian ini adalah skala kinerja, skala work engagement (UWES), skala modal psikologi (PCQ) dan skala budaya organisasi. Kinerja akan diukur dengan menggunakan skala kinerja yang disusun sendiri berdasarkan aspek-aspek kinerja dari Bernardin (2000) yaitu kualitas, kuantitas, ketepatan waktu, efektifitas, kebutuhan terhadap supervisi dan dampak interpersonal. Skala kinerja terdiri dari 12 item dengan lima kategori jawaban yaitu sangat sering, sering, jarang, kadang-kadang dan tidak pernah. Skala kinerja adalah skala uji terpakai dan mempunyai tingkat reliabilitas sebesar 0,836. Kemudian work engagement akan diukur menggunakan skala Utrecht Work Engagement Scale yang disusun oleh Schaufeli dan Bakker (2002) terdiri dari aspek vigor, dedication dan absorption, terdiri dari 17 item dengan lima kategori jawaban yaitu sangat sesuai, sesuai, agak sesuai, tidak sesuai dan sangat tidak sesuai. Skala work engagement mempunyai tingkat
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
validitas yang bergerak antara 0,75 – 0,83 dan tingkat reliabilitas sebesar 0,85. Modal psikologi diukur dengan skala Psychological Capital Questionare yang disusun oleh Luthans, dkk (2007) terdiri dari 24 item yang berdasarkan aspek self efficacy, hope, resiliency dan optimism dengan lima kategori jawaban yaitu sangat sesuai, sesuai, agak sesuai, tidak sesuai dan sangat tidak sesuai. Tingkat validitas skala ini begerak antara 0,568 – 0,749 dan tingkat reliabilitas sebesar 0,909. Kemudian persepsi budaya organisasi akan diukur menggunakan skala budaya organisasi yang disusun sendiri oleh peneliti, berdasarkan aspek-aspek budaya organisasi dari Robbins (2003) yaitu inovasi, perhatian pada hal-hal rinci, orientasi hasil, orientasi orang, orientasi tim, keagresifan dan stabilitas. Skala budaya organisasi terdiri dari 14 item, mempunyai tingkat validitas yang bergerak antara 0,505 – 0,789 dan tingkat reliabilitas sebesar 0,854. Tehnik analisis data menggunakan metode Structural Equation Modeling (SEM) dan dijalankan dengan program AMOS. HASIL DAN PEMBAHASAN Modal psikologi mempunyai peranan langsung terhadap work engagement dengan koefisien parameter sebesar 0,793 dan nilai P lebih kecil dari 0,05. Sumbangan efektif modal psikologi terhadap work engagement sebesar 62,8%. Hasil tersebut menunjukkan bahwa modal psikologi dapat mempengaruhi keterikatan kerja pegawai. Persepsi budaya organisasi mempunyai peranan langsung terhadap work engagement dengan koefisien parameter sebesar 0,270 dan nilai P lebih kecil dari 0,05. Sumbangan efektif persepsi budaya organisasi organisasi terhadap work engagement hanya sebesar 7,2 %. Modal psikologi tidak berperan meningkatkan kinerja pegawai, dilihat dari :
koefisien parameter sebesar -0,008 dan nilai P lebih besar dari 0,05. Sumbangan efektif modal psikologi terhadap kinerja sebesar 0 %. Sementara itu work engagement berperan langsung terhadap kinerja dengan koefisien parameter sebesar 0,708 dan nilai P lebih kecil dari 0,05. Sumbangan efektif work engagement terhadap kinerja sebesar 50,1 %. Persepsi budaya organisasi juga tidak berperan secara signifikan terhadap peningkatan kinerja, dilihat dari koefisien parameter -0,138 dan nilai P lebih besar dari 0,05. Sumbangan efektif persepsi budaya organisasi sebesar 1,9 %. Berdasarkan hasil analisis SEM yang dilakukan, terdapat pengaruh yang tidak signifikan dari persepsi budaya organisasi pada kinerja. Begitu pula dengan pengaruh modal psikologi, tidak terdapat signifikansi pengaruh variabel tersebut secara langsung terhadap kinerja pegawai Sekretariat Daerah Kabupaten Katingan. Hasil penelitian ini berbeda dari hasil penelitian yang dikemukakan oleh Sudarmadi (2007) dan Uddin et.al (2013) yang menemukan bahwa adanya pengaruh positif dari budaya organisasi terhadap kinerja karyawan. Sementara itu penelitian lainnya yang dilakukan Lestari (2015) menunjukkan modal psikologi berkontribusi dalam meningkatkan kinerja karyawan. Persepsi budaya organisasi dan modal psikologi pegawai Setda Kabupaten Katingan tidak mampu memprediksi kinerja dengan signifikan. Namun demikian, kedua variabel tersebut memiliki andil yang signifikan pada kinerja jika di mediasi oleh variabel work engagement. Sumbangan efektif persepsi budaya organisasi terhadap work engagement sebesar 7,2 % dan modal psikologi sebesar 62,8 %, dengan demikian dapat dikatakan 70 % varian work engagement dapat dijelaskan oleh budaya organisasi dan modal psikologi secara bersama-sama. Hasil analisi dari variabelvariable tersebut dapat dilihat dalam tabel berikut ini:
100
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
Tabel 1 Peran langsung variabel penelitian Var
Pengaruh Langsung
Var
CR
P
β/koef
r2
Ket
WE
MP
4,478 0,000
0,793
0,628
sig
WE
BO
2,364 0,018
0,270
0,072
sig
K
MP
-0,026 0,979
-0,008
0,000 Tdk sig
K
WE
2,066 0,039
0,708
0,501
-0,964 0,335
-0,138
0,019 Tdk sig
K
BO
Sig
Keterangan: K = kinerja, WE = work engagement, MP = modal psikologi, BO = budaya organisasi.
Budaya organisasi memegang peranan penting dalam menciptakan kinerja yang optimal serta iklim kerja yang kondusif untuk mencapai tujuan organisasai. Hal ini seperti yang dikemukakan Robbins (2008) bahwa budaya organisasi dapat membentuk sikap kerja dan perilaku kerja karyawan sesuai dengan tujuan organisasi. Budaya organisasi yang kondusif dapat mendukung kinerja karyawan, sehingga karyawan mampu memberikan kontribusi yang maksimal bagi organisasi. Sebaliknya budaya organisasi yang kurang kondusif dapat mempengaruhi efekfitifas serta kinjera organisasi secara menyeluruh. Secara independen variabel budaya organisasi tidak mampu memprediksi kinerja pegawai pada Sekretariat Daerah. Beberapa permasalahan yang terungkap melalui wawancara diantaranya adalah kedisiplinan dan rasa keadilan. Permasalahan-permasalahan tersebut membentuk budaya organisasi yang kurang menunjang efektifitas budaya organisasi. Berdasarkan data wawancara, sebagian pegawai yang bekerja kurang menunjukan
kedisiplinan. Para pegawai tersebut secara umum hanya memenuhi administrasi dengan masuk tepat waktu untuk melakukan daftar hadir melalui sistem finger print namun setelah itu para pegawai banyak yang keluar masuk kantor tanpa izin atasan dan alasan yang jelas. Selain itu banyak aktifitas pekerjaan yang ditunda dan tidak dilakukan dengan segera sehingga menghambat kinerja. Hal tersebut telah menjadi budaya organisasi sehingga kinerja organisasi secara menyeluruh kurang efektif. Permasalahan lain yang membuat budaya organisasi ini kurang efektif adalah sistem yang kurang memadai. Sistem dalam pemerintahan kurang mampu mengidentifikasi pegawai yang memiliki kinerja yang baik ataupun kinerja yang kurang baik. Sementara itu, reward yang diberikan pada para pegawaipun relatif sama. Hal ini mengakibatkan motivasi para pegawai untuk menghasilkan kinerja yang optimal kurang mendapat inforcement atau penguatan. Para pegawai menganggap pekerjaan yang dihasilkan tepat waktu ataupun
101
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
pekerjaan lainnya yang dilakukan dengan memperhatikan kualitas akan diganjar sama dengan pegawai lainnya. Namun demikian, persepsi pegawai terhadap budaya organisasi ini memiliki andil yang signifikan terhadap work engagement pegawai. Temuan ini sejalan dengan pendapat Markos dan Sandhya dalam Markos (2010), bahwa salah satu cara membangun engagement dalam lingkungan kerja adalah menciptakan iklim dan budaya kerja yang baik. Hasil temuan lain pada penelitian ini adanya peran modal psikologi dalam mempengaruhi tingkat work engagement. Modal psikologi diantaranya adalah hope, optimism, dan resiliensi (Luthans 2010). Hope di indikasikan sebagai sebagai keadaan positif yang didasarkan pada rasa keberhasilan, energi yang terarah pada tujuan, dan rencana mencapai tujuan. Sementara optimism adalah pandangan seseorang yang menyeluruh, memandang sesuatu dengan positif, berpikir secara positif dan mudah memberikan makna yang berarti bagi dirinya (Seligman, 1991). Aspek-aspek tersebut secara umum identik dengan aspek dari vigor dan dedication Vigor yang dikemukakan oleh Schaufeli. Sehingga semakin tinggi modal psikologi yang dimiliki oleh para pegawai di sekretariat daerah dapat meningkatkan work engagement. Hal ini sejalan dengan pernyataan Sweetman dan Luthans (2010) bahwa modal psikologi yang dimiliki seseorang akan mempengaruhi tingkat keterikatan kerja (work engagement) baik secara langsung maupun tidak langsung, semakin baik modal psikologi yang dimiliki seseorang maka semakin tinggi work engagement seseorang. Variabel kinerja pada penelitian ini secara langsung dipengaruhi oleh work engagement. Temuan ini memberikan pemahaman bahwa semakin tinggi work engagement pegawai dilingkungan Sekretariat Daerah Kabupaten Katingan maka diikuti dengan kinerja yang baik. Keterikatan variabel ini banyak ditemukan pada penelitian sebelumnya seperti Medlin & Green (2009) dan pendapat schaufeli (2008).
KESIMPULAN Variabel persepsi budaya organisasi dan modal psikologi tidak mempengaruhi kinerja secara langsung, melainkan harus dimediasi oleh work engagement. Hal ini menunjukkan model work engagement terbukti dapat digunakan sebagai mediator untuk memfasilitasi peran variabel independen terhadap variabel dependen. Variabel modal psikologi menjadi penyumbang terbesar terhadap variabel mediator daripada persepsi budaya organisasi.
DAFTAR PUSTAKA Amstrong, M. (1998). Performance Management. St. Ives Ple: Clays Ltd. Aon Hewitt. (2015). 2015 Trends in Global Employee Engagement: Making Engagement Happen. Bakker, A. B., & Bal, M. (2010). Weekly work engagement and performance: A study among starting teachers. Journal of Occupational and Organizational Psychology, 83, 189-206. Bakker, dkk. (2007). Job resources boost work engagement, particularly when job demands are high. Journal of Educational Psychology, 99, 274–284. Bandura, A. (1997). Self Efficacy: The Exercise of Control. New York: W. H. Freeman and Company. Baron, A. R., & Jerald, G. (2000). Behavior in Organization: Understanding and Managing The Human Side of Work. Canada: Prentice Hall International Inc. Bernardin, H. d. (2000). Human Resource Management. New York: McGraw Hill.
102
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
Borman, dkk. (2003). HandBook of Psychology: Volume 12 Industrial and Organizational Psychology. Canada: John Wiler & Sons, Inc. Brouze, K. L. (2013). Examining The Mediating And Moderating Role Of Psychological Capital In The Job Demand-Resources Model. Chatman., Jennifer., & Bersade (1997). Employee Satisfaction, Factor Associated with Company Performance. Journal of Applied Psychology , 29-42. Chaudhary, R., Rangnekar, S., & Barua, M. K. (2012). Relationships between occupational self efficacy, human resource development climate, and work engagement. Team Performance Management, 18, 370-383. Dessler, G. (2003). Human Resource Management. New Jersey: Prentice Hall. DeVrye, C. (2001). Good Service is Good Business (7 Strategi Sederhana Menuju Sukses). Jakarta: Gramedia. Furtwengler, D. (2002). Penilaian Kinerja: Menguasai Keahlian Yang Anda Perlukan Dalam 10 Menit. Yogyakarta: Andi. Ghazali, I. (2014). Model Persamaan Struktural Konsep dan Aplikasi dengan Program AMOS 22.0. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Ghazali, I., & Fuad. (2005). Structural Equation Modeling: Teori, Konsep dan Aplikasi dengan Program LISREL. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Ghazali, I., & Fuad. (2005). Structural Equation Modeling: Teori, Konsep dan Aplikasi dengan Program LISREL. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
Ghazali, I., & Fuad. (2014). Structural Equation Modeling: Teori, Konsep dan Aplikasi dengan Program LISREL 9.10. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Gibson, I. &. (1997). Organisasi : Perilaku, Struktur, Proses. Jakarta: Erlangga. Hakanen, J. J., Bakker, A. B., & Schaufeli, W. B. (2006). Burnout and Work Engagement Among Teachers. Journal of school psychology, 43, 495-513. Kotler, P. &. (2008). Prinsip-prinsip Pemasaran. Jakarta: Erlangga. Kreitner, R. &. (2005). Perilaku Organisasi. Jakarta: Salemba Empat. Luthans, F. (2006). Perilaku Organisasi. Yogyakarta: Andi. Luthans, F. Y. (2007). Psycological Capital : Developing The Human Competitive Edge. New York: Oxford University Press. Markos, S. (2010). Employee Engagement : The Key to Improving Performance. International Journal of Business and Management , 89-96. Medlin, Bobby & Green, Kenneth W. (2008). Enhancing Performance Through Goal Setting, Engagement, And Optimism. Emerald Group Publishing Limited Mondy, R. &. (2005). Human Resource Management. Massachusetts: Prentice Hall. Robbins, S. &. (2008). Organizational Behavior (Perilaku Organisasi). Jakarta: Salemba Empat. Robbins, S. P. (2003). Essential of Organizational Behavior. India: Prentice-Hall. Russell, B. &. (2000). Human Resources Management. New York: Mc Graw Hill.
103
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
Schaufeli, W. B. (2006). The measurement of work engagement with a short questionnaire: across-national study. educational and psychological measurement, 4. Seligman, M. (1991). Learned Optimism. New York: Alfred A Knopf Inc. Shimazu, A., Schaufeli, W. B., Kamiyama, K., & Kawakami, N. (2014). Workaholism vs. Work Engagement: the Two Different Predictiors of Future Well-being and Performance. International Journal of Behavioral Medicine, 22, 18-23. Sobirin, A. (2009). Budaya Organisasi. Yogyakarta: UPP STIM YKPN. Sugiyono. (2011). Metode Penelitian Kombinasi. Bandung: Alfa Beta. Taylor, S. (1995). Health Psychology. Singapore: McGraw Hill. Inc. Uddin, M. J. (2013). Impact of Organizational Culture on Employee Performance and Productivity : A Case Study of Telecommunication Sector in Bangladesh. International Journal of Business and Management , 71. Wilderom, C. P. M., Glunk, U., & Maslowski, R. (2000). Organizational Culture as a Predictor of Organizational Performance: Handbook of Organizational Culture and Climate. Yamin, S., & Kurniawan, H. (2009). Strucutral Equation Modeling: Belajar Lebih Mudah Teknik Analisis Data Kuistioner dengan Lisrel - PLS. Jakarta: Salemba Infotek.
104
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
Advokasi Sahabat Perempuan Untuk Pemenuhan Hak Perempuan Korban Kekerasan di Kabupaten Magelang
Avyn Nur Hermizha Magister Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Magelang, Jawa Tengah, Indonesia
[email protected]
secara optimal. Selain itu juga dikarenakan kurangnya informasi yang didapatkan oleh masyarakat terutama korban. Kemudian kurang optimalnya peran dari Pusat Pelayanan Terpadu di Kabupaten Magelang mengakibatkan layanan tidak maksimal. Upaya advokasi Sahabat Perempuan untuk pemenuhan hak perempuan korban dilakukan dengan penyadaran dari masyarakat, audiensi dengan DPRD kabupaten Magelang dan bekerjasama dengan Pemerintah Daerah Kabupaten Magelang.
Abstrak --- Kasus kekerasan terhadap perempuan kini semakin meningkat. Tentunya hal ini menjadi sebuah permasalahan yang cukup besar karena mengakibatkan dampak di masyarakat. Salah satu tugas pemerintah adalah melakukan perlindungan bagi para korban salah satunya dengan memenuhi hak yang seharusnya didapatkan oleh mereka. Akan tetapi masih banyak korban yang belum dapat mengkases layanan secara maksimal sesuai yang telah diamanatkan dalam undangundang dan peraturan daerah di Kabupaten Magelang. Tujuan penelitian ini sebagai masukan kepada pihak terkait yaitu Pusat Pelayanan Terpadu dan Pemerintah Daerah Kabupaten Magelang terkait kebijakan untuk dapat memenuhi hak perempuan korban kekerasan di Kabupaten Magelang. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Teknik pengumpulan data menggunakan observasi, wawancara, dan dokumentasi. Informan dalam penelitian ini yakni Pemerintah Daerah Kabupaten Magelang yang terjaring dalam Pusat Pelayanan Terpadu, Sahabat Perempuan dan Korban.Hasil Penelitian menunjukan bahwa anggaran yang ada di Kabupaten Magelang untuk perempuan korban sangat minim sehingga layanan tidak dapat diakses
Kunci : advokasi, lembaga swadaya masyarakat
BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Kekerasan di Indonesia merupakan sebuah masalah sosial yang masih banyak terjadi di masyarakat. Tindakan kekerasan tersebut bahkan sering mengakibatkan gangguan kesehatan fisik maupun psikologi hingga kematian, mengingat bahwa sebagian besar para korban kekerasan ini adalah perempuan dan anak. Terlebih isu kekerasan seksual pada anak kini semakin hangat diperbincangan di
105
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
seperti kasus kekerasan seksual pada anak khususnya di masyarakat pedesaan, hal tersebut sering diselesaikan cukup dengan mediasi, sehingga tidak mengedepankan perlindungan terhadap korban. Hal ini disebabkan mereka cenderung melaporkan permasalahan pada tokoh-tokoh informal masyarakat. Maka dapat dikatakan tidak semua kasus tindakan kekerasan tersebut berujung di pengadilan.
media massa. Tentunya hal ini menjadi keresahan bagi masyarakat maupun pemerintah dalam menangani banyaknya muncul tindakan kekerasan tersebut. Berbagai laporan menyebutkan bahwa tingkat kekerasan terhadap perempuan di Amerika Serikat menempati rangking pertama. Di negara maju itu, wanita yang berpendapatan rendah, paling rentan terhadap kekerasan di tengah keluarga dan pelecehan seksual. Anehnya, kurang dari 5 persen pelaku kekerasan terhadap perempuan dinyatakan bersalah dan hanya 3 persen dari mereka mendekam di penjara. Dengan kata lain, 15 dari 16 pelaku kekerasan terhadap perempuan divonis bebas. Menurut laporan PBB pada tahun 2010, 40 persen remaja putri AS mengalami kekerasan fisik dan mental yang dilakukan pacarnya. Masalah itu di Barat mengindikasikan penurunan usia kekerasan terhadap perempuan. Di militer AS, sepertiga serdadu perempuan juga menjadi korban pelecehan seksual. Pada masyarakat Eropa dengan segudang klaimnya untuk membela hak-hak perempuan, juga tidak mampu menjaga perempuan terhadap pelecehan-pelecehan di tengah masyarakat. Jumlah perempuan dalam sebuah keluarga Eropa yang mengalami kekerasan fisik dan mental, sangat mengkhawatirkan. Di Inggris ada banyak kasus kekerasan terhadap perempuan. Peningkatan eksploitasi wanita telah menjadi masalah serius bagi masyarakat Inggris. Di negara pemuja HAM itu, hampir setiap menit, wanita menghubungi polisi karena berada dalam bahaya akibat kekerasan di keluarga (Irib Indonesia : 2013).
Menurut data Komnas Perempuan pada 2016 Jumlah kasus Kekerasan Terhadap Perempuan 2015 sebesar 321.752, bersumber pada data kasus/perkara yang ditangani oleh Pengadilan Agama atau Badan Peradilan Agama (PA-BADILAG) sejumlah 305.535 kasus, dan dari lembaga layanan mitra Komnas Perempuan sejumlah 16.217 kasus. Sebanyak 11.207 kasus di ranah kekerasan dalam rumah tangga, 60% atau 6.725 kasus berupa kekerasan terhadap istri, 24% atau 2.734 kasus kekerasan dalam pacaran, dan 8% atau 930 kasus kekerasan terhadap anak perempuan, Sebanyak 5.002 kasus (31%) terjadi di ranah komunitas. Pada tahun 2015 sama seperti tahun 2014, kekerasan tertinggi adalah kekerasan seksual (61%). Jenis kekerasan seksual di komunitas tertinggi adalah: perkosaan (1.657 kasus), lalu pencabulan (1.064 kasus), pelecehan seksual (268 kasus), kekerasan seksual lain (130 kasus), melarikan anak perempuan (49 kasus), dan percobaan perkosaan (6 kasus) (Komnas Perempuan : 2016). Selain itu banyaknya kasus yang tidak di laporkan juga berpengaruh pada pendataan. Selain itu kasus kekerasan pada anak juga marak terjadi di Indonesia. Kasus yang sering terjadi adalah pencabulan dan pemerkosaan. Menurut data dari Komisi Nasional Perlindungan Anak (KPAI) periode Maret 2015, kasus kekerasan seksual tertinggi sebesar 35 persen di Indonesia. Menurut data KPAI dari tahun 2011 hingga 2014, angka kasus kekerasan seksual selalu meningkat. Pada tahun 2011, kasus kekerasan sebanyak 328.
Di Indonesia kekerasan terhadap perempuan merupakan sebuah tindak pidana, akan tetapi implementasi tindakan hukum belum dapat berjalan efektif karena terhalang norma adat yang melihat bahwa kekerasan khususnya dalam rumah tangga merupakan permasalahan pribadi. Seringkali kasus-kasus tindakan kekerasan yang tidak ditindaklanjuti, bahkan ketika
106
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
Di tahun 2012 naik menjadi 746, lalu 525 kasus pada 2013 dan meningkat drastis sebanyak 1380 pada tahun 2014 (Tanjung : 2015).
bidang perlindungan bagi perempuan dan anak yang menjadi korban kekerasan. Selain melakukan pelayanan dan pendampingan kasus, Sahabat Perempuan juga melakukan advokasi kebijakan kepada pemerintah daerah demi memenuhi hakhak korban kekerasan. Terlebih berdasarkan data anggaran pemerintah daerah di tahun 2015 untuk perlindungan terhadap perempuan dan anak korban kekerasan masih tergolong kecil.
Peningkatan kasus kekerasan dari tahun ke tahun di Indonesia merupakan bentuk tindakan kejahatan yang semakin meresahkan masyarakat, terlebih tingkat perlindungan yang harus ditingkatkan pada korban yang biasanya adalah masyarakat rentan seperti perempuan dan anak. Tugas pemerintah untuk menangani kasus tersebut yaitu melakukan sebuah perlindungan dengan mengeluarkan peraturan berupa Undang-Undang yang memuat hak perempuan dan anak korban kekerasan pada UU No. 23 Tahun 2004 mengenai UUPKDRT (Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga), UU No. 21 Tahun 2004 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak. Peraturan dan undang-undang yang telah ditetapkan pemerintah merupakan bentuk perlindungan bagi para korban dalam memenuhi haknya. Selain itu juga sebagai bentuk kewajiban dan tugas negara untuk melindungi dengan salah satu cara membentuk sebuah peraturan. Akan tetapi pada kenyataan di lapangan banyak korban kekerasan yang belum dapat tercover dengan baik untuk mendapatkan haknya. Selain karena kurangnya pengetahuan, minimnya infromasi serta pelayanan dari negara yang kurang maksimal mengakibatkan terjadinya banyak korban yang tidak terlindungi sesuai koridornya. Maka kondisi tersebut membuktikan bahwa dalam melakukan perlindungan terhadap korban kekerasan anak dan perempuan tidak hanya berada pada pundak negara saja.
B. Rumusan Masalah Bagaimana advokasi yang dilakukan Sahabat Perempuan dalam mendorong pemerintah untuk pemenuhan hak perempuan dan anak korban kekerasan di Kabupaten Magelang ? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian a. Manfaat Akademik/Teoretik Dapat memberikan sumbangan informasi maupun pemikiran yang dapat digunakan oleh peneliti selanjutnya terkait upaya advokasi kebijakan yang dilakukan oleh lembaga swadaya masyarakat. b. Manfaat Praktis Memberikan masukan kepada pihak terkait yaitu Pusat Pelayanan Terpadu dan Pemerintah Daerah Kabupaten Magelang terkait kebijakan untuk dapat memenuhi hak perempuan korban kekerasan di Kabupaten Magelang. D. Teori
Dukungan dan kerjasama yang kuat perlu dijalin kepada masyarakat seperti Lembaga Swadaya Masyarakat yang bergerak di isu tersebut seperti Sahabat Perempuan yang berada di Kabupaten Magelang. LSM tersebut bergerak di
a. Konsep Kekerasan Kekerasan merupakan sebuah tindakan penganiayaan, atau perlakuan yang salah. menurut WHO kekerasan adalah
107
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
orang yang lebih besar (melalui kata, sentuhan, gambar visual) maupun perlakuan kontak secara langsung seperti perkosaan d. Kekerasan secara sosial Kekerasan secara sosial dapat menacangkup penelantaran anak dan ekploitasi anak. Penelantaran anak adalah sikap dan perlakuan yang tidak memberikan perhatian yang layak pada pertumbuhkan anak seperti dikucilkan oleh keluaraga. Sedangkan ekploitasi anak menunjuk pada sikap diskriminatif atau perlakuan sewenang-wenang terhadap anak yang dilakukan keluarga atau masyarakat seperti melakukan pemaksaan terhadap anak untuk kepentingan ekonomi.
penggunaan kekuatan fisik dan kekuasaan, ancaman, atau tindakan terhadap diri sendiri, perorangan, atau sekelompok orang atau masyarakat yang mengakibatkan mamar atau trauma, kematian, kerugian psikologis, kelainan atau perampasan hak. Sedangkan kekerasan seksual merupakan bentuk kontak seksual atau bentuk lain yang tidak diinginkan secara seksual. Kekerasan seksual biasanya disertai dengan tekanan psikologis atau fisik (O’Barnett et al., dalam Matlin, 2008). Kemudian perkosaan merupakan jenis kekerasan seksual yang spesifik. Perkosaan dapat didefinisikan sebagai penetrasi seksual tanpa izin atau paksaan serta kekerasan fisik (Matlin, 2008). Menurut Suharto (1997) kekerasan pada anak dapat dikelompokkan menjadi : a. Kekerasan anak secara fisik Kekerasan secara fisik merupakan bentuk penyiksaan,pemukulan, dan penganiayaan terhadap anak degan menggunakan benda maupun tidak, yang emnimbulkan luka secara fisik bahkan kematian. Bentuk luka dapat berupa lecet atau memar akibat persentuhan kekerasan seperti bekas gigitan, cubitan,ikat pinggang atau rotan bahkan juga dapat berbentuk bekas luka bakar. b. Kekerasan anak secara psikis Kekerasan secara psikis meliputi penghardikan, penyampaikan kata-kata kotor, memperlihatkan buku, gambar atau film pornografi pada anak. c. Kekerasan secara seksual Kekerasan secara seksual dapat berupa perlakuan prakontak seksual antara anak dengan
b. Advokasi Secara umum advokasi adalah aksi-aksi sosial, politik dan kultural yang dilakukan secara sistematis dan terencana, dilakukan secara kolektif untuk mengubah kebijakan publik dalam rangka melindungi hak-hak rakyat dan menghindari bencana buatan manusia. Menurut sosiologi, aksi berbeda dengan perilaku. Aksi mengandung tujuan dan dilakukan secara sadar. Sedangkan perilaku bisa terjadi tanpa tujuan dan tanpa sadar (Abercrombie et.al. 1998:2). Advokasi juga dapat dikatakan sebagai suatu media atau cara yang digunakan dalam rangka mencapai tujuan tertentu secara sistematis dan terorganisir untuk mempengaruhi dan mendesakkan terjadinya perubahan dalam kebijakan publik secara bertahap dan maju (incremental) (Rachmat Syafaat, 2008).
108
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
dan terorganisir untuk mempengaruhi dan mendesakkan terjadinya perubahan dalam kebijakan publik secara bertahapmaju (incremental). Oleh Mansour Fakih advokasi ini ditujukan untuk mengubah, meyempurnakan, atau membela suatu kebijakan tertentu tanpa menguasai atau merebut kekuasaan politik. Jadi wajar ketika aktor-aktor politik yang melaksanakan advokasi sejatinya mereka adalah aktor diluar struktur yang mencoba mempengaruhi struktur tanpa mengganti atau menguasai struktur kekuasaan tersebut.
Selain itu juga advokasi adalah bentuk membangun organisasi-organisasi yang kuat untuk membuat para penguasa bertanggung jawab dan menyangkut peningkatan keterampilan serta pengertian rakyat tentang bagaimana kekuasaan itu bekerja. Advokasi memusatkan perhatian pada banyak permasalahan yang ada di masyarakat, seberapa banyak mereka mendapatkanya, siapa yang ditinggalkan, bagaimana uang rakyat dibelanjakan, bagaimana keputusan dibuat, bagaimana sejumlah orang dicegah, dan bagaimana informasi dibagikan atau disembunyikan (Miller dan Jane, 2005:12). Maka dapat dikatakan bahwa advokasi merupakan proses terencana dan sistematis yang dilakukan untuk mendorong lahirnya suatu kebijakan atau memperbaiki atau mengubah suatu kebijakan publik sesuai dengan kehendak atau kepentingan siapa yang mendesakkan terjadinya perbaikan dan perubahan tersebut, dengan jalan mempengaruhi para penentu kebijakan. Advokasi didefinisikan beragam. Secara sempit advokasi lekat dengan perspektif hukum atau pembelaan dalam pengadilan. Namun pengertian advokasi disini sebenarnya tidak hanya mempunyai arti ‘membela’ tetapi juga ‘mengajukan’ atau ‘mengemukakan’ yang berarti juga mempunyai arti untuk berusaha ‘menciptakan’ yang baru (Topatimasang, 2005:7). Mansour Fakih mengatakan, advokasi merupakan suatu usaha sistemik
Secara lebih detail tujuan dari advokasi adalah: 1. Menarik perhatian para pembuat kebijakan terhadap masalah-masalah yang dihadapi kelompok marjinal 2. Mempengaruhi proses pembuatan dan implementasi dari kebijakankebijakan yang ada. 3. Memberi pemahaman kepada publik tentang detail dari berbagai kebijakan, sistem-sistem yang ada serta skema-skema kesejahteraan sosial. 4. Meningkatkan keterampilan dan cara pandang individu maupun kelompokkelompok sosial agar kebijakan bisa diimplementasikan secara baik dan benar. 5. Menciptakan sistem pemerintahan yang berorientasi pada rakyat. 6. Mendorong tumbuhnya aktivisaktivis keadilan sosial yang muncul dari kekuatan masyarakat sipil (Pamungkas :2005).
109
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
Gambar 1: Skema Kerja Proses Advokasi KERJA GARIS DEPAN: fungsi lobbi, perundingan, juru bicara, menggalang sekutu
KERJA PENDUKUNG: menyediakan dukungan dana, informasi, data, akses
KERJA BASIS: membangun massa, pendidikan politik kader, membangun lingkaran inti, mobilisasi aksi
Sumber: Topatimasang, 2007:52 Dalam proses advokasi, Topatimasang telah menyederhanakan pola dasar dalam advokasi kebijakan. Dia membaginya menjadi tiga fungsi yang saling berkaitan dan saling mendukung. Tiga fungsi tersebut adalah kerja pendukung, kerja basis (ground works), dan kerja garis depan (front liner). Sedangkan pada strategi
advokasi dapat dicakup kedalam dua hal : pertama, konsolidasi jejaring yang ada yang agar menjadi kekuatan yang lebih solid dalam mendorong advokasi kebijakan kedua, kombinasi berbagai aktivitas atau strategi advokasi agar tujuan yang ada bisa dicapai secara maksimal. (Hasrul Hanif & Rachmad Gustomy : 2010: 60)
Gambar 2 STARTEGI ADVOKASI
KONSOLIDASI AKSI KOLEKTIF
KOMBINASI SIASAT
Sumber : Hasrul Hanif & Rachmad Gustomy : 2010: 60
Advokasi berbasis jejaring membutuhkan kerja-kerja yang bersifat kolektif. Oleh karena itu konsolidasi aksi kolektif adalah sebuah kebutuhan yang tidak terhindarkan agar kerja-kerja advokasi berjalan secara optimal,
110
tahan lama dan berkesinambungan. Meskipun demikian, usaha kearah itu tidak bisa dilakukan secara singkat dan simpatik. Perlu siasat dan keterampilan untuk menjaga dan mengkreasi konsolidasi kolektif.
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
luas terjadi dari lembaga yang beragam. Mereka mencoba mendefinisikan batasan NGOs dilihat dari bentuk, ukuran dan fungsinya yang dibedakan menjadi 3 tipe yakni: NGOs internasional seperti Save the Children Aid (biasanya disebu sebagai “Northern NGOs” atau “NGOs”); LSM “perantara” di selatan (NGOs, selatan) yakni mereka yang mendukung kerja kelompok akar rumput (grassroots) melalui pendanaan, nasihat teknis dan advokasi; gerakan akar rumput dari jenis yang beragam (organisasi akar rumput atau GROs, dan organisasi yang berbasis komunitas atau CBOs) yang dikendalikan oleh anggotanya sendiri; serta jaringan kerja maupu federasi yang terdiri atas beberapa atau seluruh tipe LSM di atas (Mansour fakih, 2004:2-3)
Secara spesifik, kerja konsolidasi kolektif dimaksudkan untuk : a. Merekayasa agar para pihak untuk menempa pola perilaku baru b. Menyamakan mimpi sehingga semua pihak berada dalam nada dan irama yang sama c. Menyepakati cara berfikir dan cara bekerja baru dilapangan dan dilakukan dalam berbagai kesepakatan baik yang informal maupun formal seperti aturan, prosedur, tata kerja dan sebagainya. Dalam strategi advokasi kombinasi siasat hal terpenting pada advokasi kebijakan adalah bagaimana membangun siasat yang tepat agar misi dari advokasi tercapai. Ada dua kategori siasat dalam melakukan advokasi yakni yaitu strategi otak dan strategi otot. (Hasrul Hanif & Rachmad Gustomy : 2010: 61).
LSM secara tegas didefinisikan dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri No.8/1990, yang menyebutkan bahwa LSM adalah organisasi atau lembaga yang anggotanya adalah masyarakat warga negara Republik Indonesia yang secara sukarela atau kehendak sendiri berniat secara bergerak di bidang kegiatan tertentu yang ditetapkan oleh organisasi atau lembaga sebagai wujud partisipasi masyarakat dalam upaya untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat, yang menintikberatkan kepada pengabdian secara swadaya. Budairi (2002) menyebutkan bahwa LSM, dalam pengetian yang lebih politis adalah organisasi keswadayaan masyarakat yang diorientasikan sebagai tandingan pemerintah. Sedangkan Abdul Hakim Garuda Nusantara dalam Budairi (2002) mengtakan bahwa definisi LSM dapat diartikan sebagai geakan yang tumbuh untuk menumbuhkan kesadaran dan kemandirian
c. Konsep Organisasi Masyarakat Sipil Organisasi masyarakat sipil adalah organisasi masyarakat yang didirikan secara sukarela berbeda dengan aparat-aparat pemerintah. Sifat dari masyarakat sipil bisa kita sebut sebagai organisasi masyarakat sipil dimana organisasi nonpemerintah, LSM, mempunyai peranan besar sebagai organisasi masyarakat sipil. Peranan utama CSO-CSO (Civil Society Organisation/Organisasi Masyarakat Sipil) dalam isu pembangunan berkelanjutan adalah termasuk untuk membatasi kekuasaan dan melakukan kontrol demokratik terhadap pemerintah (Arsenio Bano : 2000). Istilah organisasi masyarakat sipil ini sendiri merupakan bentuk dari adaptasi bahasa Inggris Non Govermental Organisasions (NGOs). Edward dan Humme mendefinisikan istilah NGOs sebagai kategori organisasi yang batasannya sangat
111
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
masyarakat yang pada akhirnya meningkatkan kesejahteraan rakyat. Menurut Peter Hannan (1988), menyebutkan bahwa LSM adalah organisasi yang bertujuan untuk mengembangkan pembangunan di tingkat grassroots, biasanya melalui penciptaan dan dukungan terhadap kelompok-kelompok swadaya lokal. Sasaran LSM adalah untuk menjadikan kelompok-kelompok ini berswadaya setelah proyeknya berakhir. Sedangkan George Junus Aditjondro dalam Budairi (2002) juga mengatakan bahwa istilah LSM diberikan kepada semua organisasi yang melakukan oposisi dan kritik terhadap kebijaksanaan pemerintah. BAB II Metode Penelitian A. Jenis Penelitian Penelitian mengenai “Advokasi LSM Sahabat Perempuan Untuk Pemenuhan Hak Perempuan Korban Kekerasan“ ini menggunakan metode kualitatif. Penggunaan metode dalam penelitian ditujukan untuk mempermudah dalam pelaksanaan penelitian yang diangkat. Berangkat dari persoalan yang akan diteliti tersebut, penulis menggunakan metode penelitian kualitatif dengan harapan nantinya hasil penelitian dapat lebih menyeluruh dan kontekstual sesuai dengan realitas di lapangan. Penelitian kualitatif pada hakekatnya adalah mengamati orang dalam lingkungan hidupnya, berinteraksi dengan mereka, serta memahami bahasa dan tafsiran tentang dunia disekitarnya. Metode penelitian kualitatif digunakan untuk meneliti pada kondisi alamiah, dimana peneliti sebagai instrumen kunci, teknik pengumpulan data dilakukan kualitatif lebih menekankan pada makna (Sugiono : 2012). Metode penelitian kualitatif lebih tepat digunakan untuk menganalisis realitas sosial secara mendalam. Pemilihan metode kualitatif sebagai metode
dalam penelitian didasarkan pada fungsi dari metode kualitiatif itu sendiri. Metode kualitatif memberikan kebebasan bagi peneliti untuk memperoleh atau menemukan jawaban dari permasalahan yang akan diteliti sedalam-dalamnya. Menurut Bodgan dan Taylor metode penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati (Lexy J Moleong : 2010). Penelitian dengan menggunakan metode kualitatif ini akan mempelajari latar belakang dan masalah yang diteliti secara mendalam dan melakukan interaksi secara menyeluruh pada elemen yang menjadi obyek penelitian. Metode ini dianggap tepat untuk dapat mengetahui secara mendalam proses Advokasi yang dilakukan LSM Sahabat Perempuan untuk pemenuhan hak perempuan korban kekerasan di Kabupaten Magelang dengan berbagai dinamika yang terjadi di dalamnya. B. Teknik Pengumpulan Data 1. Observasi Peneliti mengumpulkan data menyatakan terus terang terhadap sumber data, bahwa akan melakukan penelitian. Jadi, mereka yang diteliti mengetahui sejak awal sampai akhir aktivitas yang dilakukan peneliti terhadap subyek atau sumber data. Tetapi, dalam suatu saat peneliti juga tidak terus terang atau tersamar dalam melakukan observasi. Hal ini untuk menghindari kalau data yang dicari merupakan data yang masih dirahasiakan. Observasi dilakukan dengan cara pengamatan atau pencatatan secara langsung terhadap informasi atau hal yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti. Observasi dilakukan dengan melihat kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh Sahabat Perempuan dalam upaya menangani dan melindungi serta advokasi yang dilakukan dalam emmenuhi hak perempuan korban kekerasan. Kegiatan tersebut seperti FGD dengan
112
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
DPRD, interaksi dengan beberapa pihak terkait yang berhubungan dengan permaslaahn tersebut. 2. Wawancara Menurut Eistenbergh dalam Sugiono (2012:72), wawancara merupakan pertemuan dua orang untuk bertukar informasi dan ide melalui tanya jawab, sehingga dapat dikonstruksikan makna dalam suatu topik tertentu. “a meeting of two persons to exchange information and idea through questionand responses, resulting in communication and joint construction of meaning about a particular topic.” (Eistenbergh dalam Sugiono, 2012:72). Dengan melakukan wawancara, maka peneliti mengetahui hal-hal yang lebih mendalam tentang partisipan dalam menginterpretasikan situasi dan fenomena yang terjadi, dimana hal ini tidak bisa didapatkan melalui observasi. Jenis wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara semiterstruktur. Jenis wawancara ini termasuk dalam kategori indepth interview, dimana dalam pelaksanaannya lebih bebas bila dibandingkan dengan wawancara terstruktur. Tujuan dari wawancara jenis ini adalah menemukan permasalahan secara lebih terbuka, dimana pihak yang diajak wawancara juga diminta pendapat dan ideidenya. Dalam penelitian ini, peneliti melakukan wawancara mendalam kepada komponen yang ada di Sahabat Perempuan dan pihak pemerintahan Kabupaten Magelang seperti anggota Pusat Pelayanan
Terpadu yang meluputi Bapermaspuan, Dinas Kesehatan, Dinas Sosial, dan Korban. 3. Dokumentasi Dokumentasi merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu. Menurut Sugiyono (2012:82), dokumentasi bisa berbentuk tulisan, gambar, atau karya monumental dari seseorang. Dokumentasi merupakan bentuk pengumpulan dan pencatatan data yang diperoleh dengan menggunakan media sebagai bentuk laporan. Media dapat secara tertulis maupun berupa foto, rekaman audio dan audio visual, yang kemudian akan digunakan sebagai pendukung penelitian. Dokumentasi ini merupakan pelengkap dari penggunaan metode observasi dan wawancara dalam penelitian kualitatif. Dokumen yang dibutuhkan nantinya dapat berupa foto-foto maupun vidio kegiatan yang pernah dilakukan oleh Sahabat Perempuan. Pengumpulan data ini dapat bersumber dari berbagai dokumen yang berhubungan dengan penelitian, seperti APBD Kabupaten Magelang tahun 2015, data kekerasan perempuan, serta foto kegiatan yang dilakukan oleh Sahabat Perempuan dalam upaya advokasi kebijakan.
BAB III Pembahasan Avokasi yang dilakukan oleh Sahabat Perempuan dengan pengumpulan data keseluruhan kasus kekerasan perempuan dan anak di Kabupaten Magelang sebagai pendukung dalam memperjelas kondisi kekerasan yang ada di Magelang bahwa kasus yang terjadi merupakan hal yang harus segera ditangani. Selain itu juga melihat dari sisi anggaran untuk dapat mendorong pemerintah menaikan anggaran bagi perempuan dan anak korban kekerasan agar dapat memenuhi haknya melalui berbagai SKPD terkait.
113
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
A. Data Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak di Kabupaten Magelang Berdasarkan data dari tahun 2013 hingga 2015 berbagai jenis kekerasan perempuan dan anak terjadi di Kabupaten Magelang. Tabel 1 Data Kasus Kekerasan TerhadapPerempuan dan Anak Kabupaten Magelang Tahun 2013-2015 No 1 2 3 4 5 6 7
Bapermas
Jenis Kasus
2013 2014
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) Kekerasan Seksual Anak (KSA) Perkosaan Kekerasan Dalam Pacaran (KDP) pelecehan seksual trafficking pesetubuhan Jumlah
Jenis Kasus KDRT KSA Perkosaan KDP pelecehan seksual trafficking pesetubuhan Jumlah
2013 % 12 31% 26 67% 1 2%
39
Polres 2014 % 17 8
6 31
55% 26%
RSU 2014 2015
%
2015
%
2013
%
34
44%
38
44%
7
47%
16
73%
14 9
18% 12%
29 7
33% 8%
8
53%
6
27%
15 1 1 4 78
19% 1% 1% 7%
8 2 3
9% 2% 4%
87
2015 3 8 1
% 25% 67% 8%
15
2013 47 17 2 4
% 64% 23% 3% 6%
2 1
3% 1%
22 Saper 2014 % 32 60% 10 21% 5 7% 3 6% 3
6%
2015 28 28
% 48% 48%
1
2%
1
2%
19% 12
114
73
%
53
58
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
Gambar 3 Perkembangan Kasus Kekerasan Perempuan dan Anak Kabupaten MAgelang Th. 2013-2015
jumlah kasus
100
Bapermaspuan
80
RSU
60
Polres
40
Sahabat Perempuan
20 0
2014 2015 2013 2015 2013 2014 2015 2013 2014 2015
Gambar 4 Persentase Kasus Kekerasan Perempuan dan Anak Kabupaten Magelang Tahun 2013-2015 150 100
27,8 %
19,8 %
50 0
12013
2014 2
32015
Series1
penurunan sebesar 19,8%, namun di tahun 2015 justru mengalami kenaikan mencapai 27,8%. Sehingga dapat dikatakan bahwa kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Kabupaten Magelang masih tinggi. Maka dari itu sangat diperlukan peningkatan upaya dari pemerintah untuk menekan angka tersebut melalui kegiatan pencegahan, penanganan kasus dan rehabilitasi sosial bagi korban kekerasan yang terus bermunculan.
Jika dilihat berdasarkan grafik disetiap lembaga, perkembangan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang melapor di Bapermaspuan Kabupaten Magelang mengalami kenaikan tahun 2014 ada 78 kasus dan 2015 ada 87 kasus. Menurut data kasus di RSUD Kabupaten Magelang naik dari tahun 2013 sebanyak 15 kasus dan di 2015 ada 22 kasus. Akan tetapi dilihat data kasus yang masuk di Polres Kabupaten Magelang turun dari tahun 2013 ada 39 kasus, 2014 ada 31 kasus dan tahun 2015 ada 12 kasus. Sedangkan dari data Sahabat Perempuan tahun 2013 ada 73 kasus yang melapor, turun di tahun 2014 menjadi 53 kasus dan naik 58 kasus di tahun 2015. Jika dilihat data kasus secara keseluruhan, bahwa kasus kekerasan tahun 2014 mengalami
Upaya lain yang dilakukan oleh Sahabat Perempuan yaitu melalui pendekatan dan memberikan pemahaman kepada beberapa komunitas binaan dari lembaga mengenai hak korban dan kewajiban pemerintah terhadap korban kekerasan terhadap perempuan dan anak.
115
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
perlindungan, mendapatkan pelayanan kesehatan dan bimbingan rohani, penanganan secara khusus berkaitan dg kerahasiaan korban, dan pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum. Sedangkan dalam undang-undang perlindungan anak (UUPA) bahwa korban memeiliki hak mendapatkan pendidikan, hak untuk diasumh, hak mendapatkan fasilitas kesehatan dari promitif hingga rehabilitatif, hak mendapatkan bantuan hukum serta mendapatkan pendampingan psikososial saat pengobatan, pemulihan, rehabilitasi sosial dan pendampingan di pengadilan.
selain itu juga mengajak diskusi berbagai CSO seperti Aisiyah Kabupaten Magelang, Fatayat, Gereja Kristen Jawa untuk memahami kewajiban pemerintah dan masyarakat serta mengetahui kondisi di Kabupaten Magelang terkait dengan tingginya kasus kekerasan yang dialami perempuan dan anak. Hal itu juga dilakukan untuk merespon peraturan daerah yang baru saja di sahkan oleh DPRD tentang perlindungan kekerasan terhadap perempuan dan anak dari tindak kekerasan dan diskriminasi. B. Hak Korban dalam Peraturan Daerah Kabupaten Magelang
C. Kebutuhan Layanan Bagi Perempuan dan Anak Korban Kekerasan
Korban perempuan dan anak terhadap keerasan wajib dilindungi sebab ketika tidak adanya upaya yang tegas melalui regulasi akan terus terjadi kasus yang sama secara terus menerus. Ketika korban perempuan dan anak tersebut mengalami kekerasan, tentu mereka memiliki kebutuhan-kebutuhan dalam upaya penanganan kasus hingga pemulihan. Upaya untuk melakukan pemenuhan hak terhadap korban perlu regulasi dari pemerintah. Hal tersebut merupakan tanggung jawab dan kewajiban pemerintah seperti yang terkandung dalam undang-undang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga (UUPKDRT) dan undang-undang perlindungan anak (UUPA) bahwa pemerintah berkewajiban merumuskan kebijakan, menyelenggarakan sosialisasi dan advokasi, menyelenggarakan pelatihan sensitif gender dan pelayanan terhadap korban serta membangun kerja sama dengan masyarakat dan lembaga sosial. Selain itu juga upaya daerah membangun kabupaten layak anak, pemerintah menjamin perlindungan dengan memeprhatikan hak dan kewajiban anak secara hukum dan kewajiban pemerintah daerah dalam melakukan perlindungan terhadap anak.
Banyaknya kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang terjadi di Kabupaten Magelang, mengakibatkan terjadinya banyak korban yang harus dilindungi untuk mendapatkan haknya seperti yang telah diamatkan pada UUPKDRT, UUPA serta Peraturan Daerah di Kabupaten Magelang Tentang Perlindungan Perempuan dan Anak Terhadap Tindak Kekerasan dan Diskriminasi. Maka secara ideal hak yang seharusnya didapatkan oleh korban diantaranya : a. Layanan Hukum Seharusnya korban kekerasan perempuan dan anak seharusnya mendapatkan perlindungan dari polisi seperti mempermudah proses pelaporan, organisasi pengacara, dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH). Selain itu juga berhak mendapatkan kemudahan dalam proses di pengadilan, sebab dari beberapa kasus yang korbannya anak-anak, sering mengalami kendala pada kondisi fisik dan psikis yang menurun karena proses dipersidangan yang lama. Hal
Berdasarkan amanat dari UUPKDRT pada pasal 10 bahwa korban memiliki hak untuk mendapatkan
116
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
dibutuhkan layanan untuk psikososial yang mudah di jangkau oleh korban. Layanan ini sangat dibutuhkan korban karena untuk melakukan pendampingan dalam penanganan kasus. Meskipun selama ini Sahabat Perempuan telah melakukan layanan psikososial terhadap korban, namun jangkauan dari Sahabat Perempuan belum dapat meluas. Maka dari itu dibutuhkan layanan melalui Pusat Pelayanan Terpadu di setiap desa agar mudah dijangkau dan cepat ketika terjadi kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak.
tersebut mempengaruhi kesaksian korban di pengadilan. b. Layanan Psikologi Bagi korban kekerasan terhadap perempuan dan anak juga seharusnya mendapatkan hak untuk layanan psikologi seperti pemulihan ketika mengalami trauma maupun konseling. Selama ini pemerintah daerah juga belum melakukan kerja sama dengan RSJ bagi pembebasan biaya untuk konseling khusus bagi korban kekerasan terhadap perempuan dan anak. Sehingga biaya yang harus dikeluarkan korban untuk melakukan konseling pada psikolog di Kabupaten Magelang masih mahal. Terlebih lagi kurangnya tenaga psikolog juga memperlambat proses penanganan kasus. Maka perlu layanan psikologi bagi korban kekerasan terhadap perempuan dan anak di RSUD dan RSJ di Kabupaten Magelang.
e. Layanan Rohani Pemulihan dan hak korban yang seharusnya di dapatkan korban adalah layanan rohani. Konseling yang diperlukan tidak hanya dari sisi medis saja, namun juga diperlukan pemulihan secara rohani agar nantinya korban kekerasan terhadap perempuan dan anak mendapatkan ketenangan secara rohani disamping telah mengalami sakit fisik dan psikis. Maka dibutuhkan pendampingan rohani bagi korban kekerasan terhadap perempuan dan anak.
c. Layanan Kesehatan Selain itu Korban juga membutuhkan layanan kesehatan berupa visum, tes DNA, pemeriksaan kehamilan yang tidak diinginkan, pemulihan sakit fisik yang dialami oleh korban akibat kekerasan. Sehingga hal tersebut perlu dipenuhi oleh Rumah Sakit dan Dinas Kesehatan agar korban dapat mengcover kebutuhan medis melalui pelayanan yang mudah dan gratis, sebab di beberapa puskesmas masih ada kebijakan untuk visum yang dikenakan biaya.
f. Layanan Shelter Layanan untuk rumah aman bagi korban kekerasan terhadap perempuan dan anak sangat dibutuhkan di Kabupaten Magelang. Layanan ini diharapkan ada untuk dapat khusus melindungi para perempuan dan anak korban kekerasan dari ancaman yang mereka hadapi. Hal tersebut penting karena untuk melindungi korban dari tindakan kekerasan yang kemungkinan akan terus dialami ketika tidak segera diamankan. Maka layanan shelter beserta oprasionalnya sangat diperlukan khusus untuk korban
d. Layanan Psikososial Mengingat dari data kasus kekerasan perempuan dan anak yang terjadi di Kabupaten Magelang tersebar di berbagai wilayah kecamatan yang luas, maka
117
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
Peran pemerintah dalam anggaran sebagai fungsi alokasi untuk menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat serta fungsi distribusi untuk dapat mensejahterakan masyarakat. Maka pentingnya anggaran agar dapat dialokasikan sesuai kebutuhan masyakarat melalui kebijakan publik. Terkait dengan hal tersebut maka perlunya anggaran untuk pemenuhan hak korban kekerasan terhadap perempuan dan anak yang ada di Kabupaten Magelang, yang telah didukung dengan disahkannya Peraturan Daerah Tentang Perlindungan Perempuan dan Anak Terhadap Tindak Kekerasan dan Diskriminasi.
kekerasan terhadap perempuan dan anak dalam upaya perlindungan yang dilakukan. g. Layanan Rehabilitasi Sosial Hak korban selain untuk mendapatkan layanan dalam penanganan kasus, juga berhak mendapatkan layanan untuk rehabilitasi sosial. Hal ini sangat diperlukan bagi korban agar tetap berfungsi secara sosial, kemudian pemulangan juga yang dapat dilakukan melalui Dinas Sosial. Selain itu perlunya pemulihan pendidikan lanjut bagi anak yang sudah punya anak dan ingin sekolah lagi, dan anak yang hamil dan masih bersekolah agar tidak dikeluarkan dari sekolah yang dapat dibantu oleh Dinas Pendidikan, serta pemulihan korban secara ekonomi.
Melihat dari banyaknya kasus kekerasan perempuan dan anak di Kabupaten Magelang maka perlu upaya pemerintah untuk dapat menurunkan angka tersebut melalui berbagai kegiatan pada pencegahan, penanganan kasus hingga rehabilitasi sosial bagi korban. Sehingga perlu dukungan anggaran dari pemerintah untuk penanganan korban kekerasan terhadap perempuan dan anak. Sehingga perlu dilihat persentase anggaran untuk perempuan dan anak korban kekerasan pada APBD Kabupaten Magelang tahun 2015 sebagai berikut :
D. Anggaran Penanganan Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak
Anggaran merupakan sebuah komitmen politik dari sebuah kebijakan. Gambar 5
Anggaran Untuk Kegiatan Perempuan dan Anak Berdasarkan APDB Th. 2015 Kabupaten Magelang di masing-masing SKPD pembinaan organisasi perempuan di kecamatan 171.227.000
dinas pendidikan, pe muda dan olah raga untuk pemberdayaan perempuan dan anak 50.000.000
sekretariat daerah untuk permberdayaa n perempuan dan perlindungan anak 92.000.000
bapermaspuan 782.652.000
Sumber : APBD Kab.Mgl Th. 2015
118
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
Gambar 6 Anggaran Untuk Kegiatan Perempuan dan Anak di Bapermapuan dan KB Kabupaten Magelang Tahun 2015 program keserasian kebijakan peningkatan kualitas anak dan perempuan 101.000.000
Sumber : APBD Kab.Mgl Th. 2015
Peningkatan peran serta dan kesetaraan gender dalam pembangunan 400.652.000
Penanganan terpadu korban kekerasan berbasis gender dan anak 80.000.000
peningkatan kualitas hidup dan perlindungan perempuan 155.000.000
penguatan kelembagaan pengarusutama an gender dan anak 126.000.000
Gambar 7 Anggaran Penanganan Terpadu Korban Kekerasan Berbasis Gender dan Anak Th 2015
belanja pegawai
Belanja Barang dan Jasa
33.450.000
46.550.000 Sumber : APBD Kab.Mgl Th. 2015
119
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
Gambar 8
perrsentase belanja b unttuk penan nganan kasus kekkerasan perempuan n dan n anak
anggaran penanganan us kasu kekeraasan peremp puan dan an nak 0,0026%
pendapataan daerah kab b. magelang th t 2015 Sumber : AP PBD Kab.Mgl Th. 22015
Berdasarkann B APB BD 2015 Kabupaaten Mageelang angggaran yanng terfokuss untuk penangaanan kassus kekerasan perempuuan dan anaak terdapat di Baperm maspuan sebbesar 46.5550.000. Akan tetapi anggaran a yang dappat langsunng dirasakaan oleh korban k haanya sebessar 2.288.0000 yang dipergunnakan untuuk transporrt dan makkan pada saat s pelatihan keteram mpilan baggi korbann kekerasaan. Sedangkkan anggaaran untukk sosialisaasi pencegaahan kekerasan pereempuan dan anak sebbesar 20.0000.000 selam ma satu tahuun yang dilaksanakan d n oleh Keesra. Adapuun berdasaarkan waw wancara deengan Dinnas Kesehattan bahwaa anggarann di Dinnas Kesehattan sebessar 10.0000.000 yanng diperguunakan unttuk pembeebasan biayya visum namun n tidaak ada klim m. Jika dilihhat dari tinggginya kasuus kekerasaan perempuan dan annak di Kabbupaten Magelang M dan besarann anggaran untuk u penannganan kassus masih tergolong t s sangat jauhh dari upaya perlinduungan dan pemenuhaan hak yanng didapatkkan oleh para p korbaan kekerasaan, menginggat baru kegiatann pelatihan ekonom mi saja yangg dirasakan oleh korbaan, sedangkkan anggarran untuk penanganan kasus pada p korbann belum terlihat dari sisi anggaraan pada APB BD tahun 20015.
Bentuk B advvokasi yanng dilakukaan oleh Saahabat Pereempuan padda awalnya sebelum teerbentuknyaa perda uuntuk pelin ndungan ko orban kekerrasan terhaddap peremp puan dan an nak, yaitu mendesak pemerintah h daerah ag gar segera membuuat. Hal tesebut diilakukan melalui m penndekatan dii Badan peemberdayaaan masyarakkat, peremp puan dan KB K untuk membantu mendesak k DPRD ag gar segera membentuuk perda tersebut. t Seelain itu juga komunnikasi aktif antara Saahabat Pereempuan denngan anggotta DPRD dii komisi D membahhas terkait dengan ussulan untukk pembuatann perda perllidungan peerempuan dan d anak teersebut pad da tahun 20 015. Diskuusi yang dibentuk tersebut un ntuk menggali data kkasus yang g ada di Kabupaten K Magelang karena memang m diilihat dari data d yang diimiliki oleh anggota DPRD D sangaat kurang. Sehingga beberapa b daata yang masuk m dari S Sahabat Perrempuan diipergunakann untuk meembantu mendesak m baahwa perdaa tersebut memang haurrs segera diibentuk. Selainn itu juga S Sahabat Perrempuan menggelar m accara kampannye dan lon ng march seelain untuk bukti peduuli akan banyaknya kaasus kekeraasan yang teerjadi di In ndonesia, peemahaman kepada maasyarakat ju uga pada peemerintah daerah untuk segera mengesahkan m n peraturaan daerah tentang peerlindungann peremppuan dan anak. Seehingga paada tahun 2016 Perd da untuk
Advokaasi Sahabaat Peremppuan Untuuk Pemenuuhan Hak Korban K Untuuk Perempuan Korban Kekerasan di Kabupatten Magelanng
120
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
para perempuan ada diberbagai daerah. Meskipun pemerintah juga telah melaksanakan kewajiban dalam bentuk program dan upaya perlindungan yang tercatum dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara maupun daerah disetiap tahunnya, namun peran dari masyarakat sipil juga sangat penting dalam melakukan upaya perlindungan tersebut. Hal ini bukan dalam artian negara akhirnya meninggalkan kewajibannya dan dilimpahkan ke organisasi masyarakat sipil, akan tetapi hal ini dilakukan dalam bentuk sinergisitas antara negara dan masyarakat untuk bersama sama melakukan perlindungan terhadap perempuan dan anak dari mulai upaya preventif hingga persuasif.
perlindungan perempuan dan anak dapat di sah kan. Kotribusi dari Sahabat Perempuan terhadap pembentukan Perda tersebut ketika Perda masih menjadi darf Raperda kemudian dikirimkan ke LSM Sahabat perempuan untuk diberikan masukan. Salah satunya di bab 3 tentang hakhak perempuan dan anak korban kekerasan yang meliputi hak untuk dihormati harkat dan martabat sebagai manusia; hak atas pemulihan kesehatan dan psikologis dari penderitaan yang dialami korban; hak menentukan sendiri keputusannya; hak mendapatkan informasi; hak atas kerahasiaan; hak atas kompensasi; hak atas rehabilitasi sosial; hak atas penanganan pengaduan; hak korban dan keluarganya untuk mendapatkan kemudahan dalam proses peradilan; dan hak atas pendampingan. Kemudian untuk rencana aksi daerah ketika berbicara tentang kebijakan pemenuhan hak korban dalam makna luas mulai dari pencegahan, penanganan hingga dengan pemulihan yang pada saat itu belum di atur di Perda. Wacana konseptual tetang civil society dan agenda aksi yang dilakukan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat sebagai salah satu representasi civil society. Hal ini menarik dari sisi peran politik LSM yang cukup menonjol dalam perubahan sosial di Indonesia maupun dari sisi tingkat kesadaran para aktivis LSM mengenai ideologis mereka dalam formasi sosial yang ada pada saat ini. Salah satu elemen pentong yang sering kali terkait dengan keberadaan masyarakat sipil adalah oornop atau Non-Govermental Organization (NGO). Lembaga nirlaba tersebut jika dilihat karakteristik utamanya, merupakan kelompok yang memiliki misi pnguatan dan pemberdayaan masyarakat, baik yang berada di luar sektor negara maupun swasta (Culla : 2006). berada di luar sektor negara maupun swasta (Culla : 2006).
Upaya perlindungan kekerasan dilakukan oleh LSM Sahabat Perempuan melalui bentuk preventif untuk memperkuat pengetahuan masyarakat agar setidaknya dapat melindungi dirinya sendiri dan paham atas hak-haknya ketika seseorang menjadi korban. Banyaknya tingkat pengetahuan yang rendah pada masyarakat mengakibatkan tingkat pemahaman rendah yang berakibat masyarakat tidak tahu yang harus dilakukan ketika menghadapi kasus kekerasan di lingkungan sekitar. Hal tersebut yang menjadi point penting pergerakan dari LSM Sahabat Perempuan. Mengingat jumlah korban kekerasan perempuan yang mengalami peningkatan di Kabupaten Magelang maka perlu adanya upaya penguatan pengetahuan dan pencerdasan masyarakat mengenai kekerasan terhadap perempuan dan anak agar nantinya tahu apa yang harus dilakukan. Negara memiliki kewajiban terhadap perempuan dan anak korban kekerasan. Akan tetapi Sahabat Perempuan melakukan penguatan komunitas yang terdiri dari para korban kekerasan dan beberapa kelompok masyarakat yang memiliki kesadaran untuk lebih peka terhadap lingkungan yang bermasalah terutama pada kasus kekerasan perempuan
Munculnya berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat yang bergerak untuk melakukan berbagai kegiatan untuk upaya perlindungan hingga pemberdayaan bagi
121
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
(Bapermaspuan) Kabupaten Magelang di tahun 2014 terdapat 84 kasus yang tertangani. Dari 82 kasus tersebut ada 30 kasus anak dan 52 kasus dewasa. Kemudian tahun 2015 di Jawa Tengah kasus yang ditangani sebanyak 1.083 dewasa. Pada tahun 2010 pemerintah membentuk sebuah Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) yang terbentuk juga di 21 Kecamatan dan desa sebanyak 159 dari 372 desa. PPT tersebut berfungsi sebagai pusat layanan bagi para perempuan dan anak korban kekerasan yang terjadi di Kabupaten Magelang. Harapannya agar PPT ini menjadi rujukan, layanan bagi korban hingga pendampingan kasus. Akan tetapi menurut pengakuan dari Kepala Bapermaspuan bahwa proses pematangan kelembagaan tersebut tidak dapat mengandalkan suport penuh dari pemerintah dalam pengertian anggaran sehingga mengatakan bahwa tidak bisa bekerja secara maksimal. Pada akhirnya menggalang kerjasama dengan Sahabat Perempuan agar kegiatan dapat terlaksana. Sehingga peran PPT di Kabupaten Magelang seakan-akan membeku untuk melaksanakan kewajiban secara maksimal sebagai tenaga layanan bagi perempuan korban kekerasan yang terjadi. Sebagian besar kasus dirujuk ke Sahabat Perempuan. Hal tersebut dibuktikan dengan pengakuan beberapa korban yang menyampaiakan bahwa semua informan tidak mengetahui PPT Kabupaten Magelang. Layanan yang diterima korban hanya berupa visum gratis namun untuk layanan pemulihan secara psikologis pasca kejadian tidak mereka dapatkan.
dan anak. Penguatan organisasi tersebut dilakukan dengan pemberian pemahaman atas peran negara dan masyarakat dalam kelompok masyarakat untuk dapat berfungsi memberikan pertolongan pertama kepada perempuan dan anak korban kekerasan. Ketika korban belum berani lapor ke polisi, maka tugas dari kelompok masyarakat sebagai rujukan dan pendamping dalam kasus tersebut. Upaya yang dilakukan diantaranya dengan pelatihan untuk konseling bagi para korban kekerasan, pengetahuan akan UndangUndang untuk hak-hak korban yang harus dipenuhi hingga pembinaan untuk dapat melakukan advokasi ke pemerintah. Pendampingan terhadap korban kekerasan terhadap perempuan terutama yang banyak terjadi di Kabupaten Magelang, sebagian besar korban memiliki tingkat pengetahuan yang rendah, sehingga pendampingan sangat perlu untuk dilakukan. Sehingga para pendamping juga harus banyak dibekali informasi yang cukup agar nantinya dapat membantu korban dalam memperjuangkan dan mendapatkan hak-haknya sesuai yang tercantum pada Undang-undang. Kondisi tersebut kerap terjadi ketika kurangnya pemahaman korban mengakibatkan adanya oknum yang memanfaatkan keadaan dari korban seperti meminta untuk mengeluarkan biaya ketika proses pelaporan hingga sidang. Berdasarkan kondisi tersebut maka upaya LSM Sahabat perempuan melalui penguatan kapasitas dalam komunitas-komunitas yang dibina diharapkan mendapatkan pemahaman terkait dengan upaya preventif hingga persuasif untuk kasus kekerasan terhadap perempuan dan para korban, sebab komunitas atau kelompok masyarakat tersebut yang justru lebih dekat dengan korban yang dapat terjadi pada lingkungan, tetangga, keluarga, saudara bahkan diri sendiri.
Meskipun dibeberapa kasus yang banyak terjadi di pedesaan, bahwa ketika terjadi kasus kekerasan atau pelecehan seksual hanya cukup ditangani di internal desa saja, sehingga hal tersebut juga yang mengakibatkan kerugian yang dialami oleh korban. Maka dari itu peran penting dari kelompok masyarakat dan organisasi masyarakat sipil yang bergerak di bidang tersebut untuk melakukan perlindungan terhadap korban dalam memenuhi hak-
Berdasarkan data yang disampaikan oleh Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Perempuan Keluarga Berencana
122
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
pada Peraturan Daerah Kabupaten Magelang Tentang Perlindungan Perempuan dan Anak Terhadap Tindak Kekerasan dan Diskriminasi untuk dapat melakukan penanganan kasus secara cepat, salah satunya dengan menambahkan fulltimer yang berperan sebagai psikolog di Bapermas, agar tidak perlu merujuk ke RSU karena akan memperlambat proses penanganan kasus ketika tidak dapat langsung ditangani. Kemudian juga perlunya pelatihan bagi para pendamping, agar nantinya mempermudah proses pendampingan kasus kekerasan perempuan dan anak yang terjadi seperti pelatihan kader Pusat Pelayan Terpadu atau kader Desa.
haknya sesuai perundang undangan. Sehingga ketika peran negara lemah, peran masyarakat sipil justru yang harus lebih kuat. Terlebih selain untuk penguatan dalam komunitas, sebagai tenaga pengada layanan, pendampingan kasus. Sahabat Perempuan juga mendorong untuk masyarakat dapat melakukan advokasi ke pemerintah melalui kebijakan dalam upaya perlindungan perempuan dan anak korban kekerasan. Salah satunya adalah dengan mendorong terbentuknya Peraturan daerah perlindungan terhadap perempuan korban kekerasan yang sedang dalam proses pembentukan di DPRD. Selain itu juga kerja sama yang dibangun di grassroots bagi kelompok masyarakat yang sudah terbentuk agar dapat masuk pada musrenbangdes untuk mengawal anggaran yang responsif pada perlindungan perempuan pada APBDes maupun APBD hingga pada tingkat kabupaten. Upaya ini bertujuan untuk mendorong para perempuan aktif dan ikut berpartisipasi pada ranah publik untuk menyampaikan suaranya, dan turut serta dalam pengambilan keputusan kebijakan. Sahabat Perempuan juga bekerjasama dengan berbagai LSM di Jawa Tengah dan DI Yogyakarta yang terhimpun dalam satu Forum Pengada Layanan. Hal tersebut dilakukan selain memperluas jaringan dan bekerja sama juga dalam bentuk saling merujuk ketika ada korban diluar wilayah serta juga memperkuat advokasi seperti yang telah dilakukan Desember 2015 dengan kampanye untuk Sahkan RUU Kekerasan Seksual yang sedang dalam pembahasan DPR RI.
a. Perlunya sosialisasi hingga tingkat grassroots mengenai bahaya pernikahan dini, melahirkan di bawah umur dan seksual bebas hal tersebut perlu pemahaman bagi orang tua di tingkat desa dan anakanak di lingkungan sekolah b. Perlunya dukungan dana dari APBD yang mampu mengcover untuk pemenuhan hak perempuan dan anak korban kekerasan yang sudah tertuang di Peraturan Daerah Kabupaten Magelang Tentang Perlindungan Perempuan dan Anak Terhadap Tindak Kekerasan dan Diksriminasi meliputi : - Pembebasan biaya visum bagi korban kekerasan di semua Puskesmas - Pembebasan biaya bagi korban untuk memeriksakan kehamilan yang tidak diinginkan - Biaya untuk Tes DNA - Penanganan dan pelayanan kesehatan bagi korban yang mengalami kekerasan fisik maupun psikis - Adanya transport bagi korban kekerasan ketika pada saat proses penanganan kasus
Upaya advokasi yang dilakukan oleh Sahabat Perempuan yaitu dengan menggali data korban kekerasan yang ada serta anggaran untuk perempuan dan anak korban selain itu juga berkerja sama melalui beberapa SKPD terkait dan CSO untuk melakukan audiensi pada 15 Juni 2016 kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Magelang. Beberapa hal yang disampaiakan yaitu terkait pemenuhan hak korban yang tercantum
123
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
c.
d.
e.
f.
seperti di kepolisian dan pengadilan - Anggaran untuk pendampingan korban secara homevisit hal tersebut sangat diperlukan, merujuk salah satu contoh berita kasus di Tribun Jogja 24 Januari 2016 terdapat 67 anak melahirkan dibawah umur dalam 6 bulan dari data puskesmas di Pakis maka perlu penanganan secara personal - Anggaran untuk pemulihan korban secara psikis yaitu melalui konseling psikologi, trauma. Kemudian juga pemulihan kesehatan bagi korban yang mengalami sakit fisik. Selain itu juga pemulihan dari segi ekonomi dengan pelatihan dan pembekalan keterampilan. - Anggaran untuk rehabilitasi sosial khusus bagi perempuan dan anak korban kekerasan di Kabupaten Magelang Perlu tersedianya Shelter beserta oprasionalnya yang dapat digunakan oleh para korban kekerasan perempuan dan anak Perlunya perlindungan bagi anak yang hamil dan masih sekolah agar mendapatkan haknya untuk tetap bersekolah Melihat kondisi yang semakin darurat dibutuhkan PPT di setiap desa agar penanganan kasus semakin cepat Pusat Pelayanan Terpadu Kabupaten Magelang agar dapat melaksanakan tugas dan fungsinya secara maksimal salah satunya dengan koordinasi secara rutin antar anggota layanan terpadu
Tingginya kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang di Indonesia khususnya juga di Kabupaten Magelang menjadi sebuah permasalahan yang harus segera ditangani agar tidak semakin menambah angka kenaikan disetiap tahunnya. Kondisi tersebut tentunya menjadi tanggung jawab dari pemerintah yang sudah diamanatkan pada undang-undang dan semakin dikuatkannya pada peraturan daerah. Di samping itu juga tugas masyarakat melalui lembaga masyarakat sipil sebagai pendorong pemerintah agar dapat melaksanakan kewajibannya serta membantu agar korban dapat memenuhi haknya. Upaya tersebut dilakukan mulai dari proses pencegahan, pendampingan kasus hingga dengan rehabilitasi korban secara independen disamping bekerja sama dengan pemerintah. Advokasi yang dapat dilakukan oleh Sahabat Perempuan dengan memberikan pemahaman pada masyarakat mengenai pentingnya pencegahan hingga penanganan kasus jika terjadi kekerasan yang menimpa perempuan dan anak. Kemudian pendekatan dan kerja sama dengan SKPD terkait seperti Bapermaspuan, Dinas Sosial, Polisi, dan lainnya untuk dapat memberikan layanan bagi korban. Selain itu juga audiensi ke DPRD tekait anggaran yang sangat minim terhadap korban kekerasan perempuan dan anak di Kabupaten Magelang. Terlebih jika dilihat dari sisi anggaran di berbagai SKPD terkait masih minim. Kemudian pendataan bagi korban masih belum terdata dengan baik. Selain itu juga peran Pusat Pelayanan Terpadu yang belum optimal dan koordinasi yang lemah sehingga masih banyak anggota PPT dan korban yang tidak mengetahui peran dan fungsi masing-masing dengan baik, sehingga hak korban juga tidak dapat terpenuhi ketika mereka minim informasi. Maka dari itu upaya advokasi yang dilakukan Sahabat perempuan harapannya anggaran untuk perempuan dan anak korban kekerasan dapat ditingkatkan serta
BAB IV Penutup A. Kesimpulan
124
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
Komnas Perempuan. 2016. Catatan Tahunan (CATAHU) Kekerasan Terhadap Perempuan : Negara Secara Putus Impunitas Pelaku. Jakarta http://www.komnasperempuan.or.i d/ diakses pada 22 Mei 2016, pukul 21.00 WIB
layanan yang idealnya untuk korban agar dapat diakses dengan optimal, sehingga korban dapat memenuhi haknya melalui layanan dari pemerintah. Maka ketika korban sudah menjadi korban tidak dijadikan korban lagi melalui layanan yang sulit mereka dapatkan. Untuk pemenuhan hak korban tersebut diperlukan prespektif gender bagi pemerintah dan kerjasama dari eksekutif, legislatif serta masyarakat melalui salah satunya LSM untuk bersamasama menekan angka korban kekerasan di Kabupaten Magelang.
Mardiasmo, 2002, “Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah”. Penerbit ANDI, Yogyakarta. Tanjung, Gema. 2015. Jumlah Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak Terus Meningkat. Semiloka Komisi Perempuan MUI DKI Jakarta
DAFTAR PUSTAKA Anggaran Pendapatan Belanja Daerah Kabupaten Magelang Tahun 2015
http://www.beritasatu.com/ berita pada Rabu, 12 Agustus 2015 pukul 16.26 WIB diakses pada hari Rabu pukul 21.57 WIB
Bano, Arsenio. 2000. Jurnal Peranan Organisasi Masyarkat Sipil Dalam Pembangunan yang Berkelanjutan di Timor Lorosa’e
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. 22 September 2004 Lembaga Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 95.Jakarta
Culla, Adi Suyadi. 2006. Rekonstruksi Civil Society Wacana dan Aksi Ornop di Indonesia. LP3ES : Jakarta
UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Deddy Supriady Bratakusmah, Dadang Solihin. 2004. Otonomi Penyelenggaraan Pemerintah Daerah, Jakarta : Gramedia Pustaka
Peraturan Daerah Kabupaten Magelang Tentang Perlindungan Perempuan dan Anak Terhadap Tindak Kekerasan dan Diskriminasi. 2016
Fakih, M., & Topatimasang, R. (2005). Mengubah Kebijakan Publik. Yogyakarta: INSIST. Hanif
Saragih, Juli Panglima. 2003. Desentralisasi Fiskal dan Keuangan Daerah dalam Otonomi. Jakarta: Gahalia Indonesia.
Nurcholis, Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah, Grasindo, Jakarta, 2007.
Syafa’at, Rachmad, (2008), Metode Advokasi dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Intrans Publishing, Malang
Irib.2013. Kekerasan Terhadap Perempuan di Dunia Modern. http://indonesian.irib.ir Artikel 24 November 2013 dan diakses pada 2 Januari 2015 pukul 20.23 WIB
Topatimasang, Roem. dkk, (2007), Mengubah Kebijakan Publik, INSISTpress, Yogyakarta.
125
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
Lampiran Gambar 9 Kampanye Sahkan RUU Pelecehan Kekerasan Seksual
Gambar 10 Pelatihan Advokasi kepada komunitas dan masyarakat desa
Gambar 11 Diskusi Raperda dengan Anggota DPRD komisi D Istiwahyuni, Fatayat NU, Aisyah, komunitas Srikandi, Lembaga Advokasi Bumi, Kepolisian, Pusat Pelayanan Terpadu, perangkat desa, Antasena, media, dan masyarakat
126
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
CHILDCARE POLICY IN MUHAMMADIYAH: A CASE STUDY OF INSTITUTION SUPPORT TOWARD FAMILY STRENGTHENING IN YOGYAKARTA CITY DAVID EFENDI
Departement of Government, Muhammadiyah University of Yogyakarta
HERNI RAMDLANINGRUM
Australian National University, Australia
Abstract --- This Appreciative Inquiry approach (AI) research identified the appropriate system applied in Muhammadiyah’s institutional care as the best option for the children. Therefore, this research model is one of the breakthroughs to help Muhammadiyah with two objectives: first, Muhammadiyah enable social workers in their organizations to work effectively with children and families so that children can grow up safe and protected within their family. Second, this work includes professional social workers and social volunteers who carry social work tasks. The study aims to find the best practice in terms of returning the child (reintegration) at the orphanage institutions to their families. This research has a focus so that Muhammadiyah can work effectively with children and families, that these children can grow up in a best, safe and secure environment within the family and community environment.
applied is the best option for the children. Therefore, this research model is one of the breakthroughs to help Muhammadiyah with two objectives: first, Muhammadiyah enable social workers in their organizations to work effectively with children and families so that children can grow up safe and protected within their family. Second, this work includes professional social workers and social volunteers who carry social work tasks. The research, held from October 22 to November 8, 2013 aims to find the best practice in terms of returning the child (reintegration) at the orphanage institutions (hereinafter referred to as the institution) to their families. This research has a focus so that Muhammadiyah can work effectively with children and families, that these children can grow up in a safe and secure environment within the family and community environment. The expected outcome is to support changes in the Muhammadiyah, although it is recognized that what is happening outside Muhammadiyah might influence policies and practices of Muhammadiyah. What happens in the Muhammadiyah also could have a greater influence to the policies and practices of government or other organizations. Basically, this tesearch conducted by the Assembly of Social Services with the support from Family for Every Child includes four locations that have been identified as examples of promising practices in terms of changing from institutional care into family-based care.
BACKGROUND Through this Appreciative Inquiry approach (AI) research, we want to start help create a situation in which the system 127
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
hectares is divided into 14 districts, 45 villages, 2,531 Community and 617 households. The city passed four major rivers stretching from the north to the south. Related to the population of the Yogyakarta from year to year are as many as 442.209 people (2006), 456.915 (2008), 388.088 (2009), 388.627 (2010). In 2011, Yogyakarta had 390.558 people (BPS Yogyakarta 2012). One thing that is interesting is the decline in the number of population from the period of 2008 to 2009. But it is quite interesting to note, that although this Muhammadiyah Lowanu Institution is located in the city but the live-in foster children are mostly from Sleman and Bantul while children who come from the city of Yogyakarta remain in their family by getting family and educational support from PAY.
The research report focuses only on cases in Yogyakarta area, precisely Putra Muhammadiyah Institution related to how deinstitutionalization initiative as an effort to return the child to the best care system, which is in a family environment. This report also describes how pre-conditioning becomes one of the interesting things to see possible efforts to strengthen family in the future as seen on foster children, families, staff and caregivers. PROFILE To gain a thorough understanding, it is necessary to describe the local situation of the research sites covering the conditions of Yogyakarta as well as the institution along with its ups and downs. 1. Profile of Yogyakarta City The existence of Yogyakarta palace and Temple Pakualaman make Yogyakarta city is seen as one of the cultural centers of Java. In the city of Yogyakarta it is common to find cultural heritage, both physical / material (tangible) and nonphysical / non-material (intangible). The existence of Yogyakarta city cannot be separated from the founding of the palace of Yogyakarta Sultanate in 1756. The old town is also the birthplace of Muhammadiyah with their religious social movements in 1912 established by Kyai Haji Ahmad Dahlan in Kauman Village. Besides Muhammadiyah, there was also a social organization that added color to Yogyakarta, namely Taman Siswa. Both organizations were the pioneer establishment of Yogyakarta as a city of education. Yogyakarta has the narrowest area compared with the other districts, which is 32.5 km 2 which means that 1.025% of the Yogyakarta province of 3,250
2. Profile of PAY Putra Muhammadiyah (Putra Muhammadiyah Institution) The institution is located at Jalan Lowanu Mg III/1361, Yogyakarta. The oldest institution established in 1912 has been registered in the Social Department of Yogyakarta Province by the code: 0884/3038/VI in 2005. Thus, there had been nearly 100 years gap of this new institution to finally be formally registered to the State. Initially this institution had one area for boys and girls. It was in 1928 the separation was done that the institution was divided into two locations, for boys in Lowanu, managed by Muhammadiyah branch level, and girls in Notoprajan which is managed by Aisyiyah. From several documents found at the institution, history of the establishment of
128
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
Muhammadiyah Boys and Girls Institution was a response of Muhammadiyah’s members to care about social phenomena where during the colonialism period, there were a huge number of orphans and the poor. In the first quarter of the 19th century in Yogyakarta, precisely in Yogyakarta royal square often became a spot to the gathering of the poor and orphans, where in the same place the philanthropists would give their charity as well. This phenomenon can still be seen until now at the central mosque Kauman every Friday. Then, in 1918 was born in Muhammadiyah an organization called the People's Welfare Trustees (PKU – Pembina Kesejahteraan Umat). This is the first institution to handle orphan sponsorship activities "systematically." Actually, the number of the orphanages in Yogyakarta province is very little when compared to the number of institutions run by Muhammadiyah and Aisyiyah nationally. From the total amount of Muhammadiyah’s and Aisyiyah’s 308 PAY (PAY= Institution) (Muhammadiyah Profile in 2010), only 7 institutions that are located in Yogyakarta greater area. And from 7 institutions, only 2 that are actually located in the central of Yogyakarta. In 2011 Social Department of the city of Yogyakarta issued data about the number of social service organizations as many as 95 organizations. 16 of them are 1 In children institution. Muhammadiyah itself there is one group, which is the Lead Branch of Muhammadiyah Nitikan, which has a family support model (established in 1991).
In 1990, the institution was combined with religious educational institutions and thus these institutions not only accommodate the orphans alone but, more broadly, from poor families, abandoned children, 'victims' of disharmony families in both Yogyakarta and outside areas. This educational approach model also makes the institution as an organization that “has to look for students / foster children”. It is obvious when we see from the vision and mission of this institution, that it is likely to be more of an educational institution rather than just a regular institution although its active substances and programs are pure institution (the data is fetched from the background of children who are in these institutions). The vision of this institution is to "make Putra Muhammadiyah Yogyakarta Institution as a social, educational, and religious institution that creates Muhammadiyah’s skilled, independent 2 , and noble future cadres. This is then translated into three missions, which are (1) to give formal education at least until completing high school according to the children’s talents and interests, (2) to provide religious 2
There is no generic standard of the independency concept set by Muhammadiyah Institution. A senior leader of Muhammadiyah Institution once gave his opinion about being independent. Unfortunately, the independency he was talking about is the independency of the institution, not the independency of the children. According to him, there are four indicators for an institution to be considered independent: (1) has an absolute authority in managing its own financial planning although it still may be transparent; (2) able to manage a local and regional networking for the capital access and able to circulate the capital in real activities; and (4) able to develop every potential the children may have to the maximum so that they can be of work-place ready and good national cadres.
1
The total of institution organizations that include children and the elder people are 26 institutions. 129
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
and moral education professionally, (3) to provide education and selfreliance skills according to their talents, willingness, interest and the demands of the changing era. Related to the institution capacity to accommodate the children, it all depends on the financial capability and capacity of the room. In 2011, there are the total of 106 of live-in foster
children and 25 children living in a family. This number continued to decline until 2013, the institution only accommodated 70 live-in children and 20 non-institutional children. More detail can be seen from the following Table 1, taken from three different academic years.
Table 1. Live-in Institution Children and Non-Institutional Children 2010-2014 Description Yogyakarta Local Area Outside Yogyakarta Outside Java Non-institutional Total
2010-11 8 91 16 25 131 children
From the table above we can see the origin of foster children living in Lowanu Institution, ranging from the most dominant, who are coming from outside of Yogyakarta province then followed by those from outside Java and the third place is children from The Privileged Area of Yogyakarta (Bantul and Sleman). The table has not changed for the last four years. For children who live outside the institution it has been deliberately separated to show how the amount of family / education compensations are gradually reduced. It is based on a story from an informant at the administrative department who is considering reducing the amount of family compensation. According to the document reports that we received, children who live in this house are more because the capacity insufficiency of the room rather than the understanding that the children are getting the best care in the family. From Table 1 above, we can hardly find orphans who were born in the
2012-13 7 51 12 25 95 children
2013-14 6 59 11 20 96 children
city of Yogyakarta, who live in an orphanage. Thus the data submitted by the informant is 'valid'. It will be a discussion in the next section. Just like the founders and Muhammadiyah institution staff in general, the institution caregivers see the institution as a part of the social services that can help people to educate their children so that they can be independent people with noble character, and can be Muhammadiyah cadres later in the future. The 'conventional' roles of Muhammadiyah in the form of institution provider simply can not be considered small because through hundreds of institution organizations, Muhammadiyah institutions have put real efforts in helping the orphans, abandoned children, babies without parents, and commercial sex workers (PSK – Pekerja Seks Komersial). RESEARCH METHOD a 130
From the beginning, the research is qualitative type of research with
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
Appreciative Inquiry approach to obtain the desired data that is related to the initiatives de-institutionalization (De-I), or the reunification done by the institution caregivers along with the stakeholders’ support. However, this study also does not close any possibility that what will be discovered later is just the matter of preconditions to start the De-I project due to human resource constraints, perception, paradigm, and the strong ideology. With AI approach all data collected is expected to continue to provide benefits in mapping and future strategies. Practically, the AI can be understood from those two words. First, ‘appreciative’ means systematic effort to recognize the best things that individual / communities around us do, to increase the values. Second, this approach is intended to explore and discover and to ask questions.
1. A collaboration search about the best practice done by the individual / community, or a certain organization. 2. Systematic discovery of something that can create the most effective running system in terms of economic, environmental, and social ability. 3. The art and practice of asking questions to encourage and stregthen the system’s ability in order to multiply the positive outcomes. 4. An assumption that every living system within an organization / community has the resources, assets, wealth, and positive inspiration that has been untapped. 5. Linking "positive change core" directly to the change agenda.
In addition, Appreciative Inquiry can also be interpreted as:
This can be understood by looking at the cycle expressed by Whithney (2010) as follows:
Following are some literature studies about social workers and orphanage that are interesting to be understood, to provide a context in where we are and what data we are looking for, related to the presence of orphanage (residential care) particularly in Indonesia.
support for social workers is often lacking. 2. Approach to social work often focuses on only the individual case/ work, where it may not be suitable where there are a lot of social workers and where bigger social transformation is needed. 3. Social workers often concentrate on bureaucratic work, such as social protection administration, which do
1. Social work for children and vulnerable family is pathetic, lack of resources, and low in grade in many situations. Training and 131
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
collaboratively - We must understand each other to create a systematic change. This research is a case study intended to analyze a specific situation both in practice and the situations in it. In this topic, the case study is ideally supposed to be learning about micro and macro situation of mutual interaction. The macro situation can be seen from the policies and government regulations aspects and support programs while in the specific study context, this case study will have a lot to do with how management and funding agencies run, the role of social workers (quantity and quality), infrastructure support and key aspects that support the sustainability of social services. Data obtained by engaging participants through FGD (Focus Group Discussion) and interview. FGD is intended to identify a range of opinions, impressions, and perceptions held by the participants within a relatively short time (3-4 hours). The interview itself is meant to deepen the information possessed by the subject on a predetermined topic. Following Kvale and Brinkmann (2008:102), the study has seven stages: to determine the theme (thematizing), design (designing), interviews (interviewing), transcribing (transcribing), analysis (analyzing), verification (verifying), and reporting (reporting). During the field research, we interview with the senior members of regional MPS. In each of the first three study cases, there will be interviews with representatives of regional MPS. This interview will focus on what they have learned from their involvement in this studied initiative. Including the implications for the regional MPS in implementing the new national standards. Also, at the national level research there will be an interview with the senior member of Assembly of Education, Social, Health, Empowerment, Lazis, and Assembly of Economic in Jakarta. I addition, we Interviews with key stakeholders including UNICEF, Save the
not use their skills and abilities to the maximum (the best practices). 4. Good practices that exist in many countries and regions mostly through pilot projects and some are built in the national system. The global situation is expected to find positive forces for future change to improve the quality of social workers and support the children and vulnerable families around the world, by building the forces that exist in the current system and align it to the local context AI approach is chosen for several reasons, they are: 1. To develop the strengths of the service program for children without parental care. 2. To learn about what makes it possible to work for children and families 3. To promote cooperation and collaboration plan 4. To map the current system and identify where social work may give a positive influence. 5. To identify and develop the strength to change. 6. To promote a shared vision for a better quality of social work. According to Cooperrider and Pratt (1995) there are at least 4 principle guides , among other things: first, the inquiry into the life of the organization / community must begin with an appreciation of the efforts and experience of its actors (appreciative). In other words, we must learn to understand what we have and what does not exist / available. Second, the investigation for the possibility must be put into realization for the purpose we wish to achieve. Third, a provocative investigation so the process should arouse us and make us want to work to improve the results; and fourth, the investigation should be done
132
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
institution children. They were included in each FGD of 10 people and were also interviewed about each of the elements (see Respondents Table). Some of the related information is also obtained from the stakeholder panel of social service assembly consisting of stakeholders from Muhammadiyah Yogyakarta regional leadership structure which consists of a panel of social services, Dikdasmen, and a panel of community empowerment.
Children, and the Government of Indonesia to determine their contribution to the change as well as their hopes for the future of family support. PROFILE OF RESPONDENTS PARTICIPANTS
/
Participants in this study consisted of the institution caregivers/ staff, representatives of family, and the
Table 2. Research Activities and Participants No 1 2 3 4 5 6 7 8
Activity FGD Interview Interview FGD Interview FGD Interview Interview Number of participants
Category / Participants Children in Institution Children in Institution Children outside Institution Staff Staff Parents/ Family Parents/ Family Muhammadiyah Council
Respondents/ participants who were included in this study consist of staff representatives, families and children. For families and children, they made up of families and children who receive family benefits (non-nursing) and also the families whose children join the institution as well as children who live-in the institution. The qualification of children involved were ranging from children who are in elementary school, junior high/ MT, and high school/ vocational school. Most of the children involved are children from religious school and vocational school. The vocational school becomes a place to learn for the institutional children because it teaches expertise that after they are done with school, they can automatically get out
Amount 10 4 3 10 3 10 3 4
of the institution and gain wider employment opportunities. Interview respondents from institution staff were appointed by the institution’s leader and as for the family of representatives, the caregivers who are more familiar with the child’s family designated them. Families of all participants came from two locations: the city of Yogyakarta and nearby district, the Bantul district. Average families involved are labors, workers, farmers, or street sellers. In general, they are the biological parents, either the mother or father of the children who are supported. Here is a brief profile of foster children who are involved in FGD as shown in Table 1.
133
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
Table 3. List Of The Children Joining FGD No 1
Name Ahmad Habibi A
Place, DOB
School
Boyolali, 17 December
Pakel Public
2002
Elementary
Grade
Status
5
Fatherless
9
Fatherless
9
Fatherless
10
Under
School 2
Ditya Amiftakhul R
Magelang, 21 May 1999
MTs Muh Karangkajen
3 4
Siswono
Purbalingga, 18 August
MTs Muh
1998
Karangkajen
Dwi Khoerul
Semarang, 14 January
Muh 3
Prasetyo
1997
Vocational
privileged
School 5
Tri Thoni Riyanto
Boyolali, 22 November
Muh 1
1997
Vocational
10
Under privileged
School 6
Andrianto
Banjarnegara, 03 April
SMK SMTI
11
1995
Under privileged
7
Hanif Akbar W
Jakarta, 23 January 1997
SMK SMTI
11
Fatherless
8
Wika Tri Afrilianto
Jakarta, 28 April 1997
SMK Muh 3
11
Fatherless
9
Misbahudin
Purbalingga, 28 March
SMK N 6
12
Orphan
Purbalingga, 02 July
Plantation
12
Orphan
1995
Vocational
1994 10
Nur Abdullah
School MM 52
undergoing its own dynamics. The process of implementation and evaluation of the study include some of the following:
Although by the origin, almost everyone was born outside Yogyakarta but some of them are Yogyakarta descends and currently returned to Yogyakarta but stay at the institution due to financial factor, one of the parents dies, and broken home families. Three out of ten children still have complete parents and no one actually does not have a family. This situation has contributed a lot of stories of joy and sorrow that will be discussed next.
a. Methodological Issues AI approach with the use of FGD and interviews has a limitation where the interaction seems stiff especially when FGD and interviews were held when the researcher team is not too familiar with the participants. It was even the first time for most of the families, children, and staff to be involved in FGD to talk about things that are 'sensitive', concerning managerial, parental choice in institution, and about the feelings of the children who live in
LIMITATION Research, we believe, in all kinds, obviously have limitations both in terms of method, instruments, and researchers’ knowledge as the implementers of the activities. Included as a study with instruments / tools, AI approach is 134
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
To avoid tension, short games were played in between FGD activities to provide a relaxing and confident atmosphere. Children who were shy to introduce themselves and talk about their situation and their family could work in pairs and pick their own partner to whom they felt most comfortable with. After that, each participant introduced their partner’s situation ever since they were still in a family, how they got into the institution, as well as the ups and downs of living in an institution. This activity got all the participants active and brought laughter even though in the beginning their eyes were teary but at the end, the situation turned warmer. Some people who didn’t express themselves in the forum regarding the uncomfortable situation were finally able to talk about it after the researcher talked to them face-to-face, starting by asking what they wanted to be in the future along with giving a relevant motivation.
institution and the feelings of living at home (children living with families, or called non-institution children). Society in general, including the participants of this study have a tendency to prefer the express problems either within their authority reach to change the state or any outside party so it is difficult to dig initiative or success stories as long as they become a part of the interaction in their own environment. When we tried to dig the positive outcomes, they tend to 'be nostalgic' with the institution’s management in the past, while the children and the parents had trouble finding anything positive they had ever felt or experienced. After a while, they showed a general trend that family affection is the most important thing. b. Instruments/research tools Researchers were actually confident using the type of probing questions, but we often ran into obstacles due to the difficulty of using the type of questions that we think are very western, such as ‘could it be described in more detail', ‘how is your feeling sir/ ma’am/ kid?’ The “tell me more” type of question is very difficult to implement and based on our experience, the participants tend to be quiet and was already prepared to answer the next questions rather than describing more to what they had already said. In addition, the language issue got a little harder since some respondents from families are unable to speak Bahasa Indonesia. It caused a bit of difficulty to the note taker with very little Javanese language proficiency. This issue could be resolved because we recorded the whole interview process.
DESCRIPTION OF RESEARCH SITES (CASE STUDY) Issues expressed by participants were an expression of generality when a question posed in the study - they preferred to express the problems rather than the ability to appreciate the best practices that had been encountered by caregivers (leaders, administrators, staff, and volunteers). The issue that got stronger is the lacking of leadership that great activities they had over the years could not be sustained. From this study we also found the ‘fact’ that the 47 people reunification story at Lowanu Putra Muhammadiyah Institution was not proven true. This could have been caused by different perceptions. PAY (the institution) only accommodates children from elementary to high school ages. Some people who were supported to
135
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
of institution’s alumni. Due to the very old age, PAY the institution has already generated thousands of alumni who are scattered in different places with their respective degrees of success. The foster children know many of them active. For foster children from outside Java, they usually get approval from the alumni who come from outside Java, especially those who are living in Yogyakarta. This can be reviewed because of the trust to the alumni, besides it is more effective since it is not possible to scan it all the way outside Java. The percentage of the children from Java and outside Java from year to year can be shown as the following table: Ironically, some of the leaders in the institution want to remove the family support model, commonly called 'noninstitutional' - children who receive educational support from the institution but not living in, instead live with their family. The total average annually is 20 children from the city of Yogyakarta and centralized in one school, which is Mts Muhammadiyah, Karangkajen. From different participants who are stakeholders in the Regional Leadership Muhammadiyah Yogyakarta can be expressed in general related to this issue that the institution should remain, because it is the form of Muhammadiyah’s social services that has been initiated since long ago especially in Lowanu, which is Muhammadiyah’s first institution. The existence of social institutions is one of the pillars of Muhammadiyah movement in addition to health and education. However, support from the assembly has not been enough shown especially the structure in the area of Muhammadiyah. With such situation, it is rather difficult to start a reunification discussion because the institution was still busy finding a way to survive and getting sufficient financial source. The ‘minimum’ role of Muhammadiyah structure at the regional level as well as the area can be traced from the main source of revenue to fund the institutions. The greatest sources of funds come from donors/ community, followed
the college level is a 'cadre' who, in the future, will help take care of the children as well. One single caregiver can take care of 10 children in average. Thus, the 47 children who were returned might have been those who had finished high school. There was also a case where 11 children were discharged more as a punishment than reunification. Some innovations emerged from institution management reform initiative is to implement a rigorous assessment system when accepting children either from Yogyakarta Greater Area or from outside the region or even outside Java. Assessment, the last few years, was done by directly visiting their area of origin before they were actually accepted. This, according to some of the caregivers and leaders, is done so that children who can still live with their family may remain in their family. Only when faced with the question of education, caregivers and nursing leadership could not provide solutions, especially to those who live outside Yogyakarta. It may be a future recommendation. It may not be different from the admission system at the other PAY (institution). There are a couple of interesting things we can deliver here. There are several parties or stakeholders involved. First, it is the caregivers who usually perform the assessments to families who want to send their children by asking some checklists/ questions and also record the direct observations of the families. Second, the presence of religious institutions at the children’s origin village. The religious institutions can be a Muhammadiyah central branch/ sub-branch or mosque/ mosque organization. The acceptance contract for Lowanu Institution foster children is not between Institution-Family (individual), but between the agency with the institution (institution-to-Institution). It’s a context where Islamic religious institutions are at the location. It is intended to get a clear responsibility model as well as a guarantee from the local organizations at their area. Finally, the role
136
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
by government aid, independent institutions, and Dharmais Foundation Jakarta. 3 A ccording to an institution caregiver, the amount of financial aid from the government and Dharmais is getting smaller from year to year. While donors remain relatively stable. Another leader just wanted to be independent from external donors and emphasizing more on the development of institution-owned enterprises such as rice field and rental buildings. According to the regional MPM board (Community Development Council), it is a good idea but often times the empowerment done by the institution is very sporadic and not systematic that when there’s a change in management, the different policies often disturb empowerment program’s sustainability. It is a fact that the ratio between the numbers of children with the staff/ daily caregivers is non-comparable. There are at least 10 daily caregivers who incidentally university student while the leaders or the management don’t monitor the condition of the children regularly. Below is a picture of the burden of Trustees / children caregivers:
3
In year 2010, the amount of money from the donors was IDR 109.145.350, from the enterprise was IDR 5.100.000,-, from the government was IDR 8,394,165,-, from Dharmais Foundation was IDR 2.250,000 (source: Annual report and activity evaluation of Putra Muhammadiyah Lowanu Institution, 2010). 137
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
Table 4. List of The Caregivers and The Children NO
Grade
Amount of
Name of Caregiver
Children 1 2
Elementary School
3
Rudia Agazi
th
16
Agus Eko P/ Sunarjo
th
7 grade
3
8 grade
11
M Saprudin Nawawi
4
9th grade
12
Julianto
5
10th grade
10
Nur Fais
6
11th grade
6
Neni
7
12th grade
9
Nurudin Hamzah
REASONS FOR FAMILY-BASED SUPPORT (WHY IS KEEPING CHILDREN IN FAMILIES SO IMPORTANT?)
Some years earlier there was cooperation with the university that is UAD (Ahmad Dahlan University – Universitas Achmad Dahlan) psychology major to help with children handling and mentoring. 4 However, since year 2012 the program was no longer coordinated for no apparent reason. Very likely this was the result of management change. Although the cooperation program with the campus was considered less effective for the children care but they needed an innovation that involve the campus as an available resource. Innovation indeed is the key to improve the quality of service and at the same time efforts to diversify the service model is necessary, it should not only bring children live in institution - but the campus may support to strengthen the families and to prepare them to receive again their children who are temporarily in the institution.
To answer the question about how the best parenting system for the children could be obtained, researcher asked this question to all group of participants, either it is the children, family, staff, and caregivers by first providing an opportunity to tell what kind of positive thoughts the participants had when seeing the children stayed at the institution, including the children themselves to tell the positive values when living at the institution and at home. Once the participants have gotten enough opportunities, the researchers then gave another opportunity for FGD staff and parents to express in writing what’s good about living in the institution and at home for the children. The following table is a summary taken from two FGDs for families and staff.
4
At the time the research was being conducted, I only found one volunteer from the National Islamic University. The recently graduated student said that he became a volunteer personally and not representing any organization or institution. The decision to be involved was based by his own initiative to apply the knowledge he had gained. At the end I figured that the student is a member of Muhammadiyah Students Association.
138
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
Tabel 5. Staff and Family Perceptions on Foster Children Existence Living-in The Institution 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Living at Home
More independent Worship / Pray more regularly Receiving formal/ informal education (vocational school/ university) Creative and having a lot of achievements. Financially covered (clothes/ food) Learning to adapt Running a modest life Discipline Help ease the parents’ burden
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Getting the parents’ / family affection. Getting the attention from the parents. Self Confident Can socialize with the community. Free Comfortable Closer to family.
7. “…as a motivator.” 8. “…family as one of the purposes in life.” 9. “…as a shelter, and sharing the after-life” 10. “…personality shaper” 11. “….like the limbs.”
Almost all FGD participants agreed that the primary care and the first and the best is in a family with parents where their affection can not be replaced with affection from elsewhere. The affection from the staff and institution’s caregivers is very limited. It is recognized by the participants especially the institution does not have an exemplary figure whom the children can see on daily basis, because, in practice, the staff or caregiver field has been more like a tutor and not able to completely replace the role of parents. That is, although there are many advantages of living in an institution, of course the need of family affection is very important. It also encourages the idea and understanding that the family is the main element and try as much so that the children are not sent to the institution unless circumstances do not allow them to live with their family. From the same FGD we may also cite the original words on how the participants appreciate their family being. According to the participants, a family is:
A daughter of one of the PAY former caregivers who is also a current staff also expressed her opinion on family: “Family means a lot to me, and when my mother died it was raining. That's when I really hate the rain while my father always told me that the rain is not evil. Shortly after the lapse of 2 years, my father remarried a kindergarten teacher and after that my father died and it was my stepmother who took care of me until now. My family is the core of forming my personality. And today my eyes were swollen from crying because it is the birthday of my mother. "(said in tears)
Another young caregiver who is also PAY alumni also shared her personal story:
1. “…a major supporter for the success” 2. “…a place to share the ups and downs” 3. “…the motivator and life’s complimentary” 4. “…the first and the last to love me” 5. “…a place to learn, to get affection, to be raised and develop” 6. “…without my family, I don’t mean anything.”
“When I was little, my mother taught me to be independent by selling stuff. I lived at Banjarnegara at the time. My father worked as a laborer in Jakarta. I was at the 4th grade at the time.”
With a mindset that is very positive towards family, it actually has provided a pre-condition to develop family strengthening efforts both in terms of economy and education so it won’t be so
139
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
institution’s social work. Let’s say Mrs. Nina, who told us her own reason in an interview:
easy to send their children to social institutions especially for children before teenager ages who really require 'affection' from their parents / family. In addition to the family meaning, there have also been some situations or events that made the caregivers relieved. Some of the quotations below are expected to represent a wide variety of expression that had been said in both FGD forums and one-on-one interviews:
“My father once a caregiver here and asked me to help at the institution. I have worked here for 3 years, and only in the evening since I have to teach at a kindergarten in the morning. Maybe when I’m married later, I will have to leave but the closeness with the children here makes me more calm and to live with all the other caregivers is exciting for me.”
While for the 'actors' or the foster children themselves, they have their own views related to the advantages and disadvantages of living in the institution and at home. When a child feels ‘comfortable’ living in the institution, they usually have their individual factors that are sometimes very personal. Like Zainal (not a real name) who has his own reason, "... the good thing about living in an institution is when I can become a big brother for the children at the institution.” The existence of the social environment at the institution is considered able to 'replace' the sibling-like structure in the family so there is big brother and sister system according to their age level and level of education. For more details and to find out more the other’s views and opinions, the following table the summary.
“I feel happy when my online donation program was getting a result. I feel like I can do something although it’s small.” -Dede “Having an outstanding child of course makes us, the caregivers as their parents truly happy and and proud. Like when they made it to the top three achievers in their class.” -Irfan “When we provide them with food and they don’t eat it, we feel sad. But otherwise when they eat it, we feel satisfied. Their favorites are meatballs and vegetable soup. I am glad when they can share their stories and problems. It is really fulfilling for me. Generally they chat during meal time…” -Kitchen staff
A caregiver surely has their own motivation to be involved in the Table 6. Comparison of living in an institution and at home
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Living in Institution “…want to finish the study first..” “…to help reduce the parents’ burden.” “I only have a few more months left here, let’s just finish it..” “…can study in groups.” “…to practice living independently” “…togetherness, experience, discipline, self-reliance..” “Lots of friend.” “Can help each other.”
Living at Home “Close to the parents,” “…can help my parents.” “receiving more affection from the parents.” 4. “can get together with the parents and siblings.” 5. “there’s some sort of freedom we cannot get at PAY” 6. “My mother’s food tastes more delicious.” 7. “Cared by the family.” 8. “The memorable advice my family gave me.” 9. “…it’s the most exciting when we can meet and gather with the family.” 10. “To help my parents earning money.” 1. 2. 3.
140
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
According to the institution alumnus, Ari (not a real name), in general, children who live in PAY is due to "economy issues” ... so it is possible that they may not be able to continue their education so alternatively, they stay at the institution. Especially if they go to vocational school where there are many costs such as the cost of the practice, buildings, etc.. To maintain the relationships with their family, in general the caregiver or team leader tries to get the phone number of the child's parents in order to provide information by text messages related to the development of children in the institution. In addition, another reason why a child feels more comfortable staying at the institution is probably because of the family firmness factor. A child said:
various processes of data collection, the writer can conclude that there is a positive image about the alumni of this institution because a lot of alumni are considered successful to enter the work place. This makes sense because the kids who are in residence for upper secondary education are put in SMK (vocational school). And alumni turned out to have a fairly strong role as to who could be sent to the institution all these times and maybe in the future. Although it is known to the caregivers, but there is no strict punishment regarding the matter. There are also parents who do not want to see their children at the institution as often due to 'respect’ the feelings of children who come from outside the area who do not get visited by their parents and families. The reason for the children from Bantul to still be in institutional care is to relieve the burden on their parents, at least when their parents told them to stay at the institution they can not refuse. While all the entire kinds of needs that they receive in the orphanage, they actually can get in their own families. The basic needs that they don’t acquire at the institution are the needs of freedom, love of parents/ family/ relatives, and the time to share their problems directly to their parents. Some of the children complained about the never-ending activities both at school and at the institution so they often feel sore. In general, the children return to the institution after 12 at noon and then followed by the institution’s activities. To give you an idea, here is a standard schedule at the institution.
“My own parents actually want me to live at home with the family but now that my father got remarried and his wife is not like my own mother when she was alive, I don’t feel as comfortable living at home anymore..”
However, in general the children involved in these activities have a high enough tribute to the existence of families and parents. A child, namely Arham, has a sense of extraordinary affection to his mother and wanted to live with his parents because the almost-graduated kid cannot wait to help his mother earn some money. He ended up being in the institution because his uncle had brought him there. Arham’s uncle got the information from a neighbor who had lived in at the same institution where Arham now lives. Of the
Tabel 7: Daily Activity Schedule of PAY Institution Children Time
Activity
04.00-05.00
Wake up, do the dawn prayer and read the Koran
05.00-05.30
Cleaning time
05.30-06.00
Get ready to go to school
06.00-06.45
Breakfast then go to school
06.45-13.00
School time
141
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
13.00-14.45
Lunch Break
14.45-15.30
Afternoon prayer and Tadarus
15.30-17.00
Evening cleaning time, sport, play time
17.00-17.45
Evening bath
17.45-19.30
Maghrib Prayer, Isya prayer, religious discussion.
19.30-20.00
Dinner
20.00-2130
Study
21.30-22.00
Watch TV
22.00-04.00
Rest.
Source: PAY Documents, 2013
NB
: Evening Ahad is speech practice and Friday service practice. Night Ahad, Ba’da Maghrib, to the Isya time is for trustees activities.
Assessment, the last few years, was done by directly visiting their area of origin before they were actually accepted. This, according to some of the caregivers and leaders, is done so that children who can still live with their family may remain in their family. Only when faced with the question of education, caregivers and nursing leadership could not provide solutions, especially to those who live outside Yogyakarta. It may be a future recommendation. It may not be different from the admission system at the other PAY (institution). There are a couple of interesting things we can deliver here. There are several parties or stakeholders involved. First, it is the caregivers who usually perform the assessments to families who want to send their children by asking some checklists/ questions and also record the direct observations of the families. Second, the presence of religious institutions at the children’s origin village. The religious institutions can be a Muhammadiyah central branch/ subbranch or mosque/ mosque organization. The acceptance contract for Lowanu Institution foster children is not between Institution-Family (individual), but between the agency with the institution (institution-to-Institution). It’s a context where Islamic religious institutions are at the location. It is intended to get a clear responsibility
Issues expressed by participants were an expression of generality when a question posed in the study - they preferred to express the problems rather than the ability to appreciate the best practices that had been encountered by caregivers (leaders, administrators, staff, and volunteers). The issue that got stronger is the lacking of leadership that great activities they had over the years could not be sustained. From this study we also found the ‘fact’ that the 47 people reunification story at Lowanu Putra Muhammadiyah Institution was not proven true. This could have been caused by different perceptions. PAY (the institution) only accommodates children from elementary to high school ages. Some people who were supported to the college level is a 'cadre' who, in the future, will help take care of the children as well. One single caregiver can take care of 10 children in average. Thus, the 47 children who were returned might have been those who had finished high school. There was also a case where 11 children were discharged more as a punishment than reunification. Some innovations emerged from institution management reform initiative is to implement a rigorous assessment system when accepting children either from Yogyakarta Greater Area or from outside the region or even outside Java. 142
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
conventional) that the transformation couldn’t not be manifested fully.
model as well as a guarantee from the local organizations at their area. Finally, the role of institution’s alumni. Due to the very old age, PAY the institution has already generated thousands of alumni who are scattered in different places with their respective degrees of success. The foster children know many of them active. For foster children from outside Java, they usually get approval from the alumni who come from outside Java, especially those who are living in Yogyakarta. This can be reviewed because of the trust to the alumni, besides it is more effective since it is not possible to scan it all the way outside Java. The percentage of the children from Java and outside Java from year to year is shown at the previous Table 3. Ironically, some of the leaders in the institution want to remove the family support model, commonly called 'noninstitutional' - children who receive educational support from the institution but not living in, instead live with their family. The total average annually is 20 children from the city of Yogyakarta and centralized in one school, which is Mts Muhammadiyah, Karangkajen.
One of the caregivers and staff that has been working at the institution for over 20 years, expressed his thought: “… Family compensation in the form of pocket money, clothes, and rice between 1970-1993 was omitted. I don’t know why. Maybe because there had been a change in management but I myself prefer the previous regulations since it strengthened our togetherness better.”
In addition, regulatory and financial support both from the government and Muhammadiyah’s greater structure makes the family strengthening possible, even more powerful and not vice versa. What happened in Lowanu PAY is an anomaly in which the maturity of an institution does not exactly strengthen family revitalization initiative but rather, keeping the conventional ways of managing social services. Some of Muhammadiyah elite members have actually made a call for renewal (tajdid) in social service efforts, that it may be directed to the socio-preneurship where trainings about it had been run in both regional and local levels. The professionalization of the management’s charitable efforts have not fully absorbed to become the spirit of the institutions’ stakeholders. All these times, the institution caregivers don’t have a strong paradigm on giving a perspective service that there has been a profit-oriented phenomenon in institution service at various institutions across Indonesia. This phenomenon is certainly sad for the children who were separated from their family only to become a tool to gain material advantage by the institution caregivers and staff. One of the plus points of this nearly a century old institution is shown from the child’s perspective at the program description and institution profile year 2011. Here is the citation:
THE STRENGTHS OF INITIATIVE Several things that can become the strength points of management dynamic at the institution and non-institution system in Putra Muhammadiyah Institution can be explained by a few things. First, being the oldest institution, Putra Muhammadiyah has had many and long history of experience in its exceeding one hundred years of age. In this age, the institution actually has a strong enough reason to make efforts to revitalize the institution management. The fact that this institution has supported families for decades without asking the children to live in the institution is one of the plus points. It was performed many years ago before there was a systematic effort by the government to reduce the number of institutions. Efforts to strengthen the family to keep their children at home are only constrained by the model of leadership they had (perhaps
"... The children play a role as a subject that must be considered in accordance with
143
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
the other places, these children are invited to pray for the donor’s success and they usually love this activity especially when in the end they get food and a little pocket money. That was one of the expressions of a caregiver jokingly, and but it is true that kids are happy whenever they received a Koran recitation invitation from the donors.
their nature. The institution’s role is to create the conditions of a family, as well as the substitute of father / mother at home. “
To place the children as the subject is a very transformative idea, considering that generally, even in formal educational institutions, children are portrayed as an 'object' rather than active subjects who can certainly contribute more according to their needs. However, the practice of making the children as a subject is certainly not as easy as imagined. As the paradigm embodiment, this institution put their best effort to develop programs and activities based on children's needs: "of the children, by the children, and for the children." Because of the involvement orientation, children who were considered qualified in leadership skills formed an organization named OSDA (Organisasi Santri Darussalam – Darussalam Islamic Preacher Organization). By the organization, caregivers and staff only function as activites coordinator. One of OSDA purposes is to be a role model for younger children (new foster children) as well as protectors at the institution and at school.5 Muhammadiyah PAY institution is also trying to put the community as a partner that can support the activities at both institutions as a socialization medium or as a place to learn the realities of real life, which cannot be obtained directly at the institution. The supporting activity can be an invitation for Koran recitation at the donor’s house and for the caregivers, they are usually invited to lead the Koran recitation at the surrounding areas (Yogyakarta city greater area). Just like in
THE FUTURE OF FAMILY CARE (WISHES FOR THE FUTURE) Only one of the 10 institution caregivers who sees the need for a systemic effort of a deinstitutionalization. Some see this institution being very important, as it becomes a necessity. Another reason is, even without doing any 'marketing promotion', this institution is already very much visited by the donors or family, or organizations who want to put their children in the institution. Moreover the since the 1990s, the institution has been integrated with Islamic boarding school. The same phenomenon occurs in various places related to the double functioning of the childcare institution. Many statements said that donors were considering the presence of the children in the institution – means that the donors want to see the kids in the institution instead of their family home. This issue becomes a serious concern for the team and we make every effort to confirm it to the leadership and caregivers. Many caregivers do not see this issue as a problem as the donors were explained that the presence of the children is not only at the institution but also at their family’s home. A caregiver claimed: “…if the management can give an understanding to the donors so that they can understand that the institution also has family care system. Sometimes the donors come directly to our office and sometimes ask what a noninstitution means. Generally a lot of the donors have understood it.”
5
Orphanage’s Muhammadiyah Institution applies a system where they send the children to schools alike so that they are easier to coordinate. There are several types of collaboration between the institution and the school. For vocational school level, there are some kids who have more skills and they deserve to continue their education at a good vocational school outside Muhammadiyah’s such as SMTI (Sekolah Menengah Tekhnologi Industri – Industrial Technology Middle School – that is very popular among the children.) 144
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
educational boarding school system in the institution since 1990. Three out of ten participants placed the management/ managerial issue as their most concern to be solved soon considering the age of the institution. The institution management became a hot discussion where the institution is considered lacking on leadership figure. It is caused by the absence of the “elders” in the institution so some staff likened this situation as 'chicks lost the roster'. As a result, activities that involved the community, including noninstitution children were a bit ignored. Other participants put “funding” as a major issue. This is due to the demands of the higher operating costs. Although there have been productive efforts such as developing the rice field and building rental for wedding receptions, but the presence of donors remains very important. Due to financial issues also, a participant through the interview expressed her opinion on the existence of family care, where she thought is less effective and had an initiative to cancel it. The intention is to focus more to children who are living in the institution. Estimated cost per child per year of primary school age to vocational school age on average is 4-6 million Rupiah, which consists of tuition fees/ educational fee, pocket money, clothes, food, and year-end bonus. As for the parents/ family we did the same thing, from personal interviews, children, and FGD. For parents, we provided a card with the writing on it as follows:
"For the past several years, the complain topic has been about the poor management system because the gap between the leaders, the staff, and children is too far and should be corrected,” added an FGD participant. It turned out that the gap between the leaders of the foster child was considered a serious problem that it became a discussion at several events. It also became the hope of the future changes. In the research process, the research team found it difficult to enter the DI because the growing issue was not DI but numerous attempts to revitalize the existence of institution, management, leadership, financial resources, and education quality of the learners and community involvement initiatives in the educational process at the institution (participatory). When researchers gave an opportunity to convey their expectations to the FGD participants in a card for staff as containing the following: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Social Services Funding Reunification Autonomy Management Professionalism Family care/ support institutional
/
non-
The researcher believes that the list above contained strategic issues that are successfully mapped from face to face interviews performed which then taken to the FGD (Focus Group Discussion). When the participants were given the opportunity to sort the list starting from the most important to the least priority, the results can be described as follows. From 10 FGD participants of group of institution staff, five of which puts social services as the main orientation of the institution existence. That means the institution existence is the 'hope' and 'demand' of the society, not only in the in the area but also outside the Yogyakarta area. It is also considered to be a motivation for implementing Islamic
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Affection Care Education Aspiration Compensation Cost of Living Security Peace Residence/ home
Related to the initiatives on family support strengthening and reunification actually a small initiative has appeared or
145
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
factor that is quite interesting to note. Another one issue is that children only got a little information that they would be sent to the institution when all they know, they were sent to boarding school to learn religion. In some cases, this is a form of dishonesty to the child. There were tons of disappointments when they arrived at the site and it turned out an institution. However, it turns out that the children were relatively resilient and able to adapt well in an environment that was initially uncomfortable.6 The 'efforts to return the children to the family to get the best care' initiative also faced some obstacles both in terms of cultural, economic, and also internal management and leadership in the institution. First, the cultural barrier is strongly influenced by the level of education that is uneven in both the family and the institution staff. There is still a strong assumption and belief that the existence of the institution of charity orphanage is a field for managers and donors. There are many, though not all, donors who contributed some funds to the institution under the condition where the children have to live in the institution. There was only one staff who confidently said that "the Prophet Muhammad did not live in an institution and nor did he set up one" so that in the future this will become temporary residential care, where the
forward thinking, either emerged from FGDs / interviews with the children, staff, and families. How this initiative can be explained, here are some interviews citations / statements the participants of three different groups said: From the children living in an institution: “…before my parents couldn’t afford my education. But now I can choose.. of course I choose to live at home.” “I have a friend to play with at home, and I can help my parents… but my uncle is very strict…” (the uncle had the initiative to bring the child to the institution) “…I thought I was sent here to join the Islamic boarding house..” The children’s background in the institution are quite diverse, but substantially they are sent to an institution, living away from the family even in an early age and in fact some of them still have families who can afford to raise them up but the awareness of raising a child in a family has shifted. Before, our family would help if there was a relative in trouble or help them financially when they lost their parents. But now both sides are reluctant to ask for help and also offer help even though we’re family. A child said that he had stayed at his uncle's house in Bantul but did not feel 'at home' and it was uncomfortable. After all, living in the family home where it doesn’t belong to the biological parents, there is a general tendency of unfair treatment. There are also other factors, for example the initiative of the family, like in the case of Hanif, where his uncle resolved all matters to send him to an institution. His biological parents are still alive and the child is also more comfortable staying in their own homes with all their limitations and capabilities. But the uncle’s intervention in this case is very strong and even parents and children can not refuse to be sent to an orphanage. That is another
6
In general, elementary school age, 3rd graders, are sent to the institution to finish their education up to the high school/ vocational school level then they can either come back to their family or stay in their area and work. Kids who stayed for longer than 5 years, at the first or second year of their vocational school, according to the information, don’t feel like going home since they would rather wait until they finish their education completely, even though they come from Yogyakarta surrounding regions (Sleman and Bantul). Frankly speaking, the family is happier if the children could stay at home (as they can help the family) under one condition: the institution still provide their tuition fee since the family cannot afford it. In other words, actually the scholarship scheme at high school level supposed to be able to reduce the amount of children living in the institution. 146
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
5. Death certificate of father or mother, issued by the local government / village leader, 6. A medical certificate that stated the child is physically and mentally healthy, accompanied by blood type information, 7. STTB, NEM, report cards, and Moving letter by the previous school, 8. Letter of good conduct from the local police station or school, 9. Black and white passport photo size 3x4 and 4x6, 3 pieces each and the film negative, 10. Fill out the form that is provided by the institution, 11. Interview session, 12. All documents must be submitted/ sent to the institution at least a week before the admission announcement.
family situations don’t allow them to keep their child (for a temporary time being). Of the many papers reporting from the institution, not only from Yogyakarta but also outside Yogyakarta, it can be concluded that efforts to establish the institution and efforts to keep them are related to perceptions / views and beliefs that the institution is part of a Muhammadiyah charitable efforts as evidence of our concern on community issues, such as poverty, ignorance, the number of orphans, and poverty rampant. This belief is reinforced by Allah’s word in the Qur'an that ordered us to sympathize the orphans and the poor. It is a “helping” spirit, and it has been the most important part in social worship that Muhammadiyah believe. Second, family’s financial issue becomes a reason for family members and community leaders to support the delivery of the children to the institution with a reason ‘to get an education and life skills’. The children in the institution were placed in vocational school with a ‘promise’ to get a job upon finishing school. This is found to be very reasonable for families to release their children who are still in primary school age to stay away from family, away from parents’ love. Apart from that, there are also other motives such as the children are considered 'naughty' in their village, as well as experiencing family disharmony while the other relatives are reluctant to accommodate these children. The minimum requirements to put the children at Lowanu Institution are: 1. Prospective students should be sent by a local organization, preferably from the a Muhammadiyah branch level of organization, 2. A formal letter from a local government stating that the child is really fatherless or orphans or coming from poor families, 3. Prospective foster children must be able to take care of themselves (minimum 3rd grade age), 4. Birth certificate,
As the leader stated, the requirements will also be validated by the institution team who will come visit and ask the family directly and the community in which prospective institution children come from. With this tight and firm standard, of course it’s not easy for the family to decide to send their children to the institution and will likely let the children remain in the family if the ability to pay for school is covered. This is in fact often makes legitimacy for families to send their children to the institution especially if they have gotten the support from local leaders / Muhammadiyah organizations /local mosque councils. Last thing a barrier the author prefers to address as leadership barriermeaning initiatives to take care of a child in a family is a primary thing and make the institution a temporary shelters are not in command of the people who have authority. Even in this Lowanu PAY case, initiator stood at relatively weak position that is general helpers while the institution head and Muhammadiyah’s local branch leaders stood as policy makers. However there had been tightening efforts in recruitment system, but it does not change
147
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
who are dealing directly with the children are alumni who are considered outstanding and had received a 'scholarship' to continue their studies up to the university level. AI approach that was originally expected to see the strength rather than the issue apparently was not running ideally. The problem mapping is much bigger rather than seeing the potential and possibility of strengthening the family as the best care for children. Regarding the issue, we can also describe how stakeholders may intervene in the future (see recommendation). To the idea of family strengthening possible, at least this chart can be used as a reference related to the roles of stakeholders either done or haven’t been done, as well as the new roles that can accelerate the process of family empowerment socially, culturally, and economically
the mindset that an institution is a place of education, morality, skills, and children training to be independent. It can be seen from the Lowanu vision, "to make Putra Muhammadiyah Yogyakarta as a social, educational and religious institution that creates Muhammadiyah’s skilled, independent, and noble cadres." As a result is that the institution's existence is equated with other educational institutions that is a temporary place and also no initiative for intervention to their families to be able to take care of their own children. Besides the issue of 'bad' management system, it was due to the dual role that is currently on going. From period to period (five years), we found out that there had been dual positioning between secretary coordinator and treasurer to the management in the department head and staff. The daily caregivers who supervise the kids and the volunteers are not included in the structure. Daily caregivers
Tabel 8. Stakeholders Support Internally - Externally Institution Education Assembly Social Service Assembly Tabligh Assembly Cader Assembly Economy Assembly PCM and PRM PTM
Support (current) School tuition subsidiary, directly to the school. Management development, program Ustadz/speaker Not yet seen Not yet seen Preparing institution regulation and administration Volunteer delivery (now personally)
From a discussion with the staff, there are several issues in the list that has been a barrier since the last 10 years, starting in 1998. Some of the issues include: (1) the impact of national financial situation is felt to meet the operational needs of the institution, (2) the low salaries of employees, (3) and the limitation of supporting infrastructure of institutions production activities makes it difficult to optimize the potential of the existing from the ground endowments and buildings. Yanto Mulya, FORPAMA chairman which was founded in 2007
Outcome Institutional children receive education Institution can measure their capacity. Speaker availability Management legality/ Foundatiom Institution children can easily be facilitated.
described in detail the map of Muhammadiyah institution management nationally, and included some of these aspects: (1) weakness of the data base, (2) limited financial resources, (3) the lack of infrastructure and supporting facilities, (4) lack of human resources (HR) professionals in the fields of social services, (5) the children were lacking of 'productivity' after leaving the institution, and the last (6) is related to the weak network the institution has that often times it is difficult to access opportunities and programs from existing sources. 148
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
There are also several reasons among the people which by ideological reasons, push the institution to be independent and avoid "foreign funds" donations from abroad where it will bring bad image (negative stigma) of the Muhammadiyah institution. Therefore, there is a strong push in recent years that some institutions or other charitable social enterprise Muhammadiyah has, should have the support of the charitable efforts of the profit (for example cross-subsidies from universities and hospitals). In addition, the development of entrepreneurship in the institution management is also considered important. To reinforce the idea, it is important to discuss about stakeholders’ strategic and practical roles in the near future. Please see the table below.
Putra Muhammadiyah Institution Yogyakarta has also been trying to sustain their existence in social services. Among them is the effort to revamp and restructuring of the institution management system such as in the form of coaching activities and efforts to raise the salaries of the employees. A decent salary is not mentioned descriptively as something that will support the social workers agenda. To overcome the lacking of operational funding issues the institution tried to expand the network and cooperation with various agencies either private or governmental including with community leaders. In addition, the development of productive enterprises in the form of land utilization for agriculture, rice, and trade. Again, here is not so strongly emphasized the roles that can be taken by Muhammadiyah structure.
Tabel 9. Stakeholders Support In The Future Institution Assembly of Education, Elementary to Middle school level and Education Department. Social Service Council Council of Community Empowerment Economy Assembly LazizMu
Strategic Support /Program Variety of Scholarship Schemes (High school/ University)
Management development and institution capacity strengthening. Preparing strategies and family-based economic empowerment program To help the network gain access to government strategic program Work together with MPM to do strategic effort in family economic strengthening
The involvement of PTM (Muhammadiyah University) is very important in Yogyakarta context, especially this area has a number of campus and available resources are abundant. We need to emphasize that among all the Muhammadiyah in Yogyakarta, none of them has a campus
Outcome Children may gain access to broader education.
Institution may prepare an agenda for change/ governance innovation towards professional service. Strong family Family involved actively in community economic program. Strong family.
social welfare programs (social welfare) while it has the power to be the backbone for social care reform and the professionalization of social workers especially for social service agencies within the context of Muhammadiyah. The necessity of opening the social welfare department is part of the recommendations 149
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
The situation encourages the public to confidently leave their children in the boarding house that in fact using the same the system and method of parenting as in the institution. So, a new face and a new identity contribute to building a positive public perception of assessing the presence institution. In addition, parents have enough reasons to send their child to the institution, such as to be more independent, to get religious education, and to acquire more skills. The third reason is the most dominant to motivate parents. At the same time, the girls and boys institutions of Muhammadiyah as research areas still retain a particular model of family care for orphans / the poor who still have family in Yogyakarta. Both staff and parents have relatively the same reasons that by living in their own home, at least the children can help with the family economic activity. Thus, the economic factor is still the determination of the logic of this policy. However, from the interview with the staff leaders, we figured that they plan to reduce the family support since it is considered to be less effective. The recommendations from this study can be geared to at least three institutions, namely (1) institution’s management staff, (2) Assembly of Muhammadiyah, and (3) for the government. Recommendation for institution staff/ caregivers/ volunteer:
on the strengthening of institutions that will ultimately help strengthen families. Thus, it becomes inevitable because it is very ironic if Muhammadiyah is not capable to supply professional social workers for its own charity. It is a big challenge considering Muhamammadiyah institution has been very much established and large in number. Based on the records that were reported by FORPAMA in institution directory of 2008, recorded at least 22 thousand institutional children spread across 351 Muhammadiyah institutions run by the assembly. One such challenge is the professionalism in which the institution is no longer oriented by the amount of foster children living in institutions but how it also prioritized social services for children who remain in the family who are financially in need of support. But keep in mind that this is not meant to support the a short-term program, but how to maintain family strengthening programas a long term one (sustainability). So not only the families are able to get out of the problem of financing their children's education but also one day the family is able to help others. This initiative has begun to institutionally reinforced by Council of Social Services (MPS) Muhammadiyah Central Management. CONCLUSION From the explanation above, there are at least two major conclusions and one evaluation of the AI approach used. First, there is a shift in general perception in understanding that an institution is purely as which houses children who have no parents or have parents but are not able to meet the basic needs of children (education). This view has been shifted both for the institutional children and parents as the impact of the system 'becameral' institution where now transformed into an Islamic boarding school as its new identity. The perception of staying at the institution then becomes positive enough for the kids.
1. Building an institution governance agreement that refers to the system developed by Muhammadiyah social services. 2. Build consensus to make efforts in empowering potential families that will send / have sent a child to the institutions by involving various assemblies and stakeholders. 3. Provide capacity building training for volunteers to understand that residential care is temporary and for emergency situations so that when the family is ready to accept the child back, they can immediately facilitate the return. 150
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
Recommendations Councils:
for
REFERENCE
Muhammadiyah
Argyris, C. (1973). Action science and intervention. The Journal of Applied Behovioral Science, 19, 115- 140.
1. Provide a scholarship scheme for vulnerable families to anticipate the attempts to put the child in the institution just because of the difficulty of access to education 2. Making an agreement to make efforts in empowering potential families who will send / have sent their child to the institutions by involving various assemblies and stakeholders. 3. Conduct an educational discussion for the institution staff so that the business orientation does not become a logic operation of social institutions. 4. The structure of the related panel should not only administrative and regulative but how the institution, on a higher level, may set up a scheme to improve or reform. During this time, the institution was trap of pragmatic thinking of how to maintain the institution rather than providing the best service for the children.
Argyris, C. (1970). Intervention theory and methods. Reading, MA: AddisonWesley. Argyris, C. & Schon, D. (1978). Organizational learning: A theory of action perspective. Reading,MA: Addison-Wesley. Administrative Science Quarterly, 22,591-622. Blake, R. & Mouton, J. Consultation. Reading, Addison-Wesley.
(1976). MA:
Bartunek, J. (1983). How organization development can develop organizational theory. Group and Organization Studies, 8, 303-318. Bartunek, J. (1984). Changing interpretive schemes and organizational restructuring: The example of a religious order. Administrative Science Quarterly, 27, 355-372. Bell, D. (1973). The coming of the postindustrial society. New York: Basic Books.
Recommendation for the government: 1. Governments are required to seek a family rescue program from inability issue of not able to provide the child’s basic needs. 2. The government is required to consistently and consequently reduce social assistance schemes to orphan institutions and transferred it to encourage families to optimize the economic ability by running empowerment activities 3. The government imposed a monitoring method to oversee the institutions that are too easy in accepting children without strict scanning.
Cooperrider, David L. 2008. Appreciative Inquiry Handbook. Brunsick, OH: Crowa Custom Publishing, Inc. Bohr, N. (1958). Atomic theory and human knowledge. New York: John Wiley. Bradford, L. P. Gibb, J. R., & Benne, K. (1964). T-group theory and laboratory method. New York: John Wiley. Whitney, D dan Troston-Bloom. 2010. The Power of appreciative Inquiry for Positive change. Beyer, J. (1981). Ideologies, values and decision making in organizations. In P. C. Nystrom and W. H. Starbuck 151
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
(Eds.), Handbook of organizational design, Vol.2. Oxford University Press. Beyer, J. & Trice, H. (1982). Utilization process: Conceptual framework and synthesis of findings. http://www.iisd.org/pdf/appreciativeinquir y.pdf
152
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
Peran Perempuan dalam Kasus Korupsi di Indonesia Dewi Sekar Kencono Program Studi Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Yogyakarta, Indonesia
[email protected];
[email protected] juga mempunyai peran dalam kasus korupsi baik secara langsung maupun tidak langsung.
Abstrak --- Munculnya beberapa nama perempuan yang terlibat dalam kasus korupsi pada ranah publik baik dari ibu rumah tangga, anggota partai politik maupun pejabat publik menjadi sorotan selama beberapa tahun ini. Perempuan yang terjerat dalam kasus korupsi pada dasarnya terjadi karena tidak mengetahui secara detail resiko jabatan dan tekanan yang akan diterima dari jabatan yang sedang diembanya. Dilihat dari faktor gaya kepemimpinan, politik, agama, psikologis dan budaya ketimuran semuanya secara tidak langsung menjadi pelindung perempuan dari jeratan korupsi. Hal ini disebabkan adanya batasan-batasan yang tidak bisa di lewati oleh perempuan baik secara normatif maupun secara lahiriah.Perempuan cenderung tidak korup dibanding laki-laki pada ranah publik.Perempuanmemiliki andil yang cukup besar dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi. Peranannya yang cukup strategis pada lingkup keluarga, lingkup kerja dan komunitas, perempuan biasanya bisa saling mengingatkan melalui berbagi ilmu dan saran. Melalui media inilah diharapkan ajakan menanamkan nilai moral, kejujuran dan budaya malu. Peran perempuan ini tentunya juga tidak lepas dari peran laki-laki mau ikut andil dan aktif atau tidak dalam upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi karena baik laki-laki maupun perempuan juga bisa terlibat dalam korupsi.Perempuan sebenarnya mempunyai peran yang sangat sentral dalam pemberantasan korupsi terutama di keluarga tetapi sebaliknya perempuan
Kata Kunci: kasus korupsi, perempuan, politik. I.
PENDAHULUAN
Budaya jawa kuno menempatkan perempuan sebagai sub-ordinasi laki-laki. Sejak kecil lakilaki dan perempuan dalam cara mendidik sudah dibedakan. Laki-laki lebih dipersiapkan untuk menjadi pemimpin dan perempuan lebih dipersiapan untuk mengurus dan menyelesaikan sektor domestik rumah tangga. Hal itu dikonstruksikan melalui sistem sosial, budaya, dan hukum sehingga keberadaan perempuan tidak dirasakan sebagai penindasan baginya karena proses tersebut telah berlangsung berabad-abad dan dari generasi ke generasi. Laki-laki sebagai pihak penindas juga tidak merasa menindas perempuan. Dengan demikian, gejala semacam ini dianggap sebagai hal yang biasa. Pada giliran selanjutnya, maka terjadilah diferensiasi peran berdasarkan jenis kelamin (cf.Budiman, 1982). Oleh karena itu, dalam sistem sosial dikenal sektor publik (public sector) dan sektor domestik (domestik sector). Sektor publik distereotipkan sebagai wilayah laki-laki sedangkan sektor domestik distereotipkan sebagai wilayah perempuan (cf. Abdullah, 1997). Secara historis, streotip perempuan dapat dilihat dari tiga aspek: biologis, psikologis, dan mitologis. Secara biologis (fisik), perempuan lebih lemah daripada laki-laki, secara psikologis perempuan merupakan sosok yang lebih dikendalikan oleh emosi dalam
153
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
bertindak, suka dilindungi, tidak menyukai tantangan, dan serba lembut, sedang secara mitologis yang bersumber dari ajaran agama dan mite-mite tertentu, hampir selalu menempatkan perempuan merupakan subordinasi laki-laki. Secara kultural, budaya Jawa berpandangan bahwa tugas seorang perempuan adalah macak ‘berhias’, masak ‘memasak’, dan manak ‘melahirkan’dengan wilayah operasi dapur, sumur, dan kasur. Dalam pandangan hidup orang jawa, juga dikenal tiga kesetiaan seorang perempuan, yakni ketika kecil harus patuh kepada orang tua, ketika dewasa harus patuh kepada suami, dan ketika tua harus patuh kepada anakanaknya. Sedangkan secara sosial, nilai-nilai di atas dilembagakan dalam semua aspek kehidupan: hukum, politik, dan pranata sosial. Berbagai faktor itulah yang akhirnya membentuk stereotip perempuan (Suyanto dan Astuti, 2010)
mendapatkan kekuasaan. Korupsi dapat dilakukan siapa saja, baik pejabat atau aparat pemerintah, swasta, maupun individu dan kelembagaan. Korupsi juga tak mengenal batas usia atau jenis kelamin. Meningkatnya angka korupsi dalam satu dekade ini, juga meningkatkan perempuan yang terlibat dalam ranah korupsi yang merupakan kehajatan yang luar biasa. Berdasarkan statistik yang dirilis Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) per 29 Februari 2016, KPK telah melakukan penyelidikan sebanyak 769 perkara, penyidikan 483 perkara, penuntutan 397 perkara, inkracht 323 perkara, dan eksekusi 343 perkara. Dari data tersebut setidaknya ada 48 perempuan yang terlibat (Kompas,2016). Perempuan yang terlibat korupsi tersebut hampir menyentuh semua lini baik dari politisi perempuan, deputi senior, direktur, bahkan ibu rumah tangga juga terlibat. Selain itu banyak dari perempuan-peremuan ini yang terjerat korupsi karena mendukung suaminya bahkan beritanya hampir setiap hari diberitakan. Perempuan yang terlibat kasus korupsi tersebut antara lain:
Merujuk pada steriotip perempuan tersebut, perempuan pada akhirnya tunduk pada laki-laki. Bahkan peremuan tidak segan untuk membantu laki-laki memuluskan jalan menuju kekuasaan atau perempuan tersebut Tabel 1 Daftar Perempuan yang Terlibat Korupsi di Indonesia Tahun 2004-2016 No.
Nama
1. Mirnda Goeltom 2. Nunun Nurbaeti
3. Hartati Murdaya
4. Neneng Sri Wahyuni
5. Angelina Sondakh 6. Wa Ode Nurhayati
Kasus Menyuap anggota DPR periode 1999-2004, untuk memuluskan langkahnya menjadi Deputi Gubernur Senior BI pada 2004. Memberi suap ke sejumlah anggota DPR 1999-2004 terkait pemenangan Miranda S Goeltom sebagai Dewan Gubernur Senior Bank Indonesia (DGS BI) 2004. Korupsi secara memberikan uang suap senilai total Rp 3 miliar kepada Bupati Buol Amran Batalipu terkait kepengurusan izin usaha perkebunan di Buol, Sulawesi Tengah Korupsi secara bersama-sama dalam pengadaan dan pemasangan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi pada 2008. menerima suap sebesar Rp2,5 miliar dan 1,2 juta dolar AS dalam pembahasan anggaran di Kementerian Pemuda dan Olahraga dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Suap dalam Percepatan Pembangunan Infrastruktur Daerah (PPID)
154
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
7. Mindo Rosalina Manulang 8. Damayanti Wisnu Putranti
9
Dewie Yasin Limpo
Kasus suap pembangunan wisma atlet SEA Games Hambalang Diduga menerima uang suap 33.000 dollar singapura terkait proyek Jalan Trans-Seram di Maluku yang dikerjakan Kementerian Pekerjaan Umum dan Pembangunan Rakyat. Menerima uang dari Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Kabupaten Deiyai Irenius Adi dan Direktur PT Abdi Bumi Cendrawasih Setiady Jusuf. Suap tersebut untuk pemenangan tender proyek pembangkit listrik tenaga mikrohidro di Kabupaten Deiyai, Provinsi Papua, ke dalam pembahasan APBN tahun 2016 dengan anggaran Rp 50 M.
Sumber: KPK diolah
seperti kasus-kasus besar yang menjadi pemberitaan media massa. Tanpa bermaksud memukul rata terhadap semua perempuan, muncul pertanyaan: inikah gambaran kaum perempuan modern zaman sekarang? Di saat sebagian kaum perempuan masih berjuang keras untuk memperjuangkan hak-haknya, di sisi lain kaum perempuan sudah banyak yang menikmati kesetaraan gender dan menduduki jabatan strategis, tapi mengapa ada perempuan yang mudah tergoda untuk melakukan praktik-praktik korupsi?(Rozi,2012).
Setelah berakhirnya rezim orde baru, pemberantasan korupsi menjadi salah satu agenda utama di negeri ini. Persoalan korupsi di Negara Indonesia terbilang kronis, bukan hanya membudaya tetapi sudah membudidaya. Beragam lembaga, produk hukum, reformasi birokrasi dan sinkronisasi telah dilakukan, akan tetapi hal itu belum juga dapat menggeser kasta pemberantasan korupsi. Korupsi bukan sekadar perbuatan melawan hukum, melainkan juga kejahatan kemanusiaan yang memiliki dampak buruk yang serius terhadap keberlangsungan umat manusia. Korupsi bahkan bisa menjadi salah satu faktor penyebab kegagalan negara. Noah Chomsky (2006;38) menyatakan bahwa karakteristik negara yang gagal (failed state) antara lain: negara tidak punya kemampuan melindungi warga negara dari berbagai bentuk kekerasan, tidak terjaminnya hak-hak warga negara, lemahnya institusi demokrasi, sikap agresif yang sewenang-wenang dari pemerintah, lemahnya penegakan hukum, serta maraknya penyalahgunaan kekuasaan.
Melihat keadaan seperti ini penulis menggali peran dan peluang melakukan korupsi perempuan pada ranah publik. Keterlibatan tersebut harus dihalau dengan tindakan perempuan dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Penting untuk menupayakan hal-hal yang bisa dilakukan oleh perempuan dalam memberantas korupsi. II. PEMBAHASAN a. Definisi Korupsi
Secara etimologi, Korupsi berawal dari bahasa latin corruptio atau corruptus. Corruptio berasal dari kata corrumpere, suatu kata latin yang lebih tua yang berarti kerusakan atau kebobrokan. Dari bahasa latin itulah turun ke banyak bahasa Eropa seperti Inggris yaitu corruption, corrupt; Prancis yaitu corruption; dan Belanda yaitu corruptie, korruptie. Dari Bahasa Belanda inilah kata itu
Para perempuan ini, menurut Indonesia Corruption Watch memainkan peranan kunci dalam praktik mafia uhkum dan menjadi operator untuk mengamankan koruptor dari jeratan hukum. Di luar angka pada data yang diungkap oleh KPK, mungkin jumlah kaum perempuan yang terlibat korupsi lebih banyak lagi. Karena yang namanya korupsi tidak harus melibatkan sejumlah dana fantastis
155
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
turun ke Bahasa Indonesia yaitu korupsi. (Focus Andera dalam Prodjohamidjojo,2001:7)
8. Korupsi terjadi disebabkan adanya
penyalahgunaan wewenang dan jabatan yang dimiliki oleh pejabat atau pegawai demi kepentingan pribadi dengan mengatasnamakan pribadi atau keluarga, sanak saudara dan teman. Menurut Wertheim(dalam Lubis, 1970) menyatakan bahwa seorang pejabat dikatakan melakukan tindakan korupsi bila ia menerima hadiah dari seseorang yang bertujuan mempengaruhinya agar ia mengambil keputusan yang menguntungkan kepentingan si Pemberi hadiah. Kadang-kadang orang yang menawarkan hadiah dalam bentuk balas jasa juga termasuk dalam korupsi. bahwa balas jasa dari pihak ketiga yang diterima atau diminta oleh seorang pejabat untuk diteruskan kepada keluarganya atau partainya/ kelompoknya atau orang-orang yang mempunyai hubungan pribadi dengannya, juga dapat dianggap sebagai korupsi. Dalam keadaan yang demikian, jelas bahwa ciri yang paling menonjol di dalam korupsi adalah tingkah laku pejabat yang melanggar azas pemisahan antara kepentingan pribadi dengan kepentingan masyarakat, pemisaham keuangan pribadi dengan masyarakat (Revida, 2003).
Menurut Transparency International (TI) : “Corruption is operationally defined as the abuse of entrusted power for private gain.“ (Korupsi adalah perlakuan yang didefinisikan sebagai penyalahgunaan dari kekuasaan yang dipercayakan untuk pendapatan pribadi) Menurut World Bank korupsi didefinisikan sebagai berikut : “Corruption is the abuse of public office for private gain.“(Korupsiadalah penyalahgunaanjabatan publikuntuk keuntungan pribadi). KPK dalam menjalankan tugasnya berpedoman pada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 joUndang-Undang Nomor20 Tahun 2001 menyebutkan bahwa pengertian korupsi mencakup perbuatan: 1. Melawan hukum, memperkaya diri
orang/badan lain yang merugikan keuangan /perekonomian negara (pasal 2).
2. Menyalahgunakan kewenangan karena
jabatan/kedudukan yang dapat merugikan keuangan/kedudukan yang dapat merugikan keuangan/perekonomian negara (pasal 3)
Dari beberapa definisi korupsi tersebut menciptakan pemahaman masyarakat bahwa korupsi merupakan perbuatan tidak baik, curang, dapat disuap tidak bermoral, menyimpangdari kesucian, melanggar normanorma agama materiil, mental dan hukum dengan penggunaan kekuasaan dan berbagai hal yang melekat pada dirinya sebgai pejabat publik untuk memperkaya diri sendiri maupun orang lain.
3. Kelompok delik penyuapan (pasal 5,6,
dan 11)
4. Kelompok delik penggelapan dalam
jabatan (pasal 8, 9, dan 10)
5. Delik pemerasan dalam jabatan (pasal
b. Motivasi
12)
6. Delik
yang berkaitan pemborongan (pasal 7)
Korupsi
dengan
Seseorang
Melakukan
Secara harfiah, korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik politikus/politisi maupun birokrat yang secara tidak wajar memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat
7. Delik gratifikasi (pasal 12B dan 12C)
156
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
didalamnya termasuk perilaku naluriah yang didorong prinsip kesenangan. Ego adalah komponen kepribadian yang bertanggungjawab untuk menangani dengan realitas. Ego bekerja berdasarkan prinsip realitas, yang berusaha memuaskan keinginan id dengan cara yang realistis dan sosial yang sesuai. Sedangkan superego adalah aspek kepribadian yang menampung semua standar internalisasi moral dan cita-cita yang kita perileh dari kedua orang tua, masyarakat, rasa benar dan salah. Superego memberikan pedoman untuk membuat penilaian.
dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka pada dasarnya perbuatan korupsi adalah perbuatan yang tidak wajar atau menyimpang guna mengeruk keuntungan pribadi atau golongan tertentu yang berpengaruh pada kerugian keuangan negara. Perbuatan menyimpang tersebut menurut Hartanti (2007:11) disebabkan karena beberapa faktor, yaitu: a. Lemahnya pendidikan agama dan etika. b. Kolonialisme. suatu pemerintahan asing tidak menggugah kesetiaan dan kepatuhan yang diperlukan untuk membendung korupsi. c. Kurangnya pendidikan. Namun kenyataannya, kasus-kasus korupsi di Indonesia dilakukan oleh koruptor yang memiliki kemampuan intelektual yang tinggi, terpelajar, dan terpandang. Sehingga alasan ini dapat dikatakan kurang tepat. d. Kemiskinan. Pada kasus korupsi yang merebak di Indonesia, para pelakunya bukan didasari oleh kemiskinan melainkan keserakahan, sebab mereka bukanlah dari kalangan yang tidak mampu melainkan para konglomerat. e. Tidak adanya sanksi yang keras. f. Kelangkaan lingkungan yang subur untuk pelaku antikorupsi. g. Struktur pemerintahan. h. Perubahan radikal. Pada sistem nilai mengalami perubahan radikal, korupsi muncul sebagai suatu penyakit transisional. i. Keadaan masyarakat. Korupsi dalam suatu birokrasi bisa mencerminkan keadaan masyarakat.
Psikoanalisis memberikan gagasan yang mendasar bahwa semua pikiran dan tindakan sadar adalah proses yang tidak disadari dan diringkas dalam frase pikiran yang tidak sadar. Perilaku dalam kehidupan sehari-hari merupakan perilaku sadar dalam ketidaksadaran. Karena dalam perilaku sadar terpendam perilaku yang tidak disadari yang akhirnya mempengaruhi perilaku sadar. Freud (1983:47) menjelaskan bahwa : Tugas pertama yang diserahkan psikoanalisis adalah menjelaskan neurosa-neurosa. Dengan berpangkat pada resistensi serta transferensi dan mengikutsertakan amnesia sebagai fakta yang ketiga, psikoanalisis berhasil menyusun suatu teori tentang represi dan memperlihatkan peranan yang dimainkan oleh naluri-naluri seksual dan ketidaksadaran dalam neurosa-neurosa. Manusia memiliki dorongan-dorongan psikis yang berprinsip pada kesenangan (pleasure principle) yang mendasar yang bersarang dalam id. Namun dorongan in mendapat hambatan atas prinsip realitas, yaitu ego yang bertugas membatasi dorongan primitif sesuai dengan prinsip realitas dan Superego yang berprinsip kepada norma. Dorongan psikis id merupakan dorongan pada norma. Dorongan psikis id merupakan dorongan yang paling besar membentuk perilaku berasal dari id.
Dari beberapa faktor-faktor tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa seseorang melakukan praktik-praktik korupsi karena dipengaruhi oleh dua faktor. yaitu faktor internal dan eksternal dari dirinya. Sigmund Freud (dalam Rader 1962:127). dalam teori piskonalalisis menyatakan bahwa kepribadian manusia itu terdiri dari tiga sistem, yaitu id, ego, dan superego. Id adalah komponen kepribadian yang hadir sejak lahir,
Ego manusia lambat laun terlatih
157
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
dengan pengaruh kepentingan eksternal untuk menghargai realita dan mengejar prinsip realita, dan dalam berbuat itu, harus melepaskan untuk semetara atau selamanya bermacam objek dan tujuannya– tidak hanya secara seksual– keinginan untuk memperoleh kenikmatan. Tetapi meninggalkan kenikmatan adalah selalu merupakan hal yang sulit bagi manusia. Ia tak dapat berhasil tanpa suatu kompensasi.
publik. Asumsi yang dapat diambil adalah uang tidak punya jenis kelamin dan tidak bisa memilih siapa yang menjadi pemiliknya. Siapa pun tentunya mempunyai `bakat' korupsi asalkan ada niat dan kesempatan yang tepat pastilah bisa jadi korupsi itu. Melihat rentetan kejadian kasus per kasus di mana keterlibatan perempuan menjadi variabel vital dalam skenario perampokan anggaran rakyat tersebut, tampaknya kebetulan sukar untuk dinalar. Fenomena perempuan banyak tersangkut korupsi merupakan gejala yang relatif baru di Indonesia. Tekanannya bukan pada persoalan kebetulan atau by design, melainkan lebih pada bagaimana kita memaknai perubahan sosiologis dalam konteks gender dan feminisme yang bersangkut paut dengan skandal-skandal keuangan tersebut. Keran Euforia antidomestifikasi kebebasan sosialpolitik yang terbuka pasca-reformasi rupanya berdampak positif pada kian menguatnya akselerasi perempuan di sektor publik. Setelah sekian lama terdomestifikasi oleh wacana dan kebijakan yang bias gender, pelan tapi pasti perempuan di Indonesia mulai menemukan `jati diri'. Maraknya gerakan dari kaum feminis yang menuntut adanya kesamaan hak dan kesempatan (equality of opportunity) untuk mengakses sumber daya sosialekonomi-politik seperti halnya laki-laki, mulai banyak diafirmasi para pemangku jabatan dan pengambil keputusan di negeri ini (Aditjondro, dalamAfifuddin, 2012).
Manusia, meskipun sudah membatasi perilakunya dengan prinsip realitas, usaha mencari kesenangan masih tetap menjadi dorongan psikis dalam ketidaksadaran yang kuat menuntut untuk dipenuhi. Dorongandorongan naluriah ada dalam setiap makhluk hidup yang berprinsip pada kesenangan yang dibatasi oleh ego dan superego. Dorongan id yang tidak bisa diterima oleh masyarakat akan direpres, sehingga lama kelamaan akan membentuk suatu tekanan psikologis yang memerlukan cara tertentu untuk mengungkapkannya sehingga dapat diterima oleh lingkungan masyarakat. Begitu juga dengan kasus korupsi yang terjadi di negeri ini. Memberantas korupsi tidak hanya memperhatikan diri sendiri, penyebab timbulnya korupsi apakah disebabkan lingkungan kecil atau lingkungan yang lebih luas serta bagaimana struktur masyarakat menggunakan nilai-nilai budaya berkaitan dengan korupsi. Dalam hal ini, pemimpin negara perlu memberikan contoh sehingga masyarakat memahami nilai-nilai apa yang dapat dianut masyarakat.
Keadaan di Indonesia ini menjadi penting mengingat beberapa penelitian, yang membuktikan adanya hubungan antara tingkat korupsi yang rendah suatu Negara dengan partisipasi perempuan di pemerintahan. Berdasarkan studi yang dilakukan Bank Dunia tahun 1999 terhadap 150 negara, menunjukkan bahwa tingkat partisipasi perempuan yang tinggi diparlemen akan mendorong turunnya tingkat korupsi disuatu Negara. Hal tersebut didukung penelitian yang dilakukan oleh Vivi Alatas tahun 2006 terhadap perilaku korup di 4 negara yakni: Australia, India, Indonesia, dan Singapura tidak ditemukan yang signifikan dari perilaku korup laki-laki dan perempuan. Perbedaan
c. Peran Perempuan dalam Korupsi
Munculnya banyak nama perempuan dalam jeratan kasus korupsi ini menyiratkan adanya emansipasi perempuan pada berbagai bidah telah berjalan dengan baik termasuk juga pada ranah korupsi. Munculnya feminisasi korupsi yang disampaikan oleh Muhammad Afifuddin (Republika, 2012)yang dilatar belakangi keterlibatan perempuan sebagai aktor penting dalam jejaring mafia perampok uang rakyat dalam kasus-kasus yang mencuat keranah
158
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut :
perilaku korup menurut penelitian ini tidak didasarkan Gender namun oleh Budaya. Penelitian ini menunjukkan bahwa ada perspektif dalam menilai perilaku wanita dalam korupsi. Selanjutnya dalam survei yang dilakukan Transparency International’s Global Corruption Barometer pada tahun 2009 di lebih 60.000 rumah tangga di lebih 60 negara, membuktikan secara konsisten bahwa perempuan lebih sedikit membayar suap di bandingkan laki-laki.
1. Gaya Kepemimpinan Korupsi erat hubungannya dengan kewenangan dan kekuasaan, sedangkan cara menjalankan kekuasaan itu sendiri erat hubungannya dengan gaya kepemimpinan di suatu organisasi. Tulisan Robbins (1998) melalui studi pustaka terhadap sejumlah literatur, pada dasarnya masih mempertanyakan apakah perilaku seorang pemimpin dikarenakan adanya hormon yang dikandung di dalam tubuh dan otaknya. Akan tetapi ia mengakui bahwa studi yang menunjukkan bukti-bukti bahwa kepemimpinan memiliki akar biologis, semakin meningkat. Dari tinjauan pustaka tersebut, meningkatnya tingkat hormone serontonin dapat memperbaiki kemampuan melakukan sosialisasi dan mengontrol agresi. Semakin tinggi tingkat testosteron, semakin tinggi tingkat dorongan berkompetisi (Robbin, 1998).
Selain itu adanya perempuan-perempuan di Indonesia yang menduduki jabatan-jabatan penting seperti menteri, kepala daerah, dan ketua komisi menunjukan adanya peningkatan kualitas kinerja yang cukup baik. Akan tetapi masih kurang mengertinya perempuan pada ranah-ranah baru yang awam sama sekali nampaknya membuat diri mereka mudah terjebak dalam kesalahan tanpa disadari. Berhembusnya isu perempuan sangat berperan dalam korupsi ini merupakan salah satu bukti ketidakadilan gender. Pada kenyataannya perempuan selalu menjadi korban untuk masalah apapun termasuk dalam isu korupsi terutama saat menjadi korban atau pelaku. Hal ini dapat dilihat dari bagaimana media memberitakan peremuan terkait masalah korupsi. Perlakukan publik juga buruk terhadap perempuan tersangka korupsi. Disinilah ketidakadilan gender itu terlihat jelas. Namun perempuan bagaimanapun punya potensi untuk ikut andil dalam memberantas korupsi. d. Faktor
Penghambat Terjerat Korupsi
Baik laki-laki maupun perempuan, keduanya memiliki hormon ini. Tetapi jika dibandingkan dengan laki-laki, tubuh laki-laki secara alami menghasilkan sepuluh kali lebih banyak dari pada Perempuan. Dengan demikian wajar saja laki-laki lebih agresif dibandingkan dengan perempuan. Dilihat dari sisi sejarah, sebagian besar pemimpin di Indonesia adalah laki-laki. Tercatat, hanya Presiden ke lima-lah (Megawati Soekarno Putri) yang merupakan putri dari mantan Presiden Soekarno yang pernah memimpin negeri ini. Mengutip dari quotation Lord Acton pada pertengahan abad 19. Pada desertasi tersebut Acton melontarkan istilah yang cukup terkenal hingga kini yaitu
Perempuan
Euforia yang diusung dalam pengurustamaan gender dalam berbagai aspek termasuk dalam jabatan penting dalam dekade terakhir ini juga menjadi pendorong adanya perempuan yang masuk kealam kancah kepemimpinan. Kaum feminism yang mendesak adanya perlakuan setara antara laki-laki dan perempuan yang kemudian membuka akses publik untuk mengakomodir perempuan untuk berkecimpung dalam berbagai aspek terutama aspek sosial, ekononomi dan politik yang selama ini di jabat oleh para lelaki. Penghabat terjeratnya perempuan dalam ranah korupsi
“Power Tends to Corrupt, Absolute Power Tends to Corrupt Absolutely”. Istilah tersebut sangat tepat untuk menggambarkan penguasa yang ingin menyalahgunakan kekuasaanya. Korupsi pada quotation tersebut bukan hanya terkait uang, melainkan juga politik atau kebijakan. Dengan demikian ada kecenderungan korupsi
159
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
berarti keterlibatan perempuan didalam perjuangan kebebasan nasional, dalam perencanaan pembangunan nasional, dan perjuangan bagi perubahan ditingkat lokal dan global.
itu muncul karena adanya kekuasaan yang membuat para pemimpin tersebut menjadi serakah dan rakus. Selain itu, perempuan memiliki gaya kepemimpinan yang lebih demokratic, sedangkan laki-laki merasa lebih nyaman dengan gaya yang bersifat directive (menekankan pada cara-cara yang bersifat perintah). Perempuan cenderung mengadopsi gaya kepemimpinan yang lebih demokratik. Mereka mendorong partisipasi, berbagi kekuasaan dan informasi, dan mencoba untuk meningkatkan “kemanfaatan” bagi pengikutnya. Mereka cenderung memimpin melalui pelibatan atau pemberdayaan dan mendasarkan pada kharisma, keahlian, kontak, dan keahlian interpersonal dalam mempengaruhi orang lain. Sebaliknya lakilaki cenderung lebih menggunakan gaya yang mendasarkan pada kontrol dan perintah. Mereka lebih mendasarkan pada jabatan otoritas formal sebagai dasar baginya untuk melakukan pengaruhnya.
Indonesia sendiri pemberian celah kepemimpinan kepada perempuan baru benarbenar bergelora pada pasca-turunnya Soeharto dan Orde Barunya. Dimana yang diketahui banyak orang adalah pemimpin haruslah lakilaki. Kemudian banyaknya perempuan yang berkarier diluar birokrasi dan parlemen juga menekan angka keterlelibatan perempuan, hal tersebutlah yang mendorong bergulirnya wacana quota 30% dalam parlemen agar keterwakilan suara perempuan dapat diakomodir. Memang wacana ini sangat berdampak besar dalam keterwakilan perempuan dalam parlemen akan tetapi ketidaksiapan para perempuan untuk berkiprah dalam bidang yang baru yang telah sekian lama dikuasai oleh para lelaki ini membuat adanya kebingungan yang kadang tidak dapat ditanggulangi.
Keterbatasan yang diciptakan dalam kepemimpinan perempuan adalahdimana perempuan dianggap sebagai warga Negara kelas dua setelah laki-laki yang terdogmatis sejak dahulu kala menyebabkan ruang gerak perempuan sebagaimana akutualisasi dirinya menjadi sangat terbatas. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Charlotte Bunch( dalam Tong, 2004:331-332) dalam tujuan jangka panjang dari feminism global adalah
Sebagaimana yang disampaikan oleh Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia, Sri Budi Eko Wardhani (2012) menilai politisi perempuan yang duduk di legislatif mudah terjerat kasus korupsi atau suap lantaran masih belum menguasai tentang lika-liku politik. Perempuan masih awam soal politik, sehingga mudah terseret kasus hukum mengingat aturan-aturan yang dilaksanakan dalam sistem perpolitikan Indonesia itu sangat rumit.
1) …. Hak perempuan atas kebebasan untuk memilih, dan kekutan untuk mengendalikan hidupnya sendiri di dalam dan di luar rumah. Memiliki kekuasaan atas hidup dan tubuh kita sendiri adalah ensensial untuk memastikan adanya kebanggaan dan otonomi pada setiap perempuan.
Celah-celah peraturan hukum siap menjerat apabila perempuan pemimpin yang mendapatkan jabatan dan kekuasaan ini tidak mengerti bagaimana melaksanakan dan menggunakan jabatanya secara baik dan benar. Sehingga tidak bisa pungkiri namanya kekuasaan dekat sekali dengan tindak korupsi, sehingga perempuan punya peluang untuk melakukan korupsi baik disadari maupun tidak disadari. Selain itu politisi yang berasal dari parpol termasuk juga politisi perempuan mau tidak mau tunduk kepada keinginan parpol, hal inilah juga yang mendorong
2) ….penghapusan semua bentuk ketidakadilan dan opresi dengan menciptakan tatanan sosial dan ekonomi yang lebih adil, secara nasional dan internasional. Hal ini
160
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
adanya kepatuhan terhadap parpol.
2001:34).
Kemudian dalam sisi birokrasi secara normatif, setiap PNS baik laki-laki maupun perempuan memiliki peluang yang sama untuk menduduki jabatan struktural sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Namun, pada kenyataanya hanya sedikit PNS perempuan yang mampu menduduki jabatan karier tertinggi dengan alasan semata-mata kodrati perempuan seperti hamil dan melahirkan yang dikhawatirkan akan mengganggu tugas jabatan yang diemban, alasan selanjutnya yang selalu didengung-dengungkan adalah “tidak baik perempuan memimpin laki-laki, karena tidak sesuai dengan nilai-nilai ketimuran dan belem tentu laki-laki mau dipimpin perempuan, kemudian resiko dinas luarkota yang mengganggu keluarga ” (Mulia, 2005: 35).Alasan tersebut secara tidak langsung menutup celah normatif yang diberikan untuk menjadi seorang Pemimpin pada perempuan.Memang ada kesempatan yang diberikan kepada perempuan untuk menjadi seorang pemimpin atau pun pejabat karier akan tetapi diberikannya “label”yang secara tidak langsung dilekatkan untuk membatasi ruang gerak perempuan terutama melalui sisi adat kebudayaan di Negara ini.
Kegiatan parpol yang kebanyakan didominasi oleh lelaki, menciptakan budaya partai yang bekerja seenaknya sendiri tanpa ada kesetaraan gender didalam pelaksanaan kegiatan parpol. Untuk masuk kedalam parpol sendiri perempuan harus memiliki “sumberdaya ekonomi” yang mumpuni, sehingga dapat dikatakan kemiskinan membatasi partisipasi politik perempuan. Sebagaimana ketahui, proses penjaringan calon legislatif dan kepala daerah mensyaratkan harus memiliki rekening tabungan bank yang dananya lumayan besar. Mengingat kedaan seperti itu kebanyakan perempuan merupakan ibu rumah tangga yang tidak memiliki penghasilan sendiri dan kalau memiliki penghasilan sendiri tentu tidak sebegitu besar. Keadaan ini juga terjadi pada tataran birokrasi, sudah menjadi rahasia umum kalau ingin naik jabatan harus ”membeli kursi” dengan menyetorkan sejumlah uang kepada pemangku jabatan yang menetukan pergeseran dan promosi jabatan.Keterbatasanketerbatasan inilah yang mengakibatkan minimnya perempuan yang aktif pada jabatan karier yang tinggi atau sebagai anggota parpol yang masuk kedalam perewakilan di parlemen. Sehingga korupsi yang dilakukan oleh perempuan berbanding lurus dengan keterwakilan perempuan pada jabatan prestisius berdasarkan jumlah perempuan yang pada jabatan tinggi.
2. Politik: Partisipasi Perempuan Kebijakan politik mengenai pemberdayaan dan partisipasi perempuan pada ranah politik ini mulai terbuka setelah bergulirnya reformasi 1998. Sebagaimana partisipasi politik perempuan, partai politik memiliki peranan yang penting dalam manifesto politik yang tercipta dari proses demokrasi. Dimana parpol meletakkan dasar fundamental terutama untuk kaderisasi pemimpin kedepannya. Keterlibatan perempuan dalam manajemen parpol masih sangat rendah dan secara system sangat kecil dilaksanakan. Kemudian secara kualitas keterlibatan perempuan dalam dunia politik harus dengan affirmative action yang artinya harus ada kuota yang mengharuskan perempuan dilibatkan dalam aktivitas politik baik diparpol maupun pada pemerintahan. Hal ini menjadi penting agar perempuan tidak terisolasi dalam kehidupan politik (Utami,
3. Sudut Pandang Agama Kajian tentang perempuan dan kesetaraan merupakan sebuah kajian yang tidak pernah surut dalam tiap ruang dan waktu, termasuk didalamnya tentang kepemimpinan perempuan. Hal ini disebabkan oleh sebuah konstruksi masyarakat yang seolah menempatkan perempuan dalam posisi minor, dari dahulu, mungkin, hingga sekarang. Ada sebuah hadis yang selalu dijadikan sebagai alat untuk melgitimasi superioritas seorang laki-laki dalam kepemimpinan. Yakni sebuah riwayat Abi Bakarah R.A yang kurang lebih terjemahannya sebagai berikut :
161
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
“….Ketika sampai kepada Nabi berita tentang bangsa Persia yang mengangkat anak perempuan Kisra sebagai Ratu mereka, Nabi bersabda: “Tidak akan bahagia suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada perempuan.”
dengan laki-laki sudah dari sejak lahir lakilaki lebih mengandalkan logika pemikiran secara rasional dibanding perempuan. Begitu pula dengan perempuan yang sejak lahir perasaan dibanding logika berfikir yang dimiliki walaupun kadang perempuan lebih cermat dan teliti dibanding laki-laki. Perempuan secara psikologis jauh lebih lemah, sekuat-kuatnya psikologis perempuan tetap membutuhkan tempat untuk berkeluh kesah. Perempuan juga mudah goyah dalam pendirian melihat realitas dan pengaruh perasaan yang dirasakannya.
Perlu diperhatikan dari bangunan kalimat tersebut adalah tidak adanya forbidden statement atau ungkapan pelarangan, melainkan sebatas peramalan akan sesuatu yang masih belum pasti karena masih bersifat asumtif. Walaupun disampaikan oleh Nabi, tapi kemungkinan mengandung makna lain dibalik statemen tersebut, masih perlu untuk dilacak bersama lewat sentuhan historis– sosiologis (Fawaidurrahman, 2011). Hadis di atas diriwayatkan oleh Bukhari yang dalam pemahaman ulama semua hadisnya tidak perlu dipertanyakan, sehingga sebagian besar ulama menerima bulat-bulat hadis ini.
Faktor psikologis yang dimiliki perempuan membuat mereka untuk berpikir berkali-kali untuk melakukan sebuah tindakan termasuk tipikor. Perempuan lebih berspekulasi dan memiliki kekhawatiran akan tindakan yang akan dilakukannya.Hal ini lah yang mengakibatkan perempuan cenderung berhatihati dalam mengambil tindakan karena memperhitungkan dampak baik dan buruk yang akan diterimanya dari perilakunya tersebut. Sedangkan laki-laki dari dilahirkan memiliki rasa berani dan menikmati tantangan dengan segala konsekuensi yang ada.
Ditinjau dari sejarahnya, hadis tersebut masih memiliki kelemahan-kelemahan. Struktur sosial yang terjadi di masa itu masih sangat patriakal, sehingga kepemimpinan perempuan masih perlu untuk dihindari karena perempuan pada waktu itu masih unqualified. Perbedaan biologis tidak berarti menimbulkan ketidaksetaraan dalam kehidupan. Fungsifungsi biologis harus dibedakan dari fungsifungsi sosial. Dalam kepemimpinan nilai yang di anggap paling dominan adalah kualitas dan kepribadian yang meliputi kemampuan dan kapasitas, pengalaman dan kemampuan kepemimpinan.
Melalui buku The Complex Cinderella:.Ketakutan Tersembunyi Wanita Kemerdekaan, Dowling (1981) melakukan penelitian di Amerika kepada para wanita mandiri. Kesimpulan berdasarkan penelitian dan kisah kehidupan para wanita mandiri tersebut ternyata wanita takut untuk bertanggungjawab atas kehidupan mereka sendiri (Publisheus Weekly). Menurut Dowling, perempuan termotivasi oleh hasrat tak sadar untuk dijaga sebagai takut kemerdekaan yang disebut "Cinderella compleks". Sebuah aspek penting dari pekerjaan dapat didefinisikan sebagai identifikasi aspek dari fenomena yang lebih besar seperti mengapa perempuan memilih untuk tinggal dalam hubungan disfungsional.
Dengan demikian, terjadinya korupsi bukan karena adanya perbedaan cara pandang antara laki-laki dan perempuan. Terjadinya korupsi dalam pembahasan ini adalah kurangnya pengetahuan, kemampuan, kapasitas, dan pengalaman serta skill kepemimpinan dari orang tersebut, bukan karena perbedaan gender yang berpengaruh pada perilakunya.
Fenomena ini dapat didefinisikan sebagai suatu sindrom yang ditandai oleh serangkaian motivasi tertentu atau penyebab. Dowling mengidentifikasi hanya satu motivasi, sedangkan sindrom sebenarnya kombinasi dari motivasi banyak, yang dalam diri mereka
4. Psikologi Perempuan Melihat dari perspektif psikologi perempuan
162
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
terlibat dalam urusan di luar ranahnya. Kemudian tradisi budaya ketimuran terutama tradisi jawa dimana mengejawantahkan bahwa kesuksesan sebuah keluarga tergantung dari peran perempuan sebagai istri dan ibu.
sendiri karakteristik yang membentuk kompleks. Hal ini didasarkan pada gagasan feminitas digambarkan dalam cerita itu, di mana seorang wanita cantik, anggun, sopan, mendukung, pekerja keras, mandiri, dan difitnah oleh perempuan dari masyarakat, tapi dia tidak mampu mengubah situasi itu dengan sendiri tindakan dan harus dibantu oleh kekuatan luar, biasanya laki-laki (yaitu Pangeran ).
Laki-laki adalah pemimpin perempuan sehingga perempuan harus berada dibelakang laki-laki apapun kondisinya. Hal inilah yang menjadi sebuah harga mati dari dogma yang ditanamkan secara turun-temurun kepada anak-anak perempuan sehingga membatasi para perempuan untuk mengembangkan sayap membuka jaringan didunia luar.
Cinderella Complex itu sendiri dipengaruhi oleh faktor eksternal maupun internal. Faktor Eksternal meliputi peran penting lingkungan pada tumbuh kembangnya. Budaya, pola asuh orang tua serta media massa memiliki pengaruh yang cukup penting. Sedangkan faktor internalnya adalah harga diri. Individu yang tergantung memiliki harga diri yang rendah sehingga membutuhan bimbingan dan dukungan dari orang lain.Jika tugas-tugas yang diemban oleh perempuan dalam jabatan publik tersebut dianalogikan sebagai sebuah tekanan dalam dunia politik, tentunya seorang perempuan cenderung lebih mudah untuk menyerah dan membutuhkan berbagai macam bantuan untuk mampu mandiri dan survive dari berbagai tekanan politik.
Jika karena alasan aktualisasi diri dan tuntutan zaman maka wanita harus bekerja (dalam Islam), wanita tetap harus memegang norma dan etika. Bahwa secara alami ini tetap menuntutnya untuk berperan sesuai dengan kodratnya. Jika dia berkarir, dia bersuami, dia juga mempunyai anak, dan dia juga bagian integral dari masyarakat. Peran ini menyatu dalam diri wanita (Rahmat,2010). Tentunya wanita harus menanamkan peranannya dan menjadikan pria bagian dari kehidupannya. Melalui konsepsi yang diberikan secara berkelanjutan kepada setiap generasi penerus seperti ini akan sangat membatasi ruang bergerak para perempuan. Sehingga karena tidak memiliki jaringan yang cukup kuat dan luas serta mengingat kodrati perempuan memberikan batasan ruangan untuk perempuan untuk melakukan korupsi. Secara psikologi dan budaya, kemungkinan perempuan melakukan korupsi itu lebih kecil dibandingkan dengan kemungkinan yang dimiliki oleh laki-laki karena ranah jangkauannya yang sangat luas.
Sehingga dengan adanya tekanan tersebut, perempuan lebih rentan untuk berperilaku menyimpang untuk menyelamatkan dirinya (dianalogikan dengan meminta bantuan orang tua dan orang terdekat untuk menyelesaikan tugas-tugas). Tidak semua politikus saat ini benar-benar memegang teguh pada prinsip atau ideologi yang dianutnya saat ini. Akibatnya perempuan lebih mudah terjebak dalam perangkap-perangkap korupsi yang ada di dunia politik baik itu disengaja maupun tidak.
e. Peran
Perempuan Pemberantasan Korupsi
5. Adat Budaya Ketimuran Konsepsi budaya ketimuran, meletakan perempuan sebagai “kanca wingking” yang berarti perempuan itu berada dibelakang lakilaki. Sebagai konsekuensi dari konsepsi ini adalah posisi tidaklah penting bagi perempuan untuk keluar rumah karena garda terdepan adalah ranah laki-laki. Konsepsi ini membuat perempuan menjadi tidak antusias untuk
dalam
Masalah perempuan dan korupsi tidak ada hubungannya dengan identitas perempuan itu sendiri, tetapi korupsi adalah semata-mata persoalan kekuasaan dan kesempatan saat melakukkan. Tidak bisa dipungkiri perempuan menjadi ujung tombak pemberantasan korupsi. Peran perempuan
163
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
sederhana dan sewajarnya juga akan mengurangi tekanan kepada laki-laki untuk mencari tambahan demi mencukupi kebutuhan perempuan-nya. Karena banyak laki-laki beralasan melakukan korupsi disebabkan oleh tuntutan perempuanperempuan (istri dan anak) mereka. Demi memenuhi kebutuhan tersebutlah para lakilaki melakukan korupsi. Sehingga dapat dikatakan bahwa perempuan merupakan ujung pangkal dalam pemberantasan korupsi mengingat peran yang dimiliki yang tidak bisa dilepaskan secara langsung baik secara kodrati maupun jenjang kariernya.
sebagai ibu, istri, pergaulan dalam komunitas atau rekan kerja adalah kekuatan dominan dalam hal pemberantasan korupsi. Tapi melihat dari perspektif gender dan gerakan anti-korupsi, peran perempuan bukan hanya sebatas pencegahan tindakan korupsi di level mikro keluarganya, akan tetapi juga bisa berperan di komunitas dan lingkup kerjanya.Perempuan memiliki tiga ruang; domestik, produksi dan komunitas. Setiap ruang itu perempuan bisa berperan. Antara lain sebagai berikut peran perempuan dalam beberapa lingkup : 1. Keluarga
3. Komunitas
Diantara peran perempuan yang memiliki pengaruh besar adalah menjadi pendidik dalam keluarga untuk mendorong generasi muda untuk bertindak jujur. Perempuan juga sebagai filter itu memang bisa dilakukan. Perempuan yang meiliki ketelitian yang cermat dan detail, bisa diberdayakan untuk mengurangi peluang laki-laki untuk melakukan korupsi dengan cara menanyakan asal usul uang yang diberikan kepada perempuan (istri/ibu). Perempuan bisa menjadi agen untuk pencegahan sekaligus suporter bagi gerakan anti-korupsi. Melalui mendidik dan mempersiapkan anak-anaknya dengan menanamkan nilai moral, budaya malu atas kesalahan dan kebohongan serta kejujuran itu yang paling hakiki. Karena pada generasi ini telah terjadi degradasi moral yang luarbiasa sudah tidak ada lagi yang namanya budaya malu dan rasa sungkan saat melakukan kesalahan. Peranan ini menjadi sangat penting untuk mempersiapkan generasi penerus kedepannya.
Untuk menunjukkan eksistensinya biasanya perempuan secara aktif terlibat dalam beberapa kegiatan pada suatu komunitas tertentu sesuai dengan minat dan keinginan yang ingin dicapai. Melalui keikutsertaanya pada kegiatan-kegiatan ini bisa pula perempuan menyelipkan pendidikan dan sosialisasi mengenai kejujuran dan memperbaiki moral. Lewat percakapan ringan ini besar harapannya bisa saling mempengaruhi terutama obrolan ibu-ibu biasanya membawa dampak secara tidak langsung yang biasanya akan menjadi topic pembicaraan diberbagai tempat lain. Dengan adanya pembicaraan dari mulut ke mulut dengan yang membawa niatan baik untuk mengingatkan pentingnya aspek kejujuran dan nilai moral serta budaya malu ini besar harapannya generasi pada decade ini memiliki perubahan pemikiran menjadi lebih baik dan member contoh yang baik pula untuk generasi berikutnya. Karena lebih baik meninggalkan ilmu yang bermanfaat dibandingkan banyak harta tetapi tidak memberikan kebaikan
2. Lingkungan Kerja Perempuan bisa mulai dengan mengkampanyekan gagasan transparansi.Gagasan tentang transparansi ini harus dikampanyekan di segala lingkup (soetjipto,20011). Selain itu pola hidup perempuan yang dirasa konsumtif dan penuh rasa persaingan terutama untuk kalangan jetset “sosialita“serta kalangan pekerja, agaknya pola hidup seperti harus diganti dengan pola hidup yang teratur/disiplin,
III. KESIMPULAN Dari paparan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa setiap orang memiliki bibit dan kecenderungan untuk melakukan korupsi. Korupsi tidak memandang “embel-embel” apapun yang melekat pada pelakunya terutama jenis kelamin. Namun pada
164
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
DAFTAR PUSTAKA
perempuan karena factor gaya kepemimpinan, politik, agama, psikologis, kodrati dan budaya ketimuran yang membatasi ruang gerak perempuan dalam aktualisasi diri dan sekaligus sebagai pelindung perempuan dari jerat korupsi. Sehingga, perempuan cenderung tidak korup dibanding laki-laki pada ranah publik.Perempuanmemiliki andil yang cukup besar dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi. Peranannya yang cukup strategis pada lingkup keluarga, lingkup kerja dan komunitas, perempuan biasanya bisa saling mengingatkan melalui berbagi ilmu dan saran. Melalui media inilah diharapkan ajakan menanamkan nilai moral, kejujuran dan budaya malu. Peran perempuan ini tentunya juga tidak lepas dari peran lakilaki mau ikut andil dan aktif atau tidak dalam upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi karena baik laki-laki maupun perempuan juga bisa terlibat dalam korupsi.
Buku Chomsky, Noam (2006), Failed State, The Abuse of Power and The Assault on Democracy. Diunduh dari http://libgen.info/view.php?id=306037. Diakses pada tanggal 16 Juni 2016 pukul 00.17 WIB Evi, Hartanti. (2007). Tindak Pidana Korupsi. Jakarta:Sinar Grafika. Freud, S (1983). Sekelumit Sejarah Psikoanalisis.Jakarta : Gramedia Mulia, Siti Musdah dan Farida, Anik. (2005). Perempuan dan Politik. Jakarta ; Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama Nurdjana Dkk, 2005, Korupsi&Illegal Loging Dalam System Desentralisasi , Cetakan Ke-2, Yogyakarta, Pustaka Pelajar. Rader, M. (1962). A Modern Book of Esthetics Robbins, Stephen.P. (1998). Organization Behavior : Concepts, Controversiess Application, 8th ed. Tong, Rosemarie Putnam. (2004), Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehenshif Kepada Arus Utama Pemikiran Feminis . Jakarta; Jalan Sutra. Utami, Tari Siwi, (2001). Perempuan Politik di Parlemen. Yogyakarta ; Penerbit Gava Media Jurnal Rahmat.(2010). Problematika Wanita Mandiri dan Solusinya. Jurnal. Diunduh dari http://bangrahmat.wordpress.com/2010/ 04/30/problematika-wanita-mandiridan-solusinya/ diakses pada 17 Juni 2016 pukul 21:23 WIB Suyanto Aw & Sri Puji Astuti. (2010), Stereotip Perempuan Dalam Bahasa Indonesia Dalam Ranah Rumah
165
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
Tangga. Jurnal. Diunduh dari Http://Staff.Undip.Ac.Id/Sastra/Suyanto / Diakses Pada Tanggal 11 Juni 2016 Pukul 14:10 WIB
2012 pukul 09:41 WIB _________. FAQ KORUPSI DAN KPK diunduh dari http://www.kpk.go.id/modules/edito/co ntent_faq.php?id=15 diakses pada tanggal 13 Juni 2012 pukul 09:47 WIB
Media Massa Ichwan, Alif. Perempuan Dalam BayangBayang Jerat KorupsiKompas Jumat, 22 April 2016 Diunduh dariHttp://Nasional.Kompas.Com/Rea d/2016/04/22/08082021/Perempuan.D alam.BayangBayang.Jerat.Korupsi?Page=All Diakases Pada Tanggal 10 Juni 2016 Pukul 20:40 WIB
_________. “Helping Countries Combat Corruption: The Role of the World Bank, diunduh dari http://www1.worldbank.org/publicsecto r/anticorrupt/corruptn/cor02.htm diakses pada tanggal 19 juni 2012 pukul 20:01 WIB Afifuddin, Mohammad. Feminisasi Korupsi. Republika (15/2/2012) Diunduh Dari Http://17-081945.Blogspot.Com/2012/02/KoranDigital-MohammadAfifuddin.HtmlDiakses Pada Tanggal 13 Juni 2016 Pukul 22:17 WIB
Peraturan Perundang-Undangan Republik Indonesia. 1999.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Lembaran Negara RI Tahun
1999. Sekretariat Negara.. Jakarta
Ani Soetjipto. (21/4/2011). Perempuan Agen Antikorupsi. Diunduh dari http://www.antikorupsi.org/new/index.p hp?option=com_content&view=article &id=20444:ani-soetjipto-perempuanagenantikorupsi&catid=48:wawancara&Item id=121&lang=id diakses pada tanggal 12 Juni 2016 pukul 23:59 WIB
Republik Indonesia. 2001. Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Lembaran Negara RI Tahun
.
2001. Sekretariat Negara.. Jakarta
Internet
Fawaidurrahman (2011). Kepemimpinan Perempuan dalam Kajian Hadis (Melacak yang Terlupakan). Diunduh dari http://fawaidroh.wordpress.com/2010/0 3/27/kepemimpinan-perempuan-dalamkajian-hadist-melacak-yang-terlupakan/. Diakses pada tanggal 18 Juni 2012 pukul 20.42 WIB
________ . www.transparancy.org/news_room/faq/ corruption_faq diunduh pada tanggal 8 juni 2016 pukul 09:29 WIB _______. http:/www.ti.or.id. Transparency Internasional, dimuat dalam Wikipedia Indonesia, Korupsi. Diakses tanggal 7 Juni 2016 pada pukul 14.03 WIB
Rozi, Fahrur. (2012). Mengapa Perempuan Ikut Korupsi? Diunduh Dari Http://Www.AlKhilafah.Org/2012/02/MengapaPerempuan-Ikut-Korupsi.Html Diakses Pada Tanggal 12 Juni 2016 Pukul 19:45 WIB Revida, Erika, Korupsi di Indonesia: Masalah dan Solusinya, diunduh dari
_______. Peran Wanita Dalam Pemberantasan Korupsi, Diunduh Dari Http://Kowani.Or.Id/7/?E=24&W=Idve rsion Diakses Pada Tanggal 13 Juni 2016 Pukul 09:47 WIB _______, Cinderella Complex diunduh dari http://en.wikipedia.org/wiki/Cinderella_ complex diakses pada tanggal 29 juni
166
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
Korupsi. Diunduh Dari Http://Dutakita.Com/BeritaNasional/145-Puskapol-Ui-PolitisiPerempuan-Mudah-TerjeratKorupsiDiakses Pada Tanggal 3 Juni 2016 Pukul 09:58 WIB
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123 456789/3800/1/fisip-erika1.pdf diakses pada tanggal 10 Juni 2016 pukul 19:43 WIB Wardhani, Sri Budi Eko. (2012). Puskapol UI: Politisi Perempuan Mudah Terjerat
167
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
TENDENSI BUDAYA POLITIK PRA PILPRES 2014 DI KECAMATAN BANGUNTAPAN KABUPATEN BANTUL
DWIAN HARTOMI AKTA PADMA ELDO DAN SAKIR Magister Ilmu Pemerintahan, Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Yogyakarta, Indonesia
[email protected]
Abstrak --- Budaya politik merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tinggi atau rendahnya partisipasi politik masyarakat pada pemilihan umum. Budaya politik menjadi menarik untuk dikaji karena menjelang pemilihan umum tendensi budaya politik berbeda-beda disetiap daerah termasuk tendensi budaya politik saat Pra PILPRES 2014 di Banguntapan Bantul. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui bentuk budaya politik di kecamatan banguntapan kabupaten Bantul. Metode dalam penelitian ini menggunakan deskriptif kuantitatif. Pada pra PILPRES 2014 tendensi budaya politik berdasarkan sikap yang ditunjukkan adalah budaya politik Toleran sedangkan budaya politik berdasarkan orientasi politiknya adalah budaya politik Subyek/Kaula.
pendapat dan juga memiliki kebebasan berbicara. Untuk pemilihn umum itu kadar demoktratisnya juga sangat tergantung pada seberapa jauh pemilihan tersebut berlangsung secara bebas, jujur dan adil. Budaya politik merupakan sebagai suatu sikap orientasi yang khas warga negara terhadap sistem politik dan aneka ragam bagiannya, dan sikap terhadap peranan warga negara yang ada di dalam sistem itu (Almond, 1990). Budaya politik merupakan salah satu unsur yang terdapat dalam diri setiap masyarakat Indonesia. Saat sekarang ini kegiatan politik telah memasuki dunia keagamaan, kegiatan ekonomi dan social dan kehidupan pribadi dan social secara luas, maka budaya politik langsung mempengaruhi kehidupan politik dan menentukan keputusan nasional yang menyangkut pola pengalokasian sumber-sumber masyarakat (Syarbaini, 2011). Budaya politik merupakan sistem nilai dan keyakinan yang dimiliki bersama oleh masyarakat, namun setiap unsur masyarakat berbeda pula budaya politiknya, seperti antara masyarkat umum dengan para elitnya. Orangorang yang melibatkan diri dalam kegiatan politik, paling tidak dalam pemberian suara,
PENDAHULUAN Semua warga negara yang menganut demokrasi harus melaksanakan pemilihan umum, karena pemilihan umum adalah sebagian instrument terhadap pelaksanaan demokrasi dalam suatu Negara. Dalam pemilihan umum masyarakat mempunyai hak memilih dan dipilih sesuai ketentuan yang berlaku, masyarakat juga bebas mengutarakan
168
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
orang yang menggunakan hak pilih dari 188.461.971 orang yang terdaftar menjadi daftar pemilih tetap menurut data KPU (Data Website KPU RI). Ini membuktikan bahwa antusias masyarakat terhadap pesta demokrasi ini cukup tinggi dengan bukti bahwa lebih dari 70% yang menggunakan hak pilihnya sebagai warga Negara. Dari data tersebut terlihat kemungkinan adanya peran dari budaya politik yang ada pada diri setiap masyarakat Indonesia yang perlu rasanya untuk dicermati dengan seksama, bahwa sudah adanya kesadaran politik yang cukup tinggi terutama pada PILPRES 2014. Kecamatan Banguntapan Kabupaten Bantul merupakan salah satu daerah yang cukup tinggi tingkat partisipasinya dalam pemilihan Presiden yang lalu dengan jumlah pengguna hak pilih sebanyak 67.143 pemilih dari 80.409 yang terdaftar sebagai Daftar Pemilih Tetap (Arsip KPUD Bantul, 2014). Maka dari itu penulis telah menentukan terkait rumusan masalah pada tulisan ini adalah Bagaimana tendensi budaya politik pra PILPRES 2014 di kecamatan Banguntapan Kabupaten Bantul? Tujuan dan manfaat pada tulisan ini adalah agar sekiranya kita bisa mengetahui tendensi budaya politik di kecamatan Banguntapan Kabupaten Bantul menjelang PILPRES 2014 yang lalu, sehingga bisa membantu mengidentifikasi tipe budaya politik yang ada di daerah tersebut agar sekiranya bermanfaat bagi yang membutuhkanya. Untuk menentukan bentuk budaya politik yang ada di masyarakat Banguntapan penulis akan menggunakan teori Gabriel A. Almond yang telah membagi menjadi dua bentuk yaitu berdasarkan sikap yang ditunjukkan dan berdasarkan orientasi politiknya. Dengan dua kategori ini sangat
dan memperoleh informasi cukup banyak tentang kehidupan. Sebenarnya saat ini sangat sulit untuk melakukan identifikasi budaya politik yang ada di Indonesia, karena sampai saat sekarang ini wujud simbolnya masih belum jelas. Akan tetapi masih ada suatu hal yang menjadi tolak ukur untuk membahas tentang budaya politik di Indonesia adalah adanya terdapat suatu kelompok budaya yang dominan yang berasal dari kelompok etnis yang dominan pula keberadaannya di Indonesia yaitu kelompok etnis jawa, yang mendiami bagian tengah dan timur dari pulau jawa dan dengan populasi yang sangat padat ini akan mewarnai sikap, perilaku dan orientasi politik pemerintah. Budaya politik merupakan factor internal yang menyebabkan meningkatnya partisipasi politik dalam pemilihan Presiden tahun 2014, karena budaya politik itu merupakan nilai-nilai yang dimiliki oleh masyarakat sejak dari dulu hingga sampai saat sekarang ini pada pemilihan umum. Dengan budaya politik yang tinggi sebenarnya mempermudah KPU dalam kerjanya sebagai sosialisasi politik karena memang sudah dari dalam diri masyarakat itu tertanam jiwa bahwa menggunakan hak pilih itu merupakan sebuah keharusan dan tanpa paksaan siapapun. Banyak yang mengatakan bahwa tahun 2014 merupakan tahun politik karena memang pada tahun itu Indonesia akan memiliki seorang pemimpin baru setelah dipimpin selama 10 taun atau 2 periode kepemimpinan dengan Presiden bapak Susilo Bambang Yudhoyono. Meskipun PILPRES telah berlalu namun ada hal-hal menarik untuk di kaji apalagi terkait partisipasi masyarakat sendiri. Pada pemilihan presiden tahun 2014 tingkat partisipasi masyarakat yang menggunakan hak suaranya sekitar 134.953.967
169
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
k Pengumpulan Data C. Teknik Tekniik penguumpulan data yang y digunakan berdasarkaan Tipe Data D Primeer ; Kuesioner, Angket, Observasi. Sedanggkan untuk dataa sekunderr penulis menggunaakan dokumentaasi atau kepuustakaan.
relevan deengan peneelitian kali ini, meskiipun teori ini suudah lama diperkenalka d an oleh Gabbriel A. Almonnd namun penulis berharap bisa b menjawab rumusan masalah m daalam peneliitian ini. METODE E PENELIT TIAN A. Jenis Penelitian P
HASIL DA AN PEMBA AHASAN
Dalam m melakukkan penelitian ini, penneliti menggunakkan jenis peenelitian deskriptif denngan pendekatann kuantitattif. Dengaan pendekaatan kuantittif maka m penelliti akan meenyajikan serta s menganalissis data daan fakta secara sistem matis sehingga hasil darii penelitiann ini muudah dipahami dan disimpulkaan (Arinttoko Suharsimi : 2002).
A. Budayya Politik B Berdasarkaan Sikap Yaang ditunjukkan Setiapp masyarakat memilikii kecendrunngan sikap yanng berbedda-beda daalam tinggkah lakunya teerhadap poolitik. Pada kondisi ini budaya politik memilliki kecendderungan siikap ”militan” atau a sifat ”toolerasi”.
B. Populaasi & Samp pling a) Poppulasi
DIAGRA AM I. Persenntase Responnden Terkaitt CAPRE ES Yang Berrbeda Suku/R Ras/Agama
Popuulasi dalam m penelitiaan ini adaalah masyarakaat yang tterdaftar sebagai s daaftar pemilih tettap dan meenggunakann haak pilihhnya pada pem milihan um mum presiden 2014 di kecamatann Banguntappan.
37
35
24 4 tiddak kurang tertarik sanngat terttarik tertarik tertarik
b) Sam mpling Teknnik pengam mbilan saampling pada p penelitian ini adalahh menggunaakan Stratif ified Random Sampling Sa yaaitu suatu teeknik samppling dimana poppulasi kita bagi b kedalaam sub popuulasi (strata), kaarena memppunyai karaakteristik yang y heterogen dan heterogenitas terseebut mempunyaai arti yaang signifi fikan terhaadap pencapaiann tujuan penelitian, p maka penneliti dapat menngambil denngan cara ini. i Dari daaftar populasi yang diteeliti yaknni Masyaraakat kecamatann Banguntappan yang telah terdaaftar sebagai pem milih tetap dalam pem milihan Presiiden tahun 20144.
Setiap massyarakat m memiliki perrbedaan dalam menyikapi suatu hal, apalagi terrmasuk sebuah pilihan yanng tidak akkan bisa diipaksakan oleh o orang lainn. Masyaraakat Bangguntapan pada p umumnya kurang terrtarik ketikaa dihadapaakan dengan Callon Presiden yang berbbeda suku, ras, maupun agama ittu karenaa masyaraakat banguntapaan sebagiann besar adaalah kelomppok mayoritas, baik dari suku s maupuun agama jadi j wajar apabbila merekka masih kurang k tertaarik dengan callon pemimppin yang berbeda denngan mereka. Taapi masih aada juga maasyarakat yang y sangat meenghargai ssebuah perrbedaan unntuk
170
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
menjadi pemimpin p m mereka baaik dari ruuang lingkup Neegara Indonnesia.
DIAGRA AM III. Perseentase Respoonden Terkaiit Kam mpanye di Liingkungan Terdekat T
DIAGRA AM II. Perseentase Respoonden Terkaiit Kam mpanye di Lingkungan L Terdekat T
48 229 14
47
9 21
22
tidak kuraang senang senaang senang sangat seenang
10
kurang tidak tergangggu tergangggu
terganggu
sangat tergangguu
Hubuungan baikk yang dilakukan settiap masyarakatt menjadikkan kehiduupan menjjadi rukun dan tentram, daalam kehiduupan berbanngsa dan berneggara yang m memiliki beermacam suuku dan kebuddayaan sudaah seharusnnya sikap baik b dan toleraansi ditanam mkan kareena jika tiidak memiliki sifat s sepertti itu sangat sulit unntuk hidup berm masyarakat. Masyarakaat Banguntaapan yang pada umumnya adalah oranng jawa sanngat senang hiduup berdamppingan denggan orang yang y berbeda suuku dan buudaya dengaan mereka, itu semua bisaa dilihat dar ari slama inni mereka yang y sangat jaarang terrjadi kerributan yang y ditimbulkann oleh perseelisihan antar suku.
Kamppanye adalaah salah sattu usaha Parrpol untuk m mengenalka an calonnnya keppada masyarakaat banyak. Dan D biasanyya itu dilakuukan di tempat terbuka yaang tidak jaauh dari rum mah warga deengan alassan memuddahkan unntuk menarik massa m yanng banyak agar mellihat kampanye yang berisi pengenalnn tentang caalon yang akan diusung. Di D banguntappan masyaraakat sangat menghargai m i kegiatann kampaanye meskipun itu adalah menggngggu ketenanggan, dapat dilihhat sebagiann besar masyyarakat merrasa tidak tergangu denggan kampannye yang ada ketika menjelang m PILPRES berlangsuung. Masyarakaat Banguntaapan sangatt toleran unntuk kegiatan yang meemang berrtujuan unntuk kepentingaan banyakk dan jugga masyaraakat paham dann mengerti kampanye adalah baggian dari prosess menjelangg pemilu.
B. Budayya Politik Berdasark kan Orienttasi Politik k Dari realitas budaya politik yang y berkembanng di dalaam masyarrakat, Gabbriel Almond mengklasifi m ikasikan budaya b pollitik sebagai berrikut : a) Buddaya politikk Parokial b) Buddaya Politikk Kaula c) Buddaya Politikk Partisipan
171
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
ada juga masyarakat m yang tidak menggunaakan hak pilihnyya dan itu ddisebabkan karena ada hal yang menddesak dan ttidak bisa dihindari d yang y mengakibaatkaan tidaak bisanyaa membeiikan suara pada pemilihan ppresiden tahhun lalu.
DIAGRA AM IV. Persentase Respoonden Terkait Pengguunaan Hak P Pilih Pada PIL LPES 2014 Tidak 6%
DIAGRA AM V. Perseentase Respoonden Terkaitt Seberaapa Perlu Meengikuti PIL LPES 2014 Iya 94%
55 39 3 .0
6
TTidak Kurang Perlu P Perlu Perlu
Ada terdapat 6 respondeen yang tiidak menggunakkan hak piilihnya, itu bukan Karrena tidak ada penyebabny p ya mereka tidak t datangg ke TPS namuun memang karena ada hal yang tiidak bisa dihinndarkan sepperti masukk rumah saakit, mendadak harus perggi kelur koota Karena ada dapat pangggilan kerjaaan dan maasih banyakk hal yang mem mbuat mereeka mendaddak tidak bisa b mnggunakan hak pilihnya p s sebagai waarga Negara.
Sangat perlu
Tinggginya kkesadaran masyaraakat banguntapaan akan peerlunya unntuk mengikkuti pemilihan umum u presiiden dapat terlihat t jelaas di grafik diataas, pencapiaan jawabann “Perlu” unntuk mengikuti Pemilu P Presiden mencapai m 5 55% persen atauu lebih darii setengan dari d responnden yang ada menandakkan bahw wa masyaraakat banguntapaan sudah m menganggap bahwa pem milu itu sangat penting ddan harus untuk diikkuti dengan memberikan hak suarra yang ada. m a Respondenn yang menjawab “Sanggat Perlu” juga sudah jelass, akan kesadaran yanng tinggi unntuk mengikuti pemilihan p uumum presiden.
Berdaasarkan haasil wawaancara denngan bapak Suyaadi salah saatu respondeen yang denngan terpaksa tiidak bisa m mengikuti PILPRES P 2 2014 kemarin; Sangat dis isayangkan sekali sayya tidak bisa mengikuti pemilihan p um mum presidden kemarin itu, padahal ituu dilakukan C Cuma lima tahun t sekali dan juga kita akan memilikki Presiden yang y baru yang y mana akan memimpin Indoneesia kedepan. Mau gim lagi kemariin posisi sayya pada harri pemilihann itu masih dalaam perjalannan pulang ke Jogja jadi terpaksa engggak ikut miilih.
Berdaasarkan waawancara dengan d baapak paimin, salah satu reesponden yaang menjaw wab kurang perrlu mengikuuti pemilihaan umum tahhun lalu; Perlu enggaak perlu sebeenarnya unttuk ikut nyobblos, kalau dihituung-hitung kkan suara saaya tidak beegitu pengaruh dari d jutaan oorang yang ikut nyobloss se Indonesia. Sebenrnya S saaya mendingg ke sawah atau a cari makann buat ternaak, tapi karena pemiliihan presiden ituu juga pentiing saya seempatin nyobblos kemarin.
Dappat diambbil kesim mpulan bahhwa sebagian besar respponden memang sanngat antusias untuk u menngikuti pem milihan um mum presiden tahun laluu dan meemang merreka memiliki calon c masiing-masing untuk mennjadi presiden Inndonesia. M Meskipun demikian d masih
172
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
Makaa dari ituu mayorittas responnden menyatakaan bahwa m mengikuti peemilahn um mum presiden ittu perlu dillakukan karrena itu adaalah moment untuk u melaakukan peuubahan banngsa Indonesia dengan peemimpin yang y baru dan dipilih olehh rakyat.
DIAGRA AM VII. Persentase Respoonden Terkaait Perasaaan Hendak M Mengikuti PIL LPES 2014 53 25
18
4
DIAGRA AM VI. Persentase Respoonden Terkait A Alasan Mengiikuti PILPES S 2014 88 8
1
Lebihh dari setenngah dari tootal responnden yang meenjawab antusias saat henndak melakukann Pemilihan umum, ituu membuktiikan bahwa peemilihan uumum adallah hal yang y memang diinantikan daan ada harappan besar yang y tersimpan saat hendakk melakukaan pencobloosan milihan preesiden tahuun 2014 lalu. dalam pem Selain ittu terbuktti bahwaa masyaraakat Banguntapan ada bebeerapa yang sangat s antusias p 20014, menantikann pemilihann umum presiden karena mem mang sumbbangan suarra mereka akan a melahirkann presiden Indonesiaa yang baru b setelah dippimpin oleeh Presidenn sebelum mnya Susilo Bam mbang Yuddhoyono seelama sepuuluh tahun.
3
Sadarr akan hakk sebagai warga Neggara adalah jaw waban yangg paling dom minan dijaw wab oleh respponden teentang allasan merreka mengikuti pemilu. Dalam budaya b politik kesadaran masyarakatt akan hak dan kewajiiban kepada Neegara itu ssangatlah penting, p dissana dapat dinillai seberapa baiknya budaya politik masyarakaat dan masuk m kaategori mana m masyarakaat tersebut. Di Banguuntapan senndiri hampir maayoritas maasyarakat sudah s menggerti dan paham m akan haknnya sebagaii warga Neggara yaitu salahh satunya memberikaan suara pada p pemilu preesiden yangg diselenggaarakan 5 taahun sekali.
DIAGRAM M VIII. Perssentase Respoonden Terkaait Siappa Yang Berttanggung Jaw wab Atas Teerselenggarannya PILPRES S 2014
100
65 9
8
18
0
Dapaat dilihatt bahwaa mayorritas masyarakatt Banguntaapan sudahh paham siiapa yang bertaanggung jaawaab atas terlaksanaanya PILPRES 2014 keemarin, deengan beggitu masyarakatt jadi tahu ddan paham siapa s saja yang y bertanggunng jawab daan jika ada kesalahn atau a
173
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
kecurangann yang dillakukan oleeh pihak yang y tidak bertaanggung jaw wab maka masyarakat m t tahu kepada siapa akan dilaporkann hal terseebut. Meskipun jawaban yang diiberikan oleh o responden bermacam m-macam naamun mem mang jwaban mereka m adaalah adalahh pihak yang y bertanggunng jawab attas Pemilu Presiden yang y lalu. Presiiden dengaan dibantu KPU sebaagai penanggunng jawab peenuh atas teerselenggaraanya pemilu daan Bawasluu yang selaalu siap unntuk mengawasi pemilu agar seesuai denngan peraturan yang bberlaku tanpa adaanya kecurangann sedikitpunn.
kepada meedia elektronnik yang menjadi m sum mber utama terkaait pemilu. DIAGRA AM X. Perseentase Respoonden Terkaitt Faktor Yangg Mempengaaruhi Dalam Memilih Caalon 68 27
1
Masyyarakat B Banguntapann mayorritas memilih CAPRES C kkarena facttor sosok dan kemampuaan presiden,, itu membuuktikan bahhwa dan sebelumnya masyarakkat telah mengenal m tahu siapa pemimpin yyang akan dipilihnya saat s melakukann pencoblosaan. Pilihan mereka adaalah karena kem mampuan calon yangg dilihat dari d prestasi dan d kemam mpuan saatt dia sebaagai pememimppin suatu daaerah sebellumnya. Selain itu masih ada juga m masyarakat yang mem milih calonnya dari d program m kerja yanng ditawarkkan, masyarakatt mengetahhui program m kerja yang y ditawarkann melalui meedia elektroonik seperti TV yang selaalu gencar memprom mosikan caalon presiden pada p saat ittu. Namun hanya seddikit yang mem milih presidden karena alasan paartai pengusung, itu karenaa masyarakaat telah pahham dan mengeerti siapa preesiden yangg harus merreka pilih tanpa harus meliiht dari parttai mana caalon tersebut berasal.
DIAGRA AM IX. Persentase Respoonden Terkait Sumbeer Informasi Tentang T PIL LPRES 2014 58 31 8
4
3
Mediia elektronnik menunnjukkan meedia yang palinng dominann untuk meenjadi referrensi dan berita terkait PIL LPRES 20114 kemarin,, itu menunjukkkan bahwa masyarakaat Banguntaapan pada umum mnya telah memiliki m m media elektroonik untuk hibuuran dan jugga menambaah pengetahhuan terrkhusus masalah innformasi tenntang pemiliihan umum tahuun lalu. Sossialisasi KP PU juga bannyak yang menjadikan sum mber utama terkait tenttang PILPRES 2014 lalu, itu membuktiikan masyarakaat peduli dan menaaruh perhaatian ketika KP PU sosialiisasi tentaang Pemiliihan umum yanng lalu. Yanng bisa dilihat lagi adaalah Media Ceetak dan Media M pendukung haanya sedikit yaang menjaadikan refeerensi tenttang PILPRES kemarin, itu disebbabkan karrena masyarakaat pada umumnya u sudah berralih
174
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
apa yang terjadi t tentaang Negara Indonesia ini. Ketika ketiidak peduliaan itu muncul maka seccara otomatis masyarakat m juga sudah tidak t mau tahu t menahu tentang negaara ini lagi, terlihat pada p masyarakaaat Banguntapan masihh banyak yang y tidak tertarrik dengan iisu politik nasional n karrena menurut mereka m paada umum mnya masaalah politik itu adalah massalah orang pejabat diaatas dan merekka yang rakkyat bawahh yang palling penting bisa mennjalani hiidup denngan sebagaimanna mestinyya tanpa memikirkan hal m yang luas apalagi maasalah politiik. Tapi buukan berarti sem mua masyaarakat bangguntapan yang y beranggapaan bahwa ppolitik itu urusan u pejaabat atas, terbuukti bahwa masih ada beberrapa masyarakatt yang maasih pedulii dan tertaarik dengan isu politik nasiional.
DIAGRA AM XI. Persentase Respoonden Terkait Kedekaatan Dengan Salah Satu Partai P Politikk 71
100
133 0 tidak kuranng dekat dekaat
9 dekat
7 sangat dekat
Pada umumnya ternyata reesponden tiidak ada memilliki kedekaatan dengann Partai Politik manapun, itu membuuktikan bahw wa masyaraakat banguntapaan tidak baanyak yang menjadi actor a politik padda saat PIL LPRES lalu. Hanya seektar 16% dari responden yang memiliki kedekaatan atau sangaat dekat dengan d salaah satu Parrpol peserta Pem milu 2014 kemarin, k mereka memiliki kedekatan baik sebaggai kader paartai itu senndiri maupun hanya h sebaggai simpatiisan pada saat pemilu. Dapat D dilihat bahwa hanya seddikit masyarakaat Bangunntapan yaang menaaruh perhatian terhadap system politik pada p umumnya sedangkann kesadarannnya terhaadap input dan kesadarannnya terhadaap actor politik itu sendiri masih rendah.
DIAGRAM M XIII. Persenntase Responnden Kepeduulian Teerhadap Kebbijakan Pemeerintah sangaat peduuli 9% peduli 60%
DIAGRA AM XII. Perssentase Responden Terkaait Ketertarikann Membicaraakan Tentangg Perkembanngan Isu Poliitik Nasionall tertarikk 27%
Sanggat tertaarik 2% %
tiddak pedduli kurang peduli 9% 22%
Di Banguntappan padaa umum mnya peduli terhadaap peratuuran masyarakatt pemerintahh karena meemang mereka yang akan a merasakan dampak daari kebijakann tersebut, jika j i mempunnyai pengaruuh yang sanngat kebijakan itu besar dan menguntunngkan massyarakat maka m s Nam mun wajar apabila masyaraakaat akan senang. p terhaadap ternyata maasih ada yanng kurang peduli apapun keebijakan peemerintah karena k merreka beranggapaan bahwa kkebijakan ittu hanya unntuk menguntunngkan rakyaat yang kayaa dan membbuat susah raakyat yanng kuranng mamppud ibanguntappan itu senndiri, conttohnya sepperti kebijakan kenaikan k haarga BBM.
tidak tertarik 37%
kurang tertarik 34%
Keterrtarikan daalam membbahas atauupun membicaraakan isu politik nasional itu menandakaan masih ada kepeduulian terhaadap
175
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
DIAGRA AM XIV. Persentase Respponden Terkaait Ketertarikann Membicaraakan Tentangg Perkembanngan Isu Poliitik Nasionall tertarik 27% %
Saangat terrtarik 2 2%
DIAGRA AM XV. Perssentase Respponden terkaiit Keikutseertaan Dalam m LSM Yang Bergerak Di Bidang Social S Politikk
tidak tertarikk 37%
15% tergabung 85%
tidak tergabung
kurang tertarik 34%
Keterrtarikan daalam membbahas atauupun membicaraakan isu politik nasional itu menandakaan masih ada kepeduulian terhaadap apa yang terjadi t tentaang Negaraa Indonesia ini. Ketika ketiidak peduliaan itu munccul maka seccara otomatis masyarakat m j juga sudah tidak mau tahu t menahu teentang negaara ini lagii, terlihat pada p masyarakaaat Bangunttapan masihh banyak yang y tidak tertarrik dengan isu i politik nasional n karrena menurut mereka pada umum mnya masaalah politik itu adalah massalah orangg pejabat diiatas dan merekka yang raakyat bawaah yang paaling penting bisa mennjalani hidup h denngan sebagaimanna mestinyya tanpa memikirkan hal m yang luas apalagi maasalah politiik. Tapi buukan berarti sem mua masyaarakat bangguntapan yang y beranggapaan bahwa politik p itu urusan pejaabat atas, terbuukti bahw wa masih ada beberrapa masyarakaat yang masih pedulli dan terttarik dengan isuu politik nassional.
Berrgabung deengan Lembbaga Swaddaya Masyarakaat sangat efektif unntuk membberi masukan maupun m mempengarruhi terhaadap setiap keebijakan yyang dikeeluarkan oleh o pemerintahh. Ketika m masyarakat aktif di LSM L yang bereggerak di bidang social politik maka m system politik akan beerjalan denggan baik muulai dari inpuut sampaii ke ouutput, nam mun kenyatannyya masyaraakat Banguuntapan senndiri masih kuraang berperaan aktif berrgabung dalam LSM yanng dimakksud sehiingga prooses kelancaran system politik kuurang berjaalan sebagaimanna mestinya karena hanya h sebaggian kecil yangg bergabunng dengann LSM yang y bergerak dii bidang soccial politik. DIAGRAM M XVI. Perssentase Respponden Terkaait informasi utama u tentanng pasangan CAPRES C 20014
80 60 40 20 0
77 7
16
0
Inform masi tentaang pasanggan calon itu sangat pentting bagi seetiap orang, karena denngan mengetahuui segala iinformasi tentang caalon
176
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
2) Budaya politik orientasinya
pesiden itu kita bisa menjadi yakin dan percaya dengan kemampuan dan latar belakang yang dimiliki sehingga kita mempunyai pertimbangan dan alasan sendiri mengapa kita harus memilih pasangan tersebut untuk menjadi presiden. Di aman yang telah modern kini banyak cara untuk memperkenalkan pasangan alon presiden kepada masyarakaat luas, tidak seperti dulu lagi yang masih mengandalkan informasi utama pada saat kampanye saja namun sekarang sudah ada media lain berupa media elektronik seperti Televisi (TV), Internet yang banyak digunkan oleh masyrakt saat ini.
berdasarkan
Jika diakumulasikan dan disimpulkan budaya poltik masyarakat Banguntapan berdasarkan orientasinya dapat dilihat mulai dari keaktifan masyarakat mengikuti proses politik yang ada di Negara ini dan tidak hanya pada saat pemberian suara saja. Masyarakat banguntapan pada umumnya sudah memiliki kesadaran yang baik sebagai warga Negara dan juga menaruh kesadaran, minat dan perhatian terhadap system politik politik pada umumnya dan terutama pada obyek output, namun pada tataran kesadaran terhadap input dan juga sebagai actor politik masih rendah karena masyarakat banguntapan menyadari sepenuhnya akan otoritas pemerintah. Maka dari itu peneliti mengkategorisasikan budaya politik masyarakat banguntapan berdasarkan orientasinya masuk kedalam budaya politik subyek/kaula.
KESIMPULAN Adapun kesimpulan yang disusun dalam penelitian ini berdasarkan teori budaya politik Gabriel Almond adalah sebagai berikut : 1) Budaya Politik berdasarkan sikap yang ditunjukkan Penelitin ini menunjukkan adanya sikap yang ditunjukkan oleh masyarakat banguntapan bahwa akan pentingnya mengahargai sebuah perbedaan. Meskipun dalam hati mereka ada beberapa hal yang mereka tidak senangi dengan perbedaan yang ada baik suku, ras, agama namun dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Banguntapan selalu hidup rukun dan damai menjalani hari-hari. Begitu juga dengan pilihan politik yang mereka yakini juga tidak ada perselisihan atau gesekan yang terjadi saat pemilu presiden 2014 lalu mereka sangat menghargai perbedaan pilihan politik tersebut. Maka dari itu peneliti berani menyimpulkan bahwa budaya politik berdasarkan sikap yang ditunjukkan adalah budaya politik toleran
DAFTAR PUSTAKA Almond, Gabriel A. dan Sidney Verba. (1990). Budaya Pollitik, tingkah laku politik dan demokrasi di lima Negara, Bumi Aksara, Jakarta. Suharsimi, Arikunto. (2002). prosedur penelitian, suatu pendekatan praktek, Rineka Cipta : Jakarta. Syarbaini, Syahrial dkk. (2011). Pengetahuan Dasar Ilmu Politik, Ghalia Indonesia : Bogor. Arsip KPUD-Bantul Pemilihan Presiden. (2014). Berdasarkan kertas model DB1 PPWP & A.3.3-PPWP.
177
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
IMPLEMENTASI PERATURAN BUPATI KULON PROGO NOMOR 66 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN PUSAT PELAYANAN TERPADU PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK DALAM PENANGANAN KORBAN KEKERASAN PEREMPUANDAN ANAK TAHUN 2015 (Studi Kasus di Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A Kabupaten Kulon Progo) Elzica Kumalasari, Ane Permatasari Program Studi Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Yogyakarta, Indonesia
berkesinambungan dan menjadikan lembaga P2TP2A ini sebagai Pusat Layanan Utama dalam penanganan korban kekerasan berbasis gender.
Abstrak --- Implementasi Peraturan Bupati Kulon Progo Nomor 66 Tahun 2013 Tentang Pembentukan Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak dibentuk untuk melindungi perempuan dan anak dari tindak kekerasan dan untuk memenuhi kebutuhan korban yang mengalami kekerasan serta untuk menghindari pelanggaran HAM yang sering terjadi pada saat ini. Untuk mempertahankan Kabupaten Kulon Progo sebagai Kabupaten peduli HAM dan Kabupaten Layak Anak maka diperlukan adanya payung hukum yang mampu melindungi perempuan dan anak dari tindak kekerasan.Dalam pelaksanaannya P2TP2A belum mendapatkan respon yang positif dari masyarakat dan belum dipimpin oleh seorang kepala dan sekretaris serta sarana dan prasarana yang ada belum memadai untuk P2TP2A dalam memberikan layanan kepada korban kekerasan. Untuk itu, diharapkan pihak jejaring maupun semua pihak yang terlibat dalam pelaksanaan P2TP2A ini dapat mengatasi permasalahan pada anggaran dan sumber daya, sehingga P2TP2A Kabupaten Kulon Progo dapat
Kata Kunci: Implementasi Kebijakan Publik, Perlindungan Perempuan dan Anak.
I. PENDAHULUAN Dewasa ini tak dapat dipungkiri bahwa tindak kekerasan semakin merajalela khususnya terhadap perempuan dan anak.Kabupaten Kulon Progo sebagai Kabupaten Peduli HAM dan Kabupaten Layak Anak Tingkat Pratamaharus melindungi setiap warganya terutama pada perempuan dan anak. Untuk mempertahankan apresiasi tersebut pemerintah Kabupaten Kulon Progo membentuk Pusat Layanan Penanganan Korban Kekerasan Perempuan dan Anak yang berdasarkan Peraturan Bupati Kabupaten Kulon Progo Nomor 66 Tahun 2013 Tentang Pembentukan Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak.Angka kekerasan terhadap perempuan dan anak di Kulon Progo dalam lima tahun terakhir mengalami
178
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
kebijakan harus ditransmisikan kepada personal yang tepat dan perintah harus jelas, akurat dan konsisten. b) Sumber Daya Implementasi kebijakan akan tidak efektif apabila para implementor kekurangan sumber daya yang penting untuk melaksanakan kebijakan. c) Disposisi (Sikap Kecenderungan) Jika para pelaksana bersikap baik terhadap suatu kebijakan tertentu, maka kemungkinan besar mereka akan melaksanakan kebijakan sebagaimana yang diinginkan oleh para pembuat keputusan awal. d) Struktur Birokrasi Untuk mendukung keberhasilan implementasi kebijakan diperlukan sebuah prosedur operasional yang standard (Standard Operational Procedures atau SOP). Berkaitan dengan penelitian terhadap implementasi kebijakan peraturan bupati kulon progo nomor 66 tahun 2013 tentang pembentukan P2TP2A dalam melayani korban kekerasan dirasa teori yang sesuai dengan penelitian yang peneliti ambil yakni teori yang dikemukakan oleh George Edwards III, karena untuk melihat keberhasilan atau kegagalan implementasi suatu kebijakan dalam kajian tahapan kerja yang dilakukan yaitu menggunakan pendekatan Top Down. Dengan mengkaitkannya terhadap implementasi peraturan bupati kulon progo dalam melayani para korban kekerasan, diperlukan adanya komunikasi yang baik antara penyelenggara layanan dengan penerima layanan, sumber daya dan kemampuan yang dimiliki oleh para penyelenggara layanan harus memadai, lalu disposisi (sikap kecenderungan) penyelenggara layanan yang baik dan struktur birokrasi dari penyelenggara layanan terhadap korban kekerasan yang termasuk di dalamnya yaitu UPT Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak sebagai pelaksana dapat memberikan pelayanan sesuai dengan SOP yang telah ditentukan. II. Metode Penelitian Penelitian yang dilakukan adalah deskriptif kualitatif.Dalam penelitian ini yang akan diamati adalah implementasi
peningkatan disebabkan semakin tahun kesadaran masyarakat untuk melapor kasus kekerasan semakin tinggi. Dengan adanya Pusat Layanan ini diharapkan korban kekerasan yang menimpa perempuan dan anak tidak meningkat lagi setiap tahunnya serta penghargaan yang pernah diraih bisa dipertahankan. Untuk itulah penelitian skripsi ini dilakukan dengan harapan untuk mengetahui sejauh mana Implementasi Kebijakan Peraturan Bupati tentang Penanganan Korban Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak tahun 2015 untuk mewujudkan programnya sesuai dengan tujuannya berdasarkan Peraturan Bupati Kabupaten Kulon Progo Nomor 66 Tahun 2013 Tentang Pembentukan Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak. Berdasarkan penjelasan di atas maka rumusan masalah yang dapati digunakan adalah sebagai berikut: Bagaimana Implementasi Peraturan Bupati Kulon Progo Nomor 66 Tahun 2013 Tentang Pembentukan Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Dalam Penanganan Korban Kekerasan Perempuan dan Anak Tahun 2015? A. Kerangka Teori 1. Implementasi Kebijakan Publik Secara umum implementasi kebijakan menurut Dr. Suranto, M. Pol dapat diartikan sebagai tindakan yang dilakukan oleh pemerintah maupun swasta, baik secara individu atau kelompok dengan maksud untuk mencapai tujuan yang telah dirumuskan dalam kebijakan Model Teori Implementasi Kebijakan oleh George C. Edwards III, dalam bukunya yang berjudul “Implementing Public Policy”, Edward mengemukakan pendapatnya bahwa terdapat empat faktor atau variabel kritis dalam implementasi kebijakan publik, yaitu komunikasi, sumberdaya, disposisi (sikap kecenderungan) dan struktur birokrasi. a) Komunikasi Dalam mengimplementasikan kebijakan, perintah untuk mengimplementasikan
179
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
yang telah diketahui oleh pengambil kebijakan harus ditransmisikan kepada pelaksana kebijakan melalui komunikasi yang baik agar dapat menghasilkan implementasi yang baik pula. Komunikasi yang diterima oleh para pelaksana kebijakan harus jelas dan tidak membingungkan agar dalam pelaksanaannya dapat berjalan efektif dan sesuai dengan tujuannya.Komunikasi yang tidak baik dapat menimbulkan kesalahpahaman yang menimbulkan pelaksanaan kebijakan tidak berjalan baik.Komunikasi dilakukan antar sesama implementor atau badan pelaksana kebijakan dan juga kepada kelompok sasaran dari kebijakan tersebut. a) Komunikasi Melalui Sosialisasi Sosialisasi antar jejaring di Badan PMPDPKB dilakukan rutin setiap 3 bulan sekali.Jejaring disini terdiri dari pemerintah dan non pemerintah.Jejaring penanganan korban kekerasan telah terbentuk pada tahun 2012 dan jejaring ini sangat mendukung sekali terhadap implementasi perbup tentang pembentukan P2TP2A di Kabupaten Kulon Progo. Dengan adanya dukungan dari jejaring ini, pihak jejaring juga melakukan sosialisasi dengan cara :
pembentukan pusat pelayanan terpadu perlindungan perempuan dan anak sebagai unit pelaksana teknis dari Badan Pemberdayaan Masyarakat, Pemerintahan Desa, Perempuan dan Keluarga Berencana yang memberikan layanan kepada perempuan dan anak korban kekerasan di Kabupaten Kulon Progo.Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara, observasi dan dokumentasi serta dilengkapi dengan data primer dan sekunder.Peneliti dalam menganalisa data menggunakan deskriptif kualitatif yaitu dengan cara pengumpulan data kemudian dianalisa dari awal hingga akhir penelitian dengan cara reduksi data, penyajian data, kesimpulan serta dengan teknik triangulasi. III.HASIL DAN PEMBAHASAN Setelah melakukan penelitian dan pengumpulan data di lapangan, maka diperoleh data yang berkaitan dengan Implementasi Peraturan Bupati Kulon Progo Nomor 66 Tahun 2013 Tentang Pembentukan Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan Dan Anak di Kabupaten Kulon Progo. Pengumpulan data diperoleh melalui wawancara dengan Kepala Bidang Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Badan PMPDPKB Kabupaten Kulon Progo, Kepala Sub Bidang Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Badan PMPDPKB, Wakil Ketua II Jejaring Penanganan Korban Kekerasan Perempuan dan Anak P2TP2A, Petugas Sekretariat P2TP2A dan Masyarakat Kabupaten Kulon Progo. Berikut ini adalah hasil penelitian yang dilakukan peneliti melalui wawancara berdasarkan variabel yang digunakan peneliti untuk mengetahui proses implementasi kebijakan dalam penelitian ini: A. Komunikasi Komunikasi merupakan faktor penting yang mempengaruhi implementasi kebijakan publik dan sangat menentukan keberhasilan dari suatu implementasi kebijakan dalam pencapaian tujuan. Implementasi kebijakan publik akan efektif jika para pembuat kebijakan mengetahui apa yang akan dikerjakan sehingga informasi
1. Konferensi Pers Konferensi pers ini dilakukan pada tahun 2012 dan setiap 1 bulan sekali dengan melakukan penyiaran terhadap isu kekerasan, KDRT, dan biasanya informasi yang disiarkan dalam bentuk talkshow/dialog. 2. Testimoni korban Para korban membentuk komunitas yang bagaimana korban bisa mengorganisir dirinya lalu bisa membentuk paguyuban korban KDRT dan itu dijadikan sebagai cara sosialisasi dari jejaring berdasarkan pengalaman para korban.Penyebaran informasi oleh Rifka Anisa dalam sosialisasi kepada masyarakat dengan mitra kerja yaitu radio kedaulatan rakyat terkait isu kekerasan terhadap perempuan dan anak serta upaya perlindungannya dilakukan hampir 1 bulan sekali.
180
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
kebijakan.Untuk dapat mengimplementasikan kebijakan secara efektif maka dibutuhkan sumber daya yang cukup. Implementasi kebijakan tidak akan efektif apabila kekurangan sumber daya yang penting untuk melaksanakan kebijakan. Oleh karena itu sumber daya yang penting dalam implementasi kebijakan meliputi sumber daya manusia, sumber daya informasi, sumber daya finansial, sumber daya wewenang, dan sarana dan prasarana. a) Sumber Daya Manusia Dan Potensi Implementasi kebijakan tidak akan berhasil tanpa adanya dukungan dari sumber daya manusia yang cukup secara kualitas maupun kuantitas.Sumber daya manusia atau staf harus mendukung secara jumlah maupun keahliannya dalam melaksanakan tugas. Apabila sumber daya manusia serta keahlian yang dimiliki oleh para staf kurang optimal maka implementasi kebijakan tersebut tidak akan berjalan efektif. Walaupun staf tersebut memiliki jumlah yang sangat memadai tetapi belum tentu secara kualitas mereka dapat melaksanakan apa yang menjadi tanggung jawabnya. Sehingga diperlukan pula sumber daya manusia yang mengetahui apa yang harus dilakukan. Disisi lain kurangnya staf yang memiliki kemampuan/keahlian juga akanlebih menghambat pelaksanaan kebijakan tersebut. Dalam Implementasi Peraturan Bupati Kulon Progo Nomor 66 Tahun 2013 Tentang Pembentukan P2TP2A belum berjalan sebagaimana yang diamanatkan dalam Peraturan Bupati Kulon Progo tersebut P2TP2A mulai berjalan pada tahun 2014. Dalam implemenasi perbup ini belum dipimpin oleh seorang kepala dan staf yang tetap berada di kantor P2TP2A hanyalah 2 orang dan 8 konselor yang tidak menetap berada di kantor sebab konselor disini masing-masing memiliki pekerjaan diluar menjadi konselor P2TP2A.Akan tetapi keterbatasan sumber daya manusia tersebut tidak membuat para pelaksana tidak menjalankan kewajibannya untuk melaksanakan tugas berdasarkan potensi yang dimiliki.SDM di P2TP2A sudah diberikan pelatihan dalam perlindungan
Selain itu, komunikasi terhadap masyarakat juga dilakukan melalui pertemuan di setiap kecamatan di kulon progo.Sosialisasi tersebut dilakukan baik oleh jejaring penanganan korban kekerasan.Sosialisasi kepada masyarakat di 12 Kecamatan Kulon Progo dilakukan dalam setahun 2 kali dan menunggu undangan dari pihak kecamatan.Informasi yang disampaikan dalam sosialisasi tersebut yaitu kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), undang-undang perlindungan perempuan dan anak, ada juga tentang bagaimana cara pengaduannya jika terjadi kekerasan terhadap perempuan dan anak serta pengenalan lembaga P2TP2A sebagai layanan utama penanganan korban kekerasan yang berbasis gender. b) Komunikasi Antara Penyelenggara Layanan dengan Penerima Layanan Dalam mewujudkan tujuan kebijakan, diperlukan adanya komunikasi yang baik antara penyelenggara layanan dengan penerima layanan.Apabila komunikasi yang dijalankan oleh keduanya tidak baik maka implementasi kebijakan ini tidak dapat berjalan optimal. Proses penanganan yang dilakukan kepada korban biasanya mendapatkan laporan bisa dari masyarakat, jejaring PK2PA, rujukan, atau orang yang sudah mengetahui informasi seputar P2TP2A, setelah laporan masuk ke kantor baru korban diidentifikasi sesuai kebutuhannya kemudian baru ke konselor. Pemulihan atau pendampingan yang dilakukan terhadap korban maksimal 3 bulan tergantung taraf intervensi sebatas mana karena dari pihak konselor memiliki batasan.Ketika mendampingi korban perkosaan usia sekolah akan didampingi hingga korban dapat menerima dirinya kembali di masyarakat setelah itu berhenti dalam melakukan pendampingan sebab untuk menghindari ketergantungan korban kepada konselor atau pun pihak lain sedangkan untuk rehabilitasi di P2TP2A diarahkan tergantung kepada kasusnya. B. Sumber Daya Sumber daya memiliki peranan penting dalam implementasi
181
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
anggaran yang cukup dalam pengimplementasiannya. Sumber daya finansial seringkali menjadi penghambat dalam implementasi kebijakan.Oleh karena itu anggaran merupakan faktor yang harus dimiliki dalam menjalankan sebuah kebijakan. Dalam Perbup Kabupaten Kulon Progo Nomor 66 Tahun 2013 Tentang Pembentukan Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak dicantumkan bahwa pembiayaan yang diperlukan untuk pelaksanaan kegiatan P2TP2A dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Kekurangan dana inilah yang menyebabkan pihak BPMPDPKB kesulitan dalam melakukan sosialisasi rutin untuk upaya pencegahan kekerasan perempuan dan anak di Kabupaten Kulon Progo. P2TP2A Kabupaten Kulon Progo sebagai unit pelaksana teknis dari BPMPDPKB yang melaksanakan tugas berdasarkan Perbup 66/2013 juga membutuhkan dana untuk reintegrasi korban, memberikan kebutuhan kepada korban di bidang keterampilan dan pemulangan kembali korban ke daerah asalnya, P2TP2A belum melaksanakan fungsi tersebut karena memang kekurangan dana. Pihak P2TP2A menyatakan bahwa dana dari APBD selama ini hanya untuk kebutuhan korban di shelter dan untuk korban menjalani perawatan kesehatannya sehingga harus mencari dana kepada donatur yang mau membantu. d) Sumber Daya Wewenang Wewenang juga merupakan sumber daya lain yang dapat mempengaruhi implementasi kebijakan publik. Kewenangan merupakan kekuasaan bagi para pelaksana dalam melaksanakan kebijakan yang sudah ditetapkan. Berdasarkan hasil wawancara dengan informan dalam hal wewenang bahwa dalam hal pengimplementasian Perbup ini wewenang yang dijalankan oleh anggota jejaring sudah sesuai dengan tugas dan kewajibannya dalam menangani korban kekerasan. Akan tetapi, jika dilihat dari Perbup Nomor 66 Tahun 2013 yang didalamnya mengamanatkan tersedianya seorang kepala dan sekretaris belum sesuai dengan kenyataannya. Selama ini tugas dan
terhadap perempuan dan anak yang dilakukan di luar Kabupaten Kulon Progo. Jika dilihat dari segi kualitasnya, kemampuan SDM P2TP2A sudah cukup baik selain itu pihak Badan PMPDPKB harus melakukan rekrutmen pegawai untuk pengadaan kepala, sekretaris hingga staf di P2TP2A agar pelaksanaan implementasi kebijakan dapat berjalan efektif. b) Sumber Daya Informasi Dalam sebuah implementasi kebijakan, sumber daya informasi menjadi faktor yang penting agar apa yang dilaksanakan sesuai dengan apa yang ditetapkan. Hal yang demikian agar para pelaksana tidak melakukan kesalahan dalam menyampaikan informasi tentang bagaimana cara mengimplementasikan kebijakan tersebut. Informasi ini penting untuk diketahui oleh orang-orang yang terlibat dalam implementasi kebijakan agar tidak adanya kesalahpahaman antara satu dengan yang lainnya dalam melaksanakan tugas. Berdasarkan wawancara dengan informan terkait Perbup Nomor 66 Tahun 2013 Tentang Pembentukkan P2TP2A bahwa dalam melakukan penanganan korban kekerasan terhadap perempuan dan anak pihak P2TP2A berkoordinasi dengan pihak jejaring melalui surat rujukan dan media telepon. Dalam memberikan pelayanan bentuknya melalui rujukanrujukan dari instansi yang memang sudah bergabung dalam jejaring penanganan korban kekerasan perempuan dan anak. Jadi, P2TP2A ini tidak berdiri sendiri tetapi bekerja sama dengan pihak jejaring penanganan korban kekerasan terhadap perempuan dan anak lintas Kabupaten dan Kecamatan Kulon Progo. Jadi dalam penyampaian informasi dengan pihak jejaring dalam berkoordinasi menangani korban kekerasan sudah dilakukan dengan baik. c) Sumber Daya Finansial Sumber daya finansial atau anggaran merupakan faktor utama yang sangat penting dalam mengimplementasikan suatu kebijakan.Agar program dalam kebijakan tersebut berjalan efektif maka dibutuhkan
182
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
perannya dalam melaksanakan tugasnya sebagai pelaksana sebuah kebijakan.Disposisi disini berarti bagaimana respon dan pemahaman para pelaksana kebijakan dalam melaksanakan Peraturan Bupati Nomor 66 Tahun 2013 Tentang Pembentukkan Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan Dan Anak di Kabupaten Kulon Progo. a) Respon dan Pemahaman Impelementor Terhadap Kebijakan Para implementor sangat mendukung implementasi Perbup Nomor 66 Tahun 2013 tentang Pembentukkan P2TP2A ini.Perbup tersebut diharapkan dapat menjadi solusi dari permasalahan kasus kekerasan yang ada di Kabupaten Kulon Progo dan mampu melindungi korban terutama perempuan dan anak.Pemahaman informan sebagai implementor dari Perbup tersebut juga sangat baik yang berarti implementor sangat mengerti tujuan dan alasan dibuatnya Perbup tersebut. Hal demikian juga terlihat dimana informan sebagai aktivis di bidang perlindungan perempuan dan anak dan aktif terlibat dalam lembaga lain di bidang yang sama dalam proses perencanaan hingga lahirnya perbup tersebut sehingga pemahaman informan sangat baik menyangkut Perbup dan tujuan-tujuan yang ingin dicapai.
wewenang seorang kepala dan sekretaris dilimpahkan kepada 2 orang staf yang ada di P2TP2A tersebut.Sehingga beban kerja yang dijalankan oleh 2 orang staf tidak sesuai dengan wewenangnya. Dalam implementasi Perbup ini belum berjalan optimal. Jika dalam hal wewenang tidak sesuai dengan yang sudah ditetapkan, maka keefektifan suatu implementasi kebijakan akan mengalami hambatan. Sehingga persoalan ini menjadi perhatian bagi pemerintah kabupaten kulon progo untuk mencarikan solusi yang tepat dari segi SDM pula, agar terciptanya keseimbangan beban kerja di antara pelaksana kebijakan tersebut. e) Sumber Daya Sarana Dan Prasarana Sarana dan prasarana dalam sumber daya merupakan aspek yang sangat penting karena untuk menunjang suatu keberhasilan implementasi agar apa yang menjadi tujuan dapat dirasakan dampaknya oleh kelompok sasaran. Sarana dan prasarana adalah semua fasilitas yang tersedia berupa bangunan serta perlengkapan lainnya yang tersedia demi terselenggaranya pelaksanaan suatu kebijakan dan dipergunakan untuk mendukung secara langsung tugas-tugas yang ditetapkan. Gedung P2TP2A adalah rumah dinasbupati yang statusnya pinjam pakai oleh pemerintah kulon progo untuk digunakan dalam melayani para korban kekerasan dan hal itu dirasa belum layak untuk digunakan oleh para korban kekerasan. Seluruh fasilitas didalamnya termasuk alat-alat kantor, tempat tidur, mesin cuci, dll merupakan bantuan dari BPPM (Badan Pemberdayaan Perempuan dan Masyarakat) Provinsi DIY. Akan tetapi, sarana dan prasarana yang ada belum cukup memadai sehingga menjadi kendala bagi para penyelenggara maupun pelaksana dalam pengimplementasian perbup pembentukan P2TP2A Kabupaten Kulon Progo ini. C. Disposisi Disposisi merupakan kecenderungan sikap yang dimiliki oleh para implementor dalam melaksanakan suatu kebijakan.Hal ini sangat penting agar implementor memahami
D. Struktur Birokrasi Dalam suatu implementasi kebijakan publik tidak dapat dilepaskan dari suatu struktur birokrasi.Struktur birokrasi merupakan bentuk organisasi dari pelaksana kebijakan. Struktur birokrasi yang baik akan mendukung keberhasilan implementasi kebijakan. Dalam penelitian ini peneliti melihat struktur birokrasi pelaksana kebijakan dari Standard Operational Procedures (SOP) dan koordinasi yang terjalin di antara anggota jejaring. a) Standard Operational Procedures (SOP) Berdasarkan hasil wawancara dan data sekunder yang didapat oleh peneliti selama penelitian, bahwa masing-masing badan pelaksana dalam penelitian ini
183
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
terkait dengan tugasnya memberikan saran dan pertimbangan kepada Bupati dalam penyusunan kebijakan dan upaya perlindungan perempuan dan anak, membantu Bupati dalam mengoordinasikan pelaksanaan upaya perlindungan perempuan dan anak dan kemudian melaporkan hasil pelaksanaan tugas kepada Bupati. Hal tersebut perlu dilakukan agar tidak adanya tumpang tindih tugas dan kewajiban sesama anggota jejaring lainnya. Sehingga jika dilihat disini, dalam koordinasi jejaring penanganan korban kekerasan perempuan dan anak di Kabupaten Kulon Progo belum optimal, sebab sifatnya masih kelembagaan dimana dalam mengadakan pertemuan terkadang sumber daya manusia yang ada selalu berganti-ganti sehingga koordinasi jejaring belum maksimal.Akan tetapi, jika dilihat dari tugas dan fungsinya memang masingmasing anggota di dalam jejaring ini sudah melaksanakan tugasnya dengan baik, tinggal bagaimana menatap ke media komunikasinya.Dengan lahirnya Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A) sangat membantu para anggota jejaring dalam menangani korban kekerasan terutama dengan adanya P2TP2A ini sebagai salah satu lembaga yang melayani korban kekerasan berbasis gender. P2TP2A tidak kepada ranah korban saja, akan tetapi kepada masyarakat umum dengan memberikan sosialisasi. Meskipun dari segi komunikasi, koordinasi anggota jejaring ini masih kurang akan tetapi sangat mendukung sekali dalam pelaksanaan P2TP2A ini. Sehingga peran dari pihak jejaring disini sangat mendukung dengan keberadaan P2TP2A, dimana P2TP2A merupakan representatif dari negara, pemerintahan yang peduli terhadap isu kekerasan yang berbasis gender.
memiliki SOP masing-masing. Masingmasing SOP tersebut akan dijadikan petunjuk pelaksanaan kebijakan. P2TP2A Kabupaten Kulon Progo telah memiliki SOP berdasarkan Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia Nomor 05 Tahun 2010 Tentang Panduan Pembentukan Dan Pengembangan Pusat Pelayanan Terpadu. SOP yang dimiliki berupa alur-alur penanganan kasus yang dilakukan oleh tiaptiap pelaksana. Dalam alur tersebut para pelaksana harus merahasiakan keberadaan korban dan tidak memperbolehkan pihak lain diluar tim jejaring untuk datang mengunjungi korban selama korban berada dalam shelter yang disediakan. SOP yang dimiliki P2TP2A tergolong sederhana karena tugas P2TP2A yang hanya menyediakan layanan yang dibutuhkan oleh korban saja. b) Koordinasi dan Peran Jejaring Koordinasi merupakan faktor pendukung yang sangat penting dalam keberhasilan suatu implementasi kebijakan. Koordinasi yang buruk akan menjadi hambatan dalam pelaksanaan kebijakan sehingga tujuan dan sasaran dari kebijakan sulit dicapai. Berdasarkan wawancara yang dilakukan kepada informan diperoleh keterangan bahwa koordinasi antar anggota jejaring untuk mensukseskan pelaksanaan Perbup Nomor 66 Tahun 2013 Tentang Pembentukan P2TP2A di Kabupaten Kulon Progo dilakukan dengan cara berjejaring. Pemerintah Kabupaten Kulon Progo telah membentuk tim jejaring untuk penanganan korban kekerasan yang telah di atur dalam Keputusan Bupati Kulon Progo Nomor 23 Tahun 2012 Tentang Pembentukan Tim Jejaring Penanganan Korban Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak Tahun 2012-2015. Dalam hal melindungi dan melayani korban kekerasan, peran anggota jejaring yang solid sangat diperlukan, dimana tugas dari anggota jejaring ini melakukan penyusunan data perlindungan perempuan dan anak, peninjauan lapangan dan identifikasi permasalahan, melaksanakan koordinasi dengan pihak anggota jejaring
IV. KESIMPULAN Implementasi Peraturan Bupati Kabupaten Kulon Progo Nomor 66 Tahun 2013 Tentang Pembentukan Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak dalam Penanganan Korban Kekerasan Perempuan dan Anak Tahun 2015 belum berjalan optimal.
184
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
Jaringan yang sudah terjalin dalam penanganan korban kekerasan telah berjalan dengan baik dan sangat mendukung pelaksanaan P2TP2A ini, akan tetapi dalam pelaksanaannya sosialisasi yang pernah dilakukan oleh jejaring penanganan korban kekerasan belum mendapatkan respon yang positif dari masyarakat, meskipun sudah dilakukan kepada masyarakat di tingkat kecamatan, desa, dusun, hingga RT/RW sebab masyarakat masih menganggap isu kekerasan akan membawa konflik dilingkungan sehingga semakin tahun kasus kekerasan semakin meningkat di Kabupaten Kulon Progo. Selain itu, kendala yang paling menonjol dalam Implementasi Perbup ini adalah anggaran dan sumber daya sehingga untuk mempertahankan Kabupaten Kulon Progo sebagai Kabupaten Peduli HAM dan Kabupaten Layak Anak, pemerintah Kabupaten harus meningkatkan kualitas dan kuantitas kinerjanya dalam P2TP2A ini dan menjadikan P2TP2A Kabupaten Kulon Progo sebagai pusat layanan utama dalam penanganan korban kekerasan berbasis gender.
Buku:
DAFTAR PUSTAKA
Djannah, Fathul, et.al. 2003. Kekerasan Terhadap Istri. Yogyakarta: LKiS. Dwijowijoto, Riant N. 2003. Kebijakan Publik: Formulasi, Implementasi, dan Evaluasi. Jakarta: PT Elex Media Komputindo. Gultom, Maidin. 2012. Hukum Terhadap Perempuan.Bandung: Aditama.
Perlindungan Anak dan PT Refika
Marzuki. 1982. Metodologi Riset. Yogyakarta: PT. Hanindita Offset. Moleong, Lexy J. 2001. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Mutiarin, Dyah & Arif Zaenudin. 2014. Manajemen Birokrasi dan Kebijakan:Penelusuran Konsep dan Teori. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Purwanto. 2010. METODOLOGI PENELITIAN KUANTITATIF untuk Psikologi dan Pendidikan. Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR.
A. Saran 1. P2TP2A Kabupaten Kulon Progo dapat adil dan berkesinambungan dalam penanganan korban kekerasan terhadap perempuan dan anak. 2. Memberikan strategi sosialisasi yang menarik kepada masyarakat agar masyarakat lebih paham dengan konteks kekerasan serta lembaga penanganannya yaitu P2TP2A Kabupaten Kulon Progo. 3. Pemerintah Kabupaten Kulon Progo beserta jejaring yang ada dan semua pihak yang terlibat dalam pelaksanaan pembentukan P2TP2A diharapkan dapat mengatasi permasalahan yang dihadapi oleh P2TP2A terutama pada anggaran dan sumber daya.
Purwanto, Erwan A. & Dyah Ratih S. 2012.Implementasi Kebijakan Publik: Konsep dan Aplikasinya di Indonesia. Yogyakarta: Gava Media. Satori, Djam’an & Aan Komariah. 2012. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : Alfabeta. Suharno. 2013. Dasar-Dasar Kebijakan Publik: Kajian Proses dan Analisis Kebijakan. Yogyakarta: Ombak Sulaeman, Munandar & Siti Homzah. 2010. Kekerasan Terhadap Perempuan: Tinjauan dalam Berbagai Disiplin Ilmu & Kasus Kekerasan. Bandung: PT Refika Aditama. Suyanto, Bagong. 2010. Masalah Sosial Anak. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
185
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
Syafiie, Inu K. et al. 1999.Ilmu Administrasi Publik. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia Nomor 05 Tahun 2010 Tentang Panduan Pembentukan dan Pengembangan Pusat Pelayanan Terpadu.
Wahab, Solichin A. 2015. Analisis Kebijakan: Dari Formulasi ke Penyusunan Model-Model Implementasi Kebijakan Publik. Jakarta: Bumi Aksara.
Jurnal dan Internet : Siregar, Putri N. Perlindungan Hak Tenaga Kerja Perempuan. 2010. Ditemukan pada:www.academia.edu/8324774/DE PUTI_PERLINDUNGAN_PEREMP UAN_KEMENTERIAN_PEMBERD AYAAN_PEREMPUAN_DAN_PER LINDUNGAN_ANAK_RI. Diakses 28 Desember 2015.
Yuwono, Ismantoro D. 2015.Penerapan Hukum dalam Kasus Kekerasan Seksual Terhadap Anak.Jakarta: Pustaka Yustisia. Zuriah, Nurul. 2006. Metodologi Penelitian Sosial dan Pendidikan (TeoriAplikasi). Jakarta: PT Bumi Aksara.
www.kulonprogokab.go.id, Diakses pada 21 November 2015.
Peraturan :
www.komnasperempuan.or.id, Diakses pada 15 November 2015.
Republik Indonesia.1979. Undang-Undang Nomor 04 Tahun 1979 Tentang KesejahteraanAnak, Lembaran Negara RI Tahun 1979. No. 32.Menteri/Sekretaris Negara. Jakarta.
Kedaulatan Rakyat Online. 2015. Tinggi, KDRT dan Kekerasan Seksual di Kulonprogo. Ditemukan pada: http://krjogja.com/m/read/251882/ting gi-kdrt-dan-kekerasan-seksual-dikulonprogo.kr. Diakses 30 November 2015.
Republik Indonesia.1999. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.Lembaran Negara RI Tahun 1999, No. 165. Sekretariat Negara. Jakarta.
Republika Online. 2015. Indonesia Darurat Kekerasan pada Anak. Ditemukan pada:http://m.republika.co.id/berita/ko ran/hukum-koran/15/08/03/nshvh4indonesia-darurat-kekerasan-padaanak.Diakses 16 Oktober 2015.
Republik Indonesia.2002. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.Lembaran Negara RI Tahun 2002, No.109. Sekretariat Negara. Jakarta. Republik Indonesia.2004. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.Lembaran Negara RI Tahun 2004, No.95. Sekretariat Negara. Jakarta.
Tribunjogja.2015. Kasus Kekerasan pada Perempuan Meningkat di Kulonprogo. Ditemukan pada: http://jogja.tribunnews.com/2015/04/0 3/kasus-kekerasan-pada-perempuanmeningkat-di-kulonprogo.Diakses 15 Oktober 2015.
Kabupaten Kulon Progo.2013.Peraturan Bupati Kulon Progo Nomor 66 Tahun 2013 Tentang Pembentukan Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak.Berita Daerah Tahun 2013, No.66. Sekretaris Daerah. Kabupaten Kulon Progo.
Harianjogja. 2015. Jumlah Kasus Tergolong Tinggi, Remaja Dihimbau Lebih Waspada. Ditemukan pada: http://m.solopos.com/2015/08/04/penc abulan-di-gunungkidul-jumlah-kasustergolong-tinggi-remaja-diimbau-
186
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
lebih-waspada-629648. Diakses 17 November 2015. http://eprints.uny.ac.id/8552/3/BAB%202% 20-%2008417141005.pdf, diakses pada 4 Februari 2016. Kedaulatan Rakyat Jogja.2015. Tinggi, KDRT dan Kekerasan Seksual di Kulon Progo.Ditemukanpada: http://www.krjogja.com/web/news/rea d/251882/tinggi_kdrt_dan_kekerasan_ seksual_di_kulonprogo. Diakses 14 Mei 2016. Humas Polres Kulon Progo. 2016. Polsek Temon Tangani Kasus KDRT. Ditemukanpada:http://humaspolreskul onprogo.blogspot.co.id/2016/05/polse k-temon-tangani-kasuskdrt.html?m=1.Diakses 14 Mei 2016.
187
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
AFFIRMATIVE ACTION : STRATEGI MENINGKATKAN KETERWAKILAN PEREMPUAN PADA PEMILU LEGISLATIF 2019 Oleh : Muhammad Khozin, Dewi Amanatun Suryani, Gerry KatonMahendra Program StudiAdministrasiPublik,Fakultas Ekonomi, Ilmu Sosial dan Humaniora Universitas ‘Aisyiyah Yogyakarta Yogyakarta, Indonesia
[email protected],
[email protected],
[email protected]
Abstrak --- Keterwakilan perempuan dalam pemilu legisltif kita masih relatif rendah. Kuota 30% yang telah diamanahkan undang-undang belum dapat terpenuhi dan cenderung menurun pada Pemilu tahun 2014. Artikel ini bertujuan mengidentifikasi dan menganalisis tentang rendahnya tingkat keterwakilan perempuan pada pemilu legislatif tahun 2009 dan 2014 dan memberikan rekomendasi strategi guna meningkatkan keterwakilan perempuan pada pemilu legislatif tahun 2019. Metode yang digunakan adalah penelitian deskriptif kualitatif dengan teknik pengumpulan data menggunakan studi pustaka. Sedangkan teknik analisa yang digunakan adalah model interaktif. Berbagai referensi data menunjukkan bahwa secara kuantitas, jumlah perempuan di parlemen dari waktu ke waktu mengalami peningkatan namun tetap dibawah kuota 30% yang diharapkan. Padatahun 1999 hanya terdapat 9% representasi perempuan, tahun 2004 naik menjadi 11,3%, tahun 2009 17,9% dari total keseluruhan kursi parlemen. Namun selanjutnya pada pemilu legislatif 2014 persentase keterwakilan perempuan di parlemen justru menurun, yakni DPR 17,3 persendan DPD 25,76 persen. Berbagai kendala menyebabkan rendahnya tingkat keterwakilan perempuan diantaranya masih kuatnya budaya patriarki yang
mempengaruhi pemilih untuk memberikan preferensi kepada kandidat perempuan, rendahnya kepercayaan pemilih kepada kandidat perempuan, partai politik masih belum membuat prioritas wakil perempuan yang diinginkan, masih berlakunya praktek politik uang antar kandidat, dan tidak adanya komitmen yang serius dari organisasi masyarakat yang untuk mendorong massanya agar memilih kandidat perempuan. Oleh sebab itu perlu adanya upaya peningkatan kapasitas perempuan melalui organisasi kemasyarakatan dan pemberdayaan perempuan dengan metode rekruitmen yang jelas kepada perempuan yang akan menjadi figur publik, memperbanyak produk legislasi dan implementasi kebijakan yang ramah gender serta mempertahankan mekanisme sistem affirmative action dan Zipper system dalam pemilu legislatif Kata Kunci: Affirmative Action, Kesenjangan Gender, Keterwakilan Perempuan, Peningkatan Kapasitas, Pemberdayan Perempuan
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Melihat sejarah perjuangan bangsaIndonesia tentu saja tidak bisa dilepaskan dari peran perempuan.Perempuan pada saat itu sudah berperan aktif dalam dunia politik dan
188
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
Dari bunyi pasal-pasal tersebut diatas jelas bahwa partai politik yang pada pemilu sebelumnya tidak mampu memenuhi ambang batas suara, maka harus menyertakan syarat 30% keterwakilan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat dan juga harus menyertakan kader perempuan dalam daftar calon anggota legislatif. Dalam hal ini, pemerintah sudah membuat kebijakan khusus bagi perempuan dengan tujuan untuk menambah porsi keterlibatan perempuan dalam dunia politik.Dengan adanya kebijakan khusus dari pemerintah tersebut, diharapkan baik partai politik dan para tokoh politik dari kalangan perempuan mampu memanfaatkan akses yang sudah dijamin oleh Undang-Undang tersebut.Dengan adanya keterlibatan perempuan dalam ranah politik (pengurus partai poltik dan anggota DPR/DPD RI) diharapkan nantinya dapat merumuskan dan mengawal kebijakan-kebijakan publik yang ramah terhadap anak dan perempuan serta berkeadilan gender. Mengapa hal tersebut perlu diupayakan oleh kalangan perempuan?Perlu diketahui bahwa contoh kasus yang terjadi di Indonesia, perempuan Indonesia masih tertinggal di dalam kehidupan publik. Kesenjangan gender yang senantiasa muncul dalam indikator sektor sosial menjadi sebuah tantangan berskala nasional. Tingkat kematian ibu yang cukup tinggi yaitu 307 per 100.000 kelahiran hidup dan menjadi salah satu yang tertinggi di kalangan negara-negara ASEAN. Angka harapan hidup pada tahun 2008 adalah 71 tahun untuk perempuan dan 67 tahun untuk lakilaki.1Partisipasi perempuan di pasar tenaga kerja masih 49 persen jika dibandingkan dengan 80,2 persen laki-laki. Di antara perempuan yang bekerja di sektor pemerintahan, kurang dari 1 persennya menduduki posisi eselon atas dan keterwakilan mereka di lembaga legislatif hanya 18 persen.
menjadi saksi perjuangan dalam mencapai kemerdekaan.Sejarah mencatat bahwa pada zaman kerajaan Majapahit, terdapat seorang bernama Gayatri Rajapatni yang dikenal ahliberpolitik dan pintar mengelola kerajaan hingga mencapai puncak kejayaan. Masuk pada era kolonialisme Belanda, bangsa Indonesia juga memiliki seorang tokoh perempuan yang ahli dalam berpolitik dalam diri R.A. Kartini dan Supeni.R. A. Kartini besar berkat pemikiran-pemikiran moderatnya terutama dalam memperjuangkan emansipasi wanita dan Supeni yang terkenal berkat sepak terjangnya dikancah perpolitikan Indonesia dengan menduduki beberapa jabatan penting, diantaranya anggota DPR dan duta besar Indonesia untuk Negara lain. Contoh-contoh tersebut di atas menunjukkan bahwa sebenarnya perempuan Indonesia memiliki potensi yang luar biasa untuk dapat memperlihatkan eksistensinya di ruang publik, khususnya pada bidang politik Upaya perempuan untuk menunjukkan dan mempertahankan eksistensi dibidang politik saat ini bahkan sudah diakomodir dengan mengeluarkan kebijakan affirmative action melalui Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik dan Undang-Undang melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemlihan Umum DPR, DPRD, dan DPD. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 pada Pasal 8 Ayat (2) menyebutkan bahwa “partai politik yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara pada Pemilu sebelumnya atau partai politik baru dapat menjadi Peserta Pemilu setelah memenuhi persyaratan”. Pasal 8 Ayat (2) Poin e berbunyi “menyertakan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen) keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat”. Selanjutnya pada pasal 55 menyebutkan Daftar bakal calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 memuat paling sedikit 30% (tiga puluh persen)keterwakilan perempuan.
1
189
(BPS Sosio-Economic Survey, 2008)
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
Beberapa peraturan daerah juga dinilai tidak ramah terhadap wanita.Contohnya adalah peraturan daerah Kota Tangerang yang melarang perempuan berada diluar rumah melebihi pukul 22.00 WIB.Masalah-masalah publik diatas, yang notabene menggambarkan ketidakadilan gender dan menggambarkan kurangnya perhatian pemerintah harus mampu diperjuangkan melalui parlemen, khususnya para politisi/anggota DPR dari kalangan perempuan. Kuota 30% bagi perempuan untuk dapat dicalonkan dan duduk di parlemen harus dimanfaatkan sebaik mungkin. Namun jika kita melihat realitas yang terjadi saat ini, ruang yang diberikan oleh pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 ternyata belum mampu dimanfaatkan dengan baik oleh partai politik dan kader politik perempuan. Data menyebutkan bahwa keterwakilan perempuan pada hasil penyelenggaraan pemilihan umum legislatif tahun 2009 dan 2014 menunjukkan tren menurun. Keterwakilan perempuan pada Pemilu legislatif 2009 hanya sebesar 18,04 persen untuk DPR dan 26,52 persen untuk DPD. Selanjutnya pada pemilu legislatif 2014 lalu persentase keterwakilan perempuan di parlemen juga masih rendah dan bahkan mengalami penurunan, yakni DPR 17,3 persen dan DPD 25,76 persen. 2 Ada beberapa faktor yang menyebabkan kuota perempuan di parlemen selalu tidak mencapai batas maksimal.Diantaranya adalah ketidakseriusan partai politik mempersiapkan kader perempuan (pelengkap syarat), anggapan bahwa perempuan belum cukup cakap dalam berpolitik dan adanya anggapan bahwa selama ini politik dipandang sebagai aktifitas maskulin, berpendapat dan tindakan agresif.Ketiga karakteristik tersebut dianggap tidak ideal bagi perempuan.Dengan ungkapan lain,
perempuan dengan karakter seperti itu bukan tipe perempuan ideal.3 Mindset para politikus umumnya masih beranggapan bahwa politik dan pengambilan kebijakan merupakan domain kaum laki-laki. Tren menurun yang ditunjukkan pada penyelenggaraan pemilu tahun 2009 dan 2014 tersebut menunjukkan bahwa peran perempuan dalam bidang politik dan pengambilan kebijakan semakin terbatas.Dengan jumlah keterwakilan yang masih sangat minim tentu saja perempuan akan semakin menjadi kaum minoritas dan memiliki bargaining position yang lemah diantara kalangan pembuat kebijakan di parlemen serta semakin sulit mewujudkan dan mengawal kebijakan-kebijakan yang ramah terhadap anak dan perempuan serta bernafaskan kesetaraan gender. Berdasarkan uraian diatas, artikel ini akan membahas dan memberikan rekomendasi mengenai strategi penguatan affirmative action yang dapat dilakukan oleh berbagai stakeholders (pemerintah, partai politik, dan calon anggota DPR dari kalangan perempuan) guna meningkatkan peran, baik secara kualitas maupun kuantitas pada gelaran pemilihan umum legislatif tahun 2019 sehingga nantinya dapat memberikan kontribusi maksimal terutama dalam kebijakan-kebijakan publik yang terkait dengan isu perempuan, anak, dan kesetaraan gender. B. Rumusan Masalah Bagaimana strategi meningkatkan keterwakilan perempuan pada pemilu legislatif 2019 ? C. KajianPustaka PenelitianAndriRusta, Tengku Rita Valentina, Nicky NiaGustrianidengan 3
Atho Mudzhar, dkk. (2001). Wanita dalam Masyarakat Indonesia Akses Perbedaan dan Kesempatan. Sunan Kalijaga Press: Yogyakarta.
2
http://www.cnnindonesia.com/politik/2015082712 5633-32-74875/porsi-perempuan-di-legislatifharus-lebih-besar-di-2019/
190
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
judul ”Affirmative Action” Untuk Demokrasi Yang Berkeadilan Gender Pada Pemilu 2009. Hasil dari penelitian tersebut adalah Affirmative action digunakan untuk dasar pemberian kuota bagi perempuan di DPRdan DPRD. Namun demikian kuota bukanlah salah satu jalan dalam memperjuangkan menuju keadilan gender. Kuota dirancang hanya untuk memfasilitasi akses perempuan pada pengambilan keputusan dengan tujuan untuk mengatasi kondisi sistem pemilu Indonesia yang sangat complicated. Ketika garis start perempuan berada jauh dibelakang, kuota menjadi sangat penting agar terjadi kompetisi dan kerjasama secara fair.
yang selama ini belum mendapatkan kesempatan untuk tampil di ranah publik. Keberhasilan affirmative action tentu saja bergantung pada komitmen pihak terkait, seperti pemerintah, partai politik, dan kaum perempuan. Kebijakan affirmative action dalam kehidupan berpolitik modern dimulai dengan diadakannya Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia (10 Desember 1948) yang menyatakan tentang pentingnya kesamaan hak antara laki-laki dan perempuan dalam mendapatkan kesempatan berpolitik dan mengelola negara. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 21 sebagai berikut: a. Setiap orang berhak turut serta dalam pemerintahan negaranya, secara langsung atau melalui wakil-wakil yang dipilih dengan bebas; b. Setiap orang berhak atas kesempatan yang sama untuk diangkat dalam jabatan pemerintahan negeranya; c. Kehendak rakyat harus menjadi dasar kekuasaan pemerintah; kehendak ini harus dinyatakan dalam pemilihan umum yang dilaksanakan secara berkala dan murni, dengan hak pilih yang bersifat umum dan sederajat, dengan pemungutan suara secara rahasia ataupun dengan prosedur lain yang menjamin kebebasan memberikan suara.
D. KerangkaTeoritik 1. Affirmative Action Affirmative action (tindakan afirmatif) adalah kebijakan yang diambil yang bertujuan agar kelompok/golongan tertentu (gender ataupun profesi) memperoleh peluang yang setara dengan kelompok/golongan lain dalam bidang yang sama. Bisa juga diartikan sebagai kebijakan yang memberi keistimewaan pada kelompok tertentu (hukumonline.com). Affirmative action disini dapat dijadikan sebagai alat penting untuk mempertahankan minimal 30 % perempuan agar tetap berada pada tingkat pembuatan keputusan sehingga bisa meminimalisir aturan- aturan yang tidak sah untuk mencapai kesetaraan gender.4
Selain itu, Internasional Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yaitu Konvensi Internasional menjamin hak-hak politik wanitajuga menitipkan pesansebagaimana dapat dilihat dalam Pasal 7 dan 8 :
Affirmative action merupakan cara pandang yang dilakukan oleh suatu Negara untuk menjamin hak-hak warga Negaranya
a. Pasal 7 menyebutkan hak perempuan dalam kehidupan politik dan kemasyarakatan negaranya, khususnya menjamin bagi perempuan atas dasar persamaan hak; b. Pasal 8 menyebutkan hak perempuan untuk mendapat kesempatan mewakili pemerintah mereka pada tingkat
4
Migirou, Kalliope. (1999). Menuju Implementasi Efektif Mengenal Legislasi dan Hak Azazi Perempuan Internasional.dalam: Perempuan Parlemen Bukan Sekedar Jumlah, Bukan Sekedar Hiasan (terjemahan). Jakarta: YJP dan IDEA.
191
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
menyatakan partai politik harus menyertakan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen) keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat. Pada bagian ketiga pasal 15 yang memuat syarat pendaftaran partai politik sebagai calon peserta pemilu menyebutkan pada poin (d) bahwa partai politik harus membuat surat keterangan dari pengurus pusat partai politik tentang penyertaan keterwakilan perempuan sekurangkurangnya 30% (tiga puluh persen) sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Kemudian pada pasal pasal 55 yang mengatur pemilihan umum DPRD menyebutkan Daftar bakal calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 memuat paling sedikit 30% (tiga puluh persen) keterwakilan perempuan.Dari beberapa Affirmative Action yang disediakan oleh pemerintah, sudah saatnya bagi seluruh stakeholdersuntuk bersamasamamemanfaatkannya dengan baik.Dalam hal ini pemerintah harus mampu konsisten untuk tetap menyediakan dan mengawal akses bagi perempuan melalui kebijakan-kebijakan dan peraturan-peraturan yang pro perempuan. Partai politik juga harus turut serta membangun iklim demokrasi yang ramah terhadap perempuan, memaksimalkan potensi perempuan dengan melaksanakan sistem rekrutmen yang professional dengan berlandaskan kemampuan, dan kapabilitas tanpa membedakan latar belakang suku, agama, budaya, dan jenis kelamin. Dengan menerapkan sistem yang professional berbasis skill diharapkan akan lahir kader-kader partai politik yang berkualitas dan mampu memajukan bangsa dan Negara melalui ide dan gagasan yang nantinya dituangkan dalam suatu kebijakan publik. Bagi para tokoh perempuan, baik akademisi, ilmuwan, aktivis diharapkan untuk dapat memanfaatkan ruang yang sudah diberikan oleh pemerintah melalui
internasional dan berpartisipasi dalam pekerjaan organisasi-organisasi internasional. Dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, telah diakui dan dilindunginya hak-hak perempuan, antara lain sebagai berikut: a. b. c. d. e. f. g. h.
Politik dan pemerintahan; Kewarganegaraan; Ketenagakerjaan; Pendidikan dan pengajaran; Kesehatan; Ketenagakerjaan; Melakukan perbuatan hukum, dan Dalam ikatan/putusnya perkawinan.
Dalam konteks Indonesia, affirmative action yang saat ini digunakan dalam menjamin keterlibatan perempuan dalam ruang publik, khususnya dalam bidang politik dapat dilihat dalam UndangUndang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dapat dilihat pada Pasal 46 yang berbunyi sistem pemilihan umum, kepartaian, pemilihan anggota badan legislatif, dan sistem pengangkatan di bidang eksekutif, yudikatif, harus menjamin keterwakilan wanita sesuai persyaratan yang ditentukan. Selanjutnya penyediaan ruang untuk berpolitik bagi kaum perempuan juga dapat dilihat pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik, tepatnya pada pasal 2 ayat 2 yang berbunyi Pendirian dan pembentukan Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyertakan 30% (tiga puluh perseratus)keterwakilan perempuan.Kemudian pada pasal 5 juga berbunyi kepengurusan Partai Politik tingkat pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disusun dengan menyertakan paling sedikit 30% (tiga puluh perseratus)keterwakilan perempuan. Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum DPR, DPRD, dan DPD juga mengakomodir keterlibatan perempuan.Pada Pasal 8 Ayat (2) Poin (e)
192
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
Undang-Undang dan ikut ambil bagian dalam gelaran pemilu sebagai pengurus partai dan calon anggota legislatif. Dengan keterlibatan aktif kaum perempuan dalam berpolitik tentu saja akan membuat bargaining position perempuan dalam proses pembuatan kebijakan akan semakin kuat. Diharapkan kaum perempuan mampu berkontribusi nyata dalam merancang dan menghasilkan kebijakan publik yang ramah terhadap anak, perempuan, dan berkeadilan gender.Hal ini menjadi poin penting karena kita ketahui bersama, saat ini masih terdapat kebijakan-kebijakan publik yang belum mencerminkan kesetaraan gender.
bagaimana agar tujuan tersebut dapat dicapai.7 Dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa strategi merupakan suatu rencana yang disusun oleh pembuat kebijakan untuk mencapai tujuan yang diinginkan.Rencana tersebut meliputi tujuan, kebijakan, dan tindakan yang harus dilakukan oleh suatu organisasi dalam mempertahankan eksistensi, mendapatkan dukungan dan memenangkan persaingan. 3. Demokrasi, Pemilu Representasi Perempuan
dan
Dalam sebuah negara yang menganut sistem demokrasipemegang kekuasaan tertinggi adalah rakyat. Dalam sistem demokrasi rakyat memiliki posisi tawar yang tinggi dalam pengambilan sebuah kebijakan publik.Segala kebijakan mengenai putusan pemerintah haruslah dirundingkan terlebih dahulu dengan rakyat yang direpresentasikan dalam sebuah lembaga perwakilan. Lembaga perwakilan adalah lembaga demokrasi berisikan wakil – wakil rakyat dari berbagai latar belakang dan kepentingan. Untuk bisa terbentuk lembaga perwakilan tersebut, rakyat menitipkan kekuasaannya secara penuh melalui sebuah mekanisme politik. Menurut Henry B. Mayomenyatakanbahwademokrasi sebagai sistem politik adalah di mana kebijaksanaan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan politi.8Di Indonesia mekanisme ini lebih familiar kita kenal dengan “pemilihan umum”.
2. Strategi Menurut David Hunger dan Thomas L. Wheelen, strategi adalah serangkaian keputusan dan tindakan manajerial yang menentukan kinerja perusahaan dalam jangka panjang.Manajemen strategi meliputi pengamatan lingkungan, perumusan strategi (perencanaan strategis atau perencanaan jangka panjang). Implementasi strategi dan evaluasiserta pengendalian.5 Quinn mengartikan strategi adalah suatu bentuk atau rencana yang mengintegrasikan tujuan-tujuan utama, kebijakan-kebijakan dan rangkaian tindakan dalam suatu organisasi menjadi 6 suatu kesatuan yang utuh. Marrusmendefinisikan strategi sebagai suatu proses penentuan rencana para pemimpin puncak yang berfokus pada tujuan jangka panjang organisasi, disertai penyusunan suatu cara atau upaya
5
Hunger dan Wheelen. (2003). Manajemen Strategi. Yogyakarta: Andi. Idrus, Muhammad (2009). Metode Penelitian Ilmu Sosial. Erlangga: Yogyakarta. 6 Cameron, K.S. and Quinn, R.E. (1999, 2006), Diagnosing and Changing Organizational Culture: Based on the Competing Values Framework. Reading, MA: Addison-Wesley.
7
Stephanie, K. Marrus. (2002) .Desain Penelitian Manajemen Strategik.Jakarta: Rajawali Press. 8 Henry B. Mayo. (1996). An Introduction to Democratic Theory. Oxford University Press. New York.
193
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
Pemilihan umum menurut Undangundang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum DPR, DPRD, dan DPD Pemilihan Umum adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Pemilihan Umum menurut AlIman 9 adalah memilih seorang penguasa, pejabat atau lainnya dengan jalan menuliskan nama yang dipilih dalam secarik kertas atau dengan memberikan suaranya dalam pemilihan.Dalam sistem pemerintahan demokrasi Pemilu adalah bentuk partisipasi rakyat pada politik untuk memilih wakil mereka pada lembaga– lembaga perwakilan seperti DPR, DPRD, dan DPD secara langsung yang dilaksanakan secara jujur, adil, dan transparan. Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pemilihan umum merupakan proses menentukan pilihan yang dilakukan oleh suatu masyarakat dalam suatu Negara untuk memilih wakil dalam parlemen, penguasa ataupun pejabat politik untuk memimpin dan mengelola sistem pemerintahan Negara. Dari mekanisme pemilihan umum tersebut diharapkan dapat terpilih wakilwakil rakyat yang dapat mengawal amanat sistem demokrasi. Pemilu yang selalu dianggap sebagai salah satu perwujudandemokrasi seharusnyadapat menghasilkan lembaga perwakilan yang benar–benar dapat merepresentasikan rakyat yang diwakilinya. Pemilu seharusnya ibarat teknik pengambilan sample dalam sebuah penelitian. Sebagai sebuah metode, teknik yang dilakukan harusnya dapat menghasilkan sampel yang dapat mewakili populasinya. Baik secara jumlah, jenis maupun karakternya. Sayangnya sistem pemilu kita belum dapat
seideal teknik pengambilan sample penelitian tersebut. Sebagai bagian dari sebuah sistem politik seringkali Pemilu sarat dengan kepentingan, dan bahkan sering melukai semangat demokrasi yang seharusnya dikedepankan. Logika sederhana tidak representatifnyalembaga perwakilan kita adalah tidak berimbangnyajumlah keterwakilan perempuan dalam lembaga legislasi. Jumlah penduduk Indonesia yang notabene lebih banyak perempuan tidak tergambarkan dalam jumlah keanggotaan dewan legislasi. Hal ini sungguh ironi ketika produk legislasi tersebut akan banyak mempengaruhi mereka dan kadang akan jauh dari keberpihakan kepada mereka kaum perempuan. Pemilu tahun 2004 menjadi tonggak harapan masyarakat Indonesia untuk dapat merubah posisi perempuan dalam konstitusi di Indonesia. Namun sayangnya tidak ada sebuah jawaban yang memuaskan. Bahkan Menurut Susan Blackburn, feminis dan analisis politik dari Monash Universitiy Australia mengatakan sebenarnya sejarah perempuan dan politik di Indonesia selalu diwarnai dengan kejutan. 10 Karena sejak pasca kemerdekaan perempuan Indonesia telah mencapai tingkatan-tingkatan politik yang jauh lebih maju dibandingkan dengan negara lain. Sejak tahun 1945 hak perempuan untuk memilih telah diakui, posisi perempuan dalam politik berlangsung secara fluktuatif sehingga saat- saat terakhir menjelang pemilu 2004. Menurut Blackburn, berubahnya status perempuan tersebut disebabkan karena proses demokrasi di Indonesia tidak melalui cara-cara bertahap (gradual) tetapi melalui lompatan - lompatan (leaps). 10
Susan Blackburn. ”Gradualism Versus Democratic Leaps: Political Representation of Women In Australia and Indonesia”, makalah untuk biannual Symposium on AustraliaIndonesia: Challenges in Bilateral Relations, dalam jurnal Perempuan edisi 34 tahun 2004 hal 94.
9
Abu Nashr Muhammad Al-Iman. (2004). Membongkar Dosa-dosa Pemilu. Prisma Media : Jakarta
194
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
kualitatif. 12 Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif.Kutha menjelaskan, metode deskriptif analisis dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta yang kemudian disusul dengan analisis, tidak semata-mata menguraikan, melainkan juga memberikan pemahaman dan penjelasan secukupnya. Metode deskriptif kualitatif akan berfokus pada pencarian data, pengumpulan data, analisis data, dan menyimpulkan data. 13 Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan teknik studi pustaka.Sugiyono menyatakan bahwa hasil penelitian juga akan semakin kredibel apabila didukung foto-foto atau karya tulis akademik dan seni yang telah tersedia 14 Berdasarkan pernyataan tersebut, teknik studi pustaka mampu memperkuat hasil penelitian. Teknik analisis data dalam penelitian ini merujuk pada teori yang dikemukakan oleh Huberman dan Miles dalam Idrus.Huberman dan Miles mengajukan model analisis data yang disebut dengan model interaktif. Model interaktif terdiri dari tiga hal utama, yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikankesimpulan/verifikasi. 15 Pada tahapan awal, penulis menyusun dan mengolah data, kemudian mengklasifikasikannya bedasarkan makna dan penggunaannya.Setelah itu data disajikan dan dianalisis hingga mendapatkan kesimpulan.
Setiap lompatan ”demokrasi” menghasilkan visi-visi politik negara yang berbeda, malahan terkadang sangat dramatis melihat persoalan perempuan. Karenanya, sebelum sistem politik diperkuat dengan konstitusi dan aturan hukum yang berpihak pada perempuan, dapat dipastikan tidak pernah ada pembangunan nasib perempuan yang bersifat berkesinambungan. Keberadaan perempuan dalam parlemen akan sangat mempengaruhi kebijakan pembangunan terhadap kaumnya. Sebab perempuan di Indonesia dalam hal ini dapat dikatakan sebagai individu dan kelompok yang tersubordinasi/terdiskriminasikan dalam mendapatkan keadilan maupun kesetaraan dibandingkan laki-laki.11 Memang dari segi sosiologis, negara Indonesia sebagian besar suku dan budayanya merupakan penganut sistem patriarkhis. Sehingga hal ini mengalokasikan peranan wanita hanyalah sebagai pendukung dari sistem yang ada, atau sering dikatakan hanya berperan pada sektor domestik dalam kehidupan bermasyarakat. Perubahan harus dilakukan, ketentuan kuota 30% harus diwujudkan. Pengalaman Pemilu tahun 2004 cukup dijadikan sejarah awal akan dibukanya kran penghargaan kepada perempuan. Bukan sesuatu yang harus diulang. Bangsa Indonesia harus mampu menunjukkan penghormatannya kepada kaum perempuan dengan memberikan kesempatan kepada Perempuan untuk dapat duduk mewakili kaumnya dan memperjuangkan hak – haknya dalam pelaksanaan pembangunan.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN Pemilu merupakan demokrasi rakyat lima tahunan untuk memilih presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat baik pusat
II. METODE PENELITIAN A. Paradigma Penelitian Secara umum, paradigma penelitian diklasifikasikan dalam dua kelompok yaitu penelitian kuantitatif dan penelitian
12
Indriantoro dan Supomo.(1999). Metodologi Penelitian Bisnis untuk Akuntansi dan Manajemen. Edisi Pertama. BPFE Yogyakarta: Yogyakarta. 13 Ratna, Nyoman Kutha. (2010). Metodologi Penelitian: Kajian Budaya dan Ilmu Sosial Humaniora Pada Umumnya. Pustaka Pelajar: Yogyakarta. 14 Sugiyono.(2005). Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta. 15 Idrus, Muhammad (2009). Metode Penelitian Ilmu Sosial. Erlangga: Yogyakarta.
11
Ida Novianti, “Subordinasi Peran Sosial Perempuan (Analisis Terhadap Cerpen ‘Laila’ karya Putu Wijaya,” Jurnal Studi Gender dan Anak YINYANG vol.5, no. 2 (2010): 286.
195
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
partai politik, serta kurangnya sumber daya.16 Euforia reformasi menjadi era baru yang menjebol demokrasi semu selama orde baru berlangsung. Reformasi pada akhirnya membuka banyak semangat sosial dalam segala lini kehidupan bermasyarakat, seperti adanya semangat kesetaraan dan keadilan dengan pandangan yang lebih bebas dan tidak terkekang.17 Kesetaraan dan keadilan merupakan suatu hak yang dimiliki masyarakat secara individu maupun kelompoknya masingmasing.Maka dari itu, tidak terkecuali individu maupun kelompok yang kiranya tersubordinasi memanfaatkan semangat demokrasi untuk kehidupan yang lebih baik, seperti halnya perempuan. Munculnya semangat perempuan masuk parlemen pada akhirnya menjadi suatu perhatian khusus bagi negara demokratis khususnya Indonesia.Hal tersebut ditunjukkan dengan adanya kebijakan affirmative action sebagai pencantuman kuota perempuan dalam parlemen.Kuota tersebut ditargetkan mencapai 30% sebagai kuantitas yang dikatakan representatif bagi perempuan.18 Secara kuantitas, jumlah perempuan di parlemen pada masa reformasi dapat dikatakan lebihbanyakdibanding pemilupemilu sebelumnya di zaman Orde Baru. Hal ini dapat dibuktikan dengan data meningkatnya persentase jumlah perempuan dari waktu ke waktu sesudah reformasi , yakni tahun 1999 yang hanya terdapat 9% representasi perempuan, tahun 2004 naik menjadi 11,3%, tahun 2009 17,9% dari total keseluruhan kursi
maupun daerah. Untuk pemilihan anggota dewan, ajang pesta rakyat tersebut menjadi medan “pertarungan” antara para calon untuk mendapatkan kursi kekuasaan. Masing-masing calon akan berusaha untuk mendapatkan suara sebanyak mungkin agar dapat terpilih. Unsur keterpilihan calon wakil rakyat ditentukan oleh berbagai faktor, diantaranya aturan partai dan sejauhmana calon tersebut dikenal oleh pemilihnya. Dalam dunia politik kekuatan uang juga menjadi salah satu faktor kesuksesan memenangkan pertaruangan meski tidak/semua berhasil semata-mata karena faktor uang. Dunia politik sering diidentikkan dengan dunia maskulin yang memungkinkan orang untuk saling jegal dan menggunakan segala cara untuk mendapatkan tujuan. Politik itu kejam atau politik itu keras masih banyak dirasakan oleh kaum perempuan sehingga untuk mencalonkan diri sebagai wakil rakyat memerlukan pertimbangan lebih dibanding laki-laki. Faktor keluarga juga turut mempengaruhi pilihan perempuan untuk bersedia maju sebagai wakil rakyat.Budaya patriarkhi masih kental mewarnai cara pandang terhadap posisi perempuan. Kedudukan perempuan masih dianggap kelas dua. Kondisi ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Negara-negara Asia Tenggara seperti Malaysia misalnya,masih menempatkan perempuan dalam posisi termarjinalkansecara politik. Wan Azizah, tokoh politik perempuan Malaysia,menyebutkan ada lima kendala perempuan berperan serta aktifdalam politik, yaitu diskriminasi subliminal terhadap perempuan,kendala waktu, adanya anggapan bahwa “tempat perempuanadalah di rumah”, sikap apatis bawaan dan keenderunganmenghindari
16
Wan Azizah, “Perempuan dalam Politik; Refl eksi dari Malaysia”, http://www. idea.int/publications/wip/upload/copyright-prefacetableofcontents.pdf, diakses tanggal 29 Maret 2009) 17 Kacung Marijan, Sistem Politik Indonesia: Konsolidasi Demokrasi Pasca Orde Baru (Jakarta: Kecana Prenada Media Group, 2010), 12. 18 Wahidah Zein Siregar, “Parliamentary Representation of Woman in Indonesia: Struggle for A Quota,” Asian Journal of Woman’s Studies (AJWS) vol. 11, no. 3 (2005): 37.
196
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
parlemen, khususnya DPR RI. 19 Namun selanjutnya pada pemilu legislatif 2014 lalu persentase keterwakilan perempuan di parlemen justru mengalami penurunan, yakni DPR 17,3 persen dan DPD 25,76 persen. Kecenderungan peningkatan demikian, memang dikatakan sebagai suatu kabar baik bagi perjuangan perempuan dalam mencapai kesetaraan, walau memang persentase jumlah yang ada masih jauh dibawah standar komposisi kuota yakni 30% (dan bahkan pada Pemilu 2014 menurun). Namun ada juga pernyataan, masih kurangnya perwakilan perempuan dari standar komposisi tersebut juga dapat mengindikasikan lambannya kemajuan yang diperjuangkan oleh perempuan untuk berperan secara seimbang dengan laki-laki. Perempuan Parlemen dapat dikatakan menjadi tolak ukur bagaimana keadilan dan kesetaraan gender dapat diperjuangkan. Posisi strategis, wewenang yang dimiliki, dan ruang yang lebih luas menjadikan suatu motivasi bahwa perempuan parlemen adalah pionir bagi perempuan-perempuan di luar parlemen (dalam masyarakat). Namun adanya fakta buruk akan perempuan di parlemen dapat membuat masyarakat menjadi acuh kembali akan representasi perempuan di parlemen tersebut. Fakta-fakta yang disebutkan disini adalah dimana adanya perempuan parlemen yang melakukan tindakan korupsi, pecitraan semu dan kurangnya partisipasi aktif dalam mendukung kesejahteraan masyarakat. Selain isu pencitraan, tidak dapat dipungkiri politik uang juga sudah menjadi rahasia umum. Calon anggota legislatif yakin dengan uang suara rakyat bisa dibeli. Pemantauan Indonesian Corruption Watch (ICW) di 15 provinsi (Banten, Riau, Bengkulu, Sumatera Barat, Sumatera
Utara, Aceh, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Kalimantan Barat, Jawa Timur, DKI Jakarta, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Timur, dan Nusa Tenggara Barat), menggambarkan pelanggaran politik uang dalam Pemilu Legislatif 2014. Pemantauan yang dilakukan sejak 16 Maret 2014 terhitung sejak kampanye terbuka hingga hari-H pencoblosan 9 April 2014, ditemukan sebanyak 313 kasus pelanggaran. Provinsi Banten menduduki urutan pertama dengan 36 pelanggaran politik uang. Riau dan Bengkulu menyusul dengan jumlah yang sama, yaitu 33 kasus, diikuti Sumatera Barat dengan 30 kasus, dan Sumatera Utara dengan 29 kasus. Sejumlah kasus yang berhasil ditemukan, pemberian uang menempati posisi pertama dengan 104 kasus, pemberian barang sebanyak 128 kasus, pemberian jasa 27 kasus, dan penggunaan sumber daya negara sebanyak 54 kasus. Berdasarkan besaran jumlah uang, terdapat 28 kasus dengan nilai Rp26.000 hingga Rp50.000. Besaran uang yang diberikan antara Rp5.000 hingga Rp25.000. 20 Hasil pemantauan di Kota Semarang menunjukan politik uang ini banyak dilakukan oleh calon anggota legislatif (caleg) laki-laki yang memiliki modal lebih banyak dibandingkan caleg perempuan. Caleg laki-laki lebih agresif dalam mengumpulkan suara dengan model politik uang. Sementara caleg perempuan juga melakukan hal yang sama namun porsinya kecil dan sebagian kecil yang berani menggunakan uang, khususnya caleg perempuan yang bermodal. Beberapa caleg perempuan menggunakan sembilan bahan pokok (sembako), makanan olahan, dan cinderamata dalam menggaet suara. A. Upaya Strategis Mewujudkan Affirmative Action Penyebab kuatnya budaya patriarki yang mempengaruhi pemilih untuk memberikan preferensi kepada kandidat perempuan dikarenakan kandidat perempuan dianggap tidak mampu
19
Wahidah Zein Siregar, “Representasi Perempuan di DPR, DPD, MPR, dan DPRD 2009-2014: Komposisi, Peran dan Tantangan Perempuan Parlemen,” Jurnal Perempuan vol. 18 no.4 (2013): 29.
20
197
Indra Kertati, Riptek Vol. 8, No. 1, Tahun 2014.
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
membawa aspirasi rakyat, kinerja kandidat perempuan dinilai buruk oleh orang-orang, partai politik masih belum membuat prioritas wakil perempuan yang diinginkan, persaingan antara kandidat politik dengan menggunakan uang yang tidak seimbang, dan organisasi massa tidak serius mendorong massa untuk memilih kandidat perempuan. Ini adalah pelajaran penting untuk pemilu mendatang. Kuncinya adalah perempuan harus berkinerja yang baik, jujur, bertanggung jawab dan dapat dipercaya sebagai parlemen. 21 Politik pemberdayaan perempuan bukanlah sesuatu yang dilakukan hanya dengan membuka jalan atau ruang publik begitu saja terhadap perempuan.Perlu adanya strategi yang komperensif mulai dari hulu hingga ke hilir kepada perempuan.22 Hulu yang patut dibentuk untuk memberdayakan perempuan pada dasarnya dimulai dari metode rekruitmen yang jelas kepada perempuan yang akan menjadi figur publik, bekerjasama dengan basis dukungannya sehingga dapat pola hubungan timbal balik yang membangun, hingga pembentukan lingkungan yang ramah gender sebagai bekal perspektif perempuan. Sedangkan hilir yang dimaksudkan adalah menciptakan suatu produk-produk legislasi dan implementasi kebijakan yang ramah gender sehingga tidak ada ketimpangan hukum antara perempuan dengan laki-laki sebagai warga negara. Melalui pemberdayaan hulu dan hilir perempuan parlemen tersebut, bisa berimplikasi pada peningkatan kapabilitias perempuan dalam parlemen yang mampu setara dalam politik maskulin yang eksis saat ini.Hal itu juga berarti pada adanya peningkatan partisipasi aktif perempuan dalam pembangunan negara.
Sebagaimana pesan yang pernah disampaikan dalam Beijing Platform bahwa tanpa partisipasi aktif perempuan dan melibatkan perspektif perempuan dalam setiap tingkatan pengambilan kebijakan, tujuan dari kesetaraan, pembangunan dan perdamaian tidak akan bisa tercapai.23 Undang Undang RI Nomor 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi PBB tentang Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (disingkat sebagai Konvensi Wanita). Dengan meratifikasi Konvensi PBB dimaksud, maka segala bentuk diskriminasi yang didasarkan pada perbedaan jenis kelamin harus dihapuskan. Oleh karena itu, dalam diri setiap perempuan mempunyai hak-hak khusus yang berkaitan dengan hak asasi manusia dan diakui serta dilindungi oleh undangundang. Di dalam undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, telah diakui dan dilindunginya hak-hak perempuan, yaitu antara lain hak-hak sebagai berikut : a. Politik dan pemerintahan; b. Kewarganegaraan; c. Ketenagakerjaan; d. Pendidikan dan pengajaran; e. Kesehatan; f. Ketenagakerjaan; g. Melakukan perbuatan hukum, dan h. Dalam ikatan/putusnya perkawinan. Oleh sebab itu, khususnya di dunia politik perempuan harus diberi kesempatan yang sama dengan laki-laki untuk menduduki posisi dalam partai politik maupun pemerintahan. Maka penting untuk memberikan perlindungan terhadap hak-hak perempuan di bidang politik, baik yang meliputi hak berpartisipasi dalam pemerintahan dengan ikut serta dalam perumusan kebijakan pemerintah dan pelaksanaan kebijakan, hak untuk dipilih
21
ibid Nur Iman Subono, “Partisipasi Perempuan, Politik Elektoral dan Kuota: Kuantitas, Kualitas, Kesetaraan?,” Jurnal Perempuan vol. 18, no. 4 (2013): 56. 22
23
United Nations Development Program (UNDP), Human Development Report 1993, New York: UNDP.
198
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
bersih serta berwibawa. Hal ini dapat disampaikan baik secara lisan maupun tulisan. Upaya dapat dilakukan secara lisan maupun tertulis kepada wakil rakyat yang duduk di pemerintahan, lembaga-lembaga pemerintah, LSM, bahkan dengan kemajuan teknogi masyarakat bisa menyampiakannya melalui SMS (short massage service). Pasal.8. Hak perempuan untuk mendapat kesempatan mewakili pemerintah mereka pada tingkat internasional dan berpartisipasi dalam pekerjaan organisasi-organisasi internasional. Sedangkan dasar hukum hak-hak politik perempuan tersebut dalam hukum nasional diatur di dalam UU. Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 46 yang mengamanatkan sebagai berikut : “sistem pemilihan umum, kepartaian, pemilihan anggota badan legislatif, dan sistem pengangkatan di bidang eksekutif, yudikatif, harus menjamin keterwakilan wanita sesuai persyaratan yang ditentukan”.Dengan demikian, jika terjadi perbedaan penghargaan/kedudukan terhadap pria dengan wanita dalam suatu pemerintahan, bukanlah disebabkan karena jenis kelaminnya tetapi karena adanya perbedaan pada prestasi ataupun kemampuan yang dicapai.Persamaan kedudukan laki-laki dan perempuan khususnya dibidang pemerintahan dan hukum sebenarnya sudah diatur UUD’45 dalam Pasal 27 ayat (1), yang mengamanatkan bahwa; “Segala warganegara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Selanjutnya UU No 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat mengatur tentang keterwakilan perempuan dalam kepengurusan Parpol peserta pemilu sebagaimana disebutkan dalam pasal 8 huruf e. “menyertakan sekurang-
dan memilih yang bebas untuk menentukan wakil rakyat di pemerintahan, maupun hak untuk ambil bagian dalam organisasi-organisasi pemerintah maupun non-pemerintah yang berkaitan dengan kehidupan pemerintah dan politik negara. Dasar hukum atas hak-hak di bidang politik tersebut di atas dapat ditemukan dalam Pasal 21 DUHAM Universal Declaration of Human Rights /Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (1947), Internasional Covenant on Civil and Political Rights / ICCPR yaitu Konvensi Internasional tentang Hak-Hak Politik Wanita; butir 1 dan 2, Pasal 25 ICCPR, dan dasar hukum yang lebih khusus dapat ditemukan dalam Pasal 7 dan 8 : Pasal.7. Hak perempuan dalam kehidupan politik dan kemasyarakatan negaranya, khususnya menjamin bagi perempuan atas dasar persamaan, hak. a. untuk memilih dan dipilih; b. untuk berpartisipasi dalam perumusan kebijakan pemerintah dan implementasinya; c. untuk memegang jabatan dalam pemerintahan dan melaksanakan segala fungsi pemerintahan di segala tingkat; d. berpartispasi dalam organisasiorganisasi dan perkumpulanperkumpulan non pemerintah yang berhubungan dengan kehidupan masyarakat dan politik negara. Ad. Hak untuk memilih dan dipilih Hak politik dalam keikutsertaan dalam Pemilu baik sebagai calon yang akan ikut dipilih ataupun sebagai pemilih. Hak ini harus sesuai dengan hati nurani, bukan karena tekanan atau di bawah ancaman. Ad. Hak mengajukan pendapat Melalui wakil-wakilnya baik di DPD, DPR maupun DPRD masyarakat dapat berpartisipasi dalam pemerintahan, baik itu berbentuk usulan, permohonan, pengaduan bahkan berbentuk kritik terhadap pemerintah dalam melaksanakan pemerintahan yang efektif, efisien dan
199
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
kurangnya 30% (tiga puluh persen) keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat.” Demikian juga dalam UU No. 2 Tahun 2008 tentang “Partai Politik” Pada kelembagaan partai politik-pun, affirmatic action dilakukan dengan mengharuskan partai politik menyertakan keterwakilan perempuan minimal 30% dalam pendirian maupun dalam kepengurusan di tingkat pusat. Pada ketentuan Pasal 2 UU. No. 2 Tahun 2008 dinyatakan bahwa: Pendirian dan pembentukan Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyertakan 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan”. Sedangkan Pada ayat sebelumnya dinyatakan bahwa: Partai Politik didirikan dan dibentuk oleh paling sedikit 50 (lima puluh) orang warga negara Indonesia yang telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun dengan akta notaris” Tidak cukup pada pendirian partai politik saja, affirmative action ini juga dilakukan pada semua tingkatan kepengurusan dari tingkat pusat hingga tingkat kabupaten/kota. Seperti diatur dalam Pasal 20 UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik: Kepengurusan Partai Politik tingkat provinsi dan kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) dan ayat (3) disusun dengan memperhatikan keterwakilan perempuan paling rendah 30% (tiga puluh perseratus) yang diatur dalam AD dan ART Partai Politik masingmasing. Kebijakan Affirmative action terhadap perempuan pada partai politik tidak banya pada pendirian dan kepengurusan saja, tetapi sampai pada persyaratan dokumen keikutsertaan dalam Pemilu, yaitu seperti yang diamanatkan dalam ketentuan Pasal 15 huruf d UU No. 8 Tahun 2012yang menyatakan bahwadokumen persyaratan meliputi (d) surat keterangan dari pengurus pusat partai politik tentang penyertaan keterwakilan perempuan sekurangkurangnya30% (tiga puluh persen) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 55 UU No. 8 Tahun 2012 mengatur mengenai daftar bakal calon anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota yang ditetapkan oleh partai politik peserta Pemilu, dan dalam rangka affirmative action supaya perempuan semakin dapat berperan aktif di lembaga legislatif dengan menyatakan, bahwa: Daftar bakal calon sebagaimana dimaksud pada Pasal 53 memuat paling sedikit 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan”. Sebagai upaya menguatkan perolehan suara perempuan, maka pada ketentuan Pasal 56 ayat (2) diterapkan pula zipper system yaitu, pengaturan bahwa setiap 3 (tiga) bakal calon yang diajukan oleh partai politik dalam Pemilu maka sekuarang-kurangnya terdapat 1 (satu) orang bakal calon perempuan, sedangkan ayat (1) menetapkan pula, bahwa namanama calon dalam daftar bakal calon disusun berdasar nomor urut, jika nomor urut ada 1, 2 dan 3 maka pada salah satu nomor urut itu harus ada nama bakal calon perempuan dan tidak di bawah nomor urut tersebut. Untuk menjamin dan sebagai salah satu penekanan supaya partai politik melaksanakan affirmative action terhadap bakal calon anggota legislatif perempuan tersebut, maka pada ketentuan Pasal 67 ayat (2) KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota mempunyai kewenangan untuk mengumumkan secara terbuka kepada masyarakat baik melalui media massa cetak harian nasional maupun media massa elektronik nasional”. Penggunaan sistem affirmative action dan Zipper system ini cukup ampuh untuk meningkatkan keterwakilan perempuan, hal ini dapat dilihat dari data tiga kali Pemilu terakhir, tampak bahwa keterwakilan perempuan dalam kursi parlemen baik di tingkat pusat maupun daerah terus meningkat cukup signifikan. Peningkatan tersebut dapat dilihat, yaitu pada Pemilu: 1999-2004 = 9,0% Pemilu
200
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
Pada Tahun 2004-2009= 11%, Pemilu Tahun 2009-2014= 18,%. 24 Ormas memberi sumbangan berarti dalam menciptakan militansi kadernya yang akan terjun ke dunia politik. Banyak diantara anggota legislatif berasal dari organisasi kepemudaan dan kemasyarakatan. Aisyiyah memiliki peran utama dalam menjadikan kader-kadernya siap mengemban amanah dalam bidang kenegaraan dan kemasyarakatan. Program kegiatan Aisyiyah selalu menyentuh kehidupan masyarakat di level paling bawah sehingga denyut permasalahan yang dihadadapi oleh kelompok termarginalkan terutama yang dialami perempuan menjadi perhatian khusus dari organisasi perempuan Muhammadiyah ini. Melalui organisasi seperti Aisyiyah ini terbentuk militansi perempuan yang memiliki daya juang tinggi dalam pemenuhan hak-hak perempuan.
untuk mendorong massanya agar memilih kandidat perempuan dan cenderung berebut suara dengan kandidat laki – laki yang juga merupakan kadernya. Dari kesimpulan tersebut diatas, maka rekomendasi untuk meningkatkan keterwakilan perempuan pada pemilu legislatif tahun 2019 adalah: a. Perlu upaya peningkatan kapasitas perempuan (berkinerja baik, jujur, bertanggung jawab dan dapat dipercaya sebagai parlemen) melalui organisasi kemasyarakatan b. Pemberdayaan perempuan dengan metode rekruitmen yang jelas kepada perempuan yang akan menjadi figur publik dengan bekerjasama organisasi kemasyarakatan yang menjadi basis dukungannya. c. Memperbanyak produk legislasi dan implementasi kebijakan yang ramah gender sehingga tidak ada ketimpangan hukum antara perempuan dengan laki-laki sebagai warga negara d. Mempertahankan mekanisme sistem affirmative action dan Zipper system dalam pemilu legislatif
IV. KESIMPULAN Dari pembahasan yang disampaikan diatas maka dapat kita tarik kesimpulan sebagai berikut: a. Penyebab rendahnya tingkat keterwakilan perempuan pada pemilu legislatif tahun 2009 dan 2014 adalah masih kuatnya budaya patriarki yang mempengaruhi pemilih untuk memberikan preferensi kepada kandidat perempuan b. Rendahnya kepercayaan pemilih kepada kandidat perempuan karena masih kuatnya anggapan bahwa perempuan tidak mampu membawa aspirasi rakyat dan memiliki kinerja yang buruk c. Partai politik masih belum membuat prioritas wakil perempuan yang diinginkan, d. Masih berlakunya praktek politik uang antar kandidat e. Tidak adanya komitmen yang serius dari organisasi masayarakatyang 24
V. Hadiyono, Memaknai Perempuan dalam Kursi Parlemen, Jurnal Ilmiah Hukum.
201
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
DAFTAR PUSTAKA Pertama. BPFE Yogyakarta: Yogyakarta.
Abu Nashr Muhammad Al-Iman.(2004). Membongkar Dosa-dosa Pemilu. Prisma Media : Jakarta
Kacung, Marijan (2010).Sistem Politik Indonesia: Konsolidasi Demokrasi Pasca Orde Baru. Kecana Prenada Media Group : Jakarta
Atho Mudzhar, dkk. (2001). Wanita dalam Masyarakat Indonesia Akses Perbedaan dan Kesempatan. Sunan Kalijaga Press: Yogyakarta.
Migirou, Kalliope. (1999). Menuju Implementasi Efektif Mengenal Legislasi dan Hak Azazi Perempuan Internasional.dalam: Perempuan Parlemen Bukan Sekedar Jumlah, Bukan Sekedar Hiasan (terjemahan). Jakarta: YJP dan IDEA.
Blackburn, Susan. (2004) Gradualism Versus Democratic Leaps: Political Representation of Women In Australia and Indonesia. Makalah untuk Biannual Symposium on Australia- Indonesia: Challenges in Bilateral Relations. Jurnal Perempuan Edisi 34
Novianti, Ida. (2010). Subordinasi Peran Sosial Perempuan (Analisis Terhadap Cerpen ‘Laila’ karya Putu Wijaya. Jurnal Studi Gender dan Anak YINYANG Vol.5 No. 2
Cameron, K.S. and Quinn, R.E. (1999, 2006), Diagnosing and Changing Organizational Culture: Based on the Competing Values Framework. Reading, MA: Addison-Wesley.
Ratna, Nyoman Kutha. (2010). Metodologi Penelitian: Kajian Budaya dan Ilmu Sosial Humaniora Pada Umumnya. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
Hadiyono, Memaknai Perempuan dalam Kursi Parlemen, Jurnal Ilmiah Hukum.
Stephanie, K. Marrus. (2002) .Desain Penelitian Manajemen Strategik.Rajawali Press : Jakarta
Henry B. Mayo. (1996). An Introduction to Democratic Theory. Oxford University Press. New York.
Sugiyono.(2005). Metode Penelitian Kualitatif. Alfabeta : Bandung
Hunger dan Wheelen. (2003). Manajemen Strategi. Yogyakarta: Andi.
United Nations Development Program (UNDP), Human Development Report 1993, New York: UNDP.
Idrus, Muhammad (2009). MetodePenelitian Ilmu Sosial. Erlangga: Yogyakarta.
Wahidah Zein Siregar, “Representasi Perempuan di DPR, DPD, MPR, dan DPRD 2009-2014: Komposisi, Peran dan Tantangan Perempuan Parlemen,”Jurnal Perempuan vol. 18 no.4 (2013): 29.
Iman Subono,Nur. (2013)“Partisipasi Perempuan, Politik Elektoral dan Kuota: Kuantitas, Kualitas, Kesetaraan?,” Jurnal Perempuanvol. 18, no. 4
Wan Azizah, “Perempuan dalam Politik; Refleksi dari Malaysia”, http://www. idea.int/publications/wip/upload/copy right-preface-tableofcontents.pdf, diakses tanggal 29 Maret 2009)
Indra Kertati, Riptek Vol. 8, No. 1, Tahun 2014. Indriantoro dan Supomo.(1999). Metodologi Penelitian Bisnis untuk Akuntansi dan Manajemen. Edisi
202
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
Zein Siregar,Wahidah. (2005)“Parliamentary Representation of Woman in Indonesia: Struggle for A Quota,”Asian Journal of Woman’s Studies (AJWS) vol. 11, no. 3 Diakses dari http://microdata.bps.go.id/mikrodata/index .php/catalog/335 Diakses dari http://www.cnnindonesia.com/politik/2015 0827125633-32-74875/porsi-perempuandi-legislatif-harus-lebih-besar-di-2019/ Diakses dari www.hukumonline.com/klinik/detail/cl690 4/affirmative-action
203
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
PEREMPUAN DI SEKTOR EKONOMI INFORMAL Sebuah Pelajaran dari Buruh Gendong Perempuan Di Pasar Beringharjo Hidayatul Fajri, Nur Fitri Mutmainah, Erni Saharuddin Dosen di Prodi Administrasi Publik, Fakultas FEISHum Universitas ‘Aisyiyah Yogyakarta, Indonesia
[email protected],
[email protected],
[email protected]
Abstrak -Penelitian ini membahas tentang perempuan di sektor informal dengan perspektif gender, khususnya buruh gendong perempuan di Pasar Beringharjo. Berfokus terutama kepada kesenjangan yang dihadapi pekerja perempuan dari segi pendapatan sehari-hari. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan menggunakan pendekatan fenomenologis. Argumen pokok yang dibangun yaitu perempuan seringkali dirugikan di dalam sektor ekonomi informal. Akhirnya, makalah ini menyimpulkan bahwa perlunya sebuah kebijakan di sektor informal dengan menggunakan dimensi gender dan norma gender sehingga kesejahteraan sosial masyarakat dapat dicapai dengan lebih adil.
memperkirakan bahwa jumlah penduduk dunia yang bekerja adalah 3 milliar orang (William dan Gurtoo, 2011), dan hampir dua pertiga atau 1,8 milliar yang bekerja di sektor informal (Jutting dan Laiglesia, 2009). Hal ini menandakan bahwa sektor informal secara luas diakui sebagai suatu fitur yang cukup besar dalam memperluas perekonomian global kontemporer (Charmes, 2009; Feige dan Urban, 2008; ILO, 2002, Jütting dan Laiglesia, 2009; Rodgers dan Williams, 2009; Schneider, 2008). Di Indonesia, kecenderungan yang sama juga terjadi. Jika dilihat, jumlah angkatan kerja Indonesia diperkirakan sebesar 125,3 juta pada Februari 2014, atau naik 5,2 juta dibandingkan Agustus 2013 atau 1,7 juta dibandingkan bulan Februari 2013. Sedangkan Tingkat partisipasi angkatan kerja diperkirakan sebesar 69,2 persen dan jumlah orang yang bekerja pada Februari 2014 mencapai 118,2 juta (ILO, 2014). Berdasarkan Laporan BPS pada Februari 2016 maka dari jumlah partisipasi angkatan kerja tersebut, persentase penduduk bekerja yang berada di sektor formal adalah 41,72%. Sementara itu, sektor informal mendominasi dengan 58,28%. Sedangkan untuk DI Yogyakarta, tempat berlangsungnya penelitian ini, pada Februari 2014 jumlah angkatan kerja di DIY sebanyak 2,03 juta orang, dengan jumlah partisipasi angkatan kerja adalah sebesar 71,84% atau 1,46 juta orang. Dari jumlah Partisipasi Angkatan Kerja itu,
Kata kunci: Perempuan, Sektor ekonomi informal, perspektif gender
I. A.
PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Beberapa dekade belakangan, terlebih semenjak kemenangan ekonomi liberalisme (Fukuyama, 2004) yang ditandai dengan tumbangnya sosialisme sebagai ideologi ekonomi atau politik, manusia semakin dianggap sebagai suatu komoditas yang diharapkan untuk dapat sebanyaknya bisa terserap ke dalam pasar, baik itu formal ataupun informal. Di dalam laporannya beberapa waktu lalu, OECD
204
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
Kedua hal inilah yang mengurangi daya tawar mereka dan menjadikan mereka menerima pendapatan yang lebih rendah daripada laki-laki. Selain itu, Williams, tahun 2013, hampir menyatakan hal yang sama. Penelitiannya yang berjudul “Evaluating the Gender Variations in Informal Sector Entrepreneurship: Some Lessons From Brazil,” menjelaskan bahwa pendapatan perempuan di sektor informal akan tetap lebih rendah daripada laki-laki meskipun memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Penelitian ini juga menjelaskan bahwa adanya pengaruh gender terhadap perbedaan partisipasi laki-laki dan perempuan di dalam pasar tenaga kerja informal. ILO dalam laporannya tahun 2015, juga menjelaskan bahwa hasil yang dicapai laki-laki dan perempuan dari bekerja masih tidak merata. Di mana segregasi pekerjaan untuk laki-laki dan perempuan masih terlihat jelas. Banyak perempuan melakukan pekerjaan dengan upah yang lebih rendah dan prospek pengembangan karir yang lebih terbatas. Tingkat partisipasi perempuan dalam angkatan kerja masih sangat rendah, padahal banyak perempuan dilaporkan melakukan kegiatan yang terkait dengan tanggung jawab keluarganya secara penuh. Jika dilihat, penelitian-penelitian itu selalu mengarah pada satu kesimpulan yang sama, bahwa adanya ketidaksetaraan yang terjadi antara laki-laki dan perempuan. Sehingga
46,18% bekerja di sektor formal sedangkan sisanya 53,72% bekerja di sektor informal. Data diatas semakin mempertegas pentingnya keberadaan dari sektor informal sebagai penyerap tenaga kerja, termasuk juga tenaga kerja perempuan. Di DIY, pada Februari 2014 jumlah perempuan yang bekerja di sektor informal lebih tinggi daripada laki-laki. Secara relatif, perempuan yang bekerja di sektor informal berjumlah 56,71% sedangkan laki-laki hanya 51,22% (BPS, 2014). Jenisjenis sektor informal itu umumnya dikelompokkan mejadi dua macam, yaitu; sektor informal pertanian dan sektor informal non pertanian. Meskipun begitu, keberadaan perempuan di sektor informal sangat rentan terjadinya ketidaksetaraan. Beberapa penelitian terdahulu menunjukkan hal ini. Rokicka dan Ruzik pada tahun 2010, mempublikasikan sebuah artikel yang berjudul “The Gender Pay Gap in Informa Employment in Poland.” Penelitian mereka membahas tentang adanya perbedaan distribusi pendapatan antara laki-laki dan perempuan baik di sektor formal maupun informal. Sehingga penelitian ini mengindikasikan bahwa di sektor informal terjadi ketidaksetaraan pendapatan, dan perempuan menjadi kelompok yang dirugikan dari ketidaksetaraan itu. Penelitian yang hampir sama yang dilakukan oleh Mitra, tahun 2005, dalam penelitiannya yang berjudul “Women in the Urban Informal Sector: Perpetuation of Meagre Earning,” memberikan gambaran bahwa eksploitasi perempuan juga terjadi di pasar tenaga kerja, tak terkecuali di sektor informal. Selain itu, penelitian ini juga menggambarkan bahwa perempuan tidak dapat berpartisipasi dalam pasar tenaga kerja secara penuh karena mereka diwajibkan untuk menggabungkan kegiatan rumah tangga mereka dengan pekerjaan. Hal itu menyebabkan mereka hanya dapat bekerja di lingkungan tempa tinggal mereka, dan hanya dapat mengakses pekerjaan dari sektor-sektor informal, sehingga pilihan mereka dibatasi.
B.
Rumusan Masalah Dari latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya menunjukkan bahwa adanya ketimpangan yang terjadi antara laki-laki dan perempuan di dalam sektor ekonomi informal. Di mana, 96% perempuan di sektor ini pekerjaan mereka tidak aman, tidak teratur dan seringkali merupakan pekerjaan yang “tidak disadari”(Nanavati, 2009). Sehingga untuk menjawab permasalahan itu dan mengkontekstasikannya dengan DIY maka
205
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
budaya dan tradisi (Omoyibo dan Ajayi, 2011). Lebih lanjut, untuk dapat melakukan analisis gender terlebih dahulu harus dipahami antara pengertian gender dan pengertian seks atau jenis kelamin. Seks adalah pembagian jenis kelamin yang ditentukan secara biologis dan melekat pada jenis kelamin tertentu. Seks berarti perbedaan laki-laki dan perempuan sebagai makhluk yang secara kodrati memiliki fungsi-fungsi organisme yang berbeda. Dalam arti perbedaan jenis kelamin, seks mengandung pengertian laki-laki dan perempuan terpisah secara biologis. Lakilaki memiliki fisik yang kuat, otot yang kuat, memiliki jakun, bersuara berat, memiliki penis, testis, sperma, yang berfungsi untuk alat reproduksi dalam meneruskan keturunan. Sedangkan perempuan memiliki hormon yang berbeda dengan laki-laki, sehingga mereka memiliki payudara, memiliki bentuk pinggul yang lebih besar daripada laki-laki, memiliki vagina, dan sel telur yang berfungsi sebagai alat reproduksi, mengalami menstruasi, serta memiliki perasaan yang sensitif. Secara biologis alat-alat tersebut melekat pada laki-laki dan perempuan selamanya, fungsinya tidak dapat dipertukarkan. Secara permanen tidak berubah dan merupakan ketentuan biologi atau ketentuan Tuhan (kodrat) (Handayani dan Sugiarti, 2008). Sedangkan menurut John and Gordon (2005), “gender merupakan perbedaan antara laki-laki dan perempuan yang disebabkan karena adanya konstruksi sosial” (Boyi, 2013). Konsep gender adalah sifat yang melekat pada kaum lakilaki dan perempuan yang dibentuk oleh faktor-faktor sosial maupun budaya, sehingga lahir beberapa anggapan tentang peran sosial dan budaya laki-laki dan perempuan. Bentukan sosial atas laki-laki dan perempuan antara lain adalah: perempuan seringkali dikenal sebagai makhluk yang lemah lembut, cantik, emosional dan keibuan. Sedangkan lakilaki dianggap kuat, rasional, jantan dan
penelitian ini berfokus kepada; “Bagaimana perspektif gender sektor ekonomi informal buruh gendong perempuan di pasar beringharjo ?” C.
Tujuan dan Manfaat Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk melihat dan mengkaji perspektif gender di ekonomi sektor informal DIY. Sedangkan manfaat penelitian ini bagi akademisi dan pengambil kebijakan adalah sebagai sebuah masukan akademik dan praktis akan pentingnya untuk memiliki dan melihat perspektif gender di dalam sektor ekonomi informal
D. 1)
Kajian Pustaka Perspektif Gender Gender telah menjadi fokus utama dari para feminis barat selama gelombang kedua dari feminisasi. Seperti sistem pemikiran lainnya, istilah gender juga di ekspor ke negara-negara berkembang sebagai konsep, alat analisis dan inisiatif kebijakan. Dominasi konsep barat di dalam terminologi gender sangatlah terlihat jelas. Istilah gender membawa bias barat. Karena dibawa dari barat, ia memperlihatkan bias kulit putih barat yang berasal dari kelas menengah dan mengaburkan perbedaan lain yang berdasarkan pada ras, kelas, etnisitas, agama, seksualias dan lainnya. Pada tataran ini, gender gagal mengakui peran perempuan pada struktur tatanan yang lain (Steady, 2002). Pada catatan umum, konsep gender perlu dipahami sebagai variabel cross-cutting sosial budaya. Sistem gender dibangun pada konteks sosial budaya yang berbeda-beda, mengarahkan pada apa yang diharapkan, diperbolehkan, dan dihargai pada wanita/pria dan pada anak laki-laki atau perempuan pada konteks yang lebih spesifik. Peran gender dipelajari melalui proses sosialisasi, tidak pasti dan masih dapat dipertukarkan. Gender di institusionalisasikan melalui sistem pendidikan, ekonomi dan politik, legislasi,
206
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
perkasa. Sifat-sifat di atas dapat dipertukarkan dan berubah dari waktu ke waktu. Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa gender adalah konsep sosial yang membedakan (dalam arti: memilih atau memisahkan) peran antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan fungsi dan peran antara laki-laki dan perempuan itu tidak ditentukan karena keduanya memiliki perbedaan biologis atau kodrati, namun dibedakan atau dipilah-pilah menurut kedudukan, fungsi dan peranan masingmasingdalam berbagai bidang kehidupan dan pembangunan (Handayani dan Sugiarti, 2008). Menurut Cleves (1993), “gender merupakan satu set peran, seperti kostum dan topeng, untuk diperlihatkan kepada masyarakat bahwa kita adalah feminin atau maskulin”. Gender juga merupakan satu set perilaku yang meliputi seluruh aspek ini.
kehidupan, seperti penampilan, kepribadian, seksualitas, komitmen keluarga dan pekerjaan, secara bersamaan membentuk peran gender kita. Perbedaan pada peran dan perlaku gender seringkali menimbulkan kesenjangan dimana salah satu gender menjadi lebih kuat dan yang lain menjadi kurang beruntung (World Health Organization, WHO, 2009). Reeves dan Baden (2000) mengungkapkan bahwa meski tidak disebabkan oleh perbedaan asal daerah, namun kebanyakan kesenjangan gender terjadi di wilayah pedesaan karena disini budaya masih sangat dijunjung tinggi. Budaya dan tradisi seringkali digunakan oleh laki-laki untuk mempertahankan pembatasan akses terhadap potensi perempuan (Gyeke and Owusu, 2013).
Untuk memperjelas konsep seks dan gender dapat diperhatikan melalui Tabel 1 berikut Tabel 1. Perbedaan Seks dan Gender Karakteristik Seks Gender No. (1) (2) (3) (4) Sumber Pembeda Tuhan Manusia (masyarakat) 1. Visi, misi Kesetaraan Kebiasaan 2. 3.
Unsur pembeda
4.
Sifat
5.
Dampak
Biologis (alat reproduksi) Kodrat, tertentu, tidak dapat dipertukarkan Tercipta nilai-nilai: kesempurnaan, kenikmatan, kedamaian, dll. Sehingga menguntungkan kedua belah pihak
Sepanjang masa, dimana saja, tidak mengenal pembedaan kelas Sumber. Unger (1973) dalam Handayani dan Sugiarti, 6:2008. 6.
Keberlakuan
Kebudayaan (tingkah laku) Harkat, martabat, dapat dipertukarkan Terciptanya normanorma/ ketentuan tentang “pantas” atau “tidak pantas”, laki-laki pantas memimpin sedangkan perempuan pantas dipimpin, dll. Seringkali merugikan salah satu pihak, kebetulan adalah perempuan Dapat berubah, musiman dan berbeda antar kela
207
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
itu sektor informal, biasanya merujuk pada kegiatan ekonomi yang berada di luar aturan dan lembaga legal sebuah negara. Di negara maju, istilah ini sering kali dikaitkan dengan bisnis yang tidak terdaftar dan tidak membayar pajak atau memberikan tunjangan bagi pekerjanya. Pendekatan tersebut kemungkinan tidak cocok bagi negara berkembang yang masih lemah dalam hal pencatatan kegiatan bisnis dan kepatuhan hukum. Sebuah definisi alternatif, yang juga dipakai di Indonesia, didasarkan pada status pekerjaan – sebuah kondisi yang mewakili jaminan penghasilan dan definisi pertama. (Bank Dunia, 2010) Definisi resmi mengenai kegiatan sektor formal dan informal yang diterapkan oleh BPS pada 2001 menggunakan kombinasi antara status pekerjaan dan jenis pekerjaan utama (lihat: Tabel 2). Semua karyawan dan pemberi kerja yang mempekerjakan karyawan permanen didefi nisikan sebagai formal. Demikian pula semua kalangan profesional atau pekerja di posisi manajer dianggap sebagai pekerja formal, kecuali bagi mereka yang diklasifi kasikan sebagai pekerja keluarga, namun jumlah golongan terakhir ini sangat sedikit. Semua kombinasi yang lain dianggap informal, kecuali mereka yang memiliki usaha sendiri dengan pekerja dari keluarga. ((Bank Dunia, 2010)
Menurut Bem (2010), gender adalah bagaimana biologis seorang laki-laki dan perempuan dihargai secara budaya dan interpretasikan menjadi ide yang diterima secara lokal. Boserup (1986) menyatakan bahwa “istilah budaya yang mendalam mengenai superioritas laki-laki, terlihat sangat alami sehingga membuat orang berasumsi bahwa hal tersebut merupakan pembawaan alamiah jenis kelamin itu sendiri (Bhat, 2011)”. Gender adalah disparitas dan perbedaan antara laki-laki dan perempuan secara sosial. Bagaimanapun faktor sosial dan budaya di dalam masyarakat memainkan peran dalam menunjukkan perbedaan tersebut. Kesenjangan dan stratifikasi gender merupakan konsep penting yang dihubungkan dengan studi gender. Kesenjangan gender merupakan situasi dimana terdapat diskriminasi struktural, perlakuan yang berbeda dan tidak sama yang didasarkan pada jenis kelamin, yang biasanya dirasionalisasikan oleh budaya, institusi dan peraturan administrasi. Ketika situasi tersebut terjadi, akses terhadap sumber daya, pendapatan dan kesempatan pada jenis kelamin tertentu tidaklah mungkin terjadi (Boyi, 2013). 2)
Sektor Informal Tidak ada definisi baku untuk sektor informal. Definisi yang umum tentang apa
Tabel 2. Definisi BPS untuk Sektor Formal dan Informal Status
Jenis Pekerjaan Profesional, Penjual, Pekerja Produksi, Direktur, Buruh Pertanian Transpor, Manager Tak ahli Memiliki usaha sendiri Formal Informal Informal Memiliki usaha sendiri Formal Formal Informal Formal dengan pekerja keluarga Pemberi kerja denhan Formal Formal Formal Formal pekerja permanan Karyawan Formal Formal Formal Formal Karyawan lepas, pertanian Formal Informal Informal Informal Karyawan lepas, non-tani Formal Informal Informal Informal Pekerja keluarga Informal Informal Informal Informal (Sumber: Bank Dunia, 2010)
208
Lainnya Informal Informal Formal Formal Informal Informal Informal
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
Definisi yang disederhanakan akan dipakai saat menangani data yang tidak mempunyai informasi mengenai jenis pekerjaan utama, sebuah informasi yang dibutuhkan pada definisi resmi (lihat: Tabel 3). Dalam kondisi tersebut, defi nisi alternatif menggunakan kombinasi status pekerjaan dan klasifikasi pertanian/nontani. Menurut definisi ini, semua pekerja keluarga dan pekerja yang memiliki usaha sendiri tanpa dibantu pekerja keluarga,
merupakan pekerja informal. Sementara itu, mereka yang memiliki usaha sendiri dengan dibantu pekerja keluarga dianggap formal jika bekerja di bidang non-tani, tetapi dianggap informal jika bekerja di bidang pertanian. Semua pemberi kerja dan karyawan dianggap formal. Versi yang disederhanakan ini sesuai dengan defi nisi resmi untuk lebih dari 99 persen pekerja. (Bank Dunia, 2010)
Tabel 3. Defenisi yang Disederhanakan Sektor Formal dan Informal Status Pekerja keluarga Memiliki usaha sendiri Memiliki usaha sendiri dengan pekerja sementara Pemberi kerja atau karyawan (Sumber: Bank Dunia, 2010)
Non-Tani Informal Informal Formal Formal
Industri
Pertanian Informal Informal Informal Formal
tunjangan yang lebih baik. Meskipun ingin beralih ke sektor formal, para pekerja ini tidak sanggup keluar dari informalitas. b) Pekerja yang lebih menyukai pekerjaan informal. Ketika dihadapkan pada sebuah kesempatan, para pekerja akan berhitung untung rugi terlebih dahulu sebelum memutuskan untuk beralih ke sektor formal. Keputusan akan diambil berdasarkan upah, tunjangan, jam kerja, lokasi, dan lingkungan kerja. Setelah mempertimbangkan kelebihan dan kekurangannya, sebagian orang lebih memilih pekerjaan sektor informal. Beberapa orang memperoleh penghasilan lebih besar di sektor informal, sementara yang lain bersedia melepaskan penghasilan lebih besar demi jam kerja lebih fl eksibel yang dapat diperoleh melalui pekerjaan di sector informal. c) Pekerja yang menggunakan informalitas sebagai batu loncatan ke pekerjaan yang lebih baik. Pekerjaan di sector informal kemungkinan menjadi titik awal bagi
Pekerja informal cenderung miskin, tanpa keahlian, dan terkonsentrasi pada pekerjaan pertanian di pedesaan. Tetapi, tidak begitu jelas apakah mereka memilih sendiri untuk bekerja informal ataukah mereka tersisih dari pasar tenaga kerja formal. Bank Dunia (2010) berusaha mengungkap alasan mengapa pekerja tetap bertahan di sektor informal dan mengapa mereka berpindah dari dan ke pekerjaan formal dan informal. Meskipun motivasi dan pilihan orang berbeda-beda dan mungkin pula tumpang tindih, pekerja informal terbagi dalam empat kategori besar, yaitu: a) Pekerja yang terjebak di sektor informal. Informalitas sering dipandang sebagai perangkap bagi mereka yang tidak dapat memperoleh pekerjaan formal dan terpaksa bekerja secara informal tanpa gaji teratur dan tunjangan. Pasar tenaga kerja tersegmentasi menjadi sektor informal yang ‘kurang menguntungkan’ dan sektor formal yang ‘lebih disukai’ karena pekerja memperoleh upah lebih tinggi dan
209
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
pribadinya agar ia dapat memahami pengalaman-pengalaman partisipan yang ia teliti. (Creswell, 2012). Penelitian ini akan dilaksanakan di pasar Beringharjo. Pasar ini merupakan salah satu pasar tradisional yang terletak di Jalan Jenderal A.Yani kawasan Malioboro, Daerah Istimewa Yogyakarta. Informan dalam penelitian ini adalah para buruh gendong perempuan di pasar Beringharjo. Akan tetapi tidak semua buruh gendong perempuan akan dijadikan sebagai informan. Informan hanya akan dibatasi hingga data yang terkumpul sampai pada titik jenuh. Data dikumpulkan menggunakan strategi observasi kualitatif di mana peneliti terjun langsung ke lapangan untuk mengamati perilaku dan aktivitas buruh gendong perempuan di Pasar Beringharjo. Dalam pengamatan ini peneliti mencatat/merekam aktivitasaktivitas dalam lokasi penelitian. Selain itu peneliti juga melakukan face to face interview (wawancara berhadap-hadapan) dan in-depth interviw (wawancara mendalam) dengan partisipan untuk memunculkan pandangan dan opini dari para partisipan. (Creswell, 2012) Sedangkan untuk validasi data, Penelitian ini digunakan teknik triangulasi sumber. Triangulasi sumber mengarahkan penulis agar dalam mengumpulkan data, wajib menggunakan beragam sumber data yang tersedia. Menurut Moleong (2004) menjelaskan bahwa triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau pembanding terhadap data itu. Denzin dalam Moleong (2004) membedakan empat macam triangulasi sebagai teknik pemeriksaan data yang memanfaatkan penggunaan sumber, metode, penyidik dan teori. Metode analisis dalam penelitian ini menggunakan model analisis interaktif. Model analisis interaktif terdiri dari tiga alur kegiatan yang terjadisecara bersamaan, yaitu: reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan atau verifikasi.
mereka yang ingin meraih pekerjaan lebih baik. Kaum muda terutama memandang pekerjaan di sektor informal sebagai cara memperoleh pengalaman dan membangun jaringan yang akhirnya mengarah ke pekerjaan sektor formal. Pekerja yang memiliki pengalaman juga dapat menggunakan pekerjaan informal sebagai cara mengumpulkan aset supaya kelak dapat memulai usahanya sendiri. Beberapa pekerja informal yang lain terus bekerja demi memperoleh pekerjaan informal yang lebih baik. d) Pekerja yang menghadapi guncangan dengan memanfaatkan sektor informal sebagai jaring pengaman. Pekerjaan informal sering dipakai sebagai mekanisme untuk menghadapi guncangan, seperti misalnya diberhentikan dari pekerjaan formal. Hal ini dapat terjadi dalam skala besar ketika terjadi guncangan makroekonomi atau resesi yang mengakibatkan perusahaan gulung tikar atau mengurangi jumlah karyawan demi mempertahankan kelangsungan usaha. II.
METODE PENELITIAN Paradigma penelitian yang akan digunakan adalah penelitian kualitatif. Menurut Locke, Spirduso, & Silverman (1987), penelitian kualitatif pada hakikatnya bertujuan untuk memahami situasi, peristiwa, kelompok, ataupun interaksi sosial tertentu pada setting alamiah. Selain itu penelitian ini juga menerapkan pendekatan fenomenologi. Pendekatan fenomenologi menurut Moustakas (1994) adalah strategi penelitian di mana di dalamnya peneliti mengidentifikasi hakikat pengalaman manusia tentang suatu fenomena tertentu. Di dalam prosedur penelitian ini mengharuskan peneliti untuk mengkaji sejumlah subjek dengan terlibat secara langsung dan relatif lama di dalamnya untuk mengembangkan pola-pola dan relasi makna. Kemudian menurut Nieswiadomy (1993) di dalam proses penelitian, peneliti mengesampingkan terlebih dahulu pengalaman-pengalaman
210
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
tetap bertahan dengan pekerjaan tersebut. Modal dari pekerjaan ini hanyalah fisik yang kuat serta kemauan, karena tidak membutuhkan skill ataupun keahlian khusus untuk menjadi buruh gendong. Penghasilan yang beliau dapat memang tidak seberapa, hanya sekitar Rp.2.000,sekali angkut (ketika mengangkut setengah kwintal beliau hanya dibayar Rp. 25.000,-). Harga jasa tersebut memang tidak seberapa, bahkan cenderung tidak pantas. Namun beliau menuturkan bahwa tarif tersebut adalah tarif bagi pedagang tetap di pasar Beringharjo yang meskipun tidak seberapa namun akan selalu menggunakan jasanya, karena sudah langganan. Biasanya beliau baru akan mendapatkan pendapatan yang sedikit lebih layak (sekitar Rp. 15.000-Rp. 20.000) dari para pengunjung yang kebetulan lewat dan membutuhkan jasanya ketika berbelanja ke pasar Beringharjo (meskipun tidak sering). Jadi meskipun pendapatan yang diperoleh sedikit, hal tersebut tidaklah menjadi soal selama pendapat tersebut masih dapat membuat dapur terus mengepul. Bu Isyah juga mengungkapkan bahwa ada banyak teman-temannya yang perempuan dari satu desa yang menjadi buruh gendong di pasar beringharjo. Beliau menuturkan bahwa meskipun lokasinya jauh dari rumah namun karena pasar beringharjo adalah pasar terbesar di Yogyakarta, maka beliau tetap memilih untuk menjadi buruh gendong di pasar tersebut. Meskipun perjalanan dari rumah ke pasar juga tidak sebentar dan membutuhkan biaya yang mahal, namun beliau tetap bertekad untuk bekerja dan daripada tidak mendapatkan penghasilan apapun ketika berdiam di rumah. Bu Isyah sepertinya cukup memanfaatkan teknologi yang berkembang saat ini. Dengan menggunakan handphone beliau menjadi lebih mudah untuk berkomunikasi dengan para pelanggan dan juga sebaliknya. Mbah Rubikem adalah salah seorang lansia yang telah menghabiskan lebih dari separuh hidupnya bekerja sebagai buruh gendong di pasar Beringharjo. Beliau
III. HASIL DAN PEMBAHASAN Dimensi kesejahteraan merupakan dimensi terpenting untuk dijadikan sebagai rujukan karena dengan itu dapat melihat tingkat kesejateraan material yang diukur dengan tercapainya kebutuhan dasar seperti makanan, penghasilan, perumahan dan kesehatan. Kebutuhan dasar tersebut menjadi fokus utama, karena seorang individu tidak akan mampu memikirkan dimensi-dimensi selanjutnya ketika urusan perut mereka masih belum terpenuhi. Level kesejahteraan merupakan tingkat material yang diukur dari tercukupinya kebutuhan dasar seperti makanan, penghasilan, perumahan, dan kesehatan yang harus dinikmati oleh perempuan dan laki-laki. Di dalam penelitian yang dilakukan, maka penulis melihat jumlah pendapatan para pekerja informal perharinya. Beberapa pekerja perempuan sektor informal, khususnya buruh gendong di Pasar Beringharjo, mengatakan bahwa penghasilan mereka sebagai buruh gendong tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari. Mbah Giyah yang berprofesi sebagai seorang buruh gendong mengaku bahwa sehari-hari beliau memperoleh uang sebesar Rp. 20.000,00-Rp. 25.000,00, dan hanya pada saat-saat tertentu saja pendapatan beliau bisa membawa uang Rp. 50.000,00 dalam satu hari. Bu Punikem, Juga seorang buruh gendong di Pasar Beringharjo, menuturkan bahwa beliau bisa membawa pulang uang sekitar Rp. 35.000,00 atau bahkan lebih jika pengunjung datang di hari-hari libur. Kemudian Bu Sutiyem, yang juga berprofesi sebagai buruh gendong di pasar Beringahrjo, mengungkapkan bahwa dalam sehari beliau bisa memperoleh uang sebesar Rp. 25.000,00 hingga Rp. 35.000,00. Buruh gendong lainnya, Bu Isyah menuturkan bahwa menjadi buruh gendong sebenarnya bukanlah pilihan hidupnya, namun karena keadaan dan tuntutan ekonomi lah yang menyebabkan beliau
211
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
termasuk ke dalam anggota paguyuban pasar Beringharjo. Beliau menuturkan bahwa sudah tidak sanggup lagi untuk mengikuti kegiatan yang diadakan oleh paguyuban pasar. Alhasil beliau seringkali merasa terasing dan tersingkirkan dari persaingan kerja diantara para buruh gendong pasar Beringharjo. Suatu ketika beliau menuturkan pengalamannya ketika sedang diadakan pembagian lurik ataupun bantuan sembako dari salah satu yayasan pendonor. Ketika berusaha menanyakan sedang ada kegiatan apa, bantuan apa yang dibagi dan siapa yang membagi, seringkali diantara para buruh tersebut malah terkesan menutupi, kalaupun ada yang tahu mereka berdalih tidak mengetahui apa-apa. Buruh gendong perempuan lainnya adalah Mbah Tumiyem. Selama lebih dari 40 tahun Mbah Tumiyem telah mengabdikan hidupnya untuk menjadi buruh gendong. Pekerjaan ini beliau pilih karena tidak dibutuhkan keterampilan ataupun keahlian khusus untuk menjadi seorang buruh gendong. Setiap hari mbah Tumiyem harus berangkat pagi-pagi sekitar pukul 09.00 dari rumahnya, jarak yang jauh dari Sentolo-Kulonprogo ke pasar Beringharjo tidak pernah menyurutkan niatnya untuk mencari rejeki sebagai buruh gendong. Dengan upah yang tidak menentu sekitar 15-30 ribu perhari, beliau harus membantu suaminya yang hanya bekerja sebagai buruh tani untuk menafkahi 6 orang anaknya. Sehari-hari sebelum berangkat menjadi buruh gendong, pada pagi hari mbah Tumiyem biasanya juga berjualan nasi di rumahnya. Jadi setelah jualannya sudah laku terjual, baru beliau memutuskan untuk berangkat ke pasar Beringharjo. Aktivitas pekerjaan ini sepertinya memang terasa berat, namun beliau mengungkapkan bahwa tidak ada perasaan ngoyo dalam hidupnya. Karena jika beliau merasa lelah ataupun sakit maka beliau juga tidak akan memaksakan diri untuk bekerja. Sehingga jika dihitung, rata-rata pendapatan tertinggi buruh gendong perempuan itu dalam satu hari adalah
menuturkan bahwa dulu ibu beserta kakakkakak perempuannya juga bekerja sebagai buruh gendong di pasar Beringharjo, sedangkan ayahnya hanyalah seorang buruh tani. Mbah Rubikem saat ini hanya tinggal hidup sebatang kara, suaminya telah lama meninggal dan beliau juga tidak memiliki seorang anakpun. Saat ini beliau hanya tinggal dan hidup bersama dengan kakak beserta keponakan-keponakan yang sewaktu kecil telah diasuhnya. Mbah Rubikem menuturkan bahwa dahulu beliau tidak sempat mengenyam bangku sekolah karena sejak kecil telah sibuk bekerja di rumah untuk membantu ibunya ataupun bekerja di sawah untuk membantu ayahnya. Karena tidak pernah mengenyam bangku sekolah inilah maka praktis beliau tidak memiliki kemampuan baca tulis ataupun keahlian lainya. Keterbatasan inilah yang membuat beliau mau tak mau harus memilih bekerja sebagai seorang buruh gendong yang pekerjaannya sama sekali tidak membutuhkan keahlian kecuali fisik yang kuat. Untuk bekerja sehari-hari mbah Rubikem harus menempuh perjalanan jauh dari Sentolo-Kulonprogo untuk mencapai pasar Beringharjo dengan menggunakan angkutan umum, bahkan ia harus menggunakan ojek karena angkutan umum tidak menjangkau rumahnya. Pendapatan yang diperoleh sehari-hari sungguh tidak menentu, bahkan beliau seringkali tidak memperoleh sepeserpun. Karena usia dan kekuatan tubuh yang semakin menurun membuat gerak tubuhnya menjadi semakin melemah dan tentu juga berpengaruh terhadap menurunnya jumlah barang yang bisa beliau angkut. Mbah Rubikem juga menuturkan bahwa sudah banyak dari langganannya yang berganti dengan pedagang baru dan sekarang tidak lagi menggunakan jasanya. Saat ini mbah Rubikem hanya menggantungkan pendapatannya dari para pelanggan yang sehari-hari berkunjung ke pasar Beringharjo. Berbeda dengan Bu Isyah, mbah Rubikem mengaku bahwa beliau tidak
212
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
dan perempuan, selain faktor-faktor yang berbentuk fisik. Hasil penelitian lainnya juga menunjukkan bahwa buruh gendong perempuan di pasar Beringharjo Yogyakarta merasakan kenyamanan dalam kerjanya. Hal tersebut dikarenakan buruh gendong perempuan merasa bahwa bekerja adalah perwujudan orientasi ekonomi guna mempertahankan kelangsungan hidup keluarganya, perwujudan otonomi diri, kerja dimaknai sebagai rejeki pemberian Tuhan, kehidupan sosial dan sebagai sarana untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Adanya rasa nyaman dalam bekerja, diakui oleh buruh gendong perempuan, dipengaruhi oleh adanya motivasi, role model, faktor-faktor pendorong, nilai-nilai yang mereka yakini dalam kehidupan dan diterapkan dalam pekerjaan, kondisi buruh gendong perempuan di dalam pekerjaannya dan strategi coping yang dilakukan. Selain itu juga menunjukkan bahwa bekerjanya perempuan merupakan salah satu strategi untuk memperbesar kesempatan meningkatkan standar kehidupan, namun bagi sebagian besar kaum perempuan yang miskin dan bekerja sebagai buruh angkut hal ini tidak terlalu berpengaruh karena pada kenyataannya mereka masih dibayar dengan harga murah seperti ketika melakukan pekerjaan domestik. Meskipun sama-sama menjadikan buruh angkut sebagai mata pencaharian mereka, namun buruh angkut laki-laki dan perempuan menggunakan cara yang berbeda dalam melaksanakan pekerjaan mereka. Buruh angkut laki-laki menggunakan teknologi yang lebih modern untuk mengangkut barang-barang yang berat sehingga mempesar pendapatan mereka. Hal ini berbeda dari buruh angkut perempuan yang hanya mengandalkan tenaga fisik saja, tanpa menggunakan teknologi apapun dan sistem pembayaran yang tidak terstruktur mengakibatkan pendapatan buruh angkut laki-laki dan perempuan menjadi berbeda. Meskipun sebenarnya, strategi mata pencaharian
sekitar Rp.30.000.00, kemudian jika dikali 30 hari maka pendapatan buruh gendong dalam satu bulan bisa mencapai Rp. 900.000,00. Namun penghasilan tersebut masih merupakan penghasilan bruto karena belum dikurangi dengan ongkos pulang pergi dengan angkutan umum, biaya makan dan minum, serta belum tentu dalam satu hari para perempuan yang bekerja di sektor informal ini dapat memperoleh penghasilan minimal Rp. 30.000,00. Kemudian jika disandingkan dengan pendapatan para pekerja sektor informal laki-laki. Sebagai contoh, manool (buruh gendong laki-laki) mendapatkan penghasilan yang jauh diatas buruh gendong perempuan. Sebagai seorang buruh gendong, dalam sehari Pak Trimo (salah satu manool) mengaku mendapatkan upah minimal sekitar 100 ribu rupiah per hari, dengan jam kerja mulai dari pukul 9 pagi, hingga pasar tutup yaitu pukul 4 sore. Begitu juga dengan Pak Jito, yang setiap harinya paling minimal bisa mendapatkan 80 ribu sampai 100 ribu. Jika demikian maka kurang lebih penghasilan bruto Pak Trimo dan Pak Jito selama satu bulan bisa mencapai Rp. 3.000.000,00, belum dikurangi dengan biaya transport pulangpergi dan makan-minum setiap hari. Saat ini upah UMR Kota Yogyakarta pada tahun 2015 ini pun sudah mencapai angka Rp. 1.305.500,00. Oleh karena itu jika dibandingkan dengan penghasilan bruto para buruh gendong laki-laki dan upah UMR Kota Yogyakarta, maka dapat dilihat bahwa penghasilan buruh gendong perempuan masih jauh lebih rendah. Dimensi pendapatan ini terkait dengan akses terhadap sumber daya. Level akses merupakan perbedaan akses antara laki-laki dan perempuan terhadap sumber daya produktif. Kesenjangan gender seringkali terlihat dari adanya perbedaan akses antara laki-laki dan perempuan terhadap sumber daya. Banyak hal yang menyebabkan terjadinya ketimpangan pendapatan antara buruh gendong laki-laki
213
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
sebagai buruh angkut, baik bagi laki-laki mapun perempuan, sama-sama disebabkan karena kurangnya asset modal. Persepsi kemiskinan mereka dibentuk karena adanya kepercayaan tradisional terkait dengan peran dan ideologi gender.
keterampilan dan sejenisnya untuk memberdayakan buruh gendong guna membuka peluang kemungkinan pilihan pekerjaan di bidang yang lain.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN Tulisan ini menyimpulkan bahwa masalah-masalah yang dihadapi oleh perempuan di sektor informal berhadapan dengan isu-isu gender yang ada dan mengakar dalam sosial-budaya normatif masyarakat. Studi ini menampilkan argumen yang memperlihatkan bahwa lakilaki dan perempuan memilki tingkat resiko yang berbeda di dalam ekonomi sektor informal, di mana perempuan seringkali berada pada posisi yang dirugikan. Sehingga, dengan tingkat resiko yang berbeda itu, dibutuhkan penanganan yang berbeda antara laki-laki dan perempuan. Penggunaan ‘lensa gender’, sangat diperlukan untuk mengidentifikasi dan menentukan besarnya kebutuhankebutuhan yang diperlukan oleh perempuan, sehingga terlebih dahulu perlu untuk memperhatikan faktor-faktor baik internal ataupun eksternal yang menjadi kerentanan dan resiko mereka. Untuk itu, perlu dirancang kebijakan ataupun program-rogram kesejahteraan sosial dengan skema yang sesuai, agar manfaat dari setiap program pembangunan dapat dirasakan oleh perempuan, khususnya perempuan di sektor informal.
Daftar Pustaka Badan Pusat Statistik. 2014. Statistik Ketenagakerjaan Daerah Istimewa Yogyakarta 2013-1014. Yogyakarta: BPS D.I Yogyakarta Bank
Dunia. 2010. Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia: Menuju Terciptanya Pekerjaan yang Lebih Baik dan Jaminan Perlindngan Bagi Para Pekerja. Jakarta: Kingdom of Netherland dan The World Bank
Bhat, Bilal Ahmad. 2011. Gender Earnings and Poverty Reduction: PostCommunist Uzbekistan. Journal of Asian and African Studies, Vol 46, N0 6, 629-649 Boserup, A. 1986. The Strategy of Nonoffensive Defence. Research School of Pacific Studies, Australian National University, Peace Research Centre, Boyi, Abubakar Aminu. 2013. Gender Studies and Sustainable Development in Nigeria. Journal of Educational and Social Research, Vol 3, No 10, 31-35
Sebagai penutup, sejalan dengan kesimpulan yang dihasilkan, maka tulisan ini menyarannkan bahwa perlunya merancang sebuah intervensi atau merumuskan kebijakan, dimensi gender dan norma gender di sektor informal dalam rangka untuk mencapai hasil yang berkelanjutan dan berkeadilan, solusi alternatif lembaga independen/ORMAS pemerhati buruh gendong dan pemerintah terkait perlu mengadakan kegiatan
Charmes, J . 2009. Concepts, measurement and trends. In Is Informal Normal? Towards More and Better Jobs in Developing Countries, JP Jütting and JR Laiglesia (eds.), 19–35. Paris: OECD. Creswell, John.W. 2012. Research Design: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif
214
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
development: What’s new? In Is Informal Normal? Towards More and Better Jobs in Developing Countries, JP Jütting and JR Laiglesia (eds.), 22–42. Paris: OECD
dan Mixed. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Feige, EL and I Urban. 2008. Measuring underground (unobserved, nonobserved, unrecorded) economies in transition countries: Can we trust GDP? Journal of Comparative Economics, 36, 287–306.
Locke, L. F., Spirduso, W. W., & Silverman, S. J. 1987. Proposals that work: A guide for planning dissertations and grant proposals (2nd ed.). Newbury Park, CA: Sage
Fukuyama, Francis. 2004.The End of Hiistory and The Last Man: Kemenangan Kapitalisme dan Demokrasi Liberal. Yogyakarta: Qalam
Mitra, Arup. 2005. Women in the Urban Informal Sector: Perpetuation of Meagre Earnings. Development and Change 36(2): 291–316 (2005).Institute of Social Studies 2005. Blackwell Publishing, 9600 Garsington Road, Oxford OX4 2DQ, UK and 350 Main St., Malden, MA 02148, USA
Gurtoo, A and CC Williams. 2009. Entrepreneurship and the informal sector: Some lessons from India. International Journal of Entrepreneurship and Innovation, 10(1), 55–62.
Moleong, Lexy. J. 2004. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya
Gyeke, Mavis Dako & Prince Owusu. 2013. A Qualitative Study Exploring Factors Contributing to Gender Inequality in Rural Ghana. Mediterranean Journal of Social Sciences, Vol 4, 481-489
Nanavaty, Reema. 2009. Gender Sensitivity and the SEWA Experience. The Journal for Decesion Makers is the Property of Vikalpa, Volume 34 No. 4 OctoberNovember 2009. Indian Institute of Management, Ahmedabad
Handayani, Trisakti dan Sugiarti. 2008. Konsep dan Teknik Penelitian Gender. Malang: UMM Press
Omoyibo, Kingsley Ufuoma & Ben Ibukun Ajayi. 2011. Understanding Gender and Global Africa: A Critical Perspective. Gender & Behaviour. 9 (1), 3729-3751
ILO. 2002. Women and Men in the Informal Economy: A Statistical Picture. Geneva: International Labor Office
Rodgers, P and CC Williams. 2009. The informal economy in the former Soviet Union and in Central and Eastern Europe. International Journal of Sociology, 39(2), 3–11
ILO. 2014. Indonesia: Tren Sosial dan Ketenagakerjaan Agustus 2014. Jakarta: Asian Decent Work Decade 2006-2015 ILO. 2015. Trend Ketenagakerjaan dan Sosial di Indonesia 2014-2015: Memperkuar Produktivitas Melalui Pekerjaan Layak. Jakarta: ILO
Rokicka, Magdalena and Anna Ruzik. 2010. The Gender Pay Gap in Informal Employment in Poland. CASE Network Studies & Analyses No. 406, pp. 1-46
Jütting, JP and JR Laiglesia. 2009. Employment, poverty reduction and
215
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
Schneider, F. 2008. The Hidden Economy. Cheltenham: Edward Elgar Williams. C. Collin, Et. Al. 2013. Evaluating the Gender Variations in Informal Sector Entrepreneurship: Some Lessons from Brazil. Journal of Developmental Entrepreneurship Vol. 18, No. 1 (2013) 1350004 (16 pages) © World Scientific Publishing Company DOI: 10.1142/S1084946713500040
216
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
BERHARAP PADA PENDIDIKAN RAMAH ANAK INNA HANAFIAH
Abstrak --- Marimba, A (1987: 19) mendefinisikan pendidikan sebagai “bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama.”Pendidikan bagi anak adalah tanggung jawab yang harus dipikul bersama baik oleh keluarga, sekolah dan masyarakat. Dengan pendidikan, anak dapat terbantu untuk mengembangkan potensinya, baik itu aspek moral-spiritual, intelektual, emosional maupun sosial. Pembelajaran secara sistematis yang sengaja diselenggarakan dalam sebuah lembaga formal atau sekolah akan lebih membantu dalam usaha pencapaian tersebut, dimanalembaga formal yang tentu memahami kebutuhan dan mendukung anak untuk dapat mengoptimalkan kemampuannya. Pendidikan ramah pada anak atau sejak diproklamirkan, disebut sebagai Pendidikan Inklusif, pendidikan ramah yang tidak membedakan latar belakang kondisi anak baik secara fisik, mental, sosial dan ekonomi.Di Indonesia hal ini telah berkembang bahkan ditetapkan menjadi sebuah Peraturan Mentri Pendidikan Nasional No.70 tahun 2009 yang membahas tentang pelaksanaan pendidikan inklusif. Banyak pihak yang terlibat dalam mewujudkan pendidikan ramah ini, seperti guru, kepala sekolah, orthopedagog, guru pendamping, dokter, psikolog, pemerintah sebagai pemangku kebijakan dan yang paling utama adalah orangtua sebagai pendidik utama sejak anak dilahirkan, sebagaimana telah diterangkan dalam al-Qur’an bahwa orangtua-lah yang menashranikan dan memajusikan seorang anaknya. Selain itu pendukung dalam perwujudan pendidikan ramah bagi anak adalah adanya sarana
prasarana yang memadai, baik itu bersifat konfensional atau berteknogi tinggi yang dibuat sesuai dengan kebutuhan anak yang membantu agar terlaksananya kegiatan belajar mengajar maupun teknolgi yang digunakan untuk membantu anak dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Berbagai tantangan yang dihadapi sebuah lembaga dalam mewujudkan pendidikan ramah bagi anak diantaranya pemahaman itu sendiri tentang pendidikan ramah bagi anak, sumber daya manusia, sarana prasarana, lingkungan dan kebijakan yang berlaku. Sedangkan solusi yang ditawarkan untuk menghadapi tantangan tersebut diantaranya pemahaman akan tujuan pendidikan ramah bagi anak, sosialisasi dan pelatihan, pembuatan kebijakan yang mendukung perwujudan pendidikan ramah bagi anak. A. Latar Belakang Marimba, A (1987: 19) mendefinisikan pendidikan sebagai “bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama.” Menurut Langgulung, H (2000: 402) di antara fungsi utama pendidikan, yaitu; pertama, pemindahan nilai-nilai dari generasi tua ke generasi muda agar identitas suatu masyarakat terpelihara adanya.Nilai-nilai itu di antaranya seperti; keberanian, kejujuran, setia kawan dan lain-lain yang perlu tetap dipelihara demi keutuhan dan kelanjutan hidup masyarakat.Kedua, pemindahan ilmu dan keterampilan-keterampilan dari generasi ke generasi. Ilmu adalah prinsip-prinsip yang digunakan untuk memahami jagat raya dan
217
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
Namun sekolah tidak dapat bekerja sendiri, perlu adanya bantuan dan kerjasama dengan pihak orangtua sebagai pemberi pendidikan pertama bagi anak.Maka dari itu, kerjasama orangtua dan guru di sekolah merupakan bagian penting demi menciptakan pembelajaran yang efektif juga dalam rangka peningkatan layanan pendidikan dalam mewujudkan pendidikan yang ramah pada anak. Pendidikan ramah adalah pendidikan yang mampu mengakomodir anak dengan berbagai latar belakang, pendidikan yang mampu mengoptimalkan setiap potensi yang anak miliki dengan pelayanan yang disesuaikan dengan kondisi dan karakteristik anak. Pelayanan dalam pembelajaran pun akan semakin khusus, oleh karena itu diperlukan upaya lain yang lebih mengarah kepada upaya pemberian bantuan dalam pengembangan diri yang memberikan kesempatan dan kemudahan kepada siswa untuk belajar agar dapat berkembang sebagai manusia. (Alimin,Z:2008) Dengan demikian pendidikan yang ramah bagi anak sangat diperlukan bagi perkembangan anak Indonesia dengan tidak metik beratkan pada sebuah aturan pemerataan kesamaan atau lebih mengedepankan pada satu aspek saja. Karena manusia dilahirkan dengan berbagai kecerdasannya yang berbeda yang kesemuanya itu harus dihargai dengan cara diakomodir dan optimalkan.
penciptanya serta memahami manusia sendiri.Jalannya bisa melalui indera, akal, intuisi, ilham dan yang tertinggi adalah wahyu yang diberikan pada Nabi-nabi dan Rasul-rasul.Adapun keterampilan adalah kemampuan membuat sesuatu walaupun tidak memahami prinsip berlakunya sesuatu itu. Pemindahan (transmission)nilainilai, ilmu dan keterampilan ini menurut Langgulung, H ( 2000: 404) merupakan tugas proses belajar. Proses belajar merupakan perubahan tingkah laku yang agak kekal sebagai akibat dari pengalaman. Ada syarat-syarat yang harus dipenuhi agar proses belajar dapat berjalan sebagaimana mestinya; Syarat pertama adalah bahwa harus ada perangsang (stimulus). Syarat kedua, pelajar harus bergerak balas (respons) kepada perangsang itu.Syarat ketiga adalah bahwa gerak balas diberi peneguhan (reinforcement) agar gerak balas itu bersifat kekal. Jika salah satu dari ketiga syarat ini tidak terwujud, maka proses belajar tidak akan terjadi, jadi perubahan tingkah laku yang diharapkan pun tidak tercapai. Konteks yang lebih luas dari proses belajar adalah proses belajar sosial. Dalam proses belajar sosial ini tingkah laku proses belajar akan melibatkan peniruan (imitation). Pendidikan bagi anak adalah tanggung jawab yang harus dipikul bersama baik oleh keluarga, sekolah dan masyarakat.Ki Hajar Dewantara menyebutnya sebagai Tri Pusat Pendidikan, yaitu tiga pusat pendidikan yang secara bertahap dan terpadu mengemban suatu tanggung jawab pendidikan bagi generasi mudanya. (Hasbullah,2009:37) Dengan pendidikan, anak dapat terbantu untuk mengembangkan potensinya, baik itu aspek moral-spiritual, intelektual, emosional maupun sosial. Pembelajaran secara sistematis yang sengaja diselenggarakan dalam sebuah lembaga formal atau sekolah akan lebih membantu dalam usaha pencapaian tersebut.
1. Pendidikan Ramah Bagi Anak Pendidikan merupakan kebutuhan dasar setiap manusia untuk menjamin keberlangsungan hidupnya agar lebih bermartabat.Karena itu negara memiliki kewajiban untuk memberikan pelayanan pendidikan yang bermutu kepada setiap warganya tanpa terkecuali termasuk mereka yang memiliki perbedaan dalam kemampuan (memiliki hambatan) seperti yang tertuang pada UUD 1945 pasal 31 (1). Sedangkan pada GBHN 1988 (BP 7 Pusat, 1990: 105) berbicara mengenai
218
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
sejak lahir dan terus berkelanjutan membentuk kemampuan individual, memenuhi kesadarannya, melatih gagasan-gagasan dan emosinya.Lewat pendidikan yang tidak disadari, individu secara bertahap mulai mendapat bagian dari sumber daya intelektual dan moral yang telah dikumpulkan oleh umat manusia.Demikianlah ia menjadi pewaris modal untuk membangun peradaban.”
pendidikan nasional dan memberikan batasannya sebagai berikut : “Pendidikan nasional yang berakar pada kebudayan bangsa Indonesia dan berdasarkan Pancasila serta UndangUndang Dasar 1945 dairahkan untuk meningkatkan kecerdasan serta harkat dan martbat bangsa, muwujudkan manusia serta masyarakat Indonesia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berkualitas dan mandiri sehingga mampu membangun dirinya dan masyarakat sekelilingnya serta dapat memenuhi kebutuhan pembangunan nasional dan bertanggung jawab atas pembangunan bangsa.”
Pendidikan yang sejatinya datang dari rangsangan terhadap potensi-potensi anak, melalui proses sosialisasi dimana anak menemukan dirinya. Pendidikan yang paling formal dan paling teknis dan tidak bisa menghindari proses alamiah ini, kecuali tergoda oleh setan pendidikan yang menindas dan mengekang. Jadi misi pendidikan adalah menciptakan ruang pengalaman yang menyenangkan dimana anak bisa berkembang potensinya secara maksimal.Selain itu, bahwa pendidikan harus dilangsungkan dengan berpangkal pada pengalaman anak sendiri. Pengalaman bersifat edukatif jika ada keteraturan proses dan dapat diulang dan bisa melahirkan proses struktur pengalaman, mengungkap urutan pengalaman, menganalisis hubungan (sebab akibat) satu pengalaman dengan pengalaman lainnya dan akhirnya dapat membuat kesimpulan sebagai hasil belajar dari pengalaman. Situasi belajar yang sesungguhya memiliki dimensi-dimensi yang bersifat longitudinal dan literal, memiliki sifat historis dan sosial, dan bersifat dinamis. Lalu bagaimana dengan pendidikan ramah bagi anak ?pertanyaan ini sudah mulai banyak terjawab dengan hadirnya lembaga pendidikan bahkan sampai hadirnya komunitas edukatif yang ramah bagi anak, tempat yang mampu menstimulus kecerdasan anak yang berbeda-beda, seperti hadirnya sekolah dengan tema alam, menonjolkan karakter,
Definisi tersebut menggambarkan terbentuknya manusia yang utuh sebagai tujuan pendidikan.Pendidikan memperhatikan kesatuan aspek jasmani dan rohani, aspek diri (individualitas) dan aspek sosial, aspek kognitif, afektif dan psikomotor serta segi serba keterhubungan manusia dengan dirinya (konsentris) dengan lingkungan sosial dan alamnya (horizontal) dan dengan Tuhannya (vertical). (Tirtahardja, Umar, 2005:3637). Pendidikan di seluruh dunia mempunyai tujuan dasar yang universal, yang sama dimanapun, yaitu membawa seorang anak manusia menjadi individu yang dewasa. Pendewasaan adalah proses perkembangan segenap potensi yang tidak berkotak-kotak anatara kecerdasan nalar, emosional dan spiritual. Tidak terkotakkotak antara kognitif, affektif dan psikomotor.Tidak terkotak-kotak antara fisik dan psikis.Perkembangan yang melibatkan semua potensi anak yang mengintegrasikan pengalaman yang melibatkan gerakan fisik, getaran psikis dan imaji nalar sekaligus. John Dewey mengatakan : “Seluruh pendidikan dilaksanakan melalui peran serta individu dalam kesadaran sosial rasnya.Peran itu dimulai secara tidak disadari nyaris
219
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
yang bervaraiasi.Oleh karena itu menurut paham ini pembelajaran seharusnya perpusat pada anak untuk membantu menghilangkan hambatan belajar dan hambatan perkembangan, sehingga kebutuhan belajar setiap anak dapat dipenuhi.Maka dapat dikatakan bahwa pendidikan ramah bagi anak adalah pelayanan pendidikan yang dapat mengakomodir kebutuhan anak, menstimulus kecerdasannya dan berpusat pada anak.
home schooling dan yang lainnya. Sebaliknya, disamping itu pula masih banyak pemikiran dan metode yang dianut dalam pendidikan yang bahkan kurang ramah terhadap anak. Dengan demikian menandakan bahwa terdapatnya perbedaan pemikiran, perbedaan cara atau tidak meratanya informasi mengenai pelayanan pendidikan yang ramah terhadap anak. Pendidikan ramah terhadap anak dapat diartikan sebagai pendidikan yang mampu mengakomodir anak dengan berbagai latar belakang.Pernyataan tersebut terdapat pada sebuah kesepakatan yang di deklarasikan pada tahun 1994 di Salamanca, Spanyol sehingga dikenal sebagai Deklarasi Salamanca yang melahirkan konsep Pendidikan Inklusif. Di Indonesia, pendidikan Inklusi telah mendapat pengakuan dengan hadirnya Peraturan Mentri Pendidikan Nasional (Permendiknas) No.70tahun 2009 tenatang Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan Dan/ Atau Bakat Istimewa. Dalam peraturan tersebut dijelaskan (Pasal 1) bahwa pendidikan inklusif adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/ atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam satu lingkungan pendidikan secara bersamasama dengan peserta didik pada umumnya, dan peraturan lainnya. Kelainan yang dimaksud pada pasal di atas dijelaskan juga pada pasal 10, yaitu anak berkebutuhan khusus dengan kategori hambatan yang bersifat permanen dan temporer dimana keadaan tersebut tentu memiliki berbagai penyebab yang melatar belakanginya sehingga mereka membutuhkan pada pendidikan khusus.Konsep pendidikan kebutuhan khusus saat ini dipandang sebagai sebuah pemikiran yang bersifat holistik, anak dipandang sebagai individu yang utuh, setiap anak memiliki hambatan untuk berkembang dan hambatan dalam belajar
2. Pendukung Pendidikan Ramah Bagi Anak Konsep yang sangat ideal mengenai pendidikan khusus atau inklusi lambat laun kini makin mendapat respon positif dari semua kalangan, ada usaha-usaha para praktisi pendidikan di lapangan mulai mencoba mempraktekan prinsip-prisip pendidikan yang dapat mengakomodasi kebutuhan setiap anak. Namun demikian konsep tentang pendidikan kebutuhan khusus dan inklusi harus secara terus menerus diperkenalkan kepada para pendidik dan calon pendidik, agar pemahaman tentang pendikan inklusif semakin dipahami dan dan diterima.Idelanya pelayanan pendidikan inklusi ini tidak dapat dilakukan oleh satu atau dua orang, namun akan banyak pihak, profesi yang terlibat terutama orang tua sebagai kunci dari perkembangan seorang anak. Orangtua adalah komponen yang terdiri dari ayah dan ibu dan merupakan hasil dari ikatan perkawinan yang sah dan dapat membentuk sebuah keluarga.Orangtua memiliki tanggungjawab untuk mendidik, mengasuh dan membimbing anak-anaknya untuk mencapai tahapan tertentu yang menghantarkan anak untuk siap dalam kehidupan masyrakat.Disamping itu, orangtua juga harus mampu mengembangkan potensi yang ada pada diri anaknya, memberi teladan dan mampu mengembangkan pertumbuhan pribadi dengan penuh tanggung jawab dan penuh
220
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
matang dan dewasa.”(Depdikbud, 1993 : 12 dalam Zaldym:2010).
kasih sayang.Pengertian orangtua di atas, tidak terlepas dari pengertian keluarga, karena orangtua merupakan bagian keluarga besar yang sebagian besar telah tergantikan oleh keluarga inti yang terdiri atas ayah, ibu dan anak-anak. Orangtua merupakan orang yang lebih tua atau yang dituakan.Namun umumnya dimasyarakat orangtua adalah orang yang telah melahirkan kita yaitu ibu dan bapak. Selain telah melahirkan kita ke dunia, mereka juga telah mengasuh dan membimbing anaknya dengan cara memberikan contoh yang baik dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Selain itu juga orangtua telah memperkenalkan anaknya dengan hal-hal yang terdapat di dunia ini dan menjawab secara jelas tentang sesuatu yang tidak dimengerti oleh anak. Maka pengetahuan yang pertama diterima oleh anak adalah dari orangtuanya.Karena orangtua adalah pusat kehidupan rohani si anak sebagai penyebab dari kenalnya dengan alam luar, maka setiap reaksi emosi anak dan pemikirannya dikemudian hari terpengaruh oleh sikapnya terhadap orangtuanya di permulaan hidupnya dulu.Jadi orangtua atau ibu dan bapak memegang peranan yang penting dan amat berpegaruh atas pendidikan anak(www.pengertiandefinisi.com). Orang tua yang tidak memperdulikan anak-anaknya, orang tua yang tidak memenuhi tugas-tugasnya sebagai ayah dan ibu, dan akan sangat berpengaruh terhadap keberlangsungan hidup anak-anaknya. Terutama peran seorang ayah dan ibu adalah memberikan pendidikan dan perhatian terhadap anakanaknya. Sebagaimana dikemukakan, “Perkembangan jiwa dan sosial anak yang kadang-kadang berlangsung kurang mantap akibat orang tua tidak berperan selayaknya.Naluri kasih sayang orang tua terhadap anaknya tidak dapat dimanifestasikan dengan menyediakan sandang, pangan, dan papan secukupnya.Anak-anak memerlukan perhatian dan pengertian supaya tumbuh menjadi anak yang
Tugas-tugas serta peran yang harus dilakukan orang tua pun tidaklah mudah, salah satu tugas dan peran orang tua yang tidak dapat dipindahkan adalah mendidik anak-anaknya. Sebab orang tua memberi hidup anak, maka mereka mempunyai kewajiban yang teramat penting untuk mendidik anak mereka. Jadi, tugas sebagai orangtua tidak hanya sekadar menjadi perantara makhluk baru dengan kelahiran, tetapi juga memelihara dan mendidiknya (Zaldym:2010, dalam Dananjaya, H : 2011). Suatu kewajar dan logis jika tanggung jawab pendidikan terletak di tangan kedua orangtua dan tidak bisa dipikulkan kepada oranglain karena ia adalah darah dan dagingnya, kecuali berbagai keterbatasan kedua orangtua itu sendiri. Maka sebagian tanggung jawab pendidikan dapat dilimpahkan kepada orang lain yaitu melalui sekolah (Hasbullah, 2009:88). Tanggung jawab pendidikan yang perlu disadarkan dan dibiasakan oleh orangtua terhadap anak antara lain : a. Memlihara dan membesarkannya, tanggung jawab ini merupakan dorongan alami untuk dilaksanakan karena anak memerlukan makan, minum dan perawatan agar ia dapat hidup secara berkelanjutan b. Melindungi dan menjaga kesehatannya, baik secra jasmaniah maupun rohaniah dari berbagai gangguan penyakit atau bahaya lingkungan yang dapat membahayakan dirinya. c. Mendidiknya dengan berbagai ilmu pengetahuan dan keterampilan yang berguna bagi kehidupannya kelak, sehingga bila ia telah dewasa mampu berdiri sendiri dan membantu orang lain. d. Membahagiakan anak untuk dunia dan akhirat dengan memberinya pendidikan agama sesuai dengan
221
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
seperti down syndrome, tunagrahita, tunalaras, autis, ADHD, ADD, korban NAPZA, anak pada daerah konflik dll.
ketentuan Tuhan Yang Maha Esa. (Hasbullah, 2009:88-89). Maka pendukung utama dari pendidikan ramah ini sejatinya adalah orangtua dari anak itu sendiri, adapun pihak lain yang dapat mendukung penyelenggaraan pendidikan inklusi diantaranya : a. Guru/ tutor : sebagai pendidik, pemberi informasi bagi anak b. Kepala Sekolah : sebagai koordinator dan orang yang bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pendidikan inklusi di institusinya c. Terapis : sebagai pengembang secara fisik d. Dokter : sebagai pengawas pada aspek fisik dan kesehatan e. Psikolog : sebagai pengawas pada aspek psikis f. Pemerintah : sebagai pemangku kebijakan
3. Tantangan Pendidikan Ramah Bagi Anak Berbagai tantangan yang dihadapi sebuah lembaga dalam mewujudkan pendidikan ramah bagi anak diantaranya pemahaman itu sendiri tentang pendidikan ramah bagi anak.Metode turun temurun yang menitik beratkan pada satu aspek saja seperti kognitif tanpa mempertimbangkan aspek lain (afektif, psikomotor) sehingga tidak sedikit pendidikan kita disinggahi dengan praktik pendidikan yang tidak ramah terhadap anak.Selain dari jumudnya pemikiran, hal ini pun dapat disebabkan oleh tidak meratanya informasi yang seharusnya didapati oleh para pendidik dan orangtua mengenai pendidikan inklusi/ pendidikan ramah bagi anak. Selain itu faktor tantangan lain yang lebih khusus adalah sumber daya manusia yang ahli pada bidang tersebut, tidak banyak para ahli yang tertarik hingga akhirnya terjun pada konsep/ sistem pendidikan ini. Keterbatasan ini sedikit banyak memperhambat terselenggaranya layanan pendidikan inklusi.Selanjutnya adalah mengenai sarana prasarana, pendidikan inklusi tidak hanya dinilai dari
Selain dari pihak-pihak yang telah disebutkan, factor pendukung dari penyelenggaraan pendidikan inklusi yakni dengan adanya sarana prasarana yang memadai, baik itu bersifat konfensional atau berteknogi tinggi yang dibuat sesuai dengan kebutuhan anak yang membantu agar terlaksananya kegiatan belajar mengajar maupun teknolgi yang digunakan untuk membantu anak dalam menjalani kehidupan sehari-hari.Dengan berbagai hambatan yang dimilikinya anak membutuhkan media pembelajaran, ruang belajar, fasilitas belajar yang mempu memudahkan untuk memahami berbagai informasi yang disampaikan pada anak.Sarana pembelajaran tersbut disesuaikan dengan hambatan yang anak miliki baik secara fisik seperti tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunaganda. Sedangkan secara mental
segi penerimaan siswa yang memiliki latar belakang yang berbeda, namun dilihat pula dari aspek sarana dan prasarana yang memadai dan mendukung sehingga tujuan dari belajar secara khusus dan mampu memgakomodir kemampuan anak.Dalam
pemenuhan pada tahapan ini memerlukan biaya yang tidak sedikit pula, maka pemerintah sebagai pemangku kebijakan dalam hal ini berkaitan dengan pembiayaan secara bersama ikut andil untuk merealisasikannya selain dari aturan yang dibuat sebagai paying hukumnya. Terakhir tantangan dalam mewujudkan pendidikan inklusi adalah lingkungan tempat akan diselenggarakannya inklusi baik dari faktor individunya atau aturan yang terdapat pada lingkungan tersebut.
222
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
4. Solusi Pendidikan Ramah Bagi Anak Sedangkan solusi yang ditawarkan untuk menghadapi tantangan tersebut diantaranya : a. Memahamkan akan tujuan pendidikan ramah bagi anak b. Sosialisasi dan pelatihan c. Pembuatan kebijakan yang mendukung perwujudan pendidikan ramah bagi anak.
DAFTAR PUSTAKA Alimin.Z (2008). Reorientasi Pendidikan Khusus/Plb (Special Education) Ke Pendidikan Kebutuhan Khusus (Special Needs Eucation) Usaha Mencapai Pendidikan Untuk Semua. [Online]. Tersedia : zaenalalimin.blogspot.com Dananjaya, H. (2011). Pendidikan Gratis. Jakarta : Paramadina Hasbullah. (2008). dasarIlmuPendidikan.Jakarta GrafindoPersada
:
DasarPT Raja
Peraturan Mentri Pendidikan Nasional. 2009. Tentang Pendidikan Inklusif bagi Peserta
Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan Dan/ Atau Bakat Istimewa. [Online]. Purwanto, Ngalim,M. (2009). Ilmu Pendidikan Teorotis dan Praktis. Bandung : PT RemajaRosdaKarya
223
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
PERAN ELIT LOKAL DALAM KEMENANGAN PARTAI GERINDRA PADA PEMILIHAN UMUM LEGISLATIF TAHUN 2014 DI KABUPATEN LUWU UTARA Iqbal Aidar drus1, Titin Purwaningsih2 Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Jl. Lingkar Selatan, Kasim Bantul DIY 55183 Email :
[email protected] [email protected]
anggota legislatif bukanlah memilih karena track record Aktor ataupun partai, tapi karena berdasarkan dari pilihan tokoh masyarakat yang diikutinya, selain itu faktor kedekatan emosional, kekerabatan dan kekeluargaan dengan tokoh masyarakat.
Abstrak --- Partai Gerindra menjadi perserta pemilihan umum pertama kali pada tahun 2014, yang diikuti dua belas Partai Politik. Walaupun baru pertama kali mengikuti pemilihan umum di Kabupaten Luwu Utara, Partai Gerindra berhasil memperoleh suara terbanyak ke dua setelah Partai Golongan Karya dan mendapatkan jatah enam kursi menjadi anggota dewan. Keberhasilan ini didukung oleh tokoh masyarakat di Kabupaten Luwu Utara yang berasal dari golongan elit, seperti elit birokrat, elit ekonomi (pengusaha), dan elit politik mempunyai andil yang besar dalam menarik simpatisan masyarakat untuk memilih calon anggota legislatif yang berasal dari Partai Gerindra.Oleh karena itu, peran elit lokal dalam kemenangan Partai Gerindra menjadi fokus kajian pada penelitian ini. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, dengan teknik pengumpulan data yaitu wawancara mendalam dan dokumentasi. Sebagai informan dalam penelitian ini yaitu, Ketua DPC Partai Gerindra, enam anggota DPRD dari Partai Gerindra, Tokoh masyarakat dan Wakil Bupati Luwu Utara. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa peran elit lokal dalam kemenangan Partai Gerindra dengan menggunakan tiga pendekatan, yaitu pendekatan posisional, pendekatan reputasi dan pendekatan keputusan. Dimana hasil suara Partai Gerindra 6,5%, suara calon terpilih 39,2%, suara calon tidak terpilih 54,3% dari semua calon yang ada yaitu sebanyak tiga puluh lima calon, sehingga Gerindra berhasil mendapatkan enam kursi untuk duduk di DPRD Luwu Utara. Pada umum, masyarakat di Luwu Utara memilih
Kata Kunci: Pemilu, Peran Kemenangan Partai Gerindra
Elit
lokal,
A. Pendahuluan Partai politik berfungsi sebagai saluran aspirasi warga negara. Peran partai politik memperoleh momentumnya pada saat Pemilu, ketika warga negara memilih para anggota legislatif yang akan membawa aspirasi mereka. Karena itu, partai politik memiliki tugas, yaitu menyeleksi, menawarkan, dan mencalonkan kadernya sebagai calon anggota legislatif untuk dipilih rakyat. Partai yang menjadi pemenang pemilu di suatu daerah, bisa dimaknai sebagai partai yang memperoleh tempat di hati masyarakat untuk menyalurkan aspirasi mereka dalam pemilihan umum ( Mahadi 2011 ). Partai Politik (Parpol) sebagai salah satu komponen bangsa sesungguhnya memiliki peran yang strategis untuk ambil bagian dalam menumbuhkembangkan kembali wawasan kebangsaan masyaraka Indonesia. Hal itu sangat dimungkinkan berdasarkan UU No. 2 / Tahun 2011 tentang perubahan atas Undang – Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, yang antara lain memuat kebijakan yang berkaitan dengan pendidikan politik masyarakat. Regulasi ini memberikan isyarat betapa strategisnya peran partai politik dalam memberikan pembinaan politik bagi masyarakat, termasuk yang berkaitan
224
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
Utara Gerindra sebagai partai pemenang kedua mendapatkan peolehan 6 kursi di DPRD Luwu Utara ,dimana kemenangan partai Gerindra pada pemilu Legislatif tahun 2014 -2019 bisa dikatakan sangat mengejutkan partai-partai lain yang sudah lama berada di Kabupaten Luwu Utara.
dengan wawasan kebangsaan. Partai politik sangat berperan dalam mengawasi kinerja pemerintah maupun dalam mensejahterakan masyarakatnya. Sedangkan penerapan Undang – Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang pemilihan umum, dimaksudkan agar proses domokratisasi tetap terpelihara melalui pemilu yang lebih berkualitas, domokratis, dapat dilaksanakan dengan baik, terkelola dan terlembaga. Beberapa pengaturan bagi partai politik untuk dapat menjadi peserta pemilu dengan derajat kompetisi yang sehat, partisipatif, mempunyai tingkat keterwakilan yang lebih tinggi, serta memiliki mekanisme pertangung jawaban yang jelas, serta menciptakan penyelengaraan pemilu yang lebih berkualitas dari waktu ke waktu. Pada jurnal ini Penulis meneliti tentang peran elit lokal dalam kemenangan Partai Gerindra di Kabupaten Luwu Utara. Dimana Partai Gerindra mulai masuk di Kabupaten Luwu Utara pada Tahun 2010 yang di ketuai oleh Sakaruddin, dan kemudian digantikan oleh Arsad Kasmar, hal ini di karenakan Sakaruddin tidak segera menyiapkan infrastruktur partai baik berupa sekretariat maupun kepengurusan hingga ke tingkat anak ranting (kelurahan) pada masa jabatanya. Mantan politisi Partai Golkar Arsyad Kasmar ditetapkan sebagai Ketua Dewan Pimpinan Cabang Partai Gerindra Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan, setelah melewati uji kelayakan dan kepatutan oleh tim penjaring partai tersebut. Meski dinilai sebagai pendatang baru dalam mendudukan kadernya di parlemen, namun Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) bisa membuktikan kesuksesannya pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2014, partai berlambang kepala burung garuda itu berhasil meraih enam kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Luwu Utara (Lutra). Kesuksesan Gerindra tersebut ditetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Lutra, dalam rapat pleno terbuka, penetapan perolehan kursi partai politik (Parpol) dan penetapan calon terpilih anggota DPRD Lutra di aula demokrasi, kantor KPU Luwu Utara. Anggota KPU Luwu Utara, Ir. Abdul Azis, mengatakan dalam rapat pleno penetapan tersebut Partai Gerindra berhasil meraup sebanyak 23.954 suara dan sukses mengamankan enam kursi di DPRD Luwu
Dimana partai yang baru ikut Pileg bisa merebut suara yang cukup besar di atas partai-partai lainya yang pada pemilu 2014 mereka terbilang sukses dalam merebut kursi DPRD Kabupaten Luwu Utara seperti, DEMOKRAT, PKS, HANURA, PPP, PKB, PDIP, PBB dan PAN, ternyata Gerindra sukses bersaing dalam merebut kursi DPRD.Kemenangan partai Gerindra ini tidak terlepas dari peran toko – tokoh penting sebagai elit lokal di Kabupaten Luwu Utara , tokoh – tokoh penting yang sangat berpengaruh di Luwu Utara gabung di Partai yang baru ini (Gerindra) seperti Wakil Bupati Luwu Utara Indah Putri Indriani yang menjabat sebagai wakil ketua DPD II Gerindra Sulawesi Selatan dan Arsyad Kasmar Mantan Ketua DPD II Golkar dan Calon Bupati Luwu Utara tahun 2010 yang gagal bersaing dengan Bupati sekarang Arifin Junaidi merebut Kursi 01 Luwu Utara. Arsyad Kasmar yang sekarang menduduki Ketua DPC Gerindra Kabupaten Luwu Utara mengantikan Sakaruddin Ketua DPC sebelumnya begitu halnya dengan Tahar Rum Mantan Kepala Dinas Pendidikan Luwu Utara dan juga Pernah Bersaing dengan Arsyad Kasmar pada Tahun 2010 untuk menjadi Bupati Luwu Utara, tapi sayangnya juga gagal dan sekarang menjabat sebagai Wakil Ketua DPC Gerindra Luwu Utara dan menajadi Wakil Ketua DPRD Luwu Utara. Peran tokoh – tokoh penting diatas yang merupaka elit lokal mempunyai peran yang luar biasa dalam kemengan Partai Gerindra untuk mendapatkan kursi di DPRD Kabupaten Luwu Utara. Dimana elit – elit lokal diatas mempunyai latar belakang yang berbeda maupun asal kecamatan yang merupakan basis mereka masing – masing, dimana Wakil Bupati Luwu Utara Indah Putri Indriani dari Kecamatan Bone – bone dan Sukamaju yang merupakan basis suara terbanyak diantara kecamatan yang lain, Arsyad Kasmar dari Kecamatan Baebunta sebagai tokoh terpandang di Kecamatan tersebut sama halnya dengan Muh Tahar Rum dari Kecamatan Sabbang merupakan sosok yang sangat dihormati dan dihargai di Kecamatanya yang merupakan basis suara beliau, tiga sosok ini yang sangat berperan
225
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
dalam kemengan Partai Gerindra untuk mendaptkan jatah kursi DPRD. Sepak terjang Gerindra sebagai partai baru memang luar biasa, elit –elit lokal yang ada dalam partai tersebut sukses membuktikan peranya dalam pemilihan legislatif periode 2014 -2019 Kabupaten Luwu Utara dan mereka mampu bersaing dengan partai partai besar lainya yang sudah ada cukup lama di Kabupaten Luwu Utara.
kekuasaan secara informal yang dimiliki para elit. Dalam hal ini elit dapat dilihat sejauh mana partisipasinya dalam sistem politik untuk mengetahui keterlibatannya dalam proses pembuatan kebijakan. Ketiga, analisa keputusan merupakan cara untuk mengetahui siapakah di antara para elit yang berkuasa dengan mempelajari proses pembuatan keputusan-keputusan tertentu. Dalam konteks ini, sesungguhnya yang mendapat perhatian penting adalah dari pihak siapakah sebetulnya yang berhasil mengajukan inisiatif pembuatan keputusan, dan pihak siapakah yang menentang keputusan tersebut.
B. Kerangka Teori a. Teori Partai Politik Dalam Negara demokrasi dari berbagai fungsi partai politik yang ada sebenarnya terdapat 4 (empat) fungsi sertal partai politik. Pertama adalah fungsi artikulasi kepetingan yaitu mengembangkan program – program dan kebijakan pemerintah yang konsisten. Kedua, fungsi agregasi kepentingan, memungut tuntutan masyarakat dan membungkusnya. Ketiga, rekruitmen, yaitu menyeleksi dan melatih orang untuk posisi – posisi di eksekutif dan legeslatif. Keempat, mengawasi dam mengontrol pemerintah, (Caton2007: dalam Pamungkas 2011 : 20) b. Teori Patronase
C. Metode Penelitian Penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptis kualitatif. penelitian deskriptis adalah penelitian yang bertujuan pada pemecahan masalah-masalah data-data yang dikumpulkan,disusun dan dijelaskan kemudian dianalisi. Lokasi dalam penelitian ini adalah di Kabupaten Luwu Utara di Provinsi Sulawesi Selatan di seketariat Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Gerindra Luwu Utara karena memiliki tanggung jawab dalam pemilihan umum legislatif pada periode pada tahun 2014 dalam kemenagan partai. Dalam penelitian ini mengunakan jenis data yang penulis gunakan, yaitu data primer dan sekunder, Teknik pengumpulan data dengan wawancara dan dokumentasi, dimana wawancara langsung (Face to face) tersebut dilakukan dengan responden di seketariat partai Gerindra yaitu elit lokal Wakil Bupati Luwu Utara, Ketua Umum Gerindra Luwu Utara , wakil ketua DPRD Luwu Utara, angota DPRD terpilih dari partai Gerindra, tokoh masyarakat dan mereka orang-orang yang dianggap mempunyai informasi yang dibutuhkan penelitian dan memiliki akses terhadap objek penelitian dan mengunakan dokumendokumen mengenai kemenangan partai Gerinda dalam pemilihan Umum legislatif tahun 2014 di BPS, KPU dan seketariat DPRD Luwu Utara dapat bersumber dari buku, media massa, elektronik, internet, jurnal dan dokumentasi seperti foto pada saat penelitian di lakukan. Unit analisis data dalam penelitian
Patronase di definisikan sebagai sebuah pembagian keuntungan di antara politisi untuk mendistribusikan sesuatu secara individual kepada pemilih, para pekerja atau pegiat kampanye, dalam rangka mendapat dukungan politik dari mereka menurut (Shefter 1994 : 283 dalam Aspinal dan Sukmajati 2015) c. Teori Elit Berkaitan dengan elit yang memiliki atau tidak memiliki kekuasaan, Putnam menawarkan setidaknya ada tiga strategi untuk mengidentifikasi elit politik (elit dan kekuasaan), (Putnam dalam Haryanto 2005). Tiga strategi itu adalah analisa posisi, analisa reputasi dan analisa keputusan. Pertama, analisa posisi mempunyai suatu anggapan bahwa lembaga atau struktur pemerintah formal mempunyai suatu peta hubungan kekuasaan yang bisa dipakai untuk menganalisa siapa yang berkuasa di antara para elit, dan bahwa pejabat-pejabat yang menduduki posisi-posisi puncak dalam lembaga – lembaga tersebut cenderung secara politis berkuasa. Kedua, analisa reputasi mendasarkan pada reputasi
226
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
Luas wilayah Kabupaten Luwu Utara adalah 7.502,58 Km2 yang secara administrasi Pemerintahan Kabupaten Luwu Utara terbagi atas 11 (sebelas) kecamatan. Diantara kecamatan-kecamatan tersebut, Kecamatan Seko merupakan kecamatan yang terluas yaitu 2.109,19 Km2 atau 28,11% dari total luas wilayah kabupaten sekaligus merupakan kecamatan yang letaknya paling jauh dari Ibukota Kabupaten Luwu Utara yaitu berjarak 198 KM. Kabupaten Luwu Utara yang dibentuk berdasarkan UU No. 19 tahun 1999 dengan ibu kota Masamba merupakan pecahan dari Kabupaten Luwu Adapun batas wilayah secara administratif adalah sebagai berikut : Dilihat dari batas wilayah administrasi, Kabupaten Luwu Utara berbatasan dengan : Sebelah Utara : Provinsi Sulawesi Tengah Sebelah Selatan : Kabupaten Luwu dan Teluk Bone
ini adalah Kabupaten Luwu Utara yaitu di seketariat partai Gerindra yaitu kader dan ketua DPC Gerindra Luwu Utara, di gedung DPRD Luwu Utara di mana akan mewawancarai 6 anggota DPRD terpilih periode 2014-2019 dan di rumah jabatan Wakil Bupati Luwu Utara sebagai wakil ketua DPD Gerindra Sulawesi Selatan sekaligus Wakil Bupati Luwu Utara dan 4 dapil pemihan umum legislatif Luwu Utara yaitu tokoh – tokoh masyarakat dan yang terakhir yaitu teknik analisis data yaitu Pengumpulan data yang didapatkan dari sumber peneliti yang masih bersifat mentah serta belum diolah oleh peneli, Reduksi data dengan cara membuat abstraksi dengan maksud untuk membuat rangkuman dengan menyeleksi data sehingga data dapat disesuaikan dengan yang diteliti. Indetifikasi dan kategori, dalam bagian ini peneliti melakukan indentifikasi dan kategorisasi sesuai dengan rumusan masalah penelitian. Hal ini pula dilakukan kodifikasi terhadap data dan informasi yang telah diperoleh melalui wawancara dan dokumentasi. Menyajikan data dalam bentuk yang sederhana sesuai dengan kriteria dan klasifikasi sesuai dengan rumusan masalah dalam penelitian agar mudah dipahami. Mengumpulkan data-data yang telah didapat dari seluruh proses penelitian untuk membuat pemaknaan penuturan yang dapat dipahami berkenaan dengan masalah yang diteliti.
Sebelah Barat : Provinsi Sulawesi Barat dan Kabupaten Toraja Utara Sebelah Timur : Kabupaten Luwu Timur.
E.
Hasil dan Pembahasan
Penelitian ini meneliti tentang peran elit lokal dalam kemenangan Partai Gerindra pada pemilihan umum legislatif tahun 2014 di Kabupaten Luwu Utara. Penelitian ini membahas, peran elit lokal dalam kemenangan Partai Gerindra pada Pemilu Legislatif, dimana Partai Gerindra merupakan partai baru yang ikut dalam pesta demokrasi yang dilaksanakan oleh KPUD Luwu Utara. Pada penelitian ini penulis melihat peran elit lokal dari 3 pendekatan yaitu pendekatan posisional, pendekatan reputasi dan pendekatan keputusan, sehingga dengan 3 pendekatan ini kita bisa mengetahui sebagaimana peran elit lokal dalam kemenangan Partai Gerindra pada Pemilu Legislatif di Kabupaten Luwu Utara, untuk lebih jelasnya bisa melihat tabel di bawah ini, bagaimana proses kemenangan Partai Gerindra pada Pemilu Legislatif di lihat tabel bawah ini.
D. Deskripsi Wilayah Penelitian Kabupaten Luwu Utara dengan keadaan Topografi yang bervariasi mulai dari dataran rendah didaerah pesisir dengan garis pantai mencapai + 60 Km hingga dataran tinggi pengunungan dengan ketinggian lebih dari 2000 M dari permukaan laut, luas wilayah Kabupaten Luwu Utara kurang lebih 7.502,58 Km2 yang secara Administratif terdiri dari 12 Kecamatan dari daerah pesisir di Malangke hingga daerah pengunungan di Rampi dan 171 Desa. Letak Geografis Kabupaten Luwu Utara terletak antara 010 53’ 19” - 020 55’36” Lintang Selatan dan 1190 47’ 46” - 1200 37’ 44” Bujur Timur. Kabupaten Luwu Utara dengan Ibu kota Masamba yang berjarak 430 Km kearah utara dari Kota Makassar. Letak Kabupaten Luwu Utara berada pada 010 53’ 19” - 020 55’36” Lintang Selatan dan 1190 47’ 46” - 1200 37’ 44” Bujur Timur.
227
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
Tabel 1 Perolehan Suara Partai Gerindra dan Calon Anggota Dewan Terpilih Berdasarkan Persentase Dapil
Kab. Luwu Utara 1
Kab. Luwu Utara 2
Nama 1
Rahmat Laguni, ST
2.203 (52%)
2
I Wayan Sutta, S.PI
1.419 (34%)
Yamsir
1.637 (83%)
Muh. Tahar Rum, SH
1.726 (50%)
Drs.Thahir Bethoni
1.379 (40%)
M. Imran Mattola
1.045 (82%)
3 4
Kab Luwu Utara 3
Kab. Luwu Utara 4
Suara Calon (%)
5 6
Suara Partai (%)
Jumlah
Persentase
612 (14%)
4.234
100 %
346 (17%)
1.982
100 %
3.471
100 %
366 (10%)
223 (18%) 1.268
100 %
KPUD Luwu Utara partai baru. Gerindra sebagai Partai baru berhasil membuktikanya lewat suara yang di peroleh pada saat pemilu legislatif dan berhasil mendapatkan suara di atas suara partai lainya yang mempunyai basis suara pada periode sebelumnya, berikut perbandingan perolehan persentase suara Partai Gerindra dan Partai Nasdem yang merupakan partai baru yang ikut Pileg di Luwu Utara.
Tabel diatas menejelaskan bagaimana Partai Gerindra berhasil meraih kursi DPRD di Kabupaten Luwu Utara, yang terbagi atas 4 dapil dari 12 Kecamatan yang ada, dimana Partai Gerindra berhasil mendapatkan 6 kursi dan menjadi pemenang kedua dengan suara terbanyak setelah Partai Golkar. Golkar berhasil mendapatkan 7 kursi di posisi pertama dari 12 Partai yang ada. Sebagai partai baru Gerindra berhasil mengalahkan partai-partai lama yang sudah mempunyai basis suara di Luwu Utara. Pada Pemilu Legislatif periode 2014 -2019 ada beberapa dinamika yang di alami partai- partai pemenang pemilu periode sebelumnya. Banyak calon incumbent yang duduk di kursi DPRD periode sebelumnya kalah dengan calon anggota DPRD dari
228
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
Tabel 2 Tabel Perbandingan Suara Partai Gerindra, Nasdem dan PAN Pada Pemilu Legislatif Tahun 2014 di Kabupaten Luwu Utara No
Nama Partai Politi k
Suara Calon Terpilih
1
Partai Gerindra
9.409
2
Partai Nasdem
3
Partai PAN
(39,2%) 3.127 (26%) 7.302 (55%)
Suara Calon Tidak Terpilih
Suara Calon Keseluruhan
12.989 (54.3%)
22.398 (93,5%)
7.491 (62,7%)
10.618 (88,7%)
5.083 (38%)
12.385 (93%)
Suara Partai
Jumlah suara Partai dan Calon
Persentase
1.547 (6,5%)
23. 945
100 %
11.971
100 %
13.371
100 %
1.353 (11,3 %) 986 (7,%)
KPUD Luwu Utara Terlihat jelas bahwa peran elit lokal dalam kemenangan Gerindra sangan menentukan jumlah suara yang di peroleh calon, sehingga calon yang diusung oleh partai merupakan elit lokal yang berkualitas dan memiliki ketokohan, sehingga masyarakat memilih bukan karena partainya melainkan kualitas calon yang di usung partai, sehingga bisa mewakili suara rakyat di gedung parlemen untuk kesejahteraan masyarkat di Luwu Utara. Perolehan kursi Partai Gerindra yang merupakan prestasi yang luar biasa dengan menempatkan calon-calon yang mempunyai ketokohan di masyarakat, sehingga partai Gerindra berhasil memenangkan suara di semua dapil yang ada di Kabupaten Luwu Utara ini,
Tabel di atas menjelaskan bagaimana perbandingan suara Partai Gerindra, Nasdem dan PAN yang merupakan dua partai baru dan partai lama yang ikut Pemilu Legislatif dan mendapatkan kursi di DPRD Luwu utara. Gerindra lebih unggul persentase suara dari Nasdem dan PAN, dimana peran elit lokal di Gerindra dalam perolehan suara cukup besar untuk mendapatkan suara di empat daerah pemilihan yang ada di Luwu Utara, sedangkan Nasdem sebagai partai baru hanya biasa mendapatkan tiga kursi dan PAN sebagai partai lama hanya mendapatkan empat kursi di bawa Gerindra. Dari persentase suara partai di atas kelihatan jelas bagaimana persentase yang di dapatkan Gerindra jauh lebih kecil dari suara Partai PAN dan Nasdem, tapi kenyataanya perolehan suara calon Partai Gerindra jauh lebih besar dan terbukti dengan enam kursi yang di dapatkanya untuk duduk menjadi anggota dewan.
229
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
dimana kekayaan berpengaruh pada pembagian keuntungan di antara politisi untuk mendistribusikan sesuatu secara individual kepada pemilih, para pekerja atau pegiat kampanye, dalam rangka mendapat dukungan politik dari mereka, (Shefter 1994 : 283 dalam Aspinal dan Sukmajati 2015). Penulis meneliti bagaimana pemilihan legislatif di Luwu Utara harus mengunakan cost politik untuk menjadi anggota dewan cukup banyak, tidak heran ketika pengusaha- pengusah yang mempunyai dana yang besar ikut dalam berkompetisi di pileg tahun 2014, seperti anggota dewan yang terpilih dari Partai Gerindra. Kemenangan calon dari Partai Gerindra tidak lepas dari modal ekonomi sebagai modal politk untuk memenangkan kompetisi. Tanpa modal yang besar seseorang sulit untuk duduk di kursi DPRD, namun aspek ketokohan dalam Pemilu menjadi aspek penting, karena masyarakat sudah lebih cerdas dalam menentukan pilihanya. Selain aspek ketokohan, kemenangan calon juga tergantung pada strategi yang dimiliki. Akan tetapi pentingnya ketokohan dan modal politik dalam pencalonan menjadi pertimbangan utama dalam rekrutmen politik yang dilakukan oleh Partai Gerindra. c. Eksekutif
yang meliputi di 12 Kecamatan yang ada. Penulis akan menjelaskan bagaimana peran elit lokal dalam kemenangan Partai Gerindra melalui 3 pendekatan yaitu pendekatan posisional, Pendektan reputasi dan pendekatan keputusan. 1. Peran Elit Berdasarkan Pendekatan Posisional dalam Kemenangan Partai Gerindra di Kabupaten Luwu Utara Pemilihan umum legislatif tahun 2014 di Kabupaten Luwu Utara sangatlah menarik. Jumlah calon anggota dewan sebanyak 394 yang ikut dalam calon legislatif dari 12 partai yang telah mendaftar di KPU untuk mengikuti pemilihan umum legislatif. Semua calon anggota DPRD harus memperebutkan 35 kursi DPRD Luwu Utara, dari 4 dapil yang ada di Kabupaten Luwu Utara. a.Kekuasaan Posisi dalam kekuasan sangat berpengaruh bagi kemenangan Partai Gerindra apalagi dalam pemilihan legislatif Tahun 2014 di Kabupaten Luwu utara. Ketua Partai, Pengurus partai dan caloncalon legislatif harus mempersiapkan strategi politik pada pemilihan umum legislatif di Kabupaten Luwu utara. Kekuasaan yaitu Elite yang memerintah, menurut Mosca dan Parto dalam Bottomore (2006 : 36), meliputi mereka yang menduduki posisi-posisi penting kekuatan politik dalam suatau masyarakat, mereka yang memiliki kekuasaan, yakni mereka yang menduduki posisi – posisi tertentu. dimana dalam penelitian ini elit lokal yang memiliki kekuasaan yaitu Indah Putri Indriani merupakan ketua DPC dan Wakil Bupati Luwu Utara, Arsyad Kasmar yang merupakan mantan ketua DPC Gerindra dan juga mantan calon Bupati pada saat Pilkada di Luwu Utara, sedangkan Tahar Rum merupakan wakil ketua DPC Gerindra yang merupakan calon anggota dewan yang ikut terpilih periode tahun 2014-2019. Elit lokal tersebut mempunyai pengaruh besar dalam menentukan calon-calon anggota dewan untuk ikut pemilihan umum legislatif. b.Kekayaan
Posisional dalam eksekutif yang dimana peran eksekutif berpengaruh pada kemenangan Legislatif khususnya partai Gerindra Kabupaten Luwu Utara. Dimana Elit eksekutif merupakan group yang terdiri dari orang-orang yang mempunyai posisi strategis dalam strategi di bidang tertentu. Dengan posisi yang strategis ini, dapat memperoleh kekuasaan mengontrol dan mempengaruhi orang lain. Misalnya pejabatpejabat pemerintah pada kedudukan yang strategis, (Huky dalam Arsal,2004 :7). Dimana peneliti melihat Peran elit lokal dalam eksekutif, Indah Putri Indriani yang merupakan ketua DPC Gerindra mempunyai jabatan fungsional di pemrintahan yaitu Wakil Bupati, begitu halnya dengan Tahar Rum yang pernah menjabat sebagai mantan Kepala Dinas di Pemerintahan Luwu Utara, dimana peran beliau sebagai Elit kekuasan dan eksekutif sudah di jelaskan perannya dalam tabel 5.2. Peran elit eksekutif lainya yaitu I wayan suta yang merupakan mantan kepala desa di Kecamatan Sukamaju yang
Posisional dalam kekayaan dalam hal ini bagaimana kekayaan menjadi suatu sumber kekuasaan. Dalam teori Patronase
230
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
2. Peran Elit Berdasarkan Pendekatan Reputasi dalam Kemenangan Partai Gerindra di Kabupaten Luwu Utara a. Sosialisasi
memerupakan tokoh masyarakat yang mempunyai basis suara di dapil 1. Sebagai mantan kepala desa, lewat kepemimpinan beliau pada saat menjabat membuat banyak perubahan di desa dan ketika beliau mencalonkan untuk mejadi anggota dewan masyarakat masih tetap menduduk beliau untuk mewakili suaranya di gedung DPRD Luwu Utara. pengalaman dan jaringan pada saat menjabat membuat masyarakat bisa mempercai kinerja elit eksekuti pada saat terpilih menjadi anggota dewan. d. Komunitas
Dalam pendekatan reputasi dalam sosialisasi dimana proses pembentukan sikap dan orientasi politik pada anggota masyarakat, masyarakat melalui proses sosialisasi politik inilah memperoleh sikap dan orientasi terhadap kehidupan politik yang berlangsung dalam masyarakat. Penulis menganalisis bagaimana pentingnya sosialisasi yang dilakukan Partai maupun calon anggota dewan, dengan melakukan sosialisasi tingkat partisipasi masyarakat dalam memilih calon meningkat, apalagi partai memberikan visi dan missi partai untuk kepentingan rakyat, sehingga masyarakat bisa mempercayai partai yang mencalonkan kadernya, begitupun calon anggota dewan apa saja program kerja yang dilakukan pada saat terpilih, untuk meyakinkan masyarakat agar bisa memenuhi janji dan membantu kesejahteraan masyarakat dan calon yang belum di kenal oleh masyarakat bisa di kenali oelh masyarakat ketika pemilihan nanti. Apalagi dengan adanya ambulance gratis ,Partai Gerindra melakukan sosialisasi kekecamatan dan desa-desa tentang ambulance gratis yang di siapkan Partai untuk masyarakat, agar ketika membutuhkan bantuan di bidang kesehatan baik untuk ibu-ibu hamil dan orang yang sakit untuk di bawa ke rumah sakit atau puskesmas terdekat agar cepat di obati oleh dokter maupun perawat di rumah sakit tersebut, itulah pentingnya sosialisasi bagi Partai Politik maupun calon anggota dewan yang akan mengikuti pemilihan di Kabupaten Luwu Utara. b. Partisipasi
Posisional dalam komunitas yang dimana komunitas banyak di manfaatkan elit lokal yang ingin menggapai apa yang di inginkan lewat komunitas yang bisa dia manfaatkan. Dimana Elit komunitas adalah orang-orang tertentu dalam suatu komunitas dipandang sebagai kelompok yang dapat mempengaruhi kelompok lain,( Huky dalam Arsal,2004 :7). Dimana peneliti melihat peran elit lokal dalam kemenangan partai Gerindra tidak lepas dari komunitas yang ada di Luwu Utara, baik organisasi daerah, kumunitas masyarakat,maupun persatuan mahasiswa Kabupaten Luwu utara, kader – kader Gerindra maupun caleg terpilih mengunakan lembaga masyrakat dan organisasi kemahasiswaan untuk di jadikan tim kampanye maupun tim sukses masing – masing calon. Penulis menganalisis bagaimana komunitas di Luwu Utara tidak terlalu berpengaruh dalam kemenangan Gerindra pada pemilihan umum legislatif di tahun 2014. Komunitas hanya membantu calon dan partai dalam melaksanakan kampanye politik baik sebagai panitia pertandingan bola, festival musik maupun olahraga lainya yang di adakan partai untuk menarik partisipasi pemuda memilih calon dari Partai Gerindra. Organisanis kemahasiswaan masyarakat sangat cari oleh calon-calon anggota dewan untuk sebagai alat kampanye, khususnya pada pemilih pemula yang bisa di manfaatkan suaranya, media sosial yang sangat sering digunakan oleh tim sukses pemuda calon anggota dewan untuk meyebar isu-isu positif maupun negatif dalam menurunkan maupun menaikan popularitas calon anggota legislatif di Kabupaten Luwu Utara.
Pendekatan reputasi dalam Partisipasi dimana partisipasi politik yang merupakan kegiatan masyarakat dalam berdemokrasi pada pemilihan umum baik legislatif maupun eksekutif, masyarakat harus cerdik untuk memilih pemimpin negara dan secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kebijakan pemerintah (Public Policy). Penulis menganalisis bagaimana partisipasi yang dilakukan Partai Gerindra dalam kegiatan yang di adakan oleh masyarakat setempat. Kegiatan-
231
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
kegiatan yang berupa bakti sosial, donor danar dan sunat gratis yang di laksanakan oleh pemerintah kecamatan dan desa berkerjasama dengan masyarakat sekitar. Kader-kader Partai Gerindra dan calon anggota dewan ikut dalam kegiatan yang biasanya diadakan setahun sekali itu, Gerindra pun mengunakan mobil ambulance gratis untuk digunakan masyarakat, sehingga siapaun bisa menggunakanya apabila membutuhkan pertolongan oleh ambulance. Selain itu Partai Gerindra juga berpartisipasi dalam sosialisasi untuk tidak golput dalam pemilihan umum legislatif merupakan hal positif, apalagi banyak masyarakat belum mengetahui visi dan missi Partai. Dimana Partai harus memberi arahan untuk pemilih pemula umur 17 tahun ke atas agar berpatisipasi dalam ikut serta menentukan pilihanya pada pesta demokrasi di kabupaten Luwu utara. c. Kontrol Sosial
Gerindra Sulawesi Selatan. Beliau mempunyai hak moral untuk membuat dan melaksanakan keputusan politik, baik dalam strategi – strategi partai, dan penentuan calon yang akan ikut pada pemilihan umum anggota dewan, pada saat pendaftaran hingga kemenangan Partai Gerindra tidak lepas dari kewenangan ketua DPC Gerindra, sehingga Gerindra sukses menepatkan 6 calon yang terpilih untuk mewakili 4 dapil yang ada di Kabupaten Luwu Utara. Penulis Menganalisi, dimana kewenangan para elit lokal yang ada di partai sangat berpengaruh pada keputusan yang di buat oleh partai, baik dalam penentuan kebijakan partai dalam penentuan calon, dan proses pendaftaran sampai strategi politik, untuk kemenagan calon – calon yang ikut pada pemilihan umum di tahun 2014 yang tersebar di 4 dapil di Kabupaten Luwu Utara. b. Wibawa
Pendekatan reputasi dalam kontrol sosial khusunya di dalam masyarakat, dimana peran elit juga bisa di lihat dari jaringan sosial yang merupakan suatau jaringan tipe khusus, di mana ikatan yang menghubungkan satu titik ke titik lain dalam jaringan adalah hubungan sosial. Penulis menganalisis bahwa Kontrol sosial yang yang dilakukan oleh Partai Gerindra merupakan hal yang positif sehingga dalam kampanye politik partain Gerindra untuk turun di masyarakat secara langsung dapat diterima dengan baik oleh masyarakat sekitar, apalagi di dalam partai Gerindra calon-calon anggota DPRD sebagian dari elit lokal yang mencalonkan yang berasal dari 4 dapil yang ada di Kabupaten Luwu Utara sehingga akses untuk turun kemasyarakat dapat berjalan dengan baik. 3. Peran Elit Berdasarkan Pendekatan Keputusan dalam Kemenangan Partai Gerindra di Kabupaten Luwu Utara a. Kewenangan
Seorang pemimpin mempunyai wibawa dalam kekuasaan yang dia punya dan kemampuan menguasai dan mempengaruhi orang lain dimana mempunyai sikap dan tingkah laku yang mengandung kepemimpinan dan daya tarik apalagi dalam politik. Elit lokal di Partai Gerindra sangat berpengaruh dalam kemenagan Partai, apalagi dalam basis suara yang merek miliki, sehingga kekuasaan elit yang mempunyai wibawa sangatlah menarik perhatian bagi masyarakat. Penulis menganalisis bagaimana kewenangan para elit lokal yang ada di partai Gerindra sangat berpengaruh dalam keputusan di sebuah partai. Bagaimana wibawa seorang pemimpin dalam menentukan keputusan kebijakan yang di buat agar bisa dapat di terima oleh siapapun , asalkan kebijakan yang di buat sesuai dengan startegi partai politik untuk memenagkan calon – calon di 4 dapil yang ada di kabupaten Luwu Utara c. Keputusan Kebijakan
Peran elit lokal dalam pemilihan umum legislatif di Kabupaten Luwu Utara mempunyai peran sangat penting apa lagi peran mantan Ketua DPC Partai Gerindra Arsyad Kasmar dan Ketua baru yang terpilih Indah Putri Indriani yang sebelumnya adalah Wakil Ketua DPD II
Pengambilan keputusan dalam kebijakan merupakan tugas dan fungsi pimpinan Partai Politik, dalam menentukan alternatif untuk menjadi sebuah keputusan dalam strategi politik untuk memenangkan pemilihan umum legislatif di Luwu utara,
232
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
setiap dapil Luwu Utara. Pendekatan reputasi terdiri dari sosialisasi, partisipasi dan kontrol sosial, dimana pendekatan reputasi ini merupakan strategi politik yang di lakukan elit lokal dalam kemenangan Partai Gerindra, memperlihatkan reputasi calon anggota dewan dan partai, sehingga masyarakat tertarik memilih calon dari Partai Gerindra dan yang terakhir Pendekatan keputusan terdiri dari kewenangan, wibawa dan keputusan dalam kebijakan. Pendekatan ini sangat efektif dalam menjalankan visi dan missi Partai Gerindra, sehingga elit lokal yang memegang jabatan sebagai penentu kebijakan mempunyai pendekatan keputusan yang baik dengan anggota partai dan calon anggota dewan, sehingga menjalin kerja sama yang baik untuk mencapai satu tujuan terbukti dengan kemenangan Partai Gerindra di Pemilu legislatif Kemenangan Partai Gerindra pada Pemilu legislatif tahun 2014 di Kabupaten Luwu Utara tidak terlepas dari peran elit lokal. Ketiga figur tokoh masyarakat Indah Putri Indriani, Muh Tahar Rum dan Arsyad Kasmar merupakan elit lokal yang mempunyai pengaruh besar di masyarakat, sehingga keterlibatan elit lokal pada pemilu legislatif mempunyai peran besar sehingga Partai Gerindra berhasil mendapatkan 6 kursi di DPRD dan menjadi partai pemenang kedua dari dua belas partai yang ada. Dimana hasil penelitian ini menunjutkan bahwa perolehan suara Partai Gerindra cukup besar, sehingga terpilihnya enam calon anggota dewan dari setiap dapil yang ada di Luwu Utara, sehingga jelas persentase suara Gerindra cukup besar dari partai baru dan partai lama lainya, Suara calon Partai Gerindra lebih besar dari suara Partai, karena masyarakat memilih bukan karena partai melaikan ketokohan dari calon-calon yang di usung Gerindra di tambah modal ekonomi yang besar.
di butuhkan pertimbangan-pertimbangan sebelum jatuh pada sebuah keputusan baik keputusan menguntungkan maupun merugikan seorang pemimpin. Dimana Kemenangan partai Gerindra tidak lepas dari solitnya suatu partai . Kerja sama antar pengurus dan kader-kader Partai dan bagiamana seorang pemimpin mengkodinir bawahan agar bisa patuh dan taat pada aturan yang ada di suatau partai, khusunya Partai Gerindra. Penulis Menganalisis bahwa, keputusan dalam kebijakan partai yang di lakukan oleh ketua DPC Gerindra dalam mengkodinir anggotanya untukvmenjalankan kebijakan yang telah di buat dan sepakati oleh partai. sehingga dari eli -elit lokal yang masuk dalam pencalonan, bisa menjaga basis suara di daerah masing-masing, dengan terlaksananya keputusan kebijakan Partai Gerindra pada saat Pemilihan legislatif. Sehingga Partai Gerindra dapat menjadi partai baru yang berhasil memenangkan pemilihan legislatif di Kabupaten Luwu Utara periode 2014-2019 dengan menepatkan 6 calon terpilihnya di 4 dapil yang ada. F. Kesimpulan dan Saran a. Kesimpulan Berdasarkan dari hasil kajian di atas, dimana Peran Elit Lokal dalam kemenangan Partai Gerindra pada pemilihan umum Legislatif Tahun 2014 di Kabupaten Luwu utara, dalam penelitian ini penulis mengunakan teori partai politik, teori patronase,teori elit politik dan mengunakan 3 pendekatan dalam penelitian ini, maka dari itu dapat di ambil beberapa kesimpulan, dimana peran elit lokal di lihat dari
pendekatan posisional, pendekatan reputasi dan pendekatan keputusan yang berasal dari teori elit politik dapat menjawab rumusan masalah yang ada di penelitian ini. Pendekatan Posisional inilah merupakan bentuk kesuksesan Partai Gerindra dalam mendapatkan perolehan suara yang maksimal, memanfaatkan posisi elit lokal di partai maupun di daerah pemilihan masingmasing calon, terbukti dengan terpilihnya calon anggota dewan di
233
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
b. Saran
maupun di pusat agar bisa mendapatkan pengetahuan yang lebih luas dari peneliti sebelumnya yang hanya meneliti di Kabupaten khusunya di Luwu Utara Provinsi Sulawesi Selatan.
Dalam penelitian ini penulis mengunakan 3 teori yaitu teori partai politik, teori patronase dan teori elit politik, untuk mempertajam analisis hasil penelitiian. Dimana penulis meneliti tentang kemenangan Partai Gerindra pada pemilihan umum legislatif, yang tidak lepas dari peran elit lokal yang ada di partai dan calon anggota dewan yang mempunyai ketokohan dan modal ekonomi, sehingga suara yang didapatkan partai sangat memuaskan sebagai partai baru yang ikut pemilihan. Penelitiaan ini hanya memfokuskan pada teori elit politik yang dimana berdasarkan pendekatan teori elit yang berkaitan dengan elit yang memiliki atau tidak memiliki kekuasaan, ada tiga strategi untuk mengidentifikasi elit politik (elit dan kekuasaan). Tiga strategi itu adalah Pendekatan posisional, Pendekatan reputasi dan Pendekatan keputusan, dengan tiga pendekatan ini penulis berhasil menjawab rumusan masalah yang telah di ajukan dalam penelitian ini, sehingga kedepanya peneliti selanjutnya menambahkan rumusan masalah dalam penelitianya dan perbandingan antara satu partai dengan partai lain, sehingga dapat memperkuat hasil dan analisisnya dari peneliti sebelumnya, yang hanya mempunyai satu rumusan masalah dan hanya membahas satu partai saja. Penelitian selanjutnya juga harus memfokuskan penelitianya dengan mengunakan metode kuantitatif, sehingga ada perbedaan dalam proses penelitian dan data yang diperoleh, yang cenderung mengunakan koesioner yang disebarkan oleh peneliti. Berbeda dengan peneliti sebelumnya yang mengunakan metode kualitatif dengan analisis lebih mendalam dengan mengunakan wawancara kepada informan penelitian dan peneliti selanjutnya juga memfokuskan pada pemilihan umum legislatif di provinsi
DAFTAR PUSTAKA Arsal, Thriwaty. 2004. Partisipasi Politik Elit Agama Islam di Kota Magelang. Usul Penelitian.FIS Unnes. Aspinal E dan Sukmajati M, 2015. Politik Uang di Indonesia : Patronase dan Klientelisme Pada Pemilu Legislatif 2014, Jogyakarta. PolGov. Bottomere,T,B (1996) , 2006. Elite dan Masyarakat,Jakarta,Akbar Tanjung Institute. Budiarrdjo, Miriam, 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama. Bungin Burhan, 2012. Metodologi Penelitian Kualitatif, (aktualisasi, Metodologis ke arah ragam varian kontemporer), Jakarta : Rajawali Pers. Darwis ,2011 . Elit Politik Lokal Dalam Konflik Ibu Kota di Kabupaten Morowali, Jurnal. Haryanto, 1990, Elit, Massa dan konflik, Pusat Antar Universitas-Studi sosial, UGM, Yogyakarta, hal. 6 Helmi Mahadi ,2011. Pragmatisme Politik (Studi Kasus Proses Rekrutmen Politik PDI-P Pada Pilkada di Kabupaten Sleman, Jurnal. Keller, Suzanne, 1995, Penguasa dan Kelompok Elite : Peranan Elite – penentu dalam Masyarakat Modern, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta Lexy J. Meleong, 2005. Metodologi Penelitian Kualitatif. Edisi Revisi, Bandung : PT Remaja Rosdakarya. Varma,S P, 2003. Teori Politik Modern, Jakarta, PT Raja Gravindo Persada, Jakarta Yusron, 2009. Elite Lokal dan Civil Society: kediri di tengah demokrasi, Pustaka LP3ES Indonesia, Jakarta.
234
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
PERAN DESAIN INTERIOR TERHADAP KEMAJUAN PENDIDIKAN KHUSUS AUTIS KHARISTA ASTRINI SAKYA, IMAM SANTOSA, ANDAR BAGUS Program Studi Doktor Ilmu Seni Rupa dan Desain, Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung Bandung, Indonesia
[email protected] Abstrak --- Meningkatnya kasus kelahiran autis kian mengkhawatirkan. Meningkatnya kasus kelahiran autis kian mengkhawatirkan. Autis dapat dikatakan sebagai gangguan perkembangan pada komunikasi dan interaksi sosial. Seringkali dilupakan bahwa yang mempengaruhi perkembangan dan pendidikan seorang anak, bukan hanya pada lingkungan psikis saja, tetapi lingkungan fisik juga memiliki andil yang cukup besar. Dalam hal ini lingkungan fisik yang dimaksud adalah desain interior pendidikan khusus autis. Desain Interior sebagai profesi memiliki tanggungjawab untuk dapat membuat fasilitas yang mengakomodasi segala macam individu, dalam hal ini adalah autis. Autis memiliki karakteristik yang unik dan khusus sehingga membutuhkan fasilitas yang khusus pula. Penelitian ini bertujuan untuk melihat fasilitas yang terdapat pada pendidikan khusus autis di Bandung secara faktual sehingga dapat mengetahui apakah sudah sesuai untuk desain anak autis dan mengetahui seberapa besar peran desain interior untuk lembaga pendidikan autis. Metode yang digunakan adalah kualitatif dengan cara melakukan observasi selama 2 bulan terhadap lembaga pendidikan autis, wawancara dan kajian literatur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peran desain interior termasuk salah satu faktor dalam keberhasilan kemajuan pendidikan karena anak autis yang memiliki karakteristik khusus juga harus diberi fasilitas / desain interior yang khusus pula.
LATAR BELAKANG MASALAH Meningkatnya kasus kelahiran autis kian mengkhawatirkan. Data Badan Pusat Statistik menunjukkan sejak 2010 dengan perkiraan hingga 2016, terdapat sekitar 140 ribu anak di bawah usia 17 tahun menyandang autis. Data terakhir pada tahun 2015 menunjukkan sebanyak 25.000 anak autis ada di Jawa Barat. Autis merupakan gangguan perkembangan yang kompleks, disebabkan oleh adanya kerusakan pada otak, sehingga mengakibatkan gangguan pada perkembangan komunikasi, perilaku, kemampuan sosialisasi, sensori dan belajar, dan bukan suatu penyakit mental (Peeters, 1997). Seringkali dilupakan bahwa yang mempengaruhi perkembangan dan pendidikan seorang anak, bukan hanya pada lingkungan psikis saja, tetapi lingkungan fisik juga memiliki andil yang cukup besar. Oleh karena itu, lingkungan fisik yang ada diharapkan dapat memberikan pengaruh positif dalam perkembangan anak autis. Disinilah dibutuhkan peran desain interior. Desain Interior sebagai profesi memiliki tanggungjawab untuk dapat membuat fasilitas yang mengakomodasi segala macam individu, dalam hal ini adalah autis. Autis memiliki karakteristik yang unik dan khusus sehingga membutuhkan fasilitas yang khusus pula. Terdapat beberapa pendidikan khusus autis di Bandung yang menerapkan terapi tertentu dan memiliki fasilitas yang berbeda-beda pula. Oleh karena itu, penulis ingin mengetahui seberapa besar peran desain interior dalam membantu menangani permasalahan autis.
Kata kunci :autis, desain interior, pendidikan khusus
235
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
Autis merupakan gangguan perkembangan yang kompleks, disebabkan oleh adanya kerusakan pada otak, sehingga mengakibatkan gangguan pada perkembangan komunikasi, perilaku, kemampuan sosialisasi, sensori dan belajar, dan bukan suatu penyakit mental (Peeters, 1997). Menurut Power, (1989) dalam Wikipedia, karakteristik anak autis dapat terlihat dari segi komunikasi (Sebagian tidak berkomunikasi baik verbal maupun nonverbal, tidak mampu mengekpresikan perasaan maupun keinginan), bersosialisasi (tidak ada kontak mata, menghindar bertemu orang lain), adaptasi (konsentrasi kosong, bengong, melakukan sesuatu berulang-ulang, menggigit benda, menyakiti diri sendiri, memukul benda), kepekaan sensori (sensitif terhadap suara, sentuhan, menjilat mainan atau benda-benda), pola bermain (menyenangi benda berputar, sering terpaku pada benda tertentu), emosi (sering marah tanpa alasan, sering mengamuk tak terkendali, tiba-tiba tertawa). Jenis terapi yang dapat digunakan adalah terapi medika mentosa, perilaku, psikologis, bermain, fisioterapi, terapi musik, terapi fisik, ABA, wicara, okupasi, perkembangan, visual, biomedik (Yurike, 2009). Proses terapi dilakukan di dalam ruangan terapi yang tertutup, sehingga secara tidak langsung penderita autis akan berinteraksi dengan ruangan selama proses terapi. Hal ini menyebabkan anak autis tidak merasakan apa yang ada di lingkungan luar ruangan. Dalam setiap perancangan selalu terjadi penyesuaian yang didasari oleh kepentingan pengguna, salah satunya adalah penyesuaian perancangan ruang yang akan digunakan oleh anak autis yang mudah terdistraksi oleh stimuli yang ada pada lingkungan sekitarnya. Oleh karena itu, dibutuhkan peran desain interior untuk membuat suatu ruangan yang dapat mendukung proses terapi anak autis di ruang terapi. Menurut American International Journal of Research in Humanities, Arts and Social Sciences, bahwa desain interior dapat berpengaruh positif atau negatif pada psikologis penderita autis. Kebiasaan penderita autis dapat dipengaruhi menjadi lebih baik dengan mengubah lingkungan fisik bangunan (warna, tekstur, orientasi, akustik, dll).
RUMUSAN MASALAH Desain Interior sebagai profesi memiliki tanggungjawab untuk dapat membuat fasilitas yang mengakomodasi segala macam individu salah satunya adalah autis. Sehingga fasilitas pendidikan khusus autis juga diharapkan memiliki desain interior yang sesuai untuk karakteristik dan perilaku anak autis. TUJUAN DAN MANFAAT Penelitian ini bertujuan untuk melihat fasilitas yang terdapat pada pendidikan khusus autis di Bandung secara faktual sehingga dapat mengetahui apakah sudah sesuai untuk desain anak autis dan mengetahui seberapa besar peran desain interior untuk lembaga pendidikan autis. Manfaat penelitian ini adalah untuk mengetahui peran desain interior sehingga menambah informasi mengenai desain interior yang tepat bagi lembaga pendidikan autis. Selain itu, untuk meningkatkan kesadaran masyarakat untuk peduli terhadap masalah autis. KAJIAN PENELITIAN Peran desain interior terhadap fasilitas pendidikan khusus autis di Bandung seperti ruang terapi kriya, ruang terapi akademik, dan ruang terapi motorik. KERANGKA TEORI Desain Interior
Pendidikan Khusus
Autis
Ruang yang sesuai dengan karakteristik anak autis
Kerangka teoritik Sumber : dok pribadi
236
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
METODE PENELITIAN
Gambar 2. Ruang Terapi Kriya
Pendekatan
Sumber : dok. pribadi
Pendekatan penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif. Pendekatan Desain Interior yang dipakai menggunakan teori Hosny (2015), menurut American International Journal of Research in Humanities, Arts and Social Sciences, bahwa desain interior dapat berpengaruh positif atau negatif pada psikologis penderita autis. Kebiasaan penderita autis dapat dipengaruhi menjadi lebih baik dengan mengubah lingkungan fisik bangunan (warna, tekstur, orientasi, akustik, dll).
Gambar 3. Ruang Terapi Akademik Sumber : dok. pribadi
Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dengan melakukan observasi, wawancara dan studi kajian literatur. Observasi merupakan salah satu metode pengumpulan data yang dilakukan dengan cara pengamatan terhadap perilaku & lingkungan, baik sosial dan material individu atau kelompok yang diamati (Gall, 2003). Studi kasus berada di Lembaga Percik Insani, Bandung. Penelitian dilakukan selama 2 bulan. Wawancara dilakukan terhadap terapis yang sudah berpengalaman di bidangnya selama 16 tahun. Pengambilan data menggunakan dokumentasi berupa foto-foto.
Gambar 4. Ruang Terapi Motorik / Sensori Sumber : dok. pribadi
HASIL DAN PEMBAHASAN Observasi dilakukan di Lembaga Percik Insani. Lembaga Percik Insani merupakan komunitas para orangtua yang memiliki anak berkebutuhan khusus di Bandung, merupakan sarana untuk sharing dan berbagi pengetahuan juga pengalaman, didampingi dengan para ahli.
Gambar 5. Ruang Tengah Sumber : dok. pribadi
Gambar 1. Ruang Tengah Percik Insani Sumber : dok. pribadi
237
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
Wawancara
dengan sesuatu yang rumit. Sebagai contoh, taplak meja yang bermotif atau vas bunga yang biasanya ada tetapi suatu waktu dipindahkan. Pernah terjadi anak autis yang tantrum dan melempar / membanting semua barang yang ada di ruangan. Terapis lalu mengeluarkan barang tersebut satu persatu dari dalam ruangan. Saat ruangan sudah kosong, anak tersebut diam dan tidak mengamuk lagi. Untuk hari berikutnya, barang-barang tersebut kembali dimasukkan ke dalam ruangan satu per satu agar tidak kembali menjadi tantrum. Memang desain interior ukan faktor terbesar dalam peningkatan autis, akan tetapi, desain interior adalah salah satu faktor yang sangat berpengaruh dalam peningkatan autis. Anak autis baik yang high function ataupun low function sangat detail per cm. Seperti misalnya di dalam suatu ruangan, biasanya ada 1 vas bunga. Tiba-tiba keesokannya vas tersebut pindah posisi sedikit. Mereka lalu mengembalikan kembali vas tersebut ke meja pada posisi yang sama seperti kemarin. Bentuk ruang, luas atau sempit ruangan juga berpengaruh. Anak hiperaktif sebaiknya ruang kelas nya diberi sekat agar geraknya tidak terlalu over kesana kemari.
Wawancara dilakukan dengan Ibu Retno selaku supervisor / terapis Percik Insani yang sudah berpengalaman selama 16 tahun di bidang terapi autis. Menurutnya, autis adalah gangguan hambatan perkembangan, komunikasi dan interaksi sosial. Hanya levelnya / tingkatan nya yang berbeda-beda. High function itu memang diatas baik komunikasi, sosialisasi, dst. Sebaliknya dengan yang middle dan low function. Autis tidak bisa sembuh, hanya dapat meningkat / lebih baik. Penanganan bagi anak autis adalah untuk : a. Membangun komunikasi dua arah yang aktif b. Mampu melakukan sosialisasi ke dalam lingkungan yang umum dan bukan hanya dalam lingkungan keluarga c. Menghilangkan dan meminimalkan perilaku tidak wajar d. Mengajarkan materi akademik e. Meningkatkan kemampuan bantu diri atau bina diri dan ketrampilan lain Hal terpenting yang bisa dilakukan oleh orangtua adalah menemukan program intervensi dini yang baik bagi anak autis. Tujuan pertama adalah menembus tembok penghalang interaksi sosial anak dan menitikberatkan komunikasi dengan orang lain melau cara menunjuk jari, menggunakan gambar dan kadang bahasa isyarat serta katakata. Program intervensi dini menawarkan pelayanan pendidikan dan penanganan untuk anak-anak berusia dibawah 3 tahun yang telah didiagnosis mengalami ketidakmampuan fisik atau kognitif. Desain interior suatu ruang untuk autis jelas sangat berpengaruh. Dari beberapa seminar yang ia ikuti, warna adalah yang paling berpengaruh. Warna biru dan hijau adalah yang paling baik untuk autis merasa tenang. Sementara warna merah mencolok adalah yang paling dihindari. Di dalam suatu ruang sebaiknya tidak banyak aksesoris / simple saja. Baik yang high function, low function semua sama saja mudah terdistraksi
Kajian Literatur Menurut Beaver (2003), arsitek dari Inggris, sebaiknya perancangan ruang dan bangunan untuk anak autis adalah : a. Membuat koridor untuk tempat rehabilitasi autis sebaiknya tidak terlalu panjang, hanya sekedar untuk sirkulasi atau dapat dimanfaatkan sebagai tempat bermain. b. Membuat ruangan yang cukup (tidak terlalu besar atau terlalu kecil). c. Perhatikan akustik / bising yang ditimbulkan pada ruangan, seperti menaruh karpet di lantai dengan menggunakan material yang lembut sehingga tidak menimbulkan suara dan dapat meredam suara. d. Keamanan sangat penting seperti saat mendesain toilet.
238
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
ANALISIS
e. Jendela sebaiknya diberikan kunci dan menggunakan kaca yang aman, selain itu sebaiknya menaruh penutup jendela agar tidak semua cahaya matahari dapat masuk ke dalam ruangan sehingga menimbulkan distraksi. f. Sebaiknya menggunakan pencahayaan tidak langsung, karena anak autis sensitive terhadap kedipan lampu, walaupun bagi orang yang tidak berkebutuhan khusus tidak pernah menyadarinya. g. Memberikan suatu ruang khusus yang disebut ruang tenang, agar ketika anak autis tantrum / mengamuk, terlalu stress dan banyak tekanan, anak autis dapat tenang jika berada di ruangan tersebut. h. Sebaiknya membuat taman agar membantu merangsang indra visual, pendengaran, peraba, penciuman dan perasa. i. Menggunakan warna-warna yang hangat dalam membuat desain interior seperti pada lantai, dinding, langitlangit.
Dari observasi yang dilakukan dapat dianalisa bahwa lembaga Percik Insani sudah menerapkan beberapa desain interior yang memang khusus untuk anak autis. Menggunakan warna - warna yang hangat / sederhana pada dinding, lantai, langit-langit, furniture sehingga tidak membuat distraksi anak autis. Mengurangi pola-pola dekorasi yang berlebihan. Terdapat jendela yang memiliki sistem penguncian. Lokasi lembaga mendukung akustik yang tenang karena jauh dari sumber bising (jalan raya). Luas ruang terapi cukup (tidak terlalu besar ataupun terlalu kecil). Akan tetapi belum memiliki suatu ruang khusus (ruang tenang) apabila anak sedang tantrum. Wawancara terhadap terapis percik insani telah menunjukkan bahwa desain interior memang termasuk salah satu faktor pendukung dalam keberhasilan terapi autis jika lingkungan terapi didesain secara khusus sesuai dengan karakteristik anak. Kajian literatur penelitian sebelumnya juga menerangkan bahwa betapa pentingnya peran desain interior sebagai faktor lingkungan fisik untuk mendukung terapi anak autis.
Menurut Hedge (2015), desainer interior dan ahli pencahayaan dari Universitas Texas menyatakan bahwa untuk ruang terapi autis sebaiknya :
KESIMPULAN Pemahaman akan sebuah permasalahan yang terjadi dalam proses perancangan merupakan hal yang penting dan patut untuk dimengerti, agar dalam perancangan desain yang dihasilkan memberikan sebuah solusi yang baik dan tepat untuk menanggapi masalah tersebut. Kebutuhan pengguna serta aktivitas didalamya menjadi sebuah acuan dalam merancang fasilitas-fasilitas dan keputusan desain interior. Penyandang autis memiliki karakteristik yang khusus, sehingga diperlukan penanganan yang khusus pula. Desain interior ternyata memiliki peran yang penting terhadap suatu peningkatan kegiatan terapi autis. Tentunya dengan desain yang sesuai dengan karakter fisik dan psikis penderita autis. Oleh karena itu, desain ruang
a. Membuat desain visual sesederhana mungkin dan menggunakan pencahayaan yang terang. b. Menghindari silau. Gunakan pencahayaan secara tidak langsung (indirect lighting). c. Perhatikan penggunaan lampu yang membuat kedipan (flickering) karena anak autis peka terhadap kedipan lampu. d. Suara, lampu, warna dan pola / gambar yang terlalu dekoratif. Memicu anak autis mendapatkan stimulus yang berlebihan.
239
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
pendidikan khusus autis sebaiknya diperhatikan dan menjadi sebuah kajian yang bisa lebih diperdalam lagi agar dapat menjadi sebuah alternatif solusi dalam membuat suatu ruang terapi autis yang dapat meringankan perilaku autis sehingga dapat memajukan pendidikan autis. DAFTAR PUSTAKA Beaver, C. 2003. Breaking the mould, Communication 37(3): 40 Gall, dkk. 2003. Educational Research : an Introduction. Seventh Edition. Boston : Allyn dan Bacon Hedge, Asha. 2005. Sensory Sensitivity and the Built Environment. Designing for Disorders. LD+A : Texas Hosny, Inas. 2015. American International Journal of Research in Humanities, Arts and Social Sciences. Arab Republic of Egypt. Petters, Theo. 1997. Autism : From Theoretical Understanding to Educational Intervention. J.A Majors Company. Peeters, Theo 2004. Autisme Hubungan Pengetahuan Teoritis dan Intervensi Pendidikan bagi Penyandang Autis. Jakarta, Dian Rakyat Sakya, Kharista. 2015. Seminar Nasional Itenas. Peran Desain Interior pada Ruang Terapi Autis Bandung Sakya, Kharista. 2016. Seminar Nasional USU. Arsitektural dan Desain Interior Lembaga Terapi Autis di Bandung
240
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
PEREMPUAN DALAM PERCATURAN POLITIK INDONESIA Mahathir Muhammad Iqbal Universitas Islam Raden Rahmat Malang Malang-Indonesia Email:
[email protected]
Abstraks --- Politik afirmasi atau pengutamaan tidak sekadar ditujukan demi mengurangi kesenjangan dampak pembangunan terhadap perempuan. Di luar isu gender, para perempuan kandidat, termasuk laki-laki, mesti memperhatikan situasi ketidakseimbangan lain. Dalam perspektif politik misalnya, upaya untuk mengentaskan ketidakberdayaan perempuan yang berkaitan dengan kualitas perannya dibidang politik, yang pertama adalah menghilangkan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan di pentas politik untuk mangaktualisasikan kemampuannya. Hal tersebut tidak hanya selaras dengan tujuan pembangunan nasional, tetapi juga karena jumlah perempuan adalah separuh dari jumlah penduduk Indonesia. Oleh karena itu, sangatlah wajar bila ada wakil yang dapat menyuarakan aspirasi politik mereka.
pendidikan yang setara dengan pria. Di bidang lain ada perempuan yang berjuang untuk merebut kemerdekaan RI seperti Cut Nyak Dhien, Maria Tiahuhu, Yolanda Maramis, dsb. Indonesia merupakan Negara pertama di kawasan Asia-Pasifik yang membentuk kementrian khusus untuk meningkatkan peran perempuan.1 Berbagai kegiatan perempuan yang muncul sejak pemerintahan Orde baru baik organisasi profesi maupu ikatan kerja suami, PKK, Kowani, dll. Hal tersebut menunjukkan adanya pertumbuhan partisipasi politik perempuan yang semakin besar dan telah banyak membantu melaksankan programprogram pemerintah. Berbagai jabatan politis telah dicapai seperti menjadi menteri, anggota parlemen, ketua partai, bupati, camat, lurah dll. Tetapi jika dilihat dari jumlah maupun pengaruhnya dalam perumusan kebijaksanaan nasional sangatlah kecil. Keterlibatan perempuan dalam urusan politik pada masa kini sangat berbeda dengan kondisi perempuan dimasa lalu. Perbedaan itu bisa karena kondisi sosiokultur maupun perkembangan zaman. Berbagai permasalahan yang seringkali korbannya adalah para wanita seperti penyiksaan terhadap TKW di luar negeri, dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) menunjukkan lemahnya perlindungan hukum terhadap mereka. Semua permasalahan dan ketidakadilan
Kata Kunci:
I. PENDAHULUAN Keterlibatan perempuan di kancah politik bukanlah sesuatu hal yang baru. Dalam sejarah perjuangan kaum perempuan, partisipasi perempuan dalam pembangunan telah banyak kemajuan dicapai terutama di bidang pendidikan, ekonomi, lembaga kenegaraan dan pemerintahan. Dalam sejarah perjuangan kaum wanita Indonesia, kita mengenal tokoh-tokoh perempuan seperti R.A Kartini, Dewi Sartika, Nyi Ageng Serang, dsb. Mereka memperjuangkan hak-hak perempuan untuk dapat memperoleh
1
Eza, nove “Partisipasi Politik Perempuan di Indonesia” (Online) http://noveez.blogspot.co.id/2012/05/partisipasipolitik-perempuan-di_26.html. (diakses pada 5 Otober 2015)
241
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
Angka itu melonjak hampir dua kali lipat jika dibandingkan dengan perempuan calon dalam periode awal pilkada (2005– 2008). Mengutip data yang dihimpun Jaringan Pendidikan Pemilih Rakyat (JPPR), selama kurun awal pelaksanaan pilkada itu, perempuan kandidat hanya mencapai 3,8 persen dari 466 pilkada (134 orang).2 Meski terbilang masih kecil, kenaikan itu menandai perubahan peta sosio-politik perempuan di daerah. Perempuan tak hanya dipandang sejajar dalam rasio penduduk (101 laki-laki:100 perempuan), tapi karena kemampuannya memimpin daerah. Lebih dari itu, perempuan pemimpin diharapkan lebih mampu mengafirmasi (memihak) kebutuhan perempuan dalam kebijakan dan pembangunan daerah. Tingginya harapan terhadap perempuan kontestan cukup wajar. Sebuah studi multinegara menunjukkan bahwa demokrasi dan kesetaraan gender merupakan dua variabel yang saling berkontribusi. Studi Caroline Beer pada 2009 menemukan bahwa negara-negara dengan demokrasi yang mapan dan memberikan ruang yang sama untuk perempuan dalam memilih serta memegang jabatan publik memberikan kontribusi signifikan terhadap peningkatan kapabilitas perempuan. Yakni, dalam peningkatan harapan hidup, angka fertilitas lebih rendah dan ada perbaikan kesempatan kerja. Di tengah perdebatan akademis yang saling tak selaras, faktanya, kehadiran perempuan kepala daerah dan wakil kepala daerah masih relevan untuk mendorong politik afirmasi bagi perempuan. Setidaknya tiga bidang utama yang bersinggungan dengan kehidupan perempuan masih membutuhkan keberpihakan. Yakni, pendidikan, kesehatan, dan angkatan kerja.
yang menimpa kaum hawa inilah yang nampaknya membuat kaum pejuang feminis menjadi geram. Mereka menginginkan adanya sebuah perlindungan secara legal yang terformulasikan berupa aturan dalam suatu undang-undang. Partisipasi perempuan dibidang politik pada masa reformasi kini mengalami perluasan peran menjadi anggota parlemen. Partisipasi perempuan dalam pemilu legislatif menunjukan adanya kemajuan bagi proses demokrasi yang berbudaya partisipatoris dan tentu saja hal ini membuat kaum perempuan lebih kaya akan pemenuhan haknya. Dengan adanya keterwakilan perempuan di Parlemen diharapkan berbagai aspirasi yang berkaitan tentang masalah-masalah perempuan bisa “terinstitusionalisasikan” melalui berbagai produk politik yang dibuat. Keterwakilan perempuan menjadi wakil rakyat adalah sebuah ikhtiar untuk memperjuangkan kepentingan kaum perempuan dalam arena legislasi. Dengan kedudukan mereka di parlemen diharapkan kepentingan para kaum hawa dapat terwakili. Akan tetapi, partisipasi kaum wanita yang terlibat di parlemen tidak sebatas pemenuhan kuota belaka. Mereka tidak sekedar kuantitas tapi juga harus memiliki kualitas yang menunjukan kemampuan dirinya sebagai penyalur aspirasi rakyat. Akhirnya, melihat perjuangan kaum wanita diberbagai bidang kehidupan termasuk bidang politik patut kita hargai dan hormati selama itu berada pada batas yang wajar dan tidak menyalahi aturan agama dan norma sosial. II. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Fakta Partisipasi Politik Perempuan Di Indonesia Harus diakui, terjadi peningkatan partisipasi perempuan sebagai pasangan calon (paslon) dalam pilkada serentak 2015. Menurut data sementara KPU, dari 1.576 calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang mendaftarkan diri, 115 di antaranya perempuan (7,3 persen).
2
Sobari, Wawan “Tak Otomatis Pro-Kaum Hawa” (Online) http://www.jpip.or.id/artikelview-569-takotomatis-prokaum-hawa.html (diakses pada 8 Oktober 2015).
242
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
Menurut data BPS hingga 2013, angka partisipasi murni (APM) perempuan memang lebih baik untuk jenjang SMP dan SMA. Namun, tingkat kepemilikan ijazah perempuan (SMP, SMA, dan diploma/sarjana) masih lebih rendah daripada laki-laki. Pun, angka penduduk
perempuan usia 15 tahun ke atas tidak/belum pernah sekolah. Jumlahnya dua kali lipat lebih jika dibandingkan dengan penduduk laki-laki. Kategori yang sama dialami perempuan melek huruf, yang angkanya lebih rendah daripada lakilaki (angka lihat grafis).
Sumber: BPS 2013-2014, diolah. Bagi perempuan bekerja, iklim ketenagakerjaan belum sepenuhnya afirmatif. Hingga 2012, survei BPS menemukan bahwa rasio gaji perempuan terhadap laki-laki sebesar 0,8 poin. Artinya, bagi perempuan bekerja pun, penghasilan belum setara. Kasus Jawa Timur bisa sedikit memberikan penjelasan. Yakni, jumlah perempuan yang berposisi sebagai tenaga kepemimpinan dan ketatalaksanaan jauh lebih sedikit ketimbang laki-laki (90,34 persen) pada 2013. Bagi perempuan kepala rumah tangga (KRT), situasi tersebut tentu merugikan. Berdasar status perkawinan, perempuan menjadi KRT pasca mengalami perceraian. Artinya tak kawin lagi. Angka perempuan KRT mencapai 82,56 persen pada 2013. Mayoritas berstatus cerai mati (69,16 persen). Merujuk angka-angka itu, potensi
Dalam masalah kesehatan, masih ada sekitar 1,027 juta penduduk perempuan (0,83 persen) yang berobat jalan ke dukun bersalin pada 2013. Angka tersebut meningkat hampir dua kali lipat dari 2009 (0,42 persen). Perilaku berobat yang berisiko itu cukup ironis dengan upayaupaya penurunan angka kematian ibu saat melahirkan yang banyak di inisiatori pemerintah dan daerah. Apalagi, penduduk perempuan yang mengalami keluhan kesehatan lebih banyak daripada laki-laki. Terkait dengan urusan ekonomi, perempuan (>15 tahun) yang bekerja jauh lebih sedikit daripada laki-laki pada 2012. Situasi itu terjadi karena lebih banyak perempuan yang beraktivitas mengurus rumah tangga ketimbang laki-laki. Angka tertinggi terutama pada perempuan kelompok usia 15–24 tahun. Baiknya, tren angka perempuan tak bekerja menunjukkan penurunan tipis sejak 2009.
243
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
Permendagri lebih mengedepankan prinsip kepatuhan dan kesatuan manajemen keuangan negara daripada pendekatan pengarusutamaan serta pertimbangan perbedaan gender. Ada satu hal yang paling memungkinkan didorong para perempuan kandidat untuk mengakomodasi kepentingan perempuan. Yakni, melakukan afirmasi isu-isu perempuan dalam visi, misi, dan program kampanye masingmasing. Saat mereka memenangi pilkada, kepentingan perempuan akan lebih terakomodasi dalam rencana pembangunan jangka menengah daerah (RPJMD) sesuai isi kampanye. B. Kendala-Kendala Partisipasi Politik Perempuan Untuk dapat terlibat dalam segala aspek kegiatan politik bagi perempuan tidaklah mudah. Kondisi perempuan Indonesia yang dicapai sekarang ini terbentuk oleh adanya kendala yang menghambat partisipasi politiknya. Kendala pokok yang sering sekali dipergunakan sebagai alasan lemahnya partisipasi politik perempuan, dapat dikelompokkan menjadi dua, yakni hambatan internal dan hambatan eksternal. Hambatan internal berupa keengganan besar perempuan untuk terlibat dalam kegiatan politik. Keengganan ini dikarenakan soso-kultural mereka yang belum memungkinkan bisa aktif menyuarakna dan menyampaikan keinginan serta aspirasinya di bidang politik. Aktivitas dianggap tidak layak bagi perempuan, karena sifat-sifatnya yang jauh dari citra perempuan. Dunia politik di naggap “keras”, “kotor”, dan penuh dengan muslihat sehingga dianggap tidak cocok untuk citra perempuan. Lingkungan social budaya yang kurang mendukung pengembangan potensi perempuan, antara lain wawasan orangtua, adat, penafsiran terhadap ajaran agama yang tidak tepat, tingkat pendapatan keluarga, dan system penddidikan yang diskriminatif. Masih lekatnya budaya tradisional dan kecilnya akses wanita pada
timbulnya kemiskinan baru cukup tinggi bila tidak ada intervensi pemerintah. Seandainya dalam pilkada serentak 2015 lebih banyak perempuan kandidat terpilih, apakah akan menguntungkan posisi perempuan di daerah? Jawabannya tak sesederhana ya atau tidak. Studi Kurnia Hastuti Dewi pada 2015 tentang kemenangan tiga perempuan sebagai bupati dalam pilkada Kabupaten Pekalongan, Banyuwangi, dan Kebumen menunjukkan hal sebaliknya. Pendekatan mereka terhadap isu-isu perempuan menunjukkan bahwa perempuan pemimpin tidak otomatis mengadopsi perspektif perempuan dalam kebijakannya. Fakta pendukung lain tampak dari perubahan indeks pembangunan gender (IPG). Perbandingan IPG delapan daerah yang di pimpin bupati/wali kota perempuan (Surabaya, Bantul, Kabupaten Kediri, dan Kutai Kartanegara) dan bupati/wali kota laki-laki (Kabupaten Blitar, Bantaeng, Kota Bandung, dan Samarinda) menunjukkan data yang tak konsisten. Sepanjang 2009–2013, akumulasi perbaikan IPG Surabaya lebih tinggi daripada tiga daerah lain yang samasama dipimpin perempuan. Namun, Bantaeng di bawah kepemimpinan Prof Dr H M. Nurdin Abdullah berhasil meningkatkan angka IPG lebih baik dalam kurun yang sama. Situasi yang tak menguntungkan kaum hawa itu sebenarnya bukan kesalahan daerah semata. Rezim regulasi otonomi daerah menjadi salah satu penyebab. Pertama, hingga pemberlakuan UU 32/2004, desain pemberdayaan perempuan ditetapkan sebagai desentralisasi kewenangan. Karena itu, daerah tidak cukup kuat untuk memenuhi kebutuhan gender (praktis dan strategis) dalam perencanaan pembangunan. Kedua, permendagri yang mengatur pedoman penyusunan APBD cenderung melemahkan upaya pengarusutamaan gender. Alasannya, permendagri menetapkan kode-kode belanja daerah berdasar kewenangan yang didelegasikan.
244
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
penguasaan factor social ekonomi menyebabkan terbentuknya image dalam diri perempuan bahwa memang sewajarnya mereka berada di belakang pria. Kendala eksternal menurut Afan Gaffar antara lain dari birokrasi yang paternalistic, pola pembangunan ekonomi dan politik yang kurang seimbang dan kurang berfungsinya partai politik. Kendala pokok lemahnya partisipasi politik perempuan antara lain berada pada lingkungan social budaya yang kurang mendukung pengembangan potensi perempuan. Selain itu dapat pula bersumber dari kebijaksanaan pembangunan politik yang kurang memadai serta kurang berfungsinya partai politik. Peningkatan partisipasi politik perempuan dapat diupayakan antara lain dengan melalui pendidikan politik yang mampu menciptakan kemampuan dan kesadaran perempuan akan hak dan kewajibannya di bidang politik. Dalam hal ini memang tidak terlepas dari keberadaan laki-laki yang secara luas mendominasi arena politik, laki-laki sangat dominan dalam memformulasikan aturanaturan permainan politik; dan laki-laki lah yang sering mendefinisikan standar untuk evaluasi. Lebih jauh, kehidupan politik sering diatur sesuai dengan norma-norma dan nilai-nilai laki-laki, dan dalam beberapa kasus, bahkan menurut gaya hidup laki-laki. Sebagai contoh, model politik didasarkan pada ide “pemenang dan pecundang”, kompetisi dan konfrontasi, bukan atas dasar saling menghormati, kolaborasi dan penciptaan konsensus. Lingkungan ini sering bertentangan dengan perempuan. Keberadaan dari model yang didominasi laki-laki ini menyebabkan perempuan menolak politik secara keseluruhan atau menolak politik gaya laki-laki. Jadi, ketika perempuan berpartisipasi dalam politik, mereka cenderung melakukannya dalam jumlah kecil. Di antara kendala-kendala politik yang dihadapi perempuan, yang utama adalah:
• Kelaziman “model maskulin” mengenai kehidupan politik dan badanbadan pemerintahan hasil pemilihan. • Kurangnya dukungan partai, seperti terbatasnya dukungan dana bagi kandidat perempuan; terbatasnya akses untuk jaringan politik, dan meratanya standar ganda. • Kurangnya hubungan dan kerja sama dengan organisasi publik lainnya, seperti serikat dagang (buruh) dan kelompok-kelompok perempuan. • Tiadanya sistem pelatihan dan pendidikan yang dibangun dengan baik, baik bagi kepemimpinan perempuan pada umumnya, maupun bagi orientasi perempuan muda pada kehidupan politik khususnya. • Hakikat sistem pemilihan, yang barangkali atau tidak mungkin menguntungkan bagi kandidat perempuan. C. Upaya Peningkatan Partisipasi Politik Perempuan Dalam upaya peningkatan perempuan di bidang politik perlu pemahaman dan analisis secara menyeluruh sehingga dihasilkan suatu rekomendasi kebijkasanaan yang tepat. Bebeapa peluang bagi perempuan untuk meningkatkan kualitas perannya dibidang politik antara lain: • Pasal 17 dan 21 UUD 1945 • GBHN yang sejak tahun 1978 • Konferensi-konferensi perempuan sedunia Peluang-peluang yang mendukung tersebut, memang pada akhirnya akan dikembalikan kepada perempuan untuk memanaatkannya atau tidak. Namun bila mengingat besarnya potensi yang ada pada perempuan Indonesia yang secara kuantitas lebih besar daripada pria, maka sewajarnyalah bila peluang dan potensi tersebut tidak disia-siakan. Perempuan dalam pengembangan kiprahnya sebagai warganegara mempunyai harapan sebagai pemilik masa depan bangsa yang secara fungsional mampu menempatkan diri sebagai tenaga
245
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
tahun 1992 menjadi 9,2% pada tahun 1999. Keadaan ini mengakibatkan terjadinya pengesahan dan penerapan berbagai produk hukum (UU dan peraturan) dan penetapan prioritas program-progam pembangunan di tingkat nasional dan lokal yang sama sekali tidak mencerminkan kesetaraan politik, keadilan sosial, maupun kepentingan kaum perempuan. Dua isu penting yang dibahas pada Konferensi PBB tentang Perempuan di Beijing, tahun 1995, adalah perlunya meningkatkan jumlah kaum perempuan di dunia politik serta memperkokoh basis kekuatan mereka. Partisipasi aktif pemerintah Indonesia dalam konferensi itu ditindaklanjuti dengan digelarnya berbagai lokakarya, seminar, dan konferensi oleh perempuan anggota parpol dan parlemen yang disponsori oleh Kementerian Negara Pemberdayaan Wanita. Semua kegiatan itu dimaksudkan untuk memperkokoh jaringan aktivis perempuan serta melobi lembaga-lembaga terkait agar memasukkan isu jender dan kuota perempuan dalam proses-proses legislatif. Meningkatnya partisipasi politik perempuan baik di tingkat lokal maupun nasional akan berpengaruh pada karakter demokrasi Indonesia bagi seluruh warga negara. Memperkuat partisipasi politik, berarti menempuh upaya-upaya yang tak hanya terbatas pada meningkatkan jumlah perempuan di dunia politik, namun juga memperbaiki kinerja dan keberhasilan perempuan dalam berpolitik, mengkaji dampak yang ditimbulkan partisipasi mereka di dalam sistem politik, memonitor perkembangan agenda politik, dan memantau isu-isu yang muncul seiring dengan keterlibatan mereka di dalam sistem politik. Isu pemberdayaan perempuan sebenarnya belum mendapat porsi dan kedudukan yang sebanding dengan diskusi mengenai peningkatan jumlah perempuan di parlemen. Akan tetapi, diskusi-diskusi yang digelar selama konferensi nasional dan lokakarya regional sudah maju
pembaharu, dinamisator dan katalisator untuk pembangunan nasional. Oleh karena itu perempuan dalam menghadapi tantangan globalisasi harus membekali dirinya dengan ilmu, teknologi dan berbagai macam kemampuan dan keterampilan di berbagai bidang kehidupan seperti politik, ekonomi, sosial dan budaya bangsanya. Upaya untuk mengentaskan ketidakberdayaan perempuan yang berkaitan dengan kualitas perannya dibidang politik, yang pertama adalah menghilangkan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan di pentas politik untuk mangaktualisasikan kemampuannya. Hal tersebut tidak hanya selaras dengan tujuan pembangunan nasional, tetapi juga karena jumlah perempuan adalah separuh dari jumlah penduduk Indonesia. Oleh karena itu, sangatlah wajar bila ada wakil yang dapat menyuarakan aspirasi politik mereka. Peran perempuan Indonesia di pentas politik sudah waktunya mendapat porsi yang proporsional. Seyogyanya tidak ada lagi ucapan yang meragukan kemampuannya untuk tampil di pentas politik. Oleh karena itulah harus adanya gerakan yang mendorong untuk terwujudnya kebijakan pemerintah yang memiliki kepekaan gender. Untuk membicarakan upaya memperkuat partisipasi politik perempuan di Indonesia kita harus menempatkannya di dalam konteks transisi yang tengah dialami bangsa Indonesia menuju ke sistem politik yang lebih demokratis. Inti demokrasi adalah upaya menjamin kesetaraan politik bagi seluruh warga, tak terkecuali kelompok marjinal dan kaum minoritas. Meskipun secara demografis mayoritas penduduk Indonesia adalah perempuan, mereka tak lebih dari mayoritas bisu kelompok besar yang termarjinalisasi secara politis, sosial, kultural dan ekonomis yang hampir selalu absen pada proses-proses pengambilan keputusan. Sebagai contoh, representasi perempuan di DPR mengalami penurunan dari 12% pada
246
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
di kota mencapai Rp 903.085, sedangkan rerata pengeluaran warga yang tinggal di desa hanya Rp 505,461. Dengan besaran pengeluaran yang timpang, perempuan di desa memiliki kapasitas memilih yang lebih kecil dalam menentukan prioritas pengeluaran dan manajemen keuangan skala rumah tangga. Terakhir, keragaman budaya yang tinggi. Posisi kultural perempuan berbeda di tiap nilai-nilai budaya yang berkembang di masyarakat. Misalnya, ada perbedaan antara posisi kultural perempuan dalam budaya dan adat Jawa dan Papua. Juga, tingkat penerimaan dan keterbukaan terhadap perubahan berbeda untuk setiap kultur dan adat. Untuk itu, akan tampak naif bila politik afirmasi hanya mempertimbangkan perbedaan kebutuhan gender. Sebab, secarafaktual sumber perbedaan yang mendiskriminasi perempuan meliputi pula disparitas antar wilayah, karakter kawasan tempat tinggal, serta variasi nilai budaya dan adat A. Saran Niat perempuan menjadi calon kepala/wakil kepala daerah pada pemilihan kepala daerah serentak masih minim. Jumlahnya hanya 116 orang atau 7,32 persen dari 1.584 calon. Padahal, jika menjadi pemimpin daerah, mereka dapat mendorong kebijakan yang pro perempuan. Dari 1.584 orang yang memenuhi syarat untuk mengikuti pilkada serentak, hanya 116 orang atau 7,3 persen yang merupakan perempuan.meskipun jumlah calon kepala daerah perempuan bisa saja bertambah karena belum termasuk empat daerah yang penetapan calonnya baru di 262 daerah, persentase keberadaan perempuan tidak akan berubah atau tak akan lebih dari 8 persen. Keempat daerah yang calon kepala daerahnya belum ditetapkan adalah Surabaya, Denpasar, Minahasa Selatan, dan Kutai Kartanegara. Adapun dari jumlah 116 calon perempuan tersebut, sebanyak 54 orang maju sebagai calon kepala daerah dan 62 orang lainnya maju sebagai calon wakil
selangkah dalam meningkatkan kesadaran ke arah itu. III. Kesimpulan Politik afirmasi atau pengutamaan tidak sekadar ditujukan demi mengurangi kesenjangan dampak pembangunan terhadap perempuan. Di luar isu gender, para perempuan kandidat, termasuk lakilaki, mesti memperhatikan situasi ketidakseimbangan lain. Isu-isu berikut tidak kalah urgen untuk diseriusi. Pertama, kesenjangan antardaerah. Beberapa provinsi di Indonesia menghadapi kondisi ketertinggalan capaian pembangunan lebih parah daripada daerah lain. Penduduk perempuan di Papua menghadapi kesenjangan lebih parah daripada kaum hawa di provinsi lain. Misalnya, angka buta huruf perempuan mencapai 37,04 persen pada 2013. Padahal, rerata angka nasional hanya 7,69 persen. Contoh disparitas lain tampak pada status kesehatan perempuan. Persentase penduduk perempuan yang mempunyai keluhan kesehatan di Daerah Istimewa Jogjakarta (37,86 persen) dan Nusa Tenggara Timur (37,16 persen) jauh lebih tinggi daripada angka rerata nasional sebesar 28,68 persen. Angka keluhan kesehatan daerah lain jauh lebih kecil, seperti Maluku Utara (16,32 persen) dan Papua (19,19 persen). Kedua, kesenjangan desa dan kota. Perempuan di desa mengalami ketidaksetaraan lebih parah daripada di kota. Persentase penduduk perempuan usia 10 tahun ke atas yang tidak/belum pernah sekolah di kawasan perdesaan (10,14 persen) dua kali lipat lebih besar daripada perkotaan (4,46 persen). Begitu pula perempuan yang menjadi KRT berstatus cerai hidup dan cerai mati di perdesaan (85,77 persen) lebih besar ketimbang perempuan KRT di perkotaan (79,54 persen). Ironisnya, ketimpangan itu terjadi di tengah situasi perbedaan pengeluaran yang cukup kontras. Pada 2013 rata-rata pengeluaran per kapita sebulan penduduk
247
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
Nadezhda Shvedova.”Kendala-kendala terhadap Partisipasi Perempuan dalam Parlemen,”
kepala daerah. Dari jumlah yang maju sebagai kepala daerah, terbanyak adalah mantan anggota DPR/DPD/DPRD. Sementara dari yang maju sebagai calon wakil kepala daerah, terbanyak adalah kader partai. Oleh karena itu diperlukan kebijakan afirmasi perempuan di parpol dengan merevisi Undang-Undang Partai Politik dan menyebutkan secara eksplisit atau harus minimal 30 persen, bukan "memperhatikan keterwakilan" 30 persen di kepengurusan partai. Untuk jalur perseorangan atau independen, revisi UU Pilkada di antaranya dengan memberikan kemudahan syarat dukungan dan kelonggaran waktu bagi calon perempuan yang maju.
http://pecintapena.wordpress.com/2011/06/ 04/peran-perempuan-di-parlemen/ http://koran.republika.co.id/koran/0/14991 3/mendorong-partisipasi-perempuan/ Sobari, Wawan “Tak Otomatis Pro-Kaum Hawa” (Online) http://www.jpip.or.id/artikelview569-tak-otomatis-prokaumhawa.html (diakses pada 8 Oktober 2015).
Daftar Pustaka Bruce A. Chodwick, Social Science Research Methods, terj. Sulistia (dkk), Metode Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Semarang: IKIP Semarang Press, 1991. Cakrawala Pendidikan,”Parisipasi Politik dalam Upaya Peningkatan Partisipasi Politik Wanita”, 1997. Eza, Nove “Partisipasi Politik Perempuan di Indonesia” (Online) http://noveez.blogspot.co.id/2012/05/ partisipasi-politik-perempuandi_26.html. (diakses pada 5 Otober 2015) Gaffar,Afan, “Partisipasi Indonesia,” vol:3
Politik
di
Francisia Sse Seda, “Politik Perempuan: Bukan Jumlah Semata,” Keaggotaan Wanita di MPR 1971-1992 (Lembaga Pemilihan Umum 1992). M.Darwin,Muhadjir,”Negara Perempuan,”Yogyakarta:2005.
dan
248
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
KUALITAS PELAYANAN RSUD KABUPATEN MIMIKA BERDASARKAN PERSEPSI MASYARAKAT Oleh : Muhammad Khozin Program Studi Administrasi Publik, Fakultas Ekonomi, Ilmu Sosial dan Humaniora Universitas ‘Aisyiyah Yogyakarta Yogyakarta, Indonesia
[email protected]
Abstrak --- Pelayanan publik yang diselenggarakan oleh aparatur pemerintah dewasa ini masih banyak mendapatkan sorotan. Banyak kelemahan yang masih kita jumpai sehingga belum dapat memenuhi kualitas yang diharapkan masyarakat. Salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik adalah perlunya untuk dilakukan survei kepuasan masyarakat sebagai tolok ukur untuk menilai tingkat kualitas pelayanan. Rumah Sakit Umum Daerah Mimika sebagai salah satu unit dari organisasi publik yang bertugas melakukan pelayanan kepada masyarakat juga harus melakukan pengolahan terhadap survey kepuasan masyarakat. Lalu bagaimanakah kualitas pelayanan RSUD Kabupaten Mimika kepada pelanggannya?. Kajian ini mengupas kualitas pelayanan dilihat dari 15 unsur pelayanan sesuai UU nomor 25 Tahun 2009 tentang pelayanan publik. Tujuannya adalah untuk mengetahui tingkat kinerja unit pelayanan sebagai bahan untuk menetapkan kebijakan dalam rangka peningkatan kualitas pelayanan publik. Jenis Penelitian ini adalah deskriptifeksploratif dengan unit analisis pelanggan/pengguna pelayanan. Adapun teknik pengambilan sample yang digunakan adalah metode SRS (Stratified Random Sampling). Sedangkan data dikumpulkan dengan menggunakan kuisioner, observasi, dokumentasi, interview dan referensi.
Adapun teknik analisis yang digunakan adalah metode analisis kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan kinerja pelayanan RSUD Kabupaten Mimika adalah “cukup baik”, yang ditunjukkan dengan score 2,80. Adapun 4 unsur yang mendapatkan penilaian mutu kinerja terendah adalah waktu pelayanan; perilaku pelaksana; maklumat pelayanan; dan mekanisme penanganan pengaduan, saran dan masukan. Sedangkan unsur yang mendapatkan apresiasi tertinggi adalah unsur persyaratan dan kompetensi pelaksana. Sehingga perlu direkomendasikan adanya program – program peningkatan kapasitas, penambahan fasilitas pojok pengaduan, serta penyusunan standar pelayanan publik.
Kata Kunci — pelayanan publik, kualitas pelayanan, kepuasan masyarakat I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebagai negara berkembang, salah satu isu yang terus disorot di negara kita adalah ketimpangan hak dan kewajiban warga negara dengan kewajiban pemenuhan kesejahteraan yang harus dilaksanakan oleh Pemerintah. Hakekat dari adanya pemerintah adalah untuk melayani masyarakat. Dengan berbagai program dan kegiatannya pemerintah selalu berupaya untuk mempermudah dan mensejahterakan
249
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
Indonesia berbagai usaha dilakukan pemerintah untuk meningkatkan kualitas pelayanan masyarakat, namun sampai sejauh ini pelayanan masih belum cukup memuaskan. Salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik, sebagaimana diamanatkan dalam Undangundang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, perlu dilakukan survei kepuasan masyarakat sebagai tolok ukur untuk menilai tingkat kualitas pelayanan. Di samping itu data kepuasan masyarakat dapat menjadi bahan penilaian terhadap pelayanan yang masih perlu perbaikan dan menjadi pendorong setiap unit penyelenggara pelayanan untuk meningkatkan kualitas pelayanannya. Untuk mengukur kepuasan masyarakat terhadap pelayanan yang diberikan unitunit pelayanan pemerintah adalah melalui survei kepuasan masyarakat. Rumah Sakit Daerah sebagai salah satu unit dari organisasi publik yang bertugas melakukan pelayanan kepada masyarakat juga harus melakukan pengolahan terhadap survey kepuasan masyarakat atas produk layanan yang selama ini mereka berikan. Mutu suatu pelayanan hanya dapat diketahui setelah dilakukan penelitian baik terhadap tingkat kesempurnaan, sifat, totalitas dan wujud serta ciri dan ataupun terhadap kepatuhan para penyelenggara terhadap standar yang telah ditetapkan. Dalam praktek sehari-hari melakukan penilaian tidaklah mudah. Penyebab utamanya ialah karena mutu pelayanan tersebut bersifat multidimensi. Tiap orang tergantung dari latar belakang dan kepentingan masing-masing dapat saja melakukan penilaian dari dimensi yang berbeda. Penelitian yang dilakukan oleh Smith dan Mizner (Azrul Anwar; 1996:25) mengatakan adanya perbedaan dimensi penilaian sebagai berikut. Untuk para dokter sebagai penyelenggara pelayanan kesehatan, dimensi mutu pelayanan yang dipandang paling penting adalah
kehidupan masyarakatnya. Berbicara program dan kegiatan pemerintah adalah berbicara pelayanan publik. Hal ini sebagaimana tercermin dalam maksud dan tujuan setiap program dan kegiatan pada semua level pemerintahan yang kesemuanya bertujuan untuk mensejahterakan rakyat. Pelayanan publik merupakan persoalan yang cukup rumit. Tuntutan masyarakat akan kualitas pelayanan yang lebih bermutu mewajibkan pemerintah untuk berpikir lebih keras lagi. Tak jarang dalam penyelenggaraannya pemerintah harus menggandeng sektor swasta yang dikenal lebih baik dalam memberikan pelayanan kepada customernya. Pelayanan publik yang diselenggarakan oleh aparatur pemerintah dewasa ini masih banyak mendapatkan sorotan. Berbagai kelemahan kita jumpai sehingga belum dapat memenuhi kualitas yang diharapkan masyarakat. Hal ini ditandai dengan masih adanya berbagai keluhan masyarakat yang disampaikan melalui media massa, sehingga dapat menimbulkan citra yang kurang baik terhadap aparatur pemerintah. Mengingat fungsi utama pemerintah adalah melayani masyarakat, maka pemerintah perlu terus berupaya meningkatkan kualitas pelayanan. Fenomena pelayanan masyarakat sekarang masih diwarnai pelayanan yang sulit untuk diakses, prosedur yang berbelitbelit, biaya tak jelas dan terjadi KKN. Oleh sebab itu pelayanan masyarakat di Indonesia harus meningkatkan kualitas pelayanannya, agar memuaskan masyarakat penggunanya. Hanya dengan memberikan pelayanan yang berkualitaslah maka kepuasan pelanggan dapat diwujudkan (MenPan,2004). Suatu pelayanan dinilai memuaskan bila pelayanan itu dapat memenuhi kebutuhan, keinginan dan harapan pelanggan. Apabila pelanggan merasa tidak puas terhadap suatu pelayanan yang disediakan, maka akan berdampak pada kunjungan pelanggan. Di
250
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
Kabupaten Mimika?. Tulisan ini akan mengupas kualitas pelayanan RSUD Mimika berdasarkan persepsi masyarakat yang dilayaninya. Kajian ini dilakukan dengan berpedoman pada Peraturan Menteri Pembedayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomo1 16 Tahun 2014 tentang Survey Kepuasan Masyarakat
pengetahuan ilmiah yang dimiliki dokter (80%), perhatian dokter secara pribadi kepada pasien (60%), keterampilan yang dimiliki dokter (50%), serta kenyamanan pelayanan yang dirasakan oleh pasien (8%). Tetapi untuk pasien sebagai pemakai jasa pelayanan kesehatan dimensi pelayanan yang paling penting adalah efisiensi pelayanan kesehatan (45%), perhatian dokter secara pribadi pada pasien (40%), keterampilan dokter (35%), serta kenyamanan yang dirasakan oleh pasien (35%). Dari perbedaan dimensi diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa hakekat dasar diselenggarakannya pelayanan kesehatan rumah sakit adalah untuk memenuhi kebutuhan dan tuntutan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan. Sehingga kesehatan masyarakat dapat terpelihara, dan mutu pelayanan yang dikaitkan dengan kehendak untuk memenuhi kebutuhan serta tuntutan pemakai jasa pelayanan yang menunjuk pada tingkat kesempurnaan pelayanan kesehatan dalam memenuhi kebutuhan dan tuntutan setiap pasien. Makin sempurna pemenuhan kebutuhan dan tuntutan tersebut makin baik pula mutu pelayanan kesehatan di rumah sakit. Makin meningkatnya kecerdasan dan wawasan masyarakat akan hak dan kewajibannya menjadikan masyarakat lebih kritis dalam menerima pelayanan dari Pemerintah. Sebagai bahan masukan dalam pelaksanaan evaluasi penyelenggaraan pelayanan publik yang dilaksanakan oleh pemerintah sudah saatnya pemerintah pada setiap tingkatan melakukan survei kepuasan pelanggan. Adalah RSUD Kabupaten Mimika sebuah institusi milik Pemerintah yang menyediakan penyelenggaraan pelayanan kesehatan bagi masyarakat di Kabupaten Mimika. Karaktersitik masyarakat Kabupaten Mimika yang mulai heterogen menjadi tantangan tersendiri bagi RSUD dalam penyelenggaraan pelayanan. Lalu bagaimanakah kualitas pelayanan RSUD
B. Maksud dan Tujuan Penelitian Untuk mengetahui tingkat kinerja unit pelayanan sebagai bahan untuk menetapkan kebijakan dalam rangka peningkatan kualitas pelayanan publik yang lebih baik. C. Kerangka Teoritik C.1. Pelayanan Publik Menurut A.S. Moenir (1995:7) "Pelayanan umum adalah suatu usaha yang dilakukan kelompok atau seseorang atau birokrasi untuk memberikan bantuan kepada masyarakat dalam rangka mencapai suatu tujuan tertentu". Pelayanan merupakan kegiatan utama pada orang yang bergerak di bidang jasa, baik itu orang yang bersifat komersial ataupun yang bersifat non komersial. Namun dalam pelaksanaannya terdapat perbedaan antara pelayanan yang dilakukan oleh orang yang bersifat komersial yang biasanya dikelola oleh pihak swasta dengan pelayanan yang dilaksanakan oleh organisasi non komersial yang biasanya adalah pemerintah. Jadi dapat disimpulkan bahwa pelayanan publik adalah segala bentuk jasa pelayanan baik dalam bentuk barang publik maupun jasa publik yang pada prinsipnya menjadi tanggungjawab dan dilaksanakan oleh instansi pemerintah di pusat, di daerah dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang- undangan. Adapun unsur-unsur pelayanan publik menurut A.S. Moenir (1995:8) adalah: a. Sistem, Prosedur dan Metode Yaitu di dalam pelayanan publik perlu adanya sistem informasi, prosedur dan
251
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
metode yang mendukung kelancaran pelayanan. b. Personil, terutama ditekankan pada perilaku aparatur, dalam pelayanan publik aparatur pemerintah selaku personil pelayanan harus profesional, disiplin dan terbuka terhadap kritik dari pelanggan atau masyarakat. c. Sarana dan prasarana Seperti peralatan dan ruang kerja serta fasilitas pelayanan publik. d. Masyarakat sebagai pelanggan Masyarakat sebagai pelanggan sangatlah heterogen baik tingkat pendidikan maupun perilakunya. Sedangkan azas-azas dalam pelayanan publik menurut Lijan Poltak Sinambela (2008:6) tercermin dari: a. Transparansi Bersifat terbuka, mudah dan dapat diakses oleh semua pihak yang membutuhkan dan disediakan secara memadai serta mudah dimengerti. b. Akuntabilitas Dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. c. Kondisional Sesuai dengan kondisi dan kemampuan pemberi dan penerima pelayanan dengan tetap berpegang pada prinsip efisiensi dan efektivitas. d. Partisipatif Mendorong peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan dan harapan masyarakat. e. Keamanan Hak Tidak diskriminatif dalam arti tidak membedakan suku, agama, ras, golongan, gender dan status ekonomi. f. Keseimbangan Hak dan kewajiban Pemberi dan penerima pelayanan publik harus memenuhi hak dan kewajiban masing- masing pihak. Dalam proses kegiatan pelayanan diatur juga mengenai prinsip pelayanan sebagai pegangan dalam mendukung jalannya kegiatan. Adapun prinsip
252
pelayanan publik antara lain adalah : a. Kesederhanaan Prosedur pelayanan publik tidak berbelit-belit, mudah dipahami dan mudah dilaksanakan. b. Kejelasan Persyaratan teknis dan administratif pelayanan publik; unit kerja atau pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab dalam memberikan pelayanan dan penyelesaian keluhan atau persoalan dan sengketa dalam pelaksanaan pelayanan publik; rincian biaya pelayanan publik dan tata cara pembayaran. c. Kepastian waktu Pelaksanaan pelayanan publik dapat diselesaikan dalam kurun waktu yang telah ditentukan. d. Akurasi Produk pelayanan publik diterima dengan benar, tepat dan sah. e. Keamanan Proses dan produk pelayanan publik memberikan rasa aman dan kepastian hukum. f. Tanggung jawab Pimpinan penyelenggara pelayanan publik atau pejabat yang ditunjuk bertanggungjawab atas penyelenggaraan pelayanan dan penyelesaian keluhan atau persoalan dalam pelaksanaan pelayanan publik. g. Kelengkapan sarana dan prasarana Tersedianya sarana dan prasarana kerja dan pendukung lainnya yang memadai termasuk penyediaan sarana teknologi telekomunikasi dan informatika. h. Kemudahan akses Tempat dan lokasi serta sarana pelayanan yang memadai, mudah dijangkau oleh masyarakat, dan dapat memanfaatkan teknologi telekomunikasi dan informatika. i. Kedisiplinan, kesopanan dan keramahan Pemberi pelayanan harus bersikap disiplin, sopan dan santun, ramah,
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
j.
serta memberikan pelayanan dengan ikhlas. Kenyamanan Lingkungan pelayanan harus tertib, teratur, disediakan ruang tunggu yang nyaman, bersih, rapi, lingkungan yang indah dan sehat serta dilengkapi dengan fasilitas pendukung pelayanan seperti parkir, toilet, tempat ibadah, dan lain- lain.
menyenangkan, tidak mengandung kesalahan, mengikuti proses dan prosedur yang telah ditetapkan lebih dahulu." Jadi pelayanan yang berkualitas itu tidak hanya ditentukan oleh pihak yang melayani, tetapi juga pihak yang ingin dipuaskan. Menurut Parasuraman dan kawan-kawan ada beberapa kriteria yang menjadi dasar penilaian konsumen terhadap pelayanan yaitu : a. Bukti langsung (tangible), meliputi fasilitas fisik, perlengkapan, pegawai dan sarana komunikasi. b. Keandalan (reliability) yakni kemampuan memberikan pelayanan yang dijanjikan dengan segera, akurat dan memuaskan. c. Daya tanggap (responsiveness) yaitu keinginan para staf untuk membantu para pelanggan dan memberikan pelayanan dengan tanggap. d. Jaminan (assurance) mencakup pengetahuan, kemampuan dan sifat dapat dipercaya yang dimiliki para staf bebas dari bahaya, resiko dan keragu- raguan. e. Empati, meliputi kemudahan dalam melakukan hubungan komunikasi yang unik, perhatian individu, memahami kebutuhan para pelanggan (Fandy Tjiptono, 2001:70)
C.2. Kualitas Pelayanan 1. Pengertian Kualitas Pelayanan Pemberian pelayanan yang baik merupakan salah satu upaya organisasi untuk menciptakan kepuasan bagi konsumennya. Jika konsumen merasa telah mendapatkan pelayanan yang baik berarti organisasi mampu memberikan pelayanan yang baik pula. Demikian pula sebaliknya, pelayanan tidak dapat diuraikan secara obyektif seperti sebuah produk, melainkan merupakan interaksi sosial dengan subyektivitas, lebih tergantung pada nilai, perasaan dan perilaku. Menurut Wyckcof dan Lovelock dalam bukunya yang dikutip dan diterjemahkan oleh Fandy Tjiptono (2000 : 60) ada dua faktor utama yang mempengaruhi kualitas pelayanan yaitu respected service dan perceived service. Apabila jasa yang diterima atau dirasakan (perceived service) sesuai dengan yang diharapkan, maka kualitas jasa dipersepsikan sebagai kualitas ideal. Sebaliknya jika jasa yang diterima lebih rendah daripada yang diharapkan, maka kualitas jasa yang dipersepsikan buruk. Baik tidaknya kualitas jasa tergantung pada kemampuan penyedia jasa dalam memenuhi harapan pelanggannya secara konsisten. Masyarakat akan merasa puas apabila mereka mendapatkan suatu pelayanan yang berkualitas. A.S. Moenir (1995:204) mengemukakan pendapat mengenai konsep pelayanan yang efektif sebagai suatu pelayanan yang berkualitas adalah "Layanan yang cepat,
C.4. Kepuasan Masyarakat Kepuasan adalah tingkat perasaan seseorang setelah membandingkan hasil yang dirasakan dengan harapannya (Oliver : 1980). Untuk menciptakan kepuasan layanan sebuah rumah sakit, maka rumah sakit tersebut harus menciptakan dan mengelola suatu sistem untuk memperoleh pelanggan yang lebih banyak dan kemampuan untuk mempertahankan.1 Pelayanan yang bermutu adalah pelayanan yang dapat memuaskan setiap pemakai 1
J. Supranto MA, Pengukuran Tingkat Kepuasan Pelanggan, Rineka Cipta, Jakarat, Hal. 227-236
253
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
jasa pelayanan publik sesuai dengan standar dan kode etik profesi yang telah ditetapkan. Secara umum dimensi kepuasan tersebut dibedakan menjadi dua, yaitu2 : 1. Kepuasan yang mengacu hanya pada penerapan standar dan kode etik profesi. Di sini ukuran kepuasan pemakai jasa pelayanan publik terbatas hanya pada kesesuaian dengan standar serta kode etik profesi saja. Dengan pendapat ini, maka ukuran-ukuran pelayanan publik yang bermutu hanya mengacu pada penerapan standar serta kode etik profesi yang baik saja. Dengan ukuran-ukuran yang dimaksud pada dasarnya mencakup penilaian terhadap kepuasan pasien mengenai; a. Hubungan pelayanan dengan pelanggan Adalah sangat diharapkan setiap pelayan dapat dan bersedia memberikan perhatian yang cukup kepada masyarakat secara pribadi, menampung dan mendengarkan segala keluhan serta menjawab dan memberikan keterangan sejelas-jelasnya tentang segala hal yang ingin diketahui oleh masyarakat. b. Kenyamanan Pelayanan Kenyamanan pelayanan yang dimaksud disini tidak hanya menyangkut fasilitas yang disediakan, tetapi yang terpenting lagi menyangkut sikap serta tindakan pelaksana ketika menyelenggarakan pelayanan. c. Pengetahuan dan kompetensi teknis Menyelenggarakan pelayanan yang didukung oleh pengetahuan kompetensi teknis bukan saja merupakan bagian dari kewajiban etik, tetapi juga merupakan kewajiban prinsip pokok
penerapan standar pelayanan profesi.. d. Keamanan tindakan Untuk dapat terselenggaranya pelayanan yang bermutu, aspek keamanan tindakan ini harus diperhatikan. 2. Kepuasan yang mengacu pada penerapan semua persyaratan pelayanan kesehatan. a. Ketersediaan pelayanan Karena kepuasan mempunyai hubungan erat dengan mutu pelayanan, maka sering disebutkan suatu pelayanan kesehatan bermutu apabila pelayanan publik tersedia di masyarakat. b. Penerimaan pelayanan Dapat diterima atau tidak pelayanan sangat menentukan puas atau tidaknya masyarakat terhadap pelayanan tersebut. c. Keterjangkauan pelayanan Pelayanan kesehatan yang terlalu mahal tidak akan dapat dijangkau oleh semua pemakai jasa pelayanan kesehatan dan karena tidak akan memuaskan masyarakat. d. Efisiensi pelayanan Untuk meningkatkan kepuasan, perlu diupayakan peningkatan efisiensi pelayanan, karena puas atau tidaknya pemakai jasa pelayanan akan dipengaruhi juga oleh efisiensi pelayanan, e. Mutu Pelayanan Suatu pelayanan bisa dikatakan bermutu apabila pelayanan tersebut dapat memberikan kepuasan serta tindakan-tindakan yang dilakukan nyaman. Jika dibandingkan antara kedua kelompok dimensi kepuasan ini, maka akan segera tampak bahwa dimensi kepuasan yang kedua bersifat ideal, karena sesungguhnya penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang memuaskan pasien
Azrul Anwar, Menjaga Mutu Pelayanan Kesehatan, Pustaka Sinar Harapan, Hal. 30-36
2
254
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
Adapun ruang lingkup Survei Kepuasan Masyarakat dalam peraturan ini meliputi : a.Persyaratan Persyaratan adalah syarat yang harus dipenuhi dalam pengurusan suatu jenis pelayanan. b. Prosedur Prosedur adalah tata cara pelayanan yang dibakukan bagi pemberi dan penerima pelayanan, termasuk pengaduan. c.Waktu pelayanan Waktu pelayanan adalah jangka waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan seluruh proses pelayanan dari setiap jenis pelayanan. d. Biaya/Tarif Biaya/Tarif adalah ongkos yang dikenakan kepada penerima layanan dalam mengurus dan/atau memperoleh pelayanan dari penyelenggara yang besarnya ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara penyelenggara dan masyarakat. e.Produk Spesifikasi Jenis Pelayanan Produk spesifikasi jenis pelayanan adalah hasil pelayanan yang diberikan dan diterima sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan. Produk pelayanan ini merupakan hasil dari setiap spesifikasi jenis pelayanan. f. Kompetensi Pelaksana Kompetensi Pelaksana adalah kemampuan yang harus dimiliki oleh pelaksana meliputi pengetahuan, keahlian, keterampilan, dan pengalaman. g. Perilaku Pelaksana Perilaku Pelaksana adalah sikap petugas dalam memberikan pelayanan. h. Maklumat Pelayanan Maklumat Pelayanan adalah merupakan pernyataan kesanggupan dan kewajiban penyelenggara untuk melaksanakan pelayanan sesuai dengan standar pelayanan. i. Penanganan Pengaduan, Saran dan Masukan
tidaklah semudah yang diperkirakan tetapi tetap dilaksanakan. C.5. Survei Kepuasan Masyarakat Menurut Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi No 16 Tahun 2014 Seiring kemajuan teknologi dan tuntutan masyarakat dalam hal pelayanan, unit penyelenggara pelayanan publik dituntut untuk memenuhi harapan masyarakat dalam melakukan perbaikan pelayanan. Pelayanan publik yang dilakukan oleh aparatur pemerintah saat ini belum memenuhi harapan masyarakat. Hal ini dapat lihat dari masih banyaknya keluhan masyarakat yang disampaikan melalui media masa dan jaringan sosial, sehingga memberikan dampak buruk terhadap citra pelayanan pemerintah, yang menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat. Salah satu upaya yang harus dilakukan dalam perbaikan pelayanan publik adalah melakukan survei kepuasan masyarakat kepada pengguna layanan. Mengingat jenis layanan publik sangat beragam dengan sifat dan karakteristik yang berbeda, maka survei kepuasan masyarakat dapat menggunakan berbagai metode dan teknik. Selama ini survei kepuasan masyarakat menggunakan Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor: 25/M.PAN/2/2004 tentang Pedoman Umum Penyusunan Indeks Kepuasan Masyarakat Unit Pelayanan Instansi Pemerintah. Keputusan ini belum mengacu pada Undang-Undang Nomor 25 tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik. Dan kini telah terbit Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 16 Tahun 2014 tentang Survei Kepuasan Masyarakat, dimana unsur-unsur yang diukur dalam survei ini mengacu pada unsur-unsur pelayanan yang termuat dalam undang-undang pelayanan publik.
255
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
Penanganan pengaduan, saran dan masukan, adalah tata cara pelaksanaan penanganan pengaduan dan tindak lanjut. Hasil atas survei kepuasan masyarakat tidak harus disajikan dalam bentuk skoring/angka absolut, tetapi dapat pula disajikan dalam bentuk kualitatif (baik atau buruk). Hal yang menjadi perhatian utama atas hasil survei tersebut, adalah harus ada saran perbaikan dari pemberi layanan yang disurvei terhadap peningkatan kualitas layanan. II. METODE PENELITIAN A. Jenis penelitian Jenis Penelitian ini dapat dikategorikan sebagai jenis penelitian deskriptif-eksploratif. B. Unit Analisis Unit analisis dalam penelitian ini adalah pelanggan/pengguna pelayanan RSUD Kabupaten Mimika. C. Populasi dan Sampel Yang menjadi populasi dari penelitian ini adalah anggota masyarakat yang menjadi pelanggan (customer) dari RSUD Kabupaten Mimika. Khususnya pada Instalasi Rawat Inap dan Instalasi Rawat Jalan. Dari keseluruhan populasi akan dicari sampling dalam penelitian ini dengan menggunakan metode SRS (Stratified Random Sampling). Adapun alasan menggunakan metode ini dikarenakan menentukan jumlah sampel populasi berstrata tetapi jumlah tiap-tiap strata tidak proporsional. Sehingga jumlah sampel setiap kelompoknya akan berbeda antar satu kelompok dengan kelompok yang lainnya. Adapun rumus pengambilan sampel yang digunakan adalah:
Berdasarkan data 3 bulan terakhir data sbb: - Jumlah pasien Rawat Jalan adalah 20.355 pasien. - Jumlah pasien Rawat Inap adalah 6.766 pasien. Berarti rata-rata kunjungan pasien rawat jalan per bulan adalah 6.785 dan rawat inap 2.255 orang. Berarti jumlah rata-rata pasien perbulan adalah 9.040 orang. Dengan batas kesalahan 10% untuk N=9.040 maka sampelnya adalah 263 orang. Rincian : Rawat jalan : 6.785/9.040 x 263 = 66 Rawat Inap : 2.255/9.040 x 263 = 197 263 D. Teknik Pengumpulan Data a. Kuisioner Adalah dengan menggunakan daftar pertanyaan untuk dijawab oleh responden. b. Observasi Adalah dengan pengamatan, pencatatan sistematis mengenai fenomena-fenomena yang diselidiki saat pelayanan sedang berlangsung. c. Dokumentasi Yakni mempelajari dan mengumpulkan bahan-bahan tertulis dari dokumen-dokumen yang ada pada RSUD Kabupaten Mimika. d. Interview Dilakukan kepada pihak penyedia layanan dan pengguna layanan e. Referensi Mempelajari laporan kegiatan Rumah Sakit, profil Rumah Sakit serta dokumen pendukung lainnya
Keterangan : n : Jumlah populasi setiap strata N : Jumlah total populasi antar strata s : Jumlah sample untuk N sesuai tabel sample x : Jumlah sample setiap strata
E. Teknik Analisis Data Teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis kualitatif, yaitu data-data yang telah terkumpul akan di interpretasikan sesuai arti kata yang disesuaikan dengan tujuan dan kepentingan penelitian.
n/N x s = x
256
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
III. INTERPRETASI DAN ANALISIS DATA Seluruh data yang terkumpul dalam penelitian ini selanjutnya diolah dan dianalisis secara deskriptif statistik. Dalam interpretasi dan analisis data dari kuesioner yang telah diperoleh, berdasarkan 9 unsur yang diwujudkan dalam 15 (lima belas) indikator sebagai tolok ukur kinerjanya. Setelah data-data (survei) tersebut didapatkan, maka masuk pada tahap pengolahan data, dimana outputnya adalah paparan berupa interpretasi dan analisis data sebagai berikut:
Terlebih dahulu masing-masing jawaban dalam angket penelitian akan diberikan skor sesuai dengan bobot dan kualitasnya masing-masing jawaban sebagai berikut: a. Jawaban Sangat Setuju, diberi bobot 1; b. Jawaban Setuju, diberi bobot 2; c. Jawaban Netral, diberi bobot 3; d. Jawaban Tidak Setuju, diberikan bobot 4; e. Jawaban Sangat Tidak Setuju diberikan bobot 5. Adapun jawaban-jawaban responden atas pernyataan yang disampaikan dalam kuesioner akan diolah 6 tahap : 1. Tahap 1. Memberi skor nilai pada tiap jawaban yang masuk berdasar skala likert jenjang 1-5. 2. Tahap 2. Menghitung Nilai rerata indikator
A. Karakteristik Responden Responden survei ini adalah masyarakat yang pernah menggunakan jasa pelayanan RSUD Kabupaten Mimika dengan jumlah sebanyak 263 orang. Tabel 2. Karakteristik Responden RSUD Kabupaten Mimika No Item Jumlah % A Kelompok umur 1 17-20 th 28 11% 2 21-30 th 105 40% 3 31-40 th 90 34% 4 >41 th 40 15%
Jumlah total nilai indikator Jumlah nilai responden tiap indikator 3. Tahap 3. Memberi bobot pada setiap unsur yaitu gabungan bobot semua unsur adalah 100%. Sehingga diketahui 100%/9Unsur = 11,11 % 4. Tahap 4. Menghitung Mutu Indikator dari tiap unsur Mutu Indikator = Nilai Rerata Indikator x Bobot (yaitu 11,11%) 5. Tahap 5. Menghitung Mutu Per Unsur Mutu Per Unsur = Jumlah Bobot Mutu Tiap Unsur x (bobot/100) 6. Tahap 6. Memberi Skor Mutu Kinerja sebagaimana berikut : Tabel 1. Nilai Persepsi, Nilai Interval dan Kinerja Mutu Nilai Kinerja Mutu Interval 0 - 1,00 Tidak Baik 1,1 - 2,00 Kurang Baik 2,1 - 3,00 Cukup Baik 3,1 - 4,00 Baik 4,1 - 5,00 Sangat Baik
B 1 2
Jenis kelamin Laki-laki Perempuan
136 127
52% 48%
C 1 2 3 4 5
Pendidikan terakhir SD SMP SLTA Diploma ≥S1
31 43 146 28 15
12% 16% 56% 11% 6%
D Pekerjaan utama 1 PNS/TNI/POLRI 24 9% 2 Pegawai Swasta 61 23% 3 Wiraswasta 25 10% 4 Pelajar/Mahasiswa 23 9% 5 Lainnya 130 49% Note: Pengelompokan umur menggunakan Analisis Cluster
257
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
B. Skala Indeks Kepuasan Masyarakat Untuk mengukur kepuasan pelayanan, sebagaimana disebutkan dalam Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 16 Tahun 2014 tentang Survei Kepuasan Masyarakat bahwa ruang lingkup pengukuran kepuasan masyakat meliputi 9 unsur pelayanan. Dari 9 unsur tersebut kita turunkan kedalam indikator-indikator yang akan kita ukur sebagaimana terpaparkan dalam tabel berikut :
Unsur Persyaratan 1. Berdasarkan hasil pengolahan data rekapitulasi kuesioner untuk unsur yang pertama (persyaratan) diperoleh gambaran persentase sebaran jawaban responden sebagaimana ditampilkan dalam peraga berikut: Tabel 4. Persepsi Responden Terhadap Persyaratan Pelayanan
Tabel 3. Indikator Survey Kepuasan Masyarakat No. Unsur Indikator 1 Persyaratan Persyaratan pelayanan sulit dipenuhi. 2 Prosedur Prosedur pelayanan tidak sederhana. 3 Waktu Jam buka dan tutup Pelayanan pelayanan tidak pasti. Waktu pelayanan lama. 4 Biaya / Tidak ada kepastian biaya pelayanan. Tarif Biaya pelayanan tidak terjangkau. 5 Produk Hasil pelayanan tidak Spesifikasi sesuai dengan yang diharapkan. Jenis Pelayanan 6 Kompetensi Petugas pelayanan Pelaksana kurang mampu dalam menjalankan tugas. 7 Perilaku Petugas kurang ramah Pelaksana dalam melayani. Petugas kurang disiplin dalam melayani Petugas kurang tanggap dalam melayani 8 Maklumat Tidak tersedia Pelayanan pengumuman/informas i tentang Janji Pelayanan. 9 Penanganan Tidak tersedia kotak Pengaduan, saran dan masukan Saran dan Tidak tersedia ruang Masukan pengaduan. Petugas tidak bersedia melayani keluhan masyarakat.
Kategori/Indikator Sangat Tidak Setuju Tidak Setuju Netral Setuju Sangat Setuju TOTAL
Persyaratan pelayanan sulit dipenuhi 26% 36% 16% 16% 6% 100%
Dari unsur persyaratan dengan pernyataan “Persyaratan pelayanan sulit dipenuhi” diketahui bahwa sebagian besar responden menyatakan “Tidak Setuju” (36%). Nilai ini bermakna positif yang berarti bahwa persyaratan pelayanan pada RSUD Kabupaten Mimika sudah dianggap mudah untuk dipenuhi oleh pengguna layanan RSUD. 2. Unsur Prosedur Berdasarkan hasil olah data kuesioner atas indikator yang kedua yakni prosedur pelayanan, diperoleh gambaran sebaran jawaban responden sebagaimana ditampilkan dalam tabel berikut: Tabel 5. Persepsi Responden Terhadap Prosedur Pelayanan Prosedur pelayanan Kategori/Indikator tidak sederhana Sangat Tidak Setuju 15% Tidak Setuju 32% Netral 22% Setuju 24% Sangat Setuju 7% TOTAL 100%
258
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
Dari unsur prosedur dengan pernyataan “Prosedur pelayanan tidak sederhana” diketahui bahwa sebagian besar responden menjawab “Tidak Setuju” (32%). Nilai ini bermakna positif yang berarti selama ini sebagian besar masyarakat pengguna layanan berpersepsi bahwa prosedur layanan pada RSUD Mimika dianggap sudah sederhana.
berikut adalah sebaran jawaban responden atas pernyataan tersebut. Tabel 7. Persepsi Responden Terhadap Waktu Pelayanan Waktu pelayanan Kategori/Indikator lama Sangat Tidak Setuju 17% Tidak Setuju 15% Netral 11% Setuju 33% Sangat Setuju 24% TOTAL 100%
Unsur Waktu Pelayanan Untuk mengukur kepuasan masyarakat atas unsur waktu pelayanan kami membaginya kedalam 2 indikator. Yakni indikator jam buka dan tutup pelayanan serta indikator waktu yang diperlukan dalam proses pelayanan. Berdasarkan hasil olah data atas kuesioner yang telah diisi oleh masyarakat pengguna jasa layanan RSUD Kabupaten Mimika, diperoleh gambaran opini masyarakat sebagai berikut:
3.
Dari unsur waktu layanan dengan pernyataan “Waktu Layanan Lama”, diketahui bahwa sebagian besar responden menjawab “Setuju” (33%) ini bermakna bahwa masyarakat merasakan bahwa waktu yang diperlukan untuk pelayanan “lama”. Nilai ini bermakna negatif yang berarti selama ini masyarakat merasa waktu layanan belum sesuai dengan harapan mereka. 4. Unsur Biaya/Tarif Sama halnya dengan unsur waktu pelayanan, untuk mengukur unsur terkait biaya/tarif kami menggunakan 2 indikator, yakni indikator kepastian biaya serta keterjangkauan biaya pelayanan. Berdasarkan hasil olah data kuesioner atas indikator yang pertama yakni kepastian biaya pelayanan diperoleh gambaran persepsi masyarakat seperti ditampilkan dalam tabel berikut:
Tabel 6. Persepsi Responden Terhadap Jadwal Pelayanan Jam buka dan Kategori/Indikator tutup pelayanan tidak pasti Sangat Tidak Setuju 18% Tidak Setuju 33% Netral 14% Setuju 24% Sangat Setuju 11% TOTAL 100%
Dari unsur waktu layanan dengan indikator berupa pernyataan “Jam Buka dan Tutup Pelayanan Tidak Pasti”, diketahui bahwa sebagian besar responden menjawab “Tidak Setuju” (33%) ini menunjukkan bahwa jam buka dan tutup layanan pada RSUD Mimika pasti. Nilai ini bermakna positif yang berarti selama ini jam buka dan tutup layanan dinilai memiliki kepastian oleh pengguna layanan rumah sakit. Selanjutnya untuk indikator yang kedua yakni terkait waktu pelayanan yang diperlukan dalam proses pelayanan. Adapun penyataan yang kami lontarkan adalah “Waktu pelayanan lama”. Dan
Tabel 8. Persepsi Responden Terhadap Kepastian Biaya Pelayanan Tidak ada Kategori/Indikator kepastian biaya pelayanan Sangat Tidak Setuju 33% Tidak Setuju 30% Netral 3% Setuju 24% Sangat Setuju 10% TOTAL 100%
259
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
Tabel 10. Persepsi Responden Tentang Spesifikasi Produk Layanan Hasil pelayanan Kategori/Indikator tidak sesuai dengan yang diharapkan Sangat Tidak Setuju 19% Tidak Setuju 33% Netral 15% Setuju 20% Sangat Setuju 13% TOTAL 100%
Dari unsur biaya/tarif dengan pernyataan indikator “Tidak ada kepastian biaya pelayanan”, diketahui bahwa sebagian besar responden menyatakan “Sangat Tidak Setuju” (33%). Hal ini bermakna bahwa telah ada kepastian terkait biaya pelayanan. Nilai ini bermakna positif yang berarti bahwa biaya pelayanan pada RSUD Kabupaten Mimika telah ada ketetapan sehingga memberikan kepastian kepada pelanggan.
Sedangkan untuk indikator yang kedua yakni keterjangkauan biaya pelayanan, kami coba menyampaikan pernyataan “Biaya pelayanan tidak terjangkau”, berikut persentase atas jawaban responden yang telah kami olah: Tabel 9. Persepsi Responden Tentang Keterjangkauan Biaya Biaya pelayanan Kategori/Indikator tidak terjangkau Sangat Tidak Setuju 16% Tidak Setuju 33% Netral 23% Setuju 19% Sangat Setuju 9% TOTAL 100%
Dari unsur produk spesifikasi jenis pelayanan dengan pernyataan “Hasil pelayanan tidak sesuai dengan yang diharapkan”, diketahui bahwa sebagian besar responden menjawab “Tidak Setuju” (33%) ini bermakna bahwa produk spesifikasi jenis pelayanan telah sesuai dengan harapan pengguna layanan rumah sakit. Nilai ini bermakna positif yang berarti selama ini hasil pelayanan telah sesuai harapan pengguna layanan rumah sakit. 6.
Unsur Kompetensi Pelaksana Berdasarkan hasil olah data rekapitulasi jawaban responden diperoleh gambaran persepsi untuk unsur kompetensi pelaksana, sebagaimana berikut ini: Tabel 11. Persepsi Responden Terhadap Kemampuan Petugas Petugas pelayanan kurang mampu Kategori/Indikator dalam menjalankan tugas Sangat Tidak Setuju 18% Tidak Setuju 36% Netral 24% Setuju 14% Sangat Setuju 8% TOTAL 100%
Dari unsur biaya pelayanan dengan pernyataan “Biaya layanan tidak terjangkau”, diketahui bahwa sebagian besar responden menjawab “Tidak Setuju” (33%) ini berarti bahwa biaya pelayanan sudah dianggap terjangkau. Nilai ini bermakna positif dimana selama ini biaya pelayanan di RSUD Mimika sudah dianggap terjangkau sesuai yang diharapkan oleh pengguna layanan rumah sakit. 5. Unsur Produk Spesifikasi Jenis Pelayanan Unsur produk spesifikasi jenis pelayanan diukur dengan pernyataan “Hasil pelayanan tidak sesuai dengan yang diharapkan”. Berdasarkan hasil olah data primer, diperoleh gambaran persepsi masyarakat sebagaimana ditampilkan dalam tabel berikut:
Dari unsur kompetensi pelaksana dengan penyataan indikator petugas pelayanan kurang mampu dalam menjalankan tugas, diketahui bahwa sebagian besar responden menjawab “Tidak Setuju” (36%). Nilai ini bermakna positif bahwa menurut responden petugas layanan telah mampu menjalankan
260
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
Tabel 13. Persepsi Responden Terhadap Kedisiplinan Petugas Petugas kurang Kategori/Indikator disiplin dalam melayani Sangat Tidak Setuju 19% Tidak Setuju 34% Netral 15% Setuju 25% Sangat Setuju 7% TOTAL 100%
tugasnya dengan baik sesuai harapan pengguna layanan rumah sakit. Unsur Perilaku Pelaksana Untuk mengukur kepuasan masyarakat atas unsur perilaku pelaksana, kami menggunakan 3 indikator pelayanan, yang kami wujudkan dalam 3 pernyataan. Adapun ketiga indikator tersebut adalah: 1. Indikator keramahan petugas pelayanan 2. Indikator kedisiplinan petugas 3. Indikator ketanggapan petugas Berdasarkan hasil olah data hasil rekapitulasi jawaban responden diperoleh gambaran persepsi sebagaimana ditampilkan dalam tabel berikut: Tabel 12. Persepsi Responden Terhadap Keramahan Petugas 7.
Kategori/Indikator Sangat Tidak Setuju Tidak Setuju Netral Setuju Sangat Setuju TOTAL
Dari unsur perilaku pelaksana dengan pernyataan “Indikator Petugas kurang disiplin dalam memberikan pelayanan”, diketahui bahwa sebagian besar responden menjawab “Tidak Setuju” (33%), ini bermakna positif bahwa masyarakat menilai petugas telah disiplin dalam melayani sebagaimana harapan mereka.
Petugas kurang ramah dalam melayani 19% 36% 13% 21% 11% 100%
Sedangkan untuk indikator yang ketiga yakni terkait dengan ketanggapan petugas dalam melayani masyarakat kami wujudkan dalam pernyataan “Petugas kurang tanggap dalam melayani”. Dan berikut hasil olah data atas jawaban responden atas pernyataan tersebut. Tabel 14 Persepsi Responden Terhadap Ketanggapan Petugas Petugas kurang Kategori/Indikator tanggap dalam melayani Sangat Tidak Setuju 20% Tidak Setuju 32% Netral 19% Setuju 17% Sangat Setuju 12% TOTAL 100%
Dari unsur perilaku pelaksana dengan pernyataan “Petugas kurang ramah dalam melayani”, diketahui bahwa sebagian besar responden menjawab “Tidak Setuju” (37%). Nilai ini bermakna bahwa masyarakat sudah menganggap petugas telah ramah dalam melayani para pengguna jasa pelayanan rumah sakit. Kemudian untuk indikator selanjutnya adalah terkait kedisiplinan petugas yang kami tampilkan dalam pernyataan “Petugas kurang disiplin dalam memberikan pelayanan”. Berikut hasil olah data atas jawaban untuk pernyataan tersebut:
Dari unsur perilaku pelaksana dengan pernyataan “Indikator petugas kurang tanggap dalam melayani”, diketahui bahwa sebagian besar responden menjawab “Tidak Setuju” (32%) ini bermakna bahwa Petugas telah tanggap dalam melayani para pengguna layanan rumah sakit. Dan berikut gambaran grafik atas sebaran jawaban responden terkait penyataan tersebut diatas.
261
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
Unsur Maklumat Pelayanan Unsur berikutnya yang kami ukur adalah unsur maklumat pelayanan. Dimana unsur yang kedelapan ini adalah semangat baru dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang diwujudkan dalam janji pelayanan. Berdasarkan hasil olah data atas jawaban responden terkait dengan pernyataan “Tidak tersedia pengumuman/informasi tentang janji pelayanan” diperoleh gambaran sebagaimana ditampilkan dalam tabel berikut:
Berdasarkan hasil olah data primer atas jawaban responden yang terlibat dalam survei ini diperoleh gambaran persepsi untuk indikator ketersediaan kotak saran dan masukan sebagaimana ditampilkan dalam tabel berikut:
8.
Tabel 16. Persepsi responden tentang ketersediaan kotak saran dan masukan Tidak tersedia Kategori/Indikator kotak saran dan masukan Sangat Tidak Setuju 13% Tidak Setuju 32% Netral 16% Setuju 30% Sangat Setuju 9% TOTAL 100%
Tabel 15 Persepsi Responden Tentang Ketersediaan Maklumat Pelayanan
Kategori/Indikator Sangat Tidak Setuju Tidak Setuju Netral Setuju Sangat Setuju TOTAL
Tidak tersedia pengumuman/inf ormasi tentang Janji Pelayanan
Dari indikator ketersediaan kotak saran dan masukan, diketahui bahwa sebagian besar responden menjawab “Setuju” (32%), ini bermakna bahwa responden menolak pernyataan tersebut karena dilingkungan rumah sakit telah tersedia kotak saran dan masukan meskipun secara bentuk masih sangat sederhana sekali. Indikator selanjutnya adalah terkait ketersedian ruang pengaduan. Hasil olah data atas indikator ini dapat dilihat pada tabel berikut ini.
0% 5% 1% 40% 54% 100%
Dari pernyataan “Tidak tersedia pengumuman/informasi tentang Janji Pelayanan”, diketahui bahwa sebagian besar responden menjawab “Sangat Setuju” (54%) ini bermakna bahwa di RSUD Kabupaten Mimika belum tersedia pengumuman/informasi tentang janji pelayanan. Opini ini significant dengan kondisi di lapangan, bahwa memang belum terdapat janji pelayanan yang terpasang pada lingkungan rumah sakit.
Tabel 17. Persepsi Responden Tentang Ketersediaan Ruang Pengaduan Tidak tersedia Kategori/Indikator ruang pengaduan Sangat Tidak Setuju 15% Tidak Setuju 17% Netral 18% Setuju 33% Sangat Setuju 17% TOTAL 100%
Unsur Penanganan Pengaduan, Saran dan Masukan Untuk mengukur Unsur penanganan pengaduan, saran dan masukan kami mengukurnya dengan menggunakan 3 indikator: 1. Ketersediaan kotak saran dan masukan 2. Ketersediaan ruang pengaduan 3. Kesediaan petugas melayani keluhan masyarakat 9.
Dari pernyataan “Tidak tersedia ruang pengaduan” diketahui bahwa sebagian besar responden menjawab “Setuju” (33%). Ini bermakna bahwa di RSUD Mimika belum tersedia ruang pengaduan yang khusus untuk melayani pengaduan masyarakat terkait pelayanan rumah sakit.
262
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
Indikator yang terakhir yang kami analisis adalah mengenai kesediaan petugas menerima keluhan masyarakat. Hasil olah data untuk indikator tersebut dapat kita lihat pada tabel berikut ini.
U
3,23 3,22 2,70 3,54 3,27 3,25 3,43
11,11 5,55 5,55 5,55 5,55 11,11 11,11
35,86 17,85 14,96 19,67 18,15 36,12 38,06
3,98 1,82
9 10 11
3,32 3,33 3,30
3,70 3,70 3,70
12,27 12,32 12,21
1,36
Bobot
Mutu
IKM
Kinerja
11,11
39,84
4,43
Sangat Baik Baik Kurang Baik Cukup Baik Baik Sangat Baik Kurang Baik
2,10 4,01 4,23
11,11
17,70
1,97
13 3,10 3,70 11,48 14 2,79 3,70 10,31 15 3,62 3,70 13,38 BOBOT MUTU TOTAL UNSUR IKM IKM
1,30
Kurang Baik Kurang Baik
25,2 2,80
Cukup Baik
Analisis Prioritas Peningkatan Kinerja Pelayanan Publik di RSUD Kabupaten Mimika Setelah mengetahui hasil olah data Survei Kepuasan Masyarakat RSUD Kabupaten Mimika, maka akan dilakukan deskripsi atas kekurangan dan saran-saran yang telah disampaikan oleh para responden saat dilakukan survei. Selain memberikan penilaian terhadap indikator-indikator atas unsur pelayanan, dalam penelitian ini responden juga memberikan catatan berupa kekurangan serta masukan menurut persepsi mereka. Informasi ini sangat berharga sekali untuk kita para penyelenggara pelayanan. Oleh karena itu, persepsi responden berupa 3)
Tabel 19. Kinerja Per Unsur Pelayanan dan Indeks Kepuasan Masyarakat
2 3 4 5 6 7 8
Kinerja
a. Bobot IKM = 25,20 b. IKM = 2,80 c. Kinerja IKM = Cukup Baik Dari hasil rekap data diatas diketahui bahwa kinerja pelayanan RSUD Kabupaten Mimika adalah “cukup baik”, yang ditunjukkan dengan score 2,80. Adapun 4 unsur yang mendapatkan penilaian mutu kinerja terendah adalah: a. Unsur Waktu Pelayanan; b. Unsur Perilaku Pelaksana; c. Unsur Maklumat Pelayanan; dan d. Unsur mekanisme penanganan pengaduan, saran dan masukan. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat belum puas terhadap pelaksanaan unsur-unsur tersebut diatas.
Rekapitulasi Indeks Kepuasan Masyarakat Dari keseluruhan kinerja per unsur pelayanan serta indikator kepuasan masyarakat atas pelayanan RSUD Kabupaten Mimika dapat dilihat pada tabel berikut:
1
IKM
Dengan demikian nilai indeks RSUD Kabupaten Mimika hasilnya dapat disimpulkan sebagai berikut:
2)
Rata -rata 3,59
Mutu
*U : Unsur
Dari pernyataan “Petugas tidak bersedia melayani keluhan masyarakat” diketahui bahwa sebagian besar responden menjawab “Tidak Setuju” (33%) atau menolak pernyataan tersebut, yang menunjukkan bahwa petugas pelayanan telah memperhatikan dan siap menerima keluhan masyarakat.
U
Bobot
12
Tabel 18. Persepsi Responden Tentang Kesediaan Menerima Keluhan Petugas tidak bersedia melayani Kategori/Indikator keluhan masyarakat Sangat Tidak Setuju 32% Tidak Setuju 33% Netral 12% Setuju 11% Sangat Setuju 12% TOTAL 100%
Rata -rata 1,59
263
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
kekurangan dan saran tersebut kami rekapitulasi sebagaimana berikut : 1.
Tabel 20 Rekapitulasi Saran dan Masukan Responden Kekurangan 1. Waktu tunggu di ruangan poli pemeriksaan dokter yang lama (Responden 1) 2. Kotak saran tidak ada dan ruangan pengaduan tidak ada (Responden 8) 3. Pelayanan terlalu lama. Pasien kadang menunggu sampai bosan, petugas harus cekatan (Responden 24) 4. Pelayanan terkesan lambat (Responden 20) 5. Pengaduan kurang ditindaklanjuti (Responden 49) 6. Sangat melelahkan karena harus menunggu berjam-jam (Responden 70) 7. Pelayanannya terlalu lambat di loket obat (Responden 90) 8. Untuk pelayanan di apotek agak lama (Responden 94) 9. Menunggu lama di pelayanan obat (Responden 102) 10. Terlalu lama menunggu antrian di poli, karena dokter berkunjung ke rawat inap dulu (Responden 109) 11. Terlalu lama pelayanan karena kurangnya dokter. Dokter spesialis ditambah (Responden 120) 12. Terlalu lama menunggu saat antri di pendaftaran (Responden 127) 13. Pelayanan terlalu lama khususnya di bagian laboratorium dan apotek, petugas kurang lembut (Responden 153) 14. Waktu tunggu antrian yang lama di loket dan di ruang dokter dan juga diloket obat (Responden 164) 15. Petugas di loket maupun di poli kebanyakan ngerumpi, pasien marahmarah baru direspon, bangsal sangat panas (Responden 231) 16. Dari mulai pendaftaran sampai poli yang dituju terlalu lama mengantri (Responden 240) 17. Pelayanan dari loket ke poli sangat lama. Mohon ruangan agar lebih bersih (Responden 241)
2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
10. 11. 12. 13.
14. 15. 16.
17.
264
Kekurangan Masukan/Harapan Tolong melayani masyarakat tanpa pandang bulu, utamakan mengobati dulu baru melakukan komentar, mohon di UGD lebih ramah tamah. (Responden 8) Mohon lebih cepat melakukan pelayanan (Responden 21) Mohon jangan menunggu terlalu lama, (Responden 28) Mohon antrian pasien dicarikan solusi supaya jangan mengantri terlalu lama (Responden 30) Mohon lebih ramah dan murah tersenyum dan cepat pelayanannya (Responden 45) Jalan masuk mohon diperbaiki, kursi harus cukup untuk setiap poli (Responden 49) Pelayanan jangan menunggu lama (Responden 72) Berikan pelayanan yang lebih maksimal. Perawat diharapkan lebih santun (Responden 80) Pelayanan obat khusus UGD, Pelayanan obat rawat jalan, pelayanan obat rawat inap harus dipisahkan (Responden 84) Petugas harus ramah terapkan 3 S (senyum, salam, sapa) (Responden 90) Ditambah petugas agar tidak lama menunggu obat (Respondn 96) Tambahlah suster dan dokter (Responden 103) Utamakan kenyamanan konsumen, tidak ada gunanya tanpa keramahan, sopan santun dan senyuman (Responden 119) Tolong disediakan kotak saran dan ruang pengaduan bagi masyarakat (Responden 211) Utamakan kebersihan kamar, perbaiki ac, petugas kurang ramah (Responden 215) Petugas dilarang menggunakan alat komunikasi dan ngerumpi. Kebersihan air perlu diperhatikan, halaman perlu dirawat banyak nyamuk(Responden 231) Setiap bangsal harus ada satpam, perhatikan jam besuk, nakes harus ramah, kotak saran harus lebih efektif, AC Rusak, pasien terlalu lama
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
maklumat pelayanan, dan unsur mekanisme penanganan pengaduan, saran dan masukan dimana unsurunsur pelayanan tersebut mendapatkan indeks < 2,10 sehingga masuk dalam kategori “Kurang Baik”. 3) Sedangkan unsur pelayanan yang mendapatkan apresiasi paling tinggi adalah unsur persyaratan pelayanan dan unsur kompetensi pelaksana yang ditunjukkan dengan skala indeks > 4,10 yang berarti "Sangat baik”.
Kekurangan menunggu, IGD responnya tidak cepat (Responden 237)
Dari rekapitulasi masukan dan saran dari masyarakat diatas dapat kita ketahui bahwa mayoritas responden masih mengeluhkan terkait lamanya waktu pelayanan, mekanisme pengaduan serta sikap petugas pelayanan. Keluhan-keluhan tersebut significant dengan hasil pengolahan data diatas yang menunjukkan unsur pelayanan terkait waktu pelayanan, perilaku petugas pelayanan dan mekanisme penanganan pengaduan, saran dan masukan masih mendapatkan penilaian yang rendah
5.2.
Rekomendasi Dengan memperhatikan hasil analisis dan interpretasi data pada bab-bab sebelumnya, maka dalam rangka perbaikan dan peningkatan kualitas pelayanan di RSUD Kabupaten Mimika dapat diberikan rekomendasi sebagai berikut. 1) Sehubungan dengan rendahnya penilaian masyarakat terhadap unsur waktu pelayanan, direkomendasikan agar RSUD Kabupaten Mimika rutin melaksanakan pengukuran waktu tunggu pelayanan dan melakukan evaluasi atas hasilnya. 2) Terkait dengan masih rendahnya persepsi masyarakat terhadap sikap dan perilaku pelaksana layanan direkomendasikan untuk ditingkatkannya program-program pembinaan terhadap seluruh pegawai. Menurut teori yang pernah dikembangkan oleh Fandy Tjiptono dalam bukunya Prinsip-prinsip Total Quality Service, salah satu strategi yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kualitas jasa adalah melalui pengembangan budaya kualitas. Budaya kualitas harus dijadikan sistem nilai organisasi yang akan menghasilkan lingkungan yang kondusif bagi pembentukan dan penyempurnaan kualitas secara terus menerus. Budaya kualitas terdiri dari filosofi, keyakinan, sikap, norma, nilai, tradisi, prosedur, harapan untuk meningkatkan kualitas. Agar tercipta budaya kualitas yang baik dibutuhkan
IV. PENUTUP Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis dan interpretasi data pada bab sebelumnya, pada bagian ini akan dirumuskan kesimpulan dari hasil penelitian yang telah dilakukan. Yaitu mengenai hasil Survei Kepuasan Masyarakat (SKM) terhadap kualitas pelayanan Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Mimika. Adapun kesimpulan yang diperoleh dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut: 1) Berdasarkan hasil analisis data primer dan sekunder yang kami himpun dari para responden disimpulkan bahwa kualitas pelayanan di RSUD Kabupaten Mimika adalah “CUKUP BAIK” yang ditunjukkan dengan skala indeks 2,80 yang masuk dalam Range 2,10 – 3,00 dengan kategori “cukup baik”. Dengan indeks tersebut berarti sebagian besar responden merasa cukup puas terhadap kualitas pelayanan dilingkungan RSUD Kabupaten Mimika. 2) Unsur pelayanan yang mendapatkan penilaian terendah oleh responden adalah pada unsur waktu pelayanan, unsur perilaku pelaksana, unsur
265
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
DAFTAR PUSTAKA
komitmen menyeluruh pada seluruh anggota organisasi. Upaya membentuk budaya ini dapat dilakukan melalui pengembangan satu program yang terkoordinasi yang diawali dari seleksi dan pengembangan karyawan. Ada delapan program pokok yang saling terkait guna membentuk budaya kualitas, yaitu : pengembangan individual, pelatihan manajemen, perencanaan sumber daya manusia, standar kinerja, pengembangan karier, survei opini, perlakuan yang adil, dan profit sharing. 3) Sehubungan dengan rendahnya apresiasi masyarakat terhadap unsur maklumat pelayanan maka direkomendasikan agar RSUD Kabupaten Mimika menindaklanjuti dengan menyusun Standar Pelayanan Publik. Dimana dalam Standar Pelayanan Publik tersebut sesuai dengan amanah Undang-Undang nomor 25 tahun 2009 tentang pelayanan publik serta Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi nomor 15 tahun 2014 tentang pedoman penyusunan Standar Pelayanan diwajibkan setiap penyelenggara pelayanan membuat maklumat pelayanan/janji pelayanan. 4) Sehubungan dengan rendahnya apresiasi responden terhadap unsur mekanisme penanganan pengaduan, saran dan masukan dapat direkomendasikan dibentuknya pojok layanan pengaduan sebagaimana diharapkan banyak masyarakat. Dengan menyediakan tempat khusus pengaduan layanan dapat memudahkan masyarakat untuk langsung menyampaikan aduannya dan terkesan lebih nyata adanya. Namun demikian bagaimanapun juga tindak lanjut dari pengaduan tersebut adalah yang lebih penting.
Agus
Purwanto, Erwan dan Ratih Sulistyawati, Dyah Metode Penelitian Kuantitatif, GAVA MEDIA. Yogyakarta, 2007
Anggoro, Ferry, Pelayanan Publik dan Pengelolaan Infrastruktur Perkotaan, Sinergi Publishing, Yogyakarta, 2008 Arikunto, Suharsimi. 2005. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta. Dwiyanto ,Agus, Manajemen Pelayanan Publik:Peduli, Inklusif, dan Kolaboratif, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2010 Dwiyanto, Agus, Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia, Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM, Yogyakarta, 2002 Koentjaraningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat, LIPI, Jakarta, 1973 Moenir, H.A.S, Manajemen Pelayanan Umum, Bina Aksara, Jakarta, 1995 Morgan, Colin dan Stephan Murgantroyd, Total Quality Manajemen in the Public Sector, Great Britain: Colin Morgan and Murgan Troyd Associaties, 1994 Nurmandi, Achmad, Public Service dalam Pelayanan Publik Perkotaan di Indonesia, Laporan Penelitian, Jurusan Ilmu Pemerintahan, FISIPOL UMY, 1996 ________________, Manajemen Pelayanan Publik, Sinergi Publishing, Yogyakarta, 2010 ________________, Perkotaan, Sinergi Yogyakarta, 2006
Manajemen Publishing,
Osborn, David & T.Gaebler.1993. Reinventing Governent: How the Entrepreneurial Spirit is
266
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
Transforming the Public Sector. New York: A Plume Book
pedoman penyusunan Pelayanan
Ratminto dan Septik, Atik, Manajenen Pelayanan (Pengembangan Model Konseptual, Penerapan Citizen’s Charter dan Standar Pelayanan Minimal. Pustaka Pelajar, 2006.
Peraturan Menteri Pembedayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomo1 16 Tahun 2014 tentang Survey Kepuasan Masyarakat Profil RSUD Kabupaten Mimika Tahun 2014
Rahmad, Jamaludin, Psikologi Komunikasi, CV Remaja Karya, Jakarta, 1985 Riduwan. 2005. Belajar Mudah Penelitian Untuk Guru, Karyawan dan Peneliti Pemula. Bandung: Alfabeta. Singarimbun, Masri dan Sofian Efendi, Metode Penelitian Survey, LP3ES, Jakarta, 1989 Supranto, J, Pengukuran Kepuasan Pelanggan, Cipta, Jakarta
Standar
Tingkat Rineka
Surachmad, Winarno, Dasar-dasar Teknik Research, Tarsito, Bandung, 1978 Suwarno, Yogi. “The Emergence of Public Participation in Contemporary Indonesia: Coproduction Role of Neighborhood Association in delivering Public Service”. Master Thesis at GSPA-ICU, Tokyo, 2005 Tjiptono, Fandy, Prinsip-prinsip Total Quality Service, Andi Offset, Yogyakarta, 1997 ______________, Strategi Pemasaran, Andy Offset, Yogyakarta, 2002 Tjiptono fandy. Dan Diana Anastasia, Total Quality Manajement, Edisi Revisi, 2001 Undang-undang RI No.32 Tahun 2002, tentang Otonomi Daerah Undang-undang RI No.25 Tahun 2009, tentang Pelayanan Publik Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi nomor 15 tahun 2014 tentang
267
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
ARTIKEL ILMIAH
Wisata Kuliner Yogyakarta, Pemetaan ulang dan Upaya Revitalisasi dalam rangka Peningkatan Perekonomian UMKM 1 Oleh : Puji Qomariyah 2, Yana Karyana 3
Abstrak --- Menjadi wilayah tujuan wisata terbesar kedua setelah Bali, Yogyakarta harus sesegera mungkin menangkap semua peluang usaha ekonomi dari kegiatan pariwisata bagi masyarakatnya, terlebih ragam kuliner khas Yogyakarta yang hingga saat ini belum tergali secara optimal. Ragam kuliner khas/tradisional yang merupakan salah satu produk budaya selain memiliki nilai ekonomis bagi masyarakat sekaligus bisa menjadi salah satu upaya peningkatan ketahanan pangan. Thiwul, gathot, sawut, misalnya yang berbahan dasar singkong yang ketersediaannya di masyarakat bisa menjadi alternatif pengganti beras. Inovasi olahan jamur, ternyata secara tekstur maupun rasa tidak kalah jika dibandingkan dengan daging. Memperkenalkan ragam kuliner khas Yogyakarta akan membuka peluang ekonomi bagi masyarakat dengan memanfaatkan bahan baku yang tersedia secara melimpah semisal singkong, jagung, jamur, dan hasil pertanian lokal lainnya juga dapat meningkatkan ketahanan pangan masyarakat karena masyarakat bisa melepaskan diri dari ketergantungan produk impor semisal beras, kedelai, serta daging.
pembangunan sumberdaya manusia berkualitas, prasyarat bagi pembangunan perekonomian, serta menjadi salah satu fokus pembangunan nasional. Meskipun berbagai macam makanan dari berbagai negara mendapat tempat di masyarakat, makanan asli Indonesia juga tetap mendapat tempat bahkan ragam yang ditawarkan semakin banyak. Menu nasi liwet solo, mie godog Yogya, dan sup buntut misalnya, bisa berada bersamasama steak di di hotel berbintang lima seperti Hotel the Darmawangsa di Jakarta, lengkap dengan gaya lesehannya. Di rumah pun, kita semakin sering mencoba resep beragam makanan asli Indonesia atau yang sudah dimodifikasi, maupun makanan mancanegara. Dalam hal keanekaragaman sumber pangan, Indonesia sebenarnya sangat kaya, mulai dari beragam bahan pangan sumberkarbohidrat, sumber protein, sumber vitamin dan mineral.(Pambudy dalam Soenardi, 2002). Kuliner tradisional merupakan salah satu kekayaan budaya yang harus digali kembali sebagai salah satu aset cultural melalui revitalisasi dan prosesproses transformasi. Hal ini perlu dilakukan untuk mengimbangi serbuan kuliner asing dan model franchise kuliner sebagai dampak pasar bebas dan globalisasi. Kuliner tradisional di Indonesia semakin tidak popular dan kalah dengan Thailand, Jepang, China. Sebagai bagian dari folklore, sudah semestinya harus ada usaha untuk
Orang bijak mengatakan food is our last defence. Sejalan dengan ini, ketahanan pangan merupakan pilar
1. Hasil Penelitian Hibah Bersaing didanai Ditjen DIKTI Kemendiknas RI tahun anggaran 2011/2012 2. Dosen jurusan Sosiologi Fisipol - Univ. Widya Mataram Yogyakarta 3. Dosen jurusan Administrasi Negara - Univ. Widya Mataram Yogyakarta
268
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
Sate Klathak Tembi, Bakmi Pak Pele. Informasi lokasi, inilah yang menjadi salah satu kendala di samping tempatnya yang relatif susah dijangkau oleh pengunjung semisal Bakmi Mbah Mo di Kampung Code-Bantul. Terkait dengan destinasi wisata kuliner (utama) di wilayah Yogyakarta, sebagian besar masyarakat/pengunjung mengetahuinya. Masyarakat/pengunjung mengetahui persebaran lokasi tersebut, hanya untuk komoditas/produk kuliner yang ada di wilayah tersebut masyarakat/pengunjung masih mengalami kesulitan mendapatkan informasi secara detail. Meskipun begitu, sesungguhnya kondisi ini bisa menjadi modal yang cukup berarti bagi pengembangan pemetaan destinasi wisata kuliner Yogyakarta di masa datang. Informasi tentang wisata kuliner, inilah yang menjadi salah satu kendala pengembangan wisata kuliner hampir di berbagai tempat, tidak terkecuali di Yogyakarta. Pengunjung/masyarakat memperoleh informasi secara informal baik dari teman, internet mulut ke mulut, hingga mencari sendiri informasi tersebut. Ada celah yang terbuka lebar terkait dengan informasi dan pengembangan wisata kuliner Yogyakarta: kemudahan mendapatkan bagi siapapun yang berkunjung ke Yogyakarta untuk memperoleh terkait dengan informasi kuliner di Yogyakarta. Kemudahan memperoleh informasi tersebut akan banyak membantu pengunjung dalam menentukan pilihan kuliner khas Yogyakarta.
mempopulerkannya kembali, baik oleh pemerintah, pelau usaha maupun masyarakat luas. Apabila ada anggapan bahwa kurang populernya kuliner tradisional Indonesia disebabkan terlalu banyak varian dan cara masak yang terlalu lama, sudah tentu bukan suatu penilaian yang benar. Dalam khasanah kuliner Yogyakarta, Gudeg (jawa: gudheg) masih menjadi makanan khas Yogyakarta. Gudeg, yang sejarah kemunculannya hingga menjadi makanan khas Yogyakarta masih simpang siur telah menjadi salah satu destinasi kuliner bagi wisatawan maupun masyarakat Yogyakarta sendiri. Kepopuleran gudeg bisa dilihat dari banyak warung makan yang menjual gudeg dan tidak hanya terkonsentrasi pada satu kampung meskipun sampai saat ini Kampung Wijilan tetap menjadi rujukan bagi penikmat gudeg. Bakpia menjadi makanan berikutnya yang dianggap menjadi makanan khas Yogyakarta, diikuti Geplak. Meskipun menganggap Gudeg sebagai makanan khas Yogyakarta, masyarakat/pengunjung banyak memilih Bakpia dan Geplak sebagai oleh-oleh makanan dari Yogyakarta. Bisa dipahami, alasan kepraktisan mengingat bakpia dan geplak relatif lebih awet dibandingka gudeg, selain harga gudeg sebagai oleh-oleh relatif lebih mahal dibanding jenis makanan lainnya terlebih bakpia dan geplak. Dari 44 (empat puluh empat) tempat/warung makanan di wilayah Yogyakarta, hanya ada 12 tempat yang diketahui oleh masyarakat/pengunjung lebih dari 50%. Kenyataan ini cukup mengejutkan mengingat masih banyak tempat/warung/toko makanan yang tidak diketahui meskipun tempat tersebut cukup terkenal semisal: Bale raos, Bakmi Kadin, Peyek kacang Yu Tum,
Pasar merupakan salah satu tempat kegiatan perekonomian masyarakat yang dapat menunjukkan tingkat kesejahteraaan dari suatu wilayah/daerah. Jumlah Pasar yang terdapat di Kota Yogyakarta pada tahun 2008 mencapai 32 pasar yang menempati lahan seluas 124.847,07 m2 dengan 15.340 pedagang. Dari keseluruhan pasar yang ada, sekitar
269
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
jenis makanan Gudeg, ataupun kampung Pathuk dengan Bakpia-nya.
79,62 persen pasar sudah memiliki sarana dan prasarana yang memadai sedangkan 20,38 persennya merupakan pasar tradisional dengan sarana prasarana yang masih sangat terbatas. Pada tahun 2008 pertumbuhan ekonomi Kota Yogyakarta mencapai 5,12 persen. Angka ini meningkat dibandingkan dengan tahun 2007 yang mencapai 4,46 persen. Pertumbuhan ekonomi ini terutama didorong oleh pertumbuhan sektor perdagangan, hotel dan restoran serta sektor angkutan dan komunikasi, dengan tingkat pertumbuhan masingmasing 5,46 persen dan 8,15 persen. Kedua sektor tersebut merupakan sektor andalan dalam perekonomian Kota Yogyakarta. (Kota Yogyakarta Dalam Angka, 2009)
Pasar tradisional masih menjadi andalan bagi masyarakat untuk memperoleh makanan/jajanan khas tradisional Yogyakarta. Pasar Kranggan, misalnya semenjak pasar buka di pagi hari banyak penjual beragam jajanan maupun makanan tradisional semisal wader goreng, lopis, dll. Sementara di Pasar Ngasem kita bisa membeli thiwulgathot ataupun apem beras yang banyak diminati pelanggan. Terkait penataan pasar agar menjadi bersih, ada perbedaan pendapat penjual pada masing-masing pasar. Penjual di pasar Kranggan berharap adanya lokalisasi jenis komoditas yang dijual sehingga penjual/pedagang makanan tidak bercampur dengan pedagang jenis lainnya, sementara di Pasar Ngasem justru berharap pedagang dari komoditas yang berlainan dicampur saja sehingga ketika misalnya pengunjung selesai membeli sayur bisa membeli makanan pada pedagang yang berjualan di sebelahnya.
Secara umum, pasar tradisional masih menjadi urat nadi perdagangan dan perekonomian masyarakat di wilayah Yogyakarta. Hal ini bisa dilihat dari masih eksis-nya pasar-pasar tradisional di Yogyakarta di tengah gempuran pusat perbelanjaan modern. Pasar tradisional menjadi sandaran banyak pelaku usaha mikro-kecil di Yogyakarta. Inilah tarikan napas perekonomian di daerah Yogyakarta. Geliat pasar tradisional menjadi ujung tombak produk lokal Yogyakarta mulai dari seni kriya, batik dan produk pakaian jadi, alat rumah tangga, hingga makanan tradisional baik yang masih asli maupun yang telah mengalami modifikasi. Terlebih untuk makanan/jajanan tradisional, masih banyak ditemui di pasar tradisional di Yogyakarta meskipun akhir-akhir ini pangsa pasar maupun pengembangannya mulai tergerus oleh makanan modern yang siap saji. Selain pasar tradisional, makanan tradisional khas Yogyakarta banyak tumbuh berkembang di kampungkampung yang pada akhirnya menjadi semacam penanda bagi kampung tersebut semisal Wijilan merujuk pada
Makanan/masakan Yogyakarta identik dengan citarasa manis. Inilah yang menjadi ciri khas makanan/masakan Yogyakarta semisal gudeg, bakpia, geplak, baceman, bahkan pecel pun mempunyai rasa yang cenderung manis. Kenyataan ini menjadi penanda yang unik sekaligus menguntungkan bagi produk kuliner Yogyakarta. Rasa manis pada bakpia maupun gudeg telah menjadikan common sense pengunjung ketika mencari kudapan maupun oleh-oleh saat mereka berkunjung ke Yogyakarta. Loyalitas lidah, mungkin ini bisa sedikit menjelaskan. Bagi sebagian besar pecinta kuliner Yogyakarta, rasa jajanan/makanan manis yang pas di lidah mereka akan melekat dalam ingatan
270
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
kecenderungan sebagian masyarakat/wisatawan di Yogyakarta mulai berubah dalam mencari produk kuliner Yogyakarta: citarasa. Peluang tersebut ditangkap pelaku usaha kuliner Yogyakarta dengan menawarkan produk yang berkualitas. Bakpia 25 memberikan kebebasan bagi konsumen untuk melihat langsung proses produksi di pabriknya di Kampung Pathuk. Dengan pengawasan kualitas pada setiap tahapan, langkah ini memberikan rasa percaya (trust) pada konsumen atas produk kuliner yang mereka beli. Pengalaman melihat langsung menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan. Meskipun banyak dijual produk bakpia dengan kemasan yang hampir sama dengan nama yang hampir sama pula semisal Bakpia 125, Bakpia 35, Bakpia 38, Bakpia 67 hingga saat ini pembeli Bakpia 25 relatif stabil.
mereka. Hal ini sebenarnya berlaku umum bagi produk kuliner di daerah lain. Mengambil contoh Bakpia 25 Ongko Joyo ataupun Bakpia 75 yang telah memasarkan produknya puluhan tahun, hingga hari ini selalu dipenuhi pengunjung (terutama saat liburan dan akhir pekan). Meskipun banyak toko/warung pusat oleh-oleh menjual produk bakpia, namun kedua toko tersebut tidak kekurangan pembeli terlebih pelanggan setianya. Kemampuan mempertahankan citarasa inilah yang menjadi kuncinya. Dari waktu ke waktu, kedua produsen bakpia tersebut mampu menghasilkan bakpia yang digemari masyarakat dengan citarasa yang tidak berubah. Ini tidak terlepas dari kualitas kontrol yang dilakukan manajemen mampu menghasilkan bakpia dengan standar yang hampir sama dan terjaga sepanjang waktu. Ingatan pelanggan sejalan dengan waktu berubah menjadi ingatan kolektif masyarakat bahwa oleh-oleh bakpia Yogyakarta adalah Bakpia 25 atau Bakpia 75. Hal yang hampir sama berlaku pula pada produk kuliner lainnya di Yogyakarta semisal Gudeg Yu Jum, Gudeg Bu Slamet, Gudeg Bu Ahmad.
Kuliner khas/tradisional, jalan masuk ketahanan pangan-ekonomi lokal Pengawasan kualitas (quality control) pada setiap tahap, menjaga citarasa-penyajian-pengemasan, serta menumbuhkan kepercayaan pada konsumen akan menjadi salah satu kunci memenangkan persaingan di masa datang. Dalam hal produk kuliner Yogyakarta, pada akhirnya kemasan boleh sama, namun lidah konsumen/pelanggan/wisatawan tidak pernah berbohong. Ini yang harus mendapatkan pencermatan semenjak dini pelaku kuliner di Yogyakarta.
Ingatan kolektif masyarakat akan disebarluaskan pada sanak-saudara, teman, handai taulan. Inilah perlunya bagi pelaku kuliner di Yogyakarta untuk melakukan pengawasan kualitas (quality control) pada produk mereka di tengah persaingan yang semakin ketat. Dalam pandangan masyarakat luas, Yogyakarta adalah kota yang murah untuk memperoleh oleh-oleh. Hingga saat ini, kondisi tersebut masih cukup melekat di benak masyaraat. Masyarakat/wisatawan berharap mereka mendapatkan produk kuliner maupun produk lainnya di Yogyakarta dengan harga yang murah. Namun dalam perkembangan terakhir, di tengah gempuran makanan cepat saji ataupun warung/resto modern ada
Promosi merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan suatu program pemasaran. Produk yang sudah direncanakan dengan baik serta telah ditentukan harga jualnya secara tepat, belum menjamin keberhasilan pemasaran terhadap produk tersebut. Hal ini disebabkan karena apabila produk yang sudah bagus dengan harga yang sudah bagus tidak dapat dikenal oleh konsumen, maka produk tersebut tidak
271
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
warung makan/resto dengan harga yang relatif mahal. Pelaku kuliner di Yogyakarta bisa menangkap fenomena tersebut sebagai peluang mengembangkan usahanya. Segmentasi pasar di bawah kelas menengah-atas di Yogyakarta masih terbuka lebar mengingat Yogyakarta merupakan wilayah tujuan wisata maupun menetap sementara bagi masyarakat luar. Ceruk pasar yang masih terbuka inilah yang harus segera ditangkap para pelaku kuliner di Yogyakarta dengan menawarkan produk makanan tradisional dengan peningatan kualitas atau memberikanan tawaran (inovasi) produk baru sesuai selera pasar.
akan berhasil di pasaran. Upaya untuk memperkenalkan produk kepada konsumen merupakan awal dari kegiatan promosi. Kegiatan promosi didefinisikan sebagai: “ Arus Informasi atau persuasi satu arah yang dibuat untuk mengarahkan seseorang atau organsiasi kepada tindakan yang menciptakan pertukaran dalam pemasaran.” (Swastha, 2000). Promosi menjadi masukan terbesar masyarakat/pengunjung bagi pengembangan kuliner di wilayah Yogyakarta. Kenyataan ini didasarkan bahwa hampir 78,3 % masyarakat/pengunjung mencari dan mendapatkan informasi sendiri tentang kuliner Yogyakarta dari teman-teman mereka. Bisa dipahami, bahwa kegiatan promosi merupakan produk memerlukan biaya yang tidak sedikit. Bagi pelaku usaha kuliner di Yogyakarta skala UMKM, mereka lebih banyak mengandalkan konsumen/pembeli untuk mempromosikan produknya dari mulut ke mulut konsumen/pembeli yang membeli produknya. Alokasi biaya promosi yang relatif besar tentunya akan berpengaruh pada modal kerja mereka, sementara di sisi lain mereka pun memerlukan promosi dan publikasi produk kuliner mereka agar dikenal konsumen. Kendala tersebut sebenarnya bisa dijembatani dengan strategi pemasaran bersama melalui berbagai media: cetak-elektronik, online, hingga even/bazaar produk kuliner Yogyakarta. Upaya ini memerlukan rentangan tangan bersama agar biaya promosi bisa ditekan seminimal mungkin.
Dengan sentuhan teknologi dan pengelolaan yang lebih baik, makanan tradisional seperti thiwul, gathot ataupun geblek dapat dikembangkan lebih lanjut, selain untuk memperbaiki kandungan gizinya, juga untuk menjangkau pasar yang lebih luas di luar konsumen tradisionalnya. Sehingga makanan tradisional seperti thiwul, gathot ataupun geblek juga tersedia di daerah-daerah yang lain. “Pengayaan” makanan tradisional tidak hanya mempromosikan produk kuliner khas/tradisional Yogyakarta, yang lebih penting lagi adalah meningkatkan ketahanan pangan dengan cara mengurangi ketergantungan terhadap bahan pangan tertentu, beras misalnya. Ukuran ketahanan pangan adalah apabila stok makanan pokok, apapun jenis makanan pokok itu, tercukupi. Karenanya, sudah sepatutnya masyarakat dilibatkan dengan diberi tempat dan akses yang luas; tidak hanya menjadi konsumen, tetapi juga produsen sehingga dapat melestarikan makanan pokok lokal yang selama ini mereka konsumsi.
Inovasi produk di tengah persaingan yang semakin ketat menjadi pekerjaan rumah bagi pelaku kuliner di Yogyakarta. Hal ini bisa dipahami mengingat ada pergeseran pula pada pola konsumsi masyarakat/wisatawan menjadikan kuliner sebagai salah satu gaya hidup. Secara sederhana bisa dilihat makin ramainya pengunjung pada
Ada banyak nilai di balik makanan khas/tradisional kita, karena di dalamnya ada pemanfaatan hasil alam Indonesia,
272
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
memerlukan rentangan semua pihak. Pada titik ini, sesungguhnya ada celah/ceruk pasar yang cukup terbuka mengingat sebenarnya masyarakat banyak mengenal ragam kuliner khas/tradisional Yogyakarta. Upaya memperkenalkan (kembali) ragam kuliner khas/tradisional Yogyakarta bisa menjadi jalan masuk untuk memperkuat posisi Yogyakarta sebagai daerah tujuan wisata dalam tahap demi tahap, yang pada saatnya akan mampu membuka peluang usaha (baru) serta lapangan kerja (baru) mengingat kuliner dan wisatawan adalah dua hal yang selalu berjalan berdampingan. Beberapa saran yang bisa menjadi pertimbangan bagi parapihak (stakeholders) yang terlibat dalam dunia pariwisata kaitannya dengan pengembangan ragam kuliner khas/tradisional Yogyakarta: Pertama, perlunya pusat informasi (information center) kuliner Yogyakarta bagi masyarakat (warga Yogyakarta/wislok/wisman) yang mudah, ramah, dan dapat diakses masyarakat setiap saat. Pusat informasi bisa diintegrasikan dengan yang lainnya terutama pada pintu gerbang masukkeluar Yogyakarta semisal stasiun, bandara, terminal, hotel-hotel, pusat perbelanjaan, ataupun ruang publik yang bisa didapatkan dengan mudah oleh masyarakat/pengunjung. Kedua, promosi bersama antar para pihak yang terlibat dalam dunia kuliner Yogyakarta: dalam hal ini antara kualitas produk dan ‘kemasan’ menjadi sangat penting. Promosi adalah salah satu upaya memperkenalkan ragam kuliner khas/tradisional kepada masyarakat. Kegiatan promosi memerlukan biaya yang cukup besar, sehingga dengan adanya promosi bersama akan sangat membantu (terutama UMKM kuliner Yogyakarta) didalam memromosikan produknya
yang berarti juga melestarikan hasil alam negara kita. Tentu saja hasil alam yang cocok dengan kondisi alam daerah tersebut. Semakin kita melestarikan makanan tradisional tersebut, hasil alam yang digunakan pun semakin bertahan karena dibutuhkan dalam proses produksinya. Dalam perspektif ini, sesungguhnya makanan khas/tradisional menjadi salah satu faktor yang dapat memperkuat ketahanan pangan lokal yang pada ujungnya pun berdampak pada ketahanan pangan nasional. Selalu ada yang baru dalam dunia kuliner Yogyakarta Kalimat ini seolah berlaku untuk wisatawan yang baru pertama kali berkunjung ke Yogyakarta maupun yang sudah sering berwisata ke Yogyakarta. Ini sebagai gambaran bahwa pertama, perkembangan kuliner Yogyakarta cukup dinamis-inovatif sehingga mampu menghasilkan produk kuliner yang dirasakan baru bagi wisatawan semisal Cakratela dengan produk berbahan ubi, Warung Spesial Sambal dengan beraneka ragam sambalnya, Bakpia rasa durian ataupun Jejamuran dengan produk olahan jamur. Kedua, masih belum tersampaikannya ragam kuliner khas/tradisional Yogyakarta yang jumlahnya cukup banyak dan tersebar di berbagai wilayah yogyakarta sehingga ‘seolah’ ada kejutan bagi wisatawan misalnya diperkenalkan dengan Bakmi mBah Mo Kampung Code-Bantul yang untuk mencapai lokasinya harus banyak bertanya. Kedua hal tersebut jika dikelola dengan baik akan menjadi daya tarik bagi dunia pariwisata Yogyakarta, sekaligus mendorong peningkatan perekonomian warga/masyarakat. Upaya tersebut bisa ditempuh dengan memperkenalkan (kembali) ragam kuliner khas/tradisional Yogyakarta kepada masyarakat maupun wisatawan, tidaklah mudah dan
273
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
Keenam, jika memungkinkan, membangun ruang wisata kuliner bersama (semacam taman kuliner) yang mudah dijangkau tempatnya, dengan menyediakan beragam kuliner Jogjakarta. Ide pembangunan Taman Kuliner di daerah Condongcatur beberapa tahun silam sesungguhnya sebuah terobosan bagi pengembangan wisata kuliner. Ketidakberhasilan Taman Kuliner lebih pada tidak adanya program yang jelas secara berkelanjutan meliputi program promosi, penyediaan sarana transportasi, hingga pendampingan pelaku kuliner di sana. Pasar memang akan tercipta secara alamiah antara pedagang-pembeli, namun tren tumbuhnya pujasera yang semakin banyak di berbagai kota bisa menjadi pembelajaran bersama untuk upaya keberhasilan membangun ruang wisata kuliner (khas/tradisional) Yogyakarta. Ketujuh, pembinaan dari pihak terkait dalam hal pemasaran (marketing), quality control, maupun permodalan sehingga pelaku kuliner (UMKM) bisa bersaing dengan manajemen usaha yang terkelola dengan baik serta menaikkan posisi tawar atas keunikan kulinernya. Kedelapan, pemanfaatan informasi teknologi untuk pengembangan wisata kuliner (produksi, pemasaran). Perkembangan informasi teknologi akhir-akhir ini semakin cepat dan relatif murah. Peluang ini bisa dimanfaatkan, misalnya pemanfaatan aplikasi GIS. Dengan adanya peta informasi daerah, dapat ditentukan arah pembangunan. Dan para investor pun bisa menentukan strategi investasinya berdasarkan kondisi geografis yang ada, kondisi penduduk dan persebarannya, hingga peta infrastruktur dan aksesibilitas. Bagi pengunjung/wisatawan, adanya aplikasi GIS suatu wilayah akan memudahkan mendapatkan berbagai informasi wilayah tersebut sehingga aksesibilitas menuju
sehingga biayanya bisa ditanggung bersama dan lebih murah. Ketiga, penyusunan buku panduan (guide book) tentang ragam kuliner Yogyakarta meliputi: Jenis/nama, tempat memperoleh, kandungan gizi, jalur transportasi, informasi harga, guide book of Yogyakarta culinary. Melengkapi pusat informasi, buku panduan sangat membantu pengunjung untuk mendapatkan informasi secara detail. Penyusunan panduan ini dapat menggandeng parapihak yang berkecimpung dalam dunia pariwisata. Keempat, penyediaan serta peningkatan sarana transportasi maupun infrastruktur yang memadai sehingga bisa ‘mendekatkan’ konsumen pada tempat-tempat tujuan wisata kuliner. Salah satu kendala masyarakat/pengunjung/wisatawan dalam menikmati ragam kuliner khas/tradisional Yogyakarta yang tersebar di berbagai wilayah adalah aksesibilitas menuju lokasi. Ada kecenderungan masyarakat/pengunjung/wisata-wan menggunakan kendaraan pribadi untuk menuju lokasi kuliner. Alasan kepraktisan serta belum memadainya sarana transportasi umum perlu dipikirkan bersama bagi pihak-pihak terkait. Kelima, Promosi baik di dalam Yogyakarta maupun ke luar dalam bentuk: event-event/bazaar/festival kuliner, web-site. Beberapa event-bazaar kuliner dalam tahun-tahun terakhir ini cukup mendapat respon positif dari masyarakat baik pengunjung maupun pelaku/penjualnya, semisal Pasar Kangen Yogyakarta yang diadakan setiap tahun sekali pada musim liburan, Kampung Ramadhan di Jogokaryan, ataupun Pasar Ramadhan Kampung Kauman. Event-bazaar bisa dilakukan di dalam wilayah Yogyakarta ataupun ke luar daerah.
274
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
Kotler. 2005. Manajemen Pemasaran. Jakarta: PT. INDEKS Kelompok Gramedia.
sebuah tempat wisata kuliner dapat diperhitungkan dengan lebih terencana.
Philip
KEPUSTAKAAN
Philip Kotler, Gary Amstrong. 2002. Prinsip-Prinsip Pemasaran. Jakarta: Erlangga.
Algifari. 2000. Analisis Regresi: Teori, Kasus dan Solusi Ed.2. Graha Ilmu. Yogyakarta.
______________. 2004. Dasar-Dasar Pemasaran. Jakarta : PT. INDEKS.
Basu Swastha Dh. 2001. Manajemen Penjualan. BPFE-UGM. Yogyakarta.
Soenardi, Tuti. 2002. Makanan Alternatif untuk Ketahanan Pangan Nasional. Penerbit Buku Kompas. Jakarta.
_____________. 2002. Azas-Azas Marketing. Penerbit Liberty. Yogyakarta. Basu
Sugiyono. 2003. Metode Penelitian Bisnis. Bandung: CV. Alfabeta.
Swatha Dh, Irawan. 2003. Manajemen Pemasaran Modern. Penerbit Liberty. Yogyakarta.
Wahono, Francis. et al. 2004. Pangan Kearifan Lokal dan Keanekaragaman Hayati. Cindelaras Pustaka. Yogyakarta.
Brannen, Julia. 2002. Memadu Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Wurianto, Arif Budi. 2008. Aspek Budaya pada Tradisi Kuliner Tradisional di Kota Malang sebagai Identitas Sosial Budaya. Sebuah Tinjauan Folklore. (Naskah Publikasi). Univ. Muhammadiyah Malang. Malang.
Boga GPU, Tim. 2001. Penganan untuk Antaran. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Endraswara, Suwardi. 2006. Metodologi Penelitian Kebudayaan. (cetakan kedua). Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Fandy
Lain-lain • Kota Yogyakarta Dalam Angka, 2009
Tjiptono. 2008. Strategi Pemasaran. Yogyakarta: Andi Offset.
Majalah : Menu Sehat. Edisi 9/Th. II/2006.
Kayam, Umar. 1990. Mangan Ora Mangan Kumpul. Grafiti. Jakarta.
Sedap Sekejap khusus Pemula. Edisi 20/IV/04.
Nangoi, Ronald. 2004. Pemberdayaan di Era Ekonomi Pengetahuan. Grasindo. Jakarta.
Tabloid/Koran :
Nugroho, Alois A. dan Ati Cahayani. 2003. Multikulturalisme dalam Bisnis. Grasindo. Jakarta.
Mata Jogja. Edisi No. 4. Mei-Juni 2007.
275
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
Kompas. Minggu, 11 Mei 2006. Di Yogya, Lidah Wajib Bertamasya. Butet Kertaradjasa. • http://www.pemda-diy.go.id/ diakses pada 1 Mei 2012, pukul 13.24 WIB • http://yogyakarta.bps.go.id/ diakses pada 1 Mei 2012, pukul 13.24 WIB • http://bakpia25.com/index.php?option =com_content&view=article&id=8&I temid=15; diakses pada 15 Mei 2012, pukul 19.31 WIB • http://female.kompas.com/read/2012/
07/02/09160922/Inovasi.Produk.dan.J asa.Jangan.Ditunda. diakses pada 22 April 2012, pukul 16.14 WIB
276
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
Potensi Kandungan Senyawa Phenol Amaranth Sebagai Antioksidan Alami Rita Andini1, Irfan2, Melly Novita2, Muhammad Ikhsan Sulaiman2 1 : Universitas Teuku Umar – Meulaboh, NAD 12, Agroteknologi, Fakultas Pertanian 2 : Universitas Syiah Kuala – Banda Aceh, NAD, Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Pertanian Asal: Meulaboh & Banda Aceh, Indonesia Kontak:
[email protected] atau
[email protected]
Abstrak --- Amaranth atau di Indonesia lebih dikenal sebagai bayam, merupakan sumber sayuran hijau yang memiliki kandungan nutrisi yang unggul, yaitu zat besi, vitamin A, C, protein, khususnya lysine yang merupakan salah satu komponen dari asam amino essensial yang sangat dibutuhkan oleh balita dalam masa pertumbuhan. Penelitian sebelumnya melaporkan bahwa biji bayam memiliki beragam kandungan senyawa phenol yang dapat berfungsi sebagai antioksidan alami. Namun hingga saat ini, kandungan senyawa phenol pada daun bayam yang berasal dari eksplorasi keanekaragaman hayati Indonesia belum banyak diteliti. Dalam penelitian ini, kandungan senyawa phenol pada daun bayam yang berasal dari Afrika, Amerika, Asia, Papua New Guinea (PNG), dan Indonesia (n = 31 aksesi) diteliti melalui Liquid Chromatography Mass Spectrometer (LCMS) dengan menggunakan pelarut methanol. Ada 12 jenis senyawa phenol pada daun yang dideteksi oleh LCMS dengan kandungan yang bervariasi antara 0.1 – 129 mg/kg untuk quercetin, gallic acid, rutin, protocatechuic acid, vanillic acid, chlorogenic, caffeic acid, kaempferol, ellagic acid, carotene, dan absorbic acid. Sedangkan, untuk ferrulic acid kandungannya berkisar antara 2.0-8.7 g kg-1. Penelitian ini membuka potensi bayam sebagai sumber antioksidan alami yang berguna bagi kesehatan manusia. Kata kunci: bayam, flavonoids, keanekaragaman hayati, LCMS, senyawa bioaktif.
277
PENDAHULUAN Amaranth (Amaranthus sp.) berasal dari bahasa Yunani yang berarti “unfading flower” (in english) atau di Indonesia lebih dikenal sebagai bayam. Amaranth telah menjadi obyek penelitian pada dua dekade belakangan ini dikarenakan memiliki keunggulan dari segi agronomis; seperti pertumbuhan yang cepat, tahan kering, lebih tahan terhadap cuaca panas, hama, dan salinitas juga membutuhkan input yang lebih sedikit dalam kultivasinya (VélezJiménez et al. 2014). Daun amaranth banyak dikonsumsi sebagai sayuran di daerah Afrika dan Asia, termasuk di wilayah Indonesia; khususnya di bagian barat sehingga yang berkembang di kawasan ini adalah jenis bayam daun (vegetable amaranth). A. tricolor L. adalah spesies utama yang mewakili vegetable amaranth (Costea et al. 2003). Sedangkan, di bagian bumi belahan utara seperti di Amerika dan Eropa, biji dari amaranth lebih banyak digunakan sebagai salah satu bahan campuran serealia atau confectionary atau sering disebut sebagai grain amaranth (Fomsgaard et al. 2009). Tiga spesies utama di grain amaranth yang paling banyak dikomersialkan adalah A. cruentus L., A. caudatus dan A. hypochondriacus. Dua spesies utama di grain amaranth, sering juga disebut sebagai multipurpose amaranth. Hal ini berarti bahwa daun mudanya dapat digunakan sebagai sayuran dan bijinya kelak dapat dipanen setelah cukup umur. Amaranth jenis ini banyak dikonsumsi di beberapa daerah di Afrika barat. Selain kedua jenis bayam konsumsi tersebut, ada juga yang digunakan sebagai tanaman hias (ornamental
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
amaranth) termasuk “Celosia” atau lebih dikenal sebagai “Cockscomb” dan juga jenis bayam liar-liaran atau weedy amaranth yang belum terdomestikasi dan lebih berfungsi sebagai gulma seperti A. palmeri atau “pigweed” atau jenis bayam duri (A. spinosus) (Achigan-Dako et al. 2014). Kelebihan tanaman amaranth dibandingkan dengan tanaman sayuran hijau dan serealia lainnya seperti gandum, jagung, oat adalah bahwa kedua bagian tanaman; yaitu biji dan daunnya memiliki kandungan protein berkualitas tinggi yang ditandai dengan kandungan lysine yang tinggi. Lysine adalah salah satu asam amino esensial yang pada umumnya jarang ditemukan pada sumber protein nabati namun banyak dibutuhkan dalam fase perkembangan balita. Dikarenakan kandungan lysine yang tinggi, ekstrak dari biji amaranth dapat direkomendasikan sebagai blending food, khususnya sebagai bahan campuran untuk formulasi susu balita (AchiganDako et al. 2014). Lima tahun belakangan ini, banyak penelitan di bidang industri pangan menitikberatkan pencarian senyawa antioksidan berbasis alam, termasuk kandungan dari komposisi senyawa phenol dalam bahan pangan, bioavailabilitas phenol, dan efek postifnya terhadap kesehatan manusia (Khanam dan Oba 2013). Antioksidan dikategorikan sebagai salah satu zat senyawa bioaktif (bioactive compound) yang penting dikarenakan dapat menangkap radikal bebas secara in- vivo, sehingga dapat mengurangi resiko penyakit lethal-degeneratif, seperti kanker, obesitas, cardiovascular (CVD) dan juga memperlambat efek penuaan (anti-aging effect) (Diplock et al. 1998). Sayuran, khususnya yang berwarna hijau dan oranye dipercayai memiliki kandungan antioksidan yang tinggi, termasuk amaranth (López-Mejia et al. 2013). Daun dan biji amaranth memiliki potensi yang signifikan untuk dikembangkan sebagai antioksidan alami dan dapat dikembangkan sebagai bahan dasar untuk industri pangan sehat (López-Mejía et al. 2014). Selain itu, daun dan biji amaranth dipercayai memiliki nutra-ceutical atau nutritive & pharmaceutical effects yang dapat digunakan sebagai zat anti-diabetes dan
278
menurunkan kadar kolesterol. Penelitian secara in-vivo menunjukkan bahwa total kolesterol pada serum darah dapat turun hampir 50% dengan mengkonsumsi biji amaranth. Selain itu, dengan mengkonsumsi kulit epidermis biji amaranth (bran) juga dapat menurukan level lipid pada darah dan tidak mengandung zat pencetus alergi (allergens). Kelebihan ini menjadikan amaranth sebagai sereal alternatif untuk penderita darah tinggi yang memiliki afinitas alergi terhadap bahan sereal konvesional, seperti gandum dan oat (CaselatoSousa dan Amaya-Farfán 2011). Secara umum, riset di bidang nutrisi dan kandungan senyawa bioaktif pada biji amaranth lebih maju dibandingkan pada daunnya (Khanam dan Oba 2013). Riset mengenai bayam daun untuk saat ini lebih banyak dilakukan oleh peneliti India, Malaysia dan Amerika latin. Kandungan antioksidan yang lebih tinggi pada daun dari jenis sayuran dibandingkan dengan daun dari jenis biji-bijian telah dipublikasikan oleh Khanam dan Oba (2013). Daun A. tricolor L. khususnya yang berwarna merah-keunguan memiliki kandungan antioksidan seperti betaxanthins dan betacyanins yang lebih tinggi dan hal ini dapat meningkatkan added value dari amaranth sebagai bahan pewarna alami yang aman pada industri makanan. Selain itu, daun A. spinosus yang merupakan jenis bayam liar berduri juga dilaporkan mengandung senyawa phenol yang cukup tinggi dan didominasi oleh senyawa quinic acid, quercetin, dan kaempferol (Stintzing et al. 2004). Beberapa species amaranth asli Indonesia yang berasal dari dataran tinggi Gayo di Aceh dan masih dianggap “liar-liaran”, seperti A. blitum L, A. dubious dan A. viridis memiliki kandungan protein dan lysine yang berkualitas tinggi pada daunnya. Selain itu, species-species tersebut memiliki variasi agro-morphology yang tinggi dan berpotensi untuk dijadikan sebagai komoditi pangan bergizi tinggi (Andini et al. 2013). Namun sayangnya, eksplorasi keragaman genetik dan fungsional bayam Indonesia masih sangat sedikit dilakukan, padahal keragamannya cukup besar. Penelitian pendahuluan tersebut dapat dijadikan sebagai baseline dalam
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
mengeksplorasi potensi keanekaragaman hayati bayam Indonesia dalam keterkaitannya dengan program pemerintah di bidang ketahanan pangan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisa dan mengkarakterisasi senyawa phenol pada daun bayam dari keempat jenis (sayuran, biji-bijian, ornamental, liar-liaran) yang berasal dari Indonesia dan beberapa aksesi dari Afrika, Amerika, Asia dan PNG melalui Liquid Chromatography Mass Spectrometer (LCMS) dengan menggunakan pelarut methanol. Penelitian ini diharapkan dapat membuka potensi dan meningkatkan nilai tambah (added value) bayam sebagai sumber antioksidan alami yang terjangkau. I. MATERIAL & METODE PENELITIAN A. Material Material penelitian adalah benih dari keempat jenis bayam yang telah dikumpulkan dari berbagai daerah di Indonesia dan luar negeri. Koleksi dari luar negeri diperoleh melalui United States Department of Agriculture (USDA) (Tabel 1). Benih bayam ditanam dalam rumah kasa Fakultas Pertanian – UNSYIAH; masing-masing 3 benih dalam polybag (ukuran 20x30 cm). Masing-masing aksesi ditanam sebanyak 3 kali ulangan (r=3). Media yang digunakan adalah top soil yang dicampur dengan pupuk kandang, dengan perbandingan 1:5. Bayam ditumbuhkan hingga daunnya secara fisiologis mencapai ukuran layak dikonsumsi atau kira-kira 30-50 hari setelah waktu semai. Daun bayam dari masing-masing polybag dipanen dan digunakan menjadi material penelitian untuk diteliti kandungan antioksidannya. B. Metode Penelitian B.1. Ekstraksi Antioksidan Pelarut metanol digunakan untuk mengekstrak daun bayam. Metode ekstraksi mengikuti metode Amin et al. (2006). Daun sebanyak 50 g dipanen dari masing-masing polybag kemudian dihancurkan hingga halus dalam mortar yang telah diberi pelarut sehingga menjadi pasta. Pasta bayam dimasukkan dalam tabung erlenmeyer dan diberi pelarut hingga
279
volumenya mencapai 100 ml. Kemudian antioksidan diekstrak dengan digoyang dengan shaker 100 rpm selama 4 jam. Setelah disaring dengan kertas saring (Whatmann No. 4), pelarut pada ekstrak diuapkan dengan menggunakan vacuum evaporator dengan suhu 50 oC untuk kemudian dilarutkan kembali dengan pelarut hingga volumenya menjadi 10 ml. Ekstrak dimasukkan ke dalam tabung reaksi tertutup rapat kemudian dibekukan pada suhu -30 oC sebelum siap dianalisis. B.2. Analisis & Kuantifikasi Analisis antioksidan dilakukan dengan mengkuantifikasi senyawa phenol melalui LCMS sesuai dengan metode Shimadzu No. C51 untuk analisis flavonoid dan No. 030 untuk carotenoid dan tocopherol. Kondisi analisis LCMS disesuaikan dengan petunjuk dan referensi yang ada. Kuantifikasi dilakukan dengan menginjeksi senyawa referensi pada berbagai konsentrasi sehingga dihasilkan suatu kurva standar dan dibandingkan dengan chromatogram pada retensi waktu yang sesuai (Stintzing et al. 2004). Senyawa phenol standar yang digunakan dalam analisis ini adalah: quercetin, gallic acid, rutin, protocatechuic acid, vanillic acid, apigenin, tocopherol, chlorogenic acid, caffeic acid, ferrulic acid, kaempferol, ellagic acid, antochyanin, caroten, dan ascorbic acid. Untuk senyawa yang terdeteksi oleh LCMS namun tidak memiliki standar akan diduga dengan membandingkan m/z value versus referensi. B.3. Data Statistik Data statistik yang ditulis berdasarkan: nilai tengah (mean) ± Standard Deviasi (SD) dari tiga pengukuran. Nilai tengah ini digunakan dalam penghitungan statistik lanjutan. Program statistika yang digunakan adalah JMP versi 9 SAS Inc.. Signifikant test juga dilakukan secara otomoatis dalam program JMP. II. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kandungan senyawa phenol LCMS dapat mendeteksi kandungan senyawa phenol pada daun dari keempat jenis
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
bayam. Ada 12 senyawa phenol pada daun yang selanjutnya dikarakterisasi sebagai quercetin, gallic acid, rutin, protocatechuic acid, vanillic acid, chlorogenic, caffeic acid, ferrulic acid, kaempferol, ellagic, carotene, dan ascorbic acid. Kandungan kesebelas senyawa phenol pada daun bayam bervarisasi, yaitu antara 0.1 – 129 mg/kg; kecuali ferrulic acid yang berkisar antara 2.0- 8.7 g/kg (Tabel 1). Secara umum, 12 senyawa phenol yang dianalisa dapat dikategorikan ke dalam tiga kelompok. Pertama adalah kelompok hydrobenzoic acid seperti gallic acid, vanillic acid, dan ellagic acid. Kedua adalah kelompok hydroxycinnamic acid seperti caffeic acid, chlorogenic acid, dan coumaric acid. Ketiga adalah kelompok flavonoid, yaitu isoquercetin, hyperoside, dan rutin. Kandungan senyawa phenol yang bervariasi ini mengkonfirmasi hasil penelitan sebelumnya (Khanam dan Oba 2013, Steffensen et al. 2011, Stintzing et al. 2003). Pada penelitian ini, quercetin, kaempferol, dan rutin adalah tiga senyawa phenol tertinggi yang terkandung di daun (Tabel 1). Sedangkan, penelitian sebelumnya menyatakan bahwa quercetin, isoquercetin (quercetin-3-glucoside), dan rutin (quercetin-3-rutinoside) merupakan jenis flavonoid yang paling sering ditemukan di daun dari keempat jenis amaranth (A. cruenthus, A. tricolor L., A. hypochondriacus, A. hybrid, A. retroflexus) (Kalinova dan Dadakova 2009). Perbedaan species, jumlah material yang digunakan, dan kondisi lingkungan saat penanaman kemungkinan dapat menyebabkan perbedaan hasil keduanya. Kandungan dari analisis senyawa rutin dan quercetin bervariasi antara 3.0-60 dan 66-129 mg kg-1 (Tabel 1). Kandungan rutin pada penelitian ini cukup bervariasi dan hasil yang dilaporkan jauh lebih kecil dibandingkan dengan publikasi sebelumnya, yaitu sekitar 24.5 g kg-1 berat kering. Rutin dan quercetin adalah flavonoid alami yang banyak ditemukan di alam. Flavonoid adalah salah satu antioksidan yang dianggap sangat efektif untuk mencegah penyakit-penyakti degeneratif akibat penuaan seperti atherosclerosis dan kanker. Khusus untuk jenis flavonoid yang berasal dari tumbuhan sangat direkomendasikan dikarenakan memiliki gastro-protective agent.
280
Rutin memiliki efek positif untuk pencegahan dan perawatan kanker kolon. Sedangkan, quercetin dapat digunakan sebagai salah satu bahan penting dalam pengobatan kemoterapi, khususnya untuk kanker kulit dan prostat dikarenakan quercetin memiliki kemampuan untuk menghambat pertumbuhan sel-sel tumor. Namun, yang terpenting dari fungsi rutin dan quercetin adalah sebagai antioksidan yang dapat mencegah proses oksidasi dari HDL kolesterol dalam darah (Kalinova dan Dadakova 2009). Penelitian ini juga menyimpulkan keunggulan daun dari jenis sayuran seperti A. tricolor L. dalam kaitannya dengan kandungan senyawa phenol dibandingkan kandungan di daun dari jenis grain amaranth (A. hybridus). Selain itu, kandungan caffeic acid yang tertinggi ditemukan di daun dari jenis vegetable amaranth seperti A. tricolor L. dan A. dubius. Kandungan kedua tertinggi pada caffeic acid ditemukan pada A. cruenthus yang merupakan jenis multi-purpose (Tabel 1). Caffeic acid dan beberapa turunan esternya dipercaya memiliki anti-carcinogenenic efek, khususnya pada kanker kolon (Khanam dan Oba 2013). Penelitan ini mengkonfirmasi potensi amaranth sebagai sumber antioksidan alami, aman dikonsumi, dan bermanfaat bagi kesehatan manusia. III.KESIMPULAN Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi potensi kekayaan keanekaragaman genetik amaranth, khususnya yang berasal dari Indonesia. Amaranth atau yang lebih dikenal sebagai bayam di Indonesia merupakan tanaman sayuran hijau yang memiliki nilai nutrisi yang sangat baik dan juga memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai bahan antioksidan alami. LCMS dapat mendeteksi kandungan senyawa phenol yang ada pada daun, dari empat jenis amaranth yang berbeda (jenis biji-bijian, sayuran, liar-liaran, dan tanaman hias). Ada 12 jenis senyawa phenol yaitu: quercetin, gallic acid, rutin, protocatechuic acid, vanillic acid, chlorogenic, caffeic acid, ferrulic acid, kaempferol, ellagic, carotene, dan ascorbic acid dan ferrulic acid yang kesemuanya merupakan zat senyawa aktif
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
dan dapat mencegah penyakit kronis, seperti kanker, arthritis, dan CVD. Tahapan penelitian berikutnya adalah tes bio-assay dan pengukuran bioavailabilitas senyawa phenol dari daun amaranth secara in-vivo untuk mengetahui khasiat antioksidan tersebut pada kesehatan. DAFTAR PUSTAKA Achigan-Dako, E., Sogbohossou O.E.D., Maundu, P. (2014) Current Knowledge on Amaranthus spp.: Research Avenues for Improved Nutritional Value and Yield in Leafy Amaranths in Sub-Saharan Africa. Euphytica 197:303-317. DOI:10.1007/s10681-014-1081-9. Amin, I., Norazaidah, Y., Hainida, K.I.E. (2006) Antioxidant Activity and Phenolic Content of Raw and Blanched Amaranthus Species. Food Chem 94:47–52. DOI: 10.1016/j.foodchem.2004.10.048 Andini, R., Yoshida, S., Ohsawa, R. (2013) Variation in Protein Content and Amino Acids in the Leaves of Grain, Vegetable and Weedy Types of Amaranths. Agronomy 3:391– 403. DOI: 10.3390/agronomy3020391. Caselato-Sousa, V.M. and Amaya-Farfán, J. (2012) State of Knowledge on Amaranth Grain: a Comprehensive Review. Journal of Food Science 77(4):93-104. DOI:10.111/j.17503841.2012.02645. Costea, M., Tardif, F.J., Brenner, D.M. (2003) Notes on Economic Plants. Economic Botany 57(4):646-649. The New York Botanical Garden Press, Bronx, NY 10458-5126 U.S.A. Diplock, A.T., Charleux, J.L., Crozier-Willi, G., et al. (1998) Functional Food Science and Defence Against Reactive Oxidative Species. British Journal of Nutrition 80.Suppl.1:77112.
281
Fomsgaard, I.S., Añon, M.C., Paulina, A. (2009) Adding Value to Holy Grain: Providing the Key Tools for the Exploitation of Amaranth - the Protein-rich Grain of the Aztecs. Results from a Joint European Latin American Research Project. Aarhus. Kalinova, J., Dadakova, E. (2009) Rutin and Total Quercetin Content in Amaranth (Amaranthus spp.). Original Paper: Plant Foods Hum Nutr 64:68-74. DOI 10.1007/s113000800104-x. Khanam, U.K.S. and Oba, S. (2013) Bioactive Substance in Leaves of Two Amaranth Apecies, Amaranthus tricolor and A. hypochondriacus. Can.J.Plant Sci. 93:47-48. DOI:10.4141/CJPS2012-117. López-Mejia, O.A., López-Malo, A., Palou, E. (2013) Antioxidant Capacity of Extracts from Amaranth (Amaranthus hypochondriacus L.) Seeds or Leaves. Industrial Crops and Products 53:55-59. Steffensen, S.K., Rinnan, Å., Mortensen, A.G. (2011) Variations in the Polyphenol Content of Seeds of Field Grown Amaranthus Genotypes. Food Chemistry 129:131-138. Stintzing, F.C., Kammerer, D., Schieber, A. (2004) Betacyanins and Phenolic Compounds from Amaranthus spinosus L. and Boerhavia erecta L. Zeitschrift für Naturforsch 59:1–8. Vélez-Jiménez, E., Tenbergen, K., D Santiago, P., Cardador-Martínez M.A. (2014) Functional Attributes of Amaranth. Review Article: Austin Journal of Nutrition and Food Sciences 2(1):6.
Kode Aksesi
PI 490298/KEN PI 606281/BGD PI 482049/ZWE PI 490662/ BEN PI 538319/USA PI 566897/IND PI 605352/JAM PI 500249/ZMB PI 605351/GRC Ames 5134/USA PI 349553/PNG PI 566899/IND PI 604669/TWN PI 608761/IND PI 483244 NPL/ White seeds NPL/ Red Inflorescence IDN 01/ Mongal IDN 04/ Bur biah IDN 05/ Burbiah IDN 11/ Tn.Depet IDN 18/ Medan IDN 19/ Mandua IDN 23/ Ygy IDN 25/ JKT IDN 33/ Lembang IDN 34/ Lembang IDN 37/ BNA IDN 45/ Marelan IDN 50/ Pn. Merah PI 540445/IDN/Java
No.
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31
VG VG GR GR GR GR VG GR GR VG VG VG VG VG OR GR GR WD WD OR WD WD WD WD WD VG VG VG VG VG VG
Tipe
Kenya Bangladesh Zimbabwe Benin USA USA Jamaica Zambia Greece USA Papua New Guinea Tamil Nadu-India Taiwan India Zimbabwe Jumla Jumla Bebesan-TKG Bebesan-TKG Burbiah - TKG Celala-TKG Pd. Kelapa-Medan Pegasing-TKG Yogyakarta Jakarta West Java West Java Aceh- Sumatra North Sumatra Jakarta- Java Java-Indonesia
Asal
282 A.caudatus L. A.tricolor A.tricolor A.tricolor A.viridis
A.caudatus L.
A.dubius A.dubius
A. blitum
A.blitum A.blitum A.cruenthus A.cruenthus A.cruenthus A.cruenthus A.dubius A.hybridus A.hybridus A.tricolor A.tricolor A.tricolor A.tricolor A.tricolor C. trigyna A.cruenthus A.cruenthus A. dubius A.spinosus Celosia A.dubius A. blitum
Spesies Gallic Acid mg/kg 6.6 ± 5.9 9.5 ± 3.1 6.4 ± 7.6 13.6 ± 2.0 12.8 ± 0.9 9.5 ± 4.4 7.5 ± 5.2 9.0 ± 7.8 8.7 ± 7.8 5.2 ± 2.6 7.3 ± 4.9 7.3 ± 9.6 5.7 ± 0.6 11.3 ± 4.2 7.1 ± 2.2 7.0 ± 6.3 8.0 ± 5.4 7.2 ± 1.3 9.4 ± 1.3 11.1 ± 3.4 9.1 ± 8.2 9.6 ± 0.5 8.3 ± 3.2 3.4 ± 3.6 8.7 ± 3.7 7.0 ± 3.6 6.6 ± 0.8 9.3 ± 2.9 7.3 ± 0.9 12.3 ± 0.2 1.9 ± 1.3
Quercetin mg/kg 75.1 ± 17.0 99.9 ± 15.0 123.7 ± 10.1 85.1 ± 38.4 105.6 ± 59.6 104.3 ± 10.0 117.1 ± 33.9 76.1 ± 20.5 87.4 ± 45.9 97.3 ± 32.0 76.8 ± 34.9 97.3 ± 62.5 112.5 ± 16.8 123.4 ± 1.5 68.2 ± 12.8 118.9 ± 11.5 128.8 ± 14.7 123.6 ± 11.7 84.2 ± 39.0 127.3 ± 15.6 102.0 ± 19.8 73.4 ± 7.8 110.0 ± 45.5 106.1 ± 26.9 114.0 ± 33.6 114.4 ± 50.4 66.4 ± 19.4 68.6 ± 16.2 117.9 ± 6.5 76.6 ± 10.7 88.4 ± 40.8 mg/kg 36.1 ± 28.7 ± 49.4 ± 16.4 ± 3.0 ± 26.9 ± 16.0 ± 32.9 ± 64.7 ± 32.9 ± 10.4 ± 35.5 ± 48.0 ± 36.0 ± 33.1 ± 41.0 ± 59.8 ± 34.2 ± 38.5 ± 56.7 ± 47.1 ± 39.5 ± 20.8 ± 28.3 ± 36.8 ± 21.3 ± 32.9 ± 22.1 ± 43.2 ± 54.3 ± 23.2 ±
Rutin 34.3 39.7 6.6 13.8 2.9 12.1 3.7 15.1 4.1 5.9 5.2 21.8 22.6 15.8 36.0 1.5 0.3 30.3 27.4 3.6 8.6 18.2 10.7 17.0 42.3 7.6 35.9 9.3 33.5 11.8 27.7
mg/kg 7.5 ± 1.8 11.2 ± 6.0 10.0 ± 5.0 6.1 ± 6.2 10.0 ± 5.7 10.7 ± 7.5 6.6 ± 3.7 9.7 ± 7.5 14.1 ± 1.9 6.5 ± 7.4 9.3 ± 0.4 5.7 ± 7.6 8.8 ± 4.6 8.0 ± 7.1 8.2 ± 3.7 10.7 ± 8.1 7.5 ± 2.6 7.0 ± 6.7 10.0 ± 0.1 3.7 ± 4.9 12.2 ± 3.2 8.0 ± 1.6 8.5 ± 2.8 8.5 ± 10.7 12.2 ± 0.6 4.7 ± 1.1 8.2 ± 7.2 7.1 ± 3.4 10.7 ± 6.5 10.6 ± 0.7 8.7 ± 10.1
mg/kg 4.9 ± 5.1 ± 3.8 ± 2.5 ± 7.3 ± 7.7 ± 4.5 ± 4.6 ± 3.1 ± 4.2 ± 1.3 ± 3.6 ± 0.6 ± 2.4 ± 7.6 ± 4.7 ± 8.4 ± 5.6 ± 4.8 ± 6.3 ± 6.1 ± 6.0 ± 5.1 ± 5.0 ± 8.0 ± 7.9 ± 4.8 ± 2.4 ± 3.7 ± 5.8 ± 4.5 ± 6.6 2.2 1.1 2.1 1.8 2.3 2.6 2.6 0.1 4.0 0.4 1.8 0.3 2.8 3.1 0.7 2.1 3.8 2.1 1.6 2.4 5.7 5.8 5.3 2.5 2.5 0.1 1.3 3.7 5.0 3.5
mg/kg 6.3 ± 3.4 8.5 ± 0.3 1.8 ± 2.4 2.2 ± 1.2 6.8 ± 2.6 7.2 ± 0.4 4.2 ± 2.7 6.4 ± 0.1 3.5 ± 2.8 4.5 ± 5.9 2.2 ± 0.1 3.8 ± 0.8 4.8 ± 0.1 8.6 ± 1.8 3.4 ± 3.5 6.1 ± 0.8 3.9 ± 4.2 8.7 ± 1.3 4.4 ± 0.7 8.2 ± 2.1 9.8 ± 0.0 7.0 ± 1.2 5.3 ± 2.0 6.6 ± 1.4 2.6 ± 0.1 5.5 ± 5.7 3.8 ± 1.9 6.1 ± 4.5 4.5 ± 0.0 5.9 ± 4.2 4.7 ± 6.6
mg/kg 0.4 ± 0.5 ± 0.3 ± 0.6 ± 0.5 ± 0.1 ± 0.8 ± 0.3 ± 0.4 ± 0.5 ± 0.6 ± 0.4 ± 0.4 ± 0.5 ± 0.6 ± 0.7 ± 0.7 ± 0.2 ± 0.1 ± 0.4 ± 0.5 ± 0.5 ± 0.7 ± 0.2 ± 0.5 ± 0.7 ± 0.4 ± 0.6 ± 0.6 ± 0.8 ± 0.4 ± 0.4 0.6 0.3 0.3 0.4 0.0 0.0 0.3 0.6 0.3 0.5 0.5 0.5 0.5 0.4 0.2 0.3 0.2 0.1 0.2 0.7 0.6 0.4 0.1 0.4 0.5 0.1 0.0 0.6 0.1 0.4
g/kg 4.0 ± 6.2 ± 3.3 ± 7.6 ± 5.7 ± 5.7 ± 2.4 ± 4.2 ± 4.2 ± 5.4 ± 2.7 ± 5.2 ± 5.8 ± 6.8 ± 1.9 ± 6.5 ± 5.9 ± 8.7 ± 4.8 ± 3.2 ± 6.0 ± 7.1 ± 3.2 ± 6.1 ± 2.5 ± 4.0 ± 7.0 ± 8.1 ± 5.1 ± 6.0 ± 1.4 ± 4.2 3.4 3.5 2.8 1.5 2.3 1.9 1.6 1.3 0.5 2.1 0.6 3.9 4.6 1.0 2.1 2.4 1.6 3.6 2.3 1.1 1.0 4.0 4.4 1.6 2.9 1.1 2.1 1.6 5.4 0.4
Chlorogenic Protocatechuic Caffeic acid Ferrulic acid Vanillic Acid acid acid
TABEL 1. KANDUNGAN SENYAWA PHENOL PADA DAUN BAYAM BERBAGAI AKSESI
mg/kg 97.4 ± 2.7 93.8 ± 3.1 91.5 ± 6.2 75.9 ± 26.9 71.1 ± 34.4 88.1 ± 11.6 56.1 ± 9.1 68.9 ± 23.0 80.0 ± 12.9 86.6 ± 6.4 59.8 ± 25.2 86.3 ± 11.7 62.9 ± 15.1 77.8 ± 22.8 84.9 ± 19.4 67.0 ± 7.4 75.1 ± 18.1 74.9 ± 10.3 65.9 ± 32.5 84.3 ± 20.1 80.4 ± 20.5 69.6 ± 1.9 60.2 ± 5.2 62.4 ± 4.7 89.0 ± 1.6 66.8 ± 2.1 79.3 ± 3.6 78.1 ± 23.3 71.6 ± 3.4 81.3 ± 7.6 66.3 ± 7.1
Kaempferol mg/kg 12.4 ± 6.2 13.9 ± 9.6 17.9 ± 3.0 15.1 ± 19.1 6.5 ± 2.1 20.9 ± 11.2 9.8 ± 12.6 27.9 ± 3.0 5.3 ± 1.1 21.9 ± 4.9 17.7 ± 13.0 12.9 ± 13.3 4.4 ± 2.5 7.3 ± 2.5 18.0 ± 1.2 21.7 ± 6.2 22.4 ± 1.7 19.6 ± 4.7 18.8 ± 14.1 6.5 ± 1.3 9.6 ± 4.5 13.6 ± 7.7 18.6 ± 14.7 25.3 ± 4.2 13.2 ± 15.1 16.8 ± 17.0 18.0 ± 0.1 12.5 ± 6.6 14.3 ± 8.1 15.9 ± 14.8 13.4 ± 4.6
Ellagic acid
mg/kg 5.6 ± 3.5 8.4 ± 0.1 6.5 ± 4.2 4.8 ± 4.3 6.7 ± 2.5 5.3 ± 3.5 4.9 ± 5.1 7.8 ± 2.6 5.5 ± 5.7 5.8 ± 1.6 7.6 ± 1.8 5.1 ± 5.5 4.4 ± 2.2 6.0 ± 4.0 5.1 ± 1.1 3.7 ± 0.4 3.3 ± 2.5 4.4 ± 4.7 5.4 ± 1.0 7.0 ± 3.1 7.3 ± 1.1 5.2 ± 3.5 6.5 ± 3.9 2.2 ± 1.0 5.0 ± 2.5 5.5 ± 2.0 5.3 ± 3.7 6.3 ± 4.2 5.4 ± 3.5 5.8 ± 4.7 7.7 ± 0.1
Caroten
g/kg 1.6 ± 1.7 ± 1.9 ± 2.1 ± 1.4 ± 1.9 ± 1.8 ± 2.0 ± 1.7 ± 2.2 ± 1.8 ± 1.5 ± 1.2 ± 2.4 ± 2.2 ± 1.5 ± 1.6 ± 1.6 ± 2.0 ± 1.8 ± 2.6 ± 1.6 ± 2.3 ± 1.4 ± 1.7 ± 1.0 ± 1.8 ± 2.2 ± 0.8 ± 1.5 ± 2.2 ±
0.3 1.7 0.2 1.2 0.9 0.0 1.2 0.5 1.0 0.9 1.1 0.9 0.4 0.4 0.6 0.7 0.3 1.3 0.2 1.6 0.5 0.8 0.5 0.1 1.3 0.1 1.5 0.3 0.1 1.1 0.2
Ascorbic acid
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
ANALISIS ISI (CONTENT ANALYSIS) PADA UNDANG-UNDANG TINDAK KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DI INDONESIA DALAM MEMFASILITASI JENIS-JENIS KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN Oleh: Rizki Hari Wibowo
Abstrak --- Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui sejauh mana Undang-undang dan peraturan hukum lainnya di Indonesia mengenai perlindungan tindak kekerasan terhadap perempuan. Selama 15 tahun, sampai tahun 2012, Komisi Nasional Perempuan mendefinisi kekerasan terhadap perempuan sebanyak 14 jenis, yaitu: (1) Perdagangan perempuan untuk tujuan seksual; (2) Pelecehan Seksual; (3) Penyiksaan seksual; (4) Eksploitasi Seksual; (5) Perbudakan Seksual; (6) Intimidasi/serangan bernuansa seksual, termasuk ancaman atau percobaanperkosaan; (7) Kontrol seksual, termasuk pemaksaan busana dan kriminalisasi perempuanlewat aturan diskriminatif beralasan moralitas dan agama; (8) Pemaksaan Aborsi; (9) Penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual, (10) Pemaksaan perkawinan, termasuk kawin paksa dan kawin gantung; (11) Prostitusi Paksa, (12) Pemaksaan kehamilan; (13) Praktik tradisi bernuansa seksual yang membahayakan ataumendiskriminasi perempuan; (14) Pemaksaan kontrasepsi/sterilisasi Penelitian ini menggunakan metode Analisis Isi dengan karakter Semantik (Semantic Content Analysis), yakni prosedur yang mengklasifikasi tanda menurut maknanya. Objek penelitian dalam penelitian adalah peraturan hukum di Indonesia mengenai perlindungan terhadap perempuan, yaitu: 1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Bab XIV - Kejahatan Terhadap Kesusilaan; 2) UU No.23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga(PKDRT); 3) UU No 21 tahun
2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang; 4) UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak; 5) Keputusan Presiden Republik IndonesiaNomor 88 Tahun 2002TentangRencana Aksi NasionalPenghapusan Perdagangan (Trafiking)Perempuan Dan Anak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis-jenis tindak kekerasan terhadap perempuan muncul sebanyak 459 kali atau hanya sekitar 1,5% dari keseluruhan kata. Kategori Pemaksaan kontrasepsi, Intimidasi, Kontrol Seksual (diskriminasi, kriminalisasi), dan Pemaksaan Kehamilan intensitasnya sangat rendah berada dibawah 2,2% dari total 459 kata tentang jenis-jenis kekerasan terhadap perempuan dan anak. Kata kunci : Kekerasan Perempuan, UndangUndang, Analisis isi.
A. LATAR BELAKANG Kajian hubungan internasional dewasa ini diwarnai oleh adanya kesadaran manusia terhadap pentingnya norma atau nilai kemanusian untuk dikedepankan. Perkembangan ini merupakan dampak positif dari implementasi nilai-nilai Hak Asasi Manusia yang mulai muncul pasca perang dingin. Oleh pengamat hubungan internasional hal sekaligus merupakan awal mula pergeseran dominasi Negara bangsa (nation-state) sebagai aktor dominan dalam hubungan internasional yang berfokus pada kepentingan nasional untuk kemudian mengalihkan fokus kepada nilai-nilai kemanusiaan. Dalam lingkup akademis HI pandangan-pandangan
283
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
kemungkinan bagi para korban untuk mengajukan pengaduan ke PBB.1 Secara internasional, pemerintah Indonesia sebenarnya telah meratifikasi landasan Cedaw (Convention of the ellimination of all forms of discrimination againts Women) atau Landasan anti diskriminasi terhadap perempuan. Konvensi ini telah mengikat negara untuk menghapus segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Tepatnya pada 18 Desember 1979, Majelis Umum PBB menyetujui sebuah rancangan Konvensi CEDAW atau Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi pada Perempuan. Konvensi CEDAW dikeluarkan untuk melindungi dan mempromosikan hakhak perempuan di seluruh dunia. Pemerintah Indonesia kemudian menandatangani konvensi ini pada 29 Juli 1980 dan kemudian mengesahkan konvensi CEDAW pada tanggal 24 Juli 1984. Negara-negara peserta Konvensi kemudian wajib membuat peraturan dan kebijakan untuk menghapus diskriminasi pada perempuan dalam kehidupan politik dan kehidupan kemasyarakatan negara, khususnya menjamin persamaan antara laki-laki dan perempuan dalam konteks hak asasi manusia, yaitu meliputi: hak untuk bekerja, hak untuk mendapatkan kesempatan yang sama, menerima upah dan tunjangan yang sama, perlindungan kerja dll. Dengan ditandatanganinya Konvensi CEDAW seharusnya diskriminasi tidak akan terjadi, namun fakta membuktikan bahwa perempuan masih mengalami banyak diskriminasi di lingkungannya. Yaitu berupa nilai-nilai yang masih mengekang, norma dan aturan yang
yang menitik beratkan pada norma atau nilai disebut dengan paradigma konstruktivis. Dalam paradigma konstruktivis sangat kental adanya peranan aktor-aktor internasional baik state maupun non state yang mendorong kepentingan norma sebagai sebuah pencapaian keberhasilan global hubungan internasional. Upaya internalisasi atau memasukkan norma-norma internasional ke dalam sebuah Negara untuk dapat diterima dan menjadi nilai yang bisa berlangsung secara cair dalam kehidupan masyarakat menjadi tugas berikutnya bagi aktor-aktor kemanusiaan (humanitarian) baik yang berada di tingkat lokal maupun internasional. Upaya pelembagaan dan habitualisasi hendaknya berjalan secara bersama-sama dalam menciptakan dunia yang berlandaskan norma. PBB menyerukan sebuah standar hukum internasional yang mengikat dimana Negara Anggota harus bertanggung jawab dalam memerangi pelanggaran hak asasi manusia yang meluas ini. Menurut perkiraan PBB, satu dari tiga perempuan di seluruh dunia menjadi korban kekerasan. Berdasarkan suatukajian yang dilakukan oleh Organisasi Kesehatan Dunia di 10 negara tentang kesehatanperempuan dan kekerasan dalam rumah tangga, ternyata antara 15% sampai 71% perempuanmelaporkan kekerasan fisik atau seksual yang dilakukan oleh suami atau pasangannya. Antara4% sampai 12% perempuan melaporkan penganiayaan fisik selama kehamilan. Sekitar 5.000orang perempuan dibunuh oleh anggota keluarga atas nama kehormatan setiap tahun diseluruh dunia. Dalam kondisi seperti demikian, mekanisme-mekanisme untuk hak-hak perempuanmasih belum sepenuhnya dilaksanakan, dan sebagian besar perempuan belum mengetahuiadanya
1
http://eeas.europa.eu/delegations/indonesia/docum ents/press_corner/20100308_01_id.pdf diakses pada 28 Juni 2016
284
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
menjadikan perempuan sebagai warga negara kelas dua.2 Setelah melakukan ratifikasi terhadap perjanjian-perjanjian internasional menjadi kewajiban Negara untuk mengintegrasikan aturan tersebut dalam peraturan perundangundangan domestik untuk memberi jaminan hukum. Demikian pula pemerintah indonesia yang mengeluarkan beberapa kebijakan dalam bentuk Undang-undang dan peraturan lainnya untuk mengatur segala bentuk perlindungan hak-hak perempuan termasuk didalamnya peraturan yang mengatur tentang tinda kejahatan terhadap perempuan. Adanya peraturan perundangundangan diskriminasi terhadap perempuan semakin berkurang. Tidak demikian dengan dalam upaya perlindungan hukum atas tindak kejahatan dimana tidak serta merta menghilangkan kasus kekerasan terhadap perempuan. Menurut Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan tahun 2016, Jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan tahun 2015 sebesar 321.752, bersumber pada data kasus/perkara yang ditangani oleh Pengadilan Agama atau Badan Peradilan Agama sejumlah 305.535 kasus, dan dari lembaga layanan mitra Komnas Perempuan sejumlah 16.217 kasus. Terpisah dari jumlah tersebut, ada sejumlah 1.099 kasus yang diadukan langsung ke Komnas Perempuan melalui Unit Pengaduan untuk Rujukan (UPR) yang sengaja didirikan Komnas Perempuan untuk menerima dan merujuk pengaduan korban yang datang langsung maupun yang masuk lewat surat dan surat elektronik. Unit ini dikelola olehdivisi pemantauan Komnas Perempuan. Tingginya angka pelanggaran tersebut mengindikasikan masih lemahnya 2
http://www.konde.com/2016/06/mengapa-adadiskriminasi-terhadap.html diakses pada 28 Juni 2016
285
peraturan hukum di Indonesia dalam memberikan perlndungan terhadap perempuan. B. RUMUSAN MASALAH Dari latar belakang diatas peneliti menentukan pertanyaan dalam penelitian ini adalah “bagaimana Undang-undang tindak kekerasan terhadap perempuan di Indonesia memfasilitasi jenis-jenis tindakan kekerasan terhadap perempuan?” C. DEFINISI KONSEPTUAL 1. Konsep Hak Asasi Manusia Konsep Hak Asasi Manusia (HAM) muncul karena terjadinya situasi manusia yang satu menindas dan memperbudak manusia yang lain dan telah terjadi dari masa ke masa. Telah dipahami bahwa sejak keberadaannya, manusia mempunyaikedudukan, harkat dan martabat yang sama. Perhatian terhadap masalah HAM,sebenarnya telah dilakukan ribuan tahun yang silam, oleh bangsa-bangsa seperti Yahudi,Yunani, Babylonia, Romawi dan Inggris, dituangkan dalam AlQuran, Alkitab, bahkantelah dilakukan dalam masyarakatmasyarakat adat. Perlawanan terhadap eksploitasimanusia satu sama lain, sebenarnya telah dilakukan bersamaan dengan keberadaanmanusia itu sendiri, tetapi hal itu dipahami sebagai bagian dari gerakan moral, danagama, bukan sebagai masalah yuridis.Perlawanan secara yuridis diawali dengan lahirnya Magna Charta di Inggris 15 Juni 1215. Kelahiran Magna Charta diikuti dengan pernyataan-pernyataan tentang HAM seperti: Hobeas Corpus Act, 1679; Bill Of Rights, 1689; Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat, 4 juli 1776 yang kemudian dimasukkan dalam Undang-Undang Dasar Negara
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
Amerika Serikat, 17 September 1787, Declaration Des Droits De L’Homme et du Cytoyen, 1789 dan pernyataan-pernyataan lainnya. Secara Internasional, perkembangan HAM semakin pesat, setelah munculnya kesadaran bersama masyarakat internasional setelah mengalami kehancuran luar biasa akibat dari Perang Dunia (PD) II. Kesadaran akan pentingnya HAM menjadi dasar dan tujuan dibentuknya Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) tahun 1945. Dalam United Charter secara eksplisit disebutkan bahwa tujuan didirikannya PBB salah satunya adalah dalam rangka untuk mendorong penghormatan terhadap HAM secara internasional. Tonggak sejarah pengaturan HAM yang bersifat internasional baru dihasilkan tepatnya setelah Majelis Umum PBB mengesahkan Deklarasi Universal HAM (Universal Declaration of Human Rights) pada tanggal 10 Desember 1948. Deklarasi ini merupakan dokumen internasional pertama yang di dalamnya berisikan “katalog” HAM yang dibuat berdasarkan suatu kesepakatan internasional. Deklarasi tersebut tidak hanya memuat hakhak asasi yang diperjuangkan oleh liberalisme dan sosialisme, melainkan juga mencerminkan pengalaman penindasan oleh rezimrezim fasis dan nasionalis-nasionalis 1920an samapai tahun 1940an. Sementara itu elit nasional bangsabangsa yang dijajah mempergunakan paham hak asasi, terutama “hak untuk menentukan dirinya sendiri”, sebagai senjata ampuh dalam usaha untuk meligitimasikan perjuangan mereka untuk mencapai kemerdekaan. Kemudian, pada tahun 1966 dihasilkan perjanjian internasional (treaty) yang di dalamnya terdapat
mekanisme pengawasan dan perlindungan HAM, yaitu Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Poitik (International Covenant on Civil and Political Rights) serta Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights). Ketiganya dikenal dengan istilah “the International Bill of Human Rights”3 Konsepsi mengenai HAM mendorong perjuangan perlindungan terhadap setiap individu manusia termasuk perempuan yang dalam sejarahnya berada dibawah baying-bayang kaum lelaki. Munculnya HAM yang secara masif diikuti dengan munculnya gerakan feminism internasional membuka ruang-ruang bagi perempuan untuk menunjukkan eksistensi sebagai individu yang memliki hak sama dengan kaum adam. Kesempatan berkarir, berpolitik, memimpin dan hal-hal lain yang sebelumnya identik dengan laki-laki dewasa ini telah dilakukan oleh kaum hawa. 2. Konsep Kekerasan terhadap Perempuan Makna kekerasan secara konvensional adalah apabila manusia dipengaruhi sedemikan rupa sehingga realisasi jasmani dan mental-psikologis aktualnya berada di bawah realisasi 4 potensialnya. Kekerasan pada perempuan yaitu setiap tindakan kekerasan berdasarkan gender yang menyebabkan kerugian atau penderitaan fisik, seksual atau psikologis terhadap perempuan, 3
Pratiwi, Cekli Setya, Hak Asasi Manusia: Konsep Dasar, Prinsip-prinsip dan Instrumen HAM di Tingkat Internasional dan di Indonesia, 2013. Jurnal Universitas Muhammadiyah Malang, dikutip dari http://pusam.umm.ac.id/page/idfile_home_971004-7.pdf pada 24 Mei 2016 4 Windhu 1992. “Kekuasaan dan Kekerasan Menurut Galtung” hal 64, Yogyakakarta: Kanisius
286
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
termasuk ancaman untuk melaksanakan tindakan tersebut dalam kehidupan masyarakat dan pribadi (Apong, dalam Martha 2003 :113) Secara umum bentuk-bentuk kekerasan pada perempuan dapat dilihat dari penjelasan dibawah ini: a) Kekerasan fisik, kekerasan fisik terhadap perempuan dapat berupa dorongan, cubitan, tendangan, jambakan, pukulan, cekikan, bekapan, luka bakar, pemukulan dengan alat pemukul, kekerasan dengan benda tajam, siraman air panas atau zat kimia, menenggelamkan dan penembakan. Kadang – kadang kekerasan fisik ini diikuti dengan kekerasan seksual ,baik berupa serangan kealat– alat seksual (payudara dan kemaluan) maupun berupa persetubuhan paksa (pemerkosaan). Pada pemeriksaan terhadap korban akibat kekerasan fisik maka yang dinilai sebagai akibat penganiayaan adalah bila di dapati luka yang bukan karena kecelakaan, namun bekas luka itu dapat diakibatkan oleh suatu peristiwa kekerasan yang tunggal atau berulang–ulang, dari yang ringan hingga yang fatal. b) Kekerasan seksual, kekerasan seksual adalah setiap penyerangan yang bersifat seksual terhadap perempuan, baik telah terjadi persetubuhan atau tidak, baik ada atau tidaknya hubungan antara korban dan pelaku kekerasan. Pembedaan aspek fisik dan seksual dianggap perlu, karena ternyata tindak kekerasan terhadap perempuan yang bernuansakan seksual tidak
sekedar melalui perilaku fisik belaka. c) Kekerasan psikologi, pada kekerasan psikologi, sebenarnya dampak yang dirasakan lebih menyakitkan daripada kekerasan secara fisik. Bentuk tindakan ini sulit untuk dibatasi pengertiannya karena sensitivisme emosi seseorang sangat bervariasi. Identifikasi akibat yang timbul pada kekerasan psikis sulit diukur. Sekalipun tindak kekerasan psikologi itu jauh lebih menyakitkan, karena dapat merusak kehormatan seseorang, melukai harga diri seseorang, merusak keseimbangan jiwa, namun kekerasan psikologis tidak akan merusak organ tubuh bagian dalam bahkan tindakan yang berakibat kematian. Sebaliknya, tindakan kekerasan fisik kerap menghasilkan hal yang demikian. d) Kekerasan ekonomi, yaitu dimisalkan dengan seorang suami mengontrol hak keuangan isteri, memaksa atau melarang isteri bekerja untuk memenuhi kebutuhan sehari–hari keluarga, serta tidak memberi uang belanja, memakai/ menghabiskan uang isteri (Martha, 2003:45-48). Konsepsi kekerasan terhadap perempuan perlu dipaparkan oleh peneliti untuk memberikan dasardasar teoritis atau empiris terhadap tindakan-tindakan yang tergolong sebagai tindakan kekerasan terhadap perempuan sehingga dapat dijadikan referensi dalam penelitian ini. 3. Interpretasi Bahasa Hukum Metode Interpretasi adalah metode untuk menafsirkan terhadap teks perundang-undangan yang tidak
287
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
jelas, agar perundang-undangan tersebut dapat diterapkan terhadap peristiwa konkret tertentu. Penafsiran tidak hanya dilakukan oleh hakim, tetapi juga oleh peneliti hukum dan mereka yang berhubungan dengan kasus (konflik) dan peraturan-peraturan hukum. Menurut Sudikno Mertokusumo dalam bukunya “BabBab Tentang Penemuan Hukum”, Interpretasi adalah metode penemuan hukum dalam hal peraturannya ada tetapi tidak jelas untuk dapat diterapkan pada peristiwanya. Sebaliknya dapat juga terjadi hakim harus memeriksa dan mengadili perkara yang tidak ada peraturannya yang khusus. Di sini hakim menghadapi kekosongan atau ketidaklengkapan undang-undang yang harus diisi atau dilengkapi, sebab hakim tidak boleh menolak memeriksa dan mengadili perkara dengan dalih tidak ada hukumnya atau tidak lengkap hukumnya. Dalam hal ini apa yang harus dilakukan oleh hakim untuk menemukan hukumnya? Untuk mengisi kekosongan itu digunakan metode berpikir analogi, metode penyempitan hukum dan metode a contartio.5 Dalam ilmu hukum dan praktik peradilan, dikenal beberapa macam metode Interpretasi, yaitu:6 a) Interpretasi subsumptif.; Metode yang digunakan adalah penerapan silogisme. Silogisme adalah bentukberfikir logis dengan mengambil kesimpulan dari hal-hal yang besifat umum(premis mayor atau
peraturan perundang-undangan) dan hal-hal yang bersifatkhusus (premis minor atau peristiwanya). b) Intprestasi gramatikal; Metode yang digunakan adalah menafsirkan kata-kata atau istilah-istilahdalam perundangundangan sesuai kaedah bahasa (hukum tata bahasa) yangberlaku. Bahasa merupakan sarana yang penting bagi hukum, karena merupakanalat satusatunya yang dipakai pembuat undang-undang dalam merumuskan pasa-lpasaldan penjelasannya.Metode Interpretasi gramatikal ini merupakan cara penafsiran yang palingsederhana untuk mengetahui makna yang terkandung di dalam pasalpasaltersebut. Dalam mengungkapan maknanya disamping harus memenuhi standarlogis, juga harus mengacu pada kelaziman bahasa sehari-hari yang digunakanmasyarakat.Penafsiran ini penting untuk mencari arti, maksud dan tujuan dari katakataatau istilah yang digunakan dalam suatu kaidah hukum, dengan memperhatikanapakah kata-kata itu kata kerja, kata benda, kata sifat atau keadaan, kata ganti,ataukah kata dasar, kata jadian, kata ulang, kata majemuk, atau kata imbuhandengan awalan sisipan dan akhiran, atau kata depan, dan sebagainya. c) Interpretasi Sistematis/logis; Metode yang digunakan adalah menafsirkan peraturan perundang-undangandengan menghubungkannya dengan peraturan hukum (undangundang lain) ataudengan keseluruhan sistem hukum.
5
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, 1999, Yogyakarta: Liberty 6 Frisca Cristi, Teori Perundang-Undangan Dan Perjanjian Pada Umumnya, Karakteristik Production SharingContract, Dan Analisa Hukum Pasal 31 Undang-undang RI Nomor 24 Tahun 2009, 2010, Jakarta: FH UI
288
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
d)
e)
f)
g)
(diantisipasi) oleh perumus peraturan perundang-undangan pada saatperaturan perundangundangan dirumuskan. Dengan kata lain, metode ini sangatpenting untuk memperoleh pemahaman yang baik dan benar mengenai "untukmelindungi siapa atau apa suatu ketentuan peraturan perundangundangandirumuskan". restriktif; h) Interpretasi Interpretasi restriktif digunakan untuk menjelaskan suatu ketentuan undangundangdimana ruang lingkup ketentuan itu dibatasi dengan berititik tolak pada artinya menurut bahasa. Dengan demikian Interpretasi restriktif adalah metodeinterpretasi yang bersifat membatasi. i) Interpretasi ekstentif; Metode penafsiran yang membuat interpretasi melebihi batas-batas hasilinterpretasi gramatikal. Jadi interpretasi ekstensif digunakan untuk menjelaskansuatu ketentuan undang-undang dengan melampaui batas yang diberikan olehinterpretasi gramatikal. Contoh: Perkataan “menjual” dalam pasal 1576KUHPerdata oleh hakim ditafsirkan secara luas yaitu bukan hanya semata-matahanya berarti jual beli, tetapi juga menyangkut peralihan hak. j) Interpretasi otentik/secara resmi; Penafsiran otentik ini biasanya dilakukan oleh pembuat undangundangsendiri dengan mencantumkan arti beberapa kata yang digunakan di dalam suatuperaturan. Dalam jenis interpretasi ini hakim tidak diperkenankan melakukanpenafsiran dengan cara lain selain dari apa yang
Hukum dilihat sebagai suatu kesatuan atausebagai sistem peraturan. Artinya tidak satupun dari peraturan perundangantersebut dapat ditafsirkan seakan-akan ia berdiri sendiri, tetapi harus selaludipahami dalam kaitannya dengan jenis peraturan yang lainnya. Menafsirkanperaturan perundang-undangan tidak boleh menyimpang atau keluar dari sistem perundang-undangan suatu negara. Interpretasi Historis; Metode yang digunakan adalah penafsiran makna undangundang menurutterjadinya dengan jalan meneliti sejarah, baik sejarah hukumnya, maupun sejarahterjadinya Undangundang. Interpretasi teologis/sosiologis; Dengan Interpretasi teologis (Sosiologis), hakim menafsirkan undang-undangsesuai dengan tujuan pembentuk undangundang sehingga tujuan lebihdiperhatikan dari bunyi kata-katanya. Interpretasi teologis terjadi apabila maknaUndang-Undang itu ditetapkan berdasarkan tujuan kemasyarakatan. Interpretasi komparatif; Metode penafsiran dengan jalan membandingkan antara berbagai system hukum. Interpretasi Komparatif digunakan untuk mencari kejelasan mengenaisuatu ketentuan perundang-undangan dengan membandingkan undangundangyang satu dengan yang lain dalam suatu sistem hukum atau hukum asing lainnya. Interpretasi antisipatif/futuristis; Metode interpretasi antisipatif adalah metode penafsiran atas apa yang hendakdicapai
289
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan prostitusi ataupun eksploitasi seksual 7 lainnya. 2. Pelecehan Seksual, Merujuk pada tindakan bernuansa seksual yang disampaikan melalui kontak fisik maupun non fisik yang menyasar pada bagian tubuh seksual atau seksualitas seseorang, termasuk dengan menggunakan siulan, main mata, komentar atau ucapan bernuansa seksual, mempertunjukan materi-materi pornografi dan keinginan seksual, colekan atau sentuhan di bagian tubuh, gerakan atau isyarat yang bersifat seksual sehingga mengakibatkan rasa tidak nyaman, tersinggung merasa direndahkan martabatnya, dan mungkin sampai menyebabkan masalah kesehatan dan keselamatan.8 3. Penyiksaan seksual, Perbuatan yang secara khusus menyerang organ dan seksualitas perempuan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik
telah ditentukan pengertiannya didalam undang-undang itu sendiri. k) Interpretasi interdisipliner; Interpretasi jenis ini biasa dilakukan dalam suatu analisis masalah yangmenyangkut berbagai disiplin ilmu hukum. Di sini digunakan logika penafsiranlebih dari satu cabang ilmu hukum. l) Interpretasi multidisipliner; Seorang Hakim harus juga mempelajari suatu atau beberapa disiplin ilmu laindi luar ilmu hukum. m) Interpretasi dalam perjanjian; Interpretasi terhadap kontrak atau perjanjian dalam praktik hukum mengalamiperkembangan, mengingat perjanjian merupakan kumpulan kata dan kalimat yangsifatnya interpretable (dapat ditafsirkan), baik oleh para pihak yangberkepentingan, undang-undang maupun oleh hakim. Sementara itu dalam aturanperundang-undangan sendiri tidak memberikan pedoman dan kepastian hukumtentang bagaimana seharusnya dalam menafsirkan perjanjian terutama ketikamuncul adanya perbedaan penafsiran antar satu pihak dengan pihak lainnya. D. DEFINISI OPERASIONAL Berikut adalah definisi 15 jenis kekerasan perempuan (komnas Perempuan, 2012), yaitu sebagai berikut: 1. Perdagangan perempuan untuk tujuan seksual, Tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan,
7
Disadur dari definisi dalam Undang Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang 8 Komnas Perempuan, Perempuan dalam Jeratan Impunitas: Pelanggaran dan Penanganan, Dokumentasi Pelanggaran HAM Perempuan Selama Konflik Bersenjata di Poso 1998-2005, Komnas Perempuan, 2009, hal. 132 dan rumusan yangdikembangkan Rifka Annisa Women’s Crisis Centre dalam Lusia Palulungan, “Bagai Mengurai Benang Kusut: BercerminPada Kasus Rieke Dyah Pitaloka, Sulitnya Pembuktian Pelecehan Seksual, Tatap: Berita Seputar Pelayanan, KomnasPerempuan,2010, hal. 9
290
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
jasmani, rohani maupun seksual, pada seseorang untuk memperoleh pengakuan atau keterangan darinya, atau dari orang ketiga, dengan menghukumnya atas suatu perbuatan yang telah atau diduga telah dilakukan olehnya ataupun oleh orang ketiga, untuk mengancam atau memaksanya atau orang ketiga, dan untuk suatu alasan yang didasarkan pada diskriminasi atas alasan apapun, apabila rasa sakit dan penderitaan tersebut ditimbulkan oleh, atas hasutan dari, dengan persetujuan, atau sepengetahuan pejabat publik.9 4. Eksploitasi Seksual, Merujuk pada aksi atau percoban penyalahgunaan kekuatan yang berbeda atau kepercayaan, untuk tujuan seksual termasuk tapi tidak terbatas pada memperoleh keuntungan dalam bentuk uang, sosial maupun politik dari eksploitasi seksual terhadap orang lain.10 termasuk di dalamnya adalah tindakan mengimingimingi perkawinan untuk memperoleh layanan seksual dari perempuan, yang kerap disebut oleh lembaga pengada layanan bagi perempuan korban kekerasan sebagai kasus “ingkar janji”. Iming-iming ini menggunakan cara pikir dalam masyarakat yang mengaitkan posisi perempuan dengan status perkawinannya sehingga perempuan merasa tidak memiliki daya tawar, kecuali
dengan mengikuti kehendak pelaku, agar ia dinikahi. 5. Perbudakan Seksual, Sebuah tindakan penggunaan sebagian atau segenap kekuasaan yang melekat pada “hak kepemilikan” terhadap seseorang, termasuk akses seksual melalui pemerkosaan atau bentuk-bentuk lain kekerasan seksual. Perbudakan seksual juga mencakup situasi-situasi dimana perempuan dewasa dan anak-anak dipaksa untuk menikah, memberikan pelayanan rumah tangga atau bentuk kerja paksa yang pada akhirnya melibatkan kegiatan seksual paksa termasuk perkosaan oleh penyekapnya.11 6. Intimidasi atau serangan bernuansa seksual, ancaman atau percobaan perkosaan, Tindakan yang menyerang seksualitas untuk menimbulkan rasa takut atau penderitaan psikis pada perempuan. Serangan dan intimidasi seksual disampaikan secara langsung maupun tidak langsung melalui surat, sms, email, dan lain-lain.12 7. Kontrol seksual, termasuk pemaksaan busana dan kriminalisasi perempuan lewat aturan diskriminatif beralasan moralitas dan agama, Mencakup berbagai tindak kekerasan secara langsung maupun tidak langsung, dan tidak hanya melalui kontak fisik, yang dilakukan untuk mengancam atau memaksakan perempuan mengenakan busana tertentu atau dinyatakan melanggar hukum karena cara ia berbusana atau berelasi sosial dengan lawan jenisnya. Termasuk di dalamnya adalah kekerasan
9
Merujuk pada definisi penyiksaan sebagaimana tercantum dalam UU No 5 Tahun 1998 tentang Ratifikasi KonvensiMenentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia, Pasal 1 10 Buletin sekjen PBB tentang tindakan-tindakan khusus bagi perlindungan dari eksploitasi seksual dan pelanggaran seksual, St/SGB/2003/13, 9 Oktober 2003 dalam Komnas Perempuan, op.cit., hal. 46
11
Dirumuskan dari pengertian penyiksaan seksual dalam Pasal 7(2)(c) Statuta Roma 12 Komnas Perempuan, Pembela HAM: Berjuang Dalam Tekanan, Komnas Perempuan, 2007
291
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
yang timbul akibat aturan tentang pornografi yang melandaskan diri lebih pada persoalan moralitas daripada kekerasan seksual. 8. Pemaksaan Aborsi, Pengguguran kandungan yang dilakukan karena adanya tekanan, ancaman, maupun paksaan dari pihak lain.13 9. Penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual, Cara menghukum yang menyebabkan penderitaan, kesakitan, ketakutan, atau rasa malu yang luar biasa yang tidak bisa tidak termasuk dalam penyiksaan. Termasuk dalam penghukuman tidak manusiawi adalah hukuman cambuk dan hukuman-hukuman yang merendahkan martabat manusia yang ditujukan bagi mereka yang dituduh melanggar norma-norma kesusilaan. 10. Pemaksaan perkawinan, termasuk kawin paksa dan kawin gantung, Situasi dimana perempuan terikat perkawinan di luar kehendaknya sendiri, termasuk di dalamnya situasi dimana perempuan merasa tidak memiliki pilihan lain kecuali mengikuti kehendak orang tuanya agar ia menikah, sekalipun bukan dengan orang yang ia inginkan atau dengan orang yang tidak ia kenali, untuk tujuan mengurangi beban ekonomi keluarga maupun tujuan lainnya. Pemaksaan perkawinan juga mencakup situasi dimana perempuan dipaksa menikah dengan orang lain agar dapat kembali pada suaminya setelah dinyatakan talak tiga (atau dikenal dengan praktik “kawin cina buta”) dan situasi dimana perempuan terikat dalam perkawinannya sementara proses perceraian tidak dapat dilangsungkan karena berbagai
alasan baik dari pihak suami maupun otoritas lainnya. Tidak termasuk dalam penghitungan jumlah kasus, sekalipun merupakan praktik kawin paksa, adalah tekanan bagi perempuan korban perkosaan untuk menikahi pelaku perkosaan terhadap dirinya. 11. Prostitusi Paksa, Merujuk pada situasi dimana perempuan dikondisikan dengan tipu daya, ancaman maupun kekerasan untuk menjadi pekerja seks. Pengondisian ini dapat terjadi pada masa rekrutmen maupun untuk membuat perempuan tersebut tidak berdaya untuk dapat melepaskan dirinya dari prostitusi, misalnya dengan penyekapan, penjeratan hutang, atau ancaman kekerasan. Prostitusi paksa memiliki beberapa kemiripan, namun tidak selalu sama dengan perbudakan seksual atau dengan perdagangan orang untuk tujuan seksual. 12. Pemaksaan kehamilan, Ketika perempuan melanjutkan kehamilan yang tidak ia kehendaki akibat adanya tekanan, ancaman, maupun paksaan dari pihak lain. Kondisi ini misalnya dialami oleh perempuan korban perkosaan yang tidak diberikan pilihan lain kecuali melanjutkan kehamilannya akibat perkosaan tersebut. Pemaksaan kehamilan ini berbeda dimensi dengan kehamilan paksadalam konteks kejahatan terhadap kemanusiaan, sebagaimana dirumuskan dalam statuta roma, yaitu situasi pembatasan secara melawan hukum terhadap seorangperempuan untuk hamil secara paksa, dengan maksud untuk membuat komposisietnis dari suatu populasi atau untuk melakukan pelanggaran hukum internasional lainnya.
13
Komnas Perempuan, Pembela HAM: Berjuang Dalam Tekanan, Komnas Perempuan 2009, hal 132
292
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
13. Praktik tradisi bernuansa seksual yang membahayakan dan atau mendiskriminasi perempuan, Praktik tradisi bernuansa seksual yang membahayakan atau mendiskriminasi perempuan merujuk pada kebiasaan berdimensi seksual yang dilakukan masyarakat , kadang ditopang dengan alasan agama dan/atau budaya, yang dapat menimbulkan cidera secara fisik, psikologis maupun seksual pada perempuan atau dilakukan untuk mengontrol seksualitas perempuan dalam perspektif yang merendahkan perempuan 14. Pemaksaan kontrasepsi atau sterilisasi, Yaitu “pemaksaan penggunaan alat-alat kontrasepsi bagi perempuan untuk mencegah reproduksi, atau pemaksaan penuh organ seksual perempuan untuk berhenti bereproduksi sama sekali, sehingga merebut hak seksualitas perempuan serta reproduksinya”. Persoalan ini sebelumnya pernah diangkatkelompok perempuan pada masa orde baru, yang ditengarai merupakan akiba dari wacana penurunan laju pertambahan penduduk sebagai salah satu indicatorkeberhasilan pembangunan. Kali ini, persoalan pemaksaan kontrasepsi/sterilisasidiangkat oleh perempuan dengan disabilitas dan perempuan dengan hiv/aids.Mereka melaporkan bahwa pemaksaan kontrasepsi/sterilisasi kerap ditolerir karena dianggap bisa mencegah kehamilan yang tidak diinginkan oleh pihak lain di keduakelompok ini, tanpa memberikan informasi dan kesempatan kepada mereka untuk dapat memilih sendiri keputusan
terkait dengan hak reproduksi yang mereka miliki. E. METODE PENELITIAN Metode penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode Analisis Isi (Content Analysis). Ada tiga konsep yang tercakup di dalam analisis isi. Pertama, analisis ini bersifat sistematis. Hal ini berarti isi yang akan dianalisis dipilih menurut aturan-aturan yang ditetapkan secara implisit, misalnya: cara penentuan sampel. Kedua, analisis isi bersifat obyektif. Ketiga, analisis isi bersifat kuantitatif. Menurut Janis (1965), ada beberapa bentuk klasifikasi dalam analisis isi, yaitu: a) Analisis Isi Pragmatik (Pragmatic Content Analysis), yakni prosedur memahami teks dengan mengklasifikasikan tanda menurut sebab atau akibatnya yang munkin timbul, b) Analisis Isi Semantik (Semantic Content Analysis), yakni prosedur yang mengklasifikasi tanda menurut maknanya, c) Analisis Sarana Tanda (Sign-Vehicle Analysis), yakni prosedur memahami teks dengan cara menghitung frekuensi kemunculan kata, misalnya, kata negara Indonesia muncul dalam sambutan Obama tatkala berkunjung ke Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode Analisis Isi dengan karakter Semantik (Semantic Content Analysis), yakni prosedur yang mengklasifikasi tanda menurut maknanya. (Misalnya, menghitung berapa kali kata demokrasi dijadikan sebagai rujukan sebagai salah satu pilihan sistem politik yang dianut oleh sebagian besar masyarakat dunia). Atau, misalnya yang lain, berapa kali kata Indonesia disebut oleh Obama sebagai rujukan contoh negara dengan keragaman suku, budaya dan agama, yang mampu mempersatukan semuanya dalam bingkai negara kesatuan. Secara rinci, Janis (1965) mengembangkan Analisis Isi Semantik
293
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan sejumlah Undangundang dan peraturan pemerintah pendukung undang-undang yang berkaitan dengan Ketenagakerjaan sebagai objek penelitian. Penulis tidak menggunakan semua data atau undang-undang yang berkaitan dengan ketenagakerjaan. Menurut UndangUndang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan, jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan Republik Indonesia adalah sebagai berikut: a) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b) Ketetapan MPR; c) UU/Perppu; d) Peraturan Presiden; e) Peraturan Daerah Provinsi; f) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Peneliti menggunakan 2 undangundang tertinggi yaitu UUD 1945, Undang-Undang dan Peraturan pemerintah Pengganti Undangundang. Peneliti menentukan menggunakan beberapa undangundang pokok di Indonesia yang mengatur tindak kekerasan terhadap perempuan, yaitu: 1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Bab XIV Kejahatan Terhadap Kesusilaan; 2) UU No.23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga(PKDRT); 3) UU No 21 tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang; 4) UU No 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak; 5) Keputusan Presiden Republik IndonesiaNomor 88 Tahun 2002TentangRencana Aksi NasionalPenghapusan Perdagangan (Trafiking)Perempuan Dan Anak
menjadi tiga macam kategori sebagai berikut: a) Analisis Penunjukan (Designation Analysis), yakni menghitung frekuensi berapa sering objek tertentu (Orang, benda, kelompok, konsep) dirujuk. Analisis model ini juga biasa disebut sebagai Analisis Isi Pokok Bahasan (Subject-Matter Content Analysis). b) Analisis pensifatan (Attribution Analysis), yakni menghitung frekuensi berapa sering karakteristik objek tertentu dirujuk atau disebut. (Misalnya, karakteristik tentang bahaya penggunaan obat terlarang bagi kehidupan). c) Analisis Pernyataan (Assertion Analysis), yakni analisis teks dengan menghitung seberapa sering objek tertentu dilabel atau diberi karakter secara khusus. (Misalnya, berapa sering Iran disebut oleh Amerika sebagai negara yang teroris) F. HIPOTESA Dari rumusan masalah diatas dapat peneliti merumuskan hipotesa atau jawaban sementara sebagai berikut: Lemahnya penegakan hukum atas pelanggaran kekerasan terhadap perempuan di Indonesia disebabkan, salah satunya, oleh peraturan hukum di Indonesia mengenai kekerasan terhadap perempuan yang tidak memfasilitasi secara utuh dengan indikasi kurangnya menekankan pada jenis-jenis pelanggaran kekerasan terhadap perempuan. G. OBJEK PENELITIAN DAN CODING 1. Objek Penelitian (data penelitian) Kedudukan data dalam penelitian analisa konten adalah juga sebagai objek penelitian.
294
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
2. Pengkodean (Coding) Tahap awal dari analisa data dalam penelitian analisa konten adalah menentukan kategori khusus (sign) dan menentukan kerangka coding. Kerangka coding adalah daftar kategori-kategori yang No 1
2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
diteliti beserta batasan dan pengertian operasional setiap kategori. Dalam penelitian ini peneliti menentukan kerangka coding berdasarkan pada hipotesa yang muncul diatas adalah sebagai berikut:
Kategori Coding Perdagangan perempuan
Turunan Kata Perdagangan (Perdagangan perempuan, perdagangan anak), komersial, penyekapan, penculikan, kekerasan Pelecehan, kejahatan Pelecehan Seksual seksual, lelucon seks, colekan, martabat Penyiksaan, perkosaan Penyiksaan seksual Mempekerjakan paksa, Eksploitasi Seksual eksploitasi Perbudakan Seksual Perbudakan, penderitaan Intimidasi, ancaman, Intimidasi serangan, psikis atau psikologis, trauma Diskriminasi, Kontrol seksual kriminalisasi perempuan Aborsi, Pengguguran Pemaksaan Aborsi kandungan kesakitan, ketakutan, rasa Hukuman tidak malu manusiawi Menikah, Perkawinan Pemaksaan paksa, kawin gantung perkawinan Prostitusi paksa, penjaja Prostitusi Paksa seks Pemaksaan kehamilan Pemaksaan kehamilan Tradisi, perkawinan adat Praktik tradisi Kontrasepsi, Stelisisasi, Pemaksaan larangan hamil, kontrasepsi reproduksi
295
Jenis Analisis Tiga kategori Analisis Isi Semantik, yaitu: • Analisis Penunjukan (Designation Analysis), yakni menghitung frekuensi berapa sering objek tertentu • Analisis pensifatan (Attribution Analysis), yakni menghitung frekuensi berapa sering karakteristik objek tertentu dirujuk atau disebut • Analisis Pernyataan (Assertion Analysis), yakni analisis teks dengan menghitung seberapa sering objek tertentu dilabel atau diberi karakter secara khusus.
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
H. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Dari penelitian yang dilakukan oleh peneliti berdasarkan pada klasifikasi, pengelmpkan, pengkodean yang telah dilakukan sebelumnya, disampaikan data sebagai berikut: No
1
Kategori Coding Perdagangan perempuan
2
Pelecehan Seksual
3
Penyiksaan seksual Eksploitasi Seksual Perbudakan Seksual Intimidasi
4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Turunan Kata
Perdagangan (Perdagangan perempuan dan anak), komersial, penyekapan, penculikan, kekerasan Pelecehan, kejahatan seksual, lelucon seks, colekan, martabat Penyiksaan, perkosaan Mempekerjakan paksa, eksploitasi Perbudakan, penderitaan
Intimidasi, ancaman, serangan, psikis atau psikologis, trauma Kontrol seksual Diskriminasi, kriminalisasi perempuan Aborsi, Pengguguran Pemaksaan kandungan Aborsi Hukuman tidak kesakitan, ketakutan, malu manusiawi Menikah, Perkawinan Pemaksaan paksa, kawin gantung perkawinan Prostitusi Paksa Prostitusi paksa, penjaja seks Pemaksaan kehamilan Pemaksaan kehamilan Praktik tradisi Tradisi, perkawinan adat Kontrasepsi, Stelisisasi, Pemaksaan larangan hamil, kontrasepsi reproduksi
296
∑
KU HP
UU 35
UU 23
UU 21
KEP PRE
10
14
72
100
52
248
14
14
4
7
12
51
1
9
5
0
3
18
0
1
0
28
10
39
0
0
0
15
2
17
1
6
4
14
7
32
0
3
4
0
3
10
0
2
0
0
0
2
1
0
6
3
0
10
15
1
3
1
2
22
0
0
0
0
1
1
5
0
0
1
0
6
0
1
0
0
2
3
0
0
0
0
0
0
37
51
98
169
104
459
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
JUMLLAH KON NTEN Perdagangan n perempuan Pelecehan Seeksual Penyiksaan sseksual Eksploitasi Seeksual Perbudakan Seksual Intimidasi Kontrol seksu ual Pemaksaan A Aborsi
Berdasarkkan data diatas, d dappat dikeetahui bahw wa muncul keseluruhan jenis-jennis sebaanyak 4559 kata kekeerasan terhhadap pereempuan yanng telahh peneliti tentukan dalam tahap penggkodean seebelum dillakukan olah dataa pada objeek penelitiaan, yaitu; 1) Kitaab Undang--undang Huukum Pidanna (KU UHP) Babb XIV - Kejahatan Terhhadap Kesuusilaan; 2)) UU No.223 tahuun 2004 tentang Penghapusan Kekkerasan Dalam Rumaah Tanngga(PKDRT); 3) UU No 21 tahuun 20077 Tentang Pemberanttasan Tindak Pidaana Perdaggangan Oraang; 4) UU U
No.23 Tahun 2002 tentang Perlindunngan Anakk; 5) Keeputusan Presiden Republik IIndonesiaNo omor 88 Tahun 2002TentaangRencanaa Aksi Perd dagangan NasionalPenghapusaan (Trafikinng)Perempuaan Dan Anaak. Darri data diaatas dapat peneliti temukan beberapa ppoin penting g sebagai hasil daari peneltiaan dengan metode analisis konten k sbaggai berikut: 1) Angkka 459 sebaggai kemuunculan jenis--jenis tindakk
297
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
2)
3)
4)
5)
6)
melindung perempuan dan anak di Indonesia dari tindakan kejahatan yang semakin hari justru semakin meningkat angkanya. Dunia internasional melalui aktor state maupun non state(Non Government Organizations) terus mendorong dan ikut berperan aktif membantu perjuangan hak perempuan dan anak keseluruh dunia. Konsep humanitarian intervention muncul sebagai akibat dari tingginya angka kejahatan atau kekerasan yang menimpa perempuan dan anak sebagai korbannya. Perlindungan berupa aturan hukum yang jelas setidaknya akan menekan tindak kekerasan tehadap perempuan dan anak. Interpretasi bahasa hukum sudah tentu menjadi celah bagi pengacara untuk melindungi kliennya dari jerat hukum atas perbuatannya. Oleh sebab itu, aturan hukum yang memfasilitasi secara jelas jenis-jenis tindakan kekerasan terhadap perempuan dan anak akan dapat mempersempit pelaku kejahatan unuk membela diri dari tuntutan hukum. Disinilah manfaat dilakukannya penelitian ini. Analisis konten pada undang-undang memberi gambaran atau peta yang sangat jelas mengenai kemampuan aturan hukum di Indonesia dalam memfasilitasi segala jenis tindakan kekerasan terhadap perempuan dan anak. Terlihat jelas beberapa jenis tindak kejahatan terhadap perempuan dan anak belum mampu diintegrasikan secara utuh dan jelas dalam peraturan peundang-undangan di Indonesia. Pemaksaan kontrasepsi, tindak aborsi, prostitusi paksa dan praktek tradisi serta jenis kejahatan lainnya masih sangat kurang intensitasnya dan perlu diperbaiki dan disempurnakan sehingga mampu melindungi perempuan dan anak serta memberi hukuman yang sesuai bagi pelaku kejahatan.
kekerasan terhadap perempuan adalah 1,5% dari keseluruhan kata dalam kelima undang-undang pokok kekerasan terhadap perempuan Kata perdagangan dan kekerasan muncul paling banyak dengan jumlah 248 kata atau sebesar 54% dari jenis kekerasan yang lainnya. Hal ini menunjukkan perhatian besar pemerintah Indonesia dalam memberantas perdagangan perempuan dan anak serta perhatian pula pada tindakan kekerasan yang menjadikan perempuan dan anak sebagai korbannya. Pelecehan seksual dan kejahatan seksual muncul 11% sebagai yang terbanyak kedua namun dengan perbedaan jarak yang cukup lebar dari kategori perdagangan perempuan. Kategori pemaksaan kontrasepsi tidak sama sekali ditemukan dalam kelima prundang-undangan kekerasan terhadap perempuan. Kategori tindak aborsi, prostitusi paksa dan praktek tradisi atau adat juga sangat kecil kemunculannya. Pergaulan bebas yang marak dewasa ini ternyata belum difasiitasi oleh pemerintah indonesia. selain itu keragaman suku adat dengan tradisinya masing-masing yang jumlahnya ratusan suku juga sangat memungkinkan terjadinya penekanan terhadap hak perempuan. Kategori Intimidasi, Kontrol Seksual (diskriminasi, kriminalisasi), dan Pemaksaan Kehamilan muncul lebih sedikit atau sama dengan 10 kali atau kurang dari 2,2%
Beberapa poin hasil penelitian diatas menjadi sebuah urgensi atau situasi darurat yang mengharuskan aktifis perempuan dan anak untuk terus berjuang melakukan advokasi untuk
298
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
I. KESIMPULAN Kesimpulan dalam penelitian ini memberikan jawaban atas rumusan masalah dan membenarkan hipoesa peneliti yang ditentukan sebelum penelitian yaitu: lemahnya penegakan hukum atas pelanggaran kekerasan terhadap perempuan di Indonesia disebabkan, salah satunya, oleh peraturan hukum di Indonesia mengenai kekerasan terhadap perempuan yang tidak memfasilitasi secara utuh dengan indikasi kurangnya menekankan pada jenis-jenis pelanggaran kekerasan terhadap perempuan yang ditunjukkan oleh hasil penelitian J. DAFTAR PUSTAKA Buletin sekjen PBB tentang tindakantindakan khusus bagi perlindungan dari eksploitasi seksual dan pelanggaran seksual, St/SGB/2003/13, 9 Oktober 2003 dalam Komnas Perempuan Frisca Cristi, Jurnal tesis, Akibat Hukum Pasal 31 Undangundang Nomor 24 Tahun 2009 terhadap Production Sharing Contract di Indonesia. 2010, Jakarta: FH UI Krippendorff, Klaus, Content analysis : an introduction to its methodology - 2nd ed, 2004, California, US: Sage Publications Lembar Fakta Catatan Tahunan (Catahu) 2016, Kekerasan terhadap Perempuan Meluas: Mendesak Negara Hadir Hentikan Kekerasan terhadap Perempuan di Ranah Domestik, Komunitas dan Negara, 2016, Komnas Perempuan
299
Martha, Elmina, Aroma. Perempuan, kekerasan, dan hukum. 2003, Yogyakarta UII Press Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, 1999, Yogyakarta: Liberty Komnas Perempuan, Pembela HAM: Berjuang Dalam Tekanan.2007, Komnas Perempuan Komnas Perempuan, Pembela HAM: Berjuang Dalam Tekanan. 2009 Komnas Perempuan Komnas Perempuan, Perempuan dalam Jeratan Impunitas: Pelanggaran dan Penanganan, Dokumentasi Pelanggaran HAM Perempuan Selama Konflik Bersenjata di Poso Komnas 1998-2005, Perempuan, 2009, hal. 132 dan rumusan yangdikembangkan Rifka Annisa Women’s Crisis Centre dalam Lusia Palulungan, “Bagai Mengurai Benang Kusut: BercerminPada Kasus Rieke Dyah Pitaloka, Sulitnya Pembuktian Pelecehan Seksual, Tatap: Berita Seputar Komnas Pelayanan.2010, Perempuan Pratiwi, Cekli Setya, Hak Asasi Manusia: Konsep Dasar, Prinsip-prinsip dan Instrumen HAM di Tingkat Internasional dan di Indonesia, 2013. Jurnal Universitas Muhammadiyah Malang, dikutip dari http://pusam.umm.ac.id/page/id -file_home_971004-7.pdf pada 24 Mei 2016 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Bab XIV - Kejahatan Terhadap Kesusilaan
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
UU
No.23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga(PKDRT)
UU No 21 tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang UU No 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 88 Tahun 2002 Tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan (Trafiking) Perempuan Dan Anak http://eeas.europa.eu/delegations/indon esia/documents/press_corner/20 100308_01_id.pdf diakses pada 28 Juni 2016 http://www.konde.com/2016/06/menga pa-ada-diskriminasiterhadap.html diakses pada 28 Juni 2016
300
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
PENGUATAN PERAN PEREMPUAN DALAM MEWUJUDKAN KEMAJUAN POLITIK, SOSIAL DAN BUDAYA LOKAL Sri Indarti Ketua Umum PWNA Bengkulu Dosen FISIP UMB-Mahasiswa Doktor Administrasi Publik (DAP)UNDIP email:
[email protected]
Abstrak --- Proses perubahan dan perbaikan politik, sosial dan budaya yang berkemajuan memerlukan peran berbagai pihak secara sinergis. Perempuan yang jumlahnya melebihi separo penduduk, memiliki peran penting dalam aspek politik dan budaya lokal.Perempuan berperan pada aspek pengembangan politik dalam keluarga dan masyarakat, demikian pula dalam akifitas sosial dan budaya masyarakat Bengkulu. Namun masih terdapat tantangan-tantangan dalam melaksanakan peran perempuan. Berbagai tantangan dan kendala menghadang para perempuan yang masuk kedalam panggung politik dan berbagai permasalahan sosial menunggu kiprah perempuan untuk berperan mengurainya. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif yang didasarkan pada observasi dan kajian kepustakaan (library research) di Bengkulu. Identifikasi peran politik dan kepemimpinan pada aspek lokal, keterwakilan perempuan jabatan lembaga politik tertentu di Bengkulu mencapai kuantitas dominan pada periode tertentu. Namun secara umum, keterwakilan kaum perempuan di dalam institusiinstitusi politik masih sangat minimal dan posisi pada umumnya belum menunjukkan prosentase yang signifikan. Secara sosial dan budaya pada saat ini terbuka kesempatan luas bagi perempuan untuk berperan
dalam beragam profesi, kreasi maupun dalam beragam aktifitas sosial. Namun tantangan permasalahan sosial dan budaya juga semakin kompleks, yang menunggu kiprah perempuan yang bermitra dengan berbagai pihak untuk mewujudkan kemajuan kehidupan dan peradaban melalui beberapa strategi optimalisasi. Kata kunci : peran perempuan, politik, sosial, budaya lokal
A. PENDAHULUAN Pembangunan politik, sosial dan budaya yang berkemajuan senantiasa perlu dilakukan oleh berbagai pihak, karena masih banyak aspek-aspek dalam berbagai lini perlu di rubah dan diperbaiki.Pembangunan berkelanjutan memiliki perspektif bahwa pembangunan merupakan upaya yang saling terkait dan terintegrasi antara berbagaiaspek pembangunan yakni aspek politik, ekonomi, sosial, budaya dan lingkungan. Kecenderungan hanya pada salah satu aspek saja akan merugikan aspek lainnya, seperti terjadi pada pendekatan developmentalisme yang lebih mengutamakan pertumbuhan dan kemajuan ekonomi akan menimbulkan permasalahan kesenjangan dalam pemerataan ekonomi, serta memunculkan masalah aspek politik, sosial, budaya dan lingkungan. Efek dari hal ini adalah negara dan masyarakat membayar mahal atas kehancuran kekayaan sosial, etika, budaya, kekayaan sumber daya
301
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
menjadi alat dalam pergulatan kekuasaan diantara para pemimpinnya. Untuk memahami politik, harus diselami bagaimana dinamika sosial bumi Indonesia dimana ia berakar”. Saat ini dinamika politik juga terlalu memperlihatkan pragmatisme dan transaksional. Agaknya politik terlalu jenuh dengan perilaku licik (slithery), ketimbang sebagai suatu kebajikan (virtue). Hampir dua dekade pasca reformasi, demokrasi rasanya masih jauh dari harapan bersih dan sehat. Perkembangan paling progresif dalam demokrasi saat ini adalah partisipasi langsung. Selebihnya, demokrasi digandoli perilaku curang dan politik uang. (lihat dalam Subhan, 2016:2). Transisi dinamika demokrasi di daerah telah membuka berbagai ruang bagi perempuan untuk memainkanperan yang lebih besar dalam ranah publik. Dinamika politik, sosial dan budaya mengharuskan perempuan untuk terjun dan bergerak pada area aspek politik, sosial dan budaya. Ibarat ada pembukaan area sawah yang berlumpur, maka tetap lebih baik untuk terjun menanam padi walaupun terkadang terkena lumpur yang kemudian lumpur itu harus dibersihkan dari badan, daripada menjadi penonton. Aktifitas dalam bidang politik, sosial dan budaya secara etis, elegan dan bermoral disertai dengan kapabilitas akan memberikan warna positif dan pencerahan untuk peradaban dan kemajuan.
dan lingkungan hidup, serta praktek politik yang menyimpang. Orientasi penyelenggaraan dan pengaturan kehidupan bangsa dan negara baik dalam bidang politik, sosial dan budaya adalah untuk kepentingan publik. Maka selayaknya tahapantahapan kebijakan yang dikembangkan dan ditargetkan adalah berorientasi kepentingan publik dan memberikan manfaat maksimal kepada publik Aspek politik dan kepemimpinan berpengaruh besar dalam aktifitas kehidupan masyarakat dan negara, dimana lewat mekanisme politik dan kepemimpinan akan menentukan berbagai keputusan dan implementasi kebijakan yang menyangkut publik.Sistem politik yang baik akan berpengaruh besar terhadap peyelenggaraan negara yang adil dan berpihak pada kepentingan publik serta kesejahteraan rakyat. Manifestasi politik pada lingkup nasional dan lokal masih cukup memprihatinkan, terjadi ironi dimana politik belum efektif sebagai proses pembuatan kebijakan untuk kemaslahatan publik, dimana sebagiannya masih cenderung menjadi ajang untuk berburu kekuasaan. Kondisi sosial dengan adanya kesenjangan masyarakat (kaya-miskin), budaya luar yang gencar menerpa seiring dengan teknologi yang masif menyebar sampai ke berbagai pelosok daerah, menjadi tantangan untuk mengantisipasinya. Tantangantantangan kondisi politik, sosial dan budaya memerlukan peran berbagai pihak dan perempuan selayaknya aktif berkontribusi mewujudkan politik, sosial dan budaya yang berkemajuan, baik dalam lingkup nasional maupun lokal. Ironi praktek politik pernah dibaca oleh pemikir Soejatmoko bahwa “ partai politik tidak menjadi organ yang mengimbangi kebutuhan, hasrat pemilih dan tujuan, tetapi hanya
B. MULTI PERAN PEREMPUAN Berbagai wacana, konsepsi dan istilah berkembang dalam sejarah dan aktifitas perempuan seperti konco wingking, peran ganda dan multiperan perempuan. Perwujudan peran perempuan dalam berbagai aspek kehidupan masih menghadapi tantangan-tantangan pada satu sisi dan pada sisi lain peluang-peluangbagi perempuan semakin terbuka lebar untuk
302
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
berperan serta berkiprah dalam berbagai aspek kehidupan. Perempuan dalam kehidupannya menjalankan multiperan peran sebagai istri, Ibu, dan anak, sekaligus peran sosial dalam masyarakat baik secara individu maupun organisasi, serta berperan dalam beragam berprofesi. Beragam peran dan aktifitas perempuan sesuai dengan fitrahnya, menjadi bagian untuk kemajuan kehidupan dan peradaban manusia. Sebagai aktor multiperan maka secara ideal perlu menempatkan diri sesuai dengan kapasitas, kondisi dan tabiatnya. Masing-masing perempuan memiliki kecenderungan, bakat, potensi dan tabiat yang berbeda dan ini memberikan ruang partisipasi yang heterogen bagi masing-masing perempuan untuk berkiprah dalam kehidupan. Multiperan perempuan senantiasa perlu disertai karya nyata dan usaha yang tidak pernah berhenti. Bukan sekedar untuk mencari nafkah dan profesi semata namun juga untuk membangun masyarakat, bangsa dan peradaban manusia. Dengan manajemen yang tepat, keterlibatan aktif perempuan akan meningkatkan kualitas kehidupan
keluarga dan masyarakat. Pembagian kerja dalam aktifitas keluarga dan masyarakat menjadi bagian penting untuk mewujudkan kiprah dan peran perempuan secara optimal. B. IDENTIFIKASI PERAN POLITIK PEREMPUAN LOKAL 1. Peran Politik Perempuan pada Lembaga Politik di Bengkulu Kiprah perempuan pada pengambilan keputusan politik, kepemimpinan dan pemerintahan masih kurang. Dalam pancawarsa ini Bengkulu memiliki beberapa tokoh perempuan yang memegang kepemipinan atau jabatan pemerintahan daerah, yaitu Wakil Walikota Bengkulu yaitu Ir. Patriana Sosialinda, Ketua DPRD Kota Bengkulu (Erna Sari Dewi, SE) dan wakil Bupati Kaur (Yulis Suti Sutri, SKM ).Sebagian perempuan di Bengkulu memegang posisi Camat, Kepala Bagian , Kasubag, Lurah, Kepala Desa, Kepala sekolah dan sebagainya. Representasi politik perempuan, juga terdapat pada lembaga dan aktifitas berikut :
a. DPD RI Prestasi kuantitatif dalam keterwakilan politik yang dicapai perempuan Provinsi Bengkulu pada DPDRI periode 2014-2019 sudah besar, dimana dari 4 senator DPDRI utusan Provinsi Bengkulu, maka 2 orang diantaranya adalah perempuan yaitu Eni Khaerani dan Riri Damayanti. Hal ini bisa dilihat dari tabel berikut : Tabel 1 Anggota DPD RI Dapil Bengkulu
No. Nama Jenis Kelamin 1. H. Ahmad Kanedi, SH, MH Laki-laki 2. Dra. Hj, Eni Khaerani, M.Si Perempuan 3. H. Mohammad Sholeh, SE Laki-laki 4. Riri Damayanti, S.Psi Perempuan Sumber: diolah dari dprd.bengkuluprov.go.id
b. DPR RI
Keterwakilan Perempuan 50 %
Anggota DPRRI perwakilan dari Bengkulu pada periode 2014-2019 memiliki prosentase besar, dimana saat pelantikan berjumlah 75 %. Kemudian dalam perjalanannya terjadi Pergantian Antar Waktu untuk utusan dari Partai
303
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
Nasdem yang diwakili perempuan, sehingga 100 % anggota DPRRI dari Bengkulu adalah perempuan. Hal ini bisa diamati dari tabel berikut : Tabel 2 Anggota DPRRI DAPIL Bengkulu No. Nama Partai Keterangan 1 Anarulita Muchtar Nasdem Menggantikan Patrice Rio Capella 2 Dewi Coryati PAN 3 Susi Markely Bachsin Gerindra 4 Elva Hartati PDIP Sumber : https://id.wikipedia.org/wiki/daftar
c. DPRD Provinsi Keterwakilan perempuan pada lembaga DPRD Provinsi Bengkulu masih rendah dan belum signifikan, sebagaimana dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 3 Anggota DPRD Provinsi Bengkulu 2014-2019 No
DAPIL
1 Kota Bengkulu 2 Bengkulu Utara - Bengkulu Tengah 3 Muko-Muko 4 Rejang Lebong-Lebong 5 Kepahiang 6 Bengkulu Selatan – Kaur 7 Seluma JUMLAH Sumber : diolah dari dprd.bengkuluprov.go.id
Jumlah Anggota DPRD 8 8 4 9 4 7 5 45
Jumlah perempuan 1 1 2 0 0 1 2 7
hak politik dan partisipasi politik, seperti pada aktifitas berikut : a.Menanamkan dan mengembangkan fondasi hak, kewajiban, berpendapat, demokrasi pada anggota keluarga, masyarakat dan warga negara. b. Mengembangkan aktifitas pemenuhan hak, kewajiban dan demokrasi pada masyarakat c. Berperan dalam proses pendidikan politik d. Terlibat aktif dalam proses pemilu, pemilihan pemimpin e. Terlibat aktif pada partai politik (pengurus, anggota).
Berdasarkan tabel tersebut, maka partisipasi perempuan sebagai anggota DPRD Provinsi Bengkulu masih kecil, dimana dari sejumlah 45 anggota DPRD Provinsi Bengkulu, hanya terdapat 7 perempuan yang menjadi anggota DPRD. 2. Peran Politik Perempuan dalam Keluarga dan Masyarakat Perempuan memiliki peran dalam mewujudkan dan mengembangkan hak-hak politik pada anggota keluarga dan masyarakat, seperti hak untuk menentukan nasib, berkumpul dan berserikat, memilih dan dipilih. Perempuan juga memiliki peran dalam sosialisasi dan penegakan hak-
C. IDENTIFIKASI PEREMPUAN DALAM SOSIAL DAN BUDAYA
304
PERAN ASPEK
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
makna baik bagi masyarakat pendukung maupun pihak luar yang memiliki kepentingan masyarakat tersebut (Koetjaraningrat, 1985:180). Lingkup masyarakat menciptakan kebudayaan berbeda, namun isi pokok dari kebudayaan di dunia tercakup dalam unsur-unsur kebudayaan yaitu bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem mata pencaharian hidup, sistemreligi, dan kesenian (Koentjaraningrat, 1985:203) . Masyarakat asli Bengkulu berasal dari beragam etnikdengan bahasa daerah dan dialek yang berbeda seperti bahasa Melayu, Rejang,Enggano, Serawai, Lembak, Pasemah, Mulak Bintuhan, Pekal danMukomuko (Ramli, 1991:13). Mayoritas masyarakat berpedoman pada Pegang pakai adat (ketentuan pokok) yang mayoritas digunakan di Bengkulu yaitu “Adat Bersendi Syara’, Syara’ bersendi Kitabullah yang berarti segala sesuatu dalam pelaksanaan adat pada dasarnya berpedoman kepada Al Qur’an dan Hadits” (Perda adat Kota Bengkulu, 2005:142). Peran perempuan dalam kehidupan sosial budaya, diantaranya : 1. Peran Perempuan dalam Keluarga ( Istri dan Ibu) Perempuan dalam keluargadipandang mulia pada mayoritas budaya Bengkulu Sebagai istri dan ibu, posisi perempuan dihargai dan dianggap memiliki peran penting dalam kehidupan. Masuknya perempuan dalam keluarga lelaki, tergantung hasil musyawarah kedua belah pihak, sebagaimana dalam konsepsi Perda Adat sebagai berikut :
Bengkulu memiliki nilai sosial dan budaya tertentu yang telah ada sejak jaman “poyang” (nenek moyang), dan juga memiliki kearifan-kearifan lokal yang memungkinkan bagi perempuan untuk berkiprah, serta merumuskan aktifitas yang akan dilakukan perempuan dalam lingkup keluarga dan masyarakat, serta berpartisipasi aktif dalam kegiatan sosial, budaya dan politik. “ Falsafah hidup masyarakat setempat, "Sekundang setungguan Seio Sekato". Bagi masyarakat Bengkulu pembuatan kebijakan yang menyangkut kepentingan bersama yang sering kita dengar dengan bahasa pantun yaitu: "Ke bukit Samo Mendaki, Ke lurah Samo Menurun, Yang Berat Samo Dipikul, Yang Ringan Samo Dijinjing", artinya dalam membangun, pekerjaan seberat apapun jika sama-sama dikerjakan bersama akan terasa ringan juga. Selain itu, ada pula "Bulek Air Kek Pembukuh, Bulek Kata Rek Sepakat", artinya bersatu air dengan bambu, bersatunya pendapat dengan musyawarah. (http://www.indonesia.go.id/in/pem erintah-daerah/provinsi-bengkulu /sosial-budaya) Perempuan Bengkulu saat ini pada umumnya memiliki kebebasan untuk memilih pendidikan, profesi dan beragam aktifitas sosial. Walaupun demikian, ada yang membatasi peluang untuk beraktifitas, seperti pemahaman masyarakat, perempuan dan keluarganya (tingkat pendidikan dan informasi), ketimpangan struktur sosiokultural masyarakattaraf kehidupan (kemiskinan membatasi peluang perempuan untuk menikmati pendidikan dan beraktifitas sosial). Kebudayaan merupakan produk dari suatu masyarakat yang fungsinya sebagai alat untukmengeksresikan berbagai macam
“ Keberadaan seorang lelali atau seorang perempuan ke dalam lingkungan suatu keluarga sebagai akibat perkawinan disebut Semendo. Suasana kekerabatan antar keluarga semendo sangat erat
305
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
atau harta penantian milik istri waktu gadis. Penentuan dan keputusan tentang wujud semendo dalam perkawinan biasanya dibicarakan dan ditetapkan pada saat “memadu rasan”(meminang). (lihat dalam Perda Adat, 2005: 137-138). Pola pengasuhan terbaru dalam keluarga saat ini, sangat memerlukan peran ayah, agar tidak berkembang menjadi “fatherless country”. Pengasuhan anak memerlukan sosok keberanian, ketegasan dan kemandirian yang sebagiannya dari sosok ayah. Pegang pakai adat “adat bersendi syara dan syara bersendi Kitabullah” di Bengkulu perlu disertai dengan penafsiran pemahaman yang komprehensif secara bertahap, termasuk dalam pola pengasuhan anak yang memerlukan kerjasama sinergis antara laki-laki dan perempuan (ibu dan ayah).Generasi sahabat sebagai generasi terbaik menjadi generasi gemilang karena ayah terlibat dalam pengasuhan bersama dengan ibu. Di dalam Al Qur’an terdapat 17 dialog pengasuhan, 14 diantaranya antara ayah dan anak . Keterlibatan pengasuhan ayah akan dapat dilakukan di rumah, sekolah dan masjid. Ayah sebagai pengasuh harus hadir di masjid, anak merasa tentram berlama-lama di masjid, tidak waswas atau dihardik di dalam masjid namun dibiarkan berlama-lama di play station, mall, main HP dan sebagainya . Jika anak terhormat di masjid, ia akan menjadi generasi masjid.Ibnul Qayyim dalam kitab Tuhfatul maudud menyatakan, “ jika terjadi kerusakan pada anak, penyebab utamanya adalah ayah”. Ini menunjukkan pentingya sinergitas pengasuhan bersama antara ibu dan
dan penuh tata krama. Artinya dalam sikap pembicaraan dan tindakan perbuatan selalu diatur dengan etika dan penuh kesantunan. Bahkan dalam masyarakatpun selalu dibiasakan sikap keramahtamahan, yang tua dihormati, yang kecil disayangi dan sesama besar dikawani atau dihargai.... sistem perkawinan dikenal tiga macam bentuk semendo, yaitu : 1. Semendo berjujuran atau beleket Artinya perempuan istri yang dibayar dengan mahar yang sangat tinggi sekali, harus kembali dan menjadi kelarga pihak suami. Tentu saja segala sesuatu dengan kesepakatan bersama. 2. Semendo terambil anak Disini pihak lelaki setelah perkawinan bersedia masuk menjadi milik dan keluarga pihak perempuan. Dalam hal ini semua biaya penyelenggaraan perkawinan dan peralatan ditanggung oleh keluarga pihak perempuan. Apabila terjadi perseraian, maka si lelaki wajib keluar dan meninggalkan harta usaha selama perkawinan. 3. Semendo rajo-rajo Kedua belah pihak perempuan atau lelaki mempnyai hak dan kewajiban yang sama, kedua belah pihak bebas memilih dimana keluarga baru itu akan menetap, apakah di rumah mertua laki-laki atua di rumah mertua istri. Semua hasil usaha selama perkawinan adalah milik bersama, kecuali harta perjuangan
306
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
bahasa daerah yang digunakan oleh masyarakat Bengkulu, yakni: Bahasa Melayu, Bahasa Rejang, Bahasa Pekal, Bahasa Lembak. Penduduk Provinsi Bengkulu berasal dari tiga rumpun suku besar terdiri dari Suku Rejang, Suku Serawai, Suku Melayu. Sedangkan lagu daerah yaitu Lalan Balek.” (Wikipedia, Budaya Bengkulu)
ayah, ibarat burung yang terbang dengan dua sayap (ayah dan ibu), pengasuhan anak memerlukan keduanya. 2. Peran Perempuan dalam Masyarakat Perempuan memiliki kesempatan luas untuk berkiprah dalam masyarakat di Bengkulu. Beragam profesi dan kegiatan sosial leluasa dilakukan, walaupun masih menghadapi tantangan sosio kultural dan kondisi perempuan yang beragam. 3. Peran Perempuan dalam religi, budaya, seni, kearifan lokal Perempuan di Bengkuluberperan dalam pengembangan budaya besurek dan upacara-upacara adat, sebagai personil dalam cerdik cendekio (kelompok terpelajar dalam Badan Musyawarah Adat).Perempuan aktif melestarikan rebana, sarafal anam, petatah-petitih dan pantun. Perempuan berperan besar dalam pembinaan anak-anak, sehingga “Tamat kaji” (khatam Al Qur’an atau selesai melakukan pembelajaran Al Qur’an). Pengajianpengajian Al Qur’an dalam budaya Bengkulu cukup banyak dilakukan oleh perempuan. Kemudian, beberapa konsepsi tentang adat Bengkulu, sebagai berikut : “ Adat dan istiadat yang cukup akrab dengan masyarakat Bengkulu, di antaranya: Kain Bersurek, merupakan kain bertuliskan huruf Arab gundul. Kepercayaan masyarakat di Provinsi Bengkulu umumnya atau sebesar 95% lebih menganut agama Islam. Upacara adat juga banyak dilakukan masyarakat di Provinsi Bengkulu seperti, sunat rasul, upacara adat perkawinan, upacara mencukur rambut anak yang baru lahir... Terdapat empat
4. Melestarikan Makanan tradisional Bengkulu Perempuan berperan besar dalam pelestarian makanan tradisional Bengkulu, yang sering digunakan dalam acara-acara adat, maupun disajikan dalam aktifitas keseharian. 5. Kontribusi aktif dalam pemenuhan hak sosial dan budaya Berdasarkan konsepsi pemenuhan hak tersebut, maka perempuan berperan besar dalam proses pelaksanaan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, seperti hak untuk bekerja, berpartisipasi pada kegiatan kebudayaan, menikmati kemajuan ilmu pengetahuan. Perempuanperempuan yang memahami peran perempuan dan berkecimpung dalam sektor publik atau menjadi tokoh / simpul massa mensosialisasikan dan menggerakkan pemenuhan hak politik, sosial dan budaya pada masyarakat. D. TANTANGAN DAN PENGUATAN PERAN PEREMPUANDALAM MEWUJUDKAN KEMAJUAN POLITIK, SOSIAL, BUDAYA Perkembangan teknologi dan globalisasi informasi memberikan tantangan khas untuk peran perempuan dalam aspek sosial, budaya dan politik. Tantangan perempuan untuk masa yang akan datang, akan berkembang sesuai
307
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
beberapa hambatan pribadi dan psikologis yang dialami oleh perempuan dalam berpartisipasi di ranah publik. Strategi penguatan peran politik, sosial dan budaya perempuan yaitu : Perempuan selalu meningkatkan kapabilitas pribadi, ilmu, wawasan, moral dan etika dalam kehidupan pribadi, keluarga, politik dan sosial dan budaya. Sosialisasi pentingnya peran perempuan dan ragam peran perempuan oleh TOGA, TOMA, ormas dan tokoh atau aktifis, terutama aktifis perempuan. - Penguatan dengan adanya contoh dari aktifis perempuan yang secara proporsional bisa menjadi sosok yang bisa menjadi tauladan (dalam aspek-aspek tertentu, sesuai dengan kapasitasnya). - Perempuan aktif membangun fondasi keluarga yang kokoh (melakukan pengelolaan sumber daya keluarga sehingga sakinah, tercapai target keluarga dan anggota keluarga dapat berkiprah positif dalam masyarakat). Keluarga akan menjadi fondasi untuk peran perempuan secara politik, sosial dan budaya. - Perempuan Aktif bersama masyarakat, kepada kebaikan, kebenaran dan kemajuan. Menjadi unsur perubah(agen of change)dalam pembangunan politik, sosial budaya. Peran perempuan perlu diarahkan pada pembangunan sosial, politik dan budaya yang mengarah pada perubahan menuju kesejahteraan dan keadilan sosial, meningkatkan kualitas kehidupan manusia secara paripurna, yakni memenuhi kebutuhan manusia yang terentang mulai dari kebutuhan fisik sampai sosial. - Sinergi dan jejaring untuk optimalisasi peran perempuan melalui organisasi : Ormas, LSM, Kaukus, JPPB (Jaringan Peduli
dengan jamannya. Tantangan politik, sosial dan budaya pada masa sekarang demikian masif, seiring dengan arus sekularisme, demoralisasi dan perkembangan teknologi informasi yang gencar sampai ke pelosok daerah. HP dan internet yang memberikan peluang akses pornografi, vouyerisme, cinderella compleks yang dampaknya bisa menimpa perempuan. Perkembangan teknologi dan informasi menyuburkan maraknya pornografi, pada sisi lain budaya tuak pada daerah dan Kabupaten yang sebagian dampaknya berpengaruh pada perempuan. Pola kehidupan di pondok kebun dan hutan pada sebagian masyarakat di daerah menjadi tantangan terhadap pengasuhan dan perlindungan perempuan dan anak. Angka kekerasan terhadap perempuan dan incest di Bengkulu cukup tinggi , sebagaimana data berikut : “Tercatat sebanyak 133 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak pada 2010, meningkat menjadi 442 kasus pada 2011, lalu sebanyak 384 kasus pada 2012, meningkat menjadi 655 kasus pada 2014 dan sebanyak 425 kasus pada 2015.”(www.majalahkartini.co.i d, 15/10/2015) Tantangan bagi perempuan untuk berperan dalam aspek politik dan sosial, diantaranya berupa tantangan sosio kultural sebagian masyarakat yang membentuk konsep perempuan secara sempit dan memberikan status yang lebih rendah dari laki-laki, berpengaruh terhadap aktivitas perempuan pada aspek publik dan politik. Hambatan pribadi dan psikologi perempuan menjadi tantangan tersendiri seperti kurangnya keterampilan politik dan kepercayaan diri, persepsi politik sebagai halyang ‘kotor’ serta tanggung jawab merawat keluarga merupakan
308
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
Perempuan Bengkulu), LP3MUI, Lembaga Perlindungan Anak dan sebagainya. Hal ini sekaligus bisa menjadi langkah untuk mengekplorasi beragam potensi perempuan dan jejaring secara proporsional dan optimal. E. PENUTUP Perempuan memiliki posisi dan peran urgen dalam kehidupan dan peradaban, namun pada sisi lain masih terdapat kesenjangan peran perempuan pada aspek politik, sosial dan budaya. Penguatan-penguatan perlu dilakukan agar terjadi optimalisasi peran perempuan yang berkemajuan. DAFTAR PUSTAKA Setda Kota Bengkulu, 2005, Adat Kota Bengkulu, Biro Hukum Setda Kota Bengkulu Ramli, Ahmad , 1991, Pengendalian Sosial Daerah Bengkulu. Bengkulu, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Subhan, Kolom Politik, Kompas 23 Juli 2016, hal 2 Dprd.bengkuluprov.go.id https://id.wikipedia.org/wiki/daftar http://www.indonesia.go.id/in/pemerintahdaerah/provinsi-bengkulu /sosial-budaya) Wikipedia, Budaya Bengkulu
309
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
PERAN LEMBAGA PENDAMPINGAN ANAK REMAJA DAN KELUARGA (EL PARKA) PIMPINAN CABANG AISYIYAH (PCA) WIROBRAJAN DALAM MENDAMPINGI KELUARGA KORBAN KEKERASAN MENUJU KELUARGA SAKINAH DI KECAMATAN WIROBRAJAN SRI MULYANINGSIH Fakultas Psikologi Universitas Proklamasi ’45 Yogyakarta Yogyakarta, Indonesia
[email protected]
Abstrak --- Keluarga merupakan bagian terkecil dalam berdirinya sebuah Negara. Keluarga sakinah merupakan lingkungan subur bagi generasi penerus bangsa. Melalui keluarga sakinah banyak pemimpin yang sukses dengan kepemimpinannya dengan memakmurkan wilayah juga masyarakatnya. Inti keluarga itu sendiri adalah sekelompok individu yang terdiri dari bapak, ibu, dan anak kandung. Kesemuanya melakukan interaksi menjalankan tugas dan perannya masing – masing. Memerankan keluarga sakinah tidaklah mudah, keluarga sakinah merupakan keluarga yang dapat menciptaan rasa aman, nyaman, tentram, dan bahagian guna tercapainya kesejahteraan bersama seluruh anggota keluarga. Masa kini, banyak keluarga yang tidak harmonis. Konflik – konflik kecil terkadang menjadi penyulut api perceraian. Banyak faktor yang menyebabkan retaknya keluarga diantaranya ketidaksiapan individu menjalani pernikahan, kurangnya pengetahuan, dan komunikasi yang tidak lancar. Jika keluarga retak, banyak terjadi penyimpangan didalamnya seperti kekerasan, maka generasi penerus akan memiliki karakter yang menyimpang. Bahkan bisa dibilang Negara akan kehilangan aset berharganya. Oleh karena itu, Pimpinan Cabang Aisyiyah (PCA) Wirobrajan sangat memperhatikan keharmonisan keluarga,
agar dapat menyiapkan kader pemimpin negeri yang berkualitas. Melalui Lembaga Pendampingan Anak Remaja dan Keluarga (EL PARKA) Pimpinan Cabang Aisyiyah (PCA) Wirobrajan, melakukan pendampingan dan konsultasi keluarga dan anggota keluarga yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga di Kecamatan Wirobrajan. Tujuan dari lembaga ini adalah menciptakan keluarga yang tentram bahagia dalam menyiapkan kader pemimpin bangsa. Proses pendampingan dilakukan dengan Metode Konseling pribadi, dengan tahap – tahap, 1) Perencanaan Pertemuan, 2) Tahap pembinaan hubungan baik, 3) Tahap klarifikasi masalah, 4) Tahap Interaksi, 5) Tahap penetapan tujuan, 6) Tahap akhir, 7) Tahap pasca pertemuan. Melalui tahapan ini sudah banyak keluarga yang berhasil terdampingi dan menjadi lebih baik. Kata kunci : Keluarga Sakinah, Pendampingan
LATAR BELAKANG MASALAH Keluarga merupakan lingkungan terdekat pada diri remaja dan anak – anak. Keluarga juga lingkungan yang subur untuk pendidikan mereka. Keluarga akan selalu dikaitkan ketika remaja maupun anak – anak dianggap bermasalah.
310
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
Di era saat ini banyak ditemukan keluarga yang tidak kondusif. Sehingga banyak juga ditemukan remaja yang nekat mengakhiri hidupnya, hanya karena kurangnya perhatian dari keluarga. Bapak dan ibu yang sibuk dengan pekerjaan dan urusan masing – masing membuat minimnya kasih sayang bagi anak. Lekat diingatan tahun lalu, dimana dua orang anak ditelantarkan orang tua mereka, dan harus tidur di pos keamanan. Anak ini ditelantarkan tanpa dipenuhi kebutuhannya. Saat diperiksa orang tua mereka beralasan untuk mendidik anak lebih mandiri. Banyak fihak yang menyoroti hal tersebut. Bertanya – tanya dengan kondisi keluarganya. Apakah benar mendidik anak dengan cara seperti itu, ( Kompas, Kamis, 15 Mei 2015). Banyak kasus dimasyarakat yang korbannya adalah remaja dan anak – anak. Mereka menjadi korban pelecehan seksual. Penyebab sebagian besar karena mereka diasuh oleh orang lain, bukan anggota keluarga mereka sendiri. Kesibukan orang tua mewajibkan mereka harus bersekolah lebih lama dari jam belajar umumnya. Orang tua mudah sekali percaya dengan orang lain untuk mendidik anak – anak mereka. Disisi lain, ketidak harmonisan pasangan suami istri juga sangan rentan membuat remaja dan anak – anak merasa tidak betah di rumah. Mereka akan mencari pelampiasan dengan tindakan kenakalan diluar rumah. Puspitawati (dalam Sriyanto dkk, 2014), mengatakan beberapa hal yang dapat dilakukan remaja tanpa pengawasan orang tua adalah, mereka akan perbuatan criminal, asusila, dan pergaulan bebas. Dalam masalah budaya mereka akan mengalami, kehilangan identitas diri, terpengaruh budaya barat, masalah degradasi moral yang diwujudkan dalam bentuk kurang menghormati orang lain, tidak jujur sampai, usaha untuk mengakhiri hidup mereka, narkoba, dan mabuk – mabukan.
Keharmonisan keluarga sangat berpengaruh pada keadaan ini. Keharmonisan keluarga itu sendiri menurut Zainun (dalam Muniriyanto, Suharnan, 2014), keluarga dimana anggota didalamnya bisa berhubungan secara serasi dan seimbang, saling memperoleh pemuasan atas segala kebutuhan. Sedangkan Subhan (dalam Peni R), berpendapat bahwa keharmonisan keluarga adalah komunikasi aktif diantara mereka terdiri dari suami istri, dan atau siapapun yang tinggal bersama. Kurangnya komunikasi antar anggota keluarga akan memicu terjadinya pertengkaran keluarga, kekerasan keluarga, bahkan hingga pada perceraian. Kesemua hal ini berimbas pada perkembangan anak – anak dan remaja. Arrigo, Holt, Buckley, & Whelan (dalam Margaretha, dkk, 2013) anak laki – laki yang tumbuh dalam keluarga yang mengalami kekerasan memiliki resiko tiga kali lipat menjadi pelaku kekerasan terhadap isteri dan keluarga mereka dimasa mendatang, sedangkan anak perempuan berkembang menjadi perempuan dewasa yang cenderung pasif dan memiliki resiko tinggi menjadi korban kekerasan di keluarga mereka nantinya. Di Yogyakarta sendiri kasus kekerasan keluarga dan anak sangat meningkat tajam. Komnas Perempuan pada tahun 2014 menyebutkan angka kekerasan terhadap perempuan sebesar 293.220 kasus, meningkat dari tahun sebelumnya (2013) sebanyak 279.688 kasus. Kasus kekerasan terhadap perempuan paling banyak terjadi di ranah personal (keluarga dan relasi intim) yakni 59 persen kasus kekerasan berupa kekerasan terhadap istri. Selanjutnya untuk kekerasan pada anak, menurut catatan KPAI terjadi adanya peningkatan kasus yang signifikan setiap tahunnya. Tahun 2011 terjadi 2178 kasus, 2012 ada 3512 kasus, 2013 ada 4311 kasus, 2014 ada 5066 kasus. Dari keseluruhan kasus tersebut, kasus tertinggi adalah kasus anak
311
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
berhadapan dengan hukum (ABH), diikuti kasus pengasuhan, kasus pendidikan, kasus kesehatan dan napza, serta kasus pornografi dan cybercrime, (Republika.co.id). Melihat kekawatiran ini, Pimpinan Cabang Aisyiyah (PCA) Wirobrajan membentuk sebuah lembaga Indahnya Mewujudkan Kebersamaan Keluarga (IMKK) melalui program Lembaga Pendampingan Anak Remaja dan Keluarga (EL – PARKA). Lembaga ini berisikan ibu – ibu PKK dari setiap kelurahan di kecamatan wirobrajan. Latar belakang profesi para anggotanya sangat beragam. Mulai dari guru, psikolog, dan lain – lain. Pengurus IMKK berharap agar dapat menurunkan angka kekerasan pada anak dan perempuan melalui program ELPARKA. RUMUSAN MASALAH 1. Siapakah yang dimaksud dengan keluarga korban kekerasan ? 2. Bagaimana proses pendampingan yang dilakukan oleh Pimpinan Cabang Aisyiyah Wirobrajan ? 3. Apa hasil dari pendampingan yang telah dilakukan ? TUJUAN PENELITIAN 1. Mengkaji masalah – masalah yang dihadapi oleh keluarga 2. Mengetahui penyebab terjadinya kekerasan dalam keluarga 3. Mengetahui dampak yang ditimbulkan kekerasan keluarga bagi perkembangan remaja dan anak – anak 4. Mengenalkan program Lembaga Pendampingan Anak Remaja dan Keluarga milik Pimpinan Cabang Aisyiyah Wirobrajan, agar menginspirasi kecamatan – kecamatan lain di luar Wirobrajan. 5. Mengkaji proses pendampingan yang dilakukan Pimpinan Cabang
312
Aisyiyah Wirobrajan korban kekerasan
terhadap
MANFAAT PENELITIAN Manfaat dari penelitian ini dibagi menjadi dua yaitu, manfaat teoritik dan manfaat praktis. Manfaat teoritik dari penelitian ini adalah, diharapkan penelitian ini dapat menyumbangkan pemikiran dan gagasan bagi ilmu pengetahuan mengenai metode pendampingan yang efektif. Melalui pendekaran dan pendampingan yang intens dan bersahabat. Manfaat praktisnya adalah diharapkan penelitian ini dapat membantu memberikan solusi terhadap permasalahan serupa. Diharapkan pula dapat menjadi contoh untuk daerah yang lain, agar lebih memahami lingkungan sekitar kususnya anak dan remaja sebagai calon penerus bangsa. KAJIAN PUSTAKA 1. Remaja dan Keluarga Remaja menurut Harlock, berasal dari kata adolescere, yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa. Adolescence memiliki arti luas mencakup kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik. Piaget ( dalam Harlock, 1980), berpendapat bahwa remaja adalah usia dimana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa, usia dimana anak tidak lagi merasa dibawah tingkat orang – orang yang lebih tua melaikan berasa dalam tingkatan yang sama, minimal mengenai hak. Awal remaja ditandai dengan matangnya fungsi seksual pada individu. Pada umumnya ketika anak sudah mulai masuk masa sekolah menengah atas. Ciri – ciri remaja menurut Harlock ditandai dengan perubahan fisik yang cepat dan penting disertai dengan cepatnya perkembangan mental yang cepat. Meningginya emosi yang intensitasnya bergantung pada tingkat perubahan fisik dan psikologis yang terjadi. Berubahnya
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
minat dan pola perilaku, contoh remaja tidak lagi menganggap banyak teman sebagai tingkat popularitas, namun sudah berganti menjadi kualitas yang utama bukan kuantitas lagi. Ciri lain dari diri remaja adalah krisi identitas diri Erikson (dalam Harlock, 1980) mengatakan bahwa, identitas diri yang dicari remaja berupa usaha untuk menjelaskan siapa dirinya, apa peranannya dalam masyarakat. Apakah dia seorang anak atau seorang dewasa ?. Apakah nantinya ia akan menjadi seorang suami atau ayah ?. Apakah iya mampu untuk percaya diri sekalipun latar belakang rasa tau agama atau nasionalnya membuat beberapa orang merendahkannya atau ia akan berhasil atau gagal ?. Ericson juga menjelaskan bahwa proses mencari jati diri ini sangat mempengaruhi perilaku remaja. Salah satu mencari perasaan kesinambungan dan kesamaan yang baru, para remaja harus menperjuangkan kembali perjuangan tahun lalu. Meskipun untuk melakukannya mereka harus menunjuk secara artifisial orang – orang yang baik hati untuk berperan sebagai musuh. Remaja akan selalu menempatkan idola mereka sebagai pembimbing dalam mencapai identitas akhir. Identitas yang terjadi merupakan bentuk identitas Ego. Dalam proses perkembangannya remaja juga melalui berbagai banyak perubahan, salah satunya perubahan dalam bidang sosial. Remaja cenderung lebih memilih membuat komunitas mereka sendiri – sendiri, berdasarkan kesukaan dan minat mereka. Remaja lebih mempercayai lingkungan sebaya mereka daripada lingkungan lainnya yang menurut mereka berbeda. Kelompok sebaya yang dibentuk oleh remaja sangat banyak menyumbang pembentukan karakter remaja. Horrock dan Benimoff ( dalam Harlock, 1998), berpendapat bahwa kelompok sebaya merupakan dunia nyata kawula muda, yang menyiapkan panggung dimana ia dapat menguji diri sendiri dan orang lain. Di dalam komunitasnya remaja
memperbaiki kualitas dan konsep dirinya. Disinilah Ia dinilai oleh orang lain yang sejajar dengan dirinya. Kelompok sebaya memberikan sebuah dunia tempat kawula muda dapat melakukan sosialisasi dalam suasana dimana nilai – nilai yang berlaku bukan nilai – nilai orang dewasa, melainkan yang dibuat oleh teman – teman mereka. Berdasarkan teori ini maka sangat penting sekali peran keluarga dalam mendampingi remaja. Keluarga lah menjadi kelompok pertama sebelum remaja berkumpul dengan kelompok sebayanya. Menurut Mattessich dan Hill (Puspitawati. H, 2013) Keluarga sendiri memiliki pengertian sebagai suatu kelompok yang berhubungan kekerabatan, tempat tinggal, atau hubungan emosional yang sangat dekat yang memperlihatkan empat hal (yaitu interdepensi intim, memelihara batas - batas yang terseleksi, mampu untuk beradaptasi dengan perubahan dan memelihara identitas sepanjang waktu, dan melakukan tugastugas keluarga). Definisi lain menurut Settels (Puspitawati. H, 2013), keluarga juga diartikan sebagai suatu abstraksi dari ideologi yang memiliki citra romantis, suatu proses, sebagai satuan perlakukan intervensi, sebagai suatu jaringan dan tujuan/peristirahatan akhir. Lebih jauh, Frederick Engels dalam bukunya The Origin of the Family, Private Property, and the State, yang mewakili pandangan radikal menjabarkan keluarga mempunyai hubungan antara struktur sosial-ekonomi masyarakat dengan bentuk dan isi dari keluarga yang didasarkan pada sistem patriarkhi (Puspitawati. H, 2013). Sebagai unit terkecil dalam masyarakat, keluarga memiliki kewajiban untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan anaknya yang meliputi agama, psikologi, makan dan minum, dan sebagainya. Adapun tujuan membentuk keluarga adalah untuk mewujudkan kesejahteraan bagi anggota keluarganya. Keluarga yang
313
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
sejahtera diartikan sebagai keluarga yang dibentuk berdasarkan atas perkawinan yang sah, mampu memenuhi kebutuhan fisik dan mental yang layak, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta memiliki hubungan yang serasi, selaras, dan seimbang antar anggota keluarga, dan antar keluarga dengan masyarakat dan lingkungannya (Puspitawati. H, 2013). Burgest dan Locke (Puspitawati. H, 2013) mengemukakan 4 (empat) ciri keluarga yaitu (a) Keluarga adalah susunan orang - orang yang disatukan oleh ikatan perkawinan (pertalian antar suami dan istri), darah (hubungan antara orang tua dan anak) atau adopsi; (b) Anggota anggota keluarga ditandai dengan hidup bersama dibawah satu atap dan merupakan susunan satu rumah tangga. Tempat kos dan rumah penginapan bisa saja menjadi rumah tangga, tetapi tidak akan dapat menjadi keluarga, karena anggota anggotanya tidak dihubungkan oleh darah, perkawinan atau adopsi, (c) Keluarga merupakan kesatuan dari orang - orang yang berinteraksi dan berkomunikasi yang menciptakan peranan - peranan sosial bagi si suami dan istri, ayah dan ibu, anak laki laki dan perempuan, saudara laki - laki dan saudara perempuan; Peranan - peranan tersebut diperkuat oleh kekuatan tradisi dan sebagian lagi emosional yang menghasilkan pengalaman; dan (d) Keluarga adalah pemelihara suatu kebudayaan bersama yang diperoleh dari kebudayaan umum. Keluarga juga terdiri dari beberapa jenis, salah satunya adalah keluarga yang tidak harmonis. Keluarga yang tidak harmonis rentan sekali membuat anggota keluarganya tidak nyaman dan merasa rumah laksana neraka. Cirri yang sangat menonjol dari sebuah keluarga yang tidak harmonis adalah seringnya terjadi kekerasan dalam rumah tangga. Dalam UU NO.23 tahun 2004 Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) adalah setiap perbuatan terhadap seseorang suami maupun istri, yang berakibat timbulnya
kesengsaraan atas penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan seseorang secara melawan hukum dalam lingkungan rumah tangga (Selviana. M, 2010). Dapat disimpulkan bahwa remaja dan keluarga adalah satu kesatuan dalam sebuah atap yang dinamakan rumah tangga. Keduanya saling berkaitan dan mempengaruhi satu dan yang lainnya. Ketika keluarga ini mengalami kerenggangan dan konflik, maka hal ini akan berimbas pada tugas perkembangan yang harus dijalani anak atau remaja. Dimana mereka sangat butuh pendampingan dalam masa keemasan mereka, sebelum benar – benar matang menjadi pribadi dewasa yang berkarakter. 2. Lembaga Pendampingan Anak Remaja dan Keluarga (ELPARKA) Wirobrajan Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan daerah dengan angka kekerasan terhadap anak dan perempuan yang cukup tinggi. Komnas Perempuan pada tahun 2014 menyebutkan angka kekerasan terhadap perempuan sebesar 293.220 kasus, meningkat dari tahun sebelumnya (2013) sebanyak 279.688 kasus. Kasus kekerasan terhadap perempuan paling banyak terjadi di ranah personal (keluarga dan relasi intim) yakni 59 persen kasus kekerasan berupa kekerasan terhadap istri. Selanjutnya untuk kekerasan pada anak, menurut catatan KPAI terjadi adanya peningkatan kasus yang signifikan setiap tahunnya. Tahun 2011 terjadi 2178 kasus, 2012 ada 3512 kasus, 2013 ada 4311 kasus, 2014 ada 5066 kasus (Republika.co.id). Angka yang tidak sedikit. Dapat terlihat jelas bahwa hampir 5000 orang disakiti dan disiksa oleh anggota keluarga terdekat mereka. Pengaruh negatif dari KDRT pun beraneka ragam dan bukan hanya bersifat
314
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
hubungan keluarga, tetapi juga terhadap anggota dalam keluarga yang ada di dalamnya. Dalam hal luka serius fisik dan psikologis yang langsung diderita oleh korban perempuan, keberlangsungan dan sifat endemis dari KDRT akhirnya membatasi kesempatan perempuan untuk memperoleh persamaan hak bidang hukum, sosial, politik dan ekonomi di tengah-tengah masyarakat. Terlepas dari viktimisasi perempuan, KDRT juga mengakibatkan retaknya hubungan keluarga dan anak-anak yang kemudian dapat menjadi sumber masalah sosial. Tindak kekerasan pada anggota keluarga dalam rumah tangga merupakan masalah sosial yang serius, akan tetapi kurang mendapat tanggapan dari masyarakat dan para penegak hukum karena beberapa alasan, pertama: ketiadaan statistik kriminal yang akurat, kedua: tindak kekerasan pada anggota keluarga dalam rumah tangga memiliki ruang lingkup sangat pribadi dan terjaga privacynya berkaitan dengan kesucian dan keharmonisan rumah tangga (sanctitive of the home), ketiga: tindak kekerasan pada istri dianggap wajar karena hak suami sebagai pemimpin dan kepala keluarga, keempat: tindak kekerasan pada anggota keluarga dalam rumah tangga terjadi dalam lembaga legal yaitu perkawinan. (Hasbianto, 1996) Hal semacam ini yang membuat anak dan remaja kehilangan sosok orang tua yang seharusnya menjadi role model mereka. Pelampiasan mereka salurkan dengan perbuatan yang negatif yang mampu mencelakakan diri sendiri dan bahkan orang lain. Melihat kondisi ini Pimpinan Cabang Aisyiyah Wirbrajan merasa terpanggil untuk mendirikan sebuah lembaga yang memfasilitasi para korban kekerasan rumah tangga dan mencari solusi bersama agar keluarga kembali harmonis. Ibu Hj. Wuri Astuti selaku Ketua Umum Pimpinan Cabang Aisyiyah Wirobrajan mempunyai gagasan yang
sangat brilliant, dengan mendirikan Lembaga Pendampingan Anak Remaja dan Keluarga (El Parka) di Kecamatan Wirbrajan. Berlatar belakang pengurus Perkumpulan Keluarga di Yogyakarta, Ibu Wuri sering menemukan kasus – kasus yang menyangkut keluarga. Mulai dari kekerasan dalam keluarga, kenakalan remaja, status ekonomi yang melahirkan tindakan criminal, dan lain sebagainya. Ibu Wuri mengajak relawan yang kesemuanya adalah wanita yang peduli dengan kondisi lingkungan sekitar Wirobrajan. Ibu Wuri merekrut banyak relawan dari masing – masing kelurahan (Ranting) untuk ikut andil dalam lembaga ini. Visi dan Misi lembaga ini adalah untuk Mendampingi Anak, Remaja, dan Keluarga dalam mencari slusi atas permasalahan dalam bentuk penasihatan, pencerahan, dan rujukan. EL PARKA melihat bahwa Anak, Remaja, dan Keluarga sebagai bagian dari masyarahat, dan perlu ditingkatkan kualitasnya, agar mampu tumbuh, berkembang menjadi sumber daya manusia Indnesia yang dapat diandalkan. Tujuan berdirinya ELPARKA adalah untuk mendampingi dan membantu memecahkan permasalahan anak remaja dan keluarga dalam bidang pendidikan, sosial, ekonomi, kesehatan, psikis, dan hukum, demi terwujudnya generasi penerus yang berkualitas, mandiri, bertanggungjawab, dan bertaqwa. Metode yang dilakukan dalam hal ini adalah Metode Konseling pribadi, dengan tahap – tahap, 1) Perencanaan Pertemuan, relawan ELPARKA menerima pendaftaran konseling dari clien. Data diproses untuk merencanakan pertemuan awal. Relawan menghubungi clien untuk pertemuan awal dengan mengatur waktu yang sesuai untuk berbincang dan tempat yang sesuai pula. Persetujuan antara relawan dan clien tertuang dalam perjanjian awal sebagai bukti bersedia mengikuti segala prsedur yang ada, dan hingga benar – benar tuntas. 2) Tahap pembinaan hubungan baik,
315
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
building raport dilakukan terhadap clien dengan mengatur jadwal bertemu rutin walau hanya beberapa menit saja. Seringnya pertemuan dengan clien akan membuat rasa nyaman tercipta di hati clien. Kepercayaan clien terhadap relawan akan meningkat. Diharapkan kesan baik akan mempermudah clien mengungkapkan segala permasalahan tanpa ada yang ditutupi. 3) Tahap klarifikasi masalah, merupakan tahap mendalam dari proses building raport yang telah terjalin. Relawan mulai menganalisis hal – hal yang menjadi keluhan. Siapa saja yang terlibat didalamnya, apa yang dilakukan terhadap clien, seberapa sering kejadian itu terulang, siapa saja yang merasakan dampaknya, apa dampak yang ditimbulkan darikejadian itu, dan detail permasalahan yang sebenarnya. 4) Tahap Interaksi, pada tahap ini relawan sudah mendapatkan banyak data mengenai permasalahan yang terjadi. Relawan merencanakan pimbingan yang akan dilakukan. Menentukan dan membuat kesepakatan kepada clien apakah setuju dengan saran dan solusi yang diberikan. 5) Tahap penetapan tujuan, setelah semua telah siap untuk melakukan tindakan. Relawan menentukan target, kepada siapa seharusnya pendampingan dilakukan, dan apa fungsi dari pendampingan tersebut. Bisa dimungkinkan bukan clien yang menjadi target bimbingan, bisa juga anggota keluarga yang lain. 6) Tahap akhir, berupa pendampingan dilakukan beberapa kali dalam setiap bulannya. Disesuaikan dengan permasalahan yang dialami clien. 7) Tahap pasca pendampingan, pada tahap ini dilakukan evaluasi apakah prses yang telah dilalui memberikan dampak yang signifikan terhadap kelangsungan hidup rumah tangga clien atau tidak. Bila tidak terjadi perubahan yang signifikan, maka akan diberikan surat rujukan kepada fihak yang dipandang lebih mumpuni dalam kasus tersebut. Pimpinan Cabang Aisyiyah Wirbrajan menjalin relasi dengan pihak
ekstern seperti, Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) Wirobrajan, Kepala Kecamatan Wirobrajan, Kantor Urusan Agama Kecamatan Wirobrajan, Puskesmas Wirbrajan, Polsekta Wirobrajan, dan Jaringan penanganan korban kekerasan berbasis gender, trafficking (KPMP) kota Yogyakarta. METODE PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan pada studi kasus ini ialah dengan metode penelitian pendiri Lembaga Pendampingan Anak Remaja dan Keluarga (ELPARKA) Pimpinan Cabang Aisyiyah (PCA) Wirobrajan. Metode obervasi yang dilakukan yaitu observasi partisipan sebagai warga di Kecamatan Wirobrajan. HASIL Konflik pasti akan selalu ada dalam interaksi sosial. Tidak terkecuali dalam rumah tangga. Salah satu penyebab seringnya konflik dalam rumah tangga adalah karena pernikahan dini. Belum siapnya mental serang remaja menjadi suami istri sering kali membuat pertengkaran tidak dapat dihindarkan. Pernikahan dini di kecamatan Wirobrajan meningkat dari tahun – tahun sebelumnya. Kasus terakhir sebuah keluarga kecil harus rela bercerai dikarenakan seringnya percekcokan terjadi antara suami dan istri. Proses pendampingan sudah dilakukan, namun jalan perceraian menjadi solusi pasangan tersebut. Tahap awal sebelum bercerai, sudah dilakukan mendampingan dengan mendengan penuturan dari Istri “D” . Istri “D” merasa tidak tercukupi mengenai nafkah. Kondisi pada saat awal menikah memang suami “T” belum bekerja, namun sudah mantap akan menikahi istrinya “D”. Informasi tidak hanya didengar dari satu pintu, namun penuturan suami juga dipertimbangkan. Menggali informasi dari
316
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
suami “T” untuk melihat masalah dari sisi yang lain. Informasi dari sang suami, bahwa setiap mencari pekerjaan dan hasilnya dibawah gaji sang istri suami merasa tidak dihargai. Sehingga ketika dirumah masih membantu pekerjaan rumah dan mengurus anak. Pada kesempatan yang lain, istri mengadukan bahwa suami sering berkomunikasi intim dengan teman – teman perempuannya dan sudah berani melakukan tindak kekerasan, seperti menampar dan lain – lain. Sehingga menyulut pertengkaran. Setiap kali pendampingan kepada kedua belah fihak selalu menuturkan masalah – masalah baru. Hal – hal sepele yang belum bisa diterima oleh remaja. Contonya, mudah emosi, mudah marah dan ngambek bila tidak dituruti, dan lain – lain. Selama proses pendampingan selalu kata – kata ketidakcocokan sudah terpatri dikedua belah pihak. Sudah mampu dilihat bahwa remaja yang menikah dini, masih sangat memunculkan ego mereka sebagai pengambilan keputusan. Cara pendampingan dengan mengkonseling kedua belah pihak, agar terbuka wawasan keduanya ternyata belum bisa efektif. Mereka sudah memiliki standart pribadi mengenai pasangan yang ideal. Rasa menyesal telah menikah sudah mendarah daging diantara keduanya. Sehingga proses selanjutnya diberikan kepada pengadilan agama untuk melakukan tugasnya memediasi mereka. Sehingga keluarga tersebut dapat kembali utuh. Mengingat sudah lahirnya seorang anak dari hasil pernikahan mereka.
anak ke dewasa, dimana anak-anak mengalami perubahan-perubahan cepat di segala bidang. Mereka bukan lagi anak, baik bentuk badan, sikap dan cara berpikir serta bertindak, namun bukan pula orang dewasa yang telah matang (Rahma, Z.F, 2012). Pernikahan dini yaitu merupakan intitusi agung untuk mengikat dua insan lawan jenis yang masih remaja dalam satu ikatan keluarga menurut Lutfiati (Rahma, Z.F, 2012). Nukman (Rahma, Z.F, 2012) Pernikahan dini adalah pernikahan di bawah usia yang seharusnya belum siap untuk melaksanakan pernikahan. Selama proses pendampingan individu sudah baik dalam menyambut bantuan secara ekstern. Namun kendala pada saat pendampingan adalah, usia mereka yang masih terlalu muda dan susah mendapat masukan dari orang yang lebih tua. Seperti sifat asli remaja,yang lebih percaya dengan anggota kelmpok sebayanya daripada dengan orang yang lebih tua (Hurlock, 1998). Berawal dari pernikahan dini yang kemudian berakhir dengan perceraian yang kurang dari 5 tahun usia pernikahan. Membuat anak yang menjadi korban perceraian kedua orangtuanya harus berkembang dengan tanpa bimbingan salah satu orang tuanya. ELPARKA berperan mengawal perkembangan anak tersebut semenjak perceraian hingga dewasa nanti. Menjadi orang tua tunggal sangat tidak lah mudah, disamping harus mencari nafkah juga harus mendidik dan mengawasi perkembangannya. Oleh karena itu, dalam kasus ini ELPARKA berperan penuh melakukan pendampingan rutin pada setiap rabu minggu ketiga disetiap bulannya, untuk menanyakan kondisi dan kendalam pada rumah tangga korban perceraian dan kekerasan ini. Demi mewujudkan generasi penerus bangksa yang mandiri, disiplin, dan bertanggungjawab.
PEMBAHASAN Zakiah Daradjat berpendapat bahwa Pengertian secara umum, pernikahan dini yaitu merupakan instituisi agung untuk mengikat dua insan lawan jenis yang masih remaja dalam satu ikatan keluarga. Remaja itu sendiri adalah anak yang ada pada masa peralihan antara masa anak-
317
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
KESIMPULAN Kekerasan dalam keluarga sangat berdampak pada perkembangan anak dan remaja. Anak korban kekerasan dapat mengalami krisis identitas dan menjadi pribadi yang menyimpang dari seharusnya. Ketidak lengkapan kasih sayang orang tua membuat mereka berfikiran bahwa kelak ketika dewasa mereka juga akan melakukan hal yang sama. Oleh karena itu butuh pengawalan khusus bagi keluarga dengan korban kekerasan. Maraknya kekerasan keluarga pada saat ini membuat Pimpinan Cabang Aisyiyah (PCA) Wirobrajan membentuk Lembaga Pendampingan Anak Remaja dan Keluarga, yang kemudian disebut dengan EL PARKA. Tujuan didirikannya lembaga ini adalah untuk mendampingi dan membantu memecahkan permasalahan anak remaja dan keluarga dalam bidang pendidikan, sosial, ekonomi, kesehatan, psikis, dan hukum, demi terwujudnya generasi penerus yang berkualitas, mandiri, bertanggungjawab, dan bertaqwa. ELPARKA telah berperan banyak bagi warga di Wirobrajan. Banyak kasus yang telah ditangani salah satunya, perceraian akibat pernikahan dini, dan pendampingan terhadap anak korban perceraian, dari kecil hingga dewasa. Memperhatikan pendidikannya dan juga perkembangannya sosialisasinya. ELPARKA melakukan pendampingan dengan beberapa tahapan, 1) Perencanaan Pertemuan, 2) Tahap pembinaan hubungan baik, 3) Tahap klarifikasi masalah, 4) Tahap Interaksi, 5) Tahap penetapan tujuan, 6) Tahap akhir, 7) Tahap pasca pertemuan. Dengan adanya ELPARKA masyarakat disekitar Wirobrajan mendapatkan fasilitas pendampingan tanpa pungutan biaya dan secara berkelanjutan.
DAFTAR PUSTAKA Hasbianto, Elli N., Kekerasan Dalam Rumah Tangga Kejahatan yang Tersembunyi, dalam Syafiq Hasyim (ed.), Menakar “Harga” Perempuan: Eksplorasi Lanjut Terhadap Hak-Hak Reproduksi Perempuan dalam Islam, Bandung: Mizan, 1999 Hurlock, E.B. (1998). Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta: Erlangga Margaretha, Nuringtyas. R, Rachim. R, 2013, Trauma Kekerasan Masa Kanak dan Kekerasan dalam Relasi Intim, Malara Seri Sosial Humaniora, Universitas Airlangga, 17(1):33-42 Muniriyanto, Suharnan, 2014, Keharmonisan Keluarga, Konsep Diri, dan Kenakalan Remaja, Jurnal Psikologi Indonesia, 02:156-164 Puspitawati, H. 2013. Konsep dan Teori Keluarga. PT IPB Press.Bogor. 1-16 Rahma, Z.F, (2012), Resik Pada Remaja Akibat Pernikahan Dini, Jurnal Psikologi, Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta Selviana. M, 2010, Sikap Istri Terhadap Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Studi Kasus di Wilayah Kampung “X” Jakarta), Jurnal Psikologi, 8(1): 16-24 Sriyanto, (2014), Perilaku Asertif dan Kecenderungan Kenakalan Remaja Berdasarkan Pola Asuh dan Peran Media Massa, Jurnal Psikologi, Universitas Pendidikan Indonesia Bandung, 1: 74-88
318
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
GAYA KEPEMIMPINAN TRANSFORMATIF DALAM MENINGKATKAN POTENSI DAERAH DALAM BIDANG PARIWISATA (Studi Kasus: Bupati Gunungkidul 2011-2015) Tri Wahyu Ningsih dan Erni Zuhriyati Program Studi Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Email :
[email protected] Abstrak --- Potensi daerah dalam bidang pariwisata merupakan sebuah aset unggulan daerah Gunungkidul yang semakin berkembang. Peningkatan potensi daerah dalam bidang pariwisata tidak lepas dengan faktor pemimpin yang dapat merubah Gunungkidul menjadi daerah yang maju berkat pariwisatanya.Kendati demikian selama kepemimpinan Bupati Badingah priode 2011-2015 bermunculan inovasi-inovasi baru terkait obyek wisata yang ada di Gunungkidul.Adanya upaya pemerintah Gunungkidul dalam pengelolaan dan pengembangan pariwisata, disinyalir dengan adanya dorongan yang kuat dari Bupati Badingah untuk dapat memotivasi pegawainya dalam memajukan Gunungkidul dalam pariwisatanya. Berdasarkan Peraturan Daerah Gunungkidul No. 5 tahun 2013 penyelenggara kepariwisataan pada pasal 7 ayat 1 yang berbunyi “pembangunan destinasi pariwisata meliputi : pemberdayaan masyarakat, pembangunan daya tarik wisata, pembangunan prasaranan, penyediaan fasilitas umum, pembangunan fasilitas pariwisata secara terpadu dan berkesinambungan”. Dalam hal ini, diperlukannya stakeholder pendukung dalam pengelolaan potensi daerah dalam bidang pariwisata Gunungkidul, sehingga dengan menggunakan gaya kepemimpinan transformatif yang diterapkan bupati badingah dapat menghasilkan destinasi-destinasi pariwisata baru Gunungkidul.
Kata kunci : Gaya kepemimpinan transformatif, potensi daerah dalam bidang pariwisata
I. PENDAHULUAN Salah satu gaya kepemimpinan yang berpengaruh dapat memotivasi bawahannya, serta dapat membangkitkan kinerja bawahannya adalah gaya kepemimpinan transformatif. Dalam gaya kepemimpinan transformatif dapat merubah peran Sumber Daya Manusia. Dengan menciptakan dan menimbulkan motivasi kerja, memberikan inovasi dan menciptakan ide-ide kreatif terhadap pegawai maka akan terciptanya hubungan kerja yang baik.Kepemimpinan transformatif mengacu pada pemimpin yang berhasil menggerakkan karyawan melalui melampaui kepentingan diri secara langsung melaui pengaruh ideal (kharisma), inspirasi, stimulasi intelektual, atau pertimbangan individual.Gaya kepemimpinan transformatif dapat memotivasi para pegawai untuk mencapai kinerja diluar harapan dengan mentransformasikan sikap, kepercayaan, dan nilai-bilai para pegawai agar memperoleh kepatuhan dan menghasilkan hubungan kerja yang baik antara pemimpin dan pegawai. Karakteristik perempuan sebagai pemimpin dapat terlihat dari pemikiran yang dimiliki perempuan bahwa benih keberhasilannya adalah inovasi dan kolaborasi dari pemikirannya.Sementara itu, mengenai keterampilan didepan publik.Pemimpin perempuan memiliki keterampilan interpersonal yang lebih empatik, fleksibel, mendengarkan secara aktif, merenung, dan meratapi permasalahan.Sosok Bupati Badingah merupakan seorang pemimpin yang mudah bergaul dengan siapapun, dengan berbekal
319
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
organisasi sosial dan aktifitas kemasyarakatan menjadi modal penting untuk sukses meniti karir politik dan dapat memimpin Gunungkidul.Selama priode empat tahun, Gunungkidul telah menjadi salah satu daerah yang dapat berkembang secara pesat dengan mengandalkan pariwisatanya. Semenjak menjabat sebagai Bupati Gunungkidul, Badingah terbukti bahwa dalam sektor pariwisata telah mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat, memperluas lapangan pekerjaan dan memberikan kontribusi yang besar bagi pendapatan daerah.Untuk menciptakan kondisi obyek dan daya tarik wisata ideal yang mampu melayani berbagai kepentingan, antara lain masyarakat, swasta dan pemerintah, diperlukan usaha penataan dan pengembangan secara optimal sesuai dengan daya dukung, daya tampung dan yang paling utama adalah daya tarik wisatawan.Khususnya dalam pertumbuhan pariwisata yang ada di Gunungkidul.Adanya inovasi-inovasi baru dalam pariwisata membuat banyaknya pengunjung yang datang.Keberhasilan ini dapat diwujudkan melalui langkah kinerja Badingah untuk memimpin Gunungkidul sebagai daerah yang maju dan berkembang, sehingga Daerah ini tidak lagi menjadi daerah yang tertinggal di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. A. KERANGKA TEORI 1. Kepemimpinan Menurut Kartini Kartono, Kepemimpinan adalah masalah relasi dan pengaruh antara pemimpin dan yang dipimpin. Kepemimpinan tersebut muncul dan berkembang sebagai hasil dari interaksi otomatis diantara pemimpin dan individuindividu yang dipimpin (ada relasi interpesonal).Kepemimpinan ini bisa berfungsi atas dasar kekuasaan pemimpin untuk mengajak, mempengaruhi, dan menggerakkan orang-orang lain guna melakukan sesuatu, demi pencapaian satu tujuan tertentu. Sedangkan menurut Miftah Thoha berpendapat lain kepemimpinan
320
adalah kegiatan untuk mempengaruhi orang lain atau seni untuk mempengaruhi perilaku manusia, baik secara perseorangan atau kelompok. 2. Teori kepemimpinan transformatif Perinsip kepemimpinan Transformasional, menurut Erik Ress 2011. Antara lain sebagai berikut : a. Simplifikasi, keberhasilan dari kepemimpinan diawali dengan sebuah visi yang akan menjadi cermin dan tujuan bersama. Kemampuan serta keterampilan dalam mengungkapkan visi secara jelas. b. Motivasi, Kemampuan untuk memberikan motivasi kepada pengikut dapat menjadikan keharmonisan antara pemimpin dan pengikutnya c. Fasilitasi, pentingnya fasilitas didalam organisasi dapat menjadi penunjang dalam kepemimpinan. Hal ini akan berdampak pada semakin bertambahnya modal intektual dari setiap orang yang terlibat di dalamnya. d. Inovasi, yaitu kemampuan untuk secara berani dan bertanggung jawab melakukan suatu perubahan apabila diperlukan dan menjadi suatu tuntutan dengan perubahan yang terjadi. e. Mobilitas, yaitu pengerahan semua sumber daya yang ada untuk melengkapi dan memperkuat setiap orang yang terlibat di dalamnya dalam mencapai visi dan tujuan. f. Siap Siaga, yaitu kemampuan untuk selalu siap belajar tentang diri mereka sendiri dan menyambut perubahan dengan paradigma baru yang positif. g. Tekad, yaitu tekad bulat untuk selalu sampai pada akhir, tekad bulat untuk menyelesaikan sesuatu dengan baik dan tuntas. Karakteristik pemimpin transformatif menurut Bassadalah : a. Menciptakan visi dan kekuatan misi b. Menanamkan kebanggaan pada diri bawahan c. Memperoleh dan memberikan penghormatan
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
d. Menumbuhkan kepercayaan di antara bawahan e. Mengkomunikasikann harapan tertinggi f. Menggunakan simbol untuk menekankan usaha tinggi g. Mengeskpresikan tujuan penting dalam cara yang sederhana h. Menumbuhkan dan meningkatkan kecerdasan, rasionalitas dan pemecahan masalah secara hati-hati pada bawahan i. Memberikan perhatian secara personal j. Membimbing dan melayani tiap bawahan secara individual k. Melatih dan memerikan saran-saran l. Menggunakan dialog dan diskusi untuk mengembangkan potensi dan kinerja bawahan Dalam memahami karakteristik pemimpin dalam aktivitas pemimpinya, terdapat beberapa teori/pendekatan yang dapat menjelaskan mengenai hal tersebut, yaitu pendekatan watak/sifat, pendekatan perilaku dan pendekatan kontigensi. Pendekatan watak/sifat, pendekatan sifat pada kepemimpinan artinya rupa dari keadaan pada suatu benda, tanda lahiriah, ciri khas yang ada pada sesuatu untuk membedakan dari yang lain. Pendekatan prilaku, melalui pendekatan tingkah laku kita dapat menentukan apa yang dilakukan pemimpin yang efektif dan mencari jawaban serta menjelaskan apa yang menyebabkan kepemimpinan itu efektif, seperti: bagaimana pemimpin melaksanakan tugas dan sebagainya. Pendekatan kontigensi, disebut juga disebut pendekatan situasional, sebagai teknik manajemen yang paling baik dalam memberikan kontribusi untuk pencapaian sasaran organisasi dan mungkin bervariasi dalam situasi atau lingkungan yang berbeda. 3. Gaya kepemimpinantransformatif Gaya kepemimpinan transformatif merupakan salah satu bentuk kepemimpinan yang diyakini dapat mengimbangi pola pikir dan refleksi paradigma baru dalam arus
321
globalisasi dirumuskan sebagai kepemimpinan transformasional. Dalam teori Bas, pemimpin transformatif memotivasi bawahan untuk berbuat lebih baik dengan apa yang sesungguhnya diharapkan bawahan itu dengan meningkatkan nilai tugas, dengan mendorong bawahan mengorbankan kepentingan diri sendiri demi kepentingan organisasi yang dibarengi dengan menaikkan tingkat kebutuhan bawahan ketingkat yang lebih baik. Interaksi antara pemimpin dan bawahan ditandai oleh pengaruh pemimpin untuk mengubah perilaku karyawan menjadi seseorang yang merasa mampu dan bermotivasi tinggi dan berupaya mencapai prestasi kerja yang tinggi dan bermutu.Pemimpin mengubah karyawan, sehingga tujuan organisasi dapat dicapai bersama. Berdasarkan Teori Bass (1985, 1990), Avolio & Bass (1995) mengemukakan bahwa kepemimpinan transformatif memiliki empat karakteristik, yaitu: Attributed charisma (Atribut karisma), inspirasional motivation (Motivasi inspirasi), intelektual stimulation (Intelektual stimulasi) dan individualized consideration (Konsiderasi individu). Walaupun seringkali Bass menambahkan satu karakteristik lagi yang merupakan perluasan dari karisma, yaitu idealizedinfluence (Bass 1991 dalam Alvin, Chan, 2004) keempat karakteristik itu adalah a. Attributed Charisma (Kharisma atribut) - Keteladanan - Jujur - Berwibawa - Memiliki semangat b. Inspirational Motivation (Motivasi inspirasi) - Memberikan motivasi - Memberi inspirasi pada pengikut - Percaya diri - Meningkatkan optimism c. Intellectual Stimulation (Stimulasi intelektual) - Inovatif
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
Faktor penghambat dalam peningkatan Professional Menjadi pemimpin yang melibatkan potensi daerah: - Pembebasan Lahan masyarakat - Fasilitas infrastuktur - Kreatif d. Individualized Consideration (Konsiderasi individu) II. MOTODE PENELITIAN 1. Jenis Penelitian - Toleransi Jenis penelitian yang digunakan adalah - Adil penelitian kualitatif dengan pendekatan - Pemberdayaan karyawan deskriptif.penelitian kualitatif adalah - Partisipatif penelitian yang berlandaskan pada filsafat - Memberikan penghargaan postpositivisme, digunakan untuk meneliti 4.Peningkatan Potensi Daerah Dalam pada kondisi obyek yang alamiah, (sebagai lawannya adalah exprerimen). Bidang Pariwisata tahun 2011-2015 2. Lokasi Penelitian Destinasi pariwisata merupakan suatu Lokasi penelitian ini akan dipusatkan aktifitas yang mencangkup wilayah geografis tertentu yang didalamnya terdapat pada Daerah Kabupaten Gunungkidul yaitu komponen produk pariwisata (attraction, Kantor Bupati Gunungkidul, jalan Brigjen amenities, accesbilities, education) dan Katamso No. 1 Wonosari, DIY. Selanjutnya, kebudayaan dan pariwisata layanan.Serta unsur pendukung lainnya Dinas (masyarakat, pelaku industri pariwisata, Gunungkidul jalan Brigjen Katamso No. 1 institusi pengambang) yang membentuk Wonosari, DIY. Dinas kehutanan dan Gunungkidul, Dinas sistem yang sinergis dalam menciptakan perkebunan motivasi kunjungan serta totalitas Perindagkop ESDM. Serta melihat salah satu pengalaman kunjungan bagi obyek wisata Goa pindul. 3. Unit Analisis wisatawan.Dalam kawasan destinasi wisata Dalam unit analisis, penelitian sosial memiliki ciri khas atau keunikan agar dapat memberikan pesona atau daya tarik mencangkup berbagai variasi unit penelitian yaitu individu, masyarakat dan institusi. wisatawan. Kabupaten Gunungkidul memiliki Sehingga unit analisis dalam penelitian obyek wisata unggulan yaitu obyek wisata mengenai gaya kepemimpinan transformatif Badingah adalah individu, alam pantai sejumlah ± 46 pantai, terbentang Bupati sejauh 70 km di wilayah selatan Kabupaten masyarakat dan institusi. 4. Jenis Data Gunungkidul mulai dari ujung barat ke ujung Dalam melakukan penelitian diperlukan timur. Wisata alam yang berupa wisata alam pantai, goa, bukit, sungai, pegunungan, dan data untuk mendukung kegiatan penelitian, air terjun yang tersebar di 18 kecamatan. adapun data yang dibutuhkan adalah sebagai Keunikan bentang alam karst gunung sewu berikut : a. Data primer menyjikan daya tarik wisata minat khusus Data yang diperoleh langsung dari petualangan yang dikemas dalam berbagai kegiatan, diantaranya; jelajah wisata/ subyek (pihak-pihak) sumber informasi yang trackling, penelusuran goa, camping, dicari Ibu Badingah, Kantor Bupati Gunungkidul, Dinas kebudayaan dan outbond, cave tubing dan river tubing. Gunungkidul, Dinas Faktor pendukung atau Strategi dalam kepariwisataan dan perkebunan, Dinas meningkatkan potensi daerah, diperlukan Kehutanan Perindagkop ESDM, POKDARWIS Dewa stakeholder sebagai berikut. Bejo pengelola goa pindul, masyarakat - Partisipasi masyarakat Gunungkidul, pengunjung pariwisata goa - Media pindul. - Investor b. Data sekunder -
322
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
Data yang diperoleh dari sumber media masa, buku, dan dokumen-dokumen yang berhubungan dengan penelitian. 5. Teknik Pengumpulan Data a. Studi pustaka Metode pengumpulan data dengan studi pustaka merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan sebagai sumber data penelitian dengan menelaah dan menganalisis data-data sekunder dari laporan penelitian, jurnal, buku, koran, website, maupun berbagai dokumen lainnya yang berhubungan dengan gaya kepemimpinan Badingah dalam meningkatkan Potensi Daerah Gununkidul. b. Wawancara Teknik pengumpulan data melalui wawancara ini dilakukan dengan cara tatap muka dan mengadakan tanya jawab kepada Bupati Gunungkidul, staf-staf yang bekerja dikantor Bupati, Dinas kebudayaan dan pariwisata Gunungkidul, Dinas kehutanan dan perkebunan Gunungkidul, dinas Perindagkop ESDM, POKDARWIS Dewa Bejo pengelola goa pindul, masyarakat Gunungkidul, pengunjung pariwisata goa pindul. c. Dokumentasi Dalam teknik Dokumentasi ini digunakan untuk mencari data mengenai halhal atau variabel yang berupa catatancatatan, map, CD, file, poto, arsip dan lain sebagainnya. Melalui teknik dokumentasi ini akan diamati fenomena dari obyek yang diteliti dari berbagai dokumen yang ada. 6. Teknik Analisis Data Data mengenai gaya kepemimpinan Badingah yang diperoleh dari berbagai sumber akan dianalisis secara mendalam dengan logika induktif dan disikapi dengan akal sehat tentang fenomena-fenomena yang terkait dengan gaya kepemimpinan transformatif Badingah Priode 2011-2015 sehingga akan diketahui gaya kepemimpinan yang diterapkan Badingah sesuai dengan karakteristik kepemimpinan transformatif. Secara rinci tahap analisis data dalam penelitian ini :
a. Reduksi Data Reduksi berguna untuk memilah dan memisahkan data-data penelitian yang bermakna ganda dan tidak sesuai dengan kebutuhan penelitian. Sehingga melalui proses reduksi ini diharapkan akan mampu memilah atau menseleksi data yang menjelaskan tentang gaya kepemimpinan transformatif Badingah dalam menjalankan tugas kepemimpinan sebagai Bupati Gunungkidul. Pembahasan b. Pengambilan kesimpulan Tahap terakhir dalam proses analisis data adalah melakukan pengambilan kesimpulan terhadap pembahasan yang sudah dilakukan. Selanjutnya, maka hasil pembahasan akan disaring pada kesimpulan yang berkaitan dengan gaya kepemimpinan Badingah dalam meningkatkan Potensi Daerah Gunungkidul. Maka kesimpulan ini akhir yang menjadi tujuan penelitian ini. III. PEMBAHASAN A. Gaya kepemimpinan Transformatif Bupati Badingah Interaksi antara pemimpin dan pegawai ditandai oleh pengaruh pemimpin untuk mengubah perilaku pegawai menjadi seseorang yang merasa mampu dan bermotivasi tinggi dan berupaya mencapai prestasi kerja yang tinggi dan bermutu.Pemimpin mengubah pegawai, sehingga tujuan organisasi dapat dicapai bersama. Dalam gaya kepemimpinan transformatif terdapat empat karakteristik dalam menjalankan tugasnya yaitu: Attributed charisma, Inspirational motivation, Intellectual stimulation, Individualized consideration. Sehingga dalam pembahasan dibawah ini akan dijelaskan bahwa Bupati Badingah menerapkan gaya kepemimpinan transformatif dalam kepemimpinannya sehari-hari kepada pegawai-pegawai untuk meningkatkan potensi daerah Gunungkidul dalam bidang pariwisata tahun 2011-2015. 1. Attributed Charisma (Atribut karisma) Pemimpin atau atasan merupakan sosok ideal yang dapat dijadikan sebagai panutan
323
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
bagi pegawainnya, dipercaya, dihormati, disegani dan mampu mengambil keputusan yang terbaik untuk kepentingan organisasi. Kerangka perilaku atau indikator dari Attributed charismaadalah: a. Keteladanan Sebagai seorang Bupati berusaha agar dapat menjadi pemimpin teladan bagi para pegawainya.Dan Ibu Badingah merasa sudah cukup menjadi teladan bagi para pegawainya.Setiap organisasi memiliki peraturan dan peraturan tersebut dibuat oleh para pemimpin.Walaupun Ibu Badingah sebagai orang nomor satu di Gunungkidul namun beliau dapat memberi contoh teladan terhadap pegawai-pegawainya. b. Jujur Bupati merupakan orang yang terbuka dan jujur terhadap para pegawainya.Hal ini dapat dilihat dari keterbukaan informasi internal organisasi terhadap para pegawai, tetapi sesuai dengan kedudukan jabatan masing-masing pegawai. Sifat jujur sendiri terbukti bahwa selama menjabat sebagai pemimpin Gunungkidul, Ibu Badingah tidak pernah tersangkut dalam hal diluar kepentingannya.Serta selama ini tidak ada tersiar kabar buruk mengenai kinerjanya.Memiliki sikap terbuka terhadap semua urusan pekerjaannya membuat pegawai merasa semangat dalam menyelesaikan pekerjaanya. c. Berwibawa Pemimpin seorang perempuan menunjukkan sikap keibuannya kepada pegawai-pegawainya merupakan menjadi bonus tersendiri untuk meningkatkan kinerja pegawai. Namun kurang tegasnya pemimpin dapat membuat pegawai lupa akan kinerjanya. Disisi pegawai, hal ini tentu saja menjadikan kearakraban pemimpin dan pengikutnya, sementara disisi lain seorang pemimpin dituntut untuk dapat bersikap tegas dan beribawa terhadap pegawainya dengan demikian akan terciptanya hubungan vertikal antara pemimpin dan bawahannya. Dalam hal ini, sulitnya Bupati Badingah untuk dapat berperilaku beribawa terhadap pegawai dan masyarakatnya disebabkan oleh
324
kegemaran Bupati Badingah dalam berorganisasi, dan menganggap semua bawahannya seperti layaknya teman. d. Memiliki Semangat Dengan semangat yang tinggi pemimpin miliki dalam bekerja, Bupati optimis dapat memimpin organisasi dan para pegawainya menjadi lebih baik.Bupati memiliki semangat yang tinggi dalam memimpin Gunungkidul, walaupun background Ibu Badingah tidak dari pemerintahan, namun Ibu mau belajar.Semangat juang untuk memimpin Gunungkidul dengan tujuan untuk melanjutkan jejak almarhum suami untuk mensejahterakan masyarakat adalah tujuan Ibu Badingah. 2. Inspirational Motivation (Motivasi inspirasi) Pemimpin dapat memotivasi seluruh karyawannya untuk memilki komitmen terhadap visi organiasi atau perusahaan dan mendukung semangat tim dalam mencapai tujuan-tujuan perusahaan. Kerangka perilaku atau indikator dari inspirationalmotivation adalah: a. Memberikan Motivasi Setiap di akhir rapat yang diadakan dengan seluruh pegawai, Ibu Badingah tidak lupa untuk memberikan motivasi kepada seluruh pegawainya agar pegawainya tetap merasa semangat dalam bekerja. Biasanya Ibu Badingah akan memberikan kata-kata penyemangat yang dapat mendorong pegawai akan bekerja lebih semangat. Selain di akhir rapat, pemimpin biasanya akan memberikan motivasi terhadap pegawai yang terlihat membutuhkan sedikit dorongan motivasi. b. Memberi Inspirasi Pada Pengikut Seorang pemimpin yang berkharisma adalah pemimpin yang dapat memberikan inspirasi terhadap para bawahannya dan para bawahannya juga merasa terinspirasi dari perkataan dan tindakan sang pemimpin. Tutur kata beliau yang halus sebagai Bupati Perempuan dapat memberikan kesan terhadap pegawainya.Menjadi pemimpin yang dapat menginspirasi para bawahan adalah bonus yang diharapkan oleh para pemimpin.Memberikan ide-ide atau
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
masukan terhadap persoalan yang terjadi dalam pengembangan promosi pariwisata selalu Bupati lakukan kepada pegawainya. c. Percaya Diri Walaupun pemimpin merupakan seorang perempuan, pemimpin yakin dapat memimpin Kabupaten Gunungkidul serta berusaha untuk meningkatkan potensi daerah. d. Meningkatkan Optimis Rasa optimis diperlukan dalam mengerjakan dan menyelesaikan tugas, agar pekerjaan tersebut dapat selesai tepat waktu dan memuaskan.Pemimpin merasa bahwa sikap optimis penting dalam diri setiap pegawai untuk meningkatkan kinerja organisasi pemerintah. Salah satu cara meningkatkan rasa optimis setiap pegawai yaitu pemimpin memberi motivasi kepada setiap pegawai dan pemberian reward terhadap hasil kerja yang telah dilakukan. 3. Intellectual Stimulation (Stimulasi intelektual) Pemimpin dapat menumbuhkan kreativitas dan inovasi dikalangan pegawainya dengan mengembangkan pemikiran kritis dan pemecahan masalah untuk menjadikan kearah yang lebih baik. Sehingga pemimpin harus mampu menumbuhkan ide-ide baru dan memberikan solusi yang kreatif terhadap permasalahanpermasalahan yang dihadapi bawahan. Kerangka perilaku atau indikator dari intellectual stimulation adalah: a. Inovatif Bupati Gunungkidul telah banyak melakukan inovasi dalam bidang pariwisata, menswadayakan masyarakat dengan cara mengembangkan obyek wisata yang ada. Dengan menata perencanaan yang kuat dapat menjadikan inovasi-inovasi baru dalam mengembangkan pariwisata.Inovasi yang dilakukan Bupati Badingah yaitu ditandai pada tahun 2015 dengan Gunungkidul sudah masuk dalam jaringan global geopark network.Dengan demikian pariwisata Gunungkidul dapat dikenal di Mancanegara.Kemudian dalam pengembangan obyek wisata goa pindul pada tahun 2010.
325
b. Professional Bupati melakukan pekerjaannya sesuai dengan tugas dan tanggung jawab yang dimiliki.Hal ini menunjukkan bahwa pemimpin profesional.pemimpin merupakan orang yang professional ketika pemimpin memisahkan urusan pribadi dengan urusan organisasi pemerintah, serta memperlakukan pegawainya sama rata tanpa harus memandang status sosialnya. c. Menjadi Pemimpin Yang Melibatkan Masyarakat Masyarakat Gunungkidul termasuk masyarakat yang memiliki loyalitas tinggi terhadap pengembangan pariwisata yang ada di Gunungkidul.Keikut sertaan masyarakat dalam pengembangan pariwisata menjadi power dalam menggali potensi daerah Gunungkidul. Dengan adanya ikhtikat Bupati Badingah untuk melibatkan masyarakat dalam menjalankan program dalam kepemimpinanya menjadikan masyarakat lebih diperhatikan. Hal ini dapat menjalin komunikasi dan interaksi yang baik terhadap masyarakat dan Bupati Badingah.Dengan demikian sosialisasi antar masyarakat dapat berjalan dengan baik, serta dapat menjadikan masyarakat mandiri dalam melestaraikan pariwisata yang ada di Gunungkidul. Sehingga dengan adanya kelompok sadar wisata dapat mencipatakan desa-desa wisata yang dikelola oleh masyarakat setempat d. Kreatif Bupati Badingah mau menerima dan mengembangkan ide baru yang disampaikan oleh pegawai asalkan ide baru tersebut masuk akal dan dapat meningkatkan kinerja organisasi. Bupati akan turut berpartisipasi dalam pengembangan dan kesuksesan ide baru atau inovasi tersebut untuk menswadayakan pegawainya. Bupati selalu memiliki ide-ide baru untuk menyelesaikan masalah atau untuk mengembangkan inovasi obyek wisata yang ada.Ide-ide Bupati dalam pengembangan pariwisata selalu berpikir kedepan dengan memikirkan rencana tujuan wisata yang ada di Gunungkidul.Ide kreatifnya dituangkan dalam penataan pantai
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
pulang syawal (indrayanti) dan dalam pembuatan wisata buatan Embung Nglanggeran pada tahun 2013. 4. Individualized Consideration (Konsiderasi individu) Pemimpin dapat bertindak sebagai pelatih dan penasehat bagi karyawannya.Ibu Badingah digambarkan sebagai pemimpin yang mau mendengarkan dengan penuh perhatian masukan-masukan bawahan dan secara khusus mau memperhatikan kebutuhan-kebutuhan bawahan. Kerangka perilaku atau indikator dari individualized consideration adalah: a. Toleransi Bupati merupakan orang yang sabar, dimana ketika salah satu seorang pegawai dari SKPD tidak dapat menyelesaikan tugasnya pada waktu yang telah ditentukan.Maka Bupati memberikan nasehat dan menanyakan solusi dari permasalahannya. Dengan menggali lagi permasalahan yang terjadi maka Bupati akan memberikan waktu untuk dapat menyelesaikan permasalahan yang terjadi, hal ini tentu saja didukung dengan karakter pemimpin perempuan yang selalu bersikap lembut dan menghargai kinerja pegawainya. b. Adil Selama ini Bupati berusaha untuk bersikap adil terhadap semua pegawainya tanpa membeda-bedakan mereka berasal dari agama, jabatan, ataupun jenis kelamin. c. Pemberdayaan Karyawan Ketika pemimpin memberikan tugas kepada para pegawai, pemimpin tidak akan memberitahu bagaimana para pegawai harus melakukannya. Pemimpin percaya sepenuhnya pada kemampuan para pegawai bahwa mereka akan menyelesaikan tugastugas kantor dengan baik sesuai dengan kemampuan yang mereka miliki. Memiliki komitmen untuk mensejahterakan masyarakat merupakan suatu tujuan yang mulia, dengan komitmen ini Bupati merangkul pegawainya untuk dapat menjalankan tugasnya masing-masing. Sehingga akan menjadikan pegawai-pegawai Gunungkidul semakin merasa diperhatikan.
326
d. Partisipatif Kepemimpinan partisipatif didefinisikan seorang pemimpin mengikut sertakan pegawai-pegawainya bersama-sama berperan didalam proses pengambilan keputusan. Model kepemimpinan seperti ini diterapkan apabila tingkat kematangan pegawainya berada pada taraf kematangan moderat sampai tinggi.Walaupun bukan menjadi pegawai kantor Gunungkidul, namun adanya pendekatan dan interaksi yang terjadi antara pengelola wisata Goa pindul dengan Bupati Badingah. Bupati Badingah selalu menyempatkan waktunya berkunjung dan berinteraksi kepada pengelola Goa pindul ini, serta memberikan kesempatan untuk mengutarakan pendapat atau masukan terhadap permasalahan yang terjadi kepada Bupati. Dengan hal ini akan terjalin komukasi dan interaksi terhadap Bupati. e. Memberikan Penghargaan Pemimpin menghargai hasil pekerjaan yang dilakukan oleh para pegawainya. Jika pekerjaan dapat diselesaikan dengan baik, pemimpin akan memberikan pujian. Selain pujian yang diberikan oleh pemimpin, pemimpin juga akan mengapresiasinya dalam bentuk penghargaan. Penghargaan atas prestasi kerja pegawai dilaksanakan setahun sekali. Ini dibuktikan dengan adanya pemberian reward terhadap pelaku pengembangan pariwisata. Dari pembahasan diatas dapat dilihat bahwa Bupati Badingah menerapkan gaya kepemimpinan transformatif. Ada tiga karakteristik yang menonjol dalam kepemimpinan Ibu Badingah yaitu, Inspriration motivation, Intellectual stimulation, dan Individualized consideration. Kendati demikian, karakteristik yang sering dilakukan oleh Bupati Badingah dalam kepemimpinannya selama 2011-2015 adalah karakteristik Inspriration motivation (Motivasi inspirasi) dengan indikator : memberikan motivasi kerja, memberikan inspirasi, percaya diri, dan meningkatkan optimis bawahan. Sedangkan dalam karakteristik Attribut charisma terdapat satu indikator yang tidak
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
terpehuni yaitu, indikator beribawa, hal ini disebabkan oleh Bupati Badingah merupakan sosok pemimpin perempuan yang cenderung memiliki sifat keibuan terhadap pegawai-pegawainya.Sehingga indikator ini tidak terlaksana dengan baik dalam kepemimpinan Bupati Badingah. B. Peningkatan Potensi Daerah Dalam Bidang Pariwisata tahun 2011-2015 Pembangunan pariwisata diarahkan pada peningkatan pariwisata sehingga menjadi sektor andalan yang mampu meningkatkan kegiatan ekonomi, termasuk kegiatan sektor lain yang terkait. Sehingga lapangan kerja, pendapatan masyarakat, dan pendapatan daerah akan meningkat melalui upaya pengembangan dan pendayagunaan berbagai potensi pariwisata daerah Gunungkidul. Strategi Bupati Badingah dalam pengembangan pariwisata Gunungkidul di fokuskan pada akses jalan untuk menuju obyek daya tarik wisata Gunungkidul dengan menggunakan empat koridor pintu masuk baik dari timur, barat atau utara dan selatan. Sehingga dengan empat koridor pintu masuk ini akan mempermudah wisatawan untuk berwisata di Gunungkidul. - KORIDOR I (dari arah Yogyakarta) Yogyakarta – Patuk – Wonosari – Baron – Kukup – Krakal –Drini – Sundak (70 Km) - KORIDOR II (dari arah Parangtritis, Bantul) Yogyakarta – Parangtritis – Trowono/Saptosari – Kemadang – Kukup – Sepanjang – Drini – Krakal – Sundak (70 Km) - KORIDOR III (dari arah Surakarta) Solo/Sukoharjo/Klaten – Ngawen – Semin – Karangmojo – Semanu – Panggul – Jepitu – Wediombo – Tepus (55 Km) - KORIDOR IV (dari arah Wonogiri – Pacitan ) Wonogiri dan Pacitan – Pracimantoro – Rongkop – Wediombo – Tepus (50 Km)
327
Melalui empat pintu koridor ini akan menemukan beberapa obyek wisata sesuai dengan pintu koridor yang akan dilalui. Empat pintu koridor masuk merupakan titik-titik jalur pergerakan destinasi wisata Gununugkidul untuk mengembangkan obyek desa wisata, yang menjadi andalan obyek wisata Gunungkidul pada tahun 2011-2015 adalah obyek wisata pantai. Sehingga melalui salah satu jalur koridor ini menjadi jalur alternatif wisatawan untuk dapat menikmati obyek wisata yang ada disetiap pintu koridor yang ada. Faktor pendukung dalam potensi daerah dalam bidang pariwisata Gunungkidul tahun 2011-2015 Selain Sumber Daya Alam yang menjadi faktor utama dalam pendukung pariwisata Gunungkidul, keberadaan stakeholder juga ikut menjadi penentu jalannya keberhasilan pengembangan pariwisata yang ada. Dalam perkembangan pariwisata dibutuhkan timework antara stakeholder yang ada diantaranya sebagai berikut: a. Partisipasi masyarakat Dalam mendukung peningkatan potensi daerah dalam bidang pariwisata, partisipasi masyarakat sangat berpengaruh terhadap pelaksanaan pengembangan pariwisata.Peningkatan potensi dalam bidang pariwisata dikhususkan terhadap obyek wisata pantai dengan berbasis pemberdayaan masyarakat.Adanya kelompok sadar wisata merupakan mitra pemerintah daerah dalam hal perencanaan pembangunan, dapat berfungsi sebagai agen yang berpengaruh besar untuk mengembangkan dan ikut serta untuk mempromosikan obyek wisata pantai.Kelompok sadar wisata ini berada disetiap pantai yang ada di Kabupaten Gunungkidul, tingginya antusias masyarakat untuk ikut serta dalam peningkatan pariwisata di Gunungkidul membuat Gunungkidul semakin terkenal di Indonesia atau Mancanegara. Antusias masyarakat sekitar pantai sangat tinggi terhadap obyek wisata yang ada di Gunungkidul. Dengan adanya partisipasi dari masyarakat merupakan salah
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
satu kunci keberhasilan dalam pemberdayaan masyarakat, sehingga dengan demikian kebijakan yang dibuat oleh pemerintah dapat berjalan dengan baik.Tingginya partisipasi masyarakat dapat memajukan potensi pariwisata yang ada. b. Media Di era globalisasi saat ini, kecepatan informasi yang aktual sangatlah dibutuhkan, termasuk dalam berwisata.Setiap orang berlomba-lomba untuk menyebar luaskan informasi destinasi wisata yang baru saja dikunjungi, contohnya saja melalui “Komunitas Travel Blogger Indonesia”.Media ini memiliki banyak peran di industri pariwisata, salah satunya adalah kontribusi dalam media promosi di media on-line.Peran media dalam pengembangan pariwisata sangat berjalan baik untuk membantu Dinas Kebudayaan dan Pariwisataan Gunungkidul dalam mempromosikan obyek wisata yang ada. Hal ini diperkuat dengan pernyataan staff dinas Kebudayaan dan Pariwisataan seksi Promosi pemasaran. c. Investor Tumbuhnya kepercayaan investor ini banyak didukung oleh kebijakan pemerintah daerah yang memberikan kemudahan investasi, perbaikan infrastrktur besarbesaran di sektor wisata, dan pengembangan kawasan perekonomian yang mendukung wisata.Sehingga dapat mendorong kunjungan wisatawan ke Gunungkidul. Walaupun masih sedikitnya investor yang ingin berpatisipasi dalam investasi pengembangan pariwisata Gunungkidul, disinyalir hal ini dapat menjadikan pariwisata Gunungkidul dengan berbasis pemberdayaan masyarakat semakin menjadikan masyarakatnya mandiri untuk dapat mengelola dan mengembangkan pariwisatanya sendiri.Hal ini tentu saja membuat pengembangan pariwisata Gunungkidul menjadi pengembangan yang asri dan berbudaya tanpa banyaknya campur tangan dari insvestor untuk dapat merubah pariwisata menjadi lebih maju.Bagaikan dua
328
sisi mata uang, antara insvestor dan pemberdayaan masyarakat untuk dapat saling mengelola dan mengembangkan pariwisata Gunungkidul. Faktor penghambat potensi daerah dalam bidang pariwisata 2011-2015 Pengembangan pariwisata pada suatu destinasi wisata diharapkan agar dapat selalu berjalan sesuai dengan rencana sehingga tujuan yang sudah ditetapkan sejak awal dapat tercapai.Namun dalam kenyataannya pembangunan pariwisata masih menemui hambatan atau kendala yang dihadapi. Kabupaten Gunungkidul. a. Pembebasan Lahan Dalam perkembangan pariwisata Gunungkidul memerlukan tanah yang luas untuk menunjang obyek pariwisata yang ada, sementara itu terdapat suatu kendala terhadap pembebasan lahan yang ingin dijadikan tempat pariwisata di Gunungkidul.Masalah pembebasan tanah yang sempat booming di Gunungkidul adalah pembebasan lahan di Goa Pindul. Obyek wisata goa pindul termasuk obyek wisata yang berpotensi sebagai salah satu obyek wisata yang terkenal di Gunungkidul, namun terdapat permasalahan mengenai lahan disekitar goa pindul tersebut. Pada tahun 2013 terjadi konflik antara pengelola goa pindul dengan salah seorang pengusaha bernama Siput (Cina).Dimana pengusaha tersebut mengakui bahwa memiliki lahan diatas goa pindul tersebut, sehingga turut ikut untuk mengelola goa pindul tersebut.Puncak konflik terjadi ketika Siput melaporkan kepada pihak yang berwajib terkait dengan penyerobotan lahan yang telah dilakukan oleh tiga kelompok pengelola wisata Goa pindul.Sehingga permasalahan sengketa lahan ini masih berkelanjutan sampai saat ini. Permasalahan sengketa lahan di kawasan goa pindul menjadi polemik tersendiri yang dihadapi Pemerintah Daerah Gunungkidul. Dalam proses pembebasan lahan ini, diperlukan usaha serta dukungan dari Pemerintah pusat untuk melakukan mediasi guna menyelesaikan masalah ini. Dengan ditandatanganinya surat pernyataan
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
bahwa Siput sepat untuk tidak akan menutup akses ke goa pindul. Kemudian dengan dikeluarkannya SP3 dari pihak kepolisian yang menginformasikan bahwa tidak ada kasus penyerobotan lahan yang dilakukan oleh kelompok pengelola wisata Goa pindul terhadap lahan kepunyaan Siput tersebut.Bukan hanya masalah sengketa lahan di goa pindul, pemerintah daerah juga dihadang dengan mahalnya harga yang diwatarkan warga untuk pembebasan lahan guna membangun obyek wisata yang baik. b. Keterbatasan Fasilitas Infrastuktur Fokus pembangunan di Gunungkidul adalah sektor pariwisata, karena dari sektor ini yang mampu mensejahterakan masyarakat.Namun dalam pembanguan sektor ini masih menghadapi kendala yakni infrastruktur jalan yang belum memadahi. Sektor pariwisata di Gunungkidul diakui banyak memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi, hingga lebih dari 5 persen, sehingga perlu terus dikembangkan.Terlebih lagi mengenai pelebaran jalan menuju ke objek wisata terutama objek wisata pantai terkendala pembebasan tanah.Selain masalah infrastruktur jalan, di daerah ini belum tersedia hotel atau penginapan yang representatif, sehingga para wisatawan harus menginap di Yogyakarta.Sementara itu jarak Gunungkidul dan Yogyakarta sangat jauh.Sehingga dibutuhkan investor yang mampu membangun hotel dan restaurant yang representatif. Pembangunan kepariwisataan tidak dapat dilakukan dengan hanya mengembangkan daya tarik saja. Tanpa harus memperhatikan aksesbilitas, tranportasi dan fasilitas pendukung yang lalinnya seperti: fasilitas akomodasi, restoran, pusat layanan informasi wisata, kondisi keamanan, fasiliatas penjual cinderamata, fasilitas parkir, fasilitas kamar mandi yang harus dikembangkan secara menyeluruh dalam suatu system perencanaan yang terpadu. Untuk menunjang pariwisata Gunugkidul yang terkemuka dan berbudaya tentu saja faktor fasilitas infrastuktur sangatlah mendukung untuk melancarkan
329
obyek pariwisata yang ada.Sementara itu, rata-rata hotel yang terdapat di kabupaten Gunungkidul merupakan hotel kelas melati dengan fasilitas seadanya tanpa adanya fasilitas yang memanjakan wisatawan untuk dapat bersantai dan tinggal lebih lama serta menikmati suasana di pedesaan.Namun masih ada obyek wisata Gunungkidul yang belum memiliki infrastuktur yang memadai.Hal ini menjadi kendala dan harus dibenahi segera untuk mendukung iklim investasi khususnya pariwisata. Kurangnya kapasitas obyek wisata untuk menampung para wisatawan yang ingin berkunjung menjadi dilema tersendiri bagi wisatawan luar yang ingin berkunjung wisata Goa pindul.Pasalnya Goa pindul ini hanya dapat menampung wisatawan sekitar 200 orang tapi kenyataannya dapat 10 kali lipat wisatawan.Banyaknya minat wisatawan luar untuk melihat Goa pindul ini menjadi boomerang tersendiri para pengunjung untuk dapat menikmati wisata Goa ini. Adanya faktor penghambat dalam peningkatan potensi daerah dalam bidang pariwisata Gunungkidul menjadi benang merah dalam permasalahan yang harus diperhatikan.Sepak terjang kepemimpinan Badingah dalam menanggulangi adanya faktor penghambat dalam peningkatan potensi daerah dalam bidang pariwisata ini mulai diperhatikan sehingga setiap tahun ada perubahan yang membaik.Hal ini diperlukan waktu yang cukup lama untuk dapat merasakan hasil yang optimal demi peningkatan pariwisata yang maju dan berbudaya. IV. KESIMPULAN Gaya kepemimpinan transformatif Bupati Badingah dalam meningkatkan potensi daerah dalam bidang pariwisata, dapat diukur melalui empat karakteristik kepemimpinan transformatif yang diterapkan Bupati Badingah dalam menggerakkan pegawai-pegawainya selama masa kepemimpinannya tahun 2011-2015. 1. Dalam karakteristik Attributed Charisma (Atribut karisma),terdapat empat indikator. Tiga diantaranya: keteladanan, jujur, memiliki semangat.
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
Ketiga indikator ini dilakukan dengan baik oleh Bupati Badingah selama kepemimpinannya, namun ada satu indikator yang belum dapat dilaksanakan dengan baik yaitu, indikator beribawa. Hal ini dikarenakan Bupati merupakan pemimpin perempuan yang memiliki sikap keibuan kepada pegawaipegawainya. 2. Dalam karakteristik Inspirational Motivation(Motivasi inspirasi), terdapat empat indikator. Keempat indikator tersebut adalah: memberikan motivasi, memberikan inspirasi kepada pengikut, percaya diri, dan meningkatkan optimism. Semua indikator tersebut, dilakukan dengan baik oleh Bupati Badingah kepada pegawai-pegawainya selama masa kepemimpinannya tahun 2011-2015. 3. Dalam karakteristik Intellectual Stimulation(Stimulasi intelektual), terdapat empat indikator. Keempat indikator tersebut adalah: inovatif, professional, menjadi Pemimpin yang melibatkan bawahan dan kreatif. Semua indikator tersebut, sudah dilakukan dengan baik oleh Bupati Badingah kepada pegawai-pegawainya selama masa kepemimpinannya tahun 2011-2015. 4. Dalam karakteristik Individualized Consideration(Konsiderasi individu), terdapat lima indikator. Kelima indikator tersebut adalah: toleransi, adil, pemberdayaan karyawan, partisipatif dan memberikan penghargaan. Semua indicator tersebut sudah dilakukan dengan baik oleh Bupati Badingah kepada pegawaipegawainya selama masa kepemimpinannya tahun 2011-2015.
inspirasi, percaya diri, dan meningkatkan optimis bawahan. Sedangkan dalam karakteristik Attribut charisma terdapat satu indikator yang tidak terpehuni yaitu, indikator beribawa. Sementara itu dalam peningkatan potensi daerah dalam bidang pariwisata sudah menunjukkan peningkatan yang signifikan dari setiap tahunya.Obyek pariwisata yang menjadi icon Gunungkidul selalu mengalami perkembangan dan perbaikan setiap tahunnya. Faktor pendukung dalam peningkatan potensi daerah dalam bidang pariwisata diantaranya: tingginya antusias partisipasi masyrakat dalam pengembangan obyek wisata, kemudian tingginya peran media dalam mempromosikan obyek wisata Gunungkidul, dan yang terakhir adanya bantuan dana dari insvestor dalam pengembangan obyek wisata gunungkidul. Sementara untuk faktor penghambat dalam peningkatan potensi daerah.Pertama, terjadinya permasalahan pembebasan lahan mengenai perkembangan obyek wisata yang berlangsung.Permasalahan yang paling mencuat adalah sengketa lahan yang terjadi di Goa pindul.Faktor penghambat yang kedua adalah masih terdapatnya kekurangan infrastuktur yang memadai guna menunjang obyek wisata yang ada. Infrastuktur yang dimaksud antara lain: fasilitas jalan menuju obyek wisata, tempat penginapan, fasilitas kamar mandi, fasilitas parkir, dan fasilitas tempat istirahat dan tempat makan.
Kendati demikian, karakteristik yang sering dilakukan oleh Bupati Badingah dalam kepemimpinannya selama 2011-2015 adalah karakteristik Inspriration motivation (Motivasi inspirasi) dengan indikator : memberikan motivasi kerja, memberikan
Thoha, Miftah, 2012 “perilaku organisasi, dimensi-dimensi prima ilmu administrasi negara” Jakarta, PT Rajawali.
330
Daftar Pustaka Kartono, Kartini, 2014 “pemimpin dan kepemimpinan” Jakarta, Rajawali Press. Rivai,
Zainal Veithzal dkk, 2014 “Kepemimpinan dan Perilaku Organisasi” Jakarta, Rajawali Press.
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
Sugiono, 2010, ““Metode penelitian pendidikan, pendekatan kualitatif, kuantitatif, dan R&D” Bandung, Alfabeta. Wagimo dan Jdamaludin Ancok, “Hubungan kepemimpinan transformasional dan transaksional denganmotivasi bawahan dimiliter” dalam Jurnal Psikologi, Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada, Vol. 32, No. 2, 112-127.
331
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
KEMANDIRIAN EKONOMI PEREMPUAN MELALUI PENGEMBANGAN DESA PRIMA (PEREMPUAN INDONESIA MAJU MANDIRI) Wuri Rahmawati Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas FEISHUM Universitas ‘Aisyiyah Yogyakarta Yogyakarta, Indonesia
[email protected]
Abstrak --- Pengembangan Desa PRIMA memberikan alternatif pilihan cara dalam upaya pemberdayaan perempuan dengan mengoptimalkan seluruh potensi yang ada, serta mengkoordinasikan berbagai program pemberdayaan perempuan dari instansi terkait, LSM, Organisasi Perempuan dan Organisasi Kemasyarakatan. Melalui cara ini diharapkan peran perempuan meningkat sehingga taraf hidup ekonomi, pendidikan dan kesehatan meningkat pula. Kajian ini dilakukan untuk melakukan evaluasi terhadap implementasi program pengembangan 30 Desa PRIMA di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta. Metode penelitiannya kuantitatif dan kualitatif, dengan pendekatan analisis gender. Responden dari anggota kelompok Desa PRIMA, beberapa stakeholders yang terlibat atau berperan dalam pengembangan Desa PRIMA seperti dinas atau instansi terkait, Perangkat Desa dan fasilitator atau pendamping. Seluruh anggota kelompok Desa PRIMA menjadi responden dalam penelitian ini sedangkan untuk stakeholder yang menjadi informan dalam kajian ini ditentukan secara purposivesampling.Hasil kajian menunjukkan bahwa pengembangan Desa Prima memberikan dampak terhadap kemudahan akses perempuan terhadap modal usaha, pelatihan, dan perluasan pasar. Dampak dari kemudahan akses tersebut yaitu : (a) Menumbuhkan dan meningkatkan motivasi perempuan untuk produktif (berwiraswasta) sehingga dapat berperan
khususnya dalam perekonomian keluarga. (b) meningkatkan pendapatan keluarga antara 10%-40% melalui pengembangan usaha di bidang olahan pangan, konveksi, jasa, maupun kerajinan, (c) meningkatan pengetahuan dan ketrampilan anggota kelompok dalam pengembangan usaha melalui berbagai kegiatan pelatihan, pameran dan studi banding, (d) meningkatkan solidaritas dan meningkatkan hubungan silaturahmi antar anggota dari berbagai desa, dan (e) membantu penyelesaian masalah keluarga sebab beberapa kasus permasalahan keluarga bersumber dari masalah ekonomi. Kata Kunci : Desa PRIMA, Akses, Perempuan, Ekonomi I. PENDAHULUAN
Salah satu tantangan yang dihadapi oleh Indonesia dan pada umumnya Negara-negara di Asia pasca krisis ekonomi yaitu bagaimana menekan laju kemiskinan.Karena secara aktual masih banyak penduduk Indonesia yang masuk dalam kategori miskin, dan umumnya jumlah tersebut berada di pedesaan. Peranan komoditi makanan terhadap garis kemiskinan jauh lebih besar dibandingkan peranan komoditi bukan makanan: perumahan, sandang, pendidikan dan kesehatan (www.bps.go.id). Kaitannya dengan masalah kemiskinan ini, pemerintah Indonesia melaksanakan aksi-aksi pengurangan kemiskinan di berbagai sektor kehidupan. Di Daerah Istimewa Yogyakarta
332
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
Untuk mengetahui secara detail tentang kondisi Desa PRIMA maka perlu untuk melakukan kajian dan dievaluasi secara komprehensif sehingga progress, capaian program, dampak sosial serta keberlanjutan program dapat terpantau. Maksud pelaksanaan kajian evaluasi program Desa PRIMA adalah untuk melakukan kegiatan evaluasi yang mendalam terhadap implementasi dan pelaksanaan program Desa PRIMA, sedangkan tujuannya untuk mengetahui sejauh mana efektivitas pelaksanaan program pada kelompok sasaran, dampak sosial bagi masyarakat sekitar serta mengetahui kebutuhan program dan kegiatan tindaklanjut untuk pengembangan program Desa PRIMA di DIY. Manfaat dari kajian ini yaitu menjadi dasar penentuan langkah lebih lanjut dalam pengembangan Desa PRIMA yang lebih baik.
(DIY) sendiri, penanggulangan kemiskinan dilakukan diantaranya melalui pengembangan Desa PRIMA (Perempuan Indonesia Maju Mandiri). Desa PRIMA merupakan program nasional dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak yang implementasi di setiap propinsi atau pemerintah daerah berada dalam koordinasi Badan Pemberdayaan Perempuan dan Masyarakat. Program-program stimulus bagi kelompok perempuan dengan dukungan dana bergulir dari pemerintah. Dukungan kepada kelompok perempuan dilakukan dengan pertimbangan bahwa kemiskinan menjadikan kualitas kesehatan rendah, tingkat produktivitas ekonomi rendah dan mengakibatkan pendidikan belum merupakan prioritas, terutama bagi kaum perempuan. Permasalahan yang dihadapi perempuan ini disebabkan karena adanya stereotype, marginalisasi, sub ordinasi dan bahkan double burden terhadap perempuan. Dalam berbagai hal perempuan selalu menjadi korban atau pihak yang dikorbankan.Padahal dalam keluarga, perempuan memiliki banyak peran. Secara umum tujuan program Desa PRIMA yaitu mewujudkan perempuan Indonesia yang maju mandiri di bidang ekonomi melalui pembangunan kegiatan ekonomi produktif untuk mendukung terciptanya kondisi kehidupan yang lebih sehat dan sejahtera baik dilingkungan keluarga, masyarakat maupun bangsa. Sedangkan secara khusus tujuannya mencakup: (1) meningkatkan kapasitas SDM perempuan Indonesia di bidang ekonomi sehingga mampu meningkatkan kontribusi dan keikutsertaannya dalam pelaksanaan pembangunan ekonomi dan pembangunan diberbagai sektor kehidupan lainnya, (2) membuka dan memperluas kesempatan bagi kaum perempuan untuk mengembangkan potensi dirinya serta meningkatkan kesejahteraan hidup melalui pengembangan dan penguatan aktivitas ekonomi produktif, dan (3) memperkuat peran/posisi tawar (bargaining position) kaum perempuan dalam mengakses informasi dan sumber daya ekonomi, permodalan, perbankan, pemasaran dan pasar.
A. Kemiskinan Definisi tentang kemiskinan telah mengalami perluasan, seiring dengan semakin kompleksnya faktor penyebab, indikator maupun permasalahan lain yang melingkupinya. Kemiskinan tidak lagi hanya dianggap sebagai dimensi ekonomi melainkan telah meluas hingga kedimensi sosial, kesehatan, pendidikan dan politik. Menurut Badan Pusat Statistik, kemiskinan adalah ketidakmampuan memenuhi standar minimum kebutuhan dasar yang meliputi kebutuhan makan maupun non makan. Membandingkan tingkat konsumsi penduduk dengan garis kemiskinan atau jumlah rupiah untuk konsumsi orang perbulan. Definisi menurut UNDP dalam Cahyat (2004), adalah ketidakmampuan untuk memperluas pilihan-pilihan hidup, antara lain dengan memasukkan penilaian tidak adanya partisipasi dalam pengambilan kebijakan publik sebagai salah satu indikator kemiskinan. Pada dasarnya definisi kemiskinan dapat dilihat dari dua sisi, yaitu: a. Kemiskinan Absolut Kemiskinan yang dikaitkan dengan perkiraan tingkat pendapatan dan kebutuhan yang hanya dibatasi pada kebutuhan pokok atau kebutuhan dasar minimum yang
333
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
tersebut bekerja di sektor formal dengan pendapatan yang lebih tinggi. Variabel modal fisik, yang antara lain luas lantai perkapita dan kepemilikan aset seperti lahan, khususnya untuk pertanian. Kepemilikan lahan akan menjadi faktor yang penting mengingat dengan tersedianya lahan produktif, rumah tangga dengan lapangan usaha pertanian akan dapat menghasilkan pendapatan yang lebih baik. Kepemilikan modal fisik ini dan kemampuan memperoleh pendapatan sebagai tenaga kerja akan menjadi modal utama untuk menghasilkan pendapatan keluarga. Anggota rumah tangga yang tidak memiliki modal fisik terpaksa menerima pekerjaan dengan bayaran yang rendah dan tidak mempunyai alternatif untuk berusaha sendiri. Selanjutnya status pekerjaan, di mana status pekerjaan utama kepala keluarga jelas akan memberikan dampak bagi pola pendapatan rumah tangga. World Bank (2002) mengkategorikan karakteristik penduduk miskin menurut komunitas, wilayah, rumah tangga, dan individu.Pada faktor komunitas, infrastruktur merupakan determinan utama kemiskinan.Keadaan infrastruktur sangat erat kaitannya dengan tingkat kesejahtaraan masyarakat. Infrastruktur yang baik akan memudahkan masyarakat untuk melakukan aktivitas ekonomi maupun sosial kemasyarakatan, selain itu memudahkan investor untuk melakukan investasi di daerah yang bersangkutan.
memungkinkan seseorang untuk hidup secara layak. Dengan demikian kemiskinan diukur dengan membandingkan tingkat pendapatan orang dengan tingkat pendapatan yang dibutuhkan untuk memperoleh kebutuhan dasarnya yakni makanan, pakaian dan perumahan agar dapat menjamin kelangsungan hidupnya. b. Kemiskinan Relatif Kemiskinan dilihat dari aspek ketimpangan sosial, karena ada orang yang sudah dapat memenuhi kebutuhan dasar minimumnya tetapi masihjauh lebih rendah dibanding masyarakat sekitarnya (lingkungannya). Semakin besar ketimpangan antara tingkat penghidupan golongan atas dan golongan bawah maka akan semakin besar pula jumlah penduduk yang dapat dikategorikan miskin, sehingga kemiskinan relatif erat hubungannya dengan masalah distribusi pendapatan. B. Indikator Kemiskinan Agar seseorang dapat hidup layak, pemenuhan akan kebutuhan makanan saja tidak akan cukup, oleh karena itu perlu pula dipenuhi kebutuhan dasar bukan makanan, seperti perumahan, pendidikan, kesehatan, pakaian, serta aneka barang dan jasa lainnya. Ringkasnya, garis kemiskinan terdiri atas dua komponen, yaitu garis kemiskinan makanan dan bukan makanan (BPS, 2012).Analisis faktor-faktor yang menyebabkan kemiskinan atau determinan kemiskinan pernah dilakukan oleh Ikhsan (1999).Ikhsan, membagi faktorfaktor determinan kemiskinan menjadi empat kelompok, yaitu modal sumber daya manusia (human capital), modal fisik produktif (physical productive capital), status pekerjaan, dan karakteristik desa. Modal sumber daya manusia dalam suatu rumah tangga merupakan faktor yang akan mempangaruhi kemampuan suatu rumah tangga untuk memperoleh pekerjaan dan pendapatan. Dalam hal ini, indikator yang sering digunakan adalah jumlah tahun bersekolah anggota keluarga, pendidikan kepala keluarga, dan jumlah anggota keluarga. Secara umum semakin tinggi pendidikan anggota keluarga maka akan semakin tinggi kemungkinan keluarga
C. Penyebab Kemiskinan Negara-negara di Asia Tenggara seperti Indonesia, Malaysia, dan Thailand menemukan bahwa kemiskinan dan ketidakmerataan disebabkan oleh beberapa faktor antara lain produktivitas tenaga kerja yang rendah sebagai akibat rendahnya teknologi, penyediaan tanah dan modal jika dibanding dengan tenaga kerja, tidak meratanya distribusi kekayaan terutama tanah. Secara umum ada empat faktor penyebab kemiskinan di Indonesia yaitu rendahnya taraf pendidikan, rendahnya taraf kesehatan, terbatasnya lapangan kerja dan kondisi keterisolasian.
334
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi karena pada akhirnya juga hanya akan di dapur saja ( Fakih, M, 2008) c. Stereotipe Stereotipe adalah pelabelan atau penandaan negatif terhadap kelompok atau jenis kelamin tertentu yang dapat menimbulkan berbagai diskriminasi dan ketidakadilan.Bentuk stereotipe ini umumnya ditujukan kepada perempuan yang berakibat menyulitkan, membatasi, memiskinkan dan merugikan perempuan.Misalnya adanya keyakinan bahwa laki-laki adala pencari nafkah maka setiap pekerjaan yang dilakukan perempuan dinilai hanya sebagai tambahan sehingga pekerja perempuan dapat dibayar lebih murah daripada laki-laki.Ada juga yang beranggapan bahwa ketika perempuan bersolek adalah untuk menarik perhatian lawan jenisnya sehingga pada kasus-kasus kekerasan atau pelecehan seksual perempuan sebagai korban justru seringkali dipersalahkan (Nugroho, 2008). Stereotipe selalu merugikan dan menimbulkan ketidakadilan.Masyarakat beranggapan bahwa tugas utama perempuan adalah melayani suami sehingga berakibat pendidikan kaum perempuan dinomorduakan. (Fakih, M, 2008). d. Kekerasan (Violence) Violence(kekerasan) merupakan invasi (assault)atau serangan terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang yang dilakukan terhadap jenis kelamin tertentu, umumnya pada perempuan sebagai akibat oleh anggapan gender yang disebut dengan gender-related violence. Bentuk kekerasan ini misalnya pemerkosaan, pemukulan, penyiksaan pada organ kelamin, prostitusi/pelacuran,pelecehanseksual (sexual harassment), pornografi, dan penciptaan ketergantungan. Gender violence terjadi karena ketidaksetaraan kekuatan yang ada dalam masyarakat. e. Beban kerja (double burden) Peran gender perempuan dalam anggapan masyarakat adalah mengelola rumah tanggasehingga beban kerja domestiknya lebih banyak dan lebih lama daripada lakilaki. Bahkan untuk keluarga miskin perempuan mempunyai beban kerja yang
Tinggi rendahnya tingkat kemiskinan di suatu negara tergantung pada 2 (dua) faktor utama yaitu (1) Tingkat pendapatan nasional rata-rata dan (2) Lebar sempitnya kesenjangan dalam distribusi pendapatan. Setinggi apapun tingkat pendapatan nasional perkapita yang dicapai oleh suatu negara, selama distribusi pendapatan yang tidak merata maka tingkat kemiskinan di negara tersebut pasti akan tetap parah (Daulay, 2009). D. Gender Gender tidak sama dengan kodrat. Kodrat adalah sesuatu yang ditetapkan Tuhan, sehingga manusia tidak dapat merubah atau menolak. Sementara itu, kodrat bersifat universal seperti menstruasi,melahirkan dan menyusui merupakan kodrat bagi perempuan, sementara mempunyai sperma adalah kodrat bagi laki-laki (Fakih,2008). Gender adalah perbedaan antara perempuan dan laki-laki dalam peran, fungsi, perilaku yang dibentuk oleh ketentuan sosial dan budaya setempat (Nugroho, 2008). Beberapa hal yangmenyebabkan berbagai ketimpangan, ketidakadilan tersebut antaralain: a. Marginalisasi Marginalisasiyaitu terpinggirkan atau tersisihkannya peran, posisi, akses perempuan terhadap berbagai aspek kehidupan sebagai akibat ketidakadilan gender. Contoh marginalisasi :program kredit, pelatihanpelatihan, ditujukan hanya pada laki-laki, pembagian warisan (Nugroho,2008). b. Subordinasi Subordinasi muncul sebagai akibat pandangan gender pada perempuan yang menempatkan perempuan pada posisi tidak penting karena adanya anggapan bahwa perempuan emosional atau irasional sehingga tidak dapat tampil sebagai pemimpin. Sebagai contoh adanya peraturan yang dikeluarkan pemerintah bahwa jika suami akan pergi belajar (jauh dari keluarga) dapat mengambil keputusan sendiri sedangkan jika istri harus dapat izin dari suami (Nugroho,2008). Subordinasi karena gender ini terjadi dalam segala macam bentuk yang berbeda dari tempat ke tempat dan dari waktu ke waktu. Di Jawa dulu ada anggapan bahwa
335
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
mendorong, memotivasi, membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya serta berusaha untuk dapat mengembangkan dalam kehidupannya. Subejo dan Supriyanto (2004), pemberdayaan merupakan kegiatan yg disengaja untuk memfasilitasi masyarakat lokal dalam merencanakan, memutuskan, dan mengelola sumberdaya lokal yg dimilikinya melalui collective action dan networking untuk meningkatkan kemampuan dan kemandiriannya dlm persoalan ekonomi, ekologi, dan sosial. Berdasar beberapa definisi tersebut maka pemberdayaan adalah tindakan yang dilakukan untuk mendorong masyarakat agar terlibat atau berpartisipasi dalam kegiatankegiatan atau urusan publik, memiliki kemampuanmeningkatkankompetensinyadan menyediakan kesempatan untuk mengembangkan kompetensi tersebut sebagai upaya untuk mengaktualisasikan potensi yang sudah ada atau dimiliki sendiri oleh masyarakat. Pemberdayaan masyarakat merupakan kegiatan memfasilitasi masyarakat dalam menggali dan mengembangkan potensinya melalui akses terhadap sumberdaya yang ada, sehingga mau dan mampu berpartisipasi dalam berbagai kegiatan yang bermanfaat bagi dirinya, bagi publik, dan bagi pemerintah. Strategi pemberdayaan dapat dilakukan dengan proses partisipatif melalui serangkaian dialog dan konsultasi dengan perwakilan-perwakilan kelompok warga, representasi sektoral, asosiasi profesi, kelompok bisnis, intelektual, lembaga swadaya masyarakat, dan sebagainya. Tujuan utama pemberdayaan adalah memperkuat kekuasaan masyarakat, khususnya kelompok lemah yang memiliki ketidakberdayaan, baik karena kondisi internal (misalnya persepsi mereka sendiri), maupun karena kondisi external (misalnya ditindas oleh struktur sosial yang tidak adil).Guna melengkapi pemahaman mengenai pemberdayaan perlu diketahui konsep mengenai kelompok lemah dan ketidakberdayaan yang dialaminya. Beberapa kelompok yang dapat dikategorikan sebagai kelompok lemah atau tidak berdaya meliputi:
lebih berat lagi yaitu selain beban kerja domestik juga harus bekerja di luar.Beban kerja sebagai akibat bias gender diperkuat oleh pandangan bahwa pekerjaan perempuan (pekerjaan domestik) dianggap dan dinilai lebih rendah dibandingkan dengan jenis pekerjaan laki-laki dan bukan sebagai pekerjaan produktif. E. Pemberdayaan Masyarakat Pemberdayaan telah menjadi isu yang sangat menarik dalam berbagai bidang kehidupan.Salah satu diantaranya isu pemberdayaan perempuan. Hal ini berawal dari kesadaran perempuan akan potensi yang ada dan belum teroptimalkan selama ini, sehingga mendorong beberapa kelompok atau aktivis perempuan untuk menyuarakan dan memperjuangkan hak-hak perempuan dalam ranah publik. Personset.al. (1994: 112-113) dalam Suharto (2005; 66-67) menyatakan bahwa proses pemberdayaan masyarakat umumnya dilakukan secara kolektif. Menurutnya, tidak ada literatur yang menyatakan bahwa proses pemberdayaan terjadi dalam relasi satulawan-satu antara pekerja sosial dan klien dalam setting pertolongan perseorangan. Menurut Cook(1994), pemberdayaan merupakan upaya yang disengaja untuk memacu peningkatan atau pengembangan masyarakat. Giarci (2001), pemberdayaan merupakan usaha membantu masyarakat agar mampu memutuskan, merencanakan dan mengambil tindakan untuk mengelola dan mengembangkan lingkungan fisiknya serta kesejahteraan sosialnya. Bartle (2003) pemberdayaan merupakan alat untuk menjadikan masyarakat semakin komplek dan kuat (institusi lokal tumbuh, collective power-nya meningkat serta terjadi perubahan secara kualitatif pada organisasinya).Sedangkan menurut Deliveri (2004) pemberdayaan merupakan proses untuk memandirikan masyarakat agar dapat meningkatkan taraf hidupnya sendiri dengan menggunakan dan mengakses sumber daya lokal/setempat. Sumodiningrat (2004), pemberdayaan merupakan upaya untuk membangun daya dan tenaga yang dimiliki masyarakat dengan
336
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
dalam rangka mengurangi beban biaya kesehatan dan pendidikan keluarga miskin. Prioritas program ini untuk meningkatkan kualitas hidup perempuan, di samping upaya untuk meningkatkan kualitas kesehatan perempuan, kualitas pendidikan perempuan, serta penghapusan berbagai tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak, termasuk perdagangan perempuan dan anak (trafficking). Penetapan prioritas ini berkaitan dengan pertimbangan bahwa kemiskinan di seluruh dunia senantiasa berdampak pada perempuan dan anak. Desa PRIMA merupakan sebuah desa percontohan untuk menanggulangi kemiskinan melalui upaya ekonomi disertai pengurangan beban biaya kesehatan dan pendidikan bagi keluarga miskin,dengan memanfaatkan seluruh potensi sumberdaya alam dan sumberdaya manusia serta dengan mengkoordinasikan berbagai program pemberdayaan perempuan dari instansi terkait, LSM, organisasi perempuan, dan organisasi kemasyarakatan lainnya untuk bersama-sama membangun kepedulian untuk menghapuskan kemiskinan. Empat hal yang perlu dilakukan dalam meningkatkan produktivitas ekonomi perempuan, yaitu : a. Mengintensifkan upaya untuk mengarusutamakan atau memfokuskan peningkatan produktivitas ekonomi perempuan dalam seluruh sektor pembangunan secara sinergi, terutama di sektor-sektor yang melaksanakan pembangunan ekonomi rakyat. b. Menumbuhkan kesadaran sektor maupun pemerintah daerah untuk menghasilkan program-program yang tepat untuk meningkatkan produktivitas ekonomi perempuan. c. Mendorong tumbuhnya forum komunikasi program peningkatan ekonomi perempuan untuk mengakses sumberdaya dan informasi program-program pemberdayaan ekonomi baik dari pemerintah, swasta ataupun organisasi non pemerintah d. Mengembangkan model desa mandiri untuk mengurangi beban keluarga miskin.
a. Kelompok lemah secara struktural, baik lemah secara kelas, gender, maupun etnis. b. Kelompok lemah khusus, seperti manula, anak-anak dan remaja, penyandang cacat, gay dan lesbian, masyarakat terasing. c. Kelompok lemah secara personal, yakni mereka yang mengalami masalah pribadi dan atau keluarga. Pemberdayaan masyarakat memiliki dimensi jangka panjang untuk memfasilitasi dan mendorong anggotanya agar mampu mengelola lingkunganstrategissecaraberkesinambungan (sustainable). Pemberdayaan masyarakat mendorong masyarakat untuk memanfaatkan sumberdaya yang dimilikinya secara optimal serta masyarakat dapat terlibat secara penuh dalam mekanisme produksi, ekonomi, sosial dan ekologinya Pemberdayaan masyarakat menyangkut aspek internal dan eksternal. Faktor internal merupakan semua sumberdaya yang dimiliki/dikuasi, sedangkan faktor eksternal adalah keterlibatan pihak luar dalam proses pemberdayaan. Eksternal faktor dapat berupa tim fasiltasi/fasilitator yang bisa merupakan pegawai pemerintah, LSM, swasta, dan lainlain. Peranan tim fasilitator cukup dominan pada awal program namun akan terus berkurang sampai masyarakat tersebut mampu tumbuh mandiri. Tahapan pemberdayaan yaitu seleksi lokasi, sosialisasi program pemberdayaan masyarakat dan proses implementasi pemberdayaan masyarakat. Tahapan implementasi yaitu need assessment dengan Participatory Rural Appraisal (PRA), pengembangan kelompok, perencanaan dan implementasi kegiatan, monitoring dan evaluasi partisipatif, kemandirian masyarakat F. Desa PRIMA Pengembangan Desa PRIMA berdasarkan Kebijakan Peningkatan Produktivitas Ekonomi Perempuan (PPEP) yang dikeluarkan oleh Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.PPEP adalah program yang sangat strategis dalam upaya peningkatan kualitas hidup dan pemenuhan hak ekonomi perempuan melalui penguatan produktivitas ekonomi perempuan
337
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
Perempuan dalam kegiatan usaha secara umum terbagi dalam empat kelompok yaitu perempuan tidak mampu berusaha karena beban kemiskinan, perempuan yang belum atau tidak berusaha, perempuan pengusaha mikro dan perempuan pengusaha kecil menengah. Pada kelompok perempuan pengusaha berskala mikro, permasalahan utama yang dihadapi yaitu ketidaktersediaan uang tunai untuk segera memutarkan usahanya karena kebutuhan rumah tangga masih termasuk bagian dari kegiatan. Kelompok ini sering menjadi korban para pemberi jasa modal dengan bunga harian yang besar. Sementara itu, terdapat kelompok perempuan yang telah berusaha dan masuk kategori usaha kecil dan menengah.Permasalahan yang sering dihadapi perempuan pengusaha kecilyaitu : kurangnya akses informasi pasar dan teknologi, kurangnya akses permodalan, kurangnya peningkatan sumberdaya manusia, kurangnya penataan kelembagaan/ jaringan, dan kurangnya sensitifitas gender di kalangan masyarakat. Pengembangan model Desa PRIMA berlandaskan pada prinsip masyarakat membangun, artinya dalam pelaksanaannya pengembangan model Desa PRIMA akan bertumpu pada kekuatan masyarakat itu sendiri, dan dilaksanakan melalui proses yang sesuai dengan dinamika masyarakat itu sendiri, untuk mencapai tujuan dengan kesepakatan masyarakat bersama. Denganmenyadarikeragamansosial budaya masyarakat, maka pengembangan Desa PRIMA sepenuhnya diserahkan pada komitmen masyarakat sendiri. Pengembangan Desa PRIMA ini memiliki tujuan umum dan tujuan khusus.Tujuan umumnya adalah mewujudkan perempuan Indonesia yang maju dan mandiri di bidang ekonomi melalui pengembangan kegiatankegitan ekonomi produktif untuk mendukung terciptanya kondisi kehidupan yang lebih sehat dan sejahtera baik dilingkungan keluarga, masyarakat maupun bangsa. Tujuan khusus Desa PRIMA antara lain: a. Menstimulasi pengembangan usaha perempuan melalui ketrampilan
b.
c.
d.
e.
perempuan serta menggugah partisipasi berbagai pihak berkepentingandalam pengembangan usaha perempuan danpenanggulangan kemiskinan. Meningkatkan partisipasi masyarakat, kaum perempuan khususnya dan dunia usaha dalam pengembangan perlindungan sosial melalui usaha dan sumber pembiayaan. Meningkatkan produktivitas ekonomi perempuan kelompok miskin di berbagai kegiatan usaha untuk meningkatkan pendapatan keluarga. Meningkatkan akses kelompok perempuan terhadap informasi, teknologi tepat guna dan berbagai sumber pembiayaan. Mewujudkan keadilan dan kesetaraan gendermelalui peningkatan produktivitas ekonomi perempuan.
Sasaran Desa PRIMA yaitu perempuan dari keluarga miskin agar terjadi penurunan tingkat kemiskinan di wilayah tersebut. Sedangkan ruang lingkup Desa PRIMA yaitu: a. Pengembangan usaha yang dilakukan oleh perempuan pada Desa PRIMA, khususnya bagi kelompok perempuan miskin menjadi prioritas. Kegiatan yg dilakukan dalam rangka pengembangan usaha merupakan suatu upaya yang saling berkaitan, mulai dari peningkatan SDM (tingkat pendidikan, kesehatan, politik, sosial budaya dan lingkungan) hingga kemampuan perempuan dalam ambil keputusan dalam penentuan usahanya. b. Partisipasi perempuan meliputi keikutsertaan perempuan mulai dari perencanaan kegiatan usaha yang akan dilaksanakan hingga pengambilan keputusan dan evaluasi pelaksanaan. c. Akses informasi bagi kelompok perempuan. II. METODOLOGI
Penelitian ini termasuk ke dalam penelitian evaluasi (evaluation research).Penelitian evaluasi adalah penelitian yang diharapkan dapat memberikan masukan atau mendukung pengambilan keputusan tentang nilai relatif dari dua atau
338
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
lebih alternatif tindakan (Kuncoro, 2009.)Populasi dalam kajian ini adalah 30 Desa PRIMA di DIY dan stakeholders. Sampel dalam penelitian yaitu seluruh anggota kelompok perempuan Desa PRIMA yang pengambilannya secara sensus, dan stakeholders (dinas pariwisata, Kepala Desa/Lurah, Fasilitator/pendamping) yang pengambilannya secara purposive sampling. Data yang digunakan dalam kegiatan ini meliputi data sekunder dan primer. Data sekunder diperoleh dengan melakukan survei instansional kepada pihak-pihak terkait terutama Pemerintah Daerah DIY, BPS, dan lembaga lain yang memiliki data dan informasi yang relevan. Ada pun data-data primer dilakukan dengan menggabungkan beberapa metode observasi atau pengamatan, wawancara, Forum Group Discussion (FGD). Kajian ini menggunakan metode kuantitatif dan kualitatif, dengan pendekatan analisis gender Harvard atau Gender Framework Analysis (GFA), yaitu suatu analisis yang digunakan untuk melihat suatu profil gender dari suatu kelompok sosial dan peran gender dalam pembangunan yang mengutarakan empat komponen dan interelasi satu sama lain yaitu profil akses, profil partisipasi, profil manfaat dan profil kontrol (Overholt et.al, 1986 dalam Handayani, 2008).
diversifikasi produk atau usaha, motivasi usaha, pengemasan, dan pelatihan cara produksi makanan yang baik dan benar (CPMB). Pelatihan CPMB merupakan tahapan harus diikuti oleh anggota Desa PRIMA untuk memperoleh No. PIRT, yang menjadi kewenangan Dinas Kesehatan. Namun demikian rata-rata anggota kelompok merasa kesulitan mendapatkan No. PIRT karena banyak persyaratan yang harus terpenuhi baik utamanya kebersihan dan higenitas dari tempat produksi, air, peralatan produksi, cara produksi dan sebagainya. Oleh karena itu, perlu upaya pendampingan lebih intensif yang dilakukan oleh fasilitator agar persyaratan-persyaratan minimal tersebut dapat terpenuhi sehingga produk dapat memperoleh No PIRT. Kegiatan pelatihan diselenggarakan oleh berbagai stakeholders seperti Kantor Pemberdayaan Perempuan di Kabupaten/Kota,Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi; Dinas Kesehatan; Dinas Pertanian; Dinas Sosial; Dinas Tenaga Kerja; dan Dinas Ketahanan Pangan atau institusi lain yakni UMY, UGM, UPN memiliki program pemberdayaan perempuan maupun pengabdian masyarakat. Keikutsertaan anggota kelompok Desa PRIMA dalam berbagai pelatihan dan berbagai kelompok pengentasan kemiskinan dari berbagai instansi merupakan hal baik akan tetapi perlu sinergi dan koordinasi lintas sektoral secara kontinyu, komprehensif sehingga program-program yang diimplementasikan dapat mencapai tujuan dan dampaknya dapat dirasakan langsung oleh masyarakat utamanya dalam upaya mengentaskan kemiskinan. Intensitas komunikasi dan koordinasi antarstakeholdersperlu untuk ditingkatkan. Sedangkan akses perluasanpasar bentuknya melalui brosur/leaflet, pameran dan studi banding. Untuk pameran sebagaimana pelatihan sistemnya perwakilan sehingga hanya beberapa orang yang dapat mengikuti pameran.Oleh karena itu, perlu ada sistem internal yang dibangun oleh kelompok untuk rotasi anggota yang diwakilkan untuk mengikuti pameran maupun pelatihan.Hal ini penting dilakukan agar seluruh anggota
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
a. Profil Akses Profil akses menguraikan akses anggota terhadap bantuan modal, pelatihan, perluasan akses pasar dan sumber informasi kegiatankegiatan tersebut. Berdasar hasil analisis, sebagian besar anggota kelompok Desa PRIMA (80% - 95%) merasa mendapat kemudahan untuk, memperoleh bantuan modal, mengikuti pelatihan maupun mengikuti kegiatan perluasan akses pasar. Bantuan modal mudah diperoleh dengan bunga rendah sebesar 1% dan tanpa agunan. Pinjaman anggota pada kisaran Rp.500.000,sampai dengan Rp.2.000.000,- yang dapat diangsur 10 bulan. Pelatihan yang pernah diikuti antara lain mengenai manajemen usaha, pembukuan dan administrasi,
339
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
memiliki tambahan wawasan, pengetahuan dan ketrrampilan yang meerata.Prograam perluasan pasar meelalui meddia pameraan sebagian besar b menyaatakan sesuuai kebutuhan kelompok.
Sedangkkan untuk ppelatihan daan pamerann siifatnya perrwakilan seehingga beelum dapatt seemua anggoota kelompook berpartisipasi dalam m keegiatan tersebut.Biasanya yangg ditunjukk unntuk mew wakili pelaatihan atauu pamerann diitentukan oleh keloompok.Harapan darii keelompok terkait t pelatihan addalah agarr peelatihan daapat dilakukkan di massing-masingg keelompok sehingga seluruh anggotaa keelompok dapat d menggikuti acarra tersebut.. Perbandingann keikutsertaan angggota dalam m peelatihan dappat terlihat ddalam gambbar berikut:
P b. Profil Partisipasi Profil partisipasi p m melihat keteerlibatan atau keikutsertaaan aktif perempuan mulai daari penetapan kebutuhaan formullasi proyek implementtasi, monitoringg daan evaluasi.Paartisipasi ini i dapat dibedakan 2 yaitu partisipasi kuaantitatif (beerapa jumlaah yang terllibat) dan partisipaasi kualitaatif (bagaimana peran perempuuan dalaam pengambilan atau pennetapan kepuutusan).Profil partisipasi dalam kajian ini menguraikan tingkat keehadiran dalam d perttemuan ruttin kelompok, keaktiifan meengemukakaan p dan pendapat, keikutsertaan dalam pelatihan j passar. perluasan jaringan Tingkatt kehadirran angggota dalaam pertemuan rutin, keikuutsertaan daalam pameran dam keikuutsertaan dalam d pelaatihan cukuup baik. Tinggginya tinggkat kehaddiran anggoota dalam peertemuan rutin r ini menunjukk m an partisipasi yang baikk dari seluuruh anggoota dalam impplemantasi program Desa D PRIMA A. Anggota kelompok k y yang tidak hadir dalaam pertemuan rutin umuumnya kareena ada acaara yang berssamaan waaktunya, seedang sibuuk, bekerja, luupa jadwal pertemuan karena tidak ada informasi sebbelumnya (undangann). Perbandinggan kehadirran anggotaa dalam rappat dapat terlihhat dalam gambar berikkut:
Gambaar 3.2. Partisippasi anggotaa dalam pelaatihan Sedangkaan untuk keegiatan pam meran agarr leebih diintennsifkan (seering dilakuukan) agarr daapat memperluas jarinngan pemassaran.Sebabb saaat ini pem masaran meenjadi masaalah utamaa daalam peegembangann usaha anggotaa keelompok. Bagi B anggoota kelomppok bahwaa memproduks m si itu mudaah tetapi memasarkan m n ituu susah. Ketika K menddapat materri pelatihann peemasaran, dalam im mplementasiinya tidakk mudah m sebbab dari aspek pengemasan p n misalnya m unntuk dapat masuk kee swalayann minimal m denngan kemassan plastik ukuran 0,88 yaang Perbaandingan kkeikutsertaaan anggotaa daalam perluuasan passar (pamerran) dapatt teerlihat d dalam gaambar berikut b :
Gam mbar 3.1. Tingkat kehadiran annggota dalam m pertemuaan ruutin
340
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
Gambar 3.3 Partisipasi anggota dalam perluasan pasar
anggota Desa PRIMA
Dari uraian di atas terlihat bahwa partisipasi perempuan (anggota kelompok) dalam berbagai kegiatan dari aspek jumlah atau kuantitas tinggi akan tetapi dari aspek kualitas belum optimal. Salah satu aspek yang dapat terlihat yaitu masih rendahnya keberanian anggota kelompok untuk mengemukakan pendapat.Berdasar hasil analisis data diperoleh fakta bahwa partisipasi perempuan (anggota kelompok) untuk mengeluarkan pendapat hanya berkisar antara 10% – 20%.Oleh karena itu kegiatan-kegiatan yang mampu meningkatkan dan merangsang anggota Desa PRIMA untuk tampil dalam forum publik dapat lebih diintensifkan. c. Profil Manfaat Profil manfaat melihat manfaat apa yang diperoleh perempuan dengan adanya program pembangunan (Desa PRIMA). Profil Kontrol melihat siapa yang mengendalikan keputusan ataupun manfaat atas program pembangunan (Desa PRIMA).Profil manfaat menguraikan manfaat yang diperoleh atau dirasakan dengan mengikuti pelatihan, menerima bantuan modal, mengikuti pameran (perluasan pasar) dan bergabung dengan kelompok Desa PRIMA. Profil manfaat anggota kelompok terlihat dalam tebel berikut: Tabel 3.4 Profil Manfaat Anggota Kelompok Desa PRIMA di DIY No. 1
2 3
4
Profil Manfaat Manfaat pelatihan
Manfaat Bantuan Modal Manfaat perluasan pasar
Manfaat menjadi
Mengembangkan ketrampilan berorganisasi Akses modal dan pasar lebih mudah Meningkatkan kemampuan mengemukakan pendapat
Sumber: Data Primer Berdasar tabel 3.4 terlihat bahwa program Desa PRIMA telah memberikan berbagai manfaat terhadap anggota-anggota kelompoknya.Kegiatan pelatihan, bantuan modal, akses pasar cukup bermanfaat baik untuk mengembangkan usaha, mengembangkan diri maupun menambah penghasilan untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Menurut hasil olah data primer, manfaat bantuan modal yang diperoleh dari program Desa PRIMA yaitu untuk menambah modal usaha, membeli peralatan usaha dan membayar biaya sekolah. Dari fakta ini maka terlihat bahwa bantuan yang diberikan digunakan untuk pengembangan usaha meskipun masih ada sebagian kecil yang memanfaatkan bantuan tersebut untuk keperluan lain seperti membayar biaya sekolah anak, melunasi hutang ditempat lain, konsumsi keluarga dan menambah biaya membangun rumah. Upaya membuka akses pasar yang selama ini telah dilakukan memberikan manfaat kepada anggota kelompok Desa PRIMA, yaitu mendapat pasar baru dan menambah mitra kerjasama, mendapat pengetahuan dan ketrampilan baru, menyerap/ menambah tenaga kerja. Dari berbagai kegiatan tersebut, anggota kelompok merasa mendapat beberapa manfaat dengan bergabung dalam kelompok Desa PRIMA yaitu sebagian besar (80%) merasa penghasilan usaha meningkat, kemampuan dan ketrampilan berorganisasi berkembang, akses modal dan pasar lebih mudah dan kemampuan mengemukakan pendapat dalam forum meningkat. Penghasilan usaha meningkat seiring dengan manajeman usaha yang lebih baik (aspek produksi, pemasaran, administrasi dan pembukuan), akses modal lebih mudah sebab bunga pinjaman hanya 1% yang tentunya lebih rendah dari bunga bank.Rata-rata peningkatan pendapatan anggota kelompok
Manfaat yang diterima anggota kelompok Manajemen usaha lebih baik Menumbuhkan kreatvitas diversifikasi produk Mengembangkan ketrampilan berorganisasi Menambah modal usaha Membeli peralatan usaha Membayar biaya sekolah Meningkatkan penjualan Mendapat ketrampilan/pengetahuan baru Mendapat pasar baru Menyerap/ menambah tenaga kerja Meningkatkan penghasilan usaha
341
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
Tiga (3) fakta tersebut mengindikasikan bahwa perempuan (anggota kelompok) telah memiliki kekuasaan atau kontrol atas dirinya sendiri terhadap berbagai kegiatan yang dilakukan meskipun demikian keterlibatan laki-laki (suami) tidak dapat diabaikan. Kondisi ini tentu menjadi modal dasar untuk pengembangan Desa PRIMA ke depan agar kontrol atau kuasa perempuan terhadap dirinya semakin besar.. Sedangkan dukungan suami terhadap istri untuk berpartisipasi dalam kegiatan program Desa PRIMA terlihat cukup tinggi meskipun masih ada sedikit suami yang tidak selalu mendukung karena berbagai alasan seperti kesibukan mengurus rumah/anak, kesibukan mengelola usaha keluarga, dan sebagainya. Dukungan suami yang baik ini tentu akan mempermudah perempuan (anggota Desa PRIMA) untuk selalu aktif berpartisipasi dalam berbagai program yang dilaksanakan Desa PRIMA. Pengembangan perempuan untuk dapat berperan dalam ranah publik sangat mungkin terjadi melalui program Desa PRIMA sehingga perempuan tidak lagi terkungkung dalam budaya patriarkhi dengan peran-peran domestik yang dibebankan.
berkisar antara 10-40% dan sebagian kecil pada kisaran 41 – 80%.Tidak ada yang peningkatan pendapatan usahanya lebih dari 80%.Kondisi ini menunjukkan bahwa program Desa PRIMA mampu berkontribusi dalam peningkatan perekonomian perempuan khususnya dan keluarga pada umumnya. Sedangkan untuk kemampuan mengemukaan pendapat dalam forum. Menurut olah data primer,sekitar 10-20% perempuan yang berani mengemukaan pendapat dalam forum.Kondisi ini merupakan dampak sosial yang baik meskipun masih perlu untuk terus dikembangkan.Fakta yang ada, selama ini perempuan lebih cenderung diam dan tidak berani mengemukakan pendapatnya (silent group).Ketidakpercayaan diri perempuan yang sering menjadi penyebab perempuan tidak berani menyampaikan ideidenya, ada kekhawatiran ditolak, disalahkan atau bahkan dilecehkan pendapatnya. d. Profil Kontrol Profil Kontrol melihat siapa yang mengendalikan keputusan ataupun manfaat atas program pembangunan (Desa PRIMA).Dalam profil kontrol, perempuan memiliki kekuasaan untuk mengubah kondisi posisi, masa depan diri dan komunitasnya.Profil kontrol anggota ini menguraikan siapa penentu keputusan atas berbagai program Desa PRIMA, diri sendiri/istri, suami, kedua pihak (suami dan istri). Berdasar hasil kajian terlihat bahwa penentu keputusan atau kontrol tehadap berbagai kegiatan dalam Desa PRIMA lebih banyak dilakukan oleh keluarga (istri dan suami), kemudian oleh istri (anggota kelompok bersangkutan) dan terakhir oleh suami. Kondisi ini menunjukkan bahwa anggota kelompok Desa PRIMA dalam mengambil keputusan cenderung untuk melibatkan atau berdiskusi dengan suami.Hal yang menggembirakan bahwa sudah ada anggota kelompok yang menentukan sendiri keputusan untuk berpartisipasi dalam kegiatan Desa PRIMA.Namun demikian masih tetap ada yang mengambil keputusan untuk berpartisipasi dalam kegiatan Desa PRIMA adalah suami.
IV. KESIMPULAN
1. Kinerja anggota dan kelompok Desa PRIMA menunjukkan hasil positif baik dari profil akses, profil partisipasi, profil manfaat dan profil kontrol. 2. Akses anggota dan kelompok terhadap bantuan modal, pelatihan maupun perluasan pasar mudah 3. Partisipasi anggota dan kelompok terhadap kegiatan pertemuan rutin, pelatihan dan perluasan akses pasar ditinjau dari aspek kuantitas tinggi tetapi dari aspek kualitas masih rendah. 4. Manfaat yang diperoleh anggota melalui pelatihan yaitu manajemen usaha lebih baik, menumbuhkan kreatvitas diversifikasi produk, mengembangkan ketrampilan berorganisasi, manajemen usaha lebih baik, mengembangkan ketrampilan berorganisasi, menambah pengetahuan tentang pembukuan dan administrasi, mengembangkan strategi pemasaran.
342
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
mampu menyerap tenaga kerja, meningkatkan solidaritas dan silaturahmi antar anggota dari berbagai desa, dan membantu mengatasi masalah ekonomi keluarga.
5. Manfaat yang diperoleh anggota melalui bantuan modal yaitu menambah modal usaha, membeli peralatan usaha, membayar biaya sekolah, bunga pinjaman lebih rendah, mengurangi ketergantungan pada tengkulak, persyaratan memperoleh pinjaman lebih mudah,pengembalian pinjaman tidak memberatkan. 6. Manfaat yang diperoleh melalui perluasan akses pasar yaitu meningkatkan penjualan, mendapat ketrampilan/pengetahuan baru, mendapat pasar baru, menyerap/ menambah tenaga kerja, mendapat pengetahuan/ketrampilan baru, melakukan diversifikasi produk, mendapatkan mitra kerjasama. 7. Manfaat yang diperoleh dengan bergabung menjadi anggota Desa PRIMA yaitu meningkatkan penghasilan usaha, mengembangkan ketrampilan berorganisasi, manajemen usaha lebih baik,menumbuhkan diversifikasi produk, mengembangkan ketrampilan berorganisasi,menambah pengetahuan tentang administrasi dan pembukuan, akses modal dan pasar lebih mudah, meningkatkan kemampuan mengemukakan pendapat. Peningkatan penghasilan usaha pada kisaran 10% sampai dengan 80%. 8. Kontrol terhadap berbagai program Desa PRIMA belum sepenuhnya dilakukan oleh perempuan (anggota kelompok) tetapi masih ada peran laki-laki (suami). Perempuan (anggota kelompok) yang melakukan kontrol terhadap berbagai program pengembangan Desa PRIMA berkisar antara 20% - 46%, kontrol oleh laki-laki (suami) 2% - 10% dan kontrol yang dilakukan secara bersama-sama suami/istri berkisar 40% - 80%. 9. Implentasi program Desa PRIMA menimbulkan dampak ekonomi dan dampak sosial bagi anggota kelompok maupun masyarakat sekitar.Dampak ekonomi meliputi peningkatan penjualan melalui pameran, peningkatan pendapatan untuk menambah modal dan biaya anak sekolah, penambahan modal dengan bunga rendah.Dampak sosial meliputi peningkatan pengetahuan, ketrampilan dan motivasi mengembangkan produk lokal,
DAFTAR PUSTAKA Asnawi.S. (1994).Masalah Kemiskinan di Pedesaan dan Strategi penaggulangannya, Seminar SosialBudayaMengentaskanKemiskina n. KelompokKerjaPanitiaDasawarsa PengembanganKelompokKebudayaan Provinsi Sumatera Barat. Bartle,
Phil.(2003). Key Words C of Community Development, Empowerment,Participation: (http://www.scn.org/ip/cds/cmp/keyc.htm)
Cahyat, dkk. (2004). MengkajiKemiskinandanKesejahteraa nRumahTangga: SebuahPanduandenganContohdariKut ai Barat, Indonesia. Bogor : Center for International Forestry Research Cook,
James B. (1994). Community Development Theory, Community Development Publication MP568, Dept. of Community Development.Coloumbia: University of Missouri.
Daulay.M. (2009).KemiskinanPedesaan. Medan: USUpress Deliveri (2004): PemberdayaanMasyarakat, dalamhttp://www.deliveri.org/guidelin es/policy/pg_3_summary.htm Faisal, Sanapiah. (1995). Format-format Penelitian Sosial: Dasar-dasar dan Aplikasi. Jakarta: Rajawali Pers. Fakih,M. (2008).Analisis Gender danTransformasiSosial.Yogyakarta: PustakaPelajar
343
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
Giarci, G.G. (2001).Caught in Nets: A Critical Examination of the Use of the Concept of“Network” in Community Development Studies, Community Development. Journal Vol.36 No.1 January 2001 pp 63-71. New York : Oxford University Press. Jhingnan ML. (2000).Ekonomi Pembangunan danPerencanaan. Jakarta: Penerbit PT. Raja GrafindoPersada Mosse,J.C.(2007).Gender dan Pembangunan. Yogyakarta: PustakaPelajar Nugroho,R. (2008). Gender danStrategiPengarusutamaannya di Indonesia. Yogyakarta: PustakaPelajar Suharto, Edi. (2005). Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat. Bandung: Refika Aditama. Sumodiningrat, G. (2000). Visidan Misi Pembangunan PertanianBerbasisPemberdayaan. Yogyakarta: IDEA. SupriyantodanSubejo.(2004). HarmonisasiPemberdayaanMasyarak atPedesaandengan PembangunanBerkelanjutan. BuletinEkstensia. Jakarta: PusatPenyuluhanPertanian, Deptan RI, Vol 19/Th XI/2004 Website BadanPemberdayaanPerempuandanM asyarakat DIY: www.bppm.jogjaprov.go.id Website BadanPusatStatistik: www.bps.go.id Website KementrianPemberdayaanPerempuand anPerlindunganAnak: www.menegpp.go.id World Bank.(2000).Word Bank Development Report Poverty. New York:Oxford University.
344
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
KONFLIK PENYELENGGARAAN PILKADA LANGSUNG DALAM OTONOMI DAERAH PANGKY FEBRIANTANTO, S.IP Alumni FISIPOL UGM / Mahasiswa MIP UMY Magister Ilmu Pemerintahan - Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Yogyakarta, Indonesia
[email protected]
Abstrak --- Reformasi 1998 telah memberi dampak banyak terhadap perubahan tatanan kenegaraan di Indonesia. Salah satunya adalah dengan adanya otonomi daerah. Di mana otonomi daerah pasca reformasi lebih memberi wewenang kepada daerah baik provinsi maupun kabupaten atau kota untuk mengurus pemerintahan daerahnya sendiri. Salah satu produk yang dilahirkan dari rahim otonomi daerah pasca reformasi adalah penyelenggaraan pilkada langsung. Pada masa orde baru, kepala daerah diangkat oleh Presiden, yang mekanisme pemilihannya di DPRD juga dikontrol oleh Presiden. Dengan kata lain, kepala daerah dipilih oleh DPRD dengan sentuhan intervensi presiden. Sedangkan pasca reformasi, pada awalawal memang kepala daerah tetap dipilih oleh DPRD, namun setelah terbit Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 kepala daerah dipilih lewat pemilihan langsung oleh rakyat seperti pada sistem pemilihan umum. Pemilihan kepala daerah daerah secara langsung ini lazim disebut pilkada langsung. Secara perspektif demokrasi, tentu pilkada langsung ini jauh lebih demokratis dibanding pemilihan kepala daerah lewat DPRD di mana rakyat dapat memilih sendiri calon kepala daerahnya. Namun, adanya pilkada langsung tentu tidak lepas dari adanya konflik.
345
Makalah ini memaparkan tentang pilkada langsung dan juga pemetaan konflik di dalamnya. Selain itu dipetakan tentang aktor-aktor yang harus berperan dalam meminimalisir konflik yang terjadi dalam pilkada langsung. Kata kunci : otonomi daerah, pilkada langsung, konflik
PENDAHULUAN Semenjak reformasi berjalan di Indonesia, semangat untuk merayakan demokrasi
dengan
pemerintahan derasnya.
pun Mulai
perbaikan
sistem
mengalir
dengan
dari
kebebasan
mendirikan partai politik, mereformasi struktur
lembaga
tinggi
negara,
mengajukan ususlan pemekaran daerah, memperbarui sistem pemilihan umum legislatif
dengan
sistem
proporsional
terbuka, sampai pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung. Dan yang
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
lebih menarik adalah euforia pelaksanaan
tingkat pusat, maka diidealkan bahwa sejak
otonomi daerah.
diterapkannya kebijakan otonomi daerah itu,
Menurut Undang-Undang Nomor
arus
dinamika
kekuasaan
akan
32 Tahun 2004 yang tertuang dalam pasal
bergerak sebaliknya, yaitu dari pusat ke
1 ayat 5, yang dimaksud dengan otonomi
daerah.1
daerah
adalah
hak,
wewenang,
dan
Sebagai
perwujudan
dari
cita
kewajiban daerah otonom untuk mengatur
desentralisasi tersebut, maka langkah-
dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
langkah penting sudah dilakukan oleh
dan kepentingan masyarakat setempat
pemerintah. Lahirnya berbagai peraturan
sesuai
perundang-undangan
dengan
peraturan
perundang-
yang
mengatur
undangan. Dan daerah otonom atau daerah
tentang pemerintahan daerah membuktikan
yang dimaksud seperti yang tertuang
bahwa keinginan untuk mewujudkan cita-
dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun
cita
2004 ayat 4 adalah kesatuan masyarakat
demikina, kenyataan membuktikan bahwa
hukum
batas-batas
cita tersebut masih jauh dalam realisasinya.
wilayah yang berwenang mengatur dan
Otonomi daerah masih lebih sebagai
mengurus
dan
harapan ketimbang sebagai kenyataan yang
kepentingan masyarakat setempat menurut
telah terjadi. Dengan demikian dapat
prakarsa
aspirasi
dikatakan
bahwa
masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan
belumlah
terwujud
Republik Indonesia.
diharapkan. Beberapa faktor-faktor yang
yang
mempunyai
urusan sendiri
pemerintahan berdasarkan
Pada prinsipnya, kebijakan otonomi daerah
dilakukan
mendesentralisasikan
ini
terus
menetukan
dengan
berlanjut.
prospek
Sekalipun
Otonomi
Daerah
sebagaimana otonomi
yang daerah,
diantaranya, yaitu :
kewenangan–
Faktor
Pertama
adalah
faktor
kewenangan yang selama ini tersentralisasi
manusia sebagai subyek penggerak (faktor
ditangan pemerintah pusat. Dalam proses
dinamis) dalam peenyelenggaraan otonomi
desentralisasi itu, kekuasaan pemerintah
daerah. Faktor manusia ini haruslah baik,
pusat dialihkan dari tingkat pusat ke
dalam
Pemerintahan
sebagaimana
kapasitasnya. Faktor ini mencakup unsur
mestinya, sehingga terwujud pergeseran
pemerintah daerah yang terdiri dari Kepala
Daerah
pengertian
moral
maupun
kekuasaan dari pusat ke daerah kabupaten dan kota di seluruh Indonesia. Jika dalam kondisi
semula
arus
1
Asshiddiqie, Jymli. 2012. Otonomi Daerah dan Parlemen Di Daerah. www.mahkamahkonstitusi.go.id. Diakses pada 10 April 2016.
kekuasaan
pemerintahan bergerak dari daerah ke
346
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat
yang
Daerah (DPRD), aparatur daerah maupun
pemerintahan
masyarakat
dengan baik, efisien, dan efektif. Oleh
daerah
yang
merupakan
memadai tidak
dapat
sebab
daerah tersebut.
sunggguh terhadap masalah ini dituntut
keuangan
sungguh-
faktor
dari para penyelenggara pemerintahan
merupakan
tulang
daerah. Dengan adanya otonomi daerah
punggung bagi terselenggaranya aktivitas pemerintahan
yang
adalah
kedua
yang
perhatian
dilakukan
lingkungan tempat aktivitas pemerintahan Faktor
itu
penyelenggaraan
diharapkan daerah tingkat I maupun
Daerah. Salah stu cirri pada
Tingkat II mampu mengelola daerah nya
kemampuan self supportingnya / mandiri
sendiri. Untuk kepentingan rakyat dan
dalam bidang keuangan. Karena itu,
untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat
kemampuan keuangan ini akan sangat
secara sosial ekonomi yang merata2.
daerah
otonom
adalah
memberikan
terletak
pengaruh
terhadap
Dan salah satu wujud pelaksanaan
penyelenggaraan pemerintahan daerah.
otonomi
daerah
adalah
dengan
Sumber keuangan daerah yang asli,
dilaksanakannya pemilihan umum kepala
misalnya pajak dan retribusi daerah, hasilm
daerah dan wakil kepala daerah atau
perusahaan daerah dan dinas daerah, serta
pilkada
hasil daerah lainnya yang sah, haruslah
langsung. Pilkada langsung sebagai sarana
mampu memberikan kontribusinya bagi
untuk
keuangan daerah.
Keberhasilan otonomi daerah salah satunya
Faktor
memperkuat
otonomi
secara daerah.
juga ditentukan oleh pemimpin lokal.
sarana
Selain itu, Pilkada langsung sebagai sarana
pendukung bagi terselenggaranya aktivitas
pembelajaran demokrasi politik bagi rakyat
pemerintahan daerah. Peralatan yang ada
(civic
haruslah cukup dari segi jumlahnya,
pilkada langsung akan menjadi media
memadai dari segi kualitasnya dan praktis
pembelajaran praktik berdemokrasi bagi
dari segi penggunaannya. Syarat-syarat
rakyat yang diharapkan dapat membentuk
peralatan semacam inilah yang akan sangat
kesadaran kolektif segenap unsur bangsa
berpengaruh
tentang pentingnya memilih pemimpin
yang
adalah
diselenggarakan
faktor
peralatan
ketiga
yang
merupakan
terhadap
penyelenggaraan
pemerintahan daerah. Faktor organisasi
keempat
dan
education).
Dengan
kata
lain,
yang benar sesuai nuraninya. adalah
manajemen.
faktor 2
Kaho, Josef Riwu. 2002. Prospek Otonomi Daerah di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Rajawali Press: Jakarta
Tanpa
kemampuan organisasi dan manajemen
347
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
Ketentuan
tentang
Pemilukada
dengan
melibatkan
orang-orang yang
atau
diatur dalam pasal 18 ayat 4 Undang-
kelompok-kelompok
Undang Dasar 1945. Pasal tersebut yang
menantang dengan ancaman kekerasan.4
berbunyi “Gubernur, Bupati dan Walikota
Dari kedua definisi tersebutdapat diambil
masing-masing sebagai kepala pemerintah
kesimpulan
daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih
percekcokan,
secara demokratis”. Sedangkan Undang-
pertentangan yang terjadi antar anggota
Undang yang mengatur tata pelaksanaan
atau masyarakat dengan tujuan untuk
Pemilukada di Indonesia pada dasarnya
mencapai sesuatu yang diinginkan dengan
mengacu pada Undang-Undanga Nomor
cara saling menantang dengan ancaman
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
kekerasan.
bahwa
saling
konflik
adalah
perselisihan
dan
Daerah. Dalam pasal 21 Undang-Undang
Konflik sosial merupakan satu
No. 32 Tahun 2004 diatur tentang hak-hak
bentuk interaksi sosial antara satu pihak
daerah dalam menyelenggarakan otonomi,
dengan pihak lain didalam masyarakat
dimana salah satu haknya adalah memilih
yang ditandai dengan adanya sikap saling
pimpinan daerah.
mengancam,
menekan,
menghancurkan.
hingga
Konflik
saling sosial
KONFLIK
sesungguhnya merupakan suatu proses
Istilah konflik secara etimologis
bertemunya dua pihak atau lebih yang
berasal dari bahasa Latin “con” yang
mempunyai kepentingan yang relatif sama
berarti bersama dan “fligere” yang berarti
terhadap
benturan atau tabrakan.3 Pada umumnya
Menurut
istilah konflik sosial mengandung suatu
bukunya
rangkaian fenomena pertentangan dan
Sosiologi”, Soerjono Soekanto membagi
pertikaian
konflik sosial menjadi lima bentuk yaitu:
antar
pribadi
melalui
dari
hal
yang
Soerjono yang
sifatnya Soekanto berjudul
terbatas. dalam “Kamus
1. Konflik atau pertentangan pribadi,
konflik kelas sampai pada pertentangan Dalam
yaitu konflik yang terjadi antara
pengertian lain, konflik adalah merupakan
dua individu atau lebih karena
suatu proses sosial yang berlangsung
perbedaan
dan
peperangan
internasional.
pandangan
dan
sebagainya. 3
Elly M. Setiadi dan Usman Kolip, Pengantar Sosiologi Pemahaman Fakta dan Gejala Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), hal 345.
4
Soerjono Soekanto, Kamus Sosiologi, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1993), hal.99.
348
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
rakyat
2. Konflik atau pertentangan rasial,
sebagai
pemegang
yaitu konflik yang timbul akibat
menentukan
kebijakan
perbedaan-perbedaan ras.
Mengandung
arti
kedaulatan kenegaraan.
bahwa
kekuasaan
tertinggi untuk mengatur pemerintahan
3. Konflik atau pertentangan antara kelas-kelas sosial, yaitu konflik
Negara
ada
pada
rakyat.
Melalui
yang terjadi disebabkan adanya
Pemilukada, rakyat dapat memilih siapa
perbedaan kepentingan antar kelas
yang menjadi pemimpin dan wakilnya
sosial.
dalam proses penyaluran aspirasi, yang selanjutnya menentukan arah masa depan
4. Konflik atau pertentangan politik,
sebuah negara5.
yaitu konflik yang terjadi akibat adanya kepentingan atau tujuan
Peraturan
Pemerintah
tentang
politis seseorang atau kelompok.
Pilkada langsung pertama kali adalah
5. Konflik atau pertentangan yang
Peraturan Pemerintah Nomor 06 Tahun
bersifat internasional, yaitu konflik
2005
yang
terjadi
tentang
Pemilihan,
Pengesahan
karena
perbedaan
Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala
kepentingan
yang
kemudian
Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Di
berpengaruh
pada
kedaulatan
mana, dalam produk hukum tersebut
negara. Dari
didefinisikan tentang pilkada yaitu sebagai konflik
sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat di
langsung
wilayah Propinsi dan Kabupaten/ Kota
sebenarnya dapat masuk ke dalam bentuk
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945
konflik pribadi namun lebih tepat apabila
untuk memilih Kepala Daerah dan Wakil
konflik pilkada langsung masuk dalam
Kepala Daerah. Undang-undang Nomor 32
bentuk konflik politik karena banyak unsur
Tahun 2004 pasal 56 ayat (1) dinyatakan
politik
bahwa Kepala daerah dan wakil kepala
tersebut,
kelima konflik
yang
bentuk pilkada
terjadi
dalam
pilkada
langsung.
daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang
dan
dilaksanakan
secara
demokratis
PILKADA LANGSUNG
berdasarkan asas langsung, umum, bebas,
Pemilihan umum Kepala Daerah
rahasia, jujur, dan adil.
Wakil
Kepala
Daerah
(Pilkada)
Dari pemaparan tersebut maka
merupakan instrumen yang sangat penting
dapat dikatakan bahwa Pemilihan umum
dalam
5
penyelenggaraan
Pemerintahan
Yusdianto, Identifikasi Potensi Pelanggaran Pemilihan Kepala Daerah dan Mekanisme Penyelesaiiannya. Jurnal Konstitusi Vol II nomor 2, November 2010, hlm 44
Daerah berdasarkan prinsip demokrasi di daerah, karena di sinilah wujud bahwa
349
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
kepala daerah dan wakil kepala daerah,
diawasi oleh Panitia Pengawas Pemilihan
atau seringkali disebut pilkada, adalah
Umum (Panwaslu) Provinsi dan Panwaslu
pemilihan umum untuk memilih kepala
Kabupaten/Kota. Khusus di Nanggroe
daerah dan wakil kepala daerah secara
Aceh Darussalam, Pilkada diselenggarakan
langsung di Indonesia oleh penduduk
oleh Komisi Independen Pemilihan (KIP)
daerah setempat yang memenuhi syarat.
dengan diawasi oleh Panitia
Kepala daerah dan wakil kepala daerah
Pemilihan
adalah:
Awalnya, peserta pilkada adalah pasangan
(Panwaslih
Aceh).
calon yang diusulkan oleh partai politik
1. Gubernur dan wakil gubernur untuk
atau gabungan partai politik. Seiring
provinsi 2. Bupatidan
Aceh
Pengawas
wakil
bupati
berjalannya
untuk
Undang
kabupaten
waktu,
Nomor
adanya 12
Undang-
Tahun
2008
menyatakan bahwa peserta pilkada juga
3. Walikota dan wakil walikota untuk kota
dapat
berasal
dari
Sebelumnya, kepala daerah dan
perseorangan yang didukung oleh sejumlah Khusus
pasangan
di
calon
wakil kepala daerah dipilih oleh Dewan
orang.
Nanggroe
Aceh
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Dasar
Darussalam, peserta Pilkada juga dapat
hukum penyelenggaraan pilkada adalah
diusulkan oleh partai politik lokal.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
Pilkada secara langsung oleh rakyat
Tentang Pemerintahan Daerah. Dalam
dapat dikatakan sebagai suatu proses
undang-undang ini, pilkada (pemilihan
demokrasi menuju ke arah yang lebih
kepala daerah dan wakil kepala daerah)
demokratis. Oleh karena itu, pilkada secara
belum dimasukkan dalam rezim pemilihan
langsung harus menjamin terselenggaranya
umum (pemilu). Pilkada langsung pertama
pemilihan yang berkualitas dan berjalan
kali diselenggarakan pada bulan Juni 2005.
dengan baik. Pilkada secara langsung
Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor
merupakan
22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara
menggabungkan
Pemilihan Umum, pilkada dimasukkan
masyarakat.Kehadiran
dalam rezim pemilu, sehingga secara resmi
langsung dipandang memiliki sejumlah
bernama "pemilihan umum kepala daerah
keunggulan
dan wakil kepala daerah".
pemilihan melalui DPRD. Menurut AA GN
Pilkada langsung diselenggarakan
Ari
gagasan
penting
kearifan
pilkada
dibanding Dwipayana,
dengan
dalam secara sistem
setidaknya
yang
ada
oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU)
beberapa
Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota dengan
pemilukadaa dilakukan secara langsung.
350
kondisi
lokal
dalam
mendukung
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
Pertama, pengaturan pemilukada
konsep demokrasi langsung dalam pilkada,
langsung menawarkan sejumlah manfaat
tiap masyarakat lokal akan mendapatkan
dan sekaligus harapan bagi pertumbuhan,
kesempatan untuk memperoleh semacam
pendalaman
demokrasi
pendidikan politik, kepemimpinan politik
melalui
dan sekaligus mempunyai posisi yang
ruang
setara untuk terlibat dalam pengambilan
lokal.
dan
perluasan
Demokrasi
pemilukada
langsung
akan
membuka
partisipasi yang luas bagi warga dalam
keputusan
proses
legitimasi politik kepada calon Kepala
demokrasi
dalam
menentukan
sistem demokrasi perwakilan yang lebih meletakkan
kuasa
sekaligus
memberi
Daerah dan wakil Kepala Daerah8.
pemimpin di tingkat lokal dibandingkan banyak
politik
Keempat,
pilkada
langsung
untuk
memperbesar harapan untuk mendapatkan
menentukan rekrutmen calon di tangan
figur pemimpin yang aspiratif, kompeten,
segelintir orang di Dewan Perwakilan
dan
Rakyat Daerah (DPRD)6.
masyarakat.Dengan
terbaik
sesuai
keinginan
dilaksanakannya
Kedua, dari sisi kompetisi politik,
pemilukada secara langsung maka Kepala
pilkada secara langsung memungkinkan
Daerah yang terpilih akan lebih peduli
munculnya
pada warga dibandingkan anggota DPRD
persaingan
menarik
antar
kandidat serta memungkinkan masing-
yang
masing kandidat untuk berkompetisi dalam
pemilukada
ruang
jika
langsung. Dengan demikian pemilukada
melalui
mempunyai sejumlah manfaat berkaitan
DPRD. Pemilukada langsung juga akan
dengan peningkatan kualitas tanggung
memberikan sejumlah harapan pada upaya
jawab pemerintah daerah pada masyarakat
pengembalian kedaulatan rakyat kepada
yang pada akhirnya akan mendekatkan
rakyat dan bukan kepada DPRD7.
Kepala Daerah dengan masyarakat9.
yang
dibandingkan
lebih sistem
terbuka tertutup
Ketiga, sistem pemilihan langsung
memiliki
peran
dijalankan
Kelima,
Kepala
penting
saat
secara
tidak
Daerah
yang
akan memberi peluang bagi warga untuk
terpilih melalui pemilukada langsung akan
menggunakan hak pilihnya untuk memilih
memiliki legitimasi politik yang kuat
tipe pemimpin yang terbaik tanpa ada
sehingga akan terbangun perimbangan
intervensi dan tekanan. Setidaknya melalui
kekuatan (check and balances) di daerah antara Kepala Daerah dengan DPRD.
6
Dwipayana, AA GN Ari. Pemilihan Umum Kepala Daerah Langsung dan Otonomi Daerah, .www.plod.ugm.ac.id/makalah. Diakses pada 10 April 2016 7 Ibid
Perimbangan kekuatan dalam menjalankan 8 9
351
Ibid Ibid
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
fungsi pemerintahan akan meminimalisasi
elektoral,
justru
menjadi
ajang
baru
penyalahgunaan kekuasaan10.
timbulnya konflik kekerasan dan benturanbenturan fisik antar pendukung calon
KONFLIK DALAM PILKADA LANGSUNG Latin
kepala
daerah
menjadi
pemandangan
jamak
yang
ditemui.
Singkatnya,
Konflik berasal dari kata kerja
mekanisme demokrasi yang ada seolah
configure
saling
justru melegitimasi munculnya kekerasan
konflik
akibat perbedaan yang sulit ditolerir antara
memukul.
Secara
yang
berarti
sosiologis,
diartikan sebagai suatu proses sosial antara
pihak-pihak
dua orang atau lebih atau bisa juga
demokrasi. Dalam kajian Syamsudin Haris
kelompok
(2005), sedikitnya ada lima hal yang
dimana
salah
satu
pihak
berkepentingan
menyebabkan
menghancurkannya
menimbulkan kekerasan dalam momentum
membuatnya
konflik
arena
berusaha menyingkirkan pihak lain dengan atau
terjadinya
di
yang
Pilkada, yaitu:
tidak berdaya. Dalam proses demokrasi sebuah
Pertama, konflik yang bersumber
keniscayaan karena setiap individu atau
dari mobilisasi politik atas nama etnik,
kelompok sosial memiliki kepentingan,
agama, daerah, dan darah. Mobilisasi
pemahaman, dan nilai yang berbeda-beda.
politik atas nama etnik dan agama, baik
Konflik relatif mudah hadir dari basis
secara bersama maupun terpisah, potensial
sosial yang lebih kompleks, dibanding
muncul di
hanya sekedar suatu kompetisi dalam
ketegangan etnis cenderung tinggi seperti
proses demokrasi.
di Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku,
elektoral,
konflik
merupakan
wilayah-wilayah
di
mana
Pilkada, sebagai sebuah mekanisme
serta daerah-daerah di mana proporsi
demokrasi sebenarnya dirancang untuk
penduduk secara etnik dan/atau agama
mentransformasikan sifat konflik yang
relatif berimbang. Sementara itu, konflik
terjadi di masyarakat. Pilkada berupaya
yang bersumber dari mobilisasi politik atas
mengarahkan agar konflik tidak meluas
nama
menjadi kekerasan. Sayangnya, idealitas
mungkin potensial muncul di hampir
yang dibangun dalam sebuah proses
semua daerah yang menyelenggarakan
demokrasi, pada kenyataannya seringkali
pilkada. Sementara itu, konflik yang
jauh dari apa yang diharapkan. Pilkada
bersumber dari mobilisasi politik atas
yang
nama “golongan darah” (bangsawan atau
dirancang
sebagai
demokrasi
daerah
asal
(asli-pendatang)
bukan), potensial muncul di daerah-daerah 10
bekas kerajaan atau kesultanan di masa
Ibid
352
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
lalu, dan daerah-daerah di mana relasi
jenis ini terutama berpeluang muncul di
politik atas dasar kelas sosial masih cukup
daerah-daerah di mana kepala daerahnya
dominan.
maju kembali sebagai kandidat untuk jabatan kedua. Netralitas panitia pilkada di
Kedua, konflik yang bersumber dari kampanye negatif antar pasangan
tingkat
calon kepala daerah. Berbeda dengan
desa/kelurahan (PPS) amat menentukan.
pemilu presiden, di mana kandidat hanya
Potensi konflik juga bisa muncul jika
dikenal
dan
aparat birokrasi (PNS, TNI, dan Polri)
elektronik, para calon kepala daerah adalah
cenderung memobilisasi dukungan bagi
tokoh-tokoh yang hampir setiap saat bisa
kandidat dari unsur PNS, TNI, dan Polri.
melalui
media
cetak
kecamatan
(PPK)
dan
ditemukan di daerah. Sebagian besar
Kelima, konflik yang bersumber
masyarakat bahkan mungkin mengenal
dari perbedaan penafsiran terhadap aturan
pribadi dan asal-usul tiap calon. Karena
main penyelenggaraan pilkada. Sejumlah
itu, kampanye negatif yang mengarah
ketentuan pilkada yang diatur dalam
munculnya
mengenai
integritas
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004,
mengundang
gesekan
Peraturan Pemerintah Nomor 06 Tahun
antarmassa pendukung dalam kampanye
2005, dan aturan main lain seperti Inpres,
pilkada.
Keppres,
Perpres,
potensial
mengundang
kandidat
fitnah bisa
Ketiga, konflik yang bersumber
dan
Kepmendagri, konflik
jika
dari premanisme politik dan pemaksaan
ditafsirkan secara berbeda oleh peserta
kehendak. Gejala ini sudah muncul di
(kandidat
berikut
beberapa daerah, saat massa pendukung
penyelenggara
pilkada
calon memprotes keputusan KPUD karena
pemda serta DPRD.
calon
tidak
memenuhi
administratif
yang
Premanisme
politik
persyaratan
ditentukan dan
Di
UU.
Pilkada
sisi secara
lain,
partainya), (KPUD),
dan
penyelenggaraan
langsung
memang
pemaksaan
merupakan aktivitas yang berhubungan
kehendak bisa muncul pula setelah pilkada
dengan kekuasaan. Seluruh partai memiliki
usai dan hasilnya diumumkan KPUD jika
kepentingan, begitu pun individu kandidat
elite yang menjadi kandidat kepala daerah
yang hendak bertarung. Mereka akan
“tidak siap” menerima kekalahan dan
mengoptimalkan
memprovokasi massa pendukungnya.
termasuk
Keempat, konflik yang bersumber dari
manipulasi
dan
seluruh
kekuatan
kekuatan dari
para
pendukungnya masing-masing. Jika ada
kecurangan
kesiapan untuk menang dalam sebuah
penghitungan suara hasil pilkada. Konflik
rivalitas, seyogyanya juga harus ada
353
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
kesiapan untuk kalah. Namun demikian,
pemimpinnya bisa menikmati hak-hak
banyak kandidat yang ternyata tidak siap
dasar warga negara, seperti kebebasan
kalah sehingga dengan sadar memicu
berbicara,
konflik besar di daerah. Partsipasi politik
berorganisasi
warga masyarakat kerapkali juga tidak
(Bingham Powel Jr, 1982 : 3)
kebebasan serta
berkumpul kebebasan
dan pers
dalam domain kesadaran pemilih rasional
Kenyataan di bebarapa Pilkada
(rasional voter) melainkan keasadaran
yang sudah terselenggara banyak yang
palsu yang dimanipulir oleh ikatan-ikatan
tidak melahirkan legitimasi. Hasil yang
tradisional,
ditetapkan tidak memiliki wibawa sebagai
sentimen
etnis,
budaya
hasil
patriarki, ideologisasi agama dan lain-lain.
yang
syah,
sehingga
muncul
Political
gelombang penentangan dari berbagai
sudah
pihak, terutama dari pendukung calon yang
bersepakat untuk berdemokrasi melalui
kalah. Di banyak tempat, Pilkada juga
pemilihan langsung baik di tingkat pusat
tidak memiliki sistem pengorganisaian
maupun daerah. Momentum ini dapat
perundingan. Buktinya seperti di kasus
mengukur penampilan politik (political
Pilkada Maluku
performance)
pusat
Selatan, saluran perundingan tidak tertata
sistem
secara baik. Berbagai pihak otoritatif
demokrasi. Indikator-indikator penampilan
seperti KPU, DPRD juga Mentri Dalam
politik jika merujuk pada pendapatnya
Negeri tidak memiliki wibawa untuk
Bingham ada lima, yakni :
membawa konflik pasca Pilkada secara
Sumber Performance
maupun
Konflik Bangsa
di
daerah
dan
Indonesia
pemerintahan dalam
suatu
Utara dan
Sulawesi
pemerintah
lebih elegan. Faktor lain, masih banyaknya
didasarkan pada klaim bahwa pemerintah
orang yang tidak dapat berpartisipasi
tersebut mewakili keinginan rakyatnya.
dalam Pilkada. Hal ini indikatornya adalah
Kedua,
tingginya golput, bahkan di beberapa
Pertama,
legitimasi
pengaturan
pengorganisasian untuk
provinsi dan kota utama di Indonesia
memperoleh legitimasi yang dilaksanakan
golput ”memenangi” Pilkada. Jika golput
melalui Pemilu yang kompetitif. Ketiga,
memenangi Pilkada artinya begitu kuatnya
sebagian orang dewasa dapat ikut serta
ketidakpercayaan dari warga masyarakat
dalam proses Pemilu, baik sebagai pemilih
kepada sistem penyelenggaran Pilkada
maupun sebagai calon untuk menduduki
akan melahirkan perbaikan nasib mereka
jabatan penting. Keempat, penduduk dapat
ke depan. Faktor selanjutnya adalah masih
memilih
ada
adanya ketidakrahasiahan dalam pemilihan
dan
dan tersumbatnya hak-hak dasar warga
perundingan
paksaan.
(bergaining)
secara
rahasiah
Kelima,
tanpa
Masyarakat
354
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
Kedua,
negara. Kasus di beberapa Pilkada, warga
sengketa
Pilkada
juga
memilih karena berada dalam tekanan baik
banyak dipicu oleh tidak maksimalnya
dari
proses
organisasi
massa,
organisasi
pendaftaran
masyarakat
Berbagai
dirasakan
menyelenggarakan Pilkada merasa berhak
menyebabkan warga kehilangan kritisisme,
untuk menjadi pemilih, tapi kenyataannya
kehilangan hak memilih sesuai nurani dan
tidak terdaftar. Hal ini menimbulkan
lain-lain. Jika semua itu terjadi, maka
ketidakpuasan dan sangat memungkinkan
political performance di sebuah daerah
menjadi determinan konflik. Kasus Pilkada
dengan
Kalimantan
sendirinya
berpotensi
yang
akan
melahirkan
buruk
konflik
dan
suatu
Banyak
keagamaan, preman politik dan lain-lain. tekanan
di
pemilih.
Barat
daerah
misalnya,
yang
diwarnai
protes ke KPUD oleh hampir lebih 1000
pasca
pemilih yang merasa tidak terdaftar pada
pilkada.
Daftar Pemilih Tetap (DPT).
Selain itu, jika dilihat dari proses penyelenggaraannya,
konflik
Ketiga,
Pilkada
konflik
juga
sangat
biasanya muncul dari hal-hal sebagai
mungkin lahir dari ekses masa kampanye.
berikut :
Berbagai
upaya
melakukan
untuk
memasarkan politik (marketing of politics)
Pertama, tahapan pendaftaran calon yang umumnya memiliki peluang adanya
untuk
calon yang gugur atau tidak lolos verifikasi
praktiknya sekaligus juga dibarengi dengan
yang dilakukan oleh KPUD. Hal ini bisa
tindakan
jadi
dualisme
black campign, pembunuhan karakter yang
kepemimpinan parpol, ijzazah palsu atau
dapat menimbulkan rasa sakit hati. Jika
tidak terpenuhinya syarat dukungan 15
menemukan momentumnya, hal ini pun
persen
dapat menjadi akselerator konflik dalam
karena
parpol
adanya
pendukung
dan
lain
meraih
simpati
menyerang,
publik,
dalam
mendeskriditkan,
Pilkada.
sebagainya. Dalam konteks ini, munculnya
Keempat,
multitafsir dan perdebatan di seputar
tahapan
yang
juga
keputusan MK yang membolehkan adanya
biasanya krusial adalah tahapan penetapan
calon independen membuat masalah kian
pemenang pilkada. Fenomena yang sering
komplek. Ketidaksiapan aturan main yang
muncul adalah, pihak yang kalah, apalagi
opersional untuk mengakomodir calon-
mengalami kekalahan dengan angka tipis,
calon independen ini kerapkali menjadi
selalu mengangkat isu penggelembungan
sumber konflik yang potensial. Kasus
suara, banyak warga yang tidak terdaftar
penolakan calon independen ini misalnya
dan persoalan pendataan pemilih lainnya
beberapa waktu lalu terjadi di Cilacap.
sebagai sumber utama kekalahan. Massa
355
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
yang merasa tidak mendapat hak pilih
Muslimatun yang diusung oleh PAN,
biasanya memprotes dan dimanfaatkan
Nasdem, PPP, Demokrat, PKB, Golkar,
oleh pasangan yang kalah.
PBB, dan Hanura. Konflik terjadi ketika
Kelima, konflik juga bisa jadi
Sri Muslimatun yang merupakan kader
muncul di proses penetapan pemenang.
PDIP saat pencalonan belum mengantongi
Kasus di beberapa daerah, DPRD tidak
surat PAW (Pergantian Antar Waktu) dari
mau menetapkan hasil Pilkada. Terutama,
keanggotaan sebagai pejabat publik dengan
di daerah yang mayoritas anggota DPRD-
status anggota DPRD Kabupaten Sleman.
nya berasal dari kubu yang bersebrangan
Syarat yang mengharuskan anggota DPRD
dengan kandidat yang tepilih. Meskipun
harus mundur jika mencalonkan diri dalam
tidak memiliki dampak yuridis terhadap
pilkada kemudian menimbulkan gesekan
hasil pilkada, namun penolakan DPRD
dari kedua pendukung pasangan calon.
tersebut memunculkan sengketa politik
Dari tribunnews.com, diberitakan pada 18
berkepanjangan pasca pilkada.
Oktober
2015
Purnomo-Sri KONFLIK
PILKADA
konflik
dalam
pendukung
Muslimatun
Sri
melakukan
protes ke DPRD Sleman dan menuntut
KABUPATEN SLEMAN 2015 Kasus
tim
Ketua DPRD untuk segera mengeluarkan surat PAW untuk Sri Muslimatun, apalagi
pilkada di
Sri Muslimatun saat itu juga sudah
Pilkada
berhenti dari keanggotaan kader PDIP.
Kabupaten Sleman 2015. Ada 2 (dua)
Padahal, tanggal 20 Oktober 2015 adalah
konflik utama yang terjadi selama proses
batas akhir untuk melengkapi pendaftaran
Pilkada Kabupaten Sleman tahun 2015.
calon. Bahkan massa pendukung Sri
Konflik yang pertama terjadi pada tahap
Purnomo-Sri Muslimatun yang sempat
pendaftaran peserta pilkada, dan konflik
bersitegang
yang kedua terjadi pada tahap kampanye
Kabupaten Sleman juga mengancam akan
calon.
terus menduduki kantor DPRD Kabupaten
langsung
salah
Kabupaten
satunya
Sleman
terjadi
pada
penafsiran
aturan
anggota
DPRD
Sleman dan menginap. Pendukung Sri
Konflik yang pertama bersumber dari
dengan
Purnomo-Sri
main
Muslimatun
berhenti
Pilkada
memprotes DPRD Kabupaten ketika KPU
2015 diikuti dua
RI mengeluarkan Surat Edaran (SE) KPU
pasang calon yakin Yuni Setia-Danang
RI No 706 tanggal 21 Oktober 2015 yang
Wicaksana yang diusung oleh PDIP, PKS
berimplikasi
penyelenggaraan Kabupaten
Sleman
pilkada.
dan Gerinda. Dan Sri Purnomo - Sri
356
pada
diizinkannya
Sri
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
Muslimatun untuk ikut berkompetisi dalam
pengawas, Polri, TNI, dan Kejaksaan,
Pilkada Kabupaten Sleman 2015.
tetapi juga tokoh-tokoh LSM, ormas, pers, dan
Konflik yang kedua bersumber dari
akademisi
setempat.
Melalui
premanisme politik saat tahap kampanye.
konsensus dan kesepakatan lokal itu
Pada Faris Afristyan, mahasiswa Fakultas
diharapkan dapat dihasilkan, misalnya,
Kedokteran Universitas Gadjah Mada dan
kode etik penyelenggaraan pilkada, kode
temannya
Apsari
etik kampanye, komitmen siap kalah, dan
mengalamai penyerangan oleh beberapa
seterusnya. Lalu, dalam konteks fasilitator,
pendukung salah satu pasangan calon di
membatasi diri dalam pemerintah daerah
sekitar Lapangan Denggung, Sleman pada
dan DPRD agar campur tangan tidak
Minggu 22 November 2015. Dari berita
berlebihan dalam penyelenggaraan pilkada
yang dihimpun dari indoelection.com,
dan distorsi yang bisa menjadi sumber
polisi telah menangkap para pelaku yang
kecurigaan
memang
kuncinya adalah membangun kerja sama
Ayu
dalam
Diah
Eka
keadaan
mabuk
dan
bisa
dihindari.
Jadi,
kata
dan kemitraan antar pihak berkepentingan
membawa senjata tajam saat kampanye.
tanpa harus membeda-bedakan. Apabila dilihat dari aktor-aktor yang REKOMENDASI
berperan dalam pilkada , maka seluruh
Menurut Syamsuddin Haris (2005),
aktor
dapat
berperan
serta
dalam
dalam rangka mengelola potensi konflik
meminimalisir terjadinya konflik yang
pilkada, maka :
terjadi dalam pilkada langsung. Aktor dan peranan tersebut adalah :
1. Segenap pihak di daerah perlu
1. Masyarakat
membangun kesepakatan atau
umum
selaku
konsensus lokal dalam rangka
pemegang hak pilih haruslah
mengantisipasi
memahami
munculnya
konflik dan gejolak.
terhadap
2. Pemerintah daerah dan DPRD
memfasilitasi
saja
taat
hukum
segala
penyelenggaraan
perlu membatasi diri sebagai fasilitator
dan
proses pilkada
langsung.
termasuk
2. KPU
kesepakatan
Daerah
lokal.
Daerah serta
pilkada
Konsensus lokal itu tidak hanya
independen,
melibatkan KPUD, Pemerintah daerah,
bermartabat.
DPRD, partai-partai, para kandidat, Panitia
357
dan
Bawaslu
penyelenggara
langsung professional
yang dan
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
3. Media
massa
juga
suasana panas yang berpotensi
harus
konflik.
memberikan kontrubusi dalam menciptakan pilkada langsung yang
demokratis
PENUTUP
dengan
Berbicara tentang konflik dalam
mengusung jurnalisme damai. 4. Elit politik dan peserta pilkada langsung
serta
pendukungnya
penyelenggaraan pilkada
tidak
sebagai
agresif
langsung,
tentunya sangat kompleks. Konflik dalam
juga harus menjaga diri untuk terlampau
pilkada
dapat
tidak
kegagalan
selalu
dimaknai
demokrasi
yang
menyerang kandidat lain, apalagi
berakibat kekacauan, tapi sejatinya konflik
dalam
menjatuhkan
harus dimaknai sebagai suatu proses
martabat dan kehormatan mereka
pembelajaran politik bagi masyarakat.
dengan cara-cara yang tidak etis.
Selain itu, konflik juga memang sulit
konteks
5. Legislatif dan pemerintah pusat dalam
merumuskan
segala
dihindari di wilayah demokrasi yang masyarakatnya
multikultural,
terlebih
produk hukum yang berkaitan
kalau elite politiknya tidak memiliki
dengan pilkada langsung wajib
kedewasaan dalam berdemokrasi. Maka,
memformulasikan
peraturan
setiap aktor yang berperan dalam pilkada
secara
langsung juga wajib turut serta dalam
perundang-undangan
meminimalisir konflik yang terjadi selama
bijaksana 6. Pemerintah eksekutif
Daerah
selaku
daerah
wajib
bertanggungjawab daerah yang dipimpin
7. Yudikatif (Mahkamah Konstitusi) dan DKPP selaku pengadil serta pemutus permasalahan etik dan sengketa penyelenggara pilkada langsung wajib bertugas secara adil. 8. Keamanan (TNI dan Polri) wajib yang
tidak
DAFTAR PUSTAKA
dalam
menciptakan suasana damai di
mengedepankan
proses pilkada langsung.
pengamanan
mudah
menyulut
Almond, Gabriel A. & G. Bingham Powel, Jr.1978. Compartive Politics. Litle, Brown and Company: Boston Asshiddiqie, Jymli. 2012. Otonomi Daerah dan Parlemen Di Daerah. www.mahkamahkonstitusi.go.id. Diakses pada 10 April 2016 Dwipayana, AA GN Ari. Pemilihan Umum Kepala Daerah Langsung dan Otonomi Daera., www.plod.ugm.ac.id/makalah. Diakses pada 10 April 2016
358
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008
Elly M. Setiadi, Elly M dan Kolip, Usman. 2011. Pengantar Sosiologi Pemahaman Fakta dan Gejala Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya. Kencana Prenada Media Group : Jakarta Haris,
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
Syamsudin. 2005. Mengelola Potensi Konflik Pilkada. www.lipi.go.id/berita. Diakses pada 10 April 2016
Indoelection. 2015. Bentrok Kampanye Pilkada Sleman, Polisi Ancam Jerat UU Darurat. www.indoelection.com. Diakses pada 01 Mei 2016 Kaho, Josef Riwu. 2002. Prospek Otonomi Daerah di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Rajawali Press: Jakarta Soekanto, Soerjono. 1993. Kamus Sosiologi. PT. Raja Grafindo Persada : Jakarta Tribun Jogja. 2015. Massa Pendukung Santun Ancam Menginap di DPRD. www.tribunnews.com/jogja. Diakses pada 01 Mei 2016 Yusdianto. 2010. Identifikasi Potensi Pelanggaran Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dan Mekanisme Penyelesaiiannya. Jurnal Konstitusi Vol II: Jakarta Peraturan Pemerintah Nomor 06 Tahun 2005 Surat Edaran (SE) KPU RI No 706 tanggal 21 Oktober 2015 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945
359
PROSIDING Konferensi Nasional Penguatan Peran Perempuan Muda Menuju Indonesia Berkemajuan
360