Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada
JUDUL MAKALAH
Mengenalkan Antropologi Inderawi dalam Memahami Pertautan Intrinsik Agama dan Seni: Pandangan Awal
Prosiding Konferensi Nasional Pengkajian Seni
Arts and Beyond Editor
Leilani Hermiasih Michael H.B. Raditya Ike Niken Salindri Novia Nur Kartikasari Muchammad Bayu Tejo Sampurno Ganter Hanggayuh Puji Pramono Hardiwan Prayogo
5 September 2015 Gedung Lengkung, Lt. 5 Sekolah Pascasarjana Jl. Teknika Utara, Pogung, Yogyakarta
1
MENGENALKAN ANTROPOLOGI INDERAWI DALAM MEMAHAMI PERTAUTAN INSTRINSIK AGAMA DAN SENI: PANDANGAN AWAL Nur Rosyid Antropologi Budaya - Universitas Gadjah Mada E-mail:
[email protected]
Pertautan Instrinsik antara Agama dan Seni Diskusi mengenai pertautan seni dan agama pernah diulas oleh seorang ahli Antropologi Seni Lono Simatupang (2010; 2013). Dia memulai dengan menceritakan pengalamannya mendengarkan dua adzan yang dilantunkan berbeda nada dan lafalnya. Pada saat menyusun tulisan ini, terdengar jelas adzan dari masjid. Suaranya lantang, dilantunkan seorang pria dewasa dalam nada medium (menengah), dengan lafal yang jelas, frasa kalimat panjang dilafalkan dalam satu tarikan nafas, menciptakan suasana syahdu. Berbeda dari pelantun adzan lain yang pernah terdengar di waktu lalu. Pelantun di waktu lalu itu membawakan adzan secara cepat, dengan nada tinggi, frasa dibawakan pendek-pendek, dan [kebetulan] nadanya sumbang pula. Alih-alih kesyahduan, saat itu saya peroleh kesan terburu-buru dan sembrono. (cetak miring penekanan dari saya, 2010:1).
Masing-masing adzan menurutnya mempunyai perbedaan “kesan”. “Barangkali kesan yang saya peroleh itu berbeda dari kesan warga Muslim yang mendengar dua contoh adzan tersebut. Namun, mungkin pula warga
285
Muslim pun memiliki kesan serupa dengan yang muncul dalam diri saya” (cetak miring penekanan dari saya), ungkapnya. “Kesan” pribadinya dan orang muslim, dia pahami sebagai sebentuk evaluasi rasa yang ia istilahkan “citarasa musikal” dan “citarasa keagamaan” (ibid). Simatupang mendefinisikan “citarasa” sebagai “kecenderungan pilihan akan rasa tertentu yang dihasilkan oleh akumulasi pengalaman manusia, yang setara artinya dengan kecenderungan estetika” (ibid). Dua kesan tersebut, dengan mengikuti pandangan Svasek (2007), dapat terjadi karena perpindahan konteks. Di dalam perpindahan tersebut terjadi dua proses, yakni (1) transit sebagai pergeseran atau perpindahan keberadaan gejala seni dalam konteks-konteks yang berbeda dan (2) transition sebagai dinamika pesona akibat perubahan konteks keberadaan gejala seni. Maka pertanyaannya, bagaimana suatu kesan dapat menjadi suatu kecenderungan pilihan? Lebih lanjut, kesan dapat muncul dari penerapan suatu teknologi pada materi tertentu—meminjam konsep Gell—yang disebut sebagai teknologi pesona yakni pengolahan teknik keseharian dan luar keseharian yang imanen dalam setiap bentuk aktivitas (ibid:6). Bukankah dengan demikian, praktik beragama dan berseni merupakan praktik “berpesona” yang bisa saling berpindah (transit)? Atau “citarasa musikal” dan “rasa keagamaan” sebagai sebentuk akumulasi pengalaman dapat saling berpindah? Selanjutnya, jika Simatupang mengacu pada pandangan Geertz di mana agama adalah sistem simbol, apakah “kesan” juga bersifat simbolik-kognitif? Bukankah dalam perspektif tersebut suatu fenomena seni misalnya, dipahami mempunyai pesan yang harus diungkapkan atau dibaca dengan jalan “menafsirkan”, lantas apakah dengan “kesan” dan pengalaman yang terakumulasi itu dapat ditempatkan dengan cara yang sama? Banyaknya catatan dari diskusi Simatupang di atas, menurut saya menunjukkan adanya kegagalan pembacaan teoretiknya di dalam menempatkan “agama” (religion) dan “seni” (art) secara memadai. 286
Kegagalan pertama mengenai pengacuan konsep Agama. Mengikuti Talal Asad (2002), konsep “Religion” itu sendiri bukanlah konsep yang bisa mendefinisikan fenomena tertentu secara universal, lintas budaya (transcultural), dan lintas sejarah (transhistorical), karena definisi tersebut merupakan hasil dari sejarah proses diskursus tertentu. Menurutnya, “Religion” sebagai kategori antropologis muncul ketika Geertz (1973) menuliskan gagasan “Religion as a Cultural System” mengenai definisinya yang banyak mempengaruhi pemikiran generasi selanjutnya. Definisi Geertz yang terkenal itu ialah “Agama adalah (1) sistem simbol yang bertindak untuk (2) menetapkan perasaan dan motivasi yang kuat, meluas, dan awet dalam diri manusia dengan cara (3) memformulasikan konsep-konsep tentang tatanan umum keberadaan (eksistensi) dan (4) menyandangi konsep-konsep tersebut dengan aura faktualitas sehingga (5) perasaan dan motivasi tersebut tampak secara khusus (unik) nyata. (Geertz, 1973: 90) Simbol yang diartikan sebagai “sesuatu yang dimaknai” (AhimsaPutra, 2008:18; 2012: 287), dipahami akan membentuk pola-pola tertentu dikonsepkan sebagai “sistem simbol” atau “pola-pola budaya” (cultural patterns). Pola-pola budaya tersebut mengandung dua aspek, yakni memberi makna pada praktik-praktik sosial dan sebaliknya makna tersebut dibentuk dari praktik sosial itu sendiri. Oleh karena itu kemudian dikenal dengan istilah mode of (model tentang) sekaligus mode for (model untuk)1. Dengan demikian, kita menangkap, (sistem) 1
Irwan Abdullah dalam kesempatan kuliah Antropologi Interpretif menyebutkan, mode of merupakan pandangan dunia yang berfungsi sebagai manipulasi berbagai struktur simbolik agar menjadi sesuai dengan struktur non-simbolik yang sudah ada sebelumnya. Menurutnya, Berbagai pandangan tentang dunia harus disusun dan dimanipulasi agar semua sesuai dan mampu menerangkan dunia dimana seseorang hidup. Sedangkan mode for biasa disebut juga sebagai model untuk, merupakan perlambangan terhadap berbagai watak, sifat dan tingkah laku tertentu yang harus dicapai, dijalankan, dihindari, seseorang dalam hidupnya. Dengan demikian mode for mempunyai peranan sebagai praktek yang dijalankan dari perintah etik yang sebaiknya dan harus dijalankan. Perintah etik itu antara lain seperti sifat baik manusia apabila tidak diawasi, dilarang atau dibatasi dapat membawa akibat negatif.
287
simbol adalah sesuatu yang merujuk pada “realitas” sekaligus sebagai “representasi”. Ia tidak hanya membawa makna, tetapi juga “a set of relationships between objects or events uniquely brought together as complexes or as concepts, having at once an intellectual, instrumental, and emotional significance” (Asad: 2002:117). Jika simbol adalah sebuah konsepsi, maka bagaimana pembentukannya dikaitkan dengan sejarah, praktik-praktik sosial tertentu yang beragam, dan konteks waktu yang berbeda? Inilah kontradiksi yang disebutkan Asad sebagai konsekuensi dari pemisahan sistem simbolik dengan praktik. Lebih lanjut, sistem simbol menurut Geertz juga memproduksi dua disposisi, yakni (1) perasaan (moods) sebagai “membuat bermakna” dengan referensi pada kondisi-kondisi yang mereka mengerti dan (2) motivasi (motivations) yakni “membuat bermakna” dengan referensi pada akhir pengertian yang ditimbulkan (1973:97). Berkaitan dengan hal tersebut, Asad (ibid:118) menanyakan, lantas kondisikondisi seperti apa memungkinkan simbol-simbol religius dalam memproduksi atau membentuk disposisi religius (perasaan dan motivasi) secara aktual? Apakah kita juga semudah itu menempatkan referensireferensi tersebut secara taken for granted? Persoalan kedua ialah konsep “seni” yang selama ini berpusar pada asumsi bahwa tidak setiap komunitas etnik memiliki padanan arti, sehingga susah dikenali apakah “obyek” tersebut merupakan gejala yang disebut “seni” (Ahimsa-Putra, 2000a, 2000b; Simatupang, 2006, 2010a, 2010b, 2011, 2013). Ide mengenai “Art” sebenarnya merupakan konsep “orang Barat”. “Societies outside the West do not possess the modern Western categories ‘art’, ‘artist’, and ‘artistic’, and thus, strictly speaking, do not have ‘art’ at all” (Shiner, 2001 dalam Inglis, 2005:13). 288
Konsep “art” di dalam pandangan Barat (Western) berkembang sebagai konsep yang merujuk pada sesuatu yang mengandung tipe-tipe “artistik” seperti: lukisan, ukiran, buku, pertunjukan musik atau teater, ataupun objek tertentu yang dikenali sebagai sesuatu yang “artistik”. Lantas bagaimana kita dapat mengenali gejala-gejala yang disebut sebagai sesuatu yang “seni” pada masyarakat non-Barat? Howes (2006) menunjukkan, berbicara mengenai seni dan estetika seharusnya “ditempatkan” dalam kerangka bagaimana masyarakat mengenali gejala tersebut. Howes menyatakan, In many non-western societies, the aesthetic does not constitute a realm apart, but is rather an aspect of everyday life and ritual practice, and the senses are not separated from each other but rather combine in specific ways to achieve specific purposes (2006:75).
Estetika sebagai bagian imanen dalam “seni” dan “praktik seni”, dengan mengacu pada akar kata dari bahasa Yunani, “aisthesis” yang diartikan oleh Baumgarten sebagai “science of perception” (1954[1735]), yakni “the apprehension and interpretation of the world through the senses (Classen, 1998:2). Singkatnya, estetika berurusan dengan cara mempersepsi dan mengenali dunia melalui indera. Dengan demikian, gejala “seni” atau “agama”, terutama pada masyarakat non-Barat, harus dipahami dengan menempatkan persepsi, pengalaman, dan penginderaan mereka yang spesifik dan tidak semata-mata berdasarkan dominasi penglihatan sebagaimana Barat memahami gejala “seni”. Lebih lanjut, apa yang bisa kita sebut sebagai citarasa tidak lain adalah berkaitan dengan cara menikmati “rasa” tertentu dan dibentuk dalam konteks tertentu pula. Kecenderungan cara menikmati—sebagaimana kesan yang dialami Simatupang—yang dibentuk dalam konteks tertentu merupakan sebentuk “hasrat”. Berdasarkan Oxford English Dictionary, hasrat yang diterjemahkan dari “desire” diartikan “(1) the fact or condition of desiring; 289
(2) that feeling or emotion which is directed to the attainment or possession of some object from which pleasure or satisfaction is expected. Dengan demikian, hasrat merupakan kecenderungan harapan untuk meraih atau menggapai suatu kebutuhan, emosi, perasaan, persepsi, dan ingatan tertentu yang berkaitan dengan pembentukan dan penanaman cara untuk merasakan yang di(re)produksi melalui pergelaran. Pergelaran (performance) yang menjadi ranah kajian agama dan atau seni merupakan ruang interaksi publik. Dalam konteks seni dan agama, “pelaku” pergelaran dan “penonton” pergelaran merupakan dua entitas yang saling berinteraksi untuk menciptakan suatu tindakan atau aktivitas. Oleh Simatupang, penonton dipahami sebagai “partisipan” yang aktif, karena sifat “penonton” mengandaikan ketidakterlibatan. Berdasarkan pemahaman tersebut, fokus kajian diarahkan pada elemen “praktik” dengan memberi penekanan pada pengalaman ketubuhan dan elemen bentuk sekaligus (2013:81)2. Lebih lanjut, jika individu-individu dibentuk oleh “budaya”, maka bagaimana antara pelaku dan partisipan melangsungkan proses interaksinya di dalam pergelaran tersebut? Pelaku mana yang membentuk dan dibentuk, jika keduanya bersama-sama membentuk “makna teks” dalam konteks? Bukankah kedua-duanya berinteraksi bersama untuk membentuk “makna” bersama atau mengalami suatu kesan bersama dengan intensi-intensi tertentu dan tujuan yang spesifik? Hal yang bisa kita pahami dari ulasan di atas ialah pertautan antara agama dan seni dalam ritus atau pergelaran sifatnya eksperiential: yang berhubungan dengan pengalaman-pengalaman. Apalagi, mengikuti pandangan Talal Asad, kontestasi ritus di ruang publik (public sphere) bukan 2
Pembahasan mengenai teks dan konteks, Ahimsa-Putra memisahkan secara tegas kajian Antropologi Seni ke dalam tiga pendekatan, yakni tekstual, kontekstual, dan postmodern. Lihat Ketika Orang Jawa Nyeni (2000a) maupun Antropologi dan Seni: Sebuah Pengantar. Diktat Kuliah Antropologi Seni Pascasarjana UGM. 2000b
290
merupakan ruang kosong yang diisi dengan perdebatan-perdebatan, melainkan dikonstitusikan oleh sensibilitas-sensibilitas—ingatan dan aspirasi, ketakutan dan kedamaian, harapan—dari pembicara dan pendengar yang eksis (atau diupayakan bisa eksis) dan dengan kecenderungan untuk bertindak dan bereaksi dengan beragam cara yang berbeda (2003:185). Dengan demikian, tampak betapa pentingnya posisi pengalaman inderawi dalam memahami pertautan antara gejala seni dengan gejala agama. Lantas, bagaimana kita merekognisi pemahaman ini secara teoretik dan dalam kerangka berpikir yang jelas untuk bisa memahami aspek kultural ini kaitannya dengan pengalaman, sensasi, dan praktik-praktik dalam pergelaran dan ritus? Dalam kesempatan ini, saya akan membawa persolan di atas ke dalam studi Antropologi Inderawi yang tengah berkembang dalam dekade terakhir. Memahami Pengalaman dan Penginderaan dengan Antropologi Inderawi Studi Antropologi beberapa tahun terakhir mulai melirik bagaimana pengetahuan atau sistem idea ini terbentuk. Indera dipakai sebagai titik perhatian utama dalam etnografi dan antropologi postmodern yang berusaha lebih jujur dan apa adanya dalam menampilkan temuan selama berada di lapangan (Ahimsa-Putra2000b: 48). Perhatian ini mulai dikembangkan di dalam disiplin Antropologi Inderawi sebagai aspek yang sering luput dari rezim kata-kata (Fauzannafi, 2012:11). Munculnya Antropologi Inderawi telah menunjukkan perkembangan signifikan di dalam diskursus kebudayaan. Disiplin ini mengembangkan konsep “budaya” secara berbeda, yakni “Sebuah aspek dinamis dari hubungan antar manusia” (MacDougall, 2006:229). Kebudayaan terus menerus dibentuk dalam interaksi sehari-hari melalui proses yang tidak abstrak, tetapi mewujud melalui penubuhan (embodiment). Penubuhan 291
di sini, diterjemahkan oleh Howes sebagai “Pembentukan dan penanaman cara untuk merasakan (ways of sensing) atau teknik untuk merasakan (technique of the senses)” (2011:441; Fauzannafi, 2013:6). Pemahaman ini membawa kecenderungan studi antropologi untuk memahami lebih jauh tentang pengetahuan, pengalaman, dan aksi sebagai upaya untuk mendalami aspek emosi, ekspresi tubuh, indera, relasi keruangan, dan identitas individual (Fauzannafi, ibid). Dengan demikian, kebudayaan bisa dipahami sebagai sebuah aspek dinamis dari hubungan antar manusia yang terjadi melalui konstruksi dan penanaman cara merasakan dan teknik merasakan (mempersepsi) melalui indera manusia sebagai cara mengada (being) manusia di dunia. Ada dua disiplin yang berkembang dalam kajian inderawi di Antropologi, yakni Sensory Anthropology dan Anthropology of the Senses. Masing-masing disiplin berakar dari tokoh dan pemikiran yang berbeda. Anthropology of the senses muncul pada 1990-an sebagaimana tampak dalam studi Howes (1991; 2003; 2004; 2013); Howes dan Lalonde (1991); Constance Classen (1990; 1992; 1997; dan 1998); Howes dan Classen (1996); Classen, howes, dan Synnott (1994) maupun tulisan-tulisan mereka di tahun-tahun selanjutnya. Lahirnya disiplin ini dilatarbelakangi penolakan terhadap “tekstualisme”, “verbosentrisme”, dan “okularsentrisme” yang sangat konvensional dalam ilmu-ilmu sosial mengenai keberadaan makna (accounts of meaning) dan praktik-praktik sosial-budaya. Mereka berusaha mengkaji lebih mendalam mengenai dimensi pengalaman sensorial dan eksistensial dari kondisi manusia yang seringkali luput dari perhatian ilmuilmu sosial (Howes dan Classen, 2006:1)3. 3
Howes dan Classen bersama kolega-koleganya kemudian berkolaborasi dan mengembangkan riset kajian Inderawi di Kanada, di Universitas Concordia, yakni di Concordia Sensoria Research Team (CONSERT). Mengenai penjelasan lebih jauh tentang lembaga kajian tersebut, bisa dilihat di http://www.centreforsensorystudies.org/ maupun dalam website David Howes di www.david-howes.com. Lembaga inilah yang kemudian dikenal dengan aliran Toronto. Selain itu ada banyak akademisi yang bergabung pada studi indera di http://www.sensatejournal.com. Lihat juga Yolanda van Eve (2009); Thomas Porcelo et al. (2010); Bella Dicks (2013)
292
Antropology of the Senses, berdasarkan penjelasan Classen (1997), mempunyai pandangan, pengalaman inderawi yang menjadi cara manusia memahami dunia itu sangat kultural. Penginderaan—pengihatan (seeing), pendengaran (hearing), sentuhan (touching), rasa (taste), bauan (smell)— bukan semata-mata fenomena fisikal dan natural, melainkan juga jalan atau pemungkin bagi transmisi nilai-nilai kultural (ibid:402). Indera dalam hal ini ditempatkan sebagai obyek kajian yang perlu didalami lebih lanjut karena dipahami sebagai pra-kondisi adanya budaya dan sistem pengetahuan. Classen menjelaskan, anthropology of the senses mempunyai tiga asumsi dasar. Pertama, indera merupakan “jendela dunia” (windows on the worlds) (ibid:402). Asumsi ini merupakan pengembangan lebih jauh dari kajian embodiment yang berkembang sejak 1970-1980-an. Penginderaan, sebagai salah satu aktivitas tubuh, dengan sendirinya juga merupakan konstruksi sosial, bukan gejala biologis saja. Penginderaan dibentuk melalui “kode-kode sosial” yang ditanamkan pada subyek. Asumsi kedua, karena penginderaan bersifat kultural, maka maknamakna budaya dikodekan secara berbeda dalam konteks-konteks tertentu yang disebut “signifikansi kultural” (cultural significance) (ibid). Asumsi ini merefleksikan pandangan orang-orang Barat yang bias dalam memahami the others, dimana penglihatan dianggap sebagai cara yang menentukan dan paling obyektif dalam perkembangan ilmu pengetahuan sejak abad ke-18. Untuk itu, antropologi harus bergerak lebih jauh untuk memahami makna inderawi yang sangat beragam, seberagam budaya itu sendiri (Classen dan Howes, 1997:401; 1993; Howes. 1991; 2003; Howes dan Lalonde. 1991). Pemahaman ini mengarahkan pada asumsi ketiga, makna-makna kultural tertanam (encoded) ke dalam semua indera (Classen, ibid:403). 293
Pengikutsertaan indera secara kultural mensyaratkan pemahaman, pengalaman
pendengaran
(hearing)
misalnya,
tidak
semata-mata
pengalaman mendengarkan suara, melihat juga tidak sekedar pengalaman melihat cahaya yang mengenai benda kemudian terpantul ke mata. Akan tetapi, persepsi dan pengalaman tersebut bersifat kultural: dipengaruhi oleh konteks-konteks tertentu secara historis dan penilaian penginderaan (sensory judgement) komunitas yang dipelajari (Howes dan Lalonde, 1991). Howes menyarankan untuk bergerak di luar fenomenologi persepsi yang berbicara secara menyederhanakan dari “penginderaan dunia” ke arah studi persepsi yang memungkinkan penggalian “cara penginderaan” terhadap dunia (2003:32-33 dalam Howes, 2011:320)4. Bergesernya perhatian pada indera (sensorial turn) (Howes, 2011) mengarahkan investigasi studi pada berbagai cara indera dikonstruksi dan hidup dalam konteks budaya tertentu pula yang disebut sebagai “polysensoriality” (Ibid.:441). Sebagaimana dikatakan Howes, “The anthropology of the senses requires not just surface impressions of the sensuous features of a society—the savors of the local cuisine, the sounds of the marketplace—but an in-depth examination of their social significance” (2003:49). “Signifikansi sosial” inilah yang menjadi perhatian utama para etnografer dalam memahami pengalaman indrawi masyarakat dalam sebuah kebudayaan. Seorang etnografer diharapkan bekerja untuk menjelaskan “…the socio-logic which informs how the members of a given culture distinguish, value, relate and combine the senses in everyday life” (Howes, 2011:441). Dalam pandangan ini, indera manusia terkonstruksi secara genealogis, hierarkhis, sekaligus historis dalam konteks budaya tertentu dan dalam setiap aktivitas sosial (lihat juga Classen, 1990a; 1990b; 1996; 1997; bersama Howes, 2006). 4
Cara pandang tersebut sedikit banyak dipengaruhi oleh pandangan Marx, “the cultivation of the five senses is the work of all previous history” (Howes dan Lalonde, 1991:125).
294
Anthropology of the senses dalam perkembangannya mendapat kritikan dari para pengembang Sensory Anthropology, seperti Sarah Pink dan Tim Ingold. Ada beberapa poin kritik mereka terhadap Anthropology of the senses. Sarah Pink menempatkan Anthropology of the senses sebagai subdisiplin ke dalam Sensory Anthropology yang interdisipliner (2009; Pink dan Howes, 2010). Pink berargumen, cakupan Sensory Anthropology, harus mampu melampaui studi tentang inderawi, tetapi tetap memperhatikan kategori konstruksi inderawi secara kultural (2011:331). Menurutnya, indera manusia tidak terpisah ke dalam aliran (channel) tertentu secara genealogis atau hierarkis, tetapi indera itu saling terkait sebagai tindak aktif manusia mengenali dunia sekelilingnya. Kritik yang sama juga diutarakan oleh Ingold. Dalam Debate section (2011), Ingold menjelaskan, indera itu sifatnya “interchangeability”, yakni saling terkoneksi satu sama lain (lihat juga Ingold, 2000). Dalam pandangannya, Howes masih terpengaruh oleh pandangan teori representasi dalam konstruksi pengetahuan5. Pertama, subyek seolah dibentuk oleh “sosial”. Cara individu menggunakan indera seolah-olah dibimbing oleh indera sosial melalui “systems of collective representatious common to a community and validities by verbal conversation”. Pandangan ini menurutnya, telah menaturalisasi properti modalitas penginderaan dengan alasan “perbedaan-perbedaan di antara kebudayaan dalam cara mempersepsi
dunia
sekitar
mereka
mungkin
diatributkan
pada
keseimbangan relatif pada setiap indera tertentu maupun indera-indera lainnya” (2000:281). Kedua, Bagi Ingold, indera merupakan cara untuk mengenali lingkungan yang mereka tinggali yang masing-masing terkoneksi satu sama lain. Di sini indera tidak diobyektifikasi, tetapi dijadikan sebagai perspektif, 5
Mengenai kritik Ingold terhadap keterpisahan indera dalam kajian Howes, Howes sendiri pun menjawab balik bahwa dirinya tengah mengembangkan study ke arah integrasi indera yang ia konsepkan sebagai “intersensoriality”. Konsep tersebut didefinisikan sebagai “multi-directional interaction of the anthropology of the senses and of sensory ideologies (2004:9 dalam Pink dan Howes, 2011:334).
295
karena Indera merupakan bentuk keterlibatan yang aktif dan exploratif (mode of active exploratory engagement) (2011). Lebih jauh, organ-organ indera menjadi cara untuk membentuk dan mengenali dunia menangkap momentum pengalaman serta menerima pengalaman itu sebagai kesadaran reflektif untuk peninjauan ulang maupun interpretasi (ibid:315). Pemahaman Ingold yang menjadi inspirasi Sarah Pink dalam mengembangkan Sensory anthropology, diilhami dari Fenomenologi Maurice Merleau-Ponty6. Di dalam Phenomenology of Perception (1974), MerleauPonty menjelajah pertautan antara manusia dan dunianya. Bersama Husserl, ia menolak konsep “cogito tertutup” dari Descartes dengan mengajukan satu asumsi dasar, “kesadaran itu bersifat intensional (mengarah pada maksud tertentu)”. Akan tetapi, ia berbeda dengan Husserl mengenai intensionalitas yang oleh Husserl disebut sebagai intensionalitas kesadaran. Kelemahan pandangan Husserl menurut Merleau-Ponty adalah hubungan antara Ego dan Alter Ego yang paradoks. Sebagaimana dituliskan sendiri oleh Merleau-Ponty, “If the other is truly for himself alone, beyond his being for me, and if we are for each other and not both for God, we must necessarily have some appearance for each other. He must and I must have an outer apperance, and there must be, besides the perspective of the For Oneself—my view of myself and the other’s of himself—a perspective of For Others—my view of other and theirs of me. Of course, these two perspective, in each one of us, cannot be simply juxtaposed, for in that case it is not I that the other would see, nor he that I should see”, (Cetak tegak penekanan dari Ponty, Merleau-Ponty. 1962: xii)
6
Selain Merleau-Ponty, ada tokoh-tokoh lain yang turut memberi sumbangan atas pemikiran Ingold, yakni James Gibson Hans Jonas maupun dari disiplin ilmu Biologi, Psikologi, Geografi, dan Arsitektur. Untuk lebih jelasnya lihat Perceptions to the Environment (2000)
296
Menurut Merleau-Ponty, intensionalitas itu berada dalam rangka pertautan antara eksistensi dan dunianya. Kockelmans menjelaskan, corak intensionalitas Ponty bukan pengenalan ‘epistemologis’ (hubungan subyekobyek), melainkan “berupa ‘relasi ontologis’ pada taraf eksistensial, yakni menyangkut totalitas cara mengada manusia di dalamnya” (1987: 349-408, dalam Hardiman, 2007:44). Menurut Ponty, memahami manusia dan dunianya, bukan sebagai pour-soi (bagi dunianya) sebagaimana yang diusung kaum idealisme maupun seperti kaum materialisme menyebutnya sebagai en-soi (pada dirinya). Akan tetapi, memahami manusia sebagai étre-au-monde (berada di dunia). Jiwa dan badan manusia bukanlah realitas terpisah, tetapi satu kesatuan yang dapat dipahami melalui “persepsi” yang didefinisikan sebagai “suatu intensi dari seluruh ada (being) kita, yaitu suatu cara mengada yang terletak dalam dunia pra-obyektif yang disebut sebagai étre-au-monde” (Hardiman, 2007:44-45). Tubuh manusia dipahami sebagai “tubuh-subyek”, yakni tubuh yang ku-hayati. Lebih lanjut, “Tubuhku adalah subyek, karena merupakan suatu cara memandang dunia dan suatu cara dimana sikap-sikap subyektifku kekenali sendiri”. Tubuh sebagai pemungkin bagi manusia untuk berkomunikasi dengan dunia. Inilah yang disebut sebagai pengalaman kemenubuhan. Pengalaman tubuh melalui indera bukanlah masing-masing berdiri sendiri, tetapi sebagai “totalitas indera” (ko-eksistensi) (ibid:56-57). Perdebatan keduanya, menurut Fauzannafi tidaklah signifikan. Menurutnya, konstruksi inderawi tidak semata-mata bentukan sosialbudaya, tetapi juga terjadi ketika manusia mempersepsi dunia memakai indera mereka (2013). Indera di sini ditempatkan sebagai objek kajian sekaligus perspektif untuk menangkap bagaimana transformasi inderawi tersebut dapat berlangsung. Dengan demikian, berbicara mengenai “pengalaman” berkaitan dengan perhatian—dalam bahasa Fenomenologis— 297
berupa intensi (intention). Mengalami berarti mengintensi: memberi perhatian penuh pada dunia sekeliling dimana proses ini berjalan dua arah: manusia mempunyai kemampuan mengintensi (mempersepsi) dan intensi (persepsi) ini juga diarahkan atau dibentuk. Metodologi Antropologi Inderawi Pemahaman mengenai totalitas cara mengada (being) sebagai interkoneksi indera manusia kemudian diterjemahkan Sarah Pink secara metodologis sekaligus praktis dalam bukunya Doing Sensory Ethnography (2009). Perlu dicatat, Pink menegaskan bahwa antara teori dengan metodologi sebenarnya tidak memiliki batas-batas yang jelas (lihat juga Zamzam, 2012:12-17). Antropologi
Inderawi
dikembangkan
bukan
dalam
rangka
mengumpulkan data, tetapi proses partisipasi aktif secara multiinderawi. Metode ini bukan berarti hanya “mengamati” dan “mengambil data”, melainkan proses “menjadi” dan “terlibat” dalam cara-cara mengetahui dunia dan tindakan dari subjek penelitian kita, dengan cara berjalan, bekerja, mendiskusikan hasil pengambilan gambar, makan, dan berbicara dengan informan. Metode ini lebih sebagai proses “produksi makna” dengan partisipasi bersama subjek penelitian; alias berbagi aktivitas dan tempat antara peneliti dengan subjek yang diteliti (Pink, 2011:271, MacDougall, 2006 dalam Fauzannafi, 2013:8) dan proses berbagi pengalaman dan empati dimana pengalaman inderawi peneliti harus masuk ke dalam proses refleksi (2009 dalam Dicks, 2013:8). Hal penting dari perkembangan Antropologi Inderawi ini ialah bergerak lebih mendalam dari kajian embodiment. Pink mengajukan konsep “emplacement” sebagai perluasan dari konsep “embodiment”. Kalau di dalam kajian embodiment mengasumsikan kesatuan tubuh dan jiwa, emplacement memperhatikan unsur materialitas dan sensorialitas lingkungan (Pink, 2009:25) atau “the sensuous interrelationship of body-mind-environment” (Howes, 2005:7 dalam Pink, 2008:179). Di sini, tempat dan lingkungan tidak 298
semata-mata dipahami sebagai latar terjadinya suatu fenomena, tetapi suatu fenomena itu sendiri mengada dalam lingkungan tertentu berdasarkan praktik-praktik tertentu pula. Selanjutnya, Pink mengajukan konsep “place-making”7 yang ia kembangkan dari Ingold (2008 dalam Bella Dicks, 2013:5). Konsep ini secara sederhana dapat dipahami sebagai proses riset yang mempertemukan berbagai relasi dalam sebuah ‘tempat’, antara peneliti, tineliti, dan lingkungan. Proses etnografi itu sendiri: mulai dari penelitian sampai penulisan (hasil) etnografi, merupakan place-making. Lingkungan yang dimaksud tersebut, bukan semata-mata material yang ada begitu saja (given), melainkan materi-materi sekitar yang mengada (being) dalam proses berjalan dan bergerak berdasarkan sensibilitasnya. Metode observasi partisipasi yang lazim dikenal dalam antropologi, oleh Pink tidak semata-mata observasi berdasarkan pengamatan (penglihatan), tetapi keseluruhan partisipasi semua indera. Oleh karena itu, model etnografi inderawi, disebutnya sebagai “partisipasi multi-inderawi” dan wawancara sebagai “peristiwa multi-inderawi” atau “wawancara multimodalitas”. Kedua metode etnografi inderawi ini ditempatkan sebagai proses belajar melalui pengalaman multi-inderawi si peneliti itu sendiri untuk mendapatkan pengetahuan yang melampaui bahasa (verbal), di mana pengetahuan tertanam di tubuh melalui penglihatan, cercapan, suara, bau, dan gerak tubuh (Pink, 2009 dalam Fauzannafi, 2013:13). Representasi dalam etnografi memang sangat susah untuk mendalami pengalaman-pengalaman di luar visual dan aural. Sarah Pink (2003: 48) menegaskan, “the senses are mediated, interpreted, and conceptualized, so we cannot claim to have had precisely the same sensory experience as others, but creatively construct corespondences between our selves (cetak tegak penekanan aslinya). 7
Konsep ini tetap saya biarkan menggunakan bahasa aslinya karena susah untuk mencari padanan arti dalam Bahasa Indonesia.
299
Untuk menekankan komitmen epistemologi di atas, Sarah Pink sebenarnya menyarankan untuk menggunakan media audio-visual. Menurutnya, “Video represented these as ‘place-making encounters’ between researcher, participants and the material/sensory environment (Pink, 2009:106 dalam Dicks, 2013:5; lihat juga Pink, 2007; 2008; 2011a; 2011b). Medium video dapat “reconstituted through the convergence of an intensity of things in process, emotions, sensations, persons and narratives” (2011b:350, dalam Dicks, ibid: 12). Meskipun demikian, Medium foto juga bisa digunakan sebagai alat penelitian yang tidak semata-mata menampilkan visualitas secara terpisah, karena sebenarnya indera manusia terkoneksi satu sama lain. Foto juga mampu menghadirkan dan merangsang memori dan sensasi indera lain. Sebagaimana dikatakan Murdock dan Pink, “Media visual mempunyai kapasitas untuk menciptakan metafora dan sinestesia” (2005:153 dalam Fauzannafi, 2012:11; Lihat juga Pink. 2003a; 2003b, MacDougall, 2006:268). Sinesteria di sini bukan berupa “uangkapan yang berhubungan dengan suatu indera untuk dikenakan pada indera lain (KBBI), tetapi tetapi penekanan pada keterhubungan indera satu dengan indera yang lain. Sinestesia ini merupakan kajian yang awalnya berkembang dalam Psikologi Persepsi yang dikembangkan oleh Alan Merriam (1964). Di dalam studi tersebut, synesthesia didefinisikan sebagai keterhubungan antar indera (interrelationship among all the senses) (hal:85) atau “unity of the senses” (Hornbostel. 1927:89 dalam Merriam, 1964: 99-100). Foto sebagai media representasi, tidak semata-mata sebagai perekaman suatu gejala agama dan/atau seni, tetapi juga dapat memediasi partisipasi
yang
melibatkan
pengalaman
peneliti
dalam
suatu
pergelaran/ritus dan “dibaca” bersama dengan informan untuk menekankan intersubyektivitas antara dalam produksi etnografi. Foto tidak hanya digunakan
sebagai
upaya
representasi
“paling
mendekati”
dari
penggambaran tentang pergelaran, tetapi “intensionalitas” informan terhadap suatu pergelaran, yang referensinya merujuk pada ingatan dan 300
(re)produksi hasrat. Interpretasi terhadap foto pun tidak lagi dilakukan dengan gaya Barthesian: studium dan punctum, tetapi fokus pada penggalian intensionalitas dan memori di dalam produksi foto, berbagi foto, dan aktivitas lain di dalam dan di luar pergelaran sebagai arena pembentukan sensibilitas dan moda penginderaan tersebut. Foto digunakan dalam penelitian sebagai materi untuk memancing ingatan dari orang yang kita ajak bicara untuk mempertemukan intensitas dan perhatian. Sehingga, caption tidak lagi kita pakai untuk memahami foto dan menempatkan “konteks” di dalam etnografi. Akan tetapi, intensiolitas terhadap materi-materi dalam foto itulah yang sangat penting kita perhatikan di dalam membaca visualitas maupun sensibilitas lainnya. Penutup: Membaca Kembali Pertautan Agama dan Seni dalam Adzan Kembali kepada perbincangan pertautan agama dan seni di awal, kita dapat memahami ulang bagaimana menempatkan pengalaman mendengar suara adzan tidak lagi sekedar memahami arti sensasi sebagaimana dialami Simatupang. Adzan, sensasi dan keberadaan suaranya harus diletakkan dalam kerangka dan isu yang lebih luas, yakni mengenai (re)produksi suara kaitannya dengan signifikansi sosial. Maksudnya, bagaimana suara ini turut memberi
signifikansi
hubungan-hubungan
sosial
dengan
cakupan
berdasarkan keterjangkauan suara itu sendiri. Sebab, “kesan” dan “sensasi” yang diperbincangkan Simatupang di atas, secara ontologis hanya ditempatkan sebagai “objek”, dalam hal ini suara adzan yang diindera berdasarkan sensibilitas obyek tersebut. Pemahaman tersebut hanya menyangkut relasi ontologis subyek-obyek. Di sini pula letak kegagalan pembacaan dan telaah teoretiknya dalam memahami kesan dan pengalamanpengalaman tersebut. 301
Sebenarnya, sudah ada penelitian mengenai bagaimana suara adzan (di)hadir(kan) dalam praktik dan relasi sosial sehari-hari, terutama mengenai pembentukan etos ibadah (spiritualitas-estetis) dalam Islam yang dibentuk dari dan terbentuk melalui pengolahan penginderaan suara (soundscape) dan oralitas (Rasmussen, 2020; Rasmussen dan Harnish, 2011). Adzan yang dikumandangkan lima kali sehari di masjid dan mushola di Indonesia, menurut Rasmussen dan Harnish mampu melibatkan semua pendengar dalam jangkauan tertentu. Adzan juga “served as a time-marker and as sonic footprint of the mosque, where many religious, educational, and social activities transpire” (ibid:25). Lebih lanjut, adzan—dan resitasi AlQur’an (tilawah), menurut mereka, tidak hanya dikenali sebagai sebentuk musik dalam Islam. Justru, musikalitasnya—aspek performativitas— berkontribusi tidak hanya sebagai penyampai makna tekstual, tetapi juga pembentukan pola-pola suara yang menyimbolkan banyak hal “sakral” (ibid). Dalam Hearing Islam in the Atmosphere (2010), Rasmussen menjelaskan bahwa adzan—juga tilawah dan khutbah—sebagai sebentuk tradisi oral, hingga direproduksi melalui kaset-audio dan VCD, dapat “menjadikan ritusritus dan pergelaran religius dapat diraih di luar batas-batas fisik dan melengkapi teknologi pembesaran suara” (2010b:46). Pembentukan soundscape (lingkungan suara) ini8 mampu mengintensifkan spiritualitas, mengelaborasi ritual, dan mengkonsentrasikan komunalitas di dalam ritus Islam (ibid:48). Pengasahan dan pembentukan pendengaran, dalam pandangan Hirschkind (2006:23) terjadi karena mempunyai kapasitas terapeutik, yang terelaborasi dengan istilah-istilah etis dalam relasinya dengan bentuk pandangan yang teologis. Adzan dapat diputar-berulang kali, tidak hanya memberi kesan retoris, tetapi juga berefek pada pembentukan kebiasaan pengideraan, terutama praktik mendengar (ibid:23-24). Jadi, adzan dan keberadaan suaranya yang diproduksi melalui mushola, dapat 8
Lihat juga kajian serupa dalam Earlman (2004); Hirsckind (2005, 2006); Muzakki (2008)
302
mengintensifkan perhatian melalui pendengaran berdasarkan batas-batas keterjangkauan suara—meminjam konsep dari Edward Hall (1990)—sebagai “kejarakan” (proximity). Masing-masing sensibilitas tersebut mengantarai dan membentuk tingkat intensitas hubungan komunikasi dalam kejarakan tertentu berdasarkan batas-batas keterjangkauan penginderaan. Dengan demikian, cara pandang seperti ini menuntut kita untuk memahami wilayah estetika: dimensi performativitas dan perseptual dari ekspresi dan praktik kultural, serta pengalaman ketubuhan sebagai ranah penggalian
pengetahuan
dalam
kaitannya
dengan
pembentukan
kecenderungan untuk menikmati citarasa estetis, ketergelaran, rasa keagaaman tertentu maupun praktik konsumsi lain itu sendiri dan signifikansinya dalam hubungan-hubungan sosial yang lebih luas. Di samping itu, perspektif ini dapat mengajak kita memahami aspekaspek yang menyangkut bagaimana orang “mengada di dunia” (being in the worlds) dengan melibatkan dan mengelaborasi aspek-aspek sensibilitas material melalui serangkaian praktik penginderaan dan intensionalitas kita terhadap dunia yang berlangsung sehari-hari di sekitar kita. Akar epistemologi dari Merleau-Ponty juga menuntut menggeser investigasi antropologi—dan disiplin ilmu lain—yang kita yakini sampai saat terutama terutama diskursus Seni, Agama, dan Antropologi di Indonesia. Selama saya belajar antropologi dan melihat wacana kajiannya, investigasi antropologi di Indonesia masih kental pengaruh Malinowski yang fokus pada penggalian “The native points of views, his relation to live, to realize his vision to his worlds (1961:25) sebagai dasar menolak sikap etnosentris dalam kerja antropologi. Kita terlalu fokus ada ranah kognitif yang menyangkut nilai-nilai, rasionalitas, dan pandangan-pandangan komunitas—yang kita teliti— terhadap dunianya. Akar ontologis ilmu Antropologi warisan Malinowski ini membuat
kajian
antropologi—meminjam
konsep
Ingold—terlalu
antroposentris yang dikenal dengan pandangan antropocircumferentialisme.
303
Maksudnya, pandangan yang memahami keberadaan materi-materi dan lingkungan hanya sebagai instrumen bagi pelaksanaan ide-ide manusia (2000:218). Saya kira kerja antropologi maupun riset seni dan/ atau agama ke depan penting untuk berangkat dari ontologi yang telah ditawarkan oleh Merleau Ponty, yakni investigasi mengenai “being in the world”: tentang proses mengada manusia. Dalam konteks pergelaran dan/atau ritus dan dalam kerangka perspektif Antropologi Inderawi di atas, kita diajak memahami bagaimana kehidupan kita dibentuk dan berlangsung melalui moda-moda penginderaan di dalam praktik-praktik sosial yang terhubung dalam lingkungan dan materi-materi tertentu. Keberadaan dan relasi antara individu dengan sosial tidak dihubungkan oleh proses berbagi “wilayah simbolik” maupun berbagi “identitas” yang sama, tetapi melalui proses berbagi kecenderungan yang sama dalam pengalaman, sensibilitas, perhatian, dan intensionalitas. Kecenderungan ini—yang saya sebut sebagai “hasrat”—dapat dikenali melalui mode penginderaan yang dikonstruksi dan ditanamkan melalui dan dalam suatu pergelaran dan/atau ritus. Dengan demikian, besar harapan kita untuk menelisik dan memahami kesan dan hasrat yang selama tak terdefinisikan secara jelas dan tegas tersebut dalam riset-riset etnografi masa yang akan datang di Indonesia ini. Catatan tambahan: Melalui tulisan ini saya mengucapkan terimakasih kepada M. Zamzam Fauzannafi dan Dhimas Laksita atas kritik, saran, diskusinya yang segar dan mencerahkan tentang studi-studi kebudayaan kontemporer, serta perkenalannya dengan Antropologi Inderawi. Terimakasih juga kepada Lono Lastoro Simatupang atas pembacaan kritis, diskusi, dan bimbingannya. Juga terimakasih khusus untuk Shinta Mudrikah atas semua dukungannya selama penulisan berlangsung.
304
Daftar Pustaka Ahimsa-Putra, Heddy Shri (ed). Ketika Orang Jawa Nyeni. Yogyakarta: Yayasan Galang. 2000a Ahimsa-Putra, Heddy Shri. Antropologi dan Seni: Sebuah Pengantar. Diktat Kuliah Antropologi Seni Pascasarjana UGM. 2000b ______, Paradigma dan Revolusi Ilmu dalam Antropologi Budaya: Sketsa Beberapa Episode. Naskah Pidato Pengukuhan Guru Besar pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada tanggal 10 November 2008 ______, “Fenomenologi Agama: Pendekatan Fenomenologi untuk Memahami Agama”, Walisongo, 20 (2), (2012) : 271-304 Asad, Talal. ”The Construction of Religion as an Anthropological Category”, Michael Lambek (ed.). A Reader in the Anthropology of Religion, Maiden: Blackwell Publisher. 2002 :114-132 ______, Formations of the Secular: Christianity, Islam, Modernity. Stanford, CA: Stanford University Press. 2003 Baumgarten, Alexander G. Reflections on Poetry: Alexander Gottlieb Baumgarten's, Meditationes philosophicae de nonnullis ad poema pertinentibus (transl. Karl Aschenbrenner and William B. Holther), Berkeley: University of California Press. 1954 [1735] Cytowic, Ricard E. Synesthesia: a Union of the Senses. Massachusetts Institute of Technology: MIT Press. 2002 Classen, Constance. “Aesthetics and Asceticism in Inca Religion”. Anthropologica, 32(1), 1990a: 101-106 ______, “Sweet Colors, Fragrant Songs: Sensory Models of the Andes and the Amazon”. American Ethnologist, Vol. 17, No. 4 (1990b), hal: 722-735 ______, “The Odor of the Other: Olfactory Symbolism and Cultural Categories”. Ethos, Vol. 20, No. 2 (1992), hal: 133-166 ______, Foundation of anthropology of the senses. Oxford: Blackwell Publishers. 1997 305
______, The Color of Angels: Cosmology, Gender and the Aesthetic Imagination. London and New York. Routledge. 1998 _______, “Other Ways to Wisdom: Learning through the Senses across Cultures” International Review of Education / 45 (3/4), 1999: 269280 _______, “Museum Manners: The Sensory Life of the Early Museum”. Journal of Social History, Vol. 40, No. 4 (2007): 895-914 David Inglis. “Thinking ‘Art’ Sociologically”, dalam David Inglis dan John Hughson (ed.). The Sociology of Art: Ways of Seeing. New York: Palgrafe Macmillan, 2005: 11-29 Dicks, Bella. “Action, Experience, Communication: Three Methodological Paradigms for Researching Multimodal and Multisensory Settings”. Qualitative
Research,
(online)
retrieved
from
http://qrj.sagepub.com/content/early/2013/09/10/146879411350 1687 tanggal 10 September 2013 Drobnick, Jim dan Jennifer Fisher. “Introduction: Sensory Aesthetic”, Senses and Society. 2(2), 2012: 133-134 Erlman, Veit (ed.). Hearing Cultures: Essays on Sound, Listening, and Modernity. Oxford: Berg, 2004 Fauzannafi, Muhammad Zamzam. Melampaui Penglihatan: Kumpulan Esai Antropologi Visual tentang Media (Audio) Visual dan Penonton. Yogyakarta: Rumah Sinema. 2012 ______, “Budaya Neo-liberalisme: Konsumsi dan Transformasi Inderawi: Sebuah Agenda Riset Etnografi Inderawi”, RANAH (Jurusan Antropologi Budaya UGM), III(1), 2013: 2-10 Hall, Edward T. The Hidden Dimension. New York: Anchor Book. 1966 Hardiman, F. Budi. “Manusia sebagai Ada yang Mendunia: Maurice MerleauPonty tentang Tubuh dan Ruang”. Filsafat Fragmentaris. Yogyakarta: Kanisius. 2007 Harnish, David dan Rasmussen, Anne. Divine Inspirations: Music and Islam in Indonesia. USA: Oxford University Press, 2011 306
Hirschkind, Charles. “Cassette Ethics: Public Piety and Popular Media in Egypt” dalam Birgit Meyer dan Annelies Moors. Religion, Media, and The Public Sphere. Indianapolis: University of Indiana Press. 2005 ______, The Ethical Soundscape: Cassette Sermons and Islamic Counterpublic. New York: Columbia University Press. 2006 Howes, David (ed.), The Varieties of Sensory Experience: A Sourcebook in the Anthropology of the Senses, Toronto: University of Toronto Press. 1991 ______, Empire of the Senses: The Sensual Culture Reader. Oxford and New York: Berg. 2004 Howes, David. Sensual Relation: Engaging The Sense in Culture and Social Theory. USA: The University of Michigan Press. 2003 ______, “Reply to Tim Ingold”. Social Anthropology/Anthropologie Sociale. European Association of Social Anthropologists. Vol. 19 (3) 2011a: 318-322 ______, “The Senses: Polisensoriality”. A Companion to Anthropology of the Body and Embodiment, Mascia-Less (ed) Willey-Balckwell. 2011b ______,
Doing
Sensory
Anthropology
http://www.sensorystudies.org/sensorial-investigations/doingsensory-anthropology/ retrieved 11 Februari 2013 pukul 18.32 WIB, (tt) Howes, David dan Constance Classen. “The Sensescape of the Museum: Western Sensibilities and Indigenous Artifacts” in Elizabeth Edwards, et al. (eds.). Sensible Objects: Colonialism, Museums and Material Culture. Oxford: Berg Publishers, 2006: 199-222 ______, “Making Sense of Culture: Anthropology as a Sensual Experience”. Etnofoor, Jaarg. 9 (2) 1996: 86-96 Howes, David dan Marc Lalonde. “The History of Sensibilities: Of the Standard of Taste in Middle Eighteenth Century England and the
307
Circulation of Smells in Post-revolutionary France”, Dialectical Anthropology, 6 (2) 1991: 125-135 Ingold, Tim. The perception of the environment: essays on livelihood, dwelling and skill. London: Routledge. 2000 ______, “Bindings against boundaries: entanglements of life in an open world. Environment and Planning A 40, 2008: 1796–1810. ______, “Worlds of Sense and Sensing the Worlds: a Response to Sarah Pink and David Howes”. Social Anthropology/Anthropologie Sociale. European Association of Social Anthropologists. Vol. 19, (3) 2011: 313-317 Simatupang, G. R. Lono Lastoro, “Memahami Jagad Seni sebagai Refleksi Kemanusiaan” Seni Tradisi Lisan sebagai Wahana Komunikasi yang sangat Efektif di Tengah Masyarakat yang Sedang Berubah (Naskah Workshop). Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional: Yogyakarta (6 September 2006) ______, “Seni dan Estetika dalam Perspektif Antropologi”, Jurnal Acintya 2 (1) 2010a ______, Seni dan Agama. Naskah seminar, disampaikan dalam Pembekalan Jelajah Budaya, BPSNT (Balai Pengkajian Sejarah dan Nilai Tradisi) Yogyakarta, (12 Juli 2010b) ______, “Musik Etnik dalam Lintasan Sejarah Nasional Indonesia”, Seminar Nasional Musik Etnik Nusantara (Naskah Seminar). Seminar Nasional BEM FIB UGM. 2011 ______, Pergelaran: Sebuah Mozaik Penelitian Seni Budaya. Yogyakarta: Jalasutra. 2013 Malinowski, B. The Argonauts of the Western Pacific: An Account of Native Enterprise and Adventure in the Archipelagoes of Melanesian New Guinea, London: Routledge. 2002[1961] Merleau-Ponty, Maurice. Phenomenology of Perception, (terj. Colin Smith). London: Routledge & Kegan Paul. 1962
308
Merriam, Alan P. “Aesthetic and the Interrelationship of the Arts”. The Anthropology of Music. Nortwestern University Press: Chicago. 1964: 259-276 Muzakki, Akh. “Islam as Symbolic Commodity: Transmitting and Consuming Islam through Public Sermons in Indonesia”, dalam Kittiarsa, Pattana (ed). Religious Commodifications in Asia: Marketing Gods. London and New York: Routledge, 2008: 205-219 Nelson, Bryan. “Politics of Senses: Karl Marx and Empirical Subjectivity”, Subjectivity. 4 (4) 2011:3995-412 Pink, Sarah. “Interdisciplinary Agendas in Visual Research: Re-situating Visual Anthropology”. Visual Studies, 18 (2) 2003a: 179-192 ______, “Representing the Sensory Home: Ethnographic Experience and Anthropological Hypermedia”. Social Analysis: The International Journal of Social and Cultural Practice, 47 (3) 2003b: 46-63 ______, “Walking with Video”, Visual Studies, 22 (3) 2007: 240-252 ______, “An Urban Tour: The Sensory Sociality of Ethnographic Place-Making”. Ethnography 9 (2) 2008: 175–196. ______, Doing Sensory Ethnography. California: Sage Publications. 2009 ______, “Multimodality, Multisensoriality and Ethnographic Knowing”. Qualitative Research 11(3), 2011a : 261–276. ______, “From Embodiment to Emplacement: Re-thinking Competing Bodies, Senses and Spatialities”. Sport, Education and Society 16(3), 2011b: 343–355 Pink, Sarah dan David Howes. “The Future of Sensory Anthropology/ the Antropology of the Senses: Debate Section”. Social Anthropology, European Association of Social Anthropologists, 18, 2010: 331-340 Porcelo T, Meintjes L, Ochoa AM and Samuels DW.“The Reorganisation of the Sensory Worlds”. Annual Review of Anthropology 39, 2010: 51–66.
309
Rasmussen, Anne K. “Hearing Islam in the Atmosphere”, Women, the Recited Qur’an, and Islamic Music in Indonesia. University of California Press. 2010 Synnott, Anthony; Constance Classen; dan David Howes. Aroma: The Cultural History of Smell. London and New York: Routledge. 1994 Turino, Thomas. Music as Social Life: The Politics of Participation. Chicago: The University of Chicago Press. 2008 van Eve, Yolanda. “Sensuous Anthropology: Sense and Sensibility and the Rehabilitation of Skill”. Anthropological Notebooks 15 (2) 2009: 61– 75. Sumber website: http://www.centreforsensorystudies.org/ http://david-howes.com
310